TEKNOLOGI PRODUKSI DAN KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG VARIETAS UNGGUL NASIONAL
Oleh : RIYANI F34103137
2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
TEKNOLOGI PRODUKSI DAN KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG VARIETAS UNGGUL NASIONAL
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : RIYANI F34103137
2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
TEKNOLOGI PRODUKSI DAN KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG VARIETAS UNGGUL NASIONAL SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : RIYANI F34103137
Dilahirkan pada tanggal 27 Februari 1985 Di Yogyakarta Tanggal Lulus :
Agustus 2007
Menyetujui, Bogor,
Dr.Ir.Titi Candra Sunarti, MSi Dosen Pembimbing I
Agustus 2007
Dr. Ir. Nur Richana, MSi Dosen Pembimbing II
Riyani. F34103137. Teknologi Produksi dan Karakterisasi Tepung Jagung Varietas Unggul Nasional. Di bawah bimbingan Titi Candra Sunarti dan Nur Richana. 2007.
RINGKASAN Jagung merupakan salah satu komoditas yang dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat penting setelah beras, Indonesia sampai saat ini masih mengimpor sebagian besar jagung yang digunakan untuk industri. Padahal jagung varietas unggul Indonesia yang ditemukan sangat beragam jenis dan jumlahnya, dan sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal. Di Indonesia, pemanfaatan jagung masih terbatas sebagai bahan pakan, dan sebagian kecil sebagai bahan pangan. Sebagai bahan yang mengandung karbohidrat tinggi, maka jagung tersebut dapat dimanfaatkan sebagai tepung komposit, pati dan bahan baku industri. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan komoditas jagung varietas unggul nasional untuk bahan baku tepung jagung dan tepung produk olahan alkali (alkali cooked milling) dengan mengkaji sifat fisikokimia dan fungsionalnya. Enam varietas yang digunakan adalah Arjuna, Bisma, Lamuru, Sukmaraga, Srikandi Kuning dan Srikandi Putih. Metode penelitian ini terdiri atas : karakterisasi sifat fisik jagung (jumlah biji per kg, dimensi biji jagung, bobot biji, warna biji, densitas kamba, bobot jenis, dan konduktivitas panas); penyiapan tepung jagung dengan teknik dry milling dan alkali cooked milling; karakterisasi sifat fisiko-kimia dan fungsional tepung jagung yang meliputi analisa proksimat (kadar air, abu, lemak, protein, serat kasar, dan karbohidrat by difference), kadar amilosa, kadar pati, gula pereduksi, pH, bobot jenis tepung, penerimaan oleh -amilase, sifat amilografi, water and oil absorbtion capacity, swelling power dan kelarutan, kejernihan pasta, freeze thaw stability dan apparent viscosity. Jagung varietas Arjuna, Bisma, Lamuru, Sukmaraga dan Srikandi Kuning memiliki warna biji kuning sedangkan varietas Srikandi Putih memiliki warna biji putih. Bobot 1000 biji jagung antara 259,52-337,39 g dengan bobot terbesar pada varietas Sukmaraga sedangkan bobot terkecil pada varietas Arjuna serta densitas kamba (bulk density) sebesar 0,81–0,83 g/cm3 dengan densitas kamba terbesar pada varietas Arjuna, Lamuru, Sukmaraga dan Srikandi Kuning sedangkan densitas kamba terkecil pada varietas Srikandi Putih. Tepung jagung mempunyai komponen utama karbohidrat sebesar 76,88– 82,12% pada pengolahan secara dry milling dan 74,52-82,55% pada alkali cooked milling, protein sebesar 9,11-10,77% pada dry milling dan 9,33-10,37% pada alkali cooked milling serta lemak sebesar 5,68-9,78% pada dry milling dan 4,0712,69% pada alkali cooked milling sehingga tepung jagung dan tepung olahan alkali dapat digunakan sebagai sumber pangan dan pakan yang potensial. Pengolahan jagung melalui pemasakan dengan alkali secara umum tidak menurunkan nilai nutrisi jagung tetapi merubah sifat fungsionalnya, seperti menaikkan absorbsi air yaitu 1,23–1,63% pada dry milling menjadi 1,70–2,39% pada alkali cooked milling dan kejernihan pasta sebesar 24,73–43,30%T pada dry milling menjadi 25,27–47,07% pada alkali cooked milling. Pengolahan jagung
dengan alkali ini menyebabkan penurunan absorbsi minyak yaitu sebesar 0,81– 1,33% pada dry milling menjadi 0,57–1,12% pada alkali cooked milling, swelling power juga mengalami penurunan yaitu 6,43–40,32% pada dry milling menjadi 3,98–81,19% pada alkali cooked milling, kelarutan sebesar 71,93–89,51% pada dry millng menjadi 53,93–75,30% pada alkali cooked milling. Pemasakan dengan alkali juga merubah sifat amilografi dengan menurunkan suhu gelatinisasi sebesar 90–93oC pada dry milling menjadi 81–93oC pada alkali cooked milling, viskositas maksimum sebesar 30–40 BU pada dry milling menjadi 10–15 BU pada alkali cooked milling dan viskositas akhir sebesar 90–140 BU pada dry milling menjadi 5–45 BU pada alkali cooked milling. Pemasakan dengan alkali juga menyebabkan kenaikan pH yaitu sebesar 6,65–6,73 pada dry milling menjadi 6,95–7,23 pada alkali cooked milling serta penurunan penerimaan oleh -amilase yaitu sebesar 3,68-10,67% pada dry milling menjadi 3,28–9,52% pada alkali cooked milling.
Riyani. F34103137. Production Technology and Characterization of Corn Flours from National Improved Corn Varieties. Supervised by Titi Candra Sunarti and Nur Richana. 2007.
SUMMARY Corn is one of the commodity which is able to use as important source of carbohydrates beside rice, but Indonesia still imported corn kernel for industrial purposes. However, there is a lot of national improved corn varieties were released but it has not been used optimally. Usually corn kernels use as feed and food. As material with high carbohydrate, corn is able to use as composite flour, starch and industrial raw material. The aims of this research are to develop and utilize the national improved corn varieties for corn flours production. Corn flours were made by dry milling and alkali cooked milling process. Six varieties were used in this research as Arjuna, Bisma, Lamuru, Sukmaraga, Srikandi Kuning and Srikandi Putih. The research were conducted into 3 steps, i.e. (1) characterization of corn kernel properties (amount kernel in 1 kg, dimension of kernel, weight of a kernel, colour of kernel, bulk density, density and thermal conductivity); (2) production of corn flours with dry milling and alkali cooked milling process; (3) characterization of chemical composition (moisture, ash, lipid, protein, fiber contents, amylose, starch, reducing sugar contents), and physico-chemical properties (pH, density of flours, -amylase susceptibility, Brabender viscoamylograph, water and oil absorbtion capacities, swelling power and solubility, paste clarity, freeze thaw stability and apparent viscosity). Kernels of Arjuna, Bisma, Lamuru, Sukmaraga and Srikandi Kuning varieties are yellow dent corn but Srikandi Putih variety is white dent corn. Weight of 1000 corn kernels are around 259.52-337.39 g which Sukmaraga variety is the heaviest and Arjuna is the lightest, with bulk density in corn kernels are 0.81–0.83 g/cm3. The major component of corn flours are carbohydrate 76.88–82.12% in dry milling process and 74.52-82.55% in alkali cooked milling process, protein 9.11-10.77% in dry milling and 9.33-10.37% in alkali cooked milling, lipid 5.689.78% in dry milling and 4.07-12.69% in alkali cooked milling, so corn flours from all varieties can be used as potential feed and food sources. Alkali cooked milling process generally did not change the chemical composition of corn flour but changed the functional characteristics, such as increasing water absorbtion capasity from 1.23–1.63% in dry milling and 1.70– 2.39 % in alkali cooked milling, paste clarity from 24.73–43.30%T in dry milling and 25.27–47.07% in alkali cooked milling. Alkali cooked milling decreased oil absorbtion capacity from 0.81–1.33% in dry milling and 0.57–1.12% in alkali cooked milling, swelling power from 6.43–40.32% in dry milling and 3.98– 81.19% in alkali cooked milling, solubility from 71.93–89.51% in dry millng and 53.93–75.30% in alkali cooked milling. Alkali cooked milling process also changed the visco-amylography characteristics such as decreasing the initial gelatinization temperature from 90–
93oC in dry milling and 81–93oC in alkali cooked milling, maximum viscosity from 30–40 BU in dry milling and 10–15 BU in alkali cooked milling and final viscosity from 90–140 BU in dry milling and 5–45 BU in alkali cooked milling. Alkali cooked milling process also increasing the -amylase susceptibility from 3.68-10.67% in dry milling and 3.28–9.52% in alkali cooked milling.
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul : “Teknologi Produksi dan Karakterisasi Tepung Jagung Varietas Unggul Nasional” adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor,
Agustus 2007
Riyani F34103137
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Riyani, dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 27 Februari 1985. Penulis adalah anak pertama dari pasangan Sutanto dan Ratih. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari SDN Tebet Barat 05 pagi Jakarta Selatan, SLTP Negeri 115 Jakarta Selatan, dan SMU Negeri 68 Jakarta Pusat. Pada tahun 2003, penulis diterima di IPB melalui jalur SPMB. Penulis berkesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Laboratorium Bioproses pada tahun 2007. Penulis juga tergabung dalam organnisasi Himalogin. Pada tahun 2006 penulis berkesempatan melaksanakan Praktek Lapang di PT. PG Rajawali II unit PG Subang dengan kajian proses produksi dan GMP (Good Manufacturing Practices) Penulis melakukan penelitian akhir dalam rangka memperolah gelar sarjana dengan judul “Teknologi Produksi dan Karakterisasi Tepung Jagung Varietas Unggul Nasional”.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, kasih sayang dan ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis juga hendak mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Ibu Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, MSi dan Dr. Ir. Nur Richana, MSi, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi, arahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.
2.
Bapak Ir. Sugiarto, MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan arahan dalam perbaikan skripsi.
3.
Bapak, Ibu dan seluruh keluarga yang telah memberikan dorongan, doa dan kasih sayang yang tiada terkira kepada penulis.
4.
Derry Dardanella, Farah, Ratih, Indah, Arvi dan anak-anak TINs atas semangat dan motivasi pada penulis.
5.
Rekan-rekan Padasuka (Brili, Icha, Didi, Dita, Nia, Nunung, dll) atas kebersamaan dan keceriaan selama penulis menyelesaikan studi.
6.
Rekan-rekan TIN 40 atas motivasi dan bantuannya selama ini kepada penulis.
7.
Semua pihak yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi.
Hanya ucapan terima kasih yang dapat penulis berikan, semoga Allah SWT membalas kebaikan Bapak, Ibu serta rekan-rekan semua. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya. Bogor, Agustus 2007
Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................ iii DAFTAR ISI ........................................................................................... iv DAFTAR TABEL .................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ............................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... viii I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1 A. LATAR BELAKANG ..................................................................... 1 B. TUJUAN ......................................................................................... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 3 A. JAGUNG ....................................................................................... 3 1. Tanaman Jagung .......................................................................... 3 2. Jagung Varietas Unggul Nasional ................................................ 3 3. Komposisi Jagung ........................................................................ 5 B. PEMANFAATAN JAGUNG .......................................................... 9 C. PRODUKSI TEPUNG JAGUNG ................................................. 10 III. BAHAN DAN METODE .................................................................. 13 A. BAHAN DAN ALAT ................................................................... 13 B. METODE PENELITIAN .............................................................. 13 1. Karakteristik Fisik Jagung ........................................................ 13 2. Produksi Tepung Jagung ........................................................... 13 3. Karakteristik Fisiko Kimia dan Fungsional Tepung Jagung ...... 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 16 A. KARAKTERISTIK FISIK JAGUNG ........................................... 16 B. PRODUKSI TEPUNG JAGUNG .................................................. 24 C. KARAKTERISTIK FISIKO KIMIA DAN FUNGSIONAL TEPUNG JAGUNG ..................................................................... 27 D. POTENSI APLIKASI ................................................................... 49 V. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 51 A. KESIMPULAN ............................................................................ 51
B. SARAN ........................................................................................ 51 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 52 LAMPIRAN ........................................................................................... 54
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Anatomi biji jagung ............................................................... 5 Gambar 2. Tipe biji jagung ...................................................................... 6 Gambar 3. Pohon industri jagung ............................................................ 9 Gambar 4. Diagram alir pembuatan tepung jagung secara dry milling .... 14 Gambar 5. Diagram alir pembuatan tepung jagung secara alkali cooked milling .................................................................... 15 Gambar 6. Bentuk biji jagung varietas unggul nasional ......................... 17 Gambar 7. Distribusi panjang biji jagung untuk masing-masing varietas 18 Gambar 8. Distribusi lebar biji jagung untuk masing-masing varietas .... 18 Gambar 9. Distribusi tebal biji jagung untuk masing-masing varietas ..... 19 Gambar 10. Distribusi bobot 1000 biji untuk masing-masing varietas ..... 20 Gambar 11. Grafik warna berbagai varietas biji jagung .......................... 21 Gambar 12. Neraca massa pembuatan tepung dengan teknik dry milling . 25 Gambar 13. Neraca massa pembuatan tepung jagung dengan teknik alkali cooked milling............................................................. 26 Gambar 14. Grafik amilografi tepung jagung (A) Dry Milling dan (B) Alkali Cooked Milling .......................................................... 40 Gambar 15. Pengaruh laju geser terhadap apparent viscosity tepung jagung (A) Dry Milling dan (B) Alkali Cooked Milling ........ 43 Gambar 16. Kestabilan viskositas tepung jagung (A) Dry Milling dan (B) Alkali Cooked Milling .................................................... 44 Gambar 17. Grafik warna tepung jagung (A) Dry Milling dan (B) Alkali Cooked Milling .................................................................... 47
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Tata Cara Analisa Pengamatan Sifat Fisik Jagung ............... 54 Lampiran 2. Tata Cara Analisa Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia Tepung Jagung .................................................................... 56
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam rangka usaha menuju swasembada pangan, jagung merupakan salah satu komoditas yang dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat selain beras. Dengan komposisi utama pati sebesar 71,5%, protein sebesar 10,3% dan lemak sebesar 4,8%, jagung juga memiliki potensi sebagai bahan baku industri. Dengan suatu proses tertentu, pati dan lemak jagung dapat dipisahkan dan siap diproses menjadi berbagai jenis bahan baku industri, sedangkan sisanya yang banyak mengandung protein dapat dimanfaatkan untuk berbagai jenis produk. Di Indonesia, pemanfaatan jagung masih terbatas sebagai bahan pakan, dan sebagian kecil sebagai bahan pangan. Pemanfaatan yang terbatas ini mengakibatkan nilai tambah jagung tidak meningkat. Pemanfaatan tepung jagung untuk bahan baku industri menjadi sangat penting artinya, khususnya dalam meningkatkan nilai tambah komoditas jagung. Baik dalam bentuk alami maupun sudah termodifikasi, pati merupakan bahan baku yang sangat penting bagi industri pangan dan industri non pangan, seperti industri kertas dan tekstil. Berdasarkan keadaan tersebut, maka perlu dilakukan penganekaragaman produk olahan berbasis jagung. Sampai saat ini Indonesia masih mengimpor sebagian besar jagung yang digunakan di industri. Padahal jagung varietas unggul Indonesia yang ditemukan jenis dan jumlahnya sangat beragam, dan sampai saat ini belum dibudidayakan dan dimanfaatkan secara optimal. Indonesia memiliki beberapa jagung varietas unggul, diantaranya adalah Arjuna, Bisma, Lamuru, Sukmaraga sebagai jagung berbiji kuning dan varietas unggul protein tinggi Srikandi Kuning dan Srikandi Putih. Sebagai bahan yang mengandung karbohidrat tinggi, maka jagung varietas unggul juga dapat dimanfaatkan sebagai tepung komposit, pati dan bahan baku industri. Jagung varietas unggul ini diharapkan dapat diandalkan sebagai sumber bahan baku industri pati dan sumber pangan alternatif. Namun, pemanfaatan tepung dari jagung varietas unggul asli Indonesia ini masih terbatas akibat
kurangnya informasi sifat fisiko-kimia dan fungsionalnya serta teknologi proses produksinya dan pengolahan lanjut. Dengan diketahuinya karakterisasi sifat fisiko kimia dan fungsional jagung dan tepung jagung diharapkan dapat menjadi pembuka jalan untuk memperluas pemanfaatan tepung jagung varietas unggul nasional ini sebagai bahan baku industri pakan ternak, industri pangan, serta meningkatkan nilai tambah dari jagung varietas unggul Indonesia.
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan komoditas jagung varietas unggul nasional untuk bahan baku tepung jagung dan tepung produk olahan alkali (alkali cooked milling) dengan mengkaji sifat fisikokimia dan fungsionalnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. JAGUNG
1. Tanaman Jagung Jagung termasuk ke dalam famili Graminae dan genus Zea yang hanya memiliki satu spesies yaitu Zea mays L. Jagung merupakan tanaman berumah satu dan termasuk ordo rumput-rumputan. Tanaman jagung termasuk jenis tumbuhan semusim. Jagung adalah tanaman yang berasal dari daratan Amerika Serikat kemudian menyebar ke daerah subtropik termasuk Indonesia. Tanaman jagung berakar serabut, menyebar ke samping dan ke bawah sepanjang 25 cm. Sistem perakaran berfungsi sebagai alat untuk mengisap air serta garam-garam yang terdapat dalam tanah, mengeluarkan zat organik serta senyawa-senyawa yang tidak diperlukan dan sebagai alat pernafasan. Batang tanaman jagung beruas-ruas dengan jumlah ruas bervariasi antara 10-40 ruas. Tanaman jagung umumnya tidak bercabang kecuali pada jagung manis sering tumbuh bervariasi. Tongkol jagung merupakan gudang penyimpanan cadangan makanan. Tongkol ini bukan hanya tempat menyimpan pati, protein, minyak atau lemak dan hasil-hasil lain untuk persediaan makanan dan pertumbuhan biji. Panjang tongkol jagung bervariasi antara 8-42 cm dan biasanya dalam satu tongkol mengandung sekitar 300-1000 biji jagung. Biji jagung berbentuk bulat-bulat atau gigi kuda tergantung varietasnya. Warna biji jagung juga bervariasi dari putih sampai kuning (Effendi dan Sulistiati, 1991).
2. Jagung Varietas Unggul Nasional Sejak tahun 1956, Indonesia telah melepas jagung unggul sebanyak 72 varietas, yang terdiri dari 28 jenis bersari bebas dan 44 jenis hibrida. Beberapa jagung varietas unggul nasional yang telah dikembangkan adalah Arjuna, Bisma, Lamuru dan Sukmaraga sebagai jagung berbiji kuning, varietas unggul protein mutu tinggi Srikandi Kuning dan Srikandi Putih. Ciri-ciri jagung varietas unggul dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Ciri – ciri jagung varietas unggul nasional Ciri-ciri
Varietas Arjuna
Tahun dilepas Asal
1980
4 September 1995
25 Februari 2000
14 Februari 2003
Srikandi Kuning 4 Juni 2004
TC1 Early DMR (S) C2, introduksi dari Thailand
Materi introduksi asal CIMMYT Mexico
Materi introduksi asal CIMMYT Mexico.
Umumnya mutiara (flint)
Dibentuk dari 3 galur GK, 5 galur SW1, GM4, GM12, GM15, GM11, dan galur SW3. Mutiara (flint)
Bahan introduksi AMATL (Asian Mildew Acid Tolerance Late), asal CIMMYT Thailand.
Biji
Persilangan Pool 4 dengan bahan introduksi disertai seleksi massa selama 5 tahun Setengah mutiara (semi flint)
Semi mutiara (semi flint) Semi mutiara, modified hard endosperm
Semi mutiara dan gigi kuda (flint dandent)
Warna Biji
Kuning Kuning, kadang-kadang terdapat 2 - 3 biji berwarna putih pada satu tongkol Lurus dan Lurus dan rapat rapat
Kuning
Kuning tua
Kuning
Putih
Lurus
Lurus dan rapat
Lurus dan rapat
Lurus dan rapat
± 272 g
± 307 g
275 g
270 g
275 g
325 g
4,3 t/ha pipilan kering
5,7 t/ha pipilan kering
5,6 t/ha
6,0 t/ha pipilan kering
5,4 t/ha pipilan kering
5,89 t/ha pipilan kering
Baris Biji
Bobot 1000 biji Rata-rata hasil
Bisma
Sumber : Syuryawati et al., 2005
Lamuru
Sukmaraga
Srikandi Putih 4 Juni 2004
3. Komposisi Jagung Jagung lengkap terdiri dari kelobot, tongkol jagung, biji jagung dan rambut. Kelobot merupakan kelopak atau daun buah yang berguna sebagai pembungkus dan pelindung biji jagung. Jumlah kelobot dalam satu tongkol jagung pada umumnya 12-15 lembar. Semakin tua umur jagung semakin kering kelobotnya (Effendi dan Sulistiati, 1991). Menurut Effendi dan Sulistiati (1991), tongkol jagung merupakan simpanan makanan untuk pertumbuhan biji jagung selama melekat pada tongkol. Panjang tongkol jagung bervariasi antara 8-12 cm. Pada umumnya tongkol jagung mengandung 300-1000 biji jagung. Biji jagung melekat pada tongkol jagung dan berbentuk bulat. Susunan biji jagung pada tongkol jagung berbentuk spiral. Biji jagung selalu terdapat berpasangan, sehingga jumlah baris atau deret biji selalu genap. Warna biji jagung bervariasi dari putih, kuning, merah, dan ungu sampai hampir hitam. Rambut merupakan tangkai putik yang sangat panjang yang keluar ke ujung kelobot melalui sela-sela biji. Rambut mempunyai cabang-cabang yang halus sehingga dapat menangkap tepung sari pada saat pembuahan. Jagung terdiri dari empat bagian pokok yaitu kulit (perikarp), endosperma, lembaga, dan tudung pangkal biji (tip cap), dengan gambar anatomi biji jagung disajikan dalam Gambar 1 serta bagian-bagiannya disajikan pada Tabel 2.
Kulit Endosperma
Lembaga Tudung pangkal biji
Gambar 1. Anatomi biji jagung (Johnson, 1991)
Tabel 2. Bagian-bagian anatomi biji jagung Bagian Anatomi
Jumlah (%)
Kulit
5
Endosperma
82
Lembaga
12
Tudung pangkal biji
1
Sumber : Inglet (1970)
Gambar 2. Tipe biji jagung (Johnson, 1991)
Kulit (pericarp) merupakan lapisan pembungkus biji yang disusun oleh epikarp (lapisan paling luar), mesokarp, dan tegmen (seed coat). Bagian terbesar dari biji jagung yaitu endosperma. Lapisan pertama dari endosperma yaitu lapisan aleuron yang merupakan pembatas antara endosperma dengan kulit. Lapisan aleuron merupakan lapisan yang menyelubungi endosperma dan lembaga. Lapisan aleuron terdiri dari 1 sampai 7 sel sedangkan pada jagung hanya terdiri dari satu lapis sel. Endosperma jagung terdiri dari dua bagian yaitu endosperma keras (horny endosperm) dan endosperma lunak (floury endosperm). Bagian keras tersusun dari sel-sel yang lebih kecil dan tersusun rapat, demikian juga susunan granula pati yang ada di dalamnya. Bagian endosperma lunak mengandung pati yang lebih banyak dan susunan pati tersebut tidak serapat pada bagian keras. Lembaga terletak pada bagian dasar sebelah bawah dan berhubungan erat dengan endosperma. Lembaga tersusun atas dua bagian yaitu skutelum dan poros embrio. Skutelum berfungsi sebagai tempat penyimpanan zat-zat gizi selama perkecambahan biji. Tudung pangkal biji (tip cap) merupakan bekas tempat
melekatnya biji jagung pada tongkol jagung. Tudung pangkal biji dapat tetap ada atau terlepas dari biji selama proses pemipilan jagung. Jagung mengandung lemak dan protein yang jumlahnya tergantung umur dan varietas jagung tersebut. Pada jagung muda, kandungan lemak dan proteinnya lebih rendah bila dibandingkan dengan jagung yang tua. Selain itu, jagung juga mengandung karbohidrat yang terdiri dari pati, serat kasar, dan pentosan. Pati jagung terdiri atas amilosa dan amilopektin sedangkan gulanya berupa sukrosa. Lemak jagung sebagian besar terdapat pada lembaganya. Asam lemak penyusunnya terdiri atas lemak jenuh yang berupa palmitat dan stearat serta asam lemak tak jenuh seperti oleat dan linoleat. Vitamin yang terkandung dalam jagung terdiri atas tiamin, niasin, riboflavin dan piridoksin. Komposisi kimia dari biji jagung dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya Komponen
Jumlah (% bk) Pati
Protein
Lemak
Serat
Lain-lain
Endosperma
86,4
8,0
0,8
3,2
0,4
Lembaga
8,0
18,4
33,2
14,0
26,4
Kulit
7,3
3,7
1,0
83,6
4,4
Tip cap
5,3
9,1
3,8
77,7
4,1
Sumber : Johnson (1991)
Minyak jagung memiliki perbandingan antara lemak tak jenuh dengan lemak jenuh (unsaturated/saturated ratio) 6,7. Dari jumlah total asam lemak penyusunnya, asam lemak jenuhnya hanya terdiri atas asam palmitat (C16:0=11%) dan asam stearat (C18:0 = 2%). Untuk asam lemak tak jenuhnya, minyak jagung terdiri atas asam oleat (C18:1= 28%), asam linoleat (C18:2=58%), dan asam linolenat (C18:3=1%). Pada minyak jagung kasar (sebelum diproses lanjut), terdapat asam lemak-asam lemak bebas, fosfolipid, dan wax (Johnson, 1991). Protein terbanyak dalam jagung adalah zein dan glutelin. Zein merupakan prolamin yang tak larut dalam air. Ketidaklarutan dalam air disebabkan karena
adanya asam amino hidrofobik seperti leusin, prolin, dan alanin. Ketidaklarutan dalam air juga disebabkan karena tingginya proporsi dari sisi rantai grup hidrokarbon dan tingginya presentase grup amida yang ada dengan jumlah grup asam karboksilat bebas yang relatif rendah. Zein merupakan protein dengan BM rendah yang larut pada etilalkohol dan alkohol-alkohol tertentu seperti isopropanol. Walaupun tidak umum digunakan, zein juga larut dalam pelarut organik seperti asam glasil, fenol, dan dietilen glikol. Zein memiliki dua jenis komponen yaitu -zein (larut pada 95% etanol) dan -zein (larut pada 60% etanol). Pada -zein, kandungan asam amino histidin, arginin, proline, dan metionin lebih banyak daripada yang terkandung pada -zein (Laztity, 1986). Molekul zein merupakan globula yang memanjang (axial ratio sekitar 15:1). Kandungan heliks zein pada larutan etanol bervariasi antara 33-37%. Zein memiliki komposisi asam amino yang tinggi kandungan asam glutamat, proline, leusin, dan alanin tetapi rendah pada kandungan lisin, triptofan, histidin, dan metionin (Laztity, 1986). Glutelin merupakan protein berberat molekul tinggi yang larut dalam alkali. Fraksi glutelin merupakan protein endosperma yang tersisa setelah ekstraksi protein larut garam dan alkohol (zein). Fraksi glutelin juga terdiri dari beberapa protein struktural seperti protein membran atau protein komplek dinding sel. Glutelin memiliki jumlah asam amino lisin, arginin, histidin, dan triptofan yang lebih tinggi daripada zein tetapi kandungan asam glutamatnya lebih rendah. Selain dua protein utama tersebut, protein jagung juga mengandung protein sitoplasma yang berperan dalam metabolisme aktif. Protein tersebut yaitu albumin, globulin, dan beberapa enzim. Protein ini merupakan protein yang larut air atau larutan garam. Protein yang termasuk dalam kelompok ini antara lain nukleoprotein, glikoprotein, protein membran, dan lain-lain. Serat, vitamin dan mineral juga merupakan komponen gizi yang terdapat dalam jagung. Serat kasar pada jagung sekitar 2,1%-2,3% terdiri dari 41-46% hemiseluloa di dalam kulit ari. Vitamin jagung terdiri dari thiamin, niasin, riboflavin, dan piridoksin. Niasin terdapat sekitar 50-80%, tetapi masih dalam ikatan niacitin sehingga masih dikatakan kekurangan niasin. Vitamin A
mempunyai hubungan kuantitatif dengan jumlah pigmen kuning dalam endosperma. Serealia umumnya miskin vitamin B yang larut dalam air (Laztity, 1986).
B. PEMANFAATAN JAGUNG
Jagung dapat dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan, diantaranya adalah sebagai bahan pangan pokok masyarakat daerah tropis, sebagai pakan ternak di daerah beriklim sedang, dan sebagai bahan baku dalam industri minuman, industri tepung jagung dan campuran dalam pembuatan kopi bubuk. Pohon industri jagung disajikan dalam Gambar 3.
Corn Steep Liqour
Tepung Jagung
Media Fermentasi Minyak Jagung
Grits
Gambar 3. Pohon industri jagung (Purwono dan Hartono, 2006)
Di Afrika Selatan jagung dimakan sebagai bubur dengan nama Ugali, di Afrika Timur dengan nama Chenga dan Polenta di Italia, sedangkan di Rumania dan Yugoslavia juga dimakan dalam bentuk bubur dengan nama Mamalia dan Zgance. Di Meksiko dan Amerika Tengah jagung dimakan dalam bentuk keripik dengan nama Tortillas. Sebelum dikonsumsi sebagai makanan pokok, pengolahan jagung dilakukan dengan cara pengupasan, pemipilan kemudian ditumbuk menjadi butiran beras, lalu direbus dan dikukus. Di daerah khususnya Madura dan sebagian besar Jawa Timur jagung banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok (Warisno, 1998). Kontribusi jagung sekitar 10% dari total masukan kalori dan protein dengan rata-rata konsumsi 15-20 kg/tahun. Dalam industri, pemanfaatan jagung yaitu dengan mengubah komponen biji jagung menjadi bahan yang memiliki nilai tambah yang dapat digunakan sebagai bahan tambahan makanan ataupun bahan kimia seperti pati termodifikasi, dekstrin, dan high fructose corn syrup. Dalam bidang non pangan biasanya digunakan sebagai makanan ternak. Produk-produk pakan dari jagung meliputi silase jagung, gluten jagung, jagung biji dan jagung pipilan.
C. PRODUKSI TEPUNG JAGUNG
Tepung adalah bentuk hasil pengolahan bahan dengan cara penggilingan atau penepungan. Pada proses penggilingan ukuran bahan diperkecil dengan cara diremuk yaitu bahan ditekan dengan gaya mekanis dari alat penggilingan. Mekanisme pada proses penggilingan diikuti dengan peremukan bahan, dan energi yang dikeluarkan sangat dipengaruhi oleh kekerasan bahan dan kecenderungan bahan untuk dihancurkan. Menurut SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung yang bersih dan baik. Penggilingan biji jagung ke dalam bentuk tepung merupakan suatu proses memisahkan kulit, endosperma, lembaga dan tudung pangkal biji. Endosperma merupakan bagian biji jagung yang digiling menjadi tepung dan memiliki kadar karbohidrat yang tinggi. Kulit memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga kulit harus dipisahkan dari
endosperma karena dapat membuat tepung bertekstur kasar, sedangkan lembaga merupakan bagian biji jagung yang paling tinggi kandungan lemaknya sehingga harus dipisahkan karena lemak yang terkandung di dalam lembaga dapat membuat tepung tengik. Tudung pangkal biji merupakan tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung. Tudung pangkal biji juga merupakan bagian yang harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar. Apabila pemisahan tudung pangkal biji tidak sempurna maka akan terdapat butir-butir hitam pada tepung. Dalam usaha mereduksi ukuran jagung telah dikenal dua jenis teknik penggilingan, yaitu penggilingan kering (dry milling) dan pemasakan dengan alkali (alkali cooked milling). Pada proses penggilingan cara kering, jagung tidak mengalami perendaman yang lama. Pembasahan hanya dilakukan untuk mengkondisikan agar endosperma jagung melunak sebelum jagung digiling pada hammer mill. Pada proses penggilingan kering dihasilkan grits, meal, flour dan germ. Grits biasanya mengandung kurang dari 1% lemak, 1-1,5% fine meal, dan 2% flour. Germ biasanya digunakan untuk pakan ternak dan hanya sebagian kecil yang digunakan untuk makanan. Grits digunakan untuk membuat makanan sereal atau untuk makanan ringan yang dibuat dengan metode ekstrusi (Johnson, 1991). Pengolahan biji jagung dengan alkali adalah proses pembuatan tepung jagung dengan penambahan Ca(OH)2 sebanyak 1% kemudian direbus dan dikeringkan baru kemudian digiling untuk mendapatkan tepung jagung. Tujuan dari penambahan Ca(OH)2 adalah untuk meningkatkan kandungan kalsium pada tepung jagung. Pengolahan dengan alkali ini biasanya digunakan pada industri pangan (Johnson, 1991). Syarat mutu tepung jagung disajikan pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Syarat mutu tepung jagung (SNI 01-3727-1995) Kriteria Uji
Satuan
Persyaratan
Keadaan Bau
-
Normal
Rasa
-
Normal
Warna
-
Normal
Benda – benda asing
-
Tidak boleh ada
Serangga dalam bentuk stadia dan potongan – potongan
-
Tidak boleh ada
Jenis pati lain selain pati jagung
-
Tidak boleh ada
Lolos ayakan 80 mesh
%
Min. 70
Lolos ayakan 60 mesh
%
Min. 99
Air
% b/b
Maks. 10
Abu
% b/b
Maks. 1,5
Silikat
% b/b
Maks. 0,1
Serat kasar
% b/b
Maks. 1,5
Kehalusan
Derajat asam
ml N NaOH/100 g
Maks. 4,0
Cemaran logam Timbal (Pb)
mg/kg
Maks. 1,0
Tembaga (Cu)
mg/kg
Maks. 10,0
Seng (Zn)
mg/kg
Maks. 40,0
Raksa (Hg)
mg/kg
Maks. 0,05
Cemaran arsen (As)
mg/kg
Maks. 0,5
Cemaran mikroba Angka lempeng total
koloni/g
Maks. 5 x 106
E. coli
APM/g
Maks. 10
Kapang
koloni/g
Maks. 104
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1995)
III. BAHAN DAN METODE
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung Varietas Unggul Nasional Arjuna, Bisma, Lamuru dan Sukmaraga sebagai jagung berbiji kuning, Varietas Unggul Protein Mutu Tinggi Srikandi Kuning dan Srikandi Putih yang ditanam di Kebun Percobaan Badan Penelitian Tanaman Serealia, Maros, Sulawesi Selatan, Ca(OH)2, Alfa Amilase dan Amiloglukosidase dari NOVO dan bahan-bahan kimia untuk analisis. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan untuk membuat tepung (oven, hammer mill, saringan 80 mesh), dan alat-alat untuk pengujian sifat fisiko kimia yaitu oven, tanur, labu kjeldahl, desikator, peralatan soxhlet, spektrofotometer dan alat-alat gelas untuk analisis.
B. METODE PENELITIAN
1. Karakteristik Fisik Jagung Karakteristik fisik jagung meliputi jumlah biji per kg, bobot biji jagung, dimensi biji jagung (panjang, lebar dan tebal), warna biji (metode Hunter), densitas kamba, bobot jenis, dan konduktivitas panas. Tata cara analisa dapat dilihat pada Lampiran 1.
2. Produksi Tepung Jagung Produksi tepung jagung dilakukan dengan teknik dry milling dan alkali cooked milling dengan metode yang dikembangkan oleh Johnson (1991).
a. Produksi Tepung Jagung secara Dry Milling Pada pembuatan tepung jagung secara dry milling, pertama-tama jagung sebanyak 500 g dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran. Kemudian jagung digiling dengan menggunakan hammer mill. Pada penggilingan ini digunakan
ayakan yang berukuran 80 mesh. Diagram alir produksi tepung jagung secara dry milling seperti tersaji pada Gambar 4.
Jagung
Dibersihkan dari kotoran
Penggilingan dengan hammer mill
Tepung jagung
Gambar 4. Diagram alir pembuatan tepung jagung secara dry milling
b. Produksi Tepung Jagung secara Alkali Cooked Milling Jagung terlebih dahulu direbus selama 60 menit dengan menggunakan air dan Ca(OH)2. Perbandingan air dan jagung yang digunakan adalah 3:1 sedangkan Ca(OH)2 yang ditambahkan adalah 1% dari bobot jagung. Kemudian jagung direndam selama 120 menit. Setelah itu jagung dicuci dan dikeringkan kemudian digiling menggunakan hammer mill dengan ayakan berukuran 80 mesh. Diagram alir produksi tepung jagung secara alkali cooked milling seperti tersaji pada Gambar 5.
3. Karakteristik Fisiko Kimia dan Fungsional Tepung Jagung Karakteristik komposisi tepung jagung dari proses dry milling dan alkali cooked milling meliputi karakteristik kimia yaitu kadar air, abu, protein, serat kasar, lemak, karbohidrat by difference dengan metode AOAC (1995), kadar pati (metode IRRI), amilosa, gula pereduksi, sifat fungsional yaitu sifat amilografi dengan Visco Amylographer Brabender, absorbsi air dan minyak (metode Sathe
dan Salunkhe,1981), swelling power dan kelarutan pada suhu 90oC, kejernihan pasta 1% pada
650 nm, freeze-thaw stability dan apparent viscosity dengan
Viscosimeter Brookfield, sifat fisik yaitu warna tepung, pH, bobot jenis tepung dan penerimaan oleh -amilase. Tata cara analisa dapat dilihat pada Lampiran 2.
Jagung Air dan Ca(OH)2 Perebusan selama 60 menit
Perendaman selama 120 menit
Pencucian
Pengeringan
Penggilingan dengan hammer mill
Tepung jagung
Gambar 5. Diagram alir pembuatan tepung jagung secara alkali cooked milling
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK FISIK JAGUNG
Analisis yang dilakukan terhadap sifat fisik jagung meliputi jumlah biji per kg, dimensi biji jagung, warna biji (metode Hunter), densitas kamba, bobot jenis, dan konduktivitas panas.
1. Jumlah Biji per kg dan Dimensi Biji Jagung Setiap jenis jagung mempunyai bentuk yang berbeda-beda dan ukuran yang berbeda-beda pula. Ukuran dan bentuk yang berbeda ini berpengaruh pada jumlah biji per kg jagung. Jumlah biji per kg dan dimensi biji jagung dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah biji per kg dan dimensi biji jagung Varietas Karakteristik Jumlah biji per kg Dimensi Panjang (mm) Lebar (mm) Tebal (mm) Bobot (g) Bobot 1000 biji (g)
3329± 27
Srikandi Kuning 3584± 67
Srikandi Putih 3263± 8
9,58± 1,56 8,40± 1,54 4,80± 0,94 0,34± 0,05 337,39± 45,90
9,91± 1,56 7,98± 0,98 4,42± 0,78 0,31± 0,04 308,92± 48,41
9,88± 1,45 8,20± 0,99 4,62± 0,86 0,30± 0,05 302,22± 45,12
Arjuna
Bisma
Lamuru
Sukmaraga
4073± 113
3614± 77
3974± 17
9,71± 10,15± 8,76± 1,41 1,43 1,53 8,20± 8,43± 7,97± 0,83 0,96 0,92 4,36± 4,53± 6,15± 0,92 1,01 1,79 0,26± 0,31± 0,28± 0,03 0,04 0,04 259,52± 307,92± 283,99± 37,66 44,13 36,79
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa jagung varietas Arjuna memiliki jumlah biji terbanyak yaitu 4073±113 buah per kg, sedangkan varietas Srikandi Putih memiliki jumlah yang paling rendah yaitu 3263±8 buah per kg. Bobot 1000 biji
jagung berada antara 259,52-337,39 g dengan bobot terkecil pada varietas Arjuna dan bobot terbesar pada varietas Sukmaraga. Dari hasil ini dapat dilihat bahwa jumlah biji per kg berhubungan dengan dimensi dan bobot jagung. Semakin besar dimensi dan bobot biji jagung, maka jumlah jagung per kg semakin kecil. Keragaman ukuran biji pada satu tongkol jagung juga dapat mempengaruhi jumlah biji per kg. Varietas Arjuna yang memiliki bobot terkecil, memiliki jumlah biji per kg yang besar sedangkan varietas Sukmaraga yang memiliki bobot terbesar memiliki jumlah biji per kg yang kecil. Pengukuran biji jagung dilakukan dengan cara mengukur biji jagung menggunakan micrometer. Dimensi biji jagung yang diukur terdiri dari panjang, lebar dan tebal. Hasil pengukuran biji jagung dapat dilihat pada Tabel 5. Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa setiap varietas jagung memiliki dimensi yang berbeda-beda. Dimensi yang berbeda ini disebabkan oleh bentuk jagung yang berbeda.
lebar
1
2
3
4
5
6 panjang
Keterangan : (1) Srikandi Putih (2) Sukmaraga (3) Bisma
(4) Arjuna (5) Lamuru (6) Srikandi Kuning
Gambar 6. Bentuk biji jagung varietas unggul nasional
Jagung varietas unggul nasional yang memiliki tipe biji dent adalah varietas Srikandi Putih dan Bisma, dapat dilihat pada Gambar 4 bahwa Srikandi Putih dan Bisma mempunyai bentuk biji yang menyerupai gigi kuda, dan dimensi panjang dan lebar yang berbeda. Untuk varietas Sukmaraga dan Lamuru memiliki tipe biji diantara dent dan flint dimana memiliki bentuk yang hampir bulat tetapi masih menyerupai gigi kuda dan juga memiliki dimensi panjang dan lebar yang berbeda, sedangkan varietas Arjuna dan Srikandi Kuning memiliki tipe biji flint dimana bentuk dari biji jagungnya hampir bulat dan memiliki dimensi panjang
Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa varietas Arjuna, Sukmaraga, Srikandi Kuning dan Srikandi Putih dengan lebar rata-rata 8,20±0,83 mm, 8,40±1,54 mm, 7,98±0,98 mm, dan 8,20±0,99 mm mempunyai distribusi lebar terbesar 8 mm, varietas Lamuru dengan lebar rata-rata 7,97±0,92 mm mempunyai distribusi lebar terbesar 7 mm, sedangkan untuk varietas Bisma dengan lebar rata-rata 8,43±0,96 mm mempunyai distribusi lebar terbesar 9 mm. 70.00 60.00
Populasi (%)
50.00
Arjuna Bisma
40.00
Lamuru Sukmaraga
30.00
Srikandi Kuning Srikandi Putih
20.00 10.00 0.00 0
2
4
6
8
10
12
Tebal (mm)
Gambar 9. Distribusi tebal biji jagung untuk masing-masing varietas Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa varietas Arjuna, Bisma, Lamuru, Sukmaraga, Srikandi Kuning dan Srikandi Putih dengan tebal rata-rata 4,36±0,92 mm, 4,53±1,01 mm, 6,15±1,79 mm, 4,80±0,94 mm, 4,42±0,78 mm dan 4,62±0,86 mm mempunyai distribusi tebal terbesar 4 mm. Dari hasil analisa ini dapat dilihat bahwa semua varietas jagung memiliki distribusi tebal yang sama. Dari Gambar 10 dapat dilihat bahwa varietas Arjuna dan Lamuru yang memiliki bobot masing-masing 0,26±0,03 g dan 0,28±0,04 g mempunyai distribusi bobot jagung 0,2 g, sedangkan untuk varietas Sukmaraga, Bisma, Srikandi Putih dan Srikandi Kuning yang memiliki bobot masing-masing 0,34±0,05 g, 0,31±0,04 g, 0,30±0,05 dan 0,31±0,04 g mempunyai distribusi bobot jagung 0,3 g.
Populasi (% )
90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
Arjuna Bisma Lamuru Sukmaraga Srikandi Kuning Srikandi Putih
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
Bobot (g)
Gambar 10. Distribusi bobot biji jagung untuk masing-masing varietas
2. Warna Biji Jagung Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter. Hasil yang diperoleh berupa nilai L, a, dan b. Ketiga parameter tersebut merupakan ciri dari sistem notasi warna Hunter. Hasil pengukuran warna biji jagung dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatis putih, abu-abu dan hitam. Notasi L menyatakan parameter kecerahan (light) dan mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai dengan 100 (putih). Semakin tinggi nilai L menunjukkan bahwa produk semakin mendekati warna putih atau semakin cerah. Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa varietas Srikandi Putih memiliki nilai L yang paling tinggi sehingga varietas Srikandi Putih memiliki warna yang paling cerah dibandingkan varietas yang lain. Perbedaan warna biji jagung ini disebabkan oleh berbedanya kandungan pigmen di dalam biji jagung. Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai a positif untuk merah dan nilai a negatif untuk warna hijau. Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa semua varietas jagung memiliki nilai a positif yang berarti jagung lebih cenderung berwarna merah dengan nilai a terbesar adalah varietas Lamuru dengan nilai +9,37 dengan demikian varietas Lamuru memiliki warna jingga jika dilihat pada Gambar 11.
Tabel 6. Pengukuran warna biji jagung Varietas
L
a
b
Arjuna
64,85
+3,05
+28,16
Bisma
66,78
+5,04
+31,00
Lamuru
52,75
+9,37
+42,12
Sukmaraga
57,36
+5,85
+44,53
Srikandi Kuning
66,12
+5,00
+35,88
Srikandi Putih
69,94
+0,53
+21,25
Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru–kuning dengan nilai b positif untuk warna kuning dan nilai b negatif untuk warna biru. Dari analisa dapat dilihat bahwa semua varietas jagung memiliki nilai b positif yang berarti jagung lebih cenderung berwarna kuning dengan nilai b terbesar adalah pada varietas Sukmaraga yaitu sebesar +44,53 dengan demikian dapat dilihat bahwa varietas Sukmaraga memiliki warna kuning yang paling cerah diantara varietas yang lain. Grafik warna dapat dilihat pada Gambar 11.
4 5 1
3 2
6
Keterangan : (1) Arjuna (2) Bisma (3) Lamuru
(4) Sukmaraga (5) Srikandi Kuning (6) Srikandi Putih
Gambar 11. Grafik warna berbagai varietas biji jagung
3. Densitas Kamba dan Bobot Jenis Jagung Densitas kamba merupakan sifat fisik bahan yang dipengaruhi oleh ukuran bahan dan kadar air. Densitas kamba akan menurun dengan menurunnya massa bahan. Pengetahuan tentang densitas kamba diperlukan terutama dalam hal kebutuhan ruang, baik dalam hal penyimpanan maupun pengangkutan. Semakin besar densitas kamba, biaya transportasi akan semakin murah karena memerlukan ruang yang lebih kecil dalam pengangkutan. Hasil analisa densitas kamba biji jagung dari berbagai varietas dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Densitas kamba dan bobot jenis berbagai varietas biji jagung Densitas Kamba (g/cm3)
Bobot Jenis (g/cm3)
Arjuna
0,83
1,33
Bisma
0,82
1,33
Lamuru
0,83
1,31
Sukmaraga
0,83
1,32
Srikandi Kuning
0,83
1,29
Srikandi Putih
0,81
1,28
Varietas
Densitas kamba dari setiap varietas jagung menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda yaitu diantara 0,81–0,83 g/cm3. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penyimpanan maupun pengangkutan jagung lebih ekonomis karena tidak memerlukan ruang yang besar. Hasil analisa bobot jenis jagung dapat dilihat pada Tabel 7. Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa bobot jenis jagung adalah 1,28–1,33 g/cm3 dengan varietas Arjuna dan Bisma memiliki bobot jenis terbesar yaitu 1,33 g/cm3, sedangkan varietas Srikandi Putih memiliki bobot jenis terendah yaitu 1,28 g/cm3. Bila dibandingkan dengan densitas kamba, bobot jenis biji jagung lebih besar. Hal ini disebabkan pada pengukuran densitas kamba masih ada rongga yang kosong, sehingga nilai densitas kamba suatu bahan akan lebih rendah dari pada bobot jenisnya.
4. Konduktivitas Panas Biji Jagung Konduktivitas panas didefinisikan sebagai jumlah panas yang mengalir secara konduksi dalam suatu unit waktu melalui luas penampang tertentu yang diakibatkan oleh adanya perbedaan suhu. Konduktivitas panas tumpukan bahan yang berbentuk butiran dipengaruhi oleh suhu, kadar air dan massa jenis yang merupakan karakteristik fisik dari ukuran partikel dan volume rongga yang terdapat di antara partikel. Dengan semakin besarnya volume rongga dalam tumpukan bahan menyebabkan massa jenisnya menurun sehingga konduktivitas panasnya juga akan turun atau sebaliknya. Hasil analisa konduktivitas panas dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Konduktivitas panas berbagai varietas biji jagung Varietas
Konduktivitas Panas
Tebal (mm)
Arjuna
0,1726 W/m.K pada suhu 38 oC
Bisma
0,1919 W/m.K pada suhu 40 oC
Lamuru
4,36± 0,92 4,53±1,01
o
0,1864 W/m.K pada suhu 37,5 C
6,15±1,79
o
Sukmaraga
0,1742 W/m.K pada suhu 40 C
Srikandi Kuning
0,1784 W/m.K pada suhu 37 oC
Srikandi Putih
0,1422 W/m.K pada suhu 37 oC
4,80±0,94 0,31±0,04 4,62± 0,86
Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa suhu untuk pengukuran konduktivitas panas berbeda-beda. Hal ini disebabkan kondisi bahan pada saat pengukuran yang berbeda sehingga nilai yang terbaca pada alat disesuaikan dengan suhu dan kondisi bahan pada saat pengukuran. Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa nilai konduktivitas panas berhubungan dengan ketebalan dari biji jagung. Semakin tebal biji jagung maka nilai konduktivitas panasnya semakin kecil. Varietas Lamuru yang memiliki tebal terbesar yaitu 6,15±1,79 mm memiliki nilai konduktivitas panas sebesar 0,1864 W/m.K. Pengukuran nilai konduktivitas panas ini diperlukan untuk menentukan suhu dan waktu pengeringan yang diperlukan biji jagung pada pengolahan pasca panen.
B. Produksi Tepung Jagung
1. Produksi Tepung Jagung dengan Teknik Dry Milling Pada pembuatan tepung jagung secara dry milling, pertama-tama jagung sebanyak 500 g dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran. Kemudian jagung digiling dengan menggunakan hammer mill. Pada penggilingan ini digunakan ayakan yang berukuran 80 mesh, sehingga tepung yang dihasilkan berukuran seragam yaitu 80 mesh. Pada pengolahan secara dry milling semua bagian biji jagung tergiling sehingga tidak ada pemisahan komponen dari biji jagung. Rendemen yang dihasilkan pada pembuatan tepung jagung secara dry milling dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Rendemen tepung jagung Varietas
Dry milling
Alkali cooked milling
Rendemen
Kadar air
Rendemen
Kadar air
(%)
(%bk)
(%)
(%bk)
Arjuna
95,53
7,73
96,25
8,47
Bisma
96,13
7,77
97,20
8,92
Lamuru
92,13
7,92
96,83
8,78
Sukmaraga
97,07
7,66
99,89
8,98
Srikandi Kuning
96,07
8,09
97,67
8,82
Srikandi Putih
92,67
7,34
98,00
8,70
Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa rendemen tepung jagung yang dihasilkan cukup tinggi yaitu berkisar antara 92–96%. Perbedaan rendemen dari tepung jagung yang dihasilkan ini disebabkan oleh adanya tepung yang menempel pada alat giling. Namun tepung yang menempel tersebut tidak terlalu banyak sehingga tepung jagung yang hilang juga tidak terlalu banyak. Neraca massa pembuatan tepung jagung dengan teknik dry milling dapat dilihat pada Gambar 12. Kadar air yang terdapat pada jagung adalah sekitar 7,66-8,09%, dengan kadar air tersebut maka jagung sudah cukup kering untuk diolah secara dry milling sehingga jagung tidak memerlukan proses pengeringan terlebih dahulu sebelum digiling.
Jagung (500 g)
Dibersihkan dari kotoran
Penggilingan dengan hammer mill
Tepung jagung (480 g)
Gambar 12. Neraca massa pembuatan tepung jagung dengan teknik dry milling
2. Pembuatan Tepung Jagung dengan Teknik Alkali Cooked Milling Pada pembuatan tepung jagung dengan teknik alkali cooked milling, jagung terlebih dahulu direbus dengan menggunakan air dan Ca(OH)2. Perbandingan air dan jagung yang digunakan adalah 3:1 sedangkan Ca(OH)2 yang ditambahkan adalah 1% dari bobot jagung. Tujuan dari perebusan jagung adalah untuk mengembangkan jaringan yang ada pada biji jagung sehingga Ca(OH)2 yang ditambahkan dapat masuk kedalam jaringan pada biji jagung. Penambahan air dengan perbandingan 3:1 dengan tujuan untuk memaksimalkan penyerapan air oleh biji jagung. Pemasakan dan perendaman dengan alkali menyebabkan air dan alkali masuk ke dalam biji jagung. Penambahan alkali ini dapat melepaskan kulit dan melunakkan struktur endosperma. Masuknya alkali ke dalam jaringan biji jagung dapat menyebabkan lepasnya amilosa setelah granula mengembang. Gelatinisasi pati terjadi karena interaksi antara amilosa dengan basa. Pembuatan jagung dengan teknik alkali cooked milling ini biasanya digunakan pada pembuatan tortilla dan pembuatan tepung jagung dengan cara ini mulai terkenal di negara berkembang untuk mempertahankan makanan tradisional. Neraca massa
pembuatan tepung jagung dengan teknik alkali cooked milling disajikan pada Gambar 13. Rendemen yang dihasilkan pada pembuatan tepung dengan teknik ini dapat dilihat pada Tabel 9. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa rendemen yang dihasilkan yaitu antara 96,25–99,89%. Rendemen yang dihasilkan pada pembuatan tepung jagung secara alkali cooked milling lebih besar jika dibandingkan dengan rendemen pada pembuatan tepung jagung secara dry milling, hal ini disebabkan oleh kadar air pada alkali cooked milling lebih besar dari pada dry milling yaitu antara 8,47-8,98%. Jagung (500 g) Air (1500 ml) Ca(OH)2 (5 g) Perebusan selama 60 menit
Perendaman selama 120 menit Air sisa rendaman (466 ml) Pencucian Air bekas cucian Jagung yang telah masak (nixtamal) (838,5 g)
Pengeringan (490 g) Penggilingan dengan hammermill
Tepung jagung (490 g)
Gambar 13. Neraca massa pembuatan tepung jagung dengan teknik alkali cooked Milling
C. Karakteristik Fisiko-Kimia dan Fungsional Tepung Jagung
Analisis yang dilakukan terhadap tepung jagung yaitu analisis terhadap sifat fisik dan sifat kimia. Sifat kimia yang dianalisis meliputi kadar air, abu, lemak, protein, serat kasar, karbohidrat, amilosa, pati dan gula pereduksi. Hasil analisa sifat kimia pada tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 10 dan Tabel 11. Sifat fungsional yang diamati meliputi sifat amilografi dengan Visco Amylographer Brabender, absorbsi air dan minyak, swelling power dan kelarutan pada suhu 90oC, kejernihan pasta 1%, freeze-thaw stability dan apparent viscosity dengan Viscosimeter Brookfield), sifat fisik meliputi warna tepung, pH, bobot jenis tepung dan penerimaan oleh -amilase.
1. Karakteristik Kimia a. Kadar Air Penentuan kadar air sangat diperlukan sebab sangat berpengaruh terhadap daya simpan bahan. Makin tinggi kadar air suatu bahan maka makin tinggi kemungkinan bahan tersebut rusak. Kadar air tepung sangat dipengaruhi oleh cara penyimpanan atau lama dari waktu pemanenan sampai bahan diolah menjadi suatu produk. Jumlah kandungan air pada bahan hasil-hasil pertanian akan mempengaruhi daya tahan terhadap mikroba. Untuk memperpanjang daya simpan suatu bahan maka sebagian air dalam bahan dihilangkan sehingga mencapai kadar air tertentu. Pengeringan pada tepung mempunyai tujuan untuk mengurangi kadar airnya sampai batas tertentu sehingga pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim penyebab kerusakan pada tepung dapat dihambat. Batas kadar air minimum dimana mikroba masih dapat tumbuh adalah 14-15% (Fardiaz, 1989). Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa kadar air yang terdapat pada tepung jagung dari berbagai varietas berkisar antara 7,34–8,09% pada dry milling dan 8,47–8,98% pada alkali cooked milling. Hal ini menunjukkan bahwa kadar air yang terdapat pada tepung jagung telah memenuhi syarat SNI tepung jagung yaitu maksimum 10%. Kadar air pada pengolahan secara dry milling dan alkali cooked
milling tidak jauh berbeda karena pada pengolahan secara alkali cooked milling tidak merubah sifat kimia pada tepung jagung (Saldivar et al., 1987).
b. Kadar Abu Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral dalam tepung. Mineral merupakan zat anorganik dalam bahan yang tidak terbakar selama proses pembakaran. Kadar abu sangat dipengaruhi oleh jenis bahan, umur bahan dan lain-lain. Secara kuantitatif kadar abu yang terdapat pada suatu bahan berasal dari mineral-mineral dalam bahan yang masih segar, pemakaian pupuk dan dapat juga berasal dari kontaminasi tanah dan udara selama pengolahan. Dari Tabel 10 dan 11 dapat dilihat bahwa kadar abu tepung jagung dengan proses pembuatan secara dry milling berkisar antara 1,23–1,45%. Hal ini sudah sesuai dengan persyaratan tepung jagung menurut SNI tepung jagung yaitu maksimum 1,5%. Kadar abu pada tepung jagung dengan proses pembuatan secara alkali cooked milling yaitu antara 1,77–1,94% yang berarti belum sesuai dengan SNI tepung jagung. Menurut Saldivar et al. (1987) produk dari alkali cooked milling akan memiliki kandungan abu sebesar 1,5% (lebih tinggi dari pada pengolahan tepung jagung secara dry milling) hal ini disebabkan oleh adanya panambahan Ca(OH)2 yang akan menambah jumlah mineral pada tepung jagung.
c. Kadar Serat Kasar Kadar serat terdiri dari selulosa dengan sedikit lignin dan sebagian kecil hemiselulosa. Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa kadar serat kasar tepung jagung berkisar antara 0,36–1,83% pada teknik pembuatan tepung jagung secara dry milling dan berkisar antara 1,27–2,73% pada teknik pembuatan tepung secara alkali cooked milling. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa kadar serat kasar pada tepung jagung masih sangat tinggi dan belum sesuai dengan SNI tepung jagung yaitu maksimum 1,5%. Tepung jagung yang memenuhi kriteria adalah tepung jagung yang berasal dari varietas Srikandi Putih. Tingginya kadar serat kasar pada tepung jagung disebabkan pada proses pembuatan tepung jagung tidak melalui proses ekstraksi seperti pada pembuatan pati sehingga serat yang tertinggal masih tinggi.
Tabel 10. Komposisi kimia tepung jagung dengan teknik pembuatan dry milling
Komponen
Varietas Arjuna
Bisma
Lamuru
Sukmaraga
Srikandi Kuning
Srikandi Putih
Air (%)
7,73
7,77
7,92
7,66
8,09
7,34
Abu (% bk)
1,23
1,34
1,44
1,31
1,43
1,45
Lemak (% bk)
9,78
9,93
5,68
8,39
6,69
6,49
Protein (% bk)
10,29
9,60
9,11
9,93
10,01
10,77
Serat kasar (% bk)
1,83
1,27
1,64
1,81
1,53
0,36
Karbohidrat by difference (% bk)
76,88
77,86
82,12
78,56
80,34
80,94
Kadar pati (% bk)
54,87
54,17
64,68
49,93
60,04
58,59
Kadar amilosa (% bk)
35,46
35,53
37,56
33,00
36,67
38,33
Kadar gula pereduksi (% bk)
0,20
0,23
0,19
0,18
0,20
0,20
Tabel 11. Komposisi kimia tepung jagung dengan teknik pembuatan alkali cooked milling Komponen
Varietas Arjuna
Bisma
Lamuru
Sukmaraga
Srikandi Kuning
Srikandi Putih
Air (%)
8,47
8,92
8,78
8,98
8,82
8,70
Abu (% bk)
1,81
1,94
1,93
1,77
1,89
1,87
Lemak (% bk)
8,23
7,75
12,69
4,07
4,54
6,99
Protein (% bk)
9,76
9,87
9,33
10,24
9,96
10,37
Serat kasar (% bk)
1,27
2,40
1,52
1,37
2,73
1,29
Karbohidrat by difference (% bk)
78,94
78,03
74,52
82,55
80,88
79,47
Kadar pati (% bk)
56,87
60,04
57,70
48,22
51,72
52,16
Kadar amilosa (% bk)
37,87
33,42
37,1
35,65
36,61
35,74
Kadar gula pereduksi (% bk)
0,13
0,16
0,15
0,15
0,14
0,15
d. Kadar Protein Tepung jagung diharapkan memiliki kadar protein yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan penggunaan tepung sebagai bahan pangan dan pakan sehingga tidak memerlukan bahan substitusi lagi dalam aplikasinya. Kadar protein dalam tepung bukan merupakan syarat
mutu tepung menurut
SNI. Namun,
keberadaannya dalam tepung dapat melengkapi nilai gizinya. Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa tepung jagung dengan teknik pembuatan dry milling memiliki kandungan protein sebesar 9,11–10,77% untuk alkali cooked milling memiliki kadar protein yang hampir sama, yaitu berkisar antara 9,33–10,37%. Kandungan protein dalam tepung sangat penting untuk melengkapi nilai gizinya. Oleh karena itu kandungan protein tepung diharapkan setinggi mungkin. Varietas Srikandi Kuning dan Srikandi Putih yang merupakan tipe jagung QPM (Quality Protein Maize) memiliki kadar protein yang tinggi baik pada pengolahan secara dry milling maupun alkali cooked milling yaitu untuk Srikandi Kuning sebesar 10,01% pada dry milling dan 9,96% pada alkali cooked milling, sedangkan untuk Srikandi Putih sebesar 10,77% pada dry milling dan 10,37% pada alkali cooked milling. Jagung tipe QPM ini dapat digunakan untuk bahan pangan dan pakan.
e. Kadar Lemak Kadar lemak yang tinggi dapat mengganggu proses gelatinisasi, sebab lemak mampu membuat kompleks dengan amilosa sehingga amilosa tidak dapat keluar dari granula pati. Lemak dapat mengganggu proses gelatinisasi dengan cara sebagian besar lemak akan diserap oleh permukaan granula sehingga terbentuk lapisan lemak yang bersifat hidrofobik di sekeliling granula. Lapisan lemak tersebut akan menghambat pengikatan air oleh granula. Hal ini akan menyebabkan kekentalan dan kelekatan pati berkurang akibat jumlah air berkurang untuk terjadinya pengembangan granula. Dengan mengetahui kadar lemak pada tepung maka akan memudahkan dalam penentuan tujuan dan pembuatan produk tersebut.
Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa kadar lemak pada pembuatan tepung secara dry milling adalah 5,68–9,78%, sedangkan pada teknik pembuatan alkali cooked milling kadar lemak berkisar antara 4,07–12,69%. Dari hasil analisa ini dapat dilihat juga bahwa pada tiap-tiap varietas tepung jagung kadar lemaknya masih cukup tinggi. Pada tepung jagung, kadar lemak juga bukan merupakan syarat mutu dalam SNI, namun kadar lemak pada tepung jagung diharapkan setinggi mungkin, hal ini sesuai dengan aplikasinya untuk produk pangan. Namun kadar lemak yang tinggi pada tepung jagung yang disimpan dalam waktu yang cukup lama dapat menyebabkan penurunan mutu tepung. Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan.
f. Kadar Pati Kadar pati merupakan kriteria mutu terpenting tepung baik sebagai bahan pangan maupun non pangan. Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa tepung jagung yang diolah secara dry milling memiliki kadar pati antara 49,93-64,68% sedangkan untuk alkali cooked milling antara 48,22–60,04%. Kadar pati yang dihasilkan oleh tepung jagung baik secara dry milling maupun alkali cooked milling sudah cukup tinggi sehingga dapat digunakan untuk produk pangan berkarbohidrat tinggi. Jika dibandingkan dengan ekstrak pati, kadar pati pada tepung tidak terlalu tinggi. Hal ini disebabkan pada proses pembuatan tepung tidak melalui proses ekstraksi sehingga memungkinkan adanya komponen-komponen lain seperti serat, lignin, dan lain-lain.
g. Kadar Amilosa Kadar amilosa yaitu banyaknya amilosa yang terdapat di dalam granula pati. Amilosa sangat berperan pada saat proses gelatinisasi dan lebih menentukan karakteristik dari pasta pati. Pati yang memiliki amilosa yang tinggi mempunyai kekuatan ikatan hidrogen yang lebih besar karena jumlah rantai lurus yang besar dalam granula, sehingga membutuhkan energi yang besar untuk gelatinisasi. Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa kadar amilosa terhadap tepung jagung yang diolah secara dry milling adalah 33,00–38,33% sedangkan untuk
tepung jagung yang diolah secara alkali cooked milling adalah sekitar 33,42– 37,87%. Jagung yang digunakan masih tergolong dalam normal corn, yaitu mengandung amilosa ±30%. Kandungan amilosa dapat mempengaruhi sifat fungsional dari tepung jagung seperti kelarutan dan swelling power, freeze-thaw stability dan kejernihan pasta.
h. Kadar Gula Pereduksi Zat pati alami merupakan campuran antara amilosa, yaitu zat pati dengan rumus rantai memanjang, dan amilopektin yang rumusnya mempunyai percabangan. Dengan menggunakan asam mineral encer dengan sekedar pemanasan dapat dengan mudah menguraikan amilosa maupun amilopektin, hasilnya hanya glukosa. Glukosa masih mempunyai gugus karbonil bebas dalam struktur molekulnya. Dari Tabel 10 dan 11 dapat dilihat bahwa kadar gula pereduksi terbesar pada teknik pembuatan tepung jagung secara dry milling adalah pada varietas Bisma yaitu sebesar 0,23%, sedangkan pada teknik pembuatan tepung jagung secara alkali cooked milling kadar gula pereduksi terbesar juga terdapat pada varietas Bisma yaitu sebesar 0,16%. Dari hasil ini juga dapat dilihat bahwa kadar gula pereduksi tepung jagung pada setiap varietas jagung manunjukkan angka yang tidak jauh berbeda yaitu berkisar antara 0,18–0,20% pada tepung jagung yang dibuat dengan teknik dry milling dan 0,13–0,15% untuk tepung jagung yang dibuat dengan teknik alkali cooked milling. Hal ini berarti gula pereduksi yang terdapat pada tepung jagung sedikit sekali karena kandungan glukosa pada jagung juga sangat kecil.
2. Sifat Fungsional a. Absorbsi air dan minyak Absorbsi air dan minyak digunakan untuk mengukur besarnya kemampuan tepung untuk menyerap air dan minyak. Kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh komposisi granula. Struktur granula pada masing-masing tepung juga sangat menentukan nilai yang terukur. Hasil analisa absorbsi air dan minyak dapat dilihat pada Tabel 12 dan 13.
Daya absorbsi air dari tepung perlu diperhatikan sebab banyaknya air yang ditambahkan pada tepung akan mempengaruhi sifat-sifat fisik dari tepung. Air yang terserap dalam molekul disebabkan oleh granula secara fisik maupun terikat secara intra molekular (Kulp, 1975). Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa pada teknik pembuatan tepung jagung secara dry milling mempunyai absorbsi air berkisar antara 1,23–1,63 g/g dengan absorbsi air terbesar terdapat pada varietas Bisma yaitu sebesar 1,63 g/g sedangkan varietas Srikandi Putih mempunyai absorbsi air yang terendah yaitu sebesar 1,23 g/g. Untuk pembuatan tepung jagung dengan teknik alkali cooked milling, absorbsi air berkisar antara 1,70–2,39 g/g dengan absorbsi air terbesar terdapat pada varietas Bisma yaitu sebesar 2,39 g/g, sedangkan absorbsi air terkecil terdapat pada varietas Srikandi Kuning yaitu sebesar 1,67 g/g. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa pada pengolahan secara alkali cooked milling menyebabkan kenaikan absorbsi air. Hal ini disebabkan kandungan serat kasar yang lebih tinggi yaitu 1,27-2,73% pada alkali cooked milling jika dibandingkan dengan dry milling yaitu sebesar 0,36–1,83% dan juga kandungan amilosa yang lebih tinggi yaitu untuk
dry milling sebesar 33,00–38,33% dibandingkan dengan alkali cooked
milling sebesar 33,42 – 37,87 %. Kandungan serat kasar dan amilosa yang tinggi dapat membantu penyerapan air pada granula (Kulp, 1975). Minyak atau lemak dapat membentuk kompleks dengan amilosa yang dapat menghambat pembengkakan granula sehingga pati sukar tergelatinisasi. Absorbsi minyak dipengaruhi oleh kadar lemak. Produk dengan lemak yang cukup tinggi akan lebih mudah dimasuki minyak karena lemak lebih bersifat hidrofobik.
Tabel 12. Sifat fungsional tepung jagung dengan teknik pembuatan dry milling Sifat Fungsional
Varietas Arjuna
Bisma
Lamuru
Sukmaraga
Srikandi Kuning
Srikandi Putih
Absorbsi air (g/g)
1,47
1,63
1,33
1,36
1,61
1,23
Absorbsi minyak (g/g)
0,85
1,33
1,06
0,95
0,77
0,81
Kelarutan 90oC (%)
79,07
80,29
89,51
71,93
88,36
79,59
Swelling power (%)
10,90
10,69
40,32
6,43
15,37
22,03
Freeze-thaw stability (% Sineresis)
98,33
97,53
98,47
98,20
98,07
97,33
Kejernihan pasta 1% (%T)
43,30
38,60
34,37
24,73
27,63
30,43
Tabel 13. Sifat fungsional tepung jagung dengan teknik pembuatan alkali cooked milling Sifat Fungsional
Varietas Arjuna
Bisma
Lamuru
Sukmaraga
Srikandi Kuning
Srikandi Putih
Absorbsi air (g/g)
1,70
2,39
1,70
2,14
1,67
2,05
Absorbsi minyak (g/g)
0,75
1,12
0,58
0,93
0,57
0,57
Kelarutan 90 C (%)
5,.35
53,93
68,46
66,11
53,93
75,30
Swelling power (%)
4,02
3,98
5,62
5,07
3,41
81,19
Freeze-thaw stability (% Sineresis)
97,33
95,80
95,53
96,13
95,20
95,27
Kejernihan pasta 1% (%T)
32,50
28,60
45,63
47,07
32,47
25,27
o
Dari Tabel 12 dan 13 dapat dilihat bahwa absorbsi minyak pada tepung jagung dry milling adalah 0,77–1,33 g/g sedangkan untuk tepung jagung alkali cooked milling adalah 0,57–1,12 g/g. Pada alkali cooked milling absorbsi minyak lebih kecil dibandingkan dengan dry milling. Hal ini disebabkan oleh kadar lemak pada alkali cooked milling secara umum lebih rendah dibandingkan dengan dry milling yaitu 5,68–9,78% pada dry milling dan 4,07–12,69% pada alkali cooked milling. b. Kelarutan dan Swelling Power pada suhu 90oC Kelarutan merupakan bobot tepung yang terlarut dan dapat diukur dengan cara mengeringkan dan menimbang sejumlah larutan supernatant. Swelling power merupakan kenaikan volume dan bobot maksimum tepung selama mengalami pengembangan di dalam air . Setiap jenis tepung memiliki pola karakteristik swelling power dan kelarutan yang berbeda. Pada plot kurva hubungan antara swelling power terhadap persen kelarutan pada berbagai macam pati hampir dapat ditarik sebuah garis lurus yang menunjukkan betapa eratnya keterkaitan di antara kedua sifat tersebut (Leach, 1965 di dalam Wurzburg, 1965). Sifat pengembangan sangat bergantung pada kekuatan dan sifat alami antar molekul di dalam granula, yang juga bergantung pada sifat alami dan kekuatan daya ikat dalam granula. Berbagai faktor yang menentukan daya ikat tersebut adalah (1) perbandingan amilosa dengan amilopektin, (2) bobot molekul dari fraksi-fraksi tersebut, (3) distribusi bobot molekul, (4) derajat percabangan, (5) panjang dari cabang molekul amilopektin terluar yang dapat berperan dalam kumpulan ikatan
(Leach, 1965 di dalam Wurzburg, 1965). Komponen non-
karbohidrat yang secara alami terdapat dalam pati juga mempengaruhi daya ikat. Keberadaan zat lain dalam pati juga mempangaruhi swelling. Ketika kandungan lemak dalam tepung dikurangi maka swelling-nya semakin cepat. Swelling power dan kelarutan dari tepung jagung juga bergantung pada perbedaan varietas, faktor lingkungan, dan usia tanaman itu sendiri (Moorthy, 1985 di dalam Balagopalan et al., 1988).
Tingkat kelarutan tepung dalam media cair merupakan salah satu sifat yang penting dan berguna dalam berbagai aplikasi industri baik pangan maupun non pangan. Pada industri penggunanya, nilai kelarutan tepung sangat bermanfaat dalam menentukan jumlah optimal dari tepung yang akan digunakan untuk proses produksi atau konversi, sehingga akan dihasilkan produk dengan karakteristik yang diinginkan serta dapat menghindari penggunaan tepung yang berlebih. Pengujian nilai kelarutan dan swelling power dilakukan pada suhu 900C. Suhu merupakan salah satu faktor yang turut menentukan besarnya nilai kelarutan, dimana semakin tinggi suhu maka kelarutan akan semakin meningkat. Dari hasil analisa pada Tabel 11 dan 12 dapat dilihat bahwa pada tepung dari dry milling mempunyai nilai swelling power berkisar antara 6,43–40,32% sedangkan pada alkali cooked milling berkisar antara 3,41–81,19%. Nilai kelarutan untuk tepung jagung dengan teknik dry milling adalah 71,93–89,51% dan untuk alkali cooked milling adalah 53,93–75,30% Nilai swelling power dan kelarutan pada dry milling secara umum lebih tinggi bila dibandingkan dengan alkali cooked milling. Hal ini disebabkan kandungan amilosa pada alkali cooked milling lebih tinggi dari pada dry milling yaitu 33,00–38,33% pada dry milling sedangkan untuk tepung jagung yang diolah secara alkali cooked milling adalah sekitar 33,42–37,87%. Semakin tinggi kandungan amilosa menyebabkan rendahnya tingkat swelling dan kelarutan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh molekul-molekulnya yang linier sehingga memperkuat jaringan internalnya (Leach, 1965 di dalam Wurzburg, 1965). c. Freeze-thaw Stability Uji yang juga dilakukan pada tepung jagung adalah pengukuran stabilitas granula pada suhu beku yang dikenal dengan uji Freeze-thaw stability. Uji ini dilakukan untuk mengetahui stabilitas tepung atas pengaruh suhu rendah, dimana pada uji ini suhu yang digunakan dalam freezer -15oC selama 18 jam dan suhu ruang selama 6 jam. Setelah itu sampel disentrifugasi untuk melihat jumlah air yang terpisah akibat penyimpanan beku. Semakin banyak air yang terpisah menunjukkan bahwa tepung tersebut memiliki freeze-thaw stability yang rendah. Selama penyimpanan suhu beku, pasta pati mengalami retrogradasi. Retrogradasi merupakan kecenderungan amilosa–amilosa pada pasta pati untuk
berikatan kembali satu sama lain melalui ikatan hidrogen diantara gugus hidroksilnya. Salah satu efek dari pada retrogradasi adalah terjadinya sineresis yaitu keluarnya air dari pasta tepung (Leach, 1965 di dalam Wurzburg, 1965). Pada penyimpanan suhu beku ini, air dalam larutan pasta akan berubah bentuk menjadi kristal–kristal es. Fenomena ini tentu akan merubah kelarutan air dalam struktur pasta. Nilai
freeze- thaw stability yang dinyatakan dalam %
Sineresis dapat diartikan sebagai persentase jumlah air yang terpisah setelah larutan pasta diberi perlakuan penyimpanan pada satu siklus freeze-thaw pada suhu -15oC. Semakin tinggi persentase jumlah air yang terpisah menunjukkan bahwa tepung tersebut semakin tidak stabil terhadap penyimpanan suhu beku. Dari tabel 11 dan 12 dapat dilihat bahwa nilai freeze-thaw stability pada dry milling adalah 97,33–98,47% dan pada alkali cooked milling adalah 95,20– 97,33% dengan kestabilan tertinggi adalah pada varietas Srikandi Putih pada teknik pembuatan secara dry milling dan Srikandi Kuning pada teknik alkali cooked milling. Dari hasil ini secara keseluruhan dapat dilihat bahwa pasta tepung belum stabil pada suhu beku karena % Sineresis pada pasta tepung masih cukup tinggi. Hal ini dapat disebabkan tingkat retrogradasi pada pasta tepung masih cukup tinggi sehingga kecenderungan air untuk keluar dari pasta masih cukup tinggi.
d. Kejernihan Pasta 1% Kejernihan pasta merupakan salah satu parameter penting dalam menentukan kualitas pasta tepung disamping viskositas pasta, terutama berdasarkan penampakan visual terkait pada sifat jernih atau buram dari pasta yang dihasilkan. Pada sebagian jenis makanan, pasta diharapkan berwujud jernih seperti untuk bahan pengisi kue. Namun ada pula makanan yang menghendaki pasta pati berwujud buram (opaque) seperti pada salad dressing (Pomeranz, 1991). Kejernihan pasta terkait dengan sifat dispersi dan retrogradasi. Kejernihan pasta juga memiliki hubungan dengan sifat kelarutan dimana semakin tinggi kelarutan maka akan semakin tinggi juga tingkat kejernihan pasta yang dihasilkan. Pengujian terhadap tingkat kejernihan pasta tepung dapat dilakukan dengan
mengukur nilai transmisi cahaya yang dilewatkan melalui sampel pasta tepung. Persentase transmisi dihubungkan dengan tingkat konsenterasi pasta yang dibuat. Dari Tabel 12 dan 13 dapat dilihat bahwa kejernihan pasta pada dry milling adalah 24,73-43,30%T sedangkan untuk alkali cooked milling adalah 28,60–47,07%T. Pengolahahan tepung jagung secara alkali cooked milling secara umum meningkatkan kejernihan pasta. Hal ini dapat disebabkan tingkat retrogradasi pada tepung alkali cooked milling lebih rendah dari pada dry milling. Balagopalan et
al.
(1988) menyatakan bahwa tepung
yang
memiliki
kecenderungan retrogradasinya rendah memiliki kejernihan pasta yang lebih tinggi.
e. Sifat Amilografi Suhu
gelatinisasi
tepung
diperoleh
dengan
menggunakan
Visco
Amylographer Brabender. Prinsip kerja Visco Amylographer Brabender adalah menaikkan suhu suspensi tepung 1,5oC tiap menit dan mencatat perubahan viskositas yang terjadi pada suspensi tepung tersebut. Viskositas maksimum adalah viskositas tertinggi dimana granula sudah mulai pecah. Breakdown viscosity adalah selisih antara viskositas balik dan viskositas maksimum. Suhu gelatinisasi awal adalah suhu dimana viskositas mulai naik dan suhu gelatinisasi akhir adalah suhu dimana viskositas mencapai titik tertinggi. Setback viscosity adalah selisih antara viskositas skhir dengan viskositas balik dimana telah terjadi retrogradasi. Grafik hasil amilografi dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14. Untuk tepung dry milling memiliki viskositas yang lebih tinggi dari pada tepung alkali cooked milling. Hal ini disebabkan pada pembuatan tepung secara alkali cooked milling, dilakukan dengan cara perebusan sehingga telah terjadi gelatinisasi pada biji jagung sehingga mempengaruhi viskositas dan sifat amilografi pada tepung yang dihasilkan. Untuk tepung yang dibuat secara dry milling memiliki suhu gelatinisasi awal sebesar 90–93oC sedangkan untuk tepung jagung yang dibuat dengan alkali cooked milling memiliki suhu gelatinisasi awal sebesar 81–93oC.
100 90
E
80
Arjuna
70
Bisma
60 50
C
B
D
40
Su hu (C )
Vis k os itas (BU )
A A
300 280 260 240 220 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
Lamuru Sukmaraga Srikandi Kuning
30
Srikandi Putih
20
Suhu
10 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0 110
100
Waktu (menit)
B
160
100
A
90
Vis k os itas (BU )
120 100
60
Bisma
50 40
C
B
40
Arjuna
70 60
E
80
80
D
30 20
20
10
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Suhu ( C )
140
Lamuru Sukmaraga Srikandi Kuning Srikandi Putih Suhu
0 110
Waktu (menit)
Keterangan : A : Suhu awal gelatinisasi
D : Setback viscosity
B : Viskositas maksimum
E : Viskositas akhir
C : Breakdown viscosity Gambar 14. Grafik amilografi tepung jagung (A) Dry Milling dan (B) Alkali Cooked milling Dari Tabel 14 dan 15 dapat dilihat bahwa viskositas maksimum pada tepung secara dry milling adalah 30–40 BU sedangkan untuk alkali cooked milling adalah 10–15 BU. Viskositas akhir untuk dry milling adalah 90–160 BU sedangkan untuk alkali cooked milling adalah 10–45 BU. Breakdown viscosity pada dry milling adalah -50 sampai -10 BU sedangkan untuk alkali cooked milling adalah -20 sampai 5 BU. Setback viscosity pada dry milling adalah 40–110 BU sedangkan pada alkali cooked milling adalah 3–15 BU. Secara umum sifat amilografi tepung jagung alkali cooked milling lebih rendah dibandingkan dengan dry milling. Hal ini disebabkan pada pembuatan tepung secara alkali cooked
milling, jagung telah mengalami perebusan sehingga telah terjadi gelatinisasi pada biji jagung sehingga mempengaruhi viskositas dan sifat amilografi pada tepung yang dihasilkan (Johnson, 1991). Tabel 14. Sifat amilografi tepung dengan teknik dry milling Sifat Amilografi Suhu awal gelatinisasi (oC) Viskositas maksimum (BU) Viskositas akhir (BU) Breakdown viscosity (BU) Setback viscosity (BU)
Arjuna
Bisma
Lamuru
Sukmaraga
Srikandi Kuning
Srikandi Putih
91.5
91.5
93
90
91.5
90
40
30
40
40
40
40
140
110
90
160
115
110
-30
-50
-10
-10
-10
-10
70
60
40
110
65
60
Tabel 15. Sifat amilografi tepung dengan teknik alkali cooked milling Sifat Amilografi Suhu awal gelatinisasi (oC) Viskositas maksimum (BU) Viskositas akhir (BU) Breakdown viscosity (BU) Setback viscosity (BU)
Arjuna Bisma Lamuru Sukmaraga
Srikandi Kuning
Srikandi Putih
93
93
81
93
93
93
10
10
10
15
10
10
20
45
10
25
10
20
-5
-20
5
-5
-3
-4
5
15
5
5
3
7
f. Apparent Viscosity Tepung bila dipanaskan akan membentuk pasta yang kental. Beberapa hal yang mempengaruhi pengukuran viskositas yaitu: metode penyiapan pasta, kecepatan pengadukan, kesadahan air yang digunakan, konsenterasi pati yang digunakan, dan temperatur. Untuk uji apparent viscosity ini, digunakan alat ukur viskosimeter Brookfield sebagai alat ukur stabilitas viskositas. Menurut Greenwood (1970), peningkatan kekentalan secara tajam terjadi ketika granula yang telah membengkak menempati porsi yang besar dari total volume dan berhubungan dengan granula-granula lainnya yang akan memberikan kekentalan maksimum pada kurva. Kemudian kekentalan menurun karena pecahnya struktur pati sampai kekentalan minimal. Selama periode pendinginan kurva naik lagi mencapai kekentalan maksimum yang kedua dimana pengukuran kekuatan gel dapat dilakukan. Ketika suspensi tepung dan air dipanaskan di atas suhu gelatinisasinya, granula akan tergelatinisasi dan mengembang secara cepat sampai semua air terkonsumsi. Tingkat swelling yang tinggi ini mengakibatkan granula-granula tepung mudah pecah karena shear rate. Pada fase awal, bagian pati yang larut keluar dari granula dan akan terdifusi ke dalam fase air. Namun demikian, ketika seluruh volume larutan tepung dipenuhi oleh granula-granula yang mengembang, beberapa bagian tepung yang larut tadi kembali terdifusi ke dalam granula sampai tingkat keseimbangan tercapai. Jadi, apparent viscosity dari larutan pati tidak hanya disebabkan oleh pengembangan granula, tetapi juga oleh adanya bagian tepung terlarut yang menahan pengembangan granula-granula dengan adanya daya adhesi, dan juga oleh interaksi diantara granula-granula yang mengembang (Leach, 1965 di dalam Wurzburg, 1965). Pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa nilai apparent viscosity mengalami penurunan berbanding lurus dengan peningkatan shear rate. Tepung jagung dari vareietas Srikandi Kuning memiliki nilai apparent viscosity yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan tepung jagung dari varietas lain pada pembuatan tepung secara dry milling. Pada pembuatan tepung secara alkali cooked milling varietas Sukmaraga mamiliki nilai apparent viscosity yang tertinggi. Perbedaan nilai viskositas ini dapat disebabkan oleh perbedaan struktur molekul tepung jagung.
Pada tepung jagung yang dibuat secara alkali cooked milling nilai viskositasnya lebih rendah bila dibandingkan tepung jagung yang dibuat secara dry milling. Hal ini dapat disebabkan oleh pada pembuatan tepung jagung secara alkali cooked milling, jagung telah mengalami perebusan sehingga, strukturnya sudah berubah bila dibandingkan dengan pembuatan jagung secara dry milling yang tidak melalui proses perebusan.
apparent viscosity (cP)
160
A
140
Arjuna
120
Bisma
100
Lamuru
80
Sukamaraga
60
Srikandi Kuning
40
Srikandi Putih
20 0 0
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9
1
Laju geser (1/s)
45
B
apparent viscosity (cP)
40 35
Arjuna
30
Bisma
25
Lamuru
20
Sukmaraga
15
Srikandi Kuning
10
Srikandi Putih
5 0 0
0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9
1
Laju geser (1/s)
Gambar 15. Pengaruh laju geser terhadap apparent viscosity tepung jagung (A) Dry Milling dan (B) Alkali Cooked Milling
yang telah tergelatinisasi disebut retrogradasi. Salah satu efek retrogradasi adalah terjadinya kenaikan viskositas pada pasta.
3. Sifat Fisik a. Warna Tepung Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter. Hasil yang diperoleh berupa nilai L, a, dan b. Ketiga parameter tersebut merupakan ciri dari sistem notasi warna Hunter. Hasil pengukuran warna tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Warna Tepung Jagung L
a
b
Arjuna
Dry Milling 79,54
Alkali Cooked Milling 77,07
Dry Milling +15,90
Alkali Cooked Milling +16,58
Dry Milling +65,84
Alkali Cooked Milling +63,78
Bisma
78,79
77,98
+15,30
+16,07
+65,24
+62,21
Lamuru
78,78
76,07
+16,18
+17,03
+65,47
+64,14
Sukmaraga
80,17
78,03
+15,03
+15,60
+62,62
+60,51
80,29
75,69
+15,66
+16,37
+65,81
+62,93
84,40
82,26
+12,38
+12,90
+41,93
+41,77
Varietas
Srikandi Kuning Srikandi Putih
Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa tepung jagung yang berasal dari varietas Srikandi Putih dengan proses pembuatan secara dry milling maupun alkali cooked milling memiliki nilai L yang paling tinggi yaitu sebesar +84,40 untuk dry milling dan +82,26 untuk pembuatan tepung jagung secara alkali cooked milling sehingga varietas Srikandi Putih memiliki warna yang paling cerah dibandingkan varietas yang lain. Tepung jagung yang berasal dari varietas Lamuru dengan proses pembuatan secara dry milling maupun alkali cooked milling memiliki nilai a yang paling tinggi yaitu sebesar +16,18 untuk dry milling
dan
+17,03 untuk
pembuatan tepung jagung secara alkali cooked milling. Grafik warna tepung jagung dapat dilihat pada Gambar 17. Tepung jagung yang berasal dari varietas Arjuna dengan proses pembuatan secara dry milling memiliki nilai b yang paling tinggi yaitu sebesar +65,84 sedangkan untuk pembuatan tepung jagung secara alkali cooked milling varietas Lamuru memiliki nilai b terbesar yaitu +64,14. Pembuatan tepung jagung secara alkali cooked milling mempengaruhi warna tepung yang dihasilkan walaupun nilai yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan pembuatan tepung secara dry milling. Warna tepung jagung dengan pembuatan secara alkali cooked milling memberikan warna yang lebih cerah dibandingkan pembuatan secara dry milling. Hal ini disebabkan pada pembuatan tepung secara alkali cooked milling ada proses pencucian sehingga warna yang ada pada biji jagung ada yang terlarut pada air cucian.
b. pH Hasil analisa pH dapat dilihat pada Tabel 17 dan 18. Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa pH tepung jagung yang dibuat dengan teknik dry milling memiliki pH 6,65 untuk Arjuna, 6,69 untuk Bisma, 6,65 untuk lamuru, 6,73 untuk Sukmaraga, 6,73 untuk Srikandi Kuning, dan 6,64 untuk Srikandi Putih, sedangkan untuk tepung jagung yang dibuat dengan teknik alkali cooked milling memiliki pH yang lebih tinggi yaitu 7,04 untuk Arjuna, 7,20 untuk Bisma, 7,02 untuk lamuru, 7,13 untuk Sukmaraga, 6,95 untuk Srikandi Kuning, dan 7.23 untuk Srikandi Putih. Hal ini disebabkan oleh penambahan basa yaitu Ca(OH)2 pada saat proses pembuatan.
5 1 3 2 4
A
Keterangan : (1) (2) (3) (4) (5) (6)
6
Arjuna Bisma Lamuru Sukmaraga Srikandi Kuning Srikandi Putih
B 5 4 3 1 2
6
Keterangan : (1) (2) (3) (4) (5) (6)
Arjuna Bisma Lamuru Sukmaraga Srikandi Kuning Srikandi Putih
Gambar 17. Grafik warna tepung jagung (A) Dry Milling dan (B) Alkali Cooked Milling
c. Bobot Jenis Tepung Dari Tabel 17 dan 18 dapat dilihat bahwa bobot jenis tepung jagung dari setiap varietas tidak jauh berbeda. Pada pembuatan tepung secara dry milling bobot jenis tepung jagung untuk varietas Ajuna adalah 1,31g/cm3, 1,32 Bisma g/cm3, Lamuru 1,32 g/cm3, Sukmaraga 1,39 g/cm3, Srikandi Kuning 1,33 g/cm3, dan Srikandi Putih 1,34 g/cm3. Pada pembuatan tepung jagung secara alkali cooked milling bobot jenis tepung jagung untuk varietas Ajuna adalah 1,41 g/cm3, Bisma 1,38 g/cm3, Lamuru 1,36 g/cm3, Sukmaraga 1,34 g/cm3, Srikandi Kuning 1,41 g/cm3, dan Srikandi Putih 1,38 g/cm3.
Tabel 17. Sifat fisik tepung jagung dengan teknik pembuatan dry milling Sifat Fisik
pH Bobot jenis tepung (g/cm3) Penerimaan oleh amilase (%)
Varietas Arjuna 6,65
Bisma 6,69
Lamuru 6,65
Sukmaraga 6,73
Srikandi Kuning 6,73
1,31
1,32
1,32
1,39
1,33
10,67
9,93
5,61
6,07
Srikandi Putih 6,64
1,34
6,23
3,68
Tabel 18. Sifat fisik tepung jagung dengan teknik pembuatan alkali cooked milling Sifat Fisik
pH Bobot jenis tepung (g/cm3) Penerimaan oleh amilase (%)
Varietas Arjuna Bisma 7,04 7,20
1,41
8,34
1,38
3,83
Lamuru 7,02
Sukmaraga 7,13
Srikandi Kuning 6,95
Srikandi Putih 7,23
1,36
1,34
1,41
1,38
3,28
7,79
3,82
9,52
4. Penerimaan oleh -amilase Enzim -amilase terdistribusi secara luas di alam, terdapat pada hewan, tumbuhan dan berbagai marga protista. Alfa amilase adalah enzim yang menghidrolisis secara khas melalui bagian dalam (endo-hydrolase) dengan
memproduksi oligosakarida dari konfigurasi alfa yang memutus ikatan -(1,4) glikosidik pada amilosa, amilopektin dan glikogen. Ikatan -(1,6) glikosidik tidak dapat diputus oleh -amilase, tetapi dapat dibuat menjadi cabang-cabang yang lebih pendek. Mekanisme kerja -amilase terdiri dari dua tahap, yaitu : tahap pertama degradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Tahap kedua terjadi pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir dan tidak acak. Dalam metode ini pati dihidrolisis oleh enzim -amilase, jumlah maltosa diukur dengan menggunakan spektrofotometer setelah direaksikan dengan asam dinitrosalisilat melalui kurva standar maltosa. Hasil analisa penerimaan oleh -amilase dapat dilihat pada Tabel 17 dan 18. Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa pada teknik pembuatan tepung jagung secara dry milling penerimaan oleh
-amilase adalah 3,68-10,67% dengan
penerimaan terbesar pada varietas Arjuna, sedangkan pada pembuatan tepung jagung secara alkali cooked milling penerimaan oleh
-amilase adalah 3,28–
9,52% dengan penerimaan terbesar pada varietas Srikandi Putih. Perbedaan nilai penerimaan oleh -amilase pada tiap-tiap varietas jagung dapat disebabkan oleh karakteristik jagung setiap varietas yang berbeda sehingga kemampuan enzim untuk mencernanya juga berbeda-beda.
D. POTENSI APLIKASI
Aplikasi jagung varietas unggul nasional disesuaikan dengan karakteristik fisiko-kimia dan fungsional dari masing-masing varietas. Varietas Arjuna, Bisma, Lamuru, Sukmaraga, Srikandi Kuning dan Srikandi Putih memiliki sifat fisikokimia dan fungsional yang tidak jauh berbeda. Jagung varietas unggul ini dapat diaplikasikan untuk tepung komposit pada produk pangan dan pakan karena memiliki kandungan karbohidrat, protein dan lemak yang tinggi. Varietas Arjuna, Sukmaraga, Srikandi Kuning dan Srikandi Putih dengan nilai absorbsi minyak yang relatif rendah kurang cocok di aplikasikan untuk produk yang memerlukan minyak dalam proses pembuatannya. Varietas Bisma dan Lamuru dengan absorbsi minyak yang tinggi dibandingkan dengan varietas lain, maka dapat diaplikasikan untuk produk yang memerlukan penyerapan
minyak yang cukup tinggi. Tingginya nilai % Sinerensis pada setiap varietas jagung menyebabkan jagung varietas unggul ini tidak dapat digunakan pada produk yang memerlukan kestabilan pada suhu beku. Kadar amilosa pada jagung varietas Arjuna, Bisma, Lamuru, Sukmaraga, Srikandi Kuning dan Srikandi Putih adalah sebesar 33-38% sehingga dapat digunakan pada industri perekat. Nilai viskositas pada tepung yang diolah secara alkali cooked milling lebih rendah daripada tepung yang diolah secara dry milling sehingga tepung yang diolah secara alkali cooked milling dapat digunakan untuk produk kue kering. Hal ini disebabkan oleh rendahnya nilai viskositas sehingga produk yang dihasilkan akan renyah.
Tingkat swelling power yang rendah pada tepung jagung dari
varietas Arjuna, Bisma, Lamuru, Sukmaraga dan Srikandi Kuning yang diolah secara alkali cooked milling yaitu antara 3-5% maka tepung jagung ini dapat digunakan pada makanan bayi, karena makanan bayi membutuhkan tepung dengan tingkat swelling yang rendah.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Jagung varietas unggul nasional mempunyai potensi untuk digunakan sebagai produk pangan seperti untuk pembuatan tepung jagung. Jagung varietas unggul nasional yang memiliki tipe biji dent adalah varietas Srikandi Putih dan Bisma, tipe dent flint adalah varietas Sukmaraga dan Lamuru sedangkan varietas Arjuna dan Srikandi Kuning memiliki tipe biji flint. Tepung jagung yang dihasilkan mengandung protein yang tinggi yaitu antara 9,11–10,77% untuk dry milling dan 9,76–10,37% untuk alkali cooked milling, dan kadar lemak yang tinggi yaitu antara 5,68-9,93% untuk dry milling dan
4,07-12,69% untuk alkali cooked milling sehingga jagung dari varietas
unggul nasional dapat digunakan untuk tepung komposit pada produk pangan dan pakan. Pengolahan tepung jagung secara alkali cooked milling secara umum tidak merubah komposisi kimia tepung jagung, namun mempengaruhi sifat fungsional dari tepung
jagung yaitu menaikkan absorbsi air dan kejernihan pasta,
menurunkan absorbsi minyak, swelling power dan kelarutan. Pemasakan dengan alkali menyebabkan perubahan yang sangat nyata pada sifat amilografi dan menyebabkan penurunan viskositas.
B. SARAN
Pembuatan tepung jagung secara alkali cooked milling perlu dilakukan perbaikan dan pengendalian proses sehingga tepung jagung dengan olahan alkali mempunyai sifat fungsional yang spesifik.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical Chemist. Washington DC. Badan Standarisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-37271995. Tepung Jagung. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Balagopalan, C, G. Padmaja, S.K. Nanda dan S.N. Moorthy. 1988. Cassava in Food, Feed and Industry. CRC Press, Inc, Boca Raton, Florida. Effendi, S dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. CV Yasaguna. Jakarta. Collison, R. 1968. Swelling and Gelation of Starch. Di dalam : Radley, J . A. (ed). Starch and Its Derivatives. Chapman and Hall, Ltd. London. Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan I. PAU Pangan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hutching, J.B. 1999. Food Color and Appearance, second edition. Aspen Publ, Inc. Gaitersburg, Maryland. Inglett, G.E. 1970. Corn : Culture, Processing, Product. The AVI Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut. Juliano, B.O. 1974. Cereal Chemistry Procedures. IRRI. Laguna, Los Banos. Johnson, L.A. 1991. Corn : Production, Processing and Utilization. Di Dalam K.J. Lorenz, dan K.Kulp (eds). Handbook of Cereal Science and Technology. Marcell Dekker, Inc. New York. Kearsley, M. W dan S. Z. Dziedzic. 1995. Handbook of Starch Hydrolisis Product and their Derivates. Blackie Academic & Professional. University Press, Cambridge. Kulp, K. 1975. Carbohydrates. Di dalam. G. Reed (ed.). 1975. Enzyme in Food Processing. Academic Press, New York. Lasztity, R. 1986. The Chemistry of Cereal Protein. CRC Press Inc. USA. Leach, M.W. 1965. Gelatinisation of Starch and Miscellaneous Organic Esters. Di dalam Wurzburg, O.B. 1986. Modified Starches: Properties and Uses. CRC Press, Inc., Boca Raton, Florida. Moorthy, S.N. 1985. Effect of Surfactants on Cassava Starch Viscosity. J Agr. Food Chem. Di dalam Balagopalan, C, G. Padmaja, S.K. Nanda dan S.N.
Moorthy. 1988. Cassava in Food, Feed and Industry. CRC Press, Inc, Boca Raton, Florida. Perez, L.A. B, E. A. Acevedo, L. S. Hernandes dan O.P. Lopez. 1999. Isolation and Partial Characterization of Banana Starch. J. Agric. Food Chem. 47 : 854 – 857. Purwono dan Hartono, R. 2006. Bertanam Jagung Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta. Saldivar, S.O, Knape, D.A dan Rooney, L.W. 1987. Effects of Lime Cooking on Energy and Protein Digestibilities of Maize and Sorghum. AACC. 64 : 247 -252. Sathe, S.K. dan D.K. Salunkhe. 1981. Isolation, Partial Characterization and Modification of the Great Nothern Bean (Phaseolus vulgaris) Starch. J. Food. Sci. 46(2) : 617-621. Singh, N. dan S.R. Eckhoff. 1996. Wet Milling of Corn – A review of Laboratory Scale and Pilot Plant-Scale Procedure. Cereal Chem.73:659-667. Syuryawati, C. Rapar dan Zubachtirodin. 2005. Deskripsi Varietas Unggul Jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Serealia. Bogor. Tjokroadikoesoemo, P. S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Gramedia, Jakarta. Warisno. 1998. Budi Daya Jagung Hibrida. Gramedia. Jakarta. Wilbrahim, C. Antony dan S. Matta. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Terjemahan. Penerbit ITB, Bandung.
Lampiran 1. Tata Cara Analisa Karakteristik Fisik Jagung 1. Jumlah Biji per kg Penghitungan jumlah biji per kg dilakukan dengan cara menghitung jumlah butir dalam 1 kg jagung.
2. Dimensi Biji Jagung Butir jagung diukur dimensinya (panjang, lebar dan tebal) dengan menggunakan micrometer dengan satuannya milimeter. Jumlah sampel yang diambil sebanyak 90 butir biji jagung dengan pengukuran secara triplo.
3. Warna Biji, metode Hunter (Hutching, 1999) Sampel
ditempatkan
pada
wadah
yang
transparan.
Pengukuran
menghasilkan nilai L, a, b dan oH. L menyatakan parameter kecerahan (warna akromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Warna kromatik campuran merah hijau ditunjukkan oleh nilai a (a+=0-100 untuk warna merah, a-=0-(-80) untuk warna hijau. Warna kromatik campuran biru kuning ditunjukkan oleh nilai b (b+ = 0-70, untuk warna kuning, b-= 0-(-70) untuk biru. Nilai hue dikelompokkan sebagai berikut : Red purple
: Hueo342-18
Green
: Hueo162-198
Red
: Hueo18-54
Purple
: Hueo306-342
Yellow red
: Hueo54-90
Blue purple
: Hueo270-306
Yellow
: Hueo90-126
Blue green
: Hueo198-234
Blue
: Hueo234-270
Yellow green : Hueo126-16
4. Densitas Kamba (Muchtadi dan Sugiyono, 1989) Gelas ukur 100 ml ditimbang, kemudian sampel dimasukkan sampai volumenya mencapai 100 ml. Usahakan pengisian tepat tanda tera dan jangan dipadatkan. Gelas ukur berisi sampel ditimbang dan selisih berat menyatakan berat sampel per 100 ml. Densitas kamba dinyatakan dalam g/cm3. Densitas Kamba =
Berat contoh Volume
5. Bobot Jenis Gelas ukur 100 ml ditimbang, kemudian sampel dimasukkan sampai volumenya mencapai 100 ml. Gelas ukur berisi sampel ditimbang. Bobot jenis jagung dinyatakan dalam g/cm3. Bobot Jenis =
Bobot contoh Volume
6. Konduktivitas Panas Biji Jagung Contoh bahan dimasukkan ke dalam wadah alat pengukur konduktivitas panas sambil mengetuk-ngetukkan permukaan wadah agar didapatkan massa jenis yang seragam, kemudian diukur suhu bahan. Alat pengukur konduktivitas panas yang digunakan adalah tipe line heat source. Alat ini menggunakan kawat nikel dengan tahanan sebesar 11,24 ohm/m sebagai elemen pemanas yang direntangkan secara aksial ditengah-tengah wadah silinder. Wadah terbuat dari stainless steel yang bagian permukaannya diisolasi dengan glass wool sedangkan pada kedua ujungnya ditutup dengan styrifoam. Salah satu penutup wadah dapat dibuka dan ditutup untuk memasukkan dan mengeluarkan bahan yang akan diukur. Untuk pengukuran suhu digunakan termokopel yang diletakkan kira-kira 1,0 mm dari kawat pemanas.
Lampiran 2. Tata Cara Analisa Karaktersitik Fisiko-Kimia dan Fungsional Tepung Jagung 1. Karakteristik Kimia a. Kadar Air (AOAC, 1995) Cawan alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g sampel lalu ditimbang (W1) kemudian dimasukkan ke dalam oven suhu 105oC selama 1-2 jam. Cawan alumunium dan sampel yang telah dikeringkan dimasukkan ke dalam desikator kemudian ditimbang. Ulangi pemanasan sampel sampai dicapai bobot konstan (W2). Sisa contoh dihitung sebagai total padatan dan air yang hilang sebagai kadar air. Kadar Air (%) =
(W1-W2) W1
x 100%
b. Kadar Abu (AOAC, 1995) Sebanyak 2 g contoh ditimbang dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya (A), kemudian diarangkan dengan menggunakan pemanas bunsen hingga tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan porselin berisi contoh (B) yang sudah diarangkan kemudian dimasukkan dalam tanur bersuhu 600oC selama 2 jam untuk mengubah arang menjadi abu (C). Cawan porselin berisi abu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga mencapai bobot tetap. Kadar Abu (%) =
(C-A) B
x 100%
c. Kadar Protein (AOAC, 1995) Sebanyak 0,1 g contoh dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat, 1 g katalis dan beberapa butir batu dadih. Lalu didestruksi hingga menghasilkan larutan jernih kemudian didinginkan. Larutan hasil dekstruksi dipindahkan ke alat destilasi dan ditambahkan 15 ml NaOH 50%. Labu erlenmeyer yang berisi 25 ml HCl 0,02 N dan 2-4 tetes indikator mengsel (campuran metil merah 0,02% dalam alkohol dan metil biru 0,02% dalam alkohol (2:1)) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan HCl. Destilasi dilakukan sampai volume larutan dalam erlenmeyer mencapai 2 kali volume awal. Ujung kondensor dibilas dengan akuades (ditampung dalam erlenmeyer). Larutan yang berada dalam erlenmeyer dititrasi
dengan NaOH 0,02 N hingga diperoleh perubahan warna dari hijau menjadi ungu. Setelah itu dilakukan pula penetapan blanko. Kadar protein kasar =
(a-b) x N x 0,014 x 6,25 x 100% W
Keterangan : a = ml NaOH untuk titrasi blanko b = ml NaOH untuk titrasi contoh N = normalitas NaOH W = bobot contoh (g)
d. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1995) Sebanyak 2-4 g contoh ditimbang, lalu lemaknya dibebaskan dengan cara ekstraksi menggunakan soxlet atau diaduk, setelah mengenap tuangkan contoh dalam pelarut organik sebanyak tiga kali. Contoh dikeringkan dan ditambahkan 50 ml larutan H2SO4 1,25%, kemudian dididihkan selama 30 menit dengan pendingin tegak. Setelah itu ditambahkan 50 ml NaOH 3,25% dan dididihkan kembali selama 30 menit. Dalam keadaan panas cairan disaring dengan corong Buchner yang berisi kertas saring tak berabu Whatman yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Endapan pada kertas saring berturut-turut dicuci dengan H2SO4 1,25% panas, air panas dan etanol 96%. Kertas saring dan isinya diangkat dan ditimbang, lalu dikeringkan pada suhu 105 oC sampai bobot konstan. Bila kadar serat kasar lebih besar dari 1% kertas saring beserta isinya diabukan dan ditimbang hingga bobotnya konstan. Serat kasar
1%
Kertas saring + contoh kering – kertas saring kosong Bobot Contoh
x 100%
Serat kasar > 1% Kertas saring + contoh kering – kertas saring kosong- Bobot abu Bobot Contoh
x 100%
e. Kadar Lemak (AOAC, 1995) Sebanyak 2 g contoh bebas air diekstraksi dengan pelarut organik heksan dalam alat soxlet selama 6 jam. Contoh hasil ekstraksi diuapkan dengan cara diangin-anginkan dalam oven bersuhu 105oC. Contoh didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap. Kadar Lemak =
bobot lemak bobot contoh
x 100%
f. Kadar Karbohidrat by difference (AOAC, 1995) Kadar Karbohidrat by difference = 100% - (P+KA+A+L+S) Keterangan : P
= Kadar Protein (%)
KA = Kadar Air (%) A
= Kadar Abu (%)
L
= Kadar Lemak (%)
S
= Kadar Serat (%)
g. Kadar Pati (Metode Somogy Nelson) Sampel ditimbang sebanyak 0,1 g dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan etanol 80% sebanyak 15 ml dan dipanaskan dalam penangas air pada suhu 80–85oC selama 30 menit. Setelah itu didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar. Cairan dibuang. Endapan yan telah kering ditambahkan akuades sebanyak 2 ml dan dipanaskan selama 3 menit. Kemudian ditambahkan HClO4 2 ml dan dipanaskan selama 15 menit. Setelah itu diangkat dan ditambahkan akuades sebanyak 10 ml. Penambahan akuades dan HClO4 dilakukan sebanyak dua kali. Cairan ditampung pada labu ukur 100 ml dan ditepatkan volumenya hingga 100 ml. Larutan dipipet sebanyak 2 ml ke dalam tabung reaksi 50 ml, ditambahkan pereaksi Cu 2 ml dan panaskan dalam penangas air selama 20 menit, kemudian dinginkan (warna menjadi merah bata). Tambahkan pereaksi Nelson 2 ml (warna menjadi biru tua), setelah itu ditepatkan hingga volume 50 ml dengan akuades. Kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 500 nm.
h. Kadar Amilosa, metode IRRI (1971) di dalam Apriyantono et al. (1989) Pembuatan Kurva Standar Amilosa murni ditimbang sebanyak 40 mg kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan dengan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Tahap selanjutnya adalah pemanasan dalam air mendidih selama 10 menit sampai terbentuk gel. Gel yang terbentuk akan dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan sampai tanda tera. Selanjutnya larutan tersebut dipipet masingmasing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut ditambahkan asam asetat 1 N sebanyak masing-masing 0,2;0,4;0,6;0,8 dan 1 ml, lalu ditambahkan larutan iod sebanyak 2 ml. Tahap selanjutnya adalah pengukuran intensitas warna biru yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Penetapan sampel Ditimbang sampel sebanyak 100 mg dalam bentuk tepung kemudian ditambah dengan 1 ml etanol 96% dan 9 ml NaOH 1 N. Selanjutnya dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit sampai terbentuk gel. Gel yang terbentuk kemudian dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml, kemudian dikocok dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Tahap selanjutnya adalah larutan tersebut dipipet sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod. Kemudian ditepatkan sampai tanda tera dengan air, dikocok dan didiamkan selama 20 menit. Tahap selanjutnya adalah pengukuran intensitas warna yang terbentuk dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kadar Amilosa (bk) =
ax fpxv b
x
100 x 100 100-ka
Keterangan : a = Konsentrasi amilosa dari kurva standar
b = Berat contoh
fp = Faktor pengenceran
v = Volume mula-mula
ka = Kadar air
i. Analisa Gula Pereduksi (metode Asam Dinitrosalisilat, AOAC 1995) Sebanyak 10,6 g asam 3,5 dinitrosalisilat dan 19,8 g NaOH dilarutkan dalam 1416 ml air. Ke dalamnya ditambahkan 306 gram NaK-tartat, 7,6 ml fenol yang telah dicairkan pada suhu 105oC dan 8,3 g Na-metabisulfit. Bahan-bahan tersebut dicampurkan hingga larut merata. Keasaman dari pereaksi DNS yang dihasilkan ditentukan. Sebanyak 3 ml larutan DNS dititrasi dengan HCl 0,1 N dengan indikator fenolftalein. Banyaknya titran berkisar 5-6 ml. Untuk setiap ml kekurangan HCl 0,1 N pada titrasi, ditambahkan 2 g NaOH. Sebanyak 1 ml larutan standar glukosa atau contoh dipipet, dan ditambahkan 3 ml pereaksi DNS. Larutan tersebut diletakkan dalam air mendidih selama 5 menit, kemudian didinginkan hingga suhu kamar. Pembacaan dengan spektrofotometer dilakukan dengan panjang gelombang 550 nm. Bila diperlukan, contoh diencerkan agar dapat terukur pada kisaran absorbansi 0,2-0,8.
2. Sifat Fungsional a. Sifat Amilografi (Diukur dengan Visco Amylographer Brabender) Pengukuran sifat-sifat amilografi dilakukan dengan menggunakan Visco Amylographer Brabender. Tepung jagung dilarutkan dengan akuades dengan konsentrasi 10% (bahan kering) dan diaduk sampai homogen. Kemudian disiapkan pada alat Visco Amylographer Brabender. Pemanasan awal dilakukan sampai suhu 30oC dan perubahan viskositas mulai dibaca. Pemanasan dilakukan selama 43,5 menit sampai suhu 95oC (kenaikan suhu 1,5oC permenit), dilanjutkan pemanasan selama 20 menit pada suhu constan 95oC dan pendinginan selama 30 menit sampai suhu 50oC (kenaikan suhu 1,5oC permenit). Parameter yang diperoleh dari kurva amilografi yaitu suhu gelatinisasi awal, viskositas maksimum, viskositas akhir, breakdown viscosity dan setback viscosity.
b. Absorbsi Air dan Minyak (Metode Sathe dan Salunkhe, 1981) Absorbsi air dan minyak ditentukan dengan cara sentrifugasi. Satu g contoh dicampur dengan 10 ml akuades atau minyak dan diaduk 30 detik, campuran kemudian didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar, selanjutnya campuran tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 30 menit. Absorbsi air atau minyaknya dinyatakan dalam g/g (berat kering) dan dihitung dengan rumus : Absorbsi air/minyak =
a-b c
Keterangan : a = Bobot air atau minyak mula-mula (g) b = Bobot supernatan (g) c = Bobot sampel (g)
c. Solubility (kelarutan) dan Swelling Power (Modifikasi Perez et al, 1999) Suspensi pati disiapkan yaitu 0,5 g sampel dicampur degan 50 ml akuades dalam labu erlenmeyer 100 ml. Tempatkan sampel pada penangas air pada suhu 90oC selama 2 jam dengan pegadukan kontinyu. Dari suspensi tersebut diambil 30 ml larutan yang jernih kemudian diletakkan pada cawan petri yang telah diketahui bobotnya. Cawan petri dikeringkan pada oven bersuhu 100oC hingga bobotnya tetap, kemudian ditimbang dan dihitung kenaikan bobotnya. (bobot cawan petri akhir-bobot cawan petri awal) x 50 ml Kelarutan (%) =
x 100% 0,5 g x 30 ml
(bobot erlenmeyer akhir-bobot erlenmeyer awal) Swelling Power (%) =
x 100% Bobot sampel (g) x (100 - % Kelarutan)
d. Kejernihan Pasta (Modifikasi Perez et al., 1999) Pasta pati (1%) disiapkan dengan cara mensuspensikan 50 mg sampel dalam 5 ml air (gunakan tabung reaksi berulir). Campuran dicelupkan dalam air mendidih selama 30 menit, kemudian tabung dikocok setiap 5 menit. Sampel
didinginkan
hingga
suhu
kamar.
Nilai
transmitan (%T)
dibaca
pada
spektrofotometer dengan 650 nm. Akuades digunakan sebagai blanko.
e. Freeze-thaw stability (Modifikasi Perez et al, 1999) Suspensi tepung disiapkan sebesar 5%. Untuk satu siklus freeze-thaw proses : sample di simpan dalam freezer -15oC selama 18 jam, kemudian ditaruh di suhu kamar selama 6 jam. Sampel kemudian disentrifugasi selama 10 menit 3000 rpm. Jumlah (volume) air yang terpisah setelah siklus freeze-thaw diukur, dan dinyatakan dalam % Sineresis.
f. Apparent viscosity (Modifikasi Perez et al, 1999) Apparent viskosity diukur dengan viskosimeter Brookfield. Suspensi pati disiapkan sebanyak 3% kemudian dicelupkan dalam air mendidih selama 15 menit, dan dinginkan hingga suhu 30oC. Pasta diukur pada 30oC. Stabilitas viskositas pasta diukur setelah pembacaan pada menit ke-1, 2, 3, 4, 5, 10, 15, 20 dan 30 menit.
3. Sifat Fisik a. Warna Tepung, metode Hunter (Hutching, 1999) Pengukuran warna seperti pada Lampiran 1.
b. pH pH diukur dengan membuat suspensi tepung sebesar 10%, kemudian pH diukur dengan menggunakan alat pH meter.
c. Bobot Jenis Tepung Gelas ukur 100 ml ditimbang, kemudian sampel dimasukkan sampai volumenya mencapai 100 ml. Gelas ukur berisi sampel ditimbang. Bobot jenis tepung dinyatakan dalam g/cm3. Bobot Jenis =
Bobot contoh Volume
d. Penerimaan oleh -amilase (Muchtadi, 1989) Suspensi tepung (1% dalam air destilata) dipanaskan dalam penangas air selama 30 menit sampai mencapai suhu 90oC. Kemudian didinginkan. Sebanyak 2 ml larutan tepung dalam tabung reaksi ditambah 3 ml air destilata dan 5 ml larutan buffer Na-fosfat 0,1 M, pH 7,0. Kemudian diinkubasikan dalam penangas air 37oC selama 15 menit. Ke dalam larutan tersebut ditambahkan 5 ml larutan
-amilase dan
o
diinkubasikan dalam penangas air 90 C selama 10 menit, kemudian ditambahkan NaOH 1N sebanyak 1 ml dan HCl 1N sebanyak 1ml. Kedalam tabung reaksi lain ditempatkan 1 ml campuran reaksi. Kemudian ditambahkan 3 ml pereaksi dinitrosalisilat dan selanjutnya dipanaskan dalam penangas air 100oC selama 10 menit. Setelah didinginkan, campuran reaksi diencerkan dengan menambahkan 10 ml air destilata. Warna orange-merah yang terbentuk dari campuran reaksi diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa dari campuran reaksi dihitung dengan menggunakan kurva standar maltosa murni yang diperolah dengan cara mereaksikan larutan maltosa standar dengan pereaksi dinitrosalisilat menggunakan prosedur seperti diatas. Penerimaan oleh -amilase sampel dihitung sebagai persentase relatif terhadap pati murni sebagai berikut : Kadar maltosa sampel setelah reaksi enzim x 100% Penerimaan oleh -amilase (%) = Kadar maltosa pati murni setelah reaksi enzim
TEKNOLOGI PRODUKSI DAN KARAKTERISASI TEPUNG JAGUNG VARIETAS UNGGUL NASIONAL1) Production Technology and Characterization of Corn Flours from National Corn Varieties1) Riyani2), Titi Candra Sunarti 3), Nur Richana4) 1)
Bagian dari Bagian dari skripsi yang disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian dan Ujian akhir S1 Teknologi Industri Pertanian IPB 2) Mahasiswa S1 Teknologi Industri Pertanian IPB 3) Staf Pengajar pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian IPB 4) Peneliti Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Bogor
ABSTRACT Corn is one of the comodity which is able to use as an important source of carbohydrates beside rice, but Indonesia can not supply it so Indonesia import corn from another country. However, there is a lot of national corn varieties were released but it has not been use optimally. In Indonesia, corn has been use as a feed and the other as a food. As material with high carbohydrate, corn is able to use as composite flour, starch and raw material in industry. The major component of corn flours are carbohydrate 76.88–82.12% in dry milling process and 74.52-82.55% in alkali cooked milling process, protein 9.11-10.77% in dry milling and 9.33-10.37% in alkali cooked milling, fat 5.68-9.78% in dry milling and 4.07-12.69% in alkali cooked milling, so corn flours can be use as potential feed and food source. Alkali cooked milling process generally does not changes the nutrition of corn but changes the functional characteristics, such as increasing water absorbtion capasity from 1.23– 1.63% in dry milling and 1.70–2.39 % in alkali cooked milling, paste clarity from 24.73–43.30%T in dry milling and 25.27–47.07% in alkali cooked milling. Alkali cooked milling decrease oil absorbtion capasity from 0.81–1.33% in dry milling and 0.57–1.12% in alkali cooked milling, swelling power from 6.43–40.32% in dry milling and 3.98–81.19% in alkali cooked milling, solubility from 71.93–89.51% in dry millng and 53.93–75.30% in alkali cooked milling. Alkali cooked milling process changes the characteristic of amilography with decreasing gelatinization temperature from 90–93oC in dry milling and 81–93oC in alkali cooked milling, maximum viscosity from 30–40 BU in dry milling and 10–15 BU in alkali cooked milling and final viscosity from 90–140 BU in dry milling and 5–45 BU in alkali cooked milling. Alkali cooked milling process also increasing pH from 6.65–6.73 in dry milling and 6.95–7.23 in alkali cooked milling and acceptance by -amilase from 3.68-10.67% in dry milling and 3.28–9.52% in alkali cooked milling. Keywords : corn, dry milling, alkali cooked milling PENDAHULUAN Di Indonesia, pemanfaatan jagung masih terbatas sebagai bahan pakan, dan sebagian kecil sebagai bahan pangan. Pemanfaatan tepung jagung untuk bahan baku industri menjadi sangat penting artinya, khususnya dalam meningkatkan nilai tambah komoditas jagung. Baik dalam bentuk alami maupun sudah termodifikasi, pati merupakan bahan baku yang sangat penting bagi industri pangan dan industri non pangan, seperti industri kertas dan tekstil. Jagung varietas unggul nasional ini diharapkan dapat diandalkan sebagai sumber
bahan baku industri pati dan sumber pangan alternatif. Indonesia memiliki beberapa jagung varietas unggul, diantaranya adalah Arjuna, Bisma, Lamuru, Sukmaraga sebagai jagung berbiji kuning dan varietas unggul protein tinggi Srikandi Kuning dan Srikandi Putih. Namun, pemanfaatan tepung dari jagung varietas unggul asli Indonesia ini masih terbatas akibat kurangnya informasi sifat fisiko-kimia dan fungsionalnya serta teknologi proses produksi dan pengolahan lanjut.
Menurut SNI 01-37271995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung yang bersih dan baik. Penggilingan biji jagung ke dalam bentuk tepung merupakan suatu proses memisahkan kulit, endosperma, lembaga dan tudung pangkal biji. Endosperma merupakan bagian biji jagung yang digiling menjadi tepung dan memiliki kadar karbohidrat yang tinggi. Kulit memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga kulit harus dipisahkan dari endosperm karena dapat membuat tepung bertekstur kasar, sedangkan lembaga merupakan bagian biji jagung yang paling tinggi kandungan lemaknya sehingga harus dipisahkan karena lemak yang terkandung di dalam lembaga dapat membuat tepung tengik. Tudung pangkal biji merupakan tempat melekatnya biji jagung pada tongkol jagung. Tudung pangkal biji juga merupakan bagian yang harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar. Apabila pemisahan tudung pangkal biji tidak sempurna maka akan terdapat butir-butir hitam pada tepung. Dalam usaha mereduksi ukuran jagung telah dikenal dua jenis teknik penggilingan, yaitu penggilingan kering (dry milling) dan pemasakan dengan alkali (alkali cooked milling). Pada proses penggilingan cara kering, jagung tidak mengalami perendaman yang lama. Pembasahan hanya dilakukan untuk mengkondisikan agar endosperma jagung melunak sebelum jagung dipaparkan pada hammer mill. Pengolahan biji jagung dengan alkali adalah proses pembuatan tepung jagung dengan penambahan Ca(OH)2 sebanyak 1 % kemudian direbus dan dikeringkan baru kemudian digiling untuk mendapatkan tepung jagung. Tujuan dari penambahan Ca(OH)2 adalah untuk meningkatkan kandungan kalsium pada tepung jagung.
Pengolahan dengan alkali ini biasanya digunakan pada industri pangan (Johnson, 1991). METODOLOGI PENELITIAN 1. Karakteristik Fisik Jagung Karakteristik fisik jagung meliputi jumlah biji per kg, bobot biji jagung, dimensi biji jagung (panjang, lebar dan tebal), warna biji (metode Hunter), densitas kamba, bobot jenis, dan konduktivitas panas. 2. Produksi Tepung Jagung a. Produksi Tepung Jagung secara Dry Milling Pada pembuatan tepung jagung secara dry milling, pertama-tama jagung sebanyak 500 g dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran. Kemudian jagung digiling dengan menggunakan hammer mill. Pada penggilingan ini digunakan ayakan yang berukuran 80 mesh. b. Produksi Tepung Jagung secara Alkali Cooked Milling Jagung terlebih dahulu direbus selama 60 menit dengan menggunakan air dan Ca(OH)2. Perbandingan air dan jagung yang digunakan adalah 3:1 sedangkan Ca(OH)2 yang ditambahkan adalah 1% dari bobot jagung. Kemudian jagung direndam selama 120 menit. Setelah itu jagung dicuci dan dikeringkan kemudian digiling menggunakan hammer mill dengan ayakan berukuran 80 mesh. 3. Karakteristik Fisiko-Kimia dan Fungsional Tepung Jagung Karakteristik komposisi tepung jagung dari proses dry milling dan alkali cooked milling meliputi karakteristik kimia yaitu kadar air, abu, protein, serat kasar, lemak, karbohidrat by difference dengan metode AOAC (1995), kadar pati (metode IRRI), amilosa, gula pereduksi, sifat fungsional yaitu sifat amilografi dengan Visco Amylographer Brabender, absorbsi air dan minyak (metode Sathe dan Salunkhe,1981), swelling power dan kelarutan pada suhu 90oC, kejernihan pasta 1% pada 650 nm, freeze-thaw stability dan apparent viscosity dengan Viscosimeter Brookfield, sifat fisik yaitu warna tepung, pH, bobot jenis tepung dan penerimaan oleh -amilase.
HASIL PEMBAHASAN
Lamuru memiliki tipe biji diantara dent dan flint dimana memiliki bentuk yang hampir bulat tetapi masih menyerupai gigi kuda dan juga memiliki dimensi panjang dan lebar yang berbeda, sedangkan varietas Arjuna dan Srikandi Kuning memiliki tipe biji flint dimana bentuk dari biji jagungnya hampir bulat dan memiliki dimensi panjang dan lebar yang hampir sama. Tipe biji flint mempunyai endosperma yang tebal dan keras mengelilingi inti granula yang kecil dan lunak biji jagung ini berbentuk bulat dan licin.
DAN
A. Karakteristik Fisik Jagung 1. Jumlah biji per kg dan Dimensi Biji Jagung Varietas Arjuna memiliki jumlah biji terbanyak yaitu 4073±113 buah per kg, sedangkan varietas Srikandi Putih memiliki jumlah yang paling rendah yaitu 3263±8 buah per kg. Bobot 1000 biji jagung berada antara 259,52-337,39 g dengan bobot terkecil pada varietas Arjuna dan bobot terbesar pada varietas Sukmaraga. Jumlah biji per kg berhubungan dengan dimensi dan bobot jagung. Semakin besar dimensi dan bobot biji jagung, maka jumlah jagung per kg semakin kecil. Keragaman ukuran biji pada satu tongkol jagung juga dapat mempengaruhi jumlah biji per kg. Varietas Arjuna yang memiliki bobot terkecil, memiliki jumlah biji per kg yang besar sedangkan varietas Sukmaraga yang memiliki bobot terbesar memiliki jumlah biji per kg yang kecil.
2. Warna biji jagung Varietas Srikandi Putih memiliki nilai L yang paling tinggi sehingga varietas Srikandi Putih memiliki warna yang paling cerah dibandingkan varietas yang lain. Perbedaan warna biji jagung ini disebabkan oleh berbedanya kandungan pigmen di dalam biji jagung. Semua varietas jagung memiliki nilai a positif yang berarti jagung lebih cenderung berwarna merah dengan nilai a terbesar adalah varietas Lamuru dengan nilai +9,37. Semua varietas jagung memiliki nilai b positif yang berarti jagung lebih cenderung berwarna kuning dengan nilai b terbesar adalah pada varietas Sukmaraga yaitu sebesar +44,53.
4 5 1
3 2
6
1
2
3
4
5
Keterangan (1) Srikandi Putih (4) Arjuna (2) Sukmaraga (5) Lamuru (3) Bisma (6) Srikandi Kuning Gambar bentuk biji jagung varietas unggul nasional Jagung varietas unggul nasional yang memiliki tipe biji dent adalah varietas Srikandi Putih dan Bisma, dapat dilihat pada Gambar bahwa Srikandi Putih dan Bisma mempunyai bentuk biji yang menyerupai gigi kuda, dan dimensi panjang dan lebar yang berbeda. Untuk varietas Sukmaraga dan
6
Keterangan : (1) Arjuna (4) Sukmaraga (2) Bisma (5) Srikandi Kuning (3) Lamuru (6) Srikandi Putih Gambar grafik warna berbagai varietas biji jagung 3. Densitas Kamba dan Bobot jenis biji jagung Densitas kamba dari setiap varietas jagung menunjukkan nilai antara 0,81–0,83 g/cm3. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penyimpanan maupun pengangkutan jagung lebih ekonomis karena tidak memerlukan ruang yang besar. Bobot jenis jagung adalah 1,28–1,33 g/cm3 dengan varietas Arjuna dan Bisma memiliki bobot jenis terbesar yaitu 1,33 g/cm3, sedangkan varietas Srikandi Putih memiliki bobot jenis terendah yaitu 1,28 g/cm3. Bila dibandingkan dengan densitas kamba, bobot jenis biji jagung lebih besar. Hal ini disebabkan pada pengukuran densitas kamba masih
3
ada rongga yang kosong, sehingga nilai densitas kamba suatu bahan akan lebih rendah dari pada bobot jenisnya. 4.
Konduktivitas jagung
panas
biji
Tabel Konduktivitas Panas Biji Jagung Konduktiv Tebal Varietas itas Panas (mm) 0,1726 W/m.K pada suhu 4,36± 38 oC 0,92 Arjuna 0,1919 W/m.K pada suhu 4,53± 40 oC 1,01 Bisma 0,1864 W/m.K pada suhu 6,15± 37,5 oC 1,79 Lamuru 0,1742 W/m.K pada suhu 4,80± 40 oC 0,94 Sukmaraga 0,1784 W/m.K pada suhu 0,31± Srikandi 37 oC 0,04 Kuning 0,1422 W/m.K pada suhu 4,62± Srikandi 37 oC 0,86 Putih Nilai konduktivitas panas berhubungan dengan ketebalan dari biji jagung. Semakin tebal biji jagung maka nilai konduktivitas panasnya semakin kecil. Varietas Lamuru yang memiliki tebal terbesar yaitu 6,15±1,79 mm memiliki nilai konduktivitas panas sebesar 0,1864 W/m.K. Pengukuran nilai konduktivitas panas ini diperlukan untuk menentukan suhu dan waktu pengeringan yang diperlukan biji jagung pada pengolahan pasca panen. B. Produksi Tepung Jagung 1. Produksi Tepung Jagung dengan Teknik Dry Milling Pada pembuatan tepung jagung secara dry milling,
jagung dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran. Kemudian jagung digiling dengan menggunakan hammer mill. Pada penggilingan ini digunakan mesh yang berukuran 80, sehingga tepung tidak diayak lagi menggunakan ayakan, dan tidak ada tepung yang tidak lolos 80 mesh. Pada teknik dry milling semua bagian biji jagung tergiling sehingga tidak ada pemisahan komponen dari biji jagung. Menurut Lorenz dan Karel (1991), kadar air yang terdapat pada biji jagung adalah sekitar 15 %, dengan kadar air tersebut maka jagung sudah cukup kering untuk diolah secara dry milling. 2. Pembuatan Tepung Jagung dengan Teknik Alkali Cooked Milling Produksi tepung jagung dengan teknik alkali cooked milling, jagung direbus dengan menggunakan air dan Ca(OH)2. Perbandingan air dan jagung yang digunakan adalah 3 : 1 sedangkan Ca(OH)2 yang ditambahkan adalah 1 % dari bobot jagung. Tujuan dari perebusan jagung adalah untuk mengembangkan jaringan yang ada pada biji jagung sehingga Ca(OH)2 yang ditambahkan dapat masuk kedalam jaringan pada biji jagung. Tabel Rendemen tepung jagung Dry milling Alkali cooked C.K Varietas (%) milling (%) arak Srikandi teris putih 92.67 98.00 tik Fisi Sukmaraga 97.07 99.89 koKim Bisma 96.13 97.20 ia dan Arjuna 95.53 96.25 Fun gsio Lamuru 92.13 96.83 nal Srikandi Tep kuning 96.07 97.67 ung Jagung 1. Karakteristik Kimia a. Kadar Air Kadar air yang terdapat pada tepung jagung dari berbagai varietas berkisar antara 7.34 – 8.09 % pada dry milling dan 8.47 – 8.98 % pada alkali cooked milling. Hal ini menunjukkan bahwa kadar air yang terdapat pada tepung jagung telah memenuhi syarat SNI tepung jagung yaitu maksimum 10%. b. Kadar Abu Kadar abu tepung jagung dengan proses pembuatan secara dry milling berkisar antara 1.13 – 1.34 %. Hal ini sudah sesuai dengan persyaratan tepung jagung menurut SNI tepung jagung yaitu maksimum 1.5 %. Kadar abu pada tepung jagung dengan proses pembuatan secara
4
alkali cooked milling yaitu antara 1.61 – 1.77 % yang berarti belum sesuai dengan SNI tepung jagung. produk dari alkali cooked milling akan memiliki kandungan abu dan kalsium yang lebih tinggi dari pada pengolahan tepung jagung secara dry milling karena adanya panambahan Ca(OH)2 akan menambah jumlah mineral pada tepung jagung. c. Kadar Serat Kasar Kadar serat kasar tepung jagung berkisar antara 0.33 – 1.69 % pada teknik pembuatan tepung jagung secara dry milling dan berkisar antara 1.16 – 2.49 % pada teknik pembuatan tepung secara alkali cooked milling. d. Kadar Protein Tepung jagung diharapkan memiliki kadar protein yang tinggi. Hal ini berkaitan dengan penggunaan tepung sebagai bahan pangan dan pakan sehingga tidak memerlukan bahan substitusi lagi dalam aplikasinya. Kadar protein dalam tepung bukan merupakan syarat mutu tepung menurut SNI. Namun, keberadaannya dalam tepung dapat melengkapi nilai gizinya. Tepung jagung dengan teknik pembuatan dry milling memiliki kandungan protein sebesar 8.39 – 9.98 % untuk alkali cooked milling memiliki kadar protein yang hampir sama, yaitu berkisar antara 8.51 – 9.47 %. Kandungan protein dalam tepung sangat penting untuk melengkapi nilai gizinya. Oleh karena itu kandungan protein tepung diharapkan setinggi mungkin. e. Kadar Lemak Kadar lemak pada pembuatan tepung secara dry milling adalah 5.23 – 9.16 %, sedangkan pada teknik pembuatan alkali cooked milling kadar lemak berkisar antara 3.70 - 11.58 %. Dari hasil analisa ini dapat dilihat juga bahwa pada tiap-tiap varietas
tepung jagung kadar lemaknya masih cukup tinggi. Pada tepung jagung, kadar lemak juga bukan merupakan syarat mutu dalam SNI, namun kadar lemak pada tepung jagung diharapkan setinggi mungkin, hal ini sesuai dengan aplikasinya untuk produk pangan. Namun kadar lemak yang tinggi pada tepung jagung yang disimpan dalam waktu yang cukup lama dapat menyebabkan penurunan mutu tepung. Menurut Winarno (1995), kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang disebut proses ketengikan. f. Kadar Karbohidrat by difference Kadar karbohidrat tepung jagung secara dry milling berkisar antara 72.63 – 77.13 % sedangkan untuk tepung jagung secara alkali cooked milling berkisar antara 69.37 – 76.39 %. Kadar karbohidrat yang tinggi ini diperlukan pada tepung jagung untuk aplikasinya pada produk pangan. g. Kadar Amilosa Kadar amilosa yaitu banyaknya amilosa yang terdapat di dalam granula pati. Kadar amilosa terhadap tepung dari tepung jagung yang diolah secara dry milling adalah 33.00 – 38.33 % sedangkan untuk tepung jagung yang diolah secara alkali cooked milling adalah sekitar 33.42 – 37.87 %. Jagung yang digunakan masih tergolong dalam normal corn. h. Kadar Amilopektin Perbandingan antara amilosa dan amilopektin akan berpengaruh terhadap sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Kadar amilopektin pada tiap-tiap varietas jagung pada pembuatan tepung jagung secara dry milling berkisar antara 58.07 - 66.09 %, sedangkan untuk tepung jagung yang diolah secara alkali cooked milling memiliki kadar amilopektin antara 55.66 - 73.93 %. i. Kadar Pati Kadar pati merupakan kriteria mutu terpenting tepung baik sebagai bahan pangan maupun non pangan. Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa tepung jagung yang diolah secara dry milling memiliki kadar pati antara 49.93 64.68 % sedangkan untuk alkali cooked milling antara 48.22 - 60.04 %. Kadar pati yang dihasilkan oleh tepung jagung baik secara dry milling maupun alkali cooked milling sudah cukup tinggi sehingga dapat digunakan untuk produk pangan. j. Kadar Gula Pereduksi Kadar gula pereduksi terbesar pada teknik pembuatan tepung jagung secara dry milling adalah pada varietas Bisma yaitu sebesar 0.23 %, sedangkan pada teknik pembuatan tepung jagung secara alkali cooked milling kadar gula pereduksi terbesar juga terdapat pada varietas
5
Bisma yaitu sebesar 0.16%. Kadar gula pereduksi tepung jagung pada setiap varietas jagung manunjukkan angka yang tidak jauh berbeda yaitu berkisar antara 0.18 – 0.20 % pada tepung jagung yang dibuat dengan teknik dry milling dan 0.13 – 0.15 % untuk tepung jagung yang dibuat dengan teknik alkali cooked milling. Hal ini berarti gula pereduksi yang terdapat pada tepung jagung sedikit sekali karena kandungan glukosa pada jagung juga sangat kecil. 2. Sifat Fungsional a. Absorbsi air dan minyak Absorbsi air dan minyak digunakan untuk mengukur besarnya kemampuan tepung untuk menyerap air dan minyak. Kemampuan ini sangat dipengaruhi oleh komposisi granula. Struktur granula pada masing-masing tepung juga sangat menentukan nilai yang terukur. Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa pada teknik pembuatan tepung jagung secara dry milling absorbsi air berkisar antara 1.23 - 1.63 g/g. Untuk pembuatan tepung jagung dengan teknik alkali cooked milling, absorbsi air berkisar antara 1.70 - 2.39 g/g. Kandungan serat kasar dan amilosa yang tinggi dapat membantu penyerapan air pada granula (Kulp, 1975). Dari hasil analisa dapat dilihat bahwa absorbsi minyak pada tepung jagung dry milling adalah 0.77 - 1.33 g/g sedangkan untuk tepung jagung alkali cooked milling adalah 0.57 - 1.12 g/g. Pada alkali cooked milling absorbsi minyak lebih kecil dibandingkan dengan dry milling. Hal ini disebabkan oleh kadar lemak pada alkali cooked milling secara umum lebih rendah dibandingkan dengan dry milling yaitu 5.23 – 9.16 % pada dry milling dan 3.70 - 11.58 % pada alkali cooked milling.
b. Kelarutan dan Swelling power pada suhu 90oC Pada dry milling, swelling power berkisar antara 6.43 - 40.32 % sedangkan pada alkali cooked milling, swelling power berkisar antara 3.41 - 81.19 %. Nilai kelarutan untuk tepung jagung dengan teknik dry milling adalah 71.93 89.51 % dan untuk tepung jagung dengan teknik alkali cooked milling adalah 53.93 75.30 % Nilai swelling power dan kelarutan pada dry milling secara umum lebih tinggi bila dibandingkan dengan alkali cooked milling. Hal ini disebabkan kandungan amilosa pada alkali cooked milling lebih tinggi dari pada dry milling yaitu 33.00 – 38.33 % pada dry milling sedangkan untuk tepung jagung yang diolah secara alkali cooked milling adalah sekitar 33.42 – 37.87 %. Semakin tinggi kandungan amilosa menyebabkan rendahnya tingkat swelling dan kelarutan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh molekul-molekulnya yang linier sehingga memperkuat jaringan internalnya (Leach, 1965). c. Freeze-thaw stability Pada penyimpanan suhu beku ini, air dalam larutan pasta akan berubah bentuk menjadi kristal – kristal es. Fenomena ini tentu akan merubah kelarutan air dalam struktur pasta. Nilai freeze- thaw stability yang dinyatakan dalam % Syneresis dapat diartikan sebagai persentase jumlah air yang terpisah setelah larutan pasta dibri perlakuan penyimpanan pada satu siklus freeze- thaw pada suhu -15oC. Semakin tinggi persentase jumlah air yang terpisah menunjukkan bahwa tepung tersebut semakin tidak stabil terhadap penyimpanan suhu beku. Nilai freeze- thaw stability pada dry milling adalah 97.33 - 98.47 % dan pada alkali cooked milling adalah 95.20 - 97.33 % dengan kestabilan tertinggi adalah pada varietas Srikandi Putih pada teknik pembuatan secara dry milling dan Srikandi Kuning pada teknik alkali cooked milling. Dari hasil ini secara keseluruhan dapat dilihat bahwa pasta tepung belum stabil pada suhu beku karena % Syneresis pada pasta tepung masih cukup tinggi. Hal ini dapat disebabkan tingkat retrogradasi pada pasta tepung masih cukup tinggi sehingga kecenderungan air untuk keluar dari pasta masih cukup tinggi. d.Kejernihan pasta 1 % Kejernihan pasta terkait dengan sifat dispersi dan retrogradasi. Kejernihan pasta juga memiliki hubungan dengan sifat kelarutan dimana semakin tinggi kelarutan maka akan
6
semakin tinggi juga tingkat kejernihan pasta yang dihasilkan. Kejernihan pasta pada dry milling adalah 24.73 - 43.30 %T sedangkan untuk alkali cooked milling adalah 28.60 - 47.07 %T. Pengolahahan tepung jagung secara alkali cooked milling secara umum meningkatkan kejernihan pasta. Hal ini dapat disebabkan tingkat retrogradasi pada tepung alkali cooked milling lebih rendah dari pada dry milling. Balagopalan et al. (1988) menyatakan bahwa tepung yang memiliki kecenderungan retrogradasinya rendah memiliki kejernihan pasta yang lebih tinggi. e.Sifat Amilografi A
260
Viskositas (BU)
180
70 60
160
50
140
C
120 100
D
B
80 60
40 30
40
apparent v is c os it y (c P ) Bisma Lamuru Sukmaraga Srikandi Kuning Srikandi Putih
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
35
Arjuna
30
Bisma
25
Lamuru
20
Sukmaraga
15
Srikandi Kuning
10
Srikandi Putih
5
10
20
Srikandi Putih
45
Suhu
20
Srikandi Kuning
40
B40 Arjuna
Suhu (C)
E
200
Sukamaraga
60
Laju geser (1/s)
80
220
Lamuru
80
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1
90
240
Bisma
100
0
100
280
Arjuna
120
20
apparent v isc os ity (cP)
300
A160 140
0
0 100 110
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1
Waktu (menit)
Laju geser (1/s)
Gambar. Grafik amilografi tepung jagung dengan pembuatan secara dry milling Arjuna
100
160
A
90
Bisma
V is k o s it a s ( B U )
80
120 100
60
E D
80
B
60
C
40
50 40
S u h u (C )
70
30
Lamuru Sukmaraga Srikandi Kuning
20
20
10
0
0 90 100 110
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Srikandi Putih Suhu
A140 ap pa rent v is c o s ity (c P )
140
Gambar Pengaruh laju geser terhadap apparent viscosity tepung jagung (A) Dry Milling dan (B) Alkali Cooked Milling
Waktu (menit)
f. Apparent viscosity
Arjuna
100
Bisma
80
Lamuru
60
Sukmaraga Srikandi Kuning
40
Srikandi Putih
20 0 0
5
10
15
20
25
30
Waktu (menit)
B 30 a p p a re n t v is c o s ity (c P )
Gambar . Grafik amilografi tepung jagung dengan pembuatan secara alkali cooked milling Keterangan : A : Suhu awal gelatinisasi B : Viskositas maksimum C : Break down viscosity D : Set back viscosity E : Viskositas akhir
120
25 Arjuna 20
Bisma Lamuru
15
Sukmaraga Srikandi Kuning
10
Srikandi Putih 5 0 0
5
10
15
20
25
30
waktu (menit)
7
Gambar Kestabilan viskositas tepung jagung (A) Dry Milling dan (B) Alkali Cooked Milling 3. Sifat Atribut a. Warna Tepung Tepung jagung yang berasal dari varietas Srikandi Putih dengan proses pembuatan secara dry milling maupun alkali cooked milling memiliki nilai L yang paling tinggi yaitu sebesar + 84.40 untuk dry milling dan + 82.26 untuk pembuatan tepung jagung secara alkali cooked milling sehingga varietas Srikandi Putih memiliki warna yang paling cerah dibandingkan varietas yang lain. Tepung jagung yang berasal dari varietas Lamuru dengan proses pembuatan secara dry milling maupun alkali cooked milling memiliki nilai a yang paling tinggi yaitu sebesar + 16.18 untuk dry milling dan + 17.03 untuk pembuatan tepung jagung secara alkali cooked milling sehingga varietas Lamuru. Tepung jagung yang berasal dari varietas Arjuna dengan proses pembuatan secara dry milling memiliki nilai a yang paling tinggi yaitu sebesar + 65.84 sedangkan untuk pembuatan tepung jagung secara alkali cooked milling varietas Lamuru memiliki nilai b terbesar yaitu + 64.14. Pembuatan tepung jagung secara alkali cooked milling mempengaruhi warna tepung yang dihasilkan walaupun nilai yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan pembuatan tepung secara dry milling. Warna tepung jagung dengan pembuatan secara alkali cooked milling. memberikan warna yang lebih cerah dibandingkan pembuatan secara dry milling. Hal ini disebabkan pada pembuatan tepung secara alkali
cooked milling ada proses pencucian sehingga warna yang ada pada biji jagung ada yang terlarut pada air cucian. b.pH pH tepung jagung yang dibuat dengan teknik dry milling memiliki pH 6.65 untuk Arjuna, 6.69 untuk Bisma, 6.65 untuk lamuru, 6.73 untuk Sukmaraga, 6.73 untuk Srikandi Kuning, dan 6.64 untuk Srikandi Putih, sedangkan untuk tepung jagung yang dibuat dengan teknik alkali cooked milling memiliki pH yang lebih tinggi yaitu 7.04 untuk Arjuna, 7.20 untuk Bisma, 7.02 untuk lamuru, 7.13 untuk Sukmaraga, 6.95 untuk Srikandi Kuning, dan 7.23 untuk Srikandi Putih,. Hal ini disebabkan oleh penambahan basa yaitu Ca(OH)2 pada saat proses pembuatan. c. Bobot jenis tepung jagung Bobot jenis tepung jagung dari setiap varietas tidak jauh berbeda. Pada pembuatan tepung secara dry milling bobot jenis tepung jagung untuk varietas Ajuna adalah 1.31g/cm3, 1.32 Bisma g/cm3, Lamuru 1.32 g/cm3, Sukmaraga 1.39 g/cm3, Srikandi Kuning 1.33 g/cm3, dan Srikandi Putih 1.34 g/cm3. Pada pembuatan tepung jagung secara alkali cooked milling bobot jenis tepung jagung untuk varietas Ajuna adalah 1. g/cm3, Bisma 1.38 g/cm3, Lamuru 1.36 g/cm3, Sukmaraga 1.34 g/cm3, Srikandi Kuning 1.41 g/cm3, dan Srikandi Putih 1.38 g/cm3. d. Daya Cerna Pati Daya cerna pati adalah kemampuan enzim pemecah pati dalam menghidrolisis pati menjadi unit-unit yang lebih kecil. Pada penelitian ini digunakan metode pengukuran daya cerna pati in vitro menurut Muchtadi (1989). Dalam metode ini pati dihidrolisis oleh enzim alpha amilase, jumlah maltosa diukur dengan menggunakan spektrofotometer setelah direaksikan dengan asam dinitrosalisilat melalui kurva standar maltosa. Pengukuran daya cerna pati dapat dilakukan secara in vitro dengan menggunakan berbagai macam enzim pada kondisi tertentu seperti pH, buffer, waktu inkubasi dan suhu. Setelah hidrolisis, jumlah gula yang berhasil direduksi merupakan hasil dari daya cerna pati (Tharanthan dan Mahadevamma, 2003). Tepung jagung secara dry milling memiliki daya cerna pati adalah 0.04 - 0.11 % dengan daya cerna terbesar pada varietas Arjuna, sedangkan pada pembuatan tepung jagung secara alkali cooked milling daya cerna pati 0.03 - 0.08 % dengan daya cerna terbesar pada varietas Srikandi Putih. Perbedaan nilai daya cerna pati pada tiap-tiap varietas jagung dapat
8
disebabkan oleh karakteristik jagung setiap varietas yang berbeda.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Jagung varietas unggul nasional mempunyai potensi untuk digunakan sebagai produk pangan seperti untuk pembuatan tepung jagung. Jagung varietas unggul nasional yang memiliki tipe biji dent adalah varietas Srikandi Putih dan Bisma, tipe dent flint adalah varietas Sukmaraga dan Lamuru sedangkan varietas Arjuna dan Srikandi Kuning memiliki tipe biji flint. Tepung jagung yang dibuat dengan teknik dry milling maupun alkali cooked milling mengandung protein yang tinggi yaitu antara 8.85 – 9.98 % untuk dry milling dan 8.41 – 9.47 % untuk alkali cooked milling, demikian juga dengan kadar lemaknya yang tinggi yaitu antara 5.23 – 9.16 % untuk dry milling dan 3.70 – 11.58 % untuk alkali cooked milling sehingga jagung dari varietas unggul nasional dapat digunakan untuk tepung komposit pada produk pangan. Pengolahan tepung jagung secara alkali cooked milling secara umum tidak merubah komposisi kimia tepung jagung, namun mempengaruhi sifat fungsional dari tepung jagung yaitu menaikkan absorbsi air dan kejernihan pasta, menurunkan absorbsi minyak, swelling power dan kelarutan. Pemasakan dengan alkali menyebabkan perubahan yang sangat nyata pada sifat amilografi dan menyebabkan penurunan viskositas. Saran Pembuatan tepung jagung secara alkali cooked milling perlu diadakan modifikasi agar sifat fungsional tepung jagung tidak mengalami banyak perubahan.
SNI 01-3727-1995. Tepung Jagung. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Hoseney, R.C. 1998. Principles of Cereal Science and Technology, second edition. American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul. Minnesota, USA. Kulp, K. 1975. Carbohydrases. Di dalam. G. Reed (ed.). 1975. Enzyme in Food Processing. Academic Press, New York. Johnson, L.A. 1991. Corn : Production, Processing and Utilization. Di Dalam K.J. Lorenz, dan K.Kulp (eds). Handbook of Cereal Science and Technology. Marcell Dekker, Inc. New York. Kulp, K. 1975. Carbohydrases. Di dalam. G. Reed (ed.). 1975. Enzyme in Food Processing. Academic Press, New York. Leach, M.W. 1965. Gelatinisation of Starch and Miscellaneous Organic Esters. Di dalam Wurzburg, O.B. 1986. Modified Starches: Properties and Uses. CRC Press, Inc., Boca Raton, Florida. Balagopalan, C, G. Padmaja, S.K. Nanda dan S.N. Moorthy. 1988. Cassava in Food, Feed and Industry. CRC Press, Inc, Boca Raton, Florida. Muchtadi, T.R. dan Sugiyono. 1989. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tharanthan, R.N dan S. Mahadevamma. 2003. Grain Legumes a Boon to Human Nutrition. Trends in Food Science and Technology. Vol. 14 (12) : 507 – 518.
DAFTAR PUSTAKA Badan Standarisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia.
9