KORELASI OFF-FLAVOR DENGAN MORFOLOGI BUAH DARI BEBERAPA VARIETAS PEPAYA (Carica papaya L.)
ANNISA KAMIL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Korelasi Off-flavor dengan Morfologi Buah dari Beberapa Varietas Pepaya (Carica papaya L.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2015 Annisa Kamil NIM F251114051
RINGKASAN ANNISA KAMIL. Korelasi Off-flavor dengan Morfologi Buah dari Beberapa Varietas Pepaya (Carica papaya L.). Dibimbing oleh CHRISTOFORA HANNY WIJAYA, SOBIR, dan DEDE ROBIATUL ADAWIYAH. Off-flavor yang secara alami terdapat pada buah pepaya dapat menurunkan preferensi dan tingkat penerimaan konsumen. Hasil pengembangan varietasvarietas pepaya koleksi Pusat Kajian Hortikultura Tropis Institut Pertanian Bogor (PKHT-IPB) menunjukkan bahwa buah dengan bentuk kecil dan bulat memiliki intensitas off-flavor yang lebih kuat. Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh korelasi antara karakteristik off-flavor; baik sensori maupun senyawa volatil; yang secara alami dimiliki buah pepaya Carisya, Callina, Sukma, Burung, Merah Delima, dan Bangkok dengan morfologi buah pepaya. Penelitian meliputi deskripsi morfologi, deskripsi off-flavor menggunakan analisis deskriptif kuantitatif (QDA), semikuantifikasi senyawa volatil yang diduga menyebabkan off-flavor menggunakan metode ekstraksi headspace HS-SPME dan instrumen GC-MS, selanjutnya dilakukan analisis korelasi antara karakteristik off-flavor dengan morfologi buah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi off-flavor pada buah pepaya paling dipengaruhi oleh adanya stinky-sour odor. Stinky-sour odor memiliki korelasi positif dengan senyawa asam butanoat (r = 0,879) dan asam oktanoat (r = 0,876). Adanya asam oktanoat diduga mampu berinteraksi dengan asam butanoat untuk memberikan persepsi stinky-sour odor pada buah pepaya. Asam oktanoat memiliki korelasi negatif terhadap karakteristik morfologi buah, yaitu berat (r = 0,871), panjang (r = -0,830), dan warna kulit buah saat matang (r = -0,911). Hasil korelasi stinky-sour odor berkorelasi negatif dengan berat (r = -0,836), panjang (r = -0,873), tebal daging (r = -0,887), dan warna kulit buah saat matang (r = -0,838). Konsentrasi asam oktanoat yang tinggi dan karakter stinky-sour odor yang kuat berkaitan erat dengan karakteristik morfologi varietas buah pepaya yang memiliki berat buah tipe kecil (600 gram atau kurang), ukuran buah yang pendek (panjang 16,5 cm atau kurang), daging buah yang tipis (ketebalan kurang dari 3 cm) serta warna kulit varietas buah yang cenderung jingga pada saat matang. Konsentrasi asam butanoat dan asam oktanoat yang paling tinggi, serta karakter stinky-sour odor yang paling kuat dimiliki oleh pepaya Burung dan Carisya. Fenomena korelasi ini dapat digunakan sebagai indikator dalam pemilihan buah pepaya di pasar maupun kriteria seleksi dalam dalam pengembangan varietas unggul, yaitu varietas buah pepaya dengan berat tipe sedang (601-1.600 gram), memiliki daging yang tebal (lebih dari 3 cm) serta kulit matang berwarna kuning. Kata kunci: buah pepaya, korelasi, morfologi, off-flavor
SUMMARY ANNISA KAMIL. Correlation between Off-flavor and Fruit Morphology of Some Papaya (Carica papaya L.) Varieties. Supervised by CHRISTOFORA HANNY WIJAYA, SOBIR, and DEDE ROBIATUL ADAWIYAH. Off-flavor which is naturally present in papaya fruit might decrease the consumer preferences and acceptance. Based on the monitoring result upon papaya varieties developed by the Centre for Tropical Horticulture Study collections at Bogor Agricultural University (CENTROHS-IPB), fruit with small and round shape showed stronger off-flavor intensity. This study aimed to obtain the correlation between off-flavor characteristics; both sensory and volatile compounds; that naturally present in Carisya, Callina, Sukma, Burung, Merah Delima, Bangkok papayas and fruit morphology. The study was consisting of morphology description, off-flavor description using quantitative descriptive analysis (QDA), semiquantification of volatile compounds that suspected led offflavor perception using HS-SPME extraction method and GC-MS instrument, then correlating off-flavor characterizations with fruit morphology. The off-flavor perception of papaya fruit was dominated by stinky-sour odor. Stinky-sour odor had positive correlationship to butanoic acid (r = 0,879) and octanoic acid (r = 0,876). The presence of octanoic acid suspected of being able to interact with butanoic acid to give the perception of stinky-sour odor in the papaya fruit. Octanoic acid had negative correlationship to fruit morphological characters such as weight (r = -0,871), length (r = -0,830), and ripe skin color (r = -0,911). Stinky-sour odor had negative correlationship to weight (r = -0,836), length (r = 0,873), flesh thickness (r = -0,887), and ripe skin color (r = -0,838). High concentration of octanoic acid and strong stinky-sour odor intensity was closely related to the small type of fruit weight (600 g or less), short size fruit (16,5 cm of length or less), thin flesh (thickness less than 3 cm), and papaya fruit variety with orangish ripe skin color. Butanoic acid and octanoic acid concentration as well as stinky-sour odor was most dominant present in Burung and Carisya papayas. This correlation phenomena can be utilized as a recommendation indicators in the selection process of papaya fruits in the marketplace or field selection criteria to develop new superior papaya varieties, i.e. papaya fruit variety with medium weight-type (601-1.600 g), flesh thickness more than 3 cm and yellowish ripe skin color. Keywords: correlation, morphology, off-flavor, papaya fruit
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KORELASI OFF-FLAVOR DENGAN MORFOLOGI BUAH DARI BEBERAPA VARIETAS PEPAYA (Carica papaya L.)
ANNISA KAMIL
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Didah Nur Faridah, STP, MSi
Judul Tesis : Korelasi Off-flavor dengan Morfologi Buah dari Beberapa Varietas Pepaya (Carica papaya L.) Nama : Annisa Kamil NIM : F251114051
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 hingga September 2015 ini ialah flavor, dengan judul Korelasi Off-flavor dengan Morfologi Buah dari Beberapa Jenis Pepaya (Carica papaya L.). Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari doa dan bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ibu Prof Dr Ir Christofora Hanny Wijaya, MAgr selaku dosen ketua komisi pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, bantuan, serta nasihat kepada penulis selama perkuliahan, penelitian, dan penyelesaian tugas akhir. 2. Bapak Prof Dr Ir Sobir, MSi selaku dosen anggota komisi pembimbing yang senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan perhatian, bimbingan, dan bantuan serta nasehat selama penulis melakukan penelitian hingga penyusunan tugas akhir. 3. Ibu Dr Ir Dede Robiatul Adawiyah, MSi selaku dosen anggota komisi pembimbing yang senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan perhatian, bimbingan, dan bantuan serta nasehat selama penulis melakukan penelitian hingga penyusunan tugas akhir. 4. Ibu Dr Didah Nur Faridah, STP, MSi atas kesediaannya untuk menjadi dosen penguji. 5. Bapak Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr selaku Dekan Sekolah Pascasarjana IPB. 6. Ibu Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc selaku ketua Program Studi Ilmu Pangan IPB. 7. Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT-IPB) atas bantuan moril dan materiil yang diberikan kepada penulis selama penelitian di pascasarjana IPB. 8. Bapak Kusuma Darma, SP, MSi beserta Bapak Awang dan Bapak Baesuni dari PKHT-IPB, Bapak Ukat, Bapak Ook, dan Bapak Jani yang telah membantu selama penyediaan sampel dan memberikan saran selama di lapangan. 9. Bapak Ir Bram Kusbiantoro, MSc dan Mbak Desi Arofah, STP dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) atas saran dan nasihatnya selama penulis melakukan penelitian. 10. Seluruh Staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang telah membagi ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan senantiasa bermanfaat. 11. Seluruh teknisi dan laboran di Laboratorium Departemen ITP atas bantuan, saran, dan nasihatnya selama penulis melakukan penelitian. 12. Keluarga tercinta, bapak, (Almarhumah) ibu, mas, adik, beserta seluruh keluarga atas segala perhatian, dukungan, doa, dan kasih sayangnya. 13. Teman-teman IPN dan teman-teman panelis QDA pepaya atas segala partisipasinya sebagai panelis terlatih, kerjasama, doa, dan persahabatannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Oktober 2015 Annisa Kamil
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Botani Pepaya Karakteristik Morfologi Buah Pepaya Tingkat Kematangan dan Cara Pemanenan Buah Pepaya Buah Pepaya sebagai Buah Klimakterik Penanganan Pascapanen Buah Pepaya Off-flavor Buah Pepaya Analisis Off-flavor Analisis Sensori Deskriptif Kuantitatif (QDA) Analisis Senyawa Volatil
3 3 3 4 6 7 8 10 11 12
3 METODE Bahan Alat Prosedur Penelitian Prosedur Analisis Data
13 13 14 14 19
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 20 Deskripsi Morfologi Beberapa Varietas Buah Pepaya 20 Deskripsi Off-flavor Beberapa Varietas Buah Pepaya 21 Semikuantifikasi Senyawa Volatil Penyebab Off-flavor dan Korelasinya terhadap Aroma Off-flavor 23 Korelasi antara Karakteristik Off-flavor terhadap Morfologi Buah Beberapa Varietas Pepaya 26 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
29 29 29
DAFTAR PUSTAKA
29
LAMPIRAN
36
RIWAYAT HIDUP
51
DAFTAR TABEL 1 Deskripsi tingkat kematangan berdasarkan warna kulit buah pepaya dari varietas Maradol Roja 2 Tingkat kematangn buah pepaya berbagai varietas saat puncak laju produksi etilen 3 Senyawa yang diduga penyebab off-flavor pada buah pepaya segar 4 Konsentrasi rasa dasar dalam uji rasa dasar 5 Deskriptor aroma dalam uji identifikasi aroma 6 Konsentrasi rasa dan aroma dalam uji segitiga 7 Konsentrasi larutan R rasa dan aroma dalam pelatihan panelis 8 Konsentrasi larutan R rasa dan aroma dalam pengujian QDA 9 Morfologi buah dari beberapa jenis pepaya 10 Korelasi antara sensori off-flavor dengan konsentrasi relatif senyawa off-flavor 11 Korelasi antara sensori dan konsentrasi relatif senyawa penyebab offflavor dengan morfologi buah pepaya
5 7 9 15 16 16 17 18 20 26 27
DAFTAR GAMBAR 1 Kenampakan visual buah pepaya utuh dan warna daging buah 2 Spider web karakter off-flavor buah pepaya varietas koleksi PKHT-IPB 3 Spider web karakter off-flavor buah pepaya pembanding varietas koleksi PKHT-IPB 4 Grafik perbandingan konsentrasi relatif senyawa off-flavor 5 Biplot karakter sensori off-flavor dan senyawa off-flavor dari enam sampel buah pepaya
21 22 22 24 25
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Kuesioner untuk seleksi awal panelis Sesi pelatihan panelis QDA Terminologi dan deskripsi standar referensi (R) aroma Kuesioner pengujian QDA ANOVA hasil analisis morfologi Identifikasi senyawa volatil PCA hasil analisis sensori off-flavor dan konsentrasi relatif senyawa off-flavor
36 39 39 40 42 45 47
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Flavor merupakan keseluruhan rangsangan yang diterima oleh indera manusia yang selanjutnya ditangkap oleh otak dan diterjemahkan sebagai persepsi flavor; terutama rasa, aroma dan somatosensasi (sensasi iritasi, taktil dan panas) (Reineccius 2006; Jeleń et al. 2012). Buah-buahan tropis memiliki flavor yang khas. Flavor khas buah-buahan tropis merupakan faktor penting preferensi dan penerimaan konsumen (Hadi et al. 2013; Wijaya dan Chen 2013). Pada buah tropis seperti pepaya, persepsi flavor khas yang terbentuk merupakan interaksi kompleks antara gula, asam organik, mineral dan senyawa volatil (aroma) (Wijaya dan Chen 2013). Adanya rasa pahit (Carmen et al. 2011) dan aroma stinky (Ulrich dan Wijaya 2010) menyebabkan tingkat penerimaan konsumen terhadap buah pepaya menurun. Rasa dan aroma yang dapat memberikan persepsi tidak enak disebut dengan off-flavor (Jeleń 2006, Ridgway et al. 2010). Persepsi aroma off-flavor pada buah pepaya diduga karena kontribusi metil butanoat (sweaty), asam butanoat (stinky-sour), asam heksanoat (stuffy-sour sweet), asam oktanoat (cheesy-fatty), asam dekanoat (fatty-waxy) dan 2-metil butanal (stale-green fecal) (MacLeod dan Pieris 1983; Pino et al. 2003; Ulrich dan Wijaya 2010; Pino 2014). Hingga kini masih belum diketahui secara pasti senyawa maupun interaksi antar senyawa yang berkontribusi pada off-flavor buah pepaya (Miyazawa et al. 2009; Chambers dan Koppel 2013). Selain aroma yang khas, preferensi konsumen dalam membeli dan memilih buah pepaya juga dipengaruhi oleh morfologi buah (Serry 2011; Muzdalifah 2012), seperti ukuran, warna kulit dan warna daging buah. Preferensi terhadap ukuran buah berbeda-beda di setiap negara. Di Eropa, preferensi konsumen mengarah pada buah pepaya ukuran kecil atau porsi single dengan berat 300-500 g (CBI 2009; de Oliveira dan Vitória 2011). Pada beberapa negara di Asia; seperti Indonesia (Nasution et al. 2011), Filipina (Carmen et al. 2011) dan Malaysia (Yanty et al. 2014); preferensi konsumen mengarah pada ukuran buah pepaya sedang (600 – 1.000 g). Untuk mengikuti tren pasar pepaya tersebut, dilakukan berbagai kegiatan pemuliaan tanaman dalam pengembangan kualitas buah pepaya. Kualitas buah papaya yang bersifat unggul, yaitu memiliki produktivitas tinggi, cepat berbuah, tahan terhadap serangan hama dan penyakit serta memiliki kualitas sensori yang baik (Suketi et al. 2010a). Salah satu lembaga penelitian dan pengembangan masyarakat yang mengkaji kualitas pepaya di Indonesia adalah Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT)-IPB. Beberapa varietas pepaya unggul yang telah dikembangkan oleh PKHT-IPB, diantaranya Carisya (tipe kecil), Callina (tipe sedang), dan Sukma (tipe besar) (Suketi et al. 2010a). Hasil pengembangan varietas buah pepaya koleksi PKHT-IPB menunjukkan bahwa buah dengan bentuk cenderung kecil dan bulat memiliki intensitas off-flavor yang lebih kuat (Kusuma, komunikasi pribadi). Pada hasil penelitian oleh Ulrich dan Wijaya (2010) dikemukakan bahwa pepaya IPB-3 memiliki tingkat penerimaan yang lebih rendah dibandingkan pepaya IPB-6C. Berdasarkan SK Pelepasan No. 2107/Kpts/SR.120/5/2010 IPB-3 telah dilepas di pasaran dengan nama dagang
2 Carisya, sedangkan IPB-6C dilepas di pasaran dengan nama dagang Sukma menurut SK Pelepasan No. 3509/Kpts/SR.120/10/2010 (Siregar et al. 2013). Tingkat penerimaan paling rendah terdapat pada pepaya Burung yang umumnya memiliki bentuk bulat dan berukuran kecil. Hingga saat ini studi mengenai karakteristik off-flavor pada buah pepaya beserta korelasinya terhadap morfologi belum banyak dikaji. Studi tersebut diperlukan di dalam upaya peningkatan kualitas buah pepaya untuk memperoleh varietas unggul yang dilakukan oleh pemulia tanaman.
Perumusan Masalah Preferensi konsumen dalam memilih buah pepaya dipengaruhi oleh karakteristik morfologi buah dan flavor. Adanya off-flavor dapat menurunkan tingkat penerimaan dan preferensi konsumen terhadap buah pepaya. Di lapangan, buah pepaya yang berukuran kecil biasanya cenderung memiliki tingkat penerimaan yang rendah. Informasi keterkaitan antara morfologi dan off-flavor dibutuhkan dalam proses pengembangan varietas unggul buah pepaya. Penelitian yang mengkaji korelasi antara morfologi dan off-flavor pada beberapa varietas buah pepaya dengan tipe buah yang berbeda menjadi penting untuk dilakukan.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh korelasi antara karakteristik off-flavor beberapa varietas pepaya koleksi PKHT-IPB (Carisya, Callina dan Sukma) beserta pepaya lain yang memiliki bentuk dan ukuran yang mirip dnegan varietas koleksi PKHT-IPB (varietas Merah Delima; serta pepaya Burung dan Bangkok) terhadap morfologi buahnya. Untuk mendapatkan korelasi tersebut dibutuhkan informasi mengenai karakteristik sensori dan senyawa volatil yang diduga memiliki persepsi off-flavor pada buah pepaya. Penelitian ini juga bertujuan untuk memperoleh korelasi antara senyawa off-flavor dengan karakteristik aroma off-flavor.
Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai korelasi antara off-flavor dengan morfologi buahnya, sebagai salah satu pertimbangan dalam proses pemilihan varietas tetua yang akan dikembangkan melalui pemuliaan tanaman agar diperoleh varietas unggul baru dengan kualitas sensori yang diinginkan konsumen, dan dapat digunakan sebagai acuan untuk konsumen saat memilih dan membeli buah pepaya.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA Botani Pepaya Pepaya merupakan tanaman yang dapat tumbuh di daerah tropis dan subtropis. Tanaman pepaya mulai berbunga pada umur tanam 3-4 bulan dan buahnya dapat dipanen 3-6 bulan setelah bunga mekar sempurna, tergantung varietasnya (Chay-Prove et al. 2000). Buah pepaya dapat dipanen setiap 5-10 hari sekali (Sujiprihati dan Suketi 2012). Setiap 2-3 tahun sekali dilakukan regenerasi tanaman pepaya untuk menjaga produktivitas dan kualitas buah pepaya tetap tinggi (Storey 1969; Workneh et al. 2012). Tanaman (pohon) pepaya yang umumnya dibudidayakan adalah pohon dengan bunga hermaprodit (Silva et al. 2007; Workneh et al. 2012). Pada umumnya saat menanam benih pepaya, dalam satu lubang tanam dimasukkan 3 biji sekaligus. Pada masa pembungaan, pohon pepaya betina diseleksi atau dibuang. Tujuan seleksi adalah untuk memilih pohon yang sehat dengan produktivitas yang tinggi (Sujiprihati dan Suketi 2012). Biasanya proses seleksi dilakukan saat pohon berumur kira-kira 6 bulan setelah perkecambahan (Silva et al. 2007; Workneh et al. 2012). Beberapa keuntungan yang diperoleh dari budidaya pohon pepaya hermaprodit, yaitu dalam satu bunga pada satu pohon terdapat alat kelamin jantan maupun betina (bunga hermaprodit) sehingga jenis bunga ini dapat melakukan penyerbukan sendiri, setiap bunga dapat menghasilkan buah sehingga produktivitas lebih tinggi (Ming et al. 2007), serta memiliki kualitas komersil dunia (Workneh et al. 2012). Hasil survey di lapangan menunjukkan bahwa petani pepaya di Indonesia juga lebih memilih membudidayakan pohon pepaya hermaprodit karena mampu menghasilkan buah yang berdaging buah lebih tebal dan rongga buah kecil, sehingga harga jualnya lebih tinggi. Ketebalan daging buah pepaya ditentukan oleh besarnya rongga di dalam buah, buah pepaya betina memiliki rongga yang lebih besar dibandingkan buah hermaprodit (Paull et al. 2008). Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan ketersediaan buah di lapangan maka dalam penelitian ini akan digunakan buah dari pohon pepaya hermaprodit.
Karakteristik Morfologi Buah Pepaya Karakteristik morfologi merupakan ciri-ciri berdasarkan bentuk organ-organ tanaman, baik secara vegetatif maupun generatif, yang sederhana, mudah diamati, murah dan secara cepat dapat digunakan untuk mengidentifikasi varietas tanaman di lapangan (Hadiati et al. 2009). Setiap varietas pepaya memiliki karakteristik morfologi yang berbeda. Deskripsi karakteristik morfologi tanaman pepaya di lapangan dapat menggunakan panduan dari International Union for The Protection of New Varieties of Plants (UPOV 2010). Karakterisasi morfologi ini nantinya dapat digunakan untuk perbaikan kualitas buah pepaya secara genetik melalui kegiatan pemuliaan tanaman (Asudi et al. 2010). Secara umum, buah pepaya dideskripsikan memiliki daging buah tebal, berwarna kekuning-kuningan hingga jingga merah, memiliki rasa manis serta berongga di bagian tengahnya. Rongga buah pepaya berbentuk bintang lima hingga tujuh atau lingkaran (Paull et al. 2008).
4 Bentuk buah pepaya berhubungan erat dengan jenis kelamin bunganya (Paull et al. 2008). Bunga betina hanya dapat menjadi buah jika mengalami penyerbukan eksternal oleh bunga jantan dari tanaman lain. Hal ini karena bunga betina tidak memiliki benang sari. Bunga betina yang telah dibuahi dapat menghasilkan buah dengan bentuk bulat hingga oval/seperti telur dengan tepi yang tidak rata dan bijinya sedikit. Bunga sempurna dapat mengalami penyerbuk sendiri dan menghasilkan buah dengan bentuk silindris hingga seperti buah pear. Peristiwa ini tidak terjadi pada bunga jantan (masculus) yang tidak memiliki bakal buah sehingga tidak dapat menghasilkan buah (AOGTR 2003; Paull et al. 2008).
Tingkat Kematangan dan Cara Pemanenan Buah Pepaya Pemanenan merupakan upaya memisahkan bagian tanaman yang memiliki nilai ekonomi dari tanaman induknya (Zulkarnain 2009). Buah-buah klimakterik (seperti pisang dan pepaya) dapat dipanen menjelang masuk umur matang fisiologisnya, dan diperam selama beberapa hari sebelum dijual atau dikonsumsi dalam kondisi yang matang (Zulkarnain 2009). Menurut hasil penelitian Suketi et al. (2010a), pemanenan buah pepaya berdasarkan persentase perubahan warna kulit merupakan kriteria yang paling mudah diamati di lapangan dibandingkan menggunakan kriteria umur panen setelah antesis (bunga mekar sempurna). Warna kulit buah pepaya dipengaruhi oleh varietas dan suhu, namun tidak secara signifikan dipengaruhi oleh kondisi tanah (Basulto et al. 2009). Selain itu, perubahan warna kulit buah pepaya dipengaruhi oleh keberadaan etilen sebagai stimulan (Saltveit 1999; Moya-León et al. 2004). Perubahan warna kulit buah pepaya sejalan dengan proses respirasi dan produksi etilennya (Zhang dan Paull 1990). Tingkat kematangan buah dapat berbeda-beda walaupun dalam hitungan hari setelah antesis yang sama, sehingga kualitas buah pepaya dapat berbeda pada umur yang sama (Suketi et al. 2010b). Maka dari itu, tingkat kematangan buah pepaya saat panen paling baik ditentukan melalui perubahan warna kulit yang terjadi, yaitu munculnya warna kuning dari bagian ujung buah atau di antara geligirnya hingga pangkal buah (Basulto et al. 2009). Hal ini dilakukan agar buah pepaya yang dipanen memiliki tingkat kematangan yang sama. Abeywickrama et al. (2012) menyatakan bahwa tingkat kematangan untuk pepaya ada enam, yaitu munculnya sedikit semburat kuning pada kulit buah (tingkat I), warna kuning 25-49% (tingkat II), warna kuning 50-74% (tingkat III), warna kuning lebih dari 75% (tingkat IV), warna kuning penuh 100% (tingkat V) dan lewat masak (over ripe). Sobir (2009) menjelaskan lebih lanjut mengenai ciri-ciri empat tingkat (stadia) kematangan pepaya yang utama. Buah tua (mature green) memiliki warna kulit buah yang masih hijau, getah buah sudah banyak berkurang dan lebih encer, daging buah sudah berubah warna tetapi masih terlalu keras untuk dapat dikonsumsi. Buah mengkal (firm ripe) memiliki kulit buah yang mulai menguning (terutama bagian ujung buah), warna daging buah sudah berubah tetapi masih keras. Buah masak (ripe) memiliki kulit buah yang berwarna kuning/kuning kemerahan, daging buah berwarna kuning/jingga/merah dan lunak, buah sudah dapat dikonsumsi dan memiliki rasa manis, segar beraroma, segar dan berair banyak. Buah lewat masak (over ripe) merupakan buah yang sudah terlalu masak, beberapa bagian kulit buah menunjukkan bercak penyakit buah dan ditumbuhi
5 cendawan, daging buah sudah terlalu lunak dan tidak jarang yang memiliki rasa pahit. Ilustrasi perubahan warna kulit dan daging buah pepaya selama periode pematangan ditunjukkan pada Tabel 1. Abu-Goukh et al. (2010) mengemukakan bahwa buah pepaya lebih baik dipanen pada 5-10 hari setelah mencapai matang fisiologis, yaitu saat berat dan ukuran buah mencapai maksimum, tekstur masih keras, berada pada awal fase klimakterik, kandungan total padatan terlarut dan gula mulai melonjak serta senyawa fenolik dan keasaman masih cukup rendah. Menurut Manenoi et al. (2007), pemanenan buah biasanya dilakukan saat proporsi warna kuning pada kulit buah minimal mencapai 25%. Jika pemetikan buah dilakukan sebelum tingkat kematangan 25%, maka proses pemasakan buah pepaya tidak akan sempurna karena adanya penurunan laju respirasi dan penghambatan produksi etilen pada saat pemeraman. Tabel 1 Deskripsi tingkat kematangan berdasarkan warna kulit buah pepaya dari varietas Maradol Roja Tingkat Gambar Deskripsi Kematangan - Warna kulit hijau pada seluruh permukaan buah. - Daging buah berwana putih dan teksturnya sangat keras. G - Biji sudah terbentuk namun masih berwarna putih atau sedikit gelap.
1
2
- Warna kulit hijau dengan sedikit semburat kuning. - Terdapat warna jingga pada beberapa area daging buah. - Daging buah masih sangat keras dan mengandung banyak getah. - Semburat kuning pada kulit buah semakin jelas terlihat. - Daging di sekitar rongga buah berwarna jingga, sedangkan area dekat kulit berwarna putih sedikit kehijaun. - Tekstur daging buah masih keras dan mengandung banyak getah.
6
3
- Terdapat lebih dari satu semburat kuning pada kulit buah. - Daging buah hampir berwarna jingga seluruhnya, kecuali area yang paling dekat dengan kulit. - Tekstur daging masih keras, namun jumlah getah mulai berkurang.
4
- Warna kulit oranye dengan sedikit area berwarna hijau yang samar. - Daging buah berwarna jingga, kecuali daerah pangkal buah. - Tekstur lebih empuk dari stadia 3, namun masih terlalu keras untuk dikonsumsi. - Jumlah getah sedikit.
5
6
- Kulit buah berwarna jingga (warna khas varietas Maradol). - Tekstur buah empuk dan sesuai untuk konsumsi. - Sudah tidak mengandung getah.
- Warna oranye pada kulit buah lebih jelas daripada stadia 5. - Tekstur buah lebih empuk dari stadia 5, namun masih sesuai untuk konsumsi.
Sumber: Basulto et al. (2009)
Buah Pepaya sebagai Buah Klimakterik Buah-buahan dapat dikelompokkan berdasarkan perubahan relatif pada aktivitas respirasi di dalam jaringan buahnya, yaitu buah klimakterik dan nonklimakterik (Zulkarnain 2009). Buah pepaya merupakan buah klimakterik. Klimakterik merupakan kondisi saat buah mengalami laju respirasi yang meningkat secara tiba-tiba dan tajam selama periode pematangan hingga pada awal senesen (Paull 1993; Bron dan Jacomino 2006; Workneh et al. 2012). Selama fase klimakterik laju respirasi dan produksi etilen menujukkan pola yang khas (MoyaLeón et al. 2004). Buah non-klimakterik tidak mengalami peristiwa tersebut. Umumnya pada periode klimakterik (pematangan), buah mengalami perubahan warna kulit dan daging, rasa, tekstur dan aroma yang optimum (MoyaLeón et al. 2004; Bron dan Jacomino 2006). Selama periode pematangan buah terjadi konversi dari pati menjadi gula dan proses respirasi klimakterik di dalam
7 buah meningkat sehingga buah menjadi lebih manis dan lunak saat matang (Zulkarnain 2009). Hal ini sejalan dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Reineccius (2006), yaitu peristiwa pemecahan senyawa makromolekul menjadi senyawa yang lebih sederhana terjadi pada saat peningkatan klimakterik respirasi. Pembentukan flavor buah-buahan paling optimum terjadi saat fase pematangan pasca klimakterik (Reineccius 2006), yaitu saat terjadi puncak laju produksi etilen (Balbontín et al. 2007; Fuggate et al. 2010). Saltveit (1999) menjelaskan bahwa keberadaan etilen dalam konsentrasi yang sangat rendah mampu menstimulasi kembali sintesis etilen selama pematangan buah (autostimulan), sintesis pigmen, perubahan warna pada kulit, germinasi biji, pembentukan akar adventif, respirasi, metabolisme fenilpropanoid, absisi dan pembusukan. Lama pencapaian puncak respirasi dan produksi etilen berbeda-beda, tergantung jenis buah dan varietasnya. Tabel 2 menunjukkan kondisi kematangan beberapa varietas buah pepaya saat mencapai puncak laju produksi etilen pada berbagai kondisi penyimpanan. Hingga saat ini belum terdapat data mengenai pola respirasi maupun produksi etilen dari pepaya varietas IPB, maupun varietas Merah Delima, pepaya Bangkok dan Burung. Berdasarkan Tabel 2, maka dapat diduga bahwa pembentukan flavor buah pepaya optimum terjadi pada saat tingkat kematangan sekitar 85-90%. Tabel 2 Tingkat kematangan buah pepaya berbagai varietas saat terjadi puncak laju produksi etilen Varietas Kapoho Sunrise Rainbow Maradol Roja
Kondisi penyimpanan T: 22±1°C T: 22°C T: 23°C, RH: 70%
Tingkat kematangan saat puncak produksi etilen 85% 85% >90% Stadia 5*
Referensi 1
1 2 3
* Ilustrasi terdapat pada Tabel 1 (1) Zhang dan Paul (1990), (2) Manenoi et al. (2007), (3) Basulto et al. (2009)
Penanganan Pascapanen Buah Pepaya Buah pepaya merupakan buah yang memiliki kadar air yang tinggi (86-88%, basis basah) dan kandungan nutrisi yang beragam (protein, mineral, vitamin A, vitamin C, vitamin B1 dan B2) (Suketi et al. 2010a). Hal tersebut menyebabkan buah pepaya sangat rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh fungi (Sankat dan Maharaj 1997). Fungi yang paling sering menyerang buah pepaya, baik selama pertumbuhan buah di lapangan maupun pascapanen, adalah Colletotrichum gloeosporioides dan menyebabkan penyakit antraknosa (Sivakumar et al. 2002; Hafsah et al. 2007). Menurut hasil penelitian Hamim et al. (2014), sejak bulan November 2012 hingga bulan Mei 2013 kehilangan pascapanen buah pepaya di pasar-pasar Kota Mymensingh (India) akibat penyakit antraknosa mencapai 46,11%. Pada buah pepaya varietas Sekaki, serangan oleh penyakit antraknosa dapat terjadi hingga lebih dari 90% (Rahman et al. 2008). Infeksi fungi C. gloeosporioides pada pepaya mulai terjadi saat awal tahap perkembangan buah, namun patogen tersebut dalam bentuk dorman hingga buah pepaya mencapai fase klimakterik (Dickman dan Alvarez 1983). Gejala penyakit
8 antraknosa biasanya mulai tampak buah pepaya saat buah pepaya mencapai tingkat kematangan 25% atau lebih (Alvarez dan Nishijima 1987). Gejala yang ditimbulkan oleh penyakit antraknosa yaitu pada buah muda berbentuk luka kecil yang ditandai dengan adanya getah keluar dan mengental, sedangkan pada buah menjelang masak ditandai dengan bulatan kecil berwarna cokelat gelap serta bulatan akan semakin membesar dan busuk cekung ke arah dalam buah sejalan dengan tingkat kematangan buah yang semakin tinggi (Sujiprihati dan Suketi 2012). Sodium bikarbonat selain digunakan sebagai bahan tambahan pangan (soda kue), juga dapat digunakan sebagai alternatif pengganti fungisida pada penanganan pascapanen buah pepaya (Hasan et al. 2012). Sodium bikarbonat sebesar 2% (b/v) diketahui memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan miselium dan germinasi spora dari C. gloeosporioides (Sivakumar et al. 2002; Gamagae et al. 2004), sehingga dapat menurunkan resiko terjadinya kerusakan buah dan tingkat keparahan dari kerusakan akibat penyakit antraknosa hingga 60% (Hasan et al. 2012). Penghambatan gejala yang disebabkan oleh C. gloeosporioides menggunakan sodium bikarbonat 2% yang diinkorporasikan ke dalam larutan lilin untuk pelilinan buah dapat lebih efektif jika dikombinasikan dengan perlakuan suhu rendah (13,5°C) selama penyimpanan (Sivakumar et al. 2002). Penanganan pascapanen buah pepaya dalam penelitian ini dilakukan dengan cara direndam menggunakan larutan sodium bikarbonat 2% tanpa proses pelilinan, karena pelilinan buah memiliki tahapan proses yang cukup rumit. Padmanaban et al. (2014) menjelaskan bahwa selama penyimpanan suhu rendah, buah pepaya tetap melakukan respirasi dan dapat mengalami kehilangan air karena kelembaban relatif lingkungan penyimpanan cenderung lebih rendah dibandingkan kondisi normal. Laju respirasi yang tinggi dapat menstimulasi peningkatan laju perubahan fisikokimia di dalam buah pepaya, sehingga dapat menyebabkan perubahan kualitas sensorinya. Untuk meminimalisir perubahan kualitas sensori dapat digunakan perlakuan menggunakan kemasan vakum. Buah pepaya pada tingkat kematangan 25% yang disimpan menggunakan kemasan vakum pada suhu 20°C memiliki umur simpan hingga 4 minggu dan memiliki kualitas sensori yang tidak berbeda dengan buah segarnya. Pada penelitian ini buah utuh dikemas vakum dan disimpan pada suhu rendah (kondisi suhu pendingin saat penelitian berkisar antara 13-15°C) hingga maksimal 4 hari untuk menghindari kerusakan buah dan perubahan kualitas sensori.
Off-flavor Buah Pepaya Pada buah-buahan, flavor, terutama rasa dan aroma, merupakan faktor penting persepsi dan peneriman konsumen (Hadi et al. 2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi dan persepsi flavor buah-buahan, antara lain genetik atau varietas (Fuggate et al. 2010; Wijaya dan Chen 2013), kondisi lingkungan dan teknik budidaya (kandungan nutrisi tanah, kecukupan air dan suhu), tingkat kematangan, kondisi penyimpanan setelah panen (suhu dan kelembaban) (Reineccius 2006), bentuk sampel buah (buah utuh, potongan atau campuran jus) (Rivera-López et al. 2005), dan metode analisis yang digunakan (Hui 2010). Studi mengenai komposisi senyawa volatil yang bertanggung jawab atas terbentuknya karakter aroma buah pepaya berbagai varietas telah banyak dilakukan,
9 seperti varietas Maradol (Pino et al. 2003), Maradol Roja (Almora et al. 2004); Pluk Mai Lie (Fuggate et al. 2010); Carisya, Sukma, Bangkok, Burung dan Brazil (Ulrich dan Wijaya 2010); serta Red Maradol (Pino 2014). Terdapat sebanyak 166 senyawa volatil yang bertanggung jawab terhadap karakteristik aroma pada buah pepaya varietas Maradol, namun hanya 35 senyawa yang merupakan senyawa aroma aktif (Pino et al. 2003). Senyawa volatil yang dominan pada pepaya terdiri dari kelompok ester, alkohol, hidrokarbon, aldehid, lakton dan monoterpen (Pino et al. 2003; Almora et al. 2004). Keberadaan off-flavor sangat mempengaruhi kesukaan konsumen terhadap buah pepaya (Chan et al. 1973; Beaulieu 2006; Jeleń 2006; Ulrich dan Wijaya 2010). Off-flavor merupakan aroma atau rasa tidak enak akibat perubahan internal pangan yang tidak diinginkan (Baigrie 2003). Beberapa penyebab terbentuknya offflavor dalam bahan pangan antara lain adanya senyawa-senyawa flavor yang secara natural ada di dalam bahan pangan, oksidasi lipid, dekomposisi enzimatis, terdapat senyawa-senyawa hasil radiasi saat sterilisasi dengan dosis yang berlebih, dan proses pengolahan yang kurang tepat (Wilkes et al. 2000). Tabel 3 Senyawa yang diduga penyebab off-flavor pada buah pepaya segar Ambang Deskripsi Berat Senyawa deteksi Struktur molekulb aroma molekulb (mg/L)a Stale green, 2-Metil butanal 0,001 86,1323 fecal1 Rancid butter, 0,001-0,043 102,1317 1 sweaty ; Metil butanoat intense fruity2; fruity, cheese3
Ttitik didih (°C)b 93 102,8
Asam butanoat Stinky4; sour3
0,24-4,8
88,1051
164
Asam heksanoat
0,093-10
116,1583
205
0,91-19
144,2114
239
2,2-102
172,2646
268
Stuffy, sour sweet3 Waxy, dirty, Asam oktanoat sweaty, cheesy fatty 6 Asam dekanoat Fatty-waxy5 a
Ambang deteksi senyawa murni dalam air diperoleh dari Burdock (2010) dan http://www.leffingwell.com/odorthre.htm b Profil senyawa diperoleh dari http://www.chemspider.com/ Deskripsi aroma diperoleh dari: 1MacLeod dan Pieris (1983), 2Pino (2014), 3Larsen dan Poll (1992), 4 Ulrich dan Wijaya (2010), 5Pino et al. (2003), 6Burdock (2010)
Hingga saat ini studi yang mempelajari secara khusus senyawa penyebab offflavor pada pepaya masih terbatas, yaitu pada puree pepaya varietas Solo (Chan et al. 1973). Puree pepaya yang diolah menggunakan metode komersial memiliki offflavor dengan deskripsi sulfury, butyric, acrid, pungent, sour, amine-like dan bitter. Off-flavor tersebut diduga karena keberadaan beberapa senyawa asam lemak (asam butirat, pentanoat, heksanoat, heptanoat, oktanoat, nonanoat dan dekanoat) beserta metil esternya. Senyawa off-flavor ini muncul akibat perubahan enzimatis dan mikrobiologis saat terjadi kerusakan jaringan daging buah selama proses
10 pengolahan menjadi puree. Waghmare dan Annapure (2013) menyebutkan bahwa kerusakan jaringan buah pepaya pada saat persiapan buah potong menyebabkan peningkatan laju repirasi dan produksi etilen, serta sintesis metabolit sekunder yang berkontribusi pada terbentuknya off-flavor. Beberapa studi profil flavor buah pepaya segar juga telah menduga adanya senyawa penyebab off-flavor. Senyawa tersebut berada secara natural di dalam buah pepaya segar. Hingga kini masih belum diketahui dengan pasti senyawa maupun interaksi antar senyawa yang menyebabkan off-flavor pada buah pepaya. MacLeod dan Pieris (1983) menyebutkan bahwa metil butanoat (deskripsi aroma rancid butter, sweaty) bersama-sama dengan 2-metil butanal (stale green, fecal) berkontribusi terhadap aroma sweaty pada pepaya Sri Lanka yang diduga sebagai off-flavor. Ulrich dan Wijaya (2010) menduga bahwa aroma tidak enak pada varietas buah pepaya segar yang diamati (varietas Carisya dan Sukma, serta pepaya Bangkok, Burung, dan Brazil) disebabkan oleh kontribusi asam butanoat. Asam butanoat diketahui dominan terdapat pada buah pepaya Burung. Pepaya Burung merupakan pepaya yang tumbuh dan berbuah dengan sendirinya tanpa dilakukan teknik budidaya (Ukat dan Odi, komunikasi pribadi). Berdasarkan telaah dari beberapa studi tersebut, maka dipilih beberapa senyawa yang secara natural berada di dalam buah pepaya segar dan diduga berkontribusi terhadap pembentukan off-flavor. Tabel 3 merupakan karakteristik beberapa senyawa yang diduga off-flavor pada buah pepaya segar.
Analisis Off-flavor Umumnya, senyawa yang bertanggung jawab terhadap persepsi off-flavor pada bahan pangan terdapat dalam jumlah yang sangat rendah (Wilkes et al. 2000; Baigrie 2003; Ridgway et al. 2010), hingga mencapai ng/g (Ridgway et al. 2010), dan bersifat mudah menguap (volatil) (Ridgway et al. 2010). Off-flavor biasanya merupakan interaksi kompleks antara dua senyawa atau lebih (Ridgway et al. 2010). Baigrie (2003) dan Ridgway et al. (2010) menjelaskan bahwa untuk mengidentifikasi off-flavor perlu dilakukan dua tahap analisis, yaitu analisis sensori dan analisis senyawa volatil menggunakan instrumen kromatografi. Analisis sensori yang dapat digunakan (Baigrie 2003; Ridgway et al. 2010) antara lain uji pembedaan (perbandingan berpasangan, duo-trio dan segitiga), deskriptif kuantitatif (termasuk deskriptif sederhana, profiling, time-intensity) dan hedonik (preferensi dan penerimaan). Data yang diperoleh dari analisis sensori bermanfaat sebagai indikasi awal off-flavor pada sampel untuk selanjutnya dilakukan analisis kromatografi (Ridgway et al. 2010). Dalam penelitian ini akan digunakan analisis sensori deskriptif kuantitatif (QDA). Dalam analisis senyawa volatil diperlukan empat tahap, yaitu ekstraksi/isolasi dengan atau tanpa pemekatan, identifikasi senyawa volatil menggunakan kromatografi gas (GC) dan kuantifikasi menggunakan senyawa standar (Hui 2010; Ridgway et al. 2010). Sebelum melakukan analisis senyawa volatil suatu bahan pangan, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan (Hui 2010). Senyawa volatil bahan pangan biasanya terdapat dalam konsentrasi yang rendah dalam jumlah sampel yang besar. Suatu fraksi aroma umumnya terdiri dari sejumlah besar senyawa yang memiliki sifat kimia dan berat molekul yang berbeda dalam
11 konsentrasi yang berbeda-beda. Tidak terdapat hubungan langsung antara interaksi antar senyawa dalam suatu fraksi aroma dengan variabilitas ambang deteksi sensori dari setiap senyawa tersebut. Analisis senyawa volatil penyebab off-flavor pada penelitian ini dilakukan menggunakan kromatografi gas-spektrofotometri massa (GC-MS).
Analisis Sensori Deskriptif Kuantitatif (QDA) QDA merupakan metode analisis sensori yang didasarkan pada kemampuan panelis terlatih dalam mengidentifikasi dan menentukan intensitas atribut suatu produk yang diuji untuk menghasilkan deskripsi produk secara kuantitatif yang dapat digunakan untuk memperoleh profil sensori suatu produk atau membandingkan profil sensori antar produk menggunakan analisis statistik (Chapman et al. 2001). Atribut sensori yang diuji adalah seluruh atribut sensori produk, seperti kenampakan, aroma, rasa, tekstur, after taste atau flavor. Informasi yang diperoleh dari QDA dapat digunakan untuk pengembangan produk baru, memperbaiki produk atau proses yang sudah ada atau pengendalian mutu rutin (Carpenter et al. 2000). Untuk melakukan QDA diperlukan panelis terlatih sebanyak 10-12 orang. Untuk mendapatkan panelis terlatih, terdapat serangkaian tahap yang harus dilalui, yaitu tahap seleksi panelis, pelatihan panelis, evaluasi sensori, analisis data dan interpretasi hasil (ASTM MNL-13 1992). Seleksi panelis dimulai dengan menyeleksi calon panelis sebanyak 25 atau lebih untuk mendapatkan 60% kandidat (ASTM MNL-13 1992). Tahap seleksi terdiri dari uji rasa dasar, identifikasi aroma dan uji segitiga. Panelis yang terpilih adalah yang mampu membedakan atau mendiskriminasikan atribut sensori produk yang diuji dengan baik dan memiliki sensitivitas terhadap intensitas suatu atribut sensori dengan cukup baik, yaitu dengan cara melihat ketepatan panelis saat pelatihan menggunakan seri konsentrasi yang telah diketahui skornya. Rincian tahapan seleksi panelis QDA dijelaskan pada ASTM STP 758 (1981). Pelatihan panelis dilakukan dengan cara pemberian instruksi mengenai konsep pengujian, tujuan dan pendekatan untuk QDA kemudian diberikan latihan untuk mengukur intensitas atribut sensorinya. Pelatihan panelis idealnya dilakukan sebanyak total waktu minimal 10-15 jam (Murray et al. 2001) dengan intensitas waktu 1-2 jam setiap pelatihan (ASTM STP 758 1981). Pengujian QDA dilakukan pada skala garis tak terstruktur sepanjang 15 cm untuk menurunkan bias dari setiap panelis. Untuk memudahkan proses komputasi dan perhitungan statistik, maka skala 0-15 cm dikonversi ke skala 0-60 (ASTM MNL-13). Data QDA yang diperoleh dapat dilakukan analisis statistik multivariat dan umumnya data akan ditampilkan dalam bentuk spider web atau plot komponen utama (PCA) (Murray et al. 2001). Analisis PCA dilakukan untuk mereduksi dimensi suatu data tanpa mengurangi karakteristik data tersebut secara signifikan yang diwakili dalam bentuk komponen utama (PC) (Kohler dan Luniak 2005).
12 Analisis Senyawa Volatil Metode Ekstraksi Senyawa-senyawa volatil suatu bahan pangan terdistribusi di dalam matriksnya, sehingga untuk mendapatkan senyawa volatil tersebut diperlukan tahap isolasi atau ekstraksi (Hui 2010). Metode ekstraksi yang biasa digunakan untuk studi off-flavor atau senyawa yang keberadaannya dalam bahan pangan terdapat dalam konsentrasi yang sangat rendah adalah ekstrasi cair-cair (LLE), headspace (statis/kesetimbangan dan dinamis) (Wilkes et al. 2000; Baigrie 2003), solid-phase microextraction (SPME) (Jeleń 2006), distilasi uap dan SDE, desorpsi termal, stirbar sorptive extraction (SBSE) (Baigrie 2003); purge and trap (Wilkes et al. 2000). HS-SPME merupakan metode ekstraksi yang cepat dan sangat potensial dalam analisis senyawa volatil dengan ambang deteksi sangat rendah sekalipun, termasuk untuk esktraksi off-flavor (Hook et al. 2002; Boutou dan Chatonnet 2007; Ridgway et al. 2010). SPME diketahui memiliki limit deteksi hingga part per trilion (ppt) terhadap senyawa volatil hingga semi-volatil yang memiliki titik didih antara 0-150 °C (Wilkes et al. 2000). Selain itu, metode ini mudah dilakukan, sederhana, membutuhkan waktu preparasi yang singkat (15-30 menit), tidak memerlukan tahap pemekatan sehingga tidak memerlukan pelarut organik dan murah (Hui 2010). Ridgway et al. (2010) mengatakan bahwa metode ekstraksi SPME dapat meningkatkan sensitivitas dan selektivitas untuk analisis beberapa senyawa volatil, jika dibandingkan dengan metode ekstraksi pelarut dan headspace. Pada HSSPME, fiber dipaparkan pada sampel dalam sebuah botol vial khusus berisi sampel, kemudian dipanaskan pada suhu rendah (umumnya 30-40°C) hingga tercapai kesetimbangan senyawa volatil antara headspace dan fiber SPME (Vas dan Vékey 2004; Pino 2014). Untuk mempercepat pencapaian kondisi kesetimbangan pada headspace sampel, maka dapat dilakukan modifikasi pada sampel dengan cara menambahkan garam NaCl (Lambropoulou dan Albanis 2001; Vas dan Vékey 2004). Penambahan garam NaCl ke dalam sampel dapat memberikan efek saltingout, sehingga senyawa yang dapat memberikan persepsi aroma pada sampel lebih mudah menguap dan berkumpul di bagian headspace pada saat dilakukan proses ekstraksi (Lambropoulou dan Albanis 2001). Hal yang perlu diperhatikan dalam analisis menggunakan HS-SPME adalah kondisi ekstraksi dan komposisi matriks. Jika terkandung lemak dalam jumlah tinggi pada sampel akan dapat menurunkan sensitivitas SPME. Penggunaan standar internal yang dilabel atau metode penambahan standar pada sampel diperlukan untuk kepentingan kuantifikasi yang akurat (Ridgway et al. 2010). Dalam metode ekstraksi SPME juga diperlukan fiber untuk memperoleh senyawa volatil sampel. Beberapa fiber yang dapat digunakan telah dijelaskan oleh Vas dan Vékey (2004). Jenis fiber yang memberikan respon yang paling baik untuk sampel buah pepaya segar maupun buah segar lainnya adalah DVB/CAR/PDMS (Jeleń et al. 2012; Pino 2014). Vas dan Vékey (2004) menjelaskan bahwa jenis fiber DVB/CAR/PDMS memiliki ketebalan 50/30 μm dan sangat ideal untuk senyawa dengan kisaran polaritas yang sangat luas, yaitu senyawa C2-C20.
13 Identifikasi Senyawa Volatil Instrumen yang umum digunakan untuk analisis senyawa volatil adalah GCMS atau kromatografi gas-spektrofotometri massa-olfaktometri (GC-MS-O) (Hui 2010). GC merupakan teknik yang ideal untuk analisis aroma karena memiliki tingkat separasi yang sangat baik dan sensitivitas deteksi yang baik (limit deteksi hingga picogram) (Hui 2010). Pada penelitian ini dilakukan analisis senyawa volatil menggunakan GC-MS. Prinsip kerja GC-MS adalah sampel dipanaskan menggunakan oven hingga berbentuk gas dan senyawa-senyawa yang ada pada sampel dipisahkan berdasarkan partisi diantara fase gerak (gas pembawa) dan fase diam (kolom), selanjutnya molekul senyawa akan ditembak dengan elektron berenergi tinggi sehingga molekul mengalami atomisasi dan ionisasi lalu terpecah menjadi fragmen-fragmen ion. Pecahan fragmen ini akan dideteksi oleh detektor yang ada pada MS dan direkam dalam rekorder. Hasil dari deteksi MS disebut kromatogram spektra massa. Melalui analisis GC-MS dapat diketahui berat molekul, struktur kimia, dan rumus molekul suatu senyawa. Identifikasi senyawa volatil dilakukan dengan membandingkan spektra massa senyawa yang terdeteksi dengan library database yang diperkuat dengan perbandingan data Linier Retention Index (LRI) senyawa target pada literatur-literatur yang telah diterbitkan sebelumnya (Rouseff dan Goodner 2011, Reineccius 2006).
3 METODE Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah pepaya varietas Carisya, Callina, Sukma, Merah Delima, serta pepaya Burung dan Bangkok yang berasal dari pohon hermaprodit dengan tingkat kematangan saat panen sebesar 25-30%. Buah pepaya varietas Carisya dipanen dari kebun percobaan IPB, Tajur (Kota Bogor); varietas Sukma dari kebun percobaan IPB, Pasir Kuda (Kota Bogor); varietas Callina dari kebun petani binaan PKHT-IPB di Desa Rancabungur, Kecamatan Semplak (Kabupaten Bogor); varietas Merah Delima dari kebun petani di Desa Nagrak, Kecamatan Cisaat (Kabupaten Sukabumi); sedangkan pepaya Bangkok dan Burung dari kebun petani di Desa Dramaga Tanjakan, Kecamatan Dramaga (Kabupaten Bogor). Lokasi pemanenan berada pada kisaran ketinggian 250-450 m dpl. Pemanenan dilakukan pada bulan Desember 2014 dengan bantuan tenaga ahli lapangan. Bahan kimia yang digunakan antara lain natrium bikarbonat; sukrosa dan asam sitrat dari RZBC Group (Jepang); kafein dari Shiratori Pharmaceutical Co, Ltd (Jepang); NaCl dari Tomita Pharmaceutical Co, Ltd (Jepang); deskriptor aroma green, fruity, rancid, nutty, roasted, milky, peppermint dan orange dari PT. Mane (Indonesia), cinnamon dan sweet dari PT. Sensient Technologies (Indonesia); standar flavor 2-metil butanal, metil butanoat, asam dekanoat dari PT. Firmenich (Indonesia) dan asam butanoat dari PT. Ogawa (Indonesia); propilen glikol dari PT. Brataco Chemika (Indonesia); NaCl dari OXOID; standar internal GC-MS 1,4diklorobenzen dari Merck (Jerman); pelarut methanol dari Merck (Jerman); serta standar n-alkana (C8-C23) dari Sigma-Aldrich.
14 Alat Peralatan utama yang digunakan adalah Kromameter Minolta CR-310, botol vial kapasitas 20 ml dengan tutup ulir berlapis PTFE, instrumen SPME Supelco dengan fiber DVB/CAR/PDMS dengan ketebalan 50/30 μm, kertas saring Whatman No.1, micro-stirrer dan instrumen GC-MS Agilent Technologies, Inc (GC 7890A dan 5975C Inert XL EI/CI MSD) dengan kolom polar (HP-INNOWAX dengan diameter dalam 0,25 mm; panjang 60 m; ketebalan 0,25 µm).
Prosedur Penelitian Pemanenan dan Penanganan Sampel Buah Masing-masing buah pepaya dipanen pada tingkat kematangan 25-30% (warna kulit semburat kuning) menggunakan pisau. Sortasi buah dilakukan di lapangan dengan memilih buah berbentuk dan berukuran seragam, serta bebas cacat. Proses pemanenan buah pepaya didampingi oleh teknisi lapangan. Buah pepaya yang telah dipanen sesegera mungkin diangkut menuju laboratorium. Untuk menghindari kerusakan buah selama transportasi dari lapangan ke laboratorium, maka buah pepaya dikemas menggunakan koran dan dimasukkan ke dalam kerdus. Buah pepaya dicuci menggunakan air sabun dan dibilas dengan air mengalir. Untuk menghambat germinasi spora dari mikroba penyebab penyakit antraknosa yang terbawa dari lapangan, buah pepaya direndam dalam larutan natrium bikarbonat 2% selama ±5 menit dan dikeringanginkan. Setelah dicuci, buah diperam secara alami pada suhu ruang hingga mencapai tingkat kematangan 85-90%. Suhu ruangan pada saat pemeraman dilakukan berkisar antara 27,5-30,1°C dengan kelembaban relatif sebesar 56-79%. Untuk mempertahankan kualitas buah hingga pengujian, buah utuh dikemas vakum dan disimpan pada suhu rendah (kondisi suhu pendingin saat penelitian berkisar antara 13-15°C) hingga maksimal 4 hari. Analisis Morfologi Buah Analisis morfologi buah dilakukan sesuai dengan panduan karakterisasi buah pepaya dari International Union for The Protection of New Varieties of Plants (UPOV 2010). Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 6 buah untuk masingmasing varietas pepaya. Parameter yang dianalisis merupakan parameter yang bersifat kuantitatif, yaitu berat, panjang, diameter, tebal daging, warna kulit dan daging buah saat matang. Warna kulit dan daging buah matang diukur menggunakan Kromameter Minolta CR-310. Data warna yang diperoleh berupa nilai CIE L*a*b*, selanjutnya dikonversi ke dalam nilai °Hue (warna sebenarnya atau warna kromatik). Rumus: °Hue = arctan (b*/a*) Nilai °Hue sebesar 0° berarti kulit dan daging sampel berwarna merah keunguan, 90° berwarna kuning, 180° berwarna biru kehijauan dan 270° berwarna biru (Sancho et al. 2010). Analisis Sensori Off-flavor Analisis sensori off-flavor pada buah pepaya dilakukan menggunakan metode analisis deskriptif kuantitatif (Quantitative Descriptive Analysis atau QDA).
15 Tahapan analisis sensori QDA, antara lain seleksi panelis, pelatihan panelis dan pengujian QDA. Tahap seleksi dan pelatihan panelis dilakukan sesuai ASTM STP 758 (1981), sedangkan tahap pengujian QDA dilakukan sesuai ASTM MNL-13 (1992). Seleksi Panelis Tahap seleksi meliputi seleksi kuesioner, uji rasa dasar, uji identifikasi aroma dan uji segitiga. Seleksi Kuesioner Seleksi kuesioner dilakukan terhadap 60 orang kandidat panelis. Kriteria lolos seleksi pada tahap kuesioner adalah kandidat memiliki ketertarikan mengikuti evaluasi sensori; mengenal dan menyukai produk yang sedang diuji; memiliki kemampuan mendiskriminasikan/membedakan atribut sensori; serta memiliki kemauan, keseriusan, minat, rasa percaya diri, dan waktu luang untuk mengikuti rangkaian pengujian. Uji Rasa Dasar Rasa dasar yang digunakan adalah empat rasa dasar yang kemungkinan terdapat dalam sampel buah pepaya (rasa manis, asam, asin dan pahit). Rasa dasar dan jenis senyawa yang digunakan dalam pengujian terdapat pada Tabel 4. Satu set sampel terdiri dari empat sampel rasa dasar dan dua sampel yang identik dengan rasa dasar yang digunakan. Penyajian sampel identik bertujuan untuk mencegah kandidat panelis menebak kualitas rasa. Tabel 4 Konsentrasi rasa dasar dalam uji rasa dasar % Konsentrasi dalam Deskripsi Rasa Dasar Senyawa pelarut air (b/v) Manis Sukrosa 0,2 Asam Asam sitrat 0,07 Asin Natrium Klorida 0,2 Pahit Kafein 0,07 Sumber: ASTM STP 758 (1981)
Satu set sampel uji rasa dasar disajikan sekaligus secara acak dalam satu sesi pengujian. Masing-masing sampel rasa dasar disajikan sebanyak 30 ml. Sebagai penetral antar sampel digunakan air minum. Kandidat panelis yang mampu menjawab benar sebesar 100% dari seluruh sampel dapat lolos ke tahap seleksi berikutnya. Uji Identifikasi Aroma Uji identifikasi aroma dilakukan menggunakan 10 jenis deskriptor aroma (Tabel 5). Dalam satu sesi pengujian disajikan lima jenis deskriptor aroma secara acak. Kandidat panelis diminta untuk mendeskripsikan aroma yang ada pada sampel. Kandidat panelis yang lolos dalam uji aroma dasar merupakan kandidat panelis dengan total skor minimal mencapai 70%. Berikut merupakan kriteria penilaian dalam uji aroma dasar antara lain:
16 - skor 5 jika kandidat panelis mampu mengidentifikasi dengan baik jenis senyawa yang memberikan aroma (contoh: sinamat aldehid untuk sampel aroma kayu manis), - skor 5 jika kandidat panelis mampu mendeskripsikan aroma sampel dengan sangat tepat (contoh: red hot candies untuk sampel aroma kayu manis), - skor 3 untuk kandidat yang mampu mendeskripsikan aroma sampel (contoh: sweet spice untuk sampel aroma kayu manis), dan - skor 1 bagi kandidat yang mampu mendeskripsikan aroma sampel namun tidak secara spesifik (contoh: sweet untuk sampel aroma kayu manis). Tabel 5 Deskriptor aroma dalam uji identifikasi aroma Deskriptor aroma Deskripsi Green Aroma khas daun dan rumput segar yang baru dipotong1 Fruity Aroma campuran dari beberapa jenis buah (beri, apel/pir, melon, dan buah tropis lainnya) kecuali jeruk2 Sweet Aroma manis (gula) Roasted Aroma seperti kopi panggang Orange Aroma buah jeruk1 Nutty Aroma kacang tanah1 Rancid Aroma asam tengik Cinnamon Aroma khas kayu manis Peppermint Aroma segar, mint1 Milky Aroma lemak susu Deskripsi aroma diperoleh dari 1Bett (2002) dan 2Bauer (1997)
Uji Segitiga Uji segitiga dilakukan pada atribut rasa dan aroma. Satu set sampel yang disajikan terdiri dari tiga sampel (dua sampel yang identik dan satu sampel yang berbeda). Panelis selanjutnya diminta untuk memilih sampel yang berbeda. Konsentrasi rasa dan aroma yang digunakan dalam uji segitiga terdapat pada Tabel 6. Tabel 6 Konsentrasi rasa dan aroma dalam uji segitiga Deskripsi Senyawa Konsentrasi Rasa: Asam Asam sitrat 0%; 0,05%; 0,08%a Pahit Kafein 0%; 0,04%; 0,06%a Aroma: Deskriptor cheesy 0 µl, 200 µl, 300 µl b Deskriptor fruity 0 µl, 20 µl, 30 µl b a
Konsentrasi dalam pelarut air (b/v) Volume (µl) larutan deskriptor aroma yang ditambahkan ke dalam 10 ml pelarut propilen glikol b
Setiap panelis mendapatkan kombinasi set sampel dengan perbedaan konsentrasi dari besar hingga kecil (dari tingkat kesulitan rendah hingga tinggi). Jumlah set yang disajikan sebanyak 12 set dan diulang sebanyak dua kali, sehingga total set sampel pengujian adalah 24 set untuk masing-masing kandidat panelis.
17 Kandidat panelis yang lolos adalah yang mampu memberikan respon benar minimal 66% dari total 24 sampel untuk masing-masing uji segitiga rasa dan aroma.
Pelatihan Panelis Dari seluruh rangkaian tahap seleksi, terpilih 12 orang panelis untuk melanjutkan ke tahap pelatihan. Pelatihan dibagi dalam enam sesi dengan total waktu kurang lebih 30 jam. Pelatihan panelis meliputi familiarisasi dan mendiskusikan skor larutan standar referensi (R) rasa dan aroma yang akan digunakan dalam pengujian, serta familiarisasi metode pengujian yang akan digunakan. Penentuan skor larutan R dilakukan menggunakan teknik skoring oleh setiap panelis terhadap satu seri konsentrasi masing-masing larutan rasa dan aroma. Ratarata skor yang diperoleh selanjutnya dihitung menggunakan Hukum Steven (Power Law) (Meilgaard et al. 2007) untuk memperoleh persamaan matematis. Persamaan matematis tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan skor larutan R. Rumus Hukum Steven: S = k In Keterangan: S = Intensitas sensasi (berupa skor) k = Koefisien proporsional yang ditentukan dari unit pengukuran I = Intensitas atau konsentrasi dari stimulan = Sifat eksponensial n Untuk mewakili deskripsi aroma dari senyawa-senyawa target, maka dalam pelatihan panelis dan pengujian QDA digunakan sebanyak empat senyawa sebagai R aroma. Tabel 7 menunjukkan konsentrasi larutan R rasa dan aroma yang digunakan dalam pelatihan. Tabel 7 Konsentrasi larutan R rasa dan aroma dalam pelatihan panelis Deskripsi Senyawa Konsentrasi Rasa: Asam Asam sitrat 0,59 g/L Pahit Kafein 0,49 g/L Aroma: Stale-green fecal 2-metil butanal 33,3 µl + 7 ml propilen glikol Sweaty Metil butanoat 82,7 µl + 7 ml propilen glikol Stinky-sour Asam butanoat 81,2 µl + 7 ml propilen glikol Fatty-waxy Asam dekanoat 87,1 µl + 7 ml propilen glikol
Skor 7,5 7,5 7,5 7,5 7,5 7,5
Pengujian QDA Persiapan Sampel Buah pepaya diambil dari lemari es, dikeluarkan dari kemasan plastik, lalu dikupas kulitnya dan dibuang bijinya. Daging buah pepaya dipotong dadu dengan ukuran 2x2x2 cm dan disajikan di atas piring kecil yang dilengkapi dengan garpu buah dan penetral (air minum). Pengujian sampel dilakukan pada suhu ruang.
18 Pengujian Sampel Panelis terlatih yang berpartisipasi dalam pengujian QDA sebanyak 12 orang dari mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pangan IPB dengan rentang usia 22-29 tahun. Parameter sensori yang dianalisis meliputi rasa asam dan pahit, off-odor dan offflavor-by-mouth (fatty-waxy, sweaty, stinky-sour dan stale-green fecal). Tabel 8 Konsentrasi larutan R rasa dan aroma dalam pengujian QDA Deskripsi Senyawa Konsentrasi Rasa: Asam Asam sitrat 0,46 g/L Pahit Kafein 0,39 g/L Aroma: Stale-green fecal 2-metil butanal 3,1 µl + 7 ml propilen glikol Sweaty Metil butanoat 60,1 µl + 7 ml propilen glikol Stinky-sour Asam butanoat 48,5 µl + 7 ml propilen glikol Fatty-waxy Asam dekanoat 61,2 µl + 7 ml propilen glikol
Skor 5 5 2 5 5 5
Konsentrasi larutan R rasa dan aroma yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 8. Panelis diminta untuk membandingkan intensitas setiap parameter sensori sampel terhadap larutan R rasa maupun aroma yang telah disediakan, lalu memberikan nilai pada skala garis tak terstruktur sepanjang 15 cm. Nilai skala yang diperoleh selanjutnya dikonversi ke dalam skor 0-60. Pengujian QDA diulang sebanyak tiga kali. Semikuantifikasi Senyawa Off-flavor Ekstraksi Senyawa Volatil Senyawa volatil sampel buah pepaya diekstrak menggunakan SPME yang dilengkapi dengan fiber DVB/CAR/PDMS (ketebalan 50/30 μm). Metode ekstraksi ini mengacu pada Wijaya et al. (2005) serta Ulrich dan Wijaya (2010). Sebanyak 200 gram sampel buah pepaya ditimbang, ditambah dengan 200 ml larutan NaCl 18,6% (b/v), lalu dihomogenisasi selama 20 detik (dalam kondisi suhu dingin) sehingga diperoleh homogenat. Larutan garam pekat digunakan untuk mencegah terjadinya reaksi enzimatis selama proses homogenisasi dilakukan, sehingga tidak terjadi perubahan senyawa volatil. Homogenat selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit dan disaring menggunakan kertas saring, sehingga diperoleh supernatan. Sebanyak 10 ml supernatant dipipet ke dalam botol vial berkapasitas 20 ml yang telah berisi 2 gram NaCl dan micro-stirrer. Garam NaCl yang dimasukkan ke dalam botol vial untuk memberikan efek salting-out, sehingga senyawa-senyawa volatil pada sampel lebih mudah terlepas dari larutan, serta menguap dan berkumpul di bagian headspace pada saat dilakukan proses ekstraksi (mempercepat pencapaian kondisi kesetimbangan atau equilibrium). Botol ditutup sesegera mungkin dengan tutup ulir yang dilengkapi dengan lapisan PTFE. Sebagai standar internal, ditambahkan sebanyak 75 µl 1,4-diklorobenzen dengan konsentrasi 1 ppm (b/v, dalam pelarut metanol) ke dalam sampel. Sampel dipanaskan dengan kecepatan konstan (pre-ekstraksi) selama 15 menit agar kondisi suhu sampel sesuai dengan kondisi suhu ekstraksi pada saat fiber SPME masuk. Fiber SPME dimasukkan ke dalam botol vial dan dipaparkan pada headspace botol dipanaskan
19 pada suhu 30 °C dengan kecepatan konstan selama 30 menit. Fiber sesegera mungkin diinjeksikan ke dalam GC-MS. Analisis GC-MS Metode analisis GC-MS mengacu pada Ulrich dan Wijaya (2010). Fiber SPME yang telah dipaparkan pada headspace sampel, dianalisis menggunakan GCMS yang dilengkapi dengan kolom polar (HP-INNOWAX dengan diameter dalam 0,25 mm; panjang 60 m; ketebalan 0,25 µm). Fiber SPME diinjeksikan secara manual pada port injeksi. Fiber SPME didesorpsi secara termal pada suhu 250 ºC dengan mode injeksi splitless. Suhu detektor MS sebesar 280 ºC. Sebagai gas pembawa digunakan helium dengan kecepatan 1,0 ml/menit. Pengaturan program gradien suhu sebagai berikut: suhu dipertahankan 45 ºC selama 5 menit, kemudian dinaikkan sampai 200 ºC pada kecepatan kenaikan suhu 7 ºC/menit dan dipertahankan selama 30 menit. Identifikasi Senyawa Volatil Identifikasi senyawa volatil dilakukan dengan cara membandingkan pola spektra massa senyawa target dengan pola spektra masa koleksi database (NIST05a.L) dengan bantuan komputer, serta membandingkan nilai Liniear Retention Index (LRI) senyawa target dengan LRI yang ada di literatur. LRI dihitung berdasarkan waktu retensi standar n-alkana (C6-C23) yang diinjeksikan ke dalam GC-MS dengan kondisi operasi yang sama dengan sampel. Rumus penentuan LRI: LRIx = [
tx − tn + n] × 100 t n+1 − t n
Keterangan: LRIx = indeks retensi linier senyawa x tx = waktu retensi senyawa x (menit) tn = waktu retensi standar n-alkana yang muncul sebelum senyawa x (menit) tn+1 = waktu retensi standar n-alkana yang muncul setelah senyawa x (menit) = jumlah atom karbon alkana standar yang muncul sebelum senyawa x n Penentuan Konsentrasi Relatif Senyawa Volatil Konsentrasi senyawa target ditentukan dengan cara membandingkan area yang terdeteksi oleh GC-MS dari senyawa target dengan standar internal yang ditambahkan ke dalam sampel. Rumus penentuan konsentrasi relatif senyawa target: Area senyawa X Berat SI dalam sampel (g) [X] = [ × ] × 106 µg/g Area SI Berat sampel dalam botol (g)
Prosedur Analisis Data Data yang diperoleh dari analisis morfologi diolah menggunakan sidik ragam (Analysis of Variance atau ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji lanjut selang
20 berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test atau DMRT) untuk mengetahui perbedaan nyata antar sampel pepaya yang diuji dengan taraf 0,05. Hasil analisis QDA ditampilkan dalam bentuk spider web. Hasil analisis semikuantifikasi senyawa off-flavor ditampilkan dalam diagram batang. Hasil analisis QDA dan semikuantifikasi senyawa off-flavor selanjutnya diolah menggunakan analisis komponen utama (Principal Component Analysis atau PCA) dengan korelasi Pearson. Analisis korelasi karakteristik off-flavor dengan morfologi buah pepaya dilakukan menggunakan analisis korelasi Pearson. PCA dilakukan menggunakan program XLSTAT versi 2015.4.01.21244 (Addinsoft). ANOVA dan analisis korelasi dilakukan menggunakan program SPSS versi 22 (IBM).
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Morfologi Beberapa Varietas Buah Pepaya Deskripsi morfologi buah dari beberapa varietas pepaya yang diteliti disajikan pada Tabel 9. Berdasarkan beratnya, buah pepaya diklasifikasikan ke dalam tipe kecil (600 g atau kurang), tipe sedang (601-1.600 g), dan tipe besar (lebih dari 1.600 kg) (Teoh et al. 2012). Hasil ANOVA menunjukkan bahwa berat buah pepaya Carisya tidak berbeda signifikan (p > 0,05) dengan pepaya Burung, sehingga keduanya dapat digolongkan dalam tipe kecil. Berat pepaya Callina, Merah Delima dan Sukma termasuk tipe sedang. Terlihat bahwa berat pepaya Merah Delima dan Sukma berbeda signifikan dengan berat pepaya Callina, maka dapat dikatakan bahwa pepaya Merah Delima dan Sukma memiliki berat yang cukup besar untuk kategori tipe sedang. Pepaya Bangkok termasuk tipe besar. Tabel 9 Morfologi buah dari beberapa jenis pepaya Sampel pepaya Carisya Callina Sukma Burung Merah Delima Bangkok
Berat (g)
Panjang (cm)
420±25a 1.026±126b 1.475±158c 578±184a
16,16±0,76a 19,89±0,78b 27,14±1,47d 16,10±1,74a
Parameter* Tebal Diameter (cm) daging (cm) 7,09±0,64a 2,60±0,37a 9,59±0,31b 3,16±0,20b 11,54±0,84de 3,24±0,46bc 11,24±0,66cd 2,67±0,25a
Warna daging (°Hue) 58,57±3,24a 43,30±1,80a 66,75±1,57b 51,39±5,39b 70,78±4,92bc 52,99±4,21b 60,88±2,05a 69,01±1,33c Warna kulit (°Hue)
1.372±371c 23,12±3,01c 10,36±1,25bc 3,87±0,55d 68,47±5,84bc 45,80±1,89a 1.863±491d 26,05±3,65d
12,47±1,16e 3,69±0,37cd 73,78±6,46c 45,53±0,81a
*Nilai yang tercantum pada tiap parameter merupakan rataan Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda signifikan pada DMRT dengan taraf 0,05
Pepaya Carisya dan Burung memiliki ukuran yang paling pendek, sedangkan ukuran buah pepaya Bangkok dan Sukma adalah yang paling panjang. Diameter buah paling kecil dimiliki oleh pepaya Carisya. Kenampakan visual buah utuh keenam buah pepaya yang diamati dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1 (atas). Pepaya Carisya dan Burung memiliki daging buah yang lebih tipis dibandingkan keempat sampel lainnya. Semakin tebal daging buah pepaya maka
21 bagian buah yang dapat dikonsumsi semakin banyak, sehingga semakin diminati konsumen. Daging buah yang paling tebal dimiliki oleh pepaya Merah Delima dan Bangkok. Kenampakan visual tebal dan warna daging buah pepaya yang diuji dapat dilihat pada Gambar 1(bawah).
Gambar 1 Kenampakan visual buah utuh (atas) dan warna daging buah (bawah): pepaya Carisya, a; Callina, b; Sukma, c; Burung, d; Merah Delima, e; dan Bangkok, f Kulit dan daging buah pepaya yang cenderung berwarna kemerahan ditunjukkan dalam nilai °Hue yang semakin mendekati 0°. Jika nilai °Hue semakin mendekati 90°, maka warna kulit maupun daging buah mendekati warna kuning (Sancho et al. 2010). Dari Tabel 1 diketahui bahwa pepaya Carisya dan Burung memiliki warna kulit dominan yang cenderung kejinggaan. Warna kulit dominan pepaya Callina, Sukma, Merah Delima dan Bangkok lebih kuning daripada pepaya Carisya dan Burung. Daging buah pepaya Carisya, Merah Delima dan Bangkok berwarna cenderung jingga kemerahan. Pepaya Callina dan Sukma memiliki daging berwarna cenderung jingga. Pepaya Burung memiliki daging buah berwarna kuning. Kriteria idiotipe buah pepaya di Indonesia adalah buah pepaya dengan ukuran sedang, daging buah tebal dan warna kulit kuning kejinggaan (Budiyanti et al. 2005, Indriyani 2007). Carmen et al. (2011) menambahkan bahwa buah pepaya dengan warna daging buah yang jingga atau cenderung kemerahan menjadi salah satu kriteria pemilihan buah pepaya oleh konsumen di Filipina. Dengan demikian, secara visual buah pepaya Callina, Sukma dan Merah Delima sesuai idiotipe di Asia.
Deskripsi Off-flavor Beberapa Varietas Buah Pepaya Hasil analisis sensori off-flavor dari masing-masing buah pepaya yang diuji ditampilkan pada Gambar 2 dan Gambar 3. Keenam jenis pepaya yang diuji memiliki seluruh karakter rasa dan aroma yang diduga off-flavor dengan intensitas yang berbeda-beda. Pepaya Carisya memiliki karakter rasa pahit, fatty-waxy odor,
22 stinky-sour odor dan flavor-by-mouth, sweaty odor dan flavor-by-mouth, serta stale-green fecal odor dan flavor-by-mouth yang paling dominan dibandingkan varietas koleksi PKHT-IPB lainnya (Gambar 2).
Gambar 2 Spider web karakteristik off-flavor buah pepaya varietas koleksi PKHT-IPB: Carisya ( ), Callina ( ), Sukma ( ) (O : odor; F : flavor-by-mouth) Diantara pepaya pembanding varietas koleksi PKHT-IPB (Gambar 3) terlihat bahwa pepaya Burung memiliki karakter rasa pahit, fatty-waxy odor dan flavor-bymouth, serta stinky-sour odor yang paling dominan. Pepaya Merah Delima dominan memiliki karakter sweaty odor dan flavor-by-mouth serta stale-green fecal odor dan flavor-by-mouth. Rasa asam paling dominan dimiliki oleh pepaya Bangkok.
Gambar 3 Spider web karakteristik off-flavor buah pepaya pembanding varietas koleksi PKHT-IPB: Burung ( ), Merah Delima ( ), Bangkok ( ) (O : odor; F : flavor-by-mouth)
23
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pepaya Carisya memiliki karakteristik sensori off-flavor yang mirip dengan pepaya Burung dan Merah Delima. Hal ini menunjukkan bahwa pepaya Carisya memiliki karakteristik sensori off-flavor yang lebih beragam dibandingkan kelima sampel pepaya lainnya. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pepaya Carisya memiliki komposisi senyawa volatil yang lebih beragam dibandingkan pepaya Brazil, Burung, Bangkok, dan Sukma; serta memiliki 20 jenis senyawa volatil yang sama dengan pepaya Burung (Ulrich dan Wijaya 2010). Karakteristik off-flavor yang paling lemah dimiliki oleh pepaya Callina dan Sukma. Hasil penelitian oleh Ulrich dan Wijaya (2010) menunjukkan bahwa komposisi senyawa volatil pepaya Sukma lebih sedikit dan lebih rendah konsentrasinya dibandingkan pepaya Carisya dan Burung. Hal ini memungkinkan pepaya Sukma memiliki karakter aroma yang lebih rendah. Hal yang menarik dalam penelitian ini adalah walaupun secara visual pepaya Merah Delima sesuai dengan kriteria idiotipe, namun memiliki karakter aroma sweaty dan stale-green fecal yang lebih kuat dibandingkan pepaya idiotipe lainnya (Callina dan Sukma). Diduga bahwa intensitas aroma sweaty dan stale-green fecal yang dimiliki buah pepaya varietas Merah Delima masih dapat diterima oleh konsumen. Dengan kata lain, karakter rasa dan aroma yang diduga paling mempengaruhi persepsi off-flavor pada buah pepaya adalah rasa pahit, aroma fattywaxy dan stinky-sour.
Semikuantifikasi Senyawa Volatil Penyebab Off-flavor dan Korelasinya terhadap Aroma Off-flavor Perbandingan konsentrasi relatif senyawa volatil yang diduga sebagai penyebab off-flavor antar sampel buah pepaya yang diuji dapat dilihat pada Gambar 4. Konsentrasi senyawa volatil penyebab off-flavor paling tinggi dimiliki oleh pepaya Carisya dan Burung. Terdapat empat jenis senyawa off-flavor pada pepaya Burung, yaitu metil butanoat, asam butanot, asam heksanoat dan asam oktanoat. Dibandingkan dengan pepaya Burung, pada pepaya Carisya tidak terdeteksi adanya senyawa metil butanoat. Pepaya Bangkok memiliki komposisi senyawa volatil yang sama dengan pepaya Sukma, begitu juga pepaya Callina terhadap pepaya Merah Delima. Dapat dikatakan bahwa karakter off-flavor dari pepaya Sukma lebih dekat kepada pepaya Bangkok, sedangkan pepaya Callina lebih dekat kepada pepaya Merah Delima. Untuk mengetahui kontribusi senyawa penyebab off-flavor terhadap kualitas sensorinya, maka dilakukan pemetaan biplot menggunakan PCA dan analisis korelasi. Pemetaan senyawa volatil penyebab off-flavor dan karakteristik off-flavor dari keenam sampel buah pepaya yang diuji dapat dilihat pada Gambar 5. Komponen utama yang terbentuk mampu menjelaskan sebesar 77,53% (PC1 47,21% dan PC2 30,32%) dari total keragaman data. Hasil pemetaan biplot pada Gambar 5 sesuai dengan hasil spider web bahwa pepaya Carisya memiliki karakter sensori off-flavor yang dekat dengan pepaya Burung dan Merah Delima, serta karakternya lebih beragam dibandingkan kelima sampel pepaya lainnya. Selain itu, terlihat pula bahwa letak pepaya Callina dan
24 Sukma jauh dari letak karakter sensori off-flavor maupun senyawa off-flavor, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua sampel tersebut memiliki karakter off-flavor yang paling lemah dibandingkan keempat sampel lainnya. 0.09
Konsentrasi senyawa (µg/g)
0.08 0.07 0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 0.01 0 Carisya
Callina
Sukma
Burung
Merah Delima
Bangkok
Buah pepaya
Gambar 4 Grafik perbandingan konsentrasi relatif senyawa metil butanoat ( ), asam butanoat ( ), asam heksanoat ( ), asam oktanoat ( ) pada tiap sampel buah pepaya Pada salah satu pemetaan biplot antara karakter sensori off-flavor dengan senyawa off-flavor menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu metil butanoat terletak berseberangan dengan aroma sweaty. Metil butanoat semula diduga bertanggung jawab terhadap karakter aroma sweaty (MacLeod dan Pieris 1983). Hasil GC-MS yang diperoleh menunjukkan bahwa senyawa metil butanoat pada sampel memiliki spektra massa yang cukup berbeda dengan spektra massa referensi. Meskipun demikian, hasil perhitungan LRI yang diperoleh sesuai dengan LRI referensi. Hal ini menunjukkan bahwa data GC-MS dari metil butanoat yang diperoleh masih berupa prediksi. Reineccius (2006) menjelaskan bahwa walaupun GC-MS merupakan instrumen yang sangat ideal untuk analisis senyawa volatil, namun tidak dapat mendeteksi persepsi aroma yang dihasilkan oleh senyawa-senyawa volatil tersebut. Fenomena yang sering terjadi pada penelitian flavor adalah tidak semua senyawa volatil yang terdeteksi oleh MS berkontribusi terhadap persepsi aroma buah pepaya (Pino et al. 2003), serta terkadang senyawa volatil yang tidak dapat terdeteksi oleh MS mampu memberikan persepsi aroma (Ong et al. 1998;Wijaya et al. 2005; Ulrich dan Wijaya 2010). Instrumen GC-MS yang dilengkapi dengan instrumen Olfactometry (GC-MS-O) dapat menjadi solusi untuk kelemahan GC-MS tersebut. Pada sistem GC-MS-O senyawa volatil hasil separasi GC dibagi menjadi dua bagian, satu bagian dialirkan oleh gas pembawa ke instrument MS dan satu bagian lainnya dialirkan menuju sniffing port. Pada sniffing port, panelis diminta untuk mencium aroma yang terdeteksi. Dengan demikian, analisis off-flavor lebih lanjut menggunakan GC-MS-O menjadi sangat penting dan perlu dilakukan untuk mengetahui kontribusi senyawa-senyawa volatil terhadap persepsi off-flavor pada buah pepaya. Di samping itu, untuk kebutuhan identifikasi dan kuantifikasi yang
25 akurat dibutuhkan standar internal yang dilabel dari senyawa target (Ridgway et al. 2010).
Gambar 5 Biplot karakteristik sensori off-flavor ( ) dan senyawa offflavor ( ) dari enam sampel buah pepaya ( ) (As.: asam, R : rasa, O : odor, F : flavor-by-mouth) Persepsi aroma sweaty diduga dihasilkan karena adanya kontribusi dari beberapa senyawa lain yang berinteraksi secara kompleks. Ridgway et al. (2010) menjelaskan bahwa persepsi off-flavor biasanya merupakan interaksi kompleks antara dua senyawa atau lebih. Pada penelitian tentang buah mengkudu (Sousa et al. 2009) dijelaskan bahwa senyawa asam heksanoat dan oktanoat berkontribusi pada persepsi aroma sweaty. Adanya senyawa 2-metil propanoat (rancid) (Ong et al. 1998) dan 2-metil butanoat (sour) (Wijaya et al. 2005) juga diduga mampu berkontribusi terhadap persepsi aroma sweaty. Senyawa asam heksanoat, asam dekanoat, dan 2-metil propanoat dapat terdeteksi pada sampel buah pepaya yang dianalisis, sedangkan 2-metil butanoat terdapat pada buah pepaya varietas Red Maradol (Pino 2014). Berdasarkan hasil korelasi antara karakter aroma off-flavor dan senyawa offflavor pada Tabel 10, asam butanoat terlihat memiliki korelasi yang paling banyak dengan aroma off-flavor. Bolboacă dan Jäntschi (2006) menjelaskan bahwa nilai korelasi Pearson dapat bernilai positif maupun negatif yang mengindikasikan arah hubungan antar variabel. Lebih lanjut dijelaskan bahwa secara statistik nilai korelasi dianggap signifikan jika nilai-p kurang dari alfa. Nilai-p mengindikasikan probabilitas terjadinya kesalahan saat menolak H0 yang sebenarnya bernilai benar. Nilai korelasi yang signifikan mengimplikasikan bahwa secara statistik terdapat hubungan linier yang nyata antar variabel yang diuji. Asam butanoat secara signifikan (p < 0,05) memiliki korelasi yang bersifat positif terhadap fatty-waxy odor, serta stinky-sour odor dan flavor-by-mouth. Dengan demikian, konsentrasi asam butanoat yang semakin tinggi diduga berkaitan
26 erat dengan persepsi aroma fatty-waxy dan stinky-sour yang semakin kuat pada buah pepaya. Korelasi positif terhadap aroma stinky-sour tidak hanya terjadi dengan senyawa asam butanoat saja. Asam oktanoat juga memiliki korelasi positif dengan karakter stinky-sour odor. Diduga bahwa asam butanoat (stinky-sour) bersamasama dengan asam oktanoat (waxy, dirty, sweaty, cheesy fatty) berkontribusi pada persepsi aroma stinky-sour dan fatty-waxy. Tabel 10 Korelasi antara sensori off-flavor dengan konsentrasi relatif senyawa off-flavor Asam Asam Asam Variabel butanoat heksanoat oktanoat Fatty-waxy odor 0,659 0,724 0,820 Sweaty odor 0,011 0,261 0,204 Stinky-sour odor 0,809 0,879 0,876 Stale green-fecal odor -0,017 0,001 -0,050 Fatty-waxy flavor-by-mouth 0,376 0,238 0,322 Sweaty flavor-by-mouth 0,175 0,400 0,340 Stinky-sour flavor-by-mouth 0,779 0,717 0,852 Stale green-fecal flavor-by-mouth 0,378 0,496 0,458 Nilai yang tercetak tebal signifikan pada uji korelasi Pearson dengan taraf 0,05
Korelasi antara Karakteristik Off-flavor terhadap Morfologi Buah Beberapa Varietas Pepaya Korelasi antara sensori off-flavor dan konsentrasi relatif senyawa volatil penyebab off-flavor dengan morfologi buah dari enam sampel pepaya yang diuji disajikan pada Tabel 11. Korelasi yang bersifat negatif dan signifikan terbentuk antara karakter stinky-sour odor dengan karakter morfologi berat, panjang, warna kulit dan tebal daging buah pepaya. Berat buah yang semakin ringan, ukuran buah semakin pendek, daging yang tipis dan warna kulit saat matang cenderung jingga berkaitan erat dengan intensitas stinky-sour odor yang semakin kuat. Intensitas stinky-sour odor yang kuat terdapat pada pepaya Burung dan Carisya. Korelasi negatif juga terbentuk antara sweaty odor dan flavor-by-mouth dengan diameter buah. Diameter buah yang semakin kecil berkaitan erat dengan intensitas sweaty odor dan flavor-by-mouth yang semakin kuat. Sweaty odor dan flavor-by-mouth yang kuat terdapat pada pepaya Carisya dan Merah Delima. Karakter sensori yang diduga paling berpengaruh terhadap persepsi off-flavor pada buah pepaya serta memiliki korelasi yang kuat terhadap morfologi buah adalah stinky-sour odor. Secara siginifikan, senyawa asam heksanoat berkorelasi negatif terhadap berat dan warna kulit buah saat matang. Berat varietas buah yang semakin kecil dan kulit buah saat matang yang cenderung berwarna jingga berkaitan erat dengan kandungan senyawa asam heksanoat yang semakin tinggi. Asam oktanoat secara signifikan memiliki korelasi negatif terhadap berat, panjang dan warna kulit buah saat matang. Berat buah yang semakin kecil, ukuran buah yang semakin pendek dan kulit buah saat matang yang cenderung berwarna jingga berkaitan erat dengan konsentrasi asam oktanoat yang semakin tinggi. Sampel buah pepaya yang
27 memiliki konsentrasi asam heksanoat dan asam oktanoat yang tinggi adalah pepaya Carisya dan Burung. Secara garis besar, hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran varietas buah pepaya yang kecil berkaitan erat dengan tingginya konsentrasi senyawa volatil penyebab off-flavor, sehingga berhubungan dengan persepsi sensori off-flavor yang kuat. Penelitian Sanima dan Sarip (2015) menunjukkan hasil yang sejalan, yaitu aroma yang dimiliki oleh buah pepaya varietas Sekaki (tipe sedang) lebih lemah dibandingkan varietas Eksotika (tipe kecil). Pada buah lain, seperti melon juga diketahui bahwa varietas Piel de Sapo (tipe besar) memiliki intensitas aroma yang lebih lemah dibandingkan varietas Shongwan Charmi (tipe kecil) (Oblando et al. 2008, Fernández-Trujillo et al. 2013). Tabel 11 Korelasi antara sensori dan konsentrasi relatif senyawa penyebab offflavor dengan morfologi buah pepaya Variabel
Berat Panjang Diameter
Tebal Warna daging kulit
Warna daging
Rasa asam Rasa pahit Fatty-waxy odor Sweaty odor Stinky-sour odor Stale green-fecal odor Fatty-waxy flavor-by-mouth Sweaty flavor-by-mouth Stinky-sour flavor-by-mouth Stale green-fecal flavor-by-mouth Asam butanoat Asam heksanoat Asam oktanoat
0.361 -0.613 -0.498 -0.433 -0.836 0.166 -0.159 -0.542 -0.316 -0.399 -0.747 -0.821 -0.871
0.089 -0.702 -0.683 -0.101 -0.887 0.518 -0.148 -0.168 -0.345 -0.033 -0.674 -0.746 -0.809
0.076 0.608 0.563 -0.438 0.532 -0.193 0.666 -0.404 -0.172 -0.139 0.164 0.040 0.200
0.425 -0.682 -0.555 -0.320 -0.873 0.056 -0.210 -0.489 -0.398 -0.378 -0.762 -0.789 -0.830
0.491 -0.064 0.025 -0.817 -0.381 0.094 0.411 -0.874 -0.272 -0.443 -0.506 -0.691 -0.637
0.351 -0.643 -0.524 -0.436 -0.838 0.065 -0.214 -0.559 -0.413 -0.490 -0.800 -0.875 -0.911
Nilai yang tercetak tebal signifikan pada uji korelasi Pearson dengan taraf 0,05
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat diduga bahwa intensitas beberapa karakteristik off-flavor pada buah pepaya memiliki keterpautan dengan karakter morfologi buahnya. Korelasi negatif antara beberapa karakter morfologi dengan beberapa senyawa aroma juga terlihat pada buah tomat (Saliba-Colombani et al. 2001, Causse et al. 2002). Pada buah tomat diketahui bahwa lokus sifat kuantitatif (quantitative trait loci atau QTL) aroma terletak pada kromosom yang sama dan memiliki urutan lokus yang berdekatan dengan QTL berat, diameter dan warna. Letak kromosom yang sama dan urutan yang berdekatan antara QTL tersebut diduga terjadi pula di buah pepaya karena penelitian sebelumnya menduga bahwa QTL ukuran dan bentuk pada buah pepaya homolog terhadap buah tomat (Blas et al. 2012). Eduardo et al. (2013) menduga bahwa beberapa QTL yang terletak pada kromosom yang sama dapat terekspresi secara bersamaan. Contohnya pada buah tomat (Sobir 1999), buah yang diketahui memiliki ketahanan terhadap tomato mosaic virus (ToM V) mempunyai ciri-ciri warna daun yang lebih kuning. Hal ini disebabkan letak lokus gen penyandi warna kuning berdekatan dengan lokus
28 penyandi ketahanan terhadap ToM V, sehingga memungkinkan untuk terekspresi secara bersamaan. Ekspresi QTL pada buah pepaya yang terjadi secara bersamaan tersebut diduga menjadi dasar adanya keterpautan tidak langsung antara karakter morfologi dengan beberapa karakter sensori off-flavor. Keterpautan yang terjadi dikatakan tidak langsung karena diketahui bahwa QTL merupakan sebuah segmen kromosom yang mengandung satu atau beberapa gen yang berkaitan dengan variasi sifat kuantitatif yang ekspresi terhadap ciri-ciri fenotipenya sensitif terhadap kondisi lingkungan (Mackay et al. 2009), sehingga banyak faktor yang mempengaruhi ekspresi QTL. Hasil korelasi menunjukkan bahwa kemungkinan lokus gen terkait tipe ukuran buah kecil berdekatan dengan lokus gen senyawa aroma yang bertanggungjawab terhadap persepsi off-flavor. Hasil penelitian ini mengkonfirmasi hasil penelitian Saliba-Colombani et al. (2001) pada buah tomat. Pola korelasi tersebut diduga dapat berlaku secara universal untuk buah-buahan maupun sayuran seperti tomat. Jika melihat panduan pada UPOV (2010), warna kulit buah pepaya terbagi menjadi kuning, kuning kejinggaan dan jingga tua. Pembagian warna kulit ini berdasarkan variasi fenotip buah pepaya yang khas dari tiap varietas buah pepaya. Dengan demikian, hasil korelasi yang diperoleh dari penelitian ini berlaku antar varietas buah pepaya dan tidak berlaku untuk keragaman dalam satu varietas. Untuk mendapatkan korelasi antara off-flavor dan morfologi buah di dalam satu varietas, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Jika hasil korelasi ini dikaitkan dengan kriteria idiotipe buah pepaya di Indonesia maka intensitas stinky-sour odor yang lemah diduga menjadi salah satu kriteria pemilihan buah pepaya, selain kenampakan visualnya. Hal ini terlihat pada buah pepaya tipe sedang lainnya yang juga menjadi komoditas, seperti varietas Pluk Mai Lie. Pepaya varietas Pluk Mai Lie dominan memiliki karakter aroma fruity dan tidak memiliki karakter yang menyebabkan off flavor (Fuggate et al. 2010). Hasil penelitian mengenai preferensi konsumen terhadap buah pepaya yang dilakukan oleh Muzdalifah (2012) menunjukkan bahwa atribut aroma merupakan salah satu atribut preferensi konsumen, namun dinilai tidak terlalu berpengaruh dalam pengambilan keputusan konsumen saat memilih dan membeli buah pepaya. Hal ini juga berlaku pada saat memilih buah-buahan tropis lainnya, seperti pisang dan semangka (Hussin et al. 2010). Dalam penelitian Esguerra et al. (2013) dikemukakan bahwa keputusan konsumen untuk membeli dan mengkonsumsi buah pepaya paling kuat dipengaruhi oleh penampilan fisik (terutama kulit bebas cacat dan warna kulit yang menarik), tingkat kemanisan, dan ukuran buah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam memilih buah pepaya yang akan dibeli maupun dikonsumsi, konsumen di Asia sangat memperhatikan ukuran dan penampilan fisik buah namun tidak terlalu memperhatikan adanya off-flavor. Akan tetapi, pemilihan buah pepaya berdasarkan ukuran tersebut secara tidak langsung berhubungan dengan tinggi-rendahnya konsentrasi senyawa volatil yang diduga sebagai penyebab off-flavor. Rendahnya konsentrasi senyawa volatil penyebab offflavor tersebut berkontribusi terhadap lemahnya intensitas sensori off-flavor yang dimiliki buah pepaya.
29
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Karakter sensori off-flavor pada buah pepaya diduga paling dipengaruhi adanya stinky-sour odor. Stinky-sour odor memiliki korelasi positif dengan senyawa asam butanoat dan asam oktanoat. Adanya asam oktanoat diduga mampu berinteraksi dengan asam butanoat memperkuat persepsi stinky-sour odor pada buah pepaya. Asam oktanoat memiliki korelasi negatif dengan berat, panjang, dan warna kulit buah saat matang. Stinky-sour odor berkorelasi negatif dengan berat, panjang, tebal daging dan warna kulit buah saat matang. Konsentrasi asam butanoat dan asam oktanoat yang tinggi serta persepsi stinky-sour odor yang kuat berkaitan erat dengan karakteristik morfologi varietas buah pepaya dengan berat tipe kecil (600 gram atau kurang), ukuran yang pendek (panjang 16,5 cm atau kurang), daging buah yang tipis (ketebalan kurang dari 3 cm) serta warna kulit varietas buah yang cenderung jingga pada saat matang. Konsentrasi asam butanoat dan asam oktanoat yang paling tinggi, serta karakter stinky-sour odor yang paling kuat dimiliki oleh pepaya Burung dan Carisya. Fenomena korelasi ini dapat digunakan sebagai saran dalam proses pemilihan buah pepaya di pasar maupun impelementasi lapangan guna kepentingan pengembangan varietas unggul, yaitu varietas buah pepaya dengan berat tipe sedang (601-1.600 gram), memiliki daging yang tebal (lebih dari 3 cm) serta kulit matang berwarna kuning.
Saran Untuk mendukung hasil penelitian ini perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai peranan asam butanoat beserta interaksinya dengan senyawa lain terhadap persepsi off-flavor pada buah pepaya. Penelitian lebih lanjut mengenai aroma aktif menggunakan GC-MS yang dilengkapi dengan instrumen Olfactometry perlu dilakukan untuk mengkonfirmasi kontribusi senyawa-senyawa volatil terhadap persepsi aroma off-flavor pada buah pepaya. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai korelasi off-flavor dengan morfologi buah secara genetik. Selain itu, perlu dilakukan survei terhadap peran off-flavor dalam pengambilan keputusan konsumen dalam memilih dan membeli buah pepaya di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Abeywickrama K, Wijerathna C, Rajapaksha N, Kannangara S, Sarananda K. 2012. Disease control strategies for extending storage life of papaya (Carica papaya), cultivars Red lady and Rathna. Ceylon J Sci (Bio Sci). 41(1):27-34. Abu-Goukh ABA, Shattir AE, Mahdi EFM. 2010. Physico-chemical changes during growth and development of papaya fruit. IΙ: chemical changes. Agric Biol J N Am. 1(5):871-877.
30 Almora K, Pino JA, Hernández M, Duarte C, Gonzáles J, Roncal E. 2004. Evaluation of volatiles from ripening papaya (Carica papaya L., var. Maradol roja). J Food Chem. 86(1):127-130. Alvarez AM, Nishijima WT. 1987. Postharvest diseases of papaya. Plant Dis. 71 (8):681-686. [ASTM MNL-13] American Society for Testing and Materials Manual Series: MNL-13. 1992. Manual on Descriptive Analysis Testing for Sensory Evaluation. Philadelphia: ASTM. [ASTM STP 758] American Society for Testing and Materials. 1981. Guidelines for the selection and training of sensory panel member. Philadelphia: ASTM. Asudi GO, Ombwara FK, Rimberia FK, Nyende AB, Ateka EM, Wamocho LS, Shitanda D, Onyango A. 2010. Morphological diversity of Kenyan papaya germplasm. Afr J Biotechnol. 9(51):8754-8762. [AOGTR] Australian Official of The Gene Technology Regulator. 2003. The Biology and Ecology of Papaya (paw paw), Carica papaya L., in Australia [internet]. [diacu 2013 Juli 5] Tersedia dari: http://www.ogtr.gov.au/internet/ogtr/publishing.nsf/ content/papaya3/$FILE/papaya. pdf. Baigrie B. 2003. Taints and Off-Flavours in Food. Cambridge: CRC Press. Balbontín C, Gaete-Eastman C, Vergara M, Herrera R, Moya-León MA. 2007. Treatment with 1-MCP and the role of ethylene in aroma development of mountain papaya fruit. J Postharv Biol Technol. 43(1):67–77. Basulto FS, Duch ES, y Gil FE, Plaza RD, Saavedra AL, Santamaria JM. 2009. Postharvest ripening and maturity indices for Maradol papaya. Interacia. 34(8):583-588. Bauer K, Ggarbe D, Surburg H. 1997. Common Fragrance and Flavor Materials: Preparation, Properties and Uses. 3rd edition. Weinheim: Wiley-VCH. Beaulieu JC. 2006. Volatile changes in cantaloupe during growth, maturation, and in stored fresh-cuts prepared from fruit harvested at various maturities. J Amer Soc Hort Sci.131(1):127–139. Bett KL. 2002. Evaluating Sensory Quality of Fresh-cut Fruits and Vegetables. Di dalam: Lamikanra O, editor. Fresh-cut and Vegetables: Science, Technology, and Market. Boca raton: CRC Press. Blas AL, Yu Q, Veatch OJ, Paul RE, Moore PH, Ming R. 2012. Genetic mapping of quantitative trait loci controlling fruit size and shape in papaya. Mol Breeding. 29(2012):457–466. Bolboacă SD, Jäntschi L. 2006. Pearson versus spearman, Kendall's tau correlation analysis on structure-activity relationships of biologic active compounds. LJS. 9(2006):179-200. Boutou S, Chatonnet P. 2007. Rapid headspace solid-phase microextraction/gas chromatographic/mass spectrometric assay for the quantitative determination of some of the main odorants causing off-flavours in wine. J Chromatograph A. 1141(1):1-9. Bron IU, Jacomino AP. 2006. Ripening and quality of ‘Golden’ papaya fruit harvested at different maturity stages. Braz J Plant Physiol. 18(3):389-396. Budiyanti T, Purnomo S, Karsinah, Wahyudi A. 2005. Karakterisasi 88 aksesi pepaya koleksi Balai Penelitian Tanaman Buah. Bul Plasma Nutfah. 11(1): 2127.
31 Burdock GA. 2010. Feranoli’s Handbook of Flavor Ingredients, Sixth Edition. Boca Raton: CRC Press. Carmen DR, Esguerra EB, Absulio WL, Maunahan MV, Masilungan GD. 2011. Understanding consumer’s preference for fresh table-ripe papaya. Philipp J Crop Sci. 36(1):38-39. Carpenter RP, Lyon DH, Hasdell TA. 2000. Guidelines for Sensory Analysis in Food Product Development and Quality Control. 2nd edition. Maryland: Aspen Publisher, Inc. Causse M, Saliba-Colombani V, Lecomte L, Duffé P, Rousselle P, Buret M. 2002. QTL analysis of fruit quality in fresh market tomato: a few chromosome regions control the variation of sensory and instrumental traits. J Exp Bot. 53(377):20892098. [CBI] Centre for the Promotion of Imports, Agency of the Ministry of Foreign Affairs of the Netherlands. 2009. Fresh fruit and vegetables: the EU market for papaya [internet]. [diacu 2014 Maret 20] Tersedia dari: http://www.cbi.eu/ system/files/marketintel/2009_-_Papaya1.pdf. Chan HT, Flath RA, Forrey RR, Cavaletto CG, Nakayama TOM, Brekke JE. 1973. Development of off-odors and off-flavors in papaya puree. J Agric Food Chem. 21(4):566-570. Chambers E, Koppel K. 2013. Associations of volatile compounds with sensory aroma and flavor: the complex nature of flavor. Molecules. 18(2013):4887-4905. Chapman KW, Lawless HT, Boor KJ. 2001. Quantitative descriptive analysis and principal component analysis for sensory characterization of ultrapasteurized milk. J Dairy Sci. 84(1):12-20. Chay-Prove P, Ross P, O’Hare P, Macleod N, Kernot I, Evans D, Grice K, Vawdrey L, Richards N, Blair A, Astridge D. 2000. Papaw Information Kit. Agrilink, your growing guide to better farming guide [Manual]. Agrilink Series QAL9910. Queensland (AU). Queensland Horticulture Institute. de Oliveira JG, Vitória AP. 2011. Papaya: nutritional and pharmacological characterization, and quality loss due to physiological disorders - an overview. Food Res Int. 44(5):1306-1313. Dickman MB, Alvarez AM. 1983. Latent infection of papaya caused by Colletotrichum gloeosporioides. Plant Dis. 67(7):748-750. Eduardo I, Chietera G, Pirona R, Pacheco I, Trogio M, Banchi E, Bassi D, Rossini L, Vecchietti A, Pozzi C. 2013. Genetic dissection of aroma volatile compounds from the essential oil of peach fruit: QTL analysis and identification of candidate genes using dense SNP maps. Tree Genet Genomes. 9(1):189-204. Esguerra EB, Maunahan MV, Carmen DR, Absulio WL, Masilungan GD, Collins R, Sun T. 2013. Consumer-orientated quality systems improvement through value-chain analysis of ‘Solo’ papaya fruit. Di dalam: Oakeshott J, Hall D, editor. Proceedings of the ACIAR–PCAARRD Southern Philippines Fruits and Vegetables: smallholder HOPES - horticulture, people and soil; 2012 Juli 3; Cebu, Filipina. Canbera (AU): ACIAR. pp 12-30. Fernández-Trujillo JP, Dos-Santos N, Martínez-Alcaraz R, Le Bleis I. 2013. Nondestructive assessment of aroma volatiles from a climacteric near-isogenic line of melon obtained by headspace stir-bar sorptive extraction. Foods. 2(3):401414.
32 Fuggate P, Wongs-Aree C, Noichinda S, Kanlayanarat S. 2010. Quality and volatile attributes of attached and detached ‘Pluk Mai Lie’ papaya during fruit ripening. Sci Hortic-Amsterdam. 126(2):120–129. Gamagae SU, Sivakumar D, Wijesundera RLC. 2004. Evaluation of post-harvest application of sodium bicarbonateincorporated wax formulation and Candida oleophila for the control of anthracnose of papaya. Crop protect. 23(7):575-579. Hadi MAME, Zhang FJ, Wu FF, Zhou CH, Tao J. 2013. Advances in fruit aroma volatile research. Molecules. 18(2013):8200-8229. Hadiati S, Yulianti S, Sukartini. 2009. Pengelompokan dan jarak genetik plasma nutfah nenas berdasarkan karakter morfologi. J Hort. 19(3):264-274. Hafsah S, Sastrosumarjo S, Sujiprihati S, Sobir, Hidayat SH. 2007. Daya gabung dan heterosis ketahanan pepaya (Carica papaya L.) terhadap penyakit antraknosa. Bul Agron. 35(3):197-204. Hamim I, Alam MZ, Ali MA, Ashrafuzzaman M. 2014. Incidence of post-harvest fungal diseases of ripe papaya in Mymensingh. J Bangladesh Agric Univ. 12(1):25-28. Hasan MF, Mahmud TMM, Kadir J, Ding P, Zaidul ISM. 2012. Sensitivity of Colletotrichum gloeosporioides to sodium bicarbonate on the development of anthracnose in papaya (Carica papaya L. cv. Frangi). AJCS. 6(1):17-22. Hui YH. 2010. Handbook of Fruit and Vegetable Flavors. New Jersey: John Willey & Sons, Inc. Hussin SR, Yee WF, Bojei J. 2010. Essential quality attributes in fresh produce purchase by Malaysian consumers. J Agribusiness Mark. 3(2010):1-19. Hook GL, Kimm GL, Hall T, Smith PA. 2002. Solid-phase microextraction (SPME) for rapid field sampling and analysis by gas chromatography-mass spectrometry (GC-MS). Trends in Analytical Chemistry. 21(8):534-543. Indriyani NLP. 2007. Penampilan fenotipik beberapa hibrida F1 pepaya. J Hort. 17(3):196-202. Kohler U, Luniak M. 2005. Data inspection using biplots. Stata J. 5(2):208-223. Jeleń HH. 2006. Solid-phase microextraction in the analysis of food taints and offflavors. J Chromatogr Sci. 44(8):399-415. Jeleń HH, Majchera M, Dzadias M. 2012. Microextraction techniques in the analysis of food flavor compounds: A review. Anal Chim Acta. 738(2012):1326. Lambropoulou DA, Albanis TA. 2001. Optimization of headspace solid-phase microextraction conditions for the determination of organophosphorus insecticides in natural waters. J Chromatogr A. 922(1-2):243-255. Larsen M, Poll L. 1992. Odour threshold of some important aroma compounds in strawberries. Z Lebensm Unters Forsch. 195(2):120-123. Mackay TFC, Stone EA, Ayroles JF. 2009. The genetics of quantitative traits: challenges and prospects. Nat Rev Genet. 10(2009):565–577. MacLeod AJ, Pieris NM. 1983. Volatile components of pepaya (Carica pepaya L.) with particular reference to glucosinolate products. J Agric Food Chem. 31(1983):1005-1008. Manenoi A, Bayogan ERV, Thumdee S, Paull RE. 2007. Utility of 1methylcyclopropene as a papaya postharvest treatment. J Postharv Biol Technol. 44(2007):55–62.
33 Meilgaard MC, Civille GV, Carr BT. 2007. Sensory Evaluation Techniques 4th Edition. Boca Raton: CRC Press. Ming R, Yu Q, Moore PH. 2007. Review: sex determination in papaya. Semin Cell Dev Biol. 18(3):401–408. Miyazawa T, Gallagher M, Preti G, Wise PM. 2009. Psychometric functions for ternary odor mixtures and their unmixed components. Chem Sense. 34(9):753761. Murray JM, Delahunty CM, Baxter IA. 2001. Descriptive sensory analysis: past, present, and future. J Food Res Int. 34(6): 461-471. Muzdalifah. 2012. Kajian preferensi konsumen terhadap buah-buahan lokal di Kota Banjarbaru. J Agrides. 02(04):297-309. Moya-León MA, Moya M, Herrera R. 2004. Ripening of mountain papaya (Vasconcellea pubescens) and ethylene dependence of some ripening events. J Postharv Biol Technol. 34(2):211–218. Nasution F, Martias, Noflindawati, Budiyanti T. 2011. The response of five tidal swamp grown papaya cultivars from the collection of the Indonesian Tropical Fruit Research Institute (ITFRI) to phosphorus fertilization. J Fruit Ornam Plant Res. 19(1):137-144. Oblando J, Fernández-Trujillo P, Martínez JJA, Alarcón AL, Eduardo I, Arús P, Monforte AJ. 2008. Identification of melon fruit quality quantitative trait loci using near-isogenic lines. J Amer Soc Hort Sci. 133(1):139-151. Ong PKC, Acree TE, Lavin EH. 1998. Characterization of volatiles in rambutan fruit (Nephelium lappaceum L.). J Agric Food Chem. 46(2):611-615. Padmanaban G, Singaravelu K, Annavi ST. 2014. Increasing the shelf- life of papaya through vacuum packing. J Food Sci Technol. 51(1):163-167. Paull RE. 1993. Tropical fruit physiology and storage potential. Di dalam: Cham BR, Highley E, Johnson GI, editor. Postharvest Handling of Tropical Fruits. Canberra: ACIAR. Paull RE, Irikura B, Wu P, Turano H, Chen NJ, Blas A, Fellman JK, Gschwend AR, Wai CM, Yu Q, Presting G, Alam M, Ming R. 2008. Fruit development, ripening and quality related genes in the papaya genome. Tropical Plant Biol. 1(3):246–277. Pino JA. 2014. Odour-active compounds in papaya fruit cv. Red Maradol. J Food Chem. 146(2014):120–126. Pino JA, Almora K, Marbot R. 2003. Volatile components of papaya (Carica papaya L., Maradol variety) fruit. Flavour Fragr J. 18(6): 492-496. Rahman MA, Mahmud TMM, Kadir J, Abdul-Rahman R, Begum MM. 2008. Major postharvest fungal diseases of papaya cv. Sekaki in Selangor, Malaysia. Pertranika J Trop Agric Sci. 31(1):27-34. Reineccius G. 2006. Flavor Chemistry and Technology. 2nd edition. Boca Raton: Taylor & Francis. Ridgway K, Lalljie SPD, Smith RM. 2010. Analysis of food taints and off-flavours: a review. Food Addit Contam. 27(2):146-168. Rivera-López J, Vázquez-Ortiz FA, Ayala-Zavala JF, Sotelo-Mundo RR, González-Aguilar GA. 2005. Cutting shape and storage temperature affect overall quality of fresh-cut papaya cv. ‘Maradol’. J Food Sci. 70(7):S482-S489. Rouseff R, Goodner K. 2011 Traditional flavor and fragrance analysis of raw materials and finished products. Di dalam: Practical Analysis of Flavor and
34 Fragrance Materials. Goodner K, Rouseff R, editor. West Sussex: John Willey & Sons. Saliba-Colombani V, Causse M, Langlois D, Philouze J, Buret M. 2001. Genetic analysis of organoleptic quality in fresh market tomato: 1. Mapping QTLs for physical and chemical traits. Theor Appl Genet. 102(2-3):259–272. Sanimah S, Sarip J. 2015. Metabolomic analysis of Carica papaya variety Eksotika and Sekaki. J Trop Agric and Food Sci. 43(2):103-117. Sancho LEG, Yahia EM, Martínez-Téllez MA, González-Aguilar GA. 2010. Effect of maturity stage of papaya maradol on physiological and biochemical parameters. Am J Agri Biol Sci. 5(2):194-203. Sankat CK, Maharaj R. 1997. Papaya. Di dalam: Mitra SK, editor. Postharvest Physiology and Storage of Tropical and Subtropical Fruits. London: CAB International. Saltveit ME. 1999. Effect of ethylene on quality of fresh fruits and vegetables. J Postharv Biol Technol. 15(3):279–292. Serry NKH. 2011. Postharvest handling of Solo papaya fruits harvested at different maturity stages. American-Eurasian J Agric Environ Sci. 11(2):205-210. Silva JAT, Rashid Z, Nhut DT, Sivakumar D, Gera A, Souza MT, Tennant PF. 2007. Papaya (Carica papaya L.) biology and biotechnology. TSFB. 1(1):47-73. Siregar IZ, Khumaida N, Noviana D, Wibowo MH, Azizah. 2013. Buku Varietas Tanaman Unggul Institut Pertanian Bogor. Bogor: Direktorat Riset dan Inovasi IPB. Sivakumar D, Hewarathgamagae NK, Wijeratnam RSW, Wijesundera RLC. 2002. Effect of ammonium carbonate and sodium bicarbonate on anthracnose of papaya. Phytoparasitica. 30(5):486-492. Sobir. 1999. Identification of co-dominant dna marker tightly linked to Tm-2 locus in tomato. Bul Agron. 27(3):10-14. Sobir. 2009. Sukses Bertanam Pepaya Unggul Kualitas Supermarket. Jakarta: AgroMedia. Sousa A, Souza-Neto MA, Garruti DS, Sousa J, de Brito ES. 2010. Evaluation of noni (Morinda citrifolia) volatile profile by dynamic headspace and gas chromatography-mass spectrometry. Ciênc Tecnol Aliment. 30(3): 641-644. Storey WB. 1969. Papaya (Carica papaya L.). Di dalam: Ferwerda FP, Wit F, editor. Outlines of Perennial Crop Breeding Inthetropics.Wageningen: H Veenman & Zonenn VW. Sujiprihati S, Suketi K. 2012. Budi Daya Pepaya Unggul. Jakarta: Penebar Swadaya. hlm 17-39. Suketi K, Poerwanto R, Sujiprihati S, Sobir, Widodo WD. 2010a. Studi karakter mutu buah pepaya IPB. J Hort Indonesia. 1(1):17-26. Suketi K, Poerwanto R, Sujiprihati S, Sobir, Widodo WD. 2010b. Karakter fisik dan kimia buah pepaya pada stadia kematangan berbeda. J Agron Indonesia. 38(1):60-66. Teoh CC, Badaruzzaman MN, Zamharir AM, Rohazrin AR. 2012. Performance of papaya sizing machine. J Trop Agric and Food Sci. 40(2):281-287. Ulrich D, Wijaya CH. 2010. Volatile patterns of different pepaya (Carica pepaya L.) varieties. J Appl Bot Food Qual. 83(2):128-132. [UPOV] International Union for The Protection of New Varieties of Plants. 2010. Guidelines for the conduct of tests for distinctness, uniformity and stability
35 papaya [internet]. [diacu 2015 Januari 15] Tersedia dari: http://www.upov.int/ edocs/tgdocs/en/tg264.pdf. Vas G, Vékey K. 2004. Solid-phase microextraction: a powerful sample preparation tool prior to mass spectrometric analysis. J Mass Spectrom. 39(3):233-254. Waghmare RB, Annapure US. 2013. Combined effect of chemical treatment and/or modified atmospherepackaging (MAP) on quality of fresh-cut papaya. J Postharv Biol Technol. 85(2013):147–153. Wilkes JG, Conte ED, Kim Y, Holcomb M, Sutherland JB, Miller DW. 2000. Review: sample preparation for the analysis of flavors and off-flavors in foods. J Chromatogr A. 880(1-2):3 –33. Wijaya CH, Chen F. 2013. Flavour of papaya (Carica papaya L.) fruit. Biotropia. 20(1):50-71. Wijaya CH, Ulrich D, Lestari R, Schippel K, Ebert G. 2005. Identification of potent odorants in different cultivars of snake fruit [Salacca zalacca (Gaert.) Voss] using gas chromatography-olfactometry. J Agric Food Chem. 53(5):1637-1641. Workneh TS, Azene M, Tesfay SZ. 2012. A review on the integrated agrotechnology of papaya fruit. Afr J Biotechnol. 11(85):15098-15110. Yanty NAM, Marikkar JMN, Nusantoro BP, Long K, Ghazali HM. 2014. Physicochemical characteristics of papaya (Carica papaya L.) seed oil of the Hong Kong/Sekaki variety. J Oleo Sci. 63(9):885-892. Zhang LX, Paul RE. 1990. Ripening behavior of papaya genotypes. J Hortic Sci. 25(4): 454-455. Zulkarnain. 2009. Dasar-Dasar Hortikultura. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
36 Lampiran 1 Kuesioner untuk seleksi awal panelis Tanggal: ______________________ Nama Jenis Kelamin Usia Alamat No. Hp yang bisa dihubungi
: ................................................... : Laki-laki / Perempuan * : ............Tahun : .................................................... : ....................................................
1.
Apakah Anda pernah mengenal uji sensori menggunakan metode Quantitative Descriptive Analysis (QDA)? Jika “Ya”, darimana?
2.
Apakah Anda berminat mengikuti seluruh prosedur seleksi, training panelis, dan pengujian dalam QDA? Ya / Tidak *
WAKTU 3. Dari hari Senin – Jumat, kapan Anda tidak datang ke kampus dan tidak dapat melakukan pengujian sensori? Jika datang ke kampus, dari jam 08.00-16.00 jam berapa Anda dapat melakukan pengujian sensori?
RIWAYAT KESEHATAN 4. Riwayat kesehatan: Jenis Penyakit Diabetes Hipoglikemia Hipertensi Gangguan rongga mulut dan gigi Gangguan saluran penciuman/pernafasan Alergi makanan (sebutkan) 5.
Ya/Tidak
Obat yang Dikonsumsi
Apakah Anda merokok? Ya / Tidak *
KEBIASAAN MAKAN 6. Apakah Anda sedang melakukan diet atau pembatasan makanan tertentu? Jika “Ya” jelaskan!
7.
Apakah Anda sarapan setiap pagi? Jam berapa?
8.
Apakah Anda rutin mengkonsumsi buah-buahan?
Ya / Tidak *
37 9.
Buah apa yang biasa/sering Anda konsumsi?
10. Apakah Anda menyukai buah pepaya? Ya / Tidak * 11. Jika “Ya”, bagaimana tingkat kesukaan Anda terhadap buah pepaya? Sangat suka / Suka / Tidak terlalu suka * 12. Apa yang Anda ketahui mengenai ciri khas buah pepaya?
DESKRIPSI PEPAYA YANG DISUKAI 13. Deskripsikan bentuk dan ukuran buah pepaya yang Anda sukai?
14. Deskripsikan warna daging buah pepaya yang Anda sukai?
15. Deskripsikan aroma daging buah pepaya yang Anda sukai?
16. Deskripsikan rasa daging buah pepaya yang Anda sukai?
17. Deskripsikan tekstur buah pepaya yang Anda sukai?
* coret yang tidak perlu
38 KEMAMPUAN MENSKALA: Contoh:
39 Lampiran 2 Sesi pelatihan panelis QDA Sesi 1
2
3 4 5 6
Kegiatan a. Penjelasan: - Aturan umum dalam uji sensori - Off-flavor b. Pelatihan deskripsi kualitatif atribut sensori sampel representatif a. Familirisasi standar referensi aroma + terminologi (dan pengembangan definisinya) b.Penentuan cara penilaian rasa dan aroma c. Penentuan skor dari standar referensi d.Familirisasi metode pengujian skala garis Pelatihan kuantitatif rasa dan aroma dengan standar Diskusi penentuan skor standar referensi yang dikonversi menggunakan buah pepaya Simulasi uji kuantitatif rasa dan aroma menggunakan buah pepaya Telaah ulang standar referensi kuantitatif
Lampiran 3 Terminologi dan deskripsi standar referensi (R) aroma No. 1
Senyawa R Terminologi Asam dekanoat Fatty-waxy
2
Asam butanoat
3
2-Metil butanal Stale-green fecal
4
Metil butanoat
Stinky- sour
Sweaty
Deskripsi aroma merupakan hasil FGD panelis
Deskripsi Aroma Tengik, apek, sedikit kecut (minyak kelapa teroksidasi) Asam, tengik, busuk, seperti aroma sampah organik Kacang tanah sangrai, gosong, pahit, eneg Aseton, balon tiup, tajam, buah fermentasi (fruity, kecut)
40 Lampiran 4 Kuesioner pengujian QDA UJI AROMA PEPAYA SECARA KUANTITATIF Nama : ____________________ Tanggal : ____________________ Sampel : Pepaya Instruksi: Di hadapan Anda disajikan 3 sampel pepaya yang akan dinilai intensitas odor (aroma yang tercium melalui hidung) dan flavor-by-mouth (aroma yang keluar saat memakan pepaya dan diterima oleh sensor hidung) dengan cara membandingkan tiap sampel terhadap R (referensi). Cara pengujian: 1. Goyang botol R secara perlahan, buka tutupnya dan sesegera mungkin cium aroma yang keluar dari botol dalam sekali hirup (tidak boleh diulang), segera tutup botolnya. 2. Ingat-ingat intensitas R (skor masing-masing R tercantum di bawah). 3. Berikan jeda selama 30-60 detik hingga tidak jenuh. 4. Potong dan cacah sampel sepanjang ±½ cm menggunakan garpu, lalu segera cium odor dalam sekali hirup. 5. Bandingkan odor sampel terhadap R, nilailah intensitas sampel pada skala garis (beri tanda | atau X beserta kode sampelnya). 6. Potong kembali sampel sepanjang ±½ cm menggunakan garpu, lalu segera makan dan deteksi intensitas flavor-by-mouth sampel. 7. Bandingkan flavor-by-mouth sampel terhadap R, nilailah intensitas sampel pada skala garis (beri tanda | atau X beserta kode sampelnya). 8. Sebagai penetral, gunakan aroma badan Anda atau kopi bubuk yang telah disediakan. 9. Istirahatkan hidung Anda selama 3-5 menit, sebelum memulai pengujian sampel selanjutnya. Fatty-waxy (Deskripsi: tengik, apek, kecut/asam atau seperti minyak kelapa yang tengik)
Sweaty (Fruity-cheese) (Deskripsi: gas balon tiup, asam, manis, sedikit aroma keju)
41 Stinky-sour (Deskripsi: aroma sampah organik basah yang busuk dan asam)
Stale green-fecal (Deskripsi: aroma kacang sangrai hingga gosong/pahit, tengik dan eneg, sedikit aroma tanah basah)
__________________________________________________________________ UJI RASA PEPAYA SECARA KUANTITATIF Nama : ____________________ Tanggal : ____________________ Instruksi: Di hadapan Anda disajikan 3 sampel pepaya yang akan dinilai intensitas rasanya dengan cara dibandingkan terhadap R (referens). Cara pengujian: 1. Kumurlah menggunakan sedikit air yang telah disediakan, lalu telan. 2. Sendoklah larutan kode R menggunakan sendok yang disediakan, tuang ke dalam sendok Anda dan cicipi (ratakan larutan ke seluruh permukaan lidah dan deteksi intensitasnya, tidak boleh diulang), lalu telan. Ingat-ingat intensitas R. 3. Berikan jeda selama 30-60 detik atau bilas dengan air (hingga lidah tidak jenuh), lalu coba sampel berkode. 4. Potong sampel sepanjang ±½ cm menggunakan garpu, lalu segera makan dan deteksi intensitas rasanya. Bandingkan rasa sampel terhadap R. 5. Nilailah intensitas rasa sampel pada skala garis di bawah dengan memberi tanda ( | atau X ) dan berikan kode sampel di bawah tanda tersebut. 6. Netralkan lidah Anda dengan berkumur menggunakan sedikit air yang telah disediakan. 7. Istirahatkan lidah Anda selama 3-5 menit, sebelum memulai pengujian sampel selanjutnya. Asam
Pahit
42 Lampiran 5 ANOVA hasil analisis morfologi Oneway ANOVA Berat
Between Groups Within Groups Total Panjang Between Groups Within Groups Total Diameter Between Groups Within Groups Total W.kulit Between Groups Within Groups Total W.daging Between Groups Within Groups Total Tebal Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 9210013.472 2272750.167 11482763.639 691.247 143.740 834.986 107.282 22.845 130.127 1018.929 585.607 1604.537 2665.030 280.348 2945.377 7.931 4.467 12.398
df 5 30 35 5 30 35 5 30 35 5 30 35 5 30 35 5 30 35
Mean Square F Sig. 1842002.694 24.314 .000 75758.339 138.249 4.791
28.854 .000
21.456 .761
28.177 .000
203.786 19.520
10.440 .000
533.006 9.345
57.037 .000
1.586 .149
10.653 .000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Berat Duncana Subset for alpha = 0.05 Sampel N 1 2 3 4 Carisya 6 419.67 Burung 6 577.50 Callina 6 1026.33 Merah 6 1372.33 Delima Sukma 6 1475.33 Bangkok 6 1862.67 Sig. .329 1.000 .522 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
43 Panjang Duncana Subset for alpha = 0.05 1 2 3 16.10400 16.16250 19.88667
Sampel N Burung 6 Carisya 6 Callina 6 Merah 6 23.11583 Delima Bangkok 6 Sukma 6 Sig. .963 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
4
26.04500 27.13750 .394
Diameter Duncana Subset for alpha = 0.05 1 2 3 7.09250 9.58833
Sampel N Carisya 6 Callina 6 Merah 6 10.36417 10.36417 Delima Burung 6 11.23900 Sukma 6 Bangkok 6 Sig. 1.000 .134 .093 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. W.kulit Duncana Subset for alpha = 0.05 1 2 3 58.5683 60.8750 66.7500
Sampel N Carisya 6 Burung 6 Callina 6 Merah 6 68.4683 68.4683 Delima Sukma 6 70.7800 70.7800 Bangkok 6 73.7817 Sig. .373 .145 .057 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
4
11.23900 11.53750 .558
5
11.53750 12.47000 .074
44 W.daging Duncana Subset for alpha = 0.05 1 2 3 43.2983 45.5300
Sampel N Carisya 6 Bangkok 6 Merah 6 45.8000 Delima Callina 6 51.3933 Sukma 6 52.9850 Burung 6 69.0133 Sig. .191 .374 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. Tebal Duncana Subset for alpha = 0.05 1 2 3 2.60317 2.67350 3.16450 3.23800 3.23800 3.68917
Sampel N Carisya 6 Burung 6 Callina 6 Sukma 6 Bangkok 6 Merah 6 Delima Sig. .754 .744 .052 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000.
4
3.68917 3.86833 .428
45
Lampiran 6 Hasil GC-MS senyawa target Rata-rata konsentrasi relatif (µg/g) Senyawa Metil butanoat Asam butanoat Asam heksanoat Asam oktanoat
LRI
LRIref.
Carisya
Callina
Sukma
Burung
Merah Delima
Bangkok
Metode identifikasia
0,0090±0,0019 0,0212±0,0034 0,0092±0,0004 997 9901 1 0,0810±0,0129 0,0174±0,0033 0,0157±0,0016 0,0645±0,0150 0,0176±0,0029 0,0352±0,0024 1632 1628 1822 17971 0,0620±0,0048 0,0029±0,0009 0,0019±0,0003 0,0350±0,0072 0,0064±0,0008 0,0073±0,0013 0,0064±0,0012 2023 20252 0,0093±0,0002
B A, B A, B A, B
LRI ref. diperoleh dari 1Goodner (2008) dan 2Pino (2014) a Metode identifikasi: (A) membandingkan spektra massa sampel dengan spektra yang ada di library NIST 05a, (B) membandingkan LRI sampel dengan LRI referensi saja
Contoh perhitungan konsentrasi relatif: Asam butanoat pada pepaya Carisya Diketahui: Berat bahan = 201,62 g Berat supernatan total = 298,66 g Berat supernatan dalam botol (ulangan 1) = 10,7671 g Berat supernatan dalam botol (ulangan 2) = 10,7900 g Berat SI yang ditimbang = 1 g Volume total larutan SI = 106 ml Volume SI yang ditambahkan ke dalam sampel = 75 µl Area asam butanoat (ulangan 1) = 10.584.411 Area asam butanoat (ulangan 2) = 11.882.494 Area SI (ulangan 1) = 1.604.056 Area SI (ulangan 2) = 1.304.050
Jawab: Berat SI dalam sampel g SI timbang = × ml SI yang ditambah ke sampel ml total lar. SI 1g = × 0,075 ml 106 ml = 7,5 x 10-8 g Berat sampel dalam botol (ulangan 1) g bahan = × g supernatan dalam botol (1) g superatan total 201,62 g = × 10,7671 g 298,66 g = 7,2687 g
46 2 Konsentrasi asam butanoat (ulangan 1) Area senyawa X Berat SI dalam sampel (g) =[ × ] × 106 µg/g Area SI Berat sampel dalam botol (g) 10.584.411 7,5 x 10−8 g =[ × ] × 106 µg/g 1.604.056 7,2687 g = 0,0681 µg/g
Konsentrasi asam butanoat (ulangan 2) Area senyawa X Berat SI dalam sampel (g) =[ × ] × 106 µg/g Area SI Berat sampel dalam botol (g) 11.882.494 7,5 x 10−8 g =[ × ] × 106 µg/g 1.304.050 7,2841 g = 0,0938 µg/g
Berat sampel dalam botol (ulangan 2) g bahan = × g supernatan dalam botol (1) g superatan total 201,62 g = × 10,7900 g 298,66 g = 7,2841 g
Rata-rata konsentrasi asam butanoat pada pepaya Carisya (0,0681 + 0,0938)µg/g = 2 = 0,0810 µg/g
47 Lampiran 7 PCA hasil analisis sensori off-flavor dan konsentrasi relatif senyawa off-flavor Summary statistics: Variable
Observ.
R. Asam R. Pahit O. Fatty-waxy O. Sweaty O. Stinky-sour O. Stale green-fecal F. Fatty-waxy F. Sweaty F. Stinky-sour F. Stale green-fecal Metil.butanoat As.butanoat As.heksanoat As.oktanoat
Obs. without missing data
Observ. with miss. data
6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Minimum 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
4.160 4.247 5.127 5.473 6.467 2.300 4.773 5.653 7.007 2.560 0.000 0.016 0.002 0.000
Maximum 6.947 7.507 9.067 8.260 9.547 3.873 7.933 9.033 9.547 3.273 0.021 0.081 0.062 0.009
Mean 5.612 5.369 6.830 7.082 7.768 2.890 6.172 7.429 8.191 2.869 0.007 0.039 0.019 0.003
Std. deviation 1.092 1.264 1.448 1.127 1.223 0.551 1.040 1.352 1.006 0.286 0.008 0.028 0.024 0.004
Correlation matrix (Pearson (n)): Variables
R. Asam
R. Pahit
O. Fattywaxy
O. Sweaty
R. Asam 1 0.249 0.444 -0.742 R. Pahit 0.249 1 0.976 -0.388 O. Fatty-waxy 0.444 0.976 1 -0.517 O. Sweaty -0.742 -0.388 -0.517 1 O. Stinky-sour 0.053 0.919 0.875 -0.110 O. Stale green-fecal -0.397 -0.041 -0.161 0.177 F. Fatty-waxy 0.173 0.694 0.638 -0.464 F. Sweaty -0.795 -0.220 -0.369 0.970 F. Stinky-sour 0.328 0.662 0.686 -0.164 F. Stale green-fecal -0.511 0.163 0.006 0.565 Metil.butanoat 0.511 0.704 0.739 -0.775 As.butanoat 0.143 0.847 0.820 0.011 As.heksanoat -0.008 0.709 0.659 0.261 As.oktanoat -0.001 0.780 0.724 0.204 Values in bold are different from 0 with a significance level alpha=0.05
O. Stinkysour 0.053 0.919 0.875 -0.110 1 -0.250 0.410 0.051 0.562 0.127 0.465 0.879 0.809 0.876
O. Stale greenfecal -0.397 -0.041 -0.161 0.177 -0.250 1 0.461 0.255 0.229 0.780 -0.089 -0.017 0.001 -0.050
F. Fattywaxy 0.173 0.694 0.638 -0.464 0.410 0.461 1 -0.370 0.347 0.386 0.818 0.376 0.238 0.322
F. Sweaty -0.795 -0.220 -0.369 0.970 0.051 0.255 -0.370 1 0.001 0.642 -0.730 0.175 0.400 0.340
F. Stinky- F. Stale green- Metil. sour fecal butanoat 0.328 0.662 0.686 -0.164 0.562 0.229 0.347 0.001 1 0.365 0.164 0.852 0.779 0.717
-0.511 0.163 0.006 0.565 0.127 0.780 0.386 0.642 0.365 1 -0.185 0.378 0.496 0.458
0.511 0.704 0.739 -0.775 0.465 -0.089 0.818 -0.730 0.164 -0.185 1 0.266 0.066 0.189
As. butanoat 0.143 0.847 0.820 0.011 0.879 -0.017 0.376 0.175 0.852 0.378 0.266 1 0.966 0.967
As. heksanoat -0.008 0.709 0.659 0.261 0.809 0.001 0.238 0.400 0.779 0.496 0.066 0.966 1 0.986
As. oktanoat -0.001 0.780 0.724 0.204 0.876 -0.050 0.322 0.340 0.717 0.458 0.189 0.967 0.986 1
48 Principal Component Analysis: Eigenvalues: F1 Eigenvalue 6.610 Variability (%) 47.211 Cumulative % 47.211
Factor loadings: F2 4.244 30.318 77.529
F3 1.943 13.875 91.404
F4 0.924 6.597 98.001
F5 0.280 1.999 100.000
Scree plot 7
100
80
Eigenvalue
5 60
4 3
40
2 20
Cumulative variability (%)
6
1 0
R. Asam R. Pahit O. Fatty-waxy O. Sweaty O. Stinky-sour O. Stale green-fecal F. Fatty-waxy F. Sweaty F. Stinky-sour F. Stale green-fecal Metil.butanoat As.butanoat As.heksanoat As.oktanoat
F1 0.308 0.973 0.962 -0.302 0.897 -0.013 0.638 -0.142 0.787 0.253 0.602 0.928 0.818 0.862
F2 -0.744 -0.098 -0.251 0.915 0.115 0.400 -0.219 0.976 0.183 0.773 -0.657 0.305 0.509 0.440
F3 -0.184 0.041 -0.050 -0.163 -0.263 0.878 0.702 -0.126 0.020 0.550 0.306 -0.178 -0.232 -0.218
F4 0.485 -0.182 -0.062 -0.106 -0.318 0.220 -0.192 -0.109 0.564 0.075 -0.304 0.116 0.107 -0.030
F5 0.287 -0.098 -0.065 0.185 -0.115 -0.142 0.122 0.014 -0.168 0.176 0.140 -0.022 0.083 0.122
F3 -0.184 0.041 -0.050 -0.163 -0.263 0.878 0.702 -0.126 0.020 0.550 0.306 -0.178 -0.232 -0.218
F4 0.485 -0.182 -0.062 -0.106 -0.318 0.220 -0.192 -0.109 0.564 0.075 -0.304 0.116 0.107 -0.030
F5 0.287 -0.098 -0.065 0.185 -0.115 -0.142 0.122 0.014 -0.168 0.176 0.140 -0.022 0.083 0.122
0 F1
F2
F3
F4
F5
Correlations between variables and factors:
axis
Eigenvectors: F1 R. Asam R. Pahit O. Fatty-waxy O. Sweaty O. Stinky-sour O. Stale green-fecal F. Fatty-waxy F. Sweaty F. Stinky-sour F. Stale green-fecal Metil.butanoat As.butanoat As.heksanoat As.oktanoat
0.120 0.378 0.374 -0.117 0.349 -0.005 0.248 -0.055 0.306 0.099 0.234 0.361 0.318 0.335
F2 -0.361 -0.048 -0.122 0.444 0.056 0.194 -0.106 0.474 0.089 0.375 -0.319 0.148 0.247 0.214
F3 -0.132 0.030 -0.036 -0.117 -0.189 0.630 0.504 -0.091 0.014 0.395 0.219 -0.127 -0.166 -0.156
F4 0.505 -0.189 -0.065 -0.111 -0.331 0.229 -0.200 -0.114 0.587 0.078 -0.316 0.121 0.111 -0.031
F5 0.543 -0.184 -0.122 0.349 -0.217 -0.268 0.231 0.026 -0.318 0.332 0.264 -0.042 0.157 0.231
R. Asam R. Pahit O. Fatty-waxy O. Sweaty O. Stinky-sour O. Stale green-fecal F. Fatty-waxy F. Sweaty F. Stinky-sour F. Stale green-fecal Metil.butanoat As.butanoat As.heksanoat As.oktanoat
F1 0.308 0.973 0.962 -0.302 0.897 -0.013 0.638 -0.142 0.787 0.253 0.602 0.928 0.818 0.862
F2 -0.744 -0.098 -0.251 0.915 0.115 0.400 -0.219 0.976 0.183 0.773 -0.657 0.305 0.509 0.440
49 Squared cosines of the variables:
Variables (axes F1 and F2: 77.53 %) 1
F. Sweaty O. Sweaty F. Stale green-fecal
0.75
As.heksanoat As.oktanoat
0.5 O. Stale green-fecal
As.butanoat
F2 (30.32 %)
0.25
F. Stinky-sour O. Stinky-sour 0
R. Pahit F. Fatty-waxy O. Fatty-waxy
-0.25
-0.5 Metil.butanoat R. Asam
-0.75
-1 -1
-0.75
-0.5
-0.25
0
0.25
0.5
0.75
1
F2 13.038 0.227 1.488 19.723 0.309 3.762 1.130 22.424 0.793 14.060 10.183 2.185 6.107 4.570
F3 1.737 0.087 0.131 1.363 3.555 39.726 25.351 0.823 0.020 15.572 4.805 1.623 2.760 2.445
F4 25.463 3.574 0.420 1.227 10.927 5.226 3.994 1.298 34.453 0.608 10.008 1.469 1.235 0.096
F1 0.095 0.946 0.926 0.091 0.804 0.000 0.408 0.020 0.619 0.064 0.362 0.862 0.669 0.743
F2 0.553 0.010 0.063 0.837 0.013 0.160 0.048 0.952 0.034 0.597 0.432 0.093 0.259 0.194
F3 0.034 0.002 0.003 0.026 0.069 0.772 0.492 0.016 0.000 0.302 0.093 0.032 0.054 0.047
F4 0.235 0.033 0.004 0.011 0.101 0.048 0.037 0.012 0.318 0.006 0.092 0.014 0.011 0.001
F5 0.083 0.010 0.004 0.034 0.013 0.020 0.015 0.000 0.028 0.031 0.020 0.000 0.007 0.015
Values in bold correspond for each variable to the factor for which the squared cosine is the largest
F1 (47.21 %)
Contribution of the variables (%): F1 R. Asam 1.440 R. Pahit 14.315 O. Fatty-waxy 14.014 O. Sweaty 1.376 O. Stinky-sour 12.161 O. Stale green-fecal 0.002 F. Fatty-waxy 6.168 F. Sweaty 0.303 F. Stinky-sour 9.372 F. Stale green-fecal 0.972 Metil.butanoat 5.483 As.butanoat 13.037 As.heksanoat 10.120 As.oktanoat 11.237
R. Asam R. Pahit O. Fatty-waxy O. Sweaty O. Stinky-sour O. Stale green-fecal F. Fatty-waxy F. Sweaty F. Stinky-sour F. Stale green-fecal Metil.butanoat As.butanoat As.heksanoat As.oktanoat
F5 29.496 3.402 1.491 12.183 4.698 7.209 5.357 0.068 10.114 11.017 6.986 0.176 2.463 5.340
Factor scores: Observation Burung Carisya Bangkok Sukma Callina Merah Delima
F1 4.034 2.638 0.244 -1.790 -2.673 -2.453
F2 -1.070 2.967 -2.576 -1.804 0.112 2.370
F3 0.973 -1.419 0.295 -0.402 -1.760 2.313
F4 -1.282 0.818 1.438 0.050 -1.074 0.049
F5 -0.025 0.176 -0.566 1.012 -0.548 -0.050
50 Contribution of the observations (%):
Observations Variables (axes (axes F1F1 and and F2:F2: 77.53 77.53 %)%) 1 3
F. Sweaty O. Sweaty
Carisya
Merah Delima
0.75 2
F. Stale green-fecal
As.heksanoat As.oktanoat
0.5 O. Stale green-fecal
1 0.25
F2 (30.32 %) F2 (30.32 %)
Burung Carisya Bangkok Sukma Callina Merah Delima
As.butanoat F. Stinky-sour O. Stinky-sour
Callina
0
R. Pahit
F2 4.493 34.568 26.050 12.780 0.049 22.060
F3 8.115 17.279 0.745 1.385 26.566 45.910
F4 29.657 12.086 37.339 0.046 20.829 0.044
F5 0.038 1.849 19.049 61.048 17.867 0.149
F. Fatty-waxy O. Fatty-waxy
-0.25 -1
Burung
-0.5
Squared cosines of the observations:
Sukma
-2
Metil.butanoat
-0.75
R. Asam
Bangkok
-3 -1 -3 -1
-2 -0.75
-1 -0.5
0 -0.25
1 0
F1 (47.21 %) F1 (47.21 %)
2 0.25
3 0.5
4 0.75
F1 F2 F3 F4 F5 Burung 0.813 0.057 0.047 0.082 0.000 Carisya 0.377 0.476 0.109 0.036 0.002 Bangkok 0.006 0.724 0.009 0.226 0.035 Sukma 0.419 0.426 0.021 0.000 0.134 Callina 0.610 0.001 0.264 0.099 0.026 Merah Delima 0.354 0.331 0.315 0.000 0.000 Values in bold correspond for each observation to the factor for which the squared cosine is the largest
5 1
Biplot (axes F1 and F2: 77.53 %) 1.5
Merah Delima
1
O. Stale greenfecal
Callina
0
Carisya
F. Sweaty O. Sweaty F. Stale greenfecal
0.5
F2 (30.32 %)
F1 41.030 17.552 0.150 8.075 18.022 15.171
As.heksanoat As.oktanoat As.butanoat F. Stinky-sour O. Stinky-sour R. Pahit F. Fatty-waxy O. Fatty-waxy
Burung
-0.5
Metil.butanoat R. Asam
Sukma
-1
Bangkok -1.5
-2
-1.5
-1
-0.5
0
F1 (47.21 %)
0.5
1
1.5
2
51
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Malang (Jawa Timur) pada tanggal 1 September 1989, sebagai anak ketiga dari 4 bersaudara yang merupakan anak pasangan Bapak Idradjat Krisno dan (Almarhumah) Ibu Asri Hermawati. Setelah lulus dari SMA Negeri 3 Malang pada tahun 2007, penulis melanjutkan pendidikan Sarjana di Universitas Sebelas Maret jurusan Teknologi Hasil Pertanian dan meraih gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada tahun 2011. Pada tahun 2012 penulis melanjutkan pendidikan program Magister di Institut Pertanian Bogor pada program studi Ilmu Pangan dan lulus pada tahun 2015 dengan penelitian berjudul “Korelasi Off-flavor dengan Morfologi Buah dari Beberapa Varietas Pepaya (Carica papaya L.)”. Hasil penelitian ini telah diajukan ke Jurnal Hortikultura untuk dipublikasi (saat ini dalam tahap telaah editor).