Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 Hidup Menggereja Yang Aneh Anselmus Puasa1
[email protected] Abstrak Pokok kajian tulisan ini adalah Eksistensi Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) yang sedang mengalami kisruh, karena konflik kepengurusan ganda. Konflik kepengurusan di tingkat sinodal ini, turut serta mempengaruhi dan melibatkan kehidupan di jemaat-jemaat. Terjadi pro-kontra di jemaat-jemaat GMIH. Ada jemaat yang memilih tetap setia dengan pengurus lama, maupun ada jemaat yang memilih ikut mendukung dan bergabung dengan pengurus yang baru. Akan tetapi ada juga jemaat yang menyatakan sikap untuk tidak berpihak kepada salah satu pengurus yang ada. Artinya mereka lebih memilih untuk berdiri di tengah (poros tengah ? ), dengan satu alasan, sampai masalah (kisruh dualisme kepengurusan sinode) yang ada ini selesai, dan GMIH dinyatakan utuh kembali, barulah mereka kembali bergabung. Asumsi yang dibangun sebagai penyebab terjadinya kisruh sehingga melahirkan dualisme kepengurusan, sering dikaitkan dengan persoalan politik (Pilkada yang baru lalu). Karena itu ada orang-orang tertentu memobilisasi warga pro pengurus lama untuk melakukan demonstrasi-anarkhis terhadap pemda Halut dan terhadap pendukung gerakan pembaharuan. Asumsi lain, penyebab sesungguhnya adalah karena soal kepemimpinan (pengurus lama) yang dinilai telah melenceng jauh dari ideal nilai dan norma alkitabiah. Dan juga mereka (pemimpin) telah kehilangan moralitas dalam menjalankan kepemimpinannya. Pelanggaran-demi pelanggaran terhadap konstitusi, terus dilakukan. Belum lagi penyelewengan terhadap asas hidup menggereja “Presbiterial Synodal” yang coba digantikan dengan asas “episkopal-otoriter.” Sehingga para pemimpin gereja tampil layaknya seorang penguasa yang bertindak sewenang-wenang dalam segala hal. Akibat lain adalah terjadinya, penyelewengan keuangan (dana pensiun) gereja. Kondisi seperti itulah, oleh sekelompok warga GMIH lainnya, mengharuskan GMIH dibaharui. Meskipun untuk itu, ada yang harus menjadi korban karena tindak kekerasan, penganiyaan, pengusiran, caci maki dan hujatan dari sesama warga GMIH. Fakta-fakta yang disebutkan terakhir itulah yang dikaji dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan hermeneutic kecurigaan (hermeneutic suspicion), guna menjawab asumsi yang sudah dibangun di atas, dengan harapan dapat menolong gereja ini, agar bisa keluar dari kekisruhan yang ada. Kata-kata Kunci: gereja, politik, kepemimpinan, demonstrasi, kenabian
1
Staf Pengajar pada Fakultas Teologi Universitas Halmahera.
Page | 75
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 Pendahuluan Gereja pada hakikatnya adalah persekutuan orang-orang yang menaruh percaya kepada Yesus Kristus. Dan sebagai persekutuan yang hidup di dalam dan bersama Kristus, maka didalamnya ada ‘ikatan bathin’ yang sangat erat dan mengikat sesama anggota yang ada dalam persektuan tersebut (lih.Darmaputra, 2002:104). Yang dimaksud dengan persekutuan orang percaya itu bukanlah semacam kerumuman orang banyak, atau perkumpulan karena ikatan profesi yang sama ataukah berdasar pada hobi yang sama. Sebab kata persekutuan itu sesungguhnya berasal dari kata Yunani: koinonia, arti dasarnya adalah orangorang yang saling memberi, atau saling berbagi satu dengan yang lain. Secara teologis persekutuan yang bernama gereja itu adalah “Tubuh Kristus” yang saling memberdayakan, saling melengkapi, saling menopang, saling menguatkan, saling mengasihi, saling mengingatkan, sebagaimana yang ditunjukan oleh jemaat mula-mula (Kisa Para Rasul 2:41-47). GMIH bukanlah perkumpulan orang-orang yang secara etnis dan atau berbudaya Halmahera. Tetapi GMIH adalah gereja yang berkepalakan Tuhan Yesus Kristus. dan oleh Tuhan, sebagai pendiri dan pemilik GMIH, menempatkan gereja-Nya itu di pulau Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya untuk menjalankan tugas dan tanggungjawab sebagai pengemban misi Allah di tengah-tengah dunia. Sehingga syalom Allah dalam pengertian yang luas-luasnya, yakni hidup dalam pembebasan, kelepasan, dan kemerdekaan, benar-benar dapat dirasakan dan dinikmati oleh kita sebagai umat manusia dan bahkan seluruh mahluk yang ada di dunia. Ideal hidup menggereja yang diperagakan dan diteladankan oleh
jemaat mula-mula yakni hidup dalam persekutan, hidup dalam kebersamaan, hidup dalam solidaritas, hidup dalam keutuhan, itulah yang mesti dihidupi oleh gereja disegala abad di segala tempat. Atau dengan kata lain, yang namanya gereja mestinya pola dan gaya hidup, mencerminkan pola dan haya hidup Yesus Kristus. Sebab gereja yang tidak mencerminkan Kristus, tidak bisa lagi disebut gereja(Darmaputra, 2002:105). Pertanyaan yang dapat diajukan bagi warga GMIH sekarang ini, masihkah GMIH meneladankan pola dan gaya hidup Yesus Kristus ? Atau jangan-jangan apa yang diidealkan itu, sebagaimana yang dihayati dan dipraktekkan oleh jemaat mula-mula, tidak lagi diidealkan dan dipraktekkan oleh warga GMIH sekarang ? Jawaban atas persoalan ini, dapat ditemukan dalam realitas yang dialami GMIH saat ini. Sejak melakukan persidangan sinode di Dorume pada Agustus 2012, tuntutan akan pembaharuan hidup menggereja terus didengungkan, baik secara pribadi, maupun secara jemaat. Pada peringatan Hari Reformasi 31 Oktober 2012, diadakanlah seminar, seputar semangat Reformasi yang dilakukan Martin Luther dahulu, dan bagaimana relevansinya bagi GMIH sekrang ini. Pada seminar itu diputuskan dan ditetapkan beberapa personil, untuk membuka pendekatan kepada pihak BPHS-GMIH untuk melakukan dialog secara terbuka, seputar hidup menggereja yang dipandang tidak gerejawi lagi. Sayangnya, tuntutan untuk melakukan reformasi itu, tidak mendapat sambutan positif dari pihak BPHS-GMIH. Akibatnya, gerakan reformasi itu terus menguat. Sehingga pada bulan September 2013, diadakanlah Sidang Sinode Istimewa yang menghasilkan kepengursan BPHS yang baru. Page | 76
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 Makanya, sejak saat itu, terjadi “dualisme” kepengurusan di sinode GMIH. Kepengurusan yang pertama adalah kepengurusan lama yang dipilih pada Sidang Sinode di Dorume (SSD) Loloda Utara, bulan Agustus 2012, dengan Ketua Sinodenya Pdt. Anton Piga dan Sekretaris Umum Pdt. Demianus Itje. Sedangkan yang kedua adalah kepengurusan baru hasil undian pada Sidang Sinode Istimewa (SSI) bulan September 2013 di Gamsungi Tobelo, dengan Ketua sinodenya Pdt. Lewian Sambaimana dan Sekretaris Umum Pdt. Alven Ternate. Bila kita mengandaikan GMIH ini sama dengan mobil (sebenarnya GMIH mensimbolkan diri sebagai bahtera/perahu sebagaimana tertera dalam Logo GMIH), maka sebetulnya mobil yang “dibelikan” atau diberikan oleh Tuhan Yesus sejak 6 Juni 1949 itu tidak diganti, tetapi sopirnya saja yang sudah diganti. Sidang Sinode Istimewa tidak mendirikan satu sinode baru atau menghadirkan sinode tandingan. Mobilnya tetap bernama GMIH. Cuma sang sopir dan para kondekturnya yang diganti. Sayangnya para pengurus yang lama tidak mau turun, mereka tetap bertahan. Akibatnya terjadi dualisme kepemimpinan. Rupanya persoalan pergantian kepengurusan itu, terbawabawah sampai ke ranah jemaat-jemaat. Saling memprovokasi di antara sesama para penumpang, terus meningkat, memanas dan mengganas, sehingga terjadilah kisruh yang berkepanjangan. Akhir-akhir ini kisruh GMIH yang seharusnya hanya terjadi di tingkat pengurus sinode telah berubah menjadi konflik yang semakin tajam dan sudah mengarah pada tindakan kekerasan di antara sesama warga GMIH itu sendiri. Salah tindak kekerasan yang dilakukan secara sistematis adalah dirancangnya pertemuan yang bersifat sinodal, tapi bukan dalam kerangka mengadakan persidangan, tetapi melakukan
demonstrasi, dan sekaligus aksi-aksi yang sudah mengarah pada tindak kekerasan. Rancangan strategis itu diatur oleh sekelompok anak muda, yang dijadikan sebagai pion dari eliteelite gereja. Kelompok anak muda yang mengorganisir dan menggerakan demonstrasi itu menamakan diri mereka Front Masyarakat Peduli GMIH (FMP-GMIH) yang dipimpin oleh Richo Djanti dan Hernal Ewy. Memasuki minggu terakhir bulan Februari 2014, FMP-GMIH mengedarkan surat ke jemaat-jemaat yang pro kepengurusan SSD. Maksud dan tujuan surat tertanggal 27 Februari (Lihat Surat bernomor: FMP/GMIH/003/2014, perihal: Pemberitahuan Pengaturan Aksi Suara Kenabian, yang ditandatangani oleh Ketua Richo Djanti dan Sekretarisnya Hernal Ewy) yang dikirim ke jemaat-jemaat pro kepemimpinan lama, merupakan suatu pemberitahuan dan pengaturan untuk melakukan aksi demonstrasi besar-besaran terkait dengan kisruh GMIH. Selain surat, disusul juga dengan pesan singkat via SMS, yang isinya meminta dukungan untuk melakukan demonstrasi pada hari Senin 3 Maret 2014. Suara Keprihatinan Memang benar, pada hari Senin 3 Maret 2014, warga gereja mulai berdatangan dari jemaat-jemaat, dan mereka berkumpul di Kantor Sinode GMIH jl. Kemakmuran Tobelo. Sebelum mengadakan demonstrasi, sebagai warga gereja dan sebagai orang percaya, mereka membuka kegiatan itu dengan bernyanyi dan berdoa, dan sesudah itu ratusan warga gereja ini mulai bergerak (ada yang berjalan kaki, berkendaraan Truck, mobil angkutan umum, sepeda motor, dll). Adapun sasaran demonstrasi sesuai surat pemberitahuan ke jemaat-jemaat, adalah Page | 76
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 Polres Halmahera Utara (Halut), Kantor Bupati Halut, Kantor DPRD Halut, Kantor Depag halut, Kediaman Ruddy Tindage (wakil ketua KPID Maluku Utara) dan Sekretariat Kelompok SSI. Apa yang dilakukan oleh warga gereja ini adalah dalam kerangka menyuarakan suara keprihatinan terhadap pemerintah dan masyarakat lewat aksi demonstrasi. Melakukan aksi demonstrasi dalam negara demokratis, merupakan suatu kewajaran dan sah-sah saja. Sebab demonstrasi dianggap sebagai wadah untuk menyampaikan aspirasi masyarakat yang berupa keprihatinan dan protes yang berisi tuntutan-tuntutan tertentu kepada pihak pemerintah atau kepada pihak-pihak yang dianggap berkompeten untuk menjawab tuntutan para pendemo. Sebagaimana yang dilakukan oleh ratusan warga GMIH ini. Mari kita perhatikan apa saja yang menjadi tuntutan para pendemo yang mengatas namakan sebagai warga GMIH. Sesuai Surat nomor: FMP/GMIH/005/2014, tertanggal 3 Maret 2014, Pernyataan Sikap mereka dinyatakan dengan 5 tuntutan yang mereka sampaikan dan tegaskan yakni: (1) Menegaskan kepada Hein Namotemo, Bupati Halamera Utara untuk menghentikan segala aktivitas politisasi agama/keyakinan yang telah mengacaukan GMIH; (2) Menegaskan kepada kepolisian RI untuk membubarkan Kelompok SSI/Pembaruan yang telah menghancurkan GMIH; (3) Menegaskan kepada DPRD Halut untuk melakukan impeachment kepada Hein Namotemo, Bupati Halut, karena telah melanggar sumpah dan janji jabatan serta mengacaukan dan meresahkan masyarakat Maluku Utara pada umumnya dan umat Tuhan di GMIH;
(4) Menegaskan kepada Kementrian Agama RI untuk bersikap tegas dalam tindakan terhadap Hein Namotemo, Bupati Halut karena sampai saat ini yang bersangkutan tidak mengindahkan surat-surat yang diterbitkan Kementrian Agama RI dalam kaitan dengan upaya-upaya penyelesaian ksiruh GMIH di mana actor intelektual dan pelaku kekcauan ialah Hein Namotemo: (5) Bila empat sikap di atas tidak diindahkan, maka Hein Namotemo harus dicopot dari jabatannya sebagai Bupati Halmahera Utara sebelum bulan Maret 2014 berakhir. Memperhatikan lima tuntutan yang disampaikan para pendemo ini sepertinya syarat dengan muatan politis. Pertanyaannya mengapa kisruh yang dialami oleh warga GMIH sekarang ini harus diminta pertanggungjawabannya kepada seorang warga GMIH yang bernama Hein Namotemo ? Memang selama ini ada asumsi yang dibangun dan yang berkembang, entah oleh siapa, tetapi yang pasti bahwa asumsi yang beredar di mana-mana, bahwa persoalan yang dialami oleh GMIH ini, dan yang menjadi biang keroknya adalah dua orang anak GMIH, yakni Hein Namotemo dan Namto Hui Roba. Konon, Hein Namotemo dan Namto Hui Roba, marah kepada pihak Sinode GMIH secara khusus kepada pihak pengurus sinode (BPHS) yang tidak memberi dukungan politik kepada kedua orang warga GMIH ini, ketika mereka berdua mencalonkan dirinya sebagai kandidat gubernur Maluku Utara pada pemilihan gubernur 2013 yang lalu. Makanya kedua penguasa yang kebetulan warga GMIH itu pun mulai menarik dukungan kepada pihak BPHS. Caranya ? Namto membentuk Gereja Protestan di Halmahera Barat, sedangkan Namotemo membentuk Sekretariat Pembaharuan di Tobelo, Halmahera Utara. Benar tidak asumsi Page | 77
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 yang dibangun selama ini, tetapi bgitulah asumsi yang dikembangkan selama ini. olehkarena itu, dalam hal ini, sangat dibutuhkan suatu penelitian dan kajian yang jujur dan objektif, dari pihak-pihak yang tidak ada interest pribadi atau kelompok, sehingga kita saling tuding tanpa dasar. Kembali pada persoalan menyuarakan suara keprihatinan kepada pihak pemerintah khususnya di Halbar dan di Halut, mestinya dilihat dari substansi dan urgensi yakni kebijakankebijakan seperti apa yang telah merugikan gereja yang dilakukan oleh pihak pemerintah secara khusus apa yang telah diperbuat oleh Ir. Namto Hui Roba di Halbar dan Ir. Hein Namotemo di Halut ? Mungkin bagi pendemo dan yang mengotaki demo tersebut, marah sebab kedua tokoh ini dianggap mendalangi berdirinya Gereja Protestan (GPH) di Halbar, dan Sekretariat Pembaharuan di Halut. Atau dengan bahasa kasarnya, kedua orang inilahyang “mengotaki” terjadinya perpecahan dalam tubuh GMIH. Satu sisi, pemikiran seperti itu ada benarnya juga. Makanya bagi kebanyakan warga yang melihat dari sisi ini, juga ikut-ikutan marah; dan lantas marah yang tidak dapat ditahan itu, warga juga tidak bisa mengontrol emosi mereka. Warga yang gampang marah, akan gampang juga diarahkan dan dikerahkan untuk melakukan tindakan kejahatan, atas nama gereja. Padahal sebagai warga sidi (warga gereja yang dewasa) sudah barang tentu, dewasa juga dalam pemikiran dan tindakan. Sehingga dapat melihat setiap persoalan dengan jelas dan terang, barulah mengambil sikap tegas, menerima dan atau menolak, berpihak atau melawan, apa yang kita dengar dan atau yang disampaikan kepada kita. Tetapi di sisi lain, pemikiran bahwa Namotemo dan Namto sebagai aktor utama terjadinya perpecahan
GMIH, ada salahnya juga. Kedua tokoh ini secara pribadi, mereka menjunjung tinggi hakikat hidup menggereja, bahwa sesungguhnya hakikat gereja adalah “PEMBAHARUAN” sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas. Amatan saya secara pribadi, bahwa kedua warga GMIH dalam pemerintahan ini, tidak menzalimi GMIH. Apa yang mau saya katakan ini, bukan dalam kerangka membela kedua pemimpin yang ada. Tetapi saya hanya mau membuka mata hati kita semua, agar kita dengan jernih menilai persoalan ini seobjektif mungkin. Seingat saya, Namotemo dan Namto, sangat mendukung kegiatan gereja. Untuk jelasnya, dapat dilihat pada data berikut ini: No
Nama Kegiatan Sidang Sinode XXVI
Waktu
Tempat
2007
2
Sidang Majelis Sinode I
28-31 Mei 2008
3
Sidang Majelis Sinode II
1-7 Juni 2009
4
Sidang Majelis Sinode III Sidang Majelis Sinode V
13-17b Januari 2010 12-17 Februari 2012
6
Sidang Sinode XXVII
23-29 Agustus 2012
7
Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-Gereja di Indoneisa (MPL-PGI) Sidang Majelis
2012
Jemaat Tiga Saudara Ibu Halbar Jemaat Betlehem, Wosia Tobelo Halut Jemaat Efrata Tedeng Jailolo Halbar Jemaat Baitel Kao Halut Jemaat Elim Mawea Tobelo Halut Jemaat Solagratia Dorume Loloda Utara Halut Tobelo Halut
1
5
8
Februari 2013
Jemaat Betlehem
Page | 78
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 Sinode I
Wosia Tobelo Halut
Cat: Lihat Laporan Badan Pekerja Harian Sinode GMIH Periode 20072012 Pada Sidang Sinode XXVII Dorume, 23-29 Agustus 2012, yang diberi judul “Perjalanan Melintas Dari Tiga Sudara Ibu Menuju Dorume Loloda Utara: “Sebuah Untaian Merajut Kehidupan Yang Memberdayakan.” Hal. 19. Data di atas secara jelas menunjukan bahwa 2 kali pertemuan gerejawi diadakan di Halmahera Barat, dimana Namto Hui Roba sebagai bupatinya, sedangkan 6 kali persidangan gerejawi lainnya berlangsung di wilayah Pemerintahan Halmahera Utara, dibawah kepemimpinan Bupati Ir. Hein Namotemo. Kedua pemimpin Kristen ini mendukung secara sungguh-sungguh dalam doa dan juga memfasilitasi setiap persidangan gerejawi dengan doi (finansial). Para peserta persidangan gerejawi dan pertemua yang bersifat gerejawi, mendapat suntikan dana bahkan tenaga dari kedua warga GMIH yang kebetulan dimandatkan oleh Tuhan memimpin daerah Jio Talai Padusua di Halbar dan negeri Hibualamo di Halut. Selain itu, ada saja kebijakan yang mereka buat guna mendukung upaya memberdayakan dan melancarkan pelayanan gereja. Bantuan pembangunan kantor sinode, bantuan bangunan gereja di jemaat-jemaat, bantuan beasiswa bagi pendeta yang berstudi, refreshing bagi para pendeta Tour ke Tanah Suci, dan sangat mungkin bantuan berupa uang saku yang tidak terhitung jumlahnya yang diserahkan secara sukrela bagi para petinggi gereja dan lain sebagainya. Ternyata bantuan sukarela itu, tidak hanya diberikan oleh bapak Namto, dan bapak Namotemo, juga oleh bapak
Welhelmus Tahalele (mantan Bupati Halmahera Timur). Asumsi orang banyak, jangan-jangan karena kedua orang ini, sudah menutup kran bantuan itu, maka mereka pun jadi marah dan berdemo ria, sebab merak tidak bisa lagi berdoi ria. Jadi agak sedikit aneh, bila para pendemo yang tidak lain adalah warga GMIH itu menuntut Bupati Hein Namotemo menghentikan “politisasi agama.” Mengapa aneh ? Sebab yang melakukan “politisasi agama” selama ini, jangan-jangan bukan Namotemo dan Namto sebagai bupati, tetapi sebetulnya yang melakukan politisasi agama adalah para pemimpin gereja yang terjun dalam “politik praktis.” Oleh karena itu, mestinya para pendemo itu mempertanyakan kepada para pemimpin gereja versi SSD serta para kroni mereka yang ada di kantor sinode jln.Kemakmuran, yang semuanya adalah para politisi, yang dengan sadar telah memanfaatkan gereja untuk menggapai mimpi politik mereka. Atau dalam bahasa lain, para elite gereja yang juga berprofesi sebagai seorang politisi, ternyata selama ini telah menggadaikan gereja demi tercapainya nafsu dan keserakahan politis mereka. Selain alasan yang telah dikemukan di atas, satu hal menarik yang perlu dikritisi adalah soal memilih waktu untuk berdemo. Memilih hari untuk berdemo pada Senin (3/3/2014), hari yang bertepatan dengan hari dimana Mahkamah Konstitusi melangsungkan sidang untuk memutuskan pemenang Pilgub Maluku Utara, merupakan suatu kebetulan yang disengaja. Sebab khalayak ramai di Maluku Utara tahu persis bahwa Kantor Sinode di Jln. Kemakmuran telah berubah fungsi menjadi kantor partai politik yang mendukung salah satu kandidat gubernur yang lagi bersoal. Bacaan orang-orang politik, demo warga gereja itu benar-benar syarat Page | 79
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 dengan kepentingan politik tersebut (baca: politisasi agama). Harap maklum, sebab pengurus gereja versi SSD dibawah kepemimpinan A. Piga dan D.Itje bersama teman-teman di kantornya adalah aktor-aktor politik yang menjadi tim sukses kandidat AHM-DOA. Jadi, jangan-jangan demo itu merupakan suatu tanda awas bagi kita semua, jikalau dukungan mereka diputuskan kalah dalam pemilihan itu (dan memang kalah), maka mereka akan mengadakan demo yang lebih besar lagi, sebagaimana ancaman yang disampaikan oleh kubu Pdt. A. Piga, akan mengkerahkan 50 ribu massa(Lih, Radar Halmahera, 06 Maret 2014). Aneh bin ajaib, seorang pendeta GMIH, secara terbuka menebar ancaman kepada pihak pemerintah untuk melakukan demo yang lebih besar lagi dari yang sudah mereka lakukan. Semua orang tahu, bahwa ancaman demo yang lebih besar lagi itu, merupakan suatu skenario, untuk membuat Maluku Utara berada dalam kondisi yang tidak nyaman dan tidak aman. Sehingga situasi yang tidak kondusif dan tidak stabil itu, dapat saja mempengaruhi KPU provinsi untuk tidak menetapkan dan kemudian batal melantik gubernur yang sudah diputuskan menang oleh Mahkamah Konstitusi. Bila itu yang terjadi, maka skenario mereka berhasil dan beriarialah mereka dalam hiruk-pikuk gemerlapnya pesta yang tidak tahu untuk apa pesta itu dirayakan. Analisis yang berbeda dapat dikemukakan di sini, bahwa ternyata ada suar-suara sumbang yang berkembang di kalangan warga gereja yang kritis, bahwa demonstrasi yang dilakukan oleh warga gereja pro pengurus SSD akhir-akhir ini, penuh dengan muatan politik 2014. Memang orang sepakat bahwa tahun 2014 adalah tahun politik. Makanya para politisi yang demi meraup keuntungan suara
untuk 2014 ini memanfaatkan gereja, dengan tampil seolah-olah sebagai Pahlawan Gereja yang datang mau membela kepentingan dan demi menyelamatkan gereja dari kehancuran. Padahal sesungguhnya mereka (politisi) menyimpan niat dan kepentingan sesaat mereka. Dengan kata lain, demonstrasi hari itu (Senin 3 Maret 2014), oleh para politisi yang kebetulan sebagai warga GMIH, dijadikan sebagai tolak ukur bagi pencapaian elektabilitas mereka pada 9 April 2014. Kira-kira ada berapa suara yang dapat mereka raih, sudah dapat dilihat dari jumlah demonstran yang datang pada hari itu. Atau paling tidak gaungnya, diharapkan dapat mempengaruhi warga GMIH pro SSD yang tidak sempat hadir untuk berdemonstrasi. Begitulah sikap dan karakter para oportunis, yang dengan cerdik dan licik memanfaatkan gereja dan jemaat dan bahkan memanfaatkan siapa saja, pokoknya semua kesempatan sekecil apapun itu, dimanfaatkan demi meraup keuntungan demi pemuasan nafsu kepentingan dirinya. Suara Kenabian Kehadiran gereja di tengahtengah dunia ini adalah dalam kerangka menyampaikan Kabar Baik atau Kabar Sukacita yang berasal dari Allah dalam Yesus Kristus. Apa isi Kabar Baik itu ? Isi Kabar Baik itu adalah memberitakan dan melakukan perintah Yesus.”Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat. Sembuhkan orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah setan-setan.”(Matius 10:7-8). Menurut kesaksian penginjil Lukas, ketika Yesus mengumumkan peran mesianikNya, Ia secara jelas dan tegas mengatakan bahwa misi-Nya adalah membawa “Kabar Baik bagi orang miskin, membebaskan tawanantawanan, penglihatan bagi yang buta Page | 80
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 dan kebebasan bagi yang ditindas” (Lukas 4:16-21). Sesungguhnya apa yang telah dikerjakan oleh Yesus itu merupakan tugas yang mesti dikerjakan oleh gereja sekarang ini. Itu berati gereja tidak hanya bersuara, tetapi juga sekaligus berupaya atau bekerja demi terwujudnya misi Allah dalam Yesus Kristus. Jadi Suara Kenabian yang mesti diperdengarkan oleh gereja, adalah suara keprihatinan atau suara-suara protes yang mesti secara terus-menerus didengungkan oleh gereja kepada dunia ini. Menurut Yewangoe, “kalau kita menghendaki pembaruan dalam masyarakat yang bersumber dari nilai agama, maka sikap kritis mesti diperdengarkan” (Yewangoe, 2011:46). Sehingga pada akhirnya dunia ini dapat berubah dari prilakunya yang salah dan jahat ke arah perilaku yang benar dan baik. Panggilan gereja untuk menjalankan fungsinya sebagai garam dan terang bagi dunia, sudah sewajarnya untuk dikumandangkan baik atau tidak baik waktunya. Sehingga dunia terhindar dari kebusukan dan kegelapan. Apa yang coba diupayakan oleh sekelompok warga gereja yang menamakan dirinya Front Masyarakat Peduli GMIH (FMP-GMIH), dalam mengkonsiliasi kondisi GMIH, sebenarnya patut diberi apresiasi. Sayangnya niat baik itu tidak lahir dari hati yang tulus. Sehingga upaya untuk menyuarakan “Suara Kenabian” itu justru berubah menjadi “Suara Kesangsian” belaka. Sebab tujuan hanya satu yakni menghancurkan gerakan pembaharuan. Mereka mau mencelakakan sesama warga gereja yang sudah dianggap tidak lagi sewarga atau lebih tepatnya telah dianggap sebagai musuh, yang mesti diburu, dan dilempari dengan batu. Jangan-jangan para demonstran itu memahami konsep melempar dengan batu itu dari kitab suci, secara khusus dalam teks-teks
Perjanjian lama. Padahal Yesus, ketika para ahli Taurat dan orang Farisi membawa seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah, dalam Hukum Musa, orang seperti itu harus dilempari dengan batu. Yesus setuju dengan Hukum Musa itu, tetapi bagi Yesus, siapa orang yang merasa tidak berdosa, dia-lah yang pertama melempari perempuan itu. Ternyata tidak ada seorang pun yang berani melakukan itu.(band.Yohanes 8:1-11). Sebab mereka sadar bahwa mereka juga tidak luput dari kesalahan. Kembali pada substansi demonstrasi yang dilakukan oleh warga gereja pro SSD, disebut Aksi Suara Kenabian. Tentunya semua orang berharap bahwa aksi menyampaikan suara kenabian itu akan berjalan damai dan penuh hikmat, sebab dilakukan oleh warga gereja. Ternyata realitas berbicara lain. Aksi demonstrasi pada hari itu sudah di luar batas kewajaran. Artinya demonstrasi yang dilakukan itu tidak lagi sekedar unjuk rasa, tetapi telah berubah menjadi unjuk raga, unjuk kekuatan yakni bertindak anarkhis yakni melakukan tindakan kekerasan baik secara verbal maupun secara fisik. Memang aneh, para demonstran tidak malu-malu mengaku sebagai warga Gereja Masehi Injili di Halmahera. Padahal sesungguhnya perilaku para pendemo itu tidak ada ciri-ciri gereja lagi atau tidak ada gambaran kekristenan didalam aksi tersebut. Sebab yang mereka lakukan itu, bukan lagi demonstrasi tetapi sudah merupakan suatu upaya penyerangan yang telah diatur secara terencana dan sistematis dan massif kepentingan politik bukan kepentingan gereja. Coba disimak, apa saja yang diperdengarkan oleh para demonstran di depan kantor Bupati ? Suara-suara yang diperdengarkan itu, adalah sederatan kata-kata , “Salom; dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus; SaudraPage | 81
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 saudara terkasih dalam TuhanYesus, kita semua berada dalam lindungan Tuhan berupa tiang awan di sianghari dan tiang api di malam hari; bertobatlah.. bertobatlah; dan lain sebagainya. Sayangnya kata-kata indah tidak mampu membendung mulut mereka untuk juga mengeluarkan katakata sampah dan kotor yang baunya amat sangat busuk. Jadi dari mulut yang sama keluar kata-kata pujian kepada Tuhan, dan juga cacian dan makian kepada sesama warga GMIH. Mungkin mereka semua sudah lupa apa yang pernah dipertanyakan oleh Yakobus, dapatkah mata air yang satu keluar air pahit dan air tawar ? Artinya, janganlah dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. (Yakobus 3:10-11). Para orator demo memulai orasinya dengan mengucapkan kata “Syaloom” tetapi setelah itu keluar sumpah serapah seperti: “binatang, babi, anjing, penjilat, tai yakis (kotoran monyet) gosi (makian untuk laki-laki), kuda cuki lebe bae (makian) papancuri (pencuri), sundal, nae orang pebini (selingkuh), sawang doi/ makan doi (korupsi), golojo (rakus), SSI itu : Setan Selingkuh Iblis, ngoni itu gereja setan… gantung pendukung SSI, bakar saja pa dorang, bunuh saja, bakar….”. Mendengar apa yang dikatakan oleh sejumlah warga gereja saat berdemo ini sepertinya mereka mengalami diviasi lahiria yang verbal dalam bentuk katakata makian (Kartono, 2011:16). “Kata-kata mutiara” ini kebanyakan ditujukan buat Bupati Halmahera Utara, dan Ketua Sinode serta umumnya para pendukung Pro Pembaharuan. Padahal sebenarnya katakata itu tidak pantas diucapkan oleh mereka yang menamakan dirinya orangorang gereja, apalagi para pendeta yang mengeluarkan kata-kata sakti tersebut, sungguh sangat luar biasa. Selain katakata indah dan kotor, para pendemo juga memperdengarkan nyanyian
berupa lagu-lagu rohani baik dari tape, maupun dari mereka sendiri. Sayangnya nyanyian-nyanyian gerejawi yang indah, justru mengiring para pendemo untuk melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Rasanya tidak cukup dengan caci maki, mereka juga melakukan pelemparan, pengrusakan baliho dan Papan Nama Kantor Sinode Vak 1 di depan Kantor Bupati Halut, dan pembakaran rumah miniature rumah adat Hibualamo yang berada di samping kiri kantor Bupati dan juga pembakaran beberapa rumah eks stand waktu Konggres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara:AMAN) yang berada di samping kanan kantor Bupati Halut. Perilaku warga gereja yang beringas seperti itu, oleh Eka Darmaputra digolongan sebagai warga gereja yang memiliki iman tanpa kesadaran atau tanpa pengetahuan. Oleh karena itu, janganlah kita mengagungkan hidup beriman secara lugu, padahal sebenarnya itu merupakan suatu kedunguan (2002:75). Beriman yang dungu bukanlah iman, sebab Yesus sendiri menghendaki agar kita mengasihi Tuhan Allah bukan hanya dengan perasaan (segenap hati dan jiwa) belaka tapi juga dengan akal budi (Lih. Matius 22:37). Itu berarti, iman dan pengetahuan atau iman dan pengertian (akal) tidak bertentangan sama sekali. Dengan kata lain, seorang beriman kepada Tuhan, tidak mesti menghilangkan nalar kritisnya. Upaya yang dilakukan oleh Front Masyarakat peduli GMIH, sudah barang tentu mendapat suntikan dana dan daya serta mendapat restu dari para pengurus lama sinode GMIH, bukanlah upaya yang tulus. Sebab mereka memanfaatkan keluguan warga gereja dengan cara memanipulasi kesadaran warga tersebut; sehingga warga bak terhipnoptis mengikuti apa saja yang mereka komandoi. Page | 82
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 Sangat disayangkan, para pemimpin gereja bukannya mengajarkan warga gereja untuk saling mengasihi, salingberdamai, saling mengampuni tapi justru menebar kebencian agar warganya saling mendengki; bukannya membimbing dan menuntun warga gereja untuk berbuat kebaikan terhadap sesama, tetapi sebaliknya mengarahkan warganya untuk berbuat kejahatan. Aneh bin ajaib, kejahatan warga gereja gereja ini diaminkan lewat doa dan nyanyian rohani. Warga seolah-olah diyakinkan dan dikuatkan bahwa apa yang mereka suarakan dan perjuangkan lewat aksi demonstrasi saat itu adalah benar-benar menyuarakan suara Tuhan dan memperjuangkan kebenaran dan keadilan Tuhan. Makanya salah seorang orator dengan berapi-api menyerukan agar pendukung gerakan pembaharuan untuk segera “bertobatlah sebab Kerajaan Sorga sudah dekat.” Seruan ini juga diikuti dengan permohonan “ Tolong Bapak bupati dan kroni-kroni, buka EFESUS pasal 10, baca dan hayati… tanda-tanda akhir zaman sudah dekat…..” Bukan main, sang orotor sama dengan tong kosong bunyinya nyaring, sejak kapan kitab Efesus ketambahan pasal ? Selain mengelabui jemaat dengan sederetan firman Tuhan, ada kebohongan yang paling ampuh adalah dengan mengatakan bahwa warga jemaat yang pro pembaharuan, bukan warga GMIH lagi. Pelabelan ini akan memperjelas dan sekaligus mempertegas identitas kelompok GMIH yang pro status Quo sebagai GMIH yang sejati, sedangkan warga GMIH pro pembaharuan adalah kelompok luar, yang layak dihancurkan dan dibasmi (Kimball,2003:207; Lih. Haryatmoko,2014:69-73). Dengan kata lain, fanatisme kelompok, atau narsisme yang berlebihan telah membutakan mata
hati mereka, sehingga tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan. Bukankah gereja ini pernah jatuh ke jurang pencobaan yang sangat dalam ? Tentu saja sebagai warga GMIH kita masih ingat pengalaman buruk yang pernah kita alami bersama pada tahun 1999-2002. Pengalaman buruk yang paling menyakitkan kita semua. Oleh karena provokasi murahan, dengan landasan yang paling mendasar yakni soal keyakinan yang berbeda, maka kita pun jadi lupa diri, kita lupa ajaran Tuhan Yesus, dan lalu kita pun saling membunuh di antara sesama keluarga, sesama marga, sesama saudara, sesama tetangga, sesama sahabat, sesama suku, sesama anak bangsa dan sesama anak-anak Adam. Mengapa sekarang harus terjadi lagi ? Padahal kita adalah satu dan sama, satu jemaat yang sama-sama adalah warga GMIH, sama-sama orang Kristen, samasama dibaptis dan diteguhkan dalam nama Allah Bapa, Anak (Yesus Kristus) dan Roh Kudus. Ya, mengapa gereja harus terjatuh lagi ? Kata Arief Budiman, kalau seseorang tanpa sengaja jatuh ke lubang, ini namanya tragedy. Akan tetapi bila kemudian orang itu jatuh dan jatuh dalam lubang yang sama, ini namanya komedi. Tapi yang jelasnya, komedi yang tidak lucu (Darmaputra, 2002:72). Tanggungjawab Politik Gereja Gereja tidak alergi terhadap politik. Karena itu, gereja punya tanggungjawab politik. Salah satu tanggung jawab politik itu adalah membangun kemitraan dengan pihak pemerintah. Hidup dalam kemitraan bersama pemerintah, tidak berarti bahwa gereja harus menutup diri, menutup mata terhadap persoalanpersoalan social politik yang terjadi dalam kehidupan bersama selaku bangsa dan negara. Oleh karena itu, Page | 83
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 fungsi saling control satu dengan yang lain sebagai mitra itu sangat penting. Terutama dalam saling memberi kritik, yakni kritik yang membangun satu dengan yang lain sangat diperlukan guna meningkatkan kemaslahatan hidup bersama selaku anak-anak bangsa. Dan tidak selamanya kritik itu mesti dilakukan dengan cara melakukan demonstrasi. Tetapi apa mau dikatakan, semuanya sudah terjadi, tinggal kita mau berefleksi dan mengambil makna dari setiap peristiwa yang kita buat atau tidak. Kenapa para pendemo tidak mengkritisi para pemimpin gereja mereka sendiri, yang sudah secara jelas memakai gereja hanya sebagai kuda tunggangan politik mereka ? Para pendemo yang tidak lain adalah warga GMIH, sudah seharusnya melepaskan kacamata kuda yang selama ini mereka pakai; sehingga mereka dipaksa hanya bisa melihat satu arah. Padahal di sekitar mereka ada banyak hal yang mesti dikritisi. Pertanyaannya sederhana, mengapa ada warga GMIH yang secara berani dan terbuka mengkritisi para pemimpin gereja mereka sendiri,ketika kebanyakan warga memilih untuk diam ? Ada dua alasan, sebagai jawaban atas pertanyaan yang ada ini. Pertama, mereka berani mengkritik karena mereka tidak memakai kacamata kuda, sehingga mereka dapat melihat secara jelas segala kekurangan dan kelemahan para pemimpin gereja yang ada. Tentunya kritik mereka itu, bukan berarti bahwa mereka tidak punya kelamahan dan kekurangan. Bukan ! Tetapi sekali lagi kritik para warga gereja terhadap pimpinan gereja yang sedang berkuasa itu dilandasi dengan rasa kecintaan mereka terhadap gereja itu sendiri. Kedua, kritik terhadap pemimpin gereja, karena mereka sangat concern terhadap pembaharuan gereja. Sebab memang gereja pada hakikatnya adalah
PEMBAHARUAN, sebagaimana semangat yang dianut oleh gereja-gereja protestan, yaitu: ecclesia reformata semper roformanda. Semua warga GMIH khususnya para pelayan khusus (pendeta, penatua dan diaken) yang setia mengikuti setiap persidangan gerejawi selama ini, tentunya tahu betul (ada yang pura-pura tidak tahu atau tidak mau tahu) kondisi hidup menggereja yang sebenarnya. Apalagi terkait dengan para elite gereja (pengurus sinode) yang punya kedekatan dan kelekatan dengan kursi kekuasaan sebab sudah merasakan kelezatan madunya partai politik. Sehingga mereka dikritik habis-habisan oleh sebagian warga gereja yang kritis. Sebagaimana yang terjadi pada persidangan sinode di Dorume Agustus 2012, Ir. Namto Hui Robe, secara terang-terangan, keras dan tegas menyatakan dalam spanduknya bertuliskan “kembalikan gereja pada fungsinya.” Tentu saja dalam pengamatannya, Namto melihat bahwa gereja telah diselewengkan fungsinya, oleh para petinggi yang bertahta di kantor sinode jln. Kemakmuran Tobelo itu. Pdt. A. Piga menjadi pengurus partai politik (dewan Pembina Partai Golkar Halut) yang berlambang pohon beringin untuk periode 2010-2015. D. Itje, kemudian dalam jabatannya sebagai seorang Sekretaris Umum Sinode GMIH, tanpa risih sedikitpun, dan tanpa malu-malu mau menjadi bintang iklan dengan pakaian kebesaran pendeta (toga hitam dan stola hijau) di TV One dan TVRI untuk mendukung kandidat gubernur Malut AHM-DOA. Kedekatan dan kelekatan para petinggi gereja dengan partai politik, berlawanan sangat dengan konstitusi yang telah ditetapkan bersama selaku gereja Tuhan. Peraturan No. 1 Tentang Sinode, Bab IV, Pasal 13 perihal “Persyaratan Umum Anggota BPHS” Page | 84
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 pada point ‘m’ tercatat “Khusus bagi pendeta bersedia bekerja penuh waktu dan menetap di Tobelo.” Pdt. A. Piga pada waktu bersamaan dalam kedudukan sebagai seorang Ketua Sinode GMIH, beliau juga memegang jabatan sebagai ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Halmahera Utara untuk periode 2010-2015; juga sebagai Wakil Ketua FKUB Provinsi Maluku Utara dan sebagai Ketua Persekutuan Gereja Indonesia Wilayah (PGIW) Maluku Utara. Sedangkan pada Peraturan No.4 Tentang Pelayan Khusus, Bab II Pasal 2 perihal Syaratsyarat Pendeta, pada point ‘f’ dinyatakan “Tidak menjadi Pengurus Partai Politik.” Peraturan yang sama, Pasal 8 perihal Disiplin dan Pemberhentian Pendeta, point ‘i’ tercatat “Menjadi Pengurus Partai Politik.” Bertitik tolak dari peraturan yang ada ini, maka sudah sewajarnya Pdt. A. Piga diberhentikan dari kedudukannya sebagai ketua sinode dan tidak hanya itu, beliau juga layak untuk diberhentikan dari jabatan kependetaannya. Sebab baju politik yang mereka pakai secara sembunyi-sembunyi maupun secara terbuka, telah menciderai nurani kependetaan dan pelayanan mereka selama ini. Sehingga tanpa segan-segan dan tidak elegan mereka memakai kantor sinode jln. Kemakmuran layaknya kantor partai politik. Dan dari sanalah mereka merencanakan dan merancang demonstrasi yang demonistis. Dan itulah yang dikritisi oleh Ir. Hein Namotemo sebagai warga GMIH yang kebetulan dipercayakan sebagai Bupati Halut dan Ir. Namto Hui Roba yang juga adalah warga GMIH, yang kini masih dipercayakan memimpin Halmahera Barat sebagai Bupati. Kedua warga GMIH ini mengktirik secara tajam, tegas dan keras kepada A. Piga dan D. Itje sebagai pimpinan GMIH;
dan rupanya itulah yang membuat mereka berbalik marah dan merancang demonstrasi beberapa waktu lalu baik kepada Namto di Halbar maupun Namotemo di Halut. Padahal seharusnya, sebagai pelayan Tuhan, para pemimpin gereja itu seharusnya sadar dan berterima kasih atas kritikan itu, untuk memperbaiki pelayanan gereja agar menjadi lebih baik. Atau paling tidak, GMIH dibawah kepengurusan A.Piga dan D. Itje, merasa berhutang kepada Bapak Namto dan Bapak Namotemo, atas dukungan dan sumbangsih yang telah mereka berikan bagi pertumbuhan dan perkembangan gereja Tuhan yang mereka pimpin. Bukannya berterimakasih, malahan berbalik menghujat. Akhirnya semua orang yang kritis dapat memakluminya, bahwa kedua pemimpin gereja itu adalah pemimpin kacangan yang dapat diibaratkan dengan “kacang lupa kulitnya.” Gereja Pilatus Eksistensi GMIH yang membaharui dirinya di Halut dan sekitarnya, diidentikan dengan “gereja kekuasaan” karena yang “membidani” sehingga lahirnya kelompok pembaharuan dan Gereja Protestan di Halamahera Barat adalah Pemerintah Daerah, dengan para misionarisnya adalah oknum-oknum PNS, demikian hasil laporan umum BPHS hasil SSD pada waktu pelaksanaan Sidang Majelis Sinode di Weda (Lihat Keputusan No: 05/Kptss/SMS II/2013, tentang Laporan Umum BPHS- GMIH pada SMS II di Weda, 21-25 November 2013, hal. 24). Kritik sejumlah warga gereja terhadap bupati Halmahera Utara, dan Bupati Halmahera Barat dalam keterkaitannya dengan gerakan pembaharuan GMIH, harus dilakukan secara adil. Tuduhan bahwa kedua Bupati itu sudah melakukan “Politisasi Page | 85
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 Agama” jangan-jangan hanyalah prasangka tanpa dasar. Atau semacam sterotipe yang kita buat, tanpa pertimbangan logis dan rasional, dan lantas kita pun meanggap bahwa stertotipe yang kita buat sebagai satu kebenaran mutlak (Boeree,2010:101). Makanya dimintakan kepada kita semua untuk tidak menuduh orang sembarangan. Suatu tuduhan pada seseorang mesti dapat dibuktikan keobjektifannya, sebab kalau tidak, dapat dianggap sebagai suatu perbuatan yang tidak menyenangkan, sehingga dapat digugat sebagai pencemaran nama baik. Maka urusannya sudah berada di wilayah hukum. Secara khusus keterlibatan Pegawai Negeri Sipil di GMIH, harus ditempatkan bahwa mereka adalah pelayan Tuhan di jemaat-jemaat, di mana mereka terdaftar sebagai anggotanya di sana. Sebagai abdi negara para Pegawai Negeri Sipil ini juga adalah abdi Tuhan yang dipanggil untuk melayani. Sebab selama ini, GMIH secara institusi dan konstitusi tidak pernah melarang warga gerejanya yang kebetulan berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil, Tentara atau Polisi, Politisi, Pebisnis untuk menjadi pengurus di gereja atau jemaat, baik sebagai penatua, diaken dan pengurus bidang pelayanan Kaum Bapak, Kaum Ibu dan Pemuda. Sedangkan terkait dengan keterlibatannya Hein Namotemo di GMIH sebagai pengurus sinode sudah cukup lama, atau sudah berlangsung beberapa periode sebelumnya. Dan selama itu, tidak ada satu orangpun yang mempersoalkannya. Baru sekarang ini, ketika beliau berada atau bersama dengan kelompok GMIH yang dibaharui membuat semua orang menjadi berang. Dengan kata lain, kalau selama ini kita tahu bahwa ada indikasi bahwa keterlibatan para penguasa yang kebetulan adalah warga
GMIH, sebagai pengurus di gereja, hanya memanfaatkan gereja demi untuk kepentingan pribadinya, maka sebaiknya sudah diatur secara jelas dan tegas dalam konstitusi. Kembali soal konstitusi GMIH, tidak ada larangan terhadap warga gereja yang berprofesi sebagai anggota PNS, TNI, Polri atau Politisi untuk menjadi pengurus gereja. Itu berarti keterlibatan mereka dalam pelayanan gereja, bukan karena jabatan mereka atau bukan karena mereka mau melakukan “politisasi agama” tetapi karena panggilan pelayanan yang dipercayakan kepada mereka untuk dilaksanakan. Jangan-jangan, selama ini yang melakukan “politisasi agama” adalah para pemimpin gereja yang dalam posisinya sebagai pelayan khusus yakni dalam hal ini adalah pendeta. Kalau memang benar, para pendeta selama ini hanya memanfaatkan gereja hanya demi pemenuhan kepentingan politiknya, maka tidak dapat disangkal, para pendeta sudah mengalihakan gereja Tuhan menjadi gereja Pilatus. Bagaimana dengan GMIH ? Kita selaku warganya pasti mengaminkan bahwa GMIH adalah gereja Tuhan Yesus, bukan gereja Pilatus. Tapi benarkah demikian? Perlu kejujuran dalam menjawabnya. Jawabannya bukan terletak pada sederetan kata-kata indah dan puitis yang kita lafalkan. Jawabanya terlihat pada sikap dan perilaku hidup yang dipertontonkan atau yang disuguhkan oleh orang-orang yang mengaku dan memangku identitas sebagai warga GMIH yang tidak lain adalah pengikut Kristus Yesus. Dualisme kepengurusan GMIH sekarang ini semakin mempertajam konflik-konflik kecil berubah menjadi tindak kekerasan antara sesama warga GMIH. Bagi yang sering nonton Televisi, tiba-tiba ada berita tentang bom bunuh diri atau bom mobil yang menewaskan puluhan atau ratusan orang Page | 86
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 di salah satu negara di Timur Tengah, biasanya ada pihak-pihak yang mengaku bertanggungjawab atas insiden tersebut. Dari sudut pikir seperti itu, rasanya agak mengherankan, kok ada yang mengaku mau bertanggungjawab atas kejahatan berupa tindak kekerasan tersebut. Rasanya tidak mungkin kita akan menemukan hal yang sama seperti itu kini dan di sini di GMIH dewasa ini. Para pemimpin gereja dewasa ini hanya pandai menjadikan warga gereja sebagai objek pemuasan kepentingan pribadi semata-mata. Makanya tidak segansegan, para pelayan yang ada dalam kondisi terjepit, akan melemparkan kesalahannya pada warga gereja. Tanpa ragu dan malu sedikit pun, warga gereja dijadikan sebagai “kambing hitam” atas persoalan yang menimpa GMIH sekarang ini. Bila benar warga gereja dijadikan sebagai “kambing hitam” sudah dapat dipastikan para pelayan adalah kembing putihnya sedangkan para pemimpin gereja adalah kambing congeknya. Sebab mereka tidak pernah tahu dan tidak mau tahu dengan keluh kesah dari warganya sendiri. Yang dipentingkan adalah menjaga agar jabatan mereka, apakah sebagai ketua jemaat, sebagai kordinator wilayah dan sebagai pengurus sinode tetap berada dalam zona aman dan nyaman. Mentalitas para pemimpin seperti itu, karena mereka hanya memandang warga gereja yang mereka pimpin hanya objek semata, tidak lebih dan tidak kurang. Lantas gereja Pilatus itu, gereja seperti apakah itu ? Gereja Pilatus adalah gereja yang suka cuci tangan terhadap setiap persoalan, khususnya persoalan kemanusiaan. Gereja Pilatus adalah gereja yang dikelola dengan tangan kekuasaan. Sehingga gereja tidak lagi menjadi pusat bagi pelaksanaan rencana Allah bagi dunia
ini, di mana Allah dalam Yesus Kristus akan mendemonstrasikan hikmat dan kasih-Nya yang besar itu bagi segenap mahluk (Dever, 2010:5). Akan tetapi ditangan para pemimpin gereja yang lebih mementingkan popularitas dirinya, akan menjadikan gereja sebagai pusat perebutan kekuasaan duniawi maupun sorgawi. Gereja Pilatus adalah gereja yang hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri, dan tidak mau pusing dengan segala persoalan yang terjadi di sekitarnya (Yewangoe, 2009:5). dengan demikian gereja Pilatus adalah gereja yang kehilangan “sense of crisis” dan ‘sense of belonging” dan bahkan kehilangan “sense of conection.” Gereja Pilatus adalah gereja yang tidak mau pusing seperti Yesus yang pusing bila kehilangan satu domba saja. Namun para gembala yang berada di Gereja Pilatus dengan senang hati akan melepaskan dan mengusir ribuan kawanan domba Tuhan dari kandangnya. Oleh karena pemilik domba yang sebenarnya adalah Yesus yang adalah Kepala Gereja, dan sebagai Gembala Yang Baik. Sedangkan para gembala di gereja Pilatus, rela kehilangan domba, tapi takut kehilangan kandang. Kandang (baca:gedung gereja) lebih penting dari pada domba. Sebab kandang adalah kepemilikan, kandang adalah asset. Asset adalah modal (uang). Gereja Pilatus adalah gereja yang suka lepas tangan dan senang memakai kakinya untuk lari dari tanggungjawab. Begitulah faktanya, ketika pelbagai tindak kekerasan yang dimotori dan dikompori oleh para pemimin gereja, dan telah memakan korban, para pemimpin gereja pun memakai jurus seribu kaki untuk menghindari tanggungjawab. Mereka hanya pandai membuat soal, tetapi bodoh memberi jawab dalam mengambil tanggungjawab. Padahal mereka adalah pemimpin gereja, bukan Page | 87
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 kepala geng, atau pemimpin perampok. Sudah seharusnya para pemimpin gereja hidup dengan meneladani Sang Kepala Gereja yaitu Yesus Kristus. Sebab sejatinya gereja adalah komunitas perecontohan (Exemplary community), bukan komunitas perkontohan (kentut). Makna menjadi GMIH William Shakespeare pernah menggelitik kita semua dengan satu pertanyaan “apa arti sebuah nama ?” Orang-orang Jerman menjawab, “nama itu hanyalah asap dan bunyi belaka.” Akan tetapi bagi kebanyakan budaya pemberian nama kepada seseorang tentu punya arti dan makna tertentu. Begitu juga pemberian nama terhadap institusi, apalagi institusi keagamaan yang bernama gereja. Kata Gereja itu sendiri berasal dari bahasa Portugis igreja, yang berarti “kawanan domba yang dikumpulkan oleh seorang gembala”. Istilah atau igreja kata ini sebenarnya diterjemahkan dari bahasa Yunani, kata: ekklesia (ek: keluar dan klesia dari kata kaleo: memanggil). Jadi ekklesia berarti dipanggil keluar. Lalu kemudian diberi defenisi seperti ini, yakni “orang yang dipanggil keluar dari kegelapan menuju terang.” kumpulan orang-orang yang dipanggil dan dipilih oleh Allah untuk hidup dalam suatu persekutuan bersama Allah dan sesama, dan minta untuk pergi berbuat atau melakukan kebaikan kepada semua orang atau dengan kata lain membawa kabar baik kepada segala mahluk (bnd: Mrk 3: 1315; Mrk 16:15). Mengacu pada defenisi sebagaimana yang disebutkan itu, maka pada dasarnya ekklesia itu bukanlah organisasi tapi menunjuk pada persekutuan yang hidup, pertemua atau sidang (jemaat). Dalam pengakuan iman rasuli disebutkan “Gereja yang Kudus dan Am.” Gereja yang kudus, berarti gereja itu berasal dari Allah, ia
dikhususkan oleh Allah sebagai alat untuk menyatakan karya penyelamatan Allah di tengah-tengah dunia. Gereja yang Am berarti gereja itu bersifat universal, mendunia, meleti atau menerobos sekat-sekat kesukuan dan bangsa. Sebab karya keselamatan Allah itu juga bersifat universal, terbuka bagi siapa saja. Bertitik tolak dari pemahaman gereja seperti itu, makanya warga gereja itu disapa sebagai persekutuan orang percaya atau persekutuan o rang kudus. Hal itu bukan berarti bahwa warga gereja itu adalah kumpulan orang-orang suci tanpa cacat atau sempurna, melainkan hendak menunjukan kepada dunia bahwa yang disebut orang-orang percaya itu terus berusaha atau terus berjuang agar kehidupan mereka tetap berpadanan dengan Sang Kepala Gereja yaitu Yesus Kristus. Arti Masehi dalam Alkitab bahasa Arab adalah Al-Masih yang berarti “yang membasuh. Kata itu, diterjemahkan dari kata Ibrani Mesias yang artinya “diurapi.” Pilihan kata Masehi yang disandang oleh gereja Tuhan ini, bukan sekedar tempelan tanpa arti. Tetapi sungguh-sungguh merupakan suatu pengakuan bahwa gereja ini, adalah gereja yang benarbenar diurapi oleh Tuhan. Sedangkan kata Injili diambil dari kata Injil yang diterjemahkan dari bahasa Yunani kata euangelion berarti “kabar baik.” Gereja yang Injili berarti gereja yang senantiasa hidup sesuai dengan injil Yesus Kristus dan sekaligus gereja yang memberitakan kabar baik kepada semua orang dalam dunia di mana gereja itu berada. Dari sederetan arti yang disandangkan oleh umat Kristen khususnya warga GMIH, sungguh sangat indah dan maknanya sangat luar biasa. Secara sederhana arti dan makna nama GMIH adalah gereja yang diurapi oleh Tuhan Yesus. Gereja yang diurapi itu, mesti secara terus-menerus menjadi Page | 88
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 gereja yang injili, gereja yang hidup sesuai dengan injil Yesus Kristus dan sekaligus menjadi gereja yang menginjili, gereja yang memberitakan atau memberi kesaksian tentang Yesus Kristus adalah juruselamat dunia. Dan berita sukacita itu harus disebarluaskan di pulau Halamahera dan pulau-pulau sekitarnya. GMIH sebagai gereja yang diurapi dan yang injili harus menjadi contoh dalam segala hal, bagi segenap mahluk yang berada di pulau Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya. Tentu saja menyandang nama dengan pengertian yang hebat seperti itu, mestinya membuat kita semua yang menjadi bagian dari GMIH merasa bangga dan merasa terhormat. Oleh karena para pendahulu kita, benar-benar memiliki hikmat dan tuntutan Roh Kudus sehingga dengan secara cerdas memilih dan akhirnya menetapkan nama GMIH sebagai wujud dari identitas gereja Tuhan di Halmahera. Secara teologis, nama GMIH adalah pemberian atau anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada umat-Nya di Halmahera. Makanya Tuhan menempatkan GMIH di Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya untuk menjadi alat kesaksian-Nya. Menyandang nama yang nama yang sarat makna seperti itu, mensyaratkan ada tanggungjawab berat yang mesti dipikul dan dilaksanakan. Memiliki nama yang indah, mestinya selalu membawa kita untuk juga berperilaku indah dan menawan. Lantas bagaimana dengan kondisi yang kita alami sekarang ini, apakah kebanggaan sebagai warga GMIH masih kuat berakar dalam sanubari kita semua ? Bagi saya pribadi, kecintaan saya pada gereja Tuhan ini tidak pernah luntur. Akan tetapi rasanya kita tidak layak lagi menyandang nama yang indah dan hebat seperti itu. Sebagai orang yang berdiri dalam jajaran pelayan Tuhan, rasa malu ini tidak dapat terkatakan lagi. Mengapa tidak ?
Perilaku para pelayan (baca:pendeta) tidak lagi mencerminkan bahwa mereka adalah seorang pelayan. Melainkan mereka tampil layaknya seorang preman jalanan yang berwajah garang dan sangar dalam hingar bingar politik adu domba dan politik kekerasan. Sehingga tanpa rasa bersalah sedikipun mereka merencanakan dan merancang kejahatan dengan mengadu domba sesama warga GMIH dan bahkan tidak segan-segan mengusir dan bahkan mau membantai domba-domba Tuhan yang dipercayakan kepada mereka. Tindak kekerasan atas nama gereja itu terjadi di mana-mana yakni: pembakaran serta pengrusakan beberapa rumah yang terjadi di Tosoa pada hari Minggu, 2 November 2013, dilakukan oleh warga GMIH pro Anton Piga (status quo) terhadap warga GMIH yang pro Pembaharuan (GPH). Tindakan kekerasan di Jemaat Nita Duma, terjadi pada tanggal 9 Februari 2014, dimana dua warga jemaat yang Pro GMIH lama, yakni Feniks Ewy dan Wiro Gusman. Mereka melakukan pelemparan pastori jemaat. Akibat perbuatan itu, kedua orang itu akhirnya ditahan di Polsek Galela, selama kurang lebih dua minggu. Tindak Kekerasan di Mamuya yang paling berat terjadi pada hari Senin 24 Februari 2014. Sekitar jam 06.00, terjadi pengrusakan tempat ibadah darurat warga jemaat pro pembaharuan, yang dilakukan oleh warga jemaat pro status qou, bahanbahan bangunan untuk gereja 200 seng, lata 2 kubik, papan 2 kubik dan balok 6 kubik semuanya dibakar.Tidak puas dengan itu, warga GMIH pro Anton Piga, juga melakukan tindakan pengrusakan rumah warga GMIH pro pembaharuan (10 rumah yang dirusak). Akibat persitiwa tersebut warga GMIGH pro pembaharuan harus diungsikan ke Tobelo sebanyak 63 Kepala Keluarga (277 jiwa). Sedangkan persitiwa Wari Ino, terjadi pada hari Page | 89
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 Senin 3 Maret 2014. Sekitar pukul 19.00 sejumlah warga GMIH pro status quo, melakukan pelemparan dan pengrusakan tiga rumah keluarga pro pembaharuan yaitu: Kel. Giuffani Papuling, Kel. Dawilson Sadow, dan Kel. Jufriser Sibau. Akibat peristiwa itu, rumah keluarga-keluarga yang ada ini mengalami kerusakan (kaca, pagar, kursi, lampu-lampu jalan, dll) dan mereka juga harus mengungsi ke kerabat dan keluarga mereka, karena merasa takut dan terancam (traumatik). kasus Tosoa-Tuguare, kasus Gamlaha, kasus Duma, kasus Mamuya, kasus MKCM, kasus Wari Ino dan kasus-kasus lainnya. Ini bukan sebuah komedi tapi sesungguhnya ini adalah suatu tragedy dalam hidup menggereja yang mesti kita jalani sekarang ini. Dan entah sampai kapan semua ini akan berlalu. Tindakan yang tidak saja memalukan tapi sekaligus memilukan kita semua adalah ketika Kantor Sinode yang beralamat di jln. Kemamuran Tobelo telah dijadikan layaknya Kantor Politik dari partai tertenu, dan malahan kantor sinode sudah berubah menjadi sarang penyamun. Salah satu contoh: Beberapa kejadian dan tindak kekerasan yang terjadi di jemaat Imanuel Gamsungi, dilakukan oleh orang-orang yang bermarkas di Kantor Sinode Jl. Kemakmuran. Sebut saja pada Sabtu tanggal 14 Juni 2014, peristiwa tindak kekerasan pemukulan, penganiayaan dan pelemparan rumah jemaat-jemaat warga GMIH Imanuel Gamsungi yang bermukim di sekitar kantor sinode, para pelaku kejahatan itu berlindung di kantor sinode(lih. Radar Halmahera, Senin 16 Juni 2014). Akibatnya, semua pertemuan gerejawi, sudah berubah fungsi layaknya rapat partai politik. Makanya tidak heran, maksud mulia yakni mau menyatakan sikap sebagai wujud atas kepedulian kita bersama atas kondisi
GMIH kini yang dilakukan pada Senin 3 Maret 2014, telah diseting sedemikian rupa, sehingga melenceng dari tujuan tersebut. Maksud baik dan mulia akan rusak bila disampaikan dengan caracara yang tidak baik dan tidak mulia. Sama halnya, dengan demonstrasi yang dilakukan itu. Katanya untuk menyampaikan “Suara Kenabian” tetapi yang keluar justru “Suara Kebabian.” Refleksi Selama ini yang melakukan demonstrasi adalah warga masyarakat umumnya dan juga para mahasiswa. Jarang kita mendengar warga gereja melakukan demonstrasi. Akan tetapi soal “jarang” itu tidak berarti tidak boleh. Sudah disinggung bahwa sebagai warga negara, yang juga adalah warga gereja, tidaklah salah, bila menyampaikan aspirasinya lewat demonstrasi, sebagaimana yang pernah dilakukan di Halmahera Barat pada tanggal 9 Oktober 2013 maupun di Halmahera Utara yang dilakukan pada 13 November 2013 dan 3 Maret 2014 (Lih. Buletin Sangkakala GMIH, Edisi Khusus Maret 2014). Mencermati demonstrasi yang dilakukan oleh warga gereja ini, sepertinya tidak jauh berbeda dengan demonstrasi yang umumnya kita saksikan di Televisi. Persamaan yang paling mencolok adalah warga gereja yang datang untuk berdemonstrasi itu, ada yang tidak tahu sama sekali, substansi dari demonstrasi yang dilakukan. Seharusnya warga gereja menjadi teladan dalam hal berdemonstrasi atau menjadi contoh yang baik dalam hal menyampaikan aspirasi atau tuntutan lewat demonstrasi. Ternyata ragi dunia (dalam hal berdemosntrasi) telah menghamirkan gereja, sehingga warga gereja yang berdemo telah kehilangan jatidiri sebagai orang Kristen. Sehingga demo yang disertai dengan caci maki, Page | 90
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 dengan pengrusakan dan dengan pembakaran, dianggap wajar dan sahsah saja sebab dilakukan oleh ‘massa.’ Dan yang namanya ‘massa’ itu adalah kumpulan orang-orang yang tidak bernama, tidak beridentitas dan tidak berwajah. Padahal warga gereja adalah terang dan garam dunia, yang mesti menerangi dan menggarami agar dunia tidak menjadi busuk atau rusak dan juga tidak hidup dalama kegelapan yang pekat. Pertanyaan nakal dapat saja kita ajukan, kenapa para warga gereja ini tampil beringas, dan mau melibas siapa saja? Di satu pihak, sebagai seorang pendeta, sepertinya kita telah gagal dalam melakukan pembinaan, bimbingan dan pendidikan selama ini dalam komunitas di jemaat-jemaat. Sudah saatnya, kita memeriksa dengan kritis segala bentuk khotbah, katekisasi, pengajaran sekolah minggu dan remaja yang dijalankan selama ini. Pasti ada yang tidak beres. Mengapa tidak ? Sesama warga GMIH saja sudah saling berhantam, sudah saling menyerang, apalagi kalau yang bukan sesama warga GMIH, pasti perilaku kita lebih sadis dan lebih mematikan. Sekali lagi mesti diakui bahwa, sebagai pemimpin gereja, sebagai pendeta, kita semua telah gagal dalam membina umat. Dan amatlah memilukan bila ada pendeta yang secara sengaja mendorong dan menuntun umatnya ke jalan kebinasaan. Pertanyaan nakal yang lain, apakah warga gereja yang ikut dalam demonstrasi yang anarkhis itu semuanya tidak waras ? Kalau dicermati orang-orangnya, dapat kita katakan bahwa warga gereja yang berdemonstrasi itu, bukanlah orang gila. Cuma patut disayangkan, bahwa ketataan mereka terhadap pemimpin sungguh sangat menyedihkan. Menyedihkan karena kesadaran mereka telah dimanipulasi sedemikian rupa, sehingga tidak ada lagi kesadaran kritis
atau kesadaran kritis mereka sudah dimatikan. Bila tesa ini benar, maka sudah saatnya gereja perlu memeriksa segala doktrinnya, jangan-jangan doktrin yang diajarkan selama ini justru telah menjadikan warga gereja bukan sebagai orang-orang yang merdeka, tetapi justru menjadikan mereka sebagai orang-orang yang bermental budak. Dua pertanyaan yang ada ini butuh jawaban yang jujur dan tulus dari para pekerja dan pekarya di GMIH yang lagi bertikai saat ini, agar kita dapat bekerja dan melayani dengan benar sesuai dengan apa yang diteladani oleh Yesus. Sudah saatnya, warga gereja untuk bangkit, menjadi warga gereja yang benar-benar dimerdekakan oleh Kristus Yesus. Oleh karena itu, sungguh menganehkan bila warga gereja masih saja tetap mau dibodohi oleh para pemimpin gereja yang tidak kredibel dan tidak dapat dipercaya sebab memang sudah kehilangan kepercayaan dari umat yang dipimpinnya. Bukti bahwa pemimpin gereja yang sudah tidak kredibel dan tidak dapat dipercaya lagi, adalah melakukan aksi kekerasan terhadap warganya sendiri. Semua itu karena dikomandoi oleh pemimpin gereja dari tingkat sinode sampai di tingkat wilayah dan jemaat. Kondisi seperti ini membuat wajah gereja dan bahkan wajah sang kepala gereja yaitu Yesus Kristus tercoreng dan mungkin saja Yesus harus meneteskan air mata-Nya untuk GMIH sekarang ini. Duka dan luka GMIH adalah duka dan luka kita bersama. Tidak ada yang dapat dibanggakan dari gereja Tuhan yang bernama GMIH. Dan justru orang-orang yang pertama-tama mempermalukan GMIH adalah mereka yang menyandang predikat sebagai pelayan Tuhan,dan tanpa malu-malu tetap eksis menjalankan aksioner dan missioner layaknya monster yang melahap habis semua orang yang Page | 91
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 dianggap sebagai musuh gerejanya, bukan gereja Tuhan. Bukti lain dari pemimpin gereja yang telah ber-ulah layaknya monster, adalah mereka tidak mengindahkan seruan mereka sendiri. Yakni seruan kepada jemaat-jemaat baik secara pribadi, keluarga dan persektuan untuk mengadakan DOA PUASA pada setiap hari KAMIS. Untuk jelasnya, kita dapat dilihat surat berikut: Surat yang dikirim oleh BPHS GMIH dengan Nomor:BPHS/1195/B-6/XXVII/2014, perihal: Pemberitahuan Puasa. Sesuai dengan pokok surat itu, dimintakan kepada seluruh jemaat se-GMIH, baik secara perorangan , keluarga, kelompok (doa) ataupun berjemaat untuk melakukan ibadah DOA dan PUASA, yang dilaksanakan pada setiap hari Kamis. Berikut ini kutipan surat yangdiambil dari Surat Kabar Minguan Obor Halmahera: Seruan Doa Bersama Untuk Penyelesaian Persoalan GMIH: Mencermati persoalan GMIH yang semakin membesar serta berdampak pada pelayanan GMIH secara keseluruhan maka Badan Pekerja Harian Sinode GMIH dengan ini menyerukan kepada seluruh Pendeta, Pegawai Organik Gereja, Persekutuan Doa dalam gereja GMIH, pada Pendoa Syafaat serta seluruh jemaat GMIH di mana saja berada untuk membangun GERAKAN DOA secara bersama dan konsisten dengan cara sebagai berikut: (1). Kepada seluruh jemaat diserukan untuk berdoa secara sungguh-sungguh di rumah keluarga masing-masing setiap hari mulai jam 06.00 wit dengan pokok doa Penyelesaian Persoalan GMIH; (2). Kepada para Pendoa Syafaat dan Persekutuan Doa dalam GMIH diundang bergabung dalam MENARA DOA setiap hari mulai jam 8 sampai 12 malam bertempat di Kantor Sinode Jl. Kemakmuran dengan doa khusus peperangan rohani melawan intervensi
kuasa Gelap yang ingin menghancurkan GMIH dengan perpecahan; (3).Kepada setiap jemaat yang bisa melakukannya untuk mengdakan DOA DAN PUASA, tidak makan dan minum sejak Kami malam dan baru kembali makan pada Jumat sore dengan pokok doa khusus agar Tuhan turun tangan menyelesaikan persoalan GMIH. Dianjurkan agar buka puasa dapat dilakukan secara bersama di gereja masing-masing. Bahwa peperangan kita bukan melawan darah dan daging ataupun melawan kuasa manusia, tetapi melawan penghulu dan penguasa di udara, melawan kuasa kegelapan dan antek-anteknya yang saat ini sedang bekerja keras menghancurkan GMIH dengan Roh perpecahan.”Karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging tetapi melawan pemerintah pemerintah, melawan penguasa-penguasa. Melawan penghulu penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.” (Efesus 6:12) “Doa orang yang benar jika dengan yakin didoakan sangat besar kuasanya.” (Yakobus 5:16b).(Lihat Obor Halmahera, Edisi 08/III/2014, hal. 10). Sesungguhnya seruan dimaksud guna menyelamatkan kondisi GMIH dewasa ini yang lagi kisruh. Tetapi apa yang diserukan itu ternyata dikalahkan dengan DOI dan KUASA yang telah menggelapkan mata hati mereka, sehingga mereka merencanakan dan merancang kejahatan untuk menghancurkan GMIH. Hal itu nyata ketika mereka mulai memaksa keluar pendeta-pendeta pro pembaharuan dari pastori-pastori jemaat, dan bahkan merusak rumah-rumah tempat tinggal jemaat yang pro pembaharuan. Masih layakkah dan masih pantaskah pemimpin yang bergaya preman dan yang menebar ancaman, teror, kekerasan dan berperilaku sadisme seperti itu dihormati, didukung, Page | 92
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 dibela untuk dipertahankan? Hanya orang-orang bodoh saja, dan atau hanya orang-orang yang telah kehilangan akal sehatnya atau yang telah menggadaikan hati nurani mereka dengan uang haram yang masih tetap setia, dan bahkan sampai relah mati demi mempertahankan pemimpin gereja yang korup dan bobrok seperti itu. Penutup Menyuarakan suara kenabian sebagai tanda keprihatinan gereja di tengah-tengah dunia merupakan suatu keharusan imperatif. Makanya gereja tidak menabukan warganya untuk melakukan demonstrasi. Akan tetapi demonstrasi yang dilakukan itu hendaknya tidak demonistis, melainkan demonstrasi yang korektif, solutif dan produktif demi kemaslahatan bersama masyarakat. Fungsi gereja yang adalah garam dan terang mestinya tetap dirasakan oleh seluruh umat manusia dan tetap berjuang untuk memperlihatkan terang bagi seisi dunia, secara khusus dimana gereja berada. Aksi sosial dan aksi politik gereja mestinya mencerminkan kasih Allah dalam Yesus yang mencintai dan yang membawa damai dengan jalan nirkekerasan. Memperhatikan beberapa persitiwa demonstrasi warga GMIH akhir-akhir ini tendensius sifatnya. Logisnya maksud baik, mesti disampaikan dengan cara-cara yang baik juga, sehingga dapat menjadi satu kesaksian yang hidup. Paling tidak, ketika gereja mau menyuarakan suara keperihatinan, masyarakat akan mendukung. Sebab dilakukan dengan santun, beradab dan bermartabat. Bukannya demosntrasi yang tidak simpatik dan malahan yang menakutkan masyarakat karena kebrutalan, keberingasan dan keterlaluan. Gereja boleh dan harus memprotes ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan
pihak penguasa, namun dengan caracara yang gerejawi bukan dengan caracara yang hewani. Demonstrasi anarkhis yang dilakukan oleh umumnya warga negara, telah menulari warga GMIH. Virus duniawi telah meracuni dan menggerogoti “Tubuh Kristus” sehingga “Tubuh Kritstus” pun tercabik-cabik, terpecah-pecah, terpisah-pisah satu dengan yang lain. Rupanya jenis virus yang ada ini adalah virus yang amat ganas. Makanya warga gereja mudah menjadi panas dan ganas. Suasana panas yang melanda para demonstran bukan akibat dari panasnya mentari, tetap akibat dari virus ganas yang menyerang kepala (pikiran) dan hati para demonstran, sehingga mereka gampang dipanas-panasi, akhirnya sikap dan perilaku mereka pun menjadi ganas. Para pimpinan gereja di tingkat sinode maupun jemaat-jemaat, para calon anggota Legislatif dan calon DPD yang terlihat pada saat demonstrasi anarkhis, sebetulnya mereka telah menunjukan dirinya bahwa mereka tidak layak menjadi pemimpin sebab sesungguhnya mereka telah gagal menjadi seorang pemimpin yang mengayomi dan mendeladani polqa Yesus. Kursi dan tongkat kepemimpinan tidak dapat dipertahankan atau tidak dapat diperebutkan dengan cara menjadikan warga gereja atau warga negara sebagai OBJEK yang di-OJEK-kan. Warga gereja atau warga negara yang diposisikan sebagai OBJEK belaka, akan mudah dicelakakan oleh para pemimpin (calon pemimpin) yang bermental tukang OJEK (kejar setoran). Sudah saatnya para pemimpin gereja beserta seluruh warga gereja di GMIH bertobat dari perilaku mereka yang telah menyimpang. Perubahan dan pembaharuan hanya bisa terwujud, bila dimulai dengan pertobatan yang sungguh-sungguh. Pasti gereja Tuhan yang ada di Halmahera (baca:GMIH) Page | 93
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 dapat menghasilkan buah-buah Roh, yaitu: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasan diri (Galatia 5:22-23). Sehingga GMIH tidak digolongkan sebagai gereja yang aneh-aneh atau gereja kafir. Daftar Pustaka Boeree, George, 2010., Psikologi Sosial, Yogyakarta: Prismasophie. Darmaputra, Eka, 2002., Beragama dengan Akal Sehat,Yogyakarta: Gloria Cyber Ministries. Darmaputra, Eka, 2002., Dengarlah yang Dikatakan Roh, Yogyakarta: Gloria Cyber Ministries. Dever, Mark, 2010., 9 Tanda Gereja yang Sehat, Surabaya: Momentum. Haryatmoko, 2014, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Buku Kompas. Kartono, Kartini, 2011., Patologi Sosial, Jakarta:Rajawali Press. Kimball, Charles, 2003., Kala Agama Jadi bencana Bandung: Mizan.
Suprobo, Indro, (ed), 2011., Spiritualitas Agama-Agama untuk Keadilan dan Perdamaian, Yogyakarta: Interfidei. Yewangoe, Andreas A. 2009., Tidak ada Ghetto: Gereja di Dalam Dunia, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Buletin GMIH SANGKAKALA, Edisi Khusus Maret 2014. Harian : Radar Halmahera, 06 Maret 2014. Harian : Radar Halmahera, 16 Juni 2014 “Gereja Pusat GMIH Kembali Memanas” Surat Kabar Mingguan Obor Halmahera, Edisi 08/III/2014. Laporan Badan Pekerja Harian Sinode GMIH Periode 2007-2012 Pada Sidang Sinode XXVII Dorume, 23-29 Agustus 2012, yang diberi judul “Perjalanan Melintas Dari Tiga Sudara Ibu Menuju Dorume Loloda Utara: “Sebuah Untaian Merajut Kehidupan Yang Memberdayakan.”
Page | 94