KAJIAN EKONOMI REGIONAL Propinsi Sumatera Selatan
Triwulan II - 2009
Kantor Bank Indonesia Palembang
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya ”Kajian Ekonomi Regional Propinsi Sumatera Selatan Triwulan II 2009” dapat dipublikasikan. Buku ini menyajikan berbagai informasi mengenai perkembangan beberapa indikator perekonomian daerah khususnya bidang moneter, perbankan, sistem pembayaran, dan keuangan daerah, yang selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan internal Bank Indonesia juga sebagai bahan informasi bagi pihak eksternal. Selanjutnya kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan data dan informasi yang diperlukan bagi penyusunan buku ini. Harapan kami, hubungan kerja sama yang baik selama ini dapat terus berlanjut dan ditingkatkan lagi pada masa yang akan datang. Kami juga mengharapkan masukan dari berbagai pihak guna lebih meningkatkan kualitas buku kajian ini sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan berkah dan karunia-Nya serta kemudahan kepada kita semua dalam upaya menyumbangkan pemikiran dalam pengembangan ekonomi regional khususnya dan pengembangan ekonomi nasional pada umumnya.
Palembang, 3 Agustus 2009
Ttd
Endoong Abdul Gani Pemimpin
Daftar Isi
Halaman ini sengaja dikosongkan This page is intentionally blank
ii
Daftar Isi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GRAFIK
ix
INDIKATOR EKONOMI
xiii
RINGKASAN EKSEKUTIF
1
BAB I
PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO REGIONAL
7
1.1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional Secara Tahunan
7
KONDISI USAHA DALAM MASA PEMULIHAN
9
1.2. Perkembangan Ekonomi Makro Regional Secara Triwulanan
13
1.3. Perkembangan PDRB Dari Sisi Penggunaan
20
1.4. Struktur Ekonomi
23
1.5. Perkembangan Ekspor Impor
25
1.5.1. Perkembangan Ekspor
25
1.5.2. Perkembangan Impor
27
Suplemen 1
Suplemen 2
BAB II
Suplemen 3
RINGKASAN PENELITIAN : DAMPAK KRISIS FINANSIAL GLOBAL TERHADAP PEREKONOMIAN SUMATERA SELATAN
29
PERKEMBANGAN INFLASI PALEMBANG
39
2.1. Inflasi Tahunan
39
2.2. Inflasi Bulanan
42
2.3. Pemantauan Harga oleh Bank Indonesia Palembang
46
2.4. Upaya Tim Pengendalian Inflasi Daerah
49
REVISI PROYEKSI INFLASI PALEMBANG TAHUN 2009
51
iii
Daftar Isi
BAB III
PERKEMBANGAN PERBANKAN DAERAH
53
3.1. Kondisi Umum
53
3.2. Kelembagaan
54
3.3. Penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK)
55
3.3.1. Penghimpunan DPK
55
3.3.2. Penghimpunan DPK Menurut Kabupaten/Kota
56
3.4. Penyaluran Kredit/Pembiayaan 3.4.1. Penyaluran Kredit/Pembiayaan Secara Sektoral
57
3.4.2. Penyaluran Kredit/Pembiayaan Menurut Penggunaan
58
3.4.3. Penyaluran Kredit/Pembiayaan Menurut Kabupaten
59
3.4.4. Penyaluran Kredit/Pembiayaan Menengah (UMKM) Suplemen 4
Suplemen 5
Suplemen 6
iv
57
Usaha
Mikro
Kecil 60
RINGKASAN HASIL QUICK SURVEY DAMPAK KRISIS KEUANGAN GLOBAL TERHADAP UMKM
63
3.5. Perkembangan Suku Bunga Perbankan di Sumatera Selatan
65
3.5.1. Perkembangan Suku Bunga Simpanan
65
3.5.2. Perkembangan Suku Bunga Pinjaman
66
3.5.3. Perkembangan Spread Suku Bunga
66
SISTEM INTEGRASI SAPI DI PERKEBUNAN SAWIT PELUANG DAN TANTANGANNYA
67
3.6. Kualitas Penyaluran Kredit/Pembiayaan
71
3.7. Kelonggaran Tarik
72
3.8. Risiko Likuiditas
72
3.9. Perkembangan Bank Umum Syariah
73
3.10. Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat
74
KINERJA PERBANKAN CUKUP BAIK, NAMUN PERLU MEWASPADAI TEKANAN KENAIKAN NPL DAN PENURUNAN KEMAMPUAN MENCETAK LABA
76
Daftar Isi
BAB IV
BAB V
BAB VI
PERKEMBANGAN KEUANGAN DAERAH
81
4.1. Realisasi APBD Semester I 2009
81
4.2. Potensi Realisasi APBD pada Semester II 2009
84
PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN
87
5.1. Perkembangan Kliring dan Real Time Gross Settlement (RTGS)
87
5.2. Perkembangan Perkasan
90
5.3. Perkembangan Kas Titipan Lubuk Linggau
92
PERKEMBANGAN KESEJAHTERAAN
KETENAGAKERJAAN
DAERAH
DAN 95
6.1. Ketenagakerjaan
95
6.2. Pengangguran
97
6.3. Tingkat Kemiskinan
98
6.4. Nilai Tukar Petani
100
6.5. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
101
Suplemen 7
INDEKS KEYAKINAN KONSUMEN PALEMBANG DI TENGAH MASA PEMULIHAN EKONOMI 104
BAB VII
OUTLOOK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN INFLASI DAERAH
109
7.1. Pertumbuhan Ekonomi
109
7.2. Inflasi
112
7.3. Perbankan
113
DAFTAR ISTILAH
v
Daftar Isi
Halaman ini sengaja dikosongkan This page is intentionally blank
vi
Daftar Tabel
DAFTAR TABEL Tabel 1.1
Laju Pertumbuhan Tahunan (yoy) Sektoral PDRB Propinsi Sumatera Selatan ADHK 2000 (%)
8
Laju Pertumbuhan Triwulanan (qtq) Sektoral PDRB Propinsi Sumatera Selatan ADHK 2000 (%)
13
Realisasi Luas Tanam (LT) dan Luas Panen (LP) Propinsi Sumatera Selatan (dalam Ha)
16
Pertumbuhan Ekonomi Tahunan (yoy) Propinsi Sumatera Selatan ADHK 2000 menurut Penggunaan Tahun 2008-2009 (%)
20
Pertumbuhan Ekonomi Triwulanan (qtq) Propinsi Sumatera Selatan ADHK 2000 menurut Penggunaan Tahun 2008-2009 (%)
23
Struktur Ekonomi Sektoral Propinsi Sumatera Selatan Tahun 20082009
24
Struktur Ekonomi Penggunaan Propinsi Sumatera Selatan Tahun 20082009
24
Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Utama Propinsi Sumatera Selatan (USD)
25
Perkembangan Bulanan Nilai Ekspor Komoditas Utama Propinsi Sumatera Selatan (Juta USD)
25
Statistika Deskriptif Inflasi Tahunan Palembang dan Nasional Januari 2003 – Juni 2009
42
Pertumbuhan DPK Perbankan Propinsi Sumatera Selatan (dalam Rp Juta)
56
Tabel 3.2
Perkembangan Kredit Sektoral Propinsi Sumatera Selatan (Rp Triliun)
57
Tabel 3.3
Perkembangan Penyaluran Kredit/Pembiayaan Perbankan Propinsi Sumatera Selatan (dalam Rp Juta)
59
Tabel 3.4
Perkembangan Bank Umum Syariah di Sumatera Selatan (Rp Juta)
73
Tabel 3.5
Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat di Sumatera Selatan
74
Tabel 4.1
APBD Sumsel 2009 & Realisasi APBD Tahun 2008 (Rp Miliar)
81
Tabel 4.2
APBD 2009 dan Realisasi APBD 2009 per 10 Juni 2009
84
Tabel 4.3
Potensi Realisasi Fiskal Semester II 2009
85
Tabel 5.1
Perputaran Cek dan Bilyet Giro Kosong Propinsi Sumatera Selatan
89
Tabel 5.2
Kegiatan Perkasan di Sumsel (Rp Miliar)
90
Tabel 5.3
Perkembangan Kas Titipan Lubuk Linggau (Rp Miliar)
92
Tabel 6.1
Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, Februari 2006 - Februari 2009
95
Tabel 1.2 Tabel 1.3 Tabel 1.4 Tabel 1.5 Tabel 1.6 Tabel 1.7 Tabel 1.8 Tabel 1.9 Tabel 2.1 Tabel 3.1
vii
Daftar Tabel
Tabel 6.2
Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan, Februari 2006 - Februari 2009
96
Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Kegiatan, Februari 2006 Februari 2009
97
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Sumatera Selatan Tahun 1993-2009
98
Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Daerah, Maret 2008 – Maret 2009
99
Tabel 6.6
Indeks Konsumsi Rumah Tangga Petani di Sumatera Selatan
101
Tabel 6.7
Indeks Biaya Produksi dan Penambahan Modal Petani
101
Tabel 6.8
IPM 2005-2006 Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan
103
Tabel 7.1
Leading Economic Indicator Propinsi Sumsel Triwulan II 2009
110
Tabel 7.2
Proporsi Ekspor Sumatera Selatan dan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Negara Tujuan 111
Tabel 7.3
Prediksi Beberapa Indikator Perekonomian pada Triwulan III 2009
Tabel 6.3 Tabel 6.4 Tabel 6.5
viii
115
Daftar Grafik
DAFTAR GRAFIK Grafik 1.1
PDRB dan Laju Pertumbuhan Tahunan PDRB Propinsi Sumsel ADHK 2000 dengan Migas
7
Grafik 1.2
Perkembangan Jumlah Konsumsi BBM Propinsi Sumsel
12
Grafik 1.3
PDRB dan Laju Pertumbuhan Triwulanan PDRB Propinsi Sumsel ADHK 2000 dengan Migas
13
Kontribusi Sektor Ekonomi ADHK 2000 Propinsi Sumatera Selatan Triwulan II 2009
14
Grafik 1.5
Perkembangan Curah Hujan di Sumatera Selatan
14
Grafik 1.6
Perkembangan Harga Karet di Pasar Internasional
15
Grafik 1.7
Perkembangan Harga CPO di Pasar Internasional
15
Grafik 1.8
Perkembangan Penjualan LPG
16
Grafik 1.9
Perkembangan Konsumsi Listrik
16
Grafik 1.10
Perkembangan Konsumsi Semen
17
Grafik 1.11
Perkembangan Pendaftaran Kendaraan Bermotor
18
Grafik 1.12
Perkembangan Penumpang Angkutan Udara
19
Grafik 1.13
Perkembangan Penumpang Angkutan Laut Pelabuhan Boom Baru Propinsi Sumsel
19
Grafik 1.14
Perkembangan Harga Batu Bara di Pasar Internasional
20
Grafik 1.15
Perkembangan Harga Minyak Bumi di Pasar Internasional
20
Grafik 1.16
Perkembangan Kegiatan Usaha
21
Grafik 1.17
Perkembangan Situasi Bisnis berdasarkan Persepsi Pengusaha
22
Grafik 1.18
Struktur Ekonomi Propinsi Sumatera Selatan
23
Grafik 1.19
Perkembangan Nilai Ekspor Propinsi Sumatera Selatan
26
Grafik 1.20
Perkembangan Volume Ekspor Propinsi Sumatera Selatan
26
Grafik 1.21
Perkembangan Ekspor Propinsi Sumatera Selatan berdasarkan Negara Tujuan
26
Pangsa Ekspor Propinsi Sumatera Selatan berdasarkan Negara Tujuan Mar 09 - Mei 09
26
Grafik 1.23
Perkembangan Nilai Impor Propinsi Sumatera Selatan
27
Grafik 1.24
Perkembangan Volume Impor Propinsi Sumatera Selatan
27
Grafik 1.25
Perkembangan Impor Propinsi Sumatera Selatan berdasarkan Negara Asal
28
Pangsa Impor Propinsi Sumatera Selatan berdasarkan Negara Tujuan Mar 09 - Mei 09
28
Grafik 1.4
Grafik 1.22
Grafik 1.26
ix
Daftar Grafik
Grafik 2.1
Perkembangan Inflasi Tahunan (yoy) Palembang
39
Grafik 2.2
Inflasi Tahunan (yoy) Kota Palembang per Kelompok Pengeluaran Triwulan II 2009
39
Grafik 2.3
Perkembangan Harga Komoditas Strategis (yoy) di Pasar Internasional
40
Grafik 2.4
Perkembangan Inflasi Tahunan per Kelompok Barang dan Jasa di Palembang
41
Grafik 2.5
Perbandingan Inflasi Tahunan Palembang dan Nasional
42
Grafik 2.6
Perkembangan Inflasi Bulanan (mtm) Palembang
42
Grafik 2.7
Perkembangan Inflasi Bulanan Palembang per Kelompok Barang dan Jasa
43
Inflasi Bulan Juni 2009 (mtm) per Sub Kelompok pada Kelompok Bahan Makanan di Palembang
44
Grafik 2.9
Event Analysis Inflasi Kota Palembang Juni 2008 - Juni 2009
44
Grafik 2.10
Perbandingan Inflasi Bulanan dan Ekspektasi Harga Konsumen 3 Bulan YAD
45
Grafik 2.11
Perbandingan Inflasi Bulanan (mtm) Palembang dan Nasional
45
Grafik 2.12
Pergerakan Tingkat Harga Bulanan sesuai SPH
46
Grafik 2.13
Pergerakan Harga Beras di Pasar Cinde dan Pasar Lemabang (Rupiah/Kg)
47
Pergerakan Harga Minyak Goreng di Pasar Cinde dan Pasar Lemabang (Rupiah/Kg)
47
Pergerakan Harga Daging Sapi di Pasar Cinde dan Pasar Lemabang (Rupiah/Kg)
48
Pergerakan Harga Emas di Pasar Cinde dan Pasar Lemabang (Rupiah/gram)
48
Pergerakan Inflasi Bulanan dan Tingkat Harga sesuai SPH di Kota Palembang (Jun 2008 - Jun 2009)
49
Perkembangan Aset, DPK, dan Kredit Perbankan Propinsi Sumatera Selatan
53
Grafik 3.2
Jumlah Kantor Bank dan ATM di Propinsi Sumatera Selatan
54
Grafik 3.3
Pertumbuhan DPK Perbankan di Propinsi Sumatera Selatan
55
Grafik 3.4
Komposisi DPK Perbankan Triwulan II 2009 di Propinsi Sumatera Selatan
55
Pangsa Penyaluran Kredit Sektoral Propinsi Sumatera Selatan Triwulan II 2009
57
Pertumbuhan Kredit berdasarkan Penggunaan Propinsi Sumatera Selatan
58
Grafik 2.8
Grafik 2.14 Grafik 2.15 Grafik 2.16 Grafik 2.17 Grafik 3.1
Grafik 3.5 Grafik 3.6
x
Daftar Grafik
Grafik 3.7
Pangsa Penyaluran Kredit/Pembiayaan Menurut Penggunaan Propinsi Sumatera Selatan Triwulan II 2009
58
Komposisi Penyaluran Kredit Perbankan Propinsi Sumatera Selatan Triwulan II 2009 Berdasarkan Wilayah
60
Penyaluran Kredit UMKM Perbankan Propinsi Sumatera Selatan Menurut Penggunaan
60
Grafik 3.10
Penyaluran Kredit UMKM berdasarkan Plafond Kredit
61
Grafik 3.11
Perkembangan Suku Bunga Simpanan Perbankan Sumatera Selatan
65
Grafik 3.12
Perkembangan Suku Bunga Pinjaman Perbankan Sumatera Selatan
66
Grafik 3.13
Perkembangan Spread Suku Bunga Perbankan Sumatera Selatan
66
Grafik 3.14
Perkembangan NPL Perbankan Sumatera Selatan
71
Grafik 3.15
Komposisi NPL Menurut Sektor Ekonomi
71
Grafik 3.16
Perkembangan Undisbursed Loan Perbankan Sumatera Selatan
72
Grafik 3.17
Perkembangan Risiko Likuiditas Perbankan Sumatera Selatan
72
Grafik 4.1
Perbandingan Komponen Sisi Penerimaan APBD Sumsel 2009
82
Grafik 4.2
Perbandingan Komponen Sisi Pengeluaran APBD Sumsel 2009
82
Grafik 5.1
Perkembangan Kliring Sumsel
87
Grafik 5.2
Perkembangan RTGS Sumsel
88
Grafik 5.3
Perkembangan Bulanan Jumlah Perputaran Kliring Sumsel
89
Grafik 5.4
Perkembangan Jumlah Cek dan Bilyet Giro Kosong Sumsel
89
Grafik 5.5
Perkembangan Kegiatan Perkasan Sumsel 2008-2009
91
Grafik 5.6
Perkembangan Penarikan Uang Lusuh oleh KBI Palembang
91
Grafik 5.7
Perkembangan Bulanan Kas Titipan Lubuk Linggau Tahun 2008-2009
93
Grafik 6.1
Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja Saat Ini
98
Grafik 6.2
Indeks Harga yang diterima, Indeks Harga yang dibayar dan Nilai Tukar Petani 100
Grafik 7.1
Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Selatan
109
Grafik 7.2
Proyeksi Inflasi Tahunan Sumatera Selatan
113
Grafik 3.8 Grafik 3.9
xi
Daftar Grafik
Halaman ini sengaja dikosongkan This page is intentionally blank
xii
Indikator Ekonomi
INDIKATOR EKONOMI
A. INFLASI DAN PDRB
xiii
Indikator Ekonomi
B. PERBANKAN
xiv
Indikator Ekonomi
Lanjutan
C. SISTEM PEMBAYARAN
xv
Indikator Ekonomi
Halaman ini sengaja dikosongkan This page is intentionally blank
xvi
II/09
RINGKASAN EKSEKUTIF Kajian Ekonomi Regional Sumatera Selatan
Abstraksi Perekonomian Sumatera Selatan pada triwulan II 2009 relatif stabil menanti momentum terjadinya pemulihan perekonomian dunia. Dengan menetralisasi faktor musiman, pencapaian pertumbuhan ekonomi diperkirakan relatif konstan dibandingkan triwulan sebelumnya. Inflasi menunjukkan penurunan mencapai level terendah dalam beberapa tahun terakhir yang lebih banyak dipengaruhi oleh tekanan inflasi yang menurun pada awal tahun. Dunia perbankan mulai bersifat ekspansif sebagai respon adanya peluang perbaikan perekonomian dunia, dengan ditopang oleh mulai derasnya capital inflow seiring kembalinya preferensi investor global untuk menanamkan modal ke emerging markets. Realisasi fiskal hingga pertengahan tahun belum memuaskan, yang justru menunjukkan bahwa perekonomian Sumsel cukup kuat pada era resesi global tanpa stimulus sekalipun, yang disebabkan oleh konsumsi masyarakat yang inelastis. Kurangnya realisasi fiskal juga mengindikasikan potensi stimulus yang begitu besar akan terjadi pada semester kedua 2009, meskipun juga berpotensi terhambat oleh dana perimbangan yang diprediksi menurun akibat krisis finansial global yang terjadi sejak akhir tahun lalu. Membaiknya aktivitas perekonomian juga tercermin dari semakin tingginya frekuensi transaksi tunai maupun non tunai pada triwulan II 2009. Triwulan III 2009 diprediksi akan menjadi momen perekonomian dalam melakukan konsumsi, walaupun sebenarnya sangat baik mengambil posisi dalam menyambut recovery. Pertumbuhan ekonomi diprediksi menurun secara tahunan namun meningkat secara triwulanan yang selain dipengaruhi faktor musim juga didorong oleh perbaikan nilai ekspor, konsumsi, realisasi fiskal, dan investasi yang akan terjadi. Tekanan inflasi diprediksi meningkat seiring perbaikan permintaan dunia walaupun secara tahunan mengalami penurunan cukup drastis. Perbankan akan memanfaatkan celah optimisme pasar dan euforia investasi untuk memenuhi target tahunan, sehingga cenderung ekspansif. Frekuensi dan nilai transaksi tunai maupun non tunai diprediksi meningkat seiring masuknya bulan puasa dan perayaan Idul Fitri, serta perbaikan optimisme masyarakat secara umum terhadap perekonomian.
Ringkasan Eksekutif
Prediksi pemulihan ekonomi telah muncul untuk berbagai perekonomian di dunia (antara lain oleh IMF dan OECD), dan indeks kepercayaan global telah meningkat dari 38,7 menjadi 43,6 pada Juni 2009. Seiring dengan kondisi tersebut, kinerja triwulan ini diharapkan menjadi awal titik balik pemulihan perekonomian Sumatera Selatan. Optimisme perekonomian secara global menyusul euforia atas prediksi pemulihan ekonomi tersebut memicu peningkatan permintaan atas harga-harga komoditas, sebagai dorongan hedging dalam menyambut kenaikan produksi yang akan terjadi seiring dengan pemulihan ekonomi. Perubahan permintaan tersebut kemudian mengubah harga berbagai komoditas dalam ekuilibrium, termasuk juga komoditas unggulan Sumatera Selatan. Sesuai pola musiman yang biasanya terjadi sejak tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan secara triwulanan meningkat, yang diperkirakan mencapai 2,10%. Sedangkan pertumbuhan ekonomi secara tahunan diperkirakan hanya berbeda tipis dari triwulan sebelumnya, yaitu 2,60%. Secara teknikal, pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada tahun sebelumnya karena masifnya kenaikan harga komoditas membuat pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2009 menjadi terbatas, walaupun harga komoditas mengalami sedikit peningkatan. Pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dibandingkan triwulan sebelumnya ini juga tercermin dari meningkatnya Saldo Bersih Tertimbang pada Survei Kegiatan Dunia Usaha di Sumatera Selatan dari -17,79% pada triwulan I 2009 menjadi 12,96% pada triwulan II 2009. Dari sisi permintaan, pertumbuhan permintaan domestik diperkirakan masih menjadi kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi triwulan II 2009. Tingkat konsumsi dan investasi mengalami peningkatan cukup tinggi diiringi peningkatan optimisme masyarakat yang ditunjukkan oleh terdongkraknya Indeks Ekspektasi Konsumen. Meningkatnya konsumsi domestik pada triwulan II 2009 konsisten dengan meningkatnya transaksi tunai maupun non tunai yang terindikasi dari perkembangan nilai kliring dan net-outflow pada kegiatan perkasan Bank Indonesia Palembang. Selain itu, ekspor diperkirakan relatif telah membaik dibandingkan triwulan sebelumnya. Inflasi pada triwulan II 2009 relatif rendah, baik disebabkan oleh sisi permintaan maupun penawaran. Di sisi penawaran, musim panen yang terjadi pada triwulan II 2009 telah berhasil memelihara ketersediaan pasokan barang-barang kebutuhan pokok, yang antara lain ditunjukkan oleh melimpahnya stok beras di Bulog sekitar bulan Mei 2009. Sementara itu, penyebab dari sisi permintaan lebih bersifat teknikal
2
Ringkasan Eksekutif
untuk periode ini, yaitu lebih rendahnya harga barang kelompok transportasi secara relatif terhadap periode yang sama tahun sebelumnya yang tidak lain disebabkan karena penurunan harga minyak dunia sejak akhir tahun 2008 dan kebijakan penurunan BBM bersubsidi oleh pemerintah pada akhir tahun 2008. Sambutan prediksi recovery di berbagai belahan dunia tidak hanya mempengaruhi arus barang/jasa pada trade channel seperti sudah dijelaskan, namun juga mempengaruhi arus modal pada financial channel. Menyusul adanya potensi perbaikan perekonomian global yang menurunkan risiko secara substansial, investor secara global mulai kembali menanamkan kembali investasinya ke emerging markets, setelah sebelumnya mengalihkan sebagian besar portofolio investasinya ke instrumen investasi yang diyakini mempunyai keamanan yang tinggi, yaitu antara lain adalah US treasury. Dalam konteks nasional, pencapaian Indonesia atas indikator-indikator ekonomi secara memuaskan dibanding negara-negara lainnya, tingkat suku bunga riil yang semakin menurun seiring anjloknya tingkat inflasi nasional hingga mencapai 3,65% (yoy) pada Juni 2009, dan penyelenggaraan pemilihan umum yang dinilai aman oleh dunia internasional membuat Indonesia semakin memiliki nilai tambah sebagai negara tujuan investasi. Kembalinya investasi tersebut ke Indonesia antara lain ditandai oleh nilai tukar Rupiah yang kembali terapresiasi terhadap US Dollar menuju level sebelum krisis finansial global terjadi dan indeks IHSG yang kembali mengalami peningkatan di triwulan II 2009 ini. Turunnya risiko penanaman modal di Indonesia secara signifikan yang menarik investasi dari dunia internasional juga tercermin dari perbandingan Credit Default Swap (CDS) rate untuk Indonesia yang menjadi lebih rendah dari Vietnam sejak akhir Juni 2009, setelah sebelumnya tidak pernah lebih rendah dari Vietnam. Capital inflow yang terjadi secara cukup substansial pada triwulan II 2009 mendorong relaksasi pada perbankan, atau membuat kondisi likuiditas perbankan menjadi lebih baik. Di lain pihak, kondisi sektor riil yang semakin baik setelah adanya peningkatan harga komoditas dan potensi recovery perekonomian global, serta kondisi politik yang cukup stabil pada masa pemilihan umum menyebabkan premi risiko serta cost of fund semakin menurun. Hal ini mendorong efektivitas transmisi ekspansi moneter yang telah dilakukan sejak akhir tahun 2008 melalui penurunan BI rate. Pengaruh ini tidak hanya dirasakan kantor pusat perbankan, namun pada akhirnya juga mempengaruhi perbankan regional, baik secara langsung maupun melalui kantor pusatnya.
3
Ringkasan Eksekutif
Walaupun sudah lebih baik dari sebelumnya, penurunan suku bunga kredit masih terbatas pada triwulan II 2009 menyusul turunnya DPK perbankan di Sumatera Selatan. Hal ini terjadi antara lain karena kebutuhan finansial untuk konsumsi mengingat konsumsi masyarakat di Sumatera Selatan kurang elastis terhadap pendapatan, dan juga return dari investasi pasar uang yang lebih menjanjikan setelah timbul prediksi recovery perekonomian dan kenaikan harga komoditas. Selain itu, pola konsumsi masyarakat Sumatera Selatan yang inelastis ini juga menjadi salah satu penyebab pertumbuhan kredit konsumsi yang lebih cepat dibandingkan kredit lainnya. Pada triwulan berikutnya, prospek pertumbuhan ekonomi diprediksi semakin cerah. Sesuai dengan pola musiman seperti biasanya, pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan diperkirakan akan mencapai 3,88% (qtq) atau 0,46% (yoy). Angka pertumbuhan tahunan yang menurun tajam bukan disebabkan karena buruknya ekspansi, namun lebih disebabkan oleh booming komoditas yang terjadi pada triwulan III 2008. Berbagai dorongan pertumbuhan muncul dari sisi perekonomian domestik. Konsumsi masyarakat diperkirakan meningkat seiring dengan adanya momen bulan puasa dan hari raya Idul Fitri, investasi diperkirakan meningkat seiring baiknya ekspektasi perekonomian di masa depan. Selain itu, realisasi pengeluaran pemerintah yang masih rendah pada semester I 2009 mengindikasikan potensi realisasi pengeluaran pemerintah yang tinggi mulai triwulan III 2009. Namun, patut diperhatikan bahwa terdapat potensi realisasi pengeluaran pemerintah akan menjadi lebih rendah dari semestinya, mengingat krisis finansial global dan penurunan harga komoditas yang terjadi sejak triwulan IV 2008 lalu sangat mungkin menggerus dana perimbangan sebagai sumber dana pengeluaran tersebut. Dari sisi sektoral, harga komoditas unggulan Sumatera Selatan seperti karet dan CPO memiliki peluang besar untuk meningkat di masa depan, meskipun volatilitas jangka pendek diprediksi akan cukup sering terjadi mengikuti pergerakan permintaan dan penawaran jangka pendek yang bergantung pada kondisi cuaca, isu-isu sensitif global, dan lain-lain. Dengan meningkatnya harga komoditas, nilai tambah sektor primer dan industri akan mengalami peningkatan, dan akan mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan mengingat kontribusi sektor tersebut cukup tinggi, dan juga efek multiplier-nya mengingat ketergantungan penghasilan masyarakat terhadap sektor tersebut cukup besar. Kemudian, sektor pertambangan juga mempunyai peluang cukup baik menyusul tren naiknya harga minyak dan penemuan cadangan minyak yang berkualitas baik di blok Merangin II.
4
Ringkasan Eksekutif
Angka inflasi tahunan diperkirakan akan semakin menurun menjadi 0,96% (yoy) pada akhir triwulan III 2009 (September 2009). Walaupun demikian, inflasi triwulanan diperkirakan meningkat karena tekanan inflasi secara riil diprediksi lebih tinggi dari sebelumnya. Penyebab meningkatnya tekanan inflasi tersebut antara lain adalah permintaan domestik yang mengalami peningkatan menyusul peningkatan konsumsi di bulan puasa dan Idul Fitri, peningkatan investasi menyambut pemulihan ekonomi, dan realisasi pengeluaran pemerintah yang dioptimalkan pada semester II 2009. Kondisi perbankan pada triwulan III 2009 diperkirakan semakin solid. DPK diperkirakan akan tumbuh stagnan karena tingginya ekspektasi return instrumen investasi lainnya menyusul tingginya return saham dan obligasi di negara berkembang beberapa bulan terakhir. Disamping itu, penerbitan ORI seri 006 juga dapat menarik perhatian masyarakat yang mempunyai kelebihan dana dibandingkan menanamkan dananya di deposito mengingat semakin menurunnya bunga deposito ke depan. Penyaluran kredit/pembiayaan pada triwulan III 2009 diperkirakan akan semakin optimal karena perbankan akan memanfaatkan celah untuk mencapai target penyaluran kredit/pembiayaan sebelum ekspektasi BI rate kembali meningkat di masa depan seiring semakin pastinya pemulihan ekonomi. Penyaluran kredit diperkirakan terekspansi sebesar 6,71% (qtq). Namun, penurunan suku bunga kredit diperkirakan tidak masif karena penawaran kredit tersebut meningkat di saat permintaan juga berpotensi meningkat akibat semakin jelasnya prospek bisnis ke depan dan semakin baiknya optimisme masyarakat. Sebagian besar dari perkembangan kredit/pembiayaan akan dikontribusikan oleh kredit konsumsi dan kredit investasi secara konsisten dengan perkiraan kenaikan konsumsi dan investasi pada triwulan III 2009.
5
Ringkasan Eksekutif
Halaman ini sengaja dikosongkan This page is intentionally blank
6
Bab 1 •
•
PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO REGIONAL
Triwulan II 2009 diharapkan menjadi awal titik balik pemulihan perekonomian Sumsel yang ditandai dengan membaiknya harga komoditas unggulan Sumsel di pasar Internasional. Kondisi usaha dan leading indicator mengindikasikan pemulihan perekonomian regional.
1.1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional Secara Tahunan Laju pertumbuhan ekonomi tahunan (yoy) Propinsi Sumatera Selatan (Sumsel) pada triwulan II 2009 diperkirakan sebesar 2,60% (dengan migas). Laju pertumbuhan ekonomi tahunan tersebut relatif stagnan dibandingkan dengan pertumbuhan tahunan pada triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 2,62% (dengan migas), namun secara triwulan mengalami perbaikan cukup signifikan. Grafik 1.1 PDRB dan Laju Pertumbuhan Tahunan PDRB Propinsi Sumsel ADHK 2000 dengan Migas
Secara nominal Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Sumsel Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2000 pada
triwulan
II
2009
diperkirakan
sebesar Rp14,73 triliun (dengan migas), sedikit
lebih
baik
jika
dibandingkan
dengan PDRB periode yang sama pada tahun sebelumnya yang hanya mencapai * Angka Sementara **Proyeksi Bank Indonesia Palembang Sumber: BPS Propinsi Sumatera Selatan, diolah
Rp14,36 triliun (Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2000).
Walaupun sudah mulai membaik, pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2009 masih jauh lebih rendah dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Hal tersebut terkonfirmasi oleh survei bisnis yang dilakukan Bank Indonesia Palembang dimana kondisi usaha sektor unggulan yakni sektor pertanian masih relatif stagnan. Namun demikian, hasil survei bisnis tersebut juga mengisyaratkan bahwa kondisi bisnis di Propinsi Sumatera Selatan pada triwulan II 2009 secara umum mulai menunjukkan perbaikan dibanding triwulan III & IV 2008 ketika krisis finansial dunia terjadi. Selanjutnya, telah selesainya musim panen pada sub sektor tanaman bahan makanan sangat berdampak pada
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
penurunan kinerja sektor pertanian secara keseluruhan walaupun harga beberapa komoditas unggulan (terutama harga komoditas perkebunan) mengalami peningkatan dibandingkan triwulan sebelumnya. Triwulan II 2009 dapat dikatakan sebagai awal titik balik pemulihan perekonomian Sumsel yang ditandai dengan membaiknya harga komoditas unggulan di pasar Internasional dibandingkan dengan kondisi triwulan sebelumnya. Namun demikian, informasi yang dihimpun dari kalangan dunia usaha menyatakan bahwa di tengah mulai membaiknya kondisi usaha masih terdapat beberapa faktor yang dinilai kurang kondusif dalam pengembangan dunia usaha antara lain (i) masih terbatasnya pasokan listrik oleh PLN, (ii) birokrasi dan banyaknya jenis perizinan, (iii) tingkat suku bunga pinjaman perbankan yang masih tinggi, (iv) transaksi di dalam negeri yang menggunakan valuta asing, (v) kondisi keamanan di pelabuhan yang rawan, (vi) ketentuan perpajakan bagi PMA yang dinilai tidak efisien, dan (vii) belum adanya single identity yang berlaku di Indonesia serta adanya intervensi dari pihak eksternal terhadap operasional perusahaan (lihat Suplemen 1. Kondisi Usaha dalam Masa Pemulihan). Tabel 1.1 Laju Pertumbuhan Tahunan (yoy) Sektoral PDRB Propinsi Sumatera Selatan ADHK 2000 (%) 2008 2009 Lapangan Usaha II III IV I* II** Pertanian Pertambanga n dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Bangunan Perdagangan , Hotel & Restoran Pengangkuta n& Komunikasi Keu., Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-jasa
3.37
3.44
-1.60
- 0.48
-3,05
0.64
2.05
0.97
1.53
1,26
triwulan II 2009 ditandai dengan pertumbuhan pada
sektor
tahunan
tertinggi
pengangkutan
telekomunikasi
yang
dan
tumbuh
sebesar 15,02%. Sektor keuangan 4.68
4.91
-1.25
- 1.29
1,23
persewaan & jasa perusahaan dan
6.83
4.00
0.68
3.41
5,85
sektor
6.10
5.85
5.13
5.06
6,35
7.21
6.90
4.05
3.67
2,70
12.80
13.63
13.79
14.82
15,02
jasa-jasa
diperkirakan
meningkat. Salah Sumsel
satu yakni
sektor
unggulan
sektor
pertanian
diperkirakan menjadi satu-satunya 7.90
8.76
7.97
7.35
9,24
12.76
10.74
7.72
7.85
9,00
sektor ekonomi yang mengalami kontraksi
* Angka Sementara **Proyeksi Bank Indonesia Palembang Sumber : BPS Propinsi Sumatera Selatan, diolah
8
Kinerja perekonomian sektoral
pertumbuhan
sebesar 3,05%.
yakni
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Suplemen 1
KONDISI USAHA DALAM MASA PEMULIHAN*
Perkembangan bisnis pelaku usaha di Propinsi Sumatera Selatan pada triwulan II 2009, secara umum mulai menunjukkan perbaikan meskipun belum sepenuhnya pulih seperti kondisi sebelum terjadinya krisis keuangan global, sementara kondisi usaha di sektor pertanian masih relatif stagnan hingga saat ini . Namun demikian, di tengah mulai membaiknya kondisi usaha, di sisi lain masih terdapat beberapa faktor yang dinilai kurang kondusif dalam pengembangan dunia usaha antara lain (i) masih terbatasnya pasokan listrik oleh PLN, (ii) birokrasi dan banyaknya jenis perizinan, (iii) tingkat suku bunga pinjaman perbankan yang masih tinggi, (iv) transaksi di dalam negeri yang menggunakan valuta asing, (v) kondisi keamanan di pelabuhan yang rawan, (vi) ketentuan perpajakan bagi PMA yang dinilai tidak efisien, dan (vii) belum adanya single identity yang berlaku di Indonesia serta adanya intervensi dari pihak eksternal terhadap operasional perusahaan . Sementara itu, faktor yang dinilai positif dalam membantu perusahaan untuk mengurangi dampak dari krisis keuangan global antara lain adalah kuota yang diberlakukan untuk pembatasan produksi crumb rubber, situasi keamanan yang kondusif pasca pemilu dan momen tahun ajaran baru serta perayaan hari besar keagamaan yang diharapkan akan semakin meningkatkan kinerja usaha ke depan. Dari sisi permintaan, permintaan domestik mulai meningkat yang ditandai dengan meningkatnya konsumsi seiring mulai membaiknya harga komoditas primer maupun realisasi anggaran pemerintah meskipun masih belum sepenuhnya pulih seperti kondisi sebelum terjadinya krisis keuangan global. Demikian pula dengan sektor properti yang juga mulai meningkat kembali terutama untuk tipe rumah murah maupun tipe rumah mewah pada segmen kelas menengah atas. Permintaan terhadap CPO di pasar domestik kembali meningkat dan berapapun tingkat produksi telah dapat diserap oleh pasar domestik . Di sektor perbankan, industri perbankan tetap melakukan penyaluran kredit dengan target untuk tahun 2009 tetap tumbuh positif meskipun masih sangat berhati-hati terutama untuk sektor-sektor unggulan seperti perkebunan serta sektor yang terkait dengan komoditas unggulan. Ke depan, diharapkan kinerja usaha akan semakin membaik seiring dengan semakin membaiknya harga komoditas primer, kondisi keamanan yang kondusif pasca pemilu serta faktor musiman seperti tahun ajaran baru sekolah dan Idul Fitri. Peningkatan permintaan luar negeri dialami oleh pelaku usaha dengan komoditas karet dan sawit. Pemberlakuan kuota produksi karet oleh Gabungan Pengusaha Karet Indonesia mulai Januari 2009 berdampak positif terhadap meningkatnya harga crumb rubber di pasar internasional. Di samping terdapat pula peningkatan permintaan dari Cina berupa compound rubber yang menjadi penolong dari masih belum pulihnya tingkat permintaan crumb rubber dari AS dan Eropa. Diharapkan akhir tahun 2009 atau awal tahun 2010 kuota produksi tersebut telah dapat dilepaskan. *) Diperoleh dari hasil Business Survey yang merupakan kegiatan pemantauan kondisi usaha dengan mewawancarai langsung pelaku usaha
9
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Kapasitas utilitasi cukup bervariasi dan secara umum mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya sebagai dampak dari masih belum pulihnya tingkat permintaan, kuota yang diberlakukan untuk pembatasan produksi, maupun dikarenakan penambahan kapasitas mesin baru. Kapasitas utilisasi pelaku usaha pada sektor industri pengolahan pupuk relatif tetap karena kapasitas mesin yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Meskipun kondisi bisnis belum sepenuhnya pulih, beberapa pelaku usaha berencana untuk tetap melakukan investasi di tahun 2009, baik melanjutkan dan menyelesaikan investasi tahun sebelumnya maupun investasi baru. Investasi tersebut dalam bentuk perluasan lahan, penambahan jaringan kantor, penambahan kapasitas produksi, renovasi, maupun perbaikan jaringan. Meskipun demikian, terdapat beberapa pelaku usaha yang melakukan investasi yang hanya bersifat replacement saja . Kondisi jumlah tenaga kerja pada triwulan II 2009 mengalami perubahan yang bervariasi. Secara umum, sebagian besar pelaku usaha menyatakan bahwa jumlah tenaga kerja relatif tetap dibanding tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena dampak krisis disikapi bukan dengan pengurangan tenaga kerja namun dengan pengurangan shift serta efisiensi. Di Propinsi Sumatera Selatan, pada periode Januari hingga Mei 2009 terdapat pengurangan tenaga kerja sebanyak 1.493 orang di sektor industri pengolahan sawmill, perdagangan dan perikanan. Penggunaan tenaga kerja di sektor tanaman perkebunan juga mengalami penurunan lebih dari 20% terutama untuk buruh harian lepas yang disebabkan stagnannya kondisi usaha dan tidak adanya ekspansi lahan. Demikian pula di sektor ritel yang diperkirakan menurun sekitar 15%, sektor konstruksi sekitar 20%, dan sektor komunikasi. Namun walaupun demikian, beberapa pelaku usaha masih tetap berencana untuk melakukan penambahan tenaga kerja terkait dengan investasi yang dilakukan, maupun upaya replacement tenaga kerja yang pensiun.
10
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Pada triwulan II 2009, sektor pengangkutan dan komunikasi diperkirakan masih tercatat sebagai sektor yang mengalami pertumbuhan yang paling tinggi yakni sebesar 15,02%. Tingginya kinerja sektor ini dibandingkan tahun sebelumnya tidak terlepas dari kinerja sub sektor telekomunikasi yang telah menjadi salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Sementara itu, sub sektor pengangkutan diperkirakan tumbuh sebesar 9,00% atau sedikit mengalami peningkatan dibandingkan dengan pertumbuhan tahunan pada triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 8,05%. Sektor jasa-jasa serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan masing-masing diperkirakan tumbuh sebesar 9,00% dan 9,24%. Pertumbuhan di kedua sektor ini lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya, yang disebabkan oleh optimisme perekonomian yang semakin membaik pada triwulan II yang antara lain memperbaiki prospek bisnis ke depan sehingga meningkatkan kinerja kedua sektor tersebut. Dari sub sektor perbankan teridentifikasi terjadinya peningkatan kinerja dibandingkan tahun sebelumnya (yoy) dimana penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan penyaluran kredit masing-masing tercatat mengalami peningkatan sebesar 16,87% dan 11,67%. Sektor bangunan serta listrik, gas dan air bersih (LGA) masing-masing diperkirakan tumbuh sebesar 6,35% dan 5,85%. Pertumbuhan tahunan di sektor bangunan meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, sedangkan pertumbuhan sektor PHR melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. pertumbuhan sektor bangunan dan sektor PHR pada triwulan I 2009 masing-masing tercatat sebesar 5,06% dan 3,41%. Program konversi energi yang diluncurkan pertengahan tahun 2008 diprediksi menjadi pendorong konsumsi di sub sektor gas kota, yang mendorong kinerja sektor LGA secara keseluruhan. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran (PHR) diperkirakan tumbuh sebesar 2,70%. Pertumbuhan tahunan di sektor PHR tercatat melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, dimana kinerja sektor PHR pada triwulan I 2009 tercatat meningkat sebesar 3,67%. Masih terasanya dampak krisis keuangan global menyebabkan potensi pertumbuhan sektor perdagangan, hotel, dan restoran (PHR) yang biasanya cukup tinggi pada triwulan II menjadi tidak optimal.
11
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Grafik 1.2 Perkembangan Jumlah Konsumsi BBM Propinsi Sumsel
Sektor penggalian
pertambangan diperkirakan
dan
mengalami
pertumbuhan tahunan sebesar 1,26%, sedikit melambat dibandingkan dengan pertumbuhan pada triwulan sebelumnya tercatat sebesar 1,53%. Masih relatif rendahnya
pertumbuhan
sektor
ini
sangat erat kaitannya dengan semakin terbatasnya produksi
kegiatan pada
eksplorasi
triwulan
II
&
2009,
walaupun ke depan terdapat prospek Sumber: Pertamina UPMS II Palembang
cukup
cerah
menyusul
akan
berproduksinya blok Merangin II. Kondisi sektor industri pengolahan diperkirakan mengalami pertumbuhan tahunan paling rendah yakni sebesar 1,23% yang disebabkan oleh turunnya kinerja sub sektor industri pengolahan tanpa migas. Turunnya kinerja industri pengolahan seiring dengan penurunan kinerja sektor pertanian. Sektor pertanian diperkirakan merupakan satu-satunya sektor ekonomi yang mengalami pertumbuhan negatif. Sektor ini diperkirakan mengalami kontraksi sebesar 3,05% yang disebabkan karena masih rendahnya harga komoditas karet dan sawit sebagai komoditas unggulan Sumsel dibandingkan dengan kondisi pada tahun sebelumnya. Namun walaupun demikian, dari sisi permintaan (volume) terhadap komoditas unggulan Sumsel pada triwulan II 2009 ini diyakini mengalami peningkatan apabila dibandingkan dengan permintaan pada triwulan sebelumnya. Sementara itu di sub sektor tanaman bahan makanan, berakhirnya musim panen telah menyebabkan kinerja sub sektor tanaman bahan makanan semakin rendah apabila dibandingkan dengan kondisi pada tahun sebelumnya, apalagi pada triwulan sebelumnya kinerja sub sektor tanaman bahan makanan ini tumbuh kurang optimal yang disebabkan banyaknya serangan hama dan bencana alam seperti banjir yang lebih sering terjadi dibandingkan tahun sebelumnya. Sub sektor tanaman bahan makanan dan sub sektor tanaman perkebunan diperkirakan mengalami penurunan pertumbuhan masing-masing dalam kisaran 3,00% dan 0,50%.
12
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
1.2. Perkembangan Ekonomi Makro Regional Secara Triwulanan Secara triwulanan (qtq), pertumbuhan ekonomi
Sumsel
Grafik 1.3 PDRB dan Laju Pertumbuhan Triwulanan PDRB Propinsi Sumsel ADHK 2000 dengan Migas
diperkirakan
mengalami perbaikan setelah pada triwulan
sebelumnya
tercatat
mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 0,05% (qtq). Pertumbuhan ekonomi Sumsel secara triwulanan pada triwulan II 2009 diperkirakan mencapai 2,10%. Beberapa indikator ekonomi
seperti
jumlah
arus
penumpang dan barang, konsumsi listrik, serta perkembangan konsumsi semen dapat mengkonfirmasi hal
* Angka Sementara **Proyeksi Bank Indonesia Palembang Sumber: BPS Propinsi Sumatera Selatan, diolah
tersebut. Kinerja
Tabel 1.2 Laju Pertumbuhan Triwulanan (qtq) Sektoral PDRB Propinsi Sumatera Selatan ADHK 2000 (%) 2008
perekonomian
secara triwulanan pada triwulan II 2009
2009
Lapangan Usaha
ditandai
dengan
II
III
IV
I*
II**
membaiknya kinerja seluruh sektor
6.95
15.97
(20.54)
0.98
4,19
ekonomi
dibandingkan
0.48
1.02
0.73
(0.70)
0,22
kondisi
triwulan
sebelumnya.
0.40
4.29
(4.70)
(1.08)
2,96
Sektor
pertanian
diperkirakan
LGA
1.41
1.22
(1.33)
2.10
3,80
mencatat
Bangunan
1.41
3.78
1.29
(1.44)
2,65
PHR
2.54
6.01
(3.82)
(0.85)
1,58
paling tinggi yakni sebesar 4,19%.
1.25
6.91
5.18
0.85
1,42
Membaiknya
0.74
2.78
0.26
3.41
2,51
sangat berdampak pada perbaikan
0.49
4.08
1.23
1.87
1,55
kinerja sektor lainnya, terutama
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan
Pengangkutan & Komunikasi Keu., Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-jasa
* Angka Sementara ** Proyeksi Bank Indonesia Palembang Sumber : BPS Propinsi Sumatera Selatan, diolah
dengan
pertumbuhan
sektor
yang
pertanian
pada peningkatan kinerja sektor industri mengalami
pengolahan
yang
pertumbuhan
triwulanan sebesar 2,96% setelah
13
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
pada triwulan sebelumnya mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 0,70%. Sementara itu sektor pertambangan dan penggalian diperkirakan sebagai sektor yang mengalami pertumbuhan triwulanan paling rendah yakni sebesar 0,22%. Walaupun
pertumbuhan
Grafik 1.4 Kontribusi Sektor Ekonomi ADHK 2000 Propinsi Sumatera Selatan Triwulan II 2009
triwulanan sektor pertambangan dan penggalian
merupakan
yang
paling
rendah, sektor ini tetap merupakan
4,37% 5,39%
8,49%
18,96%
penyumbang PDRB yang paling besar 3,93%
dengan
pangsa
sebesar
23,27%.
Sementara itu sektor pertanian dan sektor masing
industri
pengolahan
menyumbang
masing-
18,96%
dan
23,27% 7,82% 0,50%
17,27%
PERTANIAN INDUSTRI PENGOLAHAN
PERTAMBANGAN & PENGGALIAN LISTRIK, GAS DAN AIR BERSIH
BANGUNAN
PERDAGANGAN, HOTEL, DAN RESTORAN
PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI JASA-JASA
KEUANGAN, PERSEWAAN, DAN JASA
17,27% PDRB Sumsel pada triwulan II 2009. Kinerja ekonomi sektor pertanian diperkirakan mengalami pertumbuhan paling tinggi yakni sebesar 4,19%. Pertumbuhan triwulanan di sektor ini relatif lebih baik dibandingkan dengan kondisi triwulan I 2009 yang mencatat pertumbuhan triwulanan sebesar 0,98%. Sub sektor perkebunan merupakan pendorong utama membaiknya kinerja sektor pertanian. Grafik 1.5 Perkembangan Curah Hujan di Sumatera Selatan
Laju
pertumbuhan
ekonomi
pada triwulan II 2009 tidak terlepas dari lebih tingginya harga karet dan sawit di pasar internasional maupun di tingkat petani
dibandingkan
triwulan
sebelumnya serta kondisi cuaca yang cukup kondusif bagi penyadapan karet, yang ditandai
dengan menurunnya
tingkat curah hujan maupun hari hujan.
Sumber: Stasiun Klimatologi Kenten
14
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Sub sektor tanaman perkebunan diperkirakan mengalami pertumbuhan triwulanan cukup tinggi yang disebabkan membaiknya permintaan pasar dunia. Kebijakan pemerintah yang menetapkan kuota bagi penjualan komoditas karet yang diiringi langkah beberapa petani karet yang menunda panen/penyadapan cukup efektif dalam mendongkrak kembali harga karet. Rata-rata harga karet di pasar internasional pada triwulan ini mencapai USD cent 178,67/kg atau mengalami sedikit peningkatan sebesar 4,98% dibandingkan rata-rata harga pada triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar USDcent 170,20/kg. Sementara itu rata-rata harga CPO dunia pada triwulan II 2009 tercatat sebesar USD718,26/metrik ton, meningkat sebesar 35,32% dibandingkan dengan rata-rata harga pada triwulan sebelumnya. Grafik 1.6 Perkembangan Harga Karet di Pasar Internasional
Sumber: Bloomberg
Grafik 1.7 Perkembangan Harga CPO di Pasar Internasional
Sumber: Bloomberg
Bertolak belakang dengan kinerja sub sektor tanaman perkebunan, sub sektor tanaman bahan makanan diperkirakan mengalami kontraksi pertumbuhan apabila dibandingkan dengan kondisi triwulan sebelumnya. Berakhirnya musim panen yang kemudian diikuti masa tanam telah menyebabkan anjloknya kinerja sub sektor ini. Menurut informasi dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Sumsel diperoleh keterangan bahwa luas panen padi pada triwulan II 2009 tercatat mengalami penurunan sebesar 66,15% (qtq) menjadi sekitar 167.998 Ha.
15
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Tabel 1.3 Realisasi Luas Tanam (LT) dan Luas Panen (LP) Propinsi Sumatera Selatan (dalam Ha)
Sumber : Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Sumatera Selatan
Sektor listrik, gas, dan air bersih (LGA) diperkirakan meningkat sebesar 3,80% (qtq) atau lebih tinggi dibandingkan dengan kinerja triwulan sebelumnya yang hanya menacapai 2,10% (qtq). Semakin lancarnya program konversi energi yang dilakukan pemerintah terus mendorong pertumbuhan di sub sektor gas kota. Sub sektor listrik pun cukup memberikan peran dalam mendorong sektor LGA yang terlihat dari meningkatnya konsumsi listrik secara total.
16
Grafik 1.8 Perkembangan Penjualan LPG
Grafik 1.9 Perkembangan Konsumsi Listrik
Sumber : PT. Pertamina UPMS II
Sumber : PLN Sumbagsel
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Sektor Industri Pengolahan diperkirakan mengalami pertumbuhan triwulanan sebesar 2,96%. Berdasarkan hasil survei dunia usaha, kondisi sub sektor industri pengolahan non migas, khususnya crumb rubber mengalami peningkatan pertumbuhan terkait dengan membaiknya permintaan ekspor dan harga karet di pasar internasional yang kembali meningkat, khususnya ke Cina. Kondisi sektor bangunan relatif membaik dengan pertumbuhan triwulanan sebesar 2,65%. Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan kondisi triwulan sebelumnya dimana sektor bangunan masih mencatat kontraksi pertumbuhan triwulanan sebesar 1,44%. Membaiknya kinerja di sektor ini diyakini sangat erat kaitannya dengan realisasi belanja pemerintah daerah yang menjadi pendorong utama meningkatnya kinerja sektor bangunan pada triwulan II 2009 dan juga sedikit menurunnya tingkat suku bunga pinjaman. Berdasarkan survei kegiatan dunia usaha
diperoleh
informasi
bahwa
Grafik 1.10 Perkembangan Konsumsi Semen
permintaan perumahan Rumah Sederhana Sehat
(RSH)
menengah
maupun
ke
peningkatan. dampak komoditas
Hal
dari
mengalami
tersebut
merupakan
membaiknya yang
daya
Semen
rumah
tetap
primer
meningkatkan Asosiasi
atas
segmen
beli
Indonesia
harga kemudian
masyarakat. mencatat Sumber : Asosiasi Semen Indonesia, diolah
terjadinya peningkatan penjualan semen sebesar 12,60% (qtq) pada triwulan ini. Kinerja ekonomi sektor keuangan, persewaan, dan jasa diperkirakan masih cukup tinggi dengan pertumbuhan sebesar 2,51% dibandingkan triwulan sebelumnya. Pertumbuhan triwulanan di sektor ini relatif lebih buruk dibandingkan dengan kondisi triwulan sebelumnya yang mencatat pertumbuhan triwulanan sebesar 3,41%. Salah satu penyebabnya adalah semakin menurunnya suku bunga simpanan sehingga menyebabkan penurunan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan.
17
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) diperkirakan mengalami pertumbuhan sebesar 1,58% yang disebabkan meningkatnya daya beli masyarakat terutama yang berada di pedesaan yang sangat tergantung pada sektor pertanian sebagai mata pencahariannya. Namun walaupun demikian, berdasarkan hasil survei diperoleh informasi bahwa masyarakat lebih memprioritaskan untuk mengkonsumsi kebutuhan pokok yang tercermin dari meningkatnya omzet pelaku usaha di sub sektor perdagangan sebesar 5%. Berdasarkan kegiatan survei yang
Grafik 1.11 Perkembangan Pendaftaran Kendaraan Bermotor
dilakukan Bank Indonesia, pesanan mobil secara triwulanan diperkirakan menurun dalam kisaran 20%-40%. Hal tersebut juga terkonfirmasi kendaraan
dari baru
data yang
pendaftaran
diperoleh
dari
Dispenda Propinsi Sumatera Selatan. Data dari
Dispenda
pendaftaran
menunjukkan
mobil
baru
bahwa
mengalami
penurunan sebesar 18,90% (qtq) sementara pendaftaran motor mengalami penurunan
Sumber: Dispenda Prop. Sumatera Selatan
sebesar 0,64% (qtq). Sehingga secara umum kemampuan masyarakat untuk membeli barang tahan lama belum membaik. Sektor jasa-jasa sebagai penunjang geliat perekonomian diperkirakan masih menyumbang pertumbuhan ekonomi Sumsel yang disebabkan peningkatan konsumsi masyarakat secara umum. Sektor jasa-jasa diprediksi tumbuh sebesar 1,55% dibandingkan triwulan sebelumnya. Kegiatan kampanye Pemilihan Presiden pada akhir triwulan II 2009 diyakini telah menjadi stimulus terdongkraknya sektor jasa-jasa. Sektor
pengangkutan
dan
komunikasi
diperkirakan
masih
mengalami
peningkatan pertumbuhan dibandingkan triwulan sebelumnya yakni sebesar 1,42%. Kinerja sub sektor komunikasi diprediksi sedikit mengalami perlambatan pertumbuhan yakni menjadi sebesar 4% (qtq) dari sebesar 6,25% (qtq). Tarif komunikasi yang semakin murah serta terus digulirkannya promo-promo dari sejumlah operator seluler tetap cukup ampuh dalam menjaga kinerja sub sektor ini.
18
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Liburan sekolah yang cukup panjang sedikit banyak telah mendorong pertumbuhan sub sektor transportasi. Data dari PT. Pelindo menunjukkan terjadinya peningkatan frekuensi pelayaran maupun jumlah penumpang kapal laut. Begitu pula dengan kondisi transportasi udara yang menurut informasi dari PT. Angkasa Pura II menunjukkan adanya peningkatan jumlah penumpang, baik penumpang domestik maupun internasional. Grafik 1.12 Perkembangan Penumpang Angkutan Udara
Grafik 1.13 Perkembangan Penumpang Angkutan Laut Pelabuhan Boom Baru Propinsi Sumsel
Sumber : PT. Angkasa Pura II, diolah
Sumber : PT. Pelindo Boom Baru, diolah
Sektor pertambangan dan penggalian merupakan sektor ekonomi yang mengalami pertumbuhan triwulanan paling rendah yakni sebesar 0,22% (qtq). Walapun demikian, sektor tersebut mengalami perbaikan kinerja setelah triwulan sebelumnya tercatat mengalami kontraksi sebesar 0,70% (qtq). Membaiknya harga minyak mentah di pasar internasional telah membantu kinerja sektor pertambangan ditengah kondisi stagnasi kapasitas produksi yang dialami pelaku usaha di sektor tersebut. Sementara itu, terus merosotnya harga batu bara di pasar internasional menyebabkan sektor pertambangan dan penggalian menjadi tumbuh tidak optimal. Berdasarkan informasi dari Bappeda Propinsi Sumsel, proyek pelabuhan Tanjung Api-api yang dilengkapi dengan proyek pembangunan jalan kereta direncanakan akan selesai pada tahun 2012 merupakan suatu solusi atas stagnannya produktivitas batu bara yang saat ini memiliki kapasitas produksi per tahun sebesar 10 juta ton.
19
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Grafik 1.14 Perkembangan Harga Batu Bara di Pasar Internasional
Grafik 1.15 Perkembangan Harga Minyak Bumi di Pasar Internasional
Sumber: Bloomberg
Sumber: Bloomberg
1.3 Perkembangan PDRB dari Sisi Penggunaan Pertumbuhan ekonomi secara tahunan (yoy) dari sisi penggunaan masih didominasi oleh konsumsi, terutama konsumsi rumah tangga. Pertumbuhan sektor konsumsi tercatat sebesar 9,24% (yoy), sedikit melambat apabila dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi pada triwulan sebelumnya yang mencapai 9,49% (yoy). Pertumbuhan konsumsi rumah tangga, konsumsi swasta nirlaba, serta konsumsi pemerintah masing-masing tercatat sebesar 8,79%, 15,16% dan 11,81%. Meningkatnya tingkat konsumsi juga terkonfirmasi oleh Survei Konsumen Palembang, yang menunjukkan keyakinan konsumen terhadap kondisi perekonomian pada triwulan II 2009 berada pada kisaran optimis yakni di atas 100. Tabel 1.4 Pertumbuhan Ekonomi Tahunan (yoy) Propinsi Sumatera Selatan ADHK 2000 menurut Penggunaan Tahun 2008 –2009 (%)
* Angka Sementara ** Proyeksi Bank Indonesia Palembang
Sumber : BPS Propinsi Sumatera Selatan, diolah
20
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Dari sisi kegiatan perdagangan, ekspor diperkirakan turun sebesar 17,49%, terkontraksi lebih dalam dibandingkan dengan kondisi pada triwulan sebelumnya yang turun sebesar 12,17%. Sementara itu, impor masih mencatat pertumbuhan tahunan yakni sebesar 10,48%, lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang meningkat sebesar 9,20%. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, meningkatnya pertumbuhan ekonomi Sumsel pada triwulan ini lebih disebabkan karena meningkatnya harga komoditas unggulan di pasar Internasional. Kondisi tersebut terkonfirmasi dari survei kegiatan dunia usaha triwulan II 2009 yang dilakukan KBI Palembang menggambarkan kegiatan usaha yang dilakukan oleh para pelaku usaha di Sumsel mengalami peningkatan dibandingkan kondisi triwulan sebelumnya. Grafik 1.16 Perkembangan Kegiatan Usaha
Sumber : SKDU KBI Palembang
Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) triwulan II 2009 mengindikasikan terjadinya peningkatan kegiatan usaha dari persepsi kalangan dunia usaha dibanding triwulan sebelumnya yang tercermin dengan peningkatan nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT)1 dari -17,79% menjadi 12,96%. Secara triwulanan (qtq), komponen yang mengalami pertumbuhan paling tinggi adalah investasi. Sedangkan komponen ekspor diperkirakan mengalami kontraksi sebesar 1
SBT adalah selisih antara jawaban meningkat (optimis) dengan jawaban menurun (pesimis) yang dikalikan dengan bobot masing-masing sektor ekonomi. 21
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
1,66%. Menurunnya ekspor dibandingkan triwulan sebelumnya lebih banyak disebabkan karena faktor menurunnya volume ekspor secara keseluruhan. Meningkatnya harga komoditas primer di pasar internasional tidak cukup membantu penghambatan penurunan ekspor karena turunnya volume ekspor yang cukup signifikan. Meningkatnya investasi tidak terlepas dari semakin membaiknya situasi dan kondisi bisnis di Sumsel. Secara umum situasi bisnis menurut pengusaha pada triwulan II 2009 mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Hal tersebut terindikasikan melalui nilai saldo bersih sebesar 12,50% untuk triwulan ini, jauh di atas angka triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 5,23%.
Grafik 1.17 Perkembangan Situasi Bisnis berdasarkan Persepsi Pengusaha
Sumber : SKDU KBI Palembang
Kondisi investasi pada triwulan III 2009 diperkirakan akan relatif lebih baik seiring prediksi proses pemulihan kondisi perekonomian dunia. Selain itu, upaya pemerintah melalui realisasi komponen belanja modal/investasi diharapkan akan semakin mendorong pertumbuhan investasi.
22
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Tabel 1.5 Pertumbuhan Ekonomi Triwulanan (qtq) Propinsi Sumatera Selatan ADHK 2000 menurut Penggunaan Tahun 2008 –2009 (%)
* Angka Sementara ** Proyeksi Bank Indonesia Palembang Sumber : BPS Propinsi Sumatera Selatan
1.4. Struktur Ekonomi Berdasarkan strukturnya, PDRB Sumsel masih ditopang oleh sektor primer yakni sektor pertanian serta sektor pertambangan dan penggalian dengan pangsa sebesar 42,23%. Pangsa sektor primer tersebut sedikit menurun dibandingkan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 42,29%. Penurunan pangsa di sektor primer ini terjadi pada sektor pertambangan dari sebesar 23,71% menjadi 23,27%. Sektor
sekunder
mengalami
peningkatan pangsa menjadi 25,59%
Grafik 1.18 Struktur Ekonomi Propinsi Sumatera Selatan
dari triwulan sebelumnya yang sebesar 25,40%. Peningkatan pangsa di sektor sekunder
tersebut
disebabkan
oleh
peningkatan pangsa seluruh sub sektor komponen sektor sekunder, yakni sub sektor industri pengolahan, sub sektor LGA, dan sub sektor bangunan yang masing-masing mengalami peningkatan pangsa sebesar 0,14%, 0,01% dan
Sumber: BPS Propinsi Sumatera Selatan, diolah
0,04%.
23
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Tabel 1.6 Struktur Ekonomi Sektoral Propinsi Sumatera Selatan Tahun 2008 – 2009
* Angka Sementara ** Proyeksi Bank Indonesia Palembang Sumber: BPS Propinsi Sumatera Selatan
Pangsa sektor tersier sedikit menurun dari sebesar 32,31% pada triwulan sebelumnya menjadi 32,18%. Hal tersebut disebabkan karena terjadinya penurunan pangsa dari seluruh sub sektor pada sektor ini kecuali sub sektor keuangan. Dari sisi penggunaan, secara struktural konsumsi masih memperlihatkan peran yang dominan pada PDRB Sumatera Selatan dengan kontribusi sebesar 73,20%, sedikit meningkat dibanding triwulan sebelumnya yang tercatat berkontribusi sebesar 73,17%. Kontribusi konsumsi rumah tangga tercatat sebesar 63,42%, mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan pangsa pada triwulan sebelumnya yang sebesar 63,51%. Menurunnya pangsa konsumsi rumah tangga merupakan salah satu dampak dari meningkatnya konsumsi pemerintah yang meningkat menjadi sebesar 8,51% dari sebesar 8,38% pada triwulan sebelumnya. Tabel 1.7 Struktur Ekonomi Penggunaan Propinsi Sumatera Selatan Tahun 2008 – 2009
* Angka Sementara ** Proyeksi Bank Indonesia Palembang Sumber : BPS Propinsi Sumatera Selatan
24
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
1.5. Perkembangan Ekspor Impor 1.5.1. Perkembangan Ekspor Ekspor selama tiga bulan terakhir (Mar - Mei 2009) tercatat sebesar USD312,76 juta atau menurun sebesar 57,97% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya (yoy) yang mencapai USD744,16 juta. Sementara itu dibanding periode triwulan sebelumnya (qtq), nilai ekspor tercatat menurun sebesar 9,48 % dari sebesar USD345,51 juta. Berdasarkan komoditas, pangsa nilai ekspor terbesar dicatat oleh komoditas karet yakni dengan pangsa sebesar 74,30%. Tabel 1.8 Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Utama Propinsi Sumatera Selatan (USD)
Sumber : DSM Bank Indonesia
Nilai ekspor Sumsel tahun 2009 sampai dengan bulan Mei 2009 (ytd) tercatat sebesar USD528,75 juta atau menurun sebesar 57,27% dibandingkan dengan posisi yang sama pada tahun sebelumnya (yoy) yang sebesar USD1.237,45. Tabel 1.9 Perkembangan Bulanan Nilai Ekspor Komoditas Utama Propinsi Sumatera Selatan (Juta USD)
Sumber : DSM Bank Indonesia
Berdasarkan volume, ekspor pada periode (Mar - Mei 2009) tercatat sebesar 485,91 ribu ton atau menurun sebesar 42,55% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy) yang tercatat sebesar 845,84 ribu ton atau menurun sebesar 20,02% dari periode Des 2008-Feb 2009 (qtq) yang tercatat sebesar 607,55 ribu ton.
25
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Sementara itu, volume ekspor Sumsel tahun 2009 sampai dengan bulan Mei 2009 tercatat sebesar 853,55 ribu ton atau menurun sebesar 35,43% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy) yang tercatat sebesar 1.321,88 ribu ton. Grafik 1.19 Perkembangan Nilai Ekspor Propinsi Sumatera Selatan
Grafik 1.20 Perkembangan Volume Ekspor Propinsi Sumatera Selatan
Sumber : DSM Bank Indonesia
Sumber : DSM Bank Indonesia
Grafik 1.21 Perkembangan Ekspor Propinsi Sumatera Selatan berdasarkan Negara Tujuan
Grafik 1.22 Pangsa Ekspor Propinsi Sumatera Selatan berdasarkan Negara Tujuan Mar 09-Mei 09
Malaysia 7,11%
Singapura 2,35%
Lainnya 35,26%
USA 16,58%
China 38,71%
Sumber : DSM Bank Indonesia
26
Sumber : DSM Bank Indonesia
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Berdasarkan negara tujuan ekspor, negara Cina masih merupakan negara tujuan utama ekspor dengan pangsa sebesar 38,71%, diikuti oleh Amerika Serikat sebesar 16,58%, dan Malaysia dengan pangsa sebesar 7,11%.
1.5.2. Perkembangan Impor Realisasi impor periode triwulan ini tercatat sebesar USD52,25 juta, menurun sebesar 6,99% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy) yang tercatat sebesar USD56,18 juta. Dibandingkan dengan triwulan sebelumnya terjadi peningkatan nilai impor sebesar 3,68% dari sebesar USD50,39 juta. Peningkatan nilai impor secara triwulanan ini terkait dengan meningkatnya impor mesin industri yang banyak digunakan dalam menunjang kegiatan sektor pertanian, sektor pertambangan, maupun industri pengolahan sebesar 53,81%. Grafik 1.23 Perkembangan Nilai Impor Propinsi Sumatera Selatan
Grafik 1.24 Perkembangan Volume Impor Propinsi Sumatera Selatan
Sumber : DSM Bank Indonesia
Sumber : DSM Bank Indonesia
Berdasarkan volume, impor pada periode saat ini tercatat sebesar 55,79 ribu ton atau mengalami penurunan sebesar 43,15% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy) yang tercatat sebesar 98,14 ribu ton. Apabila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (qtq), volume impor tercatat mengalami penurunan sebesar 11,43% dari sebesar 62,99 ribu ton.
27
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Berdasarkan negara asal, pangsa impor yang terbesar masih berasal dari negara Cina yakni sebesar 23,67%, kemudian disusul oleh negara Malaysia dengan pangsa sebesar 13,72%, dan negara Singapura dengan pangsa sebesar 4,73%. Grafik 1.25 Perkembangan Impor Propinsi Sumatera Selatan berdasarkan Negara Asal
Sumber : DSM Bank Indonesia
28
Grafik 1.26 Pangsa Impor Propinsi Sumatera Selatan berdasarkan Negara Asal Mar 09-Mei 09
Sumber : DSM Bank Indonesia
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Suplemen 2
RINGKASAN PENELITIAN: DAMPAK KRISIS FINANSIAL GLOBAL TERHADAP PEREKONOMIAN SUMATERA SELATAN I. Pendahuluan Gagalnya pembayaran subprime mortgage yang terjadi di Amerika Serikat (AS) menyebabkan tergerusnya aset-aset finansial global yang telah saling terkait satu sama lain di dunia. Nilai aset yang jatuh membuat adanya kebangkrutan institusi finansial, lembaga asuransi, dan juga merugikan investor dalam jumlah besar. Hal ini berpengaruh pada memburuknya nilai kekayaan dan realokasi portofolio seiring dengan menurunnya risk appetite investor secara global. Sehingga, terjadi capital outflow pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Lebih lanjut, kerugian ini memicu turunnya konsumsi serta produksi secara signifikan, dan menurunnya pemakaian tenaga kerja. Hal ini menyebabkan lesunya permintaan atas berbagai komoditas. Sebagai konsekuensinya, harga berbagai komoditas di pasar dunia mengalami penurunan drastis. Harga komoditas dunia yang menurun berdampak signifikan bagi perekonomian yang berbasiskan komoditas seperti Sumatera Selatan (Sumsel). Penurunan harga CPO, karet, dan berbagai komoditas unggulan lainnya menyebabkan penurunan nilai tambah sektoral. Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi secara agregat mengalami penurunan. Di sisi perekonomian domestik, nilai ekspor yang menurun berpengaruh terhadap menurunnya produksi, membuat pemakaian tenaga kerja juga mengalami penurunan, atau setidaknya menurunkan pendapatan rumah tangga yang tercermin pada menurunnya pendapatan per kapita pada triwulan IV 2008 sebesar 12,96% (qtq). Hal ini pada akhirnya juga menurunkan permintaan domestik karena tergerusnya daya beli masyarakat. Di sisi perbankan, prospek bisnis yang tidak baik dan menurunnya pendapatan meningkatkan risiko yang tercermin dari meningkatnya rasio NPL perbankan dari 1,81% pada Oktober 2008 menjadi 2,24% pada Januari 2009. Pertumbuhan kredit juga dapat tersendat karena ketidakmampuan debitur dalam membayar pinjaman. Berbagai upaya untuk meredam dampak krisis hingga juga telah dilakukan oleh pemerintah dan otoritas moneter di berbagai negara, baik melalui stimulus fiskal maupun penurunan suku bunga secara masif. Namun usaha-usaha tersebut belum berhasil mengembalikan gairah perekonomian dunia seperti semula, walaupun tanda-tanda recovery secara prematur sudah mulai terlihat. Secara teoritis, kebijakan moneter mempengaruhi jumlah kredit pada perekonomian, sehingga berpengaruh pada produksi, inflasi, dan pendapatan masyarakat. Dalam menganalisa pengaruh krisis finansial global terhadap perekonomian Sumsel, perlu dilakukan peninjauan atas teori-teori makroekonomi dan teori finansial. Berdasarkan teori makroekonomi dan kondisi empiris, transmisi krisis finansial global dalam mempengaruhi perekonomian Sumsel dapat dijelaskan pada Gambar 1.
29
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Gambar 1. Transmisi Krisis Finansial Global terhadap Perekonomian Nasional dan Sumatera Selatan
Perekonomian Dunia
Krisis Subprime
Kredit Pemakaian Tenaga Kerja Kebijakan moneter
Produksi Aset/ Pendapatan Realokasi portofolio Permintaan Dunia
Nilai Tukar Harga Komoditas
Impor
Ekspor komoditas
Pemakaian tenaga kerja
Produksi/ Output
Nilai Aset Finansial
Pendapatan Kebijakan Moneter Kredit
Inflasi
Permintaan Domestik Perekonomian Sumatera Selatan/Nasional
Krisis keuangan dunia berpengaruh pada perekonomian dalam negeri, termasuk perekonomian daerah di dalamnya. Krisis keuangan ditandai dengan gejolak pada pasar saham dan pasar valas. Dalam pasar valas, secara teori depresiasi nilai tukar rupiah terhadap US Dollar berdampak langsung pada ekspor dan impor. Sementara itu, penurunan pertumbuhan ekonomi dunia yang ditandai dengan turunnya GDP di hampir semua negara di dunia mendorong penurunan permintaan akan ekspor. Hal ini menurunkan pendapatan pada perekonomian. Dari dalam negeri, penurunan pendapatan tersebut dapat berimbas 30
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
pada turunnya konsumsi dan investasi, yang kemudian dapat menurunkan produksi dan pendapatan, sehingga menurunkan laju pertumbuhan ekonomi lebih dalam. II. Metodologi Berdasarkan landasan teori, persamaan-persamaan yang akan diestimasi ekonometrik adalah sebagai berikut (dalam logaritma natural atau persen)
melalui
Persamaan Konsumsi
……………………………(1) Persamaan investasi
…………………………….(2) Persamaan ekspor
…………………………… (3) Persamaan impor
…………………………………….(4) Selain notasi yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, DS merupakan dummy musiman yang disertakan pada persamaan ekspor. Berbeda dengan persamaan lainnya, persamaan ekspor belum dipengaruhi oleh variabel yang menjelaskan faktor musiman perekonomian domestik, sehingga penggunaan variabel dummy diperlukan. u merupakan stokastik error. Kemudian, notasi sampai dengan merupakan parameter yang menjelaskan elastisitas antara variabel independen dan variabel dependen. Nilai n adalah salah satu dari 0,1,...dst, yang ditentukan berdasarkan statistik yang menerangkan kecocokan lag yang digunakan pada variabel-variabel dalam estimasi, seperti statistik Akaike Info Criterion (AIC), Schwarz Info Criterion (SIC), dan metode-metode lainnya yang konsisten. Keempat persamaan tersebut dihubungkan melalui suatu persamaan identitas yaitu, Y=C+I+G+X–M Disamping persamaan yang menjelaskan dinamika perekonomian pada sisi permintaan agregat, dilakukan pula estimasi ekonometrika dengan menggunakan beberapa persamaan sebagai berikut: Persamaan Produksi ......................................(5) Persamaan Inflasi …….(6)
31
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Dimana B adalah harga BBM, yang juga mewakili supply shock. Persamaan Konsumsi Campbell-Mankiw (bukan dalam bentuk logaritma) ………………….(7) Variabel-variabel pembentuk output dari sisi permintaan pada penelitian ini menggunakan data PDRB penggunaan harga konstan (tahun dasar 2000), yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Sumatera Selatan. Variabel-variabel tersebut mencakup pendapatan/output, konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor, dan impor. Tabel 1. Keterangan Data Variabel Pertumbuhan ekonomi/ PDRB riil Konsumsi
Data PDRB harga konstan 2000
Sumber BPS
Ekspor
Konsumsi dari PDRB harga konstan 2000 PMTDB dan perubahan stok dari PDRB harga konstan 2000 Ekspor dari PDRB harga konstan 2000
BPS
Impor
Impor dari PDRB harga konstan 2000
BPS
Nilai tukar Tenaga kerja Suku bunga Pajak penghasilan Harga Komoditas
Nilai tukar USD/IDR Penduduk yang bekerja BI rate Pendapatan PPh Harga komoditas
Investasi
BPS BPS
BI BPS BI Depkeu Bloomberg
III. Analisis Hasil estimasi ekonometrika menghasilkan persamaan sebagai berikut : Konsumsi ct = 9.51 + 0.24(yt-1-tt-1) (0.82) 2
R =98.65
(2.17) DW=1.82
Investasi it = 3.10 - 0.003rt-2 + 0.02yt-3 + 0.77it-1 (1.21) 2
R =65.15
32
(-3.00)
(0.12)
DW=1.80
(10.68)
Keterangan Interpolasi untuk periode tertentu Interpolasi untuk periode tertentu Interpolasi untuk periode tertentu Interpolasi untuk periode tertentu Interpolasi untuk periode tertentu
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Ekspor xt = 0.51 - 0.11Et-1 + 0.32y*t-1 + 0.84xt-1 + 0.06*DSt (0.39)
(-3.40)
2
R =90.48
(2.20)
(15.99)
(1.65)
DW=1.46
Impor mt = -2.08 + 0.52yt-1 + 0.65mt-1-0.13et-2 (-1.52) 2
R = 94.67
(3.19)
(5.24)
(-2.82)
DW=1.56
Inflasi πt = 0.64 πt-1 + 8.59yt -ýt + 0.53b (5.31) 2
R =53.75
(0.32)
(2.94)
DW=1.74
Campbell-Mankiw ∆C = 0.15 ∆Yd (1.69) 2
R =-12.18
DW=1.86
Ket: Huruf kecil dalam log natural, angka dalam () merupakan t-stat Nilai dari antilog -0.50 adalah 0.61. Berdasarkan hal tersebut, hasil estimasi persamaan konsumsi menghasilkan otonomus spending yang positif, yang menunjukkan aplikasi teori Keynes relevan untuk diaplikasikan pada analisis. Peningkatan disposable income sebesar 1% akan meningkatkan konsumsi sebesar 0,04%. Merujuk pada Campbell dan Mankiw (1989), dilakukan pengujian proporsi populasi yang mengikuti pola konsumsi klasik dan pola Life Cycle – Permanent Income Hypothesis (LCPIH). Hasil estimasi tersebut mengindikasikan bahwa 15,09% dari konsumsi ditentukan oleh pendapatan jangka pendek. Namun, 84,81% konsumsi lebih ditentukan oleh pendapatan permanen. Hasil estimasi persamaan investasi mengindikasikan bahwa perubahan BI rate akan berpengaruh terhadap investasi pada dua periode berikutnya, sedangkan perubahan pendapatan akan berpengaruh terhadap nilai investasi tiga triwulan kemudian, walaupun secara statistik tidak dapat dikatakan signifikan. Walaupun hal ini tidak seperti yang dikemukakan Stiroh (2000), namun Mankiw (2005) juga mengemukakan persamaan investasi yang tidak dipengaruhi oleh pendapatan perekonomian tersebut. Hal ini dapat
33
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
disebabkan oleh proporsi sumber dana investasi yang berasal dari luar Sumatera Selatan lebih besar. Hasil estimasi persamaan ekspor menunjukkan bahwa meningkatnya PDB AS sebesar 1% akan meningkatkan ekspor Sumatera Selatan sebesar 0,32%. Secara simetris, penurunan PDB AS sebesar 1% akan menurunkan tingkat ekspor Sumatera Selatan sebesar 0,32%. Berbeda dengan teori, hasil estimasi menunjukkan bahwa depresiasi Rupiah sebesar 1% menyebabkan menurunnya ekspor Sumatera Selatan sebesar 0,11%. Hal ini dapat terjadi karena adanya ekspektasi adaptif jangka pendek atas nilai tukar Rupiah, yang menyebabkan depresiasi Rupiah justru menyebabkan penundaan pesanan. Nilai DS, cukup berpengaruh meskipun hanya signifikan pada tingkat keyakinan 89%. Hal ini menunjukkan adanya faktor musiman yang cukup signifikan mempengaruhi ekspor, yang berasal dari perekonomian domestik (karena terdapat variasi ekspor yang tidak dapat dijelaskan oleh PDB AS dan nilai tukar Rupiah). Meningkatnya PDRB Sumatera Selatan sebesar 1% akan meningkatkan impor sebesar 0,52% pada triwulan berikutnya. Terdepresiasinya nilai tukar Rupiah terhadap USD akan menurunkan nilai impor sebesar 0,13%. Hal ini mengindikasikan bahwa ketika pendapatan masyarakat Sumatera Selatan mengalami peningkatan, masyarakat justru menambah proporsi konsumsi barang impor dibandingkan barang yang diproduksi oleh perekonomian domestik. Berdasarkan hasil estimasi, inflasi secara signifikan dipengaruhi oleh inflasi pada periode sebelumnya. Kenaikan output gap sebesar 1% akan meningkatkan inflasi sebesar 2,08%. Namun, parameter ini mempunyai resiko bias ke bawah karena masih adanya sampel Y yang merupakan hasil interpolasi. Kenaikan Inflasi tahunan pada triwulan sebelumnya sebesar 1% dapat meningkatkan inflasi tahunan sebesar 0,65%. Shock pada harga BBM sebesar 1% akan meningkatkan inflasi sebesar 0,59%. Secara keseluruhan, hal ini mengindikasikan bahwa faktor penyebab inflasi yang dominan di Sumatera Selatan adalah cost-push dibandingkan demand-pull yang bersifat siklikal. Hasil estimasi persamaan produksi Cobb-Douglas dengan dua faktor produksi menunjukkan bahwa produksi secara signifikan dipengaruhi oleh modal dan teknologi, namun tidak signifikan dipengaruhi oleh tenaga kerja. 1% penambahan kapital dapat meningkatkan produksi perekonomian pada tiga triwulan ke depan sebesar 0.57%. Kemudian, hasil uji restriksi koefisien mengindikasikan bahwa persamaan produksi tersebut memenuhi asumsi Constant Return to Scale (CRS). Melalui hasil simulasi dengan menurunkan PDB AS sebesar 5% pada waktu t0, dapat diperhatikan bahwa angka ekspor turun sekitar 2,0% pada triwulan berikutnya, yang diikuti oleh penurunan pendapatan sebesar 0,9%. Mulai triwulan berikutnya (2 triwulan setelah shock terjadi, atau t+2), konsumsi pun mengalami penurunan terus menerus secara perlahan. Kemudian, angka impor menurun mulai t+1 sampai dengan sebesar 0,64% pada t+3. Tingkat investasi kemudian juga mengalami penurunan tipis sebesar 0,09%, dengan risiko bias ke bawah. Tingkat inflasi tahunan mengalami penurunan hingga sebesar 2,8% pada tahun berikutnya dari timbulnya deflationary gap seiring dengan menipisnya konsumsi domestik. Tanpa adanya stimulus yang bersifat otonomus, progress signifikan recovery (70%) dapat dicapai pada satu sampai dengan dua tahun pertama. Namun, tingkat PDRB tidak dapat mencapai angka seperti semula tanpa adanya stimulus.
34
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 5% akan meningkatkan pendapatan/output sebesar 0,35% pada periode yang sama, yang diikuti oleh peningkatankonsumsi sebesar 0,01% dan peningkatan impor sebesar 0,18% pada triwulan berikutnya. Perlu diperhatikan adverse effect melalui impor ini kemudian menyebabkan pendapatan/output kembali menurun tipis sebesar 0,04%, karena berpengaruh pada periode yang lebih panjang. Peningkatan konsumsi tersebut juga menyebabkan peningkatan inflasi tahunan sekitar 0,28%. Selain itu, tingkat investasi berpeluang mengalami peningkatan tipis sebesar 0,02%. Penurunan BI rate sebesar 1% (100bps) dapat meningkatkan investasi sebesar 0,28% pada dua triwulan berikutnya, yang diikuti oleh peningkatan pendapatan/output sebesar 0,06%. Konsumsi hanya terpengaruh tipis sebesar 0,01% secara perlahan, dan angka impor meningkat sebesar 0,04%. Angka inflasi tahunan mengalami sedikit peningkatan sebesar 0,16%. Walaupun efek kebijakan moneter ini lebih rendah dari kebijakan fiskal, namun melalui hasil estimasi, efek tersebut lebih bersifat jangka panjang dibandingkan pengeluaran pemerintah. Bila dilakukan peningkatan stimulus fiskal sebesar 5% satu triwulan setelah adanya penurunan PDB AS sebesar 5%, maka kebijakan tersebut mampu menurunkan efek penurunan PDB AS tersebut terhadap perekonomian Sumatera Selatan. Turunnya PDRB menjadi hanya 0,65%, yang semula sekitar 0,9%. Konsumsi mengalami penurunan secara perlahan, namun dengan besaran yang terbilang minor. Angka penurunan impor juga sedikit melambat dari yang semula 0,64% menjadi 0,59%. Penurunan tekanan inflasi juga mengalami sedikit penurunan, dari 2,8% menjadi sekitar 2,5%. Bila pengeluaran pemerintah ditingkatkan 10%, ternyata tidak memberikan dampak yang berbeda secara signifikan dengan peningkatan sebesar 5%. Hal ini mengindikasikan bahwa stimulus yang dilakukan secara besar-besaran pada satu triwulan tertentu tidak memberikan hasil yang maksimal untuk meredam dampak krisis finansial global, dibandingkan cost dari kebijakan tersebut. Untuk merendam dampak penurunan PDB AS tersebut secara lebih efektif, stimulus fiskal yang diberikan perlu dilakukan secara lebih kontinu. Dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah pada t+1 sampai dengan t+3 sebesar 5% untuk meredam dampak penurunan PDB AS sebesar 5% pada t0, penurunan output menjadi lebih rendah dari sebelumnya, yaitu dengan titik terendah 0,5%. Penurunan impor menjadi 0,45%, dan penurunan investasi menjadi 0,07%. Penurunan inflasi yang terjadi juga akan semakin landai, yaitu dengan titik terendah 2,3%. Kebijakan moneter dengan menurunkan BI rate secara gradual akan efektif bila dilakukan satu periode sebelum adanya shock penurunan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan pentingnya memformulasikan kebijakan moneter secara forward looking. Selain itu, hal yang juga menarik pada simulasi ini adalah munculnya indikasi bahwa kebijakan ekspansi moneter lebih signifikan untuk mempercepat proses recovery perekonomian. Adanya depresiasi Rupiah terhadap USD sebesar 5% dapat menyebabkan turunnya impor sebesar 0,75%, yang juga berakibat pada turunnya ekspor sebesar 0,55%. Terjadi goncangan jangka pendek pada kegiatan produksi yang menyebabkan output jangka pendek berkurang sebesar 0,25%. Angka inflasi dan konsumsi juga mengalami penurunan dalam nilai yang minor.
35
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Simulasi berikutnya didasarkan atas proyeksi OECD (2009) atas pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat secara triwulanan pada 2009-2010. Melalui shock atas proyeksi tersebut, dapat diperkirakan bahwa dampak krisis finansial global pada perekonomian Sumatera Selatan yang paling tinggi akan terjadi pada triwulan III atau triwulan IV 2009. Hal ini juga berdampak pada semakin rendahnya inflasi tahunan hingga akhir tahun 2009. Proses recovery diperkirakan akan dimulai pada triwulan IV 2009. 90% proses recovery diperkirakan akan tercapai pada triwulan IV 2009. Ketidakpastian pada perekonomian cukup besar pada tahun 2009-2010 yang ditandai oleh lebarnya confidence bounds, khususnya pada indikator ekspor, impor, PDRB, dan investasi. Mulai akhir tahun 2012, perekonomian Sumatera Selatan diperkirakan akan melejit secara signifikan dari sebelumnya, yang didorong oleh tingkat ekspor yang lebih tinggi dari semula. Berdasarkan hasil simulasi-simulasi di atas, dalam meredam efek penurunan pertumbuhan ekonomi AS secara efektif dan efisien, diperlukan kombinasi antara kebijakan fiskal dan moneter. Dimana kebijakan fiskal diperlukan dalam jangka pendek untuk menopang konsumsi masyarakat yang berpotensi tergerus menyusul adanya penurunan pendapatan, misalnya melalui BLT maupun realisasi proyek padat karya. Di samping stimulus fiskal untuk menopang tingkat konsumsi, penurunan suku bunga dengan konteks forward looking juga penting untuk mempercepat proses recovery perekonomian Sumatera Selatan, terutama melalui investasi. IV. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Krisis finansial global akan berpengaruh secara signifikan pada perekonomian Sumatera Selatan melalui penurunan ekspor. Kemudian, penurunan ekspor tersebut akan berpengaruh terhadap penurunan pendapatan, sehingga akan menurunkan konsumsi dan investasi, atau secara keseluruhan mengurangi aktivitas perekonomian domestik. Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa secara agregat tingkat konsumsi lebih dipengaruhi oleh pendapatan permanen dibandingkan pendapatan temporer (84,81% dari populasi). Sehingga, kekhawatiran penurunan konsumsi akibat adanya penurunan pendapatan jangka pendek dapat dikurangi, dengan catatan bahwa terdapat ekspektasi perbaikan perekonomian dalam waktu yang terukur dan tidak terlalu lama. Hal ini membuat efek multiplier dampak krisis keuangan global melalui konsumsi dan permintaan domestik menjadi lebih ringan dari semestinya. Terkait dengan hal tersebut, perlu diperkuat ekspektasi pemulihan ekonomi masyarakat melalui kebijakan-kebijakan yang propertumbuhan, penjagaan citra dan kredibilitas, serta penguatan stabilitas perekonomian. Mengingat besarnya penambahan impor menyusul adanya peningkatan pendapatan, perlu diberikan edukasi kepada masyarakat untuk lebih menggunakan produk dalam negeri dan mengurangi permintaan barang impor. Selain itu, perlu dilakukan pencarian alternatif bahan baku domestik untuk produsen yang memakai bahan baku impor. Tanpa adanya stimulus, proses recovery perekonomian Sumatera Selatan atas suatu shock negatif PDB Amerika Serikat akan berlangsung selama 4 sampai 6 tahun. Namun, proses signifikan (90%) dapat dicapai dalam satu sampai dua tahun pertama.
36
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Stimulus fiskal diperkirakan efektif dalam memperhalus dampak krisis keuangan global terhadap konsumsi secara jangka pendek. Namun, sesuai dengan Ricardian effect, efek dari stimulus tersebut diperkirakan tidak bertahan lama. Selain itu, terdapat pula adverse effect dari meningkatnya impor akibat stimulus tersebut. Berdasarkan hasil simulasi, anggaran stimulus fiskal akan lebih efektif dalam memperkecil dampak krisis keuangan global bila direalisasikan secara kontinu dan tersebar pada setiap periode dibandingkan direalisasikan secara bersamaan pada suatu periode saja. Karena itu, untuk memaksimalkan efek yang dihasilkan atas stimulus fiskal untuk mengurangi dampak krisis keuangan global, dapat direkomendasikan kepada Pemda agar lebih konsisten memberikan stimulus kepada perekonomian secara lebih kontinu dan merata antar periode, serta lebih diperuntukkan untuk menopang penurunan konsumsi jangka pendek. Kebijakan ekspansi moneter secara gradual dapat mempercepat proses recovery perekonomian Sumatera Selatan, walaupun secara jangka pendek efeknya lebih kecil dibandingkan stimulus fiskal. Selain itu, hasil estimasi juga memberikan indikasi pentingnya formulasi kebijakan moneter secara forward looking untuk menjaga stabilitas perekonomian. Kebijakan moneter akan memberikan hasil maksimal bila dilakukan sebelum shock berupa krisis terjadi. Baik kebijakan moneter maupun kebijakan fiskal dibutuhkan perekonomian Sumatera Selatan dalam menghadapi dampak krisis keuangan global, dan keduanya bersifat saling melengkapi dan tidak secara sempurna dapat disubstitusikan antara satu dan lainnya
37
1. Perkembangan Ekonomi Makro Regional
Halaman ini sengaja dikosongkan This page is intentionally blank
38
Bab 2 •
PERKEMBANGAN INFLASI PALEMBANG
Inflasi tahunan mengalami penurunan tajam walaupun inflasi bulanan secara perlahan cenderung meningkat. Ketersediaan stok pasca panen dan masih rendahnya harga komoditas memberikan andil besar dalam rendahnya inflasi. Kalangan Pemerintah Daerah dan distributor Sembako menilai pasokan barang relatif terjaga.
• •
2.1. Inflasi Tahunan 1
Inflasi tahunan kota Palembang pada triwulan II 2009 adalah sebesar 2,92% (yoy), atau menurun cukup drastis apabila dibandingkan dengan inflasi pada triwulan sebelumnya yang mencapai 7,94%. Angka tersebut juga jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan inflasi pada triwulan yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 13,96%. Grafik 2.2 Inflasi Tahunan (yoy) Kota Palembang per Kelompok Pengeluaran Triwulan II 2009
Grafik 2.1 Perkembangan Inflasi Tahunan (yoy) Palembang Pe rsen 16
Persen
14,19
10
14 12
8
13,96
6
10
11,15
4
8
2
7,94
6
Umum 7.95 6.06 5.66
2.92 2.23
5.61
Bahan Makanan Makanan Jadi
3.92
Perumahan
0
4
Sandang
-2
2
2,92
II
III 2008
IV
I
II 2009
Sumber: BPS Propinsi Sumatera Selatan
-4
Kesehatan
-6 -8
-6.26
Pendidikan
Sumber: BPS Propinsi Sumatera Selatan
Penurunan tekanan inflasi tersebut tidak terlepas dari cukupnya pasokan bahanbahan pokok serta penurunan pendapatan dan daya beli akibat krisis keuangan global terutama kepada masyarakat yang menggantungkan mata pencahariannya pada usaha perkebunan khususnya karet dan kelapa sawit, yang kemudian memberikan efek multiplier 1
Penghitungan Indeks Harga Konsumen (IHK) di Indonesia sejak 1 Juli 2008 menggunakan tahun dasar 2007 (sebelumnya tahun dasar 2002) yang didasarkan pada hasil Survei Biaya Hidup (SBH) 2007. Cakupan kota bertambah dari 45 kota menjadi 66 kota. Paket komoditas secara nasional naik dari 744 pada tahun 2002 menjadi 774 di tahun 2007, sementara paket komoditas untuk kota Palembang juga bertambah dari 314 komoditas menjadi 360 komoditas.
2. Perkembangan Inflasi Palembang
kepada perekonomian secara luas. Musim panen di sektor pertanian (khususnya tanaman bahan makanan) pada bulan Maret-April merupakan faktor utama penekan laju inflasi Palembang. Berdasarkan kelompok barang, kelompok makanan jadi mengalami inflasi tahunan tertinggi yaitu sebesar 7,95%. Urutan kedua dan ketiga dicatat oleh barang kelompok perumahan serta kelompok sandang yaitu masing-masing sebesar 6,06% dan 5,66%. Di sisi lain, inflasi terendah terjadi pada kelompok bahan makanan sebesar 2,23%. Bahkan kelompok transportasi tercatat mengalami deflasi yang cukup tinggi, yakni sebesar 6,26%. Berdasarkan hal tersebut, penurunan harga BBM yang dilakukan pada akhir 2008 secara teknikal masih memberikan efek yang cukup dominan pada rendahnya besaran inflasi tahunan pada triwulan II 2009 karena menyebabkan harga-harga barang kelompok transportasi saat ini lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Grafik 2.3 Perkembangan Harga Komoditas Strategis (yoy) di Pasar Internasional Perkembangan Harga Terigu
Sumber : Bloomberg, diolah
40
Perkembangan Harga Beras
Sumber : Bloomberg, diolah
Perkembangan Harga Emas
Perkembangan Harga Kedelai
Sumber : Bloomberg, diolah
Sumber : Bloomberg, diolah
2. Perkembangan Inflasi Palembang
Harga beberapa komoditas unggulan yang diekspor oleh Sumatera Selatan di pasar internasional mengalami penurunan cukup signifikan sebagai dampak dari terjadinya krisis keuangan global yang masih terjadi. Penurunan tersebut juga menjadi faktor penekan laju inflasi Palembang. Dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, harga beras pada triwulan II 2009 mengalami penurunan dari 504,05 USD/metrik ton menjadi 489,89 USD/metrik ton, atau mengalami penurunan sebesar 2,81% (qtq). Sementara itu harga terigu dan harga kedelai masing-masing mengalami peningkatan dari 5,30 USD/bushel menjadi 5,63 USD/bushel dan dari 9,37 USD/bushel menjadi 11,24 USD/bushel, atau masing-masing mengalami peningkatan sebesar 6,27% (qtq) dan 20,00% (qtq). Adapun harga emas mengalami peningkatan sebesar 1,30% (qtq) dari 910,45 USD/oz menjadi 922,26 USD/oz. Bila dibandingkan dengan triwulan I 2009, inflasi tahunan di seluruh kelompok Grafik 2.4 Perkembangan Inflasi Tahunan per Kelompok Barang dan Jasa di Palembang
30
mengalami penurunan. Kelompok barang yang mengalami penurunan inflasi tahunan paling dalam hingga menjadi 2,23% dari
Persen
yang semula 9,07% adalah kelompok
25
bahan
20
makanan.
Hal
tersebut
terkait
15
dengan penurunan harga komoditas dunia
10
dalam satu tahun terakhir. Selain itu, curah
5
hujan dan tidak adanya gangguan alam
0
dan
-5
II 08
III 08
IV 08
I 09
II 09
-10 Bahan makanan Sandang Transpor
Makanan jadi Kesehatan
Sumber: BPS Propinsi Sumatera Selatan
Perumahan Pendidikan
hama
secara
signifikan
juga
mendukung pencapaian panen di beberapa sentra produksi beras. Penurunan laju inflasi juga diikuti oleh kelompok barang lainnya yang disebabkan oleh mulai menurunnya permintaan seiring adanya penurunan daya beli masyarakat.
Inflasi tahunan kota Palembang secara historis lebih fluktuatif dibandingkan nasional yang ditunjukkan oleh angka standar deviasi inflasi tahunan Palembang sebesar 4,40% sedangkan angka standar deviasi inflasi tahunan nasional sebesar 3,69%. Rata-rata inflasi tahunan kota Palembang dan inflasi tahunan nasional pada periode Januari 2003
41
2. Perkembangan Inflasi Palembang
sampai dengan Maret 2009 masing-masing sebesar 10,36% dan 8,75%, sehingga Kota Palembang masih memiliki kecenderungan tingkat inflasi lebih tinggi dari nasional dengan selisih rata-rata 1,61%. Namun, pada Triwulan II 2009 ini, inflasi tahunan Palembang untuk pertama kalinya berada di bawah nasional, dimana inflasi Palembang dan nasional masingmasing sebesar 2,92% dan 3,65% (yoy) . Inflasi triwulan II 2009 juga tercatat sebagai tingkat inflasi yang paling rendah sejak tahun 2003 baik untuk Palembang maupun nasional. Tabel 2.1 Statistika Deskriptif Inflasi Tahunan Palembang dan Nasional, Januari 2003 - Juni 2009
Grafik 2.5 Perbandingan Inflasi Tahunan Palembang dan Nasional
Rata-rata Standar Deviasi Maksimum Minimum
Palembang
Nasional
10.36
8.75
1.61
4.40 21.81 2.92
3.69 18.38 3.65
0.71 3.43 -0.73
Sumber: BPS, diolah
Sumber: Biro Pusat Statistik
2.2. Inflasi bulanan Kota Palembang pada bulan Juni 2009
Grafik 2.6 Perkembangan Inflasi Bulanan (mtm) Palembang
tercatat mengalami inflasi secara bulanan sebesar 0,19% (mtm), mengalami sedikit peningkatan dibandingkan bulan Mei 2009 yang mengalami inflasi sebesar 0,17%. Sedikit
meningkatnya
dunia
pada
harga
triwulan
II
mendorong
permintaan
mendorong
inflasi
komoditas
2009
mulai
yang
sedikit
walaupun
masih
terbilang rendah, setelah sebelumnya pada triwulan I 2009 seringkali terjadi deflasi.
42
Sumber: BPS Propinsi Sumatera Selatan *) Tahun Dasar 2007 = 100
Selisih
2. Perkembangan Inflasi Palembang
Inflasi bulanan yang tertinggi Grafik 2.7 Perkembangan Inflasi Bulanan Palembang per Kelompok Barang dan Jasa
pada bulan Juni 2009 terjadi pada kelompok
bahan
makanan
kelompok
makanan
jadi
dan
masing-
masing sebesar 0,40% dan 0,27%. Aktivitas kampanye sebelum pemilihan presiden telah menyebabkan tingginya permintaan domestik pada kelompok makanan jadi. Hal tersebut berdampak pada naiknya harga kelompok barang tersebut. Walaupun demikian, dampak kenaikan
harga
pada
kelompok
makanan jadi tersebut lebih rendah dibandingkan
pada
saat
sebelum
pemilu legislatif. Pada bulan Juni 2009, sub kelompok daging dan hasil-hasilnya tercatat mengalami inflasi tertinggi di antara kelompok bahan makanan, yaitu sebesar 3,42%, disusul oleh sub kelompok kelompok
buah-buahan
serta
sayur-sayuran
sub
masing-
masing sebesar 1,84% dan 1,15%. Di sisi
lain,
terdapat
beberapa
sub
kelompok yang lain yang mengalami deflasi. Deflasi tertinggi terjadi pada sub kelompok lemak dan minyak, sub kelompok bumbu-bumbuan dan sub Sumber: BPS Propinsi Sumatera Selatan
kelompok mengalami
kacang-kacangan deflasi
yang
masing-masing
sebesar 2,78%, 2,31%, dan 0,40%.
43
2. Perkembangan Inflasi Palembang
Grafik 2.8 Inflasi Bulan Juni 2009 (mtm) per Sub Kelompok pada Kelompok Bahan Makanan di Palembang 4.00 BAHAN MAKANAN 3.00
Padi-padian, Umbi-umbian dan Hasilnya
2.00
Daging dan Hasil-hasilnya Ikan Segar
1.00
Ikan Diawetkan Telur, Susu dan Hasil-hasilnya
-
Sayur-sayuran Kacang - kacangan
(1.00)
Buah - buahan (2.00)
Bumbu - bumbuan
(3.00)
Lemak dan Minyak Bahan Makanan Lainnya
(4.00)
Sumber: BPS Propinsi Sumatera Selatan
Grafik 2.9 Event Analysis Inflasi Kota Palembang Juni 2008 – Juni 2009 16.00
Kenaikan harga BBM
14.00
Jatuhnya Hari raya harga Natal, tahun Idul fitri komoditas baru, Penuru akibat krisis nan harga BBM global
12.00
Kampanye Pemilu legislatif, masa panen, efe k krisis global
10.00
4.00 Kampanye Pemilu presiden, meningkat nya optimisme dunia
8.00
3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00
6.00
0.50 4.00 0.00 2.00
(0.50)
0.00
(1.00) Jun
Jul Aug Sep Oct Nov Dec Jan Feb Mar Apr May Jun 2008
2009 yoy
mtm (axis kanan)
Sumber: Diolah dari BPS Propinsi Sumatera Selatan
44
2. Perkembangan Inflasi Palembang
Seperti biasanya, tingginya bobot kelompok bahan makanan pada perhitungan inflasi menyebabkan pergerakan inflasi umum secara bulanan mengikuti pola pergerakan harga kelompok bahan makanan. Secara umum inflasi kota Palembang memiliki pola pergerakan yang searah dengan inflasi nasional. Namun, data historis menunjukkan bahwa inflasi kota Palembang lebih fluktuatif dibandingkan dengan inflasi nasional. Pengaruh peningkatan harga komoditas sampai dengan pertengahan tahun 2008 terlihat lebih sensitif meningkatkan inflasi Palembang dibandingkan inflasi nasional, dan penurunan harga komoditas sekitar triwulan IV 2008 juga terlihat lebih sensitif menurunkan inflasi Palembang dibandingkan inflasi nasional. Sejak awal tahun 2009, Kota Palembang lebih sering mengalami deflasi bila dibandingkan dengan nasional, namun pada bulan April sampai Juni tahun 2009, Kota Palembang tercatat mengalami inflasi sedikit lebih tinggi dari nasional.
Grafik 2.10 Perbandingan Inflasi Bulanan dan Ekspektasi Harga Konsumen 3 Bulan YAD
Sumber: BPS dan Survei Konsumen BI
Grafik 2.11 Perbandingan Inflasi Bulanan (mtm) Palembang dan Nasional
Sumber: Badan Pusat Statistik
Berdasarkan hasil survei konsumen yang dilaksanakan setiap bulan oleh Bank Indonesia Palembang di Palembang, terdapat pergerakan yang searah antara laju inflasi bulanan atau laju inflasi bulanan pada bulan sebelumnya dengan jumlah konsumen yang memprediksikan kenaikan harga pada 3 bulan yang akan datang dengan laju inflasi bulanan. Hal ini merupakan salah satu indikator bahwa masyarakat masih bersikap adaptif dalam pembentukan ekspektasinya.
45
2. Perkembangan Inflasi Palembang
2.3. Pemantauan Harga oleh Bank Indonesia Palembang Dari hasil Survei Pemantauan Harga (SPH) yang dilakukan KBI Palembang secara mingguan secara
umum
dapat
disimpulkan
bahwa
terjadi
tendensi
penurunan
harga
barang/komoditas sebesar 0,94% dibandingkan posisi triwulan sebelumnya. Seperti triwulan I 2009, tendensi perubahan harga yang rendah masih terjadi di triwulan II 2009, mengikuti masih rendahnya harga komoditas di pasar internasional dan masih cukup baiknya stok setelah panen. Secara bulanan, kecenderungan penurunan harga komoditas juga terjadi pada bulan April dan Juni 2009 yakni untuk cabe merah dan daging sapi. Pada bulan Mei 2009, terjadi kecenderungan kenaikan harga yang didominasi oleh kenaikan harga minyak goreng dan daging ayam. Grafik 2.12 Pergerakan Tingkat Harga Bulanan Sesuai SPH
Sumber : SPH KBI Palembang
46
2. Perkembangan Inflasi Palembang
Bila dibandingkan triwulan sebelumnya (qtq), harga beras mengalami peningkatan masing-masing sebesar 0,86% di Pasar Cinde dan sebesar 0,11% di Pasar Lemabang. Kemudian harga minyak goreng mengalami peningkatan sebesar 4,49% di Pasar Cinde dan sebesar 13,50% di Pasar Lemabang. Grafik 2.13 Pergerakan Harga Beras di Pasar Cinde dan Lemabang (Rupiah/Kg) Pasar Cinde
Pasar Lemabang
Sumber : SPH KBI Palembang Sumber : SPH KBI Palembang
Grafik 2.14 Pergerakan Harga Minyak Goreng di Pasar Cinde dan Lemabang (Rupiah/Kg) Pasar Cinde
Sumber : SPH KBI Palembang
Pasar Lemabang
Sumber : SPH KBI Palembang
47
2. Perkembangan Inflasi Palembang
Sejak awal tahun, harga daging sapi tidak mengalami fluktuasi yang tinggi. Pada Pasar Cinde, harga daging sapi mengalami penurunan secara triwulanan sebesar 2,16%. Namun, di Pasar Lemabang harga daging sapi justru mengalami sedikit peningkatan sebesar 0,54%. Grafik 2.15 Pergerakan Harga Daging Sapi di Pasar Cinde dan Lemabang (Rupiah/kg) Pasar Cinde
Pasar Lemabang
Sumber : SPH KBI Palembang Sumber : SPH KBI Palembang
Grafik 2.16 Pergerakan Harga Emas di Pasar Cinde dan Lemabang (Rupiah/Gram)
Pasar Cinde
Sumber : SPH KBI Palembang
48
Pasar Lemabang
Sumber : SPH KBI Palembang
2. Perkembangan Inflasi Palembang
Hasil SPH juga menunjukkan penurunan harga emas di Pasar Cinde dan Lemabang pada periode Maret 2009 sampai dengan Juni 2009 dengan penurunan sebesar 18,76% dan 7,83% (qtq). Harga emas cenderung mengalami penurunan pada bulan April dan Mei 2009, namun kemudian kembali meningkat pada bulan Juni 2009. Hasil SPH yang dilakukan oleh KBI Palembang secara independen di Kota Palembang menunjukkan pola pergerakan harga yang cukup konvergen dengan hasil survei inflasi yang dilakukan secara bulanan oleh BPS. Hal ini menunjukkan bahwa hasil SPH Kota Palembang
dapat
dijadikan
sebagai
salah
satu
petunjuk
dalam
memperkirakan
perkembangan inflasi di kota Palembang. Grafik 2.17 Pergerakan Inflasi Bulanan dan Tingkat Harga Sesuai SPH di Kota Palembang (Jun 2008 – Jun 2009)
Keterangan : Data dan informasi diolah dari BPS Propinsi Sumatera Selatan dan SPH Bank Indonesia Palembang
2.4. Upaya Tim Pengendalian Inflasi Daerah Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) telah melakukan pertemuan sebanyak dua kali pada tahun 2009 untuk berkoordinasi dalam mengendalikan inflasi di Sumatera Selatan. Secara umum, hasil dan isu strategis yang dibahas pada kedua pertemuan tersebut adalah sebagai berikut:
49
2. Perkembangan Inflasi Palembang
1. Pada prinsipnya setiap instansi sesuai dengan peran dan fungsinya siap melakukan pemantauan terhadap ketersediaan pasokan, stok dan kelancaran distribusi barangbarang, utamanya barang kebutuhan pokok di Sumatera Selatan. 2. Peran dan tugas masing-masing instansi perlu dioptimalkan mengingat inflasi tahunan Sumsel (yoy) seringkali berada di atas nasional. Hal ini perlu penanganan yang terkoordinasi antar lembaga terkait, sehingga di tengah-tengah perekonomian yang terkena dampak krisis ekonomi global, tekanan terhadap daya beli masyarakat dapat teredam dengan stimulus-stimulus Pemda dan upaya pengendalian laju inflasi. 3. Kondisi stok sembako pada umumnya mencukupi paling tidak untuk enam bulan ke depan dengan harga yang relatif stabil. Mengingat informasi ini diperoleh langsung dari lapangan, diharapkan dapat membentuk ekspektasi inflasi ke depan yang diperkirakan dalam kisaran terkendali dan rendah. Informasi tersebut juga sejalan dengan prediksi inflasi Bank Indonesia sampai dengan akhir tahun 2009 yang secara umum cenderung mengalami penurunan dibanding tahun lalu.
50
2. Perkembangan Inflasi Palembang
Suplemen 3
REVISI PROYEKSI INFLASI PALEMBANG TAHUN 2009 Perkembangan perekonomian regional, nasional, maupun internasional pada triwulan II 2009, mengalami volatilitas yang tinggi. Hal tersebut mengharuskan dilakukannya revisi terhadap proyeksi inflasi Palembang. Perbedaan ekstrim antara data historis dan inflasi yang telah terjadi pada tahun 2009 ini, yang juga menyebabkan inflasi Palembang menyentuh titik terendahnya sejak tahun 2003. Penurunan tingkat inflasi secara tahunan, selain disebabkan oleh isu-isu ekonomi, juga disebabkan karena faktor teknikal. Secara umum, penurunan tekanan inflasi disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (i) Efek lanjutan dari penurunan harga komoditas dunia yang kemudian belum mengalami kenaikan berarti hingga saat ini, sehingga secara langsung berimplikasi pada tetap rendahnya harga-harga komoditas yang dipasarkan secara domestik, dan secara tidak langsung menurunkan pendapatan masyarakat Sumatera Selatan yang kemudian menurunkan permintaan barang-barang sehingga menyebabkan penurunan tekanan kenaikan harga. (ii) Adanya masa panen yang menyebabkan terjaganya pasokan barang kebutuhan pokok. Secara teknikal, inflasi yang diprediksi menurun tajam disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (i) Inflasi tahunan pada tahun sebelumnya (2008) sangat tinggi, yang antara lain disebabkan oleh terjadinya kenaikan harga BBM. (ii) Terjadinya deflasi secara bulanan yang cukup sering terjadi pada awal tahun 2009, tepatnya pada bulan Januari, Maret, dan April 2009 masingmasing sebesar 0,28%, 0,15%, dan 0,28%. Proyeksi inflasi pada triwulan III 2009 adalah sebesar 0,96±0,5% (yoy) atau 1,24±0,5% (qtq). Sedangkan inflasi pada triwulan IV 2009 atau inflasi akhir tahun 2009 diprediksi sebesar 2,25±1% (yoy) atau 0,98±1% (qtq). Inflasi tersebut, walaupun menurun drastis secara tahunan, namun diprediksi meningkat secara triwulanan untuk mengantisipasi berbagai faktor penyebab inflasi yang bersifat musiman dan ketidakpastian perekonomian global pada periode 2009-2010, yang dibuktikan oleh confidence bounds yang lebih lebar pada periode tersebut (lihat Suplemen 2). Karena itu, sangat mungkin bahwa proyeksi inflasi yang rendah tersebut masih cenderung mempunyai risiko bias ke bawah. Dengan kata lain, probabilitas realisasi inflasi yang akan terjadi lebih rendah dari proyeksi tersebut cukup tinggi. Pada triwulan III 2009, penyebab utama naiknya tekanan inflasi berasal dari naiknya permintaan pada kelompok bahan makanan dan kelompok makanan jadi seiring dengan adanya bulan suci Ramadhan dan hari raya Idul Fitri pada bulan Agustus-September 2009. Konsumsi pada momen tersebut diperkirakan tidak elastis terhadap penurunan pendapatan masyarakat, sehingga diprediksi tetap tinggi. Pada triwulan IV 2009, diprediksi proses
51
2. Perkembangan Inflasi Palembang
recovery perekonomian secara kontinu akan dimulai, walaupun belum signifikan. Namun, hal ini juga dapat menyebabkan tekanan inflasi seiring adanya peningkatan pendapatan (lihat Suplemen 2). Selain itu, terdapat tekanan permintaan seiring dengan maraknya diskon akhir tahun, hari raya Natal, dan tahun baru. Kondisi nasional yang dapat menyebabkan berubahnya tekanan inflasi antara lain berasal dari hasil pemilihan presiden yang belum final berikut masih adanya potensi dinamika politik. Kondisi internasional yang masih dipenuhi ketidakpastian dan masih sangat sensitif terhadap isu-isu juga dapat menyebabkan adanya potensi berubahnya tekanan inflasi secara signifikan. Tabel 1. Proyeksi Inflasi 2009 Periode
Proyeksi
Proyeksi (revisi)
Sebelumnya
52
Triwulan I
9,88±1%
-
Triwulan II
8,51±1%
-
Triwulan III
6,97±1%
0,96±0,5%
Triwulan IV
8,21±1%
2,25±1%
Bab 3 • •
•
•
PERKEMBANGAN PERBANKAN DAERAH
DPK sedikit menurun, karena kenaikan kebutuhan konsumsi dan meningkatnya ekspektasi return pasar modal dan sekuritas. Kredit meningkat seiring ekspektasi pemulihan perekonomian dan peningkatan harga komoditas, dengan peningkatan kredit tertinggi pada kredit konsumsi dan investasi. Suku bunga mulai menunjukkan tendensi penurunan salah satunya ditopang oleh kestabilan politik pasca Pemilihan Umum, baiknya kondisi makroekonomi, dan capital inflow yang memperlancar transmisi moneter. Pemerintah Daerah luncurkan program prospektif bagi perbankan, Sapi Integrasi Kelapa Sawit (SISKA).
3.1. Kondisi Umum Kinerja perbankan di Propinsi Sumatera Selatan (Sumsel) secara tahunan (yoy) pada triwulan II 2009 (Mei 2009) dari beberapa indikator seperti total aset, penghimpunan dana dan penyaluran kredit/pembiayaan yang diberikan menunjukkan perkembangan positif. Total aset perbankan Sumsel meningkat sebesar 8,99% dari triwulan yang sama pada tahun sebelumnya (yoy), yaitu dari Rp33,87 triliun menjadi Rp36,01 triliun. Peningkatan aset perbankan terutama disebabkan meningkatnya jumlah penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK), terutama peningkatan simpanan deposito berjangka. Penghimpunan DPK yang terdiri dari
simpanan
deposito (yoy)
meningkat
dari
Rp28,95
giro,
Rp24,77 triliun.
tabungan,
dan
sebesar
16,87%
triliun
menjadi
Peningkatan
Grafik 3.1 Perkembangan Aset, DPK, dan Kredit Perbankan Propinsi Sumatera Selatan
DPK
terutama didominasi oleh peningkatan simpanan
berjangka/deposito
yang
meningkat
sebesar
(yoy).
Penyaluran
50,33%
kredit/
pembiayaan
mengalami peningkatan dari Rp20,41 triliun
menjadi
Rp22,79
triliun
meningkat sebesar 11,67% (yoy).
atau
3. Perkembangan Perbankan Daerah
Penyaluran Kredit Mikro, Kecil, dan Menengah (MKM) secara tahunan (yoy) tercatat mengalami peningkatan sebesar 18,50% dari Rp12,95 triliun menjadi sebesar Rp15,34 triliun. Sementara itu, secara triwulanan (qtq), realisasi kredit MKM mengalami penurunan sebesar 5,18% Kinerja perbankan Sumsel secara triwulanan (qtq) tercatat mengalami penurunan pada semua indikator utama. Total aset menurun sebesar 1,79% dibandingkan triwulan sebelumnya, sedangkan jumlah DPK menurun sebesar 2,94%. Namun, penyaluran kredit/pembiayaan perbankan Sumatera Selatan tercatat meningkat sebesar 3,06% dibandingkan triwulan sebelumnya. Penurunan aset dan DPK, dan kredit dibandingkan triwulan I 2009 sangat erat kaitannya dengan kondisi krisis keuangan global yang masih terjadi. Beberapa hal yang dapat dijelaskan terkait menurunnya kinerja perbankan, yaitu: (1) penurunan aset sangat dipengaruhi oleh penurunan DPK yang cukup signifikan, (2) tergerusnya DPK sangat mungkin terjadi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi di saat pendapatan menurun sebagai dampak dari harga komoditas unggulan Sumsel yang masih rendah. Sementara itu, peningkatan penyaluran kredit/pembiayaan yang terjadi di tengah belum kembalinya kondisi dunia usaha seperti semula disebabkan oleh pengaruh penurunan BI rate secara gradual sejak akhir tahun 2008, dan juga membaiknya optimisme perekonomian global berikut munculnya potensi pemulihan perekonomian dalam waktu dekat yang menurunkan premi risiko. Penurunan DPK yang dibarengi dengan peningkatan penyaluran kredit/pembiayaan telah menyebabkan peningkatan Loan to Deposit Ratio (LDR) sehingga pada triwulan II 2009 tercatat sebesar 78,73%. Pada triwulan sebelumnya LDR tercatat sebesar 74,15%.
3.2. Kelembagaan
Grafik 3.2 Jumlah Kantor Bank dan ATM di Propinsi Sumatera Selatan
Jumlah bank yang beroperasi di Propinsi Sumsel sampai dengan triwulan I 2009 berjumlah 53 bank dengan jumlah kantor bank sebanyak 454 kantor yang terdiri dari 4 Kantor Wilayah Bank Umum Konvensional,
1
Kantor
Pusat
Pemerintah Daerah, 18 Kantor
Bank Pusat
BPR/S, 60 Kantor Cabang Bank Umum 54
3. Perkembangan Perbankan Daerah
Konvensional, 9 Kantor Cabang Bank Umum Syariah dan 4 Kantor Cabang BPR/S, 265 Kantor Cabang Pembantu Bank Umum Konvensional, 27 Kantor Cabang Pembantu Bank Umum Syariah, serta 59 Kantor Kas Bank Umum, 3 Kantor Kas Bank Syariah dan 4 Kantor Kas BPR. Sementara itu jumlah Anjungan Tunai Mandiri (ATM) tercatat sebanyak 484 unit.
3.3. Penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) 3.3.1 Penghimpunan DPK Jika dibandingkan dengan triwulan yang sama pada tahun sebelumnya (yoy), DPK mengalami peningkatan sebesar 16,87%. Simpanan giro tercatat sedikit menurun dari Rp5,15 triliun menjadi sebesar Rp5,04 triliun atau sebesar 2,01%. Tabungan mengalami sedikit penurunan sebesar 0,26% menjadi Rp11,03 triliun. Simpanan berjangka/deposito meningkat dari Rp8,57 triliun menjadi Rp12,88 triliun atau meningkat sebesar 50,33%. Secara triwulanan (qtq), penghimpunan DPK mengalami penurunan sebesar 2,94% yang dikontribusikan oleh penurunan simpanan giro, tabungan, dan deposito masingmasing sebesar 5,19%, 0,05%, dan 4,42%. Grafik 3.3 Pertumbuhan DPK Perbankan di Propinsi Sumatera Selatan
Grafik 3.4 Komposisi DPK Perbankan Triwulan II 2009 di Propinsi Sumatera Selatan
Rp Triliun 16 14 12 10 8 6 4 2 0
11.05 8.57 5.15
13.47 13.18 12.88 11.82 11.16 11.03 11.03 10.07 5.31
4.54
17.43% 44.48%
5.32
5.04 38.09%
II
III
IV
2008 Giro
Tabungan
I
II 2009
Deposito
Giro
Tabungan
Deposito
Berdasarkan pangsa masing-masing komponen simpanan terhadap total DPK yang berhasil dihimpun, simpanan deposito masih tercatat dengan pangsa terbesar yaitu sebesar 44,48%, atau sedikit meningkat dibanding triwulan sebelumnya yang sebesar 46,64%. Sementara itu simpanan tabungan dan giro masing-masing memiliki pangsa sebesar 38,09% dan 17,43%. 55
3. Perkembangan Perbankan Daerah
3.3.2. Penghimpunan DPK Menurut Kabupaten/Kota Saat ini sistem pelaporan bank yang dikelola Bank Indonesia Palembang masih mengelompokkan daerah berdasarkan 11 kabupaten/kota. Berdasarkan laju pertumbuhan secara tahunan (yoy), laju pertumbuhan penghimpunan DPK Musi Rawas tercatat mengalami pertumbuhan paling tinggi yakni sebesar 413,09%. Namun demikian pangsa wilayah tersebut terhadap Sumsel hanya sebesar 0,17%. Penghimpunan DPK di Kota Palembang tercatat tumbuh sebesar 13,05% dari sebesar Rp17,26 triliun menjadi sebesar Rp19,51 triliun. Sementara itu, wilayah yang tercatat mengalami penurunan DPK paling tinggi adalah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dengan penurunan sebesar 12,37%. Tabel 3.1 Pertumbuhan DPK Perbankan Propinsi Sumatera Selatan (dalam Rp Juta)
2008
Sektor
II
2009
III
IV
Prabumulih
970,880
1,007,161
1,019,772
1,044,576
1,051,880
Pagar Alam
366,532
410,353
351,623
346,345
344,417
1,391,816
1,377,708
1,271,886
1,295,249
1,315,876
741,031
773,940
710,861
668,000
676,817
17,262,656
20,743,363
19,914,580
19,514,925
432,529
Lubuklinggau Baturaja Palembang
I
II
Ogan Komering Ulu
478,699
18,607,803 504,927
537,407
547,337
Ogan Komering Ilir
892,291
739,407
655,689
780,726
781,940
1,052,942
945,175
935,852
957,288
931,158
9,606
60,818
32,023
46,351
49,287
Lematang Ilir Ogan Tengah
979,473
1,427,797
2,740,552
3,497,580
2,999,274
Lahat
621,094
686,748
642,996
735,054
733,061
Musi Banyuasin Musi Rawas
Sama halnya dengan pertumbuhan tahunan, kabupaten Musi Rawas yang mencatat pertumbuhan tahunan tertinggi juga mengalami peningkatan penghimpunan DPK terbesar secara
triwulanan
yakni
meningkat
sebesar
6,33%.
Sementara
itu,
beberapa
kota/kabupaten besar di Sumsel seperti Palembang, Musi Banyuasin, Pagar Alam, Musi Banyuasin dan Lahat mencatat penurunan DPK dibandingkan triwulan sebelumnya. DPK kabupaten Musi Banyuasin tercatat mengalami penurunan paling drastis yaitu sebesar 14,25%. Berdasarkan pangsa, DPK Kota Palembang masih merupakan wilayah dengan pangsa terbesar yakni sebesar 67,42% dari total DPK Sumatera Selatan, sementara daerah yang mempunyai pangsa paling kecil adalah kabupaten Musi Rawas dengan pangsa sebesar 0,17%.
56
3. Perkembangan Perbankan Daerah
3.4. Penyaluran Kredit/Pembiayaan 3.4.1. Penyaluran Kredit/Pembiayaan Secara Sektoral Laju pertumbuhan kredit/pembiayaan tercatat mengalami peningkatan sebesar 11,67% dari tahun sebelumnya (yoy) dari Rp20,41 triliun menjadi Rp22,79 triliun. Peningkatan tertinggi terjadi pada kredit sektor pertanian dan kredit sektor pertambangan masingmasing sebesar 38,22% dan 34,48%. Tabel 3.2 Perkembangan Kredit Sektoral Propinsi Sumatera Selatan (Rp Triliun)
II
2008 III
IV
I
II
Pertanian
2.59
2.84
2.98
3.33
3.58
Pertambangan
0.29
0.27
0.31
0.37
0.39
Perindustrian
3.07
3.06
2.91
2.34
2.21
Perdagangan
4.42
4.90
4.93
4.82
4.98
LGA
0.38
0.37
0.37
0.37
0.33
Konstruksi
1.42
1.57
1.28
1.39
1.45
Pengangkutan
0.27
0.26
0.28
0.27
0.28
Jasa Dunia Usaha
1.18
1.30
1.25
1.18
1.19
Jasa Sosial
0.27
0.23
0.20
0.19
0.18
Lain-lain
6.52
7.16
7.43
7.85
8.20
Total Kredit
20.41
21.97
21.94
22.11
22.79
Sektor
2009
Grafik 3.5 Pangsa Penyaluran Kredit Sektoral Propinsi Sumatera Selatan Triwulan II 2009
Kredit penurunan
yang
terbesar
mengalami
secara
tahunan
adalah kredit pada sektor jasa sosial dan sektor
perindustrian
yaitu
masing-
masing sebesar 33,33% dan 28,01%. Secara
triwulanan,
peningkatan
penyaluran kredit terbesar juga terjadi pada
sektor
pertambangan,
pertanian yaitu
dan
masing-masing
sebesar 7,51% dan 5,41%.
57
3. Perkembangan Perbankan Daerah
Ekspektasi kenaikan harga komoditas seiring dengan membaiknya optimisme perekonomian dunia dan munculnya prediksi bahwa recovery akan terjadi dalam waktu dekat memberikan peluang bagi perbankan untuk lebih meningkatkan kredit di sektor pertanian dan pertambangan. Menurut komposisinya, selain sektor lain-lain, penyaluran kredit didominasi pada sektor perdagangan, yaitu sebesar 21,85% dan disusul oleh penyaluran kredit pada sektor pertanian dan sektor perindustrian masing-masing sebesar 15,71% dan 9,70%. Walaupun mengalami pertumbuhan yang cukup pesat, kredit pada sektor pertambangan hanya sebesar 1,71% dari kredit keseluruhan.
3.4.2. Penyaluran Kredit/Pembiayaan Menurut Penggunaan Seluruh penyaluran kredit/pembiayaan menurut penggunaan mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy). Kredit konsumsi tercatat mengalami peningkatan paling tinggi yakni sebesar 25,67% menjadi sebesar Rp8,19 triliun. Kredit investasi mencatat pertumbuhan sebesar 20,02%. Berbeda dengan lainnya, kredit modal kerja mengalami penurunan sebesar 1,59%. Grafik 3.7 Pangsa Penyaluran Kredit/Pembiayaan Menurut Penggunaan Propinsi Sumsel Triwulan II 2009
Grafik 3.6 Pertumbuhan Kredit Menurut Penggunaan Propinsi Sumatera Selatan
Rp Triliun 12 10 8 6 4 2 II
35.95%
22.63%
III
IV
2008
Modal Kerja
41.42%
I
II 2009
Investasi
Modal kerja
Konsumsi
Investasi
Konsumsi
Secara triwulanan (qtq), penyaluran kredit/pembiayaan untuk modal kerja tercatat mengalami peningkatan tipis sebesar 0,44%. Kredit investasi tercatat meningkat paling tinggi sebesar 5,92% yang kemudian disusul oleh kredit konsumsi dengan peningkatan sebesar 4,41%. Peningkatan yang cukup tinggi pada kredit konsumsi diyakini sangat erat kaitannya dengan dampak krisis global yang menyebabkan rendahnya daya beli masyarakat
58
3. Perkembangan Perbankan Daerah
dan sekaligus mendorong masyarakat untuk menambah kredit konsumsi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dari segi komposisi, penyaluran kredit berdasarkan penggunaan masih didominasi oleh kredit modal kerja, yakni sebesar 41,42%, kemudian diikuti kredit konsumsi yakni sebesar 35,95%, dan kredit investasi dengan pangsa sebesar 22,63%. Walaupun demikian, jika diperhatikan pula data triwulan sebelumnya, telah terjadi sedikit pergeseran dominasi dari kredit modal kerja kepada dua jenis kredit lainnya.
3.4.3. Penyaluran Kredit/Pembiayaan Menurut Kabupaten Berdasarkan daerah penyaluran kredit, wilayah Baturaja dan wilayah Ogan Komering Ilir tercatat mengalami peningkatan penyaluran kredit/pembiayaan secara tahunan (yoy) yang signifikan yakni masing-masing sebesar 108,42% dan 62,88%. Sementara itu, selain wilayah lainnya, wilayah yang mengalami penurunan penyaluran kredit/pembiayaan yang paling besar adalah Musi Rawas dengan penurunan sebesar 7,99%. Tabel 3.3 Perkembangan Penyaluran Kredit/Pembiayaan Perbankan Propinsi Sumatera Selatan (dalam Rp Juta)
2008
Wilayah
2009
Prabumulih
II 856,965
III 869,557
IV 892,175
I 911,682
II 911,808
Pagar Alam
216,527
249,659
260,105
253,671
262,374
Lubuklinggau
582,124
659,163
615,546
757,383
796,931
353,318
375,782
377,732
574,015
736,389
12,321,469
13,188,073
13,015,238
12,662,816
12,402,106
Ogan Komering Ulu
1,038,884
1,144,495
1,152,827
1,162,718
1,304,958
Ogan Komering Ilir
1,071,326
1,218,853
1,211,991
1,302,045
1,744,970
Musi Banyuasin
1,720,060
1,818,250
1,894,443
1,975,732
1,988,602
Baturaja Palembang
Musi Rawas Lematang Ilir Ogan Tengah Lahat lainnya
608,707
598,916
579,449
521,553
560,050
1,069,057
1,203,594
1,276,341
1,393,898
1,452,185
544,211
638,464
661,189
597,364
627,668
26,388
374
840
1,307
1,946
Secara triwulanan (qtq), penyaluran kredit/pembiayaan di wilayah Ogan Komering Ilir tercatat mengalami peningkatan tertinggi yakni sebesar 34,02%, dan disusul oleh penyaluran kredit/pembiayaan di wilayah Baturaja yang mengalami pertumbuhan sebesar 28,29%. Sementara itu, wilayah Palembang tercatat sebagai satu-satunya wilayah yang mengalami penurunan penyaluran kredit, yaitu sebesar 2,06%. 59
3. Perkembangan Perbankan Daerah
Grafik 3.8 Komposisi Penyaluran Kredit Perbankan Propinsi Sumatera Selatan Triwulan II 2009 Berdasarkan Wilayah 2.75%
6.37% 0.01%
4.00% 1.15%3.50%
2.46%
3.23%
8.73% 7.66%
54.42% 5.73%
Prabumulih Lubuklinggau Palembang Ogan Komering Ilir Musi Rawas Lahat
Pagar Alam Baturaja Ogan Komering Ulu Musi Banyuasin Lematang Ilir Ogan Tengah lainnya
3.4.4. Penyaluran Kredit/Pembiayaan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Realisasi kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) secara tahunan (yoy) tercatat mengalami peningkatan sebesar 18,50% dari Rp12,95 triliun menjadi sebesar Rp15,34 triliun. Berdasarkan penggunaan, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh kredit konsumsi sebesar 25,00%. Kemudian diikuti oleh kredit modal kerja dan kredit investasi masingmasing sebesar 12,92% dan 8,75%. Sementara itu, secara triwulanan (qtq), realisasi kredit UMKM mengalami peningkatan sebesar 5,18% dibanding triwulan sebelumnya. Peningkatan tersebut dikontribusikan oleh ketiga jenis kredit menurut penggunaan. Kredit modal kerja, kredit investasi, dan kredit konsumsi mengalami peningkatan masing-masing sebesar 5,98%, 6,17%, dan 4,43%. Menurut
penggunaan,
Grafik 3. 9 Penyaluran Kredit UMKM Perbankan Propinsi Sumatera Selatan Menurut Penggunaan
kredit
yang diberikan banyak digunakan untuk konsumsi
dan
modal
kerja.
Kredit
konsumsi tercatat sebesar Rp8,09 triliun atau dengan pangsa sebesar 52,70%, sementara kredit modal kerja tercatat sebesar Rp5,74 triliun atau dengan pangsa sebesar 37,42%.
60
3. Perkembangan Perbankan Daerah
Berdasarkan plafon kredit, realisasi penyaluran kredit usaha kecil masih mencatat pertumbuhan tertinggi baik secara tahunan maupun triwulanan. Secara tahunan (yoy), perkembangan realisasi penyaluran kredit usaha mikro (plafon sd. Rp50 juta), usaha kecil (plafon Rp51 juta s.d. Rp500 juta), dan usaha menengah (Rp501 juta s.d. Rp5 miliar) masing-masing tercatat sebesar 10,36%, 40,82%, dan 3,20%. Secara triwulanan (qtq), perkembangan realisasi penyaluran kredit usaha mikro, kredit usaha kecil, dan kredit usaha menengah masing-masing meningkat sebesar 0,29%, 11,05%, dan 3,40%. Grafik 3.10 Penyaluran Kredit UMKM Menurut Plafond Kredit
Walaupun tren penyaluran kredit UMKM secara umum mengalami peningkatan yang kontinyu, namun berdasarkan hasil quick survey yang telah dilakukan Bank Indonesia, UMKM juga terkena dampak krisis keuangan global. Meskipun demikian, UMKM cukup optimis atas akan adanya pemulihan ekonomi (lihat Suplemen 4). Prospek pertumbuhan penyaluran kredit UMKM ke depan semakin terbuka setelah adanya peluncuran program Sapi Integrasi Kelapa Sawit (SISKA) yang masih terkendala oleh terbatasnya akses petani plasma terhadap permodalan khususnya dari bank (lihat Suplemen 5). Bank Indonesia juga telah berupaya melakukan fasilitasi dengan menyelenggarakan pertemuan antara asosiasi perkebunan dengan perbankan pada bulan Mei 2009. Kesimpulan hasil pertemuan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Upaya untuk meningkatkan penyaluran kredit Revitalisasi Perkebunan dalam situasi perekonomian yang sedang menghadapi tekanan krisis global perlu terus diupayakan karena akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Salah satunya melalui peningkatan
61
3. Perkembangan Perbankan Daerah
komunikasi antara perbankan, pengusaha dan pihak terkait lainnya untuk mengatasi berbagai kendala. 2. Usulan kebijakan yang dapat direkomendasikan kepada Kantor Pusat Bank Indonesia dan Gubernur Sumsel, antara lain : peningkatan keterlibatan Pemda untuk mempercepat pengurusan Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, sertifikasi lahan dan penyediaan tenaga pendamping lapangan untuk perkebunan. Selain itu, perlu dikaji kemungkinan penurunan suku bunga kredit revbun untuk meningkatkan kelayakan usaha perkebunan di tengah kondisi harga yang sedang menurun.
62
3. Perkembangan Perbankan Daerah
Suplemen 4
RINGKASAN HASIL QUICK SURVEY DAMPAK KRISIS KEUANGAN GLOBAL TERHADAP UMKM Krisis keuangan global yang dipicu oleh krisis subprime mortgage di Amerika Serikat memberikan dampak negatif terhadap kondisi ekonomi dan prospeknya di berbagai negara termasuk Indonesia. Pada triwulan I-2009, pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya mencapai 4,6%, sedangkan prospek ekonomi Indonesia secara keseluruhan tahun 2009 diperkirakan hanya tumbuh pada kisaran 3-3,5%, terutama karena anjloknya external demand. Penurunan aktivitas ekonomi saat ini terjadi di hampir seluruh sektor ekonomi dan berbagai skala usaha termasuk UMKM yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Berdasarkan data BPS (2007), peran UMKM dari sisi penciptaan PDB memberikan kontribusi sebesar 53,60% sedangkan dari sisi penyerapan tenaga kerja memberikan kontribusi mencapai 92,46%. Oleh karena itu, melihat pentingnya peran UMKM dalam perekonomian Indonesia, maka dirasa perlu untuk melakukan kajian tentang dampak krisis keuangan global terhadap kinerja UMKM secara umum dengan tetap mempertimbangkan aspek spasial (antar wilayah) di Indonesia. Tabel 1. Distribusi Responden
Sektor / Bidang Usaha Propinsi Pertanian Palembang Bengkulu Bandar Lampung TOTAL
Industri Pengolahan
Perdagangan/ Hotel/Restoran
Transpor/ Komunikasi
Total Lainnya
13
4
30
3
10
60
6
1
2
1
0
10
10
4
4
2
0
20
29
9
36
6
10
90
Profil UMKM sebagai responden di ketiga propinsi yang dijadikan sebagai lokasi sampel bisa dilihat pada tabel di atas. Berdasarkan propinsi, responden terbanyak berada di Propinsi Sumatera Selatan yaitu sebanyak 67%. Responden di Propinsi Lampung sebanyak 22% dan Propinsi Bengkulu sebanyak 11%. Berdasarkan sektor usaha, responden terbanyak bergerak di sektor perdagangan / hotel / restoran sebanyak 40% diikuti sektor pertanian sebanyak 32%. Berdasarkan skala usaha hampir setengah responden (49%) merupakan kelompok usaha kecil dengan omset antara Rp 300 juta – Rp 2,5 miliar. Sementara jumlah responden skala menengah dengan omset antara Rp 2,5 miliar – Rp 50 miliar sebanyak 36%. Sisanya 14% merupakan UMKM skala mikro dan 1% merupakan skala usaha besar.
63
3. Perkembangan Perbankan Daerah
Dilihat dari bentuk badan hukum sebagian besar responden (74%) tidak memiliki badan hukum, masing-masing 12% berbentuk PT dan CV, sisanya sebanyak 2% berbentuk koperasi. Berdasarkan lama beroperasi, 56% responden telah beroperasi lebih dari 10 tahun, 35% telah beroperasi selama 4-10 tahun, 8% telah beroperasi selama 1-3 tahun, dan 1% beroperasi kurang dari 1 tahun. Dari hasil survei tersebut, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1.
2.
3.
4.
64
Dampak negatif krisis keuangan global dirasakan oleh sebagian besar pelaku UMKM di wilayah Propinsi Sumatera Selatan, Lampung, dan Bengkulu secara merata di semua sektor usaha yang menjadi responden survei. Namun jika dibandingkan dengan krisis tahun 1997, responden di sektor pertanian lebih banyak yang menyatakan bahwa krisis saat ini lebih terasa dampaknya. Hal ini bisa disebabkan karena jatuhnya harga komoditas terutama kelapa sawit dan karet yang merupakan komoditas pertanian utama Sumbagsel. Krisis keuangan global telah menurunkan kinerja responden melalui penurunan omset usaha / penjualan yang berpengaruh terhadap profit margin yang didapatkan, walaupun terdapat sedikit pengecualian pada minoritas responden seperti responden pengolah bahan makanan dan perdagangan. Krisis global juga mempangaruhi kemampuan sebagian kecil responden dalam memenuhi kewajiban ke perbankan terutama responden di sektor pertanian. Untuk bertahan dari gempuran krisis, responden pada umumnya melakukan strategi efisiensi dan sebagian di antaranya mencari pasar baru ataupun segmen pasar baru. Pengurangan tenaga kerja bukan merupakan solusi yang populer dilakukan oleh para responden. Mayoritas responden optimis perekonomian akan membaik. Optimisme tersebut dipengaruhi oleh keyakinan bahwa pemerintah akan segera melakukan tindakan yang diperlukan untuk pemulihan. Dari sisi kebijakan, responden berharap pemerintah menambah skim kredit UMKM bersubsidi seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) serta mengurangi pajak / bea masuk.
3. Perkembangan Perbankan Daerah
3.5. Perkembangan Suku Bunga Perbankan di Sumatera Selatan Suku bunga perbankan yang terdiri dari suku bunga simpanan dan suku bunga pinjaman pada triwulan II 2009 tercatat mengalami pertumbuhan dengan arah yang sama, yaitu menurun. Menurunnya bunga simpanan dan suku bunga pinjaman tidak terlepas dari peningkatan BI Rate secara gradual sejak Desember 2008.
3.5.1. Perkembangan Suku Bunga Simpanan Suku bunga simpanan yang terdiri dari suku bunga simpanan yang berjangka waktu 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan, dan 24 bulan, secara rata-rata mengalami penurunan bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, walaupun masih pada taraf yang sangat terbatas. Grafik 3.11 Perkembangan Suku Bunga Simpanan Perbankan Sumatera Selatan
Rata-rata suku bunga simpanan tercatat
sebesar
9,21%,
menurun
apabila dibandingkan dengan tingkat suku bunga simpanan pada triwulan sebelumnya (qtq) yang tercatat sebesar 9,44%.
Namun
menurun
apabila
dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy), suku bunga simpanan tercatat jauh meningkat dari sebelumnya sebesar 7,65%. Bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, berdasarkan jangka waktu simpanan, jenis simpanan dengan jangka waktu 6 bulan dan 12 bulan tidak mengalami penurunan suku bunga, di saat jenis simpanan dengan jangka waktu 1 bulan, 3 bulan, dan 24 bulan mengalami penurunan. Penurunan suku bunga yang secara relatif paling drastis terjadi pada jenis simpanan dengan jangka waktu 3 bulan. Suku bunga simpanan yang tertinggi saat ini dicatat oleh suku bunga simpanan dengan jangka waktu 12 bulan, yakni sebesar 9,96%. Sedangkan suku bunga simpanan yang memiliki rate paling rendah adalah dengan jangka waktu 24 bulan yakni sebesar 8,38%.
65
3. Perkembangan Perbankan Daerah
3.5.2. Perkembangan Suku Bunga Pinjaman Perkembangan tingkat suku bunga pinjaman yang terdiri dari suku bunga kredit modal kerja, kredit investasi, maupun konsumsi, secara rata-rata mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy), namun sedikit menurun dibandingkan triwulan sebelumnya (qtq). Rata-rata pinjaman
tingkat
tercatat
suku
sebesar
bunga
Grafik 3.12 Perkembangan Suku Bunga Pinjaman Perbankan
15,93%,
Sumatera Selatan
menurun apabila dibandingkan dengan tingkat
suku
bunga
pinjaman
Persen 21 15.56 15.85 18 15 14.96 12 9 6 3 -
pada
triwulan sebelumnya (qtq) yang sebesar 16,01% maupun apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (yoy) yang tercatat sebesar 15,56%. Berdasarkan
II
III
IV
15.93 16.01
I
II
penggunaan, suku bunga kredit yang 2008
tertinggi pada triwulan II 2009 adalah suku
bunga
kredit
konsumsi,
2009
Modal Kerja Konsumsi
yaitu
Investasi Rata2
sebesar 16,45%. Sementara itu kredit investasi tercatat sebagai kredit dengan suku bunga terendah, yakni sebesar 15,11%.
3.5.3. Perkembangan Spread Suku Bunga Spread suku bunga perbankan, yaitu Grafik 3.13 Perkembangan Spread Suku Bunga Perbankan Sumatera Selatan Persen 10 8 7.91 6 4 2 II
selisih antara suku bunga kredit dan suku bunga simpanan perbankan tercatat
6.57
6.16
6.72
6.67
peningkatan pada triwulan II 2009
IV
I
II
tren 2009
spread
disimpulkan
tersebut,
bahwa
spread
dapat suku
bunga perbankan sudah cukup stabil pada triwulan II 2009 ini.
sedikit
menjadi 6,72%. Bila diperhatikan III 2008
66
mengalami
3. Perkembangan Perbankan Daerah
Suplemen 5
SISTEM INTEGRASI SAPI DI PERKEBUNAN SAWIT PELUANG DAN TANTANGANNYA Latar Belakang Sejak tahun 2008, Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan telah menginisiasi program pengembangan ternak sapi yang terintegrasi dengan perkebunan kelapa sawit yang terkenal dengan istilah SISKA (Sistem Integrasi Sapi – Kelapa Sawit). Sasaran program ini selaras dengan program Pemerintah Pusat yaitu Revitalisasi PPK dan Swasembada Daging Sapi 2010 yang bertujuan untuk meningkatkan produksi daging sapi Sumsel dan juga nasional dengan mengoptimalkan berbagai sumber daya yang bisa saling mendukung. Pada dasarnya upaya optimalisasi produksi daging bisa dilakukan dengan beberapa alternatif seperti i) intensifikasi dan ekstensifikasi lahan tidur, ii) optimalisasi pemanfaatan sumber pakan alternatif, dan iii) integrasi ternak dengan tanaman perkebunan / industri kelapa sawit. Integrasi ternak dengan perkebunan dikembangkan berdasarkan konsep 1 LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) dengan cara : 1. Limbah perkebunan dalam hal ini kebun sawit seperti solid, pelepah, dan bungkil sawit dimanfaatkan sebagai pakan, 2. Kotoran ternak dan limbah sawit non pakan didekomposisi menjadi kompos untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, 3. Penggembalaan ternak diarahkan untuk memakan tanaman liar/gulma Gambar 1. Pola Sistem Integrasi Sapi – Kelapa Sawit
Sumber pakan hijauan dan limbah sawit
Sumber kompos, pemakan gulma, pengangkut TBS
Sumber pakan berupa hijauan diperoleh dari area perkebunan dan juga dari produk sampingan olahan sawit seperti pelepah, solid, dan bungkil sawit. Produk sampingan tersebut sangat bermanfaat karena tersedia sepanjang tahun tidak seperti hijauan yang 1 Diwyanto, K., D. Sitompul, I. Manti, I-W Mathius dan Soentoro. 2004. Pengkajian Pengembangan Usaha Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Departemen Pertanian bekerjasama dengan PemProp. Bengkulu dan PT. Agricinal.
67
3. Perkembangan Perbankan Daerah
menjadi sangat terbatas pada saat musim kemarau. Hasil studi menunjukkan bahwa per ha 2 kebun sawit dapat menyediakan pakan untuk 1-3 ekor sapi dewasa . Pola integrasi ternak dengan tanaman perkebunan cocok dikembangkan di Prop. Sumatera Selatan yang memiliki areal perkebunan yang luas. Luas area perkebunan kelapa sawit di Prop. Sumsel pada tahun 2008 mencapai sekitar 640 ribu hektar yang terdiri dari lahan inti 3 sekitar 420 ribu hektar dan lahan plasma seluas 240 ribu hektar . Potensi perkebunan sawit yang besar tersebut merupakan modal yang sangat potensial untuk diintegrasikan dengan usaha peternakan. Pola Integrasi SISKA di PT. Agricinal, Bengkulu Salah satu pola integrasi sapi-sawit yang dianggap berhasil adalah Sistem Integrasi SapiKelapa Sawit di PT. Agricinal Prop. Bengkulu yang lebih dikenal dengan pola SISKA. Pola integrasi ini telah dicanangkan oleh Menteri Pertanian sebagai “Program Nasional” yang 4 dideklarasikan pada tanggal 10 September 2003 di Bengkulu . Penerapan pola integrasi tersebut pada awalnya ditujukan untuk mengatasi kesulitan pemanen dalam mengangkut TBS karena topografi wilayah yang berbukit / bergelombang sehingga menyulitkan pemanen untuk mengngkut Tandan Buah Segar (TBS) dari tempat pemanenan ke TPH (tempat penampungan sementara). Dengan diterapkannya pola integrasi sapi-sawit, kegiatan pengangkutan hasil panen dilakukan dengan memanfaatkan tenaga sapi baik dengan gerobak ataupun diangkut di punggung sapi. Dengan pemanfaatan tenaga sapi ini, kegiatan pengangkutan menjadi lebih efisien sehingga areal 5 kerja pemanen bisa bertambah dari sebelumnya 10 ha menjadi 15 ha . Gambar 2. Pola Integrasi SISKA di PT. Agricinal
PT. Agricinal
Koperasi
Petani
2
Et al. Dinas Peternakan Prop. Sumatera Selatan, 2009 4 Manurung, B.P., “Sitem Integrasi Kelapa Sawit Model Agricinal (SISKA)” 5 “SISKA, Model Pengembangan Agribisnis Sapi di Bengkulu”, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, 2004 3
68
3. Perkembangan Perbankan Daerah
Usaha peternakan di PT. Agricinal dilakukan oleh perusahaan inti dan juga oleh petani plasma (pemanen). Jenis sapi yang digunakan adalah sapi Bali dengan pertimbangan karena sapi Bali merupakan sapi lokal dengan produktivitas yang baik, kualitas daging baik, persentase karkas tinggi, lincah, memiliki tingkat adaptasi dengan lingkungan yang baik. Rata-rata kepemilikan untuk setiap rumah tangga pemanen adalah 6 ekor dan umumnya hanya 2 ekor yang dipergunakan untuk menarik gerobak. Berdasarkan hasil kajian usaha peternakan sapi di perkebunan sawit akan layak apabila setiap pemanen / petani memiliki 6 lebih dari 1 ekor sapi . Untuk menjamin keamanan ternak, setiap sapi yang ada di kawasan perkebunan PT. Agricinal diberi cap bakar dan terdaftar pada tingkat kecamatan, dinas peternakan dan kepolisian setempat. Untuk pengadaan alat angkut / gerobak perusahaan memberikan kredit melalui koperasi yang pembayarannya diambil dari hasil panenan / TBS yang disesuaikan dengan sistem bunga menurun yang disesuaikan dengan kemampuan petani / pemanen. Pola integrasi sapi-kelapa sawit yang diterapkan di PT. Agricinal telah mendatangkan berbagai manfaat sebagai berikut : 1.
Bagi petani plasma / pemanen - Meringankan pengangkutan TBS sehingga produktivitas pemanen meningkat 7 - Meningkatkan pendapatan pemanen / petani plasma hingga 2-3 kali lipat yang berasal dari peningkatan produktivitas, hasil pupuk kandang, dan hasil ternak. - Sapi bermanfaat untuk membersihkan tanaman di sekitar piringan kela sawit yang menjadi tugas pemanen
2. Bagi perusahaan - Menghemat tenaga pemanen - Sebagai sumber pendapatan lain yang diperoleh dari penjualan hasil pengolahan produk sampingan menjadi pakan ternak. - Jaminan ketersediaan pupuk kandang dengan harga yang lebih murah. - Dengan diberikannya kredit dan sapi beserta gerobak, pemanen / petani menjadi 8 lebih tekun dan bertanggung jawab dalam bekerja .
Feasibility dan Bankability Pola Integrasi Sapi-Sawit (SISKA) Salah satu kendala yang dihadapi Pemprop. Sumatera Selatan dalam menginisiasi program SISKA ini antara lain adalah terbatasnya akses petani plasma terhadap permodalan khususnya dari bank. Penyebabnya antara lain adalah tingkat feasibility dan bankabiliy dari pola SISKA yang masih banyak diragukan oleh pihak perbankan. Selain itu perbankan pada 6
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertani, “ SISKA, Model Pengembangan Agribisnis Sapi di Bengkulu”, 7 Manurung, BP, “ Sistem Integrasi Kelapa Sawit Model Agricinal (SISKA)”, 2004 8 Et.al.
69
3. Perkembangan Perbankan Daerah
umumnya memberikan kredit kepada calon nasabah yang telah menekuni usahanya minimal selama 2 tahun. Terkait dengan tingkat feasibility pola SISKA, pihak perbankan masih mempertimbangkan kesiapan para petani untuk melaksanakan pola SISKA terutama para petani yang belum pernah melakukan usaha ternak. Sementara dari aspek kelayakan usaha, penelitian yang telah dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor menunjukkan bahwa dengan menggunakan data harga-harga yang berlaku pada tahun berjalan dengan tahun awal usaha adalah 1997 dan tahun akhir 2003 serta tingkat bunga 19,5% didapatkan hasil sebagai berikut : -
-
-
Pada skala usaha 1 ekor induk tanpa memperhitungkan biaya tenaga kerja, usaha tersebut layak dengan tingkat R/C = 2,37; NPV=Rp 2.241.000; dan IRR=0,86% dengan NPV= - Rp 102.000,-. Pola skala usaha 3 ekor induk sapi dengan memperhitungkan biaya tenaga kerja, usaha tersebut layak dengan R/C = 2,467, NPV = Rp 7.324.000, dan IRR = 39%. Dengan menggunakan analisis sensitivitas penurunan tingkat penerimaan 10%, usaha tersebut masih memberikan hasil yang layak secara finansial. Skala usaha 6 ekor induk sapi dan 1 pejantan merupakan usaha yang sangat menguntungkan dengan R/C = 3,13, IRR > 50% dan NPV = Rp 22.425.000,-
Salah satu contoh kasus yang bisa dijadikan pertimbangan penerapan SISKA di Prop. 9 Sumatera Selatan adalah kasus di Prop. Riau . Untuk meningkatkan produksi daging dan pendapatan petani, Pemerintahan Propinsi Riau mulai tahun 2001 telah meluncurkan program Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan (PEK), berupa pinjaman kredit ternak ruminansia (Sapi dan kambing) kepada petani yang berminat memelihara ternak. Setiap petani diberi 5 sapi yang terdiri dari 2 sapi jantan dan 3 betina dewasa, atau 1 sapi jantan dan 4 betina dewasa. Pilihan pertama diarahkan pada program penggemukan dan pembibitan, sedangkan pilihan kedua diarahkan untuk pembibitan. Ternyata petani lebih menyukai pilihan pertama karena setelah dipelihara beberapa waktu 1 ternak jantan dapat dijadikan pejantan dan yang satunya lagi dapat dijual untuk membantu biaya pemeliharaan keempat ternak yang lainnya. Sementara dari aspek bankability, kendala utama akses kredit dari perbankan adalah tidak tersedianya jaminan dan pengalaman petani dalam usaha ternak yang masih nol. Terkait dengan kendala tersebut, berdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan oleh Bank Indonesia pada bulan Juli 2009 dengan beberapa bank pelaksana dan dinas terkait di Prop. Sumsel, beberapa alternatif yang bisa dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut antara lain adalah :
9
Sisriyeni, Dwi., Sutopo, Deciyanto, “Potensi, Peluang dan Tantangan Pengembangan Integrasi Sapi-Sawit di Propinsi Riau”, Lokakarya SISKA Deptan. 2004
70
3. Perkembangan Perbankan Daerah
3.6. Kualitas Penyaluran Kredit/Pembiayaan Tingkat Non-Performing Loan (NPL) gross perbankan Sumatera Selatan pada triwulan Grafik 3.14 Perkembangan NPL Perbankan Sumatera Selatan
II 2009 mencapai 2,77%, meningkat dibandingkan kondisi tahun sebelumnya maupun
triwulan
Sementara
itu,
sebelumnya.
NPL
net
(sudah
memperhitungkan PPAP) pun tercatat mengalami pola yang sama. Tingkat NPL net posisi triwulan II 2009 tercatat sebesar 1,27%, lebih tinggi apabila dibandingkan tingkat NPL net triwulan sebelumnya
yang
diyakini
sebagai
dampak krisis keuangan global yang menurunkan
kemampuan
membayar
(repayment capacity) para pelaku usaha
di Sumsel sejak triwulan IV 2008 lalu.
Dilihat dari sektor ekonominya, persentase NPL gross terbesar masih bersumber
dari
sektor
Grafik 3.15 Komposisi NPL Menurut Sektor Ekonomi
perdagangan,
hotel dan restoran yakni sebesar 34,22%, meningkat dari triwulan sebelumnya yang mencapai tercatat
27,87%.
Sektor
menyumbang
NPL
pertanian sebesar
17,34% dan sektor konstruksi tercatat menyumbang
NPL
sebesar
16,28%.
Peningkatan tingkat NPL di sektor –sektor tersebut tidak terlepas dari turunnya pendapatan dan laba perusahaan yang secara langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh krisis finansial global sejak triwulan IV 2008.
71
3. Perkembangan Perbankan Daerah
3.7. Kelonggaran Tarik Dari
LBU
KBI
Palembang
diperoleh
Grafik 3.16 Perkembangan Undisbursed Loan Perbankan Sumatera Selatan
informasi bahwa undisbursed loan (kredit yang belum ditarik oleh debitur) pada triwulan I 2009 tercatat sebesar Rp2,57 triliun atau 16,34% dari plafon kredit yang disetujui oleh perbankan, meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp2,17 triliun atau 13,20%,
namun
dibandingkan
menurun
dengan
bila
triwulan
sebelumnya yang tercatat sebesar Rp2,79 triliun atau 16,34%. Hal ini terutama disebabkan
oleh
suku
bunga
yang
menurun.
3.8. Risiko Likuiditas
Risiko likuiditas bank umum di Propinsi Sumatera Selatan pada triwulan II 2009 tergolong sangat likuid dengan besaran angka rasio Grafik 3.17 Perkembangan Risiko Likuiditas Perbankan Sumatera Selatan
likuiditas
sebesar
tersebut
tercatat
dibandingkan triwulan
125,46%.
Rasio
meningkat
jika
dengan
rasio
likuiditas
sebelumnya
yang
tercatat
sebesar 127,91%. Meningkatnya merupakan
dampak
rasio dari
likuiditas penurunan
aktiva likuid < 1 bulan sebesar 3,45% (qtq) menjadi sebesar Rp35,11 triliun yang disertai dengan penurunan pasiva likuid < 1 bulan secara lebih tajam, yaitu sebesar 13,45% (qtq) menjadi sebesar
72
Rp25,42 triliun.
3. Perkembangan Perbankan Daerah
3.9. Perkembangan Bank Umum Syariah Perkembangan bank umum Syariah dalam kurun satu tahun terakhir menunjukkan kinerja yang cukup baik. Total aset pada triwulan II 2009 (hingga Mei 2009) tercatat sebesar Rp1.308,70 miliar, meningkat sebesar 13,05% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy) yang tercatat sebesar Rp915,24 miliar. Namun demikian apabila apabila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (qtq) tercatat mengalami penurunan sebesar 15,15%. Penghimpunan DPK tercatat sebesar Rp811,00 miliar, meningkat cukup pesat sebesar 46,47% (yoy) atau 16,22% (qtq). Dana investasi tidak terikat mendominasi pangsa penghimpunan DPK yakni sebesar 90,97% atau sebesar Rp737,74 miliar yang terdiri dari komponen tabungan mudharabah sebesar Rp344,76 miliar (pangsa 42,51% dari total DPK) dan deposito mudharabah sebesar Rp392,98 (pangsa 48,46% dari total DPK).
Tabel 3.4 Perkembangan Bank Umum Syariah di Sumatera Selatan (Rp Juta) 2008
Indikator
2009
Total Aset
II 915,243
III 1,033,505
IV 1,157,639
I 1,136,556
II* 1,308,700
Dana Pihak Ketiga
553,707
593,064
664,814
697,812
810,996
1. Simpanan Wadiah
54,640
57,580
56,350
60,973
73,255
- Giro Wadiah
50,329
48,754
42,666
45,251
39,559
4,311
8,826
13,684
15,722
33,696
2. Dana Investasi tidak terikat
499,067
535,484
608,464
636,839
737,741
- Tabungan Mudharabah
314,323
320,200
341,336
336,250
344,756
- Deposito Mudharabah
184,744
215,284
267,128
300,589
392,985
Komposisi Pembiayaan
838,681
947,832
968,282
830,223
856,188
- Piutang Murabahah
477,313
567,266
598,252
696,162
741,732
6,285
4,619
4,426
4,232
4,103
- Tabungan Wadiah
- Piutang Istishna - Piutang Qardh
26,143
32,108
35,172
45,696
41,785
- Pembiayaan Mudharabah
268,576
274,888
259,573
247,704
240,139
- Pembiayaan Musyarakah
60,364
68,951
70,859
74,739
80,121
*) Data s.d Mei 2009
Berbeda
dengan
DPK,
penyaluran
pembiayaan
hanya
mengalami
sedikit
peningkatan sebesar 2,09% (yoy) atau 3,13% (qtq). Dari total penyaluran pembiayaan yang mencapai Rp856,19 miliar, piutang murabahah memiliki pangsa sebesar 86,63% dari total pembiayaan yang disalurkan. Pembiayaan mudharabah tercatat sebesar Rp240,14 miliar 73
3. Perkembangan Perbankan Daerah
atau memiliki pangsa sebesar 28,05% dan pembiayaan musyarakah tercatat sebesar Rp80,12 miliar atau memiliki pangsa sebesar 9,36%. Sementara itu, piutang qardh dan piutang istishna pangsanya masih relatif kecil yakni masing-masing sebesar 4,88% dan 0,48%. Pertumbuhan penyaluran pembiayaan yang lebih kecil dibandingkan pertumbuhan penghimpunan DPK menyebabkan angka Finance to Deposit Ratio (FDR) menurun dari sebesar 118,98% pada triwulan sebelumnya menjadi 105,57%.
3.10. Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) selama satu tahun terakhir cukup memuaskan, meskipun terdapat perlambatan pada beberapa indikator dibandingkan triwulan sebelumnya. Total aset pada triwulan II 2009 tumbuh sebesar 17,26% (yoy) atau 1,03% (qtq). Penyaluran kredit tumbuh sebesar 16,77% (yoy) atau 3,02% (qtq) yang banyak dikontribusikan oleh kredit modal kerja dan kredit konsumsi, sedangkan kredit investasi mengalami penurunan sebesar 5,17% (qtq). Tabel 3.5 Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat di Sumatera Selatan
Indikator
2008
2009
II
III
IV
I
II*
Total Aset
385,329
409,482
407,009
440,529
451,840
Kredit (Jenis Penggunaan)
255,706
283,315
282,903
289,820
298,585
Modal Kerja
134,453
147,398
147,083
151,019
159,126
Investasi
27,548
31,799
31,610
30,705
29,119
Konsumsi
93,705
104,118
104,210
108,095
110,340
Dana Pihak Ketiga
305,922
326,700
306,237
339,694
343,905
Tabungan
111,276
122,055
116,238
127,348
129,027
Simpanan Berjangka
194,646
204,645
189,999
212,346
214,877
LDR (%)
83.59
86.72
92.38
85.32
86.82
NPL nominal
18,779
19,519
20,118
22,168
23,342
7.34
6.89
7.11
7.65
7.82
gross (%)
Dalam Rp Juta, kecuali ditentukan lain *) Data s.d Mei 2009
DPK pada triwulan II 2009 mengalami peningkatan sebesar 12,42% (yoy) atau 1,24% (qtq). Berdasarkan komponennya, tabungan mengalami peningkatan sebesar 15,95% (yoy) atau 1,32% (qtq). Sementara itu, simpanan berjangka mengalami peningkatan sebesar 10,39% (yoy) atau 1,19% (qtq). 74
3. Perkembangan Perbankan Daerah
Pertumbuhan kredit yang lebih cepat dibandingkan DPK tersebut menyebabkan kenaikan LDR secara triwulanan dari 85,32% menjadi 86,82%. Angka tersebut juga lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang sebesar 83,59%. NPL secara nominal mengalami peningkatan sebesar 24,30% (yoy) atau 5,30% (qtq). Dalam persentase terhadap total kredit yang disalurkan, NPL tercatat lebih tinggi baik dari triwulan sebelumnya maupun dari tahun sebelumnya, yaitu sebesar 7,82%.
75
3. Perkembangan Perbankan Daerah
Suplemen 6
KINERJA PERBANKAN CUKUP BAIK, NAMUN PERLU MEWASPADAI TEKANAN KENAIKAN NPL DAN PENURUNAN KEMAMPUAN MENCETAK LABA Sektor perdagangan luar negeri merupakan saluran utama bagaimana krisis ekonomi tertransmisi ke Indonesia yang kemudian menyebabkan penurunan signifikan pada kinerja ekonomi nasional, termasuk Sumatera Selatan (Sumsel). Begitu besarnya dampak krisis tersebut juga telah memberikan dampak negatif terhadap sektor keuangan, termasuk industri perbankan secara nasional. Padahal, perbankan selalu diharapkan sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan dimana tuntutan peningkatan penyediaan sumber pembiayaan terus semakin meninggi. Bagaimana performa perbankan di Sumsel hingga triwulan II tentunya akan sangat mempengaruhi kemampuan bank menjalankan fungsi intermediasi yang bertujuan akhir meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kondisi Kinerja Secara Umum Baik, Namun Terdapat Eskalasi NPL Sebagaimana telah dibahas di bagian 3.1, perkembangan perbankan di Sumsel secara tahunan menunjukkan arah positif atau dengan kata lain dampak krisis tidak begitu memberikan dampak negatif dalam konteks pertumbuhan tahunan. Aset, penghimpunan dana ketiga, dan penyaluran kredit, masih dapat tumbuh cukup baik. Namun demikian bukan berarti bahwa krisis dapat dianggap enteng. Karena krisis mulai terjadi pada triwulan III dan IV 2008 yang kemudian dampaknya mulai terasa di tahun 2009, khususnya triwulan I. Dampak tersebut antara lain terlihat dari perkembangan indikator kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) yang memperlihatkan peningkatan. Hingga Juni 2009, NPL perbankan umum konvensional mencapai 2,75% dari 2,07% pada bulan Juni tahun lalu. Hal yang sama juga terjadi pada perbankan syariah yang mengalami kenaikan NPL gross dari 0,84% pada Juni 2008 menjadi 2,17% pada Juni 2009. Kendati sama-sama masih berada di bawah 5%, namun tendensi kenaikan NPL tetap perlu diwaspadai. Tingkat NPL yang agak mengkhawatirkan terjadi di kelompok bank perkreditan rakyat yang pada Juni 2009 mencapai 8,22% dengan tendensi peningkatan dalam 1 tahun terakhir. Produktivitas Aktiva Produktif (Earning Asset) dan Perolehan Laba Sedikit Tertekan Krisis telah sedikit menekan produktivitas aktiva produktif bank umum konvensional. Kemampuan aktiva produktif dalam menghasilkan pendapatan bunga bersih diukur dengan indikator net-interest margin (NIM). Lebih jelasnya, NIM dihitung dengan formula netinterest income (yang disetahunkan) dibagi jumlah rata-rata aktiva produktif. Dalam setahun terakhir NIM perbankan di Sumsel menghadapi tren penurunan dan sempat mencapai titik nadir pada triwulan I-2009 (lihat Grafik 1). Namun pada triwulan II-2009, NIM mulai menunjukkan recovery, meningkat menjadi 6% dibanding triwulan I yang tercatat 5,7%.
76
3. Perkembangan Perbankan Daerah
Grafik 1. Perkembangan Net-Interest Margin Bank Umum Perbankan Sumatera Selatan Persen
10 8
7,14 7,20 6,80 6,00 5,70
6 4 2 -
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II 2005
2006
2007
2008
2009
Komposisi aktiva produktif masih didominasi oleh penyaluran kredit. Dengan kata lain, kondisi ini menyiratkan bahwa kredit masih menjadi outlet utama penempatan dana perbankan (dengan komposisi sebesar 82,63%), sedangkan penempatan pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) merupakan yang kedua dengan pangsa sebesar 8,38% (lihat Grafik 2). Idealnya, penempatan pada SBI dapat dikurangi untuk semakin membantu peningkatan penyaluran kredit. Karena penempatan dana perbankan pada SBI tidak memberikan manfaat bagi sektor riil.
Grafik 2.
Komposisi Aktiva Produktif Perbankan Sumsel Posisi Juni 2009 0.01%
4.50%
8.38%
2.54%
0.01% 1.93%
82.63% Penempatan pada Bank Indonesia
Penempatan pada Bank Lain
Surat berharga yang dimiliki
Kredit yang diberikan
Tagihan lainnya
Penyertaan
Garansi Bank Yang Diberikan
77
3. Perkembangan Perbankan Daerah
Laba bank umum pada triwulan II 2009 tercatat sebesar Rp228 miliar, sedangkan pada bulan yang sama tahun lalu sempat mencapai Rp301,4 miliar. Kenaikan laba justru terjadi di kelompok bank syariah dan bank perkreditan rakyat. Pada periode yang sama, pencapaian laba perbankan syariah mencapai Rp34,57 miliar sedangkan pada tahun sebelumnya tercatat sebesar Rp26,77 miliar. Di sisi lain, kelompok bank perkreditan rakyat pada triwulan II 2009 membukukan laba sebesar Rp10,06 miliar, sedang pada triwulan II 2008 tercatat sebesar Rp7,76 miliar. Perkembangan return on asset (ROA) juga mengalami tekanan. ROA adalah indikator yang mengukur kemampuan asset untuk menghasilkan laba. ROA bank umum mengalami penurunan dari 1,29% pada triwulan II 2008 menjadi 1,98% pada triwulan II 2009. Kondisi ROA perbankan syariah jauh lebih baik. Pada posisi yang sama ROA perbankan syariah mencapai 5,73%, sedangkan pada triwulan yang sama tahun lalu tercatat sebesar 6,25%. Struktur Aktiva dan Pasiva Pada posisi Juni 2009, penempatan aktiva yang sensitif terhadap perubahan suku bunga seluruh bank umum tersebar cukup berimbang antara yang berjangka waktu hingga 1 tahun dan lebih dari satu tahun dengan rasio 45%:55% (lihat grafik 3). Di sisi lain pasiva lebih didominasi untuk yang berjangka waktu pendek kurang dari 1 tahun. Sebagian besar aktiva tersebut berupa dana pihak ketiga (giro, tabungan, dan deposito). Rasio antara kewajiban berjangka waktu hingga satu tahun dan lebih dari tahun mencapai 98%:2% (lihat grafik 4). Grafik 3.
Grafik 4.
Aktiva Yang Sensitif Terhadap Perubahan Suku Bunga Berdasarkan Jatuh Tempo
Kewajiban Yang Sensitif Terhadap Pergerakan Suku bunga Berdasarkan Jatuh Tempo
1% 3%
1%
22%
40%
1% 8%
95% <=3 bulan
22%
7%
> 3 bln sd <=6 bln 6> bulan sd. <=12 bulan
78
≤ 3 bulan
>3 sd ≤6 bulan
>12 sd. <=24 bulan
>6 sd. ≤12 bulan
>12 sd. ≤24 bulan
>24 bln sd. <=36 bln
>24 sd. ≤36 bulan
>36 bulan
>=36 bulan
3. Perkembangan Perbankan Daerah
Dominasi kewajiban yang berjangka pendek tentunya mengharuskan pengelolaan likuiditas yang cermat oleh bank untuk dapat memenuhi nasabah dan stakeholder lainnya pada saat dibutuhkan. Dengan menggunakan data periode yang sama, yakni bulan Juni 2009, total aktiva yang dikelompokkan sensitif terhadap suku bunga --ISA (penempatan pada Bank Indonesia dan bank lain, surat berharga yang dimiliki, kredit yang diberikan, tagihan lainnya, serta penyertaan) mencapai Rp17,29 triliun, sedangkan pasiva yang sensitif terhadap perubahan suku bunga --ISL (giro, tabungan, deposito, kewajiban kepada Bank Indonesia dan bank lain, surat berharga yang diterbitkan, pinjaman yang diterima, serta kewajiban lainnya) mencapai Rp25,94 triliun). Sehingga terdapat selisih sebesar Rp8,5 triliun yang harus dikelola potensi risiko. Interest-Sensitive Management Dalam teori manajemen perbankan, dikenal interest-sensitive management yang merupakan upaya manajemen bank dalam melakukan mengkontrol terhadap perbedaan komponen aktiva dan pasiva yang sensitif terhadap pergerakan suku bunga. Terkait dengan hal tersebut terdapat kalkulasi sederhana untuk menghitung gap antara aktiva dan pasiva yakni dengan menghitung selisih. Jika bank mengalami positive aset-sensitive gap adalah aktiva bank yang sensitif terhadap perubahan suku bunga lebih besar daripada pasivanya), sedangkan negative negative-liabilities gap adalah kondisi sebaliknya. Terdapat beberapa ukuran untuk melihat bank’s interest-sensitive antara lain: (i) Relative IS GAP, dan (ii) Interest Sensitivity Ratio. Formula Relative IS = IS GAP / Aktiva Perbankan, sedangkan formula interest sensitivity ratio adalah ISA/ISL. Dengan menggunakan data yang telah dijelaskan sebelumnya maka nilai relative IS GAP adalah 0,24, sedang nilai interest sensitivity ratio adalah 0,67. Kedua angka tersebut menyiratkan bahwa perbankan di Sumsel mempunyai karateristik liabilities-sensitive bank. Karateristik tersebut berimplikasi bahwa kenaikan suku bunga akan menyebabkan penurunan NIM karena meningkatkan biaya bunga lebih tinggi daripada pendapatan bunga. Sebaliknya, penurunan suku bunga akan berpeluang meningkatkan NIM dikarenakan biaya bunga menjadi lebih rendah daripada pendapatan bunga. Sehingga dengan demikian, tendensi penurunan suku bunga belakangan ini lebih menguntungkan perbankan Sumsel.
79
3. Perkembangan Perbankan Daerah
Halaman ini sengaja dikosongkan This page is intentionally blank
80
Bab 4 • •
PERKEMBANGAN KEUANGAN DAERAH
Realisasi belanja APBD hingga Juni 2009 baru mencapai 18,22%, berpeluang tumbuh lebih tinggi menjadi sumber pertumbuhan pada triwulan III mendatang. Rendahnya realisasi tersebut mengindikasikan adanya potensi pengeluaran pemerintah yang tinggi pada semester kedua tahun 2009.
4.1. Realisasi APBD Semester I 2009 Berdasarkan laporan realisasi anggaran Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan per Juni 2009, realisasi sisi pendapatan mencapai Rp860,34 miliar, atau 32,08% dari anggaran tahun 2009 yang sebesar Rp2.681,67 miliar, sedangkan realisasi belanja hanya mencapai Rp501,49 miliar, atau 18,22% dari anggaran tahun 2009 yang sebesar Rp2.751,67 miliar. Angka realisasi belanja APBD tersebut terlihat belum cukup optimal, mengingat realisasi fiskal sangat dibutuhkan dalam memberikan stimulus kepada perekonomian Sumatera Selatan yang telah terpengaruh krisis finansial global sejak akhir tahun 2008. Bila diperhatikan kembali data realisasi tahun 2008, realisasi belanja pemerintah memang secara persentase lebih rendah dibandingkan dengan realisasi penerimaan. Tabel 4.1 APBD Sumsel 2009 & Realisasi APBD Tahun 2008 (Rp Miliar)
TA. 2008 Anggaran
Realisasi
TA. 2009 %
Anggaran
Penerimaan
2,617.01
2,480.91
94.80
2,681.67
PAD Dana Perimbangan Lain-lain
1,040.32
1,080.23
103.84
1,171.64
1,568.03
1,390.32
88.67
1,500.61
8.65
10.36
119.69
9.42
Belanja
2,718.47
2,253.92
82.91
2,751.67
101.05
99.59
70.00
Pembiayaan Surplus/Defisit
101.46 -
328.04
-
-
Sumber : Biro Keuangan Propinsi Sumatera Selatan, diolah
Sampai dengan 10 Juni 2009, realisasi penerimaan secara nominal lebih tinggi dibandingkan realisasi pengeluaran. Bahkan realisasi belanja masih lebih rendah dibandingkan dengan realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
4. Perkembangan Keuangan Daerah
Pada sisi pendapatan, realisasi paling baik dicapai oleh komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu sebesar 35,48%. Sementara itu, realisasi dana perimbangan sampai dengan periode 10 Juni 2009 masih sekitar 29,41%. Padahal, dana perimbangan memegang peranan penting pada sisi pendapatan APBD, mengingat proporsinya pada pendapatan yang mencapai 55,96%. Pada dana perimbangan, realisasi disumbang oleh bagi hasil pajak/bukan pajak yang sudah terealisasi sebesar 44,44%, sedangkan realisasi Dana Alokasi Umum (DAU) masih nihil. Di tengah kondisi krisis finansial global ini, realisasi Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak juga patut mendapatkan perhatian lebih pada dana perimbangan. Hal ini disebabkan oleh adanya potensi realisasi bagi hasil tersebut akan lebih rendah dari perkiraan seiring adanya penurunan pendapatan masyarakat dan laba perusahaan. Sebagai konsekuensinya, kemampuan fiskal pemerintah daerah dalam memberikan stimulus pasca krisis terjadi menjadi lebih lemah. Pada APBD 2009, pos Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak dianggarkan sebesar 66,19% dari dana perimbangan dan sebesar 37,04% dari total pendapatan.
Grafik 4.1 Perbandingan Komponen Sisi Penerimaan APBD Sumsel 2009
Grafik 4.2 Perbandingan Komponen Sisi Pengeluaran APBD Sumsel 2009
Komponen PAD yang mencatat realisasi paling besar secara nominal adalah Pajak Daerah yaitu sebesar Rp354,08 miliar, dengan persentase realisasi sebesar 34,21% dari yang dianggarkan. Persentase realisasi terbaik dicapai oleh Lain-lain PAD yang sah sebesar 53,87% dari anggaran.
82
4. Perkembangan Keuangan Daerah
Pada sisi belanja, realisasi belanja tidak langsung lebih tinggi dibandingkan realisasi belanja langsung. Sampai dengan 10 Juni 2009, realisasi belanja tidak langsung adalah sebesar Rp349,78 miliar atau 28,83% dari yang dianggarkan, sedangkan realisasi belanja langsung adalah sebesar Rp151,71 miliar atau 9,86% dari anggaran. Pada belanja langsung, realisasi pos belanja barang dan jasa adalah baru mencapai 18,20%, namun angka tersebut merupakan yang tertinggi dibandingkan pos belanja lain pada belanja langsung. Realisasi belanja pegawai pada belanja langsung adalah 14,46%, sedangkan realisasi belanja modal pada belanja langsung menempati urutan terakhir, dengan realisasi sebesar 1,01% dari yang dianggarkan. Pada belanja tidak langsung, Belanja bantuan keuangan kepada propinsi/kabupaten kota dan Pemdes tercatat sebagai pos dengan persentase realisasi tertinggi, yaitu 73,13%. Posisi kedua ditempati oleh belanja hibah sebesar dengan persentase realisasi sebesar 41,42%. Sementara itu, pos yang menempati posisi ketiga dan sekaligus yang tercatat sebagai pos dengan nominal realisasi tertinggi pada kelompok belanja langsung adalah belanja pegawai dengan realisasi sebesar Rp181,70 miliar atau 38,76% dari yang dianggarkan. Selain karena pembayaran gaji yang pada umumnya bersifat rutin, hal ini dapat terkait dengan pembayaran gaji PNS ke 13 yang telah dilakukan. Berdasarkan Rekapitulasi Kemajuan Fisik dan keuangan Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan Tahun 2009 sampai dengan Mei 2009, realisasi kemajuan fisik mencapai 15,49%, sedangkan realisasi keuangannya hanya mencapai 9,19% dengan nominal Rp141,35 miliar. Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh realisasi anggaran fisik terhadap perekonomian justru lebih cepat dari pencairan anggaran itu sendiri. Sehingga, dampak terhadap perekonomian atas realisasi proyek pemerintah seperti peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan laba perusahaan maupun pemanfaatan tenaga kerja dapat terjadi sebelum adanya realisasi anggaran tersebut.
83
4. Perkembangan Keuangan Daerah
Tabel 4.2 APBD 2009 dan Realisasi APBD 2009 per 10 Juni 2009
Uraian
Anggaran
Realisasi
Persentase
Pendapatan
2,681,672.32
860,344.61
32.08
PAD
1,171,643.28
415,713.68
35.48
1,035,104.83
354,081.35
34.21
12,968.45
5,686.28
43.85
- Pajak Daerah - Retribusi Daerah - Hasil Pengelolaan Yang Dipisahkan
40,600.00
11,251.80
27.71
- Lain-lain PAD Yang Sah
82,970.00
44,694.25
53.87
Dana Perimbangan
1,500,609.79
441,373.31
29.41
- Bagi Hasil Pjk/ Non Pajak
993,253.91
441,373.31
44.44
- Dana Alokasi Umum (DAU)
507,355.88
- Dana Alokasi Khusus (DAK)
-
-
- Dana Perimbangan dari Propinsi
-
Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah - Pendapatan Hibah - Bantuan Keuangan dari Pemda Lain
9,419.25
3,257.62
34.58
9,410.02
3,257.62
34.62
-
- Dana Tunjangan Pendidikan
9.23
-
-
Belanja
2,751,672.31
501,491.08
18.22
Belanja Tidak Langsung
1,213,428.89
349,783.92
28.83
468,814.26
181,706.89
38.76
- Belanja Pegawai - Belanja Subsidi
-
-
-
- Belanja Hibah
53,000.00
21,950.00
41.42
- Belanja Bantuan Sosial
61,013.53
11,229.08
18.40
- Belanja Bagi Hasil
473,838.83
23,373.38
4.93
- Belanja Bantuan Keuangan
152,342.10
111,400.97
73.13
- Belanja Tidak Terduga Belanja Langsung
4,420.17
123.61
2.80
1,538,243.42
151,707.16
9.86
- Belanja Pegawai
502,895.09
72,709.56
14.46
- Belanja Barang dan Jasa
398,794.64
72,597.36
18.20
- Belanja Modal
636,553.69
6,400.24
1.01
Sumber: Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan
4.2. Potensi Realisasi APBD pada Semester II 2009 Rendahnya realisasi APBD pada semester I 2009 justru mengindikasikan adanya potensi realisasi pemerintah yang tinggi pada semester II 2009. Dengan kata lain, kondisi fiskal mulai triwulan III 2009 sampai dengan akhir tahun diprediksi ekspansif, mengingat realisasi belanja pemerintah sampai dengan 10 Juni 2009 lebih rendah dibandingkan realisasi pendapatan pemerintah.
84
4. Perkembangan Keuangan Daerah
Bila diasumsikan realisasi APBD
Tabel 4.3 Potensi Realisasi Fiskal Semester II 2009 Uraian Pendapatan PAD
Potensi Realisasi Semester II 1,821,327.71 755,929.60
- Pajak Daerah - Retribusi Daerah - Hasil Pengelolaan Yang Dipisahkan - Lain-lain PAD Yang Sah Dana Perimbangan
681,023.48 7,282.17 29,348.20 38,275.75 1,059,236.48
- Bagi Hasil Pjk/ Non Pajak
551,880.60
- Dana Alokasi Umum (DAU)
507,355.88
- Dana Alokasi Khusus (DAK)
-
- Dana Perimbangan dari Propinsi
-
Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah - Pendapatan Hibah
6,161.63 6,152.40
- Bantuan Keuangan dari Pemda Lain
-
- Dana Tunjangan Pendidikan
Belanja
9.23
2,250,181.23
Belanja Tidak Langsung
863,644.97
- Belanja Pegawai
287,107.37
- Belanja Subsidi
31,050.00
- Belanja Bantuan Sosial
49,784.45
- Belanja Bantuan Keuangan - Belanja Tidak Terduga Belanja Langsung
dengan
dengan
anggaran
450,465.45 40,941.13 4,296.56 1,386,536.26
akhir
tahun
(realisasi
sama sebesar
100%), maka realisasi pendapatan pada semester kedua sebesar Rp1.821,33 miliar. Di sisi lain, belanja pemerintah akan
meningkat
tajam
menjadi
Rp2.250,18 miliar, yang menyebabkan realisasi belanja pemerintah lebih tinggi dari
realisasi
pendapatan
sebesar
Rp428,85 miliar. Hal ini memberikan pandangan bahwa pemerintah secara net
akan
bersifat
ekspansif
pada
perekonomian Sumatera Selatan pada semester kedua 2009. Bila
-
- Belanja Hibah
- Belanja Bagi Hasil
sampai
tidak
memperhitungkan
dana perimbangan khususnya DAU, yang bersifat eksogen dalam konteks perekonomian pemerintah
Sumatera
dapat
Selatan,
dipandang
lebih
- Belanja Pegawai
430,185.53
ekspansif, yang ditunjukkan oleh selisih
- Belanja Barang dan Jasa
326,197.28
- Belanja Modal
630,153.45
potensi realisasi belanja dan potensi realisasi
Sumber: Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan
besar
pendapatan dibandingkan
yang
semakin
dengan
juga
memperhitungkan Dana Perimbangan. Potensi realisasi PAD akan mencapai Rp755,93 miliar, yang disumbang utamanya oleh pajak daerah, sedangkan potensi realisasi Dana Perimbangan mencapai Rp1.059,24 miliar, dengan penyumbang terbesar Bagi Hasil Pajak/Non Pajak. Namun, mengingat terjadinya krisis finansial global yang berpengaruh terhadap perekonomian Sumatera Selatan tahun lalu, besar kemungkinan realisasi Bagi Hasil Pajak/Non Pajak akan lebih rendah dari yang telah dianggarkan.
85
4. Perkembangan Keuangan Daerah
Potensi realisasi Belanja Tidak Langsung adalah sebesar Rp863,64 miliar, yang utamanya disumbang oleh Belanja Bagi Hasil sebesar Rp450,46 miliar dan Belanja Pegawai sebesar Rp287,11 miliar. Walaupun tidak secara langsung memberikan stimulus pada perekonomian, namun pada akhirnya belanja tidak langsung berpengaruh kepada perekonomian Sumatera Selatan antara lain melalui pendapatan PNS, dan lain-lain. Pembayaran dan tender atas proyek-proyek pemerintah diperkirakan akan meningkat tajam pada semester kedua 2009, dengan potensi realisasi belanja langsung, khususnya belanja barang dan jasa serta belanja modal yang meningkat sangat tajam dibandingkan dengan semester sebelumnya. Secara nominal, potensi realisasi belanja langsung mencapai Rp1.386,54 miliar, dengan proporsi terbesar ditempati oleh belanja modal yang sebesar Rp630,15 miliar.
86
PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN
Bab 5 •
Perkembangan sistem pembayaran dari sisi tunai dan non tunai menunjukkan adanya peningkatan dari sisi frekuensi maupun nilai yang terlihat dari meningkatnya perputaran kliring. Dari sisi non tunai pada triwulan II telah terjadi net-outflow kegiatan perkasan di Sumatera Selatan (Sumsel) yang merupakan salah satu indikator mulai membaiknya pertumbuhan ekonomi setelah terkena krisis finansial global yang terjadi pada triwulan IV 2008. Membaiknya harga komoditas primer cukup mendongkrak perekonomian yang berimbas pada meningkatnya transaksi keuangan tunai maupun non tunai.
•
•
5.1. Perkembangan Kliring dan Real Time Gross Settlement (RTGS) Perputaran
kliring
triwulan
II
di
Sumsel
2009
pada Grafik 5.1 Perkembangan Kliring Sumsel
menunjukkan
peningkatan dari segi jumlah warkat maupun nominal dibandingkan triwulan
Rp Triliun 8
sebelumnya,
apabila
7
tahun
6
namun
dibandingkan
dengan
kondisi
Ribu Lembar 250 200
5
sebelumnya masih lebih rendah. Jumlah
4
warkat
tercatat
3
dengan
2
yang
sebanyak
dikliringkan
187.029
lembar
150 100 50
1
nominal sebesar Rp5,93 triliun. Volume warkat secara tahunan (yoy) menurun sebesar 3,74% dibanding triwulan II 2008 dan
secara
nominal
turun
sebesar
0
0 II
III
IV
2008
Lembar (axis kanan)
I
II 2009
Nilai
13,33% dari sebesar Rp6,84 triliun. Perkembangan Real Time Gross Settlement (RTGS) secara net menunjukkan peningkatan secara tahunan maupun triwulanan. Nilai net RTGS tercatat sebesar Rp5,28 triliun atau meningkat sebesar 14,79% dibandingkan tahun sebelumnya (yoy), sementara itu volume net RTGS tercatat sebesar 6.972 lembar atau meningkat sebesar 13,37% (yoy).
5. Perkembangan Sistem Pembayaran
Grafik 5.2 Perkembangan RTGS Sumsel
Membaiknya kondisi perekonomian pada triwulan II 2009 teridentifikasi dari meningkatnya aktivitas kliring dan RTGS dibandingkan triwulan sebelumnya. Kedua instrumen tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu indikator geliat perekonomian yang merupakan proxy intensitas transaksi ekonomi yang bersifat non tunai. Secara triwulanan (qtq) terjadi peningkatan volume warkat kliring sebesar 12,75% dari sebanyak 165.884 lembar dan berdasarkan nilai nominal meningkat sebesar 9,75% dari sebesar Rp5,40 triliun menjadi Rp5,93 triliun. Sementara itu perkembangan net RTGS dibandingkan triwulan sebelumnya tercatat mengalami peningkatan sebesar 37,72% dari sisi nilai dan meningkat sebesar 21,97% dari sisi volume. Nilai RTGS yang masuk ke Sumsel tercatat mengalami peningkatan yang signifikan dengan peningkatan sebesar 30,36% (qtq) dari sebesar Rp13,62 triliun menjadi sebesar Rp17,76 triliun. Meningkatnya aktivitas perekonomian di wilayah Sumsel diperkirakan terjadi antara pelaku ekonomi di wilayah Sumsel dengan pelaku ekonomi di luar Sumsel. Hal tersebut teridentifikasi dari terjadinya net-outflow yang diiringi menurunnya Dana Pihak Ketiga (DPK), khususnya simpanan Giro sebesar 5,19% (qtq).
88
5. Perkembangan Sistem Pembayaran
Peningkatan aktivitas pembayaran non tunai diiringi dengan peningkatan peredaran cek dan bilyet giro kosong. Perkembangan cek dan bilyet giro (BG) kosong menunjukkan peningkatan yang cukup mengkhawatirkan baik dari segi warkat maupun nominal. Cek dan bilyet giro (BG) kosong yang dikliringkan tercatat sebanyak 2.707 lembar dengan nominal sebesar Rp70,08 miliar. Jumlah warkat cek/BG kosong meningkat sebesar 56,38% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy) dari sebanyak 1.731 lembar, sedangkan dari sisi nominal tercatat meningkat sebesar 9,70% dari sebesar Rp63,88 miliar. Dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, jumlah cek/BG kosong yang dikliringkan tercatat meningkat sebesar 9,68% dari sebanyak 2.468 lembar dan dari sisi nominal meningkat sebesar 12,47% dari sebesar Rp70,08 miliar.
Tabel 5.1 Perputaran Cek dan Bilyet Giro Kosong Propinsi Sumatera Selatan
2008
Keterangan
2009
II
III
IV
I
1. Lembar Warkat
1,731
2,707
2,803
2,468
2,707
2. Nominal (Miliar Rp)
63.88
84.38
80.76
62.31
70.08
Grafik 5.4 Perkembangan Jumlah Cek dan Bilyet Giro Kosong Sumsel
Grafik 5.3 Perkembangan Bulanan Jumlah Perputaran Kliring Sumsel
4
80 70 60 50 40 30 20 10 0
3 2 1
2008 Nominal (Axis Kiri)
Jun
Apr
2009 Warkat
Mei
Mar
Jan
Feb
Des
Okt
Nov
Sept
Jul
Agt
Jun
Apr
Mei
0
Lembar 1,240
Rp Miliar 40 35
1,040
30
840
25
640
20
440
15
240
10
40 Apr Mei Jun Jul Agt Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun
Ribu Lembar
Rp Triliun
II
2008 Nominal (Axis Kiri)
2009 Warkat
89
5. Perkembangan Sistem Pembayaran
Secara bulanan, aktivitas kliring triwulan II 2009 yang tertinggi terjadi pada bulan Juni dengan jumlah warkat sebanyak 72.297 lembar dengan nominal sebesar Rp2,08 triliun. Pada bulan Mei tercatat mengalami penurunan menjadi sebanyak 56.393 lembar senilai Rp1,88 triliun setelah pada bulan April tercatat sebanyak 58.339 lembar senilai Rp1,97 triliun. Sementara itu, seperti halnya pencapaian aktivitas kliring serta perkembangan cek dan bilyet giro kosong, aktivitas perputaran warkat paling tinggi terjadi pada bulan Juni yakni sebanyak 964 lembar senilai Rp21,05 miliar, sedangkan nominal yang paling tinggi terjadi pada bulan April dengan jumlah sebesar Rp30,34 miliar dengan jumlah warkat tercatat sebanyak 913 lembar.
5.2. Perkembangan Perkasan Kegiatan perkasan di KBI Palembang pada triwulan II 2009 mencatat inflow sebesar Rp1,15 triliun, menurun sebesar 37,41% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy) yang tercatat sebesar Rp1,84 triliun. Apabila dibandingkan dengan triwulan II (qtq), menunjukkan penurunan sebesar 24,07% dari sebesar Rp1,52 triliun. Pada periode yang sama, outflow tercatat sebesar Rp1,99 triliun atau menurun sebesar 26,92% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (yoy), atau tercatat mengalami peningkatan sebesar 98,29% apabila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (qtq). Dengan membandingkan angka inflow dan outflow maka diperoleh net-outflow selama triwulan II 2009 sebesar Rp0,85 triliun, sedangkan pada periode yang sama tahun sebelumnya tercatat mengalami net-outflow sebesar Rp0,89 triliun. Net-outflow yang terjadi pada triwulan ini merupakan yang pertama kali terjadi sejak berlangsungnya krisis global pada awal triwulan IV 2008, dimana dibandingkan dengan dua triwulan sebelumnya yang terus mencatat inflow. Tabel 5.2 Kegiatan Perkasan di Sumsel (Rp Miliar)
2008
Keterangan
90
2009
II
III
IV
I
II
Inflow
1,839.64
1,577.23
2,056.28
1,516.28
1,151.36
Outflow
2,735.41
2,174.26
1,297.18
1,008.14
1,999.04
Net Inflow (Net Outflow)
-895.77
-597.03
759.09
508.14
-847.68
5. Perkembangan Sistem Pembayaran
Grafik 5.5 Perkembangan Kegiatan Perkasan Sumsel 2008-2009
Terjadinya
ouflow
pada
triwulan II 2009 dapat dijadikan salah satu indikator semakin membaiknya aktivitas perekonomian (dunia usaha) setelah
pada
dua
triwulan
sebelumnya masih terkena imbas dari melemahnya kondisi perekonomian regional, baik dari sisi kondisi usaha maupun
konsumsi
masyarakat.
Terjadinya net-ouflow telah terlihat sejak pertengahan triwulan I 2009 terutama pada bulan April 2009 yang juga
40
600 27.16
35
22.11
500
Melalui
45
39.33
harga
mulai
komoditas
primer di pasar internasional.
Persen
700
dengan
meningkatnya
Grafik 5.6 Perkembangan Penarikan Uang Lusuh oleh KBI Palembang Rp Miliar
ditandai
kegiatan
perkasan,
dilakukan pula penarikan uang lusuh di KBI Palembang sebagai wujud dari
30
400
25
300
20
clean money policy Bank Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dalam
15
200
9.36 2.00
100
10 5
-
kondisi layak edar. Secara triwulanan (qtq), uang lusuh yang ditarik tercatat
II
III
IV
I
2008 Nilai
II 2009
% thd Inflow
menurun sebesar 83,79%. Penarikan uang lusuh tersebut juga menurun sebesar
95,40%
triwulan
yang
sebelumnya
(yoy),
dibandingkan sama
tahun
yang
tercatat
sebesar Rp499,62 miliar. Menurut proporsinya terhadap inflow,
persentase penarikan uang lusuh juga
mengalami penurunan dari sebesar 9,36% pada triwulan sebelumnya menjadi hanya 2,00%. Hal ini merupakan salah satu indikator bahwa masyarakat sudah cukup baik dalam memperlakukan uang kertas.
91
5. Perkembangan Sistem Pembayaran
5.3. Perkembangan Kas Titipan Lubuk Linggau Selain kegiatan perkasan yang dilaksanakan di Kota Palembang, di Sumsel juga terdapat kegiatan kas titipan yang dilaksanakan di Kota Lubuk Linggau. Kas titipan tersebut dilaksanakan mulai tahun 2005 yang ditandai dengan penandatangan Nota Kesepahaman antara Bank Indonesia Palembang dengan PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Lubuk Linggau
yang
ditunjuk
sebagai
bank
penyelenggara
kas
titipan.
Pertimbangan
penyelenggaraan kas titipan di Lubuk Linggau dilatarbelakangi oleh relatif tingginya kebutuhan terhadap uang tunai serta jarak yang cukup jauh dari Kota Palembang. Tabel 5.3 Perkembangan Kas Titipan Lubuk Linggau (Rp Miliar)
2008
Keterangan
2009
II
III
IV
I
II
Inflow
173.29
414.01
317.50
282.95
236.01
Outflow
417.78
451.38
220.32
200.04
281.36
Net Inflow (Net Outflow)
(244.49)
(37.37)
97.18
82.91
(45.35)
Membaiknya kondisi perekonomian juga cukup terasa di wilayah Lubuk Linggau. Tidak jauh berbeda dengan kondisi Sumsel secara keseluruhan, kondisi perekonomian di Lubuk Linggau sebagai salah satu kota perdagangan yang memiliki peran penting di Sumsel juga mengalami perbaikan kinerja perekonomian setelah pada triwulan sebelumnya masih terkena dampak krisis global yang cukup buruk. Salah satu indikator yang menunjukkan hal tersebut adalah meningkatnya outflow pada kegiatan kas titipan di Lubuk Linggau. Pada triwulan II 2009 outflow di Lubuk Linggau tercatat sebesar Rp281,36 miliar atau meningkat sebesar 40,65% dibandingkan triwulan sebelumnya (qtq). Sementara itu aktivitas inflow tercatat sebesar Rp236,01 miliar atau menurun sebesar 16,59% dibandingkan triwulan sebelumnya (yoy). Namun walaupun demikian, besarnya outflow yang terjadi tidak setinggi tahun sebelumnya (yoy) yang mencapai Rp417,78 miliar atau mengalami penurunan sebesar 32,65%. Secara keseluruhan, pada triwulan ini tercatat net-outflow sebesar Rp45,35 miliar. Kondisi net-outflow tersebut merupakan yang pertama kali terjadi sejak triwulan IV 2008 , saat krisis finansial yang terjadi di Amerika memberikan dampak negatifnya ke seluruh dunia.
92
5. Perkembangan Sistem Pembayaran
Grafik 5.7 Perkembangan Bulanan Kas Titipan Lubuk Linggau Tahun 2008-2009 Rp Miliar 250 200 150 100 50
(100)
2008
Jun
Mei
Apr
Mar
Feb
Jan
Dec
Nov
Oct
Sep
Jul
Aug
(50)
Jun
-
2009
(150) Inflow
Outflow
Net Inflow (Out Flow)
93
5. Perkembangan Sistem Pembayaran
Halaman ini sengaja dikosongkan This page is intentionally blank
94
Bab 6 • •
PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN DAERAH DAN KESEJAHTERAAN
Tingkat kesejahteraan masyarakat Sumatera Selatan (Sumsel) secara umum mengalami sedikit peningkatan dibandingkan dengan kondisi tahun sebelumnya. Meningkatnya harga komoditas unggulan Sumsel dan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan pemerintah cukup mempengaruhi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tercermin dari penurunan jumlah penduduk miskin, walaupun masih diiringi dengan masih pesimisnya Nilai Tukar Petani (NTP) dan permasalahan pengangguran.
6.1. Ketenagakerjaan Jumlah angkatan kerja di Propinsi Sumatera Selatan (Sumsel) pada bulan Februari 2009 mencapai 3.487.999 orang, bertambah 15.987 orang dibanding jumlah angkatan kerja pada bulan Agustus 2008 sebesar 3.472.012 orang atau bertambah 33.688 orang dibanding bulan Februari 2008 sebesar 3.454.311 orang. Jumlah penduduk yang bekerja di Propinsi Sumsel pada bulan Februari 2009 mencapai 3.195.765 orang, bertambah 4.410 orang jika dibandingkan dengan keadaan pada bulan Agustus 2008 sebesar 3.191.355 orang, atau bertambah sebesar 33.508 orang jika dibandingkan dengan keadaan bulan Februari 2008 sebesar 3.162.257 orang. Tabel 6.1 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, Februari 2006 – Februari 2009
Sumber : BPS Propinsi Sumatera Selatan
6. Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah dan Kesejahteraan
Situasi ketenagakerjaan pada bulan Februari 2009 terhadap bulan Februari 2008, ditandai dengan meningkatnya jumlah pekerja secara absolut di hampir seluruh sektor, kecuali di sektor pertanian dan sektor konstruksi. Sektor jasa kemasyarakatan dan sektor perdagangan merupakan sektor yang mampu menyerap penambahan tenaga kerja terbanyak dibandingkan sektor-sektor lainnya, dimana selama periode Februari 2008 – Februari 2009, terjadi penambahan pekerja di sektor jasa kemasyarakatan sebanyak 53.614 orang dan pada sektor perdagangan terjadi penambahan pekerja sebanyak 36.705 orang. Lebih dari sebagian penduduk atau sebesar 59,0% bekerja di sektor pertanian. Hal ini disebabkan karena sebagian besar penduduk masih bertempat tinggal di daerah pedesaan yang mengandalkan hasil pertanian untuk membiayai kebutuhan hidup mereka. Dari tujuh pembedaan status pekerjaan yang terekam pada Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), dapat diidentifikasi 2 kelompok utama terkait kegiatan ekonomi formal dan informal. Kegiatan formal terdiri dari mereka yang berstatus berusaha dibantu buruh tetap dan buruh/karyawan. Sementara kelompok kegiatan informal umumnya adalah mereka yang berstatus di luar itu. Jika melihat status pekerjaan berdasarkan klasifikasi formal dan informal, maka pada bulan Februari 2009 lebih dari 75% tenaga kerja bekerja pada kegiatan informal. Tabel 6.2 Penduduk Umur 15 Tahun ke Atas Yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan, Februari 2006 – Februari 2009
Sumber : BPS Propinsi Sumatera Selatan
Dari 3.195.765 orang yang bekerja, proporsi terbesar sebanyak 25,7% penduduk berstatus berusaha dibantu buruh tidah tetap/tidak dibayar dan proporsi terbesar kedua memperlihatkan bahwa status pekerjaan utama penduduk Sumsel adalah pekerja tak dibayar sebesar 23,6%.
96
6. Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah dan Kesejahteraan
6.2. Pengangguran Masalah pengangguran merupakan masalah yang melekat pada aspek ketenagakerjaan. Penduduk yang menganggur adalah penduduk yang sedang mencari pekerjaan ditambah penduduk yang sedang mempersiapkan usaha (tidak bekerja), yang mendapat pekerjaan tetapi belum mulai bekerja, serta yang tidak mungkin mendapatkan pekerjaan Berdasarkan data BPS Sumsel, jumlah pengangguran pada bulan Februari 2009 mengalami peningkatan sebesar 11.577 orang dibandingkan dengan posisi bulan Agustus 2008 yaitu dari 280.657 orang menjadi 292.234 orang, dan mengalami peningkatan sebesar 180 orang jika dibandingkan dengan kondisi bulan Februari 2008 yang mencapai 292.054 orang. Tabel 6.3 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Kegiatan Februari 2006 - Februari 2009 2006
Kegiatan Utama
2007
2008
Februari
Februari
1
Penduduk 15+
4.738.821
4.831.707
4.885.148
4.948.150
4.975.219
5.029.233
2
Angkatan Kerja
3,372,170
3,390,645
3,372,332
3,454,311
3.472.012
3.487.999
‐ Bekerja
2,964,160
3,037,885
3,057,518
3,162,257
3.191.355
3.195.765
408,010
352,760
314,814
292,054
280.657
292.234
‐ Penganggur
Agustus
Februari
2009
Agustus
Februari
3
Bukan Angkatan Kerja
1,366,651
1,441,062
1,512,816
1,493,839
1.503.207
1.541.234
4
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%)
71.16
70.17
69.03
69.81
69,79
69,35
Tingkat Pengangguran terbuka (%)
12.10
10.40
9.34
8.45
8,08
8,38
5
6
Total Setengah Pengangguran
1.151.836
1.189.212
1.178.081
1.190.563
1.268.335
1.128.446
Sumber : BPS Propinsi Sumatera Selatan
Tingkat pengangguran terbuka di Sumsel pada bulan Februari 2009 mencapai 8,38%, mengalami peningkatan dibandingkan kondisi pada bulan Agustus 2008 yang mencapai 8,08%. Akan tetapi dibandingkan dengan kondisi bulan Februari 2008 justru mengalami penurunan sebesar 0,07%. Total setengah pengangguran Sumsel pada bulan Februari 2009 sebesar 1.128.446 orang atau dengan kata lain tingkat setengah pengangguran angkanya masih cukup tinggi yaitu 32,35%. Artinya dari setiap 100 angkatan kerja yang sudah bekerja, sebanyak 32 sampai 33 orang mempunyai jam kerja kurang dari 35 jam per minggu. Jika dibandingkan dengan kondisi setahun yang lalu (Februari 2008), tingkat setengah pengangguran Sumsel telah mengalami penurunan sebanyak 2,11%.
97
6. Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah dan Kesejahteraan
Angka
pengangguran
pada
Grafik 6.1 Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja Saat Ini
bulan Februari 2009 yang mengalami peningkatan
dibandingkan
kondisi
bulan Agustus 2008 dan mengalami penurunan dibandingkan kondisi tahun sebelumnya juga terkonfirmasi dari hasil Survei Konsumen yang dilakukan Bank Indonesia Palembang. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan indeks ketersediaan lapangan kerja pada triwulan I 2009 apabila dibandingkan dengan triwulan III 2008 dan terjadi peningkatan indeks ketersediaan kerja apabila dibandingkan dengan kondisi tahun sebelumnya. 6.3. Tingkat Kemiskinan Berdasarkan data resmi BPS Propinsi Sumatera Selatan, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Propinsi Sumsel pada bulan Maret 2009 tercatat sebesar 1.167.870 atau 16,28% dari jumlah penduduk Sumsel. Angka tersebut tercatat mengalami penurunan sebesar 6,54% atau sebesar 81.740 orang dari periode yang sama tahun sebelumnya (Maret 2008) yang tercatat sebesar 1.249.610 jiwa. Tabel 6.4 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Sumatera Selatan Tahun 1993-2009 Tahun 1993 1996 1999 2002 2003 2004 Juli 2005 Juli 2006 Maret 2007 Maret 2008 Maret 2009
Jumlah Penduduk Miskin (ribuan) 901,9 1.017,0 1.481,9 1.434,1 1.397,3 1.379,3 1.429,0 1.446,9 1.331,8 1.249,61 1.167,87
Persentase 15,73 17,04 23,87 22,49 21,54 20,92 21,01 20,99 19,15 17,73 16,28
Sumber : Data BPS Propinsi Sumsel, diolah dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
98
6. Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah dan Kesejahteraan
Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1993-2009 berfluktuasi dari tahun ke tahun. Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 464,9 ribu karena krisis ekonomi, yaitu dari 1.017 ribu menjadi 1.481 ribu. Persentase penduduk miskin mengalami peningkatan dari 17,04% menjadi 23,87% pada periode yang sama. Sementara itu, penurunan jumlah penduduk miskin pada satu tahun terakhir ini tidak terlepas dari program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan pemerintah. BLT yang diberikan pemerintah secara signifikan telah mengangkat daya beli masyarakat kecil sehingga melampaui Garis Kemiskinan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita/bulan di bawah Garis Kemiskinan. Dalam satu tahun terakhir ini Garis Kemiskinan meningkat sebesar 8,11% dari Rp196.452,- per kapita/bulan menjadi Rp212.381,- per kapita/bulan. Berdasarkan pembagian kelompok kemiskinan perkotaan dan pedesaan, Garis Kemiskinan di perkotaan dalam setahun terakhir tercatat mengalami peningkatan sebesar 7,89% dari Rp229.552 per kapita/bulan menjadi Rp247.661,- per kapita/bulan. Sementara itu, Garis Kemiskinan di daerah pedesaaan mengalami kenaikan sebesar 8,29% pada periode yang sama, dari Rp175.556,- per kapita/bulan menjadi Rp190.109,- per kapita/bulan. Dari penurunan jumlah penduduk miskin di wilayah Sumsel, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan tercatat turun lebih tajam dibandingkan daerah pedesaan. Selama periode Maret 2008 hingga Maret 2009 jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan tercatat berkurang sekitar 44.680 orang, sementara di daerah pedesaan tercatat berkurang sekitar 37.060 orang. Tabel 6.5 Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Daerah, Maret 2008-Maret 2009 Garis Kemiskinan
Jumlah Penduduk Miskin
(Rp/Kapita/Bulan)
(ribuan)
Perkotaan Maret 2008 Maret 2009
229.552 247.661
514,70 470,03
18,87 16,93
Perdesaan Maret 2008 Maret 2009
175.556 190.109
734,91 697,85
17,01 15,87
Kota+Desa Maret 2008 Maret 2009
196.452 212.381
1.249,61 1.167,87
17,73 16,28
Daerah/Tahun
Persentase
Sumber : Data BPS Propinsi Sumsel, diolah dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
99
6. Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah dan Kesejahteraan
6.4. Nilai Tukar Petani Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menunjukkan kemampuan daya beli petani. Perkembangan NTP dalam tiga bulan terakhir terlihat mengalami peningkatan setelah mengalami tendensi penurunan sejak pertengahan tahun 2008. NTP pada triwulan II 2009 (Mei 2009) tercatat sebesar 98,24. Peningkatan nilai tukar terjadi karena peningkatan indeks harga yang diterima petani lebih besar daripada pertumbuhan indeks harga yang dibayar petani yang mengalami penurunan. Indeks yang diterima petani meningkat menjadi 113,93 dari 113,27, sedangkan indeks yang dibayar petani mengalami penurunan dari 116,51 menjadi 115,97. Grafik 6.2 Indeks Harga yang diterima, Indeks Harga yang dibayar dan Nilai Tukar Petani
Sumber : BPS Propinsi Sumatera Selatan
Indeks Konsumsi Rumah Tangga Petani mengalami penurunan sebesar 0,78% dibanding triwulan sebelumnya (qtq) dari 117,45 menjadi 116,53. Menjelang tahun ajaran baru sekolah yang bertepatan dengan akhir triwulan ini, konsumsi pendidikan tercatat sebagai konsumsi rumah tangga petani yang paling tinggi dengan indeks sebesar 123,80. Selain konsumsi untuk pendidikan, konsumsi lainnya yang mengalami pertumbuhan dibandingkan triwulan sebelumnya adalah konsumsi untuk kesehatan. Konsumsi untuk komponen lainnya cenderung mengalami penurunan.
100
6. Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah dan Kesejahteraan
Tabel 6.6 Indeks Konsumsi Rumah Tangga Petani di Sumatera Selatan
Sumber : BPS Propinsi Sumatera Selatan
Biaya produksi dan penambahan modal petani secara rata-rata mengalami sedikit peningkatan, kecuali untuk bibit dan barang modal. Hal tersebut tercermin dari kenaikan indeks biaya produksi dan penambahan modal dari sebesar 114,31 pada triwulan sebelumnya menjadi 115,26. Peningkatan biaya produksi yang paling tinggi terjadi pada komponen upah buruh tani yang disebabkan antara lain sebagai dampak meningkatnya aktivitas di sub sektor perkebunan seiring kenaikan harga komoditas primer di pasar internasional. Sementara itu, penurunan biaya komponen bibit diperkirakan merupakan dampak dari belum optimalnya masa tanam di sub sektor tanaman bahan makanan terkait dengan kondisi curah hujan. Tabel 6.7 Indeks Biaya Produksi dan Penambahan Modal Petani
Sumber : BPS Propinsi Sumatera Selatan
6.5. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah wilayah adalah wilayah maju, wilayah berkembang atau wilayah terbelakang, serta untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Selain itu,
101
6. Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah dan Kesejahteraan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) juga merupakan salah satu ukuran yang secara tidak langsung digunakan untuk melihat besarnya keberhasilan pembangunan yang telah dilaksanakan oleh suatu pemerintahan, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat pemerintahan di daerah, utamanya adalah pembangunan sumber daya manusia. Menurut UNDP (1966) hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia
bersifat
timbal
balik.
Artinya,
pertumbuhan
ekonomi
mempengaruhi
pembangunan manusia dan sebaliknya. Disatu sisi pembangunan manusia yang berkelanjutan perlu didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang memadai, dan di sisi lain pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan juga perlu didukung oleh pembangunan manusia ( SDM ) yang memadai pula. Pembangunan manusia difokuskan pada 3 (tiga) dimensi yang dianggap esensial bagi kehidupan manusia yaitu : 1. Usia Hidup (Longevity). Untuk mengukur usia hidup, BPS menggunakan ukuran atau indikator angka harapan hidup waktu lahir atau Life Expectancy at birth ( e0 ). 2. Pengetahuan (Knowledge). Untuk dimensi pengetahuan (knowledge), Badan Pusat Statistik menggunakan dua indikator yaitu angka melek huruf (literacy rate) dan rata-rata lama sekolah (mean years of schooling-MYS). 3. Standar hidup layak (Decent Living Standards). Pengeluaran yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik yang menggunakan indikator dasar rata-rata perkapita. Berdasarkan data terakhir yang diperoleh dari BPS Sumsel, 15 kabupaten dan kota yang berada di wilayah Sumsel tercatat memiliki IPM antara 65 hingga 74 pada tahun 2006. Kota Palembang sebagai ibu kota propinsi tercatat sebagai wilayah yang memiliki angka IPM paling tinggi yakni sebesar 74,30. Secara umum, wilayah perkotaan rata-rata memiliki IPM yang tinggi sebagaimana juga ditunjukkan oleh IPM kota Prabumulih dan Pagaralam yang menduduki peringkat dua dan tiga dengan IPM sebesar 71,70 dan 71,10. Secara garis besar tidak terdapat perubahan yang begitu signifikan antara peringkat IPM tahun 2005 dengan IPM 2006. Hanya terdapat beberapa kota yang mengalami penurunan maupun peningkatan ranking IPM. Kabupaten Empat Lawang yang merupakan daerah pemekaran baru tercatat memiliki angka IPM 66,60 atau menempati peringkat ke-14.
102
6. Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah dan Kesejahteraan
Tabel 6.8 IPM 2006-2007 Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan Penduduk No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Kabupaten/Kota Palembang Prabumulih Pagaralam OKU OKU Selatan Muara Enim OKI Musi Banyuasin Lahat Banyuasin Lubuklinggau Ogan Ilir OKU Timur Empat lawang Musi Rawas
Juni 2005 1,338,793 130,340 114,562 255,246 317,277 632,222 626,828 469,175 545,754 733,828 174,452 356,983 556,010 474,430
Juni 2006 1,369,239 132,752 115,553 259,292 322,307 643,924 672,192 484,245 550,478 757,398 178,074 365,333 564,824 484,281
IKK
PDRB/KAPITA (ADHB
2005
2006
114.15 114.23 118.06 114.20 113.67 115.05 114.42 115.30 116.94 115.99 117.54 113.33 113.14 118.49
137.04 138.15 142.03 137.53 136.94 137.41 137.93 139.40 141.17 139.31 141.19 136.69 138.53 142.42
2005 18,299,536 12,527,589 6,220,869 12,511,678 4,325,679 15,480,019 5,405,682 36,012,743 7,674,760 7,966,130 6,597,214 5,567,214 4,685,796 8,682,544
2006 21,610,411 14,029,649 6,869,367 14,087,874 5,222,268 20,485,483 6,109,002 39,159,940 10,130,237 9,280,813 7,286,987 6,118,237 5,433,742 5,890,034 9,676,459
IPM 2005 73.60 71.10 69.90 69.90 68.80 68.70 68.80 68.70 67.60 67.20 66.30 66.00 65.40 65.00
2006 74.30 71.70 71.10 70.90 70.00 69.10 69.00 69.00 68.40 68.10 68.00 67.20 67.50 66.60 65.60
Sumber : BPS Propinsi Sumatera Selatan
103
6. Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah dan Kesejahteraan
Suplemen 7
INDEKS KEYAKINAN KONSUMEN PALEMBANG DI TENGAH MASA PEMULIHAN EKONOMI I. Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen Selama Triwulan II - 2009 Tingkat Keyakinan Konsumen Palembang selama triwulan II - 2009 secara umum mengalami peningkatan dibanding dengan triwulan I - 2009. Rata-rata Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada triwulan II - 2009 mencapai 103.87 atau meningkat dan kembali mencapai level optimis, setelah pada triwulan sebelumnya terpuruk ke level pesimis dengan capaian indeks rata-rata sebesar 99.19. Seiring dengan peningkatan rata-rata IKK, rata-rata Indeks Keyakinan Ekonomi Saat ini (IKESI) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) juga meningkat dengan capaian masing-masing sebesar 91.52 dan 116.22, dari sebesar 84.04 dan 114.33 pada triwulan sebelumnya. Dibandingkan dengan indeks triwulan yang sama tahun 2008, IKK, IKESI dan IEK juga mengalami peningkatan. Hal tersebut mencerminkan keyakinan konsumen kota Palembang telah mulai membaik dibanding triwulan yang sama tahun lalu. Hal tersebut sedikit banyak sebagai dampak positif dari mulai membaiknya kondisi usaha dan mulai meningkatnya harga komoditas primer di pasar internasional pasca krisis keuangan global yang terjadi pada akhir tahun 2008. Grafik 1 IKK, IKESI, IEK periode 2008-2009
122.17
120
112.00 100
Indeks
Optimis
140
101.83
80
Pesimis
60 40 20
IKK
IKE
Juni
Mei
Apr
Mar
Feb
Jan
Des
Nov
Okt
Sep
Agust
Juli
Juni
-
IEK
Selama triwulan II - 2009, beberapa hal yang menjadi concern bagi konsumen Palembang antara lain; tingkat penghasilan, ketersediaan tenaga kerja, perkiraan harga barang dan jasa (lihat grafik 2).
104
6. Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah dan Kesejahteraan
Grafik 2 Pembentuk Keyakinan Konsumen periode 2008-2009
Optimis
160
140
130.00 120.00
120
118.50
Indeks
118.00
100
105.50
80
80.00
60
Ekspektasi penghasilan 6 bulan yad
Ketersediaan lapangan kerja saat ini
Ketersediaan lapangan kerja 6 bulan yad
40 Ketepatan waktu pembelian (konsumsi) barang tahan lama
0
Kondisi ekonomi 6 bulan yad
Ju
Ju l Ag i us t Se p Ok t No v De s Ja n Fe b M ar Ap r M ei Ju ni
20
ni
Pesimis
Penghasilan saat ini dibandingkan 6 bln yang lalu
II. Keyakinan Konsumen Secara umum IKK dalam periode triwulan II 2009 mengalami peningkatan. Pada bulan April tercatat sebesar 100,17, dengan IKESI dan IEK masing-masing 85,22 dan 115,11. Pada bulan Mei mengalami peningkatan menjadi sebesar 102,83 dengan IKESI dan IEK masingmasing sebesar 91,33 dan 114,33. Sementara itu IKK pada bulan Juni tercatat sebesar 108,61 dengan IKESI dan IEK masing-masing sebesar 98,00 dan 119,22. 2.1 Pendapat Responden terhadap Kondisi Ekonomi Menurut sebagian besar responden (sebesar 47,00%) kondisi ekonomi pada bulan April 2009 sama dibandingkan 6 bulan sebelumnya, begitupun kondisi ekonomi pada bulan Mei 2009 dan Juni 2009 yang relatif sama. 2.2 Pendapat Responden terhadap Ketersediaan Lapangan Kerja Pada awal triwulan, sebagian besar responden atau sebesar 54,33% berpendapat bahwa ketersediaan lapangan kerja lebih buruk daripada kondisi 6 bulan yang lalu. Sementara itu pada bulan Mei, mengalami penurunan menjadi 58,33% responden yang menyatakan ketersediaan lapangan kerja lebih buruk. Optimisme masyarakat terhadap kondisi ketersediaan lapangan kerja agak meningkat di akhir triwulan dengan menurunnya persentase responden yang menyatakan ketersediaan lapangan kerja saat ini lebih buruk menjadi sekitar 38%.
105
6. Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah dan Kesejahteraan
2.3 Pendapat Responden terhadap Penghasilan Sebanyak 52,67% atau 158 responden berpendapat bahwa penghasilan mereka relatif tetap pada bulan April 2009, sementara pada bulan Mei sedikit meningkat menjadi 54,33%. Di akhir periode triwulan II 2009 jumlah responden yang berpendapat bahwa pendapatan mereka tidak berubah kembali meningkat menjadi 62,67%. 2.4 Perkiraan Perkembangan Harga Barang/Jasa 3 Bulan Mendatang Hampir sebagian besar responden berpendapat bahwa harga barang/jasa pada 3 bulan yang akan datang akan mengalami peningkatan. Hal tersebut tercermin dari persentase responden yang berada di kisaran 50% pada tiap periodenya. Pada bulan April tercatat sebesar 54,33%, kemudian menjadi sebesar 47% pada bulan Mei dan ditutup dengan angka 48,67% pada bulan Juni 2009.
III. Profil Responden 3.1 Profil Responden Bulan April 2009 Profil responden pada bulan April 2009 secara rinci dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Profil Responden Survei Konsumen Kota Palembang Periode Bulan April 2009 Profil Responden
Rp 1jutaRp3 Juta SMA
Laki-Laki
Pendidikan
Jenis Kelamin
Perempuan
Pendidikan
3
8
9
6
2
17
34
11
3
48
3
2
2
7
Subtotal
114
28
10
152
SMA
50
11
4
65
Akademi/D.III
10
4
1
15
Sarjana/S1
42
11
4
57
Sarjana/S1 Pasca Sarjana
Pasca Sarjana
Total responden Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan
Total Responden
106
Total
9
Akademi/D.III
68
Pengeluaran per Bulan Rp3-5 >Rp 5 juta juta
5
4
2
11
Subtotal
107
30
11
148
SMA
118
20
7
145
Akademi/D.III
19
10
3
32
Sarjana/S1
76
22
7
105
Pasca Sarjana
8
6
4
18
221
58
21
300
6. Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah dan Kesejahteraan
3.2 Profil Responden Bulan Mei 2009 Profil responden pada bulan Mei 2009 secara rinci dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Profil Responden Survei Konsumen Kota Palembang Periode Bulan Mei 2009 Profil Responden
Rp 1jutaRp3 Juta
Jenis Kelamin
Perempuan
Total
SMA
56
18
3
77
Akademi/D.III
14
1
0
15
Sarjana/S1
47
24
5
76
Pasca Sarjana
4
3
2
9
Subtotal
121
46
10
177
SMA
52
7
4
63
Akademi/D.III
11
3
0
14
Sarjana/S1
30
10
2
42
Pasca Sarjana
2
2
0
4
Subtotal
95
22
6
123
SMA
108
25
7
140
Akademi/D.III
25
4
0
29
Sarjana/S1
77
34
7
118
Pasca Sarjana
6 216
5 68
2 16
13 300
Pendidikan
Laki-Laki
Pengeluaran per Bulan Rp3-5 >Rp 5 juta juta
Pendidikan
Total responden Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan Total Responden
3.3 Profil Responden Bulan Juni 2009 Profil responden pada bulan Juni 2009 secara rinci dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 15 Profil Responden Survei Konsumen Kota Palembang Periode Bulan Juni 2009 Pengeluaran per Bulan Profil Responden
Laki-Laki
Pendidikan
Rp 1juta-Rp3 Juta
Rp3-5 juta
>Rp 5 juta
Total
SMA
65
12
2
79
Akademi/D.III
19
3
0
22
Sarjana/S1
40
13
7
60
Pasca Sarjana Jenis Kelamin
Perempuan
4
1
1
6
Subtotal
128
29
10
167
SMA
48
13
2
63
Akademi/D.III
14
2
0
16
Sarjana/S1
39
9
3
51
Pasca Sarjana
3
0
0
3
Subtotal
104
24
5
133
SMA
113
25
4
142
Akademi/D.III
33
5
0
38
Sarjana/S1
79
22
10
111
Pasca Sarjana
7
1
1
9
Pendidikan
Total responden Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan
107
6. Perkembangan Ketenagakerjaan Daerah dan Kesejahteraan
Total Responden
232
Halaman ini sengaja dikosongkan This page is intentionally blank
108
53
15
300
Bab 7 •
•
OUTLOOK PERTUMBUHAN EKONOMI DAN INFLASI DAERAH
Secara triwulanan, baik inflasi maupun pertumbuhan ekonomi diperkirakan meningkat, sedangkan secara tahunan dua indikator tersebut diperkirakan masih menurun. Perbankan diperkirakan semakin ekspansif, walaupun DPK berpotensi mengalami penurunan.
7.1. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi Propinsi Sumatera Selatan masih tetap tergantung pada sektor primer yaitu terutama sektor pertanian dan industri pengolahan yang berbasis pada sumber daya alam. Pada triwulan III diperkirakan kinerja sektor pertanian masih akan berubah terbatas, yang disebabkan oleh kondisi ekonomi dunia yang masih dipenuhi ketidakpastian, terutama berkaitan dengan potensi recovery berbagai negara.
Grafik 7.1 Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Selatan
Sumber: BPS Propinsi Sumatera Selatan *Hasil proyeksi KBI Palembang
Sesuai dengan karakteristik siklikal, pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan triwulan III 2009 diperkirakan akan mengalami ekspansi secara triwulanan yang cukup signifikan. Berdasarkan data historis, kondisi ekonomi terkini, dan prediksi shock yang akan terjadi di masa depan, diperkirakan pertumbuhan ekonomi tahunan (yoy) pada triwulan III 2009 akan berada pada kisaran 0,46 ± 0,5%. Sedangkan secara triwulanan (qtq) pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 3,88 ± 0,5%. Selain faktor
7. Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
musiman, angka proyeksi pertumbuhan triwulanan didasarkan pada beberapa faktor yakni realisasi belanja pemerintah daerah yang mulai meningkat pada awal semester kedua, penurunan tingkat permintaan masyarakat dibandingkan triwulan sebelumnya serta permintaan dunia atas komoditas unggulan Propinsi Sumatera Selatan yang belum menunjukkan peningkatan yang tajam. Tabel 7.1 Leading Economic Indicator Propinsi Sumsel Triwulan II 2009 Aspek
Kegiatan Usaha (umum)
Pertumbuh an
Meningkat
Penyebab Pertumbuhan Kegiatan usaha pada sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor keuangan, persewaan dan jasa mengalami peningkatan, sedangkan sektor pertanian mengalami penurunan Pelaku usaha meningkatkan produksinya seiring permintaan yang meningkat. Membaiknya permintaan dan harga jual sejalan dengan mulai pulihnya aktivitas perekonomian pasca krisis global Meningkatnya permintaan, baik domestik maupun ekspor
Ekspektasi triwulan mendatang
Musim panen tanaman pangan
meningkat
Meningkat
Nilai penjualan
Meningkat
Kapasitas produksi
Meningkat
Tenaga kerja
Meningkat
Musim panen dan meningkatnya permintaan
Sedikit meningkat
Volume pesanan
Sedikit meningkat
Meningkatnya permintaan dunia untuk beberapa komoditi, dan pesanan dalam negeri terkait pergantian tahun ajaran sekolah
Meningkat
Harga jual
Sedikit meningkat
Perbaikan permintaan, baik di pasar internasional maupun domestik
Sedikit Meningkat
Kondisi keuangan
Meningkat
Peningkatan permintaan dan membaiknya harga jual
Meningkat
Berkurangnya risiko dalam penyaluran kredit
Meningkat
Semakin baiknya permintaan dan prospek bisnis ke depan
Sedikit meningkat
Situasi bisnis
Meningkat
Meningkat
Meningkatnya permintaan terkait bulan puasa dan Idul Fitri Membaiknya harga komoditas primer
Volume produksi
Akses kredit
Keterangan Ekspektasi
Meningkat
datangnya musim panen, meningkatnya permintaan
Meningkat
Harga beberapa komoditas mengalami sedikit peningkatan, seperti CPO.
Meningkat
Adanya ekspektasi pemulihan ekonomi Produksi yang meningkat dan permintaan yang meningkat, namun terdapat banyak hari libur Motif hedging menyambut pemulihan ekonomi global, dan meningkatnya permintaan menyambut pemulihan ekonomi Tren harga komoditas meningkat, namun terdapat volatilitas jangka pendek dan ketidakpastian yang cukup tinggi Meningkatnya nilai jual dan laba perusahaan Semakin jelasnya prospek perekonomian, pemenuhan target kredit Potensi membaiknya perekonomian domestik dan dunia, namun situasi politik yang belum sepenuhnya stabil patut menjadi perhatian
Sumber: SKDU KBI Palembang, Analisis Kelompok Kajian Ekonomi KBI Palembang
110
7. Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
Berdasarkan hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) triwulan II 2009 yang dilakukan KBI Palembang, secara umum diperkirakan kegiatan usaha akan mengalami peningkatan berarti pada triwulan III 2009. Peningkatan diekspektasikan terjadi baik dari aspek volume produksi, nilai penjualan, volume pesanan, harga jual, situasi bisnis, serta ketenagakerjaan. Kinerja ekspor produk-produk unggulan Sumsel pada triwulan III 2009 diperkirakan akan mengalami sedikit peningkatan yang disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (1) harga komoditas yang memiliki kecenderungan untuk meningkat pada jangka pendek berikut ekspektasi kenaikan harga komoditas tersebut menyusul adanya peningkatan permintaan dan resesi yang semakin melambat (2) berlalunya musim hujan dan musim gugur daun sehingga produksi karet diprediksi meningkat dan mencapai puncaknya pada triwulan III tahun 2009. Proyeksi pertumbuhan ekonomi negara tujuan ekspor Sumatera Selatan untuk tahun 2009 masih sangat bervariasi. Di antara 7 negara tujuan ekspor terbesar, hanya dua negara yang diproyeksikan mengalami pertumbuhan positif. Namun, salah satu negara tersebut adalah Cina, yang merupakan tujuan dari 33,13% ekspor Sumatera Selatan untuk periode Januari – Mei 2009. Hal ini mengindikasikan bahwa ekspor Sumatera Selatan akan cenderung meningkat, walaupun masih pada taraf yang terbatas. Tabel 7.2 Proporsi Ekspor Sumatera Selatan dan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Negara Tujuan 1
2
3
Negara
Ekspor Sumsel
Proyeksi IMF
Proyeksi OECD
AS
21,06
-2,6
-2,8
Uni Eropa
8,01
-4,8
-4,8
Cina
33,13
7,5
7,7
India
4,01
5,4
5,9
Jepang
7,45
-0,3
N.A
Malaysia
7,74
-3,5*
N.A
Singapura
3,72
-10,0*
N.A
Keterangan : Angka dalam satuan Persen 1 Proporsi nilai ekspor Sumatera Selatan pada negara tersebut, menggunakan data “Nilai Ekspor Berdasarkan Negara Tujuan” periode Januari sampai dengan Mei 2009, Bank Indonesia 2 IMF World Economic Outlook Update, Juli 2009 3 OECD Economic Outlook No. 85, Juni 2009 *IMF World Economic Outlook, April 2009
Selain itu, terdapat beberapa hal yang dapat memberikan stimulus pada perekonomian melalui permintaan domestik, yaitu: (1) adanya potensi realisasi rencana proyek-proyek infrastruktur dan stimulus fiskal lainnya yang cukup baik bagi perekonomian,
111
7. Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
(2) berlangsungnya musim panen yang menyerap tenaga kerja secara temporer, (3) relatif rendahnya tingkat inflasi dan apresiasi Rupiah yang dapat mempertahankan daya beli masyarakat, (4) potensi kenaikan penyaluran kredit perbankan secara lebih cepat yang disebabkan karena akumulasi penurunan BI rate, pemenuhan target penyaluran kredit untuk tahun 2009, turunnya risiko pasar dan masuknya dana asing kembali ke emerging markets, (5) adanya bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri yang menyebabkan shock permintaan jangka pendek. Meskipun demikian, terdapat pula potensi yang patut diperhatikan karena dapat membuat pertumbuhan ekonomi lebih rendah dari perkiraan, yaitu: (1) nilai tukar Rupiah yang berpotensi semakin terapresiasi sehingga menurunkan net ekspor, (2) Realisasi fiskal yang minim yang disebabkan oleh rendahnya realisasi penerimaan akibat krisis finansial global pada triwulan IV 2008 sampai dengan triwulan II 2009 yang lalu.
7.2. Inflasi Inflasi tahunan diperkirakan akan semakin menurun pada triwulan III 2009, namun tekanan inflasi justru diperkirakan meningkat, yang ditunjukkan oleh perkiraan inflasi triwulanan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Berdasarkan proyeksi dan dengan mempertimbangkan perkembangan harga serta determinan utama inflasi di Sumatera Selatan, maka diperkirakan inflasi tahunan (yoy) pada triwulan III 2009 akan turun menjadi 0,96±1%, sedangkan inflasi triwulanan (qtq) diperkirakan akan meningkat mencapai 1,41±1%. Perkembangan inflasi tahunan pada triwulan III 2009 diperkirakan akan semakin menurun dan berada pada level yang relatif rendah dibanding triwulan II 2009. Secara teknikal, inflasi tahunan akan mengalami penurunan yang disebabkan oleh tingginya inflasi pada triwulan yang sama tahun sebelumnya dan deflasi yang seringkali terjadi pada awal tahun 2009. Dengan kata lain, inflasi tahunan yang menurun pada triwulan II 2009 dan diperkirakan semakin menurun pada triwulan III 2009 lebih disebabkan oleh kondisi ekonomi masa lalu, namun pada saat ini lebih tepat dipandang sebagai faktor teknikal. Hal ini terbukti dari kondisi bahwa inflasi tahunan sebesar 0,96% akan tercapai bila inflasi triwulanan mencapai 1,41%, atau setiap bulannya mengalami inflasi 0,47% (mtm). Nilai inflasi bulanan tersebut sangat tinggi bila dibandingkan dengan inflasi bulanan sejak awal 2009. Dari sisi perekonomian domestik, peningkatan tekanan inflasi tersebut utamanya disebabkan oleh adanya bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri yang meningkatkan 112
7. Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
permintaan dan harga kelompok bahan makanan, kelompok makanan jadi, serta kelompok sandang. Dari sisi perekonomian global, kecenderungan meningkatnya harga komoditas dunia, meningkatnya optimisme perekonomian global, meningkatnya kepercayaan pasar, dan potensi terjadinya recovery dapat secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan tekanan inflasi. Selain itu, tekanan inflasi yang berasal
dari
diperkirakan
perubahan akan
tetap
biaya
juga
rendah
yang
Grafik 7.2 Proyeksi Inflasi Tahunan Sumatera Selatan
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (1) nilai tukar Rupiah relatif stabil terhadap Dollar AS, bahkan terdapat ekspektasi bahwa nilai tukar IDR/USD akan mengalami apresiasi sebesar 1-5% (2) masih rentannya kompetisi politik yang membuat harga BBM riskan untuk dinaikkan walaupun harga
Sumber: BPS Propinsi Sumatera Selatan dan proyeksi KBI Palembang
minyak di pasar internasional mengalami peningkatan.
7.3. Perbankan Berdasarkan kondisi perekonomian, diperkirakan kinerja perbankan pada triwulan III 2009 akan mengalami peningkatan dibandingkan triwulan II 2009, baik dari sisi penghimpunan dana pihak ketiga maupun penyaluran kredit. Kondisi perekonomian dunia yang mulai optimis meskipun masih dipenuhi ketidakpastian, perlambatan resesi di berbagai negara, perencanaan stimulus pemerintah pada banyak negara berikut adanya potensi recovery yang akan terjadi menyebabkan investasi pada emerging markets termasuk Indonesia kembali menarik investor global. Masih berlangsungnya capital inflow yang ditandai oleh meningkatnya IHSG dan terapresiasinya Rupiah terhadap Dollar AS, akan semakin memberikan relaksasi pada perbankan dan memperbaiki transmisi moneter atas penurunan BI rate yang dilakukan sejak Desember 2008. Karena itu, triwulan III 2009 merupakan saat yang tepat bagi perbankan untuk mulai mengejar target penyaluran kreditnya pada tahun 2009. Berdasarkan proyeksi teknikal dan dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian 113
7. Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
terkini berikut ekspektasi di masa depan, diperkirakan pertumbuhan kredit pada triwulan II 2009 akan mencapai 6,71% ± 1% (qtq). Hal ini diharapkan akan memberikan iklim yang kondusif bagi pengembangan sektor riil dari sisi pembiayaan bersamaan dengan adanya potensi perbaikan keadaan perekonomian dunia. Selain itu, pendapatan masyarakat yang menurun akibat krisis finansial global dapat meningkatkan penyaluran kredit konsumsi mengingat konsumsi masyarakat di Sumatera Selatan kurang elastis terhadap pendapatan (lihat Suplemen 1). Di sisi lain, potensi meningkatnya kredit konsumsi patut diwaspadai karena dapat meningkatkan NPL bila recovery perekonomian mengalami penundaan yang cukup lama. Kemudian, berkaitan dengan pendapatan masyarakat yang dipengaruhi harga komoditas yang stabil atau mengalami sedikit peningkatan setelah mengalami penurunan drastis pada akhir tahun lalu, peningkatan persentase NPL (gross) bank umum diperkirakan akan berhenti dan persentase NPL gross akan relatif stabil pada kisaran 2,6-3,1% sepanjang triwulan III 2009. Pencapaian Indonesia atas indikator-indikator makroekonomi pada triwulan I dan triwulan II 2009 yang relatif baik dan stabil dibandingkan negara-negara lainnya di kawasan Asia, tingkat suku bunga riil yang relatif tinggi, dan potensi recovery yang lebih cepat dibandingkan negara-negara lainnya dapat membuat penanaman modal di Indonesia cukup atraktif di mata investor asing. Namun, mengingat prospek bisnis yang belum baik sehubungan dengan masih lesunya pasar komoditas dunia, penanaman modal tersebut dalam jangka pendek akan banyak terhenti di sektor finansial. Peningkatan DPK yang akan terjadi diprediksi lebih lambat dari penyaluran kredit, sehingga menyebabkan peningkatan Loan to Deposit Ratio (LDR) pada perbankan. Namun, patut dicermati bahwa kondisi perekonomian dunia yang masih belum stabil dapat menyebabkan masuknya dana asing akan seringkali terganggu aksi profit taking sehingga volatilitas jangka pendek cukup tinggi. Selain itu, sebagian investor masih menunggu kepastian hasil pemilihan presiden putaran
pertama
setelah
mendapatkan
gugatan
ke
Mahkamah
Konstitusi,
dan
pengumuman nama-nama yang akan mengisi jabatan strategis ekonomi (gubernur BI, menko perekonomian, menteri keuangan, dan menteri perdagangan) oleh pasangan terpilih. Hal ini dapat secara sensitif mempengaruhi hot money pada perekonomian Indonesia, yang pada akhirnya berdampak pula pada konteks perbankan dan perekonomian regional. 114
7. Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
Tabel 7.3 Prediksi Beberapa Indikator Perekonomian pada Triwulan III 2009 Indikator Ekspor
Prediksi Moderat
Faktor penyebab Harga komoditas dunia berpotensi meningkat walaupun masih rendah, namun Rupiah yang cenderung terapresiasi dapat membuat barang ekspor kurang kompetitif di pasar internasional.
Impor
Moderat
Pendapatan per kapita yang meningkat, dan nilai Rupiah yang relatif stabil, bahkan diprediksi terapresiasi.
Pertumbuhan
Moderat
Harga komoditas dunia yang berpotensi meningkat seiring adanya potensi recovery, realisasi fiskal
Inflasi
Rendah (tekanan
Ketersediaan stok yang masih aman, stabilnya nilai Rupiah, faktor
inflasi justru
teknikal
meningkat) Pengangguran
Moderat
Investasi
Moderat
Efisiensi produksi, potensi recovery perekonomian dunia kondisi perekonomian dunia yang belum stabil, namun di sisi lain kepercayaan global meningkat dan terdapat potensi recovery
Konsumsi domestik
Tinggi
Adanya bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri, dan potensi realisasi pengeluaran pemerintah.
Kredit perbankan
Tinggi
Akumulasi penurunan BI rate, penurunan risiko pasar, potensi recovery, target kredit 2009
*Prediksi mempertimbangkan kondisi terkini, ekspektasi, dan karakteristik siklikal secara relatif terhadap keadaan normal
115
7. Outlook Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Daerah
Halaman ini sengaja dikosongkan This page is intentionally blank
116
DAFTAR ISTILAH Mtm
Month to month. Perbandingan antara data satu bulan dengan bulan sebelumnya
Qtq
Quarter to quarter perbandingan antara data satu triwulan dengan triwulan sebelumnya
Yoy
Year on year. Perbandingan antara data satu tahun dengan tahun sebelumnya
Share Of Growth
Kontribusi suatu sektor ekonomi terhadap total pertumbuhan PDRB
Investasi
Kegiatan meningkatkan nilai tambah suatu kegiatan suatu kegiatan produksi melalui peningkatan modal
Sektor ekonomi dominan
Sektor ekonomi yang mempunyai nilai tambah besar sehingga mempunyai pengaruh dominan pada pembentukan PDRB secara keseluruhan
Migas
Minyak dan Gas. Merupakan kelompok sektor industri yang mencakup industri minyak dan gas
Omzet
Nilai penjualan bruto yang diperoleh dari satu kali proses produksi
Share effect
Kontribusi pangsa sektor atau subsektor terhadap total PDRB
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)
Indeks yang menunjukan level keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini dan ekspektasi kondisi ekonomi enam bulan mendatang. Dengan skala 1-100
Indeks Harga Konsumen (IHK)
Sebuah indeks yang merupakan ukuran perubahan rata-rata harga barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat pada suatu periode tertentu
Indeks Kondisi Ekonomi Indeks Ekspektasi Konsumen
Salah satu pembentuk IKK. Indeks yang menunjukan level keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini, dengan skala 1-100 Salah satu pembentuk IKK. Indeks yang menunjukan level keyakinan konsumen terhadap ekspektasi kondisi ekonomi saat ini, dengan skala 1-100
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan yang diperoleh dari aktifitas ekonomi suatu daerah seperti hasil pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah
Dana Perimbangan
Sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi daerah.
Indeks Pembangunan Manusia
Ukuran kualitas pembangunan manusia, yang diukur melalui pencapaian rata-rata 3 hal kualitas hidup, yaitu pendidikan, kesehatan, daya beli
APBD
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPR, dan ditetapkan dengan peraturan daerah
Andil inflasi
Sumbangan perkembangan harga suatu komoditas/kelompok barang/kota terhadap tingkat inflasi secara keseluruhan
Bobot inflasi
Besaran yang menunjukan pengaruh suatu komoditas, terhadap tingkat inflasi secara keseluruhan, yang diperhitungkan dengan melihat tingkat konsumsi masyarakat terhadap komoditas tersebut
Ekspor
Dalah keseluruhan barang yang keluar dari suatu wilayah/daerah baik yang bersifat komersil mau
Impor
Seluruh barang yang masuk suatu wilayah/daerah baik yang bersifat komersil maupun bukan komersil
PDRB atas dasar harga berlaku
Penjumlahan nilai tambah bruto (NTB) yang mencakup seluruh komponen faktor pendapatan yaitu gaji, bunga, sewa tanah, keuntungan, penyusutan dan pajak tak langsung dari seluruh sektor perekonomian
PDRB atas dasar harga konstan
Merupakan perhitungan PDRB yang didasarkan atas produk yang dihasilkan menggunakan harga tahun tertentu sebagai dasar perhitungannya
Bank Pemerintah
Bank-bank yang sebelum program rekapitalisasi merupakan bank milik pemerintah (persero) yaitu terdiri dari bank Mandiri, BNI, BTN dan BRI
Dana Pihak Ketiga (DPK)
Simpanan masyarakat yang ada di perbankan terdiri dari giro, tabungan, dan deposito
Loan to Deposits Ratio (LDR)
Rasio antara kredit yang diberikan oleh perbankan terhadap jumlah dana pihak ketiga yang dihimpun
Cash inflows
Jumlah aliran kas yang masuk ke kantor Bank Indonesia yang berasal dari perbankan dalam periode tertentu
Cash Outflows
Jumlah aliran kas keluar dari kantor Bank Indonesia kepada perbankan dalam periode tertentu
Net Cashflows
Selisih bersih antara jumlah cash inflows dan cash outflows pada periode yang sama terdiri dari Netcash Outflows bila terjadi cash outflows lebih tinggi dibandingkan cash inflows, dan Netcash inflows bila terjadi sebaliknya
Aktiva Produktif
Penanaman atau penempatan yang dilakukan oleh bank dengan tujuan menghasilkan penghasilan/pendapatan bagi bank, seperti penyaluran kredit, penempatan pada antar bank, penanaman pada Sertifikat Bank Indonesia(SBI), dan surat-surat berharga lainnya.
Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR)
Pembobotan terhadap aktiva yang dimiliki oleh bamk berdasarkan risiko dari masing-masing aktiva. Semakin kecil risiko suatu aktiva, semakin kecil bobot risikonya. Misalnya kredit yang diberikan kepada pemerintah mempunyai bobot yang lebih rendah dibandingkan dengan kredit yang diberikan kepada perorangan
Kualitas Kredit
Penggolongan kredit berdasarkan prospek usaha, kinerja debitur dan kelancaran pembayaran bunga dan pokok. Kredit digolongkan menjadi 5 kualitas yaitu lancar, Dalam Perhatian Khusus (DPK), Kurang Lancar, Diragukan dan Macet
Capital Adequacy Ratio (CAR)
Rasio antara modal (modal inti dan modalpelengkap) terhadap Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR)
Financing to Deposit Ratio (FDR)
Rasio antara pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah terhadap dana yang diterima. Konsep ini sama dengan konsep LDR pada bank umum konvensional
Inflasi
Kenaikan harga barang secara umum dan terus menerus (persistent)
Kliring
Pertukaran warkat atau Data Keuangan Elektronik (DKE) antar peserta kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah peserta yang perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu
Kliring Debet
Kegiatan kliring untuk transfer debet antar bank yang disertai dengan penyampaian fisik warkat debet seperti cek, bilyet giro, nota debet kepada penyelenggara kliring lokal (unit kerja di Bank Indonesia atau bank yang memperoleh persetujuan Bank Indonesia sebagai penyelenggara kliring lokal) dan hasil perhitungan akhir kliring debet dikirim ke Sistem Sentral Kliring (unit kerja yang menagani SKNBI di KP Bank Indonesia) untuk diperhitungkan secara nasional
Non Performing Loans/Financing (NPLs/Ls)
Kredit atau pembiayaan yang termasuk dalam kualitas kurang lancar, diragukan dan macet.
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP)
Suatu pencadangan untuk mengantisipasi kerugia yang mungkin timbul dari tidak tertagihnya kredit yang diberikan oleh bank. Besaran PPAP ditentukan dari kualitas kredit. Semakin buruk kualitas kredit, semakin besar PPAP yang dibentuk, misalnya, PPAP untuk kredit yang tergolong Kurang Lancar adalah 15 % dari jumlah Kredit Kurang Lancar (setelah dikurangi agunan), sedangkan untuk kedit Macet, PPAP yang harus dibentuk adalah 100% dari totsl kredit macet (setelah dikurangi agunan)
Rasio Non Performing Loans/Financing (NPLs/Fs)
Rasio kredit/pembiayaan yang tergolong NPLs/Fs terhadap total kredit/pembiayaan. Rasio ini juga sering disebut rasio NPLs/Fs, gross. Semakin rendah rasio NPLs/Fs, semakin baik kondisi bank ybs.
Rasio Non Performing Loans (NPLs) – NET
Rasio kredit yang tergolong NPLs, setelah dikurangi pembentukan penyisihan penghapusan Aktiva Produktif (PPAP), terhadap total kredit
Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI RTGS)
Proses penyelesaian akhir transaksi pembayaran yang dilakukan seketika (real time) dengan mendebet maupun mengkredit rekening peserta pada saat bersamaan sesuai perintah pembayaran dan penerimaan pembayaran.
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKN-BI)
Sistem kliring bank Indonesia yang meliputi kliring debet dan kliring kredit yang penyelesaian akhirnya dilakukan secara nasional.