PENDUGAAN UMUR SIMPAN TEPUNG LIDAH BUAYA DENGAN METODE KADAR AIR KRITIS
ANNISA SITA LARASATI F24070004
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendugaan Umur Simpan Tepung Lidah Buaya dengan Metode Kadar Air Kritis adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2013 Annisa Sita Larasati NIM F24070004
ABSTRAK ANNISA SITA LARASATI. Pendugaan Umur Simpan Tepung Lidah Buaya dengan Metode Kadar Air Kritis. Dibimbing oleh WINIATI PUJI RAHAYU dan BUDI NURTAMA. Tanaman lidah buaya (Aloe vera) banyak digunakan dalam industri farmasi dan pangan. Pengolahan lidah buaya menjadi tepung lidah buaya merupakan salah satu upaya pemanfaatan dan pengawetan tanaman lidah buaya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui nilai umur simpan tepung lidah buaya dalam tiga jenis kemasan plastik, yaitu LDPE, OPP, dan metalized plastic dengan metode akselerasi model kadar air kritis. Paramater mutu kritis yang diamati pada produk tepung lidah buaya adalah perubahan tekstur yaitu penggumpalan. Penelitian ini terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah seleksi dan pelatihan panelis terlatih dan tahap kedua adalah tahap penentuan umur simpan. Hasil perhitungan umur simpan dengan kemasan LDPE pada kondisi RH 75, 80, dan 85% berturut-turut adalah 38, 33, dan 29 hari. Untuk kemasan OPP pada kondisi RH 75, 80, dan 85% berturut-turut adalah 255, 222, dan 197 hari. Sementara itu, untuk kemasan metalized plastic pada kondisi RH 75, 80, dan 85 % berturut-turut adalah 2095, 1828, dan 1624 hari. Berdasarkan hasil penelitian, faktor kemasan dan RH penyimpanan berpengaruh dalam memperpanjang umur simpan produk tepung lidah buaya. Kemasan dengan permeabilitas terkecil, yaitu metalized plastic, memberikan umur simpan yang lebih panjang dibandingkan kemasan yang lain. Namun, berdasarkan pertimbangan segi ekonomi dan umur simpannya, tepung lidah buaya sebaiknya disimpan dalam kemasan OPP pada RH 75% yang memberikan umur simpan selama 255 hari. Kata kunci: kadar air kritis, penggumpalan, tepung lidah buaya, umur simpan
ABSTRACT ANNISA SITA LARASATI. Shelf Life Predicting of Aloe vera Powder Using Critical Water Content Method. Dibimbing oleh WINIATI PUJI RAHAYU dan BUDI NURTAMA. Aloe vera is widely used in pharmaceutical and food industries. Aloe vera processing into Aloe vera powder is one of the utilization and preservation efforts of Aloe vera. The main objective of this research is to determine the shelf life of Aloe vera powder in the three types of plastic packaging, that are LDPE, OPP, and metalized plastic with acceleration method critical water content models. Critical quality parameter of Aloe vera powder was observed in this research is the change in texture, mainly caking. This research consists of two stages. First stage was the selection and training of panelists and the second stage was the determination of Aloe vera powder shelf life. Shelf life of Aloe vera powder in
LDPE packaging with RH condition 75, 80, and 85 % respectively were 38, 33, and 29 days. In OPP packaging with RH condition 75, 80, and 85 % respectively were 255, 222, and 197 days. Meanwhile, in metalized plastic packaging with RH condition 75, 80, and 85 % respectively were 2095, 1828, and 1624 days. Packaging and RH condition are influential to prolong shelf life of Aloe vera powder. Metalized plastic, packaging with the smallest permeability, give the longer shelf life than the other packaging. But, based on economical factor and its shelf life factor, Aloe vera powder should be stored in OPP packaging in RH 75% which provides shelf life 255 days. Keywords: Aloe vera powder, caking, critical water content, shelf life
PENDUGAAN UMUR SIMPAN TEPUNG LIDAH BUAYA DENGAN METODE KADAR AIR KRITIS
ANNISA SITA LARASATI F24070004
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Pendugaan Umur Simpan Tepung Lidah Buaya dengan Metode Kadar Air Kritis Nama : Annisa Sita Larasati NIM : F24070004
Disetujui oleh
Dosen Pembimbing I,
Dosen Pembimbing II,
(Prof. Dr. Winiati P.Rahayu) NIP : 195608131982012001
(Dr.Ir. Budi Nurtama, MAgr) NIP : 195904151986011001
Diketahui oleh Ketua Departemen
(Dr.Ir. Feri Kusnandar, M.Sc) NIP. 19680526 199303 1 004
Tanggal Lulus:
Februari 2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pendugaan Umur Simpan Tepung Lidah Buaya dengan Metode Kadar Air Kritis dengan baik dan semaksimal mungkin. Tak lupa pula penulis mengucap Shalawat dan Salam kepada junjungan Nabi Besar, Muhammad SAW. Dengan telah diselesaikannya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, dan membimbing penulis hingga penyusunan skripsi ini selesai, terutama kepada : 1. Prof. Dr.Winiati P. Rahayu sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan nasihat, motivasi, segala pelajaran hidup dari awal penulis menjejakkan langkah di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. 2. Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr. selaku dosen pembimbing kedua, karena atas kesabaran, nasihat, saran, dan kritikan dari beliaulah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc. selaku dosen penguji, atas saran-saran yang membangun serta masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis. 4. Bapak dan Ibu tercinta yang selalu memberi dukungan dan sabar dalam mendidik penulis. Terima kasih juga atas segala kasih sayang, doa, dan perhatian yang telah diberikan selama ini. Keluarga besar dari Bapak dan Ibu yang tidak henti-hentinya mengirimkan doa dan dukungan bagi kesuksesan dan kelancaran penulis selama menyelesaikan pendidikan di IPB. 5. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat serta mendukung kemajuan penulis serta laboran-laboran ITP (Pak Deni, Pak Rojak, Pak Gatot, Pak Wahid, Bu Antin, Bu Rub, Bu Sri, dan Mbak Vera) yang banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian. 6. Sahabat-sahabat saya, Dhina, Reny, Lia, Tami, Imel, Ria, Alya, Chintya ‘Dono’, Fitri, Hanna, Irwan, Desir, Mike, Lukman dan seluruh teman-teman ITP 44. Terimakasih banyak atas segala suka dan duka yang telah dialami bersama. 7. Seluruh teman-teman ITP 45, terima kasih atas kebersamaan dan kerjasamanya. 8. Teman-teman sebimbingan, Jeslyn, Wiwit, Punjung, dan Reggy atas kebersamaan dan dukungan kalian. 9. Para panelis terlatih atas waktu dan kerjasamanya selama penelitian ini berlangsung. 10. Teman-teman TPB dan Nabila Community, Irin, Vidya, Risty, Zuzu, Ana, Citra, Nia, Leni, terima kasih atas kebersamaannya. 11. Sahabat–sahabat di Pontianak, Jurista, Astrid, Lely, Donna, Migi, Via, terima kasih karena selalu ada dan member dukungan dalam hidup penulis hingga saat ini.
12. Para dokter dan suster di Normah Medical Specialis Centre, serta seluruh
pihak yang telah membantu selama penulis berjuang melawan penyakit di Kuching, Malaysia. 13. Kepada pihak-pihak lain yang belum disebutkan, penulis mengucapkan terimakasih banyak, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang kalian berikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Bogor, Februari 2013
Annisa Sita Larasati
DAFTAR ISI ABSTRAK
iii
HALAMAN PENGESAHAN
vi
KATA PENGANTAR
iiv
DAFTAR ISI
ix
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
3
Komposisi Kimia dan Kegunaan Tanaman Lidah Buaya
3
Tepung Lidah Buaya
5
Pendugaan Umur Simpan
6
Metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT)
8
Kadar Air dan Aktivitas Air
11
Kurva Sorpsi Isotermis Air
12
Penggumpalan (Caking)
14
METODE
15
Bahan dan Alat
15
Metode Penelitian
15
Rancangan Percobaan
20
HASIL DAN PEMBAHASAN
22
Seleksi dan Pelatihan Panelis
22
Karakteristik Awal Tepung Lidah Buaya (Kadar Air Awal dan Aktivitas Air) 23 Kadar Air Kritis Tepung Lidah Buaya
23
Kurva Sorpsi Isotermis dan Kadar Air Kesetimbangan
25
Kondisi Penyimpanan Tepung Lidah Buaya
30
Umur Simpan Tepung Lidah Buaya
31
SIMPULAN DAN SARAN
35
Simpulan
35
Saran
35
DAFTAR PUSTAKA
36
LAMPIRAN
40
RIWAYAT HIDUP
59
DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Komponen gel lidah buaya dalam 100 gram bahan Nutrisi dalam lidah buaya Spesifikasi tepung lidah buaya Kelembaban relatif dan a w pada berbagai larutan garam jenuh pada suhu 30oC Karakteristik awal tepung lidah buaya berdasarkan hasil FGD panelis terlatih Kadar air kesetimbangan tepung lidah buaya untuk berbagai larutan garam jenuh pada suhu 30oC Linearisasi persamaan sorpsi isotermis Model persamaan kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya Kadar air kesetimbangan tepung lidah buaya hasil percobaan dan berbagai model sorpsi isotermis Nilai Mean Relative Determination (MRD) berbagai model persamaan kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya Nilai permeabilitas (k/x) tiga jenis kemasan Variabel umur simpan tepung lidah buaya dalam tiga jenis kemasan pada RH 75, 80, dan 85% Umur simpan tepung lidah buaya pada tiga jenis kemasan dan berbagai nilai RH
4 4 6 19 22 26 28 28 28 30 31 32 33
DAFTAR GAMBAR
1 Proses pembuatan tepung lidah buaya dengan spray drier skala pilot plan 2 Kurva sorpsi isotermis untuk produk pangan secara umum 3 Tipe-tipe kurva sorpsi isotermis 4 Diagram alir penelitian 5 Grafik kadar air kritis tepung lidah buaya 6 Grafik tingkat penggumpalan tepung lidah buaya berdasarkan uji rating panelis terlatih 7 Kurva hubungan kadar air kritis dan tingkat penggumpalan tepung lidah buaya selama penyimpanan 0, 12, 24, 36, dan 48 jam 8 Kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya 9 Kurva sorpsi isotermis hasil percobaan dan berbagai macam model persamaan 10 Kurva linear nilai kadar air awal, kritis, dan kesetimbangan untuk penentuan kemiringan kurva sorpsi isotermis
7 13 14 17 24 24 25 27 29 30
DAFTAR LAMPIRAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Formulir uji segitiga seleksi panelis terlatih Lembar kerja uji segitiga seleksi panelis terlatih Formulir uji rating skala garis dalam penentuan kadar air kritis Hasil penilaian panelis uji segitiga Kadar air awal tepung lidah buaya Kadar air dalam penentuan kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya Hasil pengukuran kadar air kritis tepung lidah buaya Hasil uji rating kadar air kritis Hasil uji ANOVA penilaian uji rating kadar air kritis tepung lidah buaya dengan program IBM SPSS Statistics Version 20 Data perubahan kadar air tepung lidah buaya dalam berbagai kelembaban relatif (RH) Contoh perhitungan mencari konstanta model sorpsi isotermis Hasil perhitungan bobot padatan per kemasan (Ws) Hasil perhitungan luas kemasan (A) Hasil pengukuran aktivitas air tepung lidah buaya Perhitungan umur simpan tepung lidah buaya Rekapitulasi faktor-faktor yang digunakan dalam perhitungan umur simpan tepung lidah buaya Hasil uji ANOVA pengaruh jenis kemasan dan RH penyimpanan terhadap umur simpan tepung lidah buaya dengan program IBM SPSS Statistics Version 20
41 42 43 44 45 45 46 47 49 51 52 54 54 55 55 56
57
PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman lidah buaya (Aloe vera) telah lama dikenal sebagai tanaman yang berkhasiat bagi kesehatan. Sejak dahulu lidah buaya telah digunakan sebagai penyubur rambut, penyembuh luka, dan perawatan kulit. Tanaman ini digunakan sebagai bahan baku dalam industri kosmetik dan farmasi. Dalam perkembangannya, lidah buaya juga telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan minuman kesehatan karena kandungan senyawa nutrisi dan komponen aktifnya yang baik bagi kesehatan manusia. Tanaman lidah buaya dari jenis Aloe vera chinensis merupakan salah satu komoditi spesifik Kalimantan Barat dan produk unggulan yang mempunyai potensi untuk dikembangkan. Data statistik menunjukkan bahwa jumlah tanaman/luas tanam dan produksi lidah buaya di Kalimantan Barat terus meningkat. Tahun 1996 jumlah populasi tanaman sebanyak 109520 pohon atau sekitar 14.80 Ha dengan produksi 140.18 ton/bulan dan jumlah ini terus meningkat pada tahun 2000 menjadi 397750 pohon atau 53.75 Ha dengan produksi 509.12 ton/bulan (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalimantan Barat 2009). Semakin meningkatnya produksi tanaman lidah buaya ini menuntut pula dilakukannya pengolahan yang lebih lanjut untuk meningkatkan nilai ekonomisnya. Kandungan nutrisi dan komponen aktif lidah buaya banyak terkandung di dalam daging daun lidah buaya atau yang biasa disebut gel lidah buaya. Namun, sifat gel lidah buaya ini mudah rusak dan tercemar bakteri sehingga tidak tahan lama. Hal ini mendorong dilakukannya upaya untuk mempertahankan kandungan dalam gel yaitu dengan cara mengolahnya menjadi bubuk atau tepung. Selain itu, pengolahan gel lidah buaya ini menjadi tepung dapat meningkatkan nilai tambah atau ekonomisnya. Lidah buaya dalam bentuk tepung mempunyai beberapa keuntungan, yaitu kandungan nutrisinya tidak mudah rusak serta memudahkan dalam penyimpanan. Penggunaan tepung lidah buaya saat ini tidak hanya terbatas pada industri kosmetik dan farmasi, tetapi juga untuk produksi makanan dan minuman kesehatan. Salah satu parameter mutu produk yang sangat kritis untuk diperhatikan adalah umur simpan produk. Pencantuman waktu kedaluwarsa atau umur simpan pada label produk pangansangat bermanfaat bagi konsumen. Dari pencantuman waktu kedaluwarsa tersebut maka konsumen mendapat informasi tentang batas waktu penggunaan produk tersebut. Produsen dan distributor produk juga memperoleh manfaat dari ketersediaan informasi mengenai umur simpan ini. Bagi produsen dapat membantu dalam pengawasan mutu barang tersebut, sedangkan bagi distributor atau penjual dapat mengatur stok barangnya di pasaran. Oleh karena itu, ketersediaan informasi mengenai tanggal kedaluwarsa yang tercantum pada label produk perlu diperhatikan oleh produsen, tidak terkecuali produsen pengolah tepung lidah buaya Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan metode Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Shelf Life Testing (ASLT).
Metode ESS adalah penentuan tanggal kedaluwarsa dengan cara menyimpan produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutu hingga mencapai mutu kedaluwarsa. Metode ini sangat akurat dan tepat, namun pelaksanaannya lama dan analisis karakteristik mutu yang dilakukan relatif banyak. Metode ASLT adalah penentuan waktu kedaluwarsa dengan penerapan kondisi lingkungan yang memungkinkan reaksi penurunan mutu produk pangan berlangsung lebih cepat. Keuntungan metode ini adalah waktu pengujian yang relatif singkat. Penentuan umur simpan yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah dengan metode ASLT. Model yang dipakai adalah dengan pendekatan kadar air kritis. Pemakaian metode ini didasarkan pada waktu pelaksanaan yang singkat dan metode pengukuran yang sederhana.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai umur simpan tepung lidah buaya dalam tiga jenis kemasan plastik untuk menjamin mutu produk. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Mempelajari model pendugaan umur simpan dengan metode ASLT pendekatan kadar air kritis pada parameter mutu perubahan tekstur (penggumpalan atau caking) untuk menentukan umur simpan tepung lidah buaya. 2. Mengetahui pengaruh tiga jenis kemasan (LDPE, OPP, dan metalized plastic) terhadap umur simpan tepung lidah buaya dalam kondisi penyimpanan pada suhu ruang (30 ± 1 oC).
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini antara lain: 1. Memperoleh informasi mengenai umur simpan (hari) tepung lidah buaya berdasarkan parameter mutu perubahan tekstur (penggumpalan atau caking) pada penyimpanan suhu ruang (30 ± 1 oC). 2. Memperoleh rekomendasi jenis kemasan untuk menyimpan tepung lidah buaya pada penyimpanan suhu ruang (30 ± 1 oC).
TINJAUAN PUSTAKA Komposisi Kimia dan Kegunaan Tanaman Lidah Buaya Tanaman lidah buaya sangat potensial dibudidayakan di lahan gambut seperti di Propinsi Kalimantan Barat khususnya di Kotamadya Pontianak yaitu di Siantan Hulu. Tanaman lidah buaya yang telah diusahakan seluas 75 Ha dan potensi pengembangannya mencapai 19,950 Ha yang tersebar di empat kabupaten. Produksi lidah buaya rata-rata 6 - 7.5 ton/ha setiap kali panen dan dapat dipanen 3 - 4 kali per tahun. Pemasaran lidah buaya selain untuk pasar lokal juga sudah banyak dijual keluar Kalimantan Barat yaitu Jakarta dan Malaysia dalam bentuk daun segar (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalimantan Barat 2009). Tanaman lidah buaya yang berasal dari Pontianak merupakan varietas terunggul di Indonesia bahkan diakui keunggulannya di dunia. Tanaman jenis ini setiap pelepahnya memiliki berat sekitar 0.8 – 1.2 kg dan dapat dipanen setiap bulan sejak bulan ke 10 -12 setelah penanaman hingga tahun ke 5. Mutu panen setiap pelepah sebagian besar tergolong mutu A yaitu tanpa cacat atau terhindar dari serangan hama penyakit daun. Berbeda dengan tanaman lidah buaya yang dibudidayakan di luar Pontianak, seperti di Amerika dan Cina, setiap pelepahnya memiliki berat hanya berkisar 0.5 - 0.6 kg dan dipanen hanya 1 kali setahun karena kendala musim dingin (Sulaeman 2008). Bagian dari tanaman lidah buaya yang sering dimanfaatkan dalam berbagai macam industri adalah bagian pelepah atau daunnya. Penggunaan tanaman lidah buaya yang cukup besar di dalam industri dikarenakan komponen-komponen yang dimilikinya cukup lengkap dan bermanfaat. Komponen tersebut terdapat dalam cairan bening yang seperti jeli dan cairan yang berwarna kekuningan. Cairan bening seperti jeli ini diperoleh dengan membelah daun lidah buaya atau biasa disebut gel lidah buaya. Gel lidah buaya merupakan bagian daging daun lidah buaya yang terdapat di bawah kulit, tidak berwarna, kenyal, bergetah, dan saling berikatan membentuk jaringan. Wahjono (2002) mengungkapkan bahwa daun lidah buaya sebagian besar, 95%, mengandung air, sisanya mengandung bahan aktif (active ingredients) sebanyak 75 komponen, seperti: minyak esensial, asam amino, mineral, vitamin, enzim dan glikoprotein. Daun lidah buaya ini juga banyak mengandung senyawa nutrisi yang sangat dibutuhkan tubuh, seperti asam amino (essensial dan non essensial), enzim, mineral, vitamin, polisakarida, dan komplek antraquinon (Morsy 1982). Dalam gel lidah buaya ini mengandung zat anti bakteri dan anti jamur yang dapat menstimulasi fibroblast yaitu sel-sel kulit yang berfungsi menyembuhkan luka. Selain kedua zat tersebut, gel lidah buaya juga mengandung salisilat, zat peredam sakit, dan anti bengkak seperti yang terdapat dalam aspirin (Furnawanthi, 2003). Komponen-komponen aktif yang terdapat dalam daun lidah buaya bekerja secara sinergis di tingkat sel tubuh, sehingga terkesan tubuh dapat menyembuhkan diri sendiri (biodefense) menghadapi serangan penyakit. Hal ini karena khasiat gel lidah buaya ditimbulkan oleh interaksi antara beberapa zat yang dapat menghasilkan suatu potensi yang baik bagi kesehatan (Morsy 1982).
Pada setiap 100 gram gel lidah buaya terdapat komponen nutrisi seperti yang tertera pada Tabel 1. Secara lengkap komponen-komponen nutrisi yang terkandung dalam lidah buaya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1 Komponen gel lidah buaya dalam 100 gram bahan No. 1. 2. a. b. c. d. e.
Komponen Air (%) Total Padatan terlarut, terdiri atas: Lemak (%) Karbohidrat (%) Protein (%) Vitamin A (IU) Vitamin C (mg) Sumber : Aloevera Center 2004
Nilai 95.51 0.0670 0.0430 0.0380 4.5940 3.4760
Tabel 2 Nutrisi dalam lidah buaya No. Item 1. Vitamin 2. Mineral
Nutrisi A, B1, B2, B12, C, E kolin, inositol, asam folat, kalsium, magnesium, potassium, sodium, manganese, cooper, chloride, iron, zinc, chromium 3. Enzim amylase, catalase, cellulose, carboxypedidas, dan carboxyphelolase 4. Asam amino arginine, asparagine, aspartate acid, analine, serine, glutamic acid, theorinine, valine, glycine, lycine, tyrosine, phenylalanine, proline, histidine, leucine, dan isoleucine Sumber: Aloevera Center 2004
Berdasarkan beberapa sifat fisikokimia tersebut lidah buaya dapat digunakan di dalam industri yang secara garis besar dapat dibagi menjadi empat jenis industri (Aloevera Center 2004), yaitu: 1. Industri pangan, sebagai makanan tambahan (food supplement), produk yang langsung dikonsumsi dan sebagai penghasil flavour. 2. Industri farmasi dan kesehatan, sebagai anti inflamasi, anti oksidan, laksatif, anti mikrobial dan molusisidal, anti kanker, imunomodulator dan hepatoprotector. Paten yang telah dilakukan beberapa negara maju antara lain: CAR 1000, CARN 750, Polymannoacetate, Aliminase, Alovex dan Carrisyn. 3. Industri kosmetika, sebagai bahan baku lotion, krem, lipstik, shampo dan kondisioner. 4. Industri pertanian, sebagai pupuk, suplemen hidroponik, suplemen untuk media kultur jaringan dan penambah nutrisi pakan ternak.
Namun, di samping manfaatnya yang sangat banyak, gel lidah buaya memiliki kelemahan dalam proses pengolahannya. Gel lidah buaya merupakan bahan yang mudah mengalami kerusakan terutama oleh peristiwa oksidasi. Oksidasi menyebabkan gel lidah buaya mengalami reaksi pencoklatan browning. Oleh karena itu, pada proses pengolahan lidah buaya, terjadinya perubahan sifat fisikokimia tersebut dihindari semaksimal mungkin agar kualitas produk terjaga dan kandungan senyawa nutrisinya tidak rusak (Morsy 1982). Sifat gel lidah buaya yang mudah rusak ini mendorong dilakukannya upaya-upaya pengolahan lidah buaya menjadi bubuk atau tepung (Aloe powder). Upaya-upaya ini disamping untuk mempertahankan kandungan dalam gel juga untuk memberikan nilai tambah, sehingga lidah buaya tidak hanya dijual dalam bentuk daun segar yang harganya relatif murah (Furnawanthi 2003). Tepung Lidah Buaya Lidah buaya diolah menjadi tepung lidah buaya sebagai produk intermediate atau komponen campuran yang digunakan secara luas dalam berbagai macam makanan dan minuman, misalnya minuman kesehatan, dodol, dan kerupuk. Bentuk bubuk yang mudah larut sangat menguntungkan karena selain praktis, juga lebih stabil dan tidak mudah rusak sehingga memungkinkan digunakan sebagai bahan campuran dalam produk makanan dan minuman instan dibandingkan dalam bentuk cairan atau gel. Tepung lidah buaya mempunyai beberapa keuntungan, yaitu kandungan nutrisinya tidak mudah rusak serta memudahkan dalam penyimpanan dan transportasi. Rasio bahan baku dan tepung yang dihasilkan yaitu sekitar 150:1 atau 150 kg daun menghasilkan 1 kg tepung (Furnawanthi 2003). Saat ini, kebutuhan pokok lidah buaya di dunia, terutama dalam bentuk tepung, masih didatangkan dari Amerika dan Australia. Adapun standar mutu dari tepung lidah buaya yang berasal dari salah satu penghasil tepung lidah buaya, Terry Laboratories, Amerika Serikat dapat dilihat pada Tabel 3. Tepung lidah buaya dapat dibuat dengan pengeringan secara freeze drying dan spray drying. Tepung lidah buaya yang dibuat dengan menggunakan freeze drying menggunakan alat freeze dryer yang bekerja pada suhu dan tekanan yang sangat rendah. Dengan suhu rendah ini, komponen yang mudah rusak terhadap panas dapat dipertahankan dan mempunyai sifat rekonstitusi yang baik. Sementara itu, cara spray drying dilakukan dengan mengalirkan udara panas baik secara searah atau berlawanan arah. Dilihat dari produk yang dihasilkan, produk hasil freeze drying memiliki kualitas yang lebih baik namun harganya relatif lebih mahal daripada spray drying. Pada pembuatan tepung lidah buaya dilakukan penambahan tepung gula dan filler. Tepung gula adalah gula yang dihancurkan hingga berukuran 100-200 mesh (Gestner dalam Sulistyo 1988). Dalam pembuatan tepung lidah buaya diperlukan penambahan filler karena total padatan terkandung dalam lidah buaya sangat kecil (2%). Oleh karena itu, filler berfungsi sebagai pengikat nutrisi yang terkandung dalam lidah buaya (Widodo dan Widiantara 2005). Beberapa filler yang dikenal adalah maltodekstrin, dekstrin, gum arab, dan CMC (karboksimetilselulosa). Tabel 3 Spesifikasi tepung lidah buaya
Spray dried gel Freeze dried gel aloe aloe powder powder Penampakan Fine Crystaline Fine Crystaline powder powder Warna Krem muda, coklat Putih, coklat keabukeabu-abuan abuan (light beige) (beige) Kadar air maks.(%) 8 8 Kecepatan dispersi pada 5 5 o 25 C (menit) Total padatan (%) 100 50 Keasaman / pH 3,5-5,0 3,5-5,0 Densitas pada 25oC 0,990-1,010 0,990-1,010 Kapang dan kamir (cfu/g) < 100 < 100 Patogen Negatif Negatif Sumber: Terry Laboratories (2002) diacu dalam Furnawanthi (2003) Spesifikasi
Menurut Widodo dan Widiantara (2005), tepung instan lidah buaya yang dibuat menggunakan spray drier skala pilot plan terbaik pada suhu 150oC dengan konsentrasi maltodekstrin 7% dan konsentrasi tepung gula 3%. Pada kondisi tersebut, diperoleh tepung berwarna putih, tidak lengket, tingkat kandungan kalsiumnya 54,54% dan tingkat kelarutannya 96,90%, dan rendemen yang dihasilkan 1,5%. Proses pembuatan tepung lidah buaya dengan spray drier skala pilot plan dapat dilihat pada Gambar 1. Proses pembuatan tepung lidah buaya instan komersial ini juga tidak banyak berbeda dengan proses pembuatan tepung lidah buaya menurut Widodo dan Widiantara (2005). Perbedaannya hanya pada proses perendaman dalam larutan CaCl 2 1% yang tidak dilakukan di perusahaan tersebut, serta komposisi filler dan suhu spray drier. Dalam pembuatan tepung lidah buaya komersial ini suhu spray drier yang digunakan adalah 120oC dan filler yang digunakan hanya gula sebanyak 30% (b:b) dari total daging lidah buaya. Efek dari proses pengeringan dalam pengolahan tepung lidah buaya menurut Krokida et al. (2011) adalah kerusakan sebagian komponen polisakarida acemannan, namun tidak terlalu berpengaruh terhadap konsentrasi mineralmineral yang terkandung di dalamnya, terutama kalsium (Ca). Oleh karena itu, proses pengeringan dapat dilakukan untuk proses pengawetan gel lidah buaya dan pengolahan lainnya.
Pendugaan Umur Simpan Institut of Food Technologist (IFT) mendefinisikan umur simpan produk pangan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi, sedangkan National Food Prosessor Association mendefinisikan umur simpan sebagai kualitas produk secara umum yang dapat
diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah 2001). Daun lidah buaya
Pengupasan dan pemotongan
Pencucian
Perendaman dalam larutan CaCl2 1%, 10 menit
Pencucian menggunakan air mengalir Pemblansiran suhu 80oC, 5 menit
Pemblenderan
Penyaringan Tepung gula 3% Maltodekstrin 7% Air 1:1 (v:v)
Pencampuran menggunakan mixer Pengeringan dengan spray drier suhu 150oC
Pengayakan 80 mesh
Tepung lidah buaya
Gambar 1 Proses pembuatan tepung lidah buaya dengan spray drier skala pilot plan (Widodo dan Widiantara 2005)
Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk pangan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu pangan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu pangan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kedaluwarsa. Bahan pangan disebut rusak apabila mutu gizi pangan tersebut menurun walaupun penampakannya masih bagus yang berarti bahan pangan tersebut telah kedaluwarsa atau telah melampaui masa simpan optimum. Penentuan umur simpan secara umum adalah penanganan suatu produk dalam suatu kondisi yang dikehendaki dan dipantau setiap waktu sampai produk tersebut menjadi rusak (Spiegel 1992). Penentuan umur simpan sangat penting dalam proses penyimpanan. Oleh karena itu, dalam menentukan umur simpan suatu produk pangan perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut-atribut mutu produk tersebut. Menurut Syarief et al. (1989) faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan produk pangan yang dikemas antara lain: 1. Kondisi atmosfer ruangan (terutama suhu dan kelembaban) dimana produk pangan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan. 2. Keadaan alamiah atau sifat pangan dan mekanisme berlangsungnya perubahan seperti kepekaan terhadap air dan oksigen dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia dan fisik. 3. Ukuran dan kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekat, penutupan, dan bagian-bagian lain yang terlipat. Jenis parameter atau atribut mutu yang diuji tergantung pada jenis produknya, seperti untuk produk yang berlemak parameter yang diukur biasanya berupa derajat ketengikan, produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam kondisi dingin parameternya berupa pertumbuhan mikroba, dan untuk produk berwujud bubuk, cair, atau kering parameter yang diukur adalah kadar airnya. Untuk satu produk, yang diuji bukan semua parameternya, melainkan hanya salah satu saja, yaitu parameter yang paling cepat mempengaruhi penerimaan konsumen.
Metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) Untuk mempercepat waktu penentuan umur simpan tersebut maka digunakan metode ASLT atau dikenal dengan sebutan metode akselerasi. Pada metode ini, kondisi penyimpanan diatur diluar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat ditentukan (Arpah dan Syarief 2000). Selain itu, penggunaan metode akselerasi harus disesuaikan dengan keadaan dan faktor yang mempercepat kerusakan produk yang bersangkutan (Ellis 1994). Menurut Labuza (1982), meningkatnya suhu dan kelembaban udara pada kondisi penyimpanan bahan pangan kering dapat digunakan sebagai metode untuk mempersingkat waktu perkiraan umur simpan suatu produk pangan (metode akselerasi).
Dalam menganalisa penurunan mutu perlu dilakukan beberapa pengamatan, yaitu harus ada parameter yang dapat diukur secara kuantitatif dan parameter tersebut mencerminkan keadaan mutu produk yang dikemas. Parameter tersebut dapat berupa hasil pengukuran kimiawi, uji sensori, uji kadar vitamin C, uji cita rasa, tekstur, warna, total mikroba dan sebagainya. Pada produk pangan kering, seperti bubuk dan tepung-tepungan, parameter penurunan mutu didasarkan pada parameter yang paling sensitif terhadap mutu suatu produk (Syarief dan Halid 1993). Adanya perbedaan faktor yang menyebabkan kerusakan produk, maka penggunaan metode ASLT dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu model kadar air kritis dan model Arrhenius. Pendekatan Model Kadar Air Kritis Pendugaan umur simpan dengan pendekatan model kadar air kritis umumnya digunakan untuk produk pangan yang relatif mudah rusak akibat penyerapan kadar air dari lingkungan. Dalam metode kadar air kritis, kerusakan produk didasarkan semata-mata pada kerusakan produk akibat menyerap air dari luar hingga mencapai batas yang tidak dapat diterima secara sensori. Kadar air pada kondisi dimana produk pangan mulai tidak dapat diterima secara sensori disebut kadar air kritis. Batas penerimaan tersebut didasarkan pada standar mutu sensori yang akan spesifik untuk setiap jenis produk. Waktu yang diperlukan oleh produk untuk mencapai kadar air kritis menyatakan umur simpan produk. Produk pangan yang umur simpannya dapat ditentukan dengan metode kadar air kritis antara lain biskuit, wafer, produk konfeksioneri, makanan ringan (snack dan chips), dan produk instan. a.
Pendekatan Kurva Sorpsi Isotermis Bahan pangan bersifat higroskopis, yaitu dapat menyerap air dari udara sekelilingnya (adsorpsi), dan juga sebaiknya dapat melepaskan sebagian air yang dikandungnya ke udara (desorpsi). Karakteristik hidratasi bahan pangan dapat diartikan sebagai karakteristik fisik yang meliputi interaksi antara bahan pangan dengan molekul udara di sekitarnya. Secara umum sifat-sifat hidratasi ini dapat digambarkan dalam sebuah kurva sorpsi isotermis, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air bahan pangan dengan kelembaban relatif seimbang ruang tempat penyimpanan (RHs) atau aktivitas air (a w ) pada suhu tertentu (Syarief dan Halid 1993). Secara umum, dapat dikatakan bahwa bentuk kurva sorpsi isotermis khas untuk setiap bahan pangan (Winarno 2004). Kurva sorpsi isotermis yang didapat dapat diasumsikan linear, kemudian dapat digunakan untuk mendapatkan persamaan kurva sorpsi isotermis. Selanjutnya Labuza (1982) memformulasikan persamaan penentuan umur simpan dengan model kadar air kritis sebagai berikut: 𝑡=
𝑀𝑒−𝑀𝑖 � 𝑀𝑒−𝑀𝑐 𝑘 𝐴 𝑃𝑜 � �� �� � 𝑥 𝑊𝑠 𝑏
dimana: t = umur simpan produk (hari)
ln�
(1.1)
Me Mi Mc k/x A Ws Po b
= kadar air kesetimbangan produk (g H2O/g padatan) = kadar air awal produk (g H2O/g padatan) = kadar air kritis produk (g H2O/g padatan) = konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg) = luas permukaan kemasan (m2) = berat kering produk dalam kemasan (g) = tekanan uap jenuh (mmHg) = kemiringan kurva sorpsi isotermis (yang diasumsikan linier antara Mi dan Mc)
Parameter-parameter persamaan Labuza (1982) diatas dapat dikelompokkan ke dalam tiga unsur, yaitu : unsur sifat fisik produk (Me, Mi, Mc, Ws, dan b), unsur pengemas (k/x dan A), dan unsur lingkungan (RH penyimpanan dan b). b.
Pendekatan Kadar Air Kritis yang Dimodifikasi Pendekatan kadar air kritis yang dimodifikasi digunakan untuk produk pangan yang memiliki kelarutan yang tinggi, seperti produk yang memiliki kandungan sukrosa tinggi (Labuza and Schimdl 1985). Pada kondisi akselerasi, kadar air kesetimbangan sulit tercapai, hal ini dapat dilihat dengan semakin naiknya kadar air tanpa batas pada RH tertentu. Pada kondisi tersebut kurva sorpsi isotermis tidak dapat diasumsikan linier. Oleh karena itu, Labuza and Schimdl (1985) memodifikasi persamaan Labuza menjadi seperti berikut :
𝑡=
(𝑀𝑐−𝑀𝑖)𝑊𝑠 𝑘 𝑥
� �(𝐴)∆𝑃
(1.2)
dimana : t = umur simpan produk (hari) ∆P = selisih tekanan udara di luar dan di dalam produk Mc = kadar air kritis produk (g H2O/g padatan) Mi = kadar air awal produk (g H2O/ g padatan) k/x = konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg) A = luas permukaan kemasan (m2) Ws = berat kering produk dalam kemasan (g) Pendekatan Model Arrhenius Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu produk pangan. Dalam menduga kecepatan penurunan mutu produk pangan selama penyimpanan, faktor suhu dapat diperhitungkan. Pendugaan umur simpan dengan pendekatan model Arrhenius menggunakan perubahan suhu kondisi penyimpanan produk. Kenaikan suhu dapat mempercepat berbagai macam kerusakan yang memperpendek umur simpan dari bahan pangan (Syarief dan Halid 1993). Pada model ini produk pangan disimpan pada suhu yang ekstrim sehingga terjadi penurunan mutu produk. Pada umumnya model ini digunakan untuk menduga umur simpan produk pangan yang sensitif terhadap perubahan suhu, diantaranya produk pangan yang mudah mengalami oksidasi, pencoklatan, atau kerusakan
vitamin C. Contoh produk yang dapat ditentukan umur simpannya dengan model Arrhenius adalah makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu bubuk, produk snack, meat product, produk pasta, jus buah, mie instan, tepung-tepungan, kacang-kacangan, dan produk lain yang mengandung lemak tinggi atau mengandung gula pereduksi dan protein yang memungkinkan terjadinya oksidasi lemak atau reaksi pencoklatan (Kusnandar 2006). Untuk menganalisis penurunan mutu diperlukan beberapa pengamatan, yaitu parameter yang dapat diukur secara kuantitatif dan parameter tersebut harus mencerminkan keadaan mutu produk yang diperiksa. Pada umumnya model ini menggunakan tiga kombinasi suhu dan selama penyimpanan suhu dijaga tetap stabil. Apabila keadaan suhu dianggap stabil, maka laju penurunan mutu dapat dicari dengan menggunakan persamaan Arrhenius sebagai berikut: 𝑘 = 𝑘0 𝑒𝑥𝑝(−𝐸𝑎/𝑅𝑇)
(1.3)
dimana : k = konstanta laju penurunan mutu = konstanta (faktor frekuensi yang tidak tergantung suhu) k0 Ea = energi aktivasi T = suhu mutlak (oC+273) R = konstanta gas (8.314 J/mol.K = 1.986 kal/mol.K) Menurut Syarief dan Halid (1993), semakin sederhana model yang digunakan untuk menduga umur simpan suatu produk, maka semakin banyak asumsi yang dipakai. Asumsi yang digunakan untuk menggunakan model Arrhenius adalah: 1. Perubahan faktor mutu hanya ditentukan oleh satu macam reaksi saja. 2. Tidak terjadi faktor lain yang mengakibatkan perubahan mutu. 3. Proses perubahan mutu dianggap bukan merupakan akibat dari proses-proses yang terjadi sebelumnya. 4. Suhu selama penyimpanan tetap atau dianggap tetap. Kadar Air dan Aktivitas Air Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa komponen selain ikut serta sebagai bahan pereaksi. Peranan air dalam bahan pangan biasanya dinyatakan sebagai kadar air dan aktivitas air. Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering (dry basis). Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100%, sedangkan kadar air berdasarkan berat kering dapat lebih dari 100 persen (Syarief dan Halid 1993). Kadar air dan konsentrasi larutan dalam bahan pangan hanya sedikit berhubungan dengan sifat-sifat air yang terdapat dalam bahan pangan dan tidak dapat digunakan sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan bahan pangan meskipun sangat berpengaruh dalam menentukan umur simpan. Oleh karena itu digunakan istilah aktivitas air untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis atau kimiawi.
Tingkat mobilitas dan peranan air bagi proses kehidupan biasanya dinyatakan dengan besaran aktivitas air (water activity = a w ), yaitu perbandingan tekanan parsial uap air dalam bahan dengan tekanan uap air jenuh. Selain itu, a w dapat pula dinyatakan sebagai RH kesetimbangan dibagi 100. Semakin tinggi a w suatu bahan, maka semakin tinggi pula kemungkinan tumbuhnya mikroba dalam bahan pangan tersebut (Syarief dan Halid 1993). Labuza (1982) mengemukakan hubungan antara a w dan mutu pangan yang dikemas: 1. Produk dikatakan tidak aman pada selang a w sekitar 0.7 sampai 0.75 dan di atas selang tersebut mikroba berbahaya dapat mulai tumbuh dan produk menjadi beracun. 2. Pada selang a w sekitar 0.6 sampai 0.7 kapang dapat mulai tumbuh. 3. Pada selang a w sekitar 0.35 sampai 0.5 dapat menyebabkan makanan ringan hilang kerenyahannya. 4. Pada selang a w sekitar 0.4 sampai 0.5, produk pasta yang terlalu kering selama pengeringan atau kehilangan air selama distribusi atau penyimpanan, akan mudah hancur, rapuh selama dimasak atau karena goncangan mekanis. Kurva Sorpsi Isotermis Air Karakteristik hidratasi bahan pangan dapat diartikan sebagai karakteristik fisik yang meliputi interaksi antara bahan pangan dengan molekul air di udara sekitarnya. Secara umum, kondisi tersebut digambarkan dengan kurva sorpsi isotermis, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air bahan dengan kelembaban relatif kesetimbangan ruang tempat penyimpanan bahan (RHs) atau a w pada suhu tertentu (Syarief dan Halid 1993). Andrade et al. (2011) juga menyatakan bahwa kurva sorpsi isotermis bahan pangan menggambarkan hubungan termodinamika antara aktivitas air dan kelembaban relatif kesetimbangan dari suatu produk pangan pada suhu dan tekanan yang konstan. Pengetahuan tentang sorpsi isotermis suatu bahan pangan akan sangat membantu sekali dalam penentuan jenis pengemas yang dibutuhkan dan memprediksikan karakteristik kondisi penyimpanan yang sesuai serta masa simpannya (Mir dan Nath 1995) sehingga pertumbuhan mikroba yang sering menyebabkan kerusakan bahan pangan dapat dihindari. Selain itu berguna juga untuk menghitung waktu pengeringan, memprediksikan kondisi keseimbangan dalam suatu campuran produk dengan nilai aw yang berbeda (Chirife dan Iglesias 1978). Pada umumnya kurva sorpsi isotermis bahan pangan berbentuk sigmoid atau menyerupai huruf S (Syarief dan Halid 1993). Kurva sorpsi isotermis dapat menggambarkan proses adsorpsi (menyerap air) dan desorpsi (melepaskan air) dari suatu bahan pangan. Perbedaan atau ruang yang terdapat diantara dua kurva tersebut didefinisikan sebagai proses hysteresis (Gambar 2). Adsorpsi air oleh bahan pangan adalah proses dimana molekul-molekul air secara progresif dan bolak balik bercampur dengan padatan dalam pangan melalui proses chemosorption, adsorpsi fisik, dan kondensasi multilayer (Andrade et al. 2011). Besarnya histeresis dan bentuk kurva sangat beragam sekali tergantung pada faktor seperti sifat alami bahan pangan, perubahan fisik yang terjadi selama
perpindahan air, suhu, kecepatan desorpsi dan tingkatan air yang dipindahkan selama desorpsi (Fennema 1985). Oleh karena itu, bentuk kurva sorpsi isotermis ini khas untuk setiap jenis bahan pangan (Winarno 2004).
Keterangan: A = daerah monolayer B = daerah multilayer C = daerah kondensasi kapiler Gambar 2 Kurva sorpsi isotermis untuk produk pangan secara umum (diolah dari Mathlouthi dan Roge 2003) Penggunaan model sorpsi isotermis sangat tergantung dari tujuan pemakai (Labuza 1968). Menurut Chirife dan Iglesias (1978), beberapa kendala yang dihadapi dalam menyusun suatu persamaan yang dapat menjelaskan kurva sorpsi isotermis pada keseluruhan selang a w yang ada dan dapat diaplikasikan untuk berbagai jenis bahan pangan adalah sebagai berikut: 1. Perubahan a w pada bahan pangan dipengaruhi oleh kombinasi berbagai macam faktor yang masing-masing mendominasi dalam selang a w yang berbeda. 2. Sorpsi isotermis suatu bahan pangan menggambarkan kemampuan higroskopis yang kompleks dan dipengaruhi oleh interaksi baik fisik maupun kimia antara komponen-komponen bahan pangan tersebut yang diinduksi oleh proses pemanasan atau perlakuan awal lainnya. 3. Pada saat bahan pangan menyerap air dari lingkungannya, bahan pangan tersebut umumnya akan mengalami perubahan baik perubahan fisik, kimia, dan lainnya. Berdasarkan Mathlouthi dan Roge (2003), Brunauer et al. (1940) mengklasifikasikan kurva sorpsi isotermis menjadi lima tipe berdasarkan bentuk dan proses adsorpsi multilayer-nya. Lima tipe kurva sorpsi isotermis (Gambar 3) ini dijelaskan oleh Brunauer et al. (1940), sebagai berikut: Tipe 1 adalah model sorpsi isotermis Langmuir yang diperoleh dari adsorpsi monomolekuler gas oleh padatan berpori dalam volume yang tak terbatas. Tipe 2 adalah sorpsi isotermis
sigmoid yang terdapat pada bahan yang mudah larut dan menunjukkan a w dengan kecenderungan tren asymptotic dibandingkan tipe 1. Tipe 3 dikenal sebagai sorpsi isotermis Flory-Huggins menunjukkan proses adsorpsi dari pelarut atau plasticizer, seperti gliserol, yang berada di atas suhu transisi gelas. Tipe 4 kurva isotermisnya mendeskripsikan proses adsorpsi padatan hidrofilik yang menggembung hingga hidratasi maksimum tercapai. Tipe 5 adalah model sorpsi isotermis B.E.T (Brunauer, Emmet, Teller), adsorpsi multilayer tipe ini digunakan untuk proses adsorpsi uap air pada arang dan berhubungan dengan sorpsi isotermis tipe 2 dan 3. Jenis kurva sorpsi isotermis yang biasa ditemukan pada produk pangan adalah sorpsi isotermis tipe 2 dan 4.
Gambar 3 Tipe – tipe kurva sorpsi isotermis (Brunauer et al. 1940 diacu dalam Mathlouthi dan Roge 2003)
Penggumpalan (Caking) Penggumpalan merupakan masalah serius bagi industri tepung. Pada tepung instan kering seperti bumbu instan, sup instan, dan kopi instan, fenomena penggumpalan dapat menurunkan kelarutan, aktivitas enzim, oksidasi lemak, perubahan aroma dan kekambaan. Bagi konsumen, fenomena penggumpalan adalah indikator rendahnya mutu dan keamanan produk (Chung et al. 2000). Penggumpalan adalah aglomerasi partikel yang kecil ke dalam potongan massa solid yang lebih besar. Suhu penyimpanan sangat berpengaruh terhadap terbentuknya gumpalan pada padatan dengan kadar air rendah (Johanson dan Paul 1996). Penggumpalan yang disebabkan oleh migrasi uap air dipengaruhi oleh siklus adsorpsi dan desorpsi uap air yang terjadi antara udara dan partikel padatan. Individu partikel tepung akan bergabung membentuk suatu aglomerat bilamana tersedia cukup air diantaranya yang menjembatani dan memplastisasinya. Pada
tahap aglomerasi, dimana fenomena penggumpalan belum dapat dideteksi secara kasat mata, pengaruhnya pada sifat fisik tepung dapat meningkatkan densitas kamba, penurunan dispersibility dan flowability (Chung et al. 2000). Perubahan awal sifat fisik seperti ini dapat meningkatkan biaya pengolahan dan distribusi. Faktor-faktor yang diketahui mempengaruhi kinetika penggumpalan dapat dipengaruhi oleh bubuk itu sendiri (distribusi ukuran partikel, higroskopisitas dan muatan partikel, keadaan bahan, kotoran) dan faktor eksternal seperti suhu, kelembaban relatif dan tekanan mekanik. Untuk mempertahankan sifat-sifat aliran yang tepat dari bubuk dan mencegah penggumpalan serbuk, dapat diterapkan: (a) pengeringan hingga kadar air yang rendah, (b) pengkondisian bubuk pada kelembaban atmosfer rendah dan kemasan dengan permeabilitas rendah, (c) penyimpanan pada suhu rendah, (d) penggunaan dessicant pada kemasan, (e) aglomerasi, dan (f) penambahan anti-caking agent (Johanson dan Paul 1996).
METODOLOGI PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari empat bagian, yaitu (i) tepung lidah buaya diperoleh dari sumber komersial yang diproduksi di Kecamatan Siantan Hulu, Pontianak, Kalimantan Barat (ii) bahan pengemas untuk analisis pendugaan umur simpan tepung lidah buaya dengan metode ASLT yang berupa kemasan jenis oriented polipropilen (OPP), low density polietilen (LDPE), dan metalized plastic, (iii) tepung beras merk Rose Brand untuk uji sensori, serta (iv) bahan kimia yang digunakan untuk pembuatan larutan garam jenuh yang terdiri dari: akuades, NaOH, MgCl 2 , K 2 CO 3 , NaBr, NaCl, KCl, dan K 2 SO 4 . Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain alat untuk analisis penentuan umur simpan, yaitu oven, a w -meter, neraca analitik, hot plate, desikator, cawan porselen, cawan aluminium, glass chamber, pencapit logam, aluminium foil, ayakan 80 dan 100 mesh, peralatan gelas dan lainnya.
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan metode. Tahap-tahap metode penelitian yang dilakukan berdasarkan Gambar 4. Seleksi dan pelatihan panelis (Meilgaard et al. 1999)
Seleksi panelis merupakan langkah awal yang dilakukan untuk memperoleh delapan orang panelis yang bersedia dilatih. Menurut Meilgaard et al. (1999), tahap-tahap seleksi panelis meliputi pre-screening dan acuity test. Langkah prescreening ditempuh melalui pengisian kuesioner. Tujuan pre-screening adalah untuk menjaring individu yang dapat menskala dan berfikir secara terkonsep. Acuity test yang dilakukan pada penelitian ini hanya menggunakan satu metode pengujian, yaitu uji segitiga. Hal ini dikarenakan dalam penelitian ini mutu sensori yang diamati hanya berupa mutu tekstur (caking). Oleh karena itu, seleksi yang digunakan hanya uji segitiga sebab uji-uji yang lain tidak relevan dengan kebutuhan karakteristik panelis yang digunakan untuk menguji tekstur. a.
Uji segitiga Uji segitiga dilakukan untuk menyeleksi 24 orang panelis menjadi 8-12 orang kandidat panelis terlatih. Uji segitiga ini dilakukan dengan menggunakan sampel berupa tepung beras dengan dua ukuran mesh yang berbeda yaitu 80 dan 100 mesh. Pengujian dilakukan sebanyak 3 ulangan untuk melihat konsistensi panelis dalam memberikan jawaban. Pada uji segitiga panelis diminta untuk mengidentifikasi 1 sampel berbeda dari 3 sampel yang disediakan berdasarkan atribut tekstur. Lembar kerja dan formulir uji segitiga untuk penyeleksian panelis dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Panelis yang terpilih menjadi kandidat panelis terlatih adalah panelis yang menjawab dengan benar sekurang-kurangnya 50% dari semua uji segitiga yang dilakukan.
Panelis
T A H A P
1
Sampel tepung lidah buaya
Seleksi panelis:
• Uji segitiga
Pendugaan umur simpan model kadar air kritis
Calon panelis
Penentuan kadar air awal
Pelatihan calon panelis terlatih
Penentuan kadar air kritis
Pembuatan pola kurva sorpsi isotermis air
T A H A P
Panelis terlatih
Uji sensori
Penentuan variabelvariabel pendukung dalam penentuan umur simpan
2
Penentuan umur simpan tepung lidah buaya
Gambar 4 Diagram alir penelitian b.
Pelatihan Panelis Setelah seleksi dilakukan, diperoleh delapan orang kandidat panelis terlatih, maka dilakukanlah serangkaian proses pelatihan dalam bentuk Focus Grup Discussion (FGD) dan uji rating. Pelatihan panelis dilakukan selama 1 minggu (5 kali tatap muka, 2 jam). Pelatihan panelis terlatih bertujuan melatih dan meningkatkan kepekaan sensori panelis terhadap atribut tekstur (penggumpalan atau daya mawur). Diskusi fokus grup (FGD) dilakukan oleh panel leader bersama dengan para panelis terlatih untuk menentukan atribut mutu kritis yang menyebabkan produk tepung lidah buaya menjadi tidak diterima. Dalam proses pelatihan, panelis pertama-tama diberikan penjelasan mengenai tujuan dari pelatihan dan hal-hal apa saja yang dilakukan ketika pelatihan dan pengujian sampel. Panelis juga diberi penjelasan dan pengenalan mengenai tepung lidah buaya, proses pengolahan, dan
karakteristiknya. Kemudian, panelis melakukan FGD untuk menentukan karakteristik awal dari tepung lidah buaya tersebut. Selain itu, mereka diminta untuk menentukan atau mengidentifikasi produk yang diperkirakan sudah tidak dapat lagi diterima oleh konsumen dengan simulasi kerusakan produk. Sampel dirusak dengan cara menyimpan produk pada desikator yang berisi larutan K 2 SO 4 jenuh dengan RH 97,1% pada suhu ruang (30 ± 1oC) hingga keseluruhan sampel menggumpal. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram dan 10% hingga 90% dari 5 gram sampel tersebut adalah gumpalan-gumpalan sampel yang telah dirusak. Kemudian, panelis melakukan pengamatan dan mengidentifikasi sampel tepung lidah buaya yang telah mengalami kerusakan dengan tingkat penggumpalan sebesar 10% hingga lebih dari 90%. Penentuan produk kritis tersebut didasarkan pada terjadinya kesepakatan diantara panelis melalui proses FGD. Produk kritis yang sudah disepakati kemudian diberi penilaian secara subjektif untuk dijadikan batas skor nilai mutu yang ditolak atau biasa disebut dengan nilai kritis. Setiap pertemuan panelis dilatih menggunakan uji rating skala garis pada atribut tekstur dengan sampel tepung lidah buaya tingkat penggumpalan 60, 70, dan 80%. Hal ini dilakukan hingga hasil penilaian yang diperoleh calon panelis telah konsisten dan mereka menjadi terbiasa dalam menilai kenampakan sampel tepung lidah buaya ini. Proses tersebut telah terpenuhi selama 5 kali pertemuan. Penentuan umur simpan pendekatan kadar air kritis
a.
Penentuan kadar air awal / Mi (AOAC 1999) Kadar air awal tepung lidah buaya dianalisis dengan metode oven (AOAC 1999). Cawan bersih kosong dikeringkandalam oven bersuhu ± 105oC selama tiga jam. Kemudian cawan didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang (W 1 ). Dua hingga tiga gram sampel (W 2 ) yang telah dihaluskan, ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan. Kemudian cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105oC selama kurang lebih 3 jam sampai mencapai berat konstan. Setelah itu cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (W 3 ). Kadar air dinyatakan dalam satuan g H 2 O/g padatan yang dihitung dengan rumus: % 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 (𝑏𝑎𝑠𝑖𝑠 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔) =
b.
% 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 (𝑏𝑎𝑠𝑖𝑠 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ) =
(𝑤1 + 𝑤2 )− 𝑤3 (𝑤3 − 𝑤1 )
(𝑤1 +𝑤2 )− 𝑤3 𝑤2
𝑥 100%
𝑥 100%
(2.1) (2.2)
Penentuan kadar air kritis (modifikasi Chung et al. 2000) Penentuan titik Days Until Caking (DUC) dilakukan berdasarkan metode Chung et al. (2000) dengan modifikasi pada suhu penyimpanan, waktu penyimpanan, dan metode pengujian sensori. Kadar air ketika sampel mencapai titik DUC merupakan nilai kadar air kritis sampel. Persiapan analisis kadar air kritis tepung lidah buaya dilakukan dengan menyimpan terlebih dahulu tepung lidah buaya sebanyak 300 gram (tanpa kemasan). Sampel disimpan dalam chamber yang berisi larutan K 2 SO 4 jenuh dengan RH 97,1% pada suhu ruang (30 ± 1oC). Setiap 12 jam sampel dikeluarkan dari tempat penyimpanan, kemudian
dilihat flowability-nya dengan perlakuan pengadukan dan penuangan membentuk kerucut. Sampel diamati secara sensori setiap 12 jam selama 48 jam dengan pengujian yang dilakukan oleh 8 orang panelis terlatih. Kemudian secara bersamaan kontrol dan sampel yang telah mengalami penyimpanan dalam desikator disajikan kepada panelis agar dapat ditentukan mutu kritisnya. Parameter mutu yang diujikan terhadap sampel adalah parameter perubahan tekstur (penggumpalan). Nilai batas mutu kritis sampel ditentukan melalui Focus Group Discussion (FGD) para panelis terlatih yaitu tingkat penggumpalan lebih dari 70%. Pengujian sensori yang dilakukan adalah uji rating skala garis untuk melihat persentase tingkat penggumpalan sampel yang telah diberi perlakuan. Pada uji ini, sampel yang diamati sebanyak lima macam. Sampel disajikan secara bersamaan untuk kemudian dinilai tingkat penggumpalannya pada skala garis 15 cm. Lembar kerja uji rating kadar air kritis dapat dilihat di Lampiran 3. Sampel yang telah mencapai mutu kritis adalah sampel dengan rata-rata persen tingkat penggumpalan lebih dari atau sama dengan nilai batas mutu kritis hasil FGD panelis terlatih. Setiap pengamatan dilakukan pula pengukuran kadar air dengan metode oven (AOAC 1999). c.
Pembuatan pola kurva sorpsi isotermis (Bell and Labuza 2000) Pembuatan kurva sorpsi isotermis menggunakan tujuh jenis larutan garam jenuh yang mewakili berbagai nilai RH yang ditempatkan dalam glass chamber. Garam yang digunakan beserta RH-nya dapat dilihat pada Tabel 4. Sekitar 5,0 gram tepung lidah buaya (duplo) diletakkan pada cawan aluminium kering kosong yang telah diketahui beratnya (tanpa kemasan). Cawan yang berisi sampel tersebut diletakkan dalam glass chamber yang berisi larutan garam jenuh yang membentuk RH lingkungan yang berbeda-beda dan disimpan pada suhu ruang (30 ± 1oC). Sampel dalam cawan kemudian ditimbang bobotnya setiap hari pada waktu yang sama sampai diperoleh bobot yang konstan yang berarti kadar air kesetimbangan telah tercapai. Bobot yang konstan ditandai oleh selisih antara 3 penimbangan berturut-turut kurang dari 2,0 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di bawah 90% dan kurang dari 10 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH di atas 90% (Liovonen dan Ross 2000 diacu dalam Adawiyah 2006). Sampel yang telah mencapai berat konstan kemudian diukur kadar airnya dengan menggunakan metode oven (AOAC 1999). Kurva sorpsi isotermis air dibuat dengan cara memplotkan kadar air kesetimbangan dengan nilai RH kesetimbangan atau aktivitas air (a w ). Tabel 4 Kelembaban relatif dan a w pada berbagai larutan garam jenuh pada suhu 30oC Jenis Larutan Garam NaOH MgCl 2 K 2 CO 3 NaBr
ERH (%) 6.8 32.4 43.2 56.0
aw 0.068 0.324 0.432 0.560
NaCl
75.1
0.751
KCl
83.6
0.836
K 2 SO 4
97.1
0.971
Sumber: Greenspan (1977) diacu dalam Bell and Labuza (2000)
Untuk mendapatkan kurva sorpsi isotermis yang mulus, data hubungan kadar air kesetimbangan dengan a w diuji dengan menggunakan lima model persamaan, yaitu model Hasley, Henderson, Caurie, Oswin, dan Chen Clayton (Isse et al. 1983). Uji ketepatan model dilakukan dengan menghitung Mean Relative Determination (MRD), yaitu membandingkan data kadar air hasil percobaan dengan data hasil prediksi. 𝑀𝑅𝐷 =
100 𝑛
𝑚𝑖 −𝑚𝑝𝑖
∑𝑛𝑖=1 �
𝑚𝑖
�
(2.3)
dimana : Mi = kadar air hasil percobaan M pi = kadar air hasil perhitungan n = jumlah data Jika nilai MRD < 5, maka model sorpsi isotermis tersebut dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya dengan sangat tepat. Jika 5 < MRD < 10, maka model tersebut agak tepat menggambarkan keadaan yang sebenarnya, dan jika MRD > 10 maka model tersebut tidak tepat untuk menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Model yang terpilih digunakan untuk menentukan nilai kemiringan (slope) kurva sorpsi isotermis (b), yaitu dengan cara menarik garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal (M o ), kadar air kesetimbangan pada RH penyimpanan (M e ), dan kadar air kritis (M c ). d.
Penentuan variabel-variabel pendukung dalam penentuan umur simpan Variabel- variabel pendukung yang dibutuhkan untuk menentukan umur simpan sesuai dengan persamaan Labuza antara lain: permeabilitas kemasan (k/x), bobot padatan per kemasan (Ws), luas kemasan (A), dan tekanan uap murni pada suhu 30oC (Po). Penentuan permeabilitas kemasan (k/x) dilakukan dengan studi pustaka dan nilai tekanan uap air murni diperoleh dari tabel uap air Labuza (1982). Luas kemasan primer yang digunakan dihitung dengan mengalikan panjang dan lebar kemasan kemudian dikali dua untuk kedua sisi kemasan. Luas kemasan dinyatakan dalam satuan meter persegi (m2). Penentuan bobot padatan per kemasan (Ws) diperoleh dari persamaan sebagai berikut: 𝑊𝑠 = 𝑊 𝑥 (%𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑/100) %𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑 = (1 − (𝑚𝑜/(1 + 𝑚𝑜 )))𝑥 100
(2.6) (2.7)
e.
Perhitungan umur simpan tepung lidah buaya (Labuza 1982) Umur simpan tepung lidah buaya dihitung dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis. Umur simpan berdasarkan pendekatan kurva sorpsi isotermis dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Labuza (1.1). Umur simpan tepung lidah buaya dihitung dengan memasukkan data-data hasil percobaan ke dalam persamaan Labuza (1.1). Umur simpan ditentukan pada suhu 30oC di nilai RH penyimpanan 75, 80, dan 85%. Umur simpan dinyatakan dalam satuan hari.
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian tahap ketiga ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan 2 kali ulangan, terdiri dari 2 faktor, yaitu jenis bahan kemasan terdiri dari 3 taraf yaitu LDPE (A1),OPP (A2), dan metalized plastic (A3), dan nilai RH penyimpanan terdiri dari 3 taraf yaitu 75% (B1), 80% (B2), dan 85% (B3), sehingga terdapat 9 kombinasi perlakuan dan 18 unit percobaan. Apabila perlakuan berpengaruh nyata pada taraf 5% maka akan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan untuk mengetahui apakah ada perbedaan nyata antar perlakuan. Analisis dilakukan dengan menggunakan software SPSS seri 17.1. Model Statistik yang digunakan dalam RAL adalah sebagai berikut: Yijk = µ + αi + ßj + (αß)ij + εijk dimana: Yijk = variabel yang diukur µ = rata-rata umum αi = pengaruh aditif dari taraf jenis kemasan ke-i ßj = pengaruh aditif dari taraf cara pengemasan ke-j (αß)ij = pengaruh interaksi faktor a dan ß εijk = galat percobaan
HASIL DAN PEMBAHASAN Seleksi dan Pelatihan Panelis Penelitian ini membutuhkan panelis terlatih untuk memberikan penilaian pada uji sensori dalam menentukan kadar air kritis. Nilai kadar air kritis tersebut merupakan salah satu variabel yang digunakan untuk menghitung umur simpan tepung lidah buaya. Dalam penelitian ini, mutu sensori yang diamati berupa mutu tekstur (penggumpalan). Oleh karena itu, seleksi panelis terlatih yang digunakan hanya uji segitiga sebab uji-uji yang lain tidak relevan dengan kebutuhan karakteristik panelis yang digunakan untuk menguji tekstur. Calon panelis yang lolos seleksi menjadi kandidat panelis terlatih adalah calon panelis yang memperoleh jawaban benar sekurang-kurangnya 50% dari seluruh uji segitiga yang diberikan. Berdasarkan uji segitiga, dari 24 orang panelis yang mengikuti pengujian diperoleh 14 orang yang lolos menjadi calon panelis terlatih (Lampiran 4). Namun, berdasarkan waktu dan motivasi masing-masing individu yang lolos, dari 14 orang tersebut, hanya terpilih 8 orang yang bersedia menjadi calon panelis terlatih. Jumlah tersebut tidak bermasalah karena dalam syaratnya, panelis terlatih yang dibutuhkan untuk uji rating adalah minimal 8 orang dan maksimal 12 orang (Meilgaard et al. 1999) Calon panelis terlatih yang telah diseleksi telah mengikuti rangkaian pelatihan berupa Focus Grup Discussion (FGD) dan uji rating secara kontinu sehingga dapat secara layak dikatakan terlatih dalam hal penilaian tepung lidah buaya. Hasil dari proses FGD panelis untuk menentukan karakteristik awal dari tepung lidah buaya dapat dilihat pada Tabel 5. Setelah itu, calon panelis melakukan FGD lagi untuk menentukan persentase tingkat penggumpalansampel tepung lidah buaya tersebut yang sudah tidak dapat diterima lagi dari segi kenampakannya (visual). Hasil dari FGD tersebut menunjukkan bahwa panelis sudah tidak dapat menerima sampel tepung lidah buaya pada tingkat penggumpalan sebesar 70%. Pada kondisi tingkat penggumpalan tersebut, tingkat kelarutan tepung lidah buaya rendah karena gumpalan-gumpalan tepung yang teksturnya sudah menjadi padat dan agak basah. Tabel 5 Karakteristik awal tepung lidah buaya berdasarkan hasil FGD calon panelis terlatih Kriteria Kenampakan (visual)
Hasil FGD
Rasa
Warna putih bubuk Sedikit manis
keabu-abuan,
Aroma
Tidak terdapat aroma khas
Tekstur
Tidak menggumpal, sedikit kasar
bentuk
Karakteristik Awal Tepung Lidah Buaya (Kadar Air Awal danAktivitas Air) Kadar air awal tepung lidah buaya dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode oven (AOAC 1999). Hasil analisis kadar air dinyatakan dalam bobot kering. Nilai kadar air awal yang diperoleh adalah 1.92 g H 2 O/g padatan (Lampiran 5). Nilai yang diperoleh cukup rendah karena dalam proses pembuatan tepung lidah buaya digunakan metode pengeringan spray drying pada suhu yang tinggi yaitu 120oC. Pada produk tepung-tepungan atau bubuk lainnya, seperti tepung penyalut berbasis tepung jagung, tepung kedelai, kopi instan, dan bubuk lada hitam, nilai kadar air awal sangat bervariasi, namun masih dapat dikatakan rendah. Kadar air awal untuk tepung penyalut berbasis tepung jagung adalah 0.09 g H 2 O/g padatan (Sugiyono et al.2010), tepung kedelai 6.80 g H 2 O/g padatan (Arpah et al. 2002), kopi instan 4.61 g H 2 O/g padatan (Sudibyo et al. 2010), dan bubuk lada hitam 10.27 g H 2 O/g padatan (Rahayu et al. 2005). Nilai kadar air awal ini bervariasi dapat disebabkan karena perbedaan metode pengeringan, proses pengolahan, atau karakteristik awal bahan. Sementara itu, nilai aktivitas air (a w ) dianalisis menggunakan alat a w -meter yang telah dikalibrasi dengan garam jenuh yang memiliki kelembaban 75%. Hasil dari pengukuran a w berkisar antara 0-1. Hasil yang diperoleh menunjukkan sampel tepung lidah buaya memiliki a w sebesar 0.25 pada suhu 29.9 – 30.2oC. Berdasarkan nilai yang diperoleh, dapat disimpulkan tepung lidah buaya tersebut aman dari pertumbuhan mikroba khususnya kapang dan kamir.Pada umumnya kapang dan kamir dapat tumbuh pada bahan pangan yang memiliki nilai a w di atas 0.60 -0.70 (Labuza, 1982). Labuza (1982) menyatakan hubungan antara a w dan mutu pangan yang dikemas yaitu pada selang a w sekitar 0.70 – 0.75 atau lebih, mikroba berbahaya mulai tumbuh dan produk menjadi tidak layak dikonsumsi. Salah satu faktor dalam penentuan umur simpan suatu bahan pangan adalah sifat alamiah dari bahan itu sendiri (Syarief dan Halid 1993). Pada produk bubuk, kadar air dan a w merupakan sifat penting yang mempengaruhi mutu mikrobiologis, kimia, maupun fisik. Aktivitas air berkaitan erat dengan kadar air, yang umumnya digambarkan sebagai kurva isotermis. Semakin tinggi a w pada suatu bahan, maka akan semakin mudah bagi mikroba untuk tumbuh di dalamnya. Tingginya kandungan a w juga mengakibatkan oksidasi lemak yang lebih cepat dibandingkan dengan kandungan a w yang rendah (Herawati 2005). Kadar Air Kritis Tepung Lidah Buaya Penentuan kadar air kritis ditentukan dengan melakukan penyimpanan sampel dalam sorption chamber (suhu 30oC RH 97.1%) dan diamati setiap 12 jam selama 48 jam. Batas kritis tepung lidah buaya yang telah ditentukan dari hasil FGD panelis terlatih adalah sampel dengan tingkat penggumpalan sama dengan atau lebih dari 70% dari keadaan semula (kontrol). Berdasarkan hasil percobaan, terdapat peningkatan kadar air sampel tepung lidah buaya selama penyimpanan pada 0, 12, 24, 36, dan 48 jam (Gambar 5). Kenaikan kadar air ini disebabkan oleh penyerapan uap air dari lingkungan ke dalam sampel. Semakin meningkatnya waktu penyimpanan, penampakan sampel
juga mengalami perubahan menjadi semakin menggumpal dan basah. Kadar air kritis merupakan kadar air dimana produk pangan mencapai kondisi mulai tidak diterima lagi secara sensori. Pada produk bubuk dengan flowability tinggi, kadar air dan aktivitas air rendah, caking atau penggumpalan akibat penyerapan uap air merupakan permasalahan yang sangat berpengaruh pada mutu. Awal terjadinya caking ditandai dengan perubahan sampel menjadi basah (Chung et al. 2000). Hasil uji rating menunjukkan batas kritis penolakan panelis terlatih pada saat 48 jam penyimpanan sampel di dalam chamber. Menurut penilaian panelis terlatih tersebut, tingkat penggumpalan sampel telah melebihi batas kritis penolakan sebesar 74.08% (Gambar 6). Seluruh panelis terlatih (8 orang) juga menyatakan tidak dapat lagi menerima sampel dari segi penampakan atau penggumpalannya. Hasil perhitungan kadar air dan penilaian uji rating dapat dilihat di Lampiran 7 dan 8.
Kadar air (g H2O/g padatan)
3.00 2.48
2.50
2.15
1.99
2.00
1.71
1.50
1.50 1.00 0.50 0.00
0
12
24
36
48
Waktu Penyimpanan (jam)
Gambar 5 Grafik perubahan kadar air tepung lidah buaya selama penyimpanan 0, 12, 24, 36, dan 48 jam 74.08
Tingkat Penggumpalan (%)
80 70
60.00
60 46.83
50 40 30
64.42
28.83
20 10 0 0
12
24
36
48
Waktu penyimpanan (jam)
Gambar 6 Grafik tingkat penggumpalan tepung lidah buaya berdasarkan uji rating panelis terlatih
Selanjutnya, untuk melihat apakah diantara kelima sampel yang disimpan selama 0, 12, 24, 36, dan 48 jam yang digunakan untuk menentukan titik kritis penolakan ini terdapat perbedaan yang signifikan dilakukan uji ANOVA (Analysis of Variance) yang dilanjutkan dengan uji Duncan (Lampiran 9). Taraf signifikansi yang digunakan adalah 5%. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa kenaikan kadar air mempengaruhi kenampakan (penggumpalan). Hasil uji ANOVA (Lampiran 9) menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata diantara sampel-sampel tersebut. Dari uji lanjut Duncan diperoleh bahwa sampel kontrol dan sampel pada perlakuan 12 jam masing-masing berbeda nyata dengan keempat sampel lainnya. Sementara itu, sampel dengan perlakuan 24 jam tidak berbeda nyata dengan sampel 36 jam dan sampel dengan perlakuan 36 jam tidak berbeda nyata dengan sampel 48 jam. Jadi, dapat dikatakan titik kritis berada diantara 24 jam hingga 48 jam. Namun, hasil penilaian panelis terlatih, menyatakan titik kritis berada pada perlakuan 48 jam. Nilai kadar air kritis ditentukan berdasarkan kurva hubungan kadar air kritis dan tingkat penggumpalan selama penyimpanan 0, 12, 24, 36, dan 48 jam (Gambar 7). Hasil FGD panelis terlatih menunjukkan titik kritis penggumpalan tepung lidah buaya berada pada tingkat penggumpalan 70%, sehingga berdasarkan kurva hubungan kadar air kritis dan tingkat penggumpalan tersebutkadar air kritis tepung lidah buaya sebesar 2.29 g H 2 O/g padatan.
Kadar air (g H2O/g padatan)
3.00 2.50
y = 0,0209x + 0,8222 R² = 0,937
2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 0
10
20
30
40
50
60
70
80
Tingkat penggumpalan (%)
Gambar 7 Kurva hubungan kadar air kritis dan tingkat penggumpalan tepung lidah buaya selama penyimpanan 0, 12, 24, 36, dan 48 jam Kurva Sorpsi Isotermis dan Kadar Air Kesetimbangan Percobaan dilakukan dengan menyimpan sampel pada suhu ruang (30 ± 1oC) dan digunakan 7 jenis larutan garam jenuh, antara lain: NaOH, MgCl 2, K 2 CO 3, NaBr, NaCl, KCl, K 2 SO 4. Pemilihan garam ini bertujuan agar dapat mewakili tiap daerah pada kurva sorpsi isotermis, yaitu daerah monolayer (daerah A), multilayer (daerah B), dan daerah kondensasi kapiler (daerah C). Penggunaan larutan garam jenuh dapat mempertahankan RH secara konstan selama jumlah
garam yang digunakan masih di atas tingkat jenuh (Syarief dan Halid 1993). Kelembaban relatif dari larutan garam dan nilai kadar air kesetimbangan tepung lidah buaya hasil percobaan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Kadar air kesetimbangan tepung lidah buaya untuk berbagai larutan garam jenuh pada suhu 30oC Jenis Larutan Garam
ERH (%)
Aw
NaOH MgCl 2 K 2 CO 3 NaBr NaCl KCl
6.80 32.40 43.20 56.00 75.10 83.60
0.07 0.32 0.43 0.56 0.75 0.84
Kadar air kesetimbangan (g H 2 O/g padatan) 1.84 1.90 1.98 2.35 2.56 2.97
Selama penyimpanan, sampel tepung lidah buaya ada yang mengalami proses penambahan dan pengurangan bobot sampel. Sampel yang disimpan pada RH (Relative Humidity/ kelembaban relatif) rendah mengalami penurunan bobot, sedangkan pada RH tinggi, sampel akan mengalami penambahan bobot. Sampel yang disimpan pada RH 6.80, 32.40, 43.20, dan 56.00% bobotnya cenderung berkurang hingga tercapainya kondisi kesetimbangan. Sampel pada kondisi tersebut mengalami proses pelepasan uap air ke lingkungan. Hal ini disebabkan sampel pada kondisi tersebut memiliki aktivitas air yang lebih tinggi dari kelembaban relatif lingkungannya sehingga untuk mencapai kondisi kesetimbangan sampel melepaskan uap air ke lingkungan. Sementara itu, sampel yang disimpan pada RH 75.10, 83.60,dan 97.10% mengalami penambahan bobot sampel karena proses absorpsi uap air dari lingkungan ke dalam bahan pangan. Penurunan dan penambahan bobot ini menunjukkan fenomena hidratasi. Karakteristik hidratasi bahan pangan dapat diartikan sebagai karakteristik fisik yang meliputi interaksi antar bahan pangan dengan molekul air di udara lingkungannya (Syarif & Halid 1993). Interaksi yang terjadi disebabkan oleh perbedaan antara RH sampel dengan lingkungannya. Interaksi ini terjadi hingga terjadi kesetimbangan di antara keduanya. Proses absorpsi dan desorpsi uap air antara bahan pangan dan lingkungan ini terjadi hingga tercapainya kondisi kesetimbangan. Kondisi kesetimbangan antara sampel dengan lingkungan berbagai RH ditandai dengan hasil penimbangan yang konstan. Waktu tercapainya kadar air kesetimbangan ini berbeda-beda pada tiap RH dan berkisar antara 5 – 7 hari. Pada RH 97.10% (K 2 SO 4 ), kadar air kesetimbangan tidak dapat tercapai. Sebelum tercapai kadar air kesetimbangan, pada hari ke-delapan, sampel tepung lidah buaya sudah berubah bentuk menjadi cair dan seperti jelly. Oleh karena wujud sampel telah berubah dari bentuk semula yang berupa bubuk, maka nilai RH 97.10% tidak digunakan dalam perhitungan dan pembuatan kurva sorpsi isotermis air tepung lidah buaya. Pada penyimpanan produk pangan kering, kadar air bahan cenderung cepat mengalami peningkatan ketika disimpan pada RH yang relatif tinggi. Oleh karena itu, kadar air
kesetimbangan dan kadar air kritis lebih cepat tercapai pada penyimpanan dengan kondisi RH yang relatif tinggi (Widowati et al. 2010).` Nilai kadar air kesetimbangan tepung lidah buaya dalam berbagai RH yang terlihat pada Tabel 6 tersebut jika diplotkan dengan nilai a w atau RH akan membentuk kurva sorpsi isotermis. Berdasarkan hasil percobaan, didapatkan kurva sorpsi isotermis (Gambar 8) berbentuk menyerupai sigmoid. Dari kurva sorpsi isotermis yang terbentuk, didapatkan persamaan garis linear: y = 1.4525x + 1.5474 dengan nilai R² = 0,8590. Menurut Syarief dan Halid (1993), kurva sorpsi isotermis ini khas untuk setiap produk pangan.
Kadar air (g H2O/g padatan)
3.50 3.00 2.50 y = 1.4525x + 1.5474 R² = 0.859
2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 0.00
0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
0.70
0.80
0.90
Aktivitas air
Gambar 8 Kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya Berdasarkan kurva tersebut, ditentukan nilai slope atau kemiringan kurva untuk perhitungan umur simpan. Slope atau kemiringan kurva sorpsi isotermis ditentukan dengan mengasumsikan bahwa kurva tersebut berbentuk garis lurus (Labuza 1982) atau dengan menggunakan regresi linier pada kurva. Untuk mendapatkan kurva sorpsi isotermis air yang mulus, data hubungan kadar air kesetimbangan dengan a w diuji terlebih dahulu dengan menggunakan lima model persamaan, yaitu model Halsey, Henderson, Caurie, Oswin, dan Chen Clayton. Pemilihan model-model persamaan ini karena berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu mampu menggambarkan kurva sorpsi isotermis pada rentang nilai a w yang luas (Isse et al. 1993). Untuk memudahkan perhitungan, model-model persamaan tersebut dimodifikasi menjadi persamaan linier. Model persamaan dan linearisasi persamaan sorpsi isotermis tersebut dapat dilihat di Tabel 7. Setelah perhitungan, model persamaan tersebut menghasilkan model persamaan kurva sorpsi isotermis untuk tepung lidah buaya yang diperlihatkan pada Tabel 8. Hasil perhitungan kadar air kesetimbangan dengan menggunakan model persamaan tersebut dan perbandingannya dengan hasil percobaan diperlihatkan pada Tabel 9.Hasil plot yang menunjukkan perbandingan antara nilai kadar air kesetimbangan hasil percobaan dengan menggunakan model sorpsi isotermis diperlihatkan pada Gambar 9.
Tabel 7 Linearisasi persamaan sorpsi isotermis Model Halseya) Chen Claytonb) Hendersonc) Caurieb) Oswinc)
Bentuk Umum Bentuk Linear Linearisasi (Y = a X + b) log[ln(1/aw)] = log P(1) – Y = log (ln(1/aw)) P(2) log Me X = log Me a = log P(1) b = -P(2) ln [ln(1/aw)] = ln P(1) – Y = ln (ln(1/aw)) P(2) Me X = Me a = ln P(1) b = -P(2) Log[ln(1/(1-aw)] = log Y = log (ln(1/(1-aw))) P(1) + P(2) log Me X = log Me a = log P(1) b = P(2) ln Me = ln P(1) – P(2) aw Y = ln Me X = aw a = ln P(1) b = -P(2) ln Me = ln P(1) + P(2) Y = ln Me ln(aw/(1-aw)) X = ln(aw/(1-aw)) a = ln P(1) b = P(2)
a) Isse et al. (1983) b) Lamauro (1984) c) Chirife and Iglesias (1978)
Tabel 8 Model persamaan kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya Model Persamaan
Persamaan Kurva
R2
Chen Clayton Caurie
ln [ln(1/aw)] = -3.0551 - 2.9888 Me ln Me = 1.5988 - 0.7756 aw
0.992 0.994
Oswin
ln Me = 1.617 + 1.2985 ln[aw/(1-aw)]
0.993
Halsey
log[ln(1/aw)] = 0.6252 + 1.8218 log Me
0.949
Henderson
log [ln(1/(1-aw))] = 0.3040 + 1.8349 log Me
0.997
Tabel 9 Kadar air kesetimbangan tepung lidah buaya hasil percobaan dan berbagai model sorpsi isotermis
aw 0.07 0.32 0.43 0.56 0.75 0.84
Kadar Air Kesetimbangan(g H 2 O/g padatan) Chen Percobaan Oswin Halsey Henderson Clayton 1.85 1.68 0.87 0.42 -3.29 1.90 2.08 1.19 0.93 -4.05 1.98 2.19 1.32 1.10 -4.31 2.35 2.32 1.51 1.30 -4.64 2.56 2.56 1.96 1.66 -5.25 2.97 2.72 2.32 1.87 -5.66
Caurie 1.57 1.33 1.25 1.15 1.02 0.97
Kadar air (g H2O/g padatan)
Pada Gambar 9 terlihat beberapa model yang memberikan hasil perhitungan yang menyimpang jauh dari nilai hasil percobaan, namun ada model yang memberikan hasil perhitungan yang hanya sedikit menyimpang dari hasil percobaan. Model Caurie memberikan hasil perhitungan yang hampir berimpit dengan kurva hasil percobaan, sedangkan model Chen Clayton menunjukkan penyimpangan hasil perhitungan yang paling jauh dengan hasil percobaan. Model yang terpilih sesuai dengan hasil percobaan dapat diketahui dengan mencari nilai MRD (Mean Relative Determination) masing-masing model persamaan. Hasil perhitungan nilai MRD dari masing-masing model persamaan untuk tepung lidah buaya dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan hasil tersebut, hanya satu model persamaan yang memiliki nilai MRD < 5 yaitu model Oswin dengan nilai MRD 0.2842, artinya model tersebut dapat menggambarkan keadaan sebenarnya dengan tepat. Sementara itu, keempat model persamaan lainnya, memiliki nilai MRD > 10 yang artinya model tersebut tidak dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya. 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 -1.000.000 -2.00 -3.00 -4.00 -5.00 -6.00
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0.600
0.700
0.800
0.900
Aktivitas air Caurie
Oswin
Halsey
Henderson
Chen Clayton
Percobaan
Gambar 9 Kurva sorpsi isotermis hasil percobaan dan berbagai macam model persamaan Berdasarkan kurva model yang terpilih yaitu model Oswin, ditentukan nilai kemiringan kurva dengan cara menarik garis lurus pada daerah linear yang melewati kadar air awal (M o ), kadar air kesetimbangan pada RH penyimpanan (M e ), dan kadar air kritis (M c ) (Gambar 10). Nilai kemiringan kurva (b) berdasarkan model persamaan tersebut adalah 1.2451.
Kadar air (g H2O/g padatan)
0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00
y = 0.77x - 1.2451 R² = 1
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
Aktivitas air
Gambar 10 Kurva linear nilai kadar air awal, kritis, dan kesetimbangan untuk penentuan kemiringan kurva sorpsi isotermis
Tabel 10 Nilai Mean Relative Determination (MRD) berbagai model persamaan kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya Model Persamaan Chen Clayton Caurie Oswin Halsey Henderson
MRD 300.41 43.41 0.28 34.17 48.31
Dengan menggunakan persamaan linear kurva sorpsi isotermis, maka dapat ditentukan kadar air kesetimbangan (Me) pada RH tertentu. RH yang dipilih berdasarkan pada kondisi RH penyimpanan dimana umur simpan ditentukan. Kondisi penyimpanan dimana umur simpan ditentukan adalah kondisi RH 75, 80, dan 85%, maka nilai kadar air kesetimbangan untuk tepung lidah buaya pada kondisi tersebutberturut-turut adalah 2.59, 2.66, dan 2.72 g H 2 O/g padatan. Nilainilai ini selanjutnya digunakan dalam perhitungan umur simpan dengan persamaan Labuza (1982).
Kondisi PenyimpananTepung Lidah Buaya Faktor-faktor di luar unsur sifat fisik produk yang dapat mempengaruhi umur simpan suatu produk pangan, antara lain permeabilitas kemasan (k/x), luas kemasan (A), kelembaban relatif, dan tekananuap air jenuh (Po). Faktor-faktor ini berpengaruh ketika masa penyimpanan produk pangan. Jenis kemasan yang digunakan adalah oriented polipropilen (OPP), low density polietilen (LDPE), dan metalized plastic. Berdasarkan informasi dari
produsen tepung lidah buaya, kemasan yang digunakan di pasaran adalah jenis kemasan LDPE. Penggunaan jenis kemasan OPP dan metalized plastic dalam penelitian ini untuk melihat pengaruh perbedaan permeabilitas uap air kemasan dalam memperpanjang umur simpan. Nilai permeabilitas ketiga jenis kemasan ini diperoleh dari studi literatur. Berdasarkan hasil studi literatur, nilai WVTR dari jenis kemasan metalized plastic adalah 0.4416 g/m2.hari dan jenis kemasan OPP adalah 3.6400 g/m2.hari (Syalfina 2007). Dari hasil perhitungan WVTR dibagi tekanan uap air jenuh, nilai permeabilitas kemasan (k/x) ketiga jenis kemasan dapat dilihat pada Tabel 11. Permeabilitas uap air (k/x) adalah laju transmisi uap air dibagi dengan tekanan uap air jenuh pada saat ditetapkan. Laju transmisi uap air atau Water Vapor Transmission Rate (WVTR) yang merupakan jumlah uap air yang melewati satu unit permukaan luas dari suatu bahan selama satu satuan waktu pada kondisi suhu dan kelembaban relatif yang konstan (Syarief et al. 1989). Perbedaan nilai permeabilitas kemasan (k/x) tersebut disebabkan perbedaan karakteristik kemasan seperti, bahan penyusunnya dan besar pori-pori kemasan. Semakin besar permeabilitas kemasan, maka semakin mudah migrasi uap air ke dalam kemasan (Kusnandar 2006). Semakin rendah nilai permeabilitas kemasan (k/x), semakin kecil difusi uap air dan gas yang melalui kemasan tersebut.Menurut Robertson (1993), kemasan metalized plastic memiliki barrier yang tinggi terhadap uap air dan gas. Dari ketiga jenis kemasan tersebut, kemasan metalized plastic memiliki permeabilitas terhadap uap air yang paling rendah, sehingga diharapkan dapat lebih memperpanjang umur simpan produk yang dikemas. Tabel 11 Nilai permeabilitas (k/x) tiga jenis kemasan Jenis Kemasan LDPE OPP Metalized plastic
Permeabilitas kemasan (g/m2.hari.mmHg) 0.5 (Arpah 2002) 0.0740 (Syalfina 2007) 0.0090 (Syalfina 2007)
Faktor lain dari kemasan yang perlu diketahui adalah luas kemasan (A) primer yang digunakan. Luas kemasan didapatkan dari tinggi kemasan yang dikurangi sisa sealingdikalikan dengan lebar kemasan. Produk tepung lidah buaya dijual di pasaran dalam kemasan kecil untuk isi produk sebanyak 15 gram dengan luas kemasan sebesar 0.0084 m2. Bobot padatan awal per kemasan (Ws) merupakan bobot awal tepung lidah buaya yang telah dikoreksi dengan kadar air awal. Bobot padatan tepung lidah buaya per kemasan (Ws) adalah sebesar 5.1393 gram. Perhitungan luas kemasan dan bobot padatan per kemasan dapat dilihat pada Lampiran 12 dan 13. Kondisi lingkungan penyimpanan merupakan salah satu faktor utama dalam penentuan umur simpan. Setelah didistribusikan kepada konsumen, diasumsikan produk akan disimpan dalam kondisi konstan ± 30oC dengan kelembaban relatif (RH) 75, 80, atau 85%. Dalam penentuan umur simpan, faktor lingkungan yang mempengaruhi perhitungan adalah tekanan uap air jenuh. Tekanan uap air jenuh (Po) dipengaruhi oleh suhu. Berdasarkan Labuza (1982), tekanan uap air jenuh
(Po) untuk suhu 30OC adalah 31.824 mmHg. Perhitungan umur simpan akan didasarkan pada kondisi-kondisi tersebut.
Umur Simpan Tepung Lidah Buaya Hasil rekapitulasi variabel-variabel yang digunakan untuk menghitung umur simpan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 12. Pada pendekatan kurva sorpsi isotermis, parameter-parameter persamaan Labuza (1982) ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga unsur, yaitu: unsur sifat fisik produk (Mc, Mi, Me, Ws, dan b), unsur pengemas (k/x, A), dan lingkungan luar atau dalam pengemas (Po dan b). Hasil perhitungan umur simpan tepung lidah buaya pada berbagai macam jenis kemasan dan RH dapat dilihat pada Tabel 13. Perhitungan umur simpan dapat dilihat di Lampiran 15. Pada kemasan LDPE, umur simpan pada RH 75, 80, dan 85% berturut-turut adalah 38, 33, dan 29 hari. Pada kemasan OPP, umur simpan pada RH 75, 80, dan 85% berturut-turut adalah 255, 222, dan 197 hari. Sementara itu, pada kemasan metalized plastic, umur simpan pada RH 75, 80, dan 85% berturut-turut adalah 2095, 1828, dan 1624 hari. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, selain variabel umur simpan, faktor kemasan dan kondisi ruang penyimpanan juga mempengaruhi lamanya umur simpan. Pengaruh faktor kemasan dan RH penyimpanan ini terhadap umur simpan tepung lidah buaya berdasarkan uji ANOVA yang dilanjutkan dengan uji Duncan (Lampiran 17) adalah berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%. Tabel 12 Variabel umur simpan tepung lidah buaya dalam tiga jenis kemasan pada RH 75, 80, dan 85% Parameter
Satuan
LDPE
OPP
Metalized plastic
Mi Me RH 75% RH 80% RH 85% Mc
g H 2 O/g padatan g H 2 O/g padatan g H 2 O/g padatan g H 2 O/g padatan g H 2 O/g padatan
1.92 2.59 2.66 2.72 2.29
1.92 2.59 2.66 2.72 2.29
1.92 2.59 2.66 2.72 2.29
k/x
g/m2.hari.mmHg
0.50
0.07
0.01
0.0084 5.14 31.82
0.0084 5.14 31.82
0.0084 5.14 31.82
1.24
1.24
1.24
2
A Ws Po
m gram mmHg
b
g H 2 O/ g bk
Tabel 13 Umur simpan tepung lidah buaya pada tiga jenis kemasan dan berbagai nilai RH Jenis Kemasan LDPE OPP Metalized Plastic
RH 75% Hari Bulan
Umur Simpan RH 80% Hari Bulan
RH 85% Hari Bulan
38 255
1.26 8.49
33 222
1.10 7.41
29 197
0.97 6.58
2095
69.84
1828
60.95
1624
54.13
Berdasarkan hasil yang diperoleh, umur simpan tepung lidah buaya lebih pendek pada kelembaban relatif (RH) yang lebih tinggi. Kondisi lingkungan menunjukkan banyaknya kandungan uap air di udara. Kondisi lingkungan dengan kelembaban relatif yang tinggi mengandung lebih banyak uap air sehingga akan terjadi penyerapan uap air ke dalam bahan pangan yang lebih banyak dibandingkan kondisi dengan kelembaban relatif yang rendah. Tingginya kandungan uap air tersebut pada produk tepung atau bubuk dapat meningkatkan kadar air produk, menurunkan flowability, dan meningkatkan kohesivitas granular, sehingga mempercepat pencapaian titik kritis penolakan atau penggumpalan. Bagi konsumen adanya penggumpalan pada produk tepung-tepungan adalah tanda kualitas dan keamanan produk yang rendah (Chung et al.2000). Selain itu, suhu yang tinggi juga mempengaruhi nilai tekanan uap air dan kelembaban, maka dengan meningkatnya suhu, akan mempercepat pencapaian titik kritis (Ganesan et al. 2008). Berdasarkan perhitungan umur simpan tepung lidah buaya pada Tabel 13, produk yang dikemas dengan metalized plastic memiliki umur simpan yang lebih panjang dibanding kemasan lain. Semakin kecil nilai permeabilitas uap air kemasan, semakin panjang umur simpan produk yang dikemas. Permeabilitas kemasan metalized plastic merupakan yang paling rendah dibandingkan kemasan LDPE dan OPP. Besarnya nilai permeabilitas menunjukkan besarnya difusi uap air dari lingkungan ke dalam kemasan. Semakin besar nilai permeabilitas kemasan, semakin besar pori-pori kemasan dan membantu mempercepat proses produk mencapai titik kritis. Dalam hal ini, untuk produk tepung atau bubuk, dapat mempercepat terjadinya proses penggumpalan yang berakibat menurunnya mutu produk. Namun, dilihat dari segi ekonomis bagi produsen, dari ketiga jenis kemasan tersebut metalized plastic memiliki harga yang lebih mahal di pasaran dibanding LDPE dan OPP. Selain itu, dari segi keefektifan dalam penyimpanan dan penggunaan produk tepung-tepungan, produk tepung lidah buaya ini lebih baik disimpan dan digunakan hanya dalam jangka waktu 1-2 tahun agar mutu produk masih tetap terjaga. Berdasarkan pertimbangan tersebut, bagi produsen tepung lidah buaya direkomendasikan untuk menyimpan produknya dalam kemasan OPP meskipun kemasan metalized plastic memberikan umur simpan yang lebih panjang. Selain karena kondisi penyimpanan dan kemasan yang berbeda, perbedaan umur simpan dipengaruhi oleh formulasi dan proses pengolahan (Labuza 2002). Formulasi dan proses pengolahan akan mempengaruhi karakteristik produk akhir sebelum produk tersebut disimpan. Sedangkan menurut Robertson (1993), faktor
karakteristik produk yang dapat mempengaruhi umur simpan berupa perishability, efek konsentrasi dari bahan-bahan tertentu yang memicu reaksi deterioratif, densitas kamba. Keberadaan bahan gula dalam tepung lidah buaya dapat mempercepat terjadinya proses penggumpalan. Pada kelembaban relatif yang tinggi, sifat gula cenderung menyerap air pada permukaan kristalnya. Hal ini menyebabkan flowability gula menurun sehingga mempermudah terjadinya penggumpalan (Mathlouthi and Roge 2003). Produk tepung-tepungan atau bubuk, khususnya tepung lidah buaya ini memiliki nilai umur simpan yang relatif panjang. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya proses pengeringan pada proses pengolahannya yang mengakibatkan kadar air awal menjadi sangat rendah sehingga selisih antara kadar air awal dan kadar air akhir cukup tinggi dan umur simpannya menjadi lebih panjang. Nilai umur simpan yang diperoleh ini berbeda dengan produk tepung-tepungan atau bubuk lainnya, seperti tepung penyalut berbasis tepung jagung, tepung kedelai, dan bubuk lada hitam. Perhitungan umur simpan untuk produk tepung penyalut berbasis tepung jagung yang dikemas dengan polipropilena (permeabilitas kemasan 0.07 g/m2hr.mmHg) pada penyimpanan suhu 30oC RH 85% adalah 7 bulan (Sugiyono et al. 2010). Pada tepung kedelai yang dikemas dengan LDPE (permeabilitas kemasan 0.5 g/m2hr.mmHg) pada penyimpanan suhu 30oC RH 85% adalah 2.80 bulan (Arpah et al. 2002). Sementara itu, untuk bubuk lada hitam yang dikemas dengan HDPE (permeabilitas kemasan 0.1 g/m2hr.mmHg) pada penyimpanan suhu 30oC dan RH 90% adalah 24.20 bulan (Rahayu et al. 2005). Perbedaan nilai umur simpan yang diperoleh pada beberapa jenis produk ini dapat disebabkan oleh karakteristik alami bahan pangan, model yang digunakan, nilai suhu, RH, serta nilai permeabilitas kemasan selama penyimpanan. Secara umum, perhitungan umur simpan akan dipengaruhi oleh (Kusnandar 2006): 1) jenis kemasan yang digunakan, jenis kemasan akan menentukan nilai k/x, dimana semakin kecil nilai k/x akan memberikan umur simpan yang lebih lama, penggunaan kemasan ganda mempengaruhi nilai permeabilitas uap air kemasan, sehingga juga mempengaruhi umur simpan produk, 2) kondisi awal dari produk, kadar air kesetimbangan (pada pendekatan kurva sorpsi isotermis), kadar air awal yang semakin tinggi akan memperpendek umur simpan, serta aktivitas air (pada pendekatan yang dimodifikasi) yang semakin kecil akan memperbesar perbedaan tekanan di dan luar kemasan, migrasi uap air akan lebih mudah terjadi, maka umur simpan akan semakin pendek, 3) suhu dan kelembaban penyimpanan, suhu mempengaruhi tekanan udara (Po), semakin tinggi suhu penyimpanan, maka umur simpan yang terhitung akan semakin pendek, kelembaban relatif (RH) akan mempengaruhi nilai ΔP, semakin besar nilai ΔP, umur simpan semakin pendek. Perhitungan umur simpanini bersifat pendugaan, karena kerusakan produk semata-mata didasarkan pada penyerapan air hingga tercapai kondisi kritis.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pendugaan umur simpan dengan permodelan kadar air kritis merupakan metode Accelerated Shelf Life Testing atau percepatan yang cocok digunakan pada produk bubuk, termasuk tepung lidah buaya (Aloe vera powder). Faktorfaktor yang berpengaruh dalam perhitungan umur simpan dengan pendekatan kurva sorpsi isotermis air yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian, antara lain:kadar air awal tepung lidah buaya sebesar 1.92 g H 2 O/g padatan, aktivitas air sebesar 0.25, kadar air kritis sebesar 2.29 g H 2 O/g padatan, kadar air kesetimbangan untuk RH 75, 80, dan 85% berturut-turut sebesar 2.59, 2.66, dan 2.72 g H 2 O/g padatan. Persamaan regresi linier kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya yang berbentuk sigmoid adalah y = 1.4525x + 1.5474 dengan nilai R² = 0,8590.Model persamaan sorpsi isotermis yang terpilih dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya adalah model Oswin dan berdasarkan model persamaan tersebut diperoleh kemiringan kurva sorpsi isotermis sebesar 1.2451. Hasil perhitungan umur simpan dengan kemasan LDPE pada kondisi RH 75, 80, dan 85% berturut-turut adalah 38, 33, dan 29 hari. Untuk kemasan OPP pada kondisi RH 75, 80, dan 85% berturut-turut adalah 255, 222, dan 197 hari. Sementara itu, untuk kemasan metalized plastic pada kondisi RH 75, 80, dan 85% berturut-turut adalah 2095, 1828, dan 1624 hari. Berdasarkan hasil penelitian, faktor kemasan dan RH penyimpanan berpengaruh dalam memperpanjang umur simpan produk tepung lidah buaya. Dari tiga jenis kemasan produk yang diuji (LDPE, OPP, dan metalized plastic), terbukti bahwa kemasan dengan permeabilitas terkecil, yaitu metalized plastic, memberikan umur simpan yang lebih panjang dibandingkan kemasan yang lain. Tepung lidah buaya yang disimpan pada RH terkecil yaitu 75% juga memberikan umur simpan yang lebih panjang. Semakin kecil RH penyimpanan, umur simpan tepung lidah buaya semakin panjang. Selain itu, umur simpan juga dipengaruhi oleh kondisi awal bahan, formulasi, dan proses pengolahannya. Berdasarkan pertimbangan dari segi ekonomi dan kondisi penyimpanan produk, tepung lidah buaya sebaiknya disimpan pada kondisi RH 75% atau lebih rendah dan dalam kemasan OPP sehingga memberikan umur simpan selama 255 hari atau 8.49 bulan.
Saran Pendugaan umur simpan dengan metode ASLT ini hanyalah bersifat pendugaan sehingga perlu dilakukan verifikasi dengan metode ESS, yaitu dengan menyimpan produk pada kondisi penyimpanan, baik pengemasan maupun kondisi penyimpanan yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan dihitung umur simpannya. Penelitian ini hanya memfokuskan pengaruh umur simpan tepung lidah buaya terhadap perubahan mutu tekstur (penggumpalan), oleh karena itu, perlu juga dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh umur simpan terhadap perubahan mutu warna.
Berdasarkan pertimbangan dari segi ekonomi dan umur simpannya, produsen tepung lidah buaya direkomendasikan menggunakan kemasan OPP (oriented polipropilen) sebagai kemasan primer. Selain itu, perlu juga dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh kemasan sekunder, seperti karton atau CFB (Corrugated Fiber Board), yang digunakan ketika pemasaran terhadap umur simpannya.
DAFTAR PUSTAKA Adawiyah DR. 2006. Hubungan Sorpsi Air, Suhu Transisi Gelas, dan Mobilitas Air serta Pengaruhnya Terhadap Stabilitas Produk pada Model Pangan [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Andrade DR, Lemus R, and Perez CE. 2011. Model of sorption isotherms for food: uses and limitations. J. Food Sci 93(18): 325-334. [AOAC] The Association Official Analytical Chemists. 1999. Official Methods of Analysis. p. 42-1 - 42-2. Washington DC (US): AOAC. Arpah M. 2001. Buku dan Monograf Penentuan Kedaluwarsa Produk Pangan. Bogor (ID): IPN Pasca Sarjana IPB. Arpah M, Syarief R. 2000. Evaluasi model-model pendugaan umur simpan pangan dari difusi hukum Fick unidireksional. Buletin Teknologi dan Industri Pangan 11: 1-11. Arpah M, Syarief R, Daulay S. 2002. Penerapan uji DUC (Days Until Caking) dalam penetapan kadaluwarsa tepung. J. Teknol. dan Industri Pangan 13(3): 217-223. ASTM. 2000. Plastics General Test Methods, Nomenclature. In : Annual Book of ASTM Standard, part 36. Eastern, USA: American Society for Testing and Materials. Aloevera Center. 2004. Aloevera Center. Pontianak (ID): Badan Penelitian dan Pengkajian Teknologi. Bell LN, Labuza TP. 2000. Practical Aspects of Moisture Sorption Isotherm Measurement and Use 2nd Edition. AACC MN: Egan Press. Chirife J, Iglesias HA. 1978. Equation for fitting water sorption isotherm foods. Part I-a review. J. Food Tech 28(1978): 319-327. Chung MS, Ruan RR, Chen P, Chung SH, Ahn TH, and Lee KH. 2000. Study of caking in powdered foods using nuclear magnetic resonance spectroscopy. J. Food Sci 65(1): 134-138. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalimantan Barat. 2009. Peta Panduan Pengembangan IKM Pangan Melalui Pendekatan OVOP. Pontianak (ID): Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalimantan Barat. Ellis MJ. 1994. The methodology of shelf life determination. In: C.M.D. Man dan A.A. Jones. Shelf Life Evaluation Foods, hal 27. London (EN): Blackie Academic & Professional. Fennema OR. 1985. Food Chemistry. New York (US): Marcel Dekker Inc. Furnawanthi I. 2003. Khasiat dan Manfaat Lidah Buaya Si Tanaman Ajaib. Jakarta (ID): PT. Agromedia Pustaka. Gestner 1977 dalam Sulistyo. 1998. Mempelajari Pembuatan Tepung Jambu Biji dengan Menggunakan Pengering Semprot [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hariyadi P, Andarwulan N. 2006. Perubahan Mutu (Fisik, Kimia, dan Mikrobiologi) Produk Pangan Selama Pengolahan dan Penyimpanan. In: Modul Pelatihan Pendugaan dan Pengendalian Masa Kadaluarsa Bahan dan Produk Pangan. Bogor (ID): Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center IPB.
Institute of Food Science and Technology. 1974. Shelf life of food. J. Food Sci 39(1): 861-865. Isse MG, Schuchmann H, Schubert H. 1983. Divided sorption isotherm concept an alternative way to describe sorption isotherm data. J. Food Eng.16(1983): 147-157. Johanson JR, Paul BO. 1996. Eliminating caking problems: test methods provide guidance on storage methods. J. Chemical Processing 19(1996): 71-75. Krokida M, Pappa A, and Agalioti M. 2011. Effect of drying on Aloe’s functional components. J. Food Sci 93(1): 1523-1527. Kusnandar F. 2006. Disain Percobaan Dalam Penetapan Umur Simpan Produk Pangan dengan Metode ASLT (Model Arrhenius dan Kadar Air Kritis).Modul Pelatihan : Pendugaan dan Pengendalian Masa Kedaluwarsa Bahan dan Produk Pangan. 7-8 Agustus 2006. Bogor. Ganesan V, Rosentrater KA, and Muthukumarappan K. 2008. Flowability and handling characteristics of bulk solids and powders – a review with implications for DDGS5. Biosystems Engineering 101(2008): 425 – 435. Hough G, Garitta L, and Gomez G. 2006. Sensory shelf life predictions by survival analysis accelerated storage models. Food Quality and Preference, 17(2006): 468-473. Labuza TP. 1968. Sorpsi Isothermis in Foods. J. Food Tech 22(1968):263-271. Labuza TP. 1982. Shelf Life Dating of Foods. Westport, Connecticut (US): Food and Nutrition Press, Inc. Labuza TP, Schimdl MK. 1985. Accelerated shelf life testing of foods. J. Food Tech 39(1985): 57-62. Lievonen SM, Ross YH. 2002. Water sorption of food models for studies of glass transition and reaction kinetics. J. Food Sci 65(5): 1758-1766. Mathlouthi M and Roge B. 2003. Water vapour sorption isotherms and the caking of food powders. J. Food Chem 82(2003): 61-71. Mattjik AA, Made IS. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor (ID): IPB Press. Meilgaard M, Civille GV, dan Carr, BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques, Third edition. Florida (US): CRCPress LLC. Mir MA, Nath N. 1995. Sorption isotherm of fortified mango bars. J. Food Eng. 25(1995) : 141-150. Morsy EM. 1982. Aloe vera Stabilization and Processing For the Cosmetic Beverage and Food Industries: Fifth Edition. London (EN): Applied Science Publisher. Rahayu WP, Arpah M, Diah E. 2005. Penentuan waktu kadaluwarsa dan model sorpsi isotermis biji dan bubuk lada hitam (Piper ningrum L.). Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 16(1): 31-38. Rahayuni T. 2001. Mikroenkapsulasi Ekstrak Lidah Buaya (Aloe vera): Uji Karakteristik Enkapsulan dan Aktivitas Antioksidannya [thesis]. Yogyakarta (ID): Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Robertson GL. 1993. Food Packaging: Principles and Practices. New York (US): Marcel Dekker Inc. Spiegel A. 1992. Shelf-Life Testing. In: Brown, W. E. Plastics in Food Packaging: Properties, Design, and Fabrication. New York (US): Marcel Dekker, Inc.
Spiess WEL, Wolf W. 1987. Critical evaluation of methods to determine moisture sorption isotherm. In: Rockland RB. Water Activity: Theory and Application to Food. New York (US): Marcel Dekker Inc. Sudarto SP. 1997. Lidah Buaya. Yogyakarta (ID): Kanisius. Sudibyo A, Hutajulu TF, dan Setyadjit. 2010. Pendugaan masa simpan produk kopi instan menggunakan studi penyimpanan yang diakselerasi dengan model kinetika Arrhenius. Journal of Agro-Based Industry 27(1): 12-24. Sugiyono, Fransisca, Yulianto A. 2010. Formulasi tepung penyalut berbasis tepung jagung dan penentuan umur simpannya dengan pendekatan kadar air kritis. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 21(2): 95-101. Sulaeman S. 2008. Model pengembangan agribisnis komoditi lidah buaya (Aloe vera). Jurnal Agribisnis 5(2008): 18-35. Syahputra A. 2008. Studi Pembuatan Tepung Lidah Buaya (Aloe vera L.) [skripsi]. Medan (ID): Fakultas Pertanian, Universitas Sumatra Utara. Syalfina M. 2007. Pendugaan Umur Simpan Permen Jahe dengan Menggunakan Metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) dengan Pendekatan Model Kadar Air Kritis. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Syarief R, Halid Y. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Taylor TP, Fasina O, dan Bell LN. 2008. Physical properties and consumer liking of cookies prepared by replacing sucrose with tagose. J. Food Sci 73(3): 145151. Wahjono E. 2002. Mengebunkan Lidah Buaya Secara Intensif. Jakarta (ID): Balai Pengkajian Bioteknologi dan Agromedia Pustaka. Widodo P, Widiantara S. 2005. Pengaruh Filler Maltodekstrin dan Tepung Gula Terhadap Kualitas Tepung Instant Lidah Buaya dengan Menggunakan Spray Dryer Skala Pilotdalam Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanen. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Widowati S, Herawati H, Syarief R, Suyatma NE, Prasetia HA. 2010. Pengaruh isoterm sorpsi air terhadap stabilitas beras ubi. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 21(2): 123-128. Winarno FG. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia. Yohanes K. 2005. Olahan Lidah Buaya. Surabaya (ID): Trubus Agrisarana.
40
Lampiran
41
41
Lampiran 1 Formulir uji segitiga seleksi panelis terlatih
UJI SEGITIGA
Nama
:
No. HP:
Tanggal
:
Produk
: Tepung beras
Instruksi
:
Dihadapan Anda terdapat 3 (tiga) sampel tepung dimana terdapat dua sampel yang sama dan satu sampel yang berbeda. Amati penampakan dan kehalusan (tekstur) sampel dengan cara melakukan perabaan diantara dua jari tangan dari sampel kiri ke kanan. Perabaan hanya diperbolehkan satu kali dan tidak diperkenankan mengulang perabaan.
Identifikasi sampel mana yang berbeda dengan
memberikan tanda ( √ ) pada kolom di bawah ini:
Kode Sampel Sampel Beda
Komentar : ………………….........................................................................................................
42
Lampiran 2 Lembar kerja uji segitiga seleksi panelis terlatih
LEMBAR KERJA UJI SEGITIGA
Tanggal Pengujian
:
Jenis Sampel
: Tepung beras
Identifikasi Sampel
Kode Sampel
Tepung beras perlakuan I (80 mesh)
P
Tepung beras perlakuan II (100 mesh)
S
Penyajian Booth
Panelis
Kode Sampel
Booth
Panelis
Kode Sampel
I
1, 11
VI
6, 16
II
2, 12
VII
7, 17
III
3,13
VIII
8, 18
IV
4,14
IX
9, 19
V
5, 15
P = 975, S = 973, S = 235 S = 811, P = 761, P = 226 P = 637, P = 382, S = 741 S = 811, P = 761, P = 226 P = 637, P = 382, S = 741 S = 767, S = 894, P = 371 P = 637, P = 382, S = 741 S = 767, S = 894, P = 371 P = 128, S = 972, P = 161 S = 767, S = 894, P = 371 P = 128, S = 972, P = 161 P = 911, S = 427, S = 164 P = 128, S = 972, P = 161 P = 911, S = 427, S = 164 S = 461, P = 991, P = 792
X
10, 20
P = 911, S = 427, S = 164 S = 461, P = 991, P = 792 P = 256, P = 194, S = 526 S = 461, P = 991, P = 792 P = 256, P = 194, S = 526 S = 595, S = 633, P = 222 P = 256, P = 194, S = 526 S = 595, S = 633, P = 222 P = 695, S = 242, P = 879 S = 595, S = 633, P = 222 P = 695, S = 242, P = 879 P = 975, S = 973, S = 235 P = 695, S = 242, P = 879 P = 975, S = 973, S = 235 S = 811, P = 761, P = 226
43
Lampiran 3 Formulir uji rating skala garis dalam penentuan kadar air kritis
UJI RATING
Nama : Tanggal: Produk : Tepung lidah buaya Instruksi : Dihadapan Anda terdapat 5 (lima) sampel tepung lidah buaya. Nilailah tingkat penggumpalan masing-masing sampel tepung tersebut dan apakah sampel masih dapat diterima/ditolak dari segi kenampakan serta penggumpalannya. Penilaian tingkat penggumpalan diberikan dengan memberikan tanda silang (X) pada garis horizontal. Ujung kiri garis horizontal adalah Tidak Menggumpal dan ujung kanan adalah Menggumpal. Kemudian berilah tanda silang (X) pada kotak yang disediakan untuk menentukan sampel tersebut diterima/ditolak dari segi kenampakan dan tingkat penggumpalan. Sampel 862 Tidak Menggumpal Sampel diterima
Menggumpal Sampel ditolak
Sampel 245 Tidak Menggumpal Sampel diterima
Menggumpal Sampel ditolak
Sampel 458 Tidak Menggumpal Sampel diterima
Menggumpal Sampel ditolak
Sampel 396 Tidak Menggumpal Sampel diterima
Menggumpal Sampel ditolak
Sampel 522 Tidak Menggumpal Sampel diterima
Menggumpal Sampel ditolak
44
Lampiran 4 Hasil penilaian panelis uji segitiga
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Jumlah
Set 1 1 0 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 1 9
Set 2 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 1 0 1 0 13
Set 3 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 0 0 0 1 1 1 1 0 16
Jumlah 3 2 2 2 3 3 1 1 0 2 2 1 1 0 3 2 0 2 0 1 2 2 2 1 38
Keterangan: 1 = Jawaban benar 0 = Jawaban salah = Panelis potensial Panelis potensial adalah panelis yang dapat menjawab 50% benar dari semua uji yang disajikan atau menjawab benar ≥ 2
45
Lampiran 5 Kadar air awal tepung lidah buaya
Ulangan W1 (g)
W2 (g)
W3 (g)
Kadar air (%bb)
Ratarata
SD
Kadar air (%bk)
Ratarata
SD
1.8827
0.01
1.9084
1.9188
0.01
1
4.2416
3.0117
7.1969
1.8727
2
3.4913
3.0153
6.4495
1.8926
1.9291
Lampiran 6 Kadar air dalam penentuan kurva sorpsi isotermis tepung lidah buaya
No.
RH (%)
Ulangan
A
NaOH (6.8)
B
MgCl2 (32.4)
C
K2CO3 (43.2)
D
NaBr (56.0)
E
NaCl (75.1)
F
KCl (83.6)
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
W1 (g) 3.8513 2.1068 4.2078 4.2888 3.2665 3.8749 5.3123 2.4940 2.2239 2.0976 5.1098 4.4470
W2 (g) 4.9754 5.0267 4.9197 4.9356 4.9598 4.9544 4.9908 4.9779 5.2239 5.2473 5.0322 5.0352
W3 (g) 8.7372 7.0418 9.0357 9.1325 8.1333 8.7297 10.1852 7.3607 7.3251 7.2062 10.0028 9.3310
Kadar air (%bk) 1.8318 1.8582 1.9014 1.8973 1.9109 2.0516 2.4195 2.2849 2.4053 2.7150 2.8449 3.0958
Rataan
SD
1.8450
0.02
1.8994
0.00
1.9812
0.10
2.3522
0.10
2.5602
0.22
2.9704
0.18
46
Lampiran 7 Hasil pengukuran kadar air kritis tepung lidah buaya
0 Jam Ulangan 1 2
W1 (g) 4.7958 4.6984
W2 (g) 2.1437 2.1086
Cawan + sampel basah (g) 6.9395 6.8070
W3 (g)
Kadar air (%bk)
6.9076 6.7756
1.5106 1.5117
Rata-rata = SD =
1.5111 0
12 Jam Ulangan 1 2
W1 (g) 2.5267 5.3434
W2 (g) 2.1223 2.1405
Cawan + sampel basah (g) 4.6486 7.4724
W3 (g) 4.6148 7.4464 Rata-rata = SD =
Kadar air (%bk) 1.6379 1.7832 1.7105 0.10
24 Jam Ulangan 1 2
W1 (g) 2.1555 2.1898
W2 (g) 2.0206 2.1076
Cawan + sampel basah (g) 4.1755 4.2976
W3 (g) 4.1361 4.2569 Rata-rata = SD =
Kadar air (%bk) 2.0196 1.9593 1.9894 0.04
36 Jam Ulangan 1 2
W1 (g) 2.2812 2.1273
W2 (g) 2.0967 2.1018
Cawan + sampel basah (g) 4.3770 4.2279
W3 (g) 4.3350 4.1836 Rata-rata = SD =
Kadar air (%bk) 2.0888 2.2127 2.1508 0.09
48 Jam Ulangan 1 2
W1 (g) 2.1861 2.2208
W2 (g) 2.1353 2.0936
Cawan + sampel basah (g) 4.3214 4.3137
Keterangan: W1 = Bobot cawan kosong (g) W2 = Bobot sampel awal (g) W3 = Bobot cawan + sampel setelah dikeringkan (g)
W3 (g) 4.2716 4.2618 Rata-rata = SD =
Kadar air (%bk) 2.3879 2.5772 2.4825 0.13
47
Lampiran 8 Hasil uji rating kadar air kritis
Tabel 14 Data respon uji rating skala garis (dalam cm) Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 Jumlah Rata-rata
862 2.9 3.6 6.3 2.0 4.9 3.0 4.3 7.6 34.6 4.3
245 9.3 7.2 4.9 8.8 7.0 5.5 4.5 9.0 56.2 7.0
458 11.7 9.3 9.7 10.5 7.5 5.9 7.3 10.1 72.0 9.0
396 10.8 8.6 8.2 9.9 7.6 7.0 12.6 12.6 77.3 9.7
522 13.0 9.9 10.0 11.5 9.2 10.4 12.4 12.5 88.9 11.1
Keterangan: 862 = Sampel pada RH 97.1% selama 0 jam 245 = Sampel pada RH 97.1% selama 12 jam 458 = Sampel pada RH 97.1% selama 24 jam 396 = Sampel pada RH 97.1% selama 36 jam 522 = Sampel pada RH 97.1% selama 48 jam
Tabel 15 Data respon uji rating skala garis (dalam %) Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 Jumlah Rata-rata
862 19.33 24.00 42.00 13.33 32.67 20.00 28.67 50.67 230.67 28.83
245 62.00 48.00 32.67 58.67 46.67 36.67 30.00 60.00 374.67 46.83
458 78.00 62.00 64.67 70.00 50.00 39.33 48.67 67.33 480.00 60.00
Keterangan: % = Data penilaian panelis dalam cm x 100% 15 cm
396 72.00 57.33 54.67 66.00 50.67 46.67 84.00 84.00 515.33 64.42
522 86.67 66.00 66.67 76.67 61.33 69.33 82.67 83.33 592.67 74.08
48
Tabel 16 Data respon penerimaan/penolakan uji rating skala garis Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 Jumlah Rata-rata
862 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0.125
Keterangan: 0 = Sampel diterima 1 = Sampel ditolak
245 1 0 1 1 0 0 0 0 3 0.375
458 1 1 1 1 1 0 0 0 5 0.625
396 1 1 1 1 1 0 1 1 7 0.875
522 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1
49
Lampiran 9 Hasil uji ANOVA penilaian uji rating kadar air kritis tepung lidah buaya dengan program IBM SPSS Statistics Version 20 Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors Value Label PANELIS
SAMPEL
N
1
5
2
5
3
5
4
5
5
5
6
5
7
5
8
5
1
862
8
2
245
8
3
458
8
4
396
8
5
522
8
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:SCORE Type III Sum of Source
Squares
Model
132604.064
df
Mean Square
F
Sig.
a
12
11050.339
103.356
.000
PANELIS
2500.715
7
357.245
3.341
.010
SAMPEL
9832.647
4
2458.162
22.992
.000
Error
2993.629
28
106.915
Total
135597.694
40
a. R Squared = .978 (Adjusted R Squared = .968)
50
Post Hoc Tests SCORE a,,b
Duncan
Subset
SAMPE L
N
1
2
3
4
862
8
28.8338
245
8
458
8
60.0000
396
8
64.4175
522
8
Sig.
46.8350
74.0838 1.000
1.000
.400
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 106.915. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.000. b. Alpha = 0.05.
64.4175
.072
51
Lampiran 10 Data perubahan kadar air tepung lidah buaya dalam berbagai kelembaban relatif (RH)
No. A B C D E F G*
RH (%)
Ulangan
Cawan kosong (g)
Cawan + Sampel (g)
Berat sampel awal (g)
Hari 1 (25/7)
Hari 2 (26/7)
Hari 3 (27/7)
Hari 4 (30/7)
Hari 5 (31/7)
Hari 6 (1/8)
Hari 7 (2/8)
Hari 8 (3/8)
Hari 9 (4/8)
NaOH (6.8)
1
3.8513
8.8677
5.0167
8.8415
8.8364
8.8323
8.8277
8.8284
8.8267
2
2.1068
7.1759
5.0157
7.1299
7.1290
7.1287
7.1258
7.1322
7.1335
MgCl2 (32.4)
1
4.2078
9.2119
5.0045
9.1396
9.1370
9.1323
9.1294
9.1282
9.1275
2
4.2888
9.3082
5.0195
9.2330
9.2311
9.2278
9.2268
9.2248
9.2244
K2CO3 (43.2)
1
3.2665
8.2706
5.0049
8.2313
8.2294
8.2293
8.2277
8.2263
2
3.8749
8.8761
5.0005
8.8340
8.8336
8.8330
8.8296
8.8293
NaBr (56.0)
1
5.3123
10.3297
5.0175
10.3050
10.3042
10.3033
10.3027
10.3031
2
2.4940
7.5046
5.0123
7.4770
7.4768
7.4752
7.4722
7.4719
NaCl (75.1)
1
2.2239
7.2237
5.0005
7.2956
7.3262
7.3525
7.4229
7.4319
7.4410
7.4478
2
2.0976
7.1134
5.0171
7.1768
7.2123
7.2381
7.3150
7.3266
7.3371
7.3449
KCl (83.6)
1
5.1098
10.1145
5.0048
10.1241
10.1321
10.1342
10.1355
10.1387
10.1409
10.1420
2
4.4470
9.4594
5.0123
9.4645
9.4698
9.4751
9.4788
9.4803
9.4818
9.4822
K2SO4 (97.1)
1
2.2061
7.2201
5.0144
7.3764
7.4948
7.6035
7.9418
8.0203
8.1044
8.1792
8.2633
8.2879
2
2.1028
7.1176
5.0150
7.2776
7.4041
7.5137
7.7491
7.9232
8.0532
8.0768
8.0998
8.1188
*Tidak tercapai kadar air kesetimbangan
52
Lampiran 11 Contoh perhitungan mencari konstanta model sorpsi isotermis
Persamaan Oswin ln Me = ln P(1) + P(2) ln[aw/(1-aw)] Y = ln Me
a = lnP(1)
X = ln[aw/(1-aw)]
b = P(2)
Tabel 16 Perhitungan konstanta persamaan model Oswin dan nilai MRD aw
Me
0.068 0.324 0.432 0.560 0.751 0.836
1.8450 1.8994 1.9812 2.3522 2.5602 2.9704
ln[aw/(1-aw)] = ln Me = Y X -2.6178 0.6125 -0.7354 0.6415 -0.2737 0.6837 0.2412 0.8554 1.1040 0.9401 1.6288 1.0887
Y 0.5188 0.7324 0.7848 0.8433 0.9412 1.0008
Me = eY
[Mi-Mp/Mi]
1.6800 2.0801 2.1920 2.3240 2.5631 2.7204 Jumlah MRD
1. Dari nilai X dan Y dibuat kurva untuk mencari persamaan regresi liniernya sehingga diperoleh persamaan y = 0.113x + 0.8159. 2. Nilai-nilai X (ln[aw/(1-aw)]) dimasukkan ke dalam persamaan regresi linier di atas untuk mendapatkan nilai Y (ln Me). Setelah itu nilai Y dikonversi untuk mendapatkan nilai kadar air kesetimbangan (Me = eY). 3. Dari nilai aktivitas air (aw) dan Me dibuat kurva sehingga diperoleh persamaan model Oswin :ln Me = 1.617 + 1.2985 ln[aw/(1-aw)]
0.0894 -0.0951 -0.1064 0.0120 -0.0011 0.0842 -0.0171 -0.2842
53
1.2000 1.0000 0.8000 y = 0.113x + 0.8159 R² = 0.8045
0.6000 0.4000 0.2000
-3.0000
-2.0000
0.0000 -1.0000 0.0000
1.0000
2.0000
Gambar 10 Kurva pasangan nilai X dan Y dan persamaan regresi liniernya 3.00 Kadar air (% b/k)
2.50 2.00
y = 1.2985x + 1.617 R² = 0.9938
1.50 1.00 0.50 0.00 0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 Aktivitas air
Gambar 11 Kurva sorpsi isotermis model persamaan Oswin
54
Lampiran 12 Hasil perhitungan bobot padatan per kemasan (Ws)
Kemasan kecil 15 gram Ulangan 1
% solid 34.3832
Ws (gram) 5.1575
2
34.1402
5.1210
Rata-rata
34.2617
5.1393
Contoh perhitungan: (
(
))
% solid = (1 – (1.9084/1+1.9084))x 100% = 34.3832 % Keterangan: mi = kadar air awal (% b/k) Ws = 15 gram x (34.3832/100) = 5.1575 gram
W = bobot sampel per kemasan (gram) Ws = bobot padatan per kemasan (gram)
Lampiran 13 Hasil perhitungan luas kemasan (A)
Kemasan kecil 15 gram Ulangan
Panjang (cm)
Lebar (cm)
A (cm2) x 2
A (m2)
1
6.48
6.49
84.1104
0.0084
2
6.50
6.49
84.3700
0.0084
84.2402
0.0084
Rata-rata Contoh perhitungan: A = panjang kemasan x lebar kemasan x 2 = 6.50 cm x 6.49 cm x 2 = 84.3700 cm2 A = 0.0084 m2
55
Lampiran 14 Hasil pengukuran aktivitas air tepung lidah buaya
Sampel 1 2 3 4 5
Kode Sampel A1 A2 A3 A4 A5 Rata-rata SD
Suhu (oC) 29.9 29.9 29.9 30.1 30.2 30.0 0.13
Nilai aw 0.254 0.250 0.243 0.247 0.251 0.249 0.004
Lampiran 15 Perhitungan umur simpan tepung lidah buaya
Contoh perhitungan pada umur simpan dengan plastik LDPE RH 75%
(
)
( )(
)(
)
(
) (
)(
)
Keterangan: t
= umur simpan produk (hari)
Me = kadar air kesetimbangan produk (g H2O/g padatan) Mi
= kadar air awal produk (g H2O/g padatan)
Mc = kadar air kritis produk (g H2O/g padatan) k/x = konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg) A
= luas permukaan kemasan (m2)
Ws = berat kering produk dalam kemasan (g) Po
= tekanan uap jenuh (mmHg)
b
= kemiringan kurva sorpsi isotermis (yang diasumsikan linier antara Mi dan Mc)
56
Lampiran 16 Rekapitulasi faktor-faktor yang digunakan dalam perhitungan umur simpan tepung lidah buaya
Kemasan LDPE
OPP
Metalized plastic
Mi (g H2O/g padatan) 1.9084 1,9291 1,9084 1,9291 1,9084 1,9291
Mc (g H2O/g padatan) 2,2286 2,3489 2,2286 2,3489 2,2286 2,3489
Me (g H2O/g padatan) 2,5048 2,6713 2,5624 2,7427 2,6201 2,8141
k/x (g/m2.hari.mm Hg) 0,5000 0,5000 0,5000 0,5000 0,5000 0,5000
85 85
1,9084 1,9291 1,9084 1,9291 1,9084 1,9291
2,2286 2,3489 2,2286 2,3489 2,2286 2,3489
2,5048 2,6713 2,5624 2,7427 2,6201 2,8141
1
75
1,9084
2,2286
2
75
1,9291
1 2
80 80
1 2
85 85
Ulangan
RH (%)
1 2
75 75
1 2
80 80
1 2
85 85
1 2 1 2
75 75 80 80
1 2
A (m2)
Ws (gram)
Po (mmHg)
b (g H2O/g bk)
Umur Simpan (hari)
0,0084 0,0084 0,0084 0,0084 0,0084 0,0084
5,1575 5,1210 5,1575 5,1210 5,1575 5,1210
31,8240 31,8240 31,8240 31,8240 31,8240 31,8240
1,2451 1,2451 1,2451 1,2451 1,2451 1,2451
37 40 32 35 29 31
0,0740 0,0740 0,0740 0,0740 0,0740 0,0740
0,0084 0,0084 0,0084 0,0084 0,0084 0,0084
5,1575 5,1210 5,1575 5,1210 5,1575 5,1210
31,8240 31,8240 31,8240 31,8240 31,8240 31,8240
1,2451 1,2451 1,2451 1,2451 1,2451 1,2451
250 269 218 234 194 207
2,5048
0,0090
0,0084
5,1575
31,8240
1,2451
2055
2,3489
2,6713
0,0090
0,0084
5,1210
31,8240
1,2451
2210
1,9084 1,9291
2,2286 2,3489
2,5624 2,7427
0,0090 0,0090
0,0084 0,0084
5,1575 5,1210
31,8240 31,8240
1,2451 1,2451
1795 1923
1,9084 1,9291
2,2286 2,3489
2,6201 2,8141
0,0090 0,0090
0,0084 0,0084
5,1575 5,1210
31,8240 31,8240
1,2451 1,2451
1595 1704
57
Lampiran 17 Hasil uji ANOVA pengaruh jenis kemasan dan RH penyimpanan terhadap umur simpan tepung lidah buaya dengan program IBM SPSS Statistics Version 20
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors Value Label Kemasan
N
1
LDPE
6
2
OPP
6
3
Metalized
6
plastic RH
1
75%
6
2
80%
6
3
85%
6
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Umur_simpan Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
8.710E7
9
9677489.500
817.881
.000
Kemasan
4.940E7
2
2.470E7
2087.701
.000
RH
405701.778
2
202850.889
17.144
.001
Kemasan * RH
544274.222
4
136068.556
11.500
.001
Error
106491.500
9
11832.389
Total
8.720E7
18
a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)
58
Post Hoc Tests Kemasan Homogeneous Subsets Umur_simpan a,,b
Duncan
Subset Kemasan
N
1
LDPE
6
OPP
6
Metalized plastic
6
2
3
67.67 457.67 3760.83
Sig.
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 11832.389. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b. Alpha = 0.05.
RH Homogeneous Subsets Umur_simpan a,,b
Duncan
Subset RH
N
1
85%
6
80%
6
75%
6
2
3
1253.50
Sig.
1412.50 1620.17 1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 11832.389. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b. Alpha = 0.05.
1.000