KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN SIFAT FUNGSIONAL TEPUNG KORO BENGUK (Mucuna pruriens L.) BERPROTEIN TINGGI
SKRIPSI
ARY KRISTIANTO F24080038
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PHYSICOCHEMICAL PROPERTIES AND FUNCTIONAL QUALITIES OF HIGH PROTEIN MUCUNA BEAN (Mucuna pruriens L.) FLOUR
1
Ary Kristianto1, Made Astawan1 Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone: +6285649112400, email:
[email protected]
ABSTRACT One of food sources that can be potentially developed as high protein food product is mucuna bean. However, nowadays it is still under-utilized. This research aimed to determine the most appropriate process to produce ‘mucuna bean flour’ as material source of high protein flour, to find new method to increased protein content in mucuna flour using enzyme, and to studies its physicochemicals and functional properties. This research was divided into two stages: (1) preliminary research and (2) main research. At the preliminary research, the treatment design to decrease cyanide, (the natural toxin in mucuna seed) was determined using complete randomized experimental design with eight kinds of treatment to two mucuna bean varieties (white and motted). Whereas the main research was the production of high protein flour by enzymatic method with α-amylase enzyme and optimized its production process by the optimal-working-enzyme-factors-base method. After the selection of the best process, the next step was the physicochemical properties and functional quality analysis. At the preliminary research, the white mucuna bean, after going through dehulling treatment continued with 24-hour soaked water treatment, was chosen as the main research sample because it contains cyanide less than 10 ppm (CODEX standard for cyanide) and it contains the highest protein as much as 32%. Results of the main research shows that five factors (initial substrate concentration, enzyme activity, temperature, pH, and time) influenced the optimization process. Enzyme method was successfully lowered nonprotein components. So that, by calculation, protein increased by 28% from 32% to 41%. Mucuna high protein flour bulk density was 0.43 g/ml, the color was brownish white, while the water activity was 0.62. Mucuna high protein flour WAC and OAC were 1.67 ml/g and 1.83 ml/g respectively. The emulsion capacity and stability were 32% and 56%. Foam capacity and stability were 64% and 67%. The best concentration for gelling is 15% and the in vitro protein digestibility is 79%. Mucuna high protein flour has potential to be developed as ingredient for food products especially sausage, bakery and meat analog. Keywords: Mucuna pruriens L., protein, enzyme, flour, physicochemical properties, functional properties
i
Ary Kristianto. F24080038. Karakteristik Fisikokimia dan Sifat Fungsional Tepung Koro Benguk (Mucuna pruriens L.) Berprotein Tinggi. Di bawah bimbingan Made Astawan. 2012.
RINGKASAN Koro benguk (Mucuna pruriens L.) adalah kacang-kacangan lokal Indonesia yang berpotensi sebagai bahan pangan sumber protein nabati. Namun, hingga saat ini pengolahannya belum optimal. Salah satu tantangan pemanfaatan tanaman ini adalah adanya senyawa toksik glukosida sianogenik. Kandungan senyawa ini harus dikurangi agar tidak membahayakan kesehatan. Berdasarkan kandungan gizinya, koro benguk mengandung dua komponen gizi dominan yaitu protein dan karbohidrat. Protein dalam tepung dapat ditingkatkan dengan cara mengurangi komponen karbohidrat. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menentukan perlakuan pendahuluan yang paling tepat untuk menghasilkan tepung koro benguk yang memiliki kandungan sianida dalam batas aman, proses efisien, dan kandungan protein tertinggi. Di samping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi proses pembuatan tepung koro benguk berprotein tinggi dari tepung koro benguk, serta menguji karakteristik fisikokimia dan sifat fungsionalnya. Penelitian ini terdiri atas dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan varietas dan perlakuan terpilih yang menghasilkan tepung dengan kandungan sianida dalam batas aman, protein tertinggi dan daya cerna pati tertinggi. Varietas yang digunakan adalah varietas koro benguk putih dan belang. Adapun perlakuan yang ditentukan antara lain mentah utuh, kupas kulit, kupas kulit dan dilanjutkan perebusan 30 menit, kupas kulit dan dilanjutkan pengukusan 30 menit, kupas kulit dan dilanjutkan perendaman dalam air (6, 12, dan 24 jam), dan germinasi. Penelitian utama dilakukan untuk menentukan proses terbaik guna meningkatkan kadar protein pada tepung koro benguk, sekaligus mengetahui karakteristik fisikokimia dan fungsional tepung berprotein tinggi yang dihasilkan. Penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa varietas dan perlakuan berpengaruh nyata pada komponen gizi dan senyawa sianida tepung koro benguk. Tepung koro benguk varietas putih dengan perlakuan perendaman 24 jam dipilih sebagai bahan baku untuk penelitian utama karena tepung tersebut memenuhi standar keamanan kandungan sianida (10mg/kg), memiliki kandungan protein tertinggi, dan daya cerna pati tertinggi. Pada penelitian utama, peningkatan protein pada tepung koro benguk dilakukan dengan proses likuifikasi yaitu pendegradasian molekul karbohidrat menggunakan enzim α-amilase. Hasil optimasi menunjukkan bahwa proses tersebut dipengaruhi oleh lima faktor yaitu konsentrasi substrat awal, dosis enzim yang digunakan, suhu, pH, dan waktu proses. Konsentrasi substrat awal terbaik sebesar 10% dan enzim yang ditambahkan sebesar 0.3 ml per 15 gram tepung koro benguk. Sedangkan suhu, pH, dan waktu proses terbaik berturut-turut adalah 95.15 °C, 5.6, dan 50.32 menit dari hasil percobaan menggunakan rancangan response suface methodology (RSM) Box Behnken. Rendemen yang dihasilkan dari proses peningkatan protein pada tepung koro sebesar 30.73%. Kandungan proteinnya meningkat 28% dari produk awalnya (tepung koro benguk). Tepung berprotein tinggi yang dihasilkan memiliki karakteristik fisikokimia seperti densitas kamba sebesar 0.43 g/ml, warna putih kecoklatan 44.48%, dan aktivitas air 0.62. Selain itu, juga memiliki sifat fungsional seperti daya serap air sebesar 1.77 ml/g, daya serap minyak 1.83 ml/g. Tepung berprotein tinggi ini mulai memiliki daya gelasi yang baik apabila diaplikasikan pada konsentrasi 15%. Nilai kapasitas emulsi, stabilitas emulsi, kapasitas busa dan stabilitas busa tepung ini berturut-turut adalah 32, 56.26, 63.80, dan 66.80%. Sedangkan daya cerna protein in vitro sebesar 78.58%. Tepung berprotein tinggi
ii
koro benguk berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku atau pensubstitusi sebagian pada produk pangan seperti sosis, bakery dan daging tiruan.
iii
KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN SIFAT FUNGSIONAL TEPUNG KORO BENGUK (Mucuna pruriens L.) BERPROTEIN TINGGI
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh ARY KRISTIANTO F24080038
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 iv
Judul Skripsi Nama NIM
: Karakteristik Fisikokimia dan Sifat Fungsional Tepung Koro Benguk (Mucuna pruriens L.) Berprotein Tinggi : Ary Kristianto : F24080038
Menyetujui:
Pembimbing,
(Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS) NIP 19620202 198703 1 004
Mengetahui: Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc) NIP 19680526 199303 1 004
Tanggal ujian sarjana : 10 Januari 2013
v
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Karakteristik Fisikokimia dan Sifat Fungsional Tepung Koro Benguk (Mucuna pruriens L.) Berprotein Tinggi adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademis dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2013 Yang membuat pernyataan,
Ary Kristianto F24080038
vi
© Hak cipta milik Ary Kristianto, tahun 2013 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
vii
BIODATA PENULIS
Ary Kristianto lahir di Ponorogo, 10 Agustus 1989 dari pasangan Ayah Mochammad Harijatno, S.Pd dan Ibu Kartini sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menamatkan pendidikan jenjang SD di SDN 2 Balong (2002), jenjang SMP di SMPN 1 Jetis (2005), jenjang SMA di SMAN 1 Ponorogo (2008), dan jenjang S1 di Institut Pertanian Bogor (2013) dengan Mayor Ilmu dan Teknologi Pangan. Semasa kuliah di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB, penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi. Penulis tercatat sebagai staf Kebijakan Pertanian Badan Eksekutif Mahasiswa KM (2008-2009), anggota IPB Debatting Club (2009-2010), Ketua Forum Komunikasi Telisik Pangan (2010-2011), dan Ketua Divisi Ilmiah Ikatan Mahasiswa Muslim Peduli Pangan dan Gizi Nasional (2011-2012). Selain itu, penulis juga aktif mengikuti berbagai kompetisi dan konferensi pangan di tingkat nasional maupun internasional. Beberapa kejuaraan yang berhasil diraih penulis adalah medali perunggu poster ilmiah pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional PIMNAS XXII di Malang dan PIMNAS XXIII di Bali, Juara 2 Esai Ketahanan pangan oleh World Food Program, Juara 2 Youth Agrotechnopreneurship Competition, dan Juara 3 Low Carbon Workshop Presentation di Universitas Jiangsu China. Penulis juga berkesempatan mewakili IPB dalam berbagai konferensi di luar negeri yaitu International Conference of Agriculture and Agroindustry di Universitas Mae Fah Luang Chiang Rai Thailand, 4th World Halla Research Summit di Selangor Malaysia, The 18th Tri-U Joint Seminar and Symposium di Universitas Jiangsu China, The 7th International Youth Peace Festival di Chandigarh, India, dan The 19th Tri-U Joint Seminar and Symposium di Institut Pertanian Bogor Indonesia. Penulis juga terpilih sebagai Mahasiswa Berprestasi Pertama Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Selama kuliah di IPB, penulis mendapatkan beasiswa berprestasi dari PT Sriboga Ratu Raya dan beasiswa asrama mahasiswa berprestasi dari PPSDMS Nurul Fikri. Konsistensi penulis dalam mencintai pangan lokal dan niat untuk mengembangkannya agar lebih berguna bagi masyarakat diwujudkan dalam bentuk penelitian sekaligus sebagai tugas akhir dengan judul Karakteristik Fisikokimia dan Sifat Fungsional Tepung Koro Benguk (Mucuna pruriens L.) Berprotein Tinggi di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS.
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi yang berjudul Karakteristik Fisikokimia dan Sifat Fungsional Tepung Koro Benguk (Mucuna pruriens L.) Berprotein Tinggi disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. Tentunya selama menuntut ilmu dari awal memasuki kampus IPB tercinta hingga penyusunan karya ilmiah ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan pada penulis, baik berupa nasehat, ilmu, dukungan materi maupun moral. Dalam kesempatan ini penulis bermaksud menyampaikan terima kasih kepada: 1. Keluarga tercinta, Bapak, Ibu, dan kedua adikku Lambang dan Rio atas segala pengorbanan, doa, dan kasih sayang yang telah diberikan. 2. Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS selaku pembimbing akademik, atas saran, bimbingan, dan perhatian yang telah diberikan. 3. Dr. Ir. Budi Nurtama, M.Agr dan Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, M.Si selaku penguji sidang, atas kesediaan waktu dan saran yang telah diberikan. 4. Sahabat-sahabat terkasih sepanjang masa atas dukungan dan bantuannya, Budyawan Saputra, Leo Wibisono, Ahmadun, Taufiq Rais, Ichal, Mustain, Vitor, Niche, Sam, Sofian, Diah, Fia, Icha, Ita, Ati, Astrid, Arum, dan Esti Indah Puji Lestari. 5. Rekan-rekan ITP 45 yang sangat berkesan, Forum Komunikasi Telisik Pangan, OMDA Manggolo Putro IPB, IMAJATIM, alumni Tri-U IPB. 6. Para dosen yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat. 7. Balai Besar Industri Agro (BBIA). 8. Seluruh analis dan teknisi laboratorium di Seafast Center dan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas bantuan yang telah diberikan, terutama Pak Deni, Pak Jun, Pak Rozak, Pak Wachid, Pak Nurwanto, Mbak Vera. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi pangan. Terima kasih.
Bogor, Januari 2013
Ary Kristianto
ix
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ....................................................................................................................... ix DAFTAR TABEL ............................................................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR........................................................................................................................ xii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................................... xiii I. PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 1 A. LATAR BELAKANG ............................................................................................................. 1 B. TUJUAN PENELITIAN ......................................................................................................... 2 C. MANFAAT PENELITIAN......................................................................................................... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................................ 3 A. KORO BENGUK .................................................................................................................... 3 B. TEPUNG BERPROTEIN TINGGI .......................................................................................... 5 C. SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG BERPROTEIN TINGGI ..................................................... 5 D. SIFAT FUNGSIONAL TEPUNG BERPROTEIN TINGGI..................................................... 6 E. DAYA CERNA PROTEIN...................................................................................................... 9 F. LIQUOZYME SUPRA (α-AMILASE) .................................................................................. 10 G. HIDROLISIS PATI SECARA ENZIMATIS ......................................................................... 11 H. LIKUIFIKASI ....................................................................................................................... 11 III. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................................................. 13 A. BAHAN DAN ALAT ............................................................................................................ 13 B. METODE PENELITIAN ...................................................................................................... 14 C TAHAP ANALISIS............................................................................................................... 19 D. ANALISIS STATISTIKA ..................................................................................................... 23 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................................... 24 PENELITIAN PENDAHULUAN ................................................................................................ 24 A. TEPUNG KACANG KORO BENGUK ................................................................................. 24 B. KANDUNGAN HCN SEBAGAI PEMBATAS FAKTOR KEAMANAN .............................. 25 C. KANDUNGAN PROTEIN SEBAGAI PARAMETER GIZI .................................................. 27 D. PENENTUAN PERLAKUAN TERPILIH ............................................................................. 29 PENELITIAN UTAMA ............................................................................................................... 30 A. PEMBUATAN TEPUNG BERPROTEIN TINGGI ................................................................ 30 B. GIZI DAN RENDEMEN TEPUNG BERPROTEIN TINGGI ................................................. 40 C. KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG KORO BENGUK VARIETAS PUTIH BERPROTEIN TINGGI DENGAN PROSES OPTIMUM ...................................................... 42 D. SIFAT FUNGSIONAL TEPUNG KORO BENGUK VARIETAS PUTIH BERPROTEIN TINGGI DENGAN PROSES OPTIMUM ..................................................... 46 E. DAYA CERNA IN VITRO TEPUNG BERPROTEIN TINGGI ............................................. 51 V. SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................................................ 52 A. SIMPULAN .......................................................................................................................... 52 B. SARAN ................................................................................................................................. 52 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................... 54 LAMPIRAN ..................................................................................................................................... 61
x
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3.
Perbandingan komposisi zat gizi koro benguk, kedelai, dan kacang hijau………………………........................................................................................ Rancangan percobaan acak lengkap perlakuan pendahuluan.....................................
4 15
Tabel 5.
Rancangan penelitian utama menggunakan response surface methodology Box Behnken program Design Expert ............................................................................... Persentase rendemen pembuatan tepung koro benguk berdasarkan koro benguk mentah utuh…………………………………………………………………….…... Kadar HCN tepung koro benguk……………............................................................
Tabel 6.
Kadar protein tepung koro benguk…………….........................................................
28
Tabel 7.
30
Tabel 8.
Pembobotan nilai parameter kadar protein dan daya cerna pati tepung koro benguk untuk penentuan perlakuan terpilih…………………………………………….…... Pengukuran konsentrasi substrat tepung koro benguk ……......................................
Tabel 9.
Hasil verifikasi dan prediksi solusi terpilih................................................................
39
Tabel 10.
Perbandingan kandungan gizi dan rendemen tepung koro benguk biasa dan tepung koro benguk berprotein tinggi………………………………....................................
41
Tabel 4.
18 24 25
32
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.
Koro benguk (Mucuna pruriens L.)......................................................................
3
Gambar 2.
10
Gambar 3.
Pengaruh lingkungan (suhu dan pH) terhadap aktivitas enzim α-amilase dari Bacillus licheniformis………………………………………………………….... Diagram alir penelitian tepung koro benguk berprotein tinggi………………….
Gambar 4.
Metode penepungan koro benguk………………………………………………..
16
Gambar 5.
Perbandingan kadar HCN tepung koro benguk pada perlakuan yang sama .........
26
Gambar 6.
Perbandingan kadar protein tepung koro benguk pada perlakuan yang sama.......
29
Gambar 7.
Berbagai konsentrasi suspensi tepung koro benguk..............................................
31
Gambar 8.
Grafik internally studentized residual…………...................................................
35
Gambar 9.
Contour plot kadar protein pada pH 5.50………………………..........................
36
Gambar 10.
Grafik 3-D kadar protein pada pH 5.50……...…...………………………..........
36
Gambar 11.
Contour plot desirability pada waktu 50.62 menit………...……………….........
38
Gambar 12.
Grafik 3-D desirability pada waktu 50.62 menit..................................................
39
Gambar 13.
Visualisasi warna tepung berprotein tinggi………...............................................
43
Gambar 14.
44
Gambar 15.
Perbedaan warna koro benguk (a) sebelum dikeringkan dan (b) sesudah dikeringkan……………………………………………………………………… Hubungan kecepatan reaksi dengan a w dalam bahan pangan……...…………….
Gambar 16.
Kurva stabilitas emulsi tepung koro benguk berprotein tinggi.............................
48
Gambar 17.
Kurva stabilitas busa tepung koro benguk berprotein tinggi …………………...
49
Gambar 18.
Kurva profil gelatinisasi tepung koro benguk.......................................................
70
Gambar 19.
Kurva standar maltosa untuk pengukuran daya cerna pati in vitro.......................
71
14
45
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1a.
Rekapitulasi data analisis kadar HCN tepung koro benguk varietas putih............
62
Lampiran 1b.
Hasil uji ANOVA kadar HCN tepung koro benguk varietas putih.......................
63
Lampiran 1c.
Rekapitulasi data analisis HCN tepung koro benguk varietas belang...................
64
Lampiran 1d.
Hasil uji ANOVA kadar HCN tepung koro benguk varietas belang.....................
65
Lampiran 2a.
Rekapitulasi data analisis kadar protein tepung koro benguk varietas putih.........
66
Lampiran 2b.
Hasil uji ANOVA kadar protein tepung koro benguk varietas putih....................
67
Lampiran 2c.
Rekapitulasi data analisis kadar protein tepung koro benguk varietas belang......
68
Lampiran 2d.
Hasil uji ANOVA kadar protein tepung koro benguk varietas belang..................
69
Lampiran 3.
Profil gelatinisasi pati tepung koro benguk varietas putih perlakuan 24 jam........
70
Lampiran 4.
Penentuan aktivitas enzim α-amilase liquozyme supra termamyl.........................
71
Lampiran 5.
72
Lampiran 6.
Rekapitulasi data running proses untuk mendapatkan model peningkatan kadar protein tepung berprotein tinggi koro benguk....................................................... ANOVA dan persamaan polinomial respon kadar protein....................................
Lampiran 7.
Solusi proses optimum yang dihasilkan pada tahap optimasi...............................
74
Lampiran 8.
Rekapitulasi data kadar protein pada tahap verifikasi...........................................
74
Lampiran 9.
Hasil analisis proksimat tepung koro benguk berprotein tinggi...........................
75
Lampiran 10.
Karakteristik fisikokimia tepung koro benguk berprotein tinggi.........................
77
Lampiran 11.
Sifat fungsional tepung koro benguk berprotein tinggi........................................
78
Lampiran 12.
Daya cerna protein in vitro tepung koro benguk berprotein tinggi......................
80
73
xiii
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Protein adalah salah satu komponen zat gizi makro yang sangat penting. Secara biologis protein berperan sebagai enzim, antibodi, kolagen, maupun protein otot. Selain itu, protein juga berperan dalam pengolahan pangan berkaitan dengan karakteristik fisikokimia dan sifat fungsional yang dimilikinya. Penggunaan protein pada pengolahan pangan semakin berkembang, baik dari segi asal bahan baku maupun peruntukannya. Sayangnya sampai saat ini masih banyak produsen, terutama industri pangan yang mengimpor bahan baku maupun bahan penunjang berbasis protein dari negara lain. Salah satu jenis bahan pangan yang menjadi primadona sumber protein adalah kedelai. Ketergantungan pemenuhan sumber protein dari luar negeri tersebut dapat dilihat dari tingginya nilai impor kedelai yang mencapai angka 1.74 juta ton pada tahun 2011 (BPS 2012). Hal ini membawa pengaruh negatif seperti terhambatnya pengembangan bahan pangan lokal Indonesia. Sebenarnya selain kedelai, Indonesia memiliki jenis kacang-kacangan lokal yang kaya protein namun belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu jenis kacang tersebut adalah koro benguk (Mucuna pruriens L.). Menurut Kala dan Mohan (2010) biji koro benguk segar mengandung protein sebesar 28-30%. Selain itu, kacang ini memiliki produktivitas tinggi dan tidak memerlukan perawatan dan kondisi khusus untuk penanamannya (Rahardi 2008). Koro benguk dimanfaatkan sebagai tempe dalam skala terbatas oleh sebagian penduduk Indonesia. Pengolahan koro benguk yang telah ada saat ini adalah perendaman selama tiga hari untuk menghilangkan senyawa toksik glukosida sianogenik yang secara alami terdapat dalam bijinya. Perendaman dalam waktu tiga hari dirasakan tidak efisien apabila diaplikasikan pada industri karena membutuhkan banyak air dan waktu lama sehingga diperlukan cara lain untuk penghilangan sianida seperti penggunaan panas basah, baik perebusan maupun pengukusan, atau germinasi. Penelitian ini difokuskan pada pembuatan tepung koro benguk berprotein tinggi. Teknologi tepung dipilih karena memiliki beberapa keunggulan yaitu penanganannya lebih mudah, baik pengolahan maupun penyimpanan. Peningkatan kandungan protein pada tepung koro benguk perlu dilakukan karena banyaknya kebutuhan terhadap bahan baku berprotein tinggi untuk pembuatan produk pangan. Aplikasi tepung koro benguk berprotein tinggi ini bergantung pada sifat fungsional protein yang dimilikinya, seperti daya serap air, daya serap minyak, daya emulsi, gelasi, dan daya busa. Sifat fungsional ini ditandai dengan karakteristik fisikokimia protein pangan yang dapat menentukan perilakunya selama pengolahan, penyimpanan, dan pemanfaatan. Penelitian tentang tepung koro benguk berprotein tinggi belum banyak dilakukan di Indonesia. Dari segi teori dan asumsi yang diajukan, tepung koro benguk berprotein tinggi memiliki potensi yang besar untuk digunakan sebagai alternatif peningkatan konsumsi protein masyarakat. Bentuk tepung dapat diintroduksi untuk pelengkap pangan berbasis daging yang berfungsi untuk menyeimbangkan sumber protein hewani dan nabati, serta menurunkan harga jual produk berbasis protein, sehingga meningkatkan daya beli masyarakat terhadap pangan sumber protein.
1
B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan menentukan perlakuan pendahuluan yang paling tepat untuk menghasilkan tepung koro benguk yang memiliki kandungan sianida dalam batas aman, proses efisien, dan kandungan protein tertinggi. Di samping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi proses pembuatan tepung koro benguk berprotein tinggi dari tepung koro benguk, serta menguji karakteristik fisikokimia dan sifat fungsionalnya.
C. MANFAAT PENELITIAN Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi mengenai proses pembuatan tepung koro benguk berprotein tinggi, karakteristik fisikokimia, dan sifat fungsionalnya. Karakteristik yang diukur diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan produk tinggi protein dari biji koro benguk.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. KORO BENGUK Kacang koro benguk (Mucuna pruriens L.) termasuk dalam famili Fabaceae. Di Indonesia, budidaya kacang ini masih terbatas. Koro benguk dapat tumbuh di daerah yang kurang subur, kering, serta kondisi cuaca ekstrim (Rahardi 2008). Penanamannya banyak dilakukan di huma-huma atau di tanah tegal. Menurut Syam (2003) produktivitas koro benguk cukup tinggi mencapai 0.51 ton per hektar. Daerah penghasil koro benguk berpusat di Jawa, terutama yang memiliki daerah pertanian kering seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Koro benguk dalam jumlah yang lebih sedikit juga ditemukan di Jawa Barat dengan nama kacang kowas. Selain di pulau Jawa, koro benguk juga ditemukan di Sumatera khususnya di lahan-lahan perkebunan. Tanaman koro benguk digunakan sebagai land covering crops (LCC) yang berguna untuk rehabilitasi lahan. Namun sayangnya, bagian biji koro benguk belum dimanfaatkan secara khusus sebagai bahan pangan yang bernilai tambah. Dari sisi morfologi, koro benguk tergolong tanaman semak yang merambat dengan panjang lebih dari 15 m. Tanaman ini memiliki bunga yang tersusun aksial. Bunga koro benguk berwarna putih, lavender atau ungu. Buahnya berupa polong yang dilindungi kulit berbulu. Ratarata dalam setiap polong mengandung sekitar lima sampai tujuh biji. Polong berbentuk seragam elipsoid dengan panjang 1 sampai 1.9 cm, lebar 0.8-1.3 cm dan tebal 4-6.5 cm (Atun 2009). Koro benguk memiliki beberapa varietas yang dibedakan berdasarkan warna kulit bijinya yaitu putih, belang, dan hitam (Gambar 1).
Gambar 1. Koro benguk (Mucuna pruriens L.) Sumber gambar: www.tanijaya.com Dari segi kandungan gizi, kacang koro benguk mempunyai nilai gizi yang tidak kalah tinggi dibandingkan dengan kacang-kacangan lain. Koro benguk mengandung karbohidrat dan protein yang cukup tinggi dengan kandungan lemak yang rendah. Di Indonesia, pengembangan kacang koro benguk sebagai bahan pangan yang bernilai tambah belum banyak dilakukan. Kalaupun ada, pemanfaatan koro benguk masih terbatas sebagai pakan ternak, bahan baku pembuatan tempe, dan tepung substitusi, meskipun belum banyak digunakan secara komersial. Tabel 1 menunjukkan perbandingan kandungan zat gizi antara koro benguk segar utuh, kedelai, dan kacang hijau.
3
Tabel 1. Perbandingan komposisi zat gizi koro benguk, kedelai, dan kacang hijau koro benguk utuha Kacang kedelaib hijau utuhc Putih Hitam Belang Protein 28.81 25.42 25.50 45.76 26.83 Karbohidrat 54.38 50.80 58.10 25.26 62.10 Lemak 5.49 2.91 5.10 21.80 2.15 a b c Sumber: Wanjecke E et al. (2010), Kumar S et al. (2010), Blessing dan Gregory (2010) Komponen (% bk)
Salah satu tantangan pemanfaatan kacang koro benguk adalah adanya toksin yang terkandung secara alami pada bijinya. Toksin tersebut adalah sianida. Sianida mencakup senyawa-senyawa yang mengandung ion sianida (CN-), di mana satu atom karbon berikatan rangkap tiga dengan nitrogen. Sianida umumya ditemukan berikatan dengan unsur lain membentuk suatu senyawa. Contoh senyawa sianida sederhana yang sering ditemukan antara lain hidrogen sianida (HCN), natrium sianida (NaCN), kalium sianida (KCN), kalsium sianida (Ca(CN)2) dan sianogen (suatu senyawa dalam bentuk NC-CN atau X-CN, di mana X adalah suatu halogen). Menurut WHO (2004) senyawa sianida terdapat pada bahan pangan sebagai bagian dari komponen gula (sianogenik glukosida) ataupun sebagai suatu senyawa yang terbentuk secara alami. Konsentrasi sianogenik glukosida pada tanaman dapat bervariasi, yang disebabkan oleh genetik dan faktor lingkungan seperti lokasi, musim, dan jenis tanah (JECFA 1993 diacu dalam WHO 2004). Hidrogen sianida dapat diproduksi melalui reaksi hidrolisis yang dikatalis oleh enzim endogenous pada tanaman yang mengandung senyawa sianogenik glukosida. Sianida bersifat racun bagi manusia. Gejala khas keracunan sianida akut diantaranya tachypnoea, sakit kepala, vertigo, koordinasi gerak menurun, denyut nadi melemah, cardiac arrhythmias, muntah, pingsan, dan koma. Gettler dan Braine (1938) diacu dalam WHO (2004) memperkirakan bahwa kematian terjadi setelah menyerap rata-rata 1.4 mg hidrogen sianida/kg berat badan, di mana dosis terendah yang menyebabkan efek fatal sebesar 0.54 mg/kg berat badan. Konsumsi bahan pangan yang mengandung senyawa sianogenik glukosida dikaitkan dengan beberapa penyakit yang memengaruhi sistem saraf (WHO 2004). Paparan sianida terhadap manusia melalui asupan makanan ditentukan dengan melihat konsumsi populasi terhadap singkong. Hal ini disebabkan singkong telah menjadi makanan pokok bagi 500 juta penduduk dunia. Namun, data konsentrasi sianida pada makanan secara keseluruhan tidak cukup sehingga asupan harian untuk sianida melalui bahan pangan tidak dapat ditentukan. Meskipun demikian, Codex (1989) telah menetapkan kadar hidrogen sianida pada tepung singkong tidak melebihi 10 mg/kg. Kacang koro benguk segar mengandung sianida sebesar 17.72 mg/kg (Handajani et al. 2008). Proses pengolahan pendahuluan sering dilakukan untuk mengurangi kandungan sianida. Salah satu proses pengolahan untuk mengurangi kandungan sianida dalam bahan pangan yaitu dengan melakukan perendaman di dalam air. Sianida merupakan senyawa yang larut air sehingga pencucian ataupun perendaman bahan pangan sering dilakukan untuk mengurangi kadarnya. Handajani et al. (2008) melaporkan bahwa tidak hanya perlakuan perendaman, tetapi perlakuan pengukusan, perebusan, dan presto juga dapat menurunkan kadar sianida koro benguk segar.
4
B. TEPUNG BERPROTEIN TINGGI Protein merupakan polipeptida yang tersusun oleh lebih dari 100 buah asam amino yang berikatan satu sama lain melalui ikatan peptida dengan urutan yang khas. Damodaran (1996) menyatakan protein merupakan sumber gizi utama yaitu sebagai sumber delapan asam amino esensial yang diperlukan tubuh, yaitu lisin, triptofan, fenilalanin, metionin, treonin, leusin, isoleusin, dan valin. Di samping memberikan nilai gizi, protein juga memberikan sifat fungsional yang penting dalam membentuk karakteristik produk pangan. Sifat fungsional ini berperan penting dalam pengolahan pangan, penyimpanan, dan penyajian yang memengaruhi karakteristik yang diinginkan, mutu makanan, dan penerimaannya oleh konsumen (seperti penampakan, warna, tekstur, dan cita rasa). Protein memerlukan pemekatan atau pemurnian untuk memperoleh sifat fungsional agar memberikan kinerja yang optimal, sehingga munculah proses pemekatan protein yang menghasilkan tepung berprotein tinggi. Pada dasarnya pembuatan tepung berprotein tinggi dari koro-koroan sama dengan pembuatan tepung berprotein tinggi dari beras, yaitu dengan memanfaatkan enzim α-amilase untuk memecah sebagian komponen pati (Hansen et al. 1989). Dengan bantuan enzim tersebut, pati dalam tepung koro akan dipecah acak menjadi dekstrin dan maltosa, sedangkan protein akan terkonsentrasi pada bagian yang tidak terurai oleh enzim. Suatu produk, baik tepung atau produk olahan lainnya, dapat diklaim berprotein tinggi apabila kandungan proteinnya lebih tinggi 25% dari produk acuannya (BPOM 2011). Menurut Zayas (1997), tepung berprotein tinggi termasuk dalam pekatan protein dengan konsentrasi kurang dari 60%, sedangkan produk pekatan protein lain seperti konsentrat dan isolat protein memiliki konsentrasi berturut-turut 60-70% (bk) dan lebih dari 90% (bk).
C. SIFAT FISIK DAN KIMIA TEPUNG BERPROTEIN TINGGI 1. Densitas kamba (Bulk Density) Densitas kamba adalah sifat penting tepung-tepungan karena sangat berperan pada transportasi, penyimpanan, dan pengemasan. Pengetahuan tentang karakteristik kamba suatu bahan sangat penting. Ketika sejumlah padatan dituang ke dalam container, total volume yang ditempati mengandung sejumlah substansi udara (Lewis 1996). Densitas kamba didefinisikan sebagai massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu. Densitas kamba ditentukan oleh bahan yang diketahui volumenya dan merupakan hasil pembagian dari berat bahan dan volume wadah. Porositas merupakan bagian yang tidak ditempati oleh partikel atau bahan padatan. Bubuk digolongkan dalam dua tingkat, yaitu bubuk sebagai partikel dan bubuk sebagai suatu kesatuan (kamba). Sifat-sifat kamba dipengaruhi oleh sifat-sifat partikel, dimana hubungan keduanya tidak sederhana dan meliputi faktor-faktor eksternal, seperti sistem geometris, proses mekanis dan proses panas dari bubuk, sehingga untuk menentukan sifat-sifat bubuk dari partikel agak sulit (Wirakartakusumah et al. 1992). Menurut Winata (2001) densitas kamba dipengaruhi oleh ukuran partikel, sifat bahan, komposisi bahan, dan mungkin pula dipengaruhi oleh degradasi molekul-molekul dalam bahan, akibat adanya proses pengolahan. Jadi kenaikan densitas kamba disebabkan adanya degradasi molekul-molekul pati, protein, lemak, dan lain-lain saat diberi perlakuan pemasakan awal, sehingga molekul-molekul tersebut menempati ruang yang lebih sempit.
5
2. Derajat warna dan derajat putih Warna diukur secara umum menggunakan Cromameter Minolta dan dinyatakan sebagai nilai L, a, b. Nilai L adalah ukuran sejumlah cahaya yang direfleksikan atau ditransmisikan oleh obyek (0=hitam, 100=putih). Nilai a adalah ukuran warna merah ketika positif dan hijau ketika negatif. Nilai b adalah warna kuning ketika positif dan biru ketika negatif. Sedangkan derajat putih adalah atribut untuk menduga obyek mendekati warna referensi yang lebih putih (Waggle et al. 1989). Menurut Waggle et al. (1989) pada konsentrasi tetap, nilai L meningkat dengan penurunan kelarutan protein karena peningkatan kecerahan dipengaruhi oleh protein yang tidak larut. Jika ada dua sampel yang memiliki nilai b setara, sampel yang kurang larut akan tampak putih.
3. Aktivitas air (aw) Kerusakan yang terjadi pada bahan pangan pada umumnya merupakan kerusakan kimiawi, enzimatik, mikrobiologis, atau kombinasi antar ketiga macam kerusakan tersebut. Semua jenis kerusakan ini memerlukan air selama prosesnya. Oleh karena itu, banyaknya air dalam bahan pangan ikut menentukan kecepatan terjadinya kerusakan. Menurut Fennema (1996) air terikat dapat dibagi ke dalam empat tipe berdasarkan derajat keterikatan airnya. Tipe 1 adalah molekul air yang terikat pada molekul-molekul lain melalui suatu ikatan hidrogen berenergi besar. Tipe II yaitu molekul-molekul air membentuk ikatan-ikatan hidrogen dengan molekul air lain yang terdapat dalam mikrokapiler dan sifatnya berbeda dari air murni. Tipe III air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Tipe IV adalah air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan atau air murni yang memiliki sifat-sifat air seperti biasa dengan keaktifan penuh. Aktivitas air (aw) adalah sejumlah air bebas di dalam media pertumbuhannya dan bahan pangan yang dinyatakan sebagai perbandingan antara tekanan uap air larutan dan tekanan uap air murni. Aktivitas air juga dapat diartikan sebagai sejumlah air bebas di dalam bahan pangan yang pada kondisi tertentu mikroba dapat tumbuh dan memungkinkan bahan pangan tersebut tidak layak untuk dikonsumsi (Fardiaz et al. 1992). Dengan meningkatnya aktivitas air, air menjadi lebih tersedia sebagai pelarut dan medium untuk reaksi, kecepatan enzimatik, dan degradasi mikrobiologi juga meningkat. Ratarata batas terendah aktivitas air untuk pertumbuhan mikroba adalah >0.90 (bakteri), 0.80-0.90 (khamir), dan 0.60-0.70 (kapang) (Fennema 1996). Meningkatnya ketersediaan air juga mempercepat pencoklatan enzimatik dan berkurangnya nilai gizi (Pomeranz 1991).
D. SIFAT FUNGSIONAL TEPUNG BERPROTEIN TINGGI 1. Daya serap air Daya serap air suatu protein didefinisikan sebagai kemampuan untuk menahan air melawan perlakuan gravitasi dan fisikokimia. Air berinteraksi dengan protein dalam beberapa cara. Interaksi antara molekul air dan gugus hidrofilik pada rantai protein terjadi melalui ikatan hidrogen. Pengikatan air dengan protein dipengaruhi oleh gugus hidrofilik polar seperti imino, amino, karboksil, hidroksil, karbonil, dan sulfihidril. Kapasitas protein untuk menahan
6
air dipengaruhi oleh jenis dan jumlah dari gugus polar pada rantai polipeptida protein (Zayas 1997). Asam amino diklasifikasikan berdasarkan kemampuannya untuk mengikat air yaitu : 1) Asam amino polar dengan daya pengikatan air paling tinggi, 2) asam amino yang tidak mengion, mengikat sejumlah air dalam jumlah yang medium. 3) asam amino hidrofobik yang hanya dapat mengikat sedikit air atau tidak sama sekali. Gugus asam amino polar pada molekul protein adalah sisi utama dalam interaksi protein-air (Zayas 1997). Pengikatan air dapat disebabkan oleh kemampuan matriks protein untuk mengembang dan menyerap air tanpa pelarut. Viskositas tinggi dihasilkan dari protein yang larut atau mengembang dan pembentukan gel selama persiapan sampel (Waggle et al. 1989). Penyerapan air oleh beberapa jenis protein dapat mengakibatkan pembengkakan. Pembengkakan mencerminkan pengambilan air oleh jaringan protein sambil melonggarkan jaringan polipeptida. Tingkat pembengkakan dipengaruhi oleh gaya-gaya antar molekul, ikatan hidrogen, interaksi elektrostatik antara polipeptida yang berdekatan, dan fasilitas tertentu yang dengannya air akan memberikan gangguan dan menggantikan ikatan proteinprotein dengan protein-air (Muchtadi 1991).
2. Daya serap minyak Daya serap minyak suatu protein dipengaruhi oleh sumber protein, ukuran partikel protein, kondisi proses pengolahan, zat tambahan lain, suhu, dan derajat denaturasi protein. Partikel yang berukuran kecil mampu menyerap minyak 65-130% dari berat keringnya, lebih banyak jika dibandingkan dengan partikel yang berukuran besar. Denaturasi protein dapat meningkatkan kemampuan protein untuk mengikat lemak dikarenakan terbukanya struktur protein memaparkan asam amino yang bersifat non-polar. Kemampuan protein untuk menahan lemak dipengaruhi oleh interaksi protein-lipid. Ikatan yang ikut berperan dalam interaksi protein-lipid adalah ikatan hidrofobik elektrostatik, ikatan hidrogen, dan ikatan non-kovalen. Ikatan hidrofobik penting dalam stabilitas kompleks protein-lipid. Interaksi antara protein dan anion asam lemak dapat mengubah struktur protein dengan cara menurunkan ikatan hidrofobik intramolekul (Zayas 1997). Protein hidrofobik efektif pada tegangan permukaan yang lebih rendah dan mengikat lebih banyak materi lipofilik seperti lipid, emulsifier, dan materi flavor. Kapasitas protein untuk mengikat lemak sangat penting dalam produksi meat extender atau replacer, dimana penyerapan lemak oleh protein meningkatkan retensi flavor dan meningkatkan mouthfeel. Lemak diserap terutama melalui pemerangkapan secara fisik. Penyerapan lemak dapat ditingkatkan jika protein dimodifikasi secara kimia untuk meningkatkan densitas kambanya (Pomeranz 1991).
3. Daya emulsi Emulsi adalah suatu sistem yang terdiri dari dua fase cairan yang tidak saling melarutkan dimana salah satu cairan terdispersi dalam bentuk globula-globula di dalam cairan lainnya. Cairan yang terpecah menjadi globula-globula dinamakan fase terdispersi, sedangkan cairan yang mengelilingi globula-globula tersebut dinamakan fase kontinyu atau medium dispersi (Muchtadi 1991).
7
Daya emulsi merupakan kemampuan protein untuk menurunkan tegangan permukaan antara kedua fase (tegangan interfasial) sehingga mempermudah terbentuknya emulsi. Kemampuan ini disebut kemampuan protein sebagai emulsifier. Menurut Subarna et al. (1990) daya emulsi ini dipengaruhi oleh konsentrasi protein, kecepatan pencampuran, jenis protein, jenis lemak, dan sistem emulsi. Daya kerja emulsifier disebabkan oleh bentuk molekulnya yang dapat terikat, baik pada minyak (non-polar) maupun air (polar). Emulsifier mengandung dua gugus, yaitu gugus hidrofilik dan gugus lipofilik. Di dalam molekul emulsifier, salah satu gugus harus lebih dominan jumlahnya. Bila gugus polar lebih dominan, maka molekul emulsifier tersebut akan diadopsi lebih kuat oleh air dibandingkan dengan minyak. Akibatnya tegangan permukaan air menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinyu. Demikian juga sebaliknya jika gugus non-polar lebih dominan, maka molekul emulsifier akan lebih kuat diikat oleh minyak dibandingkan dengan air (Muchtadi 1991). Apabia emulsifier tersebut lebih larut dalam air (polar) maka dapat lebih membantu terjadinya dispersi minyak dalam air sehingga terjadilah emulsi minyak dalam air (o/w). Sebagai contoh adalah susu. Sebaliknya bila emulsifier lebih larut dalam minyak (non-polar) terjadilah emulsi air dalam minyak (w/o). Contohnya adalah mentega dan margarin (Winarno 2002).
4. Daya busa Busa merupakan struktur terdispersi dimana cairan koloid seperti larutan protein bertindak sebagai medium pendispersi dan gas sebagai fase terdispersi. Mekanisme pembentukan busa diawali dengan terbukanya ikatan dalam molekul protein sehingga rantai protein menjadi lebih panjang. Kemudian udara masuk di antara molekul protein yang terbuka dan bertahan sehingga volume protein mengembang (Cherry dan Watters 1980). Busa pangan umumnya sangat kompleks, termasuk campuran dari gas-gas, cairan-cairan, padatan-padatan, dan surfaktan-surfaktan. Protein berkontribusi pada distribusi merata dari sel-sel udara dalam struktur pangan. Menurut Elizalde et al. (1991) kapasitas pembusaan sangat kritis dalam aplikasi pangan. Protein dari sumber berbeda memiliki kemampuan yang berbeda dalam menstabilkan busa karena perbedaan dalam komposisi, konformasi, fleksibilitas molekuler, dan sifat-sifat fisikokimianya. Kemampuan membentuk busa dipengaruhi oleh sumber protein alami, metode, dan suhu selama proses. Kemampuan pembusaan meningkat jika konsentrasi protein meningkat dikarenakan meningkatnya ketebalan lapisan film pada interfasial. Foam inhibitor adalah bahan yang tidak larut air dan dapat mengganggu film protein di gelembung-gelembung udara. Zat yang termasuk foam inhibitor adalah lemak dengan aktivitas permukaan yang tinggi. Lemak melemahkan interaksi protein-protein dengan mengganggu permukaan hidrofobik (Zayas 1997). Faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan dan stabilitas busa protein meliputi kelarutan, laju difusi ke arah permukaan, dan penyerapan. Faktor-faktor tersebut bergantung pada sifat-sifat hidrofobik, orientasi, dan asosiasi polipeptida, viskoelastisitas, kesetimbangan agregasi-konjugasi, muatan permukaan, dan hidrasi (Pomeranz 1991). Pembentukan dan stabilitas busa juga dipengaruhi oleh pH, suhu, garam, gula, lemak, dan sumber protein. Volume dan stabilitas busa bertambah dengan meningkatnya konsentrasi protein. Busa yang terbentuk pada konsentrasi tinggi bersifat padat dan stabil karena lapisan
8
permukaan lebih tebal (Kinsella dan Damodaran 1981). Film-film dengan viskositas permukaan yang tinggi membentuk busa yang kuat sebagai hasil dari gaya kohesif antar molekul-molekul protein. Stabilitas busa mencapai maksimal saat elastisitas permukaan juga maksimal. Sifat daya busa dapat diaplikasikan pada pembuatan whipped toppings, chiffon dessert, dan minuman.
5. Daya gelasi Gelasi merupakan salah satu sifat protein yang berkaitan dengan penarikan air dari lingkungan oleh molekul-molekul protein. Sifat gelasi berfungsi untuk pembentukan dan pengendapan matriks protein. Gelasi protein adalah sifat yang kompleks dan sulit diinterpretasikan karena membutuhkan kondisi tertentu yang sangat ekstrim untuk pembentukan gel. Faktor-faktor yang memengaruhi gelasi adalah kekuatan gel, pelekatan antara agregat protein, pelekatan dengan zat lain, dan elastisitas (Widowati et al. 1998). Kemampuan gelasi dari protein-protein dipengaruhi juga oleh konsentrasi protein, komposisi asam amino, berat molekul, dan hidrofobisitas protein-protein. Gel dapat terbentuk karena pemanasan dan penambahan kapur. Mekanisme pembentukan gel karena pemanasan terjadi pada dua tahap, yaitu tahap asosiasi dan agregasi yang mengakibatkan terbentuknya formasi gel di bawah kondisi yang sesuai. Suhu gelasi bergantung pada karakter protein di dalam sistem. Waktu dan suhu pemanasan untuk terbentuknya gel umumnya menurun dengan meningkatnya konsentrasi protein. Peningkatan suhu juga akan meningkatkan kekeruhan gel (Schmidt 1981). Pembentukan gel protein merupakan hasil dari interaksi-interaksi intermolekuler yang menghasilkan jaringan tiga dimensi serat-serat protein. Dalam sebuah gel, cairan mencegah matriks tiga dimensi dari collapsing (melipat), dan matriks mencegah cairan keluar. Gel-gel dibentuk saat proteinprotein membuka sebagian, mengembangkan segmen-segmen polipeptida terurai yang berinteraksi pada titik-titik spesifik untuk membentuk jaringan ikatan silang tiga dimensi. Pembentukan gel adalah hasil dari ikatan hidrogen, interaksi ionik dan hidrofobik, gaya-gaya van der walls, dan ikatan disulfida kovalen. Gel dengan kekuatan dan stabilitas tinggi dapat dibentuk dari ikatan silang yang memberi fluiditas, elastisitas, dan perilaku aliran dari gel-gel (Zayas 1997). Interaksi molekuler dimungkinkan pada konsentrasi protein yang meningkat, menghasilkan gel-gel lebih kuat, seiring dengan banyaknya air yang diikat ke molekul protein. Matriks gel dibentuk sebagai hasil dari asosiasi terdenaturasi dengan pembentukan agregat-agregat. Gel bervariasi dalam sifat misalnya kekerasan dan kelekatan. Sifat unik dari gel adalah perilaku seperti bahan padat, namun sekaligus memiliki ciri-ciri cairan. Sifat-sifat protein untuk membentuk gel dan menahan jumlah tertentu dari gula, flavor, dan bahan baku pangan lainnya dalam matriks tiga dimensi dipakai secara luas dalam pengolahan pangan dan pengembangan makanan baru.
E. DAYA CERNA PROTEIN Daya cerna protein merupakan proporsi protein pada bahan pangan yang diserap. Daya cerna menunjukkan efektivitas suatu protein dicerna hingga menghasilkan asam-asam amino, lalu diserap oleh usus halus. Daya cerna protein dapat diukur, baik secara in vivo maupun in vitro. Pengukuran daya cerna secara in vivo digolongkan menjadi dua, yaitu daya cerna semu (apparent
9
digestibility) dan daya cerna sejati (true digestibility). Daya cerna sejati memperhitungkan nitrogen metabolik, sedangkan daya cerna semu mengasumsikan nitrogen yang terbuang seluruhnya berasal dari makanan (WHO 2007). Sementara itu, pengukuran daya cerna protein in vitro dapat dilakukan dengan menggunakan multienzim pankreatik protease yang kondisi reaksinya disesuaikan dengan kondisi fisiologis. Pengukuran daya cerna protein in vitro relatif lebih cepat dan hasilnya merupakan persen relatif terhadap kasein standar.
F. LIQUOZYME SUPRA (α-AMILASE) Liquozyme supra adalah suatu cairan dari α-amilase yang sangat termostabil (EC 3.2.1.1) yang digunakan untuk likuifikasi pati. Enzim α-amilase diproduksi oleh Bacillus licheniformis. Liquozyme supra mempunyai keuntungan unik untuk operasi pada pH rendah. Liquozyme supra adalah suatu cairan berwarna coklat dengan kepadatan sekitar 1.25 g/mL dan umumnya memiliki penurunan aktivitas 90 KNU (T)/g dan 45 KNU (S)/g (Novozyme 2001). Liquozyme supra mematuhi FAO/WHO IECEA dan direkomendasikan oleh ECC. Enzim ini telah dikembangkan untuk likuifikasi yang beroperasi pada temperatur 90-110 °C (221230 °F). Liquozyme supra dapat beroperasi pada pH 5.1-5.6 dan dengan waktu proses 60-180 menit. Aplikasi penggunaan yang direkomendasikan adalah dengan dosis 0.25-0.65 kg per ton pati pada pH 5.3 pada bubur pati. Kondisi-kondisi penyimpanan yang direkomendasikan adalah 0-2 °C (32-77 °F) di tempat yang tidak rusak dan terlindungi dari matahari. Bagaimanapun, enzim secara berangsur-angsur dapat hilang aktivitasnya dari waktu ke waktu. Penyimpanan dengan kondisi kurang baik, seperti temperatur lebih tinggi, akan mendorong ke arah suatu kebutuhan dosis lebih tinggi (Novozyme 2001). Menurut Naz (2002) Enzim ini memiliki aktivitas terbaik pada rentang suhu 90-105 °C dan pH 5-6. Gambar 2 menunjukkan kondisi pengaruh lingkungan (suhu, pH) terhadap aktivitas enzim.
pH optimum
Laju reaksi
Aktivitas relatif (%)
100
Suhu (°C) (a)
pH (b)
Gambar 2. (a) Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim α-amilase dari Bacillus licheniformis (b) Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim α-amilase dari Bacillus licheniformis
Mekanisme kerja α-amilase terjadi melalui dua tahap. Tahap pertama adalah degradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi sangat
10
cepat dan diikuti dengan menurunnya viskositas dengan cepat pula. Tahap kedua adalah terjadinya pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir secara spesifik. Pada tahap ini pembentukan relatif sangat lambat. Keduanya merupakan kerja enzim α-amilase pada molekul amilosa saja. Sedangkan pada molekul amilopektin, kerja α-amilase akan menghasilkan glukosa, maltosa, dan berbagai jenis α limit dekstrin, yaitu oligosakarida yang terdiri dari 4 atau lebih residu gula yang semuanya mengandung ikatan a-(1,6) (Winarno 2002).
G. HIDROLISIS PATI SECARA ENZIMATIS Hidrolisis adalah proses dekomposisi kimia menggunakan air untuk memisahkan ikatan kimia dan substansinya. Hidrolisis pati merupakan proses pemecahan molekul amilum menjadi bagian-bagian penyusunnya yang lebih sederhana seperti dekstrin, isomaltosa, maltosa, dan glukosa (Rindit et al. 1998 dalam Purba 2009). Proses hidrolisis pati menurut Kearsley (1995) pada dasarnya adalah pemutusan rantai polimer pati (C6H10O5)n menjadi unit-unit dekstrosa (C6H12O6) dengan menggunakan air. Pemutusan rantai polimer pati dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya secara enzimatis, asam, ataupun kombinasi keduanya. Hidrolisis secara enzimatis memiliki perbedaan mendasar dibandingkan hidrolisis secara asam dalam hal pemutusan rantai polimer pati. Hidrolisis secara kimiawi dan fisik akan memutuskan rantai secara acak, sedangkan hidrolisis enzimatis akan memutuskan rantai polimer pati secara spesifik pada percabangan tertentu (Norman 1981). Proses hidrolisis dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu enzim, ukuran partikel, temperatur, pH, waktu hidrolisis, perbandingan cairan terhadap bahan baku (volume substrat), dan pengadukan (Purba 2009). Hidrolisis enzimatis memiliki beberapa keuntungan yaitu lebih spesifik prosesnya dan produk yang dihasilkan sesuai yang diinginkan. Kondisi prosesnya dapat dikontrol dan produk sampingnya lebih sedikit serta tahap pemurnian (menghilangkan abu) dan pembentukan warna dapat ditekan sedikit mungkin (Jariyah 2002). Menurut Palmer (1991) reaksi hidrolisis dengan menggunakan enzim memiliki persamaan reaksi : A-X + H2O X-OH+ HA
Sedangkan hidrolisis secara asam lebih mudah dilaksanakan dan lebih murah biayanya namun memiliki kekurangan dibandingkan hidrolisis enzimatis yaitu timbulnya warna dan rasa yang tidak diinginkan sehingga dapat menurunkan mutu produk (Chaplin dan Buckle 1990).
H. LIKUIFIKASI Likuifikasi merupakan proses pencairan gel pati yang memiliki viskositas tinggi ke viskositas yang lebih rendah dengan menghidrolisis pati menjadi molekul-molekul yang lebih kecil dari oligosakarida atau dektrin dengan menggunakan enzim α-amilase. Dalam proses tersebut granula pati yang semula tidak larut dipanaskan sampai mengembang dan rusak sehingga dapat tersebar ke dalam larutan dan proses tersebut dikatakan baik bila viskositas larutan yang dihasilkan makin kecil (Misset 2003).
11
Menurut Alan dalam Schenck (1992) likuifikasi terbaik digambarkan sebagai kombinasi dua proses sebagai berikut. 1. Gelatinisasi (mencakup hidrasi) pada polimer pati untuk memastikan keadaan padat masuk ke serangan hidrolisis. 2. Dekstrinisasi sampai batas tertentu untuk mencegah retrogradasi pada proses lebih lanjut. Aktivitas enzim α-amilase menentukan cepat lambatnya proses likuifikasi dimana enzim α-amilase akan aktif terhadap substrat yang berbentuk gel. Hal ini ditunjukkan pada proses likuifikasi yang dilakukan tanpa gelatinisasi terlebih dahulu memerlukan waktu beberapa jam, tetapi pada likuifikasi yang dilakukan pada pati yang digelatinisasi terlebih dahulu ternyata hanya memerlukan waktu beberapa menit sesuai dengan konsentrasi enzim yang digunakan (Whitaker 1996). Biasanya dalam tahap likuifikasi pati, hidrolisis dilakukan sampai mencapai Dextrose Equivalent (DE) 15-20% atau sampai larutan berwarna merah kecoklatan bila direaksikan dengan iodin. Suhu likuifikasi yang terlampau tinggi akan merusak enzim, namun bila terlalu rendah akan mengakibatkan gelatinisasi tidak sempurna (Muchtadi et al. 1992). Beberapa faktor yang mempengaruhi proses likuifikasi yaitu konsentrasi substrat, konsentrasi enzim, pengaturan suhu, pengaturan pH, dan lama likuifikasi (Jariyah 2002).
12
III.
METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tepung adalah biji kacang koro benguk (Mucuna pruriens L.) varietas putih dan belang yang diperoleh dari Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Ponorogo, Jawa Timur. Bahan baku dipisahkan dari kotoran lalu dimasukkan ke dalam plastik dan disimpan di dalam freezer untuk mencegah kerusakan akibat hama serangga. Bahan-bahan yang digunakan dalam analisis adalah asam pikrat, H2SO4, akuades, multienzim protease (1.6 mg tripsin (SIGMA), 3.1 mg kimotripsin (Merck), dan 1.3 mg peptidase (Fluka) per ml akuades), α-amilase (Fluka), Liquozyme Supra enzim α-amilase termamyl dari Bacillus licheniformis (Novozyme), Na-K tartarat, 3.5-asam dinitrosalisilat, bufer Na-fosfat, maltosa standar, K2SO4, HgO, Na2S2O3.5H2O, H3BO3, NaOH, HCl, NH4OH, KI, kalium hidrogen ftalat, indikator fenolftalein, indikator campuran metilen merah dan metilen biru dalam etanol, heksana, KH2PO4, HNO3, NH3, dan minyak jagung. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan tepung adalah kompor, panci, baskom, boiler, steam jacket, steamer, cabinet dryer, disc mill, pin disc mill, dan ayakan 60 mesh. Alat yang digunakan untuk pembuatan tepung koro benguk berprotein tinggi adalah penangas air, water bath, sentrifuse, spray dryer BUCHI B190. Alat-alat yang digunakan dalam analisis adalah tabung reaksi, mikropipet Dragon Lab, labu Erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, pipet Mohr, labu takar, gelas pengaduk, cawan aluminium, cawan porselin, oven pengering, tanur listrik, desikator, aparatus Soxhlet, labu lemak, labu Kjeldahl, spektrofotometer UV-VIS double beam UV-2450 Shimadzu, chromameter CR-300 Minolta, neraca analitik, dan sentrifuse Eppendorf Centrifuge 5810 R.
13
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu: (1) penelitian pendahuluan dan (2) penelitian utama. Secara garis besar, penelitian ini dilakukan seperti pada Gambar 3.
Koro benguk mentah utuh (putih dan belang)
Direbus 30 menit lalu dikuliti secara manual
Rebus 30’
Kukus 30’
germinasi
Rendam 6 jam
Rendam 12 jam
Rendam 24 jam
Penepungan
Tepung koro benguk
1
(belang dan putih) Penentuan perlakuan terpilih dengan pertimbangan kadar HCN, kadar protein, dan daya cerna pati
Tepung koro benguk terpilih
enzim α-amilase
Proses Likuifikasi dengan RSM
Tepung koro benguk berprotein tinggi
2
Analisis Karakteristik Fisikokimia dan Sifat Fungsional
Gambar 3. Diagram alir penelitian tepung koro benguk berprotein tinggi
14
1. Tahap Penelitian Pendahuluan 1. Rancangan perlakuan pendahuluan penurunan sianida menggunakan rancangan acak lengkap Rancangan perlakuan pendahuluan untuk menurunkan sianida menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan delapan macam perlakuan, yaitu: mentah utuh (P0), tanpa kulit (P1), tanpa kulit dan dilanjutkan dengan perebusan 30 menit (P 2), tanpa kulit dan dilanjutkan dengan pengukusan 30 menit (P 3), tanpa kulit dan dilanjutkan dengan perendaman 6 jam (P4), tanpa kulit dan dilanjutkan dengan perendaman 12 jam (P5), tanpa kulit dan dilanjutkan dengan perendaman 24 jam (P 6), dan germinasi (P7). Perendaman menggunakan air bersih (1:10 b/v) tanpa dilakukan pergantian air. Masingmasing perlakuan dilakukan sebanyak dua kali ulangan. Yij = μ + τi + εij ; i = 1,2,3...,8 dan j = 1,2 Di mana:
Yij μ τi εij
= = = =
Nilai pengamatan Nilai tengah umum Pengaruh perlakuan ke-i Pengaruh acak pada sampel ke-j yang memperoleh perlakuan ke-i
Tabel 2. Rancangan percobaan acak lengkap perlakuan pendahuluan Varietas koro benguk Putih (K1) Belang (K2)
P0 P0K1 P0K2
P1 P1K1 P1K2
P2 P2K1 P2K2
Perlakuan (P) P3 P4 P3K1 P4K1 P3K2 P4K2
P5 P5K1 P5K2
P6 P6K1 P6K2
P7 P7K1 P7K2
Perlakuan germinasi mengacu pada Mugendi et al. (2010). Sejumlah koro benguk disterilkan dengan merendamnya dalam etanol 70% selama satu menit. Kacang kemudian direndam dalam air (1:10, b/v) selama 12 jam pada suhu ruang. Setelah itu, kacang ditiriskan lalu disebar pada kapas di dalam suatu wadah. Germinasi dilakukan di ruang gelap selama tiga hari. Setelah tiga hari, kacang yang bergerminasi dibekukan untuk menghentikan proses germinasi sebelum ditepungkan. Sampel biji koro benguk dengan berbagai perlakuan tersebut, kemudian ditepungkan. Tepung biji koro benguk dengan berbagai perlakuan tersebut kemudian dianalisis kadar sianida dan kadar gizinya. Hasil analisis akan menunjukkan ada atau tidaknya pengaruh perlakuan terhadap kadar sianida dan kadar gizi pada tepung koro benguk. Proses penepungan mengacu pada metode Harnani (2009) yang modifikasi seperti pada Gambar 4.
15
Koro benguk hasil perlakuan pendahuluan
Penirisan
Pengeringan dalam cabinet dryer 50 °C selama 24 jam
Penggilingan dengan disc mill dan pin disc mill 60 mesh
Pengayakan 60 mesh
Tepung koro benguk ukuran 60 mesh
Gambar 4. Metode penepungan koro benguk
2. Penentuan perlakuan terpilih perlakuan pendahuluan sebagai bahan baku penelitian utama Penentuan perlakuan terpilih dilakukan dengan mempertimbangkan tiga parameter terpenting yaitu kadar sianida, kadar protein tertinggi, dan daya cerna pati. Kadar HCN menjadi faktor kunci karena prioritas pertama dalam penggunaan bahan makanan adalah faktor keamanan yaitu kadar sianida pada tepung di bawah 10 mg/kg bahan. Metode pembobotan juga digunakan untuk membantu penentuan perlakuan terpilih. Parameter yang dipilih adalah kandungan gizi yaitu kadar protein. Pada tepung perlakuan terpilih, protein diharapkan memiliki kadar tertinggi sehingga meningkatkan ketercapaian target protein pada produk akhir. Selain kadar protein, parameter lain yang digunakan untuk menentukan perlakuan terpilih adalah daya cerna pati yang diacu dari penelitian Saputra (2012). Daya cerna pati tertinggi akan diutamakan untuk penentuan perlakuan terpilih karena proses yang digunakan untuk meningkatkan protein adalah dengan mendegradasi sebagian komponen karbohidrat menggunakan enzim α-amilase. Kadar protein dan daya cerna pati masing-masing memiliki bobot 50% sehingga penghitungan nilai total dilakukan dengan menjumlahkan nilai masing-masing parameter tersebut.
16
Pada setiap parameter, dicari nilai minimum dan maksimumnya kemudian dibagi dengan faktor pembagi yang ditetapkan secara subjektif yaitu lima. Skor ditetapkan sebanyak lima rentang nilai, dimana rentang nilai tertinggi bernilai lima, dan semakin kecil hingga satu. Perlakuan yang memenuhi persyaratan aman dari kadar sianida, dan memiliki bobot total tertinggi dipilih untuk menjadi sampel pada penelitian utama.
2. Tahap Penelitian Utama 1. Rancangan pembuatan dan pengoptimalan proses pembuatan tepung berprotein tinggi menggunakan response surface methodology program Design Expert® Rancangan metode yang digunakan adalah response surface methodology dengan rancangan Box Behnken. Tahap ini diawali dengan penetapan komponen proses yang digunakan sebagai variabel tetap dan variabel berubah. Komponen proses yang termasuk ke dalam variabel tetap adalah konsentrasi substrat yang akan diperoleh dari pengujian viskositas tepung koro benguk menggunakan Brookfield Viscometer dan jumlah enzim yang ditambahkan dari uji aktivitas enzim α-amilase. Sedangkan komponen proses yang termasuk dalam variabel berubah adalah suhu, pH, dan waktu likuifikasi. Variabel tetap tidak dimasukkan dalam perancangan design, sedangkan variabel berubah akan menjadi input RSM dan akan dianalisis pengaruhnya terhadap respon. Perancangan design dimulai dengan menentukan batas atas dan batas bawah dari masing-masing variabel. Variabel suhu ditetapkan pada batas atas 100 °C dan batas bawah 90 °C, variabel pH ditetapkan pada batas atas 6 dan batas bawah 5, sedangkan variabel waktu ditetapkan pada batas atas 60 menit dan batas bawah 20 menit. Program Design Expert® kemudian memberikan rancangan berdasarkan komponen yang terdiri dari tiga faktor atau variabel bebas (x1,x2,x3) dan tiga taraf (-1,0,+1) dengan tiga ulangan pada titik tengah, dan 15 kombinasi perlakuan, dimana masing-masing hasil perlakuan dianalisis kandungan proteinnya. Variabel bebas (xi) pada percobaan ini adalah suhu proses likuifikasi (x1) dalam taraf 90 °, 95 °, dan 100 °C, pH substrat tepung koro benguk (x2) dalam taraf 5.0, 5.5, dan 6.0, dan lama likuifikasi (x3) dalam taraf 20, 40, dan 60 menit. Kombinasi variabel bebas dilakukan untuk mengetahui kondisi optimum terhadap responnya yaitu kandungan protein tepung berprotein tinggi dari koro benguk (Y). Tabel 3 menunjukkan perancangan design untuk mengetahui pengaruh variabel yaitu suhu, pH, dan waktu likuifikasi terhadap respon kadar protein. Hasil pengukuran kadar protein dari masing-masing perlakuan kemudian diolah dengan program Design Expert®. Dari hasil pengolahan program, diperoleh model polinomial yang menunjukkan signifikansi hubungan variabel-variabel terhadap respon. Setelah diperoleh model, kemudian program akan memberikan solusi untuk mencapai respon optimum dengan menentukan titik-titik pada variabel yang telah ditentukan. Tahap terakhir dari proses optimasi ini ialah tahap verifikasi yang dilakukan pada setiap model sesuai prediksi kondisi optimum. Hasil dari likuifikasi pada taraf verifikasi ini dibandingkan dengan hasil prediksi untuk menentukan kelayakan model dalam memprediksi respon.
17
Tabel 3. Rancangan penelitian utama menggunakan response surface methodology Box Behnken Program Design Expert ® Std 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Suhu (°C) 90 100 90 100 90 100 90 100 95 95 95 95 95 95 95
pH 5 5 6 6 5.5 5.5 5.5 5.5 5 6 5 6 5.5 5.5 5.5
Waktu (Menit) 40 40 40 40 20 20 60 60 20 20 60 60 40 40 40
2. Pembuatan tepung koro benguk berprotein tinggi Pembuatan tepung koro benguk berprotein tinggi dilakukan dengan cara menghidrolisis komponen karbohidrat pada tepung koro benguk. Proses yang digunakan adalah likuifikasi. Likuifikasi adalah proses pencairan gel pati yang memiliki viskositas tinggi ke viskositas yang lebih rendah dengan menghidrolisis pati menjadi molekulmolekul yang lebih kecil (oligosakarida atau dekstrin) dengan menggunakan enzim αamilase. Proses pembuatan diawali dengan melarutkan tepung koro benguk dalam air dengan konsentrasi yang ditentukan dari pengujian viskositas. Selanjutnya dilakukan pengaturan pH suspensi tepung koro benguk, penambahan enzim, pengaturan suhu proses likuifikasi dan waktu likuifikasi. Nilai suhu, pH, dan lama waktu hidrolisis, didapatkan dari program Design Expert®. Suspensi tepung yang sudah mengalami perlakuan kemudian dinaikkan pH-nya untuk inaktivasi enzim dan diturunkan kembali pH-nya untuk menetralkan warna. Suspensi kemudian didinginkan dan disentrifugasi 3000 rpm selama 15 menit. Setelah itu supernatan dibuang dan endapan diambil untuk dikeringkan menggunakan spray dryer. Tepung berprotein tinggi dalam bentuk bubuk tersebut kemudian diukur kandungan proteinnya sebagai respon.
3. Pengujian kandungan gizi, karakteristik fisikokimia, dan sifat fungsional tepung berprotein tinggi koro benguk Tepung koro benguk berprotein tinggi dengan proses paling optimum kemudian dianalisis kandungan gizinya (analisis proksimat), karakteristik fisikokimianya (densitas kamba, warna, aktivitas air), sifat fungsionalnya (kapasitas absorbsi air dan minyak, kapasitas dan stabilitas emulsi, kekuatan gel, kapasitas dan stabilitas busa), serta daya cerna protein in vitro.
18
C. TAHAP ANALISIS 1. Analisis HCN secara kualitatif (AOAC 915.03 tahun 2005) Sampel ditimbang sebanyak 20 gram lalu dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 200 ml, lalu ditambahkan 50 ml larutan buffer sitrat. Kertas pikrat sebagai indikator digantungkan pada bibir labu Erlenmeyer. Labu Erlemenyer kemudian ditutup rapat-rapat dengan tutupnya. Sampel dibiarkan pada suhu 25-30 °C selama 3 jam sambil sesekali dikocok putar. Selajutnya ditambahkan 2 gram asam tartarat dan labu Erlenmeyer segera ditutup kembali. Sampel dipanaskan pada suhu 50-60 °C selama 1 jam sambil sewaktu-waktu dikocok. Bila sianida positif, kertas pikrat akan berwarna coklat kemerah-merahan.
2. Analisis HCN secara kuantitatif (AOAC 915.03 tahun 2005) Sebanyak 10-20 gram sampel dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 800 ml, ditambah dengan 200 ml akuades dan dibiarkan selama 2-4 jam. Setelah itu, sampel didestilasi uap. Destilasi dihentikan setelah diperoleh destilat sebanyak 150-160 ml di dalam larutan NaOH (0.5 gram NaOH di dalam 20 ml akuades). Kemudian, ke dalam destilat ditambahkan 8 mL NaOH 6 M dan 2 ml 5% larutan KI dan dititrasi menggunakan larutan AgNO 3 0.02 M. Titik akhir titrasi ditunjukkan dengan timbulnya kekeruhan permanen.
3. Analisis kadar air (AOAC 925.10 tahun 2005) Cawan aluminium kosong dikeringkan dalam oven suhu 105 oC selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 5 menit atau sampai tidak panas lagi. Cawan ditimbang dan dicatat beratnya. Sejumlah sampel (sekitar 1 gram) dimasukkan ke dalam cawan kosong yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isi dikeringkan di dalam oven bersuhu 105 oC. Pengeringan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. Setelah dikeringkan, cawan dan isinya didinginkan di dalam desikator, ditimbang berat akhirnya, dan dihitung kadar airnya dengan persamaan (1). (1)
Keterangan:
x y a
= berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (g) = berat cawan dan sampel sesudah dikeringkan (g) = berat cawan kosong (g)
4. Analisis kadar abu (AOAC 923.03 tahun 2005) Cawan porselin dikeringan dalam oven selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator selama 5 menit dan ditimbang. Sebanyak 2-3 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya, sampel dipanaskan di atas hot plate sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur pada suhu 400-600 o C selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator, selanjutnya ditimbang dan dihitung kadar abunya sesuai persamaan (1 dan 2).
19
(1) (2) Keterangan:
a b c
= berat cawan dan sampel akhir (g) = berat cawan kosong (g) = berat sampel awal (g)
5. Analisis kadar protein (AOAC 960.52 tahun 2005) Sampel sebanyak 0.1 – 0.2 gram dimasukkan ke dalam labu Kjedahl 100 ml, lalu ditambahkan 1 g K2SO4, 40 mg HgO, dan 3.5 ml H2SO4 pekat. Setelah itu, didestruksi sampai cairan berwarna jernih, kemudian didinginkan. Tahap selanjutnya adalah destilasi. Larutan sampel hasil destruksi dibilas dengan akuades dan ditambahkan 8 ml larutan NaOHNa2S2O3.5H2O, kemudian didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer 125 ml yang berisi H2BO3 dan indikator. Hasil destilasi tersebut kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N yang sudah distandardisasi hingga terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Larutan blanko juga dianalisis seperti sampel. Kadar nitrogen dihitung berdasarkan persamaan (1, 2, dan 3). (1) (2) (3)
6. Analisis kadar lemak (AOAC 963.15 tahun 2005) Sampel ditimbang sebanyak 1-2 gram lalu ditambah 30 ml HCl 25% dan 20 ml air. Sampel didihkan selama 15 menit di ruang asam kemudian disaring dengan kertas saring dalam keadaan panas. Selanjutnya, kertas saring dicuci dengan air panas hingga tidak asam lagi. Kertas saring berikut isinya dikeringkan pada suhu 105 oC. Selanjutnya, kertas saring dilipat dan analisis dilanjutkan pada tahap ekstraksi. Labu lemak yang akan digunakan untuk mengekstraksi dikeringkan di dalam oven bersuhu 100-110 oC selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 5 menit, kemudian ditimbang. Kertas saring hasil hidrolisis sebelumnya dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring baru dan disumbat kapas pada sisi atas dan bawahnya, kemudian dimasukkan ke dalam alat ekstraksi yang telah berisi pelarut hexana. Refluks dilakukan selama 6 jam dan pelarut yang ada di dalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya, labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven bersuhu 105 oC hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Penghitungan kadar lemak berdasarkan persamaan (1 dan 2). (1)
(2)
20
Keterangan:
a b c
= berat labu dan sampel akhir (g) = berat labu kosong (g) = berat sampel awal (g)
7. Analisis kadar karbohidrat by difference Pengukuran kadar karbohidrat menggunakan metode by difference. Kadar karbohidrat (% bb) = 100% - (kadar air (%bb) + kadar protein (%bb) + kadar lemak (%bb) + kadar abu (%bb))
8. Densitas kamba (bulk density) (Narayana dan Narasinga 1984 diacu dalam Adebowale et al. 2005) Gelas ukur 10 ml ditimbang, kemudian sampel dimasukkan ke dalamnya sampai volumenya mencapai 10 ml. Pengisian diusahakan tepat tanda tera dan tidak dipanaskan. Gelas ukur berisi sampel ditimbang dan selisih berat sampel menyatakan berat sampel per 10 ml. Densitas kamba dinyatakan dalam g/ml atau g/cm3.
Denstitas kamba ( g / cm 3 )
a b 10
Keterangan : a = berat gelas ukur berisi sampel 10 ml (g) b = berat gelas ukur kosong (g)
9. Derajat warna dan derajat putih dengan Chromameter CR-310 Minolta (Mugendi et al. 2010a) Pengukuran dilakukan dengan meletakkan sampel di dalam wadah berukuran seragam dan selanjutnya dilakukan pengukuran pada skala nilai L, a, dan b. nilai L menyatakan parameter kecerahan (lightness) yang mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai a menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0-100 untuk warna merah dan nilai –a (negatif) dari 0-(-80) untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0-70 untuk kuning dan nilai –b (negatif) dari 0-(-70) untuk warna biru. Derajat putih dapat diperoleh dengan cara mengkonversi nilai L, a, dan b yang diperoleh menjadi derajat putih dalam bentuk % dengan rumus berikut. Derajat putih (%)=100-[(100-L)2+(a2+b2)]0.5
10. Kapasitas absorpsi air dan minyak (Lin et al. 1974 di dalam Mugendi et al. 2010a) Sampel sejumlah 0.5 gram dicampur dengan 5 ml akuades pH 7.0 (kapasitas absorpsi air) atau 5 ml minyak jagung (kapasitas absorpsi minyak), lalu diaduk selama 1 menit. Setelah itu didiamkan selama 30 menit pada suhu 25 oC. Campuran kemudian disentrifus pada kecepatan 3000 rpm selama 25 menit. Volume cairan bebas diukur dan cairan yang tertahan dinyatakan sebagai ml air atau minyak per gram sampel.
21
11. Analisis Kapasitas dan Stabilitas Emulsi (Modifikasi Franzen dan Kinsella, 1976) Sampel sebanyak 2 gram ditambah 100 ml air, diatur pH 8. Penentuan pH penting dilakukan karena untuk membentuk emulsi yang stabil maka molekul protein lebih awal harus menjangkau permukaan air, lemak, kemudian membentang sehingga kelompok hidrofobik dapat berhubungan dengan fase lemak. Sisi protein penstabil yang disajikan ke fase air harus bersifat hidrofilik dan memiliki asam amino polar yang bermuatan dimana pada pH 8 memiliki nilai yang stabil (Bian et al. 2003). Sampel diaduk dengan magnetic stirrer selama 5 menit. Sebanyak 25 ml sampel ditambah 25 ml minyak jagung. Campuran didispersikan dengan blender selama 1 menit, kemudian disentrifus 3000 rpm selama 10 menit. Volume emulsi diukur.
Aktivitas Emulsi (%)
Volume campuran t eremulsi
x100%
volume total campuran Untuk mengamati stabilitas emulsi selama waktu tertentu, emulsi yang sudah terbentuk disimpan beberapa lama pada suhu ruang. Volume emulsi diamati pada jam ke-0.5, 1, 2, 4, 6 kemudian dicatat dan dibuat kurva kestabilan emulsinya (Okezie dan Bello 1988). Percobaan kapasitas dan stabilitas emulsi ini dilakukan sebanyak dua kali ulangan.
12. Penentuan kapasitas dan stabilitas busa (Widowati et al. 1998) Kapasitas busa merupakan perbandingan antara volume busa setelah 30 detik dengan volume awal. Sedangkan stabilitas busa merupakan perbandingan antara volume busa setelah satu jam dengan volume busa setelah 30 detik. Sampel sebanyak 2 gram dilarutkan dalam 100 ml akuades dan diaduk dengan magnetic stirrer. Larutan diatur pH-nya menjadi 8 dengan NaOH 2 N. volume awal dicacat, kemudian diblender selama 2 menit. Volume busa setelah 30 detik dan setelah 1 jam diukur. Kapasitas busa (%)
volume busa setelah 30 detik
x100%
volume awal
stabilitas busa (%)
volume busa setelah 1 jam
x100%
volume busa setelah 30 detik
13. Kekuatan gel ( Schmidt 1981 di dalam Widowati et al. 1998) Sampel sebanyak 0.75, 1.00, 1.25, dan 1.50 gram dilarutkan dalam 10 ml akuades sehingga diperoleh konsentrasi larutan 7.5, 10, 12.5 dan 15%. Larutan ditepatkan hingga pH 8 menggunakan NaOH 2 N. larutan tersebut dipipet sebanyak 3.0 ml ke dalam tabung reaksi. Tabung reaksi dimasukkan ke dalam penangas air bersuhu 100 oC selama 15 menit. Tabung dikeluarkan dan disimpan pada suhu 4 oC selama 2 jam. Kekuatan gel diukur secara kualitatif. Skala yang digunakan untuk pengukuran gel adalah 0 = tidak berbentuk gel 1 = gel sangat lemah, yaitu bila dimiringkan gel jatuh 2 = bila tabung dibalik vertikal gel tidak jatuh 3 = bila tabung dibalik vertikal dan dihentak sekali, gel tidak jatuh 4 = bila tabung dihentak berkali–kali, gel tidak jatuh
22
14. Analisis daya cerna protein in vitro (Hsu et al. 1977 di dalam Mugendi et al. 2010) Sebelumnya, larutan multienzim dibuat dalam air destilata. Larutan multienzim terdiri dari campuran 1.6 mg tripsin, 3.1 mg kimotripsin, dan 1.3 mg peptidase per ml akuades. Larutan multienzim ini ditepatkan pH-nya menjadi pH 8.00 menggunakan NaOH 0.1 N atau HCl 0.1 N. Larutan multienzim selanjutnya disimpan dalam lemari pendingin. Sejumlah sampel disuspensikan dalam akuades sampai konsentrasi 6.25 mg protein/ml. Sebanyak 25 ml suspensi sampel ditaruh dalam gelas piala kecil, kemudian diatur pH-nya menjadi pH 8.00 dengan menambahkan NaOH 0.1 N atau HCl 0.1 N. Selanjutnya sampel dimasukkan dalam penangas air 37 oC selama 5 menit sambil diaduk. Sebanyak 2.5 ml larutan multienzim ditambahkan (saat penambahan enzim dicatat sebagai waktu ke nol) ke dalam suspensi sampel sambil tetap diaduk dalam penangas air 37 oC. Nilai pH suspensi sampel dicatat pada tepat menit ke-10. Daya cerna protein dinyatakan dengan persamaan berikut. Y = 210.464 - 18.103x Keterangan:
Y x
= =
daya cerna protein nilai pH pada menit ke-10
D. ANALISIS STATISTIKA Data hasil penelitian dianalisis menggunakan One-Way-ANOVA (Analysis of Variance) dengan taraf kepercayaan 99% (α = 0.01) untuk mengetahui pengaruh perlakuan pendahuluan terhadap parameter yang ditetapkan. Jika ada pengaruh sangat nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan (α = 0.01) untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang nyata antarperlakuan. Uji independent sample t-test dengan taraf kepercayaan 99% digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antarvarietas pada perlakuan yang sama. Analisis data dilakukan dengan mengaplikasikan perangkat lunak SPSS versi 20 dan Ms.Office Excel 2010. Data hasil penelitian utama yang diperoleh menggunakan response surface methodology dianalisis menggunakan program Design Expert®. Program ini dilengkapi dengan ANOVA untuk mengetahui signifikansi pengaruh variabel terhadap respon yang telah ditentukan pada model polinomial. Taraf signifikansi untuk model ditetapkan pada mode 1% dan untuk pembabatan variabel ditetapkan pada mode default 10% sedangkan pada tahap verifikasi selang kepercayaan ditetapkan sebesar 99%.
23
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
PENELITIAN PENDAHULUAN A. Tepung Koro Benguk Kacang koro benguk adalah tanaman musiman. Pada masa panen, keberadaannya sangat melimpah sehingga harganya jatuh dan pada saat masa tanam keberadaannya sangat langka sehingga harganya melambung tinggi. Pada penelitian ini, dilakukan proses penepungan untuk menjamin ketersediaan dan keamanan bahan baku untuk pembuatan tepung berprotein tinggi. Menurut Fellows (2000) proses penepungan juga berfungsi memperluas bidang permukaan sehingga akan mempermudah pengolahan lebih lanjut. Kulit biji koro benguk lebih tebal dari jenis kacang lainnya sehingga penghilangan lapisan kulit pada koro benguk tidak semudah pada kedelai atau pada kacang-kacangan lain. Pada penelitian ini dilakukan perebusan selama 30 menit untuk memudahkan penghilangan kulit. Sudiyono (2010) melaporkan bahwa perebusan selama 30 menit memudahkan penghilangan kulit koro benguk yang tebal dan keras. Perebusan menyebabkan disintegrasi jaringan dan kerusakan dinding sel sehingga kulit menjadi lunak dan pengulitan mudah dilakukan. Koro benguk memiliki bagian yang dapat dimakan (edible portion) sebesar 95% dari kacang segar utuh (Depkes RI 2004). Jika efisiensi penggilingan sempurna maka akan dihasilkan tepung dengan bobot yang tidak berbeda dengan bobot edible portion. Secara umum, rendemen tepung koro benguk tanpa kulit yang dihasilkan dari perlakuan pendahuluan sebesar 54–69% dari berat total biji koro benguk mentah. Besar kecilnya rendemen tepung bergantung pada efisiensi proses penggilingan yang ditentukan dari kemampuan mesin penggiling. Persentase rendemen dalam pembuatan tepung ini dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Persentase rendemen pembuatan tepung koro benguk berdasarkan koro benguk mentah utuh Perlakuan Mentah (utuh) Tanpa kulit Tanpa kulit + rebus 30 menit Tanpa kulit + kukus 30 menit Tanpa kulit + rendam 6 jam Tanpa kulit + rendam 12 jam Tanpa kulit + rendam 24 jam Germinasi
Rendemen (%) koro benguk putih koro benguk belang 76.10 79.60 66.35 67.71 61.79 54.05 63.80 65.84 62.30 63.68 62.04 69.89 54.04 61.25 40.48 39.07
Dari semua perlakuan pendahuluan, rendemen tepung paling rendah ditemukan pada perlakuan germinasi, yaitu 40%. Rendahnya rendemen tepung disebabkan oleh rendahnya viabilitas perkecambahan koro benguk. Menurut Vidal-Valverde (1998) viabilitas kacang famili Fabaceae sebesar 90%. Namun pada penelitian ini, viabilitas koro benguk tidak lebih dari 50%. Diduga rendahnya viabilitas koro benguk karena kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Suatu
24
perkecambahan dipengaruhi beberapa faktor seperti suhu, oksigen, cahaya, air, dan dormansi agar memiliki tingkat keberhasilan viabilitas yang tinggi (Urbano et al. 2004). Di samping itu, faktor internal pun menentukan keberhasilan germinasi. Sebagai contoh, terdapat kacang yang mudah dan sulit berkecambah. Selain itu, tingkat keberhasilan germinasi juga dipengaruhi oleh fertilitas dan kualitas kacang setelah pemanenan seperti tingkat kemasakan dan dormansi (Smith 2011). Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan kecambah koro benguk sebagai tepung akan menghasilkan rendemen yang bervariasi, bergantung pada keberhasilan proses germinasi tersebut. Oleh karena itu rendemen tepung koro benguk yang dikecambahkan tidak dapat diprediksi karena sangat bergantung dari viabilitas kacang koronya.
B. Kandungan Asam Sianida sebagai Pembatas Faktor Keamanan Koro benguk secara alami mengandung senyawa toksik glukosida sianogenik yang dapat terurai menjadi asam sianida. Asam sianida dalam dosis tertentu dapat menyebabkan keracunan pada tubuh manusia. Oleh karena itu, keberadaannya dalam bahan pangan diusahakan seminimal mungkin. Pada penelitian ini dilakukan beberapa perlakuan untuk menurunkan kadar senyawa sianida. Data penelitian kadar sianida tepung koro benguk varietas putih (Lampiran 1a), varietas belang (Lampiran 1c), dan hasil analisis ragamnya (Lampiran 1b dan 1d) menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap kadar HCN. Tabel 5 menunjukkan kadar sianida pada tepung koro benguk yang dinyatakan sebagai HCN.
Tabel 5. Kadar HCN Tepung Koro Benguk Perlakuan
Kadar HCN (mg/kg basis kering)
koro benguk putih koro benguk belang d Mentah (utuh) 19.88 20.10c Tanpa kulit 19.02d 2.95b Tanpa kulit + rebus 30 menit 13.83c 2.32a,b b Tanpa kulit + kukus 30 menit 8.40 1.83a,b Tanpa kulit + rendam 6 jam 2.92a 1.50a a Tanpa kulit + rendam 12 jam 2.76 1.66a,b Tanpa kulit + rendam 24 jam 2.85a 1.64a,b Germinasi 2.87a 1.62a,b Nilai yang diikuti dengan huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p < 0.01)
Bila dibandingkan dengan penelitian tentang kadar sianida pada koro benguk sebelumnya yang dilakukan oleh Kala dan Mohan (2010), kadar sianida koro benguk pada penelitian ini jauh lebih besar. Namun apabila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tuleun et al. (2009) nilai kadar sianida pada penelitian ini jauh lebih kecil. Bervariasinya kadar sianida pada koro benguk diduga dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti lokasi, musim, dan jenis tanah (JECFA 1993 diacu dalam WHO 2004). Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Handajani et al. (2008) yang mengambil sampel dari daerah Wonogiri, Jawa Tengah. Sampel koro benguk segar tersebut mengandung HCN sebesar 17.72 mg/kg, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tepung kedua koro benguk mentah utuh pada penelitian ini.
25
Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 1b) menunjukkan bahwa kandungan HCN pada tepung koro benguk putih tidak berbeda sangat nyata (p>0.01) antara koro benguk mentah utuh dan perlakuan tanpa kulit. Akan tetapi, perbedaan kadar HCN yang sangat nyata terlihat pada kacang yang telah dikupas kulitnya lalu dilanjutkan dengan perlakuan perebusan, pengukusan, atau perendaman. Data menunjukkan bahwa senyawa sianogenik glukosida pada koro benguk varietas putih diduga terkonsentrasi pada kotiledon, bukan pada lapisan kulitnya. Meskipun ada penurunan kadar sianida pada kacang tanpa kulit, namun besarnya penurunan tersebut tidak signifikan. Hasil berbeda ditemukan pada koro benguk varietas belang, hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 1d) menunjukkan bahwa kadar HCN mengalami penurunan yang sangat nyata pada semua perlakuan jika dibandingkan terhadap kacang mentah. Berbeda dengan koro benguk varietas putih, senyawa sianogenik varietas belang diduga terkonsentrasi pada lapisan kulitnya. Perlakuan tanpa kulit menurunkan kadar HCN hingga 85.32% dibandingkan dengan kacang mentah utuh. Hal tersebut sama seperti pada ubi kayu, di mana menurut Heyne (1987) diacu dalam Yuningsih (2009) kandungan sianida pada kulit ubi kayu lebih tinggi dibandingkan dengan daging umbi. Konsentrasi sianogenik glukosida pada tanaman dapat bervariasi, salah satunya disebabkan oleh faktor genetik (JECFA 1993 diacu dalam WHO 2004). Perbedaan genetik diduga menjadi alasan perbedaan letak konsentrasi senyawa sianogenik pada koro benguk dengan varietas berbeda. Penurunan kadar sianida relatif sederhana. Handajani et al. (2008) melaporkan bahwa perendaman koro benguk selama 24 jam dapat menurunkan kadar HCN sebesar 29%, sedangkan perendaman selama 48 dan 72 jam dapat menurunkan kadar asam sianida berturut-turut sebesar 62% dan 77%. Handajani et al. (2008) juga melaporkan bahwa perlakuan perebusan, pengukusan, dan presto dapat menurunkan kadar sianida. Perebusan dapat menurunkan kadar HCN sebesar 85%, sedangkan pengukusan dan presto berturut-turut sebesar 84% dan 91%. Hal ini menunjukkan bahwa hidrogen sianida tergolong faktor antinutrisi yang tidak tahan panas (Iorgyer et al. 2009). Iorgyer et al. (2009) melaporkan penurunan kadar HCN pada kacang gude yang direbus selama 30 menit mencapai 53.43%. Akan tetapi, Akinmutimi dan Ukpabi (2008) melaporkan bahwa perebusan selama 30 menit pada koro benguk hanya dapat menurunkan 1.93% kadar HCN dibandingkan dengan kacang mentah, meskipun penurunannya signifikan. Perebusan yang semakin lama dapat menurunkan kadar HCN hingga 66.45% pada waktu 60 menit dan 69.62% pada waktu 90 menit. Koro benguk varietas putih dan belang memiliki pola penurunan kadar sianida yang hampir sama akibat adanya perlakuan. Pola penurunan dan perbandingan kadar HCN antara tepung koro benguk varietas putih dan belang dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Perbandingan kadar HCN tepung koro benguk pada perlakuan yang sama. Huruf yang berbeda pada histogram menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (α=0.01)
26
Hasil uji t pada α 1% menunjukkan bahwa kadar HCN koro benguk varietas putih dan belang mentah tidak berbeda, sedangkan pada perlakuan lainnya terdapat perbedaan kadar HCN yang sangat nyata antara koro benguk putih dan belang. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 1b) menunjukkan bahwa pada koro benguk varietas putih, perlakuan perebusan 30 menit, pengukusan 30 menit, perendaman, dan germinasi menurunkan kadar HCN kacang mentah sangat nyata jika dibandingkan terhadap perlakuan tanpa kulit. Hasil uji lanjut juga menunjukkan tidak terdapat perbedaan kadar HCN yang sangat nyata seiring dengan meningkatnya lama waktu perendaman. Selain itu juga terlihat bahwa antara perlakuan perendaman dan germinasi tidak menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata dalam penurunan kadar HCN, tetapi kedua perlakuan tersebut berbeda sangat nyata terhadap perebusan dan pengukusan. Sementara itu, terdapat perbedaan yang sangat nyata antara perebusan dan pengukusan. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 1d), pada koro benguk varietas belang, tidak ada perbedaan yang sangat nyata antara perlakuan perebusan, pengukusan, perendaman, dan germinasi. Sama halnya pada varietas putih, lamanya waktu perendaman tidak menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata terkait penurunan kadar asam sianida. Hasil uji lanjut juga melaporkan bahwa pengaruh perlakuan perebusan, pengukusan, perendaman selama 12 dan 24 jam tidak menunjukkan perbedaan yang sangat nyata jika dibandingkan terhadap perlakuan tanpa kulit, sedangkan perlakuan perendaman 6 jam berbeda sangat nyata dengan perlakuan tanpa kulit. Prinsip penurunan kadar senyawa sianogenik glukosida adalah reaksi hidrolisis senyawa sianogenik glukosida yang dikatalis oleh enzim endogenous pada tanaman yang mengandung senyawa tersebut. Sianogenik glukosida dihidrolisis menghasilkan glukosa, aldehida, dan asam sianida (WHO 2004). Enzim tersebut juga bertanggung jawab atas reaksi hidrolisis sianogenik glukosida pada produk tepung, meskipun aktivitasnya rendah (Panasiuk dan Bills 1984). Sianida dalam bentuk bebas maupun terikat mudah larut dalam air dan mudah menguap (EPA 2010, Udensi et al. 2007). Perlakuan perebusan meningkatkan kecepatan reaksi hidrolisis senyawa sianogenik glukosida akibat adanya energi panas sehingga menghasilkan HCN yang kemudian larut ke dalam air rebusan. Sama halnya seperti perebusan, perlakuan pengukusan juga meningkatkan reaksi hidrolisis. Asam sianida hasil hidrolisis terbawa bersamaan dengan uap air dan kondensat. Sementara itu, pada proses perendaman, reaksi hidrolisis terjadi saat air meresap ke dalam kacang. Reaksi hidrolisis terkatalis enzim endogenous menyebabkan senyawa sianogenik glukosida terhidrolisis menghasilkan HCN yang larut air (WHO 2004). Aktivitas enzim endogenous glukosidase meningkat saat proses germinasi. Panasiuk dan Bills (1984) melaporkan adanya kecenderungan peningkatan HCN pada kecambah sorghum seiring dengan lamanya proses germinasi. Proses germinasi meningkatkan aktivitas enzim hidrolitik termasuk glukosidase sehingga sianogenik glukosida dihidrolisis menghasilkan HCN yang mudah menguap pada suhu ruang. Pada penelitian ini menunjukkan perlakuan germinasi dapat menurunkan kadar HCN sangat nyata.
C. Kandungan Protein sebagai Parameter Gizi Peningkatan kandungan protein pada tepung koro benguk untuk memperoleh tepung berprotein tinggi, menjadikan protein sebagai zat gizi terpenting yang harus dipertahankan dan ditingkatkan. Penelitian ini melaporkan adanya perubahan kadar protein yang bervariasi akibat perbedaan perlakuan yang diterapkan. Data penelitian kadar protein tepung koro benguk varietas putih (Lampiran 2a), varietas belang (Lampiran 2c), dan hasil analisis ragamnya (Lampiran 2b
27
dan 2d) menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap kadar protein. Tabel 6 berikut menunjukkan kadar protein dari masing-masing perlakuan dari varietas koro benguk belang dan putih.
Tabel 6. Kadar Protein Tepung Koro Benguk Perlakuan Mentah (utuh) Tanpa kulit Tanpa kulit + rebus 30 menit Tanpa kulit + kukus 30 menit Tanpa kulit + rendam 6 jam Tanpa kulit + rendam 12 jam Tanpa kulit + rendam 24 jam Germinasi
Kadar protein (mg/kg basis kering) koro benguk putih koro benguk belang a 29.50 26.23a 31.20b 29.08b,c,d c 32.03 29.42c,d,e 31.58b,c 28.21b b,c 31.80 29.18b,c,d 31.57b,c 28.45b,c 32.54c 30.09d,e b 31.01 30.30e
Nilai yang diikuti dengan huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (p < 0.01)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar protein akibat perebusan pada varietas putih dan belang masing-masing sebesar 2.59 dan 1.56%. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 2b dan 2d), perlakuan pengukusan tidak memengaruhi kadar protein pada tepung koro benguk varietas putih, tetapi terjadi penurunan kadar protein pada varietas belang sebesar 3%. Perubahan kadar protein akibat proses termal relatif kecil. Akinmutimi dan Ukpabi (2008) melaporkan bahwa perebusan selama 30 menit dapat mempertahankan kadar protein pada koro benguk. Namun, penurunan kadar protein signifikan terjadi pada perebusan selama 60 dan 90 menit. Penurunan kadar protein pada waktu perebusan yang lebih lama disebabkan larutnya protein akibat perebusan (Akinmutimi dan Ukpabi 2008). Nwaoguikpe et al. (2011) juga menyatakan bahwa penurunan kadar protein disebabkan oleh larutnya komponen nitrogen selama perebusan. Adapun peningkatan kadar protein akibat proses termal diduga disebabkan oleh adanya degradasi komponen lainnya sehingga kadar protein pada penelitian ini meningkat sebesar 1.56-2.59% jika dibandingkan terhadap kacang tanpa kulit. Pada perlakuan germinasi, hasil uji lanjut Duncan menunjukkan tidak adanya perbedaan kadar protein yang sangat nyata (p>0.01) pada tepung koro benguk varietas putih, tapi terdapat perbedaan yang sangat nyata pada tepung koro benguk varietas belang. Sementara itu, kadar protein koro putih perlakuan germinasi berbeda sangat nyata dengan perlakuan perendaman 24 jam, sedangkan kadar protein koro belang tidak berbeda sangat nyata dengan perlakuan perebusan dan perendaman 24 jam. Menurut Nip (2006), aktivitas proteolitik lebih rendah saat germinasi dibandingkan dengan aktivitas lipolitik dan glikolitik sehingga penurunan kadar protein selama germinasi cenderung tidak terjadi. Wanjekeche et al. (2003) melaporkan tidak adanya perubahan kadar protein yang sangat nyata pada koro benguk yang dikecambahkan selama lima hari dan tujuh hari. Lamanya waktu germinasi tidak memengaruhi kadar protein, bahkan meningkatkan kadar protein sebagaimana yang dilaporkan oleh Udensi dan Okoronkwo (2006), meskipun peningkatannya
28
tidak signifikan. Bau et al. (1997) diacu dalam Megat et al. (2011) menduga adanya peningkatan kadar protein akibat germinasi disebabkan oleh sintesis protein atau disebabkan oleh degradasi komponen lainnya selama perkecambahan. Dugaan adanya faktor degradasi komponen lainnya sehingga menyebabkan peningkatan kadar protein juga terlihat pada perlakuan perendaman. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan tidak ada perbedaan kadar protein yang sangat nyata antara perendaman selama 6 jam dan 12 jam. Akan tetapi, peningkatan kadar protein akibat perlakuan perendaman selama 24 jam terlihat pada kedua varietas, yaitu sebesar 4.12% pada varietas putih dan 3.36% pada varietas belang. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 2b dan 2d) juga menunjukkan bahwa kadar protein koro benguk putih dan belang perlakuan perendaman 6 jam dan 12 jam tidak berbeda sangat nyata dengan perlakuan perebusan dan pengukusan. Berdasarkan hasil uji t pada α 1%, kadar protein koro benguk varietas putih dan belang berbeda sangat nyata pada perlakuan mentah utuh, tanpa kulit, perendaman 6 jam dan perendaman 24 jam (Gambar 6). Kala dan Mohan (2010) melaporkan bahwa kadar protein koro benguk varietas putih mencapai 30.63 g per 100 g kacang utuh. Wanjekeche et al. (2010) juga melaporkan koro benguk utuh varietas putih memiliki kadar protein lebih tinggi dibandingkan dengan varietas belang utuh, meskipun kadar protein keduanya tidak berbeda sangat nyata pada kacang tanpa kulit. Perbedaan kadar protein antara kedua varietas diduga disebabkan oleh faktor genetik (Butt Sadiq dan Batool 2010). Gambar 6 menunjukkan perbandingan kadar protein antara varietas putih dan belang pada perlakuan yang sama berdasarkan hasil uji t pada α 1%.
Gambar 6. Perbandingan kadar protein tepung koro benguk pada perlakuan yang sama. Huruf yang berbeda pada histogram menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (α=0.01)
D. Penentuan Perlakuan Terpilih Hasil pengujian sianida pada tepung koro benguk dengan berbagai perlakuan memberikan beberapa alternatif pilihan perlakuan yang memenuhi persyaratan keamanan kadar HCN (≤ 10 mg/kg bahan). Selain perlakuan koro benguk belang mentah utuh, koro benguk putih mentah utuh, tanpa kulit, dan perebusan 30 menit, semua perlakuan dari kedua varietas memenuhi syarat untuk dipilih. Oleh karena itu, pertimbangan pemilihan perlakuan terbaik tepung koro benguk sebagai bahan baku tepung berprotein tinggi dilanjutkan dengan pembobotan nilai dari parameter kadar protein dan daya cerna pati. Tabel 7 menunjukkan pembobotan untuk menentukan perlakuan terpilih.
29
Tabel 7. Pembobotan nilai parameter kadar protein dan daya cerna pati tepung koro benguk untuk penentuan perlakuan terpilih
Parameter
P0
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
B
P
B
P
B
P
B
P
B
P
B
P
B
P
B
P
kadar protein
1
3
3
4
3
5
2
5
2
5
2
5
4
5
4
4
daya cerna pati
2
3
3
4
1
2
1
3
3
5
3
5
4
5
4
5
Total
3
6
6
8
4
7
3
5
5
10
5
10
8
10
8
9
Rentang scoring kadar protein
Rentang scoring daya cerna pati
5 = 31.29 s.d. 32.54 4 = 30.03 s.d. 31.28 3 = 28.76 s.d. 30.02 2 = 27.50 s.d. 28.75 1 = 26.63 s.d. 27.49
5 = 43.77 s.d. 48.37 4 = 39.16 s.d. 43.76 3 = 34.55 s.d. 39.15 2 = 29.94 s.d. 34.54 1 = 25.32 s.d. 29.93
Dari total nilai pembobotan yang ditunjukkan Tabel 7, terdapat tiga perlakuan dari koro benguk varietas putih yang memiliki skor tertinggi yaitu perlakuan perendaman 6 jam (P4), perendaman 12 jam (P5), dan perendaman 24 jam (P6). Hasil pembobotan kadar protein pada ketiga perlakuan tersebut didukung dengan hasil uji ANOVA yang menunjukkan kadar protein tidak berbeda nyata secara statistik. Namun, pada penelitiannya, Saputra (2012) melaporkan daya cerna pati tepung koro benguk varietas putih dengan perlakuan perendaman 24 jam paling tinggi dan berbeda nyata secara statistik dengan perlakuan 6 dan 12 jam dimana semakin lama proses perendaman akan meningkatkan daya cerna pati pada tepung koro benguk. Oleh karena itu, waktu perendaman yang lebih lama menjadi pilihan untuk memperbesar kemungkinan daya cerna pati yang lebih tinggi. Dari pertimbangan keamanan bahan yaitu kadar sianida, nilai pembobotan total kadar protein dan daya cerna pati yang dilengkapi dengan data penelitian Saputra (2012), tepung koro benguk varietas putih dengan perendaman 24 jam terpilih sebagai bahan baku penelitian utama.
PENELITIAN UTAMA A. Pembuatan Tepung Berprotein Tinggi 1. Penentuan konsentrasi substrat Konsentasi substrat sangat berpengaruh terhadap reaksi awal enzim α-amilase. Apabila terlalu pekat, maka akan membuat enzim tidak dapat mencapai suspensi tepung dan bekerja kurang optimal. Dalam penelitian ini tepung koro benguk dilarutkan dalam air dan dibuat menjadi konsentrasi 10, 15, 20, dan 30%. Suspensi tepung koro benguk dipanaskan pada suhu dan waktu gelatinisasi awal berdasarkan profil gelatinisasi yang diuji menggunakan Rapid Visco Analyzer. Data pembacaan grafik profil gelatinisasi (Lampiran 3) menunjukkan suhu awal tepung koro benguk untuk mencapai gelatinisasi awal sebesar 84 °C dengan waktu tujuh menit. Gelatinisasi pati dipengaruhi oleh bahan mentah yaitu ukuran granula, rasio antara amilosa dan amilopektin, serta komponen-komponen dalam bahan pangan seperti kadar air,
30
gula, protein, lemak, dan serat kasar. Oleh karena itu, profil gelatinisasi pati pada masingmasing bahan berbeda-beda termasuk pada koro benguk. Informasi mengenai suhu dan waktu untuk mencapai gelatinisasi awal sangat dibutuhkan karena proses likuifikasi atau pendegradasian molekul pati oleh enzim α-amilase lebih baik dilakukan pada kondisi setelah tepung mencapai gelatinisasi (Misset 2003). Beberapa molekul pati khususnya amilosa yang dapat terdispersi dalam air panas, meningkatkan granula-granula yang membengkak dan memasuki cairan yang ada di sekitarnya. Molekul-molekul amilosa tersebut akan terus terdispersi bila pati selalu dalam kondisi panas. Dalam kondisi tersebut, pasta masih memiliki kemampuan mengalir secara fleksibel dan tidak kaku. Hasil pengujian suspensi diamati secara kualitatif berdasarkan kenampakan fisik dan kuantitatif menggunakan Viscometer Brookfield. Data pengamatan kualitatif (Gambar 7) menunjukkan bahwa konsentrasi 10% memberikan bentuk gel terbaik karena berwujud encer dan masih dapat diaduk. Pada suspensi 15% gel masih dapat diaduk tetapi kekentalannya meningkat sangat cepat dan diduga akan menghambat pendifusian enzim dalam substrat saat mendapatkan panas lanjut pada proses likuifikasi. Suspensi dengan konsentrasi 20 dan 30% tidak dapat diaduk dan sangat lengket sehingga akan menyulitkan pendifusian enzim pada suspensi.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 7. (a) Suspensi tepung konsentrasi 10%, (b) Suspensi tepung konsentrasi 15%, (c) Suspensi tepung konsentrasi 20%, (d) Suspensi tepung konsentrasi 30% dalam air.
Tidak berbeda dengan pengamatan kualitatif, data kuantitatif dengan pengujian nilai kekentalan juga menunjukkan nilai viskositas berbanding lurus dengan peningkatan konsentrasi. Data pengukuran viskositas menggunakan Brookfield Viscometer ditunjukkan pada Tabel 8.
31
Tabel 8. Pengukuran konsentrasi substrat tepung koro benguk Konsentrasi Suspensi 10% 15% 20% 30%
Viskositas (cP) 205 12375 >2 juta >2 juta
Pada suspensi dengan konsentrasi 20 dan 30%, nilai viskositasnya lebih besar dari dua juta cP. Nilai tersebut menunjukkan viskositas yang sangat tinggi. Pada konsentrasi 15% viskositasnya tinggi mencapai 12350 cP. Nilai tersebut menghasilkan viskositas yang terlalu kental sehingga tidak sesuai dengan kondisi suspensi tepung yang diharapkan pada proses selanjutnya. Pada konsentrasi 10%, secara fisik sudah membentuk gel tapi masih dapat mengalir dan menghasilkan nilai viskositas sebesar 205 cP. Suspensi 10% merupakan suspensi terbaik yang dipilih pada pembuatan tepung berprotein tinggi. Berbagai rasio antara tepung dan air tersebut memengaruhi proses gelatinisasi (Wirakartakusumah 1981). Pada pembuatan tepung berprotein tinggi dari bahan lain seperti beras, gandum, dan terigu, konsentrasi 10% memberikan hasil yang optimum (Dewi 1996; Palupi 1996; Thamrin 1996). Konsentrasi yang tidak terlalu pekat akan mempermudah α-amilase memecah substrat pati.
2. Penentuan dosis enzim Pengujian aktivitas liquozyme supra enzim α-amilase termamyl dilakukan berdasarkan kondisi standar optimum α-amilase meliputi pH optimal dan suhu optimal mengacu pada penelitian sebelumnya oleh Wibisono (2004) dan Akyuni (2004) yaitu pada suhu 95 °C dan pH 5.2. Penentuan aktivitas α-amilase dilakukan dengan mengukur hasil degradasi pati, biasanya dari kadar pati yang larut atau kadar dekstrinnya menggunakan substrat jenuh (Suhartono 1989). Substrat yang digunakan dalam penentuan aktivitas enzim adalah soluble starch 2%. Substrat sebelum digunakan digelatinisasi terlebih dahulu agar enzim dapat langsung menghidrolisis substrat. Dari hasil penghitungan menggunakan metode bernfeld (Lampiran 4) diketahui aktivitas α-amilase (Bacillus licheniformis) ini sebesar 5441.8399 IU/ml enzim. Dosis yang umum digunakan untuk pemecahan satu gram pati adalah lima unit enzim (Sunarti et al. 2004). Namun untuk pati kompleks digunakan dosis enzim berlebih 100 unit/g pati. Sehingga apabila jumlah pati kompleks yang akan dihidrolisis pada setiap perlakuan pada penelitian ini sebesar 15 gram, maka enzim yang ditambahkan minimal sebanyak 1500 unit atau setara dengan 0.3 ml larutan induk enzim α-amilase.
3. Optimasi pembuatan tepung berprotein tinggi dengan response surface methodology Box Behnken 1. Rancangan proses dan respon Program Design Expert 7.0® adalah software yang digunakan untuk merancang optimasi proses peningkatan protein menggunakan enzim α-amilase. Dalam penelitian ini, rancangan yang dipilih adalah response surface methodology (RSM) dengan 15 running perlakuan hasil kombinasi tiga faktor dan tiga taraf. RSM digunakan untuk menentukan proses yang paling optimal sehingga diperoleh hasil yang optimal (Montgomery 2001).
32
Optimasi proses pada penelitian ini dipengaruhi oleh suhu, pH, dan waktu proses. Secara lebih khusus RSM yang digunakan adalah model rancangan Box Behnken karena rancangan ini digunakan untuk mengetahui nilai optimum pada rentangan yang dibuat untuk setiap faktor. Box Behnken digunakan untuk menentukan titik optimal pada rentangan yang sensitif seperti karakteristik enzim yang bekerja sangat sensitif dan tidak akan bekerja diluar kondisi lingkungannya. Setelah dilakukan rancangan proses, kemudian dilakukan penentuan respon. Penentuan respon dilakukan berdasarkan karakteristik yang akan berubah akibat perubahan proporsi relatif dari faktor-faktor proses penyusunnya (Montgomery 2001). Respon yang digunakan dalam penelitian ini adalah respon obyektif berupa kadar protein kasar. Pemilihan respon tersebut sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu meningkatkan kadar protein pada tepung koro benguk. Selanjutnya dilakukan pengukuran dan perhitungan terhadap respon yaitu kadar protein. Hasil pengukuran dan perhitungan respon dari setiap proses dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil pengukuran setiap respon ini akan menjadi input data pada program Design Expert 7.0® yang selanjutnya akan dianalisis dalam tahapan analisis respon.
2. Analisis respon dengan program Design Expert 7.0® Pada tahap analisis respon, program Design Expert 7.0® memberikan beberapa model polinomial yang disesuaikan dengan hasil pengukuran setiap respon. Program Design Expert 7.0® memberikan empat pilihan model polinomial untuk setiap respon yaitu mean, linear, quadratic, dan cubic. Model polinomial merupakan output dari proses analisis respon dengan rancangan Box Behnken. Program Design Expert 7.0® akan merekomendasikan salah satu model yang paling sesuai untuk setiap respon. Model yang paling sesuai dengan respon akan ditampilkan pada fit summary. Program Design Expert 7.0® memberikan fasilitas analisis ragam ANOVA untuk menunjukkan signifikansi dari model yang direkomendasikan. Selanjutnya model yang direkomendasikan tersebut ditampilkan di dalam suatu countour plot, yang berupa gambar dan grafik dua dimensi (2D) atau tiga dimensi (3-D). Model yang baik adalah model yang signifikan terhadap respon, memberikan lack of fit yang tidak signifikan, memiliki nilai predicted R-squared dan ajusted R-squared yang saling mendukung, serta memberikan nilai adequate precision lebih dari empat (Anonim 2006). Model yang baik akan memberikan prediksi yang baik bagi rata-rata keluaran yang dihasilkan. Pada tahap analisis respon, program Design Expert 7.0® juga memberikan fasilitas plot kenormalan residual (normal plot residual) yang mengindikasikan apakah residual (selisih antara respon aktual dengan nilai respon yang diprediksikan) mengikuti garis kenormalan (garis lurus). Titik-titik data yang semakin mendekati garis kenormalan menunjukkan titik-titik data yang menyebar normal yang memiliki arti hasil aktual akan mendekati hasil yang diprediksikan oleh program Design Expert 7.0®. Pada plot kenormalan residual terdapat nilai internally studentized residual pada sumbu x, yaitu besarnya standar deviasi yang memisahkan nilai respon aktual dengan yang diprediksikan dan nilai normal % probability yaitu presentase kemungkinan data hasil respon menyebar normal (Montgomery 2001).
33
3. Analisis respon kadar protein Berdasarkan analisis yang dilakukan, model polinomial dari kadar protein adalah reduced cubic. Model polinomial yang direkomendasikan oleh program Design Expert 7.0® adalah quadratic, tetapi model ini tidak memberikan lack of fit yang non-signifikan sehingga digunakan cubic. Pada model cubic, model tidak menunjukkan suatu keunikan sehingga diperlukan reduksi model dengan cara backward elimination. Reduksi model yang dilakukan adalah menghilangkan interaksi komponen BC, ABC, AC2, B2C, BC2, A3, B3, C3 dan selisihnya juga tidak diikutkan dalam model karena dianggap tidak signifikan (tidak memenuhi =0.1000). Hasil analisis ragam (ANOVA) (Lampiran 6) menunjukkan bahwa model yang direduksi (reduced cubic) sangat signifikan dengan nilai p"prob>F" lebih kecil dari 0.01 (<0.0002). Lack of fit F-value adalah sebesar 2.82 dengan nilai p "Prob>F" lebih besar dari 0.01 (0.2616) yang menunjukkan bahwa lack of fit tidak sangat signifikan relatif terhadap pure error. Nilai lack of fit yang tidak sangat signifikan adalah syarat untuk model yang baik. Nilai lack of fit yang tidak sangat signifikan ini menunjukkan adanya kesesuaian data respon kadar protein dengan model. Besarnya nilai predicted R-squared dan adjusted R-squared untuk respon protein secara berturut-turut adalah sebesar 0.8585 dan 0.9857 yang menunjukkan bahwa data-data yang diprediksikan dan data-data aktual respon kadar protein tercakup kedalam model sebesar 85.85% dan 98.57%. Nilai predicted R-squared mendukung nilai adjusted Rsquared karena selisih keduanya lebih kecil dari 0.2. Adequate precision untuk respon kadar protein adalah 28.945 yang menunjukkan besarnya sinyal terhadap noise ratio. Nilai adequate precision yang lebih besar dari 4 (28.945) mengindikasikan sinyal yang memadai sehingga model ini dapat digunakan sebagai pedoman design space. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, model yang dihasilkan memenuhi syarat sebagai model yang baik sehingga diharapkan dapat memberikan prediksi yang baik. Persamaan polinomial untuk respon kadar protein adalah sebagai berikut: Kadar protein =39.89+3.74A+0.71B+5.59C-1.16AB-1.54AC-1.76B2-5.31C2- 1.85A2B5.15A2C-3.53AB2 keterangan :
A. suhu B. pH C. waktu
Berdasarkan persamaan tersebut terlihat bahwa selain dipengaruhi oleh tiga faktor proses (suhu, pH, waktu), kadar protein juga dipengaruhi oleh interaksi antar faktor tersebut. Respon kadar protein akan meningkat seiring peningkatan suhu, pH, dan waktu. Hal ini ditunjukkan dengan konstanta yang bernilai positif pada model. Respon kadar protein akan mengalami penurunan seiring dengan peningkatan interaksi antara suhu, pH, dan waktu dan selisih keduanya. Hal ini ditunjukkan dengan konstanta yang bernilai negatif pada model. Ketiga variabel yaitu suhu, pH, dan waktu secara nyata memberikan pengaruh pada kadar protein. Variabel waktu memberikan pengaruh paling signifikan pada respon kadar protein bila dilihat nilai p-valuenya sebesar < 0.0001. Variabel pH dan suhu juga memberikan pengaruh yang signifikan pada kadar protein dengan nilai p-value berturut-turut 0.0666 dan 0.4970 (Lampiran 6).
34
Sebenarnya peningkatan kadar protein adalah bentuk peningkatan protein secara tidak langsung. Protein tidak meningkat secara kuantitas tetapi proporsinya meningkat disebabkan oleh terdegradasinya komponen lain pada tepung koro benguk yaitu karbohidrat. Keefektifan enzim dalam mendegradasi komponen karbohidrat inilah yang menyebabkan seakan-akan protein meningkat jumlahnya saat dianalisis. Kemampuan enzim α-amilase dalam menghidrolisis komponen substrat dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, diantaranya suhu, pH, dan waktu proses (Beer 2004). Waktu memiliki pengaruh yang sangat nyata pada model dalam meningkatkan protein karena memiliki rentang yang paling lebar. Rentang yang digunakan adalah 20-60 menit. Semakin lama proses likuifikasi, maka degradasi komponen karbohidrat semakin banyak sehingga proporsi protein juga akan meningkat. Namun, waktu proses yang terlalu lama dapat menyebabkan kerusakan protein. Oleh karena itu, rentang proses dipilih pada kisaran waktu 20 menit hingga 60 menit. Budiyanto et al. (2004) melaporkan hidrolisis menggunakan α-amilase selama 20 menit masih menghasilkan produk yang sedikit. Sementara itu, Wibisono (2004) melaporkan lama likuifikasi optimal α-amilase adalah 60 menit. Model menunjukkan bahwa suhu dan pH juga memengaruhi kadar protein yang dihasilkan atau dengan kata lain memengaruhi kemampuan enzim dalam menghidrolisis karbohidrat. Naz (2002) melaporkan α-amilase aktif pada suhu 90-105 °C dan pada kisaran pH 5.0-6.0. Liquozyme supra α-amilase yang digunakan untuk proses likufikasi ini merupakan enzim termofilik yang memiliki termostabilitas dan aktivitas tetap optimal pada suhu tinggi (Vieille dan Zeikus 2001). Selain itu, kerja enzim ini mudah dikontrol yaitu menggunakan pH untuk mengaktifkan atau menginaktifkan enzim tersebut (Rasooli et al. 2008). Grafik kenormalan internally studentized residual untuk respon kadar protein dapat dilihat pada Gambar 8. Grafik ini menunjukkan nilai sebaran data hasil pengukuran protein.
Gambar 8. Grafik internally studentized residuals
Gambar 8 menunjukkan titik-titik letaknya seimbang dan berada dekat di sepanjang garis normal, sehingga dapat dikatakan bahwa data-data untuk respon kadar protein
35
menyebar normal. Data-data respon kadar protein yang menyebar normal menunjukkan adanya pemenuhan model terhadap asumsi dari ANOVA pada respon kadar protein. Grafik contour plot RSM menggambarkan bagaimana kombinasi antar faktor saling memengaruhi nilai respon kadar protein (Gambar 9). Warna-warna yang berbeda pada grafik contour plot tersebut menunjukkan nilai respon kadar protein. Kadar protein
Gambar 9. Contour plot kadar protein pada pH 5.50
Kadar protein
Warna biru menunjukkan nilai respon kadar protein terendah, yaitu 26.22%. Warna merah menunjukkan respon kadar protein tertinggi yaitu 40.51%. Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik contour plot menunjukkan kombinasi dari ketiga faktor dengan nilai berbeda yang menghasilkan respon kadar protein yang sama. Bentuk permukaan dari hubungan interaksi antarfaktor ini dapat dilihat lebih jelas pada grafik tiga dimensi yang ditunjukkan pada Gambar 10. Perbedaan ketinggian permukaan menunjukkan nilai respon yang berbeda-beda pada setiap kombinasi antarfaktor proses. Area yang rendah menunjukkan nilai respon kadar protein yang rendah, sedangkan area yang tinggi menunjukkan nilai respon protein yang tinggi.
Gambar 10. Grafik 3-D kadar protein pada pH 5.50
36
4. Optimasi proses dengan program Design Expert 7.0® Proses optimasi dilakukan untuk mendapatkan suatu proses dengan respon yang optimal. Respon yang paling optimal diperoleh jika nilai desirability mendekati satu. Setiap komponen yang dioptimasi diberikan pembobotan kepentingan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pembobotan kepentingan dinamakan importance yang dapat dipilih mulai dari 1 (+) hingga 5 (+++++) bergantung kepentingan variabel respon yang bersangkutan. Semakin banyak tanda positif yang diberikan menunjukkan tingkat kepentingan variabel respon yang semakin tinggi. Berikut adalah komponen yang dioptimasi, nilai target, batas, dan importance pada tahapan optimasi proses dengan menggunakan program Design Expert 7.0®. Respon yang menjadi prioritas utama dalam proses optimasi pembuatan tepung berprotein tinggi adalah kadar protein. Respon kadar protein dengan kisaran 26.22-40.51% dioptimalkan dengan nilai target 60. Batas bawahnya 0 dan batas atasnya 95. Respon yang diinginkan sangat penting sehingga memiliki nilai importance 5 (+++++). Dari tahap optimasi yang dilakukan, program Design Expert 7.0® memberikan empat solusi proses optimum (Lampiran 7). Solusi proses optimum ini diperoleh dari model hasil running program Design Expert 7.0® terhadap 15 running process yang kemungkinan akan menghasilkan hasil yang optimum. Running process yang memberikan nilai desirability tertinggi direkomendasikan oleh program Design Expert 7.0® sebagai solusi proses optimum. Nilai target optimasi yang dapat dicapai dikenal dengan istilah desirability yang ditunjukkan dengan nilai 0-1. Semakin tinggi nilai desirability menunjukkan semakin tingginya kesesuaian proses untuk mencapai proses dengan variabel respon yang diinginkan. Solusi proses satu hingga empat memiliki nilai desirability bervariasi dan yang paling mendekati angka desirability tertinggi (1) adalah solusi pertama. Dari empat proses optimum yang dihasilkan dari proses optimasi, solusi pertama terpilih sebagai rekomendasi dari program Design Expert 7.0®. Hal ini menunjukkan bahwa menurut hasil optimasi yang telah dilakukan, solusi pertama paling memenuhi target optimasi yang diinginkan, sehingga perlu dilanjutkan ke tahap verifikasi untuk membuktikan kesesuaian hasil prediksi dengan hasil faktual kadar protein yang dihasilkan dari running process. Nilai desirability yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh kompleksitas faktor, kisaran yang digunakan dalam faktor, jumlah faktor dan respon, serta target yang ingin dicapai dalam memperoleh proses optimum. Kompleksitas jumlah faktor dapat terlihat pada persyaratan variabel proses yang dianggap penting dan berpengaruh terhadap proses untuk menentukan optimasi. Nilai masing-masing satuan proses ditentukan dalam selang yang berbeda-beda yang berpengaruh terhadap nilai desirability. Semakin lebar selang, maka penentuan proses optimum dengan desirability tinggi akan sulit, namun apabila rentang tidak terlalu lebar, maka penentuan desirability mendekati satu akan semakin mudah. Jumlah faktor dan respon juga turut mempengaruhi nilai desirability proses optimum. Semakin banyak komponen dan respon, semakin sulit untuk mencapai keadaan optimum sehingga nilai desirability yang dihasilkan rendah. Begitu pula sebaliknya, bila jumlah respon sedikit, maka nilai desirability akan semakin tinggi bahkan satu (1). Nilai importance yang besar (+++ hingga +++++) menunjukkan adanya keinginan yang tinggi untuk mencapai proses optimal yang ideal (sesuai target optimasi). Semakin besar tingkat
37
importance dari suatu respon atau faktor, maka semakin sulit untuk memperoleh proses optimum dengan nilai desirability yang tinggi (Montgomery 2001). Solusi proses terpilih, yaitu proses pertama memiliki komposisi faktor yaitu suhu sebesar 95.15°C, nilai pH 5.6, dan waktu 50.62 menit. Solusi proses ini diprediksikan akan memiliki kadar protein sebesar 41.44%. Jika dilihat dari target kandungan protein yang ingin dicapai sebesar 60%, maka solusi proses pertama memiliki nilai desirability sebesar 0.691. Hal ini berarti solusi proses pertama akan menghasilkan produk yang memiliki karakteristik yang sesuai dengan target optimasi sebesar 69%. Grafik contour plot dari solusi proses pertama dapat dilihat pada Gambar 11. dan grafik tiga dimensinya dapat dilihat pada Gambar 12. Contour plot disajikan dengan menggunakan model prediksi untuk nilai respon kadar protein. Garis-garis yang terdiri atas titik-titik pada grafik contour plot menunjukkan kombinasi dari ketiga faktor dengan jumlah berbeda yang menghasilkan nilai desirability tertentu yang sama.
Gambar 11. Contour plot desirability pada waktu 50.62 menit Titik prediksi pada Gambar 11. menunjukkan kombinasi suhu 95.15°C, pH 5.6 dan lama waktu 50.62 menit yang menghasilkan nilai desirability 0.691. Grafik tiga dimensi (Gambar 12) menunjukkan proyeksi dari contour plot. Area yang rendah pada grafik tiga dimensi menunjukkan nilai desirability yang rendah, sedangkan area yang tinggi menunjukkan nilai desirability yang tinggi.
38
Gambar 12. Grafik 3-D desirability pada waktu 50.62 menit
5. Verifikasi solusi formula optimum Tahap verifikasi dilakukan setelah tahap optimasi proses dengan menggunakan program Design Expert 7.0®. Tahap verifikasi bertujuan untuk melakukan pembuktian terhadap prediksi dari nilai respon rancangan proses optimum yang diberikan oleh program Design Expert 7.0®. Dari tahapan verifikasi, didapatkan nilai respon aktual untuk dibandingkan dengan prediksi respon yang dihasilkan oleh program Design Expert 7.0®. Selain prediksi nilai respon dari setiap solusi formula optimum yang diberikan, program Design Expert 7.0® juga memberikan confident interval untuk setiap nilai prediksi respon pada taraf signifikansi tertentu. Confident interval adalah rentang yang menunjukkan ekspektasi rata-rata hasil pengukuran berikutnya pada taraf signifikansi tertentu, dalam hal ini α 1%. Prediction interval adalah rentang yang menunjukkan ekspekstasi hasil pengukuran respon berikutnya dengan kondisi sama pada taraf signifikansi tertentu, dalam hal ini α 1%. Hasil verifikasi yang dilakukan beserta prediksi dari respon dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil verifikasi dan prediksi solusi terpilih Rancangan Proses terpilih Respon Kadar Protein
Prediksi 41.4394
Hasil verifikasi 41.41
99% Cl low 40.67
99% Cl high 42.21
99% Pl low 39.68
99% Pl high 43.20
Data penelitian (Lampiran 8) menunjukkan hasil verifikasi memiliki tingkat kesamaan yang tinggi meskipun tidak sama persis dengan prediksi yang dibuat oleh program Design Expert 7.0®. Hasil verifikasi yang didapatkan masih memenuhi 99%
39
confident interval yang telah diprediksikan. Oleh karena itu, persamaan yang didapatkan masih dianggap cukup baik untuk menentukan proses optimum dan respon yang didapatkan. Perbedaan yang terjadi antara hasil prediksi dengan respon aktual yang diperoleh dapat disebabkan oleh pengaruh kelabilan alat pemanas pada saat verifikasi dengan saat pengukuran respon yang dilakukan di awal penelitian. Kondisi ini masih dapat diterima mengingat hasil verifikasi yang didapatkan adalah nilai respon sampel, sedangkan prediksi yang diberikan oleh program Design Expert 7.0® adalah perkiraan dari nilai respon populasi. Hasil verifikasi tersebut juga meyakinkan bahwa solusi terpilih satu dengan komponen faktor suhu 95.15° C, pH 5.6, dan lama waktu proses 50.62 menit merupakan titik optimal terbaik untuk likuifikasi dengan menggunakan enzim liquozyme supra αamilase. Suhu optimal yang diperoleh pada penelitian ini mirip dengan suhu terbaik kerja enzim α-amilase yang dilaporkan Wibisono (2004) sebesar 95°C, sedangkan kondisi optimal pH sedikit lebih besar dari yang dilaporkan Wibisono (2004) yaitu pH 5.2. Hal ini dimungkinkan karena perbedaan kondisi enzim yang digunakan pada penelitian ini dengan enzim yang digunakan pada penelitian Wibisono (2004). Untuk lama proses, hasil optimasi menunjukkan waktu yang lebih singkat dari yang dilaporkan Wibisono (2004). Lama waktu yang lebih singkat memungkinkan kerusakan protein tidak terlalu besar. Berdasarkan hasil verifikasi yang dilakukan, rancangan proses terpilih menghasilkan kadar protein sebesar 41.41% lebih tinggi 28.52% dari produk acuannya yaitu tepung koro benguk yang mengandung kadar protein sebesar 32.33%. Kadar protein tepung koro benguk yang telah diproses dengan likuifikasi dengan faktor terpilih menunjukkan peningkatan kadar protein akan tetapi nilainya tidak mencapai kadar maksimal tepung berprotein tinggi sebesar 60%. Akan tetapi, jika dilihat dari klaim komparasi gizi yang dikeluarkan oleh BPOM (2011) yang menyatakan produk dapat diklaim sebagai produk berprotein tinggi apabila mengandung protein 25% lebih tinggi dari produk asalnya.
B. Kandungan Gizi dan Rendemen Tepung Koro Benguk Berprotein Tinggi Data penelitian (Lampiran 9) menunjukkan adanya beberapa perbedaan proporsi kandungan gizi antara tepung koro benguk biasa dengan tepung berprotein tinggi yang telah mengalami proses likuifikasi. Perbedaan kandungan gizi tersebut diduga karena adanya perubahan proporsi kandungan gizi selama proses likuifikasi. Tabel perbandingan kandungan gizi dan rendemen tepung koro benguk biasa dan tepung koro benguk berprotein tinggi dapat dilihat pada Tabel 10.
40
Tabel 10. Perbandingan kandungan gizi dan rendemen tepung koro benguk biasa dan tepung koro benguk berprotein tinggi
Komposisi
Tepung koro benguk
Tepung koro benguk
% (bk)
biasa
berprotein tinggi
Kadar abu
1.66 ± 0.06
3.02 ± 0.01
Kadar lemak
5.34 ± 0.06
4.64 ± 0.18
Kadar protein
32.54 ± 0.25
41.83± 0.71
Kadar karbohidrat
60.45 ±0.38
49.51± 0.96
Rendemen
54.04 ±3.13
30.73 ±0.60
Kadar air tepung berprotein tinggi lebih kecil daripada kadar air tepung koro benguk. Hal ini disebabkan oleh pengaruh jenis alat yang digunakan untuk pengeringan tepung berprotein tinggi. Alat pengering yang digunakan untuk pengeringan tepung berprotein tinggi adalah spray dryer sehingga karakteristik produk yang dihasilkan sangat kering. Kartika (2009) melaporkan partikel tepung yang dihasilkan dengan alat pengering spray dryer lebih kecil dari partikel tepung yang dikeringkan dengan alat pengering lain seperti drum dryer. Kadar abu mengalami peningkatan pada tepung berprotein tinggi. Peningkatan kadar abu diduga karena tepung koro benguk mendapatkan panas dalam waktu yang cukup lama saat proses likuifikasi. Akinmutimi dan Ukpabi (2008) melaporkan adanya peningkatan kadar abu pada waktu perebusan yang lebih lama (60 dan 90 menit). Selain itu, peningkatan tersebut disebabkan oleh penurunan kadar zat gizi makro lainnya selama likuifikasi seperti lemak dan karbohidrat karena terdegradasi oleh enzim maupun panas. Menurut Miller (1996), kandungan mineral dalam bahan pangan tidak dapat rusak oleh panas, cahaya, agen pengoksidasi, dan pH yang ekstrim sehingga keberadaannya pada tepung berprotein tinggi masih tinggi. Kadar lemak juga mengalami perubahan antara tepung koro benguk dengan tepung berprotein tinggi. Hal ini diduga adanya hidrolisis lemak menghasilkan monogliserida dan digliserida yang memiliki kelarutan di dalam pelarut air relatif lebih tinggi dibandingkan dengan trigliserida. Nawar (1996) menyatakan bahwa hidrolisis ikatan ester pada trigliserida dapat terjadi akibat aktivitas enzim atau akibat panas dan adanya air. Penurunan kadar lemak pada penelitian ini relatif kecil, yaitu sebesar 0.16-0.50 g per 100 g tepung. Perubahan yang paling signifikan adalah perubahan proporsi kadar protein dan kadar karbohidrat. Kadar protein tepung berprotein tinggi meningkat sebesar 9.28 g/100 g dan kadar karbohidratnya turun sebesar 10.94 g/100 g dari tepung koro benguk. Kondisi ini memang diinginkan karena peningkatan kadar protein secara proporsial dilakukan dengan cara mendegradasi molekul karbohidrat menggunakan enzim α-amilase melalui proses likuifikasi. Dengan terdegradasinya komponen karbohidrat, maka kandungan protein akan meningkat secara proposional.
41
Rendemen tepung berprotein tinggi yang dihasilkan dari proses likuifikasi untuk peningkatan protein dari tepung koro benguk sebesar 30.73%. Kadar protein tepung berprotein tinggi ini telah memenuhi syarat BPOM tentang kategori produk pangan yaitu kadar proteinnya lebih tinggi 25% dari produk acuannya. Rendemen yang dihasilkan tersebut tidak jauh berbeda dengan rendemen tepung beras berprotein tinggi yang dihasilkan dari proses peningkatan protein dengan cara enzimatis (Hansen et al. 1981). Selain itu, rendemen tepung berprotein tinggi koro benguk juga hampir sama dengan produk pekatan protein dari koro-koroan yaitu kacang komak sebesar 31.7% (Nafi et al. 2006).
C. Karakteristik Fisikokimia Tepung Koro Benguk Varietas Putih Berprotein Tinggi dengan Proses Optimum 1. Densitas kamba Densitas kamba adalah sifat bahan pangan dari tepung-tepungan. Sifat tersebut merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume bahan. Suatu bahan dikatakan kamba apabila nilai densitas kambanya kecil, yang berarti membutuhkan ruang atau volume yang besar untuk berat yang ringan. Menurut Schubert (1987) tepung-tepungan umumnya memiliki densitas kamba sekitar 0.40-0.75 g/ml. Hasil penelitian (Lampiran 10) menunjukkan densitas kamba tepung koro benguk berprotein tinggi masih berada pada kisaran tersebut. Densitas kamba tepung berprotein tinggi yang dihasilkan adalah 0.43 g/ml. Nilai densitas kamba tepung berprotein tinggi ini lebih kecil dibandingkan dengan tepung koro benguk. Berdasarkan penelitian Saputra (2012) densitas kamba tepung koro benguk sebesar 0.51 g/ml. Apabila dibandingkan dengan tepung kedelai komersial yang memiliki densitas kamba 0.38 g/ml (Edema et al. 2005), maka densitas kamba tepung berprotein tinggi koro benguk masih lebih tinggi. Bila diperhatikan dari nilai densitas kamba dari tepung-tepungan tersebut, diduga kandungan protein berpengaruh terhadap nilai densitas kamba. Dimana semakin tinggi kandungan protein pada suatu bahan, maka densitas kambanya akan semakin kecil. Sifat fisik ini penting terutama dalam penyimpanan dan pengemasan. Bahan dengan densitas kamba kecil tidak efisien dari segi tempat penyimpanan maupun pengemasan. Pada bobot yang sama, bahan dengan densitas kamba kecil akan membutuhkan tempat yang lebih luas dibandingkan dengan bahan dengan densitas kamba besar. Tinggi rendahnya densitas kamba dipengaruhi oleh kadar lemak karena lemak memiliki bobot molekul yang relatif besar di dalam sistem bahan pangan. Adebowale et al. (2005) melaporkan adanya kenaikan densitas kamba pada tepung kacang Mucuna sp. yang telah diekstrak lemaknya.
42
2. Derajat warna Warna merupakan salah satu atribut visual penting dalam makanan disamping aroma dan tekstur. Salah satu jenis makanan yang memiliki perhatian lebih terhadap warna adalah produk tepung. Suhu pengeringan dan perlakuan proses berpengaruh terhadap kecerahan warna tepung yang dihasilkan (Honestin 2007). Warna tepung berprotein tinggi dari koro benguk tidak terlalu gelap bahkan cenderung cerah. Hal ini dapat memperluas aplikasi penggunaan tepung koro benguk berprotein tinggi pada berbagai jenis produk makanan. Kenampakan tepung berprotein tinggi koro benguk dapat dilihat pada Gambar 13.
warna sampel
(a)
(b)
Gambar 13. Visualisasi warna tepung berprotein tinggi: (a) subjektif; (b) Ilustrasi hasil analisis warna pada bola imajiner sistem pewarnaan Hunter L a b Secara visualisasi subjektif, tepung koro benguk berprotein tinggi pada penelitian ini memiliki warna tepung putih kecoklatan. Analisis warna dengan menggunakan alat chromameter menunjukkan bahwa tepung ini memiliki nilai L sebesar 50.04, nilai a sebesar +1.89, dan nilai b sebesar +5.24 (Lampiran 10). Selain itu, nilai derajat putih sampel sebesar 44.48%. Nilai ini diperoleh dari formula Whiteness. Notasi L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna putih (L=0), abu-abu dan hitam (L=100). Nilai L sebesar 50.04 menunjukkan bahwa tepung tersebut memiliki tingkat kecerahan sedang. Notasi a merupakan warna kromatik campuran merah dan hijau, sedangkan notasi b merupakan warna kromatik campuran kuning dan biru. Jika nilai a dan b yang diperoleh dari hasil penelitian ini diplotkan pada grafik warna, maka terlihat bahwa sampel berwarna kuning kecoklatan (Gambar 13b). Warna tepung berprotein tinggi yang cenderung putih kecoklatan ini diduga disebabkan oleh reaksi pencoklatan non-enzimatis selama pengeringan pada perlakuan pendahuluan dan reaksi kimia yang terjadi selama proses likuifikasi. Pengeringan selama 12 jam pada suhu 50oC pada penelitian pendahuluan diduga meningkatkan laju reaksi Maillard. Menurut Kumar et al. (2009), pada koro benguk utuh terdapat gula pereduksi. Faktor tersebut menyebabkan terjadinya pencoklatan non-enzimatis pada koro benguk yang dikeringkan. Gambar 14 menunjukkan perbedaan warna koro benguk sebelum dan sesudah dikeringkan.
43
(a)
(b)
Gambar 14. Perbedaan warna koro benguk (a) sebelum dikeringkan dan (b) sesudah Dikeringkan Reaksi pencoklatan non-enzimatis (reaksi Maillard) merupakan reaksi pencoklatan yang terjadi antara amino bebas dari asam amino, peptida, atau protein dan karbonil dari gula pereduksi (Villamiel et al. 2006). Reaksi ini dapat terjadi akibat pemanasan atau selama penyimpanan pada produk yang mengandung gula pereduksi dan protein yang tinggi (BeMiller dan Whistler 1996). Reaksi Maillard merupakan salah satu reaksi yang menyebabkan penurunan nilai gizi protein. Penurunan nilai gizi protein karena terdapat asam amino esensial (seperti L-lisin) yang tidak lagi tersedia bagi tubuh akibat telah bereaksi dengan gula pereduksi. Menurut BeMiller dan Whistler (1996), L-lisin merupakan asam amino esensial yang reaktif karena mempunyai gugus NH3+ pada karbon epsilon (ε). Asam amino L-lisin dapat bereaksi, baik dalam bentuk asam amino bebas, maupun bagian dari molekul protein. Selain perlakuan pendahuluan, penyebab lain terjadinya reaksi Maillard adalah proses likuifikasi. Proses likuifikasi mendegradasi karbohidrat menjadi komponen yang lebih sederhana yaitu dekstrin. Likuifikasi juga memungkinkan menghasilkan gula sederhana. Gulagula sederhana tersebut, terutama jenis gula pereduksi, memiliki kemungkinan bereaksi dengan protein sehingga terjadi reaksi pencoklatan non-enzimatis. Secara alami, reaksi Maillard terjadi pada produk yang mengandung protein dan gula pereduksi. Namun, laju reaksinya bergantung pada beberapa faktor, antara lain aktivitas air (aw), pH, suhu, dan komposisi kimia di dalam sistem pangan (Villamiel et al. 2006). Pada penelitian ini, pengeringan dengan suhu 50 oC pada penelitian pendahuluan dan proses likuifikasi produk diduga meningkatkan laju reaksi Maillard.
3. Aktivitas air (aw) Aktivitas air adalah sejumlah air bebas yang berada dalam bahan pangan. Keberadaan air bebas ini menjadi suatu penentu keamanan pangan karena kerusakan bahan pangan seperti kerusakan kimia, mikrobiologis maupun enzimatis ditentukan dari jumlah air bebas yang diukur dari nilai aktivitas air (aw).
44
aw tepung berprotein tinggi 0.62
Gambar 15. Hubungan kecepatan reaksi dengan aw dalam bahan pangan
Jenis-jenis kerusakan tersebut dapat diketahui dari nilai aktivitas air dalam rata-rata batas terendah air untuk bahan pangan mikroba tersebut. Data penelitian menunjukkan aktivitas air pada tepung koro benguk berprotein tinggi ini sebesar 0.62. Bila dilihat dari nilai a w-nya, kerusakan yang mungkin terjadi adalah kerusakan yang disebabkan oleh mikrobiologis dan kimia (Gambar 15). Menurut Winarno (2002) jenis mikroba yang umum menyerang produk pangan dengan aw berkisar 0.6-0.7 adalah kapang. Sedangkan kerusakan kimia yang dapat terjadi pada kisaran aw 0.61 adalah reaksi pencoklatan non-enzimatis dan oksidasi lipida. Reaksi pencoklatan non-enzimatis kemungkinan terjadi pada produk tepung berprotein tinggi dilihat dari warna produk yang berwarna putih kecoklatan. Pada produk kering dengan a w rendah, laju reaksi Maillard berlangsung cepat pada aw 0.5-0.8. Sementara itu, reaksi tersebut sudah dapat terlihat pada suhu ruang dan meningkat laju reaksinya seiring dengan meningkatnya suhu. Sedangkan kerusakan produk karena oksidasi lipida kemungkinan juga dapat terjadi karena tepung berprotein tinggi masih mengandung lemak meskipun proporsinya sangat sedikit sebesar 4.64%. Pencegahan kerusakan bahan pangan dapat dilakukan dengan cara menghilangkan sebagian air dari suatu bahan pangan kemudian dikemas untuk mencegah kenaikan kadar air selama penyimpanan. Pembuatan produk tepung berprotein tinggi dari koro benguk pada penelitian ini menggunakan spray dryer sehingga kadar air yang dihasilkan produk sebesar 5.43%. Fennema (1996) menyatakan apabila suatu produk memiliki kadar air 3-7%, maka kestabilan produk akan tercapai sehingga reaksi-reaksi kimia seperti reaksi pencoklatan dan oksidasi lemak dapat dikurangi.
45
D. Sifat Fungsional Tepung Koro Benguk Varietas Putih Berprotein Tinggi dengan Proses Optimum Sifat fungsional protein adalah sifat fisik dan kimia yang memengaruhi sifat protein dalam bahan pangan selama pemrosesan, penyimpanan, persiapan, dan pengonsumsian atau semua sifat dalam pangan, kecuali gizi yang memengaruhi penggunaan protein dalam sistem pangan (Kinsella 1979). Sifat fungsional protein sangat ditentukan oleh komposisi asam amino protein, jenis ikatan, muatan dan struktur protein. Dalam sistem pangan yang menggunakan protein, terutama produk dengan klaim berprotein tinggi, sifat fungsional sangat penting untuk diketahui. Mutu akhir hasil pengolahan pangan sangat dipengaruhi oleh sifat fungsional protein yang digunakan. Untuk hasil olahan yang berbeda membutuhkan sifat fungsional yang berbeda pula (Kinsella 1979).
1. Daya serap air Daya serap air dari protein merupakan sifat fungsional yang penting bagi pengembangan produk pangan karena berpengaruh terhadap juiciness dan mouthfeel sebuah produk. Penelitian ini melaporkan nilai daya serap air tepung koro benguk berprotein tinggi sebesar 1.77 ml/g. Daya serap tepung koro benguk berprotein tinggi ini lebih tinggi dari tepung koro benguk. Saputra (2012) melaporkan daya serap tepung koro benguk sebesar 1.67 ml/g. Adebowale dan Lawal (2004) melaporkan pada konsentrasi ion 1 M, tepung koro benguk memiliki daya serap air lebih tinggi dari tepung koro pedang dan tepung kacang bogor. Namun daya serap tepung berprotein tinggi lebih kecil nilainya bila dibandingkan dengan tepung kedelai komersial (2.42 ml/g) (Widaningrum et al. 2005), tepung kacang emas Phaseolus lunatus (2.65 ml/g) (ChelGueverro et al. 2002). Struktur protein yang berbeda dan adanya karbohidrat hidrofilik diduga berpengaruh terhadap daya serap air produk tepung. Daya serap air dapat ditingkatkan dengan cara mengatur konsentrasi ionik. Pada konsentrasi ionik yang sesuai, akan diikat lebih banyak air karena akan meningkatkan pembukaan protein. Hal ini akan menyebabkan terpaparnya grup fungsional (asam amino) yang mampu meningkatkan daya serap air. Tinggi rendahnya kapasitas penyerapan air bergantung pada komposisi kimia dan sifat polaritas komponen di dalam bahan (Mugendi et al. 2010a). Imbibisi air adalah sifat fungsional yang penting pada produk pangan seperti sosis, puding, dan adonan. Pada pangan tersebut, protein menyerap air tetapi tidak sampai larut karena keterbatasan air. Oleh karena itu, protein tersebut mengembang dan memberikan karakteristik seperti pengental. Dari nilai daya serap airnya, tepung berprotein tinggi koro benguk dapat digunakan sebagai ingridien pada produk giling seperti sosis. Selain itu, karakter daya serap air tersebut dapat digunakan untuk pembuatan produk bakery karena memungkinkan baker untuk menambahkan air pada adonan sehingga akan meningkatkan karakter pemrosesan sekaligus mempertahankan kesegaran roti.
46
2. Daya serap minyak Daya serap minyak penting dalam berbagai sistem pangan, misalnya pangan teremulsi, produk susu, produk sosis, adonan, dan roti. Daya serap minyak hanya mencirikan pengikatan minyak atau lemak secara fisik oleh protein. Struktur protein yang lebih banyak bersifat lipofilik memberi kontribusi terhadap meningkatnya daya serap minyak (Lin et al. 1974). Daya serap minyak tepung koro benguk berprotein tinggi adalah 1.83 ml minyak/g solid. Nilai daya serap minyak tepung berprotein tinggi ini lebih besar dari kisaran daya serap konsentrat dan isolat protein kedelai (1.33-1.54 ml minyak/g solid) yang dilaporkan oleh Kinsella (1979), daya serap minyak P angularis (1.47 ml/g), P calcuratus (1.29 ml/g), D labalab (1.20 ml/g) (Chau dan Cheung 1998). Daya serap minyak tepung koro benguk berprotein tinggi memiliki kesamaan bila dibandingkan dengan daya serap minyak tepung kacang bogor (1.83 ml/g) (Chel-Guerrero et al. 2002) dan daya serap minyak tepung kacang komak (1.83 ml/gr) (Suwarno 2003). Adanya variasi daya serap minyak pada produk tepungtepungan disebabkan oleh variasi yang muncul pada rantai sisi non-polar yang mungkin terikat pada rantai sisi hidrokarbon. Selain itu, pengikatan lemak pada produk bubuk dipengaruhi oleh ukuran partikel. Protein dalam bentuk bubuk dengan densitas rendah dan ukuran partikel kecil mengabsorbsi dan memerangkap minyak lebih banyak daripada yang densitasnya tinggi (Zayas 1997). Bila dilihat dari daya serap minyaknya, tepung berprotein tinggi berpotensi digunakan untuk interaksi struktural pada produk pangan terutama untuk mempertahankan flavor, meningkatkan palatibilitas, dan memperpanjang umur simpan, khususnya pada pada bakery atau produk berbasis daging yang menginginkan penyerapan lemak.
3. Kapasitas dan stabilitas emulsi Penelitian ini melaporkan kapasitas emulsi tepung koro benguk berprotein tinggi sebesar 32%. Nilai ini lebih kecil bila dibandingkan dengan kapasitas emulsi tepung koro benguk (45.5%), tepung kacang bogor (73.9%), dan tepung koro pedang (42.5%) (Adebowale dan Lawal 2004). Sathe et al. (1982) melaporkan bahwa kapasitas emulsi koro-koroan akan berkurang seiring meningkatnya konsentrasi protein. Pernyataan ini dikuatkan oleh hasil penelitian Lin et al. (1974) yang menemukan fakta serupa pada penelitiannya tentang tepung kedelai dan konsentrat protein kedelai. Konsentrasi protein memberikan pengaruh yang nyata pada kapasitas emulsi. Philips (1981) menyatakan pengaruh konsentrasi protein terhadap kapasitas emulsi berdasarkan kinetika absorpsi. Ketika konsentrasi protein rendah, kecepatan absorbsi adalah difusi terkontrol, sedangkan pada konsentrasi protein tinggi, terdapat penghalang aktivasi untuk absorbsi. Pada kondisi tersebut, kemampuan molekul protein untuk membuat ruang di antara lapisan yang ada, menembus, dan mengatur ulang pada permukaan telah ditentukan tingkatannya. Kurva stabilitas aktivitas emulsi tepung berprotein tinggi (Gambar 16) menunjukkan bahwa tepung berprotein tinggi memiliki kapasitas emulsi kurang stabil. Pada menit ke-0 hingga menit ke-120 stabilitas emulsi berkurang secara linier. Namun ketika mencapai menit 120 hingga menit 360, stabilitas emulsi stabil.
47
Kurva stabilitas emulsi tepung koro benguk berprotein tinggi
Gambar 16. Kurva stabilitas emulsi tepung koro benguk berprotein tinggi
Sifat emulsi dipengaruhi oleh komponen asam amino penyusun protein. Perbandingan jumlah asam amino hidrofilik dan lipofilik yang sangat seimbang sangat menentukan kemampuan protein untuk membentuk emulsi (Zayas 1997). Hal ini penting untuk menurunkan tegangan interfasial karena hidrofilik-lipofilik protein mampu teradsorpsi pada interfasial minyak-air. Lipofilik akan berikatan pada sisi minyak sedangkan hidrofilik akan berikatan pada sisi air. Kapasitas dan stabilitas emulsi diduga dipengaruhi oleh komposisi asam amino. Asam amino yang banyak menyusun biji koro benguk cenderung bersifat hidrofobik maka keseimbangan hidrofilik dan lipofilik proteinnya kurang dalam membentuk emulsi. Baik kapasitas emulsi maupun stabilitas emulsi, keduanya bergantung pada pH. Nilai pH pada penelitian ini mengacu pada metode Franzen dan Kinsella (1979) sebesar 8. Penelitian sebelumnya melaporkan tentang pengaruh pH terhadap kapasitas dan stabilitas emulsi untuk protein dari Cajanus cajan dan Vigna unguiculata (Mwasaru et al. 1999), Phaseolus lunatus dan Canavalia ensiformis (Chel-Guerrero et al. 2002), dan tepungtepungan dari P angularis, P calcaratu, D lablab, dan kedelai (Chau dan Cheung 1998). Pengaruh pH terhadap kapasitas emulsi memiliki pola yang sama dengan pengaruh pH terhadap kelarutan pada tepung. Oleh karena itu, sangat beralasan apabila kelarutan protein juga memengaruhi kapasitas emulsi pada tepung koro-koroan (Adebowale dan lawal 2004). Hal ini berkaitan dengan pembentukan film pada droplet minyak yang hanya dapat terjadi jika protein berada pada kondisi terlarut (Zayas 1997). Kemungkinan nilai kapasitas dan stabilitas emulsi pada tepung berprotein tinggi koro benguk dapat ditingkatkan dengan cara mengatur pH untuk mendapatkan kelarutan optimal. Hal ini dikarenakan kelarutan tepung koro benguk pada pH 10 lebih baik daripada pH 8 (Adebowale dan Lawal 2004).
48
4. Kapasitas dan stabilitas busa Busa didefinisikan sebagai dua sistem fase yang terdiri dari sel udara yang dipisahkan oleh lapisan tipis cairan yang disebut fase lamelar (Zayas 1997). Kemampuan pembentukan busa ini penting dalam produk whipped cream. Kapasitas daya busa tepung koro benguk berprotein tinggi sebesar 63.80% lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas busa tepung koro benguk pada pH 7 (37.17%) (Mugendi et al. 2010a). Namun pada pH 8 dalam penelitain yang lain, kapasitas busa antara tepung koro benguk berprotein tinggi dengan tepung koro benguk (58%) tidak terlalu berbeda (Adebowale dan Lawal 2004). Tepung koro benguk berprotein tinggi ini memiliki kemampuan membentuk busa, namun memiliki stabilitas busa yang rendah. Stabilitas busanya sebesar 66.80% pada pH 8, lebih kecil bila dibandingkan dengan stabilitas busa tepung koro benguk pada pH 7 (93.75%) (Mugendi et al. 2010). Adebowale dan Lawal (2004) melaporkan stabilitas busa terbaik pada tepung koro benguk berada pada kisaran pH titik isoelektriknya yaitu pH 4. Kurva stabilitas volume busa tepung berprotein tinggi koro benguk pada pH 8 yang diperoleh pada penelitian ini terdapat pada Gambar 17.
Kurva stabilitas volume busa tepung koro benguk berprotein tinggi
Gambar 17. Kurva stabilitas busa tepung koro benguk berprotein tinggi
Kapasitas dan stabilitas busa tepung berprotein tinggi dipengaruhi oleh nilai pH dan berkorelasi positif dengan profil kelarutan protein seperti pada sifat emulsi. Ketika muatan protein meningkat maka kapasitas busa pun meningkat (Cherry dan Mc Watter 1981). Ragab et al. (2004) melaporkan penelitian yang serupa pada isolat protein kacang cowpea menunjukkan kapasitas busa dipengaruhi oleh pH. Kapasitas busa tepung koro benguk berprotein tinggi kemungkinan akan memiliki nilai yang tinggi pada pengujian pH 10 yang merupakan kelarutan maksimumnya (Mugendi et al. 2010). Stabilitas busa akan meningkat ketika pH mendekati titik isoelektriknya. Adebowale dan Lawal (2004) memperkuat teori ini melalui hasil penelitiannya yang menyatakan stabilitas busa terbaik pada tepung koro benguk berada pada pH 4 yang merupakan titik isoelektriknya. Penelitian terdahulu juga menyatakan
49
bahwa stabilitas busa protein lebih stabil pada sekitar pH titik isoelektrik daripada pH lainnya (Aluko dan Yada 1995). Kapasitas dan stabilitas busa lebih baik dilakukan pada konsentrasi protein yang lebih tinggi karena dapat meningkatkan viskositas suspensi protein serta memfasilitasi pembentukan multilayer dan film yang bersifat kohesif pada permukaan interfasial (Damodaran 1996). Hal ini dikarenakan ketersediaan protein yang lebih banyak akan meningkatkan dispersi larutan yang juga akan meningkatkan pembentukan busa. Ketidakstabilan busa dapat disebabkan oleh disproporsionasi gelembung, penggabungan gelembung yang disebabkan ketidakstabilan film yang terbentuk, dan hilangnya air dari gelembung yang menyebabkan film terlalu tipis untuk menstabilkan gelembung (Adebowale dan Lawal 2003). Kestabilan busa kemungkinan dipengaruhi pula oleh adanya sisa lemak pada tepung berprotein tinggi yang melemahkan interaksi protein-protein dengan mengganggu permukaan hidrofobik (Zayas 1997).
5. Daya gelasi Gelasi adalah sifat reologi yang berkaitan dengan penarikan air dari lingkungan oleh molekul-molekul protein. Proses gelasi bergantung pada pembentukan jaringan tiga dimensi protein sebagai hasil interaksi protein-protein dan protein terlarut. interaksi ini semakin cepat pada konsentrasi protein yang lebih tinggi karena kontak dengan intermolekular yang juga lebih tinggi (Zayas 1997). Tepung berprotein tinggi mulai membentuk gel pada konsentrasi 10% dengan penampakan gel yang lemah dan terjatuh bila dimiringkan, sedangkan pada konsentrasi 15%, penampakan gel kuat dan tidak terjatuh pada hentakan pertama. Protein koro benguk dominan berbentuk albumin yang mudah didenaturasi pada permukaan (Adebowale et al. 2006), oleh karena itu pada konsentrasi 10% gel sudah mulai terbentuk. Adebowale dan Lawal (2004) melaporkan gel pada tepung koro benguk mulai terbentuk pada konsentrasi 12%. Perbedaan konsentrasi awal gelasi ini diduga karena perbedaan konsentrasi protein, dimana konsentrasi protein pada tepung koro benguk berprotein tinggi lebih tinggi dari tepung koro benguk sehingga tepung berprotein tinggi dapat membentuk gel pada konsentrasi yang sedikit lebih rendah. daya gelasi terbaik tepung koro benguk menurut Adebowale dan Lawal (2004) adalah 16%. Variasi pada karakter pembentukan gel bergantung pada perbedaan rasio konstituen seperti protein, lemak, dan karbohidrat pada tepung kacang-kacangan yang berbeda. Gelasi protein sangat penting pada pemrosesan dan penerimaan berbagai jenis pangan, termasuk sayuran dan produk pangan lainnya. Mekanisme gelasi dan penampakan gel dikendalikan berdasarkan keseimbangan antara interaksi tarik menarik hidrofobik dan interaksi elektrostatik yang tidak beraturan (Egelandsal 1980). Gaya tak beraturan pada permukaan bermuatan dan gaya tarik-menarik pada berbagai grup fungsional dibuka oleh panas yang dilepaskan protein. Berdasarkan data penelitian (Lampiran 11), pembentukan gel akan lebih baik dengan meningkatkan konsentrasi protein. Semakin tinggi konsentrasi, interaksi protein intramolekul semakin baik sehingga menghasilkan gel dengan tekstur yang semakin kuat akibat banyaknya air yang terikat pada protein (Schmidt 1981). Daya gel merupakan sifat penting untuk produk sup, saus, dan daging.
50
E. Daya Cerna Protein In Vitro Tepung Berprotein Tinggi Nilai gizi protein pada bahan pangan berbeda-beda. Nilai gizi protein tidak hanya berdasarkan pada tinggi rendahnya kadar protein yang terkandung di dalam bahan pangan tersebut, tetapi juga pada ketersediaan atau dapat tidaknya protein digunakan oleh tubuh. Penentuan daya cerna protein in vitro mengikuti metode Hsu et al. (1977) dalam Mugendi (2010a), di mana prinsip penentuan daya cerna protein in vitro dengan metode tersebut berdasarkan adanya penurunan pH setelah inkubasi selama 10 menit akibat hidrolisis protein oleh multienzim protease yang menghasilkan asam-asam amino dan peptida. Di dalam larutan suasana netral, asam-asam amino dapat melepaskan ion H+ yang menyebabkan penurunan pH larutan. Besarnya penurunan pH selama inkubasi 10 menit diplotkan ke dalam persamaan regresi untuk mendapatkan nilai daya cerna protein in vitro yang dinyatakan dalam satuan persen. Pada penelitian ini, nilai daya cerna protein tepung berprotein tinggi sebesar 78.58% (Lampiran 12). Daya cerna protein in vitro tepung koro benguk berprotein tinggi tidak jauh berbeda dari daya cerna koro-koroan lain seperti kecambah kacang tunggak (77.2%), kecambah kacang lentil (78.8%), dan kecambah kacang arab (77.6%) (Ghavidel dan Prakash 2007). Namun bila dibandingkan dengan daya cerna in vitro isolat protein kedelai (87.2%), nilai daya cerna tepung berprotein tinggi ini lebih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan jenis dan kadar senyawa antinutrisi pada masing-masing bahan. Di samping itu, proses pengolahan juga memengaruhi kemudahan suatu protein dicerna. Meskipun daya cerna protein in vitro tepung koro benguk lebih rendah dibandingkan dengan konsentrat kedelai, tepung ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber protein nabati yang baik.
51
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN Tepung koro benguk varietas putih dengan perlakuan perendaman 24 jam terpilih sebagai bahan baku pembuatan tepung berprotein tinggi. Perlakuan perendaman 24 jam pada koro benguk varietas putih diketahui dapat menurunkan kadar sianida hingga di bawah batas yang diizinkan (10 mg/kg) sebesar 2.85 mg/kg, memiliki kandungan protein tertinggi sebesar 32.54 g/100 gram, serta memiliki daya cerna pati tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Metode yang dipilih untuk meningkatkan kadar protein tepung koro benguk adalah proses likuifikasi. Proses likuifikasi dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu konsentrasi substrat, jumlah enzim yang ditambahkan, suhu, pH, dan waktu likuifikasi. Konsentrasi substrat terbaik pada proses likuifikasi adalah 10%, sedangkan jumlah enzim yang ditambahkan untuk setiap proses perlakuan sebesar 1500 IU atau 0.3 ml dari larutan induk enzim. Berdasarkan optimasi menggunakan response surface methodology, suhu, pH, dan lama likufikasi optimal sebesar 95.15 °C, 5.6, dan 50.63 menit. Tepung berprotein tinggi yang dihasilkan dari proses likuifikasi memiliki rendemen sebesar 30.73% dengan kandungan gizi abu, lemak, protein, dan karbohidrat berturut-turut sebesar 3.02, 4.64, 41.83, dan 49.51% (bk). Tepung tersebut memiliki densitas kamba yang relatif rendah (0.43 g/ml), warna putih kecoklatan dengan derajat putih sebesar 44.48%, dan aw sebesar 0.62. Sifat fungsional dari tepung berprotein tinggi meliputi daya serap air sebesar 1.77 ml/g, dan daya serap minyak sebesar 1.83 ml/g. Tepung berprotein tinggi ini mulai memiliki daya gelasi yang baik pada konsentrasi 15%. Nilai kapasitas emulsi, stabilitas emulsi, kapasitas busa dan stabilitas busa tepung ini berturut-turut adalah 32, 56.26, 63.80, dan 66.80%, sedangkan daya cerna protein in vitro-nya sebesar 78.58%. Tepung koro benguk berprotein tinggi berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku atau pensubstitusi sebagian pada produk pangan seperti sosis, bakery dan daging tiruan.
B. SARAN Penelitian ini telah menghasilkan tepung koro benguk berprotein tinggi sekaligus informasi mengenai kandungan gizi, sifat fisikokimia, sifat fungsional, dan daya cerna protein in vitro-nya, akan tetapi masih belum diketahui komposisi asam amino yang terkandung dalam tepung ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang komposisi asam amino pada tepung berprotein tinggi ini. Informasi mengenai kualitas protein seperti daya cerna protein in vivo menggunakan hewan percobaan juga perlu diteliti lebih lanjut. Selain itu, penelitian terkait peningkatan sifat fungsional tertentu pada produk ini seperti sifat emulsi dan daya busa dengan teknik kimia maupun fisik juga menarik untuk diteliti lebih jauh mengingat permintaan ingridien pangan yang memiliki kedua sifat fungsional tersebut sangat tinggi. Tepung koro benguk berprotein tinggi hasil penelitian ini sangat potensial sebagai bahan baku atau bahan pensubsitusi untuk pengembangan produk pangan baru yang berkaitan dengan produk berbasis protein. Penelitian tentang peluang aplikasi tepung berpotein tinggi ini dalam produk pangan dan kajian pengaruhnya terhadap mutu organoleptik dan mutu gizi, serta teknik penyimpanannya layak untuk ditindaklanjuti. Kajian lanjutan tentang scale up proses optimasi
52
pembuatan tepung koro benguk berprotein tinggi pada skala yang lebih besar juga menjadi suatu kesatuan tahap penelitian yang harus dilakukan sebelum produk ini siap untuk diindustrialisasikan.
53
DAFTAR PUSTAKA
Adebowale KO and Lawal OS. 2004. Comparative study of the functional properties of bambarra groundnut (Voandzeia subterranean), jack bean (Cannavalia ensiformis), and mucuna bean (Mucuna pruriens) flour. Food Res Int 37: 355-365. Adebowale AY, Adeyemi IA, and Oshodi AA. 2005. Functional and physicochemical properties of flours of six Mucuna species. Afr J Biotech Vol 4 (12): 1461-1468. Adebowale AY, Adeyemi IA, Oshodi AA and Nirajan K. 2006. Isolation, fractionation and characterisation of protein from Mucuna bean. Food Chem 104: 287-299. Akinmutimi AH and Ukpabi UH. 2008. Effect of cooking periods on the nutrient composition of velvet beans (Mucuna pruriens). J Agr 3 (3): 204-207. Akyuni D. 2004. Pemanfaatan Pati Sagu (Metrozylon sp.) untuk Pembuatan Sirup Glukosa menggunakan Amilase dan Amiloglukosidase [skripsi]. Program Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Aluka RE and Yada RY. 1995. Structure, function relations of cowpea (Vigna unguiculata) globulin isolate: influence of pH and NaCl on physicochemical and functional properties. Food chem 53:59-263. [Anonim]. 2006. Design-expert 7 user's guide.[e-book]http:/stat-ease.com/. [22 September 2012]. [AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 2005. Official Method of Analysis. Washington DC: Association of Official Analytical Chemistry. Atun S. 2009. Kandungan nutrisi dan potensi pemanfaatan koro benguk. Disampaikan pada Pelatihan Beberapa Teknologi Pengembangan Produk Pangan sesuai Potensi Daerah untuk Menumbuhkan Jiwa Wirausaha sebagai Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Pedesaan Kulon Progo, Yogyakarta. [BPS] Badan Pusat Statistika. 2012. Tanaman Pangan dan Buah-buahan. Jakarta. [BPOM] Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan. 2006. Surat Keputusan KA Badan POM RI tentang Kategori Pangan. Jakarta. Beer ZO. 2004. Alpha-amylase from Bacillus licheniformis containing a genetically engineered alphaamylase gene from B. Licheniformis (thermostable). Chem and Tech Assess. Roma: FAO. BeMiller JN and Whistler RL. Carbohydrates. In: Fennema OR (ed.). 1996. Food Chemistry Third Edition. New York: Marcel Dekker Inc. Bian Y, Myers DJ, Dias K, Lihono MA, Wu S, Murphy MA. 2003. Functional properties of soy protein fraction produced using a pilot plant-scale process. J. Am. Chem Soc 80:45-549. Blessing IA and Gregory O. 2010. Effect of processing on the proximate composition of the dehulled and undehulled mungbean (Vigna radiata (L.) Wilczek) flours. Pak J Nutr 9 (10): 1006-1016.
54
Budiyanto, Martosuyono P, Richana N. 2004. Optimasi proses produksi tepung gula kasava dari pati ubi kayu skala laboratorium. Balai Besar Penelitian dan pengembangan Paspapanen Pertanian. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian Vol 2. Butt MS and Batool R. 2010. Nutritional and functional properties of some promising legumes protein isolates. Pak J Nutr 9 (4): 373-379. Chaplin, MF, dan Bucke, Cristopher. 1990. Enzyme Technology. Cambridge: Cambridge University Press. Chau CF and Cheung PCK. 1998. Functional properties of flour prepared from three chinese indigenous legume seeds. Food chem 61: 429-433. Chel-guverro L, Perez-Forez V, Bentacur-Ancora D. and Davila-Ontiz G. 2002. Functional properties of flours and protein isolates from Phaseolus lunatus and Canvalia ensiformis seeds. J Agric Food Chem 50: 584-591. Cherry JP and Mc Watters KH. 1981. Whipping ability and aeration. In: Cherry JP (ed.). Protein Functionally in Foods. Washington DC: American Chemical Society. Damodaran S. Amino acids, peptides, and proteins. In: Fennema OR (ed.). 1996. Food Chemistry Third Edition. New York: Marcel Dekker Inc. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Daftar Kandungan Bahan Makanan. Indonesia. Depkes RI. Jakarta. Dewi BP. 1996. Pengaruh Konsumsi Sumber Protein (Kasein, Tepung Terigu Berprotein Tinggi, dan Daging Sapi Rendah Lemak) terhadap Komposisi Asam Lemak dan Asam Amino Otak serta Kemampuan Belajar Tikus Percobaan yang Diberi Minyak Kedelai [skripsi]. Program Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Edema MO, Sanni LO, and Sanni AI. 2005. Evaluation of maize-soybean flour blends for sour maize bread production in Nigeria. Afr J Biotech Vol 4 (9): 911-918. Elizade BE, Giaccoglia D, Pilosof AMR and Bartholomai GB. 1991. Kinetics of liquid drainage from protein stabilize foam. J Food Sci 56: 24. [EPA] U.S Environmental Protection Agency. 2010. Toxicological review of hydrogen cyanide and cyanide salts. Washington DC: U.S Environmental Protection Agency. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Rahardi F. 2008. Alternatif Bahan Bungkil selain Kedelai. http://foragri.blogsome.com/alternatifbahan-bungkil-selain-kedelai/htm. [31 Desember 2010]. Franzen KL and Kinsella JE. 1976. Functional properties of succinylated soy protein. J Agr Food Chem 24: 788. Fellows P. 2002. Food Processing Technology Principles and Practise Second Edition. Cambridge: Woodhead Publishing Ltd.
55
Fennema OR. 1996. Food Chemistry Third Edition. New York: Marcel Dekker Inc. Ghavidel RA and Prakash J. 2007. The impact of germination and dehulling on nutrients, antinutrients, in vitro iron and calcium bioavailability and in vitro starch and protein digestibility of some legume seeds. LWT 40: 1292–1299. Handajani S, Rachmawanti D, Pramita DS. 2008. Studi pendahuluan karakteristik kimia (HCN, antioksidan dan asam fitat) beberapa jenis koro lokal dengan berbagai perlakuan pendahuluan. Disampaikan pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, Jakarta. Hansen LP, Callan M, and Jones ET. 1981. The development of high protein rice flour for early childhood feeding. Food Tech 35(1): 38-42. Harnani S. 2009. Studi Karakteristik Fisikokimia dan Kapasitas Antioksidan Tepung Tempe Kacang Komak (Lablab purpureus (L.) Sweet) [skripsi]. Program Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Honestin T. 2007. Karakteristik Sifat Fisikokimia Tepung Ubi Jalar [skripsi]. Program Sarjana Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Iorgyer MI, Adeka IA, Ikondo ND, and Okoh JJ. 2009. The impact of boiling periods on the proximate composition and level of some anti-nutritional factors in pigeon pea (Cajanus cajan) seeds. Pros Agr and Tech Nasawara State Univ 5 (1): 92-102. Jariyah. 2002. Analisis Komponen Gula pada Sirup Maltosa Hasil Hidrolisis Pati Garut secara Enzimatis. [tesis]. Program Pascasarjana Industri Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang. [JECFA] The Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additive. 1993. Cyanogenic glycosides. In: [WHO] World Health Organization. 2004. Hydrogen cyanide and cyanides: human health aspects. Concise International Chemical Assessment Document (CICAD) 61. Geneva: WHO. Kala KB and Mohan VR. 2010. Chemical composition and nutritional evaluation of lesser known pulses of the genus, mucuna. Adv in Biores Vol 1 (2): 105-116. Kartika DY. 2009. Karakteristik Sifat Fungsional Konsentrat Protein Biji Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus L.) [skripsi]. Program Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kinsella JE. 1979. Functional properties of soy proteins. J Amr Oil Chem Soc 50: 242. Kinsella JE. 1976. Functional properties of proteins in foods: a survey. CRC Crit Rev in Food Sci Nutr 7: 219-280. Kinsella JE and Damodaran S. 1981. Interaction of carbonyl with soy protein conformation effects. J Agric Food Chem 29 (6) pp 1253-1257. Kumar A, Rajput G, Dhatwalia VK, and Srivastav G. 2009. Phytocontent screening of mucuna seeds and exploit in opposition to pathogenic microbes. J Biol Environ Sci 3 (9): 71-76. Kumar S, Rekha, and Kr Sinha L. 2010. Evaluation of quality characteristic of soy based millet biscuits. Adv Appl Sci Res 1 (3): 187-196.
56
Lewis MJ. 1996. Physical Properties of Food and Food Processing Systems. Cambridge: Woodhead Publishing Ltd. Lin MYJ, Hambert ES, and Sosulski FW. 1974. Certain functional properties of sunflower meal products. In: Mugendi JB, Njagi ENM, Kuria EN, Mwasaru MA, Mureithi JG, and Apostolides Z. 2010. Nutritional quality and physicochemical properties of mucuna bean (Mucuna pruriens L.) protein isolates. Int Food Res J 17: 357-366. Megat Rusydi MR and Azrina A. 2012. Effect of germination on total phenolic, tannin and phytic acid contents in soy bean and peanut. Int Food Res J 19 (2): 673-677. Misset O. 2003. Xylosa (glucose) isomerase. In: Whitaker JR,Voragen AGJ, and Wong DWS. Handbook of Food Enzymology. New York: Marcel Dekker Inc. Miller DD. Minerals. In: Fennema OR (ed.). 1996. Food Chemistry Third Edition. New York: Marcel Dekker Inc. Montgomery DC. 2001. Design and Analysis of Experiments 5th Edition. New York: John Willey&Sons Inc. Muchtadi TR. 1991. Teknologi Pangan Lanjut. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Muchtadi D, Palupi NS, dan Astawan M. 1992. Teknologi Pemasakan Ekstruksi. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Mugendi JB, Njagi EM, Kuria EN, Mwasaru MA, Mureithi JG, and Apostolides Z. 2010. Effect of processing technique on the nutritional composition and anti-nutrient content of mucuna bean (Mucuna pruriens L.). Afr J Food Sci Vol 4 (4): 156-166. _____. 2010a. Nutritional quality and physicochemical properties of mucuna bean (Mucuna pruriens L.) protein isolates. Int Food Res J 17: 357-366. Mwasaru MA, Muhammad K, Bakar J. and ChemanYB. 1999. Effect of isolation technique and conditions on the extractability, physicochemical and functional properties of pigeon pea (Cajanus cajan) and cowpea (Vigna unguiculata) protein isolates II. Fuctional properties. Food chem 67: 445-452. Nafi A, Susanto T, Subagio A. 2006. Pengembangan tepung kaya protein (TKP) dari koro komak (Lablab purpureus L. sweet) dan koro kratok (Phaseolus lunatus). J Teknol Ind Pgn Vol XVII No.3. Nawar WW. Lipids. In: Fennema OR (ed.). 1996. Food Chemistry Third Edition. New York: Marcel Dekker Inc. Naz S. 2002. Enzymes and Food. New York: Oxford Univesity Press. Nip WK. 2006. Food biochemistry: an introduction. In: Hui YH (ed.). Food Biochemistry & Food Processing. Iowa: Blackwell Publishing. Norman BB. 1981. New development in starch syrup technology. In: Birch GG and Parker KJ (eds.). Enzyme and Food Processing. London. Applied Science Publisher ltd. Novozymes. 2001. Liquozyme®Supra. Denmark: Novozymes A/S.
57
Nwaoguikpe RN, Braide W, and Ujowundu CO. 2011. The effects of processing on the proximate and phytochemical compositions of Mucuna pruriens seeds (velvet beans). Pak J Nutr 10 (10): 947951. Palmer T. 1991. Understanding Enzymes. London: Ellis Hoorwood. Palupi R. 1996. Pengaruh Konsumsi Sumber Protein (Kasein, Tepung Terigu Berprotein Tinggi, dan Isolat Protein Kedelai) terhadap Komposisi Asam Lemak dan Asam Amino Otak serta Kemampuan Belajar Tikus Percobaan yang Diberi Minyak Kedelai [skripsi]. Program Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Panasiuk O and Bills DD. 1984. Cyanide content of sorghum sprouts. J Food Sci Vol 49 (3): 791-793. Phillips DE, Eyre MD, Thompson A, Boulter D. 1981. Protein quality in seed meals of Phaseolus vulgaris and heat stable factors affecting the utilization of protein. J the Sci Food Agr 32: 423432. Pomeranz Y. 1991. Functional Properties of Food Components. San Diego: Academic Press Inc. Purba E. 2009. Hidrólisis Pati Ubi Kayu (Manihot Esculenta) dan Ubi Jalar (Ipomea batatas) menjadi Glukosa secara Cold Process dengan Enzim Acid Fungal Amilase dan Glukoamilase [skripsi]. Program Sarjana Fakultas Teknik, Universitas Lampung. Lampung. Rasooli I, Astaneh SDA, Borna H, Barchini KA. 2008. A Thermostable α-amylase producing natural variant of Bacillus sp. isolated from soil in Iran. Amr J Agr Bio Sci 3(3): 591-596. Saputra B. 2012. Karakteristik Fisikokimia dan Sifat Fungsional Tepung Koro Benguk (Mucuna pruriens L) [skripsi]. Program Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sathe SK, Despandhe SS and Salunkhe DK. 1982. Functional properties of lupin seed (Lupinus mutabilis) protein concentrate. J Food Sci 47: 491-497. Schenck FW, Hebeda, and Ronald E. 1992. Starch Hydrolysis Products. New York: New York Publiser Inc. Schmidt RH. 1981. Gelation and coagulation. In: Cherry JP(ed.). Protein Functionally in Foods. ACS Symposium Series, 147. Washington DC: American Chemistry Society. Schubert. 1987. Food particle technology part 1 properties of particles and particulate food system. J Food Eng 6: 1-32. Smith HR. 2011. Seed germination. Row Crops Newsletter Mississippi State University. Subarna, Andarwulan N, dan Palupi NS. 1990. Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Fungsional Minyak dan Protein Kacang Tanah. Laporan Penelitian. Bogor: IPB. Sudiyono. 2010. Penggunaan Na2HCO3 untuk mengurangi kandungan asam sianida (HCN) koro benguk pada pembuatan koro benguk goreng. AGRIKA, Vol 4 No 1, Edisi Mei 2010.
58
Suhartono MT. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi IPB. Sunarti TC, Yuliarsih I, Richana N. 2004. Perubahan komposisi karbohidrat pada hidrolisis ezimatis pati umbi-umbian Indonesia. Ringkasan Hasil Penelitian Dasar. Bogor: IPB. Suwarno M. 2003. Potensi Kacang Komak (Lablab purpureus L. sweet) sebagai Bahan Baku Isolat Protein [skripsi]. Program Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Syam A. 2003. Sistem pengelolaan lahan kering di daerah aliran sungai bagian hulu. J Litbang Pertanian 22: 162-171. Thamrin RY. 1996. Pengaruh Sumber Protein terhadap Komposisi Asam Lemak dan Asam Amino Otak serta Kemampuan Belajar Tikus Percobaan yang Diberi Minyak Kedelai [skripsi]. Program Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tuleun CD, Patrick JP, and Tiamiyu LO. 2009. Evaluation of raw and boiled velvet bean (Mucuna utilis) as feed ingredient for broiler chickens. Pak J Nutr 8 (5): 601-606. Udensi EA and Okoronkwo KA. 2006. Effects of fermentation and germination on the physicochemical properties of Mucuna cochinchinensis protein isolate. Afr J Biotech Vol 5 (10): 896-900. Udensi EA, Ekwu FC, and Isinguzo JN. 2007. Antinutrient factors of vegetable cowpea (Sesquipedalis) seeds during thermal processing. Pak J Nutr 6 (2): 194-197. Urbano G, Aranda P, Vilchez A, Aranda C, Lydia Cabrera, Porres JM, Jurado ML. 2004. Effects of germination on the composition and nutritive value of proteins in Pisum sativum L. Food Chem 93: 671-697. Wanjekeche E, Wakasa V, and Mureithi JG. 2003. Effect of germination, alkaline and acid soaking and boiling on the nutritional value of mature and immature mucuna (Mucuna pruriens) beans. Trop Subtrop Agroecosys 1: 183-192. Wanjekeche E, Imungi JK and Karuri EG. 2010. Effect of soaking on the cookability and nutritional quality of mucuna bean. Proceeding of the 12th KARI Biennial Scientific Conference theme: Transforming Agriculture for improved livehoods through Agricultural Product Value Chains, KARI Headquarters Kaptagat Road Nairobi, Kenya, 8-12 November 2010. Waggle DH, Steinke FH, and Shen JL. 1989. Isolated soy proteins. In: Mattews (ed.). Legumes : Chemistry, Technology, and Human Nutrition. New York: Marcel Dekker Inc. Whittaker JR. Enzymes. In: Fennema OR (ed.). 1996. Food Chemistry Third Edition. New York: Marcell Dekker Inc. [WHO] World Health Organization. 2007. Protein and Amino Acid Requirements in Human Nutrition: Report of a Joint FAO/WHO/UNU Expert Consultation. Geneva: WHO Press. _____. 2004. Hydrogen cyanide and cyanides: human health aspects. Concise International Chemical Assessment Document (CICAD) 61. Geneva: WHO.
59
Wibisono G. 2004. Hidrolisis Enzimatis Pati Umbi-umbian Indonesia dengan α-amilase Bakterial dan Amilase Pankreatin [skripsi]. Program Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor Widaningrum, Widowati S, dan Soekarno ST. 2005. Pengayaan tepung kedelai pada pembuatan mie basah dengan bahan baku tepung terigu yang disubstitusi tepung garut. J Pascapanen 2(1): 4148. Widowati S, Wijaya SKS dan Yuliati R. 1998. Fraksi globulin dan sifat fungsional isolat protein dari sepuluh varietas kedelai Indonesia. Penlit Pertanian Tnmn Pgn 17 (1): 52-58. Winata AY. 2001. Karakterisasi Tepung Sukun (Artocarpus altilis) Pramasak Hasil Pengeringan Drum serta Aplikasinya untuk Substitusi Tepung Terigu pada Pembuatan Roti Manis [skripsi]. Program Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia. Wirakartakusumah MA, Abdullah K, dan Syarif AM. 1992. Sifat Fisik Pangan. Bogor: IPB Press. Wirakartakusumah MA. 1981. Kinetics of Starch Gelatinization and Water Absorbsion in Rice [Disertation]. Madison: Wisconsin University. Vidal-Varverde, Frias J, Sotomayor, and Diaz-Pollan. 1998. Nutrients and antinutritional factors in faba beans as affected by processing. Z Lebensm Unters Forsch A 207: 140-145. Vieille C and Zeikus G. 2001. Hyperthermophilic enzyme source, uses, and molecular mechanism for termostability. Microbiol Mol Biol Rev 65: 1-43. Villamiel M, del Castillo MD, and Corzo N. 2006. Browning reaction. In: Hui YH (ed.). Food Biochemistry & Food Processing. Iowa: Blackwell Publishing. Yuningsih 2009. Perlakuan penurunan kandungan sianida ubi kayu untuk pakan ternak. Bogor: Balai Besar Penelitian Veteriner. Zayas JF. 1997. Functionality of Proteins in Food. Berlin: Springer-Verlag.
60
LAMPIRAN
61
Lampiran 1a. Rekapitulasi data analisis kadar HCN tepung koro benguk varietas putih Volume AgNO3 (ml)
Mentah
1
Bobot sampel (g) 11.0448
utuh
2
10.0415
0.25
1-1
11.7420
0.30
1-2
15.7606
0.35
2-1
12.4136
0.30
2-2
15.1926
1-1
Perlakuan
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
Ulangan
Sampel 0.30
Blanko
Molaritas AgNO3
0.05
0.016
Kadar HCN (mg/kg) Ratabb bk rata bk 19.6 21.18 19.89 17.2 18.59 18.4
20.20
16.4
18.00
17.4
19.10
0.35
17.1
18.77
11.0186
0.25
15.7
17.70
1-2
15.7931
0.30
13.7
15.45
2-1
13.0303
0.20
9.95
11.22
2-2
13.6728
0.20
9.72
10.96
1-1
12.2023
0.15
7.08
7.80
1-2
15.6037
0.20
8.31
9.16
2-1
11.5227
0.15
6.83
7.53
2-2
12.6527
0.20
8.27
9.11
1-1
20.4627
0.10
2.11
2.34
1-2
20.4629
0.10
2.11
2.34
2-1
11.8441
0.10
2.74
3.04
2-2
15.7458
0.10
3.65
3.95
1-1
16.6687
0.10
2.59
2.87
1-2
16.9206
0.10
2.55
2.82
2-1
15.8112
0.10
2.11
2.34
2-2
20.4758
0.10
2.73
3.02
1-1
15.0921
0.10
2.86
3.16
1-2
18.2658
0.10
2.37
2.62
2-1
15.1265
0.10
2.86
3.16
2-2
19.2599
0.10
2.24
2.47
1-1
15.7769
0.10
2.74
2.95
1-2
18.6572
0.10
2.31
2.49
2-1
15.3978
0.10
2.81
3.02
2-2
15.4023
0.10
2.80
3.01
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.016
0.016
0.016
0.016
0.016
0.016
0.016
19.02
13.83
8.40
2.92
2.76
2.85
2.87
62
Lampiran 1b. Hasil uji ANOVA kadar HCN tepung koro benguk varietas putih
ANOVA kadar_HCN Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
787,643
7
112,520
15,795
8
1,974
803,438
15
F
Sig.
56,991
,000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets kadar_HCN Duncan Perlakuan
N
Subset for alpha = 0.01 1
2
3
4
tanpa kulit + rendam 12 jam
2
2,763900
tanpa kulit + rendam 24 jam
2
2,850750
germinasi
2
2,867750
tanpa kulit + rendam 6 jam
2
2,916700
tanpa kulit + kukus 30 menit
2
tanpa kulit + rebus 30 menit
2
tanpa kulit
2
19,015500
mentah (utuh)
2
19,887600
Sig.
8,398500 13,830300
,921
1,000
1,000
,552
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
63
Lampiran 1c. Rekapitulasi data analisis HCN tepung koro benguk varietas belang Volume AgNO3 (ml)
Perlakuan
Ulangan
Mentah
1
Bobot sampel (g) 11.4511
utuh
2
11.5068
0.30
1-1
15.7289
0.10
1-2
15.8629
0.10
2-1
15.4592
0.10
2-2
17.8092
1-1
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
Sampel 0.30
Blanko
Molaritas AgNO3
0.05
0.016
Kadar HCN (mg/kg) Ratabb bk rata bk 18.9 20.16 20.11 18.8 20.05 2.74
3.03
2.72
3.01
2.79
3.08
0.10
2.43
2.69
15.0832
0.10
2.86
3.18
1-2
15.9328
0.10
2.71
3.02
2-1
15.6123
0.075
1.38
1.54
2-2
15.9829
0.075
1.38
1.54
1-1
15.4969
0.08
1.67
1.84
1-2
16.2017
0.08
1.60
1.77
2-1
15.2029
0.08
1.71
1.89
2-2
15.8325
0.08
1.64
1.81
1-1
20.1723
0.08
1.29
1.46
1-2
19.2318
0.08
1.35
1.53
2-1
20.0891
0.08
1.29
1.46
2-2
19.0628
0.08
1.36
1.54
1-1
17.5142
0.08
1.48
1.67
1-2
17.5571
0.08
1.48
1.67
2-1
17.4517
0.08
1.48
1.67
2-2
18.2150
0.08
1.43
1.61
1-1
17.3805
0.08
1.49
1.68
1-2
17.6253
0.08
1.47
1.66
2-1
17.5918
0.08
1.47
1.66
2-2
18.9620
0.08
1.37
1.54
1-1
17.0101
0.08
1.52
1.66
1-2
17.5508
0.08
1.48
1.62
2-1
17.7773
0.08
1.45
1.59
2-2
17.9728
0.08
1.45
1.59
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.016
0.016
0.016
0.016
0.016
0.016
0.016
2.95
2.32
1.83
1.49
1.66
1.63
1.61
64
Lampiran 1d. Hasil uji ANOVA kadar HCN tepung koro benguk varietas belang
ANOVA kadar_HCN Sum of Squares Between Groups
Mean Square
581,648
7
83,093
1,237
8
,155
582,885
15
Within Groups Total
df
F
Sig.
537,575
,000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets kadar_HCN Duncan Perlakuan
N
Subset for alpha = 0.01 1
2
3
tanpa kulit + rendam 6 jam
2
1,494850
germinasi
2
1,612750
1,612750
tanpa kulit + rendam 24 jam
2
1,633400
1,633400
tanpa kulit + rendam 12 jam
2
1,656100
1,656100
tanpa kulit + kukus 30 menit
2
1,827100
1,827100
tanpa kulit + rebus 30 menit
2
2,317750
2,317750
tanpa kulit
2
mentah (utuh)
2
Sig.
2,952250 20,106700 ,090
,014
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
65
Lampiran 2a. Rekapitulasi data analisis kadar protein tepung koro benguk varietas putih Perlakuan
Ulangan
Mentah
1
Bobot sampel (g) 0.0392
utuh
2
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
4.36
Kadar protein (%bb) 27.23
Kadar protein (%bk) 29.43
6.25
4.38
27.37
29.58
0.0400
6.20
4.57
28.56
31.34
2
0.0384
5.90
4.53
28.30
31.06
1
0.0383
5.95
4.58
28.60
32.24
2
0.0322
4.95
4.51
28.22
31.81
1
0.0312
4.90
4.61
28.81
31.74
2
0.0289
4.50
4.56
28.52
31.43
1
0.0322
5.00
4.56
28.49
31.60
2
0.0302
4.75
4.62
28.85
31.99
1
0.0339
5.20
4.51
28.17
31.21
2
0.0403
6.30
4.61
28.82
31.93
1
0.0379
6.10
4.74
29.64
32.72
2
0.0377
6.00
4.69
29.32
32.36
1
0.0512
7.95
4.59
28.71
30.89
2
0.0463
7.25
4.63
28.93
31.13
Volume HCl (ml)
Kadar N (%)
5.80
0.0421
1
Rata-rata (%bk) 29.50
31.20
32.03
31.58
31.80
31.57
32.54
31.01
Keterangan: [HCl]=0.0214 N; ml HCl blanko=0.10 ml; Faktor konversi=6.25
66
Lampiran 2b. Hasil uji ANOVA kadar protein tepung koro benguk varietas putih
ANOVA kadar_protein Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
F
11,385
7
1,626
,620
8
,077
12,005
15
Sig.
20,993
,000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets kadar_protein Duncan perlakuan
N
Subset for alpha = 0.01 1
2
3
mentah (utuh)
2
germinasi
2
31,010
tanpa kulit
2
31,200
tanpa kulit + rendam 12 jam
2
31,570
31,570
tanpa kulit + kukus 30 menit
2
31,585
31,585
tanpa kulit + rendam 6 jam
2
31,795
31,795
tanpa kulit + rebus 30 menit
2
32,025
32,025
tanpa kulit + rendam 24 jam
2
Sig.
29,505
32,540 1,000
,010
,012
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
67
Lampiran 2c. Rekapitulasi data analisis kadar protein tepung koro benguk varietas belang Perlakuan
Ulangan
Mentah
1
Bobot sampel (g) 0.0534
utuh
2
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
3.96
Kadar protein (%bb) 24.72
Kadar protein (%bk) 26.37
6.55
3.91
24.46
26.09
0.0617
8.80
4.22
26.40
29.19
2
0.0379
5.40
4.19
26.20
28.97
1
0.0479
6.90
4.25
26.58
29.59
2
0.0367
5.25
4.21
26.29
29.26
1
0.0369
5.05
4.02
25.12
27.73
2
0.0483
6.80
4.16
25.99
28.69
1
0.0367
5.15
4.12
25.77
29.12
2
0.0355
5.00
4.14
25.86
29.23
1
0.0432
5.90
4.02
25.14
28.37
2
0.0489
6.70
4.05
25.29
28.54
1
0.0404
5.85
4.26
26.65
30.02
2
0.0525
7.60
4.28
26.76
30.15
1
0.0602
8.95
4.40
27.53
30.10
2
0.0403
6.10
4.46
27.89
30.50
Volume HCl (ml)
Kadar N (%)
7.15
0.0494
1
Rata-rata (%bk) 26.23
29.08
29.42
28.21
29.18
28.45
30.09
30.30
Keterangan: [HCl]=0.0214 N; ml HCl blanko=0.10 ml; Faktor konversi=6.25
68
Lampiran 2d. Hasil uji ANOVA kadar protein tepung koro benguk varietas belang
ANOVA kadar_protein Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
23,087
7
3,298
,688
8
,086
23,775
15
F
Sig.
38,373
,000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets kadar_protein Duncan Perlakuan
N
Subset for alpha = 0.01 1
2
3
4
5
mentah (utuh)
2
tanpa kulit + kukus 30 menit
2
28,210
tanpa kulit + rendam 12 jam
2
28,455
28,455
tanpa kulit
2
29,080
29,080
29,080
tanpa kulit + rendam 6 jam
2
29,175
29,175
29,175
tanpa kulit + rebus 30 menit
2
29,425
29,425
29,425
tanpa kulit + rendam 24 jam
2
30,085
30,085
Germinasi
2
Sig.
26,230
30,300 1,000
,015
,015
,012
,021
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
69
Lampiran 3. Profil gelatinisasi pati tepung koro benguk varietas putih perlakuan perendaman 24 Jam Ulangan
Peak
Trough
Breakdown
Final visc
Setback
Peak time
Pasting temp
1
245
246
-1
446
200
13
84 °C
2
227
228
-1
420
192
13
84 °C
Gambar 18. Kurva profil gelatinisasi tepung koro benguk
70
Lampiran 4. Penentuan aktivitas enzim α-amilase liquozyme supra termamyl
R2 =0.988
Gambar 19. Kurva standar maltosa uji daya cerna pati in vitro
Kode
Abs 1
Abs 2
Ratarata
A0 A30 B0 B30
0.3950 0.5630 0.4230 0.5903
0.3950 0.5630 0.4230 0.5903
0.3950 0.5630 0.4230 0.5903
Rata-rata Standar deviasi RSD analisis RSD hitung
Gula pereduksi 719.9954 1279.9948 813.3286 1369.9947
Jumlah gula preduksi
Unit per ml enzim
Larutan induk
0.0546
5458.0842
0.0543
5425.5956
559.9994 556.6661 5441.8399 22.9729 0.4222 0.8396
71
Lampiran 5. Rekapitulasi data running proses untuk mendapatkan model peningkatan kadar protein tepung koro benguk berprotein tinggi
Std 15 6 4 3 2 14 7 13 10 9 8 11 5 12 1
Suhu
pH
Waktu
95 100 100 90 100 95 90 95 95 95 100 95 90 95 90
5.5 5.5 6 6 5 5.5 5.5 5.5 6 5 5.5 5 5.5 6 5
40 20 40 40 40 40 60 40 20 20 60 60 20 60 40
Protein U1 39.63 38.99 36.33 36.17 41.62 39.52 32.39 40.48 28.87 25.55 37.23 38.57 28.52 39.17 38.16
U2 39.56 39.62 35.53 39.46 39.41 40.91 33.01 40.26 28.09 26.89 36.97 37.91 28.95 38.49 37.38
Rata-rata 39.59 39.30 35.93 37.82 40.51 40.21 32.70 40.37 28.48 26.22 37.10 38.24 28.74 38.83 37.77
72
Lampiran 6. ANOVA dan persamaan polinomial respon kadar protein
73
Lampiran 7. Solusi proses optimum yang dihasilkan pada tahap optimasi
Lampiran 8. Rekapitulasi data kadar protein pada tahap verifikasi Kadar air
Ulangan
Berat sampel
Total HCl (ml)
Protein bb (%)
1
2
1 2
50.20 50.12
12.9 12.8
38.62 38.38
7.1225 6.9663
7.1006 6.9159
Rata-rata
Protein bk (%)
Ratarata
7.1116 6.9411
41.58 41.25
41.41
74
Lampiran 9. Analisis proksimat tepung koro benguk berprotein tinggi 1. Kadar air Kadar air Ulangan 1 2
Plo 1 2 1 2
g/100g bb 5.1333 5.1501 5.1907 5.1124
Rata-rata bk 5.4110 5.4298 5.4749 5.3878
Rata-rata Standar deviasi RSD analisis RSD hitung
bb
bk
5.1417
5.4204
5.1516
5.4314
5.1466 0.0332 0.6451 3.8091
5.4259 0.0369 0.6849 11.1299
2. Kadar abu Kadar abu Ulangan 1 2
Plo 1 2 1 2
g/100g bb 2.8634 2.8563 2.8336 3.0062
Rata-rata bk 3.0188 3.0113 3.0397 3.0119
Rata-rata Standar deviasi RSD analisis RSD hitung
bb
bk
2.8599
3.0150
2.8701
3.0258
2.8650 0.0786 2.7434 4.3257
3.0204 0.0133 0.4404 4.2764
3. Kadar lemak Kadar lemak Ulangan 1 2
Plo 1 2 1 2
Rata-rata Standar deviasi RSD analisis RSD hitung
g/100g bb 5.8134 5.7808 5.5106 5.4689
Rata-rata bk 5.8134 5.7808 5.5106 5.4689
bb 5.7971
bk 5.7971
5.4897
5.4897
5.6434 0.1788 3.1683 4.1058
5.6434 0.1788 3.1683 3.7336
75
4. Kadar protein Kadar protein Ulangan 1 2
Plo
g/100g bb 39.7767 40.5805 39.1568 39.1784
1 2 1 2
Rata-rata bk 41.9349 42.7823 41.2814 41.3042
Rata-rata Standar deviasi RSD analisis RSD hitung
bb
bk
40.1786
42.3586
39.1676
41.2928
39.6731 0.6697 1.6880 2.4446
41.8257 0.7060 1.6881 2.4168
5. Kadar karbohidrat
Ulangan 1 2 Rata-rata
Kadar karbohidrat g/100 g bb 45.7534 47.3210 46.5372
bk 48.8293 50.1917 49.5105
76
Lampiran 10. Karakteristik fisikokimia tepung koro benguk berprotein tinggi
1. Densitas kamba Ulangan 1 2
Plo
W gelas ukur
W sampel dan gelas ukur
Bobot sampel (g)
Volume (ml)
1 2 1 2
29.8097 30.4943 29.8110 30.4158
34.1199 34.8489 34.1424 34.7634
4.3102 4.3546 4.3314 4.3476
10 10 10 10
b +5.27 +5.25 +5.26 +5.19 +5.18 +5.29
Rata-rata
Rata-rata Standar deviasi RSD analisis RSD hitung
Densitas kamba (g/ml) 0.4310 0.4355 0.4331 0.4348 0.4336 0.0002 0.0461 0.1448
2. Warna Ulangan 1
2
Plo 1 2 3 1 2 3
L 50.51 50.49 50.49 49.58 49.57 49.57
Rata-rata 50.50
49.58
Rata-rata Standar deviasi RSD analisis RSD hitung
a +1.88 +1.89 +1.87 +1.93 +1.91 +1.87
50.04 0.5058 1.0108 2.3245
Rata-rata +1.88
+1.90 +1.89 0.0240 1.2698 4.7347
+5.26
+5.22 +5.24 0.0447 0.8531 3.7942
Whiteness 45.30 45.29 45.29 44.47 44.47 44.46
Rata-rata 45.29
44.47 44.48 0.4521 1.0164 4.5596
3. Aktivitas air
Ulangan
aw
Plo
Rata-rata 1 2 Rata-rata Standar deviasi RSD analisis RSD hitung
1 2 1 2
0.619 0.615 0.619 0.616
0.6170 0.6175 0.6173 0.0002 0.0324 6.0370
77
Lampiran 11. Sifat fungsional tepung koro benguk berprotein tinggi
1. Daya serap air Ulangan
Bobot sampel 0.5007 0.5037 0.5023 0.5022
Plo 1 2 1 2
1 2
Volume air bebas (ml) 4.10 4.15 4.10 4.10
Daya serap air (ml/g) 1.7975 1.6875 1.7918 1.7921
Rata-rata Standar deviasi RSD analisis RSD hitung
Rata-rata 1.7425 1.7919 1.7672 0.0532 3.0104 4.4803
2. Daya serap minyak Ulangan 1 2
Bobot sampel 0.5051 0.5042 0.5008 0.5071
Plo 1 2 1 2
Volume minyak bebas (ml) 4.10 4.00 4.10 4.10
Daya serap minyak (ml/g) 1.7818 1.9833 1.7971 1.7748
Rata-rata Standar deviasi RSD analisis RSD hitung
Rata-rata 1.8826 1.7860 1.8343 0.0299 1.6300 4.7655
3. Daya gelasi Konsentrasi gel % (b/v)
Ulangan 1
7.5% 2 1 10% 2 1 12.5% 2 1 15% 2
Plo
Skala
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 3 3 3 3
Rata-rata 0
0
Penampakan
Encer
0 1
1
Gel
1 1
1
Gel
1 3
3
Gel kuat
3
78
4. Kapasitas dan stabilitas emulsi
Ulangan
V total (ml)
1 27.5 2 27.5 1 30 2 2 30 Rata-rata Standar deviasi RSD analisis RSD hitung 1
VE (ml) 8 8.5 10 10
KE (%) 29 31 33 33 32
Ratarata 0.30 0.33 0.32
0 menit VE KE (ml) (%) 8.0 29 8.5 31 10 33 10 33 32
30 menit VE KE (ml) (%) 6.5 24 6.5 24 7.5 25 7.5 25 24
60 menit VE KE (ml) (%) 5 18 5 18 5.8 19 5.7 19 18
Stabilitas emulsi 120 menit 240 menit VE KE VE KE (ml) (%) (ml) (%) 3 11 3 11 3 11 3 11 4 13 3.8 13 3.8 13 3.8 13 12 12
300 menit VE KE (ml) (%) 3 11 3 11 3.8 13 3.8 13 12
360 menit VE KE (ml) (%) 3 11 3 11 3.8 13 3.8 13 12
0.0191 5.96875 6.9627
Kapasitas dan stabilitas busa
5.
Ulangan
1 2
1 2 1 2
Volume larutan awal Ratarata 101 100.5 100 102 102 102
Rata-rata Standar deviasi RSD analisis RSD hitung
101.25
Volume busa (ml) 30 detik 64 64 66 65
Ratarata 64 65.5 64.75
30 menit 56 57 59 58
Ratarata 56.5 58.5 57.5
1 jam 42 42 44 43
Ratarata 42 44.5 43.25
1.5 jam 36 36 38 38
Ratarata 36 38.5 37.25
Kapasitas busa 2 jam 36 36 38 38
Ratarata 36 38 37
3 jam 33 33 35 36
Ratarata 33 35.5 34.25
4 jam 31 31 33 33
Ratarata 31 33
Ratarata 63.37 63.37 64.71 63.72
32
63.37 64.22 63.795 0.6011 0.9422 2.2050
79 79
Lampiran 12. Daya cerna protein in vitro tepung koro benguk berprotein tinggi
Ulangan 1 2 Rata-rata Standar deviasi RSD analisis RSD hitung
Plo 1 2 1 2
pH pada menit ke-10 7.27 7.29 7.29 7.29
Daya cerna protein in vitro 78.8552 78.4931 78.4931 78.4931
Rata-rata 78.6742 78.4931 78.5836 0.1810 0.2303 5.1594
i 80