KARAKTERISASI SIFAT FUNGSIONAL DAN NILAI GIZI KONSENTRAT PROTEIN TELUR IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) SERTA APLIKASINYA DALAM FORMULASI MAKANAN BAYI PENDAMPING ASI
FRETS JONAS RIEUWPASSA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Karakterisasi Sifat Fungsional dan Nilai Gizi Konsentrat Protein Telur Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis) serta Aplikasinya dalam Formulasi Makanan Bayi Pendamping ASI” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2014 Frets Jonas Rieuwpassa NIM C351110141
RINGKASAN FRETS JONAS RIEUWPASSA. Karakterisasi Sifat Fungsional dan Nilai Gizi Konsentrat Protein Telur Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis) serta Aplikasinya dalam Formulasi Makanan Bayi Pendamping ASI. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan WINI TRILAKSANI. Industri pengolahan ikan cakalang asap merupakan salah satu industri tertua dan masih sangat tradisional dalam proses pengolahannya. Setiap proses pengolahan ikan cakalang asap menyisahkan bagian-bagian yang belum termanfaatkan berupa insang, telur, dan jeroan sekitar 20-30%. Hasil samping industri ini sebenarnya dapat dijadikan pangan dan pakan serta memiliki potensi sebagai suplemen bioaktif dan pangan fungsional. Telur ikan merupakan sumber protein yang dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan konsentrat protein telur ikan (KPTI). Konsentrat protein telur ikan dapat dihasilkan dengan menghilangkan lemak dan air sehingga menghasilkan konsentrat protein tinggi yang dapat dijadikan sebagai bahan pengkayaan gizi dalam makanan berprotein rendah. Kekurangan konsumsi protein pada anak kecil merupakan salah satu masalah di Indonesia. Pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang bergizi tinggi terutama protein merupakan upaya untuk mengurangi gizi buruk pada bayi dan balita. Tujuan penelitian ini adalah untuk memanfaatkan telur ikan cakalang sebagai bahan baku pembuatan KPTI, menentukan komposisi gizi dan sifat fungsional KPTI serta aplikasinya dalam pembuatan makanan bayi pendamping ASI. Penelitian dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama adalah pembuatan konsentrat protein telur ikan dengan perlakuan jenis pelarut (isopropil alkohol dan etanol) dan frekuensi ekstraksi 1, 2 dan 3 kali (masing-masing 1 jam). Penelitian tahap ke-2 dilakukan aplikasi pembuatan biskuit MP-ASI dengan substitusi KPTI terhadap susu skim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode ekstraksi dalam pembuatan konsentrat protein telur ikan cakalang terpilih ialah menggunakan pelarut isopropil alkohol (IPA) dengan ekstraksi 3 kali. Konsentrat protein telur ikan yang dihasilkan tergolong KPI tipe B, memiliki kadar protein 71,78%, lemak 2,48% dan memiliki 8 asam amino esensial dengan lisin dan leusin sebagai asam amino esensial tertinggi yaitu 70,76 dan 64,91 mg/g protein. Formula biskuit terpilih berdasarkan hasil uji organoleptik biskuit MP-ASI adalah formula F2. Kandungan protein formula terpilih (F2) adalah 19,42% lebih tinggi bila dibandingkan dengan formula kontrol dan produk komersial. Karakteristik formula biskuit terpilih, terutama komposisi gizi telah memenuhi standar SNI dan FAO. Produk tersebut memiliki 8 asam amino esensial dengan leusin dan lisin sebagai asam amino esensial tertinggi masing-masing 61,79 dan 44,28 mg/g protein. Kata kunci : ekstraksi, KPTI, makanan bayi, telur ikan cakalang
SUMMARY FRETS JONAS RIEUWPASSA. Characterization of Functional Properties and Nutritional Values of Roe Protein Concentrate of Skipjack (Katsuwonus pelamis) and Its Application on Making Infant Food Formulation. Supervised by JOKO SANTOSO and WINI TRILAKSANI. Developed additive The smoked skipjack processing industry is one of the oldest industry and it has been running in traditional processing management. Smoked skipjack processing produces by product around 20-30% including gills, roe, viscera and others. By products of industry can be utilized for feed, food and potencialy developed as bioactive supplement and functional food as well. Roes are source of protein that can be used as raw material for roes protein concentrate (RPC). RPC can be produced by removing fat and moisture contents to obtain high protein concentrate that can be used as an enrichment ingredient in the low protein diet. Deficiency of protein intake in children is one problems in Indonesia. Complementary foods of ASI or infant food are needed to reduce malnutrition in children. This research was conducted to exploit the utilization of skipjack roes as RPC raw material, to determine RPC nutritional composition and functional properties and its application in the manufacture of complementary infant foods. The research was conducted in two steps. The first steps was production of FRPC, using two kind of solvent (isopropyl alcohol and ethanol) and extraction frequencies (1, 2 and 3 times). Second steps of this research was conducted in applications of RPC as substitution in making infat food biscuit. The results showed that extraction with isopropyl alcohol (IPA) and 3 times extractions was the best method on RPC production. RPC skipjack was classified into grade B of FPC, which had protein and fat contents of 71.78% and 2.48%, respectively and also contained 8 essential amino acids with lysine (70.76 mg/g) and leucine (64.91 mg/g of protein) as the major essential amino acid. The best formulation of infant biscuits based on the results of organoleptic tests was F2 formula. Protein content of F2 formula was 19.42%, which was higher compared to control formulation and commercial products. Composition and nutritional values of F2 formulation was comfirmed with the National Indonesia Standar (SNI) and FAO standard requirement. RPC with F2 formula contained 8 essential amino acids with leucine (61.79 mg/g) and lysine (44.28 mg / g) as the major essential amino acids. Key words : extraction, infant food, roe skipjack fish, RPC
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISASI SIFAT FUNGSIONAL DAN NILAI GIZI KONSENTRAT PROTEIN TELUR IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) SERTA APLIKASINYA DALAM FORMULASI MAKANAN BAYI PENDAMPING ASI
FRETS JONAS RIEUWPASSA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr Ir Bustami Ibrahim, MSc
Judul Tesis
Nama NRP
: Karakterisasi Sifat Fungsional dan Nilai Gizi Konsentrat Protein Telur Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) serta Aplikasinya dalam Formulasi Makanan Bayi Pendamping ASI : Frets Jonas Rieuwpassa : C351110141
Disetujui oleh Komisi pembimbing
Dr Ir Joko Santoso, MSi Ketua
Dr Ir Wini Trilaksani, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Tati Nurhayati, SPi MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr
Tanggal ujian : 23 Desember 2013
Tanggal lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha esa atas limpahan karunia dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul “Karakterisasi Sifat Fungsional dan Nilai Gizi Konsentrat Protein Telur Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) serta Aplikasinya dalam Formulasi Makanan Bayi Pendamping ASI”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains di Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Publikasi ilmiah sebagian tesis telah dilakukan pada Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis Vol. 5 No. 2 Desember 2013 dengan judul “Karakterisasi Sifat Fungsional Konsentrat Protein Telur Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis). Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Joko Santoso, MSi sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr Ir Wini Trilaksani, MSc sebagai anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu dan mengajarkan banyak hal kepada penulis. Penulisan tesis ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1
2 3 4 5
6 7 8
9
Dr Tati Nurhayati SPi, MSi sebagai ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan yang telah memberikan arahan, masukan dan motivasi selama penulis menempuh studi di Program Studi Teknologi Hasil Perairan; Dr Ir Bustami Ibrahim, MSc sebagai dosen penguji luar komisi yang telah memberikan banyak masukan dalam melengkapi penulisan tesis; Papa, mama dan ke-2 adikku (Risye dan Evans) atas doa, semangat dan motivasi yang selalu diberikan selama ini; Keluarga besar Rieuwpassa dan Batlajery di Ambon dan Larat atas doa dan semangat yang diberikan kepada penulis; Dosen dan Staf Pegawai Program Studi Teknologi Hasil Perairan yang telah memberikan ilmu maupun pengalaman-pengalaman berharga bagi penulis selama menempuh pendidikan di IPB; Teman-teman seperjuangan di Program Studi THP (angkatan 2010, 2011, 2012, 2013) atas semangat dan kebersamaan yang terjalin erat; Aprilia Tomasoa atas doa, perhatian, semangat, motivasi, dan kebersamaan kita; Smile Crew “Kaka Ucha Thenu, Kaka Leny Topatubun/Thenu, Kaka Lady Tetelepta, Kaka Boy Toisuta, Kaka Styla Johanes dan Kaka Meiske Manery terima kasih buat doa dan kebersamaan kita selama ini dan Persekutuan Mahasiswa Maluku (PERMAMA) terima kasih untuk semua doa, nasihat dan kebersamaan yang terjalin selama ini.
Semoga karya ilmiah ini dapat membantu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan sebagai masukan untuk penelitian selanjutnya.
Januari 2014
Frets Jonas Rieuwpassa
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xii
1 PENDAHULUAN Latar belakang Rumusan masalah Tujuan Manfaat penelitian
1 1 3 4 4
2 PEMBUATAN KONSENTRAT PROTEIN TELUR IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) SERTA KARAKTERISASI NILAI GIZI DAN SIFAT FUNGSIONALNYA Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
5 5 6 13 23
3 APLIKASI KONSENTRAT PROTEIN TELUR IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DALAM FORMULASI MAKANAN BAYI PEMDAMPING ASI Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Simpulan
24 24 25 32 42
4 PEMBAHASAN UMUM
42
5 SIMPULAN DAN SARAN
44
DAFTAR PUSTAKA
45
LAMPIRAN
50
RIWAYAT HIDUP
52
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Komposisi nilai gizi telur ikan cakalang Komposisi nilai gizi KPTI cakalang Karakteristik sifat fungsional KPTI cakalang Komposisi asam amino (mg/g protein) KPTI cakalang Formulasi substitusi KPTI cakalang terhadap susu skim Komposisi gizi biskuit MP-ASI tepilih, kontrol dan produk komersial 7. Sifat fungsional biskuit MP-ASI formula kontrol, formula terpilih dan produk komersial 8. Profil asam amino formula kontrol, formula terpilih dan produk komersial
14 19 21 22 25 37 39 41
DAFTAR GAMBAR 1. Diagram alir proses pembuatan KPTI cakalang (modifikasi metode Sikorski dan Nazck 1981) 2. Histogram pengaruh jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi terhadap kadar protein KPTI cakalang. Jenis pelarut: ( ) etanol dan ( ) IPA. Angka-angka dengan huruf superskrip yang berbeda (a,b) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) 3. Histogram pengaruh jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi terhadap kadar lemak KPTI cakalang. Jenis pelarut: ( ) etanol dan ( ) IPA. Angka-angka dengan huruf superskrip yang berbeda (a,b,c) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) 4. Histogram pengaruh jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi terhadap derajat putih KPTI cakalang. Jenis pelarut: ( ) etanol dan ( ) IPA. Angka-angka dengan huruf superskrip yang berbeda (a,b) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) 5. Histogram pengaruh jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi terhadap nilai aroma KPTI cakalang. Jenis pelarut: ( ) etanol dan ( ) IPA. Angka-angka dengan huruf superskrip yang sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05) 6. Diagram alir pembuatan formula biskuit MP-ASI kaya protein 7. Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap skor kehalusan dalam mulut. Substitusi KPTI : susu skim (g); F0 kontrol = 0 : 30; F1 = 5 : 25; F2 = 10: 20; F3 = 15 : 15; F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka dengan huruf superskrip berbeda (a,b,c) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) 8. Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap skor kelengketan dalam mulut. Substitusi KPTI : susu skim (g); F0 kontrol = 0 : 30; F1 = 5 : 25; F2 = 10: 20; F3 = 15 : 15; F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka dengan huruf superskrip yang sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05) 9. Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap skor kemudahan ditelan. Substitusi KPTI : susu skim (g); F0
8
15
16
17
18 26
33
33
kontrol = 0 : 30; F1 = 5 : 25; F2 = 10: 20; F3 = 15 : 15; F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka dengan huruf superskrip berbeda (a,b,c) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) 10. Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap skor aroma. Substitusi KPTI : susu skim (g); F0 kontrol = 0 : 30; F1 = 5 : 25; F2 = 10: 20; F3 = 15 : 15; F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka dengan huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) 11. Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap skor rasa. Substitusi KPTI : susu skim (g); F0 kontrol = 0 : 30; F1 = 5 : 25; F2 = 10: 20; F3 = 15 : 15; F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka dengan huruf superskrip berbeda (a,b,c) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) 12. Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap skor kesukaan keseluruhan. Substitusi KPTI : susu skim (g); F0 kontrol = 0 : 30; F1 = 5 : 25; F2 = 10: 20; F3 = 15 : 15; F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka dengan huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05)
34
35
36
36
DAFTAR LAMPIRAN 1. Lembar pengujian uji skoring aroma KPTI cakalang 2. Lembar penilaian uji organoleptik formula MP-ASI
50 51
1
1 PENDAHULUAN Latar belakang Perikanan merupakan sektor penting bagi masyarakat Indonesia dan dapat dijadikan sebagai penggerak perekonomian nasional. Hal ini didukung dengan potensi lestari perikanan laut Indonesia yang diperkirakan mencapai 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Indonesia bagian timur, khususnya Kota Ambon Propinsi Maluku, merupakan salah satu sentra perikanan nasional. Potensi perikanan laut yang paling melimpah di Kota Ambon adalah ikan cakalang. Data Badan Pusat Statistik Kota Ambon menyebutkan bahwa pada tahun 2011 produksi ikan cakalang mencapai 612,50 ton meningkat 40% dari tahun sebelumnya yaitu 355,7 ton (BPS Kota Ambon 2012). Pemanfaatan ikan cakalang di Kota Ambon sebagai bahan pangan telah banyak dilakukan salah satunya adalah ikan cakalang asap. Industri pengolahan ikan cakalang asap di Kota Ambon merupakan salah satu industri tertua dan masih sangat tradisional dalam proses pengolahannya. Setiap proses pengolahan ikan cakalang asap akan menyisakan hasil samping berupa kepala, insang, telur dan isi perut dengan persentase sekitar 20-30% setiap harinya atau sekitar 510 kg. Dekkers et al. (2011); Rao et al. (2012a) menyatakan bahwa hasil samping industri pengolahan ikan berkisar sekitar 60% yang terdiri dari kepala, insang, kulit, isi perut dan telur dalam jumlah yang besar dan hanya 40% untuk konsumsi manusia. Hasil samping industri pengolahan ikan memiliki peluang ekonomi dan potensi gizi sebagai komponen asam-asam amino dan asam lemak. Hasil samping yang dapat dijadikan bahan pangan diantaranya minyak ikan, tepung ikan, pupuk, makanan ternak dan pakan ikan. Pires et al. (2012) menyatakan bahwa hasil samping berbasis protein dari industri pengolahan dapat dijadikan pangan dan pakan serta memiliki potensi sebagai suplemen bioaktif dan pangan fungsional, sedangkan Hsu et al. (2010) menambahkan bahwa hasil samping industri pengolahan ikan kaya akan protein yang mudah untuk dijadikan produk misalnya makanan ternak, tepung ikan dan pupuk. Pemanfaatan hasil samping berbasis protein terus dikembangkan. Salah satunya adalah konsentrat protein ikan (KPI). Pembuatan konsentrat protein ikan merupakan inovasi pengembangan bentuk protein yang mudah untuk diaplikasikan ke dalam produk pangan berprotein rendah. Produk konsentrat protein diharapkan juga mampu menyumbang peningkatan konsumsi protein yang masih rendah di Indonesia. Beberapa penelitian yang memanfaatkan hasil samping dan ikan non-ekonomis sebagai bahan baku pembuatan KPI telah banyak dilakukan. Murueta et al. (2007) menggunakan 9 jenis ikan by cacth udang; Koesoemawardani dan Nurainy (2011) menggunakan ikan rucah; Pires et al. (2012) menggunakan Merluccius capensis yang merupakan hasil samping industri pengolahan ikan, dan Brasileiro et al. (2012) menggunakan kepala udang dari industri pengolahan udang. Telur ikan cakalang merupakan hasil samping industri pengolahan ikan asap yang berpotensi sebagai sumber bahan baku pembuatan KPI karena mengandung protein yang tinggi. Eun et al. (1994); Becthel et al. (2007); Mol dan Turan (2008) menyatakan bahwa telur ikan merupakan salah satu hasil samping industri
2
pengolahan ikan yang dapat dijadikan sumber pangan, sumber protein, memiliki kandungan asam amino esensial dan asam lemak yang dibutuhkan manusia. Menurut Ibrahim (2009), konsentrat protein ikan merupakan produk yang dihasilkan dengan cara menghilangkan lemak dan air sehingga menghasilkan konsentrat protein yang tinggi. Konsentrat protein ikan dari telur ikan biasanya disebut konsentrat protein telur ikan atau KPTI. Balaswamy et al. (2009) menjelaskan bahwa kajian mengenai karakteristik kimia dan fungsional konsentrat protein telur ikan masih belum banyak dilakukan dibandingkan dengan kajian mengenai karakteristik kimia dan fungsional konsentrat protein ikan. Intarasirisawat et al. (2011) melaporkan bahwa telur ikan cakalang mengandung protein yang tinggi, yaitu 20,15%. Beberapa penelitian telah memanfaatkan telur ikan sebagai bahan baku pembuatan KPTI diantaranya catfish roes (Sathivel et al. 2009), mrigal roes (Cirrhinus mrigala) (Chalamaiah et al. (2011), Channa striatus roes dan Labeo rohita roes (Rao et al. 2012b), Cyprinus carpio roes dan Epinephelus tauvina roes (Rao 2014). Konsentrat protein telur ikan merupakan produk yang mengandung protein sekitar 50-75% dan memiliki kadar lemak dan air yang tidak lebih dari 0,75%. Produk ini biasanya diaplikasikan ke dalam makanan yang berkarbohidrat tinggi dengan cara menambahkan atau mensubstitusikan ke dalam pangan rendah protein. Kekurangan gizi protein merupakan dampak dari konsumsi protein yang rendah. Kekurangan gizi protein pada bayi dan balita dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan otak. Kekurangan konsumsi protein pada anak-anak kecil dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan badan, sedangkan pada orang dewasa bila kekurangan protein mempunyai gejala yang kurang spesifik, kecuali pada keadaan yang telah sangat parah contohnya busung lapar (Winarno 2008). Kusharto et al. (2005) menyebutkan bahwa di Indonesia prevalensi kekurangan gizi masih tergolong tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 bahwa angka balita yang kekurangan gizi di Indonesia sekitar 17,9% (BPPK 2010), sedangkan menurut data UNICEF (2000), satu dari delapan anak prasekolah di Indonesia mengalami kurang gizi sejak lahir dan dewasa ini diperkirakan terdapat hampir 2% anak prasekolah menderita kurang gizi tingkat berat dengan resiko tinggi mengalami gangguan fisik dan mental. Upaya mengatasi kekurangan energi protein pada anak usia bayi dan balita dilakukan dengan pemberian makanan tambahan bergizi tinggi dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi dan balita pada masa pertumbuhannya agar tidak terjadi kekurangan gizi. Apalagi pada masa penyapihan merupakan masa peralihan antara masa penyusuan dan makanan dewasa berganti sebagai sumber energi dan zat gizi utama. Biasanya pada masa penyapihan pemberian ASI mulai dikurangi sehingga asupan makanan tambahan dari luar sangat dibutuhkan bayi untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan otak. Pelletier et al. (1995) menyatakan bahwa upaya penanganan kekurangan energi protein adalah dengan cara memberikan asupan gizi protein lebih pada balita melalui produk biskuit, bubur instan, maupun susu formula. Makanan tambahan merupakan makanan yang diberikan kepada bayi dan balita sebagai makanan pelengkap ASI. Menurut WHO (2000), selama 4-6 bulan pertama kehidupan bayi, pemberian ASI saja sudah cukup karena ASI mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan bayi selama usia tersebut. Sesudah
3
bayi berumur 6 bulan, kandungan energi ASI menurun sebesar 13,9% dari produksi ASI ketika bayi berusia 3-5 bulan (550 kkal/hari) sehingga pada usia 6 bulan ASI tidak dapat menyediakan zat-zat gizi yang cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan bayi. Makanan pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan yang diberikan kepada bayi berusia 6-24 bulan, karena pada usia tersebut ASI tidak dapat mencukupi kebutuhan pertumbuhan bayi atau diberikan pada bayi sampai dapat menerima asupan makanan orang dewasa, sehingga dalam memenuhi kebutuhan bayi MP-ASI harus dilengkapi dengan nutrisi yang lengkap terutama protein. Santoso et al. (2009) menambahkan bahwa formula makanan bayi dan balita harus memenuhi persyaratan tertentu terhadap kandungan protein, lemak, mineral, vitamin dan bahan tambahan. Pemanfaatan protein ikan sebagai sumber protein dalam pembuatan MPASI telah dilakukan oleh Rieuwpassa (2005) yaitu pembuatan biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan teri dan krim probiotik Leuconostoc mesenteroides IS-27526 yang dapat meningkatkan berat badan, tinggi badan dan status gizi pada balita; Santoso et al. (2009) meneliti tentang pengaruh substitusi susu skim dengan KPI nila hitam (Oreochromis niloticus) dalam makanan bayi dan Widiyawati (2011) melakukan penelitian dengan memanfaatkan konsentrat protein dan tepung tulang ikan lele dumbo (Clarias gariepenus) dalam pembuatan MP-ASI. Pemanfaatan hasil samping contohnya telur ikan sebagai sumber protein dalam pembuatan makanan pendamping ASI belum banyak dilakukan. Pemberian makanan tambahan berbasis konsentrat protein ikan merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi masalah kurang energi protein sehingga dapat memulihkan kesehatan, peningkatan status gizi dan peningkatan imunitas terutama pada bayi, dan balita. Pemanfaatan hasil samping sebagai sumber pangan potensial terus dikembangkan. Telur ikan cakalang sebagai hasil samping industri pengolahan ikan asap memiliki potensi yang besar sebagai bahan baku pembuatan konsentrat protein telur ikan. Konsentrat protein telur ikan merupakan produk yang dapat ditambahkan secara praktis ke dalam bahan pangan sehingga kajian mengenai potensi telur ikan cakalang sebagai bahan baku pembuatan KPTI, mengevaluasi komposisi gizi, penentuan sifat fungisonal dan aplikasi dalam bahan pangan yaitu MP-ASI perlu dilakukan. Rumusan masalah Pemanfaatan hasil samping pengolahan ikan cakalang asap sebagai sumber protein perlu dilakukan dalam rangka upaya meningkatkan nilai tambah dan pemenuhan kecukupan gizi protein di masyarakat. Hasil samping pengolahan ikan cakalang asap salah satunya adalah telur ikan yang berpotensi sebagai sumber protein tinggi. Pemanfaatan telur ikan cakalang untuk berbagai produk contohnya konsentrat protein ikan merupakan upaya pengganekaragaman bentuk olahan yang kaya protein. Konsentrat protein telur ikan adalah produk antara (intermediate product) yang memiliki kadar protein tinggi sehingga sering ditambahkan atau disubstitusikan ke dalam pangan atau makanan yang rendah protein, termasuk makanan pendamping ASI yang merupakan makanan yang diberikan kepada bayi pada masa penyapihan (masa peralihan dari ASI ke
4
makanan) untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Selama masa penyapihan, bayi sangat memerlukan asupan gizi dari luar sehingga makanan pendamping ASI yang diberikan haruslah memiliki kandungan gizi terutama protein hewani. Penambahan, substitusi dan fortifikasi makanan bayi adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan bayi sehingga pada masa penyapihan bayi terhindar dari dampak kekurangan gizi terutama kekurangan energi protein. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah : 1. Menentukan metode ekstraksi KPTI terbaik dengan perlakuan jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi serta mengkarakterisasi nilai gizi dan sifat fungsional konsentrat protein telur ikan cakalang terbaik; 2. Menentukan formula MP – ASI dengan substitusi konsentrat protein telur ikan metode terbaik dengan mengevaluasi karakteristik organoleptik, nilai gizi dan sifat fungsionalnya. Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada : 1. Pemanfaatan hasil samping industri ikan cakalang asap sebagai usaha peningkatan nilai tambah khususnya telur ikan cakalang; 2. Perbaikan gizi masyarakat terutama untuk bayi dan balita yang masih rendah melalui formula makanan bayi pendamping ASI (MP-ASI) berprotein tinggi.
5
2 PEMBUATAN KONSENTRAT PROTEIN TELUR IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) serta KARAKTERISASI NILAI GIZI DAN SIFAT FUNGSIONALNYA Pendahuluan Latar belakang Konsentrat protein telur ikan (KPTI) adalah produk yang dihasilkan dengan menghilangkan semaksimal mungkin lemak dan air sehingga menghasilkan jumlah protein yang tinggi. Pembuatan konsentrat protein ikan umumnya dilakukan dengan dua metode. Metode pertama dimulai dengan pemisahan daging, penghancuran dan pencucian dengan air, pengurangan lemak dengan pelarut organik pada suhu tinggi (75 oC), pengeringan dan penepungan. Metode kedua dimulai dengan pemisahan daging, penghancuran dan pencucian daging dengan air dingin dan terakhir dengan larutan NaCl 0,5–1% pada pH 7.4–7.8, pengurangan lemak dengan pelarut organik pada suhu rendah (5oC), pengeringan dan penepungan (Suzuki 1981). Konsentrat protein ikan dapat diekstrak dengan pelarut organik contohnya iso-propanol, metanol, etanol atau 1,2 dikloroetana dengan variasi waktu dan suhu yang berbeda untuk menghilangkan lemak dan air sehingga diperoleh kadar protein yang tinggi (Koesoemawardani dan Nurainy 2008). Penggunaan pelarut alkohol dapat menghasilkan KPI dengan mutu yang baik, walaupun ekstraksi dengan alkohol memiliki kelemahan yaitu masih terdapat aroma pelarut pada KPI yang dihasilkan. Proses untuk menghilangkan air dan lemak tersebut dapat dilakukan dengan pengepresan, pengeringan atau ekstraksi. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan untuk memperoleh KPI dengan mutu tinggi antara lain jenis ikan, cara ekstraksi, tahap proses, bahan baku dan waktu ekstraksi. Isopropil alkohol dan etanol adalah pelarut komersial yang sering digunakan dalam proses ekstraksi KPI. Beberapa penelitian yang menggunakan etanol dan isopropil alkohol untuk mengesktrak protein ikan diantaranya Sumaryanto et al. (1996) menggunakan etanol untuk mengekstrak protein ikan nila merah; Rieuwpassa (2005) menggunakan etanol untuk mengekstrak protein ikan teri; Koesoemawardani dan Nurainy (2008) menggunakan etanol untuk mengekstrak protein ikan rucah; Tirtajaya et al. (2008) menggunakan etanol dan isopropil alkohol untuk mengekstrak protein ikan patin; Widiyawati (2011) menggunakan etanol untuk mengekstrak protein ikan lele; Chalamaiah et al. (2011) menggunakan isopropil alkohol untuk mengekstrak protein telur ikan Cirrihinus mrigala; Rao et al. (2012b) menggunakan isopropil alkohol untuk mengekstrak protein telur ikan Channa striatus; Wiharja et al. (2013) menggunakan etanol untuk mengekstrak protein telur ikan tuna dan kakap merah; sedangkan Rao (2014) menggunakan isopropil alkohol untuk mengekstrak protein telur Cyprinus carpio dan Epinephelus tauvina. Chalamaiah et al. (2012) menyatakan bahwa telur ikan mengandung protein yang tinggi sehingga dapat dijadikan sebagai sumber protein untuk konsumsi manusia. Protein merupakan molekul yang berperan penting dalam kelangsungan pertumbuhan dan perkembagan makhluk hidup. Didalam tubuh protein berfungsi sebagai komponen penyusun sel dan jaringan. Selain itu, protein juga berperan
6
untuk sistem metabolisme tubuh dan membantu proses pertumbuhan serta kecerdasan otak pada anak. Protein memiliki empat jenis struktur, yaitu struktur primer, sekunder, tersier dan kuartener. Asam amino diklasifikasikan berdasarkan fungsi fisiologi dalam tubuh, yaitu asam amino esensial, non-esensial dan semiesensial. Asam amino esensial tidak dapat diproduksi oleh tubuh sehingga harus disuplai melalui makanan, sedangkan asam amino non-esensial dapat diproduksi dalam tubuh. Selain sebagai pembangun dalam tubuh manusia, protein juga merupakan zat gizi yang sangat penting dalam bahan pangan, baik dari segi nutrisi maupun sifat fungsional. Salah satu peran penting protein adalah menentukan tekstur produk pangan, misalnya pada produk surimi. Pengetahuan mengenai karakteristik protein yang menyusun suatu bahan pangan merupakan informasi penting untuk memahami karakteristik produk pangan, proses pengolahan dan penyimpanan terhadap perubahan protein. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menentukan metode ekstraksi terbaik dalam pembuatan KPTI cakalang dengan perlakuan jenis pelarut (etanol dan isopropil alkohol) dan pengulangan ekstraksi, menentukan karakteristik nilai gizi dan sifat fungsional KPTI cakalang terbaik. Bahan dan Metode Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2013. Penelitian dilakukan di beberapa laboratorium yaitu Laboratorium Pengolahan Hasil Perairan Departemen THP, Laboratorium Pilot Plan Seafast IPB, Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Laboratorium Biologi Hewan Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi IPB dan Laboratorium Kimia Terpadu IPB. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur ikan cakalang yang merupakan hasil samping dari industri rumah tangga ikan cakalang asap di Desa Galala Kota Ambon, Propinsi Maluku. Pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi (deffating) adalah isopropil alkohol (IPA) dan etanol (food grade). Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis antara lain standar asam amino, larutan pengering (metanol, pikolotiosianat, trietilamina), larutan derivatisasi (metanol, Na-asetat, dan trietilamin) larutan buffer fosfat, enzim pepsin, enzim pankreatin, NaOH, HCl, minyak jagung, petroleum benzena. Peralatan yang digunakan antara lain timbangan, elenmeyer, blender, cabinet dryer (Type ITHU D-6700 West Germany), HPLC (Shimadzu Type LC- 20AB), alat Kjeldhal dan kertas saring, beker gelas, sentrifus (tipe C-5 centrifuge horizontal swing-out rotor up to 5.000 rpm), gelas piala, gelar ukur, cawan porselin dan desikator.
7
Tahapan Penelitian Pembuatan konsentrat protein telur ikan cakalang Tahapan pembuatan konsentrat protein telur ikan (KPTI) diawali dengan menganalisis komposisi proksimat telur ikan cakalang dengan mengacu metode AOAC (2005). Pembuatan KPTI mengacu pada metode Sikorski dan Nazck (1981) yang dimodifikasi dengan perlakuan jenis pelarut (isopropil alkohol dan etanol) dan pengulangan ekstraksi (1, 2 dan 3 kali masing-masing 1 jam). Proses pembuatan KPTI meliputi telur ikan segar dicuci dan diblender hingga lumat, kemudian diekstraksi dengan perbandingan telur ikan dan pelarut (1:3 b/v) sebanyak 1, 2 dan 3 kali. Hasil ekstrak disaring dan dipres, endapan hasil pengepresan dikeringkan pada suhu 45 oC selama 4 jam, hasil pengeringan kemudian ditepungkan. Konsentrat protein telur ikan yang dihasilkan dari masingmasing perlakuan diuji derajat putih (Hartoyo dan Susnandar 2006), kadar lemak (AOAC 2005), kadar protein (AOAC 2005) dan organoleptik dengan uji skoring (Soekarto dan Hubeis 1982) sesuai syarat mutu KPI menurut FAO (1976) untuk menentukan KPTI terpilih. Konsentrat protein telur ikan terbaik dikarakterisasi lebih lanjut meliputi daya serap air (Beuchat 1977), daya serap minyak (Beuchat 1977), densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992), daya buih (Huda et al. 2012), kapasitas emulsi (Yatsumatsu et al. 1972), komposisi asam amino (AOAC 1995), daya cerna protein in vitro (Anderson et al. 1969). Diagram alir proses pembuatan KPTI cakalang disajikan pada Gambar 1. Analisis Uji organoleptik (Soekarto dan Hubies 1982) Pengujian organoleptik untuk sampel konsentrat protein telur ikan menggunakan uji skoring terhadap aroma. Sampel disajikan secara acak dengan memberikan kode angka pada sampel. Para panelis berasal dari mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan, berjumlah 30 panelis. Tingkat skor yang digunakan adalah 1 sampai dengan 5. Skor 1 (satu) menyatakan aroma ikan sangat kuat, sedangkan skor 5 (lima) menyatakan aroma ikan sangat lemah. Semakin tinggi skor yang diberikan, menunjukkan semakin lemah aroma ikan yang dihasilkan. Lembar penilaian uji skoring dapat dilihat pada Lampiran 1. Derajat putih (Hartoyo dan Sunandar 2006) Alat yang digunakan adalah whiteness meter. Contoh sebanyak 3 g ditempatkan dalam satu wadah. Suhu sampel diseimbangkan dengan meletakkan wadah sampel di atas tester. Wadah berisi sampel beserta cawan berisi standar (berupa serbuk BaSO4 dengan nilai derajat putih 110%) dimasukkan ke dalam tempat pengukuran dan alat akan menampilkan nilai derajat putih dan nomor urutan pengukuran. Derajat putih (%) =
Derajat putih 110
x 100%
8
Analisis -Kadar air -Kadar abu -Kadar Protein -Kadar lemak -Kadar KH
Telur ikan segar
Pencucian dan penggilingan
Telur ikan lumat
Ekstraksi Perbandingan telur ikan lumat dan pelarut * (IPA dan Etanol, dingin -5oC) 1 : 3 (b/v) Penyaringan dan pengepresan
Pengulangan ekstraksi * 1, 2 dan 3 kali (masing-masing 1 jam)
Endapan KPTI
Pengeringan pada suhu 45±2 oC selama 4 kali
Penepungan (60 mesh)
KPTI cakalang
KPTI cakalang terbaik
Analisis -Kadar protein -Kadar lemak -Derajat putih -Uji skoring Analisis lanjut -Daya serap air -Daya serap lemak -Densitas kamba -Daya buih -Kapasitas emulsi -Komposisi asam amino -Daya cerna protein In viro
Keterangan : *bagian yang dimodifikasi Gambar 1 Diagram alir proses pembuatan KPTI cakalang (modifikasi metode Sikorski dan Nazck 1981).
9
Kadar protein (AOAC 2005) Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari destruksi, destilasi, dan titrasi. a. Tahap destruksi Sampel sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam tabung kjehdahl. Sebanyak 0,25 g selenium dan 25 mL H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam tabung tersebut. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas. Proses destruksi dilakukan sampai larutan berwarna bening. b. Tahap destilasi Sampel yang telah didestruksi dituangkan ke dalam labu destilasi, ditambahkan akuades 50 mL. Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 mL. Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam erlenmeyer 10 mL berisi larutan H3BO3 dan 2 tetes indikator (cairan methyl red dan brown cresol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh 10 mL destilat dan berwarna hijau kebiruan. c. Tahap titrasi Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan erlenmeyer berubah menjadi merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Perhitungan kadar protein ditentukan dengan rumus: N (%) =
(mL HCl − mL blanko)x N HCl x 14,007 𝑥 100% mg contoh
Protein (%) = N (%) x faktor konversi (6,25) Kadar lemak (AOAC 2005) Sampel sebanyak 5 g (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berta tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung sokhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 oC menggunakan pemanas listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada di dalam labu lemak didestilasi hingga semuanya menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak. Selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC dan didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Perhitungan kadar lemak: Kadar lemak (%) = Keterangan :
W3 − W2 X 100% W1
W1 = Berat sampel (g) W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (g) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (g)
10
Kadar air (AOAC 2005) Cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan terlebih dahulu pada suhu 105-110 oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Sampel kira-kira sebanyak 2 g ditimbang dan diletakkan dalam cawan kemudian dipanaskan dalam oven selama 3-4 jam pada suhu 105110 oC. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan setelah dingin ditimbang kembali. Persentase kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kadar air (%) = Kehilangan berat (g)
kehilangan berat (g) berat sampel awal (g)
x 100%
= berat sampel awal (g) – berat setelah dikeringkan (g)
Kadar Abu (AOAC 2005) Cawan abu porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu 105 oC selama 30 menit. Cawan abu tersebut kemudian dimasukkan ke dalam desikator (30 menit) dan ditimbang. Sampel sebesar 5 g ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan abu porselen. Selanjutnya dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan (600 oC) selama 7 jam. Cawan dimasukkan ke dalam desikator dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang sampai beratnya konstan. Perhitungan kadar abu ditentukan dengan rumus: Kadar abu (%) =
berat abu (g) berat contoh (g)
x 100%
Kadar kabohidrat (by difference) Kadar karbohidrat ditentukan dengan cara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein. Perhitungan kadar karbohidrat ditentukan dengan rumus: Kadar KH (%) = 100 - (kadar protein + kadar lemak + kadar abu + kadar air) Daya Serap Air (Beuchat 1977) Sampel sebanyak 1 g dimasukkan kedalam tabung sentrifus lalu ditambah dengan 10 mL akuades, kemudian diaduk dengan spatula dan didiamkan pada suhu kamar selama 30 menit. Sampel kemudian disentrifugasi pada 3.000 rpm selama 30 menit. Volume air bebas atau yang tidak terserap oleh sampel, diukur dengan gelas ukur. Perhitungannya sebagai berikut: Daya serap air (mL/g) = Keterangan : A = berat awal + air terserap B = berat akhir + air tidak terserap
A−B (mL) berat sampel (g)
11
Daya Serap Lemak (Beuchat 1977) Sampel sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam tabung sentrifus lalu ditambah dengan 10 mL minyak nabati, kemudian diaduk dengan spatula dan didiamkan pada suhu kamar selama 30 menit. Sampel kemudian disentrifugasi pada 3.000 rpm selama 30 menit. Volume minyak yang bebas atau yang tidak terserap oleh sampel, diukur dengan gelas ukur. Perhitungannya sebagai berkut : Daya serap minyak (g/g) =
A−B (g) berat sampel (g)
x BJ
Keterangan : A = berat awal + minyak terserap B = berat akhir + minyak tidak terserap BJ = 0,892 Kapasitas Emulsi (Yatsumatsu et al. 1972) Kapasitas emulsi diukur dengan cara 5 g konsentrat protein telur ikan ditambahkan 20 mL air dan 20 mL minyak jagung, kemudian dihomogenisasi selama 1 menit dan disentrifugasi pada 7.500 rpm selama 5 menit. Kapasitas emulsi dihitung dengan menggunakan rumus: Kapasitas emulsi (%) =
Volume emulsi setelah disentrifugasi Volume awal
x 100%
Densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992) Sebanyak 10 g sampel diukur volumenya dengan gelas ukur 50 mL. Densitas kamba dinyatakan dalam g/mL. Densitas kamba (g/mL) =
berat bahan (g) volume bahan (mL)
Daya Buih (Huda et al. 2012) Tepung KPTI (1 g) ditambahkan ke dalam 100 mL air dan dihomogenisasi selama satu menit. Campuran larutan KPTI dipindahkan ke dalam 250 mL beaker glass. Kapasitas busa dilihat dari busa yang terbentuk dibandingkan dengan kapasitas volume awal. Stabilitas busa merupakan rasio dari kapasitas busa selama waktu observasi dibandingkan dengan kapasitas busa awal. Komposisi Asam Amino (AOAC 1995) Sampel sebanyak 0,5 g dimasukkan ke dalam gelas piala 25 mL ditambahkan HCl 6 N sebanyak 10 mL, kemudian dipanaskan selama 24 kali pada suhu 100 oC. Sampel disaring dan diambil filtratnya. Filtrat ditambahkan 5 mL larutan pengering (metanol, picolotiocianat, trietilamin) kemudian dikeringkan. Larutan derivatisasi (metanol, Na-asetat, dan trietilamin) ditambahkan dan sampel didiamkan selama 20 menit. Larutan asetat 1 M sebanyak 200 mL ditambahkan dan sampel siap diinjeksikan ke HPLC. Kondisi alat HPLC sebagai berikut : temperatur pada suhu ruang, kolom yang digunakan adalah pico tag 3,9 x 150 mm, kecepatan aliran 1,5 mL/menit,
12
batas tekanan 3000 psi, program gradien, fase gerak asetonitril 60% dan buffer natrium asetat 1 M, dan detektor sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm. Asam amino (%) =
luas area sampel luas area standar
Asam Amino (mg/g protein) =
x
konsentrasi standar bobot sampel
x BM x FK x 100
1000 x kadar asam amino (%) kadar protein (%)
Keterangan : FK = faktor koreksi BM = berat molekul Daya cerna protein in vitro (Anderson et al. 1969) Sebanyak 0,25 g contoh dimasukkan ke dalam elenmeyer 50 mL, ditambahkan sebanyak 15 mL HCl 0,01 N yang mengandung 1,5 mg enzim pepsin dan dikocok pada kecepatan rendah pada suhu 37 ºC selama 3 kali dengan shaker. Larutan dinetralkan dengan NaOH 0,5 N dan ditambahkan 4 mg enzim pankreatin di dalam 7,5 mL larutan buffer fosfat 0,2 M dengan pH 8,0 yang mengandung natrium azida 0,005 M. Larutan yang diperoleh dikocok pada kecepatan rendah, pada suhu 37 ºC selama 24 jam dengan shaker kemudian disentrifugasi pada 2.500 rpm selama 5 menit. Padatan yang diperoleh dari akhir penyaringan dengan kertas whatman 41, dikeringkan dalam oven 105 ºC selama 2 jam, lalu ditimbang (sebelumnya bobot kering kertas saring sudah dicatat). Setelah itu, sampel tersebut dianalisis kandungan nitrogennya dengan menggunakan metode Kjeldahl. Daya cerna protein (%) =
Total protein−N tidak tercerna Total protein
x 100%
Analisis data Rancangan percobaan (Steel and Torrie 1993) Rancangan percobaan yang digunakan dalam pembuatan konsentrat protein telur ikan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan 2 taraf, yaitu jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi, secara matematik rancangan acak lengkap faktorial adalah sebagai berikut : Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + €ijk Keterangan : Yijk = nilai pengamatan dari faktor – A (jenis pelarut) taraf ke-i, faktor B (pengulangan ekstraksi) taraf ke –j dan ulangan ke-k µ = nilai tengah umum Ai = pengaruh faktor A ke- i (i = 1,2) Bi = pengaruh faktor B ke- j (j = 1,2,3) ABij = pengaruh interaksi antara faktor A ke-i dan faktor B ke-j €ijk = galat percobaan dari faktor-A taraf ke-i, faktor-B taraf ke-j dan ulangan kek. Data yang diperoleh sebelum dianalisis ragam (anova) dilakukan Uji kenormalan dengan uji Kolmogorov Smirnov. Apabila data yang diperoleh dengan
13
analisis ragam (Anova) menunjukkan adanya pengaruh, maka dilanjutkan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan (DMRT). Data nilai organoleptik (uji skoring) diuji menggunakan analisis nonparametrik yaitu Kruskall-Wallis. Data yang diperoleh dari lembar penilaian ditabulasi dan disusun mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar dan kemudian ditentukan peringkatnya masing-masing. Statistik uji yang digunakan adalah: 12 𝑅2 H = 𝑛+(𝑛+1) + ∑ ( 𝑖 ⁄𝑛𝑖 ) – 3 (n+1) H
H1 = pembagi ∑𝑇
Pembagi = 1 − (𝑛−1)(𝑛+1) dengan T = (t-1)(t+1) Keterangan: n = jumlah data total ni = banyaknya pengamatan pada perlakuan ke-i Ri2 = jumlah peringkat dari perlakuan ke-i T = banyaknya pengamatan seri dalam kelompok H = simpangan baku H1 = H terkoreksi t = banyaknya pengamatan seri Data hasil uji Kruskal Wallis apabila menunjukkan beda nyata, maka dilanjutkan dengan uji Dunn untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Uji lanjut perbandingan berganda dapat dirumuskan sebagai berikut: |𝑅1 − 𝑅𝑗 | > 𝑍1−𝛼∗ √
K (n+1) 6
α* = α/k(k-1) Keterangan: R1 = rata-rata ranking perlakuan ke-i Rj = rata-rata ranking perlakuan ke-j k = jumlah perlakuan n = jumlah data
Hasil dan Pembahasan Komposisi nilai gizi telur ikan cakalang Bahan baku yang digunakan untuk membuat konsentrat protein adalah telur ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), hasil samping dari industri pengolahan ikan cakalang asap di Desa Galala, Kota Ambon-Maluku. Komposisi proksimat telur ikan cakalang disajikan pada Tabel 1.
14
Tabel 1 Komposisi nilai gizi telur ikan cakalang Komposisi Protein Lemak Air Abu Karbohidrat (by difference)
Persentase (%bb) 19,81±0,54 3,41±0,22 71,32±0,16 2,04±0,70 1,53±0,53
Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kandungan protein telur ikan cakalang tergolong tinggi yaitu 19,81%. Hasil penelitian Intarasirisawat et al. (2011) menunjukkan bahwa telur ikan cakalang memiliki kandungan protein 20,15%, lemak 3,39%, abu 1,94% air 72,17% dan karbohidrat 2,35%. Telur ikan cakalang memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dan lemak yang rendah dibandingkan dengan jenis tuna lain seperti tongol (Thunnus tonggol) (5,68%) dan bonito (Euthynnus affinis) (4,26%). Ikan yang tergolong berlemak rendah mempunyai kadar lemak kurang dari 3%, berlemak sedang memiliki kadar lemak 3-5% dan berlemak tinggi memiliki kadar lemak lebih dari 7% (Venugoval 2008). Menurut Mohmoud et al. (2008) menyatakan bahwa variasi komposisi gizi telur ikan dipengaruhi oleh faktor biologi mencakup jenis spesies, kematangan gonad, makanan, musim, lokasi memijah, dan kondisi pengolahan. Penentuan pembuatan KPTI terbaik Konsentrat protein telur ikan cakalang (KPTI) dibuat dengan menggunakan perlakuan jenis pelarut (IPA dan etanol) dan pengulangan ekstraksi. Hasil yang diperoleh dianalisis kadar protein, kadar lemak, derajat putih dan organoleptik aroma untuk menentukan metode pembuatan KPTI cakalang terbaik. Metode terbaik dipilih sesuai dengan standar mutu KPI menurut FAO (1976) yaitu KPI tipe A dengan kriteria kadar lemak maksimal 0,75%, kadar protein minimal 67,5%, skor organoleptik aroma ikan lemah dan derajat putih tinggi; KPI Tipe B adalah KPI yang diperoleh dengan cara menghilangkan lemak melalui proses ekstraksi sampai dihasilkan KPI dengan kandungan lemak kurang dari 3%, flavor ikan masih tampak dalam sebagian besar makanan yang ditambahkan KPI; KPI Tipe C, merupakan tepung ikan yang biasa diproduksi secara higienis, dengan kandungan lemak lebih besar dari 10%, serta aroma dan flavor ikan yang takali. Kadar protein KPTI Protein merupakan parameter terpenting dalam menentukan mutu konsentrat protein. Kandungan protein yang tinggi merupakan ciri konsentrat protein dengan mutu baik. Konsentrat protein ikan dengan kualitas yang tinggi memiliki kandungan protein minimal 67,5%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pelarut, pengulangan ekstraksi dan interaksi keduanya berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar protein KPTI. Rata-rata kadar protein KPTI tertinggi diperoleh pada perlakuan ekstraksi menggunakan IPA dengan pengulangan ekstraksi 2 kali (72,47%), tidak berbeda nyata dengan pelakuan 3 kali (71,79%) dan berbeda nyata dengan perlakuan 1 kali (69,77%), sedangkan rata-rata kadar protein terendah diperoleh pada perlakuan ekstraksi menggunakan etanol dengan
15
Kadar protein (%)
pengulangan ekstraksi 1 kali (61,67%) dan berbeda nyata dengan perlakuan 2 kali (67,50%) dan 3 kali (70,01%). Histogram rata-rata kadar protein KPTI cakalang disajikan pada Gambar 2. 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
69,77a 61,67a
1 kali
67,50b
72,47b
2 kali Pengulangan ekstraksi
b 70,01c 71,79
3 kali
Gambar 2 Histogram pengaruh jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi terhadap kadar protein KPTI cakalang. Jenis pelarut : ( ) etanol dan ( ) IPA. Angka-angka dengan huruf superskrip yang berbeda (a,b) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05). Berdasarkan hasil yang diperoleh maka kadar protein KPTI cakalang tergolong KPI tipe A sesuai persyaratan FOA (1976) yaitu minimal 67,5%. Kadar protein yang tinggi pada KPTI cakalang dibandingkan dengan protein pada telur ikan cakalang segar dipengaruhi oleh adanya penurunan kandungan lemak dan air pada saat proses ekstraksi dan pengeringan. Menurut Balaswamy et al. (2007), persentase protein dari beberapa KPTI menunjukkan kandungan protein yang tinggi (70-80%). Kadar protein yang tinggi disebabkan karena adanya interaksi antara jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi sehingga komponen nonprotein terekstrak dengan baik. Proses ekstraksi menggunakan etanol menunjukkan kandungan protein yang lebih kecil dibandingkan dengan penggunaan IPA. Etanol tidak hanya dapat melarutkan lemak dan air tetapi juga sedikit protein karena etanol adalah pelarut organik yang bersifat polar. Etanol memiliki gugus hidroksil yang bersifat polar dan gugus metil yang bersifat nonpolar sehingga juga dapat melarutkan sebagian kecil protein (Winarno 2008). Penggunaan pelarut IPA menghasilkan kadar protein yang lebih tinggi dibandingkan pelarut etanol. McPhee dan Dubrow (1972) menyatakan bahwa IPA merupakan pelarut yang lebih baik dalam pembuatan KPI dibandingkan dengan etanol. Hasil penelitian Rao et al. (2012b) dan Chamalaiah et al. (2011) menunjukkan bahwa penggunaan IPA dalam pembuatan konsentrat protein dapat menghasilkan kadar protein yang tinggi yaitu75-90%. Kadar lemak KPTI Kadar lemak merupakan faktor penentu mutu KPI. Kadar lemak yang semakin rendah menghasilkan KPI dengan mutu tinggi. KPI dengan tipe A memiliki kadar lemak kurang dari 0,75%, KPI tipe B mengandung kadar lemak
16
kurang dari 3%, sedangkan KPI tipe C memiliki kadar lemak kurang dari 10% (FAO 1976). Histogram rata-rata kadar lemak disajikan pada Gambar 3.
Kadar lemak (%)
12.00
10,64a
10.00 7,02b
8.00 6.00
6,09c
4.96a 2,93b
4.00
2,78b
2.00
0.00 1 kali
2 kali Pengulangan ekstraksi
3 kali
Gambar 3 Histogram pengaruh jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi terhadap kadar lemak KPTI cakalang. Jenis pelarut: ( ) etanol dan ( ) IPA. Angka-angka dengan huruf superskrip yang berbeda (a,b,c) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05). Hasil analisis ragam menunjukkan jenis pelarut dan interaksinya berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar lemak konsentrat protein telur ikan (p<0,05), sedangkan pengulangan ekstraksi tidak memberikan pengaruh terhadap penurunan kadar lemak (p>0,05). Rata-rata kadar lemak terendah dihasilkan oleh perlakuan penggunaan IPA dengan pengulangan ekstraksi 3 kali (2,78%) dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan 2 kali (2,93%), sedangkan kadar lemak tertinggi dihasilkan oleh perlakuan penggunaan etanol dengan pengulangan ekstraksi 1 kali (10,64%) dan berbeda nyata dengan perlakuan 2 kali (7,02%) dan 3 kali (10,64%). Penggunaan pelarut IPA untuk ekstraksi lemak pada pembuatan KPTI cakalang lebih baik dibandingkan etanol. Berdasarkan FAO (1976), KPTI cakalang yang dihasilkan tergolong ke dalam KPI tipe B, yaitu kadar lemak yang kurang dari 3%. Beberapa penelitian yang menghasilkan KPI tipe B diantaranya Chalamaiah et al. (2011) menghasilkan KPTI Cirrhinus mrigala dengan kadar lemak 8,8%; Wiharja et al. (2013) menghasilkan KPTI tuna dan kakap merah masing-masing dengan kadar lemak 2,83% dan 3,75. Pemilihan pelarut sangat penting dalam melakukan ekstraksi lemak. Pelarut yang sering digunakan dalam ekstraksi KPI adalah etanol dan IPA yang memiliki kemampuan untuk menghilangkan lemak dalam jumlah yang banyak. Proses ekstraksi protein dengan menggunakan alkohol akan meningkatkan kadar protein dan menurunkan kadar lemak. Kelarutan lemak dan turunannya dalam pelarut organik juga dipengaruhi oleh jumlah ikatan rangkap dan panjang rantai karbon, semakin banyak jumlah ikatan rangkap maka kelarutan lemak semakin tinggi. Derajat putih KPTI Penilaian secara subyektif merupakan salah satu faktor penting, selain nilai gizi suatu produk. Bentuk atau fisik yang baik akan meningkatkan nilai kesukaan konsumen. Warna adalah salah satu parameter subyektif yang penting dalam
17
menentukan penilaian konsumen terhadap suatu produk. Warna KPI ditentukan dengan mengukur derajat putih. Derajat putih adalah analisis yang menentukan keputihan suatu bahan yang sangat erat dengan daya terima konsumen. Semakin baik warna maka semakin disukai oleh konsumen. Hasil analisis menunjukkan adanya perbedaan warna KPI yang dihasilkan oleh kedua jenis pelarut. Pelarutan dengan IPA menghasilkan warna yang lebih baik dibandingkan etanol. Histogram rataan derajat putih KPTI cakalang disajikan pada Gambar 4.
Derajat Putih (%)
60 47,77b
50 40 30
21,14a
20,77a
19,91a
24,00a
20
16,41b
10 0 1 kali
2 kali Pengulangan ekstraksi
3 kali
Gambar 4 Histogram pengaruh jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi terhadap derajat putih KPTI cakalang. Jenis pelarut: ( ) etanol dan ( ) IPA. Angka-angka dengan huruf superskrip yang berbeda (a,b) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa nilai derajat putih KPTI cakalang dipengaruhi secara nyata (p<0,05) oleh pengulangan ekstraksi dan interaksinya. Jenis pelarut tidak memberikan pengaruh nyata terhadap derajat putih KPTI cakalang (P>0,05). Nilai tertinggi derajat putih KPTI cakalang dihasilkan oleh perlakuan jenis pelarut IPA dengan pengulangan ekstraksi 3 kali (47,77%), lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Tirtajaya et al. (2008) yang menghasilkan derajat putih KPI ikan nila sebesar 73,85%. Hal ini diduga karena adanya perbedaan kandungan lemak antar perlakuan, semakin tinggi kandungan lemak maka semakin rendah derajat putih yang dihasilkan sebaliknya semakin rendah kandungan lemak maka derajat putih yang dihasilkan semakin tinggi. Peningkatan warna putih disebabkan oleh berkurangnya kadar lemak setelah diekstrak. Faktor lain yang mempengaruhi derajat putih KPI adalah proses pengeringan. Hutapea et al. (2004) menjelaskan bahwa asam amino dari protein dapat bereaksi dengan hasil oksidasi lemak membentuk senyawa imine yang berwarna kecoklatan. Nilai aroma Salah satu syarat mutu KPI adalah nilai aroma. KPI dengan mutu yang baik memiliki nilai aroma ikan yang lemah bila diseduh dengan air panas. Selain untuk menghilangkan kadar lemak, proses ekstraksi dengan alkohol bertujuan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan aroma amis pada KPI. Etanol dan IPA merupakan dua jenis pelarut yang digunakan dalam mengekstraksi KPI. Semakin
18
banyak lemak yang diektraksi, maka semakin lemah aroma amis yang timbul. Rawdkuen et al. (2009) menyebutkan bahwa proses ekstraksi tidak hanya mampu menghilangkan lemak, akan tetapi juga menghilangkan material-material lain seperti darah, pigmen dan bahan penyusun aroma. Histogram hasil uji skoring terhadap aroma KPTI cakalang disajikan pada Gambar 5. 5.00
Skor aroma
4.00 3.00
2,20a
2,10a
a 2,50a 2,37
2,47a 2,60a
2 kali pengulangan ekstraksi
3 kali
2.00 1.00 0.00 1 kali
Gambar 5 Histogram pengaruh jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi terhadap nilai aroma KPTI cakalang. Jenis pelarut: ( ) etanol dan ( ) IPA. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05). Nilai aroma ditentukan secara organoleptik dengan menggunakan uji skoring. Skala yang digunakan adalah 1-5, semakin kecil nilai maka semakin beraroma ikan dan sebaliknya semakin besar nilai maka semakin tidak beraroma ikan. KPTI cakalang yang diuji aroma diharapkan tidak memiliki aroma amis yang takali sehingga mudah diaplikasikan dalam pembuatan produk dan mudah diterima oleh konsumen. Hasil uji statistik nonparametrik menggunakan uji Kruskal Wallis menunjukkan tidak ada pengaruh jenis pelarut, pengulangan ekstraksi dan interaksinya terhadap nilai aroma konsenstrat protein telur ikan (P>0,05). Aroma yang tidak berubah atau tidak adanya perubahan aroma yang dihasilkan disebabkan oleh kandungan lemak yang masih tinggi ataupun adanya kotorankotoran lain yang menyebabkan aroma amis masih tercium. Nilai aroma tertinggi diperoleh pada perlakuan IPA dengan pengulangan ekstraksi 3 kali yaitu 2,60. Hasil penelitian Wiharja et al. (2013) menghasilkan KPTI tuna dan kakap merah dengan nilai aroma masing-masing 3,33 dan 3,03. Kualitas KPTI yang baik memiliki nilai aroma amis yang lemah (Nollet et al. 2007). Pemilihan metode pembuatan KPTI terbaik Pemilihan metode pembuatan konsentrat protein terbaik ditentukan berdasarkan syarat mutu KPI menurut FAO (1976). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar protein, kadar lemak dan derajat putih; sedangkan untuk nilai aroma tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05). Kadar protein tertinggi diperoleh pada perlakuan isopropil alkohol dengan pengulangan
19
ekstraksi 2 kali dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan 3 kali, kadar lemak terendah diperoleh pada perlakuan isopropil alkohol dengan pengulangan ekstraksi 3 kali, derajat putih tertinggi diperoleh pada perlakuan isopropil alkohol dengan pengulangan ekstraksi 3 kali dan semua perlakuan menunjukkan tidak adanya pengaruh jenis pelarut dan pengulangan ekstraksi terhadap nilai aroma. Nilai aroma tertinggi diperoleh pada perlakuan isopropil alkohol dengan pengulangan ekstraksi 3 kali. Berdasarkan hasil penelitian maka metode ekstraksi terbaik pada pembuatan KPTI cakalang adalah menggunakan isopropil alkohol dengan pengulangan ekstraksi 3 kali. Nilai gizi KPTI cakalang terpilih Kualitas bahan pangan ditentukan oleh komposisi nilai gizi yang berkaitan dengan kandungan protein, lemak, air, abu dan karbohidrat. Mutu protein ditentukan oleh kemampuan penyerapan atau daya cerna protein dalam tubuh. Komposisi nilai gizi KPTI cakalang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi nilai gizi KPTI cakalang Parameter Protein (%) Lemak (%) Air (%) Abu (%) Karbohidrat by difference (%) Daya cerna in vitro (%)
Nilai 71,79±0,72 2,78±0,16 7,40±0,03 7,53±0,07 10,52±0,46 95,86±0,02
Pembanding 79,90a 2,83a 8,07b 5,49b 15,12b 95,87c
a)
Wiharja et al. (2013); b)Rao (2014); c)Tirtajaya et al. (2008)
Protein merupakan molekul esensial dalam penyusunan struktur maupun proses fungsional tubuh makhluk hidup. Protein merupakan senyawa organik kompleks yang mengandung asam amino yang terikat satu sama lain melalui ikatan pedtida (Kusnandar 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar protein KPTI cakalang 71,79%, lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Wiharja et al. (2013) yang menghasilkan KPTI tuna dengan kadar protein 79,90% dan lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Rao (2014) yang menghasilkan kadar protein KPTI Cyprinus carpio sebesar 70,71%. Menurut syarat FAO (1976), KPI dengan kadar protein minimal 67,5 % tergolong KPI tipe A. Lemak terkandung dalam semua jenis bahan pangan. Setiap bahan pangan memiliki kadar lemak yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar lemak KPTI cakalang 2,78% sedangkan hasil penelitian Wiharja et al. (2013) menghasilkan KPTI tuna dengan kadar lemak 2,83% dan hasil penelitian Ibrahim (2009) menghasilkan KPI Tilapia dengan kadar lemak 0,75%. Menurut syarat FAO (1976), KPI dengan kadar lemak minimal 3% tergolong KPI tipe B. Penggunaan pelarut misalnya alkohol, aseton, hidrokarbon, dan karbondisulfida dapat mengekstraksi lemak yang terdapat dalam jaringan sehingga menghasilkan kadar protein yang tinggi (Buckle et al. 2010). Air dalam bahan pangan sangat penting pengaruhnya terhadap daya simpan pangan. Kadar air yang rendah pada suatu produk pangan akan memperpanjang daya simpannya.
20
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air KPTI cakalang sebesar 7,40% lebih kecil dibandingkan hasil penelitian Rao (2014) yang menghasilkan KPTI Cyprinus carpio dengan kadar air 8,07% dan lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Ibrahim (2009) yang menghasilkan KPI nila dengan kadar air 4,18%. Menurut FAO (1976) kadar air maksimum KPI sebesar 10%. Kadar abu pada bahan pangan menunjukkan adanya kandungan mineralmineral dalam bahan pangan. Mineral adalah komponen anorganik misalnya kalsium (Ca), fosfor (P) dan sulfur (S) (Kusnandar 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar abu KPTI cakalang sebesar 7,53% lebih kecil dibandingkan hasil penelitian Ibrahim (2009) yang menghasilkan KPI nila dengan kadar abu 25,39% dan lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Rao (2014) yang menghasilkan KPTI Cyprinus carpio dengan kadar abu 5,49%. Kandungan karbohidrat dalam daging ikan berupa polisakarida, yaitu glikogen yang terdapat di dalam sarkoplasma diantara miofibril-miofibril. Kadar karbohidrat tepung ikan cukup tinggi dibandingkan pada ikan segar. Hasil penelitian menunjukkan kadar karbohidrat KPTI cakalang sebesar 10,52% lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Rao (2014) yang menghasilkan KPTI Cryprinus carpio dengan kadar karbohidrat 15,12%. Nilai gizi protein bahan pangan tidak hanya dilihat dari segi kuantitas saja, akan tetapi segi kualitas juga perlu diperhatikan (Muchtadi 1993). Kualitas protein dapat ditentukan oleh daya cerna protein dan bioavailabilitas asam amino yang dikandungnya (Gilani dan Sepehr 2003). Pengujian daya cerna protein KPTI cakalang dilakukan dengan cara in vitro menggunakan enzim pepsin. Menurut Soedarmo (1989) pepsin yang dihasilkan oleh sel-sel dinding mukosa lambung akan menguraikan residu fenilalanin, tirosin dan triptofan, yang merupakan asamasam amino aromatik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya cerna protein in vitro KPTI cakalang sebesar 95,86%. Hasil penelitian Tirtajaya et al. (2008) dengan menggunakan metode multienzim menghasilkan KPI nila dengan daya cerna in vitro 95,87%. Menurut FAO (1976) daya cerna pepsin minimum untuk KPI adalah 92%. Sifat fungsional KPTI cakalang terpilih Disamping berperan sebagai sumber gizi, protein dari sumber yang berbeda akan memiliki sifat fungsional tertentu yang dapat berpengaruh pada karakteristik produk pangan. Sifat fungsional protein ini berperan penting dalam pengolahan pangan, penyimpanan dan penyajiannya (Kusnandar 2010). Sifat fungsional KPTI yang dianalisis meliputi daya serap air, daya serap minyak, kapasitas emulsi, densitas kamba, kapasitas buih dan stabilitas buih. Karakteristik sifat fungsional KPTI cakalang disajikan pada Tabel 3. Daya serap air didefinisikan sebagai kemampuan bahan pangan untuk menahan air yang ditambahkan dan yang ada dalam bahan pangan itu sendiri. Hasil penelitian menunjukkan daya serap air KPTI cakalang adalah 1,53 g/mL yang berarti setiap 1,53 g KPTI cakalang mampu menyerap 1 mL air. Penelitian Wiharja et al. (2013) mendapatkan daya serap air pada KPTI tuna dan kakap merah masing-masing 5,38 g/mL dan 6,25 g/mL; sedangkan penelitian Rao (2014) menghasilkan daya serap air masing-masing 1,78 mL/g dan 1,99 mL/g pada KPTI Cyprinus carpio dan Epinephelus tauvina. Daya serap air merupakan
21
sifat yang penting dari protein karena akan menentukan sifat hidrasi, pengembangan produk, kelarutan, viskositas, dan gelasi (Tirtajaya et al. 2008). Tabel 3 Karakteristik sifat fungsional KPTI cakalang Sifat fungsional Daya serap air (g/mL) Daya serap minyak (g/g) Kapasitas emulsi (%) Densitas kamba (g/mL) Kapasitas buih (mL) Stabilitas buih (10 menit)
Nilai Pembanding 1,57±0,01 5,38a 1,82±0,01 1,77a 81,65±0,24 6,5b * 0,51±0,00 0,83b 1,90±0,21 26,00b 0,22±0,05 17,00b
a)
Wiharja et al. (2013); b)Rao (2014); *ml/g
Daya serap minyak adalah sifat yang dapat menunjukkan adanya interaksi suatu bahan pangan terhadap penyerapan minyak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya serap minyak KPTI cakalang adalah 1,82 g/g, ini berarti setiap 1,82 g KPTI mampu menyerap 1 mL minyak. Hasil penelitian Wiharja et al. (2013) menghasilkan KPTI tuna dan kakap merah dengan daya serap minyak masingmasing 1,77 g/g dan 1,89 g/g; sedangkan Rao (2014) menghasilkan daya serap minyak pada KPTI Cyprinus carpio dan Epinephelus tauvina masing-masing 0,83 g/g dan 1,01 g/g. Menurut Ravi dan Sushelamma (2005) mekanisme penyerapan minyak melalui pemerangkapan minyak secara fisik yang berhubungan dengan keberadaan gugus nonpolar protein. Protein dan jenis protein berkontribusi terhadap sifat kapasitas penyerapan minyak bahan pangan. Asam amino yang bersifat nonpolar misalnya fenilalanin, leusin, isoleusin, metionin, valin, dan triptofan dapat membentuk ikatan hidrofobik dengan minyak (Winarno 2008). Kapasitas emulsi terjadi jika suatu bahan dapat menyerap air dan minyak secara seimbang. Kapasitas emulsi adalah kemampuan larutan/suspensi protein untuk mengemulsikan minyak (Kusnandar 2010). Chalamaiah et al. (2011) menyatakan bahwa kapasitas emulsi protein tergantung pada keseimbangan ikatan hidrofilik dan lipofilik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas emulsi KPTI cakalang adalah 81,65% atau 0,8165 mL/g lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Rao (2014) menghasilkan kapasitas emulsi sebesar 6,5 mL/g dan 5,5 mL/g masing-masing pada KPTI Cyprinus carpio dan Epinephelus tauvina dan Rao et al. (2012b) menghasilkan KPTI Channa striatus dan Lates calcarifer dengan kapasitas emulsi masing-masing 56 mL/g dan 12 mL/g. Protein dapat menstabilkan emulsi dengan menjembatani antara air dan lemak. Hal ini disebabkan protein memiliki sifat hidrofilik dan hidrofobik, sisi hidrofilik akan mengikat air dan sisi hidrofobik akan mengikat lemak (Kusnandar 2010). Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempati dan dinyatakan dalam satuan g/mL. Densitas kamba suatu bahan menunjukkan tingkat kepadatan di dalam ruang (volume) dalam berat tertentu. Suatu bahan dinyatakan kamba (bulky) bila nilai densitas kambanya kecil (Rieuwpassa 2005). Hasil penelitian menunjukkan nilai densitas kamba KPTI cakalang adalah 0,51 g/mL lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian Chalamaiah et al. (2011) yaitu 0,77 g/mL pada KPTI mrigal (Cirrhinus mrigala)
22
dan Rao (2014) menghasilkan KPTI Cyprinus carpio dan Epinephelus tauvina dengan densitas kamba masing-masing 0,83g/mL dan 0,75 g/mL. Kekuatan protein dalam memerangkap gas merupakan faktor utama yang menentukan karakteristik sifat pembentukan buih. Buih adalah dispersi koloid dalam air (Kusnandar 2010). Chamalaiah et al. (2011) menyatakan bahwa kapasitas buih bergantung pada fleksibilitas molekul dan sifat fisiko kimia protein. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas buih KPTI cakalang adalah 1,90 mL dan stabilitas buihnya pada menit ke 10 adalah 0,22. Rao (2014) menghasilkan kapasitas buih 26 mL dan 56 mL dengan stabilitas buihnya setelah 10 menit adalah 17 mL dan 12 mL masing-masing pada KPTI Cyprinus carpio dan Epinephelus tauvina. Busa dapat didefinisikan sebagai sistem dua fase yang mengandung udara, yang dipisahkan dengan lapisan kontinyu yang tipis, yang disebut fase lamellar. Busa protein pada permukaan merupakan sistem yang kompleks, mengandung campuran gas, cairan, padatan, dan surfaktan (Kusnandar 2010). Profil Asam Amino KPTI Terpilih Protein terdiri atas asam amino yang tergabung melalui ikatan peptida. Asam-asam amino pembentuk protein terdiri dari asam amino esensial, nonesensial dan semi-esensial. Komposisi asam amino menentukan kualitas protein terutama asam amino esensial. Tirtajaya et al. (2008) menyebutkan bahwa profil asam amino menunjukkan jenis dan jumlah asam amino esensial yang terkandung di dalam suatu jenis protein. Asam amino esensial sangat dibutuhkan oleh tubuh karena di dalam tubuh manusia tidak dapat memproduksinya sehingga perlu adanya asupan dari luar tubuh. Komposisi asam amino KPTI cakalang disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi asam amino (mg/g protein) KPTI cakalang Asam amino Treonina Metionina Valina Fenilalanina Esensial Isoleusina Leusina Tirosina Lisina Asam aspartat Asam glutamat Non-esensial Serina Glisina Alanina Histidina Semiesensial Arginina Total
Jumlah 44,30 22,29 48,47 38,31 36,63 64,91 37,05 70,76 77,59 118,54 51,26 41,79 54,88 30,64 112,27 849,70
Wiharja et al. (2013) 50,73 28,02 48,60 53,88 42,17 69,75 50,23 51,14 56,60 99,46 41,91 33,27 43,65 31,23 70,85 771,49
23
Protein yang mudah dicerna menunjukkan asam-asam aminonya mudah diserap dan mampu digunakan secara maksimal oleh tubuh. Sebaliknya, protein yang sukar dicerna berarti jumlah asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh rendah karena sebagian besar protein yang diasup dibuang kembali bersama feses (WNPG 2004). Hasil penelitian menunjukkan jumlah asam amino KPTI cakalang 849,70 mg/g protein. Hasil penelitian Wiharja et al. (2013) yang menghasilkan KPTI tuna dengan jumlah asam amino 771,79 mg/g protein. Komposisi asam amino esensial KPTI cakalang lebih rendah dibandingkan dengan KPTI tuna (Wiharja et al. 2013). Lisin merupakan asam amino esensial dengan jumlah tertinggi (70,76 mg/g protein) dibandingkan dengan asam amino esensisal lainnya. Hussain et al. (2007) menyatakan bahwa ikan mengandung asam amino lisin dalam jumlah yang tinggi tetapi memiliki asam amino metionin yang rendah jika dibandingkan dengan beras dan bahan pangan sereal lainnya. Lisin merupakan salah satu asam amino esensial yang sangat dibutuhkan oleh balita. Konsentrat protein telur ikan cakalang memiliki jumlah lisin 7,08% per berat protein. Hasil ini telah memenuhi persyaratan lisin minimum menurut FAO yaitu 6,5% dari berat protein. Asam amino pembatas pada komposisi asam amino KPTI cakalang adalah metionin. Hasil penelitian Wiharja et al. (2013) juga menghasilkan metionin sebagai asam amino pembatas pada komposisi asam amino KPTI tuna. Data mengenai asam amino pembatas berguna untuk mengetahui asam amino esensial yang harus disuplementasi untuk meningkatkan nilai gizi protein (Muchtadi 1993).
Simpulan Metode ekstraksi menggunakan IPA dengan pengulangan ekstraksi 3 kali menghasilkan KPTI cakalang yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lain. KPTI cakalang terbaik yang dihasilkan memiliki kadar protein 71,79%, lemak 2,78%, derajat putih 47,77% dan masih memiliki aroma amis. KPTI cakalang tergolong KPI tipe B sesuai syarat FAO (1976). Konsentrat protein telur ikan cakalang terbaik memiliki daya cerna protein in vitro sebesar 95,86%. Karakteristik fungsional KPTI cakalang terbaik yaitu kapasitas emulsi 81,65%, daya serap air 1,57 g/mL, daya serap minyak 1,82 g/g, densitas kamba 0,51 g/mL, kapasitas buih 1,90 mL dan stabilitas buih selama 10 menit 0,22 mL. Produk tersebut memiliki 9 asam amino esensial dengan lisin (70,76 mg/g protein) dan leusin (64,91 mg/g protein) sebagai asam amino tertinggi, sedangkan asam amino pembatasnya adalah metionin.
24
3 APLIKASI KONSENTRAT PROTEIN TELUR IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DALAM FORMULASI MAKANAN BAYI PEMDAMPING ASI Pendahuluan Latar belakang Kekurangan energi protein (KEP) masih menjadi salah satu masalah di Indonesia sampai saat ini. Salah satu penyebabnya adalah kekurangan konsumsi protein. Periode usia sampai 2 tahun merupakan masa kritis bagi peningkatan perkembangan kesehatan yang optimal. Pengaruh yang langsung dari gizi kurang selama masa tersebut meliputi terlambatnya perkembangan mental dan motorik. Pengaruh jangka panjang dari kurangnya zat gizi yang terjadi pada masa dini dihubungkan dengan kemampuan bekerja dan intelektual. Prevalensi kurang gizi balita terus mengalami kenaikan sejak tahun 2000 (24,7%) kemudian 26,1% (2001), 27,3% (2002) dan 27,5% (2003) (Depkes 2004). WHO (2006) mempublikasikan indikator kesehatan di Indonesia pada tahun 2004, meliputi balita dengan tinggi badan kurang (28,6%), balita dengan berat badan kurang (19,7%) dan balita dengan kelebihan berat badan (5,1%). Kekurangan gizi biasanya rentan terjadi pada kelompok usia 6 sampai 24 bulan, sehingga perlu adanya upaya pemberian makanan pendamping untuk menunjang ASI. Sulaeman dan Muchtadi (2003) menyatakan bahwa pada masa penyapihan (masa peralihan antara penyusuan dan makanan dewasa sebagai sumber energi dan zat gizi utama), pemberian ASI mulai dikurangi atau konsumsi ASI berkurang dengan sendirinya sehingga untuk mencukupi kebutuhan gizinya anak perlu diberikan makanan tambahan. Makanan yang dikonsumsi dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan gizinya, khususnya protein dan energinya. Upaya pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) terus dilakukan dan dikembangkan sehingga dapat memenuhi kecukupan bayi. Makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) didefinisikan sebagai makanan bergizi yang diberikan disamping ASI kepada bayi berusia 6 (enam) bulan ke atas atau berdasarkan indikasi medik, sampai anak berusia 24 (dua puluh empat) bulan untuk mencapai kecukupan gizi. Makanan pandamping ASI biskuit adalah MP–ASI yang diproduksi melalui proses pemanggangan yang dapat dikonsumsi setelah dilumatkan dengan penambahan air, susu, atau cairan lain yang sesuai untuk bayi diatas 6 (enam) bulan atau berdasarkan indikasi medik, atau dapat dikonsumsi langsung sesuai umur dan organ pencernaan bayi/anak (BSN 2005). Pemanfaatan konsentrat protein ikan dalam formulasi makanan terus dilakukan. Kusharto et al. (2005) memberikan biskuit berbasis konsentrat protein ikan yang diperkaya probiotik sebagai makanan fungsional untuk balita; Rieuwpassa dan Soukota (2005) melakukan penambahan konsentrat protein ikan teri ke dalam formulasi biskuit plus probiotik untuk meningkatkan sistem imum pada balita; Tirtajaya et al. (2008) menambahkan konsentrat protein ikan nila ke dalam cookies coklat; Santoso et al. (2009) melakukan substitusi konsentrat protein ikan nila ke dalam makanan bayi berbentuk bubur; Widiyawati (2011) memanfaatkan konsentrat protein ikan dan kalsium tulang ikan lele sebagai bahan substitusi ke dalam makanan bayi berbentuk bubur. Tetapi penelitian yang
25
memanfaatkan protein telur ikan sebagai bahan tambahan dan substitusi ke dalam makanan belum banyak dilakukan. Tujuan Penelitian ini bertujuan memanfaatkan konsentrat protein telur ikan cakalang sebagai bahan substitusi dalam formulasi biskuit MP-ASI dan mengevaluasi karakteristik organoleptik, nilai gizi dan sifat fungsionalnya. Bahan dan Metode Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2013. Penelitian dilakukan di beberapa laboratorium yaitu Laboratorium Diversifikasi dan Pengolahan Hasil Perairan Departemen THP, Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Laboratorium Biologi Hewan Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan dan Gizi IPB, Laboratorium Kimia Terpadu Kampus Baranangsiang IPB dan Puskesmas Anggrek RW 1 Desa Babakan, Dramaga-Bogor. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian tahap ini adalah KPTI cakalang terpilih pada tahap pertama, tepung terigu, susu skim, mentega, telur, tepung gula, essence pisang dan bahan pengembang. Peralatan yang digunakan antara lain: timbangan, baskom, mixer, cetakan, telenan, aluminium foil, sendok, oven (Kirin Electric Type kb0-190kaw), plastik polypropyline (PP), sentrifus (tipe C-5 Centrifuge Horizontal swing-out Rotor up to 5.000 rpm) dan HPLC (Shimadzu Type LC- 20AB). Tahapan penelitian Formulasi biskuit MP-ASI dengan substitusi KPTI terpilih dari penelitian tahap sebelumnya mengacu pada penelitian Rieuwpassa (2005) yang dimodifikasi seperti yang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Formulasi substitusi KPTI cakalang terhadap susu skim Komponen KPTI Susu skim Tepung gula Tepung terigu Margarin Telur Total Bahan pengembang esens pisang
Perbandingan KPTI cakalang : susu skim (g) F0 (0:30)
F1 ( 5:25)
0 30 20
5 25 20
35 10 5 100
F2 (10:20)
F3 (15:15)
F4 (20:10)
F5 (25:5)
F6 (30:0)
10 20 20
15 15 20
20 10 20
25 5 20
30 0 20
35
35
35
35
35
35
10 5 100
10 5 100
10 5 100
10 5 100
10 5 100
10 5 100
Secukupnya
26
Formula terbaik dipilih berdasarkan uji organoleptik (Soekarto dan Hubeis 1982) dengan 30 orang panelis yaitu ibu-ibu yang mempunyai anak balita. Formula kontrol, produk komersial dan formula terpilih kemudian dianalisis lanjut meliputi kadar protein (AOAC 2005), kadar lemak (AOAC 2005), kadar abu (AOAC 2005), kadar air (AOAC 2005), kadar karbohidrat (by difference) daya serap air (Beuchat 1977), daya serap minyak (Beuchat 1977), densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992), kapasitas rehidrasi (Kumar et al. 2001), kapasitas emulsi (Yatsumatsu et al. 1972), komposisi asam amino (AOAC 1995) dan daya cerna protein in vitro (Anderson et al. 1969). Diagram pembuatan biskuit MP-ASI disajikan pada Gambar 6. Telur + margarin + gula diaduk hingga merata (±10 menit) sambil ditambahkan bahan pengembang Penambahan KPTI dan susu skim sesuai dengan perlakuan
F0
F1
F2
F3
F4
F5
F6
Pengadukan hingga merata (±10 menit)
Penambahan terigu dan pengadukan hingga terbentuk adonan dan penambahan esens Pencetak dan pemanganggan dalam oven, suhu ±150oC selama 15-20 menit
Biskuit MP-ASI kaya protein Uji organoleptik
Biskuit MPASI terpilih
-Kadar protein -Kadar lemak -Kadar air -Kadar abu -kadar karbohidrat -Daya serap air -Daya serap lemak -Densitas kamba -Kapasitas rehidrasi -Kapasitas emulsi -Komposisi asam amino -Daya cerna protein In vitro
Gambar 6 Diagram alir pembuatan formula biskuit MP-ASI kaya protein
27
Analisis Uji organoleptik (Soekarto dan Hubies 1982) Pengujian organoleptik untuk sampel biskuit MP-ASI menggunakan uji skoring dengan enam parameter penilaian, yaitu: 1) kehalusan dalam mulut, 2) kemudahan ditelan, 3) kelengketan dalam mulut, 4) aroma (aroma), 5) rasa dan 6) kesukaan secara keseluruhan. Panelis terdiri dari 30 orang ibu-ibu yang memiliki anak balita (1-24 bulan). Panelis memberikan penilaian berdasarkan karakteristik setiap parameter tanpa membandingkan sampel satu dengan sampel yang lain. Tingkat skor yang digunakan adalah 1 sampai dengan 5. Skor 1 (satu) menyatakan nilai terendah, sedangkan skor 5 (lima) menyatakan nilai tertinggi untuk setiap parameter. Skor penilaian yang digunakan diberikan pada panelis terdapat pada Lampiran 2. Kadar protein (AOAC 2005) Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari destruksi, destilasi dan titrasi. a. Tahap destruksi Sampel sebanyak 1 g ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjehdahl. Sebanyak 0,25 g selenium dan 25 mL H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam tabung tersebut. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas. Proses destruksi dilakukan sampai larutan berwarna bening . b. Tahap destilasi Sampel yang telah didestruksi dituangkan ke dalam labu destilasi lalu ditambahkan akuades 50 mL. Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 mL. Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam erlenmeyer 10 mL berisi larutan H3BO3 dan 2 tetes indikator (cairan methyl red dan brown cresol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh 10 mL destilat dan berwarna hijau kebiruan. c. Tahap titrasi Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan erlenmeyer berubah menjadi merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Perhitungan kadar protein ditentukan dengan rumus: N (%) =
(mL HCl−mL blanko)x N HCl x 14,007 mg contoh
x 100%
Protein (%) = N (%) x faktor konversi (6,25) Kadar lemak (AOAC 2005) Sampel sebanyak 5 g (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung sokhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung sokhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi sokhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 oC menggunakan pemanas listrik selama 16 jam. Pelarut lemak yang ada di dalam labu lemak didestilasi hingga semuanya
28
menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak. Selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC dan didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Perhitungan kadar lemak: Kadar lemak (%) = Keterangan :
W3−W2 W1
x 100%
W1 = Berat sampel (g) W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (g) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (g)
Kadar air (AOAC 2005) Cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan terlebih dahulu pada suhu 105-110 oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Sampel kira-kira sebanyak 5 g ditimbang dan diletakkan dalam cawan kemudian dipanaskan dalam oven selama 3-4 jam pada suhu 105110 oC. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan setelah dingin ditimbang kembali. Persentase kadar air dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kadar air (%) = Kehilangan berat (g)
kehilangan berat (g) berat sampel awal (g)
x 100%
= berat sampel awal (g) – berat setelah dikeringkan (g)
Kadar Abu (AOAC 2005) Cawan abu porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu 105 oC selama 30 menit. Cawan abu tersebut kemudian dimasukkan ke dalam desikator (30 menit) dan ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan abu porselen. Selanjutnya dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan (600 oC) selama 7 jam. Cawan dimasukkan ke dalam desikator dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang sampai berat konstan. Perhitungan kadar abu ditentukan dengan rumus: Kadar abu (%) =
berat abu (g) berat contoh (g)
x 100%
Kadar kabohidrat (by difference) Kadar karbohidrat ditentukan dengan cara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein. Perhitungan kadar karbohidrat ditentukan dengan rumus:
Kadar KH (%) = 100 - (kadar protein + kadar lemak + kadar abu + kadar air) Daya Serap Air (Beuchat 1977) Sampel sebanyak satu gram dimasukkan ke dalam tabung sentrifus lalu ditambah dengan 10 mL akuades, kemudian diaduk dengan spatula dan didiamkan
29
pada suhu kamar selama 30 menit. Setelah itu disentrifugasi pada 3.000 rpm selama 30 menit. Volume air bebas atau yang tidak terserap oleh sampel diukur dengan gelas ukur. Daya serap air (mL/g) =
A−B (mL) berat sampel (g)
Keterangan : A = berat awal + air terserap B = berat akhir + air tidak terserap Daya Serap Lemak (Beuchat 1977) Sampel sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam tabung sentrifus lalu ditambah dengan 10 mL minyak nabati, kemudian diaduk dengan spatula dan didiamkan pada suhu kamar selama 30 menit. Sampel kemudian disentrifugasi pada 3.000 rpm selama 30 menit. Volume minyak yang bebas atau yang tidak terserap oleh sampel, diukur dengan gelas ukur. Perhitungannya sebagai berkut : Daya serap minyak (g/g) =
A−C (g) berat sampel (g)
x BJ
Keterangan : A = berat awal + minyak terserap C = berat akhir + minyak tidak terserap BJ = 0,892 Densitas kamba (Wirakartakusumah et al. 1992) Sebanyak 10 g sampel diukur volumenya dengan gelas ukur 50 mL. Densitas kamba dinyatakan dalam g/mL. Densitas kamba (g/mL) =
berat bahan (g) volume bahan (mL)
Kapasitas rehidrasi (Kumar et al. 2001) Kapasitas rehidrasi digambarkan melalui rasio rehidrasi dan waktu rehidrasi. Waktu rehidrasi merupakan kemampuan bahan menyerap air (mL) dalam waktu (detik) dan rasio rehidrasi merupakan gambaran antara jumlah air yang ditambahkan dalam jumlah bahan makanan setiap penyajian. Sebanyak 20 g sampel dimasukkan ke dalam gelas piala 500 mL, kemudian ke dalam gelas dimasukkan air pada suhu ruang. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap waktu rehidrasi dan rasio rehidrasi. Kapasitas Emulsi (Yatsumatsu et al. 1972) Kapasitas emulsi diukur dengan cara 5 g konsentrat protein telur ikan ditambahkan 20 mL air dan 20 mL minyak jagung, kemudian dihomogenisasi selama 1 menit dan disentrifugasi pada 3.000 rpm selama 5 menit. Kapasitas emulsi dihitung dengan menggunakan rumus : Kapasitas emulsi (%) =
Volume emulsi setelah disentrifugasi Volume awal
x 100%
30
Komposisi Asam Amino (AOAC 1995) Sampel sebanyak 0,5 g dimasukkan ke dalam gelas piala 25 mL ditambahkan HCl 6 N sebanyak 10 mL, kemudian dipanaskan selama 24 jam pada suhu 100 oC. Sampel disaring dan diambil filtratnya. Filtrat ditambahkan 5 mL larutan pengering (metanol, picolotiocianat, trietilamin) kemudian dikeringkan. Larutan derivatisasi (metanol, Na-asetat, dan trietilamin) ditambahkan dan sampel didiamkan selama 20 menit. Larutan asetat 1 M sebanyak 200 mL ditambahkan dan sampel siap diinjeksikan ke HPLC. Kondisi alat HPLC sebagai berikut : temperatur pada suhu ruang, kolom yang digunakan adalah pico tag 3,9x150 mm, kecepatan aliran 1,5 mL/menit, batas tekanan 3000 psi, program gradien, fase gerak asetonitril 60% dan buffer natrium asetat 1 M, dan detektor sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm. luas area sampel
konsentrasi standar
Asam amino (%) = luas area standar x Asam Amino (mg/g protein) =
bobot sampel
x BM x FK x 100
1000 x kadar asam amino (%) kadar protein (%)
Keterangan : FK = faktor koreksi BM = berat molekul Daya cerna protein in vitro (Anderson et al. 1969) Sebanyak 0,25 g contoh dimasukkan ke dalam elenmeyer 50 mL, ditambahkan sebanyak 15 mL HCl 0,01 N yang mengandung 1,5 mg enzim pepsin dan dikocok pada kecepatan rendah pada suhu 37 ºC selama 3 kali dengan shaker. Larutan dinetralkan dengan NaOH 0,5 N dan ditambahkan 4 mg enzim pankreatin di dalam 7,5 mL larutan buffer fosfat 0,2 M dengan pH 8,0 yang mengandung natrium azida 0,005 M. Larutan yang diperoleh dikocok pada kecepatan rendah, pada suhu 37 ºC selama 24 jam dengan shaker kemudian disentrifus pada 2.500 rpm selama 5 menit. Padatan yang diperoleh dari akhir penyaringan dengan kertas whatman 41, dikeringkan dalam oven 105 ºC selama 2 jam, lalu ditimbang (sebelumnya bobot kering kertas saring sudah dicatat). Setelah itu, sampel tersebut dianalisis kandungan nitrogennya dengan menggunakan metode Kjeldahl. Daya cerna protein (%) =
Total protein−N tidak tercerna Total protein
x 100%
Analisis data Rancangan percobaan (Steel and Torrie 1993) Data nilai organoleptik formula biskuit MP-ASI (uji skoring) di uji menggunakan analisis non parametrik yaitu Kruskall-Wallis. Data yang diperoleh dari lembar penilaian ditabulasi dan disusun mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar dan kemudian ditentukan peringkatnya masing-masing. Statistik uji yang digunakan adalah: 12 𝑅2 H= + ∑ ( 𝑖 ⁄𝑛𝑖 ) – 3 (n+1) 𝑛+(𝑛+1)
H
H1 = pembagi
31 ∑𝑇
Pembagi = 1 − (𝑛−1)(𝑛+1) dengan T = (t-1)(t+1) Keterangan: n = jumlah data total ni = banyaknya pengamatan pada perlakuan ke-i Ri2 = jumlah peringkat dari perlakuan ke-i T = banyaknya pengamatan seri dalam kelompok H = simpangan baku H1 = H terkoreksi t = banyaknya pengamatan seri Data hasil uji Kruskal Wallis apabila menunjukkan beda nyata, maka dilanjutkan dengan uji Dunn untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Uji lanjut perbandingan berganda dapat dirumuskan sebagai berikut: |𝑅1 − 𝑅𝑗 | > 𝑍1−𝛼∗ √
K (n+1) 6
∝
α* = K (K−1) Keterangan: R1 = rata-rata ranking perlakuan ke-i Rj = rata-rata ranking perlakuan ke-j k = banyaknya ulangan n = jumlah data total Formula terpilih, formula kontrol dan produk komersial dianalisi statisktik parametrik dengan menggunakan analisis ragam yaitu rancangan acak lengkap untuk melihat perbedaan antara formula terpilih dengan formula kontrol dan produk komersial. Secara matematik rancangan acak lengkap menurut Steel dan Torrie (1993) adalah sebagai berikut : Yij = µ + Ai + €ij Keterangan : Yij = nilai pengamatan dari faktor A taraf ke-i i = perlakuan (formula terpilih, formula kontrol dan produk komersial) j = ulangan (n=1,2) µ = nilai tengah umum Ai = pengaruh faktor A ke- i €ij = galat percobaan dari faktor A ke-i Data yang diperoleh sebelum dianalisis ragam (anova) dilakukan uji kenormalan uji Klomogrov Smirnov. Apabila data yang diperoleh dengan analisis ragam (anova) menunjukkan adanya pengaruh, maka dilanjutkan dengan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan (DMRT).
32
Hasil dan Pembahasan Aplikasi KPTI Cakalang dalam Formula Biskuit MP-ASI Formulasi biskuit MP-ASI dengan substitusi KPTI cakalang terbaik bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi substitusi yang berbeda terhadap nilai organoleptik MP-ASI yang dihasilkan. Pengujian organoleptik melibatkan 30 orang ibu yang memiliki anak balita. Nilai organoleptik ditentukan berdasarkan enam parameter, yaitu kehalusan dalam mulut, kemudahan ditelan, kelengketan dalam mulut, nilai aroma, nilai rasa dan kesukaan secara keseluruhan. Setiap penelis memberikan skor 1 sampai dengan 5. Nilai 5 merupakan nilai tertinggi dan nilai 1 merupakan nilai terendah. Menurut Mirdhayanti (2004), sifat kehalusan dalam mulut, kemudahan ditelan, dan kelengketan dalam mulut merupakan syarat utama untuk makanan bayi pendamping ASI. Pengujian aroma, rasa, dan kesukaan keseluruhan bertujuan mengetahui pengaruh perbedaan substitusi KPTI cakalang terhadap kualitas organoleptik produk biskuit MP-ASI yang dihasilkan. Hasil uji organoleptik dijadikan sebagai parameter penentu formula terpilih.
Kehalusan dalam mulut
Karakteristik organoleptik MP-ASI Kehalusan dalam mulut Kehalusan dalam mulut adalah salah satu faktor penting yang menentukan sifat organoleptik formula biskuit MP-ASI. Hal ini perlu diperhatikan karena berkaitan dengan kenyamanan bayi dalam mencicipinya. Semakin baik nilai kehalusannya semakin baik, bagi bayi merasa nyaman untuk mencicipinya. Histogram uji organoleptik kehalusan dalam mulut disajikan pada Gambar 7. 5.00 3,13c 4.00
2,47b
3.00
2,37ab 2,00a
2,20ab
2,10a
1,97a
F5
F6
2.00 1.00 0.00 F0
F1
F2 F3 F4 Formula biskuit MP-ASI
Gambar 7 Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap skor kehalusan dalam mulut. Substitusi KPTI : susu skim (g) ; F0 kontrol = 0 : 30; F1 = 5 : 25; F2 = 10 : 20; F3 = 15: 15; F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka dengan huruf superskrip berbeda (a,b,c) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05). Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan jenis formula MP-ASI berpengaruh secara nyata (p<0,05) terhadap nilai organoleptik kehalusan dalam mulut. Skor organoleptik tertinggi terdapat pada formula F0 (3,13) dan
33
nilai skor terendah pada formula F6 (1,97). Secara keseluruhan biskuit MP-ASI yang disubstitusikan KPTI menghasilkan nilai kehalusan yang rendah. Semakin besar substitusi KPTI cakalang maka semakin kecil nilai kehalusan yang diperoleh, artinya semakin berpasir produk yang dihasilkan. Hal ini diduga KPTI yang dihasilkan memiliki butiran yang kasar dan tidak larut sempurna pada proses pembuatan biskuit MP-ASI. Hasil penelitian Santoso et al. (2009) memperlihatkan bahwa bubur MPASI yang ditambahkan KPI nila menghasilkan nilai kehalusan dalam mulut yang rendah dibandingkan perlakuan kontrol. Hal yang sama juga diperoleh pada hasil penelitian Widiyawati (2011) yang menunjukkan penurunan nilai kehalusan dalam mulut seiring dengan bertambahnya substitusi KPI lele pada formulasi bubur MP-ASI. Marta (2011) menyatakan bahwa sifat kehalusan dalam mulut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu bahan penyusun, proses penyerapan air dan proses pengolahan MP-ASI.
Kelengketan dalam mulut
Kelengketan dalam mulut Syarat utama lainnya untuk penentuan formula biskuit MP-ASI adalah kelengketan dalam mulut. Sifat lengket terjadi akibat adanya interaksi dengan air pada saat mengunyah. Histogram uji organoleptik kelengketan dalam mulut disajikan pada Gambar 8. 5.00 4.00
2,97a
3,00a
F0
F1
2,80a
3,03a
3,13a
3,00a 2,83a
3.00 2.00 1.00 0.00 F2 F3 F4 Formula biskuit MP-ASI
F5
F6
Gambar 8 Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap skor Kelengketan dalam mulut. Substitusi KPTI : susu skim (g); F0 kontrol = 0 30; F1 = 5 : 25; F2 = 10 : 20; F3 = 15 : 15; F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka dengan huruf superskrip yang sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05). Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan formula MPASI tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap skor organoleptik kelengketan dalam mulut. Hasil penelitian Santoso et al. (2009) menghasilkan nilai kelengketan bubur bayi tidak dipengaruhi secara nyata oleh substitusi KPI nila, sedangkan hasil penelitian Widiyawati (2011) menunjukkan semakin banyak substitusi KPI lele pada formulasi bubur MP-ASI semakin terasa lengket di mulut. Nilai kelengketan dalam mulut tertinggi diperoleh pada formula F4 (3,13) dan nilai terendah diperoleh pada formula F2 (2,80).
34
Kemudahan ditelan Kemudahan ditelan adalah salah satu syarat produk makanan bayi. Bayi akan makan dengan baik ketika produk yang disajikan mudah ditelan. Hasil analisis Krusskal Wallis menunjukkan bahwa skor kemudahan ditelan dipengaruhi secara nyata (p<0,05) oleh perbedaan formula MP-ASI. Nilai organoleptik tertinggi diperoleh pada formula F0 (3,83) dan nilai terendah diperoleh pada formula F3 (2,73). Hasil organoleptik secara keseluruhan menunjukkan bahwa kemudahan ditelan dipengaruhi oleh tingkat substitusi KPTI. Semakin tinggi substitusi KPTI cakalang maka memberikan nilai kemudahan ditelan yang rendah. Hal yang sama diperoleh pada penelitian Widiyawati (2011) yang menunjukkan semakin tinggi substitusi KPI lele pada formulasi bubur MP-ASI semakin sukar untuk ditelan. Santoso et al. (2009) menyatakan bahwa nilai kemudahan ditelan berhubungan dengan sifat kehalusan dalam mulut yang dipengaruhi oleh perbedaan komposisi KPI. Histogram uji organoleptik kemudahan ditelan disajikan pada Gambar 9.
Kemudahan ditelan
5.00
3,83c
3,20ab
3,33b 2,73a
4.00
3,07a
3,07a
3,07a
F5
F6
3.00 2.00 1.00 0.00 F0
F1
F2 F3 F4 Formula biskuit MP-ASI
Gambar 9 Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap skor Kemudahan ditelan. Substitusi KPTI : susu skim (g); F0 kontrol = 0 : 30; F1 = 5 : 25; F2 = 10 : 20; F3 = 15 : 15; F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka dengan huruf superskrip berbeda (a,b,c) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05). Nilai Aroma Parameter organoleptik yang paling penting lainnya adalah nilai aroma. Nilai aroma yang baik akan sangat mudah diterima oleh konsumen dan berhubungan dengan panca indera pengaroma. Nilai aroma yang terdapat pada formula biskuit MP-ASI berasal dari KPTI cakalang. Adanya substitusi KPTI pada formula biskuit MP-ASI diharapkan tidak menimbulkan aroma sehingga masih memiliki aroma makanan bayi pada umumnya. Hasil analisis Kruskal Wallis organoleptik aroma menunjukkan bahwa terdapat perbedaan aroma yang nyata (p<0,05) antara jenis formula MP-ASI dan formula kontrol. . Histogram uji organoleptik aroma disajikan pada Gambar 10.
35 5.00
3,30b
Skor aroma
4.00
2,60a
2,47a
2,40a
2,37a
2,30a
2,17a
F5
f6
3.00 2.00 1.00 0.00 F0
F1
F2 F3 F4 Formula biskuit MP-ASI
Gambar 10 Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap skor aroma. Substitusi KPTI : susu skim (g); F0 kontrol = 0 : 30; F1 = 5 : 25; F2 = 10 : 20; F3 = 15 : 15; F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka dengan huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05). Skor organoleptik aroma tertinggi diperoleh pada formula F0 (3,30) dan nilai terendah diperoleh pada formula F6 (2,17). Perbedaan aroma antara formula F0 dan formula dengan subtitusi KPTI diduga karena aroma susu yang terganti dengan aroma KPTI cakalang. Santoso et al. (2009) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat substitusi menyebabkan skor aroma yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan KPI yang semakin banyak dapat menimbulkan adanya aroma asing yang dapat menggantikan aroma susu. Hasil penelitian Widiyawati (2011) juga menunjukkan semakin tinggi substitusi KPI lele pada formulasi bubur MP-ASI semakin rendah nilai aroma yang dihasilkan Nilai Rasa Rasa adalah parameter yang melibatkan panca indera lidah serta merupakan faktor yang sangat menentukan keputusan terakhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu makanan. Skor organoleptik tertinggi menunjukkan adanya rasa susu yang kuat, sedangkan skor terendah menunjukkan skor rasa asing yang kuat. Histogram uji organoleptik rasa disajikan pada Gambar 11. Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa substitusi KPTI cakalang ke dalam biskuit MP-ASI memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap rasa formula biskuit MP-ASI. Nilai organoleptik tertinggi diperoleh pada formula F0 (3,07) dan nilai terendah diperoleh pada formula F6 (2,10). Perlakuan F1 merupakan formula substitusi KPTI cakalang yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan perlakuan lain. Hasil organoleptik menunjukkan semakin tinggi substitusi KPTI cakalang ke dalam formula biskuit MP-ASI akan memberikan nilai rasa yang rendah. Hasil penelitian Santoso et al. (2009) dan Widiyawati (2011) juga menunjukkan bahwa semakin banyak substitusi KPI nila dan KPI lele pada formula bubur MP-ASI maka semakin rendah nilai rasa yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa substitusi KPTI cakalang menimbulkan rasa asing yang menggantikan rasa susu.
36 5.00 3,07c Skor rasa
4.00
2,77b
2,50ab
2,30a
2,47ab
2,27a
2,10a
F5
F6
3.00
2.00 1.00 0.00 F0
F1
F2 F3 F4 Formula biskuit MP-ASI
Gambar 11 Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap skor rasa. Substitusi KPTI : susu skim (g); F0 kontrol = 0 : 30; F1 = 5 : 25; F2 = 10 : 20; F3 = 15 : 15; F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). Kesukaan secara keseluruhan Nilai secara keseluruhan ditentukan berdasarkan parameter organoleptik kesukaan secara keseluruhan dan menentukan kesukaan konsumen secara subyektif semakin tinggi nilai menunjukkan formula biskuit MP-ASI disukai, skor terendah menunjukkan formula biskuit MP-ASI yang tidak disukai. Histogram uji organoleptik kesukaan secara keseluruhan disajikan pada Gambar 12.
Kesukaan keseluruhan
5.00
3,47b 2,83a
4.00
2,63a 2,37a
2,73a
2,47a
F5
F6
2,50a
3.00 2.00 1.00 0.00 F0
F1
F2 F3 F4 Formula biskuit MP-ASI
Gambar 12 Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap skor kesukaan keseluruhan. Substitusi KPTI : susu skim (g); F0 kontrol = 0 : 30; F1 = 5 : 25; F2 = 10 : 20; F3 = 15 : 15; F4 = 20 : 10; F5 = 25 : 5; dan F6 = 30 : 0. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa formula F0 berbeda nyata dengan semua formula substitusi KPTI cakalang. Nilai tertinggi diperoleh pada formula F0 (3,47) dan nilai terendah diperoleh pada formula F3 (2,37). Pengujian organoleptik tingkat kesukaan keseluruhan terhadap biskuit MP-ASI
37
memperlihatkan semakin tinggi substitusi KPTI cakalang maka semakin rendah tingkat kesukaan konsumen. Secara umum formula yang mengandung komposisi KPI semakin banyak memiliki skor organoleptik kesukaan yang rendah (Santoso et al. 2009). Hasil penelitian Widiyawati (2011) juga menunjukkan semakin banyak pemberian KPI lele pada formulasi bubur MP-ASI akan menurunkan tingkat kesukaan konsumen. Penentuan formulasi biskuit MP-ASI terbaik Berdasarkan hasil uji organoleptik maka secara keseluruhan formula F0 memiliki nilai organoleptik tertinggi dibandingkan formula dengan perlakuan substitusi KPTI cakalang, akan tetapi penelitian ini bertujuan untuk menentukan formulasi substitusi terbaik KPTI cakalang terhadap susu skim. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa perlakuan substitusi KPTI cakalang pada formula F1 dan F2 tidak berbeda nyata. Perlakuan F1 (5 g) memiliki perbandingan substitusi KPTI cakalang lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan F2 (10 g) sehingga dipilih perlakuan F2 sebagai formula terbaik dalam pembuatan biskuit MP-ASI. Formula terpilih kemudian dikarakterisasi lebih lanjut dan dibandingkan dengan formula kontrol dan produk biskuit MP-ASI komersial. Komposisi nilai gizi formula terpilih Karakteristik bahan pangan tidak terpisahkan dari komposisi gizi. Komposisi nilai gizi untuk makanan bayi merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Gizi yang lengkap akan membantu pertumbuhan badan dan perkembangan otak bayi. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa formula terpilih memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap komposisi nilai gizi biskuit dan berbeda nyata dengan formula kontrol dan produk komersial. Komposisi gizi MP-ASI disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Komposisi gizi biskuit MP-ASI terpilih, formula kontrol dan produk komersial Komponen Protein (%) Lemak (%) Abu (%) Air (%) Karbohidrat (%)
Energi (Kal)
Formula Produk komersial Kontrol (F0) Terpilih (F2) 13,38±0,15b 19,42±0,05c 12,59±0,02a 12,79±0,26b 18,03±0,00c 9,10±0,04a 1,61±0,09a 2,23±0,06b 1,62±0,00a a c 4,19±0,03 2,83±0,21 3,45±0,03b 68,02±0,05b 57,47±0,09a 73,22±0,12c 440,71±1,56b 469,89±0,05c 425,20±0,07a
FAO SNI (1991) (2005) Min. 15 Min. 6 10-25 Max.18 - Max.3,5 - Max.5,0 - Min. 45 400 400
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c) pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Pengujian nilai gizi formula terbaik bertujuan mengetahui komposisi nilai gizi produk, dibandingkan dengan standar FAO (1991) dan SNI (2005) tentang komposisi makanan tambahan bayi. Berdasarkan persyaratan makanan bayi menurut SNI (2005) formula kontrol, terpilih, dan komersial telah memenuhi standar pada parameter protein, lemak, abu, air, karbohidrat ,dan energi sedangkan
38
persyaratan makanan bayi menurut FAO (1991) produk komersial dan formula kontrol tidak memenuhi standar karena memiliki kandungan protein kurang dari 15%. Kandungan protein formula terpilih lebih tinggi dan berbeda nyata dengan formula kontrol dan produk komersial. Penambahan KPTI akan meningkatkan kadar protein biskuit MP-ASI. Hasil yang sama juga diperoleh pada penelitian Rieuwpassa dan Soukotta (2005); Santoso et al. (2009) dan Widiyawati (2011) menunjukkan bahwa produk makanan bayi yang disubstitusikan KPI memiliki kandungan protein berkisar 17-24%. Produk komersial memiliki kadar lemak yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan formula kontrol dan terpilih. Kadar lemak yang tinggi pada formula terpilih (19,42%) berasal dari KPTI, telur, dan margarine yang ditambahkan pada proses pembuatan. Penelitian Rieuwpassa dan Saukotta (2005) menunjukkan bahwa biskuit MP-ASI substitusi KPI teri memiliki kadar lemak 17,4%; Santoso et al. (2009) menunjukkan bahwa bubur MP-ASI substitusi KPI nila memiliki kadar lemak 10-11%; dan Widiyawati (2011) menunjukkan bahwa bubur MP-ASI substitusi KPI lele memiliki kadar lemak 9-11%. Berdasarkan persyaratan makanan bayi menurut FAO (1991) dan SNI (2005) produk komersial, formula kontrol dan formula terpilih telah memenuhi standar maksimum kadar lemak. Formula terpilih memiliki kadar abu tertinggi (2,23%) dan berbeda nyata dengan formula kontrol dan komersial. Kadar abu yang terdapat dalam produk berasal komposisi KPTI dan susu skim yang ditambahkan. Santoso et al. (2009) menjelaskan bahwa susu skim memiliki kandungan abu yang lebih tinggi karena adanya kandungan mineral kalsium (1,6 g/100 g bahan). Penelitian Santoso et al. (2009) menunjukkan bahwa bubur MP-ASI substitusi KPI nila memiliki kadar abu berkisar 1-3%; Widiyawati (2011) menunjukkan bahwa bubur MP-ASI substitusi KPI lele memiliki kadar abu berkisar 2-3,5% sedangkan penelitian Rieuwpassa dan Saukotta (2005) menunjukkan bahwa biskuit MP-ASI substitusi KPI teri memiliki kadar abu 5,1%. Berdasarkan persyaratan SNI (2005) formula kontrol, formula terpilih dan produk komersial telah memenuhi standar maksimum kadar abu. Formula terpilih memiliki kadar air terendah (2,83%) dan berbeda nyata dengan formula kontrol dan produk komersial. Produk yang memiliki kadar air rendah mempunyai kemampuan daya simpan yang lebih lama dibandingkan dengan produk yang berkadar air tinggi. Penelitian Santoso et al. (2009) menunjukkan bahwa bubur MP-ASI substitusi KPI nila memiliki kadar air sekitar 3-4%; Rieuwpassa dan Saoukotta (2005) menunjukkan bahwa biskuit MP-ASI substitusi KPI teri memiliki kadar air 5,1% sedangkan penelitian Widiyawati (2011) menunjukkan bahwa bubur MP-ASI substitusi KPI lele dengan kadar air sekitar 6-8%. Berdasarkan syarat SNI (2005) formula terpilih, formula kontrol, dan produk komersial telah memenuhi standar maksimum kadar air. Produk komersial memiliki kandungan karbohidrat yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan formula terpilih dan kontrol. Menurut Santoso et al. (2009) perbedaan kandungan karbohidrat disebabkan karena adanya perbedaan komposisi susu skim dan KPTI pada jenis formula yang berbeda. Kadar karbohidrat susu skim sebesar 53,2% dan kadar karbohidrat KPTI sebesar 10,52% sehingga formula yang mengandung komposisi susu skim lebih banyak akan memiliki kandungan karbohidrat yang lebih tinggi dibandingkan formula lainnya. Penelitian Rieuwpassa dan Soukotta (2005) menunjukkan bahwa biskuit MP-ASI
39
substitusi KPI teri memiliki kandungan karbohidrat sebesar 51,7%; Santoso et al. (2009) menunjukkan bahwa bubur MP-ASI substitusi KPI nila memiliki kandungan karbohidrat sebesar 48-65% sedangkan penelitian Widiyawati (2011) menghasilkan bubur MP-ASI substitusi KPI lele memiliki kandungan karbohidrat sebesar 62-67%. Adanya perbedaan kandungan karbohidrat juga disebabkan karena perbedaan komposisi susu skim pada setiap formula (Widiyawati 2011). Jumlah energi dihitung dengan mengkonversi jumlah makronutrien yang terdapat pada produk. Nilai energi masing-masing makronutrien adalah karbohidrat (4 Kal/g), protein (4 Kal/g) dan lemak (9 Kal/g). Hasil konversi memperlihatkan bahwa produk komersial, formula kontrol dan formula terpilih telah memenuhi persyaratan FAO (1991) dan SNI (2005) dengan standar minimum energi yaitu 400 Kal/100 g bahan. Hasil penelitian Rieuwpassa dan Soukotta (2005) menghasilkan biskuit MP-ASI substitusi KPI teri dengan energi 446 Kal; Santoso et al. (2009) menghasilkan bubur MP-ASI substitusi KPI nila dengan energi 429,8 Kal; sedangkan hasil penelitian Widiyawati (2011) menghasilkan energi 380,47 Kal pada formula bubur MP-ASI yang diperkaya KPI lele. Karakteristik sifat fungsional formula terpilih Sifat fungsional produk berkaitan dengan karakteristik fisik produk pangan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa substitusi KPTI pada formula terpilih memberikan pengaruh nyata (p<0,05) terhadap sifat fungsionalnya. Sifat fungsional formula terpilih, formula kontrol dan produk komersial disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Sifat fungsional biskuit MP-ASI formula kontrol, formula terpilih dan produk komersial Sifat fungsional Daya serap air (mL/g) Daya serap minyak (g/g) Densitas kamba (g/mL) Kapasitas emulsi Rasio rehidrasi (mL) Waktu rehidrasi (detik) Daya cerna protein in vitro (%)
Formula Kontrol 0,98±0,07a 0,20±0,00b 0,22±0,00a 93,75±1,76b 2,20±0,02a 124,00±0,57c 92,83±0,32a
Formula Produk terpilih komersial 0,97±0,06a 0,99±0,00a 0,22±0,06b 0,18±0,34a 0,22±0,00a 0,25±0,00a 93,12±0,88b 95,73±0,86a 2,09±0,28a 2,23±0,04a 70,00±0,57b 34,00±1,00a 81,67±0,44b 86,26±2,58b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c) pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Daya serap air merupakan salah satu sifat fungsional penting yang dapat menunjukkan adanya interaksi antara air dengan komponen makronutrien misalnya karbohidrat dan protein yang terdapat pada produk pangan (Santoso et al. 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya serap formula terpilih yaitu 0,97 mL/g, ini berarti setiap 1 g bahan bisa menyerap air sekitar 0,97 mL lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Santoso et al. (2009) yang menghasilkan daya serap air bubur MP-ASI sebesar 1,20 mL/g. Formula biskuit MP-ASI dengan kandungan protein tinggi memiliki sifat hidrofilik yang tinggi, sehingga memiliki daya serap air yang tinggi. Daya serap air pada produk makanan bayi sangat penting karena berperan dalam proses rehidrasi. Protein dapat berikatan dengan
40
air karena adanya gugus asam amino yang bersifat polar. Protein akan bersifat hidrofilik bila rantai peptida mengandung sebagian besar gugus polar tesebut (Sumaryanto et al.1996). Daya serap minyak adalah suatu sifat yang dapat menunjukkan adanya interaksi suatu bahan pangan terhadap minyak (Santoso et al. 2009). Kandungan protein dan jenis protein berkontribusi terhadap sifat kapasitas penyerapan minyak bahan pangan (Winarno 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya serap minyak formula terpilih lebih tinggi dibandingkan formula kontrol dan produk komersial yaitu 0,22 g/g, ini berarti setiap 1 g bahan mampu menyerap minyak sebesar 0,22 g lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Santoso et al. (2009) yang menghasilkan daya serap minyak bubur MP-ASI sebesar 1,7 mL/g. Sumaryanto et al. (1996) menjelaskan bahwa sifat daya serap minyak pada protein dipengaruhi oleh banyaknya asam amino yang bersifat nonpolar. Densitas kamba adalah perbandingan massa bahan dengan volume bahan yang ditempatinya. Sifat kekambaan dapat digunakan untuk mengetahui kesempurnaan proses pengeringan KPTI. Hasil penelitian menunjukkan nilai densitas kamba formula terpilih tidak berbeda nyata dengan formula kontrol dan produk komersial. Sifat kamba pada produk makanan bayi merupakan hal penting, karena berkaitan dengan kepadatan nilai gizi suatu produk dalam menempati ruang saluran pencernaan (Mirdhayati 2004). Konsentrat protein telur ikan sebagai bentuk protein yang umumnya memiliki kemampuan emulsifier. Kemampuan protein untuk mengikat lemak dan air pada sifat emulsi disebut kapasitas emulsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas emulsi tertinggi diperoleh produk komersial dan berbeda nyata dengan formula kontrol dan formula terpilih. Pengujian kapasitas emulsi pada bahan pangan dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan protein KPTI dalam mengikat air dan lemak serta membantu menstabilkannya. Sifat rehidrasi adalah sifat yang berhubungan dengan kemampuan bahan kering untuk menyerap air dalam jumlah tertentu. Parameter penentuan sifat rehidrasi adalah rasio rehidrasi yang menggambarkan kapasitas penampungan air dengan bahan dan waktu rehidrasi yang menggambarkan kecepatan bahan menyerap air. Bahan pangan yang mengalami proses pengeringan akan mengalami perubahan pada permukaannya yaitu berpori terbuka sehingga memungkinkan terjadinya proses rehidrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio rehidrasi formula terpilih, formula kontrol dan produk komersial tidak berbeda nyata yaitu 2,09, 2,20 dan 2,23 mL; sedangkan waktu rehidrasi tercepat diperoleh produk komersial yaitu 34 detik, 70 detik untuk formula terpilih dan 124 detik untuk formula kontrol. Daya cerna didefinisikan sebagai persentase kecernaan protein menjadi asam-asam amino dengan bantuan enzim-enzim percernaan. Protein di nilai baik jika mengandung asam-asam amino yang penting dan cukup bagi tubuh. Enzimenzim yang biasanya digunakan dalam menentukan mutu protein diantaranya tripsin, kimotripsin, pepsin-pankreatin dan peptidase. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa formula terpilih tidak berbedanya nyata dengan produk komersial tetapi berbeda nyata dengan produk kontrol. Formula terpilih memiliki daya cerna 81,67%. Rendahnya daya cerna formula terpilih diduga karena kadar lemak yang tinggi sehingga menghambat proses hidrolisis protein menjadi asamasam amino dan metode pengujian yang digunakan bukan merupakan metode
41
multienzim sehingga daya cerna protein pada produk kurang maksimal. Hasil penelitian Widiyawati (2011) dengan menggunakan teknik multienzim menghasilkan daya cerna in vitro protein bubur MP-ASI sebesar 92,86%. Profil asam amino formula terpilih Kandungan asam amino pada makanan bayi dinilai penting karena kebutuhan bayi pada masa petumbuhan sangat tinggi terutama asam amino esensial yang berfungsi sebagai penunjang perkembangan otak, pertumbuhan tubuh dan imunitas bayi. Kandungan asam amino esensial digunakan untuk menentukan mutu suatu protein dalam bahan pangan, semakin lengkap asam amino esensial maka semakin tinggi mutu protein. Profil asam amino pada formula kontrol, formula terpilih dan produk komersial disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Profil asam amino formula kontrol, formula terpilih dan produk komersial Asam amino (mg/g protein) Treonina Metionina Valina Fenilalanina Esensial Isoleusina Leusina Tirosina Lisina Asam aspartat Asam glutamat NonSerina esensial Glisina Alanina Histidina Semiesensial Arginina Total asam amino
Formula kontrol 34,37 16,44 42,60 35,87 37,36 64,27 24,66 23,16 53,81 180,11 44,84 20,17 27,65 16,44 27,65 649,47
Formula terpilih 35,53 17,50 44,28 35,01 37,59 61,79 23,68 28,83 61,27 147,27 44,28 28,83 35,53 18,53 43,76 663,74
Produk komersial 20,65 7,94 24,62 28,59 22,23 38,12 14,29 13,50 28,56 191,42 27,00 24,62 16,67 11,11 21,44 490,86
Hasil analisis profil asam amino menunjukkan bahwa secara keseluruhan produk MP-ASI komersial mempunyai jumlah asam amino lebih kecil dibanding dengan jumlah asam amino MP-ASI formula kontrol dan formula terpilih. Asam amino esensial tertinggi pada formula terpilih adalah leusin dan valin. Hasil penelitian Widiyawati (2011) menunjukkan bahwa asam amino leusin merupakan asam amino dengan jumlah tertinggi (124,24 mg/g protein) pada formulasi bubur MP-ASI substitusi KPI lele dan Santoso et al. (2009) memperoleh leusin sebagai asam amino tertinggi (54,39 mg/g protein) pada formulasi bubur MP-ASI substitusi KPI nila hitam. Formula kontrol, formula terpilih dan produk komersial mempunyai asam amino pembatas pertama yaitu metionin dan asam amino pembatas kedua adalah histidin. Asam amino pembatas adalah asam amino yang
42
ketersediaannya dalam jumlah terbatas sehingga menyebabkan sintesis protein hanya dapat berlangsung selama masih tersedia asam amino tersebut (Muchtadi 1993). Umumnya empat asam amino yang sering defisit dalam makanan anakanak adalah lisin, metionin+sistein, treonin dan triptofan (WNPG 2004). Komposisi ASI yang terus menurun sejalan dengan pertumbuhan balita akan menurunkan kualitas ASI sehingga perlu adanya suplai makanan terutama yang mengandung protein sehingga dapat memenuhi kebutuhan balita. Komposisi biskuit MP-ASI yang kaya protein diharapkan mampu memenuhi kebutuhan balita pada masa penyapihan. Susanti (2011) menyatakan bahwa setiap mamalia telah dianugerahi payudara yang akan memproduksi air susu untuk makanan bayi yang baru dilahirkannya. Air susu setiap jenis mamalia berbeda sesuai dengan kebutuhan dan perbedaan laju pertumbuhan bayi. ASI memiliki dua asam amino yang tidak dimiliki oleh makanan tambahan yaitu sistin dan taurin. Sistin diperlukan untuk perkembangan somatik sedangkan taurin dibutuhkan untuk perkembangan otak serta memiliki protein whey dan kasein dengan perbandingan 60 : 40, ini sangat menguntungkan bayi karena pengendapan dari protein whey lebih halus dari pada kasein sehingga lebih mudah dicerna.
Simpulan Formula substitusi terbaik dalam pembuatan biskuit MP-ASI adalah formula F2 (10 g KPTI cakalang). Nilai gizi formula terpilih adalah protein 19,42%, lemak 18,03%, abu 2,23%, air 2,83% dan karbohidrat 57,47% serta jumlah energi 469,89 Kal/100 g. Formula terpilih telah memenuhi syarat FAO (1991) dan SNI (2005). Formula MP-ASI terpilih mempunyai 8 asam amino esensial, 5 asam amino nonesensial dan 2 asam amino semi-esensial dengan 2 asam amino pembatas yaitu metionin dan histidin.
4 PEMBAHASAN UMUM Industri pengasapan ikan merupakan industri tertua dalam pengolahan ikan. Cakalang merupakan komoditas yang banyak diolah dan diperdagangkan sebagai ikan asap dari skala tradisional (mikro) hingga industri skala besar. Di Indonesia, industri ikan asap kebanyakan merupakan industri rumah tangga yang dikelola oleh beberapa orang, industri ini menyebar hampir di seluruh wilayah, salah satunya adalah Kota Ambon, Propinsi Maluku. Hampir 30% produksi ikan cakalang di Kota Ambon dijadikan olahan ikan asap atau biasanya disebut ikan cakalang ‘asar’. Pengolahan ikan cakalang asap menghasilkan hasil samping sekitar 20-30%. Hasil samping industri ini kebanyakan dibuang dan tidak dimanfaatkan lagi, padahal hasil samping pengolahan berbasis ikan memiliki potensi sebagai sumber protein, pangan fungsional dan pakan. Telur ikan cakalang merupakan salah satu hasil samping yang kurang dimanfaatkan, padahal mengandung protein sekitar 20%. Kandungan protein yang tinggi ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku pembuatan konsentrat protein ikan sebagai bahan tambahan ke dalam bahan pangan sebagai upaya
43
penganekaragaman produk pangan dan upaya peningkatan konsumsi protein hewani di masyarakat yang sampai saat ini masih menjadi masalah di Indonesia. Pemenuhan gizi protein menjadi sangat penting pada usia bayi dan balita yang masih dalam masa pertumbuhan dan membutuhkan asupan energi protein yang baik dan lengkap. Kualitas protein ditentukan oleh jumlah asam amino yang terkandung didalamnya. Asam amino esensial adalah asam amino yang sangat dibutuhkan oleh bayi dan balita untuk membantu tumbuh kembangnya. Sebagai upaya fortifikasi gizi protein yang terdapat pada telur cakalang, maka konsentrat protein ikan atau KPTI dari ikan cakalang dapat disubstitusi ke dalam biskuit bayi sebagai makanan pendamping ASI. Proses ekstraksi KPI bertujuan untuk menghilangkan semaksimal mungkin lemak sehingga meningkatkan jumlah protein. Perlakuan ekstraksi menggunakan isopropil alkohol menjadi perlakuan terpilih walaupun menunjukkan nilai kadar lemak yang masih cukup tinggi (2,78%) tetapi memiliki kadar protein yang tinggi (71,79%). Mutu KPI ditentukan oleh kadar lemak dan protein, semakin rendah kadar lemak dan semakin tingginya kadar protein menunjukkan mutu KPI dengan kualitas yang baik. Komposisi asam amino yang terkandung pada konsentrat protein telur ikan meliputi 8 asam amino esensial, 5 asam amino non esensial dan 2 asam amino semiesensial. Kandungan asam amino tertinggi yang terdapat pada konsentrat protein telur ikan cakalang adalah lisina (70,76 mg/g protein). Substitusi konsentrat protein telur ikan ke dalam makanan bayi merupakan salah satu upaya untuk menggantikan susu skim yang selama ini menjadi sumber protein dalam pembuatan makanan bayi. Konsumsi protein hewani yang masih rendah merupakan salah satu alasan dilakukannya substitusi protein dalam memperkuat konsumsi protein hewani dimasyarakat khususnya bayi dan balita. Penelitian menunjukkan bahwa konsentrat protein telur ikan dapat menggantikan susu skim sebagai sumber protein dalam formulasi makanan bayi walaupun dari nilai rasa dan aroma biskuit yang dihasilkan dengan substitusi konsentrat protein telur ikan masih rendah dibandingkan produk komersial dipasaran. Komposisi kimia menunjukkan persentase gizi suatu produk. Penelitian menunjukkan komposisi biskuit dengan substitusi konsentrat protein telur ikan cakalang memiliki nilai gizi yang lebih baik dibandingkan produk komersial (protein 19,42 %; lemak 18,03%; energi 469,68%). Persentase protein yang tinggi menunjukkan potensi konsentrat protein telur ikan cakalang sebagai salah satu alternativ penganti susu skim. Selain komposisi kimia, sifat fungsional protein sangat menentukan kemampuan protein diserap oleh tubuh. Densitas kamba (0,22 g/mL), daya serap air (0,97 mL/g) dan daya serap minyak (0,22 g/g) biskuit konsentrat protein terpilih tidak berbeda dengan sifat fungsional dari produk komersial. Kebutuhan protein oleh tubuh ditentukan dengan berapa banyak asam amino yang dapat diserap oleh tubuh. Biskuit konsentrat protein terpilih memiliki jumlah sumbangan asam amino (663,74 mg/g protein) lebih banyak dibandingkan produk komersial (490,86 mg/g protein) sehingga kajian terhadap formulasi dan pengembangan produk KPI sebagai bahan substitusi gizi protein ke dalam pangan rendah protein menjadi keharusan untuk terus dilanjutkan terutama makanan bayi dan balita. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengharuskan masyarakat untuk berinovasi dalam mengembangkan potensi kekayaan laut dalam rangka
44
memenuhi kecukupan gizi. Hasil laut Indonesia perlu dikelola dengan baik dan dijadikan berbagai produk yang kaya akan gizi. Limbah atau hasil samping industri pengolahan perikanan memiliki potensi sebagai sumber asam amino dan asam lemak. Konsentrat protein telur ikan cakalang dari hasil samping industri pengolahan ikan cakalang asap diharapkan mampu menjadi sumber protein, bahan substitusi dan bahan pengisi untuk makanan bayi dan produk pangan lainnya.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penggunaan isopropil alkohol (IPA) dengan pengulangan ekstraksi 3 kali adalah metode ekstraksi terbaik dalam pembuatan konsentrat protein telur ikan cakalang. Konsentrat protein telur ikan cakalang yang dihasilkan tergolong KPI tipe B. Biskuit konsentrat protein memiliki kadar protein dan lemak masingmasing 71,79% dan 2,78% serta daya cerna in vitro 95,86%. Formula biskuit MP-ASI terpilih adalah formula dengan substitusi KPTI sebanyak 10 g (F2). Memiliki kandungan protein 19,42% dan kadar lemak 18,03% serta daya cerna in vitro 81,67%. Formula terpilih telah memenuhi standar gizi yang ditetapkan oleh FAO (1991) dan SNI (2005). Saran Perlu adanya kajian mengenai proses ekstraksi sehingga memperoleh KPI dengan tipe A misalnya perlakuan suhu dingin, perlu adanya kajian sebagai bahan emulsifier untuk bahan pangan, kajian pengembangan bentuk, rasa dan lama penyimpanan biskuit MP-ASI berprotein tinggi dan pengujian keamanan pangan terhadap produk biskuit MP-ASI terpilih.
45
DAFTAR PUSTAKA Anderson HL, Benevenga NJ, Harper AE. 1969. Effect of prior high protein intake on food intake, serine dehydratase activity and plasma amino acids of rats fed amino acids imbalanced diets. J. Nutr. 97(4): 463 – 474. Amoo IA, Adebayo OT, Oyeleye AO. 2006. Chemical evaluation of winged beans (Psophocarous tetragonolabus), pitanga cherries (Eugenia uniflora) and orchid fruit (Orchid fruit myristica). African. J Food Agric. Nutr. Dev. 6(2): 1-12. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official methods of analysis the the association of official analytical chemist 16th edition. Virginia (US): AOAC International. [AOAC] Association of Official Analitical Chemist. 2005. Official methods of analysis of the association of official analytical chemist 18th edition. Gaithersburg (US): AOAC International. Balaswamy K, Jyothirmayi T, Galla DG. 2007. Chemical composition and some functional properties of fish egg (roes) protein concentrate of rohu (Labeo rohita). J. Food Sci. Technol. 44(3): 293–296. Balaswamy K, Prabhakara Rao PG, Galla NG, Rao DG, Jyothirmayi T. 2009. Physico-chemical composition and functional properties of roes from some fresh water fish species and their application in some foods. Electronic J. Env. Agri. Food Chem. 8(8): 704–710. Bechtel PJ, Chantarachoti J, Oliveira ACM, Sathivel S. 2007. Characterisation of protein fractions from immature Alaska Walleye Pollock (Theragra chalcogramma) roe. J. Food Sci. 72(5): 338–343. Beuchat LR. 1977. Functional and electrophoretic characteristics of succinylated peanut flour protein. J. Agric. Food Chem. 25(6): 258-261. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Ambon. 2012. Data statistik kota Ambon kecamatan sirimau. http://ambonkota.bps.go.id/publikasi/statdakecsirimau 2012/files/search/searchtext.xmL. Internet. [Akses 12 Januari 2013]. [BPPK] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2010. Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas). Jakarta (ID). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2005. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP – ASI) – Bagian 2 : Biskuit. Standar Nasional Indonesia, SNI 017111.2-2005. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.
46
Brasileiro OL, Cavalheiro JMO, de Sousa Prado JP, Gouveia dos Anjos A, Cavalheiri TTB. 2012. Determination of the chemical composition and functional properties of shrimp waste protein concentrate and lyophilized flour. Ciênc. agrotec. Lavras. 36(2): 189 -194. Chalamaiah M, Balaswamy K, Galla NG, Prabhakara Galla PG, Jyothirmayi T. 2011. Chemical composition and functional properties of Mrigal (Cirrhinus mrigala) egg protein concentrates and their application in pasta. J. Food Sci. Technol. 50(3): 514-520. Chalamaiah M, Dinesh kumar B, Hemalatha R, Jyothirmayi T. 2012. Fish protein hydrolysates: Proximate composition, amino acid composition, antioxidant activities and applications: A review. Food Chem. 135(4): 3020–3038. Dekkers E, Raghavan S, Kristinsson HG, Marshall MR. 2011. Oxidative stability of mahi mahi red muscle dipped in tilapia protein hydrolysates. Food Chem. 124(2): 640–645. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2004. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta (ID): Departemen Kesehatan. Eun JB, Hee JC, Hearnsberger JO. 1994. Chemical composition and micro flora of channel catfish (Ictalurus punctatus) roe and swim bladder. J. Agric. Food. Chem. 42(3): 714 - 717. FAO/WHO. 1991. Guidelines on Formulated Suplementary Foods for Older Infants and Young Children. Rome (IT): Food and Agriculture Organization. Gilani GS, Sepehr E. 2003. Protein digestibility and quality in product containing antinutritial factors are adversely affected by old age in rats. J. Nutr. 133(1): 220-225. Hartoyo A, Susnandar FH. 2006. Pemanfaatan tepung komposit ubi jalar putih (ipomoea batatas L), kecambah kedelai (Glycine max Merr.) dan kecambah kacang ijo (Virginia radiata L) sebagai substituen parsial terigu dalam produk pangan alternatif biskuit kaya energi protein. J. Teknol. Indust. Pangan. 17(1): 50-57. Hussain N, Akhtar N, Hussain S. 2007. Evaluation of weaning food khitchri incorporated with different levels of fish protein concentrate. Animal Plant Sci. 17(1-2): 12-17. Hutapea EB, Parkanyiova L, Parkanyiova P, Mirahaja M, Sakurai H, Pokorny J. 2004. Browning reactions between oxidised vegetable oil and amino acids. J. Food Sci. 22(3): 99-107. Hsu K. 2010. Purification of antioxidative peptides prepared from enzymatic hydrolysates of tuna dark muscle by-product. Food Chem. 122(1): 42-48.
47
Ibrahim MS. 2009. Evaluation of production and quality of salt-biscuits supplemented with fish protein concentrate. World J. Dairy Food Sci. 4(1): 28-31. Intarasirisawat R, Benjakul S, Visessanguan W. 2011. Chemical compositions of the roes from skipjack, tongol and bonito. Food Chem. 124(4): 1328–1334. Koesoemawardani D, Nurainy F. 2008. Karakterisasi konsentrat protein ikan rucah. Di dalam: Hendri J, Syarif A, Suka IG, Simanjuntak W, Yuwono SD, Sembiring S, Sulistiyo WE, Irawan B, Nurdin BV, Zakaria A, Hadi S, Tugiyono, editor. Peran Strategis Sains dan Teknologi Pasca 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi II; 2008 November 17-18; Lampung, Indonesia. Lampung (ID): Lembaga Penelitian Universitas Lampung. hlm 32-43. Kumar HSP, Radhakrishna K, Nagaraju PK, Galla DV. 2001. Effect of combination drying on the physico-chemical characteristic of carrot and pumpkin. J. Food Process. Pres. 25(6): 381-469. Kusharto CM, Rieuwpassa F, Astawan M. 2005. Biskuit berbasis konsentrat protein ikan yang diperkaya probiotik sebagai makanan fungsional untuk meningkatkan imunitas dan status gizi anak balita. Media Gizi dan Keluarga. 29(1): 9-20. Kusnandar F. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro Seri 1. Jakarta (ID): PT. Dian Rakyat. Mahmoud KA, Linder M, Fanni J, Parmentier M. 2008. Characterisation of the lipid fractions obtained by proteolytic and chemical extractions from rainbow trout (Oncorchynchus mykiss). Procces Biochem. 43(4): 276-383 McPhee AD, Dubrow DL. 1972. Application of ternary equilibrium data to the production of fish protein concentrate. J. American Oil Chem. Soc. 49(9): 501-504. Mirdhayati I. 2004. Formulasi dan karakterisasi sifat-sifat fungsional bubur garut (Maranta arundinaceae Linn) sebagai makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI) [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mol S, Turan S. 2008. Comparison of proximate, fatty acid,and amino acid compositions of various types of fish roes. Inter. J. Food Properties. 1(3): 669-667. Murueta JHC, Navarrete del Toro Md, Carreno FG. 2007. Concentrates of fish protein from bycatch species produced by various drying processes. Food Chem. 100(2): 705–711. Muchtadi D. 1993. Teknik Evaluasi Nilai Gizi Protein. Bogor (ID): IPB Press.
48
Nollet LML, Boylston T, Chen F, Coggins PC, Gloria MB. 2007. Handbook of Meat, Poultry and Seafood. (US): Blackwell Publishing. Pelletier DL, Frongillo EA, Habicht JP. 1995. The effect of malnutrition on child mortality in developing countries. WHO Bull. 75(4): 443- 448. Pires C, Costa S, Batista AP, Nunes MC, Raymundo A, Batista I. 2012. Properties of protein powder prepared from cape hake by-products. J. Food Eng. 108(2): 268–275. Rao GN, Prabhakara Rao P, Satyanarayana A, Balaswamy K. 2012a. Functional properties and in vitro antioxidant activity of roe protein hydrolysates of Channa striatus and Labeo rohita. Food Chem. 135(3): 1479–1484.
Rao GN, Balaswamy K, Satyanarayana A, Galla PP. 2012b. Physico-chemical, amino acid composition, functional and antioxidant properties of roe protein concentrates obtained from Channa striatus and Lates calcarifer. Food Chem. 132(3): 1171–1176. Rao GN. 2014. Physico-chemical, functional and antioxidant properties of roe protein concentrates from Cyprinus carpio and Epinephelus tauvina J.Food Pharm.Sci. 2(1): 15-22. Ravi R, Sushelamma NS. 2005. Simultaneous optimization of multi response system by desirability function of body: a case study. J. Food Sci. 70(10): 539-547. Rawdkuen S, Samart SU, Khamsorn S, Chaijan M, Benjakul S. 2009. Biochemical and gelling properties of tilapia surimi and protein recovered using an acid-alkaline process. Food Chem. 112(1): 112–119. Rieuwpassa F. 2005. Biskuit konsentrat protein ikan dan probiotik sebagai makanan tambahan untuk meningkatkan antibodi IgA dan status gizi balita. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rieuwpassa F, Soukotta LM. 2006. Dampak pemberian biskuit konsentrat protein ikan dan probiotik terhadap status gizi anak balita kurang gizi. Ichthyos. 5(1): 1-6. Santoso J, Hendra E, Siregar TM. 2009. Pengaruh substitusi susu skim dengan konsentrat protein ikan nila hitam Oreochromis niloticus terhadap karakteristik fisiko-kimia makanan bayi. J. Ilmu Teknologi Pangan. 7(1): 87-107. Sathivel S, Yin H, Bechtel PJ, King JM. 2009. Physical and nutritional properties of catfish roe spray dried protein powder and its application in an emulsion system. J. Food Eng. 95(1): 76–81. Soekarto ST, Hubeis M. 1982. Metodologi Penelitian Organoleptik. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
49
Soedarmo D. 1989. Biokimia Umum II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sikorski ZE, Naczk M. 1981. Modification of technological properties of fish protein concentrates. Crit. Rev. Food. Sci. Nutr. 14(3): 201-230. Steel GRD, Torrie JH. 1993. Principles and Procedures of Statistics. Di dalam Sumantri B, penerjemah. Prinsip dan prosedur statistika. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama. Sulaeman A, Muchtadi D. 2003. Mutu gizi produk makanan balita dari bahan dasar tepung singkong dan tepung pisang yang diperkaya dengan tepung ikan dan tepung tempe. Media Gizi dan Keluarga. 27(2): 77-85. Sumaryanto H, Assik AN, Santoso J, Pribadi S. 1996. Karakterisasi sifat fungsional dan nilai gizi konsentrat protein ikan nila merah (Oreochromis sp). J. PHPI. 2(1): 1-8. Susanti N. 2011. Peran ibu menyusui yang bekerja dalam pemberian ASI eksklusif bagi bayinya. J. Kesetaraan Keadilan Gender. 6(2): 165-176. Tirtajaya I, Santoso J, Dewi K. 2008. Pemanfaatan konsentrat protein ikan patin (Pangasius pangasius) pada pembuatan cookies coklat. J. Ilmu Teknologi Pangan. 6(2): 87-103. Widiyawati L. 2011. Pemanfaatan konsentrat protein dan tepung tulang ikan lele dumbo (clarias gariepenus) dalam makanan bayi pendamping ASI [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wiharja SY, Santoso J, Yakhin LA. 2013. Utilization of tuna and red snapper roe protein concentrate as emulsifier in mayonnaise. Di dalam: Ming Wai SL, Chee Kian L, Kim Lian L, Khaw R, Boon Liang K, Lee Fong KC, Lim P, Mann Na L, Weibiao Z, editor. Meeting Future Food Demand: security and sustanaibillity . 13th ASEAN Food Conference; 2013 Sept 9-11; Max Atria, Singapura. Max Atria (SIN). hlm 1-10. Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor (ID): M-Brio Press. Wirakartakusumah MA, Abdullah K, Syarif AM. 1992. Sifat Fisik Pangan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [WHO] World Health Organization. 2006. WHO Statistical Information System (WHOSIS) Core Health Indicators, the Latest Data from Multiple WHO Source. Geneva (CH): World Health Organization. Yasumatsu K, Sawada K, Moritaka S, Misaki M, Toda J, Wada T, Ishi K. 1972. Chipping and emulsifying properties of soybean products. J. Agri. Bio. Chem. 36(5): 719-727.
50
Lampiran 1.
Lembar pengujian uji skoring aroma konsentrat protein telur ikan (KPTI) cakalang
Nama : Tanggal : Sampel : Konsentrat protein telur ikan cakalang Sampel diuji secara berturut-turut dari kiri ke kanan dan tidak boleh menbandingkan antar sampel. Kode sampel Aroma
E1
E2
1 = Aroma ikan sangat kuat; 2 = Aroma ikan kuat; 3 = Aroma ikan lemah; 4 = Aroma ikan sangat lemah; 5 = Tidak beraroma ikan.
E3
I1
I2
I3
51
2. Lembar penilaian uji organoleptik formula MP-ASI Nama : Usia : Profesi : Jumlah anak : Usia anak terakhir : Sampel dicicipi secara satu persatu. pengujian tidak boleh diulang dan tidak boleh dibandingkan antar sampel. Bilaslah mulut dengan air putih terlebih dahulu sebelum mencicipi sampel berikutnya. Kode sampel Kehalusan dalam mulut Kemudahan ditelan
F0
F1
F2
F3
F4
F5
Kelengketan dalam mulut Aroma Rasa Kesukaan Keseluruhan Parameter Penilaian Kehalusan dalam mulut 1 = Berpasir 2 = Agak berpasir 3 = Agak halus 4 = Halus 5 = Sangat halus Kemudahan ditelan 1 = Sukar ditelan 2 = Agak sukar ditelan 3 = Agak mudah ditelan 4 = Mudah ditelah 5 = Sangat mudah ditelan Kelengketan dalam mulut 1 = Encer 2 = Agak encer 3 = Tidak lengket/encer (netral) 4 = Agak lengket 5 = Lengket
Aroma 1 = Sangat beraroma asing 2 = Beraroma asing 3 = Tidak beraroma asing/susu (netral) 4 = Beraroma susu 5 = Sangat beraroma susu Rasa 1 = Sangat berasa asing 2 = Berasa asing 3 = Tidak berasa asing/susu (netral) 4 = Berasa susu 5 = Sangat berasa susu Kesukaan secara keseluruhan 1 = Sangat tidak disukai 2 = Tidak disukai 3 = Cukup disukai 4 = Disukai 5 = Sangat disukai
F6
52
RIWAYAT HIDUP Frets J. Rieuwpassa, lahir di Tual 9 Juli 1988 adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari Ayah bernama Michael Rieuwpassa dan ibu bernama Sovia Batlajery/Rieuwpassa. Pada tahun 2003 masuk menjadi siswa pada SMU Negeri I Kei Kecil dan lulus pada tahun 2006. Jenjang pendidikan tinggi dimulai pada tahun 2006, dengan masuk Universitas Pattimura Ambon dan memilih Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Jurusan Teknologi Hasil Perikanan dan menyelesaikan pendidikan S1 pada tahun 2010. Penulis kemudian diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 di program studi Teknologi Hasil Perairan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2011. Penulis selama masa studi telah mengikuti berbegai kegiatan Seminar nasional maupun internasional dan pelatihan, diantaranya Seminar Nasional Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia (MPHPI) dan Seminar Internasional “Internasional Symposium Aquatic Product Processing” serta pelatihan HACCP dan ISO 17025 : 2005. Penulis menyelesaikan Studi S2 dengan melakukan penelitian dan penulisan tesis berjudul “Karakterisasi Sifat Fungsional dan Nilai Gizi Konsentrat Protein Telur Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) serta Aplikasinya dalam Formulasi Makanan Bayi Pendamping ASI” dibimbing oleh Dr Ir Joko Santoso, MSi dan Dr Ir Wini Trilaksani, MSc. Sebagian hasil penelitian telah dipublikasikan pada Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis Vol. 5 No. 2 Desember 2013 dengan judul “Karakterisasi Sifat Fungsional Konsentrat Protein Telur Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)”.