TINJAUAN PUSTAKA
Sorgum (Sorghum bicolor (L.)) Taksonomi Tanaman sorgum termasuk famili Graminae atau rerumputan. Tanaman lain yang termasuk dalam famili Graminae diantaranya adalah padi, jagung, dan tebu. Taksonomi tanaman sorgum adalah sebagai berikut: Kelas
: Monocotyledon
Famili
: Gramineae
Genus
: Sorghum
Spesies
: Sorghum bicolor (L.) Holchus Sorghum (L.) Andropogan sorghum (L.) Sorghum Vulgare (L.)
Berbagai nama lokal untuk sorgum adalah Great Millet, guinea Cora (Afrika Barat); Kafir Corn (Afrika Selatan); Milo Sorgo (Amerika Serikat); Kaoliang (Cina); Durra (Sudan); Mtama (Afrika Barat); cantel (Jawa Tengah dan Jawa Timur); Chotam (India); jagung cantrik (Jawa Barat) (Suprapto 1987).
Morfologi dan fisiologi Sifat ikatan kulit biji pada biji sorgum yaitu diantara kulit biji dan daging biji dilapisi oleh lapisan testa dan aleuron, lapisan testa termasuk bagian kulit biji, dan lapisan aleuron termasuk bagian daging biji. Jaringan kulit biji terikat erat oleh daging biji, melalui lapisan tipis yang disebut lapisan semen. Pada proses penggilingan, ikatan kulit biji dengan daging biji ini sulit dipisahkan (Laimheriwa 1990). Sifat fisik pada biji sorgum umumya berbentuk bulat oval dengan ukuran biji kira-kira 4x2.5x3.5 mm. Berat biji bervariasi antara 8-50 mg, rata-rata berat 28 mg. Berdasarkan ukurannya sorgum dibagi atas: (a) sorgum biji kecil (8-10 mg), (b) sorgum biji sedang (12-24 mg), dan (c) sorgum biji besar (25-35 mg).
4
Gambar 1 Penampang membujur biji sorgum (Laimeheriwa 1990)
Kulit biji sorgum ada yang berwarna putih, merah atau cokelat. Sorgum putih disebut sorgum kafir dan yang berwarna merah atau cokelat biasanya termasuk varietas Feterita. Warna biji ini merupakan salah satu kriteria untuk menentukan
kegunaannya.
Varietas
yang
berwarna
lebih
terang
akan
menghasilkan tepung yang lebih putih dan tepung ini cocok untuk digunakan sebagai makanan lunak, roti dan lain-lainnya. Sedangkan varietas yang berwarna gelap akan menghasilkan tepung yang berwarna gelap dan rasanya lebih pahit. Tepung jenis ini cocok untuk bahan dasar pembuatan minuman. Untuk memperbaiki warna biji ini, biasanya digunakan larutan asam tamarand atau bekas cucian beras yang telah difermentasikan dan kemudian digiling menjadi pasta tepung (Laimeheriwa 1990). Umumnya warna biji sorgum terkait dengan kadar tanin dalam biji sorgum yang sebagian besar terdapat pada lapisan testa. Sorgum yang kadar taninnya tinggi umumnya bijinya berwarna cokelat gelap atau cokelat kemerah-merahan. Selama proses penepungan komersial, tanin berada dalam tepung, dan dengan penyaringan tidak dapat dihilangkan. Selama penyosohan dengan perlakuan perendaman, tanin akan larut dan diusahakan untuk dapat dihilangkan dari kulit
5
bijinya. Kehilangan tanin ini akibat terkelupasnya kulit biji dan hilangnya lapisan testa selama perlakuan. Dengan hilangnya senyawa tanin ini, warna tepung menjadi lebih putih, dapat menghilangkan rasa pahit, dan yang terpenting dapat menghilangkan zat anti nutrisi tanin dalam biji sorgum (Suprapto 1987).
Kandungan nutrisi Sebagai sumber karbohidrat sorgum kaya akan nutrisi. Kandungan nutrisi pada sorgum juga lebih baik dibandingkan dengan beras. Hal tersebut bisa dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Nutrisi
Perbandingan kandungan nutrisi sorgum dengan berbagai jenis sumber karbohidrat lainnya Kandungan per 100 g Beras
Jagung
Singkong
Sorgum
Kedelai
Kalori (cal)
360
361
146
332
286
Protein (g)
6.8
8.7
1.2
11.0
30.2
Lemak (g)
0.7
4.5
0.3
3.3
15.6
Karbohidrat (g)
78.9
72.4
34.7
73.0
30.1
Kalsium (mg)
6.0
9.0
33.0
28.0
196.0
Besi (mg)
0.8
4.6
0.7
4.4
6.9
Fosfor (mg)
140
380
40
287
506
Vitamin B1 (mg)
0.12
0.27
0.06
0.38
0.93
Sumber: Departemen Kesehatan 1992.
Kandungan kimia biji sorgum Kandungan kimia dalam biji sorgum yang lain diantaranya fenol terlarut. Fenol terlarut yang telah diidentifikasi terkandung dalam biji sorgum mencakup 4 jenis proanthocyanidins yaitu epicatechin±(epicatechin)n±catechin, glycosylated dimeric dan trimeric-avonoids dengan eriodictyol dan taxifolin unit (Gujer et al. 1986). Komponen fenolik dalam biji sorgum dibagi menjadi tiga kategori utama yaitu asam fenolat, flavonoid, dan tanin. Komponen-komponen tersebut
6
ditemukan paling banyak pada lapisan perikarp, testa, dan aleuron (Dicko et al. 2006). Tanin pada sorgum biasanya dikaitkan dengan dengan kandungan protein yang rendah. Seluruh jenis tanin termasuk dalam polifenol akan tetapi tidak semua polifenol pada sorgum adalah tanin. Kandungan polifenol yang tinggi pada sorgum dicirikan dengan perikarp berwarna coklat dan kulit biji yang berwarna, pada jenis sorgum dengan perikarp berwarna merah dan tidak memiliki kulit biji kandungan polifenolnya cukup signifikan sedangkan pada biji sorgum yang tidak berwarna kandungan polifenol sangat rendah. Keterkaitan antara pigmentasi biji sorgum dengan kandungan tanin yang dimiliki biji sorgum masih belum dapat dipastikan (Dogget 1988).
Sitophilus zeamais (Motsch.) Serangga hama gudang merupakan faktor biologis yang dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan selama penyimpanan (Ileleji et al. 2007). Sitophilus zeamais adalah serangga hama gudang yang bersifat polifag (keberadaannya terdeteksi hampir di seluruh komoditas di gudang) (Throne 1986). Kumbang ini tergolong hama penting dan hama primer. Menurut Rees (2004), biologi hama ini termasuk kingdom Animalia, filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Coleoptera, famili Curculionidae, genus Sitophilus, spesies Sitophilus zeamais Motschulky. Serangga hama ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola) dari fase telur sampai menjadi imago (Subramanyam dan Hagstrum 1996). Imago betina meletakkan telur pada biji yang telah dilubangi dengan moncongnya dan tiap lubang diisi satu butir telur lalu ditutup dengan gelatinous egg plug. Fase telur berlangsung sekitar 6 hari. Imago betina meletakkan telur hingga 300-400 butir selama hidup mereka (Sauer 1992). Larva yang terdapat dalam biji akan terus menggerek biji. Larva tetap berada di dalam biji sampai terbentuk pupa. Larva tidak bertungkai dan berwarna putih. Larva tidak bertungkai dikarenakan makanan yang dibutuhkan larva berada di sekitarnya sehingga tidak butuh pergerakan. Ketika bergerak, larva agak mengkerut lalu memanjang kembali dan seterusnya. Larva berkembang di dalam
7
rongga dalam biji pada suhu optimum 25 0C (Subramanyam dan Hagstrum 1996). Ukuran serangga ini bergantung pada tempat serangga berkembang biak. Bila hidup pada jagung, ukurannya lebih besar daripada bila hidup pada beras (Sunjaya dan Widayanti 2006).
Gambar 2 Sitophilus zeamais Motschulky
Panjang imago bervariasi mulai 2-5 mm tergantung pada kemampuan makan larva, tetapi pada umumnya S. oryzae berukuran 2-3.5 mm dan S. zeamais 3-3.5 mm (Kalshoven 1981). Satu butir beras hanya dapat ditempati oleh satu larva kumbang ini sedangkan pada biji yang lebih besar seperti jagung, satu butirnya dapat ditempati oleh dua larva S. zeamais. Di Indonesia S. zeamais lebih banyak ditemukan daripada S. oryzae (Pranata 1979). Sitophilus zeamais merupakan serangga yang dapat berkembang biak dengan cepat, yaitu selama satu tahun dapat menghasilkan 5-7 generasi. Kumbang betina akan mengunyah lubang kecil di dalam inti biji, kemudian memasukkan satu telur ke dalamnya kemudian lubang ditutup kembali dengan zat seperti gelatin yang berfungsi sebagai sumbat telur atau egg plug (Haines 1991). Telur akan menetas dalam beberapa hari menjadi larva dan memakan bagian dalam inti biji. Larva kumbang ini berkembang selama 4 stadia. Larva kemudian menggerek biji dan hidup di dalam biji, umur kurang lebih 20 hari pada suhu 250C dan kelembaban relatif 70%. Kemudian menjadi pupa, selanjutnya menjadi kumbang dewasa. Fase pupa berlangsung di dalam biji yang telah kosong (Kalshoven 1981). Tipe pupa eksarata, dimana semua embelannya bebas atau
8
tidak menyatu satu sama lain (Fachry 2005). Selama masa perkembangan serangga pada biji tertentu tidak dapat dideteksi dengan kasat mata hingga kemunculan imago kumbang ini akan tetapi pada jagung dan beras keberadaaan larva dan pupa kumbang ini terkadang dapat terlihat pada bagian perikarp (Sauer 1992). Imago dapat bertahan hidup cukup lama yaitu dengan makan sekitar 5-8 bulan (Sauer 1992). Serangga ini digolongkan ke dalam hama primer (internal feeder), yaitu hama menyerang dan mampu berkembang dengan baik pada komoditas yang masih utuh dengan cara menggerek (Sunjaya dan Widayanti 2006). Perkembangan, aktivitas, dan kopulasi serangga ini dilakukan pada siang hari dan berlangsung lebih lama dibandingkan dengan masa kopulasi hama gudang lainnya (Surtikanti 2004).
Mekanisme Resistensi dan Faktor yang Memengaruhi Definisi dari resistensi tanaman terhadap serangga sangat banyak dan bervariasi. Dalam arti luas, resistensi tanaman didefinisikan sebagai sifat yang diwariskan oleh tetuanya yang menghasilkan tanaman yang relatif resisten (kerusakan berkurang) dibandingkan tanaman yang rentan dengan jumlah OPT yang menyerang sama. Dalam pengertian praktis tanaman resisten adalah tanaman yang tahan dan mengalami lebih sedikit kerusakan jika terserang hama tertentu. Resistensi tanaman adalah relatif dan didasarkan pada perbandingan dengan tanaman kurang memiliki karakter perlawanan, yaitu tanaman rentan. Kultivar tanaman tahan serangan hama dapat menekan kelimpahan hama serangga atau menurunkan tingkat kerusakan tanaman. Dengan kata lain, tanaman tahan hama dapat mengubah hubungan hama serangga dengan tanaman inang. Hubungan antara serangga dan tanaman tergantung pada jenis mekanisme resistensi, misalnya antibiosis, antixenosis (non-preferensi), atau toleransi. Mekanisme antibiosis memengaruhi biologi serangga sehingga kelimpahan hama dan kerusakan menurun dibandingkan dengan apa yang akan terjadi jika serangga tersebut menyerang pada tanaman rentan. Mekanisme antibiosis sering
9
menyebabkan kematian meningkat atau panjang umur berkurang dan penurunan reproduksi serangga. Mekanisme antixenosis memengaruhi perilaku hama serangga dan biasanya dinyatakan sebagai non-preferensi serangga pada tanaman tahan dibandingkan dengan tanaman rentan. Toleransi adalah respon tanaman terhadap hama serangga. Mekanisme toleransi terjadi di mana tanaman yang mampu bertahan atau pulih dari kerusakan yang disebabkan oleh serangan serangga hama dengan kerusakan awal yang sama dengan tanaman tanpa karakter resistensi (rentan). Dengan demikian, mekanisme resistensi dengan dasar toleransi berbeda dengan antibiosis dan antixenosis dalam pengaruhnya terhadap hubungan serangga dan tanaman. Mekanisme antibiosis dan antixenosis menyebabkan respon serangga saat serangga mencoba untuk menggunakan tanaman tahan untuk makanan, oviposisi, atau tempat tinggal (Teetes 2009). Menurut Chandrashekar dan Satyanarayana (2006), daya resistensi sorgum terhadap hama dan patogen dipengaruhi komposisi struktur fisik dan kimia dari biji. Struktur fisik biji seperti ketebalan komposisi lapisan perikarp, tekstur endosperm, dan bermacam-macam komponen kimia seperti asam hidroksinamat, asam ferulat, dan bermacam-macam protein endosperm memiliki daya antagonis terhadap hama dan patogen, sehingga berperan sebagai pertahanan biji. Menurut Adesuyi (1979) faktor yang memengaruhi tingkat resistensi produk simpanan terhadap serangan Sitophilus spp. adalah toksin alkaloid atau asam amino dalam beberapa produk simpanan, pencegah makan serangga, karakteristik kulit biji yang menghambat oviposisi serta enzim pencernaan dan kekerasan kernel. Uji resistensi sorgum terhadap Sitophilus oryzae dengan menjadikan fenol terlarut sebagai indikator resistensi telah dilakukan sebelumnya oleh Ramputh (1998) dan menunjukkan bahwa kandungan fenol dalam sorgum memiliki pengaruh terhadap tingkat resistensi sorgum terhadap serangan S. oryzae. Kandungan fenol di dalam sorgum mungkin terlibat dalam antibiosis untuk S. oryzae karena memiliki hubungan korelasi negatif dengan munculnya F1 (Ramputh 1998).
10
Gambar 3 Struktur kimia tanin (Hagerman et al. 1997)
Tanin merupakan salah satu senyawa dari golongan polifenol dan memiliki peranan biologis yang kompleks. Fungsi tanin diantaranya dapat menghelat protein dan logam. Selain itu, tanin juga dapat berfungsi sebagai antioksidan biologis (Hagerman et al. 1997). Kekerasan biji adalah salah satu faktor penting yang memengaruhi resistensi biji terhadap serangga. Pada banyak jenis biji-bijian kekerasan biji pada varietas yang sama memiliki variasi yang tinggi, hal ini dapat dikarenakan perbedaan genetik dan kondisi lapangan. Kandungan protein diketahui sebagai penentu kekerasan biji pada jagung, sorgum, dan millet (Sauer 1992).