Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
NILAI KECERNAAN IN VITRO BAHAN KERING DAN PROTEIN BUNGKIL INTI SAWIT YANG DIOLAH DENGAN KAPANG DAN ENZIM SEBAGAI SUMBER PROTEIN RUMINANSIA (In vitro Digestibility of Dry Matter and Protein of Palm Kernel Cake Processed Using Mould and Enzyme as Protein Source for Ruminants) Wisri Puastuti, Yulistiani D, Rahmani SIW Balai Penelitian Ternak, PO Box 221 Ciawi, Bogor 16002
[email protected]
ABSTRACT Improvement of palm kernel cake (PKC) quality can be done by bioprocessing. Processing using microbes such as mould and bacteria showed positive effect on digestibility. Similar effect was observed when particular enzyme was added to this substrate. As an important protein source for ruminants, digestibility characteristic of PKC needed to be evaluated. The objective of this study was to evaluate the digestibility either in rumen or post rumen of unprocessed and processed PKC with mould and enzyme BS-4. The PKC was fermented using Aspergillus niger, Aspergillus oryzae, Trichoderma viridae, and enzyme BS-4 (Balitnak) containing mannanase was used for enzymatic process of PKC. The PKC was evaluated in vitro. Results shows that DM digestibility in the rumen (IVODMD), post rumen and total digestibility of PKC, fermented PKC and enzymatic PKC were relatively similar, they were: 50.25±2.35%; 26.30±2.15% and 73.25 ± 2.31%, respectively. The crude protein contents of PKC, fermented PKC and enzymatic PKC was relatively high. Fermented PKC using Aspergillus niger had highest rumen CP digestibility (87.77 vs 84.05; 80.07; 77.14; 69.03% respectively for PKC fermented by Aspergillus niger, control, Trichoderma viridae, Aspergillus oryzae, enzim BS-4). On the other hand post rumen digestibility of PKC fermented by Aspergillus niger was the lowest (23.20 vs 27.59; 28.53; 27.15; 25.04% respectively for PKC fermented by Aspergillus niger, control, Trichoderma viridae, Aspergillus oryzae, enzim BS-4). The total CP digestibility of PKC fermented by Aspergillus niger was the highest (81.56 vs 74.31; 73.27; 61.85, 59.52%). It is concluded that PKC had high rumen CP digestibility (79.16±7.15%), so that it can be utilized as protein source for ruminants, but protein protection is needed to reduce its degradability in the rumen. Key Words: Palm Kernel Cake, Protein, Processing ABSTRAK Upaya untuk meningkatkan kualitas bungkil inti sawit (BIS) dapat dilakukan melalui pengolahan. Pengolahan dengan mikroba seperti jamur dan bakteri menunjukkan pengaruh positif terhadap kecernaan, demikian juga dengan cara menambahkan enzim tertentu. Sebagai sumber protein bagi ruminansia, maka karakteristik kecernaan BIS perlu dievaluasi. Tujuan penelitian adalah untuk mengevaluasi kecernaan BIS dan BIS yang diolah dengan kapang dan enzim BS-4 baik di dalam rumen maupun pascarumen. Pengolahan BIS dilakukan secara biofermentasi menggunakan kapang Aspergillus niger, Aspergillus oryzae, Trichoderma viridae, dan secara enzimatis menggunakan enzim BS-4 (produk Balitnak), yang mengandung mannanase. Pengujian kecernaan BIS dilakukan dengan cara in vitro. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kacernaan BK di rumen, pascarumen dan total dari BIS, BIS fermentasi dan BIS enzim BS-4 relatif serupa, yaitu 50,25±2,35%, 26,30±2,15% dan 73,25±2,31%. Kacernaan PK di rumen, pascarumen dan total dari BIS, BIS fermentasi dan BIS enzim BS-4 relatif tinggi. Kacernaan PK dari BIS fermentasi oleh Aspergillus niger vs BIS tanpa fermentasi, Trichoderma viridae, Aspergillus oryzae, enzim BS-4 menghasilkan kecernaan rumen yang tertinggi (87,77 vs 84,05; 80,07; 77,14; 69,03%), sebaliknya kecernaan pascarumen yang terendah (23,20 vs 27,59; 28,53; 27,15; 25,04%) dan kecernaan total PK yang tertinggi (81,56 vs 74,31; 73,27; 61,85, 59,52%). Dapat disimpulkan bahwa BIS memiliki kecernaan PK yang sangat tinggi di dalam rumen yaitu 79,16±7,15%, sehingga pemanfaatan sebagai sumber protein ruminansia perlu perlindungan. Kata Kunci: BIS, Protein, Pengolahan
382
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan luas lahan penanaman kelapa sawit mencapai 8,7 juta hektar pada tahun 2011 (BPS, 2012). Produk samping pengolahan kelapa sawit menjadi minyak diantaranya berupa bungkil inti sawit. Bungkil inti sawit (BIS) merupakan sisa padatan dari proses ekstraksi biji (kernel) sawit yang menghasilkan produk utama berupa minyak inti sawit. Dengan predikat sebagai produsen minyak sawit dunia otomatis ketersediaan BIS di Indonesia berlimpah. BIS mengandung protein yang cukup tinggi yakni 12-14% (Mathius 2006; Chin 2008; Dairo dan Fasuyi 2008) dan energi bruto 4408 kal/g (Mathius et al. 2005). Bahkan BIS dapat dikatakan sebagai produk samping pengolahan kelapa sawit yang terbaik dilihat dari potensi kandungan nutriennya. Namun demikian BIS juga mengandung serat kasar yang terikat seperti selulosa, hemiselulosa, pectin dan lignin. Komponen pakan tersebut resisten terhadap enzim pencernaan akibat terikat βglikosidik yang mencapai 90% dari serat. BIS dilaporkan mengandung manan dan galaktomanan. Total polisakarida non pati dari BIS mengandung 78% manan, 3% arabinoxylan, 3% glukoronoxylan yang tidak larut air dan 12% selulosa (Duesthorft et al. 1992). Upaya untuk meningkatkan kualitas BIS dapat dilakukan melalui pengolahan fermentasi. Pengolahan dengan mikroba seperti jamur dan bakteri menunjukkan pengaruh positif terhadap kecernaan (Ramin et al. 2010). Secara umum produk fermentasi mengandung senyawa yang lebih sederhana dan mudah dicerna dari pada bahan asalnya sehingga dapat meningkatkan ketersediaan nutriennya. Berbagai mikroba mampu mengkonversi pati menjadi protein dengan penambahan nitrogen anorganik melalui fermentasi, sehingga produk fermentasi meningkat kadar proteinnya. Jenis mikroba yang digunakan dalam fermentasi BIS diantaranya Aspergillus niger (Supriyati et al. 1998; Ramin et al. 2010), Trichoderma harizianum (Tuan Lah et al. 2012), Rhizopus oryzae (Ramin et al. 2010; Orthman et al. 2013). Selain melalui fermentasi, untuk meningkatkan kecernaannya suatu bahan dapat
dilakukan dengan cara menambahkan enzim tertentu. Eupenicillium javanicum sebagai isolat kapang mesofil dari biji palem raja dan kelapa sawit lapuk dapat memproduksi βmananase. Selanjutnya enzim yang dihasilkan dari E. javanicum yaitu BS-4 sudah diproduksi oleh Balitnak. Kapang E. javanicum juga menghasilkan α-D-galaktosidase dan β-Dmanosidase dengan aktivitas yang tinggi (Purwadaria et al. 1994). Hal ini menunjukkan bahwa enzim yang diproduksi oleh E. javanicum bermanfaat dalam menguraikan substrat yang mengandung manan dan galaktomanan (Haryati et al. 1997) seperti pada BIS. Sebagai sumber protein bagi ruminansia, maka karakteristik kecernaan BIS perlu dievaluasi, mengingat selain protein yang mudah didegradasi di dalam rumen juga diperlukan protein yang tahan degradasi rumen (RUP = rumen undegradable protein) untuk mendukung produktivitas ternak ruminansia. Tujuan penelitian adalah untuk mengevaluasi kecernaan BIS dan BIS yang diolah dengan kapang dan enzim BS-4 baik di dalam rumen maupun pascarumen sebagai sumber protein bagi ruminansia. MATERI DAN METODE Pengolahan BIS dilakukan secara biofermentasi menggunakan kapang Aspergillus niger, Aspergillus oryzae, Trichoderma viridae, dan secara enzimatis menggunakan enzim BS4 (produk Balitnak), yang mengandung mannanase. Bahan BIS diambil dari pabrik pengolahan minyak sawit PT Condong, Garut. Fermentasi BIS dilakukan mengikuti metode sebagai berikut: BIS yang sudah halus ditambahkan larutan mineral kemudian disterilkan (dikukus selama 30 menit) dan didinginkan. Setelah dingin dicampur dengan starter (masing-masing Aspergillus niger (BIS+An), Aspergillus oryzae (BIS+Ao), Trichoderma viridae (BIS+Tv) sebanyak 6-10 g/kg BIS. Kemudian campuran tersebut ditempatkan pada loyang plastik dan disimpan pada suhu ruang (300C) selama 4 hari agar kapangnya tumbuh. BIS yang ditambah enzim dilakukan pencampuran secara merata dengan enzim mannanase (BIS+BS-4) sebanyak 20 mg/kg. Kelembaban campuran dibuat 50% dengan cara menambah aquades. Selanjutnya
383
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
campuran disimpan dalam kantong plastik secara anaerob selama 21 hari dalam suhu kamar. Tahap selanjutnya adalah pengeringan BIS fermentasi dan BIS yang ditambah enzim BS-4 dalam oven pada suhu 60°C selama 2 hari. Pengujian kecernaan BIS dilakukan dengan cara in vitro mengikuti metode Tilley dan Terry (1963). Ditimbang sebanyak 0,5 g sampel dan dimasukkan ke dalam tabung fermentor, kemudian ditambahkan 10 ml cairan rumen dan 40 ml larutan buffer (saliva buatan). Dimasukkan gas CO2 untuk menciptakan kondisi anaerob, kemudian difermentasi dalam shaker bath bersuhu 39°C selama 24 jam. Untuk menghentikan proses pencernaan fermentatif, ke dalam tabung ditambahkan 0,2 ml H2SO4 pekat. Untuk mengevaluasi kecernaan BIS di dalam rumen, sisa pencernaan disaring dan dikeringkan dalam oven bertemperatur 105°C selama 24 jam. Dibuat blanko dengan cara yang sama, tetapi tanpa bahan sampel. Untuk menevaluasi kecernaan pascarumen dilanjutkan penambahkan 20 ml larutan pepsin 0,2% dan diinkubasi selama 24 jam untuk proses pencernaan hidrolitik. Kemudian sisa pencernaan disaring dan dikeringkan dalam oven bertemperatur 105°C selama 24 jam. Dibuat blanko dengan cara yang sama, tetapi tanpa bahan sampel. Kecernaan dihitung dengan rumus: % Kecernaan =
Xa – Xr – Xb Xa
x 100%
Keterangan: Xa = X asal Xr = X residu Xb = X blanko Analisa bahan kering dan protein dilakukan mengikuti metode AOAC (1984). Percobaan dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap (5 perlakuan dengan 4 ulangan). Untuk mengetahui perbedaan diantara perlakuan pengolahan dilakukan uji Duncan (Steel dan Torrie 1980): HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan kadar protein BIS Bungkil inti sawit (BIS) yang digunakan memiliki kontaminan cangkang kurang dari 3%. Komposisi BIS terdiri atas 4,37% abu,
384
13,98% protein kasar, 8,61% lemak, 13,65% serat 14,91% lignin dan energi bruto sebesar 4758 Kkal/kg. Setelah difermentasi masingmasing mengandung 25,78% protein untuk BIS+An, 23% protein untuk BIS+Tv, serta 26,33% protein untuk BIS+Ao. Kenaikan kandungan protein disebabkan oleh pertumbuhan kapang yang merupakan single sel protein. Seperti pernyataan Sofjan et al. (2001) yang menyatakan bahwa perkembangan biomasa inokulum menyebabkan peningkatan kandungan protein substrat. Hasil fermentasi ini melebihi kenaikan protein yang dilaporkan Ramin et al. (2010) yaitu kandungan protein BIS yang difermentasi oleh Aspergillus niger sebesar 21,3%, Rhizopus oryzae 22,2% dan Trichoderma harizianum 18,4% dari bahan asalnya 18,6%. Perbedaan jenis dan strain kapang menghasilkan peningkatan kadar protein yang berbeda. Nilai kecernaan BK in vitro BIS Nilai kecernaan bahan kering in vitro selama 24 jam dengan media cairan rumen dari BIS dan BIS fermentasi menunjukkan adanya sedikit peningkatan (8,4%) pada BIS fermentasi, namun demikian secara statistik tidak menujukkan perbedaan yang nyata yaitu 47,10 vs 51,40; 49,29; 54,08; 49,39% (Tabel 1). Nilai kecernaan BK di dalam rumen sangat dipengaruhi oleh tingkat kelarutan suatu bahan pakan. Melalui proses fermentasi senyawa komplek dirombak menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga meningkatkan ketersediaan nutriennya. Pada penelitian ini pengaruh penggunaan kapang untuk fermentasi BIS belum menghasilkan perbedaan pada kecernaan BK BIS. Selama waktu inkubasi di dalam rumen (24 jam) menghasilkan jumlah BK yang terdegradasi dalam jumlah yang serupa yaitu 50,25±2,35%, namun bisa jadi masing-masing kapang menghasilkan jumlah fraksi mudah larut yang berbeda. Seperti BIS yang difermentasi oleh Aspergillus niger strain E14, E27 dibandingkan dengan tipe liar menghasilkan daya cerna BK pada waktu 0 hari (kelarutan) yang berbeda yaitu 33,0; 37,2 vs 40,8% (Sari dan Purwadaria 2004). Nilai kecernaan BK dari BIS yang difermentasi pada penelitian ini sebesar 51,59% sedikit lebih tinggi dari yang
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Tabel 1. Nilai kecernaan bahan kering in vitro BIS dan BIS fermentasi Uraian
Kecernaan BK Rumen (%)
Pascarumen (%)
Total (%)
BIS
47,10a
27,59a
70,93a
BIS + An
51,40a
25,04ab
76,71a
BIS + Tv
49,29
a
b
71,52a
BIS + Ao
54,08a
27,59a
72,89a
BIS + BS4
49,38a
25,14a
74,20a
23,25
Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) BIS = BIS yang tidak difermentasi BIS + An = BIS difermentasi dengan Aspergillus niger BIS + Tv = BIS difermentasi dengan Trichoderma viridae BIS + Ao = BIS difermentasi dengan Aspergillus oryzae
dilaporkan Supriyati et al. (1998) yaitu sebesar 45,0 dan 50,78% masing-masing pada BIS. Nilai kecernaan BK pascarumen dari BIS dipengaruhi oleh pengolahan (P<0,05). Secara keseluruhan kecernaan BK pascarumen sebesar 26,30±2,15%. Proses fermentasi BIS menggunakan kapang Trichoderma viridae menghasilkan sedikit penurunan kecernaan BK di dalam saluran pascarumen (P<0,05) dibandingkan dengan BIS tanpa fermentasi dan BIS dengan pengolahan lainnya. Bila kecernaan BK dihitung sebagai kecernaan total, maka BIS yang tidak difermentasi dibandingkan dengan BIS yang difermentasi dan BIS enzim BS-4 menghasilkan kecernaan BK yang serupa, yaitu 73,25±2,31%. Hasil ini menggambarkan bahwa komponen BK BIS yang dapat dicerna dalam rumen dan pascarumen relatif tinggi (72,71% pada BIS terolah dan 70,93% pada BIS tanpa difermentasi).
Nilai kecernaan PK in vitro BIS Nilai kecernaan in vitro protein kasar (PK) baik di dalam rumen, pascarumen dan total dari BIS dipengaruhi (P<0,05) oleh adanya proses pengolahan (Tabel 2). Nilai kecernaan PK yang diukur selama 24 jam di dalam media cairan rumen dan kecernaan pascarumen oleh enzim pepsin dan kecernaan total dari BIS dipengaruhi (P<0,05) oleh adanya pengolahan fermentasi. Secara keseluruhan kecernaan PK di dalam rumen termasuk tinggi yaitu 79,16±7,15%. Melalui fermentasi dengan Aspergillus niger dihasilkan nilai kecernaan PK dalam rumen yang tertinggi dibandingkan dengan BIS tanpa difermentasi, dengan Trichoderma viridae, Aspergillus oryzae maupun yang ditambah enzim BS-4
Tabel 2. Nilai kecernaan protein kasar in vitro BIS dan BIS fermentasi Uraian BIS
Kecernaan PK Rumen (%) 84,05
b a
Pascarumen (%)
74,31b
b
81,56a
27,59 23,20
Total (%)
a
BIS + An
87,77
BIS + Tv
80,07c
28,52a
73,27b
BIS + Ao
77,14
d
a
61,85c
BIS + BS-4
69,03e
25,04ab
59,52d
27,15
Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) BIS = BIS yang tidak difermentasi BIS + An = BIS difermentasi dengan Aspergillus niger; BIS + Tv = BIS difermentasi dengan Trichoderma viridae BIS + Ao = BIS difermentasi dengan Apergillus oryzae BIS + BS-4 = BIS ditambah enzim BS-4
385
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
(87,77 vs 84,05; 80,07; 77,14; 69,03%), sebaliknya menghasilkan kecernaan pascarumen yang terendah (23,20 vs 27,59; 28,53; 27,15; 25,04%) namun demikian kecernaan PK secara total tetap yang tertinggi (81,56 vs 74,31; 73,27; 61,85, 59,52%). Lebih rendahnya kecernaan PK dari BIS yang ditambah enzim BS4 menunjukkan masih kurang efektifnya enzim tersebut mencerna PK, hal ini karena enzim yang ditambahkan merupakan enzim pencerna manan seperti ditunjukkan pada nilai kecernaan in vitro BK dari BIS + BS4 yang relatif sama dengan BIS yang difermentasi dengan kapang (Tabel 1). Kecernaan PK dari BIS dipengaruhi oleh kapang yang digunakan. Seperti yang dilaporkan oleh Sari dan Purwadaria (2004) bahwa kelarutan protein sejati dari BIS yang difermentasi oleh Aspergillus niger strain E14, E27 dibandingkan dengan tipe liar adalah 72,5; 65,7 vs 69,2%. Mempertimbangkan tingginya kecernaan PK dari BIS di dalam rumen baik sebagai BIS, BIS fermentasi maupun BIS enzim BS-4 maka pemanfaatan sebagai sumber protein ruminansia perlu perlakuan perlindungan untuk mengurangi degradasinya di dalam rumen. KESIMPULAN Kecernaan BK di rumen, pascarumen dan total dari BIS, BIS fermentasi dan BIS enzim BS-4 relatif serupa. yaitu 50,25±2,35%, 26,30±2,15% dan 73,25±2,31%. Kecernaan PK di rumen, pascarumen dan total dari BIS, BIS fermentasi dan BIS enzim BS-4 dikategorikan tinggi. Dengan kecernaan PK di dalam rumen yang tinggi yaitu 79,16±7,15%, pemanfaatan BIS sebagai sumber protein ruminansia perlu perlakuan perlindungan untuk mengurangi degradasinya di dalam rumen. DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1984. Official Method of Analysis. 14th Ed. Association of official analytical Chemist. Washington, D.C. Badan Pusat Statistik (BPS). 2012. Statistik Indonesia 2012. Badan Statistik Indonesia. Jakarta. http://www.bps.go.id/hasil_publikasi /si_2012/index3.php?pub=Statistik%20Indone sia%202012. Diakses tanggal: 13/01/2013.
386
Chin FY. 2008. Utilizaon of palm kernel cake (PKC) as feed in Malaysia. Papers from poster presentation (APHCA 02/8). www.fao.org/do crep/005/ac801e/ac801cob.htm. Diakses tanggal: 22/04/2008. Dairo FAS, Fasuyi AO. 2008. Evaluation of fermented palm kernel meal and fermented copra meal proteins as substitute for soybean meal protein in laying hens. J Central Eur Agric. 9(1):35-44. Duesthorft EM, Posthumus MA, Voragen AGJ. 1992. Non-strach polysaccharudes from sunflower (Helianthus annuus) meal and palm kernel (Elaeis guineensis) meal preparation of cell wall and extraction of polysaccharide fraction. J Sci Food Agric. 59:151-160. Haryati T, Purwadaria T, Darma J, Tangendjaja B. 1997. Production of extracellular glycosidases by Eupenicilium javanicum and Aspergillus niger NRRL 337 on the coconut meal substrate. Second Conference on Agriculture Biotechnology. Jakarta, June 13-15, 1995. Indonesia. hlm. 517-522. Mathius IW, Sinurat AP, Sitompul D, Manurung BP, Azmi. 2005. Pemanfaatan produk fermentasi lumpur-bungkil sebagai bahan pakan sapi potong. Mathius IW, Bahri S, Tarmudji, Prasetyo LH, Triwulanningsih E, Tiesnamurti B, Sendow I, Suhardono, penyunting. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, September 2005. hlm. 153-161. Mathius IW. 2006. Kebutuhan teknologi pakan berbasis produk samping industri kelapa sawit sebagai pakan ruminansia, Workshop, Kebutuhan Teknologi Pakan untuk Pengembangan Ternak Ruminansia di Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Orthman MF, Kalil MS, Mat Sahri M. 2013. Solid state fermentation of palm kernel cake (PKC) by newly isolated Rhizopus oryzae ME01. Asian J Exp Biol Sci. 4:84-88. Purwadaria T, Haryati T, Darma J. 1994. Isolasi dan seleksi kapang mesofilik penghasil mannanase. Ilmu dan Peternakan. 7(2):26-29. Ramin M, Alimon AR, Ivan M. 2010. Effect fungal treatment on the in vitro digestion of palm kernel cake. Livestock Research for Rural Development. 22(4) www4,agr,gc,ca/AAFCAAC/display-affic, Diakses tanggal 18 Januari 2011.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2013
Sari L, Purwadaria T. 2004. Pengkajian nilai gizi hasil fermenasi mutan Aspergillus niger pada substrat bungkil kelapa dan bungkil inti sawit. Biodiversitas. 5(2):48-51.
Supriyati T. Purwadaria, Hamid H, Sinurat AP. 1998. Fermentasi bungkil inti sawit secara substrat padat dengan menggunakan Aspergillus niger. JITV 3:165-170.
Sofjan O, Aulanni'am, Irfan D, Surisdiarto. 2001. Perubahan kandungan bahan organik dan protein pada fermentasi campuran onggok dan kotoran ayam. J Ilmu-Ilmu Hayati. 13:1-7.
Tuan Lah TN, Ab. Rahman NNN, Hasnan NJ, Ben Name MM, Nagao H, Ab. Kadir MO. 2012. Cellulase activity in solid state fermentation of palm kernel cake with Trichoderma sp. Malaysian J. Microbiol. 8:235-241.
Steel RGD, Torrie JH. 1980. Principle and Procedure of Statistics. McGraw-Hill Book Co. Inc. New York.
Tilley JMA, Terry RA. 1963. Two stage technique for in vitro digestion of forage crops. J. Brit Grassland Soc. 18:104.
DISKUSI Pertanyaan: Enzim BS-4 yang digunakan produksi mana? Kelarutan protein di dalam rumen dari semua perlakuan termasuk tinggi, bagaimana saran anda. Jawaban: Enzim BS-4 merupakan produksi Balitnak. Dengan kelarutan protein BIS yang sangat tinggi di rumen disarankan untuk menurunkan degradasi protein di dalam rumen dilakukan proteksi pada BIS sebagai contoh dengan coating molases.
387