Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014
Mendialogkan Kristen-Islam dalam Kajian Politik Halmahera Utara Sebagai Daerah Pasca Konflik
Broery Doro Pater Tjaja1
[email protected] Ebin Eyser Danius2
[email protected] Marthen Dominggus Boediman3
[email protected] Abstract This paper set out from North Mollucas political reality of post-disaster social human tragedy involving religious communities. The focus of this paper will be oriented on the political dynamics of North Halmahera are using culture as one of adhesives that could undermine peaceful harmony North Maluku and North Halmahera generally especially among religious people, in this case Christians and Muslims. In this context, as if drawn there are certain representatives who felt able to carry the aspirations of the people particularly through politics. Many religious leaders were present in the local political scene that is actually not that help realize the ideals of religious communities. Departing from that, this paper outlines the ideal relationship patterns Christians and Muslims in the context of local politics as well as develop local political theology is the basis of life and attitudes with religious communities in North Halmahera to the method of explanation that led to the choice of dialogue as a way of living life together. Keywords
:Politic, Religion, Dialogue
1
Staf Pengajar pada Fakultas Teologi Universitas Halmahera. Staf Pengajar pada Fakultas Teologi Universitas Halmahera 3 Staf Pengajar pada Fakultas Teologi Universitas Halmahera 2
Page | 61
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014
Pendahuluan Tidak dapat disangkal bahwa percaturan politik di Indonesia kadang membawa issu agama sebagai media dalam aksi politis. Bukan rahasia lagi bahwa agama diminati untuk dijadikan komoditi politik dalam berbagai kesempatan politis. Hal ini dimaklumi karena secara kelembagaan, agama menjadi basis umat yang punya hak serta suara politik yang bisa dimanfaatkan demi tujuan politis sebuah partai politik. Sehingga tidak heran seringkali muncul kasus kekerasan massal di Indonesia yang selalu dilatarbelakangi dengan sentimensentimen keagamaan demi kepentingan politik sesaat, termasuk tragedi kemanusiaan di Maluku Utara tahun 1999 yang ”merobek” kehidupan sosial. Selain kondisi sosial dan kultural yang tercabikcabik, situasi seperti ini memunculkan sikap kecurigaan antar pemeluk agama dan sikap fanatisme sempit. Sikap ini begitu kentara mengemuka di kehidupan bermasyarakat di daerah Halmahera Utara. Segala momen politik pastilah berujung pada persoalan agama. Bahkan sampai pada suksesi politik, sehingga jabatan politik tertentu di Halmahera Utara seakan-akan bersyaratkan harus dihuni oleh kaum beragama tertentu! Bagi penulis ini merupakan buah dari tragedi kemanusiaan, sehingga urusan publik di Halmahera Utara sering berujung dengan sentimen agama khususnya Kristen dan Islam. Pada awal tahun 2013 ini, suhu politik di Halmahera Utara memanas khususnya kota Tobelo sebagai ibu kota. Hal ini dikarenakan pada tahun 2013 ini akan berlangsung pesta demokrasi dalam rangka pemilihan kepala daerah/ Pemilukada Gubernur Maluku Utara. Dan hal yang digambarkan di atas pun terjadi. Ketika wacana siapa-siapa saja yang bakal mengikuti kompetisi pilkada nanti
dihembuskan, masyarakat justru yang paling cemas menanggapi hal tersebut (sampai tulisan ini dibuat belum ada ketetapan sesuai aturan yang berlaku siapa yang pantas bertarung nantinya, namun beberapa figur dengan terang-terangan bersedia bertarung dalam pilkada Malut 2013 nantinya lewat pembukaan pos pemenangan, baliho, poster dan jumpa pers). Jauh hari menjelang pemilukada, banyak organisasi kepemudaan yang bernuansa keagamaan sudah melakukan diskusi intens menyangkut kriteria figur Gubernur. Organisasi Kepemudaan/ Mahasiswa yang bercirikan agama tertentu di kota Tobelo misalnya, melakukan dua kali seminar tentang partisipasi Warga Gereja dalam pentas politik lokal. Dalam upaya menggagas dan menyusun kriteria ideal seorang Gubernur Malut, penulis melihat kriteria tersebut secara inplisit mengandung sebuah kriteria bahwa calon/Gubernur Malut harus beragama Kristen. Kegiatan seperti yang disampaikan di atas adalah kegiatan yang bagi penulis adalah tindakan antisipatif terhadap segala ”ketakutan” terhadap agama lain. Tindakan ini lahir dari sebuah kegelisahan yang dijadikan wajar pada setiap suksesi apapun. Konflik atau tragedi kemanusiaan yang melanda Maluku Utara pada 1999 bisa jadi salah satu aspek yang melatarinya selain beberapa faktor lainnya. Ini terbukti dengan hasil-hasil Pemilu (Pemilu legislatif, Pemilukadabup, pemilupres dan pemilukadagub). Tiga pemilu yang disebutkan pertama misalnya, dalam halhal tertentu bisa dijadikan pisau bedah guna menganalisa terkubunya Islam di satu pihak dan Kristen di pihak lainnya. Kristen yang dalam data statistik Halmahera Utara tercatat 60% jumlahnya —dibandingkan Islam 35% dan sisanya lain-lain—turut mendominasi angka-angka dalam suksesi apapun (Halmahera Utara Dalam Angka, Page | 62
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014
Badan Statistik Kabupaten Halmahera Utara, 2008). Dalam pileg kantongkantong Kristen pastilah memilih dan mengantar figur Kristen menempati ”rumah rakyat”, sebagai anggota DPRD dan sama halnya yang terjadi di kantongkantong Islam. Dan yang mendominasi adalah Partai Damai Sejahtera (PDS) yang bercirikan Kristen saat itu. Sebenarnya banyak faktor yang melatari hal ini. Lemahnya ekonomi dan rendahnya tingkat pendidikan di Halmahera Utara juga turut mempengaruhi politik lokal. Issu ini diakomodir dengan apik dan dielaborasi dengan tendensi agama yang menjadikannya sebagai bagian propoganda politis yang mujarab. Dari hasil penelitian kami yang lain menunjukan bahwa lembaga pendidikan juga membisu dalam kompleksnya persoalan politik lokal di Halmahera Utara di mana terdapat 3 Perguruan Tinggi yakni Universitas Halmahera, Politeknik Perdamaian Halmahera dan Stikes Tobelo. Kampus yang harusnya menjadi corong kritis terhadap segala persoalan masyarakat justru kadang menjadi corong politisi dan atau partai tertentu jelang kompetisi politik lokal. Hal itu bisa tercermin lewat tulisan-tulisan akademisi di media cetak maupun seminar-seminar yang kadang dibuat kampus dengan disponsori salah satu partai atau politisi tertentu yang punya kepentingan politis. Hal ini di sisi lain menghipnotis mahasiswa untuk membebek dosen yang sudah duluan membebek politisi atau partai tertentu. Sikap ini dibarengi dengan jernihnya dikotomi Kristen-Islam dalam politik lokal Halmahera Utara. Kejadian-kejadian di atas bagi penulis adalah hal lain (baca:pengalaman) yang melatari menguatnya issu agama jelang suksesi 2013 selain traumatik akan tragedi kemanusiaan yang melanda Maluku Utara pada tahun 1999 dan pengalaman politik lainnya. Di samping
itu, issu nasional dan Internasional pun turut memengaruhi semisalnya upaya mendirikan negara Islam melalui perdaperda syari’at atau situasi di Timur Tengah, dll. Belakangan hasil dari Pemilukada 2013, justru menggoncang kehidupan internal agama tertentu di Halmahera Utara. Dampaknya tentu berbias pada kehidupan sosial seluruh Maluku Utara. Berdasarkan pengantar itulah, maka yang menjadi tujuan penulisan adalah: 1. Menemukan format teologi politik dalam pola relasi ideal antara KristenIslam yang akan menjadi dasar dan sikap hidup bersama konteks politik lokal di Halmahera Utara. 2. Memacu dan mengembangkan daya kritis, inovatif dan kreatif mahasiswa dalam proses belajar-mengajar dan menumbuhkan sikap saling menghormati antar pemeluk agama dalam kehidupan yang majemuk. Kajian Literatur A. Politik Kata politeia dipakai Plato untuk menjelaskan prinsip-prinsip dan tindakan kenegaraan (Robert P. Borong,2006,3). Istilah ini kemudian berkembang dan digunakan untuk sebuah sistem yang mempermudah dalam mengatur sebuah negara. Dengan kata lain menata kehidupan bersama dalam sebuah komunitas entah itu pribadi, keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu istilah ini tidak mungkin memperoleh makna tunggal. Walau demikian istilah dominan melekat untuk menjelaskan sebuah sistem pemerintahan dalam masyarakat/komunal/ negara. Padahal menurut Saut Sirait (2001: 22) oleh para ahli, politik dibagi sebagai ilmu (political science) dan politik sebagai filsafat (political philosophy) yang akan melahirkan pengertian yang berbeda, Page | 63
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014
terutama pada objek dan persoalanpersoalan utamanya. Namun, meskipun melahirkan pengertian yang berbeda, keduanya tetap berangkat dari teori tentang negara dan seni dari pemerintahan seni. B. Agama Agama dipahami sebagai cara pandang dunia atau serangkaian kepercayaan, berkaitan dengan perwujudan dan ungkapan sistem nilai dan jalan hidup dari kepercayaan-kepercayaan tersebut (John Kelsay dan Sumner B. Twiss: 2007). Itu berarti perjalanan keagamaan selalu bersentuhan dengan berbagai dimensi lainnya seperti sosial kemasyarakatan. Tidak heran dalam kehidupan acap kali ungkapan Aloysius Pieris (Yewangoe: 2002) menyata yakni, agama selalu mempunyai sifat ambivalen di dalam dirinya sendiri. Artinya agama mempunyai sifat yang membebaskan dan sekaligus memperbudak bila disalah tafsirkan pemeluknya. Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya (http://id.wikipedia.org/wiki/Agama). Dari pengertian di atas, bisa disebutkan bahwa agama merupakan sistem yang tidak sekadar melembaga dalam sebuah institusi melainkan pada kepribadian penganut. Itu berarti agama dengan perangkatnya membuka ruang interpretasi atas laku dan kehendak dari sistem yang dipercayai. Walau demikian, agama bukanlah sekadar sebuah kategori subjektif, melainkan melibatkan suatu subjektif ganda. Agama merupakan subjektif pribadi yang tidak lengkap jika tidak diimbangi oleh subjektif lain, yakni komunitas beragama. Kedua subjektifitas ini membentuk totalitas keagamaan (Hasan Askari: 2003).
C. Dialog Dialog berasal dari bahasa Yunani: dialogos yang secara harafiah diartikan/ diterjemahkan dwi cakap atau percakapan (Ensiklopedi Indonesia, 813). Dalam hal kerukunan umat beragama, dialog merupakan tindakan solutif yang dapat menjadi jembatan antar umat beragama merobohkan tembok-tembok yang telah dibangun pasca konflik antar agama. Dialog bertujuan membuka saling pengertian dan penghargaan terhadap pendirian yang berbeda sekaligus mencari modus vivendi atau kata kesepakatan sebagai dasar kehidupan bersama yang rukun, sentosa dan menunjang kesejahteraan semua umat beragama (Olaf Schumann, 2008, xxiii). Metode Penelitian A. Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) dalam wilayah Tobelo pada 2 desa dan 4 Organisasi Kepemudaan (OKP). Pemilihan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa desa-desa ini penduduknya menganut satu agama dan organisasi yang bercirikan agama tertentu. B. Metode Penelitian Dalam membangun penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode kajian yang digunakan merupakan metode kajian komunitas eksplanasi, yaitu proses pencarian pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang berbagai aspek sosial komunitas melalui eksplanasi (menjelaskan) faktor penyebab suatu kejadian/ gejala sosial yang dipertanyakan, atau mengidentifikasi jaringan sebab-akibat berkenaan dengan suatu kejadian atau gejala sosial melalui data kualitatif. Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini ialah subyektif-mikro, yaitu upaya memahami sikap, pola perilaku, dan upaya-upaya yang ada Page | 64
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014
berkaitan dengan masalah yang dipertanyakan dalam kajian, dengan menggunakan strategi studi kasus (Sitorus dan Agusta, 2006). Karena Kajian menggunakan data kualitatif, maka data yang diolah berupa kata-kata lisan/ tulisan dari subyek kajian yaitu informan. Data kualitatif menurut Nasution (2003), merupakan pandangan atau pendapat, konsep-konsep, keterangan, kesan-kesan, tanggapan-tanggapan, dan lain-lain tentang sesuatu keadaan yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Strategi studi kasus yang digunakan dalam mengumpulkan data kualitatif merupakan studi aras mikro yang menyoroti satu atau lebih kasus terpilih. C. Teknik Pengumpulan Data Kuisioner merupakan teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini. Teknik ini berusaha mengumpulkan data dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepda responden untuk dijawab. Kuisioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu dengan pasti variabel yang akan diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan dari responden (Sugiyono, 2007: 142). Observasi partisipatoris dan wawancara mendalam adalah teknik lainnya yang akan digunakan dalam penelitian ini untuk mengumpulkan data. Data adalah informasi sahih dan terpercaya yang dibutuhkan untuk keperluan analisis dalam kajian.Data yang dipergunakan dalam kajian lapangan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer, ialah data yang diperoleh dari informasi dan hasil pengamatan lapangan.Data sekunder, ialah data yang diperoleh dari data statistik, literatur, dan laporan atau publikasi yang diperoleh dari instansiinstansi terkait serta data pendukung yang ada di sinode dan jemaat seperti: data monografi jemaat, laporan tahunan, daftar
isian, dan dokumen lain yang diperlukan dalam kajian ini. Sementara data primer yang bersumber dari informan. D. Cara Pengolahan Dan Analisis Data Data yang terkumpul, dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa untuk menjawab persoalan-persoalan yang diajukan dalam kajian lapangan.Data yang ada tersebut diolah dan dianalisis dengan menggunakan tabulasi data, sedangkan teknik menganalisanya adalah dengan menggunakan analisa data kualitatif. Menurut Miles dan Huberman (1992) dalam Sitorus dan Agusta (2006), analisis data kualitatif meliputi: a. Reduksi Data, adalah poroses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformai data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. b. Penyajian Data, adalah sekumpulan data informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. c. Kesimpulan, adalah proses menemukan makna data, bertujuan memahami tafsiran dalam konteksnya dengan masalah secara keseluruhan. Dalam mendukung prosedur analisis tersebut, pengumpulan data menggunakan metode triangulasi melalui kegiatan diskusi kelompok terfokus, observasi, dan wawancara Hasil Dan Pembahasan Agama dan Politik Topik klasik ini masih saja hangat dibicarakan hingga kini. Darinya banyak hipotesis lahir dan bisa dijadikan dasar pijak, kendati kehadirannya mengundang manca-tafsir dan membutuhkan kejelian memosisikan diri dalam menerbitkan teori terkait dengannya. Dari sinilah muncul Page | 65
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014
kesadaran penulis bahwa kesimpulan penulis pada topik ini adalah sebuah pertimbangan ilmiah demi cita-cita hidup bersama dalam masyarakat majemuk. Dalam kasus Halmahera Utara pasca konflik 1999, politik dilihat sebagai akses yang tepat menguatkan posisi agama. Bahkan relasinya saling membutuhkan. Agama digunakan sebagai jargon politik akibat traumatik 1999 dan politik dianggap jawaban menguatkan diri agama tertentu dalam kehidupan bersama. Kedudukan Kabupaten Halmahera Utara paling tidak turut mempengaruhi keseluruan Propinsi Maluku Utara karena dominasi suku Tobelo –ibu kota Halmahera Utara- di Propinsi Maluku Utara seperti keterangan berikut. Penduduk Maluku Utara terdiri dari beberapa suku besar yang terserak mendiami Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya diantaranya: a. Suku Galela, Tobelo, Loloda, Soe oeroe, Modole, Boeng (mendiami daerah Kab. Halmahera Utara). Khusus suku Tobelo, mereka juga mendiami bagian Kab. Halmahera Selatan (Gane, sebagian Pulau Bacan dan Pulau Obi) dan sebagian Kab. Halmahera Timur. Suku ini agaknya adalah suku terbesar di Maluku Utara dan lebih khusus lagi di Halmahera, ini terbukti dari bahasa Tobelo yang banyak digunakan di berbagai tempat di Maluku Utara. b. Suku Togutil, Maba (mendiami Kab. Halmahera Timur), Patani dan Sawai (mendiami Kab. Halmahera Tengah). c. Suku Wayoli, Jailolo, Sahu dan Tobaru (mendiami Kab. Halmahera Barat). d. Suku Ternate, Tidore, Makean (menempati Pulau Ternate, Tidore, Kayoa, Makean). Peran Politis Ganda Sejarah Indonesia membuktikan kurang lebih ada dua sikap politis menyangkut topik agama dan politik.
Tentunya sikap ini lahir dari intepretasi manusia beragama. Sikap pertama, peran politis kekuasaan. Peran ini memahami politik harus diwarnai dengan nilai agama tertentu di dalamnya yang kemudian menjadi syarat mutlak (baca: dasar) dalam sebuah negara. Pandangan ini dalam Islam dikenal dengan mainstream formal atau tekstualisasi atau skriptualis (Sholehuddin: 2004). Paham inilah yang menjadikan tokoh-tokoh agama berlomba memasuki kancah politik sebagai kompetisi medulang kekuasaan yang darinya agama tertentu mendominasi politik. Dengan demikian paham ini melegitimasi juga individu ataupun komunitas tertentu dalam usaha pembentukan partai bernuansa atau bercirikan agama sekaligus menggunakan agama sebagai issu sentral dalam kampanye perebutan kekuasaan. Menurut Sholehuddin (2004) model skriptualis seperti ini berusaha memperjuangkan formalisasi agama. Artinya, agama harus mewarnai kehidupan, dan tidak boleh menjadi sekedar agama privat. Agama harus asertif menjadi dasar negara, dan syariatnya mesti diberlakukan dalam tiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan mengambil inspirasi dari karya-karya tertentu- misalnya dalam Islam: Sayyid Qutb (W.1966) dan Abul A’la Al-Maududi (W. 1979)- mereka yang menjunjung tinggi model ini, yang dalam istilah John L. Esposito (1990: 203), menegaskan jargon bahwa doktrin agama itu selfsufficiency, sehingga mendirikan negara agama menjadi doktrin agama. Islam sebagai usaha pengideologi telah menyebabkan ”pergolakan” penentuan dasar negara ini dalam sejarah Indonesia antara –kurang lebih disebut- kaum agamawan dan nasionalis. Yang terakhir disebutkan selalu dalam posisi ”menang” karena” sejalan dengan pemerintah yang kadang menggunakan militer dalam segala aksi politis. Akibatnya pada satu sisi kaum Page | 66
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014
agamawan ini memosisikan diri dalam kancah politik dengan kendaraan politik mereka yang entah itu bernuansa politik maupun tidak dan kadang berseberangan dengan pemerintah. Penulis melihat bahwa ihwal awal kehadiran partai agama antara Kristen dan Islam dilatarbelakangi oleh emosi keagamaan itu sendiri. Partai Islam ataupun organisasi massa yang digawangi kaum agamawan dengan cita-cita negara Islam di satu sisi dan partai Kristen sebagai usaha –setidaknya- menahan laju cita-cita dimaksud dan dalam sejarahnya bentuk dari peran ini juga terpisah menjadi dua yakni agama dikuasai pemerintah atau sebaliknya. Walau demikian tidak semua tokoh agama memainkan peran politis ini. Hildebrandt Rambe (2001) dalam tulisannya menyimpulkan: 1. Sejarah perpolitikan Indonesia dari kemerdekaan sampai runtuhnya rezim Suharto telah mencatat kontribusi yang berarti dari kalangan Islam namun ada upaya yang sistimatis dari penguasa (pemerintah baik itu Orde Lama maupun Orde Baru) untuk melumpuhkan kekuatan politik umat Islam baik itu secara kelompok dengan pelarangan atau pembekuan partai politik maupun perorangan dengan penangkapan atau pemenjaraan pemipin politik umat. 2. Sejarah perpolitikan Indonesia juga mencatat sejarah perang dingin antara elit politik umat Islam yang islamis dan yang sekuler (nasionalis?). Yang terakhir ini sering (selalu) menang karena mendapat dukungan dari militer. Perang dingin ini sering melahirkan hubungan yang tegang atau konflik yang terselubung bukan hanya diantara kedua kelompok diatas tetapi juga antara umat Islam dengan kelompok lainnya (Non Muslim), misalnya ketika penguasa (islam sekuler) dalam upaya menghadapi kekuatan politik umat islam menggunakan "kekuatan" lain seperti kekuatan ekonomi kelompok minoritas
cina yang nota bene diidentikkan dengan Kristen. 3. Bangkitnya umat Islam dalam berbagai bentuk baik itu dengan cara damai maupun dengan cara kekerasan seperti Darul Islam, Komando Jihad, atau Laskar Jihadnya Umat Thalib adalah bentuk akumulasi dari tindakan balas dendam atas praktek-praktek pelecehan atau ketidakadilan penguasa terhadap keberadaan umat Islam sebagai kelompok masyarakat yang besar jumlahnya di tanah air. Dalam bentuk yang lain akumulasi terhadap cita-cita negara agama selalu muncul hingga kini dalam sejarah Indonesia. Hanya saja kebanyakan muncul dalam tindakan anarkis. Kemunculan sikap pertama dengan gaya seperti itulah yang justru melambungkan atau menguatkan posisi kedua antara polemik agama dan politik yakni, peran politis kearifan yang melihat bahwa politik adalah seni penatalayanan publik yang bisa ditempuh tanpa harus menjadikan agama sebagai dasar negara melainkan mengkontribusikan pikiran konstruktif sesuai norma agama demi terciptanya sistem politik yang baik. Peran ini bagi kaum agamawan yang memainkannya dipandang sebagai akses tepat guna hidup bersama dalam masyarakat majemuk. Kesadaran ini mendorong manusia menciptakan suasana kondusif dalam kancah politik. Paling tidak, dua peran politik ini juga hadir dengan kental dalam ranah politik lokal Halmahera Utara. Pasca tragedi kemanusiaan 1999 para rohaniwan begitu banyak diminati bahkan meminati (dunia) politik. Namun meminati dan diminati itu merupakan bias tragedi kemanusiaan itu sendiri yang jika tidak cerdas mengelolanya akan berdampak buruk bagi kehidupan bersama, karena Page | 67
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014
memupuknya emosi keagamaan tertentu dalam masyarakat majemuk. Peran Politik Kearifan Hidup: Teologi Politik Agama di Halmahera Dalam konteks Halmahera Utara sebagai daerah pasca konflik, peran politis sebagai kearifan hidup menjadi satusatunya jalan terbaik memosisikan agama yang harus ditempuh umat beragama. Peran politis ini bukanlah apresiasi miring terhadap dunia politik, namun sebaliknya memahami politik sebagai bagian dari hidup yang harus memiliki nilai-nilai baik di dalamnya. Dengan menyadari bahwa ranah politik bukanlah ”lokasi” tabu bagi agama, seyogyanya agama memainkan peran ini dengan tujuan seperti yang diusulkan oleh Borrong (2006:5-7): 1. Tujuan pelayanan / pembebasan. Politik secara kelembagaan pemerintahan penuh dengan kecenderungan destruktif yang kemudian melahirkan penindasan dan belenggu bagi banyak orang. Agama dengan memainkan peran ini perlu menemani mereka yang menjadi korban permainan politik. Agama perlu mewujudkan kebebasan dan hak-hak asasi manusia dalam segala lapangan kehidupan, pendidikan, pekerjaan dst. 2. Tujuan Korektif. Dapat diartikan sebagai tujuan pastoral atau tujuan pengembalaan. 3. Tujuan Normatif, yaitu menegakan kebenaran di tengah kehidupan politik.. Kekuasaan politik harus diarahkan untuk mewujudkan keadilan dan cinta kasih. Dengan kata lain keterlibatan agama dalam politik agar manusia lebih taat kepada Sang Pencipta dari pada kepada manusia. 4. Tujuan edukatif. Agama wajib memberikan pencerdasan politik terhadap umatnya agar cakap dan memiliki kepekaan politik yang bukan hanya menyangkut sistem pemerintahan melainkan politik hati nurani yang oleh Mangunwijaya (1997:91) dijelaskan ada
dua paradigma dan pengertian tentang politik yakni, pertama: politik kekuasaan yang menyangkut dengan penyelenggaraan kekuasaan, pemilihan, pertahanan, perebutan dan pelestarian status quo kekuasaan. Termasuk dengan kekuasaan mental, spiritual, agama yakni yang bercirikan pemaksaan atau hegemonik oleh pihak yang kuat kepada nisbih yang lemah. Paradigma politik yang kedua, politik hati nurani atau politik moral yang adalah usaha demi kepentingan dan kesejahteraan umum baik jasmani maupun rohani. Dengan kata lain, peran ini mengimplementasikan nilai keagamaan melalui hidup bersama termasuk dalam konteks politik di Halmahera Utara. Implementasi ini tidak berarti melembagakan syariat agama tertentu supaya diikuti oleh seluruh masyarakat, melainkan menjunjung nilai-nilai normatif universal yang terkandung dalam setiap agama dan selalu menghargai ciptaan sebagai landasan politik di Halmahera Utara. Agama seharusnya menjadi semangat dan bukan menjadi lembaga yang wajib mengontrol negara dan bukan pula elit-elitnya. Tapi semangat religiusitasnya itu yang harus mengontrol kehidupan bernegara. Di mana letak religiusitas dan moralitas itu? Itu ada di hati nurani setiap warganegara. Tugas agama (baca: para tokoh agama) adalah membangun kesadaran kritis di kalangan umatnya untuk menjadi kekuatan kontrol terhadap negara itu sendiri. Tentu saja di sini harus ada partisipasi dari warganegara berdasarkan landasan religiusitasnya untuk membangun tatanan yang adil sebagai pesan transendental. Jadi berpartisipasi dalam kehidupan bernegara bukan sematamata dengan kalkulasi kepentingan sesaat dan pribadi. Tapi merupakan kalkulasi kepentingan transendental itu. Semuanya itu hanya dipahami melalui penghayatan keagamaan. Page | 68
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014
Ini berarti politik lokal Halmahera Utara haruslah dijauhi dari sentimen keagamaan yang bisa diartikan juga dengan simbol agama, karena simbol agama dapat menciptakan suasana dan ruang kecurigaan antar pemeluk agama dalam daerah pasca konflik. Hal ini telah terjadi ketika penggunaan atribut atau simbol agama tertentu dalam iklan komersial salah satu kandidat pemilukada 2013 di tv nasional. Tafsiran atasnya beragam tetapi mendukung berlakulah demokrasi semu di Halmahera utara. Karena demokrasi sejati adalah suasana yang di dalamnya ada penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egaliter (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia) yang tidak mencederai sesama ciptaan dalam masyarakat majemuk di Halmahera Utara yang pernah tercederai akibat konflik bernuansa agama. Sikap Agama Untuk Kehidupan Bersama Dalam Konteks Politik Dari Penjelasan di atas muncul pertanyaan, bagaimana agama memainkan peran politis sebagai kearifan hidup dalam konteks politik Halmahera Utara? Jawaban atas pertanyaan ini harusnya berangkat dari penjelasan akan sikap agama-agama dalam kehidupan bersama. Menurut Joas Adiprasetya (2002:50-51) Ada beberapa paradigma mengenai sikap dalam hubungan agama-agama. 1. Eksklusifisme Adalah sikap pribadi/kelompok yang menganggap kebenaran hanya dimiliki oleh agama mereka sedangkan yang lain tidak. Sikap ini dengan sendirinya akan memupuk fanatisme sempit dalam kehidupan plural, sehingga membias pada saling curiga. Selain itu menimbulkan
bahaya intoleransi, kesombongan dan penghinaan bagi agama lain (Panikar, 1994:18). Dalam sejarah gereja misalnya ada pemahaman eksklusif yakni adagium yang berasal dari Uskup Carthago, St. Cyprianus: extra eccklesian nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan) secara jelas menyatakan pendirian model ini. Atau istilah kafir bagi dan beberapa agama yang menunjuk pada komunitas di luar agama mereka. Sikap seperti ini hampir pasti dimiliki oleh pribadi tertentu dalam agama-agama di Indonesia bahkan oleh kelompok-kelompok dalam agama tertentu, karena sikap ini sangat sulit dan bahkan mungkin akan tetap terpelihara (Munawar-Rachaman, 2001:116). Menyangkut hal ini Masdar Hilmy (2008: 208-209) menulis sikap seperti ini sejatinya tidak berakar secara teologis. Ia adalah murni politik sebagaimana bisa dilacak dari penggunaan idiom, jargon, leksikon dan semantik keagamaan yang menghasilkan prasangka dan kebencian yang berlawanan dengan semangat dasar agama. Artinya bahwa, sikap ini muncul karena kekeliruan atas penafsiran teks-teks kitab suci. Dari sinilah kadang bermunculan organisasi keagamaan dari agama sebagai lembaga kepercayaan yang tidak segan-segan mengusung kekerasan sebagai jalan tebaik ”membela” agama mereka. 2. Inklusifisme Adalah sikap yang dapat memahami dan menghargai agama lain dengan eksistensinya, tetapi tetap memandang agamanya sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan (Jason Lase, 2005:146). Sikap ini menunjuk pada keterbukaan dan memahami bahkan menerima agama lain sebagai bagian dalam kehidupan, namun menempatkan agama yang dianut sebagai kebenaran yang sah. Artinya sikap ini mencoba mencakup seluruh agama di bawah Page | 69
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014
pengaruh otoritas kebenaran agama yang dianut, misalnya penganut Kristen akan melihat bahwa Kristus menjadi pemenuhan final bagi agama-agama lain (Tom Driver, 2001:323). Sehingga bagi Kristen, agama-agama lain tidak akan ditanggapi secara serius di dalam dirinya sendiri seperti agama Kristen. Sikap seperti ini akan menjadi sikap semu dalam kehidupan beragama karena setiap umat beragama akan hilang saling kepercayaan. Sehingga percakapan toleransi dan kerukunan akan selalu menjadi jargon hambar dalam kehidupan umat beragama. 3. Pluralisme Sikap ini adalah sikap yang menyadari kepelbagaian agama. Pendekatan teosentris dalam paradigma ini terletak pada kehendak universal Sang Kuasa untuk menyelamatkan seluruh manusia (Adiprasetya:73). Dengan kata lain pluralisme adalah sikap yang menerima, menghargai dan memandang setiap agama sebagai agama yang baik serta memiliki jalan keselamatan. Dalam perspektif pandangan ini maka tiap umat beragama terpanggil untuk membina hubungan solidaritas, dialog, dan kerja sama dalam rangka mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan lebih berpengharapan (Lase:147). Penghargaan atas kehidupan majemuk adalah sesuatu yang harus ditempuh oleh agama dalam konteks politik Halmahera Utara, sehingga sikap pluralisme tidak bisa ditawar lagi demi terciptanya kerukunan bahkan stabilitas politik dalam membangun Halmahera Utara sebagai daerah pasca konflik ke arah yang lebih baik lagi. Dialog: Sebuah Alternatif Hidup Bersama Selain format teologi politik yang jelas, agama-agama (baca: Kristen-Islam) juga harusnya melakukan upaya menjaga
kekerabatan antar umat beragama di Halmahera Utara demi kerukunan hidup. Upaya itu bagi penulis adalah dialog yang intens. Hans kung (Lase:147-148) menulis tentang 3 aspek dari arah dialog dan kerja sama antar umat beragama: 1. Hanya jika kita memahami nilai-nilai ritus, ajaran dan simbol-simbol agama lain, maka kita dapat memahami orang lain secara sungguh-sungguh. 2. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat memahami iman kita sendiri secara sungguh-sungguh; kekuatan dan kelemahan; segi-segi yang konstan dan berubah. 3. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat menemukan dasar yang sama -meskipun ada perbedaannya—dapat menjadi landasan untuk hidup bersama di dunia ini secara damai. Hal ini sudah sering menjadi kajian bahkan dilakukan, namun bagi penulis masih menjadi dialog yang munafik dan tidak menjawab kebutuhan. Dialog harusnya melihat banyak aspek. Dalam mewujudkan dialog, umat beragama sudah barang tentu adalah umat atau manusia yang berbudaya dengan khasnya. Bisa saja sama budaya antar dua pemeluk agama yang berbeda atau pun sebaliknya. Dari sinilah usaha dialogis dilakukan seraya mengharapkan pengertian multikulturalisme antara umat beragama. Melalui dialog segala perbedaan, dalam hal ini kepercayaan yang menyangkut keimanan seseorang, tidak akan dihilangkan, malahan menyadarkan kita adanya realitas tersebut dalam kehidupan bersama. Menurut Olaf Schumann (2008: xxii), dialog antar umat beragama berarti bahwa semua peserta adalah orang-orang yang beriman dalam agamanya dan mengetahui modus pengungkapannya dengan sedemikian rupa supaya orang lain Page | 70
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014
dapat memahaminya dengan baik. Namun itu tidak berarti bahwa hanya topik-topik keagamaan saja yang dibicarakan. Sebaliknya, topik-topiknya justru diambil dari masalah kehidupan sehari-hari secara pribadi, dalam masyarakat, dalam kehidupan berpolitik atau apa saja yang relevan. Akan tetapi ia didekati oleh orang yang mendekatkan pula imannya dalam upaya memecahkan masalah tersebut. Oleh karena itu orang-orang beriman itu perlu melatih diri, atau melatih diri bersama-sama dengan orang lain, supaya iman mereka menjadi komunikatif dan terbuka sehingga dapat memberikan pengarahan dan pengertian dalam suasana kehidupan bersama dengan keanekaragaman manusia yang hidup dalam masyarakat yang sama. Dialog antar umat beragama didorong oleh pengalaman kehidupan bersama dan kesadaran bahwa banyak masalah yang digumuli sendiri adalah masalah orang lain juga. Sejalan dengan itu Nicolas J. Woly (2008:506) mengungkapkan bahwa dialog adalah suatu perjumpaan dan percakapan antara para pengikut dari dua atau lebih agama-agama yang berbeda untuk bersama-sama membahas berbagai masalah hubungan antaragama. Demikianlah dialog menjadi sesuatu yang harusnya dijalankan GMIH dalam melihat Islam sebagai konteks berpolitik dan partner dalam konteks politik lokal di Maluku Utara. Namun haruslah disadari bahwa dialog tidak sekadar pertemuan dua pihak yang berbeda tetapi justru dikuasai oleh pihak lain di luar pihak yang harusnya menjadi peserta dialog. Hal ini harus diperhatikan karena dialog bukanlah (sekadar) percakapan antar dua pihak, percakapan di antara dua mitra, seperti kadang-kadang kita dengar atau baca, yang menjadi trialog jika ada mitra ketiga yang ikut. Andaikata dialog adalah percakapan antar dua seharusnya disebut
“dyalog”. Namun bukan begitu halnya, karena dialog adalah percakapan atau pembicaraan tentang hal yang menyentuh kepentingan dan relevansi bersama tentang masalah yang harus diteliti dan jika perlu diteliti bersama (dialegein) (Schumann, 2004:75). Mendialogkan Kristen-Islam Dalam Konteks Politik Di Perguruan Tinggi Halmahera Utara Sebagai Daerah Pasca Konflik Dialog yang terjadi seringkali justru berasal dari pihak ketiga yang nantinya sebagai inisiator, pemprakarsa, mediator atau apalah istilahnya. Akibatnya hasil sebuah dialog menjadi intervensi dan semacam pemaksaan yang berasal dari pihak ketiga. Pihak ketiga ini bagi penulis bukan sekadar kelembagaan melainkan juga nilai yang tidak berasal dan mengakar dalam kehidupan agama yang berdialog. Dalam konteks Halmahera Utara, pemerintah memosisikan diri sebagai penengah/mediator yang memfasilitasi dialog Kristen-Islam dan menjadikan adat sebagai upaya perekat dalam mewujudkan perdamaian di Halmahera Utara. Memang hingga saat ini hal tersebut masih efektif sebagai perekat hidup bersama. Namun dari fakta yang dijelaskan di atas, rekonsiliasi yang terjadi di Halmahera Utara adalah perdamaian permukaan. Artinya kelihatannya perdamaian, namun masih ada unsur saling tidak percaya dan curiga bahkan dendam antara umat beragama, antara Kristen-Islam. Ini disebabkan karena pelaksanaan dialog masih berjalan secara kultural dan struktural, belum akademis. Maksudnya, tradisi dialog belum diwacanakan secara ilmiah, obyektif dan tanpa prasangka. Sebab dialog agama tidak cukup dilakukan hanya dengan cara man to man conversation melalui perspektif budaya atau di bawah pengawasan pihak tertentu. Namun Page | 71
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014
bagaimana mendialogkan kognisi kita tentang realitas agama tertentu dengan worldview agama kita sendiri (Hilmy:151). Perguruan Tinggi haruslah menjadi sarana pengejawantahan nilai-nilai agama yang universal di dalam konteks masyarakat majemuk pasca konflik. Perguruan tinggi harus berani mengambil langkah ini karena model dialog yang sering dijalankan pemerintah melalui Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Halmahera Utara terkesan ada pada tataran pimpinan atau tokoh agama tanpa melibatkan umat “awam” yang kadang menjadi korban dari sebuah sistem politik dan kekerasan yang bersifat SARA. Dialog ini hanya berkisar pada persoalan doktrinal semata dan bukan pada tataran praksis dan terkesan dijadikan proyek semata bagi pengurus FKUB. Dialog ini juga diramu khusus pemerintah, sehingga intervensi kadang hadir dan lebih memainkan perannya ketimbang inisiatif umat beraga itu sendiri. Sementara jalan yang ditempuh Perguruan Tinggi tidak mesti harus melibatkan tokoh agama, melainkan umat beragama yang disebut komunitas kampus atau sivitas itu sendiri. Di sinilah Pendidikan Agama menjadi mata kuliah yang berperan menyajikan kajian-kajian yang menjadi pergumulan masyarakat majemuk dalam topik bahasannya termasuk politik lokal. Kesempatan itulah pendidikan agama agam menjadi mata kuliah yang berusaha mendialogkan Kristen-Islam dalam konteks politik Halmahera Utara serta menemukan format ideal guna hidup dalam masyarakat majemuk. Dengan demikian dialog antara Kristen-Islam di Halmahera Utara harus diubah model penghampirannya atau pendekatannya sehingga menjauhkan umat beragama dari ketegangan-
ketegangan politis dalam konteks politik lokal. Kesimpulan Dari penjelasan di atas jelaslah bahwa ada beberapa hal yang bisa disimpulkan: 1. Pola relasi Kristen-Islam pasca tragedi kemanusiaan di Halmahera Utara mengalami degradasi. Kendati usaha perdamaian telah diusahakan, namun perdamaian yang dilakukan dengan pendekatan budaya tanpa melibatkan agama adalah usaha permukaan yang tidak konprehensip yang ibarat bom waktu dapat meledak kapan saja karena sentimen agama yang cenderung diabaikan. Pola relasi ini kemudian terbawa sampai pada arus politik perebutan kekuasaan. 2. Untuk mencegah sehingga usaha perdamaian tidak menjadi rekonsiliasi semu, agama haruslah mengembangkan sikap pluralisme dalam konteks politik Halmahera Utara. Karena sikap ini adalah sikap yang menyadari kepelbagaian agama, menerima, menghargai dan memandang setiap agama sebagai agama yang baik serta memiliki jalan keselamatan. Dalam perspektif pandangan ini maka tiap umat beragama terpanggil untuk membina hubungan solidaritas, dialog, dan kerja sama dalam rangka mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan lebih berpengharapan. Penghargaan atas kehidupan majemuk adalah sesuatu yang harus ditempuh oleh agama dalam konteks politik Halmahera Utara, sehingga sikap pluralisme tidak bisa ditawar lagi demi terciptanya kerukunan bahkan stabilitas politik dalam membangun Halmahera Utara sebagai daerah pasca konflik ke arah yang lebih baik lagi. 3. Kesadaran pluralisme ini haruslah terwujud dalam tindakan konkrit. Dialog yang bersifat akademis bukannya kultural dan struktural, merupakan alternatif dari kesadaran pluralisme tersebut. Dialog ini Page | 72
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014
tidak harus dengan pola lama yang menghadirkan semua tokoh agama yang disanjung dalam agamanya untuk duduk dalam ruang formal dan berdialog dengan kendali pihak ketiga. Dialog ini lebih diusahakan oleh pihak kampus )baca: perguruan tinggi) melalui mata kuliah Pendidikan Agama yang secara langsung melibatkan umat beragama yang disebut mahasiswa. Kampus sebagai wadah ilmiah mempunyai tanggungjawab moral terhadap segala persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat termasuk konteks politik lokal Halmahera Utara. Perguruan tinggi harusnya memberikan kontribusi pikir atas segala persoalan lewat kajian ilmiah dalam seminar, terbitan berkala bahkan dalam rancangan silabus mata kuliah. Dalam persoalan ini pendidikan agama wajib memasukan topik hubungan Kristen-Islam sekaligus mendialogkannya dalam konteks politik lokal di Halmahera Utara sebagai kajian belajar-mengajar. Dialog seperti ini lebih mengena dan akan dihayati lebih lanjut lagi dalam kehidupan, sehingga hidup bersama dalam masyarakat majemuk juga dipandang sebagai sebuah dialog kehidupan. Daftar Pustaka A. Buku-buku Adiprasetya, Joas., Mencari Dasar Bersama: etik global dalam kajian postmodernisme dan pluralisme agama, Jakarta:BPKGunung Mulia, 2002. Askari, Hasan, Lintas Iman Dialog Spiritual, Yogyakarta: LKIS, 2003. Borrong, Robert P., Etika Politik Kristen Serba-serbi Politik Praktis, Jakarta : UPI & PSE, 2006.
Coward, Harold., Pluralisme: Tantangan Bagi Agama-Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1989. Driver, Tom., Masalah Seputar Pluralisme, dalam Jhon Hock dan Paul F. Knitter, Mitos Keunikan Agama Kristen, Jakarta: BPKGunung Mulia, 2001. Hilmy, Masdar., Islam Profetik, Substansiasi Nilai-Nilai Agama Dalam Ruang Publik, Yogyakarta: Kanisius, 2008. Kelsay, John., Agama dan Hak-Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Interfidei, 2007. Holland, Joe dan Peter Henriot, Analisis Sosial dan Refleksi Teologis Kaitan Iman dan Keadilan, Yogyakarta: Kanisius, 1986. Lase, Jason., ed al., Pendidikan Agama Kristen, Bandung: BMI, 2005. Mangunwijaya, Y.B., Politik Hati Nurani, Jakarta: Grafiti, 1997. Panikar, Raimondo., Dialog Intra Religius, Yogyakarta:Kanisius, 1994. Schumann, Olaf H., Dialog Antar Umat Beragama; Membuka Babak Baru dalam Hubu7ngan Antarumat Beragama, sebuah dokumentasi, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2008. ---------------------, Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, Jakartta: BPK-Gunung Mulia, 2004. Sibarani, Poltak YP., Bolehkah Gereja Berpolitik? Mencari Pola Hubungan Gereja dan Negara Yang Relevan di Indonesia. Jakarta : Ramos Gospel. Sitompul, Einar M. (editor), ”Kesimpulan seminarAgama-Agama XXII, Mencari Bentuk Teologi Politis di Indonesia Upaya Berkaca Diri”, dalam Teologi Politik: AgamaAgama dan Kekuasaan. Jakarta: BALITBANG-PGI, 2004. Page | 73
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014
Sumartana, Th., et.al, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2001. ---------------------, Agama, Politik dan Negara: perspektif agama-agama Abrahamik, dalam Agama dan Negara; perspektif Islam, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, Protestan, Yogyakarta: Interfidei, 2002. Woly, Nicolas J., Perjumpaan di Serambi Iman; Suatu Studi tentang Pandangan Para Teolog Muslim dan Kristen Mengenai Hubungan Antaragama, Jakarta:BPKGunung Mulia, 2008. B. Tesis, Majalah dan data statistik Mojau, Julianus., “Peran Politis Tokoh Agama Dalam Pilgub Maluku Utara”, dalam Tabloit PERCIS Halmahera edisi I, 2007. Puasa, Anselmus., Pendeta dan Partai Politik Suatu Tinjauan Teologi Sosial, Tesis, Yogyakarta: UKDW, 2005.
Rambe, Aguswati Hildebrandt, Islam dan Negara Indonesia: Sebuah analisa tentang peranan umat Islam dalam kehidupan berpolitik di Indonesia, Makalah yang dibawakan pada pertemuan nasional VII Forum Komunikasi Lembaga Perguruan Tinggi Indonesia, Makassar, 25 September 2001. Tjaja, Broery Doro Pater, Islam Sebagai Konteks Teologi Politik GMIH, makalah, Tobelo: Pasca Sarjana Universitas Halmahera, 2010. --------------------- dan Sirayandris Botara, Representasi Kepentingan Rakyat Atau Politisi? Studi kasus dinamika politik di Maluku Utara, Makalah Seminar Internasional kesepuluh, Percik Salatiga, 2009. Halmahera Utara Dalam Angka, Badan Statistik Kabupaten Halmahera Utara. 2008. C. Internet Muhammad Sholehuddin, Desakralisasi Politik Islam: www JIL Indonesia, 9 Agustus 2004
Page | 74