SKRIPSI
KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN NILAI GIZI PRODUK EKSTRUSI BERBAHAN DASAR SORGUM
Oleh ARIUS WIRATAMA F24060269
2010 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
1
KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN NILAI GIZI PRODUK EKSTRUSI BERBAHAN DASAR SORGUM
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : ARIUS WIRATAMA F24060269
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN NILAI GIZI PRODUK EKSTRUSI BERBAHAN DASAR SORGUM
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh ARIUS WIRATAMA F24060269 Dilahirkan pada tanggal 12 Agustus 1989 Di Jakarta Tanggal Lulus : 15 Oktober 2010
Menyetujui, Bogor, 15 Oktober 2010
Dr. Ir. Joko Hermanianto
Prof. Dr. Ir. Fransisca Rungkat, M.Sc
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
3
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Karakterisasi Sifat Fisikokimia Dan Nilai Gizi Produk Ekstrusi Berbahan Dasar Sorgum” adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditujukan rujukannya.
Bogor, 14 Oktober 2010 Yang Membuat Pernyataan
Nama : Arius Wiratama NRP
: F24060269
4
Arius Wiratama. F24060269. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Dan Nilai Gizi Produk Ekstrusi Berbahan Dasar Sorgum (Sorgum bicolor (L.) Moench.). Di Bawah bimbingan : Dr. Ir. Joko Hermanianto dan Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc. 2010. RINGKASAN Ketergantungan Indonesia terhadap komoditi serelia beras sangat tinggi. Hal tersebut dapat membuat ketahanan pangan nasional menjadi sangat rapuh. Diversifikasi pangan dengan memanfaatkan pangan lokal diharapkan dapat mengurangi ketergantungan. Sorgum merupakan sumber pangan potensial karena memiliki banyak keunggulan diantaranya mengandung kandungan gizi dan antioksidan yang cukup baik. Untuk memperkenalkan sorgum sebagai sumber sereal yang menyehatkan, sorgum diolah menjadi produk ekstrusi yang banyak disukai yaitu makanan ringan. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan sorgum sebagai bahan dasar produk ekstrusi yang memiliki sifat organoleptik yang disukai dan aktivitas antioksidan yang tinggi. Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu mempelajari sifat fisikokimia produk ekstrusi (makanan ringan) berbahan dasar sorgum. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah penelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan ekstruder serta parameter proses esktrusi yang digunakan pada penelitian utama. Tahap kedua adalah penelitian utama bertujuan untuk karakterisasi produk ekstrusi meliputi analisis fisik, dan pemilihan produk terbaik berdasarkan sifat organoleptik dan aktivitas antioksidan menggunakan metode DPPH untuk kemudian dianalisis proksimat, serat dan kandungan mineralnya (Ca, Fe dan Zn). Ekstruder ulir tunggal tidak dapat digunakan pada penelitian ini dikarenakan bahan tidak dapat mengalir di dalam ekstruder. Ekstruder yang dapat digunakan untuk karakterisasi produk pada penelitian ini adalah ekstruder ulir ganda. Parameter ekstrusi yang diteliti adalah jenis penyosohan (sosoh dan tidak sosoh) dan kecepatan putar ulir ekstruder (411 rpm dan 467 rpm). Hasil organoleptik terhadap atribut rasa dan tekstur diperoleh bahwa ekstrudat yang berasal dari sorgum yang mengalami penyosohan lebih disukai dibandingkan yang berasal dari sorgum yang tidak disosoh. Perlakuan penyosohan terhadap bahan baku sorgum dan kecepatan ulir ekstruder yang berbeda tidak mempengaruhi kesukaan panelis dalam hal atribut warna dan kelengketan di mulut terhadap ekstrudat yang dihasilkan. Perlakuan penggunaan bahan baku sorgum sosoh serta proses ekstrusi dengan kecepatan ulir ektruder yang lebih rendah menghasilkan produk dengan nilai aktivitas antioksidan, nilai WSI, kekerasan produk, derajat gelatinisasi dan pengembangan yang lebih rendah, serta nilai WAI yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan bahan baku sorgum tidak sosoh dan proses ekstrusi dengan kecepatan ulir ekstruder lebih tinggi. Produk terbaik dipilih berdasarkan hasil organoleptik paling disukai, dan nilai aktivitas antioksidan tertinggi adalah ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ektrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm. Hasil analisis menunjukan kadar air 3.57 %, kadar abu 1.45 %, kadar protein 9.89 %, kadar lemak 2.85 %, dan kadar serat pangan 5.79%. Kandungan mineral terdiri dari Ca 236.46 ppm, Fe 97.19 ppm dan Zn 11.73 ppm.
5
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan putra ke-2 dari 5 bersaudara, dari pasangan Bambang Sadhotomo dan Iwi Gunarsih. Lahir di Jakarta, 12 Agustus 1989. Penulis menempuh pendidikan formal tingkat sekolah dasar di SDN Cibubur 04 (1994-2000), melanjutkan studi di SLTP Slamet Riyadi (2000-2003) dan SMUN 39 Jakarta (2003-2006). Penulis melanjutkan studi di tingkat perguruan tinggi ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2006. Setelah melalui tingkat persiapan bersama (TPB) selama 1 tahun, penulis berhasil mendapatkan Mayor Ilmu dan Teknologi Pangan di Fakultas Teknologi Pertanian. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif di dalam kegiatan organisasi kampus dan kepanitiaan. Penulis sempat menjadi ketua Himpunan Alumni SMAN 39 Jakarta di IPB periode 2007-2008. Penulis juga sempat terlibat dalam kepanitiaan, diantaranya BAUR. Penulis juga aktif dalam berbagai lomba tingkat universitas diantaranya Banking Goes To Kampus, Program Kreatifitas Mahasiswa, dan beberapa lomba lainnya. Selama menjadi mahasiswa penulis juga menjadi pengajar di salah satu bimbingan belajar di Bogor. Penulis pernah bekerja sebagai tim produksi mi jagung kerjasama RUSNAS dan SEAFAST Center IPB. Penulis bersama beberapa teman di ITP mendirikan The Ingredient Inc., yaitu perusahaan pangan yang memproduksi minuman rempah-rempah tradisional bir pletok instan dengan brand “Bletok Bang Lupus”, dalam perusahaan tersebut penulis berperan sebagai Manajer Produksi. Sebagai tugas akhir penulis melakukan penelitian dengan judul “Karakterisasi Sifat Fisiko Kimia Dan Nilai Gizi Produk Ekstrusi Berbahan Dasar Sorgum (Sorghum Bicolor (L.) Moench.)” di bawah bimbingan Dr. Ir. Joko Hermanianto dan Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc.
6
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanaallahu Wata’ala atas hidup yang begitu indah dengan segala kejutan-Nya, cinta-Nya, kekuatan-Nya, dan kesabaran-Nya, sehingga penulis dapat melaksanakan amanahNya yaitu menyelesaikan kuliah di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta, IPB dengan menysusun skripsi dengan judul “KARAKTERISASI SIFAT
FISIKOKIMIA
DAN
NILAI
GIZI
PRODUK
EKSTRUSI
BERBAHAN DASAR SORGUM”. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada pemimpin umat yang selalu dirindukan, Rasulullah Muhammad SAW, yang menjadi teladan dan inspirasi penulis selama ini. Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir strata S1 pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Bogor, Institut Pertanian Bogor. Selama kegiatan perkuliahan, penelitian, penulisan, dan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Ibunda dan Ayahanda tercinta, atas segala kesabaran, kasih sayang, semua keajaiban do’a, nasihat, motivasi dan semangat yang tidak pernah hentihentinya menerangi penulis dalam setiap kesempatan. 2. Bapak Dr. Ir. Joko Hermanianto, selaku dosen pembimbing I yang telah membimbing dan menemani penulis selama berjuang di masa kuliah, saat penelitian hingga penulisan skripsi ini, atas bimbingan, nasihat, motivasi, semangat, dan pelajaran yang sangat berarti yang tak akan pernah terlupakan. 3. Ibu Prof. Dr. Ir. Fransisca Rungkat Zakaria, M.Si, selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan kesempatan penulis untuk melakukan penelitian ini, atas bimbingan, saran, bantuan, kesabaran, dan motivasi selama penulis melakukan penelitian dan penulisan skripsi. 4.
Ibu Elvira Syamsir, STP, M.Si, selaku dosen penguji, yang memberikan waktu dan pikiran kepada penulis atas saran dan masukan dalam penyempurnaan skripsi ini, serta motivasi kepada penulis selama penelitian.
7
5. Para anggota padepokan Riza Kamal, Erick Tjiptadji, Wonojatun dan Abdi Tunggal yang telah menemani perjalanan penulis dalam suka duka perkuliahan dan seperjuangan penelitian yang penulis lalui, yang banyak memberikan masukan, ilmu dan motivasi terhadap penulis dan mengingatkan sedikit kelebihan yang penulis miliki. 6. Teman-teman seperjuangan ITP 43 : Dzikri Robbi, Aditya Asmaranala, Della Edria, Idham Fitriadi, Nicho, Margareth, Ade, Selma, Feriana, Yesica, Stephani, Erina, Anto, Stefanus, Aan, Dion, Yogi, Vani, Diah, Dessiana, Sadek, Yua, Henni, Helen, Widi, Stela, GH dan teman-teman ITP lain yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu. Terima kasih atas segala dukungan dan motivasinya. Maaf atas segala khilaf. 7. Pak Hendra, Pak Jun, Pak Deni, Pak Wahid, Pak Gatot, Pak Yahya, Pak Rojak, Bu Antin, Bu Rubiah, dan semua teknisi Laboratorium Technopark, ITP,dan SEAFAST CENTER atas bimbingannya, kesabarannya, dan kebaikan hati dalam menghadapi penelitian penulis. 8. Seluruh staf dan karyawan IPB atas keramahan dan bantuannya dalam menyediakan buku-buku yang dibutuhkan oleh penulis. 9. Semua pihak yang telah hadir dalam kehidupan penulis, yang pada kesempatan ini tidak dapat disebutkan namanya satu per satu atas bantuan moril dan materil yang diberikan. Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam melaksanakan pendidikan dan penelitian ini penulis menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi amal shalih bagi penulis.
Bogor, Oktober 2010.
Penulis
8
DAFTAR ISI
Halaman RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... i KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii DAFTAR ISI .................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ............................................................................................ vii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... ix I.
PENDAHULUAN .................................................................................... 1 A. Latar Belakang .................................................................................... 1 B. Tujuan Penelitian ................................................................................ 3 C. Manfaat Penelitian .............................................................................. 4
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sorgum (Sorghum bicolor L) ................................................................... 5
B. Proses Ekstrusi .................................................................................... 12 C. Mesin Ekstrusi (Ekstruder) ................................................................. 16 D. Makanan Ringan ................................................................................. 21 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat .................................................................................... 23 B. Metode Penelitian ............................................................................... 23 1. Penelitian Pendahuluan ................................................................ 24 1.1.Persiapan Bahan ...................................................................... 24 1.2.Spesifikasi Ekstruder .............................................................. 25 1.3.Kondisi Proses Ekstrusi .......................................................... 27 1.3.1. Ekstruder Ulir Tunggal ............................................... 27 1.3.2. Ekstruder Ulir Ganda .................................................. 28 2. Penelitian Utama .......................................................................... 31 C. Perlakuan ............................................................................................ 32 D. Pengamatan ......................................................................................... 32 1. Analisis Fisik ................................................................................ 32 1.1. Analisis Tekstur (kekerasan) ............................................... 32
9
1.2. Uji Rasio Pengembangan .................................................... 33 1.3. Indeks Penyerapan Air dan Indeks Kelarutan Air ............... 33 1.4. Derajat Gelatinisasi ............................................................. 34 2. Uji Organoleptik ........................................................................... 35 3. Uji Radikal Bebas/DPPH .............................................................. 35 4. Analisis Proksimat ........................................................................ 35 4.1. Kadar Air ............................................................................. 36 4.2. Kadar Abu ........................................................................... 36 4.3. Kadar Protein ....................................................................... 36 4.4. Kadar Lemak ....................................................................... 37 4.5. Kadar Karbohidrat ............................................................... 38 5. Analisis Serat ................................................................................ 38 6. Analisis Mineral (Ca,Fe.Zn) ......................................................... 39 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 42 A. Penelitian Pendahuluan ....................................................................... 42 1. Persiapan Bahan ........................................................................... 42 2. Penentuan Kadar Air Awal Bahan ............................................... 43 3. Penentuan Ekstuder Yang Digunakan .......................................... 43 3.1.Ekstruder Ulir Tunggal ........................................................... 43 3.2.Ekstruder Ulir Ganda .............................................................. 45 B. Penelitian Utama ................................................................................. 49 1. Uji organoleptik ............................................................................ 50 1.1. Rasa ..................................................................................... 50 1.2. Warna................................................................................... 53 1.3. Tekstur ................................................................................. 55 1.4. Kelengketan di Mulut .......................................................... 56 2. Analisis Antioksidan (uji DPPH) .................................................. 58 3. Analisis Fisik ................................................................................ 61 3.1. Water Absorption Index ...................................................... 61 3.2. Water Solubility Index ........................................................ 63 3.3. Tekstur (kekerasan Objektif) ............................................... 66 3.4. Derajat Gelatinisasi ............................................................. 69
10
3.5. Derajat Pengembangan ........................................................ 72 C. Pemilihan Produk Terbaik .................................................................. 75 D. Analisis Produk Terbaik ..................................................................... 76 1. Analisis Proksimat ........................................................................ 76 1.1. Kadar Air ............................................................................... 76 1.2. Kadar Abu .............................................................................. 76 1.3. Kadar Protein ......................................................................... 76 1.4. Kadar Lemak .......................................................................... 77 2. Analisis Kadar Serat Pangan ......................................................... 77 3. Analisis Kadar Mineral ................................................................. 79 V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 82 A. Kesimpulan ......................................................................................... 82 B. Saran ................................................................................................... 83 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 84 LAMPIRAN ..................................................................................................... 91
11
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Produktivitas sorgum di Indonesia ....................................................... 6 Tabel 2. Persebaran daerah penghasil sorgum di Indonesia ............................... 7 Tabel 3. Komposisi kimia biji sorgum ............................................................... 8 Tabel 4. Parameter proses yang diujikan menggunakan ekstruder ulir tunggal . 28 Tabel 5. Parameter proses yang diujikan menggunakan ekstruder ulir ganda ... 29 Tabel 6. Setting Texture Analyzer pengukuran kekerasan produk ekstrusi ........ 33 Tabel 7. Hasil percobaan menggunakan ekstruder ulir tunggal ......................... 43 Tabel 8. Hasil percobaan menggunakan ekstruder ulir ganda………………. 46 Tabel 9. Pengaruh penambahan margarin terhadap ekstrudat ............................ 48 Tabel 10. Beberapa macam sifat produk yang diamati untuk menentukan perlakuan terbaik………………………………………………… ...... 75 Tabel 11. Hasil analisis kimia ekstrudat terbaik .................................................. 77 Tabel 12. Hasil analisis mineral ekstrudat ............................................................ 80
12
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Struktur biji sorgum ........................................................................ 5 Gambar 2. Struktur asam fenolik pada sorgum yaitu turunan asam benzoat dan turunan asam sinamat .............................................................. 9 Gambar 3. Struktur proantosianidin atau tanin pada sorgum ........................... 10 Gambar 4. Tipe-tipe ulir ekstruder ................................................................... 19 Gambar 5. Bagian proses pengolahan ekstruder ulir ganda secara umum ....... 20 Gambar 6. Diagram alir pembuatan grits sorgum sosoh .................................. 25 Gambar 7. Diagram alir pembuatan grits sorgum tidak sosoh ......................... 25 Gambar 8. Ekstruder ulir tunggal ..................................................................... 26 Gambar 9. Tampak depan die dan pisau ekstruder ulir tunggal ....................... 26 Gambar 10. Ekstruder ulir ganda ....................................................................... 27 Gambar 11. Tampak depan die dan pisau ekstruder ulir ganda ......................... 27 Gambar 12. Diagram alir pembuatan pancingan pada ekstruder ulir ganda ...... 30 Gambar 13. Diagram alir pembuatan ekstrudat pada ekstruder ulir ganda ........ 31 Gambar 14. Garis besar penelitian ..................................................................... 41 Gambar 15. Skor kesukaan panelis terhadap atribut rasa ekstrudat ................... 52 Gambar 16. Skor kesukaan panelis terhadap atribut warna ekstrudat ................ 54 Gambar 17. Skor kesukaan panelis terhadap atribut tekstur ekstrudat............... 56 Gambar 18. Skor kesukaan panelis terhadap atribut kelengketan di mulut ekstrudat ........................................................................... 57 Gambar 19. Nilai aktivitas antioksidan berbagai perlakuan ................................ 59 Gambar 20. Nilai Water Absoption Index berbagai perlakuan ............................ 62 Gambar 21. Nilai Water Solubility Index berbagai perlakuan ............................. 65 Gambar 22. Nilai kekerasan (objektif) berbagai perlakuan ................................ 68 Gambar 23. Nilai derajat gelatinisasi berbagai perlakuan ................................... 70 Gambar 24. Nilai derajat pengembangan berbagai perlakuan............................. 73
13
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Kuesioner uji rating hedonik ..................................................... 91
Lampiran 2.
Kurva standar asam askorbat .................................................... 92
Lampiran 3.
Data aktivitas antioksidan ......................................................... 92
Lampiran 4.
Data analisis water absorption index ........................................ 93
Lampiran 5.
Data analisis water solubility index ......................................... 93
Lampiran 6.
Data analisis kekerasan ekstrudat ............................................. 93
Lampiran 7.
Data analisis derajat gelatinisasi ekstrudat................................ 94
Lampiran 8.
Data analisis derajat pengembangan ......................................... 94
Lampiran 9.
Hasil uji ANOVA atribut rasa uji rating hedonik ..................... 95
Lampiran 10. Hasil uji ANOVA atribut warna uji rating hedonik .................. 96 Lampiran 11. Hasil uji ANOVA atribut tekstur uji rating hedonik ................. 97 Lampiran 12. Hasil uji ANOVA atribut kelengketan di mulut uji rating hedonik ..................................................................................... 98 Lampiran 13. Grafik Hasil Pengukuran Kekerasan (Hardness) Ekstrudat ..... 99 Lampiran 14. Syarat mutu makanan ringan ekstrudat (SNI 01-2886-2000) ... 101 Lampiran 15. Informasi nilai gizi snack sorgum terpilih ................................ 101 Lampiran 16. Tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG) ...................................... 102
14
I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Indonesia merupakan negara penghasil berbagai serelia yang memiliki nutrisi penting bagi tubuh dan bermanfaat bagi kesehatan. Beragam jenis serealia memiliki potensi tumbuh di Indonesia. Namun, konsumsi serelia di Indonesia masih sangat tergantung pada komoditi beras. Padahal masih banyak potensi dari jenis serelia lain yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku yang berkualitas. Ketergantungan ini dapat dilihat dari tingginya konsumsi beras masyarakat Indonesia. Konsumsi beras nasional mencapai 139 kg per kapita per tahun dan merupakan yang terbesar di dunia jauh melebihi Jepang (45 kg), Malaysia (80 kg), dan Thailand (90 kg) (BPS, 2009) Penduduk Indonesia pada tahun 2010 yang berjumlah 234.2 juta (BPS, 2010) membutuhkan beras untuk keperluan industri dan rumah tangga lebih dari 30 juta ton per tahun. Kebutuhan beras tersebut akan terus meningkat sesuai dengan pertambahan jumlah penduduk. Jika rata-rata pertumbuhan penduduk 1,8% per tahun, maka jumlah penduduk Indonesia diperkirakan pada tahun 2015 menjadi 253,6 juta. Dengan melihat kondisi potensi produksi padi nasional, diperkirakan tahun 2015 persediaan beras akan mengalami defisit sebesar 5,64 juta ton (Husodo dan Muchtadi, 2004). Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus bertumpu pada sumber daya pangan lokal yang mengandung keragaman antar daerah. Ketergantungan Indonesia terhadap beras yang tinggi, membuat ketahanan pangan nasional sangat rapuh. Salah satu kebijakan pembangunan pangan dalam mencapai ketahanan pangan adalah melalui diversifikasi pangan, yang dimaksudkan untuk
memberikan
alternatif
bahan
pangan
sehingga
mengurangi
ketergantungan terhadap beras. Penganekaragaman pangan, juga diharapkan akan memperbaiki kualitas konsumsi pangan masyarakat, karena semakin
15
beragam konsumsi pangan maka suplai zat gizi lebih lengkap daripada jika didominasi oleh satu jenis bahan saja (Briawan, 2004) Salah satu serealia yang merupakan produk indigenous adalah sorgum. Kandungan nutrisi sorgum cukup tinggi dibanding bahan pangan lainnya, sehingga cukup potensial sebagai bahan pangan substitusi beras. Kandungan gizi sorgum lebih baik dari segi protein, lemak, karbohidrat dan serat dibandingkan dengan beras (Beti et al.,1990). Sorgum (Sorgum bicolor L.) merupakan salah satu jenis tanaman serelia yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia karena mempunyai daya adaptasi yang luas, toleran terhadap kekeringan dan genangan air, dapat berproduksi pada lahan marginal, serta relatif tahan terhadap gangguan hama atau penyakit (Sirappa, 2003). Selain itu, sorgum mengandung senyawa – senyawa polifenol yang memiliki daya antioksidan sangat besar, lebih besar dari vitamin E dan vitamin C yang selama ini dikenal sebagai antioksidan alami (Awika dan Rooney, 2004). Penggunaan sorgum selama ini hanya sebatas pada makanan ternak. Masyarakat
Indonesia
kurang
mengenal
tanaman
sorgum
apabila
dibandingkan dengan masyarakat negara-negara penghasil sorghum. Di Indonesia, pengembangan produk makanan berbasis sorgum masih tergolong lambat, apalagi sorgum memiliki sifat inferior, yaitu dianggap bernilai sosoial rendah (Herminiati et al., 2000). Oleh karena itu, diperlukan upaya pengolahan sorgum menjadi produk-produk yang dapat diterima oleh masyarakat, salah satunya melalui pembuatan makanan ekstrusi. Teknologi ekstrusi saat ini cukup berkembang pesat. Teknologi ekstrusi memungkinkan untuk melakukan serangkaian proses pengolahan seperti mencampur, menggiling, memasak, mendinginkan, mengeringkan dan mencetak dalam satu rangkaian proses. Produk makanan yang dihasilkan oleh teknologi ini sangat beragam. Teknologi ekstrusi dapat memproduksi suatu produk makanan dalam jumlah besar, terjangkau dan cukup mudah untuk dilakukan pengolahan lebih lanjut seperti diversifikasi dan fortifikasi.
16
Salah satu produk hasil ekstrusi yang dikenal luas dan relatif terjangkau adalah snack (makanan ringan). Pasar makanan ringan di Indonesia cukup kompetitif, terus tumbuh dan bertambah baik dari segi volume maupun value. Nielsen Retail Audit 2007 menyebutkan pertumbuhan volume di pasar makanan ringan berkisar 27% dan pertumbuhan value sebesar 34%. Pertumbuhan ini terjadi baik di pasar tradisional maupun pasar modern. Pasar tradisional di daerah urban tumbuh sebesar 33 % secara volume dan 40% secara value di tahun 2007. (Anonima, 2010). Pertumbuhan pasar makanan ringan di tanah air naik dari 11 persen di tahun 2007 menjadi 15 persen di tahun 2008 (Astawan, 2009) Pemanfaatan sorgum sebagai bahan baku dari produk ekstrusi berupa makanan ringan diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah, mutu, dan pemanfaatan sorgum untuk pembuatan produk ekstrusi. Melalui penelitian ini diharapkan diperoleh karakterisasi produk ekstrusi berbahan dasar sorgum yang diterima konsumen dan masyarakat secara umum.
B.
TUJUAN Tujuan umum penelitian ini adalah memanfaatkan sorgum sebagai bahan dasar produk ekstrusi yang memiliki sifat organoleptik yang disukai dan aktivitas antioksidan yang tinggi. Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu mempelajari sifat fisikokimia produk ekstrusi berbahan dasar sorgum. Indikator keberhasilan penelitian ini adalah menghasilkan produk ekstrusi yang disukai dengan skor tertinggi untuk uji organoleptik pada atribut warna, rasa, tekstur dan kelengketan di mulut, serta aktivitas antioksidan yang tinggi.
17
C.
MANFAAT Manfaat hasil penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai berbagai parameter proses ekstrusi yang mempengaruhi karakteristik produk ekstrusi berbahan dasar sorgum sehingga diperoleh karakteristik produk ekstrusi yang disukai. Makanan ringan berbahan baku sorgum ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan zat gizi harian manusia yang mengkonsumsi terutama serat pangan, antioksidan berupa senyawa polifenol, dan mineral (Ca, Fe, dan Zn).
18
II. TINJAUAN PUSTAKA A. SORGUM Sorgum merupakan tanaman asli dari wilayah-wilayah tropis dan subtropis di bagian Pasifik tenggara dan Australasia, wilayah yang meliputi Australia, Selandia Baru dan Papua. Sorgum merupakan tanaman dari keluarga Poaceae dan marga Sorghum. Sorgum memiliki banyak varietas, dari varietas yang berwarna putih sampai varietas yang berwarna merah kecoklatan (FAO, 2003). Sorgum sendiri memiliki 32 spesies. Diantara spesies-spesies tersebut, yang paling banyak dibudidayakan adalah spesies Sorghum bicolor (japonicum) (Rahmi, 2007). Pada umumnya biji sorgum berbentuk bulat dengan ukuran biji kira kira 4 x 2,5 x 3,5 mm. Berat biji bervariasi antara 8 mg - 50 mg. (Laimeheriwa, 1990). Untuk lebih jelasnya struktur penampang melintang dari biji sorgum disajikan pada Gambar 1
Gambar 1. Struktur biji sorgum (FAO, 2010)
Sorgum (Sorghum bicolor L.) merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia karena mempunyai daerah adaptasi yang luas. Tanaman sorgum toleran
19
terhadap kekeringan dan genangan air, dapat berproduksi pada lahan marginal, serta relatif tahan terhadap gangguan hama/penyakit (Sirappa, 2003). Suhu optimum untuk pertumbuhan sorgum berkisar antara 23° C - 30° C dengan kelembaban relatif 20 - 40 %. Pada daerah-daerah dengan ketinggian 800 m dari permukaan laut dimana suhunya kurang dari 20° C, pertumbuhan tanaman akan terhambat. Selama pertumbuhan tanaman, curah hujan yang diperlukan adalah berkisar antara 375 - 425 mm. Sorgum dapat bertoleransi pada kisaran kondisi tanah yang luas. Tanaman ini dapat tumbuh baik pada tanah-tanah berat yang kering dan tergenang. Sorgum juga dapat tumbuh pada tanah-tanah berpasir, dapat tumbuh pada pH tanah berkisar 5,0 5,5 dan lebih bertoleransi terhadap garam tanah dari pada jagung. Tanaman sorgum dapat berproduksi pada tanah yang terlalu kritis bagi tanaman lainnya (Laimeheriwa, 1990) Rata-rata produktivitas sorgum di daerah-daerah penghasil sorgum cukup bervariasi. Data produktivitas daerah-daerah penghasil sorgum yang teridentifikasi pada tahun 2003 diperlihatkan pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Produktivitas Sorgum di Indonesia Tempat
Luas tanam (ha)
Produksi (t)
Produktivitas (ha/t)
Jawa Tengah
15.309
17.350
1,13
Jawa Timur
5.963
10.522
1,76
DI Yogyakarta
1.813
670
0,37
Nusa Tenggara Barat
30
54
1,80
Nusa Tenggara Timur
26
39
1,50
Sumber : Sirappa, 2003
Saat ini di Indonesia terdapat beberapa varietas sorgum yang dikembangkan. Total terdapat 9 jenis varietas yang dijadikan varietas sorgum unggulan Indonesia yaitu : UPCA, Keris, Mandau, Higari, Badik, Gadam, Sangkur, Numbu dan Kawali. Beberapa daerah telah menjadi sentra produksi sorgum di Indonesia. Tabel 2 di bawah ini menunjukkan daerah-daerah
20
penghasil sorgum berdasarkan data yang terdapat di Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian (2007).
Tabel 2. Persebaran Daerah Penghasil Sorgum di Indonesia Propinsi
Daerah Penghasil
Jawa Barat
Indramayu, Cirebon, Kuningan, Ciamis, Garut, Cianjur dan Sukabumi
Jawa Tengah
Tegal, Kebumen, Kendal, Demak, Grobogan, Boyolali, Sukoharjo dan Wonogiri
DI. Yogyakarta
Kulon Progo, Sleman, Bantul dan Gunung Kidul
Jawa Timur
Pacitan, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Bangkalan, Pamekasan, Sampang, Sumenep, Pasuruan,
Probolinggo,
Malang
dan
Lumajang NTB
Lombok Tengah, Sumbawa, Dompu dan Bima
NTT
Sumba Barat, Sumba Timur, Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur, Lembata, Alor, Timor Tengah Utara, Kupang Belu, Timor Tengah Selatan dan Rote Ndao
Sumber : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian (2007). Biji sorgum terdiri dari bagian-bagian utama yaitu kulit luar (pericarp dan testa), embryo atau germ, dan endsoperm (Hulse et al.,1980). Menurut Rooney (1973), komposisi kimia sorgum terdiri dari pati (70.2%), protein (12.5%), lemak (3.4%), abu (2.2%), serat kasar (2.7%) dan tanin (0.0030.17%). Adapun komposisi kimia biji sorgum dpt dilihat pada Tabel 3.
21
Tabel 3. Komposisi Kimia Biji Sorgum Komposisi Kimia Biji Sorgum (%) Bagian Biji Karbohidrat Biji utuh
Protein
Lemak
Abu
Serat
73.80
12.30
3.60
1.67
2.20
78.74 *
10.11 *
3.65 *
2.24 *
1.92 *
73.00 **
11.00 **
3.30 **
-
2.30 **
0.98 ***
1.49 ***
10.34 ***
80.96 ***
6.23 ***
Endosperm
82.50
12.30
0.60
0.37
1.30
Kulit biji
34.60
6.70
4.90
2.02
8.60
Lembaga
13.40
18.90
28.10
10.36
2.60
Kandungan Mineral (ppm) Biji utuh
Ca
Fe
Zn
P
320
45
26
358
Sumber : FAO (2010) * Suarni (2004) ** Beti (1990) *** Yanuar (2009) Pati sorgum terdiri dari amilosa dan amilopektin. Sorgum nonwaxy mengandung 25% amilosa dan 75% amilopektin, sedangkan sorgum waxy hampir seluruhnya terdiri dari amilopektin (Rooney, 1973). Selain terdiri dari pati, karbohidrat pada sorgum juga terdiri dari polisakarida non pati yaitu jenis karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan manusia. Kelompok ini terdiri dari selulosa, β-glucan, hemiselulosa, dan lignin. Sorgum mengandung serat tidak larut dalam jumlah tinggi, sedangkan kandungan serat larut dan β-glucan cukup rendah (Rooney dan Serna, 2000). Kandungan serat pada sorgum terutama terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan sedikit lignin. Sorgum mengandung berbagai senyawa bioaktif yang beberapa diantaranya adalah komponen fenolik, sterol tanaman dan polikosanol (stanol). Fenol membantu dalam pertahanan alami tanaman melawan hama dan penyakit, sedangkan sterol tanaman dan polikosanol merupakan komponen penting dari lilin dan minyak tanaman (Rooney dan Serna, 2000). Senyawa fenolik pada sorgum memiliki aktivitas antioksidan, sifat menurunkan kolestrol
22
dan berbagai kegunaan lain untuk kesehatan. Fenol dalam sorgum terbagi menjadi dua kategori yaitu asam fenolat dan flavonoid. Asam fenolat merupakan turunan asam sinamat dan benzoat, sedangkan flavonoid meliputi tanin dan antosianin sebagai konstituen yang paling banyak diisolasi dari sorgum (Awika dan Rooney, 2004). Struktur asam fenolik dari sorgum dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur asam fenolik pada sorgum yaitu turunan asam benzoat dan turunan asam sinamat (Awika dan Rooney, 2004)
Salah satu komponen flavonoid sorgum adalah senyawa tanin. Tanin merupakan komponen fitokimia paling penting dan unik pada sorgum karena tanin memiliki efek positif dan negatif bagi kesehatan manusia. Tanin adalah senyawa fenolik yang larut dalam air dengan berat molekul antara 500-3000 kDa. Senyawa tanin pada sorgum memiliki berbagai peranan, antara lain untuk melindungi biji dari predator burung, serangga, dan kapang (Fusarium tapsinum dan Aspergillus flavus) dengan bertindak sebagai fitoaleksin dan meningkatkan rasa astringen sehingga sorgum tidak disukai. Tanin dari sorgum menunjukkan aktivitas antioksidan yang sangat tinggi secara in vitro. Tanin dengan berat
molekul
tinggi
memiliki
aktivitas
antioksidan terbaik
dibandingkan antioksidan alami lainnya. Hal tersebut berhubungan dengan
23
banyaknya jumlah cincin aromatik dan gugus hidroksil yang dimiliki oleh tanin, dimana semakin banyak jumlah cincin aromatik dan gugus hidroksil akan semakin tinggi aktivitas antioksidannya. Tanin tidak dapat berperan sebagai prooksidan sehingga dinilai sebagai salah satu antioksidan yang potensial bagi tubuh. Struktur tanin pada sorgum dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur proantosianidin atau tanin pada sorgum (Awika dan Rooney, 2004) Menurut Deprez et al. (2001), proantosianidin dalam bentuk monomer sampai trimer dapat diserap dengan baik oleh sel monomer usus. Ikatan interflavan pada proantosianidin tidak stabil pada lingkungan asam lambung (pH 2) sehingga dapat didegradasi dari proantosianidin dengan berat molekul besar menjadi monomer dan dimer. Hal tersebut tentunya akan meningkatkan ketersediaan biologis proantosianidin. Proantosianidin yang tidak terdegradasi oleh enzim-enzim percernaan akan didegradasi oleh mikroflora di usus besar menjadi asam fenolik yang kemudian dapat diserap dan mendatangkan banyak manfaat.
24
Tanin di sorgum selain memiliki efek positif dapat memberikan masalah pada pemanfaatan sorgum sebagai bahan pangan. Adanya tannin dalam biji sorgum dapat mengikat protein sehingga mempengaruhi fungsi asam-asam amino, menghalangi aktivitas enzim-enzim yang berperan dalam pencernaan makanan, serta menurunkan ketersediaan/bioavaibilitas protein dalam tubuh manusia. Selain itu, tanin dapat berikatan dengan besi anorganik (seperti Fe2SO4) yang terdapat dalam bahan pangan nabati membentuk ferotanat, sehingga mengurangi ketersediaan zat besi bagi tubuh karena senyawa yang berada dalam bentuk terikat tidak bisa diserap oleh usus halus. Apabila sorgum akan dikonsumsi maka harus diberi perlakuan pendahuluan untuk menghilangkan atau mengurangi kadar taninnya seperti memperbesar derajat sosohnya. Produktivitas sorgum di Indonesia sangat berfluktuatif. Hal ini dikarenakan budidaya tanaman sorgum masih sangat dipengaruhi oleh isu dan tren di masyarakat. Selain itu, tingkat penanaman sorgum belum mencapai jumlah yang stabil karena belum adanya pemanfaatan sorgum untuk keperluan tertentu. Pada saat isu dan tren bahan bakar alternatif (biofuel) sedang hangat dibicarakan oleh seluruh pihak, para petani sangat bersemangat dalam menanam sorgum. Namun ketika harga minyak dunia kembali turun dan bioenergi kurang menjadi topik pembahasan, para petani kebingungan dalam menjual hasil budidaya sorgumnya. Mereka pun kemudian enggan untuk kembali menanam sorgum pada musim tanam berikutnya (Anonimb, 2010) Masalah pengembangan sorgum di Indonesia yang lainnya adalah terabaikannya perbaikan dan pengembangan tanaman sorgum dibanding tanaman padi atau tanaman pangan lain, budidaya di tingkat petani sangat terbatas karena kompetisi dengan padi atau tanaman lain, tidak tersedianya benih sorgum yang bermutu di pasar, banyaknya kelemahan pada varietas sorgum lokal, dan industri sorgum belum terbangun berkelanjutan (Batan, 2003). Menurut Suarni (2004), Balai Penelitian Tanaman Serealia Indonesia pada tahun 2001 telah melepas dua varietas sorgum unggul baru yaitu Kawali dan Numbu yang berasal dari India. Potensi hasil kedua varietas tersebut masing-masing 4,76 ton/ha dan 5,05 ton/ha dengan rata-rata hasil 3,0 ton/ha
25
dan berumur 90 hari. Varietas Kawali dan Numbu memiliki tangkai yang kompak dan besar, tahan terhadap rebah, penyakit karat serta penyakit bercak daun. Kedua varietas ini ditanam di beberapa daerah antara lain di Demak (Jawa Tengah),Gunungkidul dan daerah Bantul (Daerah Istimewa Yogyakarta).
B. PROSES EKSTRUSI Ekstrusi adalah suatu proses dimana bahan dipaksa dibawah pengaruh kondisi operasi pencampuran, pemanasan dengan suhu tinggi dan pemotongan melalui suatu cetakan yang dirancang unutk membentuk hasil ekstrusi yang bergelembung kering (puff dry) dalam waktu yang singkat (Muchtadi, et al.,1988). Struktur dasar dari produk-produk yang diekstrusi diperoleh dengan cara mengubah dan mengatur sifat-sifat biopolimer-biopolimer alami, seperti pati dan protein dari jenis tertentu. Biopolimer alami memainkan peran yang penting dalam pembentukan struktur produk. Pada umumnya biopolimer ini berubah menjadi polimer-polimer yang meleleh pada suhu yang tinggi. Lelehan ini membentuk fase kontinyu yang akan mengikat semua partikelpartikel bahan lain yang terdapat dalam fase terdispersi dan membantu dalam menahan proses pelepasan gas ketika tahap pengembangan terjadi. Oleh karena itu struktur gelembung yang mengembang dapat terbentuk (Frame, 1994). Agar diperoleh kerenyahan dan pengembangan produk yang relatif baik, ekstrusi bahan yang bersal dari pati-patian dilakukan pada kondisi suhu optimum 1700C, tekanan 438 kPa (70Psi) sampai 5516 kPa (800Psi) dengan kecepatan ulir 300rpm dalam waktu sekitar 10 detik (Harper, 1981). Dalam proses ekstrusi, bahan yang digunakan berbentuk butiran kecil yang berukuran 1-3 mm. Untuk bahan yang berbentuk tepung, hasilnya kurang memuaskan karena jika ukuran partikel terlalu halus produk yang dihasilkan hangus dan partikel bahan tidak mengalami pemadatan sempurna serta kurang mengembang (Ang et al.,1980). Hasil pemasakan proses ekstrusi adalah gelatinisasi pati, denaturasi protein serta inaktivasi enzim yang terdapat pada bahan mentah (Harper, 1981). Proses ini diikuti oleh pengembangan eksotermik yang dibentuk pada
26
cetakan (Smith, 1981). Struktur yang berongga-rongga didapat dengan membentuk gel koloid pada suhu dan tekanan yang tinggi di dalam ekstruder. Jika gel cukup kuat, pengembangan uap air akan menghembus gel membentuk sel-sel yang berongga (Miller, 1985). Prinsip penerapan ekstrusi pada industri makanan umumnya berdasarkan pada gelatinisasi pati, pembentukan kompleks lemak-pati, denaturasi dan teksturisasi protein, pengikatan, reaksi kimia dan biokimia, pengaruh tekanan/penggilingan dan pengembangan (Linko, et. al. 1981). Pada beberapa kasus, ekstruder merestrukturisasi produk sampai tahap menengah saja dan untuk proses restrukturisasi lanjutan dilakukan tahap lain seperti pembentukan flakes, penggorengan, penyangraian atau proses pembentukan lain. Pada kasus lain produk dipanaskan lebih lanjut dalam laras ekstruder, dengan mekanisme transport menggunakan ulir dan dipaksa keluar melalui lubang die pada suhu dan tekanan tinggi. Terjadinya pelepasan tekanan secara mendadak ketika produk keluar dari die memungkinkannya menjadi produk yang berstruktur bersel-sel seperti busa (porous). Jika busa tersebut mantap, mendingin dan kering,maka produk akan menjadi renyah dan selanjutnya hanya memerlukan sedikit saja pemrosesan lebih lanjut. Keuntungan proses pemasakan dengan metode ekstrusi antara lain produktifitas tinggi, biaya produksi rendah, bentuk produk khas, produk lebih bervariasi walaupun dari bahan baku yang sama, pemakaian energi yang rendah, serta mutu produk tinggi karena proses menggunakan suhu tinggi dengan waktu yang singkat sehingga kerusakan nutrisi dapat dikurangi (Smith, 1981). Selain itu produk yang dihasilkan seragam, peralatannya mudah diotomisasi, tidak banyak limbah dan hasil akhir dapat diatur (Muchtadi et al., 1988). Beberapa perubahan yang terjadi selama proses ekstrusi ialah : 1. Pati Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan
27
amilopektin
mempunyai
cabang
dengan
ikatan
α-(1,4)-D-glukosa
sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, 1989). Pada proses ekstrusi, komponen pati mengalami gelatinisasi. Tingkat gelatinisasi tergantung pada sumber bahan baku dan kondisi proses ekstrusi (Linko et al., 1981). Menurut Harper (1981), mekanisme gelatinisasi yang terjadi dalam proses tersebut ialah mula-mula butir pati menyerap air dan mengembang. Adanya panas dan tekanan yang cukup tinggi menyebabkan terputusnya ikatan struktur heliks dari molekul tersebut. Amilosa mulai berdifusi keluar dari butiran pati, sehingga sebagian besar ruangan pada butiran pati terisi amilopektin. Akhirnya amilopektin pecah membentuk suatu matriks dengan amilosa yang merupakan gel. Perbedaan kandungan amilosa dan amilopektin dalam suatu pati akan mempengaruhi sifat-sifat fisik produk ekstrusi. Jika digunakan pati dengan kandungan amilopektin yang cukup tinggi maka akan dihasilkan produk yang mudah mengembang. Sedangkan produk yang terbuat dari pati beramilosa tinggi akan lebih rapat, lebih keras, dan kurang mengembang secara radial ketika diekstrusi (Muchtadi et al., 1988). Menurut Harper (1981), produk ekstrusi yang terbuat dari pati berkadar amilosa tinggi akan relatif lebih mudah diberi zat citarasa atau flavor. Bjorck dan Asp (1983) menyatakan bahwa akibat dari gelatinisasi pati ini dapat meningkatkan kemampuan hidrolisis amilase. Di samping itu, adanya perlakuan panas dapat menginaktifkan inhibitor α-amilase dalam bahan baku sehingga daya cerna pati produk meningkat.
2. Protein Selama proses ekstrusi, protein akan mengalami denaturasi atau modifikasi struktur sekunder, tersier, dan kuartener, serta termasuk pula putusnya ikatan hidrogen. Proses ekstrusi menggunakan suhu tinggi menyebabkan denaturasi protein (Smith, 1981). Mekanisme denaturasi protein adalah sebagai berikut: Pada suhu tinggi butiran protein terurai dari bentuk globular menjadi bentuk memanjang. Hal ini disebabkan oleh terputusnya ikatan-ikatan ionik,
28
disulfida, hidrogen dan Van der Walls. Beberapa molekul akan terpisah sesuai dengan sub-unitnya yang bersifat tidak larut. Selanjutnya terjadi penggabungan molekul-molekul tersebut dan membentuk agregat (Harper, 1981). Pembentukan agregat ini mempengaruhi pembentukan struktur makanan ekstrusi. Adanya ikatan-ikatan antara molekul protein tersebut akan membentuk suatu matriks. Pada suhu sekitar 135oC sebagian besar protein mulai membentuk matriks (Rhee et al., 1981). Setelah proses ekstrusi, protein tidak berbentuk butiran lagi karena pecah dan berdifusi dengan pati selama pemanasan. Protein dapat menaikkan derajat pengembangan yaitu dengan mengontrol pendistribusian air pada matriks bahan (bahan pada saat pemasakan) serta menguatkan interaksi antara amilopektin yang sudah terpotong-potong karena proses pelelehan yaitu dengan membentuk ikatan kovalen maupun interaksi non-ikatan (tarik-menarik antar molekul), sehingga dapat meningkatkan kekuatan polimer amilopektin
untuk
mengembang tanpa putus (Gimeno et al., 2004).
3. Lemak Lemak dalam biji-bijian akan membentuk komplek dengan pati bila diproses dengan ekstrusi. Lemak akan berikatan dengan amilosa dan amilopektin sehingga dapat menghambat pengembangan dan mengurangi sifat renyah dari produk (Muchtadi et al., 1988). Diduga bahwa struktur tersebut merupakan kompleks antara fraksi amilosa dengan asam oleat. Mekanisme penghambatannya adalah bahwa lemak akan membentuk suatu lapisan pada bagian luar granula pati dan sekaligus akan menghambat penetrasi air ke dalam granula (Polina, 1995). Penetrasi air yang lebih sedikit akan menghasilkan gelatinisasi yang rendah. Menurut Ahza (1996) yang diacu oleh Melianawati (1998), jika lemak berada dalam kondisi bebas (tidak terikat dengan bahan lain), ia berfungsi sebagai pelumas dalam laras sehingga akan mengurangi konversi energi
29
mekanis untuk menaikkan suhu gelatinisasi pati dan sekaligus menurunkan ekspansi produk.
4. Serat Serat banyak terdapat pada bagian kulit ari (perikarp) serealia. Pada proses ekstrusi, serat dapat digunakan sebagai bulking agent, sebagai bagian nutrisi dan untuk memodifikasi tekstur produk ekstrusi. Penggunaan serat sebagai pemberi nutrisi sering dibatasi pada bahan baku ekstrusi karena efeknya yang mampu menghambat pengembangan produk (Huber, 2001).
C. MESIN EKSTRUSI (EKSTRUDER) Ekstruder adalah alat untuk melakukan proses ekstrusi (Harper, 1981). Menurut Muchtadi et al.,(1988), fungsi ekstruder adalah meliputi gelatinisasi, pemotongan
molekuler,
pencampuran,
sterilisasi,
pembentukan
dan
penggelembungan/pengeringan. Kombinasi satu atau lebih fungsi-fungsi di atas merupakan hal yang tidak terpisahkan di dalam proses ekstrusi. Bahan yang telah mengalami pemasakan didorong keluar melalui die Pada saat terlepasnya bahan di ujung die, bahan mengalami perubahan tekanan yang demikian besar dalam waktu yang singkat. Keadaan demikian menyebabkan bahan menjadi mekar, kering dengan tekstur produk yang berongga. Pemotougan dan pembentukan makanan dilakukan segera pada saat bahan keluar dari ujung die (Muchtadi et al., 1988). Dalam proses ekstrusi, adanya aliran adonan adalah karena pengaruh tekanan shear. Tekanan shear tersebut terganlung pada kecepatan shear dan viskositas bahan. Pada bahan pangan, karena mengandung senyawa-senyawa biopolimer seperti pati dan protein,
alirannya
mengikuti
kaidah
non-newtonian
(Harper,
1981).
Selanjutnya disebutkan ekstrusi biopolimer sangat dipengaruhi oleh komposisi dan jenis biopolimernya. Menurut Muchtadi et al., (1988), ekstruder mempunyai tiga bagian utama, yaitu bagian pra-ekstrusi, ulir (screw), dan cetakan (die). Masingmasing bagian memiiiki rancangan dan cara kerja yang berbeda-beda sehingga pada akhirnya akan membentuk produk sesuai yang didinginkan. Bagian pra-
30
ekstrusi merupakan ruang bertekanan atmosfer atau bertekanan lebih tinggi dimana butiran bahan mentah dibasahi merata atau dipanaskan dengan air atau uap mengalir. Pra-ekstrusi juga berfungsi sebagai ruang masak dengan suhu tinggi dan waktu tinggal yang relatif lama, dan selanjutnya bahan setengah jadi yang telah diproses tersebut dialirkan ke seluruh bagian pengumpan pada ulir ekstruder. Pada bagian ulir terjadi perubahan susunan molekul bahan mentah atau setengah jadi yang pada akhimya akan mempcngaruhi tekstur dari produk yang dihasilkan. Panas dialirkan melalui pelepasan energi mekanik yang memutar ulir. Adanya panas akan menyebabkan bahan mengalami proses hidrasi, denaturasi, dan melebur sehingga pada akhimya bahan yang telah mengalami proses tersebut menjadi terplastisasi. Menurut Fellows (1990), ulir mempunyai tiga bagian. Bagian pertama adalah bagian pemasukan bahan (feed section) yang berfungsi menekan partikel-partikel bahan sehingga menjadi massa yang homogen. Bagian yang kedua disebut bagian pencampuran (kneading section) yang berfungsi untuk menekan, mencampur. dan memotong bahan yang telah terplastisasi, sedangkan bagian yang ketiga adalah bagian pemasak (cooking section) Berdasarkan konstruksi alatnya, ekstruder terdiri dari ekstruder ulir tunggal (Single Screw Extruder) dan ekstruder ulir ganda (Twin Screw Extruder). Ekstruder ulir tunggal dapat diklasifikasikan menjadi High Shear Extruder (untuk produk sereal sarapan pagi dan makanan ringan), Medium Shear Extruder (untuk produk semi basah), dan Low Shear Extruder (untuk pasta dan produk daging). Sedangkan ekstruder ulir ganda, terdiri dari dua ulir yang sama panjang dan terletak berdampingan dalam suatu laras. Ekstuder berulir tunggal banyak digunakan dalam pengembangan produk baru seperti makanan ringan, makanan bayi, makanan ternak, breakfast cereal atau produk modifikasi pati. Selain itu juga digunakan untuk menghasilkan produk pasta, cookies, atau permen (Linko et al.,1981). Harper (1985) membagi lima macam ekstruder berulir tunggal yang biasa digunakan dalam industri pangan yaitu : (1) ekstruder pasta yang digunakan untuk membentuk makaroni ; (2) ekstruder pembentuk tekanan
31
tinggi untuk membentuk dan memadatkan adonan yang telah digelatinisasi ; (3) ekstruder pemasak shear rendah untuk adonan dengan kadar tinggi ; (4) ekstruder coolet untuk membuat panganan butiraan yang bergelembung kering ; (5) ekstruder pemasak dengan shear tinggi serupa dengan ekstruder coolet, hanya pemakaiannnya lebih luas untuk sereal bergelembung, penangan ringan dan makanan hewan. Hingga saat ini ekstruder ulir tunggal (SSH) masih digunakan secara luas pada banyak jenis produksi pangan dan pakan. Secara keseluruhan memang proses ekstruder tipe ini jauh Iebih unggul dibanding metode pengolahan konvensional, tetapi sekarang ekstruder ulir ganda (TSE) yang jauh lebih maju dari segi teknologi mampu menawarkan banyak keuntungan bagi para pengolah. Bersamaan dengan semakin banyaknya perusahaan-perusahaan yang menyadari keuntungan-keuntungan yang ditawarkan maka mereka akan lebih cenderung untuk menggunakan TSE (Clextral, 2007) Model Twin Screw Extruder (TSE) lebih sering dipilih oleh perusahaan-perasahaan pengolah makanan. Model ini merupakan pilihan yang tepat untuk melakukan diversifikasi jenis-jenis makanan, dikarenakan kemampuannya yang baik dalam mengatur daya tekan mekanis dan daya giling efektif pada adonan di dalam selubung mesin ekstruder (barrel) ( Pratama, 2007). Ekstruder ulir ganda seperti halnya ulir tunggal dapat dibagi menjadi lima yaitu berputar searah saling berkaitan, berputar searah tidak berkaitan, berputar berlawanan saling berkaitan berputar berlawanan tidak berkaitan dan berbentuk kerucut berkaitan (Harper, 1981). Berdasar arah alirannya, ekstruder ulir ganda dapat dibedakan menjadi counter rotating dan co-rotating. Berdasarkan pada bentuk dan cara pemasangan ulir di dalam laras maka terdapat ekstruder ulir ganda intermeshing dan non-inter meshing ( Harper, 1981). Pada sistem konfigurasi non-intermeshing, sumbu kedua ulir tersebut terletak cukup berjauhan sehingga putaran ulir yang satu tidak terlalu mempengaruhi putaran ulir yang lain. Dalam hal ini, konfigurasi non-intermeshing dapat dianggap sebagai dua ekstruder ulir tunggal dengan kapasitas yang lebih besar (Hariyadi, 1996).
32
Pada sistem intermeshing, kedua sumbu ulir tersebut cukup berdekatan sehingga flight dari ulir yang satu dapat masuk ke dalam channel pada ulir yang lain, sedemikian rupa sehingga saling terkait. Sistem demikian ini memungkinkan self-cleaning dan self-wiping (flight dari satu ulir menyapu dan membersihkan bahan yang berada dalam channel ulir yang lain). Dengan demikian,
maka kapasitas transportasi (conveying capacity) ekstruder ulir
ganda, khususnya dalam konfigurasi intermeshing akan meningkat. Kapasitas transport yang baik ini dapat digunakan untuk membawa bahan yang bersifat lengket, yang tentunya sangat sulit untuk ditangani dengan ekstruder ulir tunggal (Hariyadi, 1996).
Gambar 4. Tipe Ulir Ektruder Ulir Ganda (Anonimc, 2010)
Ekstruder memiliki fleksibilitas yang tinggi sebagai alat pengolah bahan makanan dan ketersediaan bahan mentah yang potensial untuk dimanfaatkan. Pada prinsip kerja twin screw extruder juga terdapat tiga zona pengolahan. Pertama,zona pemasukan bahan (Feed Zone), dimulai dengan memasukan bahan mentah ke dalam ekstruder secara terus menerus. Ketika ulir mulai berputar, ekstruder akan menggiling bahan dan mencampur bahan secara menyeluruh.
Bahan
cair,
biasanya
lemak/minyak,
air
atau
bahan
lainnya,ditambahkan melalui sebuah lubang masukan pada barrel untuk menambah kelembaban atau membasahi partikel-partikel granula sebelum dimasak (bila diperlukan). Pada zona ini bahan-bahan dibentuk menjadi suatu adonan yang merata oleh proses penggilingan ulir ganda (twin screw). Kedua, zona pemasakan (Cooking Zone), pada tahap ini adonan diberi perlakuan panas yang diperoleh dari berbagai sumber, tergantung dari hasil produk yang diinginkan dan spesifikasi mesin. Panas mekanis dalam barrel dihasilkan dengan cara mengatur konfigurasi ulir. Kepadatan gerigi-gerigi dan
33
jarak ulir, pengaturan arah putaran dan tekanan dapat menghasilkan panas mekanis. Panas konveksi dihantarkan langsung dari dinding barrel pada adonan. Penghantaran panas secara konveksi merupakan metode penghantaran panas yang sangat efektif. Panas uap, bila dibutuhkan dapat diberikan pada adonan melalui suatu lubang masukan pada barrel. Ketiga, zona pembentukan (Forming Zone), dimana produk akan dibentuk sesuai dengan keinginan pengolah. Bentuk yang diperoleh berupa produk yang mengembang atau padat tergantung pada tingkat kelembaban, suhu, tekanan dan bentuk geometris dari die (piringan pencetak bahan). Untuk membuat produk yang mengembang (expanded product), suhu dan tekanan ditingkatkan sementara tingkat kelembaban harus dikendalikan dengan akurat. Ketika produk keluar dari ekstruder melalui die, perubahan dari tekanan atmosfir akan menyebabkan kelembaban di dalam bahan berubah menjadi uap. Hal ini mengakibatkan mengembangnya adonan yang dimasak menjadi produk yang teksturnya berongga. Untuk membuat produk yang padat, digunakan adonan dengan kelembaban tinggi dan diolah pada suhu yang rendah. Ketika ekstrudat didorong keluar melalui die, produk tidak akan mengembang tetapi akan memperoleh bentuk sesuai bentuk die. Hasilnya berupa pellet padat dengan bentuk yang beragam3 (Clextral, 2007). Bagian-bagian dari ekstruder ulir ganda dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Bagian Proses Pengolahan Ekstruder Ulir Ganda Secara Umum (Schlosburg , 2005)
34
Berdasarkan metode operasinya, ekstruder dapat dibagi menjadi ekstruder pemasak dan ekstruder non-pemasak (cold ekstruder). Pada ekstruder pemasak, bahan pangan dipanaskan oleh uap panas yang berada pada jaket yang menyelimuti laras atau ulir yang dipanaskan oleh uap panas. Pada beberapa desain, elemen pemanas induksi elektrik digunakan untuk memanaskan laras secara langsung. Selain itu, panas juga dihasilkan dari friksi yang disebabkan oleh aksi ulir. Suhu yang digunakan sekitar 100°C. Ekstruder pemasak adalah proses dengan suhu tinggi dan waktu yang singkat (High Temperature Short Time) sehingga dapat mengurangi terjadinya kontaminasi milkoba dan inaktivasi enzim. Produk yang dihasilkan memiliki densitas rendah berupa makanan siap makan (sereal sarapan) dan makanan ringan (snack). Pada ekstruder non pemasak. bahan pangan diekstrusi pada suhu di bawah 100°C. Ekstruder jenis ini memiliki ulir yang bergerak pada kecepatan lambat di dalam laras yang permukaannya licin atau halus untuk mengekstrusi material dengan hanya sedikit friksi. Ekstruder ini banyak digunakan untuk memproduksi pasta, adonan pastry, dan beberapa jenis produk konfeksioneri tertentu ( Fellows, 1990). Pada ekstruder ulir ganda, dua ulir yang paralel ditempatkan dalam laras berbentuk angka delapan. Jarak ulir yang diatur dengan rapat akan mengakibatkan bahan bergerak di antara ulir dan laras dalam sebuah ruang yang berbentuk C. Tujuannya ialah untuk mengatasi keterbatasan pada hasil kerja SSE seperti tergelincirnya bahan dari dinding laras. Sebagai hasilnya bahan akan terhindar dari aliran balik (negatif) ke arah bahan masuk tetapi digerakkan pada arah positif yaitu menuju die tempat bahan keluar (Pratama, 2007).
D. MAKANAN RINGAN (SNACK) Makanan ringan merupakan terjemahan langsung dari snack food adalah
makanan
yang
dikonsumsi
di
antara
waktu
makan
utama
(Anonimd,2010). Makanan ringan biasanya dikonsumsi di antara dua waktu
35
makanan utama, yaitu antara makan pagi dan makan siang atau antara makan siang dan makan malam (Anonime,2010). Makanan yang dikonsumsi di antara waktu makan utama tersebut bersifat ringan dan tidak mengenyangkan. Oleh karena itu, makanan ini biasa juga disebut makanan ringan, yang berarti sesuatu yang dapat mengobati kelaparan dan memberikan suplai energi yang cukup untuk tubuh. Saat ini, makanan ringan sudah menjadi bagian yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama pada kalangan anakanak dan remaja. Muchtadi et al., (1988) menyatakan bahwa snack merupakan makanan ringan yang dikonsumsi dalam waktu antara ketiga makanan utama dalam sehari. Menurut Harper (1981), makanan ringan dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah makanan ringan konvensional seperti keripik kentang, keripik singkong, dan crackers. Kelompok kedua dibuat lewat ekstrusi dengan berbagai bentuk sederhana dan tambahan flavor, contohnya cheese ball. Kelompok ketiga adalah makanan ringan yang setelah mengalami proses ekstrusi masih butuh pengolahan lanjutan, contohnya onion ring.
36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan produk ekstrusi yaitu sorgum jenis Kawali yang diperoleh dari petani sorgum di kawasan Bojonegoro, air dan margarin (Forvita). Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis adalah DPPH (1,1-diphenil-2-picrylhydrazil), metanol pro analysis, heksana, asam metafosfat 2%, asam askorbat, 0.1 M buffer asetat pH 5.5, HCl, pepsin, aluminium foil, NaOH, pankreatin, aseton, etanol 78%, etanol 95% , kertas saring, aquades dan aquabides. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan produk ekstrusi sorgum adalah alat penyosoh (Satake Grain Mill) kapasitas 200 gram, disc mill, mixer, ekstruder collet single-screw bertempat di Seafast, dan ekstruder twin-screw model puffing 2256 bertempat di Technopark. Alat yang digunakan untuk analisis adalah pipet mohr, neraca analitik, gelas kimia, gelas ukur, tabung reaksi, sudip, erlenmeyer, labu takar, tabung sentrifuse, pipet tetes, centrifuse, desikator, spectofotometer, Atomic Absorption Spectrophotometer, Texture Analyzer, labu kjeldahl, batu didih, pemanas listrik, labu destilasi, alat destilasi dan kondensor, dan buret.
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini
dilaksanakan dalam 2 tahap,
yaitu penelitian
pendahuluan dan penelitian utama. Tahap pertama adalah penelitian pendahuluan yang bertujuan untuk menentukan ekstruder serta parameter proses eskrusi yang digunakan pada penelitian utama. Tahap kedua adalah penelitian utama yang bertujuan untuk karakterisasi produk ekstrusi meliputi analisis fisik, dan pemilihan produk terbaik berdasarkan sifat organoleptik dan aktifitas antioksidan untuk kemudian dianalisis proksimat, serat dan kandungan mineralnya.
37
1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan ekstruder dan parameter proses ekstrusi yang digunakan pada penelitian utama. Penelitian ini menggunakan dua buah ekstruder diantaranya ekstruder ulir tunggal
dan
ulir
ganda.
Penentuan
ekstruder
yang
digunakan
memperhitungkan bentuk bahan yang digunakan serta parameter proses ekstrusi untuk masing-masing ekstruder. Penentuan parameter proses ekstrusi dilakukan untuk mengetahui kondisi optimum proses serta mendapatkan produk ekstrusi yang bisa dibentuk sesuai cetakan karena spesifikasi mesin/ekstruder yang berbeda memiliki parameter proses yang berbeda. Penentuan parameter proses ekstrusi dilakukan secara uji coba dengan
memperhitungkan
parameter-parameter
proses
yang
mempengaruhi proses ekstrusi. Ekstruder yang memberikan hasil dan kondisi proses terbaik digunakan dalam proses ekstrusi pada penelitian utama.
1.1. Persiapan Bahan Biji sorgum utuh diberi dua perlakuan yaitu disosoh dan tidak disosoh. Penyosohan merupakan salah satu standar pengolahan serealia yang bertujuan menghilangkan lapisan terluar (kulit) dan pengotor. Biji sorgum utuh (masih dengan kulit) disosoh menggunakan Satake Grain Mill selama 20 detik dengan kapasitas 200 gram sekali sosoh. Biji sorgum yang telah disosoh dan biji sorgum yang tidak disosoh (masih dengan kulit) kemudian ditepungkan menggunakan disc mill dengan menggunakan saringan 60 mesh. Kemudian tepung diayak dengan menggunakan ayakan 100 mesh sehingga diperoleh tepung yang lolos ayakan 100 mesh dan tepung tidak lolos ayakan 100 mesh yang berupa grits. Tepung yang tidak lolos ayakan (grits) digunakan dalam pembuatan produk ekstrusi menggunakan ekstruder ulir ganda, sedangkan biji utuh digunakan dalam pembuatan ekstruder ulir tunggal. Diagram alir pembuatan grits sorgum sosoh dan tidak sosoh ditunjukan pada Gambar 6 dan 7.
38
Biji sorgum
Penyosohan 20 detik
Biji sorgum (Bebas dari kulit luar dan lapisan testa)
Penepungan (dengan disc mill)
Pengayakan 100 mesh
Tepung sorgum sosoh
Grits sorgum sosoh
Gambar 6. Diagram alir pembuatan grits sorgum sosoh
Biji sorgum
Penepungan (dengan disc mill)
Pengayakan 100 mesh
Tepung sorgum tidak sosoh
Grits sorgum tidak sosoh
Gambar 7. Diagram alir pembuatan grits sorgum tidak sosoh
1.2. Spesifikasi Ekstruder Ekstruder ulir tunggal yang digunakan pada penelitian ini memiliki panjang barel sebesar 21 cm dengan diameter barel belakang sebesar 8 cm dan diameter barel depan sebesar 7.5 cm. Ekstruder ini memiliki panjang ulir sebesar 22 cm dengan diameter ulir 7.1 cm. Ukuran die (cetakan) yang digunakan adalah sebesar 0.5 cm. Gambar
39
ekstruder ulir tunggal ditunjukan pada gambar 8 dan tampak depan die dan pisau ditunjukan pada gambar 9.
Gambar 8. Ekstruder ulir tunggal
Gambar 9. Tampak depan die dan pisau ekstruder ulir tunggal
Ekstruder ini memiliki panjang barel sebesar 98 cm dan diameter barel sebesar 64 mm. Panjang ulir sebesar 93 cm dan memiliki diameter ulir sebesar 54 mm. Diameter die/cetakan yang digunakan berbentuk oval dengan diameter 11 mm x 7 mm. Gambar ekstruder ulir ganda ditunjukan pada gambar 10 dan tampak depan die dan pisau ditunjukkan pada gambar 11.
40
Gambar 10. Ekstruder ulir ganda
Gambar 11. Tampak depan die dan pisau ekstruder ulir ganda
1.3. Kondisi Proses Ekstrusi 1.3.1. Ekstruder Ulir Tunggal Ekstruder ulir tunggal yang digunakan pada penelitian ini tidak dapat melakukan pengaturan kecepatan putar ulir dan pemasukan bahan. Bentuk bahan yang digunakan pada ekstruder ulir tunggal berupa biji. Ekstruder ulir tunggal menggunakan variasi suhu diantaranya 100oC, 120oC dan 140oC. Parameter proses yang diujikan menggunakan ekstruder ulir tunggal ditunjukan pada Tabel 4 berikut.
41
Tabel 4. Parameter proses yang diujikan menggunakan ekstruder ulir tunggal Bentuk Bahan
Suhu Ekstruder
Biji tidak sosoh
100oC 120 oC 140 oC 100 oC
Biji sosoh
120 oC 140 oC
Proses ekstrusi menggunakan ekstruder ulir tunggal diawali dengan pengaturan suhu ekstruder sesuai kondisi proses yang diinginkan. Ketika suhu proses yang diinginkan sudah tercapai, bahan baku berupa biji dimasukan ke dalam feeder. Jumlah bahan yang digunakan sebanyak 500 gram untuk setiap uji agar proses ekstrusi dapat berjalan secara kontinu di dalam ekstruder. Kecepatan pemasukan bahan pada ekstruder ulir tunggal ini dilakukan secara manual dengan menuangkan sedikit demi sedikit biji secara konstan ke dalam feeder. Proses dilakukan secara kontinu hingga bahan dapat keluar dari cetakan.
1.3.2. Ekstruder Ulir Ganda Ekstruder ulir ganda yang digunakan pada penelitian ini memungkinkan
untuk
mengatur
secara
leluasa
faktor-faktor
pengolahan seperti suhu, kecepatan putar ulir, kecepatan pemasukan bahan, dan kecepatan putar pisau di dalam proses dibandingkan ekstruder ulir tunggal yang hanya bisa mengatur suhu proses. Kecepatan putar ulir ekstruder diatur pada kecepatan 20 Hz (373 rpm), 22 Hz (411 rpm) dan 25 Hz (467 rpm), sedangkan kecepatan putar pemasukan bahan diatur sebesar 1 Hz (19 rpm) di bawah kecepatan putar ulir yang digunakan untuk menjaga agar seluruh bagian ulir terisi bahan saat proses ekstrusi berlangsung. Bentuk bahan 42
yang digunakan pada ekstruder ulir ganda berupa grits. Variasi suhu yang digunakan adalah 130°C, 140°C, dan 150°C. Bahan baku grits sorgum yang digunakan untuk pembuatan produk ekstrusi, diukur terlebih dahulu kadar airnya. Pengukuran kadar air menggunakan metode oven. Kadar air yang digunakan pada penelitian ini yaitu 13%, 15%, dan 16%. Penambahan air diperlukan untuk mencapai kadar air awal bahan yang diperlukan pada penelitian. Parameter-parameter
proses
ekstrusi
yang
diujikan
menggunakan ekstruder ulir ganda ditunjukan pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Parameter proses yang diujikan menggunakan ekstruder ulir ganda Kadar air
Suhu 130 °C 373 411 467 rpm rpm rpm S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS TS
Suhu 140°C 373 411 467 rpm rpm rpm S S S S S S S S S TS TS TS TS TS TS TS TS TS
13% 15% 16% 13% 15 % 16% K Keterangan: S = grits sorgum sosoh TS= grits sorgum tidak sosoh
suhu 150°C 373 411 467 rpm rpm rpm S S S S S S S S S TS TS TS TS S TS TS TS TS
Proses ekstrusi sebelum bahan baku berupa grits dimasukan ke dalam
ekstruder,
terlebih
dahulu
dilakukan
proses
ekstrusi
menggunakan pancingan/pengumpan yang bertujuan untuk membuat kondisi di dalam ekstruder sesuai dengan kondisi proses yang diinginkan. Pancingan yang digunakan adalah grits sorgum. Proses penambahan air ke dalam ulir dilakukan sedikit demi sedikit pada bagian keluaran feeder hingga pancingan mulai keluar dari cetakan. Setelah hasil yang keluar dari ekstruder sudah kering dan matang serta proses sudah berjalan kontinu, bahan utama yang digunakan pada pembuatan produk ekstrusi dapat dimasukan ke feeder. Jumlah grits sorgum yang digunakan sebanyak 3 kg untuk setiap uji. Jumlah ini 43
merupakan jumlah minimal bahan yang digunakan agar mesin dapat bekerja optimal sesuai dengan kondisi proses yang ditentukan. Grits sorgum dicampurkan lemak berupa margarin, yang berfungsi sebagai pelumas untuk melicinkan bahan ketika di dalam ulir. Margarin dicairkan terlebih dahulu, kemudian dicampur dengan grits menggunakan mixer hingga menjadi adonan rata dan homogen. Variasi margarin yang ditambahkan per 3 kg bahan yang digunakan yaitu sebesar 50 gram (1.67%), 100 gram (3.3%) dan 150 gram (5%). Diagram alir pancingan dan proses ekstrusi menggunakan ekstruder ulir ganda dapat dilihat pada Gambar 12 dan 13.
Grits Sorgum (pancingan)
Timbang 3 Kg
Ekstrusi (pada kondisi proses yang ditetapkan)
Air
Produk Pancingan Gambar 12. Diagram alir pancingan pada ekstruder ulir ganda
44
Grits Sorgum
Timbang 3 Kg
Lemak (pelumas)
Pencampuran
Ekstrusi (pada kondisi proses yang ditetapkan)
Produk Ekstrusi
Gambar 13. Diagram alir pembuatan ekstrudat pada ekstruder ulir ganda
2. Penelitian Utama Penelitian ini menggunakan grits sorgum sosoh dan tidak sosoh sebagai bahan baku dalam pembuatan produk ekstrusi. Proses ekstrusi pada tahap penelitian utama dilakukan sesuai kondisi optimum yang diperoleh dari penelitian pendahuluan agar dihasilkan produk ekstrusi dengan tektur yang baik dan dapat bekerja secara kontinu. Proses
ekstrusi
untuk
menghasilkan
ekstrudat
dilakukan
menggunakan ekstruder yang terpilih dan kondisi proses yang optimum berdasarkan hasil penelitian pendahuluan. Produk yang diperoleh dari penelitian utama dilakukan analisis fisik, uji organoleptik dan uji DPPH (aktivitas antioksidan). Produk terbaik dipilih berdasarkan kombinasi skor tertinggi dari uji organoleptik dan uji DPPH. Produk terbaik dilakukan analisis proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein), kadar serat pangan dan kandungan mineral (Ca,Fe dan Zn).
45
C. PERLAKUAN Perlakuan yang dilakukan pada penelitian utama menggunakan ekstruder ulir ganda adalah jenis penyosohan dan kecepatan putar ulir. 1. Jenis Penyosohan A1 : disosoh A2 : tidak disosoh 2 .Kecepatan Putar Ulir Ekstruder B1 : 22 Hz (411 rpm) B2 : 25 Hz (467 rpm)
D. PENGAMATAN 1. Analisis Fisik 1.1. Analisis tekstur (kekerasan) (Stable Micro System TA. Texture Analyzer) Prinsip pengukuran ini adalah memberikan gaya tekan kepada bahan dengan besaran tertentu sehingga profil tekstur bahan dapat diukur. Jenis bahan yang dianalisis berpengaruh terhadap probe yang digunakan. Kekerasan produk ekstrusi diukur dengan menggunakan Teksture analyzer TAXT-2. Kekerasan dinyatakan dalam satuan kgf. Probe yang digunakan untuk pengukuran ekstrudat ialah WarnerBratzler Blade/Knife Blade. Setelah dilakukan pemasangan probe, sampel diletakkan di atas meja uji, kemudian teksture analizer dinyalakan. Komputer dinyalakan untuk menjalankan program texture analyzer. Data hasil pengukuran texture analyzer dapat divisualisasikan dalam bentuk grafik dan dapat dilakukan pengolahan data lanjut. Pengukuran sampel ekstrudat dilakukan sebanyak 3 kali untuk tiap sampel. Pengambilan sampel dilakukan secara acak. Hasilnya berupa grafik pengukuran dengan texture analyzer. Grafik tersebut merupakan hubungan antara waktu (s) di sumbu-x dan gaya (g) di sumbu-y. Setting alat tekstur analyzer seperti Tabel 6 berikut.
46
Tabel 6. Setting Texture Analyzer Pengukuran Kekerasan Produk Ekstrusi Parameter
Seting
Pre test speed
1.5 mm/s
Test speed
2.0 mm/s
Post test speed
10.0 mm/s
Rupture test distance
1.0 mm
Distance
25.0 mm
Force
100 g
Time
5 sekon
Count
2
1.2. Uji Rasio Pengembangan (Linko et al, 1981). Rasio
pengembangan
produk
dihitung
berdasarkan
perbandingan diameter produk dengan diameter cetakan (Linko et al, 1981)
Rasio pengembangan =
1.3. Indeks Penyerapan Air (WAI) dan Indeks Kelarutan Dalam Air (WSI) (Anderson, 1969 di dalam Davidson, et al.,1984) Sebanyak 3 gram sampel ditimbang, dimasukan ke dalam tabung setrifuse yang telah diketahui beratnya. Tambahkan air 30 ml, kemudian kocok dengan vorteks selama 30 menit. Tabung lalu disentrifuse selama 20 menit dengan kecepatan 2000 rpm, supernatan ditampung dalam cawan yang telah diketahui berat tetapnya, kemudian diuapkan pada suhu 105oC sampai airnya menguap. Setelah didinginkan pada desikator, berat cawan ditimbang untuk mengetahui indeks kelarutan dalam air (WSI). Endapan yang ada pada tabung sentrifuse ditimbang untuk mengetahui indeks absorbsi air (WAI).
47
WSI = WAI = Keterangan : A = berat padatan yang larut air B = berat sampel C = berat air yang diserap
1.4. Derajat gelatinisasi, metode spektrofotometri (Wooton et al.,1971 di dalam Muchtadi et al,. 1988) Persiapan contoh sebagai berikut : produk dihaluskan sampai 60 mesh, ditimbang sebanyak 1 gram dan didispersikan dalam 100 ml air dalam waring blender selama 1 menit. Suspensi ini kemudian disentrifuse pada suhu ruang selama 15 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil 0.5 ml secara duplo, lalu masing-masing ditambah 0.5 HCl 0.5 M dan dijadikan 10 ml dengan akuades. Pada salah satu tabung duplo ditambahkan 0.1 ml larutan iodium. Kemudian contoh diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Suspensi lain disiapkan dengan cara mendispersikan 1 gram produk yang sudah dihaluskan pada 95 ml air dan ditambah 5 ml NaOH 10 M. Suspensi dikocok selama 5 menit kemudian disentrifuse selama 15 menit pada suhu ruang dengan kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil 0.5 ml secara duplo, ditambah 0.5 HCl 0.5 M dan dijadikan 10 ml dengan akuades. Pada salah satu tabung tesebut ditambahkan 0.1 ml larutan iodium. Contoh diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Pengamatan dilakukan dengan urutan sebagai berikut : (1) larutan yang ditambah HCl digunakan sebagai standar (blanko) pati tergelatinisasi; (2) Larutan bahan yang ditambah HCl dan larutan iodium digunakan sebagai larutan pati yang tergelatinisasi; (3) Larutan bahan yang ditambah NaOH dan HCl sebagai larutan standar total pati;
48
(4) Larutan bahan yang ditambah NaOH, HCl dan larutan iodium sebagai larutan total pati. Derajat gelatinisasi dihitung dengan rumus:
Derajat Gelatinisasi (%) =
2. Uji Organoleptik (Adawiyah dan Waysima, 2008) Uji yang dilakukan adalah uji rating pada atribut warna, rasa, tekstur, dan kelengketan di mulut. Skala yang digunakan adalah skala 1 hingga 5 (1 = sangat tidak suka, hingga 5 = sangat suka). Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih sebanyak 30 orang. Data diolah dengan uji ANOVA dengan α=0.05 dan uji lanjut DUNCAN.
3. Uji Radikal Bebas/DPPH (Kubo et al., 2002) Sampel sejumlah 5 gram dilarutkan dalam methanol PA dengan perbandingan 1:4. Campuran dimaserasi selama 2 jam pada suhu 37 oC. Selanjutnya campuran disaring dengan bantuan kertas saring untuk mendapatkan larutan sampel. Metanol PA sebanyak 2,8 ml; buffer asetat (pH = 5,5) 1,5ml; dan larutan DPPH 250 µl dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu dikocok kuat (vortex). Larutan sampel sebanyak 45 µl ditambahkan ke dalam tabung reaksi lalu dikocok kuat (vortex). Tabung reaksi tersebut diinkubasi di ruang gelap selama 20 menit. Absorbansi larutan sampel diukur pada panjang gelombang 517 nm. Aktivitas antioksidan
diperoleh
dari
hasil
pengukuran
absorbansi
sampel
dibandingkan dengan kurva standar kapasitas antioksidan vitamin C (asam askorbat), satuannya mg vitamin C equivalen/g produk.
4. Analisis Proksimat Analisis kimia dilakukan terhadap formulasi terbaik dilihat dari hasil analisis secara objektif (fisik, antioksidan) serta secara subjektif (uji organoleptik), analisis kimia yang dilakukan meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein kasar, dan kadar lemak kasar. Penentuan kadar karbohidrat dilakukan secara by difference. 49
4.1. Kadar Air (AOAC, 1995) Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan alumunium yang sebelumnya yang telah dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C selama 1 jam dan diketahui beratnya sampai mencapai berat konstan kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Perbedaan berat sebelum dan sesudah pangeringan dihitung sebagai persen kadar air.
Kadar air (% berat basah) =
x 100 %
Keterangan: a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g) c = berat sampel awal (g) 4.2. Kadar abu Sampel ditimbang 5-10 g di dalam cawan porselin. Sampel kemudian dipanaskan di dalam tanur 550oC selama 12-18 jam. Sampel kemudian ditimbang untuk menentukan bobot abu. Kadar abu dihitung menggunakan rumus:
Kadar abu (% berat basah): Keterangan:
x 100%
a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g) c = berat sampel awal (g)
4.3. Uji Kadar Protein dengan metoda Kjeldahl (AOAC, 1995) Analisis Kadar protein dibagi dalam 3 tahap : a. Digesti Sampel ditimbang sebanyak 0,1 g
dalam labu digesti dan
ditambahkan 5 ml H2SO4 pekat lalu dimasukkan batu didih untuk mempercepat proses digesti. Sampel dipanaskan sampai sampel menjadi jernih kekuningan tanpa partikel di dalam sampel. Dibuat pula blanko tanpa sampel.
50
b. Destilasi Larutan asam borat ditambahkan ke dalam labu erlenmeyer penerima destilat dan dipasang di rangkaian alat destilasi. Selang pengalir destilat harus tercelup dalam larutan asam borat. Sampel dimasukkan ke dalam alat destilasi dan didestilasi sampai jumlah destilat mencapai sekitar 20 ml.
c. Titrasi Larutan HCl yang sudah distandardisasi dicari normalitasnya. Indikator metil merah-metilen biru ditambahkan ke dalam sampel. Sampel kemudian dititrasi menggunakan HCl sampai terjadi perubahan warna. Volume HCl yang terpakai dicatat dan dihitung menggunakan rumus: Kadar N(%) = Kadar Protein (% berat basah) = %N x faktor konversi (6.25) 4.4. Uji Kadar Lemak dengan ekstrasi Soxhlet (AOAC, 1995) Sampel ditimbang sebanyak 2-3 g dalam bungkusan kertas saring dan dimasukkan ke dalam perangkat alat ekstraksi Soxhlet. Sampel kemudian diekstraksi selama 6 jam menggunakan 350 ml heksana. Hasil destilasi kemudian ditampung dalam labu erlenmeyer dan dikeringkan dalam oven dan ditimbang. Kadar lemak dihitung dengan menggunakan rumus:
Kadar lemak (% berat basah) = Keterangan:
x 100%
a = berat labu dan sampel akhir (g) b = berat labu kosong (g) c = berat sampel awal (g)
51
4.5. Kadar karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat ekstrudat diukur secara by difference. Kadar karbohidrat dihitung berdasarkan pengurangan total 100% terhadap kadar protein, kadar air, kadar abu serta kadar lemak. Kadar karbohidrat (% berat basah) = 100% - (P+KA+A+L) Keterangan: P
= kadar protein (%)
KA = kadar air (%) A
= kadar abu (%)
L
= kadar lemak (%)
5. Kadar Serat Pangan (Asp et al.,1983 yang dikutip oleh Muchtadi et al., 1992) Sebanyak 1 g sampel yang telah bebas lemak dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Kemudian, ditambahkan 25 ml buffer natrium fosfat 0.1 M pH 6.0 dan disuspensikan. Termamyl sebanyak 100µl ditambahkan. Erlenmeyer ditutup dan diinkubasikan pada penangas air mendidih selama 15 menit dan sekali-kali diaduk. Setelah itu, diangkat dan didinginkan. Sebanyak 20 ml air destilata ditambahkan dan pHnya diatur dengan HCl sampai pH 1.5. Kemudian,
sebanyak
100
mg
pepsin
ditambahkan.
Erlenmeyer
0
diinkubasikan kembali pada suhu 40 C dan diagitasi selama 60 menit. Setelah itu, sebanyak 20 ml air destilata ditambahkan kembali dan pHnya diatur menjadi pH 6.8 dengan NaOH. Sebanyak 100 mg pankreatin lalu ditambahkan. Kemudian erlenmeyer diinkubasi pada suhu 400C dan diagitasi selama 60 menit. Setelah itu, pHnya diatur kembali menjadi 4.5 dengan penambahan HCl. Saring melalui kertas saring kering (berat tepat diketahui). Lalu, cuci dengan 2 x 10 ml air destilata. Residu (serat pangan tidak larut/Insoluble dietary fiber (IDF)) Setelah kertas saring dicuci dengan air destilata, dilanjutkan dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Kertas saring dikeringkan pada suhu 1050C sampai berat tetap ( sekitar 12 jam). Kemudian, ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D1). Kertas
52
saring lalu diabukan dalam tanur 1500C selama paling sedikit 5 jam. Kemudian ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (I1). Filtrat (serat pangan larut/Soluble dietary fiber (SDF)) Filtrat yang diperoleh pada penyaringan pertama dan setelah dicuci air destilata, diatur volumenya hingga 100 ml. Kemudian etanol 95% hangat (600C) sebanyak 400 ml ditambahkan. Setelah itu, disaring dengan menggunakan kertas saring kering yang telah diketahui beratnya. Residu dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2 x 10 ml etanol 95%, dan 2 x 10 ml aseton. Kemudian, ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D2). Kertas saring lalu diabukan dalam tanur 1500C selama paling sedikit 5 jam. Kemudian ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (I2). Blanko Blanko untuk serat pangan tidak larut dan larut diperoleh dengan cara yang sama, tetapi tanpa sampel (B1 dan B2). Perhitungan : %serat makanan tidak larut
= [(D1-I1-B1)/W]x100%
(1)
% serat makanan larut
= [(D2-I2-B2)/W]x100%
(2)
% total serat pangan
= (1) + (2)
6. Komposisi mineral Ca, Fe, dan Zn (Faridah et al., 2009) Analisis komposisi mineral dilakukan dengan menggunakan alat Atomic Absorption Spectrophotometer. Hanya produk formula terbaik yang diukur kandungan mineral Ca, Fe, dan Zn. Persiapan sampel yang dilakukan adalah sebagai berikut. Mula-mula sampel sebanyak 1-2 g (untuk blanko tidak ditambahkan sampel) dimasukkan ke dalam cawan porselin ukuran 50 ml yang telah dikeringkan (1000C, 15 menit) dan telah didinginkan. Selanjutnya sampel dibakar atau dioven 2500C sampai asapnya habis (2 jam) dan diletakkan dalam tanur pengabuan 5500C selama 6 jam. Apabila sampel tetap berwarna hitam ditambahkan 1 ml air destilata bebas ion dan 1 ml HNO3 pekat. Kemudian diuapkan sampai kering (110-1500C), dan diabukan lagi 3500C selama 30 menit.
53
Setelah semua sampel telah menjadi abu berwarna putih, ditambahkan 5 – 6 ml HCl pekat dan dipanaskan di hot plate dengan suhu rendah sampai kering. Kemudian ditambahkan 15 ml HCl encer (HCL: air = 1:1) dan dipanaskan kembali sampai mulai mendidih, dan didinginkan. Larutan abu dituangkan ke dalam labu takar melalui kertas saring. Cawan dibilas dengan HCl encer 10 ml dan dipanaskan sampai mulai mendidih. Setelah didinginkan larutan dituang kembali melalui kertas saring ke dalam labu takar. Selanjutnya cawan dibilas dengan air destilata bebas ion minimal 3 kali, dan air bekas pembilasan juga dituang melalui kertas saring ke dalam labu takar. Setelah itu labu takar ditepatkan sampai tanda tera dengan air destilata,
dan
sampel
siap
dianalisis
dengan
Atomic
Absorption
Spectrophotometer. Kadar mineral (mg/l) = Keterangan:
a
= konsentrasi sampel dari kurva standar (mg/L)
FP = faktor pengenceran W = berat sampel (g)
54
Persiapan Bahan Baku
Penentuan Ekstruder Yang Digunakan (Tunggal/Ganda)
Penentuan Parameter Proses Ekstrusi
Proses Ekstrusi Menggunakan Ekstruder Terpilih dan Kondisi Proses Optimum
Produk Ekstusi
Uji Organoleptik (Rating Hedonik)
Uji DPPH (aktivitas antioksidan)
-
Analisis Fisik WAI dan WSI Tekstur (kekerasan) Derajat Gelatinisasi Derajat Pengembangan
Produk Terbaik
\
Analisis Produk Terbaik : Analisis Proksimat Serat Pangan Analisis Mineral (Ca, Fe & Zn) Gambar 14. Garis Besar Penelitian
55
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan ekstruder yang digunakan pada penelitian utama. Parameter proses ekstrusi ditentukan untuk memperoleh kondisi proses optimum yang akan digunakan pada penelitian utama. Parameter proses ekstrusi untuk masing-masing ekstruder berbeda, menyesuaikan spesifikasi dari masing-masing alat.
1. Persiapan Bahan Penelitian ini menggunakan sorgum dengan varietas Kawali yang diperoleh dari petani di Bojonegoro, Jawa Tengah. Varietas ini banyak digunakan di beberapa daerah penghasil sorgum. Selain itu, varietas ini mudah dibiakkan dan memiliki potensi hasil yang tinggi. Proses penyosohan pada biji sorgum menyebabkan terlepasnya lapisan pericarp, tegmen, sebagian besar lapisan aleuron dan embrio sehingga secara tidak langsung mengikis pula berbagai komponen gizi dan komponen bioaktif sorgum (Suarni, 2004). Penyosohan yang terlalu lama menyebabkan lapisan aleuron terkikis bahkan hilang sehingga menurunkan kandungan nutrisi dan senyawa aktif di dalamnya. Waktu penyosohan 20 detik pada penelitian ini dipilih berdasarkan tingkat efisiensi penyosohan terhadap aktivitas antioksidan setelah disosoh dan penerimaan panelis (Yanuar, 2009). Sorgum yang disosoh 20 detik menghasilkan rendemen sebesar 94.56% dari berat biji awal. Penepungan dilakukan terhadap biji sorgum baik yang disosoh maupun biji yang tidak disosoh menggunakan disc mill dengan saringan 60 mesh. Hasil penepungan kemudian diayak dengan menggunakan automatic siever dengan ukuran ayakan yang digunakan adalah 100 mesh. Rendemen grits yang diperoleh hasil penepungan dan pengayakan yaitu sebesar 61.97% dari berat biji awal sorgum, sedangkan rendemen grits yang diperoleh dari hasil penyosohan, penepungan dan pengayakan yaitu sebesar 58.60% dari berat biji awal sorgum.
56
2. Penentuan Kadar Air Awal Bahan Kadar air bahan sangat penting karena mempunyai hubungan erat dengan sifat garing dan kerenyahan produk (Muchtadi et al.,1988). Kadar air yang baik untuk bahan ekstrusi sebaiknya berkisar 11-14% (Trisnamurti, 1980). Berdasarkan pengukuran diperoleh hasil kadar air awal bahan grits sorgum yang tidak disosoh sebesar 12.7%, sedangkan kadar air sorgum yang disosoh sebesar 12.9%. Kadar air grits sorgum tersebut masuk ke dalam kisaran kadar air yang baik untuk produk ekstrusi. Kisaran penambahan air sebanyak ±70 ml dan ±63 ml (dalam 3 kg grits) dilakukan untuk membuat kadar air bahan grits sorgum sosoh dan tidak sosoh menjadi 15%, sedangkan penambahan air ±100 ml dan ± 93 ml (dalam 3 kg grits) dilakukan untuk membuat kadar air awal bahan grits sorgum sosoh dan tidak sosoh menjadi 16%. Kadar air awal biji sorgum tidak sosoh sebesar 11.42 %, sedangkan kadar air awal biji sorgum yang disosoh sebesar 10.42 %.
3. Penentuan Ekstruder yang Digunakan 3.1. Ekstruder Ulir Tunggal Untuk menghasilkan output produksi yang maksimal pada ekstruder ulir tunggal maka bahan harus dapat bergerak dengan bebas pada permukaan ulir dan menempel sebanyak mungkin pada permukaan barrel. Bentuk bahan sorgum yang digunakan pada penelitian ini yaitu biji sorgum yang tidak disosoh dan biji sorgum yang disosoh. Suhu yang digunakan adalah 100oC, 120 oC, dan 140 oC. Hasil percobaan menggunakan ekstruder ulir tunggal dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil percobaan menggunakan ekstruder ulir tunggal Suhu 100 C 120 oC M M Sosoh M M Tidak Sosoh Keterangan : M = bahan menempel di ulir, ekstruder macet HM = bahan hangus di dalam ulir Bentuk Bahan
o
140 oC HM HM
57
Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan suhu 100 oC baik menggunakan sorgum sosoh maupun tidak sosoh, tidak dapat menghasilkan produk ekstrusi. Biji sorgum menempel pada ulir dan tidak mengalir. Gesekan antara bahan dan ulir serta bahan dengan barrel tidak terjadi karena diameter biji sorgum yang terlalu kecil. Adanya gesekan mempengaruhi drag flow yang dapat mengalirkan bahan menuju cetakan (Pratama, 2007). Hasil penelitian menggunakan suhu 120oC juga memberikan hasil yang tidak berbeda dengan penggunaan suhu 100oC. Bahan yang seharusnya mengalir di dalam ulir tidak dapat mengalir, menempel di ulir sehingga menyebabkan ekstruder macet. Ukuran biji sorgum yang cukup kecil sulit untuk menghasilkan gesekan antara bahan dengan barel dan bahan hanya menempel pada ulir. Akibat sorgum terakumulasi cukup banyak di dalam ulir menyebabkan adanya penumpukan pada ujung cetakan ekstruder. Bahan yang tidak dapat terdorong keluar menuju cetakan dikarenakan terjadinya arus balik yang membuat bahan mengalir kembali ke arah masuk bahan. Ekstruder kemudian berhenti berjalan dan macet total karena bahan terus dipaksa berputar dengan ujung yang sudah menyumbat. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa bahan baik sosoh maupun tidak sosoh yang diberi perlakuan suhu 140oC ketika keluar dari cetakan memberikan penampakan gosong/hangus. Semakin lama proses dijalankan yang terjadi produk yang keluar dari cetakan adalah lelehan produk yang berbau hangus. Proses yang semakin lama menyebabkan semua bahan menjadi gosong dan berubah menjadi cairan panas berbau hangus dan terakumulasi menempel di dalam ulir dan ujung cetakan sehingga yang terjadi ekstruder menjadi macet. Dari hasil percobaan dapat disimpulkan bahwa sorgum tidak dapat dibentuk menjadi produk menggunakan ekstruder collet ulir tunggal. Ukuran biji sorgum yang cukup kecil menyulitkan adanya gesekan biji dengan barel dan kecenderungan biji hanya menempel pada ulir, terakumulasi sehingga menyebabkan penghambatan pada ujung cetakan. Ekstruder ulir tunggal mengandalkan pada drag flow untuk menggerakkan
58
bahan dalam barrel dan menghasilkan tekanan pada cetakan. Agar bahan terdorong maju maka bahan tidak boleh ikut berputar dengan ulir. Jika bahan yang diolah menempel pada ulir dan tergelincir dari permukaan barrel, maka tidak ada produk yang dihasilkan dari ekstruder karena bahan ikut berputar bersama ulir tanpa terdorong ke depan (Pratama, 2007). Biji sorgum sebagai bahan baku pembuatan produk ekstrusi menggunakan ekstruder ulir tunggal tidak dapat digunakan karena bahan ikut berputar bersama ulir walaupun menggunakan suhu yang berbeda-beda. Pergerakan aliran bahan di dalam ekstruder ulir tunggal akibat dari gesekan antara ulir dan dinding barrel. Gesekan biji sorgum dengan barel hampir tidak dapat terjadi karena biji sorgum memiliki diameter cukup kecil, sehingga biji hanya menempel di ulir tanpa mengalir menuju cetakan.
3.2. Ekstruder Ulir Ganda Percobaan selanjutnya adalah menggunakan ekstruder ulir ganda. Beberapa parameter dapat diatur melalui ekstruder ini diantaranya suhu proses, kecepatan putar screw, kecepatan pemasukan bahan dan kecepatan putar pisau. Namun ekstruder ini tidak dilengkapi dengan alat pengukur tekanan sehingga tidak dapat diketahui besar tekanan di dalam laras (barrel) serta tidak dapat mengatur besar tekanan yang diinginkan. Penelitian menggunakan 4 parameter berupa bentuk penyosohan, kadar air, suhu proses, dan kecepatan putar ulir. Hasil percobaan menggunakan ekstruder ulir ganda dapat dilihat pada Tabel 8 berikut. Berdasarkan Tabel 8 , diperoleh hasil bahwa dengan kecepatan ulir 373 rpm, semua produk tidak dapat keluar dari ekstruder pada suhu 130oC dan 140oC, serta hangus pada suhu 150oC. Kecepatan ulir yang terlalu rendah (373Hz) menghasilkan spesifik energi mekanik yang kurang efektif untuk menghasilkan tekanan yang cukup membuat bahan dapat mengembang ketika keluar dari cetakan dan menghasilkan produk ekstrusi.
59
Tabel 8. Hasil percobaan menggunakan ekstruder ulir ganda Bentuk Bahan Sosoh
Kadar Suhu 130 °C air 373 411 467 rpm rpm rpm 13% M M M 15% M SM SM 16% M SM SM
Suhu 140°C Suhu 150°C 373 411 467 373 411 467 rpm rpm rpm rpm rpm rpm M K K H H H M KS KS H KH KH M KK KK H KH KH
Tidak sosoh
13% M M M M K K H H H 15 % M SM SM M KS KS H KH KH 16% M SM SM M KK KK H KH KH Keterangan produk hasil : M = ekstruder berhenti bekerja sebelum produk keluar dari ekstruder (macet) SM = sebagian produk keluar dari cetakan, produk basah, kemudian ekstruder berhenti bekerja (macet) K = sebagian produk keluar dari cetakan, tekstur renyah, kemudian ekstruder berhenti bekerja (macet) KS = produk keluar sebagian dari cetakan, tekstur keras, kemudian ekstruder berhenti bekerja (macet) KK = produk keluar dengan lancar, tekstur keras, ekstruder berhenti bekerja (macet) KH = produk keluar sebagian namun hangus, kemudian ekstuder berhenti bekerja (macet) H = produk hangus di dalam ekstruder, kemudian ekstruder berhenti bekerja (macet) Pada suhu ekstruder 130oC, sebagian besar produk tidak dapat keluar dari cetakan dan macet di dalam ekstruder. Suhu proses yang terlalu rendah menyebabkan pati mengalami gelatinisasi sebagian dan selebihnya terjadi proses peleburan pati (Muchtadi, 1988). Jika proses perubahan tersebut tidak terjadi, bahan akan sulit keluar dari cetakan. Bahan yang seharusnya mengalami pemasakan menjadi bahan yang bersifat plastis/kenyal (Holmes, 2007) tidak terjadi sehingga menyebabkan penumpukan bahan pada ujung cetakan akibat ulir terus mendorong bahan. Penumpukan inilah yang menyebabkan ekstruder berhenti bekerja (macet). Pada kadar air 15% dan 16% dengan kecepatan ulir 411 rpm dan 467 rpm, sebagian produk dapat keluar namun menghasilkan produk yang basah dan tidak mengembang. Ekstuder kemudian berhenti bekerja (macet) setelah sebagian produk tersebut keluar. Pada kondisi kadar air 15% dan 16% dengan 60
suhu 130oC kandungan air yang terkandung di bahan sangat sedikit menguap sehingga produk dihasilkan basah dan tidak membentuk gelembung udara yang akan menyebabkan mengembangnya produk hasil ekstrusi. Bahan yang belum berada di kondisi optimum untuk proses ekstrusi tersebut menyebabkan penyumbatan pada ujung cetakan sehingga terjadi penumpukan bahan pada ujung cetakan dan ekstruder berhenti bekerja (macet). Semua produk dengan suhu 150oC menghasilkan produk yang hangus/gosong. Hal ini dikarenakan suhu proses yang terlalu tinggi menyebabkan produk yang dihasilkan hangus di dalam ekstruder walaupun ada sebagian produk yang dapat keluar namun produk yang dihasilkan gosong (kecepatan ulir 411 rpm dan 467 rpm) Suhu 140oC dengan kecepatan putar ulir 411 rpm dan 467 rpm dapat menghasilkan produk ekstrusi yang cukup mengembang. Kadar air 13% menghasilkan produk ekstrusi dengan tekstur renyah dan mengembang. Namun sebelum seluruh bahan keluar, ekstruder berhenti bekerja. Kadar air yang cukup rendah menyebabkan pemasakan adonan terjadi di dalam ekstruder. Produk menjadi matang di dalam ulir yang dapat menyebabkan penyumbatan pada ujung ulir. Hal ini menyebabkan ekstruder berhenti bekerja sebelum seluruh produk keluar. Peningkatan suhu yang tajam sesaat sebelum bahan keluar dari bagian die yang diikuti oleh penurunan suhu yang cepat setelah bahan keluar dari die akan menyebabkan terjadinya pengembangan adonan makanan yang diekstrusi (Baianu, 1992). Kadar air 15% dan 16% dapat menghasilkan produk ekstrusi namun dengan tekstur yang dihasilkan basah. Saat didiamkan pada suhu ruang, tektur produk menjadi semakin keras. Pada kadar air 15%, ekstruder berhenti bekerja sebelum semua produk keluar dari cetakan, sedangkan pada kadar air 16%, produk dapat keluar dengan lancar dari cetakan. Dari penelitian pendahuluan diperoleh kondisi proses yang dapat memberikan produk dengan tekstur yang baik (renyah) adalah dengan kadar air 13%, suhu 140oC dan kecepatan putar ulir 411 rpm dan 467 rpm. Namun ekstruder berhenti bekerja (macet) sebelum seluruh produk keluar dari cetakan. Penambahan pelumas dapat digunakan untuk melicinkan ulir dan
61
menyebabkan proses ekstrusi berjalan lancar. Menurut Ahza (1996) yang diacu oleh Melianawati (1998), jika lemak berada dalam kondisi bebas (tidak terikat dengan bahan lain), maka ia dapat berfungsi sebagai pelumas dalam laras dengan cara mengurangi konversi energi mekanis. Selama proses ekstrusi, lemak bersama pati akan membentuk struktur baru , yaitu kompleks antara amilosa dan asam oleat (Polina, 1995). Struktur
baru
pengembangan
yang
terbentuk
dari
produk
tersebut ekstrusi
dapat sehingga
mengurangi harus
derajat
diminimalir
penggunaannya. Selain itu, penambahan lemak yang terlalu banyak dapat membuat penampakan dari ekstrudat yang berminyak. Lemak yang digunakan pada penelitian ini adalah margarin yang bertujuan selain sebagai pelumas juga digunakan untuk memperbaiki cita rasa dan aroma produk. Penggunaan minyak yang memiliki fraksi oleat lebih banyak dibandingkan margarin menghasilkan produk dengan derajat pengembangan lebih rendah dibandingkan menggunakan margarin. Adanya emulsifier pada margarin dapat
memperbaiki
karakteristik
produk
dengan
membantu
proses
pengembangan dan menghasilkan tekstur produk yang lebih kering dibandingkan dengan menggunakan minyak pada konsentrasi yang sama. Penambahan margarin diusahakan seminimal mungkin agar produk yang dihasilkan tidak memberikan penampakan berminyak. Hasil percobaan menggunakan margarin ditunjukan pada Tabel 9 berikut.
Tabel 9. Pengaruh penambahan margarin terhadap ekstrudat Perlakuan
Penambahan Margarin (per 3 kg bahan) 1.67%
3,33%
5,00%
sosoh
M
L
L
tidak sosoh
M
L
L
Keterangan: M = ekstruder berhenti bekerja sebelum bahan keluar seluruhnya (macet) L = ekstruder bekerja dengan lancar hingga bahan keluar seluruhnya (lancar)
62
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa dengan penambahan margarin sebanyak 1.67 % (50 gram dalam 3 kg bahan) produk masih belum seluruhnya dapat keluar dari ekstruder. Penambahan margarin sebanyak sebesar 3.3 % (100 gram dalam 3 kg bahan) dan 5 % (150 gram dalam 3 kg bahan) menghasilkan produk yang dapat keluar dengan lancar dari ekstruder. Namun penambahan margarin sebanyak 5% menyebabkan penampakan dari produk yang berminyak. Oleh karena itu, diperoleh optimasi penambahan margarin yang diperlukan sebanyak 3.33% atau 100 gram dalam 3 kg bahan grits sorgum. Dari hasil penelitian pendahuluan dapat diketahui bahwa bahan baku grits sorgum dapat menghasilkan produk ekstrusi menggunakan ekstruder ulir ganda. Adapun hasil yang diperoleh untuk kondisi optimum proses ekstrusi ialah: Kecepatan ulir
: 22 Hz (411 rpm) dan 25 Hz (467 rpm)
Kecepatan pemasukan bahan
: 21 Hz (392 rpm) dan 24 Hz (448 rpm)
Kadar air
: 13%
Suhu
: T1=70oC; T2=100oC; T3=140oC
Kecepatan pisau
: 17-18 Hz
B. PENELITIAN UTAMA Proses ekstrusi pada penelitian utama dilakukan menggunakan ekstruder ulir ganda dengan kondisi proses optimum yang diperoleh dari penelitian pendahuluan. Empat produk dapat dihasilkan menggunakan ekstruder ulir ganda diantaranya produk A (ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan ulir ekstruder 411 rpm), produk B (ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan ulir ekstruder 467 rpm), produk C (ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan ulir ekstruder 411 rpm) dan produk D (ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan ulir ekstruder 467 rpm) Secara umum, produk ekstrusi yang dihasilkan memiliki tekstur renyah, mengembang, berwarna putih hingga putih kecoklatan, dan berbentuk
63
agak lonjong sesuai dengan cetakan. Produk yang diperoleh dari proses ekstrusi selanjutnya dilakukan analisis fisik dan penentuan produk terbaik. Ekstrudat terbaik dipilih berdasarkan kombinasi skor tertinggi dari uji organoleptik dan aktifitas antioksidan. Produk terbaik kemudian dilakukan analisis proksimat, serat pangan dan kadar mineral (Ca, Fe, dan Zn).
1. Uji Organoleptik Penilaian organoleptik (daya terima) banyak digunakan untuk menilai mutu komoditas hasil pertanian dan makanan. Penilaian cara ini sering dilakukan karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Uji organoleptik yang digunakan adalah uji kesukaan/hedonik. Uji hedonik merupakan pengujian yang paling banyak digunakan untuk mengukur tingkat kesukaan terhadap produk. Tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik. Panelis diminta untuk menilai keempat produk ekstrusi yang dihasilkan yaitu produk A, B, C, dan D, dari tingkat sangat tidak disukai (nilai 1) hingga sangat disukai (nilai 5) pada uji rating hedonik dengan tanpa membandingkan karakteristik antar produk. Karakteristik sensori yang diujikan melalui uji rating hedonik adalah rasa, aroma, teksur, dan kelengketan di mulut. Hasil rekapitulasi data uji
rating
hedonik
yang
diperoleh
tersebut
kemudian
dianalisis
menggunakan uji ragam ANOVA dan uji lanjut Duncan Test. Hasil uji rating hedonik ini bertujuan untuk menyeleksi dan mendapatkan produk terbaik berdasarkan penerimaan sensori yang selanjutnya dibandingkan dengan aktivitas antioksidan. 1.1. Rasa Rasa merupakan faktor yang menentukan tingkat kesukaan konsumen pada produk pangan. Atribut rasa meliputi asin, asam, manis, pahit, dan umami. Sebagian dari atribut ini dapat terdeteksi pada kadar yang sangat rendah. Rasa dinilai dengan adanya tanggapan rangsangan kimiawi oleh indra pencicip (lidah) dan merupakan faktor yang paling penting dalam keputusan terakhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu makanan. 64
Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa skor kesukaan tertinggi untuk parameter rasa adalah produk B sebesar 3.13. Produk A, C dan D memiliki skor kesukaan lebih rendah yaitu 2.97, 2.73 dan 2.73. Ketiganya berada pada taraf tidak suka hingga netral. Hasil uji rating hedonik terhadap atribut rasa ekstrudat dapat dilihat pada Gambar 15. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kesukaan dalam hal atribut rasa antar ekstrudat pada taraf signifikansi 0.05. Produk B berbeda nyata dalam hal rasa dengan produk C dan D pada taraf signifikansi 0.05. Produk A dan B tidak berbeda nyata dalam hal rasa pada taraf signifikansi 0.05. Produk C dan D juga menunjukan hal serupa, keduanya tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 0.05. Hasil analisis ragam terhadap data rating hedonik atribut rasa dapat dilihat pada Lampiran 9. Secara umum ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak disosoh dalam hal atribut rasa. Menurut Suarni (2004) kandungan
tanin
menurun
drastis
setelah
penyosohan.
Tanin
menyebabkan rasa sepat sehingga tidak disukai konsumen (Suarni, 2004). Rasa ekstrudat yang menggunakan sorgum tidak mengalami penyosohan agak pahit dibandingkan ekstrudat yang berasal dari sorgum sosoh. Rasa pahit tersebut disebabkan adanya tanin yang lebih banyak pada esktrudat yang tidak disosoh.
65
Uji Rating Hedonik Rasa 4.00 3.50
2.97ab
3.13a
Skala Hedonik
3.00
2.73b
2.73b
C
D
2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 A
B
Perlakuan
Keterangan : A : ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm B : ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 467 rpm C : ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm D : ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 467 rpm Gambar 15. Skor kesukaan panelis terhadap atribut rasa ekstrudat Kecepatan ulir ekstruder yang digunakan tidak memberi pengaruh signifikan terhadap kesukaan rasa ekstrudat yang dihasilkan. Hal ini ditunjukan pada gambar 15, ekstrudat dengan perlakuan penyosohan yang sama namun dengan perlakuan kecepatan ulir ekstruder yang berbeda, tidak memberikan perbedaan nyata terhadap kesukaan panelis dalam hal atribut rasa. Berdasarkan atribut rasa, perlakuan penyosohan pada bahan baku sorgum yang digunakan dan kecepatan ulir ekstruder yang berbeda mempengaruhi penilaian panelis terhadap atribut rasa dari keempat ekstrudat. Ekstrudat yang dihasilkan menggunakan sorgum yang disosoh memberikan penerimaan rasa yang lebih baik dibandingkan ekstrudat yang dihasilkan menggunakan sorgum yang tidak disosoh. 66
1.2 Warna Penampakan produk pangan disukai atau tidak salah satunya melalui penampakan visual berupa warna. Produk ekstrusi yang dihasilkan berwarna putih hingga putih kecoklatan. Warna produk berasal dari warna asal bahan baku dan warna yang ditimbulkan akibat reaksi Mailard yang terjadi saat pemasakan produk. Hasil organoleptik kesukaan atribut warna menunjukan produk C, D dan A berturut-turut berada pada kisaran skor tidak suka hingga netral (skor 2.77, 2.80 dan 2.93), sedangkan produk B memiliki skor tertinggi 3.03 yang berada pada skor kisaran netral hingga disukai. Nilai skor produk yang menggunakan bahan baku sorgum sosoh secara umum lebih besar dari produk yang menggunakan bahan baku sorgum tidak disosoh. Hasil uji rating hedonik terhadap atribut warna dapat dilihat pada Gambar 16. Hasil analisis ragam menunjukan tidak terdapat perbedaan kesukaan yang nyata dalam hal atribut warna di antara keempat ekstrudat pada taraf signifikansi 0.05. Hasil analisis ragam terhadap data rating hedonik atribut warna dapat dilihat pada Lampiran 10. Warna ekstrudat yang berasal dari bahan baku sorgum yang disosoh lebih putih dibandingkan warna ekstrudat yang berasal dari bahan baku sorgum yang tidak disosoh yang berwarna lebih cokelat. Penyosohan menghilangkan sebagian besar lapisan kulit ari dari sorgum (Suarni, 2004) dan memberikan penampakan biji yang lebih putih. Biji sorgum sebelum disosoh memberikan penampakan berwarna putih agak kecoklatan sehingga berpengaruh terhadap produk akhir yang berwarna agak cokelat. Secara umum panelis lebih menyukai ekstrudat yang berasal dari sorgum yang disosoh dalam hal atribut warna karena warna ekstrudat yang berasal dari sorgum tidak disosoh lebih coklat dibandingkan sorgum yang disosoh (lebih putih).
67
Uji Rating Hedonik Warna 4.00
Skala Hedonik
3.50
2.93a
3.03a
A
B
3.00
2.77a
2.80a
C
D
2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
Perlakuan
Keterangan : A : ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm B : ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 467 rpm C : ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm D : ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 467 rpm Gambar 16 Skor kesukaan panelis terhadap atribut warna ekstrudat
Berdasarkan atribut warna, panelis memberikan penilaian yang tidak berbeda nyata terhadap keempat ekstrudat. Perlakuan penyosohan pada bahan baku sorgum yang digunakan dan kecepatan ulir ekstruder yang berbeda tidak mempengaruhi penilaian panelis terhadap atribut warna dari keempat ekstrudat.
1.3. Tekstur Tekstur merupakan salah satu parameter kritis pada penerimaan keseluruhan suatu produk pangan. Tekstur merupakan salah satu atribut paling penting pada produk ekstrusi berupa makanan ringan.
68
Hasil
organoleptik
kesukaan
atribut
tekstur
menunjukan
penerimaan keempat produk terletak pada kisaran netral-suka (3.1-3.63). Produk B dan D memiliki skor yang paling disukai panelis yaitu 3.63, sedangkan produk A dan C memiliki skor penerimaan terendah yaitu 3.1. Hasil uji rating hedonik terhadap atribut tekstur dapat dilihat pada Gambar 17. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antar produk dalam hal atribut tekstur pada taraf signifikansi 0.05. Produk C berbeda nyata dengan produk A, B dan D dalam hal atribut tekstur pada taraf signifikansi 0.05. Hasil analisis ragam terhadap data rating hedonik atribut tekstur dapat dilihat pada Lampiran 11. Perlakuan penyosohan pada bahan baku sorgum dan kecepatan ulir ekstruder berpengaruh terhadap tekstur (kerenyahan) ekstrudat yang dihasilkan. Namun panelis menilai ekstrudat yang berasal dari sorgum sosoh dan tidak sosoh dengan kecepatan ulir ekstruder 467 rpm (produk B dan D) pada taraf tingkat kesukaan yang sama. Panelis memberikan penilaian yang lebih rendah pada ekstrudat yang berasal dari sorgum tidak sosoh dengan kecepatan ulir 411 rpm (produk C). proses ekstrusi dengan kecepatan ulir ekstruder yang lebih tinggi menghasilkan produk yang lebih mekar dan lebih renyah dibandingkan kecepatan putar ulir lebih rendah. Hal inilah yang menyebabkan panelis lebih menyukai tekstur produk yang dihasilkan pada proses ekstrusi dengan kecepatan ulir ektruder lebih tinggi. Penelitian Apriani (2009) juga menunjukan pengaruh kecepatan ulir yang lebih tinggi menghasilkan ekstrudat yang lebih mekar dan renyah.
69
Uji Rating Hedonik Tekstur
Skala Hedonik
4.00
3.5a
3.63a
3.63a
3.50
3.1b
3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 A
B
C
D
Perlakuan
Keterangan : A : ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm B : ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 467 rpm C : ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm D : ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 467 rpm Gambar 17. Skor kesukaan panelis terhadap atribut tekstur ekstrudat
Berdasarkan atribut tekstur, dapat disimpulkan bahwa perlakuan penyosohan sorgum dan kecepatan putar ulir ekstruder mempengaruhi tekstur secara subjektif terhadap ekstrudat yang dihasilkan.
1.4. Kelengketan di Mulut Kelengketan di mulut merupakan salah satu atribut penting dalam produk ekstrusi terutama makanan ringan. Produk yang terlalu lengket di mulut menyebabkan tingkat kesukaan konsumen semakin menurun. Kelengketan produk di mulut erat kaitannya dengan tingkat kelarutan dan penyerapan air ketika produk di dalam mulut. Hasil organoleptik kesukaan atribut kelengketan menunjukan produk A, B, C dan D berada pada kisaran skor netral hingga suka (skor
70
3.1, 3.03, 3.2 dan 3.17). Hasil uji rating hedonik terhadap kelengketan di mulut dapat dilihat pada Gambar 18. Hasil analisis ragam menunjukan tidak terdapat perbedaan kesukaan yang nyata pada produk A, B, C, dan D, dalam hal kelengketan pada taraf signifikansi 0.05. Hasil analisis ragam terhadap data rating hedonik atribut kelengketan dapat dilihat pada Lampiran 12.
Skala Hedonik
Uji Rating Hedonik Kelengketan di Mulut 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
3.1a
3.03a
3.2a
3.17a
A
B
C
D
Produk
Keterangan : A : ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm B : ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 467 rpm C : ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm D : ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 467 rpm Gambar 18. Skor kesukaan panelis terhadap atribut kelengketan di mulut ekstrudat
Kelengketan produk ektrusi di mulut berhubungan dengan kemampuan ekstrudat untuk menyerap air (indeks penyerapan air) (Melianawati, 1998). Penyerapan air yang lebih tinggi ketika produk berada di dalam mulut menyebabkan produk lebih lengket di mulut. Dengan semakin rendahnya indeks penyerapan air maka gaya adhesi antara produk dan air liur akan semakin rendah, sehingga produk akan 71
tetap lebih kompak atau tidak lengket ketika bersinggungan dengan benda lain. Dalam hal ini ektrudat dengan mulut panelis ketika ekstrudat ditelan tidak meninggalkan sisa di mulut. Gomez dan Aguilera (1983) menyatakan di samping mengalami proses gelatinisasi selama proses ekstrusi juga terjadi dekstrinisasi. Pati yang tergelatinisasi yang selanjutnya mengalami dekstrinisasi berperan dalam kelarutan di dalam air. Uji organoleptik terhadap atribut kelengketan menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata antar ekstrudat. Skor penerimaan keempat ekstrudat yang di atas 3 (skor netral hingga suka) menunjukan secara umum panelis menyukai kelengketan di mulut ekstrudat. Pengukuran indeks kelarutan dan penyerapan air dapat dilakukan untuk melihat pengaruh kelengketan (objektif) dan pemasakan dari setiap ekstrudat. Berdasarkan atribut kelengketan di mulut, panelis memberikan penilaian yang tidak berbeda nyata terhadap keempat ekstrudat. Perlakuan penyosohan pada bahan baku sorgum yang digunakan dan kecepatan ulir ekstruder yang berbeda tidak mempengaruhi penilaian panelis terhadap atribut kelengketan dari keempat ekstrudat.
2.
Analisis Antioksidan (Uji DPPH) Pengujian aktivitas antioksidan dilakukan dengan menggunakan
metode DPPH (1,1-diphenyl1-2-picryl1-hidrazyl). Metode ini dikenal memiliki kepraktisan pelaksanaan dan waktu yang relatif cepat. DPPH (2,2dyphenyl-1-picrylhydrazil) merupakan senyawa radikal bebas yang stabil dalam larutan metanol yang berwarna ungu tua. Asam askorbat digunakan sebagai standar pada penelitian ini. Hasil pengujian dibaca sebagai mg vitamin C equivalen/g sampel, dimana nilai tersebut menunjukkan kesetaraan aktivitas antioksidan 1 gram produk ekstrusi dengan vitamin C. Vitamin C digunakan sebagai pembanding terhadap aktivitas antioksidan dari ekstrak ekstrusi, dimaksudkan untuk mengetahui perbandingan kemampuan antioksidan ekstrak bila dinyatakan dalam daya peredaman
72
radikal bebas oleh vitamin C. Semakin tinggi konsentrasi dari vitamin C, semakin rendah nilai absorbansinya. Hasil analisis aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak disosoh (produk C dan D) memiliki aktivitas antioksidan yaitu 0,81 mg vitamin C eq/g produk dan 0,85 mg vitamin C eq/g produk lebih tinggi dibandingkan ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh (produk A dan B) yang memberikan aktivitas antioksidan 0,59 mg vitamin C eq/g produk dan 0,62 mg vitamin C eq/g produk. Nilai aktivitas antioksidan tertinggi ada pada produk C dan nilai aktivitas antioksidan terendah ada pada produk B. Hasil aktivitas antioksidan keempat produk ditunjukan pada Gambar 19.
Aktivitas Antioksidan 1.00 0.85
Aktivitas Antioksidan (mg AEAC/g produk)
0.90
0.81
0.80 0.70
0.62
0.60
0.59
0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 A
B
C
D
Perlakuan Keterangan : A : ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm B : ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 467 rpm C : ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm D : ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 467 rpm Gambar 19. Aktivitas antioksidan berbagai perlakuan
73
Ekstrudat yang berasal dari sorgum yang disosoh memiliki nilai aktivitas antioksidan yang lebih rendah dibandingkan yang berasal dari sorgum yang tidak disosoh, sedangkan proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder yang lebih tinggi menghasilkan ekstrudat dengan nilai aktivitas antioksidan yang lebih rendah dibandingkan kecepatan putar ulir yang lebih rendah. Adanya penurunan aktivitas antioksidan sorgum setelah disosoh tersebut diduga karena ikut terbuangnya komponen fenolik pada bagian kulit. Menurut Suarni (2004), proses penyosohan pada biji sorgum menyebabkan terlepasnya lapisan pericarp, testa, sebagian besar lapisan aleuron dan embrio sehingga secara tidak langsung mengikis pula berbagai komponen gizi dan komponen bioaktif sorgum. Hal ini dipertegas oleh Earp et al (2004) yang menyatakan bahwa senyawa fenolik golongan tanin pada sorgum yang memiliki aktivitas antioksidan berada pada lapisan testanya. Kandungan senyawa fenolik golongan tanin yang terdapat pada lapisan testa dan perikarp biji sorgum kadarnya cukup tinggi yaitu berkisar antara 3,675,4% (Rooney et al., 1980). Oleh karena itu adanya proses penyosohan dapat menyebabkan penurunan aktivitas antioksidan karena banyak terbuangnya bagian kulit dimana banyak terdapat komponen fenolik yang berperan sebagai antioksidan. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian Dykes dan Rooney (2006) yang melaporkan bahwa komponen fenolik pada sorgum selain berada pada endosperm juga berada pada bagian kulit, yaitu pada bagian perikarp dan testa. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yanuar (2009) menunjukan hasil serupa yang menunjukan bahwa nilai aktifitas antioksidan sorgum yang tidak disosoh lebih tinggi dibandingkan nilai aktifitas antioksidan sorgum yang disosoh. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa kecepatan putar ulir yang lebih tinggi menyebabkan nilai aktivitas antioksidan lebih rendah. Kecepatan putar ulir yang lebih tinggi menyebabkan gesekan antara bahan dengan bahan dan bahan dengan barrel semakin tinggi sehingga mengakibatkan
peningkatan
konsumsi
energi
dalam
proses
yang
74
menimbulkan panas. Kecepatan putar ulir yang lebih tinggi menimbulkan panas yang tinggi antar partikel bahan. Hal ini berpengaruh terhadap komponen fenol yang terkandung pada sorgum (tanin) yang sensitif terhadap adanya panas maka sehingga menyebabkan degradasi senyawa aktif yang terkandung di tanin semakin besar dan bersinergis terhadap penurunan nilai aktivitas antioksidan. Kecepatan ulir yang lebih tinggi menghasilkan residence time lebih rendah (Davidson et al., 1983). Residence time yang lebih tinggi menyebabkan panas yang mengenai bahan akan lama dibandingkan residence time yang rendah. Namun pengaruh gesekan antar bahan dan dengan barel menimbulkan panas yang memberikan penurunan aktivitas antioksidan lebih signifikan dibandingkan pengaruh residence time dengan suhu proses pada penelitian dijaga pada 140 oC. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Miller (2004) yang menyatakan bahwa kecepatan ulir yang lebih tinggi menghasilkan gesekan yang tinggi sehingga menghasilkan suhu yang tinggi selama produksi. Berdasarkan
hasil
penelitian
dapat
disimpulkan
pengaruh
kecepatan ulir yang lebih tinggi dan pengaruh penyosohan menurunkan aktifitas antioksidan dari produk. Jika dibandingkan dengan produk pangan lain, nilai antioksidan dari ekstrudat yang berasal dari sorgum yang tidak disosoh mendekati nilai antioksidan dari sukun per 100 gram produk (80 mg ekivalen vit C/100 gram produk), sedangkan ekstrudat yang berasal dari sorgum yang disosoh memiliki nilai antioksidan yang mendekati nilai antioksidan dari arbei per 100 gram produk (60 mg ekivalen Vit C/ 100 gram produk) (Persagi, 2009).
3. Analisis Fisik Analisis fisik meliputi water absorption index, water solubility index, kekerasan (objektif), derajat gelatinisasi, dan rasio pengembangan. 3.1. Water Absorption Index (WAI) Water Absorption Index (WAI) ialah berat gel yang diperoleh per gram bahan yang tidak larut. Secara umum, nilai WAI berbanding 75
terbalik dengan Water Solubility Index (WSI). WAI dan WSI menunjukan indikator fungsional derajat pemasakan ekstrudat. Nilai Water Absorption Index (WAI) ekstrudat berbagai perlakuan ditunjukan pada Gambar 20. Berdasarkan hasil analisis, WAI ekstrudat berkisar antara 1,15 ml/g sampai 3,79 ml/g. Produk B memiliki nilai WAI terendah sebesar 1,15 ml/g, sedangkan produk C memiliki nilai WAI terbesar sebesar 3,79 ml/g.
Water Absorption Index Water Absorption Index (ml/g)
4.50 4.00
3.90
3.79
C
D
3.50 3.00 2.50 2.00
1.85
1.50
1.15
1.00 0.50 0.00 A
B
Perlakuan
Keterangan : A : ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm B : ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 467 rpm C : ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm D : ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 467 rpm Gambar 20. Water absorption index ekstrudat berbagai perlakuan Pengaruh proses ekstrusi pada kecepatan ulir yang lebih tinggi mempengaruhi nilai WAI yang semakin rendah. Hal ini dikarenakan pada kecepatan ulir yang lebih tinggi depolimerisasi rantai pati lebih banyak terjadi yang menyebabkan semakin banyak pati yang terlarut.
76
Semakin banyak pati yang terlarut menyebabkan penurunan nilai WAI dan peningkatan nilai WSI (Wulandari, 1997). Penelitian produk ekstrusi yang dilakukan oleh Apriani (2009) juga menunjukan pada kecepatan putaran ulir yang lebih tinggi nilai WAI lebih rendah daripada pada produk yang menggunakan kecepatan ulir lebih rendah. Nilai
WAI
mengalami
penurunan
pada
ekstrudat
yang
menggunakan sorgum yang disosoh dibandingkan dengan sorgum yang tidak disosoh. Sorgum yang mengalami perlakuan sosoh memiliki kandungan pati yang lebih banyak dan kandungan lemak yang lebih sedikit dibandingkan sorgum yang tidak disosoh (Suarni, 2004). Semakin meningkat jumlah pati yang tergelatinisasi pada proses ekstrusi (suhu dan tekanan tinggi) menyebabkan semakin banyak pati yang mengalami dekstrinisasi. Pati yang lebih banyak tersebut berkontribusi terhadap semakin banyak pati yang terdekstrinisasi. Pati yang terdekstrinisasi ini yang berperan dalam penyerapan air. Semakin banyak pati yang terlarut menyebabkan penurunan nilai WAI dan peningkatan nilai WSI. Selain itu, kandungan lemak yang lebih tinggi berkontribusi terhadap penghambatan penyerapan air. Lemak membentuk lapisan pada bagian luar granula pati dan sekaligus menghambat penetrasi air ke granula (Polina, 1995 ). Penyosohan juga akan mengurangi kandungan lemak di dalam sorgum. Lemak akan membentuk suatu lapisan pada bagian luar granula pati dan sekaligus akan menghambat penetrasi air ke dalam granula. Penetrasi air yang lebih sedikit akan menghasilkan gelatinisasi yang rendah sehingga depolimerisasi partikel pati akan menurun. Berdasarkan
hasil
penelitian
dapat
disimpulkan
bahwa
peningkatan kecepatan ulir ekstruder dan perlakuan penyosohan terhadap bahan baku sorgum menyebabkan penurunan nilai WAI ekstrudat.
3.2. Water Solubility Index (WSI) Water Solubility Index (WSI) mengekspresikan persentase bahan kering yang diperoleh kembali dengan evaporasi supernatan dari perhitungan WAI dan hal ini berhubungan dengan jumlah molekul
77
terlarut. Keuntungan penggunaan WSI sebagai pengukuran degradasi adalah berkorelasi dengan ukuran molekul yang rendah dan derajat exodegradasi. WSI berkorelasi positif dengan derajat gelatinisasi. Menurut Rzedzicki et al., (2004), nilai WSI dipengaruhi oleh parameter proses, seperti kelembaban bahan dan temperatur ekstrusi. Peningkatan kelembaban bahan mentah menghasilkan viskositas yang lebih rendah pada massa liquid pemasakan ekstrusi yang selanjutnya mempengaruhi intensitas tekanan dalam proses yang semakin menurun sehingga menurunkan derajat dekstrinisasi polimer pati yang berkorelasi terhadap penurunan nilai WSI. Kadar air bahan pada penelitian ini ditetapkan sebesar 13 % dan suhu proses dikunci pada suhu 140oC sehingga kelembaban bahan serta suhu proses bukan faktor yang signifikan mempengaruhi hasil perhitungan nilai WSI pada penelitian ini. Hasil analisis menunjukan nilai Water Solubility Index (WSI) ekstrudat berkisar antara 0.036 g/2ml hingga 0.070 g/2ml. Nilai WSI tertinggi diperoleh pada produk B sedangkan nilai WSI terendah diperoleh produk C. Nilai Water Solubility Index (WSI) ekstrudat berbagai perlakuan ditunjukan pada Gambar 21. Ekstrudat yang berasal dari bahan baku sorgum yang disosoh memiliki nilai WSI lebih tinggi dibandingkan dengan sorgum yang tidak disosoh, sedangkan proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder yang lebih tinggi menghasilkan nilai WSI yang juga lebih tinggi dibandingkan kecepatan putar ulir yang lebih rendah.
78
Water Solubility Index Water Solubility Index (g/2ml)
0.080
0.070
0.070 0.060
0.058
0.050
0.042 0.036
0.040 0.030 0.020 0.010 0.000 A
B
C
D
Perlakuan
Keterangan : A : ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm B : ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 467 rpm C : ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm D : ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 467 rpm Gambar 21. Water solubility index ekstrudat berbagai perlakuan
Hasil penelitian menunjukan bahwa semakin meningkatnya kecepatan putar ulir ekstruder, nilai WSI semakin besar. Lamanya waktu bahan berada dalam ekstruder bersamaan dengan pengaruh tekanan dan suhu tinggi, serta kekuatan aliran dapat memperkuat depolimerisasi rantai pati yang mengkontribusi peningkatan nilai WSI. Proses depolimerisasi terjadi lebih kuat pada kecepatan putar ulir ekstruder yang lebih tinggi menyebabkan peningkatan nilai WSI dibandingkan dengan sampel yang diekstrusi dengan kecepatan ulir yang lebih rendah (Rzedzicki et al., 2004). Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Lin et al., (2002) dan Apriani (2009) yang menunjukan hasil serupa yaitu nilai WSI meningkat dengan peningkatan kecepatan ulir.
79
Ekstrudat yang berasal dari sorgum yang mengalami penyosohan memiliki nilai WSI yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrudat sorgum yang tidak mengalami penyosohan. Proses penyosohan pada biji sorgum menyebabkan terlepasnya lapisan pericarp, testa, sebagian besar lapisan aleuron dan embrio sehingga secara tidak langsung mengikis pula berbagai komponen gizi dan komponen bioaktif sorgum (Suarni, 2004). Sorgum sosoh memiliki kandungan pati lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan pati yang tidak disosoh (Suarni, 2004). Gomez dan Aguilera (1983) menyatakan di samping mengalami proses gelatinisasi selama proses ekstrusi juga terjadi dekstrinisasi. Bahwa yang berperan di dalam WSI adalah pati yang tergelatinisasi yang selanjutnya mengalami dekstrinisasi. Pati yang cenderung lebih banyak pada perlakuan penyosohan berkorelasi positif terhadap semakin banyaknya pati yang terdekstrinisasi sehingga meningkatkan nilai WSI. Sorgum mengandung serat tidak larut dalam jumlah tinggi, sedangkan kandungan serat larut dan β-glucan cukup rendah (Rooney dan Serna, 2000). Karena serat banyak terbuang pada sorgum sosoh, meningkatkan kandungan bahan yang larut pada sorgum sosoh. Hal ini mempengaruhi peningkatan WSI pada ekstrudat yang berasal dari sorgum sosoh. Berdasarkan
hasil
penelitian
dapat
disimpulkan
bahwa
peningkatan kecepatan ulir ekstruder dan perlakuan penyosohan terhadap bahan baku sorgum menyebabkan peningkatan nilai WSI ekstrudat.
3.3. Tekstur (kekerasaan objektif) Kekerasan merupakan daya tahan bahan untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan. Sifat keras untuk menyatakan sifat benda atau produk pangan padat yang tidak bersifat deformasi. Tekstur produk merupakan salah satu atribut sensori terpenting pada produk ekstrusi (Muchtadi et al., 2008). Tekstur berperan penting dalam penerimaan keseluruhan dari sebuah produk pangan dan merupakan kriteria penting bagi konsumen untuk menyatakan mutu dan kesegaran dari produk pangan, termasuk pada makanan ringan ekstrudat. Makanan ringan yang
80
disukai adalah makanan ringan yang bertekstur renyah, garing, tidak keras, dan tidak melempem. Menurut Tripalo et al., (2006) kelembaban bahan, kecepatan ulir, dan temperatur mempengaruhi kekerasan ekstrudat. Kelembaban memiliki efek paling signifikan terhadap kekerasan produk, namun ratarata kecepatan pemasukan bahan (feeder) tidak memberi efek signifikan pada kekerasan produk ekstrudat. Kekerasan meningkat seiring peningkatan kadar air bahan. Hal ini dikarenakan pengurangan pengembangan disebabkan peningkatan kelembaban. Berdasarkan hasil analisis menggunakan texture analyzer, nilai kekerasan produk ekstrudat bervariasi antara 2.22 Kgf hingga 3.35 Kgf. Nilai kekerasan tertinggi diperoleh pada produk C sedangkan nilai kekerasan terendah diperoleh pada produk B. Tekstur (kekerasan) ekstrudat berbagai perlakuan dapat dilihat pada Gambar 22 Penggunaan bahan baku sorgum yang disosoh dan tidak disosoh serta kecepatan ulir yang berbeda mempengaruhi kekerasan ekstrudat yang dihasilkan. Ekstrudat yang berasal dari sorgum yang disosoh memiliki nilai kekerasan yang lebih rendah dibandingkan dengan ekstrudat yang menggunakan sorgum yang tidak disosoh, sedangkan ekstrudat dengan kecepatan putar ulir yang lebih tinggi menghasilkan tingkat kekerasan lebih rendah dibandingkan ekstrudat dengan kecepatan putar ulir yang lebih rendah.
81
Kekerasan (objektif) 4.00 3.35
3.50 Kekerasan (Kgf)
3.00
3.08
2.83
2.50
2.22
2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 A
B
C
D
Perlakuan
Keterangan : A : ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm B : ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 467 rpm C : ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm D : ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 467 rpm Gambar 22. Nilai kekerasan (objektif) berbagai perlakuan Kecepatan putar ulir yang lebih tinggi menghasilkan produk yang lebih mekar dan porous sehingga kekerasan produk lebih menurun. Kekerasan yang menurun tersebut menyebabkan kerenyahan produk semakin baik. Menurut Tripalo et al.,(2006), kecepatan ulir dan temperatur memiliki efek negatif terhadap kekerasan. Peningkatan kecepatan ulir menurunkan nilai kekerasan produk. Kecepatan putar ulir yang lebih cepat membentuk tekstur produk yang lebih mekar sehingga kekerasan berkurang. Penelitian sejenis produk ektrusi yang dilakukan oleh Apriani (2009) menunjukan hasil serupa yaitu dengan meningkatnya kecepatan ulir, tekstur kekerasan produk ekstrusi mengalami penurunan.
82
Proses penyosohan mengikis lapisan kulit ari yang mengandung berbagai komponen gizi. Dykes dan Rooney (2006) menyatakan bahwa pada bagian kulit ari dari sorgum terdapat berbagai komponen gizi seperti lemak, protein, vitamin dan mineral. Selain itu, kandungan serat paling banyak juga terdapat pada lapisan kulit ari (FAO, 2010). Sorgum yang mengalami penyosohan memiliki kandungan serat dan protein yang lebih rendah dibandingkan produk yang tidak mengalami penyosohan (Suarni, 2004). Menurut Noguchi et al,. (1981) dengan adanya protein akan terbentuk matriks pada produk ekstrusi yang menyerupai serat dan dapat meningkatkan kekerasan produk ekstrusi. Serat mengurangi pengembangan produk ekstrusi dan dapat bertindak sebagai bulking agent (Huber, 2001). Peningkatan lemak dan serat kasar menyebabkan produk ekstrusi cenderung untuk tidak mengembang sehingga tekstur yang dihasilkannya keras dan tidak porous. Produk yang kurang mengembang cenderung akan membentuk teksur yang lebih padat dan tidak mekar sehingga produk akan lebih keras. Oleh karena itu, penggunaan sorgum yang disosoh menyebabkan nilai kekerasan dari ekstrudat yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan estrudat yang berasal dari sorgum yang tidak disosoh. Berdasarkan
hasil
penelitian
dapat
disimpulkan
bahwa
peningkatan kecepatan ulir ekstruder dan perlakuan penyosohan terhadap bahan
baku
sorgum
menyebabkan
menurunkan
kekerasan
dan
meningkatkan kerenyahan ekstrudat yang dihasilkan.
3.4. Derajat Gelatinisasi Derajat gelatinisasi didefinisikan sebagai ratio antara pati yang tergelatinisasi dengan total pati dari produk yang dihitung dengan metode spektrofotometer dengan mengukur kompleks pati-iodin yang terbentuk dari suspensi contoh sebelum dan sesudah dilarutkan dalam alkali (Wooton et al., 1971). Derajat gelatinisasi merupakan bagian dari evaluasi kesempurnaan proses gelatinisasi pada bahan. Kesempurnaan
83
gelatinisasi pada produk ekstrusi perlu dievaluasi untuk mengetahui sampai sejauh mana pati siap dan mudah dicerna oleh tubuh. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai derajat gelatinisasi berkisar antara 43.33% sampai dengan 60.32%. Nilai derajat gelatinisasi tertinggi diperoleh pada produk B dan terendah diperoleh pada produk C Nilai derajat gelatinisasi ekstrudat dapat dilihat pada Gambar 23.
Derajat Gelatinisasi 70.00
Derajat Gelatinisasi (%)
60.00
56.26
60.32
50.00
43.33
47.86
40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 A
B
C
D
Perlakuan
Keterangan : A : ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm B : ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 467 rpm C : ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm D : ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 467 rpm Gambar 23. Nilai derajat gelatinisasi ekstrudat berbagai perlakuan Berdasarkan hasil penelitian, ekstrudat yang berasal dari sorgum yang mengalami penyosohan memiliki nilai derajat gelatinisasi lebih tinggi dibandingkan ekstrudat yang berasal dari sorgum yang tidak mengalami perlakuan penyosohan. Menurut Suarni (2004), proses penyosohan pada biji sorgum menyebabkan terlepasnya lapisan pericarp, 84
tegmen, sebagian besar lapisan aleuron dan embrio sehingga secara tidak langsung mengikis pula berbagai komponen gizi dan komponen bioaktif sorgum yang menurut Dykes dan Rooney (2007) terdapat pada lapisan kulit luar dari biji sorgum yaitu pada lapisan pericarp dan testa. Kadar protein dan lemak yang terkandung di dalam produk yang disosoh lebih rendah dibandingkan produk yang tidak disosoh (Yanuar, 2009). Kandungan protein dan lemak yang lebih banyak pada produk yang disosoh berkontribusi terhadap penghambatan jumlah air yang diserap oleh pati. Hal inilah yang menyebabkan penurunan nilai derajat gelatinisasi. Harper (1981) mengatakan bahwa protein dan lemak akan membentuk suatu lapisan pada permukaan granula pati. Lemak akan diselubungi butiran pati (kompleks amilosa-lipid) dan menghambat jumlah air yang dapat diserap oleh pati, sehingga nilai derajat gelatinisasi semakin kecil. Hasil penelitian Noguchi et al., (1981) menyatakan bahwa protein melalui proses ekstrusi akan membentuk suatu jaringan (matriks) yang kuat, sehingga mempersulit transfer air maupun panas ke dalam bahan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa kecepatan putar ulir meningkat menyebabkan peningkatan derajat gelatinisasi. Menurut Ahza (1996), jika tidak terdapat air yang mencukupi untuk proses gelatinisasi diperlukan energi berupa gesekan (shear) untuk proses hidrasi. Gesekan (shear) dapat dihasilkan dari gesekan antara bahan dengan ulir dan juga dengan laras. Semakin cepat perputaran ulir, gesekan yang terjadi semakin banyak baik dengan bahan baku ataupun antara bahan baku dengan laras sehingga menyebabkan energi yang dihasilkan semakin tinggi. Energi yang dihasilkan dari perputaran ulir yang lebih tinggi menyebabkan proses hidrasi dari ekstrudat semakin tinggi sehingga berkorelasi untuk meningkatkan derajat gelatinisasi produk. Hal ini juga diperkuat oleh Li et al., (2004) dan Apriyani (2009) yang menyatakan bahwa ketika kecepatan ulir ekstruder meningkat, terjadi peningkatan derajat gelatinisasi ekstrudat.
85
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pengaruh penyosohan pada bahan baku sorgum yang digunakan dan penggunaan kecepatan ulir ekstruder yang lebih tinggi meningkatkan derajat gelatinisasi ekstrudat.
3.5. Derajat Pengembangan Derajat pengembangan produk ekstrusi merupakan karakteristik yang penting. Pada dasarnya derajat pengembangan produk ini adalah membandingkan diameter produk dengan diameter cetakan. Salah satu karakteristik dari produk-produk ekstrusi adalah adanya fenomena puffing yaitu terjadinya pengembangan volume (Muchtadi et al., 1988). Nilai derajat pengembangan hasil penelitian memiliki nilai yang bervariasi antara 137.60 % hingga 194.91%. Nilai derajat pengembangan tertinggi diperoleh pada produk B dan nilai derajat pengembangan terendah diperoleh pada produk C. Nilai derajat pengembangan ekstrudat dapat dilihat pada Gambar 24. Nilai derajat pengembangan semakin meningkat pada ekstrudat yang berasal dari sorgum yang disosoh dibandingkan ekstrudat yang berasal dari sorgum yang tidak disosoh. Menurut Suarni (2004), proses penyosohan pada biji sorgum menyebabkan terlepasnya lapisan pericarp, tegmen, sebagian besar lapisan aleuron dan embrio sehingga secara tidak langsung mengikis pula berbagai komponen gizi dan komponen bioaktif sorgum yang menurut Dykes dan Rooney (2007) terdapat pada lapisan kulit luar dari biji sorgum yaitu pada lapisan pericarp dan testa. Lemak dan protein lebih banyak terdapat pada sorgum yang disosoh (Yanuar, 2009). Kandungan protein, lemak serta serat yang lebih banyak pada bahan yang tidak disosoh mempengaruhi nilai derajat pengembangan produk yang lebih rendah dibandingkan bahan yang disosoh. Kandungan protein dan lemak yang lebih banyak tersebut dapat menurunkan derajat pengembangan dari produk ekstrusi.
86
Derajat Pengembangan Derajat Pengembangan (%)
250.00 200.00
180.70
194.91
137.60
150.00
151.25
100.00 50.00 0.00 A
B
C
D
Perlakuan
Keterangan : A : ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm B : ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 467 rpm C : ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm D : ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 467 rpm Gambar 24. Nilai derajat pengembangan berbagai perlakuan Menurut Linko et al. (1981) pengembangan produk ekstrusi tergantung pada gelatinisasi pati dan pengembangan uap air ketika melalui cetakan. Ketika produk melewati cetakan, penurunan tekanan yang mendadak menyebabkan penguapan air yang sudah sangat panas. Jika gel cukup kuat, uap air yang berekspansi ke luar menghembus sel meninggalkan ruang porous yang berongga (Miller, 1985). Protein dan lemak akan membentuk jaringan (matriks) yang menyerupai serat, mempersulit transfer air maupun panas ke dalam bahan sehingga menyebabkan proses pengembangan menjadi terhambat. Menurut Harper (1981), komponen pati yang berperan terhadap pengembangan (puffing) produk ekstrusi adalah amilopektin. Pati yang
87
kaya amilopektin menyebabkan lebih mengembang dibandingkan dengan pati yang kaya amilosa, karena rantai amilosa akan berikat satu sama lain pada proses pemasakan, sehingga proses saling terkaitnya amilosa tersebut menyebabkan polimer-polimer amilosa tersebut sulit tertarik pada saat proses pengembangan (pada saat produk keluar dari cetakan) yang menyebabkan produk ekstrusi kurang mengembang (Monaru dan Kokini, 2003). Pada bahan yang memiliki kandungan air yang sama, amilopektin lebih mudah mengembang daripada amilosa. Menurut Rooney (1981), kandungan pati sorgum yaitu amilosa 25% dan amilopektin 75%, sehingga ekstrudat yang dihasilkan pada percobaan cukup mengembang. Hasil
penelitian
menunjukan
dengan
semakin
tingginya
kecepatan putar ulir ekstruder, nilai derajat pengembangan semakin besar. Peningkatan kecepatan ulir meningkatkan shear dan friksi dalam ekstruder sehingga menghasilkan rata-rata transfer Spesific Energy Mechanic (SME) yang lebih tinggi (Li et al., 2004). Peningkatan rata-rata SME memiliki efek linear positif dalam rata-rata pengembangan ekstrudat (Schmid et al., 2005). Putaran ulir yang relatif lebih cepat membentuk produk yang relatif lebih mekar. Oleh sebab itu, dengan semakin cepatnya kecepatan putar ulir maka produk yang dihasilkan semakin mekar sehingga meningkatkan rasio pengembangan. Penelitian yang dilakukan oleh Apriyani (2009) menunjukan hasil serupa yaitu peningkatan kecepatan ulir menghasilkan ekstrudat dengan derajat pengembangan lebih besar. Berdasarkan
hasil
penelitian
dapat
disimpulkan
bahwa
penggunaan kecepatan ulir ekstruder yang lebih tinggi dan pengaruh penyosohan pada bahan baku sorgum yang digunakan meningkatkan derajat pengembangan ekstrudat.
88
D. PEMILIHAN PRODUK TERBAIK Pemilihan produk terbaik pada penelitian ini dilakukan dengan mempertimbangkan sifat produk yang dihasilkan meliputi sifat organoleptik (warna, rasa, tekstur dan kelengketan di mulut) dan aktivitas antioksidan. Skor tertinggi untuk setiap sifat yang diamati diberikan tanda bintang (*). Skor tertinggi untuk sifat organoleptik ditentukan berdasarkan skala hedonik tertinggi untuk tiap atribut. Skor tertinggi untuk aktivitas antioksidan berdasarkan nilai aktivitas tertinggi. Pengamatan sifat produk untuk menentukan perlakuan terbaik ditunjukan pada tabel 10.
Tabel 10. Beberapa Macam Sifat Produk Yang Diamati Untuk Menentukan Produk Terbaik Produk
Sifat Organoleptik warna rasa tekstur kelengketan di mulut
A
*
*
*
*
B C D
* * *
*
*
* * *
*
Aktivitas Antioksidan
Total Skor
*
Keterangan : A : ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm B : ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi kecepatan putar ulir ekstruder 467 rpm C : ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm D : ekstrudat dengan bahan baku sorgum tidak sosoh, proses ekstrusi kecepatan putar ulir ekstruder 467 rpm * = perlakuan yang mendapat skor tertinggi
4 4 3 3
pada pada pada pada
Dari Tabel 10 dapat ditarik kesimpulan bahwa produk A dan B memiliki skor tertinggi yaitu 4 *, sedangkan produk C dan D memiliki skor yang lebih rendah yaitu 3*. Atribut rasa dan tekstur dari ekstrudat dengan bahan baku sorgum yang disosoh keduanya memiliki skor yang tertinggi namun tidak berbeda nyata. Oleh sebab itu, penentuan produk terbaik selanjutnya didasarkan pada nilai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi. Produk A memiliki nilai aktivitas antioksidan lebih tinggi dibandingkan dengan produk B. Oleh karena itu, produk terbaik yang terpilih pada penelitian
89
ini adalah produk A yaitu ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh, proses ekstrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm.
E. ANALISIS PRODUK TERBAIK 1. Analisis Kimia/Proksimat Analisis proksimat terdiri dari analisis kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar dan protein. Hasil analisis proksimat keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan hasil analisis diperoleh hasil sebagai berikut:
1.1. Kadar Air Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai kadar air produk ekstrusi yaitu sebesar 3.57 %. Kadar air produk ekstrusi ini sesuai dengan SNI 01-2886-2000 (Lampiran 14) yang mensyaratkan kadar air maksimal produk ekstrusi sebesar 4%.
1.2. Kadar Abu Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai kadar abu produk ekstrusi yaitu sebesar 1.45%. Kadar abu tidak disyaratkan dalam SNI 012886-2000 tentang produk ekstrusi. Kadar abu bahan yang cukup rendah sebesar 1% dimungkinkan karena produk yang dianalisis merupakan produk dengan perlakuan penyosohan.
1.3. Kadar Protein Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai kadar protein produk ekstrusi yaitu sebesar 9.89%. SNI 01-2886-2000 tidak mensyaratkan adanya nilai minimal kadar protein. Kadar protein masih belum dicantumkan ke dalam SNI 01-2886-2000. Kadar protein sangat penting dijadikan atribut mutu ke dalam SNI dikarenakan umumnya yang mengkonsumsi makanan ringan ekstrudat adalah anak-anak usia pertumbuhan. Anak-anak usia pertumbuhan sangat membutuhkan protein yang cukup. Kadar protein sangat dipengaruhi oleh formulasi bahan baku, sedangkan suhu proses tidak memberikan pengaruh nyata. Sesuai
90
dengan pernyataan Harper (1991) dan Muchtadi, dkk. (1988) dalam Nurtama (1997) bahwa perlakuan suhu tidak memberikan perbedaan terhadap kandungan protein produk karena proses yang dilakukan terjadi dalam waktu singkat sehingga dapat meminimumkan kerusakan protein bahan.
1.4. Kadar Lemak Berdasarkan hasil analisis diperoleh nilai kadar lemak produk ekstrusi yaitu sebesar 2.85%. Nilai kadar lemak tersebut sesuai dengan SNI 01-2886-2000 yang menyatakan nilai kadar lemak maksimal tanpa proses penggorengan sebesar 30 %. Nilai kadar lemak yang cukup rendah dari produk dimungkinkan karena bahan yang digunakan adalah produk dengan perlakuan sosoh yang memiliki kandungan lemak awal yang cukup rendah sekitar 1-2 % (Suarni, 2004).
Tabel 11. Hasil analisis kimia ekstrudat terbaik No. 1. 2. 3. 4.
Parameter Kadar Air Kadar Abu Kadar Protein Kadar Lemak
Nilai (%bk) 3.57 1.45 9.89 2.85
2. Analisis Kadar Serat Pangan Codex (2009) mendefinisikan serat pangan sebagai polimer karbohidrat dengan 10 atau lebih unit monomer yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim endogenus dalam saluran pencernaan manusia Menurut karakteristik fisik dan pengaruhnya terhadap tubuh, serat pangan dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu serat pangan larut air (soluble dietary fiber) dan serat pangan tidak larut air (insoluble dietary fiber). Serat pangan larut air merupakan komponen serat yang dapat larut di dalam air dan juga dalam saluran pencernaan. Fungsi utama serat larut air yaitu memberi perasaan kenyang yang lebih lama, memperlambat kemunculan gula darah (glukosa), membantu mengendalikan berat badan
91
dengan memperlambat munculnya rasa lapar,dan mengurangi resiko serangan jantung (Jenkins et al., 2001). Yang termasuk dalam serat pangan larut air diantaranya adalah pektin, psillium, gum, musilase, karagenan, asam alginat, dan agar-agar (Southgate, 2001). Serat pangan tidak larut air adalah serat yang tidak dapat larut, baik di dalam air maupun di saluran pencernaan. Fungsi utama serat pangan tidak larut air adalah mempercepat waktu transit (waktu tinggal) makanan dalam usus dan meningkatkan berat feses, memperlancar proses buang air besar, dan mengurangi resiko wasir, divertikulosis, dan kanker usus besar (Cummings, 2001). Yang termasuk serat pangan tidak larut adalah selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Southgate, 2001). Berdasarkan hasil analisis diperoleh kadar serat produk ekstrusi sebesar 5,79%. SNI 01-2886-2000 masih belum mencantumkan kadar serat makanan total di dalam atribut mutunya, sedangkan tubuh manusia juga membutuhkan serat makanan total. FDA (2009) menyatakan suatu pangan dapat diklaim mengandung serat tinggi apabila dapat memenuhi 20% Angka Kecukupan Gizi (AKG) per takaran saji. Makanan ringan sorgum ini memenuhi 4.53 % AKG per takaran saji. Oleh karena itu, produk makanan ringan sorgum ini dapat diklaim sebagai pangan tinggi serat mengacu pada FDA apabila dikonsumsi lima bungkus pertakaran saji sehingga dapat membantu memenuhi kebutuhan serat pangan harian manusia. Peraturan Uni Eropa (EC) No 1924/2006 (OJ 409 p9 2006/12/30 tentang gizi dan klaim kesehatan pada pangan) menetapkan suatu pangan dapat diklaim mengandung tinggi serat jika mengandung paling sedikit setidaknya 6 gram total serat per 100 gram produk atau 3 gram total serat per 10 kkal. Makanan ringan berbahan baku sorgum ini mengandung sebanyak 5.79 gram total serat per 100 gram produk. Berdasarkan Peraturan Uni Eropa (EC) No 1924/2006 (OJ 409 p9 2006/12/30, makanan ringan berbahan baku sorgum ini dapat diklaim sebagai pangan tinggi serat per takaran saji sebanyak dua bungkus.
92
3. Analisis Kadar Mineral Sampel makanan ringan yang digunakan dalam pengukuran kadar mineral harus terlebih dahulu diubah menjadi larutan abu melalui proses pengabuan. Proses pengabuan yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengabuan kering (dry digestion). Sampel hasil pengabuan kering selanjutnya digunakan untuk analisis kadar Ca, Zn, dan Fe dengan menggunakan flame AAS. AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer) adalah suatu metode analisis yang didasarkan pada absorpsi sinar UV atau visible oleh atomatom bebas pada fase gas. Instrumen AAS memiliki sensitivitas pengukuran yang tinggi, yaitu hingga satuan ppm (part per milion). Metode AAS menghasilkan data yang akurat dengan tingkat reprodusibilitas yang tinggi. AAS mampu menganalisis lebih dari 60 unsur dari jumlah yang sangat kecil hingga jumlah besar. Metode AAS berdasarkan pada prinsip pengukuran sinar yang diserap oleh atom dari unsur-unsur. Setiap atom memiliki nilai absorbansi yang khas yang dapat diukur pada panjang gelombang tertentu. Agar atom dapat menyerap energi radiasi, maka atom dalam bentuk gas diradiasi oleh sumber cahaya dengan panjang gelombang yang sesuai dengan unsur yang dianalisis sehingga menyebabkan terjadinya eksitasi, yaitu atom mengalami kenaikan tingkat energi. Penyerapan energi ini bersifat selektif, yaitu hanya sinar dengan panjang gelombang tertentu saja yang diserap oleh suatu atom. Pengujian kadar mineral Ca, Fe, dan Zn dikarenakan kandungan mineral tertinggi pada sorgum adalah mineral-mineral tersebut. Ca (kalsium) berfungsi untuk kekuatan tulang, gigi, dan jaringan otot.
Ca
merupakan salah satu mineral makro yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Fe atau yang sering disebut zat besi merupakan mineral minor yang berfungsi sebagai carrier oksigen ke jaringan, enzim heme dan enzim nonheme (sitokrom, katalase, peroksidase, dan lainnya), ferritin, dan hemosiderin. Zn (zinc) merupakan mineral penyusun lebih dari 200 metaloenzim beberapa diantaranya antara lain karbonik anhidrase, alkohol
93
dehidrogenase, superoksida dismutase, DNA-polimerase, RNA-polimerase, alkalin fosfatase, dan karboksi peptidase. Zn berperan menstabilkan struktur komponen organik dan membran seperti DNA, RNA, dan ribosom. Zn juga esensial bagi sistem imun dan sistem pertahanan tubuh. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai mineral Ca sebesar 236.46 ppm, Fe sebesar 97.19 ppm dan Zn sebesar 11.73 ppm. Kadar kalsium dan besi masih belum tercantum di dalam SNI yang sudah ada, sedangkan mineral seperti kalsium dan besi sangat dibutuhkan di dalam tubuh. Hasil analisis mineral dapat ditunjukan pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil analisis mineral ekstrudat Mineral Ca Fe Zn
Kadar (ppm) 236,46 97,19 11,73
Makanan ringan berbahan baku sorgum ini dikemas sebanyak 20 gram untuk satu takaran saji. Berdasarkan Acuan Label Gizi Indonesia (2004), makanan ringan sorgum ini dapat memenuhi kecukupan kalsium (Ca) sebesar 0.59%, zat besi (Fe) sebesar 7.48%, dan seng (Zn) sebesar 1.95%. Tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG) dapat dilihat pada Lampiran 16. Jika dibandingkan dengan produk pangan lain, kandungan kalsium (Ca) makanan ringan sorgum per takaran saji setara dengan konsumsi ikan gurame (23.6 mg dalam 100 gram) (Persagi 2009). Kandungan besi (Fe) makanan ringan sorgum per takaran saji lebih tinggi dibandingkan produk makanan ringan kedele (6 mg dalam 100gram) (Persagi, 2009). Kandungan besi dan kalsium dari makanan ringan sorgum per takaran saji ini lebih baik dari produk popcorn yang memiliki kandungan kalsium 6.7 mg dan besi 2.7 mg dalam 100 gram produk (Persagi, 2009). Bahkan kandungan besi dari makanan ringan sorgum ini per takaran saji (1.94 mg) lebih baik dari konsumsi satu butir telur (1 mg) (Anonimf, 2010). Kandungan seng (zn) dari makanan ringan sorgum ini bahkan lebih baik per takaran saji dibandingkan kandungan seng dalam telur bebek (1.41 mg per 100gram) (Wina, 2009). 94
Konsumsi makanan ringan sorgum yang memiliki kandungan mineral yang cukup baik terutama besi tersebut diharapkan dapat menjadi camilan sehat untuk anak-anak pada masa pertumbuhan.
95
IV. KESIMPULAN
A. Kesimpulan Ekstruder ulir tunggal tidak dapat digunakan pada penelitian ini dikarenakan bahan tidak dapat mengalir di dalam ekstruder. Ekstruder yang dapat digunakan untuk karakterisasi produk pada penelitian ini adalah ekstruder ulir ganda. Parameter ekstrusi yang diteliti adalah jenis penyosohan (sosoh dan tidak sosoh) dan kecepatan putar ulir ekstruder (411 rpm dan 467 rpm). Hasil organoleptik terhadap atribut rasa dan tekstur diperoleh bahwa ekstrudat yang berasal dari sorgum yang mengalami penyosohan lebih disukai dibandingkan yang berasal dari sorgum yang tidak disosoh. Perlakuan penyosohan terhadap bahan baku sorgum dan kecepatan ulir ekstruder yang berbeda tidak mempengaruhi kesukaan panelis dalam hal atribut warna dan kelengketan di mulut terhadap ekstrudat yang dihasilkan. Perlakuan penggunaan bahan baku sorgum sosoh serta proses ekstrusi dengan kecepatan ulir ektruder yang lebih rendah menghasilkan produk dengan nilai aktivitas antioksidan, nilai WSI, kekerasan produk, derajat gelatinisasi dan derajat pengembangan yang lebih rendah, serta nilai WAI yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan bahan baku sorgum tidak sosoh dan proses ekstrusi dengan kecepatan ulir ekstruder lebih tinggi. Produk terbaik dipilih berdasarkan hasil organoleptik paling disukai, dan nilai aktivitas antioksidan tertinggi adalah ekstrudat dengan bahan baku sorgum sosoh,proses ektrusi pada kecepatan putar ulir ekstruder 411 rpm. Hasil uji proksimat sebagai berikut kadar air 3.57 %, kadar abu 1.45 %, kadar protein 9.89 %,dan kadar lemak 2.85 %. Nilai kadar air serta kadar lemak sesuai dengan SNI 01-2886-2000. Kadar serat pangan produk diperoleh 5.79%. Kandungan mineral dalam makanan ringan sorgum ini terdiri dari Ca 236.46 ppm, Fe 97.19 ppm dan Zn 11.73 ppm.
96
B. Saran Banyak hal yang perlu dilanjutkan dari penelitian ini untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Aspek-aspek yang belum dianalisis dalam penelitian ini adalah pengaruh ukuran partikel (mesh) grits sorgum yang digunakan, formulasi bahan dengan penambahan bahan baku di luar sorgum untuk memperbaiki cita rasa dan tekstur produk serta pengukuran umur simpan produk.
97
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah, D dan Waysima. 2008. Penuntun Praktikum Evaluasi Sensori. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ahza, A.B. 1996. Pengenalan Bahan Baku dan Bahan Tambahan Untuk Produk Ekstrusi, Bakery, dan Penggorengan. Pelatihan Produk-Produk Olahan Ekstrusi, Bakery dan Frying. 2-3 Oktober 1996. Tambun, Bekasi. Anderson, R. A., Conway, H. F., Pfeifer, V. F., Griffin, E. L. 1969. Gelatinization of Corn Grits by Roll and Extrusion Cooking. J. Cereal Science. 14 : 4-12 Ang, H.G., Theng C.Y., Lim K. K. 1980. High Protein Extruded Snack Food. Di dalam: Extruder Procediings Technology 8th ASEAN Workshop, 14-15 Januari 1980, Bangkok
Anonima. 2010. Strategi Unilever Menguak Potensi Snack. http://mix.com. [24 Agustus 2010] Anonimb. 2010. Sorgum. http://xa.yimg.com/kq/groups/25896088/1112009878/ name/Sorgum1.doc [20 Agustus 2010] Anonimc. 2010. Double Screw Ekstruder. http://plastics.com/extrusion-whatispg2.html. [24 Agustus 2010] Anonimd. 2006. Bisnis Snack dan Kue Basah. http://sentrabiz.com. [24 Agustus 2010] Anonime. 2010. Apa & Mengapa Snack Sehat. http://rumahsnacksehat. com. [24 Agustus 2010] Anonimf. 2010. Iron Content of Some Foods. http://fwhc.org/health/iron.htm [27 Oktober 2010] [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of Analysis. Washington DC. Apriani, R.N. 2010. Mempelajari Pengaruh Ukuran Partikel Dan Kadar Air Tepung Jagung Serta Kecepatan Ulir Ekstruder Terhadap Karakteristik Snack Ekstrusi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor
98
Asp, N.G., Johnson C.G., Holmer H., and Sijestrom. 1983. Rapid enzymatic assay of insoluble and soluble dietary fiber. J. Agric. Food Chem. 31 : 476-482 Astawan, M. 2009. Sudah Diet Kok Ga Langsing. http://cyberwoman.cbn.net. [24 Agusutus 2010] Awika, J. M. and Rooney, L. W. 2004. Sorghum phytochemicals and their potential impact on human health. Phytochemistry. 65: 1199-1221. Baianu, I.C. 1992. Basic Aspect of Food Extrusion. Di dalam: Baianu, I.C (ed) Physical Chemistry of Food Process: Principle, Techniques and Application.Textbook VNRVol.1,NewYork. http://fs512.fshn.uiuc.edu. [9 Januari 2009] Beti, Y.A., Ispandi A., dan Sudaryono. 1990. Sorgum. Monografi No. 5. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Malang. Bjorck, I dan Asp, N.G. 1983. The Effect of Extrusion on Nutritional Value-A Literatur Review. Di dalam: Jowitt, R. Extrusion Cooking Technology. Elsivier Applied Science Publisher, London and New York [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Konsumsi Beras Nasional . http://bps.go.id [29 Oktober 2010] [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Sensus Penduduk 2010. http://bps.go.id [29 Oktober 2010] Briawan, Dodik. 2004. Pengembangan Diversifikasi Pangan Pokok Dalam Rangka Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Makalah Falsafah dan Sains. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. November 2004. Clextral. 2007. Twin Screw Extrusion. www.clextral.com/tools_FAQ.htm.[ 9 Januari 2010] Codex Alimentarius. 2009. Report of the 30th session of the Codex committee on nutrition and foods for special dietary uses 09/32/26. 3–7 November 2008 (p. 46, Appendix II) Cummings, J. H. 2001. The Effect of Dietary Fiber on Fecal Weight and Composition. California: Health Research and Studies Center, Inc. Davidson, V.J., Paton D., Diosady L.L. and Larocous G. 1984. Degradation of Wheat Starch in A Single Screw Extruder. Characteristics of Extruded Starch Polymers. J. Food Science. 49: 453-458. http://findarticles.com. [ 27 Agustus 2010]
99
Deprez, S., Mila, I., Huneau, J. F., Tome, D. and Scalbert, A. 2001.Transport of proanthocyanidin dimer, trimer, and polymer across monolayers of human intestinal epithelial Caco-2 cells. Food Chemistry. 3:957–967. Direktorat Jendral Tanaman Pangan Departemen Pertanian. xa.yimg.com/kq/groups/25896088/1112009878/name/Sorgum1.doc Agustus 2010]
2007. [20
Dykes, L, and Rooney, L.W. 2006. Sorghum and Millet Phenols and Antioxidants. J. Cereal Science. 44:236-251. Earp, C.F., McDonough, C.M., Awika, J.M. and Rooney, L.W. 2004. Testa Development in the Caryopsis of Sorghum bicolor (L.) Moench. J. Cereal Science. 39: 303-311 Faridah, D. N., Kusnandar, F., Herawati, D., Kusumaningrum, H. D., Wulandari, N., dan Indrasti, D. 2009. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Fellows, P. 1990. Food Processing Technology: Principles and Practices. Ellis Horwood, London [FAO] Food and Agriculture Organization. 2010. Chemical composition and http:// nutritive value of sorghum and pearl millet. fao.org/docrep/t0818e/T0818E0a.htm#Chapter4chemicalcompositionandnut ritivevalue. [24 Agustus 2010] [FAO] Food and Agriculture Organization. 2010. Introduction Sorghum bicolor (L) Moench. http://fao.org/inpho/ content/compend/text/ch07.htm. [24 Agustus 2010] [FAO] Food and Agriculture Organization. 2003. Sorghum: Post Harvest Operations. http://fao.org/inho/compend/text/ch07.htm. [9 November 2009]. Frame, N.D. 1994. The Technology of Extrusion Cooking. Springer Publisher. http://books.google.com/books?hl=en&lr=&id=w6SrO7EI0gMC&oi=fnd& pg=PA1&dq=Frame+N.D,+extrusion&ots=FtvBJ2bZ6g&sig=mtLojB_Xz wYgO1gzyDJpGxr_P3w [9 Agustus 2010] Gimeno, E., Monaro, C.I., Kokini, J. L. 2004. Effect of Xanthan Gum and CMC on The Structure and Texture of Corn Flours Pellets Expanded by Microwave Heating. American Association of Cereal Chemistry. J. Cereal Chemistry. 81: 100-107
100
Gomez, M.H dan Aguilera, J.M. 1983. Change in Starch Fraction During Extrusion Cookers. J. Food Science. 48: 378-381 Hariyadi, P. 1996. Pengenalan Peralatan Proses Ekstrusi, Bakery, dan Penggorengan. Makalah Pelatihan Produk-Produk Olahan Ekstrusi, Bakery, and Frying. Tambun, Bekasi. 2-3 Oktober 1996 Harper, J.M. 1981. Extrusion of Food Vol II. CRC Press Inc. Boca Raton, Florida Holmes, Zoe Ann. 2007. Extrusion. Food Resource Oregon State University Website. U.S. http:// food.oregonstate.edu/g/extrusion.html [31 Mei 2010] Herminiati, A., Doddy, A., Darmajana. 2000. Pengembangan Makanan Ekstrusi Berbahan Dasar Sorgum. Widyariset Huber, G. 2001. Snack Foods from Cooking Ekstruder. Snack Food Processing. CRC Press. Boca Raton Florida. Hulse, J. H., Laing, E.M., Pearson, O.E. 1980. Sorghum and the Millets: Their Composition and Nutritive Value. Ottawa: Academic Press. Husodo, S.Y. dan Muchtadi, T. 2004. Alternatif solusi permasalahan dalam ketahanan pangan. Makalah pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII. Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jenkins, A.L., Vuksan, V., and Jenkins, D.J.A. 2001. Fiber in Treatment of Hyperlipidemia. California: Health Research and Studies Center, Inc. Kubo, I., Masuoka, N., Xiao, P.,and Haraguchi, H. 2002.Antioxidant activity of dodecyl gallate. J. Agric. Food Chem. 50: 3533-3539 Laimeheriwa, J. 1990. Teknologi budidaya sorgum. Irian Jaya: Balai Informasi Pertanian, Departemen Pertanian. Li, P. X., Campanella, O.H., Hardacre, A.K. 2004. Using an In-Line Slit-Die Viscometer to Study the Effect of Extrusion Parameters on Corn Melt Rheology. J. Cereal Chem. 1: 70-76 Lin, Y.H., Yeh C.S., Lu S. 2002. Evaluation on Quality Indices and Retained Tocopherol Contents in the Production of the Rice-Based Cereal by Extrusion. J. Food and Drug Analysis. 3 :183-187 Linko, P.P., Colonna P., Mercier C. 1981. High Temperature Short Time Extrusion Cooking. Di dalam: Pomeraz, Y. (ed). Advance in Cereal Science and Technology. The AACC Inc., St. Minnesota
101
Melianawati, A. 1998. Karakteristik Produk Ekstrusi Campuran Menir BerasTepung Pisang-Kedelai Olahan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian, Bogor Miller, R.C. 1985. Low moisture extrusion : effect of cooking moisture in product characteristics. J. Food Sci. 50: 240-253 Monaru., C.J dan Kokini, J.L. 2003. Nucleation and Expansion During Extrusion and Microwave Heating of Cereal Food. Dept Food Science and Centre for Advance Food Technology, Univ Brunswick Mucthadi, D., Palupi, N.S., dan Astawan, M. 1992. Metode Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Pusat Antar Universitas, IPB, Bogor. Muchtadi, T.R., Purwiyatno, dan Basuki A. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. LSI Institut Pertanian Bogor, Bogor Noguchi, A.W., Kumigaya, Z., Saio, K. 1981. Physical and Chemical Characteristic of Extruded Rice Flour and Rice Flour Fortified With Soybean Protein Isolate. J. Food Science 47 : 240-245. Nurtama, B. dan Sulistiyani, Y. 1997.Suplementasi Ikan pada Makanan Ringan Produk Ekstrusi dengan Bahan Dasar Beras. Buletin Teknologi dan Industri Pangan. VIII 2:32 – 38. [Persagi] Persatuan Ahli Gizi Indonesia. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta : Elex Media Komputindo. Polina. 1995. Studi Pembuatan Produk Ekstrusi dari Campuran Jagung, Sorghum, dan Kacang Hijau. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Insitut Pertanian Bogor, Bogor Pratama, R.I. 2007. Kajian Mengenai Prinsip-Prinsip Dasar Teknologi Ekstrusi Untuk Bahan Makanan dan Beberapa Aplikasinya Pada Bahan Perikanan. Universitas Padjajaran, Bandung Rahmi, Y.A., Syuryawati, Zubachtirodin. 2007. Teknologi Budidaya Gandum. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. Rhee, K., Kuo C., Luses E.W. 1981. Texturization. Di dalam : Protein Functionality in Foods. Acs Symposium Series 147. American Chemistry Social, Washington DC. P 51-86
102
Rooney, L.W. 1973. A Review of The Physical Properties, Composition and Structure of Sorghum Grain as Related to Utilization. Di dalam Pomeranz (ed.) Symposium Proceeding : Industrial Ues of Cereal. Amm. Assoc. Cereal Chem., St. Paul, Minnesota. P. 316-342 Rooney, L.W. dan Serna, S. 2000. Handbook of Cereal Science and Technology. New York: Marcel Dekker. Rzedzicki, Z. Sobota, A., Zarzycki P. 2004. Influence of Pea Hulls on The Twin Screw Extrusion-Cooking Process of Cereal Mixtures and The Physical Properties of The Extrudate. Int. Agrophysics, 18: 73-81 Schlosburg, J. 2005. Twin-Screw Food Extrusion: Control Case Study. Di dalam: Howard P. I. (ed). Department of Chemical and Biological Engineering, Rensselaer Polytechnic Institute, Troy, New York. http://rpi.edu. [ 24 Agustus 2010] Schmid, A. H., Dolan, K.D., Ng, P.K.W., 2005. Effect of Extruding Wheat Flour at Lower Temperatures on Physical Attributes of Extrudates and on Thiamin Loss When Using Carbon Dioxide Gas as a Puffing Agent, J. Cereal Chem. 82: 305-313 Sirappa, M.P. 2003. Prospek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai komoditas alternatif untuk pangan, pakan, dan industri. Jurnal Litbang Pertanian. 22:4. Smith, O.B. 1981. Extrusion Cooking of Cereal and Fortified Food. Proceeding Extruder Technology. 8th ASEAN Workshop, Bangkok. Southgate, D.A.T. 2001. Dietary Fiber Parts of Food Plants and Algae. California: Health Research and Studies Center, Inc. Southgate, D.A.T. 2001. Dietary Fiber Parts of Food Plants and Algae. California: Health Research and Studies Center, Inc. Suarni. 2004. Evaluasi sifat fisik dan kandungan kimia sorgum setelah penyosohan. Jurnal Stigma XII : 88-91 Tripalo, B., Zek, J. D., Ci, B., Semenski, D., Drvar, N., Ukrainczyk, M. 2006. Effect of Twin-screw Extrusion Parameters on Mechanical Hardness of Direct-expanded Extrudates, J. S¯adhan¯a. 31: 527-536 Trisnamurti. 1980. Makalah Extruder Procediing Technology. 8thAsian Workshop 14-25 Januari 1980, Bangkok. Wina.
2009. Kandungan Nutrisi Dalam Telur Bebek. http:// mustang89.com/literatur/75-literatur--unggas-lainnya-selain-ayam/232kandungan-nutrisi-dalam-telur-bebek [28 Oktober 2010]
103
Winarno, F.G. 1989. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta Wooton, M.D., Weeden, Munk N. 1971. A Rapid Method for Estimation of Starch Gelatinisasion in Processeed Food. J. Food Tech . 1 : 612-615 Wulandari, Z. 1997. Analisis Sifat Fisiko Kimia dan Finansial Produk Ekstrusi Hasil Samping Penggilingan Padi (Menir dan Bekatul). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Yanuar, W. 2009. Aktivitas Antioksidan dan Imunomodulator Serealia NonBeras. Tesis Jurusan Ilmu Pangan. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, IPB.
104
LAMPIRAN
105
Lampiran 1. Kuesioner uji rating hedonik
Produk : Snack Sorgum
Nama : Tanggal :
Uji Rating Hedonik Instruksi : -
Cicipi keempat sampel secara berurutan dari kiri ke kanan
-
Berikan penilaian sesuai dengan tingkat kesukaan Anda terhadap setiap atribut
sampel
dengan
memberikan
nilai
berdasarkan
intensitas
TIDAK
BOLEH
kesukaannya. -
Harap
diingat
dan
diperhatikan
bahwa
MEMBANDINGKAN ANTAR SAMPEL
293
471
684
933
Rasa Warna Tekstur Kelengketan di Mulut 1 = sangat tidak suka
3 = netral
2 = tidak suka
4 = suka
5 = sangat suka
106
Lampiran 2. Kurva Standar Asam Askorbat
Absorbansi
Kurva Standar Asam Askorbat 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
y = -0.001x + 0.779 R² = 0.995
0
50
100
150
200
250
300
350
Konsentrasi
Konsentrasi (ppm) 300 240 180 120 60 9
Absorbansi 0.446 0.532 0.592 0.648 0.708 0.772
Lampiran 3. Data Aktivitas Antioksidan Perlakuan sosoh 411 rpm sosoh 467 rpm tidak sosoh 411 rpm tidak sosoh 467 rpm
Ulangan 1 2 1 2 1 2 1 2
Aktivitas Antioksidan (mg AEAC/g) 0.63 0.62 0.60 0.57 0.87 0.84 0.82 0.81
Rataan ± SD 0.62±0.0113 0.59±0.0198 0.85±0.0226 0.81±0.0113
107
Lampiran 4. Data analisis Water Absorption Index Perlakuan sosoh 411 rpm sosoh 467 rpm tidak sosoh 411 rpm tidak sosoh 467 rpm
Ulangan 1 2 1 2 1 2 1 2
WAI (ml/g) 1.81 1.89 1.11 1.19 3.93 3.86 3.75 3.83
Rataan ± SD 1.85±0.0563 1.15±0.0537 3.89±0.0459 3.79±0.0594
Lampiran 5. Data analisis Water Solubility Index Perlakuan sosoh 411 rpm sosoh 467 rpm tidak sosoh 411 rpm tidak sosoh 467 rpm
Ulangan 1 2 1 2 1 2 1 2
WSI (g/2ml) 0.06 0.06 0.07 0.07 0.04 0.04 0.04 0.04
Rataan ± SD 0.06±0.0021 0.07±0.0017 0.04±0.0003 0.04±0.0007
Lampiran 6 . Data analisis Kekerasan ekstrudat Perlakuan sosoh 411 rpm
Ulangan 1 2 sosoh 467 rpm 1 2 tidak sosoh 411 rpm 1 2 tidak sosoh 467 rpm 1 2
Kekerasan (Kgf) 2.83 2.83 2.16 2.29 3.32 3.38 3.02 3.14
Rataan ± SD 2.83±0.0006 2.25±0.0267 3.35±0.0415 3.08±0.0874
108
Lampiran 7. Data analisis Derajat Gelatinisasi ekstrudat Perlakuan sosoh 411 rpm sosoh 467 rpm tidak sosoh 411 rpm tidak sosoh 467 rpm
Ulangan 1 2 1 2 1 2 1 2
Derajat Gelatinisasi (%) 56.70 55.81 60.10 60.54 44.31 42.34 48.15 47.57
Rataan ± SD 56.26±0.6332 60.32±0.3077 62.36±1.3930 47.86±0.4097
Lampiran 8. Data analisis Derajat Pengembangan Perlakuan sosoh 411 rpm sosoh 467 rpm tidak sosoh 411 rpm tidak sosoh 467 rpm
Ulangan 1 2 1 2 1 2 1 2
Derajat Pengembangan (%) 180.28 181.11 193.24 196.57 138.89 136.30 150.09 152.41
Rataan ± SD 180.69±0.5893 194.91±2.3570 137.59±1.8332 151.25±1.6368
109
Lampiran 9. Hasil uji ANOVA atribut rasa uji rating hedonik Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Corrected Model
Type III Sum of Squares
df
79,267(a)
Intercept
Mean Square
F
Sig.
32
2,477
6,278
,000
1003,408
1
1003,408
2543,235
,000
panelis
75,842
29
2,615
6,629
,000
sampel
3,425
3
1,142
2,894
,040
,395
Error
34,325
87
Total
1117,000
120
113,592
119
Corrected Total
a R Squared = ,698 (Adjusted R Squared = ,587) skor Duncan N sampel tidak sosoh 22
Subset
1
2
1
30
2,73
tidak sosoh 25
30
2,73
sosoh 22
30
2,97
sosoh 25
30
2,97 3,13
Sig.
,179 ,307 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,395. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
110
Lampiran 10. Hasil uji ANOVA atribut warna uji rating hedonik Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Corrected Model
Type III Sum of Squares
df
42,733(a)
Intercept
Mean Square
F
Sig.
32
1,335
2,546
,000
997,633
1
997,633
1901,989
,000
panelis
41,367
29
1,426
2,720
,000
sampel
1,367
3
,456
,869
,461
,525
Error
45,633
87
Total
1086,000
120
88,367
119
Corrected Total
a R Squared = ,484 (Adjusted R Squared = ,294) skor Duncan N sampel tidak sosoh 22
Subset
1
1 30
2,77
tidak sosoh 25
30
2,80
sosoh 22
30
2,93
sosoh 25
30
3,03
Sig.
,199 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,525. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
111
Lampiran 11. Hasil uji ANOVA atribut tekstur uji rating hedonik Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Corrected Model
Type III Sum of Squares
df
57,600(a)
Intercept
Mean Square
F
Sig.
32
1,800
4,092
,000
1442,133
1
1442,133
3278,718
,000
panelis
51,867
29
1,789
4,066
,000
sampel
5,733
3
1,911
4,345
,007
,440
Error
38,267
87
Total
1538,000
120
95,867
119
Corrected Total
a R Squared = ,601 (Adjusted R Squared = ,454) skor Duncan N sampel tidak sosoh 22
Subset
1
2 30
1 3,10
sosoh 22
30
3,50
sosoh 25
30
3,63
tidak sosoh 25
30
3,63
Sig.
1,000 ,468 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,440. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
112
Lampiran 12. Hasil uji ANOVA atribut kelengketan di mulut uji rating hedonik Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Corrected Model
Type III Sum of Squares 35,867(a)
Intercept
df 32
Mean Square 1,121
F 2,363
Sig. ,001
1171,875
1
1171,875
2471,092
,000
panelis
35,375
29
1,220
2,572
,000
sampel
,492
3
,164
,346
,792
,474
Error
41,258
87
Total
1249,000
120
Corrected Total
77,125 119 a R Squared = ,465 (Adjusted R Squared = ,268) skor Duncan N sampel sosoh 25
Subset
1
1 30
3,03
sosoh 22
30
3,10
tidak sosoh 25
30
3,17
tidak sosoh 22
30
3,20
Sig.
,401
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,474. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
113
Lampiran 13. Grafik Hasil Pengukuran Kekerasan (Hardness) Ekstrudat
Gambar 1. Nilai Kekerasan Ekstrudat Perlakuan Tidak Sosoh 411 rpm
Gambar 2. Nilai Kekerasan Ekstrudat Perlakuan Tidak Sosoh 467 rpm
114
Gambar 3. Nilai Kekerasan Ekstrudat Perlakuan Sosoh 411 rpm
Gambar 4. Nilai Kekerasan Ekstrudat Perlakuan Sosoh 467 rpm
115
Lampiran 14. Syarat mutu makanan ringan ekstrudat (SNI 01-2886-2000) Kriteria Uji 1. Keadaan 1.1. Bau 1.2. Rasa 1.3. Warna 2. Air 3. Kadar Lemak 3.1. Tanpa Proses Penggorengan 3.2. Dengan Proses penggorengan 4. Bahan tambahan makanan 4.1. Pemanis buatan 4.2. Pewarna 5. Silikat (Si) 6. Cemaran logam 6.1. Timbal (Pb) 6.2. Tembaga (Cu) 6.3. Seng (Zn) 6.4. Raksa (Hg) 7. Arsen (As) 8. Cemaran mikroba 8.1. Angka lempeng total 8.2. Kapang 8.3. E. Coli
Satuan
Spesifikasi
% b/b
Normal Normal Normal Maks. 4
%b/b
Maks. 30
%b/b
%b/b
Maks. 38 Sesuai SNI No 01-0222-1995 dan Permenkes No. 722/Menkes/Per/IX/1988 Tidak boleh ada Maks. 0,1
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 1,0 Maks. 10 Maks. 40 Maks. 0,05 Maks. 0,5
koloni/g koloni/g APM/g
Maks. 1,0 x 104 Maks. 50 Negatif
Lampiran 15. Informasi nilai gizi snack sorgum terpilih INFORMASI NILAI GIZI Jumlah persajian AKG% Takaran saji 1 kemasan (20g) Karbohidrat 16.45 g 5.48 Antioksidan 12.4 mg eqivalen vit C Lemak 0.57g 0.88 Protein 1.98g 3.96 Total serat 1.13g 4.53 IDF 0.76g SDF 3.16g Ca 4.73mg 0.59 Fe 1.94mg 7.48 Zn 0.23mg 0.23
116
Lampiran 16. Tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG)
117