KAJIAN PENGGUNAAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA TERHADAP DAYA AWET BAKSO IKAN
ITA ZURAIDA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Penggunaan Asap Cair Tempurung Kelapa terhadap Daya Awet Bakso Ikan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Agustus 2008
Ita Zuraida NRP F251060101
ABSTRACT ITA ZURAIDA. Study of Coconut Shell Liquid Smoke Utilization of Fishball Preservation. Under direction of SLAMET BUDIJANTO and SUKARNO The study investigated safeties and antibacterial activity of coconut shell liquid smoke and its applications of fishball preservation. The safeties of liquid smoke studied by identification of volatile compounds of liquid smoke by means of Gas Chromatography-Mass Spectroscopy (GC-MS) and determination acute toxicity of liquid smoke. A high number of compounds was detected. They were identified as ketones, carbonyl, acids, furan and pyran derivatives, phenol and derivatives, guaiacol and derivatives, syringol and derivatives, and alkyl aryl ethers. Neither benzo[a]pyrene nor other polycyclic aromatic compounds with carcinogenic properties were found in this liquid smoke. Acute toxicity test of these product assessed by determination of LD50 dose (the dose which causes the death of half the test animals). Results indicated that LD50 dose of this liquid smoke are more than 15.000 mg/kg body weight of mice. The Minimum Inhibitory Concentration (MIC) of liquid smoke against Pseudomonas aeruginosa and Staphylococcus aureus determined using broth or agar dilution methods. Liquid smoke showed antibacterial activities againts P. aeruginosa and S. aureus with MIC value 0,22% and 0,40%, respectively. Applications of 2,5% liquid smoke in fishball at 27–28 0C increased shelflife from 16 to 32 hours, whereas at 4±1 0C until 20 days storage were better accepted, and retarded the decreased of pH and moisture content compared to control. The results indicated that liquid smoke was an effective preservative agent for fishball. Keywords: acute toxicity, coconut shell liquid smoke, fishball preservation, GCMS, MIC value.
RINGKASAN
ITA ZURAIDA. Kajian Penggunaan Asap Cair Tempurung Kelapa terhadap Daya Awet Bakso Ikan. Dibimbing oleh SLAMET BUDIJANTO dan SUKARNO Asap cair merupakan suatu campuran dispersi asap kayu dalam air yang dibuat dengan mengkondensasikan asap hasil pembakaran kayu. Asap cair telah digunakan secara komersial sebagai bahan pemberi aroma pada ikan dan daging karena adanya komponen flavor dari senyawa-senyawa fenolik. Asap cair mempunyai beberapa keunggulan, yaitu memiliki aktivitas antibakteri, penggunaan lebih mudah, dosis dapat diatur, dan tidak mengandung komponenkomponen yang berbahaya seperti tar yang mengandung hidrokarbon aromatik, termasuk benzo[a]ppirene. Saat ini, ikan dan produk-produk olahannya seperti bakso ikan, siomay, empek-empek, ikan asin, dan lain-lain masih ada yang menggunakan bahan kimia yang dilarang pemerintah seperti boraks dan formalin. Khusus untuk bakso ikan, umur simpannya relatif pendek yaitu 12-16 jam pada suhu kamar dan 4-5 hari pada suhu refrigerasi. Oleh karena itu, umumnya para produsen berusaha untuk memperpanjang umur simpan bakso ikan dengan berbagai cara, termasuk menggunakan bahan kimia yang dilarang seperti formalin dan boraks dengan alasan lebih efektif dan efisien tanpa mempertimbangkan kesehatan konsumen. Upaya pemanfaatan asap cair tempurung kelapa untuk meningkatkan daya awet bakso ikan menarik untuk diteliti dan diharapkan menjadi bahan pengawet alternatif yang lebih aman. Penelitian ini bertujuan mengkaji penggunaan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan pengawet alternatif yang aman. Ruang lingkup kajian meliputi (1) uji keamanan pangan asap cair tempurung kelapa dengan analisis GC-MS dan uji toksisitas akut untuk menentukan nilai LD50, (2) pengujian aktivitas antibakteri dengan penentuan nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration), dan (3) aplikasi asap cair terhadap daya awet bakso ikan. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Penelitian tahap I adalah mengidentifikasi komponen asap cair tempurung kelapa dengan analisis GC-MS (GC-MS Shimadzu QP2010; kolom RTx-1 MS) dan penentuan nilai LD50 asap cair tempurung kelapa. Penelitian tahap II adalah melakukan pengujian terhadap aktivitas antibakteri asap cair tempurung kelapa dengan mencari nilai MIC. Penelitian tahap III adalah aplikasi asap cair tempurung kelapa terhadap daya awet bakso ikan. Bakso ikan dengan penambahan asap cair disimpan pada suhu kamar (27-28 0C) dan suhu refrigerasi (4±1 0C). Sebelum dilakukan penyimpanan, terlebih dahulu ditentukan cara pemberian dan konsentrasi asap cair yang digunakan. Cara pemberian asap cair dilakukan dengan 3 metode, yaitu perendaman bakso ikan dalam asap cair selama 30 menit, pencampuran asap cair ke dalam adonan bakso dan pencampuran asap cair ke dalam air perebus bakso. Parameter yang diamati adalah parameter fisik yaitu timbulnya lendir setiap selang waktu 8 jam sampai produk menunjukkan tanda-tanda kerusakan, sedangkan konsentrasi asap cair dipilih berdasarkan penerimaan konsumen terhadap bakso asap. Konsentrasi asap cair yang diujikan adalah 1,0%; 1,5%;
2,0%; dan 2,5%. Pengamatan pada penyimpanan suhu kamar dilakukan pada jam ke-0; 8; 16; 24; 32, dan 40, sedangkan pengamatan pada penyimpanan suhu refrigerasi dilakukan pada hari ke-0; 4; 8; 12; 16; dan 20. Pengamatan yang dilakukan meliputi Angka Lempeng Total (TPC) menggunakan metode hitungan cawan, nilai pH menggunakan pH-meter (ORION-410A) dan kadar air menggunakan metode gravimetri. Hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa kelompok senyawa yang teridentifikasi dari asap cair tempurung kelapa terdiri dari keton, karbonil, asam, furan dan turunan pyran, fenol dan turunannya, guaiakol dan turunannya, siringol dan turunannya, serta alkil aril eter. Selain itu, tidak ditemukan senyawa Policyclyc Aromatic Hydrokarbon (PAH) termasuk benzo[a]piren. Hasil uji toksisitas akut menunjukkan bahwa nilai LD50 asap cair tempurung kelapa lebih besar dari 15.000 mg/kg BB mencit. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2001, suatu zat/senyawa/bahan kimia dengan nilai LD50 lebih besar dari 15.000 mg/kg BB hewan uji, maka dikategorikan sebagai bahan yang tidak toksik dan aman digunakan untuk pangan. Selain keamanan pangan asap cair tempurung kelapa, parameter mikrobiologi juga sangat diperlukan untuk menentukan daya awet bakso ikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian aktivitas antibakteri asap cair tempurung kelapa untuk mengetahui dosis yang efektif untuk diaplikasikan ke bakso ikan. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan menentukan nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration) asap cair tempurung kelapa dengan metode kontak pada medium cair. Bakteri uji yang digunakan adalah S. aureus dan P. aeruginosa. Kedua jenis ini mewakili jenis bakteri Gram negatif dan Gram positif, selain ikut berperan dalam kontaminasi dan kerusakan makanan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai MIC asap cair tempurung kelapa terhadap S. aureus sebesar 0,40% dengan penghambatan 91,11%, sedangkan nilai MIC asap cair tempurung kelapa terhadap P. aeruginosa sebesar 0,22% dengan penghambatan 91,59%. Hasil pengamatan visual bakso ikan untuk tiga cara pemberian asap cair menunjukkan bahwa pencampuran asap cair tempurung kelapa dalam air perebus lebih efektif untuk meningkatkan daya awet bakso ikan. Cara perendaman dan pencampuran asap cair tempurung kelapa dalam adonan bakso memberikan hasil yang sama. Cara pencampuran asap cair dalam air perebus lebih efektif, pada konsentrasi asap cair 2,5% lendir pada bakso mulai terbentuk pada jam ke-32. Berdasarkan uji hedonik menggunakan 30 orang panelis, asap cair sampai konsentrasi 2,5% masih dapat diterima oleh panelis, meskipun secara keseluruhan berbeda nyata dengan konsentrasi 1%. Konsentrasi asap cair 2,5% digunakan pada tahap penyimpanan bakso ikan, karena konsentrasi tersebut masih dapat diterima oleh panelis dengan nilai antara 7 (suka) dan 8 (sangat suka). Selain itu, melalui pengamatan visual, bakso dengan konsentrasi asap cair 2,5% mulai terbentuk lendir pada jam ke-32, dibandingkan dengan konsentrasi asap cair 1,0%; 1,5%; dan 2,0% yang terbentuk lendir pada jam ke-24. Hasil pengamatan pada penyimpanan suhu kamar menunjukkan bahwa bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2,5% memiliki nilai TPC yang lebih rendah dibandingkan kontrol. Asap cair konsentrasi 2,5% dapat memperpanjang umur simpan bakso ikan 16 jam lebih lama daripada kontrol. Nilai pH bakso ikan dengan asap cair 2,5% lebih rendah daripada bakso ikan kontrol dari awal sampai akhir penyimpanan. Hal ini disebabkan oleh komponen asam yang terdapat dalam
asap cair. Berdasarkan hasil analisis GC-MS, asap cair tempurung kelapa mengandung senyawa pecahan dari asam benzoat, yaitu 2,3-dihydroxy-benzoic acid, 3-methoxybenzoic acid methyl ester, dan 4-Hydroxy-benzoic acid methyl ester. Selama penyimpanan sampai jam ke-40, kadar air bakso ikan kontrol mengalami penurunan dari 74,56% menjadi 74,20% dan bakso ikan dengan asap cair 2,5% mengalami penurunan dari 74,27% menjadi 74,15, dan menunjukkan tidak ada beda nyata (p>0,05). Hasil pengamatan pada penyimpanan suhu refrigerasi menunjukkan bahwa bakso ikan dengan asap cair 2,5% memiliki nilai TPC yang lebih rendah dibandingkan kontrol. Secara mikrobiologis, bakso ikan dengan asap cair 2,5% sampai hari ke-20 masih layak untuk dikonsumsi. Nilai pH bakso ikan mengalami kenaikan pada akhir penyimpanan. Peningkatan nilai pH disebabkan oleh berkembangnya bakteri psikrofil yang dapat menyebabkan terbentuknya basa-basa volatil seperti amonia dan trimetilamin. Selama penyimpanan sampai hari ke-20, kadar air bakso ikan mengalami penurunan dan menunjukkan adanya beda nyata (p<0,05). Penurunan kadar air bakso ikan disebabkan adanya penguapan air pada suhu rendah, sehingga selama pendinginan kadar air bakso ikan akan berkurang. Kata kunci: asap cair tempurung kelapa, GC-MS, daya awet bakso ikan, nilai MIC , toksisitas akut.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KAJIAN PENGGUNAAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA TERHADAP DAYA AWET BAKSO IKAN
ITA ZURAIDA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Tesis
:
Kajian Penggunaan Asap Cair Tempurung Kelapa terhadap Daya Awet Bakso Ikan
Nama
:
Ita Zuraida
NRP
:
F251060101
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr Ketua
Dr. Ir. Sukarno, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc
Tanggal Ujian: 21 Juli 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dra. Suliantari, M.S
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta sahabat dan pengikutnya. Laporan tesis ini berjudul Kajian Penggunaan Asap Cair Tempurung Kelapa terhadap Daya Awet Bakso Ikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Bapak Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr., sebagai ketua komisi pembimbing yang telah memberikan semangat, dukungan, saran, bimbingan, dan mendanai sebagian penelitian ini.
2.
Bapak Dr. Ir. Sukarno, M.Sc., sebagai anggota komisi pembimbing yang juga telah memberikan semangat, saran dan bersedia membimbing selama penelitian dan penyusunan tesis ini.
3.
Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) yang juga telah mendanai sebagian penelitian ini.
4.
Rektor Universitas Mulawarman dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unmul yang telah memberikan rekomendasi tugas belajar.
5.
Suami tercinta Bagus Fajar Pamungkas, dan Hafidz Zufar Faiz, buah hati kami yang memberikan inspirasi dan semangat untuk menyelesaikan tesis ini. Ibu, Bapak, Mertua dan Kakak-kakak atas segala doa, bantuan dan pengertiannya.
6.
Sahabat-sahabatku di IPN, para laboran dan teknisi, staf Fits dan Technopark, serta semua pihak PS IPN, atas segala bantuan dan kerjasama yang solid.
7.
Semua pihak yang turut berperan dalam penelitian dan penyusunan tesis ini. Akhirnya penulis hanya dapat memohon agar Allah SWT membalas semua
budi baik yang telah diberikan dan semoga penelitian ini memberikan manfaat bagi yang memerlukannya. Bogor, Agustus 2008
Ita Zuraida
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Madiun, 1 Juni 1980. Penulis adalah anak bungsu dari empat bersaudara keluarga Bapak Zarkasi dan Ibu Sumartin. Saat ini penulis telah menikah dengan Bagus Fajar Pamungkas dan mempunyai seorang putra bernama Hafidz Zufar Faiz. Penulis menyelesaikan pendidikan di Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada pada tahun 2003. Tahun 2006, penulis mendapat tugas belajar dari Universitas Mulawarman Samarinda untuk melanjutkan pendidikan S2 dengan mengambil Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS Dikti, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf pengajar berstatus pegawai negeri sipil di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman, Samarinda sejak tahun 2005. Selama bekerja penulis mendapat tugas membantu mengajar matakuliah Teknologi Hasil Perikanan dan Pengolahan Hasil Perikanan di Jurusan Budidaya Perairan FPIK Unmul pada tahun 2005.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xvii 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ........................................................................
2
1.3. Tujuan..............................................................................................
3
1.4. Manfaat ...........................................................................................
3
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asap Cair ........................................................................................
4
2.2. Komponen Asap Cair Tempurung Kelapa .......................................
4
2.3. Keamanan Pangan Asap Cair Tempurung Kelapa .............................
6
2.4. Pengawetan dengan Asap Cair ........................................................
7
2.5. Aktivitas Antimikroba Asap Cair .....................................................
9
2.6. Bakso Ikan ....................................................................................... 2.6.1. Komposisi Bakso Ikan ........................................................... 2.6.2. Pembuatan Bakso Ikan ........................................................... 2.6.3. Teknologi pengawetan Bakso ................................................
10 11 13 14
3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ..........................................................
16
3.2. Bahan dan Alat ................................................................................
16
3.3. Tahapan Penelitian ..........................................................................
16
3.4. Penelitian Tahap I .......................................................................... 3.4.1. Identifikasi Komponen Asap Cair ........................................ 3.4.2. Uji Toksisitas Akut (Penentuan LD50) .................................
18 18 19
3.5. Penelitian Tahap II .......................................................................... 3.5.1. Persiapan Kultur Mikroba .................................................... 3.5.2. Prosedur Pengujian ..............................................................
20 20 20
3.6. Penelitian Tahap III .........................................................................
21
xiii
3.6.1. Penentuan Cara Pemberian dan Konsentrasi Asap Cair .......... 3.6.2. Tahap Penyimpanan Bakso Ikan ............................................
21 22
3.7. Prosedur Analisis ............................................................................. 3.7.1. Uji Hedonik ........................................................................... 3.7.2. Total Fenol ............................................................................ 3.7.3. Penentuan Total Plate Count (TPC) ....................................... 3.7.4. Nilai pH ................................................................................. 3.7.5. Kadar Air ...............................................................................
22 22 22 23 24 24
3.8. Analisis Statistik ..............................................................................
24
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keamanan Pangan Asap Cair Tempurung Kelapa ............................ 4.1.1. Identifikasi Komponen Asap Cair Tempurung Kelapa ........... 4.1.2. Uji Toksisitas Akut Asap Cair Tempurung Kelapa .................
25 26 30
4.2. Uji Aktivitas Antibakteri Asap Cair Tempurung Kelapa ..................
33
4.3. Aplikasi Asap Cair Tempurung Kelapa pada Bakso Ikan ................. 4.3.1. Penentuan Cara Pemberian Asap Cair Tempurung Kelapa ... 4.3.2. Penentuan Konsentrasi Asap Cair Tempurung Kelapa ......... 4.3.3. Total Fenol Asap Cair Tempurung Kelapa, Air Perebus Bakso, dan Bakso Ikan ....................................................... 4.3.4. Penyimpanan Bakso Ikan pada Suhu Kamar ........................ 4.3.4.1. Jumlah Total Bakteri (TPC) .................................... 4.3.4.2. Nilai pH ................................................................. 4.3.4.3. Kadar Air ............................................................... 4.3.5. Penyimpanan Bakso Ikan pada Suhu Refrigerasi .................. 4.3.5.1. Jumlah Total Bakteri (TPC) .................................... 4.3.5.2. Nilai pH ................................................................. 4.3.5.3. Kadar Air ...............................................................
35 35 36
4.4. Pembahasan Umum .........................................................................
47
39 40 40 42 43 44 44 46 46
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan .....................................................................................
53
5.2. Saran ...............................................................................................
53
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
54
LAMPIRAN ................................................................................................
62
xiv
DAFTAR TABEL Halaman
1. Klasifikasi tingkat toksisitas zat kimia/bahan/senyawa berdasarkan nilai LD50 ...........................................................................
7
2. Standar mutu bakso ikan (SNI 01-3819-1995) ........................................
10
3. Komposisi bakso ikan ............................................................................
11
4. Rincian Seri Dosis untuk Uji Toksisitas Akut .........................................
19
5. Komponen-komponen yang teridentifikasi dari fraksi terlarut asap cair tempurung kelapa dalam dichloromethane ...................
26
6. Jumlah dan persentase kematian mencit .................................................
32
7. Hasil pengamatan visual bakso ikan .......................................................
36
8. Nilai rata-rata mutu bakso ikan berdasarkan penerimaan panelis ..............
37
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Benzo[a]pirena ........................................................................................
6
2. Diagram Alir Tahapan Penelitian ...........................................................
17
3. Perubahan berat badan mencit selama masa aklimatisasi. ........................
31
4. Pertambahan berat badan mencit selama pengamatan ..............................
32
5. Nilai MIC asap cair tempurung kelapa terhadap bakteri uji .....................
34
6. Persentase penilaian panelis terhadap aroma, warna, rasa, dan kesukaan keseluruhan bakso ikan dengan konsentrasi asap cair 2,5%. .....
38
7. Jumlah total bakteri (log CFU/g) pada bakso ikan selama penyimpanan suhu kamar. .......................................................................
41
8. Nilai pH bakso ikan selama penyimpanan suhu kamar............................
42
9. Nilai kadar air bakso ikan selama penyimpanan suhu kamar. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT). ...........................................................................................
43
10. Jumlah total bakteri (log CFU/g) pada bakso ikan selama penyimpanan suhu refrigerasi. .................................................................
45
11. Nilai pH bakso ikan selama penyimpanan suhu refrigerasi .....................
46
12. Nilai kadar air bakso ikan selama penyimpanan suhu refrigerasi. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT). ...........................................................................................
47
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Berat badan (g) hewan uji mencit selama masa aklimatisasi (adaptasi) ...
63
2. Berat badan (g) hewan uji mencit setelah pemberian asap cair ................
64
3. Pertambahan berat badan mencit selama pengamatan (%) ......................
65
4. Jumlah bakteri total Staphylococcus aureus pada jam ke-0 .....................
66
5. Jumlah bakteri total (CFU/ml) Staphylococcus aureus setelah kontak dengan medium cair selama 24 jam ........................................................
67
6. Jumlah total bakteri Pseudomonas aeruginosa pada jam ke-0 ..................
69
7. Jumlah bakteri total (CFU/ml) Pseudomonas aeruginosa setelah kontak dengan medium cair selama 24 jam ........................................................
70
8. Nilai MIC asap cair tempurung kelapa terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa ......................................................
73
9. Hasil penilaian kesukaan terhadap aroma bakso asap ..............................
74
10. Hasil penilaian kesukaan terhadap warna bakso asap ...............................
76
11. Hasil penilaian kesukaan terhadap rasa bakso asap .................................
79
12. Hasil penilaian terhadap kesukaan keseluruhan bakso asap ....................
82
13. Kurva standar fenol ................................................................................
85
14. Total fenol (%) asap cair tempurung kelapa, air perebus bakso, dan bakso ikan ..............................................................................................
86
15. Luas permukaan bakso ikan ...................................................................
87
16. Jumlah bakteri total (CFU/g) bakso ikan tanpa perlakuan (kontrol) pada penyimpanan suhu kamar .......................................................................
88
17. Jumlah bakteri total (CFU/g) bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2.5% pada penyimpanan suhu kamar ......................................................
90
18. Jumlah bakteri total (log CFU/g) bakso ikan pada penyimpanan suhu kamar .....................................................................................................
92
19. Nilai pH bakso ikan selama penyimpanan pada suhu kamar ...................
93
20. Kadar air bakso ikan selama penyimpanan suhu kamar ..........................
94
21. Analisis statistik kadar air bakso ikan selama penyimpanan suhu kamar .
95
22. Jumlah bakteri total (CFU/g) bakso ikan tanpa perlakuan (kontrol) pada penyimpanan suhu refrigerasi .................................................................
96
xvii
23. Jumlah bakteri total (CFU/g) bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2.5% pada penyimpanan suhu refrigerasi ................................................
98
24. Jumlah bakteri total (log CFU/g) bakso ikan pada penyimpanan suhu refrigerasi ...............................................................................................
100
25. Nilai pH bakso ikan selama penyimpanan pada suhu refrigerasi .............
101
26. Kadar air bakso ikan selama penyimpanan suhu refrigerasi ....................
102
27. Analisis statistik kadar air bakso ikan selama penyimpanan suhu refrigerasi ...............................................................................................
103
xviii
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Asap cair merupakan suatu campuran dispersi asap kayu dalam air yang dibuat dengan mengkondensasikan asap hasil pembakaran kayu (Karseno et al. 2002). Pada umumnya, penggunaan asap cair sering dikombinasikan dengan berbagai perlakuan seperti penggaraman, teknik pengemasan dan suhu penyimpanan, sebagai upaya untuk menghasilkan efek sinergis terhadap mikroorganisme perusak dan meningkatkan umur simpan (Muratore et al. 2007). Asap cair dapat digunakan untuk memberikan karakteristik sensori terhadap produk ikan dan daging, dalam bentuk perubahan warna, bau, dan rasa, (Sunen et al. 2003). Asap cair telah digunakan secara komersial sebagai bahan pemberi aroma pada ikan dan daging karena adanya komponen flavor dari senyawa-senyawa fenolik (Muratore et al. 2005). Asap cair mengandung campuran senyawasenyawa aldehid, ketone, furan, asam, ester, dan fenolik (Guillen & Ibargoitia 1999). Menurut Muratore et al. (2007), asap cair mempunyai beberapa keunggulan, yaitu memiliki aktivitas antibakteri, penggunaan lebih mudah, dosis dapat diatur, dan tidak mengandung komponen-komponen yang berbahaya seperti hidrokarbon aromatik, termasuk benzo[a]pirene. Beberapa peneliti telah melaporkan aktivitas asap cair komersial pada produk perikanan, seperti pada filet ikan trout (Hattula et al. 2001), ikan kembung (Mahendradatta & Tawali 2006), ikan mackarel (Kolodziejska et al. 2002), dan ikan salmon (Stohr et al. 2001; Montero et al. 2003; Martinez et al. 2007). Aktivitas asap cair tempurung kelapa juga telah dilaporkan sejumlah peneliti, diantaranya pada belut (Febriani 2006), mie basah (Gumanti 2006), dan ikan tongkol (Marasabessy 2007), tetapi belum pernah diteliti aktivitasnya terhadap bakso ikan. Bakso ikan merupakan salah satu makanan yang cukup populer di Indonesia, namun memiliki umur simpan yang relatif pendek. Menurut Syamadi (2002), industri bakso (kecil-menengah) umumnya mempunyai target umur simpan bakso selama pemasarannya adalah empat hari, yaitu di pabrik, pedagang
grosir, pedagang menengah, dan pedagang keliling masing-masing satu hari. Kok dan Park (2007) melaporkan bahwa bakso ikan memiliki umur simpan yang pendek yaitu 12-16 jam pada suhu kamar dan 4-5 hari pada suhu refrigerasi. Oleh karena itu diperlukan metode pengawetan untuk memperpanjang umur simpan bakso ikan. Beberapa peneliti telah melaporkan penggunaan bahan pengawet yang aman untuk memperpanjang umur simpan bakso daging, seperti penggunaan natrium propionat (Tandiyono 1996), nitrit, benzoat-nitrit, dan paraben-nitrit (Yovita 2000), H2O2 (Harjanto 2000), dan asam sorbat (Surjana 2001), sedangkan Sari (2004) melaporkan penggunaan iradiasi sinar gamma untuk memperpanjang umur simpan bakso ikan patin. Penelitian ini mengkaji penggunaan asap cair tempurung kelapa untuk memperpanjang umur simpan bakso ikan dan diharapkan dapat menjadi bahan pengawet alternatif yang aman untuk dikonsumsi. 1.2. Perumusan Masalah Saat ini, ikan dan produk-produk olahannya seperti bakso ikan, siomay, empek-empek, ikan asin, dan lain-lain masih ada yang menggunakan bahan kimia yang dilarang oleh pemerintah seperti boraks dan formalin, sehingga asap cair tempurung kelapa dapat digunakan sebagai alternatif bahan pengawet yang lebih aman. Khusus untuk bakso ikan, umumnya para penjual belum mempunyai cara yang tepat untuk memperpanjang daya awet bakso pada suhu kamar. Seringkali bakso ikan yang dijual hanya bertahan 16 jam, sehingga para pedagang sering menempuh jalan pintas dengan memanfaatkan bahan pengawet yang relatif murah, mudah diperoleh dan dapat mengawetkan bakso ikan lebih lama. Maraknya isu tentang penggunaan formalin pada produk olahan ikan diantaranya bakso ikan, sempat membuat para pedagang rugi karena banyak masyarakat takut untuk mengkonsumsinya. Upaya untuk memanfaatkan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan pengawet produk makanan terutama pada produk hasil perikanan menarik untuk diteliti karena meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi bahan pengawet yang aman.
2
1.3. Tujuan Tujuan umum penelitian ini adalah mengkaji penggunaan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan pengawet alternatif yang aman. Ruang lingkup kajian meliputi (1) uji keamanan pangan asap cair tempurung kelapa dengan analisis GC-MS dan uji toksisitas akut untuk menentukan nilai LD50, (2) pengujian aktivitas antibakteri asap cair tempurung kelapa dengan penentuan nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration), dan (3) aplikasi asap cair tempurung kelapa terhadap daya awet bakso ikan. 1.4. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang keamanan pangan asap cair tempurung kelapa dan efektivitasnya sebagai antibakteri. Selain itu, asap cair diharapkan dapat meningkatkan daya awet produk pangan terutama bakso ikan dan dapat menjadi bahan pengawet alternatif yang aman.
3
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asap Cair Asap cair merupakan suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari uap asap kayu dalam air yang diperoleh dari hasil pirolisa kayu (Putnam 1999). Asap diproduksi dengan cara pembakaran yang tidak sempurna yang melibatkan reaksi dekomposisi konstituen polimer menjadi senyawa organik dengan berat molekul rendah karena pengaruh panas yang meliputi reaksi oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi (Girrard 1992). Asap cair diperoleh secara destilasi kering bahan baku asap misalnya tempurung kelapa, sabut kelapa, atau kayu pada suhu 400 0C selama 90 menit lalu diikuti dengan peristiwa kondensasi dalam kondensor berpendingin air (Karseno et al. 2002). Destilat yang diperoleh dimasukkan dalam corong pemisah
untuk dipisahkan dari senyawa-senyawa kimia yang tidak
diinginkan misalnya senyawa tar yang tidak larut dengan asam pirolignat. Asam pirolignat merupakan campuran dari asam-asam organik, fenol, aldehid, dan lainlain. Menurut Pszczola (1995) dan Chen dan Lin (1997), asap cair mempunyai kelebihan, yaitu (1) selama pembuatan asap cair, senyawa Polisiklik Aromatik Hidrokarbon dapat dihilangkan, (2) konsentrasi pemakaian asap cair dapat diatur dan dikontrol serta kualitas produk akhir menjadi lebih seragam, (3) polusi udara dapat ditekan dan (4) pemakaian asap cair lebih mudah yaitu dengan cara direndam atau disemprotkan serta dicampurkan langsung ke dalam bahan pangan. Siskos et al. (2007) mengemukakan bahwa asap cair mengandung beberapa zat antimikroba, antara lain adalah asam dan turunannya (format, asetat, butirat, propionat, dan metil ester), alkohol (metil, etil, propil, alkil, dan isobutil alkohol), aldehid (formaldehid, asetaldehid, furfural, dan metil furfural), hidrokarbon (silene, kumene, dan simene), keton (aseton, metil etil keton, metil propil keton, dan etil propil keton), fenol, piridin dan metil piridin. 2.2. Komponen Asap Cair Tempurung kelapa Menurut Tranggono et al. (1996) asap cair tempurung kelapa memiliki 7 macam
komponen
dominan,
yaitu
fenol,
3-metil-1,2-siklopentadion,
2-
metoksifenol, 2-metoksi-4-metilfenol, 4-etil-2-metoksifenol, 2,6-dimetoksifenol,
dan 2,5-dimetoksi benzil alkohol yang semuanya larut dalam eter. Sedangkan Guillen et al. (1995) melaporkan bahwa asap cair komersial memiliki empat macam komponen dominan yaitu 3-methyl-1,2-cyclopentanedione, 3 hydroxy-2methyl- 4H-pyran-4-one, 2-methoxyphenol orguaiacol, dan 2,6-dimethoxyphenol. Gumanti (2006) melaporkan bahwa komponen kimia destilat asap tempurung kelapa mengandung total fenol (5.5%), metil alkohol (0.37%), dan total asam (7.1%). Luditama (2006) melaporkan bahwa dari hasil analisis GC-MS, senyawa dominan dari asap cair kondensat sabut kelapa dan tempurung kelapa adalah fenol (C6H6O, BM = 94) dengan luas area bervariasi antara 31,93 – 44,30%. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Tranggono et al. (1996), yang menggunakan bahan baku berbagai jenis kayu dan tempurung kelapa pada suhu pembakaran 350–400 0C, dimana senyawa dominan dari asap cair adalah fenol dengan luas area sebesar 44,13%. Fenol merupakan zat aktif yang dapat memberikan efek antibakteri dan antimikroba pada asap cair. Selain itu, fenol juga dapat memberikan efek antioksidan kepada bahan makanan yang akan diawetkan. Identifikasi fenol terhadap kualitas asap cair yang dihasilkan diharapkan dapat mewakili kriteria dari mutu asap cair tersebut, sehingga hasilnya dapat diaplikasikan kepada semua produk pengasapan. Yulistiani (1997) melaporkan kandungan fenol dalam distilat asap tempurung kelapa sebesar 1,28%, sedangkan Hanendyo (2005) melaporkan dua hasil pengukuran kadar fenol, masing-masing pada panjang kondensor yang berbeda, yaitu 1,38% pada panjang kondensor 2,5 m dan 1,41% pada panjang kondensor 4 meter. Febriani (2006) menganalisis komposisi kimia distilat asap tempurung kelapa dengan menggunakan metode GC-MS. Hasil analisis menunjukkan bahwa asap cair tempurung kelapa mengandung senyawa-senyawa 2-methoxy-4-methyl
phenol,
4-ethyl-2-methoxy-(CAS)p-ethylguaiacol,
2-6-
dimethoxy phenol, dan 2-methoxy-4-(2-propenyl)-(CAS)-eugenol.
5
2.3. Keamanan Pangan Asap Cair Tempurung Kelapa Salah satu komponen kimia yang diketahui bersifat karsinogenik dan biasa ditemukan pada produk pengasapan adalah benzo[a]pirene (Guillen et al. 1995; Guillen et al. 2000; Kazerouni et al. 2001; Stolyhwo & Sikorski 2005). Benzo(a)piren adalah senyawa yang tergolong dalam Polisiklik Aromatik Hidrokarbons (PAH) (Gambar 1). Dalam keadaan murni berbentuk kristal (bubuk), berwarna kuning dengan titik cair 179 0C dan titik didih 312 0C. Berat molekulnya 252, tidak larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol, larut dalam benzen, toluen dan xilem (Jaya et al. 1997).
Sumber: Hart et al. (2003)
Gambar 1. Benzo[a]pirena Polycycic Aromatic Hydrocarbons (PAH) diketahui terdapat dalam asap kayu dan dengan mudah diserap oleh bahan pangan selama proses pengasapan berlangsung. Anastasio et al. (2004) mengemukakan bahwa asap cair tidak menunjukkan karsinogenik atau sifat-sifat toksik lain dari hasil pengujian Polycyclic Aromatic Hydrokarbon (PAH), sedangkan Muratore et al. (2007) melaporkan bahwa asap cair mempunyai sifat antibakterial, mudah diaplikasikan dan lebih aman dari asap konvensional karena fraksi tar yang mengandung hidrokarbon aromatik dapat dipisahkan, sehingga produk asap cair bebas polutan dan karsinogenik. Langkah pertama yang dilakukan untuk menentukan keamanan suatu zat kimia/zat pencemar terhadap organisme adalah uji toksisitas dengan menentukan nilai LD50 (Median Lethal Dose) yaitu suatu uji sederhana dari tingkatan toksisitas suatu zat/bahan/senyawa terhadap hewan uji yang diteliti. Makna LD50 sendiri
6
adalah
diturunkan
secara
statistik
dari
dosis
zat/bahan/senyawa
yang
menyebabkan kematian hewan uji sebanyak 50% berdasarkan data pengamatan pada waktu tertentu (Anderson et al. 2005). Berkenaan dengan bahaya yang disebabkan oleh suatu zat kimia/bahan/senyawa, Peraturan Pemerintah RI No. 74 tahun 2001 mengklasifikasikan tingkat toksisitas berdasarkan penentuan nilai LD50 oral, seperti yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Klasifikasi tingkat toksisitas zat kimia/bahan/senyawa berdasarkan nilai LD50 Tingkat toksisitas 1 2 3 4 5 6
LD50 Oral (mg/kg BB) <5 5-50 50-500 500-5.000 5.000-15.000 > 15.000
Kriteria toksik Super toksik Amat sangat toksik Sangat toksik Toksik Toksik ringan Tidak toksik
Tabel 1 menunjukkan klasifikasi zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya. Semakin rendah nilai LD50, maka semakin toksik zat kimia tersebut. Dosis maksimal yang dianjurkan adalah 15.000 mg/kg BB hewan uji. Bila nilai LD50 lebih besar dari 15.000 mg/kg BB, maka suatu zat kimia termasuk dalam kriteria tidak toksik. 2.4. Pengawetan dengan Asap Cair Pengasapan di Indonesia masih menggunakan metode pengasapan panas, seperti pengasapan ikan bandeng di Sidoarjo Jawa Timur, pengasapan ikan pari di Rembang dan Jepara, pengasapan ikan di Lampung dan Maluku dan beberapa daerah lainnya. Pengasapan panas yang dilakukan dengan cara membakar kayu atau serbuk kayu secara langsung memerlukan waktu yang lama, keseragaman produk untuk menghasilkan warna dan flavor yang diinginkan cenderung sulit dikontrol, menyebabkan pencemaran lingkungan serta memungkinkan bahaya kebakaran. Selain itu, adanya residu tar dan senyawa Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) yang terdeposit ke dalam makanan, mempunyai dampak yang membahayakan bagi kesehatan. Oleh karena itu, penggunaan asap cair diharapkan dapat menggantikan proses pengasapan panas. Darmadji (2002) melaporkan bahwa penggunaan asap cair lebih mudah aplikasinya yaitu
7
pemberian aroma asap pada makanan akan lebih praktis karena hanya dengan mencelupkan produk makanan tersebut dalam asap cair. Asap cair dapat diaplikasikan pada produk pangan dengan berbagai metode, yaitu pencampuran, pencelupan atau perendaman, penyuntikan, pencampuran asap cair pada air perebusan, dan penyemprotan. Metode pencampuran biasanya digunakan pada produk daging olahan, flavor ditambahkan dalam jumlah yang bervariasi. Metode ini dapat digunakan untuk ikan, emulsi daging, bumbu daging pangan, mayonaise, sosis, keju oles, dll (Kostyra & Pikielna 2007). Pencelupan atau perendaman dapat menghasilkan mutu organoleptik yang tinggi terutama pada hasil produk olahan daging pada bagian bahu dan perut, sosis dan keju Itali ( Martinez et al. 2007). Metode penyuntikan biasanya diaplikasikan pada daging terutama pada daging bagian perut. Aroma asap yang disuntikkan dalam jumlah bervariasi (0,2–1%), akan memberikan flavor yang seragam (Kjallstrand & Petersson 2001). Metode pencampuran asap cair pada air perebusan bisa digunakan dalam pengolahan fillet ikan asap, bandeng presto maupun bakso ikan. Asap cair dicampurkan dalam air yang digunakan untuk merebus maupun mengukus produk perikanan. Kelebihan metode ini, komponen-komponen asap lebih banyak yang terdistribusi ke dalam produk dan juga melapisi bagian luar produk (Siskos et al. 2007). Metode penyemprotan biasa digunakan dalam pengolahan daging secara kontinyu (Martinez et al. 2004). Penggunaan asap cair tempurung kelapa dalam beberapa proses pengolahan ikan cukup banyak dilakukan. Hasil penelitian Haras (2004) menyebutkan bahwa ikan cakalang yang direndam dalam asap cair tempurung kelapa 2% selama 15 menit dan disimpan pada suhu kamar mulai mengalami kemunduran mutu pada hari ke-4. Febriani (2006) melaporkan bahwa ikan belut yang direndam asap cair tempurung kelapa konsentrasi 30% selama 15 menit dapat awet pada suhu kamar sampai hari ke-9. Gumanti (2006) melaporkan bahwa mie basah yang dicampur asap cair tempurung kelapa konsentrasi 0.09% dalam adonannya dapat awet hingga 2 hari pada suhu kamar. Mahendradatta dan Tawali (2006) juga melaporkan bahwa ikan kembung yang direndam dalam redistilat asap cair tempurung kelapa sebesar 1.55 mg/100 g selama 30 detik dan dikombinasi
dengan
penambahan
bumbu-bumbu,
dapat
meminimalkan
8
kandungan histamin selama 20 hari penyimpanan pada suhu dingin (5 0C). Sedangkan menurut Siskos et al. (2007), asap cair komersial konsentrasi 2% dalam 2 liter air pengukus filet ikan trout (Salmo gairdnerii) yang dikombinasi dengan waktu pengukusan selama 30 menit dapat mengawetkan filet ikan trout sampai 25 hari pada suhu penyimpanan 4±1 0C. Filet ikan trout dengan kombinasi asap cair dan waktu pengukusan selama 45 menit dan 60 menit, dapat awet hingga 48 hari. Penolakan oleh panelis terhadap sampel terjadi setelah 62 hari penyimpanan dengan waktu
pengukusan 30
dan 45
menit.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa pertumbuhan maksimum mikroba terjadi 14 hari lebih awal dari waktu penerimaan konsumen pada sampel yang dikukus selama 45 menit dan 37 hari lebih awal dari waktu penerimaan konsumen pada sampel yang dikukus selama 30 menit. 2.5. Aktivitas Antimikroba Asap Cair Aktivitas antimikroba asap cair terutama disebabkan adanya senyawa kimia yang terkandung dalam asap seperti fenol, formaldehid, asam asetat, dan kreosat yang menempel pada bagian permukaan bahan akan menghambat pembentukan spora dan pertumbuhan beberapa jenis jamur dan bakteri (Siskos et al. 2007). Senyawa fenol dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan memperpanjang fase lag (Lebois et al. 2004). Menurut Darmadji (1996) keasaman mempunyai peranan yang sangat besar dalam penghambatan mikroba. Asap cair pada pH 4,0 mampu menghambat semua bakteri pembusuk dan patogen yang diuji. Menurut Girard (1992) ketahanan bakteri terhadap perlakuan asap sangat berbeda-beda, ada yang sangat peka (bakteri patogen dan pembusuk) dan ada yang sangat tahan seperti micrococcus dan bakteri asam laktat, sedangkan pada pH sekitar 6,0 aktivitas antimikroba asap cair mulai berkurang. Asap lebih efektif menghambat pertumbuhan sel vegetatif daripada menghambat pertumbuhan spora bakteri dan aktivitas germisidal asap akan meningkat dengan naiknya suhu dan konsentrasi asap. Penelitian tentang aktivitas antibakteri asap cair cukup banyak dilakukan. Menurut Sunen (1998), asap cair komersial lebih efektif menghambat bakteri Gram positif daripada bakteri Gram negatif. Asap cair komersial dengan konsentrasi 0.2-0.8% dapat menghambat pertumbuhan Vibrio vulnivicus dan
9
Yersinia enterolitica dengan nilai MIC masing-masing <0.2% dan 0.6%. Selain itu, diantara bakteri Gram positif seperti Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, Listeria inocua, Brochothrix thermosphacta dan Lactococcus lactis spp., L. lactis dapat dihambat oleh asap cair komersial dengan nilai MIC 0.6-0.8%. Asap cair konsentrasi 0.5-8.0% efektif menghambat V. vulnificus dengan nilai MIC sebesar 2%. Asap cair komersial dengan konsentrasi 0.05-0.4% sangat efektif menghambat semua strain di atas kecuali Salmonella enteritidis dengan nilai MIC <1.5%. Munoz et al. (1998) melaporkan bahwa asap cair komersial pada konsentrasi 8% dapat menghambat pertumbuhan E. coli O157:H7 yang diinokulasikan pada daging. Pertumbuhan E. coli O157:H7 menurun sebesar 0.5, 1.2, 2.0 dan 2.3 log CFU/g pada penyimpanan hari ke-0, 1, 2, dan 3 pada suhu 4 0C. Sunen et al. (2001) melaporkan asap cair komersial pada konsentrasi 0.4% dapat mengurangi jumlah bakteri Y. enterocolitica sebesar 3.7 log CFU/ml pada hari ke-21 penyimpanan suhu refrigerasi. Milly et al. (2005) juga melaporkan bahwa nilai MIC asap cair komersial yaitu 0.75% menghambat Lactobacillus plantarum, 1.5% menghambat L. innocua, Salmonella, E. coli 8677, Saccharomyces cerevisiae, dan Aspergillus niger, serta 2% menghambat Pseudomonas putida. 2.6. Bakso Ikan Bakso adalah produk pangan yang terbuat dari bahan utama daging yang dilumatkan, dicampur dengan bahan lain, dibentuk bulatan, dan selanjutnya direbus (Tazwir 1992). Istilah bakso, biasanya diikuti dengan nama jenis daging yang digunakan sebagai bahan baku utamanya, seperti bakso sapi, bakso ayam, dan bakso ikan. Bakso ikan adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ikan (kadar daging ikan tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diizinkan SNI. Standar mutu bakso ikan berdasarkan SNI 01-38191995 disajikan pada Tabel 2.
10
Tabel 2 Standar mutu bakso ikan (SNI 01-3819-1995) No. 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9. 10.
Kriteria Uji Keadaan - Bau - Rasa - Warna - Tekstur
Satuan
Persyaratan
-
Normal, khas ikan Gurih Normal Kenyal
Air Abu Protein Lemak Boraks Bahan Tambahan Makanan Cemaran logam - Timbal (Pb) - Tembaga (Cu) - Seng (Zn) - Timah (Sn) - Raksa (Hg) Cemaran Arsen (As) Cemaran mikroba - Angka Lempeng Total - Bakteri bentuk koli - Salmonella - Staphylococcus aureus - Vibrio cholerae
% b/b %b/b %b/b %b/b -
Maks 80.0 Maks 3,0 Min 9,0 Maks 1,0 Tidak boleh ada Sesuai SNI 01-0222-1995
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks 2,0 Maks 20,0 Maks 100,0 Maks 40,0 Maks 0,5 Maks 1,0
koloni/g APM/g koloni/g -
Maks 1 x 105 Maks 4 x 102 Negatif Maks 5 x 102 Negatif
2.6.1. Komposisi Bakso Ikan Bahan baku pembuatan bakso ikan pada umumnya terdiri dari bahan baku utama dan bahan baku tambahan. Bahan baku utama untuk pembuatan bakso ikan adalah daging ikan, sedangkan bahan baku tambahannya adalah bahan pengisi, yaitu tepung tapioka, garam, bumbu-bumbu, dan es (Wibowo 2005). Bakso ikan yang akan dibuat pada penelitian ini berdasarkan komposisi bakso ikan yang dilakukan Sari (2004) dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi bakso ikan Bahan Baku Daging ikan Tepung tapioka Bumbu Es
Komposisi (%) 60 20 2,8 17,2
Bahan baku utama pembuatan bakso ikan adalah daging ikan dari satu atau beberapa jenis ikan. Jenis ikan berdaging tebal dan putih cocok untuk dibuat bakso karena akan mempengaruhi warna bakso yang dihasilkan. Selain itu, daging
11
putih memiliki kandungan aktin dan miosin yang cukup tinggi sehingga mempunyai kemampuan untuk membentuk gel yang lebih baik daripada daging merah dan bisa menghasilkan bakso dengan tekstur yang lebih kompak (Hayashi et al. 2007). Daging ikan yang akan digunakan untuk membuat bakso sebaiknya daging yang segar (belum mengalami penyimpanan) (Wibowo 2005), karena penggunaan daging ikan yang telah mengalami penyimpanan akan menghasilkan bakso yang bermutu rendah. Pemilihan bahan baku yang segar dimaksudkan untuk mencegah kerusakan daging ikan lebih lanjut. Hal ini mengingat bahwa daging ikan merupakan komoditas yang cepat mengalami kerusakan. Kerusakan ini terutama disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme. Kerusakan kecepatan daging dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti suhu, kadar air, kelembaban udara, jumlah oksigen, pH, dan kandungan kimianya. Bila harus menggunakan daging ikan yang telah mengalami penyimpanan, sebaiknya daging ikan disimpan dalam suhu dingin atau beku karena dengan pendinginan dan pembekuan dapat mempertahankan kualitas dan sifat fisik organoleptik termasuk nilai gizinya dalam jangka waktu tertentu. Bahan pengisi yang ditambahkan pada bakso ikan yaitu tepung tapioka, garam, bumbu-bumbu, dan es. Fungsi bahan pengisi adalah memperbaiki sifat emulsi, mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat fisik dan citarasa, serta menurunkan biaya produksi (Tazwir 1992). Tepung tapioka diperoleh dari umbi kayu segar (Manihot utilissima Pohl atau M. usculenta Crants). Tepung tapioka mengandung amilosa sebesar 17% dan amilopektin sebesar 83%. Amilosa larut dalam air panas dan memiliki struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin tidak larut dalam air panas dan memiliki struktur bercabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa. Fraksi amilosa bertanggung jawab atas keteguhan gel. Semakin besar kandungan amilopektin dan semakin kecil kandungan amilosa bahan yang digunakan, maka makin lekat produk olahannya (Obisaw et al. 2004). Tepung tapioka memiliki banyak kelebihan sebagai bahan baku karena harganya relatif murah, dapat memberikan kelarutan yang baik, citarasa netral, dan menyebabkan warna terang pada produk.
12
Bumbu-bumbu yang umumnya digunakan dalam pembuatan bakso ikan adalah bawang merah, bawang putih, garam dan merica. Bawang merah dan bawang putih berfungsi sebagai antioksidan. Park (1995) menjelaskan bahwa garam dapat memperbaiki sifat-sifat fungsional produk daging dengan cara: 1) mengekstrak protein miofibril dari sel-sel otot selama perlakuan mekanis, 2) berinteraksi dengan protein otot selama pemanasan sehingga protein membentuk matriks yang kuat dan mampu menahan air bebas serta membentuk tekstur produk. Pemakaian garam dalam pembuatan bakso berkisar antara 5 – 10% dari berat daging. Penambahan es berfungsi untuk mempertahankan suhu adonan selama penggilingan tetap rendah, sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat gesekan mesin penggiling dan ekstraksi protein berjalan dengan baik. Jumlah penambahan es biasanya berkisar antara 15–30% dari berat daging yang digunakan. Jumlah penambahan ini dipengaruhi oleh jumlah tepung yang ditambahkan (Wibowo 2005). 2.6.2. Pembuatan Bakso Ikan Proses pembuatan bakso pada umumnya terdiri dari persiapan bahan, penghancuran daging, pencampuran bahan (pembuatan adonan), pencetakan dan pemasakan. Proses persiapan bahan meliputi pemilihan daging dan penyiangan bahan tambahan lainnya. Daging ikan dipilih yang segar, bersih dari jaringan ikat dan lemaknya. Daging yang digunakan dalam pembuatan bakso pada penelitian ini adalah daging ikan tenggiri dalam bentuk filet. Filet daging ikan dilumatkan dengan mincer (pelumat). Proses ini bertujuan untuk memecah serabut daging srehingga protein yang larut dalam garam akan mudah terekstrak keluar. Penghancuran daging untuk bakso dapat dilakukan dengan cara mencacah (mincing), menggiling (grinding) atau mencincang sampai halus atau lumat (chopping). Menurut Kok dan Park (2007), dalam produksi skala besar, pada proses ini perlu ditambahkan es sebanyak 1530% dari berat daging. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan suhu rendah akibat gesekan mesin giling (chopper), serta untuk menghasilkan emulsi yang baik. Suhu yang diperlukan untuk mempertahankan stabilitas emulsi adalah di
13
bawah 200C. Penggunaan suhu di atas 200C akan mengakibatkan terdenaturasinya protein sehingga emulsi akan pecah. Proses selanjutnya adalah pengirisan (cutting) yang bertujuan untuk memutus serat yang tidak terlumatkan pada proses sebelumnya. Setelah diperoleh daging lumat yang bersih, halus, dan bebas serat, lalu daging lumat tersebut dibentuk menjadi adonan. Pembentukan adonan dapat dilakukan dengan mencampur seluruh bagian bahan kemudian menghancurkannya sehingga membentuk adonan atau dengan menghancurkan daging bersama-sama garam dan es terlebih dahulu, kemudian dicampurkan dengan bahan-bahan lain. Setelah itu, adonan bakso dicetak membentuk bulatan dengan ukuran yang dikehendaki. Pembulatan bakso dapat dilakukan dengan menggunakan mesin atau dengan cara menggunakan tangan yang dibentuk dengan sendok. Menurut Kok dan Park (2007), pembentukan adonan umumnya dilakukan dengan cara membuat adonan menjadi bola-bola kecil berdiameter 2–7 cm dengan tangan, kemudian memasaknya dalam air mendidih bersuhu 60–80 0C selama 15 menit. Pemasakan adonan akan membentuk struktur yang kompak, kenyal dan padat sebagai akibat dari koagulasi protein dan gelatinisasi pati. Menurut Tazwir (1992) tahap cutting merupakan tahap penting untuk menghasilkan konsistensi fisik bakso. Daging yang berada pada kondisi pre-rigor akan memberikan hasil terbaik, karena ATP masuk hingga struktur protein mengembang, kapasitas pengikatan air tinggi sehingga protein yang terekstrak lebih banyak daripada daging pada kondisi rigor mortis atau post-rigor. Kandungan protein terekstrak yang tinggi akan meningkatkan stabilitas adonan bakso. Selama pemasakan, protein daging akan membentuk struktur tiga dimensi pada pengikatan daging lumat sehingga membentuk struktur bakso yang kompak. 2.6.3. Teknologi Pengawetan Bakso Teknologi pengawetan bakso telah banyak dilakukan baik dengan cara penambahan pengawet ke dalam adonan bakso maupun dengan pencelupan atau perendaman bakso dalam larutan pengawet, namun belum diperoleh bahan pengawet yang memenuhi target umur simpan minimal selama 4 hari pada suhu kamar yang dapat diaplikasikan di industri dan aman bagi konsumen. Salah satu
14
parameter mutu bakso menurut SNI 01-3819-1995 adalah jumlah total mikroba maksimal 1,0x105 koloni/gram. Beberapa peneliti telah melaporkan penggunaan sejumlah bahan pengawet untuk memperpanjang umur simpan bakso. Tandiyono (1996) melaporkan bahwa bakso daging yang dibuat dengan penambahan 0.2% natrium propionat pada jam ke-24 pada suhu kamar telah mengandung bakteri sebanyak 5,8x106 CFU/g. Hasil penelitian Aulia (1998) menunjukkan bahwa bakso daging dengan penambahan natrium benzoat sebanyak 0.1% yang disimpan pada suhu kamar pada hari ke-1 telah mengandung bakteri sebanyak 1,3x107 CFU/g. Hasil penelitian Yovita (2000) menunjukkan bahwa bakso daging dengan penambahan 100 ppm nitrit, 0.1% natrium benzoat+100 ppm nitrit, 0.1% metil paraben+100 ppm nitrit pada penyimpanan hari ke-1 telah mengandung bakteri 106-107 CFU/g, sedangkan dengan penambahan 0.1% metil paraben+450 ppm natrium metabisulfit ke dalam adonan pada penyimpanan hari ke-2 telah mengandung bakteri 6,9x107 CFU/g. Surjana (2001) melaporkan penggunaan bahan pengawet berupa natrium benzoat 0.1%, natrium bisulfit 450 ppm, asam sorbat 0.1%, dan natrium propionat 0.3%, dapat mengawetkan bakso daging hingga 2 hari pada suhu kamar. Sari (2004) melaporkan bahwa penggunaan iradiasi sinar gamma sebesar 5 kGy dapat mengawetkan bakso ikan patin selama 60 hari pada suhu 10 0C.
15
3. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan antara bulan Juli 2007 sampai April 2008. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB; Laboratorium Mikrobiologi dan Kimia SEAFAST Center IPB, Laboratorium Terpadu IPB, dan Laboratorium Kimia UIN Syarief Hidayatullah Ciputat, Tangerang. 3.2. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: 1) Asap cair tempurung kelapa yang diperoleh dari CV Wulung Prima, binaan dari Fateta IPB. 2) Bahan pembuatan bakso ikan: daging ikan tenggiri, tepung tapioka, bumbubumbu (garam, bawang merah, bawang putih, jahe, dan merica), dan es. 3) Bahan-bahan untuk analisis mikrobiologi, yaitu biakan murni Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus, NA, NB, PCA, dan garam fisiologis. 4) Bahan-bahan untuk uji kimiawi antara lain Na2SO4 dan dichloromethane. Alat-alat yang digunakan antara lain timbangan, kertas saring, pengaduk magnetik, desikator, erlenmeyer, refrigerator, inkubator, tabung reaksi, gelas ukur, pipet, mikropipipet, kapas, autoclave, cawan petri, baki, pisau, telanan, blender, dan corong. Peralatan untuk pengujian kimia antara lain GC-MS (QP2010), oven, gelas porselin, dan pH-meter (ORION-410A). 3.3. Tahapan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Penelitian tahap I adalah melakukan kajian keamanan pangan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan pengawet alternatif yang aman yaitu dengan 1) mengidentifikasi komponen asap cair, 2) mengetahui toksisitas akut (LD50) asap cair. Penelitian tahap II, yaitu melakukan pengujian terhadap aktivitas antibakteri asap cair tempurung kelapa. Penelitian tahap III yaitu melakukan kajian aplikasi asap cair tempurung kelapa terhadap daya awet bakso ikan. Adapun diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Penelitian Tahap I: Kajian Keamanan Asap Cair Tempurung Kelapa
1. Identifikasi Komponen (GC-MS) 2. Penentuan Toksisitas Akut (LD50) Penelitian Tahap II: Uji Aktivitas Antibakteri Asap Cair Tempurung Kelapa
Penentuan Nilai MIC (Metode Kontak Medium Cair) Penelitian Tahap III: Aplikasi Asap Cair Tempurung Kelapa Pada Bakso Ikan Perlakuan asap cair : (1) Cara Pemberian; (2) Konsentrasi Parameter yang diamati: 1. Parameter fisik 2. Uji hedonik 3. Uji total fenol Perlakuan Terbaik
Perlakuan Penyimpanan: (1) Suhu Kamar (2) Suhu Refrigerasi
Parameter yang diamati: 1. Nilai TPC 2. Nilai pH 3. Kadar air
Gambar 2. Diagram Alir Tahapan Penelitian
17
3.4. Penelitian Tahap I Penelitian tahap I bertujuan untuk mengkaji keamanan pangan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan pengawet alternatif yang aman. Pertama adalah mengidentifikasi
komponen
asap
cair
tempurung
kelapa
dengan
Gas
Chromatography–Mass Spectroscopy (GC-MS) Shimadzu QP2010. Jenis kolom yang digunakan adalah RTx-1 MS dengan panjang 30 m dan diameter dalam 0.32 mm. Komponen diidentifikasi berdasarkan waktu retensi dan mass spectra dibandingkan dengan pustaka (Wiley 7; Nist 27; Nist 147). Kedua adalah uji toksisitas akut asap cair tempurung kelapa dengan menentukan nilai LD50. Uji toksisitas akut mengacu pada OECD 402 (2001). Metode ini menggunakan sedikit hewan percobaan, yaitu 3 hewan setiap perlakuan. Nilai LD50 ditentukan dari dosis suatu senyawa atau bahan yang menyebabkan kematian 50% dari hewan percobaan. 3.4.1. Identifikasi Komponen Asap Cair (Guillen & Ibargoitia 1999) Preparasi Sampel Asap cair sebanyak 30 ml dimasukkan dalam labu pisah, kemudian ditambahkan 10 ml dichloromethane lalu dikocok sebentar. Sampel didiamkan selama 1 jam lalu diambil fraksi bagian bawah ke dalam erlenmeyer. Ditambahkan lagi 10 ml dichloromethane lalu kocok dan didiamkan selama 1 jam. Selanjutnya diambil fraksi bagian bawah dan tambahkan dengan yang pertama, dan disaring dengan kertas Whatman 42 dengan ditambahkan Na2SO4. Hasil saringan siap untuk diinjek. Kondisi Pengoperasian GCMS GCMS-QP2010 dioptimasikan pada suhu oven 100 0C yang dipertahankan selama 4 menit, suhu kemudian ditingkatkan menjadi 200 0C dengan kenaikan 20 0C/menit dan dipertahankan selama 2 menit, suhu ditingkatkan lagi menjadi 300 0C dengan kenaikan suhu 20 0C/menit dan dipertahankan selama 16 menit. Suhu pada sumber ion disetel pada 230 0C sedangkan suhu injector diset pada 260 0C. Analisis ini menggunakan gas helium yang memiliki kemurnian 99.99%
18
dengan tekanan gas 62.7 kPa. Sampel diinjeksikan dalam kromatografi gas sebanyak 1 µL, dianalisis dari berat molekul 50.00 sampai 500.00 dalam waktu 3 sampai 32 menit. 3.4.2. Uji Toksisitas Akut (Penentuan LD50) Hewan Uji Hewan uji yang digunakan adalah mencit jantan dengan umur rata-rata 5-6 minggu dengan berat lebih kurang 20-25 gram, diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Variasi berat badan hewan uji mencit tidak boleh lebih dari 20% dari berat badan rata-rata. Prosedur Pengujian Hewan uji mencit yang sehat diaklimatisasi atau diadaptasikan pada kondisi laboratorium dalam suatu kandang minimal selama 7 hari dan diberi makan dengan takaran pakan yang diberikan adalah 5 gram/ekor/hari serta diberi minum 1-2 ml/gram makanan. Selama masa aklimatisasi semua mencit ditimbang setiap hari. Satu kandang berukuran kurang lebih 30x20 cm2 digunakan untuk menyimpan 3 ekor mencit. Setiap dua hari kandang dibersihkan dan dilakukan disinfektasi sekali dalam seminggu. Setelah itu, mencit dibagi dalam bentuk kelompok berdasarkan dosis dengan rincian seperti pada Tabel 4. Tabel 4 Rincian Seri Dosis untuk Uji Toksisitas Akut Dosis perlakuan (mg/kg) Kelompok
Kontrol
50
500
5.000
15.000
1
3
-
-
-
-
2
-
3
-
-
-
3
-
-
3
-
-
4
-
-
-
3
-
5
-
-
-
-
3
Tabel 4 menunjukkan bahwa dalam setiap perlakuan, yaitu dosis asap cair 0, 50, 500, 5.000, dan 15.000 mg/kg BB, digunakan 3 ekor mencit. Pengelompokan dilakukan secara acak berdasarkan berat badan mencit, kemudian diberi tanda/nomor pengenalnya untuk setiap kelompok tingkat dosis. Sebelum
19
diberi perlakuan mencit dipuasakan dahulu selama minimal 4 jam.
Masing-
masing dosis diberikan 1x (tunggal), yaitu pada hari pertama kepada 3 ekor mencit jantan dengan pencekokan masing-masing sebanyak 1 ml. Pencekokan dilakukan secara oral menggunakan sonde. Mencit kontrol hanya diberi air aquades (tanpa asap cair) sebanyak 1 ml. Pengamatan dilakukan selama interval waktu 24 jam selama 14 hari. Persentase kematian untuk tiap dosis (apabila ada) dicatat dalam tabel. Mencit yang masih hidup berat badannya terus ditimbang selama pengamatan. Analisis data dilakukan berdasarkan laju peningkatan berat badan rata-rata mencit dan jumlah kematian mencit untuk masing-masing dosis. 3.5. Penelitian Tahap II Penelitian tahap II dilakukan untuk menguji aktivitas antibakteri asap cair tempurung kelapa. Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan mencari nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration) asap cair tempurung kelapa terhadap 2 bakteri uji, yaitu Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Nilai MIC dapat diartikan sebagai konsentrasi terkecil dari suatu bahan yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba sebesar >90% selama inkubasi 24 jam (Cosentino et al. 1999 di dalam Sara 2004). 3.5.1. Persiapan Kultur Mikroba Kultur bakteri dalam agar miring diambil satu ose dan diinokulasi dalam 10 ml NB, kemudian diinkubasi pada suhu 37 0C selama 20 jam. Kultur ini digunakan dalam setiap pengujian (Vigil et al. 2005). 3.5.2. Prosedur Pengujian Pengujian aktivitas antibakteri asap cair dilakukan dengan metode kontak pada medium cair (Vigil et al. 2005). Dalam erlenmeyer 100 ml diisi 50 ml medium cair (Nutrient Broth) yang mengandung asap cair dengan berbagai konsentrasi. Setelah medium diinokulasi dengan mikroba uji sekitar 105 CFU/ml, medium diinkubasi pada suhu 37 0C pada shaker 150 rpm selama 24 jam. Penghambatan pertumbuhan bakteri pada tabung dengan konsentrasi terkecil menunjukkan nilai MIC, kemudian diikuti perhitungan jumlah bakteri dengan metode tuang.
20
3.6. Penelitian Tahap III Penelitian tahap III bertujuan untuk mengkaji penggunaan asap cair tempurung kelapa terhadap daya awet bakso ikan. Bakso ikan dengan penambahan asap cair disimpan pada suhu kamar (27–28 0C) dan suhu refrigerasi (4±1 0C). Sebelum dilakukan penyimpanan, terlebih dahulu ditentukan cara pemberian dan konsentrasi asap cair tempurung kelapa yang digunakan. Cara pemberian asap cair dilakukan dengan 3 metode, yaitu perendaman dalam asap cair selama 30 menit, pencampuran asap cair ke dalam adonan bakso, dan pencampuran asap cair ke dalam air perebus bakso. Konsentrasi asap cair dipilih berdasarkan penerimaan konsumen terhadap bakso asap. 3.6.1. Penentuan Cara Pemberian dan Konsentrasi Asap Cair Bakso ikan yang dibuat pada penelitian ini berdasarkan penelitian Sari (2004). Bahan baku pembuatan bakso adalah daging ikan tenggiri yang telah dipisahkan dari duri dan seratnya. Proses selanjutnya adalah penghancuran daging dengan food processor bersama dengan penambahan bumbu, garam, dan es. Adonan yang terbentuk kemudian dicetak dengan tangan menjadi bulatan berdiameter 2,0-2,5 cm dan dimasukkan dalam air mendidih pada suhu 70 0C. Perebusan dilakukan hingga bakso mengambang selama kurang lebih 15 menit. Setelah itu, bakso ditiriskan dan dikemas non-vacum dengan plastik HDPE steril. Tahap ini menguji cara pemberian asap cair dan konsentrasi asap cair terbaik yang akan dipergunakan untuk tahap penyimpanan bakso ikan. Asap cair diberikan pada bakso ikan dengan tiga cara, yaitu perendaman bakso dalam asap cair selama 30 menit, pencampuran asap cair ke dalam adonan bakso, dan pencampuran asap cair ke dalam air perebus bakso. Parameter yang diamati adalah parameter fisik yaitu timbulnya lendir setiap selang waktu 8 jam sampai bakso telah menunjukkan tanda-tanda kerusakan. Penentuan konsentrasi asap cair ditentukan berdasarkan uji hedonik (kesukaan) konsumen. Konsentrasi asap cair yang diujikan adalah 1,0%; 1,5%; 2,0%; dan 2,5%. Pada tahap ini juga dilakukan uji total fenol dari asap cair, air perebus bakso dan bakso ikan dengan konsentrasi
21
asap cair terpilih. Hasil pengamatan parameter fisik dan uji hedonik dengan perlakuan terbaik digunakan untuk tahap penyimpanan bakso ikan.
3.6.2. Tahap Penyimpanan Bakso Ikan. Cara pemberian dan konsentrasi asap cair terbaik berdasarkan pengamatan parameter fisik dan uji hedonik pada tahap sebelumnya, digunakan dalam tahap penyimpanan bakso ikan. Penyimpanan pada suhu kamar dilakukan selama 2 hari dan penyimpanan pada suhu refrigerasi dilakukan selama 20 hari. Penyimpanan pada suhu kamar dilakukan pengamatan dan pengujian pada jam ke-0; 8; 16; 24; 32, dan 40. Penyimpanan dalam refrigerasi dilakukan pengamatan dan pengujian pada hari ke-0; 4; 8; 12; 16; dan 20. Pengamatan dan pengujian yang dilakukan meliputi jumlah total bakteri (TPC), nilai pH, dan kadar air bakso ikan. 3.7. Prosedur Analisis Analisis produk meliputi uji kesukaan (hedonik), total fenol asap cair, air perebus bakso, dan bakso ikan, uji TPC, nilai pH, dan kadar air. 3.7.1. Uji Hedonik (Rahayu 2001) Uji hedonik bertujuan untuk mengetahui tanggapan panelis terhadap produk. Pelaksanaan uji hedonik ini adalah dengan menyajikan bakso ikan yang telah diberi kode sesuai dengan perlakuannya dan panelis diminta untuk memberikan penilaian pada score sheet yang telah disediakan. Penilaian dilakukan oleh 30 orang panelis. Skala hedonik yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala 9, dengan tingkat kesukaan amat sangat suka, sangat suka, suka, agak suka, netral, agak tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka dan amat sangat tidak suka. Parameter yang diuji meliputi kesukaan terhadap aroma, warna, rasa, dan kesukaan keseluruhan bakso asap. 3.7.2. Total Fenol (Kuntjahjawati & Darmadji 2002; Muchuweti et al. 2006) Total Fenol Sampel Cair Sebanyak 1 ml sampel cair dipipet dan dimasukkan ke dalam labu takar, diencerkan dengan akuades sampai volumenya menjadi 100 ml. Sebanyak 0.5 ml campuran dipipet dan ditambahkan dengan 0.25 ml larutan Folin Ciocalteau,
22
digojog, kemudian didiamkan pada suhu kamar selama 5 menit. Selanjutnya ditambahkan 2.5 ml larutan 6% Na2CO3, digojog dengan vortex dan didiamkan pada suhu kamar selama 30 menit. Absorbansi dibaca pada panjang gelombang 750 nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Total Fenol Sampel Padat Bakso ikan yang sudah dihaluskan ditimbang sebanyak 1 g dan ditambahkan akuades sebanyak 100 ml, disaring, dan filtratnya ditampung dalam erlenmeyer. Selanjutnya dikerjakan seperti sampel cair. Pembuatan Kurva Standar Sebanyak 1 g fenol murni ditimbang, dimasukkan dalam gelas beker, dilarutkan dengan akuades kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan volumenya dijadikan tepat. Larutan tersebut dipipet masing-masing 0.1 sampai 0.6 ml, selanjutnya dikerjakan seperti sampel cair. 3.7.3. Penentuan total plate count (TPC) (Fardiaz 1993) Prinsip dari pengamatan ini adalah menentukan populasi bakteri yang terdapat pada bahan yang memberikan gambaran tentang bagaimana tingkat kesegaran produk tersebut, karena bakteri merupakan faktor utama penyebab pembusukan bahan. Tahap pertama pada pengujian ini adalah tahap persiapan. Mula-mula sampel dihancurkan, ditimbang secara aseptis sebanyak 5 g, dan dimasukkan dalam 45 ml NaCl 0.85% steril. Larutan yang diperoleh adalah pengenceran 1:10. Kedua adalah tahap inokulasi. Larutan 1:10 dari tahap persiapan kemudian diambil 1 ml untuk dimasukan kedalam cawan petri steril, kemudian ditambahkan larutan media agar yang telah steril bersuhu 45 0C sebanyak 15 ml dan dibiarkan selama 15–20 menit sampai agar memadat. Proses ini dilakukan juga dengan cara yang sama pada larutan dengan pengenceran 1:100 sampai 1:1000 000, secara duplo. Ketiga adalah tahap inkubasi. Setelah media yang telah diinokulasi memadat, kemudian cawan petri diinkubasi pada suhu 37 0
C dengan posisi terbalik selama 48 jam. Perhitungan jumlah bakteri berdasarkan
ISO Standards for microbiological methods (Harrigan 1998), yaitu:
N
c (n1 0,1n2 ).d 23
Dimana: ∑c : jumlah seluruh koloni bakteri pada semua cawan yang mengandung 30– 300 koloni n1
: jumlah cawan petri yang masuk perhitungan pada pengenceran pertama
n2
: jumlah cawan petri yang masuk
perhitungan
pada
pengenceran
berikutnya d
: faktor pengenceran pertama
3.7.4. Nilai pH (AOAC 1995) Penetapan nilai pH dilakukan setelah pH-meter (ORION-410A) dikalibrasi terlebih dahulu. Sampel ditimbang sebanyak 10 g, dicampurkan dengan 100 ml akuades, diblender kemudian disaring. Setelah itu elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan. Elektroda dicelupkan ke dalam filtrat sampai beberapa saat, hingga diperoleh pembacaan yang stabil, kemudian pH sampel dapat dicatat. 3.7.5. Kadar air (AOAC 1995) Cawan porselen dikeringkan pada suhu 105 0C selama 1 jam, kemudian didinginkan dan ditimbang. Sampel yang akan ditentukan kadar airnya ditimbang sebanyak 5 gram. Cawan yang telah berisi contoh dimasukan ke dalam oven bersuhu 105 0C dan ditimbang sampai beratnya konstan. Kadar air dihitung berdasarkan persamaan berikut:
kadar air
berat awal - berat akhir x 100% berat awal
3.8. Analisis Statistik Pengujian aktivitas antibakteri dan penggunaan asap cair tempurung kelapa terhadap bakso ikan dilakukan sebanyak dua kali ulangan untuk setiap perlakuan. Nilai TPC, pH, dan kadar air dianalisis nilai rata-rata dan nilai standar deviasinya. Uji kesukaan (hedonik) bakso ikan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL), bila terdapat beda nyata pada ANOVA, dilanjutkan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada tingkat kepercayaan 95%.
24
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keamanan Pangan Asap Cair Tempurung Kelapa Asap cair tempurung kelapa merupakan hasil kondensasi asap tempurung kelapa melalui proses pirolisis pada suhu sekitar 400 0C. Asap cair mengandung berbagai komponen kimia seperti fenol, aldehid, keton, asam organik, alkohol dan ester (Guillen et al. 1995; Guillen et al. 2000; Guillen et al. 2001). Berbagai komponen kimia tersebut dapat berperan sebagai antioksidan dan antimikroba serta memberikan efek warna dan citarasa khas asap pada produk pangan (Karseno et al. 2002). Namun, salah satu komponen kimia lain yang dapat terbentuk pada pembuatan asap cair tempurung kelapa adalah Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) dan turunannya. Beberapa diantara komponen tersebut bersifat karsinogenik (Stolyhwo & Sikorski 2005). Benzo[a]pirene merupakan salah satu senyawa PAH yang diketahui bersifat karsinogenik dan biasa ditemukan pada produk pengasapan (Guillen et al. 1995; Guillen et al. 2000; Kazerouni et al. 2001; Stolyhwo & Sikorski 2005). Saat ini, asap cair telah banyak digunakan oleh industri pangan sebagai bahan pemberi aroma, tekstur, dan citarasa yang khas pada produk pangan, seperti daging, ikan, dan keju (Soldera et al. 2008). Di Indonesia, asap cair sudah digunakan oleh industri pembuatan bandeng asap di Sidoarjo (Hadiwiyoto et al. 2000), sedangkan pada skala laboratorium, asap cair tempurung kelapa telah digunakan pada ikan cakalang (Haras 2004), belut (Febriani 2006), dan mie basah (Gumanti 2006). Berdasarkan informasi tentang manfaat dan penggunaan asap cair tersebut, asap cair tempurung kelapa berpotensi menjadi bahan pengawet alternatif, di samping dapat memberikan aroma, tekstur, dan citarasa yang khas pada produk pangan. Oleh karena itu, diperlukan pengujian tentang keamanan pangan asap cair tempurung kelapa, sehingga dapat menjadi bahan pengawet alternatif yang aman. Metode yang digunakan adalah identifikasi komponen asap cair tempurung kelapa dengan Gas Chromatography-Mass Spectroscopy (GC-MS) dan uji toksisitas akut asap cair tempurung kelapa untuk menentukan nilai LD50.
4.1.1. Identifikasi Komponen Asap Cair Tempurung Kelapa Tempurung kelapa merupakan bahan organik yang mengandung hemiselulosa, selulosa, dan lignin (Bintoro et al. 2000). Senyawa tersebut berpotensi terhadap pembentukan senyawa-senyawa penyusun asap cair setelah dilakukan pirolisis. Dekomposisi hemiselulosa terjadi pada suhu 200-260 0C. Dekomposisi selulosa terjadi pada suhu 260-310 0C. Pada suhu rendah atau di bawah 300
0
C, selulosa terdekomposisi membentuk karbonil, karboksil,
hidroperoksida, CO, CO2 dan sisa arang. Dekomposisi di atas 300 0C akan menghasilkan komponen volatil dan gula sederhana (Fine et al. 2002). Dekomposisi lignin pada suhu di atas 300 0C menyebabkan reaksi polimerisasi menghasilkan guaiakol, 2-metoksi fenol, metanol, aseton, dan asam asetat (Simpson et al. 2005). Salah satu komponen kimia yang bersifat karsinogenik dan dapat terbentuk selama proses pirolisis tempurung kelapa adalah benzo[a]pirene. Oleh karena itu, perlu dilakukan identifikasi komponen asap cair tempurung kelapa menggunakan GC-MS. Komponen diidentifikasi berdasarkan waktu retensi dan mass spectra dibandingkan dengan pustaka. Komponen volatil asap cair tempurung kelapa disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Komponen-komponen yang teridentifikasi dari fraksi terlarut asap cair tempurung kelapa dalam dichloromethane No.
Waktu retensi
1 2 3 4 5 6 7 8
3.184 3.771 4.525 4.728 5.358 5.793 5.984 6.909
Keton 2-Methyl-2-cyclopentenone 3-Methyl-2-cyclopentenone 2-Hydroxy-1-methylcyclopenten-3-one 2,3-Dimethylcyclopenten-1-one 4,5-Dimethyl-4-hexen-3-one 3-Ethyl-2-hydroxy-2-cyclopenten-1-one Cyclohexanone 2-Ethylcycloheptanone
9 10
3.213 3.702
Furan dan turunan pyran 2-Acetylfuran 5 Methyl Furfural
Nama komponen
26
Tabel 5 (lanjutan) No.
Waktu retensi
11 12 13 14
7.532 7.994 8.549 9.180
Karbonil dan asam 1-Cyclohexene-1-carboxaldehyde 2,3-dihydroxy-benzoic acid 3-methoxybenzoic acid methyl ester 4-Hydroxy-benzoic acid methyl ester
15 16 17 18 19 20
3.917 4.979 5.260 5.716 6.260 6.492
Fenol dan turunannya Phenol 2-Methylphenol 3-Methylphenol 2,6-Dimethylphenol 2,4-Dimethylphenol 3-Ethylphenol
21 22 23 24 25 26 27 28 29
5.458 6.617 6.699 6.776 7.717 8.442 8.684 9.415 9.682
Guaiakol dan turunannya 2-Methoxyphenol (guaiacol) 3-Methylguaiacol p-Methylguaiacol 2-methoxy-4-methylphenol 4-Ethyl-2-methoxyphenol Eugenol Vanillin Acetovanillone Methyl vanillate
30 31 32 33 34 35
7.313 8.285 10.410 10.840 11.570 11.876
Siringol dan turunannya 2,6-Dimethoxyphenol 3,4-Dimethoxyphenol 4-(2-Propenyl)-2,6-dimethoxyphenol Syringyl aldehyde Acetosyringone 3,5-Dimethoxy-4-hydroxyphenylacetic acid
36 37 38 39 40
6.077 7.197 7.915 9.112 9.767
Alkil aril eter 1,2-Dimethoxybenzene 2,3-Dimethoxytoluene 1,2,3-Trimethoxybenzene 1,2,4-Trimethoxybenzene 5-Methyl-1,2,3-trimethoxybenzene
Komponen
Tabel 5 menunjukkan kelompok senyawa yang teridentifikasi dari asap cair tempurung kelapa, terutama berasal dari degradasi termal karbohidrat kayu seperti keton, karbonil, asam, furan dan turunan pyran. Selain itu, asap cair tempurung kelapa juga mengandung kelompok senyawa yang berasal dari degradasi termal lignin, seperti fenol dan turunannya, guaiakol dan turunannya, siringol dan turunannya, serta alkil aril eter. Kelompok keton yang teridentifikasi dari asap cair tempurung kelapa terdiri
dari
senyawa-senyawa
2-Methyl-2-cyclopentenone,
2-Hydroxy-1-
27
methylcyclopenten-3-one,
2-Ethylcycloheptanone,
3-Methyl-2-cyclopentenone,
2,3-Dimethylcyclopenten-1-one, 4,5-Dimethyl-4-hexen-3-one, 3-Ethyl-2-hydroxy2-cyclopenten-1-one, dan Cyclohexanone. Kelompok furan dan turunan pyan terdiri dari senyawa 2-Acetylfuran dan 5- Methyl Furfural. Kelompok karbonil dan asam terdiri dari senyawa-senyawa 1-Cyclohexene-1-carboxaldehyde, 2,3dihydroxy-benzoic acid, 3-methoxybenzoic acid methyl ester, dan 4-Hydroxybenzoic acid methyl ester. Kelompok senyawa tersebut dihasilkan oleh degradasi termal selulosa dan hemiselulosa dan juga terdapat pada asap cair komersial (Guillen et al. 1995; Guillen & Ibargoitia 1998; Guillen et al. 2001), asap kayu Vitis vinivera L. (Guillen & Ibargoitia 1996a,b) dan asap komersial yang digunakan sebagai pemberi aroma (Guillen & Manzanos 1996a,b; Guillen & Manzanos 1997). Kelompok fenol dan turunannya terdiri dari senyawa-senyawa Phenol, 2Methylphenol, 3-Methylphenol, 2,6-Dimethylphenol, 2,4-Dimethylphenol, dan 3Ethylphenol. Senyawa-senyawa dalam kelompok fenol ini juga terdeteksi pada asap cair komersial (Guillen et al. 1995; Guillen & Ibargoitia 1998) dan asap cair dari kayu Salvia lavandulifolia (Guillen & Manzanos 1999). Kelompok guaiakol dan turunannya terdiri dari senyawa-senyawa 2-Methoxyphenol (guaiacol), 3Methylguaiacol, p-Methylguaiacol, p-Methylguaiacol, 2-methoxy-4-methylphenol, 4-Ethyl-2-methoxyphenol,
Eugenol,
Vanillin,
Acetovanillone,
dan
Methyl
vanillate. Kelompok siringol dan turunannya terdiri dari senyawa-senyawa 3,4Dimethoxyphenol, 2,6-Dimethoxyphenol, 4-(2-Propenyl)-2,6-dimethoxyphenol, Syringyl aldehyde, Acetosyringone, dan 3,5-Dimethoxy-4-hydroxyphenylacetic acid.
Terdapatnya
2,6-Dimethoxyphenol
dan
3,4-Dimethoxyphenol
mengindikasikan penggunaan kayu keras sebagai bahan baku untuk membuat asap cair. Kayu keras termasuk tempurung kelapa banyak digunakan untuk memproduksi asap cair karena komposisi kayu keras yang terdiri dari lignin, selulosa, dan metoksil memberikan sifat organoleptik yang baik (Soldera et al. 2008). Berdasarkan sejumlah senyawa yang teridentifikasi dari asap cair tempurung kelapa, fenolik menjadi senyawa yang dominan dari asap cair tempurung kelapa. Guillen dan Ibargoitia (1998) menyatakan bahwa fenolik
28
bertanggung jawab terhadap flavor dari asap cair. Senyawa-senyawa fenolik tertentu seperti guaiacol, 4-methyl guaiakol, dan 2,6-dimethoxyphenol dan syringol menentukan flavor dari bahan pangan yang diasap dimana guaiacol akan memberikan rasa asap dan syringol memberikan aroma asap (Espe et al. 2004; Serot et al. 2004; Cardinal et al. 2006). Selain itu, kelompok alkil aril eter juga terdapat dalam asap cair tempurung kelapa yang terdiri dari senyawa-senyawa 1,2-Dimethoxybenzene, 2,3Dimethoxytoluene, 1,2,3-Trimethoxybenzene, 1,2,4-Trimethoxybenzene, dan 5Methyl-1,2,3-trimethoxy benzene. Kelompok alkil aril eter ini juga teridentifikasi dalam asap cair komersial (Guillen & Manzanos 1997) dan asap cair kayu oak (Quercus sp.) (Guillen & Manzanos 2002). Komponen-komponen yang bersifat sebagai antimikroba dari asap cair tempurung kelapa adalah fenol dan turunannya serta senyawa asam (Munoz et al. 1998; Sunen et al. 2001; Sunen et al. 2003; Muratore & Licciardello 2005; Milly et al. 2005; Gomez-Estaca et al. 2007; Kristinsson et al. 2007; Soldera et al. 2008). Fenol dan turunannya dapat bersifat bakteriostatik maupun bakterisidal karena mampu menginaktifkan enzim-enzim esensial, mengkoagulasi SH group dan NH group protein (Karseno et al. 2002). Davidson et al. (2005) menjelaskan bahwa mekanisme aktivitas antimikroba fenol dan turunannya meliputi reaksi dengan membran sel yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas membran sel dan mengakibatkan keluarnya materi intraselular sel, inaktivasi enzim-enzim esensial dan perusakan atau inaktivasi fungsional materi genetik. Asam-asam organik lemah seperti 2,3-dihydroxy-benzoic acid, 3methoxybenzoic acid methyl ester, dan 4-Hydroxy-benzoic acid methyl ester yang terdapat dalam asap cair tempurung kelapa dapat bersifat sebagai antimikroba terutama karena pembentukan ion H+ bebas. Senyawa asam dalam bentuk tidak terdisosiasi lebih cepat berpenetrasi ke dalam membran sel mikroorganisme. Senyawa asam dapat menurunkan pH sitoplasma, mempengaruhi struktur membran dan fluiditasnya serta mengkelat ion-ion dalam dinding sel bakteri. Penurunan pH sitoplasma akan mempengaruhi protein struktural sel, enzimenzim, asam nukleat dan fosfolipid membran (Davidson et al. 2005).
29
Guillen et al. (1995) menjelaskan bahwa benzo[a]pirene merupakan salah satu senyawa polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) yang diketahui bersifat karsinogenik dan biasa ditemukan pada produk pengasapan. Hasil analisis menunjukkan bahwa senyawa-senyawa PAH termasuk benzo[a]pirene tidak ditemukan pada asap cair tempurung kelapa. Asap cair yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil kondensasi asap yang berasal dari pembuatan arang tempurung kelapa pada suhu di bawah 400 0C. Faktor yang menyebabkan terbentuknya senyawa PAH adalah suhu pengasapan dan benzo[a]pirene tidak terbentuk jika suhu pirolisis dibawah 425 0C (Guillen et al. 2000; Stolyhwo & Sikorski 2005). 4.1.2. Uji Toksisitas Akut Asap Cair Tempurung Kelapa Uji toksisitas akut digunakan untuk menentukan dosis letal median (LD50) suatu toksikan. LD50 didefinisikan sebagai dosis tunggal suatu zat yang diharapkan akan membunuh 50% hewan percobaan. Nilai LD50 sangat berguna untuk klasifikasi zat kimia sesuai toksisitas relatifnya. Selain itu, nilai LD50 dapat digunakan untuk perencanaan penelitian toksisitas sub akut dan kronis pada hewan. Namun, nilai LD50 belum dapat digunakan untuk menentukan dosis aman suatu zat kimia tertentu yang dapat dikonsumsi setiap hari (Acceptable Daily Intake/ADI). Penetapan ADI bagi manusia dilakukan berdasarkan NOEL (No Observed Effect Level) dari penelitian toksisitas sub akut bersama dengan data toksisitas akut, data metabolisme, dan data penelitian jangka panjang (Lu 2006). Meskipun demikian, uji toksisitas akut untuk menentukan nilai LD50 merupakan bagian penting dari data dasar toksisitas yang menyeluruh dan prosedurnya telah diatur oleh Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) Guidelines for Testing of Chemicals (Barlow et al. 2002). Penentuan LD50 dilakukan dengan memberikan zat kimia yang sedang diuji sebanyak satu kali dalam jangka waktu 24 jam dan pengamatan dilakukan selama kurang lebih 14 hari (Barlow et al. 2002). Sebelum diberi perlakuan, mencit diaklimatisasi selama 7 hari. Hasil pengamatan perubahan berat badan mencit pada masa aklimatisasi disajikan pada Gambar 3 dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
30
28.00
Berat badan (gr)
27.00 26.00 25.00 24.00 23.00 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Hari pengamatan
Gambar 3 Perubahan berat badan mencit selama masa aklimatisasi. Gambar 3 menunjukkan bahwa selama masa aklimatisasi berat badan mencit terus mengalami peningkatan. Berat rata-rata mencit pada hari pertama adalah 23,91 gr dan setelah 7 hari naik menjadi 27,65 gr. Setelah masa aklimatisasi, berat badan mencit dan kondisi kesehatannya telah memenuhi syarat untuk dipergunakan pada uji toksisitas akut. Setelah masa aklimatisasi, mencit dibagi menjadi 5 kelompok untuk 5 seri dosis yang diberikan. Masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor mencit. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 74 tahun 2001, dosis yang digunakan pada uji toksisitas akut adalah kontrol, 50 mg/kg BB, 500 mg/kg BB, 5.000 mg/kg BB, dan 15.000 mg/kg BB. Perlakuan diberikan dengan cara mencekok mencit dengan asap cair sesuai dosis sebanyak 1 ml, kemudian dilakukan pengamatan terhadap pertambahan berat badan dan kematian mencit untuk tiap dosisnya. Hasil pengamatan pertambahan berat badan rata-rata mencit disajikan pada Gambar 4 dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.
31
Gambar 4 Pertambahan berat badan rata-rata mencit selama pengamatan Gambar 4 menunjukkan bahwa berat badan rata-rata mencit pada masingmasing dosis mengalami peningkatan selama pengamatan. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi asap cair tidak menyebabkan penurunan berat badan mencit, terbukti pada dosis yang paling besar yaitu 15.000 mg/kg BB, berat badan mencit terus mengalami peningkatan. Jumlah dan persentase kematian mencit selama pengamatan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah dan persentase kematian mencit dengan dosis asap cair kontrol, 50 mg/kg BB, 500 mg/kg BB, 5.000 mg/kg BB, dan 15.000 mg/kg BB Dosis Kontrol 50 mg/kg BB 500 mg/kg BB 5000 mg/kg BB 15000 mg/kg BB
Jumlah kematian 0 0 0 0 0
Kematian (%) 0 0 0 0 0
Tabel 6 menunjukkan bahwa pemberian asap cair dengan dosis maksimal 15.000 mg/kg BB tidak menimbulkan kematian pada mencit. Berdasarkan persentase kematian tersebut, maka dapat diartikan bahwa nilai LD50 akut asap cair tempurung kelapa lebih besar dari 15.000 mg/kg BB mencit. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 74 Tahun 2001 yang menetapkan bahwa suatu zat/senyawa/bahan kimia dengan nilai LD50 lebih besar dari 15.000 mg/kg BB hewan uji, maka dikategorikan sebagai bahan yang tidak toksik, sehingga asap cair tempurung kelapa aman digunakan untuk pangan.
32
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut dapat disimpulkan bahwa toksisitas akut dari asap cair tempurung kelapa rendah. Bila toksisitas akut suatu senyawa rendah, artinya pada dosis yang cukup besar saja menyebabkan hanya sedikit kematian, atau bahkan tidak menyebabkan kematian, maka dianggap bahwa semua toksisitas akut yang berbahaya dapat diabaikan dan LD50 tidak perlu ditentukan ( Lu 2006). 4.2. Uji Aktivitas Antibakteri Asap Cair Tempurung Kelapa Pengujian aktivitas antibakteri asap cair tempurung kelapa menggunakan Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa sebagai bakteri uji. Kedua jenis ini mewakili jenis bakteri Gram negatif dan Gram positif, selain ikut berperan dalam kontaminasi dan kerusakan makanan. S. aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk kokus dengan diameter 0,7-0,9 µm dan tumbuhnya secara anaerobik fakultatif. Bakteri ini memproduksi enterotoksin yang menyebabkan keracunan dan sering ditemukan pada jenis makanan yang mengandung protein tinggi seperti ikan, telur, daging dan sebagainya. Enterotoksin yang diproduksi oleh S. aureus bersifat tahan panas dan masih aktif setelah dipanaskan pada suhu 100 0C selama 30 menit (Fardiaz 1993). S. aureus banyak mencemari pangan karena tindakan yang tidak higienis dalam penanganan pangan (Sunen 1998). Suhu optimum pertumbuhan S. aureus adalah 35-37 0C dan dapat tumbuh pada pH 4,0-9,8 dengan pH optimum sekitar 7,0-7,8. P. aeruginosa merupakan salah satu bakteri yang sering menimbulkan kebusukan pada makanan seperti susu, daging, dan ikan. P. aeruginosa merupakan bakteri Gram negatif, bersifat aerob dan dapat tumbuh pada media sederhana, bentuk sel bervariasi dari batang, koma, dan kadang-kadang bulat (Doyle et al. 2001). P. aeruginosa mudah tumbuh dan menyebabkan kerusakan pada beragam produk pangan karena kemampuannya untuk menggunakan berbagai sumber karbon bukan karbohidrat dan komponen nitrogen sederhana sebagai sumber energi, mampu mensintesis sendiri vitamin dan faktor-faktor pertumbuhan lainnya, dan tumbuh baik pada suhu dingin, serta menghasilkan senyawa-senyawa penyebab bau busuk pada pangan (Frazier & Westhoff 1988). Penentuan nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration) asap cair tempurung kelapa terhadap S. aureus dan P. aeruginosa dilakukan dengan metode
33
kontak pada medium cair. Nilai MIC dinyatakan sebagai konsentrasi terendah asap cair tempurung kelapa yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri sebanyak > 90% selama inkubasi 24 jam (Cosentino et al. 1999 di dalam Sara 2004). Nilai MIC asap cair tempurung kelapa memberikan gambaran adanya respon ketahanan yang berbeda dari kedua jenis bakteri uji. Hasil pengujian nilai MIC disajikan pada Gambar 5 dan perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 4,5,6, 7 dan 8.
Gambar 5 Nilai MIC asap cair tempurung kelapa terhadap bakteri uji Gambar 5 menunjukkan bahwa nilai MIC asap cair tempurung kelapa terhadap S. aureus sebesar 0,40% dengan penghambatan 91,11%, sedangkan nilai MIC asap cair tempurung kelapa terhadap P. aeruginosa sebesar 0,22% dengan penghambatan 91,59%. S. aureus lebih resisten daripada P. aeruginosa terhadap asap cair tempurung kelapa. S. aureus merupakan bakteri Gram positif dengan dinding sel disusun oleh rantai tetrapeptida yang terdiri dari (L-alanil-Disoglutaminil-L-lisil-D-alanin) dan jembatan interpeptida yang terdiri dari lima unit glisin. Unit asam muramat disubstitusi oleh tetrapeptida yang dihubungkan oleh jembatan interpeptida dengan ikatan kovalen yang akan menghasilkan struktur yang kuat, sehingga struktur ini sangat tahan terhadap kerusakan (Thorpe 1995). P. aeruginosa lebih sensitif diduga karena bakteri ini mempunyai protein porin PAO1 dengan diameter 2 nm, lebih besar dibanding protein porin OmpF
34
dan OmpC pada E. coli K-12 dengan diameter 1.2 nm. Asap cair tempurung kelapa dapat masuk ke dalam membran plasma bakteri Gram negatif melalui protein porin tersebut (Helander et al. 1998).
4.3. Aplikasi Asap Cair Tempurung Kelapa pada Bakso Ikan Tahap pertama untuk aplikasi asap cair tempurung kelapa pada bakso ikan adalah menentukan cara pemberian asap cair berdasarkan kriteria daya awet bakso ikan yang disimpan pada suhu kamar. Selain itu, juga ditentukan konsentrasi asap cair yang digunakan berdasarkan penerimaan konsumen. 4.3.1. Penentuan Cara Pemberian Asap Cair Tempurung Kelapa Pemberian asap cair tempurung kelapa pada bakso ikan dilakukan dengan tiga cara, yaitu perendaman bakso dalam asap cair selama 30 menit, pencampuran asap cair ke dalam adonan bakso, dan pencampuran asap cair ke dalam air perebus bakso. Tiga cara tersebut dipilih berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya tentang penggunaan asap cair pada beberapa produk pangan. Perendaman produk dalam asap cair telah dilakukan pada daging (Martinez et al. 2004) maupun pada fillet salmon (Martinez et al. 2007), masing-masing selama 30 menit. Pencampuran asap cair pada produk pangan telah dilakukan pada pembuatan tepung asap (Darmadji 2002) serta pada pembuatan mayonaise untuk memberikan aroma asap (Kostyra & Pikielna 2007), sedangkan pencampuran asap cair ke dalam air perebus telah digunakan dalam pengolahan fillet ikan (Siskos et al. 2007). Konsentrasi asap cair yang digunakan pada tahap ini adalah kontrol, 1,0%, 1,5%, 2,0%, dan 2,5%. Parameter yang digunakan adalah parameter fisik yaitu timbulnya lendir pada bakso ikan. Kok dan Park (2007) menyatakan bahwa salah satu tanda kerusakan bakso adalah terbentuknya lendir yang menandakan adanya pertumbuhan bakteri. Bakso ikan yang telah diberi perlakuan dikemas dalam plastik HDPE steril dan disimpan pada suhu kamar. Pengamatan dilakukan setiap selang waktu 8 jam sampai bakso telah menunjukkan tanda-tanda kerusakan. Hasil pengamatan parameter fisik untuk cara pemberian asap cair disajikan pada Tabel 7.
35
Tabel 7 Hasil pengamatan visual bakso ikan selama penyimpanan pada suhu kamar Cara pemberian asap cair Perendaman bakso dalam asap cair Pencampuran asap cair dalam adonan bakso Pencampuran asap cair dalam air perebus
Kontrol
Terbentuk lendir (jam ke-) Ac 1,0% Ac 1,5% Ac 2,0%
Ac 2,5%
16
24
24
24
24
16
24
24
24
24
16
24
24
24
32
Tabel 7 menunjukkan bahwa pencampuran asap cair dalam air perebus lebih efektif untuk meningkatkan daya awet bakso ikan. Cara perendaman dan pencampuran asap cair dalam adonan bakso memberikan hasil yang sama. Lendir mulai terlihat pada jam ke-24 untuk konsentrasi asap cair 1,0% sampai 2,5%, sedangkan bakso ikan tanpa penambahan asap cair telah terbentuk lendir pada jam ke-16. Cara perendaman bakso ikan ke dalam asap cair kurang efektif karena pada jam ke-24 bagian luar bakso masih bagus, tetapi bagian dalam sudah berlendir. Pencampuran asap cair dalam adonan bakso juga kurang efektif karena pada jam ke-24 bagian luar bakso sudah berlendir, tidak beda nyata dengan kontrol. Cara pencampuran asap cair dalam air perebus lebih efektif, pada konsentrasi asap cair 2,5% lendir pada bakso mulai terbentuk pada jam ke-32. Siskos et al. (2007) menyatakan bahwa pencampuran asap cair dalam air perebus akan melapisi bagian luar filet dan meresap masuk ke bagian dalam filet. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, cara pencampuran asap cair dalam air perebus digunakan pada tahap penyimpanan bakso ikan. 4.3.2. Penentuan Konsentrasi Asap Cair Tempurung Kelapa Konsentrasi asap cair yang digunakan pada tahap penyimpanan bakso ikan ditentukan berdasarkan penerimaan konsumen. Penerimaan konsumen terhadap bakso ikan dengan penambahan asap cair ditentukan dengan uji kesukaan menggunakan panelis tak terlatih sebanyak 30 orang. Panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau ketidaksukaan terhadap suatu produk. Skala hedonik yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala 9, dengan tingkat kesukaan 9 (amat sangat suka), 8 (sangat suka), 7 (suka),
36
6 (agak suka), 5 (netral), 4 (agak tidak suka), 3 (tidak suka), 2 (sangat tidak suka) dan 1 (amat sangat tidak suka) (Rahayu 2001). Konsentrasi asap cair yang digunakan yaitu 1,0%, 1,5%, 2,0%, dan 2,5%. Penerimaan panelis terhadap bakso ikan disajikan pada Tabel 8 dan perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 9, 10, 11, dan 12. Tabel 8 Nilai rata-rata mutu bakso ikan berdasarkan penerimaan panelis Nilai organoleptik (rata-rata ± s.d.) Aroma Warna Rasa Keseluruhan 1,0% 7,83 ± 0,38a 8,00 ± 0,45a 8,17 ± 0,65a 8,03 ± 0,49a a b b 1,5% 7,60 ± 0,50 7,37 ± 0,49 7,23 ± 0,43 7,17 ± 0,38b 2,0% 7,73 ± 0,45a 7,53 ± 0,51b 7,33 ± 0,48b 7,33 ± 0,48b a b b 2,5% 7,77 ± 0,43 7,60 ± 0,50 7,43 ± 0,50 7,37 ± 0,49b Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT) Konsentrasi asap cair
Tabel 8 menunjukkan bahwa konsentrasi asap cair tempurung kelapa tidak berpengaruh nyata pada penerimaan panelis terhadap aroma bakso ikan, tetapi berpengaruh nyata pada penerimaan panelis terhadap warna, rasa, dan kesukaan keseluruhan bakso ikan yang dihasilkan. Nilai rata-rata kesukaan panelis terhadap aroma, warna, rasa, dan kesukaan keseluruhan bakso ikan dengan konsentrasi asap cair 1,0% masing-masing sebesar 7,83; 8,00; 8,17; dan 8,03 dengan penilaian sangat suka. Panelis cenderung lebih menyukai bakso dengan konsentrasi asap cair 1,0% daripada bakso dengan konsentrasi asap cair 1,5%, 2,0%, dan 2,5%. Bakso dengan konsentrasi asap cair 1,0% mempunyai penilaian yang paling tinggi yaitu 7,83-8,17. Sular dan Okur (2007) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat penilaian maka produk akan semakin disukai. Asap cair sampai konsentrasi 2,5% masih dapat diterima oleh panelis, meskipun secara keseluruhan berbeda nyata dengan konsentrasi 1%. Nilai ratarata kesukaan panelis terhadap aroma, warna, rasa, dan kesukaan keseluruhan bakso ikan dengan konsentrasi asap cair 2,5% berkisar antara 7,37-7,77. Nilai tersebut masih tergolong tinggi dengan penilaian 7 (suka) dan 8 (sangat suka). Persentase penerimaan panelis berdasarkan 2 standar nilai tersebut disajikan pada Gambar 6.
37
90.00
Persentase penilaian panelis
80.00
76.67
70.00 60.00 60.00
63.33 56.67
50.00
43.33
40.00
36.67
40.00 30.00
23.33
20.00 10.00 0.00 Aroma
Warna
Rasa
Parameter mutu
Kesukaan keseluruhan Nilai 7 (suka) Nilai 8 (sangat suka)
Gambar 6 Persentase penilaian panelis terhadap aroma, warna, rasa, dan kesukaan keseluruhan bakso ikan dengan konsentrasi asap cair 2,5%. Gambar 6 menunjukkan bahwa panelis lebih banyak memberikan nilai 8 (sangat suka) terhadap aroma bakso ikan dengan konsentrasi asap cair 2,5% sebesar 76,67%. Bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2,5% memberikan aroma khas asap yang sangat disukai penelis. Soldera et al. (2008) menyatakan bahwa senyawa yang paling menentukan aroma asap adalah kelompok fenolik dengan titik didih sedang seperti siringol, isoeugenol, dan metil eugenol. Kelompok fenolik dengan titik didih rendah seperti guaiakol, metil guaiakol, dan etil guaiakol memiliki aroma yang tidak begitu keras. Siringol dan guaiakol memberikan aroma pungent (pedas dan agak menyengat di hidung), aroma terbakar, dan aroma asap (Varlet et al. 2006). Bakso pada konsentrasi 1,0% mempunyai warna kuning kecoklatan. Konsentrasi 1,5%; 2,0%; 2,5% mempunyai warna coklat yang semakin pekat dengan meningkatnya konsentrasi asap. Gambar 6 menunjukkan bahwa panelis lebih banyak memberikan nilai 8 (sangat suka) terhadap warna bakso ikan dengan asap cair 2,5% sebesar 60%. Warna coklat terjadi karena hasil reaksi Maillard yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kandungan gula reduksi, waktu, serta temperatur pemanasan ( Krokida et al. 2001). Reaksi Maillard merupakan reaksi non enzimatis antara grup amino bebas dan karbonil yang terjadi dengan cepat di atas suhu 100 0C (Abu-Ali & Barringer 2007). Warna pada produk
38
pengasapan terutama bakso terbentuk karena interaksi antara senyawa karbonil dan gugus amino dalam daging ikan (Darmadji 2002). Parameter rasa dan kesukaan keseluruhan bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2,5%, lebih banyak diberi nilai 7 (suka) oleh panelis, masing-masing sebesar 43,33% dan 36,67%. Senyawa karbonil, lakton, dan furan memegang peranan penting dalam pembentukan citarasa asap dan disebut konstituen minor. Senyawa tersebut memberikan citarasa manis-pedas dan rasa asap (Varlet et al. 2006). Rasa manis-pedas dari asap dan gurih dari ikan, aroma asap yang khas, serta warna bakso yang kecoklatan, memberikan kesan yang khas pada bakso ikan. Berdasarkan hasil uji kesukaan tersebut, bakso dengan konsentrasi asap cair 2,5% digunakan pada tahap penyimpanan. Konsentrasi tersebut masih disukai oleh panelis berdasarkan parameter aroma, warna, rasa, dan kesukaan keseluruhan. Pertimbangan lain, hasil pengamatan cara pemberian asap cair dengan dicampur dalam air perebus menunjukkan bahwa konsentrasi asap cair 2,5% dapat meningkatkan daya awet bakso ikan. Melalui pengamatan visual, bakso dengan konsentrasi asap cair 2,5% mulai terbentuk lendir pada jam ke-32, dibandingkan dengan konsentrasi asap cair 1,0%; 1,5%; dan 2,0% yang terbentuk lendir pada jam ke-24. 4.3.3. Total Fenol Asap Cair Tempurung Kelapa, Air Perebus Bakso, dan Bakso Ikan Analisis total fenol dilakukan untuk mengetahui jumlah fenol yang terdapat pada bakso ikan dengan konsentrasi asap cair 2,5% dalam air perebus. Kurva standar fenol disajikan pada Lampiran 13 dan hasil pengujian total fenol disajikan pada lampiran 14. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kandungan fenol dalam asap cair tempurung kelapa sebesar 6,877%. Hasil penelitian Tranggono (1996) terhadap asap cair kayu jati, lamtorogung, tempurung kelapa, mahoni, kamper, bangkirai, kruing, dan glugu (pohon kelapa) menunjukkan bahwa variasi kandungan fenolnya berkisar antara 2,0-5,13% atau sama dengan 21.000–51.300 ppm. Konsentrasi komponen fenolik pada asap cair dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis kayu yang digunakan untuk proses pengasapan, temperatur, dan kelembaban (Soldera et al. 2008).
39
Konsentrasi asap cair yang digunakan untuk pembuatan bakso ikan adalah 2,5% dalam air perebus. Air perebus yang digunakan sebanyak 1500 ml dan digunakan untuk merebus 50 butir bakso ikan. Diameter bakso ikan berkisar antara 2,2 – 2,4 cm, dengan rata-rata luas permukaan bakso ikan sebesar 34,13 cm2, perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 15. Hasil pengujian total fenol menunjukkan bahwa kandungan fenol dalam air perebus bakso sebesar 0,173%. Sedangkan total fenol pada bakso ikan sebesar 0,051%. Hal ini menunjukkan bahwa dari konsentrasi asap cair 2,5% dalam air perebus dengan total fenol sebesar 0,173%, maka fenol yang menempel atau terserap pada bakso ikan dengan rata-rata luas permukaan 34,13 cm2 hanya 1/3 nya. 4.3.4. Penyimpanan Bakso Ikan pada Suhu Kamar Konsentrasi asap cair yang digunakan adalah kontrol dan 2,5% berdasarkan hasil pengujian sebelumnya. Adonan bakso ikan direbus dengan air sebanyak 1,5 liter selama 15 menit. Setelah itu, bakso ikan ditiriskan dan didinginkan selama kurang lebih 15 menit, dikemas dalam plastik HDPE steril dan disimpan pada suhu kamar (27–28 0C). Pengamatan dilakukan pada jam ke-0, 8, 16, 24, 32, dan 40. Parameter pengamatan meliputi jumlah total bakteri (TPC), nilai pH, dan kadar air bakso ikan. 4.3.4.1. Jumlah Total Bakteri (TPC) Kandungan bakteri dalam suatu produk merupakan salah satu parameter mikrobiologis dalam menentukan layak tidaknya produk tersebut dikonsumsi (Kristinsson et al. 2007). Kontaminasi mikroba pada produk perikanan dapat terjadi saat panen, penanganan, distribusi maupun penyimpanan, dan proses pengolahan (Wekell et al. 1994). Analisis terhadap jumlah bakteri ditujukan untuk mengetahui jumlah total bakteri dalam suatu produk dan mengetahui tingkat pertumbuhannya selama penyimpanan. Hasil pengamatan nilai TPC bakso ikan pada penyimpanan suhu kamar disajikan pada Gambar 7 dan perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 16, 17, dan 18.
40
Gambar 7
Jumlah bakteri total (log CFU/g) pada bakso ikan selama penyimpanan suhu kamar.
Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai TPC bakso ikan kontrol selama penyimpanan berkisar antara 1,30–8,48
log CFU/g. Nilai
TPC bakso ikan
dengan asap cair 2.5% berkisar antara 1,00–6,53 log CFU/g. Berdasarkan nilai TPC dapat dikatakan bahwa jumlah mikroorganisme cenderung semakin meningkat dengan lamanya penyimpanan. Nilai TPC bakso ikan kontrol pada jam ke-16 sebesar 6,35 log CFU/g. Berdasarkan nilai TPC pada SNI 01-3819-1995 untuk produk bakso ikan yaitu 1,0x105 CFU/g atau sama dengan 5,00 log CFU/g, maka produk bakso ikan kontrol pada jam ke-16 secara mikrobiologis sudah ditolak. Sesuai dengan pengamatan fisik pada bakso ikan kontrol pada penentuan cara pemberian asap cair, lendir pada bakso mulai terbentuk pada jam ke-16. Terbentuknya lendir mengindikasikan bahwa produk tersebut sudah mengalami kemunduran mutu akibat aktivitas bakteri dan tidak layak untuk dikonsumsi (Kok & Park 2007; Siskos et al. 2007). Nilai TPC bakso ikan dengan asap cair 2,5% pada jam ke-16 dan ke-24 masih dapat diterima dengan nilai masing-masing 4,34 dan 4,61 log CFU/g. Jam ke-32 nilai TPC bakso ikan dengan asap cair 2,5% sudah melewati batas aturan SNI, walaupun masih pada pangkat yang sama, yaitu 5,60 log CFU/g atau sekitar 4,0x105 CFU/g. Hal ini sesuai dengan pengamatan fisik pada bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2,5%, lendir pada bakso mulai terbentuk pada jam ke 32.
41
Pengamatan secara keseluruhan terhadap jumlah bakteri yang tumbuh pada bakso ikan selama 40 jam penyimpanan menunjukkan bahwa bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2,5% memiliki nilai TPC yang lebih rendah dibandingkan kontrol. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa asap cair dapat memperpanjang umur simpan bakso ikan 16 jam lebih lama daripada kontrol pada suhu kamar (27–28 0C). 4.3.4.2. Nilai pH Hasil pengamatan pH bakso ikan pada penyimpanan suhu kamar disajikan pada Gambar 8 dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 19. Secara umum nilai pH bakso ikan mengalami penurunan, kemudian naik pada hari terakhir pengamatan. Gambar 8 menunjukkan bahwa nilai pH bakso ikan dengan asap cair 2,5% lebih rendah daripada bakso ikan kontrol dari awal sampai akhir penyimpanan. Hal ini disebabkan tingkat keasaman dari asap cair tempurung kelapa dan adanya senyawa-senyawa asam seperti 2,3-dihydroxy-benzoic acid, 3methoxybenzoic acid methyl ester, dan
4-Hydroxy-benzoic acid methyl ester
berdasarkan analisis GC-MS.
Gambar 8 Nilai pH bakso ikan selama penyimpanan suhu kamar Nilai pH bakso ikan kontrol pada awal penyimpanan sebesar 6,21, kemudian turun sampai jam ke-24 menjadi 6,15 dan naik menjadi 6,23 pada akhir penyimpanan. Menurut Stohr et al. (2001), penurunan nilai pH disebabkan oleh
42
metabolisme bakteri asam laktat. Nilai pH bakso ikan dengan asap cair 2,5% pada awal penyimpanan sebesar 5,83 dan cenderung mengalami kenaikan menjadi 5,86 pada akhir penyimpanan. Menurut Goulas dan Kontominas (2005), kenaikan pH disebabkan oleh aktivitas bakteri pembusuk yang dapat memproduksi enzim proteolitik. Enzim ini dapat memecah protein menjadi amonia, trimetilamin dan komponen volatil lainnya sehingga nilai pH akan naik.
4.3.4.3. Kadar Air Kadar air bahan pangan merupakan jumlah air yang dikandung bahan tersebut dan sangat berpengaruh pada mutu dan keawetan pangan (Martinez et al. 2007). Analisis kadar air bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian asap cair terhadap perubahan kadar air bakso ikan . Hasil pengukuran kadar air bakso ikan selama penyimpanan disajikan pada Gambar 9, dan perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 20 dan 21.
75.00 74.70
Kadar air (wb,%)
74.40 74.10 73.80
74.56 b
74.27 a
73.50 73.20
74.15 a
74.20 a
72.90 72.60 72.30 72.00 0
40
Waktu pengamatan (jam) Kontrol
Asap cair 2.5%
Gambar 9 Nilai kadar air bakso ikan selama penyimpanan suhu kamar. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT). Gambar 9 menunjukkan bahwa pada jam ke-0 kadar air bakso ikan kontrol lebih besar (p<0,05) daripada bakso ikan dengan asap cair 2,5%. Kadar air bakso ikan kontrol sebesar 74,56%, sedangkan kadar air bakso ikan dengan asap cair 2,5% sebesar 74,27%. Kadar air bakso ikan kontrol dan bakso ikan dengan asap cair 2,5% pada jam ke-0 ternyata ada perbedaan yang nyata (p<0,05). Penggunaan
43
asap cair dapat menyebabkan terjadinya kehilangan air pada produk (Leroi & Joffraud 2000; Rorvik 2000). Gomez-Guillen et al. (2003) menyatakan bahwa tingkat keasaman asap cair dapat menyebabkan ketidaklarutan protein daging, sehingga berakibat pada keluarnya air dari daging ikan. Selama penyimpanan sampai jam ke-40, kadar air bakso ikan kontrol mengalami penurunan dari 74,56% menjadi 74,20% dan bakso ikan dengan asap cair 2,5% mengalami penurunan dari 74,27% menjadi 74,15. Kadar air bakso ikan selama penyimpanan ternyata tidak berbeda nyata (p>0,05). 4.3.5. Penyimpanan Bakso Ikan Pada Suhu Refrigerasi Pada tahap ini konsentrasi asap cair yang digunakan sama dengan penyimpanan pada suhu kamar, yaitu kontrol dan 2,5%. Adonan bakso ikan direbus dengan air sebanyak 1,5 liter selama 15 menit. Setelah itu, bakso ikan ditiriskan dan didinginkan selama kurang lebih 15 menit, dikemas dalam plastik HDPE steril dan disimpan pada suhu refrigerasi (4±1 0C). Pengamatan dilakukan pada hari ke-0, 4, 8, 12, 16, dan 20. Parameter pengamatan meliputi uji jumlah total bakteri (TPC), nilai pH, dan kadar air bakso ikan.
4.3.5.1. Jumlah Total Bakteri (TPC) Analisis terhadap jumlah bakteri ditujukan untuk mengetahui jumlah total bakteri pada bakso ikan dan mengetahui tingkat pertumbuhannya selama penyimpanan pada suhu refrigerasi. Hasil pengamatan nilai TPC bakso ikan selama 20 hari penyimpanan disajikan pada Gambar 10 dan perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 22, 23, dan 24. Gambar 10 menunjukkan bahwa jumlah mikroorganisme pada bakso ikan kontrol cenderung meningkat dengan lamanya penyimpanan, sedangkan jumlah mikroorganisme pada bakso ikan dengan asap cair 2,5% meningkat pada hari ke-4, kemudian cenderung konstan pada hari ke-8, dan terus mengalami penurunan sampai hari ke-20.
44
Gambar 10 Jumlah bakteri total (log CFU/g) pada bakso ikan selama penyimpanan suhu refrigerasi. Nilai TPC bakso ikan kontrol selama penyimpanan berkisar antara 1,30– 0,00 log CFU/g, sedangkan nilai TPC bakso ikan dengan asap cair 2,5% berkisar antara 1,00–3,01 log CFU/g. Nilai TPC bakso ikan kontrol pada hari ke-12 sebesar 6,17 log CFU/g. Berdasarkan nilai TPC pada SNI 01-3819-1995 untuk produk bakso ikan yaitu 1,0x105 CFU/g atau sama dengan 5,00 log CFU/g, maka produk bakso ikan tanpa penambahan asap cair pada hari ke-12 secara mikrobiologis sudah ditolak. Nilai TPC bakso ikan dengan asap cair 2,5% mencapai nilai tertinggi pada penyimpanan hari ke-4 sebesar 3,01 log CFU/g. Nilai TPC tersebut masih jauh di bawah standar yang ditetapkan oleh SNI. Selama penyimpanan sampai hari ke-20 nilai TPC bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2,5% mengalami penurunan dengan nilai sebesar 1,80 log CFU/g. Secara mikrobiologis, bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2,5% sampai hari ke-20 masih layak untuk dikonsumsi. Sunen et al. (2001) menyatakan bahwa penggunaan asap cair yang dikombinasikan dengan suhu rendah dapat bersifat sebagai bakteristatik atau bakterisidal tergantung dari konsentrasi asap cair, suhu yang digunakan, dan lama penyimpanan.
45
4.3.5.2. Nilai pH Hasil pengamatan pH bakso ikan pada penyimpanan suhu refrigerasi disajikan pada Gambar 11 dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 25. Secara umum nilai pH bakso ikan mengalami kenaikan selama penyimpanan suhu refrigerasi.
Gambar 11 Nilai pH bakso ikan selama penyimpanan suhu refrigerasi Gambar 11 menunjukkan bahwa nilai pH bakso ikan kontrol pada awal penyimpanan sebesar 6,26, sedangkan bakso ikan dengan asap cair 2,5% sebesar 5,75. Nilai pH kedua bakso ikan tersebut naik sampai akhir penyimpanan menjadi 6,33 pada bakso ikan kontrol dan 5,80 pada bakso ikan dengan asap cair 2,5%. Peningkatan nilai pH bakso ikan disebabkan berkembangnya bakteri psikrofil yang dapat menyebabkan terbentuknya basa-basa volatil seperti amonia dan trimetilamin (Ruiz-Capillas et al. 2001) 4.3.5.3. Kadar Air Hasil pengukuran kadar air bakso ikan selama penyimpanan suhu refrigerasi disajikan pada Gambar 12, dan perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 26 dan 27. Gambar 12 menunjukkan bahwa kadar air bakso ikan kontrol pada hari ke-0 sebesar 74,56% dan kadar air bakso ikan dengan asap cair 2,5% sebesar 74,27%. Selama penyimpanan sampai hari ke-20, kadar air bakso ikan kontrol mengalami penurunan menjadi 73,78%, sedangkan bakso ikan dengan asap cair 2,5% turun menjadi 73,72% dan menunjukkan adanya beda nyata
46
(p<0.05). Penurunan kadar air bakso ikan disebabkan penguapan air pada suhu rendah, sehingga selama pendinginan kadar air bakso ikan akan berkurang (Hadiwiyoto 1993). 75.00 74.70
Kadar air (wb,%)
74.40 74.10 73.80
74.56 c
74.27 b
73.50
73.78 a
73.20
73.72 a
72.90 72.60 72.30 72.00 0
20 Waktu pengam atan (hari)
Kontrol
Asap cair 2.5%
Gambar 12 Nilai kadar air bakso ikan selama penyimpanan suhu refrigerasi. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT). 4.4. Pembahasan Umum Penelitian ini mengkaji penggunaan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan pengawet alternatif yang aman. Tahap pertama adalah mengkaji keamanan asap cair tempurung kelapa dengan mengidentifikasi komponen asap cair tempurung kelapa dan melakukan uji toksisitas akut untuk menentukan nilai LD50 asap cair tempurung kelapa. Tahap kedua adalah menguji aktivitas antibakteri asap cair tempurung kelapa dengan menentukan nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration). Sedangkan tahap ketiga adalah mengkaji penggunaan asap cair tempurung kelapa terhadap daya awet bakso ikan. Hasil analisis dengan GC-MS menunjukkan bahwa kelompok senyawa yang teridentifikasi dari asap cair tempurung kelapa, terutama berasal dari degradasi termal karbohidrat kayu seperti keton, karbonil, asam, furan dan turunan pyran. Asap cair tempurung kelapa juga mengandung kelompok senyawa yang berasal dari degradasi termal lignin, seperti fenol dan turunannya, guaiakol dan turunannya, siringol dan turunannya, serta alkil aril eter. Selain itu, tidak
47
ditemukan adanya senyawa-senyawa PAH termasuk benzo[a]pirene dalam asap cair tempurung kelapa. Hasil uji toksisitas akut menunjukkan bahwa nilai LD50 asap cair tempurung kelapa lebih besar dari 15.000 mg/kg BB mencit. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2001, suatu zat/senyawa/bahan kimia dengan nilai LD50 lebih besar dari 15.000 mg/kg BB hewan uji, maka dikategorikan sebagai bahan yang tidak toksik dan aman digunakan untuk pangan. Selain keamanan pangan asap cair tempurung kelapa, parameter mikrobiologi juga sangat diperlukan untuk menentukan daya awet bakso ikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian aktivitas antibakteri asap cair tempurung kelapa untuk mengetahui dosis yang efektif untuk diaplikasikan ke bakso ikan. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan menentukan nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration) asap cair tempurung kelapa dengan metode kontak pada medium cair. Bakteri uji yang digunakan adalah S. aureus dan P. aeruginosa. Kedua jenis ini mewakili jenis bakteri Gram negatif dan Gram positif, selain ikut berperan dalam kontaminasi dan kerusakan makanan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa S. aureus lebih resisten terhadap asap cair tempurung kelapa dengan nilai MIC sebesar 0,40%, sedangkan nilai MIC asap cair tempurung kelapa terhadap P. aeruginosa sebesar 0,22%. Secara umum mekanisme aktivitas antibakteri asap cair tempurung kelapa adalah dengan masuk melewati dinding sel
dan merusak bagian membran
sitoplasma. Kerusakan pada membran sitoplasma mengakibatkan permeabilitas membran terganggu, sehingga terjadi kebocoran isi sel dan mengganggu pembentukan asam nukleat. Bakteri yang sensitif terhadap asap cair tempurung kelapa dapat terjadi kerusakan pada dinding sel dan membran sitoplasma, sedangkan bakteri yang resisten kerusakan terjadi pada dinding sel. P. Aeruginosa lebih sensitif terhadap asap cair tempurung kelapa. Bakteri tersebut merupakan bakteri Gram negatif dengan membran luar sel berupa lipopolisakarida. Diduga asap cair tempurung kelapa dapat menyebabkan kerusakan dinding sel, selanjutnya berdifusi melalui membran sitoplasma dan mempengaruhi materi genetik. Menurut Helander et al. (1998), senyawa antimikroba dapat bereaksi dengan komponen fosfolipid dari membran sel, sehingga mengakibatkan lisis sel.
48
Tahap selanjutnya adalah aplikasi asap cair tempurung kelapa pada bakso ikan. Diharapkan asap cair tempurung kelapa ini dapat memperpanjang umur simpan bakso ikan pada suhu kamar dan suhu refrigerasi serta disukai oleh konsumen. Sebelum ke tahap penyimpanan, terlebih dahulu ditentukan cara pemberian asap cair berdasarkan kriteria daya awet bakso yang disimpan pada suhu kamar. Selain itu, juga ditentukan konsentrasi asap cair yang digunakan berdasarkan penerimaan konsumen. Pemberian asap cair tempurung kelapa pada bakso ikan dilakukan dengan tiga cara, yaitu perendaman bakso dalam asap cair selama 30 menit, pencampuran asap cair ke dalam adonan bakso, dan pencampuran asap cair ke dalam air perebus bakso. Dosis asap cair tempurung kelapa yang diujikan pada tahap ini adalah kontrol; 1,0%; 1,5%; 2,0%; dan 2,5%. Parameter yang digunakan adalah parameter fisik yaitu timbulnya lendir pada bakso ikan. Hasil pengamatan visual bakso ikan untuk tiga cara pemberian asap cair menunjukkan bahwa pencampuran asap cair tempurung kelapa dalam air perebus
lebih efektif untuk meningkatkan daya awet bakso ikan. Cara
perendaman dan pencampuran asap cair tempurung kelapa dalam adonan bakso memberikan hasil yang sama. Cara pencampuran asap cair dalam air perebus lebih efektif, pada konsentrasi asap cair 2,5% lendir pada bakso mulai terbentuk pada jam ke-32. Siskos et al. (2007) menyatakan bahwa pencampuran asap cair dalam air perebus akan melapisi bagian luar filet dan meresap masuk ke bagian dalam filet. Konsentrasi asap cair yang digunakan pada tahap penyimpanan bakso ikan ditentukan berdasarkan penerimaan konsumen. Asap cair sampai konsentrasi 2,5% masih dapat diterima oleh panelis, meskipun secara keseluruhan berbeda nyata dengan konsentrasi 1%. Konsentrasi asap cair 2,5% digunakan pada tahap penyimpanan bakso ikan, karena konsentrasi tersebut masih dapat diterima oleh panelis dengan nilai antara 7 (suka) dan 8 (sangat suka). Selain itu, melalui pengamatan visual, bakso dengan konsentrasi asap cair 2,5% mulai terbentuk lendir pada jam ke-32, dibandingkan dengan konsentrasi asap cair 1,0%; 1,5%; dan 2,0% yang terbentuk lendir pada jam ke-24. Hasil analisis total fenol menunjukkan bahwa bakso ikan dengan asap cair 2,5% mengandung fenol sebesar 0,051% atau 510 ppm. Konsentrasi tersebut
49
dapat diartikan bahwa setiap 1 kg bakso ikan mengandung fenol sekitar 510 mg. Berdasarkan hasil LD50 asap cair tempurung kelapa yaitu > 15.000 mg/kg BB mencit, kita dapat mengetahui tingkat keamanan bakso ikan dengan asap cair 2,5%. Nilai LD50 tersebut bila digunakan untuk manusia, WHO menganjurkan faktor pengaman sebesar 100 dan telah diterima secara luas (Lu 2006). Faktor pengaman ini diperlukan mengingat adanya perbedaan kepekaan antara hewan dan manusia, dan juga mengingat fakta bahwa jumlah hewan yang diuji sangat kecil dibandingkan dengan besarnya jumlah manusia yang mungkin terpajan. Berdasarkan faktor pengaman tersebut, batas aman dari asap cair tempurung kelapa adalah 150 mg/kg BB manusia. Misalnya bila berat badan seseorang 50 kg, maka batas aman yang dapat dikonsumsi adalah 7500 mg. Berat rata-rata satu butir bakso dengan diameter 2,2-2,4 cm sebesar 5 gr, misalnya satu kali makan dapat menghabiskan 10 butir bakso, maka kandungan total fenol dalam bakso tersebut sebesar 25,5 mg. Jumlah tersebut masih jauh di bawah batas aman yang dapat dikonsumsi, yaitu 7500 mg. Namun perlu diingat, bahwa batas aman tersebut bukan untuk dikonsumsi setiap hari dan dalam jangka waktu yang lama. Penetapan ADI (Acceptable Daily Intake) bagi manusia dilakukan berdasarkan NOEL (No Observed Effect Level) dari penelitian toksisitas sub akut bersama dengan data toksisitas akut, data metabolisme, dan data penelitian jangka panjang. Tetapi, bila toksisitas akutnya rendah, dalam arti dosis yang paling besar saja tidak menyebabkan kematian, dapat dianggap bahwa semua toksisitas akut yang berbahaya dapat disingkirkan dan LD50 tidak perlu ditentukan. Pandangan ini diterima oleh Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (Lu 2006). Berdasarkan hasil penelitian, tidak terjadi kematian pada hewan uji pada dosis yang paling besar yaitu 15.000 mg/kg BB, maka asap cair tempurung kelapa aman digunakan untuk pangan. Tahap penyimpanan bakso ikan menggunakan konsentrasi asap cair tempurung kelapa kontrol dan 2,5%. Selanjutnya bakso ikan disimpan pada suhu kamar (27–28 0C) dan suhu refrigerasi (4±1 0C). Penyimpanan bakso ikan pada suhu kamar dilakukan pengamatan pada jam ke-0, 8, 16, 24, 32, dan 40. Sedangkan penyimpanan bakso ikan pada suhu refrigerasi dilakukan pengamatan
50
pada hari ke-0, 4, 8, 12, 16, dan 20. Parameter pengamatan meliputi uji jumlah bakteri total (TPC), nilai pH, dan kadar air bakso ikan. Hasil pengamatan pada penyimpanan suhu kamar menunjukkan bahwa bakso ikan dengan asap cair 2,5% memiliki nilai TPC yang lebih rendah dibandingkan kontrol. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa asap cair dapat memperpanjang umur simpan bakso ikan 16 jam lebih lama daripada kontrol. Secara umum nilai pH bakso ikan mengalami penurunan, kemudian naik pada hari terakhir pengamatan. Nilai pH bakso ikan dengan asap cair 2,5% lebih rendah daripada bakso ikan kontrol dari awal sampai akhir penyimpanan. Hal ini disebabkan tingkat keasaman dari asap cair tempurung kelapa dan adanya senyawa-senyawa asam seperti 2,3-dihydroxy-benzoic acid, 3-methoxybenzoic acid methyl ester, dan 4-Hydroxy-benzoic acid methyl ester berdasarkan analisis GC-MS. Kadar air bakso ikan kontrol dan bakso ikan dengan asap cair 2,5% pada jam ke-0 ternyata ada perbedaan yang nyata (p<0,05). Penggunaan asap cair dapat menyebabkan terjadinya kehilangan air pada produk (Leroi & Joffraud 2000; Rorvik 2000). Gomez-Guillen et al. (2003) menyatakan bahwa tingkat keasaman asap cair dapat menyebabkan ketidaklarutan protein daging, sehingga berakibat pada keluarnya air dari daging ikan. Selama penyimpanan sampai jam ke-40, kadar air bakso ikan mengalami penurunan, tetapi tidak berbeda nyata (p>0,05). Hasil pengamatan pada penyimpanan suhu refrigerasi menunjukkan bahwa bakso ikan dengan asap cair 2,5% memiliki nilai TPC yang lebih rendah dibandingkan kontrol. Secara mikrobiologis, bakso ikan dengan asap cair 2,5% sampai hari ke-20 masih layak untuk dikonsumsi. Nilai pH bakso ikan mengalami kenaikan pada akhir penyimpanan. Peningkatan nilai pH disebabkan oleh berkembangnya bakteri psikrofil yang dapat menyebabkan terbentuknya basa-basa volatil seperti amonia dan trimetilamin (Ruiz-Capillas et al. 2001). Selama penyimpanan sampai hari ke-20, kadar air bakso ikan mengalami penurunan dan menunjukkan adanya beda nyata (p<0,05). Penurunan kadar air bakso ikan disebabkan adanya penguapan air pada suhu rendah, sehingga selama pendinginan kadar air bakso ikan akan berkurang (Hadiwiyoto 1993). Berdasarkan hasil pengamatan penyimpanan bakso ikan, asap cair konsentrasi 2,5% dapat memperpanjang umur simpan bakso ikan pada suhu kamar
51
maupun suhu refrigerasi. Bila dilihat dari nilai MIC tertinggi, yaitu 0,4% terhadap S. aureus, maka konsentrasi asap cair yang efektif untuk memperpanjang umur simpan bakso ikan sekitar 5 kali nilai MIC. Hal ini disebabkan dalam bahan pangan terutama bakso ikan merupakan media yang sangat baik untuk pertumbuhan
mikroorganisme
yang
sangat
kompleks,
maka
diperlukan
konsentrasi yang lebih tinggi untuk memperpanjang umur simpan produk tersebut. Secara umum, asap cair tempurung kelapa ini dapat digunakan sebagai bahan pengawet alternatif yang aman untuk dikonsumsi. Penggunaan asap cair tempurung kelapa dapat mengurangi terbentuknya senyawa-senyawa PAH yang bersifat karsinogenik pada proses pengasapan panas. Selain itu, kombinasi antara asap cair tempurung kelapa dengan teknik pengawetan lain seperti pemanasan, pengemasan, dan penyimpanan, dapat memperpanjang umur simpan serta memberikan karakteristik sensori berupa aroma, warna, serta rasa yang khas pada produk pangan.
52
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa kelompok senyawa yang teridentifikasi dari asap cair tempurung kelapa terdiri dari keton, karbonil, asam, furan dan turunan pyran, fenol dan turunannya, guaiakol dan turunannya, siringol dan turunannya, serta alkil aril eter. Selain itu, tidak ditemukan senyawa Policyclyc Aromatic Hydrokarbon (PAH) termasuk benzo[a]piren. Hasil analisis tersebut mendukung hasil uji toksisitas akut yang menyatakan bahwa nilai LD50 asap cair tempurung kelapa lebih besar dari 15.000 mg/kg BB mencit, sehingga dikategorikan sebagai bahan yang tidak toksik dan aman digunakan untuk pangan. Hasil pengujian antibakteri memperlihatkan asap cair tempurung kelapa lebih efektif terhadap P. aeruginosa dengan nilai MIC sebesar 0,22%, dibandingkan S. aureus dengan nilai MIC sebesar 0,40%. Asap cair tempurung kelapa dengan konsentrasi 2,5% mampu memperpanjang umur simpan bakso ikan 16 jam lebih lama (berdasarkan nilai TPC pada SNI 01-3819-1995) daripada kontrol pada suhu kamar (27–28 0C), sedangkan pada suhu refrigerasi bakso ikan dengan asap cair 2,5% sampai hari ke-20 masih layak untuk dikonsumsi. Pemberian asap cair 2,5% juga dapat menurunkan nilai pH dan kadar air bakso ikan dibandingkan kontrol. 5.2. Saran Perlu diketahui limit deteksi pada GC-MS terhadap kandungan benzo[a]piren dalam asap cair tempurung kelapa. Selain itu, perlu pengujian terhadap bakteri bentuk koli dan Salmonella dalam bakso ikan sesuai dengan SNI 01-3819-1995 serta diperlukan variasi pengemasan untuk memperoleh umur simpan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA Abu-Ali JM, Barringeri SA. 2007. Color and texture development of potato cylinders with liquid smoke during baking, frying, and microwaving. J Food Proc and Preserv 31:334–344. Anastasio A, Mercogliano R, Vollano L, Pepe T, Cortesi ML. 2004. Levels of Benzo[a]pyrene (BaP) in ”Mozzarella di Bufala Campana” cheese smoked according to different procedures. J Agric Food Chem 52:4452-4455. Anderson JW, Nicolosi RJ, Borzelleca JF. 2005. Glucosamine effects in humans: a review of effects on glucose metabolism, side effects, safety considerations and efficacy. Food and Chem Toxicol 43:187–201. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. Virginia: Association of Official Analytical Chemist. Aulia. 1998. Pengembangan aroma dan citarasa bakso dengan penggunaan flavor [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi pertanian, Institut Pertanian Bogor. Barlow SM, Greig JB, Bridges JW, Carere A, Carpy AJM, Galli CL, Kleiner J, Knudsen I, Koeter HBWM, Levy LS, Madsen C, Mayer S, Narbonne JF, Pfannkuch F, Prodanchuk MG, Smith MR, Steinberg P. 2002. Hazard identification by methods of animal-based toxicology. Food and Chem Toxicol 40: 145–191. Bintoro JA, Firmansyah H, Martha, Muchtar M. 2000. Briket bioarang dari limbah kotoran ternak dan tempurung kelapa. Lomba Karya Inovatif dan Produksi. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Cardinal M, Cornet J, Serot T, Baron R. 2006. Effects of the smoking process on odour characteristics of smoked herring (Clupea harengus) and relationships with phenolic compound contend. Food Chem 96:137-146. Chen BH, Lin YS. 1997. Formation of Policyclic Aromatic Hydrocarbons during processing of duck meat. J Agric Food Chem 45: 1394-1403. Darmadji P. 1996. Aktivitas antibakteri asap cair yang diproduksi dari bermacammacam limbah pertanian. Agritech 16(4):19-22. Darmadji P. 2002. Optimasi proses pembuatan tepung asap. Agritech 22: 172-177. Davidson PM, Sofos JN, Branen AL. 2005. Antimicrobials in Food. 3rd ed. Boca Raton: Taylor and Francis Group, CRC Press. Doyle MP, Beuchat LR, Montville TJ. 2001. Food Microbiology. ASM Press. Washington DC. Espe M, Kiessling A, Lunestad BT, Torrissen OJ, Bencze AM. 2004. Quality of cold smoked salmon collected in one French hypermarket during a period of 1 year. Lebensm Wiss Technol 37: 627–638. Fardiaz S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.
Febriani RA. 2006. Pengaruh konsentrasi larutan asap cair terhadap mutu belut (Monopterus albus) asap yang disimpan pada suhu kamar [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Fine PM, Cass GR, Simoneit BR. 2002. Chemical characterzation of fine particle emissions from the fireplace combustion of woods grown in the Southern United States. Environ Sci Technol 36(7):1442–1451. Frazier WC, Westhoff. 1988. Food Microbiology. Tata McGraw-Hill Publ. Co., Ltd. New Delhi. Girrard JP. 1992. Smoking in Technology of Meats Products. New York: Clermont-Ferrand Ellis Horwood. Gomez-Estaca J, Montero P, Gimenez B, Gomez-Guillen MC. 2007. Effect of functional edible films and high pressure processing on microbial and oxidative spoilage in cold-smoked sardine (Sardina pilchardus). Food Chem 105: 511–520. Gomez-Guillen MC, Montero P, Hurtado O, Borderias AJ. 2003. Biological characteristics affect the quality of farmed Atlantic salmon and smoked muscle. J Food Sci 65: 53–60. Goulas AE, Kontominas MG. 2005. Effect of salting and smoking-method on the keeping quality of chub mackerel (Scomber japonicus): biochemical and sensory attributes. Food Chem 93: 511–520. Guillen MD, Ibargoitia ML. 1996a. Relationships between the maximum temperature reached in the smoke generation processes from Vitis vinifera L shoot sawdust and composition of the aqueous smoke flavoring preparations obtained. J Agric Food Chem 44: 1302-1307. Guillen MD, Ibargoitia ML. 1996b. Volatile components of aqueous liquid smokes from Vitis vinifera L shoots and Fagus sylvatica L wood. J Sci Food Agric 72: 104-110. Guillen MD, Ibargoitia ML. 1998. New components with potential antioxidant and organoleptic properties, detected for the first time in liquid smoke flavoring preparations. J Agric Food Chem 46: 1276–1285. Guillen MD, Ibargoitia ML. 1999. Influence of the moisture content on the composition of the liquid smoke produced in the pyrolysis process of Fagus sylvatica L. wood. J Agric Food Chem 47:4126-4136. Guillen MD, Manzanos MJ, Zabala L. 1995. Study of commercial liquid smoke flavoring by means of Gas Chromatography-Mass Spectrometry and Fourier transporm Infrared Spectroscopy. J Agric Food Chem 43:463-468. Guillen MD, Manzanos MJ. 1996a. Study of the components of a solid smoke flavouring preparation. Food Chem 55: 251-257. Guillen MD, Manzanos MJ. 1996b. Study of the components of an aqueous smoke flavouring by means of Fourier transform infrared spectroscopy and gas chromatography with mass spectrometry and flame ionization detectors. Adv Food Sci 18: 121-127.
55
Guillen MD, Manzanos MJ. 1997. Characterization of the components of a salty smoke flavouring preparation. Food Chem 58: 97–102. Guillen MD, Manzanos MJ. 1999. Extractable components of the aerial parts of Salvia lavandulifolia and the composition of the liquid smoke flavoring obtained from them. J Agric Food Chem 47: 3016-3027. Guiilen MD, Manzanos MJ, Ibargoitia ML. 2001. Carbohydrate and nitrogenated compounds in liquid smoke flavorings. J Agric Food Chem 49:2395-2403. Guillen MD, Manzanos MJ. 2002. Study of the volatile composition of an aqueous oak smoke preparation. Food Chem 79: 283–292. Guillen MD, Sopelana P, Partearroyo MA. 2000. Polycyclic aromatic hydrocarbons in liquid smoke flavorings obtained from different types of wood, effect of storage in polyethylene flasks on their concentrations. J Agric Food Chem 48: 5083-6087. Gumanti FM. 2006. Kajian sistem produksi destilat asap tempurung kelapa dan pemanfaatannya sebagai alternatif bahan pengawet mie basah [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Hadiwiyoto S, Darmadji P, Purwasari SR. 2000. Perbandingan pengasapan panas dan penggunaan asap cair pada pengolahan ikan; tinjauan kandungan benzopiren, fenol, dan sifat organoleptik ikan asap. Agritech 20:14-19. Hanendyo C. 2005. Kinerja alat ekstraksi asap cair dengan sistem kondensasi. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Haras A. 2004. Pengaruh konsentrasi asap cair dan lama perendaman terhadap mutu fillet cakalang (Katsuwonus pelamis L) asap yang disimpan pada suhu kamar [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Harjanto S. 2000. Pengembangan metode pengawetan bakso daging sapi pada penyimpanan suhu kamar [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Harrigan WF. 1998. Laboratory Methods in Food Microbiology. 3rd ed. San Diego: Academic Pr. Hart H, Craine LE, Hart DJ. 2003. Kimia Organik. Achmadi SS, penerjemah; Safitri A, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Organic Chemistry. Hattula T, Elfving K, Mroueh UM, Luoma T. 2001. Use of liquid smoke flavoring as an alternative to traditional flue gas smoking of rainbow trout fillets (Oncorhyncus mykiss). Lebensm Wiss Technol 34:521-525. Hayashi K, Azuma Y, Koseki S, Konno K. 2007. Different effects of ionic and non-ionic compounds on the freeze denaturation of myofibrils and myosin subfragment-1. Fisheries Sci 73:178–183.
56
Helander IM, Hanna, Alakomi L, Latvak, Kala, Mattila T, Sandholm, Pol I, Smid EJ, Gorris LGM, Wright AV. 1998. Characterization of the action of selected essential oil components on gram negative bacteria. J Agric Food Chem 46:3590-3595. Jaya IK, Darmadji P, Suhardi. 1997. Penurunan kandungan benzo(a)pyrene asap cair dengan zoelit dalam upaya meningkatkan keamanan pangan. di dalam Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pangan, Denpasar 16-17 juli 1997. Karseno, Darmadji P, Rahayu K. 2002. Daya hambat asap cair kayu karet terhadap bakteri pengkontaminan lateks dan ribbed smoke sheet. Agritech 21(1):10-15. Kazerouni N, Sinha R, Hsu CH, Greenberg A, Rothman N. 2001. Analysis of 200 food items foe benzo[a]pyrene and estimation of its intake in an epidemiologic study. Food and Chem Toxicol 39: 423-436. Kjallstrand J, Petersson G. 2001. Phenolic antioxidants in alder smoke during industrial meat curing. Food Chem 74:85-89. Kok TN, Park JW. 2007. Extending the shelf life of set fish ball. J Food Qual 30:1-27. Kolodziejska I, Niecikowska C, Januszewska E, Sikorski ZE. 2002. The microbial and sensory quality of mackerel hot smoked in mild conditions. Lebensm Wiss Technol 35:87-92. Kostyra E, Pikielna NB. 2007. The effect of fat levels and guar gum addition in mayonnaise-type emulsions on the sensory perception of smoke-curing flavour and salty taste. Food Qual and Pref 18:872-879. Kristinsson HG, Danyali N, Ua-Angkoon S. 2007. Effect of filtered wood smoke treatment on chemical and microbial changes in mahi mahi fillets. J Food Sci 72:16-24. Krokida MK, Oreopoulou V, Maroulis ZB, Marinoskouris D. 2001. Colour changes during deep fat frying. J Food Eng 48: 219–225. Kuntjahjawati, Darmadji P. 2002. Identifikasi komponen volatil asap cair daun tembakau (Nicotiana tabacum L.) rajangan. Agritech 24:17-22. Lebois M, Connil N, Onno B, Prevost H, Dousset X. 2004. Effects of divercin V41 combined to NaCl content, phenol (liquid smoke) concentration and PH on Listeria monocytogenes ScottA growth in BHI broth by an experimental design approach. J Appl Microbiol 96:931-937. Leroi F, Joffraud JJ. 2000. Salt and smoke simultaneously affect chemical and sensory quality of cold-smoked salmon during 50 C storage predicted using factorial design. J of Food Prot 63: 1222-1227. Lu FC. 2006. Toksikologi Dasar. Jakarta: Universitas Indonesia-Press. Luditama C. 2006. Isolasi dan pemurnian asap cair berbahan dasar tempurung dan sabut kelapa secara pirolisis dan destilasi [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
57
Mahendradatta M, Tawali AB. 2006. Kombinasi bumbu dan asap cair dalam meminimalkan pembentukan histamin pada ikan kembung perempuan (Rastrelliger neglectus) asap. Jurnal Teknologi Dan Industri Pangan 17:143-148. Marasabessy I. 2007. Produksi asap cair dari limbah pertanian dan penggunaannya dalam pembuatan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Martinez O, Salmer J, Guillen MD, Casas C. 2004. Texture profile analysis of meat products treated with commercial liquid smoke flavourings. Food Control 15:457-461. Martinez O, Salmero J, Guillen MD, Casas C. 2007. Textural and physicochemical changes in salmon (Salmo salar) treated with commercial liquid smoke flavourings. Food Chem 100:498-503. Milly PJ, Toledo RT, Ramakrishnan S. 2005. Determination of minimum inhibitory concentrations of liquid smoke fractions. J Food Sci 70:12-17. Montero P, Gomez-Guillon MC, Borderias AJ. 2003. Influence of salmon provenance and smoking process on muscle functional characteristics. J Food Sci 68:1155-1160. Muchuweti M, Nyamukonda L, Chagonda LS, Ndhlala AR, Mupure C, Benhura M. 2006. Total phenolic content and antioxidant activity in selected medicinal plants of Zimbabwe. J Food Sci and Technol 41:33-38. Munoz RE, Boyle EAE, Marsden JL. 1998. Liquid Smoke Effects on Escherichia coli O157:H7. and its antioxidant properties in beef products. J Food Sci 63:150-153. Muratore G, Licciardello F. 2005. Effect of vacuum and modified atmosphere packaging on the shelf-life of liquid-smoked swordfish (Xiphias gladius) slices. J Food Sci 70:359-363. Muratore G, Mazzaglia A, Lanza CM, Licciardello F. 2007. Process variables on the quality of swordfish fillets flavored with smoke condensate. J Food Proc and Preserv 31: 167-177. Obisaw CO, Asante IK, Annan EK. 2004. Sensory characteristics of fufu prepared with cassava roots (Manihot esculenta Crantz) stored in polyethylene sacks. Int J Consumer Studies 28:14-17. [OECD] Organization of Economic Cooperation and Development 402. 2001. Guideline for the testing of chemicals, acute oral toxicity acute toxic class method. http://www.oecd.org/oecd/pages/home/displaygeneral/0,3380,EN/ document 524-nodirectorate-no-24-6775-8,FF. html [15 Juli 2007]. Park JW. 1995. Effects of salt, surimi and/or starch content on fracture properties of gels at various test temperatures. J Aquat Food Product Tech 42:75–84. Pszcola DE. 1995. Tour highlights production and uses of smoke house base flavors. J Food Tech 49: 70-74.
58
Putnam KP, Bombick DW, Avalos JT, Doolittle DJ. 1999. Comparison of the cytotoxic and mutagenic potential of liquid smoke food flavourings, cigarette smoke condensate and wood smoke condensate. Food and Chem Toxicol 37:1113-1118. Rahayu WP. 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rorvik LM. 2000. Listeria monocytogenes in the smoked salmon industry. Int J Food Microbiol 62: 183-190. Ruiz-Capillas C, Moral A. 2001. Residual effect of CO2 on hake (Merluccius merluccius L.) stored in modified and controlled atmospheres. Europ Food Res and Technol 212: 413–420. Sara B. 2004. Essential oils: their antibacterial properties and potential applications in foods – a review. Int J Food Microbiol 94:223-253. Sari DK. 2004. Pemanfaatan asap cair dengan bahan pengasap kayu jati pada produk lidah asap [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Serot T, Baron R, Knockaert C, Vallet JL. 2004. Effect of smoking processes on the contents of 10 major phenolic compounds in smoked fillets of herring (Cuplea harengus). Food Chem 85: 111–120. Sikorski ZE. 1990. Seafood: Resources, Nutritional Composistion, and Preservation. Boca Raton, Florida: CRC Pr. Simpson CD, Paulsen M, Dills RL, Liu LJS, Kalman DA. 2005. Determination of methoxyphenols in ambient atmospheric particulate: Tracers for wood combustion. Environ Sci Technol 39(2):631–637. Siskos I, Zotos A, Melidou S, Tsikritzi R. 2007. The effect of liquid smoking of fillets of trout (Salmo gairdnerii) on sensory, microbiological and chemical changes during chilled storage. Food Chem 101:458-464. [SNI] Standar Nasional Indonesia 01-3819. 1995. Persyaratan mutu bakso ikan. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Soldera S, Sebastianutto N, Bortolomeazzi R. 2008. Composition of phenolic compounds and antioxidant activity of commercial aqueous smoke flavorings. J Agric Food Chem 56: 2727–2734 Stohr V, Jofffraud JJ, Cardinal M, Leroi F. 2001. Spoilage potential and sensory profile associated with bacteria isolated from coldsmoked salmon. Food Res Int 34:797-806. Stolyhwo A, Sikorski ZE. 2005. Polycyclic aromatic hydrocarbons in smoked fish- a critical review. Food Chem 91: 303-311. Sular V, Okur A. 2007. Sensory evaluation methods for tactile properties. J Sensory Studies 22:1–16.
59
Sunen E. 1998. Minimum inhibitory concentration of smoke wood extracts against spoilage and pathogenic microorgnisms associated with foods. Lett in Appl Microbiol 27:45-48. Sunen E, Fernandez-Galian B, Aristimuno C. 2001. Antibacterial activity of smoke wood condensates againts Aeromonas hydrophila, Yersinia enterolitica and Listeria monocytogenes at low temperature. Food Microbiol 18:387-393. Sunen E, Aristimuno C, Fernandez-Galian B. 2003. Activity of smoke wood condensates against Aeromonas hydrophila and Listeria monocytogenes in vacuum-packed, cold-smoked rainbow trout stored at 40C. Food Res Int 36:111-116. Surjana W. 2001. Pengawetan bakso daging sapi dengan bahan aditif kimia pada penyimpanan suhu kamar [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Syamadi RK. 2002. Aplikasi penggunaan Hidrogen Peroksida H2O2 dan iradiasi dalam pengawetan bakso daging sapi pada penyimpanan suhu kamar [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tandiyono. 1996. Pengaruh penggunaan Sodium Tripolifosfat, Natrium Propionat dan Boraks terhadap sifat fisik, daya simpan dan palatabilitas bakso pada penyimpanan suhu kamar [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Tazwir, 1992. Pembuatan sosis dan bakso ikan. Dalam : Kumpulan Hasil-hasil Penelitian Pascapanen Perikanan. Jakarta: Balitbang Pertanian– USAID/FRDP. Thorpe NO. 1995. Cell Biology. New York: John Wiley and Sons. Tranggono. 1996. Identifikasi asap cair dari berbagai jenis kayu dan tempurung kelapa. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan 1(2): 15-24. Varlet V, Knockaert C, Prost C, Serot T. 2006. Comparison of odor-active volatile compounds of fresh and smoked salmon. J Agric Food Chem 54:3391-3401. Vigil ALM, Palou E, Parish ME, Davidson PM. 2005. Methods for activity assay and evaluation of results. Di dalam: Davidson PM, Sofos JN, Branen AL, editor. Antimicrobials in Food. 3rd ed. Boca Raton: CRC Press. Wekkel MM, Manger R, Colburn K, Adams A, Hill W. 1994. Microbiological quality of seafoods: viruses, bacteria and parasites. Di dalam: Shahidi F, Botta JR, editor. Seafoods: Chemistry, Processing Technology and Quality. Glasgow: Blackie Academic & Professional. Wibowo S. 2005. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Jakarta: Penebar Swadaya. Yovita I. 2000. Pengaruh penambahan berbagai bahan antimikroba terhadap daya awet bakso sapi pada penyimpanan suhu kamar [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
60
Yulistiani R. 1997. Kemampuan penghambatan asap cair terhadap pertumbuhan bakteri patogen dan perusak pada lidah sapi [tesis]. Yogyakarta: Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Universitas Gadjah Mada.
61
LAMPIRAN
Lampiran 1 Berat badan hewan uji mencit selama masa aklimatisasi (gr)
Dosis
No Mencit
Masa adaptasi
50 mg/kg BB
1 2 3
1 27.28 23.98 20.19
2 28.31 24.45 21.56
3 28.89 24.95 22.04
4 29.66 25.32 22.43
5 30.02 25.77 23.35
6 31.34 26.90 23.70
7 32.19 26.01 24.50
500 mg/kg BB
1 2 3
23.10 23.13 23.87
23.50 23.43 26.15
23.71 23.85 26.93
23.99 24.32 27.40
24.30 24.80 27.53
24.67 25.31 27.95
25.60 25.71 28.18
5000 mg/kg BB
1 2 3
22.87 20.75 26.88
25.07 24.27 30.83
25.20 24.58 31.43
25.70 25.31 32.17
26.10 25.67 32.25
26.34 25.72 33.06
26.20 25.80 33.25
15000 mg/kg BB
1 2 3
22.73 25.47 24.72
23.35 25.84 25.78
23.87 27.76 27.13
24.20 27.83 27.24
24.56 28.48 27.42
24.90 28.84 27.51
25.12 29.00 27.90
Kontrol
1 2 3
26.98 22.49 24.18
30.41 23.80 26.97
30.88 23.96 27.90
31.15 24.20 28.04
31.25 24.78 28.32
31.58 24.90 28.46
31.68 25.02 28.52
63
Lampiran 2 Berat badan (g) hewan uji mencit selama pengamatan
Dosis 50 mg/kg BB
500 mg/kg BB
5000 mg/kg BB
15000 mg/kg BB
Kontrol
No Mencit 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
0 32.27 26.03 24.55 25.74 25.74 28.21 26.26 25.12 33.37 25.17 29.01 27.93 31.85 25.18 28.62
1 32.08 26.62 25.19 24.71 26.03 29.30 25.51 25.08 33.38 25.78 30.36 28.54 33.55 25.56 28.81
2 31.64 27.24 25.97 26.36 26.13 30.01 25.79 25.43 33.86 26.40 30.60 29.01 33.95 25.83 29.01
3 32.53 27.98 26.17 26.44 26.36 31.37 26.05 27.43 34.49 28.60 30.93 29.32 32.20 26.03 29.63
4 32.51 28.17 26.22 26.42 26.42 31.98 26.60 28.35 34.66 29.91 31.29 29.64 32.57 26.67 30.61
Masa Pengamatan (hari) 5 6 7 32.79 33.13 33.78 28.79 29.53 30.17 26.57 26.79 26.88 26.98 27.03 27.13 26.44 26.53 27.04 32.31 32.47 32.99 26.74 26.93 27.30 28.96 29.61 30.29 35.12 35.17 35.76 30.56 30.72 31.58 31.35 32.36 32.77 29.95 30.33 30.64 33.21 33.61 34.07 26.97 27.10 27.76 31.32 31.35 31.99
8 33.94 30.27 27.53 27.53 27.14 33.11 27.40 31.28 36.33 32.43 33.15 30.92 34.20 28.18 32.02
9 34.01 30.43 28.44 27.75 27.33 33.25 27.48 33.50 36.39 32.64 33.55 31.32 34.58 28.67 32.21
10 34.10 30.72 28.81 28.04 27.71 33.45 27.52 33.62 37.20 33.04 34.25 31.63 34.72 28.90 32.44
11 34.22 31.18 29.02 28.33 27.98 33.35 27.67 34.54 38.19 33.35 34.66 31.95 34.87 29.22 33.58
12 34.61 31.48 29.18 28.45 28.05 33.66 28.04 35.18 38.27 33.68 34.92 32.36 35.19 29.49 33.91
13 34.95 31.97 29.31 28.67 28.17 33.84 28.45 35.90 38.67 34.21 35.38 32.77 35.68 29.66 34.05
64
Lampiran 3. Pertambahan berat badan rata-rata mencit selama pengamatan (%) *)
Dosis asap cair 50 mg/kg BB 500 mg/kg BB 5000 mg/kg BB 15000 mg/kg BB Kontrol
0 0 0 0 0 0
1 1.26 0.45 0.04 3.13 2.65
2 2.41 3.54 0.39 4.75 3.67
3 4.62 5.64 3.80 8.21 2.58
Pertambahan berat badan rata-rata (%) 4 5 6 7 8 9 4.89 6.40 7.97 9.63 10.73 12.09 6.45 7.59 7.97 9.39 10.17 10.86 5.73 7.16 8.21 10.15 12.11 14.89 10.63 11.87 13.76 15.69 17.53 18.76 4.90 6.83 7.48 9.54 10.22 11.45
10 13.00 11.95 16.04 20.47 12.15
11 13.95 12.53 18.47 21.74 14.03
12 14.98 13.15 19.75 22.96 15.11
13 16.14 13.81 21.56 24.66 16.04
*) Pertambahan berat badan rata-rata mencit selama pengamatan dibandingkan dengan rata-rata berat badan awal (hari ke-0) berdasarkan data pada Lampiran 2, yaitu :
Pertambahan berat badan rata-rata (%) =
(rata - rata berat badan hari ke - n) - (rata - rata berat badan hari ke - 0) x 100% (rata - rata berat badan hari ke 0)
dimana n = 0, 1, 2, 3, …, 13
65
Lampiran 4 Jumlah bakteri total Staphylococcus aureus pada jam ke-0
10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Jumlah Bakteri Awal (CFU/ml) Ulangan 1 Ulangan 2 : TBUD 10-2 (1) : TBUD : TBUD 10-2 (2) : TBUD : 198 10-3 (1) : 193 : 200 10-3 (2) : 199 : 30 2.1E+05 10-4 (1) : 33 : 35 10-4 (2) : 37 : 4 10-5 (1) : 7 : 1 10-5 (2) : 2 : 1 10-6 (1) : 2 : 0 10-6 (2) : 1
2.1E+05
66
Lampiran 5 Jumlah bakteri total (CFU/ml) Staphylococcus aureus setelah kontak dengan medium cair selama 24 jam
Asap Cair 0% Ulangan 1 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7 10-7 10-8 10-8
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
: : : : : : : : : :
TBUD TBUD TBUD TBUD 230 221 98 101 11 15
Ulangan 2
3.0E+08
10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7 10-7 10-8 10-8
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
: : : : : : : : : :
TBUD TBUD TBUD TBUD 244 235 90 111 10 7
3.1E+08
Asap cair 0.1% 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7 10-7
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : TBUD : TBUD : 249 : 276 : 150 : 143 : 55 : 40
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : 189 : 177 : 57 : 49 : 11 : 7 : 3 : 4
4.1E+07
10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7 10-7
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : TBUD : TBUD : 240 : 265 : 137 : 155 : 60 : 47
4.1E+07
Asap cair 0.2% 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7 10-7
2.1E+06
10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7 10-7
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : 190 : 185 : 62 : 53 : 7 : 15 : 8 : 3
2.2E+06
67
Lanjutan
Asap cair 0.3% 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : 92 : 80 : 20 : 11 : 7 : 3 : 2 : 1
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : TBUD : TBUD : 194 : 101 : 55 : 60 : 3 : 4 : 1 : 1
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : 35 : 27 : 3 : 2 : 2 : 2 : 1 : 1 : 0 : 0
8.6E+04
10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : 88 : 82 : 18 : 21 : 6 : 4 : 1 : 1
8.5E+04
Asap cair 0.4% 10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
1.9E+04
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : TBUD : TBUD : 196 : 113 : 62 : 57 : 7 : 5 : 3 : 1
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : 38 : 22 : 4 : 3 : 1 : 1 : 0 : 0 : 0 : 0
1.9E+04
Asap cair 0.5% 10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
3.0E+02
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
3.0E+02
68
Lampiran 6 Jumlah total bakteri Pseudomonas aeruginosa pada jam ke-0
10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Jumlah bakteri awal (CFU/ml) Ulangan 1 Ulangan 2 : TBUD 10-2 (1) : TBUD : TBUD 10-2 (2) : TBUD : 195 10-3 (1) : 196 : 200 10-3 (2) : 199 : 39 10-4 (1) : 40 2.1E+05 : 27 10-4 (2) : 32 : 4 10-5 (1) : 7 : 1 10-5 (2) : 2 : 1 10-6 (1) : 2 : 0 10-6 (2) : 1
2.1E+05
69
Lampiran 7
Jumlah bakteri total (CFU/ml) Pseudomonas aeruginosa setelah kontak dengan medium cair selama 24 jam
Asap Cair 0% 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7 10-7 10-8 10-8
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : TBUD : TBUD : TBUD : TBUD : 245 : 237 : 112 : 107 : 12 : 6
3.2E+08
10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7 10-7 10-8 10-8
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : TBUD : TBUD : TBUD : TBUD : 250 : 258 : 99 : 100 : 6 : 5
3.2E+08
Asap cair 0.14% 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7 10-7
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : TBUD : TBUD : 286 : 277 : 167 : 178 : 71 : 68
4.7E+07
10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7 10-7
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : TBUD : TBUD : 279 : 260 : 137 : 155 : 60 : 47
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : TBUD : TBUD : 180 : 201 : 82 : 66 : 6 : 4
4.2E+07
Asap cair 0.16% 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7 10-7
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : TBUD : TBUD : 190 : 188 : 76 : 65 : 7 : 9
2.4E+07
10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7 10-7
2.4E+07
70
Lanjutan
Asap cair 0.18% 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7 10-7
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : 155 : 161 : 60 : 53 : 6 : 3 : 2 : 1
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : 101 : 99 : 20 : 11 : 5 : 3 : 1 : 1
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : TBUD : TBUD : 160 : 142 : 35 : 40 : 4 : 2 : 1 : 1
2.0E+06
10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7 10-7
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : 176 : 144 : 35 : 40 : 5 : 3 : 1 : 1
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : 103 : 95 : 7 : 6 : 3 : 3 : 0 : 1
1.8E+06
Asap cair 0.20% 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6
1.0E+05
10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6
9.9E+04
Asap cair 0.22% 10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
1.7E+04
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : TBUD : TBUD : 157 : 152 : 42 : 33 : 7 : 3 : 2 : 1
1.7E+04
71
Lanjutan
Asap cair 0.24% Ulangan 1 : TBUD : TBUD : 103 : 99 : 25 : 16 : 3 : 4 : 1 : 1
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
Ulangan 1 (1) : 150 (2) : 132 (1) : 55 (2) : 40 (1) : 10 (2) : 5 (1) : 3 (2) : 2 (1) : 2 (2) : 1
1.1E+04
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : TBUD : TBUD : 100 : 95 : 30 : 26 : 5 : 2 : 2 : 1
1.1E+04
Asap cair 0.26%
1.7E+03
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : 167 : 140 : 60 : 52 : 11 : 5 : 4 : 3 : 1 : 1
1.9E+03
72
Lampiran 8 Nilai MIC asap cair tempurung kelapa terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa
Jenis Bakteri
S. aureus [kol. awal (No): 2.1E+05
P. aeruginosa [kol. awal (No): 2.1E+05
Konsentrasi Asap Cair (%)
Jumlah Bakteri (cfu/ml) inkubasi 24 jam (Nt)
0.00 0.10 0.20 0.30 0.40* 0.50
U1 3.0E+08 4.1E+07 2.1E+06 8.6E+04 1.9E+04 3.0E+02
U2 3.1E+08 4.1E+07 2.2E+06 8.5E+04 1.9E+04 3.0E+02
0.00 0.14 0.16 0.18 0.20 0.22* 0.24 0.26
3.2E+08 4.7E+07 2.4E+07 2.0E+06 1.0E+05 1.7E+04 1.1E+04 1.7E+03
3.2E+08 4.2E+07 2.4E+07 1.8E+06 9.9E+04 1.7E+04 1.1E+04 1.9E+03
% Penghambatan [100%-(Nt/No x 100%)] U1 58.96 91.11 99.85 52.28 91.82 94.84 99.18
U2 59.44 91.11 99.85 52.75 91.82 94.84 99.09
Rata-rata
SD
RSD hit
RSD stdr
59.20 91.11 99.85 52.52 91.82 94.84 99.14
0.34 0.00 0.00 0.34 0.00 0.00 0.06
0.57 0.00 0.00 0.64 0.00 0.00 0.06
1.08 1.01 1.00 1.10 1.01 1.01 1.00
*) Nilai MIC = konsentrasi terendah yang dapat menurunkan pertumbuhan bakteri lebih besar dari 90%.
73
Lampiran 9 Hasil penilaian kesukaan terhadap aroma bakso asap Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Y.j ∑Y2ij 2 (Yi.) Ratarata
Ac 1.0% 7 8 8 8 8 8 7 8 8 8 8 8 7 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 7 8 8 7 8 8 8 235
Perlakuan Ac Ac 1.5% 2.0% 7 8 8 8 8 8 7 7 8 8 7 8 8 8 8 8 7 7 7 8 8 8 7 7 7 7 8 8 7 8 8 8 7 8 8 8 8 8 8 7 8 8 8 7 8 8 7 8 8 8 8 7 7 8 7 7 8 8 8 8 228 232
55225
51984
53824
54289 215322
7.83
7.60
7.73
7.77
Ac 2.5% 8 7 8 8 8 8 8 8 7 8 8 8 7 8 8 8 8 8 8 7 8 7 8 8 8 7 8 8 8 7 233
A2
B2
C2
D2
Yi.
∑Y2ij
(Yi.)2
49 64 64 64 64 64 49 64 64 64 64 64 49 64 64 64 64 64 64 64 64 64 64 49 64 64 49 64 64 64
49 64 64 49 64 49 64 64 49 49 64 49 49 64 49 64 49 64 64 64 64 64 64 49 64 64 49 49 64 64
64 64 64 49 64 64 64 64 49 64 64 49 49 64 64 64 64 64 64 49 64 49 64 64 64 49 64 49 64 64
64 49 64 64 64 64 64 64 49 64 64 64 49 64 64 64 64 64 64 49 64 49 64 64 64 49 64 64 64 49
30 31 32 30 32 31 31 32 29 31 32 30 28 32 31 32 31 32 32 30 32 30 32 30 32 30 30 30 32 31 928
226 241 256 226 256 241 241 256 211 241 256 226 196 256 241 256 241 256 256 226 256 226 256 226 256 226 226 226 256 241
900 961 1024 900 1024 961 961 1024 841 961 1024 900 784 1024 961 1024 961 1024 1024 900 1024 900 1024 900 1024 900 900 900 1024 961 28740
1845
1740
1800
1815
7200 861184
74
Lanjutan Dari data-data tersebut, kemudian dilakukan analisis sidik ragam untuk mengetahui nyata atau tidaknya perbedaan antar perlakuan. Faktor koreksi
Jumlah Kuadrat total
Jumlah kuadrat perlakuan
Jumlah kuadrat kelompok
Jumlah kuadrat galat
= Total umum2 / (n kelompok X n perlakuan) = 7176.533
= Total jumlah kuadrat - Faktor koreksi = 23.467
= (jml kuadrat total perlakuan / jml kelompok) - faktor koreksi = 0.867
= (jml kuadrat total kelompok / jml perlakuan) - faktor koreksi = 8.467
= Jml kuadrat total - Jml Kuadrat Perlakuan - Jml Kuadrat Kelompok = 14.133
Setelah itu dilakukan tabulasi dalam daftar analisis varian Sumber keragaman Perlakuan Panelis Galat Total
db 3 29 87 119
JK 0.87 8.47 14.13 23.47
KT 0.29 0.29 0.16
Fhitung 1.78 1.80
Ftabel 5% 4.14 1.86
Kesimpulan : nilai F hitung (1.78) lebih kecil dari F tabel (4.14), sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada beda nyata antar perlakuan.
75
Lampiran 10 Hasil penilaian kesukaan terhadap warna bakso asap
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Y.j ∑Y2ij (Yi.)2 Ratarata
Ac 1.0% 8 8 8 9 8 8 8 8 8 7 8 8 8 8 8 8 8 9 8 7 8 8 7 8 8 9 8 8 8 8 240
Perlakuan Ac Ac 1.5% 2.0% 7 8 7 7 8 8 7 7 7 8 7 7 7 8 8 8 7 8 7 7 8 8 7 8 7 7 8 8 7 8 8 8 7 7 8 7 7 7 7 7 8 8 7 7 8 8 7 8 7 7 8 7 8 7 7 8 8 8 7 7 221 226
57600
48841
51076
51984 209501
8.00
7.37
7.53
7.60
Ac 2.5% 8 7 8 8 8 7 8 8 8 7 8 8 7 8 8 7 8 7 8 7 8 7 8 8 8 7 7 8 7 7 228
A
2
B
2
C
2
D
2
Yi.
∑Y2ij
(Yi.)
64 64 64 81 64 64 64 64 64 49 64 64 64 64 64 64 64 81 64 49 64 64 49 64 64 81 64 64 64 64
49 49 64 49 49 49 49 64 49 49 64 49 49 64 49 64 49 64 49 49 64 49 64 49 49 64 64 49 64 49
64 49 64 49 64 49 64 64 64 49 64 64 49 64 64 64 49 49 49 49 64 49 64 64 49 49 49 64 64 49
64 49 64 64 64 49 64 64 64 49 64 64 49 64 64 49 64 49 64 49 64 49 64 64 64 49 49 64 49 49
31 29 32 31 31 29 31 32 31 28 32 31 29 32 31 31 30 31 30 28 32 29 31 31 30 31 30 31 31 29 915
241 211 256 243 241 211 241 256 241 196 256 241 211 256 241 241 226 243 226 196 256 211 241 241 226 243 226 241 241 211
961 841 1024 961 961 841 961 1024 961 784 1024 961 841 1024 961 961 900 961 900 784 1024 841 961 961 900 961 900 961 961 841 27947
1926
1635
1710
1740
7011 837225
76
2
Lanjutan Dari data-data tersebut, kemudian dilakukan analisis sidik ragam untuk mengetahui nyata atau tidaknya perbedaan antar perlakuan. Faktor koreksi
Jumlah Kuadrat total
Jumlah kuadrat perlakuan
Jumlah kuadrat kelompok
Jumlah kuadrat galat
= Total umum2 / (n kelompok X n perlakuan) = 6976.875
= Total jml kuadrat - Faktor koreksi = 34.125
= (jml kuadrat total perlakuan / jml kelompok) - faktor koreksi = 6.492
= (jml kuadrat total kelompok / jml perlakuan) - faktor koreksi = 9.875
= Jml kuadrat total - Jml Kuadrat Perlakuan - Jml Kuadrat Kelompok = 17.758
Setelah itu dilakukan tabulasi dalam daftar analisis varian Sumber keragaman Perlakuan Panelis Galat Total
db 3 29 87 119
JK 6.49 9.88 17.76 34.13
KT 2.16 0.34 0.20
Fhitung 10.60 1.67
Ftabel 5% 4.14 1.86
Nilai F hitung (10.60) lebih besar dari F tabel (4.14), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada beda nyata antar perlakuan. Untuk mengetahui perlakuan mana yang sama atau lebih dari yang lain, maka dilakukan uji Duncan sebagai berikut: Dihitung sebuah parameter Sy (standar error rata-rata)
Sy = =
KTgalat / jumlahkelompok 0.082
77
Lanjutan Dari lampiran pada tingkat nyata 5% dengan derajat bebas galat (db error) 87 ~ 90 diperoleh Least Significant Ranges (LSR) = range x standar error rata-rata p Range Least Significant Ranges (LSR)
2 2.81 0.23
3 2.96 0.24
4 3.06 0.25
5 3.12 0.26
Nilai rata-rata penilaian tiap perlakuan diurutkan, kemudian selisihnya dibandingkan dengan LSR yang sesuai. Bila yang dibandingkan merupakan dua nilai tengah yang berdekatan, maka digunakan nilai LSR dengan p = 2. jadi p menyatakan jumlah nilai tengah yang dibandingkan. Dua nilai tengah dinyatakan sama apabila selisihnya lebih kecil dari nilai LSR nya.
Perlakuan Rata-rata C-B = 7.53 - 7.37 = 0.16 < 0.23 D-B = 7.60 - 7.37 = 0.23 < 0.24 A-B = 8.00 - 7.37 = 0.63 > 0.24 D-C = 7.60 - 7.53 = 0.07 < 0.23 A-C = 8.00 - 7.53 = 0.47 > 0.25 A-D = 8.00 - 7.60 = 0.40 > 0.26
B 7.37
C 7.53
D 7.60
A 8.00 C=B D=B A≠B D=C A≠C A≠D
Keterangan : A = bakso ikan yang direbus dengan asap cair 1.0% B = bakso ikan yang direbus dengan asap cair 1.5% C = bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2.0% D = bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2.5%
Kesimpulan = tingkat kesukaan panelis terhadap warna bakso asap B sama dengan bakso asap C dan D, warna bakso asap C sama dengan bakso asap D, namun warna bakso asap A berbeda dengan bakso asap B, C, dan D.
78
Lampiran 11 Hasil penilaian kesukaan terhadap rasa bakso asap
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Y.j ∑Y2ij (Yi.)2 Ratarata
Perlakuan Ac Ac Ac 1.0% 1.5% 2.0% 8 8 7 8 7 7 8 7 8 8 7 7 8 7 7 8 7 7 9 7 7 7 7 8 8 7 7 7 7 7 9 7 8 8 8 7 9 7 7 8 8 7 9 7 8 9 8 8 8 7 7 9 7 7 8 7 8 7 8 7 8 7 8 8 7 7 7 7 7 8 7 8 9 8 8 9 7 7 8 7 7 8 7 7 9 8 8 8 7 7 245 217 220
Ac 2.5% 7 7 8 7 7 7 8 8 8 7 8 8 7 8 8 7 8 7 7 7 8 7 7 8 8 7 7 8 7 7 223
A2
B2
C2
D2
Yi.
64 64 64 64 64 64 81 49 64 49 81 64 81 64 81 81 64 81 64 49 64 64 49 64 81 81 64 64 81 64
64 49 49 49 49 49 49 49 49 49 49 64 49 64 49 64 49 49 49 64 49 49 49 49 64 49 49 49 64 49
49 49 64 49 49 49 49 64 49 49 64 49 49 49 64 64 49 49 64 49 64 49 49 64 64 49 49 49 64 49
49 49 64 49 49 49 64 64 64 49 64 64 49 64 64 49 64 49 49 49 64 49 49 64 64 49 49 64 49 49
30 29 31 29 29 29 31 30 30 28 32 31 30 31 32 32 30 30 30 29 31 29 28 31 33 30 29 30 32 29 905
2013 1575 1620 1665 60025 47089 48400 49729 205243 8.17
7.23
7.33
∑Y2ij (Yi.)2 226 211 241 211 211 211 243 226 226 196 258 241 228 241 258 258 226 228 226 211 241 211 196 241 273 228 211 226 258 211
900 841 961 841 841 841 961 900 900 784 1024 961 900 961 1024 1024 900 900 900 841 961 841 784 961 1089 900 841 900 1024 841 27347
6873 819025
7.43
79
Lanjutan Dari data-data tersebut, kemudian dilakukan analisis sidik ragam untuk mengetahui nyata atau tidaknya perbedaan antar perlakuan. Faktor koreksi
Jumlah Kuadrat total
Jumlah kuadrat perlakuan
Jumlah kuadrat kelompok
Jumlah kuadrat galat
= Total umum2 / (n kelompok X n perlakuan) = 6825.208
= Total jml kuadrat - Faktor koreksi = 47.792
= (jml kuadrat total perlakuan / jml kelompok) - faktor koreksi = 16.225
= (jml kuadrat total kelompok / jml perlakuan) - faktor koreksi = 11.542
= Jml kuadrat total - Jml Kuadrat Perlakuan - Jml Kuadrat Kelompok = 20.025
Setelah itu dilakukan tabulasi dalam daftar analisis varian Sumber keragaman Perlakuan Panelis Galat Total
db 3 29 87 119
JK 16.23 11.54 20.02 47.79
KT 5.41 0.40 0.23
Fhitung 23.50 1.73
Ftabel 5% 4.14 1.86
Nilai F hitung (23.50) lebih besar dari F tabel (4.14), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada beda nyata antar perlakuan. Untuk mengetahui perlakuan mana yang sama atau lebih dari yang lain, maka dilakukan uji Duncan sebagai berikut: Dihitung sebuah parameter Sy (standar error rata-rata)
Sy = =
KTgalat / jumlahkelompok 0.088
80
Lanjutan Dari lampiran pada tingkat nyata 5% dengan derajat bebas galat (db error) 87 ~ 90 diperoleh Least Significant Ranges (LSR) = range x standar error rata-rata p Range Least Significant Ranges (LSR)
2 2.81 0.25
3 2.96 0.26
4 3.06 0.27
5 3.12 0.27
Nilai rata-rata penilaian tiap perlakuan diurutkan, kemudian selisihnya dibandingkan dengan LSR yang sesuai. Bila yang dibandingkan merupakan dua nilai tengah yang berdekatan, maka digunakan nilai LSR dengan p = 2. jadi p menyatakan jumlah nilai tengah yang dibandingkan. Dua nilai tengah dinyatakan sama apabila selisihnya lebih kecil dari nilai LSR nya.
Perlakuan Rata-rata C-B = 7.33 - 7.23 = 0.10 < 0.25 D-B = 7.43 - 7.23 = 0.20 < 0.25 A-B = 8.17 - 7.23 = 0.94 > 0.26 D-C = 7.43 - 7.33 = 0.10 < 0.25 A-C = 8.17 - 7.33 = 0.84 > 0.27 A-D = 8.17 - 7.43 = 0.74 > 0.27
B 7.23
C 7.33
D 7.43
A 8.17 C=B D=B A≠B D=C A≠C A≠D
Keterangan : A = bakso ikan yang direbus dengan asap cair 1.0% B = bakso ikan yang direbus dengan asap cair 1.5% C = bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2.0% D = bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2.5%
Kesimpulan = tingkat kesukaan panelis terhadap rasa bakso asap B sama dengan bakso asap C dan D, rasa bakso asap C sama dengan bakso asap D, namun rasa bakso asap A berbeda dengan bakso asap B, C, dan D.
81
Lampiran 12
Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Y.j ∑Y2ij (Yi.)2 Ratarata
Hasil penilaian terhadap kesukaan keseluruhan bakso asap
Perlakuan Ac Ac Ac 1.0% 1.5% 2.0% 8 8 7 8 7 7 8 7 8 8 7 7 8 7 7 8 8 7 8 7 7 8 7 8 8 7 7 7 7 7 8 7 8 8 7 7 8 7 7 8 8 7 9 7 8 8 7 8 8 7 7 9 7 7 8 8 8 7 7 7 8 7 8 8 7 7 7 7 7 8 7 8 9 7 8 9 7 7 8 7 7 8 8 7 8 7 8 8 7 7 241 215 220
Ac 2.5% 8 7 7 8 7 7 8 7 7 8 7 8 7 7 8 7 7 7 7 8 8 7 8 8 7 7 7 8 7 7 221
A2
B2
C2
D2
Yi.
64 64 64 64 64 64 64 64 64 49 64 64 64 64 81 64 64 81 64 49 64 64 49 64 81 81 64 64 64 64
64 49 49 49 49 64 49 49 49 49 49 49 49 64 49 49 49 49 64 49 49 49 49 49 49 49 49 64 49 49
49 49 64 49 49 49 49 64 49 49 64 49 49 49 64 64 49 49 64 49 64 49 49 64 64 49 49 49 64 49
64 49 49 64 49 49 64 49 49 64 49 64 49 49 64 49 49 49 49 64 64 49 64 64 49 49 49 64 49 49
31 29 30 30 29 30 30 30 29 29 30 30 29 30 32 30 29 30 31 29 31 29 29 31 31 30 29 31 30 29 897
1943 1545 1620 1635 58081 46225 48400 48841 201547 8.03
7.17
7.33
∑Y2ij (Yi.)2 241 211 226 226 211 226 226 226 211 211 226 226 211 226 258 226 211 228 241 211 241 211 211 241 243 228 211 241 226 211
961 841 900 900 841 900 900 900 841 841 900 900 841 900 1024 900 841 900 961 841 961 841 841 961 961 900 841 961 900 841 26841
6743 804609
7.37
82
Lanjutan Dari data-data tersebut, kemudian dilakukan analisis sidik ragam untuk mengetahui nyata atau tidaknya perbedaan antar perlakuan. Faktor koreksi
Jumlah Kuadrat total
Jumlah kuadrat perlakuan
Jumlah kuadrat kelompok
Jumlah kuadrat galat
= Total umum2 / (n kelompok X n perlakuan) = 6705.075
= Total jml kuadrat - Faktor koreksi = 37.925
= (jml kuadrat total perlakuan / jml kelompok) - faktor koreksi = 13.158
= (jml kuadrat total kelompok / jml perlakuan) - faktor koreksi = 5.175
= Jml kuadrat total - Jml Kuadrat Perlakuan - Jml Kuadrat Kelompok = 19.592
Setelah itu dilakukan tabulasi dalam daftar analisis varian Sumber keragaman Perlakuan Panelis Galat Total
db 3 29 87 119
JK 13.16 5.18 19.59 37.93
KT 4.39 0.18 0.23
Fhitung 19.48 0.79
Ftabel 5% 4.14 1.86
Nilai F hitung (19.48) lebih besar dari F tabel (4.14), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada beda nyata antar perlakuan. Untuk mengetahui perlakuan mana yang sama atau lebih dari yang lain, maka dilakukan uji Duncan sebagai berikut: Dihitung sebuah parameter Sy (standar error rata-rata)
Sy = =
KTgalat / jumlahkelompok 0.087
83
Lanjutan Dari lampiran pada tingkat nyata 5% dengan derajat bebas galat (db error) 87 ~ 90 diperoleh Least Significant Ranges (LSR) = range x standar error rata-rata p Range Least Significant Ranges (LSR)
2 2.81 0.24
3 2.96 0.26
4 3.06 0.27
5 3.12 0.27
Nilai rata-rata penilaian tiap perlakuan diurutkan, kemudian selisihnya dibandingkan dengan LSR yang sesuai. Bila yang dibandingkan merupakan dua nilai tengah yang berdekatan, maka digunakan nilai LSR dengan p = 2. jadi p menyatakan jumlah nilai tengah yang dibandingkan. Dua nilai tengah dinyatakan sama apabila selisihnya lebih kecil dari nilai LSR nya. Perlakuan Rata-rata C-B = 7.33 - 7.17 = 0.16 < 0.24 D-B = 7.37 - 7.17 = 0.20 < 0.24 A-B = 8.03 - 7.17 = 0.86 > 0.26 D-C = 7.37 - 7.33 = 0.04 < 0.24 A-C = 8.03 - 7.33 = 0.70 > 0.27 A-D = 8.03 - 7.37 = 0.66 > 0.27
B 7.17
C 7.33
D 7.37
A 8.03 C=B D=B A≠B D=C A≠C A≠D
Keterangan : A = bakso ikan yang direbus dengan asap cair 1.0% B = bakso ikan yang direbus dengan asap cair 1.5% C = bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2.0% D = bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2.5% Kesimpulan = tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan bakso asap B sama dengan bakso asap C dan D, keseluruhan bakso asap C sama dengan bakso asap D, namun keseluruhan bakso asap A berbeda dengan bakso asap B, C, dan D.
84
Lampiran 13 Kurva standar fenol
Konsentrasi (ppm) 0 10 20 30 40 50 60
Absorbansi 0.000 0.150 0.320 0.483 0.666 0.828 0.999
1.200 1.000
Absorbansi
0.800 0.600 y = 0.0168x - 0.0112 R2 = 0.9996
0.400 0.200 0.000 0
10
20
30
40
50
60
70
-0.200
Konsentrasi fenol (ppm)
85
Lampiran 14 Total fenol (%) asap cair tempurung kelapa, air perebus bakso, dan bakso ikan
Sampel Asap cair Air perebus Bakso ikan
Ulangan
Absorbansi
Konst. Fenol
Fp
1 2 1 2 1 2
0.872 0.883 0.033 0.034 0.002 0.002
52.571 53.226 2.631 2.690 0.786 0.786
200 200 100 100 100 100
Total fenol (ppm) 68342.857 69194.048 1710.119 1748.810 510.714 510.714
Total fenol (%)
Rata-rata (%)
SD
RSD hitung
RSD standar
6.834 6.919 0.171 0.175 0.051 0.051
6.877
0.060
0.875
1.496
0.173
0.003
1.582
2.605
0.051
0.000
0.000
3.129
86
Lampiran 15 Luas permukaan bakso ikan
Sampel 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Diameter (cm) U1 U2 2.3 2.3 2.3 2.4 2.4 2.3 2.3 2.3 2.4 2.3 2.4 2.4 2.3 2.4 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.4 2.3 2.3 2.4 2.4 2.3 2.3 2.4 2.3 2.4 2.4 2.3 2.4 2.4 2.4 2.4 2.3 2.4 2.3 2.4 2.3 2.3 2.4 2.4 2.3 2.3 2.2 2.4 2.3 2.3 2.3 2.4 2.3 2.2 2.4 2.4 2.4 2.4 2.3 2.3 2.3 2.2 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.4 2.3 2.3 2.3 2.4 2.4 2.2 2.3 2.3 2.3 2.3 2.3 2.4 2.3 2.4 2.4 2.3 2.3 2.2 2.3 2.3 2.3 2.3 2.4
Rata-rata D (cm)
Luas permukaan/A 2 (cm )
2.3
34.19
2.4
34.68
2.3
33.70
2.4
34.68
2.4
34.68
2.4
35.17
2.4
34.68
2.3
33.70
2.3
33.70
2.4
34.68
2.3
32.74
2.4
34.68
2.3
32.74
2.4
34.68
2.3
33.22
Rata-rata A 2 (cm )
34.13
87
Lampiran 16 Jumlah total bakteri (CFU/g) bakso ikan tanpa perlakuan (kontrol) pada penyimpanan suhu kamar
Pengamatan jam ke-0 (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : 2 : 0 : 1 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : 102 : 106 : 45 : 47 : 9 : 5 : 0 : 0 : 0 : 0
10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1)
Ulangan 1 : TBUD : TBUD : 221 : 190 : 30 : 32 : 4 : 2 : 0
10-7
(2)
:
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
2.0E+01
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : 4 : 0 : 0 : 1 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0
2.0E+01
Pengamatan jam ke-8 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6
1.4E+04
10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : 111 : 105 : 49 : 45 : 5 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0
1.4E+04
Pengamatan jam ke-16
0
2.2E+06
10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1)
10-7
(2)
Ulangan 2 : TBUD : TBUD : 210 : 198 : 56 : 42 : 1 : 0 : 0 :
2.3E+06
0
88
Lanjutan
Pengamatan jam ke-24 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7 10-7
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : 235 : 293 : 156 : 144 : 70 : 55 : 6 : 1
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : TBUD : TBUD : 220 : 225 : 74 : 88 : 3 : 1
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : TBUD : TBUD : TBUD : TBUD : 241 : 226 : 88 : 90 : 5 : 3
4.3E+06
10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7 10-7
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : 277 : 241 : 167 : 155 : 81 : 63 : 3 : 2
4.4E+06
Pengamatan jam ke-32 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7 10-7
2.8E+07
10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7 10-7
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : TBUD : TBUD : 233 : 227 : 76 : 89 : 4 : 11
2.8E+07
Pengamatan jam ke-40 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7 10-7 10-8 10-8
2.9E+08
10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7 10-7 10-8 10-8
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : TBUD : TBUD : TBUD : TBUD : 245 : 233 : 95 : 98 : 7 : 11
3.1E+08
89
Lampiran 17 Jumlah total bakteri (CFU/g) bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2.5% pada penyimpanan suhu kamar
Pengamatan jam ke-0 10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : 1 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : 13 : 4 : 4 : 0 : 3 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : 203 : 183 : 35 : 31 : 3 : 6 : 1 : 3 : 1 : 1
1.0E+01
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : 0 : 1 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0
1.0E+01
Pengamatan jam ke-8 10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
1.3E+01
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : 20 : 4 : 4 : 2 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0
1.5E+01
Pengamatan jam ke-16 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6
2.1E+04
10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : 210 : 195 : 62 : 57 : 5 : 3 : 1 : 2 : 0 : 1
2.4E+04
90
Lanjutan
Pengamatan jam ke-24 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : 273 : 288 : 120 : 111 : 50 : 44 : 2 : 1 : 1 : 0
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : TBUD : TBUD : 249 : 235 : 112 : 132 : 70 : 65 : 10 : 5
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : TBUD : TBUD : TBUD : TBUD : 235 : 222 : 98 : 79 : 47 : 59
4.0E+04
10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : 280 : 283 : 131 : 115 : 65 : 51 : 3 : 1 : 0 : 0
4.2E+04
Pengamatan jam ke-32 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6
3.9E+05
10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : TBUD : TBUD : 255 : 223 : 134 : 120 : 82 : 78 : 7 : 3
4.0E+05
Pengamatan jam ke-40 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6
3.3E+06
10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : TBUD : TBUD : TBUD : TBUD : 244 : 232 : 99 : 101 : 55 : 43
3.5E+06
91
Lampiran 18 Jumlah total bakteri (log CFU/g) bakso ikan pada penyimpanan suhu kamar
Perlakuan
Ulangan
Kontrol
1 2 Rata-rata SD RSD hitung RSD standar
Jumlah koloni bakteri pengamatan jam ke(log CFU/g) 0 8 16 24 32 40 1.30 4.13 6.33 6.63 7.44 8.47 1.30 4.13 6.36 6.65 7.44 8.48 1.30 4.13 6.35 6.64 7.44 8.48 0.00 0.00 0.02 0.01 0.00 0.01 0.00 0.08 0.33 0.15 0.01 0.14 1.92 1.62 1.51 1.50 1.48 1.45
Asap cair 2.5%
1 2 Rata-rata SD RSD hitung RSD standar
1.00 1.00 1.00 0.00 0.00 2.00
2.11 2.18 2.15 0.04 2.05 1.78
4.31 4.38 4.34 0.05 1.04 1.60
4.60 4.62 4.61 0.01 0.29 1.59
5.59 5.60 5.60 0.01 0.18 1.54
6.52 6.54 6.53 0.01 0.21 1.51
92
Lampiran 19 Nilai pH bakso ikan selama penyimpanan pada suhu kamar
Perlakuan
Kontrol
Asap cair 2.5%
Ulangan
Pengamatan Nilai pH (jam ke-) 8 16 24 32 40 6.21 6.17 6.14 6.16 6.23 6.19 6.19 6.16 6.18 6.22
1 2
0 6.22 6.20
Rata-rata Sd Rsd hitung Rsd standar 1 2
6.21 0.01 0.23 1.52 5.84 5.82
6.20 0.01 0.23 1.52 5.85 5.84
6.18 0.01 0.23 1.52 5.83 5.84
6.15 0.01 0.23 1.52 5.82 5.83
6.17 0.01 0.23 1.52 5.81 5.82
6.23 0.01 0.11 1.52 5.85 5.86
Rata-rata Sd Rsd hitung Rsd standar
5.83 0.01 0.24 1.53
5.85 0.01 0.12 1.53
5.84 0.01 0.12 1.53
5.83 0.01 0.12 1.53
5.82 0.01 0.12 1.53
5.86 0.01 0.12 1.53
93
Lampiran 20 Kadar air bakso ikan selama penyimpanan suhu kamar
Bakso ikan tanpa perlakuan (kontrol) Waktu pengamatan Jam ke-0 Jam ke-40
Kadar air (wb,%) Ulangan 1 Ulangan 2 74.62 74.50 74.28 74.11
Ratarata 74.56 74.20
SD
RSD hit
0.08 0.08
0.11 0.16
SD
RSD hit
0.09 0.06
0.12 0.09
RSD stdr 1.05 1.05
Bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2.5% Waktu pengamatan Jam ke-0 Jam ke-40
Kadar air (wb,%) Ulangan 1 Ulangan 2 74.33 74.20 74.10 74.19
Ratarata 74.27 74.15
RSD stdr 1.05 1.05
94
Lampiran 21 Analisis statistik kadar air bakso ikan selama penyimpanan suhu kamar Descriptives Air
Kontrol jam ke-0 Kontrol jam ke-40 Asap jam ke-0 Asap jam ke-40 Total
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
2 2
74.5600 74.1950
.08485 .12021
.06000 .08500
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound 73.7976 75.3224 73.1150 75.2750
2 2
74.2650 74.1450
.09192 .06364
.06500 .04500
73.4391 73.5732
8
74.2912
.18566
.06564
74.1360
Minimum
Maximum
74.50 74.11
74.62 74.28
75.0909 74.7168
74.20 74.10
74.33 74.19
74.4465
74.10
74.62
ANOVA Air
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares .207 .034 .241
df 3 4 7
Mean Square .069 .009
F 8.087
Sig. .036
Air Duncan P
N
Subset for alpha = .05
Asap jam ke-40
2
a 74.1450
Kontrol jam ke-40
2 2 2
Asap jam ke-0 Kontrol jam ke-0 Sig.
b
74.1950 74.2650 74.5600
.270 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
95
Lampiran 22 Jumlah total bakteri (CFU/g) bakso ikan tanpa perlakuan (kontrol) pada penyimpanan suhu refrigerasi
Pengamatan Hari ke-0 Ulangan 1 : 2 : 0 : 1 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
Ulangan 1 (1) : 107 (2) : 72 (1) : 13 (2) : 6 (1) : 1 (2) : 0 (1) : 0 (2) : 0 (1) : 0 (2) : 0
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
Ulangan 1 (1) : TBUD (2) : TBUD (1) : 95 (2) : 110 (1) : 31 (2) : 33 (1) : 10 (2) : 4 (1) : 2 (2) : 1
2.0E+01
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : 1 : 1 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0
2.0E+01
Pengamatan hari ke-4
9.0E+02
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : 130 : 90 : 10 : 5 : 3 : 1 : 0 : 0 : 0 : 0
1.0E+03
Pengamatan hari ke-8
1.2E+04
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : TBUD : TBUD : 122 : 92 : 40 : 32 : 15 : 7 : 3 : 2
1.3E+04
96
Lanjutan
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7 10-7
10-4 10-4 10-5 10-5 10-6 10-6 10-7 10-7
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : TBUD : TBUD : TBUD : TBUD : TBUD : TBUD : 135 : 129 : 27 : 31
Pengamatan hari ke-12 Ulangan 2 10-1 (1) : TBUD 10-1 (2) : TBUD 10-2 (1) : TBUD 10-2 (2) : TBUD 10-3 (1) : TBUD 1.5E+06 10-3 (2) : TBUD 10-4 (1) : 144 10-4 (2) : 135 10-5 (1) : 30 10-5 (2) : 26
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : TBUD : TBUD : 105 : 117 : 16 : 20 : 0 : 1
Pengamatan hari ke-16 Ulangan 2 10-4 (1) : TBUD 10-4 (2) : TBUD 10-5 (1) : 170 10-5 (2) : 168 1.2E+07 10-6 (1) : 46 10-6 (2) : 87 10-7 (1) : 0 10-7 (2) : 0
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : TBUD : TBUD : 135 : 141 : 44 : 52 : 0 : 1
Pengamatan hari ke-20 Ulangan 2 10-4 (1) : TBUD 10-4 (2) : TBUD 10-5 (1) : 137 10-5 (2) : 145 1.7E+07 10-6 (1) : 46 10-6 (2) : 49 10-7 (1) : 1 10-7 (2) : 0
1.5E+06
1.6E+07
1.7E+07
97
Lampiran 23 Jumlah total bakteri (CFU/g) bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2.5% pada penyimpanan suhu refrigerasi
Pengamatan Hari ke-0 10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : 1 : 0 : 0 : 1 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : 102 : 104 : 13 : 4 : 2 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 1 : 52 : 90 : 32 : 38 : 8 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0
1.0E+01
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : 0 : 1 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0
1.0E+01
Pengamatan hari ke-4 10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
1.0E+03
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : 99 : 101 : 4 : 1 : 2 : 0 : 0 : 0 : 0 : 0
1.0E+03
Pengamatan hari ke-8 10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
9.6E+02
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Ulangan 2 : 71 : 97 : 30 : 31 : 0 : 7 : 0 : 0 : 0 : 0
1.0E+03
98
Lanjutan
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
10-1 10-1 10-2 10-2 10-3 10-3 10-4 10-4 10-5 10-5
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Pengamatan hari ke-12 Ulangan 1 Ulangan 2 : 71 10-1 (1) : 95 : 60 10-1 (2) : 76 : 11 10-2 (1) : 0 : 6 10-2 (2) : 7 : 0 10-3 (1) : 0 6.6E+02 : 0 10-3 (2) : 1 : 1 10-4 (1) : 0 : 0 10-4 (2) : 1 : 0 10-5 (1) : 0 : 0 10-5 (2) : 0
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Pengamatan hari ke-16 Ulangan 1 Ulangan 2 : 38 10-1 (1) : 317 : 22 10-1 (2) : 89 : 1 10-2 (1) : 74 : 0 10-2 (2) : 18 : 1 10-3 (1) : 22 3.0E+02 : 0 10-3 (2) : 15 : 0 10-4 (1) : 5 : 0 10-4 (2) : 10 : 0 10-5 (1) : 3 : 0 10-5 (2) : 7
(1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2) (1) (2)
Pengamatan hari ke-20 Ulangan 1 Ulangan 2 : 5 10-1 (1) : 7 : 7 10-1 (2) : 10 : 3 10-2 (1) : 5 : 4 10-2 (2) : 3 : 0 10-3 (1) : 1 6.0E+01 : 1 10-3 (2) : 1 : 0 10-4 (1) : 0 : 0 10-4 (2) : 0 : 0 10-5 (1) : 0 : 0 10-5 (2) : 0
7.4E+02
2.9E+02
6.5E+01
99
Lampiran 24
Jumlah total bakteri (log CFU/g) bakso ikan pada penyimpanan suhu refrigerasi
Perlakuan
Ulangan
Kontrol
1 2 Rata-rata SD RSD hitung RSD standar
Jumlah koloni bakteri pengamatan hari ke(log CFU/g) 0 4 8 12 16 20 1.30 2.95 4.09 6.17 7.07 7.23 1.30 3.01 4.11 6.17 7.21 7.23 1.30 2.98 4.10 6.17 7.14 7.23 0.00 0.04 0.02 0.00 0.10 0.00 0.00 1.40 0.46 0.05 1.43 0.06 1.92 1.70 1.62 1.52 1.49 1.48
Asap cair 2.5%
1 2 Rata-rata SD RSD hitung RSD standar
1.00 1.00 1.00 0.00 0.00 2.00
3.01 3.00 3.01 0.01 0.30 1.69
2.98 3.02 3.00 0.02 0.79 1.70
2.82 2.87 2.84 0.04 1.25 1.71
2.48 2.46 2.47 0.01 0.42 1.75
1.78 1.81 1.80 0.02 1.37 1.83
100
Lampiran 25 Nilai pH bakso ikan selama penyimpanan pada suhu refrigerasi
Perlakuan
Kontrol
Asap cair 2.5%
1 2
0 6.25 6.26
Pengamatan Nilai pH (hari ke-) 4 8 12 16 6.24 6.26 6.27 6.29 6.25 6.28 6.29 6.31
20 6.32 6.34
Rata-rata Sd Rsd hitung Rsd standar 1 2
6.26 0.01 0.11 1.52 5.74 5.75
6.25 0.01 0.11 1.52 5.75 5.77
6.27 0.01 0.23 1.52 5.77 5.79
6.28 0.01 0.23 1.52 5.78 5.79
6.30 0.01 0.22 1.52 5.79 5.81
6.33 0.01 0.22 1.51 5.79 5.81
Rata-rata Sd Rsd hitung Rsd standar
5.75 0.01 0.12 1.54
5.76 0.01 0.25 1.54
5.78 0.01 0.24 1.54
5.79 0.01 0.12 1.54
5.80 0.01 0.24 1.54
5.80 0.01 0.24 1.54
Ulangan
101
Lampiran 26 Kadar air bakso ikan selama penyimpanan suhu refrigerasi
Bakso ikan tanpa perlakuan Waktu pengamatan Hari ke-0 Hari ke-20
Kadar air (wb,%) Ulangan 1 Ulangan 2 74.62 74.50 73.71 73.85
Ratarata 74.56 73.78
SD
RSD hit
0.08 0.10
0.11 0.13
SD
RSD hit
0.09 0.08
0.12 0.11
RSD stdr 1.05 1.05
Bakso ikan yang direbus dengan asap cair 2.5% Waktu pengamatan Hari ke-0 Hari ke-20
Kadar air (wb,%) Ulangan 1 Ulangan 2 74.33 74.20 73.77 73.66
Ratarata 74.27 73.72
RSD stdr 1.05 1.05
102
Lampiran 27 Analisis statistik kadar air bakso ikan selama penyimpanan suhu refrigerasi
Descriptives Air N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Kontrol hari ke-0 Kontrol hari ke-20
2
74.5600
.08485
.06000
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound 73.7976 75.3224
2
73.7800
.09899
.07000
72.8906
Asap hari ke-0
2 2
74.2650 73.7150
.09192 .07778
.06500 .05500
73.4391 73.0162
8
74.0800
.37932
.13411
73.7629
Asap hari ke-20 Total
Minimum
Maximum
74.50
74.62
74.6694
73.71
73.85
75.0909 74.4138
74.20 73.66
74.33 73.77
74.3971
73.66
74.62
ANOVA Air
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares .976 .031 1.007
df 3 4 7
Mean Square .325 .008
F 41.299
Sig. .002
Air Duncan P
N
Asap hari ke-20
2 2 2 2
Kontrol hari ke-20 Asap hari ke-0 Kontrol hari ke-0 Sig.
Subset for alpha = .05 a 73.7150 73.7800
b
c
74.2650 74.5600
.504 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
103
104