SKRIPSI
KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK VARIETAS BERAS BERAMILOSA RENDAH DAN TINGGI
Oleh : TRI UTAMA ARGASASMITA F24103127
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Jurnal skripsi 2008 Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK VARIETAS BERAS BERAMILOSA RENDAH DAN TINGGI Tri Utama Argasasmita1) Deddy Muchtadi2) Made Astawan 3) dan Sri Widowati4) ABSTRAK Beras merupakan sumber karbohidrat utama hampir di seluruh daerah di Indonesia karena rasanya yang enak dan dapat dikombinasikan dengan bahan pangan lain. Pada penelitian ini dilakukan analisis fisikokimia dan indeks glikemik dari lima varietas beras beramilosa tinggi dan lima varietas beras beramilosa rendah. Analisis fisikokimia yang dilakukan yaitu analisis warna, bobot 1000 butir, kekerasan beras, uji amilografi, analisis proksimat, kadar amilosa, kadar serat pangan, daya cerna pati, kadar pati dan pati resisten. Konsep indeks glikemik (IG) memberikan gambaran tentang hubungan antara karbohidrat dalam makanan dengan kadar glukosa darah. Makanan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat memiliki nilai IG tinggi dan sebaliknya. Hasil analisis menunjukkan karakteristik fisik dan kimia yang berbeda antar varietas beras yang diteliti. Beras yang diteliti memiliki nilai IG sedang sampai tinggi. Beras yang memiliki IG sedang yaitu varietas Logawa (59), Batang Lembang (63) dan IR 42 (69). Sedangkan beras yang memiliki nilai IG tinggi yaitu Celebes (86), Ciasem (ketan) (147), Bengawan Solo (98), Sintanur (91), Gilirang (97), Ciliwung (87), dan Batang Piaman (80). Faktor yang paling mempengaruhi nilai IG dalam penelitian ini adalah kadar amilosa. Hal ini dibuktikan dari hasil analisis korelasi antara nilai IG dengan kadar amilosa yang memiliki nilai korelasi yang signifikan (r = -0.862). Kata kunci : beras, sifat fisikokimia, nilai IG, dan kadar amilosa
Tri Utama Argasasmita. F24103127. Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Indeks Glikemik Varietas Beras Beramilosa Rendah dan Tinggi. Di bawah Bimbingan Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS, Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS dan Dr.Ir. Sri Widowati, MAppSc. Ringkasan Bagi masyarakat Indonesia beras dijadikan sebagai bahan pangan pokok sehari-hari. Beras merupakan sumber karbohidrat utama hampir di seluruh daerah di Indonesia karena rasanya yang enak dan dapat dikombinasikan dengan bahan pangan lain. Pada penelitian ini dilakukan analisis fisikokimia dan indeks glikemik dari lima varietas beras beramilosa tinggi dan lima varietas beras beramilosa rendah. Kesepuluh varietas beras ini merupakan beras giling yang berasal dari Balai Penelitian Tanaman Padi di Sukamandi. Varietas beras beramilosa tinggi yang dianalisis yakni Ciliwung, Logawa, Batang Piaman, Batang Lembang dan IR 42, sedangkan varietas beras beramilosa rendah yang akan dianalisis yakni Celebes, Ciasem (beras ketan), Sintanur, Gilirang dan Bengawan Solo. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap yakni penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan analisis proksimat terhadap kesepuluh varietas tersebut, sedangkan pada penelitian utama dilakukan pengujian nilai indeks glikemik dan sifat fisikokimia lainnya seperti kadar amilosa, kadar pati, kadar serat pangan , bobot seribu butir, suhu gelatinisasi, daya cerna pati, uji kekerasan beras, uji kekerasan nasi dan analisis warna. Hasil karakterisasi sifat fisik menghasilkan data kekerasan beras yang berkisar antara 5.30-6.99 Kgf(Kilogramforce). Bobot seribu butir beras berkisar antara 15.7022.00 gram. Derajat putih berkisar antara 71.86-78.85 %. Suhu gelatinisasi suspensi tepung beras yang diteliti berkisar antara 83-90 oC. Viskositas maksimum suspensi tepung beras yang dianalisis berkisar antara 390-900 BU (Brabender Unit). Hasil analisis proksimat menunjukkan kadar air beras yang diuji berada dalam kisaran 11.82-13.31 % bb, kadar abu berkisar antara 0.58-0.86 % bk, kadar protein berkisar antara 7.56-10.60 % bk, kadar lemak antara 0.53-1.31 % bk. Kadar karbohidrat by difference berada pada kisaran 87.69-91.07 % bk. Kadar amilosa berkisar antara 7.3229.41 % b.b. Nilai serat pangan tidak larut berkisar antara 2.27 -5.68 % bk. Untuk kadar serat pangan larut, nilai yang didapat berkisar antara 1.00-3.59 % bk. Kadar serat pangan total beras yang diteliti berkisar antara 4.67-7.57% bk. Nilai kadar pati beras yang diteliti berkisar antara 76-82 % bb. Kadar pati resisten beras yang diteliti sangat kecil berkisar antara 0.08 - 0.20 % bk . Nilai daya cerna pati in vitro beras yang diteliti berkisar antara 62 - 81 %. Nilai indeks glikemik berkisar antara 59 - 147. Varietas beras dengan nilai IG sedang yakni Logawa (59), Batang Lembang (63), dan IR 42 (68), sedangkan varietas beras dengan nilai IG tinggi yakni Celebes (86), Ciasem (ketan) (147), Bengawan Solo (97), Sintanur (91), Gilirang (97), Ciliwung (86), dan Batang Piaman (80). Standar nilai IG digunakan dalam penelitian ini adalah glukosa yang memiliki nilai IG 100. Varietas Logawa (59) memiliki nilai IG yang lebih rendah dari beras Taj Mahal (61). Dengan demikian, Varietas Logawa berpotensi untuk dikembangkan sebagai makanan bagi penderita diabetes karena kenaikan kadar glukosa darah yang dihasilkannya tidak terlalu drastis. Faktor yang paling mempengaruhi nilai IG 2
dalam penelitian ini adalah kadar amilosa. Hal ini dibuktikan dari hasil analisis korelasi antara nilai IG dengan kadar amilosa yang memiliki nilai korelasi cukup besar (r = 0.862).
3
KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK VARIETAS BERAS BERAMILOSA RENDAH DAN TINGGI
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh : TRI UTAMA ARGASASMITA F24103127
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
4
KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK VARIETAS BERAS BERAMILOSA RENDAH DAN TINGGI SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor Oleh : TRI UTAMA ARGASASMITA F24103127 Dilahirkan pada tanggal 23 Maret 1985 Di Bekasi, Jawa Barat Tanggal Lulus : Menyetujui, Bogor, Januari 2008
Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS Pembimbing I
Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS Pembimbing II
Dr. Ir. Sri Widowati, MAppSc Pembimbing III
Mengetahui, Bogor, Januari 2008
Dr. Ir. Dahrul Syah Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
5
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Maret 1985. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara, pasangan Maman Herdyaman dan Nelmawati Noer. Jenjang pendidikan yang telah ditempuh oleh penulis adalah Sekolah Dasar di SDN Jatirahayu I (1991-1997), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 81 Jakarta Timur (1997-2000), dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah di SMU Negeri 48 Jakarta Timur, dan lulus pada tahun 2003. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003, melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam kegiatan akademis dan nonakademis. Penulis aktif mengikuti berbagai kepanitian kegiatan di dalam kampus, diantaranya Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan Nasional XIII (2005), dan BAUR Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB (2006), dan berbagai kegiatan intra kampus lainnya. Penulis melakukan penelitian sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian dengan judul KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK VARIETAS BERAS BERAMILOSA RENDAH DAN TINGGI dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS, Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS dan Dr.Ir. Sri Widowati, MAppSc.
6
KATA PENGANTAR
Bismillahhirrahmanirrahim. Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan atas segala nikmat, kemudahan, petunjuk, dan berbagai hal yang telah ALLAH SWT limpahkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Indeks Glikemik Lima Varietas Beras Amilosa Rendah dan Lima Varietas Beras Amilosa Tinggi. Skripsi ini penulis susun dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS, Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS dan Dr.Ir. Sri Widowati, MAppSc. Ucapan terima kasih ingin penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu : 1. Papa, Mama, Aa Yudha, Uni Rika, Adek Fina, Teh Santi, Faiz, Mas Eko, dan Firsty atas segala dukungan, kasih sayang, perhatian, dan doa kepada penulis selama ini. 2. Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS, Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS dan Dr.Ir. Sri Widowati, MAppSc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, bimbingan, dan saran kepada penulis dalam menyusun skripsi ini. 3. Para analis di Balai Besar Pascapanen, Bu Pia, Mas Tri, Mbak Rina, Mbak Dewi, Mbak Melli, Mas Yudhi, Pak Danu dan Pak Toto atas segala bantuan, kesediaan untuk berbagi ilmu dan pengalaman dengan penulis selama penelitian. 4. Teman seperjuanganku dalam menyelesaikan penelitian ini, Prima, terima kasih banyak atas semuanya. 5. Teman-teman satu bimbingan, Tathan, Rina, dan Ichan terima kasih atas semua dukungan yang diberikan pada penulis. 6. Teman-teman yang telah bersedia menjadi relawan dalam pengujian nilai indeks glikemik. Terima kasih banyak atas kesediaannya menyumbangkan darah demi penelitian ini. 7. Penduduk “The Village” Adie, Arie, Chusni, Udjo, Pa’De, Erte, Yoga, Reza, Ados, dan Sarwo terima kasih atas semua kenangan yang kita lalui bersama dalam satu atap. Semoga persaudaraan kita tetap erat sampai akhir. 8. Teman-teman ITP 40, Usman, Mita, Tilo, Kaninta, Teddy, Lasty, Andal, Susanto dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas semua bantuannya kepada penulis selama ini.
7
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran membangun untuk memperbaiki dan menyempurnakan penulisan skripsi ini selanjutnya. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan bagi pengembangan ilmu dan penerapan pembelajaran khususnya bagi Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bogor,
Januari 2008
Penulis
8
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN........................................................................................... i
I.
II.
RIWAYAT HIDUP..................................................................................
iv
KATA PENGANTAR.............................................................................
v
DAFTAR ISI.............................................................................................
vii
DAFTAR TABEL.....................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR.................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................
xi
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
A. LATAR BELAKANG ......................................................................
1
B. TUJUAN ..........................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................
3
A. STRUKTUR BIJI BERAS ................................................................
3
B. PENGGILINGAN PADI MENJADI BERAS ...................................
5
C. JENIS-JENIS BERAS.......................................................................
6
D. SIFAT FISIK BERAS.......................................................................
7
E. SIFAT KIMIA BERAS.....................................................................
7
F. INDEKS GLIKEMIK .........................................................................
8
III. METODOLOGI .....................................................................................
10
A. BAHAN DAN ALAT .......................................................................
10
B. METODE PENELITIAN..................................................................
10
1. PENELITIAN PENDAHULUAN ..............................................
10
2. PENELITIAN UTAMA .............................................................
11
C. METODE ANALISIS ......................................................................
11
1. Analisis Sifat Fisik .....................................................................
11
a. Warna ............................................................................
11
b. Bobot 1000 Butir ............................................................
12
c. Uji Amilografi ................................................................
12
9
d. Kekerasan Beras .............................................................
12
2. Analisis Sifat Kimia ...................................................................
13
a. Proksimat .......................................................................
13
i. Kadar Air ............................................................
13
ii. Kadar Abu ..........................................................
13
iii. Kadar Protein......................................................
14
iv. Kadar Lemak ......................................................
15
v. Kadar Karbohidrat ..............................................
15
b. Kadar Amilosa ...............................................................
16
c. Kadar Serat Pangan ........................................................
17
d. Daya Cerna Pati..............................................................
19
e. Kadar Pati Resisten.........................................................
20
3. Pengujian Indeks Glikemik ........................................................
22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
24
A. KARAKTERISASI SIFAT FISIK BERAS .......................................
24
1. Kekerasan Beras ........................................................................
24
2. Bobot Seribu Butir.....................................................................
25
3. Warna........................................................................................
25
4. Uji Amilografi ...........................................................................
28
B. KARAKTERISASI SIFAT KIMIA BERAS 1. Analisis Proksimat ......................................................................
30
a). Kadar Air ..............................................................................
31
b). Kadar Abu ............................................................................
32
c). Kadar Protein ........................................................................
33
d). Kadar Lemak ........................................................................
33
e). Kadar Karbohidrat.................................................................
34
2. Analisis Kadar Amilosa...............................................................
34
3. Analisis Kadar Serat Pangan .......................................................
37
4. Analisis Kadar Pati dan Pati Resisten ..........................................
39
5. Analisis Daya Cerna Pati.............................................................
41
10
V.
C. INDEKS GLIKEMIK ......................................................................
43
KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................
48
A. KESIMPULAN ................................................................................
49
B. SARAN ............................................................................................
50
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................
51
LAMPIRAN.............................................................................................
55
11
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Nilai Kekerasan Beras dan Bobot Seribu Butir .................................... 24 Tabel 2. Warna dan Derajat Putih Beras............................................................. 27 Tabel 3. Data Amilografi Beras ......................................................................... 29 Tabel 4. Hasil Analisis Proksimat Beras............................................................. 31 Tabel 5. Kadar Amilosa Beras ........................................................................... . 36 Tabel 6. Kadar Serat Pangan Beras..................................................................... 38 Tabel 7. Kadar Pati dan Pati Resisten Beras......................................................
40
Tabel 8. Respons Kadar Glukosa Darah dan Nilai Indeks Glikemik Beras ......... 44 Tabel 9. Perbandingan Komposisi Kimia Beras dengan Nilai IG Terendah dan Beras dengan Nilai IG Tertinggi .................................... 48
12
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur Biji Beras............................................................................. 4 Gambar 2. Kurva Standar Amilosa.................................................................... 36 Gambar 3. Daya Cerna Pati in vitro Beras.......................................................... 42 Gambar 4. Respons Kadar Glukosa Darah.......................................................... 45
13
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Uji Statistik Nilai Kekerasan Beras....................................
55
Lampiran 2. Hasil Uji Statistik Bobot 1000 Butir Beras.................................
56
Lampiran 3. Hasil Uji Statistik Derajat Putih .........…………………………
57
Lampiran 4. Hasil Uji Statistik Kadar Air Beras.................…….....................
58
Lampiran 5. Hasil Uji Statistik Kadar Abu Beras...........................……….. ..
59
Lampiran 6. Hasil Uji Statistik Kadar Protein Beras..................………….....
60
Lampiran 7. Hasil Uji Statistik Kadar Lemak Beras...............…………….....
61
Lampiran 8. Hasil Uji Statistik Kadar Karbohidrat Beras................................
62
Lampiran 9. Hasil Uji Statistik Kadar Amilosa Beras ..………………….......
63
Lampiran 10. Hasil Uji Statistik Kadar Serat Pangan Tidak Larut Beras.......... 64 Lampiran 11 Hasil Uji Statistik Kadar Serat Pangan Larut Beras ……............ 65 Lampiran 12. Hasil Uji Statistik Kadar Pati Beras ……………....................... 66 Lampiran 13. Hasil Uji Statistik Kadar Pati Resisten Beras............................... 67 Lampiran 14. Hasil Uji Statistik Kadar Daya Cerna Pati in vitro Beras............... 68 Lampiran 15. Hasil Uji Statistik Kadar Indeks Glikemik Beras …………......
69
Lampiran 16. Hasil Uji Statistik Kadar Amilopektin ......................................... 70 Lampiran 17. Hasil Uji Korelasi Kadar Amilosa Dengan Nilai IG………......
71
Lampiran 18. Contoh Hasil Pengujian Amilografi Menggunakan Brabender..... 72
14
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Kesadaran yang semakin tinggi terhadap kesehatan telah menyebabkan perubahan pola perilaku masyarakat. Kegemukan atau obesitas semakin disadari dapat menimbulkan berbagai penyakit. Penyakit seperti kardiovaskular, hipertensi, dan diabetes melitus merupakan penyakit yang sangat erat kaitannya dengan pola makan sehari-hari. Seiring dengan meningkatnya kesadaran ini, berkembang pula berbagai tindakan pencegahan terhadap penyakit terkait. Salah satu upaya pencegahan adalah dengan memilih makanan yang tepat, yang tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar tubuh saja, tetapi juga mempunyai sifat fungsional yang akan memberikan dampak positif pada kesehatan. Salah satu cara memilih makanan yang tepat adalah melalui pendekatan indeks glikemik pangan. Konsep indeks glikemik (IG) merupakan pendekatan yang relatif baru untuk memilih makanan yang tepat, khususnya pangan sumber karbohidrat. Konsep ini menekankan pada pentingnya mengenal pangan (terutama karbohidrat) berdasarkan kecepatan menaikkan kadar glukosa dalam darah. Pangan yang memiliki IG tinggi akan menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat dan sebaliknya (Rimbawan dan Siagian, 2004). Dengan mengetahui IG pangan, penderita DM dan obesitas akan lebih mudah memilih makanan yang mengenyangkan namun tidak cepat menaikkan kadar glukosa darah. Beras merupakan salah satu tanaman pangan utama dari hampir setengah populasi dunia (Childs, 2004). Bagi masyarakat Indonesia beras merupakan bahan pangan pokok sehari-hari. Beras dijadikan sumber karbohidrat utama hampir di seluruh daerah di Indonesia karena mudah didapat, rasanya yang enak dan dapat dikombinasikan dengan bahan pangan lain. Menurut Damardjati et al (1983), sebagai bahan pokok, beras menyumbangkan sekitar 40-80% energi dan 45-55% protein dalam rata-rata menu rakyat Indonesia. Didalam bidang ekonomi, beras merupakan sumber pendapatan sebagian besar masyarakat Indonesia, sebagai indeks kestabilan ekonomi, dan landasan utama kebijakan pangan pemerintah.
15
Pada penelitian ini dilakukan analisis fisikokimia dan indeks glikemik dari sepuluh varietas beras. Beras memiliki banyak varietas dan beberapa dari varietas yang beredar di pasaran itu merupakan varietas unggul dengan rasa yang enak sehingga disukai masyarakat. Oleh karena itu, banyak beredar beras berlabel dengan menggunakan nama-nama varietas tersebut dengan harga yang tinggi. Akan tetapi, karena belum adanya informasi karakteristik dari varietas-varietas tersebut maka banyak terjadi penipuan yang merugikan konsumen. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai karakteristik beberapa jenis beras yang dapat dijadikan acuan menguji keaslian dan kevalidan beras-beras berlabel.
B. TUJUAN Tujuan penelitian adalah menganalisis sifat fisikokimia dari lima varietas beras beramilosa tinggi yakni IR 42, Ciliwung, Batang Piaman, Batang Lembang dan Logawa, serta lima varietas beras beramilosa rendah yakni Celebes, Ciasem (ketan), Sintanur, Gilirang dan Bengawan Solo. Sifat fisik yang diteliti adalah kekrasan beras, bobot seribu butir, uji amilografi, dan analisis warna. sifat kimia yang diteliti antara lain proksimat beras, kadar amilosa, kadar serat pangan, kadar pati, kadar pati resisten, dan daya cerna pati in vitro. Sifat fisik dan kimia yang diteliti ini diharapkan dapat memberikan informasi tentanf nilai gizi yang terkandung dalam varietas beras yang diteliti dan dapat dijadikan sebagai standar mutu. Selain itu juga dilakukan pengujian indeks glikemik terhadap kesepuluh varietas beras tersebut dengan menggunakan 10 orang relawan. Hasil nilai indeks glikemik yang didapat dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam memilih makanan yang sesuai.
16
II. TINJAUAN PUSTAKA A.
STRUKTUR BIJI BERAS Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pertanian yang hingga kini menjadi tanaman utama dunia yang asal-usulnya masih diperdebatkan. Bukti sejarah di provinsi Zheijiang, Cina Selatan, menunjukkan bahwa penanaman padi di Asia telah dimulai 7000 tahun yang lalu. Beras diperkenalkan di Indonesia oleh orang DeuteroMalay yang berimigrasi pada tahun 1599 SM ketika wilayah Indonesia masih ditempati oleh Proto-Malay (Grist, 1975). Tanaman padi adalah tanaman yang mempunyai varietas sampai ribuan jumlahnya, lebih dari 90% tumbuh di wilayah Asia Selatan dan Timur, tersebar di negara-negara beriklim subtropis. Dari kelompok spesies padi yang telah dibudidayakan terdapat dua kelompok utama yaitu Oryza sativa yang berasal dari Asia dan Oryza globerima yang berasal dari Afrika Barat. Kini di dunia lebih banyak dikenal dua kelompok varietas padi Oryza sativa yaitu : japonica dan indica (Winarno, 1984) Padi japonica banyak ditanam di daerah Jepang, Korea, dan negara-negara subtropis. Sedangkan padi indica banyak ditanam di daerah tropis (khususnya Asia Tenggara). Perbedaan antara kedua padi tersebut antara lain dari bentuk bijinya. Bentuk biji beras japonica secara umum lebih pendek dan lebar dibandingkan beras indica. Japonica memiliki daun yang lebih lebar dan endosperm yang lebih transparan dibanding indica. Perbedaan lain yang juga penting adalah karakteristik pemasakannya, japonica bersifat lebih cepat lembek setelah pemasakan, sebaliknya indica lebih tahan terhadap pemasakan (Grist, 1975). Hal ini berkaitan dengan sifat nasi yang dihasilkan. Nasi dari beras japonica memiliki tekstur yang lebih lengket dan lembek dibandingkan nasi dari beras indica. Di Indonesia, padi adalah tanaman pangan utama, disamping jagung, sagu, dan umbi-umbian. Terpilihnya padi sebagai sumber karbohidrat utama adalah karena kelebihan-kelebihan sifat tanaman padi dibandingkan tanaman sumber karbohidrat lainnya, antara lain (1) memiliki sifat produktivitas tinggi, (2) padi dapat disimpan lama, (3) lahan sawah relatif tidak mengalami erosi (Winarno,1984).
17
Beras merupakan bagian dari tanaman padi (Oryza sativa, L.). Gabah adalah butir padi yang telah rontok dari malainya. Butir gabah terdiri dari satu bagian yang dapat dimakan disebut “Caryopsis” dan satu bagian lagi yang merupakan struktur kulit yang disebut sekam. Bagian sekam adalah 18 sampai 28 persen dari bobot gabah. Gabah yang dikupas akan menghasilkan beras pecah kulit (brown rice). Apabila beras pecah kulit tersebut disosoh maka akan diperoleh beras gilling (milled rice). Beras merupakan satu-satunya jenis biji-bijian yang sebagian besar dikonsumsi dalam bentuk biji utuh (Winarno, 1984). Bagian butir beras (brown rice) terdiri dari lapisan pericarp, testa atau tegmen, lapisan aleuron, endosperm, dan embrio (Juliano, 1972). Struktur gabah dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur biji beras (Grist,1975)
Berdasarkan bentuk selnya, pericarp dibedakan menjadi tiga lapisan yaitu epicarp, mesocarp dan lapisan melintang (cross layer). Pericarp dengan tebal dinding sel dua m banyak mengandung butir-butir protein dan lemak. Di bagian bawah pericarp terletak lapisan testa yang banyak mengandung lemak. Lapisan aleuron yang terdiri dari sel-sel parenkim merupakan pembungkus endosperm dan
18
lembaga yang kaya protein, lemak dan vitamin. Bagian endosperm terdiri dari selsel parenkim yang terdiri dari granula pati dan matrik protein. Tebal lapisan dinding sel endosperm adalah 0.25
m. Dinding sel pericarp, aleuron dan endosperm beras
bereaksi positif dengan pewarna protein, hemiselulosa dan selulosa (Juliano, 1972). Lapisan pembungkus endosperm dinamakan kulit ari. Testa dan lapisan aleuron disebut lapisan dalam, sedangkan pericarp disebut lapisan luar. Lapisan-lapisan kulit ari ini hanya dapat dilihat secara mikroskopis. Warna kulit ari ini dari putih sampai kehitam-hitaman. Penghilangan sebagian atau keseluruhannya lapisan ini akan menentukan derajat sosoh. Endosperm hampir seluruhnya terdiri dari sel-sel pati, membentuk biji yang dapat dimakan (Grist, 1975).
B.
PENGGILINGAN PADI MENJADI BERAS Penggilingan (milling) disini menunjukkan keseluruhan proses pengolahan gabah hingga menjadi beras yaitu meliputi proses pembersihan, penghilangan sekam, kulit ari dan proses pemisahan beras yang dihasilkan berdasarkan ukurannya (Luh, 1980). Pengolahan padi menjadi beras di Indonesia dapat dibedakan atas tiga cara yaitu secara tradisional ditumbuk dengan tangan, dengan mesin penggilingan secara kecil-kecilan serta dengan mesin penggilingan pada perusahaan padi komersil (Winarno, 1984). Pengupasan kulit gabah (hulling) bertujuan untuk menghilangkan sekam dengan kerusakan pada lapisan dedak yang minimum, bila memungkinkan tanpa adanya kepatahan pada beras pecah kulit yang dihasilkan (Araullo et al, 1976). Beras yang telah kehilangan sekam ini masih mengandung lapisan dedak atau pericarp yang menyelaputi endosperm. Bila lapisan dedak dan aleuron telah dihilangkan maka beras ini disebut beras sosoh. Pada proses penyosohan terjadi pengupasan kulit yang berwarna perak dan lapisan dedak atau sebagian besar lapisan-lapisan beras pecah kulit yang digiling (Grist, 1975). Derajat sosoh dinyatakan dalam persen dan menyatakan tingkat kehilangan dari lembaga dan lapisan kulit ari luar maupun dalam. Dalam sistem grading beras yang tetapkan oleh USDA, beras giling dibagi empat “grade” yaitu beras giling sempurna (well milled), beras giling cukup sempurna (reasonably well
19
milled), beras giling ringan (lightly milled) dan beras kurang tergiling (under milled) (Luh, 1980).
C.
JENIS-JENIS BERAS Beberapa cara penggolongan beras yang banyak diterapkan dan dipraktekkan yaitu (1) berdasarkan varietas padinya, sehingga dikenal adanya beras Bengawan Solo, Celebes, Sintanur, dan lain-lain, (2) berdasarkan asal daerahnya, sehingga dikenal adanya beras Cianjur, beras Garut, dan beras Banyuwangi, (3) berdasarkan cara pengolahannya, sehingga dikenal adanya beras tumbuk dan beras giling, (4) berdasarkan tingkat penyosohannya, sehingga dikenal beras kualitas I atau beras kualitas II, (5) berdasarkan gabungan antara sifat varietas padi dengan tingkat penyosohannya (Winarno, 2004). Berdasarkan ukuran dan bentuk beras, dalam standarisasi mutu beras di pasaran internasional dikenal empat tipe ukuran panjang beras, yaitu biji sangat panjang (> 7 mm), biji panjang (6.0-6.9 mm), biji sedang (5.0-5.9 mm), dan biji pendek (< 5 mm). Sedangkan berdasarkan bentuknya yang ditetapkan berdasar nisbah panjang/lebar, beras juga dibagi atas empat tipe, yaitu lonjong (slender), sedang (medium), agak bulat (bold), dan bulat (round) (Damardjati dan Purwani, 1991). Menurut Winarno (1997), berdasarkan kandungan amilosanya, beras (nasi) dapat dibagi menjadi empat golongan yaitu : (1) beras dengan kadar amilosa tinggi 25-33 %; (2) beras dengan kadar amilosa menengah 20-25 %; (3) beras dengan kadar amilosa rendah 9-20 %; (4) beras dengan kadar amilosa sangat rendah < 9 %. Beras ketan praktis tidak ada amilosanya (1-2 %), sedang beras yang mengandung amilosa lebih dari 2% disebut beras biasa atau beras bukan ketan. Beras berkadar amilosa rendah mempunyai sifat nasi yang pulen, tidak terlalu basah maupun kering. Sedangkan beras berkadar amilosa tinggi mempunyai sifat nasi yang keras, kering dan pera. Penduduk daerah tropis seperti Indonesia, Pakistan dan sebagian Filipina menyukai beras berkadar amilosa sedang, sedangkan penduduk Sri Lanka, Vietnam Selatan, Malaysia Barat, dan Burma menyukai beras berkadar amilosa tinggi (Damardjati dan Purwani, 1991).
20
D.
SIFAT FISIK BERAS Sifat-sifat fisik beras antara lain suhu gelatinisasi, konsistensi gel, penyerapan air, kepulenan, kelengketan, kelunakan, dan kilap nasi (Damardjati dan Purwani, 1991). Menurut Winarno (1997) suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati pecah dengan penambahan air panas. Beras dapat digolongkan menjadi tiga kelompok menurut suhu gelatinisasinya, yaitu suhu rendah (55-69 oC), sedang (7074 oC), dan tinggi (>74 oC). Suhu gelatinisasi berpengaruh terhadap lama pemasakan. Beras yang mempunyai suhu gelatinisasi tinggi membutuhkan waktu pemasakan lebih lama daripada beras yang mempunyai suhu gelatinisasi rendah. Sifat fisik yang dianalisis pada penelitian ini antara lain analisis warna, bobot seribu butir, uji amilografi, dan uji kekerasan beras.
E.
SIFAT KIMIA BERAS Beras sebagai bahan pangan disusun oleh pati, protein, dan unsur lain seperti lemak, serat kasar, mineral, vitamin, dan air. Analisis komponen kimia beras dan fraksi gilingnya menunjukkan bahwa distribusi penyusunannya tidak merata. Lapisan terluar beras kaya akan komponen non pati seperti protein, lemak, serat, abu, pentosa, dan lignin, sedangkan bagian endosperm kaya akan pati (Juliano, 1972). Karbohidrat utama dalam beras adalah pati dan hanya sebagian kecil pentosan, selulosa, hemiselulosa, dan gula. Pati beras berkisar antara 85-90% dari berat kering beras. Kandungan pentosan berkisar antara 2.0-2.5%, dan gula 0.6-1.4% dari beras pecah kulit. Menurut Winarno (1997), pati merupakan nonpolimer glukosa dengan ikatan -glukosidik. Pati terdiri atas dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut adalah amilosa sedangkan fraksi tidak larut adalah amilopektin. Protein sebagai penyusun terbesar kedua setelah pati, mempunyai ukuran granula 0.5-5 m terdiri dari 5% fraksi albumin (larut dalam air), 10% globulin (larut dalam garam), 5% prolamin (larut dalam alkohol ), dan 80% glutelin (larut dalam basa). Fraksi protein yang paling dominan adalah glutelin, yang bersifat tidak
21
larut dalam air, sehingga dapat menghambat penyerapan air dan volume pengembangan butir pati selama pemanasan (Juliano, 1972). Seperti halnya serealia lainnya, kandungan lipida tertinggi biji beras terdapat dalam lembaga dan lapisan aleuron yang tekumpul dalam butiran lipida. Kadar lemak dari beras pecah kulit berkisar antara 2.4-3.9%, sedangkan pada beras giling berkisar 0.3-0.6% (Juliano, 1972). Kandungan lipida beras ini dipengaruhi oleh varietas, derajat kematangan biji, kondisi pertanaman dan metode ekstraksi lipida. Analisis kimia yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis proksimat yang terdiri dari analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat secara by difference. Selain itu juga dilakukan analisis kadar amilosa, kadar serat pangan, kadar pati, analisis daya cerna pati in vitro dan analisis pati resisten.
F.
INDEKS GLIKEMIK Konsep indeks glikemik (IG) diperkenalkan pada awal tahun 1980 untuk memberikan gambaran tentang hubungan antara karbohidrat dalam makanan dengan kadar glukosa darah (Brand-Miller, 2000). IG menurut Whitney et al (1990) adalah suatu ukuran yang menggambarkan luas kurva kenaikan dan penurunan kadar glukosa darah setelah mengonsumsi suatu makanan tertentu dibandingkan dengan suatu standar. Standar yang digunakan adalah glukosa murni. Nilai IG glukosa murni adalah 100 (Rimbawan dan Siagian, 2004). Setiap jenis makanan memiliki nilai IG yang berbeda-beda. Makanan dengan IG rendah akan menghasilkan kenaikan dan penurunan kadar glukosa darah yang tidak terlalu drastis, sesaat setelah makanan tersebut dicerna (Ragnhild et al, 2004). Sedangkan makanan yang memiliki nilai IG tinggi, akan mengalami hal yang sebaliknya. Bahan pangan berdasarkan nilai IG dapat diklasifikasikan menjadi (1) bahan pangan dengan nilai IG rendah (<55), (2) bahan pangan dengan nilai IG sedang (5569), (3) bahan pangan dengan nilai IG tinggi (>70) (Foster-Powell et al, 2002). Faktor yang mempengaruhi IG suatu bahan pangan adalah daya cerna pati, interaksi antara pati dengan protein, jumlah dan jenis asam lemak, kadar serat pangan, dan bentuk fisik bahan pangan (Ragnhild et al, 2004).
22
Kadar glukosa darah minimum sebesar 40-60 mg/dl diperlukan untuk menyediakan energi bagi susunan saraf pusat sebagai sumber energi utama. Hormon yang berperan meningkatkan kadar glukosa darah adalah hormon adrenalin. Hormon tersebut dihasilkan oleh kelenjar adrenal dan pankreas. Sedangkan hormon yang berperan dalam menurunkan kadar glukosa darah adalah hormon insulin. Hormon insulin yang dihasilkan akan sebanding dengan jumlah glukosa yang terkandung di dalam darah. Hormon insulin dihasilkan oleh kelenjar langerhans pada pankreas (Wardlaw, 1999). Pengetahuan terhadap nilai IG suatu makanan dapat memberikan beberapa keuntungan antara lain dapat membantu mengontrol diet dan berat badan, mengurangi resiko diabetes dan serangan jantung, membantu mengontrol kadar kolesterol dan membantu memperkirakan jumlah makanan yang harus dimakan. Akan tetapi konsep ini juga memiliki keterbatasan antara lain karena terlalu besarnya variasi nilai IG tiap jenis makanan. Selain itu juga, nilai IG dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain metode persiapan makanan, kombinasi dengan makanan lain dan respons yang berbeda antara satu orang dengan yang lain (Anonim, 2007).
23
III. METODOLOGI PENELITIAN
A.
BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah lima varietas beras beramilosa tinggi dan lima varietas beras beramilosa rendah yang didapat dalam bentuk beras giling yang berasal dari Sukamandi. Beras beramilosa rendah yang digunakan adalah varietas Sintanur, Bengawan Solo, Gilirang, Celebes, dan Ciasem (ketan) (ketan). Sedangkan beras beramilosa tinggi yang digunakan adalah varietas IR 42, Ciliwung, Batang Piaman, Logawa, dan Batang Lembang. Bahan-bahan kimia yang digunakan antara lain adalah larutan HCl 0.01 N, K2SO4, HgO, larutan H2SO4 pekat, larutan H3BO3, indikator metil merah 0.2%, metilen blue 0.2%, larutan NaOH-Na2S2O3, larutan HCl 0.02 N, heksan, larutan glukosa standar 0.2 mg/ml, larutan HClO4 9.2 N, larutan NaOH 1 N, larutan amilosa, etanol 95%, larutan iodine, larutan KI, larutan KOH 0.2 N, akuades, dan thymol blue 0.025%. Bahanbahan kimia ini berasal dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Alat-alat yang digunakan antara lain neraca analitik, cawan alumunium, oven, desikator, labu Kjedahl, batu didih, gelas Erlenmeyer, cawan porselein, tanur, kertas saring, labu Soxhlet, gelas ukur, spektrofotometer, water bath, orbital staker, sentrifuse, batang pengaduk, amalgamotor, kertas grafik, bowl, amilograf, dan alatalat gelas.
B.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian yang berada di Cimanggu, Bogor. 1. Penelitian Pendahuluan Tahap pertama yang dilakukan dalam penelitian pendahuluan adalah analisis secara fisik dan kimia. Analisis fisik meliputi pengujian warna, bobot seribu butir, uji amilografi, dan uji kekerasan beras. Sedangkan analisis kimia yang dilakukan adalah analisis proksimat (kadar air, abu, protein, lemak, dan
24
karbohidrat), nilai energi, amilosa, serat pangan, kadar pati, pati resisten, dan daya cerna pati secara in vitro.
2. Penelitian Utama Penelitian utama yang dilakukan adalah menguji nilai IG 10 varietas beras dengan kadar amilosa rendah dan tinggi masing-masing dengan 10 orang relawan. Beras tersebut sebelumnya diolah menjadi nasi menggunakan rice cooker agar dapat dikonsumsi oleh relawan. Pada pengujian IG relawan terpilih diharuskan menjalani puasa penuh (kecuali air) selama ± satu malam (sekitar pukul 20.00 sampai pukul 08.00 pagi keesokan harinya). Hal ini bertujuan untuk mengetahui kadar glukosa darah puasa relawan tersebut. Setelah pengukuran kadar glukosa darah puasa, relawan diberikan sampel yang mengandung 50 gram karbohidrat untuk dikonsumsi. Sampel darah relawan akan diuji setiap 30 menit selama dua jam (pada menit ke-0, ke-30, ke-60, ke-90, dan ke-120) setelah mengonsumsi sampel . Hal ini dilakukan untuk mengetahui respons kadar glukosa darah relawan terhadap sampel yang diberikan
C.
METODE ANALISIS 1. Analisis Sifat Fisik a.
Warna Pengukuran warna dilakukan dengan khromameter. Sampel berupa tepung beras diletakkan pada wadah transparan kemudian diukur menggunakan khromameter. Pengukuran menghasilkan nilai L, a, b. Nilai L menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Warna kromatik campuran merah hijau ditunjukkan oleh nilai a (a+ = 0-100 untuk warna merah, a- = 0 - (-80) untuk warna hijau. Warna kromatik campuran biru kuning ditunjukkan oleh nilai b (b+ = 0-70 untuk warna kuning, b- = 0-(-70) untuk warna biru. Dari ketiga parameter itu dapat dilakukan perhitungan untuk mengukur derajat putih sampel.
25
b. Bobot Seribu Butir Beras kepala yang masih baik dan utuh dipilih sebanyak 1000 butir. Kemudian ditimbang bobotnya. Perlakuan ini diulang beberapa kali dan hasilnya dirata-ratakan. Nilai yang didapat adalah bobot seribu butir.
c.
Uji Amilografi (Bhattacharya, 1979) Uji amilografi bertujuan untuk mengetahui suhu gelatinisasi suspensi tepung beras. Sampel sebanyak 40 gram ditimbang dan dilarutkan dengan 460 ml air destilata. Sampel tersebut kemudian dimasukkan ke dalam bowl. Lengan sensor dipasang dan dimasukkan ke dalam bowl dengan cara menurunkan head amilograf. Suhu awal termoregulator diatur pada suhu 20°C atau 25°C. Switch pengatur diletakkan pada posisi bawah sehingga pada saat mesin dihidupkan suhu akan meningkat 1.5°C setiap menit. Mesin amilograf dihidupkan. Pada saat suspensi mencapai suhu 30°C, pena pencatat diatur pada skala kertas amilogram. Setelah pasta mencapai suhu 95°C, mesin dimatikan. Parameter analisis amilograf terdiri dari: 1. Suhu awal gelatinisasi, yaitu suhu pada saat kurva mulai naik 2. Suhu pada puncak gelatinisasi, yaitu suhu pada saat nilai maksimum viskositas dapat dicapai 3. Viskositas maksimum pada puncak gelatinisasi dinyatakan dalam Brabender Unit
d. Kekerasan Beras Pengukuran kekerasan beras dilakukan dengan menggunakan Kiya Hardness Meter. Sampel beras diletakkan pada tempat yang telah ditentukan. Beras tersebut akan ditusuk oleh jarum penusuk selama beberapa saat. Kemudian jarum penunjuk kekerasan akan bergerak dan menunjukkan nilai kekerasan beras yang diukur tersebut.
26
2. Analisis Sifat Kimia a.
Analisis Proksimat - Analisis Kadar Air, Metode Oven (AOAC, 1995) Kadar air diukur dengan metode oven biasa karena kandungan bahan volatil pada sampel rendah dan sampel tidak mengalami degradasi pada suhu 100ºC. Pertama-tama, cawan alumunium kosong dikeringkan dalam oven dengan suhu 105°C selama 15 menit. Cawan tersebut lalu diangkat dan didinginkan dalam desikator selama 5 menit atau sampai cawan tidak terasa panas. Cawan yang telah dingin kemudian ditimbang dan dicatat beratnya. Setelah itu, sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C sampai beratnya konstan (perubahan berat tidak lebih dari 0,003 gram). Cawan tersebut lalu diangkat, didinginkan di dalam desikator, dan ditimbang berat akhirnya. Kadar air dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: Kadar air (% b/b) =
(x - y) × 100% (x - a)
Keterangan: x = berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (g) y = berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (g) a = berat cawan kosong (g) - Analisis Kadar Abu (AOAC, 1995) Cawan porselin dipanaskan di dalam tanur selama 15 menit kemudian didinginkan di dalam desikator. Setelah dingin, cawan ditimbang dan dicatat beratnya. Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan lalu diabukan di dalam tanur hingga diperoleh abu berwarna putih dan beratnya konstan. Pengabuan dilakukan dilakukan dalam 2 tahap yaitu tahap pertama suhu 400°C lalu dilanjutkan pada suhu 550°C. Cawan lalu diangkat, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.
27
Perhitungan: Kadar Abu (% b/b) =
W2 × 100% W1
Keterangan: W1 = Berat sampel (g) W2 = Berat abu (g)
- Analisis Kadar Protein, Metode Mikro Kjeldahl (AOAC, 1995) Sampel sebanyak ± 0,2 g (kira-kira membutuhkan 3-10 ml HCl 0,01N/0,02N) ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Lalu ditambahkan 2 gram K2SO4, 50 mg HgO, 2 ml H2SO4 pekat, dan batu didih. Sampel kemudian didekstruksi selama 1-1.5 jam hingga jernih dan didinginkan. Setelah itu, ditambahkan 2 ml air yang dimasukkan secara perlahan ke dalam labu dan didinginkan kembali. Cairan hasil dekstruksi (cairan X) dimasukkan ke dalam alat destilasi dan labu dibilas dengan air. Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer 125 ml berisi 5 ml H3BO3 dan 2 tetes indikator (Methylen red : Methylen blue = 2:1) diletakkan di ujung kondensor alat destilasi dengan ujung selang kondensor terendam dalam larutan H3BO3. Cairan X ditambahkan 10 ml NaOH-Na2S2O3 dan destilasi dilakukan hingga larutan dalam erlenmeyer ± 50 ml. Larutan dalam erlenmeyer kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari hijau menjadi abu-abu. Prosedur yang sama dilakukan juga untuk penetapan blanko. Perhitungan: Kadar N (%) =
(Vs - Vb) × C × 14,007 × 100% W
Kadar protein (%) = % N x 5.95
28
Keterangan: Vs = Volume HCl untuk titrasi sampel (ml) Vb = Volume untuk titrasi blanko (ml) C = Konsentrasi HCl (N) W = Berat sampel (mg)
- Analisis Kadar Lemak, Metode Soxhlet (AOAC, 1995) Labu lemak yang telah bebas lemak dikeringkan di dalam oven, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel sebanyak 5 g dibungkus dalam kertas saring kemudian ditutup kapas yang bebas lemak. Sampel dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet, kemudian dipasang kondensor dan labu pada ujung-ujungnya. Lalu dimasukkan pelarut heksana ke dalam alat dan sampel direfluks selama 5 jam. Setelah itu, pelarut didestilasi dan ditampung pada tempat lain. Labu lemak dikeringkan di dalam oven pada suhu 105°C sampai diperoleh berat tetap. Labu lemak kemudian dipindahkan ke desikator untuk didinginkan, lalu ditimbang dan dicatat beratnya. Perhitungan: Kadar Lemak (% b/b) =
W2 × 100% W1
Keterangan: W1 = Berat sampel (g) W2 = Berat lemak (g)
- Kadar Karbohidrat by difference (AOAC, 1995) Pengukuran kadar karbohidrat menggunakan metode by difference dilakukan dengan cara: Kadar karbohidrat (% bk) = 100% - (protein + lemak + abu) (% bk)
29
b. Analisis Kadar Amilosa (Juliano, 1971 yang Dimodifikasi) o Pembuatan Kurva Standar Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Larutan standar kemudian didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Selanjutnya larutan tersebut dipipet masing-masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut ditambahkan juga asam asetat 1 N sebanyak masingmasing 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1 ml. Selanjutnya larutan tersebut juga ditambahkan larutan iod sebanyak 2 ml. Setelah itu, larutan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades dan dikocok, lalu didiamkan selama 20 menit. Larutan kemudian diukur intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. o Penetapan Sampel Sejumlah 100 mg sampel tanpa lemak dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan 1 ml etanol serta 9 ml NaOH 1 N. Setelah itu, larutan sampel didiamkan selama 24 jam dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Larutan kemudian dipipet sebanyak 5 ml, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan 1 ml asetat 1 N serta 2 ml larutan iod. Larutan selanjutnya ditambah akuades sampai tanda tera, dikocok, didiamkan selama 20 menit, dan diukur intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Kadar amilosa dihitung dengan rumus : Kadar Amilosa (%) =
A FP × × 100% S W
Keterangan : A
= absorbansi sampel pada panjang gelombang 620 nm
S
= slope kemiringan pada kurva standar
FP = faktor pengenceran, yaitu 0,002 W
= berat sampel (gram)
30
c.
Analisis Kadar Serat Pangan , Metode Multienzim (Asp et al, 1983) Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan 25 ml larutan buffer Na-phospat 0,1 M pH 6 dan diaduk agar terbentuk suspensi. Selanjutnya ditambahkan 0,1 ml enzim termamyl ke dalam erlenmeyer berisi sampel. Erlenmeyer lalu ditutup dengan alumunium foil dan diinkubasi dalam penangas air dengan suhu 100°C selama 15 menit sambil diaduk sesekali. Sampel diangkat dan didinginkan, lalu ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 1,5 menggunakan HCl 4 N. Selanjutnya enzim pepsin sebanyak 100 mg ditambahkan ke dalam erlenmeyer berisi sampel, ditutup, dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40°C selama 1 jam. Erlenmeyer kemudian diangkat, ditambahkan air destilata, dan pH diatur menjadi 6,8 menggunakan NaOH. Setelah pH 6,8 tercapai, ditambahkan enzim pankreatin sebanyak 100 mg ke dalam erlenmeyer, erlenmeyer ditutup, dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40°C selama 1 jam. Persiapan tahap akhir adalah pengaturan pH menjadi 4,5 menggunakan HCl. Larutan sampel dengan pH 4,5 lalu disaring melalui crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) dan ditambahkan 0,5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Pada penyaringan dilakukan 2 kali pencucian dengan -
2 x 10 ml air destilata.
Residu (Serat pangan tidak larut) Sampel dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Sampel lalu dikeringkan dengan oven pada suhu 105°C selama satu malam atau hingga mencapai berat konstan. Sampel yang telah kering kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Setelah itu, sampel diabukan dengan tanur pada suhu 550°C selama 5 jam, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang.
-
Filtrat (Serat pangan larut) Filtrat diatur volumenya menjadi 100 ml dan ditambahkan 400 ml etanol 95% hangat (60 oC). Filtrat dibiarkan mengendap selama 1 jam.
31
Filtrat tersebut kemudian disaring dengan crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) dan ditambahkan 0,5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Filtrat lalu dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2 x 10 ml etanol 95%, dan 2 x 10 ml aseton. Selanjutnya filtrat dikeringkan dengan oven pada suhu 105°C selama satu malam atau hingga mencapai berat konstan. Filtrat lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Setelah itu, filtrat diabukan dengan tanur pada suhu 550°C selama 5 jam, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. -
Blanko Penetapan blanko dapat dilakukan dengan cara yang seperti prosedur untuk sampel, tetapi dilakukan tanpa penambahan sampel. Perhitungan : % Serat pangan tidak larut (IDF) = % Serat pangan larut (SDF) =
(D1 - I1 - B1 ) × 100% Berat sampel
(D 2 - I 2 - B 2 ) × 100% Berat sampel
% Total Serat (TDF) = (SDF + IDF) (%) Keterangan : D = Berat setelah pengeringan (gram) I
= Berat setelah pengabuan (gram)
B = Berat blanko bebas abu (gram) = (D-I)blanko
d. Analisis Daya Cerna Pati In vitro (Muchtadi et al, 1992 yang Dimodifikasi) Sampel dibuat suspensi dalam aquades (1%), kemudian dipanaskan dalam penangas air selama 30 menit pada suhu 90°C. Setelah itu, sampel didinginkan dan diambil sebanyak 2 ml kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Sebanyak 3 ml aquades dan 5 ml buffer Na-Fosfat 0,1 M juga ditambahkan ke dalam tabung reaksi, lalu diinkubasi pada suhu 37°C selama 15 menit, dan didinginkan. Setelah dingin, ke dalam tabung reaksi
32
ditambahkan larutan enzim amilase yang telah dilarutkan dalam buffer NaFosfat 0,05 M. Larutan tersebut kemudian diinkubasi kembali pada suhu 37°C selama 30 menit. Sampel dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi lain. Setelah itu, ke dalam tabung reaksi ditambah 2 ml pereaksi dinitrosalisilat. Pereaksi dinitrosalisilat dibuat dengan melarutkan 1 gram 3,5-dinitrosalisilat, 30 gram Na-K tartarat, dan 1,6 gram NaOH dalam 100 ml aquades. Larutan tersebut kemudian dipanaskan pada suhu 100°C selama 10 menit sampai terbentuk warna oranye. Warna merah oranye yang terbentuk lalu diukur nilai absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa campuran reaksi dihitung menggunakan kurva standar maltosa murni yang diperoleh dengan mereaksikan larutan maltosa standar dengan pereaksi dinitrosalisilat menggunakan prosedur seperti di atas. Daya cerna pati beras dihitung sebagai berikut: % Daya cerna pati =
a × 100% b
Keterangan: a = kadar maltosa sampel setelah reaksi enzimatis b = kadar maltosa pati murni setelah reaksi enzimatis
e.
Analisis Kadar Pati Resisten (Englyst and Cumming, 1988 yang dikutip oleh Marsono, 1993) Sampel ditimbang sebanyak 100 mg, kemudian dimasukkan ke dalam tabung screw cap. § Ekstraksi gula
Larutan etanol 80 % sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam tabung screw cap. Tabung tersebut kemudian disentrifugasi pada kecepatan 2500 rpm dan suhu 4oC selama 25 menit. Supernatan yang terbentuk lalu dipindahkan ke dalam Erlenmeyer. Ekstraksi diulangi kembali dengan penambahan 10 ml etanol. Supernatan hasil ekstraksi dikumpulkan dalam
33
Erlenmeyer dan ditera sebagai gula sederhana menggunakan Analisis gula reduksi secara spektrofotometri. Padatan dalam tabung ditambahkan 5 ml aseton lalu dikeringkan dengan aliran gas N2. § Ekstraksi lemak (jika kadar lemak sampel lebih dari 5 %)
Padatan di dalam tabung ditambahkan dengan 8 ml heksana atau petroleum eter. Tabung tersebut kemudian divortex dan dilanjutkan dengan sentrifugasi selama 15 menit. Supernatan yang terbentuk dibuang. Sedangkan padatannya ditambahkan dengan 2-3 ml aseton lalu dikeringkan dengan aliran gas N2. § Hidrolisis pati
Padatan di dalam tabung ditambahkan dengan 7,5 ml buffer Naasetat 0.1 M pH 5.0, 1.5 ml akuades, dan magnetic flea. Selanjutnya dilakukan proses gelatinisasi pada suhu 100oC selama 30 menit menggunakan penangas air yang dilengkapi dengan magnetic stirrer. Enzim α-endoamilase dimasukkan ke dalam tabung. Tabung lalu ditutup dan diinkubasi pada suhu 95oC selama 30 menit sambil diaduk menggunakan magnetic stirrer. Setelah didinginkan, amiloglukosidase sebanyak 200 µl dan 50 µl pullulanase dimasukkan ke dalam tabung. Tabung ditutup dan distirer pada suhu 40oC selama satu malam. Setelah satu malam, larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 15 menit. Pemanasan tersebut bertujuan menginaktifasi enzim.
§ Presipitasi TDF dan RS
Larutan di-evapomix sampai volumenya kurang dari 4 ml. Kemudian ke dalam larutan ditambahkan 24.6 ml etanol 93% dan didiamkan selama satu malam dalam ruang dingin (suhu 4-10oC) untuk mendapatkan TDF dan RS. Tabung lalu disentrifugasi pada kecepatan 2500 rpm dan suhu 4 oC selama 15 menit. Supernatan selanjutnya dipindahkan ke dalam Erlenmeyer. Proses ekstraksi dilakukan hingga
34
dua kali ulangan dengan penambahan 10 ml etanol 80%. Supernatan hasil ekstraksi dikumpulkan dalam Erlenmeyer dan ditera sebagai pati dengan menggunakan Analisis gula reduksi secara spektrofotometri. Padatan dalam tabung ditambah dengan 2-3 ml aseton lalu dikeringkan dengan aliran gas N2. § Hidrolisis RS
Padatan dalam tabung ditambah dengan 1.5 ml KOH 2 M dan distirer selama 30 menit pada suhu kamar. Selanjutnya dimasukkan 7.5 ml buffer Na-asetat 0.1 M pH 5.0 dan 50 µl pullulanase, tabung lalu ditutup dan di-stirer pada suhu 40 oC selama satu malam. Setelah didiamkan selama satu malam, larutan dipanaskan di dalam air mendidih selama 15 menit. Hal tersebut bertujuan menginaktifasi enzim.
§ Presipitasi TDF
Larutan di-evapomix sampai volumenya kurang dari 4 ml. Kemudian ke dalam larutan ditambahkan 24.6 ml etanol 93% dan didiamkan selama satu malam dalam ruang dingin (suhu 4-10oC). Proses tersebut dilakukan untuk mengendapkan TDF. Tabung lalu disentrifugasi pada kecepatan 2500 rpm dan suhu 4 oC selama 15 menit. Supernatan selanjutnya dipindahkan ke dalam Erlenmeyer. Proses ekstraksi dilakukan hingga dua kali ulangan dengan penambahan 10 ml etanol 80%. Supernatan hasil ekstraksi dikumpulkan dalam Erlenmeyer dan ditera sebagai RS dengan menggunakan Analisis gula reduksi secara spektrofotometri. Padatan dalam tabung ditambah dengan 2-3 ml aseton lalu dikeringkan dengan aliran gas N2.
3. Pengujian Indeks Glikemik (El, 1999) IG
menurut
Whitney
et
al (1990)
adalah
suatu
ukuran
yang
menggambarkan luas kurva kenaikan dan penurunan kadar glukosa darah setelah mengonsumsi suatu makanan tertentu dibandingkan dengan suatu standar.
35
Standar yang digunakan adalah glukosa murni. Pengujian IG dilakukan untuk mengetahui nilai IG sampel yang diuji (10 varietas beras). Relawan yang dibutuhkan dalam analisis ini berjumlah 10 orang dan seluruhnya adalah mahasiswa IPB. Sebelum pengambilan sampel darah, relawan harus menjalani puasa penuh (kecuali air) selama satu malam (sekitar pukul 20.00 sampai pukul 08.00 pagi keesokan harinya). Pada hari pengambilan sampel darah, relawan mengonsumsi 1 porsi nasi yang mengandung 50 gram karbohidrat. Setelah itu, dilakukan pengambilan sampel darah. Sampel darah yang diambil sebanyak 20 µL (finger prick capillary blood sampel method) setiap 30 menit selama 2 jam (menit ke-0, ke-30, ke-60, ke-90, dan ke-120). Pengambilan darah juga dilakukan untuk menguji kadar IG glukosa murni sebagai standar dengan prosedur yang sama dengan pengambilan darah sampel beras. Glukosa murni yang dikonsumsi oleh relawan sebanyak 50 gram. Kadar glukosa darah diukur menggunakan glukometer. Caranya dengan menempelkan sampel darah yang telah diambil pada alat tersebut, kemudian alat tersebut dengan cepat akan mengukur dan memberikan hasilnya. Nilai kadar glukosa darah ini kemudian diplotkan menjadi sebuah grafik dengan sumbu x adalah waktu pengukuran dan sumbu y adalah kadar glukosa darah. Nilai IG kemudian dihitung dengan membandingkan luas daerah dibawah kurva antara pangan sampel dan pangan acuan. Nilai IG akhir adalah nilai rata-rata dari 10 orang relawan tersebut.
36
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A KARAKTERISASI SIFAT FISIK BERAS
1 Kekerasan Beras Kekerasan adalah sifat yang menunjukkan daya tahan untuk pecah akibat gaya tekan yang diberikan. Kekerasan merupakan kemampuan maksimal bahan dalam menahan beban yang diterimanya. Pengukuran kekerasan dapat dilakukan dengan memberikan gaya tekan pada sampel hingga sampel patah atau hancur. Nilai kekerasan ditentukan dari gaya maksimum yang dicapai hingga sampel patah atau hancur. Analisis kekerasan beras dilakukan menggunakan Kiya Hardness Meter. Hasil analisis kekerasan beras dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Kekerasan Beras dan Bobot Seribu Butir pada sepuluh varietas beras Indonesia Varietas Kekerasan Beras Bobot 1000 Butir (KgF) (gram) Celebes
6.57e
15.7b
Ciasem (ketan)
6.74f
20.35f
Bengawan Solo
6.00c e
14.11a
Sintanur
6.48d
19.11e
Gilirang
5.54b
21.55g
Ciliwung
6.75f
18.03d
Logawa
6.37d
19.8ef
Batang Piaman
6.99g
22.02f
Batang Lembang
6.37d
20.4g
IR 42
5.30a
17.15c
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Nilai kekerasan beras yang terendah dimiliki oleh varietas IR 42 (5.30 Kgf) sedangkan nilai terbesar dimiliki oleh varietas Batang Piaman (6.99 Kgf). Hasil analisis sidik ragam dan uji beda Duncan (Lampiran 1) terhadap kekerasan beras antar varietas menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0.05). Berdasarkan
37
penelitian yang dilakukan oleh Widiatmoko (2005) nilai kekerasan beras ini dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu kadar air, lama penyimpanan beras, dan derajat sosohnya. Semakin banyak kadar air yang terkandung dalam beras, maka beras akan semakin keras. Sebaliknya semakin sedikit kadar air yang terkandung dalam beras, maka beras akan semakin rapuh sehingga nilai kekerasannya akan lebih kecil.
2 Bobot Seribu Butir Bobot seribu butir menunjukkan bobot tiap butir beras yang menentukan hasil produksi. Nilai ini dapat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya campuran dalam sampel beras di pasaran. Selain itu juga dapat digunakan untuk mengetahui kemurnian suatu varietas beras. Hasil analisis pengukuran bobot seribu butir beras sampel menghasilkan data seperti terlihat pada Tabel 1. Nilai bobot seribu butir beras yang dianalisis berkisar antara 15.7-22.0 gram. Nilai yang terendah dimiliki oleh varietas Celebes (15.7 g) sedangkan yang tertinggi dimiliki oleh varietas Batang Piaman (22.0 g). Hasil analisis sidik ragam dan uji beda Duncan (Lampiran 2) terhadap bobot seribu butir menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara varietas Ciasem (ketan), Logawa, dan Batang Piaman pada taraf 0.05. Litbang Deptan (2002) telah mengeluarkan daftar bobot seribu butir beberapa varietas beras, antara lain Ciherang, Cilamaya Muncul dan Pandan Wangi. Varietas Ciherang memiliki bobot seribu butir sebesar 27-28 gram, Varietas Cilamaya Muncul sebesar 26-27 gram sedangkan Varietas Pandan Wangi memiliki bobot seribu butir sebesar 22-23 gram. Bobot seribu butir dipengaruhi oleh ketersediaan unsur-unsur hara dalam tanah selama penanaman padi. Kekurangan unsur hara pada saat penanaman akan mengakibatkan bobot seribu butir yang dihasilkan lebih rendah dari yang seharusnya.
3 Warna Warna suatu benda akan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain adanya sinar sebagai sumber penerangan yang menyinari benda, sifat absorpsi dan
38
refleksi spektrum benda yang disinari, kondisi lingkungan benda dan kondisi subyek yang melihat benda (Kusnandar dan Andarwulan, 2004). Tanpa adanya sumber penerangan yang memadai maka warna suatu benda tidak dapat diidentifikasi dengan benar. Demikian juga dengan sifat absorpsi dan refleksi cahaya oleh benda, kondisi lingkungan dan kondisi subyek yang melihat benda akan mempengaruhi penilaian atau persepsi terhadap warna. Oleh karena itu, untuk dapat mendefinisikan warna benda seobyektif mungkin, maka berkembang teknik pengukuran dengan menggunakan instrument dimana warna benda dapat diukur secara kuantitatif. Pengukuran warna pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan khromameter. Pengukuran dengan alat ini akan menghasilkan data dengan tiga parameter yang diberi notasi L, a*, dan b*. Notasi L menyatakan parameter kecerahan (lightness) dengan nilai L = 0 berarti hitam dan 100 berarti putih. Artinya semakin besar nilai L maka warna benda akan semakin memdekati warna putih, sebaliknya semakin kecil nilai L, maka warna benda akan semakin mendekati warna hitam. Nilai L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam. Notasi a* menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a* (positif) dari 0 sampai +100 untuk warna merah dan nilai –a* (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Semakin besar nilai +a* (positif), warna benda akan semakin mendekati warna merah. Sebaliknya semakin kecil nilai -a* (negatif), warna benda akan semakin mendekati warna hijau. Notasi b* menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b* (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna biru dan nilai –b* (negatif) dari 0 sampai -70 untuk warna kuning. Semakin besar nilai +b* (positif), warna benda akan semakin mendekati warna merah. Sebaliknya semakin kecil nilai -b* (negatif), warna benda akan semakin mendekati warna hijau. Hasil analisis warna dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.
39
Tabel 2. Warna dan Derajat Putih pada sepuluh varietas beras Indonesia Varietas Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo Sintanur Gilirang Ciliwung Logawa Batang Piaman Batang Lembang IR 42
Nilai L
Nilai a*
Nilai b*
Derajat Putih*)
77.97c
4.80e
11.94c
74.49cd
82.57d
4.55b
11.08b
78.85e
76.30a
4.90f
14.36f
71.86a
77.39b
4.59bc
14.69g
72.65b
76.67a
4.64cd
13.21d
72.80b
77.35b
5.10g
11.10b
74.27c
76.29a
4.89f
13.93e
72.07a
77.97c
4.80e
11.94c
74.49cd
77.53b
4.43a
10.43a
74.83d
74.39c 77.98c 4.67d 12.21c Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada Uji Duncan (P>0.05) *) Nilai derajat putih didapatkan berdasarkan hasil perhitungan, bukan dari hasil pengukuran menggunakan khromameter. Perhitungan dilakukan menggunakan persamaan sebagai berikut : Derajat Putih (DP) = 100-[(100 - L*)2 + a*2 + b*2]1/2
Dengan menggunakan data L*, a*, b* dapat juga dihitung derajat putih (tingkat keputihan) dari sampel menggunakan persamaan: Derajat Putih (DP) = 100-[(100 - L*)2 + a*2 + b*2]1/2 . Derajat putih ini berguna untuk menentukan tingkat keputihan sampel yang berbentuk tepung (Soekarto, 1990). Berdasarkan Tabel 2 nilai kecerahan (L*) yang tertinggi dimiliki oleh varietas Ciasem (ketan) (82.6) sedangkan yang terendah dimiliki oleh varietas Logawa (76.2). Nilai a* tertinggi dimiliki oleh varietas Ciliwung (5.1) sedangkan yang terendah dimiliki oleh varietas Batang Lembang (4.4). Nilai b* yang tertinggi dimiliki oleh varietas Sintanur (14.7) sedangkan yang terendah dimiliki oleh varietas Batang Lembang (10.4). Nilai derajat putih yang tertinggi dimiliki oleh varietas Ciasem
(ketan) (78.9) sedangkan yang terendah dimiliki oleh
varietas Bengawan Solo (71.9). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bernard (2005) terhadap derajat putih
beras varietas IR 42 dan Padi Panjang
menghasilkan tingkat kecerahan 79 dan 69. Padi Panjang adalah salah satu jenis padi etnik dari Kalimantan Selatan. Hasil analisis sidik ragam terhadap analisis warna dapat dilihat pada Lampiran 3.
40
4 Uji Amilografi Uji amilografi digunakan untuk melihat sifat dari gelatinisasi pati beras yang diteliti. Beberapa parameter yang diamati antara lain suhu awal gelatinisasi, suhu puncak gelatinisasi, viskositas pada suhu 93oC, viskositas pada suhu 93 oC setelah 20 menit, viskositas pada suhu 50 oC, viskositas pada suhu 50 oC setelah 20 menit. Suhu awal gelatinisasi adalah suhu pada saat kurva mulai menaik, sedangkan suhu puncak gelatinisasi diukur pada saat puncak maksimum viskositas tercapai. Viskositas maksimum adalah besarnya viskositas pada saat titik puncak gelatinisasi yang dinyatakan dalam Brabender Unit (BU). Menurut Winarno (1997), bila suspensi pati dalam air dipanaskan maka akan dapat diamati beberapa perubahan selama terjadinya gelatinisasi. Mula-mula suspensi pati yang keruh seperti susu mulai berubah menjadi jernih pada suhu tertentu. Hal tersebut biasanya diikuti oleh pembengkakan granula pati. Pembengkakan ini terjadi bila energi kinetik molekul-molekul air menjadi lebih kuat dari gaya tarik-menarik antar molekul pati didalam granula sehingga air dapat masuk ke dalam butur-butir pati. Indeks refraksi butir-butir pati yang membengkak itu mendekati indeks refraksi air sehingga warnanya berubah menjadi jernih. Pati memiliki gugus hidroksil yang jumlahnya sangat banyak. Hal inilah yang menyebabkan kemampuan menyerap airnya sangat besar. Hal inilah yang menyebabkan granula pati membengkak. Peningkatan viskositas terjadi karena air yang awalnya berada diluar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan kini berada didalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 1997). Menurut Swinkels (1985), peningkatan viskositas terjadi akibat friksi yang lebih besar dengan semakin membengkaknya granula dan keluarnya eksudat granula ke dalam larutan. Bila pati telah mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekul-molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin membentuk jaring-jaring mikrokristal dan mengendap. Proses
41
kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi ini disebut retrogradasi. Hasil analisis amilografi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Data Amilografi pada sepuluh varietas beras Indonesia Varietas
Waktu el. (menit)
Suhu Gel. ( oC)
Suhu Visk. puncak ( oC )
Visk. Puncak (BU)
Visk. Pd Suhu 93 oC (BU)
Visk. Pd Suhu 93 oC Setelah 20 Menit (BU)
Visk. Pd Suhu 50 oC (BU)
Visk Pd Suhu = 50 oC setelah 20 menit (BU)
Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo
39
89
-
700
200
300
704
625
35
83
-
360
148
240
360
355
40
90
-
680
127
270
680
625
Sintanur
39
89
-
900
260
400
900
810
Gilirang
37
86
93
760
308
360
760
708
Ciliwung
39
88
93
760
300
320
760
740
Logawa Batang Piaman Batang Lembang
39
88
-
650
168
248
650
580
38
87
-
400
120
200
400
360
39
89
-
468
118
216
468
430
IR 42
38
87
-
595
210
360
595
550
Berdasarkan Tabel 3, suhu gelatinisasi beras yang diteliti berkisar antara 8390 oC. Suhu gelatinisasi yang tertinggi dimiliki oleh varietas Bengawan Solo (90 o
C), sedangkan suhu gelatinisasi yang terendah dimiliki oleh varietas Ciasem
(ketan). Berdasarkan suhu gelatinisasinya, beras dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yakni beras dengan suhu gelatinisasi rendah (55-69 oC), suhu gelatinisasi sedang (70-74 oC), dan suhu gelatinisasi tinggi (>74 oC) ( Khush dan Cruz, 2000). Jadi beras yang dianalisis termasuk golongan beras dengan suhu gelatinisasi tinggi.
42
Suhu gelatinisasi dipengaruhi oleh beberapa hal yakni karakteristik granula, terdapatnya komponen protein, lemak, dan juga gula pada tepung. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu gelatinisasi dari beras yang diteliti berkisar antara 35-40 menit. Menurut Juliano (1972), hubungan suhu gelatinisasi dengan waktu pemasakan beras menunjukkan bahwa peningkatan suhu gelatinisasi akan memperlama waktu pemasakan beras menjadi nasi. Beras yang memiliki suhu gelatinisasi rendah akan menyerap air dan mengembang pada suhu yang lebih rendah dibandingkan beras yang memiliki suhu gelatinisasi tinggi. Berdasarkan Tabel 3, suhu viskositas maksimum sebagian besar tidak terukur. Hanya ada dua varietas yang terukur yakni Gilirang dan Ciliwung yang suhu viskositas maksimumnya sebesar 93 oC. Suhu viskositas maksimum yang tidak terukur kemungkinan karena suhu maksimum viskositas beras tersebut lebih besar dari 93 oC. Karena setelah suhu 93 oC tercapai maka amilograph akan mempertahankan suhu ini selama 20 menit. Akibatnya varietas beras yang memiliki suhu viskositas maksimum lebih dari 93 oC tidak akan memiliki puncak pada kurva dan suhunya tidak dapat terukur. Viskositas maksimum adalah besarnya viskositas pada saat titik puncak gelatinisasi. Pada titik ini granula pati yang mengembang mulai pecah diikuti dengan pengembangan viskositas. Berdasarkan data di atas viskositas maksimum beras yang dianalisis berkisar antara 390-900 BU. Viskositas tertinggi dimiliki oleh varietas Sintanur (900 BU) sedangkan yang terendah dimiliki oleh varietas Ciasem
(ketan) (390 BU). Viskositas yang tinggi menunjukkan kemampuan
granula pati dalam menyerap air juga tinggi.
B KARAKTERISASI SIFAT KIMIA BERAS 1
Analisis Proksimat Analisis proksimat beras adalah analisis yang dilakukan untuk mengetahui kadar suatu komponen tertentu yang terkandung di dalamnya. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat secara by difference. Hasil anilisis proksimat dapat dilihat pada Tabel 4.
43
Tabel 4. Hasil analisis proksimat pada sepuluh varietas beras Indonesia Varietas
Kadar Air (%)
Kadar Abu (%bk)
Kadar Protein (%bk)
Kadar Lemak (%bk)
Kadar Karbohidrat by difference (%bk)
Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo Sintanur Gilirang Ciliwung Logawa Batang Piaman Batang Lembang IR 42
12.48ab
0.73ab
8.55b
0.53a
90,19def
13.13b
0.74ab
10.60c
0.95bc
12.59ab 12.50ab 13.31b 12.79b 13.03b
0.72ab 0.77ab 0.58a 0.82b 0.86b
7.62a 9.02b 8.76b 9.13b 9.01b
0.59a 1.04cd 0.81b 1.31e 0.99bc
13.02b
0.68ab
7.56a
1.10cd
13.20b 11.82a
0.68ab 0.78ab
10.58c 8.59b
1.05cd 1.23de
87,71a 91,07f 89,17bc 89,85cde 88,74b 89,14bc 90,66ef 87,69a
89,40bcd Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
1.1 Kadar air Kadar air merupakan salah satu parameter penting yang sangat berpengaruh dalam proses penyimpanan beras. Beras yang memiliki kadar air yang tinggi akan mudah rusak dan mengalami penurunan mutu. Badan Standardisasi Nasional (BSN) mensyaratkan kadar air maksimum beras giling adalah 14 %. Kadar air beras yang diuji berada pada kisaran 11.82-13.31 %, ini masih dianggap aman untuk penyimpanan karena masih di bawah standar yang ditetapkan yakni 14 %. Kadar air yang tertinggi dimiliki oleh varietas Gilirang (13.31 %), sedangkan yang terendah dimiliki oleh varietas IR 42 (11.82 %). Hasil analisis sidik ragam dan uji beda Duncan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa kadar air varietas Celebes, Ciasem
(ketan), Bengawan Solo, dan
Sintanur tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Begitu pula antara varietas Gilirang, Ciliwung, Logawa, Batang Piaman, dan Batang Lembang.
44
1.2 Kadar Abu Abu adalah residu anorganik yang didapatkan setelah proses penghilangan bahan-bahan organik yang terkandung dalam suatu bahan (Sudarmadji et al,1996). Kadar abu ditentukan berdasarkan kehilangan bobot yang terjadi setelah sampel mengalami proses pembakaran pada suhu yang sangat tinggi (500-600 oC). Kadar abu secara kasar dapat mencerminkan kadar mineral yang terkandung dalam beras. Mineral-mineral yang terkandung dalam abu terdapat dalam bentuk garam oksida, sulfat, fosfat, nitrat, dan klorida (Miller, 1998). Nilai kadar abu beras yang diteliti berkisar antara 0.58-0.86 % bk. Kadar abu tertinggi dimiliki oleh varietas Logawa (0.86 %) sedangkan kadar abu terendah dimiliki oleh varietas Gilirang (0.58 %) (Tabel 4). Menurut Juliano (1972) kadar abu beras berada pada kisaran 0.6 %. Hasil analisis sidik ragam dan uji beda Duncan (Lampiran 5) menunjukkan kadar abu pada varietas beras tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Varietas Celebes, Ciasem (ketan), Bengawan Solo, Batang Piaman, Batang Lembang, IR 42, dan Sintanur tidak berbeda nyata. Begitupun antara varietas Ciliwung dengan Logawa. Kadar abu pada beras dipengaruhi oleh derajat penyosohan dan kandungan unsur hara dalam tanah. Menurut Juliano (1972), distribusi mineral pada beras yang sudah disosoh adalah sekitar 28 % dari total mineral yang terkandung pada beras pecah kulit. Kandungan mineral terbesar ditemukan pada bagian dedak yaitu sebesar 51 % dari total mineral yang terkandung dalam beras pecah kulit. Proses penyosohan adalah proses yang paling bertanggungjawab terhadap rendahnya kandungan mineral pada beras giling yang dikonsumsi sehari-hari. Kandungan mineral pada beras sebagian besar ditemukan pada bagian dedak dan embrio yang hilang pada saat proses penyosohan.
1.3 Kadar Protein Protein adalah salah satu makronutrien yang berperan dalam proses pembentukan biomolekul. Protein adalah suatu senyawa yang sebagian besar
45
terdiri atas unsur nitrogen. Jumlah unsur ini dapat digunakan sebagai dasar penentuan kadar protein dalam beras. Unsur nitrogen yang terikat dalam bentuk matriks dilepaskan melalui proses destruksi dan diukur jumlahnya. Kadar protein beras yang dianalisis berkisar antara 7.56-10.59 % bk. Nilai tertinggi dimiliki oleh varietas Ciasem (ketan) (10.59 %) sedangkan nilai kadar protein terendah dimiliki oleh varietas Batang Piaman (7.56 %) (Tabel 4). Menurut Juliano (1972) kadar protein beras berada pada kisaran 7 %. Hasil analisis sidik ragam dan uji beda Duncan (Lampiran 6) menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara varietas Celebes, Sintanur, Gilirang, Ciliwung, Logawa, dan IR 42. Begitupun antara varietas Bengawan Solo dan Batang Piaman serta varietas Ciasem (ketan) dan Batang Lembang. Kadar protein pada beras giling sangat dipengaruhi oleh derajat sosoh dan kondisi tanah tempat beras ditanam. Beras yang tumbuh pada tanah yang kaya akan unsur N akan cenderung memiliki kadar protein yang tinggi (Juliano, 1972).
1.4 Kadar Lemak Lemak adalah suatu golongan senyawa yang bersifat tidak larut air, namun larut dalam pelarut organik. Pelarut yang umum digunakan untuk mengukur kadar lemak adalah heksana, dietil eter, dan petroleum eter (Sudarmadji et al, 1996). Metode pengukuran lemak yang digunakan pada analisis ini adalah metode Soxhlet. Kadar lemak hasil analisis beras yang diuji menunjukkan nilai yang berkisar antara 0.53-1.31 % bk. Kadar lemak tertinggi dimiliki oleh varietas Ciliwung (1.31 %) sedangkan kadar lemak terendah dimiliki oleh varietas Celebes (0.53 %) (Tabel 3). Menurut Juliano (1972) kadar lemak beras berada pada kisaran 0.5 %. Hasil analisis sidik ragam dan uji beda Duncan (Lampiran 7) menunjukkan bahwa varietas Ciasem (ketan) dan Logawa tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Begitu pula antara varietas Celebes dengan Bengawan Solo. Varietas Sintanur, Batang Piaman dan Batang Lembang juga tidak berbeda nyata.
46
Penelitian yang dilakukan oleh Resureccion et al (1979) pada beras pecah kulit IR 32 menemukan bahwa kadar lemak beras yang sudah mengalami penyosohan dan penggilingan hanyalah sekitar 17 % dari total lemak keseluruhan yang terdapat pada beras pecah kulit tersebut. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa kandungan lemak terbesar pada beras pecah kulit terdapat pada bagian dedak (51 %).
1.5 Kadar Karbohidrat by difference Karbohidrat adalah zat gizi yang dapat ditemui dalam jumlah terbesar pada beras. Karbohidrat dalam serealia termasuk beras sebagian besar terdapat dalam bentuk pati. Penentuan kadar karbohidrat dalam analisis proksimat dilakukan secara by difference. Total jumlah kadar air, abu, lemak, protein dan karbohidrat beras adalah 100 %. Kadar karbohidrat beras yang diteliti berada pada kisaran 87.69-91.07 % bk. Nilai karbohidrat yang tertinggi dimiliki oleh varietas Bengawan Solo (91.07 %) sedangkan nilai karbohidrat yang terendah dimiliki oleh varietas Batang Lembang (87.69 %) (Tabel 4). Menurut Juliano (1972) kadar karbohidrat beras berada pada kisaran 78 %. Hasil analisis sidik ragam dan uji beda Duncan (Lampiran 8) menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara varietas Ciasem (ketan) dengan Batang Lembang, varietas Bengawan Solo dengan Batang Piaman dan antara varietas Ciliwung dengan Logawa.
2
Kadar Amilosa Kadar amilosa adalah salah satu kriteria penting dalam sistem klasifikasi beras. Berdasarkan kandungan amilosanya, beras (nasi) dapat dibagi menjadi empat golongan yaitu : (1) beras dengan kadar amilosa tinggi 25-33 %; (2) beras dengan kadar amilosa menengah 20-25 %; (3) beras dengan kadar amilosa rendah 9-20 %; (4) beras dengan kadar amilosa sangat rendah < 9 %. Beras ketan praktis tidak ada amilosanya (1-2 %), sedang beras yang mengandung amilosa lebih dari 2% disebut beras biasa atau beras bukan ketan (Winarno 1997).
47
Beras berkadar amilosa sedang mempunyai sifat nasi yang pulen, tidak terlalu basah maupun kering. Sedangkan beras berkadar amilosa tinggi mempunyai sifat nasi yang keras, kering dan pera. Penggolongan ini didasarkan pada kemampuan amilosa untuk berasosiasi kembali dengan sesamanya membentuk struktur yang kaku. Bila pasta telah mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Maka terjadi proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami
gelatinisasi
atau
dikenal
juga
sebagai
proses
retrogradasi
(Winarno,1997). Amilosa adalah polisakarida yang terdiri dari glukosa yang membentuk rantai linier dan memiliki kemampuan untuk membentuk ikatan hidrogen atau untuk mengalami retrogradasi. Struktur yang lurus ini membuat amilosa dapat dihidrolisis sempurna oleh satu enzim saja yakni
-amilase. Sedangkan
amilopektin merupakan polimer gula sederhana yang memiliki cabang serta mempunyai ukuran molekul yang lebih besar dibandingkan amilosa. Oleh karena itu, untuk menghidrolisis amilopektin diperlukan dua enzim yaitu -amilase dan (1-6) glukosidase. Rantai lurus dan sifat hidrofilik amilosa menyebabkan molekul ini cenderung membentuk susunan paralel satu sama lain melalui ikatan hidrogen. Hal ini menyebabkan affinitas amilosa terhadap air menurun. Pengukuran kadar amilosa pada beras dilakukan berdasarkan prinsip iodinebinding (pengikatan iodine) dimana amilosa akan berikatan dengan iodine pada pH rendah (4.5-4.8) menghasilkan kompleks berbentuk heliks yang berwarna biru. Intensitas warna biru ini kemudian diukur menggunakan spektrofotometer. Semakin tinggi intensitas warna yang terukur, maka kadar amilosa akan semakin tinggi (Juliano,1979). Pengukuran kadar amilosa pada penelitian ini menggunakan metode Juliano (1971). Metode ini terdiri dari dua tahap yakni tahap pembuatan kurva standar dan tahap penetapan sampel. Pembuatan kurva standar dilakukan menggunakan amilosa murni. Persamaan regresi yang dihasilkan adalah y = 0.025x – 0.0087. Kurva standar yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 1.
48
kurva standar 0.6 y = 0.025x - 0.0087 R2 = 0.9979
absorbansi
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 -0.1 0
5
10
15
20
25
konsentrasi (ppm)
Gambar 2. Kurva Standar Amilosa
Tabel 5. Kadar Amilosa dan Amilopektin pada sepuluh varietas beras Indonesia Varietas Kadar Pati Kadar Amilosa Kadar Amilopektin (%bb) (%bb) (%bb) Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo Sintanur Gilirang Ciliwung Logawa Batang Piaman Batang Lembang IR 42
82.43ab 81.31ab 80.01ab 85.18
b
82.18ab 81.94ab 80.52
ab
78.90a 82.11ab
19.81d 7.32a 17.23c 15.43b 16.57bc 26.22e 25.50e 29.41f 25.56e 26.31e
62.62c 73.99e 62.78c 69.75de 65.61cd 55.72b 55.02b 49.49a 56.55b
55.42b 81.73ab Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Berdasarkan Tabel 5, kadar amilosa beras yang diteliti berkisar antara 7.3229.41 % b.b. Kadar amilosa tertinggi dimiliki oleh varietas Batang Piaman (29.41 %) sedangkan kadar amilosa terendah dimiliki oleh varietas Ciasem (ketan) (7.32 %). Hasil analisis sidik ragam dan uji beda Duncan kadar amilosa dapat dilihat pada Lampiran 9. Perbedaan kadar amilosa beras dipengaruhi oleh varietas, suhu udara lokasi penanaman, dan kadar N dalam tanah. Penelitian oleh Juliano (1979)
49
menunjukkan bahwa beras dengan varietas yang sama namun ditanam pada daerah yang memiliki perbedaan kandungan nitrogen dalam tanah dan suhu udara lokasi penanaman yang berbeda akan menghasilkan beras dengan kandungan amilosa yang berbeda. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kadar amilosa pada beras berbanding terbalik dengan suhu udara lokasi penanaman dan kadar N dalam tanah.
3
Kadar Serat Pangan Serat pangan merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil (Winarno,1997). Serat pangan total terdiri dari serat pangan larut dan serat pangan tidak larut. Serat pangan tidak larut diartikan sebagai serat pangan yang tidak dapat larut di dalam air panas maupun air dingin. Fungsi utama serat pangan larut adalah memperlambat kecepatan pencernaan didalam usus, memberikan rasa kenyang lebih lama, serta memperlambat kemunculan glukosa darah sehingga insulin yang dibutuhkan untuk mentransfer glukosa ke dalam sel-sel tubuh dan diubah menjadi energi semakin sedikit. Sedangkan fungsi utama serat pangan tidak larut adalah mencegah timbulnya berbagai penyakit, terutama yang berhubungan dengan saluran pencernaan , seperti wasir, divertikulosis dan kanker usus besar (Astawan dan Wresdiyati, 2004). Serat banyak berasal dari dinding sel berbagai jenis sayuran dan buah. Secara kimia dinding sel tersebut terdiri dari beberapa jenis karbohidrat seperti selulosa, hemiselulosa, pektin dan nonkarbohidrat seperti polimer lignin (Winarno,1997). Istilah serat pangan dibedakan dari istilah serat kasar yang biasa digunakan dalam analisis proksimat makanan. Serat kasar (crude fiber) didefinisikan sebagai bagian dari makanan yang tidak dapat dihidrolisis oleh bahan-bahan kimia tertentu, yaitu asam sulfat dan natrium hidroksida mendidih (Fardiaz et al, 1989). Menurut Van Soest dan Robertson (1977), analisis serat kasar tidak dapat menunjukkan nilai serat pangan yang sebenarnya, sebab sekitar 20-50 % selulosa, 50-80 % lignin, dan 80-85 % hemiselulosa hilang selama analisis. Hasil analisis kadar serat pangan dapat dilihat pada Tabel 6.
50
Tabel 6. Kadar serat pangan pada sepuluh varietas beras Indonesia Varietas
Serat pangan tidak larut (%bk)
Serat pangan larut (%bk)
Serat pangan total (%bk)
Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo
4.11c 2.57a 5.07d
1.91bc 3.59f 1.00a
6.02cd
Sintanur Gilirang Ciliwung
5.68d 2.27a 2.75a
1.89bc 2.95e 2.04bcd
4.11c 4.04c
de
2.51 2.17cd
6.62d
3.08ab
1.60bc
4.68a
3.94bc
1.56b
Logawa Batang Piaman Batang Lembang IR 42
6.17cd 6.08cd 7.57e 5.22ab 4.79a 6.21d
5.51bc Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Nilai serat pangan tidak larut yang tertinggi dimiliki oleh varietas Sintanur (5.68 %), sedangkan yang terendah dimiliki oleh varietas Gilirang (2.27 %). Untuk kadar serat pangan larut, nilai tertinggi dimiliki oleh varietas Ciasem (ketan) (3.59 %), sedangkan nilai terendah dimiliki oleh varietas Bengawan Solo (1.00 %). Untuk kadar serat pangan total nilai tertinggi dimiliki oleh varietas Sintanur (7.57 %), sedangkan nilai terendah dimiliki oleh varietas Batang Lembang (4.67 %). Penelitian yang dilakukan oleh Widowati (2007) terhadap empat varietas beras yaitu, Cisokan, Batang Piaman, Memberamo, dan Taj Mahal memperoleh hasil kandungan serat pangan larut antara 1.79-3.95 %, serat pangan tidak larut 2.97- 4.53 % dan serat pangan total 5.59 - 6.92 %. Hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil yang didapatkan dalam penelitian ini. Hasil analisis sidik ragam dan uji beda Duncan kadar serat pangan dapat dilihat pada Lampiran 10 dan 11. Sifat umum senyawa-senyawa serat pangan
antara lain molekulnya
berbentuk polimer dengan ukuran besar, strukturnya kompleks, banyak mengandung gugus hidroksil, dan kapasitas pengikatan airnya besar (Inglett dan Falkehag, 1979). Banyaknya gugus hidroksil bebas yang bersifat polar serta 51
struktur matriks yang berlipat-lipat memberi peluang besar bagi terjadinya pengikatan air melalui ikatan hidrogen. Sifat mengikat air dari serat pangan ini penting dalam mempertahankan air dalam lambung, meningkatkan viskositas makanan dalam usus kecil, dan berhubungan dengan peranan serat pangan dalam gizi dan metabolisme tubuh. Menurut Schneeman (1986) serat pangan menghasilkan sejumlah reaksi fisiologis yang tergantung pada sifat-sifat fisik dan kimia dari masing-masing sumber serat. Reaksi-reaksi ini meliputi peningkatan massa feses, penurunan kadar kolesterol plasma, dan penurunan respons glikemik dari makanan. Pengetahuan mengenai peranan serat pangan
bagi kesehatan membuat serat
semakin banyak dimanfaatkan sebagai bahan pencampur berbagai jenis makanan dan minuman. Serat pangan
yang larut banyak digunakan dalam makanan-
makanan cair seperti sup, minuman dan pudding. Sedangkan serat pangan tidak larut banyak digunakan dalam makanan padat.
4
Kadar Pati dan Pati Resisten Komponen terbesar yang terkandung dalam beras adalah karbohidrat. Pati merupakan bagian terbesar yang terkandung dalam karbohidrat. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak terlarut disebut amilopektin. Amilosa dan amilopektin dalam pati berbentuk struktur kristalin. Hal ini membuat pati bersifat tidak larut air dan sukar dicerna dalam keadaan mentah. Struktur kristalin tersebut akan hancur bersamaan dengan proses gelatinisasi yang melibatkan air dan suhu tinggi. Hasil analisis kadar pati dan pati resisten dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Kadar Pati dan Pati Resisten pada sepuluh varietas beras Indonesia Kadar Pati (%bb)
Kadar Pati Resisten (%bk)
Celebes
82.43ab
0.08a
Ciasem (ketan)
81.31ab
0.13c
Varietas
52
Bengawan Solo
80.01ab
0.13c
Sintanur
85.18b
0.11bc
Gilirang
82.18ab
0.20d
Ciliwung
81.94ab
0.11bc
Logawa
80.52ab
0.08a
Batang Piaman
78.90a
0.10ab
Batang Lembang
82.11ab
0.10ab
81.73ab 0.18d Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
IR 42
Kadar pati beras yang diteliti berkisar antara 78.9-85.18 % bb. Nilai kadar pati yang tertinggi dimiliki oleh varietas Sintanur (85.18 %), sedangkan yang terendah dimiliki oleh varietas Batang Piaman (78.9 %). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 12) menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antar varietas pada taraf 0.05. Perkembangan ilmu dan teknologi memunculkan istilah baru yang berhubungan dengan pati, yakni pati resisten. Pati resisten didefinisikan sebagai jumlah pati dan hasil degradasi pati yang tidak dapat diserap didalam usus halus individu yang sehat (Asp, 1992). Belakangan ini bahkan banyak definisi yang mengklasifikasikan pati resisten ke dalam serat pangan (Champ et al, 2003). Hal ini dikarenakan sifatnya yang menyerupai serat yakni tidak dapat dicerna di usus halus. Kadar pati resisten beras yang diteliti sangat kecil berkisar antara 0.08- 0.20 %. Nilai pati resisten tertinggi dimiliki oleh varietas Gilirang (0.20 %), sedangkan yang terendah dimiliki oleh varietas Logawa (0.08 %). Hasil analisis sidik ragam dan uji beda Duncan (Lampiran 13) menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara varietas Celebes dengan Logawa, dan antara varietas Ciasem
(ketan)
dengan Bengawan Solo. Pati resisten dapat diklasifikasikan menjadi empat berdasarkan sumber dan karakteristik fisiknya. Pati resisten tipe I ditemukan pada beberapa jenis sereal dan legume. Karakteristik utamanya adalah memiliki dinding sel yang tebal sehingga tidak rusak karena proses pengolahan maupun di dalam perut. Pati resisten tipe II adalah granula pati, yang dalam tingkat kematangan tertentu, 53
secara alami resisten terhadap enzim. Pati jenis ini ditemukan pada pisang dan kentang yang belum matang. Pati resisten tipe III adalah pati yang telah mengalami retrogradasi. Retrogradasi adalah pembentukan kembali struktur kristal dari pati yang telah mengalami gelatinisasi. Sedangkan pati resisten tipe IV adalah pati yang dimodifikasi secara kimia sehingga menjadi resisten (Champ, 2004).
5
Daya Cerna Pati in vitro Karbohidrat dari pati yang akan diserap oleh tubuh harus diubah terlebih dahulu menjadi komponen-komponen penyusunnya yaitu glukosa. Enzim yang dibutuhkan untuk melakukan tugas tersebut adalah -amilase yang dihasilkan oleh kelenjar saliva dan pankreas. Namun, enzim -amilase yang berasal dari kelenjar saliva akan diinaktivasi oleh pH rendah dalam lambung sehingga tidak terlalu berperan dalam proses pencernaan pati. Enzim
-amilase yang berasal dari
pankreas akan berperan memecah pati pada usus halus. Proses tersebut akan diselesaikan pada bagian brush border usus halus dengan bantuan dari enzim glucoamylase dan -dextrinase. Pada bagian ini juga akan terjadi pemecahan disakarida menjadi monosakarida oleh enzim disakaridase (Sardesai didalam Bernard, 2005). Hasil analisis daya cerna pati in vitro dapat dilihat pada Gambar 3. Daya cerna pati beras dalam penelitian ini dianalisis secara in vitro. Daya cerna pati in vitro beras yang diteliti berkisar antara 62-81 % bb. Nilai daya cerna pati yang tertinggi dimiliki oleh varietas Batang Piaman (81.62 %), sedangkan nilai daya cerna pati yang terendah dimiliki oleh varietas Gilirang (62.31 %). Penelitian yang dilakukan oleh Widowati (2007) terhadap tiga varietas beras Indonesia yaitu, Cisokan, Batang Piaman, dan Memberamo memperoleh hasil daya cerna pati berturut-turut sebesar 52.21 %, 81.73 %, dan 71.18 %. Hasil daya cerna tersebut tidak terlalu berbeda dengan hasil dalam penelitian ini. Hasil analisis sidik ragam dan uji beda Duncan dapat dilihat pada Lampiran 15.
54
IR 42
Batang
Batang
Logawa
Ciliwung
Gilirang
Sintanur
Bengawan
Ciasem
Celebes
Daya Cerna Pati (%)
90.00 81.61f 78.62e d 77.12de 76.82de 75.94 c 75.00cd 73.03 80.00 69.65b 67.52b 70.00 62.31a 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
Varietas
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Gambar 3. Daya cerna pati in vitro pada sepuluh varietas beras Indonesia
Kandungan pati dan amilosa berpengaruh terhadap daya cerna pati. Sebagian ilmuwan berpendapat bahwa amilosa dicerna lebih lambat dibandingkan amilopektin (Miller et al, 1992). Hal ini dikarenakan amilosa merupakan polimer gula sederhana dengan rantai lurus tidak bercabang. Rantai lurus yang menyusun amilosa ini menyebabkan ikatan yang solid sehingga tidak mudah tergelatinisasi. Oleh karena itu amilosa lebih sulit dicerna dibandingkan amilopektin yang memiliki struktur bercabang dan terbuka. Akan tetapi jika dilihat dari mekanisme kerja enzimatis, amilosa dapat dihidrolisis hanya dengan satu enzim saja yaitu -amilase. Sedangkan amilopektin memerlukan dua jenis enzim yakni -amilase dan -(1-6) glukosidase karena mempunyai rantai cabang. Selain itu berat molekul amilopektin lebih besar dibandingkan amilosa sehingga berdasarkan pertimbangan ini maka amilopektin memerlukan waktu lebih lama untuk dicerna dibandingkan dengan amilosa (Lehninger, 1982).
C INDEKS GLIKEMIK Efek glikemik dari suatu bahan pangan adalah suatu ukuran yang digunakan untuk menggambarkan seberapa cepat dan tinggi kenaikan kadar glukosa darah
55
setelah mengonsumsi bahan pangan tertentu. Efek glikemik juga menggambarkan kecepatan respon tubuh manusia untuk mengembalikan kadar glukosa darah menjadi normal kembali (Whitney et al, 1990). Beras merupakan sumber karbohidrat yang mengandung pati (polisakarida) yang dapat dipecah oleh tubuh menjadi glukosa (monosakarida). Glukosa tersebut selanjutnya akan diserap oleh sel tubuh dan menjadi bahan bakar sel (Brody, 1999). Beras selama ini dikenal sebagai bahan makanan yang memiliki IG sedang-tinggi karena menyebabkan kenaikan kadar glukosa darah yang cepat dan tajam. Pada pengujian IG ini, relawan diberikan sampel nasi yang jumlahnya setara dengan 50 gram karbohidrat beras. Selanjutnya diukur efeknya terhadap kadar glukosa darah mereka menggunakan metode finger-prick capillary blood sampel setiap 30 menit selama dua jam. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan menggunakan alat glukometer One Touch Ultra TM (LifeScan Johnson & Johnson Co.). Pengambilan darah dilakukan melalui pembuluh darah kapiler yang terdapat di jari tangan. Pembuluh darah kapiler dipilih karena berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ragnhild et al (2004), menunjukkan bahwa darah yang diambil dari pembuluh kapiler memiliki variasi kadar glukosa darah antar relawan yang lebih kecil dibandingkan darah yang diambil dari pembuluh vena. Perhitungan IG dilakukan berdasarkan perbandingan antara luas kurva kenaikan glukosa darah setelah mengonsumsi pangan yang diuji dengan kenaikan glukosa darah setelah mengonsumsi pangan standar (glukosa) (Marsono et al, 2002). Hasil pengukuran kadar glukosa darah rata-rata relawan dari tiap varietas beras dapat dilihat dari Tabel 8.
56
Tabel 8. Respons Kadar glukosa darah selama pengujian IG dan Nilai Indeks Glikemik pada sepuluh varietas beras Indonesia Kadar glukosa darah Varietas Puasa 30 60 90 120 Nilai IG menit menit menit menit 86.25abc Celebes 75 117a 109 98 90 Ciasem 147.15d (ketan) 82 141b 129 108 109 Bengawan 97.72c Solo 75 125ab 105 100 93 Sintanur 80 124ab 102 104 99 91.03bc 97.29c Gilirang 80 126ab 110 98 92 a Ciliwung 77 117 99 95 92 86.52abc 59.04a Logawa 80 106a 96 90 90 Batang 80.25abc Piaman 80 118a 104 94 87 Batang 63.50ab Lembang 78 115a 106 95 89 IR 42 83 126ab 98 93 86 68.52abc Taj Mahal 86 114 98 94.5 87 61.26 Glukosa 81 133 116 102 88 Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Tabel 8 menunjukkan nilai IG varietas beras yang diuji berkisar antara 59-147. Nilai IG tertinggi dimiliki oleh varietas Ciasem (ketan) (147.2), sedangkan yang terendah dimiliki oleh varietas Logawa (59). Beras Varietas Taj Mahal digunakan sebgai pembanding karena selama ini beras varietas ini dikenal memiliki nilai IG rendah dan banyak digunakan sebagai makanan bagi penderita diabetes. Hasil analisis sidik ragam dan uji beda Duncan (Lampiran 15) terhadap nilai IG menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara varietas Celebes, Ciliwung, Batang Piaman, dan IR 42. Nilai IG yang bervariasi ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai IG suatu bahan pangan antara lain proses pengolahan, perbandingan amilosa amilopektin, kadar gula dan daya osmotic, kandungan serat, kandungan lemak dan protein serta kandungan zat anti gizi (Rimbawan & Siagian, 2004).
57
160
Kadar GlukosaDarah(mg/dL)
Celebes 140
Ciasem
120
Bengawan Solo Sintanur
100
Gilirang Ciliwung
80
Logawa Batang Piaman
60
Batang Lembang 40
IR 42 Taj Mahal
20
Glukosa 0 menit Puasa
30 menit
60 menit
90 menit
120
Waktu (menit)
Gambar 4. Respons kadar glukosa darah berbagai varietas beras
Gambar 4 merupakan respons kadar glukosa darah relawan terhadap masingmasing varietas yang menunjukkan kesepuluh varietas beras memiliki puncak kadar glukosa yang berada pada menit ke-30 setelah konsumsi sampel. Varietas Ciasem (ketan) memiliki puncak yang tertinggi, artinya beras ini meningkatkan kadar glukosa darah dengan sangat cepat pada 30 menit pertama setelah konsumsi. Beras seperti ini tidak dianjurkan bagi penderita diabetes karena dapat membahayakan. Varietas yang memiliki puncak terendah adalah Varietas Logawa. Logawa memiliki IG hampir sama dengan beras Basmati yang selama ini dianggap sebagai salah satu beras dengan IG terendah. Penelitian terhadap beras Basmati yang dilakukan oleh Foster-Powell et al (2002) memperoleh nilai IG sebesar 58. Pada penelitian ini juga dilakukan pengujian terhadap beras Varietas Taj Mahal sebagai pembanding. Beras Taj Mahal dikenal sebagai beras dengan nilai IG yang rendah dan banyak digunakan sebagai makanan bagi penderita diabetes. Ternyata nilai IG beras Taj Mahal adalah 62. Dengan demikian, Varietas Logawa dapat dikatakan baik bagi penderita diabetes karena kenaikan kadar glukosa darah yang dihasilkannya tidak terlalu drastis. Nilai IG dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain metode pengolahan pangan, kombinasi dengan makanan lain dan respons yang berbeda antara satu orang dengan yang lain (Anonim, 2007). Proses pengolahan pangan menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan komposisi kimia pangan sehingga terjadi perubahan daya serap zat gizi. Proses pengolahan umumnya meningkatkan daya cerna pangan. Kadar amilosa dan amilopektin juga sangat berpengaruh pada nilai IG pangan. Sebagian ilmuwan berpendapat bahwa amilosa dicerna lebih lambat dibandingkan amilopektin (Miller et al, 1992). Hal ini dikarenakan amilosa merupakan polimer gula sederhana
58
dengan rantai lurus tidak bercabang. Rantai lurus yang menyusun amilosa ini menyebabkan ikatan yang solid sehingga tidak mudah tergelatinisasi. Oleh karena itu amilosa lebih sulit dicerna dibandingkan amilopektin yang memiliki struktur bercabang dan terbuka. Akan tetapi jika dilihat dari mekanisme kerja enzimatis, amilosa dapat dihidrolisis hanya dengan satu enzim saja yaitu -amilase. Sedangkan amilopektin memerlukan dua jenis enzim yakni
-amilase dan
-(1-6) glukosidase karena
mempunyai rantai cabang. Selain itu berat molekul amilopektin lebih besar dibandingkan amilosa sehingga berdasarkan pertimbangan ini maka amilopektin memerlukan waktu lebih lama untuk dicerna dibandingkan dengan amilosa (Lehninger, 1982). Protein berpengaruh menurunkan perubahan kadar glukosa darah. Penurunan respons glikemik tersebut diduga karena protein berpengaruh memperpanjang laju pengosongan lambung sehingga laju pencernaan dan absorpsi dalam usus halus juga lebih lambat. Lemak mempunyai sifat metabolisme yang serupa dengan protein yaitu dicerna dan diserap lebih lambat dibandingkan karbohidrat. Oleh karena itu, pangan yang mengandung lemak lebih tinggi akan memiliki nilai IG lebih rendah dibanding dengan pangan yang memiliki kadar lemak rendah (Rimbawan dan Siagian, 2004). Pati resisten dan daya cerna pati termasuk faktor yang mempengaruhi nilai IG. Pati resisten adalah jumlah pati dan hasil degradasi pati yang tidak dapat diserap di dalam usus halus individu sehat. Pati resisten akan menurunkan laju pencernaan dan penyerapan karbohidrat di dalam usus halus. Hal ini tentu saja akan menurunkan nilai IG pangan. Karbohidrat yang diserap secara lambat menghasilkan puncak kadar glukosa darah yang rendah. Daya cerna pati beras dipengaruhi oleh komposisi amilosa dan amilopektin. Meskipun masih terdapat perbedaan pendapat, sebagian ilmuwan menyatakan bahwa daya cerna pati pangan berkadar amilosa tinggi umumnya lebih rendah dibanding pangan berkadar amilosa rendah (Foster-Powell, et al 2002). Analisis korelasi yang dilakukan menunjukkan bahwa kadar amilosa mempunyai korelasi yang tinggi terhadap nilai indeks glikemik (r =-0.862) (Lampiran 16). Hasil penelitian ini memperkuat pendapat bahwa beras dengan kadar amilosa
59
tinggi menunjukkan kecenderungan untuk memiliki indeks glikemik yang lebih rendah dibandingkan beras beramilosa rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Ragnhild et al (2004), menunjukkan bahwa dibandingkan dengan amilopektin, amilosa memiliki kecenderungan untuk lebih lambat dicerna dan diserap oleh usus sehingga menghasilkan nilai IG yang lebih rendah. Serat pangan tidak dapat dicerna dan diserap oleh saluran pencernaan manusia tetapi memiliki fungsi yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan dan pencegahan berbagai penyakit. Serat pangan akan mempengaruhi penyerapan karbohidrat di dalam usus halus sehingga memperlambat kenaikan kadar glukosa darah. Oleh karena itu, pangan yang memiliki serat tinggi umumnya memiliki nilai IG yang rendah. Nilai IG suatu bahan makanan merupakan sesuatu yang unik. Nilainya tidak dapat diperediksi hanya berdasarkan komposisi kimia bahan-bahan yang terkandung didalamnya saja. Hal ini antara lain karena nilai IG juga dipengaruhi oleh respons fisiologis individu yang digunakan sebagai relawan dalam pengujian. Akan tetapi masing-masing komponen dalam bahan
pangan akan mempengaruhi nilai IG.
Dibawah ini adalah perbandingan komposisi kimia antara varietas dengan nilai IG terendah dan varietas dengan nilai IG tertinggi Tabel 9. Perbandingan komposisi kimia beras dengan nilai IG terendah dan beras dengan nilai IG tertinggi Varietas Faktor-faktor Ciasem (ketan) Logawa 147
59
Protein (% bk)
10.60
9.01
Lemak (% bk)
0.95
0.99
Serat pangan (% bk)
6.17
6.62
Serat pangan larut (% bk)
3.59
2.51
Serat pangan tidak larut (%
2.57
4.11
Amilopektin (% bb)
73.99
55.02
Amilosa (% bb)
7.32
25.50
Pati resisten (% bk)
0.13
0.08
Daya cerna pati (%)
76.82
73.03
Indeks Glikemik
60
Faktor yang paling mempengaruhi nilai IG dalam penelitian ini adalah kadar amilosa. Hal ini dibuktikan dari hasil analisis korelasi antara nilai IG dengan kadar amilosa yang memiliki nilai korelasi cukup besar (r = -0.862). Varietas Ciasem (ketan) yang memiliki kadar amilosa paling rendah (7.32) memiliki nilai IG paling tinggi. Tetapi Varietas Batang Piaman yang memiliki kadar amilosa paling tinggi (29.41) memiliki nilai IG (80) dan bukan merupakan varietas dengan nilai IG paling rendah. Hal ini memperkuat pernyataan bahwa nilai IG dipengaruhi oleh banyak faktor.
61
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Beras yang diteliti memiliki nilai IG sedang sampai tinggi. Beras yang memiliki IG sedang yaitu varietas Logawa (59), Batang Lembang (63) dan IR 42 (69). Sedangkan beras yang memiliki nilai IG tinggi yaitu Celebes (86), Ciasem (ketan) (147), Bengawan Solo (98), Sintanur (91), Gilirang (97), Ciliwung (87), dan Batang Piaman (80). Beras Varietas Logawa memiliki nilai IG paling rendah yakni 59. Nilai IG ini lebih rendah dibandingkan dengan beras Taj Mahal yang selama ini dikenal memiliki IG rendah dan banyak dijadikan sebagai makanan bagi penderita diabetes. Dengan demikian, Varietas Logawa berpotensi untuk dikembangkan sebagai makanan bagi penderita diabetes. Beras yang memiliki nilai IG tinggi akan menaikkan kadar glukosa darah dengan sangat cepat. Oleh karena itu, Varietas Ciasem (ketan) kurang baik bagi penderita diabetes. Faktor yang paling mempengaruhi nilai IG dalam penelitian ini adalah kadar amilosa. Hal ini dibuktikan dari hasil analisis korelasi antara nilai IG dengan kadar amilosa yang memiliki nilai korelasi cukup besar (r = -0.862). Kadar amilosa yang tinggi umumnya akan menurunkan nilai IG karena struktur amilosa yang memiliki rantai lurus lebih sulit dicerna dibanding amilopektin yang memiliki rantai bercabang. Varietas-varietas yang berkadar amilosa rendah seperti Ciasem
(ketan) (7.32), Celebes (19.81), Bengawan Solo (17.23), Sintanur
(15.43), dan Gilirang (16.57) memiliki nilai IG yang tinggi yakni berturut-turut 86, 147, 98, 91, dan 87. Sedangkan varietas-varietas beramilosa tinggi seperti Ciliwung (26.22), Logawa (25.50), Batang Piaman (29.41), Batang Lembang (25.56), IR 42 (26.31) memiliki nilai IG yang sedang yakni berturut-turut 59, 80, 64, 69, dan 68. Beras Taj Mahal digunakan sebagai pembanding dalam penelitian ini karena beras ini dikenal memiliki nilai IG yang rendah dan banyak digunakan sebagai makanan bagi penderita diabetes. Hasilnya beras Taj Mahal memiliki nilai IG 61. Varietas Logawa memiliki nilai IG yang lebih rendah dari beras Taj Mahal yakni sebesar 59. Dengan demikian, Varietas Logawa berpotensi untuk dikembangkan
62
sebagai makanan bagi penderita diabetes karena kenaikan kadar glukosa darah yang dihasilkannya tidak terlalu drastis.
B. Saran Saran yang dapat diberikan adalah karakterisasi beras varietas lain yang banyak beredar dipasaran sehingga dapat dijadikan standar mutu karena beras yang beredar di Indonesia sangat beragam varietasnya.
63
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Glycemic Index. http://www.NutritionData.com. [27 April 2007] AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemist, Washington DC. Araullo, E. V., De Padua, M. Graham. 1976. Rice Post Harvest Technology. IDRC, Ottawa. Asp, N.G. 1992. Resistant Starch. Di dalam Ann-Charlotte Eliasson (ed): Starch in Food Structure, function, and applications. CRC Press, New York. Asp, N.G., C.G. Johanson, H. Halmer, and M. Siljestrom. 1983. Rapid Enzymatic Assay of Insoluble and Soluble Dietary Fiber. J. Agric. Food. Chem. (31): 476 – 482. Astawan, M., Wresdiyati, T. 2004. Diet Sehat dengan Makanan Berserat. Solo : Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. Bernard. 2005. Deskripsi Flavor, Sifat Fisikokimia dan Indeks Glikemik Beras Panjang dari lahan Gambut Pasang Surut Aluh-Aluh, Kalimantan Selatan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Bhattacharya, K. R. 1979. Gelatinization Temperature of Rice Strach and Its Determination. Di dalam : Proceedings of The Workshop on Chemical Aspect of Rice Grain Quality. IRRI, Los Banos. Pp 232-247 Brand-Miller, J. 2000. Carbohydrates. Di dalam: Mann, J. dan A. S. Truswell (Eds). Essentials of Human Nutrition, 2nd Ed. Oxford University Press. Oxford, pp. 231-255. Brody, T. 1999. Nutritional Biochemistry, 2nd ed. Academic Press, San Diego. BSN. 1999. SNI Beras Giling. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta. Champ, M., Langkilde. A.M., Brouns. F., Kettlizt. B., Le Bail- Collet Y. 2003. Advances in dietary fiber characterization. 1. Definition of Dietary Fiber, Physiological Relevance, Health Benefits and Analytical Aspects. Nutr Res Rev, 16, 71-82. Champ, M. 2004. Resistant Starch. Di dalam Ann-Charlotte Eliasson (ed): Starch in Food Structure, function, and applications. CRC Press, New York. Childs, N.W.. 2004. Production and utilization of rice. Di dalam Elaine T. Champagne (ed). Rice : Chemistry and Technology. American Association of Cereal Chemists, Inc.. Minnesota, pp
64
Damardjati, D.S., Soekarto. S.T., dan Harahap, Z.. 1983. Penelitian dan Pengembangan Mutu Beras di Indonesia. Makalah disajikan dalam Lokakarya Penelitian Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. dan Purwani, E. Y.. 1991. Mutu Beras. Di dalam Padi-Buku 3. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. El, S.N.1999. Determination of Glycemic Index for some breads. Journal of Food Chemistry. 67 : 67-69 Fardiaz, D., Apriyantono, A., Puspitasari N.L., Sedarnawati, dan Budiyanto, S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Depdikbud Ditjen Perguruan Tinggi. PAU Pangan dan Gizi, IPB. Bogor. Foster-Powell, K., Holt, S.H.A dan Brand-Miller, J.C. 2002. International tabel of glycemic index and glycemic load values. Am. J. Clin. Nutr. 75 : 5-56 Grist, D. H. 1975. Rice. 5th ed. Longmans, London. Inglett, G.E. dan Falkehag, S.I.. 1979. Dietary Fibers : Chemistry and Nutrition. Academic Press, New York. Juliano, B.O. 1971. A Simplified Assay for Milled Rice Amylose Measurement. J. of Cereal Sci. Today, 16 : 334-336 ______. 1972. The rice caryopsis and its composition. Di dalam D.F. Houston (ed). Rice Chemistry and Technology. American Associaton of Chemists, Inc..St. Paul. Minnesona, pp. ______. 1979. Amylose Analysis in Rice. Di dalam : Proceedings of the Workshop on Chemical Aspect of Rice Grain Quality. IRRI, Los Banos, pp 252-259 Khush, GS and Cruz, ND. 2000. Rice Grain Quality Evaluation Procedures. In : Aromatic Rices.Oxford & IBH Pub.Co.Pvt.Ltd, New Delhi. Kusnandar, F dan Andarwulan, N. 2004. Analisis Warna Bahan Pangan. Diktat Kuliah. IPB, Bogor Lehninger, A.L. 1982. Principles of Biochemistry. Worth, Pub. New York Litbang Deptan. 2002. Deskripsi Padi Varietas Unggul. www.puslittan.bogor; net/html. Departemen Pertanian,Bogor [9 Oktober 2006] Luh, B. S. 1980. Rice Production and Utilization. The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut.
65
Marsono, Y., 1993. Complex Carbohydrates and Lipids in rice and rice products: effect on large bowel volatile fatty acid and plasma cholesterol in animals. Ph.D. Thesis. Fliders University, Adelaide, Australia. Marsono, Y., Wiyono,P. dan Noor, Z. 2002. Indeks Glikemik Kacang-kacangan. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 13 (3): 2002. Miller, J.B. Pang, E dan Bramall, L..1992. Rice : High or Low Glycemic Index Food?. Am.J.Clin.Nutr. 56 : 1034-1036. Miller, D.D. 1998. Atomic Absorption and Emission Spectroscopy. Di dalam : Nielsen,S.S. (ed). Food Analysis, 2nd ed. Kluwer Academic, New York, pp. 425-442. Muchtadi, D, Palupi, N. S., dan Astawan, M.. 1992. Metoda Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Bogor. Ragnhild, A.L., Asp, N.L., Axelsen, M. dan Raben, A.. 2004. Glycemic Index : Relevance for Health, Dietary Recommendations, and Nutritional Labelling. Scandinavian Journal of Nutrition. 48 (2): 84-94. Resureccion, A. Juliano, B.O. dan Tanaka, Y. 1979. Nutrient Content and Distribution in Milling Fractions of Rice Grain. J. Food. Sci. 30 : 475-481. Rimbawan dan Siagian, A.. 2004. Indeks Glikemik Pangan, Cara Mudah Memilih Pangan yang Menyehatkan. Penebar Swadaya. Sardesai, V.M. 2003. Intoduction to Clinical Nutrition 2nd ed. Marcel Dekker, Inc., New York. Schneeman, B.O. 1986. Dietary Fiber : Physical and Chemical properties, Methods of Analysis, and Physiological Effects. J. Food Technology, 40 (2) : 104. Soekarto, S.T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan Mutu dan Standardisasi Mutu Pangan. Depdikbud Ditjen Perguruan Tinggi. PAU Pangan dan Gizi, IPB. Bogor. Sudarmadji, S., Haryono,B. dan Suhardi. 1996. Analisis Bahan Makanan dan Pertanian. PAU Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta. Swinkels, JJM. 1985. Sources of Starch, its chemistry and physics. In : v. Beynum GMA, and JA. Roels (ed). Starch Conversion Technology. Marcel Dekker Inc., New York, Van Soest, P.J. dan Robertson, J.B.. 1977. Analytical Problems for Fiber. Di dalam L.F. Hood, E.K. Wardrip, dan G.N. Bollenback (eds). Carbohydrates and Health. AVI Publ. Co. Inc., Westport, Connecticut.
66
Wardlaw, G.M. 1999. Perspective in Nutrition. McGraw Hill, Boston. Whitney, E.N., Hamilton, E.M.N,. dan Rolfes, S.R 1990. Understanding Nutrition, 5th ed. West Publ, New York. Widiatmoko, A. 2005. Perubahan Mutu Fisik Beras IR 64 Ciherang dan Sintanur pada Proses Penyimpanan Model Karungan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Widowati, S. 2007. Pemanfaatan Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis O. Kuntze) dalam Pengembangan Beras Fungsional untuk Penderita Diabetes Melitus. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Winarno, F.G.. 1984. Padi dan Beras. Diktat Tidak Dipublikasikan. Riset Pengembangan Teknologi Pangan. IPB. Bogor. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta. _
2004. GMP dalam Industri Penggilingan Padi. Di dalam Lokakarya Nasional Upaya Peningkatan Nilai Tambah Pengolahan Padi, Perusahaan Umum Bulog Bekerjasama dengan Fateta IPB, Jakarta 20-21 Juli.
67
Lampiran 1 Descriptives Nilai Kekerasan Beras
N Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo Sintanur
Std. Deviation
Mean
Std. Error
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Min
Max
3
6.5700
.04000
.02309
6.4706
6.6694
6.53
6.61
3
6.7400
.03606
.02082
6.6504
6.8296
6.70
6.77
3
6.0033
.07371
.04256
5.8202
6.1864
5.92
6.06
3
6.4800
.17349
.10017
6.0490
6.9110
6.28
6.59
Gilirang
3
5.5400
.11269
.06506
5.2601
5.8199
5.47
5.67
Ciliwung
3
6.7500
.11533
.06658
6.4635
7.0365
6.63
6.86
Logawa
3
6.3700
.06245
.03606
6.2149
6.5251
6.32
6.44
3
6.9900
.06245
.03606
6.8349
7.1451
6.94
7.06
3
6.3700
.02000
.01155
6.3203
6.4197
6.35
6.39
3
5.2967
.11015
.06360
5.0230
5.5703
5.17
5.37
30
6.3110
.52995
.09676
6.1131
6.5089
5.17
7.06
Batang Piaman Batang Lembang IR 42 Total ANOVA Kekerasan beras
Between Groups
Sum of Squares 7.975
Within Groups Total
df 9
.170 8.145
Mean Square .886
20 29
F 104.537
Sig. .000
.008
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Nilai Kekerasan Beras Duncan Subset for alpha = .05 Kekerasan beras IR 42
N
1 3
2
3
4
5
6
7
5.2967
Gilirang
3
Bengawan Solo
3
Logawa
3
6.3700
Batang Lembang
3
6.3700
Sintanur
3
6.4800
Celebes
3
Ciasem (ketan)
3
6.7400
Ciliwung
3
6.7500
Batang Piaman
3
Sig.
5.5400
1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sampel Size = 3.000.
6.0033
6.4800 6.5700
6.9900 1.000
.181
.245
.896
1.000
68
Lampiran 2 Descriptives Nilai bobot seribu butir
N Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo Sintanur
Mean
Std. Deviatio n
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Std. Error
Min
Max
3
15,7000
,48508
,28006
14,4950
16,9050
15,14
15,99
3
20,3533
,22189
,12811
19,8021
20,9045
20,17
20,60
3
14,1100
,55344
,31953
12,7352
15,4848
13,50
14,58
3
19,1067
,75222
,43429
17,2381
20,9753
18,24
19,59
Gilirang
3
21,6667
,25106
,14495
21,0430
22,2903
21,39
21,88
Ciliwung
3
18,0267
,38553
,22259
17,0690
18,9844
17,60
18,35
Logawa
3
19,8033
,11676
,06741
19,5133
20,0934
19,70
19,93
3
22,0233
,80314
,46369
20,0282
24,0184
21,10
22,56
3
20,3967
,22121
,12771
19,8472
20,9462
20,19
20,63
3
17,1500
,65643
,37899
15,5193
18,7807
16,47
17,78
30
18,8337
2,51733
,45960
17,8937
19,7737
13,50
22,56
Batang Piaman Batang Lembang IR 42 Total
ANOVA Nilai bobot seribu butir Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
F
178,758
9
19,862
5,014
20
,251
183,771
29
Sig.
79,231
,000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Nilai bobot seribu butir Duncan Subset for alpha = .05 Bobot seribu butir Bengawan Solo
N 3
1 14,1100
2
3
4
5
6
7
Celebes
3
IR 42
3
Ciliwung
3
Sintanur
3
19,1067
Logawa
3
19,8033
Ciasem (ketan)
3
20,3533
Batang Lembang
3
20,3967
Gilirang
3
Batang Piaman
3
Sig.
15,7000 17,1500 18,0267 19,8033
21,6667 22,0233 1,000
1,000
1,000
1,000
,104
,184
,393
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sampel Size = 3,000.
69
Lampiran 3 Descriptives Derajat Putih
N Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo Sintanur
Mean
Std. Deviation
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Std. Error
Min
Max
2
74.4850
.16263
.11500
73.0238
75.9462
74.37
74.60
2
78.8500
.16971
.12000
77.3253
80.3747
78.73
78.97
2
71.8600
.05657
.04000
71.3518
72.3682
71.82
71.90
2
72.6500
.16971
.12000
71.1253
74.1747
72.53
72.77
Gilirang
2
72.7950
.00707
.00500
72.7315
72.8585
72.79
72.80
Ciliwung
2
74.2700
.09899
.07000
73.3806
75.1594
74.20
74.34
Logawa
2
72.0650
.36062
.25500
68.8249
75.3051
71.81
72.32
2
74.4850
.10607
.07500
73.5320
75.4380
74.41
74.56
2
74.8350
.27577
.19500
72.3573
77.3127
74.64
75.03
2
74.3950
.02121
.01500
74.2044
74.5856
74.38
74.41
20
74.0690
1.96354
.43906
73.1500
74.9880
71.81
78.97
Batang Piaman Batang Lembang IR 42 Total ANOVA Derajat Putih
Between Groups
Sum of Squares 72.940
Mean Square 9
8.104
.315
10
.031
73.255
19
Within Groups Total
df
F
Sig.
257.365
.000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Derajat Putih Duncan Subset for alpha = .05 Derajat Putih Bengawan Solo
N
1
2
3
4
5
2
71.8600
Logawa
2
72.0650
Sintanur Gilirang
2 2
Ciliwung
2
74.2700
IR 42
2
74.3950
Celebes
2
74.4850
74.4850
Batang Piaman
2
74.4850
74.4850
Batang Lembang
2
Ciasem (ketan)
2
Sig.
.275 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sampel Size = 2.000.
72.6500 72.7950
74.8350 78.8500 .433
.285
.089
1.000
70
Lampiran 4 Descriptives Nilai kadar air
N Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo Sintanur
Mean
Std. Deviation
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Std. Error
Min
Max
2
12.4813
.18151
.12835
10.8504
14.1121
12.35
12.61
2
13.1299
.04674
.03305
12.7099
13.5498
13.10
13.16
2
12.5905
.02652
.01875
12.3522
12.8287
12.57
12.61
2
12.5025
.02121
.01500
12.3119
12.6931
12.49
12.52
Gilirang
2
13.3046
.03175
.02245
13.0193
13.5898
13.28
13.33
Ciliwung
2
12.7896
.00629
.00445
12.7330
12.8461
12.79
12.79
Logawa
2
13.0256
.14779
.10450
11.6978
14.3534
12.92
13.13
2
13.0151
.06251
.04420
12.4535
13.5767
12.97
13.06
2
13.2016
.27895
.19725
10.6953
15.7078
13.00
13.40
2
11.8180
1.15874
.81935
1.4071
22.2288
11.00
12.64
20
12.7858
.51912
.11608
12.5429
13.0288
11.00
13.40
Batang Piaman Batang Lembang IR 42 Total
ANOVA Nilai kadar air
Between Groups
Sum of Squares 3.637
df
Mean Square 9
.404
Within Groups
1.484
10
.148
Total
5.120
19
F 2.724
Sig. .067
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Nilai kadar air Duncan Subset for alpha = .05 Kadar Air IR 42
N
1
2
2
11.8180
Celebes
2
12.4813
12.4813
Sintanur Bengawan Solo
2 2
12.5025 12.5905
12.5025 12.5905
Ciliwung
2
12.7896
Batang Piaman
2
13.0151
Logawa
2
13.0256
Ciasem (ketan)
2
13.1299
Batang Lembang
2
13.2016
Gilirang
2
13.3046
Sig.
.091 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sampel Size = 2.000.
.083
71
Lampiran 5 Descriptives Nilai kadar abu Mean
Std. Deviation
2
.729150
.0229810
.0162500
2
.737250
.1262186
.0892500
-.396779
2
.719350
.1205617
.0852500
2 2
.766550 .575050
.0610233 .1378151
2 2
.824250 .856950
2
N
Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo Sintanur Gilirang Ciliwung Logawa Batang Piaman Batang Lembang IR 42 Total
Std. Error
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound .522674 .935626
Min
Max
.7129
.7454
1.871279
.6480
.8265
-.363854
1.802554
.6341
.8046
.0431500 .0974500
.218277 -.663170
1.314823 1.813270
.7234 .4776
.8097 .6725
.0723370 .1801001
.0511500 .1273500
.174328 -.761185
1.474172 2.475085
.7731 .7296
.8754 .9843
.682700
.0328098
.0232000
.387916
.977484
.6595
.7059
2
.678500
.0509117
.0360000
.221077
1.135923
.6425
.7145
2 20
.776350 .734610
.0665387 .1061651
.0470500 .0237392
.178523 .684923
1.374177 .784297
.7293 .4776
.8234 .9843
ANOVA Nilai kadar abu
Between Groups
Sum of Squares .115
df 9
Mean Square .013 .010
Within Groups
.099
10
Total
.214
19
F 1.281
Sig. .351
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Nilai kadar abu Duncan Subset for alpha = .05 Kadar abu Gilirang
N 2
1 .575050
Batang Lembang
2
.678500
.678500
Batang Piaman
2
.682700
.682700
Bengawan Solo
2
.719350
.719350
Celebes Ciasem (ketan)
2 2
.729150 .737250
.729150 .737250
Sintanur
2
.766550
.766550
IR 42
2
.776350
.776350
Ciliwung
2
.824250
Logawa
2
.856950
Sig.
.098 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sampel Size = 2.000.
2
.136
72
Lampiran 6 Descriptives Nilai kadar protein
N Celebes
Mean
Std. Deviation
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Std. Error
Min
Max
2
8.5468
.09850
.06965
7.6619
9.4318
8.48
8.62
2
10.6022
.44527
.31485
6.6016
14.6027
10.29
10.92
2
7.6193
.24035
.16995
5.4598
9.7787
7.45
7.79
2
9.0173
.74133
.52420
2.3567
15.6779
8.49
9.54
Gilirang
2
8.7548
.00325
.00230
8.7256
8.7840
8.75
8.76
Ciliwung
2
9.1274
.08040
.05685
8.4050
9.8497
9.07
9.18
Logawa
2
9.0142
.01718
.01215
8.8598
9.1685
9.00
9.03
2
7.5644
.28723
.20310
4.9838
10.1450
7.36
7.77
2
10.5821
.09100
.06435
9.7645
11.3998
10.52
10.65
2
8.5936
.35221
.24905
5.4291
11.7580
8.34
8.84
20
8.9422
1.02443
.22907
8.4627
9.4216
7.36
10.92
Ciasem (ketan) Bengawan Solo Sintanur
Batang Piaman Batang Lembang IR 42 Total
ANOVA Nilai kadar protein
Between Groups
Sum of Squares 18.903
9
Mean Square 2.100
1.037
10
.104
19.940
19
Within Groups Total
df
F 20.256
Sig. .000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Nilai kadar protein Duncan Subset for alpha = .05 Kadar protein Batang Piaman
N 2
1 7.5644
Bengawan Solo
2
7.6193
Celebes
2
8.5468
IR 42 Gilirang
2 2
8.5936 8.7548
Logawa
2
9.0142
Sintanur
2
9.0173
Ciliwung
2
9.1274
Batang Lembang
2
10.5821
Ciasem (ketan)
2
10.6022
Sig.
.868 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sampel Size = 2.000.
2
3
.131
.952
73
Lampiran 7 Descriptives kadar lemak
N Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo Sintanur
Mean
Std. Deviation
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Std. Error
Min
Max
2
.5250
.16080
.11370
-.9197
1.9697
.41
.64
2
.9473
.05169
.03655
.4828
1.4117
.91
.98
2
.5945
.07029
.04970
-.0370
1.2260
.54
.64
2
1.0401
.06838
.04835
.4257
1.6544
.99
1.09
Gilirang
2
.8115
.01987
.01405
.6329
.9900
.80
.83
Ciliwung
2
1.3063
.09185
.06495
.4810
2.1315
1.24
1.37
Logawa
2
.9897
.06916
.04890
.3684
1.6110
.94
1.04
2
1.0994
.04653
.03290
.6814
1.5174
1.07
1.13
2
1.0475
.04066
.02875
.6821
1.4128
1.02
1.08
2
1.2303
.10083
.07130
.3243
2.1363
1.16
1.30
20
.9591
.25241
.05644
.8410
1.0773
.41
1.37
Batang Piaman Batang Lembang IR 42 Total
ANOVA nilai kadar lemak
Between Groups
Sum of Squares 1.145
Within Groups Total
df 9
Mean Square .127
.066
10
.007
1.210
19
F 19.347
Sig. .000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets nilai kadar lemak Duncan Subset for alpha = .05 kadar lemak Celebes
N 2
1 .5250
Bengawan Solo
2
.5945
Gilirang
2
.8115
Ciasem (ketan)
2
.9473
.9473
Logawa Sintanur
2 2
.9897
.9897 1.0401
1.0401
Batang Lembang
2
1.0475
1.0475
Batang Piaman
2
1.0994
1.0994
IR 42
2
Ciliwung
2
Sig.
.411 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sampel Size = 2.000.
2
3
4
5
1.2303
1.2303 1.3063
.062
.115
.053
.371
74
Lampiran 8 Descriptives Nilai kadar karbohidrat N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Minimu m
Maximu m
Celebes
2
90.1991
.08521
.06025
89.4335
90.9646
90.14
90.26
Ciasem
2
87.7133
.62317
.44065
82.1144
93.3123
87.27
88.15
Bengawan Solo
2
91.0669
.29062
.20550
88.4558
93.6780
90.86
91.27
Sintanur
2
89.1761
.74861
.52935
82.4500
95.9021
88.65
89.71
Gilirang
2
89.8587
.16094
.11380
88.4127
91.3047
89.74
89.97
Ciliwung
2
88.7422
.24473
.17305
86.5433
90.9410
88.57
88.92
Logawa
2
89.1393
.12806
.09055
87.9887
90.2898
89.05
89.23
Batang Piaman
2
90.6534
.27351
.19340
88.1960
93.1108
90.46
90.85
Batang Lembang
2
87.6919
.18265
.12915
86.0509
89.3330
87.56
87.82
IR 42
2
89.3999
.38643
.27325
85.9279
92.8718
89.13
89.67
Total
20
89.3641
1.13317
.25339
88.8337
89.8944
87.27
91.27
ANOVA Nilai kadar karbohidrat
Between Groups
Sum of Squares 22.997
Within Groups Total
df
Mean Square 9
2.555
1.400
10
.140
24.398
19
F
Sig.
18.250
.000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Nilai kadar karbohidrat Duncan Kadar karbohidrat
N
Batang Lembang
2
87.6919
Ciasem
2
87.7133
Ciliwung
2
88.7422
Logawa
2
89.1393
89.1393
Sintanur
2
89.1761
89.1761
IR 42
2
89.3999
89.3999
89.3999
Gilirang
2
89.8587
89.8587
89.8587
Celebes
2
90.1991
90.1991
90.1991
Batang Piaman
2
90.6534
90.6534
Bengawan Solo
2
Subset for alpha = .05 1
Sig.
2
3
.956 .132 .103 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
4
5
6
91.0669 .068
.070
.051
75
Lampiran 9 Descriptives Nilai kadar amilosa
N Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo Sintanur
Mean
Std. Deviatio n
Std. Error
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound 19,3603 20,2497
2
19,8050
,04950
,03500
2
7,3200
,09899
,07000
6,4306
2
17,2350
,12021
,08500
Min
Max
19,77
19,84
8,2094
7,25
7,39
16,1550
18,3150
17,15
17,32
2
15,4350
,17678
,12500
13,8467
17,0233
15,31
15,56
Gilirang
2
16,5750
,24749
,17500
14,3514
18,7986
16,40
16,75
Ciliwung
2
26,2200
,66468
,47000
20,2481
32,1919
25,75
26,69
Logawa
2
25,5000
,46669
,33000
21,3070
29,6930
25,17
25,83
2
29,4050
1,35057
,95500
17,2706
41,5394
28,45
30,36
2
25,5600
,42426
,30000
21,7481
29,3719
25,26
25,86
IR 42
2
26,3150
,31820
,22500
23,4561
29,1739
26,09
26,54
Total
20
20,9370
6,66399
1,49011
17,8182
24,0558
7,25
30,36
Batang Piaman Batang Lembang
ANOVA Nilai kadar amilosa Sum of Squares Between Groups
Mean Square
F
840,882
9
93,431
2,884
10
,288
843,766
19
Within Groups Total
df
Sig.
323,953
,000
Homogeneous Subsets Nilai kadar amilosa Duncan Subset for alpha = .05 Kadar amilosa Ciasem (ketan)
N
1 2
2
3
4
5
6
7,3200
Sintanur
2
15,4350
Gilirang Bengawan Solo
2 2
16,5750
Celebes
2
Logawa
2
25,5000
2
25,5600
Ciliwung
2
26,2200
IR 42
2
26,3150
Batang Piaman
2
Batang Lembang
Sig.
1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
16,5750 17,2350 19,8050
29,4050 ,060
,247
1,000
,187
1,000
76
Lamipiran 10 Descriptives Serat Tidak Larut
N Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo Sintanur
Mean
Std. Deviation
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Std. Error
Min
Max
2
4.1100
.35355
.25000
.9334
7.2866
3.86
4.36
2
2.5700
.22627
.16000
.5370
4.6030
2.41
2.73
2
5.0750
.62933
.44500
-.5793
10.7293
4.63
5.52
3.7741
7.5859
5.53
5.83
2
5.6800
.21213
.15000
Gilirang
2
2.2700
.35355
.25000
-.9066
5.4466
2.02
2.52
Ciliwung
2
2.7500
.46669
.33000
-1.4430
6.9430
2.42
3.08
Logawa
2
4.1150
.07778
.05500
3.4162
4.8138
4.06
4.17
2
4.0400
.07071
.05000
3.4047
4.6753
3.99
4.09
2
3.0800
.24042
.17000
.9199
5.2401
2.91
3.25
2
3.9450
.71418
.50500
-2.4716
10.3616
3.44
4.45
20
3.7635
1.10810
.24778
3.2449
4.2821
2.02
5.83
Batang Piaman Batang Lembang IR 42 Total
ANOVA Serat Tidak Larut
Between Groups
Sum of Squares 21.791
9
Mean Square 2.421
1.539
10
.154
23.330
19
Within Groups Total
df
F 15.733
Sig. .000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Serat Tidak Larut Duncan Subset for alpha = .05 Serat Tidak Larut Gilirang
N 2
1 2.2700
Ciasem (ketan)
2
2.5700
Ciliwung
2
2.7500
Batang Lembang
2
3.0800
IR 42 Batang Piaman
2 2
Celebes
2
4.1100
Logawa
2
4.1150
Bengawan Solo
2
5.0750
Sintanur
2
5.6800
Sig.
.083 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sampel Size = 2.000.
2
3
4
3.0800 3.9450
.052
3.9450 4.0400
.694
.154
77
Lampiran 11 Descriptives Serat Larut
N Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo Sintanur
Mean
Std. Deviation
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Std. Error
Min
Max
2
1.9100
.08485
.06000
1.1476
2.6724
1.85
1.97
2
3.5950
.06364
.04500
3.0232
4.1668
3.55
3.64
2
1.0000
.31113
.22000
-1.7954
3.7954
.78
1.22
2
1.8850
.06364
.04500
1.3132
2.4568
1.84
1.93
Gilirang
2
2.9500
.35355
.25000
-.2266
6.1266
2.70
3.20
Ciliwung
2
2.0400
.19799
.14000
.2611
3.8189
1.90
2.18
Logawa
2
2.5150
.33234
.23500
-.4710
5.5010
2.28
2.75
2
2.1650
.23335
.16500
.0685
4.2615
2.00
2.33
2
1.5950
.12021
.08500
.5150
2.6750
1.51
1.68
2
1.5650
.33234
.23500
-1.4210
4.5510
1.33
1.80
20
2.1220
.74335
.16622
1.7741
2.4699
.78
3.64
df 9
Mean Square 1.104
.566
10
.057
10.499
19
Batang Piaman Batang Lembang IR 42 Total ANOVA Serat Larut
Between Groups
Sum of Squares 9.933
Within Groups Total
F 19.495
Sig. .000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Serat Larut Duncan Subset for alpha = .05 Serat Larut Bengawan Solo
N 2
1 1.0000
2
3
4
5
IR 42
2
1.5650
Batang Lembang
2
1.5950
1.5950
Sintanur
2
1.8850
1.8850
Celebes
2
1.9100
1.9100
Ciliwung
2
2.0400
2.0400
2.0400
Batang Piaman
2
2.1650
2.1650
Logawa Gilirang
2 2
Ciasem (ketan)
2
Sig.
1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sampel Size = 2.000.
6
2.5150
2.5150 2.9500
.085
.097
3.5950 .096
.052
1.000
78
Lampiran 12 Descriptives Nilai Kadar Pati
N Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo Sintanur
Mean
Std. Deviation
Std. Error
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound 58.4015 106.4665
2
82.4340
2.67484
1.89140
2
81.3134
.96739
.68405
72.6217
2
80.0074
5.81256
4.11010
Min
Max
80.54
84.33
90.0050
80.63
82.00
27.7836
132.2312
75.90
84.12
2
85.1756
.16186
.11445
83.7213
86.6298
85.06
85.29
Gilirang
2
82.1818
1.42807
1.00980
69.3511
95.0125
81.17
83.19
Ciliwung
2
81.9371
.68717
.48590
75.7632
88.1110
81.45
82.42
Logawa
2
80.5156
.69735
.49310
74.2502
86.7810
80.02
81.01
2
78.8965
.92666
.65525
70.5708
87.2223
78.24
79.55
2
82.1120
1.27498
.90155
70.6567
93.5672
81.21
83.01
2
81.7266
1.24840
.88275
70.5101
92.9430
80.84
82.61
20
81.6300
2.28902
.51184
80.5587
82.7013
75.90
85.29
Batang Piaman Batang Lembang IR 42 Total
ANOVA Nilai Kadar Pati Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
50.609
9
5.623
Within Groups
48.943
10
4.894
Total
99.552
19
F 1.149
Sig. .413
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Nilai Kadar Pati Duncan Subset for alpha = .05 Kadar Pati Batang Piaman
N
1
2
2
78.8965
Bengawan Solo
2
80.0074
80.0074
Logawa Ciasem (ketan)
2 2
80.5156 81.3134
80.5156 81.3134
IR 42
2
81.7266
81.7266
Ciliwung
2
81.9371
81.9371
Batang Lembang
2
82.1120
82.1120
Gilirang
2
82.1818
82.1818
Celebes
2
82.4340
82.4340
Sintanur
2
Sig.
.176 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
85.1756 .062
79
Lampiran 13 Descriptives Nilai Kadar Pati resisten
N Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo Sintanur
Std. Deviation
Mean
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Std. Error
Min
Max
2
.0755
.01181
.00835
-.0306
.1815
.07
.08
2
.1264
.01096
.00775
.0279
.2248
.12
.13
2
.1266
.01237
.00875
.0154
.2377
.12
.14
2
.1092
.01216
.00860
-.0001
.2185
.10
.12
Gilirang
2
.1939
.01039
.00735
.1005
.2872
.19
.20
Ciliwung
2
.1094
.01153
.00815
.0058
.2129
.10
.12
Logawa
2
.0756
.01174
.00830
-.0299
.1811
.07
.08
2
.1003
.00014
.00010
.0990
.1016
.10
.10
2
.0929
.01103
.00780
-.0062
.1920
.09
.10
2
.1754
.01025
.00725
.0832
.2675
.17
.18
20
.1185
.03903
.00873
.1002
.1368
.07
.20
Batang Piaman Batang Lembang IR 42 Total
ANOVA Nilai Kadar Pati resisten
Between Groups
Sum of Squares .028
df
Mean Square
F
9
.003
Within Groups
.001
10
.000
Total
.029
19
Sig.
26.463
.000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Nilai Kadar Pati resisten Duncan Subset for alpha = .05 Kadar Pati resisten Celebes
N
1
2
3
4
2
.0755
Logawa
2
.0756
Batang Lembang
2
.0929
.0929
Batang Piaman
2
.1003
.1003
Sintanur
2
.1092
.1092
Ciliwung
2
.1094
.1094
Ciasem (ketan)
2
.1264
Bengawan Solo
2
.1266
IR 42
2
Gilirang
2
Sig.
.1754 .1939 .057
.186
.165
.117
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
80
Lampiran 14 Descriptives Nilai Daya Cerna Pati
N Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo Sintanur
Mean
Std. Deviation
Std. Error
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Min
Max
2
77.1150
1.46371
1.03500
63.9641
90.2659
76.08
78.15
2
76.8150
.70004
.49500
70.5254
83.1046
76.32
77.31
2
69.6450
1.18087
.83500
59.0353
80.2547
68.81
70.48
.82731
.58500
60.0919
74.9581
66.94
68.11
2
67.5250
Gilirang
2
62.3100
.87681
.62000
54.4322
70.1878
61.69
62.93
Ciliwung
2
75.9400
1.04652
.74000
66.5374
85.3426
75.20
76.68
Logawa
2
73.0300
.93338
.66000
64.6439
81.4161
72.37
73.69
2
81.6150
1.22329
.86500
70.6241
92.6059
80.75
82.48
2
78.6250
.71418
.50500
72.2084
85.0416
78.12
79.13
2
75.0000
.41012
.29000
71.3152
78.6848
74.71
75.29
20
73.7620
5.66153
1.26596
71.1123
76.4117
61.69
82.48
Batang Piaman Batang Lembang IR 42 Total
ANOVA Nilai Daya Cerna Pati
Between Groups
Sum of Squares 599.384
9
Mean Square 66.598
9.621
10
.962
609.006
19
Within Groups Total
df
F 69.220
Sig. .000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Nilai Daya Cerna Pati Duncan Subset for alpha = .05 Daya Cerna Pati Gilirang
N 2
1 62.3100
2
3
4
5
6
Sintanur
2
67.5250
Bengawan Solo
2
69.6450
Logawa
2
73.0300
IR 42
2
75.0000
Ciliwung
2
75.9400
Ciasem (ketan)
2
76.8150
76.8150
Celebes Batang Lembang
2 2
77.1150
77.1150 78.6250
Batang Piaman
2 .072
.108
Sig.
1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sampel Size = 2.000.
75.0000
81.6150 .056
.072
1.000
81
Lampiran 15 Descriptives nilai indeks glikemik
N Celebes
Mean
Std. Error
86.2463 147.152 5
23.81522
8
97.7225
15.04034
8
91.0250
21.05449
8
97.2838
38.32305
Ciliwung
8
86.5238
Logawa
8
Ciasem (ketan) Bengawan Solo Sintanur Gilirang
Batang Piaman Batang Lembang IR 42 Total
8
Std. Deviation
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Max
66.3362
106.1563
59.50
128.46
114.0309
180.2741
89.37
203.08
5.31756
85.1485
110.2965
76.10
120.93
73.4230
108.6270
60.34
122.31
65.2449
129.3226
40.93
142.14
20.10893
7.44389 13.5492 5 7.10958
69.7123
103.3352
64.15
109.20
59.0363
27.11393
9.58622
36.3684
81.7041
34.50
114.09
8
80.2475
22.55098
7.97297
61.3944
99.1006
51.57
120.24
8
63.4975
20.64567
7.29935
46.2373
80.7577
36.36
103.08
8
68.5188
20.18923
7.13797
51.6401
85.3974
46.09
103.08
80
87.7254
34.10263
3.81279
80.1362
95.3145
34.50
203.08
8
39.61817
8.41995 14.0071 4
Min
ANOVA nilai indeks glikemik
Between Groups
Sum of Squares 44578.211
9
Mean Square 4953.135
Within Groups
47297.973
70
675.685
Total
91876.184
79
df
F 7.331
Sig. .000
nilai indeks glikemik Duncan Subset for alpha = .05 indeks glikemik Logawa
N 8
1 59.0363
Batang Lembang
8
63.4975
63.4975
IR 42
8
68.5188
68.5188
68.5188
Batang Piaman
8
80.2475
80.2475
80.2475
Celebes Ciliwung
8 8
86.2463 86.5238
86.2463 86.5238
86.2463 86.5238
Sintanur
8
91.0250
91.0250
Gilirang
8
97.2838
Bengawan Solo
8
97.7225
Ciasem (ketan)
8
Sig.
.067 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sampel Size = 8.000.
2
3
4
147.1525 .066
.054
1.000
82
Lampiran 16 Descriptives Nilai kadar amilopektin
N Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo Sintanur
Mean
Std. Deviation
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Std. Error
Min
Max
2
62.6300
2.72943
1.93000
38.1070
87.1530
60.70
64.56
2
73.9950
.86974
.61500
66.1807
81.8093
73.38
74.61
2
62.7750
5.93263
4.19500
9.4725
116.0775
58.58
66.97
2
69.7450
.33234
.23500
66.7590
72.7310
69.51
69.98
Gilirang
2
65.6100
1.17380
.83000
55.0639
76.1561
64.78
66.44
Ciliwung
2
55.7150
1.35057
.95500
43.5806
67.8494
54.76
56.67
Logawa
2
55.0200
.22627
.16000
52.9870
57.0530
54.86
55.18
Batang Piaman
2
49.4900
2.27688
1.61000
29.0330
69.9470
47.88
51.10
2
56.5500
.84853
.60000
48.9263
64.1737
55.95
57.15
2
55.4100
1.56978
1.11000
41.3061
69.5139
54.30
56.52
20
60.6940
7.58293
1.69559
57.1451
64.2429
47.88
74.61
Batang Lembang IR 42 Total
ANOVA Nilai kadar amilopektin
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1037.381
df 9
Mean Square 115.265
55.134
10
5.513
1092.515
19
F 20.906
Sig. .000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Nilai kadar amilopektin Duncan Subset for alpha = .05 Kadar amilopektin Batang Piaman
N 2
1 49.4900
2
3
4
Logawa
2
55.0200
IR 42
2
55.4100
Ciliwung
2
55.7150
Batang Lembang
2
56.5500
Celebes Bengawan Solo
2 2
62.6300 62.7750
Gilirang
2
65.6100
Sintanur
2
Ciasem (ketan)
2
Sig.
1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
5
65.6100 69.7450
69.7450 73.9950
.556
.253
.109
.100
83
Lampiran 17 Correlations Lampiran 17
1
Kadar Amilosa .770(**)
Indeks Glikemik -.693(*)
VARIETAS VARIETAS
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
.
.009
.026
10
10
10
.770(**) .009
1 .
-.862(**) .001
10
10
10
-.693(*)
-.862(**)
1
.026
.001
.
10
10
10
N Kadar Amilosa
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Indeks Glikemik
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
84
Jurnal skripsi 2008 Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN INDEKS GLIKEMIK VARIETAS BERAS BERAMILOSA RENDAH DAN TINGGI Tri Utama Argasasmita1) Deddy Muchtadi2) Made Astawan 3) dan Sri Widowati4) ABSTRAK Beras merupakan sumber karbohidrat utama hampir di seluruh daerah di Indonesia karena rasanya yang enak dan dapat dikombinasikan dengan bahan pangan lain. Pada penelitian ini dilakukan analisis fisikokimia dan indeks glikemik dari lima varietas beras beramilosa tinggi dan lima varietas beras beramilosa rendah. Analisis fisikokimia yang dilakukan yaitu analisis warna, bobot 1000 butir, kekerasan beras, uji amilografi, analisis proksimat, kadar amilosa, kadar serat pangan, daya cerna pati, kadar pati dan pati resisten. Konsep indeks glikemik (IG) memberikan gambaran tentang hubungan antara karbohidrat dalam makanan dengan kadar glukosa darah. Makanan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat memiliki nilai IG tinggi dan sebaliknya. Hasil analisis menunjukkan karakteristik fisik dan kimia yang berbeda antar varietas beras yang diteliti. Beras yang diteliti memiliki nilai IG sedang sampai tinggi. Beras yang memiliki IG sedang yaitu varietas Logawa (59), Batang Lembang (63) dan IR 42 (69). Sedangkan beras yang memiliki nilai IG tinggi yaitu Celebes (86), Ciasem (ketan) (147), Bengawan Solo (98), Sintanur (91), Gilirang (97), Ciliwung (87), dan Batang Piaman (80). Faktor yang paling mempengaruhi nilai IG dalam penelitian ini adalah kadar amilosa. Hal ini dibuktikan dari hasil analisis korelasi antara nilai IG dengan kadar amilosa yang memiliki nilai korelasi yang signifikan (r = -0.862). Kata kunci : beras, sifat fisikokimia, nilai IG, dan kadar amilosa
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Beras merupakan salah satu tanaman pangan utama dari hampir setengah populasi dunia (Childs, 2004). Bagi masyarakat Indonesia beras merupakan bahan pangan pokok sehari-hari. Beras dijadikan sumber karbohidrat utama hampir di seluruh daerah di Indonesia karena mudah didapat, rasanya yang enak dan dapat dikombinasikan dengan bahan pangan lain. Kesadaran yang semakin tinggi terhadap kesehatan telah menyebabkan perubahan pola perilaku masyarakat. Kegemukan atau obesitas semakin disadari dapat menimbulkan berbagai penyakit.Salah satu upaya pencegahan adalah dengan memilih makanan yang tepat, yang tidak 1)
Sarjana Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB 3) Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB 4) Peneliti Balai Besar Pascapanen Pertanian, Bogor 2)
hanya memenuhi kebutuhan dasar tubuh saja, tetapi juga mempunyai sifat fungsional yang akan memberikan dampak positif pada kesehatan. Salah satu cara memilih makanan yang tepat adalah melalui pendekatan indeks glikemik pangan. Konsep ini menekankan pada pentingnya mengenal pangan (terutama karbohidrat) berdasarkan kecepatan menaikkan kadar glukosa dalam darah. Pangan yang memiliki IG tinggi akan menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat dan sebaliknya (Rimbawan dan Siagian, 2004). Pada penelitian ini dilakukan analisis fisikokimia dan indeks glikemik dari sepuluh varietas beras. Beras memiliki banyak varietas dan beberapa dari varietas yang beredar di pasaran itu merupakan varietas unggul dengan rasa yang enak sehingga disukai masyarakat. Oleh karena itu, banyak beredar beras berlabel dengan menggunakan nama-nama varietas tersebut dengan harga
yang tinggi. Akan tetapi, karena belum adanya informasi karakteristik dari varietas-varietas tersebut maka banyak terjadi penipuan yang merugikan konsumen. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai karakteristik beberapa jenis beras yang dapat dijadikan acuan menguji keaslian dan kevalidan beras-beras berlabel. B. TUJUAN Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui sifat-sifat fisikokimia dan nilai indeks glikemik dari sepuluh varietas beras dan diharapkan dapat memberikan informasi tentang nilai gizi yang terkandung dalam varietas beras yang diteliti dan dapat digunakan untuk membantu memilih makanan yang sesuai. II. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras beramilosa rendah varietas Sintanur, Bengawan Solo, Gilirang, Celebes, dan Ciasem (ketan). Sedangkan beras beramilosa tinggi yang digunakan adalah varietas IR 42, Ciliwung, Batang Piaman, Logawa, dan Batang Lembang. Bahan-bahan kimia yang digunakan antara lain adalah larutan HCl 0.01 N, K2SO4, HgO, larutan H2SO4 pekat, larutan H3BO3, indikator metil merah 0.2%, metilen blue 0.2%, larutan NaOH-Na2S2O3, larutan HCl 0.02 N, heksan, larutan glukosa standar 0.2 mg/ml, larutan HClO4 9.2 N, larutan NaOH 1 N, larutan amilosa, etanol 95%, larutan iodine, larutan KI, larutan KOH 0.2 N, akuades, dan thymol blue 0.025%. Bahan-bahan kimia ini berasal dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Alat-alat yang digunakan antara lain neraca analitik, cawan alumunium, oven, desikator, labu Kjedahl, batu didih, gelas Erlenmeyer, cawan porselein, tanur, kertas saring, labu Soxhlet, gelas ukur, spektrofotometer, water bath, orbital staker, sentrifuse, batang pengaduk, amalgamotor, kertas grafik, bowl, amilograf, dan alat-alat gelas.
B. METODE Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahap pertama yaitu analisis proksimat untuk mengetahui kadar karbohidrat sehingga dapat digunakan dalam pengujian IG. Tahap selanjutnya adalah analisis sifat fisikokima lainnya seperti analisis warna, bobot 1000 butir, kekerasan beras, uji amilografi, kadar amilosa, kadar serat pangan, daya cerna pati, kadar pati dan pati resisten serta pengujian nilai IG. 1. Analisis Sifat Fisik Beras Pada tahap ini dilakukan beberapa analisis sifat fisik beras. Sifat fisik yang diuji meliputi analisis warna, bobot 1000 butir, kekerasan beras, uji amilografi (Metode Bhattacharya, 1979). Semua analisis dilakukan sebanyak tiga kali pengukuran (triplo), kecuali pada uji amilografi hanya dilakukan sekali pengukuran (simplo). Pengujian warna dilakukan dengan menggunakan khromameter, bobot 1000 butir dengan neraca analitik, kekerasan beras dengan Kiya Hardness Meter, dan uji amilografi dengan menggunakan Brabender. 2. Analisis Sifat Kimia Beras Pada tahap ini dilakukan beberapa analisis sifat kimia beras. Sifat kimia yang diuji meliputi analisis proksimat (Metode AOAC, 1995) (analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan karbohidrat secara by difference), kadar amilosa (Juliano, 1971), kadar serat pangan Metode Multi Enzim (Asp et al, 1983), daya cerna pati in vitro (Muchtadi et al, 1992), kadar pati dan pati resisten (Englyst and Cumming, 1988 yang dikutip oleh Marsono, 1993). 3. Pengujian Nilai Indeks Glikemik Pengujian IG dilakukan untuk mengetahui nilai IG sampel yang diuji (10 varietas beras). Sebelum pengambilan sampel darah, relawan harus menjalani puasa penuh (kecuali air) selama satu malam (sekitar pukul 20.00 sampai pukul 08.00 pagi keesokan harinya). Pada hari pengambilan
sampel darah, relawan mengonsumsi 1 porsi nasi yang mengandung 50 gram karbohidrat. Setelah itu, dilakukan pengambilan sampel darah. Sampel darah yang diambil sebanyak 20 µL (finger prick capillary blood sampel method) setiap 30 menit selama 2 jam (menit ke-0, ke-30, ke-60, ke-90, dan ke-120). Pengambilan darah juga dilakukan untuk menguji kadar IG glukosa murni sebagai standar dengan prosedur yang sama dengan pengambilan darah sampel beras. Glukosa murni yang dikonsumsi oleh relawan sebanyak 50 gram. Kadar glukosa darah diukur menggunakan glukometer. Nilai kadar glukosa darah ini kemudian diplotkan menjadi sebuah grafik dengan sumbu x adalah waktu pengukuran dan sumbu y adalah kadar glukosa darah. Nilai IG kemudian dihitung dengan membandingkan luas daerah dibawah kurva antara pangan sampel dan pangan acuan. Nilai IG akhir adalah nilai ratarata dari 10 orang relawan tersebut. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIK BERAS Hasil karakterisasi sifat fisik menghasilkan data kekerasan beras yang berkisar antara 5.306.99 Kgf(Kilogramforce). Bobot seribu butir beras berkisar antara 15.70-22.00 gram. Hasil analisis kekerasan beras dan bobot seribu butir dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini. Tabel 1. Nilai Kekerasan Beras dan Bobot Seribu Butir pada sepuluh varietas beras Indonesia Varietas
Kekerasan Beras (KgF)
Bobot 1000 Butir (gram)
Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo
6.57e
15.7b
6.74f
20.35f
6.00c
14.11a
Sintanur
6.48de
19.11e
Gilirang
5.54b
21.55g
Ciliwung
6.75f
18.03d
Logawa Batang Piaman Batang Lembang
6.37d
19.8ef
6.99g
22.02f
6.37d
20.4g
IR 42
5.30a
17.15c
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Nilai kekerasan beras ini dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu kadar air, lama penyimpanan beras, dan derajat sosohnya Bobot seribu butir dipengaruhi oleh ketersediaan unsur-unsur hara dalam tanah selama penanaman padi. Kekurangan unsur hara pada saat penanaman akan mengakibatkan bobot seribu butir yang dihasilkan lebih rendah dari yang seharusnya. Derajat putih beras yang diteliti berkisar antara 71.86-78.85 %. Hasil pengukuran warna dan derajat putih dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini Tabel 2. Warna dan Derajat Putih pada sepuluh varietas beras Indonesia Varietas Nilai Nilai Nilai Derajat L a* b* Putih*) Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo Sintanur Gilirang Ciliwung Logawa Batang Piaman Batang Lembang IR 42
74.49cd
77.97c
4.80e
11.94c
82.57d
4.55b
11.08b
76.30a
4.90f
14.36f
77.39b
4.59bc
14.69g
72.65b
76.67a
4.64cd
13.21d
72.80b
77.35b
5.10g
11.10b
74.27c
76.29a
4.89f
13.93e
72.07a
77.97c
4.80e
11.94c
74.49cd
77.53b
4.43a
10.43a
78.85e 71.86a
74.83d
74.39c 77.98c 4.67d 12.21c Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada Uji Duncan (P>0.05) *) Nilai derajat putih didapatkan berdasarkan hasil perhitungan, bukan dari hasil pengukuran menggunakan khromameter. Perhitungan dilakukan menggunakan persamaan sebagai berikut : Derajat Putih (DP) = 100-[(100 - L*)2 + a*2 + b*2 ]1/2
Uji amilografi dilakukan untuk mengetahui sifat gelatinisasi pati. Suhu gelatinisasi suspensi tepung beras yang diteliti berkisar antara 83-90 oC. Viskositas maksimum suspensi tepung beras yang dianalisis berkisar antara 390-900 BU (Brabender Unit). Hasil uji amilografi dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini
Tabel 3. Data Amilografi sepuluh varietas beras Varietas
Waktu el. (menit)
Suhu Gel. ( oC)
Suhu Visk. puncak ( oC )
Visk. Puncak (BU)
Visk. Pd Suhu 93 oC (BU)
Visk. Pd Suhu 93 oC Setelah 20 Menit (BU)
Visk. Pd Suhu 50 oC (BU)
Visk Pd Suhu = 50 o C setelah 20 menit (BU)
Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo
39
89
-
700
200
300
704
625
35
83
-
360
148
240
360
355
40
90
-
680
127
270
680
625
Sintanur
39
89
-
900
260
400
900
810
Gilirang
37
86
93
760
308
360
760
708
Ciliwung
39
88
93
760
300
320
760
740
Logawa Batang Piaman Batang Lembang
39
88
-
650
168
248
650
580
38
87
-
400
120
200
400
360
39
89
-
468
118
216
468
430
IR 42
38
87
-
595
210
360
595
550
Tabel 4. Hasil analisis proksimat pada sepuluh varietas beras Indonesia Varietas
Kadar Air (%)
Kadar Abu (%bk)
Kadar Protein (%bk)
Kadar Lemak (%bk)
Kadar Karbohidrat by difference (%bk)
Celebes Ciasem (ketan)
12.48ab 13.13b
0.73ab 0.74ab
8.55b 10.60c
0.53a 0.95bc
90,19def 87,71a
Bengawan Solo Sintanur Gilirang Ciliwung Logawa Batang Piaman Batang Lembang IR 42
12.59ab 12.50ab 13.31b 12.79b 13.03b 13.02b 13.20b 11.82a
0.72ab 0.77ab 0.58a 0.82b 0.86b 0.68ab 0.68ab 0.78ab
7.62a 9.02b 8.76b 9.13b 9.01b 7.56a 10.58c 8.59b
0.59a 1.04cd 0.81b 1.31e 0.99bc 1.10cd 1.05cd 1.23de
91,07f 89,17bc 89,85cde 88,74b 89,14bc 90,66ef 87,69a 89,40bcd
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada Uji Duncan (P>0.05)
yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
B. SIFAT KIMIA BERAS Pengujian sifat kimia diawali dengan melakukan analisis proksimat. Hasil analisis proksimat dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil analisis proksimat menunjukkan kadar air beras yang diuji berada dalam kisaran 11.8213.31 % bb. Kadar air yang tertinggi dimiliki oleh varietas Gilirang (13.31 %), sedangkan yang terendah dimiliki oleh varietas IR 42 (11.82 %). Kadar abu berkisar antara 0.580.86 % bk. Kadar abu tertinggi dimiliki oleh varietas Logawa (0.86 %) sedangkan kadar abu terendah dimiliki oleh varietas Gilirang (0.58 %). Kadar protein berkisar antara 7.5610.60 % bk. Nilai kadar protein tertinggi dimiliki oleh varietas Ciasem (ketan) (10.59 %) sedangkan nilai kadar protein terendah dimiliki oleh varietas Batang Piaman (7.56 %) kadar lemak antara 0.53-1.31 % bk. Kadar lemak tertinggi dimiliki oleh varietas Ciliwung (1.31 %) sedangkan kadar lemak terendah dimiliki oleh varietas Celebes (0.53 %). Kadar karbohidrat by difference berada pada kisaran 87.69-91.07 % bk. Nilai karbohidrat yang tertinggi dimiliki oleh varietas Bengawan Solo (91.07 %) sedangkan nilai karbohidrat yang terendah dimiliki oleh varietas Batang Lembang (87.69 %). Pengukuran kadar amilosa pada penelitian ini menggunakan metode Juliano (1971). Hasil pengukuran kadar amilosa dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini Tabel 5. Kadar Amilosa dan Amilopektin pada sepuluh varietas beras Indonesia Varietas
Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo Sintanur Gilirang Ciliwung Logawa Batang Piaman Batang Lembang IR 42
Kadar Pati (%bb) 82.43ab 81.31ab 80.01ab 85.18b 82.18ab 81.94ab 80.52ab 78.90a 82.11ab 81.73ab
Kadar Amilosa (%bb) 19.81d a
7.32
17.23c 15.43b 16.57bc 26.22e 25.50e 29.41f 25.56e 26.31e
Kadar Amilopektin (%bb) 62.62c 73.99e 62.78c 69.75de 65.61cd 55.72b 55.02b 49.49a 56.55b 55.42b
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai
pada Uji Duncan
Kadar amilosa beras yang diteliti berkisar antara 7.32-29.41 % b.b. Kadar amilosa tertinggi dimiliki oleh varietas Batang Piaman (29.41 %) sedangkan kadar amilosa terendah dimiliki oleh varietas Ciasem (ketan) (7.32%). Perbedaan kadar amilosa beras dipengaruhi oleh varietas, suhu udara lokasi penanaman, dan kadar N dalam tanah. Penelitian oleh Juliano (1979) menunjukkan bahwa beras dengan varietas yang sama namun ditanam pada daerah yang memiliki perbedaan kandungan nitrogen dalam tanah dan suhu udara lokasi penanaman yang berbeda akan menghasilkan beras dengan kandungan amilosa yang berbeda. Serat pangan merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil (Winarno,1997). Serat pangan total terdiri dari serat pangan larut dan serat pangan tidak larut. Hasil analisis kadar serat pangan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kadar serat pangan pada sepuluh varietas beras Indonesia Varietas
Serat pangan tidak larut (%bk)
Serat pangan larut (%bk)
Serat pangan total (%bk)
Celebes Ciasem (ketan) Bengawan Solo
4.11c
1.91bc 3.59f
6.02cd
Sintanur Gilirang Ciliwung Logawa Batang Piaman Batang Lembang
2.57a 5.07d
1.00a
6.17cd 6.08cd
5.68d 2.27a
1.89bc 2.95e
2.75a
bcd
4.79a
de
2.51 2.17cd
6.62d
3.08ab
1.60bc
4.68a
3.94bc
1.56b
c
4.11
4.04c
2.04
7.57e 5.22ab
6.21d
5.51bc Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada Uji Duncan (P>0.05)
IR 42
Nilai serat pangan tidak larut yang tertinggi dimiliki oleh varietas Sintanur (5.68 %), sedangkan yang terendah dimiliki oleh
80.01ab
0.13c
Sintanur
85.18b
0.11bc
Gilirang
82.18
ab
0.20d
Ciliwung
81.94ab
0.11bc
Logawa
80.52ab
0.08a
Batang Piaman Batang Lembang IR 42
78.90a
0.10ab
82.11ab
0.10ab
81.73ab
0.18d
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada Uji Duncan (P>0.05)
Kadar pati beras yang diteliti berkisar antara 78.9-85.18 % bb. Nilai kadar pati yang tertinggi dimiliki oleh varietas Sintanur (85.18 %), sedangkan yang terendah dimiliki oleh varietas Batang Piaman (78.9 %). Perkembangan ilmu dan teknologi memunculkan istilah baru yang berhubungan dengan pati, yakni pati resisten. Pati resisten didefinisikan sebagai jumlah pati dan hasil degradasi pati yang tidak dapat diserap didalam usus halus individu yang sehat (Asp, 1992). Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, kadar pati resisten beras yang diteliti sangat kecil berkisar antara 0.08- 0.20 %. Nilai pati resisten tertinggi dimiliki oleh varietas
IR 4 2
Bengawan Solo
B a ta n g
0.13c
B a ta n g
81.31ab
Logaw a
Ciasem (ketan)
C i li w u n g
0.08a
G ilir a n g
82.43ab
S in t a n u r
Celebes
B engaw an
Kadar Pati Resisten (%bk)
C ia s e m
Kadar Pati (%bb)
Varietas
90.00 de de 81.61f 78.62e d 77.12 76.82 c 75.94 75.00cd 73.03 80.00 69.65b 67.52b 62.31a 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 C e le b e s
Tabel 7. Kadar Pati dan Pati Resisten pada sepuluh varietas beras Indonesia
Gilirang (0.20 %), sedangkan yang terendah dimiliki oleh varietas Logawa (0.08 %). Pada penelitian ini analisis daya cerna pati dilakukan secara in vitro. Hasil analisis daya cerna pati in vitro dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini
D a y a C e r n a P a ti (% )
varietas Gilirang (2.27 %). Untuk kadar serat pangan larut, nilai tertinggi dimiliki oleh varietas Ciasem (ketan) (3.59 %), sedangkan nilai terendah dimiliki oleh varietas Bengawan Solo (1.00 %). Untuk kadar serat pangan total nilai tertinggi dimiliki oleh varietas Sintanur (7.57 %), sedangkan nilai terendah dimiliki oleh varietas Batang Lembang (4.67 %). Pati merupakan bagian terbesar yang terkandung dalam karbohidrat Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan glikosidik. Hasil pengukuran kadar pati dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah ini
Varietas Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0.05)
Gambar 1. Daya cerna pati in vitro pada sepuluh varietas beras Indonesia Daya cerna pati in vitro beras yang diteliti berkisar antara 62-81 % bb. Nilai daya cerna pati yang tertinggi dimiliki oleh varietas Batang Piaman (81.62 %), sedangkan nilai daya cerna pati yang terendah dimiliki oleh varietas Gilirang (62.31 %).
C.
PENGUJIAN GLIKEMIK
NILAI
INDEKS
Efek glikemik dari suatu bahan pangan adalah suatu ukuran yang digunakan untuk menggambarkan seberapa cepat dan tinggi kenaikan kadar glukosa darah setelah mengonsumsi bahan pangan tertentu. Efek glikemik juga menggambarkan kecepatan respon tubuh manusia untuk mengembalikan
160 Celebes
kadar glukosa darah menjadi normal kembali (Whitney et al, 1990). Perhitungan IG dilakukan berdasarkan perbandingan antara luas kurva kenaikan glukosa darah setelah mengonsumsi pangan yang diuji dengan kenaikan glukosa darah setelah mengonsumsi pangan standar (glukosa). Hasil pengukuran kadar glukosa darah rata-rata relawan dari tiap varietas beras dapat dilihat dari Tabel 8.
K a d a r G l u k o s a D a r a h (m g / d L )
140
Ciasem Bengawan Solo
120
Sintanur
100
Gilirang Ciliwung
80
Logawa Batang Piaman
60
Batang Lembang 40
IR 42 Taj Mahal
20
Glukosa 0 menit
Tabel 8. Respons Kadar glukosa darah selama pengujian IG dan Nilai Indeks Glikemik pada sepuluh varietas beras Indonesia
Puasa
30 menit
60 menit
90 menit
120
Waktu (menit)
Kadar glukosa darah Varietas
Puasa
60 menit
90 menit
120 menit
Nilai
117a
109
98
90
86.25abc
IG
Celebes Ciasem (ketan)
82
141b
129
108
109
Bengawan Solo
75
125ab
105
100
93
Sintanur
80
124ab
102
104
99
91.03bc
Gilirang
80
126ab
110
98
92
97.29c
Ciliwung
77
117a
99
95
92
86.52abc
Logawa
80
106a
96
90
90
59.04a
Batang Piaman
80
118a
104
94
87
Batang Lembang
78
115a
106
95
89
83
126ab
98
93
86
68.52abc
86
114
98
94.5
87
61.26
IR 42 Taj Mahal
75
Gambar 2. Respons kadar glukosa darah berbagai varietas beras
30 menit
147.15
d
97.72c
80.25abc 63.50ab
Glukosa 81 133 116 102 88 Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada Uji Duncan (P>0.05)
Tabel 8 menunjukkan nilai IG varietas beras yang diuji berkisar antara 59-147. Nilai IG tertinggi dimiliki oleh varietas Ciasem (ketan) (147.2), sedangkan yang terendah dimiliki oleh varietas Logawa (59). Beras Varietas Taj Mahal digunakan sebgai pembanding karena selama ini beras varietas ini dikenal memiliki nilai IG rendah dan banyak digunakan sebagai makanan bagi penderita diabetes.
Gambar 2 merupakan respons kadar glukosa darah relawan terhadap masingmasing varietas yang menunjukkan kesepuluh varietas beras memiliki puncak kadar glukosa yang berada pada menit ke-30 setelah konsumsi sampel. Varietas Ciasem (ketan) memiliki puncak yang tertinggi, artinya beras ini meningkatkan kadar glukosa darah dengan sangat cepat pada 30 menit pertama setelah konsumsi. Nilai IG yang bervariasi ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai IG suatu bahan pangan antara lain proses pengolahan, perbandingan amilosa amilopektin, kadar gula dan daya osmotic, kandungan serat, kandungan lemak dan protein serta kandungan zat anti gizi (Rimbawan & Siagian, 2004). Proses pengolahan pangan menyebabkan terjadinya perubahan struktur dan komposisi kimia pangan sehingga terjadi perubahan daya serap zat gizi. Proses pengolahan umumnya meningkatkan daya cerna pangan. Kadar amilosa dan amilopektin juga sangat berpengaruh pada nilai IG pangan. Sebagian ilmuwan berpendapat bahwa amilosa dicerna lebih lambat dibandingkan amilopektin. Hal ini dikarenakan amilosa merupakan polimer gula sederhana dengan rantai lurus tidak bercabang. Rantai lurus yang menyusun amilosa ini menyebabkan ikatan yang solid sehingga tidak mudah tergelatinisasi. Oleh karena itu amilosa lebih sulit dicerna
dibandingkan amilopektin yang memiliki struktur bercabang dan terbuka. Protein berpengaruh menurunkan perubahan kadar glukosa darah. Penurunan respons glikemik tersebut diduga karena protein berpengaruh memperpanjang laju pengosongan lambung sehingga laju pencernaan dan absorpsi dalam usus halus juga lebih lambat. Lemak mempunyai sifat metabolisme yang serupa dengan protein yaitu dicerna dan diserap lebih lambat dibandingkan karbohidrat. Oleh karena itu, pangan yang mengandung lemak lebih tinggi akan memiliki nilai IG lebih rendah dibanding dengan pangan yang memiliki kadar lemak rendah (Rimbawan dan Siagian, 2004). Pati resisten dan daya cerna pati termasuk faktor yang mempengaruhi nilai IG. Pati resisten adalah jumlah pati dan hasil degradasi pati yang tidak dapat diserap di dalam usus halus individu sehat. Pati resisten akan menurunkan laju pencernaan dan penyerapan karbohidrat di dalam usus halus. Hal ini tentu saja akan menurunkan nilai IG pangan. Tabel 9. Perbandingan komposisi kimia beras dengan nilai IG terendah dan beras dengan nilai IG tertinggi
Nilai IG suatu bahan makanan merupakan sesuatu yang unik. Nilainya tidak dapat diperediksi hanya berdasarkan komposisi kimia bahan-bahan yang terkandung didalamnya saja. Hal ini antara lain karena nilai IG juga dipengaruhi oleh respons fisiologis individu yang digunakan sebagai relawan dalam pengujian. Akan tetapi masing-masing komponen dalam bahan pangan akan mempengaruhi nilai IG. Dibawah ini adalah perbandingan komposisi kimia antara varietas dengan nilai IG terendah dan varietas dengan nilai IG tertinggi Faktor yang paling mempengaruhi nilai IG dalam penelitian ini adalah kadar amilosa. Hal ini dibuktikan dari hasil analisis korelasi antara nilai IG dengan kadar amilosa yang memiliki nilai korelasi yang signifikan (r=0.862). Varietas Ciasem (ketan) yang memiliki kadar amilosa paling rendah (7.32) memiliki nilai IG paling tinggi. Tetapi ternyata Varietas Batang Piaman yang memiliki kadar amilosa paling tinggi (29.41) memiliki nilai IG yang tinggi pula (80) dan bukan merupakan varietas dengan nilai IG paling rendah. Hal ini memperkuat pernyataan bahwa nilai IG dipengaruhi oleh banyak faktor.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN Varietas Faktor-faktor Indeks Glikemik
Ciasem (ketan) 147
Logawa 59
Protein (% bk)
10.60
9.01
Lemak (% bk)
0.95
0.99
Serat pangan (% bk) Serat pangan larut (% bk) Serat pangan tidak larut (% bk)
6.17
6.62
3.59
2.51
2.57
4.11
Amilopektin (% bb) Amilosa (% bb)
73.99
55.02
7.32
25.50
Pati resisten (% bk)
0.13
0.08
Daya cerna pati (%)
76.82
73.03
A. KESIMPULAN Beras yang diteliti memiliki nilai IG sedang sampai tinggi. Beras yang memiliki IG sedang yaitu varietas Logawa (59), Batang Lembang (63) dan IR 42 (69). Sedangkan beras yang memiliki nilai IG tinggi yaitu Celebes (86), Ciasem (ketan) (147), Bengawan Solo (98), Sintanur (91), Gilirang (97), Ciliwung (87), dan Batang Piaman (80). Faktor yang paling mempengaruhi nilai IG dalam penelitian ini adalah kadar amilosa. Hal ini dibuktikan dari hasil analisis korelasi antara nilai IG dengan kadar amilosa yang memiliki nilai korelasi cukup besar (r = 0.862). Kadar amilosa yang tinggi umumnya akan menurunkan nilai IG karena struktur amilosa yang memiliki rantai lurus lebih sulit dicerna dibanding amilopektin yang memiliki rantai bercabang.
Varietas Logawa memiliki nilai IG yang lebih rendah dari beras Taj Mahal yakni sebesar 59. Dengan demikian, Varietas Logawa berpotensi untuk dikembangkan sebagai makanan bagi penderita diabetes karena kenaikan kadar glukosa darah yang dihasilkannya tidak terlalu drastis. B. SARAN Saran yang dapat diberikan adalah karakterisasi beras varietas lain yang banyak beredar dipasaran sehingga dapat dijadikan standar mutu karena beras yang beredar di Indonesia sangat beragam varietasnya. DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Association of Official Analytical Chemist, Washington DC. Asp, N.G., C.G. Johanson, H. Halmer, and M. Siljestrom. 1983. Rapid Enzymatic Assay of Insoluble and Soluble Dietary Fiber. J. Agric. Food. Chem. (31): 476 – 482. Bhattacharya, K. R. 1979. Gelatinization Temperature of Rice Strach and Its Determination. Di dalam : Proceedings of The Workshop on Chemical Aspect of Rice Grain Quality. IRRI, Los Banos. Pp 232247 Childs,
N.W.. 2004. Production and utilization of rice. Di dalam Elaine T. Champagne (ed). Rice : Chemistry and Technology. American Association of Cereal Chemists, Inc.. Minnesota
Juliano, B.O. 1971. A Simplified Assay for Milled Rice Amylose Measurement. J. of Cereal Sci. Today, 16 : 334336 Juliano, B.O. 1979. Amylose Analysis in Rice. Di dalam : Proceedings of the Workshop on Chemical Aspect of Rice Grain Quality. IRRI, Los Banos, pp 252-259
Marsono, Y., 1993. Complex Carbohydrates and Lipids in rice and rice products: effect on large bowel volatile fatty acid and plasma cholesterol in animals. Ph.D. Thesis. Fliders University, Adelaide, Australia. Muchtadi, D, Palupi, N. S., dan Astawan, M.. 1992. Metoda Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Bogor. Rimbawan dan Siagian, A.. 2004. Indeks Glikemik Pangan, Cara Mudah Memilih Pangan yang Menyehatkan. Penebar Swadaya. Whitney, E.N., Hamilton, E.M.N,. dan Rolfes, S.R 1990. Understanding Nutrition, 5th ed. West Publ, New York. Winarno. F.G.1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.