Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN Gereja (Agama) dan Politik. Elston Banjo. Abstrak

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 Gereja (Agama) dan Politik Elston Banjo

Abstrak Orang Kristen sebagai bagian dari warga negara Indonesia mempunyai panggilan politik di dalam proses hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Setiap orang kristen dituntut untuk bersikap kritis, kreatif, positif dan realiastis dalam menggunakan hak politiknya – baik sebagai praktisi politik maupun bukan. Panggilan politik dimaksud adalah secara bertanggung jawab dengan dilandasi oleh iman dan kepercayaannya, dapat memilih saluran asprirasi politik yang benar, tidak berorientasi pada kepentingan sesaat untuk pribadi dan kelompoknya. Apabila proses ini sungguhsungguh dilakukan dan menurut hati nuraninya sendiri, maka tidak mustahil akan memungkinkan berlanjutnya proses pembangunan dan demokrasi yang sedang berjalan ini. Tentu pula harus menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etis yang berorientasi pada kepentingan dan kemajuan bersama. Kata Kunci: Gereja, Iman, Politik, Hati Nurani, Demokrasi, Pembangunan.



Penulis adalah Pemerhati masalah-masalah Gereja (agama) dan Politik. Staf Dosen Prodi Ilmu Hukum Universitas Halmahera.

Page | 67

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 Pendahuluan Proses politik yang terjadi di Indonesia, masih jauh dari harapan. Dalam proses-proses politik yang berlangsung selama ini, masih banyak ditemukan distorsi dan deviasi di berbagai sisi penyelenggaraan Pemilu (baik Pilpres, Pemilukada, Pileg, maupun yang lainnya). Politik uang (money politics), Kolusi dan Nepotisme cukup marak dijumpai dalam pemilu-pemilu sebelumnya. Padahal dalam negara demokrasi, Pemilu merupakan salah satu elemen penting untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan kapabel. Mekanisme Pemilu apabila ditempu sesuai dengan semangat dan jiwa demokrasi yang benar maka dengan sendirinya akan melahirkan orang-orang yang terbaik. Yakni, orang-orang yang memiliki kredibilitas dan kapabilitas yang tinggi serta mempunyai komitmen terhadap perkembangan dan kemajuan bersama. Di sinilah peran Gereja dituntut dalam menentukan aktivitas politik seseorang. Tentu pula harus dilakukan melalui saluran-saluran partisipasi politik secara demokratis. Interaksi positif antara Gereja dan politik akan mendorong prosess pembangunan demokrasi dan politik itu berjalan searah dengan tujuannya. Pertanyaannya adalah, sejauh manakah peran Gereja dalam menentukan proses politik dan demokrasi di Indonesia? Berikut ini akan ditelusuri fenomena penting dari pertanyaan tersebut. Teologi Politik dan Perkembangan Demokrasi Teologi tentang politik/negara sebagai salah satu sistem pemikiran telah dimulai dari Augustinus, dalam bukunya City of God; De Civitae Dei = Kota Allah,

ia mulai menyinggung tentang dua dunia yang dibebedakan ini. Sebelum itu belum ada satu sistem pemikiran tentang negara/politik. Sebelumnya memang ada peraturan-peraturan filsafat Yunani Kuno tentang polities; filsafat Stoa, Aristoteles. Bahkan hukum-hukum modern barat itu berasal dari Helenisme dan Romawi Kuno. Dalam PB (Perjanjian Baru) pada jemaat mula-mula berintegrasi dan berkembang ke dunia barat. Dari Paulus ke Yunani, Romawi, dan seterusnya sehingga tulisantulisan PB banyak berisi filsafat Yunani – Helenisme. Jadi, integrasi antara gereja dan politik/negara di barat itu bermula dari paham Augustinus, meskipun Augustinus sendiri berasal dari Afrika. Menurut Richard Price, City of God dari karya Augustinus ini sebetulnya dapat diganti dengan judul yang kemudian dipakai oleh Charles Dicknes dalam karyanya “A Tale of Two Cities; Kisah Dua Kota”. Karya ini secara panjang lebar mempertentang sejarah dan nasib antara “Kota Allah” dan “Kota Duniawi”. Kata “kota” diambil dari teks-teks Kitab Suci seperti Ibrani 13:14, “Di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap; kita mencari kota yang akan datang”. Selanjutnya dikatakan bahwa, “Kota Allah” atau “Kota Sorgawi” tidak hanya terdiri dari orang-orang kudus di dalam sorga, melainkan juga semua umat manusia di bumi yang menjadi anggota sejati umat Allah. Dipertajam bahwa perbedaan mendasar di antara kedua kota itu terletak pada perbedaan objek cinta mereka. Digambarkan dua kota itu memiliki dua macam cinta, di mana kota Allah diciptakan oleh cinta diri yang mengarah pada sikap menyangkal Allah, Page | 68

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 sedangkan kota Sorgawi diciptakan oleh cinta Allah yang mengarah kepada sikap yang menyangkal diri sendiri. Yang satu memuliakan Allah dan yang lainnya memuliakan diri sendiri; atau mencari kemuliaan manusia, saksi dari kesadaran yang murni. Sedangkan yang satunya lagi memuliakan diri sendiri; atau mencari kemuliaan manusia, mencintai kekuatannya sendiri yang diperlihatkan oleh orang-orangnya yang perkasa, dan nafsu kekuasaan merasuki para penguasa dan bangsa-bangsa yang dikuasai. Berbeda dengan Kota Sorgawi, yang selalu melayani di dalam cinta kasih, para penguasa memberi tuntunan, saling memberikan ketaatan dan selalu menyerahkan kekuatannya kepada Allah (Price, 2000: 52-55). Dengan demikian, teologi politik dalam konteks “Kota Allah” dilihat dalam kekuasaan Setan dan kekuasaan Allah. Kemudian teologi Calvin dan Luther itu juga bertitik tolak dari konsep pemahaman Kota Allah ini, yakni pengkategorian tentang kerajaan Allah dan kerajaan dunia. Dalam proses sejarah yang panjang berkembang kemudian masyarakat Feodal dan Aristokrat di Barat. Masyarakat Feodal, yaitu masyarakat di mana sistem kekuasaan diatur oleh tuan-tuan tanah. Sedangkan masyarakat Aristokrat adalah masyarakat yang dibentuk oleh kekuasaan raja, kaisar, kerajaan-kerajaan dan lainlain. Sistem kekuasaan Feodal dan Aristokrat yang diletakkan pada abad pertengahan ini dibangun atas dasar kepemilikan tanah, di mana pemilik tanah mempunyai pekerja-pekerja (“rakyatnya”) dan mereka bertanggung jawab atas rakyatnya itu. Sistem ini berlaku dalam

agriculture society; masyarakat pertanian. Jadi di Eropa pada abad pertengahan (abad ke-15 dan ke-16) yang berkuasa adalah tuan-tuan tanah, sedangkan di gereja adalah Paus. Kedua-duanya, Allah dipandang sebagai Tuhan yang berkuasa atas segala sesuatu. Ada gereja sebagai institusi agama, ada raja (kadang-kadang ratu) dan kaum bangsawan, tuan-tuan tanah, kemudian golongan manusia biasa (rakyat), dan kemudian binatang-binatang, tumbuh-tumbuhan serta segala sesuatu yang lainnya. Pengkategorian di atas disebut sebagai kosmologi di Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 (Bosch, 2000: 405413). Dalam kosmologi seperti ini manusia tidak memiliki hak pribadi tetapi harus hidup sesuai dengan statusnya. Dalam situasi seperti ini muncul renaissance dan reformasi sebagai dimulainya kebudayaan Barat modern. Renaissance muncul sebagai gerakan pembaruan kebudayaan dan pemikiran, di mana menghendaki kembalinya kepada Greco–Romawi dan Yudea–Kristen dalam pemikiran dan hukum. Sedangkan reformasi menuntut kembalinya kepada Kitab Suci. Namun, kedua-duanya menghendaki perubahan atas kemerdekaan manusia. Meskipun sebab-sebab kelahiran keduanya sangat berbeda tetapi keduanya telah membuang rantai yang dengannya gereja mengikat jiwa manusia dan masyarakat pada abad-abad pertengahan (Berkhof-Enklaar, 2000: 101). Jadi, renaissance dan reformasi pada abad ke-16 adalah sebutan pembaharuan, gerakan dan pemikiran terhadap masyarakat aristokrat. Yaitu, pemikiran tentang filsafat Yunani Kuno, teologi dan lain-lain, yang selama abadPage | 69

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 abad pertengahan tidak memperoleh kemajuan berarti, akibat sistem kekuasaan diatur oleh gereja (Paus). Kedua gerakan ini – renaissance dan reformasi – menunjukan titik simpul perubahan yang sangat berarti pada gerakan zamannya. Kalau renaissance pada gerakan pembaharuan pemikiran, maka reformasi pada perubahan tentang teologi. Namun, keduanya mempunyai objek yang sama, yaitu manusia. Jadi tidak heran kalau orang-orang renaissance dan reformasi disebut sebagai humanis, karena mempunyai komitmen terhadap kebebasan manusia. Dalam konteks demikian, protestan lahir sebagai akibat power struktur dari gereja yang bercampur sedemikian rupa antara kedua sisinya. Masyarakat Feodalisme dan Aristokrat ini mati setelah revolusi Perancis pada abad ke-18 dalam perjuangan kemerdekaan. Namun, kemedekaan ini masih merupakan transformasi dari masyarakat aristokrat dan feodal yang disebut sebagai masyarakat “borjuis”. Yaitu, masyarakat kelas menengah yang berbasis di kota pada abad ke-17, yang merupakan cikal bakal demokrasi yang berkembang di barat dalam bentuk aristokrasi dari orang-orang bangsawan (nobleman). Kaum borjuis muncul sebagai fenomena masyarakat kota, dan budaya dari kelas menengah adalah pembebasan individu. Orang-orang renaissance dan reformasi adalah orangorang kelas menengah. Pada waktu itu ada tiga kelas dalam stratifiksi social, yaitu kelas majikan, kaum borjuis (kelas menegah) dan pekerja (rakyat). Dengan demikian, sistem demokrasi modern tidak terlepas dari

sistem sosio–politis dari masyarakat borjuis di barat pada abad pertengahan di mana tidak ada lagi seorang nobleman yang datang dari sorga tetapi harus dipilih oleh rakyat. Atas dasar inilah, maka Richard Niebuhr, mengatakan bahwa demokrasi merupakan buah yang mencirikan peradaban borjuis, sebuah ideologi borjuis. Niebuhr membuat tipikal ini karena dilihat dari sudut pandang peradaban kelas menengah yang bangkit pada abad pertengahan di Eropa, di mana tidak ada lagi kekuasaan bangsawan yang turun-temurun memerintah mereka tetapi harus dipilih oleh rakyat (Niebuh, 1960: 1). Dalam membuat suatu pertentangan di antara kaum demokrat liberal dan kaum demokrat sosialis, lebih lanjut Niebuhr mengatakan bahwa demokrat liberal umumnya lebih dipercaya daripada kaum sosialis demokratis pada kemampuan prosedur-prosedur barat tradisional dalam mewujudkan kesetaraan, menjamin kebebasan dan meraih keadilan sosial. Ini sebagian muncul akibat prinsip dan institusi-institusi demokrasi telah dimenangkan secara besar-besaran dalam pertarungan antara demokrasi liberal dan rezim otoriter (Niebuh, 1960: 8). Namun, kaum demokrat liberal sering salah., dengan membalikkan prinsip-prinsip demokrasi parlementer barat menjadi ideologi yang melindungi kepentingan, serta meligitimasi dominasi politik dan ekonomi kelas menengah dan kelas yang lebh tinggi (aristokrat) dalam masyarakat yang dipertentangkan (Niebuh, 1960: 15, 90). Bagaimanapun asal-usul demokrasi liberal terletak dalam perjuangan kaum bojuis dan munculnya kapitalisme. Dengan demikian, yang terpasang dalam demokrasi Page | 70

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 liberal adalah suatu sikap elitisme yang dimungkinkan melalui pewarisan kemakmuran dan pewarisan kekayaan. Bagi demokrasi liberal hak untuk memiliki kekayaan memang tak dapat disingkirkan. Kesenjangan yang tajam meruntuhkan demokrasi. Kemiskinan dan masalah-masalah yang ditimbulkannya, menyangkut kesehatan, perumahan dan pendidikan, khususnya di daerah-daerah pedesaan, lebih memunculkan kelesuan atau revolusi politik. Bukannya keterlibatan warga negara yang sadar dalam proses demokrasi. Jadi, ada bahaya bahwa rakyat yang semula terhimpit atau tertindas terlalu berharap banyak pada demokrasi. Rakyat percaya bahwa demokrasi akan meluruskan semua kesalahan masa lalu secara cepat dan tuntas. Padahal tak semua masalah dapat dipecahkan dan acap kali tawaran terbaik demokrasi hanyalah memberi beberapa kemungkinan pemecahan masalah secara mendekati. Niebuhr, memperingatkan mereka yang percaya bahwa kekuatan-kekuatan yang mendorong terbentuknya komunis dunia ini tidak dapat dihentikan atau dibalikkan. Sebaliknya, bahwa demokrasi memiliki justifikasi yang lebih kokoh dan menghendaki sebuah pembenaran yang lebih realistis ketimbang yang diberikan kepadanya oleh kultur liberal. Suatu kultur yang sering diasosiasikan dengannya dalam sejarah modern (Niebuh, 1960: xii). Oleh karena itu gelombang peralihan demokrasi masa kini merupakan transisi demoktratis, dan tidak boleh di pandang sebagai tahap final dalam proses demokrasi global. Memang tidak ada

keniscayaan mengenai trasformsi demokratis, sementara untuk hal lain, proses demokratisasi itu bervariasi dalam karakter, lingkup dan kecepatannya antara satu negara dengan negara lain. Untuk itu Charles Davis dalam bukunya Religion and The Making of society mengistilakan demokrasi adalah suatu “naratif berpendapat” yang terbuka bagi perubahan dan perkembangan, pencarian dan pembaruan. Dengan kata lain, “naratif berpendapat” itu adalah hasil yang berubah secara konstan dan bersifat sementara dari proses sejarah yang berisi konflik dan kompromi, serta yang bergantung pada perkembangan masyarakat, ekonomi dan budaya (Gruchy, 2000: 18). Demokrasi Pancasila Era reformasi telah merubah suatu kultur politik Orde Baru mengenai sistem demokrasi Pancasila. Pancasila sejak didirikannya dimaksudkan sebagai payung pemersatu dalam solusi pemecahan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, sebelumnya telah dimanipulasi sebagai aliran ideologi, sebagai satu-satunya azas dalam bernegara dalam upaya melanggengkan dan mempertahankan kekuasaan rezim totaliter Orde Baru. Pada akhirnya, jika kedapatan azas yang lain digunakan maka ia langsung berhadapan dengan militer. Menurut Sabam Sirait, Pancasila telah dipakai oleh Soeharto sebagai pentungan politik untuk memukul lawan-lawan politik. Selain itu, paham “kebhinekaan” cenderung dipahami sebagai “keseragaman”, atau secara halus dapat dikatakan bahwa kebhinekaan telah disubordinasi pada “ketunggalan”. Di mana yang putih tidak lagi menjadi putih Page | 71

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 atau yang hitam menjadi hitam tetapi semuanya dijadikan abu-abu. Tidak heran ada kecenderungan men-Jawanisasi Indonesia, yang senantiasa menjadi konflik antara daerah dan pusat, dan juga karena agama-agama enggan menerima gagasan kesatuan ini (Singgih, 2002: 10-11), maka Pancasila sekali-sekali hampir digunakan sebagai agama negara melalui tafsirnya yang resmi yakni P4 (Schumann, 2003: 14). Dengan demikian, Era Reformasi telah membawa kepada pelaksanaan sistem Demokrasi Pancasila dalam transformasi politik Indonesia secara lebih dewasa. Sebut saja, misalnya, dari 24 Partai Politik peserta Pemilu 2004, macam-macam azas dipakai di dalam upaya memperoleh dukungan rakyat sebagai bagian dari proses demokrasi perwujudan kedaulatan rakyat. Hal ini menunjukan bahwa Pancasila tidak lagi dipakai sebagai satusatunya azas di dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Namun, dengan adanya transformasi ideologi dan kultur politik demikian bukan berarti bahwa merubah Demokrasi Pancasila. Perubahan ini hendak membangun suatu kultur politik baru yang sungguh-sungguh mendukung sistem Demokrasi Pancasila itu. Transformasi 

Tindakan ini berbeda dengan agama Kristen karena menurut Gerrit Singgih ada kesan bahwa sebelum Mei 1998 Soeharto adalah “teman” gereja; meskipun bukan teman yang ideal. Sejak tahun 1980-an PGI telah memasukan azas Pancasila dalam Anggaran Dasar PGI, bahkan kemudian pada Anggaran Dasar gereja-gereja. Tetapi sayang, reformasi sudah berjalan sampai kini, belum ada satu pun gereja membatalkan rumusan Pancasila sebagai satu-satunya azas. Di dalam Era Reformasi ini, tekanan gereja-gereja masih tetap bernafaskan semangat pra-reformasi.

politik, menurut Jan H. Rapar merupakan satu upaya untuk membangun kultur politik baru yang menghendaki kesedian semua pihak untuk meninggalkan tradisi berpolitik lama yang tidak sesuai dengan tuntutan Demokrasi Pancasila. Sementara, tradisi politik lama sebagaimana yang diuraikan Umar Kayam, ialah tradisi kebudayaan politik yang berorientasi pada nilai-nilai feodal-aristokrat, yaitu Mattulada menyebutnya sebagai kebudayaan politk yang diwarisi dari kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Mataram, Bone, dan lain-lain (Rapar dalam Supit et. al. 2003: 297-298). Oleh karena itu, Demokrasi Pancasila diperlukan tidak sekedar sebagai ideologi tetapi juga terlebih sebagai pandangan hidup di dalam kultur kepelbagaian bangsa. Demokrasi Pancasila diperlukan bukan untuk ketakutan didirikannya “negara Islam” di Indonesia, atau mencegah akan “bahaya Islam”, tetapi merupakan harapan akan pemerintahan yang adil serta menjunjung tinggi HAM di dalam Masyarakat Sipil (Civil Society) yang demokratis. Kultur dan Perilaku Politik Kekuasaan merupakan gejalah yang sangat sentral di dalam ilmu politik. Di antara konsep ilmu politik yang banyak dibahas dan yang dipermasalahkan adalah masalah yang satu ini, yaitu “kekuasaan”. Malahan secara sempit, orang beranggapan bahwa politik tidak lain dari masalah 

Kecenderungan ini sering nampak pada sebagian politisi maupun orang Kristen yang selalu melihat, bahwa betapa pentingnya Pancasila di Indonesia dalam rangka membendung kekuatan Islam tertentu yang ingin mendirikan Negara Islam di Indonesia.

Page | 72

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 kekuasaan belaka. Namun, di sini tidak lagi dimasalahkan, konsep dan bentuk dari kekuasaan itu, tetapi yang dikemukakan di sini adalah untuk apa kekuasaan itu dan bagaimana cara mencapainya. Barangkali di sinilah letak menariknya kekuasaan itu. Mengapa seorang pelaku mempunyai kekuasaan? Apa sumber kekuasaan dari seorang pelaku? Ternyata, sumber kekuasaan bermacam-macam sifatnya. Orang memperoleh kekuasaan karena sumber kekuasaan itu berupa “kedudukan, kekayaan, kepercayaan atau agama, hubungan kerabat – dengan unsur tradisionalnya – kepandaian dan ketrampilan (Budiarjo, 1994: 83). Jadi, tidak heran apabila orang berlomba-lomba untuk memperoleh kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, berlomba untuk memperoleh kekuasaan merupakan hak seseorang atau bukanlah hal yang buruk. Tetapi di dalam konsep kekuasaan hal itu bukanlah hal yang penting, karena yang terpenting adalah apa dan bagaimana cara mencapai kekuasaan itu. Karenanya, yang dibutuhkan adalah etika dan moral politik. Suatu kekuasaan yang diperoleh dengan cara-cara yang licik dan dengan tujuan untuk kepentingan diri sendiri dan golongan, justru melecehkan etika dan moral politik (Budiarjo, 1994: 83). Dengan demikian, moral dan etika politik sangat menentukan seseorang mencapai kekuasaan. Dalam arti bahwa perilaku politik seseorang dalam memperoleh kekuasaan sangat ditentukan oleh moral dan etika politiknya. Oleh karena itu betapa pentingnya berbicara tentang etika dan moral politik. Dalam berbicara tentang etika dan moral politik, tentu pula tidak terlepas dari kultur dan perilaku politik serta iman dari pelaku

politk itu sendiri, yang akan dibahas berikut ini. a. Kultur Politik Kultur politik di Indonesia adalah kultur politik yang dilandasi oleh sistem Demokrasi Pancasila. Yang dimaksud dengan Demokrasi Pancasila di sini adalah Demokrasi Pancasila yang sudah ditransformasi di Era Reformasi, di mana tidak lagi dilandasi oleh kultur (kebudayaan) politik yang cenderung berorientasi pada nilai-nilai feodalaristokrat, tetapi kultur politik yang terbuka secara luas dan memberi kesempatan kepada siapapun juga sebagai warga negara yang bertanggung jawab untuk melakukan kegiatan politik bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama. Kultur politik yang berorientasi pada nilai-nilai feodal-aristokrat, adalah suatu kultur politik di mana relasi antara pemerintah dan rakyat adalah relasi antara tuan dan hamba. Konsep ini cenderung membahayakan dorongan sosio-politis. Dalam konteks krisis teologi sosial politis di Asia, misalnya, A. Pieris mengemukakan bahwa, telah terjadi krisis spiritual ketika kerangka eksklusif abadabad pertengahan digunakan dengan cara mengadopsi konsep-konsep Geometri – Vertikal dan Horizontal – yang menunjuk kepada dua segi. Misalnya, konsep tentang Tuhan. Dikemukakan bahwa, Tuhan di pandang ke atas atau dari atas secara vertikal, dan pada sisi lain tentang kedudukan manusia di hadapan-Nya secara horizontal. Tidak heran kalau para kudus (di gereja/katedral) secara vertikal terlentang ke atas secara horizontal lurus. Sementara orang miskin dengan keterbatasannya secara vertikal pendek dan Page | 73

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 secara horinzontal tumbuh dengan banyaknya. Konsep ini kemudian memunculkan pemisahan antara kedua sisinya. Pada akhirnya, masalah spiritualitas diperhadapkan dengan masalah sekuler; yang diistilahkannya dengan “kontemplasi” (contemplation) dan “aksi” (action). Kontemplasi menunjuk kepada tahap-tahap asketikal dan mistikal atau segi-segi doa batin. Sementara aksi berarti kegiatan mental yang mengawali proses psikis ke tataran yang lebih tinggi, yakni kontemplasi. Bagi Pieris, kaum kontemplasi adalah “spiritual”. Sedangkan para petani dan para pekerja asyik dalam urusan-urusan material; mereka adalah “budak” kontempelatif, sehingga sungguhsungguh merupakan suatu spiritualiatas “feodal” (Pieris, 1996: 28-29). Dengan demikian relasi tuan dan hamba yang dipahami dalam konsepsi vertikal – horizontal akan tidak memungkinkan adanya partisipasi politik rakyat. Karena apa yang dikatakan oleh seorang tuan pasti benar dan hamba hanya akan mengiakan saja. Dalam relasi ini, tidak boleh dan tidak akan ada pendapat yang berbeda dan bertentangan dengan pendapat orang lain. Oleh karena itu, kultur politik demikian jelas tidak cocok lagi di alam Demokrasi Pancasila yang diterangi oleh azas Ketuhanan dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab Rapar dalam Supit et. al. 2003: 298; bnd. Simatupang, 1998: 9-11). Jadi, pembangunan struktur politik yang sesuai dengan sistem Demokrasi Pancasila harus memperhatikan azas Ketuhanan dan Kemanuisaan yang adil dan beradab, yang diterangi oleh azas permusyawaratan/perwakilan untuk mencapai konsensus sebagai pilar

Demokrasi Pancasila. Hal ini bukan berarti bahwa Pancasila sebagai satu-satunya azas (the sole besis) atau sebagai azas tunggal (only basis) yang dipakai dalam praktek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat (bnd. Steenbrink dalam Camps, et.al. (eds), 1995: 90-92). b. Perilaku Politik Tidak ada gunanya mengedepankan lembaga-lembaga formal dalam suatu sistem politik tanpa memperhatikan perilaku politik pada proses politik yang sebenarnya. Keduanya mesti berjalan secara berbarengan dan seimbang, karena lembaga-lembaga formal itu dapat menjadi kerangka bagi berperannya individu. Misalnya, apabila orang berbicara tetang sebuah parlemen, maka yang perlu diperhatikan pula ialah perilaku anggota parlemen itu. Perilaku ini mencakup pula, pola pemberian suaranya (voting behavior) terhadap suatu rancangan undang-undang, Apakah pro atau kontra, dan mengapa demikian, pidato-pidatonya, giat tidaknya memprakarsai rancangan undang-undang, cara berintegrasi dengan teman sejawat, kegiatan “lobbying”, latar belakang sosialnya, dan lain sebagainya. Yang diperlukan di sini, bukan hanya perilaku dan kegiatan-kegiatannya, tetapi juga orientasi terhadap kegitan tertentu. Seperti sikap, motivasi, persepsi, evaluasi, tuntutan, harapan dan lain-lain. Selain itu, perilaku politik tidak hanya terbatas pada perilaku perorangan saja, akan tetapi dapat juga mencakup kesatuan-kesatuan yang lebih besar. Seperti, perilaku organisasi kemasyarakatan, kelompok elite, gerakan nasional, atau suatu keseluruhan masyarakat politik (Rapar dalam Supit et. al. 2003: 60). Page | 74

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 Mengingat perilaku politik hanyalah salah satu dari keseluruhan perilaku, maka menurut Miriam Budiardjo, upaya pendekatan perilaku politik harus dilakukan melalui pendekatan berbagai disiplin ilmu. Atau dalam ilmu politik disebutnya, lebih cenderung kepada interdisipliner. Karena itu, selain ditentukan oleh faktor pribadi, juga ditentukan oleh faktor-faktor lain, seperti faktor sosial, ekonomi, budaya, agama dan lain-lain. Dengan demikian, perilaku politik mempunyai kaitan erat dengan kultur politik. Menurut Rapar, sesungguhnya, perilaku itu dibangun di atas kultur politik (Rapar dalam Supit et. al. 2003: 299). Perilaku politik juga ditentukan oleh apa yang terkandung di dalam dirinya sendiri, berupa tingkat kecerdasan, faktor biologis serta keinginan dan kehendak hatinya sendiri. Apabila diperhatikan perilaku politik di Indonesia dewasa ini, baik yang nampak pada penguasa maupun oleh masyarakatnya, ternyata sangat memprihatinkan. Para penguasa yang diberi kewenangan kekuasaan atasnya, lebih berorientasi kepada kekuasaan. Tidak heran apabila politik aliran dan primordial selalu menjadi “trend” politiknya. Partaipartai politik yang memperoleh kursi-kursi di parlemen dalam Pemilu yang lalu masih diwakili oleh orang-orang yang mempunyai perilaku politik aliran. Pendekatan agama, budaya dan kedaerahan dipakai dalam upaya memperoleh kursi di legeslatif. Dengan demikian, partai-partai tersebut masih tetap cukup berpengaruh menjadi “mesin politik” untuk memobilisasi suara bagi calon-calon presiden dan wakil presiden yang ada. Sementara masyarakatnya tanpa kendali

dan selalu bersikap semaunya sendiri. Kebrutalan menjadi asas dalam bertindak dan berbuat. Kebebasan disalahgunakan sehingga rakyat cenderung memiliki kebebasan tanpa batas, yang memudahkan kadar konflik meningkat – meskipun masih dalam batas-batas yang bisa ditolerir. Penguasa cenderung membiarkan konflik itu berlarut-larut sehingga masyarakat dibuat terpecah-pecah di dalam kotakkotak subnasional dan primordial (bnd. Aditjondro, 2004: 5). Perilaku politik sedemikian itu terbentuk akibat manusia terlampau berorientasi kepada kekuasaan. Dalam arti, lebih kepada kepentingan dan kemasyuran dirinya, daripada mengutamakan pelayanan dan pengabdian atas kesejahteraan dan kedamain bersama. Dalam suatu sistem kenegaraan, negara, sekedar dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan, dan bukan nilai ideal dari tujuan itu sendiri. Konstitusi sebagai faktor integrasi yang mesti diutamakan, dibaikan. Kepemimpinan disalahgunakan sehingga melemahkan bekerjanya sistem konstitusional sebagai bentuk kesepakatan bersama di dalam upaya menegakkan sistem Negara Hukum di Indonesia. Peran Gereja dan Implikasi Iman dalam Kehidupan Politik Di dalam kehidupan bernegara politik sangat diperlukan dalam upaya mencapai masyarakat yang baik. Seperti kekuasaan, pembuatan keputusan, kebijakan, alokasi nilai, dan lain sebagainya. Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa dalam pelaksanaan kegiatan politik, di samping segi-segi yang baik, mencakup pula segi-segi yang Page | 75

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 negatif. Hal ini disebabkan oleh karena politik mencerminkan tabiat manusia. Baik nalurinya yang buruk maupun nalurinya yang baik. Tidak heran apabila dalam realitas politik seringkali kita berhadapan dengan banyak kegiatan politik yang tidak terpuji. Kegiatan politik yang demikian ini akan berakhir seperti yang diungkapkan oleh Peter Markl, bahwa politik dapat menjelma menjadi “a selfish grab for power, glory and riches”; (perebutan kekuasaan, tahta dan harta). Politik hanya sekedar sebagai upaya perebutan kekuasaan, kedudukan dan kekayaaan untuk kepentingan diri sendiri (Budiarjo, 1994: 56). Dengan alasan ini maka, barangkali, di sinilah letak pentingnya iman seseorang di dalam aktivitas politik. Oleh karena itu, Panikar mengatakan bahwa “Religion without politics becomes uninteresting, just as politics without religion turn irrelevant” (lihat. Moyser, 1985: 16). Agama tanpa politik akan menjadi tidak menarik, sebaliknya, politik tanpa agama dalam hidup bernegara proses-proses politik akan terjadi banyak penyimpangan. Namun, pertanyaan yang muncul adalah sejauh manakah pelaku politik itu memahami dan mampu mengimplikasikan imannya dalam aktivitas politiknya? Politik adalah seni, tetapi seni politik haruslah diimbangi oleh etika dan moral politik. Atau secara panjang lebar dapat dikatakan bahwa politik adalah seni yang bersangkut-paut dengan proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang berbeda kepentingannnya, di mana pengambilan keputusan ini menyangkut masa depan orang banyak. Sementara dalam kelangsungannya diikuti oleh etika

politik sebagai kaidah moral yang dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputuasan semacam itu. Dalam proses pengambilan keputusan ini, Singgih menyebutnya sebagai “strategi”. Strategi dimaksud adalah strategi yang tidak harus bersifat formal tetapi lebih banyak berupa warisan kegiatan-kegiatan mental yang berjalan secara “operatif” dan jarang direfleksikan kembali (Singgih, 2002: 27). Dengan demikian iman seseorang sangat menentukan proses pengambilan keputusan politik. Berbicara tentang iman dalam suatu kegiatan politik, tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keber-agama-annya. Dalam arti agama turut berperan penting untuk menentukan seseorang dapat berperilaku politik yang benar atau tidak. Ini berarti bahwa “gereja” (agama) tidak dapat dipisahkan dari politik. Hal ini 

Bnd. William Stringfellow, A Private and Public Faith. (Michigan: Grand Rapids, 1962) hlm. 18-20. Dalam terminologi Amerika, Stringfellow mengatakan bahwa terkadang keterpisahan antara agama dan politik didiamkan oleh pemimpinpemimpin Gereja di seluruh Amerika. Seolah-olah politik itu menjijikan (repugnant) untuk Injil. Kecenderungan yang sama sering pula ditemukan pada gereja-gereja di Indonesia, bahwa politik itu kotor. Agama jangan dihubung-hubungkan dengan politik karena politik dicapai melalui cara-cara yang kotor, dan ini dipandang bertentangan dengan iman kristiani. Tentang masalah ini dapat dilihat, misalnya, A. A Yewangoe, Haramkah Politik Praktis bagi Umat Kristen; Studi Teologi tentang Politik. Makalah. hlm. 11-2; Reinhold Niebuhr, The Children of Ligh and the Children of Darkness. (New York: Charles Scribner’s Sons, 1960) hlm. 9-11. Niebuhr melihat gereja sering menganggap mereka adalah anak-anak terang (kudus) jauh dari kekotoran politik. Dengan demikian menurut Niebuhr, karena mereka telah berprediksi sebagai anak-anak terang maka sebetulnya mereka sendiri telah melampaui kekuasaan Allah. Padahal mereka sendiri dalam prakteknya seperti anak-anak gelap.

Page | 76

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 diperlukan karena agama dapat menumbuhkan kesadaran moral seseorang. Dengan kata lain, bahwa apabila seseorang memiliki moral agama yang baik, maka norma-noram moral itu dapat tertanam di dalam alam batin dan pikirannya karena alam batin dan pikirannya itu telah diperkuat oleh nilai-nilai relegi yang telah melingkupi total hidupnya. Semakin dekat dia dengan Sang Khalik, semakin tinggi kepakaan moralnya. Demikian pula sebaliknya, semakin jauh dia dengan Sang Khalik semakin jauh kepekaan moralnya. Keinsafan moral adalah dasar kepatuhannya kepada norma-norma hukum. Jika moralnya baik, seseorang tidak memerlukan pengawasan lembaga atau orang lain. Jika tidak, maka segala bentuk penyimpangan dapat diajak kompromi. Hal yang sama juga berlaku untuk suatu aktivitas politik. Jika moral politiknya baik, komitmen politiknya juga baik dan jelas. Jika tidak, segala macam cara digunakan demi meraih kepentingannya. Karena agama dapat membentuk kesadaran moral seseorang maka menurut Niebuhr (1963: 257 dst.), dengan sendirinya turut pula membentuk kesadaran moral masyarakat. Oleh karena keadilan masyarakat tidak dapat dibangun hanya di bawah kontrol dan kehendak moral individu saja, maka dibutuhkan pula adanya pengawasan lembaga. Jika tidak, maka kepentingan pribadi seseorang akan dilanggar oleh kepentingan pribadi orang lain. Hal ini terjadi karena kehendak pribadinya tidak dapat dikendalikan oleh kontrol dan kesadaran moralnya.

Penutup Demikianlah uraian singkat tentang gereja (agama) dan politik dalam konteks Indonesia. Gereja dan politik merupakan sesuatu hal yang sangat penting dalam pergumulan peran politik serta demokrasi di Indonesia. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat berdiri sendiri karena saling membutuhkan dan melengkapi. Karena secara kelembagaan Gereja dapat membentuk iman seseorang (umatnya) dalam arti moral dan etika politiknya. Interaksi positif antara gereja (agama) dan politik akan mendorong prosess pembangunan dan demokrasi itu sendiri Dalam arti bahwa, Gereja, meskipun secara empiris – sebagai lembaga keagamaan – memahami diri berbeda dari organisasi politik, tetapi secara teologis ia mengemban misi yang mengandung aspek dari fungsi nabi dan imam. Gereja sebagai lembaga mengingatkan mengenai perlunya ditegakkan keadilan dan kebenaran. Gereja mendorong agar kasih, kebaikan dan perdamaian ditumbuhkan di dalam masyarakat. Gereja dapat pula mendorong pemerintah untuk menunaikan tugasnya secara benar, adil dan bersih. Dengan demikian dapat mengayomi rakyat dan memberantas kejahatan dalam bentuk apapun serta mempunyai komitmen teguh terhadap pemberantas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. Gereja bukan berafiliasi dengan partai politik tertentu, atau bahkan terlibat secara langsung dalam politik praktis. Tetapi mempersiapkan umatnya menjadi warga negara yang bertanggung jawab untuk melakukan kegiatan politik bagi Page | 77

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 kemajuan dan kesejahteraan bersama. Apabila gereja telah mempersiapkan umatnya menjadi seseorang yang memiliki moral, maka alam batin dan pikirannya akan merobah total hidupnya. Tidak mustahil di dalam beraktifitas politik pun, ia akan bertindak secara benar dan adil, karena alam batin dan pikirannya itu telah diperkuat oleh nilai-nilai relegiusitasnya. Keinsafan moral adalah dasar kepatuhannya kepada norma-norma hukum.

Budiardjo, Miriam, Demokrasi Indonesia. Demokrasi Parlemen dan Demokrasi Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 1994 de Gruchy, John W. Agama Kristen dan Demokrasi. Terj. Martin Lukito Sinaga. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000 Mahendra, Yusril, Ihza, Penegakkan Hukum yang Muram, dalam Forum Keadilan No. 37 30 Desember 2001,

Gereja juga harus secara kritis menyuarakan praktek-praktek politik yang masih dilandasi oleh kultur politik yang cenderung berorientasi pada nilai-nilai feodal-aristokrat. Suatu kultur politik, di mana rakyat adalah hamba yang selalu menjadi objek kepentingan politiknya. Kultur bagi-bagi uang, sembako, dan bentuk sumbangan lainnya, diberikan oleh tuan-tuan yang berkuasa, berduit, dan bertahta. Suatu kultur politik yang merusak sosio-politis dan masa depan bangsa dan negara.

Moyser, George, Chruch and Politics Today. Edinburgh: T.&T. Clark Limited, 1985

Daftar Pustaka Aditjondro, George, Prospek Pemilihan Presiden dan Demokrasi di Indonesia. Makalah. Tomohon 18 Juni 2004. Alrasid, Harun, Tinjauan Yuridis Mengenai Perangkat Umum Pemilihan Umum, dalam UNISIA, David J., Transformasi Misi Kristen. Terj. Stephen Soleeman. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000 Berkhof-Enklaar, Sejarah Gereja. Cet. ke16. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000 Bosch,

Niebuh, Richard, The Children of Light and The Children of Darkness. (New York: Charles Scribner’s Sons, 1960 _____________, Moral Man and Immoral Society. First British Edition. London: SCM Press LTD, 1963 Pieris, Aloysius, SJ., Berteologi dalam Konteks Asia. Ter. Agus M. Hardjono Yogyakarta: Kanisius, 1996 Price, Richard, Augustinus; Tokoh Pemikir Kristen. Editor Seri: Peter Varddy. Yogyakarta: Kanisius, 2000 Rapar, Jan H. “Aspek Politik Perubahan Masyarakat Minahasa”, dalam A.O Supit, et.al. (peny), Kemandirian Berteologi. Tomohon: UKIT Press, 2003 Schumann, Olaf, Sikap dan Komunikasi antar Kelompok Agama dan Suku dalam Rangka Kebangsaan Indonesia. Makalah: 2003 Page | 78

Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 Simatupang, T.B., Iman Kristen dan Pancasila. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998 Singgih, Imanuel, G, Iman dan Politik dalam Era Reformasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002 Steenbrink, K.A, “Indonesian: A Christian Minority in a Strong Position”, dalam A. Camps, et.al. (eds), Missiology; An Ecumenical Introduction. Texts and Contexts of Global Christianity. Michigan: Grand Rapids, 1995

Stringfellow, William, A Private and Public Faith. Michigan: Grand Rapids, 1962 Utomo, Warsito, “Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung: Solusi atau Masalah?” dalam Jurnal UNISA Januari-Maret 2004 No. 51/XV UII/1/2004. Pemilu dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Yogyakarta : UII, 2004 Yewangoe, A.A., Gereja dan Politik. dalam Berita Oikumene April 1997.

Page | 79