FORMULASI DAN ANALISIS NILAI GIZI PRODUK MI BERBASIS SORGUM (Sorgum bicolor (L.) Moench.)
SKRIPSI
WONOJATUN F24060686
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
FORMULATION AND NUTRITION ANALYSIS OF NOODLE PRODUCT BASED ON SORGUM (Sorgum bicolor (L.) Moench.) Wonojatun, Endang Prangdimurti, and Fransiska Rungkat Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO.Box 220, Bogor, West Java, Indonesia. Phone 62 856 7539568, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT Sorghum as cerealia has many advantages over rice, including phenolic compound that have health potential in human body. This grain has good adaptation to dry and tropical climate that is suitable to grow in Indonesia. The objective of this research was to determine the best formula based on organoleptic (colour, taste, and texture), mineral, dietary fiber, and antioxidant activity analysis results. The initial stage of this research was to find the best formula from extrusion processing. The second stage is organoleptic test by hedonic rating and ranking. Mineral analysis (Ca, Fe, and Zn) by AAS method, dietary fiber analysis, and antioxidant by DPPH method were the last stage of this research. The variables that differentiate between formulas are ratio of sorghum to water (60%, 70% and 80%), temperature of starch gelatinitation (80oC, 90oC, and 100oC), and also frying time (1 minute and 2 minutes). Formulas with 60% ratio of sorghum (milled and unmilled sorghum) have the best quality from extrusion processing. Formula with 60% ratio unmilled sorghum at 1 minute frying has the highest rank from organoleptic test. At 2 minutes frying, formula with 60% ratio milled sorghum has the highest rank. Unmilled sorgum noodle have high dietary fiber, 33% compliance rate of nutrient adequacy, and high amount of Fe and Zn. Milled sorgum noodle also have 28% compliance rate nutrient adequacy of dietary fiber. Antioxidant activity from unmilled sorgum noodle (1.98 ppm AEAC/g product) higher than milled sorgum noodle (1.18 ppm AEAC/g product). Keywords: extrusion, sorghum, mineral, dietary fiber, antioxidant.
ii
Wonojatun. F24060686. Formulasi dan Analisis Nilai Gizi Produk Mi Berbasis Sorgum (Sorgum bicolor (L.) Moench.). Di bawah bimbingan Endang Prangdimurti dan Fransiska R. Zakaria. 2010.
RINGKASAN Sorghum bicolor (L.) Moench merupakan tanaman serealia yang tergolong dalam famili Graminae. Tanaman lain yang tergolong famili Graminae antara lain padi, jagung, tebu, gandum, dan barley. Sorgum memiliki istilah yang berbeda-beda di tiap daerah. Sebagai contoh, sorgum dikenal dengan nama “jagung cantik” di Jawa Barat, “cantel” di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta “batara tojeng” di Sulawesi Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan produk mi berbahan dasar sorgum dengan menggunakan bantuan ekstruder pasta. Sasaran dari penelitian ini adalah mendapatkan formulasi produk pasta berbasis 100 % sorgum yang disukai konsumen sehingga dapat dijadikan model untuk pengembangan produk pangan non-beras / non-gandum di Indonesia. Bentuk produk mi yang akan dikembangkan adalah snack sorgum siap santap. Tepung sorgum sosoh diperoleh melalui penyosohan selama 20 detik, kemudian digiling menggunakan disc mill. Hasil penggilingan lalu diayak menggunakan automatic siever dengan kerapatan 100 mesh. Tepung sorgum non-sosoh diperoleh dari biji sorgum yang tidak mengalami penyosohan dan langsung digiling, kemudian diayak dengan cara yang sama. Tahap pertama adalah pembuatan formula untuk produk pasta sorgum. Formula produk terdiri dari komposisi tepung sorgum dan air dengan perbandingan 60 : 40; 70 : 30; dan 80 : 20 serta suhu gelatinisasi adonan dengan suhu 80, 90, dan 100 oC. Tepung sorgum dan air dicampur, kemudian dikukus menggunakan steam box selama 30 menit. Adonan selanjutnya diproses dengan ekstruder pasta sehingga menghasilkan untaian. Formula yang dapat membentuk untaian adalah formula yang digelatinisasi pada suhu 100 oC. Untaian ini kemudian dikukus kembali menggunakan kondisi proses yang sama dengan pengukusan pertama. Selanjutnya untaian mi sorgum digoreng dalam deep fat fryer dengan suhu 180oC, dengan lama penggorengan 1 dan 2 menit. Tahap selanjutnya adalah uji organoleptik rating hedonik sampel mi sorgum pada atribut warna, rasa, dan tekstur. Analisis kimia selanjutnya dilakukan untuk setiap formula yang terpilih. Analisis meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, kadar serat pangan, kadar mineral (Ca, Fe, dan Zn), dan analisis antioksidan. Formula terpilih dari hasil uji organoleptik adalah formula tepung sorgum non-sosoh 60% untuk waktu penggorengan 1 menit (mi sorgum non-sosoh) dan formula tepung sorgum sosoh 60% untuk waktu penggorengan 2 menit (mi sorgum sosoh). Hasil analisis menunjukkan kadar air dan kadar lemak sampel mi sorgum sosoh tidak berbeda nyata dengan mi sorgum non-sosoh. Kadar air sampel sebesar 6.21 – 6.22 % (bk) dan kadar lemak sampel 18.18 – 18.21 % (bk). Mi sorgum sosoh memiliki kadar protein 5.7%, sedikit lebih rendah daripada kadar protein mi sorgum non-sosoh 6.7%. Total serat pangan dalam mi sorgum non-sosoh sebesar 16.61%, lebih tinggi dibandingkan total serat pangan dalam mi sorgum sosoh, 14.03%. Mi sorgum sosoh memiliki kadar mineral Ca sebesar 67.02 ppm, 61.77 ppm Fe, dan 10.28 ppm Zn. Kadar mineral dalam mi sorgum non-sosoh adalah 315 ppm Ca, 64.24 ppm Fe, dan 12.86 ppm Zn. Pada analisis antioksidan didapatkan hasil aktivitas antioksidan sebesar 1.18 ppm AEAC / gram sampel untuk mi sorgum sosoh dan 1.93 ppm AEAC / gram sampel untuk mi sorgum non-sosoh.
iii
FORMULASI DAN ANALISIS NILAI GIZI PRODUK MI BERBASIS SORGUM (Sorgum bicolor (L.) Moench.)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh WONOJATUN F 24060686
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
iv
Judul Skripsi Nama NIM
: Formulasi dan Analisis Nilai Gizi Produk Mi Berbasis Sorgum (Sorghum Bicolor (L.) Moench.) : Wonojatun : F24060686
Menyetujui,
Pembimbing I,
(Dr.Ir. Endang Prangdimurti, MSi.) NIP: 19680723.199203.2.001
Pembimbing II,
(Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc.) NIP: 19490614.198503.2.001
Mengetahui : Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Dahrul Syah) NIP: 19650814.199002.1.001
Tanggal Lulus : 22 Oktober 2010
v
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Formulasi dan Analisis Nilai Gizi Produk Mi Berbasis Sorgum (Sorghum Bicolor (L.) Moench.) adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Oktober 2010 Yang membuat pernyataan
Wonojatun F 24060686
vi
© Hak cipta milik Wonojatun, tahun 2010 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
vii
BIODATA PENULIS Penulis merupakan putra ke-2 dari 3 bersaudara, dari pasangan Sriyono dan Catur Setyorini, dilahirkan di Tanjung Karang pada hari Rabu, 26 Oktober 1988. Penulis menempuh pendidikan formal tingkat sekolah dasar di SDN Kampung Sawah Lama, Lampung (1994-1995), SDN Malangjiwan 02 (19951999), dan SDN Karangasem 2 (1999-2000). Selanjutnya penulis melanjutkan studi di SLTP N 1 Surakarta (2000-2003) dan SMU N 3 Surakarta (20032006). Penulis kemudian melanjutkan studi di tingkat perguruan tinggi ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada tahun 2006. Setelah melalui tingkat persiapan bersama (TPB) selama 1 tahun, penulis berhasil mendapatkan Mayor Ilmu dan Teknologi Pangan di Fakultas Teknologi Pertanian. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif di dalam kegiatan organisasi kampus dan kepanitiaan. Penulis sempat menjadi staff IT Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) periode 2008-2009 dan Ketua Divisi Public Relation HIMITEPA periode 2009-2010. Penulis juga terlibat dalam berbagai kepanitiaan, yaitu menjadi Ketua Panitia BAUR 2008, LCTIP, HACCP, dan kepanitiaan lainnya. Penulis juga aktif dalam berbagai lomba tingkat universitas. Penulis mendapatkan juara I fotografi dalam ajang Red’s Cup dan Juara I Poster Ilmiah dalam ajang PIMNAS 2010 yang diadakan di Denpasar, Bali. Sebagai tugas akhir penulis melakukan penelitian dengan judul “Formulasi dan Analisis Nilai Gizi Produk Mi Berbasis Sorgum (Sorghum Bicolor (L.) Moench.)” di bawah bimbingan Dr.Ir. Endang Prangdimurti, MSi. dan Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc.
viii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berkah, ramhat, dan nikmat-Nya sehingga penulis selalu berada dalam keadaan sehat dan mampu menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Tenologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi yang berjudul “Formulasi dan Analisis Nilai Gizi Produk Mi Berbasis Sorgum (Sorghum Bicolor (L.) Moench.)” disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan di Laboratorium Pilot Plant SEAFAST, Laboratorium Biokimia Pangan dan Kimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. Penelitian ini merupakan bagian dari proyek penelitian yang didanai oleh KKP3T dengan Ketua Peneliti Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada : 1. Ibu Dr.Ir. Endang Prangdimurti, MSi. selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis dan selalu meluangkan waktunya untuk memberikan saran dan masukan kepada penulis. 2. Ibu Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, M.Sc. atas kesediaannya menjadi dosen pembimbing kedua dan memberi dana peneitian, serta selalu dengan senang hati memberi masukan yang sangat berarti kepada penulis. 3. Mama dan Papa yang selalu mendukung dan mendoakan anaknya. Mas Lanjar dan Dek Jati tersayang yang selalu memberikan semangat. 4. Segenap dosen pengajar ITP yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, atas ilmu, bimbingan, semua semua nasehat yang diberikan kepada penulis selama ini. 5. Para teknisi dan laboran ITP, Pak Jun, Pak Deni (SEAFAST), Pak Wahid, Ibu Rubiah, Pak Sobirin, Pak Gatot, Pak Yahya, Ibu Antin, Pak Yas, Pak Nur (PAU), Bang Aldi, pak Rozak, dan teknisi lainnya. Terimakasih atas kerjasama dan bantuan yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian. 6. Teman-teman 5 Berandal : Erick “China”, Riza “Bule Ganteng”, Arius “Dewa DOTa”, dan Abdi “Playboy Jawa”. Atas kebersamaan yang tak tergantikan, pengalaman hidup, dan semua sejarah yang tlah kita buat bersama. Semoga persaudaraan ini tetap terjaga selamanya. 7. Teman-teman Kost BARA 3-31 : Bayu Nata, Adi, Ade Riyan “Operator INBOX”, Faisal, Dari, Luqman, Hafez, Fadil, Mas Agung, Bang Upunk, Om Ryan, Om Roni, Pak Sapdja, Ferry, Rifky “Sumedang”, Wisnu, Novan. Terimakasih atas rasa kekeluargaan yang dibangun, kesenangan dan kesedihan yang kita bagi, pelajaran, nasehat, dan semua yang telah diberikan selama ini. Selain di rumah, disinilah aku menemukan kenyamanan itu. 8. Keluarga besar ITP’43 : Zega, Zatil, Dessyana, Saphie, Widi, Neng, Arini, Steph GH, Helena, Risma, Yessica “Cumi”, Kandi, Tantee, Dion, Stedi, Nina, Tito, Selma, Anto, Steffanus, Febri, Dhimas, Cing2, Manik, Stella K, Feriana, Erin, Steph, Lingga, Hasti, Roni, Dewi, Jali, Angga, dan teman-teman yang tak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih atas kebersamaan, dukungan, doa, masukan, caci-maki, kenangan yang sulit dilupakan. Terimakasih kepada seseorang yang telah memberikan kenangan yang berarti dalam hidupku selama berada di bangku kuliah. Semoga rasa kekeluargaan ini dapat terus dibina dan tak pernah putus.
ix
9.
Staff PITP yang telah membantu penulis mencari bahan pustaka untuk melengkapi penulisan skripsi. 10. Staff UPT ITP,Ibu Novi dan kawan-kawan, yang sudah bersedia melayani administrasi perkuliahan dari awal masuk sampai penulis lulus. Masih banyak pihak-pihak yang belum disebutkan diatas, terimakasih banyak atas bantuannya selama ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak. Skripsi ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi bagi mahasiswa atau pihak industri dalam mengembangkan produk sorgum. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, sehingga penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Oktober 2010
Wonojatun
x
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ix DAFTAR TABEL .............................................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................................... xiv I.
PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1 A. LATAR BELAKANG.................................................................................................... 1 B. TUJUAN ....................................................................................................................... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................................... 2 A. SORGUM ...................................................................................................................... 2 B. ANTIOKSIDAN ............................................................................................................ 8 C. TEKNOLOGI EKSTRUSI ............................................................................................. 10 III. METODE PENELITIAN ..................................................................................................... 13 A. BAHAN DAN ALAT .................................................................................................... 13 B. METODE PENELITIAN ............................................................................................... 13 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................ 20 A. PENEPUNGAN SORGUM ............................................................................................ 20 B. HASIL UJI COBA PROSES EKSTRUSI ....................................................................... 20 C. FORMULASI ................................................................................................................ 21 D. UJI ORGANOLEPTIK .................................................................................................. 23 E. ANALISIS KIMIA ......................................................................................................... 28 F. KADAR SERAT PANGAN............................................................................................ 29 G. KADAR MINERAL Ca, Fe, DAN Zn ............................................................................ 30 H. ANALISIS ANTIOKSIDAN .......................................................................................... 31 V. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................................. 33 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 34 LAMPIRAN ....................................................................................................................... 37
xi
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Perbandingan kandungan nutrisi berbagai jenis serealia ........................................... 4
Tabel 2.
Komposisi kimia biji sorgum .................................................................................. 4
Tabel 3.
Persebaran daerah penghasil sorgum di Indonesia.................................................... 7
Tabel 4.
Produktivitas sorgum di Indonesia........................................................................... 8
Tabel 5.
Perbandingan tepung sorgum dan air untuk uji coba proses ekstrusi ......................... 14
Tabel 6.
Sidik ragam rancangan blok acak lengkap ............................................................... 19
Tabel 7.
Hasil uji coba proses ekstrusi .................................................................................. 21
Tabel 8.
Formula mi sorgum sosoh ....................................................................................... 22
Tabel 9.
Formula mi sorgum non sosoh ................................................................................ 22
Tabel 10.
Hasil uji ranking kesukaan ...................................................................................... 27
Tabel 11.
Hasil analisis kimia ................................................................................................. 28
Tabel 12.
Kandungan Mineral Ca, Fe, dan Zn Mi Sorgum....................................................... 31
Tabel 13.
Pemenuhan persen AKG mineral Ca, Fe, dan Zn mi sorgum .................................... 31
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Struktur biji sorgum .............................................................................................. 3
Gambar 2.
Struktur asam fenolik pada sorgum yaitu asam benzoat dan asam sinamat ........................................................................................................ 4 Gambar 3. Struktur antosianin pada sorgum yaitu apigenidin dan luteolinidin ..................................................................................................... 5 Gambar 4.
Struktur tanin atau proantosianidin pada sorgum.................................................... 6
Gambar 5.
Reaksi reduksi terhadap warna dari senyawa DPPH ............................................... 9
Gambar 6.
Contoh tipe die yang digunakan pada ekstruder ..................................................... 10
Gambar 7. Ekstruder ulir tunggal ........................................................................................... 11 Gambar 8. Ekstruder Ulir Ganda ............................................................................................ 12 Gambar 9.
Diagram alir pembuatan tepung sorgum sosoh ....................................................... 13
Gambar 10. Diagram alir pembuatan tepung sorgum non-sosoh ................................................ 14 Gambar 11. Diagram alir pembuatan mi sorgum....................................................................... 15 Gambar 12. Produk mi sorgum................................................................................................. 22 Gambar 13. Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut rasa produk yang digoreng selama 1 menit.................................................................... 23 Gambar 14. Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut rasa produk yang digoreng selama 2 menit.................................................................... 24 Gambar 15. Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut warna produk yang digoreng selama 1 menit.................................................................... 25 Gambar 16. Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut warna produk yang digoreng selama 2 menit.................................................................... 25 Gambar 17. Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut tekstur produk yang digoreng selama 1 menit.................................................................... 26 Gambar 18. Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut tekstur produk yang digoreng selama 2 menit.................................................................... 27 Gambar 19. Kadar serat pangan mi sorgum .............................................................................. 30 Gambar 20. Aktivitas antioksidan mi sorgum ........................................................................... 32
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Karakterisasi tepung sorgum dengan Brabender amilograph ............................... 38
Lampiran 2.
Kuesioner uji rating hedonik ............................................................................... 39
Lampiran 3.
Kuesioner uji ranking hedonik ............................................................................ 40
Lampiran 4.
Hasil analisis uji rating hedonik atribut rasa (1 menit penggorengan) ................... 41
Lampiran 5.
Hasil analisis uji rating hedonik atribut rasa (2 menit penggorengan) ................... 42
Lampiran 6.
Hasil analisis uji rating hedonik atribut warna (1 menit penggorengan)................ 43
Lampiran 7.
Hasil analisis uji rating hedonik atribut warna (2 menit penggorengan)................ 44
Lampiran 8.
Hasil analisis uji rating hedonik atribut tekstur (1 menit penggorengan).............. 45
Lampiran 9.
Hasil analisis uji rating hedonik atribut tekstur (2 menit penggorengan).............. 46
xiv
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Ketahanan pangan adalah suatu kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan di tingkat rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik dalam jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau (Winarno, 2003). Ketahanan pangan harus dijaga dan diperjuangkan karena hal ini merupakan bagian dari ketahanan nasional yang memiliki peranan sangat penting. Salah satu cara untuk memperkuat ketahanan pangan nasional adalah diversifikasi pangan. Program diversifikasi pangan berbasis pangan lokal saat ini digalakkan oleh pemerintah bertujuan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras dan gandum. Sumber daya lokal yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah sorgum. Sorgum (Sorgum bicolor (L.) Moench.) adalah tanaman serealia yang dapat tumbuh dengan baik di banyak tempat dengan iklim yang tidak menguntungkan tanaman lain, namun hal ini menghasilkan karakteristik nutrisi yang tidak konsisten. Hasil pertanian sorgum di Indonesia sebagian besar digunakan untuk industri pakan ternak. Di samping itu peningkatan penggunaan sorgum sebagai bahan pangan masih sangat terbatas. Indonesia sendiri kurang mengenal tanaman sorgum apabila dibandingkan dengan negara-negara penghasil sorgum lainnya seperti India, China, Nigeria, dan Amerika Serikat. Oleh karena itu perlu dilakukan sosialisasi sorgum dalam bentuk pangan yang disukai oleh masyarakat. Sorgum mengandung senyawa – senyawa polifenol yang memiliki daya antioksidan sangat besar, lebih besar dari vitamin E dan vitamin C yang selama ini dikenal sebagai antioksidan alami (Awika dan Rooney, 2004). Sorgum yang dikembangkan di Indonesia yaitu jenis Kawali, telah diteliti aktivitas biologisnya dan diketahui memiliki kemampuan menstimulasi proliferasi sel limfosit manusia (Yanuar, 2009). Penelitian yang mencakup pengolahan serelia lokal dan manfaat kesehatan serealia lain selain beras dan gandum diharapkan dapat mendorong peningkatan konsumsi, produksi dan budidaya sorgum. Serealia yang banyak mengandung karbohidrat jika diolah secara tepat dapat menghasilkan produk sumber karbohidrat yang mengandung zat-zat gizi lain seperti vitamin, mineral, serat dan antioksidan. Komponen serat dan antioksidan serealia mulai banyak dipublikasikan sebagai komponen yang berdampak positif terhadap kesehatan.
B. TUJUAN Memperoleh produk mi berbahan dasar sorgum 100% yang disukai panelis. Selain itu dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh tambahan data dan informasi ilmiah mengenai khasiat produk sorgum yaitu khususnya aktivitas antioksidannya.
1
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. SORGUM 1. Botani sorgum Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman yang termasuk di dalam famili Graminae bersama dengan padi, jagung,tebu, dan gandum. Sorgum termasuk dalam genus Sorghum, ordo Cyperales, kelas Liliopsida/Monokotiledon, divisi Magnoliophyta, superdivisi Spermatophyta, subkingdom Tracheobionta, dan kingdom Plantae. Sorgum memiliki istilah yang berbeda-beda di tiap daerah. Sorgum dikenal dengan nama ’cantel’ di Jawa Tengah dan Jawa Timur, ’jagung cantrik’ di daerah Jawa Barat, dan ’batara tojeng’ di Sulawesi Selatan (Suprapto dan Mudjisihene, 1987). Tanaman sorgum dapat tumbuh mencapai ketinggian antara 2 sampai 15 kaki. Batangnya hampir menyerupai tanaman jagung. Namun jika dibandingkan dengan jagung, sorgum memiliki akar sekunder lebih banyak dan luas daunnya lebih kecil. Tanaman sorgum dibagi dalam dua kelompok, yaitu sorgum yang berumur pendek (musiman) dan sorgum tahunan (Sorghum halepensis). Sorgum musiman terdiri atas empat keluarga, yaitu sorgum makanan ternak (sweet sorghum) yang batangnya mengandung gula sehingga dapat digunakan untuk membuat sirup dengan cara memeras batangnya, kemudian hasil perasannya direbus; sorgum penghasil biji-bijian (grain sorghum), batang dan daunnya dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak; sorgum sapu (broom sorghum), banyak ditanam di Amerika Serikat, dapat dimanfaatkan untuk membuat sapu dan sikat; yang terakhir adalah sorgum rumput (grass sorghum), dikenal sebagai rumput Sudan di Indonesia, memiliki sifat tahan kering. Sorgum tahunan tidak menghasilkan biji, namun dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Rismunandar, 1989). Sorgum yang digunakan dalam penelitian ini termasuk ke dalam jenis grain sorghum. Tanaman sorgum termasuk tanaman yang tahan kekeringan karena daun sorgum dilapisi dengan sejenis lilin yang agak tebal dan berwarna putih. Lapisan lilin ini memiliki fungsi menahan atau mengurangi penguapan air pada tanaman. Selain dapat menghadapi kekeringan, tanaman sorgum juga mempunyai daya regenerasi yang cukup kuat serta lebih tahan terhadap serangan hama daripada tanaman jagung. Tanaman sorgum banyak ditanam di daerah beriklim panas dan daerah beriklim sedang. Sorgum dibudidayakan pada ketinggian 0-700 m di atas permukaan laut. Tanaman ini dapat tumbuh pada suhu lingkungan 23o-34oC dengan suhu optimum berkisar antara 23o-30oC dengan kelembaban relatif 20-40%. Tanaman sorgum tahan terhadap kekeringan dan pemupukan berat. Karena kedua sifat ini, produksi sorgum memiliki prospek untuk ditingkatkan (Rismunandar, 1989; Suprapto dan Mudjisihene, 1987).
2.
Struktur biji sorgum Biji sorgum memiliki bentuk bulat lonjong dengan ukuran sekitar 4 x 2,5 x 3,5 mm. Komponen utama biji sorgum adalah perikarp, testa, endosperm dan embrio. Gambar penampang biji/ bulir sorgum dapat dilihat pada Gambar 1. Biji sorgum termasuk jenis kariopsis (caryopsis) yaitu seluruh perikarp bergabung dengan endosperma. Perikarp merupakan bagian terluar dari biji yang melapisi endosperma. Perikarp terdiri dari tiga lapisan, yaitu epikarp, mesokarp, dan endokarp.
2
Epikarp lebih lanjut dibagi menjadi epidermis dan hipodermis. Terkadang, zat pigmen terdapat dalam epidermis. Zat pigmen tersebut berwarna putih, kuning, jingga, dan merah (FAO, 1995; Suprapto dan Mudjisihene, 1987).
Gambar 1. Struktur biji sorgum (Suarni dan Singgih, 2002) Bagian terbesar dari biji serealia adalah endosperma (81-84%). Endosperm terdiri dari bagian corneous endosperm (lapisan luar) dan floury endosperm (lapisan dalam). Corneous endosperm keras dan bening seperti kaca, sedangkan floury endosperm lebih lembut dan agak keruh. Sel-sel aleuron mengandung banyak mineral, vitamin B kompleks, minyak, dan mengandung beberapa enzim hidrolisis. Endosperma peripheral terdiri dari sel berbentuk persegi panjang yang mengandung granula pati dan terselubung oleh matriks protein (FAO, 1995; Suprapto dan Mudjisihene, 1987). Dua bagian utama dari lembaga (germ) adalah embryonic axis dan scutellum. Scutellum merupakan jaringan penyimpanan yang kaya lemak, protein, enzim, dan mineral. Minyak pada lembaga sorgum kaya asam lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated) dan mirip seperti minyak jagung (FAO, 1995).
3.
Sifat dan komposisi kimia biji sorgum Pati merupakan bentuk karbohidrat yang paling banyak terdapat di sorgum. Sekitar 70-80% pati sorgum adalah amilopektin, sisanya adalah amilosa.Varietas waxy atau glutenous sorgum mengandung amilosa dalam jumlah sangat sedikit karena hampir 100% adalah amilopektin (FAO, 1995). Kandungan nutrisi sorgum dibandingkan dengan beras, jagung, dan gandum dapat dilihat pada Tabel 1. Kadar zat karbohidrat yang tinggi memungkinkan biji sorgum digunakan sebagai bahan baku pangan berupa tepung sorgum. Komposisi kimia dari biji sorgum dapat dilihat pada Tabel 2. Protein pada sorgum dapat dikategorikan menjadi empat jenis protein berdasarkan sifat kelarutannya, yaitu albumin (larut air), globulin (larut garam), prolamin/gliadin(larut alkohol), dan glutelin (larut asam atau basa). Menurut Suarni (2004), meskipun tepung sorgum memiliki glutelin dan gliadin, akan tetapi protein tepung sorgum kurang memiliki kemampuan untuk membentuk gluten jika dibandingkan dengan terigu. Sifat tepung sorgum yang tidak memiliki gluten yang sama seperti gluten terigu memungkinkan tepung
3
sorgum dapat digunakan dalam pembuatan produk makanan yang bebas gluten atau gluten free (Rooney, 2003; Anonim, 2010) Tabel 1. Perbandingan kandungan nutrisi berbagai jenis serealia (per 100g edible portion; 12% kadar air) Protein (g)
Sumber Beras Gandum Jagung Sorgum
7.9 11.6 9.2 10.4
Lemak (g)
Serat kasar (g)
2.7 2.0 4.6 3.1
1.0 2.0 2.8 2.0
Karbohidrat (g) 76.0 71.0 73.0 70.7
Energi (kcal)
Ca (mg)
Fe (mg)
362.0 348.0 358.0 329.0
33.0 30.0 26.0 25.0
1.8 3.5 2.7 5.4
Sumber : FAO,1995
Bagian Biji Biji Utuh Endosperm Kulit Biji Lembaga Sumber
Tabel 2. Komposisi kimia biji sorgum Komposisi Kimia Biji Sorgum (%) Karbohidrat Protein Lemak Abu 73.80 10.40 3.10 1.67 *80.96 *6.23 *0.98 *1.49 82.50 12.30 0.60 0.37 34.60 6.70 4.90 2.02 13.40 18.90 28.10 10.36
Serat 2.00 *10.34 1.30 8.60 2.60
: www.fao.org : *Yanuar (2009), Sorghum bicolor L.
Sorgum mengandung berbagai senyawa bioaktif yang beberapa diantaranya adalah komponen fenolik, sterol tanaman dan polikosanol (stanol). Komponen fenolik pada sorgum dapat dikategorikan ke dalam dua bagian besar, yaitu asam fenolat dan flavonoid. Asam fenolat merupakan turunan asam benzoat atau asam sinamat, sedangkan tanin dan antosianin termasuk ke dalam flavonoid (Awika dan Rooney, 2004). Fenol membantu dalam pertahanan alami tanaman melawan hama dan penyakit, sedangkan sterol tanaman dan polikosanol merupakan komponen penting dari lilin dan minyak tanaman (Rooney dan Serna, 2000). Struktur asam fenolik dari sorgum dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur asam fenolik pada sorgum yaitu asam benzoat dan asam sinamat (Awika dan Rooney, 2004)
4
Antosianin merupakan salah satu kelas utama dari komponen flavonoid yang paling banyak dipelajari dari sorgum. Antosianin sorgum tidak seperti antosianin pada umumnya. Antosianin yang terkandung dalam sorgum dinilai unik karena strukturnya tidak memiliki gugus hidroksil pada cincin karbon (C) nomor 3 sehingga dinamakan 3-deoksiantosianin. Keunikan tersebut menyebabkan antosianin pada sorgum lebih stabil pada pH tinggi dibanding antosianin yang diisolasi dari buah atau sayuran pada umumnya. Antosianin pada sorgum yang telah diidentifikasi adalah apigenidin dan luteolinidin (Awika dan Rooney, 2004). Struktur apigenidin dan luteolinidin dapat dilihat pada Gambar 3.
R1 = H1R2 = H1R3 = H :apigenidin R1 = OH1R2 = H1R3 = H : luteolinidin Gambar 3. Struktur antosianin pada sorgum yaitu apigenidin dan luteolinidin (Awika dan Rooney, 2004) Komponen flavonoid lain yang ada pada sorgum selain antosianin adalah senyawa tanin. Tanin adalah senyawa fenolik yang larut dalam air dengan berat molekul antara 5003000 kDa. Senyawa tanin pada sorgum memiliki berbagai peranan, antara lain dengan bertindak sebagai fitoaleksin dan meningkatkan rasa astringen sehingga sorgum tidak disukai oleh predator seperti burung, serangga, dan kapang (Fusarium tapsinum dan Aspergillus flavus). Tanin dari sorgum menunjukkan aktivitas antioksidan yang sangat tinggi secara in vitro (Riedl dan Hagerman, 2001). Tanin yang memiliki berat molekul tinggi memiliki aktivitas antioksidan terbaik dibandingkan antioksidan alami lainnya. Hal tersebut berhubungan dengan banyaknya jumlah cincin aromatik dan gugus hidroksil yang dimiliki oleh tanin, dimana semakin banyak jumlah cincin aromatik dan gugus hidroksil akan semakin tinggi pula aktivitas antioksidannya. Tanin dinilai sebagai salah satu antioksidan yang potensial bagi tubuh karena tidak dapat berperan sebagai prooksidan (Hagerman et al, 1998). Struktur tanin pada sorgum dapat dilihat pada Gambar 4. Proantosianidin dalam bentuk monomer sampai trimer dapat diserap dengan baik oleh sel monomer usus (Deprez et al., 2001). Proantosianidin yang tidak mampu didegradasi oleh enzim-enzim pencernaan akan didegradasi oleh mikroflora usus besar menjadi asam fenolik yang nantinya akan diserap. Asam fenolik lebih mudah diserap dibandingkan komponen fenol lainnya karena ukurannya yang kecil (Scalbert et al., 2002). Sebagian besar asam fenolik sorgum ada dalam bentuk teresterifikasi dengan dinding sel. Asam fenolik terikat yang terkandung dalam sorgum berjumlah kurang lebih 85% dari total asam fenolik.
5
Gambar 4. Struktur tanin atau proantosianidin pada sorgum (Awika dan Rooney, 2004) Sorgum memiliki beragam efek positif bagi kesehatan yang berkaitan erat dengan berbagai komponen bioaktifnya, terutama senyawa fenolik (Awika dan Rooney, 2004). Peranan sorgum dalam pencegahan cardiovascular disease (CVD) dilaporkan oleh Cho et al (2000) dengan menyatakan bahwa ekstrak heksana sorgum dapat menghambat pembentukan 3-hidroksi-3-metilglutaril CoA (HMG-CoA) reduktase pada sel hati tikus. Penelitian dari Lee dan Pan (2003) juga melaporkan bahwa senyawa tanin sorgum mampu menghambat 63-97% oksidasi asam linoleat pada hemoglobin dibandingkan kedelai (13%) dan dedak padi (78%). Sorgum mempunyai peranan dalam membantu ketersediaan pangan bagi penderita diabetes militus dan obesitas. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Awika dan Rooney (2004) yang menyatakan bahwa senyawa tanin yang ada dalam sorgum menyebabkan sorgum dicerna lebih lambat dibanding serealia lain. Tanin akan menurunkan nilai nutrisi dari makanan yang dikonsumsi dengan cara berikatan dengan protein (Hagerman dan Butler, 1981) dan karbohidrat (Lizardo et al, 1995) membentuk komplek yang sulit didegradasi oleh enzim-enzim pencernaan (Muriu et al, 2002). Sorgum memiliki aktivitas mutagenik yang disumbangkan oleh senyawa tanin yang dimilikinya. Penelitian Grimmer et al (1992) menunjukkan bahwa senyawa tanin sorgum memiliki aktivitas anti mutagenik lebih tinggi dibanding senyawa lain dengan berat molekul lebih rendah. Sebuah studi menunjukkan bahwa tanin sorgum dapat mereduksi kanker kolon pada tikus percobaan, dengan cara pemberian diet berupa dedak sorgum hitam, selulosa, dan sorgum putih (Turner et al, 2006). Aktivitas antikanker kolon terbaik didapat dari dedak sorgum hitam. Hasil yang didapatkan juga berkorelasi dengan adanya aktivitas antioksidan dari sorgum. Tanin tidak terdegradasi setelah melewati saluran pencernaan manusia. Menurut Rios et al (2002), tanin baru akan didegradasi oleh mikroflora kolon menjadi asam fenolik yang berperan sebagai antioksidan di dalam sistem pencernaan di kolon.
6
4.
Potensi sorgum sebagai sumber pangan Beberapa varietas sorgum telah dikembangkan di Indonesia. Total terdapat 9 jenis varietas yang dijadikan varietas sorgum unggulan Indonesia yaitu : UPCA, Keris, Mandau, Higari, Badik, Gadam, Sangkur, Numbu dan Kawali. Beberapa daerah telah menjadi sentra produksi sorgum di Indonesia. Tabel 3 di bawah ini menunjukkan daerah-daerah penghasil sorgum berdasarkan data yang terdapat di Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian (2007). Tabel 3. Persebaran daerah penghasil sorgum di Indonesia Propinsi
Daerah Penghasil
Jawa Barat
Indramayu, Cirebon,
Peta Persebaran
Kuningan, Ciamis, Garut, Cianjur dan Sukabumi Jawa Tengah
Tegal, Kebumen, Kendal, Demak, Grobogan, Boyolali, Sukoharjo dan Wonogiri
Jawa Timur
Pacitan, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Bangkalan, Pamekasan, Sampang, Sumenep, Pasuruan, Probolinggo, Malang dan Lumajang
NTB
Lombok Tengah, Sumbawa, Dompu dan Bima
NTT
Sumba Barat, Sumba Timur, Manggarai, Ngada, Ende, Sikka, Flores Timur, Lembata, Alor, Timor Tengah Utara, Kupang, Belu, Timor Tengah Selatan dan Rote Ndao
Sumber : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian (2007).
7
Rata-rata produktivitas sorgum di daerah-daerah penghasil sorgum cukup bervariasi. Data produktivitas daerah-daerah penghasil sorgum di Indonesia yang teridentifikasi pada tahun 2003 diperlihatkan pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Produktivitas sorgum di Indonesia Tempat Luas tanam (ha) Produksi (t) Produktivitas (ha/t) Jawa Tengah 15.309 17.350 1,13 Jawa Timur 5.963 10.522 1,76 DI Yogyakarta 1.813 670 0,37 Nusa Tenggara Barat 30 54 1,80 Nusa Tenggara Timur 26 39 1,50 Sumber : Sirappa, 2003
Sorgum bisa dimanfaatkan untuk membuat bir. Sorgum dengan warna coklat gelap dipilih dalam pembuatan bir di Tanzania, Afrika Tengah, dan Afrika Utara. Di tempat lain, yaitu Buganda, biji sorgum yang dipilih adalah yang berwarna coklat dan rasanya pahit. Namun di tempat lain, biji sorgum yang berwarna putih dijadikan pilihan untuk membuat bir. Tepung terigu dapat disubstitusi oleh tepung sorgum dalam pembuatan roti, mi, pasta, dan kue kering. Untuk kue kering, taraf subsitusinya mencapai 50-80%, (Suarni, 2004). Substitusi ini perlu diikuti dengan penambahan tepung maizena sebagai bahan perekat dan bumbu kue untuk menekan rasa sepat dari tepung sorgum.
B. ANTIOKSIDAN Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat memperlambat dan mencegah proses oksidasi akibat radikal bebas. Antioksidan dinyatakan sebagai senyawa yang secara nyata dapat memperlambat oksidasi, walaupun dengan konsentrasi yang lebih rendah dibanding substrat yang dapat dioksidasi (Pokornya et al, 2008). Radikal bebas tidak lagi menjadi reaktif dan tidak merusak sel setelah menerima elektron dari antioksidan yang menyebabkan proses oksidasi terputus. Antioksidan sangat beragam jenisnya. Berdasarkan sumbernya, antioksidan digolongkan menjadi dua, yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Antioksidan sintetik diperoleh melalui proses sintesa secara kimiawi. Antioksidan alami yang ada dalam makanan dapat berasal dari satu atau beberapa komponen yang terbentuk dari reaksi selama pengoalahan. Antioksidan alami juga bisa berasal dari isolasi senyawa yang ada di sumber-sumber alami, kemudian digunakan sebagai bahan tambahan pangan. Proses oksidasi yang disebabkan oleh radikal bebas terdiri dari tiga tahap utama, yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi (Gordon, 1990). Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut : Inisiasi Propagasi Terminasi
: RH → R• + H• : R• + O2→ ROO• : ROO• + RH→ ROOH + R• : ROO• + ROO• R• + ROO• R• + R•
(1) (2) (3) (4)
8
Pada tahap inisiasi (reaksi 1) terjadi pembentukan senyawa radikal yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat dari hilangnya satu atom hidrogen. Pada tahap propagasi, radikal asam lemak akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi (reaksi 2). Radikal peroksi akan menyerang asam lemak menghasilkan hidroperoksida dan radikal asam lemak baru (reaksi 3). Tanpa adanya antioksidan, reaksi oksidasi lemak akan mengalami terminasi dengan membentuk kompleks radikal bebas (reaksi 4). Hidroperoksida yang terbentuk bersifat tidak stabil kemudian terdegradasi lebih lanjut menghasilkan senyawa-senyawa karbonil rantai pendek seperti aldehida, keton, dan alkohol. Senyawa fenolik dapat mencegah terjadinya autooksidasi yang disebabkan radikal bebas karena termasuk golongan antioksidan (Tang, 1992). Peranan senyawa fenolik sebagai antioksidan berkaitan dengan perannya sebagai donor atom hidrogen pada senyawa radikal. Antioksidan akan bereaksi dengan senyawa radikal, terutama radikal peroksi (ROO•), reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut ; ROO• + AH2 → ROOH + AH• AH• + AH• → A + AH2
(5) (6)
Senyawa fenolik akan bertindak sebagai donor hidrogen (reaksi 5) atau akseptor radikal peroksi terhadap senyawa radikal. Setelah terjadi reaksi antara antioksidan fenolik dengan senyawa radikal, radikal fenolik yang tidak cukup aktif akan terbentuk untuk melakukan reaksi propagasi. Radikal fenolik ini pada umumnya akan diinaktivasi menggunakan radikal lainnya sehingga membentuk produk yang tidak aktif (reaksi 6). Metode DPPH adalah salah satu metode yang banyak digunakan untuk menentukan aktivitas antioksidan suatu bahan. DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) merupakan senyawa radikal bebas stabil dalam larutan metanol yang berwarna ungu tua. Reaksi reduksi terhadap warna dari senyawa DPPH dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Reaksi reduksi terhadap warna dari senyawa DPPH (Anonim,2009) Reduksi senyawa DPPH oleh antioksidan menyebabkan terjadinya pengurangan intensitas warna dari larutan DPPH. Pemudaran warna ini akan mengakibatkan penurunan nilai absorbansi sinar tampak dari pembacaan spektrofotometer. Reaksi yang terjadi adalah pembentukan α,α-diphenyl-β-picrylhydrazine, melalui kemampuan antioksidan menyumbang hidrogen. Semakin pudarnya warna larutan DPPH setelah direaksikan dengan antioksidan menunjukkan aktivitas antioksidan yang semakin besar pula.
9
C. TEKNOLOGI EKSTRUSI 1. Proses ekstrusi Ekstrusi adalah proses pengolahan pangan yang mengkombinasikan beberapa proses secara berkesinambungan antara lain pencampuran, pemasakan, pengadonan, shearing, dan pembentukan. Bahan pangan dipaksa mengalir di bawah pengaruh kondisi operasi melalui suatu cetakan yang dirancang untuk membentuk hasil ekstrusi dalam waktu singkat (Fellows, 2000). Adonan bisa mengalir karena adanya pengaruh tekanan shear (σ). Tekanan ini tergantung pada kecepatan shear dan viskositas bahan. Pada aliran newtonian terjadi hubungan linear antara tekanan shear dan kecepatan shear. Aliran ini biasanya terdapat pada aliran Gas. Bahan pangan yang mengandung senyawa-senyawa biopolimer seperti pati dan protein sifat alirannya mengikuti kaidah non-newtonian (Harper, 1981). Harper (1981) membagi aliran non-newtonian menjadi tiga jenis yaitu : aliran Bingham plastic, pseudoplastic, dan dilatant. Bingham plastic adalah aliran yang memerlukan stress awal sebelum mengalir, biasanya terdapat pada saus tomat, jelly, dan keju. Pseudoplastic adalah aliran yang memiliki penurunan viskositas dengan semakin besar shear. Bahan pangan yang diekstrusi mempunyai tipe aliran pseudoplastic. Aliran dilatant merupakan kebalikan dari aliran pseudoplastic, kenaikan shear rate akan meningkatkan viskositas bahan yang mengalir seperti madu. Dewasa ini ekstrusi telah berkembang penerapannya untuk produk yang perlu dimasak/dimatangkan. Salah satu kunci dalam beranekaragamnya hasil produk ekstrusi terletak pada bagian die-nya, dari sinilah bahan akan didorong keluar. Fungsi die dalam pembuatan produksi pasta telah meningkatkan keragaman penggunaannya dalam menghasilkan produk dengan berbagai macam bentuk, kandungan air, dan konsistensi. Beberapa tipe die yang digunakan pada ekstruder dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Contoh tipe die yang digunakan pada ekstruder (Anonim, 2009)
2.
Definisi ekstruder Ekstruder adalah alat untuk melakukan proses ekstrusi (Harper, 1981). Fungsi ekstruder meliputi gelatinisasi, pemotongan molekuler, pencampuran, sterilisasi, pembentukan, dan pengeringan. Kombinasi satu atau lebih fungsi-fungsi tersebut merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam proses ekstrusi. Berdasarkan jumlah ulirnya, ekstruder terbagi atas ekstruder berulir tunggal dan ekstruder berulir ganda. Ekstruder berulir tunggal terdiri atas ulir silinder yang berputar pada barel yang juga berbentuk silinder (Fellows, 2000). Ektruder ini banyak digunakan
10
dalam pengembangan produk baru seperti makanan ringan, makanan bayi, makanan ternak, breakfast cereal, atau produk modifikasi pati. Selain itu juga digunakan untuk menghasilkan produk pasta, cookies, atau permen. Biaya investasi dan biaya operasi ekstruder berulir tunggal lebih rendah daripada biaya ekstruder berulir ganda, selain itu tidak dibutuhkan tenaga ahli untuk pengoperasian dan perawatan eksturder berulir tunggal (Fellows, 2000). Fellows (2000) membagi ekstruder berulir tunggal berdasarkan kemampuan memotongnya menjadi tiga kelompok, yaitu : (1) High shear extruder, memiliki kecepatan tinggi yang diperlukan dalam pembuatan breakfast cereal dan snack; (2) Medium shear extruder, biasanya untuk breading dan texturized protein; (3) Low shear extruder, memiliki sayap yang dalam dan berkecepatan rendah sehingga menghasilkan tekanan rendah yang cocok untuk pembentukan pasta, produk daging dan gums. Ekstruder ulir ganda terbagi atas lima kelompok berdasarkan arah perputaran dan keterkaitan ulir, yaitu : ulir berputar searah dan saling berkaitan, ulir berputar searah dan tidak berkaitan, ulir berputar berlawanan saling berkaitan, ulir berputar berlawanan dan tidak berkaitan, dan berbentuk kerucut berkaitan (Huber, 2001). Keuntungan utama menggunakan ulir ganda menurut Fellows (2000) adalah memiliki kemampuan operasi yang lebih fleksibel yakni dengan mengubah derajat penghancuran ulir, jumlah sayap atau sudut ujung ulir. Ekstruder ulir tunggal tidak memiliki sumber panas berupa steam (uap panas) untuk memanaskan jaket pemanas. Semua produk dipanaskan dengan gaya friksi secara mekanik atau gaya gesek. Ekstruder tunggal ini bisa memproses bahan-bahan baku yang mempunyai kadar air 10 – 40 %, tergantung pada campuran dari formula bahan. Bagan melintang dari ekstruder ulir tunggal bisa dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Ekstruder ulir tunggal (Anonim, 2009) Terdapat perbedaan yang nyata antara ekstruder ulir tunggal dan ganda dalam hal mekanisme pergerakan bahan. Pada ekstruder ulir tunggal, daya untuk menggerakkan bahan berasal dari pengaruh dua gesekan, yang pertama adalah gesekan dari ulir dan bahan sedangkan yang kedua adalah gesekan antara dinding barrel ekstruder dan bahan. Ekstruder ulir tunggal membutuhkan dinding barrel ekstruder untuk menghasilkan kemampuan menggerakkan yang baik, maka dari itulah dinding selubung ekstruder pada ekstruder ulir tunggal memainkan peran penting dalam menentukan rancangan ekstruder .
11
Gambar 8. Ekstruder Ulir Ganda (Twin Screw Extruder) (Anonim, 2009)
3.
Tahapan proses ekstrusi Proses pengolahan ekstrusi dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pra ekstrusi, ekstrusi, dan tahap seletah ekstrusi (post-extrusion). Tahapan ini sangat bergantung pada kebutuhan pengolah, jenis produk yang akan dihasilkan, dan proses pengolahan apa saja yang akan dilakukan. Tahap pra ekstrusi melibatkan dua langkah utama, yaitu pencampuran (blending) dan penambahan air (moisturizing). Blending adalah pencampuran berbagai komponen bahan yang akan diekstrusi sesuai dengan formulasi yang telah ditentukan. Ukuran bahan sangat diperhatikan, begitu juga dengan cara mencampur bahan. Pada moisturizing, cara penambahan air harus dapat menjamin penyebaran kelembaban yang merata pada campuran adonan bahan mentah. Ketidakseragaman penyebaran air akan menyebabkan kondisi ekstrusi yang sukar diprediksi. Hal ini dapat menimbulkan hasil yang tidak konsisten. Tahap kedua adalah proses ekstrusi. Mesin yang digunakan pada tahap ini ialah berbagai jenis ekstruder dan beragam aksesorisnya sesuai kebutuhan. Produk yang keluar dari tahap ini disebut ekstrudat. Ekstrudat dapat merupakan produk akhir ekstrusi atau produk yang perlu diolah lebih lanjut, tergantung dari kebutuhan pengolah. Tahap yang terakhir adalah post-extrusion. Mesin yang digunakan dalam tahap ini adalah mesin pengering, flavouring, pemanggang, pelapis, pendingin, dll. Mesin yang digunakan disesuaikan dengan kebutuhan pengolah. Perkembangan teknologi di bidang ekstrusi yang pesat membuat mesin-mesin tersebut dapat dipasangkan pada ekstruder. Rancangan dari peralatan yang digunakan selama pengolahan post-extrusion tergantung pada banyak faktor. Salah satu faktor yang utama adalah karakteristik fisik dari produk dasar (ukuran dan bentuk) dan karakteristik pada produk akhir yang diinginkan. Hal ini akan berpengaruh pada daya terima konsumen saat produk dipasarkan.
12
III. METODE PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama dalam proses pembuatan produk ekstrusi pasta ini adalah tepung sorgum dari sorgum varietas Kawali yang diperoleh dari salah satu supplier di Gunung Kidul (Jawa Tengah), serta bahan-bahan untuk analisis kimia. Alat yang digunakan meliputi satake grain mill, disc mill, automatic siever, ekstruder pasta (model MS9, Multifunctional noodle modality machine, Guangdong Henglian Food Machine Co., Ltd., China), Brabender amylograph, oven steam, deep fat fryer, neraca, wadah plastik. Alat untuk analisis yang digunakan adalah pipet mohr, neraca analitik, gelas kimia, gelas ukur, tabung reaksi, erlenmeyer, labu takar, pipet tetes, hot plate, tray dryer, desikator, Atomic Absorption Spectrophotometer, dan Spectrophotometer.
B. METODE PENELITIAN 1. Penepungan sorgum Tepung sorgum yang dibuat ada 2 jenis, yaitu tepung sorgum sosoh dan tepung sorgum non-sosoh (tidak disosoh). Untuk tepung sorgum sosoh, biji sorgum utuh disosoh dengan satake grain mill selama 20 detik dengan kapasitas 200 gram per penyosohan. Setelah menjadi biji sorgum bebas kulit, sorgum ditepungkan dengan disc mill. Pengayakan dilakukan dengan automatic siever dengan kerapatan 100 mesh untuk menyeragamkan ukuran partikel tepung. Oleh karena itu, diperoleh tepung sorgum lolos ayakan 100 mesh dan yang tidak lolos ayakan 100 mesh. Proses yang sama dilakukan untuk tepung sorgum non-sosoh, hanya saja tidak dilakukan penyosohan.
Biji sorgum
Penyosohan 20 detik
Biji sorgum (Bebas dari kulit luar dan lapisan testa)
Penepungan (dengan disc mill)
Pengayakan 100 mesh
Tepung sorgum sosoh Gambar 9. Diagram alir pembuatan tepung sorgum sosoh
13
Biji sorgum
Penepungan (dengan disc mill)
Pengayakan 100 mesh
Tepung sorgum non-sosoh Gambar 10. Diagram alir pembuatan tepung sorgum non-sosoh
2. Uji coba proses ekstrusi Uji coba proses ekstrusi dilakukan untuk mencari perbandingan tepung sorgum dan air yang bisa membentuk adonan dan untaian mi yang baik setelah diproses menggunakan ekstruder pasta. Adonan yang dibuat terdiri atas 4 perbandingan tepung sorgum dan air, yaitu 50:50, 60:40, 70:30, dan 80:20. Setiap perbandingan akan mengalami 4 perlakuan pengukusan yang berbeda seperti yang disajikan pada Tabel 5. Pengukusan pertama dilakukan sebelum adonan masuk ke ekstruder pasta. Pengukusan kedua dilakukan setelah proses ekstrusi selesai. Tabel 5. Perbandingan tepung sorgum dan air untuk uji coba proses ekstrusi Pengukusan I (oC) Pengukusan II (oC) *Tepung Air No. sorgum (%) (%) 80 90 100 80 90 100
50
60
70
80
50
40
30
20
1
-
-
-
-
-
-
2
√
-
-
√
-
-
3
-
√
-
-
√
-
4
-
-
√
-
-
√
5
-
-
-
-
-
-
6
√
-
-
√
-
-
7
-
√
-
-
√
-
8
-
-
√
-
-
√
9
-
-
-
-
-
-
10
√
-
-
√
-
-
11
-
√
-
-
√
-
12
-
-
√
-
-
√
13
-
-
-
-
-
-
14
√
-
-
√
-
-
15
-
√
-
-
√
-
16
-
-
√
-
-
√
*tepung sorgum sosoh dan non-sosoh
14
Tepung sorgum yang mengalami perlakuan adalah tepung sorgum sosoh dan tepung sorgum non-sosoh, sehingga total ada 32 perlakuan. Hasil dari uji coba proses ekstrusi ini menentukan formula yang akan diproses menjadi produk mi sorgum.
3. Penetapan formula Formulasi dilakukan dengan mencampurkan bahan yang telah disiapkan, yaitu tepung sorgum (sosoh dan non-sosoh) dan air. Bahan-bahan ini dicampur dengan perbandingan tertentu yang diperoleh dari uji coba proses ekstrusi. Campuran bahan selanjutnya akan mengalami proses pengolahan seperti yang ada pada Gambar 11. Pengukusan I dan II menggunakan variasi suhu yang sama yaitu 80oC, 90oC, dan 100oC. Kisaran suhu ini diperoleh berdasarkan karakterisasi tepung sorgum menggunakan Brabender amilograph (Lampiran 1.). Tahap penggorengan dilakukan pada suhu 180oC dengan dua variabel waktu, yaitu 1 menit dan 2 menit. Lama penggorengan ditentukan berdasarkan tingkat kematangan produk, mulai matang setelah digoreng 1 menit dan matang optimum setelah digoreng 2 menit.
Tepung sorgum + air
Pencampuran
Pengukusan I
Pencetakan (ekstruder pasta)
Pengukusan II
Penggorengan
Mi sorgum Gambar 11. Diagram alir pembuatan mi sorgum
4. Uji organoleptik (Adawiyah dan Waysima, 2008) Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji rating hedonik pada atribut warna, rasa, dan tekstur. Sampel mi sorgum yang berbentuk ready to eat (karena sudah digoreng) disajikan di atas pisin, kemudian panelis diminta untuk memberikan penilaian. Skala yang digunakan adalah 5 skala penilaian : sangat tidak suka (1), tidak suka (2), netral (3), suka (4), dan sangat suka (5). Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih sebanyak 30 orang. Data yang diperoleh akan diolah dengan uji Analysis of Variance
15
(ANOVA). Jika hasil uji ANOVA menyatakan bahwa sampel yang diujikan berbeda nyata pada taraf kepercayaan 0.05, maka dilakukan uji lanjut (post hoc test). Uji lanjut menggunakan uji Duncan.
5. Analisis kimia a. Kadar air (metode oven. AOAC, 1995) Sampel bahan baku (tepung sorgum sosoh dan tepung sorgum non-sosoh) dan sampel produk mi sorgum diukur kadar airnya. Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Sejumlah sampel (sekitar 5 gram) dimasukkan ke dalam cawan aluminium yang telah diketahui beratnya. Cawan aluminium beserta isi dikeringkan di dalam oven dengan suhu 100⁰C, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Pengeringan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. Perghitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus: Kadar air (% berat basah) =
x 100 %
Kadar air (% berat kering) =
x 100 %
Ket. :
a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g) c = berat sampel awal (g)
b. Kadar abu (AOAC, 1995) Sampel yang diukur kadar abunya adalah bahan baku (tepung sorgum sosoh dantepung sorgum non-sosoh) dan sampel produk mi sorgum. Cawan porselin dikeringkan dalam oven selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit, selanjutnya ditimbang. Sebanyak 3 gram-5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dipanaskan di atas hot plate sampai tidak berasap lagi. Cawan porselin yang berisi sampel kering kemudian dimasukkan ke dalam tanur listrik untuk mengalami pengabuan pada suhu 400⁰C600⁰C selama 4 jam-6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator, selanjutnya ditimbang. Kadar abu sampel dihitung dengan rumus berikut : Kadar abu (% berat basah): Ket :
c.
x 100%
a = berat cawan dan sampel akhir (g) b = berat cawan (g) c = berat sampel awal (g)
Kadar protein (AOAC, 1995) Sampel yang diukur kadar proteinnya adalah bahan baku (tepung sorgum sosoh dan tepung sorgum non-sosoh) dan sampel produk mi sorgum. Sejumlah kecil sampel sekitar 0.1 gram ditimbang dan diletakkan ke dalam labu Kjeldhal. Kemudian ditambahkan 1 gram K2SO4 , 40 mg HgO, dan 2 ml H2SO4. Jika bobot sampel lebih dari 15 mg, ditambahkan 0.1 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg. Sampel selanjutnya didihkan sampai cairan menjadi jernih.
16
Larutan kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi, dibilas dengan akuades, dan ditambahkan 8 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Gas NH3 yang dihasilkan dari reaksi dalam alat destilasi ditangkap oleh 5 ml H3BO3 dalam Erlenmeyer yang telah ditambahkan 3 tetes indikator (campuran 2 bagian merah metil 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian methylene blue 0.2% dalam alkohol). Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H3BO3. Kondesat tersebut kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N yang sudah distandardisasi hingga terjadi perubahan warna kondensat menjadi abu-abu. Penetapan blanko dilakukan dengan menggunakan metode yang sama seperti penetapan sampel. Kadar protein dihitung dengan menggunakan rumus: Kadar N(%)= Kadar Protein (% berat basah) = %N x factor konversi (6.25) d. Kadar lemak (AOAC, 1995) Sampel bahan baku (tepung sorgum sosoh dan tepung sorgum non-sosoh) dan sampel produk mi sorgum diukur kadar lemaknya. Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan ke dalam oven bersuhu 100⁰C-110⁰C selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 15 menit, dan ditimbang. Sampel yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 5 gram, dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang telah berisi pelarut heksana. Refluks dilakukan selama 6 jam dan pelarut yang ada di dalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven bersuhu 100⁰C hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Kadar lemak sampel diperoleh dengan perhitungan rumus berikut : Kadar lemak (% berat basah) = Ket :
e.
x 100%
a = berat labu dan sampel akhir (g) b = berat labu kosong (g) c = berat sampel awal (g)
Kadar karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat bahan baku (tepung sorgum sosoh dan tepung sorgum nonsosoh) dan sampel produk mi sorgum diukur secara by difference. Kadar karbohidrat (% berat basah) = 100% - (P+KA+A+L) Keterangan: P = kadar protein (% berat basah) KA = kadar air (% berat basah) A = kadar abu (% berat basah) L
f.
= kadar lemak (% berat basah)
Kadar serat pangan (metode enzimatik. AOAC, 1995) Sampel yang diukur kadar serat pangannya dalam penelitian ini yaitu sampel produk mi sorgum. Sebanyak 1 gram sampel diambil, ditambahkan dengan 40ml buffer fosfat 0.1 M pH 8.2. Selanjutnya ditambahkan 0.1 ml heat-stable α-amylase (termamyl). Sampel diinkubasikan selama 15 menit pada suhu 95-100oC, lalu
17
didinginkan. Kemudian tambahkan 0.1 gram pankreatin, lalu diinkubasikan kembali selama 30 menit pada suhu 60oC, dinginkan. Selanjutnya, ditetapkan pH hingga mencapai pH 4.0. Kemudian ditambahkan AMG sebanyak 0.1 ml, inkubasi selama 30 menit pada suhu 60oC, lalu saring. Residu yang ada dicuci dengan 2x10 ml akuades, 2x10 ml etanol 95%, dan 2x10 ml aseton. Kertas saring lalu dikeringkan pada suhu 105⁰C hingga bobotnya tetap dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D1). Kemudian diabukan pada suhu 550⁰C kurang lebih 5 jam setelah didinginkan dalam desikator (L1). Filtrat yang dihasilkan dipindahkan ke gelas piala dan dibilas dengan akuades, lalu tambahkan 320 ml 95% etanol. Filtrat dipanaskan dalam waterbath sampai 60⁰C. Serat pangan larut akan mengendap, didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang, kemudian disaring. Selanjutnya cuci berturut-turut dengan 3x20 ml etanol 78%, 2x10 ml etanol 95%, dan 2x10 ml aseton. Kertas saring kemudian dikeringkan pada suhu 105⁰C, lalu dinginkan dalam desikator hingga bobotnya tetap (D2). Selanjutnya diabukan pada suhu 550⁰C kurang lebih 5 jam, lalu timbang setelah didinginkan dalam desikator (L2). Perhitungan nilai serat blanko juga dilakukan dengan menggunakan prosedur seperti di atas tetapi tanpa menggunakan sampel. g.
Kadar mineral Ca, Fe, Zn (Faridah et al, 2009) Analisis komposisi mineral dilakukan dengan menggunakan alat Atomic Absorption Spectrophotometer. Hanya produk mi sorgum yang diukur kandungan mineral Ca, Fe, dan Zn. Persiapan sampel yang dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, sampel sebanyak 1-2 g (untuk blanko tidak ditambahkan sampel) dimasukkan ke dalam cawan porselin ukuran 50 ml yang telah dikeringkan (100 oC, 15 menit) dan telah didinginkan. Selanjutnya, sampel dibakar atau dioven dengan suhu 250oC sampai asapnya habis (± 2 jam) dan diletakkan dalam tanur pengabuan 550oC selama 6 jam. Apabila sampel tetap berwarna hitam ditambahkan 1 ml air destilata bebas ion dan 1 ml HNO3 pekat. Kemudian sampel diuapkan sampai kering (110-150oC), dan selanjutnya diabukan lagi pada suhu 3500C selama 30 menit. Setelah semua sampel menjadi abu berwarna putih, ditambahkan 5 ml-6 ml HCl pekat dan dipanaskan pada hot plate dengan suhu rendah sampai kering. Kemudian, 15 ml HCl encer (HCL: air = 1:1) ditambahkan dan dipanaskan kembali sampai mulai mendidih, kemudian didinginkan. Larutan abu dituangkan ke dalam labu takar melalui kertas saring. Cawan dibilas dengan HCl encer 10 ml dan dipanaskan sampai mulai mendidih. Setelah didinginkan, larutan dituang kembali melalui kertas saring ke dalam labu takar. Selanjutnya cawan dibilas dengan air destilata bebas ion minimal 3 kali, dan air bekas pembilasan juga dituang melalui kertas saring ke dalam labu takar. Setelah itu labu takar ditepatkan sampai tanda tera dengan air destilata, dan sampel siap dianalisis dengan Atomic Absorption Spectrophotometer. Kadar mineral sampel diperoleh melalui perhitungan dengan rumus sebagai berikut : Kadar mineral (mg/l) = Ket :
a = konsentrasi sampel dari kurva standar (mg/L) FP = faktor pengenceran W = berat sampel (mg)
18
h. Analisis antioksidan (Sharma and Bhat, 2008) Sampel yang diukur aktivitas dan kapasitas antioksidannya adalah sampel produk mi sorgum. Ekstraksi sampel dilakukan sebelum analisis DPPH dilakukan. Sebanyak 25 gram sampel diekstraksi dengan etanol 95% dengan volume 100 ml. Ekstraksi dilakukan selama 3 hari. Larutan etanol 95% diganti setiap 24 jam dengan volume yang sama, agar ekstraksi berjalan optimal. Total etanol 95% yang digunakan adalah sejumlah 300 ml. Selanjutnya, campuran sampel dan etanol 95% disaring menggunakan kertas saring dan penyaring vaccum. Residu etanol yang masih ada dihilangkan menggunakan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak sampel pekat. Ekstrak ini yang selanjutnya mengalami analisis DPPH. Sebanyak 1 ml ekstrak pekat sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 7 ml metanol PA (sebagai kontrol negatif adalah 8 ml metanol, tanpa ekstrak sampel). Selanjutnya sebanyak 2 ml DPPH 0.25mM ditambahkan ke dalam tabung reaksi, lalu dikocok kuat (vortex). Campuran kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit di ruang gelap. Setelah 30 menit, sampel diukur nilai absorbansinya (A) dengan spectrofotometer pada panjang gelombang (λ) 517 nm. Aktivitas antioksidan sampel diperoleh dengan membandingkan nilai absorbansi sampel dengan kurva standar antioksidan vitamin C, dengan satuan AEAC (Ascorbic Acid Equivalent Antioxidant Capacity). 6.
Pengolahan data Pengolahan data statistik hanya dilakukan terhadap data hasil uji organoleptik formula yang menghasilkan untaian mi dengan baik. Ada 2 faktor, yaitu pertama adalah jenis tepung sorgum (sosoh dan non-sosoh) dan faktor kedua adalah komposisi tepung sorgum dalam adonan. Penilaian panelis dilakukan secara terpisah untuk setiap variabel waktu penggorengan (1 menit dan 2 menit). Pengolahan data menggunakan sidik ragam (analysis of variance) yang bila terbukti ada perbedaan, dilanjutkan dengan Duncan multiple comparison test. Tabel 6. Sidik ragam rancangan blok acak lengkap Sumber Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Fhitung Keragaman
(db)
(JK)
(KT)
Sampel
(s-1)
JKS
JKS / (s-1)
KTS / KTG
Panelis (blok)
(p-1)
JKP
JKP / (p-1)
KTP / KTG
Galat (error)
(s-1) (p-1)
JKG
JKG / (s-1) (p-1)
Total
(sp-1)
JKT
(perlakuan)
Keterangan :
s = banyaknya sampel KTS = Kuadrat Tengah Sampel KTG = Kuadrat Tengah Galat
Fakot Koreksi (FK) Jumlah kuadrat sampel (JKS) Jumlah kuadrat panelis (JKP) Jumlah kuadrat total (JKT) Jumlah kuadrat galat (JKG)
p = banyaknya panelis KTP = Kuadrat Tengah Panelis
= (Total skor)2 / (sampel x panelis) = ∑ (Subtotal skor @ sampel)2 / (panelis) – FK = ∑ (Subtotal skor @ panelis)2 / (sampel) – FK = ∑ (@ skor)2 – FK = JKT – JKS - JKP
19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penepungan sorgum Penelitian ini menggunakan sorgum varietas Kawali yang diperoleh dari Kabupaten Gunung Kidul, D.I.Yogyakarta. Varietas ini banyak dibudidayakan di beberapa daerah penghasil sorgum. Selain itu, varietas ini mudah ditanam dan memiliki potensi hasil produksi yang tinggi. Biji sorgum utuh perlu disosoh untuk menghilangkan sekamnya (pericarp) sehingga memudahkan proses penepungan. Pada penelitian Yanuar (2009), dipilih sorgum dengan waktu penyosohan selama 20 detik. Hal ini berdasarkan tingkat efisiensi penyosohan terhadap aktivitas antioksidan setelah disosoh dan penerimaan panelis. Lapisan testa dalam perikarp sorgum banyak mengandung senyawa fenolik. Dua jenis pigmen yang terdapat pada biji sorgum yaitu senyawa karotenoid dan senyawa polifenol juga terdapat pada lapisan testa. Menurut Hardjosentono et al. diacu dalam Sutanto (2006), penyosohan didefinisikan sebagai suatu proses penghilangan sebagian atau seluruh katul yang terdapat pada beras pecah kulit hingga dihasilkan beras sosoh yang putih dan bersih. Penyosohan bertujuan memisahkan kulit (sekam) dari butir biji dengan tingkat kerusakan minimum atau menghasilkan biji pecah kulit yang maksimum. Menurut Purwadaria diacu dalam Sutanto (2006), dasar proses pengulitan dan penyosohan biji-bijian adalah sama seperti pada penggilingan padi yaitu memberikan gaya gesek pada biji sehingga biji tersosoh dari dagingnya. Penyosohan dilakukan menggunakan alat penyosoh satake grain mill dengan bobot sorgum sekali penyosohan adalah 200 gram. Alat penyosoh bekerja mengupas kulit biji sorgum dengan gaya gesekan yang terjadi antara batu gerinda dengan biji sorgum dan gesekan antar biji sorgum itu sendiri. Yanuar (2009) menyatakan bahwa biji sorgum yang disosoh selama 20 detik memiliki rendemen sebesar 85.6% dan kadar air 10.34%. Tahap selanjutnya setelah penyosohan yaitu penepungan. Tepung sorgum non-sosoh tidak mengalami proses penyosohan, sehingga biji utuh sorgum langsung ditepungkan. Alat penepung yang digunakan dalam penelitian ini adalah disc mill. Disc mill memiliki dua cakram, yang pertama berputar dan yang lain tetap pada tempatnya (statis). Prinsip kerja alat ini adalah berdasarkan gaya sobek dan gaya pukul. Bahan yang akan dihancurkan berada diantara dinding penutup dan cakram berputar. Bahan akan mengalami gaya gesek karena adanya lekukanlekukan pada cakram dan dinding alat. Gaya pukul terbentuk karena ada logam-logam yang dipasang pada posisi yang bersesuaian. Efek penyobekan didapatkan karena adanya pergerakan salah satu cakram. Hancuran biji sorgum yang keluar dari disc mill memiliki ukuran partikel yang tidak seragam sehingga perlu dilakukan pengayakan. Ukuran ayakan yang digunakan adalah 100 mesh dengan menggunakan automatic siever yang ada di Pilot Plant SEAFAST. Rendemen tepung hasil penepungan dan pengayakan yaitu 32.73% dari berat biji awal sebelum disosoh. Untuk tepung sorgum non-sosoh, rendemennya sebesar 29,20%. Tepung yang tidak lolos ayakan dapat digunakan sebagai bahan baku untuk membuat makanan lain seperti bubur, flakes, tortilla, dan minuman pengganti sarapan. Hal ini ditempuh untuk memaksimalkan penggunaan sorgum.
B. Hasil uji coba proses ekstrusi Uji coba proses ekstrusi menghasilkan beberapa komposisi tepung sorgum (sosoh dan non-sosoh) dan air yang tepat untuk membentuk adonan. Komposisi ini dipakai untuk proses formulasi produk mi sorgum selanjutnya. Hasil uji coba proses ekstrusi disajikan pada Tabel 7.
20
*Tepung
Air
sorgum (%)
(%)
50
60
70
80
50
40
30
20
No.
Tabel 7. Hasil uji coba proses ekstrusi Pengukusan I (oC) Pengukusan II (oC)
Hasil Subjektif
80
90
100
80
90
100
1
-
-
-
-
-
-
2
√
-
-
√
-
-
3
-
√
-
-
√
-
4
-
-
√
-
-
√
5
-
-
-
-
-
-
Macet
6
√
-
-
√
-
-
OK
7
-
√
-
-
√
-
OK
8
-
-
√
-
-
√
OK
9
-
-
-
-
-
-
Macet
10
√
-
-
√
-
-
OK
11
-
√
-
-
√
-
OK
12
-
-
√
-
-
√
OK
13
-
-
-
-
-
-
Macet
14
√
-
-
√
-
-
OK
15
-
√
-
-
√
-
OK
16
-
-
√
-
-
√
OK
Adonan terlalu lembek
*tepung sorgum sosoh dan non-sosoh
Persentase adonan selanjutnya menggunakan basis tepung sorgum. Komposisi 50:50 (50%) menghasilkan adonan yang terlalu lembek, sehingga tidak bisa diproses menggunakan ekstruder pasta. Adonan dengan komposisi 60:40 (60%) yang tidak mengalami proses pengukusan ternyata macet di dalam ekstruder pasta. Hal ini juga terjadi pada adonan dengan komposisi 70:30 (70%) dan 80:20 (80%). Namun, adonan yang mengalami pengukusan dapat diproses menggunakan ekstruder pasta dan tidak macet. Hasil ini menunjukkan bahwa pengukusan diperlukan untuk membantu adonan selama proses ekstrusi dilakukan. Ekstrudat (hasil ekstrusi) berupa untaian mi pada uji coba proses ekstrusi tidak memiliki tekstur yang kuat dan tidak dapat direhidrasi. Proses penggorengan diperlukan untuk menghasilkan produk yang kompak dan memiliki tekstur yang baik. Selanjutnya komposisi adonan 60%, 70%, dan 80% (tepung sorgum sosoh dan non-sosoh) digunakan dalam proses formulasi produk mi sorgum.
C. Formulasi Variabel yang membedakan antar formula dalam penelitian ini adalah perbandingan sorgum terhadap air dalam adonan, suhu pengukusan adonan, serta lama waktu penggorengan. Komposisi adonan yang digunakan merupakan hasil dari uji coba proses ekstrusi, yaitu 60%, 70%, dan 80%. Kisaran suhu pengukusan yang dipakai adalah 80oC, 90oC, dan 100oC. Lama waktu penggorengan yang digunakan adalah 1 menit, dan 2 menit. Tahap pertama adalah penentuan formulasi adonan yang bisa keluar dari ekstruder membentuk untaian. Formulasi yang dibuat ada sebanyak 18 sampel (masing-masing 9 sampel, untuk tepung sorgum sosoh dan tepung sorgum non-sosoh).
21
Tabel 8. Formula mi sorgum sosoh Suhu pasting (oC) Komposisi Adonan 80 90 100 60%
A1B1
A1B2
A1B3
70%
A2B1
A2B2
A2B3
80%
A3B1
A3B2
A3B3
Tabel 9. Formula mi sorgum non sosoh Suhu pasting (oC) Komposisi Adonan 80 90 100 60%
C1B1
C1B2
C1B3
70%
C2B1
C2B2
C2B3
80%
C3B1
C3B2
C3B3
Setelah dilakukan proses ekstrusi, hanya 4 formula sampel yang mampu membentuk untaian dengan baik, yaitu kompak dan tidak putus. Formula tersebut adalah A1B3, A2B3, C1B3, dan C2B3. Formula yang lain tidak dapat membentuk untaian sama sekali atau membentuk untaian namun terputus-putus. Hasil ini menunjukkan bahwa hanya adonan yang mengalami pengukusan pada suhu 100oC yang dapat membentuk untaian dengan baik. Keempat formula ini kemudian mengalami proses pengolahan selanjutnya yaitu penggorengan. Penggorengan dilakukan menggunakan deep fat fryer dengan dua variabel waktu, yaitu 1 menit dan 2 menit pada suhu 180oC. Tujuan penggorengan adalah untuk memberikan tekstur yang kompak pada produk. Keuntungan dari proses penggorengan adalah produk menjadi awet dengan volume yang lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengepakan dan pengangkutan. Setelah proses penggorengan, diperoleh 8 sampel produk. Selanjutnya akan dilakukan uji organoleptik untuk menentukan formula terpilih dari kedelapan sampel tersebut.
Gambar 12. Produk mi sorgum
D. Uji organoleptik Penilaian organoleptik sangat banyak digunakan untuk menilai mutu dalam industri pangan dan industri hasil pertanian lainnya. Kadang-kadang penilaian ini dapat memberi hasil penilaian yang sangat teliti. Dalam beberapa hal penilaian dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat yang paling sensitif. Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji kesukaan. Pada uji
22
ini panelis mengemukakan tanggapan pribadi suka atau tidak suka, disamping itu juga mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkat kesukaan disebut juga skala hedonik. Skala hedonik ditransformasi ke dalam skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan. Dengan data numerik tersebut dapat dilakukan analisa statistik. Panelis diminta untuk menilai dari tingkat sangat tidak disukai (nilai 1) hingga sangat disukai (nilai 5). Form uji rating hedonik dapat dilihat pada Lampiran 2. Panelis diminta untuk memberikan penilaian terhadap kedelapan sampel mi sorgum yang disajikan secara terpisah menurut lama penggorengannya. Empat sampel mi sorgum yang digoreng selama 1 menit dan empat sampel lainnya yang digoreng 2 menit. Karakteristik sensori yang diujikan melalui uji rating hedonik adalah rasa, warna, dan teksur. Hasil rekapitulasi data uji rating hedonik yang diperoleh kemudian diolah menggunakan program SPSS 17 dengan uji ANOVA dan uji lanjut Duncan Test. Output data dari ANOVA adalah tabel Test of BetweenSubjects Effects dan uji lanjut Duncan Test adalah tabel Multiple Comparison. Uji ranking hedonik juga dilakukan. Panelis diminta untuk mengurutkan sampel berdasarkan tingkat kesukaannya, dari paling suka (nilai 1) sampai paling tidak suka (nilai 4). Form uji ranking hedonik dapat dilihat pada Lampiran 3. Hasil uji ranking hedonik ini digunakan untuk menyeleksi dan mendapatkan formula terbaik berdasarkan penerimaan sensori yang selanjutnya dihitung kadar total serat pangan dan aktivitas antioksidannya. Hasil yang diperoleh dari uji rating hedonik antara lain
1. Uji rating hedonik terhadap rasa
Tingkat Kesukaan Rasa
Rasa merupakan faktor yang menentukan tingkat kesukaan konsumen pada produk pangan. Atribut rasa meliputi rasa asin, asam, manis, pahit, dan umami. Sebagian dari atribut ini dapat terdeteksi pada kadar yang sangat rendah. Rasa makanan sangat ditentukan oleh formulasi produk tersebut. Rasa dinilai dengan adanya tanggapan rangsangan kimiawi oleh lidah.
4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
3,40b
3,60b
3,50b
B1
B2
2,73a
A1
A2 Formula
A= rasio tepung sorgum sosoh (A1=60%; A2=70%); B= rasio tepung sorgum non-sosoh (B1=60%; B2=70%) Gambar 13. Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut rasa produk yang digoreng selama 1 menit. Hasil organoleptik menunjukkan formula A1, B1, dan B2 tidak berbeda untuk atribut rasa pada taraf kepercayaan 95%. Penerimaan ketiga formula tersebut adalah netral– suka (3.40 – 3.60). Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan Test terhadap data rating hedonik rasa penggorengan 1 menit dapat dilihat pada Lampiran 4. Formula A2
23
berada pada taraf agak suka dengan nilai 2.73. Pola yang terlihat pada Gambar 13 menunjukkan rasa produk dengan rasio tepung sorgum sosoh 70% kurang disukai dan berdasarkan olah data statistik berbeda nyata dengan ketiga formula yang lain untuk waktu penggorengan 1 menit. Perbedaan ini mungkin disebabkan semakin tinggi rasio tepung yang digunakan akan memerlukan waktu pemasakan yang lebih lama, sehingga penggorengan selama 1 menit belum cukup. Pada perlakuan penggorengan selama 2 menit, penerimaan keempat formula adalah netral-suka (3.17-3.57). Hasil sidik ragam dan uji lanjut Duncan Test terhadap data rating hedonik rasa penggorengan 2 menit dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan hasil uji lanjut, formula A1 berbeda nyata dengan formula A2. Formula A2 kembali mendapatkan nilai yang lebih rendah dibandingkan formula A1 seperti penilaian pada perlakuan penggorengan 1 menit. Hal ini tidak terjadi pada formula yang menggunakan tepung sorgum non-sosoh dimana penilaian panelis relatif tidak berbeda. Formula A1 (tepung sorgum sosoh 60%) memiliki nilai tertinggi yaitu 3.57, namun hasil uji lanjut menunjukkan bahwa formula A1 tidak berbeda nyata dengan formula B1 dan B2 (tepung sorgum nonsosoh).
Tingkat Kesukaan Rasa
4.00
3,57b
3.50
3,17a
3,30ab
3,33ab
A2
B1
B2
3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 A1
Formula A= rasio tepung sorgum sosoh (A1=60%; A2=70%); B= rasio tepung sorgum non-sosoh (B1=60%; B2=70%) Gambar 14. Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut rasa produk yang digoreng selama 2 menit.
2. Uji rating hedonik terhadap warna Warna produk makanan adalah atribut pertama yang bisa dengan mudah ditangkap oleh konsumen. Warna produk sangat mempengaruhi persepsi konsumen atas produk tersebut. Atribut ini juga sangat mempengaruhi kesukaan dan penerimaan konsumen sejak awal. Perbedaan warna yang cukup besar terjadi antara mi sorgum sosoh dan mi sorgum non-sosoh. Mi sorgum non-sosoh cenderung memiliki warna yang lebih gelap dan kusam. Hasil organoleptik menunjukkan formula mi sorgum sosoh berbeda nyata dengan mi sorgum non-sosoh untuk atribut warna pada taraf kepercayaan 95%. Penerimaan untuk formula mi sorgum sosoh antara netral-suka (3.23-3.27). Kedua formula tidak berbeda nyata menurut hasil uji lanjut yang dilakukan. Formula mi sorgum non-sosoh kurang disukai karena warnanya cenderung lebih gelap, sehingga penilaian panelis ada pada kisaran tidak suka (2.50-2.73). Berdasarkan hasil uji lanjut yang dilakukan, kedua formula
24
ini juga tidak berbeda nyata. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Duncan Test terhadap data rating hedonik warna penggorengan 1 menit dapat dilihat pada Lampiran 6. Tepung sorgum non-sosoh memiliki lebih banyak komponen-komponen yang bisa mempengaruhi warna produk akhir menjadi lebih gelap dibandingkan dengan tepung sorgum sosoh seperti tanin. Penyosohan selama 20 detik memberikan perbedaan warna yang cukup besar pada produk akhir.
Tingkat Kesukaan Warna
4.00 3.50
3,23b
3,27b
3.00
2,50a
2,73a
2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 A1
A2
B1
B2
Formula A= rasio tepung sorgum sosoh (A1=60%; A2=70%); B= rasio tepung sorgum non-sosoh (B1=60%; B2=70%) Gambar 15. Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut warna produk yang digoreng selama 1 menit.
Tingkat Kesukaan Warna
4.00
3,53b
3.50
3,40b
3.00 2.50
2,47a
2,57a
B1
B2
2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 A1
A2 Formula
A= rasio tepung sorgum sosoh (A1=60%; A2=70%); B= rasio tepung sorgum non-sosoh (B1=60%; B2=70%) Gambar 16. Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut warna produk yang digoreng selama 2 menit. Pola yang sama terlihat pada perlakuan penggorengan selama 2 menit. Formula mi sorgum sosoh mendapatkan penilaian yang lebih tinggi daripada formula mi sorgum nonsosoh untuk atribut warna. Formula A1 dan A2 berada pada taraf netral-suka (3.40-3.53) dan keduanya tidak berbeda nyata menurut uji lanjut yang dilakukan. Sedangkan formula B1 dan B2 ada pada taraf tidak suka (2.47-2.57). Penggorengan yang lebih lama
25
meningkatkan penilaian panelis terhadap atribut warna untuk formula A1 dan A2, namun untuk formula B1 dan B2 nilainya menurun. Hasil sidik ragam dan uji lanjut Duncan Test terhadap data rating hedonik warna penggorengan 2 menit dapat dilihat pada Lampiran 7.
3. Uji rating hedonik terhadap tekstur Tekstur merupakan salah satu parameter kritis pada penerimaan keseluruhan suatu produk pangan. Tekstur merupakan atribut yang cukup penting karena penilaian utama mi biasanya terletak pada teksturnya. Penilaian terhadap tekstur dapat berupa ukuran remahan mi saat dikonsumsi, yaitu dikunyah. Tekstur yang renyah menjadi syarat agar produk mi sorgum dapat diterima oleh konsumen.
Tingkat Kesukaan Tekstur
3,97c 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
3,70c
2,70b 1,80a
A1
A2
B1
B2
Formula A= rasio tepung sorgum sosoh (A1=60%; A2=70%); B= rasio tepung sorgum non-sosoh (B1=60%; B2=70%) Gambar 17. Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut tekstur produk yang digoreng selama 1 menit. Berdasarkan Gambar 17., formula B1 dan B2 memiliki skor kesukaan atribut tekstur tertinggi (3.70-3.97) untuk penggorengan 1 menit. Hal ini menunjukkan bahwa komponen-komponen yang tidak dihilangkan pada biji sorgum (non-sosoh) dapat mempengaruhi tekstur produk akhir menjadi lebih renyah. Proses penyosohan mengikis bagian kulit ari dari serealia yang memiliki komponen gizi termasuk mineral seperti Ca, P, Fe dan Zn. Dykes dan Rooney (2006) menyatakan bahwa pada bagian kulit ari dari sorgum dan jewawut terdapat berbagai komponen gizi seperti lemak, protein, vitamin dan mineral. Kedua formula tidak berbeda nyata berdasarkan hasil ANOVA (Lampiran 8). Formula A1 dan A2 memperoleh nilai rendah yaitu dibawah taraf netral serta berbeda nyata karena hasil uji lanjut menunjukkan keduanya berada pada subset yang berbeda. Penggorengan selama 2 menit meningkatkan penilaian panelis terhadap atribut tekstur untuk formula A1 dan A2 seperti terlihat pada Gambar 18. Kedua formula tidak berbeda nyata menurut hasil uji lanjut yang dilakukan (Lampiran 9). Formula B1 dan B2 memiliki nilai atribut tekstur yang relatif sama dan juga tak berbeda nyata karena hasil uji lanjut menunjukkan keduanya berada dalam satu subset yang sama. Keempat formula berada pada taraf netral-suka (3.10-3.67).
26
Tingkat Kesukaan Tekstur
4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
3,43ab
A1
3,67b
3,63b
B1
B2
3,10a
A2 Formula
A= rasio tepung sorgum sosoh (A1=60%; A2=70%); B= rasio tepung sorgum nonsosoh (B1=60%; B2=70%) Gambar 18. Skor rata-rata penerimaan panelis terhadap atribut tekstur produk yang digoreng selama 2 menit. Hasil uji rating kesukaan pada perlakuan penggorengan 1 menit menunjukkan bahwa formula A1 dan A2 paling disukai untuk atribut warna. Formula yang paling disukai untuk atribut rasa adalah A1, B1, dan B2. Untuk atribut tekstur, formula B1 dan B2 paling disukai. Uji rating kesukaan pada perlakuan penggorengan 2 menit memberikan hasil yang tidak jauh berbeda. Formula A1 dan A2 paling disukai untuk atribut warna. A1, B1, dan B2 tidak berbeda nyata serta paling disukai untuk atribut rasa dan tekstur.
4. Uji ranking kesukaan Uji ranking kesukaan juga dilakukan untuk kedelapan sampel. Hasilnya akan diperoleh dua formula terbaik dari masing-masing waktu penggorengan. Dua sampel ini selanjutnya mengalami analisis kimia (kadar air, kadar abu, protein, lemak, karbohidrat, mineral), analisis serat pangan, dan analisis antioksidan. Hasil uji ranking kesukaan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil uji ranking kesukaan Ranking
Formula
Goreng 1 menit
Goreng 2 menit
A1
2.5
2.1
A2
3.9
2.5
B1
1.7
2.6
B2
1.9
2.8
A= rasio tepung sorgum sosoh (A1=60%; A2=70%); B= rasio tepung sorgum non-sosoh (B1=60%; B2=70%)
Berdasarkan Tabel 10. dapat dilihat bahwa formula terbaik pada waktu penggorengan 1 menit adalah formula tepung sorgum non-sosoh 60%. Untuk waktu penggorengan 2 menit, formula terbaiknya adalah tepung sorgum sosoh 60%.
27
E. Analisis kimia Analisis kimia dilakukan terhadap bahan baku (tepung sorgum sosoh dan tepung sorgum non-sosoh) dan dua sampel produk dari formula terpilih. Mi sorgum sosoh adalah mi sorgum dengan formulasi tepung sorgum sosoh 60% dan digoreng selama 2 menit. Mi sorgum non-sosoh adalah mi sorgum dengan formulasi tepung sorgum non-sosoh 60% dan digoreng selama 1 menit. Hasil rekapitulasi analisis kimia dapat dilihat pada Tabel 11. Kadar air erat kaitannya dengan daya simpan. Semakin tinggi kadar air, maka semakin besar pula kemungkinan bahan tersebut mengalami kerusakan. Kadar air maksimal yang ditetapkan dalam SNI untuk tepung-tepungan adalah 15% (bb). Berdasarkan hasil analisis yang ada pada Tabel 11., nilai kadar air tepung sorgum sosoh sebesar 9.43% (bk) dan tepung sorgum non-sosoh sebesar 10.20% (bk). Kadar air hasil analisis ini cukup baik karena sesuai dengan ketetapan SNI. Pada produk mi sorgum sosoh, kadar airnya sebesar 6.21 % (bk) dan 6.22% (bk) untuk mi sorgum non-sosoh. Menurut Winarno (1997), batas kadar air minimum dimana mikroba masih dapat tumbuh adalah 14-15% (bb). Berdasarkan hasil analisis, maka produk mi sorgum aman dari mikroba karena kadar airnya kurang dari 15%.
Kandungan Zat Gizi Kadar Air Kadar Abu Kadar Lemak Kadar Protein Kadar Karbohidrat Keterangan :
Tabel 11. Hasil analisis kimia (dalam % berat kering) Tepung Tepung Mi Sorgum Mi Sorgum Sorgum Sorgum Sosoh Sosoha) Non-sosohb) Non-sosoh 9.43 10.20 6.21 6.22 1.45 1.77 1.48 1.87 4.16 4.53 18.18 18.21 7.58 7.78 5.7 6.7 77.38
75,72
68.43
67.00
a) Sorgum sosoh 60%, 2 menit penggorengan b) Sorgum non-sosoh 60 %, 1 menit penggorengan
Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral dalam bahan. Mineral merupakan zat anorganik dalam bahan yang tidak terbakar selama proses pembakaran di dalam tanur. Pengabuan juga merupakan tahapan persiapan contoh yang harus dilakukan pada analisis mineral.Kadar abu sangat dipengaruhi oleh jenis bahan yang dianalisis. Secara kuantitatif nilai kadar abu dalam tepung dan produk yang dihasilkan berasal dari mineral-mineral bahan. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar abu tepung sorgum sosoh adalah 1.45% (bk), sedangkan tepung sorgum non-sosoh adalah 1.77% (bk). Kadar abu mi sorgum sosoh sebesar 1.48% (bk) dan 1.87% (bk) untuk mi sorgum non-sosoh. Metode ekstraksi soxhlet merupakan metode analisis kadar lemak secara langsung dengan cara mengekstrak lemak dari bahan dengan pelarut organik non-polar seperti heksana, petroleum eter, dan dietil eter. Ekstraksi dilakukan dengan cara refluks pada suhu yang sesuai dengan titik didih pelarut yang digunakan. Jumlah lemak perberat bahan yang diperoleh menunjukkan kadar lemak kasar (curd fat), artinya komponen yang terekstrak oleh pelarut organik bukan hanya lemak/minyak, tetapi komponen lain yang larut pelarut organik, seperti vitamin larut lemak A,D,E,dan K serta karotenoid (Faridah et al., 2009). Berdasarkan data pada Tabel 11., kadar lemak tepung sorgum sosoh adalah sebesar 4.16% (bk), tidak berbeda jauh dengan tepung sorgum non-sosoh yang sebesar 4.53% (bk).
28
Kadar lemak tepung sorgum non-sosoh sedikit lebih tinggi karena pada lapisan kulit biji sorgum yang tidak dihilangkan terdapat banyak minyak/lemak. Kadar lemak mi sorgum sosoh sebesar 18.18% (bk) dan 18.21% (bk) untuk mi sorgum non-sosoh. Tingginya kadar lemak produk mi sorgum berkaitan dengan proses pengolahannya, yaitu proses penggorengan. Selain mengalami penetrasi panas, produk juga mengalami penetrasi minyak. Data menunjukkan kadar protein tepung sorgum sosoh sebesar 7.58% (bk) dan tepung sorgum non-sosoh memiliki kadar protein 7.78% (bk). Kadar protein yang tidak terlalu tinggi mengalami penurunan pada produk terkait dengan proses pengolahan. Kadar protein pada mi sorgum sosoh sebesar 5.7% (bk) dan 6.7% (bk) untuk mi sorgum non-sosoh.
F. Kadar serat pangan Menurut karakteristik fisik dan pengaruhnya terhadap tubuh, serat pangan dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu serat pangan larut air (soluble dietary fiber) dan serat pangan tidak larut air (insoluble dietary fiber). Serat pangan larut air merupakan komponen serat yang dapat larut dalam air dan juga dalam saluran pencernaan. Komponen serat ini dapat membentuk gel dengan cara menyerap air. Serat yang termasuk dalam kelompok serat pangan larut air adalah pektin, psillium, gum, musilase, karagenan, asam alginat, dan agar-agar (Southgate, 2001). Fungsi utama serat larut air yaitu memberi perasaan kenyang yang lebih lama, memperlambat kemunculan gula darah (glukosa), membantu mengendalikan berat badan dengan memperlambat munculnya rasa lapar, meningkatkan kesehatan saluran penernaan dengan cara meningkatkan pergerakan usus besar, mengurangi resiko penyakit jantung, serta mengikat lemak dan kolesterol (Jenkins et al, 2001). Serat pangan tidak larut air adalah serat yang tidak dapat larut, baik di dalam air maupun di dalam saluran pencernaan. Sifat yang menonjol dari komponen serat tidak larut air adalah kemampuannya menyerap air dan meningkatkan volume feses sehingga makanan dapat melewati usus besar dengan cepat dan mudah. Serat yang termasuk ke dalam golongan serat pangan tidak larut adalah selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Southgate, 2001). Fungsi utama serat pangan tidak larut air adalah mempercepat waktu transit (waktu tinggal) makanan dalam usus dan meningkatkan berat feses, memperlancar proses buang air besar, dan mengurangi resiko wasir, divertikulosis, serta kanker usus besar (Cummings, 2001). FDA (2009) menyatakan suatu pangan dapat diklaim mengandung serat tinggi apabila dapat memenuhi 20% Angka Kecukupan Gizi (AKG) per takaran saji. Kebutuhan serat pangan orang dewasa berkisar 25-30 gram/hari. Berdasarkan Gambar 19., mi sorgum non-sosoh mengandung total serat pangan sebesar 16.61%, lebih tinggi dibandingkan total serat pangan dalam mi sorgum sosoh, 14.03%. Takaran saji mi sorgum adalah 50 gram, sehingga dalam satu takaran saji mi sorgum sosoh memenuhi 28% AKG serat pangan, sedangkan mi sorgum nonsosoh memenuhi 33% AKG serat pangan. Oleh karena itu, kedua formula mi sorgum diatas dapat diklaim tinggi serat mengacu pada FDA.
29
18.00
16.61
16.00 Kadar Serat Pangan (%)
14.03 14.00 11.34
12.00 9.73
10.00
Larut
8.00
Tidak Larut 5.27
6.00
Total
4.30 4.00 2.00 0.00 Mi Sorgum Sosoh
Mi Sorgum Non-sosoh Formula
Gambar 19. Kadar serat pangan mi sorgum
G. Kadar mineral Ca, Fe, dan Zn Sampel mi sorgum yang akan dianalisis kadar mineralnya harus terlebih dahulu diubah menjadi larutan abu lewat proses pengabuan. Proses pengabuan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengabuan kering (dry digestion). Sampel mi sorgum hasil pengabuan kering selanjutnya digunakan untuk analisis kadar Ca, Zn, dan Fe dengan menggunakan flame AAS. AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer) adalah sebuah metode analisis yang didasarkan pada absorpsi sinar UV atau visible oleh atom-atom bebas pada fase gas. Instrumen AAS memiliki sensitivitas pengukuran yang tinggi, hingga satuan ppm (part per milion). Metode AAS menghasilkan data yang akurat dengan tingkat reprodusibilitas yang tinggi. AAS mampu menganalisis hingga lebih dari 60 unsur dari jumlah yang sangat kecil hingga jumlah besar. Metode AAS berdasarkan pada prinsip pengukuran sinar yang diserap oleh atom dari unsur-unsur. Setiap atom memiliki nilai absorbansi yang khas yang dapat diukur pada panjang gelombang tertentu. Agar atom dapat menyerap energi radiasi, maka atom dalam bentuk gas diradiasi oleh sumber cahaya dengan panjang gelombang yang sesuai dengan unsur yang dianalisis sehingga menyebabkan terjadinya eksitasi(atom mengalami kenaikan tingkat energi). Penyerapan energi ini bersifat selektif, artinya hanya sinar dengan panjang gelombang tertentu saja yang akan diserap oleh suatu atom. Pengujian kadar mineral Ca, Fe, dan Zn dilakukan karena kandungan mineral tertinggi pada sorgum adalah mineral-mineral tersebut. Ca (kalsium)merupakan salah satu mineral makro yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Ca berfungsi untuk kekuatan tulang, gigi, dan jaringan otot. Fe atau yang sering disebut zat besi merupakan mineral minor yang berfungsi sebagai carrier oksigen ke jaringan, enzim heme dan enzim non-heme (sitokrom, katalase, peroksidase, dan lainnya), ferritin, dan hemosiderin. Zn (zinc) adalah mineral penyusun lebih dari 200 metalo-enzim beberapa diantaranya antara lain karbonik anhidrase, alkohol dehidrogenase,
30
superoksida dismutase, DNA-polimerase, RNA-polimerase, alkalin fosfatase, dan karboksi peptidase. Zn berperan menstabilkan struktur komponen organik dan membran seperti DNA, RNA, dan ribosom. Zn juga bersifat esensial bagi sistem imun dan sistem pertahanan tubuh (Desai, 2000). Hasil analisis kadar mineral pada sampel produk mi sorgum dapat dilihat pada Tabel 12. Terlihat perbedaan kandungan kalsium yang cukup jauh antara mi sorgum non-sosoh dengan mi sorgum sosoh hingga mencapai 284 ppm. Sedangkan untuk kandungan zat besi dan zinc tidak berbeda terlalu jauh.
Mineral
Tabel 12 Kandungan mineral Ca, Fe, dan Zn mi sorgum Kadar (ppm) Mi Sorgum Sosoh
Mi Sorgum Non-sosoh
Ca
67.02
315.15
Fe
61.77
64.24
Zn
10.28
12.86
Pemenuhan persen AKG dapat dihitung berdasarkan Acuan Label Gizi Indonesia (2004) dan berat produk per takaran saji. Angka Kecukupan Gizi Ca sebesar 800-1000 mg, Fe sebesar 13 mg, dan Zn sebesar 15 mg. Hasil perhitungan pemenuhan persen AKG mi sorgum disajikan pada tabel 13. Tabel 13. Pemenuhan persen AKG mineral Ca, Fe, dan Zn mi sorgum Pemenuhan persen AKG Mineral Mi Sorgum Sosoh (%) Mi Sorgum Non-sosoh (%) Ca
0.42
1.97
Fe
23.75
24.71
Zn
34.26
42.87
Keterangan : 1 takaran saji = 50 gram
H. Analisis antioksidan Asam askorbat digunakan sebagai standar pada penelitian ini. Hasil pengujian dibaca sebagai ppm vitamin C equivalen/g sampel, dimana nilai tersebut menunjukkan kesetaraan aktivitas antioksidan 1 gram produk mi sorgum dengan vitamin C. Vitamin C digunakan sebagai pembanding terhadap aktivitas antioksidan dari ekstrak mi sorgum, dimaksudkan untuk mengetahui perbandingan kemampuan antioksidan ekstrak bila dinyatakan dalam daya peredaman radikal bebas oleh vitamin C. Semakin tinggi konsentrasi dari vitamin C, semakin rendah nilai absorbansinya. Vitamin C mudah dioksidasi menjadi asam dehidroaskorbat. Dengan demikian maka vitamin C dinilai berperan dalam menghambat reaksi oksidasi yang berlebihan dalam tubuh dengan cara bertindak sebagai antioksidan. Gambar 20. menunjukkan nilai aktivitas antioksidan dari sampel produk mi sorgum yang ada, yaitu mi sorgum sosoh dan mi sorgum non-sosoh
31
Aktivitas Antioksidan ppm AEAC / g sampel
2.5 1.93
2 1.5
1.18
1 0.5 0 Mi Sorgum Sosoh
Mi Sorgum Non-sosoh
Formula Gambar 20. Aktivitas antioksidan mi sorgum Aktivitas antioksidan mi sorgum non-sosoh lebih tinggi dibandingkan aktivitas antioksidan mi sorgum sosoh. Hal ini disebabkan sumber utama antioksidan dari mi sorgum adalah komponen fenolik yang terkandung dalam tepung sorgum. Tepung sorgum non-sosoh memiliki komponen fenolik yang lebih tinggi, ini berkorelasi positif dengan hasil uji aktivitas antioksidan yang diperoleh. Nilai aktivitas antioksidan ini juga mungkin ikut disumbangkan oleh komponen-komponen yang ada di dalam minyak goreng, seperti vitamin E. Aktivitas antioksidan yang lebih kecil pada produk mi sorgum sosoh diduga karena ikut terbuangnya komponen fenolik di bagian kulit pada tepung sorgum sosoh. Menurut Suarni (2004), proses penyosohan pada biji sorgum menyebabkan terlepasnya lapisan pericarp, testa, sebagian besar lapisan aleuron dan embrio sehingga secara tidak langsung mengikis pula berbagai komponen gizi dan komponen bioaktif sorgum yang menurut Dykes dan Rooney (2007) terdapat pada lapisan kulit luar dari biji sorgum yaitu pada lapisan pericarp dan testa. Menurut Calixto dan Jimenez (2009), aktivitas antioksidan serealia yang biasanya mengandung banyak komponen polifenol terutama asam fenolik, dipengaruhi oleh kompleks “serat pangan-asam fenolik”. Asam fenolik merupakan salah satu jenis antioksidan tidak larut (insoluble antioxidant) yang terikat secara kovalen pada ikatan ester sisi rantai arabinosa (Gene A Spiller,2001). Ikatan kovalen pada komponen fenolik resisten terhadap enzim pencernaan di perut dan usus besar. Antioksidan tersebut tidak dapat diserap kecuali dengan cara pengdegradasian serat oleh bakteri di usus besar.
32
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Untaian mi sorgum dengan bantuan ekstruder pasta diperoleh dengan pengukusan adonan pada suhu 100oC selama 30 menit. Komposisi adonan 60% dan 70% dapat menghasilkan untaian mi yang baik, lain halnya dengan komposisi adonan 80%. Penggunaan 60% tepung sorgum, baik sosoh maupun non-sosoh, menghasilkan produk mi sorgum terbaik dari segi organoleptik. Namun, waktu penggorengan berpengaruh pada tingkat kesukaan. Penggorengan 1 menit lebih disukai untuk mi sorgum non-sosoh, sedangkan penggorengan 2 menit lebih disukai untuk mi sorgum sosoh. Hasil ini diperoleh melalui uji ranking hedonik. Mi sorgum sosoh dan mi sorgum non-sosoh relatif tidak berbeda pada komposisi kadar air, kadar abu, kadar lemak, protein, dan karbohidrat. Kadar mineral Fe dan Zn dari kedua produk juga relatif tidak jauh berbeda. Perbedaan yang cukup terlihat adalah kadar Ca pada produk. Mi sorgum non-sosoh memiliki kadar Ca yang lebih tinggi, yaitu sebesar 315.15 ppm, sementara mi sorgum sosoh hanya memiliki kadar Ca sebesar 67.02 ppm. Hasil pengukuran aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa mi sorgum non-sosoh memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi, yaitu sebesar 1.93 ppm AEAC/g sampel. Aktivitas antioksidan mi sorgum sosoh sebesar 1.18 ppm AEAC/g sampel. Mi sorgum nonsosoh juga memiliki total serat pangan yang lebih besar, yaitu 16.61%, angka ini memenuhi 33% pemenuhan AKG serat pangan. Sementara itu total serat pangan dalam mi sorgum sosoh sebesar 14.03%, memenuhi 28% AKG serat pangan, sehingga kedua produk mi sorgum ini dapat diklaim sebagai pangan tinggi serat. Secara keseluruhan mi sorgum non-sosoh memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan mi sorgum sosoh, yaitu pada sisi total serat pangan, aktivitas antioksidan dan kandungan mineral Ca.
B. SARAN Produk ekstrusi yang berhasil dibuat adalah mi sorgum dengan bahan baku 100% tepung sorgum tanpa campuran apapun. Selanjutnya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar diperoleh komposisi sorgum dan bahan pengikat yang tepat sehingga dapat dihasilkan produk ekstrusi sorgum yang tidak memerlukan proses penggorengan. Analisis finansial produk ekstrusi sorgum bisa dilakukan jika ingin mengembangkan produk ini menjadi snack yang bisa dipasarkan.
33
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Kentucky Mud Works. equipment/11.html [10 Agustus 2010]
Equipment.
http://www.kentuckymudworks.com/
Anonim. 2009. Natural Solution Mechanism of DPPH. http://www.naturalsolution.co.kr/tech21e.html. [28 Juni 2010] Anonim. 2009. Polymer Processing. Twin screw extrusion. http://www.polymerprocessing.com /operations/tscrew/big.html. [10 Agustus 2010]. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of the Association of Official Agricultural Chemist 16th edition. Virginia: AOAC International. Awika JM, Rooney LW. 2004. Sorghum phytochemicals and their potential impact on human health. J. Science Phytochemistry. 65 (9): 1199-1221. Cho SH, Choi Y, and Ha TY. 2000. In vitro and in vivo effects of proso millet, buckwheat and sorghum on cholesterol metabolism. J. Federation of American Societies for Experimental Biology. 14: A249. Cummings JH. 2001. The Effect of Dietary Fiber on Fecal Weight and Composition. California: Health Research and Studies Center, Inc. Deprez S, Mila I, Huneau JF, Tome D, and Scalbert A. 2001.Transport of proanthocyanidin dimer, trimer, and polymer across monolayers of human intestinal epithelial Caco-2 cells. J. Food Chemistry. 3 : 957–967. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian. 2007. http://xa.yimg.com/kq/groups/25896088/1112009878/name/Sorgum1.doc. [25 Agustus 2010] Dykes L, Rooney LW. 2007. Phenolic compounds in cereal grains and their health benefits. J. Cereal Foods World 52 (3) : 105-111. Faridah DN, Kusnandar F, Herawati D, Kusumaningrum HD, Wulandari N, dan Indrasti D. 2009. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Fellows PJ. 2000. Food Processing Technology, Principles and Practices, 2 nd ed. Boca Raton: CRC Press. Food and Agriculture Organization (FAO). 1995. Sorghum and Millets in Human Nutrition. FAO Food and Nutrition Series, No. 27. Roma: FAO. Food and Agriculture Organization (FAO). 2010. Introduction Sorghum bicolor (L.) Moench. http://www.fao.org/inpho/content/compend/text/ch07.htm. [28 Juni 2010]
34
Food And Drugs Administration (FDA). 2009. Food And Drugs Administration Departement of Health and Human Services Subchapter B-Food for Human Consumption. http://www.accessdata.fda.gov/scripts/cdrh/cfdocs/cfCFR/CFRSearch.cfm?fr=101.54. [2 April 2010] Gordon MH. 1990. The Mechanism of Antioxidant Action In Vitro. Hudson B J F (ed). Food Antioxidant. London: Elsevier Applied Science. Grimmer HR, Parbhoo V, and McGrath RM. 1992. Antimutagenicity of polyphenol rich fractions from Sorghum bicolor grain. J. Science of Food and Agriculture. 59 (1) : 251-256. Hagerman AE, Butler LG. 1981. The specificity of proanthocyanidin-protein interactions. J. Biological Chemistry. 256 (1) : 4494-4497. Hagerman AE, Riedl KM, Jones GA, Sovik KN, Ritchard NT, Hartzfeld PW, and Riechel TK. 1998. High molecular weight plant polyphenolic (tannins) as biological antioxidants. J. Agricultural and Food Chemistry. 46 (1) : 1887-1892. Harper JM. 1981. Extrusion of Foods Vol I. Florida: CRC Press. Jenkins AL, Vuksan V, and Jenkins DJA. 2001. Fiber in Treatment of Hyperlipidemia. California: Health Research and Studies Center, Inc. Lee SM, Pan BS. 2003. Effects of dietary sorghum distillery residue on hematological characteristics of cultured grey mullet (Mugil cephalus) an animal model for prescreening antioxidant and blood thinning activities. J. Food Biochemistry. 27 (1) : 1-18. Lizardo R, Peiniau J, and Aumaitre A. 1995. Effect of sorghum on performance, digestability of dietary-components and activities of pankreatic and intestinal enzymes in the weaned piglet. J. Animal Feed Science and Technology. 56 (1) : 67-82. Muriu JI, Njoka-Njiru EN, Tuitoek JK, Nanua JN. 2002. Evaluation of sorghum (Sorghum bicolor) as replacement for maize in the diet of growing rabbits (Oryctolagus cuniculus). Asian-Australian Journal of Animal Science. 15 (1) : 565-569. National Sorghum Producers. 2010. Sorghum’s http://www.sorghumgrowers.com/. [20 Agustus 2010].
food
characteristics.
Pokorny J, Yanishlieva N, and Gordon M. 2008. Antioxidants in Food : Practical Application. London: Woodhead Publishing Limited. Riedl KM, Hagerman AE. 2001. Tannin-protein complexes as radical scavengers and radical sinks. J. Agricultural and Food Chemistry. 37 (1) : 4917-4923. Rios LY, Bennett RN, Lazarus SA, Remesy C, Scalbert A, and Williamson G. 2002. Cocoa procyanidins are stable during gastric transit in humans. American Journal of Clinical Nutrition. 76 (1) : 1106-1110. Rismunandar. 1989. Sorghum Tanaman Serba Guna. Bandung: Sinarbaru.
35
Rooney LW. 2003. Food and Nutritional Quality of Sorghum and Millet. Texas: Project TAM 226, Texas A&M University. Rooney LW, Serna S. 2000. Handbook of Cereal Science and Technology. New York: Marcel Dekker. 149–175. Scalbert A, Morand C, Manach C, and Remesy C. 2002. Absorption and metabolism of polyphenols in the gut and impact on health. Journal of Biomedicine and Pharmacotherapy. 56 : 276–282. Sharma Om P, Bhat Tej K. 2009. DPPH antioxidant assay revisited. J. Food Chemistry (113) : 12021205. Sirappa MP. 2003. Prospek pengembangan sorgum di indonesia sebagai komoditas alternatif untuk pangan, pakan dan industri. Jurnal Litbang Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Makassar. Southgate DAT. 2001. Dietary Fiber Parts of Food Plants and Algae. California: Health Research and Studies Center, Inc. Suarni, Singgih S. 2002. Karakteristik Sifat fisik dan komposisi kimia beberapa varietas/galur biji sorgum. J. Stigma 10 (2) : 127-130. Suarni. 2004. Pemanfaatan tepung sorgum untuk produk olahan. J. Litbang Pertanian. 23 (4) : 145150. Suprapto, Mudjisihono R. 1987. Budidaya dan Pengolahan Sorgum. Jakarta : Penebar Swadaya. Tang C. 1992. Phenolic Compounds in Food. Washington DC: ACS Symposium Series. Turner ND, Diaz A, Taddeo SS, Vanamala J, McDonough CM, Dykes L, Murphy ME, Caroll RJ, and Rooney LW. 2006. Bran from black or brown sorghum supresses colon carsinogenesis. J. Science of Food and Agriculture. 20 (1) : 599-610. Winarno FG. 2003. Hasil-hasil Simposium Penganekaragaman Pangan Prakarsa Swasta dan Pemda Menuju Keanekaragaman Pangan Masyarakat indonesia. Di dalam : Hariyadi, P., B. Krisnamurti, F. G. Winarno (Eds.). Penganekaragaman Pangan Prakarsa Swasta dan Pemda. Forum Kerja Penganekaragaman Pangan, Jakarta. pp : i – vi. Yanuar W. 2009. Aktivitas Antioksidan dan Imunomodulator Serealia Non-beras. Tesis Jurusan Ilmu Pangan. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, IPB.
36
LAMPIRAN
37
Lampiran 1. Karakterisasi tepung sorgum dengan Brabender amilograph
38
Lampiran 2. Kuesioner uji rating hedonik Produk : Mi Sorgum
Nama : Tanggal : Uji Rating Hedonik
Instruksi : - Cicipi sampel secara berurutan dari kiri ke kanan - Berikan penilaian sesuai dengan tingkat kesukaan Anda terhadap setiap atribut sampel dengan memberikan nilai berdasarkan intensitas kesukaannya. 466 955 375 624 Rasa Warna Tekstur 1 = sangat tidak suka 3 = netral 5 = sangat suka 2 = tidak suka 4 = suka
39
Lampiran 3. Kuesioner uji ranking hedonik Produk : Mi Sorgum
Nama : Tanggal : Uji Ranking Hedonik
Instruksi : - Cicipi sampel secara berurutan dari kiri ke kanan, sekali saja - Urutkan keempat sampel berdasarkan tingkat kesukaan Anda. Nilai 1 untuk sampel yang paling disukai, sedangkan nilai 4 untuk sampel yang paling tidak disukai. - Tidak diperkenankan memberikan nilai yang sama untuk setiap sampel. Kode Sampel Ranking 446 955 375 624
40
Lampiran 4. Hasil analisis uji rating hedonik atribut rasa (1 menit penggorengan) Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:skor Type III Sum of Squares
Source
df
Mean Square
F
Sig.
a
33
41.230
98.476
.000
panelis
33.342
29
1.150
2.746
.000
sampel
13.825
3
4.608
11.007
.000
Error
36.425
87
.419
Total
1397.000
120
Model
1360.575
a. R Squared = ,974 (Adjusted R Squared = ,964)
Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor a,,b
Duncan
Subset sampel
N
1
2
Sosoh 70%
30
Sosoh 60%
30
3.40
Non-sosoh 70%
30
3.50
Non-sosoh 60%
30
3.60
Sig.
2.73
1.000
.264
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,419. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b. Alpha = 0,05.
41
Lampiran 5. Hasil analisis uji rating hedonik atribut rasa (2 menit penggorengan) Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:skor Type III Sum of Squares
Source
df
Mean Square
F
Sig.
a
33
41.644
135.397
.000
panelis
31.742
29
1.095
3.559
.000
sampel
2.492
3
.831
2.700
.051
Error
26.758
87
.308
Total
1401.000
120
Model
1374.242
a. R Squared = ,981 (Adjusted R Squared = ,974)
Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor a,,b
Duncan
Subset sampel
N
1
2
Sosoh 70%
30
3.17
Non-sosoh 60%
30
3.30
3.30
Non-sosoh 70%
30
3.33
3.33
Sosoh 60%
30
Sig.
3.57 .277
.081
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,308. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b. Alpha = 0,05.
42
Lampiran 6. Hasil analisis uji rating hedonik atribut warna (1 menit penggorengan) Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:skor Type III Sum of Squares
Source
df
Mean Square
F
Sig.
1104.367a
33
33.466
58.660
.000
panelis
58.967
29
2.033
3.564
.000
sampel
12.867
3
4.289
7.518
.000
Error
49.633
87
.570
Total
1154.000
120
Model
a. R Squared = ,957 (Adjusted R Squared = ,941)
Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor a,,b
Duncan
Subset sampel
N
1
2
Non-sosoh 60%
30
2.50
Non-sosoh 70%
30
2.73
Sosoh 60%
30
3.23
Sosoh 70%
30
3.27
Sig.
.235
.865
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,570. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b. Alpha = 0,05.
43
Lampiran 7. Hasil analisis uji rating hedonik atribut warna (2 menit penggorengan) Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:skor Type III Sum of Squares
Source
df
Mean Square
F
Sig.
1146.242a
33
34.735
82.210
.000
panelis
44.742
29
1.543
3.652
.000
sampel
27.492
3
9.164
21.689
.000
Error
36.758
87
.423
Total
1183.000
120
Model
a. R Squared = ,969 (Adjusted R Squared = ,957)
Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor a,,b
Duncan
Subset sampel
N
1
2
Non-sosoh 60%
30
2.47
Non-sosoh 70%
30
2.57
Sosoh 70%
30
3.40
Sosoh 60%
30
3.53
Sig.
.553
.429
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,423. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b. Alpha = 0,05.
44
Lampiran 8. Hasil analisis uji rating hedonik atribut penggorengan)
tekstur (1 menit
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:skor Type III Sum of Squares
Source
df
Mean Square
F
Sig.
a
33
37.142
82.170
.000
panelis
27.042
29
.932
2.063
.005
sampel
88.425
3
29.475
65.209
.000
Error
39.325
87
.452
Total
1265.000
120
Model
1225.675
a. R Squared = ,969 (Adjusted R Squared = ,957)
Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor a,,b
Duncan
Subset sampel
N
1
2
3
Sosoh 70%
30
Sosoh 60%
30
Non-sosoh 70%
30
3.70
Non-sosoh 60%
30
3.97
Sig.
1.80 2.70
1.000
1.000
.128
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,452. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b. Alpha = 0,05.
45
Lampiran 9. Hasil analisis uji rating hedonik atribut penggorengan)
tekstur (2 menit
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:skor Type III Sum of Squares
Source
df
Mean Square
F
Sig.
a
33
45.359
98.267
.000
panelis
55.542
29
1.915
4.149
.000
sampel
6.092
3
2.031
4.399
.006
Error
40.158
87
.462
Total
1537.000
120
Model
1496.842
a. R Squared = ,974 (Adjusted R Squared = ,964)
Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor a,,b
Duncan
Subset sampel
N
1
2
Sosoh 70%
30
3.10
Sosoh 60%
30
3.43
Non-sosoh 70%
30
3.63
Non-sosoh 60%
30
3.67
Sig.
.061
3.43
.214
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = ,462. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b. Alpha = 0,05.
46