TINJAUAN PUSTAKA Pepaya (Carica papaya L.) Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman buah herba yang termasuk ke dalam famili Caricaceae yang berasal dari Amerika Tengah dan Hindia Barat bahkan kawasan sekitar Mexsiko dan Coasta Rica. Tanaman pepaya banyak ditanam orang, baik di daeah tropis maupun sub tropis, di daerah-daerah basah dan kering atau di daerah-daerah dataran dan pegunungan (sampai 1000 m dpl). Buah pepaya merupakan buah meja bermutu dan bergizi tinggi (Tohir, 1978). Pepaya dapat tumbuh pada dataran rendah hingga dataran tinggi pada ketinggian 700 m dpl dengan pertumbuhan optimal pada ketinggian 200 – 500 m dpl,
curah hujan 1000 - 2000 mm/tahun, kisaran suhu udara 21 - 33°C,
kelembaban udara sekitar 40% dan angin yang tidak terlalu kencang sangat baik untuk penyerbukan. Tanah subur, gembur, mengandung humus dan harus banyak menahan air, pH tanah yang ideal adalah netral dengan pH 6,0 -6,5. Pepaya juga merupakan tanaman yang sangat sensitif, sehingga sedikit toleran terhadap stres garam. Tahap persemaian dan bibit merupakan tahap yang paling sensitif dalam siklus pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pada tahap pertumbuhan selanjutnya tanaman sedikit sensitif terhadap garam (Villegas, 1997). Tanaman pepaya di Indonesia tersebar dimana-mana bahkan telah menjadi tanaman perkarangan. Sentra penanaman buah pepaya di Indonesia adalah daerah Jawa Barat (Kabupaten Sukabumi), Jawa Timur (Kabupaten Malang), Pasar Induk Kramat Jati DKI, Yogyakarta (Sleman), Lampung Tengah, Sulawesi Selatan (Toraja), Sulawesi Utara (Manado). Pepaya Indonesia menempati urutan kelima dalam produksi dunia. Produktivitasnya pada tahun 2004 mencapai 73,26 ton/ha dan menurun menjadi 64,67 ton/ha pada tahun 2005 (FAOSTAT, 2005). Besarnya produksi pepaya di Indonesia dikarenakan pepaya mempunyai beberapa keistimewaan dibandingkan tanaman buah-buahan lainnya, yaitu mudah dibudidayakan, cepat berproduksi, buahnya tersedia sepanjang tahun dan tidak memerlukan lahan luas sehingga dapat ditanam di pekarangan rumah (Rusnas, 2004).
Telah banyak dilakukan penelitian untuk meningkatkan produktivitas pepaya melalui perbaikan teknis budidaya. Usaha perbaikan tersebut meliputi penggunaan bibit berkualitas, pemeliharaan tanaman secara optimal, penentuan jenis dan dosis pupuk tepat, serta pengendalian hama secara tepat (Rusnas, 2004). Tanaman pepaya memerlukan cukup air tetapi tidak tahan air yang tergenang. Maka pengairan dan pembuangan air harus diatur dengan seksama. Apalagi di daerah yang banyak turun hujan dan bertanah liat harus dibuatkan parit-parit. Kebutuhan air ideal pada tanaman pepaya adalah sekitar 70 liter/minggu. Tanaman pepaya bila kelebihan air atau akar terlalu lama tergenang air, dapat mengakibatkan akar akan membusuk dan tanaman layu, dan pada akhirnya akan dapat mengakibatkan kematian (Ashari, 2006). Pada musim kemarau, intensitas pengairan ditingkatkan untuk mencegah kekeringan. Pengairan pada musim kemarau berkisar anatara 120-140 liter/tanaman/minggu. Oleh karena itu penyediaan bak penampung air sangat diperlukan pada musim kemarau. Pepaya tidak dapat tumbuh dengan sempurna pada kondisi kekurangan air dan jika berlangsung dalam waktu lama dapat mengakibatkan tanaman layu dan akhirnya mati (Gunawan et al., 2007). Menurut Tohir (1978) pohon pepaya memerlukan pupuk yang banyak, khususnya pupuk organik. Pemupukan akan memberikan zat-zat makanan yang diperlukan dan dapat menjaga kelembaban tanah. Cara pemberian pupuk pada tanaman pepaya (dosis per tanaman) sebagai berikut: 1. Setiap minggu setelah tanam (1 MST s.d. 4 MST) diberi pupuk kimia, 50 gram ZA, 25 gram Urea, 50 gram TSP dan 25 gram KCl, dicampur dan ditanam melingkar. 2. Satu bulan kemudian (5 MST) dilakukan pemupukan kedua dengan komposisi 75 gram ZA, 35 gram Urea, 75 gram TSP, dan 40 gram KCl. 3. Saat umur 3-5 bulan (14 MST s.d. 21 MST) dilakukan pemupukan ketiga dengan komposisi 75 gram ZA, 50 gram Urea, 75 gram TSP, 50 gram KCl. 4. Umur 6 bulan dan seterusnya 1 bulan sekali diberi pupuk dengan 100 gram ZA, 60 gram Urea, 75 gram TSP, dan 75 gram KCl. Pepaya untuk pertumbuhannya membutuhkan Fosfor, Nitrogen dan Kalium. Fosfor diperlukan untuk pembentukan bunga dan mempercepat
pemasakan buah. Nitrogen dibutuhkan dalam jumlah banyak karena diperlukan pertumbuhan vegetatif yang cepat. Kalium diperlukan untuk pembentukan gula buah dan memberi daya tahan akan kekeringan (Marsono dan Sigit, 2001). Pepaya yang ditanam dalam kondisi baik dapat bertahan hidup hingga umur 3 sampai 4 tahun. Agar tanaman pepaya dapat berproduksi optimal ada beberapa faktor yang harus dipenuhi antara lain kebun terbebas dari rumput, tidak kekurangan sinar matahari, penanaman bersifat monokultur dan lubang tanam cukup besar hingga mampu menampung pupuk organik yang cukup banyak. Agar pepaya yang dibudidayakan dapat memberikan hasil yang memuaskan maka yang harus dilakukan dalam pemeliharaan adalah menggunakan tanaman yang sudah disemaikan, melakukan penyiangan dan pemupukan, mengatur pengairan dan menentukan ketepatan waktu untuk proses pemanenan (Agromedia, 2007). Tanaman pepaya termasuk tanaman yang rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Menurut Villegas (1997), Organisme Pangganggu Tanaman (OPT) pada tanaman pepaya selain gulma antara lain jamur penyebab antraknosa (Colletotrichum gloiosporioides), kutu putih (Paracoccus marginatus), kutu daun (Myzus persicae) penyebab Pepaya Mosaic Virus (PMV) dan penyakit bercak cincin pepaya, cendawan Cercospora pepayae penyebab bercak daun cercospora. Corynespora casiicola penyebab bercak daun corynespora dan cendawan Fusarium oxysporum penyebab layu fusarium. Berbagai OPT tersebut sangat merugikan pertanaman pepaya karena dapat menurunkan hasil produksi baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Villegas (1997) menyatakan bahwa tanaman pepaya dapat mencapai usia 25 tahun jika tidak terserang hama dan penyakit, namun hal ini jarang dijumpai. Untuk produksi buah segar sebaik produksi papain yang paling baik adalah meremajakan tanaman setiap 3 tahun. Semakin tua umur tanaman, buah yang dihasilkan akan semakin menurun, baik kualitas maupun kuantitasnya. Secara umum, pepaya yang telah berumur empat tahun sudah harus dibongkar.
Vigor Bibit Tanaman Vigor adalah sejumlah sifat-sifat benih atau bibit yang mengindikasikan pertumbuhan dan perkembangan kecambah yang cepat dan seragam pada cakupan kondisi lapang yang luas (Sadjad et al., 1999). Bibit adalah tumbuhan muda yang makanannya tergantung kepada persediaan bahan makanan yang terdapat dalam biji. Pada kondisi yang menguntungkan, suatu biji akan berkecambah. Apabila biji tersebut dikecambahkan pada medium tanah maka akan terjadi suatu peristiwa dimana bibit muncul di atas pemukaan tanah. Peristiwa ini disebut emergence of seedlings yang selanjutnya akan diikuti dengan pertumbuhan bibit menjadi tanaman dewasa. Uji vigor banyak dilakukan pada tingkat benih. Vigor kekuatan tumbuh merupakan parameter yang menunjukkan bahwa benih tersebut kuat atau tidak mengalami hambatan berarti ketika ditanam dalam kondisi suboptimum. Benih yang mempunyai vigor kekuatan tumbuh tinggi dapat menghasikan tanaman kuat di lapang, walaupun kondisi lapang atau lingkungan tumbuhnya suboptimum. Vigor kekuatan tumbuh benih dapat diungkapkan oleh 3 peubah, yaitu kecepatan tumbuh (KCT), keserempakkan tumbuh (KST) dan vigor spesifik. Peubah KCT dapat diungkapkan dengan tolak ukur waktu yang diperlukan untuk mencapai perkecambahan sebesar 50% atau waktu rata-rata yang diperlukan untuk mencapai perkecambahan sebesar 10 - 90%, keduanya diperhitungkan dari perkecambahan maksimal yang bisa dicapai. Peubah KST merupakan peubah untuk parameter VKT yang unitnya berupa persentase kecambah yang tumbuh kuat dan memperlihatkan keserempakkan pada media pengujian (Sadjad et al., 1999). Pratiwi (1999) menyatakan bahwa pada tingkat bibit, secara umum kadar air medium tanaman menurunkan vigor bibit yang diukur melalui tolak ukur bobot kering akar, panjang akar, bobot kering tajuk dan jumlah daun. Selain itu, Wulandari (2008) juga menggunakan jumlah tunas dan tinggi tanaman sebagai peubah vigor bibit.
Tanah dan Kesuburan Menurut Notohadiprawiro et al. (2000), fungsi-fungsi vital yang dikerjakan tanah dalam ekosistem mencakup : (1) memberlanjutkan kegiatan, keanekaan, dan produktivitas hayati; (2) mengatur dan membagi-bagi aliran air dan larutan; (3) menyaring, menjaga, mendegradasi, imobilisasi, dan detoksifikasi bahan-bahan organik dan anorganik, termasuk hasil samping industri dan kota serta endapan atmosfer; (4) menyimpan dan mendaurkan hara dan unsur-unsur lain di dalam biosfer bumi; dan (5) memberikan topangan bagi bangunan sosioekonomi dan perlindungan bagi khasanah arkeologi yang berhubungan dengan pemukiman manusia. Tanah, dalam lingkup khusus pertanian, mempunyai peran dalam mendukung daya tumbuh tanaman. Tanah dalam hal ini menjadi media tumbuh tempat penetrasi akar yang berfungsi menyerap nutrisi dan zat hara dari dalam tanah yang kemudian diteruskan ke jaringan tanaman (Agustina, 2004). Hanafiah (2005) menyatakan bahwa tanah mineral yang dapat berfungsi sebagai media tumbuh ideal secara material tersusun oleh 4 komponen, yaitu bahan padatan, berupa 45% bahan mineral dan 5% bahan organik, dan 50% ruang berpori berisi 25% air dan 25% udara. Kualitas tanah sebagai media tumbuh ini secara umum dipengaruhi oleh sifat fisik, kimiawi dan biologis dari tanah itu sendiri dimana ketiganya terangkum dalam konsep kesuburan. Menurut Notohadiprawiro et al. (2006) kesuburan tanah adalah mutu tanah untuk bercocok tanam, yang ditentukan oleh interaksi sejumlah sifat fisika, kimia, dan biologi bagian tubuh tanah yang menjadi habitat akar-akar aktif tanaman. Kesuburan tanah dibedakan menjadi dua. Pertama adalah kesuburan tanah aktual, yaitu kesuburan tanah hakiki atau alamiah. Kedua adalah kesuburan tanah potensial yaitu kesuburan tanah maksimal yang dapat dicapai dengan intervensi teknologi yang mengoptimumkan semua faktor. Tanah yang baik (subur) adalah tanah yang mampu menyediakan unsurunsur hara secara lengkap untuk optimalisasi pertumbuhan tanaman (Agromedia, 2007). Diperlukan usaha pengelolaan kesuburan tanah untuk memperoleh hasil produksi tanaman yang optimal dan akhirnya dapat memenuhi kebutuhan pangan.
Menurut Notohadiprawiro et al. (2006), pengelolaan kesuburan tanah tidak mungkin diselenggarakan dalam paket umum. Suatu paket tertentu hanya berlaku untuk suatu wilayah tertentu, sehingga setiap macam wilayah memerlukan paket pengelolaan kesuburan tanah tersendiri. Terutama bila dibandingkan dengan jumlah kebutuhan hara yang dapat disediakan tanah untuk pertumbuhan tanaman. Unsur hara yang diperlukan oleh tanaman ada banyak jumlahnya. Menurut Sillanppa (1972) sebagian peneliti mengategorikan unsur hara dalam tiga kelas, yaitu: 1. Unsur hara primer (N, P, K) karena diperlukan tanaman relatif dalam jumlah besar dan secara beraturan diberikan ke dalam tanah melalui pemupukan. 2. Unsur hara sekunder (Ca, Mg, S), karena relatif banyak terdapat di dalam tanah dan tanaman dalam pemupukan sebagai elemen pengering atau sebagai kapur. 3. Trace elements atau micro elements (Fe, B, Mn, Zn, Cu, Mo). Elemenelemen yang baik di dalam tanah maupun dalam tanaman jumlahnya sedikit. Kriteria terhadap ketersediaan unsur hara di dalam tanah dengan selang tertentu dapat dilihat pada Tabel 1. Pada Tabel 1 juga dapat dilihat bahwa tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman juga dipengaruhi oleh pH (derajat kemasaman) tanah. Dengan pH yang sesuai, maka ketersediaan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman untuk tumbuh optimal juga akan terpenuhi. Derajat kemasaman tanah optimum untuk pertumbuhan sebagian besar tanaman berkisar pada nilai 6 – 6,5. Menurut Agustina (2004), spesies tanaman yang berbeda mempunyai perbedaan kebutuhan elemen esensialnya, karena pH optimumnya bervariasi untuk setiap spesies tanaman. Tanaman buah-buahan mempunyai pH optimum berkisar antara 6 – 7,8. Tanah mempunyai sifat-sifat diantaranya sifat fisik, biologi dan kimia. Beberapa kriteria penilaian sifat kimia tanah dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Sifat tanah
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
< 0,1
1,00-2,00
2,01-3,00
3,01-5,00
> 5,00
Nitrogen (%)
< 0,10
0,10-0,20
0,21-0,50
0,51-0,75
> 0,75
C/N
<5
5-10
11-15
16-25
>25
P2O5 HCl (mg/100g)
<10
10-20
21-40
41-60
>60
P2O5 Bray-1 (ppm)
<10
10-15
16-25
26-35
>35
P2O5 Olsen (ppm)
<10
10-25
26-45
45-60
>60
K2O HCl 25% (mg/100g)
<10
10-20
21-40
41-60
>60
KTK (me/100g)
<5
5-16
17-24
25-40
>40
K (me/100g)
<0,1
0,1-0,2
0,3-0,5
0,6-1,0
>1,0
Na (me/100g)
<0,1
0,1-0,3
0,4-0,7
0,8-1,0
>1,0
Mg (me/100g)
<0,4
0,4-1,00
1,1-2,0
2,1-8,0
>8,0
Ca (me/100g)
<0,2
2-5
6-10
11-20
>20
Kejenuhan Basa (%)
<20
20-35
36-50
51-70
>70
Aluminium (%)
<10
10-20
21-30
31-60
>60
C -Organik (%)
Susunan Kation :
Sumber : Hardjowigeno, S. (1995).
Pupuk dan Efisiensi Penggunaannya Pupuk merupakan faktor produksi yang vital dalam pertanian modern yang sudah mulai dipergunakan di sektor pertanian rakyat di Indonesia terutama melalui program intensifikasi sejak tahun 1959. Pupuk juga memainkan peran penting dalam sektor produksi pangan di Indonesia mengingat keterbatasan lahan bagi perluasan pertanian pangan. Di samping itu, penggunaan pupuk ikut pula menentukan koefisien penggunaan air irigasi, suatu sumber yang keterbatasannya juga semakin terasa. Penggunaan pupuk ini menyangkut informasi tentang berbagai koefisien respon untuk setiap jenis komoditi pertanian di setiap keadaan agroekologi yang spesifik (Litbang Pertanian, 1980).
Secara umum manfaat pupuk adalah menyediakan unsur hara yang kurang atau bahkan tidak tersedia di tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Manfaat pupuk ini dapat dibedakan menjadi tiga fungsi yaitu berkaitan dengan perbaikan sifat fisika, kimia, dan biologi tanah. Perbaikan sifat fisika tanah menyangkut perbaikan struktur tanah dari padat menjadi gembur. Untuk perbaikan sifat kimia antara lain yang menyangkut penyediaan unsur hara bagi tanaman, membantu mencegah kehilangan unsur hara, dan memperbaiki keasaman tanah. Dalam perbaikan sifat biologi tanah sendiri terjadi peningkatan jumlah mikroorgnisme di dalam tanah (Marsono dan Sigit, 2001). Pemupukan merupakan cara yang dapat dilakukan untuk memenuhi ketersediaan unsur hara tanah yang dibutuhkan oleh tanaman. Adanya pemupukan menyebabkan tanaman dapat tumbuh optimal dan berproduksi maksimal (Agromedia, 2007). Pemupukan tidak selamanya memberikan jaminan kesuburan bagi tanaman. Marsono dan Sigit (2001) menyatakan bahwa pupuk akan sampai pada sasarannya jika diaplikasikan secara benar. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam aplikasi pupuk adalah jenis tanaman yang akan dipupuk dan jenis pupuk yang digunakan. Jika pupuk diaplikasikan dengan tepat dan benar, maka diperoleh efisiensi dan efektivitas pemupukan. Aplikasi pupuk di lapangan dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain : 1. Ditebarkan langsung ke permukaan tanah. Umumnya dilakukan dengan jarak tanam yang rapat sehingga permukaan tanah hampir tertutup seluruhnya maupun renggang. Kelebihan dari cara aplikasi ini adalah menghemat waktu dan tenaga pemupukan. Namun kekurangannya antara lain kemungkinan kehilangan pupuk karena penguapan dan pencucian, pupuk kurang mencapai sasaran perakaran tanaman. Cara pemupukan ini juga mempercepat pertumbuhan rumput dan gulma yang merugikan tanaman budidaya. 2. Ditabur ke dalam larikan atau barisan antar tanaman. Dilakukan dengan memberikan pupuk ke dalam parit kecil atau larikan di antara barisan tanaman kemudian pupuk ditutup dengan tanah. Cara aplikasi ini dapat menekan kehilangan pupuk yang bersifat mudah hilang karena evapotranspirasi maupun erosi. Kekurangan cara aplikasi ini adalah memerlukan tambahan waktu, biaya
dan tenaga dalam teknis di lapangan dan masih dibutuhkan perkembangan akar ke tempat pupuk ditaburkan agar pupuk dapat diserap dengan baik. 3. Ditempatkan dalam lubang. Dilakukan dengan menempatkan pupuk di dalam lubang-lubang yang dibuat melingkari tanaman di bawah tajuk terluar tanaman tersebut. Lubang yang sudah diberi pupuk segera ditutup dengan tanah galian dan disiram agar pupuk cepat mencapai sasaran. 4. Dicampurkan merata dengan tanah pada lahan olah. Diaplikasikan dengan mencampurkan pupuk ke dalam tanah 1-2 minggu sebelum tanam. Pupuk yang diberikan harus sudah matang sehingga langsung dapat diserap oleh tanaman. Cara aplikasi ini banyak diterapkan pada tanaman sayuran dan hortikultura. 5. Dibenamkan dalam lubang dekat perakaran. Hal ini bertujuan agar pupuk tidak terbuang percuma jika dilakukan penyiraman dan menjadi lebih dekat dengan perakaran. Pupuk yang belum matang dapat digunakan karena proses pelapukan masih dapat berlangsung di dalam lubang pupuk. Cara aplikasi ini banyak diterapkan pada tanaman tahunan. 6. Ditanam di larikan di sebelah lubang tanam. Cara aplikasi ini pupuk hanya berada di dekat tanaman sehingga lebih efisien diserap tanaman, terutama tanaman semusim. 7. Dikocor di dekat batang tanaman. Pupuk dicampur dengan air yang digunakan untuk menyiram tanaman. Campuran dapat berupa pupuk kandang, air kencing hewan, pupuk kimia dan air. Petani tradisional masih sering menggunakan cara ini untuk mengatasi gejala kekurangan hara pada tanaman semusim. 8. Dicampurkan dengan tanah penutup lubang tanam. Cara aplikasi ini dilakukan untuk pemupukan dasar tanaman yang akan ditanam di dalam lubang besar, misalnya tanaman buah dalam pot yang akan dipindah ke lahan. Tanah galian dicampur dahulu dengan pupuk kandang sebelum dipakai untuk menutup. Pemupukan susulan dapat diberikan lewat lubang pupuk di sebelah tanaman.
Lubang Resapan Biopori Tim Biopori IPB (2007) menjelaskan bahwa biopori adalah lubang-lubang di dalam tanah yang terbentuk akibat aktivitas berbagai organisme di dalamnya seperti cacing, perakaran tanah, rayap dan fauna tanah lainnya. Lubang-lubang yang terbentuk akan terisi udara dan akan menjadi tempat berlalunya air di dalam tanah. Dengan lubang tersebut diharapkan kemampuan sebidang tanah dalam meresapkan air juga akan meningkat sehingga akan memperkecil peluang terjadinya aliran air di permukaan tanah. Jumlah biopori dalam tanah dapat ditingkatkan dengan membuat lubang vertikal ke dalam tanah. Kesinergisan antara lubang vertikal yang dibuat dengan biopori yang terbentuk tersebut kemudian disebut sebagai Lubang Resapan Biopori (LRB). Dipertajabar (2010) menyebutkan bahwa teknik ini mempunyai banyak keunggulan, diantaranya adalah: 1. Terbentuknya biopori-biopori alami oleh aktivitas mikroorganisme tanaman 2. Meningkatkan daya serap tanah terhadap air 3. Menjaga keberadaan air didalam tanah 4. Meningkatkan kesuburan tanah 5. Sebagai tempat dekomposisi sampah organik 6. Menanggulangi banjir pada area lingkungan yang terbatas Sebagai tempat dekomposisi sampah organik, LRB adalah tempat pengomposan praktis di lapang dengan cukup memasukkan sampah organik ke dalamnya dan membiarkannya membusuk akibat aktivitas organisme tanah. Kompos yang terbentuk tersebut dapat dimanfaatkan oleh tanaman sebagai pupuk tambahan yang dapat membantu mengoptimalkan pertumbuhan tanaman itu sendiri. Mulyadi (2008) menyatakan bahwa teknik LRB ini dikembangkan atas dasar prinsip ekohidrologis, yaitu dengan memperbaiki kondisi ekosistem tanah untuk perbaikan fungsi hidrologis ekosistem tersebut. Pemanfaatan sampah organik ke dalam lubang yang kecil dan dalam, ternyata dapat menciptakan habitat yang baik bagi beraneka ragam organisme tanah, khususnya cacing tanah. Studi yang ada menyebutkan bahwa cacing tanah efektif membuat lubang hanya
pada lapisan topsoil (0-25 cm) dan lapisan subsoil (25-50 cm), sedang di bawah itu dan lebih dalam lagi praktis tidak terpengaruh oleh adanya cacing tanah. Dengan asumsi rongga yang ada dalam lubang 30% sampai 40% dari volume sampah yang diisikan ke dalam lubang, diperoleh hasil analisis bahwa pada saat intensitas hujan kecil hampir semua air hujan terserap, tetapi pada saat intensitas hujan lebih besar persentase air yang melimpah lebih besar. Lubang resapan biopori hanya efektif pada jenis tanah sandy clay, dibandingkan jenis tanah clayey silt, organic clay, dan silty clay dengan volume resapan 30% lebih besar daripada tanpa LRB (Mulyadi, 2008). Cara membuatnya yaitu dengan membuat lubang silindris secara vertikal ke dalam tanah dengan diameter 10 cm. Kedalaman kurang lebih 100 cm atau tidak sampai melampaui muka air tanah bila air tanahnya dangkal. Jarak antar lubang antara 50 - 100 cm. Mulut lubang dapat diperkuat dengan semen selebar 2 - 3 cm dengan tebal 2 cm di sekeliling mulut lubang. Lubang kemudian diisi dengan sampah organik yang dapat berasal dari sampah dapur, sisa tanaman, dedaunan atau pangkasan rumput. Sampah tersebut akan menjadi kompos yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk kesuburan tanaman. Tim Biopori IPB (2007) telah membuat rumusan jumlah lubang yang perlu dibuat dapat dihitung dengan persamaan:
Jumlah LRB =
intensitas hujan (mm/jam) x luas bidang kedap (m2) Laju peresapan air per lubang (liter/jam)