TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Komposisi Kelapa Sawit Kelapa sawit merupakan tanaman yang berasal dari Afrika Barat yang mempunyai iklim tropis. Tanaman ini awalnya dikembangkan perusahaan besar dan kemudian diikuti perusahaan nasional dan rakyat. Hasil utama pengolahan kelapa sawit adalah minyak sawit (Crude Palm Oil) dan minyak inti sawit (Palm Karnel Oil). Adapun hasil ikutannya berupa bungkil inti sawit (Gambar 2), serat perasan buah, tandan buah kosong, lumpur minyak sawit dan tempurung sawit. Hasil sampingan serat perasan buah dan tempurung sawit digunakan sebagai arang bakar. Adapun tandan kosong dan lumpur sawit merupakan sumber selulosa. (Naibaho, 1990). Gambar 1 menjelaskan struktur umum buah kelapa sawit (Aritonang, 1986) dan Gambar 2 menjelaskan bentuk umum bungkil inti sawit. Menurut Devendra (1977), bungkil inti sawit memiliki persentase yang sama dengan minyak inti sawit namun bila dibandingkan dengan hasil ikutan kelapa sawit termasuk bagian yang paling rendah 4-5% dari tandan buah segar (Gambar 3).
Mesokaprium Eksokaprium Inti Sawit Endokaprium
Gambar 1. Struktur Buah Kelapa Sawit Sumber: Naibaho (1990)
Endokaprium
a Gambar 2. Bentuk Umum Bungkil Inti Sawit
3
Gambar 3. menjelaskan persentase bagian kelapa sawit berikut hasil ikutannya (Aritonang, 1986) sedangkan gambar 4. menjelaskan komponen pengolahan tandan buah kelapa sawit dan ekstraksi bungkil inti sawit (Aritonang, 1986). Secara umum, proses pengolahan menunjukkan kombinasi proses dengan menggunakan tekanan (press) dan ekstraksi. Tandan Buah Segar
Tandan Kosong (55-58%)
Serat Kelapa Sawit (12%)
Minyak Sawit (18-20%)
Inti Sawit (4-5%)
Tempurung (8%)
Lumpur Minyak Sawit Kering (2%) Minyak Inti Sawit (45-46%)
Bungkil Inti Sawit (45-46%)
Gambar 3. Persentase Bagian-Bagian Kelapa Sawit Berikut Hasil Ikutannya Sumber: Aritonang (1986) Bungkil inti sawit di Indonesia sudah ditetapkan standar kualitasnya, yakni tertera pada SNI 01-0001-1987. Kandungan nutrisi bungkil inti sawit diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Nutrisi Bungkil Inti Sawit Kandungan Nutrisi
Peneliti 1
2 a
3
4
A. Analisis Proksimat b Energi Metabolis, 1480* 1480 Kkal/kg Bahan Kering, % 91 86 86 88,57 90,3 Protein Kasar, % 14 12,9 15,4 16,86 16,1 Lemak Kasar, % 8 9,4 4,6 6,82 0,8 Serat Kasar, % 23 16,9 9,6 15,12 15,7 Abu, % 6 5,6 9,6 6,58 4 Beta-N, % 49 41,2 52,8 54,62 63,5 Sumber: * Mustaffa et al. (1991) 1 Yeong dan Mukherjee. (1983), 2 Hartadi et al. (1980) (Ekstraksi: a mekanik dan b kimia), 3 Keong (2004), 4 Hew dan Jalaludin (1996) 4
Penggunaan Bungkil Inti Sawit sebagai Pakan Pemanfaatan hasil sampingan pengolahan kelapa sawit berupa bungkil inti sawit telah dilakukan di Malaysia (Zahari & Alimon, 2005), Indonesia dan Afrika (Sinurat, 2003). Bahan pakan tersebut diberikan langsung baik dalam bentuk campuran bahan mengandung karbohidrat tinggi, mineral dan vitamin maupun dalam bentuk terpisah. Beberapa studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pengujian nilai nutrisi bungkil inti sawit telah banyak dilakukan pada berbagai jenis ternak dan memberikan efek yang cukup baik terhadap tampilan produksinya. Selanjutnya dinyatakan bahwa penggunaan bungkil inti sawit adalah untuk subsitusi bungkil kelapa dalam ransum ternak ruminansia, karena bungkil inti sawit mengandung protein dan energi yang tinggi serta imbalan mineral yang serasi bagi ternak ruminansia (Aritonang, 1986). Hasil penelitian Carvalho (2006) menunjukkan bahwa penggunaan bungkil inti sawit (solvent ekstract) yang tinggi dalam pakan sapi perah tidak mempengaruhi konsumsi dan produksi susu. Penggunaan bungkil inti sawit pada sapi potong dan sapi perah dilaporkan dapat menekan biaya pakan (Ummunna et al., 1980 & Carvalho. 2006). Bungkil Kelapa Gambar 5 menunjukkan komposisi penyusun buah kelapa. Bungkil kelapa (Gambar 6) adalah hasil ikutan yang didapat dari ekstraksi daging buah kelapa segar/kering (testa dan meat). Eksokaprium Mesokaprium Endokaprium Kulit Daging Air
Gambar 5. Komposisi Penyusun Buah Kelapa S Sumber: Woodrof (1979)
6
Gambar 6. Bentuk Umum Bungkil Kelapa Mutu bungkil kelapa digolongkan dua jenis (Tabel 2). Kopra merupakan buah kelapa yang dikeringkan dan digunakan sebagai sumber minyak, pengeringan kelapa tersebut biasanya dilakukan di bawah sinar matahari atau menggunakan pengeringan buatan (Woodrof, 1979). Menurut Child (1964), bungkil kelapa masih mengandung protein, karbohidrat, mineral dan sisa-sisa minyak yang masih tertinggal. Kandungan protein yang cukup tinggi menyebabkan bungkil kelapa cukup baik apabila digunakan sebagai makanan ternak. Proses pembuatan bungkil kelapa dapat dilihat pada Gambar 7. Daging Buah
Pengeringan dengan Sinar Matahari Kopra Penghancuran Pemanasan pada Suhu 115°C Pengepresan Minyak
Bungkil
Gambar 7. Proses Pembuatan Bungkil Kelapa Sumber: Tarwiyah (2001)
7
Bungkil kelapa mengandung minyak yang tinggi maka mudah terjadi ketengikan, sehingga diusahakan tidak terlalu lama dalam proses penyimpanan. Persyaratan mutu bungkil kelapa meliputi kandungan nutrisi dan toleransi aflatoksin. Jenis bungkil kelapa dibagi menjadi dua jenis berdasarkan kadar protein kasar. Bungkil kelapa jenis A memiliki kadar protein kasar yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan bungkil kelapa jenis B. Persyaratan mutu bungkil kelapa menurut SNI 01-2904-1992 secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Persyaratan Mutu Bungkil Kelapa Komposisi Air (% maksimum) Protein Kasar (% minimum) Serat Kasar (% maksimum) Abu (% maksimum) Lemak (% maksimum) Asam Lemak Bebas (% terdapat dalam Lemak) Ca (%) P(%) Aflatoksin (ppb maksimum) Sumber: SNI (1992)
Jenis A 12 18 14 7 12
B 12 16 16 9 15
7
9
0,05-0,30
0,05-0,30
0,40-0,75 100
0,40-0,75 100
Penyaringan (Sieving) Pengayakan atau penyaringan adalah proses pemisahan secara mekanik berdasarkan perbedaan ukuran partikel pada bahan tertentu (Khalil, 1999). Pengayakan (screening) dipakai dalam skala industri, sedangkan pengayakan (sieving) dipakai untuk skala laboratorium. Menurut Khalil (1999), produk dari proses pengayakan/penyaringan ada dua meliputi ukuran lebih besar daripada ukuran lubang-lubang ayakan (oversize) dan ukuran yang lebih kecil daripada ukuran lubang-lubang ayakan (undersize). Dalam proses industri, pengayakan (sieving) biasanya digunakan untuk mendapatkan material yang berukuran tertentu dan seragam (Khalil, 1999). Pada proses pengayakan, material dijatuhkan atau dilemparkan ke permukaan pengayak dan pengayakan lebih cenderung dilakukan dalam keadaan kering.
8
Dalam penerapannya, penggunaan ayakan secara umum diarahkan untuk mengukur kadar keseragaman bahan dan mendapatkan ukuran partikel bahan. Nomor mesh 4 (4,76 mm) sampai nomor mesh 16 (1 mm) mengindikasikan kriteria bahan dalam kondisi kasar sedangkan nomor mesh 30 (0,548 mm) sampai nomor mesh 50 (0,28 mm) digunakan untuk mengindikasikan kriteria bahan dalam kondisi medium dan nomor mesh 100 (0,149 mm) digunakan untuk mengindikasikan kriteria bahan dalam kondisi halus. Perubahan Fisik Bahan Bahan atau komoditi yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan pangan ataupun pakan merupakan produk pertanian penting diketahui sifat-sifat pada tiap komoditi tersebut yang berguna dalam penyediaan dan perancangan mesin, pengolahan komoditi, pengawetan produk, dan pengembangan suatu produk pangan atau pakan yang baru. Pengetahuan sifat fisik dan kimia bahan saling mempengaruhi kondisi bahan. Sifat fisik komoditi meliputi semua kondisi yang dapat diamati panca indra maupun yang hanya dapat diukur dengan menggunakan mesin (kehalusan bahan, keseragaman bahan, densitas). Dalam penerapannya, Toharmat et al. (2006) menyebutkan bahwa sifat bahan banyak terkait dengan kadar serat dalam bahan, semakin tinggi kadar serat maka semakin rendah kerapatannya atau bahan bahan tersebut semakin amba. Menurut Retnani et al. (2009), maka nilai kerapatan yang tidak stabil disebabkan oleh kelembaban yang relatif tinggi, cairan terkondensasi pada permukaan bahan menjadi basah dan sangat kondusif untuk pertumbuhan mikroba pada pellet. Sifat Fisik Bahan Kerapatan Tumpukan (Bulk Density) Kerapatan tumpukan adalah perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempati dalam satuan kg/m3 (Khalil, 1999). Pengukuran kerapatan tumpukan (Bulk Density) dilakukan untuk menentukan volume ruang pada suatu bahan dengan berat jenis tertentu seperti dalam pengisian alat pencampur dan elevator (Kolatac, 1996). Kerapatan tumpukan memiliki pengaruh terhadap daya campur dan ketelitian pengukuran secara otomatis seperti halnya dengan berat jenis. Kerapatan tumpukan juga berpengaruh terhadap daya ambang dan stabilitas 9
pencampuran pakan. Tabel 3 dan Tabel 4 menunjukkan kriteria dalam penilaian kerapatan tumpukan menurut Kolatac (1996) dan nilai kerapatan tumpukan beberapa bahan pakan. Tabel 3. Kriteria Penilaian Kerapatan Tumpukan Kerapatan Tumpukan
Kriteria
< 450 kg/m3
Waktu alir lebih lama dan butuh ketelitian lebih dalam proses penimbangan, volumetris, dan gravimetris
> 500 kg/m3
Sulit dalam proses pencampuran serta mudah terpisah
> 1000 kg/m3
Waktu alir lebih cepat
Sumber: Kolatac (1996) Tabel 4. Nilai Kerapatan Tumpukan Beberapa Bahan Pakan Bahan Pakan
Kerapatan Tumpukan (kg/m3)
Jagung
691,3
Sorghum
684,0
Bungkil Inti Sawit
503,2
Bungkil Kedelai
320,0
Tepung Ikan Sumber: Khalil (1999)
435,3
Kerapatan Pemadatan Tumpukan (Compacted Bulk Density) Kerapatan pemadatan tumpukan merupakan perbandingan antara berat bahan terhadap volume ruang yang ditempati setelah melalui proses pemadatan. Perbedaan cara pemadatan akan berpengaruh terhadap nilai kerapatan pemadatan tumpukan, antara kerapatan tumpukan dan kerapatan pemadatan tumpukan terletak kapasitas silo dan container (Gauthama, 1998). Menurut Khalil (1999), kerapatan pemadatan tumpukan dipengaruhi oleh ukuran partikel dan kadar air suatu bahan. Selain kadar air dan ukuran partikel, besarnya kerapatan pemadatan tumpukan juga dipengaruhi ketidaktepatan pengukuran (Sayekti, 1999). Besarnya nilai kerapatan pemadatan
10
tumpukan mementukan kapasitas pengisian tempat penyimpanan silo. Tabel 5 menunjukkan nilai kerapatan pemadatan tumpukan beberapa bahan pakan. Tabel 5. Nilai Kerapatan Pemadatan Tumpukan Beberapa Bahan Pakan Bahan
Kerapatan Pemadatan Tumpukan (kg/m3)
Jagung
704,2
Sorghum
707,6
Bungkil Inti Sawit
700,7
Bungkil Kedelai
340,5
Tepung Ikan Sumber: Khalil (1999)
562,0
Berat Jenis (Spesific Density) Berat jenis diukur menggunakan prinsip Hukum Archimedes yaitu suatu benda dalam fluida akan mengalami Gaya Archimedes sebesar fluida yang dipindahkan dan arahnya ke atas. Menurut Gauthama (1998) bahwa berat jenis merupakan faktor penentu dari kerapatan tumpukan, daya ambang bersama dengan ukuran partikel bertanggung jawab terhadap homogenitas penyebaran partikel dan stabilitasnya dalam suatu campuran pakan serta menentukan tingkat ketelitian proses penakaran otomatis yang umum diperlukan dalam pabrik pakan. Tabel 6 menunjukkan nilai berat jenis beberapa bahan pakan. Tabel 6. Nilai Berat Jenis Beberapa Bahan Pakan Bahan Berat Jenis (kg/m3) Jagung
1579,1
Sorghum
1221,4
Bungkil Inti Sawit
1574,3
Bungkil Kedelai
912,2
Tepung Ikan Sumber: Khalil (1999)
1289,3
11
Sudut Tumpukan (Angle of Respose) Sudut tumpukan adalah sudut yang terbentuk antara bidang datar dengan ketinggian. Tumpukan akan terbentuk bila bahan dicurahkan pada bidang datar melalui sebuah corong serta mengukur kriteria kebebasan bergerak dari partikel pada sudut tumpukan bahan. Semakin bebas suatu partikel bergerak sudut tumpukan yang terbentuk semakin kecil. Pengukuran sudut tumpukan merupakan metode yang cepat dan produktif untuk menentukan laju aliran bahan (Geldart et al., 1990). Menurut Geldart et al. (1990), bahan pakan dengan sudut tumpukan yang tinggi mengakibatkan perlu proses pengadukan dalam silo agar bahan bisa menyebar sehingga mekanisme kerja dalam industri tidak efisien, akan tetapi bila sudut tumpukan kecil maka turunnya bahan akan menjadi serentak. Tabel 7 dan Tabel 8 menunjukkan klasifikasi aliran bahan berdasarkan sudut tumpukan dan sudut tumpukan beberapa bahan pakan. Tabel 7. Klasifikasi Aliran Bahan Berdasarkan Sudut Tumpukan Sudut Tumpukan
Aliran
25-30°
Sangat mudah mengalir
30-38°
Mudah mengalir
38-45°
Mengalir
45-55°
Sulit mengalir
>55° Sangat sulit mengalir Sumber: Fasina & Sokhansanj (1993) Tabel 8. Sudut Tumpukan Beberapa Bahan Pakan Sudut Tumpukan
(°)
Jagung
0
Sorghum
15,9
Bungkil Inti Sawit
45,2
Bungkil Kedelai
12,5
Tepung Ikan Sumber: Khalil (1999)
39,7
12
Daya Ambang (Floating Rate) Daya ambang adalah jarak tempuh oleh suatu partikel bahan jika dijatuhkan dari atas ke bawah pada bidang datar selama jangka waktu tertentu dengan satuan m/s. Semakin pendek jarak jatuh partikel bahan yang dicapai persatuan waktu pada jarak yang telah ditentukan maka daya ambang semakin besar. Daya ambang berperan penting dalam pengangkutan bahan melalui alat penghisap (pneumatic conveyer) agar bahan tidak terpisah berdasarkan ukuran dan berat partikel. Partikel yang mempunyai daya ambang yang tinggi akan mudah terhisap sedangkan bahan dengan daya ambang yang rendah akan jatuh lebih cepat dan cenderung bertumpuk pada bagian bawah (Khalil, 1999). Kelarutan Total Kelarutan total adalah jumlah zat yang dapat dilarutkan dalam pelarutnya (Vogel, 1978). Kelarutan tergantung pada suhu, tekanan, dan konsentasi bahan-bahan lain dalam larutan. Muchtadi et al. (1993) menyatakan bahwa pelarut adalah substansi pada fase yang sama (padat, cair, gas) sebagai bagian yang menyusun larutan. Pelarut yang baik adalah air, lebih lanjut dijelaskan bahwa air melarutkan atau mendispersi sebagai zat dengan sifat dwi kutub yang dimilikinya. Nilai kelarutan total untuk beberapa bahan pakan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Kelarutan Total Beberapa Bahan Pakan Bahan Pakan
Kelarutan Total (%BK)
Dedak
8,48
Onggok
9,10
Gaplek
9,32
Bungkil Kelapa
7,72
Jerami Padi Sumber: Murni (2003)
8,79
Kelarutan bahan dalam air disebabkan oleh adanya gugus hidroksil (gula dan alkohol) dan gugus O2 karbonil (aldehida dan keton) yang cenderung membentuk ikatannya ion dengan air (Voet et al. (1999). Air juga melarutkan berbagai senyawa organik yang mempunyai gugus karboksil atau asam amino yang cenderung berionisasi oleh interaksinya dengan air (Muchtadi et al., 1993). 13
Derajad Keasaman (pH) Derajad keasaman (pH) merupakan suatu gambaran yang dapat memperlihatkan konsentrasi ion Hidrogen pada suatu medium atau pelarut. Menurut Gaman dan Sherrington (1990), adanya gugus amino dan karboksil bebas pada ujung-ujung rantai molekul protein menyebabkan protein memiliki banyak muatan (polielektrolit) dan bersifat amfoter (dapat bereaksi dengan asam maupun basa). Tiap-tiap molekul protein memiliki daya reaksi yang berbeda-beda dengan asam maupun basa, hal ini tergantung pada jumlah dan letak gugus amino dan karboksil dalam molekul protein tersebut. Derajad keasaman (pH) dalam saluran pencernaan dipengaruhi oleh pH pakan, kehancuran pakan dalam lambung akan menghasilkan pH lambung (Ange et al., 2000). Nilai pH beberapa pakan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Nilai Derajad Keasaman (pH) Beberapa Bahan Pakan Bahan Pakan
Derajad Keasaman (pH)
Jagung Kuning Tepung Alfalfa Rape Seed Bungkil Kedele (Kadar Protein 53%) Tepung Tulang
6,1 5,9 5,3 6,6 6,3
Tepung Daging Sumber: Makkink (2003)
6,0
14