PENGARUH KONSENTRASI ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS BAKSO DAGING SAPI PASCARIGOR
THE EFFECTS OF COCONUT SHELL LIQUID SMOKE AND STORAGE DURATION ON THE QUALITY OF POSTRIGOR BEEF MEATBALLS
Merpati,1 Effendi Abustam,2 Ambo Ako2 1
Pasca Sarjana Ilmu dan Teknologi Peternakan, Universitas Hasanuddin 2 Staf Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi : Ir. Merpati Program Pasca Sarjana Ilmu dan Teknologi Peternakan Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP : 081344272096 Email :
[email protected]
Abstrak Pemanfaatan asap cair sebagai antimikroba dan antioksidan alami dan ramah lingkungan telah banyak dilakukan pada ikan namun informasi tentang pemanfaatannya pada bakso daging sapi masih kurang. Penelitian ini bertujuan mengetahui kualitas (mikrobiologi, fisik, kimia, dan sensorik) bakso daging sapi Bali pascarigor yang direndam asap cair pada konsentrasi dan lama penyimpanan berbeda pada suhu dingin (refrigerator). Penelitian ini menggunakan rancangan acap lengkap pola faktorial 4 x 4, dimana faktor 1: konsentrasi asap cair (0%, 5%, 10%,15%), faktor 2 : lama penyimpanan (minggu ke-1, minggu ke-2, minggu ke-3 dan minggu ke-4) yang diulang 3 kali. Peubah yang diamati nilai TPC, nilai TBA, daya putus bakso (DPB), kualitas sensorik (residu pengunyahan) dan tingkat kesukaan. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi asap cair tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai TPC, nilai TBA, dan DPB, tetapi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap residu pengunyahan dan tingkat kesukaan. Lama penyimpanan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai TPC, nilai TBA, DPB, residu pengunyahan dan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap tingkat kesukaan. Tidak terdapat interaksi antara konsentrasi asap cair dan lama penyimpanan terhadap semua parameter. Dapat disimpulkan bahwa peningkatan konsentrasi asap cair tempurung kelapa cenderung meningkatkan kualitas bakso, tetapi lama penyimpanan menurunkan kualitas bakso. Kata kunci : bakso daging sapi , pascarigor, asap cair, lama penyimpanan,
Abstract Utilization of liquid smoke as antimicrobial and antioxisidant that is environmentally friendly has been widely use in fish, however, information regarding its utilization in beef meatballs is still limited. This study aimed to know the quality (microbiology, physical, chemical, and sensory) of postrigor Bali beef meatballs that soaked in liquid smoke at different concentrations and storage duration in a refrigerator. This study was designed using randomized completely of factorial pattern 4 x 4, whereas factor 1 was liquid smoke concentration (0%, 5%, 10%,15%), and factor 2 was storage duration (1 week, 2 weeks, 3 weeks and 4 weeks) with three replications. Parameters measured in the study were TPC value, TBA value, shear force value (DPB), sensory quality (mastication residue), and the level of preferences. The results of this study showed that liquid smoke concentration did not affected (P>0.05) the value of TPC, TBA value, and DPB value, however, it was significantly (P<0.05) affecting the sensory quality and the level of preferences. Storage duration was significantly affecting the value of TPC, TBA value, DPB value, the sensory quality (P<0.05) and the level of preferences (P<0.01). There was no interaction found (P>0.05) between liquid smoke concentrations and storage duration at all parameters. It can be concluded that increasing the concentration of coconut shell liquid smoke tended to increase the quality of meat balls but it the creased by increasing storage duration. Keywords: beef meatballs, postrigor, liquid smoke, storage duration
PENDAHULUAN Bakso adalah salah satu produk olahan daging yang mengandung zat gizi, pH, dan kadar air tinggi yang merupakan media pertumbuhan yang sangat baik bagi mikroba, sehingga bakso memiliki daya simpan terbatas pada suhu ruang (suhu kamar). Beberapa pengolah bakso sering menambahkan boraks dan formalin agar diperoleh bakso yang kenyal dan awet namun kedua bahan ini sangat
tidak dianjurkan dipakai pada
makanan sebab sangat
berbahaya bagi kesehatan. Asap cair telah digunakan secara komersial sebagai bahan pemberi aroma pada ikan dan daging karena adanya komponen flavor dari senyawa-senyawa fenolik (Muratore dkk., 2005). Asap cair diketahui mengandung berbagai komponen organik yang berperanan, selain membentuk cita-rasa khas, asap cair juga dapat memberikan warna coklat keemasan pada produk daging (Daun, 1979). Asap cair mempunyai beberapa keunggulan, yaitu memiliki aktivitas antibakteri, penggunaan, dosis dan penanganan lebih mudah serta komponenkomponen yang berbahaya seperti tar yang mengandung hidrokarbon aromatik, termasuk benzo(a)-pyrene dapat dipisahkan (Muratore dkk., 2007). Asap cair tempurung kelapa mempunyai aktifitas antibakteri yang tinggi karena mengandung senyawa asam, karbonil, dan fenol (Siskos dkk., 2007, Soldera dkk., 2008 dan Sunen dkk., 2001). Senyawa-senyawa tersebut menunjukkan aktivitas bakteriostatik dan antioksidan (Pszczola, 1995) sehingga memiliki kemampuan untuk mengawetkan bahan makanan (Setiadji, 2000). Zuraida (2008) melaporkan bahwa bakso ikan dengan asap cair 2,5% yang disimpan pada suhu refrigerasi, memiliki nilai TPC yang lebih rendah dibandingkan tanpa asap cair dan secara mikrobiologis bakso ikan dengan asap cair 2,5% sampai hari ke-20 masih layak untuk dikonsumsi.
Hasil penelitian Arnim dkk., (2012) menunjukkan bahwa
penggunaan asap cair konsentrasi 7% pada bakso daging yang disimpan pada suhu 4±1OC, meningkatkan umur simpan sampai 15 hari dan menghambat penurunan pH dan kadar air. Konsentrasi asap cair 10% dapat mempertahankan karakteristik kualitas daging sapi Bali (Longissimus dorsi) selama 2 minggu maturasi (Abustam dkk., 2013). Penelitian mengenai perubahan mutu ikan dan daging sapi menggunakan asap cair tempurung kelapa telah banyak dilakukan namun informasi tentang pemanfaatannya pada bakso daging sapi masih kurang. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kualitas bakso daging sapi Bali pascarigor yang direndam asap cair pada konsentrasi dan lama penyimpanan berbeda pada suhu dingin (refrigerator).
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan selama kurang lebih 4 bulan (April hingga Agustus 2013), bertempat di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Unhas, Makassar. Bahan yang digunakan daging sapi Bali jantan umur 3 tahun dari jenis otot Longissimus dorsi (9 kg) berasal dari RPH Tamangapa Makassar, tepung tapioka, garam, es batu, bahan perasa (merica, bawang putih), asap cair tempurung kelapa diperoleh dari Laboratorium Rekayasa Fakultas Teknologi Pertanian UGM Yogyakarta, pereaksi TBA (Thiobarbituric Acid), HCl 4 M, asam asetat glacial, aquades, buffer peptone water (BPW), dan Nutrient Agar (NA). Alat yang digunakan berupa peralatan untuk membuat bakso seperti food processor, kompor, panci perebusan, baskom, dan pisau. Alat untuk analisis adalah : autoclave, CD shear force, alatalat gelas, plastik klip, waterbath, stomacher, inkubator, mikropipet, cawan petri, bunsen, gelas ukur, dan lain-lain. Penelitian ini menggunakan rancangan acap lengkap pola faktorial 4 x 4, faktor 1 konsentrasi asap cair (0%, 5%, 10%,15%), faktor 2 lama penyimpanan ( minggu ke-1, minggu ke-2, minggu ke-3 dan minggu ke-4) yang diulang sebanyak 3 kali. Parameter dan Teknik Pengukuran Parameter penelitian meliputi uji TPC (Total Plate Count), uji TBA (Thiobarbituric acid), daya putus bakso, residu pengunyahan, dan tingkat kesukaan panelis. digunakan menentukan total koloni bakteri yang terdapat pada bahan,
Uji TPC
karena bakteri
merupakan faktor utama penyebab pembusukan bahan (Fardiaz, 1993).
Uji TBA
(Thiobarbituric acid) dilakukan untuk mengukur tingkat oksidasi lemak yang terjadi pada bahan makanan selama penyimpanan yang diukur dengan penempatan bilangan
TBA
(Apriyantono, dkk., 1989). Daya Putus Bakso merupakan indikator penilaian keempukan bakso dengan menggunakan CD shear force (Abustam dkk., 2009). Uji organoleptik (residu pengunyahan) dan kesukaan (hedonik) menggunakan 15 orang panelis yang akan menilai bakso dengan bantuan skor penilaian yang berayun
1- 6., dimana 1: sangat banyak residu
dan sangat tidak suka, sedang 6 : sangat sedikit residu dan sangat suka (Abustam dkk., 2009). Analisa Data Data diolah dengan analisis of variance (anova) dilanjutkan uji BNT jika terdapat perbedaan nyata dengan menggunakan program bantuan SPSS. Model matematik rancangan percobaan yang digunakan adalah : Yijk = µ + αi + β j + (αβ)ij + €ij, dimana Yijk = nilai pengamatan bakso dagingt sapi ke-k yang memperoleh penambahan asap cair ke-i dan lama penyimpanan ke-j, µ = nilai rata–rata umum, αi = pengaruh konsentrasi asap cair ke- i terhadap parameter yang diamati, βj = pengaruh lama penyimpanan pada suhu refrigerator
ke-j terhadap parameter yang diamati, (αβ)ij = pengaruh interaksi konsentrasi asap cair ke –i dan lama penyimpanan ke –j, €ij = pengaruh galat yang menerima perlakuan konsentrasi asap cair –i dan lama penyimpanan ke –j. Uji Organoleptik dan kesukaan dilakukan sampai pada penyimpanan minggu ke-3 karena bakso masih dalam keadaan baik secara fisik sedangkan pada penyimpanan minggu ke-4 bakso sudah rusak.
HASIL Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi asap cair tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai TPC, nilai TBA, dan daya putus bakso (DPB), tetapi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap residu pengunyahan dan tingkat kesukaan.
Lama penyimpanan
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai TPC, nilai TBA, DPB, residu pengunyahan dan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap tingkat kesukaan. Tidak terdapat interaksi antara konsentrasi asap cair dan lama penyimpanan terhadap semua parameter yang diukur. Total Koloni Bakteri (Total Plate Count) Tabel 1 menunjukkan semakin besar konsentrasi asap cair yang dipergunakan untuk merendam bakso, maka nilai TPC semakin kecil. Bakso tanpa direndam asap cair (0%) memiliki nilai TPC tertinggi, sebesar 2,67x108 CFU/g, sedangkan bakso yang direndam asap cair dengan konsentrasi 15% memiliki nilai TPC terendah, yaitu 4,93x107 CFU/g. Gambar 1 memperlihatkan semakin lama waktu penyimpanan maka nilai TPC bakso semakin besar, mengindikasikan kualitas bakso semakin menurun. Nilai TPC bakso pada penyimpanan minggu ke-1 (1,48x106 CFU/g) berbeda sangat nyata lebih rendah dibanding penyimpanan minggu ke-2 (9,76x106 CFU/g), minggu ke-3 (5,73x107 CFU/g), dan minggu ke-4 (6.03x108 CFU/g). Penyimpanan minggu ke-2 berbeda nyata lebih rendah dibanding minggu ke-3 dan ke-4; serta minggu ke-3 berbeda nyata lebih rendah daripada minggu ke-4. Nilai TBA (Thiobarbituric acid) Tabel 1 menunjukkan nilai TBA semakin kecil seiring dengan semakin besar konsentrasi asap cair yang digunakan untuk merendam bakso. Semakin kecil nilai TBA mengindikasikan semakin baik kualitas bakso tersebut. Nilai TBA tertinggi diperoleh pada bakso dengan konsentrasi asap cair 0% (kontrol) sebesar 0,046 mg MDA/kg sedangkan yang terkecil pada konsentrasi 15% yaitu 0,038 mg MDA/kg. Gambar 2 memperlihatkan semakin lama waktu penyimpanan nilai TBA semakin besar, mengindikasikan semakin menurun kualitas bakso tersebut. Tidak terdapat perbedaan nyata antara penyimpanan minggu ke-1, ke-2 dan ke-3, begitu pula antara minggu ke-3 dan ke-4. Tetapi penyimpanan minggu ke-1, ke-2, dan ke-3 berbeda nyata rendah daripada penyimpanan minggu ke-4.
Daya Putus Bakso (DPB) Tabel 1 menunjukkan semakin besar konsentrasi asap cair yang dipergunakan untuk merendam bakso, maka nilai DPB semakin kecil. Semakin kecil nilai DPB menandakan bakso semakin empuk, demikian sebaliknya. Nilai DPB terkecil pada konsentrasi asap cair 0% dan 15% (0,17 kg/cm2) dan yang terbesar pada konsentrasi 0% (0,20 kg/cm2). Semakin lama waktu penyimpanan, nilai DPB semakin kecil, menandakan bakso semakin empuk, demikian pula sebaliknya. Penyimpanan minggu ke-1 tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan penyimpanan minggu ke-2 dan ke-3, tetapi berbeda nyata (P<0,05) dengan penyimpanan minggu ke-4. Residu Pengunyahan Tabel 1 menunjukkan skor residu pengunyahan berbeda nyata pada kosentrasi antara 0% dan 5%, serta sangat nyata pada konsentrasi 0% ke 10% dan 15%, tetapi tidak berbeda nyata pada konsentrasi 5% ke 10% dan 15%, demikian juga pada konsentrasi 10% ke 15%. Skor residu pengunyahan semakin meningkat seiring dengan semakin besar konsentrasi asap cair. Tidak terdapat perbedaan antara penyimpanan minggu ke-2 dan ke-3, tetapi minggu ke1 berbeda nyata terhadap minggu ke-2 dan ke-3. Kesukaan Hasil penilaian panelis terhadap tingkat kesukaan bakso (Tabel 1) menunjukkan tingkat kesukaan panelis tertinggi pada konsentrasi 10% (4,2) dan terendah pada konsentrasi 15% (3,7). Tidak terdapat perbedaan antara penyimpanan minggu ke-1 dan ke-2 dan antara penyimpanan minggu ke-2 dan ke-3 tetapi penyimpanan minggu ke-1 berbeda nyata daripada minggu ke-3.
PEMBAHASAN Nilai TPC pada bakso kontrol (0%) relatif sama dengan bakso yang direndam asap cair. Konsentrasi asap cair hingga 15% belum mampu memberi perbedaan yang berarti terhadap nilai TPC.
Namun demikian, ada kecenderungan penurunan nilai TPC dengan
meningkatnya konsentrasi asap cair. Pada penyimpanan minggu ke-1 nilai TPC bakso kontrol relatif sama dengan perendaman 5% yaitu 5,99 log CFU/g (1,65x106 CFU/g) dan 6,01 log CFU/g (1,69x106 CFU/g ) sedangkan pada konsentrasi 10% dan 15% nilai TPC menurun yaitu 5,95 log CFU/g (1,39x106 CFU/g) dan 5,89 log CFU/g (1,19x106 CFU/g). Hal ini karena komponen aktif dari asap cair pada konsentrasi 0% dan 5% masih kurang sedangkan pada konsentrasi 10% dan 15% telah terjadi efek penghambatan pertumbuhan bakteri sebagai akibat peningkatan kadar fenol sehingga jumlah bakteri yang tumbuh menurun. Sejalan
dengan penelitian Arizona dkk. (2011) yaitu kadar fenol daging semakin tinggi dengan meningkatnya konsentrasi asap cair. Pada penyimpanan minggu ke-2 pada konsentrasi 0% dan 5% nilai TPC meningkat yaitu 7,90 log CFU/g (1.36x107 CFU/g) dan 7,63 log CFU/g (1.41x107 CFU/g)
demikian pula pada penyimpanan minggu ke-3 dan ke-4. Hal ini
menunjukkan semakin lama penyimpanan nilai TPC semakin meningkat walaupun disimpan pada suhu dingin. Mendukung pernyataan Adams dkk. (2000), jumlah mikroorganisme bertambah dengan semakin lama penyimpanan disebabkan terdapat mikroorganisme tertentu yang tetap mampu hidup dalam suhu dingin. Sejalan dengan hasil penelitian Wiraswanti (2008) bahwa jumlah koloni mikroorganisme pada bakso ikan perlakuan penambahan karagenan 0,5% dan kitosan 0,1% dan perlakuan penambahan STPP 0,15% pada suhu dingin dari minggu ke-0 sampai minggu ke-3 cenderung mengalami peningkatan, masing-masing sebesar 5 x 101 (1,70 log CFU/g) hingga 2,1 x 104 (4,32 log CFU/g) dan 10 x 101 (2,0 log CFU/g) hingga 2,19 x 104.(4,34 log CFU/g). Oksidasi lipida merupakan penyebab utarna kerusakan mutu daging dan produkproduknya yang disimpan (Ladikos dan Lougovois, 1990). Nilai TBA cenderung menurun dengan meningkatnya konsentrasi asap cair. Namun penurun tersebut belum menunjukkan perbedaan yang berarti. Hal ini menandakan bahwa asap cair pada konsentrasi tersebut mampu berperan sebagai antioksidan sehingga perubahan nilai TBA tidak signifikatif, sejalan dengan penelitian Abustam dkk, (2013) diperoleh kecenderungan nilai TBA daging menurun pada konsentrasi asap cair yang lebih tinggi. Hasil penelitian Tamaela (2003) diperoleh bahwa penggunaan asap cair tempurung kelapa sebagai larutan perendam efektif untuk menghambat oksidasi lipida yang ditunjukkan dengan nilai TBA (0,92 mg MDA/kg) pada steak cakalang asap yang direndam dalam asap cair pengenceran 2,5 kali lebih rendah, jika dibandingkan dengan pada pengenceran 5 kali (1,60 mg MDA/kg), dan tanpa asap cair (4,75 mg MDA/kg). Persentase peningkatan nilai TBA bakso pada rentang waktu penyimpanan minggu ke2 ke minggu ke-3 dengan nilai 5.13%, minggu ke-3 ke minggu ke-4 yaitu sebesar 36.59% dan pada rentang waktu penyimpanan minggu ke-2 hingga ke-4 adalah 43,59%. Peningkatan ini disebabkan karena semakin lama waktu penyimpanan, kadar fenol cenderung mengalami penurunan (Ladikos dan Lougovoiz, 1990 dalam Tamaela, 2003), sehingga peran asap cair sebagai antioksidan semakin menurun. Daya putus bakso (DPB) merupakan indikator penilaian keempukan bakso dimana semakin kecil daya yang dikeluarkan untuk memutus bakso maka dinyatakan bakso tersebut semakin empuk (Abustam, 1993). Nilai daya putus bakso kontrol (0%) relatif sama dengan bakso yang direndam asap cair. Konsentrasi asap cair hingga 15% belum mampu memberi
perbedaan yang berarti terhadap DPB. Namun ada kecenderungan meningkatnya keempukan seiring dengan meningkatnya konsentrasi asap cair. Persentase peningkatan keempukan bakso pada konsentrasi 0% ke 5% sebesar 11,11%, sedang konsentrasi 5% ke 10% lebih rendah yaitu 5,56%. Peningkatan keempukan kemungkinan disebabkan oleh kerja komponen asap cair (fenol, karbonil, asam) sebagai antioksidan yang menghambat terjadinya oksidasi protein sehingga daya mengikat air oleh protein meningkat. Penelitian lain dilakukan oleh Kompudu (2008), diperoleh bahwa peningkatan keempukan daging ayam pada pemberian asap cair sebagai antioksidan dimana dari tiga jenis antioksidan (catechins tea, kayu manis, dan asap cair) terlihat bahwa asap cair menghasilkan daya putus daging terendah sekalipun tidak berbeda nyata dengan catechins tea. Nilai DPB pada peyimpanan minggu ke-1 sampai minggu ke-3 relatif sama. Pada rentang waktu penyimpanan sampai minggu ke-4 terjadi peningkatan keempukan secara nyata sebesar 30%, menandakan bahwa penyimpanan pada suhu dingin dapat memperbaiki keempukan bakso akibat aktivitas enzim cathepsin menyebabkan terjadinya proteolisis dan terjadi fragmentasi miofibriler sehingga otot menjadi empuk dan cita rasa semakin meningkat (Abustam, 2012). Berbeda dengan hasil penelitian Abustam dkk. (2012), dimana semakin lama penyimpanan daya putus bakso meningkat. Perbedaan ini disebabkan karena pada penelitian ini telah terjadi kontaminasi awal oleh bakteri sehingga terjadi hidrolisis protein oleh mikroba proteolitik menyebabkan perubahan tekstur pada produk, sehingga mempercepat pembusukan serta terjadinya penghancuran protein struktural seperti kolagen dan elastin (Nurwantoro, 1997). Skor residu pengunyahan bakso meningkat secara nyata dari konsentrasi 0% (4,9) ke 5% (5,0) dengan persentase peningkatan 2,04% dan meningkat sangat nyata dari konsentrasi 0% (4,9) ke 10% (5,1) dengan persentase peningkatan sebesar 4,08%. Hal ini menunjukkan kemampuan asap cair untuk
meningkatkan keempukan daging yang dinilai dari sisa
pengunyahan yang semakin sedikit dengan cara mengaktifkan kerja enzim-enzim protease mendegradasi protein-protein daging, khususnya protein struktural pada jaringan ikat (kolagen) sehingga residu pengunyahan berkurang. Menurut Purnomo dkk. (2000), kolagen merupakan protein struktural pokok pada jaringan ikat dan mempunyai pengaruh besar terhadap keempukan daging. Penilaian panelis terhadap residu pengunyahan bakso pada penyimpanan minggu ke-2 dan ke-3 relatif sama, tetapi skor residu pengunyahan pada minggu ke-2 dan ke-3 berbeda nyata lebih tinggi dibanding minggu ke-1, terjadi peningkatan sebesar 2%. Peningkatan ini disebabkan karena terjadi degradasi enzimatik pada protein miofibriler selama penyimpanan
sehingga keempukan daging meningkat yang ditandai dengan berkurangnya residu pengunyahan. Hal ini mendukung pernyataan Bird dkk. (1980) dalam Abustam (2012) bahwa degradasi enzimatik pada protein miofibriler selama penyimpanan menyebabkan keempukan daging meningkat. Kesukaan panelis terhadap bakso pada konsentrasi antara 5% dan 15% berbeda nyata sama halnya antara konsentrasi 10% dan 15%. Panelis lebih menyukai bakso dengan konsentrasi 5% dan 10% dibanding 0% dan 15%. Pada konsentrasi asap cair 5% apresiasi panelis terhadap kesukaan bakso adalah 7,89% sedang pada konsentrasi 10% meningkat 10,53%. Hal ini berkaitan dengan kualitas bakso yang lebih baik pada konsentrasi 10% yang ditandai dengan keempukan lebih baik dan residu pengunyahan sedikit. Kesukaan panelis terhadap bakso pada penyimpanan minggu ke-1 tidak berbeda nyata dengan minggu ke-2, sama halnya pada penyimpanan minggu ke-2 dan minggu ke-3, tetapi pada penyimpanan minggu ke-1 apresiasi panelis berbeda sangat nyata lebih suka daripada bakso pada penyimpanan minggu ke-3. Hal ini karena semakin lama penyimpanan kualitas sensorik (kekenyalan, keempukan, dan flavor) bakso semakin menurun. Mendukung hasil penelitian Abustam dkk. (2012) bahwa semakin lama penyimpanan pada bakso daging sapi dengan penambahan asap cair 1% diperoleh kualitas sensorik bakso semakin menurun.
KESIMPULAN DAN SARAN Konsentrasi asap cair tempurung kelapa memberikan hasil kurang lebih sama terhadap nilai TPC, nilai TBA, dan nilai daya DPB, tetapi kualitas sensorik meningkat ditandai dengan residu pengunyahan sedikit dan disukai. Semakin lama penyimpanan nilai TPC dan nilai TBA meningkat, nilai DPB dan kualitas sensorik bakso menurun,.Berdasarkan kesimpulan tersebut, disarankan untuk menggunakan konsentrasi asap cair 10% karena dapat memperbaiki kualitas sensorik bakso dan lama penyimpanan hingga minggu ke-3 masih dapat diterima berdasarkan nilai DPB dan kualitas sensorik tidak berbeda dengan penyimpanan minggu ke-1.
DAFTAR PUSTAKA Abustam, E. (1993). Peranan maturasi (aging) terhadap mutu daging sapi bali yang dipelihara secara tradisional dan dengan sistem penggemukan. Laporan Hasil Penelitian. Proyek Peningkatan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Loan Bank Dunia No.3311-IND. SPK No. 670/P4M/DPPM/L. 3311/BBI/1992. Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Abustam, E., J. C. Likadja dan A. Ma’arif. (2009). Penggunaan Asap Cair Sebagai Bahan Pengikat pada Pembuatan Bakso Daging Sapi Bali. Prosiding Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan. Program Magister Ilmu Ternak Pasacasarjana Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. __________. (2012). Ilmu Daging. Makassar : Masagena Press. Abustam, E., M. Yusuf, H.M. Ali, dan F.N. Yuliati. (2012). Karakteristik Bakso Daging Sapi Bali Melalui Penambahan Asap Cair pada Otot Prarigor dan Pascarigor. Penelitian Strategi Nasional. Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. ____________________________________________. (2013). Karakteristik kualitas daging sapi Bali (M. Longissimus dorsi) pasca penambahan asap cair pada konsentrasi dan waktu maturasi yang berbeda. Prosiding. Seminbar Nasional Peternakan Berkelanjutan 5. Laboratorium Teknologi Daging dan Telur Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar. Adam M. R. & M. O. Moss. (2000). Food Microbiology. Royal Society of Chemistry. Cambridge. Arizona, R., E. Suryanto, dan Y. Erwanto. 2011. Pengaruh Konsentrasi Asap cair Tempurung Kenari dan Lama Penyimpanan Terhadap KUalitas Kimia dan Fisik Daging. Buletin Peternakan Vol. 35(1): 50-56. Apriyantono, A.D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budiyanto. 1989. Analisis pangan. Bogor : IPB Press. Arnim, Ferawati, & Y. Marlida. (2012). The effect of liquid smoke utilization as preservative for meatballs quality. Pakistan Journal of Nutrition 11 (11): 1078-1080. Daun, H. (1979). Interaction of Wood Smoke Component and Food. Food Tech. 35: 66-70. Fardiaz, S. 1993. Analisis mikrobiologi pangan. Jakarta : Raja Grafindo Perkasa. Kompudu, A. (2008). Pengaruh antioksidan catechins tea, eugenol ekstrak kayu manis, dan asap cair terhadap terjadinya perubahan kualitas daging dada ayam pedaging (Skripsi). Makassar : Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Ladikos, D. & V. Lougovois. (1990). Lipid oxidation in muscle foods. A Review. Food Chem, 35(4) : 295-314. Muratore, G., Licciardello, F. (2005). Effect of vacuum and modified atmosphere packaging on the shelf-life of liquid-smoked swordfish (Xiphias gladius) slices. J Food Sci, 70:359-363. Muratore, G., Mazzaglia, A., Lanza, C.M., Licciardello, F. (2007). Process variables on the quality of swordfish fillets flavored with smoke condensate. J of Food Processing and Presetvation, 31: 167-177. Nurwantoro. (1997). Mikrobiologi pangan hewan nabati. Yogyakarta : Kanisius. Purnomo, H., D. Rosyidi dan H. Erwan. (2000). Substitusitepung lupin (Lupinus sp) dalam pembuatan bakso daging sapi. Editor Lilis Nuraida, Ratih Dewanti, Hariadi Dan Slamet Budiarjo. Dalam: Prosiding Seminar Industri Pangan. Perhimpunan, Ahli Teknologi Indonesia. 9-‐10 Oktober 2001. Pszczola, D.E. (1995). Tour highlights production and users of smoke based flavours. FoodTechnology, (1)70-74.
Setiadji, B.A.H. (2000). Asap cair tempurung kelapa. Asap cair sebagai pengawet alami yang aman bagi manusia. (www,asapcair.com), PPKT, Jogjakarta. Siskos, I., A. Zotos, S. Melidou and R. Tsikritzi. (2007). The effect of liquid smoking of fillets of trout (Salmo gairdnerii) on sensory, microbiological and chemical changes during chilled storage. Food Chem, 101:458-464. Soldera S, Sebastianutto N., Bortolomeazzi R. (2008). Composition of phenolic compounds and antioxidant activity of commercial aqueous smoke flavorings. J Agric Food Chem, 56: 2727–2734. Sunen E, Fernandez-Galian B, Aristimuno C. 2001. Antibacterial activity of smoke wood condensates againts aeromonas hydrophila, Yersinia enterolitica and Listeria monocytogenes at low temperature. Food Microbiol 18:387-393. Tamaela, P. (2003). Efek Antioksidan asap cair tempurung kelapa untuk menghambat oksidasi lipida pada steak ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap selama penyimpanan. Ichtyos, Vol. 2, Juli 2003:59-62. Wiraswanti, I. (2008). Pemanfaatan karagenan dan kitosan dalam pembuatan bakso ikan kurisi (nemipterus nematophorus) pada penyimpanan suhu dingin dan beku (Skripsi).. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Zuraida, I. 2008. Kajian penggunaan asap cair tempurung kelapa terhadap daya awet bakso ikan (Tesis). Bogor : Sekolah Pascasarjana IPB..
Tabel 1. Rata-rata total koloni bakteri bakso (TPC) dan nilai TBA, daya putus bakso (DPB), residu pengunyahan, dan kesukaan berdasarkan konsentrasi asap cair dan lama penyimpanan berbeda Konsentrasi asap cair (%) Parameter
0
TPC (log CFU/g) Nilai TBA (mg MDA/kg) DPB (kg/cm2) Residu pengunyahan Kesukaan )*
5
2,67x10
8
10
2,97x10
8
5,81x10
Lama penyimpanan (minggu) 15
7
4,93x10
0,046
0,044
0,040
0,038
0,20
0,18
0,17
0,17
4,9
3,8
a
5,0
ab
b b
4,1
5,1
b b
4,2
5,1
ke-1 7
1.48x10
b
3,7
a
6 (a)
0,033 0,20 5,0
a
b
a
4,3
ke-2
a
9.76x 10 0,039 0,20 5,1
3,9
6(b)
a
b
b
ab
ke-4
ke-3 5.73x 10 0,041 0,17 5,1
7(c)
6.03x 10
ab
ab
0,056 0,14
8(d) b
a
b b
3,7
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05) dan sangat nyata )* (P<0,01)
Nilai TPC (log CFU/g)
10.00 8.00 6.00
7.90 7.63 7.56 6.95 6.68 7.27 6.01 5.99 5.95 5.89 6.92 6.31
8.718.68 8.298.23
4.00 2.00 Kontrol
0.00 Minggu ke-1
Minggu ke-2
Minggu ke-3
Minggu ke-4
Lama penyimpanan
Asap Cair 5% Asap Cair 10% Asap Cair 15%
Nilai TBA (mg MDA/kg)
Gambar 1. Grafik nilai TPC Bakso Sapi dengan Perendaman Asap Cair 0.070 0.060 0.060 0.060 0.059 0.049 0.046 0.050 0.045 0.041 0.043 0.039 0.037 0.040 0.032 0.034 0.033 0.032 0.032 0.030 0.030 0.020 0.010 0.000 Minggu ke-1
Minggu ke-2 Minggu ke-3 Lama penyimpanan
Minggu ke-4
Kontrol Asap Cair 5% Asap Cair 10% Asap Cair 15%
Gambar 2. Grafik nilai TBA Bakso Sapi dengan Perendaman Asap Cair