Jurnal Etika Politik Volume IV, Nomor 1, Mei 2016 ISSN 2088-6772 KONFLIK KELAS DALAM PENDEKATAN MARXIST THEORY (ANALISIS POLITIK GERAKAN ACEH MERDEKA, ORGANISASI PAPUA MERDEKA, DAN REPUBLIK MALUKU SELATAN) Cut Maya Aprita Sari Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala Email:
[email protected] Abstrak Beberapa konflik di Indonesia ditandai dengan munculnya gerakan sosial yang menuntut kemerdekaan. Penulisan artikel ilmiah ini berfokus pada tiga gerakan sosial di tida daerah berbeda di Indonesia. Gerakan sosial tersebut antara lain Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua, dan Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku. Konflik kelas yang terjadi di tiga daerah ini memiliki pola latar belakang yang sama yaitu kekecewaan terhadap pengelolaan Negara yang sentralistik serta distribusi kekayaan yang tidak merata. Tujuan penulisan artikel ilmiah ini adalah untuk menganalisis relasi antara Negara dan masyarakat dalam konteks konflik di antara GAM, OPM, dan RMS menggunakan pendekatan Marxist Theory. Hasil analisis menunjukkan bahwa konflik terjadi dideterminasi oleh aspek-aspek material. Mengacu kepada Marxist Theory, terdapat dua kelas yang saling berlawanan yaitu borjuis dan proletar. Dalam skop Negara Indonesia, kelas borjuis di representasikan oleh pemerintah Indonesia dan kelas Proletar adalah masyarakat daerah yang menuntut keadilan. Proses materialisme dialektika dengan tahapan ThesisAntithesis-dan Sintesis berlaku dalam ketiga konflik tersebut. Meskipun ketiga konflik menunjukkan pola latarbelakang yang sama dan tahapan Thesis serta Antithesis yang sama, namun ketiganya menunjukkan tahap sintesis yang berbeda. Konflik GAM dan Indonesia telah berada pada tahapan Sintesis berupa perdamaian, sedangkan OPM dan RMS masih berada pada Antithesis dengan perjuangan yang belum selesai. Kata kunci: Marxist Theory, class struggle, materialisme dialektika. | 34
Jurnal Etika Politik Volume IV, Nomor 1, Mei 2016 ISSN 2088-6772 Pendahuluan Hubungan yang tidak harmonis antara masyarakat dan Negara menjadi permasalahan penting di Indonesia. Interaksi dari kekuatankekuatan politik yang beranekaragam melahirkan beberapa konflik internal yang berkepanjangan dan mengancam integrasi bangsa. Beberapa konflik tersebut ditandai dengan kemunculan gerakan sosial yang menuntut kemerdekaan. Gerakan tersebut antara lain adalah antara lain adalah Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan Republik Maluku Selatan (RMS). Dalam konteks relasi antara Negara dan masyarakat, konflik tersebut dideterminasi oleh penguasaan pemerintahan yang sentralistik dengan distribusi kekayaan yang tidak merata. Bahar (1998: 187-188) berpendapat bahwa gerakan ini muncul disebabkan oleh reaksi serta ketidakpuasan terhadap pembangunan secara fisik, sosial, budaya, dan ekonomi yang tidak seimbang yang dijalankan oleh satu pemerintahan terhadap satu wilayah tertentu. Ketidakpuasan ini mewujudkan satu sentimen
kedaerahan yang tinggi sehingga menyebabkan mereka membentuk gerakan penentangan yang bertujuan untuk melepaskan diri dari pemerintah pusat. Distribusi kekayaan yang tidak merata menjadi poin penting yang memicu konflik tersebut. Berbagai usaha terus dilakukan untuk menuntut keadilan pemerataan kekayaan. Namun demikian, usahausaha ini dianggap oleh pemerintah sebagai ancaman sehingga mendapat tanggapan represif dengan alasan memberantas gerakan sparatisme. Prejudice yang terbangun antara masyarakat dan Negara kemudian berimplikasi terhadap konflik yang akhirnya merugikan kedua belah pihak. Pendekatan Marxist Theory dalam studi ilmu politik merupakan pendekatan yang masih sangat relevan untuk menjelaskan hubungan yang tidak harmonis antara Negara dan masyarakat. Penulisan artikel ilmiah ini bertujuan untuk melakukan analisis terhadap tiga konflik internal yang berlaku di Aceh, Papua, dan Maluku dengan menggunakan pendekan Marxist Theory.
| 35
Jurnal Etika Politik Volume IV, Nomor 1, Mei 2016 ISSN 2088-6772 dalam
masih berada dalam kemiskinan (Kontras Aceh, 2006: 17).
Sekitar tahun 1960an dan 1980an, beberapa gerakan sosial yang menuntut kemerdekaan muncul di Indonesia. Latar belakang didirikannya gerakan tersebut memiliki pola yang sama yaitu berkaitan dengan kekecewaan atas penguasaan yang sentralistik dan distribusi kekayaan yang tidak merata. Disparitas kekayan antara pusat dan daerah dirasakan sangat tinggi. Pusat menikmati hasil kekayaan yang berasal dari daerah sementara daerah mengalami kondisi kemiskinan. Beberapa gerakan tersebut adalah:
Keadaan ini menyebabkan Hasan Tiro mendirikan GAM pada 4 Desember 1976 dengan tujuan memerdekakan Aceh dari negara Indonesia. Eksistensi GAM yang semakin tinggi ditanggapi represif oleh pemerintahan Orde Baru dengan memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) bagi Aceh.
GAM, OPM, dan RMS konflik internal Indonesia
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) GAM muncul karena kekecewaan masyarakat Aceh terhatap pemerintah Indonesia. Pihak GAM memiliki pandangan bahwa Pemerintahan Indonesia didominasi oleh orang-orang beretnis Jawa sehingga kebijakan yang dihasilkan berorientasi kepada Jawa sentris. Pemerintah pusat juga melakukan eksploitasi terhadap kekayaan alam Aceh. Yang menjadi permasalahan ialah, eksploitasi ini tidak berimbang dengan kesejahteraan masyarakat Aceh. Sehingga masyarakat Aceh
Ribuan tentara dikirimkan ke Aceh di tahun 1989. Pemberlakuan DOM pada akhirnya tidak hanya bertujuan untuk menghentikan GAM, tetapi juga menyebabkan masyarakat sipil menjadi korban (Nurhasim, 2008: 9). Organisasi Papua Merdeka (OPM) OPM diresmikan pada tahun 1965. Tujuan dari OPM ialah untuk memerdekakan daerah papua bagian barat dari wilayah Indonesia. Latar belakang kemunculan OPM berawal dari perasaan OPM merasa bahawa mereka tidak memilki hubungan sejarah dengan bangsa-bangsa lain yang ada di Indonesia mahupun negara-negara Asia lainnya. Daerah Papua boleh menjadi bahagian dari Indonesia kerana hasil perjanjian antara Belanda dengan Indonesia | 36
Jurnal Etika Politik Volume IV, Nomor 1, Mei 2016 ISSN 2088-6772 sejak tahun 1969. Dalam perjanjian tersebut, Belanda menyerahkan wilayah Papua yang selama ini ia kuasai kepada Indonesia yang telah merdeka. OPM menganggap perjanjian ini sebagai penyerahan dari tangan penjajah lama (Belanda) ke tangan penjajah baru (Indonesia). Selain kaya akan kebudayaan, Papua mempunyai sumber daya alam yang berlimpah mulai dari gas, minyak, emas, perak, hasil-hasil laut dan tembaga. Namun demikian, pemerintah Indonesia melakukan sejumlah eksploitasi ke atas sumberdaya alam Papua dengan distribusi kesejahteraan yang tidak merata. Papua menempati posisi keempat tertinggi dalam Pendapatan Regional Domestik Bruto (PRDB) melalui pendapatan per kapita diatas 11 juta rupiah yang berasal dari industri yang terkait sumber daya alam. Namun hal ini menjadi ironi ketika melihat kondisi masyarakatnya yang sulit mengakses pendidikan, kesehatan dan ekonomi masyarakat. Papua dimasukkan ke dalam daerah dengan angka indeks kemiskinan yang tinggi dan daerah yang mempunyai tingkat perbedaan yang tinggi dengan Jakarta. (Sugandi, 2008: 4).
Berdasarkan sensus 2000, Papua pula mengalami ketidakseimbangan komposisi jumlah penduduk. Hal ini terjadi karena adanya transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Di daerah transmigrasi seperti Arso, jumlah penduduk asli sekitar 1000 orang di mana jumlah transmigran (nonPapua) sekitar 19.000 orang (Sugandi, 2008: 4). Keadaan ini menyebabkan penduduk asli teralienasi ari lingkungan sosialnya. Atas permasalahan ini, OPM memprakarasi Papua Barat untuk memerdekakan diri dari Indonesia. Republik Maluku Selatan (RMS) Selain GAM dan OPM, gerakan lain yang muncul atas pola kekecewaan yang sama adalah RMS. Gerakan ini di bentuk pada 25 April 1950. Namun pada November 1950, RMS berhasil di tumpas oleh pemerintah Indonesia. Pada tahun 1996, RMS kembali melakukan pergerakannya dan membentuk pemerintahan baru yang di kontrol dari Belanda oleh pimpinanpimpinan tertinggi nya. Sebab munculnya gerakan ini sebenarnya sama dengan kemunculan OPM. Belanda | 37
Jurnal Etika Politik Volume IV, Nomor 1, Mei 2016 ISSN 2088-6772 dianggap telah melakukan illegal transfer kepulauan Maluku kepada Indonesia. Ternyata sejak bergabung dengan Indonesia, masyarakat Maluku masih berada dalam kemiskinan sementara pemerintah Indonesia terus melakukan eksploitasi sumberdaya alam ke atas Maluku (MICHR: 2016). Relasi antara Negara dan Masyarakat dalam Marxist Theory Marx dalam teorinya melihat bahwa dunia menganut prinsip limited resources, karena prinsip sumber daya Alam yang terbatas, maka akan terjadi perebutan basis material yaitu melakukan ekspansi dengan cara akumulasi. Akumulasi dilakukan dengan cara saving dimana hasil dari saving tersebut dapat digunakan untuk kembali untuk melakukan ekspansi (Kusumarandu, 2006: 71-76) . Marx menitikberatkan bahwa konflik terjadi karena perebutan basis-basis material, karena sumberdaya alam yang terbatas, maka terjadilah clash antara kelompok-kelompok tersebut dimana orang yang sukses melakukan ekspansi akan menjadi “the master”. Gerak ekonomi tersebut menghasilkan kelompok yang gagal
dan yang menang, dimana kelompok yang menang merupakan kelas penguasa sebagai kekuatan yang menguasai produksi secara material dan kelompok yang kalah adalah kelas yang dikuasai (Chilcote, 2003: 169-170). Kelompok yang menang disebut sebagai kaum Borjuis dan yang kalah adalah kaum proletar. Marx kemudian menjelaskan bahwa Negara merupakan alat dari kelas-kelas tertentu. Dalam hal ini, kekuasaan politik ialah kekuasaan yang terorganisasi dari suatu kelas untuk menindas kelas yang lainnya. Marx menolak pandangan bahwa Negara adalah badan yang netral. Kelas borjuis dan proletar merupakan dua kelas yang saling berlawanan dimana Negara secara khusus bertugas untuk mengelola kepentingan bersama kaum borjuis secara keseluruhan. Kekuasaan negara yang besar yang dijalankan oleh pemerintah akan digunakan untuk menjalankan kepentingan mereka sendiri untuk menindas kaum proletar. Kondisi ini alamiah terjadi mengingan Negara memang merupakan kristalisasi dari alat penguasa untuk menindas masyarakat. | 38
Jurnal Etika Politik Volume IV, Nomor 1, Mei 2016 ISSN 2088-6772 Aspek ekonomi atau lebih sering disebut “material” oleh Marx menjadi pemicu konflik yang paling utama. (Ken Budha, 2006: 72-73). Hal ini digambarkan Marx dalam konsep Materialisme Historisyang menjelaskan bahwa gerak masyarakat dideterminasi oleh ekonomi. Dalam konsep ini, Marx juga menjelaskan tentang relasi antara base dan superstructure. Apabila diibaratkan sebagai sebuah bangunan, base digambarkan sebagai bangunan bawah yaitu basis-basis material. Sedangkan superstructure merupakan bangunan atas yang meliputi aspek-aspek seperti agama, politik,sosial, dan budaya. Base sebagai bangunan bawah harus berada dalam posisi stabil agar bangunan atas tidak rentan posisinya. Dengan kata lain, ekonomi, atau aspek material harus stabil jika menginginkan kondisi superstructure dalam keadaan stabil. Oleh karena itu, Marx menggambarkan bahwa dominannya, konflik akan terjadi karena tidak seimbangnya kondisi base atau kondisi material. Singkatnya, ekonomi yang tidak stabil akan memicu konflik.
Lebih lanjut Marx menyebutkan bahwa surplus value merupakan titik terjadinya konflik. surplus value merupakan nilai lebih atau keuntungan yang diperoleh dari hasil produksi. Surplus value tersebut membuat manusia mengenal peperangan untuk merebut maupun mempertahankannya (Chilcote, 2003: 172). Pendistribusian surplus value tergantung kepada penguasa produksi dengan kecendrungan pemilik modal akan mendapatkan surplusvalue yang lebih banyak daripada kelas pekerja (Ken Budha, 2006: 72-73). Dalam hal ini, Negara akan mendukung kelas-kelas yang berkuasa. Lebih lanjut lagi, marx menjelaskan, bahwa dalam masyarakat kapitalis akan muncul konsep alienasi yang digambarkan sebagai posisi terpinggirkan. Para pekerja yang dieksploitasi akan menghabiskan waktunya di pabrik dan diekploitasi tenaganya sehingga mereka terpinggirkan dari keluarga, lingkungan, maupun sistem sosial (Lyman Tower sargent, 2009: 182). Mereka tidak memiliki waktu untuk berinteraksi dengan dunia luar.
| 39
Jurnal Etika Politik Volume IV, Nomor 1, Mei 2016 ISSN 2088-6772 Ketika terjadi eksploitasi dan kemiskinan secara terus menerus dengan pembagian surplus value yang tidak merata, maka pada suatu saat akan muncul perjuangan kelas (Class Strugle). Menurut Marx, perjuangan kelas ialah bagian yang paling penting dalam Marxis Theory. Class struggle digambarkan Marx dengan konsep materialisme dialektika yang melalui proses Thesis – Antithesis – Sintesis (Lyman Tower sargent, 2009: 183). Thesis digambarkan sebagai kondisi awal masyarakat yang mengalami penindasan, ketidakadilan, alienasi, dan pembagian surplus value yg tidak merata. Ketika terjadi kemiskinan secara massive dan survival masyarakat mulai terganggu, maka masyarakat akan bergerak ke tahapan selanjutnya yaitu Antithesis. Antithesis merupakan posisi kedua yang menggambarkan kondisi perlawanan atas kondisi Thesis. Pada tahapan ini, masyarakat yang tidak puas biasanya akan membentuk gerakan sosial yang direpresentasikan dengan untuk melakukan class strugle. Tujuannya adalah mencapai posisi Sintesis.
Sintesis merupakan kondisi akhir dimana perlawanan berhasil dimenangkan oleh kaum proletar dan ketimpangan kelas dapat dihilangkan. Dalam tahapan ini Marx menginkan terciptanya masyarakat sosialis yang sama rata dengan kepemimpinan berada di tangan dictator proletariat. Masyarakat sosialis merupakan harapan akhir dari Marx dimana terwujudnya masyarakat tanpa kelas dan kepemilikannya terhadap barang produksi bersifat sosial. Hubungan produksi merupakan jalinan kerjasama dan saling membantu dari kaum buruh yang berhasil melepaskan diri dari eksploitasi. Sistem ini dirancang untuk memberi kebebasan bagi manusia untuk mencapai keadilan tanpa penindasan. R.N Carew Hunt (1961: 151) meyebutkan bahwa Marx juga menyatakan akhir dari dialektika ini ditandai dengan pemerintahan oleh diktator proletariat. Yaitu tentang bagaimana negara sosialis diatur oleh partai sebagai pengawal” kaum proletar” yang membimbing masa sebelum dan sesudah revolusi. Marx percaya bahawa jalan sejarah manusia harus melalui tahapan-tahapan seperti pertarungan kelas tanpa henti untuk menuju masyarakat komunis. | 40
Jurnal Etika Politik Volume IV, Nomor 1, Mei 2016 ISSN 2088-6772 Pada faktanya, marx menyebutkan sejarah manusia ialah sejarah pertarungan kelas. Analisis Konflik Kelas Pendekatan Marxist Theory
dalam
Marxist Theory secara jelas menguraikan relasi antara Negara dan masyarakat yang konfliktual. Hal ini dikarenakan sifat Negara yang tidak akan pernah berlaku netral. Marxist Theory pula menjelaskan bahwa dalam sebuah Negara terdapat dua kelas yang saling berlawanan yaitu kelas Borjuis dan Proletar. Dalam skop tiga konflik (GAM, OPM, dan RMS) dapat digambarkan posisi pemerintah pusat sebagai kelas borjuis sedangkan masyarakat daerah sebagai kelas proletar. Dalam hal ini, borjuis melakukan penindasan terhadap proletar dalam berbagai bentuk. Analisis konflik kelas dengan menggunakan pendekatan Marxist Theory dapat dilakukan dengan menguraikan konsep materialisme dialektika. Konsep ini diadopsi Marx dari pemikiran Hegel. Materialisme dialektika menjelaskan tentang proses dialektis yang berlaku dalam konflik antara masyarakat dan Negara melalui tiga tahapan yaitu Thesis – Antithesis – dan Sinthesis.
a. Thesis Melalui kasus GAM, OPM dan RMS, terdapat pola latarbelakang konflik yang sama. Ketiganya mengalami kekecewaan terhadap pemerintahan yang sentralistik. Ketiganya pula memiliki potensi sumberdaya alam yang melimpah namun dikelola oleh pusat dengan distribusi surplus value yang tidak merata. Aceh memiliki kekayaan sumber daya alam gas alam cair dan minyak bumi yang melimpah di Lhokseumawe. Daya tarik ini mengundang investor asing datang ke Aceh. Sejak saat itu gas alam cair diolah dikilang PT Arun Natural Gas Liquefaction (NGL) yang berasal dari Instalasi PT Exxon Mobil Oil Indonesia. Lhokseumawe telah dijadikan kawasan Industri Petro Kimia Modern. Aceh Utara juga dikenal sebgai penghasil beras utama di Provinsi Aceh. Namun, kekayaan yang tersimpan ini tidak dinikmati seluruh penduduknya. Hal ini terjadi karena pembagian surplus value yang tidak merata dari pusat ke daerah. Sehingga masih banyak penduduk miskin terpencil di pelosok-pelosok wilayah kabupaten. Pada Januari 2000 tercatat 59.192 keluarga yang tergolong prasejahtera di kabupaten | 41
Jurnal Etika Politik Volume IV, Nomor 1, Mei 2016 ISSN 2088-6772 Aceh Utara. Jumlah ini adalah yang tertinggi diantara 10 kabupaten dan kota di provinsi NAD (Kontras, 2006: 33). Thesis merupakan kondisi awal proletar yang mengalami proses pemiskinan, penindasan, alienasi, serta pembagian surplus value yang tidak merata. Marx menyebutkan bahwa seharusnya setiap orang mempunyai hubungan yang sama terhadap sarana produksi, sehingga tidak ada eksploitasi dalam bentuk apapun dan karenanya akan terbentuk masyarakat yang lebih adil dan sederajat (Marsh and Stoker, 2002: 189). Kondisi ini dialami oleh Aceh, Papua dan Maluku. Keberadaan wilayah industri di Aceh Utara sangat merugikan masyarakat dalam hal ganti rugi tanah, PT Arun hanya meberikan harga antara Rp.100-180/m sementara PT AAF memberikan harga RP.300-350/m dan pada tahun 1980 PT PIM memberikan harga antara Rp.800-1.200/m bahkan masyarakat ditakut-takuti dan diteror untuk menyerahkan tanah, sebagian kemudian ditempatkan dilokasi penampungan yang jauh dari desa asal dan mata pencaharian mereka (Kontras, 2006: 31-32). Dengan pembangunan industri di Aceh Utara,
orang Aceh terusir dari wilayahnya sendiri. Pemerintah malah meningkatkan transmigrasi ke Aceh yang terdiri dari personil militer dan Pegawai Negri dan tempat lain di Indonesia, khususnya dari Pulau Jawa. Marx menggambarkan kondisi ini dengan istilah alienasi yaitu kondisi keterasingan dan terkucil dari sistem sosial (Kymlicka, 2004: 250). Papua mengalami hal yang sama. Mengutip data pada sub-bab diatas, Papua menempati urutan keempat dengan tingkat PRDB tertinggi dengan pendapan perkapita diatas 11 juta per tahun. Hal ini berbanding terbalik dengan sulitnya masyarakat mengakses pendidikan, kesehatan dan ekonomi rakyat. Dalam aspek kesehatan berdasarkan survey tahun 1997 misalnya, angka kematian bayi adalah 65 di setiap 1000 kelahiran, dan angka kematian anak adalah 30 per 1000 (Sugandi, 2008: 4). Dalam Marxist Theory dijelaskan bahwa Negara senantiasa melakukan eksploitasi kepada kaum proletar dengan pembagian surplus value yang tidak merata. Kasus Papua memperlihatkan penumpukan surplus value di tangan borjuis. Sedangkan proletar masih mengalami kemiskinan.
| 42
Jurnal Etika Politik Volume IV, Nomor 1, Mei 2016 ISSN 2088-6772 Permasalahan lain di Papua adalah transmigrasi yang berlaku di daerah Aroso menyebabkan ketidakseimbangan demografi. marginalisasi tampak antara penduduk asli dan transmigran yang berasal dari luar Papua. Kondisi alienasi terwujud disini. Adanya transmigrasi menyebabkan penduduk asli merasa terasing dan berkurang ruang geraknya. Pembagian surplus value dan alienasi juga terjadi di Maluku. Meskipun Maluku memiliki sumberdaya alam yang melimpah, mayoritas masyarakatnya masih hidup dibawah kemiskinan yang meningkat 30% sejak tahun 2004 (MICHR: 2016) b. AntiThesis AntiThesis merupakan reaksi atas kondisi thesis. Reaksi ini ditunjukkan dengan perlawanan melalui pembentukan gerakan sosial seperti GAM, OPM, dan RMS. Ketiga gerakan ini menolak kondisi Thesis dan berjuang untuk mendapatkan kemerdekaannya masing-masing melalui class struggle. Apabila dikaitkan dengan Marxist Theory, class struggle terjadi ketika masyarakat merasa survivalnya
terganggu dan terjadi proses kemiskinan secara massif. Kesamaan kepentingan ekonomi (dan pertentangan kepentingan ekonomi dengan orang lain) akan mempersatukan orang menjadi sebuah kelas sosial dan mempertentangkan mereka dengan anggota kelas sosial yang lain. Untuk mempertahankan kepentingan ekonomi mereka, kelas sosial memasuki perjuangan kelas dengan kelas yang berlawanan (Sztompka, 2008: 189). Struktur ekonomi merupakan penggerak perubahan sosial, hal ini dikarenakan ekonomi merupakan hal yang paling penting dan menjadi dasar segala perilaku masyarakat termasuk melakukan perjuangan kelas dan mengadakan perubahan sosial (Salim, 2002: 30).
c. Sintesis Sintesis merupakan tahapan terakhir yang menginginkan terbentukanya masyarakat tanpa kelas yang sama rata. Dapat dilihat bahwa baik GAM, OPM, dan RMS sama-sama telah meleewati tahap Thesis dan AntiThesis. namun | 43
Jurnal Etika Politik Volume IV, Nomor 1, Mei 2016 ISSN 2088-6772 ketiganya menunjukkan tahap sintesis yang berbeda. Konflik GAM dan Indonesia telah berada pada tahapan Sintesis berupa perdamaian. Sedangkan OPM dan RMS belum mencapai tahapan Sintesis dan masih melakukan perjuangan. Perjuangan kelas yang dilakukan oleh GAM menghasilkan perubahan sosial, yang disebut Marx sebagai upaya untuk membebaskan manusia dari belenggu kelas dan kemudian ditangkap maknanya sebagai ‘revolusi’ (Salim, 2002: 27). Perubahan sosial akan menghasilkan redistribusi kesejahteraan agar lebih merata dan adil. Dalam hal ekonomi, Aceh lebih diperhatikan serta sumber daya alam Aceh yang berada diteritorial Aceh berhak dikuasai Aceh sebanyak 70% (UUPA, 2006: 186-199). Kesimpulan Marxist Theory merupakan teori yang relevan dalam menjelaskan relasi kekuasaan antara masyarakat dan Negara. Dalam hal ini, Marx menuangkannya kedalam beberapa konsep penting yaitu: Pertama, adalah Materialisme Historis yang menjelaskan bahwa gerak masyarakat dideterminasi oleh ekonomi. Hal ini digambarkan dengan relasi antara
base dan superstructure. Base merupakan basis-basis material yang harus dijaga kestabilannya agar superstructure berada dalam keadaan yang stabil pula. Kedua, Alienasi yang merupakan kondisi keterasingan kaum proletar dari sistem sosialnya. Ketiga adalah surplus value yang merupakan keuantungan atau nilai lebih dari proses produksi yang tidak didistribusikan secara merata. Hal ini berkaitan dengan basis material. Distribusi yang tidak merata menyebabkan munculnya kekecewaan yang berakhir dengan class struggle. Keempat yaitu Materialisme Dialektika yang menggambarkan proses dialektis dalam konflik kelas. Materialisme Dialektika terdiri dari tahapan Thesis-AntiThesis-dan Sintesis. Thesis adalah kondisi awal berupa kekecewaan, penindasan, pembagian surplus value yang tidak merata dan alienasi. AntiThesis merupakan kondisi perlawanan terhadap Thesis yang diwujudkan dengan membentuk gerakan sosial dan melakukan class struggle. Harapannya adah mencapai Sintesis yaitu masyarakat tanpa kelas yang diperintah oleh dictator proletariat. | 44
Jurnal Etika Politik Volume IV, Nomor 1, Mei 2016 ISSN 2088-6772 Hasil analisis dapat menjelaskan bahwa baik GAM, OPM, maupun RMS memiliki pola latarbelakang konflik yang sama yaitu kekecewaan terhadap pemerintah pusat. Ketiganyaa pula telah berada pada tahapan AntiThesis. Namun hanya GAM yang telah mencapai tahap Sintesis sementara OPM dan RMS masih melanjutkan perjuangannya. Daftar Rujukan Bahar, Safroedin. (1998). Sumbangan Daerah dalam Proses Nation Building dalam Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Marsh, David dan Stoker, Gerry. (2002). Theory and Methods in Political Science. Bandung: Nusa Media, Hunt, R. N Carew. (1961). The Theory And Practice Of Communism. New york: The Macmillan Company. Kusumandaru, Ken Budha. (2006). Karl Marx ,Revolusi dan sosialisme. Yogyakarta: Resist Book.
Kontras Aceh. (2006). Aceh Damai Dengan Keadilan, Mengungkap Kekerasan Masa Lalu. Jakarta: Kontras. Kymlicka, Will. (2004). Pengantar Filsafat Politik Kontemporer, Kajian Khusus atas teori-teori Keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Moluccas International Campaign For Human Rights. (2016). These Are The Moluccans Islands. http://www.michr.net/index.ht ml dan http://www.michr.net/continu ation-these-are-the-moluccanislands-2.html diakses 22 Agustus 2016. UU RI No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Bandung: Fokus Media 2006. Yulia Sugandi. (2008). Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua-Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung. http://library.fes.de/pdffiles/bueros/indonesien/06393. pdf diakses pada 22 Agustus 2016.
| 45
Jurnal Etika Politik Volume IV, Nomor 1, Mei 2016 ISSN 2088-6772 Sztompka, Piotr. (2008). Perubahan Sosial. Prenada.
Sosiologi Jakarta:
Sargent, Lyman Tower. (2009). Contemporary Political Ideologies Aacomparative analysis. United States: Wadsworth. Nurhasim, Moch. (2008). Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka, Kajian Tentang Konsensus Normati antar RI-GAM
dalam Perundingan Helsinki. Jakarta: Pustaka Pelajar. Ronald H. Chilcote. (2003). Teori Perbandingan Politik,Penelusuran Paradigma. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Salim, Agus. (2002) Perubahan Sosial, Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi kasus Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
| 46