2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asap Cair Asap cair merupakan suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari uap asap kayu dalam air yang diperoleh dari hasil pirolisa kayu (Putnam 1999). Asap diproduksi dengan cara pembakaran yang tidak sempurna yang melibatkan reaksi dekomposisi konstituen polimer menjadi senyawa organik dengan berat molekul rendah karena pengaruh panas yang meliputi reaksi oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi (Girrard 1992). Asap cair diperoleh secara destilasi kering bahan baku asap misalnya tempurung kelapa, sabut kelapa, atau kayu pada suhu 400 0C selama 90 menit lalu diikuti dengan peristiwa kondensasi dalam kondensor berpendingin air (Karseno et al. 2002). Destilat yang diperoleh dimasukkan dalam corong pemisah
untuk dipisahkan dari senyawa-senyawa kimia yang tidak
diinginkan misalnya senyawa tar yang tidak larut dengan asam pirolignat. Asam pirolignat merupakan campuran dari asam-asam organik, fenol, aldehid, dan lainlain. Menurut Pszczola (1995) dan Chen dan Lin (1997), asap cair mempunyai kelebihan, yaitu (1) selama pembuatan asap cair, senyawa Polisiklik Aromatik Hidrokarbon dapat dihilangkan, (2) konsentrasi pemakaian asap cair dapat diatur dan dikontrol serta kualitas produk akhir menjadi lebih seragam, (3) polusi udara dapat ditekan dan (4) pemakaian asap cair lebih mudah yaitu dengan cara direndam atau disemprotkan serta dicampurkan langsung ke dalam bahan pangan. Siskos et al. (2007) mengemukakan bahwa asap cair mengandung beberapa zat antimikroba, antara lain adalah asam dan turunannya (format, asetat, butirat, propionat, dan metil ester), alkohol (metil, etil, propil, alkil, dan isobutil alkohol), aldehid (formaldehid, asetaldehid, furfural, dan metil furfural), hidrokarbon (silene, kumene, dan simene), keton (aseton, metil etil keton, metil propil keton, dan etil propil keton), fenol, piridin dan metil piridin. 2.2. Komponen Asap Cair Tempurung kelapa Menurut Tranggono et al. (1996) asap cair tempurung kelapa memiliki 7 macam
komponen
dominan,
yaitu
fenol,
3-metil-1,2-siklopentadion,
2-
metoksifenol, 2-metoksi-4-metilfenol, 4-etil-2-metoksifenol, 2,6-dimetoksifenol,
dan 2,5-dimetoksi benzil alkohol yang semuanya larut dalam eter. Sedangkan Guillen et al. (1995) melaporkan bahwa asap cair komersial memiliki empat macam komponen dominan yaitu 3-methyl-1,2-cyclopentanedione, 3 hydroxy-2methyl- 4H-pyran-4-one, 2-methoxyphenol orguaiacol, dan 2,6-dimethoxyphenol. Gumanti (2006) melaporkan bahwa komponen kimia destilat asap tempurung kelapa mengandung total fenol (5.5%), metil alkohol (0.37%), dan total asam (7.1%). Luditama (2006) melaporkan bahwa dari hasil analisis GC-MS, senyawa dominan dari asap cair kondensat sabut kelapa dan tempurung kelapa adalah fenol (C6H6O, BM = 94) dengan luas area bervariasi antara 31,93 – 44,30%. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Tranggono et al. (1996), yang menggunakan bahan baku berbagai jenis kayu dan tempurung kelapa pada suhu pembakaran 350–400 0C, dimana senyawa dominan dari asap cair adalah fenol dengan luas area sebesar 44,13%. Fenol merupakan zat aktif yang dapat memberikan efek antibakteri dan antimikroba pada asap cair. Selain itu, fenol juga dapat memberikan efek antioksidan kepada bahan makanan yang akan diawetkan. Identifikasi fenol terhadap kualitas asap cair yang dihasilkan diharapkan dapat mewakili kriteria dari mutu asap cair tersebut, sehingga hasilnya dapat diaplikasikan kepada semua produk pengasapan. Yulistiani (1997) melaporkan kandungan fenol dalam distilat asap tempurung kelapa sebesar 1,28%, sedangkan Hanendyo (2005) melaporkan dua hasil pengukuran kadar fenol, masing-masing pada panjang kondensor yang berbeda, yaitu 1,38% pada panjang kondensor 2,5 m dan 1,41% pada panjang kondensor 4 meter. Febriani (2006) menganalisis komposisi kimia distilat asap tempurung kelapa dengan menggunakan metode GC-MS. Hasil analisis menunjukkan bahwa asap cair tempurung kelapa mengandung senyawa-senyawa 2-methoxy-4-methyl
phenol,
4-ethyl-2-methoxy-(CAS)p-ethylguaiacol,
2-6-
dimethoxy phenol, dan 2-methoxy-4-(2-propenyl)-(CAS)-eugenol.
5
2.3. Keamanan Pangan Asap Cair Tempurung Kelapa Salah satu komponen kimia yang diketahui bersifat karsinogenik dan biasa ditemukan pada produk pengasapan adalah benzo[a]pirene (Guillen et al. 1995; Guillen et al. 2000; Kazerouni et al. 2001; Stolyhwo & Sikorski 2005). Benzo(a)piren adalah senyawa yang tergolong dalam Polisiklik Aromatik Hidrokarbons (PAH) (Gambar 1). Dalam keadaan murni berbentuk kristal (bubuk), berwarna kuning dengan titik cair 179 0C dan titik didih 312 0C. Berat molekulnya 252, tidak larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol, larut dalam benzen, toluen dan xilem (Jaya et al. 1997).
Sumber: Hart et al. (2003)
Gambar 1. Benzo[a]pirena Polycycic Aromatic Hydrocarbons (PAH) diketahui terdapat dalam asap kayu dan dengan mudah diserap oleh bahan pangan selama proses pengasapan berlangsung. Anastasio et al. (2004) mengemukakan bahwa asap cair tidak menunjukkan karsinogenik atau sifat-sifat toksik lain dari hasil pengujian Polycyclic Aromatic Hydrokarbon (PAH), sedangkan Muratore et al. (2007) melaporkan bahwa asap cair mempunyai sifat antibakterial, mudah diaplikasikan dan lebih aman dari asap konvensional karena fraksi tar yang mengandung hidrokarbon aromatik dapat dipisahkan, sehingga produk asap cair bebas polutan dan karsinogenik. Langkah pertama yang dilakukan untuk menentukan keamanan suatu zat kimia/zat pencemar terhadap organisme adalah uji toksisitas dengan menentukan nilai LD50 (Median Lethal Dose) yaitu suatu uji sederhana dari tingkatan toksisitas suatu zat/bahan/senyawa terhadap hewan uji yang diteliti. Makna LD50 sendiri
6
adalah
diturunkan
secara
statistik
dari
dosis
zat/bahan/senyawa
yang
menyebabkan kematian hewan uji sebanyak 50% berdasarkan data pengamatan pada waktu tertentu (Anderson et al. 2005). Berkenaan dengan bahaya yang disebabkan oleh suatu zat kimia/bahan/senyawa, Peraturan Pemerintah RI No. 74 tahun 2001 mengklasifikasikan tingkat toksisitas berdasarkan penentuan nilai LD50 oral, seperti yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Klasifikasi tingkat toksisitas zat kimia/bahan/senyawa berdasarkan nilai LD50 Tingkat toksisitas 1 2 3 4 5 6
LD50 Oral (mg/kg BB) <5 5-50 50-500 500-5.000 5.000-15.000 > 15.000
Kriteria toksik Super toksik Amat sangat toksik Sangat toksik Toksik Toksik ringan Tidak toksik
Tabel 1 menunjukkan klasifikasi zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya. Semakin rendah nilai LD50, maka semakin toksik zat kimia tersebut. Dosis maksimal yang dianjurkan adalah 15.000 mg/kg BB hewan uji. Bila nilai LD50 lebih besar dari 15.000 mg/kg BB, maka suatu zat kimia termasuk dalam kriteria tidak toksik. 2.4. Pengawetan dengan Asap Cair Pengasapan di Indonesia masih menggunakan metode pengasapan panas, seperti pengasapan ikan bandeng di Sidoarjo Jawa Timur, pengasapan ikan pari di Rembang dan Jepara, pengasapan ikan di Lampung dan Maluku dan beberapa daerah lainnya. Pengasapan panas yang dilakukan dengan cara membakar kayu atau serbuk kayu secara langsung memerlukan waktu yang lama, keseragaman produk untuk menghasilkan warna dan flavor yang diinginkan cenderung sulit dikontrol, menyebabkan pencemaran lingkungan serta memungkinkan bahaya kebakaran. Selain itu, adanya residu tar dan senyawa Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) yang terdeposit ke dalam makanan, mempunyai dampak yang membahayakan bagi kesehatan. Oleh karena itu, penggunaan asap cair diharapkan dapat menggantikan proses pengasapan panas. Darmadji (2002) melaporkan bahwa penggunaan asap cair lebih mudah aplikasinya yaitu
7
pemberian aroma asap pada makanan akan lebih praktis karena hanya dengan mencelupkan produk makanan tersebut dalam asap cair. Asap cair dapat diaplikasikan pada produk pangan dengan berbagai metode, yaitu pencampuran, pencelupan atau perendaman, penyuntikan, pencampuran asap cair pada air perebusan, dan penyemprotan. Metode pencampuran biasanya digunakan pada produk daging olahan, flavor ditambahkan dalam jumlah yang bervariasi. Metode ini dapat digunakan untuk ikan, emulsi daging, bumbu daging pangan, mayonaise, sosis, keju oles, dll (Kostyra & Pikielna 2007). Pencelupan atau perendaman dapat menghasilkan mutu organoleptik yang tinggi terutama pada hasil produk olahan daging pada bagian bahu dan perut, sosis dan keju Itali ( Martinez et al. 2007). Metode penyuntikan biasanya diaplikasikan pada daging terutama pada daging bagian perut. Aroma asap yang disuntikkan dalam jumlah bervariasi (0,2–1%), akan memberikan flavor yang seragam (Kjallstrand & Petersson 2001). Metode pencampuran asap cair pada air perebusan bisa digunakan dalam pengolahan fillet ikan asap, bandeng presto maupun bakso ikan. Asap cair dicampurkan dalam air yang digunakan untuk merebus maupun mengukus produk perikanan. Kelebihan metode ini, komponen-komponen asap lebih banyak yang terdistribusi ke dalam produk dan juga melapisi bagian luar produk (Siskos et al. 2007). Metode penyemprotan biasa digunakan dalam pengolahan daging secara kontinyu (Martinez et al. 2004). Penggunaan asap cair tempurung kelapa dalam beberapa proses pengolahan ikan cukup banyak dilakukan. Hasil penelitian Haras (2004) menyebutkan bahwa ikan cakalang yang direndam dalam asap cair tempurung kelapa 2% selama 15 menit dan disimpan pada suhu kamar mulai mengalami kemunduran mutu pada hari ke-4. Febriani (2006) melaporkan bahwa ikan belut yang direndam asap cair tempurung kelapa konsentrasi 30% selama 15 menit dapat awet pada suhu kamar sampai hari ke-9. Gumanti (2006) melaporkan bahwa mie basah yang dicampur asap cair tempurung kelapa konsentrasi 0.09% dalam adonannya dapat awet hingga 2 hari pada suhu kamar. Mahendradatta dan Tawali (2006) juga melaporkan bahwa ikan kembung yang direndam dalam redistilat asap cair tempurung kelapa sebesar 1.55 mg/100 g selama 30 detik dan dikombinasi
dengan
penambahan
bumbu-bumbu,
dapat
meminimalkan
8
kandungan histamin selama 20 hari penyimpanan pada suhu dingin (5 0C). Sedangkan menurut Siskos et al. (2007), asap cair komersial konsentrasi 2% dalam 2 liter air pengukus filet ikan trout (Salmo gairdnerii) yang dikombinasi dengan waktu pengukusan selama 30 menit dapat mengawetkan filet ikan trout sampai 25 hari pada suhu penyimpanan 4±1 0C. Filet ikan trout dengan kombinasi asap cair dan waktu pengukusan selama 45 menit dan 60 menit, dapat awet hingga 48 hari. Penolakan oleh panelis terhadap sampel terjadi setelah 62 hari penyimpanan dengan waktu
pengukusan 30
dan 45
menit.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa pertumbuhan maksimum mikroba terjadi 14 hari lebih awal dari waktu penerimaan konsumen pada sampel yang dikukus selama 45 menit dan 37 hari lebih awal dari waktu penerimaan konsumen pada sampel yang dikukus selama 30 menit. 2.5. Aktivitas Antimikroba Asap Cair Aktivitas antimikroba asap cair terutama disebabkan adanya senyawa kimia yang terkandung dalam asap seperti fenol, formaldehid, asam asetat, dan kreosat yang menempel pada bagian permukaan bahan akan menghambat pembentukan spora dan pertumbuhan beberapa jenis jamur dan bakteri (Siskos et al. 2007). Senyawa fenol dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan memperpanjang fase lag (Lebois et al. 2004). Menurut Darmadji (1996) keasaman mempunyai peranan yang sangat besar dalam penghambatan mikroba. Asap cair pada pH 4,0 mampu menghambat semua bakteri pembusuk dan patogen yang diuji. Menurut Girard (1992) ketahanan bakteri terhadap perlakuan asap sangat berbeda-beda, ada yang sangat peka (bakteri patogen dan pembusuk) dan ada yang sangat tahan seperti micrococcus dan bakteri asam laktat, sedangkan pada pH sekitar 6,0 aktivitas antimikroba asap cair mulai berkurang. Asap lebih efektif menghambat pertumbuhan sel vegetatif daripada menghambat pertumbuhan spora bakteri dan aktivitas germisidal asap akan meningkat dengan naiknya suhu dan konsentrasi asap. Penelitian tentang aktivitas antibakteri asap cair cukup banyak dilakukan. Menurut Sunen (1998), asap cair komersial lebih efektif menghambat bakteri Gram positif daripada bakteri Gram negatif. Asap cair komersial dengan konsentrasi 0.2-0.8% dapat menghambat pertumbuhan Vibrio vulnivicus dan
9
Yersinia enterolitica dengan nilai MIC masing-masing <0.2% dan 0.6%. Selain itu, diantara bakteri Gram positif seperti Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, Listeria inocua, Brochothrix thermosphacta dan Lactococcus lactis spp., L. lactis dapat dihambat oleh asap cair komersial dengan nilai MIC 0.6-0.8%. Asap cair konsentrasi 0.5-8.0% efektif menghambat V. vulnificus dengan nilai MIC sebesar 2%. Asap cair komersial dengan konsentrasi 0.05-0.4% sangat efektif menghambat semua strain di atas kecuali Salmonella enteritidis dengan nilai MIC <1.5%. Munoz et al. (1998) melaporkan bahwa asap cair komersial pada konsentrasi 8% dapat menghambat pertumbuhan E. coli O157:H7 yang diinokulasikan pada daging. Pertumbuhan E. coli O157:H7 menurun sebesar 0.5, 1.2, 2.0 dan 2.3 log CFU/g pada penyimpanan hari ke-0, 1, 2, dan 3 pada suhu 4 0C. Sunen et al. (2001) melaporkan asap cair komersial pada konsentrasi 0.4% dapat mengurangi jumlah bakteri Y. enterocolitica sebesar 3.7 log CFU/ml pada hari ke-21 penyimpanan suhu refrigerasi. Milly et al. (2005) juga melaporkan bahwa nilai MIC asap cair komersial yaitu 0.75% menghambat Lactobacillus plantarum, 1.5% menghambat L. innocua, Salmonella, E. coli 8677, Saccharomyces cerevisiae, dan Aspergillus niger, serta 2% menghambat Pseudomonas putida. 2.6. Bakso Ikan Bakso adalah produk pangan yang terbuat dari bahan utama daging yang dilumatkan, dicampur dengan bahan lain, dibentuk bulatan, dan selanjutnya direbus (Tazwir 1992). Istilah bakso, biasanya diikuti dengan nama jenis daging yang digunakan sebagai bahan baku utamanya, seperti bakso sapi, bakso ayam, dan bakso ikan. Bakso ikan adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ikan (kadar daging ikan tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diizinkan SNI. Standar mutu bakso ikan berdasarkan SNI 01-38191995 disajikan pada Tabel 2.
10
Tabel 2 Standar mutu bakso ikan (SNI 01-3819-1995) No. 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9. 10.
Kriteria Uji Keadaan - Bau - Rasa - Warna - Tekstur
Satuan
Persyaratan
-
Normal, khas ikan Gurih Normal Kenyal
Air Abu Protein Lemak Boraks Bahan Tambahan Makanan Cemaran logam - Timbal (Pb) - Tembaga (Cu) - Seng (Zn) - Timah (Sn) - Raksa (Hg) Cemaran Arsen (As) Cemaran mikroba - Angka Lempeng Total - Bakteri bentuk koli - Salmonella - Staphylococcus aureus - Vibrio cholerae
% b/b %b/b %b/b %b/b -
Maks 80.0 Maks 3,0 Min 9,0 Maks 1,0 Tidak boleh ada Sesuai SNI 01-0222-1995
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks 2,0 Maks 20,0 Maks 100,0 Maks 40,0 Maks 0,5 Maks 1,0
koloni/g APM/g koloni/g -
Maks 1 x 105 Maks 4 x 102 Negatif Maks 5 x 102 Negatif
2.6.1. Komposisi Bakso Ikan Bahan baku pembuatan bakso ikan pada umumnya terdiri dari bahan baku utama dan bahan baku tambahan. Bahan baku utama untuk pembuatan bakso ikan adalah daging ikan, sedangkan bahan baku tambahannya adalah bahan pengisi, yaitu tepung tapioka, garam, bumbu-bumbu, dan es (Wibowo 2005). Bakso ikan yang akan dibuat pada penelitian ini berdasarkan komposisi bakso ikan yang dilakukan Sari (2004) dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi bakso ikan Bahan Baku Daging ikan Tepung tapioka Bumbu Es
Komposisi (%) 60 20 2,8 17,2
Bahan baku utama pembuatan bakso ikan adalah daging ikan dari satu atau beberapa jenis ikan. Jenis ikan berdaging tebal dan putih cocok untuk dibuat bakso karena akan mempengaruhi warna bakso yang dihasilkan. Selain itu, daging
11
putih memiliki kandungan aktin dan miosin yang cukup tinggi sehingga mempunyai kemampuan untuk membentuk gel yang lebih baik daripada daging merah dan bisa menghasilkan bakso dengan tekstur yang lebih kompak (Hayashi et al. 2007). Daging ikan yang akan digunakan untuk membuat bakso sebaiknya daging yang segar (belum mengalami penyimpanan) (Wibowo 2005), karena penggunaan daging ikan yang telah mengalami penyimpanan akan menghasilkan bakso yang bermutu rendah. Pemilihan bahan baku yang segar dimaksudkan untuk mencegah kerusakan daging ikan lebih lanjut. Hal ini mengingat bahwa daging ikan merupakan komoditas yang cepat mengalami kerusakan. Kerusakan ini terutama disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme. Kerusakan kecepatan daging dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti suhu, kadar air, kelembaban udara, jumlah oksigen, pH, dan kandungan kimianya. Bila harus menggunakan daging ikan yang telah mengalami penyimpanan, sebaiknya daging ikan disimpan dalam suhu dingin atau beku karena dengan pendinginan dan pembekuan dapat mempertahankan kualitas dan sifat fisik organoleptik termasuk nilai gizinya dalam jangka waktu tertentu. Bahan pengisi yang ditambahkan pada bakso ikan yaitu tepung tapioka, garam, bumbu-bumbu, dan es. Fungsi bahan pengisi adalah memperbaiki sifat emulsi, mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat fisik dan citarasa, serta menurunkan biaya produksi (Tazwir 1992). Tepung tapioka diperoleh dari umbi kayu segar (Manihot utilissima Pohl atau M. usculenta Crants). Tepung tapioka mengandung amilosa sebesar 17% dan amilopektin sebesar 83%. Amilosa larut dalam air panas dan memiliki struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin tidak larut dalam air panas dan memiliki struktur bercabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa. Fraksi amilosa bertanggung jawab atas keteguhan gel. Semakin besar kandungan amilopektin dan semakin kecil kandungan amilosa bahan yang digunakan, maka makin lekat produk olahannya (Obisaw et al. 2004). Tepung tapioka memiliki banyak kelebihan sebagai bahan baku karena harganya relatif murah, dapat memberikan kelarutan yang baik, citarasa netral, dan menyebabkan warna terang pada produk.
12
Bumbu-bumbu yang umumnya digunakan dalam pembuatan bakso ikan adalah bawang merah, bawang putih, garam dan merica. Bawang merah dan bawang putih berfungsi sebagai antioksidan. Park (1995) menjelaskan bahwa garam dapat memperbaiki sifat-sifat fungsional produk daging dengan cara: 1) mengekstrak protein miofibril dari sel-sel otot selama perlakuan mekanis, 2) berinteraksi dengan protein otot selama pemanasan sehingga protein membentuk matriks yang kuat dan mampu menahan air bebas serta membentuk tekstur produk. Pemakaian garam dalam pembuatan bakso berkisar antara 5 – 10% dari berat daging. Penambahan es berfungsi untuk mempertahankan suhu adonan selama penggilingan tetap rendah, sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat gesekan mesin penggiling dan ekstraksi protein berjalan dengan baik. Jumlah penambahan es biasanya berkisar antara 15–30% dari berat daging yang digunakan. Jumlah penambahan ini dipengaruhi oleh jumlah tepung yang ditambahkan (Wibowo 2005). 2.6.2. Pembuatan Bakso Ikan Proses pembuatan bakso pada umumnya terdiri dari persiapan bahan, penghancuran daging, pencampuran bahan (pembuatan adonan), pencetakan dan pemasakan. Proses persiapan bahan meliputi pemilihan daging dan penyiangan bahan tambahan lainnya. Daging ikan dipilih yang segar, bersih dari jaringan ikat dan lemaknya. Daging yang digunakan dalam pembuatan bakso pada penelitian ini adalah daging ikan tenggiri dalam bentuk filet. Filet daging ikan dilumatkan dengan mincer (pelumat). Proses ini bertujuan untuk memecah serabut daging srehingga protein yang larut dalam garam akan mudah terekstrak keluar. Penghancuran daging untuk bakso dapat dilakukan dengan cara mencacah (mincing), menggiling (grinding) atau mencincang sampai halus atau lumat (chopping). Menurut Kok dan Park (2007), dalam produksi skala besar, pada proses ini perlu ditambahkan es sebanyak 1530% dari berat daging. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan suhu rendah akibat gesekan mesin giling (chopper), serta untuk menghasilkan emulsi yang baik. Suhu yang diperlukan untuk mempertahankan stabilitas emulsi adalah di
13
bawah 200C. Penggunaan suhu di atas 200C akan mengakibatkan terdenaturasinya protein sehingga emulsi akan pecah. Proses selanjutnya adalah pengirisan (cutting) yang bertujuan untuk memutus serat yang tidak terlumatkan pada proses sebelumnya. Setelah diperoleh daging lumat yang bersih, halus, dan bebas serat, lalu daging lumat tersebut dibentuk menjadi adonan. Pembentukan adonan dapat dilakukan dengan mencampur seluruh bagian bahan kemudian menghancurkannya sehingga membentuk adonan atau dengan menghancurkan daging bersama-sama garam dan es terlebih dahulu, kemudian dicampurkan dengan bahan-bahan lain. Setelah itu, adonan bakso dicetak membentuk bulatan dengan ukuran yang dikehendaki. Pembulatan bakso dapat dilakukan dengan menggunakan mesin atau dengan cara menggunakan tangan yang dibentuk dengan sendok. Menurut Kok dan Park (2007), pembentukan adonan umumnya dilakukan dengan cara membuat adonan menjadi bola-bola kecil berdiameter 2–7 cm dengan tangan, kemudian memasaknya dalam air mendidih bersuhu 60–80 0C selama 15 menit. Pemasakan adonan akan membentuk struktur yang kompak, kenyal dan padat sebagai akibat dari koagulasi protein dan gelatinisasi pati. Menurut Tazwir (1992) tahap cutting merupakan tahap penting untuk menghasilkan konsistensi fisik bakso. Daging yang berada pada kondisi pre-rigor akan memberikan hasil terbaik, karena ATP masuk hingga struktur protein mengembang, kapasitas pengikatan air tinggi sehingga protein yang terekstrak lebih banyak daripada daging pada kondisi rigor mortis atau post-rigor. Kandungan protein terekstrak yang tinggi akan meningkatkan stabilitas adonan bakso. Selama pemasakan, protein daging akan membentuk struktur tiga dimensi pada pengikatan daging lumat sehingga membentuk struktur bakso yang kompak. 2.6.3. Teknologi Pengawetan Bakso Teknologi pengawetan bakso telah banyak dilakukan baik dengan cara penambahan pengawet ke dalam adonan bakso maupun dengan pencelupan atau perendaman bakso dalam larutan pengawet, namun belum diperoleh bahan pengawet yang memenuhi target umur simpan minimal selama 4 hari pada suhu kamar yang dapat diaplikasikan di industri dan aman bagi konsumen. Salah satu
14
parameter mutu bakso menurut SNI 01-3819-1995 adalah jumlah total mikroba maksimal 1,0x105 koloni/gram. Beberapa peneliti telah melaporkan penggunaan sejumlah bahan pengawet untuk memperpanjang umur simpan bakso. Tandiyono (1996) melaporkan bahwa bakso daging yang dibuat dengan penambahan 0.2% natrium propionat pada jam ke-24 pada suhu kamar telah mengandung bakteri sebanyak 5,8x106 CFU/g. Hasil penelitian Aulia (1998) menunjukkan bahwa bakso daging dengan penambahan natrium benzoat sebanyak 0.1% yang disimpan pada suhu kamar pada hari ke-1 telah mengandung bakteri sebanyak 1,3x107 CFU/g. Hasil penelitian Yovita (2000) menunjukkan bahwa bakso daging dengan penambahan 100 ppm nitrit, 0.1% natrium benzoat+100 ppm nitrit, 0.1% metil paraben+100 ppm nitrit pada penyimpanan hari ke-1 telah mengandung bakteri 106-107 CFU/g, sedangkan dengan penambahan 0.1% metil paraben+450 ppm natrium metabisulfit ke dalam adonan pada penyimpanan hari ke-2 telah mengandung bakteri 6,9x107 CFU/g. Surjana (2001) melaporkan penggunaan bahan pengawet berupa natrium benzoat 0.1%, natrium bisulfit 450 ppm, asam sorbat 0.1%, dan natrium propionat 0.3%, dapat mengawetkan bakso daging hingga 2 hari pada suhu kamar. Sari (2004) melaporkan bahwa penggunaan iradiasi sinar gamma sebesar 5 kGy dapat mengawetkan bakso ikan patin selama 60 hari pada suhu 10 0C.
15