ISOLASI DAN IDENTIFIKASI MIKROORGANISME INDIGENUS DAN APLIKASINYA PADA FERMENTASI JAGUNG SERTA KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG YANG DIHASILKAN
RAHMAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: Isolasi dan Identifikasi Mikroorganisme Indigenus dan Aplikasinya pada Fermentasi Jagung serta Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung yang Dihasilkan, adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Rahmawati NIM F261080031
RINGKASAN RAHMAWATI. Isolasi dan Identifikasi Mikroorganisme Indigenus dan Aplikasinya pada Fermentasi Jagung serta Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung yang Dihasilkan. Dibimbing oleh PURWIYATNO HARIYADI, DEDI FARDIAZ, dan RATIH DEWANTI-HARIYADI. Selain beras, jagung merupakan sumber karbohidrat penting di Indonesia. Jagung putih lokal, sedang dikembangkan sebagai varietas unggulan nasional, antara lain varietas Anoman 1 (amilosa tinggi) dan Pulut Harapan (amilosa rendah). Tepung dan/atau pati jagung alami memiliki sifat fisikokimia yang kurang diinginkan, khususnya sifat retrogradasi, sineresis dan kestabilan pasta yang rendah pada suhu tinggi dan pH rendah, maka perlu dimodifikasi. Secara tradisional tepung jagung dibuat dengan merendam kernel jagung dalam air. Selama perendaman terjadi fermentasi spontan yang menyebabkan perubahan sifat fisikokimia tepung yang dihasilkan, namun tidak konsisten. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi mikroorganisme yang berperan pada proses fermentasi spontan jagung, melakukan proses fermentasi dengan penambahan kultur starter dan mempelajari sifat fisikokimia tepung jagung yang dihasilkan. Ruang lingkup penelitian: (1) mengisolasi dan mengidentifikasi mikroba yang berperan selama fermentasi spontan grits jagung putih lokal varietas Anoman 1. Pengamatan pada 0, 4, 12, 24, 36, 48, dan 72 jam;(2) mengembangkan kultur starter hasil isolasi dan identifikasi sebagai kultur starter; (3) melakukan fermentasi dengan penambahan kultur starter (CC dan AC) dan kontrol (SF). Perlakuan CC: menambah kultur starter lengkap mikroba non-patogen hasil isolasi dan identifikasi pada 0 jam fermentasi masing-masing mikroba sebanyak 106 koloni/mL; perlakuan AC: CC ditambah kultur mikroba amilolitik pada 16 jam fermentasi masing-masing sebanyak 106 koloni/mL, dan SF: fermentasi tanpa penambahan kultur starter; (4) mempelajari sifat fisikokimia tepung jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan hasil fermentasi dengan penambahan kultur starter. Pengamatan pada 0, 36, 48 dan 72 jam fermentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada fermentasi spontan grits jagung varietas Anoman 1 teridentifikasi 16 jenis mikroba yang terdiri dari 8 spesies kapang (Penicillium chrysogenum, Penicillium citrinum, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Rhizopus stolonifer, Rhizopus oryzae, Fusarium oxysporum, Acremonium strictum), 3 spesies khamir (Candida famata, Kodamaea ohmeri, Candida krusei/incospicua) dan 5 spesies Bakteri Asam Lakat, BAL (Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, Lactobacillus plantarum1b, dan Lactobacillus paracasei ssp paracasei3). Dari 8 spesies kapang teridentifikasi, terdapat 1 spesies kapang penghasil aflatoksin, yaitu Aspergillus flavus. Sementara itu, spesies khamir dan BAL yang teridentifikasi semuanya bersifat non-toksigenik. Karena itu maka Aspergillus flavus tidak digunakan sebagai kultur starter. Dari semua jenis mikroba non-toksigenik yang teridentifikasi, terdapat tiga (3) spesies kapang (Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum,) dan satu (1) spesies khamir (Candida famata) yang bersifat amilolitik, sedangkan semua BAL yang teridentifikasi tidak bersifat amilolitik. Aktivitas amilase selama proses fermentasi spontan maksimal pada 12 jam fermentasi dan setelah itu aktivitas cenderung menurun. Untuk mempelajari pengaruh aktivitas amilase selama fermentasi terhadap sifat tepung yang dihasilkan
maka kultur mikroba amilolitik ditambahkan setelah 16 jam fermentasi, yaitu pada saat aktivitasnya sudah mulai menurun. Secara umum dapat disimpulkan bahwa proses fermentasi menyebabkan perubahan sifat fisikokimia tepung jagung. Fermentasi dengan penambahan kultur starter juga berpotensi memodifikasi sifat fisikokimia tepung secara berbeda, jika dibandingkan dengan tepung jagung yang dihasilkan dari proses fermentasi spontan (SF). Fermentasi dengan penambahan kultur starter, baik (1) kultur lengkap, yaitu kultur mikroba yang terdiri dari semua jenis mikroba yang teridentifikasi, kecuali Aspergillus flavus (CC) dan (2) fermentasi CC dengan penambahan kultur amilolitik (kultur yang terdiri dari kapang dan khamir amilolitik) setelah 16 jam (fermentasi AC), dapat meningkatkan jumlah kapang dan khamir pada awal proses femrntasi sampai pada 72 jam fermentasi, dibandingkan jumlah kapang dan khamir pada fermentasi spontan (SF), namun penambahan kultur starter ini hanya meningkatkan jumlah BAL di awal fermentasi dan tidak memengaruhi jumlah BAL setelah 36 jam sampai akhir fermentasi. Disimpulkan bahwa secara spontan, pertumbuhan BAL memang sudah cukup tinggi sehingga penambahan BAL pada kultur starter tidak berpengaruh pada jumlah BAL selama fermentasi. Jumlah BAL ini mempunyai korelasi dengan nilai pH air perendam dan pH tepung jagung varietas yang dihasilkan, sehingga memengaruhi beberapa sifat fisikokimianya. Proses fermentasi menurunkan kadar protein, lemak, abu dan serat kasar tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan. Aktivitas enzim selama fermentasi dapat menurunkan kandungan amilosa pada tepung Anoman 1, namun fermentasi 36CC dan 48CC cenderung meningkatkan kandungan amilosa pada tepung jagung varietas Pulut Harapan yang dihasilkan. Proses fermentasi 72 jam memengaruhi sifat pasting tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan yang dihasilkan, yaitu meningkatkan viskositas puncak, breakdown, akhir, dan setback. Perlakuan AC menghasilkan viskositas puncak, breakdown, akhir, dan setback yang lebih rendah pada tepung Anoman 1 dibandingkan U, SF dan CC. Pada tepung Pulut Harapan menghasilkan viskositas puncak, breakdown, akhir, dan setback yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan U, SF dan CC. Perlakuan AC dapat meningkatkan kestabilan pasta tepung Anoman 1 pada saat pendinginan, namun menurunkannya pada tepung Pulut Harapan, kecuali tepung Pulut Harapan perlakuan 72AC, yaitu mempunyai viskositas akhir dan setback yang lebih rendah dari 72SF dan 72CC. Perlakuan 72AC meningkatkan kestabilan pasta tepung Anoman 1 pada saat pemanasan dan pendinginan, namun menurunkan kestabilan pasta tepung Pulut Harapan pada saat pemanasan dan pendinginan hingga 48 jam. Pada 72 jam fermentasi perlakuan 72AC meningkatkan kestabilan pasta tepung pada saat pendinginan. Proses fermentasi memengaruhi sifat fisik tepung jagung yang dihasilkan. Penambahan kultur starter sampai 72 jam meningkatkan kekuatan gel tepung Anoman 1, yaitu kekuatan gel tepung AC lebih besar dari CC yang lebih besar dari SF. Kekerasan gel tepung Anoman 1 lebih tinggi dibandingkan Pulut Harapan. Waktu fermentasi meningkatkan kelengketan gel, namun penambahan kultur starter CC dan AC menurunkan kelengketan gel tepung Pulut Harapan. Penambahan kultur AC menurunkan kelengketan gel lebih besar dibandingkan CC. Waktu fermentasi meningkatkan derajat putih kedua varietas jagung dengan menurunkan kandungan protein, meningkatkan kapasitas penyerapan air tepung Anoman 1 dan menurunkan kapasitas penyerapan minyak ke dua varietas jagung. Kata kunci: isolasi, identifikasi, mikroorganisme indigenus, sifat fisikokimia
SUMMARY RAHMAWATI. Isolation and Identification of indigenous Microorganisms and Its Application in Fermented Corn and Characterization of Physicochemical Properties of the Flour. Under the supervision of PURWIYATNO HARIYADI as the chairman, DEDI FARDIAZ, and RATIH DEWANTI-HARIYADI as advisory committe members. Corn is an important carbohydrate source in Indonesia. Local white corn is currently being developed including Anoman 1 (high amylose) and Pulut Harapan (low amylose) varieties. However, the utilization of corn flours and/or starches in native form have a less desirable physicochemical properties, especially with regards to retrogradation, syneresis, and low stability of pasta at high temperature and low pH properties. Consequently, there is a need to modify flour properties to increase the utilization. Traditionally, corn flour is made by soaking corn kernels in water. The spontaneous fermentation occurred during soaking and affected the physicochemical properties, but it’s difficult to achieve a consistent product. The purpose of this study to identify microorganisms that play a role in the fermentation process of corn, as well as the process of fermentation with the addition of a starter culture and studied the physicochemical properties of corn flour produced. The research was conducted in : (1) to isolate and identify microorganims which the role play during spontaneous fermentation of white local corn of Anoman 1 variety; (2) to design a starter culture of the microorganisms isolated to use for a controlled fermentation; (3) do the fermentation by adding a starter culture and characterize physicochemical properties of corn flour produced. Treatments consisted of: Spontaneous fermentation, i.e. water soaking of corn grits (as a control, SF); and fermentation with added starter culture containing microbes previously isolated without toxigenic microbe (CC); and (AC) fermentation of (CC) with additional amylolytic microbes after 16 hours of fermentation. The number of each microorganisms that added were 106 CFU / mL; (4) to study the physicochemical properties of corn flours of Anoman1 and Pulut Harapan varieties produced. Observations were done at 0, 36, 48, and 72 hours fermentation. The results showed that there were 16 microorganisms were identified included 8 species of molds (Penicillium chrysogenum, Penicillium citrinum, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Rhizopus stolonifer, Rhizopus oryzae, Fusarium oxysporum, Acremonium strictum), 3 species of yeasts (Candida famata, Kodamaea ohmeri, Candida krusei/incospicua), and 5 species of lactic acid bacteria, LAB (Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, L. brevis1, L. plantarum1b, and L. paracasei ssp paracasei3). Four molds and one yeast were amylolytic while none of the lactid acid bacteria (LAB). One from 8 species of molds identified was producing aflatoxin i.e. Aspergillus flavus. While all of yeasts and LAB species identified was nontoxigenic. So, the Aspergillus flavus was not used as a starter culture. All of nontoxigenic microbes identified, there were three (3) species of mold (Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum) and one (1) species of yeast (Candida famata) that were amylolytic, while all of LAB identified were nonamylolytic. The amylase activity changed during spontaneous fermentation (SF), where the activity was a maximum at 12 hours of fermentation. After that activity tended to decrease up to 72 hours of fermentation. To study the influenced of amylase activity
to the flour during fermentation, was made the amylolytic culture that added after 16 hours fermentation to increase the activity . In general it can be concluded that the fermentation process caused the changes in the physicochemical properties of corn flour. Fermentation with the addition of a starter culture, either (1) a complete culture, i.e. microorgaisms cultures consisting of all types of microbes were identified, except Aspergillus flavus (CC) and (2) CC fermentation with the addition of amylolytic culture (culture consisting of molds and yeast amylolytic ) after 16 hours fermentation (AC), increased the number of molds and yeasts in the beginning process of fermentation up on 72 hours of fermentation, compared to the number of molds and yeasts in spontaneous fermentation (SF), but the addition of a starter culture is only increasing the number of LAB at the beginning of fermentation and did not after 36 hours until the end of fermentation. Concluded that spontaneously, LAB growth is already high enough so that the addition of LAB starter cultures had no effect on the number of LAB during fermentation. The number of BAL correlated with the pH value of water and the pH of corn flours produced, thus affecting some physicochemical properties The fermentation process caused to reduce protein, fat, ash and crude fiber contain from white corn of flour Anoman 1 and Pulut Harapan varieties. Enzyme activity during the fermentation decreased in amylose content of Anoman 1 four, but the 36CC fermentation and 48CC tended to increase the amylose content of Pulut Harapan flour. The 72 hours fermentation process affected the pasting properties of white corn flour of Anoman 1 dan Pulut Harapan varieties resulted, i.e. increased the peak, breakdown, final, and setback viscosities. AC resulted in corn flour of Anoman I (high amylose) with lower values of peak (PV), breakdown (BV), final (FV), and setback viscosities (SV) than U, SF and CC. While for corn flour of Pulut Harapan variety (high amylopectin), AC fermentation resulted in flour with higher value of PV, BV, FV, and SV than U, SF and CC. AC treatment could improve the stability of pastes of flour that contain high amylose (Anoman 1) during cooling, but instead lowers the stability of pastes of flour that contain high amylopectin (Pulut Harapan) when cooled, except the flour of Pulut Harapan that treated 72AC. Pulut Harapan flour that has been treated 72AC resulted the final viscosity and setback viscosity lower than 72SF and 72CC. The 72AC treatment seemed to increase the stability of the pastes containing high amylose starch during heating and cooling, but instead lowers the stability of pastes containing high amylopectin during heating and cooling for up to 48 hours. At 72 hours of fermentation treatments flour paste 72AC improve stability during cooling. The fermentation process affected the physical properties of flour produced, where the addition of a starter culture tended to increase the gel strength of Anoman 1 flour during fermentation where the effect of the gel treatment AC higher than CC that higher than SF. The gel strength of the Anoman 1 flour tended to be higher than Pulut Harapan. It is associated with a high amylose content in starch Anoman 1. Fermentation time tended to increase the stickiness of the gel, but the addition of a starter culture (CC and AC) tended to decrease the stickiness of the gel from Pulut Harapan flour, where the addition of AC treatment resulted a higher reduction than CC. Fermentation time tended to increase the whiteness degree of the two varieties of white flour with the decreased in protein content. Water absorption capacity seemed to increase during fermentation especially Anoman 1 flour and oil absorption capacity tended to decrease during fermentation. Keywords: isolation, identification, microorganisms, physicochemical properties
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI MIKROORGANISME INDIGENUS DAN APLIKASINYA PADA FERMENTASI JAGUNG SERTA KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG YANG DIHASILKAN
RAHMAWATI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Elvira Syamsir, MSi Dr Dra Suliantari, MS Penguji pada Ujian Terbuka: Prof Dr Ir Giyatmi, MSi Dr Ir Didah Nur Faridah, MSi
Judul Disertasi
Nama NIM
: Isolasi dan Identifikasi Mikroorganisme Indigenus dan Aplikasinya pada Fermentasi Jagung serta Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung yang Dihasilkan : Rahmawati : F261080031
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Purwiyatno Hariyadi, MSc Ketua
Prof Dr Ir Dedi Fardiaz, MSc Anggota
Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc Anggota
Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 25 Juli 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang selalu memberi kemudahan dan karunia-Nya kepada penulis sehingga disertasi yang berjudul “Isolasi dan Identifikasi Mikroorganisme Indigenus dan Aplikasinya pada Fermentasi Jagung serta Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung yang Dihasilkan” dapat diselesaikan. Sebagian dari disertasi ini, yaitu artikel dengan judul “Isolation and Identification of Microorganisms during Spontaneous Fermentasion of Maize“ telah diterima untuk dipublikasikan pada jurnal nasional terakreditasi Teknologi dan Industri Pangan 24: 1 tahun 2013 dan satu artikel dengan judul “Pasting Properties Of White Corn Flours of Anoman 1 and Pulut Harapan Varieties as Affected by Fermentation Process” telah disubmit pada jurnal internasional “Starch”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Bapak Prof Dr Ir Purwiyatno Hariyadi, MSc, Prof Dr Ir Dedi Fardiaz, MSc dan Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc selaku komisi pembimbing atas segala bimbingan, arahan, masukan, nasihat, dukungan, serta motivasi kepada penulis sejak penulisan proposal, penelitian hingga penulisan Disertasi ini dapat diselesaikan.
2.
Ibu Dr Ir. Elvira Syamsir, MSi dan ibu Dr Dra Suliantari, MS selaku penguji luar komisi dalam ujian tertutup, serta Prof. Dr. Ir. Giyatmi, MSi dan Dr. Ir. Didah Nur Faridah selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka, yang telah banyak memberikan saran dan masukan untuk kesempurnaan disertasi ini.
3.
Direktur, staf dan karyawan SEAFAST Center IPB serta Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang telah banyak membantu dan memberi kemudahan dalam pelaksanaan penelitian ini.
4.
Rektor Universitas Sahid, Dekan Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Sahid, Kepala LPPM Universitas Sahid atas kesempatan, dukungan dan motivasi yang telah diberikan kepada Penulis untuk mengikuti studi program doktor (S3) di Sekolah Pascasarjana IPB.
5.
Yth. Bapak Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr, selaku Dekan Sekolah Pasca Sarjana; Bapak Dr Ir Sam Herodian, MS, selaku Dekan Fakultas Teknologi Pertanian; serta Ibu Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc selaku Ketua Program Studi Ilmu Pangan di IPB, yang telah memberikan support dan fasilitas kepada penulis selama menuntut ilmu dan menyelesaikan studi pada Program Studi Ilmu Pangan.
6.
Yth. Seluruh staf pengajar pada program Studi Ilmu Pangan IPB atas ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan selama penulis menempuh pendidikan.
7.
Mbak Mar dan Mbak Niar Staf Program Studi Ilmu Pangan yang selalu memberikan pelayanan yang baik dan ramah dalam urusan administrasi. Pak Taufik, mbak Ari, bu Rubiyah, mba Antin, pak Iyas, pak Karna, pak Wandi,
teh Asih, pak Jun, pak Rozak dan para petugas laboratorium baik di SEAFAST maupun Departemen ITP IPB yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan pelayanan, bantuan, dan kerjasama yang baik dalam membantu penulis bekerja di laboratorium selama penelitian. 8.
Sahabat-sahabatku teh Yanti, mba Lula, ceu Nelis, mba Mia, mba Wulan, mba Mega, mba Tuti, pak Mursalin, pak Rindy dan pak Ace mahasiswa Program Doktor Ilmu Pangan Angkatan 2008; mba Imel, mba Zita, mba Tina, mba Ayu, mas Dede, atas kebersamaannya selama hampir 5 tahun dalam suka dan duka, baik di masa perkuliahan, penelitian, maupun penulisan disertasi. Kenangan indah ini tak akan pernah terlupakan.
9.
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dirjen DIKTI) atas dukungan beasiswa BPPS selama menempuh pendidikan enam semester; Departemen Pertanian atas bantuan dana penelitian melalui program KKP3T tahun 2011; Universitas Sahid Jakarta, Yayasan Supersemar dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat atas bantuan dana penelitian Tahun 2013.
10. Kedua orang tuaku (almarhum bapak Drs Tjartim Hasan Wilatjandra dan almarhumah ibu Kusniati), kedua mertuaku (almarhum bapak Drs Arif Farasara dan ibu Purbatin Darmabrata SH), suami (M. Hamzah Farasara Arifin), dan anak-anakku (Aisyah Prikasih Farasara, Fathiyah Prikasih Farasara, M. Raqief Farasara Arifin) atas kesempatan, dukungan, doa, dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2013
Rahmawati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR 1
2
3
4
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
3
Hipotesis
4
Manfaat Penelitian
4
Ruang Lingkup Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
5
Jagung
5
Jagung Putih
8
Tepung Jagung
10
Pati Jagung
10
Fermentasi
13
Sifat Fisik Tepung
27
Sifat Pasting Tepung
29
METODE PENELITIAN
32
Tempat dan Waktu
32
Bahan dan Alat
32
Pelaksanaan Penelitian
32
Metode Analisis
35
Analisa Data
44
ISOLATION AND IDENTIFICATION OF MICROORGANISMS DURING SPONTANEOUS FERMENTATION OF MAIZE
45
Abstract
45
Introduction
47
Material and Methods
47
Results and Discussion
49
Conclusion
57
Acknowledgement
58
References
58
5
6
7
JUMLAH MIKROBA DAN KOMPOSISI KIMIA TEPUNG JAGUNG PUTIH VARIETAS ANOMAN 1 DAN PULUT HARAPAN HASIL FERMENTASI DENGAN PENAMBAHAN KULTUR STARTER
61
Abstrak
61
Pendahuluan
62
Metodologi
63
Hasil dan Pembahasan
66
Simpulan dan Saran
74
Pustaka
74
PASTING PROPERTIES OF WHITE CORN FLOURS OF ANOMAN 1 AND PULUT HARAPAN VARIETIES AS AFFECTED BY FERMENTATION PROCESS
78
Abstract
78
Introduction
78
Materials and Methods
79
Results and Discussion
82
Conclusion
90
References
90
PENGARUH FERMENTASI DENGAN PENAMBAHAN KULTUR STARTER TERHADAP SIFAT FISIK TEPUNG JAGUNG VARIETAS ANOMAN 1 DAN PULUT HARAPAN
93
Abstrak
93
Pendahuluan
94
Bahan dan Metode
95
Hasil dan Pembahasan
98
Simpulan
107
Pustaka
107
8
PEMBAHASAN UMUM
110
9
SIMPULAN DAN SARAN
116
DAFTAR PUSTAKA
119
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
125
DAFTAR TABEL 2.1 Komposisi kimia (%) berbagai varitas jagung secara umum
6
2.2 Komposisi kimia (%) berbagai varitas jagung lokal
6
2.3 Komposisi kimia (%) berdasarkan bagian biji jagung kuning
7
2.4 Kandungan asam hidroksinamat dan total polifenol (mg/kg) jagung putih dan biru 2.5 Kandungan amilosa dan amilopektin (%) beberapa varietas biji jagung 2.6 Sifat amilograf beberapa varitas tepung jagung
9 11
2.7 Beberapa sifat penting amilosa dan amilopektin
12
2.8 Mikroorganisme dalam beberapa produk fermentasi jagung dan singkong 2.9 Perubahan karakteristik mikrobiolgis, fisikokimia, serta sensori selama fermentasi 4.1 Description of molds growing during spontaneous fermentation maize grits 4.2 Description of yeasts isolated during spontaneous fermentation of maize grits 4.3 Identification and characteristics of LABs isolated during spontaneous maize fermentation 5.1 Nilai pH air perendam dan tepung jagung varietas Pulut Harapan dan Anoman 1 hasil fermentasi grits jagung dengan penambahan kultur starter 5.2 Komposisi kimia jagung yang digunakan
16
5.3 Komposisi kimia tepung jagung varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan hasil fermentasi dengan penambahan kultur starter 6.1 Pasting properties profile of maize flour Anoman 1and Pulut Harapan varieties during 36 hours fermentation 6.2 Pasting properties profile of maize flour Anoman 1and Pulut Harapan varieties during 48 hours fermentation 6.3 Pasting properties profile of maize flour Anoman 1and Pulut Harapan varieties during 72 hours fermentation 7.1 Derajat putih (%) tepung jagung hasil fermentasi dengan penambahan kultur starter
69
11
19 51 54 55 67
68
83 84 86 101
DAFTAR GAMBAR 2.1. 2.2. 2.3 2.4 2.5 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 4.1. 4.2. 4.3. 4.4 4.5 4.6 5.1.
5.2.
6.1 6.2.
Potongan melintang jagung Struktur internal dan susunan granula pati Gambar bagian partikel Profil viskositas pati pada proses gelatinisasi Profil gelatinisasi pati dengan Brabender Visco Amilograph atau Rapid Visco Amilograph Bagan alur persiapan grits jagung untuk fermentasi spontan Identifikasi mikroba yang berperan dalam fermentasi jagung secara spontan Bagan alur persiapan grits jagung untuk fermentasi terkendali Bagan alur proses pembuatan tepung jagung dengan fermentasi terkendali Total plate counts (TPC) of microorganisms and the pH changes during spontaneous fermentation of maize Mold growth during spontaneous fermentation of maize An example of microscopic observation of mold slide culture identified as Acremonium strictum Yeast growth during spontaneous fermentation of maize Growth of LABs (log CFU/mL) during spontaneous fermentation of maize Changes in amylase activity during spontaneous fermentation of maize Pola pertumbuhan kapang, khamir, BAL pada grits jagung varietas Anoman 1 (A, C, E) dan Pulut Harapan(B, D, F) berturutturut selama fermentasi. SF: grits jagung dengan fermentasi spontan; CC: grits jagung setelah fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; AC: grits jagung setelah fermentasi CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi Kadar amilosa (%) tepung tepung jagung putih varietas Anoman 1 (A) dan Pulut Harapan (B) selama fermentasi 72 jam. SF: tepung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi spontan; CC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; AC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah fermentasi CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi Pasting properties profile of maize flour Anoman 1 (A) and Pulut harapan (B) varieties during fermentation Pasting profile of corn flour of Anoman 1 (A) and Pulut Harapan (B) varieties made from corn grits after 72 hours of fermentation. U: Unfermented flours; 72SF: flour made from corn grits after 72 hours of spontaneous fermentation, 72CC: flour made from corn grits after 72 hours of fermentation with addition of a complete starter culture; 72AC: flour made from corn grits after 72 hours of
7 12 28 30 30 34 35 36 37 49 50 52 54 56 57 66
72
79 82
fermentation with complete culture and additional amylolytic starter (AC) culture at 16 hours of fermentation 6.3. Pasting profile of corn flour of Anoman 1 (A) and Pulut Harapan (B) varieties made from corn grits after 48 hours of fermentation. U: Unfermented flours; 48SF: flour made from corn grits after 48 hours of spontaneous fermentation, 48CC: flour made from corn grits after 48 hours of fermentation with addition of a complete starter culture; 48AC: flour made from corn grits after 48 hours of fermentation with complete culture and additional amylolytic starter (AC) culture at 16 hours of fermentation 6.4. Pasting profile of corn flour of Anoman 1 (A) and Pulut Harapan (B) varieties made from corn grits after 72 hours of fermentation. U: Unfermented flours; 72SF: flour made from corn grits after 72 hours of spontaneous fermentation, 72CC: flour made from corn grits after 72 hours of fermentation with addition of a complete starter culture; 72AC: flour made from corn grits after 72 hours of fermentation with complete culture and additional amylolytic starter (AC) culture at 16 hours of fermentation 7.1 Kurva analisis profil tekstur 7.2 Profil tekstur tepung tepung jagung putih varietas Anoman 1 (A) dan Pulut Harapan (B) selama fermentasi. 72SF: tepung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi spontan 72 jam; 72CC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah 72 jam fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; 72AC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah 72 jam fermentasi dengan kultur CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi 7.3 Kekerasan gel (gf) tepung jagung putih varietas Anoman 1(A) dan Pulut Harapan (B) selama fermentasi. SF: tepung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi spontan; CC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; AC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah fermentasi CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi 7.4 Kelengketan gel (gf) tepung jagung putih varietas Anoman 1(A) dan Pulut Harapan (B) selama fermentasi. SF: tepung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi spontan; CC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; AC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah fermentasi CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi 7.5 Kapasitas penyerapan air (%) tepung jagung varietas Anoman 1 (A) dan Pulut Harapan (B) selama fermentasi. SF: tepung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi spontan; CC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah 72 jam fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; AC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah 72 jam fermentasi dengan kultur CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi
85
87
95 96
98
100
102
7.6
Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung putih varietas Anoman 1 (A) dan Pulut Harapan (B) selama fermentasi. SF: tepung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi spontan; CC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah 72 jam fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; AC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah 72 jam fermentasi dengan kultur CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi
104
1 1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Jagung merupakan sumber karbohidrat penting setelah beras di Indonesia. Produksi jagung nasional selama tiga tahun terakhir cenderung meningkat, yaitu 18 327 636 ton (2010), 17 643 250 ton (2011), dan 19 377 030 ton (2012) (BPS 2013). Meningkatnya produksi jagung selama 3 tahun terakhir menunjukkan meningkatnya peran jagung menjadi komoditas agribisnis yang semakin penting. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya permintaan produk jagung baik dalam jumlah, ragam, maupun kualitasnya. Pengembangan pembuatan bahan baku jagung untuk industri juga telah dilakukan seperti pembuatan tepung jagung komposit (Susila dan Resmisari 2005), pengembangan jagung sebagai bahan baku bassang (Dharmawidah et al. 2005), pengkajian teknologi produksi dan penyimpanan jagung sosoh pratanak (Tawali 2007), serta pemanfaatan tepung komposit ubi kayu-jagung-terigu pada mi kering (Permana et al. 2010). Pemanfaatan jagung khususnya jagung putih lokal, saat ini sedang dikembangkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian sebagai varietas unggulan nasional. Kelebihan jagung putih antara lain mengandung pati yang tinggi, warna putih yang menarik, dan produktivitasnya lebih tinggi daripada jagung kuning serta lebih tahan terhadap kekeringan (Qanytah & Prastuti 2008). Varietas jagung putih lokal yang sedang dikembangkan sebagai varietas unggulan nasional antara lain varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan. Jagung putih varietas Anoman 1 tergolong jagung tinggi amilosa dengan kadar amilosa biji jagung sebesar 29,92%, sedangkan varietas lokal Pulut termasuk tipe jagung ketan (waxy corn) dengan kandungan amilosa biji jagung rendah, yaitu 4.25% dan amilopektin tinggi, yaitu 95.75% dan (Suarni 2005). Perbedaan kandungan amilosa dan amilopektin diduga mempengaruhi sifat pasting tepung yang dihasilkan. Untuk mengetahui hal itu maka pada penelitian ini digunakan kedua jenis jagung tersebut. Pembuatan tepung jagung umum dilakukan dengan merendam grits jagung terlebih dahulu dalam air, dilanjutkan dengan penirisan, pengeringan dan penggilingan. Selama perendaman terjadi aktivitas mikroba (fermentasi spontan) yang dapat merubah sifat fisikokimia jagung. Selama fermentasi spontan jagung, beberapa peneliti melaporkan bahwa mikroba yang paling banyak ditemukan adalah bakteri asam laktat/BAL (Nago et al. 1998) dan khamir (ben Omer dan Ampe 2000). Peneliti lain menemukan kapang selama proses perendaman baik jagung maupun singkong (Tsav-Wua 2004). Mikroba-mikroba ini memengaruhi sifat produk akhir karena baik kapang, khamir, maupun BAL ada yang bersifat amilolitik, selulolitik, pektinolitik, lipolitik, proteolitik, menghasilkan senyawa ester, asam-asam organik, CO2, etanol, dan asam lemak (Ghosh dan Ray 2011; Tang et al. 2012; Heerd et al. 2012; Omemu et al. 2007; Halm et al. 2004; Li et al. 2008; Bussamara et al. 2010; Mohammed 2007; Wojtatowicz et al. 2001; Mestres et al. 2000). Dari uraian di atas diketahui bahwa kapang, khamir, BAL yang tumbuh dan berperan selama perendaman, mempunyai aktivitas yang
2 beragam. Namun, karena komposisi utama tepung jagung adalah amilosa dan amilopektin, maka pada penelitian ini aktivitas mikroba yang diutamakan adalah yang memiliki sifat amilolitik. Nche et al. (1996) melaporkan selama perendaman biji jagung pada 4 °C, 25 °C dan 60 °C selama 72 jam, meningkatkan total mikroba aerobik pada air perendam setelah 48 jam menjadi >105 CFU/mL pada sampel yang tidak didisinfeksi, < 104 CFU/mL pada sampel yang didisinfeksi; aktivitas enzim endogenus tinggi (alkalin fosfatase; esterase (C 4); esterase lipase (C 8); lipase (C 14); leucin arilamidase; valin arilamidase; sistin arilamidase; tripsin; kimotripsin; asam fosfatase; naftol-AS-BI-fosfohidrolase, α-galaktosidase; β-galaktosidase; βglukuronidase; α-glukosidase; β-glukosidase; N-asetil-β-glukosaminidase; αmannosidase; α-fucosidase); tepung jagung hasil perendaman biji jagung pada suhu 60 °C tidak mempunyai viskositas puncak, sedangkan perendaman pada suhu 60 °C ditambah enzim proteolitik meningkatkan viskositas puncak dan setback tepung yang dihasilkan; semakin rendah pH tepung (pH 6.0, 5.6, dan 3.6) menurunkan viskositas adonan, tidak ada viskositas puncak untuk semua kondisi pH, serta menurunkan viskositas setback; tepung dengan pH 6.0 yang lolos saringan 1.0 mm menunjukkan peningkatan viskositas pasting dan setback. Pada 0, 4, dan 8 jam fermentasi tidak ada viskositas puncak, namun setelah 12 dan 24 jam fermentasi, diperoleh viskositas puncak selama pemanasan pasta. Pada 24 jam fermentasi suhu gelatinisasi lebih rendah, viskositas puncak lebih tinggi, viskositas setback lebih rendah dibandingkan 12 jam fermentasi. Semakin halus ukuran tepung (lolos 4 mm, 1 mm, dan 0.5 mm) semakin menurunkan viskositas puncak dan setback adonan Hasil penelitian Mestres et al. (2000) menunjukkan bahwa tepung jagung yang diperoleh dari kernel jagung yang direndam sampai 14 hari pada suhu ruang memiliki suhu gelatinisasi dan kemampuan mengembang yang lebih tinggi jika dikeringkan dalam oven suhu 40C selama 24 jam dibandingkan yang dikeringkan dengan sinar matahari selama 10 – 12 jam. Mei-Lan et al. (2008) melaporkan bahwa tepung jagung yang diperoleh dari perendaman grits jagung berukuran ≤20 mesh dalam air (1 : 3 w/v) pada suhu ruang (26 – 30 °C), selama 21 hari, mempunyai viskositas puncak meningkat selama fermentasi sampai hari ke 7, selanjutnya menurun sampai hari ke 21, di mana mulai hari ke 19 – 21, viskositas puncak lebih rendah dari kontrol; tren viskositas breakdown sama dengan viskositas puncak; viskositas akhir dan viskositas setback menurun selama fermentasi; kekuatan gel meningkat selama fermentasi; tensile stres, tensile strain, dan tensile work pada mi yang dihasilkan meningkat selama fermentasi serta kekerasan, kelicinan, chewiness, elastisitas, dan penerimaan keseluruhan mi yang dihasilkan meningkat selama fermentasi; kadar aflatoksin pada mi lebih kecil dari 5 µg/kg selama fermentasi. Hasil penelitian Aini (2010) menunjukkan bahwa fermentasi butiran jagung putih varietas Srikandi secara spontan selama 24 jam menurunkan suhu gelatinisasi tepung jagung (76.2 °C) dibandingkan tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (82 °C). Fermentasi sampai 48 jam dengan ukuran partikel semakin besar menghasilkan tepung yang dapat diaplikasikan sebagai gelling agent. Fermentasi spontan sampai 70 jam menurunkan kekuatan gel. Oke dan
3 Bolarinwa (2012) merendam irisan umbi talas setebal 2-2.5 cm dalam air selama 24 dan 48 jam serta mengeringkannya dalam pengering kabinet pada suhu 60 °C selama 24 jam dan menghasilkan tepung dengan kapasitas penyerapan air meningkat selama fermentasi dari 231.29 ±1.4 (0 jam) menjadi 271.11±1.0 (24 jam) dan 287.59±2.1 (48 jam), suhu pasting menurun dari 64.08±0.7 (0 jam) menjadi 63.58±0.5 (24 jam) dan 63.30±0.5 °C (48 jam) serta viskositas puncak menurun dari 178.75±10.8 (0 jam) menjadi 133.08±54 (24 jam) dan 124.46±6 RVU (48 jam) sehingga cocok untuk produk jeli. Lama fermentasi diduga memengaruhi karakter tepung yang dihasilkan, sehingga dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan. Saat ini, fermentasi yang dilakukan umumnya secara spontan, sehingga sulit untuk mendapatkan produk yang konsisten. Untuk mendapatkan produk yang lebih konsisten, maka perlu dilakukan proses fermentasi terkendali, misalnya dengan menambahkan kultur starter. Fermentasi dengan penambahan kultur starter adalah proses fermentasi yang dilakukan dengan menambahkan mikroba yang diketahui jumlah dan jenisnya. Pengendalian juga dapat dilakukan terhadap suhu dan waktu fermentasi serta kondisi lingkungan proses. Untuk mengetahui pengaruh penambahan kultur starter selama proses fermentasi terhadap tepung yang dihasilkan, maka perlu dilakukan karakterisasi sifat fisikokimia tepung jagung yang dihasilkan dengan fermentasi di mana jenis dan jumlah mikroba telah diketahui serta lama fermentasi berbeda.
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisikokimia tepung jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan melalui proses fermentasi dengan penambahan kultur starter dan waktu fermentasi yang berbeda. Tujuan khusus penelitian ini adalah : 1. Mempelajari mikroorganisme yang berperan pada fermentasi spontan grits jagung putih lokal varietas Anoman 1 yang meliputi jumlah, jenis dan pola amilolitik serta pertumbuhan kapang, khamir, BAL; mikroorganisme kaitannya dengan aktivitas amilolitik dan perubahan pH. 2. Mengembangkan kultur starter untuk fermentasi grits jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan dengan penambahan kultur starter. 3. Mempelajari sifat fisiko kimia tepung jagung yang dihasilkan oleh jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan yang difermentasi dengan penambahan kultur starter.
4 Hipotesis
1. Mikroorganisme amilolitik dan non-amilolitik berperan selama fermentasi spontan jagung 2. Penambahan kultur starter pada fermentasi jagung akan mempengaruhi karakteristik fisikokimia tepung jagung yang dihasilkan 3. Lama fermentasi akan mempengaruhi karakteristik fisikokimia tepung jagung yang dihasilkan
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1. Mengetahui informasi tentang mikroorganisme yang berperan selama fermentasi spontan jagung 2. Pembuatan kultur starter untuk fermentasi jagung 3. Memodifikasi proses fermentasi untuk menghasilkan tepung jagung dengan sifat fisikokimia tertentu
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian meliputi (1) mengisolasi dan mengidentifikasi mikroorganisme yang berperan selama fermentasi spontan grits jagung putih lokal varietas Anoman 1 meliputi jumlah, jenis dan pola pertumbuhan (total mikroba; total kapang, khamir, BAL; kapang dan khamir amilolitik) serta perubahan pH; (2) mengembangkan kultur starter (BAL, khamir dan kapang) hasil isolasi dan identifikasi untuk ditambahkan sebagai kultur starter pada fermentasi grits jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan ; (3) melakukan fermentasi dengan penambahan kultur starter dengan dua variasi, yaitu CC dan AC, dengan SF sebagai kontrol; (4) Mempelajari sifat fisikokimia tepung jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan hasil fermentasi dengan penambahan kultur starter.
5 2 TINJAUAN PUSTAKA
Jagung Jagung (Zea mays sp) merupakan salah satu bahan pangan sumber karbohidrat. Di pasaran, jagung ditemui dalam berbagai jenis, antara lain (1) jagung tepung (floury corn/Zea mays L. amylacea Sturt). Dikenal sebagai jagung tepung karena biji jagung tepung hampir seluruhnya terdiri dari endosperma lunak sehingga jenis ini disukai sebagai bahan baku pengolahan maizena; (2) jagung gigi kuda (dent corn/Zea mays indentata). Ciri khas jagung ini adalah adanya lekukan (dent) di puncak biji akibat pengerutan bagian lunak pada saat biji mengering. Perbandingan antara bagian keras dan lunak kira-kira 2:1. Biji jagung berwarna kuning, putih, atau warna lain. Bentuk bijinya seperti baji, terbelah dan bersudut, memanjang dengan berat 1000 biji antara 300-500 gram. Jagung ini banyak tumbuh di Amerika Serikat; (3) jagung mutiara (Flint corn/Zea mays indurata). Jenis jagung ini banyak tumbuh di Indonesia. Bagian keras (horny) jagung mutiara terdapat di bagian atas biji, sedang bagian tepungnya di dalam biji, berdekatan dengan lembaga. Jagung mutiara umumnya lebih keras daripada jagung gigi kuda. Bagian keras jagung gigi kuda berada di daerah sekitar lembaga; (4) jagung berondong (pop corn/Zeamays L. everta Sturt). Jenis jagung ini berukuran kecil dan hampir seluruh endospermnya terdiri dari bagian keras. Ada 2 tipe jagung berondong, yaitu (a) tipe jagung berondong beras, yaitu jagung yang berbiji pipih dan meruncing; dan (b) tipe jagung berondong mutiara, yaitu jagung yang bentuk bijinya bulat dan kompak/mampat. Warna biji jagung berondong umumnya kuning dan putih; dan (5) jagung manis. (sweet corn/ Zea mays L. saccharata). Jagung ini mengandung kadar gula tinggi sehingga di Meksiko digunakan sebagai bahan baku pembuatan sirup. Ciri khas jagung manis adalah berambut putih, di mana biasanya jagung berambut merah. Jagung manis dapat mengalami perubahan rasa menjadi kurang manis bila di sekitar areal pertanaman terdapat jagung biasa; (6) jagung bungkus (Zea mays L. tunicata Sturt). Jagung ini adalah jagung pertama yang ditemui manusia. Jagung ini berbentuk sangat sederhana dan mempunyai daun pembungkus (kelebot) yang membungkus setiap biji jagung. Sebuah kelobot besar membungkus tonglol jagung sehingga bijinya tidak nangkap; (7) jagung ketan (waxy corn/Zea mays L. ceratirta Kulesch). Jenis jagung ini bijinya dan berwarna jernih mengkilat seperti lilin dan sering disebut jagung ketan. Jagung ini mengandung pati yang didominasi oleh amilopektin (71 – 72 %) dengan rupa yang menyerupai tepung tapioka (Muchtadi dan Sugiyono 2002). Komposisi kimia jagung berbagai varietas jagung dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan 2.2. Biji jagung terdiri dari 3 bagian utama, yaitu (1) kulit ari (perikarp); (2) endosperma; dan (3) lembaga (germ). Bagian-bagian biji jagung dapat dilihat pada Gambar 2.1 dan komposisi kimia berdasarkan bagian biji jagung dapat dilihat pada Tabel 2.3.
6 Tabel 2.1. Komposisi kimia (%) berbagai varietas jagung secara umum Varietas Air Abu Protein Serat Lemak Karbohidrat kasar Kristalin
10.5
1.7
10.3
2.2
5.0
70.3
Floury
9.6
1.7
10.7
2.2
5.4
70.4
Starchy
11.2
2.9
9.1
1.8
2.2
72 8
Manis
9.5
1.5
12.9
2.9
3.9
69.3
Pop
10.4
1.7
13.7
2.5
5.7
66.0
1
4.4
75.9
Hitam 12.3 1.2 5.2 Sumber: Cortez dan Wild-Altamirano (1972).
Tabel 2.2. Komposisi kimia (%) berbagai varietas jagung lokal Varietas Air Abu Protein Serat Lemak kasar
Karbohidrat
Srikandi Putih*)
10.08
1.81
9.99
2.99
5.05
73.07
Srikandi Kuning*)
11.03
1.85
9.95
2.97
5.10
72.07
Anoman* )
10.07
1.89
9.71
2.05
4.56
73.77
Lokal pulut*)
11.12
1.99
9.11
3.02
4.97
72.81
Lokal nonpulut*)
10.09
2.01
8.78
3.12
4.92
74.20
Bisi 2**)
9.70
1.00
8.40
2.20
3.60
75.10
6.90
2.60
3.20
76.30
Lamuru * * ) 9.80 1.20 *)Suarni dan Firmansyah (2005). **)Suharyono et al. (2005).
Perikarp merupakan lapisan luar yang tipis dan berfungsi mencegah embrio dari organisme pengganggu dan kehilangan air (Hardman dan Gunsolus 1998). Lapisan ini berubah cepat selama proses pembentukan biji. Pada waktu kariopsis muda, sel-selnya kecil dan tipis, tetapi sel-sel ini berkembang seiring dengan bertambahnya umur biji. Pada umur tertentu lapisan ini membentuk membran yang dikenal sebagai kulit biji atau testa/aleuron yang secara morfologik merupakan bagian endosperma. Bobot lapisan aleuron sekitar 3 % dari keseluruhan biji dan mengandung 10 % protein (Subekti et al. 2007).
7
Gambar 2.1. Potongan melintang jagung (Shukla dan Cheryan 2001) Tabel 2.3. Komposisi kimia berdasarkan bagian biji jagung kuning (%) Komponen Kulit ari Endosperma Lembaga Protein
3.70
8.00
18.40
Lemak
1.00
0.80
33.20
Serat kasar
86.70
2.70
8.80
Abu
0.80
0.30
10.50
Pati
7.30
87.60
8.30
Gula Sumber : Watson (2001)
0.34
0.62
10.80
Endosperma merupakan cadangan makanan dengan jumlah sekitar 75 % bobot biji yang mengandung 90 % pati dan 10 % protein, mineral, minyak, dan lainnya (Hardman dan Gunsolus 1998). Endosperma jagung terdiri dari bagian yang lunak (floury endosperm) dan bagian yang keras (horny endosperm). Pati jagung tersusun dari senyawa anhidroglukosa yang terdiri dari amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan rantai unit D-glukosa yang panjang dan tidak bercabang. Antar rantai digabungkan oleh ikatan α (14). Amilopektin merupakan glukosa dengan rantai bercabang. Residu glukosa yang berdekatan digabungkan oleh ikatan α (14) glikosidik sedangkan pada titik percabangan digabungkan oleh ikatan α (16) glikosidik. Komposisi amilosa dan amilopektin dalam biji jagung terkontrol secara genetik. Secara umum jagung mengandung amilosa 25 – 30 % dan amilopektin 70 – 75 %. Komposisi amilosa : amilopektin berpengaruh terhadap sifat sensori jagung terutama tekstur dan rasanya. Semakin tinggi kandungan amilopektin, tekstur dan rasa jagung semakin lunak, pulen dan enak. Komposisi ini juga berpengaruh terhadap sifat amilografnya (Widowati et al. 2005). Protein endosperma jagung terdiri dari lima fraksi berdasarkan kelarutannya, yaitu (1) albumin (protein larut air) sebanyak 7 %; (2) globulin
8 (protein larut garam) sebanyak 5 %; (3) nitrogen non protein sebanyak 6 %; (4) prolamin atau zein (protein larut alkohol konsentrasi tinggi) sebanyak 52 %; dan (5) glutelin (protein larut alkali) sebanyak 26 %. Sisanya sekitar 5 % adalah residu nitrogen (Suarni dan Widowati 2007). Fraksi zein adalah simpanan protein utama jagung. Zein mengandung leusin yang tinggi, tetapi lisin sangat rendah dan triptofan dalam jumlah terbatas (Patterson et al. 1980). Zein menentukan kekerasan endosperm jagung. Zein dan kandungan resinnya mempunyai kemampuan membentuk lapisan yang kuat, mengkilap, tahan lemak, dan tahan terhadap serangan mikroba. Zein terdiri dari campuran peptida yang berbeda ukuran molekul, kelarutan dan muatannya. Fraksi utama zein adalah α dan β zein. Alfa zein larut dalam 95 % etanol dan β zein larut dalam 60 % etanol, tetapi tidak larut dalam 95 % etanol. Zein ini relatif tidak stabil, segera mengalami pengendapan dan penggumpalam. Alfa zein mengandung histidin, arginin, prolin, dan metionin yang lebih rendah dibandingkan β zein (Shukla dan Cheryan 2001). Zein bersama-sama dengan adanya pati, hidroksipropil metilselulose, gula, garam, yeast dan air dapat membentuk adonan yang bersifat kohesif, ketahanan dan viskoelastisnya mirip gandum ketika dicampur pada saat suhu di atas suhu ruang (misalnya 40°C) karena adonan ini dapat menahan gas (Schober et al. 2010). Fraksi albumin, globulin, dan glutelin mengandung lisin dan triptofan relatif tinggi (Patterson et al. 1980). Lembaga merupakan bagian biji jagung yang cukup besar. Pada biji jagung tipe gigi kuda, lembaga mencapai 11.5 % dari bobot keseluruhan biji. Lembaga ini sendiri sebenarnya tersusun atas dua bagian yaitu skutelum dan poros embrio (embryonic axis). Lembaga terdiri atas plumula, radikel, dan skutelum, yaitu sekitar 10 % dan perikarp 5 %. Perikarp merupakan lapisan luar biji yang dilapisi oleh testa dan lapisan aleuron. Lapisan aleuron mengandung 10 % protein (Wilson 1987). Jagung Putih Jagung putih adalah butiran biji jagung tanpa mengandung pigmen kuning. Secara lengkapnya, endosperm biji jagung putih tidak hanya harus murni putih, tidak mengandung pigmen kuning, tetapi juga tidak berwarna merah atau biru yang disebabkan adanya pigmen antosianin dan coklat atau perubahan warna lain karena adanya komponen flavonoid (Poneleit 2001). Saat ini Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian sedang mengembangkan benih jagung khususnya jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut sebagai varietas unggulan nasional. Kelebihan jagung putih antara lain mengandung polifenol tinggi, pati yang tinggi, dan warna putih yang menarik sedangkan kelemahannya adalah mempunyai biji yang keras sehingga kurang disukai masyarakat (Pozo-Insfran et al. 2006). Kandungan senyawa fenolik pada jagung putih dapat dilihat pada Tabel 2.4. Varietas Anoman 1 merupakan jagung putih lokal yang termasuk tipe gigi kuda-semi gigi kuda. Tipe ini tahan rebah, agak tahan terhadap bulai (Peronosclerosporea maydis) dan tergolong moderat terhadap hawar daun
9 (Helminthosporium Turcicum) serta bercak daun kelabu (Cercosporazeae maydis). Tanaman Anoman 1 rata-rata menghasilkan jagung sebanyak 4.6 ton/ hektar dengan potensi hasil sebesar 5.6 ton/hektar (Balit Tanaman Serealia 2007). Tabel 2.4. Kandungan asam hidroksinamat dan total polifenol (mg/kg) jagung putih dan biru Polifenol Jagung putih Jagung biru Jagung biru (mg/kg bk) Meksiko Amerika (mg/kg bk) (mg/kg bk) Asam protokatekuat derivatif-1a
14.2c+1.2
nd
nd
Asam galat
3.9 +0.4
nd
nd
Asam protokatekuat derivatif-2
4.2+0.6
nd
nd
87.8 +3.4
nd
nd
1.3 +0.4
nd
nd
ndb
21.4+1.5
13.9+0.8
6.6 +0.2
nd
1.3+0.5
Asam ferulik bebas
2484 + 32
202 + 4.6
927 + 15
Asam kumarik-p derivatif-2
221.2 +4.5
0.62 + 0.12
nd
Asam ferulik derivatif-2
88.6 + 5.5
45.9 + 3.4
154 + 8.9
Asam ferulik derivatif-3
769 + 20
78.5 + 2.6
nd
Asam ferulik derivatif-4
172 + 7.5
nd
nd
Asam ferulik derivatif-5
424 + 24
nd
35.5 + 3.1
Asam ferulik derivatif-6
816 + 18
102 + 5.8
121 + 15
Asam kumarik-p derivatif-3
5.3 + 0.85
0.53 + 0.11
57.3 + 8.6
Total fenolik 4899 + 119 451 + 18.1 Keterangan (Pozo-Insfran et al. 2006) : a. Derivatif dihitung sebagai ekuivalen bentuk bebas. b. Senyawa tidak terdeteksi. c. Total asam fenolik yang dihitung dengan HPLC.
1310 + 52
Asam ferulat derivatif-1b Asam kumarik-p acid derivatif-1b Katekin Asam kumarik-p bebas
c
Varietas Pulut termasuk jagung putih tipe jagung ketan (waxy corn). Jagung ini mengandung amilopektin 95.75 % dan amilosa 4.25 % (Suarni 2005). Tanamannya menghasilkan jagung sebanyak 4.0 - 5.0 ton / hektar (Indonesian Cereal Research Institute 2008).
10 Tepung Jagung Pemanfaatan jagung sebagai bahan baku pangan umumnya dikonsumsi sebagai jagung segar, dibuat tepung jagung, minyak atau pati jagung (maizena). Tepung jagung diperoleh dengan menggiling biji jagung menjadi tepung. Pada proses ini terjadi pemisahan perikarp, endosperm, dan lembaga serta proses pengecilan ukuran. Perikarp harus dipisahkan pada proses pembuatan tepung karena kandungan seratnya tinggi sehingga dapat membuat tepung bertekstur kasar. Pada proses pembuatan tepung, dilakukan pemisahan lembaga karena tanpa pemisahan lembaga akan menyebabkan tepung mudah tengik. Tip cap atau bahan pangkal juga harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar. Selain itu partikel tip cap akan terlihat sebagai butir – butir hitam yang mengotori warna tepung. Pada pembuatan tepung, endosperm merupakan bagian yang digiling menjadi tepung. Rooney dan Serna-Saldivar (2003) menggolongkan penggilingan jagung dengan metode kering menjadi tiga metode, yaitu: proses degerming tempering, stone-ground process atau proses nondegerming dan proses pemasakan secara alkali (nixtamalization). Ketiga proses tersebut akan menghasilkan karakter tepung dan nilai gizi yang berbeda. Proses degerming tempering paling umum dilakukan, yaitu dengan cara memisahkan bagian endosperm dan dilanjutkan dengan penggilingan, pengeringan, dan pengayakan. Proses ini menghasilkan tepung jagung berukuran paling halus. Menurut SNI 01-3727-1995, syarat ukuran partikel tepung jagung adalah minimal 99 % lolos ayakan 60 mesh dan minimal 70 % ayakan 80 mesh dengan kadar air maksimal 10 %. Menurut Serna-Saldivar et al. (2001) tepung jagung mempunyai ukuran partikel kurang dari 0.193 mm (lolos ayakan US no 75). Pengembangan pembuatan bahan baku jagung untuk industri juga telah dilakukan seperti pembuatan tepung jagung komposit (Susila dan Resmisari 2005), pengembangan jagung sebagai bahan baku bassang (Dharmawidah et al. 2005), pengkajian teknologi produksi dan penyimpanan jagung sosoh pratanak (Tawali 2007), serta pemanfaatan tepung komposit ubi kayu-jagung-terigu pada mi kering (Permana et al. 2010). Pati Jagung Kandungan utama jagung adalah pati (72 - 73 %), yang terdiri dari amilosa dan amilopektin. Rasio amilosa : amilopektin berkisar antara 25 - 30 % : 70 – 75 %. Pada jagung ketan (waxy maize) kadar amilopektin dapat mencapai 100%. Kandungan amilosa dan amilopektin biji jagung dari beberapa varietas dapat dilihat pada Tabel 2.5. Tingginya kandungan amilopektin pada jagung Pulut akan menyebabkan tepung jagung ini memberi sifat lengket, sehingga pemanfaatannya untuk produkproduk pangan yang mempunyai karakter liat/lengket. Karakter amilografi sebagai salah satu faktor kualitas bahan baku tepung jagung diindikasikan sebagai proses gelatinisasi. Waktu dan suhu awal gelatinisasi setiap varietas jagung berbeda, hal ini berkaitan dengan komposisi kimia setiap bahan (Tabel 2.6).
11 Tabel 2.5. Kandungan amilosa dan amilopektin (%) beberapa varietas biji jagung. Varietas Amilosa (%) Amilopektin(%) Srikandi Putih
31.05
68.95
Srikandi Kuning
30.14
69.86
Anoman
29.92
70.08
Lokal nonpulut
28.50
71.50
Lokal pulut
4.25
95.75
Sukmaraga Sumber: Suarni (2005).
34.55
65.45
Tabel 2.6. Sifat amilograf beberapa varietas tepung jagung Varietas Awal Granula Pati Pecah Gelatinisasi Waktu Suhu Waktu (menit) (0C) (menit)
Viskositas
Suhu Viskositas Dingin (0C) (BU) (BU)
Balik (BU)
Anoman 1
26.0
82
39.5
90
250
310
280
Srikandi Putih-1
30.0
81
37.5
93
440
620
480
Lokal Pulut
20.5
72
24.0
79
260
290
240
88.5
230
300
280
Lokal non Pulut 30.5 84 38.5 Sumber : Suarni dan Firmansyah (2005)
Pati dikenal sebagai bahan semikristalin yang granulanya mengandung bagian kristal dan amorf secara bergantian. Daerah kristal menyusun polimer amilopektin secara predominan di mana pada cabang lebih luar diikat oleh ikatan hidrogen satu sama lain untuk membentuk kristal yang tidak terlepas/kusut selama gelatinisasi. Daerah amorf terutama terdiri dari amilosa dan titik percabangan amilopektin (Ratnayake 2006). Struktur internal dan susunan granula pati dapat dilihat pada Gambar 2.2. Beberapa sifat penting amilosa dan amilopektin disajikan pada Tabel 2.7. Amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan α-(1,4) dari struktur cincin piranosa yang dinyatakan sebagai bagian linier dari pati. Jika dihidrolisis oleh β-amilase akan menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutus ikatan α-(1,4) dari ujung non pereduksi rantai amilosa menghasilkan maltosa. Amilosa dapat terpisah dari granula yang mengembang di atas suhu gelatinisasi (Ratnayake et al. 2006).
12
Gambar 2.2. Struktur internal dan susunan granula pati (Gallant et al. 1997) Tabel 2.7. Beberapa sifat penting amilosa dan amilopektin Sifat Amilosa
Amilopektin
Bercabang (α-1,4 dan α-1,6)
Tipe Ikatan
Linear (α-1,4)
Bobot Molekul
100 ribu -1 juta dalton 1 juta –10 Juta dalton
Derajat Polimerisasi
1500-6000
3x105 - 3x106
Panjang rantai rata2
~103
20-25
Kompleks helix
Kuat
Lemah
Sifat pembentuan film
Kuat
Lemah
Pewarnaan dengan iodin
Biru
Coklat kemerahan
Larutan encer
Tidak stabil
Stabil
Retrogradasi
Cepat
Lambat
Sifat pembentuk gel
Terbentuk gel-kaku, tidak dapat balik
Tidak terbentuk gel-lunak, dapat balik
Sumber : Chen (2003)
13 Amilopektin merupakan polimer yang mempunyai ikatan α-(1,4) pada rantai lurusnya dan ikatan β-(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan berjumlah sekitar 4-5% dari seluruh ikatan yang ada pada amilopektin. Amilopektin secara dominan bertanggung jawab terhadap kristalinitas granula pati (Gallant et al. 1997, Ratnayake et al. 2006). Fermentasi Fermentasi adalah proses metabolik yang melepaskan energi dari gula atau molekul organik lain, yang tidak membutuhkan oksigen atau sistem transport elektron, dan menggunakan molekul organik sebagai aseptor elektron akhir. Berbagai mikroorganisme dapat memfermentasi berbagai substrat, di mana produk akhir yang dihasilkan tergantung jenis mikroba yang tumbuh, substrat, dan enzim yang berperan. Berdasarkan sumber mikroba yang berperan, proses fermentasi dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu fermentasi spontan, back slopping, dan fermentasi terkendali. Fermentasi spontan adalah fermentasi yang terjadi tanpa penambahan mikroba dalam bentuk starter atau ragi. Proses fermentasi berlangsung dengan mengandalkan mikroba yang terdapat pada bahan baku. Fermentasi back slopping adalah proses fermentasi yang berlangsung dengan menggunakan mikroba yang terdapat pada produk hasil fermentasi sebelumnya dan fermentasi terkendali adalah proses fermentasi yang berlangsung dengan menambahkan mikroba dalam jumlah dan jenis tertentu secara langsung pada bahan baku yang akan difermentasi. Cara pertama dapat menghasilkan mutu produk yang tidak seragam karena jumlah dan jenis mikroba yang berperan belum tentu sama pada setiap proses. Demikian juga dengan cara kedua kemungkinan gagal, artinya mutu tidak seragam, cukup besar. Sebaliknya, dengan menggunakan cara ketiga kemungkinan berhasil (mutu produk seragam untuk setiap kali ulangan) sangat besar karena jumlah dan jenis mikroba awal diketahui sehingga hasilnya pun dapat diprediksi (Tortora et al. 2004). Mikroba yang berperan besar dalam pembuatan produk pangan fermentasi diantaranya adalah Bakteri Asam Laktat (BAL). Berdasarkan genotipnya, BAL saat ini diklasifikasikan menjadi 21 genus, yaitu Lacobacillus, Carnobacterium, Leuconostoc,Oenococcus,Weissella, Pediococcus, Aerococcus, Tetragenoecoccus, Streptococcus, Enterococcus, Lactococcus, Vagococcus, Alloiococcus, Dolosigranulum, Globicatella, Lactospphaera, Dossilococcus, Eremococcus, Faklamia, Helcococcus, dan Igravigranum. Ciri-ciri umum BAL adalah gram positif vegetatif, tidak membentuk spora, katalase negatif, tidak memiliki sitokrom, bersifat aerotoleran, fastidious, tahan asam, menghasilkan asam laktat sebagai produk utama fermentasi, dan tidak dapat mensitesis cincin porfirin. BAL dapat tumbuh secara normal pada bahan pangan yang kaya gizi seperti daging, susu, dan sayuran. Selain itu BAL juga dapat tumbuh normal pada rongga mulut, saluran usus halus, dan vagina. Morfologi sel Lactobacillus berbentuk batang, biasanya panjang dan ramping. Kebanyakan spesies berbentuk rantai (Axelsson 2004). BAL digolongkan dalam kelompok bakteri mesofilik, sehingga bakteri ini mungkin tumbuh pada suhu antara 20 – 40 °C. Beberapa spesies dapat tumbuh
14 pada suhu di atas atau di bawah batas tersebut, contohnya Lactobacillus (Corsetti dan Settanni 2007). Berdasarkan hasil metabolismenya, BAL dikenal dalam dua kelompok, yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Menurut Axelsson 2004) golongan homofermentatif menghasilkan asam laktat antara 85 - 90 % sebagai hasil akhir proses fermentasi. Asam laktat merupakan hasil dari fermentasi gula. Golongan heterofermentatif hanya menghasilkan sekitar 50 % asam laktat. Selain asam laktat, golongan heterofermentatif juga menghasilkan CO2, senyawa asetaldehid, dan diasetil, alkohol, dan ester yang sangat penting untuk pembentukan aroma dan flavor. Karakteristik yang membuat Lactobacillus penting pada produk fermentasi adalah (1) berkontribusi pada pengembangan flavor, yaitu mampu memfermentasi gula dengan menghasilkan asam-asam organik (terutama asam laktat dan asetat), alkohol, ester, dan karbonil; mampu mengurai protein menjadi asam amino terutama ornitin, leusin, fenilalanin; (2) memengaruhi struktur adonan, yaitu mensekresi homopolisakarida (HoPS) yang memperbaiki struktur produk baking, mensekresi heteropolisakarida (HePS) yang memperbaiki struktur yoghurt dan produk-produk susu fermentasi, membentuk eksopolisakarida (EPS) yang memengaruhi viskositas adonan asam; (3) memperbaiki kualitas zat gizi dan aspek kesehatan, yaitu dengan menurunkan faktor antigizi, seperti menurunkan kandungan fitat; mengkonversi senyawa toksik seperti menurunkan pengaruh celiac spue dari gluten; (4) menghasilkan senyawa antimikroba yaitu bakteriosin, senyawa anti kapang, dan antimikroba (Corsetti dan Settanni 2007). Selama proses fermentasi, bakteri menguraikan karbohidrat atau glukosa menjadi asam laktat. Setelah karbohidrat, maka protein akan dihidrolisa dan terakhir lemak. Ketiga komponen ini selanjutnya akan membentuk produk akhir berupa asam laktat dan senyawa lainnya (Fardiaz 1989). Selain bakteri, kapang dan khamir juga dapat berperan selama proses fermentasi. Di banyak negara, kapang dan khamir juga banyak dimanfaatkan dalam proses fermentasi. Produk-produk fermentasi kapang dipengaruhi oleh berbagai enzim yang dihasilkan oleh kapang dimana enzim akan memengaruhi perubahan substrat. Enzim utama yang dihasilkan kapang adalah protease dan karbohidrase. Beberapa kapang menghasilkan enzim lipase. Kapang yang bersifat amilolitik akan memecah pati menjadi gula-gula sederhana. Kapang yang bersifat proteolitik akan memecah protein menjadi asam amino, dan kapang lipolitik akan memecah lemak menjadi asam lemak dan senyawa aromatik lainnya. Enzim amilase banyak digunakan untuk merubah karakter bahan pangan yang mengandung karbohidrat tinggi, contohnya pada pembuatan roti, alkohol, minuman dan beberapa produk-produk konfeksioneri. Enzim selulase bermanfaat untuk memperbaiki kemampuan mencerna serat makanan. Kapang yang menghasilkan enzim protease antara lain adalah Aspergillus oryzae, Penicillium roqueforti, dan Mucor (Sanchez 2008). Enzim yang termasuk golongan karbohidrase adalah amilase (α-amilase dan glukosidase), selulase, hemiselulase, pectinolase. Beberapa kapang dapat menghasilkan beberapa enzim. Hasil penelitian Ghosh and Ray (2011) menunjukkan bahwa Rhizopus oryzae memproduksi enzim-enzim selulase, hemicellulase, pektinase, tannase, phytase, lipase dan protease. Tang et al. (2012) melaporkan bahwa Rhizopus stolonifer
15 memproduksi selulase. Aspergillus niger selain memiliki aktivitas amilolitik, juga mempunyai aktivitas pektinolitic (Heerd et al. 2012). Panagiotou et al. (2013) melaporkan bahwa Fusarium oxysporum menghasilkan enzim sellulolitik dan xilanolitik. Khamir menyukai produk pangan yang mengandung gula tinggi dan mengubah gula menjadi alkohol. Di samping itu, khamir pun menghasilkan enzim protease, lipase, karbohidrase. Omemu et al. (2007) melaporkan bahwa Candida krusei menghasilkan enzim lipase, esterase, dan amilase yang berkontribusi pada flavor produk akhir. Kodamae ohmeri memproduksi enzim phytase dalam bijibijian (Li et al. 2008) dan lipase (Bussamara et al. 2010). Candida famata memproduksi enzim glukoamilase (Mohammed 2007), lipase dan protease (Wojtatowicz et al. 2001). Selama proses fermentasi yang menggunakan bahan baku utama mengandung karbohidrat tinggi, baik secara spontan mau pun dengan penambahan kultur starter, mikroba yang berperan pada awal fermentasi adalah mikroba yang bersifat amilolitik. Mikroba amilolitik menghasilkan enzim amilase. Mikroba ini dapat berupa kapang, khamir, maupun bakteri. Mikroba amilolitik akan bekerja di awal memecah karbohidrat menjadi gula-gula sederhana. Selanjutnya mikroorganisme non-amilolitik mulai aktif dengan memanfaatkan gula-gula yang dihasilkan oleh kapang, khamir dan bakteri amilolitik. Selain itu khamir dan BAL mempunyai hubungan yang saling menguntungkan. Halm et al. (2004) melaporkan bahwa khamir mempunyai toleransi yang tinggi terhadap asam laktat. Bahkan, Candida krusei dapat menstimulasi pertumbuhan Lactobacillus plantarum dan ditemukan pada fermentasi jagung untuk produksi ogi. Proses fermentasi dilaporkan dapat memperbaiki mutu umbi-umbian dan seralia, terutama produk singkong dan jagung. Fermentasi singkong secara spontan dapat mengurangi kandungan asam sianida (Tsav-Wua et al. 2004), sedangkan fermentasi jagung dapat meningkatkan kandungan lisin dan metionin (Teniola et al. 2001). Mikroorganisme yang diisolasi pada beberapa produk hasil fermentasi biji dan tepung jagung serta tepung dan bubur singkong secara spontan dapat dilihat pada Tabel 2.8, sedangkan perubahan selama fermentasi disajikan pada Tabel 2.9.
16 Tabel 2.8. Mikroorganisme dalam beberapa produk fermentasi jagung dan singkong Nama produk
Deskripsi/ proses pembuatan
Bagian yang dianalisa
Jenis mikroba
Referensi
Bakteri asam laktat (109 koloni/g) 90% : Lactobacillus fermentum cellobiosus, L. brevis, dan L. fermentum spp. 6%: L. curvatus, L. buchneri Khamir (107 koloni/g) 41%: Candida humicola dan C. krusei 26%: Geotricum spp.
Nago et al. (1998)
Biji jagung direndam 24 jam Mash & air sebelum (jagung : air perendam = 15kg pengeringan : 32 L), wet milling, fermentasi 48 jam
Lactobacillus homofermentatif Lactobacillus heterofermentatif Pediococcus Leuconostoc Enterococcus Saccharomyces
Teniola et al. (2001)
Pozol
Makanan khas Meksiko dari Bola-bola biji biji jagung yang direbus, jagung rebus dibuat bola-bola, dibungkus daun pisang, didiamkan pada suhu 30ºC selama 0, 4, 24, 48, 72, dan 96 jam
Total mikroba 109-1010 CFU/g, bagian luar bola-bola 5x lebih banyak dari bagian ben Omar dan Ampe tengah bola-bola 7 8 9 8 (2000) BAL: hari 0-1: 10 menjadi 10 CFU/g, hari 2: 10 CFU/g, hari 3: 10 CFU/g Streptococus sp (25-75%) L. fermentum (2 hari pertama), kemudian L. plantarum, L casei, L. delbruekii Khamir: maksimal 108 CFU /g pada bagian luar (24 jam) dan bagian tengah meningkat setelah 4 hari Fungi: maksimal 108 CFU /g pada bagian luar (48 jam) dan tidak terdeteksi pada bagian tengah (72 jam)
Ogi
Fermentasi biji jagung dalam air yang ditambah L. plantarum, 96 jam (48 jam
Saccaharomyces cerevisiae, Candida krusei, C. tropicalis, Geotrichum candidum, Omemu et al. (2007) G. fermentans, dan Rhodotorula graminis.
Ogi
Makanan tradisional masyarakat Benin-Afrika dari tepung jagung yang direndam dalam air (1:4), 1-3 hari, 2535°C
Ogi
Ogi
Biji jagung hasil fermentasi
17 perendaman & 48 jam pengasaman)
Semua isolat kecuali G. fermentans, dan Rhodotorula graminis dapat mendegradasi fitat Semua khamir mempunyai aktivitas lipase dan protease. Hanya Saccaharomyces cerevisiae dan Candida krusei mempunyai aktivitas amilolitik Pertumbuhan khamir (Saccaharomyces cerevisiae dan Candida krusei) ditingkatkan dengan adanya L. plantarum, tetapi pertumbuhan L. plantarum secara nyata ditingkatkan oleh Candida krusei.
Kpoor umilin
Makanan khas Nigeria, dibuat Tepung singkong dari tepung singkong fermentasi tradisional: perendaman umbi singkong dalam air 2 - 5 hari, 30 +1 °C modifikasi: perendaman irisan umbi singkong (1015 mm tebal) dalam potable water yang telah dicuci 2x dengan air, 37 °C, 48 jam. Penjemuran dengan sinar matahari
Total bakteri: tradisional: 2.7x103 – 1.2x107 CFU/g modifikasi: 3.5x102 CFU /g Jenis bakteri tradisional: Leuconostoc spp, Lactobacillus spp, Stphylococcus spp, Micrococcus spp, Bacillus spp, Streptococcus spp, coliform E. Coli. modifikasi: sama, tanpa coliform Total khamir & kapang tradisional: 1.9x103 – 3.9x105 CFU /g modifikasi: 1.5x103 CFU /g Jenis fungi: Aspergillus spp, Penicilium spp, Saccaharomyces spp, Geotricum candidum
Foo-foo
Dibuat dari tepung singkong fermentasi, yang dibuat dengan merendam umbi singkong dalam air hujan (singkong : air = 1:2), suhu ruang, 72 jam
Brauman et BAL lebih 99%: al. (1996) 12 jam: BAL 107 sel/g (bk) jadi 1012 sel/g (bk) pada akhir proses: Lactobacillus coprophilus (53.3%), Lactobacillus delbrueckii (13.3%), Lactobacillus fermentum (6.7%) 24 jam: Lactococcus lactis (65%) 48 jam: Leuconostoc mesenteroides (59%) meningkat menjadi 71% pada 72 jam Tahap akhir fermentasi Lactobacillus plantarum meningkat secara signifikan (sampai 100% setelah 8 hari fermentasi). Khamir: muncul setelah 48 jam (Candida spp), 103 - 105 sel/g (bk) pada akhir
Tepung singkong
Tsav-Wua et al. (2004)
18 proses Pati singkong asam
Perendaman bubur singkong dalam air berlebih selama 45 hari (A) dan 29 hari (B)
Bubur singkong
-L.fermentum : hari ke 2-45 -L.brevis : hari13 -L.perolens : hari40 -L.plantarum a: hari 13 dan 40 -L.plantarum b : hari 13 sampai 45 -L.plantarum c: hari 13 -Candida rugosa: hari 2 -Candida humilis: hari 13 -Candida tropicalis: hari 2-13 -Debaryomyces hansenii: hari 2 -Galactomyces geotricum:hari 2-15 -Issatchenkia sp: hari 2-13, 45 -Dipodascus ingens: hari 13 -Rhodotorula mucilaginosa: hari 2, 15 -Bacillus cereus -L.fermentum : hari ke 1-29 -L.perolens : hari 6 -L.plantarum a: hari 23 -L.plantarum b : hari 1 sampai 29 -Candida cylindracea:hari 1 -Candida ethanolica-like: hari 6-23 -Saccharomycesexiguus: hari 6 -Candida rugosa: hari 23 -Candida tropicalis: hari 1 -Galactomyces geotricum: hari 1-23 -Issatchenkia sp: hari 1-23 -Issatchenkia terricola:hari 6 -Kluyveromyces lactis: hari 1 -Dipodascus ingens: hari 23
Lacerda et al. (2005)
19
Tabel 2.9. Perubahan karakteristik mikrobiologis, fisikokimia serta sensori selama fermentasi Nama produk
Deskripsi / proses pembuatan
Perubahan selama fermentasi
Referensi
Kenkey
Halm et al. Makanan tradisional di Ghana Nilai pH adonan antara 4.85 - 5.10 pada awal fermentasi, (1996) turun menjadi antara 3.70 - 3.85 setelah 24 jam dan 3.65 Biji jagung direndam dalam air (1:2) dengan 7 3.80 setelah 48 jam. 6 strain Lactobacillus fermentum (10 dan 108 koloni/mL) dan campuran antara Hasil uji organoleptik : panelis lebih menyukai aroma, rasa, Lactobacillus fermentum (108 koloni/mL) keasaman, tekstur dan penerimaan secara umum produk dengan Saccharomyces cerevisae (105 yang dibuat dari tepung jagung yang difermentasi koloni/mL) pada 5 kg biji jagung dibandingkan kontrol.
Kenkey
Biji jagung dicuci 2x2 menit dengan air destilasi steril dan didisinfeksi dengan larutan sodium hipoklorit 10 g/L. Kemudian kernel dicuci 2x2 menit dengan air destilasi steril. Selanjutnya direndam dengan air destilasi steril pada suhu 4 °C, 25 °C, 60 °C selama 72 jam. Biji jagung yang tidak diberi perlakuan di atas, direndam pada kondisi yang sama sebagai kontrol Perlakuan : DM (dry milling maize), DMS (dry maize milled before soaking); WMS
Selama perendaman biji jagung pada 4 °C, 25 °C dan 60 °C Nche et al. selama 72 jam (1996) Meningkatkan total mikroba aerobik pada air perendam setelah 48 jam menjadi >105 CFU/mL pada sampel yang tidak didisinfeksi, < 104 CFU/mL pada sampel yang didisinfeksi Water uptake meningkat dari 0.42 mL/g bk pada 24 jam menjadi 0.5 mL/g setelah 72 jam Aktivitas enzim endogenus tinggi (alkalin fosfatase; esterase (C 4); esterase lipase (C 8); lipase (C 14); leusin arilamidase; valin arilamidase; sistin arilamidase; tripsin; kimotripsin; asam fosfatase; naftol-AS-BI-fosfohidrolase, α-
20 (whole maize soaking before milling)
galaktosidase; β-galaktosidase; β-glukuronidase; αglukosidase; β-glukosidase; N-asetil-β-glukosaminidase; αmannosidase; α-fukosidase). Perendaman pada suhu 60 °C tidak mempunyai viskositas puncak Perendaman pada suhu 60 °C ditambah enzim proteolitik meningkatkan viskositas puncak dan setback Semakin rendah nilai pH (pH 6.0, 5.6, dan 3.6) akan menurunkan viskositas adonan, tidak ada viskositas puncak untuk semua kondisi pH, menurunkan viskositas setback Tepung dengan pH 6.0 yang lolos saringan 1.0 mm menunjukkan peningkatan viskositas pasting dan setback. Pada 0, 4, dan 8 jam fermentasi tidak ada viskositas puncak. Setelah 12 dan 24 jam fermentasi, diperoleh viskositas puncak selama pemanasan pasta. Pada 24 jam fermentasi suhu gelatinisasi lebih rendah, viskositas puncak lebih tinggi, viskositas setback lebih rendah dibandingkan 12 jam fermentasi. Semakin halus ukuran tepung (lolos 4 mm, 1 mm, dan 0.5 mm) semakin menurunkan viskositas puncak dan setback adonan
Tepung Perendaman dalam air, 20 atau 35 °C, 15 hari, 24 jam: jagung & dikeringkan sinar matahari 10-12 jam atau Asam laktat: tepung jagung (5.7 - 10.3 g/kg bk) > tepung singkong oven 40 °C, 24 jam singkong difermentasi (1.2 - 3.2 g/kg bk) fermentasi Suhu gelatinisasi 79.9 - 80.6 °C untuk tepung yang
Mestres et al. (2000)
21 dikeringkan dalam oven dan 78.7 - 80.4 °C untuk tepung yang dikeringkan dengan sinar matahari. Kelemahannya produk tidak mempunyai kemampuan mengembang dalam berbagai kondisi penelitian diduga hal ini karena tingginya kandungan asam laktat yang dihasilkan. Tepung jagung fermentasi dan mi yang dihasilkan
Perendaman grits jagung berukuran ≤20 mesh Viskositas puncak meningkat selama fermentasi sampai hari Mei-Lan et dalam air (1 : 3 w/v) pada suhu ruang (26 – 30 ke 7, selanjutnya menurun sampai hari ke 21. Mulai hari ke al. (2008) °C), selama 21 hari. Penyamplingan setelah 5 19 – 21, viskositas puncak lebih rendah dari kontrol. hari dan selanjutnya setiap 2 hari. Pengeringan Tren viskositas breakdown sama dengan viskositas puncak. grits jagung dengan oven udara (40 °C, 12 Viskositas akhir dan viskositas setback menurun selama jam). Penumbukan dan penyaringan 100 mesh fermentasi Kekuatan gel meningkat selama fermentasi Tensile stres, tensile strain, dan tensile work pada mi meningkat selama fermentasi Kekerasan, kelicinan, chewiness, elastisitas, dan penerimaan keseluruhan mi yang dihasilkan meningkat selama fermentasi Kadar aflatoksin pada mi lebih kecil dari 5 µg/kg selama fermentasi
Gari
Dibuat dari umbi singkong yang dikupas, dicuci, diparut, dimasukkan dalam kain karung dan dikeluarkan airnya dengan meletakkan batu berat diatasnya. Fermentasi dilakukan selama 5 hari,
Selama 5 hari fermentasi: Kadar serat kasar meningkat dari 2.70 % menjadi 3.10 % Uji swelling meningkat dari 225 % menjadi 400 % Kandungan HCN menurun dari 12.67 mg / kg menjadi 3.82 mg / kg
Irtwange dan Achimba (2009)
22 pengamatan dilakukan 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 hari. Mash yang diambil disaring, dikeringkan dan dianalisa proksimat dan uji sensori
Kadar air meningkat dari 8.98 % bb menjadi 10.33 % bb Kadar abu meningkat dari 1.87 % menjadi 2.46 % Kadar lemak kasar menurun dari 3.23 % menjadi 2.48 % Kadar protein kasar meningkat dari 2.33 % menjadi 2.48 % Warna meningkat dari 13.3 % menjadi 70.4 % Aroma meningkat dari 20.7 % menjadi 75.9 % Tekstur meningkat dari 28.6 % menjadi 73.9 %
Tepung biji Cajanus cajan hasil fermentasi
Biji berkulit direbus dengan air (1:10 v/v) selama 1 jam. Biji tanpa kulit dibuat pasta dengan NaCl (1g/kg biji) dan dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama tidak difermentasi (kontrol) dan bagian kedua pasta dibungkus dengan daun pisang yang sudah dipanaskan sebanyak 50 g/pak dan selanjutnya didiamkan pada suhu ruang selama 7 hari. Pengambilan sampel setiap hari sampai 5 hari fermentasi. Selanjutnya dikeringkan dalam oven udara panas dan disaring dengan ukuran saringan 40 mesh
Selama 5 hari fermentasi: Adebowale & Maliki Kadar air meningkat dari 10.20 % menjadi 13.24% (2011) Kadar protein kasar meningkat dari 21.80 % menjadi 23.90% Kadar lemak menurun dari 2.74 % menjadi 1.69% Kadar abu meningkat dari 4.61 % menjadi 5.52% Kadar serat kasar menurun dari 7.25 % menjadi 4.52% Bulk density menurun dari 0.80 % menjadi 0.63 g/mL Kapasitas penyerapan air menurun dari 142.0 g/mL menjadi 113.0 g/mL Swelling power menurun dari 6.5 % menjadi 5.5 % Foaming capacity menurun dari 8.16 % menjadi 4.17 % Foaming stability menurun dari 2.45 % menjadi 1.97 % Viskositas menurun dari 1.64 % menjadi 1.19% Gelation power menurun dari 56.2 % menjadi 43.8 %
Tepung
Biji sorgum, jagung dan pearl millet
Selama 36 jam fermentasi,
Alka et al.
23 sorgum, dibersihkan dari bahan asing, digiling halus jagung dan dan disimpan dalam wadah polietilen pada pearl suhu 4 °C. millet hasil Perendaman tepung jagung dalam air fermentasi destilasi (1:2 b/v), diinkubasi 37 °C dalam spontan inkubator selama 0, 12, 24, dan 36 jam. setelah itu dikeringkan dalam oven udara panas 70 °C selama 3-4 jam. Sampel kering digiling halus dan disimpan dalam wadah polietilen pada suhu 4 °C.
(2012) Bulk density tepung sorgum, pearl millet dan jagung menurun berturut-turut 0.75 menjadi 0.61, 0.71 menjadi 0.59, 0.72 menjadi 0.60 g/mL Kapasitas penyerapan air tepung sorgum, pearl millet dan jagung menurun berturut-turut 1.26 menjadi 1.03, 1.41 menjadi 1.29, 0.92 menjadi 0.77 mL/g Oil holding capacity tepung sorgum, pearl millet dan jagung meningkat berturut-turut 7.03-8.1, 6.7-8.2, 6.9-8.5 mL/g Swelling capacity tepung sorgum, pearl millet dan jagung menurun berturut-turut 0.29 menjadi 0.18, 0.14 menjadi 0.10, 0.21 menjadi 0.10 % Nilai pH tepung sorgum, pearl millet dan jagung menurun berturut-turut dari 5.2 menjadi 3.73, 5.63 menjadi 3.40, 5.76 menjadi 3.50 dan asam tertitrasi tepung sorgum, pearl millet dan jagung meningkat berturut-turut 1.06 menjadi 2.8, 1.4 menjadi 3.06, 0.96 menjadi 2.5 g asam laktat/100 g Daya cerna pati In vitro tepung sorgum, pearl millet dan jagung meningkat Daya cerna In vitro protein tepung sorgum, pearl millet dan jagung meningkat
Tepung Pembuangan bagian sekam, penggilingan jagung dan penyaringan tepung lolos saringan fermentasi diameter 50 µm, 100 µm, dan 150 µm Bubur tepung jagung (30 % b/b) difermentasi pada 30 °C, 48 jam. Bubur
Zeng et al. Pertumbuhan Lactobacillus spp selama 24 jam fermentasi pada bubur jagung terbanyak pada tepung berukuran 150 µm 2012 dan terendah pada tepung berukuran 50 µm. Pertumbuhan maksimum pada 4 jam fermentasi sebanyak 8.7-8.9 log CFU/mL
24 diinokulasi oleh pellet Lacobacillus spp yang telah diinkubasi sebanyak 10% (v/v) dalam MRS broth selama 24 jam pada suhu 30 °C. Nilai pH diukur setiap 3 jam
Perubahah pH menurun selama 48 jam fermentasi dengan nilai pH awal 6.5 dan pH akhir berdasarkan ukuran tepung 50, 100, 150 µm berturut-turut 3.68, 3.55, 3.48. Penurunan pH secara cepat hingga antara 12-15 jam fermentasi, selanjutnya relatif stabil. Persentase gula reduksi meningkat selama 24 jam fermentasi, di mana persentase gula reduksi semakin tinggi dengan semakin kecil ukuran tepung. Secara umum kadar protein kasar dan abu tepung jagung semakin rendah dengan semakin kecil ukuran tepung. Kadar protein dan abu tepung jagung yang difermentasi lebih rendah dibandingkan tepung jagung yang tidak difermentasi. Kadar lipid kasar dan serat tepung jagung relatif meningkat dengan semakin kecil ukuran tepung, dimana kadar lipid kasar dan serat tepung jagung yang difermentasi lebih rendah dibandingkan dengan tepung jagung yang difermentasi. Kerusakan pati tepung jagung semakin besar dengan semakin kecil ukuran tepung. Persentase kerusakan pati tepung jagung yang difermentasi mencapai dua-tiga kali dibandingkan tepung jagung yang tidak difermentasi. Kadar amilosa, swelling power, solubility dan water binding capacity tepung jagung meningkat dengan semakin kecil ukuran tepung dan persentasenya lebih besar pada tepung yang difermentasi Semakin kecil ukuran partikel mempercepat waktu pasting,
25 meningkatkan viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas akhir dan viskositas setback tepung jagung yang tidak difermentasi. Proses fermentasi memperlambat waktu pasting dan menurunkan viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas akhir serta viskositas setback dibandingkan tepung tanpa fermentasi. Pada tepung yang difermentasi, tampaknya perbedaan ukuran mempunyai pengaruh yang berbeda dengan tepung tanpa fermentasi. Ukuran tepung 100 µm menghasilkan nilai viskositas lebih rendah dibandingkan ukuran tepung lainnya Tepung Perendaman irisan umbi talas setebal 2-2.5 cm Viskositas puncak menurun selama fermentasi dari Oke dan talas dalam air selama 24 dan 48 jam. Pengeringan Bolarinwa 178.75±10.8 (0 jam) menjadi 133.08±54 (24 jam) dan fermentasi dalam pengering kabinet pada suhu 60 °C (2012) 124.46±6 RVU (48 jam) sehingga cocok untuk produk jeli selama 24 jam dan ditepungkan. Penyaringan Viskositas breakdown meningkat selama fermentasi dari dengan ukuran diameter saringan 45µm 62.84±5.1 (0 jam) menjadi 58.83±1.9 (24 jam) dan 66.96±5.3 RVU (48 jam) Suhu pasting menurun selama fermentasi dari 64.08±0.7 (0 jam) menjadi 63.58±0.5 (24 jam) dan 63.30±0.5 °C (48 jam) Kadar amilosa meningkat selama fermentasi dari 14.79±0.1 (0 jam) menjadi 15.44±0.1 (24 jam) dan 15.52±00 % (48 jam) Kadar amilopektin meningkat selama fermentasi dari 97.59±0.1 (0 jam) menjadi 97.89±0.1 (24 jam) dan 98.26±0.1 (48 jam) Kadar gula menurun selama fermentasi dari 2.40±0.1 (0
26
jam) menjadi 2.11±0.1 (24 jam) dan 1.74±0.1 % (48 jam) Kadar pati meningkat selama fermentasi dari 55.08±1.5 (0 jam) menjadi 54.55±0.1 (24 jam) dan 55.26±0.5 % (48 jam) Kapasitas penyerapan air meningkat selama fermentasi dari 231.29 ±1.4 (0 jam) menjadi 271.11±1.0 (24 jam) dan 287.59±2.1 (48 jam) Swelling power meningkat selama fermentasi dari 17.50±0.6 (0 jam) menjadi 18.31±0.0 (24 jam) , 18.45±0.0 % (48 jam) Indeks kelarutan meningkat selama fermentasi dari 16.21±0.4 (0 jam) menjadi 17.33±0.2 (24 jam) dan 18.53±0.3 % (48 jam). Kandungan kalsium oksalat menurun selama fermentasi dari 5.71±0.0 (0 jam) menjadi 2.38±0.0 (24 jam) dan 1.99±0.0 (48 jam)
27 Sifat Fisik Tepung Pengukuran sifat fisik pangan penting dilakukan untuk mengetahui cara penanganan yang baik, desain proses dan aplikasinya agar dihasilkan produk yang bermutu. Sifat fisik tepung dapat dipelajari dengan menggunakan sifat-sifat produk berbentuk bubuk, seperti ukuran partikel, densitas partikel, sifat alir, sifat adonan dan gelatinisasi, serta sifat reologinya. Ukuran Partikel Ukuran partikel tepung, berhubungan dengan proses penggilingan. Ukuran partikel dan tipe penggilingan mempengaruhi sifat pengembangan dan tekstur produk yang dihasilkan. Hasil penelitian Carvalho et al. (2010) menunjukkan bahwa distribusi ukuran partikel mempengaruhi sifat ekstrudat corn meal yang dihasilkan secara nyata. Semakin besar ukuran partikel, menurunkan input energi mekanik sehingga mengurangi konversi pati. Ukuran ekstrudat yang lebih besar menghasilkan pengembangan yang lebih besar. Densitas Partikel Menurut Kousaka dan Endo (2006) densitas partikel merupakan sifat fisik yang sama pentingnya dengan ukuran partikel. Secara umum, densitas dinyatakan sebagai rasio massa terhadap volume, namun hal ini tidak dapat langsung diterapkan pada densitas partikel, karena kadang-kadang partikel memiliki pori (Gambar 3). Berdasarkan hal tersebut, maka densitas partikel dinyatakan sebagai true density (s), particle density (p), dan bulk density (B). True density adalah rasio massa partikel terhadap volume sesungguhnya tidak termasuk pori-pori di dalamnya. Jika ukuran partikel sangat halus, maka pori-pori dapat diabaikan. Particle density adalah massa partikel dibagi dengan volume partikel, termasuk pori tertutup yang ada di dalamnya. Bulk density (densitas kamba) didefinisikan sebagai rasio massa powder di dalam wadah terhadap volume wadah tersebut, termasuk ruang kosong antar partikel. Pengukuran densitas kamba diperlukan untuk mengatur kondisi penyimpanan, pengolahan, pengemasan dan distribusi. Secara khusus, densitas kamba merupakan salah satu sifat yang digunakan sebagai bagian spesifik untuk produk akhir tertentu yang diperoleh dari proses penggilingan atau pengeringan (Barbosa-C´anovas, et al. 2005). True density (TD), Bulk density (BD) dan porositas ditentukan dengan metode pemindahan (displacement) volume. Silinder volumetrik yang sudah diketahui beratnya (W1), dimasukkan sejumlah tepung yang diketahui beratnya (W2) dan volumenya dibaca sebagai V1. Setelah volume yang sama digantikan cairan (isobutil alkohol:phthalat acid dietilester = 1:1) ditambahkan pada silinder, volume total tepung dan solvent dalam silinder sebagai V2 (Chin-Lin et al. 2003). TD =
Porositas =1-
28 BD =
Closed pore
Particle
Gambar 2.3. Gambar bagian partikel
Karena bubuk dapat dimampatkan, maka densitas kamba dapat dinyatakan sebagai loose density (pada waktu dituang), pack density (setelah vibrasi), atau compact density (sesudah dimampatkan). Hubungan antara densitas kamba (b ) dan densitas partikel (s ) menurut Hoseney (1994) adalah : b = (1-Ɛp)(1-Ɛb)s= (1-Ɛ) s Di mana Ɛp adalah porositas partikel, Ɛb adalah porositas bulk (rasio volume yang kosong antar partikel pada volume total) dan Ɛ adalah porositas (rasio volume kosong pada inter dan intra partikel, terhadap volume bubuk total).
Sifat Alir Sifat alir bubuk penting dipelajari untuk melihat tingkah laku tepung terutama pada proses pencampuran, kompresi, pengemasan, dan tansportasi. Selain itu sifat alir bubuk menjadi salah satu faktor mutu produk berbentuk bubuk. Salah satu indikator untuk melihat kemampuan mengalir makanan berbentuk bubuk adalah sudut curah. Sudut curah dipengaruhi oleh cara pembentukan bubuk, seperti kecepatan penggilingan. Hal ini menyebabkan nilai sudut curah tidak selalu dapat dibandingkan. Pada bubuk yang kohesive, pengukuran sudut curah kadangkadang sulit karena bentuknya yang tidak beraturan. Besarnya sudut curah 10 derajat menunjukkan bubuk bersifat aerated, 10 sampai 30 derajat bubuk bersifat mengalir sangat baik, 30 sampai 45 derajat menunjukkan bubuk dapat mengalir dengan bebas, 45 sampai 60 derajat hampir mengalir dan lebih 60 derajat bersifat kohesive dan tidak mengalir (Barbosa-Canovas & Yan 2003)
29 Sifat Pasting Tepung Pasting adalah suatu keadaan yang mengikuti proses gelatinisasi pati. Sifat pasting tepung menunjukkan perilaku viskositas adonan tepung selama proses pemanasan dan pendinginan dengan pengadukan terkontrol (Singh et al., 2003). Sifat pasting tepung dapat digunakan untuk memprediksi sifat fungsional tepung dan potensi aplikasinya di dalam produk secara optimal (Chen, 2003). Sifat pasting adonan tepung dapat diamati dengan rapid visco analyzer (RVA) dan/atau brabender amylograph (BA) (Collado et al. 2001). RVA dan/atau BA adalah viskometer yang dilengkapi dengan sistim pemanas dan pendingin untuk mengukur ketahanan sampel pada saat dipanaskan dan didinginkan dengan adanya pengadukan terkontrol. Secara alami granula pati tidak larut di dalam air pada suhu kurang dari 50 °C. Ketika granula pati dipanaskan, granula menyerap sejumlah air dan membengkak beberapa kali dari ukuran awalnya. Viskositas meningkat ketika granula menyerap air. Suhu dimana viskositas mulai meningkat dikenal sebagai suhu pasting. Suhu pasting mengindikasikan jumlah temperatur minimum yang dibutuhkan untuk memasak sampel. Ketika sejumlah granula menjadi bengkak terjadi peningkatan viskositas dengan cepat. Pada kondisi di mana granula pati mencapai penyerapan air secara maksimum, suspensi pasta akan membengkak maksimum. Viskositas puncak terjadi ketika pasta membengkak maksimal. Viskositas dan temperatur puncak mengindikasikan kapasitas pengikatan air pada pati. Pada saat temperatur meningkat lebih lanjut, dan dipertahankan pada suhu tinggi pada beberapa waktu maka granula akan leaching dan hancur. Hal ini menyebabkan viskositas pasta menurun. Viskositas pada tahap ini mengindikasikan kestabilan pasta terhadap suhu tinggi. Pada saat pasta didinginkan maka molekul-molekul pati bergabung kembali, khususnya amilosa. Pada konsentrasi yang cukup penggabungan ini dapat menyebabkan pembentukan jaringan gel dan menyebabkan viskositas akhir meningkat. Viskositas akhir mengindikasikan kestabilan pasta pada saat didinginkan Fase ini pada kurva pasting dikenal sebagai daerah setback. Nilai setback menunjukkan kecenderungan molekul untuk beretrogradasi (Xie et al. 2005). Profil viskositas pati pada proses pemanasan dapat dilihat pada Gambar 2.4, sedangkan profil viskositas pati dengan menggunakan Brabender Visco Amilograph atau Rapid Visco Amilograph dapat dilihat pada Gambar 2.5.
30
Gambar 2.4. Profil viskositas pati pada proses gelatinisasi
Suhu pasting
Gambar 2.5. Profil gelatinisasi pati dengan Brabender Visco Amilograph atau Rapid Visco Amilograph
31 Keterangan gambar:
Suhu pasting (oC) adalah suhu minimum yang diperlukan untuk memasak sampel, yaitu suhu pada saat viskositas mulai meningkat, yang merupakan titik awal terjadinya proses gelatinisasi. Viskositas puncak (cP) adalah kondisi di mana granula pati mencapai penyerapan air secara maksimum dan suspensi pasta membengkak maksimum Waktu puncak (min) adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai viskositas maksimum Suhu puncak pasting (oC) adalah suhu pada saat viscograph mencatat nilai viskositas maksimum. Viskositas pada suhu 95oC (cP) : adalah nilai viskositas dari pasta pada tahap pemanasan setelah mencapai suhu 95oC dan dipertahankan beberapa saat. Viskositas breakdown (cP) menggambarkan tingkat kestabilan pasta pati terhadap proses pemanasan, yang dihitung sebagai selisih antara viskositas puncak dengan viskositas pasta pati setelah mencapai suhu 95 oC setelah pemanasan. Viskositas akhir pada suhu 50 oC (cP) adalah viskositas dari pasta setelah mencapai tahap akhir pendinginan, di mana pasta telah mencapai suhu 50 o C. Viskositas setback (cP) menggambarkan tingkat kecenderungan proses retrogradasi pasta, yang diperoleh dari selisih antara viskositas pada suhu 50oC dengan viskositas pada suhu 95 °C.
32 3
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pangan dan Pertanian Asia Tenggara (South East Asian Food & Agriculture Science & Technology (SEAFAST) Center IPB), Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB dari April 2011 sampai Mei 2013. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut dari petani jagung melalui Balai Penelitian Serealia Maros, Sulawesi. Bahan penunjang yang digunakan adalah aquadest, media untuk isolasi dan identifikasi mikroba seperti Plate Count Agar (PCA, Oxoid), de Man Rogosa Sharpe agar (MRS, Oxoid), MRS broth, MRS starch, yeast extract glucose agar (YEGA, Oxoid), Czapek Yeast Extract Agar (CYA), API 50CH (bioMérieux), API 20C AUX (bioMérieux), dan bahan kimia untuk analisa. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat pembuatan tepung seperti pin disc mill dan ayakan 60, 80, dan 100 mesh, serta alat-alat analisa meliputi cawan petri, colony counter, fermentor, Rapid Visco Analyzer merek Tecmaster, Newport Scientific, Whiteness meter merek Photoelectric Tube Whiteness meter electric laboratory C-100-3, Stable Micro System (TAXT-2 Texture Analyzer), spektrofotometer, dan alat-alat gelas.
Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilakukan dalam 3 tahap, yaitu: tahap pertama mempelajari komposisi kimia kernel jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan yang digunakan.Tahap ini bertujuan untuk mengetahui komposisi kimia 2 varietas jagung yang digunakan, yaitu kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat (by difference). Tahap kedua mengidentifikasi jenis dan pola pertumbuhan mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi spontan grits jagung putih lokal varietas Anoman 1. Tahap ini bertujuan untuk mendapatkan pola pertumbuhan mikroba dan jenis mikroba yang tumbuh, terutama total mikroba, bakteri asam laktat, khamir, khamir amilolitik, kapang dan kapang amilolitik, serta perubahan pH yang mengikutinya. Tahap ini dilakukan dengan cara: (1) Melakukan fermentasi jagung secara spontan (Aini 2009 yang dimodifikasi), yaitu (a) persiapan bahan baku meliputi: (i) pencucian jagung pipilan dengan air steril (jagung : air steril sebanyak 1:4) selama ±5 menit; (ii) penggilingan jagung pipilan menjadi grits jagung dengan diameter ±4 mm menggunakan pin disc mill; (iii) penampian menggunakan tampah; (iv) penghilangan kotoran, perikarp, dan bagian-bagian
33 yang mengapung di air setelah perendaman dengan air steril sebanyak 4:1 (air:jagung) selama 5 menit; (v) penirisan selama 30 menit sampai kadar air kurang lebih 40% (Gambar 3.1); dan (b) fermentasi spontan grits jagung meliputi: perendaman grits jagung dengan air steril dalam botol gelas tertutup pada suhu ±27 °C. Air steril yang digunakan 2:1 (air steril:jagung). Bagan proses disajikan pada Gambar 3.1. (2) Menghitung jumLah mikroorganisme yang tumbuh dan membuat pola pertumbuhan mikroorganisme yang berperan selama fermentasi spontan grits jagung pada selang waktu 0, 4, 12, 24, 36, 48, dan 72 jam. Pemupukan sampel air perendam dan grits jagung pada media : PCA untuk total plate count, MRSA yang ditambah CaCO2 untuk BAL, MRS-Starch untuk BAL amilolitik, Yeast Extract Glucose Agar untuk kapang dan khamir, YEGAstarch untuk kapang khamir amilolitik secara duplo. (3) Mengisolasi mikroorganisme yang berperan selama fermentasi, khususnya yang bersifat amilolitik dan melakukan identifikasi morfologik dan sifat biokimia dengan pewarnaan gram, uji gula-gula, baik secara konvensional maupun dengan perangkat cepat (identifikasi BAL dengan API 50 CH dan API 20C AUX untuk yeast) dengan uji gula-gula. Identifikasi kapang dilakukan dengan pengamatan morfologi slide culture. Selanjutnya ditetapkan kultur starter yang akan digunakan pada tahap selanjutnya. Bagan proses identifikasi mikroba pada fermentasi jagung secara spontan tahap (2) dan (3) disajikan pada Gambar 3.2. Tahap ketiga melakukan fermentasi dengan menambahkan kultur starter dan mengkarakterisasi sifat fisikokimia dan fungsional tepung jagung yang dihasilkan dari proses fermentasi grits jagung secara terkendali. Tahap ini bertujuan untuk melihat pengaruh lama fermentasi terhadap sifat fisikokimia dan fungsional tepung yang dihasilkan, meliputi tahap-tahap: (1) Melakukan fermentasi terkendali grits jagung dengan menggunakan kultur starter. Tahap-tahap yang dilakukan adalah (a) persiapan bahan baku yang meliputi : (i) pencucian dan penggilingan jagung pipilan dengan kecepatan (rpm) dan waktu (menit) tertentu menjadi grits jagung dengan diameter ±4 mm menggunakan pin disc mill; (ii) pemisahan ukuran grits dengan saringan bertingkat (mesh) tertentu; (iii) perendaman selama 5 menit dan penghilangan kotoran, perikarp, dan bagianbagian yang mengapung di air; (iv) penirisan selama 30 menit sampai kadar air kurang lebih 40% (Gambar 3.3); dan (b) fermentasi terkendali meliputi : (i) perendaman grits jagung dalam air minum dalam kemasan/AMDK (AMDK : jagung = 2 : 1 (6 L : 3 kg)) ditambah kultur starter (cair) dalam wadah plastik tertutup pada suhu 27 0C volume 16 L selama 0, 36, 48, dan 72 jam; (ii) penirisan selama 30 menit sampai kadar air + 40%; (iii) pengeringan menggunakan kabinet pengering suhu 40 °C, 24 jam (Mestres et al. 2000); (iv) penggilingan menggunakan pin disc mill dengan kecepatan (rpm) dan waktu (menit) tertentu. Bagan proses fermentasi terkendali dapat dilihat pada Gambar 3.4. Tahap terakhir adalah untuk menganalisa sifat fisik, dan kimia tepung jagung yang dihasilkan pada tahap 3. Sifat tepung yang diamati meliputi : kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar, pH, total asam tertitrasi,kadar amilosa,kapasitas penyerapan air, kapasitas penyerapan minyak, warna tepung, suhu pasting, viskositas puncak, viskositas panas suhu 95 °C, viskositas panas selama 15 menit, viskositas dingin, kekuatan, kelengketan gel.
34
Jagung pipil varietas Anoman 1 Karakterisasi jagung pipil varietas Anoman 1
Sifat fisiko kimia jagung pipil
Pencucian, penggilingan (pin discmill) & pengayakan Parameter: grits jagung Ɵ±4mm
Tidak Sesuai ?
Penampian dengan tampah & perendaman air Ya 5’
Kotoran, perikarp, bagian mengapung
Grits jagung bersih
Penirisan ±30’ Parameter: kadar air grits ±40%
Sesuai?
Tidak Y a Grits jagung ±40 %
Gambar 3.1. Bagan alur persiapan grits jagung untuk fermentasi spontan
35
Grits jagung kadar ±40 % Perendaman dalam wadah tertutup, ±27 °C air steril:jagung = 2:1, sesuai perlakuan.
Grits jagung & air perendaman hasil perlakuan
Pemupukan sesuai perlakuan
Total TPC, total BAL, total kapang, total khamir, pola pertumbuhan mikroba Isolasi mikroba secara visual & mikroskopik sesuai perlakuan Stok mikroba pada agar miring
Identifikasi mikroba dengan API CHL50 & 70API 20C AUX, slide culture Jenis BAL, kapang, khamir, dan BAL, kapang, khamir amilolitik Gambar 3.2. Identifikasi mikroba yang berperan dalam fermentasi jagung secara spontan Metode Analisis Warna tepung jagung (Whiteness meter) Derajat putih tepung diukur dengan Photoelectric Tube Whiteness meter electric laboratory C-100-3. Untuk mengukur derajat putih terlebih dahulu dilakukan standarisasi dengan menggunakan Barium Sulfat yang dianggap memiliki derajat putih 87 %. Setelah itu sampel-sampel dimasukkan dalam kotak pengukur untuk mengukur derajat putihnya.
36 Jagung pipil varietas Anoman 1 & Pulut harapann
Penggilingan (pin discmill) & pengayakan bertingkat dengan rpm & waktu tertentu
Grits jagung Ø ±4 mm Perendaman air 5’
Kotoran, perikarp, bagian mengapung
Penirisan + 30’
Sesuai ?
Grits jagung kadar air ±40 %
Gambar 3.3. Bagan alur persiapan grits jagung untuk fermentasi terkendali
Kadar air dengan metode pengeringan (AOAC, 2006) Sampel ditimbang sebanyak ±2 g dalam cawan porselin yang telah diketahui beratnya (a), kemudian dikeringkan dalam oven 105 °C sampai berat konstan (b). Kadar air dihitung berdasarkan selisih berat cawan sebelum dan sesudah pengeringan. Kadar Air (% bb) = Kadar abu (AOAC, 2006) Cawan porselen dikeringkan dalam oven terlebih dahulu selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator, ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak ±3 g dalam cawan (B), kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak
37 mengeluarkan asap. Selanjutnya dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400 - 600 C selama 4 - 6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih atau memiliki berat yang tetap. Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (C). Kadar Abu (% bb) =
Grits jagung kadar air ±40 % Perendaman dalam wadah tertutup, ±27 °C AMDK : jagung = 2:1, sesuai perlakuan
Kultur starter cair
Grits jagung hasil fermentasi terkendali sesuai perlakuan Penirisan ±30’
Pengeringan kabinet (40 C, 24 jam) Grits jagung kering hasil fermentasi terkendali sesuai perlakuan
Penggilingan (pin discmill) rpm & menit tertentu
Tepung jagung
Gambar 3.4. Bagan alur proses pembuatan tepung jagung dengan fermentasi terkendali
38 Kadar lemak (AOAC, 2006) Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 – 110 °C selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A). Ditimbang sebanyak ±5 g sampel (B) dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring dan isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksan dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 °C. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator kemudian labu beserta lemak ditimbang (C). Kadar Lemak (%) =
Kadar protein Metode Mikro-Kjeldahl (AOAC, 2006) Sampel sebanyak ±100 mg ditimbang (A) dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 mL. Kemudian ditambahkan 1.9±0.1 g K2SO4, 40±10 mg HgO, dan 3,8±0.1 mL H2SO4. Ditambahkan batu didih pada labu lalu sampel dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Dipindahkan isi labu dan air bekas pembilasnya ke dalam alat destilasi. Labu erlenmeyer 125 mL diisi dengan 5 mL larutan H3BO4 dan ditambahkan dengan 4 tetes indikator, kemudian diletakkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam baik dalam larutan H3BO4. Larutan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8 - 10 mL ditambahkan ke dalam alat destilasi dan dilakukan destilasi sampai didapat destilatnya ±15 mL dalam erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru. Dilakukan perhitungan jumLah nitrogen setelah sebelumnya diperoleh jumLah volume (mL) blanko. Jumlah N (%) = Kadar serat kasar (AOAC 1995) Ditimbang sample kurang lebih 1 g yang telah diekstrak lemaknya (a) ditaruh dengan erlenmeyer 600 mL dam ditambah 3 tetes zat anti buih. Selanjutnya ditambahkan 200 mL larutan H2SO4 0.255 N mendidih dan ditutup dengan pendingin balik. Didiamkan selama 30 menit dengan kadang – kadang digoyang – goyangkan. Disaring suspensi melalui kertas saring. Residu yang tertinggal dalam erlenmeyer dicuci dengan air mendidih. Residu dicuci dalam kertas saring sampai air cucian tidak bersifat asam lagi. Kemudian dipindahkan residu dari kertas saring kedalam erlenmeyer secara kuantitatif. Sisanya dicuci lagi dengan 200 mL larutan NaOH mendidih sampai semua residu masuk kedalam erlenmeyer. Didihkan dengan pendingin balik sambil kadang – kadang digoyang – goyangkan selama 30 menit. Disaring kembali melalui kertas saring yang diketahui beratnya (b) sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10 % . Residu dicuci
39 sekali lagi dengan air mendidih, kemudian dengan alcohol 95 % kurang lebih 15 mL. Kertas saring dikeringkan pada 110 °C sampai berat konstan (1 - 2 jam), didinginkan dalam desiktor dan ditimbang (c). Kadar karbohidrat by difference (AOAC, 1995) Pengukuran kadar karbohidrat menggunakan metode by difference dilakukan dengan perhitungan sebagai berikut: Kadar karbohidrat (% bb) = 100 % - (kadar air + abu + protein + lemak) Kadar amilosa secara spektrofotometri (Juliano 1971) Sampel sebanyak 100 mg dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, kemudian ditambahkan 1 mL etanol 95 % dan 9 mL NaOH 1 N. Larutan dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar atau dipanaskan dalam penangas air bersuhu 100 °C selama 10 menit dan didinginkan selama 1 jam. Larutan kemudian diencerkan dengan air suling menjadi 100 mL, dipipet sebanyak 5 mL, dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL yang berisi 60 mL air. Selanjutnya ditambah 1 mL asam asetat 1N dan 2 mL I2 2 % dan diencerkan sampai volume 100 mL. Larutan dikocok dan didiamkan selama 20 menit, kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Kadar amilosa dihitung dengan rumus : Kadar amilosa (% bk) = di mana fk =
=
Keterangan : A620 = absorban sampel ka = kadar air 20 dan 1000 = faktor pengenceran fk = faktor koreksi
Enumerasi Mikroba (Nago et al. 1998) Sebanyak 10 gram campuran grits jagung dan air perendam dihomogenisasi dengan 90 mL larutan garam fisiologis-pepton steril (5 g pepton, 8.5 g NaCl, dilarutkan dengan 1000 mL air destilasi, pH 7.0 + 0.2). Berikutnya dilakukan pengenceran berseri hingga 10-7 (1:10, 1:100, 1:1000, dan seterusnya). Dari pengenceran yang ditetapkan, 1 mL campuran dipupukkan pada media cawan (a) PCA untuk enumerasi total mikroba, (b) MRS agar untuk BAL; (c) MRS-Starch (2 % pati yang larut glukosa) + 1 % aniline blue untuk BAL amilolitik; (d) Yeast Extract Glucose Agar dengan penambahan oksitetrasiklin setelah diautoclaf untuk kapang dan khamir; dan (e) Yeast Extract Glucose Agar-starch (2 % pati yang larut glukosa) untuk kapang dan khamir amilolitik secara duplo. Cawan diinkubasi pada suhu 300C selama 48 jam untuk mikroba non-amilolitik dan 5
40 hari untuk mikroba amilolitik. Enumerasi dilakukan pada selang waktu 0, 4, 12, 24, 36, 48, 60 dan 72 jam. Pemupukan menggunakan metode tuang dilakukan dengan cara mengambil sampel yang telah diencerkan sebanyak 1 mL kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri steril lalu ditambahkan media agar sebanyak 15 - 20 mL. JumLah koloni dihitung setelah inkubasi selama 48 jam. Koloni mikroba dihitung dengan rumus Standar Plate Count sebagai berikut: N = C {[1*n1)+(0.1*n2)+ ....]*(d)} Di mana: N = JumLah koloni per mL atau per gram produk ∑C = jumLah semua koloni yang dihitung dari 2 cawan n1 = jumLah cawan pada pengenceran pertama n2 = jumLah cawan pada pengenceran kedua d = pengenceran pertama yang dihitung Limit deteksi metode plating berkisar 25 hingga 250 koloni. Ketika dalam cawan terdapat koloni kurang dari 25, maka dikatakan bahwa berjumlah, 2.5x101 CFU/mL. Jika tidak ditemukan koloni dalam cawan hingga pengenceran terendah, maka pelaporannya sebanyak 1.0x 101 CFU/mL. Namun jika koloninya melebihi 250, maka dianggap sebagai TBUD (tidak bisa dihitung). Perhitungan spora kapang secara mikroskopik menurut Petroff-Hauser (Fardiaz 1992) dilakukan dengan pertolongan kotak-kotak skala, di mana dalam setiap ukuran skala seluas 1 mm 2 terdapat 25 kotak besar dengan luas 0,04 mm 2 dan tiap kotak besar terdiri dari 16 kotak kecil. Tinggi contoh yang terletak di antara gelas obyek dengan gelas penutup adalah 0.02 mm. JumLah sel dalam beberapa kotak besar dihitung, kemudian jumlah sel rata-rata dalam 1 kotak besar. Jumlah sel per mL dihitung sebagai berikut: ∑sel per contoh = ∑ sel per kotak besar x 25 kotak x 1/0.02 x 103 = ∑ sel per kotak besar x 1.25 x 105
Isolasi, identifikasi dan pengawetan BAL Setiap koloni BAL yang berbeda secara visual diisolasi dengan jarum ose dan dipindahkan ke media MRSA sampai diperoleh isolat yang terpisah. Isolat yang diperoleh selanjutnya diuji dengan Pewarnaan Gram dan diamati secara mikroskopis. Jika hasil pengujian menunjukkan gram positif maka dilanjutkan uji katalase negatif dengan H2O2. Selanjutnya isolat BAL diidentifikasi dengan perangkat cepat API 50CH. Isolat BAL yang sudah diketahui spesiesnya diuji sifat amilolitiknya dengan menggunakan media MRSA yang ditambah pati yang larut glukosa sebanyak 2 %. Isolat BAL hasil isolasi pada fermentasi spontan yang telah diidentifikasi dipindahkan ke dalam media MRS broth dan diinkubasi selama 2 hari. Selanjutnya satu ose kultur diinokulasikan ke media agar tegak semisolid MRSA
41 yang ditambah 1% CaCO3 lalu diinkubasi selama 2 hari pada suhu 37 °C dan disimpan dalam refrigerator sebagai stok kultur.
Isolasi, identifikasi dan pengawetan khamir Setiap koloni khamir yang berbeda secara visual diisolasi dengan jarum ose dan dipindahkan ke media PDA sampai diperoleh isolat terpisah. Isolat yang diperoleh selanjutnya diuji dengan pewarnaan sederhana dengan kristal violet dan selanjutnya isolat khamir diidentifikasi dengan perangkat cepat API 20C AUX. Isolat khamir yang sudah diketahui spesiesnya diuji sifat amilolitiknya dengan menggunakan media PDA yang ditambah pati yang larut glukosa sebanyak 2 %. Isolat khamir hasil isolasi pada fermentasi spontan yang telah diidentifikasi dipindahkan ke dalam media PDA dan diinkubasi selama 2 hari. Selanjutnya satu ose kultur diinokulasikan ke media agar miring PDA lalu diinkubasi selama 2 hari pada suhu 37 °C sebagai stok kultur untuk disimpan dalam refrigerator. Isolasi, identifikasi dan pengawetan kapang Setiap koloni kapang yang berbeda secara visual diisolasi dengan jarum ose dan dipindahkan ke media PDA sampai diperoleh kapang yang terpisah. Isolat kapang yang diperoleh selanjutnya diidentifikasi dengan menumbuhkan pada media PDA dan CYA. Kultur diinkubasi selama 7 x 24 jam pada suhu 5, 28 dan 37 °C. Koloni yang tumbuh diamati warna dan diukur diameternya. Setelah itu isolat kapang dibuat menjadi preparat kultur slide dan diuji di bawah mikroskop. Identifikasi genus dan spesies kapang dilakukan dengan membandingkan tipe conidiophores, bentuk metulae, phialide, dan conidia dengan Pitt dan Hocking (2009) serta Samson et al. (1981). Selanjutnya isolat diuji aktivitas amilolitik dengan menggunakan media PDA yang ditambah pati yang larut glukosa sebanyak 2 %. Isolat kapang hasil isolasi pada fermentasi spontan yang telah diidentifikasi dipindahkan ke dalam media PDA dan diinkubasi selama 5 hari. Selanjutnya satu ose kultur diinokulasikan ke media agar miring PDA lalu diinkubasi selama 5 hari pada suhu 37 °C sebagai stok kultur untuk disimpan dalam refrigerator. Pembuatan kultur slide (Harrigan 1998) Untuk membuat kultur slide dibutuhkan cawan petri yang didalamnya terdapat kaca obyek yang diletakkan di atas batang U atau V. Perangkat tersebut berada dalam keadaan steril. Satu tetes media CYA steril diletakkan di atas kaca obyek yang berada di dalam cawan petri. Selanjutnya dilakukan inokulasi kapang pada media agar tepat di tengah dengan menggunakan jarum ose. Media yang telah diinokulasi kemudian ditutup degan cover glass. Akuades steril diteteskan ke dalan cawan petri tanpa membasahi gelas obyek yang ada di dalamnya. Selanjutnya kultur slide diinkubasi pada suhu 28 – 30 °C sekitar 2 - 4 hari. Bila spora telah muncul, cover glass diangkat dan diletakkan pada gelas obyek lain yang telah diberi cairan pewarna lactophenol cotton blue, kemudian struktur kapang diamati di bawah mikroskop.
42 Pembuatan starter kultur mikroba Satu ose kapang digoreskan di atas agar miring PDA dan diinkubasi pada suhu 30 °C selama 5 hari. Setelah 5 hari kapang dipanen dengan mengerok permukaan agar, melarutkannya dalam 10 mL air steril dan mengencerkannya dengan tepat untuk menghitung jumlah koloni dengan hemasitometer. Kultur khamir disiapkan seperti di atas tetapi diinkubasi pada suhu 30 °C selama 2 hari. Penghitungan jumlah khamir juga dengan menggunakan hemacytometer. Sementara itu, kultur BAL disiapkan dengan memindahkan setiap satu ose kultur BAL ke dalam median MRS broth dan menginkubasi selama 24 jam pada suhu 30 °C dengan menggunakan inkubator bergoyang. Setelah 24 jam, kultur disetrifugasi secara aseptik selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm pada suhu 4 °C dan pellet sel dilarutkan dalan buffer fosfat. Fermentasi dengan penambahan kultur starter Kultur starter lengkap dibuat dari semua kapang, khamir, dan BAL yang telah disiapkan seperti di atas. Kultur starter amilolitik dibuat dari Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum, and Candida famata. setiap kultur mikroba diinokulasi ke dalam wadah berisi grits jagung dan air sedemikian rupa sehingga konsentrasi awal masing-masing mikroba 106 CFU/mL. Fermentasi yang dipelajari terdiri dari: fermentasi spontan, yaitu merendam grits jagung dalam air sebagai kontrol (SF) dan fermentasi dengan penambahan kultur starter. Dua perlakuan pada fermentasi dengan penambahan kultur starter terdiri dari: (CC) fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap pada 0 jam / awal fermentasi, dan (AC) fermentasi CC dengan inokulasi tambahan kultur starter amilolitik pada 16 jam fermentasi. Pengamatan dilakukan pada tepung yang dihasilkan dari grits setelah 0, 36, 48, dan 72 jam fermentasi. Aktivitas Enzyme activity (EC.3.2.1.1) Campuran grits jagung dan air setelah 0, 4, 12, 24, 36, 48, dan 72 jam fermentasi, disentrifugasi pada 7000 rpm, 4C selama 10 menit dan larutan bebas padatan diambil untuk diukut aktivitas enzimnya. Aktivitas enzim ditentukan dengan mengukur pembentukan gula pereduksi oleh enzim yang menghidrolisis pati (EC.3.2.1.1). Nilai pH (AOAC 1995) Pengukuran pH dilakukan pada air perendam dan tepung jagung. Untuk sampel yang berupa air, sampel tersebut langsung diukur pHnya, sedangkan untuk sampel yang berupa tepung dilakukan preparasi terlebih dahulu. Preparasi sampel dilakukan dengan menambahkan 20 mL aquadest dalam 1 gram tepung, Kemudian dikocok dengan stirer dan kemudian ditambah lagi dengan 50 mL aquadest dan dihomogenkan. Sampel dibiarkan selama 1 jam kemudian diukur pH supernatan. Alat pHmeter sebelumnya telah dikalibrasi dengan 2 buah buffer yaitu buffer 4 dan buffer 7. Elektroda dibiarkan beberapa saat sampai pembacaan stabil. Angka pH yang terbaca diatur dengan menggunakan tombol kalibrasi sampai diperoleh angka pH yang sesuai dengan pH buffer. Nilai pH dibaca setelah
43 menunjukan angka yang stabil. Penentuan asam tertitrasi (AOAC,1995) 1. Standarisasi NaOH Sebanyak 0.2 g KHP (BM=204,228) ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL. Selanjutnya dilarutkan dengan 25 mL aquades dan diteteskan dengan 2 - 3 tetes indikator fenolftalin. Kemudian dititrasi dengan larutan NaOH hingga terbentuk warna merah muda yang bertahan selama 15 detik. Normalitas NaOH dihitung dengan rumus : Normalitas NaOH = 2. Persiapan sampel Total asam tertitrasi ditentukan dengan prinsip titrasi asam basa. Sebanyak 10 mL contoh dilarutkan menjadi 250 mL dalam labu takar dengan menggunakan akuades. Setelah itu diambil sebanyak 50 mL lalu ditambahkan 2-3 tetes indikator fenolftalin. Campuran kemudian dikocok dengan NaOH 0.1 N yang telah distandardisasi menggunakan asam oksalat. Titrasi dihentikan jika warna berubah menjadi merah muda.
%TAT = Fp = faktor pengenceran Kapasitas penyerapan air secara gravimetri (Kadan et al. 2003). Tabung sentrifuse diisi 2 g sampel tepung jagung yang ditimbang berat tabung dan sampel (a), kemudian ditambah 9 mL aquadest dan divortex. Selanjutnya didiamkan selama 30 menit kemudian disentrifuse 3000 rpm selama 15 menit dan didekatansi, kemudian ditimbang beratnya (b). Kapasitas penyerapan air = Kapasitas penyerapan minyak secara gravimetri (Kadan et al. 2003). Sebanyak 1 g sampel tepung jagung dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse dan ditimbang beratnya (a), dicampur dengan 9 mL minyak kemudian divortex selama 1 menit dan ditempatkan dalam waterbath 50 °C selama 15 menit. Kemudian divortex lagi selama 1 menit dan dipanaskan dalam waterbath 50 °C selama 15 menit. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi selama 10 menit pada 1650 x g, dilakukan dekatansi minyak dan ditimbang beratnya (b). Kapasitas penyerapan minyak =
44 Sifat adonan tepung jagung menggunakan Rapid Visco Analyzer TecMaster Newport Scientific Pty Limited Australia (RVA standar 2) Karakteristik pasting diukur dengan Rapid Visco Analyzer (RVA) tipe RVA-S4 dengan profil analisis standar 2. Sebanyak 3.5 gram sampel tepung (kadar air 14%) dicampur dengan 25 gram akuades di dalam wadah sampel. Wadah berisi sampel selama 1 menit pertama diputar pada kecepatan 160 RPM dan suhu 50 °C. Selanjutnya, sampai menit ke 8.5, suhu pemanasan dinaikkan dari 50 °C menjadi 95 °C. Suhu dijaga konstan pada 95 °C selama 5 menit (sampai menit ke 13.5). Setelah pemanasan konstan, suhu diturunkan menjadi 50 °C (pada menit ke 21) dan dipertahankan pada suhu 50 °C selama 2 menit (sampai menit ke 23). Dari kurva RVA akan diperoleh nilai dari suhu awal pasting (TP), suhu viskositas maksimum (T maks), viskositas puncak (VP), viskositas trough dan viskositas akhir (Gambar 2.5). Nilai viskositas breakdown (VB) dihitung sebagai selisih antara viskositas puncak dikurangi dengan viskositas trough. Viskositas setback (VS) adalah nilai dari viskositas akhir dikurangi dengan viskositas trough. Viskositas breakdown relatif (VB-R) adalah persen rasio dari viskositas breakdown dengan viskositas puncak sementara viskositas setback relatif (VS-R) merupakan persen rasio dari viskositas balik dengan viskositas panas. Kekuatan dan kelengketan gel menggunakan Texture Analyzer. Pengukuran kekuatan dan kelengketan gel dilakukan dengan menggunakan alat Stable Micro System (TAXT-2 Texture Analyzer). Pembuatan gel dilakukan dengan memodifikasi metode yang dikembangkan oleh Lee (2011). Gel dibuat dengan melarutkan 15 g tepung dalam 100 mL air destilasi kemudian dipanaskan selama 15 menit pada suhu 92C. Pasta yang masih panas dimasukkan ke dalam silinder plastik (diameter bagian dalam ±3.5 cm, tinggi 2.0 cm), ditutup dengan plastik dan disimpan selama 24 jam dalam lemari pendingin (suhu ± 4C). Gel ditekan dengan silinder berdiameter 1 cm dan panjang 2.5 cm. Kecepatan probe 1.00 mm/s; beban 100 g dan kedalaman 4 mm.
Analisa Data Pengaruh jenis starter dan waktu fermentasi terhadap terhadap sifat fisikokimia tepung jagung. Untuk mengetahui pengaruh jenis starter dan waktu fermentasi terhadap sifat fisikokimia tepung jagung yang dihasilkan data yang diperoleh dibuat ratarata dan dihitung standar deviasinya dan dilihat trend yang terjadi.
45 4
ISOLATION AND IDENTIFICATION OF MICROORGANISMS DURING SPONTANEOUS FERMENTATION OF MAIZE 1
[Isolasi dan Identifikasi Microorganisme pada Fermentasi Spontan Jagung] Rahmawati2,3), Ratih Dewanti-Hariyadi2,4)*, Purwiyatno Hariyadi2,4), Dedi Fardiaz2,4) and Nur Richana5) 2)
Department of Food Science and Technology, Bogor Agricultural University, Kampus IPB Darmaga, Bogor, Indonesia 3) Department of Food Technology, Sahid University, Jakarta, Indonesia 4) Southeast Asia Food Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, Bogor Agricultural University, Kampus IPB Darmaga, Bogor, Indonesia 5) Indonesian Center for Agricultural Post Harvest Research & Development (ICAPRD), Bogor, Indonesia Submitted 05 April 2013 / Accepted 12 June 2013
ABSTRACT Maize was traditionally the second most common staple food in Indonesia. Conversion to maize flour has been accomplished to improve its convenience. Traditionally, maize flour is produced by soaking the kernels in water followed by grinding. It was reported that final physicochemical characteristics of the maize flour were influenced by spontaneous fermentation which occurred during soaking. This research aimed to isolate and identify important microorganisms that grew during fermentation thus a standardized starter culture can be developed for a more controlled fermentation process. Soaking of maize grits was conducted in sterile water (grits:water=1:2, w/v) in a closed container at room temperature (±28ºC) for 72 hours. After 0, 4, 12, 24, 36, 48, 72 hours, water and maize grits were sampled and tested for the presence of mold, yeast, and lactic acid bacteria (LAB). Isolates obtained from the spontaneous fermentation were reinoculated into the appropriate media containing starch to observe their amylolytic activity. Individual isolate was then identified; mold by slide culture method, while yeast and LAB by biochemical rapid kits, i.e. API 20C AUX and API CH50, respectively. The number of each microorganism was plotted against time to obtain the growth curve of the microorganisms during spontaneous fermentation. The microorganisms were identified as Penicillium chrysogenum, Penicillium citrinum, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Rhizopus stolonifer, Rhizopus oryzae, Fusarium oxysporum, Acremonium strictum, Candida famata, Kodamaea ohmeri, Candida krusei/incospicua, Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, L. brevis1, L. plantarum1b, and L. paracasei ssp paracasei3. Four molds and one yeast were amylolytic while none of the LAB was capable of 1
Telah diterima untuk dipublikasi pada J.Teknol. dan Industri Pangan 24 (1): 38-44 tahun 2013.
46 starch hydrolysis. The growth curve suggested that the amylolitic mold and yeast grew to hydrolyze starch during the course of fermentation, while the LABs benefited from the hydrolyzed products and dominated the later stage of the fermentation. Keywords: amylolytic, LAB, maize, mold, yeast, spontaneous fermentation ABSTRAK Jagung merupakan makanan pokok kedua terpenting di Indonesia dan berbagai upaya telah dilakukan untuk memproduksi tepung jagung guna meningkatkan kemudahan penggunaannya. Secara tradisional, tepung jagung dibuat dengan merendam biji jagung dalam air, diikuti dengan proses penggilingan. Selama perendaman terjadi fermentasi spontan yang telah dilaporkan dapat mempengaruhi karakteristik fisiko kimia tepung jagung yang dihasilkannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan meng-identifikasi mikroba penting yang tumbuh selama fermentasi spontan jagung sehingga dapat dikembangkan kultur starter standar untuk proses fermentasi terkendali. Grits jagung direndam dalam air steril (grits : air = 1:2, b/v) dalam wadah tertutup pada suhu kamar (±28 ºC) selama 72 jam untuk mensimulasi proses fermentasi spontan. Setelah 0, 4, 12, 24, 36, 48, 72 jam, sampel air dan grits jagung diambil untuk dianalisis jenis kapang, kamir, dan bakteri asam laktat (BAL) yang tumbuh. Isolat yang diperoleh dari fermentasi spontan diinokulasi kembali pada media yang sama dengan menambahkan pati untuk mengamati aktivitas amilolitiknya. Selanjutnya, masing-masing isolat diidentifikasi: kapang dengan metode slide culture, sementara kamir dan BAL dengan perangkat cepat biokimiawi berturutturut API 20C AUX dan API CH50. Jumlah masing-masing mikroba diplotkan terhadap waktu untuk mendapatkan kurva pertumbuhan mikroba selama fermentasi spontan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mikroba yang tumbuh selama fermentasi spontan terdiri dari kapang Penicillium citrinum, P.chrysogenum, Aspergillus flavus, A. niger, Rhizopus stolonifer, R.oryzae, Fusarium oxysporum, Acremonium strictum, khamir Candida famata, Kodamaea ohmeri, Candida krusei/incospicua, serta bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, L. brevis1, L. plantarum 1b, dan L. paracasei ssp paracasei3. Empat kapang dan satu kamir bersifat amilolitik sementara tidak ada BAL yang bersifat amilolitik. Kurva pertumbuhan menunjukkan bahwa kapang dan kamir amilolitik tumbuh dan menghidrolisis pati selama fermentasi awal sementara BAL memanfaatkan produk hasil hidrolisis dan mendominasi tahap selanjutnya selama fermentasi. Kata kunci: amilolitik, BAL, jagung, kapang, kamir, fermentasi spontan
47 INTRODUCTION2 Maize used to be an important staple food in Indonesia but has became less popular because of the inconvenience in its preparation. Traditionally, maize flour is made by soaking of the maize kernel in water followed by draining, grinding and drying. The length of the spontaneous fermentation occurred during soaking was reported to have influence in the physicochemical characteristics of the maize flour (Aini et al. 2010). Several studies on spontaneous fermentation of maize have been reported, such as in ogi production (Nago et al. 1998) and pozol (ben Omar and Ampe 2000). During the fermentation, amylolytic, lipolytic, and proteolytic bacteria, molds as well as yeasts were isolated. Presence of various microorganisms during fermentation were thought to affect the physicochemical properties of white maize flour produced (Aini et al. 2010). The spontaneous fermentation decreased the protein, fat, crude fiber, ash, starch, reducing sugar, pH, bulk density, and fat absorption capacity of the flour produced, while increased the bulk angle, whiteness, and water absorption capacity. Aini et al. (2010) reported that fermentation for 24 hours reduced the gelatinization tem-perature from 82 to 76.2C. Meanwhile fermentation for 72 hours increased the gelatinization temperature of the maize flour to 85.2C. Fermentation for 48 hours increased the flour peak viscosity (648 BU), while 72 hours fermentation decreased its peak viscosity to 550 BU which was similar to the unfermented flour. Fermentation for 12 to 60 hours increased the heat stability of the maize flour. Meanwhile, fermentation for up to 36 hours reduced the retrogradation tendency of the maize flour and soaking 48 hours increased the gel strength as compared to unfermented flour. The above results suggest that it is possible to control the fermentation process to achieve desired physicochemical properties of the maize flour. At the present, maize fermentation commonly rely on the naturally occuring microorganisme in the raw materials. Therefore, a consistent quality of the product may be difficult to achieve. The use of known microorganisms originated from the spontaneous fermentation is expected to better control the quality of the product. The study aims to isolate and identify microorganisms naturally growing during spontaneous fermentation of maize. The microorganisms isolated can be further used to design a starter culture for a controlled fermentation to produce maize flour with desired physicochemical characteristics. MATERIALS AND METHODS Materials The maize used in this study was of Anoman type1 local variety obtained from the Cereal Crops Research Center, Maros, Sulawesi. Maize grits was obtained by grinding using a pin disc mill followed by sievering with a shaker-siever.
48 Spontaneous fermentation of maize grits Maize kernels were washed with sterile distilled water (kernel:water=1:4, w/v, 5 mins) and made into grits (+ 4 mm in diameter) by using pin disc mill. The resulting grits were then sieved by mesh siever 10 and the grits retained in the siever were collected. After that, grits were washed in sterile water (grits:water =1:4, w/v, 5 mins), floating and unused part were discharged, and drained for 30 mins. Fermentation of the maize grits was carried out by soaking the grits with sterile water (grits:water = 1:2 w/v) in a covered container at room temperature (±28C) for up to 72 hours (modified from Aini et al. 2010). Sampling was done at 0, 4, 12, 24, 36, 48, and 72 hours of fermentation. Enumeration of microorganisms (Nago et al. 1998) Samples of maize grits and water (10 g) were homogenized with 90 ml of sterile peptone physiological saline solution. One ml of the appropriate dilution were plated onto media (a) Plate Count Agar (PCA, Oxoid) for total plate count (TPC), (b) de Man Rogosa and Sharpe Agar (MRSA, Oxoid) added with 0.5% CaCO3 for LAB; (c) Yeast Extract Glucose Agar (YEGA, Oxoid) and 0,01% oxytetracyclin for yeasts and (d) Acidified Potato Dextrose Agar (APDA, Oxoid) for molds. Plates were incubated at 30C for 24 hours for TPC and LAB, 48 hours for yeast and 5 days for mold. Enumeration for each visually distinct colony was quantified at all sampling times. Microbial isolation and identification Any visually distinct bacterial, yeast or mold colony appearing on the plates was isolated and streaked onto the appropriate media until single colonies were obtained. The isolated bacterial colony was Gram stained, microscopically observed and tested for catalase activity. LAB isolates were further identified using API 50CH. Yeast isolates were identified using API 20C AUX rapid kits. Individual mold isolate was streaked onto media APDA and Czapek Yeast Extract Agar (CYA) and incubated for 7 x 24 hours at 5, 28 and 37°C. The color and diameter of the colonies were observed and recorded. The mold growth on the above media was made into slide culture preparates on CYA and observed under microscope and the conidiophore types, metulae, phialide, and conidia forms were compared to these described in Pitt and Hocking (2009) and Samson et al. (1981). The amylolytic activity of the isolates was observed on MRS containing-2% starch + 1% anyline blue for LAB; or YEGA containing-2% starch for molds and yeasts. Determination of pH (AOAC 1995) The pH of the media at various fermentation time was measured according to AOAC (1995). Enzyme activity (EC.3.2.1.1) The mixture of maize and water after 0, 4, 12, 24, 36, 48, and 72 hours of fermentation was centrifuged at 7000 rpm at 4C for 10 min and the substrate-free supernatant was used for estimation of enzyme activity. The amylase activity was
49 determined by measuring the reducing sugar formed by the enzymatic hydrolysis of starch (EC.3.2.1.1). RESULT AND DISCUSSION
10,0 5,8 5,9 9,0 8,0 7,0 6,0 5,0 4,3 4,3 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 0
9,1
8,8
8,4 4,9
4,4
9,1
8,7 7,0 6,0
4,9
4,4 5,0
4,3
4,0 3,0
pH Value
Total Microbes (log CFU/mL)
Growth of naturally occuring microorganisms during spontaneous fermentation During spontaneous fermentation for 72 hours, the total microorganisms grew from 4.3 to 8.7 log CFU/mL. In the first two hours the number of microorganisms remained constant suggesting an adaptation period (lag phase). This phase was followed by slow growth during 2-4 h and a rapid growth (log phase) during 4-12 hours of fermentation. After 12 hours the population reached stationary phase as shown by a plateau curve, during which a subset of the population underwent death phase, and concomitantly another group grew. Overall, there is an increase of microbial population of 4 log cycles throughout the 72 hours of fermentation process (Figure 4.1).
2,0 1,0 0,0 12
24 36 48 Fermentation Time (hours) TPC
60
72
pH
Figure 4.1. Total plate counts (TPC) of microorganisms and the pH changes during spontaneous fermentation of maize The pH value During the first four hours of the fermentation, the pH of medium was relatively stable (pH 5.8-5.9). However, the pH experienced a sharp decline during 4-12 hours of fermentation, reaching a pH of 4.4 at 12 hours. The pH was relatively stable afterwards. During lag and early log phase fermentation (0-4 hours), pH did not change much due to lack of microbial metabolisms (pH 5.85.9). The significant decrease in pH corresponds to the rapid growth of the microorganisms during fermentation (Figure 4.1).
50 Microbial isolation and identification Mold isolates During enumeration of the colonies, five visually distinct molds were observed. Initial identification suggested that molds growing during fermentation consisted of Penicillium sp, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Rhizopus sp, and Fusarium sp. Further identification based on slide culture suggested that the Penicillium consisted of 2 species i.e. amylolytic Penicillium citrinum and nonamylolytic Penicillium chrysogenum, the Rhizopus consisted of non-amylolytic Rhizopus stolonifer and R.oryzae, while the Fusarium can be differentiated into amylolytic Acremonium strictum and non-amylolytic Fusarium oxysporum. Since the species of the three genuses can not be differentiated visually, the number of these species was reported as the corresponding genus (Figure 4.2). Description of all molds based on slide culture observation is presented in Table 1. An example of such observation can be seen in Figure 4.3. Figure 4.2 shows that Penicillium and Fusarium were isolated throughout the fermentation process. For Penicillium and Fusarium, each had two peaks of growth. Very likely the first peaks were amylolytic Penicillium citrinum and Acremonium strictum while the following growth curves belongs to the nonamylolytic Penicillium chrysogenum and F.oxysporum. 8
Mold (log CFU/mL)
7
6 5 4 3 2
1 0 0
4
12
24
36
48
60
72
Fermentation Time (hours) Penicillium (chrysogenum & citrinum)
Aspergillus flavus
Aspergillus niger
Rhizopus (stolonifer & oryzae)
Fusarium (oxysporum & A. strictum)
Figure 4.2. Mold growth during spontaneous fermentation of maize Penicillium citrinum is mesophillic and grows at 5-40°C with optimum temperatures of 26-30°C. It grows at pH 2-10 with optimum pH between 5-7. This mold is also xerophillic and grows at aw 0.80-0.84. Penicillium citrinum can produce a toxin, citrinin, at 15-37°C with the optimum temperature of 30°C (Sweeney and Dobson 1998). Citrinin, also known as a yellow rice toxin (Pitt and
51 Hocking 2009) is found in rice (Kumar 2008). Penicillium chrysogenum is commonly found in maize. The mold is an endophyte which is widespread in nature and is often found living on food and indoor environment. This mold can produce antibiotics such as penicillin, chrysogine, xanthocillins, secalonic acids, sorrentanone, and PR-toxin (Meng 2011; van den Berg 2010). The main source of Acremonium strictum is maize, but it can be found in black bean seeds, raw cork, wheat, barley, rice, bananas with crown rot, fresh vegetables, peanuts, pecans, hazelnuts and walnuts, soybeans, frozen meat, salami and biltong. A. strictum and other Acremonium species encountered in foods are not known to produce mycotoxins (Pitt and Hocking 2009). Acremonium strictum as an endophytic fungi benefits from the host plant, i.e. nourishment, water, and physical protection against biotic and abiotic adversities. Meanwhile, the host plant may be protected by the endophyte that produce secondary metabolites, e.g. alkaloids, antibiotics, or toxins that may be toxic to pathogenic fungi (D’amico et al. 2008). Wicklow et al. (2005) reported that A. strictum, also known as Acremonium zeae is antagonistic to kernel rotting and mycotoxin producing fungi Aspergillus flavus and Fusarium verticillioides in cultural tests for antagonism, and interferes with A. flavus infection and aflatoxin contamination of preharvest maize kernels. Table 4.1. Description of molds growing during spontaneous fermentation maize grits Visual Observation of Colonies White hypae, blue-greenish spores
White hypae, blue-greenish yellow spores
White hypae, short, gray to black spores
Slide Culture Observation Colonies are yellow-gray with diameter of 27.7 mm after 7 days incubation at room temperature. When incubated at 37°C colonies are tosca green with 25-32 mm diameter. Conidiophores have three-stage branch pattern. Metulae somewhat cylindrical with an average number phialide 5. Phialide looks like a flask. Conidia roundish shaped and translucent. Conidiophores have one-stage branch pattern which grow from the surface of hyphae. At the top there are metulae with an average of 3, growing spread. Phialides looks like a flask with an average number 6. Conidia are spherical and translucent. Conidiophores are translucent. Vesicles are roundish in shape. Phialides grow directly on the vesicle. Conidia are spherical and conidial heads have radiate type. Conidiophores are translucent. Vesicles are roundish. Phialides grow on the metulae. Metulae are translucent. Conidia are spherical and conidial heads have radiate type.
Identification
Amylolytic Activity
Penicillium chrysogenum
Nonamylolytic
Penicillium citrinum
Amylolytic
Aspergillus flavus
Amylolytic
Aspergillus niger
Amylolytic
52 Visual Observation of Colonies White hypae, long, grays and black spore
White hypae, pink and orange
Slide Culture Observation Sporangiophore are tall, mostly grown on their own. Sporangium are rounded, rounded-oval columella, and elliptical sporangiospore. There are branched rhizoid and no clamydospora. There are long stolon that connected sporangiophore. Sporangiophore mostly grown on their own. The sporangiospore grows directly from the stolon without rhizoid. Sporangium are roundish shape. Clamydospora are oval and columella are rounded shape. Mycelium grow sparsely and pink colored after 24 hours incubation at room temperature. After 48 hours incubation, mycelium are purple. Conidia have septat. Phialids are oval-shaped. Conidiophores have a short branch and there are chlamydospora. Colonies are orange with a diameter of 1317 mm after 7 days incubation at 37°C. Conidiophores are simple and not branched. Phialides are slender and unbranched which grow at slightly fasciculate aerial hyphae. Slimy head are rounded-ellips and translucent which contain conidia.
Identification
Amylolytic Activity
Rhizopus stolonifer.
Nonamylolytic
Rhizopus oryzae
Nonamylolytic
Fusarium oxysporum
Nonamylolytic
Acremonium strictum
Amylolytic
Fusarium oxysporum is known to produce trichothecenes which have been linked to alimentary toxic aleukia, fusario-toxicoses and are cytotoxic to mammalian cells. These toxins are produced at the optimal growth conditions for Fusarium (Sweeney and Dobson 1998). The average concentration of trichotheces found in maize is 226.2 μg/kg and ranging from 9.6-745.1 μg/kg (Adejumo et al. 2007). Both Aspergilli were amylolytic but Aspergillus niger seemed to grow throughout the fermentation process while Aspergillus flavus grew well in the first 24 hours and decline afterward. This observation suggested that Aspergillus flavus was not a good competitor and Aspergillus niger as well as other microorganisms may have over grown Aspergillus flavus. This phenomenon is good with regard to food safety because inhibition of Aspergillus flavus is expected to decrease the aflatoxin production during fermentation. Purwijantiningsih et al. (2005) found that Rhizopus oligosporus dan Candida can inhibit the growth of Aspergillus flavus (37.21 %) and aflatoxin production (99.96 %). Recent study in East Java, Indonesia, showed that aflatoxins were found in 30 % of maize at farmer level at the concentrations of more than 20 ppb and 10 % of maize contains aflatoxin more than 100 ppb. At the trader level, the frequency of finding the toxin in maize was even higher, i.e. 45 % of maize contain aflatoxin more than 20 ppb with 18% contain more than 100 ppb of aflatoxins (Rahayu,
53 2008). Unfortunately, Aspergillus niger is also known to produce other mycotoxin, i.e. ochratoxin A (OTA) at 15 – 40 °C which could lead to nephrotoxin. OTA’s production is low at aw 0.92 and temperature 25 - 40 °C (Alborch et al. 2011).
Figure 4.3. An example of microscopic observation of mold slide culture identified as Acremonium strictum According to Sweeney and Dobson (1998), Fusarium, Aspergillus and Penicillium are commonly found as contaminants in cereals and legumes during drying and storage. Kaaya and Kyamuhangire (2006) also isolated Aspergillus, Fusarium, Penicillium, and Rhizopus in dried and stored maize. Amusa et al. (2005) also reported that during spontaneous fermentation of maize and soybeans for the making of ogi, Aspergillus niger, Aspergillus flavus, Fusarium oxysporum, and Rhizopus stolonifer were found. Pitt and Hocking (2009) stated that Fusarium sp, and Penicillium sp were commonly found in preharvest maize, while Aspergillus flavus can be found in preharvest maize and during storage. Maize is a good substrate for mold growth because it contains high protein and carbohydrate needed for mold growth (Alborch et al. 2011). Generally maize has moisture contents of 10.4 – 15.1 % at 12 – 40 °C. When stored at ambient temperature, maize will support Aspergillus flavus and Aspergillus niger that grow well at 32 – 33 C and 25 – 40 C, Penicillium sp at 26 – 30 °C, Fusarium sp at 24-26°C (Sweeney and Dobson 1998). Meanwhile Rhizopus stolonifer and Rhizopus oryzae’s optimum growth are at 25 C (Ramos-Gracia et al. 2012) and 37 C (Pitt and Hocking 2009), respectively. Both Rhizopus were non amylolytic and grew in low number during fermentation. Amusa et al. (2005) reported the presence of Rhizopus sp in white maize (10.5 %) and yellow maize (9.5 %). R oryzae has cellulase, xylanase, pectinase, tannase, protease, phytase and lypase activities (Ghosh and Ray 2011) which probably explains the low number of the mold when competing with
54 various amylolytic mold presence. Rhizopus stolonifer is not pathogenic (Pitt and Hocking 2009), but causes rot in fruits (Hahn et al. 2004). Growth of amylolytic Fusarium, Aspergilli and Penicillium resulted in carbohydrate hydolysis to produce simpler sugar. This will trigger growth of the successive molds of Penicillium chrysogenum, Fusarium oxysporum, and Rhizopus.This overall process is expected to influence the quality of the maize, especially with regard to its digestibility. Yeast isolates Isolation of yeast in YEGA resulted in four visually distinct colonies (Table 4.2). However, biochemical identification suggested that the four isolates belong to three species, i.e. Candida famata, Kodamaea ohmeri, and Candida krusei or C. incospicua (Figure 4.4). Growth of yeast and LABs are commonly observed in naturally fermented maize, such as those during the production of ogi, kenkey, mawe, and mahewu, traditional foods of of West Africa. These microorganisms are reported to play important role in aroma and flavor production as well as the stability of the final products. LABs and yeast affect the taste and structure of the dough in kenkey making (Omemu et al. 2007). Table 4.2. Description of yeasts isolated during spontaneous fermentation of maize grits Amylolytic % Morphology Characteristics API Identification Activity ID Round-shaped, white, mucous, Amylolytic Candida famata 92.8 surface is dull Round-shaped, serrated at the NonKodamaea ohmeri 94.7 edges, cream, mucous, surface is amylolytic dull Round-shape with growing spread, NonCandida 98.9 creamy-white, mucous, surface is amylolytic krusei/incospicua dull Candida krusei is commonly isolated during maize fermentation. Nago et al. (1998) reported that during the fermentation of ogi, yeasts (7 log CFU/g) consisting of Candida krusei and Candida humicola (41%) as well as Geotricum spp. (26 %) were found. Omemu et al. (2007) isolated Candida krusei, Saccharomyces cerevisiae, Candida tropicalis, Geotrichum candidum, Geotrichum fermentans, Rhodotorula graminis on maize fermentation for making ogi. Candida krusei can live in the presence of lactic acid because it has a high tolerance to lactic acid (Halm et al. 2004). In addition Candida krusei can stimulate the growth of Lactobacillus plantarum and found in fermented maize for ogi production that has lipase and esterase activity that may contribute the final flavor of food (Omemu et al. 2007). In this study of Candida krusei grew well and the number was higher than the other two yeasts.
55
Yeast (log CFU/mL)
8,0 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 0
12
24 36 48 Fermentation Time (Hours)
Candida famata
60
72
Kodamaea ohmeri
Candida krusei/incospicua
Figure 4.4. Yeast growth during spontaneous fermentation of maize Candida famata is usually found in plant and soil (Chaturvedi 2003), dairy product especially cheese (Jacques and Casaregola, 2008) and Moroccan sourdough (Mohamed et al. 2007). Candida famata isolated from Moroccan sourdough shows high glucoamylase activity and produces biomass. This amylolytic yeast however did not grow as well as Candida krusei. It has been reported that the yeast also exhibited lipolytic and proteolytic activities (Wojtatowicz et al. 2001). Kodamaea ohmeri, previously known as Pichia ohmeri or Yamadazyma ohmeri, is a yeast within the family of Saccharomycetaceae. K. ohmeri is the teleomorphic form of Candida guilliermondii and is widely used for the fermentation of fruit, pickles, and rinds (Yang et al. 2009). Lactic acid bacteria Identification of LAB isolates using API 50CH rapid kit suggest that the the isolates were Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, Lactobacillus plantarum1b, and Lactobacillus paracasei ssp paracasei3. All LABs were not capable of degradating starch. Description of the characteristics of LAB isolated during spontaneous fermentation of maize is presented in Table 4.3 and Figure 4.5. Lactic acid bacteria are the predominant bacteria found in the fermentation of maize products. Nago et al. (1998) reported that during the fermentation of ogi, maize flour is immersed in water for 1 - 3 days at 25 – 35 °C and lactic acid bacteria consisting of Lactobacillus fermentum cellobiosus, Lactobacillus brevis and Lactobacillus fermentum spp grow up to 9 log CFU/g. Other researcher isolated Lactobacillus plantarum, Saccaharomyces cerevisiae, Candida crusei, Candida tropicalis, Geotrichum candidum, Geotrichum fermentans, and Rhodotorula graminis during ogi fermentatin (Omemu et al. 2007). LAB is also found in Pozol and reach 7 - 8 logs CFU/g during the first day
56 of fermentation, 9 logs CFU/g the second day and then decline to 8 logs CFU/g on the third day. During fermentation of ogi, Streptococus sp (25 – 75 %) and Lactobacillus fermentum were isolated in the first 2 days and followed by Lactobacillus plantarum, Lactobacillus casei, Lactobacillus delbruekii (ben Omar and Ampe 2000 ). Table 4.3. Identification and characteristics of LABs isolated during spontaneous maize fermentation Morphological Characteristics API Identification % ID Round-shaped, creamy white, mucous, Lactobacillus 99.9 embossed on the surface of the media, shiny plantarum1a Oval-shaped, white, mucous Pediococcus 96.9 pentosaceus Round shaped, white mucus, growing in the Lactobacillus brevis1 73.4 center of the media Half-round shaped, white, mucous Lactobacillus 54.2 plantarum1b A small oval-shaped, white, mucous Lactobacillus paracasei 99.3 ssp paracasei3
LAB (log CFU/mL)
This study shows that all LABs are non amylolytic, however they grew well throughout the fermentation process and maintained viability until 72 hours of fermentation. Presence of LABs may also contribute to the decrease in Aspergillus flavus. Edema and Sanni (2008) reported that LABs (Lactobacillus plantarum, Lactobacillus brevis, Lactobacillus fermentum, Lactobacillus acidophilus) and yeasts (Pediococcus acidilactici, Leuconostoc mesenteroides, Leuconostoc dextranicum and Saccharomyces cerevisiae) isolated from spontaneously fermented maize can inhibit the growth of Aspergillus flavus. 9,0 8,0 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 0
12
24 36 48 Fermentation Time (Hours)
L. plantarum1a
P. pentosaceus
L. brevis1
L. plantarum1b
60
72
L. paracasei ssp paracasei3
Figure 4.5. Growth of LABs (log CFU/mL) during spontaneous fermentation of maize
57 Amylase activity The amylase activity observed during the spontaneous fermentation of maize grits shows similar pattern with the growth of amylolytic microorganisms. The amylolytic molds and yeast grew at the beginning of fermentation and hydrolyzed starch into simple sugars, which was used by the non-amylolytic organisms. The highest amylase activity was found at 12 hours fermentation (1.7 unit/mL.min), and the activity declined afterward (0.7 unit/mL.min) at 72 hours fermentation (Figure 4.6). The dominance of the lactic acid generated by LAB possibly led to the decrease in mold growth, thus decrease the amylolytic activity. 2,0 1,7
Unit Actvities/mL.min
1,8 1,5
1,6 1,4 1,2
1,1
1,1
1,2
1,1
1,0 0,7
0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 0
12
24 36 48 Fermentation Time (Hours)
60
72
Figure 4.6. Changes in amylase activity during spontaneous fermentation of maize
CONCLUSION Eight species of molds, three species of yeasts, and five species of LAB grew sequentially during spontaneous fermen-tation of maize grits. Four of the eight mold isolates and one of three yeast isolates were amylolytic, i.e. Penicillium citrinum, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Acremonium strictum, and Candida famata. Non amylolytic molds and yeasts that grew during the spontaneous fermentation of maize were Penicillium chrysogenum, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, Fusarium oxysporum, Kodamaea ohmeri and Candida krusei or C. incospicua. Five non amylolytic species of LAB were Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, Lactobacillus plantarum1b, Lactobacillus paracasei ssp paracasei3. Based on the growth curves, it was very likely that amylolytic mold such as Penicillium citrinum, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Acremonium strictum, and Candida famata grew and hydrolized starch during the course of
58 fermentation. Non amylolytic microorganisms grew later on the fermentation benefiting from the hydrolyzed products. The amylolytic activity in the early fermentation was high and decreases with longer fermentation time. ACKNOWLEDGEMENT The authors would like to acknowledge the Indonesian Center for Agricultural Post Harvest Research & Development (ICAPRD), Bogor, Indonesia for funding of this research through the Agricultural Research Partnership program in 2011. REFERENCES Adejumo TO, Hettwer U, Karlovsky P. 2007. Occurrence of Fusarium species and trichothecenes in Nigerian maize. Int J Food Microbiol 116: 350–357. DOI: 10.1016/j.ijfoodmicro. 2007.02.009. Aini N, Hariyadi P, Muchtadi TR, Andarwulan N. 2010. Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan sifat gelatinisasi tepung jagung putih yang dipengaruhi ukuran partikel. J Teknol dan Industri Pangan 21: 18-24. Alborch L, Bragulat MR, Abarca ML, Cabañes FJ. 2011. Effect of water activity, temperature and incubation time on growth and ochratoxin A production by Aspergillus niger and Aspergillus carbonarius on maize kernels. Int J Food Microbiol 147: 53–57. DOI: 10.1016/j.ijfoodmicro.2011.03. 005. Amusa NA, Ashya OA, Oladapo MO. 2005. Microbiological quality of ogi and soy-ogi (a Nigerian fermented cereal porridge) widely consumed and notable weaning food in southern Nigeria. J Food Agric Environ 3: 81-83. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of the Association Analytical Chemistry Inc, Washington D.C. ben Omar N, Ampe F. 2000. Microbial community dynamics during production of the Mexican fermented maize dough pozol. Appl Environ Microb 66: 36643673. Chaturvedi V. 2003. Mycology Proficiency Testing Program January 2003. Wadsworth Center New York State Department of Health. D’amico M, Frisullo S, Cirulli M. 2008. Endophytic fungi occurring in fennel, lettuce, chicory, and celery-commercial crops in southern Italy. Mycol Res 112: 100-107. DOI: 10.1016/j.mycres.2007.11.007. Edema MO, Sanni AI. 2008. Functional properties of selected starter cultures for sour maize bread. Food Microbiol 25: 616–625. DOI: 10.1016/j.fm.2007.12.006. Ghosh B, Ray RR. 2011. Current commercial perspective of Rhizopus oryzae: A Review. J Appl Sci 11: 2470-2486. DOI: 10.3923/jas.2011.2470.2486. Hahn F, Lopez I, Hernandez G. 2004. Spectral detection and neural network Discrimination of Rhizopus stolonifer spores on red tomatoes. Biosyst Eng 89: 93–99 DOI: 10.1016/j.biosystemseng.2004.02.012. Halm M, Hornbæk T, Arneborg N, Sefa-Dedeh S, Jespersen L. 2004. Lactic acid
59 tolerance determined by measurement of intracellular pH of single cells of Candida krusei and Saccharomyces cerevisiae isolated from fermented maize dough. Int J Food Microbiol 94: 97–103. DOI: 10.1016/j. ijfoodmicro.2003.12.019. Jacques N, Casaregola S. 2008. Safety assessment of dairy microorganisms: The hemiascomycetous yeasts. Int J Food Microbiol 126: 321–326. DOI: 10.1016/j.ijfoodmicro.2007. 08.020. Kaaya AN, Kyamuhangire W. 2006. The effect of storage time and agroecological zone on mould incidence and aflatoxin contamination of maize from traders in Uganda. Int J Food Microbiol 110: 217–223. DOI: 10.1016/j.ijfoodmicro.2006. 04.004. Kumar M, Dwivedi P, Sharma AK, Telang AG, Patil RD, Singh ND. 2008. Immunotoxicity of ochratoxin A and citrinin in New Zealand white rabbits. World Rabbit Sci 16: 7-12. DOI: 10.4995/wrs.2008.641. Meng L, Sun P, Tang H, Li L, Draeger S, Schulz B, Krohn K, Hussain H, Zhang W, Yi Y. 2011. Endophytic fungus Penicillium chrysogenum, a new source of hypocrellins. Biochem Syst Ecol 39: 163–165. DOI: 10.1016/j.bse.2011. 02.003. Mohamed L, Zakaria M, Ali A, Senhaji W, Mohamed O, Mohamed E, Berny EL Hassan, Mohamed J. 2007. Optimization of growth and extracellular glucoamylase production by Candida famata isolate. Afr J Biotechnol 6: 2590-2595. Nago MC, Hounhouigan JD, Akissoe N, Zanou E, Mestres C. 1998. Characterization of the Beninese traditional Ogi, a fermented maize slurry: Phisicochemical and Microbiological aspects. Int J Food Sci Tech 33: 307315. DOI: 10.1046/j.1365-2621.1998.00169.x. Omemu AM, Oyewole OB, Bankole MO. 2007. Significance of yeasts in the fermentation of maize for ogi production. Food Microbiol 24: 571-576. DOI: 10.1016/j.fm.2007.01.006. Pitt JI, Hocking AD. 2009. Fungi and Food Spoilage. Springer. Purwijantiningsih E, Dewanti-Hariyadi R, Nurwitri CC, and Istiana. 2005. Penghambatan produksi aflatoksin dari Aspergillus flavus oleh kapang dan kamir yang diisolasi dari ragi tempe. Biota 10: 146-153. Rahayu ES. 2008. Mengantisipasi kontaminasi mikotoksin. Food Rev Indonesia 3: 28-30. Ramos-García M, Bosquez-Molina E, Hernández-Romano J, Zavala-Padilla G, Terrés-Rojas E, Alia-Tejacal I, Barrera-Necha L, Hernández-López M, Bautista-Baños S. 2012. Use of chitosan-based edible coatings in combination with other natural compounds, to control Rhizopus stolonifer and Escherichia coli DH5a in fresh tomatoes. Crop Prot 38: 1-6. DOI: 10.1016/j.cropro.2012.02.016. Samson RA, Hoekstra ES, van Oorschot CAN. 1981. Introduction to Food-Borne Fungi. Institute of The Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences. Sandhu KS, Singh N, Malhi NS. 2007. Some properties of corn grains and their flours I: Physicochemical, functional and chapati-making properties of flours. Food Chemistry 101 (2007) 938–946.
60 Sweeney MJ, Dobson ADW. 1998. Mycotoxin production by Aspergillus, Fusarium and Penicillium Species. Int J Food Microbiol 43: 141–158. van den Berg MA, 2010. Functional characterisation of penicillin production strains. Fungal Biology reviews 24: 73-78. DOI: 10.1016/j.fbr.2010.03.006. Wicklow DT, Roth S, Deyrup ST, Gloer JB. 2005. A protective endophyte of maize: Acremonium zeae antibiotics inhibitory to Aspergillus flavus and Fusarium verticillioides. Mycol Res 109: 610–618. DOI: 10.1017/S0953756205002820. Wojtatowicz M, Chrzanowska J, Juszczyk P, Skiba A, Gdula A. 2001. Identification and biochemical characteristics of yeast microflora of Rokpol cheese. Int J Food Microbiol 69: 135–140. DOI: 10.1016/S01681605(01)00582-7. Yang BH, Peng MY, Hou SJ, Sun JR, Lee SY, Lu JJ. 2009. Fluconazole-resistant Kodamaea ohmeri fungemia associated with cellulitis: Case report and review of the literature. Int J Infect Dis 13: e493-e497. DOI: 10.1016/j.ijid.2009.02.003.
61 5 JUMLAH MIKROBA DAN KOMPOSISI KIMIA TEPUNG JAGUNG PUTIH VARIETAS ANOMAN 1 DAN PULUT HARAPAN HASIL FERMENTASI DENGAN PENAMBAHAN KULTUR STARTER
ABSTRAK Jagung putih lokal sedang dikembangkan di Indonesia khususnya sebagai bahan baku pangan. Pemanfaatan jagung dalam bentuk tepung lebih mudah untuk diaplikasikan sehingga banyak dilakukan. Kebanyakan masyarakat membuat tepung jagung dengan merendam, meniriskan, mengeringkan dan menggiling grits jagung hasil perendaman. Selama perendaman terjadi fermentasi spontan yang memengaruhi karakteristik fisikokimia tepung yang dihasilkan. Proses fermentasi spontan umumnya mengandalkan mikroba yang ada pada bahan baku dan lingkungan sekitar sehingga konsistensi kualitas produk sulit diperoleh. Untuk mendapatkan tepung dengan sifat yang konsisten, maka perlu dilakukan fermentasi yang lebih terkendali misalnya dengan penambahan kultur starter yang komposisi mikrobanya diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari jumlah mikroba selama fermentasi terkendali grits jagung dengan penambahan kultur starter dan komposisi kimia tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan yang dihasilkan. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ada 16 jenis mikroba teridentifikasi selama proses fermentasi grits jagung secara spontan (Rahmawati et al. 2013). Lima belas dari enam belas mikroba digunakan sebagai kultur starter pada penelitian ini. Perlakuan yang diberikan, yaitu: (1) Kontrol (SF)-tanpa penambahan kultur starter; (2) Penambahan kultur starter pada 0 jam fermentasi (CC); dan (3) Penambahan kultur starter pada 0 jam fermentasi dan kultur starter amilolitik pada 16 jam fermentasi (AC). Jumlah mikroba diamati pada 0, 36, 48, dan 72 jam dan jagung yang dihasilkan dibuat menjadi tepung dan dievaluasi sifat kimiawinya. Selama fermentasi jumlah kapang cenderung meningkat sampai 36 jam fermentasi dan selanjutnya menurun hingga 72 jam fermentasi baik pada grits jagung putih varietas Anoman 1 maupun Pulut Harapan. Sementara itu jumlah khamir dan BAL cenderung meningkat untuk semua perlakuan baik pada grits jagung putih varietas Anoman 1 maupun Pulut Harapan. Penambahan kultur starter (perlakuan CC dan AC) dapat meningkatkan jumlah kapang dan khamir pada awal hingga akhir 72 jam fermentasi dibandingkan perlakuan SF, namun tampaknya penambahan kultur starter hanya meningkatkan jumlah BAL di awal fermentasi dan tidak memengaruhi jumlah BAL di akhir fermentasi. Selama fermentasi BAL menghasilkan asam-asam organik yang dapat menurunkan nilai pH air perendam dan tepung yang dihasilkan, sehingga meningkatkan total asam. Selain itu aktivitas enzim-enzim selama 72 jam fermentasi menyebabkan penguraian komponen-komponen tepung sehingga cenderung menurunkan kadar protein, lemak, abu dan serat kasar tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan. Aktivitas enzim selama fermentasi
62 dapat menurunkan kandungan amilosa pada tepung Anoman 1, namun perlakuan 36CC dan 48CC cenderung meningkatkan kandungan amilosa pada tepung jagung varietas Pulut Harapan. PENDAHULUAN Jagung merupakan sumber karbohidrat penting setelah beras di Indonesia. Pemanfaatan jagung khususnya jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut, saat ini sedang dikembangkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian sebagai varietas unggulan nasional karena mengandung pati yang tinggi, warna putih yang menarik, dan produktivitasnya lebih tinggi daripada jagung kuning serta lebih tahan terhadap kekeringan (Qanytah & Prastuti 2008). Jagung putih yang menjadi unggulan nasional antara lain varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan. Jagung putih varietas Anoman 1 tergolong jagung tinggi amilosa (29.92 %), sedangkan varietas Pulut termasuk jagung tipe jagung ketan (waxy corn) dengan kandungan amilopektin 95.75 % dan amilosa 4.25 % (Suarni 2005). Perbedaan kandungan amilosa dan amilopektin diduga memengaruhi sifat fisikokimia tepung yang dihasilkan. Secara tradisional, tepung jagung dibuat dengan merendam kernel jagung dalam air diikuti dengan proses penirisan, pengeringan dan penggilingan. Selama proses perendaman terjadi fermentasi spontan. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya berbagai mikroba dalam jumlah cukup tinggi. Nago et al. (1998) menemukan BAL sebanyak 109 koloni / g yang terdiri dari Lactobacillus fermentum cellobiosus, L. brevis, L. fermentum spp., L. curvatus, L. buchneri serta khamir sebanyak 107 koloni/g yang terdiri dari Candida humicola, C. krusei, Geotricum spp. pada air perendam tepung jagung pada pembuatan ogi. Penambahan L. plantarum pada 48 jam perendaman dan 48 jam pengasaman biji jagung ditemukan Saccaharomyces cerevisiae, Candida krusei, C. tropicalis, Geotrichum candidum, G. fermentans, dan Rhodotorula graminis. Khamir-khamir ini ada yang bersifat proteolitik, lipolitik, dan amilolitik (Omemu et al. 2007). Penambahan 6 strain Lactobacillus fermentum (107 dan 108 koloni/mL) / 5 kg biji jagung selama 48 jam menyebabkan penurunan pH adonan tepung (Halm et al. 1996). Perendaman umbi singkong selama 5 hari menyebabkan peningkatan kadar serat kasar, kadar air, kadar abu, dan kadar protein kasar, serta menurunkan kandungan HCN dan kadar lemak kasar (Irtwange dan Achimba 2009). Aini et al (2010) menunjukkan bahwa tepung jagung yang difermentasi spontan selama 72 jam mempunyai kadar protein, lemak, serat kasar, abu, pati, gula reduksi, pH lebih rendah dibandingkan tanpa fermentasi. Pada penelitian ini dilakukan fermentasi dengan penambahan kultur starter yang terdiri dari tiga isolat kapang dan satu isolat khamir bersifat amilolitik, yaitu Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum, dan Candida famata, serta kapang, khamir dan BAL non-amilolitik yang terdiri dari Penicillium chrysogenum, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, Fusarium oxysporum, Kodamaea ohmeri dan Candida krusei/incospicua, Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, Lactobacillus plantarum1b, Lactobacillus paracasei ssp paracasei3. Mikroba ini diperoleh dari hasil isolasi grits jagung selama fermentasi spontan (Rahmawati et al 2013).
63 Jumlah mikroba yang ditambahkan masing-masing sebanyak 106 koloni/mL. Mikroba hasil isolasi pada fermentasi spontan yang digunakan sebagai kultur starter pada penelitian ini, selain bersifat amilolitik, tetapi ada juga yang mempunyai sifat proteolitik, lipolitik, selulolitik, hemiselulotik, xilanolitik, dan pektinolitik (Ghosh and Ray (2011); Tang et al. (2012); Heerd et al. (2012); Panagiotou et al. (2013); Li et al. (2008); Bussamara et al. (2010); Mohammed (2007); Wojtatowicz et al. (2001); Omemu et al. (2007)). Aktivitas mikroba-mikroba ini diduga memengaruhi karakteristik tepung yang dihasilkan. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan mikroba selama fermentasi grits jagung dengan penambahan kultur starter dan komposisi kimia tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan yang dihasilkan.
METODOLOGI Bahan dan Alat Jagung yang digunakan adalah jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, Sulawesi. Biji jagung varietas Anoman 1 mengandung amilosa tinggi (29.92 %), sedangkan biji jagung varietas Pulut lokal mengandung amilosa rendah (4.25 %) (Suarni 2005). Mikroba yang digunakan sebagai kultur starter terdiri dari mikroba amilolitik yaitu Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum, dan Candida famata serta mikroba non amilolitik yaitu Penicillium chrysogenum, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, Fusarium oxysporum, Kodamaea ohmeri dan Candida krusei/incospicua, Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, Lactobacillus paracasei ssp paracasei3. Mikroorganisme yang digunakan merupakan hasil isolasi dan identifikasi dari fermentasi spontan grits jagung (Rahmawati et al. 2013). Alat yang digunakan adalah seperangkat alat pembuatan tepung, seperti pin disc mill dan ayakan bergoyang 60, 80, dan 100 mesh, serta alat-alat analisa mikrobiologik dan kimia seperti meliputi cawan petri, colony counter, fermentor, oven, pHmeter, spektrofotometer, dan lain-lain. Metode Proses fermentasi dengan penambahan kultur starter Kernel jagung dicuci dengan air minum dalam kemasan (AMDK) dengan perbandingan kernel jagung : air = 1 : 4) dan dibuat menjadi grits (≥4 mm) dengan menggunakan pin disc mill. Grits jagung kemudian dicuci dengan AMDK (grits jagung : air = 1 : 4) dan ditiriskan selama 30 menit. Fermentasi grits jagung dilakukan dengan merendam grits jagung dalam AMDK (grits : air = 1 : 2) dalam wadah tertutup hingga 72 jam pada suhu ruang (±28 °C). Penambahan mikroba sebanyak 106 CFU/mL per mikroba dilakukan sesuai perlakuan. Pengambilan sampel dilakukan pada 0, 36, 48, dan 72 jam fermentasi. Selanjutnya grits jagung ditiriskan, dikeringkan, dan digiling menjadi tepung.
64 Pembuatan kultur starter Satu ose kapang digoreskan di atas agar miring PDA dan diinkubasi pada suhu 30 °C selama 5 hari. Setelah 5 hari kapang dipanen dengan mengerok permukaan agar, melarutkannya dalam 10 mL air steril dan mengencerkannya dengan tepat untuk menghitung jumlah koloni dengan hemasitometer. Kultur khamir disiapkan seperti di atas tetapi diinkubasi pada suhu 30 °C selama 2 hari. Penghitungan jumlah khamir juga dengan menggunakan hemasitometer. Sementara itu, kultur BAL disiapkan dengan memindahkan setiap satu ose kultur BAL ke dalam median MRS broth dan menginkubasi selama 24 jam pada suhu 30 °C dengan menggunakan inkubator bergoyang. Setelah 24 jam, kultur disetrifugasi secara aseptik selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm pada suhu 4 °C dan pellet sel dilarutkan dalan buffer fosfat. Perlakuan fermentasi dengan penambahan kultur starter Kultur starter lengkap dibuat dari semua kapang, khamir, dan BAL yang telah disiapkan seperti di atas. Kultur starter amilolitik dibuat dari Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum, and Candida famata. setiap kultur mikroba diinokulasi ke dalam wadah berisi grits jagung dan air sedemikian rupa sehingga konsentrasi awal masing-masing mikroba 106 CFU/mL. Fermentasi yang dipelajari terdiri dari: fermentasi spontan (SF), yaitu merendam grits jagung dalam air sebagai kontrol dan fermentasi dengan penambahan kultur starter. Dua perlakuan pada fermentasi dengan penambahan kultur starter terdiri dari: (CC) fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap pada 0 jam atau pada awal fermentasi, dan (AC), yaitu fermentasi CC dengan inokulasi tambahan kultur starter amilolitik setelah 16 jam fermentasi. Pengamatan dilakukan pada tepung yang dihasilkan dari grits setelah 0, 36, 48, dan 72 jam fermentasi. Penghitungan jumlah mikroba (Nago et al 1998) Sebanyak 10 gram campuran grits jagung dan air perendam dihomogenisasi dengan 90 mL larutan garam fisiologis pepton steril (5 g pepton, 8.5 g NaCl, dilarutkan dengan 1000 mL air destilasi, pH 7.0+0.2). Satu mL campuran dipupukkan pada media (a) MRSA+ 0.5% CaCO3 untuk BAL; dan (b) APDA untuk kapang dan khamir. Cawan diinkubasi pada suhu 300C selama 24 jam untuk BAL, 48 jam untuk khamir, dan 5 hari untuk kapang. Enumerasi dilakukan pada selang waktu 0, 36, 48, dan 72 jam. Pengukuran pH (AOAC 1995) Pengukuran pH dilakukan pada air perendam dan tepung jagung. Untuk sampel yang berupa air, sampel tersebut langsung diukur pHnya, sedangkan untuk sampel yang berupa tepung dilakukan preparasi terlebih dahulu. Preparasi sampel dilakukan dengan menambahkan 20 mL aquadest ke dalam 1 g tepung, mengocok dengan stirer dan kemudian menambah lagi 50 mL aquadest dan menghomogenkan sampai 100 mL. Sampel dibiarkan selama 1 jam kemudian diukur pH supernatan. Alat pH meter sebelumnya telah dikalibrasi dengan 2 buah
65 buffer yaitu buffer 4 dan buffer 7. Analisis proksimat tepung Kadar air dengan metode pengeringan, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein metode Mikro-Kjeldahl dianalisa berdasarkan AOAC (2006), sedangkan kadar serat kasar berdasarkan AOAC (1995). Kadar amilosa secara spektrofotometri (Juliano 1971) Sampel sebanyak 100 mg dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, kemudian ditambahkan 1 mL etanol 95% dan 9 mL NaOH 1 N. Larutan dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar atau dipanaskan dalam penangas air bersuhu 1000C selama 10 menit dan didinginkan selama 1 jam. Larutan kemudian diencerkan dengan air suling menjadi 100 mL, dipipet sebanyak 5 mL, dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL yang berisi 60 mL air. Selanjutnya ditambah 1 mL asam asetat 1N dan 2 mL I 2 2% dan diencerkan sampai volume 100 mL. Larutan dikocok dan didiamkan selama 20 menit, kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Kadar amilosa dihitung dengan rumus : Kadar amilosa (% bk) = dimana fk =
=
Keterangan : A620 = absorban sampel ka = kadar air 20 dan 1000 = faktor pengenceran fk = faktor koreksi Penentuan asam tertitrasi (AOAC,1995) 2. Standarisasi NaOH Sebanyak 0.2 g KHP (BM=204,228) ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL. Selanjutnya dilarutkan dengan 25 mL aquades dan diteteskan dengan 2 - 3 tetes indikator fenolftalin. Kemudian dititrasi dengan larutan NaOH hingga terbentuk warna merah muda yang bertahan selama 15 detik. Normalitas NaOH dihitung dengan rumus : Normalitas NaOH = 3. Persiapan sampel Total asam tertitrasi ditentukan dengan prinsip titrasi asam basa. Sebanyak 10 mL contoh dilarutkan menjadi 250 mL dalam labu takar dengan menggunakan akuades. Setelah itu diambil sebanyak 50 mL lalu ditambahkan 2-3 tetes indikator fenolftalin. Campuran kemudian dikocok dengan NaOH 0.1 N yang telah distandardisasi menggunakan asam oksalat. Titrasi dihentikan jika warna berubah
66 menjadi merah muda. %TAT = Fp = faktor pengenceran
HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Mikroba Pertumbuhan mikroba meningkat sampai 36 jam dan selanjutnya relatif menurun hingga pengamatan pada 72 jam fermentasi (Gambar 5.1). Secara umum, jumlah kapang (Gambar 5.1A dan 5.1B) lebih tinggi pada perlakuan dengan penambahan kultur starter, dimana jumlah kapang pada perlakuan AC lebih banyak daripada CC yang lebih banyak daripada SF. Penambahan kultur starter meningkatkan jumlah kapang secara nyata pada 36 - 72 jam fermentasi, baik pada grits jagung Anoman 1 maupun Pulut Harapan. Sementara itu pertumbuhan kapang pada perlakuan SF menurun dengan tajam setelah 36 – 72 jam fermentasi. Penambahan mikroba dalam jumlah tinggi diduga dapat mengendalikan proses fermentasi sehingga mikroba yang berperan adalah mikroba yang ditambahkan. Dibandingkan dengan penelitian Rahmawati et al. (2013), jumlah kapang pada penelitian ini relatif lebih rendah. Diduga hal ini berkaitan dengan penggunaan jenis air yang berbeda. Rahmawati et al. (2013) menggunakan air steril sementara itu penelitian ini menggunakan AMDK yang mungkin masih mengandung bakteri sehingga menekan pertumbuhan kapang yang ditambahkan. Menurunnya jumlah kapang setelah fermentasi 36 jam diduga karena ada kapang yang mati dan adanya pertumbuhan BAL. BAL akan menghasilkan asam laktat dan asam-asam organik lain serta senyawa antimikroba (Omemu 2007; Rai 2010) yang dapat menghambat pertumbuhan kapang. Secara umum penambahan kultur starter baik pada perlakuan CC maupun AC dapat meningkatkan jumlah kapang hingga akhir fermentasi dibandingkan perlakuan SF. Jumlah khamir (Gambar 5.1C dan 5.1D) selama fermentasi sampai 72 jam relatif meningkat untuk semua perlakuan. Secara umum jumlah khamir pada perlakuan SF lebih sedikit dari perlakuan CC yang lebih sedikit dari perlakuan AC. Penambahan kultur starter baik pada perlakuan CC maupun AC dapat meningkatkan jumlah khamir hingga akhir fermentasi dibandingkan perlakuan SF. Ada perbedaan jumlah khamir yang tumbuh selama 72 jam fermentasi dibandingkan dengan kapang, yaitu jumlah khamir pada perlakuan SF meningkat hingga 36 jam dan selanjutnya relatif stabil, sehingga pada 72 jam fermentasi jumlah khamir relatif lebih tinggi dibandingkan kapang. Pola ini terlihat sama pada kedua jenis jagung. Lebih tingginya jumlah khamir pada 36 – 72 jam fermentasi menunjukkan bahwa khamir lebih tahan terhadap kondisi asam dibandingkan kapang. Halm et al. (2004) melaporkan bahwa khamir mempunyai toleransi yang tinggi terhadap asam laktat. Bahkan, Candida krusei yang
67
B
0
12 24 36 48 60 72 Waktu fermentasi (jam)
10,00 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 -1,00 -2,00
0
Waktu fermentasi (jam)
BAL (Log CFU/mL)
10,00 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 -1,00 -2,00
12 24 36 48 60 72 Waktu fermentasi (jam) SF
CC
10,00 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 -1,00 -2,00
AC
F
0
AC
12 24 36 48 60 72 Waktu fermentasi (jam) SF
12 24 36 48 60 72
CC
0
AC
D
SF
E
CC
10,00 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 -1,00 -2,00
Khamir (Log CFU/mL)
C
Khamir (Log CFU/mL)
SF
BAL (Log CFU/mL)
Kapang (Log CFU/mL)
A
10,00 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 -1,00 -2,00
Kapang (Log CFU/mL)
ditemukan pada fermentasi jagung untuk produksi ogi dapat menstimulasi pertumbuhan Lactobacillus plantarum.
10,00 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 -1,00 -2,00
CC
AC
0 12 24 36 48 60 72 Waktu fermentasi (jam) SF CC AC
0
12 24 36 48 60 72
Waktu fermentasi (jam) SF
CC
AC
Gambar 5.1. Pola pertumbuhan kapang, khamir, BAL pada grits jagung varietas Anoman 1 (A, C, E) dan Pulut Harapan(B, D, F) berturutturut selama fermentasi. SF: grits jagung dengan fermentasi spontan; CC: grits jagung setelah fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; AC: grits jagung setelah fermentasi CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi Jumlah BAL meningkat selama 72 jam fermentasi untuk kedua jenis jagung. Penambahan kultur starter pada perlakuan CC dan AC meningkatkan jumlah awal BAL. Namun, setelah 36 jam, jumlah BAL seluruh perlakuan relatif sama.
68 Tampaknya penambahan BAL tidak memengaruhi jumlah BAL di akhir fermentasi. Diduga karena BAL yang digunakan tidak ada yang bersifat amilolitik, sehingga BAL yang secara alami ada pada jagung dapat tumbuh dan berkembang setelah mikroba amilolitik memecah amilosa menjadi gula sederhana. Setelah BAL tumbuh maka jumlahnya meningkat dan relatif sama dengan perlakuan CC dan AC hingga 72 jam fermentasi. Hal ini diduga karena adanya khamir yang dapat menstimulasi pertumbuhan BAL. Nago et al. (1998) melaporkan selama fermentasi ogi, selama 1 - 3 hari pada 25 - 35 °C, diperoleh BAL yang terdiri dari Lactobacillus fermentum cellobiosus, L. brevis and L. fermentum spp tumbuh sampai 9 log CFU/g. Nilai pH dan Total Asam Tertitrasi Nilai pH air perendam dan tepung jagung varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan mengalami penurunan selama 72 jam fermentasi untuk semua perlakuan dan jenis jagung. Nilai pH air perendam sebesar 6.45 – 6.54 pada 0 jam menjadi 4.05 - 4.62 pada 72 jam fermentasi (Tabel 5.1). Nilai pH menurun tajam dari 0 36 jam fermentasi, yaitu berturut-turut dari pH 6.45 – 6.54 menjadi pH 4.18 5.32. Diduga hal ini berkaitan dengan meningkatnya pertumbuhan BAL, dimana pertumbuhan BAL meningkat dengan tajam pada 36 jam dan relatif stabil sampai 72 jam fermentasi. Selama fermentasi BAL menghasilkan asam laktat. Selain asam laktat, BAL juga menghasilkan asam asetat, etanol, dan CO 2 (Corsetti dan Settanni 2007). Asam-asam ini akan memengaruhi nilai pH tidak saja air perendam namun pH tepung dan total asam tertitrasi. Selain itu adanya berbagai jenis asam, juga memengaruhi aroma produk akhir (Corsetti dan Settanni 2007). Tabel 5.1. Nilai pH air perendam dan tepung jagung varietas Pulut Harapan dan Anoman 1 hasil fermentasi grits jagung dengan penambahan kultur starter Perlakuan (jam)
SF
0 36 48 72
Varietas Anoman 1 pH Total asam tepung tertitrasi (%bk) 6.45±0.32 6.13±0.24 1.29±0.02 4.68±0.90 4.91±0.08 2.05±0.39 4.35±0.31 4.86±0.24 1.92±0.36 4.35±0.24 4.69±0.23 1.68±0.13
CC
0 36 48 72 0 36 48 72
6.45±0.32 4.29±0.21 4.21±0.16 4.08±0.06 6.45±0.32 4.18±0.05 4.11±0.06 4.05±0.07
AC
pH perendam
6.13±0.24 4.82±0.39 4.75±0.36 4.59±0.19 6.13±0.24 4.62±0.31 4.53±0.15 4.40±0.12
1.29±0.02 1.29±0.57 3.26±0.55 3.25±0.51 1.29±0.02 1.49±0.17 1.62±0.20 2.03±0.19
Varietas Pulut Harapan pH pH Total asam perendam tepung tertitrasi (%bk) 6.54±0.15 6.17±0.14 2.26±0.14 5.32±0.44 5.06±0.34 3.02±0.52 4.72±0.31 4.86±0.49 3.31±0.49 4.62±0.19 4.62±0.25 3.30±0.75 6.54±0.15 4.30±0.20 4.20±0.06 4.13±0.09 6.54±0.15 4.25±0.09 4.19±0.09 4.06±0.05
6.17±0.14 4.77±0.23 4.77±0.34 4.52±0.20 6.17±0.14 4.68±0.23 4.55±0.18 4.41±0.19
2.26±0.14 3.19±0.08 3.40±0.11 3.48±0.23 2.26±0.14 2.53±0.35 2.72±0.38 3.00±0.36
69 Nilai pH air perendam ketiga perlakuan berbeda, yaitu nilai pH pada perlakuan SF lebih besar dari perlakuan CC yang lebih besar dari perlakuan AC. Hal ini berkaitan dengan adanya penambahan kultur starter pada 0 jam fermentasi (perlakuan CC) dan penambahan kultur starter pada 0 jam serta kapang dan khamir amilolitik pada 16 jam fermentasi (perlakuan AC). BAL memang tidak ditambahkan pada 16 jam fermentasi, tetapi khamir amilolitik yang ditambahkan akan menstimulasi pertumbuhan BAL (Halm et al. 2004) sehingga diduga menghasilkan asam laktat lebih tinggi yang menyebabkan pH menjadi lebih rendah. Nilai pH tepung jagung putih berkisar 6.13 - 6.17 pada 0 jam fermentasi menjadi 4.40 - 4.41 pada 72 jam fermentasi. Nilai pH tepung menurun tajam dari 0 - 36 jam fermentasi, yaitu berturut-turut dari pH 6.13 - 6.17 menjadi pH 4.62 5.06. Penurunan pH juga ditemukan oleh Alka et al. (2012) pada tepung jagung hasil fermentasi spontan grits jagung selama 36 jam, yaitu pH 5.76 pada 0 jam dan turun menjadi pH 3.50 pada 36 jam fermentasi dan Zeng et al. (2012) pada tepung jagung hasil fermentasi spontan grits jagung selama 36 jam, yaitu pH 6.5 pada 0 jam dan turun menjadi 3.55 - 3.65 pada 36 jam. Penurunan nilai pH disebabkan adanya asam-asam yang dihasilkan oleh BAL, terutama asam laktat. Hal ini sejalan dengan jumlah total asam tertitrasi tepung yang dihasilkan. Semakin lama waktu perendaman, dimana pH tepung semakin menurun, maka total asam semakin meningkat. Total asam tepung jagung berkisar antara 1.29 – 2.26 % pada 0 jam menjadi 2.03-3.48 % pada 72 jam fermentasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Omemu et al. (2007), dimana fermentasi hingga 48 jam meningkatkan total asam dari 0.32% menjadi 0.42%. Jumlah total asam yang dihasilkan pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan Omemu et al. (2007). Meningkatnya jumlah asam cenderung memengaruhi aroma tepung jagung putih yang dihasilkan, yaitu menjadi beraroma agak asam.
Komposisi Kimia Komposisi kimia kernel dan tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan disajikan pada Tabel 5.2 dan 5.3. Tabel 5.2 menunjukkan bahwa kernel jagung Anoman 1 dan Pulut Harapan termasuk dalam standar SNI jagung. Tabel 5.2. Komposisi kimia jagung yang digunakan Jenis uji Jenis jagung Anoman 1 Pulut Harapan 9.0 ± 0.03 10.5 ± 0.02 Kadar air (%) 1.6 ± 0.01 1.7 ± 0.01 Kadar abu (% bk) 5.5 ± 0.00 5.6 ± 0.01 Kadar lemak (% bk) 10.0 ± 0.03 10.1 ± 0.00 Kadar protein (% bk) 73.9 ± 0.01 72.1 ± 0.03 Kadar karbohidrat (% by different)
70
Tabel 5.3. Komposisi kimia tepung jagung varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan hasil fermentasi dengan penambahan kultur starter Perlakuan
Kadar air
Protein (%bk)
Lemak (%bk)
Abu (%bk)
Serat kasar (%bk)
Amilosa (%bk)
9.14±0.47 8.03±0.29 7.25±0.63 6.98±0.58
4.59±0.68 4.29±0.28 4.06±0.12 3.92±0.58
0.94±0.20 0.55±0.04 0.52±0.02 0.47±0.04
9.27±0.21 8.88±0.54 8.91±0.46 6.63±1.20
37.17±2.39 37.37±4.19 37.26±3.87 35.97±5.20
8.64±1.14 9.09±0.73 9.43±0.49 9.70±0.36
9.14±0.47 8.00±0.65 7.76±0.26 7.14±0.87
4.59±0.68 4.35±0.47 4.24±0.61 4.04±0.90
0.94±0.20 0.60±0.19 0.57±0.12 0.50±0.13
9.27±0.21 9.34±1.64 9.05±1.12 6.70±1.23
37.17±2.39 35.05±2.65 34.87±2.63 30.24±2.22
0 8.64±1.14 36 9.61±0.31 48 9.80±0.20 72 9.97±0.12 Tepung jagung Pulut SF 0 8.70±0.73 36 10.53±1.38 48 10.92±2.47 72 11.83±2.74
9.14±0.47 8.10±0.24 7.69±0.10 7.03±0.31
4.59±0.68 4.41±0.16 4.37±0.53 4.11±0.24
0.94±0.20 0.62±0.31 0.58±0.14 0.55±0.12
9.27±0.21 9.21±1.64 8.78±2.33 6.64±0.30
37.17±2.39 36.89±1.21 35.25±1.16 31.14±1.13
9.46±0.27 8.94±0.36 8.80±1.12 8.68±0.89
4.35±0.63 4.48±0.36 4.11±0.26 3.87±0.42
1.10±0.08 0.74±0.03 0.68±0.02 0.57±0.04
9.18±0.19 8.65±0.35 7.96±2.26 6.72±1.34
13.70±1.39 11.14±3.30 10.88±2.46 10.19±2.09
CC
0 36 48 72
8.70±0.73 9.22±0.58 9.68±0.50 9.96±0.42
9.46±0.27 9.32±0.17 9.17±0.03 8.29±0.24
4.35±0.63 4.75±0.77 4.64±0.78 4.45±0.90
1.10±0.08 0.71±0.15 0.63±0.13 0.60±0.01
9.18±0.19 8.75±0.74 8.50±0.81 6.73±1.04
13.70±1.39 13.79±2.28 13.81±1.66 12.90±1.17
AC
0 36 48 72
8.70±0.73 9.47±0.04 9.54±0.09 9.78±0.04
9.46±0.27 9.40±0.21 9.20±0.19 8.41±0.24
4.35±0.63 4.78±0.30 4.68±0.09 4.55±0.15
1.10±0.08 0.79±0.15 0.70±0.21 0.62±0.24
9.18±0.19 8.78±0.68 8.45±1.41 7.26±1.13
13.70±1.39 13.09±1.12 12.47±1.15 11.95±1.10
Tepung jagung Anoman 1 SF 0 8.64±1.14 36 9.91±1.92 48 10.83±1.16 72 10.94±2.29 CC
0 36 48 72
AC
Menurut SNI 01-3920-1995 tentang jagung, syarat mutu I kernel jagung yaitu mempunyai kadar air maksimal 14. Kedua varietas jagung yang digunakan masih memenuhi syarat SNI dimana mempunyai kadar air 9.0 (varietas Anoman 1) dan 10.5 % (varietas Pulut Harapan). Secara umum jumlah protein, lemak, abu, serat kasar dan amilosa tepung jagung cenderung menurun selama fermentasi hingga 72 jam, kecuali kadar air. Hal ini karena adanya proses pencucian, penggilingan dan penepungan dimana bagian-bagian perikarp dan lembaga yang banyak mengandung serat dan lemak
71 serta bagian yang mengapung pada saat pencucian terbuang. Selain itu, menurunnya jumlah protein, lemak, abu, serat kasar dan amilosa tepung jagung selama 72 jam fermentasi diduga karena adanya aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroba selama fermentasi. Beberapa mikroba yang digunakan sebagai kultur starter mempunyai aktivitas amilolitik, yaitu Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum, dan Candida famata (Rahmawati et al. 2013). Menurut Ghosh dan Ray (2011) Rhizopus oryzae menghasilkan enzim selulase, hemiselulase, pektinase, tannase, phytase, lipase dan protease. Tang et al. 2012 melaporkan Rhizopus stolonifer menghasilkan enzim selulase. Aspergillus niger selain mempunyai aktivitas amilolitik, juga memunyai aktivitas pektinolitik (Heerd et al. 2012) dan Panagiotou et al. (2013) melaporkan Fusarium oxysporum mempunyai aktivitas selulolitik dan xilanolitik. Khamir yang digunakan sebagai kultur starter juga dilaporkan dapat menghasilkan berbagai enzim, misalnya Kodamae ohmeri menghasilkan enzim phytase pada biji-bijian (Li et al. 2008) dan lipase (Bussamara et al. 2010); Candida famata menghasilkan enzim glucoamylase (Mohammed 2007) serta lipase and protease (Wojtatowicz et al. 2001); sedangkan Candida krusei mempunyai aktivitas lipolitik, esterase, and amilolitik yang berkontribusi pada flavor akhir produk pangan (Omemu et al. 2007). Khamir yang mempunyai aktivitas lipolitik berperan sebagai prekursor asam lemak dan berkontribusi secara signifikan terhadap flavor produk akhir (Romano et al. 1996). Khamir amilolitik dapat memotong senyawa komplek dari pati dan oligosakarida menjadi gula sederhana yang dapat memperbaiki kualitas gizi bahan tersebut, karena menjadi lebih mudah dicerna dan berperan penting pada aroma, flavor, rasa, dan struktur produk akhir (Omemu et al. 2007). Selain aktivitas mikroba, penurunan kandungan protein diduga terjadi karena larutnya albumin selama perendaman 72 jam. Nilai pH memengaruhi kelarutan protein di dalam air. Pada pH di luar titik isoelektriknya, protein mempunyai kelarutan tinggi di dalam air. Titik isoelektrik protein pada umumnya adalah pada pH 4.5 - 4.8 (Corredig 2006). Pada perendaman 0 – 36 jam pH larutan perendam di atas titik isoelektrik hal ini diduga memengaruhi penurunan protein. Setelah 36 – 72 jam fermentasi, nilai pH berada pada titik isoelektrik protein, namun protein masih mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan adanya aktivitas mikroba proteolitik. Penurunan lemak selama perendaman, diduga sebagai akibat aktivitas lipase yang dihasilkan oleh R. oryzae, Kodamae ohmeri, Candida famata dan Candida krusei. Penurunan lemak pada perlakuan SF lebih besar dari perlakuan CC yang lebih besar dari perlakuan AC. Hal ini diduga dengan semakin banyaknya jumlah mikroba yang ditambahkan, maka akan terjadi persaingan yang semakin ketat, sehingga aktivitas mikroba akan menurun. Perendaman 0 – 36 jam menurunkan kadar abu tepung yang dihasilkan. Jagung mengandung mineral P, K, Ca, Mg, Na, Fe, Cu, Mn, dan Zn (Bressani 1990). Jagung varietas Srikandi putih mengandung mineral Ca 41 mg/100 g, Mg 212 mg/100 g, P 123 mg/100 g dan K 276 mg/100 g (Suarni et al. 2010). Diduga selama perendaman mineral-mineral ini larut karena mineral mempunyai tingkat kelarutan tinggi dalam air dan afinitas rendah sehingga banyak terdapat sebagai
72 ion bebas (Watson 2001). Penurunan mineral pada fermentasi 36-72 jam relatif lebih kecil dibandingkan 0 - 36 jam. Hal ini diduga karena adanya bentuk komplek dari mineral. Fosfor di dalam jagung sebagian berada sebagai garam kalium-magnesium asam fitat yang merupakan bentuk ester dari heksafosfat inositol. Mineral dalam bentuk komplek tidak larut dalam air perendam (Watson 1987) sehingga penurunan kadar abu setelah 36 jam relatif rendah. Serat kasar Jumlah serat kasar pada tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan selama fermentasi dengan penambahan kultur starter selama 72 jam cenderung menurun dengan semakin lama fermentasi. Kadar serat tepung jagung varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan berturut-turut berkisar antara 9.27 % dan 9.18 % pada 0 jam dan 6.63 – 6.70 % dan 6.72 – 7.26 pada 72 jam fermentasi. Kandungan serat kasar pada jagung putih varietas Srikandi putih 2.1 % (Widowati et al 2005), lokal pulut 2.94 % (Suarni dan Firmansyah 2005), dan tepung jagung kuning 8.19% (Widaningrum et al 2009). Serat kasar tepung jagung putih varietas Srikandi hasil fermentasi spontan sebesar 2.97 % pada 0 jam dan 1.10% pada 72 jam fermentasi (Aini et al. 2010). Perbedaan kadar serat kasar disebabkan perbedaan varietas. Secara umum jumlah serat kasar untuk semua perlakuan menurun dengan semakin lamanya waktu fermentasi (Tabel 5.3). Serat tanaman terdiri dari lignin, selulosa, hemiselulosa, senyawa pektat, gum, waxes, dan oligosakarida yang tidak dapat dicerna. Lignin, selulosa, waxes dan oligosakarida, tidak larut di dalam air, namun hemiselulosa dan senyawa pektat bersifat larut air (Winarno 2008). Penurunan kandungan serat kasar diduga karena larutnya hemiselulosa dan senyawa pektat dalam air perendam, selain itu kapang yang mempunyai aktivitas selulolitik dan pektinolitik seperti Rhizopus oryzae (Ghosh dan Ray 2011), Rhizopus stolonifer (Tang et al. 2012) dan Fusarium oxysporum (Panagiotou et al. 2013) akan menguraikan serat kasar menjadi komponen yang lebih sederhana sehingga total serat kasar menurun. Amilosa Kadar amilosa tepung jagung putih varietas Anoman 1 cenderung menurun untuk semua perlakuan selama fermentasi sampai 72 jam, dengan jumlah berkisar antara 37.17 % pada 0 jam fermentasi dan 30.24 – 35.97 % pada 72 jam fermentasi (Gambar 5.2). Amilosa adalah fraksi pati yang mempunyai rantai lurus. Claver et al. (2010) melaporkan bahwa selama fermentasi, mikroba amilolitik menghasilkan enzim amilase yang akan menyerang ikatan α-1,4-Dglikosidik pada granula pati. Sehingga amilosa yang merupakan polimer glukosa akan terhidrolisis. Glukosa banyak mengandung gugus hidroksil, sehingga amilosa bersifat hidrofilik dan larut dalam air. Selama perendaman sampai 72 jam, diduga sebagian amilosa terlarut dalam air perendam. Selain itu adanya aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroba diduga memecah amilosa sehingga dengan semakin lama waktu fermentasi kadar amilosa akan menurun. Perlakuan AC yang mendapat penambahan mikroba amilolitik pada 16 jam fermentasi
73 menghasilkan kadar amilosa yang relatif sama dengan perlakuan CC. Diduga meningkatnya jumlah mikroba yang ditambahkan menyebabkan kompetisi antar mikroba meningkat sehingga aktivitas tidak menjadi lebih tinggi.
Kadar amilosa (%bk)
A
40 35 30 25 20 15 10 5 0
SF CC AC
0
12
24
36
48
60
72
Waktu fermentasi (jam)
Kadar amilosa (bk)
B
40 35 30 25 20 15 10 5 0
SF CC AC 0
12
24
36
48
60
72
Waktu fermentasi (jam)
Gambar 5.2. Kadar amilosa (%) tepung tepung jagung putih varietas Anoman 1 (A) dan Pulut Harapan (B) selama fermentasi 72 jam. SF: tepung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi spontan; CC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; AC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah fermentasi CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi Kadar amilosa tepung jagung putih varietas Pulut Harapan cenderung menurun selama fermentasi hingga 72 jam, yaitu 13.70 % pada 0 jam menjadi 11.95 – 12.90 % pada 72 jam fermentasi. Penurunan amilosa diduga berkaitan dengan terhidrolisisnya amilosa oleh enzim. Namun pada perlakuan CC fermentasi hingga 48 jam relatif meningkatkan kadar amilosa. Peningkatan kadar amilosa diduga akibat aktivitas enzim glukoamilase yang dapat memotong rantai cabang amilopektin sebelah luar (Xie et al. 2005). Hal ini akan meningkatkan jumlah rantai lurus, sehingga kadar amilosa meningkat. Dengan bertambahnya waktu fermentasi hingga 72 jam, jumlah amilosa menurun. Penurunan ini diduga karena rantai lurus yang diperoleh telah terhidrolisis menjadi gula sederhana yang dapat menurunkan kadar amilosa tepung. Penurunan kadar amilosa pada tepung
74 Pulut Harapan memengaruhi karakteristik pasting yang dihasilkan selama fermentasi. Kadar amilosa tepung Pulut Harapan yang mendapat perlakuan AC cenderung menurun selama 72 jam fermentasi, walaupun nilainya lebih tinggi dibandingkan perlakuan SF. Diduga penambahan mikroba amilolitik pada 16 jam fermentasi membuat kompetisi mikroba tumbuh dan berkembang cukup besar sehingga aktivitas menjadi tidak optimal, khususnya aktivitas amilolitik. SIMPULAN Selama fermentasi jumlah kapang cenderung meningkat sampai 36 jam fermentasi dan selanjutnya menurun hingga 72 jam fermentasi baik pada grits jagung putih varietas Anoman 1 maupun Pulut Harapan. Sementara itu jumlah khamir dan BAL cenderung meningkat untuk semua perlakuan baik pada grits jagung putih varietas Anoman 1 maupun Pulut Harapan. Penambahan kultur starter (perlakuan CC dan AC) dapat meningkatkan jumlah kapang dan khamir pada awal hingga akhir 72 jam fermentasi dibandingkan perlakuan SF, namun tampaknya penambahan kultur starter hanya meningkatkan jumlah BAL di awal fermentasi dan tidak memengaruhi jumlah BAL di akhir fermentasi. Selama fermentasi BAL menghasilkan asam-asam organik yang dapat menurunkan nilai pH air perendam dan tepung yang dihasilkan, sehingga meningkatkan total asam. Selain itu aktivitas enzim-enzim selama 72 jam fermentasi menyebabkan penguraian komponen-komponen tepung sehingga cenderung menurunkan kadar protein, lemak, abu dan serat kasar tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan. Aktivitas enzim selama fermentasi dapat menurunkan kandungan amilosa pada tepung Anoman 1, namun perlakuan 36CC dan 48CC cenderung meningkatkan kandungan amilosa pada tepung jagung varietas Pulut Harapan yang dihasilkan.
SARAN Disarankan untuk tidak perlu menambahkan BAL jika akan memfermentasi dengan kultur starter karena tampaknya BAL yang ada secara alami pada bahan dapat tumbuh dengan baik selama fermentasi.
PUSTAKA Aini N, Hariyadi P, Muchtadi TR, Andarwulan N. 2010. Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan sifat gelatinisasi tepung jagung putih yang dipengaruhi ukuran partikel. J Teknol dan Industri Pangan 21: 18-24. Alka S, Neelam Y, and Shruti S. 2012. Effect of fermentation on physicochemical properties & in vitro starch and protein digestibility of selected cereals. International Journal of Agriculture and Food Science 2 (3) : 66-70 AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of the Association Analytical Chemistry Inc, Washington D.C.
75 AOAC. 2005. Official Methods of Analysis of the Association Analytical Chemistry Inc, Washington D.C. AOAC. 2006. Official Methods of Analysis of the Association Analytical Chemistry Inc, Washington D.C. Bussamara R, Fuentefria AM, de Oliveira ES, Broetto L, Simcikova M, Valente P, Schrank A, Vainstein MH. 2010. Isolation of a lipase-secreting yeast for enzyme production in a pilot-plant scale batch fermentation. Bioresource Technology 101: 268–275. Claver IP, Zang H, Li Q, Zhu K, Zhou H. 2010. Impact of the soak and the malt on the physicochemical properties of the sorghum starches. Int J Mol Sci. 11: 3002-3015. doi:10.3390/ijms11083002. Corsetti A, Settanni L. 2007. Lactobacilli in sourdough fermentation Review. Food Research International 40: 539–558. doi:10.1016/j.foodres.2006.11.01 Ghosh B and Ray RR. 2011. Current commercial perspective of Rhizopus oryzae: A review. Journal of Applied Sciences 11 (14): 2470-2486. DOI 10.3923/jas.2011.2470.2486 Halm M, Osei-Yaw A, Hayford A, Kpodo KA, and Amoa-Awua WKA. 1996. Experiences with the use of a starter culture in the fermentation of maize for 'kenkey' production in Ghana. World Journal of Microbiology & Biotechnology 12: 591-536. Heerd D, Yegina S, Tari C, Fernandez-Lahore M. 2012. Pectinase enzymecomplex production by Aspergillus spp. In solid-state fermentation: A comparative study. food and bioproducts processing 9 0: 102–110. doi:10.1016/j.fbp.2011.08.003 Irtwange SV and Achimba O. 2009. Effect of the Duration of Fermentation on the Quality of Gari. Current Research Journal of Biological Sciences 1(3): 150154. Juliano BO. 1971. A simplified assay for milled rice amylosa. Cereal Science today 16:334-360. Li XY, Liu ZQ, Chi ZM. 2008. Production of phytase by a marine khamir Kodamaea ohmeri BG3 in an oats medium: Optimization by response surface methodology. Bioresource Technology 99: 6386–6390. doi:10.1016/j.biortech.2007.11.065. Mohamed L, Zakaria M, Ali A, Senhaji W, Mohamed O, Mohamed E, EL Hassan B, Mohamed J. 2007. Optimization of growth and extracellular glucoamylase production by Candida famata isolate. African Journal of Biotechnology 6 (22): 2590-2595. Nago MC, Hounhouigan JD, Akissoe N, Zanou E, Mestres C. 1998. Characterization of the Beninese traditional Ogi, a fermented maize slurry: Phisicochemical and Microbiological aspects. Int J Food Sci Tech 33: 307315. DOI: 10.1046/j.1365-2621.1998.00169.x. Omemu AM, Oyewole OB, Bankole MO. 2007. Significance of yeasts in the fermentation of maize for ogi production. Food Microbiol 24: 571-576. doi: 10.1016/j.fm.2007.01.006. Onwuka GI and Ogbagu NJ. 2007. Effect of fermentation on the quality and physical properties of cassava based fufu product made from two cassava varieties NR8212
76 and Nwangbisi. Journal of Food Technology 5 : 261-264. Ohenhen RE, Ikenebomeh MJ. 2007. Shelf stability and enzyme activity studies of ogi: a corn meal fermented product. J Am Sci. 3 (1): 38-42. Panagiotou G, Kekos D, Macris BJ, Christakopoulos P. 2003. Production of cellulolytic and xylanolytic enzymes by Fusarium oxysporum grown on corn stover in solid state fermentation. Industrial Crops and Products 18: 37-45 Qanytah dan Prastuti TR. 2008. Penerapan teknologi pascapanen jagung di Desa Kedawung Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal. Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian 2008, Jogjakarta. Rahmawati, Dewanti-Hariyadi R, Hariyadi P, Fardiaz D, Richana, N. 2013. Isolation And Identification Of Microorganisms During Spontaneous Fermentation Of Maize. J.Teknol. dan Industri Pangan 24: 38-44. Rai AK, Tamang JP, Palni U. 2010. Microbiological studies of ethnic meat products of the Eastern Himalayas. Meat Science 85 : 560–567. Suarni. 2005. Karakteristik sifat fisikokimia dan amilograf tepung jagung sebagai bahan pangan. Prosiding seminar dan lokakarya Nasional Makasar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan-Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Suarni dan Firmansyah JU. 2005. Beras Jagung: Prosesing dan kandungan nutrisi sebagai bahan pangan pokok. Prosiding seminar dan lokakarya Nasional Makasar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan-Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Tang B, Pan H, Tang W, Zhang Q, Ding L, Zhang F. 2012. Fermentation and purification of cellulase from a novel strain Rhizopus stolonifer var. reflexus TP-02. Biomass and Bioenergi 36: 366-372. Doi:10.1016/j.biombioe.2011.11.003 Watson SA. 2001. Description, Development, Structure, and Compotition of the Corn Kernel dalam Hallauer AR. Editor Specialty corns. Washington: CRC. Pp 87 Widaningrum, Ratnaningsih, Richana N. 2009. Formulasi tepung komposisit ubijalar, jagung untuk substitusi terigu pada pembuatan mi kering. Prosiding Teknologi Inovatif Pacapanen II. Kementerian Pertanian- Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian-Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Widowati S, Santosa BAS, Suarni. 2005. Mutu gizi dan sifat fungsional jagung. Prosiding seminar dan lokakarya Nasional Makasar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan-Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Jakarta. Wojtatowicz M, Chrzanowska J, Juszczyk P, Skiba A, Gdula A. 2001. Identification and biochemical characteristics of yeast microflora of Rokpol cheese. Int J Food Microbiol 69: 135–140. doi: 10.1016/S01681605(01)00582-7. Xie SX, Liu Q, and Cui SW 2005. Starch Modification and Applications in Cui, S.W. (Eds). Food Carbohydrates: Chemistry, Physical Properties, and
77 Applications. Taylor & Francis Group. Zeng J, Gao H, Li G, Zhao X. 2012. Characteristics of corn flour fermented by some Lactobacillus species. China Academic Journal Electronic Publishing House. http:www.cnki.net. [4 Juni 2012].
78
6 PASTING PROPERTIES OF WHITE CORN FLOURS OF ANOMAN 1 AND PULUT HARAPAN VARIETIES AS AFFECTED BY FERMENTATION PROCESS3 Rahmawati Farasara2,3), Purwiyatno Hariyadi2,4), Dedi Fardiaz2,4), and Ratih Dewanti-Hariyadi2,4) 2)
Department of Food Science and Technology, Bogor Agricultural University, Kampus IPB Darmaga, Bogor, Indonesia 3) Department of Food Technology, Sahid University, Jakarta, Indonesia 4) Southeast Asia Food Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, Bogor Agricultural University, Kampus IPB Darmaga, Bogor, Indonesia
ABSTRACT This research was aimed to evaluate the pasting properties of white corn flour made from Anoman 1 and Pulut Harapan varieties as affected by the fermentation process of the corn grits. The fermentation process studied were (i) spontaneous fermentation (SF), (ii) fermentation with the addition of a complete starter culture at 0 hour (CC fermentation) and (iii) fermentation of (CC) with additional unoculation of starter culture containing amylolytic microorganisms at 16 hours (AC fermentation). Pasting properties evaluation were done on the flour made from corn grits fermented for 0, 36, 48, and 72 hours. Our results showed that pasting properties of corn flour of Anoman 1 and Pulut Harapan varieties were affected by fermentation process. Addition of starter culture in the fermentation showed more complex effect on the pasting properties and was a function of the fermentation time. Fermentation process of corn grits affected the pasting properties of the resulted flour, both for Anoman I and Pulut Harapan corn varieties. The differences in the effect of fermentation process on the pasting properties were due to the different amylose/amylopectin content. AC fermentation of corn grits could increase the stability of paste for flour containing higher amylose content, but decrease the stability of paste for flour containing high amylopectin. Specifically, CC fermentation caused significant increase in the peak viscosity value especially for corn flour of Pulut Harapan. Fermentation for up to 48 h resulted in corn flour of Pulut Harapan variety having a higher PV value, but it did not affect the tendency to retrograde. INTRODUCTION Corn is an important carbohydrate source after rice in Indonesia. However, 3
Submitted to J.Starch
79 the utilization of corn flours and/or starches in native form is limited due to its physical properties, especially with regard to the retrogradation properties, syneresis of pasta, and low stability of pasta at high temperature and at low pH [1]. Consequently, there is a need to modify flour properties to improve its pasting properties. Traditionally, corn flour is made by soaking corn kernels in water followed by the process of draining, drying and milling. Aini et al. (2010) [2] showed that changes in the physicochemical properties of white corn flour produced was attributable to the spontaneous fermentation occurring during soaking. Several other studies of spontaneous fermentation of corn have been published, such as in the production of ogi [3] and pozol [4] whic are African traditional foods. Previously we have identified that microorganisms responsible for the spontaneous fermentation of corn were Penicillium chrysogenum, Penicillium citrinum, Aspergillus flavus, A. niger, Rhizopus stolonifer, R.oryzae, Fusarium oxysporum, Acremonium strictum, Candida famata, Kodamaea ohmeri, Candida krusei/incospicua, Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, Lactobacillus plantarum1b, and Lactobacillus paracasei ssp paracasei3 [5]. Of all microorganisms identified; four molds (Penicillium citrinum, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Acremonium strictum) and one yeast (Candida famata) were found to be amylolytic, while none of the LAB was capable of starch hydrolysis. The amylolytic activity is thought to be important for physicochemical changes of flour due to its high carbohydrate content. Since microorganisms were involved in the spontaneous fermentation of corn, the influence of addition of starter culture to the fermentation process on the pasting property of the resulted corn flour was evaluated. As Aspergillus flavus is known to produce aflatoxin in corn, the mold was not used for the starter culture. A complete starter culture was made using Penicillium chrysogenum, Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Rhizopus stolonifer, Rhizopus oryzae, Fusarium oxysporum, Acremonium strictum, Candida famata, Kodamaea ohmeri, Candida krusei/incospicua, Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, L. brevis1, L. plantarum1b, and L. paracasei ssp paracasei3. In addition, an amylolytic starter culture was made using the three amylolytic molds (without Aspergillus flavus) and one amylolytic yeast. Three experiments of fermentations process of corn grits were conducted, i.e. spontaneous fermentation (SF) by water soaking of corn grits as a control, fermentation with addition of complete starter culture (CC) from the start of fermentation, and treatment of (CC) with additional amylolytic starter culture (AC) after 16 hours of fermentation. Observations were done on the flour made from corn grits after 0 (unfermented flour, U), 36, 48, and 72 hours of fermentation. MATERIALS and METHODS Corn Corn types used in this research were local white maize Anoman 1 and waxy maize Pulut Harapan varieties obtained from the Cereal Crops Research
80 Institute, Maros, Sulawesi, Indonesia. Anoman 1 maize kernel contains high amylose (29.92 %), while the waxy maize kernel local Pulut has low amylose content (4.25 %) [6]. Corn was made into grits for a more standardized fermentation process. Kernels of corn were washed with drinking water (corn : water = 1 : 4 w/v) and drained on a siever. Drained and clean corn kernels were then ground using pin disc mill and sieved to produce grits with diameter of > 4 mm. The grits were washed with drinking water (corn grits : water = 1: 4 w/v) for 30 minutes and then drained and ready for fermentation. Microorganisms Microorganisms used for starter culture preparation were amylolytic Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum, and Candida famata, as well as non amylolytic Penicillium chrysogenum, Rhizopus stolonifer, Rhizopus oryzae, Fusarium oxysporum, Kodamaea ohmeri and Candida krusei / incospicua, Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, and Lactobacillus paracasei ssp paracasei3. The microorganisms used were previously isolated and identified from a spontaneous fermentation of corn grits [5]. Culture preparation and enumeration One loop of each mold was streaked onto fresh Potato Dextrose Agar (PDA) slant and then incubated at 30 °C for 5 days. After 5 days molds were harvested by scrapping, suspended in 10 mL sterile water and appropriately diluted for enumeration using hemacytometer. Yeast culture was prepared as above but incubation was carried out at 30 °C for 2 days. Yeast enumeration was also carried out using hemacytometer. Meanwhile Lactic Acid Bacteria (LAB) cultures were prepared by transferring one loop of each LAB growth into de Man Rogosa Sharpe (MRS) Broth for 24 hours at 30 °C using shaking incubator. After 24 hours, the culture was centrifuged aseptically for 15 mins, 3500 rpm at 4 °C and the cell pellets were resuspended in phosphate buffer. The 24 h culture was also enumerated by plating on MRS agar. Fermentation with added starter culture Five days old molds and two days old yeast in sterile water as well as 24 hours LAB in phosphate buffer made up the complete starter culture. For amylolytic starter culture, only Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum, and Candida famata were used. Each microorganism was inoculated aseptically into container (15 L) containing of maize grits and drinking water (1 : 2 w/v) such that each microorganism has an initial load of ca. 10 6 CFU/mL. The fermentation studied included spontaneous fermentation, i.e. water soaking of corn grits as a control (SF) and fermentation with added starter cultures. Two treatments of fermentation with added starter were (CC) a complete starter culture containing 15 microbes previously isolated from the spontaneous fermentation added at the beginning of fermentation (0 hours), and
81 (AC) fermentation of (CC) with additional inoculation of amylolytic starter culture at 16 hours of fermentation. Observations were done on flour made from corn grits after 0, 36, 48, and 72 hours fermentation. Pasting properties of corn flours measured using Rapid Visco Analyzer TecMaster Newport Scientific Pty Limited Australia (RVA standard 2) Corn flour samples of 3.5 g (14% moisture content) were added to 25 mL of distilled water in an aluminum can. Sample was spinned (160 rpm) at 50 oC for 1 min, and heated to reach 95oC within 7.5 min, and held at 95 oC for 5 min, and then cooled back to 50 oC within 7.5 min and held at 50 oC for additional 2 min. A typical complete RVA curve obtained is presented in Figure 1. Parameters derived from the RVA curve were peak viscosity (PV); trough viscosity (TV; also called as hot viscosity), and final viscosity (FV). The breakdown (BV) and setback (SV) viscosities were calculated from the differences between (PV and TV) and (FV and TV), respectively.
Figure 6.1. Typical pasting profile obtained by RVA, showing the main parameters used to described pasting properties.
82 RESULTS and DISCUSSION Our results showed that pasting properties of corn flour of Anoman 1 and Pulut Harapan varieties were affected by fermentation process. Addition of starter culture for the fermentation showed more complex effect on the pasting properties and was a function of the progress of fermentation reaction. Pasting properties of corn flours after 36 hours of fermentation The pasting profiles (Figure 2) and parameters (Table 1) of corn flours made from corn grits after 36 hours of fermentation both for Anoman I and Pulut Harapan varieties obtained from the RVA curve were evaluated. Unfermented corn flour of Anoman I and Pulut Harapan varieties has peak viscosities (PV) of 1276.9±24.4 cP and 1237.7±20.7 cP, respectively (Table 1). Spontaneous fermentation for 36 hours (36SF) increased PV of flours from both corn varieties to1451.9±14.8 cP and 1680.2±33.3 cP, respectively for Anoman 1 and Pulut Harapan. Increase of PV is associated with enzymatic activity during fermentation process. Rhizopus oryzae has been shown to produce cellulase, hemicellulase, pectinase, tannase, phytase, lipase and protease [7], while Rhizopus stolonifer produces cellulase [8]. Beside its amylolytic activity, Aspergillus niger also has pectinolytic activity [5, 9]. Panagiotou et al. [10] reported that Fusarium oxysporum has cellulolytic and xylanolytic activity. Kodamae ohmeri produces phytase in cereals [11] and lipase [12]. Candida famata produced glucoamylase [13], as well as has lypolytic and proteolytic activity [14]. Candida krusei has lypolytic and esterase activity which contribute on the flavor of end product [15]. Amylase hydrolyzes α-1,4-D-glycosidic bond of starch [16] thus the structure of starch granule becomes more porous facilitating water absorption to granules. This will increase the swelling of granules [17] and increase PV. PV illustrates the capacity of starch in absorbing water and swelling of granules when it is heated [18]. Inoculation of a complete starter culture (CC) however reduced the PV of the corn flour of Anoman I variety to 1290.4±8.8 cP. This is due to excessive amylolytic activity leading to more amylose breakdown. Different phenomenon was observed for corn flour of Pulut Harapan variety; which showed that its PV was as high as that of flour obtained from corn grits after 36 hours of spontaneous fermentation (36SF; 1680.2±33.3 cP). Additional of amylolytic culture, however, caused further increase of PV for corn flour of Pulut Harapan variety. This is due to the lower content of amylose (higher content of amylopectin) of corn flour of Pulut Harapan variety. Structurally, the higher amylopectin content of Pulut Harapan corn support granule to be more resistant to amylolytic activity during fermentation. Since the flour has stronger granule integrity, it will swell bigger and has increased peak viscosity. The viscosity of flour paste decreased after heating process for certain period due the granule breakdown followed by leaching of amylose into the solution [19]. The degree of viscosity reduction during heating process is termed as breakdown viscosity (BV); and can be used as an indicator for pasting stability during heating and stirring [20, 21].
83 As we can see from Table 1, the breakdown (BV), final (FV) and setback (SV) viscosities of Anoman 1 corn flour prepared from corn grits after 36 hours spontaneous fermentation were relatively lower than that of unfermented flour. This suggests that high amlyose content of corn of Anoman variety is more sensitive toward amylolytic activity during the 36 hours of fermentation. This also apparent with reduced final viscosity (FV) observed; especially those with amylolytic culture added (AC). FV is a viscosity at 50 oC at the end of analysis. FV indicates the stability of paste during cooling process. At the end of cooling process of 95 to 50 oC, the viscosity increased. This is due to the alignment and rearrangement the amylose chain [18, 21]. During cooling process, amylose polymers start to aggregate through hydrogen bond forming a junction bond and generates a gel network, and is called retrogradation [22]. Reduction or breakdown of amylose at Anoman I corn is also indicated by the final viscosity drop from 2630.8±0.1 cP for the unfermented flour to 2579.4±0.0 cP due to spontaneous fermentation (36SF) and 2575.1±0.0 cP due to fermentation with addition of complete culture (36CC). This may be associated with more amylolytic microbes causing more breakdown of amylose into simple sugar, thus reduced the final amylose level as indicated by the lower FV value. Further decrease in FV up to 2249.0±0.1 cP observed due to additional amylolytic culture (36AC) also support this explanation, because further breakdown of amylose molecules occured (Table 1). In general; the FV of unfermented flour of Pulut Harapan (2017.4±0.7 cP) was lower than that of Anoman I (2630.8±0.1 cP). This is associated with its higher amylopectin content of corn of Pulut Harapan. Flour containing higher amylopectin has shown to produce highly gelatinous dispersions when cooked and form soft and runny gels [22]. This is because amylopectin has more ability to absorb water than that of amylose [23]. Furthermore; for flour with low to medium amylose content, the present of higher percentage of amylopectin molecules may hamper aggregation of free amylose chains during aggregation [22]; as indicated by lower value of FV. After 36 hours of fermentation, however, flour of Pulut Harapan showed increased FV value (Figure 2B; Table 1), suggesting more free amylose was produced to allow the formation of more viscous network. The least increase of FV (of 2079.4±0.1 cP) was observed for corn flour of Pulut Harapan obtained from 36 hour of fermentation with addition of complete culture starter (36CC). This suggests that addition of CC starter would hydrolyze amylose molecule to form shorter chain; reducing FV value. Further addition of amylolytic culture (36AC) however, will increase the FV value (2537.1±1.0 cP). This might be associated with more amylose molecules produced by hydrolysis reaction of amylopectin molecules. The stability of paste during cooling and storage is indicated by SV value; i.e. the differences between FV and TV values. The higher SV value indicates the higher tendency of amylose to retrograde [21] forming a gel structure when the polymer molecules, especially amylose chains, realign themselves. Our results shows that in general, fermentation has caused corn flour of Anoman I variety to have less tendency to retrograde (SV value of 1183.3 to 1512.5 cP) as compared to that of the unfermented one (SV value of 1618.3±0.4 cP). Corn flour of
84
Viscosity (cP)
Time (mins) 36CC 36SF
36AC
U
Time (mins) 36CC 36SF
36AC
Temperature (°C)
B
U
Viscosity (cP)
A
Temperature (°C)
Anoman I with the lowest tendency to retrograde was the one produced from AC fermentation (SV value of 1183.3±0.5 cP); indicating a more intensive hydrolysis of amylose molecule occurred during the fermentation.
Figure 6.2. Pasting profile of corn flour of Anoman 1 (A) and Pulut Harapan (B) varieties made from corn grits after 36hours of fermentation. U: Unfermented flours; 36SF: flour made from corn grits after 36 hours of spontaneous fermentation, 36CC: flour made from corn grits after 36 hours of fermentation with addition of a complete starter culture; 36AC: flour made from corn grits after 36 hours of fermentation with complete culture and additional amylolytic starter (AC) culture at 16 hours of fermentation.
85 Table 6.1. Pasting properties profile of maize flour Anoman 1and Pulut Harapan varieties during 36 hours fermentation. Treatments U Anoman 1 flour Pasting 81.5±30.9 temperature (°C) Peak viscosity 1276.9±24.4 (cP) Trough viscosity 1012,6±27,6 (cP) Breakdown 264.4±36.4 viscosity (cP) Final viscosity 2630.8±0.1 (cP) Setback 1618.3±0.4 viscosity (cP) Pulut Harapan flour Pasting 82.1±25.9 temperature (°C) Peak viscosity 1237.7±20.7 (cP) Trough viscosity 1090,3±29,5 (cP) Breakdown 147.4±15.8 viscosity (cP) Final viscosity 2017.4±0.7 (cP) Setback 927.1±0.8 viscosity (cP)
36SF
36CC
36AC
83.4±28.7
85.0±24.5
82.2±48.8
1451.9±14.8
1290.4±8.8
1193.8±22.6
1156,3±29,7
1062,6±23,3
1065,8±64,3
295.6±35.7
227.8±21.7
128.0±62.6
2579.4±0.0
2575.1±0.0
2249.0±0.1
1423.1±0.3
1512.5±0.3
1183.3±0.5
75.6±37.2
78.4±23.1
78.5±9.9
1680.2±33.3
1638.4±15.4
1790.0±48.1
1248,6±24,0
1251,9±21,1
1439,3±52,7
431.6±22.3
386.6±18.2
350.8±32.5
2443.4±0.0
2079.4±0.1
2537.1±1.0
1194.8±0.8
827.6±0.2
1097.9±2.4
For Pulut Harapan corn, unfermented flour has an SV value of 927.1±0.8 cP (Table 1). Our results showed that fermentation treatments increased tendency to retrograde, except for fermentation with addition of complete culture starter (SV value of 827.6±0.2 cP). Corn flour obtained after 36 hour of spontaneous fermentation (36SF) has an SV value of 1194.8±0.8 cP, and flour of 36AC has an SV value of 1097.9±2.4 cP. This phenomenon is related with their respective FV; as explained in the previous paragraph. Pasting properties of corn flours after 48 hours of fermentation Continued fermentation process of corn grits up to 48 hours of fermentation, resulted in corn flour with pasting profile as presented in Figure 3A (for Anoman I) and 3B (for Pulut Harapan), with their respective pasting parameter presented at Table 2. In general, the PV value of corn flour of both Anoman 1 obtained from fermented corn grits for 48 hours (48SF, 48 CC and 48AC; Figure 3A) is very similar to that of flour obtained from fermented corn grits for 36 hours (36SF, 36
86 CC and 36AC; Figure 2A). For corn of Pulut Harapan, the peak viscosity continued to increase to 1825.4±26.4 (for 48SF) and 2134.5±29.7 (for 48 AC) cP. Again, this phenomenon is associated with higher amylopectin content of Pulut Harapan corn flour because the flour is more resistant to enzymes and acid thus it was able to swell bigger. Interesting results were observed that all fermentation treatments has increased PV values of corn flour of Pulut Harapan variety; but it did not affect the tendency to retrograde; as indicated by the relatively similar SV value (927.1±0.8 cP for unfermented flour, 989.1±1.1 cP for SF, 935.1±0.2 cP for CC and 924.4±0.2 cP for AC flours, Table 2). Table 6.2. Pasting properties profile of maize flour Anoman 1and Pulut Harapan varieties during 48 hours fermentation. Treatments U Anoman 1 flour Pasting 81.5±30.9 temperature (°C) Peak viscosity 1276.9±24.4 (cP) Trough viscosity 1012,6±27,6 (cP) Breakdown 264.4±36.4 viscosity (cP) Final viscosity 2630.8±0.1 (cP) Setback 1618.3±0.4 viscosity (cP) Pulut Harapan flour Pasting 82.1±25.9 temperature (°C) Peak viscosity 1237.7±20.7 (cP) Trough viscosity 1090,3±29,5 (cP) Breakdown 147.4±15.8 viscosity (cP) Final viscosity 2017.4±0.7 (cP) Setback 927.1±0.8 viscosity (cP)
48SF
48CC
48AC
80.8±17.8
83.8±11.7
81.8±32.5
1432.6±4.9
1489.0±18.0
1189.8±13.8
1121,7±23,4
1175,2±29,8
1021,3±47,1
310.9±17.1
313.8±30.9
168.5±36.8
2382.3±0.0
2645.9±0.0
2213.0±0.0
1260.6±1.3
1470.8±0.3
1191.8±0.4
76.9±24.0
79.7±17.2
78.1±49.7
1901.8±29.6
1825.4±26.4
2134.5±29.7
1326,6±48,3
1298,9±38,4
1471,4±62,2
575.2±37.3
526.5±21.9
663.1±57.1
2315.7±0.0
2234.0±0.1
2395.8±0.4
989.1±1.1
935.1±0.2
924.4±0.2
Viscosity (cP)
Time (mins) 48CC 48SF
48AC
U
Time (mins) 48CC 48SF
48AC
Temperature (°C)
B
U
Viscosity (cP)
A
Temperature (°C)
87
Figure 6.3. Pasting profile of corn flour of Anoman 1 (A) and Pulut Harapan (B) varieties made from corn grits after 48 hours of fermentation. U: Unfermented flours; 48SF: flour made from corn grits after 48 hours of spontaneous fermentation, 48CC: flour made from corn grits after 48 hours of fermentation with addition of a complete starter culture; 48AC: flour made from corn grits after 48 hours of fermentation with complete culture and additional amylolytic starter (AC) culture at 16 hours of fermentation.
88 Pasting properties of corn flours after 72hours of fermentation The pasting profile and properties of corn flour of both Anoman 1 and Pulut Harapan obtained after 72 h of fermentation of corn grits was presented at Figure 4 and Table 3. Longer fermentation time (72 hour), the corn flour of Anoman 1 from fermented corn grits had higher value of PV; with the highest value (1487.1±12.6 cP) observed in flour obtained from fermentation process with additional complete culture (72CC). Corn flour of Pulut Harapan obtained from fermentations of corn grits with additional complete culture (72CC) showed further increase in in PV (2038.0±4.4 cP) much higher that that of corn flour obtained from 36 hours of fermentation (36 CC, 1825.4±26.4 cP). Table 6.3. Pasting properties profile of maize flour Anoman 1and Pulut Harapan varieties during 72 hours fermentation. Treatments U Anoman 1 flour Pasting 81.5±30.9 temperature (°C) Peak viscosity 1276.9±24.4 (cP) Trough viscosity 1012,6±27,6 (cP) Breakdown 264.4±36.4 viscosity (cP) Final viscosity 2630.8±0.1 (cP) Setback 1618.3±0.4 viscosity (cP) Pulut Harapan flour Pasting 82.1±25.9 temperature (°C) Peak viscosity 1237.7±20.7 (cP) Trough viscosity 1090,3±29,5 (cP) Breakdown 147.4±15.8 viscosity (cP) Final viscosity 2017.4±0.7 (cP) Setback 927.1±0.8 viscosity (cP)
72SF
72CC
72AC
83.3±14.0
82.7±10.3
82.0±23.3
1470.5±6.9
1487.1±12.6
1251.8±44.0
1113,6±26,9
1179,6±12,5
1238,3±43,6
356.9±26.6
307.4±13.9
176.6±33.7
2459.5±0.0
2427.9±0.1
2263.3±2.3
1345.9±0.2
1248.3±0.1
1188.1±4.1
77.4±23.0
78.7±19.2
77.9±47.8
1701.0±37.7
2038.0±4.4
2148.3±40.3
1214,9±11,2
1333,2±16,3
1203,1±40,9
486.1±26.6
704.8±9.2
782.0±21.9
2091.8±0.1
2357.3±0.1
2190.4±2.0
876.9±0.5
1024.1±0.2
824.1±4.7
Viscosity (cP)
Time (mins)72ACC 72 SF
B
Viscosity (cP)
U
72AC
3000
120
2500
100
2000
80
1500
60
1000
40
500
20
0
Temperature (°C)
A
Temperature (°)
89
0 0
5
U
10 15 Time (mins) 72SF
72CC
20
72 AC
Figure 6.4. Pasting profile of corn flour of Anoman 1 (A) and Pulut Harapan (B) varieties made from corn grits after 72 hours of fermentation. U: Unfermented flours; 72SF: flour made from corn grits after 72 hours of spontaneous fermentation, 72CC: flour made from corn grits after 72 hours of fermentation with addition of a complete starter culture; 72AC: flour made from corn grits after 72 hours of fermentation with complete culture and additional amylolytic starter (AC) culture at 16 hours of fermentation.
90 CONCLUSION Fermentation process of corn grits affected the pasting properties of the resulting flour, both for Anoman I and Pulut Harapan corn varieties. The differences in the effect of fermentation process on pasting properties were due to the different amylose content of the corn varieties; as observed in Anoman I (high amylose content) and Pulut Harapan (low amlyose content) varieties. The addition of starter culture containing amylolytic microorganisms at 16 h of fermentation (AC) resulted in corn flour of Anoman I with lower values of PV, BV, FV, and SV. Meanwhile for corn flour of Pulut Harapan variety, CC fermentation resulted in flour with higher value of PV, BV, FV, and SV. In general, AC fermentation of corn grits could increase the stability of paste for flour containing higher amylose content, but decreased the stability of paste for flour containing high amylopectin. Specifically, fermentation with complete starter culture (CC) caused significant increase in the peak viscosity value especially for corn flour of Pulut Harapan. Fermentation for up to 48 h has resulted in corn flour of Pulut Harapan variety having higher value of PV; but it did not affect the tendency to retrograde. References [1] Aini, N., Hariyadi, P. Gelatinization properties of white maize starch from three varieties of corn subject to oxidized and acetylated-oxidized modification. International Food Research Journal 2010, 17, 961-968. [2] Aini, N., Hariyadi, P., Muchtadi, T.R., Andarwulan, N. Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan sifat gelatinisasi tepung jagung putih yang dipengaruhi ukuran partikel. J Teknol dan Industri Pangan 2010, 21, 18-24. [3] Nago, M.C., Hounhouigan, J.D., Akissoe, N., Zanou, E., Mestres, C. Characterization of the Beninese traditional Ogi, a fermented maize slurry: Phisicochemical and Microbiological aspects. Int J Food Sci Tech 1998. 33. 307-315. [4] Ben Omar, N., Ampe, F. Microbial community dynamics durin production of the Mexican fermentee maize dough pozol. Applied & environmental microbiology 2000, 66, 3664-3673. [5] Rahmawati, Dewanti-Hariyadi R., Hariyadi P., Fardiaz D., Richana, N. Isolation And Identification Of Microorganisms During Spontaneous Fermentation Of Maize. J.Teknol. dan Industri Pangan 2013, 24, 38-44. [6] Suarni, U. Karakteristik sifat fisikokimia dan amilograf tepung jagung sebagai bahan pangan. Prosiding seminar dan lokakarya nasional Makasar 2005. Pusat penelitian dan pengembangan tanaman pangan. Badan penelitian dan pengembangan pertanian. Departemen Pertanian. 2005. [7] Ghosh, B., Ray, R.R. Current commercial perspective of Rhizopus oryzae: A review. Journal of Applied Sciences 2011, 11, 2470-2486. DOI;10.3923/jas.2011. 2470.2486 [8] Tang, B., Pan, H., Tang, W., Zhang, Q., Ding, L., Zhang, F. Fermentation and purification of cellulase from a novel strain Rhizopus stolonifer var. reflexus TP-02.biomass and bio energy 2012, 36, 366-372.
91 Doi:10.1016/j.biombioe.2011.11.003 [9] Heerd, D., Yegina, S., Tari, C., Fernandez-Lahore, M. Pectinase enzymecomplex production by Aspergillus spp. In solid-state fermentation: A comparative study. food and bioproducts processing 2012, 90, 102–110. Doi:10.1016/j.fbp.2011.08.003 [10] Panagiotou, G., Kekos, D., Macris, B.J., Christakopoulos, P. Production of cellulolytic and xylanolytic enzymes by Fusarium oxysporum grown on corn stover in solid state fermentation. Industrial Crops and Products 2003, 18, 37-45 [11] Li X.Y., Liu Z.Q., Chi Z.M. Production of phytase by a marine yeast Kodamaea ohmeri BG3 in an oats medium: Optimization by response surface methodology. Bioresource Technology 2008, 99: 6386–6390. DOI:10.1016/j.biortech.2007.11.065. [12] Bussamara, R., Fuentefria, A. M., de Oliveira, E.S., Broetto, L., Simcikova, M., Valente, P., Schrank, A., Vainstein, M.H. Isolation of a lipase-secreting yeast for enzyme production in a pilot-plant scale batch fermentation. Bioresource Technology 2010, 101, 268–275. [13] Mohamed, L., Zakaria M., Ali, A., Senhaji, W., Mohamed, O., Mohamed, E., EL Hassan B., Mohamed, J. Optimization of growth and extracellular glucoamylase production by Candida famata isolate. African Journal of Biotechnology 2007, 6, 2590-2595. [14] Wojtatowicz, M., Chrzanowska, J., Juszczyk, P., Skiba, A., Gdula, A. Identification and biochemical characteristics of yeast microflora of Rokpol cheese. Int J Food Microbiol. 2001, 69, 135–140. DOI:10.1016/S0168-1605(01)00582-7. [15] Omemu, A.M., Oyewole, O.B., Bankole, M.O.. Significance of yeasts in the fermentation of maize for ogi production. Food Microbiol 2007, 24, 571576. DOI:10.1016/j.fm.2007.01.006. [16] Zhu, Li-Jia, Liu, Qiao-Quan, Sang, Y., Gu, Ming-Hong, Shi, Yong-Cheng. Underlying reasons for waxy rice flours having different pasting properties. Food Chemistry 2010, 120, 94–100. [17] Claver, I.P., Zang, H., Li, Q., Zhu, K, Zhou, H. Impact of the soak and the malt on the physicochemical properties of the sorghum starches. Int J Mol Sci. 2010, 11, 3002-3015. Doi:10.3390/ijms11083002. [18] Sandhu KS, Singh N, Malhi NS. Some properties of corn grains and their flours I: Physicochemical, functional and chapati-making properties of flours. Food Chemistry, 2007, 101, 938–946 [19] Xie, S.X., Liu, Q., and Cui, S.W. in Cui, S.W. (Eds). Food Carbohydrates: Chemistry, Physical Properties, and Applications. Taylor & Francis Group, 2005. [20] Oke, M.O., Bolarinwa, I.F. 2012. Effect of Fermentation on Physicochemical Properties and Oxalate Content of Cocoyam (Colocasia esculenta) Flour. International Scholarly Research Network. ISRN Agronomy. Volume 2012, Article ID 978709, 1-4 pages. doi:10.5402/2012/978709 [21] Zaidul, I.S.M., Nik Norulaini, N.A., Omar, A.K.M., Yamauchi, H., Noda, T.
92 RVA analysis of mixtures of wheat flour and potato, sweet potato, yam, and cassava starches. Carbohydrate Polymers 2007, 69, 784–791. doi:10.1016/j.carbpol.2007.02.021 [22] Blazek, J., Copeland, L. Pasting and swelling properties of wheat flour and starch in relation to amylose content. Carbohydrate Polymers 2008,71, 380– 387. [23]Wong, D.W.S. Mechanism and theory in food chemistry. AVI Book-New York, 1989.
93 7 PENGARUH FERMENTASI DENGAN PENAMBAHAN KULTUR STARTER TERHADAP SIFAT FISIK TEPUNG JAGUNG VARIETAS ANOMAN 1 DAN PULUT HARAPAN
ABSTRAK Jagung putih lokal sedang dikembangkan di Indonesia khususnya sebagai bahan baku pangan. Pemanfaatan jagung dalam bentuk tepung lebih mudah untuk diaplikasikan sehingga banyak dilakukan. Kebanyakan masyarakat membuat tepung jagung dengan merendam, meniriskan, mengeringkan dan menggiling grits jagung hasil perendaman. Selama perendaman terjadi fermentasi spontan yang memengaruhi karakteristik fisikokimia tepung yang dihasilkan. Proses fermentasi spontan umumnya mengandalkan mikroba yang ada pada bahan baku dan lingkungan sekitar sehingga konsistensi kualitas produk sulit diperoleh. Untuk mendapatkan tepung dengan sifat yang konsisten, maka perlu dilakukan fermentasi yang lebih terkendali misalnya dengan penambahan kultur starter yang komposisi mikrobanya diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisik tepung jagung varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan hasil fermentasi dengan penambahan kultur starter. Fermentasi dengan penambahan kultur starter dilakukan dengan menggunakan mikroba amilolitik, yaitu Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum, dan Candida famata dan mikroba non-amilolitik, yaitu Penicillium chrysogenum, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, Fusarium oxysporum, Kodamaea ohmeri dan Candida krusei/incospicua, Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, Lactobacillus plantarum1b, Lactobacillus paracasei ssp paracasei3 (Rahmawati et al. 2013). Perlakuan yang diberikan, yaitu: (1) Kontrol (SF)-tanpa penambahan kultur starter; (2) Penambahan kultur starter lengkap pada 0 jam fermentasi (CC); dan (3) CC dan ditambah dan mikroba amilolitik pada 16 jam fermentasi (AC). Pengamatan dilakukan pada 0, 36, 48, dan 72 jam. Hasil penelitian menunjukkah bahwa proses fermentasi dengan penambahan kultur starter (CC dan AC) hingga 72 jam memengaruhi sifat fisik tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan yang dihasilkan. Sifat fisik yang dipelajari meliputi kekerasan gel, kelengketan gel, derajat putih, kapasitas penyeraan air, dan kapasitas penyerapan minyak tepung jagung yang dihasilkan. Kekerasan gel meningkat dengan semakin lama fermentasi. Penambahan kultur starter meningkatkan kekerasan gel tepung Anoman 1 selama fermentasi di mana kekerasan gel perlakuan AC lebih besar dari perlakuan CC yang lebih besar dari perlakuan SF. Kekerasan gel tepung Anoman 1 cenderung lebih tinggi dibandingkan Pulut Harapan. Hal ini berkaitan dengan kandungan amilosa yang tinggi pada tepung Anoman 1. Waktu fermentasi meningkatkan kelengketan gel tepung Anoman 1 dan Pulut Harapan yang dihasilkan. Penambahan kultur starter AC menyebabkan peningkatan kelengketan gel tepung Pulut Harapan lebih rendah dibandingkan perlakuan SF dan CC. Sehingga kelengketan gel tepung Pulut harapan dengan perlakuan SF lebih besar dibandingkan CC yang lebih besar
94 dari AC. Waktu fermentasi meningkatkan derajat putih kedua varietas tepung, hal ini diduga berkaitan dengan menurunnya kandungan protein tepung. Waktu fermentasi juga sedikit meningkatkan kapasitas penyerapan air terutama tepung Anoman 1, namun sedikit menurunkan kapasitas penyerapan minyak pada ke dua varietas tepung jagung hasil fermentasi.
PENDAHULUAN Jagung merupakan sumber karbohidrat penting setelah beras di Indonesia, namun telah menjadi kurang populer karena ketidaknyamanan dalam persiapannya. Secara tradisional, tepung jagung dibuat dengan merendam kernel jagung dalam air diikuti dengan proses penirisan, penggilingan dan pengeringan. Selama perendaman terjadi fermentasi spontan yang memengaruhi karakteristik fisikokimia tepung jagung (Aini et al. 2010). Hasil penelitian Aini et al. (2010) menunjukkan bahwa adanya berbagai mikroorganisme selama fermentasi spontan memengaruhi sifat fisikokimia tepung jagung putih yang dihasilkan. Fermentasi spontan menurunkan kadar protein, lemak, serat kasar, abu, pati, gula reduksi, pH, bulk density, dan kapasitas penyerapan lemak dari tepung yang dihasilkan, sementara itu meningkatkan sudut curah, keputihan, dan kapasitas penyerapan air. Fermentasi selama 24 jam mengurangi suhu gelatinisasi dari 82C sampai 76.2 C. Sedangkan fermentasi selama 72 jam meningkatkan suhu gelatinisasi tepung jagung menjadi 85.2 C. Fermentasi selama 48 jam meningkatkan viskositas puncak tepung (648 BU), sedangkan fermentasi selama 72 jam mengalami penurunan viskositas puncaknya sampai 550 BU yang mirip dengan tepung yang tidak difermentasi. Fermentasi selama 12 sampai 60 jam meningkatkan stabilitas panas tepung jagung. Sementara itu, fermentasi hingga 36 jam mengurangi kecenderungan retrogradation tepung jagung dan perendaman 48 jam meningkatkan kekerasan gel dibandingkan dengan tepung yang tidak difermentasi. Hasil di atas menunjukkan bahwa ada kemungkinan untuk memperoleh sifat fisikokimia yang diinginkan dari tepung jagung dengan mengendalikan proses fermentasi. Saat ini, fermentasi jagung pada umumnya dilakukan secara spontan dengan mengandalkan mikroorganisme alami yang ada pada bahan baku. Hal ini menyebabkan konsistensi kualitas produk sulit diperoleh. Beberapa penelitian tentang fermentasi spontan jagung telah dilaporkan, seperti pada pembuatan ogi (Nago et al. 1998) dan pozol (ben Omar dan Ampe 2000). Selama fermentasi, diisolasi kapang, kamir, dan bakteri asam laktat, di mana mikroorganisme ini ada yang bersifat amilolitik, lipolitik, dan proteolitik. Pada fermentasi spontan grits jagung putih varietas Anoman 1diisolasi delapan jenis kapang, tiga spesies kamir, dan lima spesies BAL. Empat dari delapan isolat kapang dan satu dari tiga isolat kamir bersifat amilolitik, yaitu P. citrinum, Aspergillus flavus, A. niger, Acremonium strictum, dan Candida famata. Kapang dan kamir non-amilolitik yang tumbuh selama fermentasi spontan grits jagung adalah P chrysogenum, R oryzae, R stolonifer, F oxysporum, Kodamaea ohmeri dan Candida krusei/incospicua. Lima spesies BAL bersifat non-amilolitik terdiri
95 dari Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, Lactobacillus plantarum1b, Lactobacillus paracasei ssp paracasei3 (Rahmawati et al. 2013). Ke enam belas mikroba ini digunakan pada penelitian ini sebagai starter. Pemanfaatan jagung khususnya jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut, saat ini sedang dikembangkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian sebagai varietas unggulan nasional. Jagung putih varietas Anoman 1 tergolong jagung tinggi amilosa (29,92%), sedangkan varietas Pulut termasuk jagung tipe jagung ketan (waxy corn) dengan kandunga amilopektin 95.75% dan amilosa 4.25% (Suarni 2005). Perbedaan kandungan amilosa dan amilopektin diduga memengaruhi sifat pasting tepung yang dihasilkan. Untuk mengetahui hal itu maka pada penelitian ini digunakan kedua jenis jagung tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh fermentasi dengan penambahan kultur starter terhadap sifat fisik tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan.
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Jagung yang digunakan adalah jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, Sulawesi. Biji jagung varietas Anoman 1 mengandung amilosa tinggi (29.92 %), sedangkan biji jagung varietas Pulut lokal mengandung amilosa rendah (4.25 %) (Suarni 2005). Mikroba yang digunakan sebagai kultur starter terdiri dari mikroba amilolitik yaitu Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum, dan Candida famata serta mikroba non amilolitik yaitu Penicillium chrysogenum, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, Fusarium oxysporum, Kodamaea ohmeri dan Candida krusei/incospicua, Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, Lactobacillus paracasei ssp paracasei3. Mikroorganisme yang digunakan merupakan hasil isolasi dan identifikasi dari fermentasi spontan grits jagung (Rahmawati et al. 2013). Alat yang digunakan adalah seperangkat alat pembuatan tepung, Whiteness meter merek Photoelectric Tube Whiteness meter electric laboratory C-100-3, Stable Micro System (TAXT-2 Texture Analyzer). Metode Proses Fermentasi dengan penambahan kultur starter Kernel jagung dicuci dengan air minum dalam kemasan (AMDK) dengan perbandingan kernel jagung : air = 1 : 4) dan dibuat menjadi grits (≥4 mm) dengan menggunakan pin disc mill. Grits jagung kemudian dicuci dengan AMDK (grits jagung : air = 1 : 4) dan ditiriskan selama 30 menit. Fermentasi grits jagung dilakukan dengan merendam grits jagung dalam AMDK (grits : air = 1 : 2) dalam
96 wadah tertutup hingga 72 jam pada suhu ruang (±28 °C). Penambahan mikroba sebanyak 106 CFU/mL per mikroba dilakukan sesuai perlakuan. Pengambilan sampel dilakukan pada 0, 36, 48, dan 72 jam fermentasi. Selanjutnya grits jagung ditiriskan, dikeringkan, dan digiling menjadi tepung. Pembuatan kultur starter Satu ose kapang digoreskan di atas agar miring PDA dan diinkubasi pada suhu 30 °C selama 5 hari. Setelah 5 hari kapang dipanen dengan mengerok permukaan agar, melarutkannya dalam 10 mL air steril dan mengencerkannya dengan tepat untuk menghitung jumlah koloni dengan hemasitometer. Kultur khamir disiapkan seperti di atas tetapi diinkubasi pada suhu 30 °C selama 2 hari. Penghitungan jumlah khamir juga dengan menggunakan hemasitometer. Sementara itu, kultur BAL disiapkan dengan memindahkan setiap satu ose kultur BAL ke dalam median MRS broth dan menginkubasi selama 24 jam pada suhu 30 °C dengan menggunakan inkubator bergoyang. Setelah 24 jam, kultur disetrifugasi secara aseptik selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm pada suhu 4 °C dan pellet sel dilarutkan dalan buffer fosfat. Perlakuan Fermentasi dengan penambahan kultur starter Kultur starter lengkap dibuat dari semua kapang, khamir, dan BAL yang telah disiapkan seperti di atas. Kultur starter amilolitik dibuat dari Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum, and Candida famata. setiap kultur mikroba diinokulasi ke dalam wadah berisi grits jagung dan air sedemikian rupa sehingga konsentrasi awal masing-masing mikroba 106 CFU/mL. Fermentasi yang dipelajari terdiri dari: fermentasi spontan (SF), yaitu merendam grits jagung dalam air sebagai kontrol dan fermentasi dengan penambahan kultur starter. Dua perlakuan pada fermentasi dengan penambahan kultur starter terdiri dari: (CC) fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap pada 0 jam atau pada awal fermentasi, dan (AC) fermentasi CC dengan inokulasi tambahan kultur starter amilolitik setelah 16 jam fermentasi. Pengamatan dilakukan pada tepung yang dihasilkan dari grits setelah 0, 36, 48, dan 72 jam fermentasi. Kekerasan (hardness) dan Kelengketan (adhesiveness) Gel Kekerasan adalah gaya yang diperlukan untuk menekan makanan di antara geraham, sedangkan kelengketan adalah kerja yang dibutuhkan untuk menarik produk menjauh dari suatu permukaan (Rosenthal 1999). Profil tekstur disajikan pada Gambar 7.1. Kekerasan (g) diukur dari gaya puncak pada kurva, sedangkan kelengketan diukur dari nilai negatif area 3. Pengukuran kekerasan gel dilakukan dengan menggunakan alat Stable Micro System (TAXT-2 Texture Analyzer). Pembuatan gel dilakukan dengan memodifikasi metode yang dikembangkan oleh Lee (2011). Gel dibuat dengan melarutkan 15 g tepung dalam 100 mL air destilasi kemudian dipanaskan selama 15 menit pada suhu 92C. Pasta yang masih panas dimasukkan ke dalam silinder plastik (diameter bagian dalam ±3.5 cm, tinggi 2.0 cm), ditutup dengan plastik dan disimpan selama 24 jam dalam lemari pendingin (suhu ± 4 C). Gel ditekan
97 dengan silinder berdiameter 1 cm dan panjang 2.5 cm. Kecepatan probe 1.00 mm/s; beban 100 g dan kedalaman 4 mm.
Gambar 7.1. Kurva analisis profil tekstur Derajat putih tepung jagung (Whiteness meter) Derajat putih tepung diukur dengan Photoelectric Tube Whiteness meter electric laboratory C-100-3. Untuk mengukur derajat putih terlebih dahulu dilakukan standarisasi dengan menggunakan Barium Sulfat yang dianggap memiliki derajat putih 87%. Setelah itu sampel-sampel dimasukkan dalam kotak pengukur untuk mengukur derajat putihnya. Kapasitas penyerapan air secara gravimetri (Kadan et al. 2003). Tabung sentrifuse diisi 2 g sampel tepung jagung yang ditimbang berat tabung dan sampel (a), kemudian ditambah 9 ml aquadest dan divortex. Selanjutnya didiamkan selama 30 menit kemudian disentrifuse 3000 rpm selama 15 menit dan didekatansi, kemudian ditimbang beratnya (b). Kapasitas penyerapan air = Kapasitas penyerapan minyak secara gravimetri (Kadan et al. 2003). Sebanyak 1 g sampel tepung jagung dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse dan ditimbang beratnya (a), dicampur dengan 9 ml minyak kemudian divortex selama 1 menit dan ditempatkan dalam waterbath 50 0C selama 15 menit. Kemudian divortex lagi selama 1 menit dan dipanaskan dalam waterbath 50 0C selama 15 menit. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi selama 10 menit pada 1650 x g, dilakukan dekatansi minyak dan ditimbang beratnya (b). Kapasitas penyerapan minyak =
98 HASIL DAN PEMBAHASAN
Force (g)
Profil tekstur tepung jagung putih yang dihasilkan dari jagung varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan yang di fermentasi sampai dengan 72 jam disajikan pada Gambar 7.2. Secara umum tekstur dinyatakan sebagai kekerasan dan kelengketan gel. Kekerasan gel merupakan nilai batas elastisitas gel atau kemampuan maksimal gel untuk menahan beban sebelum pecah.
A
360 330 300 270 240 210 180 150 120 90 60 30 0 -30 0
3
6
9
12
15
Time (sec)
B
Force (g)
0 jam 360 330 300 270 240 210 180 150 120 90 60 30 0 -30 0
3
72SF
72CC
6
9
72AC
12
15
Time (sec) 0 jam
72SF
72CC
72AC
Gambar 7.2. Profil tekstur tepung tepung jagung putih varietas Anoman 1 (A) dan Pulut Harapan (B) selama fermentasi. 72SF: tepung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi spontan 72 jam; 72CC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah 72 jam fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; 72AC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah 72 jam fermentasi dengan kultur CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi Profil tekstur tepung jagung putih varietas Anoman 1 (Gambar 7.2.A) pada 72 jam fermentasi cenderung elastis. Sampai menit ke 10 pada saat probe naik, belum terlihat adanya titik pecah gel. Tepung Anoman 1 yang mendapat
99 perlakuan 72CC dan 72AC cenderung mempunyai kekerasan gel yang lebih tinggi dibandingkan 0 jam dan 72SF. Selama fermentasi diduga enzim menghidrolisis komponen-komponen tepung. Enzim amilase menyerang ikatan α-1,4-Dglikosidik pati (Zhu et al. 2010) sehingga struktur granula menjadi lemah dan membentuk pori di dalam granula pati yang memfasilitasi penyerapan air ke dalam granula. Semakin tinggi kadar air, pada saat pemasakan gel yang terbentuk akan semakin kuat. Dengan semakin lama fermentasi, penyerapan air akan lebih tinggi sehingga pada saat dipanaskan amilosa akan leaching dan pada saat didinginkan amilosa akan bergabung kembali membentuk jaringan gel. Selama fermentasi protein, lemak, abu dan serat juga akan terhidrolisis. Dengan adanya protein dan lemak, amilosa akan membentuk ikatan amilosa-protein dan amilosalemak yang akan meningkatkan kekerasan gel. Pada pH rendah, pati lebih cepat tergelatinisasi dan akan menghasilkan gel yang semakin kuat. Nilai pH ke dua tepung pada 72 jam fermentasi dibandingkan 0 jam berturut-turut berkisar antara 4.40 – 4.69 dan 6.13-6.17. Tepung jagung putih varietas Pulut Harapan yang difermentasi sampai 72 jam, mempunyai profil tekstur yang berbeda dengan tepung Anoman 1 (Gambar 7.1.b). Kekerasan gel ditentukan oleh terbentuknya gel pada saat pemanasan dan proses pendinginan setelah pemanasan. Semakin tinggi kandungan amilosa, penggabungan kembali rantai lurus amilosa pada saat pendinginan akan membentuk jaringan gel yang semakin kuat. Hal ini akan meningkatkan kekerasan gel. Sebaliknya, semakin rendah kandungan amilosa, pembentukan jaringan gel pada saat pendinginan akan semakin sedikit sehingga akan menghasilkan gel yang kekerasannya lebih rendah. Tepung Pulut Harapan mengandung amilosa rendah, di mana selama fermentasi amilosa yang ada terhidrolisis maka kandungan amilosa akan berkurang. Dengan semakin berkurangnya kandungan amilosa, maka pada saat pendinginan proses penggabungan kembali amilosa membentuk jaringan gel akan sedikit sehingga akan menghasilkan jaringan gel yang lemah. Selama fermentasi diduga rantai cabang amilosa ada yang dihidrolisis oleh enzim glukoamilase. Hal ini ditunjukkan oleh meningkatnya kandungan amilosa pada perlakuan 36CC dan 48CC dibandingkan 0CC, yaitu berturut-turut 13.79% dan 13.81% dibandingkan 13.70% (data tidak ditunjukkan). Namun, pada fermentasi 72 jam, rantai lurus tersebut sudah terpotong menjadi bentuk sederhana sehingga kandungan amilosa menurun kembali pada 72 jam fermentasi, yaitu menjadi 12.9 %. Profil kekerasan dan kelengketan gel tepung jagung varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan selama 72 jam fermentasi akan diuraikan berikut ini. Kekerasan gel Kekerasan gel tepung jagung putih varietas Anoman 1 yang di fermentasi sampai dengan 72 jam cenderung meningkat dengan semakin lama waktu fermentasi (Gambar 7.3A). Kekerasan gel dipengaruhi oleh perbedaan sifat reologi matriks amilosa, fraksi volume, dan ketegaran granula pati tergelatinisasi, serta interaksi antara fase kontinyu dan fase terdispersi pada gel (Aini dan Hariyadi 2007). Selama fermentasi, komponen tepung akan terpotong menjadi
100
A
Kekerasan gel (gf) Anoman
komponen yang lebih sederhana sehingga memudahkan penyerapan air ke dalam granula. Dengan semakin lama waktu fermentasi akan semakin banyak amilosa dan komponen lain yang terpotong. Dengan ukuran granula yang semakin kecil dan air yang terserap semakin banyak, maka pada saat pemanasan akan meningkatkan viskositas dan jumlah amilosa yang leaching pada saat granula pecah. Dengan semakin tingginya amilosa yang keluar jaringan maka pada saat pendinginan kecenderungan proses rekristalisasi amilosa membentuk gel akan semakin tinggi. Sehingga kekerasan gel akan meningkat. Penambahan mikroba amilolitik pada 16 jam fermentasi (perlakuan AC) meningkatkan aktivitas mikroba amilolitik untuk menghidrolisis amilosa menjadi oligosakarida. Hal ini meningkatkan kekerasan gel selama fermentasi. 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
SF
CC AC
B
Kekerasan gel (gf)
0
12
24 36 48 Waktu fermentasi (jam)
60
72
600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
SF CC AC
0
12
24 36 48 Waktu fermetasi (jam)
60
72
Gambar 7.3. Kekerasan gel (gf) tepung jagung putih varietas Anoman 1(A) dan Pulut Harapan (B) selama fermentasi. SF: tepung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi spontan; CC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; AC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah fermentasi CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi
101 Kekerasan gel tepung jagung putih varietas Pulut Harapan cenderung meningkat dengan semakin lama waktu fermentasi (Gambar 7.3B). Namun kekerasannya relatif lebih rendah dibandingkan tepung Anoman 1. Rendahnya kekerasan gel pada tepung Pulut Harapan berkaitan dengan kandungan amilosa yang rendah. Perbedaan kekerasan gel terutama disebabkan perbedaan kandungan amilosa dan amilopektin kedua jenis jagung. Menurut Murano (2003) semakin tinggi kandungan amilosa dari pati, semakin tinggi kemampuannya membentuk gel. Pati yang mengandung amilopektin tinggi, umumnya memiliki kemampuan membentuk gel yang lemah dan lengket. Selain itu, menurunnya beberapa komponen kimiawi seperti pH, kadar protein, abu, dan serat kasar diduga memengaruhi kekerasan gel. Miao et al. 2011 melaporkan tingkat keasaman akan memengaruhi pembentukan gel. Pada pH rendah pati lebih cepat tergelatinisasi dan menghasilkan gel yang kuat. Pada pH yang terlalu rendah (pH 1-2) menyebabkan daerah amorf menurun yang dapat menurunkan kemampuan amilase mendegradasi daerah kristalin. Hal ini akan menurunkan kekerasan gel. Menurut Kilara (2006) gel akan lemah pada pH 1-2 dan pH>10, di mana pada pH 12 tidak terbentuk gel. Namun pada penelitian ini nilai pH tepung berkisar 6.04 - 6.24 pada 0 jam fermentasi menjadi 4.40 - 4.69 pada 72 jam fermentasi sehingga pati belum terhidrolisis seluruhnya. Hal ini menyebabkan kekerasan gel meningkat dengan menurunnya nilai pH. Semakin tinggi kadar protein tepung jagung, menghasilkan kekerasan gel yang semakin rendah. Menurut Aini et al. (2010) mekanisme terbentuknya interaksi protein-pati terjadi tanpa adanya panas. Hal ini merupakan interaksi antar muatan yang dipengaruhi oleh pH dan titik isoelektrik protein. Pemanasan akan meningkatkan kompleksitas reaksi antara pati dan protein. Perubahan protein karena panas berhubungan dengan denaturasi protein yang dipercepat dengan adanya air. Denaturasi protein berhubungan adanya interaksi antara protein seperti jembatan disulida antara gugus sistein membentuk ikatan silang. Hal ini menyebabkan pati kehilangan kristalinitas, pengembangan granula dan amilosa leaching, sehingga granula pecah dan amilosa membentuk gel. Interaksi antara protein-pati menentukan kekerasan gel. Kelengketan Gel Secara umum kelengketan gel tepung jagung varietas Anoman 1 cenderung meningkat dengan semakin lama fermentasi untuk semua pelakuan. Demikian juga kelengketan tepung jagung putih varietas Pulut Harapan (Gambar 7.4B). Secara umum kelengketan gel tepung Pulut Harapan relatif lebih tinggi dibandingkan tepung Anoman 1. Kelengketan gel berkaitan dengan kandungan amilosa dan amilopektin serta ikatan lemak-amilosa. Ortega-Ojeda et al. (2004) melaporkan bahwa rasio amilosa/amilopektin memengaruhi pembentukan dan kelengketan gel. Semakin tinggi kandungan amilopektin, pasta akan semakin lengket. Menurut Blazek dan Copeland (2008) tepung yang mengandung amilopektin tinggi menghasilkan dispersi yang lebih kental ketika dimasak dan membentuk gel yang lembut dan mengalir. Hal ini karena amilopektin
102 mempunyai kemampuan menyerap air yang lebih tinggi dari amilosa, khususnya di daerah kristalin jika ada energi panas yang cukup untuk mengganggu ikatan Hidrogen yang lemah di antara misel kristalin (Wong 1989).
A
Kelengketan gel (gf)
40,00 35,00 30,00 25,00
20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 0
12
24
36
48
60
72
Waktu fermentasi (jam)
B
Kelengketan gel (gf)
SF
CC
AC
40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 0
12
24
36
48
60
72
Waktu fermentasi (jam) SF
CC
AC
Gambar 7.4. Kelengketan gel (gf) tepung jagung putih varietas Anoman 1(A) dan Pulut Harapan (B) selama fermentasi. SF: tepung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi spontan; CC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; AC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah fermentasi CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi Selama fermentasi, enzim glukoamilase akan mengkatalisis ikatan α 1-4 dan 1-6 glikosidik yang akan meningkatkan jumlah rantai lurus dan adanya asam yang diproduksi oleh BAL dapat menyerang daerah amorph pada pati yang berikatan pada titik α-1,6 glikosidik. Hal ini meningkatkan fraksi linier pada pati (Xie et al. 2005). Pada saat pemanasan gel mengembang, setelah pemanasan dipertahankan beberapa waktu akan menyebabkan amilosa cenderung larut dan lepas ke dalam
103 media. Pada saat didinginkan tepung yang mengandung amilosa tinggi cenderung bergabung kembali membentuk matriks gel yang kuat dan padat sehingga kecenderungan membentuk gel yang lengket menjadi kecil. Pada tepung yang tinggi amilopektin pada saat didinginkan rantai lurus amilosa yang berjumlah sedikit cenderung membentuk gel, namun rantai cabang amilopektin sebelah luar cenderung menyerap air dan adanya kompleks amilosa-lemak yang terjadi pada permukaan gel akan menghambat pengembangan dan meningkatkan kelengketan gel pada saat didinginkan (Kaur dan Singh 2000). Hal ini menyebabkan kelengketan gel pada tepung Pulut Harapan cenderung lebih tinggi dibandingkan Anoman 1. Penambahan kultur starter cenderung menurunkan kelengketan gel tepung Pulut Harapan selama 72 jam fermentasi. Perlakuan AC menurunkan kelengketan gel lebih tinggi dibandingkan perlakuan CC. Hal ini diduga berkaitan dengan terpotongnya rantai cabang amilopektin sebelah luar yang menyebabkan berkurangnya rantai cabang amilopektin sehingga kemampuan gel menyerap air semakin berkurang dan hal ini diduga mengurangi kelengketan gel. Derajat Putih Derajat putih tepung jagung varietas Anoman 1 cenderung meningkat dengan semakin lama waktu fermentasi (Tabel 7.1). Derajat putih tepung jagung varietas Anoman 1 secara umum berkisar antara 64.7-64.9% pada 0 jam fermentasi menjadi 68.7-69.8% pada 72 jam fermentasi. Meningkatnya derajat putih menunjukkan bahwa lama fermentasi akan meningkatkan warna putih tepung jagung. Tabel 7.1. Derajat putih (%) tepung jagung hasil fermentasi dengan penambahan kultur starter Waktu fermentasi Perlakuan SF CC AC Tepung jagung varietas Anoman 1 0 66.0±1.9 66.0±1.9 66.0±1.9 36 67.4±2.5 67.9±3.7 67.2±0.4 48 67.6±0.4 68.5±3.6 68.1±1.2 72 68.7±0.7 69.3±3.5 69.8±2.0 Tepung jagung varietas Pulut Harapan 0 65.5±2.7 65.5±2.7 65.5±2.7 36 67.1±3.2 67.9±3.7 68.2±0.7 48 68.2±4.4 68.7±3.6 69.5±0.7 72 69.3±3.3 69.8±3.5 70.1±2.0
Trend yang sama ditemukan pada tepung jagung putih varietas Pulut Harapan, di mana secara umum derajat putih tepung meningkat dengan semakin lama fermentasi. Derajat putih tepung Pulut Harapan berkisar antara 65.3-65.7 %
104 pada 0 jam fermentasi menjadi 69.3-70.1 % pada 72 jam fermentasi. Secara umum derajat putih tepung jagung varietas Pulut Harapan lebih tinggi dibandingkan Anoman 1. Hal ini karena warna kernel jagung putih varietas Pulut Harapan lebih putih dibandingkan Anoman 1. Derajat putih seluruh tepung, meningkat dengan semakin lama fermentasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Aini et al. 2010 di mana derajat putih dipengaruhi kandungan protein tepung. Semakin tinggi kandungan protein tepung derajat putih tepung semakin rendah. Hal ini karena reaksi pencoklatan non enzimatis antara protein dan gula reduksi menghasilkan warna coklat sehingga menurunkan derajat putih tepung. Selain itu semakin rendah pH tepung, kemungkinan terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis semakin rendah sehingga derajat putih tepung semakin tinggi. Nilai pH tepung jagung varietas Pulut berkisar antara 6.14 - 6.21 pada 0 jam fermentasi dan 4.41 - 4.62 pada 72 jam fermentasi. Tepung jagung Anoman 1 mempunyai pH 6.04 - 6.24 pada 0 jam fermentasi menjadi 4.40 - 4.69 pada 72 jam fermentasi. Kapasitas Penyerapan Air Kapasitas penyerapan air mengambarkan banyaknya air yang tersedia untuk gelatinisasi (Elkhalifa et al. 2005). Kapasitas penyerapan air tepung jagung varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan secara umum cenderung meningkat selama fermentasi berturut-turut dari 57.11 - 57.62 % dan 64.73 - 64.96 % pada 0 jam menjadi 59.82 - 60.31 % dan 66.68 - 66.93 % pada 72 jam (Gambar 7.5). Selama fermentasi diduga enzim menghidrolisis komponen-komponen tepung. Enzim amilase menyerang ikatan α-1,4-D-glycosidic pati (Zhu et al. 2010) sehingga struktur granula menjadi lemah dan membentuk pori di dalam granula pati yang memfasilitasi penyerapan air ke dalam granula (Claver et al. 2010). Hal ini akan meningkatkan kemampuan granula menyerap air sehingga cenderung meningkatkan kapasitas penyerapan air. Dengan semakin lama waktu fermentasi diduga struktur granula semakin melemah sehingga kemampuan menyerap air semakin tinggi. Kapasitas penyerapan air tepung jagung Pulut Harapan selama fermentasi cenderung lebih tinggi dibandingkan tepung Anoman 1. Perbedaan komposisi amilosa dan amilopektin pada tepung Pulut Harapan dan Anoman1 diduga menyebabkan perbedaan nilai kapasitas penyerapan air. Menurut Blazek dan Copeland (2008), amilopektin mempunyai kemampuan menyerap air lebih tinggi dibandingkan amilosa. Hal ini khususnya di daerah kristalin jika ada energi panas yang cukup untuk mengganggu ikatan Hidrogen yang lemah diantara misel kristalin (Wong 1989). Dengan demikian, semakin tinggi kandungan amilopektin, maka semakin tinggi kapasitas penyerapan air. Semakin tinggi kadar protein dan kadar abu, semakin rendah kapasitas penyerapan air pada tepung jagung. Adanya muatan yang berlawanan pada protein dan mineral memengaruhi kecepatan penyerapan air granula pati sehingga protein dan mineral berkompetisi dengan pati dalam menyerap air (Aini et al. 2010).
B
Kapasitas Penyerapan Air (%)
A
Kapasitas Penyerapan Air (%)
105 70 65 60 55
SF
50
CC
45
AC
40 35 0
12
24 36 48 60 Waktu fermentasi (jam)
72
70 65 60 55
SF
50
CC
45
AC
40 35 0
12
24
36
48
60
72
Waktu fermentasi (jam)
Gambar 7.5. Kapasitas penyerapan air (%) tepung jagung varietas Anoman 1 (A) dan Pulut Harapan (B) selama fermentasi. SF: tepung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi spontan; CC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah 72 jam fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; AC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah 72 jam fermentasi dengan kultur CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi Lemak dilaporkan membentuk senyawa inklusi dengan amilosa dengan menempatkan sejumlah hidrokarbon di dalam bagian helik amilosa. Komplek ini akan menurunkan kelarutan air dan kerentanan pati dicerna alfa amilase (Kaur dan Singh 2000). Kapasitas Penyerapan Minyak Secara umum kapasitas penyerapan minyak ke dua jenis jagung cenderung menurun dengan semakin lamanya waktu fermentasi (Gambar 7.6). Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung varietas Anoman 1 berkisar 47.27 - 47.49 % pada 0 jam fermentasi menurun jadi 44.06 - 45.18 % pada 72 jam fermentasi. Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung varietas Pulut Harapan berkisar 53.84 - 53.99 % pada 0 jam fermentasi menurun jadi 50.86 - 51,68 % pada 72 jam fermentasi.
106
A
Kapasitas penyerapan minyak (%)
Kapasitas penyerapan minyak dipengaruhi oleh kadar protein dan lemak. Menurut Sirivongpaisal (2008) kapasitas penyerapan tepung bambara groundnut lebih besar daripada patinya karena kadar protein dan lemak tepung lebih tinggi dibandingkan pati. Semakin tinggi protein dan lemak pada tepung, kemampuan memerangkap minyak lebih tinggi.
60,00 56,00 52,00 48,00 44,00 40,00 36,00 32,00 28,00 24,00 20,00 16,00 12,00 8,00 4,00 0,00
SF CC AC 0
12
24
36
48
60
72
B
Kapasitas penyerapan minyak (%)
Waktu fermentasi (jam) 60,00 56,00 52,00 48,00 44,00 40,00 36,00 32,00 28,00 24,00 20,00 16,00 12,00 8,00 4,00 0,00
SF CC AC
0
12
24
36
48
60
72
Waktu fermentasi (jam)
Gambar 7.6. Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung putih varietas Anoman 1 (A) dan Pulut Harapan (B) selama fermentasi. SF: tepung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi spontan; CC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah 72 jam fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; AC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah 72 jam fermentasi dengan kultur CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi
107 SIMPULAN Proses fermentasi dengan penambahan kultur starter hingga 72 jam memengaruhi sifat fisik tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan. Kekerasan gel meningkat dengan semakin lama fermentasi. Penambahan kultur starter meningkatkan kekerasan gel tepung Anoman 1 selama fermentasi di mana kekerasan gel perlakuan AC lebih besar dari perlakuan CC yang lebih besar dari perlakuan SF. Kekerasan gel tepung Anoman 1 cenderung lebih tinggi dibandingkan Pulut Harapan. Hal ini berkaitan dengan kandungan amilosa yang tinggi pada tepung Anoman 1. Waktu fermentasi meningkatkan kelengketan gel tepung Anoman 1 dan Pulut Harapan yang dihasilkan. Penambahan kultur starter AC menyebabkan peningkatan kelengketan gel tepung Pulut Harapan lebih rendah dibandingkan perlakuan SF dan CC. Sehingga kelengketan gel tepung Pulut harapan dengan perlakuan SF lebih besar dibandingkan CC yang lebih besar dari AC. Waktu fermentasi meningkatkan derajat putih kedua varietas tepung, hal ini diduga berkaitan dengan menurunnya kandungan protein tepung. Waktu fermentasi juga sedikit meningkatkan kapasitas penyerapan air terutama tepung Anoman 1, namun sedikit menurunkan kapasitas penyerapan minyak pada ke dua varietas tepung jagung hasil fermentasi. PUSTAKA Aini N, Hariyadi P. 2007. Pasta pati jagung putih waxy dan non-waxy yang dimodifikasi secara oksidasi dan asetilasi-oksidasi. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 12 (2): 108-115. Aini N, Hariyadi P, Muchtadi TR, Andarwulan N. 2010. Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan sifat gelatinisasi tepung jagung putih yang dipengaruhi ukuran partikel. J Teknol dan Industri Pangan 21: 18-24. ben Omar N, Ampe F. 2000. Microbial community dynamics durin production of the Mexican fermentee maize dough pozol. Applied & environmental microbiology, September vol 66 (9): 3664-3673. Blazek J, Copeland L. 2008. Pasting and swelling properties of wheat flour and starch in relation to amylose content. Carbohydrate Polymers 71:380–387. Chen Z. 2003. Physicochemical Properties of Sweet Potato Starches and Their Aplication in Noodle Product. Ph.D Thesis. Wageningen University, The Netherlands Chin-Lin H, Wenlung C, Yih-Ming W, Chin-Yin T. 2003. Chemical composition, physical properties, and antioxidant activities of yam flours as affected by different drying methodsFood Chemistry 83: 85–92. Claver IP, Zang H, Li Q, Zhu K, Zhou H. 2010. Impact of the soak and the malt on the physicochemical properties of the sorghum starches. Int J Mol Sci. 11: 3002-3015. Doi:10.3390/ijms11083002. Collado LS, Mabesa LB, Oates CG, Corke H. 2001. Bihon-Type Noodles from Heat-Moisture-Treated Sweet Potato Starch. Journal Of Food Science Vol 66 (4): 604-609. Cornejo-Villegas MA, Gutiérrez-Cortez MA, Rojas-Molina I, Real-López AD,
108 Zambrano-Zaragoza ML, Martínez-Vega V, Rodríguez-García ME. 2013. Physicochemical, morphological, and pasting properties of nixtamalized flours. from quality protein maize and its particle distribution. Food Science and Technology xxx:1-7. Sezer I, Balkaya A, Karaağaç O, dan Öner F. 2011. Moisture dependent of some physical and morphological properties of dent corn (Zea mays var. indentәtә Sturt) seeds. African Journal of Biotechnology Vol. 10 (15):2857-2866. Kilara A. 2006. Interaction of Ingredients in Food Systems: An Introduction. Di dalam Gaonkar AG, McPherson A. editor. Ingredient interactions: Effect on Food Quality. New YorSF: CRC, pp. 1-20. Lee HL. 2011. Effect of hydroxypropylation on physical and rheological properties of sweet potatoes starch. LWT-Food Sci. Technol. 44:765-770. DOI:10.1016/j.lwt.2010.09.012. Murano PS. 2003. Understanding Food Science and Technology. Wadsworth (US): Thompson Learning. Nago MC, Hounhouigan JD, Akissoe N, Zanou E, Mestres C. 1998. Characterization of the Beninese traditional Ogi, a fermented maize slurry: Phisicochemical and Microbiological aspects. Int J Food Sci Tech 33: 307315. DOI: 10.1046/j.1365-2621.1998.00169.x. Oluwamukomi MO, Eleyinmi AF, Enujiugha VN. 2005. Effect of soy supplementation and its stage of inclusion on the quality of ogi-a fermented maize meal. Fod Chemistry 91: 651-657. Ortega-Ojeda FE, Larsson H, Ann-Charlotte E. 2004. Gel formation in mixtures of amylose and high amylopectin potato starch Carbohydrate Polymers 57: 55–66 Rahmawati, Dewanti-Hariyadi R, Hariyadi P, Fardiaz D, Richana N. 2013. Isolation And Identification Of Microorganisms During Spontaneous Fermentation Of Maize. J.Teknol. dan Industri Pangan 24 (1): 38-44. Sandhu KS, Singh N, Malhi NS. 2007. Some properties of corn grains and their flours I: Physicochemical, functional and chapati-making properties of flours. Food Chemistry 101 (2007) 938–946 Sirivongpaisal P. 2008. Structure and functional properties of starch and flour from babarra groundnut. Songklanakarin J. Sci. Technol. 30 (Suppl. 1) 5156. http://www.sjst.psu.ac.th (28 Desember 2008). Suarni U. 2005. Karakteristik sifat fisikokimia dan amilograf tepung jagung sebagai bahan pangan. Prosiding seminar dan lokakarya nasional Makasar 2005. Pusat penelitian dan pengembangan tanaman pangan. Badan penelitian dan pengembangan pertanian. Departemen Pertanian. Shu X, Jia L, Gao J, Sing Y, Zhao H, Nakamura Y,Wu D. 2007. The influence of chain lengthof amilopectin on resistant starch in rice (Oryza sativa L). Starch/Starke 59: 504-509. DOI: 10.1002/star.200700640. Uarrota VG, Amante ER, Demiate IM, Vieira F, Delgadillo I, Maraschin M. 2013. Physicochemical, thermal, and pasting properties of flours and starches of eight Brazilian maize landraces (Zea mays L.). Food Hydrocolloids 30: 614624. doi.org/10.1016/j.foodhyd.2012.08.005 Wong DWS. 1989. Mechanism and theory in food chemistry. AVI Book-New
109 York. Xie SX, Liu Q, and Cui SW. in Cui SW. (Eds). Food Carbohydrates: Chemistry, Physical Properties, and Applications. 2005. Taylor & Francis Group. Li-Jia Z, Qiao-Quan L, Sang Y, Ming-Hong G, Yong-Cheng S. 2010. Underlying reasons for waxy rice flours having different pasting properties. Food Chemistry 120: 94–100.
110 8
PEMBAHASAN UMUM
Proses fermentasi spontan telah banyak dilakukan oleh masyarakat untuk membuat berbagai produk pangan, seperti pembuatan kecap, tempe, asinan, dan tepung-tepungan. Proses fermentasi spontan pada pembuatan tepung khususnya tepung jagung umum dilakukan dengan merendam kernel jagung dalam air, dilanjutkan dengan penirisan, pengeringan dan penggilingan. Selama perendaman terjadi pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya berbagai mikroba dalam jumlah cukup tinggi. Nago et al. (1998) menemukan BAL sebanyak 109 koloni / g serta khamir sebanyak 107 koloni/g pada air perendam tepung jagung pada pembuatan ogi. Tsav-Wua et al (2004) menemukan bakteri, khamir dan kapang pada tepung singkong yang diperoleh dari perendaman umbi singkong selama 2 – 5 hari dalam air pada suhu 30 °C. Perendaman umbi singkong selama 5 hari menyebabkan peningkatan kadar serat kasar, kadar air, kadar abu, dan kadar protein kasar, serta menurunkan kandungan HCN dan kadar lemak kasar (Irtwange dan Achimba 2009). Aini et al (2010) menunjukkan bahwa tepung jagung yang difermentasi spontan selama 72 jam mempunyai kadar protein, lemak, serat kasar, abu, pati, gula reduksi, pH lebih rendah dibandingkan tanpa fermentasi. Hasil penelitian Mei-Lan et al. (2008) menunjukkan viskositas puncak dan viskositas breakdown tepung jagung yang dihasilkan dengan proses fermentasi spontan grits jagung meningkat sampai hari ke 7, selanjutnya menurun sampai hari ke 21; viskositas akhir dan viskositas setback tepung, menurun selama fermentasi; sebaliknya kekuatan gel tepung meningkat selama fermentasi. Tensile stres, tensile strain, dan tensile work pada mi yang dibuat dari tepung jagung tersebut, meningkat selama fermentasi. Demikian juga kekerasan, kelicinan, chewiness, elastisitas, dan penerimaan keseluruhan mi yang dihasilkan meningkat selama fermentasi. Proses fermentasi spontan pasta biji Cajanus cajan selama 5 hari, menurunkan bulk density, kapasitas penyerapan air, swelling power, foaming capacity, foaming stability, viskositas dan gelation power tepung yang dihasilkan (Adebowale & Maliki 2011). Hasil penelitian Alka et al. (2012) menunjukkan bulk density, kapasitas penyerapan air, swelling capacity dan nilai pH tepung sorgum, jagung dan pearl millet hasil fermentasi spontan selama 36 jam fermentasi menurun, namun meningkatkan oil holding capacity, daya cerna pati dan protein secara in vitro. Fermentasi spontan yang mengandalkan mikroba yang ada pada bahan baku dan media yang digunakan mengakibatkan sulit untuk mendapatkan produk yang konsisten. Untuk mendapatkan produk yang lebih konsisten, maka perlu dilakukan proses fermentasi yang lebih terkendali, misalnya dengan menambahkan kultur starter, tetapi sebelumnya harus diketahui terlebih dahulu mikroba apa saja yang berperan selama fermentasi spontan. Berdasarkan hal tersebut maka tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi mikroorganisme yang berperan pada fermentasi spontan grits jagung putih lokal varietas Anoman 1 serta mempelajari proses fermentasi dengan penambahan kultur starter dan mempelajari sifat fisikokimia tepung jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan yang dihasilkan.
111 Lingkup penelitian ini meliputi (1) mengisolasi dan mengidentifikasi mikroorganisme yang berperan selama fermentasi spontan grits jagung putih lokal varietas Anoman 1 meliputi jumlah, jenis dan pola pertumbuhan (total mikroba; total kapang, khamir, BAL; kapang dan khamir amilolitik) serta perubahan pH; (2) mengembangkan kultur starter (BAL, khamir dan kapang) hasil isolasi dan identifikasi untuk ditambahkan sebagai kultur starter pada fermentasi grits jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan ; (3) melakukan fermentasi dengan penambahan kultur starter dengan dua variasi, yaitu CC dan AC, dengan SF sebagai kontrol; Pengamatan dilakukan pada 0, 36, 48, dan 72 jam fermentasi. (4) Mempelajari sifat fisikokimia tepung jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan hasil fermentasi dengan penambahan kultur starter. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI FERMENTASI SPONTAN JAGUNG
MIKROORGANISME
SELAMA
Selama fermentasi spontan grits jagung teridentifikasi berbagai mikroba. Mikroba-mikroba yang tumbuh terdiri dari bermacam-macam kapang, khamir, dan bakteri, termasuk kapang penghasil toksin. Mikroba-mikroba yang teridentifikasi selama 72 jam fermentasi spontan grits jagung varietas Anoman 1 terdiri dari Penicillium chrysogenum, Penicillium citrinum, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Rhizopus stolonifer, Rhizopus oryzae, Fusarium oxysporum, Acremonium strictum, Candida famata, Kodamaea ohmeri, Candida krusei/incospicua, Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, Lactobacillus plantarum1b, and Lactobacillus paracasei ssp paracasei3. Dari 16 mikroba yang teridentifikasi, ada empat kapang dan satu khamir bersifat amilolitik, yaitu Penicillium citrinum, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Acremonium strictum, dan Candida famata. Sweeney dan Dobson (1998) juga menemukan Fusarium, Aspergillus, dan Penicillium selama pengeringan dan penyimpanan serealia dan kacang-kacangan. Kaaya and Kyamuhangire (2006) juga mengisolasi Aspergillus, Fusarium, Penicillium, dan Rhizopus pada pengeringan dan penyimpanan jagung. Demikian juga Amusa et al. (2005) melaporkan ditemukannya Aspergillus niger, Aspergillus flavus, Fusarium oxysporum, and Rhizopus stolonifer selama fermentasi spontan jagung dan kedelai untuk pembuatan ogi. Untuk mengetahui pengaruh mikroba selama proses fermentasi, maka dilakukan proses fermentasi yang lebih terkendali, yaitu dengan mendesain kultur starter. Mikroba yang dipilih untuk menjadi kultur starter adalah mikroba yang tidak menghasilkan aflatoksin, sehingga Aspergillus flavus tidak digunakan sebagai kultur starter. Telah didesain 2 jenis kultur starter, yaitu kultur starter CC dan AC. Kultur starter CC yaitu menambah kultur starter lengkap mikroba (15 mikroba) non-patogen hasil isolasi dan identifikasi pada 0 jam fermentasi masingmasing mikroba sebanyak 106 koloni/mL; perlakuan AC, yaitu perlakuan CC ditambah dengan kultur mikroba amilolitik pada 16 jam fermentasi masingmasing sebanyak 106 koloni/mL, dan SF yaitu fermentasi tanpa penambahan kultur starter. Penambahan kultur starter dalam jumlah tinggi (10 6 koloni/mL per mikroba) diharapkan dapat mendominasi lingkungan fermentasi sehingga selama
112 proses fermentasi berlangsung hanya kultur starter yang ditambahkan yang berperan. JUMLAH MIKROBA DAN KOMPOSISI KIMIA TEPUNG JAGUNG PUTIH VARIETAS ANOMAN 1 DAN PULUT HARAPAN HASIL FERMENTASI DENGAN PENAMBAHAN KULTUR STARTER Fermentasi dengan penambahan kultur starter (CC dan AC) cenderung meningkatkan jumlah kapang, khamir dan BAL untuk semua perlakuan baik pada grits jagung putih varietas Anoman 1 maupun Pulut Harapan. Penambahan kultur starter (perlakuan CC dan AC) dapat meningkatkan jumlah kapang (±4 log CFU / mL) dan khamir (±2 - 4 log CFU / mL pada awal hingga akhir 72 jam fermentasi dibandingkan perlakuan SF. Namun tampaknya penambahan kultur starter (CCC dan AC) hanya meningkatkan jumlah BAL di awal fermentasi (sebanyak ±4 - 5 log CFU / mL) dan tidak memengaruhi jumlah BAL di akhir fermentasi. Penambahan kultur starter selama fermentasi dapat meningkatkan keamanan produk, yaitu dengan tidak terlihat adanya pertumbuhan Aspergillus flavus sejak 36 – 72 jam fermentasi pada perlakuan CC dan AC. Mikroba hasil isolasi pada fermentasi spontan yang digunakan sebagai kultur starter pada penelitian ini, selain bersifat amilolitik, ada juga yang bersifat proteolitik, lipolitik, selulolitik, hemiselulotik, xilanolitik, dan pektinolitik (Ghosh and Ray (2011); Tang et al. (2012); Heerd et al. (2012); Panagiotou et al. (2013); Li et al. (2008); Bussamara et al. (2010); Mohammed (2007); Wojtatowicz et al. (2001); Omemu et al. (2007)). Selama fermentasi, aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroba memecah komponen-komponen tepung. Dimana BAL menghasilkan asam-asam organik selama fermentasi yang dapat menurunkan nilai pH air perendam dan tepung dan meningkatkan total asam. Halm et al. (1996) menambahkan 6 strain Lactobacillus fermentum (107 dan 108 koloni / mL) / 5 kg biji jagung selama 48 jam menyebabkan penurunan pH adonan tepung jagung yang dihasilkan. Selain itu selama 72 jam fermentasi kandungan protein, lemak, abu, dan serat kasar tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan hasil fermentasi dengan penambahan kultur starter cenderung turun diduga karena adanya aktivitas enzim-enzim yang menghidrolisis senyawa-senyawa tersebut menjadi bentuk lebih sederhana. Aini et al (2010) melaporkan bahwa tepung jagung yang difermentasi spontan selama 72 jam mempunyai kadar protein, lemak, serat kasar, abu, pati, gula reduksi, pH lebih rendah dibandingkan tanpa fermentasi. Perendaman umbi singkong selama 5 hari menyebabkan peningkatan kadar serat kasar, kadar air, kadar abu, dan kadar protein kasar, serta menurunkan kandungan HCN dan kadar lemak kasar (Irtwange dan Achimba 2009). Aktivitas enzim selama fermentasi dapat menurunkan kandungan amilosa pada tepung Anoman 1 karena terurainya amilosa menjadi disakarida maupun monosakarida, namun perlakuan 36AC dan 48AC cenderung meningkatkan kandungan amilosa pada tepung jagung Pulut Harapan. Diduga aktivitas enzim selama fermentasi, memotong rantai panjang amilopektin menjadi lebih pendek, mungkin menjadi bentuk oligosakarida, sehingga secara umum dapat meningkatkan kandungan amilosa tepung. Dengan semakin lama waktu
113 fermentasi, maka pemotongan rantai panjang amilopektin semakin banyak, sehingga semakin meningkatkan jumlah amilosa. Fermentasi 72 jam (72AC) menurunkan kandungan amilosa, diduga oligosakarida yang ada sudah terurai menjadi gula-gula sederhana. SIFAT PASTING TEPUNG JAGUNG PUTIH VARIETAS ANOMAN 1 DAN PULUT HARAPAN YANG DIPENGARUHI PROSES FERMENTASI Pengaruh lain dari proses fermentasi sampai 72 jam dengan penambahan kultur starter yang diamati adalah sifat pastingnya. Penambahan kultur starter dengan perlakuan yang sama secara umum dapat memberikan hasil yang berbeda pada tepung Anoman 1 dan Pulut Harapan. Proses fermentasi sampai 72 jam dengan penambahan kultur starter memengaruhi sifat pasting tepung jagung putih varitas Anoman 1 dan Pulut Harapan, yaitu meningkatkan viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas akhir, dan viskositas setback. Selama 72 jam fermentasi diduga enzim menghidrolisis komponen-komponen tepung. Enzim amilase menyerang ikatan α1,4-D-glikosidik pati (Zhu et al. 2010) sehingga struktur granula menjadi lemah dan membentuk pori di dalam granula pati yang memfasilitasi penyerapan air ke dalam granula. Dengan demikian pada saat pemanasan terjadi peningkatan pembengkakan granula (Claver et al. 2010) sehingga VP meningkat. Setelah pemanasan dipertahankan beberapa saat, viskositas menurun hal ini karena amilosa leaching dan granula pecah (Xie et al. 2005). Penambahan kultur starter diduga mempermudah amilosa leaching dan granula pecah sehingga viskositas menurun lebih tinggi dan meningkatkan VB selama fermentasi. Penambahan kultur mikroba amilolitik setelah 16 jam fermentasi (perlakuan AC) menunjukkan sifat pasting yang relatif berbeda, yaitu menghasilkan viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas akhir, dan viskositas setback yang lebih rendah pada tepung yang tinggi amilosa (Anoman 1) dibandingkan perlakuan U, SF dan CC. Namun pada tepung yang tinggi amilopektin (varietas Pulut Harapan) menghasilkan viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas akhir, dan viskositas setback yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan U, SF dan CC. Tampaknya perlakuan AC dapat meningkatkan kestabilan pasta tepung yang mengandung amilosa tinggi (Anoman 1) pada saat pendinginan, namun sebaliknya menurunkan kestabilan pasta tepung yang mengandung amilopektin tinggi (Pulut Harapan) pada saat didinginkan, kecuali pada tepung Pulut Harapan yang mendapat perlakuan 72AC. Tepung Pulut Harapan yang mendapat perlakuan 72AC mempunyai viskositas akhir dan viskositas setback yang lebih rendah dari perlakuan 72SF dan 72CC. Tampaknya perlakuan 72AC dapat meningkatkan kestabilan pasta tepung yang mengandung tinggi amilosa pada saat pemanasan dan pendinginan, namun sebaliknya menurunkan kestabilan pasta tepung yang mengandung tinggi amilopektin pada saat pemanasan dan pendinginan hingga 48 jam. Pada 72 jam fermentasi perlakuan 72AC meningkatkan kestabilan pasta tepung pada saat pendinginan.
114
PENGARUH FERMENTASI DENGAN PENAMBAHAN KULTUR STARTER TERHADAP SIFAT FISIK TEPUNG JAGUNG VARIETAS ANOMAN 1 DAN PULUT HARAPAN Selama fermentasi dengan penambahan kultur starter sampai 72 jam cenderung meningkatkan kekuatan gel tepung Anoman 1, dimana kekuatan gel perlakuan AC lebih besar dari perlakuan CC yang lebih besar dari perlakuan SF. Meningkatnya kekuatan gel tepung yang mendapat perlakuan AC diduga berkaitan dengan semakin banyaknya amilosa yang leaching sehingga pada saat pendinginan matrik gel yang terbentuk semakin kuat ditambah dengan terhidrolisisnya protein, lemak, dan serat akan membuat jaringan semakin kuat. Kekuatan gel tepung Anoman 1 cenderung lebih tinggi dibandingkan Pulut Harapan. Hal ini berkaitan dengan kandungan amilosa yang tinggi pada tepung Anoman 1. Dengan tingginya kandungan amilosa, matriks gel yang terbentuk selama pendinginan akan semakin kuat. Waktu fermentasi cenderung meningkatkan kelengketan gel tepung Anoman 1 dan Pulut Harapan, namun penambahan kultur starter (CC dan AC) cenderung menurunkan kelengketan gel tepung Pulut Harapan. Penambahan kultur AC menghasilkan penurunan lebih besar dibandingkan CC. Penambahan kultur starter diduga meningkatkan aktivitas enzim untuk memotong rantai cabang amilopektin sebelah luar menjadi rantai lurus. Dengan berkurangnya rantai cabang amilopektin diduga menurunkan kelengketan gel. Waktu fermentasi cenderung meningkatkan derajat putih kedua varietas tepung. Hal ini diduga berkaitan dengan aktivitas enzim protease yaitu memecah protein. Dengan menurunnya kandungan protein diduga akan menurunkan reaksi pencoklatan non enzimatis antara protein dengan gula pereduksi. Kapasitas penyerapan air cenderung meningkat selama fermentasi terutama tepung Anoman 1. Selama fermentasi adanya aktivitas amilase menyerang ikatan α-1,4-Dglycosidic pati (Zhu et al. 2010) sehingga struktur granula menjadi lemah dan membentuk pori di dalam granula pati yang memfasilitasi penyerapan air ke dalam granula (Claver et al. 2010). Hal ini akan meningkatkan kemampuan granula menyerap air sehingga cenderung meningkatkan kapasitas penyerapan air. Dengan semakin lama waktu fermentasi diduga struktur granula semakin melemah sehingga kemampuan menyerap air semakin tinggi. Kapasitas penyerapan minyak cenderung menurun selama fermentasi. Kapasitas penyerapan minyak dipengaruhi oleh kadar protein dan lemak. Menurut Sirivongpaisal (2008) kapasitas penyerapan tepung bambara groundnut lebih besar daripada patinya karena kadar protein dan lemak tepung lebih tinggi dibandingkan pati. Semakin tinggi protein dan lemak pada tepung, kemampuan memerangkap minyak lebih tinggi. Pada penelitian ini kandungan protein dan lemak semakin menurun dengan semakin lama fermentasi. Perubahan – perubahan yang terjadi selama berlangsungnya proses fermentasi dengan penambahan kultur starter secara umum tampaknya dikendalikan oleh aktivitas mikroba, khususnya mikroba amilolitik karena kandungan utama jagung adalah karbohidrat. Dari 2 perlakuan yang diberikan
115 terlihat bahwa perlakuan B, yaitu penambahan kultur starter CC dan kultur starter amilolitik pada 16 jam fermentasi, memberikan pengaruh yang berbeda dibandingkan perlakuan SF dan CC terhadap sifat fisikokimia tepung jagung Anoman 1 dan Pulut Harapan yang dihasilkan. Tampaknya penambahan mikroba amilolitik pada 16 jam fermentasi dapat meningkatkan aktivitas amilolitik, di mana hasil penelitian Rahmawati et al. (2013) menunjukkah bahwa aktivitas amilolitik menurun setelah 12 jam fermentasi.
116 9
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN Pada fermentasi spontan grits jagung varietas Anoman 1 teridentifikasi 16 jenis mikroba yang terdiri dari 8 spesies kapang (Penicillium chrysogenum, Penicillium citrinum, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Rhizopus stolonifer, Rhizopus oryzae, Fusarium oxysporum, Acremonium strictum), 3 spesies khamir (Candida famata, Kodamaea ohmeri, Candida krusei/incospicua) dan 5 spesies Bakteri Asam Lakat, BAL (Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, Lactobacillus plantarum1b, dan Lactobacillus paracasei ssp paracasei3). Dari 8 spesies kapang teridentifikasi, terdapat 1 spesies kapang penghasil aflatoksin, yaitu Aspergillus flavus. Sementara itu, spesies khamir dan BAL yang teridentifikasi semuanya bersifat non toksigenik. Karena itu maka Aspergillus flavus tidak digunakan sebagai kultur starter. Dari semua jenis mikroba non-toksigenik yang teridentifikasi, terdapat tiga (3) spesies kapang (Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum,) dan satu (1) spesies khamir (Candida famata) yang bersifat amilolitik, sedangkan semua BAL yang teridentifikasi tidak bersifat amilolitik. Aktivitas amilase selama proses fermentasi spontan (SF) mengalami perubahan, dimana aktivitas maksimal terjadi pada 12 jam fermentasi dan setelah itu aktivitas cenderung menurun. Untuk mempelajari pengaruh aktivitas amilase selama fermentasi terhadap sifat tepung yang dihasilkan maka kultur mikroba amilolitik ditambahkan setelah 16 jam fermentasi, yaitu pada saat aktivitasnya sudah mulai menurun. Secara umum dapat disimpulkan bahwa proses fermentasi menyebabkan perubahan sifat fisikokimia tepung jagung. Fermentasi dengan penambahan kultur starter juga berpotensi memodifikasi sifat fisikokimia tepung secara berbeda, jika dibandingkan dengan tepung jagung yang dihasilkan dari proses fermentasi spontan (SF). Fermentasi dengan penambahan kultur starter, baik (1) kultur lengkap, yaitu kultur mikroba yang terdiri dari semua jenis mikroba yang teridentifikasi, kecuali Aspergillus flavus (CC) dan (2) fermentasi CC dengan penambahan kultur amilolitik (kultur yang terdiri dari kapang dan khamir amilolitik) setelah 16 jam fermentasi (AC), dapat meningkatkan jumlah kapang dan khamir pada awal proses fermentasi sampai pada 72 jam fermentasi, dibandingkan jumlah kapang dan khamir pada fermentasi spontan (SF), namun penambahan kultur starter ini hanya meningkatkan jumlah BAL di awal fermentasi dan tidak memengaruhi jumlah BAL setelah 36 jam sampai akhir fermentasi. Disimpulkan bahwa secara spontan, pertumbuhan BAL memang sudah cukup tinggi sehingga penambahan BAL pada kultur starter tidak berpengaruh pada jumlah BAL selama fermentasi. Jumlah BAL ini mempunyai korelasi dengan nilai pH air perendam dan pH tepung jagung varietas yang dihasilkan, sehingga memengaruhi beberapa sifat fisikokimianya. Proses fermentasi menyebabkan penguraian komponen-komponen tepung sehingga menurunkan kadar protein, lemak, abu dan serat kasar tepung jagung
117 putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan. Aktivitas enzim selama fermentasi dapat menurunkan kandungan amilosa pada tepung Anoman 1, namun fermentasi 36CC (fermentasi menggunakan kultur lengkap selama 36 jam) dan 48CC (fermentasi menggunakan kultur lengkap selama 48 jam) cenderung meningkatkan kandungan amilosa pada tepung jagung varietas Pulut Harapan yang dihasilkan. Proses fermentasi 72 jam memengaruhi sifat pasting tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan yang dihasilkan, yaitu meningkatkan viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas akhir, dan viskositas setback. Perbedaan sifat pasting disebabkan oleh aktivitas enzim yang dihasilkan kultur starter selama waktu fermentasi dan perbedaan kandungan amilosa. Penambahan kultur mikroba amilolitik setelah 16 jam fermentasi (perlakuan AC) menunjukkan sifat pasting yang relatif berbeda, yaitu menghasilkan viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas akhir, dan viskositas setback yang lebih rendah pada tepung yang tinggi amilosa (Anoman 1) dibandingkan perlakuan U, SF dan CC. Namun pada tepung yang tinggi amilopektin (varietas Pulut Harapan) menghasilkan viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas akhir, dan viskositas setback yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan U, SF dan CC. Perlakuan AC dapat meningkatkan kestabilan pasta tepung yang mengandung amilosa tinggi (Anoman 1) pada saat pendinginan, namun sebaliknya menurunkan kestabilan pasta tepung yang mengandung amilopektin tinggi (Pulut Harapan) pada saat didinginkan, kecuali pada tepung Pulut Harapan yang mendapat perlakuan 72AC. Tepung Pulut Harapan yang mendapat perlakuan 72AC mempunyai viskositas akhir dan viskositas setback yang lebih rendah dari perlakuan 72SF dan 72CC. Tampaknya perlakuan 72AC dapat meningkatkan kestabilan pasta tepung yang mengandung tinggi amilosa pada saat pemanasan dan pendinginan, namun sebaliknya menurunkan kestabilan pasta tepung yang mengandung tinggi amilopektin pada saat pemanasan dan pendinginan hingga 48 jam. Pada 72 jam fermentasi perlakuan 72AC meningkatkan kestabilan pasta tepung pada saat pendinginan. Proses fermentasi memengaruhi sifat fisik tepung jagung yang dihasilkan, dimana fermentasi dengan penambahan kultur starter sampai 72 jam cenderung meningkatkan kekuatan gel tepung Anoman 1, yaitu kekuatan gel perlakuan AC lebih besar dari perlakuan CC yang lebih besar dari perlakuan SF. Kekerasan gel tepung Anoman 1 lebih tinggi dibandingkan Pulut Harapan. Hal ini berkaitan dengan kandungan amilosa yang rendah pada tepung Pulut Harapan. Waktu fermentasi meningkatkan kelengketan gel, namun penambahan kultur starter (CC dan AC) menurunkan kelengketan gel tepung Pulut Harapan. Penambahan kultur AC menghasilkan penurunan kelengketan gel lebih besar dibandingkan CC. Waktu fermentasi meningkatkan derajat putih kedua varietas tepung dengan menurunkan kandungan protein, selain itu meningkatkan kapasitas penyerapan air terutama tepung Anoman 1 dan menurunkan kapasitas penyerapan minyak pada ke dua varietas tepung jagung. Proses fermentasi dengan penambahan kultur starter memengaruhi sifat fisikokimia tepung jagung yang dihasilkan. Tampaknya kultur starter yang berpengaruh dominan adalah kapang dan khamir amilolitik, namun tidak
118 dipengaruhi oleh BAL. Hal ini dilihat dari pola pertumbuhan BAL yang sama antara perlakuan fermentasi spontan (SF) dengan CC dan AC.
SARAN Berdasarkan pada hasil yang dperoleh dari penelitian ini, maka disarankan untuk : 1. Melakukan penelitian lanjutan untuk mempelajari pengaruh penambahan kultur starter yang bersifat amilolitik dalam konsentrasi yang berbeda (bervariasi) terhadap sifat fisikokimia tepung jagung yang dihasilkan. Hal ini diperlukan mengingat hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola pertumbuhan BAL, baik selama proses fermentasi dengan penambahan kultur starter (CC dan AC) atau pun secara spontan (SF), tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Karena tidak satu pun spesies BAL yang bersifat amilolitik, maka diperlukan penelitian untuk lebih fokus pada pengaruh kultur amilotik pada proses fermentasi jagung. 2. Melakuka penelitian untuk mengidentifikasi secara lebih detil tentang sifat fisikokimia tepung jagung yang berpotensi dihasilkan dari proses fermentasi tersebut dan potensi aplikasinya pada berbagai produk pangan. Hal ini disebabkan karena penelitian ini menunjukkan bahwa sifat fisikokimia pati jagung bisa dimodifikasi selama proses fermentasi dan sangat dipengaruhi oleh jenis kultur dan lama fermentasi.
119 DAFTAR PUSTAKA
Adebowale OJ, Maliki K. 2011. Effect of fermentation period on the chemical composition and functional properties of Pigeon pea (Cajanus cajan) seed flour. International Food Research Journal 18(4): 1329-1333. Aini N, Hariyadi P, Muchtadi TR, Andarwulan N. 2010. Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan sifat gelatinisasi tepung jagung putih yang dipengaruhi ukuran partikel. J Teknol dan Industri Pangan 21: 18-24. Alka S, Neelam Y, Shruti S. 2012. Effect of fermentation on physicochemical properties & in vitro starch and protein digestibility of selected cereals. International Journal of Agriculture and Food Science 2(3): 66-70 AOAC. 1995. Official methods of analysis. Washington DC: Association of Official Analytical Chemist. AOAC. 2006. Official methods of analysis. Washington DC: Association of Official Analytical Chemist. Axelsson L. 2004. Lactid Acid Bacetria: Classification and Physiology dalam Salminen S, von Wright A, Ouwehand A: Lactid Acid Bacteria. Microbiology and functional aspects. 3nd (ed) Rev. and Exp. Marcell Dekker, Inc. New York. Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi tanaman pangan angka sementara 2012 dalam Laporan bulanan data sosial ekonomi. Edisi 36 Mei 2013. Badan Standarisasi Nasional. 1995. SNI 01-3920-1995: Jagung. Badan Standarisasi Nasional. Balai Penelitian Tanaman Serealia. 2007. Deskripsi Varitas Unggul Jagung. Edisi kelima. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian-Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan-Balai Penelitian Tanaman Serealia. Barbosa-Canovas GV, Yan H. 2003. Powder characteristics of preprocessed cereal flours di dalam Kaletunc G. KJ Brslauer editor: Characterization of cereal and flours: Properties, analysis, and Applications. New York: Marcel Dekker. Barbosa-C´anovas GV, Ortega-Rivas E, Juliano P, Yan H. 2005. FOOD POWDERS: Physical Properties, Processing, and Functionality. Kluwer Academic/Plenum Publishers Ben Omar N, Ampe F. 2000. Microbial community dynamics durin production of the Mexican fermentee maize dough pozol. Applied & Environmental Microbiology 66 (9): 3664-3673. Brauman A, Keleke S, Malonga M, Miambi E, Ampe F. 1996. Microbiological and Biochemical characterization of cassava retting, a traditional lactid acid fermentation for Foo-Foo (cassava flour) production. Applied an Environmental Microbiology 62 (8): 2854-2858. Bussamara R, Fuentefria AM, de Oliveira ES, Broetto L, Simcikova M, Valente P, Schrank A, Vainstein MH. 2010. Isolation of a lipase-secreting yeast for enzyme production in a pilot-plant scale batch fermentation. Bioresource Technology 101: 268–275. Carvalho CWP, Takeiti CY, Onwulata CI, Pordesimo LO. 2010. Relative effect of
120 particle size on the physical properties of corn meal extrudates: Effect of particle size on the extrusion of corn meal. Journal of Food Engineering 98: 103–109. Chen Z. 2003. Physicochemical properties of sweet potato starches and their application in noodle products. Disertasi . Wageningen University, Belanda. Collado LS, Mabesa LB, Oates CG, Corke H. 2001. Bihon-Type Noodles from Heat-Moisture-Treated Sweet Potato Starch. Journal Of Food Science Vol 66 (4): 604-609Claver IP, Zang H, Li Q, Zhu K, Zhou H. 2010. Impact of the soak and the malt on the physicochemical properties of the sorghum starches. Int J Mol Sci. 11: 3002-3015. Doi:10.3390/ijms11083002. Corsetti A, Settanni L. 2007. Lactobacilli in sourdough fermentation Review. Food Research International 40: 539–558. doi:10.1016/j.foodres.2006.11.01 Cortez A,Wild-Altamirano C. 1972. Contributions to the limetreated corn flour technology in Bressani R, Braham JE, Behar M (Eds). Nutritional improvement of maize. INCAP Pub. L4, p. 99-106. Guatemala, INCAP. Dharmawidah, Dewayani W, dan Tawali A. 2005. Prospek pengembangan bahan baku bassang menunjang agroindustri di pedesaan. Prosiding seminar dan lokakarya nasional. Pusat penelitian dan pengembangan tanmanan pangan. Badan penelitian dan pengembangan pertanian. Departemen Pertanian. Fardiaz S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisa mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas, IPB, Bogor. Gallant DJ, Bouchet B, Baldwi PM. 1997. Microscopy of starch: evidence of a new level of granule organization. Carbohydrate Polymer 32:177-191. Ghosh B, Ray RR. 2011. Current commercial perspective of Rhizopus oryzae: A Review. J Appl Sci 11: 2470-2486. DOI: 10.3923/jas.2011.2470.2486. Grace TOO. 2009. Effect of dry and wet milling processing techniques on the nutrient composition and organoleptic attributes of fermented yellow maize (Zea mays). African Journal of Food Science Vol. 3(4): 113-116. Halm M, Osei-Yaw A, Hayford A, Kpodo KA, and Amoa-Awua WKA. 1996. Experiences with the use of a starter culture in the fermentation of maize for 'kenkey' production in Ghana. World Journal of Microbiology & Biotechnology 12: 591-536. Hardman and Gunsolus. 1998. Corn growth and development. Extension Service. University of Minesota. Harrigan WF. 1998. Laboratory Methods in Food Microbiology 3 rd ed. San Diago: Academic Press. Heerd D, Yegina S, Tari C, Fernandez-Lahore M. 2012. Pectinase enzymecomplex production by Aspergillus spp. In solid-state fermentation: A comparative study. food and bioproducts processing 9 0: 102–110. doi:10.1016/j.fbp.2011.08.003 Hoseney RC. 1994. Principles of cereal science and technology. 2nd ed. St. Paul MN: American Association of Cereal Chemist. Chin-Lin H, Chen W, Yih-Ming W, Chin-Yin T. 2003. Chemical composition, physical properties, and antioxidant activities of yam flours as affected by different drying methods. Food Chemistry 83: 85–92 Indonesian Cereal Research Institute. 2008. Technology Innovation Supporting
121 Maize Production. Indonesian Center for Food Crops Research and Development, Indonesian Cereal Research Institute. Irtwange SV, Achimba O. 2009. Effect of the Duration of Fermentation on the Quality of Gari. Current Research Journal of Biological Sciences 1(3): 150154 Juliano BO. 1971. A simplified assay for milled rice amylosa. Cereal Science today 16:334-360. Kadan RS, Bryant RJ, Pepperman AB. 2003. Functional properties of extrudad rice flour. Journal of Food Science, 68: 1669-1672. Lacerda ICA, Miranda RL, Borelli BM, Nunes AC, Nardi RMD, Marc-Andre L, Rosa CA. 2005. Lactic acid bacteria and yeast associated with spontaneous fermentation during the production of cassava starch in Brazil. International Journal of Food Microbiology 105: 213-219. Lee HL. 2011. Effect of hydroxypropylation on physical and rheological properties of sweet potatoes starch. LWT-Food Sci. Technol. 44:765-770. DOI:10.1016/j.lwt.2010.09.012. Li XY, Liu ZQ, Chi ZM. 2008. Production of phytase by a marine khamir Kodamaea ohmeri BG3 in an oats medium: Optimization by response surface methodology. Bioresource Technology 99: 6386–6390. doi:10.1016/j.biortech.2007.11.065. Mei-Lan Y, Zhan-Hui Lu, Yong-Qiang C, Li-Te L. 2008. Effect of spontaneous fermentation on the physical properties of corn starch and rheological characteristics of corn starch noodle. Journal of Food Engineering 85 : 12– 17 Mestres CO, Boungou NA, and Zakhia N. 2000. Comparison of the expansion ability of fermented maize flour and casssava starch during baking. Journal of the Science of Food and Agricultural 80: 665-672. Mohammed L, Zakaria M, Ali A, Senhaji W, Mohamed O, Mohamed E, EL Hassan B, Mohamed J. 2007. Optimization of growth and extracellular glucoamylase production by Candida famata isolate. African Journal of Biotechnology 6 (22): 2590-2595. Muchtadi, T. dan Sugiono. 2002. Tepung dan Pati Jagung dalam Sugiono (ed) : Teknologi Tepung dan Pati. Kerjasama Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi IPB dengan Asosiasi Produsen Terigu Indonesia. Nago MC, Hounhouigan JD, Akissoe N, Zanou E, dan Mestres C. 1998. Characterization of the Beninese traditional Ogi, a fermented maize slurry: Physicochemical and Microbiological aspects. International Journal of Food Science and Technology 33: 307-315. Nche PF, Odamtten GT, Nout MJR, Rombouts FM. 1996. Soaking of Maize Determines the Quality of Aflata for Kenkey Production. Journal of Cereal Science 24: 291–297 Oke MO, Bolarinwa IF. 2012. Effect of Fermentation on Physicochemical Properties and Oxalate Content of Cocoyam (Colocasia esculenta) Flour. International Scholarly Research Network. ISRN Agronomy. Volume 2012, Article ID 978709, 1-4 pages. DOI:10.5402/2012/978709 Omemu AM, Oyewole OB, Bankole MO. 2007. Significance of yeasts in the
122 fermentation of maize for ogi production. Food Microbiology (24): 571-576. Panagiotou G, Kekos D, Macris BJ, Christakopoulos P. 2003. Production of cellulolytic and xylanolytic enzymes by Fusarium oxysporum grown on corn stover in solid state fermentation. Industrial Crops and Products 18: 37-45 Patterson JI, Brown RR, Linkswiler H, Harper EA. 1980. Excretion of tryptophan niacin metabolites by young men: effects of tryptophan, leucin, and vitamin B6 intakes. Am. J. Clin. Nutr. 33: 2157-2167. Permana AW, Suyanti, dan Richana N. 2010. Produksi dan Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan fungsional tepung kmposit ubikayu-jagung-terigu dan aplikasinya untuk pengolahan mi kering. Prosiding Teknologi Inovaif Pascapanen II. Kementerian Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian 2010. Pitt JI, Hocking AD. 2009. Fungi and Food Spoilage. Springer. Poneleit CG. 2001. Breeding white endosperm corn didalam Specialty corns. Second edition. Hallauer AR. Editor. Washington: CRC. Pp 235-272. Pozo-Insfran DD, Brenes CH, Saldivar SOS, Talcott ST. 2006. Polyphenolic and antioxidant content of white and blue corn (Zea mays L.) products. Food Research International 39 : 696–703. Qanytah dan Prastuti TR. 2008. Penerapan teknologi pascapanen jagung di Desa Kedawung Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal. Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian 2008, Jogjakarta. Ratnayake WS, Jackson DS. 2006. Gelatinization and Solubility of Corn Starch during Heating in Excess Water: New Insights. J. Agric. Food. Chem 54: 3712-3716. Rooney LW and Serna-Saldivar SO. 2003. Food use of whole corn and drymilled fraction in Corn: Chemistry and Technology. Second edition. Pamela J. White editor. American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnosota. Samson RA, Hoekstra ES, van Oorschot CAN. 1981. Introduction to Food-Borne Fungi. Institute of The Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences. Sanchez PC. 2008. Philippine Fermented Foods: Principles and Technology. Diliman, Quezon City : University of the Philippines Press. Schober TJ, Moreau RA, Bean SR, Boyle DL. 2010. Removal of surface lipids improves the functionality of commercial zein in viscoelastic zein-starch dough for gluten-free breadmaking. Journal of Cereal Science 52 (3): 417425. Serna-Saldivar SO, Gomez MH, dan Rooney LW. 2001. Food uses of regular and specialty corn and their dry-milled fraction dalam Hallauer, A.R. Editor Specialty corns. Washington: CRC. Pp 303-337. Shukla R, Cheryan M. 2001. Zein: the industrial protein from corn. Industrial Crops and Products 13: 171-192. Suarni U. 2005. Karakteristik sifat fisikokimia dan amilograf tepung jagung sebagai bahan pangan. Prosiding seminar dan lokakarya nasional Makasar 2005. Pusat penelitian dan pengembangan tanaman pangan. Badan
123 penelitian dan pengembangan pertanian. Departemen Pertanian. Suarni U, Firmansyah JU. 2005. Beras jagung: Prosesing dan kandungan nutrisi sebagai bahan pangan pokok. Prosiding seminar dan lokakarya nasional. Pusat penelitian dan pengembangan tanmanan pangan. Badan penelitian dan pengembangan pertanian. Departemen Pertanian. Suarni U, Widowati S. 2007. Struktur, Komposisi, dan Nutrisi Jagung dalam Jagung. Penerbit: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Departemen Pertanian. Subekti NA, Syafruddin R E, dan Sunarti S. 2007. Morfologi Tanaman dan Fase Pertumbuhan Jagung dalam Jagung. Penerbit: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Departemen Pertanian. Suharyono SU, Nursin RWA, dan Murhadi. 2005. Protein quality of Indonesian common maize does not less superior to quality protein maize. Makalah pada 9th ASEAN Food Conference. Jakarta. Susila BA dan Resmisari A. 2005. Review : Tepung jagung komposit, Pembuatan dan Pengolahannya. Prosiding seminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Indusstri Berbasis Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor 7-8 September 2005. Tang B, Pan H, Tang W, Zhang Q, Ding L, Zhang F. 2012. Fermentation and purification of cellulase from a novel strain Rhizopus stolonifer var. reflexus TP-02. Biomass and Bioenergi 36: 366-372. Doi:10.1016/j.biombioe. 2011.11.003 Tawali AB. 2007. Pengkajian Teknologi Produksi dan Penyimpanan Jagung Sosoh Pratanak. Laporan akhir RUSNAS Diversifikasi Pangan Pokok Tahun anggaran 2007. Universitas Hasanuddin. Teniola OD, Odunfa SA. 2001. The effects of processing methods on the level of lysine, methionine, and general acceptability of ogi processed using starter cultures. Int. J. Food Microbiol. 63: 1-9. Tortora GJ, Funke BR, Case CL. 2004. Microbiology an Introduction. 8th ed. Pearson-Benjamin Cumming. Tsav-Wua JA, Inyang CU, Akpapunam MA. 2004. Microbiological quality of fermented cassava flour 'kpor umilin'. International journal of Food Sciences and Nutrition 55 (4): 317-324. Watson SA. 2001. Description, Development, Structure, and Compotition of the Corn Kernel in Hallauer AR. Editor Specialty corns. Washington: CRC. Pp 87 Widowati S, Santosa BAS, dan Suarni. 2005. Mutu gizi dan sifat fungsional jagung. Prosiding seminar dan lokakarya nasional. Pusat penelitian dan pengembangan tanaman pangan. Badan penelitian dan pengembangan pertanian. Departemen Pertanian. Wilson CM. 1987. Protein in kernel in Watson S.A. dan P.E. Ramstad editor. Corn: Chemistry and Technology. St. Paul Minnesota: American Association of Cereal Chemists. pp. 273-310. Wojtatowicz M, Chrzanowska J, Juszczyk P, Skiba A, Gdula A. 2001. Identification and biochemical characteristics of yeast microflora of Rokpol
124 cheese. Int J Food Microbiol 69: 135–140. doi: 10.1016/S01681605(01)00582-7. Xie, S.X., Liu, Q., and Cui, S.W. in Cui, S.W. (Eds). 2005. Food Carbohydrates: Chemistry, Physical Properties, and Applications. Taylor & Francis Group. Zeng J, Gao H, Li G, Zhao X. 2012. Characteristics of corn flour fermented by some Lactobacillus species. China Academic Journal Electronic Publishing House. All rights resesrved 1994-2012: 312-315
125 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 17 Pebruari 1968 sebagai putri pertama dari pasangan H. Drs. Tjartim Hasan (almarhum) dan Hj. Kusniati (almarhumah). Pendidikan diploma ditempuh di Akademi Gizi Jakarta (19871990), sedangkan pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Pangan, Universitas Sahid Jakarta (1992-1995). Pada tahun 1999 dengan beasiswa pendidikan dari Usahid dan BPPS dari Dikti, penulis melanjutkan pendidikan Program Magister di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 2003. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan Program Doktor di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa BPPS. Sejak tahun 1995 hingga sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar tetap di Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Sahid Jakarta. Selama mengikuti pendidikan program Doktor, penulis menjadi anggota Perhimpunan Ahli dan Teknologi Pangan (PATPI). Salah satu artikel yang berjudul “Isolation And Identification Of Microorganisms During Spontaneous Fermentation Of Maize” telah memperoleh penghargaan kedua dalam Graduate Research Student Paper Competition yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan (PATPI) dan SEAFAST Center dalam International Conference on “Future of Food Factors” pada 3-4 Oktober 2012 di Jakarta dan telah diterima untuk dipublikasikan pada Jurnal Teknologi dan Industri Pangan pada Volume XXIV No. 1 Tahun 2013. Salah satu makalah ilmiah yang berjudul “Pasting Properties of White Corn Flour of Anoman 1 and Pulut Harapan Varieties As Affected By Fermentation Process” telah disubmit pada Journal Starch. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis.
1 1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Jagung merupakan sumber karbohidrat penting setelah beras di Indonesia. Produksi jagung nasional selama tiga tahun terakhir cenderung meningkat, yaitu 18 327 636 ton (2010), 17 643 250 ton (2011), dan 19 377 030 ton (2012) (BPS 2013). Meningkatnya produksi jagung selama 3 tahun terakhir menunjukkan meningkatnya peran jagung menjadi komoditas agribisnis yang semakin penting. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya permintaan produk jagung baik dalam jumlah, ragam, maupun kualitasnya. Pengembangan pembuatan bahan baku jagung untuk industri juga telah dilakukan seperti pembuatan tepung jagung komposit (Susila dan Resmisari 2005), pengembangan jagung sebagai bahan baku bassang (Dharmawidah et al. 2005), pengkajian teknologi produksi dan penyimpanan jagung sosoh pratanak (Tawali 2007), serta pemanfaatan tepung komposit ubi kayu-jagung-terigu pada mi kering (Permana et al. 2010). Pemanfaatan jagung khususnya jagung putih lokal, saat ini sedang dikembangkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian sebagai varietas unggulan nasional. Kelebihan jagung putih antara lain mengandung pati yang tinggi, warna putih yang menarik, dan produktivitasnya lebih tinggi daripada jagung kuning serta lebih tahan terhadap kekeringan (Qanytah & Prastuti 2008). Varietas jagung putih lokal yang sedang dikembangkan sebagai varietas unggulan nasional antara lain varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan. Jagung putih varietas Anoman 1 tergolong jagung tinggi amilosa dengan kadar amilosa biji jagung sebesar 29,92%, sedangkan varietas lokal Pulut termasuk tipe jagung ketan (waxy corn) dengan kandungan amilosa biji jagung rendah, yaitu 4.25% dan amilopektin tinggi, yaitu 95.75% dan (Suarni 2005). Perbedaan kandungan amilosa dan amilopektin diduga mempengaruhi sifat pasting tepung yang dihasilkan. Untuk mengetahui hal itu maka pada penelitian ini digunakan kedua jenis jagung tersebut. Pembuatan tepung jagung umum dilakukan dengan merendam grits jagung terlebih dahulu dalam air, dilanjutkan dengan penirisan, pengeringan dan penggilingan. Selama perendaman terjadi aktivitas mikroba (fermentasi spontan) yang dapat merubah sifat fisikokimia jagung. Selama fermentasi spontan jagung, beberapa peneliti melaporkan bahwa mikroba yang paling banyak ditemukan adalah bakteri asam laktat/BAL (Nago et al. 1998) dan khamir (ben Omer dan Ampe 2000). Peneliti lain menemukan kapang selama proses perendaman baik jagung maupun singkong (Tsav-Wua 2004). Mikroba-mikroba ini memengaruhi sifat produk akhir karena baik kapang, khamir, maupun BAL ada yang bersifat amilolitik, selulolitik, pektinolitik, lipolitik, proteolitik, menghasilkan senyawa ester, asam-asam organik, CO2, etanol, dan asam lemak (Ghosh dan Ray 2011; Tang et al. 2012; Heerd et al. 2012; Omemu et al. 2007; Halm et al. 2004; Li et al. 2008; Bussamara et al. 2010; Mohammed 2007; Wojtatowicz et al. 2001; Mestres et al. 2000). Dari uraian di atas diketahui bahwa kapang, khamir, BAL yang tumbuh dan berperan selama perendaman, mempunyai aktivitas yang
2 beragam. Namun, karena komposisi utama tepung jagung adalah amilosa dan amilopektin, maka pada penelitian ini aktivitas mikroba yang diutamakan adalah yang memiliki sifat amilolitik. Nche et al. (1996) melaporkan selama perendaman biji jagung pada 4 °C, 25 °C dan 60 °C selama 72 jam, meningkatkan total mikroba aerobik pada air perendam setelah 48 jam menjadi >105 CFU/mL pada sampel yang tidak didisinfeksi, < 104 CFU/mL pada sampel yang didisinfeksi; aktivitas enzim endogenus tinggi (alkalin fosfatase; esterase (C 4); esterase lipase (C 8); lipase (C 14); leucin arilamidase; valin arilamidase; sistin arilamidase; tripsin; kimotripsin; asam fosfatase; naftol-AS-BI-fosfohidrolase, α-galaktosidase; β-galaktosidase; βglukuronidase; α-glukosidase; β-glukosidase; N-asetil-β-glukosaminidase; αmannosidase; α-fucosidase); tepung jagung hasil perendaman biji jagung pada suhu 60 °C tidak mempunyai viskositas puncak, sedangkan perendaman pada suhu 60 °C ditambah enzim proteolitik meningkatkan viskositas puncak dan setback tepung yang dihasilkan; semakin rendah pH tepung (pH 6.0, 5.6, dan 3.6) menurunkan viskositas adonan, tidak ada viskositas puncak untuk semua kondisi pH, serta menurunkan viskositas setback; tepung dengan pH 6.0 yang lolos saringan 1.0 mm menunjukkan peningkatan viskositas pasting dan setback. Pada 0, 4, dan 8 jam fermentasi tidak ada viskositas puncak, namun setelah 12 dan 24 jam fermentasi, diperoleh viskositas puncak selama pemanasan pasta. Pada 24 jam fermentasi suhu gelatinisasi lebih rendah, viskositas puncak lebih tinggi, viskositas setback lebih rendah dibandingkan 12 jam fermentasi. Semakin halus ukuran tepung (lolos 4 mm, 1 mm, dan 0.5 mm) semakin menurunkan viskositas puncak dan setback adonan Hasil penelitian Mestres et al. (2000) menunjukkan bahwa tepung jagung yang diperoleh dari kernel jagung yang direndam sampai 14 hari pada suhu ruang memiliki suhu gelatinisasi dan kemampuan mengembang yang lebih tinggi jika dikeringkan dalam oven suhu 40C selama 24 jam dibandingkan yang dikeringkan dengan sinar matahari selama 10 – 12 jam. Mei-Lan et al. (2008) melaporkan bahwa tepung jagung yang diperoleh dari perendaman grits jagung berukuran ≤20 mesh dalam air (1 : 3 w/v) pada suhu ruang (26 – 30 °C), selama 21 hari, mempunyai viskositas puncak meningkat selama fermentasi sampai hari ke 7, selanjutnya menurun sampai hari ke 21, di mana mulai hari ke 19 – 21, viskositas puncak lebih rendah dari kontrol; tren viskositas breakdown sama dengan viskositas puncak; viskositas akhir dan viskositas setback menurun selama fermentasi; kekuatan gel meningkat selama fermentasi; tensile stres, tensile strain, dan tensile work pada mi yang dihasilkan meningkat selama fermentasi serta kekerasan, kelicinan, chewiness, elastisitas, dan penerimaan keseluruhan mi yang dihasilkan meningkat selama fermentasi; kadar aflatoksin pada mi lebih kecil dari 5 µg/kg selama fermentasi. Hasil penelitian Aini (2010) menunjukkan bahwa fermentasi butiran jagung putih varietas Srikandi secara spontan selama 24 jam menurunkan suhu gelatinisasi tepung jagung (76.2 °C) dibandingkan tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (82 °C). Fermentasi sampai 48 jam dengan ukuran partikel semakin besar menghasilkan tepung yang dapat diaplikasikan sebagai gelling agent. Fermentasi spontan sampai 70 jam menurunkan kekuatan gel. Oke dan
3 Bolarinwa (2012) merendam irisan umbi talas setebal 2-2.5 cm dalam air selama 24 dan 48 jam serta mengeringkannya dalam pengering kabinet pada suhu 60 °C selama 24 jam dan menghasilkan tepung dengan kapasitas penyerapan air meningkat selama fermentasi dari 231.29 ±1.4 (0 jam) menjadi 271.11±1.0 (24 jam) dan 287.59±2.1 (48 jam), suhu pasting menurun dari 64.08±0.7 (0 jam) menjadi 63.58±0.5 (24 jam) dan 63.30±0.5 °C (48 jam) serta viskositas puncak menurun dari 178.75±10.8 (0 jam) menjadi 133.08±54 (24 jam) dan 124.46±6 RVU (48 jam) sehingga cocok untuk produk jeli. Lama fermentasi diduga memengaruhi karakter tepung yang dihasilkan, sehingga dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan. Saat ini, fermentasi yang dilakukan umumnya secara spontan, sehingga sulit untuk mendapatkan produk yang konsisten. Untuk mendapatkan produk yang lebih konsisten, maka perlu dilakukan proses fermentasi terkendali, misalnya dengan menambahkan kultur starter. Fermentasi dengan penambahan kultur starter adalah proses fermentasi yang dilakukan dengan menambahkan mikroba yang diketahui jumlah dan jenisnya. Pengendalian juga dapat dilakukan terhadap suhu dan waktu fermentasi serta kondisi lingkungan proses. Untuk mengetahui pengaruh penambahan kultur starter selama proses fermentasi terhadap tepung yang dihasilkan, maka perlu dilakukan karakterisasi sifat fisikokimia tepung jagung yang dihasilkan dengan fermentasi di mana jenis dan jumlah mikroba telah diketahui serta lama fermentasi berbeda.
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisikokimia tepung jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan melalui proses fermentasi dengan penambahan kultur starter dan waktu fermentasi yang berbeda. Tujuan khusus penelitian ini adalah : 1. Mempelajari mikroorganisme yang berperan pada fermentasi spontan grits jagung putih lokal varietas Anoman 1 yang meliputi jumlah, jenis dan pola amilolitik serta pertumbuhan kapang, khamir, BAL; mikroorganisme kaitannya dengan aktivitas amilolitik dan perubahan pH. 2. Mengembangkan kultur starter untuk fermentasi grits jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan dengan penambahan kultur starter. 3. Mempelajari sifat fisiko kimia tepung jagung yang dihasilkan oleh jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan yang difermentasi dengan penambahan kultur starter.
4 Hipotesis
1. Mikroorganisme amilolitik dan non-amilolitik berperan selama fermentasi spontan jagung 2. Penambahan kultur starter pada fermentasi jagung akan mempengaruhi karakteristik fisikokimia tepung jagung yang dihasilkan 3. Lama fermentasi akan mempengaruhi karakteristik fisikokimia tepung jagung yang dihasilkan
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1. Mengetahui informasi tentang mikroorganisme yang berperan selama fermentasi spontan jagung 2. Pembuatan kultur starter untuk fermentasi jagung 3. Memodifikasi proses fermentasi untuk menghasilkan tepung jagung dengan sifat fisikokimia tertentu
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian meliputi (1) mengisolasi dan mengidentifikasi mikroorganisme yang berperan selama fermentasi spontan grits jagung putih lokal varietas Anoman 1 meliputi jumlah, jenis dan pola pertumbuhan (total mikroba; total kapang, khamir, BAL; kapang dan khamir amilolitik) serta perubahan pH; (2) mengembangkan kultur starter (BAL, khamir dan kapang) hasil isolasi dan identifikasi untuk ditambahkan sebagai kultur starter pada fermentasi grits jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan ; (3) melakukan fermentasi dengan penambahan kultur starter dengan dua variasi, yaitu CC dan AC, dengan SF sebagai kontrol; (4) Mempelajari sifat fisikokimia tepung jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan hasil fermentasi dengan penambahan kultur starter.
5 2 TINJAUAN PUSTAKA
Jagung Jagung (Zea mays sp) merupakan salah satu bahan pangan sumber karbohidrat. Di pasaran, jagung ditemui dalam berbagai jenis, antara lain (1) jagung tepung (floury corn/Zea mays L. amylacea Sturt). Dikenal sebagai jagung tepung karena biji jagung tepung hampir seluruhnya terdiri dari endosperma lunak sehingga jenis ini disukai sebagai bahan baku pengolahan maizena; (2) jagung gigi kuda (dent corn/Zea mays indentata). Ciri khas jagung ini adalah adanya lekukan (dent) di puncak biji akibat pengerutan bagian lunak pada saat biji mengering. Perbandingan antara bagian keras dan lunak kira-kira 2:1. Biji jagung berwarna kuning, putih, atau warna lain. Bentuk bijinya seperti baji, terbelah dan bersudut, memanjang dengan berat 1000 biji antara 300-500 gram. Jagung ini banyak tumbuh di Amerika Serikat; (3) jagung mutiara (Flint corn/Zea mays indurata). Jenis jagung ini banyak tumbuh di Indonesia. Bagian keras (horny) jagung mutiara terdapat di bagian atas biji, sedang bagian tepungnya di dalam biji, berdekatan dengan lembaga. Jagung mutiara umumnya lebih keras daripada jagung gigi kuda. Bagian keras jagung gigi kuda berada di daerah sekitar lembaga; (4) jagung berondong (pop corn/Zeamays L. everta Sturt). Jenis jagung ini berukuran kecil dan hampir seluruh endospermnya terdiri dari bagian keras. Ada 2 tipe jagung berondong, yaitu (a) tipe jagung berondong beras, yaitu jagung yang berbiji pipih dan meruncing; dan (b) tipe jagung berondong mutiara, yaitu jagung yang bentuk bijinya bulat dan kompak/mampat. Warna biji jagung berondong umumnya kuning dan putih; dan (5) jagung manis. (sweet corn/ Zea mays L. saccharata). Jagung ini mengandung kadar gula tinggi sehingga di Meksiko digunakan sebagai bahan baku pembuatan sirup. Ciri khas jagung manis adalah berambut putih, di mana biasanya jagung berambut merah. Jagung manis dapat mengalami perubahan rasa menjadi kurang manis bila di sekitar areal pertanaman terdapat jagung biasa; (6) jagung bungkus (Zea mays L. tunicata Sturt). Jagung ini adalah jagung pertama yang ditemui manusia. Jagung ini berbentuk sangat sederhana dan mempunyai daun pembungkus (kelebot) yang membungkus setiap biji jagung. Sebuah kelobot besar membungkus tonglol jagung sehingga bijinya tidak nangkap; (7) jagung ketan (waxy corn/Zea mays L. ceratirta Kulesch). Jenis jagung ini bijinya dan berwarna jernih mengkilat seperti lilin dan sering disebut jagung ketan. Jagung ini mengandung pati yang didominasi oleh amilopektin (71 – 72 %) dengan rupa yang menyerupai tepung tapioka (Muchtadi dan Sugiyono 2002). Komposisi kimia jagung berbagai varietas jagung dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan 2.2. Biji jagung terdiri dari 3 bagian utama, yaitu (1) kulit ari (perikarp); (2) endosperma; dan (3) lembaga (germ). Bagian-bagian biji jagung dapat dilihat pada Gambar 2.1 dan komposisi kimia berdasarkan bagian biji jagung dapat dilihat pada Tabel 2.3.
6 Tabel 2.1. Komposisi kimia (%) berbagai varietas jagung secara umum Varietas Air Abu Protein Serat Lemak Karbohidrat kasar Kristalin
10.5
1.7
10.3
2.2
5.0
70.3
Floury
9.6
1.7
10.7
2.2
5.4
70.4
Starchy
11.2
2.9
9.1
1.8
2.2
72 8
Manis
9.5
1.5
12.9
2.9
3.9
69.3
Pop
10.4
1.7
13.7
2.5
5.7
66.0
1
4.4
75.9
Hitam 12.3 1.2 5.2 Sumber: Cortez dan Wild-Altamirano (1972).
Tabel 2.2. Komposisi kimia (%) berbagai varietas jagung lokal Varietas Air Abu Protein Serat Lemak kasar
Karbohidrat
Srikandi Putih*)
10.08
1.81
9.99
2.99
5.05
73.07
Srikandi Kuning*)
11.03
1.85
9.95
2.97
5.10
72.07
Anoman* )
10.07
1.89
9.71
2.05
4.56
73.77
Lokal pulut*)
11.12
1.99
9.11
3.02
4.97
72.81
Lokal nonpulut*)
10.09
2.01
8.78
3.12
4.92
74.20
Bisi 2**)
9.70
1.00
8.40
2.20
3.60
75.10
6.90
2.60
3.20
76.30
Lamuru * * ) 9.80 1.20 *)Suarni dan Firmansyah (2005). **)Suharyono et al. (2005).
Perikarp merupakan lapisan luar yang tipis dan berfungsi mencegah embrio dari organisme pengganggu dan kehilangan air (Hardman dan Gunsolus 1998). Lapisan ini berubah cepat selama proses pembentukan biji. Pada waktu kariopsis muda, sel-selnya kecil dan tipis, tetapi sel-sel ini berkembang seiring dengan bertambahnya umur biji. Pada umur tertentu lapisan ini membentuk membran yang dikenal sebagai kulit biji atau testa/aleuron yang secara morfologik merupakan bagian endosperma. Bobot lapisan aleuron sekitar 3 % dari keseluruhan biji dan mengandung 10 % protein (Subekti et al. 2007).
7
Gambar 2.1. Potongan melintang jagung (Shukla dan Cheryan 2001) Tabel 2.3. Komposisi kimia berdasarkan bagian biji jagung kuning (%) Komponen Kulit ari Endosperma Lembaga Protein
3.70
8.00
18.40
Lemak
1.00
0.80
33.20
Serat kasar
86.70
2.70
8.80
Abu
0.80
0.30
10.50
Pati
7.30
87.60
8.30
Gula Sumber : Watson (2001)
0.34
0.62
10.80
Endosperma merupakan cadangan makanan dengan jumlah sekitar 75 % bobot biji yang mengandung 90 % pati dan 10 % protein, mineral, minyak, dan lainnya (Hardman dan Gunsolus 1998). Endosperma jagung terdiri dari bagian yang lunak (floury endosperm) dan bagian yang keras (horny endosperm). Pati jagung tersusun dari senyawa anhidroglukosa yang terdiri dari amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan rantai unit D-glukosa yang panjang dan tidak bercabang. Antar rantai digabungkan oleh ikatan α (14). Amilopektin merupakan glukosa dengan rantai bercabang. Residu glukosa yang berdekatan digabungkan oleh ikatan α (14) glikosidik sedangkan pada titik percabangan digabungkan oleh ikatan α (16) glikosidik. Komposisi amilosa dan amilopektin dalam biji jagung terkontrol secara genetik. Secara umum jagung mengandung amilosa 25 – 30 % dan amilopektin 70 – 75 %. Komposisi amilosa : amilopektin berpengaruh terhadap sifat sensori jagung terutama tekstur dan rasanya. Semakin tinggi kandungan amilopektin, tekstur dan rasa jagung semakin lunak, pulen dan enak. Komposisi ini juga berpengaruh terhadap sifat amilografnya (Widowati et al. 2005). Protein endosperma jagung terdiri dari lima fraksi berdasarkan kelarutannya, yaitu (1) albumin (protein larut air) sebanyak 7 %; (2) globulin
8 (protein larut garam) sebanyak 5 %; (3) nitrogen non protein sebanyak 6 %; (4) prolamin atau zein (protein larut alkohol konsentrasi tinggi) sebanyak 52 %; dan (5) glutelin (protein larut alkali) sebanyak 26 %. Sisanya sekitar 5 % adalah residu nitrogen (Suarni dan Widowati 2007). Fraksi zein adalah simpanan protein utama jagung. Zein mengandung leusin yang tinggi, tetapi lisin sangat rendah dan triptofan dalam jumlah terbatas (Patterson et al. 1980). Zein menentukan kekerasan endosperm jagung. Zein dan kandungan resinnya mempunyai kemampuan membentuk lapisan yang kuat, mengkilap, tahan lemak, dan tahan terhadap serangan mikroba. Zein terdiri dari campuran peptida yang berbeda ukuran molekul, kelarutan dan muatannya. Fraksi utama zein adalah α dan β zein. Alfa zein larut dalam 95 % etanol dan β zein larut dalam 60 % etanol, tetapi tidak larut dalam 95 % etanol. Zein ini relatif tidak stabil, segera mengalami pengendapan dan penggumpalam. Alfa zein mengandung histidin, arginin, prolin, dan metionin yang lebih rendah dibandingkan β zein (Shukla dan Cheryan 2001). Zein bersama-sama dengan adanya pati, hidroksipropil metilselulose, gula, garam, yeast dan air dapat membentuk adonan yang bersifat kohesif, ketahanan dan viskoelastisnya mirip gandum ketika dicampur pada saat suhu di atas suhu ruang (misalnya 40°C) karena adonan ini dapat menahan gas (Schober et al. 2010). Fraksi albumin, globulin, dan glutelin mengandung lisin dan triptofan relatif tinggi (Patterson et al. 1980). Lembaga merupakan bagian biji jagung yang cukup besar. Pada biji jagung tipe gigi kuda, lembaga mencapai 11.5 % dari bobot keseluruhan biji. Lembaga ini sendiri sebenarnya tersusun atas dua bagian yaitu skutelum dan poros embrio (embryonic axis). Lembaga terdiri atas plumula, radikel, dan skutelum, yaitu sekitar 10 % dan perikarp 5 %. Perikarp merupakan lapisan luar biji yang dilapisi oleh testa dan lapisan aleuron. Lapisan aleuron mengandung 10 % protein (Wilson 1987). Jagung Putih Jagung putih adalah butiran biji jagung tanpa mengandung pigmen kuning. Secara lengkapnya, endosperm biji jagung putih tidak hanya harus murni putih, tidak mengandung pigmen kuning, tetapi juga tidak berwarna merah atau biru yang disebabkan adanya pigmen antosianin dan coklat atau perubahan warna lain karena adanya komponen flavonoid (Poneleit 2001). Saat ini Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian sedang mengembangkan benih jagung khususnya jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut sebagai varietas unggulan nasional. Kelebihan jagung putih antara lain mengandung polifenol tinggi, pati yang tinggi, dan warna putih yang menarik sedangkan kelemahannya adalah mempunyai biji yang keras sehingga kurang disukai masyarakat (Pozo-Insfran et al. 2006). Kandungan senyawa fenolik pada jagung putih dapat dilihat pada Tabel 2.4. Varietas Anoman 1 merupakan jagung putih lokal yang termasuk tipe gigi kuda-semi gigi kuda. Tipe ini tahan rebah, agak tahan terhadap bulai (Peronosclerosporea maydis) dan tergolong moderat terhadap hawar daun
9 (Helminthosporium Turcicum) serta bercak daun kelabu (Cercosporazeae maydis). Tanaman Anoman 1 rata-rata menghasilkan jagung sebanyak 4.6 ton/ hektar dengan potensi hasil sebesar 5.6 ton/hektar (Balit Tanaman Serealia 2007). Tabel 2.4. Kandungan asam hidroksinamat dan total polifenol (mg/kg) jagung putih dan biru Polifenol Jagung putih Jagung biru Jagung biru (mg/kg bk) Meksiko Amerika (mg/kg bk) (mg/kg bk) Asam protokatekuat derivatif-1a
14.2c+1.2
nd
nd
Asam galat
3.9 +0.4
nd
nd
Asam protokatekuat derivatif-2
4.2+0.6
nd
nd
87.8 +3.4
nd
nd
1.3 +0.4
nd
nd
ndb
21.4+1.5
13.9+0.8
6.6 +0.2
nd
1.3+0.5
Asam ferulik bebas
2484 + 32
202 + 4.6
927 + 15
Asam kumarik-p derivatif-2
221.2 +4.5
0.62 + 0.12
nd
Asam ferulik derivatif-2
88.6 + 5.5
45.9 + 3.4
154 + 8.9
Asam ferulik derivatif-3
769 + 20
78.5 + 2.6
nd
Asam ferulik derivatif-4
172 + 7.5
nd
nd
Asam ferulik derivatif-5
424 + 24
nd
35.5 + 3.1
Asam ferulik derivatif-6
816 + 18
102 + 5.8
121 + 15
Asam kumarik-p derivatif-3
5.3 + 0.85
0.53 + 0.11
57.3 + 8.6
Total fenolik 4899 + 119 451 + 18.1 Keterangan (Pozo-Insfran et al. 2006) : a. Derivatif dihitung sebagai ekuivalen bentuk bebas. b. Senyawa tidak terdeteksi. c. Total asam fenolik yang dihitung dengan HPLC.
1310 + 52
Asam ferulat derivatif-1b Asam kumarik-p acid derivatif-1b Katekin Asam kumarik-p bebas
c
Varietas Pulut termasuk jagung putih tipe jagung ketan (waxy corn). Jagung ini mengandung amilopektin 95.75 % dan amilosa 4.25 % (Suarni 2005). Tanamannya menghasilkan jagung sebanyak 4.0 - 5.0 ton / hektar (Indonesian Cereal Research Institute 2008).
10 Tepung Jagung Pemanfaatan jagung sebagai bahan baku pangan umumnya dikonsumsi sebagai jagung segar, dibuat tepung jagung, minyak atau pati jagung (maizena). Tepung jagung diperoleh dengan menggiling biji jagung menjadi tepung. Pada proses ini terjadi pemisahan perikarp, endosperm, dan lembaga serta proses pengecilan ukuran. Perikarp harus dipisahkan pada proses pembuatan tepung karena kandungan seratnya tinggi sehingga dapat membuat tepung bertekstur kasar. Pada proses pembuatan tepung, dilakukan pemisahan lembaga karena tanpa pemisahan lembaga akan menyebabkan tepung mudah tengik. Tip cap atau bahan pangkal juga harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar. Selain itu partikel tip cap akan terlihat sebagai butir – butir hitam yang mengotori warna tepung. Pada pembuatan tepung, endosperm merupakan bagian yang digiling menjadi tepung. Rooney dan Serna-Saldivar (2003) menggolongkan penggilingan jagung dengan metode kering menjadi tiga metode, yaitu: proses degerming tempering, stone-ground process atau proses nondegerming dan proses pemasakan secara alkali (nixtamalization). Ketiga proses tersebut akan menghasilkan karakter tepung dan nilai gizi yang berbeda. Proses degerming tempering paling umum dilakukan, yaitu dengan cara memisahkan bagian endosperm dan dilanjutkan dengan penggilingan, pengeringan, dan pengayakan. Proses ini menghasilkan tepung jagung berukuran paling halus. Menurut SNI 01-3727-1995, syarat ukuran partikel tepung jagung adalah minimal 99 % lolos ayakan 60 mesh dan minimal 70 % ayakan 80 mesh dengan kadar air maksimal 10 %. Menurut Serna-Saldivar et al. (2001) tepung jagung mempunyai ukuran partikel kurang dari 0.193 mm (lolos ayakan US no 75). Pengembangan pembuatan bahan baku jagung untuk industri juga telah dilakukan seperti pembuatan tepung jagung komposit (Susila dan Resmisari 2005), pengembangan jagung sebagai bahan baku bassang (Dharmawidah et al. 2005), pengkajian teknologi produksi dan penyimpanan jagung sosoh pratanak (Tawali 2007), serta pemanfaatan tepung komposit ubi kayu-jagung-terigu pada mi kering (Permana et al. 2010). Pati Jagung Kandungan utama jagung adalah pati (72 - 73 %), yang terdiri dari amilosa dan amilopektin. Rasio amilosa : amilopektin berkisar antara 25 - 30 % : 70 – 75 %. Pada jagung ketan (waxy maize) kadar amilopektin dapat mencapai 100%. Kandungan amilosa dan amilopektin biji jagung dari beberapa varietas dapat dilihat pada Tabel 2.5. Tingginya kandungan amilopektin pada jagung Pulut akan menyebabkan tepung jagung ini memberi sifat lengket, sehingga pemanfaatannya untuk produkproduk pangan yang mempunyai karakter liat/lengket. Karakter amilografi sebagai salah satu faktor kualitas bahan baku tepung jagung diindikasikan sebagai proses gelatinisasi. Waktu dan suhu awal gelatinisasi setiap varietas jagung berbeda, hal ini berkaitan dengan komposisi kimia setiap bahan (Tabel 2.6).
11 Tabel 2.5. Kandungan amilosa dan amilopektin (%) beberapa varietas biji jagung. Varietas Amilosa (%) Amilopektin(%) Srikandi Putih
31.05
68.95
Srikandi Kuning
30.14
69.86
Anoman
29.92
70.08
Lokal nonpulut
28.50
71.50
Lokal pulut
4.25
95.75
Sukmaraga Sumber: Suarni (2005).
34.55
65.45
Tabel 2.6. Sifat amilograf beberapa varietas tepung jagung Varietas Awal Granula Pati Pecah Gelatinisasi Waktu Suhu Waktu (menit) (0C) (menit)
Viskositas
Suhu Viskositas Dingin (0C) (BU) (BU)
Balik (BU)
Anoman 1
26.0
82
39.5
90
250
310
280
Srikandi Putih-1
30.0
81
37.5
93
440
620
480
Lokal Pulut
20.5
72
24.0
79
260
290
240
88.5
230
300
280
Lokal non Pulut 30.5 84 38.5 Sumber : Suarni dan Firmansyah (2005)
Pati dikenal sebagai bahan semikristalin yang granulanya mengandung bagian kristal dan amorf secara bergantian. Daerah kristal menyusun polimer amilopektin secara predominan di mana pada cabang lebih luar diikat oleh ikatan hidrogen satu sama lain untuk membentuk kristal yang tidak terlepas/kusut selama gelatinisasi. Daerah amorf terutama terdiri dari amilosa dan titik percabangan amilopektin (Ratnayake 2006). Struktur internal dan susunan granula pati dapat dilihat pada Gambar 2.2. Beberapa sifat penting amilosa dan amilopektin disajikan pada Tabel 2.7. Amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan α-(1,4) dari struktur cincin piranosa yang dinyatakan sebagai bagian linier dari pati. Jika dihidrolisis oleh β-amilase akan menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutus ikatan α-(1,4) dari ujung non pereduksi rantai amilosa menghasilkan maltosa. Amilosa dapat terpisah dari granula yang mengembang di atas suhu gelatinisasi (Ratnayake et al. 2006).
12
Gambar 2.2. Struktur internal dan susunan granula pati (Gallant et al. 1997) Tabel 2.7. Beberapa sifat penting amilosa dan amilopektin Sifat Amilosa
Amilopektin
Bercabang (α-1,4 dan α-1,6)
Tipe Ikatan
Linear (α-1,4)
Bobot Molekul
100 ribu -1 juta dalton 1 juta –10 Juta dalton
Derajat Polimerisasi
1500-6000
3x105 - 3x106
Panjang rantai rata2
~103
20-25
Kompleks helix
Kuat
Lemah
Sifat pembentuan film
Kuat
Lemah
Pewarnaan dengan iodin
Biru
Coklat kemerahan
Larutan encer
Tidak stabil
Stabil
Retrogradasi
Cepat
Lambat
Sifat pembentuk gel
Terbentuk gel-kaku, tidak dapat balik
Tidak terbentuk gel-lunak, dapat balik
Sumber : Chen (2003)
13 Amilopektin merupakan polimer yang mempunyai ikatan α-(1,4) pada rantai lurusnya dan ikatan β-(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan berjumlah sekitar 4-5% dari seluruh ikatan yang ada pada amilopektin. Amilopektin secara dominan bertanggung jawab terhadap kristalinitas granula pati (Gallant et al. 1997, Ratnayake et al. 2006). Fermentasi Fermentasi adalah proses metabolik yang melepaskan energi dari gula atau molekul organik lain, yang tidak membutuhkan oksigen atau sistem transport elektron, dan menggunakan molekul organik sebagai aseptor elektron akhir. Berbagai mikroorganisme dapat memfermentasi berbagai substrat, di mana produk akhir yang dihasilkan tergantung jenis mikroba yang tumbuh, substrat, dan enzim yang berperan. Berdasarkan sumber mikroba yang berperan, proses fermentasi dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu fermentasi spontan, back slopping, dan fermentasi terkendali. Fermentasi spontan adalah fermentasi yang terjadi tanpa penambahan mikroba dalam bentuk starter atau ragi. Proses fermentasi berlangsung dengan mengandalkan mikroba yang terdapat pada bahan baku. Fermentasi back slopping adalah proses fermentasi yang berlangsung dengan menggunakan mikroba yang terdapat pada produk hasil fermentasi sebelumnya dan fermentasi terkendali adalah proses fermentasi yang berlangsung dengan menambahkan mikroba dalam jumlah dan jenis tertentu secara langsung pada bahan baku yang akan difermentasi. Cara pertama dapat menghasilkan mutu produk yang tidak seragam karena jumlah dan jenis mikroba yang berperan belum tentu sama pada setiap proses. Demikian juga dengan cara kedua kemungkinan gagal, artinya mutu tidak seragam, cukup besar. Sebaliknya, dengan menggunakan cara ketiga kemungkinan berhasil (mutu produk seragam untuk setiap kali ulangan) sangat besar karena jumlah dan jenis mikroba awal diketahui sehingga hasilnya pun dapat diprediksi (Tortora et al. 2004). Mikroba yang berperan besar dalam pembuatan produk pangan fermentasi diantaranya adalah Bakteri Asam Laktat (BAL). Berdasarkan genotipnya, BAL saat ini diklasifikasikan menjadi 21 genus, yaitu Lacobacillus, Carnobacterium, Leuconostoc,Oenococcus,Weissella, Pediococcus, Aerococcus, Tetragenoecoccus, Streptococcus, Enterococcus, Lactococcus, Vagococcus, Alloiococcus, Dolosigranulum, Globicatella, Lactospphaera, Dossilococcus, Eremococcus, Faklamia, Helcococcus, dan Igravigranum. Ciri-ciri umum BAL adalah gram positif vegetatif, tidak membentuk spora, katalase negatif, tidak memiliki sitokrom, bersifat aerotoleran, fastidious, tahan asam, menghasilkan asam laktat sebagai produk utama fermentasi, dan tidak dapat mensitesis cincin porfirin. BAL dapat tumbuh secara normal pada bahan pangan yang kaya gizi seperti daging, susu, dan sayuran. Selain itu BAL juga dapat tumbuh normal pada rongga mulut, saluran usus halus, dan vagina. Morfologi sel Lactobacillus berbentuk batang, biasanya panjang dan ramping. Kebanyakan spesies berbentuk rantai (Axelsson 2004). BAL digolongkan dalam kelompok bakteri mesofilik, sehingga bakteri ini mungkin tumbuh pada suhu antara 20 – 40 °C. Beberapa spesies dapat tumbuh
14 pada suhu di atas atau di bawah batas tersebut, contohnya Lactobacillus (Corsetti dan Settanni 2007). Berdasarkan hasil metabolismenya, BAL dikenal dalam dua kelompok, yaitu homofermentatif dan heterofermentatif. Menurut Axelsson 2004) golongan homofermentatif menghasilkan asam laktat antara 85 - 90 % sebagai hasil akhir proses fermentasi. Asam laktat merupakan hasil dari fermentasi gula. Golongan heterofermentatif hanya menghasilkan sekitar 50 % asam laktat. Selain asam laktat, golongan heterofermentatif juga menghasilkan CO2, senyawa asetaldehid, dan diasetil, alkohol, dan ester yang sangat penting untuk pembentukan aroma dan flavor. Karakteristik yang membuat Lactobacillus penting pada produk fermentasi adalah (1) berkontribusi pada pengembangan flavor, yaitu mampu memfermentasi gula dengan menghasilkan asam-asam organik (terutama asam laktat dan asetat), alkohol, ester, dan karbonil; mampu mengurai protein menjadi asam amino terutama ornitin, leusin, fenilalanin; (2) memengaruhi struktur adonan, yaitu mensekresi homopolisakarida (HoPS) yang memperbaiki struktur produk baking, mensekresi heteropolisakarida (HePS) yang memperbaiki struktur yoghurt dan produk-produk susu fermentasi, membentuk eksopolisakarida (EPS) yang memengaruhi viskositas adonan asam; (3) memperbaiki kualitas zat gizi dan aspek kesehatan, yaitu dengan menurunkan faktor antigizi, seperti menurunkan kandungan fitat; mengkonversi senyawa toksik seperti menurunkan pengaruh celiac spue dari gluten; (4) menghasilkan senyawa antimikroba yaitu bakteriosin, senyawa anti kapang, dan antimikroba (Corsetti dan Settanni 2007). Selama proses fermentasi, bakteri menguraikan karbohidrat atau glukosa menjadi asam laktat. Setelah karbohidrat, maka protein akan dihidrolisa dan terakhir lemak. Ketiga komponen ini selanjutnya akan membentuk produk akhir berupa asam laktat dan senyawa lainnya (Fardiaz 1989). Selain bakteri, kapang dan khamir juga dapat berperan selama proses fermentasi. Di banyak negara, kapang dan khamir juga banyak dimanfaatkan dalam proses fermentasi. Produk-produk fermentasi kapang dipengaruhi oleh berbagai enzim yang dihasilkan oleh kapang dimana enzim akan memengaruhi perubahan substrat. Enzim utama yang dihasilkan kapang adalah protease dan karbohidrase. Beberapa kapang menghasilkan enzim lipase. Kapang yang bersifat amilolitik akan memecah pati menjadi gula-gula sederhana. Kapang yang bersifat proteolitik akan memecah protein menjadi asam amino, dan kapang lipolitik akan memecah lemak menjadi asam lemak dan senyawa aromatik lainnya. Enzim amilase banyak digunakan untuk merubah karakter bahan pangan yang mengandung karbohidrat tinggi, contohnya pada pembuatan roti, alkohol, minuman dan beberapa produk-produk konfeksioneri. Enzim selulase bermanfaat untuk memperbaiki kemampuan mencerna serat makanan. Kapang yang menghasilkan enzim protease antara lain adalah Aspergillus oryzae, Penicillium roqueforti, dan Mucor (Sanchez 2008). Enzim yang termasuk golongan karbohidrase adalah amilase (α-amilase dan glukosidase), selulase, hemiselulase, pectinolase. Beberapa kapang dapat menghasilkan beberapa enzim. Hasil penelitian Ghosh and Ray (2011) menunjukkan bahwa Rhizopus oryzae memproduksi enzim-enzim selulase, hemicellulase, pektinase, tannase, phytase, lipase dan protease. Tang et al. (2012) melaporkan bahwa Rhizopus stolonifer
15 memproduksi selulase. Aspergillus niger selain memiliki aktivitas amilolitik, juga mempunyai aktivitas pektinolitic (Heerd et al. 2012). Panagiotou et al. (2013) melaporkan bahwa Fusarium oxysporum menghasilkan enzim sellulolitik dan xilanolitik. Khamir menyukai produk pangan yang mengandung gula tinggi dan mengubah gula menjadi alkohol. Di samping itu, khamir pun menghasilkan enzim protease, lipase, karbohidrase. Omemu et al. (2007) melaporkan bahwa Candida krusei menghasilkan enzim lipase, esterase, dan amilase yang berkontribusi pada flavor produk akhir. Kodamae ohmeri memproduksi enzim phytase dalam bijibijian (Li et al. 2008) dan lipase (Bussamara et al. 2010). Candida famata memproduksi enzim glukoamilase (Mohammed 2007), lipase dan protease (Wojtatowicz et al. 2001). Selama proses fermentasi yang menggunakan bahan baku utama mengandung karbohidrat tinggi, baik secara spontan mau pun dengan penambahan kultur starter, mikroba yang berperan pada awal fermentasi adalah mikroba yang bersifat amilolitik. Mikroba amilolitik menghasilkan enzim amilase. Mikroba ini dapat berupa kapang, khamir, maupun bakteri. Mikroba amilolitik akan bekerja di awal memecah karbohidrat menjadi gula-gula sederhana. Selanjutnya mikroorganisme non-amilolitik mulai aktif dengan memanfaatkan gula-gula yang dihasilkan oleh kapang, khamir dan bakteri amilolitik. Selain itu khamir dan BAL mempunyai hubungan yang saling menguntungkan. Halm et al. (2004) melaporkan bahwa khamir mempunyai toleransi yang tinggi terhadap asam laktat. Bahkan, Candida krusei dapat menstimulasi pertumbuhan Lactobacillus plantarum dan ditemukan pada fermentasi jagung untuk produksi ogi. Proses fermentasi dilaporkan dapat memperbaiki mutu umbi-umbian dan seralia, terutama produk singkong dan jagung. Fermentasi singkong secara spontan dapat mengurangi kandungan asam sianida (Tsav-Wua et al. 2004), sedangkan fermentasi jagung dapat meningkatkan kandungan lisin dan metionin (Teniola et al. 2001). Mikroorganisme yang diisolasi pada beberapa produk hasil fermentasi biji dan tepung jagung serta tepung dan bubur singkong secara spontan dapat dilihat pada Tabel 2.8, sedangkan perubahan selama fermentasi disajikan pada Tabel 2.9.
16 Tabel 2.8. Mikroorganisme dalam beberapa produk fermentasi jagung dan singkong Nama produk
Deskripsi/ proses pembuatan
Bagian yang dianalisa
Jenis mikroba
Referensi
Bakteri asam laktat (109 koloni/g) 90% : Lactobacillus fermentum cellobiosus, L. brevis, dan L. fermentum spp. 6%: L. curvatus, L. buchneri Khamir (107 koloni/g) 41%: Candida humicola dan C. krusei 26%: Geotricum spp.
Nago et al. (1998)
Biji jagung direndam 24 jam Mash & air sebelum (jagung : air perendam = 15kg pengeringan : 32 L), wet milling, fermentasi 48 jam
Lactobacillus homofermentatif Lactobacillus heterofermentatif Pediococcus Leuconostoc Enterococcus Saccharomyces
Teniola et al. (2001)
Pozol
Makanan khas Meksiko dari Bola-bola biji biji jagung yang direbus, jagung rebus dibuat bola-bola, dibungkus daun pisang, didiamkan pada suhu 30ºC selama 0, 4, 24, 48, 72, dan 96 jam
Total mikroba 109-1010 CFU/g, bagian luar bola-bola 5x lebih banyak dari bagian ben Omar dan Ampe tengah bola-bola 7 8 9 8 (2000) BAL: hari 0-1: 10 menjadi 10 CFU/g, hari 2: 10 CFU/g, hari 3: 10 CFU/g Streptococus sp (25-75%) L. fermentum (2 hari pertama), kemudian L. plantarum, L casei, L. delbruekii Khamir: maksimal 108 CFU /g pada bagian luar (24 jam) dan bagian tengah meningkat setelah 4 hari Fungi: maksimal 108 CFU /g pada bagian luar (48 jam) dan tidak terdeteksi pada bagian tengah (72 jam)
Ogi
Fermentasi biji jagung dalam air yang ditambah L. plantarum, 96 jam (48 jam
Saccaharomyces cerevisiae, Candida krusei, C. tropicalis, Geotrichum candidum, Omemu et al. (2007) G. fermentans, dan Rhodotorula graminis.
Ogi
Makanan tradisional masyarakat Benin-Afrika dari tepung jagung yang direndam dalam air (1:4), 1-3 hari, 2535°C
Ogi
Ogi
Biji jagung hasil fermentasi
17 perendaman & 48 jam pengasaman)
Semua isolat kecuali G. fermentans, dan Rhodotorula graminis dapat mendegradasi fitat Semua khamir mempunyai aktivitas lipase dan protease. Hanya Saccaharomyces cerevisiae dan Candida krusei mempunyai aktivitas amilolitik Pertumbuhan khamir (Saccaharomyces cerevisiae dan Candida krusei) ditingkatkan dengan adanya L. plantarum, tetapi pertumbuhan L. plantarum secara nyata ditingkatkan oleh Candida krusei.
Kpoor umilin
Makanan khas Nigeria, dibuat Tepung singkong dari tepung singkong fermentasi tradisional: perendaman umbi singkong dalam air 2 - 5 hari, 30 +1 °C modifikasi: perendaman irisan umbi singkong (1015 mm tebal) dalam potable water yang telah dicuci 2x dengan air, 37 °C, 48 jam. Penjemuran dengan sinar matahari
Total bakteri: tradisional: 2.7x103 – 1.2x107 CFU/g modifikasi: 3.5x102 CFU /g Jenis bakteri tradisional: Leuconostoc spp, Lactobacillus spp, Stphylococcus spp, Micrococcus spp, Bacillus spp, Streptococcus spp, coliform E. Coli. modifikasi: sama, tanpa coliform Total khamir & kapang tradisional: 1.9x103 – 3.9x105 CFU /g modifikasi: 1.5x103 CFU /g Jenis fungi: Aspergillus spp, Penicilium spp, Saccaharomyces spp, Geotricum candidum
Foo-foo
Dibuat dari tepung singkong fermentasi, yang dibuat dengan merendam umbi singkong dalam air hujan (singkong : air = 1:2), suhu ruang, 72 jam
Brauman et BAL lebih 99%: al. (1996) 12 jam: BAL 107 sel/g (bk) jadi 1012 sel/g (bk) pada akhir proses: Lactobacillus coprophilus (53.3%), Lactobacillus delbrueckii (13.3%), Lactobacillus fermentum (6.7%) 24 jam: Lactococcus lactis (65%) 48 jam: Leuconostoc mesenteroides (59%) meningkat menjadi 71% pada 72 jam Tahap akhir fermentasi Lactobacillus plantarum meningkat secara signifikan (sampai 100% setelah 8 hari fermentasi). Khamir: muncul setelah 48 jam (Candida spp), 103 - 105 sel/g (bk) pada akhir
Tepung singkong
Tsav-Wua et al. (2004)
18 proses Pati singkong asam
Perendaman bubur singkong dalam air berlebih selama 45 hari (A) dan 29 hari (B)
Bubur singkong
-L.fermentum : hari ke 2-45 -L.brevis : hari13 -L.perolens : hari40 -L.plantarum a: hari 13 dan 40 -L.plantarum b : hari 13 sampai 45 -L.plantarum c: hari 13 -Candida rugosa: hari 2 -Candida humilis: hari 13 -Candida tropicalis: hari 2-13 -Debaryomyces hansenii: hari 2 -Galactomyces geotricum:hari 2-15 -Issatchenkia sp: hari 2-13, 45 -Dipodascus ingens: hari 13 -Rhodotorula mucilaginosa: hari 2, 15 -Bacillus cereus -L.fermentum : hari ke 1-29 -L.perolens : hari 6 -L.plantarum a: hari 23 -L.plantarum b : hari 1 sampai 29 -Candida cylindracea:hari 1 -Candida ethanolica-like: hari 6-23 -Saccharomycesexiguus: hari 6 -Candida rugosa: hari 23 -Candida tropicalis: hari 1 -Galactomyces geotricum: hari 1-23 -Issatchenkia sp: hari 1-23 -Issatchenkia terricola:hari 6 -Kluyveromyces lactis: hari 1 -Dipodascus ingens: hari 23
Lacerda et al. (2005)
19
Tabel 2.9. Perubahan karakteristik mikrobiologis, fisikokimia serta sensori selama fermentasi Nama produk
Deskripsi / proses pembuatan
Perubahan selama fermentasi
Referensi
Kenkey
Halm et al. Makanan tradisional di Ghana Nilai pH adonan antara 4.85 - 5.10 pada awal fermentasi, (1996) turun menjadi antara 3.70 - 3.85 setelah 24 jam dan 3.65 Biji jagung direndam dalam air (1:2) dengan 7 3.80 setelah 48 jam. 6 strain Lactobacillus fermentum (10 dan 108 koloni/mL) dan campuran antara Hasil uji organoleptik : panelis lebih menyukai aroma, rasa, Lactobacillus fermentum (108 koloni/mL) keasaman, tekstur dan penerimaan secara umum produk dengan Saccharomyces cerevisae (105 yang dibuat dari tepung jagung yang difermentasi koloni/mL) pada 5 kg biji jagung dibandingkan kontrol.
Kenkey
Biji jagung dicuci 2x2 menit dengan air destilasi steril dan didisinfeksi dengan larutan sodium hipoklorit 10 g/L. Kemudian kernel dicuci 2x2 menit dengan air destilasi steril. Selanjutnya direndam dengan air destilasi steril pada suhu 4 °C, 25 °C, 60 °C selama 72 jam. Biji jagung yang tidak diberi perlakuan di atas, direndam pada kondisi yang sama sebagai kontrol Perlakuan : DM (dry milling maize), DMS (dry maize milled before soaking); WMS
Selama perendaman biji jagung pada 4 °C, 25 °C dan 60 °C Nche et al. selama 72 jam (1996) Meningkatkan total mikroba aerobik pada air perendam setelah 48 jam menjadi >105 CFU/mL pada sampel yang tidak didisinfeksi, < 104 CFU/mL pada sampel yang didisinfeksi Water uptake meningkat dari 0.42 mL/g bk pada 24 jam menjadi 0.5 mL/g setelah 72 jam Aktivitas enzim endogenus tinggi (alkalin fosfatase; esterase (C 4); esterase lipase (C 8); lipase (C 14); leusin arilamidase; valin arilamidase; sistin arilamidase; tripsin; kimotripsin; asam fosfatase; naftol-AS-BI-fosfohidrolase, α-
20 (whole maize soaking before milling)
galaktosidase; β-galaktosidase; β-glukuronidase; αglukosidase; β-glukosidase; N-asetil-β-glukosaminidase; αmannosidase; α-fukosidase). Perendaman pada suhu 60 °C tidak mempunyai viskositas puncak Perendaman pada suhu 60 °C ditambah enzim proteolitik meningkatkan viskositas puncak dan setback Semakin rendah nilai pH (pH 6.0, 5.6, dan 3.6) akan menurunkan viskositas adonan, tidak ada viskositas puncak untuk semua kondisi pH, menurunkan viskositas setback Tepung dengan pH 6.0 yang lolos saringan 1.0 mm menunjukkan peningkatan viskositas pasting dan setback. Pada 0, 4, dan 8 jam fermentasi tidak ada viskositas puncak. Setelah 12 dan 24 jam fermentasi, diperoleh viskositas puncak selama pemanasan pasta. Pada 24 jam fermentasi suhu gelatinisasi lebih rendah, viskositas puncak lebih tinggi, viskositas setback lebih rendah dibandingkan 12 jam fermentasi. Semakin halus ukuran tepung (lolos 4 mm, 1 mm, dan 0.5 mm) semakin menurunkan viskositas puncak dan setback adonan
Tepung Perendaman dalam air, 20 atau 35 °C, 15 hari, 24 jam: jagung & dikeringkan sinar matahari 10-12 jam atau Asam laktat: tepung jagung (5.7 - 10.3 g/kg bk) > tepung singkong oven 40 °C, 24 jam singkong difermentasi (1.2 - 3.2 g/kg bk) fermentasi Suhu gelatinisasi 79.9 - 80.6 °C untuk tepung yang
Mestres et al. (2000)
21 dikeringkan dalam oven dan 78.7 - 80.4 °C untuk tepung yang dikeringkan dengan sinar matahari. Kelemahannya produk tidak mempunyai kemampuan mengembang dalam berbagai kondisi penelitian diduga hal ini karena tingginya kandungan asam laktat yang dihasilkan. Tepung jagung fermentasi dan mi yang dihasilkan
Perendaman grits jagung berukuran ≤20 mesh Viskositas puncak meningkat selama fermentasi sampai hari Mei-Lan et dalam air (1 : 3 w/v) pada suhu ruang (26 – 30 ke 7, selanjutnya menurun sampai hari ke 21. Mulai hari ke al. (2008) °C), selama 21 hari. Penyamplingan setelah 5 19 – 21, viskositas puncak lebih rendah dari kontrol. hari dan selanjutnya setiap 2 hari. Pengeringan Tren viskositas breakdown sama dengan viskositas puncak. grits jagung dengan oven udara (40 °C, 12 Viskositas akhir dan viskositas setback menurun selama jam). Penumbukan dan penyaringan 100 mesh fermentasi Kekuatan gel meningkat selama fermentasi Tensile stres, tensile strain, dan tensile work pada mi meningkat selama fermentasi Kekerasan, kelicinan, chewiness, elastisitas, dan penerimaan keseluruhan mi yang dihasilkan meningkat selama fermentasi Kadar aflatoksin pada mi lebih kecil dari 5 µg/kg selama fermentasi
Gari
Dibuat dari umbi singkong yang dikupas, dicuci, diparut, dimasukkan dalam kain karung dan dikeluarkan airnya dengan meletakkan batu berat diatasnya. Fermentasi dilakukan selama 5 hari,
Selama 5 hari fermentasi: Kadar serat kasar meningkat dari 2.70 % menjadi 3.10 % Uji swelling meningkat dari 225 % menjadi 400 % Kandungan HCN menurun dari 12.67 mg / kg menjadi 3.82 mg / kg
Irtwange dan Achimba (2009)
22 pengamatan dilakukan 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 hari. Mash yang diambil disaring, dikeringkan dan dianalisa proksimat dan uji sensori
Kadar air meningkat dari 8.98 % bb menjadi 10.33 % bb Kadar abu meningkat dari 1.87 % menjadi 2.46 % Kadar lemak kasar menurun dari 3.23 % menjadi 2.48 % Kadar protein kasar meningkat dari 2.33 % menjadi 2.48 % Warna meningkat dari 13.3 % menjadi 70.4 % Aroma meningkat dari 20.7 % menjadi 75.9 % Tekstur meningkat dari 28.6 % menjadi 73.9 %
Tepung biji Cajanus cajan hasil fermentasi
Biji berkulit direbus dengan air (1:10 v/v) selama 1 jam. Biji tanpa kulit dibuat pasta dengan NaCl (1g/kg biji) dan dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama tidak difermentasi (kontrol) dan bagian kedua pasta dibungkus dengan daun pisang yang sudah dipanaskan sebanyak 50 g/pak dan selanjutnya didiamkan pada suhu ruang selama 7 hari. Pengambilan sampel setiap hari sampai 5 hari fermentasi. Selanjutnya dikeringkan dalam oven udara panas dan disaring dengan ukuran saringan 40 mesh
Selama 5 hari fermentasi: Adebowale & Maliki Kadar air meningkat dari 10.20 % menjadi 13.24% (2011) Kadar protein kasar meningkat dari 21.80 % menjadi 23.90% Kadar lemak menurun dari 2.74 % menjadi 1.69% Kadar abu meningkat dari 4.61 % menjadi 5.52% Kadar serat kasar menurun dari 7.25 % menjadi 4.52% Bulk density menurun dari 0.80 % menjadi 0.63 g/mL Kapasitas penyerapan air menurun dari 142.0 g/mL menjadi 113.0 g/mL Swelling power menurun dari 6.5 % menjadi 5.5 % Foaming capacity menurun dari 8.16 % menjadi 4.17 % Foaming stability menurun dari 2.45 % menjadi 1.97 % Viskositas menurun dari 1.64 % menjadi 1.19% Gelation power menurun dari 56.2 % menjadi 43.8 %
Tepung
Biji sorgum, jagung dan pearl millet
Selama 36 jam fermentasi,
Alka et al.
23 sorgum, dibersihkan dari bahan asing, digiling halus jagung dan dan disimpan dalam wadah polietilen pada pearl suhu 4 °C. millet hasil Perendaman tepung jagung dalam air fermentasi destilasi (1:2 b/v), diinkubasi 37 °C dalam spontan inkubator selama 0, 12, 24, dan 36 jam. setelah itu dikeringkan dalam oven udara panas 70 °C selama 3-4 jam. Sampel kering digiling halus dan disimpan dalam wadah polietilen pada suhu 4 °C.
(2012) Bulk density tepung sorgum, pearl millet dan jagung menurun berturut-turut 0.75 menjadi 0.61, 0.71 menjadi 0.59, 0.72 menjadi 0.60 g/mL Kapasitas penyerapan air tepung sorgum, pearl millet dan jagung menurun berturut-turut 1.26 menjadi 1.03, 1.41 menjadi 1.29, 0.92 menjadi 0.77 mL/g Oil holding capacity tepung sorgum, pearl millet dan jagung meningkat berturut-turut 7.03-8.1, 6.7-8.2, 6.9-8.5 mL/g Swelling capacity tepung sorgum, pearl millet dan jagung menurun berturut-turut 0.29 menjadi 0.18, 0.14 menjadi 0.10, 0.21 menjadi 0.10 % Nilai pH tepung sorgum, pearl millet dan jagung menurun berturut-turut dari 5.2 menjadi 3.73, 5.63 menjadi 3.40, 5.76 menjadi 3.50 dan asam tertitrasi tepung sorgum, pearl millet dan jagung meningkat berturut-turut 1.06 menjadi 2.8, 1.4 menjadi 3.06, 0.96 menjadi 2.5 g asam laktat/100 g Daya cerna pati In vitro tepung sorgum, pearl millet dan jagung meningkat Daya cerna In vitro protein tepung sorgum, pearl millet dan jagung meningkat
Tepung Pembuangan bagian sekam, penggilingan jagung dan penyaringan tepung lolos saringan fermentasi diameter 50 µm, 100 µm, dan 150 µm Bubur tepung jagung (30 % b/b) difermentasi pada 30 °C, 48 jam. Bubur
Zeng et al. Pertumbuhan Lactobacillus spp selama 24 jam fermentasi pada bubur jagung terbanyak pada tepung berukuran 150 µm 2012 dan terendah pada tepung berukuran 50 µm. Pertumbuhan maksimum pada 4 jam fermentasi sebanyak 8.7-8.9 log CFU/mL
24 diinokulasi oleh pellet Lacobacillus spp yang telah diinkubasi sebanyak 10% (v/v) dalam MRS broth selama 24 jam pada suhu 30 °C. Nilai pH diukur setiap 3 jam
Perubahah pH menurun selama 48 jam fermentasi dengan nilai pH awal 6.5 dan pH akhir berdasarkan ukuran tepung 50, 100, 150 µm berturut-turut 3.68, 3.55, 3.48. Penurunan pH secara cepat hingga antara 12-15 jam fermentasi, selanjutnya relatif stabil. Persentase gula reduksi meningkat selama 24 jam fermentasi, di mana persentase gula reduksi semakin tinggi dengan semakin kecil ukuran tepung. Secara umum kadar protein kasar dan abu tepung jagung semakin rendah dengan semakin kecil ukuran tepung. Kadar protein dan abu tepung jagung yang difermentasi lebih rendah dibandingkan tepung jagung yang tidak difermentasi. Kadar lipid kasar dan serat tepung jagung relatif meningkat dengan semakin kecil ukuran tepung, dimana kadar lipid kasar dan serat tepung jagung yang difermentasi lebih rendah dibandingkan dengan tepung jagung yang difermentasi. Kerusakan pati tepung jagung semakin besar dengan semakin kecil ukuran tepung. Persentase kerusakan pati tepung jagung yang difermentasi mencapai dua-tiga kali dibandingkan tepung jagung yang tidak difermentasi. Kadar amilosa, swelling power, solubility dan water binding capacity tepung jagung meningkat dengan semakin kecil ukuran tepung dan persentasenya lebih besar pada tepung yang difermentasi Semakin kecil ukuran partikel mempercepat waktu pasting,
25 meningkatkan viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas akhir dan viskositas setback tepung jagung yang tidak difermentasi. Proses fermentasi memperlambat waktu pasting dan menurunkan viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas akhir serta viskositas setback dibandingkan tepung tanpa fermentasi. Pada tepung yang difermentasi, tampaknya perbedaan ukuran mempunyai pengaruh yang berbeda dengan tepung tanpa fermentasi. Ukuran tepung 100 µm menghasilkan nilai viskositas lebih rendah dibandingkan ukuran tepung lainnya Tepung Perendaman irisan umbi talas setebal 2-2.5 cm Viskositas puncak menurun selama fermentasi dari Oke dan talas dalam air selama 24 dan 48 jam. Pengeringan Bolarinwa 178.75±10.8 (0 jam) menjadi 133.08±54 (24 jam) dan fermentasi dalam pengering kabinet pada suhu 60 °C (2012) 124.46±6 RVU (48 jam) sehingga cocok untuk produk jeli selama 24 jam dan ditepungkan. Penyaringan Viskositas breakdown meningkat selama fermentasi dari dengan ukuran diameter saringan 45µm 62.84±5.1 (0 jam) menjadi 58.83±1.9 (24 jam) dan 66.96±5.3 RVU (48 jam) Suhu pasting menurun selama fermentasi dari 64.08±0.7 (0 jam) menjadi 63.58±0.5 (24 jam) dan 63.30±0.5 °C (48 jam) Kadar amilosa meningkat selama fermentasi dari 14.79±0.1 (0 jam) menjadi 15.44±0.1 (24 jam) dan 15.52±00 % (48 jam) Kadar amilopektin meningkat selama fermentasi dari 97.59±0.1 (0 jam) menjadi 97.89±0.1 (24 jam) dan 98.26±0.1 (48 jam) Kadar gula menurun selama fermentasi dari 2.40±0.1 (0
26
jam) menjadi 2.11±0.1 (24 jam) dan 1.74±0.1 % (48 jam) Kadar pati meningkat selama fermentasi dari 55.08±1.5 (0 jam) menjadi 54.55±0.1 (24 jam) dan 55.26±0.5 % (48 jam) Kapasitas penyerapan air meningkat selama fermentasi dari 231.29 ±1.4 (0 jam) menjadi 271.11±1.0 (24 jam) dan 287.59±2.1 (48 jam) Swelling power meningkat selama fermentasi dari 17.50±0.6 (0 jam) menjadi 18.31±0.0 (24 jam) , 18.45±0.0 % (48 jam) Indeks kelarutan meningkat selama fermentasi dari 16.21±0.4 (0 jam) menjadi 17.33±0.2 (24 jam) dan 18.53±0.3 % (48 jam). Kandungan kalsium oksalat menurun selama fermentasi dari 5.71±0.0 (0 jam) menjadi 2.38±0.0 (24 jam) dan 1.99±0.0 (48 jam)
27 Sifat Fisik Tepung Pengukuran sifat fisik pangan penting dilakukan untuk mengetahui cara penanganan yang baik, desain proses dan aplikasinya agar dihasilkan produk yang bermutu. Sifat fisik tepung dapat dipelajari dengan menggunakan sifat-sifat produk berbentuk bubuk, seperti ukuran partikel, densitas partikel, sifat alir, sifat adonan dan gelatinisasi, serta sifat reologinya. Ukuran Partikel Ukuran partikel tepung, berhubungan dengan proses penggilingan. Ukuran partikel dan tipe penggilingan mempengaruhi sifat pengembangan dan tekstur produk yang dihasilkan. Hasil penelitian Carvalho et al. (2010) menunjukkan bahwa distribusi ukuran partikel mempengaruhi sifat ekstrudat corn meal yang dihasilkan secara nyata. Semakin besar ukuran partikel, menurunkan input energi mekanik sehingga mengurangi konversi pati. Ukuran ekstrudat yang lebih besar menghasilkan pengembangan yang lebih besar. Densitas Partikel Menurut Kousaka dan Endo (2006) densitas partikel merupakan sifat fisik yang sama pentingnya dengan ukuran partikel. Secara umum, densitas dinyatakan sebagai rasio massa terhadap volume, namun hal ini tidak dapat langsung diterapkan pada densitas partikel, karena kadang-kadang partikel memiliki pori (Gambar 3). Berdasarkan hal tersebut, maka densitas partikel dinyatakan sebagai true density (s), particle density (p), dan bulk density (B). True density adalah rasio massa partikel terhadap volume sesungguhnya tidak termasuk pori-pori di dalamnya. Jika ukuran partikel sangat halus, maka pori-pori dapat diabaikan. Particle density adalah massa partikel dibagi dengan volume partikel, termasuk pori tertutup yang ada di dalamnya. Bulk density (densitas kamba) didefinisikan sebagai rasio massa powder di dalam wadah terhadap volume wadah tersebut, termasuk ruang kosong antar partikel. Pengukuran densitas kamba diperlukan untuk mengatur kondisi penyimpanan, pengolahan, pengemasan dan distribusi. Secara khusus, densitas kamba merupakan salah satu sifat yang digunakan sebagai bagian spesifik untuk produk akhir tertentu yang diperoleh dari proses penggilingan atau pengeringan (Barbosa-C´anovas, et al. 2005). True density (TD), Bulk density (BD) dan porositas ditentukan dengan metode pemindahan (displacement) volume. Silinder volumetrik yang sudah diketahui beratnya (W1), dimasukkan sejumlah tepung yang diketahui beratnya (W2) dan volumenya dibaca sebagai V1. Setelah volume yang sama digantikan cairan (isobutil alkohol:phthalat acid dietilester = 1:1) ditambahkan pada silinder, volume total tepung dan solvent dalam silinder sebagai V2 (Chin-Lin et al. 2003). TD =
Porositas =1-
28 BD =
Closed pore
Particle
Gambar 2.3. Gambar bagian partikel
Karena bubuk dapat dimampatkan, maka densitas kamba dapat dinyatakan sebagai loose density (pada waktu dituang), pack density (setelah vibrasi), atau compact density (sesudah dimampatkan). Hubungan antara densitas kamba (b ) dan densitas partikel (s ) menurut Hoseney (1994) adalah : b = (1-Ɛp)(1-Ɛb)s= (1-Ɛ) s Di mana Ɛp adalah porositas partikel, Ɛb adalah porositas bulk (rasio volume yang kosong antar partikel pada volume total) dan Ɛ adalah porositas (rasio volume kosong pada inter dan intra partikel, terhadap volume bubuk total).
Sifat Alir Sifat alir bubuk penting dipelajari untuk melihat tingkah laku tepung terutama pada proses pencampuran, kompresi, pengemasan, dan tansportasi. Selain itu sifat alir bubuk menjadi salah satu faktor mutu produk berbentuk bubuk. Salah satu indikator untuk melihat kemampuan mengalir makanan berbentuk bubuk adalah sudut curah. Sudut curah dipengaruhi oleh cara pembentukan bubuk, seperti kecepatan penggilingan. Hal ini menyebabkan nilai sudut curah tidak selalu dapat dibandingkan. Pada bubuk yang kohesive, pengukuran sudut curah kadangkadang sulit karena bentuknya yang tidak beraturan. Besarnya sudut curah 10 derajat menunjukkan bubuk bersifat aerated, 10 sampai 30 derajat bubuk bersifat mengalir sangat baik, 30 sampai 45 derajat menunjukkan bubuk dapat mengalir dengan bebas, 45 sampai 60 derajat hampir mengalir dan lebih 60 derajat bersifat kohesive dan tidak mengalir (Barbosa-Canovas & Yan 2003)
29 Sifat Pasting Tepung Pasting adalah suatu keadaan yang mengikuti proses gelatinisasi pati. Sifat pasting tepung menunjukkan perilaku viskositas adonan tepung selama proses pemanasan dan pendinginan dengan pengadukan terkontrol (Singh et al., 2003). Sifat pasting tepung dapat digunakan untuk memprediksi sifat fungsional tepung dan potensi aplikasinya di dalam produk secara optimal (Chen, 2003). Sifat pasting adonan tepung dapat diamati dengan rapid visco analyzer (RVA) dan/atau brabender amylograph (BA) (Collado et al. 2001). RVA dan/atau BA adalah viskometer yang dilengkapi dengan sistim pemanas dan pendingin untuk mengukur ketahanan sampel pada saat dipanaskan dan didinginkan dengan adanya pengadukan terkontrol. Secara alami granula pati tidak larut di dalam air pada suhu kurang dari 50 °C. Ketika granula pati dipanaskan, granula menyerap sejumlah air dan membengkak beberapa kali dari ukuran awalnya. Viskositas meningkat ketika granula menyerap air. Suhu dimana viskositas mulai meningkat dikenal sebagai suhu pasting. Suhu pasting mengindikasikan jumlah temperatur minimum yang dibutuhkan untuk memasak sampel. Ketika sejumlah granula menjadi bengkak terjadi peningkatan viskositas dengan cepat. Pada kondisi di mana granula pati mencapai penyerapan air secara maksimum, suspensi pasta akan membengkak maksimum. Viskositas puncak terjadi ketika pasta membengkak maksimal. Viskositas dan temperatur puncak mengindikasikan kapasitas pengikatan air pada pati. Pada saat temperatur meningkat lebih lanjut, dan dipertahankan pada suhu tinggi pada beberapa waktu maka granula akan leaching dan hancur. Hal ini menyebabkan viskositas pasta menurun. Viskositas pada tahap ini mengindikasikan kestabilan pasta terhadap suhu tinggi. Pada saat pasta didinginkan maka molekul-molekul pati bergabung kembali, khususnya amilosa. Pada konsentrasi yang cukup penggabungan ini dapat menyebabkan pembentukan jaringan gel dan menyebabkan viskositas akhir meningkat. Viskositas akhir mengindikasikan kestabilan pasta pada saat didinginkan Fase ini pada kurva pasting dikenal sebagai daerah setback. Nilai setback menunjukkan kecenderungan molekul untuk beretrogradasi (Xie et al. 2005). Profil viskositas pati pada proses pemanasan dapat dilihat pada Gambar 2.4, sedangkan profil viskositas pati dengan menggunakan Brabender Visco Amilograph atau Rapid Visco Amilograph dapat dilihat pada Gambar 2.5.
30
Gambar 2.4. Profil viskositas pati pada proses gelatinisasi
Suhu pasting
Gambar 2.5. Profil gelatinisasi pati dengan Brabender Visco Amilograph atau Rapid Visco Amilograph
31 Keterangan gambar:
Suhu pasting (oC) adalah suhu minimum yang diperlukan untuk memasak sampel, yaitu suhu pada saat viskositas mulai meningkat, yang merupakan titik awal terjadinya proses gelatinisasi. Viskositas puncak (cP) adalah kondisi di mana granula pati mencapai penyerapan air secara maksimum dan suspensi pasta membengkak maksimum Waktu puncak (min) adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai viskositas maksimum Suhu puncak pasting (oC) adalah suhu pada saat viscograph mencatat nilai viskositas maksimum. Viskositas pada suhu 95oC (cP) : adalah nilai viskositas dari pasta pada tahap pemanasan setelah mencapai suhu 95oC dan dipertahankan beberapa saat. Viskositas breakdown (cP) menggambarkan tingkat kestabilan pasta pati terhadap proses pemanasan, yang dihitung sebagai selisih antara viskositas puncak dengan viskositas pasta pati setelah mencapai suhu 95 oC setelah pemanasan. Viskositas akhir pada suhu 50 oC (cP) adalah viskositas dari pasta setelah mencapai tahap akhir pendinginan, di mana pasta telah mencapai suhu 50 o C. Viskositas setback (cP) menggambarkan tingkat kecenderungan proses retrogradasi pasta, yang diperoleh dari selisih antara viskositas pada suhu 50oC dengan viskositas pada suhu 95 °C.
32 3
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pangan dan Pertanian Asia Tenggara (South East Asian Food & Agriculture Science & Technology (SEAFAST) Center IPB), Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB dari April 2011 sampai Mei 2013. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut dari petani jagung melalui Balai Penelitian Serealia Maros, Sulawesi. Bahan penunjang yang digunakan adalah aquadest, media untuk isolasi dan identifikasi mikroba seperti Plate Count Agar (PCA, Oxoid), de Man Rogosa Sharpe agar (MRS, Oxoid), MRS broth, MRS starch, yeast extract glucose agar (YEGA, Oxoid), Czapek Yeast Extract Agar (CYA), API 50CH (bioMérieux), API 20C AUX (bioMérieux), dan bahan kimia untuk analisa. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat pembuatan tepung seperti pin disc mill dan ayakan 60, 80, dan 100 mesh, serta alat-alat analisa meliputi cawan petri, colony counter, fermentor, Rapid Visco Analyzer merek Tecmaster, Newport Scientific, Whiteness meter merek Photoelectric Tube Whiteness meter electric laboratory C-100-3, Stable Micro System (TAXT-2 Texture Analyzer), spektrofotometer, dan alat-alat gelas.
Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilakukan dalam 3 tahap, yaitu: tahap pertama mempelajari komposisi kimia kernel jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan yang digunakan.Tahap ini bertujuan untuk mengetahui komposisi kimia 2 varietas jagung yang digunakan, yaitu kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat (by difference). Tahap kedua mengidentifikasi jenis dan pola pertumbuhan mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi spontan grits jagung putih lokal varietas Anoman 1. Tahap ini bertujuan untuk mendapatkan pola pertumbuhan mikroba dan jenis mikroba yang tumbuh, terutama total mikroba, bakteri asam laktat, khamir, khamir amilolitik, kapang dan kapang amilolitik, serta perubahan pH yang mengikutinya. Tahap ini dilakukan dengan cara: (1) Melakukan fermentasi jagung secara spontan (Aini 2009 yang dimodifikasi), yaitu (a) persiapan bahan baku meliputi: (i) pencucian jagung pipilan dengan air steril (jagung : air steril sebanyak 1:4) selama ±5 menit; (ii) penggilingan jagung pipilan menjadi grits jagung dengan diameter ±4 mm menggunakan pin disc mill; (iii) penampian menggunakan tampah; (iv) penghilangan kotoran, perikarp, dan bagian-bagian
33 yang mengapung di air setelah perendaman dengan air steril sebanyak 4:1 (air:jagung) selama 5 menit; (v) penirisan selama 30 menit sampai kadar air kurang lebih 40% (Gambar 3.1); dan (b) fermentasi spontan grits jagung meliputi: perendaman grits jagung dengan air steril dalam botol gelas tertutup pada suhu ±27 °C. Air steril yang digunakan 2:1 (air steril:jagung). Bagan proses disajikan pada Gambar 3.1. (2) Menghitung jumLah mikroorganisme yang tumbuh dan membuat pola pertumbuhan mikroorganisme yang berperan selama fermentasi spontan grits jagung pada selang waktu 0, 4, 12, 24, 36, 48, dan 72 jam. Pemupukan sampel air perendam dan grits jagung pada media : PCA untuk total plate count, MRSA yang ditambah CaCO2 untuk BAL, MRS-Starch untuk BAL amilolitik, Yeast Extract Glucose Agar untuk kapang dan khamir, YEGAstarch untuk kapang khamir amilolitik secara duplo. (3) Mengisolasi mikroorganisme yang berperan selama fermentasi, khususnya yang bersifat amilolitik dan melakukan identifikasi morfologik dan sifat biokimia dengan pewarnaan gram, uji gula-gula, baik secara konvensional maupun dengan perangkat cepat (identifikasi BAL dengan API 50 CH dan API 20C AUX untuk yeast) dengan uji gula-gula. Identifikasi kapang dilakukan dengan pengamatan morfologi slide culture. Selanjutnya ditetapkan kultur starter yang akan digunakan pada tahap selanjutnya. Bagan proses identifikasi mikroba pada fermentasi jagung secara spontan tahap (2) dan (3) disajikan pada Gambar 3.2. Tahap ketiga melakukan fermentasi dengan menambahkan kultur starter dan mengkarakterisasi sifat fisikokimia dan fungsional tepung jagung yang dihasilkan dari proses fermentasi grits jagung secara terkendali. Tahap ini bertujuan untuk melihat pengaruh lama fermentasi terhadap sifat fisikokimia dan fungsional tepung yang dihasilkan, meliputi tahap-tahap: (1) Melakukan fermentasi terkendali grits jagung dengan menggunakan kultur starter. Tahap-tahap yang dilakukan adalah (a) persiapan bahan baku yang meliputi : (i) pencucian dan penggilingan jagung pipilan dengan kecepatan (rpm) dan waktu (menit) tertentu menjadi grits jagung dengan diameter ±4 mm menggunakan pin disc mill; (ii) pemisahan ukuran grits dengan saringan bertingkat (mesh) tertentu; (iii) perendaman selama 5 menit dan penghilangan kotoran, perikarp, dan bagianbagian yang mengapung di air; (iv) penirisan selama 30 menit sampai kadar air kurang lebih 40% (Gambar 3.3); dan (b) fermentasi terkendali meliputi : (i) perendaman grits jagung dalam air minum dalam kemasan/AMDK (AMDK : jagung = 2 : 1 (6 L : 3 kg)) ditambah kultur starter (cair) dalam wadah plastik tertutup pada suhu 27 0C volume 16 L selama 0, 36, 48, dan 72 jam; (ii) penirisan selama 30 menit sampai kadar air + 40%; (iii) pengeringan menggunakan kabinet pengering suhu 40 °C, 24 jam (Mestres et al. 2000); (iv) penggilingan menggunakan pin disc mill dengan kecepatan (rpm) dan waktu (menit) tertentu. Bagan proses fermentasi terkendali dapat dilihat pada Gambar 3.4. Tahap terakhir adalah untuk menganalisa sifat fisik, dan kimia tepung jagung yang dihasilkan pada tahap 3. Sifat tepung yang diamati meliputi : kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar, pH, total asam tertitrasi,kadar amilosa,kapasitas penyerapan air, kapasitas penyerapan minyak, warna tepung, suhu pasting, viskositas puncak, viskositas panas suhu 95 °C, viskositas panas selama 15 menit, viskositas dingin, kekuatan, kelengketan gel.
34
Jagung pipil varietas Anoman 1 Karakterisasi jagung pipil varietas Anoman 1
Sifat fisiko kimia jagung pipil
Pencucian, penggilingan (pin discmill) & pengayakan Parameter: grits jagung Ɵ±4mm
Tidak Sesuai ?
Penampian dengan tampah & perendaman air Ya 5’
Kotoran, perikarp, bagian mengapung
Grits jagung bersih
Penirisan ±30’ Parameter: kadar air grits ±40%
Sesuai?
Tidak Y a Grits jagung ±40 %
Gambar 3.1. Bagan alur persiapan grits jagung untuk fermentasi spontan
35
Grits jagung kadar ±40 % Perendaman dalam wadah tertutup, ±27 °C air steril:jagung = 2:1, sesuai perlakuan.
Grits jagung & air perendaman hasil perlakuan
Pemupukan sesuai perlakuan
Total TPC, total BAL, total kapang, total khamir, pola pertumbuhan mikroba Isolasi mikroba secara visual & mikroskopik sesuai perlakuan Stok mikroba pada agar miring
Identifikasi mikroba dengan API CHL50 & 70API 20C AUX, slide culture Jenis BAL, kapang, khamir, dan BAL, kapang, khamir amilolitik Gambar 3.2. Identifikasi mikroba yang berperan dalam fermentasi jagung secara spontan Metode Analisis Warna tepung jagung (Whiteness meter) Derajat putih tepung diukur dengan Photoelectric Tube Whiteness meter electric laboratory C-100-3. Untuk mengukur derajat putih terlebih dahulu dilakukan standarisasi dengan menggunakan Barium Sulfat yang dianggap memiliki derajat putih 87 %. Setelah itu sampel-sampel dimasukkan dalam kotak pengukur untuk mengukur derajat putihnya.
36 Jagung pipil varietas Anoman 1 & Pulut harapann
Penggilingan (pin discmill) & pengayakan bertingkat dengan rpm & waktu tertentu
Grits jagung Ø ±4 mm Perendaman air 5’
Kotoran, perikarp, bagian mengapung
Penirisan + 30’
Sesuai ?
Grits jagung kadar air ±40 %
Gambar 3.3. Bagan alur persiapan grits jagung untuk fermentasi terkendali
Kadar air dengan metode pengeringan (AOAC, 2006) Sampel ditimbang sebanyak ±2 g dalam cawan porselin yang telah diketahui beratnya (a), kemudian dikeringkan dalam oven 105 °C sampai berat konstan (b). Kadar air dihitung berdasarkan selisih berat cawan sebelum dan sesudah pengeringan. Kadar Air (% bb) = Kadar abu (AOAC, 2006) Cawan porselen dikeringkan dalam oven terlebih dahulu selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator, ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak ±3 g dalam cawan (B), kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak
37 mengeluarkan asap. Selanjutnya dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400 - 600 C selama 4 - 6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih atau memiliki berat yang tetap. Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (C). Kadar Abu (% bb) =
Grits jagung kadar air ±40 % Perendaman dalam wadah tertutup, ±27 °C AMDK : jagung = 2:1, sesuai perlakuan
Kultur starter cair
Grits jagung hasil fermentasi terkendali sesuai perlakuan Penirisan ±30’
Pengeringan kabinet (40 C, 24 jam) Grits jagung kering hasil fermentasi terkendali sesuai perlakuan
Penggilingan (pin discmill) rpm & menit tertentu
Tepung jagung
Gambar 3.4. Bagan alur proses pembuatan tepung jagung dengan fermentasi terkendali
38 Kadar lemak (AOAC, 2006) Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 – 110 °C selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A). Ditimbang sebanyak ±5 g sampel (B) dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring dan isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksan dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105 °C. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator kemudian labu beserta lemak ditimbang (C). Kadar Lemak (%) =
Kadar protein Metode Mikro-Kjeldahl (AOAC, 2006) Sampel sebanyak ±100 mg ditimbang (A) dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 mL. Kemudian ditambahkan 1.9±0.1 g K2SO4, 40±10 mg HgO, dan 3,8±0.1 mL H2SO4. Ditambahkan batu didih pada labu lalu sampel dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Dipindahkan isi labu dan air bekas pembilasnya ke dalam alat destilasi. Labu erlenmeyer 125 mL diisi dengan 5 mL larutan H3BO4 dan ditambahkan dengan 4 tetes indikator, kemudian diletakkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam baik dalam larutan H3BO4. Larutan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8 - 10 mL ditambahkan ke dalam alat destilasi dan dilakukan destilasi sampai didapat destilatnya ±15 mL dalam erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru. Dilakukan perhitungan jumLah nitrogen setelah sebelumnya diperoleh jumLah volume (mL) blanko. Jumlah N (%) = Kadar serat kasar (AOAC 1995) Ditimbang sample kurang lebih 1 g yang telah diekstrak lemaknya (a) ditaruh dengan erlenmeyer 600 mL dam ditambah 3 tetes zat anti buih. Selanjutnya ditambahkan 200 mL larutan H2SO4 0.255 N mendidih dan ditutup dengan pendingin balik. Didiamkan selama 30 menit dengan kadang – kadang digoyang – goyangkan. Disaring suspensi melalui kertas saring. Residu yang tertinggal dalam erlenmeyer dicuci dengan air mendidih. Residu dicuci dalam kertas saring sampai air cucian tidak bersifat asam lagi. Kemudian dipindahkan residu dari kertas saring kedalam erlenmeyer secara kuantitatif. Sisanya dicuci lagi dengan 200 mL larutan NaOH mendidih sampai semua residu masuk kedalam erlenmeyer. Didihkan dengan pendingin balik sambil kadang – kadang digoyang – goyangkan selama 30 menit. Disaring kembali melalui kertas saring yang diketahui beratnya (b) sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10 % . Residu dicuci
39 sekali lagi dengan air mendidih, kemudian dengan alcohol 95 % kurang lebih 15 mL. Kertas saring dikeringkan pada 110 °C sampai berat konstan (1 - 2 jam), didinginkan dalam desiktor dan ditimbang (c). Kadar karbohidrat by difference (AOAC, 1995) Pengukuran kadar karbohidrat menggunakan metode by difference dilakukan dengan perhitungan sebagai berikut: Kadar karbohidrat (% bb) = 100 % - (kadar air + abu + protein + lemak) Kadar amilosa secara spektrofotometri (Juliano 1971) Sampel sebanyak 100 mg dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, kemudian ditambahkan 1 mL etanol 95 % dan 9 mL NaOH 1 N. Larutan dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar atau dipanaskan dalam penangas air bersuhu 100 °C selama 10 menit dan didinginkan selama 1 jam. Larutan kemudian diencerkan dengan air suling menjadi 100 mL, dipipet sebanyak 5 mL, dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL yang berisi 60 mL air. Selanjutnya ditambah 1 mL asam asetat 1N dan 2 mL I2 2 % dan diencerkan sampai volume 100 mL. Larutan dikocok dan didiamkan selama 20 menit, kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Kadar amilosa dihitung dengan rumus : Kadar amilosa (% bk) = di mana fk =
=
Keterangan : A620 = absorban sampel ka = kadar air 20 dan 1000 = faktor pengenceran fk = faktor koreksi
Enumerasi Mikroba (Nago et al. 1998) Sebanyak 10 gram campuran grits jagung dan air perendam dihomogenisasi dengan 90 mL larutan garam fisiologis-pepton steril (5 g pepton, 8.5 g NaCl, dilarutkan dengan 1000 mL air destilasi, pH 7.0 + 0.2). Berikutnya dilakukan pengenceran berseri hingga 10-7 (1:10, 1:100, 1:1000, dan seterusnya). Dari pengenceran yang ditetapkan, 1 mL campuran dipupukkan pada media cawan (a) PCA untuk enumerasi total mikroba, (b) MRS agar untuk BAL; (c) MRS-Starch (2 % pati yang larut glukosa) + 1 % aniline blue untuk BAL amilolitik; (d) Yeast Extract Glucose Agar dengan penambahan oksitetrasiklin setelah diautoclaf untuk kapang dan khamir; dan (e) Yeast Extract Glucose Agar-starch (2 % pati yang larut glukosa) untuk kapang dan khamir amilolitik secara duplo. Cawan diinkubasi pada suhu 300C selama 48 jam untuk mikroba non-amilolitik dan 5
40 hari untuk mikroba amilolitik. Enumerasi dilakukan pada selang waktu 0, 4, 12, 24, 36, 48, 60 dan 72 jam. Pemupukan menggunakan metode tuang dilakukan dengan cara mengambil sampel yang telah diencerkan sebanyak 1 mL kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri steril lalu ditambahkan media agar sebanyak 15 - 20 mL. JumLah koloni dihitung setelah inkubasi selama 48 jam. Koloni mikroba dihitung dengan rumus Standar Plate Count sebagai berikut: N = C {[1*n1)+(0.1*n2)+ ....]*(d)} Di mana: N = JumLah koloni per mL atau per gram produk ∑C = jumLah semua koloni yang dihitung dari 2 cawan n1 = jumLah cawan pada pengenceran pertama n2 = jumLah cawan pada pengenceran kedua d = pengenceran pertama yang dihitung Limit deteksi metode plating berkisar 25 hingga 250 koloni. Ketika dalam cawan terdapat koloni kurang dari 25, maka dikatakan bahwa berjumlah, 2.5x101 CFU/mL. Jika tidak ditemukan koloni dalam cawan hingga pengenceran terendah, maka pelaporannya sebanyak 1.0x 101 CFU/mL. Namun jika koloninya melebihi 250, maka dianggap sebagai TBUD (tidak bisa dihitung). Perhitungan spora kapang secara mikroskopik menurut Petroff-Hauser (Fardiaz 1992) dilakukan dengan pertolongan kotak-kotak skala, di mana dalam setiap ukuran skala seluas 1 mm 2 terdapat 25 kotak besar dengan luas 0,04 mm 2 dan tiap kotak besar terdiri dari 16 kotak kecil. Tinggi contoh yang terletak di antara gelas obyek dengan gelas penutup adalah 0.02 mm. JumLah sel dalam beberapa kotak besar dihitung, kemudian jumlah sel rata-rata dalam 1 kotak besar. Jumlah sel per mL dihitung sebagai berikut: ∑sel per contoh = ∑ sel per kotak besar x 25 kotak x 1/0.02 x 103 = ∑ sel per kotak besar x 1.25 x 105
Isolasi, identifikasi dan pengawetan BAL Setiap koloni BAL yang berbeda secara visual diisolasi dengan jarum ose dan dipindahkan ke media MRSA sampai diperoleh isolat yang terpisah. Isolat yang diperoleh selanjutnya diuji dengan Pewarnaan Gram dan diamati secara mikroskopis. Jika hasil pengujian menunjukkan gram positif maka dilanjutkan uji katalase negatif dengan H2O2. Selanjutnya isolat BAL diidentifikasi dengan perangkat cepat API 50CH. Isolat BAL yang sudah diketahui spesiesnya diuji sifat amilolitiknya dengan menggunakan media MRSA yang ditambah pati yang larut glukosa sebanyak 2 %. Isolat BAL hasil isolasi pada fermentasi spontan yang telah diidentifikasi dipindahkan ke dalam media MRS broth dan diinkubasi selama 2 hari. Selanjutnya satu ose kultur diinokulasikan ke media agar tegak semisolid MRSA
41 yang ditambah 1% CaCO3 lalu diinkubasi selama 2 hari pada suhu 37 °C dan disimpan dalam refrigerator sebagai stok kultur.
Isolasi, identifikasi dan pengawetan khamir Setiap koloni khamir yang berbeda secara visual diisolasi dengan jarum ose dan dipindahkan ke media PDA sampai diperoleh isolat terpisah. Isolat yang diperoleh selanjutnya diuji dengan pewarnaan sederhana dengan kristal violet dan selanjutnya isolat khamir diidentifikasi dengan perangkat cepat API 20C AUX. Isolat khamir yang sudah diketahui spesiesnya diuji sifat amilolitiknya dengan menggunakan media PDA yang ditambah pati yang larut glukosa sebanyak 2 %. Isolat khamir hasil isolasi pada fermentasi spontan yang telah diidentifikasi dipindahkan ke dalam media PDA dan diinkubasi selama 2 hari. Selanjutnya satu ose kultur diinokulasikan ke media agar miring PDA lalu diinkubasi selama 2 hari pada suhu 37 °C sebagai stok kultur untuk disimpan dalam refrigerator. Isolasi, identifikasi dan pengawetan kapang Setiap koloni kapang yang berbeda secara visual diisolasi dengan jarum ose dan dipindahkan ke media PDA sampai diperoleh kapang yang terpisah. Isolat kapang yang diperoleh selanjutnya diidentifikasi dengan menumbuhkan pada media PDA dan CYA. Kultur diinkubasi selama 7 x 24 jam pada suhu 5, 28 dan 37 °C. Koloni yang tumbuh diamati warna dan diukur diameternya. Setelah itu isolat kapang dibuat menjadi preparat kultur slide dan diuji di bawah mikroskop. Identifikasi genus dan spesies kapang dilakukan dengan membandingkan tipe conidiophores, bentuk metulae, phialide, dan conidia dengan Pitt dan Hocking (2009) serta Samson et al. (1981). Selanjutnya isolat diuji aktivitas amilolitik dengan menggunakan media PDA yang ditambah pati yang larut glukosa sebanyak 2 %. Isolat kapang hasil isolasi pada fermentasi spontan yang telah diidentifikasi dipindahkan ke dalam media PDA dan diinkubasi selama 5 hari. Selanjutnya satu ose kultur diinokulasikan ke media agar miring PDA lalu diinkubasi selama 5 hari pada suhu 37 °C sebagai stok kultur untuk disimpan dalam refrigerator. Pembuatan kultur slide (Harrigan 1998) Untuk membuat kultur slide dibutuhkan cawan petri yang didalamnya terdapat kaca obyek yang diletakkan di atas batang U atau V. Perangkat tersebut berada dalam keadaan steril. Satu tetes media CYA steril diletakkan di atas kaca obyek yang berada di dalam cawan petri. Selanjutnya dilakukan inokulasi kapang pada media agar tepat di tengah dengan menggunakan jarum ose. Media yang telah diinokulasi kemudian ditutup degan cover glass. Akuades steril diteteskan ke dalan cawan petri tanpa membasahi gelas obyek yang ada di dalamnya. Selanjutnya kultur slide diinkubasi pada suhu 28 – 30 °C sekitar 2 - 4 hari. Bila spora telah muncul, cover glass diangkat dan diletakkan pada gelas obyek lain yang telah diberi cairan pewarna lactophenol cotton blue, kemudian struktur kapang diamati di bawah mikroskop.
42 Pembuatan starter kultur mikroba Satu ose kapang digoreskan di atas agar miring PDA dan diinkubasi pada suhu 30 °C selama 5 hari. Setelah 5 hari kapang dipanen dengan mengerok permukaan agar, melarutkannya dalam 10 mL air steril dan mengencerkannya dengan tepat untuk menghitung jumlah koloni dengan hemasitometer. Kultur khamir disiapkan seperti di atas tetapi diinkubasi pada suhu 30 °C selama 2 hari. Penghitungan jumlah khamir juga dengan menggunakan hemacytometer. Sementara itu, kultur BAL disiapkan dengan memindahkan setiap satu ose kultur BAL ke dalam median MRS broth dan menginkubasi selama 24 jam pada suhu 30 °C dengan menggunakan inkubator bergoyang. Setelah 24 jam, kultur disetrifugasi secara aseptik selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm pada suhu 4 °C dan pellet sel dilarutkan dalan buffer fosfat. Fermentasi dengan penambahan kultur starter Kultur starter lengkap dibuat dari semua kapang, khamir, dan BAL yang telah disiapkan seperti di atas. Kultur starter amilolitik dibuat dari Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum, and Candida famata. setiap kultur mikroba diinokulasi ke dalam wadah berisi grits jagung dan air sedemikian rupa sehingga konsentrasi awal masing-masing mikroba 106 CFU/mL. Fermentasi yang dipelajari terdiri dari: fermentasi spontan, yaitu merendam grits jagung dalam air sebagai kontrol (SF) dan fermentasi dengan penambahan kultur starter. Dua perlakuan pada fermentasi dengan penambahan kultur starter terdiri dari: (CC) fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap pada 0 jam / awal fermentasi, dan (AC) fermentasi CC dengan inokulasi tambahan kultur starter amilolitik pada 16 jam fermentasi. Pengamatan dilakukan pada tepung yang dihasilkan dari grits setelah 0, 36, 48, dan 72 jam fermentasi. Aktivitas Enzyme activity (EC.3.2.1.1) Campuran grits jagung dan air setelah 0, 4, 12, 24, 36, 48, dan 72 jam fermentasi, disentrifugasi pada 7000 rpm, 4C selama 10 menit dan larutan bebas padatan diambil untuk diukut aktivitas enzimnya. Aktivitas enzim ditentukan dengan mengukur pembentukan gula pereduksi oleh enzim yang menghidrolisis pati (EC.3.2.1.1). Nilai pH (AOAC 1995) Pengukuran pH dilakukan pada air perendam dan tepung jagung. Untuk sampel yang berupa air, sampel tersebut langsung diukur pHnya, sedangkan untuk sampel yang berupa tepung dilakukan preparasi terlebih dahulu. Preparasi sampel dilakukan dengan menambahkan 20 mL aquadest dalam 1 gram tepung, Kemudian dikocok dengan stirer dan kemudian ditambah lagi dengan 50 mL aquadest dan dihomogenkan. Sampel dibiarkan selama 1 jam kemudian diukur pH supernatan. Alat pHmeter sebelumnya telah dikalibrasi dengan 2 buah buffer yaitu buffer 4 dan buffer 7. Elektroda dibiarkan beberapa saat sampai pembacaan stabil. Angka pH yang terbaca diatur dengan menggunakan tombol kalibrasi sampai diperoleh angka pH yang sesuai dengan pH buffer. Nilai pH dibaca setelah
43 menunjukan angka yang stabil. Penentuan asam tertitrasi (AOAC,1995) 1. Standarisasi NaOH Sebanyak 0.2 g KHP (BM=204,228) ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL. Selanjutnya dilarutkan dengan 25 mL aquades dan diteteskan dengan 2 - 3 tetes indikator fenolftalin. Kemudian dititrasi dengan larutan NaOH hingga terbentuk warna merah muda yang bertahan selama 15 detik. Normalitas NaOH dihitung dengan rumus : Normalitas NaOH = 2. Persiapan sampel Total asam tertitrasi ditentukan dengan prinsip titrasi asam basa. Sebanyak 10 mL contoh dilarutkan menjadi 250 mL dalam labu takar dengan menggunakan akuades. Setelah itu diambil sebanyak 50 mL lalu ditambahkan 2-3 tetes indikator fenolftalin. Campuran kemudian dikocok dengan NaOH 0.1 N yang telah distandardisasi menggunakan asam oksalat. Titrasi dihentikan jika warna berubah menjadi merah muda.
%TAT = Fp = faktor pengenceran Kapasitas penyerapan air secara gravimetri (Kadan et al. 2003). Tabung sentrifuse diisi 2 g sampel tepung jagung yang ditimbang berat tabung dan sampel (a), kemudian ditambah 9 mL aquadest dan divortex. Selanjutnya didiamkan selama 30 menit kemudian disentrifuse 3000 rpm selama 15 menit dan didekatansi, kemudian ditimbang beratnya (b). Kapasitas penyerapan air = Kapasitas penyerapan minyak secara gravimetri (Kadan et al. 2003). Sebanyak 1 g sampel tepung jagung dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse dan ditimbang beratnya (a), dicampur dengan 9 mL minyak kemudian divortex selama 1 menit dan ditempatkan dalam waterbath 50 °C selama 15 menit. Kemudian divortex lagi selama 1 menit dan dipanaskan dalam waterbath 50 °C selama 15 menit. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi selama 10 menit pada 1650 x g, dilakukan dekatansi minyak dan ditimbang beratnya (b). Kapasitas penyerapan minyak =
44 Sifat adonan tepung jagung menggunakan Rapid Visco Analyzer TecMaster Newport Scientific Pty Limited Australia (RVA standar 2) Karakteristik pasting diukur dengan Rapid Visco Analyzer (RVA) tipe RVA-S4 dengan profil analisis standar 2. Sebanyak 3.5 gram sampel tepung (kadar air 14%) dicampur dengan 25 gram akuades di dalam wadah sampel. Wadah berisi sampel selama 1 menit pertama diputar pada kecepatan 160 RPM dan suhu 50 °C. Selanjutnya, sampai menit ke 8.5, suhu pemanasan dinaikkan dari 50 °C menjadi 95 °C. Suhu dijaga konstan pada 95 °C selama 5 menit (sampai menit ke 13.5). Setelah pemanasan konstan, suhu diturunkan menjadi 50 °C (pada menit ke 21) dan dipertahankan pada suhu 50 °C selama 2 menit (sampai menit ke 23). Dari kurva RVA akan diperoleh nilai dari suhu awal pasting (TP), suhu viskositas maksimum (T maks), viskositas puncak (VP), viskositas trough dan viskositas akhir (Gambar 2.5). Nilai viskositas breakdown (VB) dihitung sebagai selisih antara viskositas puncak dikurangi dengan viskositas trough. Viskositas setback (VS) adalah nilai dari viskositas akhir dikurangi dengan viskositas trough. Viskositas breakdown relatif (VB-R) adalah persen rasio dari viskositas breakdown dengan viskositas puncak sementara viskositas setback relatif (VS-R) merupakan persen rasio dari viskositas balik dengan viskositas panas. Kekuatan dan kelengketan gel menggunakan Texture Analyzer. Pengukuran kekuatan dan kelengketan gel dilakukan dengan menggunakan alat Stable Micro System (TAXT-2 Texture Analyzer). Pembuatan gel dilakukan dengan memodifikasi metode yang dikembangkan oleh Lee (2011). Gel dibuat dengan melarutkan 15 g tepung dalam 100 mL air destilasi kemudian dipanaskan selama 15 menit pada suhu 92C. Pasta yang masih panas dimasukkan ke dalam silinder plastik (diameter bagian dalam ±3.5 cm, tinggi 2.0 cm), ditutup dengan plastik dan disimpan selama 24 jam dalam lemari pendingin (suhu ± 4C). Gel ditekan dengan silinder berdiameter 1 cm dan panjang 2.5 cm. Kecepatan probe 1.00 mm/s; beban 100 g dan kedalaman 4 mm.
Analisa Data Pengaruh jenis starter dan waktu fermentasi terhadap terhadap sifat fisikokimia tepung jagung. Untuk mengetahui pengaruh jenis starter dan waktu fermentasi terhadap sifat fisikokimia tepung jagung yang dihasilkan data yang diperoleh dibuat ratarata dan dihitung standar deviasinya dan dilihat trend yang terjadi.
45 4
ISOLATION AND IDENTIFICATION OF MICROORGANISMS DURING SPONTANEOUS FERMENTATION OF MAIZE 1
[Isolasi dan Identifikasi Microorganisme pada Fermentasi Spontan Jagung] Rahmawati2,3), Ratih Dewanti-Hariyadi2,4)*, Purwiyatno Hariyadi2,4), Dedi Fardiaz2,4) and Nur Richana5) 2)
Department of Food Science and Technology, Bogor Agricultural University, Kampus IPB Darmaga, Bogor, Indonesia 3) Department of Food Technology, Sahid University, Jakarta, Indonesia 4) Southeast Asia Food Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, Bogor Agricultural University, Kampus IPB Darmaga, Bogor, Indonesia 5) Indonesian Center for Agricultural Post Harvest Research & Development (ICAPRD), Bogor, Indonesia Submitted 05 April 2013 / Accepted 12 June 2013
ABSTRACT Maize was traditionally the second most common staple food in Indonesia. Conversion to maize flour has been accomplished to improve its convenience. Traditionally, maize flour is produced by soaking the kernels in water followed by grinding. It was reported that final physicochemical characteristics of the maize flour were influenced by spontaneous fermentation which occurred during soaking. This research aimed to isolate and identify important microorganisms that grew during fermentation thus a standardized starter culture can be developed for a more controlled fermentation process. Soaking of maize grits was conducted in sterile water (grits:water=1:2, w/v) in a closed container at room temperature (±28ºC) for 72 hours. After 0, 4, 12, 24, 36, 48, 72 hours, water and maize grits were sampled and tested for the presence of mold, yeast, and lactic acid bacteria (LAB). Isolates obtained from the spontaneous fermentation were reinoculated into the appropriate media containing starch to observe their amylolytic activity. Individual isolate was then identified; mold by slide culture method, while yeast and LAB by biochemical rapid kits, i.e. API 20C AUX and API CH50, respectively. The number of each microorganism was plotted against time to obtain the growth curve of the microorganisms during spontaneous fermentation. The microorganisms were identified as Penicillium chrysogenum, Penicillium citrinum, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Rhizopus stolonifer, Rhizopus oryzae, Fusarium oxysporum, Acremonium strictum, Candida famata, Kodamaea ohmeri, Candida krusei/incospicua, Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, L. brevis1, L. plantarum1b, and L. paracasei ssp paracasei3. Four molds and one yeast were amylolytic while none of the LAB was capable of 1
Telah diterima untuk dipublikasi pada J.Teknol. dan Industri Pangan 24 (1): 38-44 tahun 2013.
46 starch hydrolysis. The growth curve suggested that the amylolitic mold and yeast grew to hydrolyze starch during the course of fermentation, while the LABs benefited from the hydrolyzed products and dominated the later stage of the fermentation. Keywords: amylolytic, LAB, maize, mold, yeast, spontaneous fermentation ABSTRAK Jagung merupakan makanan pokok kedua terpenting di Indonesia dan berbagai upaya telah dilakukan untuk memproduksi tepung jagung guna meningkatkan kemudahan penggunaannya. Secara tradisional, tepung jagung dibuat dengan merendam biji jagung dalam air, diikuti dengan proses penggilingan. Selama perendaman terjadi fermentasi spontan yang telah dilaporkan dapat mempengaruhi karakteristik fisiko kimia tepung jagung yang dihasilkannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan meng-identifikasi mikroba penting yang tumbuh selama fermentasi spontan jagung sehingga dapat dikembangkan kultur starter standar untuk proses fermentasi terkendali. Grits jagung direndam dalam air steril (grits : air = 1:2, b/v) dalam wadah tertutup pada suhu kamar (±28 ºC) selama 72 jam untuk mensimulasi proses fermentasi spontan. Setelah 0, 4, 12, 24, 36, 48, 72 jam, sampel air dan grits jagung diambil untuk dianalisis jenis kapang, kamir, dan bakteri asam laktat (BAL) yang tumbuh. Isolat yang diperoleh dari fermentasi spontan diinokulasi kembali pada media yang sama dengan menambahkan pati untuk mengamati aktivitas amilolitiknya. Selanjutnya, masing-masing isolat diidentifikasi: kapang dengan metode slide culture, sementara kamir dan BAL dengan perangkat cepat biokimiawi berturutturut API 20C AUX dan API CH50. Jumlah masing-masing mikroba diplotkan terhadap waktu untuk mendapatkan kurva pertumbuhan mikroba selama fermentasi spontan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mikroba yang tumbuh selama fermentasi spontan terdiri dari kapang Penicillium citrinum, P.chrysogenum, Aspergillus flavus, A. niger, Rhizopus stolonifer, R.oryzae, Fusarium oxysporum, Acremonium strictum, khamir Candida famata, Kodamaea ohmeri, Candida krusei/incospicua, serta bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, L. brevis1, L. plantarum 1b, dan L. paracasei ssp paracasei3. Empat kapang dan satu kamir bersifat amilolitik sementara tidak ada BAL yang bersifat amilolitik. Kurva pertumbuhan menunjukkan bahwa kapang dan kamir amilolitik tumbuh dan menghidrolisis pati selama fermentasi awal sementara BAL memanfaatkan produk hasil hidrolisis dan mendominasi tahap selanjutnya selama fermentasi. Kata kunci: amilolitik, BAL, jagung, kapang, kamir, fermentasi spontan
47 INTRODUCTION2 Maize used to be an important staple food in Indonesia but has became less popular because of the inconvenience in its preparation. Traditionally, maize flour is made by soaking of the maize kernel in water followed by draining, grinding and drying. The length of the spontaneous fermentation occurred during soaking was reported to have influence in the physicochemical characteristics of the maize flour (Aini et al. 2010). Several studies on spontaneous fermentation of maize have been reported, such as in ogi production (Nago et al. 1998) and pozol (ben Omar and Ampe 2000). During the fermentation, amylolytic, lipolytic, and proteolytic bacteria, molds as well as yeasts were isolated. Presence of various microorganisms during fermentation were thought to affect the physicochemical properties of white maize flour produced (Aini et al. 2010). The spontaneous fermentation decreased the protein, fat, crude fiber, ash, starch, reducing sugar, pH, bulk density, and fat absorption capacity of the flour produced, while increased the bulk angle, whiteness, and water absorption capacity. Aini et al. (2010) reported that fermentation for 24 hours reduced the gelatinization tem-perature from 82 to 76.2C. Meanwhile fermentation for 72 hours increased the gelatinization temperature of the maize flour to 85.2C. Fermentation for 48 hours increased the flour peak viscosity (648 BU), while 72 hours fermentation decreased its peak viscosity to 550 BU which was similar to the unfermented flour. Fermentation for 12 to 60 hours increased the heat stability of the maize flour. Meanwhile, fermentation for up to 36 hours reduced the retrogradation tendency of the maize flour and soaking 48 hours increased the gel strength as compared to unfermented flour. The above results suggest that it is possible to control the fermentation process to achieve desired physicochemical properties of the maize flour. At the present, maize fermentation commonly rely on the naturally occuring microorganisme in the raw materials. Therefore, a consistent quality of the product may be difficult to achieve. The use of known microorganisms originated from the spontaneous fermentation is expected to better control the quality of the product. The study aims to isolate and identify microorganisms naturally growing during spontaneous fermentation of maize. The microorganisms isolated can be further used to design a starter culture for a controlled fermentation to produce maize flour with desired physicochemical characteristics. MATERIALS AND METHODS Materials The maize used in this study was of Anoman type1 local variety obtained from the Cereal Crops Research Center, Maros, Sulawesi. Maize grits was obtained by grinding using a pin disc mill followed by sievering with a shaker-siever.
48 Spontaneous fermentation of maize grits Maize kernels were washed with sterile distilled water (kernel:water=1:4, w/v, 5 mins) and made into grits (+ 4 mm in diameter) by using pin disc mill. The resulting grits were then sieved by mesh siever 10 and the grits retained in the siever were collected. After that, grits were washed in sterile water (grits:water =1:4, w/v, 5 mins), floating and unused part were discharged, and drained for 30 mins. Fermentation of the maize grits was carried out by soaking the grits with sterile water (grits:water = 1:2 w/v) in a covered container at room temperature (±28C) for up to 72 hours (modified from Aini et al. 2010). Sampling was done at 0, 4, 12, 24, 36, 48, and 72 hours of fermentation. Enumeration of microorganisms (Nago et al. 1998) Samples of maize grits and water (10 g) were homogenized with 90 ml of sterile peptone physiological saline solution. One ml of the appropriate dilution were plated onto media (a) Plate Count Agar (PCA, Oxoid) for total plate count (TPC), (b) de Man Rogosa and Sharpe Agar (MRSA, Oxoid) added with 0.5% CaCO3 for LAB; (c) Yeast Extract Glucose Agar (YEGA, Oxoid) and 0,01% oxytetracyclin for yeasts and (d) Acidified Potato Dextrose Agar (APDA, Oxoid) for molds. Plates were incubated at 30C for 24 hours for TPC and LAB, 48 hours for yeast and 5 days for mold. Enumeration for each visually distinct colony was quantified at all sampling times. Microbial isolation and identification Any visually distinct bacterial, yeast or mold colony appearing on the plates was isolated and streaked onto the appropriate media until single colonies were obtained. The isolated bacterial colony was Gram stained, microscopically observed and tested for catalase activity. LAB isolates were further identified using API 50CH. Yeast isolates were identified using API 20C AUX rapid kits. Individual mold isolate was streaked onto media APDA and Czapek Yeast Extract Agar (CYA) and incubated for 7 x 24 hours at 5, 28 and 37°C. The color and diameter of the colonies were observed and recorded. The mold growth on the above media was made into slide culture preparates on CYA and observed under microscope and the conidiophore types, metulae, phialide, and conidia forms were compared to these described in Pitt and Hocking (2009) and Samson et al. (1981). The amylolytic activity of the isolates was observed on MRS containing-2% starch + 1% anyline blue for LAB; or YEGA containing-2% starch for molds and yeasts. Determination of pH (AOAC 1995) The pH of the media at various fermentation time was measured according to AOAC (1995). Enzyme activity (EC.3.2.1.1) The mixture of maize and water after 0, 4, 12, 24, 36, 48, and 72 hours of fermentation was centrifuged at 7000 rpm at 4C for 10 min and the substrate-free supernatant was used for estimation of enzyme activity. The amylase activity was
49 determined by measuring the reducing sugar formed by the enzymatic hydrolysis of starch (EC.3.2.1.1). RESULT AND DISCUSSION
10,0 5,8 5,9 9,0 8,0 7,0 6,0 5,0 4,3 4,3 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 0
9,1
8,8
8,4 4,9
4,4
9,1
8,7 7,0 6,0
4,9
4,4 5,0
4,3
4,0 3,0
pH Value
Total Microbes (log CFU/mL)
Growth of naturally occuring microorganisms during spontaneous fermentation During spontaneous fermentation for 72 hours, the total microorganisms grew from 4.3 to 8.7 log CFU/mL. In the first two hours the number of microorganisms remained constant suggesting an adaptation period (lag phase). This phase was followed by slow growth during 2-4 h and a rapid growth (log phase) during 4-12 hours of fermentation. After 12 hours the population reached stationary phase as shown by a plateau curve, during which a subset of the population underwent death phase, and concomitantly another group grew. Overall, there is an increase of microbial population of 4 log cycles throughout the 72 hours of fermentation process (Figure 4.1).
2,0 1,0 0,0 12
24 36 48 Fermentation Time (hours) TPC
60
72
pH
Figure 4.1. Total plate counts (TPC) of microorganisms and the pH changes during spontaneous fermentation of maize The pH value During the first four hours of the fermentation, the pH of medium was relatively stable (pH 5.8-5.9). However, the pH experienced a sharp decline during 4-12 hours of fermentation, reaching a pH of 4.4 at 12 hours. The pH was relatively stable afterwards. During lag and early log phase fermentation (0-4 hours), pH did not change much due to lack of microbial metabolisms (pH 5.85.9). The significant decrease in pH corresponds to the rapid growth of the microorganisms during fermentation (Figure 4.1).
50 Microbial isolation and identification Mold isolates During enumeration of the colonies, five visually distinct molds were observed. Initial identification suggested that molds growing during fermentation consisted of Penicillium sp, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Rhizopus sp, and Fusarium sp. Further identification based on slide culture suggested that the Penicillium consisted of 2 species i.e. amylolytic Penicillium citrinum and nonamylolytic Penicillium chrysogenum, the Rhizopus consisted of non-amylolytic Rhizopus stolonifer and R.oryzae, while the Fusarium can be differentiated into amylolytic Acremonium strictum and non-amylolytic Fusarium oxysporum. Since the species of the three genuses can not be differentiated visually, the number of these species was reported as the corresponding genus (Figure 4.2). Description of all molds based on slide culture observation is presented in Table 1. An example of such observation can be seen in Figure 4.3. Figure 4.2 shows that Penicillium and Fusarium were isolated throughout the fermentation process. For Penicillium and Fusarium, each had two peaks of growth. Very likely the first peaks were amylolytic Penicillium citrinum and Acremonium strictum while the following growth curves belongs to the nonamylolytic Penicillium chrysogenum and F.oxysporum. 8
Mold (log CFU/mL)
7
6 5 4 3 2
1 0 0
4
12
24
36
48
60
72
Fermentation Time (hours) Penicillium (chrysogenum & citrinum)
Aspergillus flavus
Aspergillus niger
Rhizopus (stolonifer & oryzae)
Fusarium (oxysporum & A. strictum)
Figure 4.2. Mold growth during spontaneous fermentation of maize Penicillium citrinum is mesophillic and grows at 5-40°C with optimum temperatures of 26-30°C. It grows at pH 2-10 with optimum pH between 5-7. This mold is also xerophillic and grows at aw 0.80-0.84. Penicillium citrinum can produce a toxin, citrinin, at 15-37°C with the optimum temperature of 30°C (Sweeney and Dobson 1998). Citrinin, also known as a yellow rice toxin (Pitt and
51 Hocking 2009) is found in rice (Kumar 2008). Penicillium chrysogenum is commonly found in maize. The mold is an endophyte which is widespread in nature and is often found living on food and indoor environment. This mold can produce antibiotics such as penicillin, chrysogine, xanthocillins, secalonic acids, sorrentanone, and PR-toxin (Meng 2011; van den Berg 2010). The main source of Acremonium strictum is maize, but it can be found in black bean seeds, raw cork, wheat, barley, rice, bananas with crown rot, fresh vegetables, peanuts, pecans, hazelnuts and walnuts, soybeans, frozen meat, salami and biltong. A. strictum and other Acremonium species encountered in foods are not known to produce mycotoxins (Pitt and Hocking 2009). Acremonium strictum as an endophytic fungi benefits from the host plant, i.e. nourishment, water, and physical protection against biotic and abiotic adversities. Meanwhile, the host plant may be protected by the endophyte that produce secondary metabolites, e.g. alkaloids, antibiotics, or toxins that may be toxic to pathogenic fungi (D’amico et al. 2008). Wicklow et al. (2005) reported that A. strictum, also known as Acremonium zeae is antagonistic to kernel rotting and mycotoxin producing fungi Aspergillus flavus and Fusarium verticillioides in cultural tests for antagonism, and interferes with A. flavus infection and aflatoxin contamination of preharvest maize kernels. Table 4.1. Description of molds growing during spontaneous fermentation maize grits Visual Observation of Colonies White hypae, blue-greenish spores
White hypae, blue-greenish yellow spores
White hypae, short, gray to black spores
Slide Culture Observation Colonies are yellow-gray with diameter of 27.7 mm after 7 days incubation at room temperature. When incubated at 37°C colonies are tosca green with 25-32 mm diameter. Conidiophores have three-stage branch pattern. Metulae somewhat cylindrical with an average number phialide 5. Phialide looks like a flask. Conidia roundish shaped and translucent. Conidiophores have one-stage branch pattern which grow from the surface of hyphae. At the top there are metulae with an average of 3, growing spread. Phialides looks like a flask with an average number 6. Conidia are spherical and translucent. Conidiophores are translucent. Vesicles are roundish in shape. Phialides grow directly on the vesicle. Conidia are spherical and conidial heads have radiate type. Conidiophores are translucent. Vesicles are roundish. Phialides grow on the metulae. Metulae are translucent. Conidia are spherical and conidial heads have radiate type.
Identification
Amylolytic Activity
Penicillium chrysogenum
Nonamylolytic
Penicillium citrinum
Amylolytic
Aspergillus flavus
Amylolytic
Aspergillus niger
Amylolytic
52 Visual Observation of Colonies White hypae, long, grays and black spore
White hypae, pink and orange
Slide Culture Observation Sporangiophore are tall, mostly grown on their own. Sporangium are rounded, rounded-oval columella, and elliptical sporangiospore. There are branched rhizoid and no clamydospora. There are long stolon that connected sporangiophore. Sporangiophore mostly grown on their own. The sporangiospore grows directly from the stolon without rhizoid. Sporangium are roundish shape. Clamydospora are oval and columella are rounded shape. Mycelium grow sparsely and pink colored after 24 hours incubation at room temperature. After 48 hours incubation, mycelium are purple. Conidia have septat. Phialids are oval-shaped. Conidiophores have a short branch and there are chlamydospora. Colonies are orange with a diameter of 1317 mm after 7 days incubation at 37°C. Conidiophores are simple and not branched. Phialides are slender and unbranched which grow at slightly fasciculate aerial hyphae. Slimy head are rounded-ellips and translucent which contain conidia.
Identification
Amylolytic Activity
Rhizopus stolonifer.
Nonamylolytic
Rhizopus oryzae
Nonamylolytic
Fusarium oxysporum
Nonamylolytic
Acremonium strictum
Amylolytic
Fusarium oxysporum is known to produce trichothecenes which have been linked to alimentary toxic aleukia, fusario-toxicoses and are cytotoxic to mammalian cells. These toxins are produced at the optimal growth conditions for Fusarium (Sweeney and Dobson 1998). The average concentration of trichotheces found in maize is 226.2 μg/kg and ranging from 9.6-745.1 μg/kg (Adejumo et al. 2007). Both Aspergilli were amylolytic but Aspergillus niger seemed to grow throughout the fermentation process while Aspergillus flavus grew well in the first 24 hours and decline afterward. This observation suggested that Aspergillus flavus was not a good competitor and Aspergillus niger as well as other microorganisms may have over grown Aspergillus flavus. This phenomenon is good with regard to food safety because inhibition of Aspergillus flavus is expected to decrease the aflatoxin production during fermentation. Purwijantiningsih et al. (2005) found that Rhizopus oligosporus dan Candida can inhibit the growth of Aspergillus flavus (37.21 %) and aflatoxin production (99.96 %). Recent study in East Java, Indonesia, showed that aflatoxins were found in 30 % of maize at farmer level at the concentrations of more than 20 ppb and 10 % of maize contains aflatoxin more than 100 ppb. At the trader level, the frequency of finding the toxin in maize was even higher, i.e. 45 % of maize contain aflatoxin more than 20 ppb with 18% contain more than 100 ppb of aflatoxins (Rahayu,
53 2008). Unfortunately, Aspergillus niger is also known to produce other mycotoxin, i.e. ochratoxin A (OTA) at 15 – 40 °C which could lead to nephrotoxin. OTA’s production is low at aw 0.92 and temperature 25 - 40 °C (Alborch et al. 2011).
Figure 4.3. An example of microscopic observation of mold slide culture identified as Acremonium strictum According to Sweeney and Dobson (1998), Fusarium, Aspergillus and Penicillium are commonly found as contaminants in cereals and legumes during drying and storage. Kaaya and Kyamuhangire (2006) also isolated Aspergillus, Fusarium, Penicillium, and Rhizopus in dried and stored maize. Amusa et al. (2005) also reported that during spontaneous fermentation of maize and soybeans for the making of ogi, Aspergillus niger, Aspergillus flavus, Fusarium oxysporum, and Rhizopus stolonifer were found. Pitt and Hocking (2009) stated that Fusarium sp, and Penicillium sp were commonly found in preharvest maize, while Aspergillus flavus can be found in preharvest maize and during storage. Maize is a good substrate for mold growth because it contains high protein and carbohydrate needed for mold growth (Alborch et al. 2011). Generally maize has moisture contents of 10.4 – 15.1 % at 12 – 40 °C. When stored at ambient temperature, maize will support Aspergillus flavus and Aspergillus niger that grow well at 32 – 33 C and 25 – 40 C, Penicillium sp at 26 – 30 °C, Fusarium sp at 24-26°C (Sweeney and Dobson 1998). Meanwhile Rhizopus stolonifer and Rhizopus oryzae’s optimum growth are at 25 C (Ramos-Gracia et al. 2012) and 37 C (Pitt and Hocking 2009), respectively. Both Rhizopus were non amylolytic and grew in low number during fermentation. Amusa et al. (2005) reported the presence of Rhizopus sp in white maize (10.5 %) and yellow maize (9.5 %). R oryzae has cellulase, xylanase, pectinase, tannase, protease, phytase and lypase activities (Ghosh and Ray 2011) which probably explains the low number of the mold when competing with
54 various amylolytic mold presence. Rhizopus stolonifer is not pathogenic (Pitt and Hocking 2009), but causes rot in fruits (Hahn et al. 2004). Growth of amylolytic Fusarium, Aspergilli and Penicillium resulted in carbohydrate hydolysis to produce simpler sugar. This will trigger growth of the successive molds of Penicillium chrysogenum, Fusarium oxysporum, and Rhizopus.This overall process is expected to influence the quality of the maize, especially with regard to its digestibility. Yeast isolates Isolation of yeast in YEGA resulted in four visually distinct colonies (Table 4.2). However, biochemical identification suggested that the four isolates belong to three species, i.e. Candida famata, Kodamaea ohmeri, and Candida krusei or C. incospicua (Figure 4.4). Growth of yeast and LABs are commonly observed in naturally fermented maize, such as those during the production of ogi, kenkey, mawe, and mahewu, traditional foods of of West Africa. These microorganisms are reported to play important role in aroma and flavor production as well as the stability of the final products. LABs and yeast affect the taste and structure of the dough in kenkey making (Omemu et al. 2007). Table 4.2. Description of yeasts isolated during spontaneous fermentation of maize grits Amylolytic % Morphology Characteristics API Identification Activity ID Round-shaped, white, mucous, Amylolytic Candida famata 92.8 surface is dull Round-shaped, serrated at the NonKodamaea ohmeri 94.7 edges, cream, mucous, surface is amylolytic dull Round-shape with growing spread, NonCandida 98.9 creamy-white, mucous, surface is amylolytic krusei/incospicua dull Candida krusei is commonly isolated during maize fermentation. Nago et al. (1998) reported that during the fermentation of ogi, yeasts (7 log CFU/g) consisting of Candida krusei and Candida humicola (41%) as well as Geotricum spp. (26 %) were found. Omemu et al. (2007) isolated Candida krusei, Saccharomyces cerevisiae, Candida tropicalis, Geotrichum candidum, Geotrichum fermentans, Rhodotorula graminis on maize fermentation for making ogi. Candida krusei can live in the presence of lactic acid because it has a high tolerance to lactic acid (Halm et al. 2004). In addition Candida krusei can stimulate the growth of Lactobacillus plantarum and found in fermented maize for ogi production that has lipase and esterase activity that may contribute the final flavor of food (Omemu et al. 2007). In this study of Candida krusei grew well and the number was higher than the other two yeasts.
55
Yeast (log CFU/mL)
8,0 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 0
12
24 36 48 Fermentation Time (Hours)
Candida famata
60
72
Kodamaea ohmeri
Candida krusei/incospicua
Figure 4.4. Yeast growth during spontaneous fermentation of maize Candida famata is usually found in plant and soil (Chaturvedi 2003), dairy product especially cheese (Jacques and Casaregola, 2008) and Moroccan sourdough (Mohamed et al. 2007). Candida famata isolated from Moroccan sourdough shows high glucoamylase activity and produces biomass. This amylolytic yeast however did not grow as well as Candida krusei. It has been reported that the yeast also exhibited lipolytic and proteolytic activities (Wojtatowicz et al. 2001). Kodamaea ohmeri, previously known as Pichia ohmeri or Yamadazyma ohmeri, is a yeast within the family of Saccharomycetaceae. K. ohmeri is the teleomorphic form of Candida guilliermondii and is widely used for the fermentation of fruit, pickles, and rinds (Yang et al. 2009). Lactic acid bacteria Identification of LAB isolates using API 50CH rapid kit suggest that the the isolates were Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, Lactobacillus plantarum1b, and Lactobacillus paracasei ssp paracasei3. All LABs were not capable of degradating starch. Description of the characteristics of LAB isolated during spontaneous fermentation of maize is presented in Table 4.3 and Figure 4.5. Lactic acid bacteria are the predominant bacteria found in the fermentation of maize products. Nago et al. (1998) reported that during the fermentation of ogi, maize flour is immersed in water for 1 - 3 days at 25 – 35 °C and lactic acid bacteria consisting of Lactobacillus fermentum cellobiosus, Lactobacillus brevis and Lactobacillus fermentum spp grow up to 9 log CFU/g. Other researcher isolated Lactobacillus plantarum, Saccaharomyces cerevisiae, Candida crusei, Candida tropicalis, Geotrichum candidum, Geotrichum fermentans, and Rhodotorula graminis during ogi fermentatin (Omemu et al. 2007). LAB is also found in Pozol and reach 7 - 8 logs CFU/g during the first day
56 of fermentation, 9 logs CFU/g the second day and then decline to 8 logs CFU/g on the third day. During fermentation of ogi, Streptococus sp (25 – 75 %) and Lactobacillus fermentum were isolated in the first 2 days and followed by Lactobacillus plantarum, Lactobacillus casei, Lactobacillus delbruekii (ben Omar and Ampe 2000 ). Table 4.3. Identification and characteristics of LABs isolated during spontaneous maize fermentation Morphological Characteristics API Identification % ID Round-shaped, creamy white, mucous, Lactobacillus 99.9 embossed on the surface of the media, shiny plantarum1a Oval-shaped, white, mucous Pediococcus 96.9 pentosaceus Round shaped, white mucus, growing in the Lactobacillus brevis1 73.4 center of the media Half-round shaped, white, mucous Lactobacillus 54.2 plantarum1b A small oval-shaped, white, mucous Lactobacillus paracasei 99.3 ssp paracasei3
LAB (log CFU/mL)
This study shows that all LABs are non amylolytic, however they grew well throughout the fermentation process and maintained viability until 72 hours of fermentation. Presence of LABs may also contribute to the decrease in Aspergillus flavus. Edema and Sanni (2008) reported that LABs (Lactobacillus plantarum, Lactobacillus brevis, Lactobacillus fermentum, Lactobacillus acidophilus) and yeasts (Pediococcus acidilactici, Leuconostoc mesenteroides, Leuconostoc dextranicum and Saccharomyces cerevisiae) isolated from spontaneously fermented maize can inhibit the growth of Aspergillus flavus. 9,0 8,0 7,0 6,0 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 0
12
24 36 48 Fermentation Time (Hours)
L. plantarum1a
P. pentosaceus
L. brevis1
L. plantarum1b
60
72
L. paracasei ssp paracasei3
Figure 4.5. Growth of LABs (log CFU/mL) during spontaneous fermentation of maize
57 Amylase activity The amylase activity observed during the spontaneous fermentation of maize grits shows similar pattern with the growth of amylolytic microorganisms. The amylolytic molds and yeast grew at the beginning of fermentation and hydrolyzed starch into simple sugars, which was used by the non-amylolytic organisms. The highest amylase activity was found at 12 hours fermentation (1.7 unit/mL.min), and the activity declined afterward (0.7 unit/mL.min) at 72 hours fermentation (Figure 4.6). The dominance of the lactic acid generated by LAB possibly led to the decrease in mold growth, thus decrease the amylolytic activity. 2,0 1,7
Unit Actvities/mL.min
1,8 1,5
1,6 1,4 1,2
1,1
1,1
1,2
1,1
1,0 0,7
0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 0
12
24 36 48 Fermentation Time (Hours)
60
72
Figure 4.6. Changes in amylase activity during spontaneous fermentation of maize
CONCLUSION Eight species of molds, three species of yeasts, and five species of LAB grew sequentially during spontaneous fermen-tation of maize grits. Four of the eight mold isolates and one of three yeast isolates were amylolytic, i.e. Penicillium citrinum, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Acremonium strictum, and Candida famata. Non amylolytic molds and yeasts that grew during the spontaneous fermentation of maize were Penicillium chrysogenum, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, Fusarium oxysporum, Kodamaea ohmeri and Candida krusei or C. incospicua. Five non amylolytic species of LAB were Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, Lactobacillus plantarum1b, Lactobacillus paracasei ssp paracasei3. Based on the growth curves, it was very likely that amylolytic mold such as Penicillium citrinum, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Acremonium strictum, and Candida famata grew and hydrolized starch during the course of
58 fermentation. Non amylolytic microorganisms grew later on the fermentation benefiting from the hydrolyzed products. The amylolytic activity in the early fermentation was high and decreases with longer fermentation time. ACKNOWLEDGEMENT The authors would like to acknowledge the Indonesian Center for Agricultural Post Harvest Research & Development (ICAPRD), Bogor, Indonesia for funding of this research through the Agricultural Research Partnership program in 2011. REFERENCES Adejumo TO, Hettwer U, Karlovsky P. 2007. Occurrence of Fusarium species and trichothecenes in Nigerian maize. Int J Food Microbiol 116: 350–357. DOI: 10.1016/j.ijfoodmicro. 2007.02.009. Aini N, Hariyadi P, Muchtadi TR, Andarwulan N. 2010. Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan sifat gelatinisasi tepung jagung putih yang dipengaruhi ukuran partikel. J Teknol dan Industri Pangan 21: 18-24. Alborch L, Bragulat MR, Abarca ML, Cabañes FJ. 2011. Effect of water activity, temperature and incubation time on growth and ochratoxin A production by Aspergillus niger and Aspergillus carbonarius on maize kernels. Int J Food Microbiol 147: 53–57. DOI: 10.1016/j.ijfoodmicro.2011.03. 005. Amusa NA, Ashya OA, Oladapo MO. 2005. Microbiological quality of ogi and soy-ogi (a Nigerian fermented cereal porridge) widely consumed and notable weaning food in southern Nigeria. J Food Agric Environ 3: 81-83. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of the Association Analytical Chemistry Inc, Washington D.C. ben Omar N, Ampe F. 2000. Microbial community dynamics during production of the Mexican fermented maize dough pozol. Appl Environ Microb 66: 36643673. Chaturvedi V. 2003. Mycology Proficiency Testing Program January 2003. Wadsworth Center New York State Department of Health. D’amico M, Frisullo S, Cirulli M. 2008. Endophytic fungi occurring in fennel, lettuce, chicory, and celery-commercial crops in southern Italy. Mycol Res 112: 100-107. DOI: 10.1016/j.mycres.2007.11.007. Edema MO, Sanni AI. 2008. Functional properties of selected starter cultures for sour maize bread. Food Microbiol 25: 616–625. DOI: 10.1016/j.fm.2007.12.006. Ghosh B, Ray RR. 2011. Current commercial perspective of Rhizopus oryzae: A Review. J Appl Sci 11: 2470-2486. DOI: 10.3923/jas.2011.2470.2486. Hahn F, Lopez I, Hernandez G. 2004. Spectral detection and neural network Discrimination of Rhizopus stolonifer spores on red tomatoes. Biosyst Eng 89: 93–99 DOI: 10.1016/j.biosystemseng.2004.02.012. Halm M, Hornbæk T, Arneborg N, Sefa-Dedeh S, Jespersen L. 2004. Lactic acid
59 tolerance determined by measurement of intracellular pH of single cells of Candida krusei and Saccharomyces cerevisiae isolated from fermented maize dough. Int J Food Microbiol 94: 97–103. DOI: 10.1016/j. ijfoodmicro.2003.12.019. Jacques N, Casaregola S. 2008. Safety assessment of dairy microorganisms: The hemiascomycetous yeasts. Int J Food Microbiol 126: 321–326. DOI: 10.1016/j.ijfoodmicro.2007. 08.020. Kaaya AN, Kyamuhangire W. 2006. The effect of storage time and agroecological zone on mould incidence and aflatoxin contamination of maize from traders in Uganda. Int J Food Microbiol 110: 217–223. DOI: 10.1016/j.ijfoodmicro.2006. 04.004. Kumar M, Dwivedi P, Sharma AK, Telang AG, Patil RD, Singh ND. 2008. Immunotoxicity of ochratoxin A and citrinin in New Zealand white rabbits. World Rabbit Sci 16: 7-12. DOI: 10.4995/wrs.2008.641. Meng L, Sun P, Tang H, Li L, Draeger S, Schulz B, Krohn K, Hussain H, Zhang W, Yi Y. 2011. Endophytic fungus Penicillium chrysogenum, a new source of hypocrellins. Biochem Syst Ecol 39: 163–165. DOI: 10.1016/j.bse.2011. 02.003. Mohamed L, Zakaria M, Ali A, Senhaji W, Mohamed O, Mohamed E, Berny EL Hassan, Mohamed J. 2007. Optimization of growth and extracellular glucoamylase production by Candida famata isolate. Afr J Biotechnol 6: 2590-2595. Nago MC, Hounhouigan JD, Akissoe N, Zanou E, Mestres C. 1998. Characterization of the Beninese traditional Ogi, a fermented maize slurry: Phisicochemical and Microbiological aspects. Int J Food Sci Tech 33: 307315. DOI: 10.1046/j.1365-2621.1998.00169.x. Omemu AM, Oyewole OB, Bankole MO. 2007. Significance of yeasts in the fermentation of maize for ogi production. Food Microbiol 24: 571-576. DOI: 10.1016/j.fm.2007.01.006. Pitt JI, Hocking AD. 2009. Fungi and Food Spoilage. Springer. Purwijantiningsih E, Dewanti-Hariyadi R, Nurwitri CC, and Istiana. 2005. Penghambatan produksi aflatoksin dari Aspergillus flavus oleh kapang dan kamir yang diisolasi dari ragi tempe. Biota 10: 146-153. Rahayu ES. 2008. Mengantisipasi kontaminasi mikotoksin. Food Rev Indonesia 3: 28-30. Ramos-García M, Bosquez-Molina E, Hernández-Romano J, Zavala-Padilla G, Terrés-Rojas E, Alia-Tejacal I, Barrera-Necha L, Hernández-López M, Bautista-Baños S. 2012. Use of chitosan-based edible coatings in combination with other natural compounds, to control Rhizopus stolonifer and Escherichia coli DH5a in fresh tomatoes. Crop Prot 38: 1-6. DOI: 10.1016/j.cropro.2012.02.016. Samson RA, Hoekstra ES, van Oorschot CAN. 1981. Introduction to Food-Borne Fungi. Institute of The Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences. Sandhu KS, Singh N, Malhi NS. 2007. Some properties of corn grains and their flours I: Physicochemical, functional and chapati-making properties of flours. Food Chemistry 101 (2007) 938–946.
60 Sweeney MJ, Dobson ADW. 1998. Mycotoxin production by Aspergillus, Fusarium and Penicillium Species. Int J Food Microbiol 43: 141–158. van den Berg MA, 2010. Functional characterisation of penicillin production strains. Fungal Biology reviews 24: 73-78. DOI: 10.1016/j.fbr.2010.03.006. Wicklow DT, Roth S, Deyrup ST, Gloer JB. 2005. A protective endophyte of maize: Acremonium zeae antibiotics inhibitory to Aspergillus flavus and Fusarium verticillioides. Mycol Res 109: 610–618. DOI: 10.1017/S0953756205002820. Wojtatowicz M, Chrzanowska J, Juszczyk P, Skiba A, Gdula A. 2001. Identification and biochemical characteristics of yeast microflora of Rokpol cheese. Int J Food Microbiol 69: 135–140. DOI: 10.1016/S01681605(01)00582-7. Yang BH, Peng MY, Hou SJ, Sun JR, Lee SY, Lu JJ. 2009. Fluconazole-resistant Kodamaea ohmeri fungemia associated with cellulitis: Case report and review of the literature. Int J Infect Dis 13: e493-e497. DOI: 10.1016/j.ijid.2009.02.003.
61 5 JUMLAH MIKROBA DAN KOMPOSISI KIMIA TEPUNG JAGUNG PUTIH VARIETAS ANOMAN 1 DAN PULUT HARAPAN HASIL FERMENTASI DENGAN PENAMBAHAN KULTUR STARTER
ABSTRAK Jagung putih lokal sedang dikembangkan di Indonesia khususnya sebagai bahan baku pangan. Pemanfaatan jagung dalam bentuk tepung lebih mudah untuk diaplikasikan sehingga banyak dilakukan. Kebanyakan masyarakat membuat tepung jagung dengan merendam, meniriskan, mengeringkan dan menggiling grits jagung hasil perendaman. Selama perendaman terjadi fermentasi spontan yang memengaruhi karakteristik fisikokimia tepung yang dihasilkan. Proses fermentasi spontan umumnya mengandalkan mikroba yang ada pada bahan baku dan lingkungan sekitar sehingga konsistensi kualitas produk sulit diperoleh. Untuk mendapatkan tepung dengan sifat yang konsisten, maka perlu dilakukan fermentasi yang lebih terkendali misalnya dengan penambahan kultur starter yang komposisi mikrobanya diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari jumlah mikroba selama fermentasi terkendali grits jagung dengan penambahan kultur starter dan komposisi kimia tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan yang dihasilkan. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ada 16 jenis mikroba teridentifikasi selama proses fermentasi grits jagung secara spontan (Rahmawati et al. 2013). Lima belas dari enam belas mikroba digunakan sebagai kultur starter pada penelitian ini. Perlakuan yang diberikan, yaitu: (1) Kontrol (SF)-tanpa penambahan kultur starter; (2) Penambahan kultur starter pada 0 jam fermentasi (CC); dan (3) Penambahan kultur starter pada 0 jam fermentasi dan kultur starter amilolitik pada 16 jam fermentasi (AC). Jumlah mikroba diamati pada 0, 36, 48, dan 72 jam dan jagung yang dihasilkan dibuat menjadi tepung dan dievaluasi sifat kimiawinya. Selama fermentasi jumlah kapang cenderung meningkat sampai 36 jam fermentasi dan selanjutnya menurun hingga 72 jam fermentasi baik pada grits jagung putih varietas Anoman 1 maupun Pulut Harapan. Sementara itu jumlah khamir dan BAL cenderung meningkat untuk semua perlakuan baik pada grits jagung putih varietas Anoman 1 maupun Pulut Harapan. Penambahan kultur starter (perlakuan CC dan AC) dapat meningkatkan jumlah kapang dan khamir pada awal hingga akhir 72 jam fermentasi dibandingkan perlakuan SF, namun tampaknya penambahan kultur starter hanya meningkatkan jumlah BAL di awal fermentasi dan tidak memengaruhi jumlah BAL di akhir fermentasi. Selama fermentasi BAL menghasilkan asam-asam organik yang dapat menurunkan nilai pH air perendam dan tepung yang dihasilkan, sehingga meningkatkan total asam. Selain itu aktivitas enzim-enzim selama 72 jam fermentasi menyebabkan penguraian komponen-komponen tepung sehingga cenderung menurunkan kadar protein, lemak, abu dan serat kasar tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan. Aktivitas enzim selama fermentasi
62 dapat menurunkan kandungan amilosa pada tepung Anoman 1, namun perlakuan 36CC dan 48CC cenderung meningkatkan kandungan amilosa pada tepung jagung varietas Pulut Harapan. PENDAHULUAN Jagung merupakan sumber karbohidrat penting setelah beras di Indonesia. Pemanfaatan jagung khususnya jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut, saat ini sedang dikembangkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian sebagai varietas unggulan nasional karena mengandung pati yang tinggi, warna putih yang menarik, dan produktivitasnya lebih tinggi daripada jagung kuning serta lebih tahan terhadap kekeringan (Qanytah & Prastuti 2008). Jagung putih yang menjadi unggulan nasional antara lain varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan. Jagung putih varietas Anoman 1 tergolong jagung tinggi amilosa (29.92 %), sedangkan varietas Pulut termasuk jagung tipe jagung ketan (waxy corn) dengan kandungan amilopektin 95.75 % dan amilosa 4.25 % (Suarni 2005). Perbedaan kandungan amilosa dan amilopektin diduga memengaruhi sifat fisikokimia tepung yang dihasilkan. Secara tradisional, tepung jagung dibuat dengan merendam kernel jagung dalam air diikuti dengan proses penirisan, pengeringan dan penggilingan. Selama proses perendaman terjadi fermentasi spontan. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya berbagai mikroba dalam jumlah cukup tinggi. Nago et al. (1998) menemukan BAL sebanyak 109 koloni / g yang terdiri dari Lactobacillus fermentum cellobiosus, L. brevis, L. fermentum spp., L. curvatus, L. buchneri serta khamir sebanyak 107 koloni/g yang terdiri dari Candida humicola, C. krusei, Geotricum spp. pada air perendam tepung jagung pada pembuatan ogi. Penambahan L. plantarum pada 48 jam perendaman dan 48 jam pengasaman biji jagung ditemukan Saccaharomyces cerevisiae, Candida krusei, C. tropicalis, Geotrichum candidum, G. fermentans, dan Rhodotorula graminis. Khamir-khamir ini ada yang bersifat proteolitik, lipolitik, dan amilolitik (Omemu et al. 2007). Penambahan 6 strain Lactobacillus fermentum (107 dan 108 koloni/mL) / 5 kg biji jagung selama 48 jam menyebabkan penurunan pH adonan tepung (Halm et al. 1996). Perendaman umbi singkong selama 5 hari menyebabkan peningkatan kadar serat kasar, kadar air, kadar abu, dan kadar protein kasar, serta menurunkan kandungan HCN dan kadar lemak kasar (Irtwange dan Achimba 2009). Aini et al (2010) menunjukkan bahwa tepung jagung yang difermentasi spontan selama 72 jam mempunyai kadar protein, lemak, serat kasar, abu, pati, gula reduksi, pH lebih rendah dibandingkan tanpa fermentasi. Pada penelitian ini dilakukan fermentasi dengan penambahan kultur starter yang terdiri dari tiga isolat kapang dan satu isolat khamir bersifat amilolitik, yaitu Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum, dan Candida famata, serta kapang, khamir dan BAL non-amilolitik yang terdiri dari Penicillium chrysogenum, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, Fusarium oxysporum, Kodamaea ohmeri dan Candida krusei/incospicua, Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, Lactobacillus plantarum1b, Lactobacillus paracasei ssp paracasei3. Mikroba ini diperoleh dari hasil isolasi grits jagung selama fermentasi spontan (Rahmawati et al 2013).
63 Jumlah mikroba yang ditambahkan masing-masing sebanyak 106 koloni/mL. Mikroba hasil isolasi pada fermentasi spontan yang digunakan sebagai kultur starter pada penelitian ini, selain bersifat amilolitik, tetapi ada juga yang mempunyai sifat proteolitik, lipolitik, selulolitik, hemiselulotik, xilanolitik, dan pektinolitik (Ghosh and Ray (2011); Tang et al. (2012); Heerd et al. (2012); Panagiotou et al. (2013); Li et al. (2008); Bussamara et al. (2010); Mohammed (2007); Wojtatowicz et al. (2001); Omemu et al. (2007)). Aktivitas mikroba-mikroba ini diduga memengaruhi karakteristik tepung yang dihasilkan. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mempelajari perubahan mikroba selama fermentasi grits jagung dengan penambahan kultur starter dan komposisi kimia tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan yang dihasilkan.
METODOLOGI Bahan dan Alat Jagung yang digunakan adalah jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, Sulawesi. Biji jagung varietas Anoman 1 mengandung amilosa tinggi (29.92 %), sedangkan biji jagung varietas Pulut lokal mengandung amilosa rendah (4.25 %) (Suarni 2005). Mikroba yang digunakan sebagai kultur starter terdiri dari mikroba amilolitik yaitu Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum, dan Candida famata serta mikroba non amilolitik yaitu Penicillium chrysogenum, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, Fusarium oxysporum, Kodamaea ohmeri dan Candida krusei/incospicua, Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, Lactobacillus paracasei ssp paracasei3. Mikroorganisme yang digunakan merupakan hasil isolasi dan identifikasi dari fermentasi spontan grits jagung (Rahmawati et al. 2013). Alat yang digunakan adalah seperangkat alat pembuatan tepung, seperti pin disc mill dan ayakan bergoyang 60, 80, dan 100 mesh, serta alat-alat analisa mikrobiologik dan kimia seperti meliputi cawan petri, colony counter, fermentor, oven, pHmeter, spektrofotometer, dan lain-lain. Metode Proses fermentasi dengan penambahan kultur starter Kernel jagung dicuci dengan air minum dalam kemasan (AMDK) dengan perbandingan kernel jagung : air = 1 : 4) dan dibuat menjadi grits (≥4 mm) dengan menggunakan pin disc mill. Grits jagung kemudian dicuci dengan AMDK (grits jagung : air = 1 : 4) dan ditiriskan selama 30 menit. Fermentasi grits jagung dilakukan dengan merendam grits jagung dalam AMDK (grits : air = 1 : 2) dalam wadah tertutup hingga 72 jam pada suhu ruang (±28 °C). Penambahan mikroba sebanyak 106 CFU/mL per mikroba dilakukan sesuai perlakuan. Pengambilan sampel dilakukan pada 0, 36, 48, dan 72 jam fermentasi. Selanjutnya grits jagung ditiriskan, dikeringkan, dan digiling menjadi tepung.
64 Pembuatan kultur starter Satu ose kapang digoreskan di atas agar miring PDA dan diinkubasi pada suhu 30 °C selama 5 hari. Setelah 5 hari kapang dipanen dengan mengerok permukaan agar, melarutkannya dalam 10 mL air steril dan mengencerkannya dengan tepat untuk menghitung jumlah koloni dengan hemasitometer. Kultur khamir disiapkan seperti di atas tetapi diinkubasi pada suhu 30 °C selama 2 hari. Penghitungan jumlah khamir juga dengan menggunakan hemasitometer. Sementara itu, kultur BAL disiapkan dengan memindahkan setiap satu ose kultur BAL ke dalam median MRS broth dan menginkubasi selama 24 jam pada suhu 30 °C dengan menggunakan inkubator bergoyang. Setelah 24 jam, kultur disetrifugasi secara aseptik selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm pada suhu 4 °C dan pellet sel dilarutkan dalan buffer fosfat. Perlakuan fermentasi dengan penambahan kultur starter Kultur starter lengkap dibuat dari semua kapang, khamir, dan BAL yang telah disiapkan seperti di atas. Kultur starter amilolitik dibuat dari Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum, and Candida famata. setiap kultur mikroba diinokulasi ke dalam wadah berisi grits jagung dan air sedemikian rupa sehingga konsentrasi awal masing-masing mikroba 106 CFU/mL. Fermentasi yang dipelajari terdiri dari: fermentasi spontan (SF), yaitu merendam grits jagung dalam air sebagai kontrol dan fermentasi dengan penambahan kultur starter. Dua perlakuan pada fermentasi dengan penambahan kultur starter terdiri dari: (CC) fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap pada 0 jam atau pada awal fermentasi, dan (AC), yaitu fermentasi CC dengan inokulasi tambahan kultur starter amilolitik setelah 16 jam fermentasi. Pengamatan dilakukan pada tepung yang dihasilkan dari grits setelah 0, 36, 48, dan 72 jam fermentasi. Penghitungan jumlah mikroba (Nago et al 1998) Sebanyak 10 gram campuran grits jagung dan air perendam dihomogenisasi dengan 90 mL larutan garam fisiologis pepton steril (5 g pepton, 8.5 g NaCl, dilarutkan dengan 1000 mL air destilasi, pH 7.0+0.2). Satu mL campuran dipupukkan pada media (a) MRSA+ 0.5% CaCO3 untuk BAL; dan (b) APDA untuk kapang dan khamir. Cawan diinkubasi pada suhu 300C selama 24 jam untuk BAL, 48 jam untuk khamir, dan 5 hari untuk kapang. Enumerasi dilakukan pada selang waktu 0, 36, 48, dan 72 jam. Pengukuran pH (AOAC 1995) Pengukuran pH dilakukan pada air perendam dan tepung jagung. Untuk sampel yang berupa air, sampel tersebut langsung diukur pHnya, sedangkan untuk sampel yang berupa tepung dilakukan preparasi terlebih dahulu. Preparasi sampel dilakukan dengan menambahkan 20 mL aquadest ke dalam 1 g tepung, mengocok dengan stirer dan kemudian menambah lagi 50 mL aquadest dan menghomogenkan sampai 100 mL. Sampel dibiarkan selama 1 jam kemudian diukur pH supernatan. Alat pH meter sebelumnya telah dikalibrasi dengan 2 buah
65 buffer yaitu buffer 4 dan buffer 7. Analisis proksimat tepung Kadar air dengan metode pengeringan, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein metode Mikro-Kjeldahl dianalisa berdasarkan AOAC (2006), sedangkan kadar serat kasar berdasarkan AOAC (1995). Kadar amilosa secara spektrofotometri (Juliano 1971) Sampel sebanyak 100 mg dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, kemudian ditambahkan 1 mL etanol 95% dan 9 mL NaOH 1 N. Larutan dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar atau dipanaskan dalam penangas air bersuhu 1000C selama 10 menit dan didinginkan selama 1 jam. Larutan kemudian diencerkan dengan air suling menjadi 100 mL, dipipet sebanyak 5 mL, dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL yang berisi 60 mL air. Selanjutnya ditambah 1 mL asam asetat 1N dan 2 mL I 2 2% dan diencerkan sampai volume 100 mL. Larutan dikocok dan didiamkan selama 20 menit, kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Kadar amilosa dihitung dengan rumus : Kadar amilosa (% bk) = dimana fk =
=
Keterangan : A620 = absorban sampel ka = kadar air 20 dan 1000 = faktor pengenceran fk = faktor koreksi Penentuan asam tertitrasi (AOAC,1995) 2. Standarisasi NaOH Sebanyak 0.2 g KHP (BM=204,228) ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL. Selanjutnya dilarutkan dengan 25 mL aquades dan diteteskan dengan 2 - 3 tetes indikator fenolftalin. Kemudian dititrasi dengan larutan NaOH hingga terbentuk warna merah muda yang bertahan selama 15 detik. Normalitas NaOH dihitung dengan rumus : Normalitas NaOH = 3. Persiapan sampel Total asam tertitrasi ditentukan dengan prinsip titrasi asam basa. Sebanyak 10 mL contoh dilarutkan menjadi 250 mL dalam labu takar dengan menggunakan akuades. Setelah itu diambil sebanyak 50 mL lalu ditambahkan 2-3 tetes indikator fenolftalin. Campuran kemudian dikocok dengan NaOH 0.1 N yang telah distandardisasi menggunakan asam oksalat. Titrasi dihentikan jika warna berubah
66 menjadi merah muda. %TAT = Fp = faktor pengenceran
HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Mikroba Pertumbuhan mikroba meningkat sampai 36 jam dan selanjutnya relatif menurun hingga pengamatan pada 72 jam fermentasi (Gambar 5.1). Secara umum, jumlah kapang (Gambar 5.1A dan 5.1B) lebih tinggi pada perlakuan dengan penambahan kultur starter, dimana jumlah kapang pada perlakuan AC lebih banyak daripada CC yang lebih banyak daripada SF. Penambahan kultur starter meningkatkan jumlah kapang secara nyata pada 36 - 72 jam fermentasi, baik pada grits jagung Anoman 1 maupun Pulut Harapan. Sementara itu pertumbuhan kapang pada perlakuan SF menurun dengan tajam setelah 36 – 72 jam fermentasi. Penambahan mikroba dalam jumlah tinggi diduga dapat mengendalikan proses fermentasi sehingga mikroba yang berperan adalah mikroba yang ditambahkan. Dibandingkan dengan penelitian Rahmawati et al. (2013), jumlah kapang pada penelitian ini relatif lebih rendah. Diduga hal ini berkaitan dengan penggunaan jenis air yang berbeda. Rahmawati et al. (2013) menggunakan air steril sementara itu penelitian ini menggunakan AMDK yang mungkin masih mengandung bakteri sehingga menekan pertumbuhan kapang yang ditambahkan. Menurunnya jumlah kapang setelah fermentasi 36 jam diduga karena ada kapang yang mati dan adanya pertumbuhan BAL. BAL akan menghasilkan asam laktat dan asam-asam organik lain serta senyawa antimikroba (Omemu 2007; Rai 2010) yang dapat menghambat pertumbuhan kapang. Secara umum penambahan kultur starter baik pada perlakuan CC maupun AC dapat meningkatkan jumlah kapang hingga akhir fermentasi dibandingkan perlakuan SF. Jumlah khamir (Gambar 5.1C dan 5.1D) selama fermentasi sampai 72 jam relatif meningkat untuk semua perlakuan. Secara umum jumlah khamir pada perlakuan SF lebih sedikit dari perlakuan CC yang lebih sedikit dari perlakuan AC. Penambahan kultur starter baik pada perlakuan CC maupun AC dapat meningkatkan jumlah khamir hingga akhir fermentasi dibandingkan perlakuan SF. Ada perbedaan jumlah khamir yang tumbuh selama 72 jam fermentasi dibandingkan dengan kapang, yaitu jumlah khamir pada perlakuan SF meningkat hingga 36 jam dan selanjutnya relatif stabil, sehingga pada 72 jam fermentasi jumlah khamir relatif lebih tinggi dibandingkan kapang. Pola ini terlihat sama pada kedua jenis jagung. Lebih tingginya jumlah khamir pada 36 – 72 jam fermentasi menunjukkan bahwa khamir lebih tahan terhadap kondisi asam dibandingkan kapang. Halm et al. (2004) melaporkan bahwa khamir mempunyai toleransi yang tinggi terhadap asam laktat. Bahkan, Candida krusei yang
67
B
0
12 24 36 48 60 72 Waktu fermentasi (jam)
10,00 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 -1,00 -2,00
0
Waktu fermentasi (jam)
BAL (Log CFU/mL)
10,00 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 -1,00 -2,00
12 24 36 48 60 72 Waktu fermentasi (jam) SF
CC
10,00 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 -1,00 -2,00
AC
F
0
AC
12 24 36 48 60 72 Waktu fermentasi (jam) SF
12 24 36 48 60 72
CC
0
AC
D
SF
E
CC
10,00 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 -1,00 -2,00
Khamir (Log CFU/mL)
C
Khamir (Log CFU/mL)
SF
BAL (Log CFU/mL)
Kapang (Log CFU/mL)
A
10,00 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 -1,00 -2,00
Kapang (Log CFU/mL)
ditemukan pada fermentasi jagung untuk produksi ogi dapat menstimulasi pertumbuhan Lactobacillus plantarum.
10,00 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 -1,00 -2,00
CC
AC
0 12 24 36 48 60 72 Waktu fermentasi (jam) SF CC AC
0
12 24 36 48 60 72
Waktu fermentasi (jam) SF
CC
AC
Gambar 5.1. Pola pertumbuhan kapang, khamir, BAL pada grits jagung varietas Anoman 1 (A, C, E) dan Pulut Harapan(B, D, F) berturutturut selama fermentasi. SF: grits jagung dengan fermentasi spontan; CC: grits jagung setelah fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; AC: grits jagung setelah fermentasi CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi Jumlah BAL meningkat selama 72 jam fermentasi untuk kedua jenis jagung. Penambahan kultur starter pada perlakuan CC dan AC meningkatkan jumlah awal BAL. Namun, setelah 36 jam, jumlah BAL seluruh perlakuan relatif sama.
68 Tampaknya penambahan BAL tidak memengaruhi jumlah BAL di akhir fermentasi. Diduga karena BAL yang digunakan tidak ada yang bersifat amilolitik, sehingga BAL yang secara alami ada pada jagung dapat tumbuh dan berkembang setelah mikroba amilolitik memecah amilosa menjadi gula sederhana. Setelah BAL tumbuh maka jumlahnya meningkat dan relatif sama dengan perlakuan CC dan AC hingga 72 jam fermentasi. Hal ini diduga karena adanya khamir yang dapat menstimulasi pertumbuhan BAL. Nago et al. (1998) melaporkan selama fermentasi ogi, selama 1 - 3 hari pada 25 - 35 °C, diperoleh BAL yang terdiri dari Lactobacillus fermentum cellobiosus, L. brevis and L. fermentum spp tumbuh sampai 9 log CFU/g. Nilai pH dan Total Asam Tertitrasi Nilai pH air perendam dan tepung jagung varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan mengalami penurunan selama 72 jam fermentasi untuk semua perlakuan dan jenis jagung. Nilai pH air perendam sebesar 6.45 – 6.54 pada 0 jam menjadi 4.05 - 4.62 pada 72 jam fermentasi (Tabel 5.1). Nilai pH menurun tajam dari 0 36 jam fermentasi, yaitu berturut-turut dari pH 6.45 – 6.54 menjadi pH 4.18 5.32. Diduga hal ini berkaitan dengan meningkatnya pertumbuhan BAL, dimana pertumbuhan BAL meningkat dengan tajam pada 36 jam dan relatif stabil sampai 72 jam fermentasi. Selama fermentasi BAL menghasilkan asam laktat. Selain asam laktat, BAL juga menghasilkan asam asetat, etanol, dan CO 2 (Corsetti dan Settanni 2007). Asam-asam ini akan memengaruhi nilai pH tidak saja air perendam namun pH tepung dan total asam tertitrasi. Selain itu adanya berbagai jenis asam, juga memengaruhi aroma produk akhir (Corsetti dan Settanni 2007). Tabel 5.1. Nilai pH air perendam dan tepung jagung varietas Pulut Harapan dan Anoman 1 hasil fermentasi grits jagung dengan penambahan kultur starter Perlakuan (jam)
SF
0 36 48 72
Varietas Anoman 1 pH Total asam tepung tertitrasi (%bk) 6.45±0.32 6.13±0.24 1.29±0.02 4.68±0.90 4.91±0.08 2.05±0.39 4.35±0.31 4.86±0.24 1.92±0.36 4.35±0.24 4.69±0.23 1.68±0.13
CC
0 36 48 72 0 36 48 72
6.45±0.32 4.29±0.21 4.21±0.16 4.08±0.06 6.45±0.32 4.18±0.05 4.11±0.06 4.05±0.07
AC
pH perendam
6.13±0.24 4.82±0.39 4.75±0.36 4.59±0.19 6.13±0.24 4.62±0.31 4.53±0.15 4.40±0.12
1.29±0.02 1.29±0.57 3.26±0.55 3.25±0.51 1.29±0.02 1.49±0.17 1.62±0.20 2.03±0.19
Varietas Pulut Harapan pH pH Total asam perendam tepung tertitrasi (%bk) 6.54±0.15 6.17±0.14 2.26±0.14 5.32±0.44 5.06±0.34 3.02±0.52 4.72±0.31 4.86±0.49 3.31±0.49 4.62±0.19 4.62±0.25 3.30±0.75 6.54±0.15 4.30±0.20 4.20±0.06 4.13±0.09 6.54±0.15 4.25±0.09 4.19±0.09 4.06±0.05
6.17±0.14 4.77±0.23 4.77±0.34 4.52±0.20 6.17±0.14 4.68±0.23 4.55±0.18 4.41±0.19
2.26±0.14 3.19±0.08 3.40±0.11 3.48±0.23 2.26±0.14 2.53±0.35 2.72±0.38 3.00±0.36
69 Nilai pH air perendam ketiga perlakuan berbeda, yaitu nilai pH pada perlakuan SF lebih besar dari perlakuan CC yang lebih besar dari perlakuan AC. Hal ini berkaitan dengan adanya penambahan kultur starter pada 0 jam fermentasi (perlakuan CC) dan penambahan kultur starter pada 0 jam serta kapang dan khamir amilolitik pada 16 jam fermentasi (perlakuan AC). BAL memang tidak ditambahkan pada 16 jam fermentasi, tetapi khamir amilolitik yang ditambahkan akan menstimulasi pertumbuhan BAL (Halm et al. 2004) sehingga diduga menghasilkan asam laktat lebih tinggi yang menyebabkan pH menjadi lebih rendah. Nilai pH tepung jagung putih berkisar 6.13 - 6.17 pada 0 jam fermentasi menjadi 4.40 - 4.41 pada 72 jam fermentasi. Nilai pH tepung menurun tajam dari 0 - 36 jam fermentasi, yaitu berturut-turut dari pH 6.13 - 6.17 menjadi pH 4.62 5.06. Penurunan pH juga ditemukan oleh Alka et al. (2012) pada tepung jagung hasil fermentasi spontan grits jagung selama 36 jam, yaitu pH 5.76 pada 0 jam dan turun menjadi pH 3.50 pada 36 jam fermentasi dan Zeng et al. (2012) pada tepung jagung hasil fermentasi spontan grits jagung selama 36 jam, yaitu pH 6.5 pada 0 jam dan turun menjadi 3.55 - 3.65 pada 36 jam. Penurunan nilai pH disebabkan adanya asam-asam yang dihasilkan oleh BAL, terutama asam laktat. Hal ini sejalan dengan jumlah total asam tertitrasi tepung yang dihasilkan. Semakin lama waktu perendaman, dimana pH tepung semakin menurun, maka total asam semakin meningkat. Total asam tepung jagung berkisar antara 1.29 – 2.26 % pada 0 jam menjadi 2.03-3.48 % pada 72 jam fermentasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Omemu et al. (2007), dimana fermentasi hingga 48 jam meningkatkan total asam dari 0.32% menjadi 0.42%. Jumlah total asam yang dihasilkan pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan Omemu et al. (2007). Meningkatnya jumlah asam cenderung memengaruhi aroma tepung jagung putih yang dihasilkan, yaitu menjadi beraroma agak asam.
Komposisi Kimia Komposisi kimia kernel dan tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan disajikan pada Tabel 5.2 dan 5.3. Tabel 5.2 menunjukkan bahwa kernel jagung Anoman 1 dan Pulut Harapan termasuk dalam standar SNI jagung. Tabel 5.2. Komposisi kimia jagung yang digunakan Jenis uji Jenis jagung Anoman 1 Pulut Harapan 9.0 ± 0.03 10.5 ± 0.02 Kadar air (%) 1.6 ± 0.01 1.7 ± 0.01 Kadar abu (% bk) 5.5 ± 0.00 5.6 ± 0.01 Kadar lemak (% bk) 10.0 ± 0.03 10.1 ± 0.00 Kadar protein (% bk) 73.9 ± 0.01 72.1 ± 0.03 Kadar karbohidrat (% by different)
70
Tabel 5.3. Komposisi kimia tepung jagung varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan hasil fermentasi dengan penambahan kultur starter Perlakuan
Kadar air
Protein (%bk)
Lemak (%bk)
Abu (%bk)
Serat kasar (%bk)
Amilosa (%bk)
9.14±0.47 8.03±0.29 7.25±0.63 6.98±0.58
4.59±0.68 4.29±0.28 4.06±0.12 3.92±0.58
0.94±0.20 0.55±0.04 0.52±0.02 0.47±0.04
9.27±0.21 8.88±0.54 8.91±0.46 6.63±1.20
37.17±2.39 37.37±4.19 37.26±3.87 35.97±5.20
8.64±1.14 9.09±0.73 9.43±0.49 9.70±0.36
9.14±0.47 8.00±0.65 7.76±0.26 7.14±0.87
4.59±0.68 4.35±0.47 4.24±0.61 4.04±0.90
0.94±0.20 0.60±0.19 0.57±0.12 0.50±0.13
9.27±0.21 9.34±1.64 9.05±1.12 6.70±1.23
37.17±2.39 35.05±2.65 34.87±2.63 30.24±2.22
0 8.64±1.14 36 9.61±0.31 48 9.80±0.20 72 9.97±0.12 Tepung jagung Pulut SF 0 8.70±0.73 36 10.53±1.38 48 10.92±2.47 72 11.83±2.74
9.14±0.47 8.10±0.24 7.69±0.10 7.03±0.31
4.59±0.68 4.41±0.16 4.37±0.53 4.11±0.24
0.94±0.20 0.62±0.31 0.58±0.14 0.55±0.12
9.27±0.21 9.21±1.64 8.78±2.33 6.64±0.30
37.17±2.39 36.89±1.21 35.25±1.16 31.14±1.13
9.46±0.27 8.94±0.36 8.80±1.12 8.68±0.89
4.35±0.63 4.48±0.36 4.11±0.26 3.87±0.42
1.10±0.08 0.74±0.03 0.68±0.02 0.57±0.04
9.18±0.19 8.65±0.35 7.96±2.26 6.72±1.34
13.70±1.39 11.14±3.30 10.88±2.46 10.19±2.09
CC
0 36 48 72
8.70±0.73 9.22±0.58 9.68±0.50 9.96±0.42
9.46±0.27 9.32±0.17 9.17±0.03 8.29±0.24
4.35±0.63 4.75±0.77 4.64±0.78 4.45±0.90
1.10±0.08 0.71±0.15 0.63±0.13 0.60±0.01
9.18±0.19 8.75±0.74 8.50±0.81 6.73±1.04
13.70±1.39 13.79±2.28 13.81±1.66 12.90±1.17
AC
0 36 48 72
8.70±0.73 9.47±0.04 9.54±0.09 9.78±0.04
9.46±0.27 9.40±0.21 9.20±0.19 8.41±0.24
4.35±0.63 4.78±0.30 4.68±0.09 4.55±0.15
1.10±0.08 0.79±0.15 0.70±0.21 0.62±0.24
9.18±0.19 8.78±0.68 8.45±1.41 7.26±1.13
13.70±1.39 13.09±1.12 12.47±1.15 11.95±1.10
Tepung jagung Anoman 1 SF 0 8.64±1.14 36 9.91±1.92 48 10.83±1.16 72 10.94±2.29 CC
0 36 48 72
AC
Menurut SNI 01-3920-1995 tentang jagung, syarat mutu I kernel jagung yaitu mempunyai kadar air maksimal 14. Kedua varietas jagung yang digunakan masih memenuhi syarat SNI dimana mempunyai kadar air 9.0 (varietas Anoman 1) dan 10.5 % (varietas Pulut Harapan). Secara umum jumlah protein, lemak, abu, serat kasar dan amilosa tepung jagung cenderung menurun selama fermentasi hingga 72 jam, kecuali kadar air. Hal ini karena adanya proses pencucian, penggilingan dan penepungan dimana bagian-bagian perikarp dan lembaga yang banyak mengandung serat dan lemak
71 serta bagian yang mengapung pada saat pencucian terbuang. Selain itu, menurunnya jumlah protein, lemak, abu, serat kasar dan amilosa tepung jagung selama 72 jam fermentasi diduga karena adanya aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroba selama fermentasi. Beberapa mikroba yang digunakan sebagai kultur starter mempunyai aktivitas amilolitik, yaitu Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum, dan Candida famata (Rahmawati et al. 2013). Menurut Ghosh dan Ray (2011) Rhizopus oryzae menghasilkan enzim selulase, hemiselulase, pektinase, tannase, phytase, lipase dan protease. Tang et al. 2012 melaporkan Rhizopus stolonifer menghasilkan enzim selulase. Aspergillus niger selain mempunyai aktivitas amilolitik, juga memunyai aktivitas pektinolitik (Heerd et al. 2012) dan Panagiotou et al. (2013) melaporkan Fusarium oxysporum mempunyai aktivitas selulolitik dan xilanolitik. Khamir yang digunakan sebagai kultur starter juga dilaporkan dapat menghasilkan berbagai enzim, misalnya Kodamae ohmeri menghasilkan enzim phytase pada biji-bijian (Li et al. 2008) dan lipase (Bussamara et al. 2010); Candida famata menghasilkan enzim glucoamylase (Mohammed 2007) serta lipase and protease (Wojtatowicz et al. 2001); sedangkan Candida krusei mempunyai aktivitas lipolitik, esterase, and amilolitik yang berkontribusi pada flavor akhir produk pangan (Omemu et al. 2007). Khamir yang mempunyai aktivitas lipolitik berperan sebagai prekursor asam lemak dan berkontribusi secara signifikan terhadap flavor produk akhir (Romano et al. 1996). Khamir amilolitik dapat memotong senyawa komplek dari pati dan oligosakarida menjadi gula sederhana yang dapat memperbaiki kualitas gizi bahan tersebut, karena menjadi lebih mudah dicerna dan berperan penting pada aroma, flavor, rasa, dan struktur produk akhir (Omemu et al. 2007). Selain aktivitas mikroba, penurunan kandungan protein diduga terjadi karena larutnya albumin selama perendaman 72 jam. Nilai pH memengaruhi kelarutan protein di dalam air. Pada pH di luar titik isoelektriknya, protein mempunyai kelarutan tinggi di dalam air. Titik isoelektrik protein pada umumnya adalah pada pH 4.5 - 4.8 (Corredig 2006). Pada perendaman 0 – 36 jam pH larutan perendam di atas titik isoelektrik hal ini diduga memengaruhi penurunan protein. Setelah 36 – 72 jam fermentasi, nilai pH berada pada titik isoelektrik protein, namun protein masih mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan adanya aktivitas mikroba proteolitik. Penurunan lemak selama perendaman, diduga sebagai akibat aktivitas lipase yang dihasilkan oleh R. oryzae, Kodamae ohmeri, Candida famata dan Candida krusei. Penurunan lemak pada perlakuan SF lebih besar dari perlakuan CC yang lebih besar dari perlakuan AC. Hal ini diduga dengan semakin banyaknya jumlah mikroba yang ditambahkan, maka akan terjadi persaingan yang semakin ketat, sehingga aktivitas mikroba akan menurun. Perendaman 0 – 36 jam menurunkan kadar abu tepung yang dihasilkan. Jagung mengandung mineral P, K, Ca, Mg, Na, Fe, Cu, Mn, dan Zn (Bressani 1990). Jagung varietas Srikandi putih mengandung mineral Ca 41 mg/100 g, Mg 212 mg/100 g, P 123 mg/100 g dan K 276 mg/100 g (Suarni et al. 2010). Diduga selama perendaman mineral-mineral ini larut karena mineral mempunyai tingkat kelarutan tinggi dalam air dan afinitas rendah sehingga banyak terdapat sebagai
72 ion bebas (Watson 2001). Penurunan mineral pada fermentasi 36-72 jam relatif lebih kecil dibandingkan 0 - 36 jam. Hal ini diduga karena adanya bentuk komplek dari mineral. Fosfor di dalam jagung sebagian berada sebagai garam kalium-magnesium asam fitat yang merupakan bentuk ester dari heksafosfat inositol. Mineral dalam bentuk komplek tidak larut dalam air perendam (Watson 1987) sehingga penurunan kadar abu setelah 36 jam relatif rendah. Serat kasar Jumlah serat kasar pada tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan selama fermentasi dengan penambahan kultur starter selama 72 jam cenderung menurun dengan semakin lama fermentasi. Kadar serat tepung jagung varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan berturut-turut berkisar antara 9.27 % dan 9.18 % pada 0 jam dan 6.63 – 6.70 % dan 6.72 – 7.26 pada 72 jam fermentasi. Kandungan serat kasar pada jagung putih varietas Srikandi putih 2.1 % (Widowati et al 2005), lokal pulut 2.94 % (Suarni dan Firmansyah 2005), dan tepung jagung kuning 8.19% (Widaningrum et al 2009). Serat kasar tepung jagung putih varietas Srikandi hasil fermentasi spontan sebesar 2.97 % pada 0 jam dan 1.10% pada 72 jam fermentasi (Aini et al. 2010). Perbedaan kadar serat kasar disebabkan perbedaan varietas. Secara umum jumlah serat kasar untuk semua perlakuan menurun dengan semakin lamanya waktu fermentasi (Tabel 5.3). Serat tanaman terdiri dari lignin, selulosa, hemiselulosa, senyawa pektat, gum, waxes, dan oligosakarida yang tidak dapat dicerna. Lignin, selulosa, waxes dan oligosakarida, tidak larut di dalam air, namun hemiselulosa dan senyawa pektat bersifat larut air (Winarno 2008). Penurunan kandungan serat kasar diduga karena larutnya hemiselulosa dan senyawa pektat dalam air perendam, selain itu kapang yang mempunyai aktivitas selulolitik dan pektinolitik seperti Rhizopus oryzae (Ghosh dan Ray 2011), Rhizopus stolonifer (Tang et al. 2012) dan Fusarium oxysporum (Panagiotou et al. 2013) akan menguraikan serat kasar menjadi komponen yang lebih sederhana sehingga total serat kasar menurun. Amilosa Kadar amilosa tepung jagung putih varietas Anoman 1 cenderung menurun untuk semua perlakuan selama fermentasi sampai 72 jam, dengan jumlah berkisar antara 37.17 % pada 0 jam fermentasi dan 30.24 – 35.97 % pada 72 jam fermentasi (Gambar 5.2). Amilosa adalah fraksi pati yang mempunyai rantai lurus. Claver et al. (2010) melaporkan bahwa selama fermentasi, mikroba amilolitik menghasilkan enzim amilase yang akan menyerang ikatan α-1,4-Dglikosidik pada granula pati. Sehingga amilosa yang merupakan polimer glukosa akan terhidrolisis. Glukosa banyak mengandung gugus hidroksil, sehingga amilosa bersifat hidrofilik dan larut dalam air. Selama perendaman sampai 72 jam, diduga sebagian amilosa terlarut dalam air perendam. Selain itu adanya aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroba diduga memecah amilosa sehingga dengan semakin lama waktu fermentasi kadar amilosa akan menurun. Perlakuan AC yang mendapat penambahan mikroba amilolitik pada 16 jam fermentasi
73 menghasilkan kadar amilosa yang relatif sama dengan perlakuan CC. Diduga meningkatnya jumlah mikroba yang ditambahkan menyebabkan kompetisi antar mikroba meningkat sehingga aktivitas tidak menjadi lebih tinggi.
Kadar amilosa (%bk)
A
40 35 30 25 20 15 10 5 0
SF CC AC
0
12
24
36
48
60
72
Waktu fermentasi (jam)
Kadar amilosa (bk)
B
40 35 30 25 20 15 10 5 0
SF CC AC 0
12
24
36
48
60
72
Waktu fermentasi (jam)
Gambar 5.2. Kadar amilosa (%) tepung tepung jagung putih varietas Anoman 1 (A) dan Pulut Harapan (B) selama fermentasi 72 jam. SF: tepung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi spontan; CC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; AC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah fermentasi CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi Kadar amilosa tepung jagung putih varietas Pulut Harapan cenderung menurun selama fermentasi hingga 72 jam, yaitu 13.70 % pada 0 jam menjadi 11.95 – 12.90 % pada 72 jam fermentasi. Penurunan amilosa diduga berkaitan dengan terhidrolisisnya amilosa oleh enzim. Namun pada perlakuan CC fermentasi hingga 48 jam relatif meningkatkan kadar amilosa. Peningkatan kadar amilosa diduga akibat aktivitas enzim glukoamilase yang dapat memotong rantai cabang amilopektin sebelah luar (Xie et al. 2005). Hal ini akan meningkatkan jumlah rantai lurus, sehingga kadar amilosa meningkat. Dengan bertambahnya waktu fermentasi hingga 72 jam, jumlah amilosa menurun. Penurunan ini diduga karena rantai lurus yang diperoleh telah terhidrolisis menjadi gula sederhana yang dapat menurunkan kadar amilosa tepung. Penurunan kadar amilosa pada tepung
74 Pulut Harapan memengaruhi karakteristik pasting yang dihasilkan selama fermentasi. Kadar amilosa tepung Pulut Harapan yang mendapat perlakuan AC cenderung menurun selama 72 jam fermentasi, walaupun nilainya lebih tinggi dibandingkan perlakuan SF. Diduga penambahan mikroba amilolitik pada 16 jam fermentasi membuat kompetisi mikroba tumbuh dan berkembang cukup besar sehingga aktivitas menjadi tidak optimal, khususnya aktivitas amilolitik. SIMPULAN Selama fermentasi jumlah kapang cenderung meningkat sampai 36 jam fermentasi dan selanjutnya menurun hingga 72 jam fermentasi baik pada grits jagung putih varietas Anoman 1 maupun Pulut Harapan. Sementara itu jumlah khamir dan BAL cenderung meningkat untuk semua perlakuan baik pada grits jagung putih varietas Anoman 1 maupun Pulut Harapan. Penambahan kultur starter (perlakuan CC dan AC) dapat meningkatkan jumlah kapang dan khamir pada awal hingga akhir 72 jam fermentasi dibandingkan perlakuan SF, namun tampaknya penambahan kultur starter hanya meningkatkan jumlah BAL di awal fermentasi dan tidak memengaruhi jumlah BAL di akhir fermentasi. Selama fermentasi BAL menghasilkan asam-asam organik yang dapat menurunkan nilai pH air perendam dan tepung yang dihasilkan, sehingga meningkatkan total asam. Selain itu aktivitas enzim-enzim selama 72 jam fermentasi menyebabkan penguraian komponen-komponen tepung sehingga cenderung menurunkan kadar protein, lemak, abu dan serat kasar tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan. Aktivitas enzim selama fermentasi dapat menurunkan kandungan amilosa pada tepung Anoman 1, namun perlakuan 36CC dan 48CC cenderung meningkatkan kandungan amilosa pada tepung jagung varietas Pulut Harapan yang dihasilkan.
SARAN Disarankan untuk tidak perlu menambahkan BAL jika akan memfermentasi dengan kultur starter karena tampaknya BAL yang ada secara alami pada bahan dapat tumbuh dengan baik selama fermentasi.
PUSTAKA Aini N, Hariyadi P, Muchtadi TR, Andarwulan N. 2010. Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan sifat gelatinisasi tepung jagung putih yang dipengaruhi ukuran partikel. J Teknol dan Industri Pangan 21: 18-24. Alka S, Neelam Y, and Shruti S. 2012. Effect of fermentation on physicochemical properties & in vitro starch and protein digestibility of selected cereals. International Journal of Agriculture and Food Science 2 (3) : 66-70 AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of the Association Analytical Chemistry Inc, Washington D.C.
75 AOAC. 2005. Official Methods of Analysis of the Association Analytical Chemistry Inc, Washington D.C. AOAC. 2006. Official Methods of Analysis of the Association Analytical Chemistry Inc, Washington D.C. Bussamara R, Fuentefria AM, de Oliveira ES, Broetto L, Simcikova M, Valente P, Schrank A, Vainstein MH. 2010. Isolation of a lipase-secreting yeast for enzyme production in a pilot-plant scale batch fermentation. Bioresource Technology 101: 268–275. Claver IP, Zang H, Li Q, Zhu K, Zhou H. 2010. Impact of the soak and the malt on the physicochemical properties of the sorghum starches. Int J Mol Sci. 11: 3002-3015. doi:10.3390/ijms11083002. Corsetti A, Settanni L. 2007. Lactobacilli in sourdough fermentation Review. Food Research International 40: 539–558. doi:10.1016/j.foodres.2006.11.01 Ghosh B and Ray RR. 2011. Current commercial perspective of Rhizopus oryzae: A review. Journal of Applied Sciences 11 (14): 2470-2486. DOI 10.3923/jas.2011.2470.2486 Halm M, Osei-Yaw A, Hayford A, Kpodo KA, and Amoa-Awua WKA. 1996. Experiences with the use of a starter culture in the fermentation of maize for 'kenkey' production in Ghana. World Journal of Microbiology & Biotechnology 12: 591-536. Heerd D, Yegina S, Tari C, Fernandez-Lahore M. 2012. Pectinase enzymecomplex production by Aspergillus spp. In solid-state fermentation: A comparative study. food and bioproducts processing 9 0: 102–110. doi:10.1016/j.fbp.2011.08.003 Irtwange SV and Achimba O. 2009. Effect of the Duration of Fermentation on the Quality of Gari. Current Research Journal of Biological Sciences 1(3): 150154. Juliano BO. 1971. A simplified assay for milled rice amylosa. Cereal Science today 16:334-360. Li XY, Liu ZQ, Chi ZM. 2008. Production of phytase by a marine khamir Kodamaea ohmeri BG3 in an oats medium: Optimization by response surface methodology. Bioresource Technology 99: 6386–6390. doi:10.1016/j.biortech.2007.11.065. Mohamed L, Zakaria M, Ali A, Senhaji W, Mohamed O, Mohamed E, EL Hassan B, Mohamed J. 2007. Optimization of growth and extracellular glucoamylase production by Candida famata isolate. African Journal of Biotechnology 6 (22): 2590-2595. Nago MC, Hounhouigan JD, Akissoe N, Zanou E, Mestres C. 1998. Characterization of the Beninese traditional Ogi, a fermented maize slurry: Phisicochemical and Microbiological aspects. Int J Food Sci Tech 33: 307315. DOI: 10.1046/j.1365-2621.1998.00169.x. Omemu AM, Oyewole OB, Bankole MO. 2007. Significance of yeasts in the fermentation of maize for ogi production. Food Microbiol 24: 571-576. doi: 10.1016/j.fm.2007.01.006. Onwuka GI and Ogbagu NJ. 2007. Effect of fermentation on the quality and physical properties of cassava based fufu product made from two cassava varieties NR8212
76 and Nwangbisi. Journal of Food Technology 5 : 261-264. Ohenhen RE, Ikenebomeh MJ. 2007. Shelf stability and enzyme activity studies of ogi: a corn meal fermented product. J Am Sci. 3 (1): 38-42. Panagiotou G, Kekos D, Macris BJ, Christakopoulos P. 2003. Production of cellulolytic and xylanolytic enzymes by Fusarium oxysporum grown on corn stover in solid state fermentation. Industrial Crops and Products 18: 37-45 Qanytah dan Prastuti TR. 2008. Penerapan teknologi pascapanen jagung di Desa Kedawung Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal. Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian 2008, Jogjakarta. Rahmawati, Dewanti-Hariyadi R, Hariyadi P, Fardiaz D, Richana, N. 2013. Isolation And Identification Of Microorganisms During Spontaneous Fermentation Of Maize. J.Teknol. dan Industri Pangan 24: 38-44. Rai AK, Tamang JP, Palni U. 2010. Microbiological studies of ethnic meat products of the Eastern Himalayas. Meat Science 85 : 560–567. Suarni. 2005. Karakteristik sifat fisikokimia dan amilograf tepung jagung sebagai bahan pangan. Prosiding seminar dan lokakarya Nasional Makasar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan-Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Suarni dan Firmansyah JU. 2005. Beras Jagung: Prosesing dan kandungan nutrisi sebagai bahan pangan pokok. Prosiding seminar dan lokakarya Nasional Makasar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan-Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Tang B, Pan H, Tang W, Zhang Q, Ding L, Zhang F. 2012. Fermentation and purification of cellulase from a novel strain Rhizopus stolonifer var. reflexus TP-02. Biomass and Bioenergi 36: 366-372. Doi:10.1016/j.biombioe.2011.11.003 Watson SA. 2001. Description, Development, Structure, and Compotition of the Corn Kernel dalam Hallauer AR. Editor Specialty corns. Washington: CRC. Pp 87 Widaningrum, Ratnaningsih, Richana N. 2009. Formulasi tepung komposisit ubijalar, jagung untuk substitusi terigu pada pembuatan mi kering. Prosiding Teknologi Inovatif Pacapanen II. Kementerian Pertanian- Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian-Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Widowati S, Santosa BAS, Suarni. 2005. Mutu gizi dan sifat fungsional jagung. Prosiding seminar dan lokakarya Nasional Makasar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan-Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Jakarta. Wojtatowicz M, Chrzanowska J, Juszczyk P, Skiba A, Gdula A. 2001. Identification and biochemical characteristics of yeast microflora of Rokpol cheese. Int J Food Microbiol 69: 135–140. doi: 10.1016/S01681605(01)00582-7. Xie SX, Liu Q, and Cui SW 2005. Starch Modification and Applications in Cui, S.W. (Eds). Food Carbohydrates: Chemistry, Physical Properties, and
77 Applications. Taylor & Francis Group. Zeng J, Gao H, Li G, Zhao X. 2012. Characteristics of corn flour fermented by some Lactobacillus species. China Academic Journal Electronic Publishing House. http:www.cnki.net. [4 Juni 2012].
78
6 PASTING PROPERTIES OF WHITE CORN FLOURS OF ANOMAN 1 AND PULUT HARAPAN VARIETIES AS AFFECTED BY FERMENTATION PROCESS3 Rahmawati Farasara2,3), Purwiyatno Hariyadi2,4), Dedi Fardiaz2,4), and Ratih Dewanti-Hariyadi2,4) 2)
Department of Food Science and Technology, Bogor Agricultural University, Kampus IPB Darmaga, Bogor, Indonesia 3) Department of Food Technology, Sahid University, Jakarta, Indonesia 4) Southeast Asia Food Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, Bogor Agricultural University, Kampus IPB Darmaga, Bogor, Indonesia
ABSTRACT This research was aimed to evaluate the pasting properties of white corn flour made from Anoman 1 and Pulut Harapan varieties as affected by the fermentation process of the corn grits. The fermentation process studied were (i) spontaneous fermentation (SF), (ii) fermentation with the addition of a complete starter culture at 0 hour (CC fermentation) and (iii) fermentation of (CC) with additional unoculation of starter culture containing amylolytic microorganisms at 16 hours (AC fermentation). Pasting properties evaluation were done on the flour made from corn grits fermented for 0, 36, 48, and 72 hours. Our results showed that pasting properties of corn flour of Anoman 1 and Pulut Harapan varieties were affected by fermentation process. Addition of starter culture in the fermentation showed more complex effect on the pasting properties and was a function of the fermentation time. Fermentation process of corn grits affected the pasting properties of the resulted flour, both for Anoman I and Pulut Harapan corn varieties. The differences in the effect of fermentation process on the pasting properties were due to the different amylose/amylopectin content. AC fermentation of corn grits could increase the stability of paste for flour containing higher amylose content, but decrease the stability of paste for flour containing high amylopectin. Specifically, CC fermentation caused significant increase in the peak viscosity value especially for corn flour of Pulut Harapan. Fermentation for up to 48 h resulted in corn flour of Pulut Harapan variety having a higher PV value, but it did not affect the tendency to retrograde. INTRODUCTION Corn is an important carbohydrate source after rice in Indonesia. However, 3
Submitted to J.Starch
79 the utilization of corn flours and/or starches in native form is limited due to its physical properties, especially with regard to the retrogradation properties, syneresis of pasta, and low stability of pasta at high temperature and at low pH [1]. Consequently, there is a need to modify flour properties to improve its pasting properties. Traditionally, corn flour is made by soaking corn kernels in water followed by the process of draining, drying and milling. Aini et al. (2010) [2] showed that changes in the physicochemical properties of white corn flour produced was attributable to the spontaneous fermentation occurring during soaking. Several other studies of spontaneous fermentation of corn have been published, such as in the production of ogi [3] and pozol [4] whic are African traditional foods. Previously we have identified that microorganisms responsible for the spontaneous fermentation of corn were Penicillium chrysogenum, Penicillium citrinum, Aspergillus flavus, A. niger, Rhizopus stolonifer, R.oryzae, Fusarium oxysporum, Acremonium strictum, Candida famata, Kodamaea ohmeri, Candida krusei/incospicua, Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, Lactobacillus plantarum1b, and Lactobacillus paracasei ssp paracasei3 [5]. Of all microorganisms identified; four molds (Penicillium citrinum, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Acremonium strictum) and one yeast (Candida famata) were found to be amylolytic, while none of the LAB was capable of starch hydrolysis. The amylolytic activity is thought to be important for physicochemical changes of flour due to its high carbohydrate content. Since microorganisms were involved in the spontaneous fermentation of corn, the influence of addition of starter culture to the fermentation process on the pasting property of the resulted corn flour was evaluated. As Aspergillus flavus is known to produce aflatoxin in corn, the mold was not used for the starter culture. A complete starter culture was made using Penicillium chrysogenum, Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Rhizopus stolonifer, Rhizopus oryzae, Fusarium oxysporum, Acremonium strictum, Candida famata, Kodamaea ohmeri, Candida krusei/incospicua, Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, L. brevis1, L. plantarum1b, and L. paracasei ssp paracasei3. In addition, an amylolytic starter culture was made using the three amylolytic molds (without Aspergillus flavus) and one amylolytic yeast. Three experiments of fermentations process of corn grits were conducted, i.e. spontaneous fermentation (SF) by water soaking of corn grits as a control, fermentation with addition of complete starter culture (CC) from the start of fermentation, and treatment of (CC) with additional amylolytic starter culture (AC) after 16 hours of fermentation. Observations were done on the flour made from corn grits after 0 (unfermented flour, U), 36, 48, and 72 hours of fermentation. MATERIALS and METHODS Corn Corn types used in this research were local white maize Anoman 1 and waxy maize Pulut Harapan varieties obtained from the Cereal Crops Research
80 Institute, Maros, Sulawesi, Indonesia. Anoman 1 maize kernel contains high amylose (29.92 %), while the waxy maize kernel local Pulut has low amylose content (4.25 %) [6]. Corn was made into grits for a more standardized fermentation process. Kernels of corn were washed with drinking water (corn : water = 1 : 4 w/v) and drained on a siever. Drained and clean corn kernels were then ground using pin disc mill and sieved to produce grits with diameter of > 4 mm. The grits were washed with drinking water (corn grits : water = 1: 4 w/v) for 30 minutes and then drained and ready for fermentation. Microorganisms Microorganisms used for starter culture preparation were amylolytic Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum, and Candida famata, as well as non amylolytic Penicillium chrysogenum, Rhizopus stolonifer, Rhizopus oryzae, Fusarium oxysporum, Kodamaea ohmeri and Candida krusei / incospicua, Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, and Lactobacillus paracasei ssp paracasei3. The microorganisms used were previously isolated and identified from a spontaneous fermentation of corn grits [5]. Culture preparation and enumeration One loop of each mold was streaked onto fresh Potato Dextrose Agar (PDA) slant and then incubated at 30 °C for 5 days. After 5 days molds were harvested by scrapping, suspended in 10 mL sterile water and appropriately diluted for enumeration using hemacytometer. Yeast culture was prepared as above but incubation was carried out at 30 °C for 2 days. Yeast enumeration was also carried out using hemacytometer. Meanwhile Lactic Acid Bacteria (LAB) cultures were prepared by transferring one loop of each LAB growth into de Man Rogosa Sharpe (MRS) Broth for 24 hours at 30 °C using shaking incubator. After 24 hours, the culture was centrifuged aseptically for 15 mins, 3500 rpm at 4 °C and the cell pellets were resuspended in phosphate buffer. The 24 h culture was also enumerated by plating on MRS agar. Fermentation with added starter culture Five days old molds and two days old yeast in sterile water as well as 24 hours LAB in phosphate buffer made up the complete starter culture. For amylolytic starter culture, only Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum, and Candida famata were used. Each microorganism was inoculated aseptically into container (15 L) containing of maize grits and drinking water (1 : 2 w/v) such that each microorganism has an initial load of ca. 10 6 CFU/mL. The fermentation studied included spontaneous fermentation, i.e. water soaking of corn grits as a control (SF) and fermentation with added starter cultures. Two treatments of fermentation with added starter were (CC) a complete starter culture containing 15 microbes previously isolated from the spontaneous fermentation added at the beginning of fermentation (0 hours), and
81 (AC) fermentation of (CC) with additional inoculation of amylolytic starter culture at 16 hours of fermentation. Observations were done on flour made from corn grits after 0, 36, 48, and 72 hours fermentation. Pasting properties of corn flours measured using Rapid Visco Analyzer TecMaster Newport Scientific Pty Limited Australia (RVA standard 2) Corn flour samples of 3.5 g (14% moisture content) were added to 25 mL of distilled water in an aluminum can. Sample was spinned (160 rpm) at 50 oC for 1 min, and heated to reach 95oC within 7.5 min, and held at 95 oC for 5 min, and then cooled back to 50 oC within 7.5 min and held at 50 oC for additional 2 min. A typical complete RVA curve obtained is presented in Figure 1. Parameters derived from the RVA curve were peak viscosity (PV); trough viscosity (TV; also called as hot viscosity), and final viscosity (FV). The breakdown (BV) and setback (SV) viscosities were calculated from the differences between (PV and TV) and (FV and TV), respectively.
Figure 6.1. Typical pasting profile obtained by RVA, showing the main parameters used to described pasting properties.
82 RESULTS and DISCUSSION Our results showed that pasting properties of corn flour of Anoman 1 and Pulut Harapan varieties were affected by fermentation process. Addition of starter culture for the fermentation showed more complex effect on the pasting properties and was a function of the progress of fermentation reaction. Pasting properties of corn flours after 36 hours of fermentation The pasting profiles (Figure 2) and parameters (Table 1) of corn flours made from corn grits after 36 hours of fermentation both for Anoman I and Pulut Harapan varieties obtained from the RVA curve were evaluated. Unfermented corn flour of Anoman I and Pulut Harapan varieties has peak viscosities (PV) of 1276.9±24.4 cP and 1237.7±20.7 cP, respectively (Table 1). Spontaneous fermentation for 36 hours (36SF) increased PV of flours from both corn varieties to1451.9±14.8 cP and 1680.2±33.3 cP, respectively for Anoman 1 and Pulut Harapan. Increase of PV is associated with enzymatic activity during fermentation process. Rhizopus oryzae has been shown to produce cellulase, hemicellulase, pectinase, tannase, phytase, lipase and protease [7], while Rhizopus stolonifer produces cellulase [8]. Beside its amylolytic activity, Aspergillus niger also has pectinolytic activity [5, 9]. Panagiotou et al. [10] reported that Fusarium oxysporum has cellulolytic and xylanolytic activity. Kodamae ohmeri produces phytase in cereals [11] and lipase [12]. Candida famata produced glucoamylase [13], as well as has lypolytic and proteolytic activity [14]. Candida krusei has lypolytic and esterase activity which contribute on the flavor of end product [15]. Amylase hydrolyzes α-1,4-D-glycosidic bond of starch [16] thus the structure of starch granule becomes more porous facilitating water absorption to granules. This will increase the swelling of granules [17] and increase PV. PV illustrates the capacity of starch in absorbing water and swelling of granules when it is heated [18]. Inoculation of a complete starter culture (CC) however reduced the PV of the corn flour of Anoman I variety to 1290.4±8.8 cP. This is due to excessive amylolytic activity leading to more amylose breakdown. Different phenomenon was observed for corn flour of Pulut Harapan variety; which showed that its PV was as high as that of flour obtained from corn grits after 36 hours of spontaneous fermentation (36SF; 1680.2±33.3 cP). Additional of amylolytic culture, however, caused further increase of PV for corn flour of Pulut Harapan variety. This is due to the lower content of amylose (higher content of amylopectin) of corn flour of Pulut Harapan variety. Structurally, the higher amylopectin content of Pulut Harapan corn support granule to be more resistant to amylolytic activity during fermentation. Since the flour has stronger granule integrity, it will swell bigger and has increased peak viscosity. The viscosity of flour paste decreased after heating process for certain period due the granule breakdown followed by leaching of amylose into the solution [19]. The degree of viscosity reduction during heating process is termed as breakdown viscosity (BV); and can be used as an indicator for pasting stability during heating and stirring [20, 21].
83 As we can see from Table 1, the breakdown (BV), final (FV) and setback (SV) viscosities of Anoman 1 corn flour prepared from corn grits after 36 hours spontaneous fermentation were relatively lower than that of unfermented flour. This suggests that high amlyose content of corn of Anoman variety is more sensitive toward amylolytic activity during the 36 hours of fermentation. This also apparent with reduced final viscosity (FV) observed; especially those with amylolytic culture added (AC). FV is a viscosity at 50 oC at the end of analysis. FV indicates the stability of paste during cooling process. At the end of cooling process of 95 to 50 oC, the viscosity increased. This is due to the alignment and rearrangement the amylose chain [18, 21]. During cooling process, amylose polymers start to aggregate through hydrogen bond forming a junction bond and generates a gel network, and is called retrogradation [22]. Reduction or breakdown of amylose at Anoman I corn is also indicated by the final viscosity drop from 2630.8±0.1 cP for the unfermented flour to 2579.4±0.0 cP due to spontaneous fermentation (36SF) and 2575.1±0.0 cP due to fermentation with addition of complete culture (36CC). This may be associated with more amylolytic microbes causing more breakdown of amylose into simple sugar, thus reduced the final amylose level as indicated by the lower FV value. Further decrease in FV up to 2249.0±0.1 cP observed due to additional amylolytic culture (36AC) also support this explanation, because further breakdown of amylose molecules occured (Table 1). In general; the FV of unfermented flour of Pulut Harapan (2017.4±0.7 cP) was lower than that of Anoman I (2630.8±0.1 cP). This is associated with its higher amylopectin content of corn of Pulut Harapan. Flour containing higher amylopectin has shown to produce highly gelatinous dispersions when cooked and form soft and runny gels [22]. This is because amylopectin has more ability to absorb water than that of amylose [23]. Furthermore; for flour with low to medium amylose content, the present of higher percentage of amylopectin molecules may hamper aggregation of free amylose chains during aggregation [22]; as indicated by lower value of FV. After 36 hours of fermentation, however, flour of Pulut Harapan showed increased FV value (Figure 2B; Table 1), suggesting more free amylose was produced to allow the formation of more viscous network. The least increase of FV (of 2079.4±0.1 cP) was observed for corn flour of Pulut Harapan obtained from 36 hour of fermentation with addition of complete culture starter (36CC). This suggests that addition of CC starter would hydrolyze amylose molecule to form shorter chain; reducing FV value. Further addition of amylolytic culture (36AC) however, will increase the FV value (2537.1±1.0 cP). This might be associated with more amylose molecules produced by hydrolysis reaction of amylopectin molecules. The stability of paste during cooling and storage is indicated by SV value; i.e. the differences between FV and TV values. The higher SV value indicates the higher tendency of amylose to retrograde [21] forming a gel structure when the polymer molecules, especially amylose chains, realign themselves. Our results shows that in general, fermentation has caused corn flour of Anoman I variety to have less tendency to retrograde (SV value of 1183.3 to 1512.5 cP) as compared to that of the unfermented one (SV value of 1618.3±0.4 cP). Corn flour of
84
Viscosity (cP)
Time (mins) 36CC 36SF
36AC
U
Time (mins) 36CC 36SF
36AC
Temperature (°C)
B
U
Viscosity (cP)
A
Temperature (°C)
Anoman I with the lowest tendency to retrograde was the one produced from AC fermentation (SV value of 1183.3±0.5 cP); indicating a more intensive hydrolysis of amylose molecule occurred during the fermentation.
Figure 6.2. Pasting profile of corn flour of Anoman 1 (A) and Pulut Harapan (B) varieties made from corn grits after 36hours of fermentation. U: Unfermented flours; 36SF: flour made from corn grits after 36 hours of spontaneous fermentation, 36CC: flour made from corn grits after 36 hours of fermentation with addition of a complete starter culture; 36AC: flour made from corn grits after 36 hours of fermentation with complete culture and additional amylolytic starter (AC) culture at 16 hours of fermentation.
85 Table 6.1. Pasting properties profile of maize flour Anoman 1and Pulut Harapan varieties during 36 hours fermentation. Treatments U Anoman 1 flour Pasting 81.5±30.9 temperature (°C) Peak viscosity 1276.9±24.4 (cP) Trough viscosity 1012,6±27,6 (cP) Breakdown 264.4±36.4 viscosity (cP) Final viscosity 2630.8±0.1 (cP) Setback 1618.3±0.4 viscosity (cP) Pulut Harapan flour Pasting 82.1±25.9 temperature (°C) Peak viscosity 1237.7±20.7 (cP) Trough viscosity 1090,3±29,5 (cP) Breakdown 147.4±15.8 viscosity (cP) Final viscosity 2017.4±0.7 (cP) Setback 927.1±0.8 viscosity (cP)
36SF
36CC
36AC
83.4±28.7
85.0±24.5
82.2±48.8
1451.9±14.8
1290.4±8.8
1193.8±22.6
1156,3±29,7
1062,6±23,3
1065,8±64,3
295.6±35.7
227.8±21.7
128.0±62.6
2579.4±0.0
2575.1±0.0
2249.0±0.1
1423.1±0.3
1512.5±0.3
1183.3±0.5
75.6±37.2
78.4±23.1
78.5±9.9
1680.2±33.3
1638.4±15.4
1790.0±48.1
1248,6±24,0
1251,9±21,1
1439,3±52,7
431.6±22.3
386.6±18.2
350.8±32.5
2443.4±0.0
2079.4±0.1
2537.1±1.0
1194.8±0.8
827.6±0.2
1097.9±2.4
For Pulut Harapan corn, unfermented flour has an SV value of 927.1±0.8 cP (Table 1). Our results showed that fermentation treatments increased tendency to retrograde, except for fermentation with addition of complete culture starter (SV value of 827.6±0.2 cP). Corn flour obtained after 36 hour of spontaneous fermentation (36SF) has an SV value of 1194.8±0.8 cP, and flour of 36AC has an SV value of 1097.9±2.4 cP. This phenomenon is related with their respective FV; as explained in the previous paragraph. Pasting properties of corn flours after 48 hours of fermentation Continued fermentation process of corn grits up to 48 hours of fermentation, resulted in corn flour with pasting profile as presented in Figure 3A (for Anoman I) and 3B (for Pulut Harapan), with their respective pasting parameter presented at Table 2. In general, the PV value of corn flour of both Anoman 1 obtained from fermented corn grits for 48 hours (48SF, 48 CC and 48AC; Figure 3A) is very similar to that of flour obtained from fermented corn grits for 36 hours (36SF, 36
86 CC and 36AC; Figure 2A). For corn of Pulut Harapan, the peak viscosity continued to increase to 1825.4±26.4 (for 48SF) and 2134.5±29.7 (for 48 AC) cP. Again, this phenomenon is associated with higher amylopectin content of Pulut Harapan corn flour because the flour is more resistant to enzymes and acid thus it was able to swell bigger. Interesting results were observed that all fermentation treatments has increased PV values of corn flour of Pulut Harapan variety; but it did not affect the tendency to retrograde; as indicated by the relatively similar SV value (927.1±0.8 cP for unfermented flour, 989.1±1.1 cP for SF, 935.1±0.2 cP for CC and 924.4±0.2 cP for AC flours, Table 2). Table 6.2. Pasting properties profile of maize flour Anoman 1and Pulut Harapan varieties during 48 hours fermentation. Treatments U Anoman 1 flour Pasting 81.5±30.9 temperature (°C) Peak viscosity 1276.9±24.4 (cP) Trough viscosity 1012,6±27,6 (cP) Breakdown 264.4±36.4 viscosity (cP) Final viscosity 2630.8±0.1 (cP) Setback 1618.3±0.4 viscosity (cP) Pulut Harapan flour Pasting 82.1±25.9 temperature (°C) Peak viscosity 1237.7±20.7 (cP) Trough viscosity 1090,3±29,5 (cP) Breakdown 147.4±15.8 viscosity (cP) Final viscosity 2017.4±0.7 (cP) Setback 927.1±0.8 viscosity (cP)
48SF
48CC
48AC
80.8±17.8
83.8±11.7
81.8±32.5
1432.6±4.9
1489.0±18.0
1189.8±13.8
1121,7±23,4
1175,2±29,8
1021,3±47,1
310.9±17.1
313.8±30.9
168.5±36.8
2382.3±0.0
2645.9±0.0
2213.0±0.0
1260.6±1.3
1470.8±0.3
1191.8±0.4
76.9±24.0
79.7±17.2
78.1±49.7
1901.8±29.6
1825.4±26.4
2134.5±29.7
1326,6±48,3
1298,9±38,4
1471,4±62,2
575.2±37.3
526.5±21.9
663.1±57.1
2315.7±0.0
2234.0±0.1
2395.8±0.4
989.1±1.1
935.1±0.2
924.4±0.2
Viscosity (cP)
Time (mins) 48CC 48SF
48AC
U
Time (mins) 48CC 48SF
48AC
Temperature (°C)
B
U
Viscosity (cP)
A
Temperature (°C)
87
Figure 6.3. Pasting profile of corn flour of Anoman 1 (A) and Pulut Harapan (B) varieties made from corn grits after 48 hours of fermentation. U: Unfermented flours; 48SF: flour made from corn grits after 48 hours of spontaneous fermentation, 48CC: flour made from corn grits after 48 hours of fermentation with addition of a complete starter culture; 48AC: flour made from corn grits after 48 hours of fermentation with complete culture and additional amylolytic starter (AC) culture at 16 hours of fermentation.
88 Pasting properties of corn flours after 72hours of fermentation The pasting profile and properties of corn flour of both Anoman 1 and Pulut Harapan obtained after 72 h of fermentation of corn grits was presented at Figure 4 and Table 3. Longer fermentation time (72 hour), the corn flour of Anoman 1 from fermented corn grits had higher value of PV; with the highest value (1487.1±12.6 cP) observed in flour obtained from fermentation process with additional complete culture (72CC). Corn flour of Pulut Harapan obtained from fermentations of corn grits with additional complete culture (72CC) showed further increase in in PV (2038.0±4.4 cP) much higher that that of corn flour obtained from 36 hours of fermentation (36 CC, 1825.4±26.4 cP). Table 6.3. Pasting properties profile of maize flour Anoman 1and Pulut Harapan varieties during 72 hours fermentation. Treatments U Anoman 1 flour Pasting 81.5±30.9 temperature (°C) Peak viscosity 1276.9±24.4 (cP) Trough viscosity 1012,6±27,6 (cP) Breakdown 264.4±36.4 viscosity (cP) Final viscosity 2630.8±0.1 (cP) Setback 1618.3±0.4 viscosity (cP) Pulut Harapan flour Pasting 82.1±25.9 temperature (°C) Peak viscosity 1237.7±20.7 (cP) Trough viscosity 1090,3±29,5 (cP) Breakdown 147.4±15.8 viscosity (cP) Final viscosity 2017.4±0.7 (cP) Setback 927.1±0.8 viscosity (cP)
72SF
72CC
72AC
83.3±14.0
82.7±10.3
82.0±23.3
1470.5±6.9
1487.1±12.6
1251.8±44.0
1113,6±26,9
1179,6±12,5
1238,3±43,6
356.9±26.6
307.4±13.9
176.6±33.7
2459.5±0.0
2427.9±0.1
2263.3±2.3
1345.9±0.2
1248.3±0.1
1188.1±4.1
77.4±23.0
78.7±19.2
77.9±47.8
1701.0±37.7
2038.0±4.4
2148.3±40.3
1214,9±11,2
1333,2±16,3
1203,1±40,9
486.1±26.6
704.8±9.2
782.0±21.9
2091.8±0.1
2357.3±0.1
2190.4±2.0
876.9±0.5
1024.1±0.2
824.1±4.7
Viscosity (cP)
Time (mins)72ACC 72 SF
B
Viscosity (cP)
U
72AC
3000
120
2500
100
2000
80
1500
60
1000
40
500
20
0
Temperature (°C)
A
Temperature (°)
89
0 0
5
U
10 15 Time (mins) 72SF
72CC
20
72 AC
Figure 6.4. Pasting profile of corn flour of Anoman 1 (A) and Pulut Harapan (B) varieties made from corn grits after 72 hours of fermentation. U: Unfermented flours; 72SF: flour made from corn grits after 72 hours of spontaneous fermentation, 72CC: flour made from corn grits after 72 hours of fermentation with addition of a complete starter culture; 72AC: flour made from corn grits after 72 hours of fermentation with complete culture and additional amylolytic starter (AC) culture at 16 hours of fermentation.
90 CONCLUSION Fermentation process of corn grits affected the pasting properties of the resulting flour, both for Anoman I and Pulut Harapan corn varieties. The differences in the effect of fermentation process on pasting properties were due to the different amylose content of the corn varieties; as observed in Anoman I (high amylose content) and Pulut Harapan (low amlyose content) varieties. The addition of starter culture containing amylolytic microorganisms at 16 h of fermentation (AC) resulted in corn flour of Anoman I with lower values of PV, BV, FV, and SV. Meanwhile for corn flour of Pulut Harapan variety, CC fermentation resulted in flour with higher value of PV, BV, FV, and SV. In general, AC fermentation of corn grits could increase the stability of paste for flour containing higher amylose content, but decreased the stability of paste for flour containing high amylopectin. Specifically, fermentation with complete starter culture (CC) caused significant increase in the peak viscosity value especially for corn flour of Pulut Harapan. Fermentation for up to 48 h has resulted in corn flour of Pulut Harapan variety having higher value of PV; but it did not affect the tendency to retrograde. References [1] Aini, N., Hariyadi, P. Gelatinization properties of white maize starch from three varieties of corn subject to oxidized and acetylated-oxidized modification. International Food Research Journal 2010, 17, 961-968. [2] Aini, N., Hariyadi, P., Muchtadi, T.R., Andarwulan, N. Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan sifat gelatinisasi tepung jagung putih yang dipengaruhi ukuran partikel. J Teknol dan Industri Pangan 2010, 21, 18-24. [3] Nago, M.C., Hounhouigan, J.D., Akissoe, N., Zanou, E., Mestres, C. Characterization of the Beninese traditional Ogi, a fermented maize slurry: Phisicochemical and Microbiological aspects. Int J Food Sci Tech 1998. 33. 307-315. [4] Ben Omar, N., Ampe, F. Microbial community dynamics durin production of the Mexican fermentee maize dough pozol. Applied & environmental microbiology 2000, 66, 3664-3673. [5] Rahmawati, Dewanti-Hariyadi R., Hariyadi P., Fardiaz D., Richana, N. Isolation And Identification Of Microorganisms During Spontaneous Fermentation Of Maize. J.Teknol. dan Industri Pangan 2013, 24, 38-44. [6] Suarni, U. Karakteristik sifat fisikokimia dan amilograf tepung jagung sebagai bahan pangan. Prosiding seminar dan lokakarya nasional Makasar 2005. Pusat penelitian dan pengembangan tanaman pangan. Badan penelitian dan pengembangan pertanian. Departemen Pertanian. 2005. [7] Ghosh, B., Ray, R.R. Current commercial perspective of Rhizopus oryzae: A review. Journal of Applied Sciences 2011, 11, 2470-2486. DOI;10.3923/jas.2011. 2470.2486 [8] Tang, B., Pan, H., Tang, W., Zhang, Q., Ding, L., Zhang, F. Fermentation and purification of cellulase from a novel strain Rhizopus stolonifer var. reflexus TP-02.biomass and bio energy 2012, 36, 366-372.
91 Doi:10.1016/j.biombioe.2011.11.003 [9] Heerd, D., Yegina, S., Tari, C., Fernandez-Lahore, M. Pectinase enzymecomplex production by Aspergillus spp. In solid-state fermentation: A comparative study. food and bioproducts processing 2012, 90, 102–110. Doi:10.1016/j.fbp.2011.08.003 [10] Panagiotou, G., Kekos, D., Macris, B.J., Christakopoulos, P. Production of cellulolytic and xylanolytic enzymes by Fusarium oxysporum grown on corn stover in solid state fermentation. Industrial Crops and Products 2003, 18, 37-45 [11] Li X.Y., Liu Z.Q., Chi Z.M. Production of phytase by a marine yeast Kodamaea ohmeri BG3 in an oats medium: Optimization by response surface methodology. Bioresource Technology 2008, 99: 6386–6390. DOI:10.1016/j.biortech.2007.11.065. [12] Bussamara, R., Fuentefria, A. M., de Oliveira, E.S., Broetto, L., Simcikova, M., Valente, P., Schrank, A., Vainstein, M.H. Isolation of a lipase-secreting yeast for enzyme production in a pilot-plant scale batch fermentation. Bioresource Technology 2010, 101, 268–275. [13] Mohamed, L., Zakaria M., Ali, A., Senhaji, W., Mohamed, O., Mohamed, E., EL Hassan B., Mohamed, J. Optimization of growth and extracellular glucoamylase production by Candida famata isolate. African Journal of Biotechnology 2007, 6, 2590-2595. [14] Wojtatowicz, M., Chrzanowska, J., Juszczyk, P., Skiba, A., Gdula, A. Identification and biochemical characteristics of yeast microflora of Rokpol cheese. Int J Food Microbiol. 2001, 69, 135–140. DOI:10.1016/S0168-1605(01)00582-7. [15] Omemu, A.M., Oyewole, O.B., Bankole, M.O.. Significance of yeasts in the fermentation of maize for ogi production. Food Microbiol 2007, 24, 571576. DOI:10.1016/j.fm.2007.01.006. [16] Zhu, Li-Jia, Liu, Qiao-Quan, Sang, Y., Gu, Ming-Hong, Shi, Yong-Cheng. Underlying reasons for waxy rice flours having different pasting properties. Food Chemistry 2010, 120, 94–100. [17] Claver, I.P., Zang, H., Li, Q., Zhu, K, Zhou, H. Impact of the soak and the malt on the physicochemical properties of the sorghum starches. Int J Mol Sci. 2010, 11, 3002-3015. Doi:10.3390/ijms11083002. [18] Sandhu KS, Singh N, Malhi NS. Some properties of corn grains and their flours I: Physicochemical, functional and chapati-making properties of flours. Food Chemistry, 2007, 101, 938–946 [19] Xie, S.X., Liu, Q., and Cui, S.W. in Cui, S.W. (Eds). Food Carbohydrates: Chemistry, Physical Properties, and Applications. Taylor & Francis Group, 2005. [20] Oke, M.O., Bolarinwa, I.F. 2012. Effect of Fermentation on Physicochemical Properties and Oxalate Content of Cocoyam (Colocasia esculenta) Flour. International Scholarly Research Network. ISRN Agronomy. Volume 2012, Article ID 978709, 1-4 pages. doi:10.5402/2012/978709 [21] Zaidul, I.S.M., Nik Norulaini, N.A., Omar, A.K.M., Yamauchi, H., Noda, T.
92 RVA analysis of mixtures of wheat flour and potato, sweet potato, yam, and cassava starches. Carbohydrate Polymers 2007, 69, 784–791. doi:10.1016/j.carbpol.2007.02.021 [22] Blazek, J., Copeland, L. Pasting and swelling properties of wheat flour and starch in relation to amylose content. Carbohydrate Polymers 2008,71, 380– 387. [23]Wong, D.W.S. Mechanism and theory in food chemistry. AVI Book-New York, 1989.
93 7 PENGARUH FERMENTASI DENGAN PENAMBAHAN KULTUR STARTER TERHADAP SIFAT FISIK TEPUNG JAGUNG VARIETAS ANOMAN 1 DAN PULUT HARAPAN
ABSTRAK Jagung putih lokal sedang dikembangkan di Indonesia khususnya sebagai bahan baku pangan. Pemanfaatan jagung dalam bentuk tepung lebih mudah untuk diaplikasikan sehingga banyak dilakukan. Kebanyakan masyarakat membuat tepung jagung dengan merendam, meniriskan, mengeringkan dan menggiling grits jagung hasil perendaman. Selama perendaman terjadi fermentasi spontan yang memengaruhi karakteristik fisikokimia tepung yang dihasilkan. Proses fermentasi spontan umumnya mengandalkan mikroba yang ada pada bahan baku dan lingkungan sekitar sehingga konsistensi kualitas produk sulit diperoleh. Untuk mendapatkan tepung dengan sifat yang konsisten, maka perlu dilakukan fermentasi yang lebih terkendali misalnya dengan penambahan kultur starter yang komposisi mikrobanya diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisik tepung jagung varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan hasil fermentasi dengan penambahan kultur starter. Fermentasi dengan penambahan kultur starter dilakukan dengan menggunakan mikroba amilolitik, yaitu Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum, dan Candida famata dan mikroba non-amilolitik, yaitu Penicillium chrysogenum, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, Fusarium oxysporum, Kodamaea ohmeri dan Candida krusei/incospicua, Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, Lactobacillus plantarum1b, Lactobacillus paracasei ssp paracasei3 (Rahmawati et al. 2013). Perlakuan yang diberikan, yaitu: (1) Kontrol (SF)-tanpa penambahan kultur starter; (2) Penambahan kultur starter lengkap pada 0 jam fermentasi (CC); dan (3) CC dan ditambah dan mikroba amilolitik pada 16 jam fermentasi (AC). Pengamatan dilakukan pada 0, 36, 48, dan 72 jam. Hasil penelitian menunjukkah bahwa proses fermentasi dengan penambahan kultur starter (CC dan AC) hingga 72 jam memengaruhi sifat fisik tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan yang dihasilkan. Sifat fisik yang dipelajari meliputi kekerasan gel, kelengketan gel, derajat putih, kapasitas penyeraan air, dan kapasitas penyerapan minyak tepung jagung yang dihasilkan. Kekerasan gel meningkat dengan semakin lama fermentasi. Penambahan kultur starter meningkatkan kekerasan gel tepung Anoman 1 selama fermentasi di mana kekerasan gel perlakuan AC lebih besar dari perlakuan CC yang lebih besar dari perlakuan SF. Kekerasan gel tepung Anoman 1 cenderung lebih tinggi dibandingkan Pulut Harapan. Hal ini berkaitan dengan kandungan amilosa yang tinggi pada tepung Anoman 1. Waktu fermentasi meningkatkan kelengketan gel tepung Anoman 1 dan Pulut Harapan yang dihasilkan. Penambahan kultur starter AC menyebabkan peningkatan kelengketan gel tepung Pulut Harapan lebih rendah dibandingkan perlakuan SF dan CC. Sehingga kelengketan gel tepung Pulut harapan dengan perlakuan SF lebih besar dibandingkan CC yang lebih besar
94 dari AC. Waktu fermentasi meningkatkan derajat putih kedua varietas tepung, hal ini diduga berkaitan dengan menurunnya kandungan protein tepung. Waktu fermentasi juga sedikit meningkatkan kapasitas penyerapan air terutama tepung Anoman 1, namun sedikit menurunkan kapasitas penyerapan minyak pada ke dua varietas tepung jagung hasil fermentasi.
PENDAHULUAN Jagung merupakan sumber karbohidrat penting setelah beras di Indonesia, namun telah menjadi kurang populer karena ketidaknyamanan dalam persiapannya. Secara tradisional, tepung jagung dibuat dengan merendam kernel jagung dalam air diikuti dengan proses penirisan, penggilingan dan pengeringan. Selama perendaman terjadi fermentasi spontan yang memengaruhi karakteristik fisikokimia tepung jagung (Aini et al. 2010). Hasil penelitian Aini et al. (2010) menunjukkan bahwa adanya berbagai mikroorganisme selama fermentasi spontan memengaruhi sifat fisikokimia tepung jagung putih yang dihasilkan. Fermentasi spontan menurunkan kadar protein, lemak, serat kasar, abu, pati, gula reduksi, pH, bulk density, dan kapasitas penyerapan lemak dari tepung yang dihasilkan, sementara itu meningkatkan sudut curah, keputihan, dan kapasitas penyerapan air. Fermentasi selama 24 jam mengurangi suhu gelatinisasi dari 82C sampai 76.2 C. Sedangkan fermentasi selama 72 jam meningkatkan suhu gelatinisasi tepung jagung menjadi 85.2 C. Fermentasi selama 48 jam meningkatkan viskositas puncak tepung (648 BU), sedangkan fermentasi selama 72 jam mengalami penurunan viskositas puncaknya sampai 550 BU yang mirip dengan tepung yang tidak difermentasi. Fermentasi selama 12 sampai 60 jam meningkatkan stabilitas panas tepung jagung. Sementara itu, fermentasi hingga 36 jam mengurangi kecenderungan retrogradation tepung jagung dan perendaman 48 jam meningkatkan kekerasan gel dibandingkan dengan tepung yang tidak difermentasi. Hasil di atas menunjukkan bahwa ada kemungkinan untuk memperoleh sifat fisikokimia yang diinginkan dari tepung jagung dengan mengendalikan proses fermentasi. Saat ini, fermentasi jagung pada umumnya dilakukan secara spontan dengan mengandalkan mikroorganisme alami yang ada pada bahan baku. Hal ini menyebabkan konsistensi kualitas produk sulit diperoleh. Beberapa penelitian tentang fermentasi spontan jagung telah dilaporkan, seperti pada pembuatan ogi (Nago et al. 1998) dan pozol (ben Omar dan Ampe 2000). Selama fermentasi, diisolasi kapang, kamir, dan bakteri asam laktat, di mana mikroorganisme ini ada yang bersifat amilolitik, lipolitik, dan proteolitik. Pada fermentasi spontan grits jagung putih varietas Anoman 1diisolasi delapan jenis kapang, tiga spesies kamir, dan lima spesies BAL. Empat dari delapan isolat kapang dan satu dari tiga isolat kamir bersifat amilolitik, yaitu P. citrinum, Aspergillus flavus, A. niger, Acremonium strictum, dan Candida famata. Kapang dan kamir non-amilolitik yang tumbuh selama fermentasi spontan grits jagung adalah P chrysogenum, R oryzae, R stolonifer, F oxysporum, Kodamaea ohmeri dan Candida krusei/incospicua. Lima spesies BAL bersifat non-amilolitik terdiri
95 dari Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, Lactobacillus plantarum1b, Lactobacillus paracasei ssp paracasei3 (Rahmawati et al. 2013). Ke enam belas mikroba ini digunakan pada penelitian ini sebagai starter. Pemanfaatan jagung khususnya jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut, saat ini sedang dikembangkan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian sebagai varietas unggulan nasional. Jagung putih varietas Anoman 1 tergolong jagung tinggi amilosa (29,92%), sedangkan varietas Pulut termasuk jagung tipe jagung ketan (waxy corn) dengan kandunga amilopektin 95.75% dan amilosa 4.25% (Suarni 2005). Perbedaan kandungan amilosa dan amilopektin diduga memengaruhi sifat pasting tepung yang dihasilkan. Untuk mengetahui hal itu maka pada penelitian ini digunakan kedua jenis jagung tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh fermentasi dengan penambahan kultur starter terhadap sifat fisik tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan.
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Jagung yang digunakan adalah jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, Sulawesi. Biji jagung varietas Anoman 1 mengandung amilosa tinggi (29.92 %), sedangkan biji jagung varietas Pulut lokal mengandung amilosa rendah (4.25 %) (Suarni 2005). Mikroba yang digunakan sebagai kultur starter terdiri dari mikroba amilolitik yaitu Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum, dan Candida famata serta mikroba non amilolitik yaitu Penicillium chrysogenum, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer, Fusarium oxysporum, Kodamaea ohmeri dan Candida krusei/incospicua, Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, Lactobacillus paracasei ssp paracasei3. Mikroorganisme yang digunakan merupakan hasil isolasi dan identifikasi dari fermentasi spontan grits jagung (Rahmawati et al. 2013). Alat yang digunakan adalah seperangkat alat pembuatan tepung, Whiteness meter merek Photoelectric Tube Whiteness meter electric laboratory C-100-3, Stable Micro System (TAXT-2 Texture Analyzer). Metode Proses Fermentasi dengan penambahan kultur starter Kernel jagung dicuci dengan air minum dalam kemasan (AMDK) dengan perbandingan kernel jagung : air = 1 : 4) dan dibuat menjadi grits (≥4 mm) dengan menggunakan pin disc mill. Grits jagung kemudian dicuci dengan AMDK (grits jagung : air = 1 : 4) dan ditiriskan selama 30 menit. Fermentasi grits jagung dilakukan dengan merendam grits jagung dalam AMDK (grits : air = 1 : 2) dalam
96 wadah tertutup hingga 72 jam pada suhu ruang (±28 °C). Penambahan mikroba sebanyak 106 CFU/mL per mikroba dilakukan sesuai perlakuan. Pengambilan sampel dilakukan pada 0, 36, 48, dan 72 jam fermentasi. Selanjutnya grits jagung ditiriskan, dikeringkan, dan digiling menjadi tepung. Pembuatan kultur starter Satu ose kapang digoreskan di atas agar miring PDA dan diinkubasi pada suhu 30 °C selama 5 hari. Setelah 5 hari kapang dipanen dengan mengerok permukaan agar, melarutkannya dalam 10 mL air steril dan mengencerkannya dengan tepat untuk menghitung jumlah koloni dengan hemasitometer. Kultur khamir disiapkan seperti di atas tetapi diinkubasi pada suhu 30 °C selama 2 hari. Penghitungan jumlah khamir juga dengan menggunakan hemasitometer. Sementara itu, kultur BAL disiapkan dengan memindahkan setiap satu ose kultur BAL ke dalam median MRS broth dan menginkubasi selama 24 jam pada suhu 30 °C dengan menggunakan inkubator bergoyang. Setelah 24 jam, kultur disetrifugasi secara aseptik selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm pada suhu 4 °C dan pellet sel dilarutkan dalan buffer fosfat. Perlakuan Fermentasi dengan penambahan kultur starter Kultur starter lengkap dibuat dari semua kapang, khamir, dan BAL yang telah disiapkan seperti di atas. Kultur starter amilolitik dibuat dari Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum, and Candida famata. setiap kultur mikroba diinokulasi ke dalam wadah berisi grits jagung dan air sedemikian rupa sehingga konsentrasi awal masing-masing mikroba 106 CFU/mL. Fermentasi yang dipelajari terdiri dari: fermentasi spontan (SF), yaitu merendam grits jagung dalam air sebagai kontrol dan fermentasi dengan penambahan kultur starter. Dua perlakuan pada fermentasi dengan penambahan kultur starter terdiri dari: (CC) fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap pada 0 jam atau pada awal fermentasi, dan (AC) fermentasi CC dengan inokulasi tambahan kultur starter amilolitik setelah 16 jam fermentasi. Pengamatan dilakukan pada tepung yang dihasilkan dari grits setelah 0, 36, 48, dan 72 jam fermentasi. Kekerasan (hardness) dan Kelengketan (adhesiveness) Gel Kekerasan adalah gaya yang diperlukan untuk menekan makanan di antara geraham, sedangkan kelengketan adalah kerja yang dibutuhkan untuk menarik produk menjauh dari suatu permukaan (Rosenthal 1999). Profil tekstur disajikan pada Gambar 7.1. Kekerasan (g) diukur dari gaya puncak pada kurva, sedangkan kelengketan diukur dari nilai negatif area 3. Pengukuran kekerasan gel dilakukan dengan menggunakan alat Stable Micro System (TAXT-2 Texture Analyzer). Pembuatan gel dilakukan dengan memodifikasi metode yang dikembangkan oleh Lee (2011). Gel dibuat dengan melarutkan 15 g tepung dalam 100 mL air destilasi kemudian dipanaskan selama 15 menit pada suhu 92C. Pasta yang masih panas dimasukkan ke dalam silinder plastik (diameter bagian dalam ±3.5 cm, tinggi 2.0 cm), ditutup dengan plastik dan disimpan selama 24 jam dalam lemari pendingin (suhu ± 4 C). Gel ditekan
97 dengan silinder berdiameter 1 cm dan panjang 2.5 cm. Kecepatan probe 1.00 mm/s; beban 100 g dan kedalaman 4 mm.
Gambar 7.1. Kurva analisis profil tekstur Derajat putih tepung jagung (Whiteness meter) Derajat putih tepung diukur dengan Photoelectric Tube Whiteness meter electric laboratory C-100-3. Untuk mengukur derajat putih terlebih dahulu dilakukan standarisasi dengan menggunakan Barium Sulfat yang dianggap memiliki derajat putih 87%. Setelah itu sampel-sampel dimasukkan dalam kotak pengukur untuk mengukur derajat putihnya. Kapasitas penyerapan air secara gravimetri (Kadan et al. 2003). Tabung sentrifuse diisi 2 g sampel tepung jagung yang ditimbang berat tabung dan sampel (a), kemudian ditambah 9 ml aquadest dan divortex. Selanjutnya didiamkan selama 30 menit kemudian disentrifuse 3000 rpm selama 15 menit dan didekatansi, kemudian ditimbang beratnya (b). Kapasitas penyerapan air = Kapasitas penyerapan minyak secara gravimetri (Kadan et al. 2003). Sebanyak 1 g sampel tepung jagung dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse dan ditimbang beratnya (a), dicampur dengan 9 ml minyak kemudian divortex selama 1 menit dan ditempatkan dalam waterbath 50 0C selama 15 menit. Kemudian divortex lagi selama 1 menit dan dipanaskan dalam waterbath 50 0C selama 15 menit. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi selama 10 menit pada 1650 x g, dilakukan dekatansi minyak dan ditimbang beratnya (b). Kapasitas penyerapan minyak =
98 HASIL DAN PEMBAHASAN
Force (g)
Profil tekstur tepung jagung putih yang dihasilkan dari jagung varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan yang di fermentasi sampai dengan 72 jam disajikan pada Gambar 7.2. Secara umum tekstur dinyatakan sebagai kekerasan dan kelengketan gel. Kekerasan gel merupakan nilai batas elastisitas gel atau kemampuan maksimal gel untuk menahan beban sebelum pecah.
A
360 330 300 270 240 210 180 150 120 90 60 30 0 -30 0
3
6
9
12
15
Time (sec)
B
Force (g)
0 jam 360 330 300 270 240 210 180 150 120 90 60 30 0 -30 0
3
72SF
72CC
6
9
72AC
12
15
Time (sec) 0 jam
72SF
72CC
72AC
Gambar 7.2. Profil tekstur tepung tepung jagung putih varietas Anoman 1 (A) dan Pulut Harapan (B) selama fermentasi. 72SF: tepung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi spontan 72 jam; 72CC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah 72 jam fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; 72AC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah 72 jam fermentasi dengan kultur CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi Profil tekstur tepung jagung putih varietas Anoman 1 (Gambar 7.2.A) pada 72 jam fermentasi cenderung elastis. Sampai menit ke 10 pada saat probe naik, belum terlihat adanya titik pecah gel. Tepung Anoman 1 yang mendapat
99 perlakuan 72CC dan 72AC cenderung mempunyai kekerasan gel yang lebih tinggi dibandingkan 0 jam dan 72SF. Selama fermentasi diduga enzim menghidrolisis komponen-komponen tepung. Enzim amilase menyerang ikatan α-1,4-Dglikosidik pati (Zhu et al. 2010) sehingga struktur granula menjadi lemah dan membentuk pori di dalam granula pati yang memfasilitasi penyerapan air ke dalam granula. Semakin tinggi kadar air, pada saat pemasakan gel yang terbentuk akan semakin kuat. Dengan semakin lama fermentasi, penyerapan air akan lebih tinggi sehingga pada saat dipanaskan amilosa akan leaching dan pada saat didinginkan amilosa akan bergabung kembali membentuk jaringan gel. Selama fermentasi protein, lemak, abu dan serat juga akan terhidrolisis. Dengan adanya protein dan lemak, amilosa akan membentuk ikatan amilosa-protein dan amilosalemak yang akan meningkatkan kekerasan gel. Pada pH rendah, pati lebih cepat tergelatinisasi dan akan menghasilkan gel yang semakin kuat. Nilai pH ke dua tepung pada 72 jam fermentasi dibandingkan 0 jam berturut-turut berkisar antara 4.40 – 4.69 dan 6.13-6.17. Tepung jagung putih varietas Pulut Harapan yang difermentasi sampai 72 jam, mempunyai profil tekstur yang berbeda dengan tepung Anoman 1 (Gambar 7.1.b). Kekerasan gel ditentukan oleh terbentuknya gel pada saat pemanasan dan proses pendinginan setelah pemanasan. Semakin tinggi kandungan amilosa, penggabungan kembali rantai lurus amilosa pada saat pendinginan akan membentuk jaringan gel yang semakin kuat. Hal ini akan meningkatkan kekerasan gel. Sebaliknya, semakin rendah kandungan amilosa, pembentukan jaringan gel pada saat pendinginan akan semakin sedikit sehingga akan menghasilkan gel yang kekerasannya lebih rendah. Tepung Pulut Harapan mengandung amilosa rendah, di mana selama fermentasi amilosa yang ada terhidrolisis maka kandungan amilosa akan berkurang. Dengan semakin berkurangnya kandungan amilosa, maka pada saat pendinginan proses penggabungan kembali amilosa membentuk jaringan gel akan sedikit sehingga akan menghasilkan jaringan gel yang lemah. Selama fermentasi diduga rantai cabang amilosa ada yang dihidrolisis oleh enzim glukoamilase. Hal ini ditunjukkan oleh meningkatnya kandungan amilosa pada perlakuan 36CC dan 48CC dibandingkan 0CC, yaitu berturut-turut 13.79% dan 13.81% dibandingkan 13.70% (data tidak ditunjukkan). Namun, pada fermentasi 72 jam, rantai lurus tersebut sudah terpotong menjadi bentuk sederhana sehingga kandungan amilosa menurun kembali pada 72 jam fermentasi, yaitu menjadi 12.9 %. Profil kekerasan dan kelengketan gel tepung jagung varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan selama 72 jam fermentasi akan diuraikan berikut ini. Kekerasan gel Kekerasan gel tepung jagung putih varietas Anoman 1 yang di fermentasi sampai dengan 72 jam cenderung meningkat dengan semakin lama waktu fermentasi (Gambar 7.3A). Kekerasan gel dipengaruhi oleh perbedaan sifat reologi matriks amilosa, fraksi volume, dan ketegaran granula pati tergelatinisasi, serta interaksi antara fase kontinyu dan fase terdispersi pada gel (Aini dan Hariyadi 2007). Selama fermentasi, komponen tepung akan terpotong menjadi
100
A
Kekerasan gel (gf) Anoman
komponen yang lebih sederhana sehingga memudahkan penyerapan air ke dalam granula. Dengan semakin lama waktu fermentasi akan semakin banyak amilosa dan komponen lain yang terpotong. Dengan ukuran granula yang semakin kecil dan air yang terserap semakin banyak, maka pada saat pemanasan akan meningkatkan viskositas dan jumlah amilosa yang leaching pada saat granula pecah. Dengan semakin tingginya amilosa yang keluar jaringan maka pada saat pendinginan kecenderungan proses rekristalisasi amilosa membentuk gel akan semakin tinggi. Sehingga kekerasan gel akan meningkat. Penambahan mikroba amilolitik pada 16 jam fermentasi (perlakuan AC) meningkatkan aktivitas mikroba amilolitik untuk menghidrolisis amilosa menjadi oligosakarida. Hal ini meningkatkan kekerasan gel selama fermentasi. 600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
SF
CC AC
B
Kekerasan gel (gf)
0
12
24 36 48 Waktu fermentasi (jam)
60
72
600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
SF CC AC
0
12
24 36 48 Waktu fermetasi (jam)
60
72
Gambar 7.3. Kekerasan gel (gf) tepung jagung putih varietas Anoman 1(A) dan Pulut Harapan (B) selama fermentasi. SF: tepung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi spontan; CC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; AC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah fermentasi CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi
101 Kekerasan gel tepung jagung putih varietas Pulut Harapan cenderung meningkat dengan semakin lama waktu fermentasi (Gambar 7.3B). Namun kekerasannya relatif lebih rendah dibandingkan tepung Anoman 1. Rendahnya kekerasan gel pada tepung Pulut Harapan berkaitan dengan kandungan amilosa yang rendah. Perbedaan kekerasan gel terutama disebabkan perbedaan kandungan amilosa dan amilopektin kedua jenis jagung. Menurut Murano (2003) semakin tinggi kandungan amilosa dari pati, semakin tinggi kemampuannya membentuk gel. Pati yang mengandung amilopektin tinggi, umumnya memiliki kemampuan membentuk gel yang lemah dan lengket. Selain itu, menurunnya beberapa komponen kimiawi seperti pH, kadar protein, abu, dan serat kasar diduga memengaruhi kekerasan gel. Miao et al. 2011 melaporkan tingkat keasaman akan memengaruhi pembentukan gel. Pada pH rendah pati lebih cepat tergelatinisasi dan menghasilkan gel yang kuat. Pada pH yang terlalu rendah (pH 1-2) menyebabkan daerah amorf menurun yang dapat menurunkan kemampuan amilase mendegradasi daerah kristalin. Hal ini akan menurunkan kekerasan gel. Menurut Kilara (2006) gel akan lemah pada pH 1-2 dan pH>10, di mana pada pH 12 tidak terbentuk gel. Namun pada penelitian ini nilai pH tepung berkisar 6.04 - 6.24 pada 0 jam fermentasi menjadi 4.40 - 4.69 pada 72 jam fermentasi sehingga pati belum terhidrolisis seluruhnya. Hal ini menyebabkan kekerasan gel meningkat dengan menurunnya nilai pH. Semakin tinggi kadar protein tepung jagung, menghasilkan kekerasan gel yang semakin rendah. Menurut Aini et al. (2010) mekanisme terbentuknya interaksi protein-pati terjadi tanpa adanya panas. Hal ini merupakan interaksi antar muatan yang dipengaruhi oleh pH dan titik isoelektrik protein. Pemanasan akan meningkatkan kompleksitas reaksi antara pati dan protein. Perubahan protein karena panas berhubungan dengan denaturasi protein yang dipercepat dengan adanya air. Denaturasi protein berhubungan adanya interaksi antara protein seperti jembatan disulida antara gugus sistein membentuk ikatan silang. Hal ini menyebabkan pati kehilangan kristalinitas, pengembangan granula dan amilosa leaching, sehingga granula pecah dan amilosa membentuk gel. Interaksi antara protein-pati menentukan kekerasan gel. Kelengketan Gel Secara umum kelengketan gel tepung jagung varietas Anoman 1 cenderung meningkat dengan semakin lama fermentasi untuk semua pelakuan. Demikian juga kelengketan tepung jagung putih varietas Pulut Harapan (Gambar 7.4B). Secara umum kelengketan gel tepung Pulut Harapan relatif lebih tinggi dibandingkan tepung Anoman 1. Kelengketan gel berkaitan dengan kandungan amilosa dan amilopektin serta ikatan lemak-amilosa. Ortega-Ojeda et al. (2004) melaporkan bahwa rasio amilosa/amilopektin memengaruhi pembentukan dan kelengketan gel. Semakin tinggi kandungan amilopektin, pasta akan semakin lengket. Menurut Blazek dan Copeland (2008) tepung yang mengandung amilopektin tinggi menghasilkan dispersi yang lebih kental ketika dimasak dan membentuk gel yang lembut dan mengalir. Hal ini karena amilopektin
102 mempunyai kemampuan menyerap air yang lebih tinggi dari amilosa, khususnya di daerah kristalin jika ada energi panas yang cukup untuk mengganggu ikatan Hidrogen yang lemah di antara misel kristalin (Wong 1989).
A
Kelengketan gel (gf)
40,00 35,00 30,00 25,00
20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 0
12
24
36
48
60
72
Waktu fermentasi (jam)
B
Kelengketan gel (gf)
SF
CC
AC
40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 0
12
24
36
48
60
72
Waktu fermentasi (jam) SF
CC
AC
Gambar 7.4. Kelengketan gel (gf) tepung jagung putih varietas Anoman 1(A) dan Pulut Harapan (B) selama fermentasi. SF: tepung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi spontan; CC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; AC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah fermentasi CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi Selama fermentasi, enzim glukoamilase akan mengkatalisis ikatan α 1-4 dan 1-6 glikosidik yang akan meningkatkan jumlah rantai lurus dan adanya asam yang diproduksi oleh BAL dapat menyerang daerah amorph pada pati yang berikatan pada titik α-1,6 glikosidik. Hal ini meningkatkan fraksi linier pada pati (Xie et al. 2005). Pada saat pemanasan gel mengembang, setelah pemanasan dipertahankan beberapa waktu akan menyebabkan amilosa cenderung larut dan lepas ke dalam
103 media. Pada saat didinginkan tepung yang mengandung amilosa tinggi cenderung bergabung kembali membentuk matriks gel yang kuat dan padat sehingga kecenderungan membentuk gel yang lengket menjadi kecil. Pada tepung yang tinggi amilopektin pada saat didinginkan rantai lurus amilosa yang berjumlah sedikit cenderung membentuk gel, namun rantai cabang amilopektin sebelah luar cenderung menyerap air dan adanya kompleks amilosa-lemak yang terjadi pada permukaan gel akan menghambat pengembangan dan meningkatkan kelengketan gel pada saat didinginkan (Kaur dan Singh 2000). Hal ini menyebabkan kelengketan gel pada tepung Pulut Harapan cenderung lebih tinggi dibandingkan Anoman 1. Penambahan kultur starter cenderung menurunkan kelengketan gel tepung Pulut Harapan selama 72 jam fermentasi. Perlakuan AC menurunkan kelengketan gel lebih tinggi dibandingkan perlakuan CC. Hal ini diduga berkaitan dengan terpotongnya rantai cabang amilopektin sebelah luar yang menyebabkan berkurangnya rantai cabang amilopektin sehingga kemampuan gel menyerap air semakin berkurang dan hal ini diduga mengurangi kelengketan gel. Derajat Putih Derajat putih tepung jagung varietas Anoman 1 cenderung meningkat dengan semakin lama waktu fermentasi (Tabel 7.1). Derajat putih tepung jagung varietas Anoman 1 secara umum berkisar antara 64.7-64.9% pada 0 jam fermentasi menjadi 68.7-69.8% pada 72 jam fermentasi. Meningkatnya derajat putih menunjukkan bahwa lama fermentasi akan meningkatkan warna putih tepung jagung. Tabel 7.1. Derajat putih (%) tepung jagung hasil fermentasi dengan penambahan kultur starter Waktu fermentasi Perlakuan SF CC AC Tepung jagung varietas Anoman 1 0 66.0±1.9 66.0±1.9 66.0±1.9 36 67.4±2.5 67.9±3.7 67.2±0.4 48 67.6±0.4 68.5±3.6 68.1±1.2 72 68.7±0.7 69.3±3.5 69.8±2.0 Tepung jagung varietas Pulut Harapan 0 65.5±2.7 65.5±2.7 65.5±2.7 36 67.1±3.2 67.9±3.7 68.2±0.7 48 68.2±4.4 68.7±3.6 69.5±0.7 72 69.3±3.3 69.8±3.5 70.1±2.0
Trend yang sama ditemukan pada tepung jagung putih varietas Pulut Harapan, di mana secara umum derajat putih tepung meningkat dengan semakin lama fermentasi. Derajat putih tepung Pulut Harapan berkisar antara 65.3-65.7 %
104 pada 0 jam fermentasi menjadi 69.3-70.1 % pada 72 jam fermentasi. Secara umum derajat putih tepung jagung varietas Pulut Harapan lebih tinggi dibandingkan Anoman 1. Hal ini karena warna kernel jagung putih varietas Pulut Harapan lebih putih dibandingkan Anoman 1. Derajat putih seluruh tepung, meningkat dengan semakin lama fermentasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Aini et al. 2010 di mana derajat putih dipengaruhi kandungan protein tepung. Semakin tinggi kandungan protein tepung derajat putih tepung semakin rendah. Hal ini karena reaksi pencoklatan non enzimatis antara protein dan gula reduksi menghasilkan warna coklat sehingga menurunkan derajat putih tepung. Selain itu semakin rendah pH tepung, kemungkinan terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis semakin rendah sehingga derajat putih tepung semakin tinggi. Nilai pH tepung jagung varietas Pulut berkisar antara 6.14 - 6.21 pada 0 jam fermentasi dan 4.41 - 4.62 pada 72 jam fermentasi. Tepung jagung Anoman 1 mempunyai pH 6.04 - 6.24 pada 0 jam fermentasi menjadi 4.40 - 4.69 pada 72 jam fermentasi. Kapasitas Penyerapan Air Kapasitas penyerapan air mengambarkan banyaknya air yang tersedia untuk gelatinisasi (Elkhalifa et al. 2005). Kapasitas penyerapan air tepung jagung varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan secara umum cenderung meningkat selama fermentasi berturut-turut dari 57.11 - 57.62 % dan 64.73 - 64.96 % pada 0 jam menjadi 59.82 - 60.31 % dan 66.68 - 66.93 % pada 72 jam (Gambar 7.5). Selama fermentasi diduga enzim menghidrolisis komponen-komponen tepung. Enzim amilase menyerang ikatan α-1,4-D-glycosidic pati (Zhu et al. 2010) sehingga struktur granula menjadi lemah dan membentuk pori di dalam granula pati yang memfasilitasi penyerapan air ke dalam granula (Claver et al. 2010). Hal ini akan meningkatkan kemampuan granula menyerap air sehingga cenderung meningkatkan kapasitas penyerapan air. Dengan semakin lama waktu fermentasi diduga struktur granula semakin melemah sehingga kemampuan menyerap air semakin tinggi. Kapasitas penyerapan air tepung jagung Pulut Harapan selama fermentasi cenderung lebih tinggi dibandingkan tepung Anoman 1. Perbedaan komposisi amilosa dan amilopektin pada tepung Pulut Harapan dan Anoman1 diduga menyebabkan perbedaan nilai kapasitas penyerapan air. Menurut Blazek dan Copeland (2008), amilopektin mempunyai kemampuan menyerap air lebih tinggi dibandingkan amilosa. Hal ini khususnya di daerah kristalin jika ada energi panas yang cukup untuk mengganggu ikatan Hidrogen yang lemah diantara misel kristalin (Wong 1989). Dengan demikian, semakin tinggi kandungan amilopektin, maka semakin tinggi kapasitas penyerapan air. Semakin tinggi kadar protein dan kadar abu, semakin rendah kapasitas penyerapan air pada tepung jagung. Adanya muatan yang berlawanan pada protein dan mineral memengaruhi kecepatan penyerapan air granula pati sehingga protein dan mineral berkompetisi dengan pati dalam menyerap air (Aini et al. 2010).
B
Kapasitas Penyerapan Air (%)
A
Kapasitas Penyerapan Air (%)
105 70 65 60 55
SF
50
CC
45
AC
40 35 0
12
24 36 48 60 Waktu fermentasi (jam)
72
70 65 60 55
SF
50
CC
45
AC
40 35 0
12
24
36
48
60
72
Waktu fermentasi (jam)
Gambar 7.5. Kapasitas penyerapan air (%) tepung jagung varietas Anoman 1 (A) dan Pulut Harapan (B) selama fermentasi. SF: tepung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi spontan; CC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah 72 jam fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; AC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah 72 jam fermentasi dengan kultur CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi Lemak dilaporkan membentuk senyawa inklusi dengan amilosa dengan menempatkan sejumlah hidrokarbon di dalam bagian helik amilosa. Komplek ini akan menurunkan kelarutan air dan kerentanan pati dicerna alfa amilase (Kaur dan Singh 2000). Kapasitas Penyerapan Minyak Secara umum kapasitas penyerapan minyak ke dua jenis jagung cenderung menurun dengan semakin lamanya waktu fermentasi (Gambar 7.6). Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung varietas Anoman 1 berkisar 47.27 - 47.49 % pada 0 jam fermentasi menurun jadi 44.06 - 45.18 % pada 72 jam fermentasi. Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung varietas Pulut Harapan berkisar 53.84 - 53.99 % pada 0 jam fermentasi menurun jadi 50.86 - 51,68 % pada 72 jam fermentasi.
106
A
Kapasitas penyerapan minyak (%)
Kapasitas penyerapan minyak dipengaruhi oleh kadar protein dan lemak. Menurut Sirivongpaisal (2008) kapasitas penyerapan tepung bambara groundnut lebih besar daripada patinya karena kadar protein dan lemak tepung lebih tinggi dibandingkan pati. Semakin tinggi protein dan lemak pada tepung, kemampuan memerangkap minyak lebih tinggi.
60,00 56,00 52,00 48,00 44,00 40,00 36,00 32,00 28,00 24,00 20,00 16,00 12,00 8,00 4,00 0,00
SF CC AC 0
12
24
36
48
60
72
B
Kapasitas penyerapan minyak (%)
Waktu fermentasi (jam) 60,00 56,00 52,00 48,00 44,00 40,00 36,00 32,00 28,00 24,00 20,00 16,00 12,00 8,00 4,00 0,00
SF CC AC
0
12
24
36
48
60
72
Waktu fermentasi (jam)
Gambar 7.6. Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung putih varietas Anoman 1 (A) dan Pulut Harapan (B) selama fermentasi. SF: tepung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi spontan; CC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah 72 jam fermentasi dengan penambahan kultur starter lengkap; AC: tepung yang dibuat dari grits jagung setelah 72 jam fermentasi dengan kultur CC dengan penambahan kultur amilolitik setelah 16 jam fermentasi
107 SIMPULAN Proses fermentasi dengan penambahan kultur starter hingga 72 jam memengaruhi sifat fisik tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan. Kekerasan gel meningkat dengan semakin lama fermentasi. Penambahan kultur starter meningkatkan kekerasan gel tepung Anoman 1 selama fermentasi di mana kekerasan gel perlakuan AC lebih besar dari perlakuan CC yang lebih besar dari perlakuan SF. Kekerasan gel tepung Anoman 1 cenderung lebih tinggi dibandingkan Pulut Harapan. Hal ini berkaitan dengan kandungan amilosa yang tinggi pada tepung Anoman 1. Waktu fermentasi meningkatkan kelengketan gel tepung Anoman 1 dan Pulut Harapan yang dihasilkan. Penambahan kultur starter AC menyebabkan peningkatan kelengketan gel tepung Pulut Harapan lebih rendah dibandingkan perlakuan SF dan CC. Sehingga kelengketan gel tepung Pulut harapan dengan perlakuan SF lebih besar dibandingkan CC yang lebih besar dari AC. Waktu fermentasi meningkatkan derajat putih kedua varietas tepung, hal ini diduga berkaitan dengan menurunnya kandungan protein tepung. Waktu fermentasi juga sedikit meningkatkan kapasitas penyerapan air terutama tepung Anoman 1, namun sedikit menurunkan kapasitas penyerapan minyak pada ke dua varietas tepung jagung hasil fermentasi. PUSTAKA Aini N, Hariyadi P. 2007. Pasta pati jagung putih waxy dan non-waxy yang dimodifikasi secara oksidasi dan asetilasi-oksidasi. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 12 (2): 108-115. Aini N, Hariyadi P, Muchtadi TR, Andarwulan N. 2010. Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan sifat gelatinisasi tepung jagung putih yang dipengaruhi ukuran partikel. J Teknol dan Industri Pangan 21: 18-24. ben Omar N, Ampe F. 2000. Microbial community dynamics durin production of the Mexican fermentee maize dough pozol. Applied & environmental microbiology, September vol 66 (9): 3664-3673. Blazek J, Copeland L. 2008. Pasting and swelling properties of wheat flour and starch in relation to amylose content. Carbohydrate Polymers 71:380–387. Chen Z. 2003. Physicochemical Properties of Sweet Potato Starches and Their Aplication in Noodle Product. Ph.D Thesis. Wageningen University, The Netherlands Chin-Lin H, Wenlung C, Yih-Ming W, Chin-Yin T. 2003. Chemical composition, physical properties, and antioxidant activities of yam flours as affected by different drying methodsFood Chemistry 83: 85–92. Claver IP, Zang H, Li Q, Zhu K, Zhou H. 2010. Impact of the soak and the malt on the physicochemical properties of the sorghum starches. Int J Mol Sci. 11: 3002-3015. Doi:10.3390/ijms11083002. Collado LS, Mabesa LB, Oates CG, Corke H. 2001. Bihon-Type Noodles from Heat-Moisture-Treated Sweet Potato Starch. Journal Of Food Science Vol 66 (4): 604-609. Cornejo-Villegas MA, Gutiérrez-Cortez MA, Rojas-Molina I, Real-López AD,
108 Zambrano-Zaragoza ML, Martínez-Vega V, Rodríguez-García ME. 2013. Physicochemical, morphological, and pasting properties of nixtamalized flours. from quality protein maize and its particle distribution. Food Science and Technology xxx:1-7. Sezer I, Balkaya A, Karaağaç O, dan Öner F. 2011. Moisture dependent of some physical and morphological properties of dent corn (Zea mays var. indentәtә Sturt) seeds. African Journal of Biotechnology Vol. 10 (15):2857-2866. Kilara A. 2006. Interaction of Ingredients in Food Systems: An Introduction. Di dalam Gaonkar AG, McPherson A. editor. Ingredient interactions: Effect on Food Quality. New YorSF: CRC, pp. 1-20. Lee HL. 2011. Effect of hydroxypropylation on physical and rheological properties of sweet potatoes starch. LWT-Food Sci. Technol. 44:765-770. DOI:10.1016/j.lwt.2010.09.012. Murano PS. 2003. Understanding Food Science and Technology. Wadsworth (US): Thompson Learning. Nago MC, Hounhouigan JD, Akissoe N, Zanou E, Mestres C. 1998. Characterization of the Beninese traditional Ogi, a fermented maize slurry: Phisicochemical and Microbiological aspects. Int J Food Sci Tech 33: 307315. DOI: 10.1046/j.1365-2621.1998.00169.x. Oluwamukomi MO, Eleyinmi AF, Enujiugha VN. 2005. Effect of soy supplementation and its stage of inclusion on the quality of ogi-a fermented maize meal. Fod Chemistry 91: 651-657. Ortega-Ojeda FE, Larsson H, Ann-Charlotte E. 2004. Gel formation in mixtures of amylose and high amylopectin potato starch Carbohydrate Polymers 57: 55–66 Rahmawati, Dewanti-Hariyadi R, Hariyadi P, Fardiaz D, Richana N. 2013. Isolation And Identification Of Microorganisms During Spontaneous Fermentation Of Maize. J.Teknol. dan Industri Pangan 24 (1): 38-44. Sandhu KS, Singh N, Malhi NS. 2007. Some properties of corn grains and their flours I: Physicochemical, functional and chapati-making properties of flours. Food Chemistry 101 (2007) 938–946 Sirivongpaisal P. 2008. Structure and functional properties of starch and flour from babarra groundnut. Songklanakarin J. Sci. Technol. 30 (Suppl. 1) 5156. http://www.sjst.psu.ac.th (28 Desember 2008). Suarni U. 2005. Karakteristik sifat fisikokimia dan amilograf tepung jagung sebagai bahan pangan. Prosiding seminar dan lokakarya nasional Makasar 2005. Pusat penelitian dan pengembangan tanaman pangan. Badan penelitian dan pengembangan pertanian. Departemen Pertanian. Shu X, Jia L, Gao J, Sing Y, Zhao H, Nakamura Y,Wu D. 2007. The influence of chain lengthof amilopectin on resistant starch in rice (Oryza sativa L). Starch/Starke 59: 504-509. DOI: 10.1002/star.200700640. Uarrota VG, Amante ER, Demiate IM, Vieira F, Delgadillo I, Maraschin M. 2013. Physicochemical, thermal, and pasting properties of flours and starches of eight Brazilian maize landraces (Zea mays L.). Food Hydrocolloids 30: 614624. doi.org/10.1016/j.foodhyd.2012.08.005 Wong DWS. 1989. Mechanism and theory in food chemistry. AVI Book-New
109 York. Xie SX, Liu Q, and Cui SW. in Cui SW. (Eds). Food Carbohydrates: Chemistry, Physical Properties, and Applications. 2005. Taylor & Francis Group. Li-Jia Z, Qiao-Quan L, Sang Y, Ming-Hong G, Yong-Cheng S. 2010. Underlying reasons for waxy rice flours having different pasting properties. Food Chemistry 120: 94–100.
110 8
PEMBAHASAN UMUM
Proses fermentasi spontan telah banyak dilakukan oleh masyarakat untuk membuat berbagai produk pangan, seperti pembuatan kecap, tempe, asinan, dan tepung-tepungan. Proses fermentasi spontan pada pembuatan tepung khususnya tepung jagung umum dilakukan dengan merendam kernel jagung dalam air, dilanjutkan dengan penirisan, pengeringan dan penggilingan. Selama perendaman terjadi pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya berbagai mikroba dalam jumlah cukup tinggi. Nago et al. (1998) menemukan BAL sebanyak 109 koloni / g serta khamir sebanyak 107 koloni/g pada air perendam tepung jagung pada pembuatan ogi. Tsav-Wua et al (2004) menemukan bakteri, khamir dan kapang pada tepung singkong yang diperoleh dari perendaman umbi singkong selama 2 – 5 hari dalam air pada suhu 30 °C. Perendaman umbi singkong selama 5 hari menyebabkan peningkatan kadar serat kasar, kadar air, kadar abu, dan kadar protein kasar, serta menurunkan kandungan HCN dan kadar lemak kasar (Irtwange dan Achimba 2009). Aini et al (2010) menunjukkan bahwa tepung jagung yang difermentasi spontan selama 72 jam mempunyai kadar protein, lemak, serat kasar, abu, pati, gula reduksi, pH lebih rendah dibandingkan tanpa fermentasi. Hasil penelitian Mei-Lan et al. (2008) menunjukkan viskositas puncak dan viskositas breakdown tepung jagung yang dihasilkan dengan proses fermentasi spontan grits jagung meningkat sampai hari ke 7, selanjutnya menurun sampai hari ke 21; viskositas akhir dan viskositas setback tepung, menurun selama fermentasi; sebaliknya kekuatan gel tepung meningkat selama fermentasi. Tensile stres, tensile strain, dan tensile work pada mi yang dibuat dari tepung jagung tersebut, meningkat selama fermentasi. Demikian juga kekerasan, kelicinan, chewiness, elastisitas, dan penerimaan keseluruhan mi yang dihasilkan meningkat selama fermentasi. Proses fermentasi spontan pasta biji Cajanus cajan selama 5 hari, menurunkan bulk density, kapasitas penyerapan air, swelling power, foaming capacity, foaming stability, viskositas dan gelation power tepung yang dihasilkan (Adebowale & Maliki 2011). Hasil penelitian Alka et al. (2012) menunjukkan bulk density, kapasitas penyerapan air, swelling capacity dan nilai pH tepung sorgum, jagung dan pearl millet hasil fermentasi spontan selama 36 jam fermentasi menurun, namun meningkatkan oil holding capacity, daya cerna pati dan protein secara in vitro. Fermentasi spontan yang mengandalkan mikroba yang ada pada bahan baku dan media yang digunakan mengakibatkan sulit untuk mendapatkan produk yang konsisten. Untuk mendapatkan produk yang lebih konsisten, maka perlu dilakukan proses fermentasi yang lebih terkendali, misalnya dengan menambahkan kultur starter, tetapi sebelumnya harus diketahui terlebih dahulu mikroba apa saja yang berperan selama fermentasi spontan. Berdasarkan hal tersebut maka tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi mikroorganisme yang berperan pada fermentasi spontan grits jagung putih lokal varietas Anoman 1 serta mempelajari proses fermentasi dengan penambahan kultur starter dan mempelajari sifat fisikokimia tepung jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan yang dihasilkan.
111 Lingkup penelitian ini meliputi (1) mengisolasi dan mengidentifikasi mikroorganisme yang berperan selama fermentasi spontan grits jagung putih lokal varietas Anoman 1 meliputi jumlah, jenis dan pola pertumbuhan (total mikroba; total kapang, khamir, BAL; kapang dan khamir amilolitik) serta perubahan pH; (2) mengembangkan kultur starter (BAL, khamir dan kapang) hasil isolasi dan identifikasi untuk ditambahkan sebagai kultur starter pada fermentasi grits jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan ; (3) melakukan fermentasi dengan penambahan kultur starter dengan dua variasi, yaitu CC dan AC, dengan SF sebagai kontrol; Pengamatan dilakukan pada 0, 36, 48, dan 72 jam fermentasi. (4) Mempelajari sifat fisikokimia tepung jagung putih lokal varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan hasil fermentasi dengan penambahan kultur starter. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI FERMENTASI SPONTAN JAGUNG
MIKROORGANISME
SELAMA
Selama fermentasi spontan grits jagung teridentifikasi berbagai mikroba. Mikroba-mikroba yang tumbuh terdiri dari bermacam-macam kapang, khamir, dan bakteri, termasuk kapang penghasil toksin. Mikroba-mikroba yang teridentifikasi selama 72 jam fermentasi spontan grits jagung varietas Anoman 1 terdiri dari Penicillium chrysogenum, Penicillium citrinum, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Rhizopus stolonifer, Rhizopus oryzae, Fusarium oxysporum, Acremonium strictum, Candida famata, Kodamaea ohmeri, Candida krusei/incospicua, Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, Lactobacillus plantarum1b, and Lactobacillus paracasei ssp paracasei3. Dari 16 mikroba yang teridentifikasi, ada empat kapang dan satu khamir bersifat amilolitik, yaitu Penicillium citrinum, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Acremonium strictum, dan Candida famata. Sweeney dan Dobson (1998) juga menemukan Fusarium, Aspergillus, dan Penicillium selama pengeringan dan penyimpanan serealia dan kacang-kacangan. Kaaya and Kyamuhangire (2006) juga mengisolasi Aspergillus, Fusarium, Penicillium, dan Rhizopus pada pengeringan dan penyimpanan jagung. Demikian juga Amusa et al. (2005) melaporkan ditemukannya Aspergillus niger, Aspergillus flavus, Fusarium oxysporum, and Rhizopus stolonifer selama fermentasi spontan jagung dan kedelai untuk pembuatan ogi. Untuk mengetahui pengaruh mikroba selama proses fermentasi, maka dilakukan proses fermentasi yang lebih terkendali, yaitu dengan mendesain kultur starter. Mikroba yang dipilih untuk menjadi kultur starter adalah mikroba yang tidak menghasilkan aflatoksin, sehingga Aspergillus flavus tidak digunakan sebagai kultur starter. Telah didesain 2 jenis kultur starter, yaitu kultur starter CC dan AC. Kultur starter CC yaitu menambah kultur starter lengkap mikroba (15 mikroba) non-patogen hasil isolasi dan identifikasi pada 0 jam fermentasi masingmasing mikroba sebanyak 106 koloni/mL; perlakuan AC, yaitu perlakuan CC ditambah dengan kultur mikroba amilolitik pada 16 jam fermentasi masingmasing sebanyak 106 koloni/mL, dan SF yaitu fermentasi tanpa penambahan kultur starter. Penambahan kultur starter dalam jumlah tinggi (10 6 koloni/mL per mikroba) diharapkan dapat mendominasi lingkungan fermentasi sehingga selama
112 proses fermentasi berlangsung hanya kultur starter yang ditambahkan yang berperan. JUMLAH MIKROBA DAN KOMPOSISI KIMIA TEPUNG JAGUNG PUTIH VARIETAS ANOMAN 1 DAN PULUT HARAPAN HASIL FERMENTASI DENGAN PENAMBAHAN KULTUR STARTER Fermentasi dengan penambahan kultur starter (CC dan AC) cenderung meningkatkan jumlah kapang, khamir dan BAL untuk semua perlakuan baik pada grits jagung putih varietas Anoman 1 maupun Pulut Harapan. Penambahan kultur starter (perlakuan CC dan AC) dapat meningkatkan jumlah kapang (±4 log CFU / mL) dan khamir (±2 - 4 log CFU / mL pada awal hingga akhir 72 jam fermentasi dibandingkan perlakuan SF. Namun tampaknya penambahan kultur starter (CCC dan AC) hanya meningkatkan jumlah BAL di awal fermentasi (sebanyak ±4 - 5 log CFU / mL) dan tidak memengaruhi jumlah BAL di akhir fermentasi. Penambahan kultur starter selama fermentasi dapat meningkatkan keamanan produk, yaitu dengan tidak terlihat adanya pertumbuhan Aspergillus flavus sejak 36 – 72 jam fermentasi pada perlakuan CC dan AC. Mikroba hasil isolasi pada fermentasi spontan yang digunakan sebagai kultur starter pada penelitian ini, selain bersifat amilolitik, ada juga yang bersifat proteolitik, lipolitik, selulolitik, hemiselulotik, xilanolitik, dan pektinolitik (Ghosh and Ray (2011); Tang et al. (2012); Heerd et al. (2012); Panagiotou et al. (2013); Li et al. (2008); Bussamara et al. (2010); Mohammed (2007); Wojtatowicz et al. (2001); Omemu et al. (2007)). Selama fermentasi, aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroba memecah komponen-komponen tepung. Dimana BAL menghasilkan asam-asam organik selama fermentasi yang dapat menurunkan nilai pH air perendam dan tepung dan meningkatkan total asam. Halm et al. (1996) menambahkan 6 strain Lactobacillus fermentum (107 dan 108 koloni / mL) / 5 kg biji jagung selama 48 jam menyebabkan penurunan pH adonan tepung jagung yang dihasilkan. Selain itu selama 72 jam fermentasi kandungan protein, lemak, abu, dan serat kasar tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan hasil fermentasi dengan penambahan kultur starter cenderung turun diduga karena adanya aktivitas enzim-enzim yang menghidrolisis senyawa-senyawa tersebut menjadi bentuk lebih sederhana. Aini et al (2010) melaporkan bahwa tepung jagung yang difermentasi spontan selama 72 jam mempunyai kadar protein, lemak, serat kasar, abu, pati, gula reduksi, pH lebih rendah dibandingkan tanpa fermentasi. Perendaman umbi singkong selama 5 hari menyebabkan peningkatan kadar serat kasar, kadar air, kadar abu, dan kadar protein kasar, serta menurunkan kandungan HCN dan kadar lemak kasar (Irtwange dan Achimba 2009). Aktivitas enzim selama fermentasi dapat menurunkan kandungan amilosa pada tepung Anoman 1 karena terurainya amilosa menjadi disakarida maupun monosakarida, namun perlakuan 36AC dan 48AC cenderung meningkatkan kandungan amilosa pada tepung jagung Pulut Harapan. Diduga aktivitas enzim selama fermentasi, memotong rantai panjang amilopektin menjadi lebih pendek, mungkin menjadi bentuk oligosakarida, sehingga secara umum dapat meningkatkan kandungan amilosa tepung. Dengan semakin lama waktu
113 fermentasi, maka pemotongan rantai panjang amilopektin semakin banyak, sehingga semakin meningkatkan jumlah amilosa. Fermentasi 72 jam (72AC) menurunkan kandungan amilosa, diduga oligosakarida yang ada sudah terurai menjadi gula-gula sederhana. SIFAT PASTING TEPUNG JAGUNG PUTIH VARIETAS ANOMAN 1 DAN PULUT HARAPAN YANG DIPENGARUHI PROSES FERMENTASI Pengaruh lain dari proses fermentasi sampai 72 jam dengan penambahan kultur starter yang diamati adalah sifat pastingnya. Penambahan kultur starter dengan perlakuan yang sama secara umum dapat memberikan hasil yang berbeda pada tepung Anoman 1 dan Pulut Harapan. Proses fermentasi sampai 72 jam dengan penambahan kultur starter memengaruhi sifat pasting tepung jagung putih varitas Anoman 1 dan Pulut Harapan, yaitu meningkatkan viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas akhir, dan viskositas setback. Selama 72 jam fermentasi diduga enzim menghidrolisis komponen-komponen tepung. Enzim amilase menyerang ikatan α1,4-D-glikosidik pati (Zhu et al. 2010) sehingga struktur granula menjadi lemah dan membentuk pori di dalam granula pati yang memfasilitasi penyerapan air ke dalam granula. Dengan demikian pada saat pemanasan terjadi peningkatan pembengkakan granula (Claver et al. 2010) sehingga VP meningkat. Setelah pemanasan dipertahankan beberapa saat, viskositas menurun hal ini karena amilosa leaching dan granula pecah (Xie et al. 2005). Penambahan kultur starter diduga mempermudah amilosa leaching dan granula pecah sehingga viskositas menurun lebih tinggi dan meningkatkan VB selama fermentasi. Penambahan kultur mikroba amilolitik setelah 16 jam fermentasi (perlakuan AC) menunjukkan sifat pasting yang relatif berbeda, yaitu menghasilkan viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas akhir, dan viskositas setback yang lebih rendah pada tepung yang tinggi amilosa (Anoman 1) dibandingkan perlakuan U, SF dan CC. Namun pada tepung yang tinggi amilopektin (varietas Pulut Harapan) menghasilkan viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas akhir, dan viskositas setback yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan U, SF dan CC. Tampaknya perlakuan AC dapat meningkatkan kestabilan pasta tepung yang mengandung amilosa tinggi (Anoman 1) pada saat pendinginan, namun sebaliknya menurunkan kestabilan pasta tepung yang mengandung amilopektin tinggi (Pulut Harapan) pada saat didinginkan, kecuali pada tepung Pulut Harapan yang mendapat perlakuan 72AC. Tepung Pulut Harapan yang mendapat perlakuan 72AC mempunyai viskositas akhir dan viskositas setback yang lebih rendah dari perlakuan 72SF dan 72CC. Tampaknya perlakuan 72AC dapat meningkatkan kestabilan pasta tepung yang mengandung tinggi amilosa pada saat pemanasan dan pendinginan, namun sebaliknya menurunkan kestabilan pasta tepung yang mengandung tinggi amilopektin pada saat pemanasan dan pendinginan hingga 48 jam. Pada 72 jam fermentasi perlakuan 72AC meningkatkan kestabilan pasta tepung pada saat pendinginan.
114
PENGARUH FERMENTASI DENGAN PENAMBAHAN KULTUR STARTER TERHADAP SIFAT FISIK TEPUNG JAGUNG VARIETAS ANOMAN 1 DAN PULUT HARAPAN Selama fermentasi dengan penambahan kultur starter sampai 72 jam cenderung meningkatkan kekuatan gel tepung Anoman 1, dimana kekuatan gel perlakuan AC lebih besar dari perlakuan CC yang lebih besar dari perlakuan SF. Meningkatnya kekuatan gel tepung yang mendapat perlakuan AC diduga berkaitan dengan semakin banyaknya amilosa yang leaching sehingga pada saat pendinginan matrik gel yang terbentuk semakin kuat ditambah dengan terhidrolisisnya protein, lemak, dan serat akan membuat jaringan semakin kuat. Kekuatan gel tepung Anoman 1 cenderung lebih tinggi dibandingkan Pulut Harapan. Hal ini berkaitan dengan kandungan amilosa yang tinggi pada tepung Anoman 1. Dengan tingginya kandungan amilosa, matriks gel yang terbentuk selama pendinginan akan semakin kuat. Waktu fermentasi cenderung meningkatkan kelengketan gel tepung Anoman 1 dan Pulut Harapan, namun penambahan kultur starter (CC dan AC) cenderung menurunkan kelengketan gel tepung Pulut Harapan. Penambahan kultur AC menghasilkan penurunan lebih besar dibandingkan CC. Penambahan kultur starter diduga meningkatkan aktivitas enzim untuk memotong rantai cabang amilopektin sebelah luar menjadi rantai lurus. Dengan berkurangnya rantai cabang amilopektin diduga menurunkan kelengketan gel. Waktu fermentasi cenderung meningkatkan derajat putih kedua varietas tepung. Hal ini diduga berkaitan dengan aktivitas enzim protease yaitu memecah protein. Dengan menurunnya kandungan protein diduga akan menurunkan reaksi pencoklatan non enzimatis antara protein dengan gula pereduksi. Kapasitas penyerapan air cenderung meningkat selama fermentasi terutama tepung Anoman 1. Selama fermentasi adanya aktivitas amilase menyerang ikatan α-1,4-Dglycosidic pati (Zhu et al. 2010) sehingga struktur granula menjadi lemah dan membentuk pori di dalam granula pati yang memfasilitasi penyerapan air ke dalam granula (Claver et al. 2010). Hal ini akan meningkatkan kemampuan granula menyerap air sehingga cenderung meningkatkan kapasitas penyerapan air. Dengan semakin lama waktu fermentasi diduga struktur granula semakin melemah sehingga kemampuan menyerap air semakin tinggi. Kapasitas penyerapan minyak cenderung menurun selama fermentasi. Kapasitas penyerapan minyak dipengaruhi oleh kadar protein dan lemak. Menurut Sirivongpaisal (2008) kapasitas penyerapan tepung bambara groundnut lebih besar daripada patinya karena kadar protein dan lemak tepung lebih tinggi dibandingkan pati. Semakin tinggi protein dan lemak pada tepung, kemampuan memerangkap minyak lebih tinggi. Pada penelitian ini kandungan protein dan lemak semakin menurun dengan semakin lama fermentasi. Perubahan – perubahan yang terjadi selama berlangsungnya proses fermentasi dengan penambahan kultur starter secara umum tampaknya dikendalikan oleh aktivitas mikroba, khususnya mikroba amilolitik karena kandungan utama jagung adalah karbohidrat. Dari 2 perlakuan yang diberikan
115 terlihat bahwa perlakuan B, yaitu penambahan kultur starter CC dan kultur starter amilolitik pada 16 jam fermentasi, memberikan pengaruh yang berbeda dibandingkan perlakuan SF dan CC terhadap sifat fisikokimia tepung jagung Anoman 1 dan Pulut Harapan yang dihasilkan. Tampaknya penambahan mikroba amilolitik pada 16 jam fermentasi dapat meningkatkan aktivitas amilolitik, di mana hasil penelitian Rahmawati et al. (2013) menunjukkah bahwa aktivitas amilolitik menurun setelah 12 jam fermentasi.
116 9
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN Pada fermentasi spontan grits jagung varietas Anoman 1 teridentifikasi 16 jenis mikroba yang terdiri dari 8 spesies kapang (Penicillium chrysogenum, Penicillium citrinum, Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Rhizopus stolonifer, Rhizopus oryzae, Fusarium oxysporum, Acremonium strictum), 3 spesies khamir (Candida famata, Kodamaea ohmeri, Candida krusei/incospicua) dan 5 spesies Bakteri Asam Lakat, BAL (Lactobacillus plantarum1a, Pediococcus pentosaceus, Lactobacillus brevis1, Lactobacillus plantarum1b, dan Lactobacillus paracasei ssp paracasei3). Dari 8 spesies kapang teridentifikasi, terdapat 1 spesies kapang penghasil aflatoksin, yaitu Aspergillus flavus. Sementara itu, spesies khamir dan BAL yang teridentifikasi semuanya bersifat non toksigenik. Karena itu maka Aspergillus flavus tidak digunakan sebagai kultur starter. Dari semua jenis mikroba non-toksigenik yang teridentifikasi, terdapat tiga (3) spesies kapang (Penicillium citrinum, Aspergillus niger, Acremonium strictum,) dan satu (1) spesies khamir (Candida famata) yang bersifat amilolitik, sedangkan semua BAL yang teridentifikasi tidak bersifat amilolitik. Aktivitas amilase selama proses fermentasi spontan (SF) mengalami perubahan, dimana aktivitas maksimal terjadi pada 12 jam fermentasi dan setelah itu aktivitas cenderung menurun. Untuk mempelajari pengaruh aktivitas amilase selama fermentasi terhadap sifat tepung yang dihasilkan maka kultur mikroba amilolitik ditambahkan setelah 16 jam fermentasi, yaitu pada saat aktivitasnya sudah mulai menurun. Secara umum dapat disimpulkan bahwa proses fermentasi menyebabkan perubahan sifat fisikokimia tepung jagung. Fermentasi dengan penambahan kultur starter juga berpotensi memodifikasi sifat fisikokimia tepung secara berbeda, jika dibandingkan dengan tepung jagung yang dihasilkan dari proses fermentasi spontan (SF). Fermentasi dengan penambahan kultur starter, baik (1) kultur lengkap, yaitu kultur mikroba yang terdiri dari semua jenis mikroba yang teridentifikasi, kecuali Aspergillus flavus (CC) dan (2) fermentasi CC dengan penambahan kultur amilolitik (kultur yang terdiri dari kapang dan khamir amilolitik) setelah 16 jam fermentasi (AC), dapat meningkatkan jumlah kapang dan khamir pada awal proses fermentasi sampai pada 72 jam fermentasi, dibandingkan jumlah kapang dan khamir pada fermentasi spontan (SF), namun penambahan kultur starter ini hanya meningkatkan jumlah BAL di awal fermentasi dan tidak memengaruhi jumlah BAL setelah 36 jam sampai akhir fermentasi. Disimpulkan bahwa secara spontan, pertumbuhan BAL memang sudah cukup tinggi sehingga penambahan BAL pada kultur starter tidak berpengaruh pada jumlah BAL selama fermentasi. Jumlah BAL ini mempunyai korelasi dengan nilai pH air perendam dan pH tepung jagung varietas yang dihasilkan, sehingga memengaruhi beberapa sifat fisikokimianya. Proses fermentasi menyebabkan penguraian komponen-komponen tepung sehingga menurunkan kadar protein, lemak, abu dan serat kasar tepung jagung
117 putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan. Aktivitas enzim selama fermentasi dapat menurunkan kandungan amilosa pada tepung Anoman 1, namun fermentasi 36CC (fermentasi menggunakan kultur lengkap selama 36 jam) dan 48CC (fermentasi menggunakan kultur lengkap selama 48 jam) cenderung meningkatkan kandungan amilosa pada tepung jagung varietas Pulut Harapan yang dihasilkan. Proses fermentasi 72 jam memengaruhi sifat pasting tepung jagung putih varietas Anoman 1 dan Pulut Harapan yang dihasilkan, yaitu meningkatkan viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas akhir, dan viskositas setback. Perbedaan sifat pasting disebabkan oleh aktivitas enzim yang dihasilkan kultur starter selama waktu fermentasi dan perbedaan kandungan amilosa. Penambahan kultur mikroba amilolitik setelah 16 jam fermentasi (perlakuan AC) menunjukkan sifat pasting yang relatif berbeda, yaitu menghasilkan viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas akhir, dan viskositas setback yang lebih rendah pada tepung yang tinggi amilosa (Anoman 1) dibandingkan perlakuan U, SF dan CC. Namun pada tepung yang tinggi amilopektin (varietas Pulut Harapan) menghasilkan viskositas puncak, viskositas breakdown, viskositas akhir, dan viskositas setback yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan U, SF dan CC. Perlakuan AC dapat meningkatkan kestabilan pasta tepung yang mengandung amilosa tinggi (Anoman 1) pada saat pendinginan, namun sebaliknya menurunkan kestabilan pasta tepung yang mengandung amilopektin tinggi (Pulut Harapan) pada saat didinginkan, kecuali pada tepung Pulut Harapan yang mendapat perlakuan 72AC. Tepung Pulut Harapan yang mendapat perlakuan 72AC mempunyai viskositas akhir dan viskositas setback yang lebih rendah dari perlakuan 72SF dan 72CC. Tampaknya perlakuan 72AC dapat meningkatkan kestabilan pasta tepung yang mengandung tinggi amilosa pada saat pemanasan dan pendinginan, namun sebaliknya menurunkan kestabilan pasta tepung yang mengandung tinggi amilopektin pada saat pemanasan dan pendinginan hingga 48 jam. Pada 72 jam fermentasi perlakuan 72AC meningkatkan kestabilan pasta tepung pada saat pendinginan. Proses fermentasi memengaruhi sifat fisik tepung jagung yang dihasilkan, dimana fermentasi dengan penambahan kultur starter sampai 72 jam cenderung meningkatkan kekuatan gel tepung Anoman 1, yaitu kekuatan gel perlakuan AC lebih besar dari perlakuan CC yang lebih besar dari perlakuan SF. Kekerasan gel tepung Anoman 1 lebih tinggi dibandingkan Pulut Harapan. Hal ini berkaitan dengan kandungan amilosa yang rendah pada tepung Pulut Harapan. Waktu fermentasi meningkatkan kelengketan gel, namun penambahan kultur starter (CC dan AC) menurunkan kelengketan gel tepung Pulut Harapan. Penambahan kultur AC menghasilkan penurunan kelengketan gel lebih besar dibandingkan CC. Waktu fermentasi meningkatkan derajat putih kedua varietas tepung dengan menurunkan kandungan protein, selain itu meningkatkan kapasitas penyerapan air terutama tepung Anoman 1 dan menurunkan kapasitas penyerapan minyak pada ke dua varietas tepung jagung. Proses fermentasi dengan penambahan kultur starter memengaruhi sifat fisikokimia tepung jagung yang dihasilkan. Tampaknya kultur starter yang berpengaruh dominan adalah kapang dan khamir amilolitik, namun tidak
118 dipengaruhi oleh BAL. Hal ini dilihat dari pola pertumbuhan BAL yang sama antara perlakuan fermentasi spontan (SF) dengan CC dan AC.
SARAN Berdasarkan pada hasil yang dperoleh dari penelitian ini, maka disarankan untuk : 1. Melakukan penelitian lanjutan untuk mempelajari pengaruh penambahan kultur starter yang bersifat amilolitik dalam konsentrasi yang berbeda (bervariasi) terhadap sifat fisikokimia tepung jagung yang dihasilkan. Hal ini diperlukan mengingat hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola pertumbuhan BAL, baik selama proses fermentasi dengan penambahan kultur starter (CC dan AC) atau pun secara spontan (SF), tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Karena tidak satu pun spesies BAL yang bersifat amilolitik, maka diperlukan penelitian untuk lebih fokus pada pengaruh kultur amilotik pada proses fermentasi jagung. 2. Melakuka penelitian untuk mengidentifikasi secara lebih detil tentang sifat fisikokimia tepung jagung yang berpotensi dihasilkan dari proses fermentasi tersebut dan potensi aplikasinya pada berbagai produk pangan. Hal ini disebabkan karena penelitian ini menunjukkan bahwa sifat fisikokimia pati jagung bisa dimodifikasi selama proses fermentasi dan sangat dipengaruhi oleh jenis kultur dan lama fermentasi.
119 DAFTAR PUSTAKA
Adebowale OJ, Maliki K. 2011. Effect of fermentation period on the chemical composition and functional properties of Pigeon pea (Cajanus cajan) seed flour. International Food Research Journal 18(4): 1329-1333. Aini N, Hariyadi P, Muchtadi TR, Andarwulan N. 2010. Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan sifat gelatinisasi tepung jagung putih yang dipengaruhi ukuran partikel. J Teknol dan Industri Pangan 21: 18-24. Alka S, Neelam Y, Shruti S. 2012. Effect of fermentation on physicochemical properties & in vitro starch and protein digestibility of selected cereals. International Journal of Agriculture and Food Science 2(3): 66-70 AOAC. 1995. Official methods of analysis. Washington DC: Association of Official Analytical Chemist. AOAC. 2006. Official methods of analysis. Washington DC: Association of Official Analytical Chemist. Axelsson L. 2004. Lactid Acid Bacetria: Classification and Physiology dalam Salminen S, von Wright A, Ouwehand A: Lactid Acid Bacteria. Microbiology and functional aspects. 3nd (ed) Rev. and Exp. Marcell Dekker, Inc. New York. Badan Pusat Statistik. 2013. Produksi tanaman pangan angka sementara 2012 dalam Laporan bulanan data sosial ekonomi. Edisi 36 Mei 2013. Badan Standarisasi Nasional. 1995. SNI 01-3920-1995: Jagung. Badan Standarisasi Nasional. Balai Penelitian Tanaman Serealia. 2007. Deskripsi Varitas Unggul Jagung. Edisi kelima. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian-Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan-Balai Penelitian Tanaman Serealia. Barbosa-Canovas GV, Yan H. 2003. Powder characteristics of preprocessed cereal flours di dalam Kaletunc G. KJ Brslauer editor: Characterization of cereal and flours: Properties, analysis, and Applications. New York: Marcel Dekker. Barbosa-C´anovas GV, Ortega-Rivas E, Juliano P, Yan H. 2005. FOOD POWDERS: Physical Properties, Processing, and Functionality. Kluwer Academic/Plenum Publishers Ben Omar N, Ampe F. 2000. Microbial community dynamics durin production of the Mexican fermentee maize dough pozol. Applied & Environmental Microbiology 66 (9): 3664-3673. Brauman A, Keleke S, Malonga M, Miambi E, Ampe F. 1996. Microbiological and Biochemical characterization of cassava retting, a traditional lactid acid fermentation for Foo-Foo (cassava flour) production. Applied an Environmental Microbiology 62 (8): 2854-2858. Bussamara R, Fuentefria AM, de Oliveira ES, Broetto L, Simcikova M, Valente P, Schrank A, Vainstein MH. 2010. Isolation of a lipase-secreting yeast for enzyme production in a pilot-plant scale batch fermentation. Bioresource Technology 101: 268–275. Carvalho CWP, Takeiti CY, Onwulata CI, Pordesimo LO. 2010. Relative effect of
120 particle size on the physical properties of corn meal extrudates: Effect of particle size on the extrusion of corn meal. Journal of Food Engineering 98: 103–109. Chen Z. 2003. Physicochemical properties of sweet potato starches and their application in noodle products. Disertasi . Wageningen University, Belanda. Collado LS, Mabesa LB, Oates CG, Corke H. 2001. Bihon-Type Noodles from Heat-Moisture-Treated Sweet Potato Starch. Journal Of Food Science Vol 66 (4): 604-609Claver IP, Zang H, Li Q, Zhu K, Zhou H. 2010. Impact of the soak and the malt on the physicochemical properties of the sorghum starches. Int J Mol Sci. 11: 3002-3015. Doi:10.3390/ijms11083002. Corsetti A, Settanni L. 2007. Lactobacilli in sourdough fermentation Review. Food Research International 40: 539–558. doi:10.1016/j.foodres.2006.11.01 Cortez A,Wild-Altamirano C. 1972. Contributions to the limetreated corn flour technology in Bressani R, Braham JE, Behar M (Eds). Nutritional improvement of maize. INCAP Pub. L4, p. 99-106. Guatemala, INCAP. Dharmawidah, Dewayani W, dan Tawali A. 2005. Prospek pengembangan bahan baku bassang menunjang agroindustri di pedesaan. Prosiding seminar dan lokakarya nasional. Pusat penelitian dan pengembangan tanmanan pangan. Badan penelitian dan pengembangan pertanian. Departemen Pertanian. Fardiaz S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisa mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas, IPB, Bogor. Gallant DJ, Bouchet B, Baldwi PM. 1997. Microscopy of starch: evidence of a new level of granule organization. Carbohydrate Polymer 32:177-191. Ghosh B, Ray RR. 2011. Current commercial perspective of Rhizopus oryzae: A Review. J Appl Sci 11: 2470-2486. DOI: 10.3923/jas.2011.2470.2486. Grace TOO. 2009. Effect of dry and wet milling processing techniques on the nutrient composition and organoleptic attributes of fermented yellow maize (Zea mays). African Journal of Food Science Vol. 3(4): 113-116. Halm M, Osei-Yaw A, Hayford A, Kpodo KA, and Amoa-Awua WKA. 1996. Experiences with the use of a starter culture in the fermentation of maize for 'kenkey' production in Ghana. World Journal of Microbiology & Biotechnology 12: 591-536. Hardman and Gunsolus. 1998. Corn growth and development. Extension Service. University of Minesota. Harrigan WF. 1998. Laboratory Methods in Food Microbiology 3 rd ed. San Diago: Academic Press. Heerd D, Yegina S, Tari C, Fernandez-Lahore M. 2012. Pectinase enzymecomplex production by Aspergillus spp. In solid-state fermentation: A comparative study. food and bioproducts processing 9 0: 102–110. doi:10.1016/j.fbp.2011.08.003 Hoseney RC. 1994. Principles of cereal science and technology. 2nd ed. St. Paul MN: American Association of Cereal Chemist. Chin-Lin H, Chen W, Yih-Ming W, Chin-Yin T. 2003. Chemical composition, physical properties, and antioxidant activities of yam flours as affected by different drying methods. Food Chemistry 83: 85–92 Indonesian Cereal Research Institute. 2008. Technology Innovation Supporting
121 Maize Production. Indonesian Center for Food Crops Research and Development, Indonesian Cereal Research Institute. Irtwange SV, Achimba O. 2009. Effect of the Duration of Fermentation on the Quality of Gari. Current Research Journal of Biological Sciences 1(3): 150154 Juliano BO. 1971. A simplified assay for milled rice amylosa. Cereal Science today 16:334-360. Kadan RS, Bryant RJ, Pepperman AB. 2003. Functional properties of extrudad rice flour. Journal of Food Science, 68: 1669-1672. Lacerda ICA, Miranda RL, Borelli BM, Nunes AC, Nardi RMD, Marc-Andre L, Rosa CA. 2005. Lactic acid bacteria and yeast associated with spontaneous fermentation during the production of cassava starch in Brazil. International Journal of Food Microbiology 105: 213-219. Lee HL. 2011. Effect of hydroxypropylation on physical and rheological properties of sweet potatoes starch. LWT-Food Sci. Technol. 44:765-770. DOI:10.1016/j.lwt.2010.09.012. Li XY, Liu ZQ, Chi ZM. 2008. Production of phytase by a marine khamir Kodamaea ohmeri BG3 in an oats medium: Optimization by response surface methodology. Bioresource Technology 99: 6386–6390. doi:10.1016/j.biortech.2007.11.065. Mei-Lan Y, Zhan-Hui Lu, Yong-Qiang C, Li-Te L. 2008. Effect of spontaneous fermentation on the physical properties of corn starch and rheological characteristics of corn starch noodle. Journal of Food Engineering 85 : 12– 17 Mestres CO, Boungou NA, and Zakhia N. 2000. Comparison of the expansion ability of fermented maize flour and casssava starch during baking. Journal of the Science of Food and Agricultural 80: 665-672. Mohammed L, Zakaria M, Ali A, Senhaji W, Mohamed O, Mohamed E, EL Hassan B, Mohamed J. 2007. Optimization of growth and extracellular glucoamylase production by Candida famata isolate. African Journal of Biotechnology 6 (22): 2590-2595. Muchtadi, T. dan Sugiono. 2002. Tepung dan Pati Jagung dalam Sugiono (ed) : Teknologi Tepung dan Pati. Kerjasama Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi IPB dengan Asosiasi Produsen Terigu Indonesia. Nago MC, Hounhouigan JD, Akissoe N, Zanou E, dan Mestres C. 1998. Characterization of the Beninese traditional Ogi, a fermented maize slurry: Physicochemical and Microbiological aspects. International Journal of Food Science and Technology 33: 307-315. Nche PF, Odamtten GT, Nout MJR, Rombouts FM. 1996. Soaking of Maize Determines the Quality of Aflata for Kenkey Production. Journal of Cereal Science 24: 291–297 Oke MO, Bolarinwa IF. 2012. Effect of Fermentation on Physicochemical Properties and Oxalate Content of Cocoyam (Colocasia esculenta) Flour. International Scholarly Research Network. ISRN Agronomy. Volume 2012, Article ID 978709, 1-4 pages. DOI:10.5402/2012/978709 Omemu AM, Oyewole OB, Bankole MO. 2007. Significance of yeasts in the
122 fermentation of maize for ogi production. Food Microbiology (24): 571-576. Panagiotou G, Kekos D, Macris BJ, Christakopoulos P. 2003. Production of cellulolytic and xylanolytic enzymes by Fusarium oxysporum grown on corn stover in solid state fermentation. Industrial Crops and Products 18: 37-45 Patterson JI, Brown RR, Linkswiler H, Harper EA. 1980. Excretion of tryptophan niacin metabolites by young men: effects of tryptophan, leucin, and vitamin B6 intakes. Am. J. Clin. Nutr. 33: 2157-2167. Permana AW, Suyanti, dan Richana N. 2010. Produksi dan Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan fungsional tepung kmposit ubikayu-jagung-terigu dan aplikasinya untuk pengolahan mi kering. Prosiding Teknologi Inovaif Pascapanen II. Kementerian Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian 2010. Pitt JI, Hocking AD. 2009. Fungi and Food Spoilage. Springer. Poneleit CG. 2001. Breeding white endosperm corn didalam Specialty corns. Second edition. Hallauer AR. Editor. Washington: CRC. Pp 235-272. Pozo-Insfran DD, Brenes CH, Saldivar SOS, Talcott ST. 2006. Polyphenolic and antioxidant content of white and blue corn (Zea mays L.) products. Food Research International 39 : 696–703. Qanytah dan Prastuti TR. 2008. Penerapan teknologi pascapanen jagung di Desa Kedawung Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal. Prosiding Seminar Nasional Teknik Pertanian 2008, Jogjakarta. Ratnayake WS, Jackson DS. 2006. Gelatinization and Solubility of Corn Starch during Heating in Excess Water: New Insights. J. Agric. Food. Chem 54: 3712-3716. Rooney LW and Serna-Saldivar SO. 2003. Food use of whole corn and drymilled fraction in Corn: Chemistry and Technology. Second edition. Pamela J. White editor. American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnosota. Samson RA, Hoekstra ES, van Oorschot CAN. 1981. Introduction to Food-Borne Fungi. Institute of The Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences. Sanchez PC. 2008. Philippine Fermented Foods: Principles and Technology. Diliman, Quezon City : University of the Philippines Press. Schober TJ, Moreau RA, Bean SR, Boyle DL. 2010. Removal of surface lipids improves the functionality of commercial zein in viscoelastic zein-starch dough for gluten-free breadmaking. Journal of Cereal Science 52 (3): 417425. Serna-Saldivar SO, Gomez MH, dan Rooney LW. 2001. Food uses of regular and specialty corn and their dry-milled fraction dalam Hallauer, A.R. Editor Specialty corns. Washington: CRC. Pp 303-337. Shukla R, Cheryan M. 2001. Zein: the industrial protein from corn. Industrial Crops and Products 13: 171-192. Suarni U. 2005. Karakteristik sifat fisikokimia dan amilograf tepung jagung sebagai bahan pangan. Prosiding seminar dan lokakarya nasional Makasar 2005. Pusat penelitian dan pengembangan tanaman pangan. Badan
123 penelitian dan pengembangan pertanian. Departemen Pertanian. Suarni U, Firmansyah JU. 2005. Beras jagung: Prosesing dan kandungan nutrisi sebagai bahan pangan pokok. Prosiding seminar dan lokakarya nasional. Pusat penelitian dan pengembangan tanmanan pangan. Badan penelitian dan pengembangan pertanian. Departemen Pertanian. Suarni U, Widowati S. 2007. Struktur, Komposisi, dan Nutrisi Jagung dalam Jagung. Penerbit: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Departemen Pertanian. Subekti NA, Syafruddin R E, dan Sunarti S. 2007. Morfologi Tanaman dan Fase Pertumbuhan Jagung dalam Jagung. Penerbit: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Departemen Pertanian. Suharyono SU, Nursin RWA, dan Murhadi. 2005. Protein quality of Indonesian common maize does not less superior to quality protein maize. Makalah pada 9th ASEAN Food Conference. Jakarta. Susila BA dan Resmisari A. 2005. Review : Tepung jagung komposit, Pembuatan dan Pengolahannya. Prosiding seminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Indusstri Berbasis Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor 7-8 September 2005. Tang B, Pan H, Tang W, Zhang Q, Ding L, Zhang F. 2012. Fermentation and purification of cellulase from a novel strain Rhizopus stolonifer var. reflexus TP-02. Biomass and Bioenergi 36: 366-372. Doi:10.1016/j.biombioe. 2011.11.003 Tawali AB. 2007. Pengkajian Teknologi Produksi dan Penyimpanan Jagung Sosoh Pratanak. Laporan akhir RUSNAS Diversifikasi Pangan Pokok Tahun anggaran 2007. Universitas Hasanuddin. Teniola OD, Odunfa SA. 2001. The effects of processing methods on the level of lysine, methionine, and general acceptability of ogi processed using starter cultures. Int. J. Food Microbiol. 63: 1-9. Tortora GJ, Funke BR, Case CL. 2004. Microbiology an Introduction. 8th ed. Pearson-Benjamin Cumming. Tsav-Wua JA, Inyang CU, Akpapunam MA. 2004. Microbiological quality of fermented cassava flour 'kpor umilin'. International journal of Food Sciences and Nutrition 55 (4): 317-324. Watson SA. 2001. Description, Development, Structure, and Compotition of the Corn Kernel in Hallauer AR. Editor Specialty corns. Washington: CRC. Pp 87 Widowati S, Santosa BAS, dan Suarni. 2005. Mutu gizi dan sifat fungsional jagung. Prosiding seminar dan lokakarya nasional. Pusat penelitian dan pengembangan tanaman pangan. Badan penelitian dan pengembangan pertanian. Departemen Pertanian. Wilson CM. 1987. Protein in kernel in Watson S.A. dan P.E. Ramstad editor. Corn: Chemistry and Technology. St. Paul Minnesota: American Association of Cereal Chemists. pp. 273-310. Wojtatowicz M, Chrzanowska J, Juszczyk P, Skiba A, Gdula A. 2001. Identification and biochemical characteristics of yeast microflora of Rokpol
124 cheese. Int J Food Microbiol 69: 135–140. doi: 10.1016/S01681605(01)00582-7. Xie, S.X., Liu, Q., and Cui, S.W. in Cui, S.W. (Eds). 2005. Food Carbohydrates: Chemistry, Physical Properties, and Applications. Taylor & Francis Group. Zeng J, Gao H, Li G, Zhao X. 2012. Characteristics of corn flour fermented by some Lactobacillus species. China Academic Journal Electronic Publishing House. All rights resesrved 1994-2012: 312-315
125 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 17 Pebruari 1968 sebagai putri pertama dari pasangan H. Drs. Tjartim Hasan (almarhum) dan Hj. Kusniati (almarhumah). Pendidikan diploma ditempuh di Akademi Gizi Jakarta (19871990), sedangkan pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Pangan, Universitas Sahid Jakarta (1992-1995). Pada tahun 1999 dengan beasiswa pendidikan dari Usahid dan BPPS dari Dikti, penulis melanjutkan pendidikan Program Magister di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 2003. Pada tahun 2008, penulis melanjutkan Program Doktor di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa BPPS. Sejak tahun 1995 hingga sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar tetap di Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Universitas Sahid Jakarta. Selama mengikuti pendidikan program Doktor, penulis menjadi anggota Perhimpunan Ahli dan Teknologi Pangan (PATPI). Salah satu artikel yang berjudul “Isolation And Identification Of Microorganisms During Spontaneous Fermentation Of Maize” telah memperoleh penghargaan kedua dalam Graduate Research Student Paper Competition yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan (PATPI) dan SEAFAST Center dalam International Conference on “Future of Food Factors” pada 3-4 Oktober 2012 di Jakarta dan telah diterima untuk dipublikasikan pada Jurnal Teknologi dan Industri Pangan pada Volume XXIV No. 1 Tahun 2013. Salah satu makalah ilmiah yang berjudul “Pasting Properties of White Corn Flour of Anoman 1 and Pulut Harapan Varieties As Affected By Fermentation Process” telah disubmit pada Journal Starch. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis.
126
126