PENDUGAAN PERTUMBUHAN DAN MORTALITAS IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) YANG DIDARATKAN DI PPN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWABARAT
LULY NURUL FADHILAH
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : Pendugaan Pertumbuhan dan Mortalitas Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) yang Didaratkan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2010
Luly Nurul Fadhilah C24061295
RINGKASAN Luly Nurul Fadhilah, C24061295. Pendugaan Pertumbuhan dan Mortalitas Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) yang Didaratkan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Dibawah bimbingan Zairion dan Rahmat Kurnia. Palabuhanratu merupakan lokasi penting bagi perikanan tangkap di daerah pantai selatan Jawa Barat. Salah satu hasil tangkapan yang dominan dan memiliki nilai ekonomis penting yang didaratkan di PPN Palabuhanratu yaitu ikan cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus 1758). Data statistik perikanan PPN Palabuhanratu tahun 2005-2008 menunjukkan jumlah produksi penangkapan ikan cakalang mengalami penurunan setiap tahunnya. Oleh karena itu diperlukan suatu alternatif pengelolaan yang berkelanjutan agar perikanan cakalang tetap lestari, dengan dilakukannya suatu kajian mengenai pertumbuhan, mortalitas, dan laju eksploitasi ikan cakalang yang didaratkan di PPN Palabuhanratu. Penelitian dilaksanakan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pengambilan data primer dilakukan selama tiga bulan dari tanggal 9 Maret – 18 Mei 2010 dengan interval waktu pengambilan dua minggu. Alat dan bahan yang digunakan yaitu meteran kain dengan ketelitian 0,1 cm, timbangan digital dengan ketelitian 1 gram, kamera digital, alat tulis, kuesioner wawancara, data statistik dan ikan cakalang yang digunakan sebagai contoh. Data dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linier hubungan panjang dan bobot untuk menduga pola pertumbuhan diikuti perhitungan faktor kondisi, metode NORMSEP (Normal Separation) dalam program FiSAT II ( FAO-ICLARM Fish Stock Assesment Tool) untuk menganalisis kelompok ukuran, metode ELEFAN I (Electronik Lenght Frequency Analisis) yang terdapat dalam program FiSAT II digunakan untuk menduga parameter pertumbuhan, kemudian mortalitas total (Z) menggunakan metode Jones&Van Zalinge yang juga terdapat pada program FiSAT II, mortalitas alami (M) dengan menggunakan rumus empiris Pauly, mortalitas penangkapan (F) dengan rumus F=Z-M, serta laju eksploitasi menggunakan rumus E=F/Z. Musim penangkapan ikan cakalang berlangsung antara bulan Juni hingga Oktober, dengan puncaknya pada bulan Agustus hingga September. Ikan cakalang didistribusikan dalam bentuk segar ataupun olahan seperti pindang. Berdasarkan hasil wawancara harga ikan cakalang yang dijual di pasar ikan Palabuhanratu dalam bentuk segar yaitu seharga ± Rp.10.000/kg, sedangkan pindang berkisar antara Rp.15.000Rp.20.000/kg. Ikan yang memiliki kualitas tinggi di ekspor ke negara Korea dan Jepang. Hasil analisis diperoleh bahwa persamaan hubungan panjang bobot ikan cakalang selama pengamatan adalah W = 4x10-6L3,1982.Setelah dilakukan uji-t diperoleh hasil thit>ttab yang berarti tolak H0 yaitu pola pertumbuhan ikan cakalang bersifat allometrik positif, yaitu pertambahan bobot lebih cepat daripada pertambahan panjangnya. Faktor kondisi rata-rata yang diperoleh yaitu berkisar antara 0,99-1,45. Modus kelas panjang sebaran ukuran ikan cakalang relatif terjadi pergeseran ke kanan, hal ini menunjukkan adanya pertumbuhan. Persamaan pertumbuhan von Bertalannfy yang diperoleh adalah Lt = 662,03(1-e-0,17(t+0,6909)). Panjang infinitif atau panjang maksimum teoritis (L∞) diperoleh sebesar 662,03 mm dengan koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0,17 serta umur ikan pada saat panjangnya nol (t0) adalah 0,6909 tahun. Umur ikan cakalang untuk maksimum (L∞) yaitu selama 96 bulan.
Laju mortalitas total (Z) ikan cakalang sebesar 3,2390 per tahun dengan mortalitas alami (M) sebesar 0,1934 per tahun, mortalitas penangkapan (F) sebesar 3,0456 per tahun serta laju eksploitasi sebesar 0,94, yang artinya 94% kematian ikan cakalang diakibatkan oleh penangkapan. Dari hasil-hasil analisis tersebut maka diperlukannya suatu alternatif pengelolaan agar perikanan cakalang tetap lestari serta berkelanjutan, dengan pembatasan upaya penangkapan, pengalihan atau perluasan daerah penangkapan, dan penutupan musim penangkapan.
PENDUGAAN PERTUMBUHAN DAN MORTALITAS IKAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) YANG DIDARATKAN DI PPN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT
LULY NURUL FADHILAH
C24061295
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PENGESAHAN SKRIPSI Judul Skripsi
: Pendugaan Pertumbuhan dan Mortalitas Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) yang Didaratkan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat
Nama
: Luly Nurul Fadhilah
NIM
: C24061295
Program Studi
: Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui : Pembimbing I,
Pembimbing II,
Ir. Zairion, M.Sc NIP. 19640703 199103 1 003
Ir. Rahmat Kurnia, M.Si NIP. 19680928 199302 1 001
Mengetahui : Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002
Tanggal Lulus : 3 Agustus 2010
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pendugaan Pertumbuhan dan Mortalitas Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) yang Didaratkan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat; disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada Maret-Mei 2010. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi. Penulis juga menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengaharapkan saran dan kritik guna kemajuan penulis dimasa mendatang. Semoga penyusunan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak.
Bogor, Agustus 2010
Penulis
vii
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Ir. Zairion, M.Sc dan Ir. Rahmat Kurnia, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, nasehat, saran serta masukan kepada penulis selama pelaksaan penelitian sampai dengan penyusunan skripsi ini.
2.
Dr. Ir. Achmad Fachrudin, MS selaku dosen penguji tamu dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku dosen penguji dari program studi yang telah memberikan saran bagi penulis.
3.
Pengelola PPN Palabuhanratu atas dukungan dan bantuannya selama penulis melaksanakan penelitian.
4.
Untuk keluarga tercinta, Ibunda (T. Sukeisih), Ayahanda (Purqon), kakak-kakakku dan kedua keponakanku yang telah memberikan doa, dukungan, semangat dan kasih sayang yang diberikan selama ini.
5.
Dany Hidayat atas doa, kesabaran, dukungan, semangat dan kasih sayang yang selama ini diberikan kepada penulis.
6.
Mba’ Widar dan staf TU Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan atas bantuan dan dukungannya kepada penulis.
7.
Sahabat-sahabatku ADC++, Dinda Zakiyah H, Restu Rahayu B, Dwi Endah W, Astri Ayuningtias, Maretha Isyana, Gafar Abdul K, Khoirul umam, Edwin A Habibun, Deny wahyudi, Danang Dwiananto serta Afifah Hazrina (selaku partner penelitian) yang telah memberikan dukungan, masukkan, dan bantuan kepada penulis selama masa perkuliahan sampai dengan penyusunan skripsi ini.
8.
Andreana Friska M, Octavianies S, dan keluarga besar MSP 43 yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas dukungan, bantuan dan kebersamaannya selama ini.
viii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 18 Mei 1988. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak H. Purqon, S.Pd dan Ibu Hj. T. Sukeisih. Penulis menjalani pendidikan formal berawal dari TK Islam Arafah (19931994), SDN Menteng Atas 11 (1994-2000), SLTP 67 Jakarta (20002003) dan SMAN 3 Teladan Jakarta (2003-2006). Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti masa perkuliahan penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Sumberdaya Perikanan (2009/2010). Untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, penulis menyusun skripsi yang berjudul “Pendugaan Pertumbuhan dan Mortalitas Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) yang Didaratkan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat”.
ix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................................................
xiv
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .......................................................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ................................................................................................ 1.3. Tujuan ........................................................................................................................... 1.4. Manfaat .........................................................................................................................
1 2 3 3
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Ikan Cakalang ...................................................................................... 2.2. Morfologi Ikan Cakalang ....................................................................................... 2.3. Biologi dan Distribusi Ikan Cakalang ............................................................... 2.4. Pola Migrasi Ikan Cakalang .................................................................................. 2.5. Alat Tangkap Ikan Cakalang ................................................................................ 2.6. Hubungan Panjang dan bobot ........................................................................... 2.7. Faktor Kondisi ........................................................................................................... 2.8. Sebaran Frekuensi Panjang ................................................................................. 2.9. Pertumbuhan ............................................................................................................. 2.10. Mortalitas dan Laju Eksploitasi .......................................................................... 2.11. Pengelolaan Perikanan ........................................................................................... 2.12. Kondisi Lingkungan Perairan .............................................................................
4 4 5 6 8 9 10 10 11 11 12 14
3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu ................................................................................................... 3.2. Pengumpulan Data .................................................................................................. 3.2.1. Pengumpulan data primer ....................................................................... 3.2.2. Pengumpulan data sekunder .................................................................. 3.3. Analisis Data ............................................................................................................... 3.3.1. Hubungan Panjang dan Bobot ................................................................ 3.3.2. Faktor Kondisi................................................................................................ 3.3.3. Sebaran Frekuensi Panjang ..................................................................... 3.3.4. Pertumbuhan ................................................................................................. 3.3.5. Mortalitas dan Laju Eksploitasi ..............................................................
15 15 15 17 17 17 18 19 19 20
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Palabuhanratu dan Sekitarnya ............ 4.2. Kondisi Umum Perikanan Cakalang di Palabuhanratu ............................ 4.3. Hubungan Panjang dan Bobot ............................................................................ 4.4. Faktor Kondisi ........................................................................................................... 4.5. Sebaran Frekuensi Panjang ................................................................................. 4.6. Kelompok Ukuran .................................................................................................... 4.7. Pertumbuhan .............................................................................................................
22 23 25 28 29 31 33
x
4.8. 4.9.
Mortalitas dan Laju eksploitasi .......................................................................... Alternatif Rencana Pengelolaan .........................................................................
35 36
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ................................................................................................................. 5.2. Saran ..............................................................................................................................
38 38
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................................
39
LAMPIRAN .......................................................................................................................................
42
xi
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Data Produksi ikan cakalang (kg) yang di daratkan di Palabuhanratu Tahun 2005-2008 .................................................................................................................
3
2.
Hubungan panjang dan bobot ikan cakalang pada setiap pengamatan setelah dilakukan uji-t ........................................................................................................
25
3.
Pola pertumbuhan ikan cakalang dari beberapa penelitian ...............................
27
4.
Nilai tengah panjang cagak setiap kelompok ukuran ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) pada setiap pengamatan ......................................................
32
5.
Parameter pertumbuhan K, L∞ , t0 ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang didaratkan di PPN Palabuhanratu ......................................................................
33
6.
Parameter pertumbuhan ikan cakalang dari dua lokasi penelitian ................
33
7.
Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang didaratkan di PPN Palabuhanratu ......................................................................
35
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) ............................................................................
4
2.
Peta lokasi penelitian ..........................................................................................................
15
3.
Skema pengambilan contoh .............................................................................................
16
4.
Grafik persentase alat tangkap ikan cakalang ..........................................................
25
5.
Grafik persentase jenis ikan yang ditangkap dengan alat tangkap pancing tonda..........................................................................................................................
25
6.
Grafik hubungan panjang bobot ikan cakalang ........................................................
26
7.
Grafik nilai tengah faktor kondisi ..................................................................................
28
8.
Sebaran frekuensi panjang ikan cakalang ..................................................................
30
9.
Kelompok ukuran ikan cakalang ....................................................................................
31
10. Kurva pertumbuhan ikan cakalang ...............................................................................
34
11. Grafik produksi ikan cakalang tahun 2005-2008 ....................................................
36
12. Grafik persentasi ikan cakalang yang belum dan sudah mencapai ukuran matang gonad .........................................................................................................
37
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Alat-alat dan bahan yang digunakan.............................................................................
43
2.
Data yang diambil di PPN Palabuhanratu ..................................................................
44
3.
Alat tangkap ikan cakalang................................................................................................
45
4.
Proses pembongkaran ikan cakalang di PPN Palabuhanratu ............................
46
5.
Kuesioner nelayan ikan cakalang ...................................................................................
47
6.
Data panjang cagak dan bobot basah ikan cakalang ..............................................
48
7.
Perhitungan uji statistik nilai b hubungan panjang bobot ikan cakalang pada seluruh pengamatan ................................................................................................
52
8.
Grafik hubungan panjang bobot ikan cakalang yang didaratkan di PPN Palabuhanratu pada setiap pengamatan ....................................................................
53
9.
Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh 1 ............................................................................
55
10. Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh 2 ............................................................................
57
11. Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh 3 ...........................................................................
59
12. Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh 4 ...........................................................................
61
13. Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh 5 ...........................................................................
63
14. Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh 6 ...........................................................................
65
15. Faktor kondisi (FK) ikan cakalang setiap pengamatan ........................................
67
16. Pendugaan pertumbuhan dengan metode ELEFAN I dalam program FiSAT II .....................................................................................................................................
70
17. Pendugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan cakalang ..........................
71
xiv
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki sumberdaya perikanan yang
sangat besar. Walaupun demikian seiring meningkatnya jumlah penduduk dunia dan kebutuhan akan pangan dan gizi yang lebih baik maka permintaan ikan pun terus meningkat dari tahun ketahun. Hal ini akan mengakibatkan penurunan dari sumberdaya perikanan tersebut. Di daerah pantai selatan Jawa Barat terdapat lokasi penting bagi perikanan tangkap yaitu Palabuhanratu. Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu yang berada di kota Palabuhanratu di Teluk Palabuhanratu menghadap ke Samudera Indonesia dipandang sangat strategis karena berada pada posisi dekat dengan daerah penangkapan (fishing ground), yakni Perairan Samudera Indonesia. Potensi sumberdaya ikan di Samudera Indonesia untuk Selatan Jawa dimana Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu berada cukup besar, yaitu sebesar 80.000 ton per tahun (Ditjen Tangkap-DKP 2000). Secara geografis Teluk Palabuhanratu terletak pada posisi 60 57’-70 07’ LS dan 1060 22’-1060 23’ BT dengan panjang pantai lebih kurang 105 km. Perairan tersebut merupakan perairan pantai selatan Jawa Barat yang memilliki hubungan dengan Samudra Hindia. Kecamatan Palabuhanratu berbatasan dengan Kecamatan Cikedang di sebelah utara, di sebelah barat dengan Kecamatan Cisolok, Samudera Indonesia di sebelah barat daya dan di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Warung Kiara (Ditjen Tangkap-DKP 2000). Salah satu hasil tangkapan yang dominan dan memiliki nilai ekonomis penting di Palabuhanratu yaitu ikan cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758). Ikan cakalang adalah salah satu hasil tangkapan ikan pelagis besar yang dominan selain ikan tuna dan tongkol. Ikan ini merupakan sumberdaya ikan yang potensial untuk dikembangkan, karena salah satu sumber makanan sehat bagi masyarakat dan juga sebagai sumber devisa negara. Ikan cakalang termasuk kedalam keluarga scombroidae yang tergolong ikan perenang cepat. Ikan ini ditangkap dengan menggunakan alat tangkap gill net, pancing tonda, purse seinne, huhate, rawai tuna dan payang. Wilayah penangkapan ikan cakalang meliputi Ujung Genteng, Cidaun, Ujung Kulon (Perairan Selatan Jawa), dan Samudera Hindia (Ditjen Tangkap-DKP 2000).
2 Pertumbuhan merupakan parameter utama untuk ikan-ikan bernilai ekonomis, karena pertumbuhan ini dapat menentukan hasil produksi. Pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam satuan waktu (Effendie 1997). Pertumbuhan merupakan salah satu aspek biologi ikan yang diperlukan dalam pengelolaan perikanan. Mengingat semakin tingginya tingkat eksploitasi sumberdaya ikan cakalang untuk pemenuhan gizi maupun perekonomian. Dengan mengetahui pola pertumbuhan ikan cakalang dapat dijadikan informasi sebagai acuan dalam suatu pengelolaan sumberdaya ikan cakalang yang berkelanjutan di PPN Palabuhanratu.
1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan data Food Outlook (FAO 2007 in Suhana 2009) produksi
perikanan tangkap Indonesia mengalami penurunan sebesar 4,55%. Penurunan tersebut lebih besar dari rata-rata penurunan produksi perikanan dari sepuluh negara produser perikanan dunia, yaitu sebesar 2,37%. Pada tahun yang sama (2007), FAO mempublikasikan bahwa kondisi sumberdaya ikan di sekitar perairan Indonesia, terutama di sekitar perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik sudah menujukan kondisi full exploited. Bahkan di perairan Samudera Hindia kondisinya cenderung mengarah kepada overexploited, dengan demikian dikedua perairan tersebut saat ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan ekspansi penangkapan ikan secara besar-besaran. Permintaan ikan yang selalu meningkat tentunya memiliki makna positif bagi pengembangan perikanan. Terlebih bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki potensi perairan yang cukup luas dan potensial untuk pengembangan perikanan baik penangkapan maupun akuakultur. Namun dengan adanya tuntutan pemenuhan kebutuhan akan sumberdaya tersebut maka tekanan eksploitasi terhadap sumberdaya ikan tersebut tidak dapat dihindari. Penangkapan yang terus meningkat dapat membahayakan kelestarian ikan cakalang di Palabuhanratu (seperti data produksi ikan cakalang tahun 2005-2008 yang disajikan pada Tabel 1). Karena semakin meningkatnya upaya penangkapan terhadap suatu sumberdaya ikan maka akan mengakibatkan menurunnya populasi ikan tersebut dikemudian hari. Oleh karena itu untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan cakalang di PPN Palabuhanratu diperlukannya suatu pengkajian mengenai pertumbuhan yang mencakup struktur ukuran panjang dan pola pertumbuhan agar
3 dapat mengetahui ukuran ikan cakalang yang sebaiknya ditangkap oleh nelayan agar tidak merusak kelestarian dari populasi ikan cakalang.
Tabel 1. Data produksi ikan cakalang (kg) yang di daratkan di Palabuhanratu Tahun 2005-2008. Tahun
Produksi (kg)
2005
1.860.679
2006
1.001.301
2007
742.047
2008
272.577
Sumber : PPN Palabuhanratu 2006-2009
1.3
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, antara lain : 1. Mengetahui beberapa aspek biologi pertumbuhan ikan cakalang yang didaratkan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. 2. Menduga mortalitas total dan laju eksploitasi. 3. Merumuskan alternatif rencana pengelolaan perikanan cakalang.
1.4
Manfaat Penelitian mengenai pendugaan pertumbuhan dan mortalitas ikan cakalang ini
diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pola pertumbuhan serta ukuran ikan cakalang yang sebaiknya ditangkap dalam upaya pengaturan dan pengendalian penangkapan ikan cakalang agar tercapai pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan di Teluk Palabuhanratu dan sekitarnya, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Klasifikasi Ikan Cakalang Ikan cakalang (Gambar 1) dikenal sebagai skipjack tuna dengan nama lokal
cakalang. Adapun klasifikasi ikan cakalang menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Kelas
: Chordata
Subkelas
: Pisces
Ordo
: Perciformes
Subordo
: Scombroidei
Famili
: Scrombridae
Subfamili
: Thunninae
Genus
: Katsuwonus
Spesies
: Katsumonus pelamis (Linnaeus, 1758)
Nama umum
: Skipjack tuna
Nama lokal
: Cakalang, salur (Palabuhanratu)
Gambar 1. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Sumber : www.fishbase.org
2.2.
Morfologi Ikan Cakalang Cakalang termasuk jenis ikan tuna dalam famili Scombridae, species
Katsuwonus pelamis (Linnaeus, 1758). Ikan cakalang memiliki bentuk tubuh fusiform, memanjang dan agak bulat. Gigi-giginya kecil dan berbentuk kerucut dalam seri tunggal. Tapis insang (gill rakes) berjumlah 53- 63 pada helai pertama. Mempunyai dua sirip punggung yang terpisah. Pada sirip punggung yang pertama terdapat 14-16
5 jari-jari keras, jari-jari lemah pada sirip punggung kedua diikuti oleh 7-9 finlet. Sirip dada pendek, terdapat dua flops diantara sirip perut. Sirip anal diikuti dengan 7-8 finlet. Badan tidak bersisik kecuali pada barut badan (corselets) dan lateral line terdapat titik-titik kecil. Bagian punggung berwarna biru kehitaman (gelap) disisi bawah dan 6 perut keperakan, dengan 4-6 buah garis-garis berwarna hitam yang memanjang pada bagian samping badan. Ukuran fork length maksimum ikan cakalang kurang lebih 108 cm dengan berat 32,5 – 34,5 kg, sedangkan ukuran yang umumnya tertangkap adalah 40 – 80 cm dengan berat 8 – 10 kg (FAO 1983).
2.3.
Biologi dan Distribusi Ikan Cakalang FAO (1983) menyebutkan bahwa makanan utama ikan cakalang adalah ikan-
ikan kecil, crustacea, dan moluska. Ikan Cakalang termasuk ikan perenang cepat dan mempunyai sifat makan yang rakus. Biasanya ikan cakalang luar biasa rakus pada waktu pagi hari (sekitar jam 09.00), kemudian menurun pada tengah hari dan nampak menanjak kembali pada waktu senja (Gunarso 1985). Pada umumnya ikan cakalang yang berukuran panjang lebih besar dari 50 cm memangsa lebih banyak cephalopoda dan crustacea dibandingkan dengan ikan cakalang yang ukuran panjangnya lebih kecil dari 50 cm. Walaupun demikian ikanikan kecil masih merupakan makanan utamanya. Bervariasi berbagai jenis organisme dalam makanan ikan cakalang serta adanya sifat kanibalisme menunjukkan bahwa ikan cakalang tergolong oportunistic feeder, yaitu ikan yang memangsa segala jenis makanan yang tersedia di perairan. Ikan cakalang yang berukuran panjang 41 – 87 cm biasanya sudah mulai memijah dan dapat menghasilkan sekitar 80.000 – 2.000.000 telur (FAO 1983). Namun ukuran ikan cakalang pertama kali matang gonad yaitu pada ukuran 40 – 45 cm (www.fishbase.org). Penyebaran ikan cakalang umumnya mengikuti penyebaran atau sirkulasi arus garis konvergensi diantara arus dingin dan arus panas yang merupakan daerah kaya akan organisme. Daerah penyebarannya membentang di sekitar 400LU-300LS, sedangkan daerah penangkapannya yang terbesar berada sepanjang katulistiwa, yaitu antara 100LU-10oLS. Di perairan Indonesia yang padat sering dijumpai pada perairan sekitar kalimantan, Sulawesi, Halmahera, kepulauan Maluku dan Irian Jaya (Gunarso 1985).
6 2.4.
Pola Migrasi Ikan Cakalang Migrasi atau ruaya ikan adalah adalah pergerakan perpindahan dari suatu
tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang menguntungkan untuk eksistensi hidup dan keturunannya. Ikan mengadakan migrasi dengan tujuan untuk pemijahan, mencari makanan dan mencari daerah yang cocok untuk kelangsungan hidupnya. Migrasi ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor eksternal dan faktor internal (Reinnamah 2010). Chusing (1968) in Effendie (1997) mengemukakan bahwa studi ruaya ikan merupakan hal yang fundamental untuk biologi perikanan, karena dengan mengetahui lingkaran ruaya akan diketahui batas-batas daerah mana stok atau sub populasi itu hidup. Ikan cakalang dapat hidup nyaris di semua lautan yang ada di muka bumi ini karena itulah dapat dikatakan bahwa ikan cakalang termasuk jenis oseanodrom (hidup dan beruaya atau bermigrasi di lautan). Ruaya jenis cakalang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penyebaran secara vertical dan penyebaran secara horizontal. Penyebaran secara vertical berarti penyebaran menurut kedalaman perairan, sedangkan penyebaran horizontal berarti penyebaran berdasarkan letak geografis suatu perairan (www.mei-smart.blogspot.com). Penyebaran cakalang secara horizontal memiliki tujuan yang berbeda dengan penyebaran secara vertikal. Ruaya vertikal yang dilakukan oleh cakalang dimaksudkan untuk memijah, sedangkan ruaya secara horizontal dilakukan cakalang untuk mencari makan dan melakukan pengungsian. Di Pantai Kulisusu Buton Utara pada bulan September-November jutaan ikan cakalang biasanya melakukan migrasi ke arah pantai untuk memijah (Mukhtar 2009). Cakalang sering membentuk gerombolan untuk melakukan ruaya atau migrasi jarak jauh dengan melawan arus. Karena biasa bergerombol di perairan pelagis hingga kedalaman 200 m maka cakalang dapat pula dikatakan sebagai brakheadrom yaitu ikan yang beruaya di perairan dangkal. Di samudra Hindia secara terus-menerus dan teratur cakalang bergerak mulai dari pantai Barat Australia, sebelah selatan Kepulauan Nusa Tenggara, sebelah selatan Pulau Jawa, sebelah barat Sumatra, laut Andaman, menuju luar Pantai Bombay, di luar pantai Ceylon, sebelah barat Hindia, Teluk Aden, perbatasan samudra Hindia dengan pantai Sobali, pantai timur dan selatan Afrika dimana pergerakannya dilakukan pada bulan April hingga September. Sementara itu, di kawasan Atlantik ikan cakalang bergerak dari laut Barents menuju pantai utara Inggris Raya hingga ke kepulauan Bermuda pada September hingga Februari (www.mei-smart.blogspot.com).
7 Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ruaya atau migrasi ikan cakalang (Musida 2009) yaitu : A.
Faktor Eksternal Suhu Fluktuasi suhu dan perubahan geografis merupakan faktor penting yang
merangsang dan menentukan keberadaan ikan. Suhu akan mempengaruhi proses metabolisme, aktifitas gerakan tubuh, dan berfungsi sebagai stimulus saraf.
Salinitas Ikan cenderung memilih medium dengan salinitas yang lebih sesuai dengan
tekanan osmotik tubuh mereka masing-masing. Perubahan salinitas akan merangsang ikan cakalang dan jenis ikan lainnya untuk melakukan migrasi ke tempat yang memiliki salinitas yang sesuai dengan tekanan osmotik tubuhnya.
Arus pasang surut Arus akan mempengaruhi migrasi ikan melalui transport pasif telur ikan dan
juvenil dari daerah pemijahan menuju daerah asuhan dan mungkin berorientasi sebagai arus yang berlawanan pada saat spesies dewasa bermigrasi dari daerah makanan menuju ke daerah pemijahan. Ikan dewasa yang baru selesai memijah juga memanfaatkan arus untuk kembali ke daerah makanan. Pasang surut di perairan menyebabkan terjadinya arus di perairan yang disebut arus pasang dan arus surut.
Intensitas cahaya Perubahan intensitas cahaya sangat mempengaruhi pola penyebaran ikan, tetapi
respon ikan terhadap perubahan intensitas cahaya dipengaruhi oleh jenis ikan, suhu, dan tingkat kekeruhan perairan.
Ikan cakalang
mempunyai kecenderungan
membentuk kelompok kecil pada siang hari dan menyebar pada malam hari.
Musim Musim akan mempengaruhi migrasi vertikal dan horisontal ikan, migrasi
diindikasikan dikontrol oleh suhu dan intensitas cahaya. Ikan pelagis dan ikan demersal mengalami migrasi musiman horisontal, mereka biasanya menuju ke perairan lebih dangkal atau dekat permukaan selama musim panas dan menuju perairan lebih dalam pada musim dingin.
Matahari Ikan-ikan pelagis, termasuk cakalang, yang bergerak pada lapisan permukaan
diindikasikan menggunakan matahari sebagai kompas.
8
Pencemaran air limbah Pencemaran air limbah akan mempengaruhi migrasi ikan, penambahan kualitas air
limbah dapat menyebabkan perubahan pola migrasi ikan. B. Faktor internal
Kematangan gonad Kematangan gonad diduga merupakan salah satu pendorong bagi ikan untuk
melakukan migrasi. Akan tetapi, ikan cakalang melakukan migrasi sebagai proses untuk pematangan gonad sehingga mampu memijah.
Insting Semua jenis ikan mampu menemukan kembali daerah asal mereka meskipun
sebelumnya ikan tersebut menetas dan tumbuh di daerah yang sangat jauh dari tempat asalnya dan belum pernah melewati daerah tersebut. Kemampuan ini diindikasikan merupakan insting yang dimiliki oleh ikan bahkan oleh semua jenis hewan.
Aktifitas renang Aktifitas renang ikan meningkat pada malam hari, kebanyakan ikan bertulang
rawan (elasmobranch) dan ikan bertulang keras (teleost) lebih aktif berenang pada malam hari daripada di siang hari.
2.5.
Alat Tangkap Ikan Cakalang Nelayan Palabuhanratu dalam melakukan operasi penangkapan ikan
menggunakan berbagai alat penangkapan ikan. Ikan cakalang biasanya ditangkap dengan menggunakan alat tangkap gillnet, pancing tonda, purse seinne, huhate, rawai tuna dan payang. Pancing tonda merupakan salah satu alat tangkap ikan pelagis besar yang memiliki nilai ekonomis tinggi, seperti ikan tuna, ikan cakalang dan tongkol sebagai target penangkapannya. Pancing tonda adalah alat penangkapan ikan yang sederhana dan tidak memerlukan biaya besar dalam pengoperasiannya. Pancing tonda adalah pancing yang diberi tali panjang dan ditarik oleh perahu atau kapal. Pancing diberi umpan ikan segar atau umpan palsu yang karena pengaruh tarikan bergerak di dalam air sehingga merangsang ikan buas menyambarnya. Pengoperasian tonda memerlukan kapal atau perahu yang selalu bergerak di depan gerombolan ikan sasaran. Biasanya pancing ditarik dengan kecepatan 2-6 knot tergantung jenisnya. Ukuran perahu atau kapal yang digunakan berkisar 0,5-10 GT (Sudirman & Mallawa 2004).
9 Rumpon biasa juga disebut dengan Fish Agregation Device (FAD) yaitu suatu alat bantu penangkapan yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul dalam suatu catchble area (Sudirman & Mallawa 2004). Ada beberapa prediksi mengapa ikan senang berada di sekitar rumpon :
Rumpon tempat berkumpulnya plankton dan ikan-ikan kecil lainnya, sehingga mengundang ikan-ikan yang lebih besar untuk tujuan feeding.
Merupakan suatu tingkah laku dari berbagai jenis ikan untuk berkelompok di sekitar kayu terapung (seperti jenis-jenis tuna dan cakalang). Dengan demikian, tingkah laku ikan ini dimanfaatkan untuk tujuan penangkapan. Kepadatan gerombolan ikan pada rumpon diketahui oleh nelayan berdasarkan
buih atau gelembung-gelembung udara yang timbul di permukaan air, warna air yang gelap karena pengaruh gerombolan ikan atau banyaknya ikan-ikan kecil yang bergerak disekitar rumpon. Di Indonesia, nelayan umumnya menggunakan pelampung dari bambu, sedangkan tali temalinya masih menggunakan natural fibres (bahan alamiah) biasanya dari rotan dan pemberatnya menggunakan batu gunung atau batu karang, sedangkan atraktornya dari daun kelapa. Rumpon ini jenis ini biasanya dipasang di perairan dangkal puluhan sampai ratusan meter dengan tujuan untuk mengumpulkan ikan-ikan pelagis kecil. Sedangkan rumpon yang dipasang pada perairan yang lebih dalam (ratusan sampai ribuan meter tali temalinya telah menggunakan sintetic fibres (tali nylon)), dengan tujuan utama mengumpulkan ikan layang, tuna dan cakalang (Sudirman & Mallawa 2004).
2.6.
Hubungan Panjang dan Bobot Analisis hubungan panjang dan bobot bertujuan untuk mengetahui pola
pertumbuhan dengan menggunakan parameter panjang dan bobot ikan. Hasil analisis pertumbuhan panjang-bobot akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b), yang akan menunjukkan laju pertumbuhan parameter panjang dan bobot. Ikan yang memiliki nilai b=3 (isometrik) menunjukkan pertambahan panjangnya seimbang dengan pertambahan bobot. Sebaliknya jika nilai b≠3 (allometrik) menunjukkan pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan bobotnya. Jika pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan pertambahan panjang (b>3), maka disebut sebagai pertumbuhan allometrik positif. Sedangkan apabila pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan bobot (b<3), maka disebut sebagai pertumbuhan allometrik negatif (Effendie 1997).
10 2.7.
Faktor Kondisi Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan dalam
angka-angka. Perhitungan faktor kondisi didasarkan pada panjang dan bobot. Perhitungan faktor kondisi ini untuk melihat pada panjang dan bobot berapa ikan mencapai kondisi maksimum atau minimum. Faktor kondisi dapat mengindikasikan musim pemijahan bagi ikan khususnya untuk ikan-ikan betina (Effendie 1997). Nilai faktor kondisi dipengaruhi makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad. Selain itu faktor kondisi juga dipengaruhi oleh indeks relatif penting makanan dan pada ikan betina dipengaruhi oleh indeks kematangan gonad. Ikan yang cenderung menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber tenaga selama proses pemijahan, sehingga akibatnya ikan akan mengalami penurunan faktor kondisi (Effendie 1979).
2.8.
Sebaran Frekuensi Panjang Data sebaran frekuensi panjang digunakan untuk mengetahui frekuensi
persebaran ikan di perairan berdasarkan ukuran panjangnya. Sebaran frekuensi panjang yang dibuat ini selanjutnya digunakan untuk pendugaan kelompok umur ikan. Analisis data frekuensi panjang ditujukan untuk menentukan umur terhadap kelompok-kelompok panjang tertentu. Analisis ini berguna dalam pemisahan suatu sebaran frekuensi panjang yang kompleks kedalam sejumlah kelompok ukuran (Sparre & Venema 1999). Menurut Busacker et al. (1990) umur ikan dapat ditentukan dari sebaran frekuensi panjang melalui analisis kelompok umur karena panjang ikan dari kelompor umur yang sama cenderung akan membentuk suatu sebaran normal. Dengan mengelompokkan ikan kedalam kelas-kelas panjang dan menggunakan modus panjang kelas tersebut kelompok umur ikan dapat diketahui. Tanda tahunan pada ikan tropis sangat sulit diamati untuk pendugaan umur karena tanda tahunan pada musim hujan tidak berbeda jelas dengan tanda tahunan pada musim kemarau. Ikan tropis relatif mengalami pertumbuhan sepanjang tahun. Oleh karena itu pendugaan umur ikan tropis umumnya dilakukan dengan metode frekuensi panjang (Tutupoho 2008). Berbeda dengan ikan sub tropis yang mengalami pertumbuhan cepat pada saat musim panas dan mengalami pertumbuhan yang lambat pada musim dingin (Sparre & Venema 1999). Indeks separasi merupakan kuantitas yang relevan terhadap studi bila dilakukan kemungkinan bagi suatu pemisahan yang berhasil dari dua komponen yang berdekatan, apabila indeks separasi kurang dari dua (I<2) maka tidak mungkin
11 dilakukan pemisahan di antara dua kelompok ukuran karena terjadi tumpang tindih yang besar antar kelompok ukuran tersebut (Hasselblad 1969, McNew & Summerflat 1978 dan Clark 1981 in Sparre & Venema 1999).
2.9.
Pertumbuhan Menurut Effendie (1997) pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang
atau berat dalam satu ukuran waktu, sedangkan bagi populasi adalah pertambahan jumlah. Pertumbuhan merupakan proses biologi yang kompleks, dimana banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dibagi menjadi dua bagian besar yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam adalah faktor yang sukar untuk dikontrol, seperti keturunan, sex, umur, parasit, dan penyakit. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, dan faktor kualitas air. Faktor ketersedian makanan sangat berperan dalam proses pertumbuhan. Pertama ikan memanfaatkan makanan untuk memelihara tubuh dan menggantikan sel-sel tubuh yang rusak, kemudian kelebihan makanan yang tersisa baru dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Persamaan pertumbuhan Von Bertalanfy merupakan persamaan yang umum digunakan dalam studi pertumbuhan suatu populasi (King 1995).
2.10. Mortalitas dan Laju Eksploitasi Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M) (King 1995). Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan von Bertalanffy K dan L∞. Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai M tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L∞ karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Sparre & Venema 1999). Mortalitas alami dipengaruhi oleh predator, penyakit, dan usia. Selain itu menurut Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi laju mortalitas alami yaitu suhu rata-rata perairan, selain itu panjang maksimum (L∞) dan laju pertumbuhan (K). Laju eksploitasi (E) merupakan bagian
12 suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Atau dapat diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik faktor alam maupun faktor penangkapan (Pauly 1984). Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) akan sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5 ( Foptimum = M atau Eoptimum = 0,5).
2.11. Pengelolaan Perikanan Pengelolaan perikanan meliputi beberapa aspek termasuk sumberdaya ikan, habitat atau lingkungan, dan manusia serta berbagai faktor eksternalnya. Pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh dikarenakan oleh semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan dan meningkatnya kesadaran dan kepedulian umum untuk memanfaatkan lingkungannya secara bijaksana, yakni dengan upaya pembangunan secara berkelanjutan. Namun demikian, upaya pengelolaan perikanan memiliki beberapa keterbatasan (constraint) karena umum sumberdaya ikan dan pemanfaatnya. Permasalahan dalam pengelolaan perikanan akan ditemui pada tiap bagian atau fungsi manajemen. Kondisi seperti ini membutuhkan berbagai upaya inovasi agar tujuan pengelolaan secara efektif dan efesien dapat tercapai (Widodo & Suadi 2006). Secara umum tujuan utama dari pengelolaan perikanan adalah untuk menjaga kelestarian produksi terutama melalui berbagai regulasi serta tindakan perbaikan (enhancement) untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan serta untuk memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut (mencapai tujuan biologi, ekonomi dan sosial). Untuk mencapai tujuan pengelolaan, pihak yang berwenang mengelola (pengelola) harus mampu merancang, memberikan alasan yang kuat (secara
politis),
dan
melaksanakan
sekumpulan
jenis
pengendalian
(menyelenggarakan undang-undang terhadap aktivitas penangkapan) (Widodo & Suadi 2006). Umumnya kegiatan pengelolaan perikanan mulai bekerja ketika isu-isu ini berkembang.
Jarang
ditemui
upaya
pengelolaan
diberlakukan
sejak
awal
pengembangan perikanan di suatu wilayah tertentu. Sehingga konsep overfishing sering menjadi acuan akan perlunya berbagai tindakan pengelolaan melalui pengaturan perikanan. Overfishing secara sederhana dapat kita pahami sebagai
13 penerapan sejumlah upaya penangkapan yang berlebihan terhadap suatu stok ikan. Menurut Widodo & Suadi (2006) terdapat berbagai bentuk overfishing, yaitu : a.
Growth overfishing
Ikan ditangkap sebelum mereka sempat tumbuh mencapai ukuran dimana peningkatan lebih lanjut dari pertumbuhan akan mampu membuat seimbang dengan penyusutan stok yang diakibatkan oleh mortalitas alami (misalnya pemangsaan). Pencegahan Growth overfishing meliputi pembatasan upaya penangkapan, pengaturan ukuran mata jaring dan penutupan musim atau daerah penangkapan. b.
Recruitment overfishing
Pengurangan melalui penangkapan terhadap suatu stok sehingga jumlah stok induk tidak cukup banyak untuk memproduksi telur yang kemudian menghasilkan rekrut terhadap stok yang sama. Pencegahan terhadap recruitment overfishing meliputi proteksi (misalnya melalui reservasi) terhadap sejumlah stok induk (parental stock, broadstock) yang memadai c.
Biological overfishing
Kombinasi dari growth dan recruitment overfishing akan terjadi apabila tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan tertentu melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan MSY. Pencegahan terhadap biological overfishing meliputi pengaturan upaya penangkapan dan pola penangkapan (fishing pattern). d.
Economic overfishing
Terjadi bila tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan MEY, yang dirumuskan sebagai perbedaan maksimum antara nilai kotor dari hasil tangkapan dan seluruh biaya dari tangkapan (tingkat upaya penangkapan MEY lebih kecil daripada tingkat upaya MSY). e.
Ecosystem overfishing
Overfishing jenis ini dapat terjadi sebagai hasil dari suatu perubahan komposisi jenis dari suatu stok sebagai akibat dari upaya penangkapan yang berlebihan, dimana spesies target menghilang dan tidak digantikan secara penuh oleh jenis “pengganti’. Biasanya ecosystem overfishing mengakibatkan timbulnya suatu transisi dari ikan bernilai ekonomi tinggi berukuran besar kepada ikan kurang bernilai ekonomi berukuran kecil, dan akhirnya kepada ikan rucah (trash fish) dan/atau invertebrata non komersial seperti ubur-ubur. f.
Malthusian overfishing
Malthusian overfishing merupakan suatu istilah untuk mengungkapkan masuknya tenaga kerja yang tergusur dari berbagai aktivitas berbasis darat (land-based
14 activities) kedalam perikanan pantai dalam jumlah yang berlebihan, yang berkompetisi dengan nelayan tradisional yang telah ada dan yang cenderung menggunakan caracara penangkapan yang bersifat merusak, seperti dinamit untuk ikan-ikan pelagis, sianida untuk ikan-ikan di terumbu karang dan/atau insektisida di beberapa perikanan laguna dan estuaria. Beberapa ciri-ciri yang dapat menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi ini antara lain, waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh dari biasanya, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil dari biasanya, yang kemudian diikuti produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya/trip, CPUE) yang menurun, ukuran ikan sasaran yang semakin kecil dan biaya penangkapan (operasional) yang semakin meningkat (Widodo & Suadi 2006).
2.12. Kondisi Lingkungan Perairan Kondisi lingkungan perairan sangat berpengaruh dengan pola kehidupan ikan. Menurut Gunarso (1985) fluktuasi keadaan lingkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap periode migrasi musiman serta terdapatnya ikan disuatu tempat. Adapun parameter yang relatif mudah untuk diukur adalah suhu perairan. Suhu memiliki pengaruh terhadap proses fisiologi hewan seperti metabolisme dan siklus reproduksi. Peningkatan suhu dapat mengakibatkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme akuatik dan selanjutnya meningkatkan konsumsi oksigen. Effendi (2003) menyatakan peningkatan suhu 10
oC
menyebabkan terjadinya
peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut (Effendi 2003). Menurut Gunarso (1985) pada suatu daerah penangkapan ikan cakalang suhu permukaan laut yang disukai biasanya berkisar antara 16-26 oC, walaupun untuk Indonesia suhu optimumnya adalah berkisar 28-29 oC. Sedangkan suhu untuk pemijahan berkisar pada 28-29 oC. Setiap ikan mempunyai kisaran suhu tertentu untuk melakukan pemijahan, bahkan mungkin dengan suatu siklus musiman yang tertentu pula. Selain itu biasanya ikan cakalang hidup pada perairan dengan kadar salinitas antara 33-35o/oo dengan salinitas untuk pemijahan sebesar 33o/oo. Ikan ini jarang dijumpai pada perairan dengan kadar salinitas yang lebih rendah atau tinggi dari kisaran tersebut.
3. METODE PENELITIAN
3.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi
Jawa Barat (Gambar 2). Pengambilan data primer dilakukan selama tiga bulan dari tanggal 9 Maret – 18 Mei 2010 dengan interval waktu pengambilan contoh dua minggu. Daerah penangkapan ikan cakalang bermula dari mulut teluk Palabuhanratu sampai perbatasan Pangandaran (area berwarna kuning). Pada daerah penangkapan tersebut terdapat rumpon sebagai alat bantu pengumpul ikan.
Gambar 2. Peta lokasi penelitian
3.2.
Pengumpulan Data
3.2.1
Pengumpulan data primer Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara pengambilan contoh jenis
ikan cakalang yang di daratkan di PPN Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Metode yang digunakan yaitu dengan melakukan pengukuran panjang cagak dan bobot basah untuk pendugaan parameter pertumbuhan dan pola pertumbuhan ikan cakalang di Palabuhanratu. Panjang ikan diukur dari ujung terdepan bagian kepala sampai dengan lekuk cabang sirip ekor (panjang cagak). Panjang cagak digunakan untuk ikan yang sirip ekornya keras seperti tuna (Sparre & Venema 1999). Pengukuran panjang cagak dilakukan dengan menggunakan meteran kain yang mempunyai ketelitian 0,1 cm. Sedangkan bobot ikan cakalang yang ditimbang adalah bobot basah total yaitu bobot total jaringan tubuh ikan dan air yang
16 terdapat di dalamnya dengan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 1 gram. Ikan cakalang yang digunakan sebagai contoh diambil dari 3 kapal dari beberapa kapal yang mendaratkan ikan cakalang di PPN Palabuhanratu dengan cara meminjam. Pengambilan contoh 3 kapal tersebut dilakukan dengan metode campuran, berdasarkan waktu (kesamaan waktu pengambilan contoh dengan pendaratan 3 kapal tersebut), alat tangkap dan lokasi penangkapan (fishing ground). Kemudian dari 3 kapal diambil contoh ikan ±35 ekor secara acak oleh nelayan dari dalam drum plastik (blong) dengan jumlah seluruh contoh yang digunakan sebanyak ±100 ekor dalam setiap samplingnya, sehingga jumlah contoh yang diambil selama penelitian sebanyak 622 ekor (Gambar 3). Dalam melakukan pengambilan contoh, digunakan kapal-kapal yang sama selama penelitian.
PPN Palabuhanratu
Kapal pancing tonda
Kapal 1
Kapal 2
± 100 contoh ikan cakalang
Pengukuran panjang dan berat Gambar 3. Skema Pengambilan Contoh
Kapal 3
17 Pengumpulan data primer dan informasi lainnya dengan cara mewawancarai nelayan ikan cakalang di Palabuhanratu. Informasi tersebut diantaranya berupa kegiatan operasi penangkapan, dan daerah penangkapan (fishing ground).
3.2.2
Pengumpulan data sekunder Pengumpulan data sekunder yaitu meliputi data produksi hasil tangkapan ikan
cakalang di PPN Palabuhanratu pada tahun 2005-2008 sebagai data penunjang untuk analisis mortalitas dan laju eksploitasi serta pengumpulan data mengenai kondisi lingkungan Teluk Palabuhanratu termasuk data suhu yang akan digunakan untuk analisis mortalitas alami.
3.2.1. Analisis Data 3.3.1
Hubungan Panjang Bobot Bobot dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang
dan bobot dapat diketahui dengan rumus (Effendi 1997): W = aLb Keterangan : W L a, b
= bobot ikan (gram) = panjang total ikan (milimeter) = konstanta
Jika rumus umum tersebut ditransformasikan ke dalam logaritma, maka akan didapatkan persamaan linier atau persamaan garis lurus sebagai berikut : Log W = log a + b log L Untuk mendapatkan nilai konstanta a dan b maka dilakukan analisis regresi dengan menggunakan nilai Log W sebagai y dan Log L sebagai x maka akan didapatkan persamaan sebagai berikut : y = a + bx Uji-t dilakukan untuk menguji b = 3 atau b ≠ 3, dengan hipotesis sebagai berikut : H0 : b = 3, isometrik (pertambahan panjang seimbang dengan pertambahan bobot)
18 H1 : b ≠ 3, allometrik (pertambahan panjang tidak sama dengan pertambahan bobot) dimana : Bilamana nilai b = 3 menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan tidak berubah bentuknya, pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan bobotnya (isometrik). Sedangkan apabila b > menunjukkan pertambahan bobot lebih cepat dari pertambahan panjangnya (allometrik positif), dan jika b < 3 menunjukkan pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan bobotnya (allometrik negatif) (Effendi 1997).
Keterangan : b1 : Nilai b (dari analisis regresi hubungan panjang bobot) b0 : 3 Sb1 : Simpangan koefisien b Setelah didapatkan nilai thit dari perhitungan diatas lalu bandingkan dengan nilai ttab pada selang kepercayaan 95% kemudian untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan, kaidah keputusan yang diambil adalah : thit > ttab : tolak H0 (Hipotesis nol) thit < ttab : gagal tolak H0 (Hipotesis nol)
3.3.2
Faktor Kondisi Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan dalam
angka-angka. Perhitungan faktor kondisi didasarkan pada panjang dan bobot ikan. Faktor kondisi dapat dihitung dengan rumus (Effendie 1979) sebagai berikut : Jika nilai b = 3 (isometrik), maka faktor kondisi ditentukan dengan rumus : K(t,s,f) =
W 105 L3
Jika nilai b ≠ 3 (allometrik), maka faktor kondisi ditentukan dengan rumus : K(t,s,f) =
W aLb
19 Keterangan : K W L a, b
3.3.3
= faktor kondisi = bobot ikan (gram) = panjang total ikan (milimeter) = konstanta
Sebaran Frekuensi Panjang Dalam metode sebaran frekuensi panjang data yang digunakan adalah data
panjang cagak dari ikan cakalang. Dilakukan pengukuran ikan cakalang dengan menggunakan meteran kain yang memiliki ketelitian 0,1 cm. Adapun langkah-langkah untuk membuat sebaran frekuensi panjang adalah sebagai berikut (Walpole 1992) : Langkah 1
:
Menentukan banyaknya selang kelas yang diperlukan
Langkah 2
:
Menentukan wilayah data tersebut
Langkah 3
:
Bagilah wilayah tersebut dengan banyaknya kelas untuk menduga lebar selang kelasnya
Langkah 4
:
Menentukan limit bawah kelas bagi selang yang pertama dan kemudian batas bawah kelasnya, kemudian tambahkan lebar kelas pada batas bawah kelas untuk mendapatkan batas atas kelasnya
Langkah 5
:
Mendaftarkan semua limit kelas dan batas kelas dengan cara menambahkan lebar kelas pada limit dan batas selang sebelumnya
Langkah 6
:
Menentukan titik tengah kelas bagi masing-masing selang dengan merata-ratakan limit kelas atau batas kelasnya
Langkah 7
:
Menentukan frekuensi bagi masing-masing kelas
Langkah 8
:
Menjumlahkan kolom frekuensi kemudian periksa apakah hasilnya sama dengan banyaknya total pengamatan
3.3.4
Pertumbuhan Model pertumbuhan yang berhubungan dengan panjang ikan yang rumusnya
dikemukaan oleh Von Bertalanffy yang kemudian disebut Model Von Bertalanffy adalah (Sparre & Venema 1999) : Lt = L∞ (1-e-K(t-to)) atau Lt = L∞ (1-e-Kt )+ L0 e-Kt
20 Keterangan :
Lt L∞ L0 K t0
= panjang ikan pada waktu t (milimeter) = panjang maksimum (milimeter) = panjang ikan pada waktu t=0 (milimeter) = koefesien pertumbuhan (per tahun) = umur ikan pada waktu panjang nol
Untuk nilai L∞ dan K didapatkan dari hasil perhitungan dengan metode ELEFAN 1 yang terdapat dalam program FiSAT II. Sedangkan nilai t0 (umur teoretis ikan pada saat panjang sama dengan nol) dapat diduga dengan persamaan empiris Pauly (Pauly 1984) sebagai berikut : Log (-t0) = 0,3922 – 0,2752 (Log L∞) – 1,0380 (Log K)
3.3.5
Mortalitas dan laju eksploitasi (E) Laju mortalitas total (Z) diduga dengan menggunakan metode Jones & Van
Zalinge yang dikemas dalam program FiSAT II. Sedangkan untuk menduga laju mortalitas
alami
(M)
menggunakan
rumus
empiris
Pauly
(1984).
Untuk
memperhitungkan jenis ikan yang memiliki kebiasaan bergerombol dikalikan dengan nilai 0,8 sehingga untuk spesies yang bergerombol seperti ikan cakalang nilai dugaan menjadi 20% lebih rendah.
ln M = -0,0152 – 0,279 ln
+ 0,6543 ln K + 0,463 ln T
M = 0,8 e (lnM) Keterangan : M L∞ K T
= mortalitas alami = panjang asimtotik pada persamaan pertumbuhan Von Bartalanffy = koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy = rata-rata suhu permukaan air (0C)
Laju mortalitas penangkapan (F) dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : F=Z–M
21 Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas panangkapan (F) terhadap mortalitas total (Z) (Pauly 1984) : E=
Keterangan :
F F = FM Z
F = Mortalitas penangkapan Z = Mortalitas total M = Mortalitas alami
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Kondisi Umum Perairan Teluk Palabuhanratu dan Sekitarnya Perairan Teluk Palabuhanratu terletak pada posisi geografis 6057’- 7007’LS dan
106022’-106023’BT dengan panjang pantai lebih kurang 105 km. Batas-batas wilayah secara administratif di sebelah Utara dengan Kabupaten Bogor, Samudera Indonesia (Samudera Hindia) di sebelah Selatan, Kabupaten Cianjur di sebelah Timur, sedangkan di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak dan Samudera Indonesia (Samudera Hindia) (Wahyudin 2004). Perairan tersebut merupakan perairan pantai selatan Jawa Barat yang memilliki hubungan dengan Samudra Hindia. Sistem sungai yang bermuara di perairan teluk diketahui ada 7 buah yaitu 2 buah golongan besar: S. Cimandiri dan S. Cibareno dan 5 buah lainnya tergolong sungai kecil: S. Cimaja, Cipalabuhan, Cidadap, Cibutun dan Ciletuh. Musim sangat berpengaruh terhadap kondisi hidrodinamika perairan teluk. Pada periode Musim Timur (Mei-Agustus) gelombang dan arus relatif lebih tenang dibandingkan pada periode musim barat (November-Februari). Kondisi Teluk Palabuhanratu banyak dipengaruhi oleh kondisi oseanografi Samudera Hindia seperti adanya pengaruh angin yang besar. Perairan Teluk Palabuhanratu mempunyai suhu permukaan laut pada musim barat berkisar 29–30 oC dan pada musim timur 26-27 oC. Sedangkan keadaan suhu pada umumnya di Teluk Palabuhanratu dan sekitarnya berkisar antara 28-31 oC sebagaimana suhu permukaan laut di perairan Indonesia (www.veteriani. blogspot.com). Menurut Gunarso (1985) pada suatu daerah penangkapan ikan cakalang suhu permukaan laut yang disukai biasanya berkisar antara 16-26 oC, walaupun di Indonesia suhu optimumnya adalah berkisar 28-29 oC. Hal ini mengindikasikan bahwa ikan cakalang dapat hidup di perairan Teluk Palabuhanratu dan sekitarnya. Berdasarkan topografi dasar perairannya, perairan dangkal di Teluk Palabuhanratu dapat dijumpai sampai jarak 300 meter dari garis pantai dengan kedalaman kurang dari 200 meter (Pariwono et al. 1988 in Wahyudin 2004). Perairan Palabuhanratu memiliki kadar salinitas yang cukup tinggi yaitu berkisar 30–33‰. Tingginya kadar salinitas tersebut dipengaruhi oleh curah hujan (presipitasi), penguapan (evaporasi), dan adanya hubungan terbuka dengan Samudera Hindia juga dapat meningkatkan kadar salinitas di Teluk Palabuhanratu. Selain itu salinitas juga
23 dipengaruhi oleh keadaan musim dengan faktor utama adanya masukan massa air sungai yang bermuara. Menurut Gunarso (1985) ikan cakalang hidup pada perairan dengan kadar salinitas antara 33-35o/oo dan pada salinitas 33o/oo biasanya ikan cakalang melakukan pemijahan. Hal ini menunjukkan ikan cakalang dapat hidup di perairan tersebut. Menurut
Widiyanto (2008) terdapat
dua
pola
musim
di
perairan
Palabuhanratu yang berpengaruh terhadap aktivitas penangkapan ikan, yaitu musim timur yang berlangsung dari bulan Juni hingga September dan musim barat yang berlangsung dari bulan Desember hingga februari. Kondisi perairan pada musim timur relatif tenang, angin serta gelombang tidak begitu besar sehingga aktivitas penangkapan ikan cukup tinggi pada musim ini. Periode ini berlangsung pada musim kemarau. Hal yang sebaliknya terjadi pada musim barat. Pada musim ini, angin dan gelombang laut cukup tinggi sehingga menyulitkan nelayan untuk melaut. Pada musim barat umumnya aktivitas penangkapan akan menurun. Diantara kedua musim tersebut terdapat musim peralihan pertama yaitu antara bulan Maret sampai Mei dan musim peralihan kedua yang berlangsung antara bulan Oktober sampai November.
4.2.
Kondisi Umum Perikanan Cakalang di PPN Palabuhanratu Ikan cakalang merupakan salah satu hasil tangkapan ikan pelagis besar yang
dominan dan memiliki nilai ekonomis penting di PPN Palabuhanratu selain ikan tuna dan tongkol. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan cakalang yaitu gill net, purse seinne, pancing tonda dan payang. Persentase alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan cakalang di PPN Palabuhanratu disajikan pada Gambar 4. Pada saat pengambilan contoh selama tiga bulan alat tangkap yang beroperasi adalah pancing tonda dengan bantuan rumpon. Hal ini terkait dengan biaya operasional yang lebih murah menggunakan alat tangkap pancing tonda dibandingkan dengan menggunakan alat tangkap yang lain, selain itu pengoperasian dengan alat tangkap pancing tonda juga relatif lebih mudah dan menghemat waktu. Pancing tonda terdiri dari mata pancing, tali pancing dan umpan buatan. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan ketiga kapal pancing tonda, lamanya trip yaitu selama satu minggu dengan biaya operasi penangkapan berkisar Rp. 4.000.000-Rp. 5.000.000. Panjang tali pancing yang digunakan ±110 m, jumlah mata pancing ±20 buah dengan ukuran mata pancing 9 disetiap pancing tonda. Dalam satu kapal biasanya terdiri dari 4-5 orang ABK dan 4-6 buah pancing tonda. Jenis kapal
24 motor yang dipakai untuk operasional alat tangkap ini adalah kapal motor dengan ukuran 6 GT. Pengoperasian tonda memerlukan kapal atau perahu yang selalu bergerak di depan gerombolan ikan sasaran. Ukuran perahu atau kapal yang digunakan berkisar 0,5-10 GT (Sudirman & Mallawa 2004). Pancing tonda di PPN Palabuhanratu digunakan sejak tahun 2004 dengan bantuan rumpon. Rumpon biasa juga disebut dengan Fish Agregation Device (FAD) yaitu suatu alat bantu penangkapan yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul dalam suatu catchble area (Sudirman & Mallawa 2004). Rumpon berfungsi juga sebagai sumber makanan dan tempat berlindung ikan kecil dari predator, sedangkan ikan cakalang bermigrasi untuk mencari makanan di daerah rumpon yang banyak terdapat ikan-ikan kecil dan plankton. Kemudian nelayan melakukan penangkapan ikan cakalang di daerah tersebut dengan menggunakan alat tangkap pancing tonda. Kepadatan gerombolan ikan pada rumpon diketahui oleh nelayan berdasarkan buih atau gelembung-gelembung udara yang timbul di permukaan air, warna air yang gelap karena pengaruh gerombolan ikan atau banyaknya ikan-ikan kecil yang bergerak disekitar rumpon (Sudirman & Mallawa 2004). Persentasen tertinggi jenis ikan yang ditangkap paling banyak dengan menggunakan pancing tonda yaitu cakalang, kemudian tongkol abu-abu, tuna madidihang, tuna mata besar, tongkol lisong dan persentase terendah yaitu layang (Gambar 5). Berdasarkan hasil wawancara musim penangkapan ikan cakalang berkisar dari bulan Juni-Oktober dengan puncaknya berkisar pada bulan Agustus-September. Ikan cakalang didistribusikan dalam bentuk segar ataupun olahan seperti pindang. Harga ikan cakalang yang dijual di pasar ikan palabuhanratu dalam bentuk segar yaitu seharga Rp.10.000/kg sedangkan yang sudah diolah yaitu dalam bentuk pindang berkisar Rp.15.000 - Rp. 20.000/kg. Umumnya ikan hasil olahan (pindang) ini didistribusikan secara lokal ke daerah Palabuhanratu itu sendiri, Sukabumi, Cianjur, Bogor, Bandung dan Jakarta. Ikan yang memiliki kualitas tinggi di ekspor dengan cara dibekukan dengan tingkat kesegaran tinggi ke negara Korea dan Jepang.
25
Gambar 4. Grafik persentase alat tangkap ikan cakalang
Gambar 5. Grafik persentase jenis ikan yang ditangkap dengan alat tangkap pancing tonda
4.3.
Hubungan Panjang dan Bobot Analisis hubungan panjang dan bobot digunakan panjang cagak (mm) dan
bobot contoh ikan cakalang. Pada Tabel 2 dapat dilihat persamaan dan pola pertumbuhan berdasarkan hubungan panjang dan bobot ikan cakalang pada setiap pengamatan.
Tabel 2. Hubungan panjang dan bobot ikan cakalang pada setiap pengamatan setelah dilakukan uji-t Sampling ke1 2 3 4 5 6
Persamaan hubungan panjang berat W = 4x10-6L3,1962 (n = 107; r = 0,9907) W = 8x10-7L3,4963 (n = 105; r = 0,9765) W = 10-5L3,0179 (n = 101; r = 0,9598) W = 2x10-5L2,9639 (n = 100; r = 0,9363) W = 7x10-6L3,1221 (n = 100; r = 0,9676) W = 2x10-6L3,3152 (n = 109; r = 0,9382)
Pola pertumbuhan Allometrik positif Allometrik positif Isometrik Isometrik Isometrik Allometrik positif
26 Secara umum hasil analisis pada tabel di atas menunjukkan bahwa hubungan panjang dan bobot ikan cakalang memiliki hubungan yang sangat erat (nilai koefisien korelasi (r) mendeketi satu). Setelah dilakukan uji-t pada sampling pertama, kedua dan keenam ikan cakalang memiliki pola pertumbuhan allometrik positif, dimana nilai b>3 yang memiliki arti bahwa pertambahan bobot lebih dominan dibandingkan pertambahan panjang, sedangkan pada sampling ketiga, keempat dan kelima ikan cakalang memiliki pola pertumbuhan isometrik yang berarti pertambahan panjang seimbang dengan pertambahan bobot (Effendie 1997).
Gambar 6. Grafik hubungan panjang bobot ikan cakalang
Hasil
keseluruhan analisis hubungan panjang dan bobot ikan cakalang
memiliki persamaan W = 4x10-6L3,1982 (Gambar 6), koefisien determinasi (R2) sebesar 0,97 dan dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,9895. Ini menunjukkan bahwa model dugaan menggambarkan 97% model sebenarnya dialam. Untuk hubungan panjang dan bobot pada ikan cakalang memiliki korelasi yang sangat erat (koefisien korelasi (r) mendekati satu). Berdasarkan uji-t pada selang kepercayaan 95% diperoleh nilai thit>ttabel yang berarti tolak H0 yaitu pola pertumbuhan ikan cakalang bersifat allometrik positif, yaitu pertambahan bobot lebih cepat daripada pertambahan panjangnya (pertambahan panjang tidak sama dengan pertambahan bobot) (Effendie 1997). Hal ini diduga karena ketersediaan makanan yang cukup banyak diperairan untuk ikan cakalang. FAO
27 (1983) menyebutkan bahwa makanan utama ikan cakalang yaitu ikan-ikan kecil (makanan utama), crustacea dan moluska. Dengan bervariasanya berbagai jenis organisme dalam makanan serta adanya sifat kanibalisme menunjukkan bahwa ikan cakalang tergolong oportunistic feeder, yaitu ikan yang memangsa segala jenis makanan yang tersedia di perairan. Ikan cakalang juga mempunyai sifat makan yang rakus.
Tabel 3. Pola pertumbuhan ikan cakalang dari beberapa penelitian Sumber Uktoselja (1987) Mayangsoka (2010) Fadhilah (2010)
Persamaan pertumbuhan
Lokasi Perairan Indonesia
Timur
Samudera Hindia Barat (Barat Sumatera) Teluk Palabuhanratu dan sekitarnya
Pola pertumbuhan
Periode pengambilan data Desember 1984Februari 1986
W=1,0773E-05L3,1260
Allometrik positif
W=0,00001L3,0449
Isometrik
Maret-Mei 2010
W=4x106L3,1982
Allometrik positif
Maret-Mei 2010
Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa pola pertumbuhan ikan cakalang yang berlokasi di Perairan Timur Indonesia dengan di Teluk Palabuhanratu dan sekitarnya memiliki kesamaan pola pertumbuhan yaitu allometrik positif, sedangkan pola pertumbuhan ikan cakalang yang berlokasi di Samudera Hindia Barat (Barat Sumatera) memiliki pola pertumbuhan isometrik. Perbedaan pola pertumbuhan diduga karena perbedaan lokasi penangkapan (berkaitan dengan kondisi perairan), waktu penelitian, kepadatan populasi, dan genetik dari ikan cakalang itu sendiri. Selain itu perbedaan pola pertumbuhan dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah dan variasi ukuran ikan yang diamati (Moutopoulos & Stergiou 2002 in Kharat et al. 2008). Menurut Effendie (1997) faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dibagi menjadi dua bagian besar yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam seperti keturunan, sex, umur, parasit, dan penyakit. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, dan faktor kualitas air.
28 4.4.
Faktor Kondisi Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan dalam
angka-angka. Perhitungan faktor kondisi didasarkan pada panjang dan bobot. Panjang yang digunakan untuk analisis adalah panjang cagak. Nilai rata-rata faktor kondisi ikan cakalang selama pengamatan berkisar pada 0,99-1,45 (Lampiran 15). Nilai rata-rata faktor kondisi tertinggi terdapat pada sampling ketiga yaitu pada tanggal 6 April 2010 sebesar 1,45 dan nilai rata-rata faktor kondisi terkecil terdapat pada sampling kedua yaitu pada tanggal 23 Maret 2010 sebesar 0,99. Nilai faktor kondisi ikan cakalang selama pengamatan cukup berfluktuatif (Gambar 7). Nilai faktor kondisi tertinggi ikan cakalang terdapat pada sampling ketiga, hal dikarenakan pada sampling ketiga ikan yang digunakan sebagai contoh memiliki ukuran yang besar-besar dibandingkan oleh ikan-ikan yang digunakan pada sampling yang lain. Selain itu hal ini diduga karena kondisi perairan ikan tersebut baik untuk proses pertumbuhan ikan cakalang. Faktor kondisi dipengaruhi makanan, umur, jenis kelamin dan kematangan gonad. Faktor kondisi juga dipengaruhi oleh indeks relatif penting makanan dan pada ikan betina dipengaruhi oleh indeks kematangan gonad. Ikan yang cenderung menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber tenaga selama proses pemijahan, sehingga akibatnya ikan akan mengalami penurunan faktor kondisi. Faktor kondisi juga akan meningkat apabila kepadatan populasi berkurang sehingga kompetisi dalam mencari makan juga rendah (Effendie 1979).
Gambar 7. Grafik nilai tengah faktor kondisi
29 4.5.
Sebaran Frekuensi Panjang Sebaran ukuran panjang ikan cakalang selama pengamatan disajikan pada
Gambar 8. Untuk panjang yang digunakan yaitu panjang cagak. Ikan cakalang yang diamati selama penelitian sebanyak 622 ekor. Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa terdapat pergeseran sebaran ukuran panjang. Pada tanggal 9 Maret 2010 panjang ikan cakalang terletak pada selang kelas 246-255 sampai 526-535 dengan frekuensi tertinggi pada selang kelas 396-405. Pada tanggal 23 Maret 2010 panjang ikan cakalang terletak pada selang kelas 276-285 sampai 426-435 dengan frekuensi tertinggi pada selang kelas 366-375. Pada tanggal 6 April 2010 panjang ikan cakalang terletak pada selang kelas 266-275 sampai 486-495 dengan frekuensi tertinggi pada selang kelas 316-325. Pada tanggal 20 April panjang ikan cakalang terletak pada selang kelas 236-246 sampai 416-125 dengan frekuensi tertinggi pada selang kelas 316-325. Pada tanggal 4 Mei 2010 panjang ikan cakalang terletak pada selang kelas 236-245 sampai 526-535 dengan frekuensi tertinggi pada selang kelas 346-355. Pada tanggal 18 Mei 2010 panjang ikan cakalang terletak pada selang kelas 446-455 sampai 625635 dengan frekuensi tertinggi pada selang kelas 496-505. Pergeseran selang ukuran panjang ikan ke arah kanan dari tanggal 9 Meret 2010 sampai dengan 6 April 2010 dapat dijadikan sebagai indikasi adanya pertumbuhan ikan cakalang. Namun selang kelas pada tanggal 20 April 2010 sampai dengan tanggal 4 Mei 2010 mengalami pergeseran ke arah kiri, hal ini dapat diduga karena adanya rekruitmen ikan cakalang sehingga masuknya individu baru yang membentuk kelompok ukuran panjang yang baru. Selanjutnya pada sampling terakhir tanggal 18 Mei 2010 selang kelas panjang kembali bergeser ke arah kanan, hal ini diduga karena adanya aktivitas migrasi. Ikan cakalang dapat hidup nyaris di semua lautan yang ada di muka bumi ini karena itulah dapat dikatakan bahwa ikan cakalang termasuk jenis oseanodrom (hidup dan beruaya atau bermigrasi di lautan). Cakalang sering membentuk gerombolan untuk melakukan ruaya atau migrasi jarak jauh dengan melawan arus (www.mei-smart.blogspot.com).
30
Gambar 8. Sebaran frekuensi panjang ikan cakalang
31 4.6.
Kelompok Ukuran Kelompok ukuran adalah sekelompok individu ikan dari jenis yang sama dan
berasal dari tempat pemijahan yang sama. Hasil analisis pemisahan kelompok ukuran ikan cakalang dengan menggunkan NORMSEP disajikan pada Gambar 9. 9 Maret 2010 N = 107
23 Maret 2010 N = 105
6 April 2010 N = 101
20 April 2010 N = 100
4 Mei 2010 N = 100
18 Mei 2010 N = 109
Gambar 9. Kelompok ukuran ikan cakalang
32 Dari Gambar 9 dapat dilihat pada tanggal 9 Maret 2010 terdapat tiga kelompok ukuran ikan cakalang. Sedangkan pada tanggal 23 Maret 2010, 6 April 2010, 18 Mei 2010 terdapat dua kelompok ukuran dan pada tanggal 20 April 2010, 4 Mei 2010 hanya terdapat satu kelompok ukuran ikan cakalang. Dari hasil analisis kelompok ukuran ikan cakalang diperoleh nilai tengah dan indeks separasi seperti yang disajikan pada Tabel 4. Secara keseluruhan dapat dilihat kelompok ukuran pertama memiliki nilai tengah panjang cagak pada 307,70-513,13 mm, kelompok ukuran kedua memiliki nilai tengah panjang cagak pada 363,70-583,49 dan kelompok ukuran ketiga ikan cakalang memiliki nilai tengah panjang cagak sebesar 403,07 mm.
Tabel 4. Nilai tengah panjang cagak setiap kelompok ukuran ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) pada setiap pengamatan Tanggal
09 Maret 2010
23 Maret 2010 06 April 2010
Nilai tengah
Standar Deviasi
Jumlah Populasi
307,71±16,46
16,46
30
363,7±14,27
14,27
38
3,64
403,07±7,84
7,84
25
3,56
311±11,47
11,47
25
370,53±15,88
15,88
47
312,49±15,38
15,38
48
374,81±17,7
17,7
43
20 April 2010
327,38±12,13
12,13
57
04 Mei 2010
349,65±17,70
17,70
67
513,13±23,65
23,65
88
583,49±5,44
5,44
10
18 Mei 2010
Indeks Separasi
4,35 3,77
4,84
Kelompok ukuran pertama ikan cakalang hampir dapat ditemukan disetiap pengamatan, namun untuk kelompok ukuran kedua dan ketiga (kelompok ukuran yang lebih besar) ikan cakalang tidak ditemukan disetiap pengamatan (Tabel 4). Hal ini diduga oleh adanya aktivitas migrasi (mengikuti populasi yang baru). Ikan cakalang sering bergerombol dan melakukaan ruaya secara hampir bersamaan (FAO 1983). Selain itu hal ini juga diduga karena terjadinya mortalitas alami dan mortalitas penangkapan. Mortalitas dapat terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Indeks separasi merupakan kuantitas yang relevan terhadap studi bila dilakukan kemungkinan bagi suatu pemisahan yang berhasil dari dua komponen yang
33 berdekatan, bila indeks separasi kurang dari dua (I<2) maka tidak mungkin dilakukan pemisahan di antara dua kelompok ukuran karena terjadi tumpang tindih yang besar antar kelompok ukuran tersebut (Hasselblad 1969, McNew & Summerflat 1978 dan Clark 1981 in Sparre & Venema 1999). Berdasarkan hasil pemisahan kelompok ukuran ikan cakalang. Bahwa nilai indeks separasi antar kelompok ukuran ikan cakalang yaitu sebesar 3,56-4,84. Hal ini berarti pemisahan kelompok ukuran ikan cakalang dapat diterima karena nilai I>2.
4.7.
Pertumbuhan Jumlah contoh ikan yang digunakan dalam analisis paremeter pertumbuhan
sebanyak 622 ekor. Berikut adalah hasil analisis parameter pertumbuhan ikan cakalang yang disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Parameter pertumbuhan K, L∞ , t0 ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang didaratkan di PPN Palabuhanratu Parameter
Nilai
K (per tahun)
0,17
L∞
662,03
t0 (per tahun)
-0,6909
Berdasarkan hasil analisis parameter pertumbuhan (K dan L∞) dengan menggunakan Metode ELEFAN 1 dalam program FiSAT II parameter pertumbuhan ikan cakalang diperoleh nilai K sebesar 0,17 per tahun dan nilai L∞ sebesar 662,03 mm. Kemudian nilai t0 ikan cakalang yang didapat secara empiris sebesar -0,6909 per tahun. Ikan yang memiliki nilai K yang kecil akan memiliki nilai L∞ yang besar, dan sebaliknya. Ikan cakalang memiliki nilai K yang kecil yang berati memiliki laju pertumbuhan yang lambat dan memiliki umur panjang dalam mendekati L∞.
Tabel 6. Parameter pertumbuhan ikan cakalang dari dua lokasi penelitian Sumber Mayangsoka (2010) Fadhilah (2010)
Lokasi Samudera Hindia Barat Teluk Palabuhanratu dan sekitarnya
L∞ (mm)
Koefisien pertumbuhan (K) per tahun
Periode pengambilan data
591,15
0,41
Maret-Mei 2010
662,03
0,17
Maret-Mei 2010
34 Berdasarkan parameter pertumbuhan yang di dapat oleh Mayangsoka (2010) untuk L∞ sebesar 591,15 mm dengan K 0,41 per tahun sedangkan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan L∞ sebesar 662,03 mm dengan K 0,17 per tahun. Semakin besar nilai K maka semakin cepat ikan mendekati L∞, sehingga nilai L∞ semakin kecil (Tabel 6). Perbedaan nilai parameter pertumbuhan tersebut dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam meliputi faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dari ikan itu sendiri, seperti genetik ikan cakalang, umur, parasit, dan penyakit. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan antara lain jumlah dan ukuran makanan yang tersedia serta kondisi lingkungan perairan (Effendie 1997). Selain itu perbedaan nilai L∞ dan K diduga karena perbedaan panjang maksimum ikan yang diperoleh ketika pengambilan contoh, lokasi penangkapan, jumlah contoh yang diambil, dan juga disebabkan oleh stok dan rekruitmennya yang berbeda. Pada Gambar 10 disajikan kurva pertumbuhan ikan cakalang dengan memplotkan umur (bulan) pada sumbu x dan panjang teoritis mm (panjang cagak) pada sumbu y sampai dengan ikan berumur 96 bulan. Kurva di bawah ini menggambarkan laju pertumbuhan ikan cakalang, ikan cakalang yang memiliki umur muda memiliki laju pertumbuhan lebih cepat dibandingkan dengan ikan cakalang yang memiliki umur tua (mendekati L∞). Dari kurva tersebut juga dapat dilihat waktu yang dibutuhkan ikan cakalang untuk mendekati L∞ sebesar 662,03 mm yaitu 96 bulan (±8 tahun), sedangkan panjang cagak maksimum ikan cakalang yang diamati yaitu sebesar 635 mm.
L∞
Gambar 10. Kurva pertumbuhan ikan cakalang
35 4.8.
Mortalitas dan Laju Eksploitasi Mortalitas yang dihitung adalah laju mortalitas total (Z), laju mortalitas alami
(M) dan juga laju mortalitas penangkapan (F). Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M). Hasil analisis dugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang didaratkan di PPN Palabuhanratu Mortalitas
Nilai (per tahun)
Total (Z)
3,2390
Alami (M)
0,1934
Penangkapan (F)
3,0456
Laju Eksploitasi (E)
0,94
Laju mortalitas total ikan cakalang (Z) yaitu sebesar 3,2390 per tahun, laju mortalitas alami (M) 0,1934 dan laju mortalitas penangkapan (F) sebesar 3,0456. Mortalitas alami dipengaruhi oleh predator, penyakit, dan usia. Selain itu menurut Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi laju mortalitas alami yaitu suhu rata-rata perairan, selain itu panjang maksimum (L∞) dan laju pertumbuhan (K). Jika dibandingkan nilai mortalitas penangkapan lebih besar dari nilai mortalitas alami. Perbandingan nilai mortalitas penangkapan (F) dengan nilai mortalitas total (Z) menghasilkan nilai laju eksploitasi (E). Laju eksploitasi ikan cakalang yang didapat sebesar 0,94 artinya 94% kematian ikan cakalang diakibatkan oleh penangkapan. Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) akan sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5 ( Foptimum = M atau Eoptimum = 0,5). Dibandingkan dengan laju eksploitasi optimum, laju eksploitasi ikan cakalang sudah melebihi nilai optimum tersebut. Nilai ini dapat mengindikasikan adanya penangkapan yang tinggi dan berlebih (overfishing) terhadap ikan cakalang. Dengan tingginya penangkapan tersebut mengakibatkan nilai panjang maksimum ikan cakalang yang tertangkap lebih kecil.
36 Selain itu data hasil tangkapan ikan cakalang 2005-2008 juga dapat dijadikan indikasi laju eksploitasi yang telah melebihi nilai optimum. Pada grafik produksi ikan cakalang tahun 2005-2008 tersebut dapat dilihat terjanya penurunan produksi disetiap tahunnya (Gambar 11).
Gambar 11. Grafik produksi ikan cakalang tahun 2005-2008 Sumber : PPN Palabuhanratu 2006-2009
4.9.
Alternatif Rencana Pengelolaan Pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh
dikarenakan oleh semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan dan meningkatnya kesadaran dan kepedulian umum untuk memanfaatkan lingkungannya secara bijaksana, yakni dengan upaya pembangunan secara berkelanjutan. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa sudah terjadi overfishing (tangkap lebih) terhadap populasi ikan cakalang karena laju eksploitasi ikan cakalang yang didapat sebesar 0,94 melebihi laju eksploitasi optimum sebesar 0,5. Hal ini didukung oleh hasil tangkapan ikan cakalang yang menurun setiap tahunnya. Bentuk overfishing tersebut ialah growth overfishing, karena selama pengambilan contoh tiga bulan frekuensi tertinggi ikan yang tertangkap berada pada selang kelas 31,6-32,5 cm, dimana ukuran ini lebih kecil dari ukuran pertaman kali ikan cakalang matang gonad yaitu 40-45 cm (www.fishbase.org). Pada Gambar 12 terlihat bahwa ikan-ikan yang ditangkap oleh nelayan masih kecil-kecil dan belum sempat tumbuh mencapai ukuran dimana peningkatan lebih lanjut dari pertumbuhan akan mampu membuat seimbang dengan penyusutan stok (Widodo & Suadi 2006). Adapun pencegahan terhadap growth overfishing yaitu meliputi pembatasan upaya penangkapan, pengalihan atau perluasan daerah penangkapan, dan penutupan
37 musim (Widodo & Suadi 2006). Pembatasan upaya penangkapan, yaitu dengan pengaturan ukuran mata pancing dan tidak menambah armada. Mata pancing yang digunakan sebaiknya tidak berukuran 9, melainkan berukuran 4 agar ikan-ikan cakalang yang tertangkap berukuran besar. Pengalihan atau perluasan daerah penangkapan dan penutupan musim penangkapan yaitu dengan cara mencarikan daerah perikanan baru di tempat lain yang tidak mengalami overfishing. Karena hal ini menyangkut dengan kehidupan para nelayan. Para nelayan tidak bisa menunggu sampai ikan-ikan kembali banyak, karena mereka membutuhkan biaya untuk kehidupannya. Penelitian berlangsung dari bulan Maret-Mei 2010, sedangkan musim penangkapan ikan cakalang berkisar pada bulan Juni-Oktober dengan puncaknya pada bulan Agustus-September. Dapat disimpulkan bahwa selama penelitian belum masuk pada musim penangkapan ikan cakalang, sehingga ikan-ikan yang didapat berukuran kecil-kecil dan belum mencapai ukuran pertama kali matang gonad. Sehingga sebaikanya pada bulan-bulan tersebut dilakukan penutupan musim penangkapan agar ikan-ikan tersebut diberi kesempatan untuk tumbuh. Namun peran serta dan kesadaran para pelaku perikanan dalam upaya pengelolaan perikanan cakalang juga sangat dibutuhkan untuk menciptakan pemanfaatan sumberdaya ikan cakalang yang berkelanjutan.
Gambar 12. Grafik persentase ukuran ikan cakalang yang belum dan mencapai ukuran pertama kali matang gonad
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini yaitu :
1.
Pola pertumbuhan ikan cakalang yang didaratkan di PPN Palabuhanratu bersifat allometrik positif dengan persamaan pertumbuhan von Bertalanffy adalah Lt = 662,03(1-e-0,17(t+0,6909)).
2.
Laju mortalitas total (Z) ikan cakalang sebesar 3,2390 dengan mortalitas alami (M) sebesar 0,1934, mortalitas penangkapan (F) sebesar 3,0456 serta laju eksploitasi sebesar 0,94, dari hasil analisis tersebut menunjukkan telah terjadi overfishing (laju eksploitasi ikan cakalang melebihi laju eksploitasi optimum), yaitu growth overfishing.
3.
Alternatif pengelolaan yang disarankan yaitu pembatasan upaya penangkapan, pengalihan atau perluasan daerah penangkapan dan penutupan musim penangkapan.
5.2 .
Saran Alternatif pengelolaan sumberdaya ikan cakalang yang disarankan yaitu
dengan pembatasan upaya penangkapan, pengalihan atau perluasan daerah penangkapan
dan
penutupan musim
penangkapan.
Kemudian
untuk
lebih
merealisasikan hal tersebut sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan mengenai pola migrasi dan pola rekruitment agar dapat menduga musim pemijahan sehingga musim penangkapan dapat diketahui, serta penelitian lanjutan mengenai bioekonomi dan stok ikan cakalang agar kelestarian perikanan cakalang tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA
Busacker GP, Adelman IR & Goolish EM. 1990. Growth. P.363-382 in Schreck, C. B and P. B. Moyle (editor), Methods for Fish Biology. American Fisheries Society, Maryland. USA. [Ditjen Tangkap-DKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2006. Statistik perikanan pelabuhan perikanan nusantara palabuhanratu tahun 2005. PPN Palabuhanratu. Sukabumi. [Ditjen Tangkap-DKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2007. Statistik perikanan pelabuhan perikanan nusantara palabuhanratu tahun 2006. PPN Palabuhanratu. Sukabumi. [Ditjen Tangkap-DKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2008. Statistik perikanan pelabuhan perikanan nusantara palabuhanratu tahun 2007. PPN Palabuhanratu. Sukabumi. 77 hlm. [Ditjen Tangkap-DKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2009. Statistik perikanan pelabuhan perikanan nusantara palabuhanratu tahun 2008. PPN Palabuhanratu. Sukabumi. 81 hlm. [Ditjen Tangkap-DKP] 2000. Rencana induk pengelolaan dan pengembangan pelabuhan perikanan nusantara palabuhanratu. Jakarta. Effendie MI. 1979. Metoda biologi perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112 hlm. Effendie MI. 1997. Biologi perikanan.Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 163 hlm. Effendi H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hlm. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1983. FAO spesies catalogue, Scombrids of the world, An annotated and illustrated catalogue of tuna, mackerels, bonitos and related spesies known to date, Volume 2. Synop. 125 (2) : 42-137. Gunarso W. 1985. Tingkah laku ikan dalam hubungannya dengan alat, metode dan taktik penangkapan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 149 hlm. Kharat SS, Khillare YK & Dahanukar N. 2008. Allometric scallingin growth and reproduction of a freshwater loach Nemacheilus mooreh (Sykes 1839). Electric Journal of Ichtiology, Volume 1 : April, 2008. p.8-17. (terhubung berkala). http//ichtiology.tau.ac.id/(25 Mei 2010). King M. 1995. Fishery biology, assessment, and management. Fishing News Books. London. 341p.
40 Mayangsoka ZA. 2010. Aspek biologi dan ketidakpastian perikanan cakalang (Katsuwonus pelamis) yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 82 hlm. Mukhtar. 2009. Pantai Kulisusu Buton Utara merupakan tempat pemijahan ikan cakalang. [terhubung berkala]. http://www.buternews.idrap.or.id [23 Juli 2010]. Musida. 2009. Faktor-faktor ruaya ikan. [terhubung berkala]. http://musida.web.id [7 Agustus 2010]. Pauly D. 1984. Fish population dynamic in tropical waters : a manual for use with programmable calculators. ICLARM Manila. 325p. Reinnamah R. 2010. Migrasi ikan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. [terhubung berkala]. http://reinnamah. blogspot.com [5 Agustus 2010]. Saanin H. 1984. Taksonomi dan kunci identifikasi ikan volume I dan II. Bina Cipta. Jakarta. 508 hlm. Sparre P & Venema SC. 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis buku-i manual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 hlm. Sudirman & Mallawa A. 2004. Teknik penangkapan ikan. Rineka Cipta. Jakarta 168 hlm. Suhana. 2009. Laporan perkembangan ekonomi perikanan Indonesia triwulan 1 2009. [terhubung berkala]. http://pk2pm.wordpress.com [7 Agustus 2010]. Tutupoho SNE. 2008. Pertumbuhan ikan motan (Thynnichthys thynnoides Bleeker, 1852) di Rawa Banjiran Sungai Kampar Kiri, Riau [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 45 hlm. Uktolseja, JBC. 1987. Estimates growth parameters and migrations of skpijack tuna (Katsuwonus pelamis), in the Eastern Indonesian waters through tagging experiments. Jurnal penelitian perikanan laut. 43: 15-44. Wahyudin Y. 2004. Karakteristik sumberdaya pesisir dan laut kawasan teluk palabuhanratu kabupaten Sukabumi [makalah]. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 33 hlm. Walpole RE. 1992. Pengantar statistika, Edisi ke-3. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 515 hlm. Widiyanto IN. 2008. Kajian pola pertumbuhan dan ciri morfometrik-meristik beberapa spesies ikan layur (Superfamili Trichiuroidea) di perairan Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat. [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 81 hlm.
41 Widodo J & Suadi. 2006. Pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 252 hlm. www.fishbase.com. Cakalang. [terhubung berkala]. http://fishbase.com/Summary/speciesSummary.php?ID=4454&genusname=Eu bleekeria&speciesname=splendens [13 Februari 2010]. www.
veteriania.blogspot. com. Suhu. http://veteriani.blogspot.com/[7 Agustus 2010].
[terhubung
berkala]
www.mei-smart.blogspot.com. Ruaya Katsuwonus pelamis. [terhubung berkala] http://mei-smart.blogspot.com/2010/01/ruaya-katsuwonus-pelamiscakalang.html [5 Agustus 2010].
LAMPIRAN
43 Lampiran 1. Alat-alat dan bahan yang digunakan
Gambar 1. Meteran
Gambar 2. Timbangan digital
Gambar 3. Kamera digital
Gambar 4. Ikan cakalang
44 Lampiran 2. Data yang diambil di PPN Palabuhanratu
Gambar 5. Bobot basah ikan cakalang
Gambar 6. Panjang cagak ikan cakalang
45 Lampiran 3. Alat tangkap ikan cakalang
Gambar 7. Alat tangkap pancing tonda
Gambar 8. Mata pancing dan umpan buatan
46 Lampiran 4. Proses pembongkaran ikan cakalang di PPN Palabuhanratu
Gambar 9. Pemilihan ikan cakalang dari palka
Gambar 10. Ikan cakalang dimasukkan ke dalam blong
Gambar 11. Penimbangan blong
47 Lampiran 5. Kuesioner nelayan cakalang
Hari/Tanggal
:
Kode Nelayan
:
Nama Nelayan
:
Usia
:
Jenis Alat Tangkap
:
Spesifikasi Panjang
:
Lebar
:
Panjang
:
Jumlah Mata Pancing : Daerah Penangkapan : Biaya Operasional
:
Jumlah ABK
:
Lamanya Trip
:
Info Lain
:
48 Lampiran 6. Data panjang cagak dan bobot basah ikan cakalang Sampling 1 B(gr) PC (mm) 737 365 345 293 365 300 365 305 326 302 213 255 245 266 763 363 349 303 681 365 381 305 337 294 216 253 890 398 217 265 332 295 503 327 418 310 636 354 676 364 671 360 316 285 496 332 359 303 193 253 366 294 240 269 440 318
Sampling 2 B (gr) PC (mm) 674 377 451 335 803 374 648 352 1046 420 782 383 656 355 904 393 513 332 374 305 650 363 760 365 516 337 843 382 730 368 586 335 734 365 776 374 651 353 370 307 570 340 515 335 925 404 552 343 580 342 447 315 857 390 750 372
Sampling 3 B (gr) PC (mm) 1510 462 1400 491 400 303 450 311 470 320 446 313 479 327 437 308 425 306 476 323 367 305 878 371 387 283 312 281 271 271 437 305 1323 431 1100 395 786 386 841 378 662 350 559 348 768 351 623 353 806 367 650 325 627 352 801 368
Sampling 4 B(gr) PC (mm) 484 331 465 326 708 373 471 318 507 322 1096 422 472 332 666 375 373 320 361 293 485 297 574 358 487 305 673 344 464 322 342 301 532 353 452 338 342 300 311 283 400 318 344 298 496 335 310 282 440 303 353 288 466 323 342 297
Sampling 5 B (gr) PC (mm) 648 343 755 351 683 362 539 321 545 348 872 373 529 330 486 338 536 334 587 347 479 323 486 337 648 359 545 347 479 323 655 323 480 340 587 347 545 348 563 338 479 324 648 343 561 339 587 346 683 363 882 383 538 352 486 327
Sampling 6 B (gr) PC (mm) 1488 471 1348 450 1399 460 1685 500 2017 545 3345 580 3324 582 2262 535 2425 527 2670 552 3949 626 3328 606 2495 540 2737 587 2471 549 2600 547 2953 552 3278 562 3268 580 2664 528 2529 537 2859 564 1847 492 3121 581 3648 580 3369 598 2354 528 2600 563
49 Lampiran 6 (lanjutan) Sampling 1 B(gr) PC (mm) 880 397 815 384 699 362 616 354 1128 420 387 308 398 308 698 352 783 374 931 413 399 310 972 405 386 305 584 352 371 296 690 350 662 360 584 344 516 328 382 310 553 342 505 325 487 325 663 355 469 315 898 385 472 323 687 367
Sampling 2 B (gr) PC (mm) 522 327 377 314 447 312 488 320 821 382 512 332 507 322 479 328 362 309 495 336 889 392 664 362 529 336 961 401 322 299 342 300 959 397 321 293 846 381 845 372 380 304 541 338 347 297 287 286 450 319 646 365 376 309 493 327
Sampling 3 B (gr) PC (mm) 700 365 703 365 392 320 585 356 667 363 948 404 634 348 427 318 769 378 584 346 669 352 771 374 760 369 344 308 433 324 578 338 328 297 415 329 552 340 618 368 488 329 569 321 301 275 452 322 497 320 502 324 1022 413 496 328
Sampling 4 B(gr) PC (mm) 514 329 437 318 417 314 451 321 480 338 381 312 627 356 450 335 439 318 236 268 745 345 465 316 391 301 467 316 395 303 333 356 182 236 241 268 270 271 488 329 425 321 374 325 396 307 340 300 337 325 473 328 385 303 358 298
Sampling 5 B (gr) PC (mm) 563 338 587 347 479 323 648 346 548 348 478 324 529 342 479 323 563 338 479 323 772 355 479 323 755 342 545 348 648 353 872 373 563 338 528 343 486 337 587 344 648 353 479 323 587 347 545 340 648 352 479 328 529 330 406 327
Sampling 6 B (gr) PC (mm) 2425 557 3065 553 2815 544 2982 595 3295 584 1748 490 2433 543 1946 506 2081 516 2328 532 2496 546 2240 523 2270 550 3044 548 3124 573 3035 595 3940 635 2081 520 1919 497 2136 513 1912 500 1910 503 2052 507 2178 527 1188 494 1997 487 1872 496 2133 506
50 Lampiran 6 (lanjutan) Sampling 1 B(gr) PC (mm) 842 387 602 359 931 400 720 372 486 325 296 290 764 368 582 352 281 280 769 376 987 400 460 324 662 355 667 375 678 345 803 373 1129 413 1171 430 858 387 1048 413 1038 427 1136 414 1174 430 938 403 801 380 926 395 964 404 720 365
Sampling 2 B (gr) PC (mm) 383 305 402 323 786 367 401 306 428 315 887 382 538 347 354 301 374 302 443 328 438 325 983 400 289 285 722 361 681 361 807 385 981 394 1122 417 584 344 789 382 744 375 830 379 758 369 930 402 1112 426 529 331 707 370 872 363
Sampling 3 B (gr) PC (mm) 580 339 596 357 662 355 715 362 409 308 342 291 420 297 418 315 459 326 346 298 420 295 484 315 379 293 385 303 346 294 723 370 660 362 832 375 536 357 678 348 680 353 401 320 301 273 422 318 715 375 469 328 381 308 416 304
Sampling 4 B(gr) PC (mm) 583 361 468 318 517 325 466 319 387 320 628 347 345 283 439 326 670 358 881 402 553 344 338 298 346 294 854 405 628 353 429 318 526 326 601 357 526 338 478 332 392 307 506 324 453 303 493 318 485 322 451 325 511 315 525 332
Sampling 5 B (gr) PC (mm) 496 337 587 347 586 339 479 326 529 340 755 361 586 345 754 354 587 352 598 359 545 346 540 340 648 352 875 383 678 347 785 374 385 310 380 295 352 303 221 252 332 293 245 268 1115 420 1420 491 1520 510 392 305 298 271 938 400
Sampling 6 B (gr) PC (mm) 1851 496 2105 505 2482 533 1825 492 3059 560 1966 506 1872 510 2646 556 1496 468 1767 492 2420 525 1624 474 1372 458 1982 511 1402 465 1795 490 2189 520 2136 517 1756 500 1821 500 1961 505 2316 527 2360 530 1632 494 1816 497 2039 520 1938 495 2409 520
51 Lampiran 6 (lanjutan) Sampling 1 B(gr) PC (mm) 923 402 1045 410 812 371 931 397 1411 494 780 375 629 358 943 403 1173 432 965 415 798 390 745 386 739 376 1046 412 1045 426 666 371 1423 490 1729 495 804 396 2196 525 2213 535 1141 412 1224 441
Sampling 2 B (gr) PC (mm) 913 391 530 325 675 340 862 379 785 364 677 366 1276 420 737 352 724 372 802 365 772 360 864 375 930 394 765 360 1180 420 740 371 711 354 569 335 549 325 606 335 552 338
Sampling 3 B (gr) PC (mm) 359 282 391 300 454 306 568 351 531 302 719 361 668 368 609 336 512 326 432 315 405 291 419 305 435 317 427 300 779 381 1015 401 270 273
Sampling 4 B(gr) PC (mm) 411 313 511 318 179 237 566 338 343 300 885 403 189 244 467 328 592 345 409 326 213 256 425 312 642 358 439 327 212 256 213 258
Sampling 5 B (gr) PC (mm) 301 290 720 372 585 353 442 313 816 384 501 326 2189 525 2196 527 985 385 460 324 1125 420 842 386 320 289 358 302 691 362 220 265
Sampling 6 B (gr) PC (mm) 1794 486 2053 515 1947 503 1858 500 1928 497 2128 520 1611 473 2091 505 2063 517 2206 523 2179 502 1686 492 2649 545 1999 490 1954 503 2289 511 2047 497 1769 508 2360 530 2404 542 2194 512 2506 543 2167 527 2082 500 2266 537
52 Lampiran 7. Uji statistik nilai b hubungan panjang bobot ikan cakalang yang di daratkan di PPN Palabuhanratu pada seluruh pengamatan H0 : b = 3 H1 : b ≠ 3 SUMMARY OUTPUT r R
Statistik regresi 0,9895 0,97
Tabel sidik ragam df Regresi 1 Sisa 620 Total 621
Jumlah kuadrat 48,6232 1,0326 49,6558
Intercep (a) Slope (b)
Kuadrat tengah 48,6232 0,0017
F hitung 29194,3087
F tabel 0
Simpangan baku -5,3512 0,0480 3,1982 0,0187
= 10,5888 ttab = t (0,025;620) = 2,2469 thit > ttab maka tolak H0 (hipotesis nol) nilai b≠3, maka hubungan panjang dan bobot adalah allometrik positif, pertumbuhan bobot lebih cepat daripada pertumbuhan panjang.
53 Lampiran 8. Grafik hubungan panjang bobot ikan cakalang yang di daratkan di PPN Palabuhanratu pada setiap pengamatan 9 Maret 2010 n = 107
23 Maret 2010
n = 105
6 April 2010 n = 101
54 Lampiran 8 (lanjutan)
20 April 2010 n = 100
4 Mei 2010
n = 100
18 Mei 2010
n = 109
Gambar 12. Hubungan panjang bobot ikan cakalang pada setiap pengamatan
55 Lampiran 9. Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP yang dikemas dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh 1 a. Sebaran frekuensi panjang Selang kelas 236-245 246-255 256-265 266-275 276-285 286-295 296-305 306-315 316-325 326-335 336-345 346-355 356-365 366-375 376-385 386-395 396-405 406-415 416-425 426-435 436-445 446-455 456-465 466-475 476-485 486-495 496-505 506-515 516-525 526-535 536-545 546-555 556-565 566-575 576-585 586-595 596-605 606-615 616-625 626-635
Keterangan :
BB BA
BB 235,5 245,5 255,5 265,5 275,5 285,5 295,5 305,5 315,5 325,5 335,5 345,5 355,5 365,5 375,5 385,5 395,5 405,5 415,5 425,5 435,5 445,5 455,5 465,5 475,5 485,5 495,5 505,5 515,5 525,5 535,5 545,5 555,5 565,5 575,5 585,5 595,5 605,5 615,5 625,5
= batas bawah; = batas atas ;
BA 245,5 255,5 265,5 275,5 285,5 295,5 305,5 315,5 325,5 335,5 345,5 355,5 365,5 375,5 385,5 395,5 405,5 415,5 425,5 435,5 445,5 455,5 465,5 475,5 485,5 495,5 505,5 515,5 525,5 535,5 545,5 555,5 565,5 575,5 585,5 595,5 605,5 615,5 625,5 635,5
xi 240,5 250,5 260,5 270,5 280,5 290,5 300,5 310,5 320,5 330,5 340,5 350,5 360,5 370,5 380,5 390,5 400,5 410,5 420,5 430,5 440,5 450,5 460,5 470,5 480,5 490,5 500,5 510,5 520,5 530,5 540,5 550,5 560,5 570,5 580,5 590,5 600,5 610,5 620,5 630,5
xi = nilai tengah fi = frekuensi
fi 0 3 1 2 2 5 8 6 6 3 3 8 10 9 5 5 11 8 1 5 1 0 0 0 0 3 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
56 Lampiran 9 (lanjutan)
b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh 1
57 Lampiran 10. Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP yang dikemas dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh 2 a. Sebaran frekuensi panjang Selang kelas 236-245 246-255 256-265 266-275 276-285 286-295 296-305 306-315 316-325 326-335 336-345 346-355 356-365 366-375 376-385 386-395 396-405 406-415 416-425 426-435 436-445 446-455 456-465 466-475 476-485 486-495 496-505 506-515 516-525 526-535 536-545 546-555 556-565 566-575 576-585 586-595 596-605 606-615 616-625 626-635
Keterangan :
BB BA
BB 235,5 245,5 255,5 265,5 275,5 285,5 295,5 305,5 315,5 325,5 335,5 345,5 355,5 365,5 375,5 385,5 395,5 405,5 415,5 425,5 435,5 445,5 455,5 465,5 475,5 485,5 495,5 505,5 515,5 525,5 535,5 545,5 555,5 565,5 575,5 585,5 595,5 605,5 615,5 625,5
= batas bawah ; = batas atas ;
BA
xi
245,5 255,5 265,5 275,5 285,5 295,5 305,5 315,5 325,5 335,5 345,5 355,5 365,5 375,5 385,5 395,5 405,5 415,5 425,5 435,5 445,5 455,5 465,5 475,5 485,5 495,5 505,5 515,5 525,5 535,5 545,5 555,5 565,5 575,5 585,5 595,5 605,5 615,5 625,5 635,5
fi 240,5 250,5 260,5 270,5 280,5 290,5 300,5 310,5 320,5 330,5 340,5 350,5 360,5 370,5 380,5 390,5 400,5 410,5 420,5 430,5 440,5 450,5 460,5 470,5 480,5 490,5 500,5 510,5 520,5 530,5 540,5 550,5 560,5 570,5 580,5 590,5 600,5 610,5 620,5 630,5
xi = nilai tengah fi = frekuensi
0 0 0 0 1 2 8 8 7 12 10 6 12 13 10 6 5 0 4 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
58 Lampiran 10 (lanjutan)
b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh 2
59 Lampiran 11. Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP yang dikemas dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh 3 a. Sebaran frekuensi panjang Selang kelas 236-245 246-255 256-265 266-275 276-285 286-295 296-305 306-315 316-325 326-335 336-345 346-355 356-365 366-375 376-385 386-395 396-405 406-415 416-425 426-435 436-445 446-455 456-465 466-475 476-485 486-495 496-505 506-515 516-525 526-535 536-545 546-555 556-565 566-575 576-585 586-595 596-605 606-615 616-625 626-635
Keterangan :
BB BA
BB 235,5 245,5 255,5 265,5 275,5 285,5 295,5 305,5 315,5 325,5 335,5 345,5 355,5 365,5 375,5 385,5 395,5 405,5 415,5 425,5 435,5 445,5 455,5 465,5 475,5 485,5 495,5 505,5 515,5 525,5 535,5 545,5 555,5 565,5 575,5 585,5 595,5 605,5 615,5 625,5
= batas bawah ; = batas atas ;
BA
xi
245,5 255,5 265,5 275,5 285,5 295,5 305,5 315,5 325,5 335,5 345,5 355,5 365,5 375,5 385,5 395,5 405,5 415,5 425,5 435,5 445,5 455,5 465,5 475,5 485,5 495,5 505,5 515,5 525,5 535,5 545,5 555,5 565,5 575,5 585,5 595,5 605,5 615,5 625,5 635,5
fi 240,5 250,5 260,5 270,5 280,5 290,5 300,5 310,5 320,5 330,5 340,5 350,5 360,5 370,5 380,5 390,5 400,5 410,5 420,5 430,5 440,5 450,5 460,5 470,5 480,5 490,5 500,5 510,5 520,5 530,5 540,5 550,5 560,5 570,5 580,5 590,5 600,5 610,5 620,5 630,5
xi = nilai tengah fi = frekuensi
0 0 0 4 3 5 12 11 13 7 4 12 9 10 3 2 2 1 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
60 Lampiran 11 (lanjutan)
b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh 3
61 Lampiran 12. Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP yang dikemas dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh 4 a. Sebaran frekuensi panjang Selang kelas 236-245 246-255 256-265 266-275 276-285 286-295 296-305 306-315 316-325 326-335 336-345 346-355 356-365 366-375 376-385 386-395 396-405 406-415 416-425 426-435 436-445 446-455 456-465 466-475 476-485 486-495 496-505 506-515 516-525 526-535 536-545 546-555 556-565 566-575 576-585 586-595 596-605 606-615 616-625 626-635
Keterangan :
BB BA
BB 235,5 245,5 255,5 265,5 275,5 285,5 295,5 305,5 315,5 325,5 335,5 345,5 355,5 365,5 375,5 385,5 395,5 405,5 415,5 425,5 435,5 445,5 455,5 465,5 475,5 485,5 495,5 505,5 515,5 525,5 535,5 545,5 555,5 565,5 575,5 585,5 595,5 605,5 615,5 625,5
= batas bawah ; = batas atas ;
BA 245,5 255,5 265,5 275,5 285,5 295,5 305,5 315,5 325,5 335,5 345,5 355,5 365,5 375,5 385,5 395,5 405,5 415,5 425,5 435,5 445,5 455,5 465,5 475,5 485,5 495,5 505,5 515,5 525,5 535,5 545,5 555,5 565,5 575,5 585,5 595,5 605,5 615,5 625,5 635,5
xi 240,5 250,5 260,5 270,5 280,5 290,5 300,5 310,5 320,5 330,5 340,5 350,5 360,5 370,5 380,5 390,5 400,5 410,5 420,5 430,5 440,5 450,5 460,5 470,5 480,5 490,5 500,5 510,5 520,5 530,5 540,5 550,5 560,5 570,5 580,5 590,5 600,5 610,5 620,5 630,5
xi = nilai tengah fi = frekuensi
fi 3 0 3 3 3 3 15 7 24 15 8 3 7 2 0 0 3 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
62 Lampiran 12 (lanjutan)
b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh 4
63 Lampiran 13. Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP yang dikemas dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh 5 a. Sebaran frekuensi panjang Selang kelas 236-245 246-255 256-265 266-275 276-285 286-295 296-305 306-315 316-325 326-335 336-345 346-355 356-365 366-375 376-385 386-395 396-405 406-415 416-425 426-435 436-445 446-455 456-465 466-475 476-485 486-495 496-505 506-515 516-525 526-535 536-545 546-555 556-565 566-575 576-585 586-595 596-605 606-615 616-625 626-635
Keterangan :
BB BA
BB 235,5 245,5 255,5 265,5 275,5 285,5 295,5 305,5 315,5 325,5 335,5 345,5 355,5 365,5 375,5 385,5 395,5 405,5 415,5 425,5 435,5 445,5 455,5 465,5 475,5 485,5 495,5 505,5 515,5 525,5 535,5 545,5 555,5 565,5 575,5 585,5 595,5 605,5 615,5 625,5
= batas bawah ; = batas atas ;
BA
xi
245,5 255,5 265,5 275,5 285,5 295,5 305,5 315,5 325,5 335,5 345,5 355,5 365,5 375,5 385,5 395,5 405,5 415,5 425,5 435,5 445,5 455,5 465,5 475,5 485,5 495,5 505,5 515,5 525,5 535,5 545,5 555,5 565,5 575,5 585,5 595,5 605,5 615,5 625,5 635,5
fi 240,5 250,5 260,5 270,5 280,5 290,5 300,5 310,5 320,5 330,5 340,5 350,5 360,5 370,5 380,5 390,5 400,5 410,5 420,5 430,5 440,5 450,5 460,5 470,5 480,5 490,5 500,5 510,5 520,5 530,5 540,5 550,5 560,5 570,5 580,5 590,5 600,5 610,5 620,5 630,5
xi = nilai tengah fi = frekuensi
0 1 1 2 0 4 3 2 12 8 21 24 6 4 4 1 1 0 2 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
64 Lampiran 13 (lanjutan)
b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh 5
65 Lampiran 14. Sebaran frekuensi panjang dengan metode NORMSEP yang dikemas dalam program FiSAT II pada pengambilan contoh 6 a. Sebaran frekuensi panjang Selang kelas 236-245 246-255 256-265 266-275 276-285 286-295 296-305 306-315 316-325 326-335 336-345 346-355 356-365 366-375 376-385 386-395 396-405 406-415 416-425 426-435 436-445 446-455 456-465 466-475 476-485 486-495 496-505 506-515 516-525 526-535 536-545 546-555 556-565 566-575 576-585 586-595 596-605 606-615 616-625 626-635
Keterangan :
BB BA
BB 235,5 245,5 255,5 265,5 275,5 285,5 295,5 305,5 315,5 325,5 335,5 345,5 355,5 365,5 375,5 385,5 395,5 405,5 415,5 425,5 435,5 445,5 455,5 465,5 475,5 485,5 495,5 505,5 515,5 525,5 535,5 545,5 555,5 565,5 575,5 585,5 595,5 605,5 615,5 625,5
= batas bawah ; = batas atas ;
BA 245,5 255,5 265,5 275,5 285,5 295,5 305,5 315,5 325,5 335,5 345,5 355,5 365,5 375,5 385,5 395,5 405,5 415,5 425,5 435,5 445,5 455,5 465,5 475,5 485,5 495,5 505,5 515,5 525,5 535,5 545,5 555,5 565,5 575,5 585,5 595,5 605,5 615,5 625,5 635,5
xi 240,5 250,5 260,5 270,5 280,5 290,5 300,5 310,5 320,5 330,5 340,5 350,5 360,5 370,5 380,5 390,5 400,5 410,5 420,5 430,5 440,5 450,5 460,5 470,5 480,5 490,5 500,5 510,5 520,5 530,5 540,5 550,5 560,5 570,5 580,5 590,5 600,5 610,5 620,5 630,5
xi = nilai tengah fi = frekuensi
fi 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 3 4 0 12 19 11 11 11 9 8 6 1 6 3 1 1 0 2
66 Lampiran 14 (lanjutan)
b. Print screen sebaran frekuensi panjang menggunakan metode NORMSEP dengan program FiSAT II pada pengambilan contoh 6
67 Lampiran 15. Faktor kondisi (FK) ikan cakalang setiap pengamatan FK1
1,1260 1,0061 1,0828 0,9755 1,0882 1,0284 1,0594 1,1258 0,9975 1,1250 1,0870 1,1806 1,0593 1,1710 1,1037 0,9651 1,0223 1,0516 1,0469 1,0928 1,1072 1,0758 1,1064 1,1382 1,0865 1,0402 1,2134 1,1044 1,1271 1,0877 1,1824 1,1402 1,1379 1,1548 1,1732 1,0848 1,1000 1,1403 1,3116 1,2748 1,2663 1,0595 1,0559 1,1331 1,0975 1,1706 1,1688 1,0811 1,0255 1,1177
FK2
0,9439 0,9260 0,9517 0,9812 0,8894 0,9336 0,9552 0,9975 0,9904 0,9637 0,9869 1,0215 0,9318 0,8912 0,9257 1,0639 0,8775 1,0289 0,9852 0,9911 1,0631 1,0807 0,8476 0,9038 1,0937 1,1329 1,0543 0,9957 0,9572 0,8852 1,0240 0,9826 0,9807 0,8371 1,0877 0,9559 1,0561 1,1248 0,9092 0,9717 0,9380 0,9733 0,9931 1,0046 1,1896 1,0014 0,9434 0,9880 0,8830 1,1505
FK3
1,3616 1,4794 1,3270 1,4473 1,4062 1,6008 1,7075 1,3879 1,6435 1,5067 1,3616 1,6360 1,2520 1,6032 1,3075 1,4481 1,5815 1,9279 1,4379 1,3840 1,4807 1,2935 1,5402 1,4768 1,4833 1,5845 1,4956 1,1774 1,3998 1,3040 1,4960 1,4545 1,3373 1,5485 1,3821 1,3656 1,3278 1,3123 1,4343 1,1963 1,5167 1,2238 1,7203 1,3539 1,4125 1,2731 1,4759 1,8935 1,3248 1,3699
FK4
1,3846 1,3446 1,3010 1,2696 1,2636 1,2403 1,2260 1,2520 1,3566 1,3823 1,3721 1,5222 1,4777 1,4352 1,3616 1,8513 1,3054 1,2999 1,3528 1,2772 1,2667 1,2593 1,2704 1,2541 1,4338 1,5817 1,4199 1,3840 1,6284 1,7164 1,3686 1,3548 1,2545 1,3993 1,3403 1,3469 1,6349 1,4736 1,4800 1,4647 1,2439 1,3589 1,3652 1,4553 1,3341 1,5331 1,5891 1,4355 1,1383 1,3635
FK5
1,3810 1,1822 1,2728 1,4973 1,3257 1,2342 1,3199 1,4802 1,2998 1,2654 1,3816 1,2923 1,4414 1,6296 1,4214 1,4214 1,9437 1,4214 1,4214 1,4214 1,4214 1,4214 1,4083 1,4054 1,3525 1,3826 1,4461 1,3899 1,1611 1,3574 1,4720 1,4720 1,4386 1,2698 1,2698 1,2960 1,2586 1,4580 1,4580 1,4580 1,4580 1,4400 1,5042 1,2212 1,3866 1,3459 1,3739 1,3224 1,8874 1,6058
FK6
1,0783 1,0352 1,0404 1,0060 1,0508 1,0232 1,0924 1,0935 1,1119 1,2293 1,0543 1,0827 1,2057 1,0991 1,0860 1,0515 1,0033 0,6975 0,9582 1,1302 1,0845 1,0723 1,1043 1,0450 1,1095 1,1780 0,9505 1,0785 0,9905 1,0272 1,0481 1,1744 1,2130 1,0562 1,0767 1,0806 1,1489 1,0703 1,1412 1,0551 1,1565 1,0660 1,1054 0,9467 0,9889 1,0402 1,2013 1,1440 1,1066 1,0575
68 Lampiran 15 (lanjutan) FK1
1,1329 1,1595 1,2546 1,1018 1,1907 1,1002 1,1632 1,0907 1,2025 1,2453 1,0214 1,0947 1,2105 1,1703 0,9884 1,1559 1,1299 1,0858 1,1378 1,1196 1,2234 1,0066 1,1283 1,1497 1,0432 1,1623 1,0010 1,0868 1,1498 1,0904 1,1225 1,1900 1,0953 1,1042 1,1101 1,1259 1,1263 1,1643 1,1475 1,2517 1,0134 1,2290 1,1408 1,2270 1,0343 1,1636 1,0302 1,0157 1,1205 1,1234
FK2
1,0116 1,0063 1,0882 0,9941 1,1141 1,1040 1,0319 0,9733 0,9399 0,9112 1,2224 1,0899 1,0452 1,0094 0,8884 1,1029 0,9221 1,0605 0,9756 1,0034 0,9271 0,9613 0,9651 1,0874 0,9317 1,0141 0,9800 0,9309 1,0810 0,8278 1,0007 1,0393 1,0014 0,9887 0,9629 1,0403 0,9254 0,9088 0,9210 0,9349 0,9871 0,9526 0,9601 1,0326 0,9789 0,9831 0,9815 0,9512 0,9125 0,8920
FK3
1,4778 1,4056 1,3291 1,1654 1,3704 1,6055 1,4968 1,4888 1,4044 1,4099 1,3264 1,5044 1,6088 1,5440 1,7760 1,3135 1,4376 1,5339 1,4163 1,5459 1,4797 1,2966 1,3099 1,1780 1,5283 1,5072 1,3913 1,3945 1,4395 1,4457 1,6306 1,6073 1,2401 1,3404 1,5126 1,4274 1,7194 1,4738 1,5777 1,3559 1,5571 1,4238 1,4085 1,3667 1,7848 1,5741 1,4377 1,4508 1,6524 1,5313
FK4
1,1810 1,2849 1,5186 1,3898 1,4527 1,3829 1,4877 1,0895 0,9817 1,5061 1,3138 1,3421 1,2671 1,5182 1,1805 1,2555 1,3404 1,3234 1,4434 1,3704 1,3346 1,2898 1,3062 1,4346 1,3193 1,1970 1,1705 1,2431 1,3622 1,4658 1,6533 1,3585 1,8143 1,4417 1,5030 1,2094 1,4277 1,3897 0,7381 1,3209 1,2510 1,4602 1,3992 1,2392 1,3643 1,2629 1,3561 1,3522 1,2856 1,4584
FK5
1,6058 1,3084 1,4420 1,4271 1,4171 1,5644 1,3157 1,4049 1,3044 1,4049 1,4049 1,4049 1,4049 1,6227 1,2932 1,2932 1,3003 1,2932 1,7459 1,2335 1,4858 1,3459 1,4858 1,4732 1,4732 1,3299 1,6997 1,7256 1,4005 1,2925 1,6048 1,4398 1,4566 1,4279 1,3986 1,6803 1,6803 1,5006 1,5699 1,5574 1,4411 1,7261 1,4640 1,4656 1,5050 1,5185 1,1996 1,1459 1,5128 1,5004
FK6
1,0500 1,0785 1,0416 1,0307 1,0842 1,0099 1,1932 1,0540 1,0885 1,0720 1,1612 1,1490 1,0320 1,0974 1,0268 1,2544 1,1084 1,0974 1,0974 1,0691 1,1327 1,0196 1,1259 1,0088 1,0905 1,0379 1,0440 1,0753 1,2006 0,8550 1,1229 1,0517 1,0888 1,2671 1,0224 0,9336 1,0849 1,1999 1,2380 1,0498 0,9564 1,1851 1,2550 0,9896 1,0818 1,1216 1,1536 1,1270 1,2581 1,0702
69 Lampiran 15 (lanjutan) FK1
FK2
1,1059 1,0804 0,8969 0,8665 1,0550 1,1102 1,0533
FK3
0,9685 0,8806 1,0742 0,9934 0,8909
FK4
1,1827
FK5
Sampling ke-
Rata-rata
sd
1
1,11
0,08
2
0,99
0,07
3
1,45
0,15
4
1,36
0,15
5
1,43
0,14
6
1,08
0,09
FK6
1,1333 1,1107 0,9071 0,9449 0,9617 1,0499 0,9924 1,0574 1,0063
Nilai rata-rata faktor kondisi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Contoh perhitungan : Pada pengambilan contoh ke-1(data yang digunakan data pertama) pola pertumbuhan setelah uji t diperoleh hasil yaitu allometrik, maka perhitungannya: K=
W aLb
K=
216 4 x10 (2533,1962 ) 6
K = 1,1260 Pada pengambilan contoh ke-3 (data yang digunakan data pertama) pola pertumbuhan setelah uji t diperoleh hasil yaitu isometrik, maka perhitungannya: K=
W 10 5 L3
K=
271x10 5 2713
K = 1,3616
70 Lampiran 16. Pedugaan pertumbuhan dengan metode ELEFAN I dalam program FiSAT II
Print screen parameter pertumbuhan menggunakan metode ELEFAN I yang dikemas dalam program FiSAT II Untuk nilai t0 menggunakan persamaan empiris Pauly 1984 : Log (-t0) = 0,3922-0,2752 (Log L∞ )-1,038 (Log K) = 0,3922-0,2752 (log 662,03)-1,308 (log 0,17) t0
= -0,6909
71 Lampiran 17. Pendugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan cakalang 1)
Laju mortalitas total (Z) dengan menggunakan metode Jones&van Zalinge dalam program FiSAT II.
Print screen nilai mortalitas total dengan metode Zone & Van Zalinge yang dikemas dalam program FiSAT II 2)
Laju mortalitas alami (M) dengan rumus empiris Pauly 1984 : M = 0,8 e(-0,0152-0,279*Ln L∞+0,6543*Ln K+0,463*Ln T) M = 0,8 e(-0,0152-0,279*Ln 662,03+0,6543*Ln 0,17+0,463*ln (29,5) M = 0,1934 Nilai T yang digunakan berasal dari data sekunder rata-rata suhu permukaan pada umumnya di Teluk Palabuhanratu dan sekitarnya yaitu 28-31 oC
3)
Laju mortalitas penangkapan (F) menggunakan rumus : F = Z-M F = 3,2390-0,1934 F = 3,0456
4)
Laju eksploitasi (E) menggunakan rumus : E = F/Z E = 3,0456/3,2390 E = 0,94