JURNAL PEMERINTAHAN DAN POLITIK VOLUME 2 No.1 AGUSTUS 2016
ISSN PRINT : 2502-0900 ISSN ONLINE : 2502-2032
PENGELOLAAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DENGAN SEGALA PERMASALAHANNYA Asnedi1) 1)
Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Selatan Jl. Jend. Sudirman KM. 3 Palembang Kode Pos 30126 Email :
[email protected]) ABSTRACT
Indonesia based on Pancasila, Thinking About functions of criminalization no longer just deterrent punishment but is also an attempt rehabilitation and social reintegration with public system. With Constitution of public can make strengthen efforts to realize the vision of a review public system, as a guide for the purpose,limit, and how coaching. Problem of Institution Public in Indonesia as between the occupant and commotion occurred with Officer Dan defection number of inmates. Good management starts from the shelter capacity Occupancy attention. The human treatment lawbreaker and less off skill of officers. Officers don’t have professional expertise for resolve convictand and less equipment. The deficts seen include human resources, budget and infrastructure, compensated with cultural creation Prison of prioritizes balance shows harmony. Operating concept, the harmony its also supporting reintegration process occupants can later be back to society. public activities require monitoring is not just functional and attached, but also subscription process monitoring and control activities correctional commonly called prison (prison supervision). Prison management solution patterns in addition to revamping the handling of prisoners, discourse management is in the lower direct president, singer is expected that the funding allocation of its own so more flexible. Improved integrity officer and training subscription technical capability as well as their good standard operating procedures. Keywords : Management, Penitentiary, Prison. Pemasyarakatan dalam konferensi ini dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial atau pulihnya kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan di dalam masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, pelaksanaan sistem pemasyarakatan semakin mantap dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dengan adanya Undang Undang Pemasyarakatan ini maka makin kokoh usahausaha untuk mewujudkan visi Sistem Pemasyarakatan, sebagai tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab. Lembaga Pemasyarakatan yang disingkat LP atau Lapas, adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana di Indonesia. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (dahulu Departemen Kehakiman). Penghuni Lapas bisa narapidana atau napi atau Warga Binaan Pemasyarakatan
1. Pendahuluan Memahami eksistensi Lapas bagi masyarakat luas sangat diperlukan media untuk dapat menyampaikan informasinya, apalagi keberadaan Lapas yang bergerak dan menjadi bagian dalam proses peradilan pidana yang diawali dengan proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh lingkungan Polri, penuntutan yang dilakukan oleh lingkungan Kejaksaan dan pemeriksaan pengadilan yang dilakukan dilingkungan Mahkamah Agung, dan pelaksanaan pembinaan pelanggar hukum dilakukan oleh lingkungan Pemasyarakatan melalui institusi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Bagi Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran pemikiran mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah ditetapkan dengan suatu sistem perlakuan terhadap para pelanggar hukum di Indonesia yang dinamakan dengan Sistem Pemasyarakatan. Istilah pemasyarakatan untuk pertama kali disampaikan oleh Almarhum Bapak Sahardjo, SH (Menteri Kehakiman pada saat itu) pada tanggal 5 Juli 1963 dalam pidato penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa oleh Universitas Indonesia. Pemasyarakatan oleh beliau dinyatakan sebagai tujuan dari pidana penjara. Satu tahun kemudian, pada tanggal 27 April 1964 dalam Konferensi Jawatan Kepenjaraan yang dilaksanakan di Lembang Bandung, istilah pemasyarakatan dibakukan sebagai pengganti kepenjaraan. [1].
23
JURNAL PEMERINTAHAN DAN POLITIK VOLUME 2 No.1 AGUSTUS 2016
disingkat WBP, bisa juga yang statusnya masih tahanan, yakni Tersangka atau Terdakwa pelaku kejahatan yang masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh Hakim. Menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bahwa, Pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan diselenggarakan oleh Menteri Hukum dan HAM, dan dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan.[2]. Ketentuan mengenai pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di LAPAS dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan oleh BAPAS diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2009. Kemudian pada Pasal 8 ayat (1) Petugas Pemasyarakatan merupakan Pejabat Fungsional Penegak Hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.
ISSN PRINT : 2502-0900 ISSN ONLINE : 2502-2032
Data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjenpas KemenkumHAM) menunjukkan hingga kini Indonesia baru memiliki 262 Lembaga Pemasyarakatan, 158 Rutan, dan 57 Cabang Rutan. Total keseluruhan Lapas/Rutan/Cabang Rutan sebanyak 477 unit dan harus menampung sebanyak 192.256 orang. Untuk data di Sumatera Selatan memiliki 12 Lembaga Pemasyarakatan, 3 Rutan, dan 5 Cabang Rutan, kapasitas hunian sebanyak 6.446 orang dan isi saat ini berjumlah 9.107 orang terjadi kelebihan kapasitas hingga 141 persen. Padahal, dengan jumlah 477 Lembaga Pemasyarakatan dan Rutan, seharusnya maksimal menampung (Kapasitas) sebanyak 118.660 orang narapidana dan tahanan. Indonesia saat ini darurat Lembaga Pemasyarakatan dan Rutan sebab terjadi kelebihan kapasitas hingga 162 persen. [3]. Masalah tidak tertampungnya napi dan tahanan di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara diperparah dengan minimnya keterampilan petugas. Petugas Lembaga Pemasyarakatan/Rutan belum dilengkapi keahlian profesional untuk menangani narapidana. Bahkan ada kecenderungan petugas Lembaga Pemasyarakatan/Rutan di Indonesia kurang berhati-hati dan waspada dalam menghadapi tahanan. Secara kualitas sebagian besar belum mempunyai kompetensi, misalnya kemampuan mengatasi huru-hara, keahlian intelijen, psikologi menghadapi tahanan dan sebagainya. Masalah lain yang perlu diperhatikan adalah kurangnya peralatan yang memadai untuk menangani Lembaga Pemasyarakatan. Sebagai perbandingan di negara Australia, Lembaga Pemasyarakatan dan bahkan personel penjaganya dilengkapi dengan alat pelontar gas air mata, semprotan merica, hingga alarm tanda bahaya yang siap siaga. Paling tidak dengan peralatan tersebut langsung dapat menghalau napi yang berusaha berbuat onar yang berpotensi membuat gangguan kamtib di Lapas/Rutan. Namun, di Indonesia petugas Lembaga Pemasyarakatan belum dilengkapi alat yang memadai sehingga jika ada kerusuhan cenderung membesar dan meluas ke blok-blok lain dalam Lapas. Soal minimnya keterampilan bagi petugas Lembaga Pemasyarakatan, diperparah dengan minimnya jumlah petugas pengamanan Lembaga Pemasyarakatan/Rutan. Data petugas saat ini hanya ada 11.800 petugas Lembaga Pemasyarakatan/Rutan yang menangani 192.256 orang napi dan tahanan. Artinya, satu petugas harus mendampingi sekitar 55 orang narapidana dan/atau tahanan. Padahal, idealnya, satu orang petugas Lembaga Pemasyarakatan hanya boleh mendampingi 5 (lima) orang napi dan/atau tahanan. Kekurangan paling mencolok terkait dengan Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia mencakup sumber daya manusia, anggaran, dan sarana-prasarana. Jika belakangan ini berkali-kali muncul berita tak sedap tentang lembaga tersebut, sebenarnya berawal dari kekurangan tersebut. Namun, pemenuhan ketiganya tanpa diimbangi
2. Pembahasan Problema LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan) di Indonesia yang belum memadai menjadi penyebab berbagai masalah yang acap kali muncul, antara lain terjadi keributan antar napi, napi dengan petugas pengamanan Lembaga Pemasyarakatan/Rutan dan kaburnya sejumlah napi/tahanan dari Lembaga Pemasyarakatan/Rutan. Paradigma atas Lembaga Pemasyarakatan harus dibenahi. Bahwa Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat pembinaan, tempat membuat orang menjadi lebih baik, lebih siap utuk kembali bergaul di tengah masyarakat dan memiliki keterampilan untuk hidup normal. Kejadian-kejadian yang sangat meresahkan masyarakat tersebut tadi seringkali terlalu didramatisir sebagai bahan pembicaraan untuk selalu meletakan kesalahan kepada institusi Lapas, tanpa memahami kompleksitas kejadian interaksi sosial manusia (narapidana) yang terjadi didalamnya. Berbicara soal kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan/Rutan tidak bisa dilepaskan dari fungsi Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri. Apakah Lembaga Pemasyarakatan akhirnya berfungsi “menobatkan” penjahat setelah menjalani masa penahanan atau pidana penjara?. Pengelolaan yang baik dimulai dari memperhatikan kapasitas penampungan untuk napi dan tahanan. Perlakuan narapidana di Lapas juga mendapat perhatian negara, karena dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. Perlakuan yang manusiawi terhadap pelanggar hukum tercermin pada terpenuhinya hak-hak mereka selama menjalani pidana. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan memberikan jaminan kepada pelanggar hukum untuk mendapatkan hak-haknya selama menjalani pidana.
24
JURNAL PEMERINTAHAN DAN POLITIK VOLUME 2 No.1 AGUSTUS 2016
pengawasan yang memadai hanya akan menimbulkan permasalahan baru. Untuk itu, Rumah Tahanan Negara (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (LP) ataupun lembaga terkait dengan rumpun pemasyarakatan, seperti Balai Pemasyarakatan (Bapas) dan Rumah Penyimpanan Barang Sitaan Negara (Rupbasan), perlu punya lembaga pengawasan sendiri. Keterbatasan menyangkut tiga hal di atas, oleh manajemen Rutan dan LP dikompensasi dengan penciptaan budaya penjara yang mengutamakan keseimbangan. Kehidupan penjara diciptakan sedemikian rupa sehingga memperlihatkan harmoni. Secara konsep, harmoni itu juga menunjang proses reintegrasi penghuni untuk, pada saatnya kelak, dapat kembali ke masyarakat. Guna merealisasi harmoni, pada satu sisi para petugas Lapas "meminta" para penghuni agar tidak lari, tak berkelahi, tak melawan petugas, dan, yang paling ditakuti, tidak menciptakan kerusuhan. Mengapa demikian? Karena jika terjadi, Petugas Lapas dapat dipastikan akan tunggang langgang karena tak akan mampu menahan para penghuni apabila mengamuk. Terkait dengan itu, sistem pengawasan internal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tidak bisa menjangkaunya. Seperti juga sejumlah Inspektorat Jenderal, Inspektorat Jenderal Kemenkumham juga terkena tiga halangan. Pertama, ewuh pakewuh saat memeriksa sesama teman. Kedua, pengawasan dianggap lebih pada aspek administratif. Ketiga, pelaksanaan pengawasan dilakukan secara protokoler (diberitahukan terlebih dahulu, dll) sehingga yang dilihat di Rutan/Lapas pada dasarnya tidaklah apa adanya. Untuk itu, perlu menghargai upaya dari para petinggi di Kementerian Hukum dan HAM khususnya jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Direktur Bina Kamtib) yang rajin melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah Unit Pelaksana Teknis (UPT) jajaran Pemasyarakatan KemenkumHAM. Upayanya menekan kehadiran telepon seluler, pungli, dan narkoba memang tak akan menyelesaikan masalah, tetapi minimal bisa menekan kemungkinan berkembangnya penyimpangan ke arah yang lebih serius dan ekstrem. Namun, itu tidak cukup. Kasus "pabrik narkoba" di Lapas Narkotika Cipinang dan ulah terpidana mati Freddy yang memperoleh akses luar biasa di Lapas tersebut pada dasarnya adalah tamparan bagi kita semua. Namun, jika mengambil hikmahnya, kasus itu kembali memperlihatkan bahwa kegiatan pemasyarakatan memerlukan pengawasan yang bukan hanya fungsional dan melekat, melainkan juga pengawasan terkait proses dan aktivitas pemasyarakatan. Di mancanegara, hal itu dikenal dengan sebutan pengawasan penjara (prison oversight). Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, disebutkan tentang lembaga Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP) yang diposisikan sebagai pemberi saran dan pertimbangan kepada MenkumHAM mengenai pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Oleh banyak kalangan, BPP digadanggadang sebagai KY-nya jajaran pemasyarakatan.
ISSN PRINT : 2502-0900 ISSN ONLINE : 2502-2032
Padahal, jika dilihat secara format dan kegiatan, BPP sama sekali tidak bisa disebut sebagai suatu komisi negara yang secara rutin menjalankan kegiatan pengawasan. Keanggotaan BPP terdiri atas beberapa mantan Dirjen Pemasyarakatan, anggota parlemen, beberapa akademisi, dan aktivis LSM. Mereka sesekali berkunjung ke beberapa UPT serta 1-2 bulan sekali bertemu guna membahas sejumlah isu dan mengajukannya dalam bentuk saran kepada MenkumHAM atau Dirjen Pemasyarakatan. [4] 3. Kesimpulan Adapun kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut : 1. Pola penanganan napi, adalah langkah solutif saat ini yang perlu dikerjakan pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Langkah ini, Menurut MenkumHAM salah satunya dengan merevisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Seberapa banyak pun Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara yang di sediakan, kalau pola penanganan napi narkotika tidak dilakukan perubahan, maka problem over-kapasitas tidak akan tertangani dengan baik. Keseluruhan napi dan tahanan yang berada dalam Lapas/Rutan, 50 persennya terlibat kasus narkotika. Ketika undangundang Narkotika dibuat, semangat pemberantasan narkotika sangat menggebu-gebu. Namun, dampak atas undang-undang tersebut tidak dipikirkan secara matang. Kini, Lembaga Pemasyarakatan kewalahan menampung banyaknya orang yang harus mendekam di dalam Lembaga Pemasyarakatan karena dinyatakan bersalah.Undang-undang itu belum secara baik memisahkan mereka selaku pengguna berada di panti rehabilitasi. Para pemilik, pengedar, produsen, dan para pelaku transaksi jual beli narkotika masih tercampur baur di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. Seharusnya hukuman untuk pengguna dan penjahat (Bandar) narkotika lainnya dibedakan. Pengguna sebaiknya tidak dihukum, melainkan direhabilitasi. 2. Masalah Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara dikelola dibawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan HAM. Namun, tampaknya belum optimal untuk menyelesaikan masalah hingga tuntas. Karena itu ada wacana sebaiknya pengelolaan Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara/Cabang Rutan berada di bawah langsung Presiden, ini diharapkan agar alokasi pendanaannya tersendiri sehingga lebih fleksibel. Selama ini anggaran untuk Lembaga Pemasyarakatan memang sangat terbatas. Dalam hal perumusan kebijakan di Lembaga Pemasyarakatan diharapkan dapat sepenuhnya melibatkan pihak Ditjenpas karena lebih mengetahui kondisi nyata di lapangan. Perlu langkah kongkrit untuk mengelola Lembaga Pemasyarakatan. Persoalan Lembaga Pemasyarakatan bakal ada terus-
25
JURNAL PEMERINTAHAN DAN POLITIK VOLUME 2 No.1 AGUSTUS 2016
menerus. Sudah banyak kebijakan dibuat pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM.
ISSN PRINT : 2502-0900 ISSN ONLINE : 2502-2032
Saran 1. Upaya yang dilakukan saat ini, selain telah melakukan pembangunan Gedung Lapas baru dengan segala sarana dan prasarananya, seperti CCTV, jammer detector, juga pelaksanaan program Getting to Zero HALINAR (Handphone, Pungli dan Narkoba), sebuah program dimana pegawai Lapas harus bersih dari HP (handphone), pungli dan narkotika, bahkan Indonesia saat ini Darurat Narkoba dan menyatakan perang terhadap-nya. Pengawasan ini dilakukan lewat sistem yang sudah dibuat dan untuk di Lapas/Rutan dibawah pengawasan langsung Kepala Lapas/Rutan masing-masing. Jika ditemukan masih ada yang meminjamkan HP, atau pegawai Lapas memberikan WBP menggunakan HP akan ditindak dengan tegas. 2. Optimalkan Getting to Zero HALINAR yaitu suatu langkah menuju ketitik nol atau bersih dari adanya penggunaan Handphone dalam Lapas bagi Warga Binaan Pemasyarakatan, penghapusan praktek pungutan liar, dan pencegahan penggunaan dan peredaran gelap Narkoba dalam Lapas. Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Selatan telah membentuk Satuan Tugas Keamanan dan Ketertiban (Satgas Kamtib) melakukan tugas razia secara berkala/rutin maupun insidentil di Lapas/Rutan serta bertugas melaksanakan program P4GN, Satuan Tugas Pengawasan Internal Pemasyarakatan (Satgas Was Internalpas) yang bertugas melakukan pengawasan intern pemasyarakatan yang meliputi penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang pemasyarakatan, penerapan sistem pengendalian intern, penyelenggaraan pelayanan publik, penerapan reformasi birokrasi, dan indikasi penyimpangan atau kasus tertentu, pembinaan mental rohani, dan memberi bekal keterampilan melalui Bengkel Kerja Produktif dan Industri. 3. Lakukan penguatan integritas SDM, dengan pelatihan dan pendidikan, pemberian reward and punishment terhadap petugas Lapas/Rutan, dipenuhinya kuantitas dan kualitas SDM yang memadai. Perlunya pemisahan Lapas untuk narapidana perkara tindak pidana tertentu dengan tindak pidana umum, seperti teroris, narkotika dan tindak pidana korupsi (tipikor). Peningkatan koordinasi dengan lembaga terkait, untuk kasus terorisme dengan BNPT, kasus narkoba dengan Kepolisian Daerah Sumatera Selatan, Badan Nasional Narkotika Provinsi Sumatera Selatan/Badan Nasional Narkotika Kabupaten/Kota dan tindak pidana korupsi.
3. Peningkatan integritas petugas Lapas dan pelatihan terkait kemampuan teknis serta adanya standar operating procedure yang jelas mutlak diperlukan dalam mereformasi sistem di Lapas Indonesia. Sehingga, dengan adanya pedoman yang jelas dalam pengelolaan seluruh aspek dalam sistem Pemasyarakatan, dapat dilakukan monitoring dan upgrading secara berkala. Selain itu, permasalahan kapasitas yang menjadi akar kepadatan penghuni atau masalah over crowded juga harus diatasi dengan baik. 4. Ada beberapa titik kelemahan yang membuat proses pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan belum berjalan secara optimal, antara lain jumlah personil dan kualitas dan integritas petugas, sarana dan prasarana, pemenuhan kebutuhan pokok seperti air bersih dan penerangan listrik, kebersihan lingkungan dan sanitasi, indeks bahan makanan penghuni, kesejahteraan PNS, dan penyediaan rumah dinas atau mess untuk petugas pengamanan Lapas dan Rutan, anggaran yang minim untuk pelaksanaan program bengkel kerja produktif, bengkel kerja di sejumlah Lembaga Pemasyarakatan bertujuan sangat positif. Selain bisa menghasilkan penghasilan bagi WBP atau napi, bengkel kerja itu bisa memberi keterampilan ketika kelak sang napi kembali ke dalam kehidupan masyarakat. Hal lainnya tentu saja untuk memberi kesibukan kepada WBP atau napi ketimbang merenungi nasib dan menyesali perbuatan sampai menunggu usainya masa pemidanaan. Konsekuensi pelaksanaan pembinaan narapidana yang dilakukan di Lapas pada dasarnya diselenggarakan melalui 3 (tiga) jenis kegiatan, yaitu : a. Pembinaan Kepribadian, yang meliputi pembinaan kesadaran beragama, pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan), pembinaan kesadaran hukum, dsb nya; b. Pembinaan Kemandirian, yang meliputi pembinaan keterampilan untuk mendukung usaha mandiri, misalnya kerajinan tangan, industri rumah tangga dan lain sebagainya, pembinaan keterampilan untuk mendukung usaha industri kecil, misalnya pengolahan rotan menjadi perabot rumah tangga, membuat batako, pertukangan, dll; pembinaan keterampilan yang dikembangkan sesuai minat dan bakatnya masing-masing, seperti seni olahraga, dsb nya, serta pembinaan keterampilan untuk mendukung usaha industri seperti, kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, industri sepatu, tekstil, dsb nya. c. Pembinaan Sosial, yaitu pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat melalui kegiatan program asimilasi (ke dalam dan keluar) dan pembebasan bersyarat narapidana.
26
JURNAL PEMERINTAHAN DAN POLITIK VOLUME 2 No.1 AGUSTUS 2016
Daftar Pustaka [1] Dwidja,priyanto.2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung: Refika Adaitama [2] Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995, [online]. Tersedia: www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/lt51 497b670ed21/parent/3969/ [diakses : 21 Juni 2016]. [3] Sistem Database Pemasyarakatan, jumlah penghuni, http://smslap.ditjenpas.go.id/, diakses, 6 Juni 2016 [4] Adrianus Meliala, “Komisi Pemasyarakatan”, Kompas, 20 Agustus 2013, [online]. Tersedia : https://lautanopini.com/2013/08/20/komisipemasyarakatan/ [diakses : 21 Juni 2016].
27
ISSN PRINT : 2502-0900 ISSN ONLINE : 2502-2032