KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN AROMA EKSTRAK PANILI KOMERSIAL
NURMALIA MULIATI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
ABSTRAK NURMALIA MULIATI. F34101017. Karakterisasi Sifat Fisiko Kimia dan Aroma Ekstrak Panili Komersial. Dibimbing oleh DWI SETYANINGSIH. Panili digunakan secara luas pada industri pangan terutama sebagai flavor dan pada industri parfum. Flavor panili ada yang alami dan ada yang sintetis. Flavor panili sintetis hanya mengandung salah satu komponen flavor vanilla yaitu vanillin atau etil vanillin (Boyce et.al, 2003), sehingga aroma yang dihasilkan tidak sekaya aroma ekstrak panili alami. Aroma maupun rasa yang terdapat pada ekstrak panili tergantung pada varietas tanaman, tanah, lingkungan dan proses curing. Ekstrak panili mengandung lebih dari 100 senyawa volatil yang terdeteksi termasuk aromatic carbonyls, aromatic alcohol, aromatic acids, aromatic esters, phenols dan phenols ethers, aliphatic alcohols, carbonyls, acids, esters, dan lactones, di mana aldehyde vanillin yang paling dominan (Perez-Silva et al.,2005; Adedeji et al., 1992; Klimes &Lamparsky, 1976; Ranadive, 1994). Kandungan vanillin, p-hydroxybenzaldehyde, vanillic acids, dan phydroxybenzoic dalam cured vanilla menentukan kualitas untuk tujuan komersial. Sebanyak 70-80% sumber panili dunia berasal dari Madagaskar. Adapun Amerika Serikat saat ini membeli buah panili dari Madagaskar, Indonesia, Uganda dan Tonga. Sebagian besar panili berkualitas tinggi diperoleh dari Madagaskar. Panili MadagaskarBourbon memiliki flavor smooth, rich dan sweet. Panili Mexico memiliki flavor smooth, strong dan rich. Panili Tahiti tidak memiliki flavor yang kuat seperti yang lain, akan tetapi sangat aromatik dengan aroma floral yang kompleks sehingga digunakan untuk parfum. Ekstrak panili Indonesia memiliki aroma cenderung kepada woody dan phenolic karena pemanenan yang terlalu cepat dan proses kuring yang tidak sempurna. Usaha untuk meningkatkan nilai tambah produk pertanian terus dilakukan, termasuk pada buah panili. Selama ini para petani menjual panili dalam bentuk segar bahkan terkadang masih mentah. Harga rata-rata buah panili segar tahun 2001 sebesar Rp. 301.330 / kg (Deptan Dirjen Bina Produksi Perkebunan, 2004). Pengolahan buah panili menjadi panili kering dan ekstrak panili akan memberikan nilai tambah pada produk panili. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik fisikokimia dan aroma ekstrak panili yang ada di Indonesia baik produk lokal (untuk ekspor) maupun produk impor kemudian dibandingkan dengan ekstrak panili dari buah panili lokal hasil penelitian dengan metode terbaru. Penelitian dilakukan dengan menganalisa sifat fisikokimia ekstrak panili sesuai dengan standar Food and Drug Administration (FDA) yaitu kadar vanillin, kadar abu, abu terlarut, alkalinitas abu terlarut, alkalinitas abu total, total asam dan lead number. Sifat sensori yang dianalisa yaitu aroma. Analisa dilakukan dengan uji deskripsi kualitatif dengan metode in-depth interview dan focus group; dan uji deskripsi kuantitatif dengan QDA (Quantitative Descriptive Analysis). Uji deskripsi dilakukan oleh panelis terlatih sebanyak 12 orang. Berdasarkan hasil uji sifat fisikokimia, ekstrak panili Cobra dan Djasulawangi (eksportir) dan G11 (hasil penelitian) memenuhi range nilai standar FDA pada kadar vanillin 1.1-3.5 g/l, abu 2.2-4.32 g/l, abu terlarut 1.79-3.57 g/l, lead number 4.0-7.4, alkalinitas abu total 300-540 ml 0.1 N asam/l dan alkalinitas abu terlarut 220-400 ml 0.1
N asam/l. Hal ini menunjukkan ketiga ekstrak panili tersebut telah memenuhi persyaratan ekstrak panili dan bisa masuk ke pasar ekstrak panili komersial. Berdasarkan hasil uji sensori, ekstrak panili Tahiti Grade II dan Virginia memiliki karakter aroma yang sama (berada dalam kuadran yang sama) yaitu aroma spicy dan smoky. Cobra dicirikan dengan aroma creamy, sweet dan vanilla. Djasulawangi dan S7 dikenali dengan aroma balsamic. Tahiti Grade I dan G11 membentuk kelompok dengan aroma tersendiri. Dapat disimpulkan bahwa ekstrak panili G11 (hasil penelitian) memenuhi persyaratan FDA pada sifat fisikokimia akan tetapi belum menghasilkan aroma yang sesuai dengan ekstrak panili komersial dari eksportir maupun importir sehingga pengembangan aroma ekstrak panili harus terus dilakukan terutama pada ekstrak panili G11.
KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN AROMA EKSTRAK PANILI KOMERSIAL
NURMALIA MULIATI F34101017
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN AROMA EKSTRAK PANILI KOMERSIAL
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
NURMALIA MULIATI F34101017
Dilahirkan pada tanggal 5 Agustus 1983 Di Plaju Tanggal lulus :
Disetujui Tanggal :
2006
Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, MSi Dosen Pembimbing ABSTRACT NURMALIA MULIATI. F34101017. Phsycochemical and Aroma Characterization of Commercial Vanilla Extract. Under the direction of DWI SETYANINGSIH. Vanilla is widely used as flavouring in the food and perfume industries. In flavouring, there are natural extracts from beans harvested from vanilla orchid and synthetics vanillin. Flavour from synthetic vanillin only consist one or two major components usually vanillin or ethyl vanillin so that the aroma isnot as rich as natural vanilla extract which contains complex mixture of 100-200 flavour components. The taste and aroma of vanilla extract depend on varieties of plant, soil, environment and curing process. Vanilla extract contains more than 100 volatil compounds detected including aromatic carbonyls, aromatic alcohols, aromatic acids, aromatic esters, phenols and phenols ethers, aliphatic alcohol, carbonyls, acids, esters, and lactones, of which the aldehyde vanillin is the most abundant (Perez-Silva et.al., 2005; Adedeji et al., 1993; Klimes & Lamparsky, 1976; Ranadive, 1994). The level of the aldehydes vanillin, vanillin, p-hydroxybenzaldehyde and their respective acids (vanillic acid and phydroxybenzoic acid) in cured vanilla is used as an indicator of cured vanilla bean quality for commercial purpose. The 70-80% sources of vanilla beans come from Madagascar. Today, United States buys vanilla beans from Madagascar, Indonesia, Uganda and Tonga. Most of high quality vanilla beans are achieved from Madagascar. MadagascarBourbon vanilla has smooth, rich, and sweet flavour. Mexican vanilla has smooth, strong and rich flavour. Tahitian vanilla has aromatic and complex floral aroma used in perfume. Indonesian vanilla extracts tend to woody, and phenolic because of earliest harvested and unperfected curing process. The efforts to increase agricultural added value were done continuously including vanilla. As long as we know that farmers sold fresh vanilla beans even they were still unripe. The average prices of whole vanilla in 2001 was Rp. 301.330/kg (Deptan Dirjen Bina Produksi Perkebunan, 2004). The curing process from cured vanilla to vanilla extract would give added value to vanilla product. This experiment had objective to know the phsycochemical and aroma characteristics of commercial vanilla extracts in Indonesia from local product (to be exported) and from imported product. Then, they were compared with vanilla extract from the new experiment. This experiment analyzed amount of vanillin, total ash, soluble ash, alcalinity of soluble ash, alcalinity of total ash, total acidity and lead number. Sensory characteristic analyzed was aroma. Analysis was done by qualitative descriptive test with In-Depth Interview and Focus Group methods, and quantitative descriptive analysis (QDA). These tests used 12 trained panelists. According to the results of phsycochemical analysis, Cobra and Djasulawangi from exporter and G11 from the experiment agreed to FDA regulations, those were vanillin 1.1-3.5 g/l, total ash 2.2-4.32 g/l, soluble ash 1.79-3.57 g/l, lead number 4.0-7.4, alcalinity of total ash 300-540 ml 0.1N acid/l and alcalinity of soluble ash 220-400 ml 0.1 N acid/l. These showed that the three vanilla extracts above had fulfiled the regulations of vanilla extracts and were able to compete other commercial vanilla extracts.
According to the results of sensory analysis, Tahiti grade II dan Virginia vanilla extracts had the same aroma (existed in the same quadran). They were spicy and smoky. Cobra was characterized by creamy, sweet and vanilla. Djasulawangi dan S7 were known with balsamic aroma, while Tahiti grade I and G11 made a group with their own aroma. It could be concluded that G11 vanilla extract from experiment fulfiled the rules of FDA in phsycochemical characteristics but it did not give the appropriate aroma as the aroma of exporter and importer vanilla extracts, so that the aroma development of vanilla extract especially G11 should be kept on.
I.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Panili digunakan secara luas pada industri pangan terutama sebagai flavor dan pada industri parfum. Flavor panili ada yang alami dan ada yang sintetis. Komposisi flavor sintetis lebih sederhana yaitu terdiri dari satu atau dua komponen mayor, biasanya vanillin atau etil vanillin (Boyce et.al, 2003), sehingga aroma yang dihasilkan tidak sekaya aroma ekstrak panili alami. Ekstrak panili alami mengandung 100-200 komponen flavor. Lebih dari seratus senyawa volatil yang terdeteksi, termasuk karbonil aromatik, alkohol aromatik, asam aromatik, ester aromatik, fenol dan fenol ester, alkohol alifatik, karbonil, asam, ester, dan lakton, di mana aldehid vanillin adalah yang paling dominan (Pérez-Silva et al., 2005). Setiap jenis ekstrak panili memiliki profil aroma yang berbeda-beda tergantung tempat tumbuhnya dan spesiesnya. Beberapa jenis ekstrak panili diantaranya Bourbon Vanilla, Mexican vanilla, Tahiti Vanilla, Guadaloupe vanillon dan
Indonesian vanilla. Vanilla Indonesia
cenderung memiliki profil aroma woody dan phenolic karena proses pengeringan yang terlalu cepat. Produksi panili Indonesia tahun 2001 dan 2002 sebesar 2.198 ton dan 2.731 ton. Volume ekspor panili Indonesia tahun 2001 sebesar 468 ton (US$ 19.309.000) dan meningkat menjadi 3.599 ton (US$ 19.160.000) pada 2002, sedangkan volume impor tahun 2001 dan 2002 sebesar 230 ton (US$ 868.000) dan 1.514 ton (US$ 1.346.000). Indonesia mengekspor panili utuh (vanilla whole) paling banyak ke USA sebesar 372 ton (US$ 15.790.000) dan Jerman 29 ton (US$ 2.351.000) pada tahun 2001, sedangkan tahun 2002, ekspor ke USA sebesar 242 ton (US$ 11.265.000) dan Jerman 51 ton (US$ 3.373), selain itu ekspor juga dilakukan ke Hongkong, Singapura, Malaysia, Australia, Kanada, Inggris, Prancis, Austria, dan lainnya. Panili dalam bentuk lain (other vanilla) diekspor ke China, Malaysia, USA, Jerman, Vietnam, Prancis, dan lainnya dengan total volume 3.278 ton (tahun 2002) senilai US$ 2.950.000. Negara pengimpor panili utuh adalah Madagascar, Amerika, Philipina dan Papua New Guinea sedangkan pengimpor panili dalam bentuk lain adalah
2
Malaysia, Australia, Timor-Timur, USA, Pakistan Singapura dan lainnya (Badan Statistik, Dirjen Bina Produksi Perkebunan, 2004). Buah panili selama ini diekspor dalam bentuk buah panili kering, padahal jika dilakukan pengolahan lebih lanjut dari panili kering menjadi ekstrak panili maka nilai tambah yang diperoleh akan jauh lebih besar. Kualitas ekstrak panili yang dihasilkan pun harus mampu bersaing dengan ekstrak panili yang selama ini dihasilkan oleh industri-industri pengekstrak di luar negeri, oleh karena itu, dibutuhkan informasi mengenai mutu produk ekstrak panili lokal dan mutu ekstrak panili impor, baik sifat fisikokimia maupun karakter aroma yang dihasilkan untuk perbaikan produk-produk berbasis panili yang akan dikembangkan.
B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan mengetahui sifat fisikokimia dan sensori ekstrak panili komersial baik produk lokal (dari eksportir) maupun produk impor dan produk hasil percobaan laboratorium.
3
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. PANILI 1. Botani Panili Panili (Vanilla planifolia, Andrews) merupakan tanaman introduksi yang berasal dari Mexico dan Amerika Tengah, tetapi saat ini sudah banyak dibudidayakan di daerah tropik seperti Madagascar, Reunion dan Comoro bahkan di Indonesia (Hadipoentyanti dan Udarno, 1998). Panili termasuk famili Orchidaceae yang merupakan famili yang terbesar dalam tanaman berbunga, mempunyai 700 genus dan 20.000 spesies (Purseglove et al., 1981). Spesies panili yang terpenting yaitu Vanilla planifolia ditemukan oleh Andrews pada tahun 1808 (Chalot, 1920). Panili mulai dibudidayakan di Indonesia tahun 1819 (Ridley, 1912). Penggolongan panili adalah sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Klas
: Angiospermae
Sub Klas
: Monocotyledon
Ordo
: Orchidules
Famili
: Orchidaceae
Genus
: Vanilla
Species
: Vanilla planifolia Andrews.
Tanaman panili adalah tanaman tahunan memanjat. Batangnya berbuku-buku, dari buku-buku tersebut tumbuh daun dan akar adventif, yang berguna untuk memanjat pada tiang panjatnya. Bunga keluar dari ketiak daun dalam bentuk tandan yang mekar satu persatu setiap hari dimulai dari pangkal ke atas. Panili dikenal sebagai tanaman berumah satu, dan tidak dapat melakukan penyerbukan sendiri tanpa bantuan manusia. Setiap buah yang masak mengandung ribuan biji yang sangat kecil berwarna hitam dan tidak mempunyai lembaga (Hadipoentyanti dan Udarno, 1998).
4
1
2
www.tahiti1.com
Photo by Jim Reddekopp
Gambar 1. Buah panili yang sudah matang (1) dan tanaman panili (2) Jenis panili banyak sekali, beberapa jenis sangat berbeda baik dari segi morfologi maupun sifat-sifat lainnya. Pada Vanilla planifolia, buah yang belum matang, keras, berwarna hijau tua setelah matang, agak lembek berwarna hijau kekuningan dan setelah diproses (proses kuring, red.) berwarna coklat tua. Buah matang mempunyai aroma yang khas dari panili. Pematangan buah tidak serempak pada satu tandan (mekar bunga tidak serentak), karena itu pemetikan (panen) dilakukan satu persatu secara selektif. Buah yang matang mempunyai kecenderungan berpilin dan minyak balsem (balsam oil) yang berwarna gelap akan muncul, epidermis menjadi lunak dan harum panili akan timbul. Biji dilapisi oleh minyak berwarna gelap dikenal dengan balsam of vanilla (Chalot, 1920, Ridley, 1912). Vanilla pompana Schiede memiliki buah besar-besar lebih pendek daripada buah V. planifolia, bersudut tiga dengan panjang 12-17.5 cm, dan lebar 16-30 mm, berwarna hijau tua. Sudut-sudut pada buah V. pompana lebih jelas dibandingkan V. planifolia. Buah V. planifolia lurus sedangkan buah V. pompana berpilin sejak belum matang, buah yang matang berwarna coklat tua, berbau seperti bunga matahari. Vanilla
tahitensis
J.W.
Moore
memiliki
buah
yang
tidak
mengeluarkan aroma seperti buah V. planifolia (Ridley, 1912). Menurut Heyne (1927) buah berair manis, enak dimakan dan dapat menyuburkan rambut. Karakteristik pada jenis ini adalah tahan terhadap hujan lebat sehingga dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan jenis unggul baru.
5
Panili umumnya dapat berkembangbiak dengan cepat di daerah tropis, sekitar 25oLU dan LS dari khatulistiwa, atau di daerah pegunungan dengan ketinggian 400-800 meter (Kantor Pusat BRI, 1986). Namun, Panili hutan pernah ditemukan di dataran rendah (10 m dpl) maupun di dataran tinggi antara lain di Kalimantan Timur sampai ketinggian 1000 m dpl (Herbarium Bogoriensis, 1994).
2. Kegunaan Panili Kegunaan panili terutama sebagai ramuan pada minuman serta untuk memberikan aroma pada makanan seperti coklat, kembang gula dan es krim (Hadipoentyanti dan Udarno, 1998). Burri et al. (1989) melaporkan bahwa vanilin dapat digunakan sebagai antioksidan pada makanan yang banyak mengandung komponen tak jenuh. Selanjutnya Cerutti et al. (1997) menyebutkan bahwa kombinasi vanilin dengan 500 ppm asam askorbat pada pH 3 mampu mencegah pertumbuhan mikroba alami dan kontaminan pada puree strawberry yang disimpan selama 60 hari pada suhu ruang. Vanillin juga digunakan dalam sintesa obat-obatan sebagai flavouring agent, sebagai starting material dalam pembuatan obat antihipertensi (1-3-(3,4-dihydroxyl phenyl)-2-methylalanine) dan untuk perawatan penderita Parkinson (Chemistry Department University Of Malta, 2000).
3. Sifat Fisikokimia Buah panili setelah mengalami fermentasi akan menghasilkan Vanilin (C8H8O3). Kandungan vanilin pada setiap jenis panili berbeda, perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan agroklimat tempat tumbuhnya. Sebagai contoh panili berasal dari Mexico (V. planifolia), kadar vanilinnya 1.32-1.86 %, dari Reunion (V. planifolia), 1.919-2.00% dan dari Tahiti (V. tahitensis, V. pompana) 1.55 %. Untuk panili yang berkualitas rendah, kadar vanilin minimal 1.19 % sedangkan untuk panili yang berkualitas prima (superior), kadar vanilin ditetapkan sebesar 1.50 % (Chalot, 1920). Menurut Ridley (1912) panili dari Tahiti (V. tahitensis) sama dengan V. pompana
6
(Vanillons), dalam hal aromanya kurang dibandingkan V. planifolia, karena itu hanya dipergunakan untuk membuat parfum. Buah panili segar hampir tidak mempunyai bau sehingga harus diolah melalui proses curing untuk menghasilkan aroma khas panili. Flavor khas panili merupakan campuran kompleks lebih dari 170 komponen volatil yang terdapat dalam buah vanili cured. Komponen utama pembentuk flavor panili adalah vanilin, asam vanilat, vanilil alkohol, p-hidroksibenzaldehid, asam phidroksibenzoat dan p-hidroksibenzil alkohol (Rao dan Ravishankar, 2000). Komposisi kimia buah panili dan struktur kimia komponen-komponen pembentuk flavor vanili dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 3. Tabel 1. Komposisi kimia Buah Panili Segar Komposisi Kimia
Kandungan (%)
Air
78-82
Karbohidrat
8-20
Lemak
4-15
Kalium
0.005
Kalsium
0.003
Klor
0.0024
Nitrogen
0.004
Magnesium
0.0015
Sumber: Purseglove et al. (1981)
1
2
Gambar 2. Buah panili cured (1) dan ekstrak panili dalam kemasan (2)
7
COOH
CHO
CH2OH
OCH3
OCH3 OH
OCH3
OH
OH
asam vanilat
vanilil alkohol
CHO
COOH
CH2OH
OH
OH
OH
Vanilin
p-hidroksibenzaldehid
asam p-hidroksi benzoat
p-hidroksibenzil alkohol
Gambar 3. Struktur Kimia Komponen Utama Flavor Panili (Rao dan Ravishankar, 2000). Buah panili hasil proses kuring mengandung protein, gula, serat lignoselulosa, selulosa, asam organik, vanilin dan fenol monohidroksi, minyak, lilin, resin, gum, pigmen, mineral, komponen aroma volatil dan asam lemak esensial (Rao dan Ravishankar, 2000). Tabel 2. Komponen Utama Panili Cured Komposisi Kimia
Kandungan (g/kg berat kering)
Vanilin
20
Asam Vanilat
1
p-Hidroksibenzaldehid
2
p-Hidroksibenzil metil eter
0.2
Gula
250
Lemak
150
Selulosa
150-300
Mineral
60
Air
350
Sumber : Rao dan Ravishankar (2000)
8
B. EKSTRAK PANILI Ekstrak panili (Vanilla extract) yaitu ekstrak yang dihasilkan dari perkolasi atau maserasi potongan-potongan buah panili dengan pelarut etil alkohol dan air (www.vanilla.com/html/facts-extracts.html). Ekstrak panili dapat pula dihasilkan dengan cara mencincang buah panili dan menghaluskannya dengan gula (sebanyak setengah dari bobot buah panili) yang akan membantu jalannya ekstraksi dan proses penuaan produk, kemudian diperkolasi dalam ekstraktor stainless steel menggunakan ethanol dan air kira-kira 57% volume selama 3-4 minggu. Perkolasi dikumpulkan dan dihaluskan kemudian disimpan sampai penuaan tertentu lalu disaring atau disentrifugasi (Cowley 1973). FDA mengatur bahwa ekstrak panili 1 fold adalah ekstrak yang murni mengandung 13.35 ons buah panili/gallon cairan dan mengandung 35% alcohol. Fold adalah ukuran kekuatan ekstrak vanilla. Untuk food processing, digunakan vanilla dua, tiga, atau empat fold. Vanilla dua fold menggunakan 26,7 ons buah panili, mengandung dua kali lebih banyak bahan ekstrak dan dua kali lebih kuat. Tiga fold, empat fold merupakan tiga atau empat kali kandungan satu fold (www.nielsenmassey.com). Aroma vanilla berkembang akibat proses enzimatik dan kimiawi selama proses kuring. Flavor vanilla yang kaya dan lengkap mengandung lebih dari 250 komponen senyawa volatil dan kebanyakan dari senyawa tersebut berperan dalam sifat organoleptik secara keseluruhan (Tanudjaja, 1998; Dignum, 2002). Komposisi flavor sintetis lebih sederhana yaitu terdiri dari satu atau dua komponen mayor, biasanya vanillin atau etil vanillin (Boyce et.al, 2003), sehingga aroma yang dihasilkan tidak sekaya aroma ekstrak panili alami. Pure vanilla mempunyai aroma delicate, yet rich, dan mellow.
Flavor
tiruan
mempunyai
bau
yang
berat
dan
grassy
(Reineccius,1994). Analisis yang menentukan banyaknya vanillin yang ada, lead number, kandungan abu dan nilai lainnya digunakan untuk mengetahui apakah ekstrak tersebut telah mengalami pencampuran atau pemalsuan (Reineccius, 1994).
9
Standar ekstrak panili berdasarkan FDA adalah kadar etanol 350 ml/l atau lebih, mengandung gliserin, propilen glikol, gula, dan sirup sebagai pengental dan pemanis, anti kempal pada produk akhir tidak lebih dari 20 g/kg, kekuatan two fold, kadar vanillin 1.1-3.5 g/l, abu 2.2-4.32 g/l, abu terlarut 1.79-3.57 g/l, lead number 4.0-7.4, alkalinitas abu total 300-540 ml 0.1 N asam/l, alkalinitas abu terlarut 220-400 ml 0.1 N asam/l, total asam 300-520 ml 0.1 N basa/l, dan keasaman selain vanillin 140-420 ml 0.1 N basa/l (Heath, 1978).
C. ANALISIS SENSORI Analisis sensori merupakan analisis yang menggunakan manusia sebagai instrumen, dimana kemungkinan terjadi penyimpangan sangat besar. Dasar-dasar dari faktor fisiologi dan psikologi yang dapat berpengaruh
terhadap
meminimalisasi
penilaian
penyimpangan
sensori
atau
harus
penilaian
dipahami
yang
untuk
berubah-ubah,
(Meilgaard et al., 1999). Menurut Noble (2002), analisis sensori pada analisis flavor mirip dengan analisis menggunakan instrumen, yaitu menggunakan standar yang baku dan dalam suatu kondisi yang terkontrol. Semua faktor eksternal yang dapat membiaskan penilaian harus disingkirkan. Test harus difasilitasi sebaik mungkin sehingga dapat mencegah berbagai gangguan. Respon secara obyektif
terhadap sifat makanan diperoleh dengan
penilaian organoleptik melalui penglihatan, penciuman, rasa, sentuhan, dan pendengaran (Piggott et al., 1998). Terdapat beberapa metode dalam mendeskripsikan sifat makanan, yaitu secara kualitatif dan secara kuantitatif. Menurut Meilgaard et al., (1999) semua metode analisis deskripsi menggunakan penilaian baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif, menuntut panelis untuk dapat mendeteksi dan menggambarkan atribut-atribut sensori sedekat mungkin. Metode kualitatif dilakukan untuk mendapatkan dan mengembangkan bahasa, sehingga dapat menggambarkan sampel yang nantinya sangat penting untuk analisis secara kuantitatif, sedangkan metode kuantitatif mendeskripsikan karakteristik sensori suatu
10
produk dengan memberikan penilaian yang menggambarkan sampel dalam suatu skala interval. Metode kuantitatif yang cukup sering digunakan yaitu Quantitative Descriptive Analysis (QDA) yaitu suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan suatu karakteristik sensori suatu produk secara matematis (Zook dan Pearce, 1988 dalam Aryati 2003). QDA menggunakan panelis terlatih yang memberi penilaian terhadap intensitas atribut suatu produk yang dibandingkan dengan standar pada skala garis sepanjang 6 inci (15 cm). Data QDA setelah mengalami transformasi data dapat ditampilkan dalam bentuk grafik majemuk jaring laba-laba (spider web) atau menggunakan Multivariate Analysis dengan aplikasi teknik Principal Component Analysis (PCA).
D. PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS Principal Component Analysis (PCA) merupakan metode analisis statistika multivariate yang digunakan untuk mentransformasikan variabelvariabel asli menjadi variabel-variabel baru yang mempunyai dimensi lebih kecil, saling bebas dan orthogonal antara variabel satu dengan variabel lainnya. Dimensi-dimensi yang baru ini dipilih menurut syarat khusus, yaitu masing-masing dimensi harus memaksimalkan jumlah keragaman yang dijelaskan (Carpenter et al., 2000). Variabel-variabel baru tersebut merupakan kombinasi linear dari variabel aslinya (Esbensen et al., 1994) dan dinamakan komponen utama (Principle Component/PC). Analisis ini mampu menjelaskan
sebanyak 75%-90% dari total
keragaman dalam data yang mempunyai 25 sampai 30 variabel hanya dengan dua sampai tiga principal component (Meilgaard et al., 1999). Menurut Esbensen et al. (1994), tahapan dasar dalam PCA adalah mentransformasikan p variabel-variabel kuantitatif awal yang kurang saling berkorelasi ke dalam p variabel kuantitatif baru yang disebut komponen utama. Jadi hasil analisis tipe ini tidak berasal dari variabel-variabel awal tetapi dari indeks sintetik yang diperoleh dari kombinasi linear variabelvariabel awal.
11
Diantara semua indeks sintetik yang mungkin terbaca, analisis ini mencari terlebih dahulu indeks yang menunjukkan ragam individu yang maksimum. Indeks ini disebut komponen utama-1(PC1) dan mempunyai variasi terbesar dari variasi total individu. Selanjutnya dicari komponen utama-2 dengan syarat berkorelasi nihil dengan yang pertama dan memiliki variasi individu terbesar setelah komponen utama-1. Proses ini akan terus berlanjut sampai komponen utama terakhir, dimana variasi individu yang dijelaskan akan semakin kecil (Esbensen et al., 1994). Setiap komponen dalam model PCA dikarakterisasi oleh tiga atribut yang saling melengkapi, yaitu keragaman (variance) yang memberikan berapa banyak informasi yang dapat digunakan pada komponen utama yang dapat dinyatakan dengan residual variance dan explained variance, lalu loading yang menyatakan gambaran hubungan (korelasi) antara variabelvariabel dalam setiap komponen utama, dan scores yang menggambarkan sifat-sifat subyek (sampel). Hasil analisa merupakan gabungan dari plot loading dan scores dalam bentuk grafik biplot. Grafik ini menggambarkan hubungan antara variabel dan sampel secara keseluruhan. Jarak antara titik variabel menunjukkan hubungan diantara variabel. Interpretasi untuk titik-titik sampel sama dengan interpretasi variabel. Hubungan antara dua titik sampel dapat dilihat dengan membandingkan jaraknya dengan titik-titik dari variabel. Titik-titik sampel yang berdekatan menunjukkan bahwa sampel-sampel tersebut sama, sedangkan titik-titik sampel yang berjauhan menunjukkan hal yang sebaliknya. Titik-titik sampel yang terdapat dalam satu kelompok adalah sama sedangkan titik-titik sampel antara kelompok adalah berbeda (Esbenson et al., 1994).
12
III. BAHAN DAN METODE
A. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan Baku Kode sampel dari eksportir : Cobra (PT. Tripper Nature) dan Djasulawangi (PT. Djasulawangi), importir: Virginia, Tahiti dan Grade II, sedangkan dari hasil penelitian : S7 dan G11. Semua sampel diperoleh dalam bentuk ekstrak panili kecuali Djasulawangi dalam bentuk panili kering yang ekstraknya dibuat sendiri oleh peneliti. Ekstrak panili S7 dan G11 merupakan hasil penelitian Melawati (2006). Metode ekstraksi Djasulawangi, S7 dan G11 dapat dilihat pada lampiran 2, 3 dan 4. Sampel S7 dan G11 menggunakan panili ½ kering hasil modifikasi proses kuring. Modifikasi proses kuring adalah modifikasi pengolahan panili yang terdiri dari tahap sortasi buah panili, penyayatan buah dengan menggunakan jarum sedalam 1-2 mm, perendaman buah dalam aktivator butanol 0,3 M dan sistein 1mM selama dua jam, pelayuan dalam air panas pada suhu 40oC selama 30 menit, pemeraman selama 18 jam pada suhu 38-40oC, pengeringan I pada suhu 40oC tiga jam/hari selama lima hari, pengeringan II pada suhu 60oC tiga jam/hari sampai dengan kadar air 35%, dan penuaan selama satu bulan. Produk panili yang berasal dari konsumen tidak digunakan dalam penelitian ini karena bukan berupa ekstrak alami akan tetapi flavor atau essence panili sintetis.
2. Bahan Kimia Bahan kimia yang digunakan ialah propilen glikol, Na2EDTA 0.025 N, NaOH 0.1 N, HCl 0.1 N, NaCH3COO 0.1 N, CH3COOH 0.1 N, Pb(CH3COO)2, xylenol orange, indikator PP, indikator methyl orange, etanol 60 %, guaiacol, ethyl butyrat, lactone, benzyl alcohol, vanillin standar, methyl cinnamate dan eugenol.
13
3. Alat Pipet 200 µl, pipet 1000 µl, labu takar 10 ml dan 25 ml, gelas ukur, spektrofotometer UV (Simadzu), pipet tetes, pipet 5ml dan 10 ml, cawan porselen, hot plate, tanur, gegep, filterflask, pompa vakum, milipore 0.45 µm, buret, botol aquades, oven, labu destilasi alkohol, desikator, neraca analitik, refrigerator, erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, sudip, pH meter, botol gelap berulir 10 ml, smelling strips, dll.
B. METODE PENELITIAN
1. Analisis Sifat Fisikokimia Analisis sifat fisikokimia ekstrak panili yaitu karakterisasi tiga kelompok ekstrak panili yang meliputi warna, kadar vanillin, kadar abu, abu terlarut, lead number, alkalinitas abu total, alkalinitas abu terlarut dan total asam. Sifat fisik yang dianalisis yaitu warna yang diamati secara visual. Sifat kimia dianalisis dengan prosedur pengujian terlampir pada lampiran 1. Hasil analisis ini digunakan untuk menduga mutu ekstrak panili dari eksportir, importir dan hasil percobaan dibandingkan dengan standar FDA (Food and Drug Administration). Pendugaan ini didasarkan pada sampel ekstrak panili yang diambil. Sebaran yang diambil adalah sebaran t dengan membandingkan dua kelompok yaitu μ karakteristik fisikokimia seluruh ekstrak sampel dengan μ karakteristik fisikokimia standar FDA. Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini adalah Ho : μ karakteristik fisikokimia ekstrak sampel = μ karakteristik fisikokimia standar FDA Ht
: μ karakteristik fisikokimia ekstrak sampel ≠ μ karakteristik fisikokimia standar FDA
Nilai pembanding dalam hipotesis ini sesuai dengan spesifikasi FDA. Syarat penerimaan adalah bila t (hitung) lebih kecil dari t (tabel) dan lebih besar dari –t(tabel) pada taraf signifikan (α) 0.05. Nilai t (hitung) didapatkan dengan rumus berikut: t (hitung ) =
x−μ s/ n
………………………………(1)
14
Keterangan : x
= nilai rata-rata contoh (sampel)
μ
= nilai rata-rata populasi
s
= simpangan baku sampel
n
= besarnya sampel
n
n
∑ xi = x1 + x2 + ...... + xn ; x = ∑ xi / n i =1
s2 =
………………(2)
i =1
(x
1
) (
)
2
2
(
− x + x 2 − x + .... x n − x n −1
)
∑ (x n
2
=
i =1
i
−x
)
2
n −1
s2 = penduga ragam
∑ (x n
s=
i =1
i
−x
)
2
……………………………………..(3)
n −1
2. Analisis Sensori Analisis sensori yang dilakukan adalah uji deskripsi. Untuk melakukan uji deskripsi, diperlukan panelis yang terlatih, maka ada beberapa tahapan yang dilakukan sebelum uji deskripsi, yaitu tahap seleksi panelis, tahap pelatihan panelis dan tahap pengujian. Tahap pengujian terdiri dari uji deskripsi secara kualitatif dan kuantitatif. Uji deskripsi secara kualitatif dilakukan dengan metode In-Depth Interview dan Focus Group, sedangkan uji deskripsi secara kuantitatif dilakukan dengan metode QDA (Quantitative Descriptive Analysis). a. Seleksi Panelis Seleksi
panelis
dilakukan
dengan
menyebarkan
kuesioner
(Prescreening Questionnaire) yang selanjutnya diolah dan diseleksi untuk mendapatkan calon panelis yang sesuai kriteria dan bersedia mengikuti pelatihan panelis. Salah satu kriteria menjadi panelis adalah kesehatan indra panelis terutama penciuman karena pengujian yang akan dilakukan terkait dengan aroma. Setelah terpilih, maka dilanjutkan
15
dengan seleksi panelis menggunakan uji segitiga. Contoh Prescreening Questionnaire dapat dilihat pada lampiran 13. Dalam uji segitiga, digunakan flavor standar sebagai sampel uji. Flavor standar yang digunakan dalam uji yaitu benzyl alkohol dengan atribut aroma sweet, vanillin dengan aroma vanilla dan eugenol dengan aroma spicy. Ketiga flavor standar tersebut digunakan karena memiliki atribut aroma yang ada pada ekstrak panili sebagai sampel uji pada tahap pengujian. Pada uji segitiga, panelis diminta menemukan satu yang beda di antara ketiga sampel yang diuji dan apabila 60 % jawaban panelis benar maka panelis lolos seleksi dan dapat mengikuti tahap pelatihan. b. Pelatihan Panelis
Tahap pelatihan panelis terdiri dari pengenalan bahasa flavor, pelatihan penskalaan, dan pelatihan intensitas skala. Pada pelatihan pengenalan bahasa flavor, panelis diperkenalkan dengan lima flavor standar yaitu spicy, creamy, balsamic, sweet, dan smoky. Pada tahap pelatihan penskalaan, dilakukan uji rangking di mana panelis diminta memberikan nomor urut terhadap sampel-sampel sesuai dengan intensitasnya. Pelatihan ini untuk melatih kemampuan panelis untuk membedakan intensitas aroma-aroma. Formulir isian setiap uji dapat dilihat pada lampiran 14-19. Tahapan terakhir dari pelatihan panelis ialah pelatihan intensitas skala. Pelatihan ini dilakukan dengan uji skalar garis, yaitu salah satu uji skalar yang menggunakan garis sebagai parameter penentuan suatu kesan dari suatu rangsangan. Dengan menggunakan skalar garis dapat diketahui besaran kesan yang diperoleh dari suatu komoditi sehingga dapat diketahui mutu dari komoditi tersebut (Rahayu, 1998). Pelatihan uji intensitas skala dilakukan dengan menilai intensitas aroma sampel kemudian dibandingkan dengan flavor standar yang telah diketahui intensitasnya.
16
c. Tahap Pengujian (1) Analisis Kualitatif
Analisis kualitatif dilakukan dengan teknik in-depth interview, di mana masing-masing panelis mendeskripsikan sampel dipandu dengan moderator, dan dengan teknik Focus Group yang berbentuk kelompok diskusi untuk mendeskripsikan atribut-atribut yang terdapat dalam sampel sesuai kesepakatan bersama. Teknik ini juga dipandu oleh moderator (panel leader). Setiap panelis membaui setiap sampel dengan bottle technique dan dilakukan simplo. (2) QDA (Quantitative Descriptive Analysis)
QDA adalah metode analisis untuk mengukur intensitas suatu produk (Resurreccion, 1998). Panelis menilai intensitas aroma setiap atribut aroma pada garis sepanjang 15 cm (nilai 0 = lemah, 15 = kuat). Kemudian nilainya ditransformasikan pada skala 1-100 dan divalidasi keragaman datanya. Data diterima bila memenuhi: X – SD ≤ d ≤ X + SD di mana :
X = rata-rata data intensitas atribut pada QDA SD = simpangan baku data intensitas atribut pada QDA d = data intensitas atribut pada QDA
Setelah divalidasi, data QDA tersebut divisualisasikan dalam bentuk
spiderweb
untuk
melihat
profil
aromanya.
Panelis
memberikan penilaian intensitas aroma dengan membandingkan intensitas atribut aroma pada ekstrak dengan intensitas flavor standar yang telah diberi nilai tertentu. Standar aroma yang digunakan dalam QDA dapat dilihat pada Tabel 3. 3. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan PCA (Principal Component Analysis). PCA digunakan untuk mengetahui kecenderungan hubungan pengelompokan
atribut
aroma
pada
tiap
sampel
dengan
cara
memaksimumkan keragaman menggunakan komponen utama (PC) yang paling sedikit.
17
Tabel 3. Standar deskripsi aroma ekstrak panili Atribut aroma
Smoky (guaiacol) Creamy (lactone) Sweet (etil butirat) Balsamic (metil sinamat) Spicy (eugenol) Vanilla (vanillin)
SI (Sensory Intensity) 25 70 10 25 20 50 25 60 20 50 20 50
PI (μl/ 10 ml propilen glikol) 100 1000 0.1 10 6 146 246.8 2114.23 28.55 516 100 1000
18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. SIFAT FISIKOKIMIA SAMPEL EKSTRAK PANILI 1. Warna
Sampel ekstrak panili yang digunakan dalam penelitian ini berwarna kuning keemasan sampai coklat pekat. Berikut ini gambar sampel yang digunakan dalam penelitian ini:
1
2
3
4
5
6
7
Gambar 4. Sampel ekstrak panili: (1)Tahiti, (2)Grade II, (3)Virginia, (4)Cobra, (5)S7, (6)Djasulawangi, (7)G11 Warna ekstrak panili tergantung pada beberapa faktor yaitu kualitas buah panili, durasi (lama waktu) ekstraksi dan adanya gliserin, akan tetapi kandungan etanol juga penting. Warna ekstrak akan lebih gelap sampai kandungan etanol 60 persen. Di atas 70 persen warnanya lebih muda dan di atas 95 persen sangat sedikit warna yang terekstrak (Purseglove et al., 1981; Reineccius,1994). Apabila kandungan etanol lebih dari 70 persen, maka sejumlah fixed oil akan ikut terekstrak dan akan mengendap, hal ini tidak akan terjadi pada ekstrak dengan kandungan etanol 35-40% (Purseglove, 1981), sehingga kandungan etanol mempengaruhi zat yang terekstrak dan warna ekstrak. Sampel dari eksportir dan importir memiliki warna yang lebih gelap kecuali Djasulawangi yang diekstrak sendiri oleh peneliti, hal ini kemungkinan disebabkan karena durasi ekstraksi Djasulawangi yang lebih singkat (hanya 6 hari) karena pada perusahaan penghasil ekstrak panili, dilakukan penuaan bisa lebih dari tiga minggu bahkan sampai tiga bulan (Purseglove et al., 1981), sedangkan sampel S7 dilakukan maserasi selama 16 hari dan G11 selama 22 hari. Faktor-faktor yang lain (kualitas buah,
19
adanya gliserin dan kandungan etanol) juga mempengaruhi warna ekstrak panili.
2. Kadar Vanillin
Pengukuran kadar vanillin dilakukan sebagai salah satu indikator mutu ekstrak panili pada analisis laboratorium, akan tetapi penentuan mutu ekstrak panili terutama dilakukan secara subyektif melalui penilaian organoleptik terhadap aroma dan flavor karena adanya konstituenkonstituen minor yang juga mempengaruhi aroma ekstrak panili alami (Purseglove et al., 1981). Kadar vanillin tertinggi (Gambar 6 / Lampiran 5) dimiliki oleh ekstrak panili Tahiti (Grade I) sebesar 7,9 g/l. Ekstrak Virginia memiliki kadar vanillin sebesar 6,9 g/l, S7 sebesar 4,5 g/l, G11 sebesar 3,8 g/l, Cobra 3,3 g/l, Djasulawangi 3,2 g/l dan yang paling rendah adalah Tahiti grade II sebesar 2,4 g/l. Berdasarkan hasil analisis varian (ANOVA), diketahui bahwa jenis sampel memiliki hubungan yang signifikan terhadap kadar vanillin dengan perbedaan nyata pada setiap sampel kecuali Djasulawangi dan Cobra. Kadar vanillin dalam setiap sampel ekstrak panili berbeda, hal ini disebabkan karena perbedaan agroklimat tempat tumbuhnya (Chalot, 1920). Sampel Tahiti Grade I dan II berasal dari Tahiti, Virginia berasal dari Madagascar, S7 dan G11 berasal dari Makassar, sedangkan Djasulawangi dan Cobra berasal dari dalam negeri, akan tetapi tidak diketahui dari daerah mana. Antara Tahiti Grade I dan II terdapat perbedaan kadar vanillin yang cukup besar walaupun berasal dari daerah yang sama, hal ini terkait dengan grade ekstrak tersebut, di mana Grade I mengandung vanillin lebih tinggi daripada Grade II. Sampel Cobra dan Djasulawangi tidak berbeda nyata kadar vanillinnya, sehingga mungkin menggunakan buah panili dari daerah yang sama, sedangkan untuk sampel S7 dan G11, kemungkinan perbedaan metode ekstraksi yang menyebabkan kadar vanillinnya berbeda karena bahan baku buah panili yang digunakan berasal dari daerah yang sama. Menurut Setyaningsih (2006) kadar vanillin sangat tergantung pada proses
20
ekstraksi, perbandingan air dan buah panili, serta kondisi bahan baku buah panili segar yang digunakan. Setyaningsih (2006) menyebutkan pula bahwa kenaikan kadar vanillin selama proses kuring disebabkan terutama oleh hidrolisis glukovanillin dan akumulasi vanillin dari tahap-tahap sebelumnya. Sejumlah kecil vanillin mungkin dihasilkan dari eliminasi rantai karbon dari asam ferulat (Venturi et al, 1998), metoksi 4-hidroksi benzaldehid (Podstolski et al, 2002 dalam Setyaningsih, 2006), serta hidroksilasi dan metilasi asam sinamat yang terdapat sebagai prekursor lignin (Funk dan Brodelius, 1990). Kadar vanillin juga dapat berkurang karena teroksidasi oleh enzim peroksidase menjadi o-guaiacol atau asam vanillat (Purseglove et al, 1981).
Kadar Vanillin (g/l)
8,00
D
D
6,00
D
4,00
D D
D
D
D
2,00
Tahiti
G radeII
Virgin
Cobra
S7
Djasula
G 11
Std
Sampe l Ekstrak
Gambar 5. Kadar vanillin dari ekstrak panili dan standar FDA Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis kadar vanillin disimpulkan bahwa rata-rata kadar vanillin seluruh ekstrak yang dianalisis sama dengan rata-rata kadar vanillin menurut standar FDA. Oleh karena itu semua sampel ekstrak panili telah memenuhi kriteria kadar vanillin sesuai dengan standar. Hasil uji hipotesis dapat dilihat pada lampiran 24.
21
3. Kadar Abu
Kadar abu menunjukkan banyaknya zat anorganik dalam bahan pangan, yaitu zat yang tidak terbakar saat proses pembakaran (Winarno, 1997). Kadar abu pada ekstrak panili dapat digunakan untuk mengetahui kemurnian ekstrak panili, di mana ekstrak panili alami akan memiliki kadar abu yang lebih besar daripada panili imitasi. Menurut standar FDA, kadar abu ekstrak panili asli sebesar 2.2 – 4.32 g/l. Hasil pengukuran kadar abu dari sampel ekstrak panili dibandingkan dengan standar FDA dapat dilihat pada Lampiran 6.
Kadar Abu (g/l)
6,00
D
D
4,00
D D
D
D
D
2,00 D
0,00
Tahiti
Virginia G rade II
S7 Cobra
Djasulaw G 11
Standar
Sampe l
Gambar 6. Kadar abu ekstrak panili Pada Gambar 6, kadar abu tertinggi dimiliki oleh Tahiti Grade II sebesar 5.85 g/l, nilai ini melebihi batas atas kadar abu dalam persyaratan FDA. Penyebabnya kemungkinan terdapatnya zat anorganik dalam jumlah yang cukup besar atau ditambahkannya alkali pada ekstrak tersebut sehingga kadar abu melebihi standar, sedangkan kadar abu terendah dimiliki oleh sampel S7 sebesar 1.33 g/l. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kandungan zat anorganiknya lebih rendah, selain itu kemungkinan penyebab kecilnya kadar abu S7 karena dilakukan dua kali penyaringan setelah ekstraksi sehingga mungkin banyak senyawa anorganik yang menempel
22
pada filter. Hal ini dapat diketahui pula dari warna ekstrak yang lebih muda dari sampel hasil penelitian, G11. Dari hasil analisis varian (ANOVA), jenis sampel berpengaruh nyata terhadap kadar abu dan masing-masing jenis sampel ekstrak panili, kecuali Cobra dan G11. Hal ini terjadi kemungkinan karena perbedaan kandungan mineral di dalam tiap sampel ekstrak panili. Kandungan mineral dalam buah panili diantaranya kalium, kalsium, klor, nitrogen dan magnesium. Panili sintetis mengandung bahan-bahan seperti vanillin, coumarin dan gula substitusi, gliserin dan pelarut lainnya yang secara praktis bebas dari abu (Reineccius, 1994). Oleh karena itu, pengukuran kadar abu perlu dilakukan untuk mengetahui adanya pemalsuan atau tidak, karena industri ekstrak panili dapat meningkatkan kadar abu dengan menggunakan alkali, tetapi akan mengubah nilai kelarutan dan alkalinitasnya (Reineccius, 1994). Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis kadar abu total disimpulkan bahwa rata-rata kadar abu seluruh ekstrak yang dianalisis sama dengan rata-rata kadar abu menurut standar FDA sehingga ketujuh sampel tersebut dapat diterima.
4. Abu Terlarut
Abu terlarut diperoleh dari hasil pelarutan abu total dengan air panas yang kemudian melalui penyaringan. Menurut Reineccius (1994), lebih dari 80 persen dari total abu, terlarut dalam air. Pada Gambar 7, nilai abu terlarut paling tinggi adalah pada ekstrak panili Tahiti Grade II yaitu 4.93 g/l atau 83.8 % dari abu total dan yang paling rendah adalah ekstrak panili S7 sebesar 0.80 g/l atau 64% dari abu total. Data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 7. Menurut Reineccius (1994), kadar abu berguna untuk mengetahui keaslian vanilla karena pada vanilla imitasi yang hanya mengandung vanillin, coumarin, gula substitusi, gliserin dan pelarut, praktis bebas dari abu. Namun, ada yang menambahkan alkali pada pembuatan ekstrak panili sehingga meningkatkan total abu, tetapi nilai kelarutan dan alkalinitasnya akan berubah pula.
23
Abu Terlarut (g/l)
5,00
D
4,00 D D
3,00
D D
D
D
2,00
1,00
D
0,00 Tahiti
Virginia G rade II
S7 Cobro
G 11 Djasulaw
Standar
Sampe l
Gambar 7. Abu terlarut antara standar dan sampel ekstrak panili Alkali yang ditambahkan pada vanilla imitasi akan ikut terlarut dalam analisis abu terlarut sehingga akan mempengaruhi nilai alkalinitasnya saat uji alkalinitas abu terlarut. Hasil analisis varians menunjukkan bahwa Tahiti Grade II berbeda nyata dari sampel yang lain. Akan tetapi Virginia, Djasula, G11 dan Cobra memberikan nilai yang tidak berbeda nyata. Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis kadar abu terlarut disimpulkan bahwa rata-rata kadar abu terlarut seluruh ekstrak yang dianalisis sama dengan rata-rata kadar abu terlarut menurut standar FDA, sehingga semua ekstrak secara keseluruhan dapat diterima mutunya sampai pada uji abu terlarut.
5. Lead Number
Prinsip analisis lead number yaitu asam organik dari panili diendapkan dengan Pb(CH3COO)2 netral dalam keadaan standar, garam timbal yang tidak larut dipindahkan dan kelebihan timbal ditentukan dengan titrasi khelometri dengan Na2EDTA. Menurut Harjadi (1993), EDTA (Ethylene Diamina Tetraacetic Acid) merupakan asam berbasa empat.
24
Bentuk sederhananya H4Y. Sebagai asam lemah, EDTA mengalami pengionan bertahap melepaskan ion hidrogen satu persatu. EDTA mampu membentuk kompleks dengan ion logam dan memiliki konstanta kestabilan yang besar sehingga reaksi berjalan sempurna. Pembentukan kelat logam dengan EDTA dapat ditulis secara umum sebagai berikut: Mn+ + Y4- ↔ MY n-4 Keterangan: M = ion logam Y = EDTA Pada kesetimbangan EDTA ion logam, pembentukan dari kompleks dipengaruhi oleh pH, maka biasanya pada penitaran EDTA selalu dipakai larutan buffer sehingga didapatkan pH yang tetap (Sumarna et al, 2000). Lead number digunakan untuk mengetahui asam organik yang terdapat dalam ekstrak panili (AOAC, 1995). Menurut Melawati (2006), ekstrak panili alami mengandung senyawa organik yang terbentuk dari oksidasi senyawa vanillin selama proses kuring dan dari hasil proses oksidasi alkohol selama proses conditioning. Kandungan asam organik yang rendah mengindikasikan adanya pencampuran. Nilai lead number (Winton) standar adalah 4.0-7.4 atau rata-rata 5.4, sedangkan nilai lead number yang diperoleh dari pengukuran sampel ekstrak panili dapat dilihat pada Lampiran 9. Lead number tertinggi (Gambar 8) dimiliki oleh sampel Tahiti Grade II yaitu sebesar 5.4 sama dengan rata-rata lead number standar. Hal ini mengindikasikan lebih banyak terdapat asam organik di dalamnya dibandingkan dengan lainnya. Sedangkan nilai lead number yang paling rendah dimiliki oleh S7 yang menandakan asam organik yang dimilikinya lebih sedikit. Tahiti Grade II memiliki lead number yang berbeda nyata dari semua jenis sampel, begitu pula dengan Cobra. Tahiti I tidak berbeda nyata terhadap Djasulawangi, sedangkan S7 tidak berbeda nyata dengan G11. S7 dan G11 memiliki nilai lead number yang terendah kemungkinan disebabkan belum sempurnanya proses pembentukan asam-asam organik pada buah panili yang digunakan pada proses kuring karena S7 dan G11 berasal dari buah panili ½ kering.
25
Sampel Virginia tidak diuji nilai lead numbernya karena sampelnya terbatas.
8,00
6,00
Lead Number
D D D D
D
D
D
4,00
2,00
Tahiti
G rade II
Cobra
S7
Djasulaw
G 11
Standar
Sampe l
Gambar 8. Lead number antar standar dan sampel Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis lead number disimpulkan bahwa rata-rata lead number seluruh ekstrak yang dianalisis tidak sama dengan rata-rata lead number ekstrak menurut standar FDA. Hal ini menunjukkan kemungkinan sedikitnya asam organik yang terkandung dalam ekstrak sampel.
6. Alkalinitas Abu terlarut
Alkalinitas abu terlarut diukur dari filtrat hasil penyaringan larutan abu dengan air panas. Alkalinitas menunjukkan adanya unsur logam yang dapat membentuk basa seperti natrium, kalium, kalsium dan magnesium. Unsur-unsur ini berasal dari unsur mineral yang ada di dalam buah panili (Purseglove et al.,1981). Nilai alkalinitas abu terlarut dinyatakan dalam ml 0.1N HCl/l. Nilai alkalinitas abu terlarut digunakan untuk mengetahui kandungan alkali yang ada pada ekstrak. Hal ini dapat pula digunakan untuk mengetahui adanya penambahan alkali atau tidak pada ekstrak panili. Nilai alkalinitas abu
26
terlarut berdasarkan FDA untuk ekstrak panili adalah 220-400 ml 0.1 N HCl/l, sedangkan nilai alkalinitas abu terlarut yang diperoleh dari ketujuh sampel (Gambar 9) berkisar 139-309 ml 0.1 N HCl/l. Ekstrak panili Tahiti Grade I dan S7 tidak masuk dalam range FDA. Hal ini disebabkan kecilnya kadar abu yang berasal dari kandungan zat anorganik dalam ekstrak panili. Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis alkalinitas abu terlarut disimpulkan bahwa rata-rata alkalinitas abu terlarut seluruh ekstrak yang dianalisis tidak sama dengan rata-rata alkalinitas abu terlarut ekstrak
Alkalinitas Abu Terlarut (ml HCl 0.1 N/l)
menurut standar FDA.
400,00
D
D
300,00 D
D
D D
200,00 D D
100,00
Tahiti
Virginia G rade II
S7 Cobro
G 11 Djasulaw
Standar
Sampe l
Gambar 9. Alkalinitas abu terlarut pada standar dan sampel.
7. Alkalinitas Abu Total
Alkalinitas abu total diperoleh dari alkalinitas abu terlarut dan tidak terlarut. Alkalinitas abu total menurut FDA adalah 300-540 ml 0.1 N HCl/l. Hasil pengukuran alkalinitas abu total terhadap sampel dapat diamati pada lampiran 8. Nilai alkalinitas abu total (Gambar 10) Tahiti Grade II dan Virginia berbeda nyata dari sampel-sampel lainnya yaitu sebesar 721.3 dan 722.8 ml 0.1 N HCl/l. Alkalinitas abu total menjadi salah satu indikator untuk mengetahui pencampuran atau pemalsuan ekstrak panili karena pada ekstrak
27
panili yang memiliki kadar abu rendah, dapat ditambahkan alkali untuk meningkatkan kadar abu, sehingga akan mengubah nilai kelarutan dan alkalinitasnya. Pada ekstrak yang ditambahkan alkali, maka kadar abunya akan tinggi, sedangkan abu terlarutnya menunjukkan banyaknya zat-zat anorganik termasuk alkali yang larut dalam air. Alkalinitas abu total merupakan hasil yang diperoleh dari alkalinitas abu terlarut dan alkalinitas abu tidak terlarut sehingga dapat diketahui berapa banyak dari abu total
Alkalinitas Abu Total (ml HCl 0.1 N/l)
yang merupakan alkali.
750,00
D
D
D D
500,00
D D D D
250,00
0,00 Tahiti
Virginia G rade II
S7 Cobro
G 11 Djasulaw
Standar
Sampe l
Gambar 10. Alkalinitas abu total antar standar dan sampel Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis alkalinitas abu total disimpulkan bahwa rata-rata
alkalinitas abu total seluruh ekstrak yang
dianalisis tidak sama dengan rata-rata alkalinitas abu total ekstrak menurut standar FDA, sehingga ekstrak sampel tidak memenuhi syarat fisikokimia dari FDA untuk alkalinitas abu total.
8. Total Asam
Keasaman air dapat disebabkan oleh adanya CO2 yang tidak terikat, asam-asam mineral, dan garam-garam dari asam kuat dan basa lemah. Titrasi hingga titik akhir fenolftalein, pH 8.3, dinyatakan sebagai keasaman
28
total, dan dalam hal ini termasuk asam-asam lemah, garam-garam asam dan beberapa keasaman yang disebabkan karena hidrolisa (Jenie dan Fardiaz, 1989). Keasaman mengindikasikan adanya asam-asam organik terlarut dalam buah panili termasuk adanya vanillin alami (Reineccius, 1994). Total asam yang rendah mengindikasikan adanya pencampuran. Nilai ini juga digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya gula atau gliserin dalam menstruum. Selain itu, kandungan alkohol yang lebih rendah dalam menstruum akan meningkatkan kadar abu dan mengurangi keasaman. Nilai total asam dapat dilihat pada Gambar 11. Total asam berdasarkan FDA adalah 300-520 ml 0.1 NaOH/l, sedangkan pada sampel diperoleh total asam dalam kisaran 100 – 250 ml 0.1 NaOH/l. Hal ini mengindikasikan kemungkinan adanya pencampuran gula dan gliserin ke dalam ekstrak atau sedikitnya asam-asam organik yang terlarut dari buah ke dalam ekstrak tersebut. Asam-asam organik sebagian besar terbentuk saat proses curing (Herman et al., 1990). Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis total asam disimpulkan bahwa rata-rata total asam seluruh ekstrak yang dianalisis tidak sama dengan rata-rata total asam ekstrak menurut standar FDA, sehingga tidak
Total Asam (ml 0,1N NaOH/L)
memenuhi karakteristik ekstrak panili menurut FDA.
500,00
D
400,00
300,00 D D D
200,00 D
D D D
100,00
0,00
Tahiti
Virginia G rade II
S7 Cobra
G 11 Djasulaw
Standar
Sampe l
Gambar 11. Total asam antar standar dan sampel
29
B. DISKUSI KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA
Berdasarkan analisis PCA (Gambar 12), diperoleh kesimpulan bahwa sampel Virginia dan Tahiti grade II mempunyai karakteristik yang sama karena berada pada kuadran yang sama, yaitu karakteristik alkalinitas abu total, abu terlarut dan abu total. Kedua sampel ini juga memiliki karakter yang hampir sama dengan G11, tapi dapat dibedakan dari kadar vanilinnya. Abu total dan abu terlarut memiliki hubungan yang sangat dekat, begitu pula dengan alkalinitas abu total. Hal ini sesuai dengan pernyataan Reineccius (1994) yang menyebutkan apabila dilakukan penambahan alkali dalam pembuatan ekstrak panili, maka akan berubah pula nilai kelarutan dan alkalinitasnya. Sampel Cobra dan Djasulawangi terlihat lebih dekat kepada karakteristik Standar. Hubungan antara total asam dan alkalinitas abu terlarut sangat erat (positif) pada sampel djasulawangi dan menjadi pembeda dari sampel ekstrak yang lain. Sedangkan sampel Tahiti grade I dikenali karakteristiknya dari kadar vanilinnya. Sampel terakhir adalah S7 yang tidak memiliki karakteristik yang khas dengan karakteristik yang ada.
Scatterplot of PC2 vs PC1 0
2
Standar
Cobro Pure Vanilla Extract
PC2
1
S7
Djasulawangi TotalA sam Alk AbuTerlarut
0 Vanillin
G11
0
AbuTotal AbuTerlarut Alk AbuTotal
Tahiti
-1
Grade II Virginia Dare
-2 -4
-3
-2
-1
0
1
2
3
PC1
Gambar 12. Biplot sifat fisikokimia dengan sampel ekstrak panili Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa sampel G11(hasil penelitian) memiliki karakteristik fisikokimia terutama kadar abu,
30
abu terlarut dan alkalinitas abu total yang cukup dekat dengan sampel Tahiti grade I, tahiti Grade II dan Virginia yang termasuk sampel dari importir. Sedangkan sampel
Cobra dan Djasulawangi (dari eksportir) memiliki
karakteristik yang mengarah pada Standar walaupun tidak cukup dekat, tapi dapat dibedakan dari sampel yang lain melalui karakteristik total asam dan alkalinitas abu terlarut. Sedangkan sampel S7 (hasil penelitian) tidak mendekati karakteristik ekstrak manapun. Berdasarkan hasil analisis sifat fisikokimia, diperoleh hasil bahwa sampel G11, Cobra dan Djasulawangi memenuhi nilai standar FDA pada kadar abu, abu terlarut, alkalinitas abu terlarut, alkalinitas abu total, lead number dan kadar vanilin. Hal ini menunjukkan ketiga ekstrak panili tersebut asli atau sesuai dengan mutu yang ditetapkan FDA dan G11 memiliki karakter fisikokimia yang mirip dengan sampel ekstrak panili eksportir.
C. ANALISIS SENSORI a. Deskripsi Kualitatif
Bagian pertama dari tahap pengujian deskripsi kuantitatif adalah indepth interview. Pengujian ini dilakukan oleh 12 orang panelis. Masingmasing panelis mendeskripsikan atribut-atribut yang terdapat pada sampel ekstrak panili dengan cara membaui sampel ekstrak panili langsung dari botol. Tiap panelis mendeskripsikan sesuai dengan aroma yang dapat dideteksi masing-masing. Panel leader (peneliti) dapat membantu menjelaskan apabila panelis sulit untuk mendeskripsikan. Atribut aroma yang dideskripsikan oleh tiap panelis berbeda-beda satu sama lain. Hasil deskripsi kualitatif in-depth interview dapat dilihat pada lampiran 11. Bagian kedua dalam tahap ini yaitu analisis deskripsi dengan Focus Group. Panelis mendiskusikan atribut-atribut yang mereka peroleh saat in-depth interview (Lampiran 11) bersama panelis yang lain dan panel leader. Diskusi ini dilakukan untuk menyamakan persepsi dan menemukan kesepakatan tentang atribut aroma yang dapat dideteksi oleh seluruh panelis. Kesimpulan yang diperoleh dari focus group dapat dilihat pada Tabel 4.
31
Dari kesimpulan focus group, sampel ekstrak Tahiti grade I dan II memiliki atribut aroma dominan yang berbeda, Tahiti I dengan aroma sweet dan smokey, sedangkan Tahiti Grade II dikenali dengan atribut aroma spicy dan creamy. Atribut sweet terdeteksi pada sampel Cobra, Djasulawangi, Tahiti grade I dan Virginia. Balsamic dapat dideteksi pada sampel ekstrak Djasulawangi dan S7. Smoky dikenali pada Tahiti grade I, dan Virginia. Creamy terdapat pada sampel Cobra, Tahiti Grade II,
S7 dan G11.
Sedangkan atribut aroma vanilla hanya dapat dideteksi pada sampel Djasulawangi. Tabel 4. Hasil Uji Deskripsi dengan metode Focus Group Jenis Ekstrak Tahiti Grade I Tahiti Grade II Virginia Dare Cobra Pure Vanilla Extract S7 Djasulawangi G11
Atribut Aroma Sweet, smoky Spicy, creamy Sweet, smoky Creamy, sweet Balsamic, spicy, creamy Balsamic, sweet, vanilla Smokey, spicy, creamy
Perbedaan aroma yang terdeteksi dari setiap sampel ekstrak panili terjadi karena ekstrak panili memiliki karakter kimiawi yang bervariasi. Berikut ini kunci karakter rasa ekstrak panili: -
Madagascar Bourbon – creamy, brown, haylike, sweet, vanillin.
-
Mexican – creamy, woody, spicy, sweet, vanillin.
-
Tahitian – aromatic, fruity, sweet, cherry, anisic
-
Indonesian whole – woody, strawy
-
Indonesian cuts – woody, phenolic, smoky, bitter
-
Bourbon-Indonesian blend – creamy, woody, phenolic.
(http://www.cookswares.com/discussions/vanilla2.asp, 2004) Menurut Heath (1978), dalam ekstrak panili, terdapat senyawa selain vanillin (4-hydroxy-3-methoxybenzaldehyde) yang juga berperan dalam pembentukan profil aroma yaitu vanillic acid (4-hydroxy-3-methoxy benzoic acid), p-hydroxy benzoic acid, p-coumaric acid. Sedangkan Gernot Katzer (2003) dalam www.uni-graz.at menyatakan komponen aroma yang penting selain vanillin adalah p-hydroxybenzaldehyde (9%) dan p-
32
hydroxybenzyl methyl ether (1%). Selain itu ada 130 lebih senyawa yang diidentifikasi dalam ekstrak panili (phenoles, phenol ether, alcohols, carbonyl compounds, acids, ester, lactones, aliphatic and aromatic carbohydrates
dan
heterocyclic
compounds).
Dua
stereoisomeric
vitispiranes (2,10,10-trimethyl-1,6-dan methylidene-1-oxaspiro (4,5)dec-7ene) juga berpengaruh terhadap aroma.
b. Deskripsi Kuantitatif
Bagian terakhir dalam tahap pengujian yaitu uji deskripsi kuantitatif dengan QDA. Panelis diminta memperkirakan intensitas aroma sesuai dengan atribut aroma hasil focus group yang dapat dideteksi dari setiap jenis ekstrak panili. Tiap panelis diberikan tujuh sampel ekstrak panili yang akan diuji dan enam atribut flavor standar yang akan digunakan sebagai standar penentuan intensitas atribut aroma pada sampel ekstrak panili. Contoh form isian QDA dapat dilihat pada lampiran 18. Panelis membuka tutup botol standar flavor lalu mencelupkan smelling strip ke dalamnya dan mengibasngibaskannya sambil dicium aromanya dan diingat intensitasnya sesuai dengan yang tertera pada label. Kemudian panelis mengidentifikasi aroma ekstrak panili dengan menggunakan smelling strip lalu intensitasnya dibandingkan dengan intensitas flavor standar. Hasil yang diperoleh ditampilkan dalam spiderweb (Gambar 13) dan dianalisis dengan PCA (Principal Component Analysis).
Balsamic 60
40 vanilla
Sw eet 20
0
Smokey
S7 DJASULAWANGI COBRA
Creamy
Spicy VIRGINIA TAHITI
GRADE II G11
Gambar13. Spiderweb semua sampel ekstrak panili
33
Balsamic 35 30
Sampel dari Eksportir
25 vanilla
20
Sw eet
15 10 5 COBRA
0
DJASULAWANGI
Smokey
Creamy
Spicy
Gambar14. Spider web ekstrak panili dari eksportir Sampel ekstrak panili dari eksportir (Gambar 14) terdiri dari sampel Cobra dan Djasulawangi. Sampel Cobra dicirikan oleh atribut vanilla, creamy dan sweet karena memiliki nilai atribut aroma yang lebih besar dibandingkan sampel Djasulawangi, sedangkan sampel Djasulawangi dicirikan oleh atribut aroma balsamic karena nilai atribut aromanya lebih besar. Balsamic 60
Sampel dari importir
50 40 vanilla
30
Sw eet
20 VIRGINIA 10 0
Smokey
GRADE II TAHITI
Creamy
Spicy
Gambar 15. Spider web atribut ekstrak panili dari importir
34
Pada Gambar 15 diperlihatkan sebuah pola yang hampir sama pada sampel Virginia dan Tahiti Grade I dan pola yang berbeda bila keduanya dibandingkan dengan Tahiti Grade II. Aroma vanilla dan sweet pada Virginia dan Tahiti Grade I lebih dapat dideteksi daripada Tahiti grade II. Sedangkan Tahiti grade II, aroma spicy lebih besar dibanding kedua sampel lainnya. Ekstrak panili Tahiti memiliki fragrance yang sedikit berbeda dari ekstrak panili yang lain karena mengandung piperonal (heliotropin, 3,4dioxymethylenbenzaldehyde)
dan
diacetyl
(butandione).
Piperonal
memberikan atribut aroma sweet, strongly floral, bitter-sweet taste (Heath, 1978). Spider web atribut aroma ekstrak panili hasil penelitian (Gambar 16) memperlihatkan pola yang sama pada S7 dan G11 pada hampir semua atribut. Apabila dibandingkan dengan sampel dari importir, maka kekurangan dari kedua ekstrak ini adalah pada aroma sweet dan creamy. Untuk aroma vanilla sendiri sudah mendekati sampel dari importir. Adapun sampel Cobra (dari eksportir) memiliki aroma sweet, vanilla dan creamy seperti halnya sampel dari importir. Aroma ekstrak panili Indonesia tergantung pada bagaimana proses kuring dan pengeringan yang dilalui, karena pemanenan buah panili yang terlalu cepat dan proses kuring yang singkat akan memberikan aroma woody dan phenolic, padahal seharusnya aromanya
mirip
dengan
ekstrak
panili
Bourbon
(www.vanilla.com/html/facts-extracts.html). Balsamic 50 40 30
vanilla
Sampel hasil penelitian Sw eet
20 10 G11 S7
0
Smokey
Creamy
Spicy
Gambar 16. Spider web atribut aroma ekstrak panili hasil penelitian
35
c. Principal Component Analysis (PCA)
Untuk mengetahui atribut aroma yang berhubungan erat dengan jenis sampel ekstrak panili digunakan PCA (Principal Component Analysis) menggunakan
software
Minitab
14.
Analisis
menggunakan
PCA
menghasilkan empat buah grafik yaitu scree plot, score plot, loading plot dan scatter plot (biplot). Dalam analisis komponen utama, Minitab lebih dahulu mencari susunan eigenvector ortogonal dari korelasi atau keragaman matriks variabel-variabel. Matriks komponen utama (PC) adalah produk dari matriks eigenvector dengan matriks variabel independen. PC1 menghitung persentase terbesar dari total variasi data. PC2 menghitung persentase terbesar kedua dari total variasi data. Tujuan dari PC adalah untuk menjelaskan jumlah maksimum variasi dengan jumlah komponen tersedikit (Minitab Inc., 2003). Scree plot (Gambar 17) pada data ini menampilkan enam buah PC. Penentuan jumlah PC yang digunakan berdasarkan nilai eigenvalue yang menerangkan keragaman komponen utama (PC). Eigenvalue yang diperoleh PC1 sebesar 2,5017 yang dapat menjelaskan keragaman sebesar 41,7 % . PC2 dengan nilai eigenvalue 1,7761 dapat menjelaskan keragaman sebesar 29,6 %. Dalam hal ini digunakan dua PC karena sesuai dengan pendapat Everitt dan Dunn (1998) yang menyatakan bahwa jumlah Principal Component (PC) yang digunakan harus mampu menerangkan minimal 70% total keragaman data. Jadi, total keragaman yang dapat dijelaskan oleh analisis komponen utama ini sebesar 71,3 % (Lampiran 12). Score plot (Gambar 18) menggambarkan grafik antara PC2 dan PC1 yang menerangkan hubungan antar sampel, di mana sampel yang berdekatan mempunyai deskripsi yang sama, sedangkan sampel yang berada pada lokasi berlawanan mempunyai deskripsi yang berbeda. Loading plot (Gambar 19) menjelaskan hubungan antara variabel atribut aroma ekstrak panili. Untuk mengetahui hubungan antara sampel ekstrak panili dan atribut aroma, maka digunakan scatterplot atau grafik biplot (Gambar 20). Dari biplot dapat diperoleh informasi hubungan antar peubah, kemiripan relatif antar obyek pengamatan, posisi relatif antar obyek
36
pengamatan dengan peubah dan nilai peubah pada suatu objek (Sumertajaya, 2002). Scree Plot of Balsamic; ...; vanilla 2,5
Eigenvalue
2,0
1,5
1,0
0,5
0,0 1
2
3 4 Component Number
5
6
Gambar 17. Scree plot komponen utama ekstrak panili
Score Plot of Balsamic; ...; vanilla TAHITI
Second Component
2
1
COBRA G11
0
VIRGINIA
S7 DJASULAWANGI
-1
GRADE II
-2 -3
-2
-1
0 First Component
1
2
3
Gambar 18. Score plot principal component 1 dan principal component 2 pada ekstrak panili
37
Loading Plot of Balsamic; ...; vanilla Sweet
Creamy
0,50
Second Component
v anilla
0,25
0,00
Balsamic
Smok ey
-0,25
-0,50
Spicy
-0,50
-0,25
0,00 First Component
0,25
0,50
Gambar 19. Loading plot atribut aroma Dari biplot (Gambar 20) dapat diinterpretasikan bahwa atribut creamy, sweet dan vanilla memiliki hubungan yang dekat dan berkorelasi positif. Menurut Perez –Silva et al. (2006), sweet, woody, balsamic, spicy, vanillalike adalah atribut dari senyawa fenolik. Smoky memiliki korelasi positif terhadap spicy, sedangkan balsamic memiliki korelasi negatif terhadap atribut aroma lainnya. Sampel ekstrak panili yang posisinya berdekatan berarti memiliki karakteristik yang sama. Hasil PCA menunjukkan bahwa dalam kuadran yang sama, tidak ada sampel yang saling berdekatan kecuali G11, Cobra dan S7 yang berdekatan akan tetapi masing-masing berada pada kuadran yang berbeda. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa sampel S7, G11 dan Cobra memiliki kesan yang cukup dekat, akan tetapi masih dapat dibedakan dengan karakteristik khas masing-masing sampel, yaitu Cobra dapat dibedakan dengan aroma creamy, sweet dan vanilla yang dominan, S7 dengan aroma balsamic-nya dan G11 dapat dibedakan dengan karakternya sendiri. Grade II dan Virginia walaupun tidak cukup dekat tetapi berada dalam kuadran yang sama (kuadran II) sehingga dapat dikelompokkan dengan karakteristik yang sama, yaitu smoky dan spicy. Tahiti dan G11 berada dalam kuadran yang sama (kuadran IV) membentuk kelompok tersendiri tanpa karakteristik yang ditentukan. Djasulawangi dan
38
S7 berada dalam kuadran ketiga memiliki kecenderungan pada aroma balsamic. Sedangkan Cobra berada pada kuadran I memiliki karakteristik creamy, sweet dan vanilla.
Scatterplot of PC2 vs PC1 0
TAHITI
2
COBRA
1 PC2
Creamy G11 Balsamic
0
Sweet vanilla Smok ey
S7
0
VIRGINIA
Spicy
DJA SULAWANGI
-1 GRA DE II
-2 -3
-2
-1
0 PC1
1
2
3
Gambar 20. Biplot PC2 vs PC1 Dari ketujuh sampel ekstrak panili tersebut, hanya sampel dari importir yaitu Tahiti Grade II dan Virginia yang memiliki keragaman karakteristik menonjol yang sama yaitu spicy dan smoky. Perbedaan atribut aroma yang dominan pada tiap sampel diduga selain karena perbedaan agroklimat tempat tumbuhnya tanaman panili dan senyawa-senyawa volatil yang terbentuk saat proses kuring, tetapi juga karena adanya bahan-bahan yang ditambahkan pada ekstrak panili. Penambahan bahan-bahan ke dalam ekstrak panili yang diperbolehkan oleh FDA adalah gliserin, propilen glikol, gula (termasuk gula invert), dekstrosa, corn sirup (termasuk dried corn sirup). Berdasarkan
hasil
uji
deskripsi
kuantitatif
(QDA)
diperoleh
kecenderungan aroma masing-masing sampel yang dapat dijelaskan pada Gambar 20, sedangkan apabila dibandingkan dengan hasil uji deskripsi kualitatif, walaupun terdapat beberapa perbedaan, namun hasil uji kualitatif ini mendekati kecenderungan hasil analisis kuantitatif. Pada sampel Cobra,
39
hasil Focus Group mendeteksi aroma creamy dan sweet sedangkan pada QDA diperoleh kedekatan hubungan aroma creamy, sweet dan vanilla pada sampel Cobra. Pada Djasulawangi, hasil uji kualitatif yaitu balsamic, sweet dan vanilla sedangkan hasil QDA menunjukkan kecenderungan kepada balsamic. Pada Grade II, hasil uji kualitatif adalah spicy dan creamy sedangkan hasil QDA mengarah pada spicy. Sampel Tahiti grade I pada uji kualitatif diperoleh aroma sweet dan smokey sedangkan pada QDA sampel ini tidak ditunjukkan oleh atribut aroma yang ada. Pada Virginia, hasil focus group memberikan aroma sweet dan smokey sedangkan hasil QDA menunjukkan kecenderungan Virginia pada aroma smokey dan spicy. S7 ditunjukkan dengan aroma balsamic, spicy dan creamy pada focus group sedangkan pada QDA, S7 ditunjukkan dengan kedekatannya pada aroma balsamic. Yang terakhir adalah sampel G11 yang pada focus group didefinisikan dengan aroma smokey, spicy dan creamy, namun pada QDA tidak menunjukkan kecenderungan kepada salah satu aroma tersebut.
d. Komponen Volatil Ekstrak Panili
Analisis komponen volatil ekstrak panili dilakukan pada sampel Cobra. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui komponen penyusun aroma ekstrak panili. Hasil analisis GC-MS dapat dilihat pada Tabel 5. Senyawa volatil yang dominan pada ekstrak panili Cobra yaitu vanillin dengan luas area sebesar 9424402. Vanillin memberikan aroma sweet dan vanilla. Menurut Perez-Silva, et al.(2005) aroma sweet, woody, balsamic, spicy, vanilla-like dan toasted merupakan atribut aroma dari senyawa fenolik. Senyawa asam alifatik salah satunya acetic acid memiliki luas area yang lebih besar dari vanillin yaitu sebesar 10757639 yang mengeluarkan aroma sour, pungent dan vinegar, senyawa alifatik alkohol, 2,3-butanediol mengeluarkan aroma floral dan oily, furaneol mengeluarkan aroma fruit, burnt dan sugar sedangkan maltol mengeluarkan aroma cotton candy dan sweet. Senyawa butyrolactone menghasilkan aroma coconut-like. Senyawa aromatik keton, 3-hydroxy-2-butanone menghasilkan aroma buttery. Hasil uji sensori yang dilakukan oleh para panelis pada ekstrak panili Cobra
40
menghasilkan aroma dominan yang dapat terdeteksi yaitu creamy, sweet dan vanilla. Hal ini sesuai dengan hasil analisis komponen volatil dengan GCMS. Tabel 5. Analisis Senyawa Volatil Nama Aliphatic acids Formic acid Acetic acid Propionic acid Pyruvic acid 4-oxo-pentanoic acid Fatty Acids Hexadecanoic acid Aliphatic alcohols 2,3-butanediol 3-methyl-2-heptanol 1-acetoxy-2-propanol Tetrahydro-2-furanmethanol 2-furanmethanol 2-furanmethanol furaneol maltol 4-methoxybenzyl alcohol Aliphatic esters and lactones Methyl acrylate Methyl pyruvate 2-acetyl-2-hydroxy-gamma butyrolactone Phenol and phenol ethers 4-vinyl-2-methoxy-phenol 4-ethoxymethylphenol Ethyl vanilylether Aromatic ketones 1-hydroxy-2-propanone 3-hydroxy-2-butanone 1-hydroxy-2-propanone 1-(acetyloxy)-2-propanone Gamma-butyrolactone 2-hydroxycyclopent-2-en-1-one 2-hydroxy-3-methyl-2-cyclopenten-1-one 2,3-dihydro-3,5-dihydroxy-6-methyl-4Hpyran-4-one 3,4-dimethyl-2,5-furandione Aromatic aldehydes 4-hydroxybenzaldehyde vanillin Heterocyclics 2-formyl-2-methyl-tetrahydrofuran 4-methyl-2-propyl furan 5-(hydroxymethyl)-2-furfural Aliphatic hydrocarbon 3-hydroxy butanal 2,4-dimethyl-1,3-dioxane n-pentanal
Retention Time
Luas Area
2,806 3,126 3,483 4,359 10,765
3179299 10757639 385330 1576830 279528
40,743
106061
4,486 4,558 4,952 5,042 5,358 5,467 12,117 12,353 19,557
474609 148976 98465 195500 603190 1267082 328143 168951 839462
3,961 4,172 14,613
712516 409436 4263254
20,351 22,747 25,538
151119 511038 614988
3,287 3,575 4,125 5,666 6,721 7,093 10,083
2419213 129487 349578 206730 193285 363406 124635
14,843
6833596
16,118
642926
23,317 23,721
173377 9424402
8,342 12,017 18,093
54661 152071 4915757
7,008 8,591 12,644
161393 644483 627540
Aroma Strongly pungent, irritating Sour, vinegar, pungent Pungent, slightly cheesy
Fruit, burnt, sugar Cotton candy, sweet
Coconut-like
Buttery
Very sweet, vanilla-like
Green, oily
41
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Karakteristik fisikokimia ketujuh sampel, baik dari eksportir, importir maupun hasil penelitian memiliki rata-rata kadar vanillin 4,56 g/l, abu total 3,54 g/l, abu terlarut 2,90 g/l, alkalinitas abu total 563,17 ml 0.1 N HCl/l, alkalinitas abu terlarut 229,38 ml 0.1 N NaOH/l, total asam 175 ml 0.1 N NaOH/l, lead number 4,89. Berdasarkan hasil uji sifat fisikokimia, Cobra dan Djasulawangi (eksportir) dan G11 (hasil penelitian) memenuhi nilai standar FDA pada kadar abu, abu terlarut, alkalinitas abu terlarut, alkalinitas abu total, lead number dan kadar vanilin. Hal ini menunjukkan ketiga ekstrak panili tersebut asli atau sesuai dengan mutu yang ditetapkan FDA. Berdasarkan hasil uji hipotesis dari ketujuh sampel, rata-rata abu total dan abu terlarut sama dengan rata-rata yang ditetapkan FDA, sedangkan ratarata kadar vanillin, alkalinitas abu terlarut, alkalinitas abu total, total asam, dan lead number tidak sama dengan nilai rata-rata yang ditetapkan FDA, sehingga secara keseluruhan, mutu ekstrak sampel belum sesuai dengan standar FDA. Berdasarkan hasil analisis komponen utama, dapat disimpulkan bahwa sampel G11(hasil penelitian) memiliki karakteristik fisikokimia terutama kadar abu, abu terlarut dan alkalinitas abu total yang cukup dekat dengan sampel Tahiti grade I, tahiti Grade II dan Virginia yang termasuk sampel dari importir. Sedangkan sampel
Cobra dan Djasulawangi (dari eksportir)
memiliki karakteristik yang mengarah pada Standar walaupun tidak cukup dekat, tapi dapat dibedakan dari sampel yang lain melalui karakteristik total asam dan alkalinitas abu terlarut. Sedangkan sampel S7 (hasil penelitian) tidak mendekati karakteristik ekstrak manapun. Pada karakterisasi aroma, sampel S7, G11 dan Cobra memiliki kesan yang cukup dekat, akan tetapi masih dapat dibedakan dengan karakteristik khas masing-masing sampel, yaitu Cobra dapat dibedakan dengan aroma
42
creamy, sweet dan vanilla yang dominan, S7 dengan aroma balsamic dan G11 dapat dibedakan dengan karakternya sendiri. Grade II dan Virginia walaupun tidak cukup dekat tetapi berada dalam kuadran yang sama (kuadran II) sehingga dapat dikelompokkan dengan karakteristik yang sama, yaitu smoky dan spicy. Tahiti dan G11 berada dalam kuadran yang sama (kuadran IV) membentuk kelompok tersendiri tanpa karakteristik yang ditentukan. Djasulawangi dan S7 berada dalam kuadran ketiga memiliki kecenderungan pada aroma balsamic. Sedangkan Cobra berada pada kuadran I memiliki karakteristik creamy, sweet dan vanilla. Dengan demikian, sampel G11 sudah mampu mendekati karakteristik fisikokimia produk impor Tahiti grade I, tahiti Grade II dan Virginia. Akan tetapi, berdasarkan hasil uji sensori, G11 masih belum dapat mendekati aroma ekstrak panili dari eksportir maupun importir. B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka disarankan untuk melakukan pengembangan lebih lanjut terhadap produk G11 dengan penyempurnaan proses kuring sehingga komponen-komponen penyusun aroma ekstrak panili dapat terbentuk.