Respon Beberapa Galur Sorgum [Sorghum bicolor (L.) Moench] terhadap Penyakit Karat Daun (Puccinia sorghi Schw.) Yuspamella Chusnul Novemprirenta 1), Serafinah Indriyani 1), Yusmani Prayogo 2) 1) Jurusan Biologi, Universitas Brawijaya Malang 2) Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang Alamat korespondensi :
[email protected]
ABSTRAK Penyakit karat daun yang disebabkan jamur Puccinia sorghi merupakan salah satu kendala dalam usaha peningkatan produksi sorgum. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon beberapa galur sorgum terhadap penyakit karat daun Puccinia sorghi. Penelitian ini dilakukan di rumah kasa Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (BALITKABI), Malang, mulai dari bulan September hingga Desember 2012. Penelitian disusun menggunakan rancangan acak kelompok (RAK), tiap perlakuan diulang 3 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa enam dari 13 galur sorgum yang diuji menunjukkan gejala infeksi penyakit karat, enam galur tersebut yaitu G1, G2, G5, G7, G9 dan G11. Masa inkubasi terpendek terjadi pada galur G1 dan G9, sedangkan intensitas penyakit penyakit karat yang terendah terjadi pada galur G5 dan G11. Penyakit karat berpengaruh langsung terhadap komponen hasil tanaman sorgum. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa galur sorgum yang direkomendasikan untuk usaha pemuliaan tanaman guna meningkatkan toleransi tanaman terhadap infeksi penyakit karat adalah galur sorgum G3, G4, G6, G8, G10, G12 and G13. Kata kunci : intensitas penyakit, masa inkubasi, Puccinia sorghi, sorgum ABSTRACT
Rust disease that was caused by Puccinia sorghi is one of problem to increased sorghum yield. The aim of this research was to learned the response of sorghum lines to rust disease Puccinia sorghi. The research was conducted in BALITKABI’S screenhouse using randomized block design (RBD) with three replication for each treatment. The result showed that six of 13 lines of shorgum produced the symptom of rust infection, there are G1, G2, G5, G7, G9 and G11. The shortest latent period occured at shorgum line G1 and G9, and the lowest intensity of disease occured at shorgum line G5 and G11. Rust disease influenced to shorgum yield directly, so it was recomended to use G3, G4, G6, G8, G10, G12 and G13 lines when planted sorghum. Those lines also considered as gene source which is can used for determining shorgum that tolerant to rust disease. Key words : intensity of disease, latent period, Puccinia sorghi , sorghum PENDAHULUAN Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi krisis pangan adalah swasembada dan diversifikasi pangan. Sebagai bahan pangan alternatif, sorgum dapat membantu memenuhi kebutuhan bahan pangan pokok selain beras. Sorgum relatif lebih dapat beradaptasi pada kisaran kondisi ekologi yang luas dan dapat berproduksi pada kondisi lingkungan yang kurang sesuai bila dibandingkan dengan tanaman sereal yang lainnya. Sorgum tahan terhadap kondisi yang panas dan kering karena adanya lapisan lilin pada batang dan daun sorgum yang dapat membantu mengurangi kehilangan air melalui penguapan (transpirasi tanaman). Akan tetapi sorgum juga dapat tumbuh pada daerah yang bercurah hujan tinggi atau tempat-tempat yang tergenang [1], [2]. Jurnal Biotropika | Edisi 1 No 2 | 2013
Pentingnya tanaman sorgum dalam usaha diversifikasi pangan dan memiliki banyak manfaat menyebabkan perkembangan pemuliaan tanaman ini berkembang cukup pesat. Pemuliaan tanaman sorgum lebih diarahkan pada tinggi tanaman, hasil, ketahanan terhadap hama penyakit, kualitas dan mutu biji [3]. Diketahui kualitas dan mutu biji dapat menurun karena penyakit karat oleh jamur Puccinia sorghi. Galur-galur sorgum koleksi Balitkabi masih belum diketahui ketahanannya terhadap penyakit karat, sehingga tujuan pada penelitian ini adalah untuk mempelajari respon tanaman sorgum terhadap jamur karat serta tingkat keparahan penyakit pada 13 galur sorgum yang diuji. Hasilnya diharapkan akan diperoleh galur-galur yang tahan penyakit karat.
57
METODE PENELITIAN Persiapan tanaman. Tigabelas galur sorgum ditanam pada polibag 5 kg. Setiap galur terdiri dari 3 ulangan dan 1 kontrol. Tanaman diberi pupuk urea seminggu sekali sebanyak 2 g/polibag dan dijaga kelembapan tanahnya. Persiapan inokulum. Daun jagung yang terinfeksi karat P. sorghi diinkubasi 2 hari. Kemudian spora diluruhkan dari daun dengan kuas. Spora hasil peluruhan ditampung di gelas beaker dan diencerkan dengan aquades hingga diperoleh kerapatan akhir 106 spora/mL, suspensi selanjutnya ditambahkan dengan 2 mL Tween 80 sebagai bahan perekat. Aplikasi inokulum. Tanaman berumur 3 mst (minggu setelah tanam) diinokulasi spora Puccinia sorghi dengan kerapatan 106/mL sebanyak 3 mL/polibag Penyemprotan spora dilakukan pada sore hari. Variabel pengamatan. Variabel pengamatan meliputi tinggi tanaman pada saat 12 mst, masa inkubasi penyakit, intensitas penyakit dan komponen hasil (meliputi berat 100 biji dan bobot biji per tanaman). Analisis data. Data dianalisis menggunakan program SPSS 16.0.0. dengan uji ANOVA untuk mengetahui pengaruh inokulasi P. sorghi terhadap pertumbuhan tinggi tanaman dan komponen hasil dengan taraf signifikansi sebesar 95 %. Jika ada perbedaan yang signifikan, dilanjutkan dengan uji Duncan dengan taraf signifikansi sebesar 5 %. Akan tetapi, jika data tidak homogen, dilakukan uji Brown-Forsythe, jika ada perbedaan dilakukan uji lanjut TukeyBonferroni. Kemudian untuk mengetahui respon tanaman terhadap infeksi penyakit karat daun, persentase daun yang terinfeksi dibagi ke dalam 5 skala untuk selanjutnya dikategorikan ke dalam 3 respon, yaitu rentan, agak toleran dan toleran (Tabel 1). Dengan demikian diperoleh galurgalur harapan sorgum yang tahan terhadap infeksi karat daun. Tabel 1. Visualisai tingkat keparahan karat Skala 1 2 3 4 5
Keterangan Tidak ada karat 1-10 % daun terinfeksi 11-40 % daun terinfeksi 41-65 % daun terinfeksi 66-100 % daun terinfeksi
Skala respon Toleran Toleran Agak toleran Rentan Rentan
Jurnal Biotropika | Edisi 1 No 2 | 2013
Galur dengan skala 1 atau 2 dianggap toleran, galur dengan skala 3 dianggap agak rentan dan galur dengan skala 4 hingga 5 dianggap rentan terhadap serangan penyakit [4]. Data intensitas penyakit selanjutnya dianalisis dengan uji ANOVA, jika data tidak terdistribusi normal, dilakukan uji non parametrik Kruskal-Wallis, jika ada perbedaan dilanjutkan dengan uji MannWhitney. HASIL DAN PEMBAHASAN Masa Inkubasi dan Respon Tanaman terhadap Infeksi Karat Resistensi terhadap jamur patogen adalah kemampuan inang untuk membatasi pertumbuhan dan reproduksi jamur patogen, sehingga memunculkan gejala yang lebih sedikit dan kurang mempengaruhi hasil produksi [5]. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 6 dari 13 galur uji menunjukkan gejala infeksi P. sorghi. Intensitas penyakit 6 galur yang terinfeksi berbeda satu sama lain dan memiliki masa inkubasi yang berbeda, sedangkan 7 galur yang tidak terinfeksi menunjukkan nilai nol. Berdasarkan uji Kruskal-Wallis, ada perbedaan intensitas penyakit yang signifikan di antara 13 galur yang diinokulasi P. sorghi (Sig. 0,002 < 0,05). Masa inkubasi terpendek adalah galur G9 dan G1, masing-masing tujuh hari dan sembilan hari, sedangkan masa inkubasi terpanjang pada galur G7 dan G11, masing-masing 12,5 dan 14 hari. Rata-rata intensitas penyakit karat dari yang tertinggi hingga terendah berturut-turut adalah galur sorgum G9, G1, G7, G2, G5, dan G11, sedangkan galur yang tidak terinfeksi adalah G3, G4, G6, G8, G10, G12 dan G13. Secara statistik, intensitas penyakit 7 galur yang tidak terinfeksi tidak berbeda dengan galur G11, G2 dan G7, sedangkan intensitas penyakit galur G1 dan G9 berbeda secara signifikan dengan 11 galur uji yang lain kecuali G7 (Tabel 2). Pada tujuh galur yang tidak terinfeksi, P. sorghi yang diperkenalkan ke tanaman nonhost secara buatan, gagal untuk menyebabkan infeksi, meskipun tidak ada struktur inang yang dapat menghambat patogen untuk penetrasi. Menurut Agrios (2004), contoh ini menunjukkan bahwa mekanisme pertahanan kimia (preexisting chemical) lebih bertanggungjawab daripada yang bersifat struktural (preexisting structural) untuk resistensi tanaman terhadap infeksi yang ditunjukkan oleh tanaman terhadap patogen tertentu. Pertahanan struktural sudah ada pada 58
Tabel 2. Rata-rata intensitas penyakit karat pada 13 galur sorgum pada 8 msi G3
Rata-rata Intensitas penyakit (%) 0a
G4
0a
G6
0a
G8
0a
G10
0a
G12
0a
G13
0a
G11
1,67 ab
No Galur
G5
9,32 ab
G2
12,77 ab
G7
15,57 abc
G1
43,07 c
G9 48,33 c Keterangan : angka yang diikuti notasi yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji Mann-Whitney pada α = 0,05
Intensitas penyakit karat pada enam galur yang terinfeksi penyakit karat setelah 2 msi (minggu setelah inokulasi) berkisar antara 0,5 – 3,5 %. Selanjutnya terjadi peningkatan intensitas penyakit setiap minggunya. Peningkatan intensitas penyakit tidak terlalu drastis pada tanaman G5 dan G11. Rata-rata terjadi peningkatan intensitas penyakit pada 4 msi. Sedangkan galur sorgum yang rentan terhadap infeksi karat, yaitu tanaman G1 dan G9, perkembangan penyakit terjadi lebih cepat dibandingkan 4 galur sorgum yang lain. Bahkan, seiring dengan pertambahan umur tanaman menuju dewasa, intensitas penyakit karat cenderung semakin meningkat (Gambar 1). Keadaan ini didukung dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa umumnya penyakit karat karena P. purpurea menginfeksi tanaman dewasa dan intensitas penyakit meningkat seiring dengan fase pertumbuhan tanaman [7]. Gejala penyakit karat karena P. sorghi hampir sama dengan gejala penyakit karena P. purpurea, yaitu terdapat titik-titik noda Jurnal Biotropika | Edisi 1 No 2 | 2013
berwarna merah kecoklatan seperti karat serta terdapat serbuk berwarna kuning kecoklatan. Artinya jamur P. sorghi penyebab penyakit karat juga memberikan gejala serta sifat yang mirip dengan P. purpurea. 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
galur 1
intensitas infeksi (%)
tanaman, bahkan sebelum terjadi kontak antara patogen dengan tanaman. struktur tersebut meliputi lapisan lilin dan kutikula yang menutupi sel epidermis, struktur dari dinding sel epidermis, ukuran, lokasi, bentuk stomata dan lentisel serta keberadaan jaringan yang terususun dari sel berdinding tebal yang menghambat masuknya patogen ke tanaman [6].
galur 2 galur 5 galur 7 galur 9
2 msi
4 msi
6 msi
8 msi
galur 11
waktu pengamatan
Gambar 1. Peningkatan intensitas penyakit karat padagalur-galur sorgum yang terinfeksi Respon tanaman terhadap infeksi penyakit dilihat dari persentase daun yang terinfeksi, yang selanjutnya diberi skala 1 -5, sehingga diperoleh tanaman yang toleran atau tahan, agak tahan dan rentan. Intensitas penyakit pada daun yang terinfeksi karat pada tanaman G5 dan G11 berkisar sekitar 2 – 9 % (skala 2), sehingga tanaman dikatakan toleran. Tanaman G2 dan G7 dikatakan agak toleran dengan intensitas penyakit sekitar 12 – 16 % (skala 3), sedangkan tanaman G1 dan G9 tergolong rentan terhadap infeksi karat karena intensitas penyakit permukaan daun yang terinfeksi sekitar 43 – 48 % (skala 4), sedangkan tujuh galur yang tidak terinfeksi merupakan tanaman yang toleran terhadap karat, karena tidak ditemukan adanya gejala infeksi penyakit karat (skala 1). Kelembapan yang tinggi dan suhu yang rendah sangat mempengaruhi perkembangan penyakit dan dapat memperparah intensitas penyakit sehingga hasil produksi dapat menurun [8]. Infeksi karat karena P. sorghi berpengaruh terhadap tinggi tanaman dan komponen hasil produksi, hal yang sama juga terjadi pada infeksi karat karena P. purpurea [7]. Tingkat keparahan penyakit (disease severity) pada tanaman sorgum yang mencapai 38,46 %, mengindikasikan lingkungan pertanaman sorgum kurang mendukung perkembangan penyakit karat daun. Penyebaran penyakit karat karena P.sorghi dipengaruhi oleh terbentuknya urediospora [9]. Umumnya, karat aktif selama cuaca dingin (60 °F – 75 °F) dan kelembapan udara yang tinggi. Kelembapan udara yang tinggi akan meningkatkan serangan penyakit karat. Jamur penyebab karat menginfeksi daun ketika spora 59
dihasilkan dan permukaan daun dalam keadaan basah, sering lebih parah pada penanaman akhir [10].
kaitannya dengan interaksi antara faktor genetik dengan lingkungan [11]. Bobot 100 biji digunakan untuk menggambarkan ukuran biji dan ditentukan oleh genotip tanaman itu sendiri [12]. Berdasarkan hasil uji Brown-Forsythe, hasil menunjukkan bahwa bobot 100 biji tidak berbeda secara signifikan pada 13 galur yang diinokulasi P. sorghi (Sig 0,055 > 0,05). Bobot biji per tanaman merupakan bobot seluruh biji per tanaman. Hasil uji BrownForsythe menunjukkan bobot biji per tanaman berbeda secara signifikan pada 13 galur yang diinokulasi P. sorghi (Sig. 0,021 < 0,05). Bobot biji per tanaman pada sorgum G8 memiliki nilai paling besar dan sorgum G5 bernilai paling kecil dengan bobot biji masing-masing sebesar 40,5 ± 11,7 g dan 3,1 ± 1,4 g (Gambar 2B).
Tinggi Tanaman dan Komponen Hasil Sorgum (Sorghum bicolor) pada 13 Galur Sorgum yang Diinokulasi P. sorghi Tinggi tanaman dan komponen hasil sorgum dari 13 galur yang diuji bervariasi. Perbedaan tinggi tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor genetik tanaman itu sendiri. Galur sorgum G7 memiliki tinggi yang lebih unggul dibandingkan 12 galur lainnya (135,7 ± 11,9 cm), sedangkan sorgum G3 dan G13 memiliki tinggi yang paling rendah dibandingkan sorgum yang lain, dengan tinggi masing-masing adalah 81,2 ± 19,3 cm dan 78,8 ± 6,4 cm (Gambar 2A). Tinggi tanaman dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana pertumbuhan tanaman karena pertumbuhan erat 160.0 140.0 120.0 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0
abcd abc
abcd bcd
cd
d
B
cd abc abc
a
ab abc
a
jenis galur
bobot biji per tanaman (g)
tinggi tanaman (cm)
A
b
60.0 ab
50.0 40.0
ab ab
ab
30.0 20.0 10.0
a
a
ab
a
ab
a a
a
0.0 jenis galur
Gambar 2. Rata-rata tinggi tanaman (A) dan bobot biji per tanaman (B) pada sorgum yang diinokulasi P. sorghi. Keterangan: notasi yang sama pada masing-masing gambar menunjukkan tidak berbeda signifikan pada α = 5 % Selain, intensitas penyakit, waktu penanaman yang tidak tepat juga mempengaruhi ukuran biji. Hal ini diketahui karena pada saat penelitian, penanaman dilakukan pada Bulan September hingga Desember, yang mana pada saat itu sudah memasuki musim hujan, akan tetapi curah hujan masih sangat rendah. Hal ini mengakibatkan malai membusuk karena curah hujan dan kelembapan udara yang tidak menentu, sehingga kernel (biji) harus cepat dipanen sebelum waktunya. Keadaan tersebut mengakibatkan biji rusak dan membusuk sehingga mengalami penyusutan karena kernel belum mature secara sempurna. KESIMPULAN
meningkat. Tanaman yang toleran adalah G5 dan G11 dengan intensitas penyakit sekitar 2 – 9 %; tanaman G2 dan G7 agak toleran dengan intensitas penyakit sekitar 12 – 16 %; serta tanaman G1 dan G9 yang rentan terhadap infeksi karat dengan intensitas penyakit sekitar 43 – 48 %. Galur sorgum G3, G4, G6, G8, G10, G12, dan G13 merupakan sumber gen yang dapat digunakan sebagai tetua dalam penetapan varietas sorgum toleran penyakit karat. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada Dra. Nunung Harijati, MS. Ph.D. dan dosen Working Group atas dukungan, arahan, dan informasi atas penelitian ini.
Inokulasi spora P. sorghi mempengaruhi tinggi tanaman dan komponen hasil sorgum. Seiring dengan tahap perkembangan tanaman menjadi dewasa, infeksi karat cenderung Jurnal Biotropika | Edisi 1 No 2 | 2013
60
DAFTAR PUSTAKA [1] House, L. R. 1995. A Guide to sorghum breeding. International Crops Research Institute for Semi-Arid Tropics. Andhra Pradesh. India. [2] Setyowati, Mamik, Hadiatmi & Sutoro. 2005. Evaluasi pertumbuhan dan hasil plasma nutfah sorgum (Sorghum vulgare (L.) Moench.) dari tanaman induk dan ratoon. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian. Bogor. Buletin Plasma Nutfah. 2 : 41-49. [3] Kusuma, J., F. N. Azis, A. Hanif, I. Erifah, M. Iqbal, A. Reza & Sarno. 2008. Tugas terstruktur mata kuliah pemulihan tanaman terapan; Sorgum. Departemen Pendidikan Nasional. Universitas Jenderal Soedirman. Fakultas Pertanian. Purwokerto. [4] Wang, M. L., R. Dean, J. E. Erpelding & G. A. Pederson. 2006. Molecular genetic evaluation of sorghum germplasm differing in response to fungal diseases: Rust (Puccinia purpurea) and anthracnose (Collectotrichum graminicola). Euphytica, 148: 319-33. [6] Agrios, G. W. 2004. Plant pathology, 5th Edition. Academic Press. New York. [5] Pataky, J. 2001. Controlling common rust in sweet corn (Puccinia sorghi). Department of Crop Sciences, University of Illinois. Urbana. http://www.sweetcorn.illinois.edu. Tanggal akses 24 November 2012 [7] White, J. A. 2007. Pathotypes, epidemiology and economic importance of sorghum rust (Puccinia purpurea) in Australia. PhD Thesis. School of Land, Crop and Food Sciences. Univ. of Queensland. http://library.uq.edu. Tanggal akses 26 November 2012 [8] Naro. 2012. Disease of Sorghum. http://www.naro.affrc.go.jp/org/nilgs/diseases/co ntents/de5.htm. Tanggal akses 12 Maret 2012. [9] Sudjono, M. S. & Sukmana. 1995. Pengaruh masa tanam jagung terhadap penyakit dan hasil di Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta. Kongres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah PFI, 25-27 September 1995. Mataram. [10] Vincelli, P. & D. E. Hershman. 1997. Kentucky plant disease management guide for corn and sorghum. Extension plant pathologists. University of Kentucky. [11] Taiz, L. & E. Zeiger. 2002. Plant physiology. Third Edition. Sinauer Associates, Publishers. Sunderland. Massachusetts. [12] Dermawan, R. 2011. Respon genotip sorgum [Sorgum bicolor (L.) Moench] terhadap Jurnal Biotropika | Edisi 1 No 2 | 2013
pemupukan P pada berbagai taraf kejenuhan aluminium di tanah masam. Thesis. IPB. Bogor. http://repository.ipb.ac.id. Tanggal akses 24 November 2012.
61