JURNAL ∑IGMA Volume 1, Nomor 2, Maret 2016
ISSN : 2502-0919
Sufijati Rifai
Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar Fisika melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share Siswa 35-40 Kelas X SMA Negeri 1 Pamekasan 2014/2015
Suroso
Peningkatan Daya Ingat terhadap Pelajaran Matematika 41-46 melalui Penggunaan Media Pembelajaran
Septi Dariyatul Hasil Belajar Matematika antara Siswa yang Diajar Aini dan Sri Menggunakan Strategi Pemecahan Masalah Model Polya 47-51 Indriati Hasanah dengan Strategi Pembelajaran Ekspositori Harfin Lanya
Pengaruh Strategi Pembelajaran PQ4R terhadap Hasil Belajar 52-56 Matematika pada Pokok Bahasan Bangun Ruang Sisi Datar
Ema Surahmi
Representasi Siswa SMA dalam Memahami Konsep Fungsi 57-63 Kuadrat Ditinjau dari Gaya Kognitif (Visualizer – Verbalizer)
Agus Subaidi
Self-Efficacy Siswa dalam Pemecahan Masalah Matematika
64-68
PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR FISIKA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE SISWA KELAS X SMA NEGERI 1 PAMEKASAN 2014/2015 Sufijati Rifai SMA Negeri 1 Pamekasan Email :
[email protected] Abstrak : Sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan alam yang mendasari perkembangan teknologi maju, peran Fisika semakin penting dalam kehidupan akan tetapi akibat kemasan pembelajaran yang kurang tepat membuat Fisika terkesan menjadi pelajaran yang sulit di mata siswa. Kesan ini membuat motivasi belajar siswa menjadi rendah. Motivasi yang rendah ini terindikasi dengan aktivitas belajar yang rendah pula. Sebagai akibatnya hasil belajar Fisika juga tidak memuaskan. Didorong untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa, model belajar koorperatif tipe think pair share diterapkan. Karakteristik model belajar berpasangan yang mengutamakan berfikir sebagai langkah awal mengumpulkan konsep atas masalah, diteruskan dengan saling bertukar ide secara berpasangan, kemudian berbagi dengan seluruh pasangan di kelas, diharapkan menjadi pemicu terjadinya proses berfikir dan beraktivitas siswa baik dalam rangka memahami materi maupun memperkaya ide-ide tentang topik bahasan.. Selain terjadi tawar menawar ide yang menjadi pengayaan, akan berdampak pada tumbuhnya pemahaman siswa, pada akhirnya akan meningkatkan hasil belajar. Setelah memalui dua siklus pembelajaran dengan model belajar think pair share, hasil analisa data yang dijaring melalui pengamatan menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan aktivitas belajar siswa menjadi cukup baik. Demikian juga hasil analisa data yang dijaring melalui test, diperoleh bukti bahwa hasil belajar siswa mengalami peningkatan. Kata Kunci : Aktivitas, Hasil Belajar Fisika dan Think Pair Share
aktif, hal tersebut dibuktikan dengan rendahnya kontribusi siswa saat proses pembelajaran berlangsung. Di samping itu, hasil belajar siswa di kelas tersebut menunjukkan hasil yang tidak memuaskan. Jika hal tersebut dibiarkan tentu siswa yang tidak mampu semakin ketinggalan yang akhirnya akan berdampak pada ketercapaian hasil belajar tidak maksimal. Dari hasil penilaian di awal semester 2 sebelum pelaksanaan penelitian diperoleh hasil belajar siswa seperti pada table 1 berikut ini.
PENDAHULUAN Sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan alam yang mendasari perkembangan teknologi maju, maka peran pelajaran Fisika dalam kehidupan semakin penting sehingga praktis kebutuhan siswa akan penguasaan ilmu Fisika semakin diperlukan. Dari pengalaman dan refleksi dalam pembelajaran Fisika di awal semester 2 di kelas X.IPA.B di SMA Negeri 1 Pamekasan tahun pelajaran 2014/2015 ditemui bahwa aktivitas siswa dalam mengikuti proses pembelajaran Fisika kurang No 1 2 3
Tabel 1. Hasil belajar siswa Kompetensi dasar Rata-rata 7.1 Menguasai konsep suhu dan kalor 63,70 7.2 Mengukur suhu dan kalor 61,80 7.3 Menghitung kalor 60,50 Rata-rata 62,00
Dari kenyataan tersebut, perlu adanya alternatif penyelesaian sedini mungkin sehingga mata pelajaran Fisika terkesan lebih menyenangkan sehingga siswa semakin merasa senang dalam belajarnya. Lebih dari itu, hasil belajar juga jauh dari
Ketuntasan 75 % 67 % 55 % 65.67 %
yang diharapkan. Untuk mengatasi masalah tersebut, dipilih alternatif pemecahan dalam bentuk pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) yang dikembangkan oleh Kagan dalam (Lie, 2002). Tipe pembelajaran ini mengajarkan siswa untuk lebih mandiri 35
36|∑IGMA, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016, Hlm 35-40
dalam mengerjakan soal-soal yang diberikan sehingga dapat membangkitkan rasa percaya diri siswa. Dalam model pembelajaran ini pula,siswa dapat bekerjasama dengan orang lain dalam kelompok kecil yang heterogen. Melalui model pembelajaran ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas praktek pembelajaran karena pembelajaran lebih bermakna dan menyenangkan, dan siswa yang kurang mampu terbantu dalam kelompoknya untuk ikut berpikir, berdiskusi dengan siswa yang lebih mampu sehingga dapat menyelesaikan setiap masalah sehingga proses pembelajaran berlangsung lebih aktif. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, permasalahan dalam penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1) Model pembelajaran Koperatif tipe Think Pair Share yang bagaimanakah yang dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas X.IPA.B SMA Negeri 1 Pamekasan Tahun Pelajaran 2014/2015?; dan 2) Bagaimana peningkatan hasil belajar siswa kelas X.IPA.B SMA Negeri 1 Pamekasan Tahun Pelajaran 2014/2015 setelah mengikuti proses Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share? Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini, yaitu untuk mendiskripsikan: 1) model pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share yang dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas X.IPA.B SMA Negeri 1 Pamekasan Tahun Pelajaran 2014/2015; dan 2) peningkatan hasil belajar siswa kelas X.IPA.B SMA Negeri 1 Pamekasan Tahun Pelajaran 2014/2015 setelah mengikuti proses pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share. Dengan karakter yang dimiliki, model pembalajaran tipe Think Pair Share diyakini akan dapat; 1) meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa karena mereka mendapatkan kesempatan untuk berbagi ide melalui proses berbicara berbagai ide-idenya (Pressley 1992), 2) meningkatkan komunikasi personal para siswa yang sangat penting bagi siswa dalam rangka menyiapkan, mengorganisir, dan menguasai ide-ide (Pimm 1987), dan 3) membangun cara belajar siswa sendiri (Cobb et al. 1991). Menurut Sudjana (2004:61) keaktifan para siswa dalam kegiatan belajar mengajar merupakan salah satu krateria yang dapat
digunakan untuk menilai proses belajar mengajar. Keaktifan tersebut dapat dilihat dalam hal: a).turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya, b).terlibat dalam pemecahan masalah, c). bertanya kepada siswa lain atau kepada guru apabila tidak memahami persoalan yang dihadapi, d) berusaha mencari informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah, e) melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru, f) menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperolehnya, g) melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah yang sejenis, h) kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang diperoleh dalam menyelesaikan tugas atau persoalan yang dihadapinya. Terkait dengan hasil belajar, Gagne (dalam Ratna Wilis Dahar ,1991:135) membagi lima kategori hasil belajar yaitu : a). keterampilan intelektual, b). strategi kognitif, c). sikap, d). informasi verbal, e). keterampilan motorik. Dari kelima tersebut diatas tiga diantaranya merupakan hasil belajar menurut Bloom yaitu ranah kognitif , ranah afektif dan ranah psikomotor. Melalui kajian berbagai referensi, diperoleh kerangka pemikiran menyangkut model pembelajaran tipe Think Pair Share dengan tahapan sebagai berikut: a) Tahap1: Thinking (berpikir). Guru memberikan dasar-dasar konsep secara singkat dan mantap. Penguatan terhadap konsep dilakukan guru dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan. Curah pendapat dilakukan untuk menggali ide-ide sekaligus sebagai latihan curahan pendapat. Masing-masing siswa diminta untuk memikirkan jawaban pertanyaan atau isu tersebut secara mandiri untuk beberapa saat kemudian dituangkan dalam konsep jawaban masing-masing di atas kertas; b) Tahap 2: Pairing (berpasangan), yaitu siswa membentuk paangan belajar. Ide-ide yang disepakati selanjutnya dikumpulkan atas dasar masalah yang diajukan oleh guru dan dituangkan dalam selembar kertas sebagai hasil diskuisi maisng-masing pasangan; c) Tahap 3: Sharing (berbagi). yaitu berbagi jawaban kepada kelas. Berbagi ide ini dilakukan oleh setiap pasangan yang ditunjuk berdasarkan lotting.Pasangan lain yang dapat menambahkan ide-ide dari pasangan lain baik pada saat presentasi maupun pada saat sesi tanggapan dengan menulis pada
Rifai, Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar|37
lembaran kertas lain dari hasil kerjanya pasangan. Selanjutnya seluruh pasangan melaporkan hasil kerja pasangannya dan catatan hasil berbagai dengan pasangan lain.
rencangan penelitian tindakan kelas yang dilakukan melalui dua siklus dengan mengambil latar penelitian di kelas X IPA B SMA Negeri 1 Pamekasan semester 2 tahun pelajaran 2014/2015. Teknik dan alat pengumpulan data dalam penelitian ini disesuaikan dengan jenis data yang diperlukan yaitu seperti pada tabel 2 berikut.
METODE PENELITIAN Rancangan penelitian yang dipilih untuk mengatasi masalah ini adalah
No
Jenis Data
1
Aktivitas belajar siswa
2
Hasil belajar siswa
Tabel 2. Jenis Data Metode yang Instrumen Sumber digunakan Penelitian Data Lembar Siswa Observasi Observasi Tugas Siswa Tes Tes hasil belajar
Data aktivitas siswa dianalisis secara diskriptif kualitatif berdasarkan hasil observasi dan refleksi . Data hasil observasi diolah dengan rumus: (n1 X 1 ) + ( n2 X 2 ) + ( n3 X 3 ) skor (X) = (banyaknya siswa) x (banyaknya item)
(Sadra, dkk , 1996,42 ) Keterangan : ni = banyaknya siswa yang mendapatkan skor ke i ( i = 1,2,3). Dari data pada pedoman observasi (pada lampiran I) didapat skor tertinggi ideal = 3 dan skor terendah ideal = 1, dengan demikian mean ideal (Mi) dan standar deviasi ideal(SDi) dapat dihitung sebagai berikut : Mi = 1/2 ( 3 + 1 ) = 2 SDi = 1/6 ( 3 – 1 ) = 0,33 sehingga penggolongan aktivitas menjadi tabel 3 sebagai berikut: Tabel 3. Kriteria Aktivitas Belajar siswa No Skor Kualifikasi 1 X ≥ 2,495 Sangat Aktif 2 2,165 < X ≤ 2,495 Aktif 3 1,835 < X ≤ 2,165 Cukup Aktif 4 1,505 < X ≤ 1,835 Kurang Aktif 5 X < 1,505 Sangat Kurang Aktif Keberhasilan pada aspek aktivitas kegiatan siswa ditentukan jika skor minimal berada pada kategori cukup aktif dengan skor yang diperoleh 1,835 < X ≤ 2,165. Sedang data terkait dengan hasil belajar siswa ditentukan dengan tercapaianya Kriteria
Siswa
Tes
Waktu Pelaksanaan Setiap pertemuan Di akhir siklus 1 (pertemuan 3) Di akhir siklus 2 (pertemuan 7)
Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 68, ketuntasan secara klasikal dicpai jika secara 85 % siswa telah memperoleh nilai 68. PEMBAHASAN Deskripsi Siklus I Kegiatan inti pada setiap pertemuan diawali dengan menyampaikan materi, tujuan pembelajaran dilanjutkan dengan membentuk pasangan kelompok yang terdiri dari orang yaitu siswa kategori mampu dan siswa kategori kurang mampu. Penentuan didasarkan analisis hasil ulangan sebelum penelitian. Kelompok 1 terdiri dari 1A dan 1B , kelompok 2 terdiri dari 2A dan 2B dst. artinya A tergolong siswa yang mampu dan B tergolong siswa kurang mampu sehingga terbentuk 18 pasangan. Setelah terbentuk pasangan, siswa diberikan permasalahan dalam bentuk pertanyaan yaitu : a) pertemuan I; Jelaskan perubahan wujud yang terjadi pada es jika dipanaskan, b) pertemuan II; Dengan tujuan apakah kaca dengan bingkainya dibuat agak longgar? Pada pertemuan III, siswa diberi pertanyaan ; Jelaskan apa yang dimaksud dengan azas black? dan pertemuan IV ; jelaskan perbedaan konveksi, konduksi dan radiasi !. Selama proses diskusi kelompok dilakukan pengamatan pada aktivitas siswa yang penilaiannya diberikan pada kelompok tersebut. Selama 5-10 menit kegiatan dilanjutkan dengan penyampaian hasil diskusi secara bergiliran. Untuk pertemuan I dilakukan sebanyak 4 kelompok, pertemuan II sebanyak 7 dan pertemuan sebanyak III 4
38|∑IGMA, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016, Hlm 35-40
kelompok hingga semua kelompok dapat menyampaikan gagasannya. Dari hasil diskusi, guru menambahkan materi yang belum diungkap siswa, yaitu “mengapa pada saat terjadi perubahan wujud zat, suhu zat tetap?” Hasil Pengamatan Selama proses tindakan, dilakukan pengamatan dengan menggunakan lembar observasi dan memeriksa hasil ulangan yang dianalisis dalam daftar analisis hasil belajar seperti pada lampiran 4 dan analisis tersebut dimasukkan ke daftar nilai hasil belajar seperti pada lampiran 5 hingga diperoleh data sebagai berikut: a) Aktivitas siswa. Hasil analisis data aktivitas siswa kelas X IPA-B SMA Negeri 1 Pamekasan yang mengikuti pembelajaran Fisika menggunakan model kooperatif Tipe Think-Pair-Share untuk Kompetensi dasar 7.4 Menguasai suhu dan kalor, dapat dijelaskan sebagai berikut. Skor rata-rata aktivitas siswa yang diperoleh pada siklus I adalah 1,80 berada pada kategori kurang aktif. b) Hasil belajar siswa. Hasil analisis hasil belajar Fisika siswa kelas X IPA-B SMA Negeri 1 Pamekasan yang mengikuti pembelajaran Fisika menggunakan model Kooperatif Tipe Think-Pair-Share untuk Kompetensi dasar 7.4 Menguasai suhu dan kalor dapat disajikan pada tabel 4. Tabel 4. Hasil Analisis Data Hasil Belajar Siswa Pada Siklus I Kelas Indikator Skor X IPA-B
Rata-rata Ketuntasan Klasikal
66,93 77 %
Berdasarkan data pada table 4.1 diatas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa X IPA-B SMA Negeri 1 Pamekasan sebagai berikut. rata-rata hasil belajar yang dicapai besarnya 66,93 dengan ketuntasan klasikal 77% ini menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar yang sebelumnya 62,00. Namun hasil tersebut belum mencapai ketuntasan minimal yang diharapkan. Refleksi Siklus I. Berdasarkan hasil observasi dan hasil belajar siswa selama pelaksanaan pembelajaran pada siklus I, didapat bahwa pada awal pelaksanaan model pembelajaran
Kooperatif Tipe Think-Pair-Share ditemukan beberapa hambatan diantaranya a). ada kelompok yang belum maksimal dalam kerjasam kelompok untuk meemecahkan masalah yang diberikanakbat dari pembagian kelompok yang kurang merata tingkat kemampuan sehingga dalam melaksanakan aktivitas kelompok ada yang diam dan ada yang aktif, b). belum terbiasanya siswa menyampaikan ide akibat dari adanya rasa malu dalam mengemukakan pendapat sehingga apa yang dipikirkan dengan apa yang sampaikan tidak sesuai. Hal ini dianggap sebagai bagian dari kendala psikologis siswa; dan c). Pengelolaan kelas yang kurang optimal karena belum terbiasa. Hambatan-hambatan tersebut dijadikan bahan pertimbangan dalam menyusun kegiatan pembelajaran pada siklus kedua. Deskripsi Siklus II Hasil Pengamatan Dari hasil observasi , hasil belajar dan refleksi pada siklus I maka untuk kegiatan pembelajaran pada siklus kedua dengan mengisi lembar observasi untuk aktivitas siswa dan lembar daftar hasil belajar siswa , diperoleh data sebagai berikut: a) Aktivitas siswa. Hasil analisis data aktivitas siswa kelas X IPA-B SMA Negeri 1 Pamekasan yang mengikuti pembelajaran Fisika menggunakan model kooperatif tipe Think-Pair-Share untuk Kompetensi dasar 8.1 Menguasai hukum fluida statis, dapat dijelaskan sebagai berikut. Skor rata-rata aktivitas siswa yang diperoleh pada siklus I adalah 2,01 berada pada kategori cukup aktif. b). Hasil belajar siswa. Hasil analisis hasil belajar Fisika siswa kelas X IPA-B SMA Negeri 1 Pamekasan yang mengikuti pembelajaran Fisika menggunakan model Kooperatif Tipe Think-Pair-Share untuk Kompetensi dasar 8.1 Menguasai hukum fluida statis dapat disajikan pada table berikut. Tabel 5. Hasil Analisis Data Hasil Belajar Siswa Pada Siklus II Kelas Indikator Skor X IPA-B
Rata-rata Ketuntasan Klasikal
73,25 87%
Berdasarkan data pada table 4.2 diatas maka dapat disimpulkan bahwa hasil
Rifai, Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar|39
belajar siswa X IPA-B SMA Negeri 1 Pamekasan sebagai berikut. Rata-rata hasil belajar yang dicapai besarnya 73,25 dengan ketuntasan klasikal 87% ini menunjukkan adanya peningkatan hasil belajaryang sebelumnya 66,93. Hasil tersebut tergolong sudah mencapai ketuntasan minimal yang diharapkan. Refleksi Siklus II. Berdasarkan hasil observasi dan hasil belajar selama pelaksanaan pembelajaran pada siklus II menunjukkan adanya peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa dengan memperkecil hambatan atau kendala yang dihadapi pada siklus I, yaitu tumbuhnya efektivitas komunikasi pada setiap kelompok pasangan karena mereka semakin terbiasa, disampikan itu heteroginitas kemampuan anggota kelompok pasangan yang merata semakin memotivasi aktivitas belajar siswa dan pada gilirannya mebauat mereka semakin paham. Semakin baiknya tingkat pemahaman siswa terhadap materi bahasan akan berdampak pada semakin baiknya hasil belajar. HASIL PENELITIAN Dari tahapan siklus yang dilaksanakan terkait dengan penerapan pembelajaran kooperatif tipe Think-PairShare (TPS) pada siklus I ada peningkatan peran aktif dalam kegiatan pembelajaran. Skor rata-rata aktivitas siswa yang diperoleh pada siklus I berada pada kategori kurang aktif dengan skor rata-rata 1,80 menjadi cukup aktif pada siklus II dengan skor 2,01. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbaikan proses walaupun masih kurang. Semua itu disebabkan antara lain: siswa selalu diberitahu agar siswa selalu bekerja dalam kelompoknya, melakukan interaksi dengan teman, interaksi yang terjadi antara siswa dengan guru, siswa yang bertanya dan kegiatan dalam memecahkan masalah. Untuk hasil belajar siswa berdasarkan analisis ulangan di dapat adanya peningkatan dari belum tuntas dengan perolehan 77 % pada siklus I menjadi tuntas pada siklus II dengan perolehan 87%. Berdasarkan hasil yang diperoleh secara umum penelitian ini dapat menjawab permasalahan dan tujuan yang
diharapkan yaitu : 1). dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa dan 2) dapat meningaktkan dari hasil belajar. Tidak hanya itu siswa menemukan pengetahuan yang dibangun sendiri dan peranan guru sebagai fasilitator dapat ditingkatkan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil olah data, hasil penelitian dapat ditarik simpulan sebagai berikut. 1). Penerapan model pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share dalam pembelajaran Fisika di kelas X IPA-B SMA Negeri 1 Pamekasan ternyata dapat meningkatkan aktivitas siswa dari kategori kurang menjadi cukup aktif. Dimana dominasi kegiatan siswa lebih menonjol dibanding dengan pada saat pembelajaran konevnsional seperti sebelumnya. 2). Penerapan model pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share dalam pembelajaran Fisika di kelas X IPA-B SMA Negeri 1 Pamekasan dapat meningkatkan hasil belajar yang dibktikan semakin banyaknya siswa yang dapat mencapai nilai sama dan atau melebihi KKM yaitu 68. Saran Berdasarkan temuan-temuan dan pembahasan hasil penelitian ini dapat dikemukakan saran-saran berikut. 1) Dengan model pembelajaran ini dapat memberikan model yang mudah , efektif dalam pengelolaan pembelajaran dikelas. Oleh sebab itu model penerapan pembelajaran think pair share dapat digunakan sebagai salah satu model pembelajaran baik untuk meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa maupun hasil belajarnya. 2). Untuk memperoleh kualitas pembelajaran yang lebih baik, maka sebaiknya guru sebaiknya: a) memiliki pemetaan siswa dari kelas atas dan kelas bawah, b) memadukan cara yang demokratis dalam menentukan pasangan, yaitu berdasar kelas aatas (A) dan bawah (B) dengan tetap memperhatikan hubungan emosionl masing-masing siswa. Jangan sampai terjadi pemasangan anak-anak yang masih memiliki kendala hubungan emosionl; dan c) selalu mengikuti perkembangan hubungan emosional antar siswa pada kelas yang diajar.
40|∑IGMA, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016, Hlm 35-40
DAFTAR PUSTAKA Ardiana, Leo Idra. 2003. Penelitian Tindakan Kelas: Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi Guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Reviewer oleh Bambang Yulianto, dkk. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Brown, H. Douglas. 2001. Teaching by Principles (2nd Ed). New York: San Francisco State University. Kisyani-Laksono.2007. Bahan Pendidikan dan pelatihan Penelitian Tindakan Kelas dan karya Ilmiah. Surabaya: Universitas Surabaya. Latief, Adnan Mohammad. Ph.D. 2004. Pembelajaran, Penilaian, dan Penelitian Bahasa Inggris. (Kumpulan Artikel Ilmiah). Malang. Universitas Negeri Malang. ……….., 2003. Jurnal Ilmu Pendidikan, Juni 2003, Jilid 10, nomor 2. Lie,
A. 2002. Gramedia ,Jakarta
Cooperative Wdyasarana
Learning, Indonesia
McNiff, Jean. 1988. Action Research. New York: Macmillan Education Ltd. Nurkancana, W dan Sunartana .1992. Evaluasi hasil belajar .Surabaya : Usaha Nasional. Soedarsono, FX. 1997. Rencana, Desain, dan Implementasi dalam Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: BP3SD, Dirjen Dikti. Susanto. 2002. Developing a Research Proposal, a practical Guidline. Surabaya. Fakultas Bahasa dan Seni, Jurusan bahas Inggris, Universitas Surabaya. -------------2010. Konsep Penelitian Tindakan kelas dan Penerapannya. Surabaya. Fakultas Bahasa dan Seni, Jurusan bahas Inggris, Universitas Surabaya. Sudjana, Nana. 2004. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung.Remaja Rosdakarya. Suharsimi, Arikunto, 2008. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi), cetakan kedelapan,Penerbit Bumi Aksara.
PENINGKATAN DAYA INGAT TERHADAP PELAJARAN MATEMATIKA MELALUI PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN Suroso Guru SMPN 2 Pamekasan Email :
[email protected] ABSTRAK Pelajaran matematika yang menurut banyak orang merupakan induknya ilmu pengetahuan dan merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan secara terus menerus selalu menjadi bahan kajian. Hal tersebut sejalan dengan kenyataan bahwa hasil belajar matematika cenderung kurang optimal. Contoh hal tersebut dapat dilihat hasil ulangan harian kelas IX SMP Negeri 2 Pamekasan.Pada pelajaran matematika siswa yang tuntas selalu tidak lebih dari 40 %. Agar hasil belajar siswa kelas IX dapat meningkat sesuai dengan tujuan yang diharapkan yaitu sebagian besar siswa ( 80% ) dapat tuntas belajar,maka perlu dilakukan tindakan kelas berupa penggunaan media pembelajaran dalam proses pembelajaran. Tindakan tersebut terdiri dari 3 siklus : yaitu siklus 1 guru menjelaskan dengan menampilkan media yang relevan dengan materi. Siklus 2 siswa diberi tugas membuat media sesuai yang di tugaskan guru. Siklus 3 siswa di beri tugas membuat media sesuai dengan kreatifitas siswa masing-masing.pada akhir tindakan di peroleh hasil sebagai berikut ; pada siklus 1 siswa yang tuntas belajarnya 60,42 % dan yang belum tuntas 39,58 %. Siklus 2 siswa yang tuntas 68.75% dan yang belum tuntas 31,25 %.dan siklus 3 siswa yang tuntas 64,58 % yang belum tuntas 35,42%. Dari hasil tersebut ternyata ketuntasan secara klasikal belum bisa tercapai namun tergambar adanya peningkatan persentase yang berkisar dari 65,02 % menjadi 68,75 % dan 64,58 % Kata Kunci :
kesukaranya lebih mudah. Jika dikaji lebih dalam hal tersebut bisa terjadi bukan hanya disebabkan oleh faktor siswa saja, melainkan juga dari pihak pengajar atau guru sendiri. Salah satu diantaranya guru pada saat proses pembelajaran kurang dapat menyampaikan hal hal yang bersifat abstrak kea rah yang lebih nyata/ kongkrit. Apabila hal tersebut dibiarkan berlarut-larut maka dapat berakibat pada daya ingat siswa terhadap pelajaran matematika akan tetap rendah,sehingga hasil belajar siswa akan tetap saja belum sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu pendekatan pembelajaran efektif yang dapat digunakan untuk meningkatkan daya ingat siswaa dalah pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran.menurut hasil penelitian Suharto (1990) bahwa prestasi belajar siswa yang menggunakan media pengajaran lebih baik dibandingkan pembelajaran yang tidak menggunakan media pembelajaran. Dengan memperhatikan uraian diatas, maka untuk memecahkan permasalahan rendahnya daya ingat siswa SMP Negeri 2 Pamekasan terhadap pelajaran matematika yang mempengaruhi rendahnya hasil belajar, maka dirasa perlu diadakan Penelitian Tindakan
PENDAHULUAN Dalam melaksanakan tugas sehari para guru mata pelajaran matematika sering menghadapi masalah tentang hasil belajar siswa yang belum sesuai dengan yang diharapkan. Menuerut catatan hasil ulangan harian kelas IX semester 1 tahun pelajaran 2013/2014 di SMP Negeri 2 Pamekasan, bahwa dalam suatu kelas siswa yang yang tuntas belajar tidak lebih dari 40% Dari hasil pengamatan sementara hal tersebut dapat terjadi dikarenakan oleh banyak hal, salah satu diantaranya adalah rendahnya daya ingat siswa terhadap konsep konsep matematika yang telah diajarkan, bahkan sering terjadi hari ini diajarkan dan mereka telah mengaku memahami atau telah dapat mengerjakan soal soal yang diberikan ternyata selang beberapa hari kemudian mereka disuruh mengerjakan soal yang sama ternyata merekan tidak dapat mengerjakan dengan benar semuanya, apalagi kalau soal diberikan beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian. Sebagai contoh banyak siswa kelas IX pada saat mengerjakan soal –soal UNAS tidak ingat tentang materi materi yang diajarkan pada saat kelas IX semester 1, materi kelas 2 apalagi materi kelas 1 meskipun tingkat 41
42|∑IGMA, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016, Hlm 41-46
Kelas sebagai upaya guru untuk meningkatkan daya ingat siswa SMP Negeri 2 Pamekasan sehingga hasil belajar siswa dapat meningkat.Dari uraian latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan suatu masalah yaitu : Apakah dengan menggunakan media pembelajaran pada saat mengajarkan matematika dapat meningkatkan daya ingat siswa sehingga hasil belajar siswa lebih meningkat? PEMBAHASAN 1. Pengertian Media Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harafiah berarti perantara, dan juga media merupakan wahana penyalur pesan atau informasi belajar. Sedangkan media pendidikan/media pembelajaran dalam matematika sering disebut dengan alat peraga. Dalam pembelajaran dapat terjadi salah komunikasi, dan hal ini bisa disebabkan oleh beberapa hal,diantaranya: (1) Guru kurang mampu dalam menyampaikan informasi. (2) Adanya perbedaan daya tangkap para siswa. (3) Adanya perbedaan ruang dan waktu. (4) Jumlah siswa dalam kelas yang relatif besar sehingga sulit dijangkau. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya salah komunikasi, maka diperlukan Media Pembelajaran yang menurut Darhim (1993) berfungsi: Menghindari kesalahan komunikasi Meningkatkan hasil proses belajar mengajar Membangkitkan minat belajar Menyajikan konsep matematika yang abstrak kedalam bentuk kongkrit Membantu daya ingat/daya tilik siswa Melihat hubungan antara konsep matematika dengan alam sekitarnya. Juga menurut Blacke dan Horalsen dalam Darhim (1993) dikatakan bahwa, media adalah saluran komunikasi atau perantara yang digunakan untuk membawa atau menyampaikan pesan dimana perantara ini merupakan jalan atau alat lalu lintas suatu pesan komunikator dan komunikan.
2.
Teori Belajar Belajar dalam pandangan teori modern adalah merupakan proses perubahan tingkah laku berkat interaksi dengan lingkungan. Jadi seseorang dikatakan melakukan kegiatan belajar, setelah iamemperoleh hasil yaitu terjadinya perubahan.Misalnya; dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti. Menurut toeri, belajar pada dasarnya dapat dibagi menjadi 3 yaitu: a. Teori psikologi daya atau formal disiplin. b. Teori psikologi assosiasi c. Teori psikologi organisme. Belajar menurut psikologi daya Jiwa manusia terdiri dari berbagai daya, seperti daya mengingat, daya berfikir dan daya mencipta, daya perasaan, daya keinginan dan daya kemauan. Daya akan berfungsi jika sudah terbentuk atau berkembang, oleh karena itu daya tersebut harus dilatih. Belajar menurut teori psikologi assosiasi Aliran psikologi ini terkenal dengan sebutan S-R Bond Theory yakni teori stimulus dan respons. Setiap stimulus akan menimbulkan respons atau jawaban tertentu. Ikatan stimulus dan respon ini akan bertambah kuat apabila sering mendapat latihan. Teori diatas dikemukakan oleh Thorndike. Belajar menurut teori psikologi Organisme (Gestalt). Menurut aliran ini, jiwa manusia adalah suatu keseluruhan yang berstruktur. Suatu keseluruhan bukan merupakan penjumlahan dari unsur-unsur, melainkan unsur-unsur itu berada dalam keseluruhan menurut struktur tertentu dan saling berinteraksi antara yang satu dengan yang lain.Disamping itu pioget dengan teori perkembangan intelektualnya mneyebutkan bahwa perkembangan anak mengikuti fasefase perkembangan sebagai berikut: 1. Tahap sensori motor (dari lahir sampai sekitar 2 tahun) 2. Tahap praoperasi (dari umur sekitar 2 tahun sampai umur sekitar 7 tahun) 3. Tahap operasi kongkrit (dari umur 7 sampai kira-kira 11 – 12 tahun) 4. Tahap operasi formal (dari umur 7 sampai dewasa). Periode untuk setiap tahap adalah rata-rata dan mungkin terdapat perbedaaan
Suroso, Peningkatan Daya Ingat|43
antara masyarakat yang satu dengan yang lain, antara anak yan satu dengan anak yang lain. Berdasar teori perkembangan intelektual dan psikologi belajar diatas maka mengingat kemungkinan siswa kelas IXSMP masih baru menginjak tahap operasi formal, maka hendaknya konsep atau topik-topik baru khususnya matematika supaya diperkenalkan menggunakan contoh-contoh yang kongkrit. Sejalan dengan itu, menurut pepatah cina dalam E.T Russeffandi (1984 hal 18) yang berbunyi :”saya mendengar...... saya lupa,saya melihat...........saya ingat dan saya melakukan.......... saya mengerti”.Menurut permendiknas nomer 22 tahun2006 bahwa dalam kegiatan pembelajaran, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental maupun sosial. 3. Hakekat Daya Ingat Teori belajar menurut psikologi daya seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa jiwa manusia terdiri dari berbagai daya dimana salah satu diantaranya adalah daya ingat.Hakekat dari daya ingat adalah kemampuan dari jiwa manusia untuk mengungkapkan atau mengaktualisasikan kembali hal-hal atau konsep-konsep yang telah diterima oleh jiwanya. Daya ingat dalam proses pembelajaran sangat berperan lebih-lebih dalam pembelajaran matematika, mengingat hakekat dari matematika merupakan ide-ide, struktur-struktur dan hubungannya yang abstrak (Herman Hudojo, 1979, hal 96). 4. Hasil Belajar Setiap saat dalam kehidupan manusia selalu mengalami proses belajar. Belajar dilakukan manusia baik secara formal maupun informal. Dalam proses belajar diharapkan akan diperoleh hasil belajar yang berupa perubahan tingkah laku baik dalam kognitif afektif maupun psikomotor menurut sumartono (1971) bahwa “prestasi belajar adalah suatu nilai yang menunjukkan hasil yang tertinggi dalam belajar yang dicapai menurut kemampuan anak dalam mengerjakan sesuatu pada saat yang tertentu pula”.
DESKRIPSI PROSES, HASIL DAN REFLEKSI 1. Karakteristik Kelas Siswa kelas IXD di SMP Negeri 2 Pamekasan dengan subjek penelitian sejumlah 36 siswa, terdiri dari 16 siswa lakilaki dan 20 siswa perempuan. Sedangkan tingkat kemampuan siswa sangat heterogen karena terdiri dari siswa yang pernah memperoleh peringkat 1 sampai dengan peringkat terakhir pada saat mereka duduk dikelas VII. 2. Tindakan, Hasil dan Rfleksi Siklus1 dilaksanakan pada tanggal 5 September sampai dengan tanggal 12September 2014 dengan materi yang diberikan adalah “Bagun Ruang sisi lengkung ”. Tindakan yang dilakukan adalah pendekatan pembelajaran melalui penggunaan media pembelajaran dengan langkah-langkah sebagai berikut: Guru menyajikan materi sesuai dengan rencana pelajaran yang telah dibuat sebelumnya. Pada tahap pendahuluan: sebagai introduksi, motivasi dan apersepsi guru menampilkan media pembelajaran berupa bermacam-macam bentuk bangun ruang, baik yang sudah dipersiapkan oleh guru maupun bentuk-bentuk bangun ruang yang ada dilingkungan sekitar dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian pada tahap pengembangan melaui diskusi informasi, siswa diminta untuk menunjukkan beberapa jenis bangun ruang dan unsur-unsur yang dimiliki oleh bangun ruang tersebut.Kemudian dengan mengamati unsurunsur yang dimiliki oleh bangun ruang tersebut, siswa dibimbing untuk mendapatkan rumus-rumus untuk menghitung luas bangun ruang dan diberi contoh menngunakannya. Pada tahap penerapan siswa disuruh mengerjakan latihan soal-soal yang sudah ditentukan baik yang ada pada buku paket maupun pada LKS, dan guru berkeliling untuk mengobservasi dan memberikan bimbingan bagi yang memerlukan. Hasil refleksi pada siklus 1 dapat dijabarkan sebagai berikut: pada awal-awal siklus, masih ada beberapa siswa yang masih grogi dalam menerima pelajaran, kemungkinan ini disebabkan adanya guru lain dalam kelas tersebut yang bertindak sebagai observer sehingga mereka merasa
44|∑IGMA, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016, Hlm 41-46
gerak geriknya diamati. Namun pada pertemuan berikutnya siswa sudah mulai terbiasa sehingga menurut catatan observasi: sebagian besar siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran terutama pada saat ditampilkan beberapa media pembelajaran dan mengamati unsur-unsurnya. Hasil ulangan harian menunjukkan siswa yang
tuntas belajarnya sebesar 60,42% dengan rata-rata kelas 65,2. Hasil tersebut belum mencapai target sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Hasil wawancara dan angket tentang sikap siswa mengenai pendekatan pembelajaran melalui penggunaan media jika dikaitkan dengan ketuntasan belajarnya dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Sikap dan Ketuntasan Belajar Siswa pada Siklus 1 Sikap/Tingkah laku siswa Jika Option/Jumlah Nilai PBM menggunakan Media Selalu Kadang - kadang Tidak ≥ 65 < 65 pembelajaran 60 66,7 33,3 Mudah mengingat materi 40 16,4 83,6 0 71 50 50 Mudah memahami materi 27 23 7 2 45 56 77 Mersa senang terhadap matematika 52 20 8 2 42 72 28 Merasa aktif dalam pembelajaran 56 41 59 2 Dari tabel 1 diatas, tergambar bahwa ditugasi untuk membuat media tertentu pendekatan pembelajaran dengan sesuai dengan tugas yang diberikan oleh menggunakan media dapat menumbuhkan guru; dengan harapan agar siswa dapat rasa dan sikap lebih mudah mengingat, melakukan dan sekaligus mengamati tentang memahami materi, senang dan merasa aktif tabung dan kerucut . Sedangkan hasil refleksi dalam proses pembelajaran matematika bagi pada siklus II ini dapat digambarkan sebagai sebagian besar siswa. Siswa yang memiliki berikut: pada awal siklus II masih banyak sikap tersebut tuntas dalam belajarnya, siswa yang kesulitan membuat media sendiri, meskipun harus diakui bahwa masih ada sehingga masih memerlukan bimbingan dari beberapa siswa yang belum memiliki sikap guru. Namun setelah beberapa kali mencoba, tersebut. Pada siklus II masih tetap akhirnya pada pertengahan siklus atau akhir menggunakan pendekatan yang sama dengan siklus mereka sudah terbiasa. Hasil ulangan upaya lebih meningkatkan sikap siswa agar pada siklus 2 menunjukkan bahwa siswa lebih mudah mengingat, memahami, senang yang tuntas belajarnya sebanyak 68,75% dan dan merasa aktif sehingga dapat yang belum tuntas sebesar 31,25% dan ratameningkatkan hasil belajarnya. rata kelasnya 70,69. Ketuntasan belajar Siklus II dilaksanakan pada tanggal secara klasikal belum dapat terpenuhi, namun 13September sampai dengan 19 september dibanding siklus I terjadi peningkatan yang 2014. Materi yang disajikan adalah pokok relatif tinggi yaitu 10,27%. Dari hasil bahasan tetap bangun ruang sisi lengkung wawancara dan angket tentang sikap siswa Tindakan yang dilakukan pada dasarnya terhadap pendekatan penggunaan media sama dengan siklus I, namun ada sedikit pembelajaran untuk meningkatkan daya ingat perbedaan, yaitu jika pada siklus I siswa jika dikaitkan dengan ketuntasan belajarnya, hanya melihat dan mengamati suatu media tampak seperti pada tabel 2. pembelajaran tetapi pada siklus II ini siswa
Suroso, Peningkatan Daya Ingat|45
Tabel 2.Sikap dan ketuntasan Belajar Siswa pada Siklus II. Option/Jumlah Sikap/Tingkah laku siswa Jika PBM menggunakan Media KadangSelalu Tidak pembelajaran kadang 69 Mudah mengingat materi 31 0 75 Mudah memahami materi 23 2 56 Mersa senang terhadap matematika 42 2 60 Merasa aktif dalam pembelajaran 38 2
Nilai ≥ 65
< 65
74 53 74 46 5 64 70 70 22 -
26 47 26 64 4 36 30 30 78 -
Tabel 3.Sikap dan ketuntasan Belajar Siswa pada Siklus IX. Option/Jumlah Nilai Sikap/Tingkah laku siswa Jika PBM menggunakan Media KadangSelalu Tidak ≥ 65 < 65 pembelajaran kadang 71 74,3 25,8 Mudah mengingat materi 29 25 75 0 75 72 28 Mudah memahami materi 23 36 64 2 58 69 31 Mersa senang terhadap matematika 36 55 55 4 67 70 30 Merasa aktif dalam pembelajaran 31 53 47 2 Dari tabel 2 diatas, tergambar bahwa dilakukan hampir sama dengan siklus I dan siswa yang memiliki sikap lebih mudah siklus II, hanya ada perubahan pada siklus mengingat, mudah memahami, senang dan III, yaitu siswa membuat media dengan merasa aktif dalam pembelajaran mengalami memilih sendiri media yang akan dibuatnya. peningkatan jika dibanding dengan siklus I. Misalnya: diantara mereka ada yang Dari siswa-siswa yang memiliki sikap membuat bentuk-bentuk bangun ruang sisi tersebut, sebagian besar tuntas belajarnya. lengkung dari kertas karton atau seng, Namun pada siklus II ada beberapa siswa sehingga mereka dapat mengerti syarat apa yang merasa tidak senang jika diberi tugas yang harus dipenuhi agar terbentuk bangun membuat media pembelajaran. Setelah ruang sisi lengkung. Hasil dan refleksi pada diadakan wawancara, siswa mengaku merasa siklus III, ada suatu hal yang menarik, yaitu mendapat kesulitan membuat media sendiri. sikap mereka mengalami kenaikan, tetapi Siklus III dilaksanakan pada tanggal rata-rata ulangan hariannya mengalami 21 September sampai dengan tanggal 26 penurunan jika dibandingkan siklus II.Hasil September 2014. Materi yang disajikan wawancara dengan siswa yang mengalami adalah tentang Kerucut. Tindakan yang penurunan nilai ulangan harian, pada
46|∑IGMA, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016, Hlm 41-46
umumnya mereka mengatakan bahwa pembelajaran.Meskipun harus diakui bahwa mereka mengalami kesulitan dalam siswa yang memiliki sikap tersebut belum menentukan ukuran untuk membuat jarring semuanya mengalami tuntas belajar.Mungkin jarring kerucut.Namun siswa yang memiliki hal ini disebabkan karena bervariasinya sikap mudah mengingat, memahami, senang kemampuan siswa dalam menerima dan dan aktif cendrung mengalami kenaikan menyerap materi yang disajikan. tuntas belajarnya.Mengenai sikap siswa dan Dari ketiga siklus tersebut diatas, ketuntasan belajar siswa dapat dilihat pada dapat kita ketahui bahwa fluktuasi persentase tabel 3. ketuntasan belajar selama pemberian Dari hasil tabel 3, tergambar bahwa tindakan bergerak dengan menunjukkan hingga siklus III sebagian besar masih kecendrungan adanya peningkatan meskipun merasa lebih mudah mengingat, memahami, tidak begitu tinggi.Fluktuasi ketuntasan senang dan merasa aktif jika belajar disajikan belajar dapat dilihat pada Grafik 1. dengan menggunakan media 75 70 65 60 55 UH 1 UH II UH IX Grafik 1. Fluktuasi Presentase Ketuntasan Belajar KESIMPULAN DAN SARAN 1. Pembelajaran matematika dikelas dengan penggunaan media pembelajaran dapat memberikan pengaruh yang cukup nyata untuk meningkatkan hasil belajar siswa di SMP. 2. Adanya sikap positif siswa terhadap pendekatan yang dilakukan 3. Adanya kecendrungan bertambahnya nilai presentase ketuntasan belajar yang berfluktuasi antara 60,42% dan 68,75%.
DAFTAR PUSTAKA Rusfendi, E.T. (1980). Pengajaran matematika modern untuk orang tua murid, guru dan SPG. Bandung: Tarsito Surya B, S. (1984). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali
4. Dalam mengunakan media pembelajaran dikelas sebaiknya guru menggunakan media yang benar-benar relevan dan telah dikenal siswa. 5. Dalam memberikan tugas kepada siswa untuk membuat media sebaiknya guru memperhatikan kemampuan para siswanya. 6. Apabila hingga pada akhir iklus IX ketuntasan belajar secara klasikal (> 85%) belum tercapai, maka tindakan perlu dilanjutkan pada siklus berikutnya. Surya
B, S. (1999). Rambu-rambu penyusunan proposal dan laporan action research. Surabaya: proyek PPM-SMP
Surya B, S. (1993). Garis-garis besar program pengajaran program SMP mata pelajaran kurikulum pendidikan dasar. Jakarta: Depdikbud
HASIL BELAJAR MATEMATIKA ANTARA SISWA YANG DIAJAR MENGGUNAKAN STRATEGI PEMECAHAN MASALAH MODEL POLYA DENGAN STRATEGI PEMBELAJARAN EKSPOSITORI Septi Dariyatul Aini Sri Indriati Hasanah Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Madura Alamat : Jalan Raya Panglegur 3,5 KM Pamekasan Email :
[email protected] Abstract: According to Polya problem solving is defined as an attempt to find a way out of a difficulty in order to achieve an objective that is not so easily achieved immediately. While the expository teaching strategy is a learning strategy that emphasizes the process of delivery of content directly from a teacher to a group of students in order for students to master the subject matter optimally. Meanwhile, one of the materials studied in mathematics is the derivative function. From the above, efforts to be made to select a better learning strategies used in teaching mathematics is to compare learning outcomes between students who are taught math using Polya model problem-solving strategies with expository teaching strategies on the subject of the derivative function. Apparently after research showed that there was no comparison learning outcomes in math between students taught using Polya model problemsolving strategies is taught by using the expository teaching strategy. Keywords: problem-solving strategies, expository teaching strategy, learning outcomes.
menghubungkan dengan kehidupan seharihari. Akibatnya, ketika anak didik lulus dari sekolah, mereka pintar secara teoritis, akan tetapi mereka miskin aplikasi. Dari beberapa komponen tersebut, ada satu komponen yang sangat menentukan dalam proses belajar mengajar yaitu strategi pembelajaran. Menurut Sanjaya (2007: 60), strategi pembelajaran adalah komponen yang juga mempunyai fungsi sangat menentukan. Keberhasilan pencapaian tujuan sangat ditentukan oleh komponen ini. Bagaimanapun lengkap dan jelasnya komponen lain, tanpa dapat diimplementasikan melalui strategi yang tepat, maka komponen-komponen tersebut tidak akan memiliki makna dalam proses pencapaian tujuan. Oleh karena itu, setiap guru perlu memahami secara baik peran dan fungsi strategi dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Penggunaan strategi yang baik dan benar akan berpengaruh baik terhadap proses belajar mengajar dan kemampuan peserta didik dalam memahami mata pelajaran khususnya matematika sehingga memungkinkan tercapainya hasil belajar yang gemilang bagi peserta didik. Selain itu penggunaan strategi belajar haruslah disesuaikan dengan pokok bahasan yang disampaikan. Oleh karena itu, setiap guru
PENDAHULUAN Perkembangan dunia yang kian pesat dan perubahan global dalam berbagai aspek kehidupan yang datang begitu cepat menjadi tantangan bagi bangsa dan negara dalam mempersiapkan generasi masa depan. Menghadapi dinamika itu dan mengantisipasi persoalan-persoalan yang kemungkinan besar sudah atau akan terjadi dalam bidang pendidikan perlu disiapkan seperangkat program atau kurikulum. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, kompetensi dasar, materi standar dan hasil belajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar dan tujuan pendidikan (Mulyasa, 2007: 46). Sedangkan tujuan pendidikan tersebut dapat dicapai melalui keberhasilan dalam proses pembelajaran. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam proses belajar mengajar, diantaranya adalah tujuan materi pelajaran, metode atau strategi pembelajaran, media dan evaluasi (Sanjaya, 2007: 58). Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi, otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu 47
48|∑IGMA, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016, Hlm 47-51
perlu memahami secara baik peran strategi dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Salah satu strategi pembelajaran yang berkembang saat ini yaitu strategi pemecahan masalah. Menurut Polya (dalam Nanang Priatna dan Darhim, 2003: 17) pemecahan masalah diartikan sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak begitu mudah segera dapat dicapai. Pada saat seseorang memecahkan masalah, ia tidak sekedar belajar menerapkan berbagai pengetahuan dan kaidah yang telah dimilikinya, tetapi juga menemukan kombinasi berbagai konsep dan kaidah yang tepat serta mengontrol proses berpikirnya. Manfaatnya adalah dapat membuat siswa berhati-hati dalam mengenali tahap-tahap yang sesuai dengan proses pemecahan masalah, menyediakan kerangka kerja yang tersusun rapi untuk menyelesaikan masalah yang komplek dan panjang yang dapat membantu siswa memecahkan masalahnya serta menghilangkan rasa takut siswa terhadap pelajaran. Sedangkan strategi pembelajaran ekspositori adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses penyampaian materi secara langsung dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. Singkatnya, strategi pembelajaran ekspositori ini dirancang untuk membelajarkan siswa pengetahuan yang terstruktur dengan baik. Diharapkan dengan menggunakan strategi ini guru bisa mengontrol urutan dan keluasan materi pembelajaran. Dengan demikian guru dapat mengetahui sampai sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran yang disampaikan. Dari uraian tersebut, hasil belajar yang diperoleh siswa antara yang menggunakan strategi pemecahan masalah model Polya dan strategi pembelajaran ekspositori tentunya memiliki perbandingan sebab strategi yang digunakan pun berbeda. Namun, peneliti ingin mengetahui sejauh apa perbandingan tersebut khususnya pada pelajaran matematika sub pokok bahasan penggunaan turunan fungsi pada masalah ekstrim. Pemilihan pokok bahasan turunan fungsi pada sub pokok bahasan penggunaan
turunan fungsi pada masalah ekstrim dalam penelitian ini dikarenakan berdasarkan kenyataan menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi khususnya masalah yang berbentuk soal cerita sehingga membutuhkan proses berpikir dengan menganalisa soal terlebih dahulu untuk menyelesaikannya. Dengan strategi pemecahan masalah model Polya, siswa dapat memecahkan masalah yang ada secara bertahap yaitu memahami permasalahan, menyusun rencana pemecahan, melaksanakan rencana dan mengecek kembali jawaban. Tak kalah pentingnya, siswa pun akan diajar dengan strategi pembelajaran ekspositori artinya dalam pembelajaran ini peranan guru sangat penting dalam mengontrol urutan dan menjelaskan materi pelajaran tersebut dengan baik karena cakupan materi pelajaran yang diberikan cukup luas. Sementara ini di lokasi penelitian yakni di SMAN 1 Pamekasan sebagian tenaga pendidiknya masih ada yang menggunakan pembelajaran yang berpusat pada guru atau strategi pembelajaran ekspositori sehingga siswa merasa jenuh dan ini berakibat pada hasil belajar yang rendah. Seperti peneliti ketahui, SMAN 1 Pamekasan merupakan sekolah bertaraf internasional yang menuntut peserta didiknya menjadi siswa unggulan dan berprestasi. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya suatu strategi pembelajaran yang mampu meningkatkan pemahaman dan kemampuan berpikir mereka. Dalam hal ini, peneliti ingin mencoba menggunakan strategi pemecahan masalah model Polya untuk membandingkan hasil belajar siswa antara yang diajar dengan strategi pemecahan masalah model Polya dengan strategi pembelajaran ekspositori. Dan diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat diketahui strategi pembelajaran mana yang lebih baik untuk diterapkan di SMAN 1 Pamekasan sehingga siswa mampu berpikir kritis dan ilmiah serta dapat meningkatkan hasil belajar yang sudah baik menjadi lebih baik dari sebelumnya, khususnya pada pokok bahasan turunan fungsi. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif dan komparatif sebab data yang
Aini, Hasil Belajar Matematika|49
diperoleh berupa angka dari hasil tes dan dari hasil tes tersebut diteliti tentang perbandingannya. Penelitian ini yang dijadikan populasi adalah semua siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Pamekasan. Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 1 Pamekasan sebanyak 7 kelas, dengan menggunakan teknik cluster purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu. Teknik ini dilakukan karena berdasarkan beberapa pertimbangan yaitu kelas XI IPA SMAN 1 Pamekasan telah dikelompokkan berdasarkan kemampuan dan minat siswa sehingga perlu dihitung tingkat homogenitas dari kelas-kelas tersebut. Dari homogenitas yang telah diperoleh, dipilih dua kelas homogen yang memiliki ciri-ciri, sifat-sifat dan karakteristik yang merupakan ciri-ciri pokok populasi dan merupakan subjek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat dalam populasi. Sehingga berdasarkan wawancara dengan guru matematika SMAN 1 Pamekasan dan nilai raport matematika siswa kelas XI IPA semester ganjil serta diajarkan oleh guru matematika yang sama, terpilih kelas XI IPA-F sebanyak 32 siswa sebagai kelas eksperimen yang akan diajar dengan strategi pemecahan masalah Polya, dan kelas XI IPA-G sebanyak 32 siswa sebagai kelas kontrol yang akan diajar dengan strategi pembelajaran ekspositori Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan tes. Tes ini digunakan untuk memperoleh data hasil belajar matematika siswa yang menggunakan strategi pemecahan masalah Polya dengan strategi pembelajaran ekspositori kelas XI-IPA. Bentuk soal dalam teknik tes ini adalah soal uraian. Sebelum dilakukan penelitian, diperlukan uji coba terhadap instrumen penelitian dimana uji coba instrumen dilaksanakan di SMA Negeri 3 Pamekasan yang bertujuan untuk mengetahui layak tidaknya tes di berikan. Setelah data terkumpul maka dilakukan pengolahan data atau analisis data. Selanjutnya, untuk memperoleh data hasil tes tersebut menggunakan uji parametrik yaitu
uji statistik. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbandingan hasil belajar matematika siswa di kelas eksperimen dengan hasil belajar matematika siswa di kelas kontrol berdasarkan hasil tes yang telah dilakukan, sehingga dapat menunjukkan apakah hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak. HASIL Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data hasil tes akhir kedua kelas, diperoleh rata-rata hasil belajar matematika siswa kelas XI IPA F sebagai kelas eksperimen sebesar 63,66 dan rata-rata hasil belajar matematika siswa kelas XI IPA G sebagai kelas kontrol sebesar 58,34. Dari data tersebut dapat diketahui harga thitung= 0,86 dan berdasarkan tabel dengan dk = (32 + 32 – 1) = 62 diperoleh ttabel kritik pada taraf signifikan 5% adalah 1,67. Artinya thitung
50|∑IGMA, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016, Hlm 47-51
Grafik
Daerah Penerimaan H0
-2,00 -1,67 (-t kritik)
0
Tidak ada perbandingan disebabkan disebabkan beberapa faktor: 1. Siswa kelas XI IPA SMAN 1 Pamekasan telah terbiasa mengerjakan soal-soal kompleks sehingga tidak terpengaruh dengan adanya strategi pembelajaran tertentu. 2. Kenyataan di lapangan Siswa kelas XI IPA SMAN 1 Pamekasan cenderung cermat dan teliti dalam mengerjakan soal, hanya ada sekitar 5% siswa yang membuat kesalahan karena kurang cermat dan teliti. Hal ini jelas dengan peningkatan nilai dari 5% siswa tidak akan mempengaruhi peningkatan nilai rata-rata kelas secara signifikan dari nilai rata-rata kelas sebelumnya. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil belajar matematika antara siswa yang diajar menggunakan strategi pemecahan masalah model Polya dengan strategi pembelajaran ekspositori tidak lebih baik. Proses pembelajaran dengan menggunakan strategi DAFTAR PUSTAKA Mulyasa. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya
0,86 (thitung)
1,67 2,00 (t kritik)
pemecahan masalah model Polya dan strategi pembelajaran ekspositori yang diterapkan dalam penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberi manfaat. SARAN Untuk itu peneliti memberikan saran sebagai berikut: 1. dengan mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan peneliti menganjurkan strategi pemecahan masalah model Polya dan strategi pembelajaran ekspositori diterapkan dalam proses belajar dan pengajaran matematika. 2. bagi semua pihak yang ingin menerapkan Strategi Pemecahan Masalah Model Polya dan Strategi Pembelajaran Ekspositori, hendaknya dipahami terlebih dahulu langkah-langkah dan materi apa yang sesuai dengan strategi tersebut. 3. bagi pembaca dirasa perlu untuk mengadakan penelitian lebih lanjut untuk memperkuat teori yang telah ada. Priatna, Nanang dan Darhim. 2003. Problem Posing dan Problem Solving dalam
Aini, Hasil Belajar Matematika|51
Pembelajaran Matematika. Bandung: Pustaka Ramadhan Polya, G. 1973. How To Solve It A New Aspect Mathematical Method. United States: Princeton University Press
Sanjaya, Wina. 2009. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana
PENGARUH STRATEGI PEMBELAJARAN PQ4R TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN BANGUN RUANG SISI DATAR Harfin Lanya Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Madura Alamat : Jalan Raya Panglegur 3,5 KM Pamekasan Email :
[email protected] Abstrak Realisasi proses belajar mengajar yang baik tidak terlepas dari rencana atau persiapan yang baik pula. Oleh karena itu, dalam rangka realisasi proses belajar mengajar matematika diperlukan rencana atau persiapan agar proses belajar lebih efektif, efisien dan terarah. Di samping rencana atau persiapan yang dibutuhkan dalam realisasi proses belajar mengajar matematika, guru juga seharusnya mengajarkan kepada siswa bagaimana cara belajar yang baik. Strategi PQ4R merupakan salah satu bagian dari strategi elaborasi. Strategi ini digunakan untuk membantu siswa mengingat apa yang mereka baca, dan dapat membantu proses belajar mengajar dikelas. Yang dilaksanakan dengan kegiatan membaca buku. Kegiatan membaca buku digunakan untuk mempelajari sampai tuntas bab demi bab suatu buku pelajaran. Oleh karena itu keterampilan pokok utama yang harus dikembangkan dan dikuasai oleh para siswa adalah membaca buku pelajaran dan bacaan tambahan lainnya. Berdasarkan uraian tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui ada tidaknya pengaruh hasil belajar matematika dengan menggunakan strategi pembelajaran PQ4R antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Penelitian ini dilakukan di kelas VIII MTs Miftahul Ulum Jambringin Proppo Pamekasan semester 2 tahun pelajaran 2015/2016 dengan jumlah siswa 40 siswa. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan rancangan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Peneliti menggunakan metode tes untuk mengetahui hasil belajar matematika siswa dimana hasil belajar matematika tersebut dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh hasil belajar matematika dengan menggunakan strategi pembelajaran PQ4R. Dari hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh hasil belajar matematika yang menggunakan strategi pembelajaran PQ4R. Hal ini dibuktikan oleh hasil perhitungan pengaruh hasil belajar matematika siswa yaitu 3,79 > 2,02 atau thitung > ttabel. Kata Kunci : hasil belajar, PQ4R, dan bangun ruang sisi datar.
di atas, maka seorang guru sangat berperan dan berkewajiban untuk membimbing serta melatih siswa dalam memecahkan masalahmasalah yang dihadapi. Selain mengajar dan melatih siswa, guru juga berperan dalam mengarahkan peserta didiknya. Peranan guru dalam proses interaksi belajar mengajar sangat menentukan berhasil tidaknya proses tersebut. Salah satu masalah pokok dalam pembelajaran pada pendidikan formal (sekolah) dewasa ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik, prestasi ini tentunya merupakan hasil kondisi pembelajaran yang masih bersifat konvensional dan belum menyentuh ranah dimensi peserta didik itu sendiri, yaitu bagaimana sebenarnya belajar itu (belajar untuk belajar) oleh karena itu, guru di tuntut untuk mempunyai strategi pembelajaran yang tepat dan harus menguasai materi yang akan disampaikan
PENDAHULUAN Pendidikan Nasional merupakan hal yang penting dimana pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Melalui pendidikan dapat mengembangkan kemajuan dan kreatifitas masyarakat Indonesia sehingga mampu mencetak tenaga-tenaga profesional dibidang yang nantinya sangat di butuhkan dalam memajukan pembangunan bangsa. Pendidikan hendaknya melihat jauh ke depan dan memikirkan apa yang akan dihadapi peserta didik di masa yang akan datang. Sekolah merupakan instansi sosial yang terlibat langsung dalam berbagai aktivitas individu dan masyarakat. Untuk itu diharapkan sekolah dapat mempersiapkan generasi muda yang mampu menghadapi dan memecahkan masalah perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam kaitannya dengan upaya mempersiapkan generasi muda 52
Lanya, Pengaruh Strategi Pembelajaran PQ4R|53
sehingga akan tercipta suasana belajar yang kodusif dan bisa mencapai hasil yang diharapkan. Jika seorang guru tidak pandai menguasai kelas maka dapat memungkinkan kegiatan belajar-mengajar tidak efektif sehingga tujuan pembelajaran tidak akan tercapai dengan baik. Berdasarkan tujuan/keinginan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap matematika dan meminimalkan anggapananggapan negatif terhadap matematika maka guru sebagai pendidik yang professional harus melakukan pengajaran yang baik, sebagaimana menurut Weistem dan Meyer, dalam Nur (2005: 5) bahwa pengajaran yang baik meliputi mengajar siswa bagaimana belajar, bagaimana mengingat, bagaimana berfikir dan bagaimana memotivasi diri mereka sendiri, pengajaran strategis belajar berdasarkan pada dalil bahwa keberhasilan siswa sebagaian besar tergantung pada kemahiran untuk belajar mandiri dan memonitor belajar mereka sendiri. Hal inilah yang menjadi strategi belajar mutlak diajarkan kepada siswa tersendiri mulai dari kelas 6 SD dan terus berlanjut sampai sekolah menengah dan pendidikan tinggi. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang terkesan sulit bagi siswa. Hal ini disebabkan karena dalam pelajaran matematika siswa sering dihadapkan dengan konsep-konsep atau simbol-simbol yang sulit dipahami. Sehingga menyebabkan kurangnya pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari. Terkadang juga siswa sering mendapatkan soal-soal yang sulit untuk dipecahkan dan dicari penyelesaiannya serta mudah melupakan materi-materi yang mereka dapatkan. Strategi elaborasi telah lama dikenal guru, yaitu strategi PQ4R. Strategi ini digunakan untuk membantu siswa mengingat apa yang mereka baca. Mungkin sekali Anda pernah diajar metode ini pada saat SD ataupun SLTP. P singkatan dari preview (membaca selintas dengan cepat), Q untuk question (bertanya), dan 4R singakatan dari read (membaca), reflect (refleksi), recite (tanya-jawab sendiri), dan review (mengulang secara menyeluruh) (Thomas dan Robinson, siswa yang menggunakan
PQ4R akan diperintahkan untuk mendekati suatu tugas bacaan dengan langkah-langkah berikut ini: (1) Preview, (2) Mengajukan pertanyaan, (3) Membaca, (4) Merefleksi, (5) Meresitasi, (6) Mereview. Setiap siswa memiliki karakter dan kesukaan yang berbeda, dalam tempat penelitian ini yaitu MTs Miftahul Ulum keadaan siswanya heterogen, hal ini bisa dilihat dari cara mereka menerima pelajaran ataupun dalam bersikap dalam kesehariannya, rata-rata siswa di sekolah ini kurang suka akan budaya membaca dan hasil belajar merekapun relatife standart saja. Dari latar belakang ini timbullah inisiatif peneliti untuk mengadakan penelitian terhadap sekolah ini. Bangun Ruang Sisi Datar adalah salah satu materi SMP kelas VIII yang memaparkan tentang macam-macam bangun ruang sisi datar, meliputi ; kubus, balok, prisma, dan limas, mencari luas permukaan, dan volume dari bangun ruang tersebut. Sekilas bahasan ini sepertinya mudah akan tetapi banyak siswa yang merasa kesulitan ketika menyelesaikan soal yang terdiri dari beberapa bangun ruang tersebut serta mudah melupakan penyelesaian dari soal tersebut.. Salah satu strategi pembelajaran yang dapat membantu daya pikir siswa adalah dengan menggunakan strategi PQ4R. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah mengetahui ada tidaknya pengaruh strategi pembelajaran PQ4R terhadap hasil belajar matematika pada pokok bahasan bangun ruang sisi datar kelas VIII. METODE PENELITIAN Subjek dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas VIII MTs MIFTAHUL ULUM Jambringin Proppo Pamekasan sebanyak 40 siswa. Dengan tehnik pengumpulan data sebagai berikut: 1. Tes Dalam penelitian ini, tes yang digunakan adalah tes subjektif. Menurut Arikunto (2003: 162) Tes subjektif adalah suatu jenis tes kemajuan belajar yang memerlukan jawaban yang bersifat pembahasan atau uraian kata-kata. Tes ini digunakan untuk memperoleh data / nilai hasil belajar matematika peserta didik kelas VIII pada Pokok Bahasan Bangun Ruang Sisi Datar
54 |∑IGMA, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016, Hlm 52-56
dengan menggunakan strategi PQ4R sebanyak 4 butir soal dalam waktu 80 menit. 2. Uji Coba Instrumen Penelitian Sebelum instrumen digunakan sebagai alat pengumpulan data, instrumen tes perlu diuji cobakan terlebih dahulu dengan tujuan untuk mengetahui kelayakan dari soal-soal tes yang dibuat sehingga dapat diketahui tingkat validitas dan reliabilitasnya. Karena soal yang dijadikan instrumen harus memiliki validitas dan reliabilitas yang baik. Berdasarkan uji coba instrument yang dilakukan diperoleh bahwa soal tes yang digunakan valid, reliable, memiliki daya pembeda dan tingkat kesukaran yang bervariasi. Dari hasil data penelitian yang telah dikumpulkan akan dianalisis menggunakan rumus uji t. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jawaban terhadap rumusan masalah “Adakah pengaruh setrategi pembelajaran PQ4R terhadap hasil belajar matematika pada pokok bahasan bangun ruang sisi datar?”. Data yang terkumpul dalam penelitian ini adalah hasil tes yang diberikan kepada siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen setelah diberikan perlakuan pendekatan pengajaran yang berbeda pada siswa, data tersebut digunakan untuk menguji hipotesis. Analisis perbedaan hasil belajar siswa untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol dilaksanakan satu kali yaitu pada akhir pembelajaran materi bangun ruang sisi datar. Hal ini dilakukan untuk menganalisa apakah hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak. Adapun hipotesis yang yang diajukan adalah sebagai berikut : 1.1. Hipotesis Kerja (H1) Adakah pengaruh hasil belajar matematika yang menggunakan setrategi pembelajaran PQ4R terhadap hasil belajar matematika pada pokok bahasan bangun ruang sisi datar. 1.2. Hipotesis Nihil (Ho) Tidak ada pengaruh setrategi pembelajaran PQ4R terhadap hasil belajar matematika pada pokok bahasan bangun ruang sisi datar.
HASIL DAN PEMBAHASAN Menurut Djamarah, hasil belajar adalah perubahan yang terjadi sebagai akibat dari kegiatan belajar yang telah dilakukan oleh individu (2002 : 141). Hasil belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hasil belajar yang berhubungan dengan ranah kognitif. Benyamin Bloom dalam Nana Sujana (2009:22) secara garis besar membagi hasil belajar menjadi tiga ranah yang salah satunya adalah ranah kognitif. Dia mengatakan bahwa hasil belajar berkenaan dengan ranah kognirif merupakan hasil belajar yang berhubungan dengan intelektual diantaranya pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis dan evaluasi. Djamarah (2006 : 109-119) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar adalah tujuan, guru, anak didik, kegiatan pengajaran, bahan dan alat evaluasi, serta suasana evaluasi. Kegiatan pengajaran meliputi pemilihan pendekatan atau strategi khusus yang diambil guru demi tercapainya tujuan pembelajaran. Salah satu strategi yang bisa digunakan untuk membantu siswa memahami dan mengingat materi yang mereka baca, dan dapat membantu proses belajar mengajar di kelas adalah strategi PQ4R. Menurut Thomas dan Robinson dalam Nur, langkah-langkah yang harus dilakukan dalam strategi PQ4R adalah sebagai berikut : Langkah pertama: Preview (membaca selintas dengan cepat) Langkah pertama ini dimaksudkan agar siswa, membaca selintas dengan cepat sebelum memulai membaca suatu buku. Pembaca dapat memulai dengan membaca topik-topik, sub topik utama, judul dan sub judul, kalimat-kalimat permulaan atau akhir suatu paragraph atau ringkasan pada akhir suatu bab. Perhatikan ide pokok yang akan menjadi inti pembahasan dalam dalam bahan bacaan siswa. Dengan ide poko ini akan memudahkan mereka memberi keseluruhan ide yang ada. Langkah kedua: Question (pertanyaan) Langkah kedua adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada diri sendiri untuk setiap pasal yang ada pada bahan bacaan siswa. Pergunakan “judul dan sub
Lanya, Pengaruh Strategi Pembelajaran PQ4R|55
judul atau topik utama ”. Awali pertanyaan dengan menggunakan kata “apa, siapa, mengapa, dan bagaimana”. Kalau pada akhir bab telah ada daftar pertanyaan yang dibuat oleh pengarang, hendaklah baca terlebih dahulu. Pengalaman telah menunjukkan bahwa apabila seseorang membaca untuk menjawab sejumlah pertanyaan, maka akan membuat dia membaca lebih hatihati serta seksam dan akan dapat membantu mengingat apa yang telah dibaca dengan baik. Langkah ketiga: Read (membaca) Langkah ketiga adalah membaca, dimana kegiatan membaca ini hendaknya dilakukan secara aktif yakni dengan cara pikiran siswa harus memberikan reaksi terhadap apa yang dibacanya. Pembaca tidak diperbolehkan membuat catatan yang panjang. Pembaca juga harus mencari jawaban terhadap semua pertanyaan yang diajukan sebelumnya. Langkah keempat: Reflect ( Refkleksi ) Reflek bukanlah suatu langkah yang terpisah dengan langkah ketiga (read), tetapi merupakan suatu komponen esensial dari langkah ketiga tersebut. Selama membaca, siswa tidak hanya cukup mengingat atau menghafal, tetapi juga harus memahami informasi yang dipresentasikan dengan cara: (1) Menghubungkan informasi dengan informasi sebelumnya, (2) Mengaitkan sub topik di dalam teks dengan konsepkonsep atau prinsip-prinsi utama, (3) Mencoba memecahkan kontradiksi, (4) Mencoba menggunakan materi ini untuk memecahkan masalah-masalah yang disimulasikan dan dianjurkan dari materi tersebut. Langkah kelima: Recite ( Tanya Jawab) Langkah kelima ini, pembaca diminta untuk merenungkan (mengingat) kembali infarmasi yang telah diupelajari dengan menyatakan butir-butir penting dengan nyaring dan menanyakan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan. Dari catatancatatan yang telah dibuat sebelumnya dan berlandaskan ide-ide yang ada pada siswa maka mereka diminta membuat intisari materi dari bacaan.
Langkah keenam: Review (mengulang) Pada langkah terakhir ini, pembaca diminta untuk membaca catatan singkat (intisari) yang telah dibuat, mengulang kembali seluruh isi bacaan bila perlu dan memusatkan pertanyaan yang dibuat sebelumya. Setiap strategi pembelajaran pada hakekatnya mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing, salah satunya cendrung pada penggunaan strategi pembelajaran terhadap materi pelajaran yang hendak disampaikan, karena tidak semua materi pelajaran relevan terhadap satu penggunaan strategi pembelajaran. Adapun kelebihan strategi PQ4R adalah mempermudah pemindahan informasi dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang, membantu siswa memahami materi pembelajaran, membantu siswa berkonsentrasi lebih lama dan memotivasi siswa untuk belajar mandiri. Sedangkan kelemahan strategi PQ4R adalah membutuhkan banyak waktu dalam pelaksanaannya dan memerlukan pengawasan ekstra dari guru saat melakukan kegiatan membaca terutama bagi siswa yang tidak senang membaca. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh strategi pembelajaran PQ4R terhadap hasil belajar matematika, peneliti menggunakan rumus uji-t. Nilai t yang didapatkan dinyatakan sebagai nilai t hitung yang nantinya akan di konversi dengan nilai t tabel kritik dengan taraf signifikan 5 % atau taraf kepercayaan 95 % . Jika nilai t diperoleh maka dapat disimpulkan apakah ada pengaruh strategi PQ4R terhadap hasil belajar matematika siswa kelas VIII. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa thitung = 3,79 selanjutnya dikonsultasikan dengan t tabel dengan taraf signifikan 5% dan db = 38, maka ttabel = 2,02. Dari dua nilai tersebut tampak bahwa – 2,02 < 3,79 > 2,02 . Hal ini berarti bahwa H0 ditolak dan H1 diterima. Sehingga dapat ditarik kesimpulan : “Ada pengaruh strategi pembelajaran PQ4R terhadap hasil belajar matematika pada pokok bahasan Bangun Ruang Sisi Datar”.
56 |∑IGMA, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016, Hlm 52-56
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. ________________. 2003. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta. Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain.2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rine
Nur, Muhammad. 2005. Strategi-strategi Belajar. Surabaya: UNESAUniversity Press. ______________. 2005. Guru yang berhasil dan Model Pengajaran Langsung. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Jawa Timur Sujana, Nana. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT Rosdakarya
REPRESENTASI SISWA SMA DALAM MEMAHAMI KONSEP FUNGSI KUADRAT DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF (VISUALIZER – VERBALIZER) Ema Surahmi Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Madura Jalan Raya Panglegur KM 3,5 Pamekasan E-mail :
[email protected] Abstrak: Representasi siswa dalam memahami konsep fungsi kuadrat adalah gagasan, ungkapan atau ide siswa dalam berbagai bentuk; visual, simbolik dan verbal, sebagai upaya untuk menunjukkan bagaimana mengaitkan konsep fungsi kuadrat dengan skema yang sesuai. Setiap siswa mempunyai cara yang berbeda dalam mengungkapkan gagasannya, salah satu yang mempengaruhinya adalah dengan adanya perbedaan gaya kognitif yang dimiliki dan memunculkan multiple representation. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif bersifat deskriptif dengan tujuan mendeskripsikan representasi siswa SMA dalam memahami Konsep Fungsi Kuadrat. Fokus representasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah representasi eksternal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini wawancara berbasis tugas, dengan pemberian tes kemampuan matematika, gaya kognitif dan tes representasi. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 3 Pamekasan Kelas X IPA 1 tahun ajaran 2015/2016 dengan subjek penelitian 2 siswa perempuan satu kemampuan yang setara dengan gaya kognitif visualizer- verbalizer. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa; (1) Subjek S1 dengan gaya kognitif Visualizer dalam memahami konsep fungsi kuadrat mengungkapkan ide, gagasan lebih cenderung menggunakan representasi visual (Grafik dan diagram) serta representasi dalam bentuk ekspresi matematik dan persamaan matematik (bentuk umum f(x) = x2 + bx + c, dengan a ≠ 0 dan a,b,c є R bentuk lain dari fungsi kuadrat y = (x – x1) (x – x2) dan y = (x – xp)2 + yp , meskipun ada beberapa penyelesaian menggunakan representasi dalam bentuk teks dan kata-kata. (2) Subjek S2 dengan gaya kognitif Verbalizer dalam memahami konsep fungsi kuadrat mengungkapkan ide, gagasan cenderung menggunakan representasi dalam bentuk teks dan kata-kata dalam setiap memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan, namun ada pula representasi yang digunakan dalam bentuk ekspresi matematik dan grafik dan diagram, akan tetapi dibandingkan denga representasi yang digunakan cenderung menggunakan representasi dalam bentuk teks dan kata-kata. Kata Kunci : Representasi, Gaya Kognitif, memahami konsep fungsi kuadrat
pertimbangan antara matematika dengan angka dan tanpa angka (gambar, grafik, pola, dsb) (Kemendikbud, 2013). Gambar, grafik dan pola merupakan bentuk representasi lain yang bisa digunakan guru dan siswa selama pembelajaran. Hal ini mengindikasikan pentingnya penggunaan berbagai representasi dalam pembelajaran matematika. Dalam kasus-kasus tertentu, representasi mempunyai kaitan erat dengan konsep matematika, seperti grafik dengan fungsi contohnya pada materi fungsi kuadrat, yang berkaitan mencari akar-akar penyelesaian yang memotong pada sumbu x dan y, selanjutnya digambarkan dalam grafik kartesius, serta aplikasi dalam penyelesaian soal latihan. Sulit untuk memahami dan memperoleh konsep tanpa menggunakan representasi tertentu, setiap representasi tidak dapat menggambarkan secara seksama
PENDAHULUAN Representasi matematis merupakan salah satu tujuan umum dari pembelajaran matematika di sekolah. Kemampuan ini sangat penting bagi siswa dan erat kaitannya dengan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah. Untuk dapat mengkomunikasikan sesuatu, seseorang perlu representasi, baik berupa gambar, grafik, diagram, maupun bentuk representasi lainnya. Dengan representasi, masalah yang semula sulit dan rumit dapat dilihat dengan lebih mudah dan sederhana, sehingga masalah yang disajikan dapat dipecahkan dengan lebih mudah. Pada kurikulum 2013 telah dijelaskan tentang perubahan pembelajaran matematika, implementasi kurikulum lama matemaika selalu diasosiasikan dengan (direduksi menjadi) angka, maka dikurikulum 2013 pembelajaran dirancang menjadi 57
58|∑IGMA, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016, Hlm 57-63
konsep matematika, karena memberikan informasi hanya untuk bagian aspeknya saja. Representasi berbeda-beda mengacu pada konsep yang sama dan saling melengkapi, semuanya bersama-sama berkontribusi untuk pemahaman secara global. Oleh karena itu, tiga anggapan untuk penguasaan konsep dalam matematika ialah sebagai berikut, Pertama, kemampuan untuk mengidentifikasi konsep dalam beragam representasi (multiple representation). Kedua kemampuan untuk menangani secara fleksibel dalam konsep sistem-sistem representasi tertentu. Ketiga, kemampuan untuk menterjemahkan konsep dari sistem representasi ke sistem representasi lainnya (Lesh, et. al dalam Gagatsis & Elia, 2005). Representasi yang dimunculkan oleh siswa merupakan ungkapan-ungkapan dari gagasan-gagasan atau ide-ide matematika yang ditampilkan siswa dalam upaya untuk mencari suatu solusi dari masalah yang sedang dihadapinya, dan dimungkikan pula karena perbedaan gaya kognitif yang dimiliki pada masing-masing siswa. Tujuan penelitian ini mendeskripsikan representasi siswa SMA 3 Pamekasan dalam memahami konsep fungsi kuadrat Tahun Ajaran 2015/2016 dengan gaya kognitif visualizer-verbalizer. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif bersifat deskriptif dengan tujuan penelitian ini mendeskripsikan representasi siswa SMA dalam memahami Konsep Fungsi Kuadrat dilihat dari gaya kognitif, fokus representasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah representasi eksternal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini wawancara berbasis tugas, dengan pemberian tes kemampuan matematika, tes gaya kognitif dan tes representasi. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 3 Pamekasan Kelas X IPA 1 Tahun Ajaran 2015/2016 dengan subjek penelitian 2 siswa perempuan dengan gaya kognitif (visualizer dan verbalizer). Pemilihan subjek penelitian diawali dengan pemberian tes kemampuan matematika (TKM) kepada subjek. Soal tes kemampuan matematika diambil dari soal Ujian Nasional (UN) SMP.Calon subjek dikelompokkan sesuai dengan hasil tes, yaitu kelompok siswa yang berkemampuan
matematika tinggi, sedang, dan rendah dengan acuan : kelompok tinggi apabila memperoleh 85 skor 100, kelompok sedang apabila memperoleh 65 skor < 85, dan kelompok rendah apabila memperoleh 0 skor < 65. Kategori kemampuan yang diambil kemampuan tinggi dengan alasan agar lebih terlihat dalam memahami konsep, selanjutnya subjek dengan kemampuan tinggi diberikan Tes Gaya Kognitif (TGK) dengan tujuan untuk mengidentifikasi gaya kognitif Visualizer-Verbalizer kemudian ambil subjek dengan Tes Kemampuan Matematika (TKM) setara dengan 1 orang gaya kognitif visualizer dan 1 orang gaya kognitif verbalizer serta komunikatif. Setelah subjek didapat, subjek diberi tes representasi pemahaman konsep fungsi kuadrat (TRKFK) dan wawancara. Untuk memeriksa data yang valid melalui hasil wawancara berbasis tugas tersebut peneliti melakukan triangulasi waktu. Maksudnya, setelah subjek menyelesaikan soal tes representasi pemahaman fungsi kuadrat 1 (TRKFK-1) beserta wawancaranya, dalam rentang waktu tertentu (atau disesuaikan dengan kesediaan subjek). Subjek diberikan TRKFK–2 yang setipe dengan TRKFK–1. Jika dua data yang muncul pada kedua wawancara menunjukkan pola yang ajeg/ tetap, maka kedua data tersebut konsisten. Akan tetapi jika tidak, maka kedua data tersebut tidak konsisten. Apabila kedua data tidak konsisten, maka dalam waktu yang berbeda subjek diberikan TRKFK –3 yang serupa dengan TRKFK sebelumnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Representasi Kalathil dan Sherin (2000) lebih sederhana menyatakan bahwa segala sesuatu yang dibuat siswa untuk mengekternalisasikan dan memperlihatkan kerjanya disebut representasi. Dalam pengertian yang paling umum, representasi adalah suatu konfigurasi yang dapat menggambarkan sesuatu yang lain dalam beberapa cara (Goldin, 2002). Selanjutnya dalam psikologi matematika, representasi bermakna deskripsi hubungan antara objek dengan simbol (Hwang, et al., 2007). Representasi adalah sesuatu yang melambangkan objek atau proses. Hiebert dan Carpenter (dalam Hudojo,
Surahmi, Representasi Siswa SMA|59
2002) mengemukakan bahwa pada dasarnya representasi dapat dibedakan dalam dua bentuk, yakni representasi internal dan representasi eksternal. Berpikir tentang ide matematika yang kemudian dikomunikasikan memerlukan representasi eksternal yang wujudnya antara lain: verbal, gambar dan benda konkrit. Berpikir tentang ide matematika yang memungkinkan pikiran seseorang bekerja atas dasar ide tersebut merupakan representasi internal. Menurut Goldin dan Kaput (2004) representasi terjadi melalui dua tahap yaitu secara internal dan secara eksternal. Representasi internal merujuk kepada konfigurasi mental yang memungkinkan individu, seperti peserta didik untuk memahami atau memecahkan masalah. Pada intinya representasi inernal erat kaitannya dengan proses mendapatkan kembali pengetahuan yang diperoleh dan disimpan dalam ingatan serta relevan dengan kebutuhan untuk digunakan ketika diperlukan. Representasi internal yang dibangun siswa dapat berupa representasi/gambaran mental, representasi kognitif
No 1
2
3
Representasi dapat dibagi menjadi dua yaitu representasi verbal dan visual. Skema, merupakan pengetahan yang membantu dalam menginterpretasikan dan memahami suatu konsep. Representasi internal tidak dapat langsung diamati, karena merupakan aktivitas mental dalam pikiran seseorang. Sebagai guru harus secara teratur dalam menyimpulkan konfigurasi mental pada siswa dari apa yang mereka katakan atau lakukan melalui representasi eksternal. Mudzakir (2006:47) membagi representasi menjadi tiga jenis yaitu (1) representasi visual berupa diagram, grafik, tabel dan gambar, (2) persamaan atau ekspresi matematika, (3) kata-kata atau teks tertulis. Penggunaan semua indikator representasi tersebut dapat dibuat secara lengkap dan terpadu dalam pengujian suatu masalah yang sama atau dengan kata lain representasi matematik dapat dibuat secara beragam (multiple representation). Adapun beberapa bentuk indikator representasi yang menjadi fokus serta acuan dalam penelitian ini dengan mempersempit indikator yang sebelumnya sebagai berikut:
Tabel.1 Indikator Representasi siswa dalam memahami konsep Fungsi Kuadrat Representasi Indikator Representasi Visual; a. menyajikan kaitan antar konsep dengan fungsi kuadrat ke Grafik, diagram atau representasi visual (grafik). tabel b. Menyajikan dengan representasi visual dalam menyelesaikan soal fungsi kuadrat. Persamaan atau a. Menyajikan persamaan matematik pada konsep fungsi ekspresi matematik kuadrat dari representasi lain yang diberikan b. Menyajikan penyelesaikan soal dalam mengaitkan antar konsep dengan fungsi kuadrat menggunakan ekspresi matematik Kata-kata atau teks a. Meyajikan suatu cerita dalam mengaitkan antar konsep tertulis dengan fungsi kuadrat sesuai representasi yang berikan. b. Menyajikan penyelesaian soal fungsi kuadrat dengan menggunakan kata-kata atau teks tertulis.
Sehingga definisi representasi yang peneliti maksud Representasi dalam memahami konsep fungsi kuadrat adalah ungkapan atau ide seseorang dalam berbagai bentuk; visual, simbolik dan verbal, sebagai upaya untuk menunjukkan bagaimana mengaitkan konsep fungsi kuadrat dengan skema yang sesuai.
Kode R1.A R1.B R2.A R2.B
R3.A R3.B
Gaya Kognitif Uno (2008) mengatakan bahwa gaya kognitif merupakan cara siswa yang khas dalam belajar, baik yang berkaitan dengan cara penerimaandan pengolahan informasi, sikap terhadap informasi, maupun kebiasaan yang berhubungan dengan lingkungan belajar. Gaya kognitif yang berkaitan dengan kebiasaan individu menggunakan alat inderanya dibedakan menjadi dua kelompok,
60|∑IGMA, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016, Hlm 57-63
yaitu visualizer dan verbalizer.Paivo (dalam McEwan,2007)“The verbaliser-visualiser cognitive style model was first developed by Paivio (1971: 4) who proposed that the cognitive system is divided into two components: a verbalsystem and a visual system”. Model gaya kognitif visualizer dan verbalizer pertama sekali dikembangkan oleh Paivo pada tahun 1971. Paivo mengusulkan bahwa sistem kognitif dibagi menjadi dua komponen, yaitu sistem visual dan sistem verbal (lisan). Mendelson (2004:87) menyatakanbahwa“Visualizers learn better when they see the information inavisual form,such as pictures,diagrams and maps, while verbalizers will learn better when they can read the information. In one of the earliest studies that examined effects of the visualizing and verbalizing styles”Menjelaskan bahwa individu yang memiliki gaya kognitif visualize cenderung lebih banyak dalam gambar, lebih lancar dengan ilustrasi dan terjemahan, serta memahami dan menyukai permainan yang lebih visual, seperti teka-teki. Seseorang yang bergaya kognitif visualizer lebih menyukai grafik, senang dalam menggambar, dan cenderung melihat-lihat situasi di lingkungan sekitarnya. Marks (dalamMendelson,2004:87) mengatakan bahwa “found that people who were high visualizers were more accurate in recall of information contained in 15 color pictures than people who were low visualize”Menjelaskan bahwa individu yang memiliki gaya kognitif verbalizer lebih cenderung mengatakan dan akan lebih memilih untuk berkomunikasi kepada seseorang dengan menunjukkan bagaimana mereka melakukannya. Seseorang yang bergaya kognitif verbalizer lebih menyukai bacaan, senang dalam menulis, dan cenderung mendengarkan pembicaraan di lingkungan sekitarnya Dapat disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki gaya kognitif visualizer cenderung untuk menangkap informasi dari apa yang mereka lihat sehingga mereka lebih mudah untuk menerima, memproses, menyimpan, dan menggunakan informasi dalam bentuk gambar. Sedangkan seseorang yang memilikigaya kognitif verbalizer cenderung untuk menangkap informasi dari
apa yang mereka dengar jauh sehingga mereka lebih mudah untuk menerima, memproses, menyimpan, dan menggunakan informasi dalam bentuk teks atau tulisan. Representasi dalam Memahami Konsep Fungsi Kuadrat Menurut Brunner (Dalam Hudojo, 1990: 48) belajar matematika adalah belajar mengenai konsep-konsep dan strukturstruktur matematika yang terdapat didalam materi yang dipelajari, serta mencapai hubungan antara konsep dan struktur matematika itu Hiebert dan Carpenter berpendapat bahwa representasi internal diperlukan dalam berpikir tentang ide-ide matematika. Ketika relasi antara representasi internal dikonstruk, mereka membangun suatu kerangka pengetahuan. Namun, tidak mungkin menjelaskan secara tepat bagaimana kerangka representasi internal tersebut. Representasi menjadi salah satu informasi pemahaman siswa dalam memahami konsep. Dengan demikian representasi siswa dalam memahami konsep fungsi kuadrat adalah gagasan, ungkapan atau ide siswa dalam berbagai bentuk; visual, simbolik dan verbal, sebagai upaya untuk menunjukkan bagaimana mengaitkan konsep fungsi kuadrat dengan skema yang sesuai HASIL PENELITIAN Representasi Subjek 1(S1) dalam memahami konsep fungsi kuadrat dengan gaya kognitif Visualizer a). Subjek S1 mengungkapkan idenya dengan representasi verbal dan ekspresi matematik, menggunakan kata-kata atau teks tertulis dalam menjelaskan pengertian Fungsi kuadrat suatu fungsi dimana pangkat tertinggi dari variabelnya adalah pangkat dua atau kuadra dan menyebutkan bahwa variabelnya adalah satu variabel saja yang digunakan (x, y atau z saja tidak boleh menggunakan dua variabel, misal xy atau xz) dan pangkat tertingginya adalah dua, serta menggunakan ekspresi matematik dalam memperjelas pengertian fungsi kuadrat dengan bentuk umum f(x) = x2 + bx + c, dengan a ≠ 0 dan a,b,c є R, serta menuliskan bentuk lain dari fungsi kuadrat y = (x – x1) (x – x2) dan
Surahmi, Representasi Siswa SMA|61
y = (x – xp)2 + yp. b). Subjek S1 mengungkapkan ide keterkaitan persamaan kuadrat dengan fungsi kuadrat menggunakan kata-kata atau teks tertulis ada keterkaitan antara persamaan kuadrat dengan fungsi kuadrat dan menjelasakan Persamaannya samasama variabelnya mempunyai pangkat tertinggi dua atau kuadrat, a ≠ 0, a, b dan c elemen bilangan real dan ketika a = 0 maka pangkat tertingginya satu bukan persamaan kuadrat atau fungsi kuadrat. Serta Subjek S1 menggunakan kata-kata atau teks tertulis dan ekpresi matematik dalam menjelaskan perbedaannya Kalau persamaan kuadrat tidak mempunyai grafik, dituliskan dalam bentuk persamaan ax2 + bx + c = 0, kalau fungsi kuadrat mempunyai grafik fungsi dalam bentuk parabola dan dituliskan dalam bentuk fungsi f(x) = ax2 + bx + c. c).Subjek S1 mengungkapkan ide menggunakan persamaan atau model dalam menyebutkan contoh dan bukan contoh fungsi kuadrat yang termasuk contoh fungsi kuadrat misal f(x) = x2 + 2x + 1 karena pangkat tertinggi dari variabel x nya adalah dua dengan konstanta = c dan a ≠ 0. Serta memberikan contoh yang bukan fungsi kuadrat f(x) = 2x + 1dengan alasannya pangkat tertinggi dari variabelnya adalah 1 jadi bukan termasuk contoh fungsi kuadrat, tetapi termasuk dalam bentuk persamaan linear d).Subjek S1 mengungkapkan idenya menggunakan ekspresi matematik dalam menentukan daerah hasil f(x) jadi kita hitung dari himpunan A dimana A:{ -4, 3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6} dari angkaangka tersebut kita masukkan ke f(x) = x2 + 2x, dan mengungkapkan idenya menggunakan kata-kata atau teks tertulis menentukan daerah hasil dengan daerah hasilnya adalah adalah B;{ 8, 3, -1, 0, 3, 8, 15, 2, 35, 48}. e) Subjek S1 mengungkapkan idenya menggunakan kata-kata atau teks tertulis dan ekspresi matematik serta menceritakan langkah – langkah dalam membuat grafik fungsi kuadrat titik potong sumbu x pada diagram kartesiusnya dengan menuliskan titiktitiknya (0.56,0) dan (-3.56,0) mencari titik potongnya dengan menggunakan
rumus abc karena f(x)= 2x2+6x-4 tidak dapat difaktorkan. Kemudian Subjek S1 menuliskan juga titik potong terhadap sumbu y di (0,-4) pada grafik kartesius, dengan menghitung nilai y nya dari substitusi x = 0, untuk mencari nilai y maka x = 0, kita substitusikan x = 0 ke f(x) = x2+6x – 4, didapat y = -4 selanjutnya Subjek S1 menuliskan koordinat titik puncak (xp, yp) (-1.5, -8.5), dicari dengan rumus xp = -b/2a dan yp = D/4a dengan hasil (-1.5, -8.5). f) Subjek S1 mengungkapkan idenya dalam bentuk kata-kata dan grafik untuk menggambarkan grafik fungsi kuadrat kita tarik kurva lurus dari titik potong sumbu x dan y serta titik puncak, tetapi jangan terlalu lurus karena grafik fungsi kuadrat adalah parabola. g) Subjek S1 menggunakan idenya dalam bentuk kata-kata dan persamaan atau model matematika serta menceritakan sifat-sifat dari grafik fungsi kuadrat yang di buat “dari grafik fungsi kuadrat tersebut mempunyai nilai a positif atau sehingga grafiknya menghadap keatas, nilai diskriminan (D) positif atau maka memotong pada dua titik di sumbu x. Representasi Subjek 2 (S2) dalam memahami konsep fungsi kuadrat dengan gaya kognitif Verbalizer a). Subjek S2 mengungkapkan idenya dengan menggunakan kata-kata atau teks tertulis dalam menjelaskan pengertian Fungsi kuadrat, Fungsi kuadrat adalah suatu persamaan kuadrat dimana fungsinya dapat membentuk ataupun menggambarkan grafik dari fungsi tersebut, grafik yang terbentuk biasanya berbentuk parabola. b). Subjek S2 mengungkapkan idenya menggunakan kata-kata dalam menjelaskan keterkaitan persamaan kuadrat dengan fungsi kuadrat, ada keterkaitan antara persamaan kuadrat dengan fungsi kuadrat, persamaannya antara persamaan kuadrat dengan fungsi kuadrat, pangkat variabel tertingginya adalah dua c). Subjek S2 mengungkapkan ide menggunakan kata-kata dan persamaan matematik dalam menyebutkan contoh
62|∑IGMA, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016, Hlm 57-63
dan bukan contoh fungsi kuadrat, contoh fungsi kuadrat f(x) = 2x2 -6x + 4, contoh bukan fungsi kuadrat x2 - 5x + 4 = 0 . d). Subjek S2 mengungkapkan idenya dengan menggunakan kata-kata atau teks tertulis menjelaskan grafik fungsi kuadrat berbentuk parabola. e). Subjek S2 mengungkapkan idenya dengan menggunakan kata-kata atau teks tertulis dan persamaan atau model matematik serta menceritakan cara menentukan persamaan grafik fungsi kuadrat mengggunakan rumus y = a(x –xp)2 + yp dengan cara mensubstitusikan nilai dari titik puncak x = 2 dan y = 4 ke rumus y = a(x-xp)2 + yp, didapat y = a( x-2)2 + 4 melalui salah satu titik A (0,0), didapat nilai a = -1, a negatif grafik menghadap kebawah, didapat hasil untuk persamaan fungsi kuadrat adalah y = - x2 + 4x. f). Subjek S2 mengungkapkan ide menggunaka teks tertulis dan kata – kata dalam menentukan daerah hasil f(x) dari himpunan A dimana dari elemen himpunan A disubstitusikan ke f(x), dan dari hasil substistui f(x) tersebutlah sebagai daerah hasil, dari hasil tersebut ada bilangan yang sama, untuk nilai yang sama dapat tidak dituliskan kembali dalam penyelesaian daerah hasil dengan alasan bahwa dalam himpunan jika ada anggota yang sama bisa tidak dituliskan kembali karena sudah mewakili. g). Subjek S2 mengungkapkan idenya menggunakan kata-kata atau teks tertulis dan ekspresi matematik serta menceritakan langkah – langkah dalam membuat grafik fungsi kuadrat dengan menuliskan titik potong sumbu x dengan syartat y = 0 pada diagram kartesiusnya dengan menuliskan titik-titiknya dengan menggunakan rumus abc dengan alasan karena f(x) = 2x2+6x-4 tidak dapat difaktorkan dan f(x) = x2+4x – 5 dengan cara pemfaktoran dengan alasan karena f(x) dapat difaktorkan , serta menuliskan titik potong terhadap sumbu y pada diagram kartesius, dengan menghitung nilai y nya dari substitusi x = 0 serta menuliskan koordinat titik puncak (xp, yp) dengan rumus xp = -b/2a dan yp = -D/4a. h). Subjek S2 mengungkapkan idenya dalam bentuk kata-kata dan grafik untuk menggambarkan grafik fungsi kuadrat”
tarik kurva lurus dari titik potong sumbu x dan y serta titik puncak, tetapi jangan terlalu lurus karena grafik fungsi kuadrat adalah parabola” k). Subjek S2 menggunakan idenya dalam bentuk kata-kata dan persamaan atau model matematika serta menceritakan sifat-sifat dari grafik fungsi kuadrat yang di buat “dari grafik fungsi kuadrat tersebut mempunyai nilai a positif sehingga grafiknya menghadap keatas. KESIMPULAN Berdasarkan karakteristik dari dua gaya kognitif visualizer dan verbalizer tidak dapat disimpulkan bahwa siswa dengan gaya kognitif yang satu lebih unggul atau lebih rendah dari siswa dengan gaya kognitif yang lain. Hal ini disebabkan karakteristik kedua gaya kognitif ini masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Adapun yang menjadi kesimpulan dari hasil peneliatan ini sebagai berikut; 1. Hasil penelitian Subjek S1 dengan gaya kognitif visualizer dalam memahami konsep fungsi kuadrat mengungkapkan ide, gagasan lebih cenderung menggunakan representasi visual (Grafik dan diagram) serta representasi dalam bentuk ekspresi matematik dan persamaan matematik, meskipun ada beberapa penyelesaian menggunakan representasi dalam bentuk teks dan katakata, tetapi dari sebagian besar dalam mengungkapkan idenya menggunakan representasi visual dan ekspresi matematik sesuai dengan isi pertanyaan yang diberikan. 2. Hasil penelitian Subjek S2 dengan gaya kognitif verbalizer dalam memahami konsep fungsi kuadrat mengungkapkan ide, gagasan cenderung menggunakan representasi dalam bentuk teks dan katakata dalam setiap memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan, meskipun cenderung representasi yang digunakan adalah kata-kata dan teks tertulis namun menggunakan pula representasi dalam bentuk ekspresi matematik dan visual, akan tetapi dibandingkan denga representasi yang digunakan cenderung menggunakan representasi dalam bentuk teks dan katakata.
Surahmi, Representasi Siswa SMA|63
SARAN 1. Bagi guru diharapkan dapat menggali lebih dalam lagi kemampuan representasi siswa, agar memunculkan bentuk-bentuk representasi yang lain sehingga representasi siswa lebih muncul dalam setiap pemahaman konsep maupun DAFTAR PUSTAKA Goldin, G. A.(2002). Representaion in Mathematical Learning and Problem Solving. In L.D English (Ed). International Research in Mathematical Education IRME, 197218. New Jersey: Lawrence Erbaum Goldin, G. A. & Kaput, James J.(2004). A join Perspective on Idea of Representation In learning and Doing Mathematics. Rutger Hudojo, H., (1990). Matematika dan Pelaksanaannya di Depan Kelas. Jakarta : DepDikbud Hudojo, H. (2002). Representasi Belajar Berbasis Masalah . Prosiding Konferensi nasional Matematika XI Bagian 1. Jurnal matematika atau Pembelajarannya Universitas Negeri Malang tahun VIII edisi Khusus. Malang Hwang, W. Y., Chen, N. S., Dung, J. J., & Yang, Y. L. (2007). Multiple Representation Skills and Creativity Effects on Mathematical Problem Solving using a Multimedia Whiteboard System. Educational Technology & Society, Vol 10 No 2, pp. 191-212. Kalathil. S.(2002). Role of Students' Representations in the Mathematics Classroom. In B. Fishman & S. O'Connor-Divelbiss (Eds.) Fouth International Conference of the
dalam menyelesaikan masalah (soal). 2. Pembelajaran menggunakan multiplerepresentation ebaiknya dijadikan salah satu altermatif pembelajaran bagi guru untuk meningkatkan pemahaman siswa dalam dan kreatifitas siswa dengan menggunakan represntasi yang dimiliki. Learning Sciences (pp. Mahwah, NJ: Erlbaum.
27-28).
Kemendikbud.(2010). Materi pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Mendelson, A.L. (2004). “For Whom Cognitive Style and Attention on Processing of News Photos”. Philadelpia: Journal of Literacy Volume 24 McEwan, R,C. and Reynolds, S. (2007). Verbalizer and Visualizer: Cognitive Styles Are Less thanEqual.http://www.fansa.ca/sites/d efault/files/file_attachments/mcewan2 007.pdf.Diakses 25 mei 2015 Mudzakir. (2006). Representasi Belajar Berbasis Masalah. Jurnal matematika atau pembelajarannya. ISSN: 085-7792.tahun Vii, edisi husun National Council of Teachers Of Mathematics.(2000). Curiculum and Evaluation Standart for School Mathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. Uno, Hamzah B., 2008, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, cet. Ke-2, Jakarta: PT Bumi Aksara.
SELF-EFFICACY SISWA DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA Agus Subaidi Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Madura Alamat: Jalan Raya Panglegur 3,5 KM Pamekasan Email :
[email protected] Abstrak Self efficacy mempengaruhi bagaimana individu berpikir, merasa, memotivasi diri, dan bertindak. Self-Efficacy adalah keyakinan seorang individu mengenai kemampuannya dalam mengorganisasi dan menyelesaikan suatu tugas yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu. Dimensi-dimensi Self-Efficacy yang digunakan sebagai dasar bagi pengukuran terhadap SelfEfficacy individu adalah magnitude,strength, dan generality. Self-Efficacy yang kuat atau tinggi sangat dibutuhkan siswa dalam pemecahan masalah matematika tersebut sehingga dapat mencapai keberhasilan dalam pembelajaran tersebut. Siswa dengan Self-Efficacy yang tinggi akan lebih mampu bertahan menghadapi masalah matematika tersebut, mudah memecahkan tugas dan masalah matematika tersebut, dan kegagalan memecahkan masalah matematika tersebut dianggap karena kurangnya usaha atau belajar. Sebaliknya siswa dengan Self-Efficacy yang lemah atau rendah cenderung rentan dan mudah menyerah menghadapi masalah matematika tersebut, mengalami kesulitan dalam memecahkan tugas dan masalah matematika tersebut, dan kegagalan memecahkan masalah matematika tersebut dianggap karena kurangnya kemampuan matematikanya. Kata-kata Kunci: Self efficacy, Pemecahan Masalah Matematika
permasalahan tersebut bisa direduksi bahkan dapat dieliminir siswa (Leonard dan Supardi, 2010: 342). Berdasarkan pengalaman penulis selama menjadi pengajar matematika di sekolah dan bimbingan belajar, banyak siswa memiliki Self-Efficacy rendah. Hal tersebut ditunjukkan dengan perilaku menyerah saat menemui kesulitan dalam mempelajari atau memecahkan masalah. Perilaku tersebut juga muncul saat siswa mendapatkan informasi tentang suatu materi bahwasannya materi tersebut sulit maka siswa cenderung tidak memiliki keyakinan dapat mempelajarinya atau bahkan memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bandura bahwa siswa yang memiliki Self-Efficacy rendah mengalami kesulitan dalam memecahkan tugas dan menganggap tugas tersebut sebagai ancaman terhadap dirinya. Siswa yang memiliki aspirasi rendah dan komitmen yang lemah pada tujuan cenderung menyerah. Sebaliknya individu yang memiliki SelfEfficacy tinggi, aspirasi tinggi, dan komitmen yang tinggi pada tujuan, tugas yang sulit dianggap sebagai tantangan untuk dipecahkan dari pada dianggap sebagai ancaman yang harus dihindari (Bandura, 1993: 144-145).
PENDAHULUAN Self-Efficacy (keyakinan diri) siswa merupakan salah satu dimensi penting dalam pemecahan masalah matematika. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 54 Tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dalam pembelajaran matematika Self-Efficacy dituntut untuk dikembangkan. Pengembangan Self-Efficacy dalam kurikulum matematika tersebut antara lain disebutkan bahwa pelajaran matematika harus menanamkan sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan. Penanaman sikap tersebut, yakni merasa ingin mengetahui, perhatian, minat dalam mempelajari matematika, bersikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Pentingnya pengembangan SelfEfficacy siswa dalam pemecahan masalah matematika dikarenakan: (1) proses pembelajaran matematika dikelas sangat dipengaruhi oleh Self-Efficacy siswa terhadap pelajaran matematika (Shadiq, 2007: 1), (2) Self-Efficacy siswa membentuk kemampuan matematika siswa dalam pemecahan masalah matematika (Bandura, 1993: 119), (3) pelajaran matematika diasumsikan oleh kebanyakan siswa sebagai pelajaran yang sulit, membuat stress, dan membosankan, dimana dengan Self-Efficacy yang tinggi 64
Subaidi, Self-Efficacy Siswa |65
Fakta empiriknya, pentingnya SelfEfficacy siswa dalam pemecahan masalah matematika tampak terlihat dalam berbagai penelitian ilmiah kalangan akademisi. Albert Bandura dan Schunk (1981) dalam penelitiannya memperlihatkan bahwa semakin tinggi keyakinan diri (Self-Efficacy) maka semakin cepat siswa tersebut memecahkan tugas pelajaran matematika, bertahan memecahkan soal pelajaran matematika, dan cermat dalam komputasi pelajaran matematika (Prakoso, 1996: 12). Keyakinan diri ini, dalam pelajaran matematika terbentuk karena sikap positif terhadap matematika, dimana dengan sikap positif ini dapat memecahkan masalah matematika sesuai dengan kemampuan aktualnya (Bandura, 1993: 119). Barry J. Zimmerman dalam penelitiannya memaparkan bahwa Self-Efficacy berpengaruh secara signifikan terhadap motivasi belajar dan pembelajaran siswa. Self-Efficacy mendorong siswa responsif untuk memperbaiki metode pembelajarannya dan dapat memprediksi hasil yang dicapainya. Self-Efficacy tentang kemampuan akademiknya memainkan peran essensial dalam membentuk motivasi belajar untuk mencapai kemampuan akademik (Zimmerman, 2000: 89). Sampai pada saat ini, mengikuti perspektif teori kognitif sosial (social cognitif theory) atau teori pembelajaran sosial (social learning theory) Albert Bandura tampak bahwa Self-Efficacy sangat penting bagi siswa sekolah menengah untuk pemecahan masalah matematika. Artinya, Self-Efficacy yang kuat atau tinggi sangat dibutuhkan siswa dalam pemecahan masalah matematika tersebut sehingga dapat mencapai keberhasilan dalam pembelajaran tersebut. Siswa dengan Self-Efficacy yang tinggi akan lebih mampu bertahan menghadapi masalah matematika tersebut, mudah memecahkan tugas dan masalah matematika tersebut, dan kegagalan memecahkan masalah matematika tersebut dianggap karena kurangnya usaha atau belajar. Sebaliknya siswa dengan SelfEfficacy yang lemah atau rendah cenderung rentan dan mudah menyerah menghadapi masalah matematika tersebut, mengalami kesulitan dalam memecahkan tugas dan
masalah matematika tersebut, dan kegagalan memecahkan masalah matematika tersebut dianggap karena kurangnya kemampuan matematikanya. Akibat hal tersebut, siswa tidak bisa mencapai keberhasilan belajar dalam pembelajaran pelajaran tersebut. Kemampuan matematika siswa dapat dibentuk melalui pembentukan Self-Efficacy. Tantangan dan frustasi yang menjadi krusial penghambat kemampuan matematika siswa dapat diatasi melalui pembentukan SelfEfficacy (Borovik dan Gardiner, 2006: 2). Self-Efficacy Siswa dalam Pemecahan Masalah Matematika 1. Pengertian Self-Efficacy Menurut Bandura (1997: 3), SelfEfficacy adalah keyakinan seorang individu mengenai kemampuannya dalam mengorganisasi dan menyelesaikan suatu tugas yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu. Sedangkan menurut Kusaeri (2011: 22-23) sikap menjadi dasar bertindak, dan tindakan menjadi ungkapan sikap itu. Ini berarti bahwa SelfEfficacy seorang siswa akan menjadi dasar siswa tersebut melakukan tindakan dalam menghadapi suatu masalah tertentu dan hasil tindakannya merupakan ungkapan Self-Efficacy siswa tersebut. Menurut Robbins (2003:127), SelfEfficacy merupakan faktor yang ikut mempengaruhi kinerja seseorang dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Ditinjau dari akademik, SelfEfficacy akademik mengacu pada keyakinan individu bahwa ia mampu melakukan tindakan tertentu (Schunk, 1991). Selanjutnya Schunk menyatakan bahwa Self-Efficacy bukanlah satusatunya pengaruh pada perilaku/tindakan. Perilaku atau tindakan merupakan fungsi dari banyak variabel. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Self-Efficacy adalah keyakinan seseorang terhadap keterampilan dan kemampuan dirinya dalam mengorganisasi dan menyelesaikan permasalahan untuk hasil yang terbaik dalam suatu tugas tertentu. 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self-Efficacy Menurut Bandura (1997: 80-115) menyatakan bahwa ada empat sumber
66|∑IGMA, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016, Hlm 64-68
utama yang mempengaruhi Self-Efficacy seseorang yaitu: a. Pengalaman keberhasilan seseorang dalam menghadapi tugas tertentu pada waktu sebelumnya. Apabila seseorang pernah mengalami keberhasilan dimasa lalu maka semakin tinggi pula Self-Efficacy, sebaliknya apabila seseorang mengalami kegagalan dimasa lalu maka semakin rendah pula SelfEfficacy orang tersebut. b. Pengalaman orang lain. Individu yang melihat orang lain berhasil dalam melakukan aktifitas yang sama dan memiliki kemampuan yang sebanding dapat meningkatkan Self-Efficacy nya, sebaliknya jika orang yang dilihat gagal maka Self-Efficacy individu tersebut menurun. c. Persuasi verbal, yaitu informasi tentang kemampuan seseorang yang disampaikan secara verbal oleh orang yang berpengaruh sehingga dapat meningkatkan keyakinan bahwa kemampuan-kemampuan yang dimiliki dapat membantu untuk mencapai apa yang diinginkan. d. Kondisi fisiologis yaitu keadaan fisik (sakit, rasa lelah dan lain-lain) dan kondisi emosional (suasana hati, stress dan lain-lain). Keadaan yang menekan tersebut dapat mempengaruhi keyakinan akan kemampuan dirinya dalam menghadapi tugas. Jika ada hal negatif, seperti lelah, kurang sehat, cemas, atau tertekan, akan mengurangi tingkat Self-Efficacy seseorang. Sebaliknya, jika seseorang dalam kondisi prima, hal ini akan berkontribusi positif bagi perkembangan Self-Efficacy. 3. Indikator Self-Efficacy Menurut Bandura (1997: 42-43), dimensi-dimensi Self-Efficacy yang digunakan sebagai dasar bagi pengukuran terhadap Self-Efficacy individu adalah : a. Magnitude. Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas yang diyakini oleh seseorang untuk dapat diselesaikan. Jika individu dihadapkan pada masalah atau tugas-tugas yang disusun
menurut tingkat kesulitan tertentu maka Self-Efficacy nya akan jatuh pada tugas-tugas yang mudah, sedang, dan sulit sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan bagi masing-masing tingkatnya tersebut. Dimensi kesulitan memiliki implikasi terhadap pemilihan tingkah laku yang dicoba atau yang akan dihindari. Individu akan mencoba tingkah laku yang dirasa mampu dilakukan dan akan menghindari tingkah laku yang dirasa berada di luar batas kemampuannya. b. Strenght Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan atau kelemahan keyakinan individu tentang kemampuan yang dimilikinya. Individu dengan SelfEfficacy kuat mengenai kemampuannya cenderung pantang menyerah dan ulet dalam meningkatkan usahanya walaupun menghadapi rintangan. Sebaliknya individu dengan Self-Efficacy lemah cenderung mudah terguncang oleh hambatan kecil dalam menyelesaikan tugasnya. c. Generality Dimensi ini merupakan dimensi yang berkaitan dengan keluasan bidang tugas yang dilakukan. Dalam mengatasi atau menyelesaikan masalah/tugas-tugasnya, beberapa individu memiliki keyakinan terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu dan beberapa menyebar pada serangkaian aktivitas dan situasi yang bervariasi. 4. Self-efficacy Siswa dalam Pemecahan Masalah Matematika Self efficacy adalah hal penting bagi setiap orang untuk menghadapi suatu masalah yang dihadapi. Hal ini diperkuat dengan bukti bahwa self efficacy sangat mempengaruhi kehidupan. Self efficacy juga sangat mempengaruhi kepercayaan diri, sedangkan kepercayaan diri adalah satu diantara aspek-aspek kepribadian yang penting dalam kehidupan manusia, yang terbentuk melalui proses belajar dalam interaksinya dengan lingkungan. Kepercayaan diri merupakan aspek
Subaidi, Self-Efficacy Siswa |67
kepribadian manusia yang berfungsi penting untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki manusia. Penelitian yang dilakukan Belz dan Hacket pada tahun 1983, (Pajares, 2002:11) melaporkan bahwa dengan self efficacy yang tinggi, maka pada umumnya seorang siswa akan lebih mudah dan berhasil melampaui latihan-latihan yang diberikan padanya, sehingga hasil akhir dari pembelajaran tersebut yang tercermin dalam prestasi akademiknya juga cenderung akan lebih tinggi dibandingkan siswa yang memiliki self-efficacy lebih rendah. Sedangkan menurut siswono (2008) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan dalam pemecahan masalah : 1. Pengalaman awal, yaitu pengalaman terhadap tugas-tugas menyelesaikan soal cerita atau soal aplikasi. Pengalaman awal seperti ketakutan (phobia) terhadap matematika dapat menghambat kemampuan siswa dalam pemecahan masalah. 2. Latar belakang matematika yaitu kemampuan siswa terhadap konsepkonsep matematika yang berbedabeda tingkatnya dapat memicu perbedaan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. 3. Keinginan dan motivasi yaitu dorongan yang kuat dari dalam diri(internal), seperti menumbuhkan keyakinan saya “bisa” maupun eksternal, seperti diberikan soal-soal yang menarik,menantang, kontekstual dapat mempengaruhi hasil pemecahan masalah. DAFTAR PUSTAKA Bandura, Albert. 1997. Self-Efficacy The Excercise of Control. USA: W. H Freeman and Company. _____________. 1993. “Perceived SelfEfficacy in cognitive development and functioning”. Educational Psychologist. 28(2), 117-148. Borovik, Alexandre V and Gardiner, Tony. 2006. “Mathematical Abilities and Mathematical skills”. Word Federation of National Mathematics
4. Struktur Masalah yaitu struktur masalah yang diberikan kepada siswa (pemecahan masalah), seperti format secara verbal atau gambar, kompleksitas (tingkat kesulitan soal), konteks (latar belakang cerita atau tema), bahasa soal, maupun pola masalah satu dengan masalah yang lain dapat mengganggu kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Dari keempat faktor yang mempengaruhi pemecahan masalah tersebut, tampak salah satunya adalah keyakinan dan motivasi, dimana keyakinan dan motivasi ini sangat terkait dengan Self-Efficacy. Hal ini menunjukkan bahwa Self-Efficacy memiliki dampak langsung terhadap kemampuan matematika. Oleh karena itu, seorang guru perlu mengetahui dan mengarahkan agar siswa memiliki SelfEfficacy sehingga siswa mampu memecahkan masalah matematika. PENUTUP Self-efficacy sangat berperan penting dalam segala hal, terutama bagi siswa yang sedang memecahkan masalah matematika. Dengan adanya rasa self-efficacy yang tinggi dalam diri siswa diharapkan dapat berhasil dalam memecahkan masalah matematika. Untuk menanamkan self-efficacy siswa yang tinggi, maka guru perlu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, mengaktifkan dan mengembangkan keyakinan diri serta selalu memberi motivasi yg baik.
Competition Conference 2006, Cambridge, England, July 22-28, 2006. Nuharini, Dewi dan Wahyuni, Tri. 2008. Matematika Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional Kusaeri. 2011. Transformasi Nilai-Nilai Karakter Melalui Pelajaran Matematika di Sekolah. Aksioma: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika, 2(1), 21-32.
68|∑IGMA, Volume 1, Nomor 2, Maret 2016, Hlm 64-68
Leonard dan Supardi U.S. 2010. “Pengaruh Konsep Diri, Sikap Siswa pada Matematika, dan Kecemasan Siswa terhadap Hasil Belajar Matematika”. Cakrawala Pendidikan XXIX, 3:341-352. Polya G. 1973. HowTto Solve It: A New Aspect of Mathematical Method. Princeton, New Jersey: Princeton University Press. Prakoso, Heru. 1996. “Cara Penyampaian Hasil Belajar untuk Meningkatkan Self-Efficacy Mahasiswa”. Jurnal Psikologi. 2, 11-22. Robbins, Stephen P. 2003. Perilaku Organisasi Jilid 1. Jakarta: Indeks Kelompok Gramedia. Schunk, D. H. (1991). “Self-efficacy and academic motivation”. Educational Psychologist, 26, 207-231. .
Shadiq, Fajar. 2007. Apa dan Mengapa Matematika Begitu Penting ?. Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Matematika, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional. Siswono, Tatag Y. E. 2008. Model Pembelajaran Matematika Berbasis Pengajujan dan Pemecahan Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif. Surabaya: Unesa University Press. Zimmerman, Barry J. 2000. “Self-Efficacy: An Essential Motive to learn”. Contemporary Educational Psycology, 25, 82-92