Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
RETENSI PROTEIN DAN NILAI ENERGI METABOLIS KONSENTRAT PROTEIN BUNGKIL INTI SAWIT HASIL EKSTRAKSI KOMBINASI FISIK-KIMIAWI (The Protein Retention and Metabolizable Energy of Protein Concentrate From Palm Kernel Meal of Chemical-Physichal Combianation Extracted) YATNO1, N. RAMLI2, K.G. WIRYAWAN2, A. SETIYONO3, T. PURWADARIA4 dan P. HARDJOSWORO2 1
Fakultas Peternakan Universitas Jambi Fakultas Peternakan Institut Pertanain Bogor, Bogor 3 Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bogor 4 Balai Penelitian Ternak PO Box 221, Bogor 16001 2
ABSTRACT The experiment was conducted to study protein retention and metabolizable energy value of protein concentrate extracted from palm kernel meal (PKM). Twenty heads of male quails age 30 days were used where 15 heads of the animals were randomly assigned to one of the three dietary treatments. The remaining quail were used to measure endogenous protein. The treatments were (a) RKPBIS (Diet composed of 9% crude protein from protein concentrate from PKM), (b) RBIS (Diet composed of 9% crude protein from PKM) and (c) RBKD (Diet composed of 9% crude protein from soybean meal). The parameters observed were protein retention and metabolizable energy value; apparent metabolizable energy (EMS), true metabolizable energy (EMM), apparent metabolizable energy corrected by nitrogen value (EMSn), and true metabolizable energy corrected by nitrogen value (EMMn). Data were analyzed by analysis of variance and followed by Orthogonal Contrast Test if the treatments are significant. The protein retention of protein concentrate from PKM was better than that of PKM and was equal to that of soybean meal. Protein retention of RKPBIS, RBIS and RBKD were 69.82,61.19 and 70.57%, respectively, while value of EMS were 2684.69, 2524.5 and 2913.58 kcal/kg; EMM were 2605.97, 2480.07 and 2857.35 kcal/kg; EMSn were 2501.22, 2440.66 and 2770.11 kcal/kg, and EMMn were 2578.94, 2485.06 and 2826.30 kcal/kg, respectively for RKPBIS, RBIS and RBKD. It is concluded that protein retention and metabolizable energy value of protein concentrate from PKM (RKPBIS) was better compared with that of RBIS, and was equal with that of soybean meal. Key Words: Protein Retention, Metabolizable Energy, Protein Concentrate, Palm Kernel Meal, Extracted Combination ABSTRAK Konsentrat protein dari BIS telah dihasilkan melalui teknologi ekstraksi dengan teknik pengendapan protein pada titik isoelektrik. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui retensi protein dan nilai energi metabolis pada konsentrat protein BIS (KPBIS) tersebut dibandingkan dengan bungkil inti sawit (BIS) dan bungkil kedelai (BKD) sebagai pakan standard. Sebanyak 20 ekor puyuh jantan umur 30 hari, 15 ekor diberi ransum perlakuan yang terdiri dari 3 perlakuan dan 5 ulangan, dan 5 ekor untuk pengukuran protein dan energi endogenous (tidak diberi ransum perlakuan). Perlakuan yang diterapkan terdiri dari tiga ransum uji, antara lain RKPBIS (ransum KPBIS, 9% PK dari konsentrat protein BIS), RBIS (ransum BIS, 9% PK dari bungkil inti sawit) dan RBKD (ransum bungkil kedelai , 9% PK dari bungkil kedelai). Peubah yang diamati antara lain retensi protein, energi metabolis meliputi energi metabolis semu (EMS), energi metabolis murni (EMM), energi metabolis semu terkoreksi Nitrogen (EMSn) dan energi metabolis murni terkoreksi Nitrogen (EMMn). Data yang diperoleh dilakukan analisis ragam dan uji kontras orthogonal sebagai uji lanjut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa retensi protein pakan uji yang mengandung konsentrat protein bungkil inti sawit (RKPBIS) sebesar 69.82%, sedangkan pakan uji yang mengandung bungkil inti sawit (RBIS) dan bungkil kedelai (RBKD) masing-masing sebesar 61.19 dan 70.57%. Sedangkan nilai energi metabolis (EMS, EMM, EMSn dan EMMn) untuk perlakuan RKPBIS nyata lebih tinggi (p < 0.05) dari RBIS dan menunjukkan hasil yang tidak nyata dengan RBKD. Nilai EMS dari ketiga perlakuan masing-masing sebesar
669
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
2684.69, 2524.5 dan 2913.58 kkal/kg; EMM sebesar 2605.97, 2480.07 dan 2857.35 kkal/kg; EMSn sebesar 2501.22, 2440.66 dan 2770.11 kkal/kg serta EMMn 2578.94, 2485.06 dan 2826.30 kkal/kg. Dapat disimpulkan bahwa retensi protein dan energi metabolis konsentrat protein dari bungkil inti sawit lebih tinggi dari bungkil inti sawit dan bisa menyamai bungkil kedelai sebagai pakan standar. Kata Kunci: Retensi Protein, Energi Metabolis, Konsentrat Protein, Bungkil Inti Sawit, Ekstrasi Kombinasi
PENDAHULUAN Sumber protein nabati untuk unggas sangat terbatas dan masih mengandalkan bungkil kedelai. Impor bungkil kedelai dari tahun ke tahun mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya populasi unggas di Indonesia, tentu saja kondisi ini akan menguras devisa negara. Laporan terdahulu menjelaskan bahwa protein bungkil inti sawit dapat ditingkatkan dari 16,84% menjadi 45,56% menggunakan ekstraksi dengan metode kombinasi fisik dan kimiawi (YATNO et al., 2008). Untuk itu perlu terus dilakukan upaya eksplorasi sumber daya pakan baru dari produk hasil samping industri pengolahan buah sawit menjadi minyak sawit. BIS merupakan sumber protein yang menjanjikan karena tersedia cukup banyak dan kontinyu sepanjang tahun. Konsentrat protein bungkil inti sawit yang telah dihasilkan memiliki tingkat kelarutan protein yang lebih baik dibandingkan dengan bungkil kedelai. Namun bila dilihat dari kandungan asam amino esensial konsentrat protein BIS masih memiliki beberapa asam amino esensial yang lebih rendah dari bungkil kedelai. MATERI DAN METODE Bahan yang digunakan adalah bungkil inti sawit (BIS) dan bahan kimia untuk ekstraksi seperti asam asetat, NaOH dan HCl. Alat yang digunakan untuk mengekstrak adalah mortal grinder (Retsch KMI). Ternak puyuh digunakan untuk mengevaluasi kualitas konsentrat protein secara biologis (retensi protein dan energi metabolis) Persiapan konsentrat protein Ekstraksi BIS untuk memperoleh konsentrat protein dikembangkan berdasarkan metode RAMLI (2005) dan TAFSIN (2007). BIS diekstraksi menggunakan metode kombinasi
670
fisik dan kimiawi dibantu dengan pecahan kaca. Perbandingan antar BIS, pecahan kaca dan pengekstrak adalah 2 : 1 : 4. Sebelum dilakukan perendaman dengan NaOH terlebih dahulu dilakukan outodave pada suhu 121°C selama 15 menit. Perendaman masing-masing perlakuan tersebut dilakukan selama satu malam. Selanjutnya masing-masing disaring menggunakan mesin cuci (spin 3 x 8 menit) guna memisahkan cairan dengan padatannya. Cairan diendapkan dengan HCl 0.1 N sampai tercapai titik isoelektrik dan diinkubasi selama satu malam. Endapan dikeringkan pada suhu 60oC, dan selanjutnya dilakukan evaluasi kualitasnya secara biologi. Pengukuran retensi protein dan energi metabolis Dua puluh ekor puyuh jantan umur 30 hari digunakan untuk mengevaluasi konsentrat protein BIS secara biologis, dimana 15 ekor diberi ransum perlakuan dan 5 ekor untuk pengukuran protein endogenous. Bahan yang digunakan terdiri dari pakan uji (Konsentrat protein BIS, BIS, bungkil kedelai), tepung tapioka, minyak, CaCO3, DCP, selulosa, dan premix. Bahan pakan disusun menjadi ransum dengan kandungan protein 9% yang merupakan sebagai satu-satunya sumber protein. Tiga jenis ransum digunakan dalam penelitian ini yaitu; 1. Ransum berbasis konsentrat protein BIS (RKPBIS) 2. Ransum berbasis BIS (RBIS) 3. Ransum berbasis bungkil kedelai (RBKD). Kandang yang digunakan adalah kandang metabolis sebanyak 25 buah (ukuran 30 x 20 x 20 cm) dan masingmasing kandang diisi 1 ekor puyuh. Kandang dilengkapi tempat pakan dan air minum serta plastik penampung ekskreta. Pakan diberikan sebanyak 60% dari kebutuhan, sedangkan air minum diberikan ad libitum. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 5 ulangan. Data yang diperoleh dianalisis ragam dan dilanjutkan Uji Kontras Orthogonal.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
Jumlah ekskresi protein RKPBIS pada puyuh nyata lebih rendah (p < 0.05) dibandingkan dengan RBIS dan RBKD. Sedangkan antara RBIS dan RBKD tidak nyata. Ekskresi protein mencerminkan jumlah protein pakan yang tidak tercerna maupun terserap oleh tubuh. Hal ini terkait dengan konsumsi pakan dan protein, dimana pada RBIS cukup banyak mengkonsumsi protein namun banyak juga yang keluar bersama feses. Ini menunjukkan bahwa BIS merupakan bahan yang banyak mengandung serat kasar dan beberapa komponen lain terutama protein yang masih berikatan dalam bentuk glikoprotein, sehingga protein yang ada tidak termanfaatkan secara baik. Begitu juga halnya dengan RBKD, walaupun sebagai pakan standar namun masih banyak juga protein yang keluar melalui feses, karena di sana masih adanya zat-zat pembatas lain yang mempengaruhi penyerapan protein seperti polisakarida dalam bentuk ß-manan (HSIAO et al., 2006). Dengan demikian kualitas protein suatu bahan tidak terlepas dari kualitas asam amino penyusunnya yang tercermin dari keseimbangan komposisinya. Komposisi asam amino adalah faktor yang sangat penting dalam menentukan kualitas protein pakan disamping kecernaan protein, ketersediaan asam amino, karakteristik degradasi dan struktur intrinsik protein seperti struktur protein skunder (alfahelix, beta-sheet dan rasio keduanya) serta komponen matrik biologi/protein yang berikatan dengan pati atau protein yang berikatan dengan matrik karbohidrat (SINDAYIKENGERA dan SHUI 2006; YU 2007). Lebih lanjut EGGUM (1973) menyatakan bahwa selain komposisi asam amino, nilai nutrisi protein suatu bahan pakan juga tergantung kepada ketersediaannya secara biologis bagi tubuh ternak dan sesuai tidaknya level asam
Peubah yang diamati untuk penghitungan retensi protein meliputi konsumsi pakan, konsumsi protein, ekskresi protein dan retensi protein. Sedangkan peubah untuk pengukuran energi metabolis adalah konsumsi dan ekskresi energi, energi metaboli semu (EMS), energi metabolis murni (EMM), energi metabolis semu terkoreksi N (EMSn) dan energi metabolis murni terkoreksi N (EMMn). HASIL DAN PEMBAHASAN Retensi protein Hasil pengukuran retensi protein terhadap konsentrat protein BIS tercantum pada Tabel 1. Perlakuan sangat nyata (P < 0,01) mempengaruhi konsumsi ransum dan nyata (p < 0,05) mempengaruhi konsumsi dan ekskresi protein. Konsumsi ransum RKPBIS sangat nyata (P < 0,01) lebih rendah dibandingkan perlakuan lain, sedangkan antara RBIS dan RBKD tidak nyata. Rendahnya konsumsi ransum pada RKPBIS diduga terkait dengan tekstur bahan, dimana RBIS dan RBKD memiliki tekstur yang lebih kasar dibandingkan RKPBIS, selain itu juga dikarenakan kondisi pH yang berbeda antar pakan uji, RKPBIS memiliki pH 5,7, sedangkan RBIS dan RBKD masing-masing memiliki pH 6,6 dan 6,8 sehingga berdampak terhadap palatabilitas dan jumlah pakan yang dikonsumsi. Secara alami unggas memakan butir-butiran dengan demikian makan pakan yang mempunyai tekstur yang lebih halus kurang disukai. Konsumsi protein memiliki pola yang sama dengan konsumsi ransum, dimana RKPBIS nyata lebih rendah (P < 0,05) dari RBIS dan RBKD, sedangkan antara keduanya tidak menunjukkan perbedaan nyata.
Tabel 1 Rataan retensi protein pada konsentrat protein bungkil inti sawit (RKPBIS), bungkil sawit (RBIS) dan bungkil kedelai (RBKD) pada puyuh Perlakuan
Peubah RKPBIS Konsumsi ransum (g/ekor/4 hari)
A
34,23 ± 5,10 a
RBIS B
47,83 ± 2,21 b
RBKD 47,23B ± 4,36
Konsumsi protein (g/ekor/4 hari)
3,39 ± 0,50
3,96 ± 0,18
4,53c ± 0,42
Ekskresi protein terkoreksi (g/ekor/4 hari)
1,02a ± 0,21
1,60b ± 0,25
1,32b ± 0,40
Retensi protein (%)
69,82 ± 6,15
61,19 ± 7,36
70,57 ± 6,90
671
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
amino pada bahan dibandingkan dengan kebutuhan tubuh. Terkait dengan hal itu retensi protein dari ketiga perlakuan secara statistik sama namun terdapat kecenderungan (p < 0.1) bahwa retensi protein RKPBIS dan RBKD nyata lebih tinggi dari RBIS. Hal ini membuktikan bahwa walaupun konsumsi protein pada RKPBIS paling sedikit namun mampu menghasilkan retensi yang cukup tinggi menyamai ransum standard (RBKD). Lain halnya dengan RBIS walaupun konsumsi protein lebih tinggi namun diikuti juga ekskresi yang tinggi, sehingga berdampak terhadap rendahnya retensi protein. Retensi protein untuk RKPBIS hampir sama dengan RBKD (69,82 vs 70,57%), sedangkan RBIS memiliki nilai yang paling rendah (61,19%). Retensi protein pada penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian JAELANI (2007) yang menunjukkan bahwa retensi nitrogen semu antara bungkil inti sawit dan BIS fermentasi masing-masing sebesar 55,63 dan 50,79%. Data ini mendukung data sebelumnya yang melaporkan bahwa konsentrat protein hasil ekstraksi dari BIS bisa dipakai sebagai alternatif pengganti bungkil kedelai, baik dilihat secara kimiawi yang tercermin dari kandungan protein, asam amino dan IAAE maupun secara biologis pada puyuh (YATNO et al., 2008). Energi metabolis Rataan konsumsi dan ekskresi energi dan energi metabolis ransum perlakuan disajikan pada Tabel 2. Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan perbedaan yang
nyata (P < 0,05). RKPBIS (Ransum konsentrat protein BIS), RBIS (Ransum bungkil inti sawit), RBKD (Ransum bungkil kedelai). EMS (energi metabolis semu), EMM (energi metabolis murni), EMSn (energi metabolis semu terkoreksi N) dan EMMn (energi metabolis murni terkoreksi N). Konsumsi energi (Tabel 2) menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P < 0,05) antar perlakuan, dimana konsumsi energi pada RKPBIS nyata (P < 0,05) lebih rendah dibandingkan dengan RBIS sedangkan dengan RBKD tidak berbeda nyata, masing-masing sebesar 106,86, 205,38 dan 169,11 kkal/ekor Sementara ekskresi energi pada RKPBIS menunjukkan hasil yang juga nyata lebih rendah (P < 0,05) dibandingkan dengan RBIS, namun tidak nyata dengan RBKD. SIBBALD dan WOLYNETZ (1985) menyatakan bahwa variasi konsumsi pakan akan mempengaruhi ketersediaan energi bagi unggas. Hal ini menunjukkan bahwa daya cerna perlakuan RKPBIS memiliki nilai yang hampir sama dengan RBKD, sedangkan RBIS memiliki daya cerna yang paling jelek, karena hampir setengah dari energi yang dikonsumsi dikeluarkan melalui feses. Ekskresi energi yang tinggi pada RBIS juga disebabkan karena tingginya serat kasar pada perlakuan tersebut (10.93%) lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan serat kasar RKPBIS dan RBIS masing-masing sebesar 4,49 dan 4,98%. Tinggi rendahnya ekskresi energi tergantung pada daya cerna unggas terhadap pakan yang dikonsumsi. Rataan energi metabolis (EMS, EMM, EMSn dan EMMn) RKPBIS tidak berbeda nyata dengan RBKD namun keduanya nyata lebih tinggi dibandingkan dengan energi
Tabel 2. Rataan konsumsi dan ekskresi energi ransum perlakuan (kkal/ekor/4 hari) Perlakuan
Peubah RKPBIS
RBIS
RBKD
a
169,11b ± 51,55
32 ± 6,46 (29,95%)
84,58 ± 16,33 (41.18%)
40,81b ± 10,20 (24,13%)
EMS (kkal/kg)
2684,69a ± 60,9
2524,50b ± 331,20
2913,58a ± 136,30
EMM (kkal/kg)
2605,97a ± 68,99
2480,07b ± 331,40
2857,35a ± 163,30
EMSn (kkal/kg)
2501,22a ± 83,73
2440,66b ± 350,61
2770,11a ± 229,10
EMMn (kkal/kg)
a
Konsumsi Energi (kkal/ekor/4 hari) Ekskresi Energi ((kkal/ekor/4 hari)
672
c
106,85 ± 23,77 b
2578,94 ± 74,45
205,38 ± 9,49 a
b
2485,06 ± 350,43
2826,30a ± 201,00
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008
metabolis pada RBIS. Hal ini terkait dengan proses pembuatan konsentrat protein, dimana proses ekstraksi secara fisik dan kimiawi dan adanya pemanasan (autoclave) menyebabkan perubahan serat kasar menjadi bentuk yang lebih sederhana, sehingga menyebabkan proses pencernaan menjadi lebih efisien. Percobaan yang sama telah dilaporkan oleh RAMLI et al. (2007) bahwa kandungan EMS, EMM, EMSn dan EMMn pada ransum yang menggunakan konsentrat protein BIS masingmasing sebesar 4021.08, 3827.69, 4218.83 dan 3973.20 kkal/kg KESIMPULAN Konsentrat protein yang diekstraksi dari bungkil inti sawit memiliki retensi protein dan energi metabolis murni yang lebih tinggi dari bungkil inti sawit tanpa pengolahan serta hampir menyamai dengan bungkil kedelai yang mempunyai retensi protein dan energy metabolis murni berturut-turut sebesar (69.82 vs 70.57% dan 2605.97 vs 2857.35 kkal/kg) UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dirjen Dikti yang telah memberikan dana penelitian melalui Tim Penelitian Hibah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan no kontrak: 012/SP2H/PP/DP2M/III/2007. DAFTAR PUSTAKA EGGUM, B.O. 1973. A Study of Certain Factors Influencing Protein Utilization in Rats and Pigs. Ttesis. Copenhagen: The Royal Veterinary and Agricultural University.
HSIAO, H.Y., D.M. ANDERSON and DALE NM. 2006. Level of beta-mannan in soybean meal (research note). J. Poult. Sci. (85): 1430 – 1432. JAELANI, A. 2007. Hidrolisis Bungkil Inti Sawit oleh Kapang Pendegradasi Polisakarida mannan dan Pengaruhnya terhadap Penampilan Ayam Pedaging. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. RAMLI, N. 2005. Daya hambat polisakarida mengandung mannan yang diekstraksi dari bungkil inti sawit terhadap Salmonella spp. dan E. coli secara in vitro. Pros. Seminar Nasional Asosiasi Ahli Ilmu Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI) V. Universitas Brawijaya, Malang. SIBBALD, I. R., AND M. S. WOLYNETZ. 1985. Estimates of retained nitrogen used to correct estimates of bioavailable energy. Poult. Sci. 64: 1506 – 1513. SINDAYIKENGERA, S. and W. SHUI. 2006. Nutritional evaluation of caseins and whey protein and their hydrolysates from protamex. J. Amer. Diet. Assoc. (2): 90 – 98. TAFSIN M. 2007. Kajian polisakarida mannan dari bungkil inti sawit sebagai pengendali Salmonella thypimurium dan immunostimulan pada ayam. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. YATNO, N. RAMLI, A. SETIYONO, T. PURWADARIA dan P. HARDJOSWORO. 2008. Sifat kimia dan nilai biologi konsentrat protein bungkil inti sawit hasil ekstraksi kombinasi fisik-kimiawi. J. Media Peternakan (Accepted). YU, P. 2007. Protein molekul structure, protein subfractions, and protein availability affected by heat processing. Am. J. Biochem. Biotech. 3(2): 66 – 86.
673