SKRIPSI
PRODUKSI KONSENTRAT PROTEIN BIJI KECIPIR (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC) SERTA ANALISIS SIFAT FISIKOKIMIA DAN FUNGSIONALNYA
Oleh : CATHERINE HARYASYAH F24052763
2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PRODUKSI KONSENTRAT PROTEIN BIJI KECIPIR (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC) SERTA ANALISIS SIFAT FISIKOKIMIA DAN FUNGSIONALNYA
Oleh : CATHERINE HARYASYAH F24052763
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Tanggal lulus : 28 Agustus 2009
Disetujui,
Dr.Ir. Slamet Budijanto, M.Agr Dosen Pembimbing Akademik 2
Ir. C.C Nurwitri, DAA Dosen Pembimbing Akademik 1
Diketahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Catherine Haryasyah. F24052763. Produksi Konsentrat Protein Biji Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC) Serta Analisis Sifat Fisikokimia dan Fungsionalnya. Di bawah bimbingan C. C. Nurwitri dan Slamet Budijanto RINGKASAN Biji kecipir merupakan tanaman yang tumbuh dengan baik pada iklim tropis dan memiliki kandungan protein yang tinggi. Biji kecipir yang memiliki komposisi protein menyerupai kedelai dan dapat dibudidayakan dengan mudah di Indonesia ini mempunyai potensi yang sangat besar sebagai sumber protein alternatif untuk menggantikan produk pekatan kedelai seperti konsentrat protein. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai berbagai sifat fisikokimia dan sifat fungsional dari konsentrat protein biji kecipir ini. Metode penelitian dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu: (1) pembuatan tepung biji kecipir rendah lemak, (2) penentuan pH kelarutan maksimum dari protein biji kecipir, (3) penentuan metode pengeringan konsentrat protein biji kecipir, (4) pembuatan konsentrat protein biji kecipir, (5) analisis proksimat, (6) analisis sifat fisikokimia, dan (7) analisis sifat fungsional protein. Konsentrat protein biji kecipir yang dihasilkan dengan metode isoelektrik dan pengeringan dengan spray dryer ini memiliki kadar air 8.75 (%BK), kadar protein 71.47 (%BK), kadar lemak 7.27 (%BK), kadar abu 4.05 (%BK), dan kadar karbohidrat 17.21 (%BK). Warna konsentrat yang dihasilkan tidak terlalu gelap (derajat putih sebesar 72.40), nilai Particle Size Index yang cukup tinggi (63.05%) dan densitas kamba sebesar 0.5831 g/ml. Konsentrat protein biji kecipir ini juga mengandung asam amino yang lengkap, namun asam amino sistein dan metionin menjadi asam amino pembatasnya. Asam glutamat, prolin, leusin, lisin dan asam aspartat merupakan asam amino dominan, sedangkan metionin, sistein dan triptofan berada dalam jumlah yang sangat sedikit. Konsentrat protein biji kecipir ini memiliki kandungan asam glutamat sebesar 6.37%, prolin 3.61%, leusin 3.37%, lisin 2.79%, asam aspartat 2.68%, metionin 0.60%, sistein 0.40%, dan triptofan 0.37%. Kelarutan terendah konsentrat berada pada pH 4 yang diketahui sebagai titik isoelektrik protein kecipir, sedangkan kelarutan tertingginya berada pada pH 11. Pada pH 12, kelarutannya proteinnya menurun. Sifat kelarutan ini berhubungan dengan sifat fungsional lainnya. Sifat fungsional protein sangat menentukan potensi aplikasi konsentrat protein biji kecipir ini. Daya serap air dari konsentrat biji kecipir sebesar 1.6070 g air/ g solid, sedangkan daya serap minyaknya 1.0194 g minyak/g solid. Aktivitas emulsi konsentrat protein biji kecipir sangat dipengaruhi oleh pH, di mana aktivitas emulsi terendah terjadi pada pH isoelektriknya yaitu sebesar 2.50%. Konsentrat protein biji kecipir dapat membentuk gel pada konsentrasi inisial 16% dan hanya dapat terbentuk pada pH netral. Konsentrat protein biji kecipir ini juga dapat membentuk buih, namun tidak sebaik protein telur ataupun kedelai. Berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian ini, konsentrat protein biji kecipir ini cocok diaplikasikan pada produk pangan yang bersifat netral dan cenderung basa. Konsentrat protein biji kecipir dapat diaplikasikan pada produk pangan yang berinteraksi dengan air membentuk emulsi ataupun gel, dan bukan produk pangan yang membutuhkan daya buih yang tinggi.
RIWAYAT HIDUP
Catherine
Haryasyah
adalah
putri
ketiga
dari
Laniati
Elawitachya. Penulis lulus dari SMU Santo Aloysius 1 Bandung dan diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) untuk mengikuti Tahap Persiapan Bersama (TPB) selama satu tahun dan pada tahun 2006 diterima sebagai mahasiswi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif di berbagai kegiatan non-akademik seperti mengikuti berbagai kepengurusan di organisasi dan terlibat dalam kepanitiaan sejumlah acara berskala nasional. Di Himpunan Mahasiswa Teknologi Pangan, penulis tergabung dalam dua periode kepengurusan, yaitu periode tahun 2007 dan 2008. Penulis pernah menjadi ketua acara Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan Tingkat Nasional ke-15 tahun 2007, seksi dekorasi pada The 5th Indonesian Food Expo dan berbagai acara kampus lainnya. Penulis juga aktif mengikuti seminar berskala nasional maupun internasional, seperti International Symposium on Probiotic by SEAMEO TROPMED, dan Half Day Seminar on Antioxidant by SEAFAST. Penulis pernah menerima HIBAH Dikti dan menjadi Finalis Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional 2008 di Semarang, juara 2 lomba RISTEK nasional, juara 1 Kompetisi Inovasi Agroteknologi, juara 1 makalah bahasa Inggris yang diadakan oleh IAAS, serta juara 3 International Developing Solutions for Developing Countries Competition di Anaheim, Amerika Serikat, Juni 2009. Penulis juga pernah bekerja sebagai Asisten Dosen di Laboratorium Biokimia Pangan Departemen ITP, mengajar sebagai guru les Fisika dan bekerja sebagai event organizer di LITE EO Bandung. Penulis pernah mengikuti beberapa pelatihan dan workshop, di antaranya Training ISO 9001:2000 and ISO 22000:2005 oleh PT. Bika Solusi Perdana, Leadership Scholarship Program dari PT Nutrifood Indonesia & Dale Carnegie, serta Training Auditor HACCP tahun 2007 oleh PT. Embrio Biotekindo.
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat dan penyertaanNya dalam hidup penulis, termasuk dalam menyelesaikan penelitian dan skripsi yang berjudul “Produksi Konsentrat Protein Biji Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC) Serta Analisis Sifat Fisikokimia dan Fungsionalnya”. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang begitu besar kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, doa, dan dukungan yang diberikan selama masa kuliah, penelitian dan penulisan skripsi ini kepada: 1. Ir. C. C. Nurwitri, DAA dan Dr. Ir. Slamet Budijanto, M. Agr sebagai dosen pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan saran selama penulisan skripsi ini. 2. Prof. Dr. Ir. Fransiska Rungkat-Zakaria, MSc. atas kesediaan menjadi dosen penguji dan saran yang membangun. 2. Keluarga penulis. Terima kasih atas semua doa, dukungan materi dan non materi, nasihat, semangat, dan kasih sayang yang selalu diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat selalu termotivasi untuk berusaha memberikan dan menghasilkan karya yang terbaik 3. Aji Perdana. Terima kasih untuk waktu, kesabaran dan dukungan yang luar biasa hingga penulis dapat menyelesaikan studi di IPB, penelitian dan skripsi ini. 4. Teman-teman seperjuangan: Stella Alvina Gunawan, Diana Lo, Astrisia Artanti, Wiwi, Wahyu, Hesti. Terima kasih untuk semua yang telah kita lalui bersama, atas waktu-waktu yang tak terlupakan dan dukungan untuk membangun satu sama lain. 5. Galih Nugroho, Kamalita Pertiwi, Ari Try Purbayanto, dan Riza Aris Apriady. Terima kasih telah menjadi teman seperjalanan yang baik. Semoga ada kesempatan lain bagi kita untuk berkarya bersama bagi bangsa ini 6. Yoanita Santoso, Fransiska Eka Handayani, Mervina, Veronica Gunawan, Eveline Septiana, Teresia Tandean, Vidya Simamarta, Franz Sahidi, Michael Lee, Novianus Efrat. Terima kasih untuk semuanya, tanpa bantuan dan dukungan kalian semua, penulis tidak akan melangkah sejauh ini.
7. Semua dosen, staf dan teknisi di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan segala ilmu, wawasan dan dukungan kepada penulis selama menuntut ilmu di ITP. 8. Teman-teman ITP 42: Tuti, Yuni, Yelita, Arya, Suhendri, Tata, Belinda, Yusi, Cha-cha, Irene, Fera, Umam, Sina, Midun dan teman-teman HIMITEPA, ITP 43 dan 44 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih atas dukungannya terhadap penulis dalam menyelesaikan penelitian dan skripsi ini.
Penulis menyadari skripsi ini jauh dari sempurna dan tidak lepas dari kesalahan. Akhir kata, penulis mengharapkan agar karya skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan dan berguna bagi kemajuan pangan di Indonesia.
Bogor, Agustus 2009
Penulis
DAFTAR ISI
RIWAYAT HIDUP …………………………………………………………
i
KATA PENGANTAR ……………………………………………………...
ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………..
iv
DAFTAR TABEL …………………………………………………….........
vii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….
viii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………..... . ix I.
PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1 A. LATAR BELAKANG ……………………………………………. 1 B. PERUMUSAN MASALAH………………………………….......... 3 C. TUJUAN PENELITIAN …..……………………………………....
3
II. TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………..... . 4 A. KECIPIR (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC)……………....... 4 B. KONSENTRAT PROTEIN.......………..…………………............... 6 C. SIFAT FISIKOKIMIA DAN SIFAT FUNGSIONAL KONSENTRAT ..............………………………………………….. 7 1. Warna dan derajat putih ................................................................ 7 2. Particle Size Index (PSI)............................................................... 9 3. Densitas Kamba (ρA)……………………………………………. 9 4. Asam Amino………………………………………………….…. 9 5. Protein Solubility………………………………………………... 11 6. Daya Serap Air (WHC)………………………………................. 12 7. Daya Serap Minyak……………………………………………... 13 8. Aktivitas dan Stabilitas Emulsi……………………………….…. 14 9. Gelasi……………………………………………………………. 16 10. Kapasitas dan Stabilitas Buih………………………………...…. 17 III. METODOLOGI PENELITIAN ………………………………………... 19 A. BAHAN DAN ALAT ………………………………………….…... 19 B. METODE PENELITIAN………………………....…………..….… 19 1. Pembuatan Tepung Biji Kecipir….…………….....…………….. 20
2. Penentuan Titik Kelarutan Maksimum dari Protein Biji Kecipir.................................................................................... 21 3. Penentuan Metode Pengeringan Konsentrat Protein Biji Kecipir.................................................................................... 21 4. Pembuatan Konsentrat Protein Biji Kecipir................................. 22 5. Analisis Proksimat......................................................................
23
a. Analisis Kadar Air Metode Oven............................................. 23 b. Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl Mikro....................... 24 c. Analisis Kadar Lemak Metode Soxhlet………………............. 25 d. Analisis Kadar Abu……………………………..……………. 25 e. Analisis Kadar Karbohidrat by difference……….....……........ 26 6. Analisis Sifat Fisikokimia...........................................................
26
a. Analisis Warna dan Derajat Putih dengan Chromameter Minolta CR-200......................................................................... 26 b. Particle Size Index (PSI) ........................................................... 26 c. Densitas Kamba (ρA) ................................................................ 26 d. Komposisi Asam Amino............................................................ 27 7. Analisis Sifat Fungsional................................................................ 27 a. Protein Solubility....................................................................... 27 b. Daya Serap Air (WHC)………………………....………........ 28 c. Daya Serap Minyak………………………………………....... 29 d. Aktivitas dan Stabilitas Emulsi………………......................... 29 e. Daya Gelasi………………..................….…………................ 30 f. Kapasitas dan Stabilitas Buih…………....………………........ 30 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………….………………... 31 1. Pembuatan Tepung Biji Kecipir….…………….....…………….. 31 2. Penentuan Titik Kelarutan Maksimum dari Protein Biji Kecipir.................................................................................... 33 3. Penentuan Metode Pengeringan Konsentrat Protein Biji Kecipir.................................................................................... 34 4. Pembuatan Konsentrat Protein Biji Kecipir................................. 35 5. Analisis Proksimat......................................................................... 36 6. Analisis Sifat Fisikokimia...........................................................
37
a. Analisis Warna dan Derajat Putih dengan Chromameter Minolta CR-200......................................................................... 37
b. Particle Size Index (PSI) ........................................................... 38 c. Densitas Kamba (ρA) ................................................................ 39 d. Komposisi Asam Amino............................................................ 39 7. Analisis Sifat Fungsional................................................................ 41 a. Protein Solubility....................................................................... 41 b. Daya Serap Air (WHC)………………………....………........ 43 c. Daya Serap Minyak………………………………………....... 44 d. Aktivitas dan Stabilitas Emulsi………………......................... 44 e. Daya Gelasi………………..................….…………................ 48 f. Kapasitas dan Stabilitas Buih…………....………………........ 50 V. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………….………...
53
A. KESIMPULAN………………………………………….…………. 53 B. SARAN…………………………………………….……………….. 53 DAFTAR PUSTAKA ………………………………….……………………. 54 LAMPIRAN...................................................................................................... 62
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Komposisi Kimia Polong, Biji, Umbi, Daun dan Bunga Kecipir.... 5 Tabel 2. Perbandingan Nilai Gizi Biji Kecipir, Kedelai, dan Kacang Tanah per 100 gram.................................................................................... 5 Tabel 3. Jenis Asam Amino………………………………………………… 10 Tabel 4. Komposisi Tepung Biji Kecipir Rendah Lemak ………………… 32 Tabel 5. Komposisi Konsentrat Protein Biji Kecipir ……………………… 36 Tabel 6. Parameter Warna Konsentrat Protein Biji Kecipir........................... 38 Tabel 7. Daya Gelasi Konsentrat Protein Kecipir pada Berbagai Konsentrasi dan Nilai pH................................................................. 49
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Biji Kecipir dalam Polong ……………..……........................... 4
Gambar 2.
Sistem Warna Hunter Lab ……………………………….……. 8
Gambar 3.
Bentuk Molekul Asam Amino..................................................... 10
Gambar 4.
Pembuatan Tepung Biji Kecipir Rendah Lemak......................... 20
Gambar 5.
Pembuatan Konsentrat Protein Biji Kecipir………….........…... 22
Gambar 6.
Penentuan Kurva Protein Solubility ……………………...…… 28
Gambar 7.
Tepung Kecipir Rendah Lemak …………………………….…. 32
Gambar 8.
Rendemen Konsentrat pada Berbagai Nilai pH Ekstraksi ……. 33
Gambar 9.
Perbandingan Derajat Putih Pada Berbagai Pengeringan ........... 34
Gambar 10. Konsentrat Protein Biji Kecipir ……………………………….. 37 Gambar 11. Komposisi Asam Amino Konsentrat Protein Biji Kecipir…….. 40 Gambar 12. Kurva Kelarutan Protein pada Berbagai Nilai pH …………….. 41 Gambar 13. Perbandingan Aktivitas Emulsi Konsentrat Protein Biji Kecipir pada Berbagai Nilai pH ………….......................…….. 45 Gambar 14. Perbandingan Aktivitas Emulsi Konsentrat Protein Biji Kecipir Setelah Pemanasan pada Berbagai Nilai pH…….. 47 Gambar 15. Stabilitas Emulsi Selama 6 Jam pada Suhu Ruang …………… 48 Gambar 16. Kapasitas Buih pada Berbagai Nilai pH ....……………………. 51 Gambar 17. Stabilitas Buih pada Berbagai Nilai pH Terhadap Waktu …….. 52
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil Pengolahan Data Rendemen pada Nilai pH Berbeda........ 62 Lampiran 2. Hasil Pengolahan Data Derajat Putih Berbagai Jenis Pengeringan........................................................................ 63 Lampiran 3. Data Analisis Warna dan Derajat Putih, PSI dan Densitas Kamba.......................................................................... 65 Lampiran 4. Kurva Standar dan Data Protein Terlarut Berbagai Nilai........... 67 Lampiran 5. Data Daya Serap Air dan Daya Serap Minyak........................... 69 Lampiran 6. Hasil Pengolahan Data Aktivitas Emulsi Sebelum Dipanaskan. 70 Lampiran 7. Hasil Pengolahan Data Aktivitas Emulsi Setelah Dipanaskan... 72 Lampiran 8. Hasil Pengolahan Data Pengaruh Panas pada Aktivitas Emulsi. 74 Lampiran 9. Data Aktivitas Emulsi Selama 6 Jam ......................................... 76 Lampiran 10. Hasil Pengolahan Data Kapasitas Buih...................................... 77
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia adalah salah satu negara yang menggunakan berbagai macam produk pekatan kedelai sebagai bahan baku pengemulsi daging tiruan, nugget, sosis, kornet, dan bahan pangan lainnya. Namun, umumnya bahan baku pekatan kedelai yang digunakan tersebut masih diimpor karena belum ada industri dalam negeri yang memproduksi pekatan kedelai tersebut dalam skala yang cukup besar. Hal ini disebabkan oleh kontinuitas bahan baku kedelai dari dalam negeri yang tidak memadai. Kebutuhan kedelai pada tahun 2004 saja sudah mencapai 2,02 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri baru 0,71 juta ton dan kekurangannya terpaksa diimpor. Hanya sekitar 35% dari total kebutuhan yang dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri (Departemen Pertanian, 2005)a. Harga kedelai yang melambung di Indonesia belakangan ini pun menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak. Salah satu penyebab meningkatnya harga berbagai produk kedelai ini adalah produktivitas kedelai yang rendah di Indonesia dan tidak sebanding dengan konsumsinya. Hingga saat ini Indonesia masih mengandalkan impor kedelai dari negara lain untuk memenuhi konsumsi kedelai dalam negeri. Berdasarkan data dari Departemen Pertanian (2005)b, ratarata impor kedelai tahun 2002-2004 saja sudah mencapai satu juta ton. Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan potensi alamnya. Sebagai negara tropis dengan curah hujan yang merata hampir sepanjang tahun, terdapat keanekaragaman hayati Indonesia yang memiliki potensi. Salah satunya adalah tanaman kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC) yang merupakan tanaman asli dari Papua New Guinea dan hanya tumbuh di daerah ekuator yang bercurah hujan tinggi (Anonim, 2008)a. Tanaman kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC) dikenal masyarakat karena buah mudanya sering dibuat sayur dan bahan pecel. Tanaman kecipir sangat mudah untuk dibudidayakan, namun belum diusahakan dengan sungguh-sungguh. Masyarakat hanya menanamnya sebagai penutup pagar. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan masyarakat akan manfaat dan cara pengolahan biji kecipir (Nurchasanah, 2007). Padahal produksi tanaman kecipir di tanah air lebih banyak jika dibandingkan dengan produksi kacang tanah dan
kedelai karena kemudahannya tumbuh di berbagai jenis lahan. Produksi biji kecipir dapat mencapai 2380 kg/hektar, sedangkan produksi kacang tanah dan kedelai masing-masing hanya 1000 kg/hektar dan 900 kg/hektar (Rismunandar, 1986). Hampir semua bagian dari tanaman kecipir dapat dimanfaatkan dan dikonsumsi. Daun dan buah mudanya dapat dijadikan sayuran, sedangkan akarnya menggelembung membentuk umbi yang dapat dimakan. Bijinya yang sudah tua dapat diolah menjadi tempe. Biji dari kecipir merupakan salah satu sumber protein kacang-kacangan yang sedang ramai diteliti saat ini karena kandungan proteinnya yang tinggi yaitu sekitar 29.8%-39.0%, hampir sama dengan kandungan protein kedelai sekitar 30-40% (National Academy of Science, 1981 dan Winarno, 1974). Menurut Ekpenyong (1978), biji kecipir memiliki komposisi asam amino yang hampir sama dengan kedelai, dengan metionin dan sistein sebagai asam amino pembatasnya. Salah satu kelebihan lain yang dimiliki oleh biji kecipir adalah aktivitas lipoksigenasenya yang lebih rendah daripada kedelai yang berarti bahwa akan menghasilkan bau langu yang lebih sedikit daripada kedelai selama penanganan, penyimpanan dan pemrosesan (Van Den et al.,1981; de Lumen et al., 1981). Sebagai negara berkembang yang diikuti oleh perkembangan industri pangannya, Indonesia perlu mengembangkan sumber protein alternatif sebagai pengganti sumber protein hewani dan sumber protein nabati dari kedelai. Selama ini, kedelai adalah salah satu pengganti sumber protein hewani yang unggul dan banyak digunakan di Indonesia. Namun, seperti telah dikatakan sebelumnya, produktivitas kedelai di Indonesia sangat rendah sehingga tak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri. Biji kecipir yang memiliki komposisi protein yang menyerupai kedelai dan dapat dibudidayakan dengan mudah di Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar sebagai sumber protein hayati alternatif untuk menggantikan produk pekatan kedelai. Biji kecipir dapat dijadikan produk pekatan protein untuk diaplikasikan pada berbagai jenis produk pangan. Menurut CODEX (1989), produk pekatan protein terdiri dari tepung protein (50-65% protein), konsentrat protein (65-90% protein), dan isolat protein (lebih dari 90% protein). Konsentrat protein
merupakan salah satu produk pekatan protein yang banyak dimanfaatkan pada produk bakery, olahan daging dan dairy product (FAO, 2009). Selain itu, konsentrat protein memiliki sifat fungsional spesifik yang tidak dapat diperoleh dari tepung kedelai serta memiliki harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan protein isolat (FAO, 2009). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai berbagai sifat fisikokimia dan sifat fungsional dari konsentrat protein biji kecipir.
B. PERUMUSAN MASALAH Penelitian mengenai sifat fisikokimia dan sifat fungsional dari konsentrat biji kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC) ini dilakukan agar diketahui pengolahan yang tepat dalam pemanfaatan konsentrat biji kecipir. Konsentrat protein biji kecipir berpotensi digunakan sebagai sumber protein alternatif, dengan adanya penelitian ini dapat juga diketahui aplikasi konsentrat protein biji kecipir pada berbagai jenis produk pangan.
C. TUJUAN PENELITIAN 1. Mengetahui sifat fisikokimia konsentrat protein biji kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC). 2. Mengetahui sifat fungsional protein dari konsentrat protein biji kecipir
(Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC).
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. KECIPIR (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC) Tanaman kecipir sudah lama dikenal di Indonesia dengan berbagai nama yang berbeda. Nama lain dari kecipir adalah jaat (bahasa Sunda), kelongkang (bahasa Bali), serta biraro (Ternate) (Anonim, 2008)b. Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC) termasuk dalam genus Psophocarpus, famili Fabaceae, ordo Leguminosa dan subklas Dicotyledonae (Kay, 1979). Tanaman kecipir adalah tanaman setahun, berbentuk perdu, berakar tunggang yang dapat membentuk umbi akar. Kecipir biasanya tumbuh membelit, berdaun majemuk, berdaun banyak. Setiap tangkai daun memiliki tiga anak daun yang berbentuk bulat, ujung daunnya runcing dan permukaannya licin. Buah kecipir berbentuk empat sayap membujur, di antara biji-bijinya bersekat, tiap polong mengandung 5-10 biji dan panjang polongnya sekitar 6-36 cm (National Academy of Science, 1981). Berikut ini gambar biji kecipir dalam polongnya.
Gambar 1. Biji Kecipir dalam Polong (Lyra, 2008)
Daerah persebaran tanaman kecipir ini tersebar dari Afrika Timur, India dan Papua New Guinea, sedangkan pusat asal usulnya dari Indocina-Indonesia dan Afrika Timur (Anonim, 2008)b. Kecipir dapat tumbuh sampai ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut, antara 20o Lintang Utara dan 10o Lintang Selatan dengan curah hujan sebesar antara 700-4000 mm (National Academy of Science, 1981). Tanaman kecipir memiliki kemampuan untuk mengikat nitrogen dari udara sehingga dapat tumbuh pada berbagai kondisi tanah, mulai dari tanah
berpasir, tanah lempung, tanah berat, tanah gambut, bahkan tanah yang tidak subur (Soedarsono, 1979). Produktivitas tanaman kecipir ini cukup tinggi, dari satu hektar tanah dapat dihasilkan dua hingga lima ton biji kecipir yang sudah matang (Khan, 1976), dan 35 ton polong muda (Jiminez, 1976). Hampir semua bagian tanaman kecipir dapat dimakan baik daun, bunga, polong muda, umbi dan bijinya. Biji kecipir mengandung zat-zat gizi seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan polong muda, umbi dan daunnya. Komposisi kimia dari beberapa bagian tanaman kecipir dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Polong, Biji, Umbi, Daun dan Bunga Kecipir Komponen Polong Biji Matang Umbi Air (%) 76.0-93.0 8.7-24.6 54.9-65.2 Protein (%) 1.9-4.3 29.8-39.0 3.0-15.0 Lemak (%) 0.1-3.4 15.0-20.4 0.4-1.1 Karbohidrat (%) 1.1-7.9 23.9-42.0 27.2-30.5 Serat (%) 0.9-3.1 3.7-16.1 1.6-17.0 Abu (%) 0.4-1.9 3.3-4.9 0.9-1.7 Sumber : (National Academy of Science, 1981)
Daun 64.2-85.0 5.0-7.6 0.5-2.5 3.0-8.5 3.0-4.2 1.0-2.9
Biji kecipir memiliki kadar protein yang tinggi sekitar 29.8-39.0 % sehingga dapat dijadikan alternatif sumber protein nabati selain kedelai (National Academy of Science, 1981). Berikut ini tabel perbandingan nilai gizi biji kecipir dengan kacang-kacangan lain (Tabel 2).
Tabel 2. Perbandingan Nilai Gizi Biji Kecipir, Kedelai, dan Kacang Tanah per 100 gram Zat Gizi Biji Biji Kacang Kecipir Kedelai Tanah Protein (g) 36.60 35.10 23.40 Karbohidrat (g) 35.60 32.00 21.60 Lemak (g) 15.30 17.70 45.30 Serat (g) 3.70 4.20 2.10 Abu (g) 3.80 5.00 2.40 Air (g) 8.70 10.20 7.30 Sumber : (Claydon, 1975)
B. KONSENTRAT PROTEIN Konsentrat protein adalah produk pekatan protein yang memiliki kandungan protein minimal 70%, sedangkan isolat protein memiliki kadar protein minimal 90% (Waggle dan Kolar, 1979). Pemekatan kadar protein bahan pangan dapat dilakukan dengan cara mengolahnya menjadi tepung, tepung rendah lemak, konsentrat, dan isolat protein (Waggle dan Kolar, 1979). Konsentrat protein umumnya memiliki kandungan protein sekitar 65-75%, 15-25% polisakarida tak larut, 4-6% mineral, dan 0.3-1.2% minyak (Cheftel et al., 1985). Kandungan gula pada konsentrat protein telah dikurangi, sehingga produk yang menggunakan konsentrat protein lebih mudah dicerna dan lebih sedikit menyebabkan flatulensi. Konsentrat protein dapat dengan mudah dibentuk teksturnya, namun membutuhkan jumlah air dan energi mekanik yang lebih besar daripada produk tepung rendah lemak (Riaz, 2004). Pembuatan konsentrat protein dilakukan dengan ekstraksi mineral dan karbohidrat yang larut air. Mineral dan karbohidrat larut air dapat diekstrak dengan larutan asam, campuran air-etanol, atau air panas. FAO (2009) mengklasifikasikan tiga cara yang umumnya digunakan dalam proses produksi konsentrat protein, yaitu proses pencucian dengan alkohol, proses pencucian dengan asam, proses denaturasi protein dengan panas. Proses pembuatan konsentrat protein dengan pencucian alkohol didasarkan pada kemampuan alkohol rantai pendek (metanol, etanol, atau isopropil alkohol) untuk mengekstrak fraksi gula larut air tanpa melarutkan protein. Umumnya konsentrasi alkohol optimum yang digunakan adalah 60%. Setelah proses ekstraksi gula, alkohol dievaporasi dari protein dengan menggunakan prinsip destilasi dan protein dikeringkan (FAO, 2009). Proses pencucian dengan asam menggunakan prinsip kelarutan protein pada berbagai nilai pH. Saat protein dikondisikan pada pH isoelektrik, komponen protein akan mengendap, sedangkan karbohidrat dan mineral akan larut dalam air. Protein yang telah mengendap dipisahkan dengan sentrifugasi dan dikeringkan (FAO, 2009). Penggunaan larutan asam pada pH isoelektrik dapat mengurangi pembukaan
lipatan
protein
fungsionalnya (Handoko, 2000).
(unfolding),
agregasi,
dan
kehilangan sifat
Proses yang ketiga adalah denaturasi protein menggunakan uap panas, yang dilanjutkan dengan ekstraksi komponen gula menggunakan air panas. Protein yang telah terdenaturasi dipisahkan dan dikeringkan (FAO, 2009). Denaturasi protein adalah modifikasi konformasi atau struktur sekunder, tersier, atau kuarterner protein yang tidak disertai dengan pemutusan ikatan peptida yang terdapat pada struktur primernya. Denaturasi protein ini dapat mengurangi kelarutan protein karena bagian hidrofobiknya tidak terlindungi dan juga dapat mengubah kapasitas pengikatan air (Cheftel et al., 1985). Denaturasi protein dapat disebabkan oleh proses panas (Pablo et al.,1981). Denaturasi protein juga dapat disebabkan oleh ekstraksi menggunakan pelarut. Denaturasi protein karena pelarut organik dipengaruhi oleh derajat hidrofobisitas dan derajat pengencerannya dengan air. Pelarut organik yang bersifat hidrofobik yang tidak bercampur dengan air, seperti n-heksana, memiliki kemungkinan yang kecil untuk dapat mendenaturasi protein meskipun pada suhu yang tinggi (Fukushima, 1969).
C. SIFAT FISIKOKIMIA DAN SIFAT FUNGSIONAL KONSENTRAT PROTEIN 1. Warna dan Derajat Putih Warna merupakan salah satu aspek penting dalam penerimaan produk pangan. Jika warna produk tidak terlihat menarik, maka konsumen akan menolak produk tersebut dan tidak akan memperhatikan faktor lainnya (Francis, 2003). Pentingnya faktor warna dalam hal penerimaan membuat teknologi uji warna berkembang. Instrumen untuk menganalisis warna serupa mata manusia telah dikembangkan. Salah satu instrumen dalam mengukur warna adalah kromameter. Prinsip kerja dari kromameter adalah pemantulan cahaya oleh sampel. Kromameter memiliki lampu getar yang ditangkap oleh fotosel dan filter untuk mencocokkan dengan standar CIE (Commision Internasionale d’Eclairage) dalam mengukur sinar yang dipantulkan oleh sampel. Sistem
output dapat berupa CIE-XYZ, Judd-Hunter L a b CIELAB, dan CIELCH (Francis, 2003; Francis, 1996). Sistem warna Hunter Lab memiliki tiga atribut yaitu L, a, dan b. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan sampel dan memiliki skala dari 0 sampai 100, dimana 0 menyatakan sampel sangat gelap dan 100 menyatakan sampel sangat cerah. Nilai a menunjukkan derajat merah atau hijau sampel, dimana a positif menunjukkan warna merah dan a negatif menunjukkan warna hijau. Nilai a memiliki skala dari -80 sampai 100. Nilai b positif menunjukkan warna kuning dan b negatif menunjukkan warna biru. Nilai b memiliki skala dari -70 sampai 70 (Francis, 1996). Sistem atribut nilai Hunter Lab dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Sistem Warna Hunter Lab (MacEvoy, 2005) Pengukuran warna dapat dilakukan dengan alat kromameter Minolta CR-200. Prinsip dari kromameter Minolta adalah pengukuran perbedaan warna melalui pantulan cahaya oleh permukaan sampel (Hutching, 1999). Kromameter adalah suatu alat untuk analisis warna secara terstimulus untuk mengukur warna yang dipantulkan oleh suatu permukaan. Data pengukuran berupa nilai L, a, dan b diperoleh dapat berupa nilai absolut maupun nilai selisih dengan warna standar (Anonim,1997)c. Dari pengukuran warna menggunakan kromameter Minolta tersebut dapat dihitung nilai derajat putih. Derajat putih dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut Derajat putih = 100 – √ {(100-L)2 + (a2+b2)}
2. Particle Size Index (PSI) Particle Size Index (PSI) adalah suatu ukuran yang diperlukan untuk mengetahui ukuran partikel suatu bahan. Ukuran ini umumnya digunakan untuk bahan tepung-tepungan. PSI dibutuhkan untuk menentukan kualitas penggilingan dan juga merupakan parameter kerusakan pati, penyerapan air, dan produksi gas. Indeks ini menunjukkan kekerasan relatif suatu bahan dengan cara penggilingan dan separasi (Anonim, 2008)d.
3. Densitas Kamba (ρA) Densitas merupakan salah satu sifat fisik bahan pangan. Densitas produk berbentuk bubuk (food powder) dipengaruhi oleh komposisinya (Wirakartakusumah et al., 1992). Densitas kamba adalah massa partikel yang menempati suatu unit volum tertentu. Densitas kamba ditentukan oleh berat wadah yang diketahui volumnya dan merupakan hasil pembagian dari berat bubuk dengan volum wadah. Nilai densitas kamba menunjukkan porositas suatu bahan. Bahan yang lebih ringkas memiliki porositas yang lebih rendah. Jumlah rongga antar partikel menentukan banyaknya ruang kosong yang terbentuk dan juga menentukan nilai densitas kamba suatu bahan (Khalil, 1999). Nilai densitas dari berbagai makanan berbentuk bubuk umumnya antara 0.3-0.8 g/cm3. Hal ini menunjukkan bahwa makanan berbentuk bubuk memiliki porositas yang tinggi, yaitu sekitar 40-80% (Wirakartakusumah et al., 1992). Densitas kamba dari jenis pangan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berhubungan, yaitu intensitas gaya tarik-menarik antar partikel, ukuran partikel, dan jumlah dari titik yang berhubungan. Perubahan densitas kamba dapat menyebabkan perubahan sifat-sifat bubuk (Wirakartakusumah et al., 1992). 4. Asam Amino Protein adalah suatu senyawa yang terdiri dari beberapa asam amino yang diikat satu sama lain dengan ikatan peptida. Asam amino adalah satu atom karbon yang mengikat gugus karboksilat (-COOH), atom hidrogen,
gugus amino dan satu rantai samping (-R). Bentuk molekul asam amino dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Bentuk Molekul Asam Amino (Winarno, 1997).
Terdapat 20 jenis asam amino yang berbeda ukuran, bentuk, muatan, dan reaktivitasnya. Berbagai jenis asam amino dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis Asam Amino Asam Amino
Singkatan Tiga Huruf
Alanin (Alanine) Ala Arginin (Arginine) Arg Asparagin (Asparagine) Asn Asam Aspartat (Aspartic Acid) Asp Sistein (Cysteine) Cys Glutamin (Glutamine) Gln Asam Glutamat (Glutamic Acid) Glu Glisin (Glysine) Gly Histidin (Histidine) His Isoleusin (Isoleucine) Ile Leusine (Leucine) Leu Lisin (Lysine) Lys Metionin (Methionine) Met Fenilalanin (Phenilalanine) Phe Prolin (Proline) Pro Serin (Serine) Ser Treonin (Threonine) Thr Triptofan (Tryptophane) Trp Tirosin (Tyrosine) Tyr Valin (Valine) Val Sumber: Styrer (1975) dikutip oleh Winarno (1997).
Lambang Satu Huruf A R N D C Q E G H I L K M F P S T W Y V
Keduapuluh asam amino dapat dibagi menjadi empat kelas berdasarkan polaritas rantai sampingnya (Damodaran, 1996): (1) Asam amino dengan rantai samping nonpolar (hidrofobik) Kelompok ini terdiri dari asam amino alanin, isoleusin, leusin, metionin, fenilalanin, prolin, triptofan, serta valin yang bersifat tidak larut dalam air. Sifat hidrofobik akan meningkat dengan bertambah panjangnya rantai samping alifatik. (2) Asam amino dengan rantai samping polar (hidrofilik) Asam amino yang termasuk dalam kelompok ini adalah asam amino yang mempunyai gugus fungsional netral, polar, serta dapat membentuk ikatan dengan molekul air. Serin, treonin, tirosin, asparagin, glutamin dan sistein termasuk golongan hidrofilik karena memiliki gugus reaktif seperti gugus hidroksil, gugus amida dan gugus tiol. (3) Asam amino dengan rantai samping yang bermuatan positif Lisin dengan gugus epsilon NH2, arginin dengan gugus guanidin dan histidin dengan gugus imidasol digolongkan ke dalam kelompok ini. (4) Asam amino dengan rantai samping yang bermuatan negatif Hanya terdapat dua asam amino yang memiliki rantai samping yang bermuatan negatif, yaitu asam glutamat dan asam aspartat.
5. Protein Solubility Protein solubility merupakan sifat fungsional pertama yang biasanya diuji pada pengembangan protein sebagai ingredien yang baru. Kelarutan protein ini berhubungan dengan sifat fungsional protein yang lainnya, terutama pada sifat buih, gel dan emulsi. Protein dengan kelarutan protein yang tinggi memiliki dispersabilitas molekul protein yang baik dan dapat membentuk sistem dispersi koloid yang baik pula. Kelarutan protein dipengaruhi oleh komposisi asam amino, berat molekul, konformasi protein, dan keseimbangan antara gugus polar dan non polar pada asam amino. Selain itu, terdapat beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi, yaitu kekuatan ion, tipe pelarut, pH, suhu dan kondisi pemrosesan (Zayas, 1997).
Tingkat kelarutan protein dalam suatu medium cair merupakan hasil interaksi elektrostatik dan hidrofobik antara molekul protein tersebut. Kelarutan dapat meningkat jika gaya elektrostatik lebih tinggi daripada interaksi hidrofobik. Umumnya kurva kelarutan protein terhadap pH membentuk huruf U, di mana titik terendah berada pada pH isoelektrik. Pada pH isoelektrik (pI) ini, muatan dari protein sama dengan nol. Hal ini menyebabkan interaksi antar protein menjadi maksimum dan menyebabkan ketidaklarutan protein (Zayas, 1997). Faktor lainnya seperti kondisi pemrosesan, tipe pelarut dan suhu berkaitan dengan struktur protein yang terbentuk. Jika semua faktor tersebut menyebabkan terjadinya denaturasi protein, maka kelarutan dari protein akan menurun.
6. Daya Serap Air (WHC) Daya serap air (water holding capacity) adalah jumlah air yang terperangkap dalam matriks protein pada kondisi tertentu. Daya serap air berhubungan dengan jumlah gugus asam amino polar yang terdapat dalam molekul protein. Gugus asam amino polar, seperti hidroksil, amino, karboksil, dan sulfihidril memberikan sifat hidrofilik bagi molekul protein sehingga dapat menyerap atau mengikat air (Suwarno,2003). Kemampuan protein menyerap air berperan dalam pembentukan tekstur produk pangan. Semakin banyak air yang diserap, maka semakin baik tekstur dan mouthfeel bahan pangan tersebut. Pengikatan air bergantung pada komposisi dan konformasi antara molekul-molekul protein. Interaksi antara air dan gugus hidrofilik dari rantai samping protein dapat terjadi melalui ikatan hidrogen. Jumlah air yang dapat ditahan oleh protein bergantung pada komposisi asam amino, hidrofobisitas permukaan, dan proses pengolahan. Jumlah air yang diikat akan meningkat jika kepolaran protein meningkat (Suwarno, 2003). Beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi daya serap air adalah pH, suhu, dan kekuatan ion. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya perubahan konformasi dan polaritas molekul protein (Hutton dan
Campbell, 1981). Daya serap air oleh protein juga dipengaruhi oleh konsentrasi protein dan adanya komponen lain, seperti polisakarida hidrofilik, lemak, garam, lamanya pemanasan dan kondisi penyimpanan. Semakin tinggi konsentrasi protein dalam suatu bahan pangan, maka daya serap airnya pun semakin baik (Zayas, 1997). Garam dapat berkompetisi dengan protein dalam mengikat air. Konsentrasi garam tinggi dapat menyebabkan dehidrasi protein karena adanya kompetisi antara garam dan
protein sehingga terjadi penekanan lapisan
elektrik di sekeliling molekul protein dan terjadi perubahan konformasi protein, penurunan hidrasi protein, dan pengendapan (Suwarno, 2003). Suhu tinggi dapat mengurangi daya serap air oleh protein. Adanya pemanasan, pemekatan, pengeringan, atau pembentukan tekstur ini dapat mengakibatkan denaturasi protein dan transisi konformasi sehingga terjadi pembukaan rantai polipeptida dan jumlah asam amino polar pada protein berkurang (Zayas, 1997). Namun, pemanasan, agregasi, dan denaturasi tersebut dapat juga menyebabkan perubahan konformasi tertentu sehingga daya serap air meningkat (Hutton dan Campbell, 1981).
7. Daya Serap Minyak Daya serap minyak adalah kemampuan protein untuk menyerap dan menahan lemak. Daya serap minyak suatu protein dipengaruhi oleh sumber protein, ukuran partikel protein, kondisi proses pengolahan, zat aditif lain, suhu, dan derajat denaturasi protein. Ukuran dan tekstur protein yang lebih halus, lebih seragam, dan lebih porous memudahkan penyerapan dan pengikatan minyak. Denaturasi protein dapat meningkatkan daya serap minyak karena terbukanya struktur protein sehingga asam amino non polarnya terpapar. Namun, denaturasi yang berlebihan dapat menurunkan kemampuan protein mengikat lemak karena rusaknya rantai hidrofobik protein (Suwarno, 2003). Kemampuan protein untuk menahan lemak dipengaruhi oleh interaksi antar lipid. Ikatan yang berperan dalam interaksi tersebut adalah ikatan hidrofobik, elektrostatik, ikatan hidrogen, dan ikatan non kovalen. Ikatan
hidrofobik penting untuk stabilitas kompleks lipid-protein. Interaksi antara protein dengan anion asam lemak dapat mengubah struktur protein dengan cara menurunkan ikatan hidrofobik intramolekul. Daya serap minyak suatu protein tergantung pada strukturnya. Struktur yang bersifat lipolitik dengan kandungan cabang protein nonpolar yang lebih dominan, berkontribusi terhadap peningkatan daya serap minyak (Lin et al., 1974). Daya serap minyak bermanfaat dalam aplikasi protein pada produk daging sintetis dan berperan penting dalam memperbaiki karakteristik citarasa (Suwarno, 2003).
8. Aktivitas dan Stabilitas Emulsi Emulsi adalah dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan lain, di mana molekul kedua cairan ini tidak saling berbaur, tetapi saling antagonis. Tiga bagian utama dalam suatu sistem emulsi adalah bagian pendispersi juga dikenal sebagai continuous phase yang biasanya berupa air, bagian terdispersi yang biasanya terdiri dari butiran-butiran lemak, serta bagian emulsifier yang berfungsi menjaga agar butir-butir lemak tetap tersuspensi dalam air (Winarno, 1997). Daya kerja emulsifier dipengaruhi oleh bentuk molekul yang dapat terikat, baik pada air (polar) dan pada minyak (non polar). Emulsi minyak dalam air (O/W) terjadi bila emulsifier lebih terikat pada air (polar), sedangkan emulsi air dalam minyak (W/O) terjadi bila emulsifier lebih terikat pada minyak (non polar) (Winarno, 1997). Sifat emulsifikasi protein dipengaruhi oleh laju adsorbsi antarmuka minyak-air, jumlah protein teradsorbsi, serta kemampuan untuk membentuk sebuah film yang kental, kohesif, dan kontinyu melalui interaksi kovalen dan non kovalen (Widowati et al., 1998). Selain itu, sifat emulsi suatu protein juga dipengaruhi oleh desain peralatan yang digunakan, suhu minyak, dan suhu larutan protein (Zayas, 1997). Daya emulsi bergantung pada bentuk, hidrasi grup polar, hidrofobisitas molekul dan muatan. Emulsi yang stabil terbentuk karena protein yang larut dan dapat teradsorbsi dalam lapisan, serta memiliki grup-grup bermuatan yang
terdistribusi merata dan mampu membentuk film yang kohesif dan kuat (Zayas, 1997). Daya dan stabilitas emulsi suatu protein disebabkan oleh aktivitasnya yang menyerupai surfaktan, yaitu kemampuan untuk mengurangi tegangan permukaan antara komponen hidrofobik dan hidrofilik (Macritche, 1978). Selain itu, protein juga memiliki kemampuan untuk membentuk lapisan permukaan penyerap yang menyelubungi droplet minyak sehingga dapat menahan minyak dan membentuk emulsi minyak dalam air yang stabil. Perbandingan jumlah asam amino hidrofilik-lipofilik yang seimbang sangat menentukan kemampuan protein dalam membentuk emulsi karena dapat menurunkan tegangan interfasial. Protein hidrofilik-lipolitik dapat teradsobsi pada interfasial minyak-air dengan mekanisme lipofilik dengan berikatan pada sisi minyak atau dengan mekanisme hidrofilik yaitu dengan berikatan dengan fase air (Zayas, 1997). Protein teradsorbsi dapat
menurunkan tegangan permukaaan atau
interfasial sehingga dapat memfasilitasi pembentukan emulsi. Protein globular dengan hidrofobisitas permukaan tinggi, seperti lisozim, ovalbumin, dan protein whey, akan mengalami peningkatan daya emulsi dengan pemanasan sedang dan strukturnya sedikit terbuka (Zayas, 1997). Beberapa faktor yang mempengaruhi stabilitas emulsi antara lain: (1) tegangan permukaan antara dua fase, (2) karakteristik lapisan penyerap antara dua fase, (3) muatan pada globular, (4) perbandingan antara ukuran dan permukaan globular dengan volumenya, (5) perbandingan antara berat dengan volume fase terdispersi dan pendispersi, dan (6) viskositas fase pendispersi (Morr, 1981). Indikator kapasitas emulsi adalah kelarutan dan hidrofobisitas. Kapasitas emulsi berhubungan dengan kelarutan protein (Volkert dan Klein , 1979). Semakin tinggi kelarutan suatu protein, maka kemampuannya untuk membentuk lapisan yang menyelubungi droplet minyak juga semakin tinggi sehingga aktivitas emulsinya meningkat. 9. Gelasi Gel adalah suatu gejala agregasi protein, yaitu terjadinya interaksi antara polimer-polimer dan polimer-pelarut di mana gaya tarik-menarik dan
tolak-menolak seimbang sehingga terbentuk matriks yang dapat menarik air dalam jumlah besar (Schmidt, 1981). Daya gelling adalah kemampuan protein dalam membentuk suatu jaringan kohesif yang kaku dan dapat mengikat air. Daya gelling dipengaruhi oleh interaksi antara protein-protein dan juga interaksi antara protein dan air (Cheftel et al., 1985). Gelasi adalah salah satu sifat protein yang berkaitan dengan penarikan air dari lingkungan oleh molekul-molekul protein. Sifat ini berperan dalam pembentukan dan pengendapan matriks protein. Gel protein merupakan hasil dari interaksi intermolekuler yang menghasilkan jaringan tiga dimensi seratserat protein. Gel dibentuk saat protein membuka sebagian, mengembangkan segmen polipeptida terurai yang berinteraksi pada titik-titik spesifik untuk membentuk jaringan ikatan silang tiga dimensi. Cairan dapat mencegah pembentukan jaringan tiga dimensi dengan collapsing (melipat). Sifat-sifat tekstural gel ditentukan oleh interaksi protein-protein, protein-pelarut, dan fleksibilitas rantai-rantai polipeptida. Interaksi protein-protein yang sangat kuat akan mengakibatkan jaringan tiga dimensi melipat dan air akan keluar dari struktur (Suwarno, 2003). Mekanisme pembentukan gel karena pemanasan terjadi dalam dua tahap, yaitu tahap asosiasi dan agregasi yang mengakibatkan terbentuknya formasi gel pada kondisi yang sesuai. Suhu gelasi bergantung pada karakter dan konsentrasi protein. Waktu dan suhu pemanasan umumnya berkurang dengan meningkatnya konsentrasi protein. Peningkatan suhu ini juga dapat menyebabkan kekeruhan gel (Schmidt, 1981). Pembentukan gel adalah hasil dari ikatan hidrogen, interaksi ionik dan hidrofobik, gaya Van der Walls, serta ikatan disulfida kovalen. Gel dengan kekuatan dan stabilitas tinggi terbentuk karena ikatan silang yang memberi fluiditas, elastisitas, dan perilaku aliran gel (Zayas, 1997). Selain itu, gel yang lebih teguh juga dihasilkan dengan meningkatnya konsentrasi protein sehingga lebih banyak air yang dapat diikat oleh protein (Suwarno, 2003). Gelasi merupakan sifat hidrasi yang dipengaruhi oleh konsentrasi protein, pH, komponen lain, dan perlakuan panas yang dialami (Damodaran dan Kinsella, 1982). Kekeruhan gel akan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi
protein, namun dengan rendahnya konsentarsi protein gel terbentuk dalam waktu pemanasan yang lebih lama (Schmidt, 1981). Penurunan pH dari pH tinggi ke pH netral juga dapat menyebabkan terjadinya perubahan aktivitas molekul protein sehingga kemampuan membentuk gel dan kemampuan aktivasi ikatan sulfihidril yang penting dalam agregasi pun berubah. Ukuran agregat yang terbentuk akan semakin kecil dengan naiknya pH dari 5 menjadi 10 karena adanya gaya tolak-menolak antara molekul protein meningkat (Suwarno, 2003).
10. Kapasitas dan Stabilitas Buih Buih adalah struktur terdispersi di mana cairan koloid seperti larutan protein bertindak sebagai medium pendispersi dan gas sebagai fase terdispersi. Mekanisme
pembentukan
buih
diawali
dengan
terbukanya
ikatan
intramolekuler protein sehingga rantai protein memanjang, kemudian udara masuk di antara molekul protein yang terbuka dan bertahan sehingga protein mengembang (Cherry dan Watters, 1981). Buih adalah campuran kompleks yang terdiri dari gas, cairan, padatan, dan surfaktan. Kapasitas busa suatu protein sangat kritis dalam aplikasi pangan, protein dari sumber yang berbeda memiliki kemampuan yang berbeda pula dalam menstabilkan busa karena perbedaan komposisi, konformasi, fleksibilitas molekuler, dan sifat-sifat fisikokimianya (Elizade et al., 1991). Buih terbentuk dengan tiga tahapan utama, yaitu: (1) difusi protein globular yang larut ke antarfase udara atau air sehingga terjadi konsentrasi protein dan tegangan permukaannya berkurang, (2) pembukaan protein antarfase dengan orientasi molekul polar ke air, dan (3) interaksi polipeptida membentuk lapisan antarmuka. Daya buih suatu protein bergantung pada kemampuannya membentuk lapisan yang kohesif, elastis, dan fleksibel, serta kemampuannya memerangkap dan menahan udara, serta tahan terhadap perlakuan mekanik. Terbukanya konformasi protein-protein di antara fase udara atau air akan memaparkan bagian hidrofobiknya sehingga memicu akselerasi asosiasi polipeptida antarfase dan membentuk lapisan kontinyu yang kohesif (Suwarno, 2003).
Daya buih protein menunjukkan kemampuan produksi suatu area permukaan dari buih per unit berat protein dan kemampuan protein untuk menstabilkan lapisan permukaan tersebut. Foaming agent harus memiliki sifat-sifat menstabilkan buih secara cepat dan efektif pada konsentrasi rendah, efektif pada berbagai kisaran pH pangan, dan efektif dalam media dengan foam inhibitor, seperti alkohol, lemak, dan bahan-bahan flavor. Foam inhibitor adalah bahan tidak larut air yang dapat mengganggu lapisan protein pada
gelembung-gelembung
udara
(Suwarno,
2003).
Lemak
dapat
melemahkan interaksi antara protein-protein dengan mengganggu permukaan hidrofobik (Zayas, 1997). Daya buih dipengaruhi oleh sumber protein alami, metode dan proses, termasuk di dalamnya adalah proses pembuatan konsentrat protein, pH, konsentrasi protein, suhu dan waktu pembuihan, serta metode pembuihan. Daya buih meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi protein karena terjadi peningkatan ketebalan lapisan pada interfasial, stabilitas buih maksimal diperoleh saat elastisitas permukaan juga maksimal (Suwarno,2003). Kapasitas dan stabilitas buih suatu protein dipengaruhi oleh kelarutan protein, laju difusinya ke arah permukaan, dan penyerapannya. Faktor-faktor tersebut bergantung pada sifat-sifat hidrofobik, orientasi, asosiasi polipeptida, viskoelastisitas, kesetimbangan agregasi-konjugasi, muatan permukaan, dan hidrasi. Selain itu, kapasitas dan stabilitas buih juga dipengaruhi oleh pH, suhu, garam, gula, lemak, dan sumber protein. Kapasitas dan stabilitas buih bertambah dengan meningkatnya konsentrasi protein. Buih yang terbentuk pada konsentrasi tinggi bersifat padat dan stabil karena lapisan yang terbentuk tebal (Kinsella dan Damodaran, 1981). Stabilitas buih dipengaruhi oleh ketebalan lapisan yang terbentuk, kekuatan mekanis, interaksi protein, serta faktor lingkungan, seperti pH dan suhu. Lapisan dengan viskositas permukaan yang tinggi membentuk busa yang kuat sebagai hasil dan gaya kohesif antar molekul protein.
III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji kecipir yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Sayuran Bandung. Bahan kimia yang diperlukan untuk ekstraksi protein dan analisis ialah heksana, HCl 1 N, NaOH 1 N, air destilata, minyak kedelai, K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, NaOH-Na2S2O3 pekat, H3BO3, HCl 0.02 N, batu didih, indikator metil merah serta metil biru, HCl 6 N, kertas saring, kapas, HCl 0.01 N, NaOH 0.01 N, larutan pengering (metanol, picolotiocianat, trietilamin), larutan derivatisasi (metanol, natrium asetat, trietilamin), asetonitril 60%, buffer natrium asetat 1M, natrium karbonat, NaOH 0.1N, Na K tartarat 1%, dan CuSO4. Alat yang digunakan dalam pembuatan sampel konsentrat protein biji kecipir adalah antara lain abrasive peeler, oven pengering, pin disc mill, mini spray dryer BUCHI B190, sentrifus, loyang, panci, wadah perendam, dan saringan 60 mesh. Alat yang dibutuhkan untuk analisis adalah Chromameter CR200 Minolta, tanur, alat ekstraksi Soxhlet, alat destilasi, labu Kjeldahl 100 ml, neraca analitik, HPLC dengan kolom pico tag 3.9 x 150 mm, water bath, refrigerator, waring blender, spektrofotometer Spectronic 20D+, pHmeter Orion model 210A, cawan aluminium, desikator, cawan porselen, sudip, pipet tetes, pipet Mohr, alat destilasi, labu lemak, gelas piala, gelas arloji, gelas ukur 10 ml, tabung reaksi, labu Erlenmeyer 250 dan 500 ml, batang gelas, magnetic stirer, tabung sentrifus, vorteks, tabung reaksi bertutup, dan hot plate.
B. METODE PENELITIAN Metode penelitian dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu: (1) pembuatan tepung biji kecipir rendah lemak, (2) penentuan pH kelarutan maksimum dari protein biji kecipir (3) penentuan metode pengeringan konsentrat protein biji kecipir, (4) pembuatan konsentrat protein biji kecipir, (5) analisis proksimat, (6) analisis sifat fisikokimia, dan (7) analisis sifat fungsional protein.
1. Pembuatan Tepung Biji Kecipir Rendah Lemak Pembuatan tepung biji kecipir dilakukan dengan merendam biji kecipir selama 24 jam, kemudian direbus selama 30 menit lalu dilakukan pengupasan. Setelah itu dikeringkan dalam oven 50oC selama 9-11 jam. Biji kemudian ditepungkan dengan pin disc mill dan diayak pada saringan 60 mesh. Untuk menghilangkan sebagian lemak pada tepung, dilakukan ekstraksi lemak dengan menggunakan metode maserasi heksana. Proses maserasi dengan heksana dilakukan pada suhu ruang selama 2 jam dengan perbandingan 1:5 sesuai dengan percobaan yang dilakukan oleh Handoko (2000). Tahapan lengkap pembuatan tepung kecipir rendah lemak dapat dilihat pada Gambar 4 berikut. Biji kecipir Direndam dalam air selama 24 jam Direbus 70-80oC selama 30 menit Dikupas dengan abrasive peeler
Dikeringkan dalam oven 50oC selama 9-11 jam Ditepungkan dengan pin disc mill Diayak 60 mesh Diekstraksi lemaknya dengan maserasi heksana (1:5) selama 2 jam pada suhu ruang Dikeringkan 50oC selama 5 jam untuk menghilangkan sisa heksana
Tepung kecipir rendah lemak Gambar 4. Pembuatan Tepung Biji Kecipir Rendah Lemak
2. Penentuan Titik Kelarutan Maksimum dari Protein Biji Kecipir Titik kelarutan maksimum dari protein biji kecipir perlu ditentukan untuk efisiensi proses ekstraksi protein. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Erlina et al. (1982), kelarutan maksimum dari protein biji kecipir adalah pH 6.37, sedangkan berdasarkan penelitian Okezie dan Bello (1989), kelarutan
protein maksimum berkisar antara pH 10 dan 12. Oleh karena itu akan diuji kelarutan protein kecipir pada ketiga pH tersebut dan diukur rendemennya. Percobaan ini diujicobakan dengan melarutkan tepung kecipir rendah lemak pada ketiga pH tersebut, lalu protein terlarut dipisahkan dan diendapkan pada pH isoelektriknya. Protein yang mengendap dipisahkan dan dikeringkan dengan menggunakan spray dryer, lalu rendemen protein dari tepung dihitung dan dibandingkan. Rendemen protein yang tertinggi menggambarkan titik kelarutan maksimum dari protein biji kecipir.
3. Penentuan Metode Pengeringan Konsentrat Protein Biji Kecipir Sebelum konsentrat protein diproduksi, dilakukan penelitian untuk menentukan metode pengeringan konsentrat. Parameter warna adalah parameter yang cukup penting dalam penerimaan suatu produk. Oleh karena itu, diperlukan pemilihan metode pengeringan yang tepat agar diperoleh warna konsentrat protein yang dapat diaplikasikan pada berbagai jenis produk. Penelitian pendahuluan ini mengujicobakan 4 jenis pengeringan, yaitu pengeringan dengan oven vakum, oven biasa, rumah kaca dan spray dryer. Metode pengeringan akan dipilih berdasarkan warna konsentrat protein yang telah dikeringkan. Protein yang telah diendapkan pada pH isoelektriknya dikeringkan dengan empat jenis pengering dan dibandingkan warnanya secara objektif dengan menggunakan kromameter MINOLTA CR-200. Metode pengeringan yang dibandingkan adalah pengeringan dengan oven pada suhu 50oC, pengeringan dengan oven vakum pada suhu 70oC dan tekanan 60 psi, spray dryer dengan suhu outlet 80oC, serta rumah kaca yang bersuhu antara 5070oC.
4. Pembuatan Konsentrat Protein Biji Kecipir Pembuatan konsentrat protein biji kecipir ini dilakukan dengan merujuk pada salah satu metode pembuatan konsentrat protein menurut Lusas dan Rhee (1995), yaitu dengan menggunakan titik isoelektrik dari protein kecipir agar kemudian proteinnya mengendap dan dapat dipisahkan dengan sentrifus.
Prinsip pembuatan konsentrat protein biji kecipir adalah melarutkan tepung biji kecipir pada pH kelarutan protein maksimum, kemudian protein diendapkan pada pH isoelektriknya dan dikeringkan. Menurut Erlina (1982), titik isoelektrik kecipir terdapat pada rentang pH 3.87-4.87, sedangkan pada penelitian Okezie dan Bello (1988) titik isoelektrik yang digunakan ialah pH 4. Proses pelarutan protein dilakukan pada pH yang menghasilkan rendemen protein terbesar yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu pada pH 10. Proses recovery dilakukan untuk mengekstrak protein yang masih terkandung dalam residu awal. Residu awal dilarutkan kembali proteinnya dan digabungkan dengan filtrat yang telah diendapkan. Campuran filtrat larutan tersebut diendapkan proteinnya, dipisahkan dari filtratnya dan dikeringkan. Pengeringan dengan spray dryer dilakukan berdasarkan percobaan sebelumnya yang menunjukkan bahwa pengeringan dengan spray dryer menghasilkan konsentrat dengan derajat putih yang paling tinggi. Secara lengkap, proses pembuatan konsentrat protein ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Tepung kecipir rendah lemak Dilarutkan dalam air destilata dengan perbandingan 1:10
Protein dilarutkan pada pH 10 dengan NaOH 1N Dipanaskan suhu 50oC selama 1 jam dengan pengadukan
@
Gambar 5. Pembuatan Konsentrat Protein Biji Kecipir @ Filtrat
Residu
Filtrat diendapkan di refrigerator semalaman
Dilarutkan lagi dengan air destilata dengan jumlah sama seperti sebelumnya
Filtrat diambil
Protein dilarutkan lagi pada pH 10 dengan NaOH 1N
Gambar 5. Pembuatan Konsentrat Protein Biji Kecipir
5. Analisis Proksimat Penelitian utama yang dilakukan adalah analisis proksimat, sifat fisikokimia dan sifat fungsional dari konsentrat protein kecipir yang sudah diproduksi sebelumnya. a. Analisis Kadar Air Metode Oven (SNI 01-2891-1992) Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Cawan ditimbang menggunakan neraca analitik. Sampel sebanyak 1-2 gram dimasukkan ke dalam cawan, kemudian cawan serta sampel ditimbang dengan neraca analitik. Cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 3 jam. Selanjutnya cawan berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Penimbangan diulangi hingga diperoleh bobot konstan (selisih bobot ≤ 0.0005 gram). Perhitungan : Kadar air (g/100 g bahan basah) = W – (W1-W2) x 100 W Kadar air (g/100 g bahan kering) = W – (W1-W2) x 100 W1-W2
Keterangan : W= bobot contoh sebelum dikeringkan (g) W1= bobot contoh + cawan kering kosong (g) W2= bobot cawan kosong (g)
b. Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl Mikro (AOAC 960.52 yang dimodifikasi) Sejumlah kecil sampel (100-250mg) ditimbang dan dipindahkan ke dalam labu Kjedahl. Setelah itu, ditambahkan 1.0 ± 0.1 gram K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, dan 2.0 ± 0.1 ml H2SO4. Dua sampai tiga butir batu didih dimasukkan ke labu Kjedahl dan dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Setelah cairan jernih, labu Kjedahl yang berisi sampel didinginkan dan ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan ke dalamnya, kemudian didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi kemudian dicuci dan bilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air destilata. Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran dua bagian metil merah 0.2% dalam alkohol dan satu bagian metilen biru 0.2% dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H3BO3 kemudian di tambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3 dan dilakukan destilasi sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam erlenmeyer. Setelah itu, tabung kondensor dibilas dengan air dan bilasannya ditampung dalam erlenmeyer yang sama. Selanjutnya isi erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml dan kemudian ditritasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Penentuan protein pun dilakukan untuk blanko. Cara perhitungan kadar protein : Kadar N (%) = (ml HCl contoh- ml HCl blanko)x N HCl x 14.007 x 100% mg contoh Kadar protein (%) = %N x faktor konversi
c. Analisis Kadar Lemak Metode Soxhlet (SNI 01-2891-1992) Labu lemak yang akan digunakan dalam alat ekstraksi Soxhlet dikeringkan di dalam oven, lalu didinginkan di dalam desikator kemudian
ditimbang. Selongsong kertas saring yang berisi contoh dengan kapas dikeringkan pada suhu 80oC selama ± 1 jam. Selongsong kertas tersebut dimasukkan ke dalam alat Soxhlet yang telah dihubungkan ke labu lemak. Ekstraksi lemak dengan heksana dilakukan selama ± 6 jam. Selanjutnya, labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan di dalam oven pada suhu 105°C. Setelah itu didinginkan di dalam desikator, kemudian ditimbang hingga bobotnya tetap. Cara perhitungan kadar lemak: Kadar lemak (g/100 g bahan basah) = (W1-W2) x 100 W Kadar lemak (g/100 g bahan kering) = kadar lemak (%BB) x 100 (100-kadar air (%BB)) Keterangan : W = Bobot sampel (g) W1= Bobot labu lemak + lemak hasil ekstraksi (g) W2= Bobot labu lemak kosong (g)
d. Analisis Kadar Abu (SNI 01-2891-1992) Cawan pengabuan dikeringkan dalam oven 105oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel sebanyak 2-3 gram ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian cawan yang berisi sampel padat diarangkan dahulu sebelum dimasukkan ke dalam tanur. Pengabuan dilakukan dalam tanur pada suhu maksimum 5500C hingga pengabuan sempurna. Cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang dengan neraca analitik hingga bobotnya tetap. Perhitungan : Kadar abu (g/100 g bahan basah) = (W1-W2) x 100 W Kadar abu (g/100 g bahan kering) = kadar abu (%BB) x 100 (100-kadar air (%BB)) Keterangan : W = Bobot sampel sebelum diabukan (gram) W1= Bobot cawan + sampel setelah diabukan (gram) W2= Bobot cawan kosong (gram)
e. Analisis Kadar Karbohidrat by difference Kadar karbohidrat (%) = 100 % - {% ( kadar protein + lemak + air + abu)}
6. Analisis Sifat Fisikokimia a. Analisis Warna dan Derajat Putih dengan Chromameter Minolta CR200 (modifikasi Hutching, 1999) Pengukuran dilakukan dengan meletakkan sampel di dalam wadah sampel yang sudah tersedia dan selanjutnya dilakukan pengukuran pada skala nilai L, a, b. Selanjutnya dihitung nilai derajat putih dengan persamaan: Derajat putih = 100 - √{(100-L)2 + (a2+ b2)}
b. Particle Size Index (PSI) (modifikasi Bejarano et al., 2007) Sampel sebanyak 5 gram diayak menggunakan ayakan dalam berbagai ukuran (mesh) yaitu 40 mesh (420 µm), 60 mesh (318 µm), 80 mesh (180 µm), dan 100 mesh (150 µm). Sampel diayak menggunakan alat selama 10 menit. Material yang tersisa dalam ayakan dinyatakan dalam percent over. PSI = Σ aibi Keterangan : ai = percent over pada ayakan bi= koefisien relatif ayakan (40, 60, 80, 100 mesh dinyatakan dalam 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0)
c. Densitas Kamba (ρA) (Okezie dan Bello, 1988) Sampel dimasukkan ke dalam sebuah gelas ukur 10 ml yang telah diketahui beratnya. Gelas ukur yang telah dimasukkan sampel diketuk-ketukkan ke meja > 30 kali hingga tak ada lagi rongga ketika sampel ditepatkan menjadi 10 ml. Gelas ukur yang berisi sampel tersebut kemudian ditimbang. Densitas kamba dapat dihitung dari hasil pembagian berat sampel dengan volumenya (10 ml). Pengukuran densitas kamba dilakukan dua kali ulangan. Densitas kamba (g/ml) = (a-b) x 100% 10 Keterangan : a = berat gelas ukur berisi 10 ml sampel (g) b = berat gelas ukur kosong (g) d. Komposisi Asam Amino (AOAC 982.30) Sebanyak 0.25-0.5 gram sampel konsentrat protein biji kecipir ditimbang dan dimasukkan ke dalam tabung 25 ml untuk ditambahkan 5-10 ml
HCl 6 N (khusus untuk asam amino triptofan, HCl diganti dengan NaOH). Lalu sampel tersebut dipanaskan selama 24 jam pada suhu 100oC, kemudian disaring. Sampel diambil sebanyak 30 ml dan ditambahkan larutan pengering (metanol, picolotiocianat, dan trietilamin). Sampel dikeringkan dengan pompa vakum dan ditambahkan lagi dengan 30 ml larutan derivatisasi (metanol, natrium asetat, dan trietilamin). Sampel didiamkan 20 menit, kemudian ditambahkan 200 ml natrium asetat sebelum diinjek ke alat HPLC. Kolom HPLC yang digunakan adalah kolom pico tag 3.9x150 mm dengan fase gerak asetonitril 60% dan buffer natrium asetat 1M. Detektor yang digunakan adalah detektor UV dengan panjang gelombang 254 nm. Kadar asam amino dihitung dengan rumus berikut: Kadar asam amino = Luas area contoh x konsentrasi standar x BM x FK x 100 Luas area standar bobot sampel Keterangan: BM= Berat molekul asam amino FK = Faktor konversi
7. Analisis Sifat Fungsional a. Protein solubility (Sathe et al., 1982) Tahap ini dilakukan untuk mengetahui profil kelarutan protein biji kecipir pada berbagai pH. Profil mengenai kelarutan protein ini penting untuk diketahui karena berpengaruh terhadap sifat fungsional protein lainnya (Zayas, 1997). Kelarutan protein ini dapat diamati dengan melarutkan 10 mg sampel ke dalam 10 ml air, lalu pH larutan ditepatkan. Larutan disentrifus dan supernatan diambil untuk dianalisis konsentrasi protein terlarutnya dengan metode Lowry. Pengujian dilakukan dua ulangan. 10 mg konsentrat protein biji kecipir dilarutkan dalam 10 ml air
Larutan tersebut ditepatkan pH 2-12 dengan menggunakan HCl dan NaOH 1N Disentrifus dengan kecepatan 4000 rpm selama 20 menit pada suhu ruang 0.5 ml supernatan diambil dan ditambahkan 3.5 ml akuades Ditambahkan 5.5 ml pereaksi Lowry*
Divorteks dan disimpan 15 menit pada suhu ruang
Ditambahkan 0.5 ml Folin Ciocalteu
Divorteks dan disimpan 30 menit pada ruang gelap hingga warna biru terbentuk
Absorbansi protein terlarut diukur pada panjang gelombang 650 nm
Nilai absorbansi dimasukkan ke persamaan kurva standar untuk diketahui konsentrasi protein terlarut
Gambar 6. Penentuan Kurva Protein Solubility
*Pereaksi Lowry adalah campuran 50 ml NaOH 0.1 N yang mengandung 2% Natrium karbonat dan 1 ml Na-K-tartarat yang mengandung CuSO4 5%.
b. Daya Serap Air (WHC) (Sathe et al., 1982) Sebanyak 1 g sampel dan 10 ml air destilata dimasukkan ke dalam tabung sentrifus kemudian dikocok dengan vorteks selama dua menit. Campuran kemudian didiamkan selama satu jam pada suhu ruang, kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 25 menit. Filtrat dipisahkan secara hati-hati dan diukur dengan gelas ukur 10 ml untuk diketahui volum air bebas yang tidak terikat. Pengukuran daya serap air dilakukan dua kali ulangan, di mana densitas air diasumsikan 1 g/ml. Daya serap air dapat dihitung dengan persamaan berikut. Daya Serap Air (g/g) = (10 ml – volum air tidak terikat (ml)) x densitas air berat sampel kering c. Daya Serap Minyak (Chakraborty, 1986 dalam Zheng et al, 2007) Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan ditambahkan 10 ml minyak kedelai. Campuran tersebut dikocok dengan vorteks selama 30 detik dan didiamkan selama 30 menit pada suhu ruang. Setelah itu,
disentrifus pada kecepatan 3600 rpm selama 20 menit. Supernatan dituang ke gelas ukur 10 ml dan diamati volum minyak bebas. Pengukuran dilakukan dua kali ulangan, di mana densitas minyak kedelai diasumsikan sebesar 0.88 g/ml (Sathe et al, 1982). Daya serap minyak dihitung dengan persamaan berikut. Daya Serap Minyak = (10 ml – volum minyak bebas (ml)) x densitas minyak (g/g) berat sampel d. Aktivitas dan Stabilitas Emulsi (modifikasi Franzen & Kinsella, 1976) Pengukuran aktivitas emulsi dilakukan dengan mencampur sebanyak 0.25g sampel dan 25 ml air. Sebanyak 25 ml larutan sampel ditambah 25 ml minyak kedelai. Campuran didispersikan dengan blender selama 1 menit, lalu diambil sebanyak 5 ml untuk ditepatkan pHnya sambil diaduk dengan magnetic stirer. Kemudian disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit sehingga volume emulsi dapat diukur. Aktivitas emulsi dapat dihitung dengan persamaan berikut Aktivitas Emulsi (%) = volum campuran teremulsi x 100% volum total dalam tabung Pengamatan juga dilakukan pada aktivitas emulsi setelah dilakukan pemanasan terhadap sampel. Larutan sampel dan minyak yang sudah didispersikan, dipanaskan 80oC selama 30 menit (Neto et al., 2001 dalam Lawal et al., 2007), disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit dan diamati lagi volume emulsinya. Untuk mengamati stabilitas emulsi selama waktu tertentu, emulsi yang sudah terbentuk disimpan selama beberapa lama pada suhu ruang. Volume emulsi diamati pada jam ke-0.5, 1, 2, 4, 6 kemudian dicatat dan dibuat kurva kestabilan emulsinya (Okezie dan Bello, 1988). Percobaan kapasitas dan stabilitas emulsi ini dilakukan pada pH 2, 4, 6, 8, dan 10 sebanyak dua kali ulangan.
e. Daya Gelasi (Coffman dan Garcia, 1977) Suspensi sampel dengan konsentrasi 6-20% disiapkan dan ditepatkan pHnya. Suspensi sampel lalu dipanaskan pada suhu 80oC selama 30 menit dan setelah diangkat dialiri dengan air mengalir. Setelah mencapai suhu ruang, suspensi ditaruh di refrigerator bersuhu 4oC selama 1 jam. Berdasarkan
penelitian Okezie dan Bello (1988), gel dapat terbentuk dengan pemanasan minimal 80oC 30 menit yang diikuti oleh pendinginan 4oC selama 1 jam. Kekuatan
gel
yang
terbentuk
diukur
secara
kualitatif
dan
dicatat
penampakannya. Pengukuran sifat gelasi ini dilakukan dua ulangan. Skala yang digunakan untuk pengukuran gel adalah: 0 = gel tidak terbentuk 1 = gel sangat lemah, gel jatuh bila dimiringkan 2 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik vertikal 3 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik vertikal dan dihentak sekali 4 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik dan dihentak > 5 kali
f. Kapasitas dan Stabilitas Buih (Coffman dan Garcia, 1977) Sebanyak 2 g sampel dilarutkan dalam 20 ml akuades dan dihomogenkan dengan magnetic stirer selama ± 1 menit. Larutan tersebut kemudian diatur pHnya dan dikocok dengan waring blender selama 2 menit. Volume busa sebelum dan sesudah dikocok dicatat, kemudian kapasitas buih dihitung dengan persamaan berikut: Kapasitas Buih (%) = volum busa sesudah dikocok x 100% volum awal larutan protein Studi terhadap kapasitas buih ini dilakukan pada pH 4, 7 dan 10 sebanyak 2 kali ulangan. Selain itu juga diamati stabilitas buih pada jam ke-0.5, 1, 1.5, 2, 3, 4 dan dibuat kurva stabilitas buih terhadap waktu.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pembuatan Tepung Biji Kecipir Rendah Lemak Tahap pembuatan tepung ini adalah tahap yang umumnya dilakukan sebelum tahap pembuatan konsentrat. Tahap penepungan ini sangat penting untuk mempermudah proses ekstraksi protein karena luas permukaan yang semakin besar. Terdapat beberapa tahap dalam pembuatan tepung ini, di antaranya adalah tahap pengupasan kulit biji kecipir dan tahap ekstraksi lemak. Dengan adanya pengupasan kulit sebagian besar serat dapat dibuang, sedangkan pada tahap ekstraksi lemak, lemak dapat dikurangi. Penggunaan tepung bebas lemak sangat penting pada tahap pembuatan konsentrat karena lemak dapat membentuk kompleks dengan protein dan menghambat proses ekstraksi protein pada tahap berikutnya (Leimena, 2000). Tahap pengupasan dilakukan dengan metode pengupasan basah, meliputi perendaman dalam air selama 24 jam dan perebusan selama 30 menit. Menurut penelitian Sambudi dan Buckle (1991), dengan perendaman dan perebusan tersebut, kulit kecipir dapat dikupas dengan cukup mudah, enzim lipoksigenase dapat dihilangkan dengan adanya pemanasan, dan sifat fungsional dari protein tersebut dapat ditingkatkan, terutama daya serap airnya. Tahap ekstraksi lemak dilakukan berdasarkan percobaan Handoko (2000), di mana perbandingan bahan dan heksana yang digunakan adalah 1:5 dengan waktu ekstraksi selama 2 jam. Pelarut heksana adalah pelarut non polar yang umum digunakan untuk produksi konsentrat ataupun isolat protein. Pelarut heksana ini harus diuapkan setelah proses ekstraksi lemak untuk meminimumkan residu heksana pada produk akhir. European Union (2009) menetapkan limit residu maksimum untuk beberapa produk defatted dan produk pekatan protein kedelai yang biasa dijual sebagai produk akhir untuk konsumen. Nilai limit maksimum residu heksana untuk produk pekatan protein kedelai adalah 30 ppm, sedangkan untuk produk defatted adalah 10 ppm.
Dalam tahap ekstraksi lemak ini ukuran bahan perlu diperhatikan. Ukuran bahan yang tepat akan menjadikan proses ekstraksi lemak efisien dan tidak memakan waktu yang lama. Apabila ukuran bahan terlalu halus, bahan akan menggumpal sehingga akan sulit ditembus pelarut, sebaliknya jika ukuran bahan terlalu besar, proses ekstraksi akan berlangsung lama (Moestafa, 1981). Oleh karena itu, dipilih ukuran 60 mesh karena jika ukuran bahan di atas 50 mesh sebenarnya tidak akan memberikan dampak yang nyata pada perbedaan kadar lemak yang terekstraksi (Handoko, 2000). Berdasarkan penelitian Handoko (2000), ekstraksi lemak selama 2 jam adalah waktu yang optimum, karena setelah waktu 2 jam, pelarut heksana akan menjadi jenuh dan tidak mampu lagi melarutkan lemak. Berikut ini dapat dilihat hasil analisis proksimat dari tepung kecipir rendah lemak (Tabel 4). Tabel 4. Komposisi Tepung Biji Kecipir Rendah Lemak Analisis Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar protein (%) Kadar lemak (%) Kadar karbohidrat (%)
Berat basah 7.19 4.22 40.72 5.26 42.61
Berat kering 7.75 4.54 43.87 5.67 45.91
FAO menggolongkan tepung kedelai ke dalam beberapa kelas berdasarkan kadar lemak yang terkandung (FAO, 2009). Tepung kedelai dapat digolongkan sebagai tepung kedelai rendah lemak jika kandungan lemaknya berkisar antara 4.5%-9%. Jika dilihat dari kadar lemak yang terkandung dalam tepung kecipir (5.67%), tepung kecipir yang dihasilkan dapat digolongkan sebagai tepung rendah lemak.
Gambar 7. Tepung Kecipir Rendah Lemak
2. Penentuan Titik Kelarutan Maksimum dari Protein Biji Kecipir Nilai pH sangat berpengaruh terhadap proses ekstraksi protein. Protein memiliki sifat kelarutan yang berbeda pada berbagai tingkatan pH yang berbeda. Prinsip dari proses pembuatan konsentrat protein adalah dengan mengurangi dan menghilangkan komponen lain seperti karbohidrat, lemak dan serat sehingga kadar proteinnya meningkat (Lusas dan Rhee, 1995). Secara garis besar, konsentrat protein dibuat dengan melarutkan protein pada pH kelarutan protein tertinggi, lalu protein terlarut tersebut dipisahkan dan diendapkan pada pH isoelektriknya. pH isoelektrik ditentukan berdasarkan studi literatur, di mana Sathe et al (1982), Okezie dan Bello (1988) menyebutkan bahwa titik isoelektrik protein kecipir adalah pH 4. Nilai pH kelarutan protein biji kecipir perlu ditentukan karena beberapa sumber menyatakan perbedaan titik kelarutan maksimum dari protein kecipir. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Erlina et al. (1982), kelarutan maksimum dari protein biji kecipir adalah pH 6.37, sedangkan berdasarkan penelitian Okezie dan Bello (1989), kelarutan protein maksimum berkisar antara pH 10 dan 12. Kelarutan protein yang tinggi akan menghasilkan rendemen protein yang tinggi pula. Berikut ini dapat dilihat perbandingan rendemen protein terekstrak pada pH yang berbeda.
Rendemen (%)
5
3.88 b
4 3 2 1
2.68 a,b
0.615 a
0 6.37
10
12
Nilai pH Gambar 8. Rendemen Konsentrat pada Berbagai Nilai pH Ekstraksi
Gambar 8 menunjukkan bahwa pada selang kepercayaan 95%, rendemen pada pH 6.37 dan 10 berbeda nyata, sedangkan rendemen pH 12 tidak berbeda nyata dengan rendemen pH 6.37 dan pH 10. Rendemen protein tertinggi diperoleh pada pH 10, karena itu untuk proses produksi konsentrat protein biji kecipir digunakan pH 10 untuk ekstraksi protein. Okezie dan Bello (1989) melakukan percobaan dengan melarutkan protein kecipir pada pH 10, meskipun pada percobaan tersebut rendemen pH 12 lebih tinggi. Pelarutan protein pada pH 10 lebih dipilih daripada pH 12 karena mempertimbangkan beberapa hal. Proses pelarutan protein sebaiknya tidak dilakukan di atas pH 10 karena terdapat kemungkinan terbentuknya komponen antinutrisi seperti lisinoalanin (Kinsella, 1979). Selain itu, dipertimbangkan juga banyaknya HCl yang dibutuhkan untuk mengendapkan protein pada pH isoelektrik (pH 4).
3. Penentuan Metode Pengeringan Konsentrat Protein Biji Kecipir Metode pengeringan konsentrat protein dapat mempengaruhi warna dan sifat fungsional dari protein itu sendiri, karena sifat fungsional protein sangat tergantung dari kondisi proses pembuatan konsentrat tersebut (Fernandez-Quintella et al, 1997). Jenis pengeringan dipilih berdasarkan parameter warna. Berdasarkan hasil pengeringan dengan empat jenis
Derajat Putih
pengering diperoleh perbandingan warna konsentrat seperti berikut.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
52.2460 a
Oven Oven 50C 50oC
78.2591 d 46.6907 b
51.0359 c
Oven Oven vakum vakum 70C 70oC
Rumah kaca
Spray dryer
Jenis Pengering
Gambar 9. Perbandingan Derajat Putih Pada Berbagai Pengeringan
Gambar 9 menunjukkan bahwa nilai derajat putih dengan berbagai jenis pengering berbeda nyata satu sama lain pada selang kepercayaan 95%, di mana pengeringan dengan spray dryer memberikan warna konsentrat yang paling cerah karena memiliki derajat putih paling tinggi. Data lengkap mengenai nilai L, a dan b dari konsentrat dengan berbagai jenis pengeringan dapat dilihat pada Lampiran 2. Penelitian selanjutnya menggunakan metode pengeringan spray dryer. Selain
karena
warna,
pemilihan
spray
dryer
dilakukan
karena
mempertimbangkan efisiensi waktu. Pengeringan dengan spray dryer lebih cepat daripada pengeringan dengan oven yang bersistem batch.
4. Pembuatan Konsentrat Protein Biji Kecipir Konsentrat protein adalah pekatan protein dengan kadar protein 6070% berat kering (Hanson, 1974). Tahap pembuatan konsentrat dimulai dengan melarutkan tepung kecipir rendah lemak pada air dengan perbandingan 1:10 untuk memperoleh rendemen protein yang baik (Smith, 1958 dan Circle, 1951). Peningkatan pH menjadi 10 adalah tahap ekstraksi protein, di mana pada pH 10, protein berada dalam posisi kelarutan tertinggi. Cheftel et al. (1985) menyebutkan bahwa sebagian besar asam amino akan bermuatan negatif pada pH di atas titik isoelektriknya, pada kondisi ini muatan sejenis cenderung untuk tolak menolak sehingga interaksi antara residu asam amino minimum dan kelarutannya meningkat. Untuk meningkatkan rendemen ekstraksi protein, proses ekstraksi pada pH 10 dilakukan dengan pemanasan 50oC, pemanasan merupakan kondisi optimum untuk mengekstrak protein (Circle, 1951). Proses pengendapan protein pada pH isoelektrik dapat juga disebut proses pencucian dengan asam, karena pada pH sekitar 4, komponen lain (karbohidrat, mineral) terlarut dan protein mengendap. Proses isoelektrik ini sangat menguntungkan karena dapat menggunakan pelarut air yang tidak berbahaya, murah dan tidak mudah terbakar. Kelemahan metode ini adalah sulitnya memisahkan padatan dari pelarut air (FAO,2009). Oleh karena itu pemisahan padatan dilakukan dengan menggunakan sentrifus.
Pengeringan slurry protein sesudah disentrifus dilakukan dengan menggunakan spray dryer pada suhu inlet 170oC dan suhu outlet 80oC seperti percobaan Zheng et al (2007). Dengan menggunakan spray dryer, warna konsentrat yang dihasilkan menjadi lebih cerah karena protein dikeringkan dengan waktu yang singkat dan reaksi Maillard dapat dihindari. Menurut Fernandez-Quintela et al. (1997), tidak terdapat perbedaan yang nyata pada sifat fungsional konsentrat protein yang dikeringkan dengan spray dryer dengan freeze dryer. Hal ini menunjukkan bahwa metode pengeringan dengan
spray dryer dapat diterapkan pada proses pembuatan konsentrat protein biji kecipir.
5. Analisis Proksimat Terdapat beberapa jenis produk pekatan protein, salah satunya adalah konsentrat protein. Sampai saat ini belum ada standar baku yang ditetapkan untuk mendefinisikan konsentrat protein. CODEX hanya menetapkan standar baku untuk mendefinisikan produk pekatan protein kedelai dan menetapkan komposisi baku dari produk pekatan protein kedelai tersebut. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi kadar air, kadar protein, kadar abu, kadar lemak dan kadar karbohidrat by difference. Berdasarkan hasil percobaan, kadar protein konsentrat protein kecipir adalah 65.69% berat basah dan 71.47% berat kering seperti dapat dilihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Komposisi Konsentrat Protein Biji Kecipir Analisis Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar protein (%) Kadar lemak (%) Kadar karbohidrat (%)
Berat Basah 8.04 3.73 65.69 6.68 15.87
Berat Kering 8.75 4.05 71.47 7.27 17.21
Berdasarkan CODEX (1989), produk pekatan protein dapat dikatakan sebagai konsentrat protein jika mengandung protein minimal 65% dan maksimal 90% berat kering. Adapun, produk pekatan protein harus memiliki kadar air yang tidak melebihi 10% dan kadar abu yang kurang dari 8% berat kering. Jika dilihat dari tabel di atas, maka konsentrat protein biji kecipir yang
dihasilkan telah memenuhi standar CODEX (1989) yang biasanya hanya diterapkan pada pekatan protein kedelai. Komposisi
konsentrat
protein
biji
kecipir
yang
dihasilkan
menunjukkan kadar protein yang sama, kandungan lemak dan abu yang lebih kecil dan kadar air yang lebih besar dari percobaan yang dilakukan oleh Sathe
et al. (1982). Perbedaan komposisi konsentrat protein kecipir yang dihasilkan dapat disebabkan oleh adanya perbedaan proses produksi konsentrat. Pada percobaan ini, kandungan lemak yang lebih rendah disebabkan oleh adanya tahapan ekstraksi lemak pada tepung kecipir, sedangkan kadar air yang lebih tinggi dapat disebabkan oleh perbedaan proses penyimpanan.
6. Analisis Sifat Fisikokimia a. Analisis Warna dan Derajat Putih dengan Kromameter Minolta CR-200 Warna merupakan salah satu parameter fisik yang penting untuk diamati. Warna konsentrat protein yang tidak terlalu gelap dapat memperluas aplikasi konsentrat pada berbagai jenis produk makanan. Proses pengolahan sangat berpengaruh terhadap warna konsentrat yang dihasilkan. Honestin (2007) menyatakan bahwa suhu pengeringan dan perlakuan pramasak berpengaruh terhadap kecerahan warna tepung-tepungan yang dihasilkan.
Gambar 10. Konsentrat Protein Biji Kecipir
Warna konsentrat protein biji kecipir yang dihasilkan tidak terlalu gelap seperti dapat dilihat pada Gambar 10 dan ditunjukkan oleh nilai derajat
putihnya sebesar 72.40 %. Notasi warna konsentrat protein biji kecipir pada Tabel. 6 menunjukkan bahwa pigmen biji kecipir yang berpotensi menghasilkan warna coklat pada konsentrat, dapat dihilangkan selama proses produksi. Selain itu, komponen gula yang dapat menyebabkan terjadinya reaksi Maillard pada konsentrat juga dapat dikurangi. Parameter warna ini tidak menunjukkan pengaruh proses pengolahan terhadap sifat fisikokimia dan fungsional lain dari konsentrat protein biji kecipir. Tabel 6 . Parameter Warna Konsentrat Protein Biji Kecipir Parameter warna
Nilai
L (lightness)
75.42
a (warna merah)
0.85
b (warna kuning)
12.52
Derajat putih (%)
72.40
b. Particle Size Index (PSI) Ukuran partikel mempengaruhi parameter penyerapan air, cooking loss dan tekstur dari produk yang dihasilkan. Semakin halus ukuran partikel, semakin besar tingkat penyerapan air dan cooking loss ketika proses produksi (Hatcher et al., 2002). Distribusi ukuran partikel pangan berbentuk bubuk memiliki pengaruh yang nyata pada densitas kamba dan porositas bahan. Semakin kecil ukuran partikel, semakin kecil densitas kamba dan semakin tinggi porositasnya.
Particle Size Index menunjukkan tingkat kehalusan dari konsentrat protein yang dihasilkan. Berdasarkan hasil perhitungan dua ulangan, PSI dari konsentrat protein biji kecipir yang dihasilkan adalah 63.05%. Nilai PSI yang semakin besar menunjukkan semakin tingginya tingkat kehalusan dari partikel tepung yang dihasilkan (Bejarano et al., 2007). Cukup tingginya nilai PSI dari konsentrat protein biji kecipir ini dapat disebabkan oleh proses pengeringan dengan spray dryer yang menghasilkan produk dengan ukuran partikel yang relatif halus.
c. Densitas kamba Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volum bahan yang dinyatakan dalam satuan g/ml. Peleg dan Bagley (1983) menyatakan bahwa densitas kamba tergantung dari beberapa faktor, yaitu gaya tarik antara partikel, ukuran partikel dan luas permukaan sentuh partikel. Konsentrat protein biji kecipir mempunyai densitas kamba sebesar 0.5831 g/ml. Nilai densitas kamba dari konsentrat protein biji kecipir ini sebanding dengan nilai densitas kamba tepung biji kecipir (0.5300 g/ ml) yang diteliti oleh Okezie dan Bello (1988). Bahan pangan dengan bentuk bubuk umumnya memiliki densitas kamba antara 0.3-0.8 g/ml (Wirakartakusumah et
al., 1992). Hal ini menunjukkan bahwa makanan berbentuk bubuk memiliki porositas yang tinggi, yaitu sekitar 40-80%. Densitas kamba ini berhubungan dengan formulasi produk dan pengemasan
bahan
pangan.
Semakin
menunjukkan bahwa produk semakin
tinggi
nilai
densitas
kamba,
padat dan memiliki porositas yang
rendah. Pada formulasi produk, nilai densitas kamba berpengaruh terhadap jumlah konsentrat protein yang dapat ditambahkan ke dalam satu sajian produk pangan. Konsentrat protein diharapkan memiliki nilai densitas kamba yang cukup tinggi karena dapat menghasilkan kekentalan pasta protein yang rendah, hal ini merupakan faktor yang penting untuk aplikasi makanan yang berbentuk bubur untuk anak-anak dan orang sakit (Padmashree et al., 1987).
d. Komposisi Asam Amino Selain nilai nutrisi, komposisi asam amino suatu protein sangat menentukan sifat fungsional protein tersebut (Philips dan Finley, 1989). Hal ini terkait dengan tingkat kepolaran dari protein itu sendiri, di mana asam amino polar dan non polar memberikan pengaruh terhadap beberapa sifat fungsional protein seperti kelarutan protein, daya serap air, daya serap minyak dan sifat fungsional lainnya.
7.000
6.369
Persentase (%)
6.000 5.000 3.608
4.000
3.371 2.788
2.680
3.000 1.744
1.000
1.669
1.667
2.000
0.965 0.856
1.098
0.886
1.204
1.118
0.956
0.601
0.374
0.395
0.000 T rp
Asp
Glu
Ser
Gly
His
Arg T hr
Ala
Pro
T yr
Val
Met
Cys
Ileu
Leu Phe
Lys
Asam Amino
Gambar 11. Komposisi Asam Amino Konsentrat Protein Biji Kecipir
Gambar 11 di atas menunjukkan bahwa konsentrat protein biji kecipir dominan mengandung asam glutamat, diikuti oleh prolin, leusin, lisin dan asam aspartat. Dari komposisi tersebut dapat dilihat bahwa protein konsentrat biji kecipir ini cenderung bersifat hidrofilik. Asam aspartat, asam glutamat dan lisin dapat mengikat sekitar 4-7 molekul air/ molekul asam amino, sedangkan asam amino polar hanya 1-2 molekul air/ molekul asam amino, bahkan asam amino non polar hanya 1 molekul air/molekul asam amino atau tidak sama sekali (Zayas, 1997). Jika dilihat dari komposisi asam aminonya saja, konsentrat protein biji kecipir ini memiliki daya ikat air yang baik, sedangkan daya ikat minyaknya tidak terlalu baik. Konsentrat protein biji kecipir mengandung semua asam amino esensial, yaitu lisin, leusin, isoleusin, arginin, fenilalanin, valin, treonin, metionin, dan triptofan. Berdasarkan penelitian ini, sistein dan metionin menjadi asam amino pembatas bagi konsentrat protein biji kecipir ini. Asam amino pembatas ditentukan dengan menghitung skor kimia untuk asam amino esensial yang terkandung pada konsentrat protein biji kecipir. Skor kimia dapat dihitung dengan membandingkan jumlah asam amino esensial pada sampel dengan pola kebutuhan asam amino yang diterapkan oleh FAO (1973). Okezie dan Bello (1988) membandingkan komposisi asam
amino dari konsentrat protein biji kecipir dengan isolat protein kedelai komersial (Promine D). Kedua pekatan protein tersebut memiliki asam amino pembatas yang sama, yaitu metionin dan sistein. Skor kimia untuk konsentrat protein kecipir adalah 58%, sedangkan isolat kedelai memiliki skor kimia sebesar 65.7%. Penelitian yang dilakukan Okezie dan Bello (1988) ini menunjukkan bahwa komposisi asam amino dari protein kecipir sebanding dengan isolat protein kedelai, terutama pada distribusi dan kandungan asam amino esensialnya.
7. Analisis Sifat Fungsional
a. Protein Solubility Kelarutan protein adalah jumlah protein sampel yang terlarut dalam larutan. Kelarutan protein dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi adalah komposisi asam amino, berat molekul protein, dan konformasi protein. Adapun beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi kelarutan protein yaitu kekuatan ionik, tipe pelarut, pH, suhu dan kondisi pemrosesan tertentu (Zayas, 1997). Profil kelarutan protein ini sangat berhubungan dengan sifat fungsional protein lainnya, terutama sifat buih, emulsi dan gelasi (Zayas, 1997). ProteinSolubility Solubility Protein Konsentrasi (mg/ml)
0.700 0.600 0.500 0.400 0.300 0.200 0.100 0.000 0
2
4
6
8
10
12
14
Nilai pH
Gambar 12. Kurva Kelarutan Protein pada Berbagai Nilai pH
Gambar 12 menunjukkan profil kelarutan dari konsentrat protein biji kecipir membentuk kurva berbentuk huruf U antara pH 2-11. Kelarutan protein mencapai titik terendah pada pH 4 dan naik perlahan-lahan hingga mencapai kelarutan maksimum pada pH 11 dan turun kembali pada pH 12. Banyaknya protein terlarut pada medium cair adalah hasil gaya elektrostatik dan interaksi hidrofobik antara molekul protein. Kelarutan meningkat jika gaya elektrostatik protein dan medium lebih besar daripada interaksi hidrofobik (Zayas, 1997). Pada pH asam atau basa, protein bermuatan positif atau negatif dan meningkatkan interaksi protein-air sehingga kelarutan protein meningkat. Pada pH isolektrik, muatan protein nol dan meningkatkan interaksi antara protein itu sendiri sehingga kelarutannya menurun. Fenomena inilah yang menjelaskan kurva kelarutan protein terhadap pH membentuk huruf U dengan kelarutan terendah pada titik isoelektrik (Zayas, 1997). Percobaan Sathe et al. (1982) menggambarkan bahwa kelarutan terendah konsentrat protein kecipir dicapai pada pH 4, dan seiring dengan meningkatnya pH, kelarutan pun meningkat dengan kelarutan maksimum pada pH 12. Namun pada penelitian ini, kelarutan protein kecipir hanya meningkat hingga pH 11 dan menurun pada pH 12. Hal ini dapat terjadi karena pada pH 12, protein biji kecipir telah mengalami denaturasi sehingga kelarutannya menurun. Winarno (1997) menjelaskan bahwa protein yang terdenaturasi berkurang kelarutannya, karena protein bagian dalam yang bersifat hidrofobik berbalik keluar, sedangkan bagian luar yang bersifat hidrofilik terlipat ke dalam. Nilai pH yang ekstrim dapat menyebabkan gaya tolak menolak antara muatan sejenis pada intramolekul protein. Hal ini dapat menyebabkan denaturasi protein yang ditandai dengan adanya pengembangan dan pembukaan struktur protein (Damodaran, 1996). Pada pH basa yang ekstrim, tingkat pembukaan struktur protein lebih tinggi daripada pH asam. Sebenarnya, denaturasi yang disebabkan oleh pH ini bersifat reversibel, namun pada keadaan tertentu hidrolisis parsial dari ikatan peptida protein, deamidasi aspartin dan glutamin, serta destruksi gugus sulfihidril pada pH
basa dapat menyebabkan denaturasi protein yang bersifat permanen (Damodaran, 1996).
b. Daya Serap Air (WHC) Daya serap air atau water holding capacity merupakan kemampuan protein untuk mengikat air selama diaplikasikannya gaya-gaya, tekanan, sentrifugasi dan pemanasan (Zayas, 1997).
Daya serap air berhubungan
dengan juiciness dan tekstur dari berbagai produk pangan, seperti daging,
bakery dan produk yang memiliki karakter gel (Damodaran, 1996). Daya serap air dari konsentrat protein biji kecipir sebesar 1.6070 g air/ g solid konsentrat. Daya serap air dari konsentrat protein biji kecipir ini sebanding dengan daya serap air dari tepung kedelai (1.3 g air/ g solid), namun masih lebih rendah jika dibandingkan dengan konsentrat protein kedelai (2.2 g air/ g solid) seperti dilaporkan oleh Kinsella (1979). Nilai daya serap air dari konsentrat protein biji kecipir ini masih termasuk dalam kisaran nilai daya serap air untuk konsentrat dan isolat protein komersial (1.5-2.5 g H2O/ g solid) seperti dilaporkan oleh Lin dan Zayas (1987). Daya serap air tergantung pada komposisi protein dan konformasi molekul protein itu sendiri (Zayas, 1997). Karena itu, daya serap air konsentrat protein biji kecipir ini pun sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Jika ditinjau dari komposisi asam aminonya, konsentrat protein biji kecipir seharusnya memiliki daya serap air yang baik, mengingat banyaknya asam amino ionik (asam aspartat, asam glutamat dan lisin) yang terkandung. Interaksi air dengan gugus hidrofilik asam amino terjadi karena adanya ikatan hidrogen. Daya serap air dari konsentrat protein biji kecipir ini masih dapat ditingkatkan dengan berbagai perbaikan proses produksi, seperti proses penetralan konsentrat sebelum proses pengeringan ataupun adanya modifikasi proses seperti asilasi, asetilasi dan suksinilasi pada protein kecipir (Narayana dan Rao, 1984). Semakin tinggi nilai daya serap air menunjukkan bahwa protein tersebut potensial digunakan dalam pengolahan produk daging, roti dan cake.
c. Daya Serap Minyak Karakteristik produk pangan banyak melibatkan interaksi antara protein dan lemak, seperti pembentukan emulsi, emulsifikasi lemak pada daging, absorpsi flavor dan tekstur adonan. Kinsella (1979) menjelaskan mekanisme absorpsi minyak sebagai fenomena terperangkapnya minyak secara fisik. Selanjutnya Kinsella (1979) dan Sathe et al. (1982) menyatakan bahwa absorbsi lemak ditentukan oleh pengikatan lemak oleh gugus nonpolar pada protein. Dalam produk pangan yang berbentuk bubuk, pengikatan lemak dipengaruhi oleh ukuran partikel. Protein dalam bentuk bubuk dengan densitas rendah dan ukuran partikel kecil mengabsorbsi dan memerangkap minyak lebih banyak daripada protein dengan densitas yang tinggi (Zayas, 1997). Kemampuan protein mengikat lemak sangat penting untuk aplikasi protein sebagai meat replacer dan extender sehubungan dengan mouthfeel dan retensi flavor yang melibatkan daya ikat lemak pada produk. Daya serap minyak dari konsentrat protein biji kecipir ini adalah 1.0194 g minyak/ g solid konsentrat. Nilai daya serap minyak dari konsentrat protein biji kecipir ini sebanding dengan daya serap minyak dari konsentrat protein kedelai komersial (ISOPRO) sebesar 1.1704 g minyak/ g solid seperti dilaporkan oleh Lin et al. (1974). Namun lebih kecil dari daya serap minyak protein kecipir yang diujicobakan oleh Sathe et al. (1982). Jika dilihat berdasarkan struktur partikel konsentrat protein biji kecipir yang halus dan nilai densitas yang menunjukkan sifat porous, seharusnya konsentrat protein biji kecipir memiliki daya serap minyak yang cukup tinggi. Namun daya serap minyak yang tidak terlalu tinggi pada konsentrat biji kecipir ini dapat disebabkan oleh komposisi asam amino konsentrat protein biji kecipir yang cenderung polar dan sedikit mengandung asam amino nonpolar yang dibutuhkan untuk mengikat lemak atau minyak.
d. Aktivitas dan Stabilitas Emulsi Sifat emulsi protein merupakan kemampuan protein untuk membentuk emulsi. Aktivitas emulsi protein adalah kemampuan protein dalam
pembentukan emulsi dan menstabilkan emulsi tersebut (Zayas, 1997). Nakai et
al. (1980), melaporkan bahwa kelarutan protein, hidrofobisitas permukaan, dan fleksibiltas molekul protein mempengaruhi sifat emulsi dari protein globular. Banyak faktor yang mempengaruhi sifat emulsi dari protein, di antaranya adalah konsentrasi protein, pH medium, kekuatan ionik dan perlakuan panas. Konsentrasi protein berpengaruh terhadap pembentukan emulsi. Adsorpsi permukaan interfasial terjadi secara difusi pada konsentrasi protein yang rendah, namun pada konsentrasi protein yang tinggi adsorpsi pada permukaan membutuhkan energi aktivasi tertentu. Oleh karena itu, sifat emulsi biasanya diamati pada konsentrasi protein yang rendah. Zayas (1997) menyatakan bahwa emulsi protein, air dan minyak dapat diperoleh pada konsentrasi antara 0.2-1%. Percobaan aktivitas emulsi ini dilakukan pada konsentrasi 1%. Sifat emulsi protein juga sangat bergantung pada pH, hal ini terkait dengan profil kelarutan protein pada berbagai pH. Nilai pH mempengaruhi kelarutan protein, konformasi molekul protein dan sifat permukaan protein yang secara tidak langsung mempengaruhi sifat emulsi protein (Zayas, 1997). Pada gambar berikut dapat dilihat bahwa aktivitas emulsi dari konsentrat protein biji kecipir ini sangat tergantung pada pH. Di mana pada pH yang
Aktivitas Emulsi (%)
berbeda, aktivitas emulsinya juga berbeda (Gambar 13).
100.00 80.00 60.00
53.25 b,c
47.50 b
53.75 c
56.25 c
6 Nilai pH
8
10
40.00 2.50 a
20.00 0.00 2
4
Gambar 13 . Perbandingan Aktivitas Emulsi Konsentrat Protein Biji Kecipir pada Berbagai Nilai pH
Aktivitas emulsi konsentrat protein biji kecipir tertinggi diperoleh pada pH 10, di mana aktivitasnya tidak berbeda nyata dengan aktivitas emulsi pH 2 dan pH 8, sedangkan aktivitas emulsi terendah terjadi pada pH 4 dan berbeda secara nyata pada taraf signifikansi 95% dengan pH lainnya. Aktivitas emulsi pada pH 6 cukup tinggi dan tidak berbeda secara nyata dengan aktivitas emulsi pada pH 2, namun berbeda secara nyata dengan aktivitas emulsi pH 4, 8, dan 10. Olah data secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6. Sifat emulsi dipengaruhi pH dan berkorelasi positif dengan profil kelarutan protein tersebut. Hal tersebut terbukti, pada penelitian ini aktivitas emulsi yang terbentuk sesuai dengan profil kelarutan konsentrat protein biji kecipir yang sangat rendah pada pH 4 dan memiliki kelarutan yang lebih tinggi pada pH asam atau basa. Pembentukan film pada droplet minyak hanya dapat terjadi jika protein berada dalam keadaan terlarut (Zayas, 1997). Pada pH isoelektrik, protein yang teradsorbsi di permukaan minyak-air berada pada taraf terendah karena protein tidak dalam keadaan terlarut. Film yang tidak terbentuk pada permukaan minyak-air menyebabkan droplet minyak bersatu kembali dan emulsi tidak dapat terbentuk. Oleh karena itu, protein dapat menjadi emulsifier yang efektif pada pH yang jauh dari titik isolektriknya (Damodaran, 1996). Emulsi yang terbentuk maksimum pada pH 10 disebabkan oleh tingginya nilai kelarutan konsentrat protein biji kecipir pada pH tersebut. Perlakuan panas pada protein juga sangat berpengaruh terhadap sifat emulsi dari protein. Sifat emulsi dari globular protein dapat ditingkatkan dengan adanya pemanasan, hal ini terkait pembukaan rantai polipeptida protein (Zayas, 1997). Sifat emulsi protein dapat lebih baik setelah dipanaskan, berkorelasi positif dengan meningkatnya hidrofobisitas protein (Kato et al., 1981),. Namun, pemanasan tersebut tidak boleh menyebabkan protein terkoagulasi dan penurunan kelarutan protein. Kombinasi tingginya hidrofobisitas dan kelarutan protein dapat menghasilkan sifat emulsifier yang baik (Zayas, 1997). Pada penelitian ini diamati aktivitas emulsi setelah mendapat perlakuan panas (80oC selama 30 menit). Gambar 14 menunjukkan aktivitas emulsi konsentrat protein biji kecipir setelah dipanaskan.
Vol emulsi (ml)
100.00 80.00
60.00 b
60.00
57.75 b
59.50 b
56.25 b
6
8
10
40.00 6.50 a
20.00 0.00 2
4
Nilai pH
Gambar 14 . Perbandingan Aktivitas Emulsi Konsentrat Protein Biji Kecipir Setelah Pemanasan pada Berbagai Nilai pH Setelah dipanaskan, aktivitas emulsi konsentrat protein biji kecipir mengalami peningkatan. Di mana aktivitas emulsi pada pH 4 paling rendah dan berbeda secara nyata pada taraf signifikansi 95% dengan aktivitas emulsi yang lebih tinggi pada pH 2, 6, 8, 10. Olah data mengenai aktivitas emulsi setelah dipanaskan dapat dilihat pada Lampiran 7. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan panas pada aktivitas emulsi, data diolah menggunakan Paired Sample T-test. Uji pada masing-masing pH menunjukkan kecenderungan bahwa perlakuan panas tidak menyebabkan peningkatan yang berbeda nyata pada taraf signifikansi 95% pada berbagai nilai pH. Olah data secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 8. Data peningkatan aktivitas emulsi setelah dipanaskan menunjukkan bahwa konsentrat protein biji kecipir tetap memiliki aktivitas emulsi yang baik setelah pemanasan. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrat protein biji kecipir dapat diterapkan sebagai emulsfying agent pada produk pangan yang membutuhkan proses pemanasan sekalipun. Diamati juga aktivitas emulsi selama beberapa waktu untuk diketahui stabilitasnya. Emulsi yang terbentuk dengan protein sebagai emulsifier dapat memiliki stabilitas selama beberapa hari jika disimpan pada keadaan atmosfer (Damodaran, 1996). Dari Gambar 15 di bawah dapat diketahui bahwa emulsi yang terbentuk cenderung stabil jika disimpan pada suhu ruang.
Gambar 15. Stabilitas Emulsi Selama 6 Jam pada Suhu Ruang
Pembentukan emulsi oleh protein dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal meliputi pH, kekuatan ion, suhu, berat molekul surfaktan, dan tipe protein. Faktor eksternal meliputi jenis peralatan yang digunakan, dan kecepatan pengadukan. Sampai saat ini belum ditetapkan metode yang baku untuk mengukur sifat emulsifier ini, oleh karena itu hasil pengamatan dari berbagai laboratorium sangat bervariasi satu sama lain dan tidak dapat dibandingkan (Damodaran, 1996).
e.
Daya Gelasi Daya gelasi adalah salah satu kriteria yang sering digunakan untuk mengevaluasi suatu jenis protein. Kualitas suatu produk pangan, khususnya tekstur dan juiciness dapat ditentukan berdasarkan kapasitas gelasi suatu jenis protein. Gel dapat terbentuk ketika struktur protein setengah membuka membentuk polipeptida yang dapat berinteraksi membentuk ikatan cross-
linked tiga dimensi (Zayas, 1997). Pembukaan parsial struktur protein dengan sedikit perubahan pada struktur sekunder protein dibutuhkan untuk membentuk gel (Clark dan Tuffnell,1986).
Tabel 7. Daya Gelasi Konsentrat Protein Kecipir pada Berbagai Konsentrasi dan Nilai pH pH 4 pengpenamamatan pakan kualitatif cair dan 6 0 terpisah cair dan 8 0 terpisah cair dan 10 0 terpisah cair dan 12 0 terpisah cair dan 14 0 terpisah cair dan 16 0 terpisah cair dan 18 0 terpisah cair dan 20 0 terpisah Keterangan:
Konsentrasi gel (%b/v)
pH 7 pengpenamamatan pakan kualitatif
pH 10 pengpenamamatan pakan kualitatif
0
kental
0
cair
0
kental
0
cair
0
kental
0
cair
0
kental
0
cair
0
kental
0
cair
1
gel
0
kental
3
gel
0
kental
2
gel
0
kental
0 = gel tidak terbentuk 1 = gel sangat lemah, gel jatuh bila dimiringkan 2 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik vertikal 3 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik vertikal dan dihentak sekali 4 = gel tidak jatuh bila tabung dibalik dan dihentak > 5 kali
Pembentukan gel dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu pH dan konsentrasi protein, namun hidrofobisitas, komposisi asam amino dan berat molekul protein juga memegang peranan yang penting dalam pembentukan gel (Zayas, 1997). Proses gelasi tergantung pada pembentukan jaringan tiga dimensi protein sebagai hasil interaksi protein-protein dan protein-pelarut. Interaksi ini semakin cepat pada konsentrasi protein yang lebih tinggi karena kontak intermolekular yang juga lebih tinggi (Zayas, 1997). Penelitian Okezie dan Bello (1988) menunjukkan bahwa isolat protein kedelai (Promine D) membutuhkan konsentrasi inisial 14% untuk membentuk gel dengan pemanasan 1 jam dan pendinginan 4oC selama 2 jam. Tabel 7 di
atas menunjukkan gel terbentuk pada konsentrasi inisial 16% dan hanya terjadi pada pH netral (pH 7). Protein kecipir dominan berbentuk globular, sehingga konsentrasi inisial yang dibutuhkan untuk pembentukan gel cukup tinggi (Schmidt, 1981). Berdasarkan hasil penelitian, kekuatan gel yang terbentuk lebih baik pada konsentrasi protein di atas 18%. Semakin tinggi konsentrasi, interaksi protein intramolekular semakin baik sehingga menghasilkan gel dengan tekstur yang semakin firm yang disebabkan oleh banyaknya jumlah air yang terikat pada molekul protein. Pembentukan gel merupakan hasil dari ikatan hidrogen, interaksi ionik dan hidrofobik, gaya Van der Waals, dan ikatan disulfida kovalen (Zayas, 1997). Oleh karena itu, pembentukan gel secara tidak langsung dipengaruhi oleh pH. Pada pH isoelektrik (pH 4), interaksi antara protein menjadi maksimum dan protein tidak memerangkap air. Sesuai dengan hasil penelitian, pada pH 4 protein mengendap dan terpisah sehingga sama sekali tidak membentuk struktur gel. Gel tidak dapat terbentuk dengan baik pada pH 10 karena protein bermuatan sehingga cenderung menarik air dan kurang interaksi antar protein. Akibatnya pada pH tersebut, struktur tiga dimensi protein tidak terbentuk.. Nilai pH yang optimum untuk pembentukan gel berkisar antara pH 7-8 bagi semua jenis protein (Damodaran, 1996).
f. Kapasitas dan Stabilitas Buih Kemampuan protein untuk membentuk buih yang stabil sangat diperlukan dalam produksi berbagai bahan pangan, seperti es krim, cake, roti,
whipped cream dan mousse. Buih merupakan suatu struktur terdispersi yang menggabungkan dua cairan koloid, seperti larutan protein sebagai medium pendispersi dan gas sebagai fase terdispersinya. Sifat pembentukan buih merupakan suatu sifat permukaan protein di mana sifat permukaan dipengaruhi oleh tegangan permukaan. Pembentukan buih berhubungan dengan menurunnya tegangan permukaan pada sistem udara-air akibat adanya adsorpsi oleh molekul protein (Okezie dan Bello,1988). Berdasarkan penelitian Okezie dan Bello (1988) konsentrasi protein kecipir sangat
mempengaruhi pembentukan buih, di mana pembentukan buih maksimum pada konsentrasi 10% seperti diujicobakan pada penelitian ini. Damodaran (1996) menyatakan bahwa kapasitas dan stabilitas buih lebih baik dilakukan pada konsentrasi yang tinggi karena adanya peningkatan viskositas protein dan memfasilitasi pembentukan multilayer dan film yang bersifat kohesif pada
Kapasitas Buih (%)
permukaan interfasial. 100.00 80.00 43.18 b
60.00
62.77 c
40.00 20.00
2.38 a
0.00 4
7
10
Nilai pH
Gambar 16. Kapasitas Buih pada Berbagai Nilai pH
Gambar di atas menunjukkan bahwa nilai pH berpengaruh nyata terhadap kapasitas buih pada selang kepercayaan 95%, di mana kapasitas buih pada nilai pH 4 (2.38%), pH 7 (43.18%), dan tertinggi pada pH 10 (62.77%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian kapasitas buih pada protein kedelai oleh Kinsella (1979), di mana kapasitas buih maksimum diperoleh pada pH 2 dan 9, sedangkan kapasitas buih minimum diperoleh pada pH 4-6 ketika kelarutan protein berada pada titik terendah. Pada nilai pH 4 kelarutan protein berada pada titik minimum sehingga hanya sedikit fraksi protein terlarut yang terlibat dalam pembentukan buih. Keterlibatan fraksi protein terlarut sangat penting dalam pembentukan buih sehingga pada nilai pH isoelektrik kapasitas buih yang terbentuk sangat minimum (Damodaran, 1996). Peningkatan nilai pH berkorelasi positif dengan peningkatan kelarutan protein dan kapasitas buih konsentrat protein biji kecipir. Cherry dan McWatters (1981) menyatakan bahwa ketika muatan protein meningkat, kapasitas buih juga meningkat.
Gambar 17. Stabilitas Buih pada Berbagai Nilai pH Terhadap Waktu
Studi yang dilakukan oleh Adebowale dan Lawal (2003) menyatakan bahwa ketidakstabilan buih dapat disebabkan disprosporsionasi gelembung, penggabungan gelembung yang disebabkan ketidakstabilan film yang terbentuk, dan hilangnya air dari gelembung yang menyebabkan film terlalu tipis untuk menstabilkan gelembung. Dari gambar di atas dapat dilihat pada pH 4 buih sudah hilang pada jam ke-0.5, pada pH 7 buih pada jam ke-1.5, sedangkan pada pH 10 buih hilang setelah jam ke-3. Hal ini disebabkan oleh kemampuan protein menahan air pada pH 10. Semakin lama protein menahan air, semakin baik stabilitas buihnya. Hilangnya air dari struktur buih dapat dikurangi jika ada sisi polar polipeptida yang berinteraksi dengan molekul air pada struktur lamela (Zayas, 1997). Pada pH 4 dan 7, protein dengan cepat kehilangan air dan tidak mampu menstabilkan gelembung udara. Berbagai jenis protein memiliki kapasitas buih yang berbeda, protein yang paling banyak digunakan sebagai pembentuk buih adalah putih telur, gelatin, kasein, protein kedelai dan gluten (Zayas, 1997). Protein-protein tersebut memiliki kemampuan membentuk buih yang sangat baik. Foaming
power protein kedelai pada konsentrasi 0.5 % mencapai 500%, sedangkan gelatin 760% (Damodaran, 1996). Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya konsentrat protein biji kecipir tidak memiliki kapasitas buih yang baik, terkait dengan struktur globular protein kecipir yang sulit didenaturasi pada permukaan dan mengakibatkan rendahnya kapasitas buih.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Konsentrat protein biji kecipir dengan
kadar protein 71.47 (%BK)
memiliki warna konsentrat, nilai PSI dan densitas kamba yang dapat dibandingkan dengan produk pekatan komersial yang beredar di pasaran. Konsentrat protein biji kecipir ini mengandung asam amino yang lengkap, tetapi metionin dan sistein menjadi asam amino pembatasnya. Daya serap air konsentrat protein biji kecipir cukup baik, sedangkan daya serap minyaknya tidak terlalu baik. Kelarutan konsentrat protein biji kecipir ini sangat dipengaruhi oleh pH, dan profil kelarutan ini mempengaruhi sifat fungsional lainnya. Aktivitas emulsi konsentrat protein biji kecipir sesuai dengan profil kelarutan konsentrat protein, di mana aktivitas emulsi terendah terjadi pada pH isoelektriknya. Emulsi yang terbentuk stabil terhadap pemanasan maupun penyimpanan pada suhu ruang. Konsentrat protein biji kecipir dapat membentuk gel pada konsentrasi inisial protein 16% dan hanya dapat terbentuk pada pH netral, dapat membentuk buih namun tidak sebaik protein telur ataupun kedelai. Konsentrat protein biji kecipir ini cocok untuk diaplikasikan pada produk pangan yang bersifat netral dan cenderung basa membentuk emulsi ataupun gel, namun tidak cocok untuk produk pangan yang membutuhkan daya buih yang tinggi seperti es krim atau whipped cream.
B. SARAN Studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk menganalisis sifat fungsional dari konsentrat protein biji kecipir dengan proses produksi yang berbeda, penelitian lanjutan yang meneliti pengaruh penambahan garam (NaCl) dan karbohidrat (disakarida atau pati), pengaruh proses asilasi ataupun fosforilasi terhadap sifat fungsional konsentrat protein biji kecipir. Aplikasi konsentrat protein biji kecipir pada bahan pangan juga perlu diujicobakan, misalnya aplikasi konsentrat protein pada pembuatan sosis, nugget dan produk pangan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Adebowale, K. O., dan O. S. Lawal. 2003. Foaming, Gelation, and Electrophoretic Characteristic of Mucuna Bean (Mucuna pruriens) Protein Concentrates. J. Food Chem. 83: 237-246. Anonima. 2008. Detail Data Psophocarpus tetragonolobus DC. Di dalam: www.proseanet.htm [Diakses tanggal: 24 Oktober 2008]. Anonimb. 2008. Kecipir. Di dalam: www.wikipedia.com [Diakses tanggal: 24 Oktober 2008]. Anonimc. 1997. Chromameter CR-200 Instruction Manual. Minolta. Anonimd. 2008. www.aaccnet.org/approvedmethods/methods/55-30.pdf. [Diakses tanggal: 27 Oktober 2008]. Association of Official Analytical Chemistry [AOAC]. 1995. Official Method of Analysis 960.52, chp 12.1.07, p.7. Association of Official Analytical Chemistry [AOAC]. 1999. Official Method of Analysis 982.30, chp. 45.3.05. Bejarano, A. P. I., N. M. Verdugo-Montoya, E. O. Cuevas-Rodriguez, J. MilanCarrillo, R. Mora-Escobedo, J. A. Lopez-Valenzuela, J. A. GarzonTiznado, dan C. Reyes-Moreno. 2007. Tempeh Flour From Chickpea (Cicer arientinum L.) Nutritional and Physicochemical Properties. J. Food Chem. 106: 106-112. Chakraborty, P. 1986. Coconut Protein Isolate by Ultrafiltration. Di dalam: Zheng, H.G., X.Q. Yang, C. H. Tang, L. Li, I. Ahmad. 2007. Preparation of Soluble Soybean Protein Aggregates (SSPA) from Insoluble Soybean Protein Concentrates (SPC) and Its Functional Properties. J. Food Research International 41:154-164. Cheftel, J. C., J. L. Cug, dan D. Lorient. 1985. Amino Acid, Peptides, and Protein. Di dalam: Fennema, O. R (Ed). 1996. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker Inc. Cherry, J. P., dan K. H. Mc Watters. 1981. Whippability and Aeration. Di dalam: Zayas, J. F. 1997. Functionality of Proteins in Food. Berlin: SpringerVerlag. Circle, S. J. 1951. Protein and Other Nitrogenous Constituent. Di dalam: Markley, K. S. 1952. Soybeans and Soybean Product. New York: Interscience Publisher Inc.
Clark, A. H., dan C. D. Lee-Tuffnell. 1986. Gelation of Globular Protein. Di dalam: Zayas, J. F. 1997. Functionality of Proteins in Food. Berlin: Springer-Verlag. Claydon, A. 1975. A Review of Nutritional Value of The Winged Bean (Psophocarpus tetragonolobus (L) DC.) with Special Reference to Papua New Guinea. J. Sci New Guinea 3 (2):103-114. Di dalam: The Winged Bean. Papers Presented in the First International Symposium on Developing the Potential of the Winged Bean, Januari 1978, Manila. Sponsored by Philipine Council for Agriculture and Resources Research. 1978. CODEX. 1989. General Standard for Soy Protein Products. Di dalam: www.codexalimentarius.net [ Diakses tanggal: 9 Februari 2009]. Coffman, C. W., dan V. V. Garcia. 1977. Functional Properties and Amino Acid Content of Protein Isolate from Mung Bean Flour. J. Food Technol. 12: 473-484. Damodaran, S. dan J. E. Kinsella. 1982. Effect of Conglycinin on Thermal Aggregation of Glycinin. J. Agric. Food Chem. 30:812. Damodaran, S. 1996. Amino Acid, Peptides, and Proteins. Di dalam: Fennema, O. R (Ed). 1996. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker Inc. de Lumen, B. O., P. S. Reyes, dan P. S. Belo Jr. 1981. Studies on Winged Bean (Psophocarpus tetragonolobus) Lipoxygenase. Paper presented in the 2nd International Symposium on Winged Bean, Colombo, Srilanka, Jan 19-23. Di dalam: Sathe, S.K., Deshpade, S. S., dan Salunkhe, D. K. 1982. Functional Properties of Winged Bean [Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC] Proteins. J. Food Sci. 47:503-509. Departemen Pertaniana. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Di dalam: www.litbang.deptan.go.id. [Diakses tanggal: 1 Agustus 2009]. Departemen Pertanianb. 2005. Database Pemasaran Internasional Kedelai. Jakarta: Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan dan Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pemasaran. Di dalam: www.agribisnis.deptan.go.id. [Diakses tanggal: 10 Februari 2009]. Ekpenyong, T. E. 1978. Biochemical and Nutricional Evaluation of the Winged Bean, Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC. [Tesis]. Lincoln: University of Nebraska. Di dalam: Sathe, S.K., Deshpade, S. S., dan Salunkhe, D. K. 1982. Functional Properties of Winged Bean [Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC] Proteins. J. Food Sci. 47:503-509.
Elizade, B. E., D. Giaccoglia, A. M. R. Pilosof, dan G. B. Bartolomai. 1991. Kinetics of Liquid Drainage from Protein Stabilize Foam. J. Food Sci. 56: 24. Erlina, M. D., S. T. Soekarto, Machfud, dan M. Hubeis. 1982. Menentukan Titik Isoelektrik Protein Biji Kecipir. Buletin Pendidikan Ilmu dan Teknologi Pangan. 1:250-260. European Union. 2009. Extraction Solvents which may be Used during the Processing of Raw Materials, of Foodstuffs, of Food Components or of Food Ingredients. Official Journal of European Union 141:8. Di dalam: www.eur.lex.europa.eu [Diakses tanggal: 30 Agustus 2009]. Food and Agriculture Organization. 1973. WHO Technical Report Series No. 522, FAO Nutrition Meetings Report Series No. 52. FAO/WHO, Geneva. Di dalam: www.fao.org.htm [Diakses tanggal: 26 Agustus 2009]. Food and Agriculture Organization [FAO]. 2009. Technology of Production of Edible Flours and Protein Products From Soybeans. Di dalam: www.fao.org.htm [Diakses tanggal: 10 Februari 2009]. Fernandez-Quintela, A., M. T. Macarulla Del Barrio dan J. A Martinez. 1997. Composition and Functional Properties of Protein Isolates Obtained from Comercial Legumes Grown in Northern Spain. Plant Foods for Human Nutrition (in press) Di dalam: Otegui, I., Fernandez-Quintela, A., De Diego, C., Macarulla, M. T., Partearroyo, M. A. 1997. Properties of Spray Dried and Freeze Dried Faba Bean Protein Concentrates. International J. Food Sci. and Technol. 32:439-443. Francis, F. J. 1996. Di dalam: Cai, Y. dan H. Corke. 1999. Amaranthus Betacyanin Pigments in Model Food System. J. Food Sci. 64 (5):869-873. Francis, F.J. 2003. Color Analysis. Di dalam: Nielsen, S. S. Food Analysis 3rd Ed. New York: Kluwer Academic. Franzen, K. L. dan J. E. Kinsella. 1976. Functional Properties Succynilated and Acetylated Soy Protein. J. Agric. Food Chem. 24: 788. Fukushima, D. 1969. Denaturation of Soybean Protein by Organic Solvent. J. Cereal Chem. 46: 156-160. Handoko, D. D. 2000. Pembuatan Konsentrat Protein Tempe dan Analisis Sifatsifat Fungsionalnya. [Skripsi]. Bogor: Fateta IPB. Hanson, L. P. 1974. Vegetables Protein Processing. London: Hayes Data Corp. Di dalam: Ogunwolu, S. O., F. O. Henshaw, H. P. Mock, A. Santros, S. O. Awonorin. 2009. Functional Properties of Protein Concentrates and
Isolates Produced From Cashew (Anarcaduim occidentale, L.) Nut. J. Food Sci. 115: 852-858. Hatcher, D. W., M. J. Anderson, R. G. Desjardin, N. M. Edwards, dan J. E. Dexter. 2002. Effects of Flour Particle Size and Starch Damage on Processing and Quality of White Salted Noodles. J. American Association of Cereal Chem. 79(1):64-71 Honestin, T. 2007. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas). [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Hutching, J. B. 1999. Food Color and Appearance. Second Edition. Maryland: Aspen Publishers, Inc. Hutton, C. W. dan A. M. Campbell. 1981. Functional Properties of Soy Concentrate and Soy Isolate in Simple System and in Food System: Emulsion Properties, Thickening function, and Fat Absorption. J. Food Sci. 42:457. Jiminez, F. 1976. Performance of Vegetables at Mayaguez, Puerto Rico during Rainy Season. J. Vegetables for the Hot Humid Tropics 1: 27-34. Di dalam: National Academy of Science. 1981. The Winged Bean: A High Protein Crop for The Tropics Second Edition. Washington DC: National Academy Press. Kato, A., N. Tsutsui, K. Kobayashi, S. Nakai. 1981. Effect of Patial Denaturation on Surface Properties of Ovalbumin and Lysozime. Agr. Biol. Chem. 45: 2755. Di dalam: Zayas, J. F. 1997. Functionality of Proteins in Food. Berlin: Springer-Verlag. Kay, E.K. 1979. Food Legumes. London: Tropical Products Institute. Khalil. 1999. Pengaruh Kandungan Air dan Ukuran Partikel Terhadap Perubahan Perilaku Fisik Bahan Pangan Lokal: Kerapatan tumpukan, Kerapatan Pemadatan, dan Berat Jenis. J. Media Peternakan. 22(1):1-11. Khan, T. N. 1976. Programs on Winged Bean in Papua New Guinea and Their Implications. Tropical Grain Legumes Bulletin 5: 24-26. Di dalam: National Academy of Science. 1981. The Winged Bean: A High Protein Crop for The Tropics Second Edition. Washington DC: National Academy Press. Kinsella, J. E. 1979. Functional Properties of Soybean Protein. J. Am. Oil. Chem. Soc. 56:242-258. Kinsella, J. E. dan S. Damodaran. 1981. Interaction of Carbonyl with Soy Protein Confirmation Effects. J. Agric. Food Chem. 29:1253–1257.
Leimena, E. N. 2000. Karakteristik Sifat Molekuler dan Fungsional Protein dari Biji Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus L.). [Skripsi]. Bogor: Fateta IPB. Lin, M. Y., G. S. Humbert, dan F. W. Sosulski. 1974. Certain Functional Properties of Sunflower Meal Products. J. Food Sci. 39: 368. Lin, C. S., dan J. F. Zayas. 1987. Functional of Defatted Corn Germ Proteins in a Model System: Fat Binding and Water Retention. J. Food Sci. 63:450-453. Di dalam: Ogunwolu, S. O., F. O. Henshaw, H. P. Mock, A. Santros, S. O. Awonorin. 2009. Functional Properties of Protein Concentrates and Isolates Produced From Cashew (Anarcaduim occidentale, L.) Nut. J. Food Sci. 115: 852-858. Lusas, E. W., dan K. C Rhee. 1995. Soy Protein Processing and Utilization. Di dalam: Riaz, M. N. Texturized Soy Protein as an Ingredient. Texas: A&M University. Lyra.
2008. Rice and Beans: A Belizean in DC. Di dalam: www.riceandbeansindc. blogspot [Diakses tanggal 7 Januari 2009].
MacEvoy. 2005. CIELab. http://www.gm.fh-koeln.de/~hstl/Dokumente/ProjektWolter-2005/CIELab/Theorie/CIELab.html. [Diakses tanggal: 25 November 2008]. Macritche, E. 1978. Protein in Interface. Adv. Protein Chem. 1: 283. Moestafa. 1981. Aspek Teknis Pengolahan Rempah-rempah Menjadi Oleoresin dan Minyak Rempah-rempah. Bogor: BPIHP. Morr, C. V. 1981. Current Status of Soy Protein Functionality in Food System. J. Am. Oil. Chem . Soc. 67:625 Nakai, S., L. Ho, A. Helbig, A. Kato, dan M. A. Tung. 1980. Relationship Between Hydrophobicity and Emulsifying Properties of Some Plant proteins. J. Can. Inst. Food Tech. 13 (1):23. Di dalam: Zayas, J. F. 1997. Functionality of Proteins in Food. Berlin: Springer-Verlag. Narayana, K. dan M. S. Narasinga Rao. 1984. Effect of Acetylation and Succinylation on the Functional Properties of Winged Bean (Psophocarpus tetragonolobus) Flour. J. Food Sci. 49:547. Di dalam: Zayas, J. F. 1997. Functionality of Proteins in Food. Berlin: SpringerVerlag. National Academy of Science. 1981. The Winged Bean: A High Protein Crop for The Tropics Second Edition. Washington DC: National Academy Press.
Neto, V. Q., N. Narain, J. B. Silva dan P. S. Bora. 2001. Functional Properties of Raw and Heat Processed Cashew Nut (Anarcaduim occidentale, L. ) Kernel Protein Isolate. Nahrung Food, 45, 258-262. Di dalam: Lawal, O. S., K. O. Adebowale, Y. A. Adebowale. 2007. Functional Properties of Native and Chemically Modified Protein Concentrates from Bambarra Groundnut. J. Food Research International 40:1003-1011. Nurchasanah. 2007. Tempe Kecipir Beras. Di dalam http://www.pikiranrakyat.com/ [Diakses tanggal: 24 Oktober 2008]. Okezie, B. O., dan A. B. Bello. 1988. Physicochemical and Functional Properties of Winged Bean Flour and Isolate Compared with Soy Isolate. J. Food Sci. 53(2):450-454. Okezie, B. O., dan A. B. Bello. 1989. Effect of Extraction Conditions on the Extractability of Winged Bean (Psophocarpus tetragonolobus (L) DC) Proteins. J. Food Sci. 54 (6):1656-1657. Pablo, I. S., J. R. Comoday, E. S. Rivera, dan M. C. Limguangco. 1981. Pilot Production of Protein Concentrate from Rice Bran. J. NSDM Technol. 55: 58-61. Padmashree, T. S., L. Vijayakshmi, J. Puttaraj. 1987. Effect of Traditional Processing on Functional Properties of Cowpea (Vigna catjang). J. Food Sci. and Tech.24:221-224. Di dalam: Ogunwolu, S. O., F. O. Henshaw, H. P. Mock, A. Santros, S. O. Awonorin. 2009. Functional Properties of Protein Concentrates and Isolates Produced From Cashew (Anarcaduim occidentale, L.) Nut. J. Food Sci. 115: 852-858. Peleg, M. dan E. B. Bagley. 1983. Physical Properties of Foods. Westport: AVI Publishing Co. Di dalam: Ogunwolu, S. O., F. O. Henshaw, H. P. Mock, A. Santros, S. O. Awonorin. 2009. Functional Properties of Protein Concentrates and Isolates Produced From Cashew (Anarcaduim occidentale, L.) Nut. J. Food Sci. 115: 852-858. Philips, R. D. dan J. W. Finley. 1989. Protein Quality and the Effects of Processing. New York: Marcel Dekker, Inc. Riaz, M. N. 2004. Texturized Soy Protein as an Ingredient. Di dalam: Yada, R. Y (Ed). 2004. Proteins in Food Processing. UK: Woodhead Publishing. Rismunandar. 1986. Kecipir Penghasil Protein dan Karbohidrat yang Serbaguna. Bandung: Penerbit Sinar Baru. Sambudi, H. dan K. A. Buckle. 1991. Characterisitics of Winged Bean (Psophocarpus tetragonolobus) Seeds during Soaking and Boiling. J. Sci. Food Agric. 57:585-595.
Sathe, S. K., S. S. Deshpande, dan D. K. Salunkhe. 1982. Fuctional Properties of Winged Bean (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC) Proteins. J. Food Sci. 47:503-509. Schmidt, R. H. 1981. Gelation and Coagulation. Di dalam: Cherry, J. P. Protein Functionality in Foods. ACS Symposium Series, 147. Washington DC: American Chemistry Society. Smith, A. K. 1958. Vegetable Protein Isolates. Di dalam: Processed Plant Protein Foodstuffs. New York: Academic Press Publisher. SNI 01-2891-1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. Badan Standarisasi Nasional. Soedarsono, J. 1979. Kecipir Tanaman Baru Penghasil Protein dan Minyak. Yogyakarta: Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM. Suwarno, M. 2003. Potensi Kacang Komak (Lablab purpureus (L.) sweet) Sebagai Bahan Baku Isolat Protein. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Styrer, L. 1975. Biochemistry. San Fransisco: W. H. Freemen and Company. Di dalam: Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Van Den, T., L.C.Raymundo, dan E. M. T Mendoza. 1981. Lipoxygenase Activity in Germinating Winged Bean Seed and Its Role in Beany Flavor Formation. Paper presented in the 2nd International Symposium on Winged Bean, Colombo, Srilanka, Jan 19-23. Di dalam: Sathe, S. K., S. S. Deshpande, dan D. K. Salunkhe. 1982. Fuctional Properties of Winged Bean (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC) Proteins. J. Food Sci. 47:503-509. Volkert, M. A. dan B. P. Klein. 1979. Protein Dispersibility and Emulsion Characterictics of Flour Soy Protein. J. Food Sci. 44:93. Waggle, D. H. dan C. K. Kolar. 1979. Types of Soy Protein Products. Di dalam: Wickle, H. L., D. T. Hopkin, dan D. H. Waggle. Soy Protein and Human Nutrition. New York: Academic Press. Widowati, S., S. K. Susi Wijaya, dan R. Yulianti. 1998. Fraksi Globulin dan Sifat Fungsional Isolat Protein dari Sepuluh Varietas Kedelai Indonesia. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 17(1): 52-58. Winarno, F. G., dan A. Rahman. 1974. Protein: Sumber dan Peranannya. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Pertanian.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Wirakartakusumah, M. A, K. Abdullah, dan A. M. Syarif. 1992. Sifat Fisik Pangan. Bogor: IPB. Zayas, J. F. 1997. Functionality of Proteins in Food. Berlin: Springer-Verlag.
Lampiran 1. Hasil Pengolahan Data Rendemen pada Nilai pH Berbeda
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N pH
6.37
2
10.00
2
12.00
2 Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Rendemen Source Model
Type III Sum of Squares
df
Mean Square 15.077
22.500
.015
45.230
3
15.077
22.500
.015
2.010
3
.670
Error
Total 47.240 6 a R Squared = .957 (Adjusted R Squared = .915)
Post Hoc Tests pH Homogeneous Subsets Rendemen Duncan N
Subset
1
2 2
.6150
12.00
2
2.6800
10.00
2
Sig.
Sig.
3
pH
pH 6.37
F
45.230(a)
1 2.6800 3.8800
.086 .239 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .670. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.
Lampiran 2 . Hasil Pengolahan Data Derajat Putih Berbagai Jenis Pengeringan Jenis Pengering Oven 50oC
x
y
Y
X
Z
L
a
b
29.21
0.3635
0.3559
29.21
29.8338
23.0299
54.05
3.952
12.568
29.19
0.3633
0.3558
29.19
29.8053
23.0452
54.03
3.924
12.530
29.37
0.3631
0.3555
29.37
29.9979
23.2482
54.19
3.965
12.502
52.35 46.69
Oven vakum 70oC
23.2
0.3678
0.3569
23.2
23.9085
17.8957
48.17
4.312
11.688
23.18
0.3677
0.3568
23.18
23.8881
17.8982
48.15
4.311
11.661
23.21
0.3677
0.3567
23.21
23.9258
17.9329
48.18
4.338
11.654
27.66
0.3616
0.3537
27.66
28.2778
22.2641
52.59
3.938
11.716
Rumah kaca
27.74
0.3614
0.3538
27.74
28.3359
22.3300
52.67
3.863
11.731
27.67
0.3617
0.3535
27.67
28.3119
22.2925
52.60
4.019
11.695
Spray dryer
68.76
0.3409
0.3458
68.76
67.7857
62.2976
82.92
0.805
13.502
68.79
0.3406
0.3455
68.79
67.8144
62.4984
82.94
0.803
13.380
68.77
0.3408
0.3456
68.77
67.8149
62.4024
82.93
0.847
13.434
xL
xa
xb
derajat putih
Y
52.19 54.09
48.16
3.947
4.320
12.533
11.668
3.940
11.714
3 3
rmh_kaca
3
spr_dry
3
0.818
13.439
Intercept jenis_pengering
df
Mean Square
1849.163(a)
3
616.388
39067.304
1
39067.304
1849.163
3
616.388 .003
Error
.025
8
Total
40916.492
12
Corrected Total
1849.188 11 a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
78.30 78.26
Dependent Variable: derajat_putih Type III Sum of Squares
51.08
51.04
78.21 82.93
Tests of Between-Subjects Effects
Source Corrected Model
46.69
51.02
N oven
46.68
52.25
51.01 52.62
Between-Subjects Factors
o_vakum
52.19
46.71
Univariate Analysis of Variance
jenis_pengering
x DP
F 195392.69 0 12384197. 985 195392.69 0
Sig. .000 .000 .000
78.26
Lampiran 2 . Hasil Pengolahan Data Derajat Putih Berbagai Jenis Pengeringan (sambungan)
Post Hoc Tests jenis_pengering Homogeneous Subsets derajat_putih Duncan N jenis_pengering o_vakum
Subset
1 3
rmh_kaca
3
oven
3
spr_dry
3
Sig.
2 46.6907
3
4
1
51.0359
1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .003. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.
52.2460 78.2591 1.000
1.000
Lampiran 3. Data Analisis Warna dan Derajat Putih, PSI dan Densitas Kamba a. Data analisis warna konsentrat protein biji kecipir Sampel U
A
B
1 2 3 1 2 3
Y
x
y
X
Y
Z
L
a
57.71 57.79 57.77 56.04 56.02 55.95
0.3411 0.3411 0.3410 0.3425 0.3424 0.3424
0.3462 0.3461 0.3459 0.3467 0.3466 0.3466
56.8599 56.9551 56.9516 55.3611 55.3412 55.2720
57.71 57.79 57.77 56.04 56.02 55.95
52.1257 52.2297 52.2920 50.2372 50.2661 50.2033
75.97 76.02 76.01 74.86 74.85 74.80
0.661 0.700 0.738 1.001 1.001 1.000
X notasi Hunter Lab
X derajat putih (%)
12.494 12.478 L= 75.42 12.414 a=0.850 12.613 b=12.523 12.574 12.566
72.40
b
b. Data Particle Size Index (PSI) Jumlah Jumlah Persen Particle Ukuran partikel Sampel U sampel over Size mesh tertahan (g) (%) Index (g)
1
A
2
1
B
2
40 60 80 100 >100 40 60 80 100 >100 40 60 80 100 >100 40 60 80 100 >100
1.4501 1.6401 0.8257 0.3169 0.5852 1.0607 1.7536 0.8577 0.4327 0.5495 1.4997 1.6495 0.7557 0.4750 0.4709 1.1555 1.7770 0.8255 0.4053 0.6047
5.0000 5.0000 5.0000 5.0000 5.0000 5.0000 5.0000 5.0000 5.0000 5.0000 5.0000 5.0000 5.0000 5.0000 5.0000 5.0000 5.0000 5.0000 5.0000 5.0000
29.00 32.80 16.51 6.34 11.70 21.21 35.07 17.15 8.65 10.99 29.99 32.99 15.11 9.50 9.42 23.11 35.54 16.51 8.11 12.09
x ± SD (%)
62.54
62.90 63.05 ± 0.6346 62.80
63.98
Lampiran 3. Data Analisis Warna dan Derajat Putih, PSI dan Densitas Kamba (sambungan) c. Data Densitas Kamba Sampel
A B
U
Bobot gelas ukur kosong (g)
1 2 1 2
30.4533 30.4529 30.5357 30.5354
Volume gelas ukur (ml) 10 10 10 10
Bobot gelas ukur + sampel (g) 36.4396 36.4376 36.2343 36.1892
Densitas (g/ml)
x ± SD (g/ml)
0.5986 0.5985 0.5699 0.5654
0.5831 ± 0.0180
Lampiran 4. Kurva Standar dan Data Protein Terlarut Berbagai Nilai pH
pH 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
plo 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
Absorbansi 0,400 0,367 0,412 0,418 0,070 0,074 0,207 0,228 0,307 0,322 0,512 0,530 0,650 0,666 0,770 0,714 0,780 0,748 0,776 0,910 0,260 0,243
Ulangan 1 [ ] mg/0.5 ml 0,144 0,131 0,149 0,151 0,014 0,015 0,068 0,076 0,107 0,113 0,188 0,195 0,243 0,249 0,290 0,268 0,294 0,281 0,293 0,345 0,089 0,082
[ ] mg/ml 0,288 0,262 0,298 0,302 0,028 0,031 0,136 0,152 0,215 0,227 0,377 0,391 0,486 0,498 0,580 0,536 0,588 0,563 0,585 0,691 0,178 0,164
x 0,275 0,300 0,029 0,144 0,221 0,384 0,492 0,558 0,576 0,638 0,171
Lampiran 4. Kurva Standar dan Data Protein Terlarut Berbagai Nilai pH (sambungan)
pH plo 1 2 2 1 3 2 1 4 2 1 5 2 1 6 2 1 7 2 1 8 2 1 9 2 1 10 2 1 11 2 1 12 2
Absorbansi 0,470 0,496 0,177 0,142 0,120 0,122 0,296 0,311 0,329 0,333 0,538 0,500 0,620 0,494 0,650 0,674 0,684 0,704 0,720 0,718 0,365 0,346
Ulangan 2 [ ] mg/0.5 ml 0,172 0,182 0,056 0,042 0,034 0,034 0,103 0,109 0,116 0,118 0,199 0,184 0,231 0,181 0,243 0,252 0,256 0,264 0,270 0,270 0,130 0,123
[ ] mg/ml 0,343 0,364 0,112 0,084 0,067 0,069 0,206 0,218 0,232 0,235 0,397 0,367 0,462 0,362 0,486 0,505 0,512 0,528 0,541 0,539 0,261 0,246
x 0,354 0,098 0,068 0,212 0,234 0,382 0,412 0,495 0,520 0,540 0,253
Lampiran 5. Data Daya Serap Air dan Daya Serap Minyak a. Daya Serap Air
Sampel
A B
U
Bobot sampel (g)
Bobot sampel kering (g)
Volume air (ml)
Vol air bebas (ml)
Densitas air (g/ml)
Daya serap air (g/g)
x± SD (g/g)
1 2 1 2
1.0050 1.0024 1.0694 1.0649
0.9144 0.9121 0.9939 0.9897
10.00 10.00 10.00 10.00
8.40 8.40 8.60 8.50
1 1 1 1
1.7497 1.7542 1.4086 1.5156
1.607 ± 0.1730
Volume Volume Densitas Daya minyak minyak minyak serap kedelai bebas kedelai minyak (ml) (ml) (g/ml) (g/g)
x± SD (g/ml)
b. Data Daya Serap Minyak
Sampel
A B
U
Bobot sampel (g)
Bobot sampel kering (g)
1 2 1 2
1.0270 1.0418 1.0093 1.0504
0.9345 0.9479 0.9380 0.9762
10.00 10.00 10.00 10.00
9.00 9.00 8.80 8.80
0.88 0.88 0.88 0.88
0.9417 0.9283 1.1257 1.0817
1.0194 ± 0.0992
Lampiran 6. Hasil Pengolahan Data Aktivitas Emulsi Sebelum Dipanaskan Aktivitas Aktivitas emulsi Emulsi U1 (%) U2 (%)
pH 2 4 6 8 10
51.50 1.00 45.00 55.00 60.00
55.00 4.00 50.00 52.50 52.50
x ± SD (%) 53.25 ± 2.4749 2.50 ± 2.1213 47.50 ± 3.5355 53.75 ± 1.7678 56.25 ± 5.3033
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N pH
2
4
4
4
6
4
8
4
10
4
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Aktivitas_emulsi Source Corrected Model
Type III Sum of Squares 8224.300(a)
4
Mean Square 2056.075
F 138.768
Sig. .000
36380.450
1
36380.450
2455.373
.000
8224.300
4
2056.075
138.768
.000
Error
222.250
15
14.817
Total
44827.000
20
Intercept pH
Corrected Total
df
8446.550 19 a R Squared = .974 (Adjusted R Squared = .967)
Lampiran 6. Hasil Pengolahan Data Aktivitas Emulsi Sebelum Dipanaskan (sambungan)
Post Hoc Tests pH Homogeneous Subsets Aktivitas_emulsi Duncan pH
N
Subset
1
2 2.5000
3
1
4
4
6
4
47.5000
2
4
53.2500
8
4
53.7500
10
4
56.2500
Sig.
1.000
.052
53.2500
.312
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 14.817. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. b Alpha = .05.
Lampiran 7. Hasil Pengolahan Data Aktivitas Emulsi Setelah Dipanaskan Aktivitas Aktivitas emulsi Emulsi U1 (%) U2 (%)
pH 2 4 6 8 10
62.50 2.50 60.50 60.00 57.50
x ± SD (%)
57.50 10.50 55.00 59.00 55.00
60.00 ± 3.5355 6.50 ± 5.6568 57.75 ± 3.8891 59.50 ± 0.7071 56.25 ± 1.7678
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N pH
2
4
4
4
6
4
8
4
10
4
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: aktivitas_emulsi Source Model pH Error Total
Type III Sum of Squares 54726.500(a)
df 5
Mean Square 10945.300
F 957.315
Sig. .000
54726.500
5
10945.300
957.315
.000
171.500
15
11.433
54898.000 20 a R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .996)
Lampiran 7. Hasil Pengolahan Data Aktivitas Emulsi Setelah Dipanaskan (sambungan)
Post Hoc Tests pH Homogeneous Subsets aktivitas_emulsi Duncan N pH 4
Subset
1 4
2 6.5000
1
10
4
56.2500
6
4
57.7500
8
4
59.5000
2
4
60.0000
Sig.
1.000
.168
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 11.433. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. b Alpha = .05.
Lampiran 8. Hasil Pengolahan Data Pengaruh Panas pada Aktivitas Emulsi 4. t-Test: Paired Two Sample for Means pH 8 1. t-Test: Paired Two Sample for Means pH 2
Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Variable 1 53.25 22.25 4 -0.865484645 0 3 -1.588235294 0.105219849 2.353363435 0.210439698 3.182446305
Variable 2 60 16.66666667 4
2. t-Test: Paired Two Sample for Means pH 4
Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Variable 1 2.5 3.666666667 4 0.980037912 0 3 2.717464882 0.036352356 2.353363435 0.072704713 3.182446305
Variable 2 6.5 23 4
3. t-Test: Paired Two Sample for Means pH 6
Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Variable 1 47.5 19 4 -0.561316585 0 3 -3.058793098 0.027522658 2.353363435 0.055045315 3.182446305
Variable 2 57.75 10.25 4
Variable 1 Mean 53.75 Variance 6.25 Observations 4 Pearson Correlation -0.333333333 Hypothesized Mean Difference 0 df 3 t Stat -3.851204448 P(T<=t) one-tail 0.015457604 t Critical one-tail 2.353363435 P(T<=t) two-tail 0.030915207 t Critical two-tail 3.182446305 5. t-Test: Paired Two Sample for Means pH 10
Mean Variance Observations Pearson Correlation Hypothesized Mean Difference df t Stat P(T<=t) one-tail t Critical one-tail P(T<=t) two-tail t Critical two-tail
Variable 1 56.25 22.91666667 4 0.522232968 0 3 0 0.5 2.353363435 1 3.182446305
Variable 2 59.5 1 4
Variable 2 56.25 6.25 4
Lampiran 9. Data Aktivitas Emulsi Selama 6 Jam Aktivitas emulsi U1 selama 6 jam Vol Vol Vol emulsi emulsi pH emulsi jam ke jam kejam ke-1 -0 0.5 2 5.15 5.00 4.75 4 0.10 0.10 0.10 6 4.50 4.40 4.15 8 5.50 5.50 5.50 10 6.00 6.00 6.00
Vol Vol Vol emulsi emulsi emulsi jam ke- jam ke- jam ke2 4 6 4.75 4.75 4.75 0.10 0.10 0.10 4.00 4.00 4.00 5.50 5.50 5.50 6.00 6.00 6.00
Aktivitas emulsi U1 selama 6 jam Vol Vol Vol emulsi emulsi pH emulsi jam ke jam kejam ke-1 -0 0.5 2 5.50 5.50 5.50 4 0.40 0.40 0.40 6 5.00 5.00 4.75 8 5.25 5.25 5.25 10 5.25 5.25 5.25
Vol Vol Vol emulsi emulsi emulsi jam ke- jam ke- jam ke2 4 6 5.50 5.50 5.50 0.40 0.35 0.35 4.75 4.75 4.75 5.25 5.25 5.25 5.25 5.25 5.00
Rata-rata aktivitas emulsi setelah 6 jam Vol Vol Vol emulsi emulsi pH emulsi jam ke jam kejam ke-1 -0 0.5 2 5.33 5.25 5.13 4 0.25 0.25 0.25 6 4.75 4.70 4.45 8 5.38 5.38 5.38 10 5.63 5.63 5.63
Vol Vol Vol emulsi emulsi emulsi jam ke- jam ke- jam ke2 4 6 5.13 5.13 5.13 0.25 0.23 0.23 4.38 4.38 4.38 5.38 5.38 5.38 5.63 5.63 5.50
Lampiran 10. Hasil Pengolahan Data Kapasitas Buih
Univariate Analysis of Variance Between-Subjects Factors N pH
4
2
7
2
10
2
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Kapasitas_buih Type III Sum of Squares 3796.374(a)
Source Corrected Model
df 2
Mean Square 1898.187
F 53.409
Sig. .005
Intercept
7822.870
1
7822.870
220.110
.001
pH
3796.374
2
1898.187
53.409
.005
Error
106.622
3
35.541
Total
11725.866
6
Corrected Total
3902.996 5 a R Squared = .973 (Adjusted R Squared = .954)
Post Hoc Tests pH Homogeneous Subsets Kapasitas_buih Duncan N pH 4
Subset
1 2
7
2
10
2
Sig.
2 2.3800
3
1
43.1800 62.7650
1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 35.541. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.