ISSN Print : 2087-5622
ISSN Online : 2527-4813
Volume 6 Edisi 3 Juli 2016
ISSN Print : 2087-5622
ISSN Online : 2527-4813
PENANGGUNG JAWAB Kepala Pusat Litbang Dan Pengembangan MITRA BESTARI Prof. Dr. (Jur) Andi Hamzah Dr. Bambang Waluyo, SH., MH Ir. Drs. H.M. Bashori Imron, M.Si Prof. Dr. Didiek, SH., MH Prof. Dr. Elwi Danil Prof. Dr. Hikmahanto Prof. Irwansyah Rawydharma Dr. Nurochmad, SH., MH. Prof. Dr. Said Karim Prof. Dr. Widyo Pramono, SH., MM., M.Hum. KEPALA REDAKSI B.D. Sri Marsita G.
REDAKSI Andi Nurwinah Hendi Suhendi Mangasi Situmeang Maret Priyatna Mispansyah Nandan Iskandar Niniek Suparni Oky Deviany. B. Rr. Yoeniarti Sasongko Sri Hastuti Suryadi Agoes SEKRETARIAT Aghia Khumaesi Suud Ahmad Rahmadi Amelya Gustina Cahya Agung Satria Nugraha Dyah Kusumastuti Herta Lamria Butar-Butar Ines Rachmawati P Jajang Aminullah Al Wahdy Sri Humana Imas Sholehah Fernando
ISSN Print : 2087-5622
Alamat Redaksi / Sekretariat : Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI Jl. Sultan Hasanuddin No.1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Telp.(021) 7250188 Fax.(021) 7250188 e-Mail :
[email protected] Website : www.kejaksaan.go.id/ojs
ISSN Online : 2527-4813
87-562
ISSN
20 Print :
2
ISSN
Online
-4813
: 2527
JURN AL BI
e6 Volum Edisi 3 16 Juli 20
NA AD l. SA, Vo HYAK 6 No. 0 1 - 25
: 17 li 2016 2, Ju
ISSN 2 62 2087-5
NGAN EMBA ESIA N PENG INDO DAN TIAN UBLIK ENELI UNG REP P T A G PUS AAN A JAKARTA S K KEJA
ISSN Print : 2087-5622
ISSN Online : 2527-4813
Vol. 6 No. 3, Juli 2016
PENGANTAR REDAKSI
J
unal Bina Adhyaksa kali ini merupakan terbitan istimewa karena bertepatan dengan peluncuran e_journal Bina Adhyaksa yang dapat di akses di www.kejaksaan.go.id/ojs. Edisi ini berisikan tulisan-tulisan, kajian, penelitian maupun ulasan yang mengupas mengenai problematika hukum di Indonesia. Terdapat 7 (tujuh) tulisan terdiri dari 5 (lima) kajian dan ulasan yaitu Dr. Bambang Waluyo dengan judul “Revolusi Mental dan Pembinaan Sumber Daya Manusia Kejaksaan Republik Indonesia” , Prof. Dr. Widyo Pramono, SH., MM., M.Hum dengan judul “Waskat Sebagai Agen Perubahan di Lingkungan Kejaksaan”, H.Muhammad Said Karim dengan judul “Sinergitas Kejaksaan, Polri dan KPK Menangani Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Rangka Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Satrio Wibowo, SH, LLM dengan judul “Improving The Competences of State Attorney of Indonesia in Internasional Dispute Settlements (A Comparative Legal Study of Indonesia and Singapore) dan oleh Mispansyah dengan judul “Pemanfaatan Teknologi Dalam Mencegah Tindak Pidana Korupsi”. Serta 2 (dua) hasil penelitian yaitu oleh Sri Hastuti, SH dan Lasmaida Limbong, SH dengan judul “Pengukuran Kepuasan Masyarakat Terhadap Kinerja Kejaksaan Dalam Penanganan Perkara” dan Rr. Yoerniati S, SH, Sri Marsita., SH, Sri Humana, S.sos, Amelya Gustina, SH. MH, Imas Sholehah, SH dan Irfan F, SH. MH dengan judul “Penguatan Kelembagaan Sentra Diklat dalam Mendukung Sumber Daya Manusia (SDM) Kejaksaan. Beragamnya materi tulisan dan format jurnal yang sudah hadir dalam bentuk hard copy dan e_journal pada terbitan kali ini membuktikan bahwa Jurnal Adhyaksa menjadi media komunikasi yang bersifat terbuka dan bisa diakses lebih luas lagi bagi permasalahan hukum di Indonesia secara umum dan Kejaksaan secara khususnya. Akhirnya kata redaksi berharap edisi terbitan kali ini lebih selangkah ke depan dan bermanfaat untuk para pembaca.
Salam Adhyaksa Redaksi
ISSN Print : 2087-5622
ISSN Online : 2527-4813
Vol. 6 No. 3, Juli 2016
Daftar Isi Pengantar Redaksi ..........................................................................................................................
i
Daftar Isi .............................................................................................................................................
iii
Revolusi Mental dan Pembinaan Sumber Daya Manusia Kejaksaan Republik Indonesia/ 171 - 181 Mental Revolution and Human Resources Development at the Indonesia Prosecution Office ................................................................................................................................................... Bambang Waluyo
Waskat Sebagai Agen Perubahan di Lingkungan Kejaksaan / Inherent Supervisory 183 - 189 (Waskat) as Agent of Change in the Attorney ............................................................................. Widyo Pramono
Perkara Tindak Pidana Korupsi Dalam Kerangka Sistem Peradilan Pidana Terpadu / 191 - 193 Synergy between Prosecution Office, Police Department, and Anti Corruption Commission in Indonesian Integrated Criminal Justice System ...................................................................... H. Muhammad Said Karim
Pemanfaatan Teknologi Dalam Mencegah Tindak Pidana Korupsi (Sebuah Telaah 195 - 206 Holistik Kefilsafatan) / The Utilization of Technology in Preventing Corruption ............... Mispansyah
improving the competences of state attorney of indonesia in international dispute 207 - 220 settlements (a comparative legal study of indonesia and singapore) ............................ Satriyo Wibowo
Penelitian: Pengukuran Kepuasan Masyarakat Terhadap Kinerja Kejaksaan Dalam 221 - 236 Penanganan Perkara / Research Finding : Measuring Public Satisfaction Performance Against Attorney In Case Management ....................................................................................... Sri Hastuti, Lasmaida Limbong
Penelitian: Penguatan Kelembagaan Sentra Diklat Dalam Mendukung Sumber Daya 237 - 262 Manusia (SDM) Kejaksaan / The Institutional Strengthening of Education And Training Center to Enhance Human Resource Of Attorney ...................................................................... Rr. Yoeniarti S, Sri Marsita, Sri Humana, Amelya Gustina, Imas Sholihah, Irfan F.
Index Kata Kunci Index Penulis Petunjuk Penulisan
iii
ISSN Print : 2087-5622
ISSN Online : 2527-4813
Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya. Bambang Waluyo Revolusi Mental dan Pembinaan Sumber Daya Manusia Kejaksaan Republik Indonesia Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3 - Juli 2016,
Hal. 171
Abstrak Setelah berlakunya UU No. 45 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), terjadi pergeseran fokus dari “Kepatuhan” menjadi Profesional(itas), merupakan perubahan yang bersifat mendasar atau fundamental, melalui UU ASN, aparatur negara diharapkan memiliki kekuatan dan kemampuan profesional berintegritas tinggi, non parsial dalam melaksanakan tugas, berbudaya kerja tinggi dan kesejahteraan tinggi. Revolusi mental aparatur menjadi prioritas utama, yang cakupannya adalah perubahan mindset, perubahan culture set, dan penataan struktur organisasi yang pada akhirnya terwujudnya tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya sesuai NAWACITA poin ke-dua. Implementasi Revolusi Mental di Kejaksaan Republik Indonesia secara umum dilakukan melalui 3 (tiga) hal yaitu : 1. Internalisasi Nilai-nilai yang bertumpu pada tiga nilai yaitu Integritas, Etos kerja dan Gotong Royang, yang telah terimplimentasi melalui a). Visi dan Misi Kejaksaan, b). Doktrin Tri Krama Adhyaksa, c). Kode Perilaku Jaksa. 2. Pembangunan Sistem, 3. Penguatan Kepemimpinan. Sedangkan implementasi Revolusi Mental dalam Pembinaan Sumber Daya Manusia Aparatur Kejaksaan RI, adalah meliputi; Rekruitmen Pengadaa Pegawai; Pembinaan Pegawai melalui Pengembangan karier; Pengawasan. Kata kunci : revolusi mental, sumber daya manusia kejaksaan RI
Usaha Kejaksaan Tinggi Lampung yang ditangkap dan ditahan kasus penipuan, oknum Tata Usaha di Bali yang menggunakan uang barang bukti tindak pidana korupsi, oknum Tata Usaha di Kejaksaan Negeri Manado yang menggunakan uang tilang, menunjukkan sudah saatnya Kejaksaan harus berubah. Pejabat struktural sebagai pejabat yang melaksanakan fungsi pengawasan melekat, memiliki fungsi yang sangat strategis dalam perubahan di Kejaksaan. Seorang pejabat pengawasan melekat hendaknya melakukan kombinasi tugas pengawasan atasan langsung dan pelaksanaan sistem pengendalian manajemen, guna membawa perubahan positif di lembaga Kejaksaan, pejabat dimaksud juga dituntut untuk menjadi agen perubahan, tunas integritas dan menjadikan lingkungannya sebagai organisasi pembelajaran, berfikir kreatif, inovatif dan tidak sekedar rutinitas / business as usual. Kata kunci : pengawasan melekat, perubahan, mitra SDM kejaksaan
H. Muhammad Said Karim Perkara Tindak Pidana Korupsi Dalam Kerangka Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3 - Juli 2016,
Mispansyah Pemanfaatan Teknologi Dalam Mencegah Tindak Pidana Korupsi (Sebuah Telaah Holistik Kefilsafatan) Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3 - Juli 2016,
Widyo Pramono Waskat Sebagai Agen Perubahan di Lingkungan Kejaksaan Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3 - Juli 2016,
Hal. 183
Abstrak Kejaksaan baik secara kelembagaan maupun aparat atau SDM nya selalu menjadi tumpuan perhatian media dan masyarakat. Beberapa peristiwa yang terjadi antara lain Operasi Tangkap Tangan oleh KPK terhadap oknum Jaksa di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, tertangkapnya oknum Jaksa di Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat yang sedang menggunakan narkotika, oknum Tata
Hal. 191
Hal. 195
Abstrak (Implementasi dari Conference of states Parties to the United Nation Convention Against Corruption 2 (COSPUNCAC) yang dilaksanakan oleh PBB, mengenai penggunakan teknologi anti korupsi. Rumusan masalah (1) Bagaimanakah koherensi teknologi dapat menekan tindak pidana korupsi? (2) Mengapakah ilmu pengetahuan teknologi perlu bekerjasama dengan Ilmu Hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hasil Pembahasan: (1) Adanya koherensi dari perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi seperti presensi sidik jari, e-procurement, cooperative-planning, cooperativebudgetting, e-recruitment, dapat lebih transparan karena dapat mengawasi kegiatan dan perilaku manusia,
sehingga dapat menekan tingkat korupsi. (2) Ilmu pengetahuan teknologi tidak bisa berdiri sendiri dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, ilmu pengetahuan dan teknologi harus bekerjasama dengan ilmu hukum dalam sistem penegakan hukum pidana, untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, karena dua ilmu ini saling berhubungan, inilah bukti bahwa keterkaitan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kajiannya bersifat universal dan holistik). Kata Kunci : teknologi, mencegah, tindak pidana korupsi
Sri Hastuti, Lasmaida Limbong Penelitian: Pengukuran Kepuasan Masyarakat Terhadap Kinerja Kejaksaan Dalam Penanganan Perkara. Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3 - Juli 2016,
Hal. 221
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Indeks Persepsi Kepuasan Masyarakat atas kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana, unsur kinerja yang mendapatkan nilai tertinggi dan terendah, serta untuk mengetahui pengaruh demografi terhadap kepuasan responden terhadap kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan tipe penelitian survei menggunakan metode kuantitatif, khususnya skala likert, yaitu dengan memberi skor pada tiap-tiap jawaban responden. Selanjutnya jawaban yang telah diberi skor diolah dengan menggunakan alat bantu Microsoft Exel dan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS). Data diperoleh dari 1400 (seribu empat ratus) responden, terdiri atas penyidik, hakim, pengacara, petugas LP/Rutan, saksi, korban, tahanan, narapidana dan masyarakat umum yang belum pernah berhubungan dengan kejaksaan, pada 6 (enam) wilayah hukum kejaksaan tinggi dan 30 (tiga puluh) wilayah hukum kejaksaan negeri. Hasil penelitian menunjukkan IPKM kejaksaan mendapatkan skor 74,50, masuk dalam kategori B (puas). Unsur kinerja yang mendapatkan nilai tertinggi ialah: Kemanfaatan penanganan perkara pidana; Kesopanan dan Keramahan SDM kejaksaan; dan Integritas SDM kejaksaan; sedangkan unsur kinerja yang mendapatkan nilai terendah ialah: Kemampuan SDM kejaksaan; alih pengetahuan; serta sarana dan prasarana kejaksaan. Sementara itu, demografi responden tidak berpengaruh secara signifikan pada tingkat kepuasan responden atas kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana. Untuk meningkatkan IPKM kejaksaan agar dapat mencapai mutu kepuasan A (sangat puas), maka tiap-tiap unsur-unsur kinerja terutama yang mendapatkan nilai terendah perlu ditingkatkan Kata Kunci : pengukuran, kepuasan masyarakat, penanganan perkara, pejaksaan.
Rr. Yoeniarti S, Sri Marsita, Sri Humana, Amelya Gustina, Imas Sholehah, Irfan F. Penelitian: Penguatan Kelembagaan Sentra Diklat Dalam Mendukung Sumber Daya Manusia (SDM) Kejaksaan. Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3 - Juli 2016,
Hal. 237
Abstrak Dalam rangka meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) Kejaksaan yang berkualitas dan mempunyai kompetensi diperlukan pendidikan dan pelatihan diklat yang mampu memberikan pengetahuan yang luas kepada para jaksa dan pegawai kejaksaan di seluruh daerah. Untuk itu dibentulah Sentra-Sentra Diklat Kejaksaan di beberapa daerah di Indonesia .Penelitian ini bertipe dekriptif dengan sifat normative empiris. Data diperoleh dengan teknik non probability sampling jenis purposive sampling. Responden berjumlah 414 (empat ratus empat belas) responden yang terdiri para jaksa yang berada di 6 (enam) wilayah hukum Kejaksaan Tinggi yaitu Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, dan Kejaksaan Tinggi Bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagaian besar responden menyatakan bahwa Sentra Diklat diperlukan dalam peningkatan SDM Kejaksaan. Namun, keberadaannya dipandang belum optimal karena belum ada aturan yang spesifik dan detail mengenai Sentra Diklat, adanya keterbatasan status anggaran, sarana prasarana, dan keterbatasan program diklat. Untuk itu perlu dilakukan penguatan Sentra Diklat Kejaksaan demi peningkatan SDM Kejaksaan dalam bentuk penguatan dari sisi legislasi/peraturan perundangundangan, sehingga tercipta struktur organisasi yang sesuai dan terpenuhinya sarana dan prasarana berdasarkan standar penyelenggaraan diklat. Kata Kunci : sentra diklat, penguatan, sumber daya manusia kejaksaan.
ISSN Print : 2087-5622
ISSN Online : 2527-4813
Keywords sourced from the article. This Abstract sheet may be copied without permission and fees.
Bambang Waluyo Mental Revolution and Human Resources Development at the Indonesia Prosecution Office Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3 - July 2016,
Page. 171
Abstract The stipulation of 2014 State Civil Apparatus (ASN) Law Number 45 has been influenced the fundamental change on shifting focus from “adherence” to “professionalism”. According to the law, the state civil apparatus is desired to has a power, professionalism, integrity, good work ethic, and welfare life. Moreover, mental revolution becomes the first priority in national program. It has wide range of scope, including shifting paradigm, shifting culture set, and the arrangement of organizational structure which is purposed to create a clean, effective, democratic and reliable governmental business process, as stated in the second point of NAWACITA. Indonesian Attorney General’s Office implements mental revolution in three ways. The first is trough internalization of values which is based on three values, namely integrity, work ethic, and mutual cooperation whereas those values has been implemeted in (a) the vision and mission of organization, (b) Doktrin Tri Krama Adhyaksa, and (c) Code Ethic of Procutor. The Second is through system development and the third is through the strengthening of leadership. Meanwhile, the mental revolution in human resource development has been performed in human resource recruitment; human resource development through career development; and supervision. Keywords : mental revolution, human resource development of indonesia prosecution office
Widyo Pramono Inherent Supervisory (Waskat) as Agent of Change in the Attorney Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3 - July 2016,
Page. 183
Abstract General attorney as institutionally and apparatus or its human resources has always been get attention of media and public. Some of the thing that occur include Operation Capture Hand by the Corruption Eradication Commission (KPK) against high attorney of West Java, arrest persons high attorney of West Java who are using drugs, unscrupulous Administrative high attorney of Lampung were arrested and detained cases of fraud, unscrupulous Administration in Bali which uses the money evidence of corruption, officers
of Administration at the high attorney Manado using money ticketed, suggesting it is time the Attorney have to change. Structural officials as officials who carry the inherent supervisory function, have functions that are strategic changes in the judiciary. An official supervision attached should do a combination of supervisory duties direct supervisor and the implementation of management control systems, in order to bring about positive change in the institution prosecutors, officials in question are also required to be an agent of change, shoots integrity and make the environment as a learning organization, creative thinking, innovative and not simply routines/ business as usual. Keywords : inherent supervisory, change, apparatus of attorney H. Muhammad Said Karim Synergy between Prosecution Office, Police Department, and Anti Corruption Commission in Indonesian Integrated Criminal Justice System Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3 - July 2016,
Page. 191
Mispansyah The Utilization of Technology in Preventing Corruption Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3 - July 2016,
Page. 195
Abstract Implementation of the Conference of states Parties to the United Nations Convention Against Corruption 2 (COSP-UNCAC) which is implemented by the United Nations, regarding the use of anti-corruption technology. Formulation of the problem (1) How can suppress the technology coherence of corruption? (2) Why is science technology need to work with Legal Studies in the eradication of corruption. Discussion of Results: (1) coherence of the development of science in the field of technology such as fingerprint presence, e-procurement, cooperative-planning, cooperative-budgetting, e-recruitment, can be more transparent as it can monitor the activities and human behavior, so as to suppress level of corruption. (2) Science technology can not stand alone in the eradication of corruption, science and technology should work with the science of law in the system of law enforcement, to prevent and combat corruption, because the two are inter-related knowledge, this is evidence that the relationship science and technology studies are universal and holistic. Keynote: technology, prevent, corruption
Satriyo Wibowo Improving the Competences of State Attorney of Indonesia in International Dispute Settlements (a Comparative Legal Study of Indonesia and Singapore) Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3 - July 2016,
Page. 207
Abstract According to The Regulation of the President of the Republic of Indonesia Number 38 Year 2010 concerning Public Prosecutor Service Organization the state attorney in Indonesia has wide authority in civil matters including international dispute settlement by arbitration and litigation. However, in term of promoting international dispute settlement, the general attorney office of Indonesia as the house of state attorney is less popular than the attorney general’s chamber of Singapore. Beside the fact, the State Attorney of Indonesia has more experience than the Government’s Lawyer of Singapore in term of representing the State or Government either as claimant in international arbitration or plaintiff in international litigation in order to claim or recover the State’s assets that had been stolen from corruption cases. The State Attorney of Indonesia also represents the State or Government as respondent in international arbitration to challenge the parties who tend to get unfair treatment by the Government. In order to, this paper will discuss the role of State Attorney of Indonesia in order to represent the State or Government’s interest as claimant and respondent in international arbitration forum as well as plaintiff or defendant in international litigation. The solution may be offered to improve the State Attorney of Indonesia performance in international arbitration and litigation forum is integrating the Attorney General’s Chamber of Singapore’s initiatives and the international dispute settlement practices, it can make the State Attorney of Indonesia achieves an extensive acknowledgement in order to represent the State and Government’s interests or even they can become more qualified than the Government’s lawyer of Singapore. Keywords : improving, competences of state attorney, international dispute settlements Sri Hastuti, Lasmaida Limbong Research Finding : Measuring Public Satisfaction Performance Against Attorney In Case Management
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3 - July 2016,
Page. 221
Abstrack This study aims to determine Perceptions Index Public Satisfaction on the prosecutor’s performance in handling criminal cases, the elements of performance that gets the highest and lowest values, and to determine the influence of demographics on the respondents to the satisfaction of the prosecutor’s performance in handling criminal cases. This is a descriptive study with the type of survey research using quantitative methods, in particular Likert scale, namely by giving a score to each respondent’s answer. Furthermore, the answers that have been given a score processed by using the tools of Microsoft Exel and Statistical Package for the Social Sciences. Data obtained from 1400 (one thousand four hundred) respondents, consisting of investigators, judges, lawyers, correctional officer/detention, witnesses, victims, prisoners, inmates and the general public who have
never met with the prosecutor, at 6 (six) jurisdictions state prosecutor and 30 (thirty) state prosecutor’s jurisdiction. The results showed Perceptions Index Public Satisfaction on prosecutor’s get a score of 74.50, included in category B (satisfied). The element of performance to get the highest score is: The usefulness of handling criminal cases; Courtesy and hospitality HR prosecutor; and Integrity HR prosecutor; while elements of the performance of the lowest scoring is: The ability of HR prosecutor; knowledge transfer; and facilities prosecutor. Meanwhile, the demographics of the respondents no significant effect on the level of satisfaction of respondents on the performance of the prosecutor’s office in the handling of criminal cases. To improve IPKM prosecutor in order to achieve a quality satisfaction (very satisfied), then each of the elements of performance primarily to get the lowest score should be increased and improved. In addition, prosecutors also need to improve the dissemination of its performance to the public, so that public perception has not been in contact with the prosecutor may be better again, so as to increase the satisfaction of the prosecutor. Keywords : measurement, statisfaction of the people, handling cases. the prosecutor
Rr. Yoeniarti S, Sri Marsita, Sri Humana, Amelya Gustina, Imas Sholehah, Irfan F. The Institutional Strengthening of Education And Training Center to Enhance Human Resource Of Attorney Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3 - July 2016,
Page. 237
Abstrct In the terms of improving human resource capacity of Attorney’s Office in Indonesia which is desired to has professionalism and good competency, this organization requires education and training for all prosecutors and all employees of Attorney’s Office in each region. Therefore, education and training centers has been built in all over Indonesia. This research is a descriptive research with normative empirical analysis. The technique used to collect the data is non-probability sampling with purposive which involved 414 (four hundred and forty four) respondents. The respondents consist of prosecutors in 6 (six) jurisdiction territories of Office of the High Prosecutor General, namely Office of the High Prosecutor General of North Sumatera, Office of the High Prosecutor General of East Java, Office of the High Prosecutor General of South Sulawesi, Office of the High Prosecutor General of South Sumatera, Office of the High Prosecutor General of Central Java, and Office of the High Prosecutor General of Bali. The result of analyzing data showed that most of respondents argued that education and training center is necessary for improving human resource capacity. However, the education and training centers has not been optimalized well because there is no regulation yet to manage the education and training center. In addition, the problems are low budget, less infrastructure, and unstandardized education and training program. Therefore, the enhancement of education and training center is needed for human resource improvement of Attorney through the strengthening of law, thus the good structure of organization is created and the infrastructure and also facilities has fulfilled based on standard. Keywords: education and training center, human resource of attorney
REVOLUSI MENTAL DAN PEMBINAAN SUMBER DAYA MANUSIA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA Mental Revolution and Human Resources Development at the Indonesia Prosecution Office Bambang Waluyo Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung RI Jln. Sultan Hasanuddin No. 1 Kebayoran Baru - Jakarta Selatan E-mail :
[email protected] (Diterima tanggal 22 Juni 2016, direvisi tanggal 24 Juni 2016, disetujui tanggal 30 Juni 2016) Abstrak Setelah berlakunya UU No. 45 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), terjadi pergeseran fokus dari “Kepatuhan” menjadi Profesional(itas), merupakan perubahan yang bersifat mendasar atau fundamental, melalui UU ASN, aparatur negara diharapkan memiliki kekuatan dan kemampuan profesional berintegritas tinggi, non parsial dalam melaksanakan tugas, berbudaya kerja tinggi dan kesejahteraan tinggi. Revolusi mental aparatur menjadi prioritas utama, yang cakupannya adalah perubahan mindset, perubahan culture set, dan penataan struktur organisasi yang pada akhirnya terwujudnya tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya sesuai NAWACITA poin ke-dua. Implementasi Revolusi Mental di Kejaksaan Republik Indonesia secara umum dilakukan melalui 3 (tiga) hal yaitu : 1. Internalisasi Nilai-nilai yang bertumpu pada tiga nilai yaitu Integritas, Etos kerja dan Gotong Royang, yang telah terimplimentasi melalui a). Visi dan Misi Kejaksaan, b). Doktrin Tri Krama Adhyaksa, c). Kode Perilaku Jaksa. 2. Pembangunan Sistem, 3. Penguatan Kepemimpinan. Sedangkan implementasi Revolusi Mental dalam Pembinaan Sumber Daya Manusia Aparatur Kejaksaan RI, adalah meliputi; Rekruitmen Pengadaa Pegawai; Pembinaan Pegawai melalui Pengembangan karier; Pengawasan. Kata kunci : revolusi mental, sumber daya manusia kejaksaan RI Abstract The stipulation of 2014 State Civil Apparatus (ASN) Law Number 45 has been influenced the fundamental change on shifting focus from “adherence” to “professionalism”. According to the law, the state civil apparatus is desired to has a power, professionalism, integrity, good work ethic, and welfare life. Moreover, mental revolution becomes the first priority in national program. It has wide range of scope, including shifting paradigm, shifting culture set, and the arrangement of organizational structure which is purposed to create a clean, effective, democratic and reliable governmental business process, as stated in the second point of NAWACITA. Indonesian Attorney General’s Office implements mental revolution in three ways. The first is trough internalization of values which is based on three values, namely integrity, work ethic, and mutual cooperation whereas those values has been implemeted in (a) the vision and mission of organization, (b) Doktrin Tri Krama Adhyaksa, and (c) Code Ethic of Procutor. The Second is through system development and the third is through the strengthening of leadership. Meanwhile, the mental revolution in human resource development has been performed in human resource recruitment; human resource development through career development; and supervision. Keywords : mental revolution, human resource development of indonesia prosecution office
I.
PENDAHULUAN Sejalan dengan tuntutan nasional dan tantangan global, untuk mewujudkan pemerintahan yang baik diperlukan sumber daya manusia (SDM) aparatur yang memiliki kompetensi dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan. Untuk menciptakan SDM aparatur yang memiliki kompetensi tersebut diperlukan peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental yang baik untuk pengabdian dan kesetiaan pada perjuangan bangsa dan negara. Tuntutan reformasi birokrasi pada instansi
pemerintah termasuk Kejaksaan RI sebagai program prioritas yang mencakup penataan organisasi perbaikan proses bisnis (business process), peningkatan manajemen SDM menuju peningkatan tata kelola administrasi pemerintahan (good governance), akuntabilitas, transparansi, partisipasi, dan pelayanan publik prima. Hal tersebut merupakan upaya untuk mengatasi inefisiensi, inefektivitas dan perubahan pola pikir menuju aparatur sipil negara (ASN) sebagai abdi negara dan abdi masyarakat yang sesungguhnya. Untuk mengantisipasi kebutuhan percepatan reformasi birokrasi diperlukan SDM
Revolusi Mental dan Pembinaan Sumber Daya Manusia Kejaksaan Republik Indonesia - Bambang Waluyo
171
aparatur yang memiliki kompetensi dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan. Kebutuhan tersebut memerlukan peningkatan mutu profesionalisme dan sikap pengabdian yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari manajemen pembinaan ASN. Dalam kerangka tersebut, antara lain terbit Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN).1 Selain memperkenalkan sistem jabatan pimpinan tinggi (JPT), pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan sejumlah perubahan dalam pengembangan pegawai ASN, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 juga menandai perubahan fokus manajemen ASN. Pada perundang-undangan sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, pembinaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) berfokus pada kepatuhan PNS. Sedangkan pada UndangUndang Nomor 5 Tahun 2014, pembinaan PNS berfokus pada profesionalitas pegawai ASN. Pergeseran fokus dari kepatuhan menjadi profesional[itas] merupakan perubahan yang bersifat mendasar atau fundamental. Selain manajemen ASN, salah satu prinsip dasar UU ASN adalah memberlakukan “sistem merit” melalui seleksi dan promosi secara adil dan kompetitif, menerapkan prinsip fairness, penggajian, reward and punishment berbasis kinerja, standar intgritas dan perilaku untuk kepentingan publik, manajemen SDM secara efektif dan efisien, dan melindungi pegawai dari intervensi politik dan dari tindakan semenamena. Melalui UU ASN, aparatur negara diharapkan memiliki kekuatan dan kemampuan profesional, berintegritas tinggi, nonparsial dalam melaksanakan tugas, berbudaya kerja tinggi, dan kesejahteraan tinggi. Selain itu UU ASN diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik sehingga kesejahteraan masyarakat juga meningkat. Berlakunya UU ASN memberikan pengaruh besar terhadap kinerja PNS. UU ASN ini mengubah dari comfort zone menuju competitive zone, maka kinerja PNS dengan sendirinya akan meningkat. Dalam tataran konsep terlihat sinergi antara UU ASN, 1 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494.
172
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
reformasi birokrasi, revolusi mental, bahkan dengan doktrin TRI KRAMA ADHYAKSA, dan pola pembinaan SDM Kejaksaan serta etika profesi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), revolusi diartikan sebagai perubahan yang cukup mendasar di suatu bidang, sedangkan mental merupakan suatu hal yang bersangkutan dengan batin dan watak manusia yang bukan bersifat badan atau tenaga. Revolusi mental secara sederhana dapat diartikan sebagai mengembalikan warga Indonesia kepada karakter asli bangsa: mandiri, gotong royong, semangat melayani masyarakat, jujur, santun, berbudi pekerti, dan ramah. Karakter yang seharusnya dapat menjadi modal untuk membawa rakyat sejahtera. Pergeseran karakter baik kepada karakter yang menyimpang seperti indisipliner, malas, tidak jujur sampai dengan perilaku korup harus diubah melalui sebuah revolusi mental, merubah paradigma lama sebagai birokrasi yang dilayani atau birokrasi penguasa menjadi birokrasi yang melayani rakyatnya.2 Istilah revolusi mental pernah disampaikan oleh Mahatma Gandhi. Gandhi berpendapat bahwa “kemerdekaan politik (self-rule) harus berdasarkan pada revolusi mental, yaitu perubahan total mental rakyat jajahan”. Selain itu, Sjahrir juga pernah menggunakan istilah revolusi mental. Ketika mendiagnosa masalah masyarakat Indonesia melalui dua sudut pandang. Sjahrir menemukan dua symptom. Dari dalam, adalah perasaan rendah diri; dan dari luar, adalah rendahnya pendidikan. Guna kesembuhannya, Sjahrir menulis resep dengan dua jenis obat. Obat pertama adalah kemerdekaan sosial, melalui revolusi mental. Obat kedua adalah pendidikan.3 Gagasan revolusi mental juga pernah dicetuskan oleh Bung Karno pada tahun 1957. Saai itu revolusi nasional Indonesia sedang ‘menemui jalan buntu’. Istilah revolusi mental merupakan kelanjutan dari revolusi sebelumnya yaitu revolusi fisik sebagai bagian dari apa yang beliau sebut dengan Revolusi Multicomplex, yang meliputi Revolusi Fisik, Revolusi Mental, Revolusi Sosial-Ekonomis, dan Revolusi 2 Ardan Adiperdana, Implementas Reformasi Birokrasi melalui Revolusi Mental Birokrasi sebagai Upaya Membentuk Pemerintahan Berkelas Dunia, Jurnal Pendayagunaan Aparatur Negara, Edisi 5 Tahun V, hal. 21. 3 Ronald Andrea Annas, Mengukur Terwujudnya Revolusi Mental, Jurnal Pendayagunaan Aparatur Negara, Edisi 5 Tahun V, hal. 95.
Kebudayaan.4 Masa Pemerintahan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla Tahun 2014-2019 merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 20052025). Dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa Visi Pembangunan Nasional 2005-2025 adalah Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur. Sedangkan visi Pemerintahan Kabinet Kerja Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah terwujudnya Indonesia yang berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian berlandaskan gotong royong. Salah satu arah kebijakan Pemerintah Kabinet Kerja 2015-2019 adalah pelaksanaan reformasi birokrasi 2015-2019 yang didasarkan pada beberapa arah kebijakan pemerintah antara lain NAWACITA. Dalam dokumen NAWACITA, tercakup 9 (sembilan) janji yang ingin diwujudkan Pemerintah Jokowi dan Jusuf Kalla, yang salah satunya adalah pada poin kedua yaitu “membuat pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.” Secara eksplisit arahan terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi tertulis dalam NAWACITA poin 2 tersebut. Dalam penjelasannya disebutkan:5 “........... Kami juga akan secara konsisten menjalankan agenda reformasi birokrasi secara berkelanjutan dengan restrukturisasi kelembagaan, perbaikan kualitas pelayanan publik, meningkatkan kompetensi aparatur, memperkuat monitoring dan supervisi atas kinerja pelayanan publik, serta membuka ruang partisipasi publik melalui citizen charter dalam UU Kontrak Layanan Publik.” Salah satu agenda pembangunan nasional Tahun 2015-2019 adalah membangun transparansi dan akuntabilitas kinerja 6 pemerintahan . Adapun salah satu arah kebijakan dan strategi yang ditempuh untuk agenda “Membangun transparansi dan akuntabilitas kinerja pemerintah” meliputi: penerapan manajemen aparatur sipil negara (ASN) melalui Ibid. Komisi Pemilihan Umum, Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian, Visi Misi, dan Program Aksi Jokowi Jusuf Kalla, Jakarta, 2014, hlm. 7. 6 Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 3. 4 5
strategi: penetapan formasi dan pengadaan CPNS dilakukan dengan sangat selektif; penerapan sistem rekrutmen dan seleksi pegawai yang transparan, kompetitif, dan berbasis TIK; penguatan sistem dan kualitas penyelenggaraan diklat; penerapan sistem promosi secara terbuka, kompetitif, dan berbasis kompetensi didukung makin efektifnya pengawasan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN); penerapan sistem manajemen kinerja pemerintah; dan penguatan sistem informasi kepegawaian nasional. Sasaran reformasi birokrasi Tahun 2015-2019 adalah pertama, mewujudkan birokrasi yang bersih; kedua, birokrasi yang efektif dan efisien; dan ketiga, birokrasi yang memiliki pelayanan publik berkualitas. Untuk mewujudkan ketiga sasaran reformasi birokrasi tersebut, ditetapkan 8 (delapan) area perubahan yaitu mental aparatur, kelembagaan, tatalaksana, SDM aparatur, akuntabilitas, pengawasan, peraturan perundang-undangan, dan pelayanan publik.7 Salah satu sumber permasalahan birokrasi adalah perilaku negatif yang ditunjukkan dan dipraktikkan oleh para birokrat. Perilaku ini mendorong terciptanya citra negatif birokrasi. Perilaku yang sudah menjadi mental model birokrasi yang dipandang lambat, berbelit-belit, tidak inovatif, tidak peka, inkonsisten, malas, feodal, dan lainnya. Karena itu fokus perubahan reformasi birokrasi ditujukan pada perubahan mental aparatur. Perubahan mental model/ perilaku aparatur diharapkan akan mendorong terciptanya budaya kerja positif yang kondusif bagi terciptanya birokrasi yang bersih, akuntabel, efektif, dan efisien serta mampu memberikan pelayanan yang berkualitas. Revolusi mental menjadi agenda penting bagi pemerintahan Presiden Jokowi - Jusuf Kalla. Wujud revolusi mental yang dilaksanakan berupa reformasi yang menyentuh paradigma, mindset, serta budaya dalam rangka pembangunan bangsa. Revolusi mental dalam dunia birokrasi dimaknai sebagai sebuah perubahan cara berfikir, berperilaku, dan bertindak dari setiap Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya sebagai pelaku utama dalam birokrasi pemerintahan, para ASN harus bermental melayani kepada 7 Ketiga sasaran dan kedelapan area perubahan tersebut disusun dalam Road Map Reformasi Birokrasi Tahun 2015-2019 yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015.
Revolusi Mental dan Pembinaan Sumber Daya Manusia Kejaksaan Republik Indonesia - Bambang Waluyo
173
masyarakat. Revolusi mental yang digaungkan oleh pemerintah harus didukung dengan baik oleh para ASN melalui perubahan cara berpikir dan budaya kerja. Dengan demikian, revolusi mental tidak hanya dalam tataran konsep dan wacana politik belaka. Gerakan revolusi mental ini memang tidak hanya ditumpukan pada ASN saja, namun juga diperlukan partisipasi dari berbagai elemen, baik pemerintah, swasta serta masyarakat. Harapannya, dengan revolusi mental, dapat membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Bahwa dalam rangka tersebut, Presiden Jokowi terus menyuarakan revolusi mental termasuk kepada Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam kaitan ini, basis revolusi mental dimulai dengan menciptakan aparat yang mempunyai kemampuan intelijensia dan tangguh di lapangan serta mampu memberikan pelayanan yang diperlukan oleh masyarakat. Revolusi mental merupakan kesadaran dan komitmen yang intinya terkait integritas, etos kerja, dan gotong royong. Revolusi mental diharapkan mampu menjadi solusi terkait krisis multidimensi yang dialami bangsa Indonesia. Krisis yang paling utama adalah krisis akhlak yang berindikasi pada keadilan masyarakat karena minimnya nilai kejujuran, amanat, tanggung jawab, dan runtuhnya kebersamaan. Terkait revolusi mental tersebut, Presiden Joko Widodo memberikan amanat yaitu agar revolusi mental segera dijabarkan dan dilaksanakan; Revolusi mental bukan soal program akan tetapi merupakan gerakan hidup baru kita semua sebagai bangsa; tiga nilai revolusi mental adalah integritas, kerja keras, dan gotong royong; revolusi mental harus dimulai dari pemerintah sendiri. Dengan kata lain, setiap kementerian atau lembaga harus menerapkan revolusi mental dan meningkatkan kualitas pelayanan publik sehingga rakyat Indonesia pantas dapat yang lebih baik dari pelayanan setiap kementerian atau lembaga tersebut. Revolusi mental aparatur menjadi prioritas utama dalam pelaksaan reformasi birokrasi selain penerapan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan penguatan sistem manajemen SDM ASN. Cakupan revolusi mental aparatur adalah perubahan mindset, perubahan culture set, dan penataan struktur organisasi, yang pada akhirnya terwujudnya tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya 174
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
sesuai NAWACITA poin kedua. Sedangkan fondasi revolusi mental aparatur adalah aturan yang jelas, keteladanan, pengawasan, reward and punishment, dan kesejahteraan. Adapun strategi implementasi revolusi mental ASN yaitu pertama, melalui internalisasi nilainilai yaitu integritas, etos kerja, dan gotong royong; kedua, melalui pembangunan sistem yaitu undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, sanksi dan penghargaan; ketiga, melalui penguatan kepemimpinan yaitu keteladanan, pemimpin perubahan, bimbingan, dan komunikasi. Dengan adanya revolusi mental aparatur, diharapkan terbentuknya aparatur yang berkompeten dan bertanggung jawab; memahami kebutuhan publik dan peka terhadap lingkungan; beretika; membuka/memberikan akses yang mudah bagi masyarakat; inovatif dan proaktif; bersih dan menolak gratifikasi; adil, sopan, ramah, dan sabar; disiplin, tepat janji dan tepat waktu; serta menjadi contoh teladan dan profesional.
II. PEMBAHASAN A. Implementasi Revolusi Mental secara umum di Kejaksaan RI Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa strategi implementasi revolusi mental aparatur dilakukan melalui tiga hal yaitu internalisasi nilai-nilai, pembangunan sistem, dan penguatan kepemimpinan. 1. Internalisasi nilai-nilai Revolusi mental bertumpu pada tiga nilai yaitu integritas, etos kerja, dan gotong royong. Integritas dapat diartikan sebagai kesesuaian antara apa yang dikatakan dengan apa yang diperbuat, berkata dan berlaku jujur, dapat dipercaya, berpegang teguh dengan prinsip-prinsip kebenaran, moral, dan etika, berkarakter, serta bertanggung jawab. Sedangkan etos kerja dapat diartikan sebagai sikap yang berorientasi pada hasil yang terbaik, semangat tinggi dalam bersaing (kerja keras), optimis dan selalu mencari cara-cara yang produktif dan inovatif. Nilai gotong royong diartikan sebagai keyakinan mengenai pentingnya melakukan kegiatan secara bersama-sama dan bersifat sukarela, memiliki solidaritas tinggi, komunal, berorientasi pada kemaslahatan dan
kewargaan (kepedulian). Ketiga nilai yang menjadi tumpu revolusi mental yaitu integritas, etos kerja, dan gotong royong tersebut pada prinsipnya telah terimplementasi di internal Kejaksaan RI antara lain melalui : a. Visi dan Misi Kejaksaan RI Visi adalah suatu pandangan jauh ke depan yang akan mengarahkan kita untuk menuju pada kondisi yang akan dicapai di masa depan. Visi akan diwujudkan oleh seluruh pemangku kepentingan baik di internal Kejaksaan RI maupun pemangku kepentingan di luar Kejaksaan RI. Visi Kejaksaan RI berdasarkan Rencana Strategis Kejaksaan RI Tahun 2015-2019 yang ditetapkan melalui Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER010/A/JA/06/2015 tentang Rencana Strategis Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2015-2019 adalah “Menjadi Lembaga Penegak Hukum yang Modern, Berintegritas, Profesional, dan Akuntabel Dalam Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia.” Dari visi tersebut terkandung 4 (empat) nilai yaitu Modern, Berintegritas, Profesional, dan Akuntabel. Yang dimaksud modern adalah Kejaksaan RI dalam rangka menjalankan tugasnya memanfaatkan seluruh perkembangan ilmu pengetahuan yang disesuaikan dengan tuntutan masa kini. Berintegritas yaitu segenap aparatur Kejaksaan RI memiliki moral yang terpuji dengan tidak ada sama sekali motivasi untuk berbuat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam menjalankan tugas kesehariannya. Profesional adalah segenap aparatur Kejaksaan RI dalam melaksanakan tugas didasarkan atas kompetensi dan kapabilitas yang ditunjang dengan pengetahuan dan wawasan yang luas serta pengalaman kerja yang memadai dan berpegang teguh pada aturan serta kode etik profesi yang berlaku. Akuntabel yaitu kinerja Kejaksaan RI dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemahaman terhadap visi tersebut dirasakan penting mengingat revolusi
mental mempunyai semangat yang sama dan sejalan dengan visi Kejaksaan RI. Misi Kejaksaan RI merupakan penjabaran dari cita-cita dan landasan kerja organisasi serta merupakan fondasi dari perencanaan strategik Kejaksaan RI Tahun 2015-2019. Adapun misi Kejaksaan RI Tahun 2015-2019 adalah sebagai berikut: 1) Meningkatkan pelaksanaan fungsi Kejaksaan RI dalam pelaksanaan tugas dan wewenang, baik dalam segi kualitas dan kuantitas penanganan perkara seluruh tindak pidana, penanganan perkara perdata dan tata usaha negara, serta meningkatkan kegiatan intelijen penegakan hukum secara modern, berintegritas, profesional dan akuntabel yang berlandaskan keadilan, kebenaran serta nilai-nilai kepatutan dalam rangka penegakan hukum; 2) Mewujudkan peran Kejaksaan RI dalam hubungan internasional, kerjasama hukum, dan penyelesaian perkara lintas negara; 3) Mewujudkan aparatur Kejaksaan RI yang modern, berintegritas, profesional, dan akuntabel guna menunjang kelancaran pelaksanaan tugas pokok, fungsi dan wewenang, terutama dalam upaya penegakan hukum yang berkeadilan serta tugastugas lainnya; 4) Melaksanakan pembenahan dan penataan kembali struktur organisasi Kejaksaan RI, pembenahan informasi manajemen terutama mengimplementasikan program quickwins agar dapat segara diakses masyarakat, penyusunan cetak biru (blueprint) 2025, menertibkan dan menata kembali manajemen keuangan, dan peningkatan sarana dan prasarana serta optimalisasi penerapan Informasi Teknologi (IT); 5) Meningkatkan Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola Kejaksaan RI yang bersih dan bebas KKN melalui revolusi mental dalam pelaksanaan tugas dan wewenang.
Revolusi Mental dan Pembinaan Sumber Daya Manusia Kejaksaan Republik Indonesia - Bambang Waluyo
175
dan buruknya dinilai dari sikap perilaku dan perbuatan setiap warganya.
b. Doktrin TRI KRAMA ADHYAKSA Doktrin TRI KRAMA ADHYAKSA ditetapkan melalui Keputusan Jaksa Agung Nomor : KEP-030/J.A/3/1988 tentang Doktrin TRI KRAMA ADHYAKSA. Dalam doktrin TRI KRAMA ADHYAKSA tersebut terkandung tiga nilai yaitu SATYA, ADHI, dan WICAKSANA. SATYA mengandung arti kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun kepada sesama manusia. ADHI yaitu kesempurnaan dalam bertugas dan berunsur utama pada rasa tanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keluarga, dan sesama manusia. WICAKSANA yaitu bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku, khususnya dalam penerapan kekuasaan dan kewenangannya. Doktrin TRI KRAMA ADHYAKSA merupakan penuntun dan pedoman kerja bagi setiap warga Kejaksaan dalam mengemban amanah Korps dan melaksanakan dharma bhaktinya bagi Nusa dan Bangsa dan mampu memperkokoh pengenalan dan pemahamannya (orientasi) akan makna amanah serta tugas yang dipercayakan Negara dan Bangsa. Hakikat doktrin TRI KARMA ADHYAKSA adalah kenyataan yang mengandung kebenaran yang sebenarnya atas tugas serta wewenang Kejaksaan disertai landasan-landasan yang memperkokoh eksistensi Kejaksaan yang mewajibkan setiap warga Kejaksaan menghayati sepenuhnya ciri hakikat Kejaksaan yang : Tunggal,
176
berarti setiap warga Kejaksaan menyadari di dalam pelaksanaan tugasnya bahwa ia adalah satu dan tidak dapat dipisah-pisahkan, sehingga selain akan dapat saling mewakili dalam tugas penegakan hukum juga terkait langsung mengenai citra Kejaksaan karena baik
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
Mandiri,
berarti setiap warga Kejaksaan menyadari bahwa dalam pelaksanaan tugasnya wajib dilakukan dengan penuh prakarsa sendiri dan membangun serta mengembangkan kerjasama dengan badan negara terutama di bidang penegakan hukum dilandasi semangat kebersamaan, keterpaduan, keterbukaan dan keakraban guna mencapai keberhasilan.
Mumpuni, berarti setiap warga Kejaksaan menyadari didalam pelaksanaan tugasnya bahwa Kejaksaan adalah satu-satunya badan negara Penuntut Umum di bidang penegakan hukum yang diamanahkan dan dipercayakan masyarakat, Negara dan Pemerintah yang mewajibkan setiap warganya agar senantiasa meningkatkan mutu pengetahuan dan kemampuannya. Dengan memahami landasan dan menghayati diri hakiki Kejaksaan maka pelaksanaan tugas serta wewenang Kejaksaan oleh setiap warganya senantiasa dijiwai dan terwujud dalam setiap mental terpuji, seperti yang dipatrikan didalam doktrin Kejaksaan TRI KRAMA ADHYAKSA. c. Kode Perilaku Jaksa Kode Perilaku Jaksa ditetapkan melalui Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-014/A/JA/12/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa. Salah satu pertimbangan ditetapkannya Kode Perilaku Jaksa adalah untuk mewujudkan Jaksa yang memiliki integritas, bertanggung jawab, dan mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, serta mewujudkan birokrasi yang bersih, efektif, efisien,
transparan, dan akuntabel. Kode Perilaku Jaksa merupakan serangkaian norma penjabaran dari Kode Etik Jaksa, sebagai pedoman keutamaan mengatur perilaku Jaksa baik dalam menjalankan tugas profesinya, menjaga kehormatan dan martabat profesinya, maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Dalam menjalankan tugas profesinya, seorang jaksa mempunyai beberapa kewajiban dan larangan yaitu kewajiban kepada negara, kewajiban kepada institusi, kewajiban kepada profesi Jaksa, dan kewajiban kepada masyarakat. 2. Pembangunan sistem Pembangunan sistem dapat dilaksanakan antara lain melalui pembangunan sistem pengawasan. Perilaku aparatur dapat dipengaruhi oleh adanya peran pengawasan yang dibangun, baik pengawasan melekat dan pengawasan fungsional yang berada dalam lingkungan birokrasi maupun pengawasan masyarakat dan pemangku kepentingan (Komisi Kejaksaan) yang berada dalam lingkaran birokrasi. Rendahnya sistem pengawasan mengakibatkan kinerja tidak maksimal, dan KKN pun semakin marak. Sistem pengawasan melekat (Pengawasan Atasan Langsung dan Sistem Pengendalian Internal) dalam praktiknya tidak berjalan dengan baik. Hal ini dapat disebabkan faktor ewuh pakewuh antara atasan dengan bawahan. Untuk itu perlu dibangun suatu sistem pengawasan yang efektif, agar penyimpangan dapat dicegah sedini mungkin. Pengawasan fungsional yang berintegritas dan peran aktif pengawasan masyarakat dapat mempengaruhi perilaku aparatur dalam melakukan tugas dan fungsinya dengan baik. Terkait sistem pengawasan tersebut, di Kejaksaan RI telah diterbitkan Peraturan Jaksa Agung Nomor : PER-022/A/ JA/03/2011 tanggal 18 Maret 2011 tentang Penyelenggaraan Pengawasan Kejaksaan RI sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Jaksa Agung Nomor : PER-015/A/ JA/07/2013 tanggal 28 Juli 2013.
Salah satu hal yang tidak dapat dilepaskan dalam sistem pengawasan adalah pemberian reward and punishment. Reward atau penghargaan diberikan kepada pegawai yang berprestasi, baik prestasi dari segi manajerial, teknis maupun lainnya. Salah satu bentuk penghargaan adalah Sidhakarya. Sebaliknya, bagi pegawai yang melakukan perbuatan menyimpang atau melanggar disiplin pegawai tentunya akan mendapatkan punishment atau hukuman, baik hukuman tingkat ringan, sedang maupun berat. 3. Penguatan kepemimpinan Perilaku pegawai juga dapat dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan pada masingmasing instansi. Bawahan cenderung berperilaku mengikuti arahan, contoh atau teladan, konsistensi, dan komitmen dari para pemimpinnya. Ada kecenderungan apa yang dilakukan para pemimpinnya akan mempengaruhi perilaku para aparatur dibawahnya. Oleh karena itu komitmen kepemimpinan di masing-masing instansi juga akan berkontribusi dalam pembentukan perilaku ASN. Komitmen kepemimpinan yang kuat akan dapat mempengaruhi perilaku para aparatur dibawahnya untuk mengikuti menjadi baik, demikian pula sebaliknya komitmen kepemimpinan yang lemah akan dapat membawa perilaku bawahannya menjadi kurang baik. Penguatan kepemimpinan menyangkut beberapa aspek antara lain kualitas pribadi, perilaku kerja, sasaran kerja, kreativitas, dan prestasi kerja. Seorang pemimpin sudah seyogyanya memiliki kualitas pribadi yang baik. Kualitas pribadi tersebut mencerminkan nilai profesionalitas dan moralitas. Seorang pemimpin juga harus memiliki perilaku kerja yang baik. Perilaku kerja tersebut terimplementasi dalam bentuk bekerja yang baik, memberikan pelayanan publik yang prima, dan akuntabel. Dalam berkinerja, seorang pemimpin juga harus memiliki sasaran kerja yaitu rencana kerja, strategi dan target yang terukur serta mampu melakukan kreatifitas atau inovasi yang bermanfaat bagi institusi, bangsa dan negara. Pimpinan pada setiap level harus merencanakan kinerja, membuat kontrak kinerja, memonitor kinerja, dan mempertanggungjawabkan kinerja
Revolusi Mental dan Pembinaan Sumber Daya Manusia Kejaksaan Republik Indonesia - Bambang Waluyo
177
satuan kerja yang dipimpinnya. Apabila budaya kinerja pada tingkat pimpinan sudah terbangun dengan baik, maka sudah dapat dipastikan akan mempengaruhi budaya kerja para aparatur bawahannya. Hal ini dapat menumbuhkan budaya malu yang dapat ditanamkan di lingkungan organisasi birokrasi. Malu jika tidak dapat mencapai kontrak kinerja, malu jika tidak dapat memberikan pelayanan publik yang terbaik, dan malu jika berperilaku menyimpang dari sumpah jabatan dan kode etik. Yang terakhir, seorang pemimpin sudah sewajarnya memiliki prestasi kerja baik dalam hal administrati atau manajerial maupun teknis. Kunci revolusi mental ada pada diri sendiri. Untuk itu diperlukan konsep manajemen diri yang dikenal dengan 3 in 1 (three in one) yaitu diri kita sekaligus sebagai atasan, bawahan, dan pribadi. Sebagai atasan mempedomani falsafah Ing Ngarso Sung Tulodho (menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi orang-orang di sekitarnya), Ing Madyo Mbangun Karso (seseorang di tengah harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat, mampu memberikan inovasi-inovasi di lingkungannya dengan menciptakan suasana yang lebih kondusif untuk keamanan dan kenyamanan), Tut Wuri Handayani (seseorang harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Dorongan moral ini sangat dibutuhkan oleh orang-orang di sekitar kita menumbuhkan motivasi dan semangat). Sebagai bawahan hendaknya dapat bekerja secara rajin, tekun, baik, konsisten (jujur) dan disiplin serta loyal kepada atasan. Sebagai pribadi hendaknya memiliki etika watak, etika kepribadian serta senantiasa belajar dan belajar. B. Implementasi Revolusi Mental dalam Pembinaan Sumber Daya Manusia Aparatur Kejaksaan RI Perilaku aparatur sangat dipengaruhi oleh bagaimana setiap instansi pemerintah membentuk SDM aparaturnya melalui penerapan sistem manajemen SDM-nya dan bagaimana sistem manajemen SDM diterapkan secara nasional. Sistem manajemen SDM yang tidak diterapkan dengan baik mulai dari perencanaan 178
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
pegawai, pengadaan, hingga pemberhentian akan berpotensi menghasilkan SDM yang tidak kompeten. Hal ini akan berpengaruh pada kualitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan. Karena itu, perubahan dalam pengelolaan SDM harus selalu dilakukan untuk memperoleh sistem manajemen SDM yang mampu menghasilkan pegawai yang profesional. Sasaran revolusi mental dalam konteks reformasi birokrasi adalah terwujudnya perubahan radikal-positif atas mind-set dan culture-set, kapabilitas, perilaku, dan gaya aparatur birokrasi. Aparatur birokrasi harus bersih, kompeten, bekerja efektif dan efisien. Penerapan revolusi mental dan nawacita pada aparatur birokrasi menyangkut tiga hal yang merupakan satu kesatuan dan saling terkait satu sama lain yakni rekrutmen, pembinaan, dan pengawasan. Ketiganya berperan membentuk aparatur birokrasi yang bersih, kompeten, dan profesional. 1. Rekrutmen / Kejaksaan RI
Pengadaan
Pegawai
Sebagai unsur utama sumber daya manusia aparatur negara, Pegawai ASN mempunyai peran strategis dalam mengemban tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan. Untuk memperoleh Pegawai negeri sipil yang memiliki kredibilitas dan kapasitas sebagai aparatur negara yang memadai perlu dilakukan sistem rekrutmen yang tepat. Rekrutmen sebagai suatu proses yang dilakukan organisasi untuk mencari dan menemukan pegawai yang dibutuhkan, merupakan aktivitas manajemen sumber daya manusia. Sebagai salah satu organisasi pemerintah, Kejaksaan Republik Indonesia juga dituntut memiliki sumber daya manusia yang memiliki kredibilitas dan kapasitas melalui suatu sistem rekrutmen/pengadaan pegawai yang obyektif, transparan, dan akuntabel. Pengadaan Pegawai negeri sipil Kejaksaan Republik Indonesia merupakan proses awal dalam upaya memperoleh sumber daya manusia yang terbaik dari masyarakat untuk menjadi pegawai Kejaksaan Republik Indonesia yang berkualitas dan berintegritas. Oleh sebab itu dibentuk suatu sistem pengadaan yang dilandaskan pada prinsipprinsip yang obyektif, transparan, dan akuntabel serta dengan melibatkan pihak ketiga (konsultan SDM independen) yang
dipilih melalui proses lelang dengan Sistem Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Secara Elektronik (LPSE) sehingga dapat mencegah terjadinya tindakan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam proses pengadaan serta dapat lebih mendukung proses percepatan tercapainya tujuan dan sasaran dari Program Reformasi Birokrasi Kejaksaan Republik Indonesia. Berdasarkan Peraturan Menteri PAN RB Nomor 197 Tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil Bagi Jabatan yang Dikecualikan Dalam Penundaan Sementara Penerimaan CPNS, pelaksanaan pengadaan CPNS dikoordinasikan oleh Panitia Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil Nasional (PANSELNAS) yang dibentuk oleh Kementerian PAN RB. Setiap instansi membentuk Panitia Pengadaan CPNS instansi yang ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat yang ditunjuk. Untuk menjamin obyektivitas dan akuntabilitas pelaksanaan pengadaan CPNS Pusat dan Daerah maka dalam hal penyusunan soal kompetensi dasar dan pengolahan Lembar Jawaban Komputer (LJK) dilakukan oleh PANSELNAS. Dalam penyusunan soal kompetensi dasar dan pengolahan LJK, Pemerintah (Kementerian PAN RB) bekerjasama dengan Konsorsium Perguruan Tinggi Negeri. Sedangkan dalam penyusunan soal kompetensi bidang dilakukan oleh instansi Pembina Jabatan Fungsional. Pegawai 2. Pembinaan Pengembangan Karier
melalui
Pada hakikatnya, sistem pembinaan karier pegawai negeri sipil adalah suatu upaya sistemik, terencana yang mencakup struktur dan proses yang menghasilkan keselarasan antara potensi pegawai dengan kebutuhan organisasi. Pegawai dituntut untuk lebih meningkatkan kemampuannya sesuai dengan kompetensinya melalui jalur pendidikan formal, sedangkan di sisi lain, organisasi harus dapat mendorong peningkatan prestasi kerja untuk mendayagunakan kemampuan profesionalnya sesuai dengan kebutuhan organisasi. Untuk menciptakan sistem pembinaan karier pegawai, perlu disusun suatu pola karier pegawai yang sesuai dengan kebutuhan dan misi organisasi dalam
mendukung karier pegawai sesuai dengan pengembangan manajemen kepegawaian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam rangka kebijakan pengembangan dan pembinaan karier pegawai negeri sipil perlu diatur sistem pembinaan karier yang jelas dan terpola, sehingga menjamin terciptanya kondisi objektif yang dapat mendorong peningkatan prestasi pegawai. Hal tersebut dapat dimungkinkan apabila penempatan pegawai negeri sipil didasarkan atas tingkat keserasian antara persyaratan jabatan dengan kinerja pegawai yang bersangkutan. Pembinaan karier pegawai Kejaksaan RI diatur dalam Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER-049/A/JA/12/2011 tentang Pembinaan Karier Pegawai Kejaksaan Republik Indonesia. Beberapa hal yang diatur dalam Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER-049/A/JA/12/2011 adalah mengenai pendidikan dan pelatihan, asesmen kompetensi, mutasi, jenjang karier, syaratsyarat menduduki jabatan struktural, badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan, perpindahan daerah kerja atau jabatan struktural, serta pemberhentian dan pensiun. Salah satu hal baru yang diatur dalam PERJA Nomor : PER-049/A/JA/12/2011 dalam rangka mempertimbangkan pembinaan karier seorang pegawai selain melalui sistem prestasi kerja dan sistem karier, adalah diterapkannya suatu instrumen dalam manajemen sumber daya manusia modern yang dapat mengukur kompetensi pegawai tersebut melalui Asesmen Kompetensi. Sistem Asesmen kompetensi merupakan sistem pembinaan kepegawaian yang membandingkan antara kompetensi yang dipersyaratkan dalam suatu jabatan tertentu dengan kompetensi yang dimiliki oleh calon pemegang jabatan sehingga diperoleh orang yang tepat pada jabatan yang tepat (the right man on the right job) dan pengembangan pegawai sesuai kompetensi yang dibutuhkannya di masa depan. Sistem pembinaan pegawai Kejaksaan RI tersebut sejalan dengan prinsip dasar UU ASN yang memberlakukan sistem merit. Sistem merit adalah kebijakan dan
Revolusi Mental dan Pembinaan Sumber Daya Manusia Kejaksaan Republik Indonesia - Bambang Waluyo
179
manajemen ASN yang berlandaskan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang, politik, ras, warna kulit, agama, asal usul jenis kelamin, status pernikahan, umur ataupun kondisi kecacatan. Sistem merit dilakukan melalui : (1) seleksi dan promosi secara adil dan kompetitif, (2) menerapkan prinsip fairness, (3) penggajian, reward and punishment berbasis kinerja, (4) standar integritas dan perilaku untuk kepentingan publik, (5) manajemen SDM secara efektif dan efisien, dam (5) melindungi pegawai dari intervensi politik dan dari tindakan semena-mena. 3. Pengawasan Secara umum pengawasan dalam lingkungan aparatur pemerintah bertujuan agar terciptanya aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa yang didukung oleh suatu sistem manajemen pemerintah yang berdaya guna dan berhasil guna serta ditunjang oleh partisipasi masyarakat yang konstruktif dan tertib dalam wujud pengawasan masyarakat (kontrol sosial) yang obyektif, sehat serta bertanggung jawab. Selain itu, pengawasan juga bertujuan agar terselenggaranya tertib administrasi di lingkungan aparatur pemerintah, tumbuhnya disiplin kerja yang sehat dan agar adanya kelugasan dalam melaksanakan fungsi atau kegiatan serta tumbuhnya budaya malu dalam diri masing-masing aparat. Secara umum pengawasan di lingkungan Kejaksaan RI dilaksanakan oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan yang merupakan unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pengawasan, bertanggung jawab kepada Jaksa Agung. Pelaksanaan pengawasan di Kejaksaan RI berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-022/A/JA/03/2011 tanggal 18 Maret 2011 tentang Penyelenggaraan Pengawasan Kejaksaan RI sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Jaksa Agung Nomor : PER-015/A/JA/07/2013 tanggal 28 Juli 2013. Lingkup bidang pengawasan tersebut meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pelaksanaan pengawasan atas kinerja dan keuangan intern Kejaksaan, serta pelaksanaan pengawasan untuk tujuan 180
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
tertentu atas penugasan Jaksa Agung sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
III. PENUTUP A. Kesimpulan Salah satu tantangan terbesar untuk membangun good government dan good governance adalah terletak pada Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur birokrasi. Good government dan good governance membutuhkan SDM aparatur birokrasi yang bersih dan profesional melayani publik. Dalam konteks birokrasi, kata “bersih” merujuk pada pengertian bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)). Bebas KKN semenjak direkrut sampai berproses dalam jabatan dan tugasnya sebagai aparatur birokrasi. Adapun profesional, berpengertian bahwa aparatur birokrasi itu memiliki kompetensi atau keahlian di bidangnya, inovatif, akuntabel, dan menjunjung tinggi etika dan integritas profesinya. Gerakan revolusi mental yang digelorakan oleh Presiden Joko Widodo semakin relevan bagi bangsa Indonesia yang saat ini tengah menghadapi tiga problem pokok bangsa yaitu; merosotnya wibawa negara, merebaknya intoleransi, dan terakhir melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional. Dalam kehidupan sehari-hari, praktek revolusi mental adalah menjadi manusia yang berintegritas, mau bekerja keras, dan mempunyai semangat gotong royong. Para pemimpin dan aparatur birokrasi akan menjadi pelopor untuk menggerakkan revolusi mental. Sebagai pelopor gerakan revolusi mental, pemerintah lewat K/L harus melakukan tiga hal utama yaitu: bersinergi, membangun manajemen isu, dan terakhir penguatan kapasitas aparat negara. Penguatan kapasitas aparat negara dalam hal ini adalah melalui pembinaan manajemn SDM aparatur, yang dimulai dari proses rekrutmen, pengembangan karier, promosi mutasi sampai pemberhentian dan pensiun. B. Saran Akhirnya, revolusi mental hanya berhasil apabila setiap insan birokrasi pemerintahan bersatu padu mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD
1945 dengan memberikan karya nyata sesuai bidang tugas masing-masing secara optimal. Hal tersebut dapat diimplementasikan dengan cara bekerja sesuai standar operasional prosedur (SOP) dan ketentuan yang ada, memiliki akhlak yang terpuji dalam arti melaksanakan tugasnya dengan jujur, bertanggung jawab dan penuh integritas, melayani dengan sepenuh hati yakni memberikan total pelayanan prima untuk kepentingan masyarakat luas bukan untuk kepentingan pribadi, berdoa dalam arti senantiasa berikhtiar dan meminta perlindungan kepada Tuhan agar dimudahkan dalam melaksanakan tugasnya serta dijauhkan dari perbuatan yang tercela/menyimpang, mengasah akal maksudnya adalah senantiasa belajar dan belajar untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan (profesional), memiliki network dalam arti berkoordinasi dan membangun sinergitas dengan pemangku kepentingan (stakeholder) serta birokrat yang lain, gesit yaitu pantang menyerah, cekatan, dan tangguh dalam mencapai sasaran kerja yaitu rencana kerja, strategi dan target yang telah dibebankan kepadanya.
DAFTAR PUSTAKA Adiperdana, Ardan. Implementas Reformasi Birokrasi melalui Revolusi Mental Birokrasi sebagai Upaya Membentuk Pemerintahan Berkelas Dunia, Jurnal Pendayagunaan Aparatur Negara, Edisi 5 Tahun V. Annas, Ronald Andrea. Mengukur Terwujudnya Revolusi Mental, Jurnal Pendayagunaan Aparatur Negara, Edisi 5 Tahun V. Komisi Pemilihan Umum, Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian, Visi Misi, dan Program Aksi Jokowi Jusuf Kalla, Jakarta, 2014. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 3. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 11 Tahun 2015 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 20152019. Peraturan Jaksa Agung Nomor : PER-022/A/ JA/03/2011 tentang Penyelenggaraan Pengawasan Kejaksaan RI sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Jaksa Agung Nomor : PER-015/A/JA/07/2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Jaksa Agung Nomor : PER022/A/JA/03/2011 tentang Penyelenggaraan Pengawasan Kejaksaan RI. Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER-049/A/ JA/12/2011 tentang Pembinaan Karier Pegawai Kejaksaan Republik Indonesia. Peraturan Jaksa Agung Nomor : PER-014/A/ JA/12/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa. Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER-010/A/ JA/06/2015 tentang Rencana Strategis Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2015-2019. Keputusan Jaksa Agung Nomor : KEP-030/J.A/3/1988 tentang Doktrin TRI KRAMA ADHYAKSA.
Revolusi Mental dan Pembinaan Sumber Daya Manusia Kejaksaan Republik Indonesia - Bambang Waluyo
181
182
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
WASKAT SEBAGAI AGEN PERUBAHAN DI LINGKUNGAN KEJAKSAAN Inherent Supervisory (Waskat) as Agent of Change in the Attorney Widyo Pramono Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas), Guru Besar (dosen tidak tetap) Fakultas Hukum UNDIP, Unissula Semarang dan UNS. E-mail :
[email protected] (Diterima tanggal 27 Juni 2016, direvisi tanggal 1 Juli 2016, disetujui tanggal 13 Juli 2016) Abstrak Kejaksaan baik secara kelembagaan maupun aparat atau SDM nya selalu menjadi tumpuan perhatian media dan masyarakat. Beberapa peristiwa yang terjadi antara lain Operasi Tangkap Tangan oleh KPK terhadap oknum Jaksa di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, tertangkapnya oknum Jaksa di Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat yang sedang menggunakan narkotika, oknum Tata Usaha Kejaksaan Tinggi Lampung yang ditangkap dan ditahan kasus penipuan, oknum Tata Usaha di Bali yang menggunakan uang barang bukti tindak pidana korupsi, oknum Tata Usaha di Kejaksaan Negeri Manado yang menggunakan uang tilang, menunjukkan sudah saatnya Kejaksaan harus berubah. Pejabat struktural sebagai pejabat yang melaksanakan fungsi pengawasan melekat, memiliki fungsi yang sangat strategis dalam perubahan di Kejaksaan. Seorang pejabat pengawasan melekat hendaknya melakukan kombinasi tugas pengawasan atasan langsung dan pelaksanaan sistem pengendalian manajemen, guna membawa perubahan positif di lembaga Kejaksaan, pejabat dimaksud juga dituntut untuk menjadi agen perubahan, tunas integritas dan menjadikan lingkungannya sebagai organisasi pembelajaran, berfikir kreatif, inovatif dan tidak sekedar rutinitas / business as usual. Kata kunci : pengawasan melekat, perubahan, mitra SDM kejaksaan Abstract General attorney as institutionally and apparatus or its human resources has always been get attention of media and public. Some of the thing that occur include Operation Capture Hand by the Corruption Eradication Commission (KPK) against high attorney of West Java, arrest persons high attorney of West Java who are using drugs, unscrupulous Administrative high attorney of Lampung were arrested and detained cases of fraud, unscrupulous Administration in Bali which uses the money evidence of corruption, officers of Administration at the high attorney Manado using money ticketed, suggesting it is time the Attorney have to change. Structural officials as officials who carry the inherent supervisory function, have functions that are strategic changes in the judiciary. An official supervision attached should do a combination of supervisory duties direct supervisor and the implementation of management control systems, in order to bring about positive change in the institution prosecutors, officials in question are also required to be an agent of change, shoots integrity and make the environment as a learning organization, creative thinking, innovative and not simply routines/ business as usual. Keywords : inherent supervisory, change, apparatus of attorney “Banyak yang salah tapi merasa tenang karena banyak teman yang sama-sama salah… Beranilah menjadi benar meskipun sendirian…” (Prof. Baharuddin Lopa)
I.
PENDAHULUAN Kalimat yang disampaikan oleh Baharuddin Lopa tersebut, menunjukkan gambaran tentang budaya permisif dalam penyimpangan yang dilakukan di kalangan birokrasi pemerintahan, termasuk oknum yang pelakunya adalah sebagian kecil warga Adhyaksa, baik Jaksa maupun Tata Usaha. Namun demikian Baharuddin Lopa menginginkan agar kita semua berani menegakkan kebenaran, kejujuran dan keadilan, walaupun mendapat tantangan dari kalangan internal.
Lembaga Kejaksaan dapat dipandang sebagai suatu sistem, yang jika mengambil dari model yang digunakan Lawrence M. Friedman1, yaitu suatu Sistem terdiri dari Substansi, Struktur dan Kultur. Subtansi yaitu segala aspek peraturan yang terkait dengan tugas dan fungsi Kejaksaan, Struktur yaitu aparatur Kejaksaan serta sarana dan prasarananya, serta Kultur yaitu budaya yang menyangkut perilaku Aparatur Kejaksaan. Ada suatu hal yang cukup menyayat hati, 1 Lawrence M. Friedman, The Legal System, A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, 1975, hal 11.
Waskat Sebagai Agen Perubahan di Lingkungan Kejaksaan - Widyo Pramono
183
ketika mendengar dalam sambutan Presiden Joko Widodo pada hari Rabu, 22 Juli 2015 saat beliau menjadi Inspektur Upacara pada peringatan Hari Bhakti Adhyaksa ke-55 di Kejaksaan Agung, setahun yang lalu Presiden mengungkapkan : “hukum akan baik jika di tangan penegak hukum yang baik”. Presiden menambahkan dengan tegas : “Saya tidak ingin dengar penegak hukum yang melakukan pemerasan atau tindakan memperdagangkan perkara atau penuntutan dan menjadikan tersangka sebagai mesin ATM, tidak”. Meski umum apa yang dikatakan Presiden, tetapi karena secara khusus disampaikan pada peringatan hari ulang tahun Adhyaksa, maka hal itu yang menjadi gambaran sang Pemimpin Negara tentang beberapa perilaku oknum aparat Adhyaksa. Belum lama kita menyaksikan perilaku tidak terpuji, yakni adanya Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap oknum Jaksa di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, pada sisi lain di Wilayah Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, kembali oknum Jaksa ditangkap Polisi karena menggunakan shabu-shabu. Potret seperti ini mempertebal keyakinan bahwa ada sesuatu yang harus di luruskan di lembaga Kejaksaan yang kita cintai ini dan ke depan diharapkan tidak lagi muncul hal serupa, melainkan diwarnai dengan kinerja yang baik dan terpuji.
II. PEMBAHASAN Saat Perubahan Dari berbagai peristiwa yang terjadi, kini saatnya melakukan perubahan segi kultur Kejaksaan. Langkah perubahan sebagaimana diuraikan Leonard Sweet sebagai berikut :2 “What is the difference between a living thing and a dead thing? In the medical world, a clinical definition of death is a body that does not change. Change is life. Stagnation is death. If you don’t change, you die. It’s that simple. It’s that scary.” (Apakah perbedaan antara sesuatu yang hidup dan sesuatu yang mati? Dalam dunia medis, definisi klinis tentang kematian adalah suatu tubuh yang tidak berubah. Perubahan adalah kehidupan. Stagnasi adalah kematian. Jika kamu tidak berubah, kamu mati. Ini adalah 2 Lihat dalam http://www.goodreads.com/quotes/354134-what-isthe-difference-between-a-living-thing-and-a diakses pada tanggal 100 Juni 2016.
184
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3 Juli 2016
sesuatu yang sederhana. Ini adalah sesuatu yang menakutkan). Bagi generasi Kejaksaan yang sudah melewati dua dekade, dapat melihat betapa bergesernya kultur insan Kejaksaan dalam semangat kerja, kedisiplinan, etika kedinasan, maupun ketaatan atau kepatuhan terhadap aturan. Acapkali masih dijumpai pegawai yang hanya mengejar tunjangan kinerja, tetapi ogah bekerja dengan baik. Pada umumnya saat ditanyakan apa sebabnya hal tersebut dilakukan, ternyata kata mereka tidak diberi pekerjaan, ada kepentingan keluarga, maupun mencari tambahan diluar. Dalam hal penggunaan anggaran dapat kita lihat beberapa pemasalahan antara lain: adanya pejabat struktural yang harus mengembalikan keuangan negara, karena penggunaan dan pertanggungjawabannya tidak sesuai dengan prosedur, adanya uang operasional perkara yang digunakan atasan yang akhirnya menyebabkan penanganan perkara yang tidak maksimal, adanya bendahara yang menggelapkan anggaran/ uang titipan, dan masih ada perilaku lain yang tidak patut, tidak tidak terpuji, yang tidak perlu ada lagi di era seperti ini. Demikian juga dalam penanganan perkara, tebang pilih dalam penyidikan, membuat petunjuk yang menyulitkan, pra penuntutan yang tidak optimal, pengenaan pasal dakwaan yang ringan, tuntutan pidana yang diminimalisir, menggelapkan barang bukti, tahap dua di luar kantor, memeras saksi, tidak melakukan eksekusi, sebagaimana mestinya. Satu dan lain hal yang acapkali pimpinan lengah dan menganggap sepele adalah kewajiban Jaksa ketika sejak awal menangani perkara (Pidum atau Pidsus) wajib mengisi Buku Jaksa (RP-14) secara lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu persaingan gaya hidup mewah di lingkungan Kejaksaan juga memicu persaingan antar pegawai, antara lain menggunakan mobil mewah, memiliki banyak rumah dan tanah, memakai perhiasan mahal ke kantor, sering pesiar keluar negeri tanpa ijin dari Pimpinan, (Jaksa Agung/ Jaksa Agung Muda Intelijen) secara hierarki. Contoh tersebut memicu para pegawai menjadi money oriented work, sehingga menimbulkan rasa malas jika sesuatu hal yang dikerjakannya tidak menghasilkan sesuatu, budaya malas dalam pelaksanaan pekerjaan,
akhirnya menimbulkan hilangnya kontrol dan pengendalian. Akibatnya terjadi ketidakpedulian terhadap lingkungan kerjanya, yang membuka peluang dalam melakukan penyimpangan/ pelanggaran disiplin yang memperburuk citra Kejaksaan di mata masyarakat.
tersedianya insan Kejaksaan yang mampu melakukan upaya peningkatan integritas diri dan lingkungannya, sehingga terbentuk perilaku integritas yang selaras, dengan cara (1) membangun sistem integritas yang kondusif, (2) memperhatikan aspek rohani dan jasmani, (3) melakukan penyelarasan pada semua elemen dirinya dengan nurani.4
Tunas Integritas Adhyaksa
Semestinya seorang Tunas Integritas dituntut untuk mampu menjalankan program dengan penuh keikhlasan dan berbasis moral idealisme (memperhatikan moral dan nilai), sehingga dalam mencapai keberhasilan dilakukan dengan tidak melanggar norma/nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Namun upaya menuju Tunas Integritas selalu dalam tataran norma dimaksud, dilakukan dengan tetap berinteraksi dengan realitas sosial, sehingga dalam kondisi semacam ini diperlukan kepiawaian tersendiri.
Kiat menyikapi hal tersebut, sudah saatnya insan Kejaksaan melakukan perubahan, khususnya dalam budaya kerja (culture set). Perubahan mindset birokrasi pemerintahan dapat dirasakan dalam diklat kepemimpinan yang dilakukan oleh Badan Diklat. Pejabat struktural dituntut menjadi agen perubahan di lingkungannya dengan selalu berkreatifitas dan berinovasi membuat usulan perubahan tertentu, guna meningkatkan efisiensi dan efektifitas kinerja, diusahakan dapat atau tanpa bersinggungan dengan anggaran atau malah sebaliknya melalui Biro Perencanaan direncanakan program kinerja yang menyeluruh, terarah, terukur dan terimplementasi secara jelas dan terperinci.
Tunas Integritas dan Pengawasan Melekat Dalam suatu organisasi pemerintah pejabat struktural merupakan kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang Aparatur Sipil Negara dalam rangka memimpin suatu organisasi negara. Jabatan tersebut disusun dalam bentuk eselon/ hierarki jabatan yang menunjukkan tingkatan tanggung jawab, wewenang, dan hak, sehingga mengisi jelas tugas pokok dan fungsi (job description), peran dari masing-masing pejabat.
Terkait dengan perubahan kultur di internal Kejaksaan, mengambil model yang dilakukan dalam diklat kepemimpinan LAN, menurut penulis sudah saatnya para pejabat struktural di lingkungan Kejaksaan membentuk dirinya sebagai Tunas Integritas dan Agen Perubahan. Individu yang berintegritas adalah insan Kejaksaan yang mampu menyelaraskan pikiran, perasaan, ucapan, dan tindakannya dengan nilainilai universal (hati nurani), yaitu selalu berusaha untuk mempunyai niat pikiran dan tindakan yang positif, sehingga mampu untuk menjauhkan diri dari keserakahan dan godaan korupsi atau penyimpangan/ pengabaian yang harus diatasi sedemikian rupa menuju tataran yang sudah terakomodir pada Standar Operasional Prosedur dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai bagian dari suatu organisasi maupun sebagai bagian masyarakat umum. Selain itu, integritas dapat dilihat dengan konsep kematangan berfikir, integritas merupakan keselarasan dari integrasi fungsi sensomotorik (tindakan dan ucapan) dengan fungsi limbik (perasaan), dan fungsi pikiran (prefrontal).3
Pada pejabat struktural terdapat tanggung jawab untuk melakukan pengawasan melekat. Pengawasan melekat sebagai pengawasan yang harus dilakukan oleh pejabat struktural terhadap bawahan di lingkungan kerjanya sampai dengan dua tingkat ke bawah. Sujamto mengartikan pengawasan melekat pada hakikatnya terdiri dari dua aspek, yaitu aspek statis yang berupa Sistem Pengendalian Manajemen dan aspek dinamis yang berupa Pengawasan Atasan Langsung.5 Istilah Sistem Pengendalian Manajemen meliputi seluruh sistem organisasi, kebijaksanaan, prosedur, dan praktik yang diterapkan manajemen dalam mengelola instansi dan mengusahakan pelaksanaan tanggung jawab secara efektif untuk
Proses pembentukan dan pengembangan Tunas Integritas adalah untuk memastikan 3 Penjelasan mengenai Tunas Integritas dapat dilihat dalam Panduan Tunas Integritas, yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi, Tahun 2015, hal 6.
Ibid. Sujamto, Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1987, hal 49. 4 5
Waskat Sebagai Agen Perubahan di Lingkungan Kejaksaan - Widyo Pramono
185
mencapai hasil yang dimaksudkan.6 Hakikat Pengawasan Melekat adalah perpaduan antara sistem pengendalian manajemen dan pengawasan atasan langsung. Betapapun baiknya sistem pengendalian manajemen, pengendaliannya tidak akan berjalan dengan baik, jika pimpinan/ manajer/ pejabat struktural organisasi yang bersangkutan tidak secara aktif mengawasi dan mengendalikan langsung pelaksanaan tugas oleh para petugas yang ia pimpin. Di sini letak lengah, ketidak konsistenan atau pembiaran dan terkadang easy going dan business as usual. Dengan demikian untuk melakukan perubahan kultur insan Kejaksaan menjadi insan yang berintegritas, maka pejabat struktural/ pengawasan melekat perlu dilatih dan dididik menjadi Tunas Integritas untuk memastikan tersedianya insan Kejaksaan yang mampu melakukan upaya peningkatan integritas diri dan lingkungannya, sehingga terbentuk perilaku integritas yang selaras, seimbang, serasi dengan cara membangun sistem integritas yang kondusif, memperhatikan aspek rohani dan jasmani, serta melakukan penyelarasan pada semua elemen dirinya dengan nurani. Belakangan dapat dirasakan bahwa lembaga Kejaksaan masih tergolong lambat capaiannya dibandingkan dengan kementerian atau kelembagaan lain. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi secara terang mengumumkan hasil penilaian kinerja Kejaksaan menempati urutan paling belakang di bawah kantor Perpustakaan, alias dalam urutan ke- 86 dari sejumlah kementerian. Dilihat dari akar permasalahannya ternyata kebanyakan dari Pejabat Sruktural/ Pengawasan Melekat di lingkungan Kejaksaan cenderung untuk bekerja sesuai dengan rutinitas saja, tanpa mendorong untuk melakukan inovasi dalam rangka meningkatkan kinerja ataupun efisiensi dan efektifitas kinerja. Kita melihat ada beberapa Pimpinan Satuan Kerja yang melakukan inovasi untuk melakukan perubahan dalam pelayanan publik, misalnya tilang online, pelayanan antar barang bukti, sistem informasi perkara, dan bentuk kreasi lainnya. Sudah barang tentu akan meningkatkan citra lembaga Kejaksaan di mata masyarakat. Salah satu contoh di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan pada Asisten Pusat Pengembangan Akuntan-STAN, Petunjuk Pemeriksaan Operasional, Tanpa Tahun, hal 13. 6
186
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3 Juli 2016
Pengawasan menunjukkan langkah maju sebagai prime mover (penggerak utama) dengan menerapkan e-office yang dapat mengendalikan persuratan di bidang Pengawasan dengan akurat, efektif dan cermat, serta menerapkan aplikasi pemantauan absensi secara real time di seluruh wilayah Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Perkembangan inovasi seperti ini perlu mendapatkan penilaian yang baik, patut ditiru, ditingkatkan dan tidak tertutup kemungkinan dapat dijadikan role model untuk wilayah Kejaksaan Tinggi lainnya di Indonesia, sehingga semuanya terselenggara yang sama, gagasan seperti ini perlu pusat menjemput, mengakomodir yang dapat diaplikasikan di daerah lain, yang tentunya sudah menjadi kajian yang mendalam, terukur dapat dipertanggungjawabkan. Jajaran Jaksa Agung Muda Pengawasan telah mencanangkan menjadi Prime Mover (penggerak utama) dengan menjadi role model (panutan) atau teladan yang baik bagi aktivasi kinerja tupoksi pada bidang-bidang lainnya di lingkungan Kejaksaan R.I. Aparatur pengawasan diharapkan mampu berfikir out of the box (berfikir diluar rutinitas), mampu berkreatifitas, berinovasi, mampu melakukan pembelajaran mandiri, sehingga memiliki kecepatan berfikir, ketepatan dan keakurasian dalam bertindak merespon beragam perubahan yang muncul. Senantiasa berupaya untuk menumbuhkan kemauan untuk mematuhi segala ketentuan yang ada dan berlaku guna dapat dilaksanakan roda penegakan hukum yang didambakan semua pihak, tanpa vested interest. 7 Inovasi tidak akan dapat dilakukan tanpa evaluasi yang cermat oleh pejabat struktural/ pengawasan melekat yang ada di lingkungannya. Evaluasi tidak akan ada tanpa kepedulian terhadap organisasi. Oleh karena itu upaya untuk mendorong agar para pejabat struktural sebagai agen perubahan harus selalu dilakukan, antara lain dengan pemberian penghargaan Sidhakarya. Konsistensi institusi yang mendapatkan penghargaan dimaksud harus dapat ditindaklanjuti sebagai suatu sistem yang konsisten sebagaimana mestinya. Peningkatan Profesionalisme Jaksa Kembali pada pandangan publik terhadap kinerja aparat Kejaksaan yang hingga kini terus 7 Disampaikan dalam wawancara berjudul “Saya Tidak Ingin Ada Pegawai Kejaksaan yang Melanggar Hukum”, di Majalah Prosekutor Edisi 41/Th.VII/Juni 2016, hal 51.
menjadi sorotan publik, antara lain penanganan perkara yang tidak maksimal, maupun akibat adanya oknum Jaksa “nakal” yang justru ikut terlibat dalam penanganan dan penyelesaian perkara. Selain masalah integritas, penyebab tidak maksimalnya penanganan perkara adalah masalah profesionalisme Jaksa. Demi mewujudkan penegakan hukum yang bermartabat, jujur, kebenaran (materiil), berkeadilan, mengandung kemanfaatan dan mampu menciptakan kedamaian, mutlak dibutuhkan profesionalisme Jaksa. Profesionalisme mengandung pengertian bahwa Jaksa haruslah orang yang benar-benar smart (cerdas), secara teoritis dan yuridis, menguasai tugas di bidangnya, sekaligus mampu memegang teguh kode etik profesi, mandiri dan independen, bertanggungjawab dalam pelaksanaan tugas yang diembannya baik secara ilmiah, secara yuridis dan sosial.8 Permasalahan yang terjadi saat ini, para Jaksa cenderung menghabiskan waktunya untuk melakukan rutinitas (business as usual), dan hanya mengerjakan sesuai dengan pekerjaan yang telah dikerjakan oleh pendahulunya, tanpa mengkaji secara yuridis, ilmiah, filosofis sosiologis, artinya mau dan mampu menyesuaikan dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan/ teknologi yang ada. Semestinya dilakukan inovasi, kreatifitas yang dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi kinerja. Masih terdengar nyaring, adanya Surat Dakwaan Jaksa yang oleh Majelis Hakim di salah satu Pengadilan Negeri di Jakarta, dinyatakan tempat kejadian perkaranya tidak jelas. Contoh seperti ini semestinya tidak perlu terjadi, apalagi seorang Jaksa yang berada di metropolitan, tentunya mereka seharusnya telah terseleksi dengan prima. Jaksa diangkat dalam posisi Jabatan Struktural/ waskat, karena yang bersangkutan dipandang mampu untuk melakukan pengendalian baik secara teknis yuridis, maupun administratif. Namun demikian dengan dalih tingkat kesibukan yang tinggi, atau rasa terlalu percaya secara personal atau karena ada penawaran tertentu dari Jaksa yang menangani perkara, atau karena tidak/ kurang menguasai teknis perkara, terdapat pejabat struktural/ waskat yang mengabaikan pengendalian secara teknis dimaksud dan hanya melihat kelengkapan administrasinya saja. Perilaku demikian tak pelak masuk dalam Widyo Pramono, Profesionalisme Jaksa, Suara Karya, Jakarta Tahun 2016, hal 4. 8
ranah pengawasan untuk memberikan warning (usulan sanksi atau punishment), agar kesalahan di kemudian hari tidak terulang lagi. Budaya kerja seperti ini perlu dirubah demi maju dan tegaknyanya lembaga Kejaksaan yang kita cintai ini, yaitu dengan cara pejabat struktural/ waskat membentuk lingkungannya sebagai learning organization (organisasi pembelajaran) yang mandiri, konsisten, komitmen dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai Tri Krama Adhyaksa, menghormati/ mentaati Kode Perilaku Jaksa, serta menegakkan 7 (tujuh) tertib yaitu tertib administrasi, tertib anggaran, tertib peralatan, tertib perkantoran, tertib disiplin kerja, tertib kepegawaian dan tertib moral. Organisasi pembelajaran menurut Pedler9 adalah sebuah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran dari seluruh anggotanya dan secara terus menerus mentransformasikan diri. Untuk menjadikan lingkungan yang diharapkan sebagai organisasi pembelajaran, Pimpinan satuan kerja atau pejabat struktural di Kejaksaan dapat melakukan langkah antara lain, sebagai berikut : 1. Model Mental : Masing-masing pejabat struktural/ waskat harus mengarahkan agar para Jaksa di lingkungannya dapat menilai diri (introspeksi) sendiri untuk memahami, menelaah, bereaksi atas suatu permasalahan yang ada. Sebuah persoalan hukum atau suatu penanganan perkara tidak hanya dapat dilihat dari suatu sisi saja, tetapi hendaknya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, seperti aspek: yuridis, sosiologis, religi, maupun filosofis, sehingga tidak terpaku hanya dari satu aspek saja, melainkan jalannya penanganan dan penyelesaian perkara dapat dikaji secara teliti, ilmiah, objektif, bermanfaat, adil dan mendasarkan hati nurani; 2. Peningkatan kemampuan personal : Kemampuan berkomitmen untuk secara terus menerus, sabar dan tekun memperbaiki wawasan agar objektif dalam melihat realitas dengan pemusatan energi pada hal-hal yang strategis; Organisasi Kejaksaan membutuhkan Jaksa dengan kompetensi dan dedikasi 9 Lihat dalam Pedler, M., Burgogyne, J. and Boydell, T, The Learning Company: A strategy for sustainable development. 2nd Ed., London, McGraw-Hill, 1997.
Waskat Sebagai Agen Perubahan di Lingkungan Kejaksaan - Widyo Pramono
187
tinggi agar dapat beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan sosial politik yang timbul dan berkembang dalam masyarakat; Oleh karena itu pejabat struktural harus selalu mendorong para Jaksa-Jaksa di lingkungannya untuk meningkatkan keilmuannya dengan mengikuti pendidikan dan pelatihan dan sharing pengetahuan atau pengalaman yang dimilikinya untuk kemajuan organisasi; 3. Penjabaran visi: Banyak pimpinan satuan kerja ataupun pejabat struktural yang tidak menjabarkan visi organisasi yang dipimpinnya. Padahal visi suatu organisasi menentukan tujuan organisasi ke depan. Dengan berbagai latar belakang pendidikan, pengalaman dan budayanya, akan sulit bagi organisasi untuk bekerjasama secara terpadu jika tidak memiliki visi yang sama. Seperti diketahui visi khusus pada jajaran Jaksa Agung Muda Pengawasan adalah : “Mewujudkan SDM pengawasan fungsional yang profesional, proporsional dan berintegritas”. 4. Kerjasama Tim : Pembelajaran dalam organisasi akan semakin cepat, jika masingmasing Jaksa mau sharing wawasan/ pengalaman dengan membentuk team work yang solid dalam belajar secara bersamasama/ dalam dinamika kelompok untuk mencari solusi yang dikerjakan. Sering terjadi dalam suatu penanganan perkara oleh Tim Jaksa, yang mengetahui materi kasus posisi perkara hanya Jaksa tertentu dan anggota tim lain jika ditanya selalu menjawab tidak mengetahui/ tidak paham. Untuk mengatasi hal ini adalah pejabat struktural/ waskat meminta Tim Jaksa untuk melakukan ekspose untuk mengkaji perkara secara yuridis ilmiah, secara administratif dan sosiologis, sehingga baik pejabat struktural/ waskat dapat melihat penguasaan materi oleh Tim Jaksa/ maupun agar anggota Tim yang lain juga memiliki pengetahuan dan penguasaan materi yang sama. Ekspos atau gelar perkara ini menjadi keharusan dilaksanakan oleh Kepala Seksi, Kepala Kejaksaan Negeri, Asisten di bidangnya, oleh Kajati dan bahkan oleh masing-masing Direktur atau langsung dikendalikan oleh Jaksa Agung Muda.
188
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3 Juli 2016
5. Berfikir secara Sistemik : Organisasi yang modern pada dasarnya terdiri dari berbagai unit yang harus bekerja sama untuk menghasilkan kinerja yang optimal. Kemampuan untuk membangun hubungan yang sinergis hanya akan dimiliki jika masing-masing unit di Kejaksaan saling memahami pekerjaan unit yang lain dan memahami dampak kinerja unit tempat dia bekerja pada unit lainnya. Sebagai contoh kegiatan penyidikan yang tidak maksimal akan membawa dampak pada penuntutan maupun eksekusi.
III. PENUTUP Tanpa adanya perubahan di lembaga Kejaksaan yang dimulai dari sendiri (ibda’ binafsik), melaksanakan amanah (kepentingan umum/ masyarakat, negara dan amanah dari Tuhan), sesuai tugas pokok dan fungsinya berdasarkan standar operasional prosedur dan mendasarkan pada suara nurani aparat penegak hukum yang amanah, jujur, adil, berintegritas, bermartabat, berdedikasi tinggi, profesional di bidangnya, proporsional dalam melangkah, maka kita akan semakin jauh tertinggal dari lembaga/ instansi lain. Kunci pokok untuk melakukan perubahan ada pada pejabat struktural/ pengawasan melekat, karena mereka yang menentukan langkah atau menjalankan roda organisasi. Apabila pejabat struktural/ pengawasan melekat dididik dan dilatih sebagai tunas integritas, agen perubahan dan membentuk lingkungannya sebagai organisasi pembelajaran, Insya Allah akan sangat membawa perubahan positif di Kejaksaan sekarang dan yang akan datang. Satu dan lain hal yang tidak dapat ditinggalkan adalah perlunya diperhatikan kesejahteraan dari penegak hukumnya, Jaksa dan Tata Usaha. Mengakhiri tulisan ini, mari disimak ulang piwulang atau ajaran dari Pangeran Samber Nyawa sebagai berikut : Rumangsa melu andarbeni, Wajib melu angrungkebi, Mulat sarira angrasa wani. (Merasa ikut memiliki, Wajib ikut membela dan mempertahankan, Mawas diri untuk membangkitkan tekad dan keberanian).
DAFTAR PUSTAKA Komisi Pemberantasan Korupsi, Panduan Tunas Integritas, KPK, Jakarta , Tahun 2015. Lawrence M. Friedman, The Legal System, A Social Science Perspective, New York, Russel Sage Foundation, 1975. Pedler, M., Burgogyne, J. and Boydell, T, The Learning Company: A strategy for sustainable development. 2nd Ed., McGraw-Hill, London, 1997. Pusat Pengembangan Akuntan-STAN, Petunjuk Pemeriksaan Operasional, Tanpa Tahun. Sujamto, Aspek-aspek Pengawasan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1987. Widyo Pramono, Profesionalisme Jaksa, Suara Karya, Jakarta Tahun 2016. Widyo Pramono, “Saya Tidak Ingin Ada Pegawai Kejaksaan yang Melanggar Hukum”, Majalah Prosekutor Edisi 41/Th.VII/Juni 2016. http://www.goodreads.com/quotes/354134-whatis-the-difference-between-a-living-thing-and-a diakses pada tanggal 10 Juni 2016.
Waskat Sebagai Agen Perubahan di Lingkungan Kejaksaan - Widyo Pramono
189
190
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3 Juli 2016
SINERGITAS KEJAKSAAN, POLRI & KPK MENANGANI PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM KERANGKA SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU Synergy between Prosecution Office, Police Department, and Anti Corruption Commission in Indonesian Integrated Criminal Justice System H. Muhammad Said Karim Guru Besar Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. E-mail :
[email protected] (Diterima tanggal 22 Juni 2016, direvisi tanggal 27 Juni 2016, disetujui tanggal 1 Juli 2016)
Dalam perspektif Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice SystemICJS), maka idealnya dan sangat diharapkan Proses Penanganan Perkara mulai pada tingkat Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, Pembacaan Putusan, Upaya Hukum, dan Pelaksanaan Putusan Hakim yang telah berkekuatan Hukum Tetap (inkracht van gewijsde), dilaksanakan secara terpadu dan terintegrasi oleh Pihak-Pihak yang termasuk Sub Sistem Peradilan Pidana Terpadu yakni : 1.
KEPOLISIAN (UU No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI)
2.
KEJAKSAAN (UU No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI)
3.
PENGADILAN (UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman)
4.
ADVOKAT (UU No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat)
5.
LEMBAGA PEMASYARAKATAN (UU No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan).
Selanjutnya Apa Pentingnya SPPT atau ICJS ? SPPT atau ICJS Penting karena merupakan Instrument dalam kerangka menegakkan hukum pidana materil. Selanjutnya dimanakah Sumber Hukum Sistem Peradilan Pidana diatur dalam hukum positif kita di Indonesia : 1.
DALAM UU No.8 Tahun 1981 Tentang KUHAP
2.
Ketentuan Hukum, Ketentuan Perundangundangan diluar KUHAP yang mengatur pula hal-hal tentang hukum acara pidana. Misalnya pada Ketentuan Pidana Materil Tentang Tindak Pidana Terorisme, didalam undang-undang tersebut bukan saja mengatur hal-hal bentukbentuk perbuatan yang dikategorikan sebagai tindakan terorisme yang dapat dihukum, tetapi mengatur juga ketentuan yang bersifat hukum acara, misalnya lamanya waktu masa tindakan Penangkapan, Penahanan, dan beberapa UndangUndang yang mengatur tindak pidana lainnya sekaligus juga mengatur hal yang bersifat hukum acara pidana, yang berbeda dengan KUHAP Undang-Undang No.8 tahun 1981, dalam hal terjadi Perbedaan maka yang diberlakukan adalah Undang-Undang yang bersifat Khusus berdasarkan Azas Lex Spesialis Derogat Legi Generalle.(Hukum Khusus mengenyampingkan hukum yang bersifat umum, atau hukum khusus lebih diprioritaskan keberlakuannya dibandingkan hukum yang bersifat umum).
Dari rangkaian proses, tahapan penanganan suatu perkara pada akhirnya tentu memiliki suatu tujuan, Tujuan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, adalah untuk mencapai Optimalisasi Penegakan hukum Pidana. Khusus dalam Penanganan perkara tindak pidana korupsi, maka selain Kepolisian dan Kejaksaan, maka dibentuk pula oleh Pemerintah Komisi Khusus yang juga menangani tindak pidana korupsi yakni Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 2002.
Sinergitas Kejaksaan, Polri & KPK Menangani Perkara Tindak Pidana Korupsi Dalam Kerangka Sistem.... - H. Muhammad Said Karim
191
Instansi yang Berwenang Melakukan Penyelidikan dan Penyidikan Tipikor : •
pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.”
KEPOLISIAN (Berdasarkan Pasal 14 huruf g UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian) “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas : melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundangundangan lainnya.”
•
Selain ketentuan tersebut diatas yang mengatur Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) masing-masing dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, terdapat pula ketentuanketentuan yang bersifat Kesepakatan antara tiga Instansi Penegak Hukum Kejaksaan, Kepolisian dan KPK yang mengatur hubungan dan mekanisme kerja, antara tiga Instansi tersebut, agar dalam penanganan tindak pidana korupsi dapat berjalan dengan baik dan tidak terjadi benturan kewenangan dan duplikasi dalam penanganan, antara satu dengan lainya.
KEJAKSAAN (Berdasarkan Pasal 30 ayat 1 huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan) “Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang.”
•
KPK (Berdasarkan Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
Adapun Ketentuan yang Mengatur Hubungan Kerjasama antara Kejaksaan RI, Kepolisian RI dan KPK RI:
Pasal 6
•
“Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.”
•
192
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
No. Pol
: 2 Tahun 2006
Nomor
: KEP-019/A/JA/03/2006 tentang Optimalisasi Koordinasi dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Tanggal 7 Maret 2006.
Kesepakatan Bersama Antara Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor Nomor Nomor
Pasal 7 “Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang: a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi; b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. Meminta informasi tentang kegiatan
Peraturan Bersama Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia
: KEP-049/A/J.A/03/2012 : B/23/III/2012 : SPI-39/01/03/2012 tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Kesepakatan Bersama antara Kejaksaan RI, Kepolisian RI, dan KPK-RI Tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: •
Pada Pasal 8 ayat (1) mengatur secara tegas: Dalam hal PARA PIHAK (Kejaksaan, Kepolisian, KPK) melakukan Penyelidikan pada
sasaran yang sama untuk menghindari Duplikasi Penyelidikan maka Penentuan instansi yang mempunyai kewajiban untuk menindaklanjuti Penyelidikan adalah instansi yang lebih dahulu mengeluarkan surat perintah penyelidikan atau atas kesepakatan PARA PIHAK. •
Pada Pasal 8 ayat (4) mengatur secara tegas: Penyelidikan dan Penyidikan tindak pidana korupsi oleh salah satu pihak, dapat dialihkan ke pihak lain sesuai ketentuan perundangundangan, dengan terlebih dahulu dilakukan gelar perkara yang dihadiri oleh PARA PIHAK, yang pelaksanaannya dituangkan dalam berita acara.
•
Pasal 9 ayat (1) mengatur secara tegas: Supervisi dapat dilaksanakan bersama terhadap perkara tindak pidana korupsi yang mendapatkan perhatian/meresahkan masyarakat dan/atau menjadi atensi Para Pihak.
Berdasarkan Ketentuan berupa Kesepakatan antara Kejaksaan, Kepolisian dan KPK, dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, dapat berjalan dengan baik, dan maksimal tanpa menimbulkan kegaduhan ditengah-tengah masyarakat dalam rangka Penegakan Hukum dibidang tindak pidana korupsi, dan kejadian dimasa silam seperti Permasalahan Benturan Pelaksanaan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Perkara Dugaan Tipikor Kasus Alat Simulator SIM Pada KORLANTAS POLRI ANTARA PENYIDIK KPK-RI dan PENYIDIK POLRI, tidak akan terjadi lagi dimasa kini dan yang akan datang. Upaya yang dapat Dilakukan Agar Tercapai Optimalisasi Penegakan Hukum Tipikor: 1.
Semua pihak Kepolisian, Kejaksaan dan KPK melaksanakan dan menaati Ketentuan Perundangundangan secara komprehensif (menyeluruh);
2.
Saling menghargai, memahami tugas Tugas pokok dan Fungsi masing-masing;
3.
Komunikasi, Kordinasi antar unsur penegak hukum mutlak diperlukan agar optimalisasi penegakan hukum Tipikor dapat terwujud, tanpa menimbulkan Kegaduhan ditengah-tengah masyarakat.
Sinergitas Kejaksaan, Polri & KPK Menangani Perkara Tindak Pidana Korupsi Dalam Kerangka Sistem.... - H. Muhammad Said Karim
193
194
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
PEMANFAATAN TEKNOLOGI DALAM MENCEGAH TINDAK PIDANA KORUPSI (Sebuah Telaah Holistik Kefilsafatan) The Utilization of Technology in Preventing Corruption Mispansyah Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
[email protected] (Diterima tanggal 28 Juni 2016, direvisi tanggal 29 Juni 2016, disetujui tanggal 13 Juli 2016) Abstrak (Implementasi dari Conference of states Parties to the United Nation Convention Against Corruption 2 (COSP-UNCAC) yang dilaksanakan oleh PBB, mengenai penggunakan teknologi anti korupsi. Rumusan masalah (1) Bagaimanakah koherensi teknologi dapat menekan tindak pidana korupsi? (2) Mengapakah ilmu pengetahuan teknologi perlu bekerjasama dengan Ilmu Hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hasil Pembahasan: (1) Adanya koherensi dari perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi seperti presensi sidik jari, e-procurement, cooperative-planning,cooperative-budgetting, e-recruitment, dapat lebih transparan karena dapat mengawasi kegiatan dan perilaku manusia, sehingga dapat menekan tingkat korupsi. (2) Ilmu pengetahuan teknologi tidak bisa berdiri sendiri dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, ilmu pengetahuan dan teknologi harus bekerjasama dengan ilmu hukum dalam sistem penegakan hukum pidana, untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, karena dua ilmu ini saling berhubungan, inilah bukti bahwa keterkaitan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kajiannya bersifat universal dan holistik). Kata Kunci : teknologi, mencegah, tindak pidana korupsi Abstract Implementation of the Conference of states Parties to the United Nations Convention Against Corruption 2 (COSP-UNCAC) which is implemented by the United Nations, regarding the use of anti-corruption technology. Formulation of the problem (1) How can suppress the technology coherence of corruption? (2) Why is science technology need to work with Legal Studies in the eradication of corruption. Discussion of Results: (1) coherence of the development of science in the field of technology such as fingerprint presence, e-procurement, cooperative-planning, cooperative-budgetting, e-recruitment, can be more transparent as it can monitor the activities and human behavior, so as to suppress level of corruption. (2) Science technology can not stand alone in the eradication of corruption, science and technology should work with the science of law in the system of law enforcement, to prevent and combat corruption, because the two are inter-related knowledge, this is evidence that the relationship science and technology studies are universal and holistic. Keynote: technology, prevent, corruption
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam sejarah Islam kedudukan ilmu pengetahuan tidak dipisahkan dengan agama, mereka menjadikan ilmu pengetahuan dan agama seolah seperti saudara kembar, bertolak dari keimanan maka mengembangkan ilmu pengetahuan adalah bagian dari ibadah, dan merupakan salah satu jalan mengenal Allah SWT. Sebenarnya tidak ada yang salah dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang salah adalah manusia yang menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, dapat digunakan untuk kebaikan dan dapat juga untuk kejahatan.
Berdasarkan hasil pertemuan konferensi PBB tentang anti korupsi ke-2 atau Conference of states Parties to the United Nation Convention Against Corruption 2 (COSP-UNCAC), yang diselenggarakan di bali tanggal 28 Januari sampai dengan 1 Februari 2008., dimana dari hasil pertemuan tersebut mengemuka mengenai Teknologi untuk mencegah dan mengurangi korupsi.(Fahmi Ambar, 2008: 1). Dalam rangka menindaklanjuti konfrensi PBB tentang Anti Korupsi /UNCAC tersebut, pemerintah Indonesia terus berbenah, misalnya untuk mencegah terjadi korupsi waktu dalam bekerja pemerintah menerapkan kehadiran dengan sidik jari ataupun system kartu elektrik,
Pemanfaatan Teknologi Dalam Mencegah Tindak Pidana Korupsi (Sebuah Telaah Holistik Kefilsafatan) - Mispansyah
195
untuk mencegah korupsi di pengadaan barang dan jasa pemerintah menerapkan kemajuan ilmu pengetahuan berupa layanan pengadaan barang secara elektronik melalui internet online. Fenomena korupsi di Indonesia sudah semakin akut, ibarat suatu penyakit kanker yang menyebar hampir diseluruh lapisan masyarakat, korupsi semakin parah dilingkungan eksekutif (pihak pemerintah), yudikatif (peradilan), dan juga legislatif (pembentuk undang-undang) sehingga sejak tahun 2004 korupsi di Indonesia dikenal istilah korupsi berjamaah. Bentuk perbuatan korupsi-pun bermacam-macam, dari bentuk korupsi merugikan keuangan/ perekunomian Negara, korupsi suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam jabatan, gratifikasi (hadiah). Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat, ada 173 kepala daerah (bupati/walikota) dari 244 bupati/walikota selama periode 2004-2012 yang menjalani pemeriksaan dengan status sebagai saksi, tersangka, dan terdakwa kasus korupsi. Sebanyak 70 persen dari jumlah itu sudah mendapat vonis berkekuatan hukum, ini bukan angka kecil. (Metronews, 2013:1). Korupsi seolah menjadi suatu yang “wajib” dilakukan oleh para penguasa, karena system pemilihan yang memerlukan biaya yang tidak sedikit, konon untuk menjadi kepala daerah Bupati/Walikota harus merogok kocek mencapai 20 miliar rupiah. “Dana yang dihabiskan calon gubernur untuk kampanye adalah 100-150 miliar rupiah untuk daerah yang kaya sumber daya alamnya. Padahal seorang gubernur dalam lima tahun masa jabatannya maksimal hanya bisa mengumpulkan Rp6 miliar,” ujar Gamawan mengalkulasi. (Eramuslim. 2014: 1) Menteri Dalam Negeri mengakui korupsi yang membelit kepala daerah, tidak lepas dari besarnya dana kampanye yang digelontorkan saat Pemilu Kada. Pemerintah sampai mengeluarkan uang sebesar 55 triliun untuk mendanai 244 Pemilu Kada tersebut. (Media Umat, 2011: 4-5). Pergeseran korupsi dari lembagalembaga Negara, kepada partai politik dan legislatif menggambarkan hancurnya Negara ini kalau tidak ada upaya pemberantasannya. M. Nazaruddin yang membongkar perselingkuhan politik dalam perebutan kekuasaan dalam 196
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
partai politik, pada pertengahan Juli lalu M. Nazaruddin mengungkap, bahwa telah terjadi permainan uang dalam pemilihan ketua umum Partai Demokrat, permainannya bukan siapa-siapa melainkan dia sendiri, ia mengaku telah mendukung ketua umum terpilih Anas Urbaningrum dengan uang senilai US$ 20 juta, yang dibagikan kepada DPC-DPC Partai Demokrat sebesar US$ 10 ribu hingga US$ 40 ribu. (Metronews, 2011:1). Kebenarannya harus dibuktikan dalam proses persidangan apakah memang terjadi korupsi oleh partai politik melalui kadernya yang duduk di DPR RI. Peneliti korupsi politik ICW, Abdullah Dahlan mengungkapkan, kasus-kasus korupsi yang melibatkan politisi dalam suatu pembangunan proyek ini sudah dirancang atau “by design” oleh partai politik. Tujuannya untuk memuluskan anggarannya. Berdasarkan penelitian ICW sebanyak 44,6% anggota DPR berprofesi sebagai pengusaha. Profesi ini ditengarai sebagai sarana investasi, inilah yang menyebabkan rawan korupsi. (Media Umat, 2011:6). Bukan rahasia lagi, keberadaa partai politik itu sendiri bagi sebagian orang bisa menjadi tempat berlindung, caranya cukup mudah, yakni dengan memberikan sumbangan dana. Bukankah partai politik butuh dana ? kompensasinya, mereka terlindungi dan tetap bisa menjalankan bisnis “kotornya”. Tidak aneh jika banyak pengusaha yang mencantol ke partai politik. UU Partai Politik yang baru memberikan ruang dengan jelas terhadap penyumbang, kalau tahun 2004 hanya dibatasi maksimal Rp 4 milyar, jumlahnya dinaikkan menjadi Rp 7,5 milyar pada pemilu 2014. Sedangkan sumbangan perorangan boleh disetor langsung ke rekening partai hingga Rp 1 milyar. Wajar bila partai politik akan di huni oleh pengusaha atau pemilik modal (kapital) yang besar. Pertanyaannya apakah mereka menyumbang secara gratis? Tentu berlaku pepatah No free lunch. Bahkan menurut Eva Kusuma Sundari, politisi dari PDIP dan juga mantan aktivis GMNI, bahwa adanya 76 produk undang-undang yang draftnya disusun oleh pihak asing. Yang mengherankan, campur tangan asing itu terjadi pasca reformasi. “Pasca reformasi, berdasarkan hasil laporan Badan Intelijen Negara, ada 76 undang-undang kita dikonsep oleh konsultan asing,” kata Eva dalam sebuah acara diskusi pada pertengahan tahun lalu. Menurut Eva, ke-76 undang-undang itu adalah usulan pemerintah. Inti dari intervensi ini
adalah upaya meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia, seperti undang-undang tentang Migas, Kelistrikan, Perbankan dan Keuangan, Pertanian, Penanaman Modal serta Sumber Daya Air. (Tempo.co, 2010: 1). Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakuan, namun memang terdapat problematika hukum baik substansi yaitu peraturan perundangundangan. Instrument hukum pidana dalam berbagai peraturan perundang-undangan di luar peraturan-perundang-undangan tindak pidana korupsi yang seharusnya mengatur berbagai pasal tentang korupsi, meskipun perbuatan pidana yang diatur dalam undang-undang tersebut memiliki unsur lengkap menurut rumusan korupsi di Indonesia. (IGM Nurdjana, 2010: 3). Secara substansi beberapa peraturan perundang-undangan seperti undang-undang tentang monopoli, undang-undang tentang kehutanan, undang-undang tentang perpajakan, undang-undang tentang pertambangan, undang-undang tentang Lingkungan Hidup serta peraturan perundang-undangan lainnya termasuk perundang-undangan yang mengatur kejahatan yang berdimensi baru (new dimention crime). (IGM Nurdjana, 2010:3-4). Termasuk dalam golongan kejahatan kerah putih (white collar crime), secara substansial unsur-unsur pidana yang ada di dalam peraturan perundangundangan tersebut sangat potensial sebagai tindak pidana korupsi mengingat kerugian Negara yang sangat besar ditemukan dalam rumusan pasal-pasal yang memenuhi unsurunsur delik korupsi atau tindak pidana korupsi. (IGM Nurdjana,2010:3). Problem secara substansi yaitu para koruptor yang merugikan keuangan Negara yang sangat besar kerap tidak terjangkau oleh peraturan perundang-undangan tertulis tanpa delik pidana korupsi, sehingga pelaku formal korupsi dapat bertindak dengan bebas dan berlindung di balik asas legalitas. Berbagai kasus-kasus kejahatan korupsi harus ditanggulangi dengan cara-cara yang luar biasa pula, akan tetapi, dengan peraturan berbagai ketentuan pidana terhadap kejahatan-kejahatan yang potensial merugikan keuangan atau perekonomian Negara di luar undang-undang korupsi, tidak dapat ditanggulangi dengan cara yang luar biasa, mengingat pengaturan berbagai tindak kejahatan tersebut tidak dikategorikan sebagai kejahatan korupsi, meskipun dapat merugikan keuangan dan atau perekonomian
Negara. (IGM Nurdjana, 2010:4). Problematika juga terjadi dalam struktur hukum dalam penegakan hukum yaitu dalam penegakan hukum formil dan hukum materiil (undang-undang) pemberantasan tindak pidana korupsi terdapat berbagai lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim, Komisi Pemberantasan Korupsi, maupun lembaga yang terkait seperti Badan Pemeriksa Keuangan, BPKP, PPATK termasuk lembaga advokasi dan LSM, lembaga kontrol internal maupun eksternal lainnya. Permasalahan dalam struktur hukum ini adalah munculnya konflik antar lembaga karena ditafsirkan adanya tumpang tindih kewenangan dalam penyidikan tindak pidana korupsi, karena memiliki hukum acara tersendiri, juga karena masalah integritas yang lemah, seperti maraknya kasus suap yang melanda lembaga penegak hukum. (IGM Nurdjana, 2010:5). Problematika dalam system penegakan hukum juga terjadi pada Budaya (sub-culture), dikaitkan dengan tren kejahatan tindak pidana korupsi di Indonesia terus mengalami peningkatan, sementara, dari berbagai dimensi, kendala system hukum pidana sebagai implikasi lemahnya aspek substansi hukum berupa peraturan perundang-undangan terkait dengan kejahatan korupsi, juga terjadi konflik kelembagaan di tubuh lembaga penegak hukum, dimana tidak adanya sinergi dan harmonisasi dari struktur hukum yang berimplikasi pada penegakan hukum, sehingga dengan kompleknya problem dalam pemberantasan korupsi ini, menghasilkan budaya hukum masyarakat dan citra penegak hukum semakin tercoreng dimata masyarakat. (IGM Nurdjana, 2010:5). Memberantas korupsi tidak hanya mengedepankan penegakan sebagai ujung pemberantasan korupsi, melainkan juga diperlukan pencegahan yang berada di pangkalnya, maka diperlukan pendekatan ilmu lain yang komprehensif dan holistik, sebagai pendekatan kefilsafatan ilmu lain, baik ilmu eksakta maupun ilmu sosial lainnya. (B. Arief Sidarta, 2005:1). Sehingga dapat melakukan pencegahan dalam tindak pidana korupsi sejak dini atau dapat melihat akar masalah korupsi dan mampu mengantisipasinya. Salah satu pendekatan untuk mencegah korupsi yaitu melalui ilmu pengetahuan dan teknologi anti korupsi. Hal ini karena korupsi adalah suatu
Pemanfaatan Teknologi Dalam Mencegah Tindak Pidana Korupsi (Sebuah Telaah Holistik Kefilsafatan) - Mispansyah
197
bentuk kejahatan luar biasa, yang problemnya komplek yang juga menyangkut masalah system penegakan hukum pidana dan juga masalah manusia yaitu berkaitan dengan akhlak. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas Penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah koherensi teknologi dapat menekan tindak pidana korupsi?
2.
Mengapa ilmu pengetahuan teknologi perlu bekerjasama dengan Ilmu Hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi?
II. TINJAUAN PUSTAKA Penulis perlu menguraikan pengertian filsafat, Perkataan “filsafat” (philosophy, filosofie) berasal dari dua perkataan dalam bahasa Yunani, yaitu: “philia” (cinta, love) dan ”sophia” (kebijaksanaan, wisdom). Pada permulaan ia berarti (menunjuk pada) hampir semua penyelidikan yang menuntut upaya intelektual (akal-budi). Pada abad pertengahan, arti dari istilah itu agak menyempit, namun filsafat masih disebut “ratu dari ilmu-ilmu”. Bahkan pada abad ke 17 dan abad ke 18, perkataan itu dipergunakan dalam arti luas. Karya Newton yang utama, misalnya, diberi judul “Mathematical Principles of Natural Philosophy” (Asas-asas Matematikal dari Filsafat Alam). Namun pada masa kini hanya sedikit filsuf yang akan menyebut dirinya sebagai “pencinta kebijaksanaan”, hampir semua peneliti pengetahuan tidak mengklaim (menuntut) agar dirinya disebut filsuf.(Robert G.Olson (Terjemahan), 2010:16), kata filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu filosofia, yang berasal dari kata kerja filosofien yang berarti mencintai kebijaksanaan. Kata tersebut juga berasal dari Yunani philosophis yang berasal dari kata kerja philien yang berarti mencintai, atau philia yang berarti cinta, dan shopia berati kearifan. Dari kata tersebut lahirlah kata inggris philosophy yang biasanya diterjemahkan sebagai “cinta kearifan” (Asmoro Achmadi, 2010:1). Mengingat ilmu telah tumbuh dari filsafat dan mengingat filsafat mempunyai akar-akar dalam suatu tradisi yang mencakup permulaanpermulaan dari ilmu, maka akan mengherankan jika yang satu dapat didemarkasi (dibatasi) secara tajam dari yang lain. Perbedaan-perbedaan 198
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
sebagian besar adalah perbedaan dalam derajat, tidak dalam jenisnya. Misalnya, tidak benar pernyataan yang sering dikemukakan, bahwa ilmu terdiri atas sejumlah pengetahuan yang sepenuhnya bebas dari keraguan yang masuk akal (beyond any reasonable doubt), sedang filsafat terdiri atas spekulasi-spekulasi penuh fantasi yang tidak didukung oleh pembuktian dan yang mendasarkan diri hanya pada perasaan dan imajinasi. Di satu pihak, walaupun teoriteori ilmiah tertentu seringkali menghasilkan dukungan (persetujuan) secara luas, banyak ilmuwan yang telah mengajukan teori-teori yang mereka akui sendiri sebagai teori yang sangat spekulatif. Pengkonstruksian teori spekulatif dalam kenyataan sering kali merupakan pendahuluan yang perlu bagi suatu penemuan ilmiah yang penting. Lebih jauh, bahkan teoriteori yang memiliki landasan yang sangat kuat tetap terbuka untuk modifikasi (perubahan) atau ditinggalkan. Barangkali tidak ada teori ilmiah yang memperoleh persetujuan demikian luas dan sepenuh hati seperti fisika Newtonian dalam abad ke 18. Filsuf Jerman Kant sungguhsungguh mendasarkan sebagian besar dari Metafisikanya pada keyakinan bahwa fisika Newtonian tanpa keraguan adalah benar. Namun beberapa asumsi fundamental dari fisika Newtonian telah ditinggalkan oleh komunitas (masyarakat) ilmiah dalam abad ke 20, dan sebagaimana Einstein serta ilmuwan-ilmuwan lain sudah sering mengingatkan kita, fisika abad ke 20 sendiri tidak diragukan lagi pasti akan mengalami perubahan fundamental di kemudian hari. (Asmoro Achmadi, 2010:27) Ilmu (sains) adalah suatu jenis kegiatan kognitif manusia, dan filsafat ilmu secara konsekuen adalah suatu bagian atau cabang dari epistemologi (teori pengetahuan), meskipun para filsuf ilmu juga menghadapi pertanyaanpertanyaan berkenaan dengan logika, metafisika, dan bahkan etika dan estetika. Orang dapat menemukan wacana-wacana tentang masalahmasalah (discussions of issues) dalam filsafat ilmu dalam karya-karya para filsuf dari zaman pra-Sokratik, tetapi filsafat ilmu sebagai suatu subspesialitas yang diakui baru muncul secara gradual dalam masa dua abad terakhir. (Asmoro Achmadi, 2010:30). Para filsuf ilmu juga telah memberikan perhatian pada banyak masalah-masalah (issues) yang lain. Sejumlah besar karya pada masa
kini difokuskan pada pertanyaan-pertanyaan konseptual dan epistemologikal secara terinci yang ditimbulkan oleh ilmu-ilmu khusus. Masalah-masalah seperti yang ditimbulkan oleh fisika modern tentang ruang (space) dan waktu (time) atau tentang indeterminisme secara terus menerus dibawa masuk ke dalam filsafat atau dicomot dari dalamnya oleh kemajuan-kemajuan (advances) dalam ilmu-ilmu.( Asmoro Achmadi, 2010:31) Salah satu cara untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dengan yang lain adalah dengan mengajukan beberapa pertanyaan dalam hubungannya dengan objek apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi), bagaimana cara mengetahui pengetahuan tersebut (epistemologi) dan apa fungsi pengetahuan tersebut (aksiologi). (Masbied,2009:3). Ontologi berasal dari bahasa Yunani, ontos (yang sedang berada) dan logos (ilmu). Dalam hal ini, ontologi diartikan sebagai suatu cabang metafisika yang berhubungan dengan kajian mengenai eksistensi itu sendiri. Ontologi mengkaji sesuai yang ada, sepanjang sesuatu itu ada. (Kamaruddin dan Yooke Tjurpamah, 2002:169). Clauberg menyebut ontologi sebagai “ilmu pertama”, yaitu studi tentang yang ada sejauh ada. Studi ini dianggap berlaku untuk semua entitas, termasuk Allah dan semua ciptaan, dan mendasari teologi serta fisika. (Lorens Bagus.2002:747). Refleksi kritis atas bidang ilmu dan terus mengembangkan dan menemukan hal yang baru, ataupun mengkritisi metode ilmu sebelumnya menjadi kajian dalam Filsafat Ilmu. Pengembangan ilmu pengetahuan terus berjalan, dan antara ilmu pengetahuan yang satu dengan ilmu pengetahuan yang lain saling berhubungan. Refleksi kritis sistematis terhadap landasan kefilsafatan, sifat dan ciri-ciri keilmuan, serta bangunan (struktur) Ilmu Hukum itu termasuk ke dalam disiplin Filsafat Ilmu. Refleksi tersebut bertumpu pada konsepsi tentang ilmu itu sendiri. Sejarah Filsafat Ilmu menunjukkan bahwa pengertian tentang ilmu juga mengalami perkembangan yang antara lain tampak dalam perkembangan ilmu. (Bernard Arief Sidharta, 2000:12-13). Berbagai definisi-definisi, ciri mengenai ilmu kemudian membagi dalam beberapa periode oleh para ahli, hal ini menggambarkan bahwa
terjadi perkembangan dalam ilmu. Menghilang dan munculnya ciri-ciri tersebut dalam perjalanan waktu memperlihatkan perkembangan dalam konsepsi tentang ilmu. Perkembangan itu dipengaruhi atau sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu itu sendiri dan aliran-aliran dalam Filsafat Ilmu dan Epistemologi. Minat besar untuk merefleksikan Ilmu secara kritis yang melahirkan Filsafat Ilmu, itu dipengaruhi oleh perkembangan kehidupan manusia pada Abad 20 yang memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut: (Fred L. Polak,1951:6769). a) Semakin mengilmiahnya kehidupan manusia pada semua bidang; b) Pertumbuhan menuju “managerial society”; c) Pertumbuhan proses demokratisasi; d) Pergeseran nilai dan krisis pada bidang moralitas; e) “cultural lag”, konflik sosial, pertentangan ideology; f) Kekuasaan besar yang diberikan ilmu kepada manusia; g) Pergeseran struktural dalam hubungan kekuasaan pada tataran internasional. Perkembangan tersebut terutama dipengaruhi oleh perkembangan ilmu-ilmu yang sangat pesat, khususnya Ilmu-ilmu Alam, dan penerapannya (teknologi). Refleksi mendasar tentang apa ilmu itu apa tujuannya, bagaimana ia bekerja, dan sejenisnya, tampak memang diperlukan sehubungan dengan akibat yang dapat ditimbulkan oleh perkembangan ilmu dan aplikasi hasil-hasilnya terhadap perkembangan manusia. (Fred L. Polak,1951:14).
III. PEMBAHASAN A. Koherensi Teknologi Dapat Menekan Tindak Pidana Korupsi Filsafat Ilmu sebagai suatu disiplin kefilsafatan yang mandiri menurut Herman Koningsfeld (H. Koningsveld, 1984:1). baru hadir pada tahun 1920-an. Sebelumnya, pemikiran kefilsafatan tentang ilmu dapat dikatakan lebih merupakan produk sampingan pengembanan Epistemologi. Perhatian terhadap refleksi kefilsafatan terhadap ilmu dalam pengembanan Epistemologi, terutama dipicu oleh perbedaan pendapat antara John Stuart Mill dan William
Pemanfaatan Teknologi Dalam Mencegah Tindak Pidana Korupsi (Sebuah Telaah Holistik Kefilsafatan) - Mispansyah
199
Whewell. (Bernad Arief Sidharta. 2010:1). Tampaknya, kehadiran dan pengembanan Filsafat Ilmu sebagai disiplin kefilsafatan yang mandiri dalam lingkungan pengembanan Epistemologi, disebabkan oleh perkembangan ilmu, khususnya Ilmu-ilmu Alam, yang sangat cepat dan dampaknya yang besar terhadap kehidupan manusia. Perubahan-perubahan kemasyarakatan yang fundamental dan meluas serta cepat, yang berkaitan erat dengan perkembangan ilmu dan teknologi dalam berbagai bidang, telah memunculkan berbagai masalah dan krisis kemasyarakatan dan menyebabkan sejumlah ilmuwan dan filsuf memberikan perhatian khusus pada ilmu dari sisi kefilsafatan. (Bernad Arief Sidharta. 2010:1). Seperti ilmu-ilmu lain, Ilmu Hukum mengarah pada suatu penjelasan sistematikal dan bertanggung-jawab, dalam hal ini tentang bahan-bahan terberi yuridikal, struktur-struktur kekuasaan, kaidah-kaidah, perikatan-perikatan. Ia pertama-tama mensyaratkan pengumpulan bahan-bahan terberi (data, bahan tersaji) yang dipandang relevan seluas mungkin dan penguraian terhadapnya (penjabaran ke dalam unsur-unsurnya): penelitian empirikal. Bahanbahan terberi ini harus diolah sehingga eventual kesaling-terhubungan di antara mereka tampak: sistematisasi. Dua pengolahan ini tidak dapat dipisahkan yang satu dari yang lainnya: orang tidak melakukan pencarian secara membuta, melainkan sebaliknya, dengan membayangkan suatu gambaran dari kemungkinan perhubungan, atau, dikatakan secara lain, dengan suatu harapan kemungkinan sintesis atau sistematisasi.(Jan Gijssel dan Mark van Hoecke, 2010:17). Sebagai sebuah kajian kefilsafatan, tentu antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lain saling berhubungan, dengan metode ilmiah dari ilmu, semuanya akan bermuara pada kebenaran. Bagaimana koherensi antara kemajuan teknologi dengan pemberantasan korupsi? Untuk menjawab masalah ini, apabila kita kembali pada refleksi keilmuan dalam kefilsafatan, setiap ilmu pengetahuan itu saling hubungan antara teknologi dengan ilmu-ilmu lainya, termasuk ilmu hukum, seperti yang ditegaskan dalam bukunya Bernard Arief Sidharta bahwa perkembangan ilmu itu saling mempengaruhi dan berkembang sangat pesat. (Jan Gijssel dan Mark van Hoecke, 2010:17). Kejahatan korupsi termasuk dalam kejahatan 200
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
luar biasa (extra ordinary crime). Kejahatan ini telah berdampak sistemik dalam sendi-sendi kehidupan dan perekonomian masyarakat, seperti berdampak pada kemiskinan, system politik, budaya, system hukum dan pemerintahan. Berbagai upaya penanggulangan sudah dilakukan oleh pemerintah, melalui Politik hukum pidanapun dibuat dalam bentuk Undang-Undang mulai dari masa Orde Lama penanggulangan korupsi sudah lama diupayakan. Peraturan tindak pidana korupsi setelah kemerdekaan diatur dalam hukum positif Indonesia yaitu dalam Peraturan Penguasa Militer tertanggal 9 April 1957 Nomor Prt/PM/06/1957, kemudian tanggal 27 Mei 1957 Nomor Prt/PM/03/1957 dan tanggal 1 Juli 1957 Nomor Prt/PM/011/1957. Peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut hanya berlaku untuk sementara, karena Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut segera diganti dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang. Kemudian dibentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960. Dalam pelaksanaannya UU Nomor 24 Prp Tahun 1960 belum mencapai hasil seperti yang diharapkan. (Ermansjah Djaja,2010:30) Masa Orde Baru, sebelas tahun kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku selama 28 (dua puluh delapan) tahun berlaku. Dalam perkembangannya tidak sesuai lagi, karena tindak pidana korupsi mengalami perkembangan, kolusi melibatkan penyelenggara Negara dan para pengusaha. Era Reformasi Pada masa era reformasi ditindaklanjuti oleh MPR dengan mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, diantaranya menetapkan agar diatur lebih lanjut dengan undang-undan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan tegas, dengan melaksanakan secara konsisten Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Ermansjah Djaja, 2010:30). Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998, tanggal 19 Mei 1999 UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pada tanggal 16 Agustus 1999 ditetapkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan dilakukan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Korupsi yang semakin akut, lembaga yang menegakkan, dan terjadi krisis kepercayaan terhadap aparat penegak hukum, yaitu kepolisian dan kejaksaan, akhirnya tanggal 27 Desember 2002 di undangkan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). (Ermansjah Djaja,2010:31). Berbagai gagasan untuk memberantas korupsi terus diupayakan, ada ide pemiskinan koruptor, dengan membuat kebijakan hukum berupa aturan untuk merampas harta kekayaan pelaku korupsi. Begitu juga dalam system peradilan pidana, dibuat kebijakan penghentian hak remisi bagi terpidana korupsi melalui Keputusan Menteri Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mengeluarkan SK bernomor M.HH-07.PK.01.05.04 Tahun 2011 yang ditandatangani Menkum dan HAM Amir Syamsudin pada 16 November 2011 menghentikan remisi koruptor. Namun karena tidak sesuai dengan formulasi kebijakan formal menurut peraturan perundang-undangan keputusan tersebut dianulir. Kejahatan yang telah terukur melalui kejahatan yang terstrukturisasi maupun kejahatan yang telah tersisteminasi, sangat sulit untuk menentukan makna “pemberantasan” atau “eliminasi” terhadap itu. Upaya meminimalisir korupsi terus dilakukan melalui Teknologi anti korupsi. Upaya tindakan antisipasi yang preventif hanyalah sekedar minimalisasi terjadinya korupsi tersebut. Salah satu, sebelum kita memutuskan apakah teknologi dapat efektif untuk memerangi korupsi atau tidak? Teknologi sekarang dikembangkan menekan angka korupsi dilingkungan pegawai negeri, yaitu dengan presensi elektronik (sidik jari), dan menekan korupsi. Hukum merupakan satu kesatuan sistem yang berhubungan satu dengan yang lain. Lawrence M Friedmann mengatakan Suatu sistem hukum dalam operasi aktualnya merupakan sebuah organisasi yang kompleks dijelaskannya bahwa:
“a legal system in actual operation is a complex organism in which structure, substance, and culture interact. To explain the background and effect of any part calls into play many elements of the system. Let us take, for an example, the incidence and reality of divorce. To begin, with, it depends on rule of law. Structure and substance here are durabe features slowly corved out of the landscape by long-run social forces. They modify current demands and are themselves, the long-term residue of other social demands. Legal culture may also affect the rate of use, that is, attitudes toward whether it is rights or wrong, useful or useless, to go court will also enter into a decision to seek formal of using them. Values in thegeneral-culture will also powerfully affect the rate of use. (Lawrence M. Friedman.1975:16) Dengan demikian sistem Hukum tersusun atas sejumlah subsistem sebagai komponennya yang saling terkait dan berinteraksi. (IGM Nurdjana, 2010.48). Dalam elemen substansi dari suatu sistem hukum pidana memiliki empat elemen, yaitu adanya nilai yang mendasari sistem hukum (philosophic), adanya asas hukum (legal principles), adanya norma atau peraturan perundang-undangan (legal rules), dan masyarakat hukum sebagai pendukung sistem hukum tersebut (legal society). (Moch. Mahfud MD, 2006:21). Pendekatan sistem ini penting untuk mencegah korupsi, baik melalui substansi hukum, struktur kelembagaan, kultur masyarakat, kemajuan teknologi dari ilmu di luar hukum perlu diperhatikan, karena adalah fitrah manusia untuk tidak ingin diketahui umum jika perbuatannya dirasa melanggar hukum atau norma/etika/ kepatutan yang berlaku. Karena itu wajar jika alat utama pencegah korupsi adalah keterbukaan atau transparansi. Karena itu, teknologi utama pencegah korupsi ada pada teknologi yang mendukung transparansi. Transparansi ini mulai dari perencanaan, penganggaran, rekrutmen personel, pengadaan barang dan jasa, pelaksanaan pekerjaan, perjalanan, pengawasan hingga penggunaan hasil pekerjaan. Karena tujuannya adalah transparansi, yaitu keterbukaan informasi, maka teknologi informasi dengan beberapa pengembangannya akan sangat menonjol di sini. Berikut ini adalah beberapa contoh inovasi tekonologi dalam
Pemanfaatan Teknologi Dalam Mencegah Tindak Pidana Korupsi (Sebuah Telaah Holistik Kefilsafatan) - Mispansyah
201
pengadaan barang dan jasa dengan sistem e-procurement. barang/jasa yang diatur. System pengadaan barang dan jasa e-Procurement adalah teknologi untuk melakukan tender barang dan jasa secara on-line. Syarat dan ketentuan tender dapat dilihat siapapun. Beberapa kriteria kunci (seperti spesifikasi, delivery time, harga, dsb) sudah disiapkan form-nya secara on-line, dan sistem dapat dengan otomatis membatasi calon yang dipanggil tatap muka untuk dilihat otentitas segala dokumen yang dimilikinya atau untuk wawancara. Selain transparan, cara ini juga sangat hemat waktu dan kertas. Saat ini, tender konvensional sangat boros kertas, karena setiap proposal akan dilampiri berton-ton dokumen perusahaan, yang umumnya juga tidak dibaca oleh panitia tender. Prosedur pengadaan barang/jasa dengan sistem e-procurement dilakukan dengan terlebih dahulu mengakses halaman internet (web page) dengan alamat panitia pengadaan, kemudian penyedia jasa sebagai peserta pengadaan barang/jasa dengan sistem e-procurement akan mendapatkan user id and password yang digunakan untuk mengikuti proses selanjutnya dari pengadaan barang/jasa pemerintah, setelah mendapatkan user id and password berikutnya adalah mengikuti tahap-tahap dari prosedur pengadaan barang/jasa yang telah ditentukan oleh panitia sebagaimana tahap-tahap dalam prosedur pengadaan Dalam pelaksanaan pekerjaan, sistem akuntansi yang terkoneksi dengan sistem penjadwalan pekerjaan, dapat sangat efektif digunakan untuk pengawasan. Setiap milestone harus dilampiri foto dari objek yang telah selesai. Auditor dan masyarakat dapat memeriksa apakah objek tadi secara real ada di alam nyata. Dengan system e-procurement ini penyimpangan dapat diminimalisir, karena harga dan kualitas barang sudah terpampang dengan jelas. Pihak mana pun, dapat mengawasi dan tidak akan ada pengegelembungan dana. Bahkan pemerintah bisa memilih barang yang dibutuhkan dengan leluasa sesuai anggaran yang ada. Jadi dengan kemajuan ilmu pengetahuan teknologi dalam pengadaan barang dan jasa melalui internet ini dapat menekan angka korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Kalau system pengadaan barang dan jasa di atas dapat menekan perilaku korupsi dengan 202
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
system transparansi. Pengembangan ilmu pengetahuan teknologi terus dikembangkan untuk dapat lebih transparan setiap kegiatan pemerintah, sehingga dapat menekan perilaku korupsi. Contoh inovasi lainnya yang dapat menekan korupsi yaitu: (Fahmi Amhar, 2008:2) Cooperative-planning. Ini adalah suatu teknologi, di mana masyarakat via internet dapat memonitor perencanaan tata ruang pemerintah daerahnya sejak awal. Masyarakat jadi tahu di mana saja yang akan dikembangkan, apa dampaknya bagi lingkungan & sosial-ekonomi sekitarnya, termasuk juga perkembangan harga tanah di daerah itu. Gerak mafia tanah dan oknum pemda pembisiknya akan terbatasi. Masyarakat juga dapat memberikan masukan secara langsung atas perencanaan yang sedang dibuat. Cooperative-Budgetting. Ini teknologi penganggaran rinci dari dengan pelibatan masyarakat bisnis dan calon pengguna secara langsung, sehingga menghindari duplikasi, markup maupun penganggaran untuk kegiatan siluman atau kegiatan yang tak ada penggunanya. E-Recruitment. Ini adalah teknologi untuk merekrut calon personel, di mana para calon cukup mengisi CV melalui website, dan sekaligus mengerjakan suatu test on-line yang akan menentukan apakah yang bersangkutan pantas dipanggil wawancara atau tidak. Pada saat tatap muka, para calon harus dapat membuktikan bahwa semua data dan dokumen yang mereka tulis dalam CV adalah sahih. System ini diadopsi oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, teknik ini selain mengurangi KKN dalam rekrutmen juga efisien bagi lembaga untuk mendapatkan orang yang tepat dan bagi sang calon untuk mendapatkan tempat kerja yang tepat. Contoh lainnya penggunaan teknologi untuk mengawasi perilaku manusia untuk perjalanan, seseorang dapat dilengkapi dengan “gelangGPS”, yang akan merekam koordinat dari rute perjalanannya, atau merekam tempat tujuannya setiba di sana. Sekarang sudah ada gelang GPS yang merekam koordinat ini setiap 10 menit sekali, sehingga baterei tahan berhari-hari. Gelang-GPS ini dapat diatur agar hanya dapat dimatikan dengan sidik jari dari pemberi tugas. Pada level yang lebih sederhana, saat ini ada beberapa taksi yang dilengkapi GPS, sehingga
sopir tak bisa seenaknya, sebab posisinya selalu dapat diketahui sentral taksi (call-center). Namun di saat yang sama sopir juga diuntungkan karena dengan sistem itu order langsung diberikan ke taksi terdekat yang kosong. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi seperti presensi sidik jari, e-procurement, cooperativeplanning,cooperative-budgetting, e-recruitment, dapat lebih transparan karena dapat mengawasi kegiatan dan perilaku manusia, sehingga dapat menekan tingkat korupsi. B. Ilmu pengetahuan teknologi perlu bekerjasama dengan Ilmu Hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi Herbert Spencer mengatakan bahwa filsafat adalah “a completely unified knowledge”, yang dipertentangkan dengan ilmu (science) yang merupakan “partially unified knowledge”. Menurut pendapatnya, filsafat mencoba mempersatukan beberapa ilmu menjadi suatu sistem yang utuh (unified system), sama seperti setiap ilmu mencoba mempersatukan fakta-fakta khusus dalam bidangnya menjadi suatu sistem yang terpadu (utuh). ( B. Arief Sidharta, 2010: 4). Sebenarnya, filsafat adalah sesuatu yang lebih ketimbang sekedar hanya mengunifikasikan ilmu-ilmu khusus; ia harus memuaskan tidak hanya minat ilmiah kita, melainkan juga kebutuhan-kebutuhan moral dan religius kita. Jika kita dapat memikirkan semuanya itu, maka itulah berfilsafat. ( B. Arief Sidharta, 2010: 4). Suatu ilmu pengetahuan itu memiliki keterkaitan dengan ilmu lainnya, misalnya ilmu sosial yang memaparkan tentang perilaku manusia, akan selalu berhubungan dengan ilmu pengetahuan alam, misalnya mengenai perlaku manusia yang dilarang merusak lingkungan, karena alam lingkungan itu menjadi sangat penting bagi kehidupan sosial manusia. Begitu juga teknologi sangat erat kaitan dengan kehidupan manusia dalam berinteraksi dan berperilaku. Penulis jelaskan mengenai hubungan ilmu pengetahuan teknologi dalam pemberantasan korupsi, sehingga kedua ilmu ini berhubungan erat, dan hal ini membuktikan bahwa ilmu pengetahuan itu memiliki tujuan yang sama yaitu kesejahteraan manusia. Ilmu pengetahuan teknologi dapat digunakan sebagai
alat untuk melakukan teknik investigasi, sehingga bisa disebut teknologi anti korupsi. Investigasi dimulai dari analisis laporan transaksi keuangan, baik yang ada di bank maupun hasil audit akuntansi dan juga audit atas alat komunikasi atau komputer yang sering dipakai (ini disebut ICT-forensic). Korupsi jarang bisa dilakukan sendirian dan sulit tidak meninggalkan bekas, walaupun itu hanya sms. Meski kadang dibuat rekening atas nama orang lain (misalnya pembantu, sopir atau anak asuh), tetapi jika orang-orang ini, yang kesehariannya amat sederhana, tiba-tiba menerima transfer uang yang sangat besar, tentu tampak kejanggalannya. Jika tidak ingin terdeteksi lewat ICT-forensic, maka dia akan minta serah terima uang dilakukan langsung, dan tentu saja tanpa tanda terima. Untuk yang seperti ini perlu dilakukan skenario agar tertangkap basah. (Fahmi Amhar,2008:2) Maka jika indikasinya cukup kuat, dilakukan aksi mata-mata (surveillance), seperti menaruh kamera tersembunyi untuk menangkap basah sang pelaku pada saat melakukan transaksi fisik. Namun seluruh teknologi ini hanya bisa diterapkan bila perangkat hukumnya mendukung. disinilah bukti bahwa ilmu pengetahuan itu tidak bisa beridiri sendiri, ia harus bekerjasama dengan ilmu-ilmu lainnya, dan inilah yang membuktikan bahwa kita harus berpikir holistic karena ilmu pengetahuan bersifat holistic. Secanggih apapun teknologi anti korupsi, ia tidak akan mampu memberantas korupsi, tanpa ada aparat yang menjalankannya. Oleh karena itu kemajuan teknologi yang dapat digunakan untuk memberantas korupsi, harus didukung oleh system hukum misalnya diatur dalam peraturan perundang-undangan, jangan sampai teknologi dan aturan yang ada justru sebaliknya semakin menyuburkan korupsi. Misalnya UU hingga Kepres tentang penerimaan CPNS atau pengadaan barang dan jasa tentu wajib diubah agar lebih transparan dan dapat mengadopsi teknologi anti korupsi. Saat ini masih banyak aturan yang justru menyuburkan korupsi. Misal aturan bahwa untuk pengadaan harus ada perusahaan penjual di Indonesia. Akibatnya ketika membeli buku atau software dari Luar Negeri, kita tidak bisa membeli via amazon.com dengan cukup menggunakan kartu kredit, tetapi harus melalui proses penawaran yang ribet, dan ujung-ujungnya jauh lebih mahal, hal ini membuka peluang terjadinya korupsi.
Pemanfaatan Teknologi Dalam Mencegah Tindak Pidana Korupsi (Sebuah Telaah Holistik Kefilsafatan) - Mispansyah
203
Hubungan ilmu pengetahuan teknologi dengan pemberantasan korupsi dapat dilihat baik dalam penegakan tindak pidana korupsi maupun dalam pencegahannya. Pada proses penegakan dapat dilihat dari peran CCTV, video rekaman melalui HP, alat sadap yang dimiliki KPK sangat berperan mengungkap dan menangkap basah pelaku tindak pidana korupsi dalam melakukan praktik-praktik suap menyuap, maupun dalam tahap pencegahan, misalnya dengan pengadaan barang dan jasa melalui e-procurement. Teknologi, perlu mendapat dukungan dari system hukum sebagai alat pemaksa dalam penegakan tindak pidana korupsi. Teknologi juga perlu dukungan system hukum sebagai alat pemaksa, dalam bentuk peraturan dan didukung oleh teknologi. Misalnya Paksaan sistem dapat berupa peraturan dan dapat pula berupa teknologi. Contoh: Untuk untuk mencegah agar jalan tidak macet oleh para penyeberang sembarangan, kita bangun jembatan penyeberangan. Untuk menggiring orang agar menyeberang pada jembatan penyeberangan itu, kita dapat kembalikan pada kesadaran individu yang dicoba dibentuk dengan edukasi. Namun realita menunjukkan, kesadaran ini hanya akan muncul pada sedikit orang. Sebagian orang malas untuk naik turun jembatan penyeberangan. Lalu ada pengaruh kultur, berarti berkaitan dengan budaya hukum yang merupakan sub-bagian dari system hukum. Kalau orang kita ada di Luar Negeri yang kultur kepatuhan lalu lintasnya tinggi, mereka juga malu untuk menyeberang jalan bukan di tempatnya, hal ini berkaitan dengan kesadaran hukum masyarakat tinggi. Sebaliknya, orang asing dari negara maju jika datang ke negeri kita, mereka juga ikut melanggar, karena kultur kepatuhan (budaya hukum) kita rendah. Untuk itu diperlukan pemaksaan oleh sistem. Pada situasi tertentu, sistem ini cukup berupa aturan atau substansi. Misalnya, mereka yang menyeberang tidak di jembatan akan didenda Rp. 1 juta. Namun efektifkah aturan ini? Yang akan terjadi, kalau ada petugas yang menangkap basah pelanggar, lebih cenderung akan ada disogok. Lebih ringan membayar Rp.50.000 saja ke petugas, tanpa kwitansi, dan uang masuk kocek pribadi petugas. Pemaksaan ini lebih efektif dengan memasang pagar tinggi di tepi atau median jalan, sehingga orang mau tak mau harus lewat jembatan. Pagar tinggi inilah teknologi pemaksa perilaku. Dan inilah yang kita cari untuk mencegah dan mengurangi korupsi. 204
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
Begitu juga seandainya tiap Laporan Pertanggungjawaban kepala daerah atau bahkan presiden wajib dilampiri peta / citra satelit yang menunjukkan kondisi lingkungan sebelum dan sesudah masa jabatan, tentu juga para kepala daerah tidak bisa seenaknya menguras kekayaan daerahnya. Rakyat yang cerdas spasial juga terbantu dalam ikut mengontrol jalannya pemerintahan. Setiap pemegang Hak Penguasaan Hutan (HPH) atau Konsensi Hutan Tanaman Industri (HTI), atau juga perusahaan tambang, diwajibkan menyetor foto / citra Landsat setiap tahun. Pemerintah ingin menilai berapa besar hutan yang benar-benar ditebang dan sejauh mana penanaman kembali. Praktek yang terjadi saat ini, foto atau citra itu sering dimanipulasi. Sepintas memang tampak mudah mengambil suatu bagian citra atas lahan yang masih berpohon untuk dicopy di bagian lain yang sudah gundul. Penebangan berlebih jadi tersembunyi. Hanya saja, teknik ini mustahil dilakukan sempurna untuk semua kanal Landsat yang ada 7. Dengan analisis spektrum di semua kanal akan ditemukan discontinuity. Gambar akan tampak aneh di kanal lain. Hanya gambar asli yang tidak menunjukkan efek itu. Korupsi pajak HPH dan pelanggaran konsesi yang amat membahayakan lingkungan dapat terdeteksi. Sistem perpajakan di Indonesia menganut asas self-assesment. Sayangnya, banyak hal membuat tingkat kejujuran wajib pajak masih rendah, termasuk para pejabat! Bahkan jumlah orang kaya yang punya NPWP masih di bawah 20%. Namun dengan citra resolusi tinggi (misal Quickbird) dapat diidentifikasi dengan cepat asset-asset yang ada di suatu tempat (rumah, kolam renang, lapangan golf) untuk diuji silang dengan status kepemilikan dan perpajakannya. Tentunya akan janggal bila pemilik rumah mewah belum punya NPWP. Janggal pula bila sebuah pabrik besar (tampak di citra), ternyata melaporkan jumlah produksi yang amat kecil – dan tentunya PPN atau PPh yang kecil. Dengan ini, upaya main mata pemeriksa dengan wajib pajak (ini korupsi “sektor hulu” terbesar) dapat lebih awal dicegah! Berdasarkan uraian dalam pembahasan tersebut disimpulkan bahwa antara ilmu pengetahuan itu saling berhubungan satu dengan yang lain (merupakan satu kesatuan system), dimana ilmu pengetahuan yang satu akan memerlukan ilmu pengetahuan yang
lain. Begitu juga ilmu pengetahuan teknologi saling berhubungan dan diperlukan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, dan tidak bisa beridiri sendiri, ilmu pengetahuan dan teknologi harus bekerjasama dengan system hukum yaitu sub penegakan hukum pidana untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, karena dua ilmu ini saling berhubungan, dans inilah bukti bahwa ilmu pengetahuan itu saling bekerjasama dan melengkapi dan menutupi kekurangan, dan ini juga bukti bahwa ilmu pengetahuan itu kajiannya universal dan holistik.
IV. PENUTUP Berdasarkan pemaparan pada pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Adaya koherensi dari perkembangan ilmu pengetahuan di bidang teknologi seperti presensi sidik jari, e-procurement, cooperative-planning, cooperativebudgetting, e-recruitment, dapat lebih transparan karena dapat mengawasi kegiatan dan perilaku manusia, sehingga dapat menekan tingkat korupsi. 2. Ilmu pengetahuan teknologi tidak bisa berdiri sendiri dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, ilmu pengetahuan dan teknologi harus bekerjasama dengan ilmu hukum dalam sistem penegakan hukum pidana, untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, karena dua ilmu ini saling berhubungan, dan inilah bukti bahwa ilmu pengetahuan itu saling bekerjasama dan melengkapi menutupi kekurangan, dan ini membuktikan bahwa ilmu pengetahuan itu kajiannya universal dan holistik.
DAFTAR PUSTAKA Bahan Buku Achmadi, Asmoro. Filsafat Umum, Jakarta ; Rajawali Pers,Cet. 10, 2010. Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat, Jakarta : Gramedia. Djaja, Ermansjah.2010. Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/ PPU-IV/2006. Jakarta: Sinar Grafika. Friedman, Lawrence. M.1975. The legal System, A Social Sciences Perspectie. New York: Russel Sage Foundation. Gijssels, Jan dan Mark van Hoecke, (Terjemahan) oleh Bernard Arief Sidharta. 2010. Apakah Teori Hukum Itu? Bahan Ajar. Bandung: Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan. Komaruddin dan Yooke Tjurpamah,2002. Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah. Ed. Q Cet. 2, Jakarta : Penerbit Bumi Aksara. Koningsveld, H. (Terjemahan). 1984. Het Verschijnsel Wetenschap. Boom. Meppel. MD,Moch.Mahfud 2006.Membangun Praktik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta:LP3ES. Nurdjana, IGM.2010. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi “Perspektif Tegaknya Keadilan melawan Mafia Hukum”. Yogyakarya: Pustaka Pelajar. Sidharta, Bernard. Arief. 2000. Refleksikan tentang Struktur Ilmu Hukum; Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional. Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju. --------------.2005. Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Filsafat Hukum Konstitusi.Yogyakarta: Program Doktor Ilmu Hukum UII. --------------.2010. Konsep Ilmu. Bahan kuliah, Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. --------------. (Penyadur) dari Buku G.T.W. Patrick, 2010. Introduction to Philosophy, Chapter I Introduction.. Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu itu. Bahan kuliah. Bandung: Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik
Pemanfaatan Teknologi Dalam Mencegah Tindak Pidana Korupsi (Sebuah Telaah Holistik Kefilsafatan) - Mispansyah
205
Parahyangan. Polak, Fred L. (Terjemahan). 1951. Het Behoud Van Ons Bestaan.Leiden Olson, Robert G. (Terjemahan) oleh Bernard Arief Sidharta. 2010. Pengertian Umum Tentang Filsafat. Bahan Kuliah. Bandung: Universitas Katolik Parahyangan. Bahan Internet Amhar,Fahmi. 2008. Teknologi Anti Korupsi. http:// www.fahmiamhar.com/2008/09/teknologi-antikorupsi.html Diakses Tanggal 22 November 2012. Eramuslim. 2014. Minimal 20 Miliyar untuk ikut Pemilu Kada. http://www.eramuslim.com. Diakses Tanggal 16 Oktober 2014. Masbied. 2009. Analisis Perbandingan Ontologi Sains dan Ontologi Filsafat. http://www.masbied.com. Diakses Tanggal 10 Desember 2012. Media Umat. 2011. Republik Koruptor.www.media umat.com. Diakses Tanggal 10 Desember 2012. Media Umat. 2011. Demokrasi Korupsi. http:// mediaumat.com. Diakses Tanggal 10 Januari 2012 Metronews. 2013. 173 Kepala Daerah Korupsi. http://microsite.metrotvnews.com. Diakses Tanggal 10 Februari 2013. Metronews. 2011. Wawancara Langsung Metro Dengan M.Nazaruddin Tanggal 23 Juli 2011. http://www.youtube.com. Diakses 10 Desember 2012. Tempo co. 2010. Eva: Asing Intervensi 76 UndangUndang. Berdikari Online. http://www.tempo. co. Diakses Tanggal 10 Desember 2012
206
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
IMPROVING THE COMPETENCES OF STATE ATTORNEY OF INDONESIA IN INTERNATIONAL DISPUTE SETTLEMENTS (A COMPARATIVE LEGAL STUDY OF INDONESIA AND SINGAPORE) Satriyo Wibowo Prosecutor at Secretary of Deputy Attorney General for Advancement. E-mail:
[email protected] (Diterima tanggal 8 Juni 2016, direvisi tanggal 15 Juni 2016, disetujui tanggal 24 Juni 2016) Abstrct According to The Regulation of the President of the Republic of Indonesia Number 38 Year 2010 concerning Public Prosecutor Service Organization the state attorney in Indonesia has wide authority in civil matters including international dispute settlement by arbitration and litigation. However, in term of promoting international dispute settlement, the general attorney office of Indonesia as the house of state attorney is less popular than the attorney general’s chamber of Singapore. Beside the fact, the State Attorney of Indonesia has more experience than the Government’s Lawyer of Singapore in term of representing the State or Government either as claimant in international arbitration or plaintiff in international litigation in order to claim or recover the State’s assets that had been stolen from corruption cases. The State Attorney of Indonesia also represents the State or Government as respondent in international arbitration to challenge the parties who tend to get unfair treatment by the Government. In order to, this paper will discuss the role of State Attorney of Indonesia in order to represent the State or Government’s interest as claimant and respondent in international arbitration forum as well as plaintiff or defendant in international litigation. The solution may be offered to improve the State Attorney of Indonesia performance in international arbitration and litigation forum is integrating the Attorney General’s Chamber of Singapore’s initiatives and the international dispute settlement practices, it can make the State Attorney of Indonesia achieves an extensive acknowledgement in order to represent the State and Government’s interests or even they can become more qualified than the Government’s lawyer of Singapore. Keywords : improving, competences of state attorney, international dispute settlements
I.
INTRODUCTION
More states in Asia recently have embraced investment treaties and free trade agreements that contain investment protections. Those treaties commonly provide that disputes can be submitted to binding international arbitration in the event of disputes arising between the investor of one state party and the other state party. Mr. Steven Chong Sc, former Attorney-General of Singapore, said that the world’s first bilateral investment treaty, signed on 25 November 1959, was concluded between an Asian state, Pakistan, and Germany, and formed part of the process of reconstruction in the aftermath of the Second World War.1 Since then, over 2,700 such treaties have been signed by at least 179 countries around the world. The reality is that investor state claims are going to become more prominent in the Asia Pacific region.2 Unfortunately, not all international investments could give prosperity to the host state. The Government 1 Steven Chong Sc, ‘Welcome Ceremony’, Singapore International Arbitration Academy, Singapore, 26 November 2012, Address. 2 Ibid.
of Indonesia has got an experience of losing in international arbitration case such as Karaha Bodas Company v. Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Karaha Bodas Company (KBC) which is 81 per cent controlled by Florida Light and Power (FLP) and New York-based Caithness Energy, has pursued Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) in courts in Switzerland, the US, Canada, Singapore and Hong Kong.3 The aim is to regain its investment in the West Java geothermal project, which the government cancelled after Indonesia was plunged into chaos by the Asian financial crisis of 1997-98.4 As Pertamina is an Indonesian state-owned oil and natural gas exploration company, the government should pay US$ 291 million to KBC.5 Therefore the government may loss the asset, pay compensation to the plaintiff or defendant as well as pay expensive international court fees. 3 Robert McKutchen, ‘Jakarta Retaliates in Karaha Bodas Case’ (2004) 5 Energy Compass 1, 1
. See also in Gary B. Born, International Arbitration Case and Materials (Wolters Kluwer, 2011) 542. 4 Ibid. 5 Ibid.
Improving the Competences of State Attorney of Indonesia In International Dispute Settlements ..... - Satriyo Wibowo
207
Reflecting on this case, actually the Government of Indonesia has right to order the state attorney by power of attorney to represent the government interest, besides hiring the private lawyer. Government’s legal basis is Article 30 (2) Indonesian Public Prosecutor Service Law (2004) that provides authority for state attorney to perform litigation or alternative dispute resolution on behalf of the state or government. Furthermore, The Regulation of the President of the Republic of Indonesia Number 38 Year 2010 concerning Public Prosecutor Service Organization states specific task for state attorney includes law enforcement, legal services, legal opinions and other legal measures for the state or government, government institution or agency, stateowned enterprises. It can be seen from this article that state attorney in Indonesia has wide authority in civil matters including international dispute settlement by arbitration and litigation.
Attorney General’s Chamber, but also the Ministry of Law, the Singapore International Arbitration Centre (SIAC), the Singapore Academy of Law, the Law Society and the Singapore Courts.6
II. TYPES OF INTERNATIONAL DISPUTE SETTLEMENTS MANAGED BY THE STATE ATTORNEY A. Arbitration Black’s Law Dictionary defines arbitration as ‘[a] method of dispute resolution involving one or more neutral third parties who are usually agreed to by the disputing parties and whose decision is binding’.7 This definition has four main elements of arbitration as follows (Simon et al 2011):8 a. ‘a method of dispute resolution’ (arbitration is simply a procedure for resolving disputes); b. ‘involving one or more neutral third parties’ (the idea that all of the arbitrators be neutral, independent and impartial is an essential feature of arbitration); c. who are usually agreed to by the disputing parties (party consent is essential to all aspects of arbitration such as appointment of the arbitrator or arbitral tribunal by agreement of the parties); d. ‘whose decision is binding’ (the binding nature of arbitral decision namely ‘awards’ has been facilitated by the law that including both laws and international treaties. The law provides a framework to ensure that arbitration agreements and arbitral awards are legally recognize and enforceable).
However, the task of State Attorney of Indonesia to perform international dispute settlement seems does not popular or lack of attention from the government itself. This can be possible because there are only limited international dispute cases which involving state attorney to perform. For instance, there is a well-known case, the Government as claimant is Government of The Republic of Indonesia v. PT. Newmont Nusa Tenggara, in international arbitration forum that won by the State Attorney of Indonesia in 2009. However, there was also a failure of the State Attorney of Indonesia to perform in litigation case such as Garnet Invs. Ltd. v. BNP Paribas (Suisse) S.A. and the Government of the Republic of Indonesia (Royal Court). The State Attorney of Indonesia filed lawsuit for this case at Guernsey Court of Appeal in Britain in 2009, but they had failed to take back €36 million of the Government of Indonesia’s money from Garnet Investment Limited. Due to those facts, this paper will discuss the role of State Attorney of Indonesia in order to represent the State or Government’s interest as claimant and respondent in international arbitration forum as well as plaintiff or defendant in international litigation. In addition, this paper will also examine the solutions may be offered to improve the State Attorney of Indonesia performance in international arbitration and litigation forum. The Attorney General’s Chamber of Singapore approaches to settle international dispute are used as references for the last issue. It is based on Singapore grows as hub and venue for arbitration managed over the years by the various stakeholders in the development of the arbitration space, not only by 208
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
In terms of international dispute settlements, arbitration is classified into legal means of settlement group because it is employed with a binding decision usually on the basis of international law.9 The other group is diplomatic means which consist of negotiation, mediation, inquiry and conciliation because the parties retain control of dispute and may accept or reject a proposed settlement as they see fit.10 Chong Sc, above n 3. Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary (Thomson West, 8th ed. 2004) 112. 8 Simon Greenberg, Christopher Kee and J. Romesh Weeramantry, International Commercial Arbitration An Asia-Pacific Perspective (Cambridge University Press, 2011) 2. 9 J.G. Merrills, International Dispute Settlement (Cambridge University Press, 4th ed, 2005) 91. 10 Ibid. 6 7
Arbitration is a formal process similar to litigation but where the hearing is in private in front of a nominated third party, the arbitrator, who makes a binding decision. The arbitrator is not a court judge but rather an industry-specific expert or otherwise a well-qualified individual who both parties agree is suitable for resolving their dispute.11 Sourdin (2005) states that one of the most commonly cited advantages of arbitration is that the parties have greater freedom to formulate the procedure to suit their particular disputes and needs. In some circumstances, an arbitrator can adopt inquisitorial processes, arbitrate without pleadings, or on documents alone without hearing.12 It is about a faster and less expensive way to resolve a dispute. According to Blackford (1997), the more important advantage of arbitration is private which means only the parties and the arbitration institution are aware of the existence of the dispute.13 These speed and privacy processes are important when making business relationship. This is the main reason for choosing of arbitration because its advantages even some characteristics in formality are similar to litigation. B. Litigation Litigation is the traditional form of dispute resolution, based on taking action through the courts. A judge sits and listens to argument on the interpretation of the relevant law as applied to the particular dispute and then makes a decision as to who wins and who loses. Unlike with many non-court dispute resolution methods, a judge normally has little flexibility to consider what might be ‘fair treatment’ between the parties.14 There are several differences between litigation and arbitration, including:15 a. International litigation takes place in a court that derives its competence from the application of sometimes clumsy international jurisdiction rules. In international arbitration, 11 Chartered Institute of Arbitrators, Arbitration (28 March 2009) . 12 Tania Sourdin, Alternative Dispute Resolution (Lawbook Co, 2nd ed, 2005) 37. 13 Jason C Blackford, ‘An Introduction To International Arbitration’ [1997] 43[4] Practical Lawyer 79, 80 . 14 Chartered Institute of Arbitrators, Litigation (28 March 2009) . 15 Greenberg, above n 10, 18-19.
b.
c.
d.
e.
f.
the seat or place of arbitration is chosen by the parties without the restrictions that can apply to the choice of a court in international litigation proceedings. In litigation, a judge is assigned to the case by the court so the parties cannot select the judge who will determine their dispute. By contrast, in arbitration the parties are free to choose the arbitrator(s) with desired skills or characteristic such as people with the appropriate expertise or cultural neutrality. In litigation the procedure is fixed by the rules of particular court. In arbitration the parties have enormous flexibility to choose the kind of procedure that they wish to adopt for their arbitration. In litigation the proceedings are usually open to the public. In arbitration the confidentiality is important for business dispute, however, the confidential nature of arbitration is reduced when support for court is needed to enforce arbitral awards. In litigation the party usually has one or more levels of appeal from the initial judgment if a party wishes to challenge that judgement. International arbitral awards are, with a few exceptions, final. Enforcing a foreign arbitral award is generally much easier than enforcing a foreign court judgment by character of the New York Convention.
Even though the parties face the challenges in seeking recognition and enforcement of arbitral awards, the international arbitration regime continues to be particularly attractive to parties from different nationalities and who may have concerns of anticipated bias in litigating deals with the domestic courts. Arbitration often provides for a convenient neutral alternative and is complemented by the New York Convention in allowing parties to enforce their awards basically across the globe. On the other hand, litigation in the domestic courts of one of the parties, gives rise to even more severe cross-border enforcement issues. Parties seeking the enforcement of foreign court judgments face more barriers because of lack of reciprocal arrangements or treaties between most foreign countries. In practice of any cross border litigation several legal systems are involved a number of specific legal complexities that increase the uncertainty
Improving the Competences of State Attorney of Indonesia In International Dispute Settlements ..... - Satriyo Wibowo
209
and transaction costs associated with litigation such as delays or disruptions.16 Bühring-Uhle (2006) argues that there are four legal issues of litigating international disputes in national court as follows:17 a. Which court has jurisdiction over the dispute? It may already be difficult to find an appropriate forum, if the court of several countries claim jurisdiction over the same disputes, at the same time litigations in several jurisdictions can occur, so then litigants will have to defend themselves in two or more courts at the same time and may get caught in the battle of conflicting antisuit injections, if the jurisdictional conflict is not resolved, courts may issue conflicting judgments in the same matter. b. How will it conduct the procedure? During the procedure, litigants will be concerned with the neutrality of the court, tolerate unfamiliar methods due to certain fundamental differences between legal systems or even be caught in judicial conflict. c. Which rule will apply to the substance of the dispute? This problem may occur when national courts have to select the applicable law and possibly have to apply foreign laws. d. Which effect will its judgments have abroad? A judgment may not be of much worth outside the jurisdiction where it was obtained. Those inevitable uncertainties make the deficiencies of litigating international disputes in national court. As a result, it has been the major factor for the rise of arbitration to being the ‘preferred’ means of dispute resolution especially for international business.18 Nevertheless, sometimes litigation can be preferable in some particular conditions such as: a. Where the enforcement of judgments abroad is either unnecessary (because the defendant has sufficient assets in the jurisdiction of the court that decided the case).19 b. In certain standard types of cases accelerated procedures like summary or documents only Born, above n 5, 15. Christian Bühring-Uhle, Arbitration and Mediation in International Business (Kluwer Law International, 2nd ed, 2006) 12, 27. 18 Ibid. 19 Ibid 68. 16 17
210
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
proceedings may offer a more efficient form of dispute resolution particularly dispute in the banking field.20 c. In some jurisdictions arbitration agreements are interpreted to inhibit interim measures of protection by the courts.21 d. Litigation may be the only solution where the assets of the defendant are located in a country where does not enforce foreign arbitral award.22
III. TASK AND AUTHORITY OF THE STATE ATTORNEY IN INTERNATIONAL ARBITRATION AND LITIGATION FORUM Indonesia ratified the Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards in 1981. The instrument giving effect of the Convention in Indonesia is the Presidential Decree Number 34 of 1981. However, the Presidential Decree is silent on which court or institution entitled to handle the issue of the execution of the international arbitration award in Indonesia.23 Moreover, there was a controversy as to whether the Presidential Decree needs implementing legislation to enable the international treaty (Convention) be implemented in Indonesia24. To answer those two questions, the Supreme Court issued the Supreme Court Regulation Number 1 Year 1990 concerning the Enforcement of Foreign Arbitral Awards on March 1 of 1990. The Regulation ends the controversies by appointing the District Court of Central Jakarta as the sole district court entitled to handle the request for the execution of international arbitration awards in Indonesia25. This Regulation also provides a greater detail the procedure or requirements for the execution the award. Furthermore, the Indonesian government enacted the Law No. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution (Indonesian Arbitration Law). The Law contains the substantive provisions concerning 20 William W. Park, ‘When the Borrower and the Banker are at Odds: The interaction of Judge and Arbitrator in Trans-Border Finance’, [1991] 65 Tul. L. Rev. 1323, 1324-1325 in Christian Bühring-Uhle, Arbitration and Mediation in International Business (Kluwer Law International, 2nd ed, 2006) 68. 21 Otto Sandrock, ‘Internationale Kredite und die Internationale Schiedsgerichtsbarkeit’, [1994] WM Zeitschrift für Wirtschafts und Bankrecht 405, 447 in Christian Bühring-Uhle, Arbitration and Mediation in International Business (Kluwer Law International, 2nd ed, 2006) 68. 22 Bühring-Uhle, above n 19, 68. 23 Huala Adolf, ‘Improving the Encorcement of International Arbitral Awards in ASEAN Countries’, Indonesia Arbitration – BANI Arbitration Center Quaterly Newsletter (2009) 7. 24 Ibid. 25 Ibid.
arbitration and alternative dispute resolution.
areas:31
Unlike Indonesia which has one regime for arbitration of domestic and international under the Indonesian Arbitration Law, Singapore makes distinction among them which are the Arbitration Act (Cap 10) for domestic arbitration and the International Arbitration Act (Cap 143A) (‘IAA’) for international one.26 Previously, the IAA came into force on 27 January 1995 which adopting the Model Law and the New York Convention.27 In January 2010 Singapore’s International Arbitration (Amendment) Act 2009 came into force, implementing many of the amendments to the Model Law made by UNCITRAL in 2006.28 The amending Act now allows the Singapore courts to grant interim orders (such as disclosure and the freezing of assets) in arbitrations outside Singapore.29
a. Criminal Matters: • Conducting prosecutions; • Enforcing judicial orders and award that has been final and legally binding; • Conducting supervision of those serving conditional sentence, placed under supervision orders, or released on parole; • Investigating certain types of suspected crime as stipulated by law; • Completing certain types of case files, and for such purposes, to conduct additional investigations prior to the forwarding of such files to the court, which investigations in practice are to be carried out in condition with the investigators.
Authorised by national law, both Attorney General of Indonesia and Attorney General of Singapore have some tasks and authorities in international dispute settlements through arbitration and litigation. A. Indonesia Article 2 (1) Indonesian Public Prosecutor Service Law (2004) states that the Public Prosecutor Service of Indonesia is a government institution for exercising the power of the state in prosecutorial field and activities in condition to the law. Therefore, Public Prosecutor Service has obtained the principal position in law enforcement such as to control the processing of a case, determine whether a case should proceed to court based on legitimate evidence as defined in the Criminal Procedures Code and responsible for the implementation of judicial award. The Public Prosecutor Service is led by Attorney General who has responsibility to advise the Government about law problems. The Attorney General is also a Solicitor General who can represent the Government in the court.30 Moreover, the duties and powers of Indonesian Public Prosecutor Service are ruled by Article 30 Indonesian Public Prosecutor Service Law (2004) that consists of three main 26 Lawrence Boo, ‘Arbitration’ (2009) 10 Singapore Academy of Law Annual Review of Singapore Cases 53, 53. 27 Gordon Smith and Andrew Cook, ‘International Commercial Arbitration in Asia-Pasific: A Comparison of the Australian and Singapore Systems’ (2011) 77(1) Chartered Institute of Arbitrator 108, 112. 28 Ibid. 29 Ibid. 30 Kejaksaan Republik Indonesia, History Pre Reformation Era (2009) .
b. Civil and Administrative Matters: The Attorney General based on special authority, may act both litigation and nonlitigation for and on behalf of the State or Government. c. Public Order and Security Matters: • Working to improve the public’s awareness of the law; • Upholding law enforcement policies; • Oversight in respect of the circulation of printed materials; • Oversight in respect of religious beliefs that could endanger society and the state; • Preventing the misuse and/or religious abuse; • Conducting legal research and development, and compiling crime statistics. The Attorney General discharges those duties and powers through six divisions (Development, Intelligence, General Crimes, Special Crimes, Civil and Administrative Affairs, and General Supervision) with the support of Education and Training Agency, Research and Development Center, Law Information Center, Criminal Statistic Data and Technology Information Center.32 31 Kejaksaan Republik Indonesia, Duties and Powers (2009) . 32 My translation: Kejaksaan Republik Indonesia, Struktur
Improving the Competences of State Attorney of Indonesia In International Dispute Settlements ..... - Satriyo Wibowo
211
It can be seen from the duties and powers in Civil and Administrative matters that State Attorney is responsible for dispute resolution including arbitration and litigation represents the State and Government. Moreover, the Regulation of Attorney General of the Republic of Indonesia Number: 040/A/JA/12/2010 gives more description about the duties and powers of State Attorney in Civil and Administrative matters as follows:33 a. Legal Assistance Representing the state, government institution at the central and district authorities, state owned enterprises, regional owned enterprises based on special power of attorney either as plaintiff or defendant. b. Legal Opinions Giving legal opinions or assistance at the request of the government agency or institution at the central and district authorities based on written order of Deputy Attorney for Civil and Administrative Affairs. c. Legal services Providing information deals with civil and administrative matters at the request of the public. d. Law enforcement Filing a lawsuit with the court associated for civil law affairs as established by the laws and regulations in order to maintain law and order, protect the interests of state and government as well as public civil rights communities. Basically the duties and powers of law enforcement can be classified into two main areas, includes: 1) Ruled by Civil Code, for instance: • Pleading in the court that a father or mother are discharged from parental authority. • Filing a lawsuit with the court for dismissing a guardianship for minor. • Pleading in the court to promote the successor heritage supervisor if the previous one passed away. 2) Ruled by Specific Law, for instance: Organisasi (2009) . 33 My translation: Persatuan Jaksa Indonesia, Tentang Jaksa selaku Jaksa Pengacara Negara .
212
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
• Dissolving a marriage performed by unauthorized Civil Record. • Filing for bankruptcy of private legal entity in the court. e. Other legal measures Having a role as mediator or facilitator based on the request of either a party or both parties which are government institution at the central and district authorities, state owned enterprises or regional owned enterprises. In international arbitration, the case that State Attorney of Indonesia represents the Government as claimant is Government of the Republic of Indonesia v. PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT). The Newmont Mining Corporation of the United States, as a foreign shareholder in PTNNT, together with Nusa Tenggara Mining Corporation, an affiliate of Sumitomo Corporation of Japan, is required under the Contract of Work with the Government of the Republic of Indonesia to sell down a portion of its interest in PTNNT.34 Indonesia sought the power to terminate the $6 billion Batu Hijau gold and copper mining concession operated on the island of Sumbawa by PTNNT, unless Newmont divested 17 percent of its stake to a local buyer of the government’s choice.35 PTNNT and other foreign mining companies in Indonesia are required to divest up to 51 percent of their shares to local parties after five years of commercial production.36 However, in this case PTNNT is allowed to only sell 31 percent of the mandatory divestment requirement because its local partner already holds 20 percent of its stake.37 According to Newmont’s contract of works, a 3 percent stake should be divested in 2006, 7 percent in 2007 and another 7 percent per year in the next three years until 2010.38 Newmont offered the 3 percent stake for $106 million and 34 Newmont, Press Release International Arbitration Decision Issued Regarding Divestiture of Batu Hijau in Indonesia, Contract of Work Remains in Effect (31 March 2009) . 35 Law.Com, Arbitration Scorecard: Contracts (1 July 2009) . 36 Article 24 (4) Contract of Work Between The Government of Republic of Indonesia and PT. Newmont Nusa Tenggara on 2 December 1986 states that after the end of fourth full calendar year of the Operating Period, PTNNT shall offer the number of shares to the Government or Indonesian nationals or Indonesian companies controlled by Indonesian nationals at least 51% by the end of the tenth year. 37 The Jakarta Post, Indonesia Wins Arbitration Verdict Against Newmont (1 April 2009) . 38 Article 24 (4), above n 38.
the next 7 percent for $282 million.39 Furthermore, the dispute over the pricing of the shares as well as the potential buyers appointed by the government to buy them, led both parties to finally agree that they would settle their differences through ad hoc international arbitration under UNCITRAL rules in Geneva Switzerland.40 An award on 31 March 2009 held that the contract could not be terminated, but agreed that Indonesia had the power to pick the buyer, ordered PTNNT to sell the 17 percent stake within 180 days, and awarded costs to Indonesia.41 The other cases which represented by State Attorney as respondent for the Government of Indonesia are Hesham T. M. Al Warraq v. Republic of Indonesia and Rafat Ali Rizvi v. Republic of Indonesia (ICSID Case No. ARB/11/13). Both Saudi Arabian national Al Warraq and British citizen Rizvi are having relationship deals with corruption case at Bank Century Indonesia. Bank Century was an Indonesian Bank which was declared by the Bank of Indonesia as a failed bank with systemic effect in 2008. The cases began with a series of illicit transactions at Bank Century investigated by the Indonesian Corruption Eradication Commission that have caused the bank’s collapse. The Government later took over the bank after intervening with a Rp 6.7 trillion ($723.6 million) bailout. The bank was later renamed Bank Mutiara.42 Meanwhile the assets include Rp 3.5 trillion ($392 million) that was moved to Hong Kong by Bank Century’s fugitive former co-owners Al Warraq and Rizvi before the government bailed out the bank in 2008. Al Warraq and Rizvi were convicted in absentia for corruption and money laundering, as required to bring the frozen assets back to Indonesia by the Central Jakarta District Court in relation to the bail-out of Bank Century. 43 However, Al Warraq, by UNCITRAL arbitral The Jakarta Post, above n 39. Ibid. 41 Indonesia Investment Coordinating Board, ‘UNCITRAL Arbitration Case The Government of The Republic of Indonesia vs PT Newmont Nusa Tenggara Final Award’ . 42 The Jakarta Globe, New Criminal Cases Announced as Bank Century Comes to Life (8 June 2012) . 43 Ibid. See also Narendra Adiyasa and Charles Ball, ‘Indonesia’ in Michael J. Moser and John Choong (eds) Asia Arbitration Handbook (Oxford University Press, 2011) 840. 39 40
tribunal, claims his rights under the Organisation of Islamic Cooperation (OIC) Investment Agreement were breached when the government nationalised Bank Century in November 2008. His associate, Rizvi, was bringing a parallel compensation claim against Indonesia at the International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) under the UK-Indonesian Bilateral Investment Treaty.44 In the Al Warraq case, Indonesia argued that Article 17 of the OIC Agreement only provided for a state-to-state arbitration mechanism. The Tribunal rejected this interpretation, finding that it also permitted investor-state arbitration. Altough the Tribunal recognised that the OIC Agreement provides for the establishment of an organ for settlement of any investment disputes arising under this agreement, they observed that since no such organ had yet been established, ad hoc arbitration remained available in the interim. The Award enables Al Warraq to proceed with his claim, which stems from the nationalisation of his stake in an Indonesian Bank.45 Meanwhile, in the Rizvi case, the status of proceeding is the Tribunal holds a hearing on jurisdiction in Singapore in January 2013.46 The international litigation case involving State Attorney of Indonesia represent the State as plaintiff is Garnet Invs. Ltd. v. BNP Paribas (Suisse) S.A. and the Government of the Republic of Indonesia. Tommy Soeharto’s company, Garnet Investment Limited, was caught in a dispute with the Indonesian government at the Guernsey court over funds amount $50,467,600 (€37 million) that he allegedly collected through corrupt practices.47 The case began in 2002 when the Guernsey Financial Intelligence Service (FIS) froze Tommy’s account at Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas on Guernsey Island and the Government of Indonesia was informed and given opportunity to join the proceedings between the Bank and Garnet Investments.48 44 Lawyer Monthly, Arbitration Tribunal Ruling Makes History (9 August 2012) < http://www.lawyer-monthly.com/news/ARBITRATIONTRIBUNAL-RULING-MAKES-HISTORY>. 45 Allen and Overy, Middle Eastern Investment Treaties May Provide Unrealised Protections for Investors (30 October 2012) . 46 Rafat Ali Rizvi v. Republic of Indonesia (ICSID Case No. ARB/11/13). 47 Stolen Asset Recovery Initiatives, Tommy Suharto (also known as Hutomo Mandala Putra) (2013) . 48 Garnet Invs. Ltd. v. BNP Paribas (Suisse) S.A. and the Government of the Republic of Indonesia [2007-08] GLR 73, 78.
Improving the Competences of State Attorney of Indonesia In International Dispute Settlements ..... - Satriyo Wibowo
213
Disappointed with the decision, Tommy took the case to the island’s district court, which later issued a verdict in favor of the bank. The court also asked the Government of Indonesia to prove its allegations about the money’s origins.49 The battle then entered a second round after Tommy won an appeal and in January 2009 the Guernsey court decided to lift the freeze on the funds because the State Prosecutor of Indonesia had failed to provide any evidence that Tommy was involved in corruption.50 The Government of Indonesia then appealed to the Royal Court in London, hoping that body would see the case differently. However, the council supported the lower court’s verdict.51 Until FIS finally also filled for freezing, but the Court of Appeal refused.52 Starting from 15 February 2011, Tommy can disburse the money.53 From those cases, it can be analised that the roles of the State Attorney in order to represent the State or Government either as claimant in international arbitration or plaintiff in international litigation are to claim the State’s assets or recover the State’s assets that had been stolen from corruption cases. Meanwhile, the role of the State Attorney as respondent in international arbitration is challenging the parties who tend to get unfair treatment by the Government of Republic of Indonesia. B. Singapore The Attorney General’s Chambers of Singapore is led by the Attorney General who works closely with the Solicitor General. As principal legal adviser to the Government, the Attorney General plays an important role in supporting the rule of law in Singapore, and contributes to build a democratic society based on the fundamental ideals of justice and equality. The Attorney General performs the following key functions:54 Garnet Invs. Ltd. v. BNP Paribas (Suisse) S.A. and the Government of the Republic of Indonesia [2007-08] GLR 442, 443. 50 Garnet Invs. Ltd. v. BNP Paribas (Suisse) S.A. and the Government of the Republic of Indonesia [2009-10] GLR 1, 2. 51 The Jakarta Post, Tommy Soeharto Fails in Appeal Against Govt (25 August 2011) . 52 The Chief Officer, Customs & Excise, Immigration & Nationality Service v. Garnet Investments Limited (2011) 432 Judgment 1, 16. 53 My translation: Tempo Co., Pemerintah Didesak Upaya Pembekuan Aset Tommy Soeharto (11 March 2011) . 54 Attorney-General’s Chamber, Who We Are Overview (13 March 2013) . 49
214
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
a. Legal adviser to the Government This duty is stated in Article 35(7) of the Constitution of Singapore that the Attorney General advises the Government upon such legal matters and performs such other duties of a legal character, as may from time to time be referred or assigned to him by the President or the Cabinet and to discharge the functions conferred on him under this Constitution or any written law. b. Public Prosecutor This duty is stated in Article 35(6) of the Constitution of Singapore that the Attorney General has the power to institute, conduct or discontinue proceedings for any offence. The Attorney General is independent in this role, and not subject to the control of the Government. c. Drafter of laws The Attorney General is responsible for drafting Singapore’s laws and producing revised editions of legislation. d. Singapore’s legal representative The Attorney General also represents Singapore, and advances and protects her interests, in the international arena and in international disputes. Therefore, all actions by or against the Government are made in the name of the Attorney General. e. Regulator of foreign lawyers The Attorney General is responsible for regulating foreign lawyers and foreign law practices in Singapore, thus playing a part in the development of the Singapore legal services sector. f. Protector of charities Under common law, the Attorney-General is the guardian of charities. g. Central authority for mutual legal assistance in criminal matters and extradition Officers of the Attorney General’s Chambers process and handle all formal requests for assistance in accordance with the provisions of the Mutual Assistance in Criminal Matters Act and any applicable Mutual Legal Assistance Treaty. From those functions, it can be examined that the main similarity between the Attorney General
of Republic of Indonesia and Attorney General of Singapore is being adviser to the Government for legal matters. Moreover, due to point d of those functions, Attorney General of Singapore acts as Government’s Lawyer like State Attorney of Indonesia. However, Attorney General of Singapore has some special functions to be drafter of law and regulator of foreign lawyers, meanwhile Attorney General of Republic of Indonesia has particular characteristic in public order and security matters. A great distinction between them can be recognised that the Attorney General of Singapore is central authority for mutual legal assistance and extradition, whereas central authority in Indonesia is Minister of Law and Human Rights. The Attorney General discharges his responsibilities and duties through six legal divisions (Civil, Criminal Justice, State Prosecution, Economic Crimes and Governance, International Affairs, and Legislation and Law Reform), with the support of the Corporate Services Division and the Information Division (comprising the Computer Information Systems Department, and the Library and Knowledge Management Central).55 In terms of arbitration and litigation functions, Attorney General Chamber’s Singapore provides very wide scope for them and it can be seen in the Civil Division as well as the the International Affairs Division (IAD). The Civil Division is responsible for:56 a. Providing legal advice to the Ministries and Organs of State on a wide scope of issues such as constitutional and administrative law, public finance, disciplinary inquiries of public officers, land acquisition, protection of young persons, contract, tort, competition law, public-private partnerships, intellectual property law and appeals to Ministers under legislation like the Electricity Act, Broadcasting Act and Competition Act. b. Drafting and examining contracts and legal documents such as tender documents for the Government procurement of goods and/ or services, lease agreements and licenses, loan agreements, investment agreements, IT 55 Attorney-General’s Chamber, Organisational Structure (1 February 2013) . 56 Attorney-General’s Chamber, Overview of Civil Division (22 June 2012) .
c.
d.
e. f. g.
contracts and scholarship agreements. Representing the Government in international initiatives which have an impact on domestic law, such as the UNCITRAL Working Groups on Procurement and Transport Law and ASEAN Single Window Working Group Meetings. Representing the Singapore Government in court proceedings instituted by or against the Government, and in negotiations and dispute resolution hearings relating to: • Public law litigation matters such as constitutional challenges, judicial review and exercise of regulatory powers. • Private law civil litigation matters such as tort, contract, land and recovery of public moneys. Representing the Singapore Government in disciplinary inquiries against public officers. Acting as the Protector of Charities. Reviewing applications for the admission of foreign advocates and solicitors to the Singapore Bar.
Meanwhile, the IAD which is responsible for:57 a. Providing legal advice to all Government departments, Ministries and statutory boards on international law issues. b. Representing Singapore at bilateral and
multilateral negotiations, and in international disputes, trade-related proceedings and at other international forums. c. Negotiating and drafting multilateral and bilateral legal instruments. d. Assisting in the translation of Singapore’s international obligations into domestic legislation. e. Advising on the domestic implementation of Singapore’s international obligations. f. Handling and processing all formal requests for mutual legal assistance and extradition. From those responsibilities, unlike the duties and authorities Public Prosecution Service of Indonesia, it can be identified that Attorney General’s Chamber of Singapore provides very specific function in international disputes not only in the Civil Division (stated at point d) but also in the IAD (stated at the point b). Therefore, 57 Attorney-General’s Chamber, Overview of International Affairs (2 September 2012) .
Improving the Competences of State Attorney of Indonesia In International Dispute Settlements ..... - Satriyo Wibowo
215
there is a synergy between one division to another deals with international dispute settlements. Meanwhile, Public Prosecution Service of Indonesia only mentions in general to perform litigation and non-litigation for and on behalf of the State or Government and managed by Deputy of Attorney General for Civil and Administrative Matters only. Furthermore, the IAD’s work covers a diverse range of matters including international dispute settlement, international trade law, international investment law, civil aviation law, international criminal law, diplomatic privileges and immunities, international human rights law, law of the sea, international environment law and law relating to the United Nations.58 In practice, however, Attorney General’s Chamber of Singapore is not many involving to represent the Government in international dispute settlement. The only well know case is Malaysia v. Singapore at Permanent Court of Arbitration (PCA) where Attorney General of Singapore acted as respondent in order to represent the Government. The case concerned land reclamation by Singapore in and around the Straits of Johor and was instituted by Malaysia on 4 July 2003 pursuant to Article 287 of the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) and Article 1 of UNCLOS Annex VII. The parties signed a Settlement Agreement on 26 April 2005, and an Award on Agreed Terms was issued by the Tribunal on 1 September 2005.59 The main point award includes directs Singapore not to conduct its land reclamation in ways that might cause irreparable prejudice to the rights of Malaysia or serious harm to the marine environment and taking especially into account the reports of the group of independent experts.60
IV. INFLUENCES OF THE ATTORNEY GENERAL’S CHAMBER OF SINGAPORE IN INTERNATIONAL DISPUTE SETTLEMENT A. Mechanism of Attorney General of Singapore Rules the International Dispute Settlements The initiatives of Attorney General’s Chamber to improve and encourage the growth
It can be seen from those initiatives that Attorney General’s Chamber manages both internal and external efforts of the institution. Making some development in internal chamber through extending IAD’s role together with continuously updating the International Chong Sc, above n 3. Ibid. 63 Smith, above n 29, 109. 64 Attorney-General’s Chamber, above n 59.
58
61
59
62
Ibid. Permanent Court of Arbitration, Malaysia v. Singapore (2009) . 60 Malaysia v. Singapore [2005] 1, 4.
216
of international dispute settlement by arbitration and its relevance to Singapore can be classifiend as follows: a. Attorney General continuously review and update the International Arbitration Act To keep arbitration legislative framework up to date with international best practices. This Act was amended in 2009 and again most recently in 2012.61 b. Attorney General have managed to attract some of the top arbitral institutions in the world, including the American Arbitration Association (AAA), the Permanent Court of Arbitration, the International Chamber of Commerce’s International Court of Arbitration (ICC-ICA), the International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) and the World Intellectual Property Organisation’s Arbitration and Mediation Centre at the world’s first integrated dispute resolution centre, Maxwell Chambers, in 2009 to facilitate the conduct of international arbitration in Singapore and complement local institutions such as SIAC and the Singapore Chamber for Maritime Arbitration.62 c. Liberalisation of legal services, allowing foreign firms in Singapore to conduct international arbitration and exemption from the need to obtain a work visa for those conducting arbitration activities that had been applied since 2008.63 d. The IAD’s role was expanded in 2009 to include the development of international law expertise for Singapore and the establishment of Singapore as an international law hub. To support this initiative, the Developing International Law Expertise in Singapore Secretariat (DILES) was set up within IAD to manage efforts in order to develop the international law expertise of Government officers who are involved in the practice of international law.64
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
Arbitration Act as part of internal initiatives. It is followed by opening Maxwell Chamber as external effort. Through liberalisation of legal services gives good impact for Singapore as at 1 October 2010, a total of 101 foreign law firms practice which nine out of ten of the world’s top law firms now have offices in this country and many of these firms have established international arbitration practices.65 Meanwhile, international dispute settlement by litigation initiatives, Attorney General’s Chamber concerns on following matters:66 a. Developments in electronic or e-litigation b. Challenges facing cross-border litigation c. Latest developments in local jurisprudence by the Court of Appeal By focusing on those matters, it seems that Singapore will take the use of technology in litigation to a whole new level and observe the dispute parties enforce their rights by cross-border litigation issues. Surely, those adjustments should be supported by development of jurisprudence as a legal basis. All efforts either arbitration or litigation initiatives have all helped Singapore to become a leading international arbitration centre in Asia. B. How Can the State Attorney of Indonesia Adopt the Approaches of the Attorney General’s Chamber of Singapore in Managing International Dispute Settlements? Actually in national level the performance of the State Attorney of Indonesia has a significant increase. It can be seen from the number of cases handled by this authority. A total of 3,319 cases were litigated on behalf of the central government of local governments in 2011, compared with 1,791 cases in 2010.67 So, the State Attorney of Indonesia is well recognised to represent the state, government institution at the central and district authorities, state owned enterprises, regional owned enterprises in domestic selection forum. However, being well recognised in international forum may need more efforts for the State Attorney of Indonesia. Based on the previous discussion, there are some important points that 65 Smith, above n 29, 109. 66 Steven Chong Sc, ‘Singapore’s Litigation Landscape: A Changing Constant’, Litigation Conference 2013, 1 February 2013, Address. 67 Public Prosecution Service of The Republic of Indonesia, ‘Annual Report’ (2011) 48.
can be highlighted in order to apply Attorney General’s Chamber of Singapore initiatives for improving the role of State Attorney of Indonesia in international arbitration and litigation. Those efforts should be selected and adjusted based on the actual working environment of State Attorney of Indonesia which mainly concern on human resources, facilities and budget. It also may be implemented as part of bureaucratic reform program of Public Prosecution Service of the Republic of Indonesia.68 The initiatives can be classified into two types: a. Short term planning: • In terms of legal basis, as a main priority, the Indonesian Public Prosecutor Service Law (2004) should be interpreted more widely particularly in Civil and Administrative matters by internal regulation which is the Regulation of Attorney General of the Republic of Indonesia Number: 040/A/JA/12/2010. Giving not only more specific but also expansive duties and powers in international dispute settlement representing the State and Government like Attorney General’s Chamber of Singapore did particularly for the IAD, it will great legal foundation to support the performance of State Attorney of Indonesia. • Improving synergic cooperation among divisions deals with international dispute settlements in Indonesian Public Prosecutor Service like Attorney General’s Chamber of Singapore that manages those issues in Civil Division and the IAD. It will be better if the duty and power of handling international dispute settlements do not impose only on Civil and Administrative Matter Division, because this issues may be more complicated involving trans border jurisdiction. b. Long term planning: Appealed to the Government for all matters relating to international dispute resolution by arbitration and litigation are handled 68 The bureaucratic reform program commenced in 2008 with four key components including accelerating and optimizing cases (general crimes and special crimes) and it was expanded to accelerating and optimizing the processing of cases involving Civil and Administrative Matters in 2010. See Public Prosecution Service of The Republic of Indonesia, above n 69, 21, 25 and 26.
Improving the Competences of State Attorney of Indonesia In International Dispute Settlements ..... - Satriyo Wibowo
217
exclusively by the State Attorney, so that the Government does not need to hire a private attorney. This exclusive duty and power will make the prestige of the State Attorney as the one and only the State and Government’s representative in international dispute settlement matters like the Attorney General’s Chamber of Singapore.
associated with law enforcement of corruption, this institution has power not only to prosecute but also to investigate. Being active to promote the corruption-free court by the Indonesian Public Prosecutor Service, it can be expected that the legal certainty will be achieved including international arbitral awards enforcement.
Besides internal institution initiatives through giving more duties and power for the State Attorney of Indonesia, the Attorney General of Indonesia may also do external institution initiative to attract international parties choosing Indonesia as forum for international dispute settlements which can be learnt from Singapore. The issue deals with the court character in Indonesia in order to settle international dispute.
Through internal and external institution initiatives by the Indonesian Public Prosecution Service for developing international dispute settlement matters, it can develop the competence of State Attorney of Indonesia in international arbitration and litigation forums. It can also encourage international party such us foreign investors to chose this country as forum selection to settle the dispute.
Mr. Chong argues that the Singapore Courts are supportive of the arbitration process with a history of minimal judicial intervention and an emphasis on party autonomy.69 The Courts have also consistently supported the finality of awards from arbitrations.70 Besides those factors, the other Singapore court character is corruptionfree court.71 In contrast, the recognition and enforcement of international arbitral award in Indonesia especially against a local debtor is likely to be extremely difficult, largely because of the weakness of the local court systems.72 Moreover, a significant problem with enforcement continues to be corruption which is still endemic within the Indonesian courts.73 Even though the Attorney General of Indonesia does not have absolute authority to encourage the growth of international dispute settlement in the country like the Attorney General of Singapore, the Attorney General of Indonesia has power to fight corruption against corrupt courts including enforcement of international arbitral award. This power is ruled in Article 30(1) Indonesian Public Prosecutor Service Law (2004). As mention previously, this article states that the Indonesian Public Prosecutor Service has power in criminal matters to investigate certain types of suspected crime as stipulated by law. The crime includes the corruption. Therefore, in Chong Sc, above n 3. Ibid 71 Greenberg, above n 11, 36. 72 Michael McIlwrath and John Savage, International Arbitration and Mediation A Practical Guide (Kluwer Law International, 2010) 363. 73 Adiyasa, above n 45, 836. 69 70
218
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
V. CONCLUSION There is a special characteristic can be notified about Attorney General Chamber’s of Singapore deals with international dispute settlement. Even though this country is relatively at ‘peace’ because not really involving in international dispute cases, the Attorney General’s Chamber can achieve the recognition of Singapore as the best place to resolve international dispute. By contrast, the State Attorney of Indonesia has more experience than the Government’s Lawyer of Singapore in term of representing the State or Government either as claimant in international arbitration or plaintiff in international litigation in order to claim or recover the State’s assets that had been stolen from corruption cases. The State Attorney of Indonesia also represents the State or Government as respondent in international arbitration to challenge the parties who tend to get unfair treatment by the Government. However, the role of Attorney General Office of Indonesia as the house of State Attorney is still less popular than the Attorney General’s Chamber of Singapore in term of promoting international dispute settlement. By integrating the Attorney General’s Chamber of Singapore’s initiatives and the international dispute settlement practices, it can make the State Attorney of Indonesia achieves an extensive acknowledgement in order to represent the State and Government’s interests or even they can become more qualified than the Government’s Lawyer of Singapore.
BIBLIOGRAPHY
A.
Articles/Books/Reports
Adiyasa, Narendra and Charles Ball, ‘Indonesia’ in Michael J. Moser and John Choong (eds) Asia Arbitration Handbook (Oxford University Press, 2011). Adolf, Huala, ‘Improving the Encorcement of International Arbitral Awards in ASEAN Countries’, Indonesia Arbitration – BANI Arbitration Center Quaterly Newsletter (2009). Allen and Overy, Middle Eastern Investment Treaties May Provide Unrealised Protections for Investors (30 October 2012) .
An Asia-Pacific Perspective (Cambridge University Press, 2011). Indonesia Investment Coordinating Board, ‘UNCITRAL Arbitration Case The Government of The Republic of Indonesia vs PT Newmont Nusa Tenggara Final Award’ . Kejaksaan Republik Indonesia, Duties and Powers (2009) . Kejaksaan Republik Indonesia, History Pre Reformation Era (2009) . Kejaksaan Republik Indonesia, Struktur Organisasi (2009) .
Attorney-General’s Chamber, Organisational Structure (1 February 2013) .
Law.Com, Arbitration Scorecard: Contracts (1 July 2009) .
Attorney-General’s Chamber, Overview of Civil Division (22 June 2012) .
Lawyer Monthly, Arbitration Tribunal Ruling Makes History (9 August 2012) .
Attorney-General’s Chamber, Overview of International Affairs (2 September 2012) . Attorney-General’s Chamber, Who We Are Overview (13 March 2013) . Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary (Thomson West, 8th ed. 2004). Blackford, Jason C, ‘An Introduction To International Arbitration’ [1997] 43[4] Practical Lawyer . Boo, Lawrence, ‘Arbitration’ (2009) 10 Singapore Academy of Law Annual Review of Singapore Cases 53. Born, Gary B., International Arbitration Case and Materials (Wolters Kluwer, 2011). Bühring-Uhle, Christian, Arbitration and Mediation in International Business (Kluwer Law International, 2nd ed, 2006). Chartered Institute of Arbitrators, Arbitration (28 March 2009) . Chartered Institute of Arbitrators, Litigation (28 March 2009) . Greenberg, Simon, Christopher Kee and J. Romesh Weeramantry, International Commercial Arbitration
McIlwrath, Michael and John Savage, International Arbitration and Mediation A Practical Guide (Kluwer Law International, 2010). McKutchen, Robert, ‘Jakarta Retaliates in Karaha Bodas Case’ (2004) 5 Energy Compass 1. Merrills, J.G., International Dispute Settlement (Cambridge University Press, 4th ed, 2005). Newmont, Press Release International Arbitration Decision Issued Regarding Divestiture of Batu Hijau in Indonesia, Contract of Work Remains in Effect (31 March 2009) . Park, William W., ‘When the Borrower and the Banker are at Odds: The interaction of Judge and Arbitrator in Trans-Border Finance’, [1991] 65 Tul. L. Rev. 1323, 1324-1325 in Christian Bühring-Uhle, Arbitration and Mediation in International Business (Kluwer Law International, 2nd ed, 2006). Permanent Court of Arbitration, Malaysia v. Singapore (2009) . Persatuan Jaksa Indonesia, Tentang Jaksa selaku Jaksa Pengacara Negara . Public Prosecution Service of The Republic of Indonesia, ‘Annual Report’ (2011). Sandrock,
Otto,
‘Internationale
Kredite
und
Improving the Competences of State Attorney of Indonesia In International Dispute Settlements ..... - Satriyo Wibowo
die
219
Internationale Schiedsgerichtsbarkeit’, [1994] WM Zeitschrift für Wirtschafts und Bankrecht 405, 447 in Christian Bühring-Uhle, Arbitration and Mediation in International Business (Kluwer Law International, 2nd ed, 2006).
The Jakarta Globe, New Criminal Cases Announced as Bank Century Comes to Life (8 June 2012) .
Sc, Steven Chong, ‘Singapore’s Litigation Landscape: A Changing Constant’, Litigation Conference 2013, 1 February 2013, Address.
The Jakarta Post, Tommy Soeharto Fails in Appeal Against Govt (25 August 2011) .
Sc, Steven Chong, ‘Welcome Ceremony’, Singapore International Arbitration Academy, Singapore, 26 November 2012, Address.
B.
Cases
Smith, Gordon and Andrew Cook, ‘International Commercial Arbitration in Asia-Pasific: A Comparison of the Australian and Singapore Systems’ (2011) 77(1) Chartered Institute of Arbitrator 108.
Garnet Invs. Ltd. v. BNP Paribas (Suisse) S.A. and the Government of the Republic of Indonesia
Sourdin, Tania, Alternative Dispute Resolution (Lawbook Co, 2nd ed, 2005).
Hesham T. M. Al Warraq v. Republic of Indonesia
Stolen Asset Recovery Initiatives, Tommy Suharto (also known as Hutomo Mandala Putra) (2013) . Tempo Co., Pemerintah Didesak Upaya Pembekuan Aset Tommy Soeharto (11 March 2011) . The Jakarta Post, Indonesia Wins Arbitration Verdict Against Newmont (1 April 2009) .
Government of The Republic of Indonesia v. PT. Newmont Nusa Tenggara Karaha Bodas Company v. Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Malaysia v. Singapore [2005] Rafat Ali Rizvi v. Republic of Indonesia (ICSID Case No. ARB/11/13) C.
Legislation
Constitution of the Republic of Singapore Indonesian Public Prosecutor Service Law (2004) The Regulation of the President of the Republic of Indonesia Number 38 Year 2010 concerning Public Prosecutor Service Organization The Regulation of Attorney General of the Republic of Indonesia Number: 040/A/JA/12/2010
220
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
Penelitian: PENGUKURAN KEPUASAN MASYARAKAT TERHADAP KINERJA KEJAKSAAN DALAM PENANGANAN PERKARA (Research Finding : Measuring Public Satisfaction Performance Against Attorney In Case Management) Sri Hastuti, Lasmaida Limbong Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI Jl.Sultan Hasanuddin No.1 Jakarta Selatan E-mail : [email protected] (Diterima tanggal 2 Juni 2016, direvisi tanggal 20 Juni 2016, disetujui tanggal 1 Juli 2016) Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Indeks Persepsi Kepuasan Masyarakat atas kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana, unsur kinerja yang mendapatkan nilai tertinggi dan terendah, serta untuk mengetahui pengaruh demografi terhadap kepuasan responden terhadap kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan tipe penelitian survei menggunakan metode kuantitatif, khususnya skala likert, yaitu dengan memberi skor pada tiap-tiap jawaban responden. Selanjutnya jawaban yang telah diberi skor diolah dengan menggunakan alat bantu Microsoft Exel dan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS). Data diperoleh dari 1400 (seribu empat ratus) responden, terdiri atas penyidik, hakim, pengacara, petugas LP/Rutan, saksi, korban, tahanan, narapidana dan masyarakat umum yang belum pernah berhubungan dengan kejaksaan, pada 6 (enam) wilayah hukum kejaksaan tinggi dan 30 (tiga puluh) wilayah hukum kejaksaan negeri. Hasil penelitian menunjukkan IPKM kejaksaan mendapatkan skor 74,50, masuk dalam kategori B (puas). Unsur kinerja yang mendapatkan nilai tertinggi ialah: Kemanfaatan penanganan perkara pidana; Kesopanan dan Keramahan SDM kejaksaan; dan Integritas SDM kejaksaan; sedangkan unsur kinerja yang mendapatkan nilai terendah ialah: Kemampuan SDM kejaksaan; alih pengetahuan; serta sarana dan prasarana kejaksaan. Sementara itu, demografi responden tidak berpengaruh secara signifikan pada tingkat kepuasan responden atas kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana. Untuk meningkatkan IPKM kejaksaan agar dapat mencapai mutu kepuasan A (sangat puas), maka tiap-tiap unsur-unsur kinerja terutama yang mendapatkan nilai terendah perlu ditingkatkan Kata Kunci : pengukuran, kepuasan masyarakat, penanganan perkara, pejaksaan. Abstract This study aims to determine Perceptions Index Public Satisfaction on the prosecutor’s performance in handling criminal cases, the elements of performance that gets the highest and lowest values, and to determine the influence of demographics on the respondents to the satisfaction of the prosecutor’s performance in handling criminal cases. This is a descriptive study with the type of survey research using quantitative methods, in particular Likert scale, namely by giving a score to each respondent’s answer. Furthermore, the answers that have been given a score processed by using the tools of Microsoft Exel and Statistical Package for the Social Sciences. Data obtained from 1400 (one thousand four hundred) respondents, consisting of investigators, judges, lawyers, correctional officer/detention, witnesses, victims, prisoners, inmates and the general public who have never met with the prosecutor, at 6 (six) jurisdictions state prosecutor and 30 (thirty) state prosecutor’s jurisdiction. The results showed Perceptions Index Public Satisfaction on prosecutor’s get a score of 74.50, included in category B (satisfied). The element of performance to get the highest score is: The usefulness of handling criminal cases; Courtesy and hospitality HR prosecutor; and Integrity HR prosecutor; while elements of the performance of the lowest scoring is: The ability of HR prosecutor; knowledge transfer; and facilities prosecutor. Meanwhile, the demographics of the respondents no significant effect on the level of satisfaction of respondents on the performance of the prosecutor’s office in the handling of criminal cases. To improve IPKM prosecutor in order to achieve a quality satisfaction (very satisfied), then each of the elements of performance primarily to get the lowest score should be increased and improved. In addition, prosecutors also need to improve the dissemination of its performance to the public, so that public perception has not been in contact with the prosecutor may be better again, so as to increase the satisfaction of the prosecutor. Keywords : measurement, statisfaction of the people, handling cases. the prosecutor
Pengukuran Kepuasan Masyarakat Terhadap Kinerja Kejaksaan Dalam Penanganan Perkara... - Sri Hastuti, Lasmaida Limbong
221
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Reformasi birokrasi menjadi bagian penting dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang titik tekannya ialah upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, serta pemberantasan korupsi yang terarah, sistematis, dan terpadu. Good governance sering dianggap sebagai indikator terealisasikannya reformasi dengan terpenuhinya prinsip-prinsip partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparansi, kepedulian kepada stakeholders, berorientasi pada konsensus, kesetaraan, efektivitas dan efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis. Reformasi pelayanan publik menjadi titik strategis untuk memulai pengembangan good governance karena: pertama, pelayanan publik menjadi ranah interaksi antara negara yang diwakili pemerintah dengan lembaga-lembaga non-pemerintah (masyarakat sipil dan mekanisme pasar); dan kedua, berbagai aspek good governance dapat diartikulasikan secara lebih mudah pada ranah pelayanan publik, sekaligus lebih mudah dinilai kinerjanya. Reformasi Birokrasi Kejaksaan pada hakekatnya bukan suatu hal yang baru sama sekali. Jauh sebelum ada panduan Reformasi Birokrasi dirampungkan, Kejaksaan telah mencanangkan Agenda Pembaruan pada hari Bhakti Adhyaksa 22 Juli 2005. Hasil dari Program Pembaruan, pada tanggal 12 Juli 2007 telah ditandatangani 6 (enam) Peraturan Jaksa Agung RI yang mencakup pembaruan di bidang Rekrutmen, Pendidikan dan Pelatihan, Standar Minimum Profesi Jaksa, Pembinaan Karir, Kode Perilaku Jaksa serta pembaruan di bidang Pengawasan. Bila dilihat dari panduan Reformasi Birokrasi yang dikeluarkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (KEMENPAN), keenam program pembaruan ini merupakan modal yang sangat besar bagi kejaksaan untuk melaksanakan Reformasi Birokrasi yang pada hakekatnya merupakan reformasi yang sifatnya lebih menyeluruh dan menyentuh seluruh aspek organisasi.1 Salah satu tujuan reformasi birokrasi adalah memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, khususnya di bidang penegakan hukum, secara 1 http://www.kejaksaan.go.id/reformasi_birokrasi.php?section=7, diakses tanggal 7 April 2015.
222
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
tepat dan berkelanjutan. Melalui program Reformasi Birokrasi, secara gradual tetapi pasti diharapkan dapat memulihkan persepsi negatif terhadap lembaga kejaksaan menjadi persepsi positif antara lain dengan meningkatkan kinerja agar mampu menjamin terwujudnya keadilan dan kepastian hukum sesuai harapan masyarakat sehingga pelayanan hukum kepada masyarakat dapat terlaksana dengan baik, bahkan semakin membaik. 2 Mengacu kepada poin ketiga tujuan umum Reformasi Birokrasi Kejaksaan, yakni kemampuan memberikan pelayanan prima yaitu kepuasan yang dirasakan oleh publik sebagai dampak positif dari hasil kerja birokrasi Kejaksaan yang profesional, serta point keempat tujuan khusus Reformasi Birokrasi Kejaksaan yakni “birokrasi yang melayani masyarakat” yaitu birokrasi Kejaksaan yang tidak minta dilayani masyarakat tetapi birokrasi yang memberikan pelayanan prima kepada publik, diharapkan kepercayaan masyarakat kepada Kejaksaan dapat pulih.3 Program Reformasi Birokrasi Kejaksaan, secara resmi diluncurkan pada tanggal 18 September 2008 dengan berpedoman pada pada aturan yang dikeluarkan oleh KEMENPAN. Sebagai persiapan pelaksanaan Reformasi Birokrasi, pada bulan Juni 2008 Jaksa Agung telah melaporkan kepada Presiden RI tentang rencana launching Reformasi Birokrasi Kejaksaan RI. Kemudian pada bulan Agustus 2009 Jaksa Agung membentuk Tim Pengarah Reformasi Birokrasi Kejaksaan RI, dan menetapkan Wakil Jaksa Agung sebagai Ketua Tim Pengarah Reformasi Birokrasi Kejaksaan.4 Fungsi Tim Pengarah ialah melakukan evaluasi tingkat efisiensi, efektivitas dan produktivitas seluruh unit kerja Kejaksaan; Reformulasi/redefinisi visi, misi, tugas, fungsi dan wewenang Kejaksaan agar lebih jelas dan terukur; penyusunan strategic mapping sesuai dengan visi dan misi yang baru; Penataan organisasi dan tata kerja yang lebih menekankan pada terbentuknya jabatan-jabatan profesi/ fungsional sesuai dengan strategi yang telah ditetapkan; Penetapan uraian jabatan, klasifikasi jabatan dan standar kompetensi jabatan serta bobot jabtan yang dikaitkan dengan perbaikan 2 Tim Reformasi Birokrasi, Reformasi Birokrasi Kejaksaan, Jakarta : Kejaksaan RI, 2008, hal. 11. 3 Ibid, hal. 12. 4 http://www.kejaksaan.go.id, loc. cit,
system remunerasi dan penggajian; Perumusan tata laksana (sistem, prosedur dan mekanisme kerja) dengan mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi; Monitoring dan evaluasi setiap semester perkembangan pelaksanaan reformasi birokrasi Kejaksaan RI; Penetapan Indikator Kinerja Utama Kejaksaan RI.5 Sejalan dengan fungsi tim pengarah dalam melakukan evaluasi tingkat efisiensi, efektivitas dan produktivitas seluruh unit kerja Kejaksaan RI, perlu diadakan penilaian dengan cara mengukur tingkat keberhasilan Reformasi Birokrasi. Penilaian tersebut dilakukan dengan menyusun Indek Persepsi Kepuasan Masyarakat (IPKM) sebagai tolok ukur dalam menilai tingkat kualitas pelayanan. Sejauhmana program reformasi birokrasi, dapat meningkatkan kinerja kejaksaan khususnya dalam penanganan perkara dan dapat meningkatkan kepuasan masyarakat. Pelibatan masyarakat dalam menilai kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara melalui suatu survei pada hakekatnya juga sejalan dengan prinsip good governance yang salah satu elemennya ialah adanya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaran birokrasi. Data IPKM akan menjadi bahan penilaian dan tolok ukur peningkatan kualitas pelayanan publik. Survei pengukuran kepuasan masyarakat melalui penyusunan IPKM dilakukan secara berkala dalam kurun waktu setahun sekali. Survei pengukuran kepuasan masyarakat terhadap kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara sangat dibutuhkan untuk mengetahui tingkat keberhasilan program reformasi birokrasi kejaksaan terutama yang terkait dengan penanganan perkara atau kinerja kejaksaan dalam bidang. Selain itu, survei ini juga dilakukan dalam rangka melaksanakan Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2015 yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).6
5 Keputusan Jaksa Agung Nomor: KEP- 034/A/JA/04/2009 tentang Revisi Keanggotaan Tim Pengarah Reformasi Birokrasi Kejaksaan RI. 6 Nota Dinas Kepala Biro Perencanaan Kepada Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung Nomor: B-089/C.2/ Cr.4/02/2015 tanggal 9 Febrari 2015 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK) Tahun 2015.
B. Permasalahan 1. Bagaimanakah Indeks Persepsi Kepuasan Masyarakat terhadap kinerja Kejaksaan dalam penanganan perkara pidana? 2. Unsur-unsur kinerja dalam penaganan perkara pidana manakah yang mendapatkan nilai rata-rata tertinggi dan nilai rata-rata terendah ? 3. Sejauhmana demografi responden berpengaruh pada persepsinya atas kepuasan terhadap kinerja kejaksaan dalam bidang penanganan perkara pidana ? C. Metodologi 1. Sifat dan Tipe Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dengan tipe penelitian survei. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat, sifat-sifat suatu individu, kondisi kelompok tertentu untuk menentukan penyebaran dari suatu gejala, untuk menentukan ada dan tidaknya hubungan antar satu gejala dengan gejala lain di dalam masyarakat. Sementara survei ialah tipe penelitian yang menggunakan kuesioner sebagai instrumen utama pengumpulan data. 2. Jenis data, sumber data, dan teknik pengumpulan data a. Jenis data Data dalam penelitian ini terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer digunakan sebagai data utama untuk mengukur tingkat persepsi kepuasan masyarakat terhadap kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana. b. Sumber data Data primer berasal langsung dari responden (stakeholder kejaksaan), melalui penelitian lapangan (field research). Sementara data sekunder tidak diperoleh secara langsung dari responden tetapi diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) terhadap peraturan perundang-undangan, bukubuku dan literatur lain yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi serta kinerja Kejaksaan.
Pengukuran Kepuasan Masyarakat Terhadap Kinerja Kejaksaan Dalam Penanganan Perkara... - Sri Hastuti, Lasmaida Limbong
223
c. Teknik pengumpulan data Data primer diperoleh melalui wawancara tatap muka menggunakan kuisioner dan menyebarkan kuisioner kepada responden yang telah ditentukan. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran atas peraturan perundang-undangan dan dokumen lainnya yang terkait dengan topik penelitian. 3. Tata Cara Pengambilan Sampel Sampel penelitian diambil dengan teknik non probability sampling jenis cluster sampling, yaitu pengambilan sampel dilakukan berdasarkan kelompok responden berdasarkan penilaian subyektif dari peneliti karena dianggap dapat mewakili tiap-tiap sub populasi. Mengingat populasi dalam penelitian ini tidak dapat diketahui secara pasti, maka penentuan sampelnya dilakukan dengan cara sebagai berikut: N = 30 X Blok 6 Dimensi + 30% (Kesalahan Data) 30 30 30 30 30 30
30 30 30 30 30 30
30 30 30 30 30 30
30 30 30 30 30 30
30 30 30 30 30 30
30 30 30 30 30 30
30 x 36 = 1080 [ 1080 x 30%=324 [ 1080 + 324 = 1402
Berdasarkan rumus di atas, maka responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini sebanyak 1402 yang dibulatkan menjadi 1400 responden. 4. Lokasi dan Responden Penelitian a. Lokasi Penelitian Lokasi pengambilan sampel meliputi 6 (enam) wilayah hukum kejaksaan tinggi (Kejati) dan 30 (tiga puluh) kejaksaan negeri (Kejari). Ke-6 Kejati itu meliputi: 1. Kejati Aceh, 2. Kejati Jambi, 3. Kejati Yogyakarta, 4. Kejati Kalimantan Barat, 5. Kejati Sulawesi Utara, dan 6. Kejati Nusa Tenggara Timur. Adapun ke-33 Kejarinya ialah: 1. Kejari Banda Aceh, 2. Kejari Jantho, 3. Kejari Sigli, 4. Kejari Lhokseumawe, 5. Kejari Lhoksukon, 6. Kejari Jambi, 7. Kejari Sengeti, 8. Kejari 224
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
Kuala Tungkal, 9. Kejari Muara Sabak, 10. Kejari Muara Bulian, 11. Kejari Muara Tebo, 12. Kejari Yogyakarta, 13. Kejari Sleman, 14. Kejari Wonosari, 15. Kejari Wates, 16. Kejari Bantul, 17. Kejari Pontianak, 18. Kejari Mempawah, 19. Kejari Singkawang, 20. Kejari Sambas, 21. Kejari Bengkayang, 22. Kejari Manado, 23. Kejari Tomohon, 24. Kejari Tondano, 25. Kejari Air Madidi, 26. Kejari Bitung, 27. Kejari Kupang, 28. Kejari Soe, 29. Kejari Kefamenanu, dan 30. Kejari Oelamasi. b. Responden Responden dalam penelitian terdiri atas tiga kelompok responden, yaitu sebagai berikut: 1) Kelompok responden mitra kerja kejaksaan (Penyidik, Hakim, Pengacara, dan Petugas LP/Rutan); 2) Kelompok responden masyarakat yang pernah berhubungan dengan kejaksaan dalam penanganan perkara pidana (Saksi, Korban, Tahanan , dan Narapidan). 3) Kelompok responden masyarakat yang belum pernah berhubungan dengan kejaksaan dalam penanganan perkara pidana (Anggota DPRD, LSM, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda, RT/RW, Guru/ Dosen, Pegawai Pemda, Pegawai BUMN, Pedagang, dan seterusnya). 5. Analisis Data Metode yang digunakan dalam melakukan analisia data ialah metode kuantitaif, khususnya skala likert, yaitu dengan memberi skor pada tiap-tiap jawaban responden. Selanjutnya jawaban yang telah diberi skor diolah dengan menggunakan alat bantu Microsoft Exel dan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS). SPSS digunakan untuk mengolah dan menganalisa data responden berdasarkan jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pernah tidaknya responden berhubungan dengan kejaksaan. Sementara itu Microsoft Exel digunakan untuk memformulasikan jawaban responden dalam bentuk Indeks Persepsi Kepuasan Masyarakat (IPKM).
II. PEMBAHASAN
karakter orang yang memberikan respon terhadap stimulus tersebut.
A. Tinjauan Pustaka 1. Persepsi Masyarakat Organisasi
dan
Kinerja
Persepsi berasal dari kata perception yang berarti kesadaran, pengaturan data panca indera ke dalam pola-pola masyarakat.7 Menurut Gibson, et. all. Persepsi merupakan proses dari seseorang dalam memahami lingkungannya yang melibatkan pengorganisasian dan penafsiran sebagai rangsangan dalam suatu pengalaman psikologis.8 Timbulnya persepsi didahului oleh perbuatan melihat, mendengar, membau, merasakan dan menyentuh atau dengan kata lain didahului oleh proses penginderaan. Informasi yang diperoleh dari proses penginderaan, kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan sebelum dapat dimengerti, dan proses ini dinamakan persepsi (perception).9 Persepsi pada hakikatnya merupakan proses kognitif yang dialami seseorang dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, maupun penciuman.10 Setiap orang bisa jadi memiliki persepsi yang berbeda atas suatu hal yang sama karena setiap orang memiliki pengalaman penginderaan dan bentuk pemikiran yang beragam, sehingga memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap suatu masalah. Krech dan Crutchfield mengkategorikan 4 faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu: 11 a. Faktor fungsional, yaitu faktor yang dihasilkan dari kebutuhan, kegembiraan (suasana hati), pelayanan yang diterima, dan pengalaman masa lalu seorang. Faktor ini cenderung bersifat subjektif dan tidak ditentukan oleh jenis atau bentuk stimulus, tetapi bergantung pada 7 Philip L. Hariman, Istilah Psikologi, Jakarta : Restu Agung, 1995, hal. 182. 8 Gibson, et. all, Organisasi, Perilaku,Struktur dan Proses, (Editor:Djarkasih), Jakarta : Erlangga, 1990, hal. 241. 9 Malcon Hardy dan Steve Heyes, Pengantar Psikologi, Jakarta: Erlangga, 1988, hal. 83. 10 M. Thoha, Perilaku Organisasi : Konsep Dasar dan Aplikasinya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, hal. 123. 11 Syifa Fauziah, Gambaran Persepsi Masyarakat Tentang Peran Perawat Puskesmas di Kelurahan Bintara Kota Bekasi Tahun 2012, Skripsi, Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Keperawatan, Depok, 2012, hal.17-18.
b. Faktor stimuli, yaitu faktor-faktor yang dihasilkan dari bentuk stimuli dan efek-efek netral yang ditimbulkan dari sistem syarat individu. Faktor ini lebih biologis tubuh. Menurut Gestalt, bila mempersepsi sesuatu manusia cenderung mempersepsikan sebagai suatu keseluruhan. Meskipun stimulus yang diterima tidak lengkap, penginterpretasinya tetap secara konsisten dengan rangkaian stimulus yang dipersepsi. c. Faktor situasional, yaitu faktor yang banyak berkaitan dengan bahasa nonverbal. Petunjuk proksemik, petunjuk kinesik, petunjuk wajah, petunjuk paralinguistik adalah beberapa dari faktor situasional yang mempengaruhi persepsi. d. Faktor personal, yaitu faktor-faktor yang berasal dari pengalaman, sosial budaya, harapan, motivasi, dan kepribadian individu. Sementara itu, pengertian masyarakat dapat dilihat dari pendapat yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Koentjaraningrat, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat continue yang terkait oleh suatu rasa identitas bersama.12 Soerjono Soekanto mengemukakan masyarakat adalah warga sebuah desa, kota, suku atau bangsa yang merupakan anggota suatu kelompok, baik kelompok itu besar maupun kecil yang hidup bersama dan dapat memenuhi kepentingan-kepentingan kehidupan yang utama.13 Selanjutnya Edi Suharto menyatakan masyarakat adalah sekelompok orang yang memiliki perasaan yang sama atau menyatu satu sama lain karena mereka berbagi identitas, kepentingankepentingan yang sama, perasaan memiliki yang sama, dan biasanya satu tempat yang sama.14 12 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT. Gramedia, 1987, hal. 115. 13 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 1990, hal. 162. 14 Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, Bandung: PT. Refika Aditama, 2005, hal. 47.
Pengukuran Kepuasan Masyarakat Terhadap Kinerja Kejaksaan Dalam Penanganan Perkara... - Sri Hastuti, Lasmaida Limbong
225
Merujuk pada berbagai pengertian di atas, dapat dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan persepsi masyarakat ialah proses aktif dari tiap-tiap individu dalam menganggap, mengorganisasi, dan berupaya menginterpretasikan suatu objek atau peristiwa itu, melalui proses kognisi dan afeksi untuk membentuk informasi atas objek atau peristiwa tersebut, yang kemudian dikumpulkan menjadi satu sehingga menjadi persepsi masyarakat. Persepsi masyarakat, bisa ditujukan untuk berbagai bidang kehidupan, baik itu bidang sosial, ekonomi, politik, pendidikan, agama, dan sebagainya termasuk di bidang hukum. Selanjutnya mengenai kinerja organisasi. Secara umum kinerja organisasi dapat diartikan sebagai gambaran tingkat pencapaian pelaksanaan kegiatan/program/ kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam perencanaan strategis suatu organisasi .15 Menurut Hodge et. all, kinerja organisasi mencakup how well the organization is doing, bagaimana suatu organisasi mencapai tujuannya dan tingkat kepuasan dari para pelanggan/pengguna jasa pelayanannya.16 Kinerja organisasi terkait dengan imputs, outputs dan outcomes. Inputs merupakan sumber yang dipakai untuk menghasilkan pelayanan termasuk manusia, fasilitas atau sumber material seperti jumlah ton material atau uang yang digunakan untuk menghasilkan. Outputs merujuk pada aktivitas yang dihasilkan baik yang menyangkut mutu maupun jumlah, sedangkan outcomes berujuk pada hasil atau keuntungan yang didapat oleh pengguna/ pelanggan.17 Sementara Harry menyatakan kinerja organisasi terkait dengan masukan (imput), proses (process), keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampaknya (impact).18 Putu Wirasata, Analisis Pengukuran Kinerja RSUD TG. Uban Provinsi Kepulauan Riau Dengan Metode Balanced Scorecard, Tesis pada Program Megister Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Depok, 2010, hal. 16. 16 Feby Riska Aulia, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Balai Besar Kesehatan Dan Keselamatan Kerja Makassar, Skripsi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Makasar, 2012, hal. 23. 17 Azhari Aziz S, Kinerja Organisasi Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Dengan Systems Thinking Dan System Dynamics, Disertai pada Program Studi Ilmu Administrasi Program Pascasarjana FISIP Universitas Indonesia, Depok, 2008, hal. 18. 18 Ibid.
Untuk mengetahui pencapaian kinerja organisasi, dilakukan melalui pengukuran kinerja organisasi. Pengukuran kinerja merupakan suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan, termasuk informasi atas efesiensi, penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa, perbandingan hasil kegiatan dengan target, dan efektifitas tindakan dalam mencapai tujuan.19 Pada awalnya, pengukuran kinerja difokuskan pada pengukuran efisien terkait inputs, outputs dan outcomes. Namun kemudian dikembangkan lebih jauh, bukan hanya dari ketiga aspek tersebut, tetapi juga sampai pada benefits dan impact dari kegiatan organisasi publik. Adapun salah satu cara untuk mengukur kinerja organisasi ialah dengan melihat persepsi masyarakat terhadap kinerja organisasi, yang biasanya dilakukan melalui sebuah survei diharapkan dapat menunjukkan kelemahan dan kekurangan organisasi sebagai landasan dalam melakukan perbaikan. 2. Peran Kejaksaan Hukum
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
Penegakan
Untuk mewujudkan suatu negara hukum, tidak saja diperlukan norma-norma hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai substansi hukum, tetapi juga diperlukan lembaga atau badan penggeraknya sebagai struktur hukum dengan didukung oleh perilaku hukum seluruh komponen masyarakat sebagai budaya hukum. Ketiga elemen ini disebut sebagai sub-sub sistem dari susunan sistem hukum. Kejaksaan sebagai salah satu institusi penegak hukum merupakan komponen dari salah satu elemen sistem hukum dimaksud, dan secara universal diberikan kewenangan melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Sebagai salah satu elemen sistem hukum, kejaksaan mempunyai posisi sentral dan peranan yang strategis di dalam suatu negara hukum. Posisi sentral dan peranan yang strategis ini karena berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan, di samping sebagai pelaksana penetapan
15
226
dalam
19
Putu Wirasata, loc. cit.
dan keputusan pengadilan. Oleh karena eksistensinya yang sangat strategis dalam upaya penegakan hukum, maka kejaksaan diharapkan untuk selalu meningkatkan kinerjanya secara profesional, berintegritas, transparan dan akuntabel.20 Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI telah memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan sebagai lembaga negara/ pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya, dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Selain sebagai Badan Penuntut Umum, kejaksaan juga diberi kewenangan lain berdasarkan undang-undang, baik dalam perkara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2004 maupun dalam perkara perdata dan Tata Usaha Negara (DATUN). Dalam perkara DATUN, Jaksa diberi kewenangan sebagai Pengacara Negara untuk mewakili pemerintah meliputi: penegakan hukum, bantuan hukum, pertimbangan hukum, dan tindakan hukum lain kepada negara atau pemerintah, meliputi Lembaga/Badan Negara, Lembaga/Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah, Badan Usaha Milik Negara/ Daerah, untuk menyelamatkan, memulihkan kekayaan negara dan memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat. Selain memiliki peran dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara, kejaksaan juga turut serta menyelenggarakan kegiatan dalam rangka mewujudkan ketertiban dan ketentraman umum yaitu peningkatan kesadaran hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum, pengamanan peredaran barang cetakan, pengawasan aliran kepercayaan, pencegahan 20 Marwan Effendy, Kejaksaan dan Penegakan Hukum, Jakarta: Timpani Publishing, 2010, hal. 28.
penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya (Pasal 33 UU No. 16 Tahun 2004). Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya. Di samping tugas dan fungsi kejaksaan di atas, Jaksa Agung memiliki tugas dan fungsi sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU No. 16 Tahun 2004, yaitu : serta mengendalikan 1. Menetapkan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan; proses penegakan 2. Mengefektifkan hukum yang diberikan oleh undangundang; perkara demi 3. Mengesampingkan kepentingan umum; 4. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung (MA) dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana; 5. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada MA dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana; 6. Mencegah dan menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia karana keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terkait dengan posisi dan fungsi kejaksaan sebagaimana telah diuraikan di atas yang berlandaskan atas ketentuan perundang-undangan yang berlaku, maka dapat terlihat bahwa visi kejaksaan dalam penegakan hukum bersifat independen dengan kedudukan sentralnya sehingga supremasi hukum dan penghormatan hak asasi manusia dapat terwujud. Kejaksaan merupakan bagian integral dari sistem hukum Indonesia, kedudukannya sangat strategis dan sentral dalam penegakan hukum karena: pertama, menyandang azas dominus
Pengukuran Kepuasan Masyarakat Terhadap Kinerja Kejaksaan Dalam Penanganan Perkara... - Sri Hastuti, Lasmaida Limbong
227
litis sebagai procureur die de procesvoering vaststelt, pengendali proses perkara yang menentukan seseorang dapat tidaknya dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke pengadilan, berdasarkan alat bukti yang sah menurut undang-undang; kedua, sebagai executive ambteenar, sebagai institusi yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melaksanakan putusan dan penetapan pengadilan dalam perkara pidana; ketiga, sebagai penyandang azas opportunitas, karena oleh undang-undang hanya Jaksa Agung yang diberikan kewenangan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum; dan keempat, sebagai pengacara negara dengan kuasa khusus.21 Peran kejaksaan dalam penanganan perkara pidana, selain sebagai Penuntut Umum juga diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap perkara-perkara tertentu antara lain penyidikan terhadap tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM, yang kemudian dikukuhkan kewenangan penyidikan tersebut dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 jis. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. 3. Indeks Persepsi Kepuasan Masyarakat Terhadap Kinerja Kejaksan Dalam Penanganan Perkara Pidana dan Tata Cara Penyusunannya Pada bab terdahulu telah dikemukakan bahwa persepsi masyarakat merupakan pandangan atau penilaian masyarakat terhadap suatu obyek atau peristiwa. Adapun Indeks Persepsi Kepuasan Masyarakat (IPKM) adalah data dan informasi tentang tingkat persepsi masyarakat atas kepuasannya terhadap suatu hal, yang diperoleh dari hasil pengukuran secara kuantitatif dan kualitatif atas pendapat masyarakat yang dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif terhadap suatu obyek atau peristiwa, misalnya saja terhadap kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana. Penyusunan IPKM atas kinerja kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana 21
228
Ibid, hal. 18.
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
dilakukan untuk mengetahui tingkat persepsi masyarakat atas kepuasannya terhadap kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana. Hasil dari penyusunan IPKM tersebut dapat digunakan untuk mengetahui gambaran mengenai kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana. Selain itu, dengan tersedianya data tentang IPKM atas kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana, dapat diperoleh manfaat, antara lain sebagai berikut: 1. Mengetahui kelemahan atau kekurangan dari masing-masing unsur pelaksanaan tugas dan fungsi kejaksaan dalam penanganan perkara pidana. 2. Mengetahui kinerja kejaksaan dalam menjalankan tugas dan fungsinya di bidang pidana secara periodik. 3. Sebagai bahan penetapan kebijakan dan upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kenerja kejaksaan dalam penanganan penanganan perkara pidana. 4. Bagi masyarakat dapat diketahui gambaran tentang kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana. Dalam rangka menyusun IPKM atas kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana, dilakukanlah survei dengan menanyakan unsur-unsur kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana. Penyusunan unsur-unsur kinerja tersebut merujuk pada unsur-unsur yang ada dalam Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) sebagaimana diatur Keputusan MENPAN dan RB Nomor: KEP/25/M.PAN/2/2004, dan unsur-unsur survei eksternal dalam rangka Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi yang diatur dalam Peraturan MENPAN dan RB Nomor: 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi. Adapun unsur-unsur kinerja yang dilakukan penilaian ialah: 1. Kemampuan SDM Kejaksaan, yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan yang dimiliki jaksa dan staf kejaksaan dalam menangani perkara pidana. 2. Kedisiplinan dan Tanggung Jawab, yaitu kesungguhan SDM kejaksaan terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku serta kejelasan wewenang
dan tanggung jawab dalam penanganan perkar pidana. 3. Kesopanan dan Keramahan, yaitu sikap dan perilaku SDM kejaksaan dalam menangani perkara pidana secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati. 4. Integritas, yaitu kejujuran dan ketaatan SDM kejaksaan pada aturan perundangundangan, moralitas dan hati nurani dalam pelaksanaan tugas penanganan perkara. 5. Sarana dan Prasarana, yaitu ketersediaan sarana dan prasarana pelaksanaan tugas dan fungsi yang bersih, rapi, dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan, serta ketersediaan alat/kelengkapan yang dipergunakan untuk menangani perkara pidana. 6. Kesesuaian dengan Green-office, yaitu aktivitas yang dilakukan SDM kejaksaan dalam menjalankan tugas dan fungsinya senantiasa menjaga ketersediaan sumber daya dan fasilitas, seperti kantor ramah lingkungan dengan penghematan penggunaan listrik, air, pembatasan penggunaan kertas, dan lain-lain. 7. Prosedur Penanganan Perkara, yaitu kemudahan tahapan penanganan perkara pidana oleh kejaksaan dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan. 8. Kecepatan Penanganan Perkara, yaitu target waktu penanganan perkara pidana dapat diselesaikan sesuai asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. 9. Kesesuaian dengan Good Governance, yaitu pelaksanaan tugas dan fungsi kejaksaan dalam menangani perkara pidana dikaitkan dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan partisipatif). 10. Tingkat Keberhasilan, yaitu keberhasilan pelaksanaan tugas dan fungsi kejaksaan dalam menangani perkara pidana. 11. Kemanfaatan, yaitu manfaat yang ditimbulkan dari penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh kejaksaan bagi masyarakat. 12. Dampak Sosial Ekonomi, yaitu dampak
yang ditimbulkan dari pelaksanaan tugas dan fungsi kejaksaan di bidang pidana bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. 13. Alih Pengetahuan, yaitu adanya transfer pengetahuan dari kejaksaan kepada para stakeholders terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi kejaksaan di bidang pidana. 14. Keadilan dan Kepstian hukum, keadilan dan kepastian hukum yang ditimbulkan dari pelaksanaan tugas dan fungsi kejaksaan dalam menangani perkara pidana. Selanjutnya penilaian terhadap tiap-tiap unsur kinerja di atas, diberi kategori mulai dari yang tidak baik sampai dengan sangat baik. Untuk kategori tidak baik diberi nilai persepsi 1, kurang baik diberi nilai persepsi 2, baik diberi nilai persepsi 3, dan sangat baik diberi nilai persepsi 4. Misalnya, penilaian terhadap unsur “kemampuan SDM kejaksaan”: 1. Diberi nilai 1 (tidak mampu) apabila jaksa dan staf kejaksaan tidak memiliki keahlian dan ketrampilan dalam menangani perkara pidana. 2. Diberi nilai 2 (kurang mampu) apabila jaksa dan staf kejaksaan kurang memiliki keahlian dan ketrampilan dalam menangani perkara pidana. 3. Diberi nilai 3 (mampu) apabila jaksa dan staf kejaksaan memiliki keahlian dan ketrampilan dalam menangani perkara pidana. 4. Diberi nilai 4 (sangat mampu) apabila jaksa dan staf kejaksaan memiliki keahlian dan ketrampilan sangat baik dalam menangani perkara pidana. IPKM dihitung dengan menggunakan “nilai rata-rata tertimbang” tiap-tiap unsur kinerja. Dalam penghitungan IPKM terhadap 14 unsur kinerja yang dikaji, setiap unsur kinerja memiliki penimbang yang sama dengan rumus:
Sementara itu, untuk memperoleh nilai IPKM unit kinerja digunakan pendekatan
Pengukuran Kepuasan Masyarakat Terhadap Kinerja Kejaksaan Dalam Penanganan Perkara... - Sri Hastuti, Lasmaida Limbong
229
nilai rata-rata tertimbang dengan rumus sebagai berikut: Total dari Nilai Persepsi Per-unsur Nilai IPKM = X Total Unsur Yang Terisi Penimbang Selanjutnya, untuk memudahkan interpretasi terhadap penilaian IPKM yaitu antara 25 – 100, maka hasil penilaian tersebut di atas dikonversikan dengan nilai dasar 25, dengan rumus sebagai berikut:
IPKM KEJAKSAAN x 25 Penyusunan IPKM sesuai rumusan di atas dapat dilakukan dengan menggunakan program komputer Microsoft Exel dan dapat dilakukan secara manual. Selanjutnya untuk mengetahui kategori tingkat kualitas persepsi masyarakat dapat lihat dalam tabel berikut ini Tabel 1:
Kejari Mempawah, 19. Kejari Singkawang, 20. Kejari Sambas, 21. Kejari Bengkayang, 22. Kejari Manado, 23. Kejari Tomohon, 24. Kejari Tondano, 25. Kejari Air Madidi, 26. Kejari Bitung, 27. Kejari Kupang, 28. Kejari Soe, 29. Kejari Kefamenanu, dan 30. Kejari Oelamasi. Jumlah responden sebanyak 1400 (seribu empat ratus) orang, dengan rincian sebagai berikut: a. Responden berdasarkan jenis kelamin terdiri atas laki-laki: 960 (68.5%) responden; Perempuan: 337 (24.1%) responden; Tidak Menyebutkan Jenis Kelamin: 103 (7.4%) responden Gambar 1: Jenis Kelamin Responden
Tidak Menyebutkan Jenis Kelamin (7.4%)
Perempuan (24.1%)
Nilai Persepsi, Interval IPKM, Interval Konversi IPKM, Mutu Pelayanan dan Kinerja Unit Pelayanan
Laki-laki (68.6%)
NILAI NILAI INTER- NILAI INTERVAL MUTU PERSEPSI ATAS KIPERSEPSI VAL IPKM KONVERSI IPKM PERSEPSI NERJA KEJAKSAAN 1
1,00 – 1,75
25 – 43,75
D
TIDAK PUAS
2
1,76 – 2,50
43,76 – 62,50
C
KURANG PUAS
3
2,51 – 3,25
62,51 – 81,25
B
PUAS
4
3,26 – 4,00 81,26 – 100,00
A
SANGAT PUAS
B. Hasil Penelitian 1. Demografi Responden Pengambilan sampel penelitian dilakukan pada 6 (enam) wilayah hukum kejaksaan tinggi (Kejati) dan 30 (tiga puluh) kejaksaan negeri (Kejari). Ke-6 Kejati itu meliputi: 1. Kejati Aceh, 2. Kejati Jambi, 3. Kejati Yogyakarta, 4. Kejati Kalimantan Barat, 5. Kejati Sulawesi Utara, dan 6. Kejati Nusa Tenggara Timur. Adapun ke33 Kejarinya ialah: 1. Kejari Banda Aceh, 2. Kejari Jantho, 3. Kejari Sigli, 4. Kejari Lhokseumawe, 5. Kejari Lhoksukon, 6. Kejari Jambi, 7. Kejari Sengeti, 8. Kejari Kuala Tungkal, 9. Kejari Muara Sabak, 10. Kejari Muara Bulian, 11. Kejari Muara Tebo, 12. Kejari Yogyakarta, 13. Kejari Sleman, 14. Kejari Wonosari, 15. Kejari Wates, 16. Kejari Bantul, 17. Kejari Pontianak, 18.
b. Responden berdasarkan usia terdiri atas: 20 Tahun Ke Usia 20 61tahun (3.3%) Tidak Tahun Ke ke bawah: 46 Bawah Menyebut Atas (1.1%) 51-60 Tahun responden; Usia 21Tidaks/d 30 tahun : 402 (3.3%) Usia (3.4%) (7.0%) Menyebutkan (28.7%) responden; Usia 31 s/d 40 tahun Jenis Kelamin Perempuan (7.4%) 21-30 Tahun 41-50 Tahun (24.1%) : 474 Usia 41 s/d (22.6%),(33.9%) responden;(28.7%) 50 tahun : 317 (22.6%) responden; Usia Laki-laki (68.6%) 51 s/d 60 tahun: 98 (7.0%) responden; 31-40 Tahun (33.9%) Usia 61 tahun ke atas : 16 (1.1%) responden; Tidak Menyebutkan Usia : 47 (3.4%) responden. Gambar 2: Komposisi Usia Responden S-2 (9.4%) Tidak Menyebut 51-60 Tahun Usia (3.4%) (7.0%)
S-3 (0.6%) 61 Tahun Ke Atas (1.1%)
SD Ke Bawah Tidak 20 Tahun Ke (4.1%) Menyebut Bawah Pendidikan SLTP (3.3%) (3.9%) (8.3%) 21-30 Tahun (28.7%) SLTA (27.9%)
41-50 Tahun (22.6%), S-1 (34.5%) Diploma 31-40 Tahun (33.9%)(11.3%)
c. Responden berdasarkan tingkat SD Ke Bawah Tidak S-3 (0.6%) pendidikan terdiri atas: SD ke bawah (4.1%) S-2 (9.4%) Tidak Menyebut Menyebut DPRD (2.3%) Pekerjaan (2.6%) Pendidikan : 57 (4.1%) responden;SLTP : 116 SLTP LSM (2.0%) (3.9%) (8.3%) Dosen/Guru (8.3%) responden; SLTA : 390 (27.9%) ASN (15.3%) (2.8%) Lain-lain (20.5%)
230
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
SLTA (27.9%) Hakim (7.7%)
Wiraswasta (16.4%)
S-1 (34.5%)
TNI/Polri (10.4%)
Diploma Peg. Swasta (8.0%) (11.3%) Pengacara (7.0%)
Tidak Menyebut 51-60 Tahun Usia (3.4%) (7.0%)
20 Tahun Ke Bawah (3.3%)
61 Tahun Ke Atas (1.1%)
responden;Diploma (D121-30 s/dTahun D3): 159 (11.3%) responden; S-1 :(28.7%) 483 (34.5%) responden; S-2 : 132 (9.4%) responden; S-331-40: Tahun 9 (0.6%) responden; (33.9%) Tidak Menyebutkan Pendidikan : 54 (3.9%) responden.
41-50 Tahun (22.6%),
Gambar 3: Tingkat Pendidikan Responden S-2 (9.4%)
S-3 (0.6%)
SD Ke Bawah Tidak (4.1%) Menyebut Pendidikan SLTP (3.9%) (8.3%)
SLTA (27.9%) S-1 (34.5%) Diploma (11.3%) Masyarakat Umum (31.6%)
Penyidik (8.3%) Hakim (7.7%) Pengacara (7.0%) LP/Rutan (8.1%)
Penyidik: 116 (8.3%) responden; Hakim : 108 (7.7%) responden; Pengacara: 98 (7.0%) responden; LP/Rutan: 113 (8.1%) responden. 2. Masyarakat yang pernah berhubungan dengan kejaksaan sebanyak 522 (37.3%), dengan rincian: Saksi: 238 (17.0%) responden; Korban : 88 (6.3%) responden; Tahanan : 106 (7.6%) responden; Narapidana: 90 (6.4%) responden. 3. Masyarakat yang belum pernah berhubungan dengan kejaksaan sebanyak 443 (31.6%) responden. Gambar 5: Hubungan Responden Dengan Kejaksaan
Narapidana
(6.4%) d. Responden berdasarkanSaksi pekerjaan, terdiri Tahanan Tidak Menyebut (17.0%) DPRD (2.3%) (7.6%) Pekerjaan (2.6%) atas: AparaturKorban Sipil Negara (ASN)LSM (2.0%) : (6.3%) Dosen/Guru 214 (15.3%) responden; Angota DPRD: ASN (15.3%) (2.8%) Lain-lain (20.5%) 32 (2.3%) responden; Aktifis LSM: 28 (2.0%) responden; Dosen/Guru: Hakim (7.7%) 39 Wiraswasta (2.8%)(16.4%) responden; Hakim: 108 (7.7%) Peg. Swasta (8.0%) TNI/Polri (10.4%) responden; Pegawai BUMN/D: 45 Pengacara (7.0%) (3.2%) responden; Pegawai Swasta: Aceh Sulut 112 (8.0%)(19.5%) responden; Pers: BUMN/D (3.2%) (16.3%) Pekerja Pekerja Pers Jambi 23 (1.6%) responden; Pengacara: 98 (1.6%) NTT (16.0%) (7.0%) responden; TNI/Polri: 146 (14.3%) (10.4%) Kalbar responden; Wiraswasta: 229 Jogja (16.4%) (16.8%) responden; (17.1%) Lain-lain: 289 (20.5%) responden; Tidak Menyebutkan Pekerjaan: 37 (2.6%) responden.
Gambar 4: Pekerjaan Responden Tidak Menyebut Pekerjaan (2.6%)
DPRD (2.3%) LSM (2.0%) Dosen/Guru (2.8%)
ASN (15.3%)
Penyidik (8.3%) Hakim (7.7%) Pengacara (7.0%) LP/Rutan (8.1%)
Masyarakat Umum (31.6%)
Narapidana (6.4%) Tahanan (7.6%)
Saksi (17.0%) Korban (6.3%)
Penyidik f. Responden berdasarkan lokasi Masyarakat (8.3%) Hakim (7.7%) Umum pengambilan terdiri Pengacara Acehpenelitian, Sulutsampel (31.6%) (7.0%) (19.5%) atas: Aceh : 228(16.3%) (16.3%)LP/Rutan resonden; Jambi (8.1%) Jambi : 224 (16.0%) resonden; NTT (16.0%) Jogja Narapidana (6.4%) (14.3%) : 240 (17.1%) resonden; Kalbar : 235 Tahanan Saksi (17.0%) Jogja Kalbar (16.8%)(7.6%) resonden; NTT : 200 (14.3%) Korban (6.3%) (17.1%) (16.8%) resonden; Sulut : 273 (19.5%) resonden.
Gambar 6: Responden Berdasarkan Lokasi Penelitian
Lain-lain (20.5%)
Tidak Menyebut Pekerjaan (2.6%)
Hakim (7.7%)
Wiraswasta (16.4%)
Sulut (19.5%)
Peg. Swasta (8.0%)
TNI/Polri (10.4%)
DPRD (2.3%)
Aceh (16.3%) ASN (15.3%)
LSM (2.0%) Dosen/Guru (2.8%)
Jambi (16.0%)
Lain-lain (20.5%)
Pengacara (7.0%)
NTT (14.3%) BUMN/D (3.2%) Pekerja Pers (1.6%)
Hakim (7.7%)
Wiraswasta (16.4%)
Kalbar (16.8%) TNI/Polri (10.4%)
Jogja (17.1%) Peg. Swasta (8.0%) Pengacara (7.0%)
e. Responden berdasarkan hubungannya dengan kejaksaan dalam penanganan perkara pidana, terdiri atas: 1. Mitra Kejaksaan sebanyak 435 (31,1%) responden, dengn rician:
BUMN/D (3.2%) Pekerja Pers (1.6%)
Tidak Menyebut Pekerjaan (2.6%)
DPRD (2.3%) LSM (2.0%) ASN (15.3%)
Dosen/Guru (2.8%)
Lain-lain (20.5%)
Hakim (7.7%) Pengukuran Kepuasan Masyarakat Terhadap Kinerja Kejaksaan Dalam Penanganan Perkara... Wiraswasta - Sri Hastuti, Lasmaida Limbong 231 (16.4%)
Peg. Swasta (8.0%)
TNI/Polri (10.4%) Pengacara (7.0%)
2. IPKM Atas Kerja Kejaksaan Menurut Responden Berdasarkan Hubungannya Dengan Kejaksaan
masyarakat yang dengan kejaksaan.
pernah
berhubungan
Berdasarkan fakta tersebut, ke depan unit kerja yang menjadi humas kejaksaan yang dalam hal ini ialah Puspenkum Kejaksaan Agung dan Seksi Penkum di Kejaksaaan Tinggi harus lebih aktif dalam menyampaikan kinerja kejaksaan dan halDiagram 1: IPKM Atas Kinerja Kejaksaan halini:positif tentang kejaksaan yang lainnya. 19 s/d lampiran 21. Hasilnya dapat dilihat dalam diagram di bawah Menurut Responden Berdasarkan Sebab bila informasi tentang kejaksaan yang Diagram 4: IPKM Atas Kinerja Kejaksaan Menurut Responden Berdasarkan Hubungannya Hubungannya Dengan Kejaksaan sampai ke masyarakat itu negatif, maka hal tersebut dapat membangun persepsi negatif 100 masyarakat terhadap lembaga kejaksaan. 80 Di sisi lain, persepsi negatif tersebut akan 60 berpengaruh terhadap rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja 40 lembaga kejaksaan. 20 IPKM atas kinerja kejaksaan menurut responden berdasarkan hubungannya dengan kejaksaan dapat dilihat dalam diagram di bawah ini :
73.52
74.75
75.20
Namun demikian, selisih skor diantara ketiganya tidak terlalu signifikan, bahkan selisih skor IPKM responden yang tertinggi (mitra kejaksaan) dengan terendah Dengan Kejaksaan (masyarakat yang belum pernah berhubungan Penjelasan selengkapnya dari diagram di dengan kejaksaan) hanya sebesar 1,68 (75,20 Berdasarkan diagram di atas dapat diketahui bahwa skor IPKM atas kinerja kejaksaan dalam atas adalah sebagai berikut : – 73,52 = 1,68) dari skala 100. Selain itu, penanganan a. Skor IPKM atas kinerja kejaksaan ketiga skor tersebut bila diukur berdasarkan menurut responden mitra kejaksaan mutu persepsi kepuasan, semuanya masuk (penyidik, hakim, pengacaara dan dalam kategori mutu persepsi kepuasan B petugas LP/Rutan) sebesar 75,20. (Puas) karena berada dalam rentang skor antara 62,51 s/d 81,25. b. Skor IPKM atas kinerja kejaksaan menurut responden masyarakat yang 3. IPKM atas kinerja kejaksaan menurut pernah berhubungan dengan kejaksaan responden yang pernah berhubungan (saksi, korban, tahanan dan narapidana) dengan kejaksaan sebesar 74,75. IPKM atas kinerja kejaksaan menurut c. Skor IPKM atas kinerja Kejaksaan responden yang pernah berhubungan dengan menurut responden masyarakat yang kejaksaan dapat dilihat dalam diagram di belum pernah berhubungan dengan bawah ini: kejaksaan sebesar 73,52. 0
Masyarakat Yang Masyarakat Yang Pernah Berhubungan Belum Pernah Dengan Kejaksaan Berhubungan Dengan Kejaksaan
Diagram 2: IPKM Atas Kinerja Kejaksaan Menurut Responden Berdasarkan Diagram 5: IPKM Atas Kinerja Kejaksaan Menurut Responden Berdasarkan H Hubungannya Dengan Kejaksaan di bawah ini:
Dengan Kejaksaan
100
74.33
75.07
75.19
75.00
PENGACARA
PETUGAS LP/RUTAN
SAKSI
KORBAN
TAHANAN
NARAPIDANA
0
71.82
20
75.38
40
75.31
60
HAKIM
80
78.19
Data di atas menunjukkan bahwa bahwa kepuasan responden mitra kejaksaan menempati posisi paling tinggi dibandingkan dengan kepuasan responden masyarakat yang pernah dan yang belum pernah berhubungan dengan kejaksaan. Sementara itu, kepuasan terendah terhadap kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara berasal dari masyarakat yang belum pernah berhubungan dengan kejaksaan. Hal ini menunjukkan bahwa, selama ini informasi yang diterima masyarakat terhadap kinerja kejaksaan masih kurang bagus dibandingkan fakta sesungguhnya yang dilami oleh
PENYIDIK
Mitra Kejaksaan
Berdasarkan diagram di atas dapat diketahui bahwa
232
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
bentuk indek beserta nilai rata-rata tiap unsur kinerja dapat dilihat dalam tabel-tabel dibawah ini :
Penjelasan selengkapnya dari diagram diatas adalah sebagai berikut: a. Skor IPKM atas kinerja kejaksaan menurut penyidik sebesar 78,19. b. Skor IPKM atas kinerja kejaksaan menurut hakim sebesar 75,31. c. Skor IPKM atas kinerja kejaksaan menurut pengacara sebesar 75,38. d. Skor IPKM atas kinerja kejaksaan menurut petugas LP/Rutan sebesar 71,82. e. Skor IPKM atas kinerja kejaksaan menurut responden yang pernah menjadi saksi sebesar 74,33. f. Skor IPKM atas kinerja kejaksaan menurut responden yang yang pernah menjadi korban sebesar 75,07. g. Skor IPKM atas kinerja kejaksaan menurut responden tahanan sebesar 75,19. h. Skor IPKM atas kinerja kejaksaan menurut responden narapidana sebesar 75,00. Data di atas menunjukkan bahwa kepuasan penyidik (78,19) menempati posisi yang paling tinggi, kemudian disusul kepuasan pengacara (75,38); S-2 (74,78); hakim (75,31); tahanan (75,19); korban (75,07); narapidana (72,64); dan yang terkhir ialah kepuasan petugas LP/Rutan (72,62). Selisih skor diantara kedelapan kelompok tersebut juga tidak terlalu jauh, kecuali selisih antara responden yang kepuasannya tertinggi (penyidik) dengan yang terendah (petugas LP/Rutan), yaitu sebesar 6,37 (78,19 - 71,82 = 6,37) dari skala 100. Namun demikian, bila kedelapan skor IPKM tersebut diukur berdasarkan mutu persepsi kepuasan, semuanya masuk dalam kategori mutu persepsi kepuasan B (Puas) karena berada dalam rentang skor antara 62,51 s/d 81,25. 4. IPKM atas kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana menurut seluruh responden IPKM atas kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana menurut seluruh responden tanpa memperhatikan demografi responden, baik itu asal instansi, maupun pernah tidaknya responden berhubungan dengan kejaksaan, setelah disusun dalam
Tabel 2: IPKM Atas Kinerja Kejaksaan Dalam Penanganan Perkara Pidana Dan Nilai Rata-Rata Unsur Kinerja Menurut Seluruh Responden IPKM JENIS RESPONDEN KEJAKSAAN 1
2
SELURUH 74.50 RESPONDEN (Lampiran 36)
UNSUR KINERJA
NILAI RATARATA
3
4
1. Kemampuan SDM Kejaksaan 2. Kedisiplinan dan Tanggung Jawab 3. Kesopanan dan Keramahan 4. Integritas SDM Kejaksaan 5. Sarana dan Prasarana 6. Kesesuaian dengan Green Office 7. Prosedur Penanganan Perkara 8. Kecepatan Penanganan Perkara 9. Kesesuaian dg good governance 10. Tingkat Keberhasilan Penang. Perkara 11. Kemanfaatan Penanganan Perkara 12. Dampak sosial ekonomi 13. Alih Pengetahuan 14. Keadilan dan Kepastian Hukum
2.880 3.064 3.119 3.083 2.937 2.930 2.943 2.943 2.970 3.029 3.156 3.051 2.883 2.984
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa IPKM atas kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana menurut seluruh kelompok responden ialah sebesar 74,50 (tujuh puluh empat koma lima puluh). Bila skor tersebut diukur berdasarkan mutu persepsi kepuasan yang telah ditentukan, yaitu: A. Sangat Puas (81,26 – 100); B. Puas (62,51 - 81,25); C. Kurang Puas (43,76 62,50); dan D. Tidak Puas (25,00 – 43,75), maka skor tersebut masuk dalam kategori mutu B yaitu puas, karena skor 74,50 berada dalam rentang skor antara 62,51 s/d 81,25. Hal ini berarti masih memberikan pemikiran yang positif atas kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana. Data di atas juga menunjukkan bahwa nilai rata-rata dari tiap unsur kinerja, sehingga dapat diketahui unsur kinerja apa saja yang mendapatkan nilai rata-rata tertinggi dan unsur kinerja apa saja yang mendapatkan nilai rata-rata terendah. Adapun 3 (tiga) unsur kinerja yang mendapatkan nilai rata-
Pengukuran Kepuasan Masyarakat Terhadap Kinerja Kejaksaan Dalam Penanganan Perkara... - Sri Hastuti, Lasmaida Limbong
233
rata tertinggi ialah: a. Kemanfaatan penanganan perkara pidana oleh kejaksaan, dengan skor 3,156; b. Kesopanan dan Keramahan SDM kejaksaan saat menangani perkara pidana, dengan skor 3,119; dan c. Integritas SDM kejaksaan saat menangani perkara pidana, dengan skor 3,083. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan tugas kejaksaan dalam penanganan perkara pidana mampu memberikan manfaat yang cukup baik bagi stakeholder kejaksaan. Selain itu, keramahan dan kesopanan SDM kejaksaan serta integritas SDM kejaksaan juga mendapatkan penilaian yang positif dari masyarakat. Sementara itu, 3 (tiga) unsur kinerja yang mendapatkan nilai rata-rata terendah ialah: a. Kemampuan SDM kejaksaan dalam menangani perkara pidana, dengan skor 2,880. b. Alih Pengetahuan dalam penanganan perkara pidana oleh kejaksaan, dengan skor 2,883; dan c. Sarana dan Prasarana kejaksaan dalam menanganai perkara pidana, dengan skor 2,937. Berdasarkan unsur kinerja yang mendapatkan nilai rata-rata terendah tersebut, maka untuk meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana, ketiga unsur tersebut harus mendapatkan prioritas dalam perbaikannya sehingga dapat meningkatkan kepuasan masyarakat.
III. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Indeks Persepsi Kepuasan Masyarakat (IPKM) terhadap kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana secara umum mendapatkan skor sebesar 74,50 dari skala 1 - 100. Skor tersebut diperoleh dari jawaban seluruh kelompok responden, baik itu responden mitra kejaksaan, masyarakat yang pernah berhubungan dengan kejaksaan dalam penanganan perkara pidana, dan 234
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
masyarakat yang belum pernah berhubungan dengan kejaksaan dalam penanganan perkara pidana. Bila skor IPKM tersebut diukur berdasarkan mutu persepsi kepuasan yang telah ditentukan, maka skor tersebut masuk dalam kategori mutu persepsi kepuasan B (puas). Sebab skor tersebut berada dalam rentang skor antara 62,51 - 81,25. 2. Unsur kinerja yang mendapatkan nilai ratarata tertinggi ialah: Kemanfaatan penanganan perkara pidana oleh kejaksaan, dengan skor 3,156; Kesopanan dan Keramahan SDM kejaksaan saat menangani perkara pidana, dengan skor 3,119; dan Integritas SDM kejaksaan saat menangani perkara pidana, dengan skor 3,083. Sementara itu, unsur kinerja yang mendapatkan nilai rata-rata terendah ialah: Kemampuan SDM kejaksaan dalam menangani perkara pidana, dengan skor 2,880; Alih Pengetahuan dalam penanganan perkara pidana oleh kejaksaan, dengan skor 2,883; dan Sarana serta Prasarana kejaksaan dalam menangani perkara pidana, dengan skor 2,937. 3. Demografi responden tidak berpengaruh secara signifikan pada tingkat kepuasan responden atas kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana. Hal ini bisa dilihat dari perbedaan skor IPKM menurut masing-masing kelompok responden. Sebab perbandingan selisih skor IPKM menurut tiaptiap kelompok responden, baik itu menurut responden berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, hubungannya dengan kejaksaan, maupun menurut responden berdasarkan lokasi pengambilan sampel penelitian, semuanya masih berada di bawah nilai tengah skor mutu persepsi kepuasan B (Puas), yaitu 9,37. B. Saran 1. IPKM atas kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana perlu ditingkatkan lagi agar dapat mencapai mutu persepsi kepuasan A (sangat puas). Oleh karena itu, skor IPKM atas kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana, yang semula mendapatkan skor sebesar 74,50 harus ditingkatkan minimal sebesar 6,76 point, karena nilai rentang skor mutu persepsi kepuasan A (sangat puas) ialah antara 81,26 sampai dengan 100.
2. Untuk meningkatkan skor IPKM atas kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana, maka upaya yang harus dilakukan ialah dengan memperbaiki dan meningkatkan semua unsur kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara pidana, terutama terhadap 3 (tiga) unsur kinerja yang mendapatkan nilai rata-rata terendah, yaitu: (1) unsur kemampuan SDM kejaksaan dalam menangani perkara pidana; (2) unsur alih pengetahuan dalam penanganan perkara pidana oleh kejaksaan; dan (3) unsur sarana dan prasarana yang digunakan kejaksaan dalam menangani perkara pidana. 3. Kejaksaan harus meningkatkan sosialisasi hasil kinerja kejaksaan kepada masyarakat secara baik, agar hal tersebut mampu mengubah persepsi masyarakat yang belum pernah berhubungan secara langsung dengan kejaksaan dalam penanganan perkara, menjadi lebih baik lagi. Bila upaya tersebut bisa dilakukan dengan baik, hal ini bisa meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara.
Pengukuran Kepuasan Masyarakat Terhadap Kinerja Kejaksaan Dalam Penanganan Perkara... - Sri Hastuti, Lasmaida Limbong
235
DAFTAR PUSTAKA Aulia, Feby Riska. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja balai besar Kesehatan dan Keselamatan Kerja Makasar. Skripsi pada FISIP Universitas Hasanuddin. Makasar: 2012. Effendy, Marwan. Kejaksaan dan Penegakan Hukum. Jakarta: Timpani Publishing, 2010. Fauziah, Syifa. Gambaran Persepsi Masyarakat Tentang Peran Perawat Puskesmas di Kelurahan Bintara Kota Bekasi Tahun 2012, Skripsi, Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Keperawatan, Depok, 2012. Gibson, et. all. Organisasi, Perilaku, Struktur dan Proses. (Editor:Djarkasih). Jakarta: Erlangga, 1990. Hariman,b Philip L. Istilah Psikologi. Cetakan Kedua. Jakarta: Restu Agung, 1995. Hardy, Malcom dan Steve Heyes. Pengantar Psikologi. Cetakan kedua, Jakarta: Erlangga, 1988.
Sedarmayanti. Good Governance: Kepemimpinan Yang Baik (Bagian Pertama). Bandung: Mandar Maju, 2012. Sihite, Domu P. “Kajian Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Kejaksaan Dalam Rangka Mewujudkan Good Governance”. Dalam: JURNAL BINA ADHYAKSA, Vol 3 No. 2 Maret 2013. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers, 1990. Suharto, Edi. Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat. Cetakan Pertama. Bandung: PT. Refika Aditama, 2005. Suparni, Niniek. et. all. Persepsi Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Tugas Kejaksaan Dalam Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI, 2014. S,
Azhari Aziz. Kinerja Organisasi Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Dengan Systems Thinking dan System Dynamics. Disertasi pada Program Studi Ilmu Administrasi Program Pascasarjana FISIP Universitas Indonesia. Depok: 2008.
Http://unilubis.com/2015/01/26/iluni-fak-hukumui-evaluasi-100-hari-pertama-pemerintahanjokowi-jk/#sthash.QpIUehbb.dpuf. Diakses tanggal 7 April 2015.
Thoha, M. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Http://www.kejaksaan.go.id/reformasi_birokrasi. php?section=7. Diakses tanggal 7 April 2015.
Tim Reformasi Birokrasi. Reformasi Birokrasi Kejaksaan. Jakarta: Kejaksaan RI, 2008.
Http://expresisastra.blogspot.com/2014/10/definisikinerja-menurut-ahli.html. Diakses tanggal 9 April 2015.
(United Nations) Guidelines On The Role Of Prosecutors. Adopted by the Eighth United Nations Congress on The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders, 1990. Pedoman (Perserikatan Bangsa-Bangsa) Tentang Peranan Para Jaksa. Translated into Indonesia by RM Surachman. Senior Research Fellow. Office of The Attorney General.
Kejaksaan Agung RI, Laporan Tahunan Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2014. Jakarta: Kejaksaan Agung RI. Kejaksaan Agung, Perkembangan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi: Materi Sosialisasi Reformasi Birokrasi Kejaksaan, Jakarta: Kejaksaan Agung, 2010. Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia, 1987. Nota Dinas Kepala Biro Perencanaan Kepada Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung Nomor: B-089/C.2/Cr.4/02/2015 tanggal 9 Febrari 2015 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK) Tahun 2015.
236
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
Wirasata, Putu. Analisis Pengukuran Kinerja RSUD TG. Uban Provinsi Kepulauan Riau Dengan Metode Balanced Scorecard. Tesis pada Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Depok, 2010.
Penelitian
PENGUATAN KELEMBAGAAN SENTRA DIKLAT DALAM MENDUKUNG SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) KEJAKSAAN The Institutional Strengthening of Education And Training Center to Enhance Human Resource Of Attorney Rr. Yoeniarti S, Sri Marsita, Sri Humana, Amelya Gustina, Imas Sholehah, Irfan F. Peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung Jl.Sultan Hasanuddin No.1 Jakarta Selatan E-mail : [email protected] (Diterima tanggal 2 Juni 2016, direvisi tanggal 10 Juni 2016, disetujui tanggal 27 Juni 2016) Abstrak Dalam rangka meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) Kejaksaan yang berkualitas dan mempunyai kompetensi diperlukan pendidikan dan pelatihan diklat yang mampu memberikan pengetahuan yang luas kepada para jaksa dan pegawai kejaksaan di seluruh daerah. Untuk itu dibentulah Sentra-Sentra Diklat Kejaksaan di beberapa daerah di Indonesia .Penelitian ini bertipe dekriptif dengan sifat normative empiris. Data diperoleh dengan teknik non probability sampling jenis purposive sampling. Responden berjumlah 414 (empat ratus empat belas) responden yang terdiri para jaksa yang berada di 6 (enam) wilayah hukum Kejaksaan Tinggi yaitu Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, dan Kejaksaan Tinggi Bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagaian besar responden menyatakan bahwa Sentra Diklat diperlukan dalam peningkatan SDM Kejaksaan. Namun, keberadaannya dipandang belum optimal karena belum ada aturan yang spesifik dan detail mengenai Sentra Diklat, adanya keterbatasan status anggaran, sarana prasarana, dan keterbatasan program diklat. Untuk itu perlu dilakukan penguatan Sentra Diklat Kejaksaan demi peningkatan SDM Kejaksaan dalam bentuk penguatan dari sisi legislasi/peraturan perundang-undangan, sehingga tercipta struktur organisasi yang sesuai dan terpenuhinya sarana dan prasarana berdasarkan standar penyelenggaraan diklat. Kata Kunci : sentra diklat, penguatan, sumber daya manusia kejaksaan. Abstrct In the terms of improving human resource capacity of Attorney’s Office in Indonesia which is desired to has professionalism and good competency, this organization requires education and training for all prosecutors and all employees of Attorney’s Office in each region. Therefore, education and training centers has been built in all over Indonesia. This research is a descriptive research with normative empirical analysis. The technique used to collect the data is non-probability sampling with purposive which involved 414 (four hundred and forty four) respondents. The respondents consist of prosecutors in 6 (six) jurisdiction territories of Office of the High Prosecutor General, namely Office of the High Prosecutor General of North Sumatera, Office of the High Prosecutor General of East Java, Office of the High Prosecutor General of South Sulawesi, Office of the High Prosecutor General of South Sumatera, Office of the High Prosecutor General of Central Java, and Office of the High Prosecutor General of Bali. The result of analyzing data showed that most of respondents argued that education and training center is necessary for improving human resource capacity. However, the education and training centers has not been optimalized well because there is no regulation yet to manage the education and training center. In addition, the problems are low budget, less infrastructure, and unstandardized education and training program. Therefore, the enhancement of education and training center is needed for human resource improvement of Attorney through the strengthening of law, thus the good structure of organization is created and the infrastructure and also facilities has fulfilled based on standard. Keywords: education and training center, human resource of attorney
Penguatan Kelembagaan Sentra Diklat ... - Yoeniarti S, Sri Marsita, Sri Humana, Amalya Gustina, Imas Sholehah, Irfan F.
237
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat terhadap peningkatan kinerja Kejaksaan Republik Indonesia khususnya dalam masalah penegakan hukum, institusi Kejaksaan RI berusaha tetap konsisten dalam upaya memecahkan masalah-masalah yang krusial. Salah satu upaya yang ditempuh adalah peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pendidikan dan pelatihan terutama dalam mewujudkan insan Adhyaksa yang menjadi ujung tombak dalam proses penegakan hukum, dengan demikian diharapkan pengembangan pegawai sangat diperlukan dalam sebuah instansi, karena dengan adanya program Diklat dapat membantu meningkatkan kemampuan dan ketrampilan pegawai. Pendidikan dan Pelatihan pegawai juga dirancang untuk suatu instansi dalam prospek masa depan. Pentingnya pendidikan dan pelatihan bukanlah sematamata bagi pegawai yang mengikuti pendidikan dan pelatihan, tetapi juga keuntungan instansi. karena dapat meningkatkan kinerja pegawai. Untuk mewujudkan dan meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) Kejaksaan dalam penegakan hukum diperlukan pendidikan dan pelatihan yang mampu memberikan pengetahuan yang luas kepada para jaksa dan pegawai Kejaksaan, khususnya bagi para jaksa dan pegawai Kejaksaan yang ditempatkan di daerah. Hal ini disebabkan karena faktor keberhasilan dari penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas dari sumber daya manusia di bidang hukum. Profesionalisme aparat hukum ini akan sangat terkait dengan kemampuan penguasaan substansi tugas pokoknya dan integritas dari aparat tersebut dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Adanya kasus-kasus pelanggaran hukum dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat hukum merupakan salah satu penyebab rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia. Selain itu, ada kendala di bidang penegakan hukum yang perlu diselesaikan. Hal ini terjadi antara lain karena banyak modus operandi yang semakin berkembang dengan menggunakan teknologi informasi yang canggih. Oleh karena itu, jika tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia maka akan menghambat dalam penuntasan penanganan perkaranya. 238 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
Di samping itu, perkembangan jenis tindak pidana ini perlu pula diikuti oleh peningkatan pengetahuan dan wawasan bagi para aparat penegak hukum, terutama para jaksa sehingga tuntutan peningkatan kualitas sumber daya manusia para Jaksa merupakan hal yang sangat pokok dan urgent sehingga perlu dilakukan berbagai kegiatan yang dapat mendukung usaha tersebut. Badiklat (Badan Pendidikan dan Pelatihan) merupakan lembaga atau badan yang dimiliki Kejaksaan untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi para jaksa dan pegawai Kejaksaan. Adapun Kedudukan Badan Diklat dalam Pasal 29 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi Dan Tata kerja Kejaksaan Republik Indonesia dan Pasal 359 Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: Per-009/A/JA/01/2011 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI., disebutkan: (1). Badan Pendidikan dan Pelatihan adalah unsur penunjang tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pendidikan dan pelatihan yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Jaksa Agung; (2) Badan Pendidikan dan Pelatihan dipimpin oleh Kepala Badan Berdasarkan pada ketentuan Pasal 30 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi Dan Tata kerja Kejaksaan Republik Indonesia dan Pasal 360 Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: Per009/A/JA/01/2011 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI., menyatakan bahwa Badan Pendidikan dan Pelatihan mempunyai tugas dan wewenang menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. Disebutkan juga dalam Pasal 31 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2010 dan Pasal 361 Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: Per-009/A/JA/01/2011 bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud, Badan Pendidikan dan Pelatihan menyelenggarakan fungsi: a. Perencanaan dan perumusan kebijakan di bidang pendidikan dan pelatihan; b. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; c. Koordinasi dan sinkronisasi perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan; d. Pelaksanaan hubungan kerja dengan instansi/lembaga baik dalam negeri maupun
di luar negeri dalam bidang pendidikan dan pelatihan; e. Pemantauan, analisis, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kegiatan di bidang pendidikan dan pelatihan; f. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Jaksa Agung. Tujuan Diklat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 Perja Nomor: Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-037/A/ JA/12/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER068/A/JA/07/2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Dan Pelatihan Pegawai Kejaksaan Republik Indonesia disebutkan bahwa tujuan DIKLAT pegawai Kejaksaan adalah untuk : a. Meningkatkan kesetiaan dan ketaatan sebagai pegawai Kejaksaan kepada Pancasila dan UUD 1945, Negara dan Pemerintah Republik Indonesia; b. Menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir serta wawasan yang komprehensif dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang Kejaksaan dan tata pemerintahan yang baik (good governance); c. Memantapkan semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman dan pemberdayaan masyarakat ; pengetahuan, keahlian, d. Meningkatkan keterampilan dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang Kejaksaan secara profesional dengan dilandasi sikap dan kepribadian seorang Jaksa yang bersendikan Tri Krama Adhyaksa. e. Menanamkan semangat dinamika kelompok bagi peserta DIKLAT sebagai upaya untuk mewujudkan kemandirian dalam melaksanakan tugas. Dan Pasal 3 nya disebutkan Sasaran DIKLAT Kejaksaan adalah tersedianya Pegawai Kejaksaan yang memiliki kompetensi guna memenuhi salah satu persyaratan untuk diangkat dalam jabatan struktural/fungsional ataupun untuk memperluas dan meningkatkan wawasan. Namun sejalan dengan berkembangnya waktu dan guna untuk mempermudahkan Jaksa dan pegawai Kejaksaan yang berada dipelosok jauh dari Jakarta atau pusat dan untuk memenuhi kebutuhan Diklat, maka diselenggarakan Diklat-Diklat tertentu di sentra-sentra yang ada
di daerah. Adapun dasar pembentukan sentra Diklat, sebagaimana yang dimaksud Pasal 652 Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: Per-009/A/ JA/01/2011 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI : (1) Di lingkungan Kejaksaan RI terdapat unit pelayanan tugas teknis tertentu yang terdiri: a. Sentra Pendidikan dan Pelatihan; dan b. ......................................................... (2) Organisasi dan Tata Kerja Sentra Pendidikan dan Pelatihan dan Unit Pelayanan Kesehatan sebagaimana diatur dalam ayat(1) huruf a dan b ditetapkan dengan peraturan Jaksa Agung setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Adapun mengenai jangka waktu dan penyelenggaraan Diklat disebutkan dalam Pasal 28 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-037/A/JA/12/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER- 068/A/JA/07/2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Dan Pelatihan Pegawai Kejaksaan Republik Indonesia sebagai berikut: 1. Jangka waktu penyelenggaraan DIKLAT untuk masing-masing jenis DIKLAT ditetapkan oleh Kepala Pusat DIKLAT. 2. Tempat penyelenggaraan DIKLAT di Pusat DIKLAT Kejaksaan RI, di sentra-sentra DIKLAT atau di tempat lain yang ditentukan oleh Kepala Pusat DIKLAT sesuai dengan kebutuhan organisasi. 3. Sentra DIKLAT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan pada sentra-sentra Diklat jenisnya sangat beragam. Hal ini disebabkan jenis perkara atau kasus yang ditangani pada masing-masing Kejaksaan bervariatif, sehingga para pegawai membutuhkan Diklat yang berbeda tergantung kebutuhan masing-masing daerah, misalnya: Diklat Illegal Fishing dan Diklat Illegal Logging. Mengingat luasnya Nusantara yang terdiri dari Kepulauan dan letak Kejaksaan Negeri yang
Penguatan Kelembagaan Sentra Diklat ... - Yoeniarti S, Sri Marsita, Sri Humana, Amalya Gustina, Imas Sholehah, Irfan F.
239
secara geografis masih ada yang tidak mudah dijangkau maka untuk mengefisienkan waktu dan penghematan biaya dengan dibentuknya sentra-sentra Diklat sangat bermanfaat. Selain itu Badan Diklat tidak dapat menampung semua pendidikan dan pelatihan bagi seluruh pegawai karena jumlah pegawai Kejaksaan yang besar dan tersebar dipelosok Nusantara serta memerlukan pendidikan dan pelatihan secara berkerlanjutan B. Permasalahan 1. Bagaimana penyelenggaraan Diklat oleh Sentra Diklat dalam mendukung Peningkatan Sumber Daya Manusia Kejaksaan? 2. Apa langkah-langkah penguatan kelembagaan Sentra Diklat sebagai pendukung peningkatan Sumber Daya Manusia Kejaksaan? C. Metodologi Penelitian 1. Sifat dan Tipe Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dengan tipe penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Yurudis normatif berarti penelitian dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang permasalahan yang diteliti. Yuridis empiris berarti bagaimana ketentuan itu dilaksanakan di lapangan. 2. Jenis Data, Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data a. Jenis Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu: data primer dan data sekunder. b. Sumber Data Data primer diperoleh dari penelitian lapangan (Field Research). Sementara itu data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library Research), berupa bahan-bahan hukum yang terdiri dari: 1). Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI., Peraturan Presiden RI Nomor: 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, Peraturan Jaksa Agung RI. Nomor: PER-009/A/JA/01/2011 240 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI., Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-037/A/JA/12/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER- 068/A/JA/07/2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Dan Pelatihan Pegawai Kejaksaan Republik Indonesia. 2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari buku-buku, literatur dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi. 3). Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari kamus hukum, ensiklopedi dan kamus lainnya. 3. Teknik Pengumpulan Data Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan pedoman. wawancara. Sementara itu data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan serta dokumen lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 4. Tata Cara Pengambilan Sampel Pengambilan sampel penelitian menggunakan teknik non probability sampling jenis purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan penilaian subyektif dari peneliti, responden mana yang dianggap dapat mewakili populasi. 5. Lokasi dan Responden Penelitian a. Lokasi Penelitian Lokasi yang dijadikan sampel penelitian meliputi 6 (lima) wilayah hukum Kejaksaan Tinggi yaitu: Kejati Sumatera utara, Kejati Sumatera Selatan, Kejati Jawa Tengah, Kejati Sulawesi Selatan, Kejati Jawa Barat dan Kejati Bali. b. Responden Pengumpulan data dengan wawancara kepada 414 responden yang terdiri dari
sebagai berikut: Wilayah Hukum Kejaksaan Tinggi - Wakajati : 1 responden - Asbin dan staf : 2 responden - Aspidum dan staf : 2 responden - Aspidsus dan staf : 2 responden - Aswas dan staf : 2 responden - Asdatun dan staf : 2 responden - As intel dan staf : 2 responden - Koordinator : 2 responden - Jaksa Fungsional : 2 responden - Pegawai TU : 2 responden Wilayah hukum Kejaksaan Negeri - Kajari : 1 responden - Kasubbagbin : 1 responden - Kasi Pidum : 1 responden - Kasi Pidsus : 1 responden - Kasi Datun : 1 responden - Kasi Intel : 1 responden - Jaksa Fungsional : 3 responden - Pegawai TU : 3 responden 6. Analisis Data Data hasil penelitian pustaka dan penelitian lapangan, diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif. D. Kerangka Teori/Pemikiran Sentra diklat merupakan suatu bentuk organisasi dalam bidang pendidikan dan pelatihan. Untuk melakukan penguatan suatu organisasi, tidak terlepas dari prinsip organisasi yang harus diperhatikan dalam mendesain struktur organisasi. Menurut Robbins (2003), Gitlow (2001), dan Cortada (2001) dalam Badri Munir Sukoco, ada 6 prinsip dalam mendesain struktur organisasi yaitu:1 1. Spesialisasi Pekerjaan Hal ini didefinisikan sebagai derajat dimna tugas dalam organisasi dibagi menjadi beberapa pekerjaaan. 2. Departementalisasi Unsur ini merupakan dampak dari penerapan spesialisasi pekerjaan, dengan mengelompokan pekerjaaan yang serupa dalam satu departemen. Misalnya, fungsi administrasi yang berhubungan dengan keuangan dapat dikelompokan pada devisi Badri Munir Sukoco, Manajemen Administrasi Perkantoran Modern, Jakarta: Erlangga, 2007, hlm 15-17. 1
keuangan maupun semua pekerjaaan yang berkaitan dengan penjualan dapat dikelmpokan pada departemen pemasaran. Kategori lain dari departementalisasi adalah berdasarkan wilayah atau geografi. 3. Rantai Komando Unsur ini menjelaskan kepada siapa hasil aktivitas (pekerjaaan) akan dilaporkan. Ada dua unsur penting dalam menjelaskan konsep rantai komando, yaitu otoritas dan kesatuan perintah. Menurut Robbins (2003), otoritas merupakan hak yang melekat pada posisi manajerial seperti memberikan tugas dan mengharapkan tugas tersebut dapat dipatuhi dan dijalankan. Untuk menjaga hal tersebut dapat dijalankan sebagaimana mestinya, diperlukan kesatuan perintah yang mensyaratkan idealnya seseorang hanya mempunyai seorang atasan di mana dia dapat melaporkan dan mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya. Namun, seiring dengan semakin berkembangnya teknologi, prinsip rantai komando, otoritas dan kesatuan perintahnya menjadi kurang relevan. 4. Rentang Pengawasan Unsur ini mendiskripsikan beberapa jumlah bawahan yang dapat dikelola secara efisien dan efektif oleh seorang manager. Ada dua isu strategis yang berkaitan dengan unsur ini, yaitu apakah menggunakan rentang pengawasan yang besar (dalam struktur organisasi vertikal) atau lebar (dalam struktur organisasi horizontal). 5. Sentralisasi dan Desentralisasi Unsur ini berkaitan dengan peran siapa yang akan mengambil keputusan dalam organisasi. Jika pengambilan keputusan dilakukan pimpinan atau kantor pusat, dapat dikatakan bahwa organisasi yang bersangkutan bersifat sentralisasi, jika sebaliknya disebut dengan desentralisasi. 6. Formulasi Unsur ini didefinisikan oleh Gomez-Mejia dkk (2004) sebagai dokumen tertulis yang mengidentifikasikan, menjelaskan, dan mendefinisikan pekerjaan dalam tugas, tanggung jawab, kondisi, dan spesifikasi sebuah pekerjaan. Selain itu, membahas mengenai penguatan sentral diklat tidak lepas dari teori tentang
Penguatan Kelembagaan Sentra Diklat ... - Yoeniarti S, Sri Marsita, Sri Humana, Amalya Gustina, Imas Sholehah, Irfan F.
241
manajemen, diantaranya adalah teori manajemen pendidikan dan teori manajemen sumber daya manusia. Istilah manajemen memiliki berbagai pengertian. Secara universal manajemen adalah penggunaan sumberdaya organisasi utk mencapai sasaran dan kinerja yg tinggi dalam berbagai tipe organisasi profit maupun non profit.Definisi manajemen yg dikemukakan oleh Daft sebagai berikut: “Management is the attainment of organizational goals in an effective and efficient manner through planning organizing leading and controlling organizational resources”.2 Pendapat tersebut mempunyai arti bahwa manajemen merupakan pencapaian tujuan organisasi dgn cara yg efektif dan efisien lewat perencanaan pengorganisasian pengarahan dan pengawasan sumberdaya organisasi. Plunket dkk. mendefinisikan manajemen sebagai “One or more managers individually and collectively setting and achieving goals by exercising related functions (planning organizing staffing leading and controlling) and coordinating various resources (information materials money and people)”.3 Pendapat tersebut mempunyai arti bahwa manajemen merupakan satu atau lebih manajer yg secara individu maupun bersama-sama menyusun dan mencapai tujuan organisasi dgn melakukan fungsifungsi terkait (perencanaan pengorgnisasian penyusunan staf pengarahan dan pengawasan) dan mengkoordinasi berbagai sumber daya (informasi material uang dan orang). Manajemen pendidikan merupakan salah satu bagian dari ilmu manajemen. Manajemen pendidikan adalah penerapan ilmu manajemen dalam dunia pendidikan atau sebagai penerapan manajemen dalam pembinaan, pengembangan, dan pengendalian usaha dan praktek-praktek pendidikan. Manajemen pendidikan adalah aplikasi prinsip, konsep dan teori manajemen dalam aktivitas pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.4 Sedangkan menurut Sutisna dalam bukunya Administrasi Pendidikan Dasar Teoritis dan Praktis Profesional, manajemen pendidikan adalah keseluruhan (proses) yang membuat sumber-sumber personil dan materiil sesuai yang tersedia dan efektif bagi tercapainya tujuan-tujuan bersama. Ia 2
Daft, Richard L. Manajemen 2 Edisi 5. Jakarta: Erlangga, 2003,
hlm. 4 3 Plunket, dkk., Management : Meeting and Exceding Customer Expectations. USA : Thomson South – Western, 2005, hlm 5. 4 Sagal, Syaiful, Administrasi Pendidikan Kontemporer, Bandung: Alfabeta, 2005, hlm. 27
242 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
mengerjakan fungsi-fungsinya dengan jalan mempengaruhi perbuatan orang-orang. Proses ini meliputi perencanaan, organisasi, koordinasi, pengawasan, penyelenggaraan dan pelayanan dari segala sesuatu mengenai urusan sekolah yang langsung berhubungan dengan pendidikan sekolah seperti kurikulum, guru, murid, metodemetode, alat-alat pelajaran, dan bimbingan. Juga soal-soal tentang tanah dan bangunan sekolah, perlengkapan, pembekalan, dan pembiayaan yang diperlukan penyelenggaraan pendidikan termasuk didalamnya.5 Selain mengetahui mengenai manajemen pendidikan yang perlu dipahami dalam penguatan sentral diklat adalah manajemen sumber daya manusia. Manajemen sumber daya manusia adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peran tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat6. Sedangkan Mangkunegara memberikan definisi bahwa: Manajemen sumber daya manusia merupakan perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengaduan, pengembangan, pemberian balas jasa, pengintregasian, pemeliharaan dan pemisahan tenaga kerja dalam rangka mencapai tujuan organisasi.7 Agar supaya manajemen mencapai tujuannya tersebut, diperlukan sarana manajemen (tools of management). G.R Terry menyebutkan tools of management dan lebih dikenal dengan sebutan “the six M’s in management” (6 M didalam manajemen) yaitu: 1. Manusia (Man) Manusia merupakan unsur mutlak dan yang terpenting didalam manajemen. Sebagai sumber tenaga kerja utama, manajemen tidak akan berjalan tanpanya. Dalam manajemen, manusia dibedakan menjadi dua golongan yaitu yang dipimpin dan yang memimpin. 2. Uang (Money) Merupakan sarana terpenting setelah manusia, dimana dalam kegiatannya, dapat dipastikan mereka membutuhkan uang. 3. Bahan-bahan (Materials) 5 Sutisna, Oteng, Administrasi Pendidikan Dasar Teoritis dan Praktis Profesional. Bandung: Angkasa, 1993, hlm. 2-3. 6 Malayu Hasibuan, SP, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta:PT. Bumi Aksara, 2001, hlm 10 7 A.A. Anwar Prabu Mangkunegara, Manajemen Sumber Daya Manusia . Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm 2.
Bahan-bahan juga penting dalam manajemen. Bahan-bahan itu dapat berupa bahan mentah, bahan setengah jadi maupun bahan jadi. 4. Metode (methods) Metode adalah cara pelaksanaan kerja. Metode kerja yang baik adalah yang sederhana, mudah, dan dapat mempercepat penyelesaian pekerjaan. 5. Mesin-mesin (Machines) Dewasa ini, penggunaan mesin semakin meningkat seiring dengan kemajuan teknologi. Penggunaan mesin biasanya dilakukan untuk mencapai efesiensi kerja dimana mesin-mesin itu dapat mempermudah, memperlancar, dan mempercepat proses kerja sehingga dapat membawa banyak keuntungan maksimal. 6. Pasar (Market) Pasar merupakan factor yang harus diperhatikan dalam setiap dunia usaha yang memiliki motif untuk memperoleh laba, karena jatuh bangunnya suatu usaha tergantung pada bagaimana pemasarannya terhadap konsumen. Dalam penguatan Sentral diklat, unsur managemen yang digunakan adalah 4 M (man, money, material, methods). Manusia (man) adalah fasilitas yang berupa tenaga kerja baik penyelenggara maupun peserta diklat. Uang (money) adalah fasilitas sebagai sumber pembiayaan diklat. Material (materials) adalah fasilitas yang berupa sarana dan prasarana diklat termasuk mesin-mesin yang digunkan dalam pelaksanaan diklat. Metode (methods) adalah cara yang digunakan dalam pelaksanaan diklat. Sedangkan kurikulum merupakan faktor tersendiri yang sangat besar pengaruhnya terhadap proses pendidikan dan pelatihan.8 Pendidikan dan pelatihan (diklat) adalah suatu proses yang akan menghasilkan suatu perubahan perilaku sasaran diklat, mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Bila dilihat dari pendekatan sistem pendidikan dan pelatihan terdiri dari input (sasaran diklat), output (perubahan perilaku) dan faktor yang mempengaruhi proses tersebut. Dalam kategori hal-hal yang mempengaruhi diklat dibedakan menjadi dua, yaitu perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware). Perangkat 8 Soekidjo Notoatmojo, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hlm. 32
lunak dalam proses diklat mencakup antara lain:kurikulum organissi pendidikan dan pelatihan, peraturan-peraturan, dan metode belajar mengajar dan tenaga atau pelatih itu sendiri. Sedangkan perangkat keras mencakup fasilitas-fasilitas, seperti gedung, buku-buku, alat bantu pendidikan dan lain-lain.9 Dalam penguatan lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat) menurut Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2000, tentang Diklat Pegawai Negeri Sipil (PNS), harus jelas tujuan dan sasaran penyelenggaraan Diklat Aparatur yaitu:10 1. Meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan dan sikap untuk dapat melaksanakan tugas jabatan secara professional dengan dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi; 2. Menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat persatuan dan kesatuan bangsa; sikap dan semangat 3. Memantapkan pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman dan pemberdayaan masyarakat; 4. Menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksnakan tugas pemerintahan umum dan pembangunan demi terwujudnya keperinthan yang baik. Kemudian sasaran Pendidikan dan Pelatihan menurut Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil adalah terwujudnya Pegawai Negeri Sipil yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan persyaratan jabatan masingmasing. Menurut sasarannya, pendidikan dan pelatihan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu:11 a. Pelatihan Prajabatan (Preservice Training) adalah pelatihan yang diberikan kepada tenaga kerja baru dengan tujuan agar tenaga kerja yang bersangkutan dapat terampil melaksanakan tugas dan pekerjaan yang 9 Veithzal Rivai dan ella Jauvani Sagala, Managemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan dari Teori ke Praktik,Jakarta: Rajawali Pers, 2009 hlm 212-214 10 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2000, tentang Diklat Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pasal 2 11 Siswanto Sastrohardiwiryo, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia Pendekatan Administratif dan Operasional, Jakarta: Bumi Aksara, 2002, hlm. 202
Penguatan Kelembagaan Sentra Diklat ... - Yoeniarti S, Sri Marsita, Sri Humana, Amalya Gustina, Imas Sholehah, Irfan F.
243
akan dipercayakan kepadanya. Pelatihan prajabatan ini dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pelatihan prajabatan yang bersifat umum dan pelatihan prajabatan yang bersifat khusus. b. Pelatihan dalam Jabatan (In Service Training) adalah suatu pelatihan tenaga kerja yang dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan kualitas, keahlian, kemampuan dan keterampilan para tenaga kerja yang bekerja dalam perusahaan. Pelatihan dalam jabatan ini dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pelatihan dalam jabatan yang bersifat umum da pelatihan dalam jabatan yang bersifat khusus. Di dalam Peraturan Pemerintah No. 101 tahun 2000 menyebutkan jenis pendidikan dan pelatihan yang dibedakan menjadi dua yaitu: a. Diklat Parajabatan Diklat Prajabatan dalam PP No. 101 Tahun 2000 Pasal 5 adalah diklat yang dilaksanakan sebagai syarat pengangkatan calon PNS menjadi PNS. Diklat Prahjabatan dilaksanakan untuk memberikan pengetahuan dalam rangka pembentukan wawasan kebangsaan, kepribadian, dan etika PNS, selain pengetahuan dasar tentang sistem penyelenggaraan pemerintah negara, bidang tugas, dan budaya organisasi agar mampu melaksanakan tugas dan perannya sebagai pelayan masyarakat. Diklat prajabatan terdiri atas: 1. Diklat Prajabatan Golongan I untuk PNS Golongan I 2. diklat Prajabatan Golongan II untuk PNS golongan II 3. Diklat prajabatan Golongan III untuk PNS Golongan III b. Diklat dalam Jabatan Berdasarkan PP No. 101 Tahun 2000 pasal 8 diklat dalam jabatan adalah diklat yang dilaksanakan untuk pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap PNS agar dapat melaksanakan tugas-tugas pemerintah dan pembagunan dengan sebaikbaiknya. Diklat dalam jabatan terdiri atas: 1. Diklat Kepemimpinan terdiri dari:
(Diklatpim),
244 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
a. Diklatpim Tingkat IV, yaitu diklatpim untuk jabatan struktural Eselon IV b. Diklatpim Tingkat III, yaitu diklatpim untuk jabatan struktural Eselon III c. Diklatpim Tingkat II, yaitu diklatpim untuk jabatan struktural Eselon II d. Diklatpim Tingkat I, yaitu diklatpim untuk jabatan struktural Eselohn I 2. Diklat fungsional 3. Diklat Teknis Sedangkan dalam organisasi Lembaga diklat Kejaksaan mengenai tujuan, sasaran, jenis dan jenjang diklat diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 12 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER-037/A/ JA/12/2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER068/A/JA/07/2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Dan Pelatihan Pegawai Kejaksaan Republik Indonesia. Adapun hal penting lainnya dalam penguatan kelembagaan diklat adalah Metode Pendidikan dan Pelatihan (Diklat). Metode dapat didefinisikan sebagai cara tertentu untuk melaksanakan tugas dengan memberikan pertimbangan yang cukup kepada tujuan, fasilitas yang tersedia, dan jumlah penggunaan uang, waktu dan kegiatan.12 Menurut Boy S. Sabarguna dan Sumarni menyebutkan metode pelatihan terdiri atas:13 a. Ceramah Tanya Jawab Metode Ceramah Tanya Jawab (CTJ) ini terutama untuk pelatihan pengetahuan berjalan seperti guru mengajar di sekolah, cara ini peserta bisa banyak, tetapi hasil yang diharapkan tidak bisa mendalam dan sulit diketahui. b. Group Diskusi Dilaksanakan dengan memberi kesempatan pada peserta berperan aktif. Pelatih bertindak sebagai pengaruh dan sumber. c. Permainan Pelatihan ini terutama untuk mengubah sikap seseorang, dilaksanakan dalam kelompok kecil. Contoh: sandiwara d. Latihan Kerja Pelaksanaan pelatihan ini terutama Ibid, hal 214. Boy S. Sabarguna dan Sumarni, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Gunung Agung, 2003, hlm.51 12 13
untuk perubahan perilaku, peserta diberi kesempatan melihat dan melaksanakan sendiri kegiatan itu. Untuk penguatan lembaga diklat yang perlu dilakukan adalah penguatan terhadap 5 (lima) pilar dalam organisasi Badan Diklat yaitu:14 1. Peserta diklat; 2. Kurikulum pelaksanaan diklat; 3. Penyelenggara; 4. Widyaiswara; 5. Sarana dan prasarana. Selain itu, reformasi di bidang diklat juga menjadi poin penting dalam penguatan lembaga diklat. Menurut Tri Widodo, dalam paparan Awang Anwaruddin, reformasi di bidang Diklat mencakup:15 a. Tujuan Diklat – menciptakan pemimpin perubahan, di samping memenuhi kompetensi jabatan di instansi peserta. b. Fungsi Widyaiswara – tidak lagi sebagai pengajar tetapi sebagai fasilitator sepenuhnya, sumber ilmu bukan lagi pada widyaiswara sepenuhnya, tetapi pada sesama peserta (experimental learning). c. Metode pembelajaran – Metode on – of, yakni kombinasi pembelajaran di ruang Diklat dan aktualisasi di laboratorium Diklat. Media pembelajaran makin beragam, studi kasus, visualisasi, film dokumenter, dan lain-lain. d. Tanggung jawab – keberhasilan Diklat dan implementasi hasil Diklat tidak hanya pada Lembaga Diklat juga Instansi asal; peserta menjadi bagian dari proses perubahan yang terukur di instansi masing-masing. Hal lain yang menjadi perhatian dalam penguatan lembaga diklat adalah proses akreditasi yang menjadi modal utama peningkatan mutu dan kualitas lembaga diklat. Mengenai hal ini diatur dalam Bab IV Pasal 4 dan 5 PERKALAN Nomor 16 Tahun 2013 Pedoman Akreditasi lembaga Pendidikan Dan Pelatihan Pemerintah Penyelenggara pendidikan Dan Pelatihan Prajabatan Dan Kepemimpinan yang berisi kandungan, akreditasi akan menyentuh dua unsur dan komponen , yaitu organisasi dan manajemen. Pasal 5 menyatakan : (1) Organisasi Lembaga Diklat sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 meliputi 14 http://www.wartabadiklat.info/tentang-kami/profil-badiklat/14prawacana.html, terakhir di akses Senin 20 April 2015 Pukul 08.00 WIB 15 Awang Amaruddin. Materi Inwasbang Diklat Kepemimpinan Pola Baru, Jatinangor : KPA2 I, 2004.
komponen: a. Dasar hukum; b. Tenaga kediklatan; c. Rencana Strategis; d. Fasilitas Diklat; e. Komite Penjamin Mutu Diklat. (2) Manajemen Lembaga Diklat sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 meliputi komponen: a. Perencanaan penyelenggaraan Diklat. b. Penyelenggaraan Diklat. c. Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan Diklat.
II. PEMBAHASAN A. Keberadaan Sentra Diklat Dalam Mendukung Peningkatan Sumber Daya Manusia Kejaksaan 1. Penyelenggaraan Diklat Oleh Sentra Diklat Dalam Mendukung Peningkatan Sumber Daya Manusia Kejaksaan Seiring dengan upaya mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bertanggungjawab (Good Governance), diperlukan ketersediaan sumber daya manusia yang profesional dan memiliki keunggulan kompetitif sehingga dapat menghasilkan kinerja maksimal sesuai dengan tugas dan fungsinya. Untuk membangun sumber daya manusia yang diinginkan tersebut, perlu dilakukan pembinaan secara terus menerus secara jelas dan terarah, diantaranya melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) pegawai. Mengutip pendapat Larins Kosay bahwa pendidikan dan pelatihan (diklat) merupakan salah satu pendekatan utama dalam mengembangkan sumber daya manusia16, maka diperlukan suatu sistem penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan yang obyektif, aplikatif dan akuntabel. Sebagaimana telah diuraikan pada Bab I Sub E Kerangka Pemikiran bahwa pendidikan dan pelatihan (diklat) adalah proses yang akan menghasilkan suatu perubahan perilaku, yang dalam pelaksanaannya dipengaruhi oleh perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware). Perangkat lunak dalam proses diklat mencakup antara lain: kurikulum, peraturan-peraturan, metode belajar mengajar dan tenaga pengajar. Sedangkan perangkat keras mencakup 16 Larinskosay.blogspot.co.id/2013/05/pengaruh- pendidikan-danpelatihan-html.
Penguatan Kelembagaan Sentra Diklat ... - Yoeniarti S, Sri Marsita, Sri Humana, Amalya Gustina, Imas Sholehah, Irfan F.
245
antara lain: fasilitas-fasilitas seperti gedung, buku-buku, alat bantu pendidikan dan lainlain.17, maka dikaitkan dengan Sentra Diklat pada Lembaga Kejaksaan RI sebagai Unit Pelayanan Tugas Teknis Tertentu berdasarkan ketentuan Pasal 652 ayat (1) Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI yo Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-037/A/JA/12/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-068/A/JA/07/2007 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kejaksaan RI, apakah selama ini sudah menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi pegawai Kejaksaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku demi tersedianya sumber daya manusia Kejaksaan yang memiliki kompetensi. Terlebih ke depan, Jaksa harus mampu bersaing dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan ilmu hukum. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa dari pendapat responden terhadap: landasan hukum penyelenggaraan diklat oleh Sentra Diklat, sejarah dibentuknya Sentra Diklat, materi/ jenis diklat pada Sentra Diklat, ketersediaan tenaga pengajar pada Sentra Diklat, serta tugas dan fungsi kelembagaan Sentra Diklat dikaitkan dengan status kepegawaian/ pelaksana diklat, status keuangan, sarana prasarana dan program diklat; memberikan gambaran selama ini bahwa Sentra Diklat sudah menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan (diklat) dalam mendukung peningkatan sumber daya manusia Kejaksaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, walaupun dalam pelaksanaannya belum maksimal. Kondisi tersebut dapat dilihat pada kesimpulan data berikut ini: a. Landasan Hukum Penyelenggaraan Diklat Oleh Sentra Diklat Tabel 2 Diagram 1 Pendapat Responden terhadap Landasan Hukum Oleh Sentra Diklat Penyelenggaraan Diklat Oleh Sentra Diklat
Pendapat Responden terhadap Landasan Hukum Penyelenggaraan Diklat
28;(9,72%)
33; (11,46%)
Mengetahui Tdk Mengetahui
227; (78,82%)
17 288 responden, 227 responden Data menunjukkan dari Veithzal Rivai dan Ella Jauvani
Tdk Menjawab
Sagala, ibid.
246 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016 Tabel 3 Pendapat responden terhadap sejarah dibentuknya sentra diklat
Data menunjukkan dari 288 responden, 227 responden (78,82%) menyatakan mengetahui landasan hukum penyelenggaraan diklat oleh Sentra Diklat, yang meliputi: 1) Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI. 2) Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-037/A/JA/12/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-068/A/ JA/07/2007 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kejaksaan RI. 3) Surat Kepala Pusdiklat Kejaksaan RI Nomor: B-237/J/J.3/05/2010 tanggal 15 Mei 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Diklat Sentra pada Kejaksaan Tinggi Seluruh Indonesia. Sedangkan 33 responden (11,46%) menyatakan tidak mengetahui landasan hukum penyelenggaraan diklat oleh Sentra Diklat, dan 28 responden (9,72%) tidak menjawab. Dari komposisi prosentase data tersebut memberikan petunjuk adanya tingkat pemahaman dan kepedulian yang cukup baik di kalangan pegawai Kejaksaan terhadap upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia Kejaksaan melalui proses pendidikan dan pelatihan dari sisi normatif. Bahwa selama ini pegawai Kejaksaan selalu mengikuti dan mencermati perkembangan peraturan perundang-undangan internal Kejaksaan RI walaupun belum secara menyeluruh, mengingat masih ada 21,12% yang tidak perduli atau tidak tahu terhadap perkembangan dan perubahan peraturan perundangundangan internal yang berlaku. Ketidakpedulian atau ketidaktahuan tersebut bisa dikarernakan memang tidak ada keinginan untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuannya terutama terhadap perubahan dan perkembangan peraturan perundang-undangan internal Kejaksaan, tetapi bisa juga dikarenakan tidak ada peraturan yang jelas dan rinci
mengenai keberadaan Sentra Diklat Tabel 2dari data yang ada di daerah. Walau Pendapatdapat Respondendisimpulkan terhadap Landasan Hukum Penyelenggaraan Diklat tingkat pemahaman Oleh Sentra Diklat pegawai Kejaksaan terhadap peraturan perundang-undangan internal yang 28;(9,72%) berlaku sangat baik, dan dapat dijadikan suatu modal dasar bagi peningkatan dan 33; pengembangan sumber daya Mengetahui manusia (11,46%) Tdk Mengetahui Kejaksaan yang kompeten; tetapi tetap Tdk Menjawab 227; (78,82%) harus dilakukan pembinaan kepada pegawai Kejaksaan secara konsisten sehingga pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan internal yang berlaku dapat merata dan menyeluruh. Data menunjukkan dari 288 responden, 227 responden b. Sejarah dibentuknya Sentra Diklat Tabel 3
Tabel 3
Pendapat responden terhadap sejarah dibentuknya sentra diklat
Pendapat responden terhadap sejarah dibentuknya sentra diklat
16; (5,56%) 29; (10,07%) Mengetahui Tdk Mengetahui Tdk Menjawab
243; (84,38%)
Data menunjukkan dari 288 responden, 243 responden (83,37%) menyatakan bahwa sejarah dibentuknya Sentra Diklat di ke 6 (enam) wilayah hukum Kejaksaan Tinggi, yakni Sentra Diklat Medan (Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara), Sentra Diklat Palembang (Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan), Sentra Diklat Bandung (Kejaksaan Tinggi Jawa Barat), Sentra Diklat Semarang (Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah), Sentra Diklat Surabaya (Kejaksaan Tinggi Jawa Timur), dan Sentra Diklat Makasar (Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan); adalah sebagai jalan keluar untuk menjawab tuntutan terhadap ketersediaan sumber daya manusia Kejaksaan yang lebih profesional, berintelektual dan berintegritas secara menyeluruh sehingga mampu menyelesaikan tugas sesuai dengan tugas dan fungsinya. Di sisi lain daya tampung Badan Diklat Kejaksaan Agung RI untuk melaksanakan diklat bagi seluruh pegawai Kejaksaan secara merata, terbatas; sehingga dibentuklah Sentra Diklat di daerah untuk menyelenggarakan diklat
Data menunjukkan dari 288 responden, 243 responden
yang obyektif, aplikatif dan akuntabel. Di samping untuk pemerataan kesempatan bagi pegawai Kejaksaan di daerah untuk umengikuti diklat yang terarah dan terukur, maka penyelenggaraan diklat di Sentra Diklat dianggap lebih efisien baik dari sisi biaya/anggaran, tenaga dan waktu karena peserta diklat tidak harus ke Badan Diklat Kejaksaan Agung RI di Pusat yang notabene membutuhkan beaya/anggaran dan tenaga serta waktu yang lebih banyak. Sedangkan 29 responden (10,07%) tidak mengetahui sejarah dibentuknya Sentra Diklat dan 16 responden (5,56%) tidak menjawab. Pemaknaan terhadap komposisi data tentang sejarah dibentuknya Sentra Diklat ini dapat dikatakan sama dengan pemaknaan terhadap komposisi data tentang landasan hukum penyelenggaraan diklat oleh Sentra Diklat, bahwa tingkat pemahaman dan kepedulian pegawai Kejaksaan terhadap upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia Kejaksaan melalui proses pendidikan dan pelatihan dari sisi normatif cukup baik, walaupun masih ada ketidakpedulian atau ketidaktahuan tentang pentingnya meningkatkan kualitas sumber daya manusia Kejaksaan melalui proses pendidikan dan pelatihan pada 15,63% responden. Meskipun tidak akan berpengaruh secara signifikan, tetapi kondisi ini tetap harus disikapi melalui pembinaan terhadap pegawai Kejaksaan secara konsisten sehingga terpenuhi tingkat pemahaman yang merata dan menyeluruh, terutama dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia Kejaksaan melalui pendidikan dan pelatihan. c. Materi/jenis Diklat
diklat
pada
Sentra
Tabel 4 Tabel 4 Pendapat Responden Terhadap Materi/jenis Pendapat Responden Terhadap Materi/jenis diklatDiklat pada Sentra Diklat diklat pada Sentra 22; (7,64%) 24; (8,33%) Mengetahui Tdk Mengetahui
242; (84,03%)
Data menunjukkan dari 288 responden, 242
Tdk Menjawab
Penguatan Kelembagaan Sentra Diklat ... - Yoeniarti S, Sri Marsita, Sri Humana, Amalya Gustina, Imas Sholehah, Irfan F.
247
Pendapat responden terhadap kualitas tenaga pengajar pada Sentra Diklat.
Data menunjukkan dari 288 responden, 242 responden (84,03%) menyatakan materi/jenis diklat pada Sentra Diklat secara umum berdasarkan kurikulum dan struktur program Badan Diklat Kejaksaan Agung RI supaya ada persamaan dalam pemahaman dan keseragaman di Pusat maupun di daerah. Namun demikian, untuk hal-hal tertentu dibutuhkan kearifan lokal masingmasing daerah disesuaikan dengan kebutuhan permasalahan yang terjadi di setiap Sentra Diklat dan berorientasi pada penyelesaian masalah yang dihadapi di daerah, dengan tetap mempertimbangkan perkembangan hukum dan jenis tindak pidana yang ada di masyarakat serta perubahan administrasi teknis kejaksaan yang disesuaikan dengan tugas dan fungsi kejaksaan; sehingga dapat langsung diterapkan/ditindaklanjuti demi optimalisasi kinerja Kejaksaan. Dapat pula pemilihan materi/jenis diklat pada Sentra Diklat berdasarkan permasalahan yang sedang berkembang di masyarakat dan belum diatur dalam petunjuk teknis (juknis) sehingga apabila kasus/permasalahan tersebut muncul di daerah lain, maka penanganannya dapat dilakukan dengan sama dan benar, atau berdasarkan jenis kasus yang sering terjadi di suatu wilayah hukum Kejaksaan Tinggi, seperti misalnya diklat tentang Illegal Logging, Illegal Fishing, Narkotika, Terorisme atau diklat Peradilan Anak; dan yang berkaitan dengan penerapan peraturan perundangundangan yang baru sehingga peserta pendidkan dan pelatihan khususnya, dan para Jaksa pada umumnya bisa update peraturan yang baru. Sedangkan untuk pegawai Tata Usaha biasanya materi/jenis diklat yang dipilih adalah yang menunjang tugas dan fungsinya seperti misalnya diklat Sistem Akutansi Keuangan (SAK) dan Sistem Akutansi Informasi (SAI), serta diklat pengadaan barang dan jasa dan lain sebagainya. Jadi pada prinsipnya, kearifan lokal yang dimaksud adalah penentuan materi/jenis diklat pada Sentra Diklat yang didasarkan pada kebutuhan pengisian jabatan tertentu (Jaksa dan 248 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
Tata Usaha) maupun kebutuhan dalam penanganan terhadap perkara-perkara tertentu sesuai dengan amanat Pasal 17 Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-037/A/JA/12/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-068/A/JA/07/2007 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kejaksaan RI, yang mengacu pada Standar kompetensi Jabatan dan Standar Minimum Profesi Jaksa. Dan hanya 24 responden (8,33%) yang tidak mengetahui kriteria materi/ jenis diklat yang dipilih/ditetapkan pada Sentra Diklat dan 22 responden (7,64%) yang tidak menjawab. Ketidaktahuan/ ketidakpedulian 15,97% responden terhadap penentuan materi/jenis diklat pada Sentra Diklat dikarenakan responden belum pernah mengikuti diklat yang diselenggarakan oleh Sentra Diklat. Dan itu artinya adalah bahwa tujuan dibentuknya Sentra Diklat untuk pemerataan kesempatan mengikuti diklat bagi pegawai Kejaksaan di daerah, belum berjalan sesuai yang diharapkan. Walaupun dalam prosentase kecil dan tidak membawa pengaruh yang signifikan terhadap kelancaran pelaksanaan diklat di Sentra Diklat, tetapi kondisi ini tetap harus disikapi agar pemerataan kesempatan untuk mengikuti diklat bagi pegawai Kejaksaan di daerah dapat terwujud sehingga tujuan/sasaran diselenggarakannya diklat untuk tersedianya pegawai Kejaksaan yang memiliki kompetensi guna memenuhi salah satu persyaratan untuk diangkat dalam jabatan srtuktural/ fungsional ataupun untuk memperluas dan meningkatkan wawasan18, dapat terealisasi.
18 Lihat Pasal 3 Perja Nomor:PER-037/ A/JA/12/2009 : Sasaran Diklat Kejaksaan.
Tdk Mengetahui
242; (84,03%)
Tdk Menjawab
d. Kualitas tenaga pengajar pada Sentra Diklat
Data menunjukkan dari 288 responden, 242
Tabel 5
Pendapat responden terhadap kualitas tenaga pengajar pada Sentra Diklat.
Pendapat responden terhadap kualitas tenaga pengajar pada Sentra Diklat. 5; (1,74%)
16;( 5,55%)
Mengetahui Tdk Mengetahui 267;(92,71%)
Tdk Menjawab
Data menunjukkan dari 288 responden, 267 responden (92,71%) Data menunjukkan dari 288 responden, 267 respon menyatakan tenaga pengajar pada Sentra Diklat berasal dari luar dan program diklat (eksternal) Kejaksaan dan dari dalam (internal) Kejaksaan yang telah diuji kompetensinya. Dari luar Kejaksaan biasanya dari kalangan Akademisi/ dosen Perguruan Tinggi Negeri atau Perguruan Tinggi Swasta terakreditasi dan memiliki sertifikat ahli di bidangnya, dari kalangan praktisi hukum/profesional yang berkompeten (Hakim,Polisi dan Pengacara) dan dari Instansi terkait yang berhubungan dengan bidang hukum dan ahli di bidangnya. Sedangkan dari internal Kejaksaan, ditunjuk para pejabat struktural dan pegawai Kejaksaan yang memiliki keahlian berkaitan dengan materi diklat dan Widyaiswara. Walaupun sampai saat kini ketersediaan tenaga pengajar sudah terpenuhi dari sisi kuantitas yang disesuaikan dengan kebutuhan jenis/materi diklat, tetapi dari sisi kualitas tenaga pengajar (pada umumnya dari internal kejaksaan baik itu pejabat srtuktural maupun widyaiswara) belum memiliki serifikat Training of Trainer (TOT). Dan hal ini secara langsung akan berpengaruh kepada kualitas belajar mengajar yang efektif, akuntabel dan aplikatif. Ke depan, seiring dengan upaya ketersediaan sumber daya manusia Kejaksaan yang kompetitif dan mampu bersaing seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan era keterbukaan (termasuk pemberlakuan MEA/Masyarakat Ekonomi Asia yang
dimulai pada awal tahun 2016 ini), diperlukan tenaga-tenaga pengajar pada Sentra Diklat yang berkompeten dan berkualitas di bidangnya dan sudah bersertifikasi Training of Trainer (TOT) sesuai dengan amanat ketentuan Pasal 18 Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-037/A/JA/12/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-068/A/JA/07/2007 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kejaksaan RI.19 Dan 21 responden (7,29%) tidak mengetahui dan tidak menjawab berkaitan dengan keberadaan dan kualitas tenaga pengajar pada Sentra Diklat, karena selama ini belum pernah mengikuti diklat pada Sentra Diklat. Dari komposisi prosentase data tersebut di atas diperoleh gambaran bahwa pemerataan keikutsertaan pegawai Kejaksaan pada diklat yang diselenggarakan oleh Sentra Diklat sebagai salah satu sarana meningkatkan sumber daya manusia Kejaksaan yang kompetitif selama ini belum berjalan sesuai harapan dibentuknya Sentra Diklat di daerah. Walaupun prosentase hanya 7,29%, tetapi perlu disikapi dan ditindaklanjuti supaya pemerataan kualitas pegawai Kejaksaan yang kompetitif dapat terwujud sesuai dengan sasaran diselenggarakannya pendidikan dan pelatihan. e. Tugas Dan Fungsi Lembaga Sentra Diklat Dikaitkan Dengan Status Kepegawaian, Status Keuangan, Sarana Prasarana Dan Program Diklat Tabel 6 Pendapat responden terhadap tugas dan fungsi lembaga sentra diklat dikaitkan dengan status kepegawaian, status keuangan, sarana prasarana dan program diklat 26, 9 03% 24, 8 33% Mengetahui Tdk Mengetahui
238, 82 64%
Tdk Menjawab
19 Lihat Pasal 18 Perja Nomor:PER-037/A/JA/12/2009: Tenaga Pendidik/Pengajar, Pelatih dan Fasilitator. Data menunjukkan dari 288 respopnden, 238 responden
Penguatan Kelembagaan Sentra Diklat ... - Yoeniarti S, Sri Marsita, Sri Humana, Amalya Gustina, Imas Sholehah, Irfan F. Tabel 1
249
Data menunjukkan dari 288 respopnden, 238 responden (82,64%) menyatakan bahwa selama ini tugas dan fungsi Sentra Diklat sebagai lembaga pendidikan dan pelatihan yang diserahkan kepada Kejaksaan Tinggi tempat beradanya Sentra Diklat dikaitkan dengan status kepegawaian, status keuangan dan sarana prasarana, sudah dilaksanakan dengan baik sesuai ketentuan/acuan Badan Diklat Kejaksaan Agung RI; walaupun masih banyak ditemukan keterbatasan/kekurangan yang ada. Tugas dan fungsi kelembagaan Sentra Diklat belum mewakili standar yang diinginkan karena statusnya masih tumpang tindih dan sifatnya secara berkala atau sewaktu-waktu, sehingga tidak dapat dilaksanakan secara profesional. Tugas dan Fungsi Sentra Diklat masih rancu karena masih dilaksanakan semuanya oleh Bagian Pembinaan Kejaksaan Tinggi setempat. Status kepegawaian/ pelaksana pendidikan dan pelatihan pada Sentra Diklat adalah pegawai Kejaksaan yang ada di Kejaksaan Tinggi setempat, karena penyelenggara pendidikan dan pelatihan di Sentra Diklat adalah Bagian Pembinaan Kejaksaan Tinggi setempat c.q. Asisten Pembinaan. Status keuangan lembaga Sentra Diklat biasanya melekat pada DIPA (Daftar Isian Penggunaan Anggaran) Kejaksaan Tinggi setempat, c.q. Asisten Pembinaan; dengan pertimbangan untuk kemudahan dalam pelaksanaan pendidikan dan pelatihan di Sentra Diklat. Jadi Sentra Diklat sekarang berada di bawah tanggungjawab Asisten Pembinaan dan sebagai pelaksananya adalah Kasubag Kepegawaian, walaupun sebenarnya hal ini bertentangan dengan tugas dan fungsi Asisten Pembinaan yang tidak memiliki tugas pokok dan fungsi pendidikan dan pelatihan. Sentra Diklat selama ini tidak memiliki sarana prasarana untuk melakukan suatu kegiatan pendidikan dan pelatihan terutama gedung Sentra Diklat yang permanen, yang dapat dimanfaatkan baik untuk penginapan maupun untuk tempat belajar mengajar. Dari ke 6 (enam) Sentra Diklat yang ada, baru Sentra Diklat Medan 250 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
(Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara) yang sudah memiliki gedung Sentra Diklat permanen. Untuk Sentra Diklat yang belum memiliki gedung sendiri, biasanya untuk penginapan para peserta pendidikan dan pelatihan diinapkan di hotel-hotel terdekat dengan Kejaksaan Tinggi setempat dan proses belajar mengajar diadakan di aula Kejaksaan Tinggi setempat atau di aula hotel tempat peserta diinapkan; yang tentunya berdampak pada membengkaknya dana yang dikeluarkan. Terhadap program pendidikan dan pelatihan di Sentra Diklat disusun oleh Bagian Pembinaan c.q. Asisten Pembinaan, dan jenis diklat nya adalah Diklat Teknis Kejaksaan karena diperlukan sebagai penunjang tugas pegawai Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. (amanat Pasal 12 Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER037/A/JA/12/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-068/A/JA/07/2007 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan 20 Pelatihan Pegawai Kejaksaan RI). Data juga menunjukkan ada 24 responden (8,33%) menyatakan tidak mengetahui tugas dan fungsi lembaga Sentra Diklat di daerah dikaitkan dengan status kepegawaian, status keuangan, sarana prasarana dan program pendidikan dan pelatihan, dan 26 responden (9,03%) tidak menjawab. Kondisi 17,36% responden yang tidak mengetahui tugas dan fungsi lembaga Sentra Diklat di daerah dikaitkan dengan status kepegawaian, status keuangan, sarana prasarana dan program pendidikan dan pelatihan; tersebut dapat diupayakan melalui sosialisasi informasi secara merata dan menyeluruh sehingga program peningkatan sumber daya manusia Kejaksaan di daerah melalui Sentra Diklat dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Mencermati data komponen perangkat lunak (software) yang meliputi landasan hukum penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan oleh Sentra Diklat, sejarah dibentuknya Sentra Diklat, materi/jenis diklat pada Sentra Diklat dan ketersediaan tenaga pengajar 20 Lihat Pasal 12 Perja Nomor:PER-037/A/JA/12/2009: Diklat Teknis Kejaksaan
pada Sentra Diklat; dan data komponen perangkat keras (hardware) tentang pendapat responden terhadap tugas dan fungsi lembaga Sentra Diklat dikaitkan dengan status kepegawaian, status keuangan, sarana prasarana dan program diklat; dihubungkan dengan pendapat Veithzal Rivai dan Ella Jauvani Sagala tentang proses perubahan pada suatu diklat yang tidak dapat dipisahkan dari berfungsinya masing-masing komponen (perangkat lunak dan perangkat keras); secara teori sebenarnya belum dapat dijadikan pedoman apakah sebuah pendidikan dan pelatihan sudah berjalan/ berproses dengan maksimal atau belum. Apalagi apabila mengacu pada pendapat Abu Samman Lubis bahwa komponenkomponen yang menentukan berhasil tidaknya proses pembelajaran pada suatu diklat yang meliputi siswa/peserta diklat, tenaga pengajar/guru, tujuan, materi/jenis, metode, sarana, evaluasi, lingkungan, pengelola, struktur/janjang dan kurikulum; merupakan kesatuan komponen yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.21 Namun demikian, mewakili pendapat pegawai Kejaksaan terhadap penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan oleh Sentra Diklat di daerah, maka berdasarkan data komponen perangkat lunak (software) dan data perangkat keras (hardware) tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Sentra Diklat sudah berusaha menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan dalam mendukung peningkatan sumber daya manusia Kejaksaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, walaupun dalam pelaksanaannya belum maksimal. Tugas dan fungsi Sentra Diklat belum berjalan secara maksimal karena kelembagaan Sentra Diklat masih kekurangan dalam hal pemenuhan perangkat keras (hardware) yang meliputi kepegawaian, keuangan serta sarana prasarana. Mengingat salah satu tugas dan fungsi Sentra Diklat adalah melaksanakan pendidikan dan pelatihan (diklat) untuk membantu Badan Diklat Kejaksaan Agung RI memperbanyak kesempatan 21 Abu Samman Lubis, “Merancang Kurikulum Diklat Yang Berkualitas Seperti Apa?”, Jumat, 8 Mei 2015, www.bppk.kemenkeu. go.id/publikasi/artikel/418-artikel-soft/21091.
bagi pegawai Kejaksaan di daerah untuk meningkatkan sumber daya manusia nya guna memenuhi syarat menempati jabatan tertentu sehingga jenjang karir para pegawai di daerah tidak tertinggal dengan yang di Pusat, maka seharusnya dalam hal status kepegawaian, keuangan dan sarana prasarana diatur secara tersendiri, tidak seperti sekarang melekat pada Asisten Pembinaan Kejaksaan Tinggi tempat Sentra Diklat berada. Perlu adanya perbaikan/pembenahan dari masing-masing komponen pendidikan dan pelatihan untuk keberhasilan proses perubahan sumber daya manusia ke arah yang lebih baik. 2. Pentingnya Sentra Diklat Dalam Mendukung Peningkatan Sumber Daya Manusia Kejaksaan Mengacu pada pendapat Jaksa Agung Muda Pembinaan (Jambin) yang disampaikan pada wawancara dengan Tim Peneliti, bahwa pentingnya Sentra Diklat di daerah dapat dilihat dari 3 (tiga) faktor, yaitu:22 a. Faktor kebutuhan Bahwa Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang mempunyai kewenangan utama di bidang penuntutan sangat membutuhkan keahlian/ ketrampilan sumber daya manusia nya, baik pegawai Kejaksaan dari unsur Jaksa maupun pegawai Kejaksaan dari unsur Tata Usaha, secara merata dan menyeluruh. Dan kebutuhan tersebut dapat terpenuhi antara lain melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) yang diselenggarakan baik di tingkat Pusat oleh Badan Diklat Kejaksaan Agung RI atau di tingkat Daerah yang diselenggarakan oleh Sentra Diklat di ke 6 (enam) wilayah Kejaksaan Tinggi. b. Faktor efisiensi Bahwa program Badan Diklat Kejaksaan Agung RI untuk meningkatkan kemampuan/kompetensi pegawai Kejaksaan yang disesuaikan dengan perkembangan dinamika masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan hukum harus dilaksanakan. Di sisi lain daya tampung 22
DR. Bambang Waluyo, SH.MH. tanggal 13 Nopember 2015.
Penguatan Kelembagaan Sentra Diklat ... - Yoeniarti S, Sri Marsita, Sri Humana, Amalya Gustina, Imas Sholehah, Irfan F.
251
dan peran Badan Diklat Kejaksaan Agung RI masih terbatas, maka diperlukan Sentra Diklat. Jadi yang tidak masuk ranah Badan Diklat Kejaksaan Agung RI dilaksanakan di Sentra Diklat sehingga disamping lebih efektif, juga efisien dari sisi anggaran/biaya, waktu dan tenaga. c. Faktor politis Bahwa melalui Sentra Diklat maka kebijakan-kebijakan pimpinan atau petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksana (juklak) dari pimpinan kepada seluruh pegawai Kejaksaan dapat tersosialisasikan dengan mudah dan cepat. Maka pendapat Jambin tersebut semakin memperkuat data responden yang menyatakan bahwa keberadaan Sentra Diklat di daerah sangat penting dan bermanfaat untuk pemerataan peningkatan sumber daya manusia Kejaksaan yang memiliki kompetensi (277 responden/96.18% dari 288 responden). Bahwa dalam rangka penegakan hukum dan pemenuhan sumber daya manusia Kejaksaan yang berkompetensi di daerah, dan untuk memperluas serta meningkatkan wawasan pegawai Kejaksaan di daerah, diperlukan pembaharuan-pembaharuan yang disesuaikan dengan kebutuhan Kejaksaan Tinggi daerah melalui proses pendidikan dan pelatihan (diklat) yang diselenggarakan oleh Sentra Diklat untuk melatih dan mendidik pegawai yang beretika, profesional, tanggap dan mandiri. Untuk menjangkau dan pemerataan kebutuhan diklat di daerah sehingga kualitas sumber daya manusia Kejaksaan di daerah setara dengan sumber daya manusia di Pusat, maka Sentra Diklat diadakan di daerah untuk mempermudah dan memperlancar kegiatan diklat sehingga peserta diklat yang dari daerah yang lokasinya jauh dari Pusat masih tetap dapat mengikuti program diklat. Hal ini akan menghemat biaya, waktu, jarak dan tenaga bagi peserta diklat di daerah. Yang penting disini penyelenggaraan diklat oleh Sentra Diklat tetap memperhatikan standar mutu pendidikan dan pelatihan yang diberikan dengan menyediakan tenaga pengajar yang profesional, kompeten/ahli di bidangnya serta berpengalaman dalam proses belajar mengajar. Data terhadap pendapat responden 252 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
yang menyatakan keberadaan Sentra Diklat tidak terlalu penting dan kurang bermanfaat dalam mendukung peningkatan sumber daya manusia Kejaksaan ada 8 responden (2,78%), dan 3 responden (1,04%) tidak menjawab; dengan alasan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan lebih baik dilaksanakan oleh Badan Diklat Kejaksaan Agung RI yang sudah memiliki sarana prasarana lengkap (gedung dan kelengkapan lainnya yang mendukung proses belajar mengajar) di Ragunan dan Ceger. Walaupun dari sisi anggaran/biaya, waktu dan tenaga penyelenggaraan diklat di Sentra Diklat lebih hemat/efisien, tetapi apabila tidak didukung sarana prasarana yang diperlukan (gedung dan kelengkapan lainnya) maka dikhawatirkan akan berdampak pada kualitas hasil/output sumber daya manusia Kejaksaan yang kurang kompetitif. Kendala dari sisi belum terpenuhinya sarana prasarana gedung Sentra Diklat yang permanen, dalam perencanaan ke depan perlu dipertimbangkan demi tercapainya kualitas sumber daya manusia Kejaksaan yang mempunyai kompetensi. Mencermati data tentang sejarah dibentuknya 6 (enam) Sentra Diklat di daerah yang tujuan utamanya adalah untuk menjangkau dan memenuhi kebutuhan diklat di daerah dan pemerataan kesempatan ikut diklat bagi pegawai Kejaksaan di daerah dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi, dengan data pentingnya keberadaan Sentra Diklat di daerah sebagaimana disebutkan di atas; memperkuat petunjuk bahwa pada prinsipnya keberadaan Sentra Diklat penting sebagai alternatif penyelenggaraan pendidkan dan pelatihan yang tidak tertampung oleh Badan Diklat Kejaksaan Agung RI, terutama dalam upaya menyiapkan sumber daya manusia Kejaksaan yang profesional dan kompetitif. Dengan demikian Sentra Diklat mempunyai posisi penting dan strategis sebagai pendukung peningkatan sumber daya manusia Kejaksaan.
Data menunjukkan dari 288 respopnden, 238 responden
Tabel 1
B. KOORDINASI SENTRA DIKLAT DENGAN BADAN DIKLAT KEJAKSAAN AGUNG RI DALAM PENYELENGGARAAN DIKLAT.
Tabel 1
Pendapat Responden terhadap Koordinasi Sentra Diklat Dengan Badiklat
Pendapat Responden terhadap Koordinasi Sentra Diklat Dengan Badiklat
9; 3,12% Definisi tentang koordinasi oleh banyak 19; 6,60% ahli mempunyai pendapat yang berbeda-beda Mengetahui tetapi mempunyai tujuan yang sama yakni bahwa koordinasi adalah asas umum dalam Tdk Mengetahui semua organisasi atau dengan perkataan lain Tdk Menjawab 260, koordinasi adalah asas pokok organisasi. Secara 90 28% umum pengertian koordinasi adalah the orderly arrangement of group effort, to provide unity, of action in the pursuit of common purpose. Data menunjukan dari 228 responden, Data menunjukan dari 228 responden, 260 responden Mooney memandang bahwa koordinasi 260 responden (90,28%) menyatakan bahwa merupakan suatu pengaturan usaha sekelompok koordinasi sentra diklat dengan Badan Diklat orang secara teratur untuk menciptakan kesatuan Kejaksaan Agung RI selama ini cukup baik, hal Kelembagaan Sentra Diklat tindakan dalam mengusahakan tercapainya ini dilihat adanya pendelegasian penyelenggaraan tujuan suatu tujuan, pengaturan usaha kelompok diklat dari Badan Diklat Kejaksaan Agung atau organisasi memang diperlukan, mengingat RI ke sentra diklat 14, di 4 daerah dan koordinasi 86% 30, 10 42% organisasi terdiri atas sejumlah unit kerja yang dilakukan dengan cara melaksanakan programberlainan fungsi namun diikat oleh satu kesatuan program yang diberikan oleh Badan Diklat tujuan tertentu. Coordination : a continuous, u itingkatkan Kejaksaan Agung RI dan dilaksanakane dalam harmonious action toward the objectivies, Tdk Mengetahui bentuk penyediaan saran dan prasarana serta attained through leadership organization, and 244, diklat kejaksaan Tdk Menjawab melaksanakan program yang 84 72% administration the arrangement of group efforts ditentukan oleh Badan Diklat Kejaksaan Agung in a continuous and orderly manner so as to RI berdasarkan jenis dan jenjang diklat yang proride unification of action in the pursuit of a diselenggarakan. Selain itu koordinasi sentra common goal”. Konsep tersebut mempunyai diklat di daerah dan Badan Diklat Kejaksaan pemahaman bahwa koordinasi adalah suatu Data menunjukkan, dari 288RI responden, 244 responden Agung tercermin dengan( adanya hubungan kelangsungan, keharmonisan mencapai tujuan yang baik melalui sarana komunikasi yang baik, yang dapat dicapai melalui kepemimpinan, tatap muka langsung, surat menyurat, media organisasi dan administrasi, dan koordinasi juga elektronik (e_mail, fax, telepon) dan kegiatan dipandang sebagai suatu usaha- usaha kelompok sosialisasi yang dapat terintegrasi dengan baik. di dalam kelangsungan, keteraturan sikap Namun demikian, koordinasi Sentra Diklat sehingga menciptakan suatu tindakan dalam di daerah dengan Badan Diklat Kejaksaan mengusahakan tercapainya tujuan bersama. Agung RI dapat dikatakan masih belum optimal Dalam pendapat ini faktor kepemimpinan, karena tidak ada pejabat/ petugas Badan Diklat organisasi dan administrasi tampaknya dijadikan Kejaksaan Agung RI di sentra diklat yang faktor-faktor yang memerlukan keharmonisan mengawasi kegiatan diklat dan praktek belajar dan keteraturan yang dikoordinasikan melalui mengajar secara langsung. Bahkan untuk kegiatan koordinasi. pemilihan narasumber/pengajar di sentra diklat Dari beberapa pendapat sangat jelas bahwa diserahkan sepenuhnya pada sentra diklat / koordinasi adalah sangat penting dalam suatu kejaksaan tinggi tempat sentra diklat berada. organisasi guna tercapai suatu tujuan bersama. Untuk itu koordinasi perlu dilakukan secara aktif Demikian hanya hubungan antara Badiklat dan berkelanjutan agar kegiatan pendidikan dan dengan sentra diklat di daerah yang selama ini pelatihan di sentra diklat di daerah mempunyai sudah cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari bentuk mutu yang sama dengan pendidikan dan pelatihan koordinasi diklat yaitu jadwal pelaksanaan diklat, di Badan Diklat Kejaksaan Agung RI metode, modul, materi diklat yang diberikan Koordinasi disini sangat penting untuk kepada sentra-sentra diklat di daerah supaya ada keberhasilan dari pelaksanaan pendidikan dan keseragaman pada setiap sentra diklat. pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan Hal tersebut dapat dilihat dari data dibawah Sumber Daya Manusia kejaksaan yang ini: dikarenakan luasnya wilayah kejaksaan di Penguatan Kelembagaan Sentra Diklat ... - Yoeniarti S, Sri Marsita, Sri Humana, Amalya Gustina, Imas Sholehah, Irfan F.
253
Indonesia untuk mengefektifkan waktu, biaya dan tempat maka diselenggarakan diklat-diklat tertentu di sentra diklat di daerah. Sedangkan 19 responden (6,60%) responden menyatakan tidak mengetahui adanya koordinasi antara Badan Diklat Kejaksaan Agung RI dengan sentra diklat di daerah karena kurangnya sosialisasi yang merata kepada setiap pegawai kejaksaan di daerah dan 9 responden (3,12 5) tidak memberikan jawaban mengenai koordinasi Badan Diklat Kejaksaan Agung RI dengan Sentra Diklat. Dalam rangka untuk penguatan kelembagaan sentra diklat dalam mendukung sumber daya kejaksaan koordinasi sangat penting, karena dengan adanya koordinasi seluruh kegiatan pendidikan dan pelatihan akan dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan sebagaimana tujuan dilaksanakannya pendidikan dan pelatihan. Sesuai dengan C. PENGUATAN KELEMBAGAAN SENTRA DIKLAT SEBAGAI PENDUKUNG PENINGKATAN SUMBER DAYA MANUSIA KEJAKSAAN. Sebagai Unit Pelayanan Teknis dalam struktur Organisasi Kejaksaan Republik Indonesia, Sentra Diklat di 6 (enam) Kejaksaan Tinggi berupaya menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sebagai pendukung peningkatan sumber daya manusia Kejaksaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, baik menurut Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI dan Peraturan Jaksa Agung RI Nomor PER-037/A/JA/12/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER068/A/JA/07/2007 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kejaksaan RI; walaupun dalam pelaksanaannya belum maksimal karena masih ditemukan kekurangan/ kendala yang perlu ditindaklanjuti agar sasaran dilaksanakannya pendidikan dan pelatihan oleh Sentra Diklat untuk menghasilkan pegawai Kejaksaan yang mempunyai kompetensi dapat terwujud sesuai yang diharapkan. Dengan adanya kekurangan/kendala yang ditemukan, baik dari komponen perangkat lunak (software) maupun perangkat keras (hardware) sebagaimana telah diuraikan pada Sub Bab A dan B di atas, sebagai satu kesatuan komponen yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain; maka perlu ada perbaikan secara menyeluruh dari masing254 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
masing komponen melalui penguatan Sentral Diklat. Berbicara masalah penguatan Sentral Diklat, tidak dapat dilepaskan dari teori manajemen pendidikan dan teori manajemen sumber daya manusia. Pada uraian Bab I sub E Kerangka Pemikiran telah disebutkan bahwa manajemen pendidikan menurut Sutisna Oteng adalah keseluruhan (proses) untuk membuat tersedianya personil yang efektif untuk mencapai tujuan bersama. Proses ini meliputi perencanaan, organisasi, koordinasi, pengawasan, penyelenggaraan dan pelayanan yang berhubungan dengan pendidikan sekolah seperti kurikulum, guru, murid, metode, alatalat pelajaran dan bimbingan. Juga soal tanah, bangunan sekolah, perlengkapan, pembekalan dan pembiayaan yang diperlukan dalam penyelenggaraan pendidkan.23 Sedangkan manajemen sumber daya manusia menurut Malayu Hasibuan adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peran tenaga kerja agara efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat. 24 Dengan demikian untuk mencapai hasil pendidikan dan pelatihan (diklat) yang maksimal pada Sentra Diklat, diperlukan sarana manajemen (tools of management) yang meliputi : man, money, material, methode. Manusia (man) adalah fasilitas yang berupa tenaga kerja baik penyelenggara maupun peserta diklat, uang (money) adalah fasilitas sumber pembiayaan diklat, material (materials) adalah fasilitas berupa sarana prasarana diklat termasuk mesin-mesin yang digunakan dalam pelaksanaan diklat, metode (methods) adalah cara yang digunakan dalam pelaksanaan diklat. Dan kurikulum merupakan faktor tersendiri yang berpengaruh besar terhadap proses pendidikan dan pelatihan.25 Untuk tercapainya hasil pendidikan dan pelatihan (diklat) yang maksimal, perlu dilakukan langkah-langkah penguatan Sentra Diklat secara menyeluruh melalui sarana manajemen man, money, material, methode; dengan berpedoman kepada kendala/hambatan yang ditemukan dalam penyelenggaraan pendidkan dan pelatihan oleh Sentra Diklat. Dengan mengetahui kendala/ hambatan yang ada, dapat direncanakan langkahlangkah penanggulangannya sebagai sarana untuk penguatan Sentra Diklat. Kendala/hambatan Sutisna Oteng, ibid. Malayu hasibuan, ibid. 25 Soekidjo Notoatmodjo, ibid 23 24
yang masih ditemukan dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan oleh Sentra Diklat setelah diklasifikasi meliputi antara lain:
penerimaan peserta diklat. Misalnya: peserta diklat bisa lebih dari satu kali mengikuti jenis diklat yang sama.
1. Sarana Prasarana: Belum ada fasilitas gedung dengan kelengkapan sarana prasarananya yang memadai berupa ruangan untuk proses belajar mengajar dan untuk penginapan peserta diklat sehingga pelaksanaan diklat dilakukan di hotel-hotel sekitar Sentra Diklat, yang berdampak kepada tingkat kedisiplinan peserta diklat yang kurang/tidak terkontrol dan suasana pembelajaran yang kurang nyaman dan optimal.
b. Masih kurangnya minat pegawai mengikuti diklat, dikarenakan:
2. Tenaga Pengajar: Masih ada narasumber/tenaga pengajar dari kalangan internal Kejaksaan baik dari pejabat struktural maupun widyaiswara yang tidak/kurang menguasai materi sehingga peserta diklat kurang memahami apa yang disampaikan. 3. Materi /Jenis Diklat: a. jumlah diklat yang dilaksanakan terbatas sehingga kesempatan untuk mengikuti diklat di kalangan pegawai Kejaksaan belum merata. b. diklat yang diadakan ada yang belum memiliki standarisasi output peserta. c. materi yang disampaikan terkadang monoton, tidak disesuaikan dengan perkembangan hukum baik nasional maupun internasional dan tujuan diselenggarakannya diklat. d. belum adanya sinergitas program kerja dan kurikulum antara Sentra Diklat dengan Badan Diklat Kejaksaan Agung RI sehingga diklat yang dilaksanakan belum dikelola secara profesional karena lebih bersifat insidentil. 4. Metode Pengajaran: Cara penyampaian materi diklat masih ada yang bersifat monolog, dan terlalu banyak teori, sehingga tidak bisa diterapkan/aplikatif dalam pelaksanaan tugas. 5. Peserta Diklat: a. Masih terdapat tumpang tindih kegiatan yang dilaksanakan Badan Diklat Kejaksaan Agung RI dengan Sentra Diklat, terutama dalam pelaksanaan
1) sering terjadi penempatan personil setelah mengikuti diklat tidak sesuai dengan diklat yang diikutinya. 2) sertifikat tanda telah mengikuti diklat sering terlambat diterima oleh peserta diklat dan atau tidak diterima sama sekali oleh para peserta diklat, walaupun mereka sudah selesai mengikuti pelatihan pendidikan; sehingga mengurangi minat pegawai untuk mengikuti diklat di Sentra Diklat karena tidak ada bukti otentik keikutsertaan mereka. 3) adanya regulasi tentang persyaratan batas kepangkatan untuk dapat mengikuti pendidikan dan pelatihan yang tidak sesuai dengan kondisi di daerah. 6. Peraturan Pelaksanaan Diklat: a. Tidak ada aturan yang jelas dan terperinci mengenai kewenangan Sentra Diklat di daerah, dan siapa penanggungjawab pelaksanaan Sentra Diklat. Peraturan yang lama dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi dan perkembangan Badan Diklat Kejaksaan Agung RI yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang diklat. b. Struktur organisasi yang tidak jelas mengakibatkan Sentra Diklat terlihat diselenggarakan apa adanya. Bagian Pembinaan di Kejaksaan Tinggi setempat yang tidak mempunyai tugas dan fungsi di bidang diklat, diharuskan sebagai pelaksana Sentra Diklat di daerah. c. Kelembagaan Sentra Diklat masih menyatu dengan status kepegawaian, status keuangan serta sarana prasarana pada Kejaksaan Tinggi setempat sehingga dalam pelaksanaannya sering terjadi benturan-benturan antara pegawai yang ditugaskan pada pelaksanaan diklat di Sentra Diklat dengan tugas pokok pegawai Kejaksaan Tinggi itu sendiri. 7. Pelaksana Diklat a. kurang adanya informasi/ keterbukaan
Penguatan Kelembagaan Sentra Diklat ... - Yoeniarti S, Sri Marsita, Sri Humana, Amalya Gustina, Imas Sholehah, Irfan F.
255
dari Badan Diklat Kejaksaan Agung RI kepada daerah tentang jenis diklat dan jadwal kegiatan yang akan dilaksanakan setahun ke depan oleh Sentra Diklat. b. tidak ada kesadaran dalam mengaplikasikan hasil pendidikan dan pelatihan khususnya diklat teknis dan diklat fungsional. 8. Anggaran Pelaksanaan Diklat: a. penyelenggaraan diklat hanya bersifat formalitas dan dilaksanakan hanya untuk memenuhi penyerapan anggaran dan belum tepat sasaran. b. besarnya biaya yang dikeluarkan di Pusat maupun di daerah, khususnya dengan mendatangkan tenaga pengajar dari luar Kejaksaan (eksternal). Upaya penanggulangan yang disarankan responden tetap berbasis pada sarana manajemen (tools of management), yaitu: 1. Sarana Prasarana: Ditingkatkan secara bertahap dan berkelanjutan sesuai standar pendidikan dan pelatihan, diantaranya memiliki gedung sendiri beserta fasilitas pendukungnya, seperti tersedianya kelas yang nyaman, asrama bagi peserta, jaringan internet, ATK, atribut kelengkapan diklat dan lain-lainnya disesuaikan dengan kebutuhan diklat. 2. Tenaga Pengajar: Rekruitman widyaiswara dan tenaga pengajar (baik profesional, praktisi hukum, akademisi) dari luar instansi Kejaksaan yang mengedepankan kualitas dan profesionalitas sesuai dengan bidangnya dengan kepemilikan sertifikat diantaranya TOR, TOFFEL, TOT dan WI serta dipertimbangkan usia tenaga pengajarnya; di bawah pengawasan Badan Diklat Kejaksaan Agung RI. 3. Materi Diklat: a. Up to date dengan perkembangan teori dan praktek, kondisi dan dinamika hukum dalam masyarakat, mengikuti perkembangan kasus-kasus yang sedang terjadi, kejahatan jenis baru yang berkembang dan menjadi perhatian masyarakat khususnya yang diatur di luar KUHP. Dengan kata lain materi diklat bersifat future (kedepan). 256 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
b. Sosialisasi peraturan perundangundangan yang baru diundangkan. c. Disesuaikan dengan jenis diklat yang diselenggarakan sehingga lebih tepat sasaran dan peserta dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dengan mudah. d. Dalam menentukan materi diklat, perlu ada sinergi antara Pusat dengan daerah melalui koordinasi dengan Bidang Pembinaan c.q. Asisten Pembinaan di Kejaksaan Tinggi setempat. e. Ada materi public speaking, karena Jaksa akan melayani masyarakat yang beragam, sehingga harus pandai berbicara di muka umum secara bijak. 4. Disusun standar kurikulum masing-masing jenis pendidikan dan pelatihan sesuai dengan standar akademisi yang berlaku. 5. Metode Pengajaran: Lebih memperbanyak metode praktek daripada teori, dengan diskusi kelompok disesuaikan dengan tugas dan fungsi kejaksaan, dengan jam pembelajaran yang efektif dan efisien. 6. Peserta Diklat: a. Penunjukan peserta diklat sebaiknya berawal dari Kejaksaan Negeri, bukan dari Kejaksaan Tinggi, tujuannya adalah untuk pemerataan kesempatan mengikuti pendidikan dan pelatihan di Sentra Diklat. b. Bagi peserta diklat, setelah selesai mengikuti diklat diwajibkan untuk mensosialisasikan hasil yang diperoleh selama pendidikan dan pelatihan kepada seluruh pegawai yang terkait sehingga di samping ada nilai kemanfaatan, juga ada nilai kontrol dari pimpinan sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban. c. Supaya ada pemerataan peserta diklat yang disesuaikan dengan jumlah Jaksa yang ada di seluruh Indonesia, perlu dipetakan kebutuhan personil Jaksa atau Database pegawai Kejaksaan yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan. 7. Kelembagaan Sentra Diklat: Untuk meningkatkan tugas dan fungsi nya, Sentra Diklat perlu berdiri sendiri sebagai
26, 9 03% 24, 8 33% Mengetahui Tdk Mengetahui
238,
Tdk Menjawab
kepanjangan tangan dari Badan Diklat 82 64% Kejaksaan Agung RI dipimpin oleh pejabat struktural yang handal dalam lingkup Badan Diklat Kejaksaan Agung RI. Perubahan srtuktur organisasi kelembagaan Sentra Data menunjukkan dari 288 respopnden, 238 responden Diklat ini akan meningkatkan kualitas status anggaran pelaksanaan diklat, status kepegawaian/Penyelenggara diklat dan Tabel 1 kurikulum/materi diklat yang mengacu Pendapat Responden terhadap Koordinasi Sentra Diklat Dengan Badiklat pada Badan Diklat Kejaksaan Agung RI dan kearifan lokal.
c. Perlu kerjasama dengan sentra diklat instansi penegak hukum lainnya atau instansi terkait terutama dengan Pemerintah Daerah Propinsi setempat. d. Sentra Diklat yang ada sekarang perlu ditingkatkan menjadi Diklat Regional dengan melibatkan beberapa instansi terkait. Sedangkan 44 responden (15,28%) menyatakan tidak perlu dilakukan peningkatan kelembagaan Sentra Diklat, dengan alasan:
a. Tidak perlu karena lebih baik memfocuskan Data9; 3,12% tentang upaya penanggulangan dengan apa yang sudah ada sekarang, terhadap kendala/hambatan tersebut di atas, Mengetahui dimaksimalkan dalam hal pemerataan perlu disikapi dan ditindaklanjuti sebagai sarana dan peningkatan kualitas pendidikan dan untuk menentukan langkah-langkah penguatan Tdk Mengetahui pelatihan pegawai. kelembagaan Sentra Diklat. Karena kenyataan di Tdk Menjawab 260, lapangan menunjukkan sebagian besar pegawai b. Tidak perlu karena keberadaan Badan Diklat 90 28% Kejaksaan menghendaki perlunya peningkatan Kejaksaan Agung RI sudah cukup, baik kelembagaan Sentra Diklat melalui revisi dari segi sarana prasarana maupun jumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur pegawai. Tabel 8 Data menunjukan dari 228 responden, 260 responden tentang Sentra Diklat seperti terlihat pada tabelTabelPerundang-Undangan 8 Pendapat Responden terhadap Revisi Peraturan tabel berikut ini. Pendapat Responden terhadap Revisi Peraturan 19; 6,60%
Sentra Diklat
Perundang-Undangan Sentra Diklat
Tabel 7 Kelembagaan Sentra Diklat Pendapat Responden terhadap Perlu Tidaknya Peningkatan Kelembagaan Sentra Diklat 30, 10 42%
27, 9 38% 15, 5 21%
e u ie i i
14, 4 86%
Tidak e u i e i i
e u itingkatkan
101, 35 07%
145, 50 35%
Tidak Mengetahui Tidak Menjawab
Tdk Mengetahui
244, 84 72%
Tdk Menjawab
Data menunjukkan dari 288 responden, 248 responden (86,72%) menyatakan Data menunjukkan dari 288 responden,
Data menunjukkan, dari 288 responden, 244 responden (84,72%) menyatakan perlu Data menunjukkan, dari 288 responden, 244 responden ( dilakukan peningkatan kelembagaan Sentra Diklat, melalui: a. Perlu adanya jabatan struktural untuk sentra diklat yang terpisah dari struktur Asisten Pembinaan, yakni jabatan eselon II atau eselon III yang bertanggungjawab khusus untuk sentra diklat di daerah dan secara teknis di bawah kendali Badan Diklat Kejaksaan Agung RI. Artinya Sentra Diklat sebaiknya terpisah dari Kejaksaan Tinggi dan merupakan kepanjangan tangan dari Badan Diklat Kejaksaan Agung RI. b. Perlu ditingkatkan dari aspek kelembagaan/ jabatan struktural, anggaran, sarana prasarana, kualitas dan kapasitas widyaiswara/tenaga pengajar, pengelola dan pelaksana diklat, materi dan jenis diklat.
248 responden (86,72%) menyatakan perlu dilakukan revisi terhadap peraturan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan pada Sentra Diklat, dengan pertimbangan bahwa dalam rangka kepastian posisi/struktur organisasi yang jelas, tugas dan fungsi serta kemandirian anggaran Sentra Diklat, karena seharusnya kelembagaan Sentra Diklat berada di bawah Badan Diklat Kejaksaan Agung RI, dan bukan berada dalam naungan Bidang Pembinaan seperti yang terjadi sekarang ini; dan setidak-tidaknya dipimpin oleh pejabat struktural setingkat Eselon IV atau eselon III. Revisi dari struktur organisasi ini tujuannya adalah disamping untuk memberikan kewenangan lebih kepada Sentra Diklat untuk melaksanakan jenis-jenis pendidikan dan pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan wilayah Sentra Diklat setempat, terutama untuk kelas teknis; juga mempermudah pegawai Kejaksaan di daerah untuk mengikuti pendidikan
Penguatan Kelembagaan Sentra Diklat ... - Yoeniarti S, Sri Marsita, Sri Humana, Amalya Gustina, Imas Sholehah, Irfan F.
257
dan pelatihan yang dibutuhkan dan efisiensi biaya sehingga bisa lebih banyak lagi diklat-diklat yang diselenggarakan di Sentra Diklat dengan aturan yang lebih jelas. Revisi terhadap peraturan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan pada Sentra Diklat ini dilakukan juga dalam rangka untuk meningkatkan standar kualitas diklat, dan peningkatan ketertiban dalam pelaksanaan program diklat; melalui penyelenggaraan diklatdiklat yang disesuaikan dengan perkembangan dinamika hukum yang ada dalam masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan 40 responden (13,28%) menyatakan tidak perlu dilakukan revisi terhadap peraturan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan pada Sentra Diklat, karena peraturan yang ada saat ini sudah cukup baik karena sudah mencakup tentang agenda pembaharuan Kejaksaan, dan program pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan sudah berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan lainnya. Landasan hukum yang berlaku masih memadai untuk kebutuhan Sentra Diklat. Dan yang diperlukan sekarang adalah memaksimalkan penyelenggaraan diklat berdasarkan peraturan yang ada. Keinginan dari sebagian besar responden yang notabene adalah pegawai Kejaksaan terhadap perlunya peningkatan kelembagaan Sentra Diklat, faktanya sesuai dengan ceramah Kepala Badan Diklat Kejaksaan Agung RI di depan peserta diklat Wira Intelijen Kejaksaan tanggal 30 Oktober 2015 di Kampus Adhyaksa Loka Ceger Jakarta, disebutkan bahwa untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Kejaksaan adalah melalui: (1) perubahan mindset atau cara berpikir dalam mendukung aktualisasi jati diri kejaksaan, (2) diklat yang akuntabel, (3) peningkatan kualitas perencanaan diklat, (4) penguatan Sentra Diklat, (5) Badan Diklat turut serta dalam penentuan calon pesewrta diklat, dan (6) akurasi informasi intelijen; maka penguatan Sentra Diklat menduduki posisi strategis dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia Kejaksaan, dan hal ini perlu disikapi dengan bijak. Mengacu pada pendapat Lawrence Meir Friedman, bahwa efektif dan berhasil tidaknya penegakan hukum bergantung pada 3 (tiga) unsur sistem hukum, yaitu struktur hukum (structure of law), substansi hukum (substance of law) dan budaya hukum (legal of law);26 maka ketersediaan 26 www.scribd.com/doc/132230281/Teori-Sistem-HukumFriedman. Publishing by Abdurrahman Misno Bambang Prawiro.
258 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
Jaksa sebagai aparatur penegak hukum yang mempunyai kompetensi, merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dikesampingkan. Dan ketersediaan Jaksa sebagai aparatur penegak hukum serta ketersediaan Pegawai Tata Usaha sebagai pendukung pelaksanaan tugas penegakan hukum yang mempunyai kompetensi, dapat terealisasi melalui optimalisasi atau penguatan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; baik oleh Badan Diklat Kejaksaan Agung RI maupun oleh Sentra Diklat di daerah. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, langkah-langkah penguatan Sentra Diklat yang dimaksud adalah: 1. Penguatan dari sisi legislasi/peraturan perundang-undangan Untuk melancarkan tugas dan fungsi Sentra Diklat sebagai unit pelaksana teknis di bidang pendidikan dan pelatihan, segera dibentuk struktur Unit Pelaksana Teknis Sentra Diklat sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 652 ayat (2) Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, yang menyatakan bahwa organisasi dan tata kerja Sentra Diklat ditetapkan dengan Peraturan Jaksa Agung setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggungjawab. Secara teknis, Unit Pelaksana Teknis Sentra Diklat berada di bawah Badan Diklat Kejaksaan Agung RI, dan secara administrasi di bawah Kepala Kejaksaan Tinggi setempat. Langkah penguatan dari sisi legislasi ini akan memerlukan proses yang tidak singkat mengingat standar operasional prosedur pengajuan sebuah peraturan perundangundangan yang lintas kementrian/lembaga negara non kementrian. 2. Penguatan dari sisi organisasi Untuk meningkatkan tugas dan fungsi nya, Sentra Diklat perlu berdiri sendiri sebagai kepanjangan tangan dari Badan Diklat Kejaksaan Agung RI, dipimpin oleh pejabat struktural bisa setingkat Eselon IV atau setingkat Eselon III dalam lingkup Badan Diklat Kejaksaan Agung RI. Perubahan srtuktur organisasi kelembagaan Sentra Diklat ini akan meningkatkan kualitas status anggaran pelaksanaan diklat, status kepegawaian/penyelenggara diklat dan
program/materi diklat yang mengacu pada perencanaan program Badan Diklat Kejaksaan Agung RI dan kearifan lokal. Langkah penguatan dari sisi organisasi ini tidak dapat dilepaskan dari proses legislasi. Mengacu pada ketentuan Pasal 359 Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, bahwa Badan Diklat Kejaksaan Agung RI adalah unsur penunjang tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pendidikan dan pelatihan yang berada di bawah dan bertanggungjawab pada Jaksa Agung; artinya keberadaan Badan Diklat Kejaksaan Agung RI merupakan unsur pembantu/pelaksana Pimpinan yang tidak mempunyai fungsi di daerah. Tidak seperti keberadaan Jaksa Agung Muda (JAM) yang mempunyai kewenangan atau fungsi organisasi di daerah, kepanjangan dari Pusat ke daerah. Berkaitan dengan tindak lanjut dari ketentuan Pasal 652 ayat (2) Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, apakah Badan Diklat Kejaksaan Agung RI mempunyai kewenangan atau fungsi organisasi di daerah seperti halnya Jaksa Agung Muda. Idealnya, secara teknis dan admintrasi, Sentra Diklat berada di bawah Badan Diklat Kejaksaan Agung RI, sebagai kepanjangan tangan dari Badan Diklat Kejaksaan Agung RI; sesuai dengan saran/harapan sebagian besar responden yang notabene adalah pegawai Kejaksaan. Tetapi mengingat bahwa secara organisasi Badan Diklat Kejaksaan Agung RI hanya sebagai unsur pembantu Pimpinan, maka jalan keluar yang terbaik mengacu pada saran masukan dari JAMBIN adalah, secara teknis Sentra Diklat berada di bawah Badan Diklat Kejaksaan Agung RI, dan secara administrasi berada di bawah Kepala Kejaksaan Tinggi setempat. Artinya status anggaran masih melekat pada DIPA Kejaksaan Tinggi, tetapi Sentra Diklat dipimpin oleh pejabat struktural setingkat Eselon III dengan nomenklatur Kepala Bagian Diklat Pegawai atau Kepala Sentra Diklat, membawahi pejabat eselon IV yang terdiri dari: Kasubbag Penyusunan Progam Diklat, Kasubbag Pelaksana Diklat, Kasubbag Evaluasi Pelaksanaan Diklat dan Kasubbag Tata Usaha.
3. Penguatan dari sisi sarana prasarana Untuk melancarkan kegiatan belajar mengajar pendidikan dan pelatihan oleh Sentra Diklat yang maksimal/optimal, perlu adanya gedung tersendiri dengan segala kelengkapannya disesuaikan dengan kebutuhan suatu pendidikan dan pelatihan bagi pegawai Kejaksaan.
III. PENUTUP A. Kesimpulan 1.
Berdasarkan ketentuan Pasal 652 Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-009/A/ JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, sebagai unit pelaksana teknis pendidikan dan pelatihan, Sentra Diklat di ke 6 (enam) wilayah Kejaksaan Tinggi, yaitu Sentra Diklat Medan (Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara), Sentra Diklat Palembang (Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan), Sentra Diklat Bandung (Kejaksaan Tinggi Jawa Barat), Sentra Diklat Semarang (Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah), Sentra Diklat Surabaya (Kejaksaan Tinggi Jawa Timur) dan Sentra Diklat Makasar (Kejaksaan tinggi Sulawesi Selatan) telah melaksanakan tugas dan fungsinya menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan pegawai Kejaksaan dalam mendukung peningkatan sumber daya manusia Kejaksaan yang mempunyai kompetensi sesuai dengan ketentuan yang berlaku; walaupun dalam pelaksanaannya belum maksimal. Masih ada kendala/ hambatan dalam hal keterbatasan: status kepegawaian/pelaksana diklat (pelaksana diklat pada Sentra Diklat adalah pegawai Kejaksaan Bagian Pembinaan Kejaksaan Tinggi c.q Asisten Pembinaan sehingga akan berbagi waktu dan tenaga dengan tugas kesekretariatan Bagian Pembinaan c.q. Asisten Pembinaan), keterbatasan status keuangan/anggaran diklat (anggaran pelaksanaan diklat pada Sentra Diklat dikelola oleh Bagian Pembinaan Kejaksaan Tinggi karena masuk DIPA Asisten Pembinaan sehingga terkadang tidak mencukupi kebutuhan diklat), keterbatasan sarana prasarana diklat (Sentra Diklat belum mempunyai gedung Sentra Diklat yang permanen, kecuali Sentra Diklat Medan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara) maka
Penguatan Kelembagaan Sentra Diklat ... - Yoeniarti S, Sri Marsita, Sri Humana, Amalya Gustina, Imas Sholehah, Irfan F.
259
pelaksanaan diklat berpindah-pindah hotel dengan segala kelebihan dan kekurangannya) dan keterbatasan program diklat (karena masuk DIPA Asisten Pembinaan Kejaksaan Tinggi maka masih ada program diklat yang diatur/ditentukan oleh Bagian Pembinaan c.q. Asisten Pembinaan, bukan dari program Badan Diklat Kejaksaan Agung RI sehingga terkadang program diklat yang dilaksanakan tidak sesuai dengan kebutuhan pegawai Kejaksaan secara menyeluruh/merata). 2.
Dengan keterbatasan yang dimiliki Sentra Diklat sebagai pelaksana pendidikanpelatihan pegawai Kejaksaan di daerah, maka dalam upaya mendukung peningkatan sumber daya manusia Kejaksaan yang mempunyai kompetensi; perlu dilakukan penguatan Sentra Diklat yang meliputi: a. Penguatan dari sisi legislasi/peraturan perundang-undangan Untuk melancarkan tugas dan fungsi Sentra Diklat sebagai unit pelaksana teknis di bidang pendidikan dan pelatihan, segera dibentuk struktur Unit Pelaksana Teknis Sentra Diklat sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 652 ayat (2) Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, yang menyatakan bahwa organisasi dan tata kerja Sentra Diklat ditetapkan dengan Peraturan Jaksa Agung setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggungjawab. Secara teknis, Unit Pelaksana Teknis Sentra Diklat berada di bawah Badan Diklat Kejaksaan Agung RI, dan secara administrasi di bawah Kepala Kejaksaan Tinggi setempat. Langkah penguatan dari sisi legislasi ini akan memerlukan proses yang tidak singkat mengingat standar operasional prosedur pengajuan sebuah peraturan perundang-undangan yang lintas kementrian/lembaga negara non kementrian. b. Penguatan dari sisi organisasi Untuk meningkatkan tugas dan fungsi nya, Sentra Diklat perlu berdiri sendiri sebagai kepanjangan tangan dari Badan Diklat Kejaksaan Agung RI, dipimpin oleh pejabat struktural bisa setingkat
260 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
Eselon IV atau setingkat Eselon III dalam lingkup Badan Diklat Kejaksaan Agung RI. Perubahan srtuktur organisasi kelembagaan Sentra Diklat ini akan meningkatkan kualitas status anggaran pelaksanaan diklat, status kepegawaian/ penyelenggara diklat dan program/ materi diklat yang mengacu pada perencanaan program Badan Diklat Kejaksaan Agung RI dan kearifan lokal. Langkah penguatan dari sisi organisasi ini tidak dapat dilepaskan dari proses legislasi. Mengacu pada ketentuan Pasal 359 Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, bahwa Badan Diklat Kejaksaan Agung RI adalah unsur penunjang tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pendidikan dan pelatihan yang berada di bawah dan bertanggungjawab pada Jaksa Agung; artinya keberadaan Badan Diklat Kejaksaan Agung RI merupakan unsur pembantu/pelaksana Pimpinan yang tidak mempunyai fungsi di daerah. Tidak seperti keberadaan Jaksa Agung Muda (JAM) yang mempunyai kewenangan atau fungsi organisasi di daerah, kepanjangan dari Pusat ke daerah. Berkaitan dengan tindak lanjut dari ketentuan Pasal 652 ayat (2) Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: PER-009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, apakah Badan Diklat Kejaksaan Agung RI mempunyai kewenangan atau fungsi organisasi di daerah seperti halnya Jaksa Agung Muda. Idealnya, secara teknis dan admintrasi, Sentra Diklat berada di bawah Badan Diklat Kejaksaan Agung RI, sebagai kepanjangan tangan dari Badan Diklat Kejaksaan Agung RI; sesuai dengan saran/harapan sebagian besar responden yang notabene adalah pegawai Kejaksaan. Tetapi mengingat bahwa secara organisasi Badan Diklat Kejaksaan Agung RI hanya sebagai unsur pembantu Pimpinan, maka jalan keluar yang terbaik mengacu pada saran masukan dari JAMBIN adalah, secara teknis Sentra Diklat berada di bawah Badan Diklat Kejaksaan Agung RI, dan secara administrasi berada di bawah Kepala Kejaksaan Tinggi setempat.
Artinya status anggaran masih melekat pada DIPA Kejaksaan Tinggi, tetapi Sentra Diklat dipimpin oleh pejabat struktural setingkat Eselon III dengan nomenklatur Kepala Bagian Diklat Pegawai atau Kepala Sentra Diklat, membawahi pejabat eselon IV yang terdiri dari: Kasubbag Penyusunan Progam Diklat, Kasubbag Pelaksana Diklat, Kasubbag Evaluasi Pelaksanaan Diklat dan Kasubbag Tata Usaha. c. Penguatan dari sisi sarana prasarana Untuk melancarkan kegiatan belajar mengajar pendidikan dan pelatihan oleh Sentra Diklat yang maksimal/optimal, perlu adanya gedung tersendiri dengan segala kelengkapannya disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan dan pelatihan. B. Saran 1.
2.
DAFTAR PUSTAKA A.A. Anwar Prabu Mangkunegara, Manajemen Sumber Daya Manusia . Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000. Amaruddin, A.A., Awang. Materi Inwasbang Diklat Kepemimpinan Pola Baru, Jatinangor : KPA2 I, 2004. Awang Amaruddin. Materi Inwasbang Diklat Kepemimpinan Pola Baru, Jatinangor : KPA2 I, 2004. Badri Munir Sukoco, Manajemen Administrasi Perkantoran Modern, Jakarta: Erlangga, 2007. Boy S. Sabarguna dan Sumarni, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Gunung Agung, 2003. Daft, Richard L. Manajemen 2 Edisi 5. Jakarta: Erlangga, 2003. Malayu Hasibuan, SP, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta:PT. Bumi Aksara, 2001.
Untuk maksimalnya pelaksanaan pendidikan dan pelatihan oleh Sentra Diklat dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia Kejaksaan yang mempunyai kompetensi, perlu segera dipenuhi sarana prasarana yang disesuaikan dengan kebutuhan sebuah Sentra Diklat, baik dari sarana kepegawaian/ pelaksana diklat, sarana anggaran diklat, sarana gedung dengan perlengkapannya dan sarana program diklat.
-------------, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta, 2000.
Untuk kelancaran upaya penguatan Sentra Diklat dalam mendukung peningkatan sumber daya manusia Kejaksaan yang mempunyai kompetensi, perlu segera dibuat Keputusan Jaksa Agung RI tentang Badan Diklat Kejaksaan Agung RI dan Sentra Diklat, sebagai tindak lanjut dari Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI. Dimana dalam Keputusan Jaksa Agung RI tentang Badan Diklat Kejaksaan Agung RI dan Sentra Diklat tersebut, posisi Sentra Diklat adalah sebagai kepanjangan tangan dari Badan Diklat Kejaksaan Agung RI.
Hasibuan, Malayu, SP, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta:PT. Bumi Aksara, 2001
Marihot T.E., Hariandja, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta, 2002. Mubyarto, Pengantar Ekonomi Pertanian, Jakarta: Edisi Ke-tiga, LP3S, 1989. Munir, Badri, Sukoco, Manajemen Administrasi Perkantoran Modern, Jakarta: Erlangga, 2007.
Nasution, Metode Research: Penelitian Ilmiah, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002. Notoatmojo, Soekidjo, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2009 Plunket, dkk. Management: Meeting and Exceding Customer Expectations. USA: Thomson South –Western, 2005 Richard, Daft, L. Manajemen 2 Edisi 5. Jakarta: Erlangga, 2003. Rivai, Veithzal dan jauvani, Ella, Sagala, Managemen Sumber Daya Manusia Untuk Perusahaan dan Teori ke Praktik, Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Sabarguna, Boy S. dan Sumarni, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Gunung Agung, 2003 Sastrohardiwiryo, Siswanto, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia Pendekatan Administratif dan
Penguatan Kelembagaan Sentra Diklat ... - Yoeniarti S, Sri Marsita, Sri Humana, Amalya Gustina, Imas Sholehah, Irfan F.
261
Operasional, Jakarta: Bumi Aksara, 2002 Sutisna, Oteng, Administrasi Pendidikan Dasar Teoritis dan Praktis Profesional. Bandung: Angkasa, 1993 Syaiful, Sagal, Administrasi Pendidikan Kontemporer, Bandung: Alfabeta, 2005 Siswanto Sastrohardiwiryo, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia Pendekatan Administratif dan Operasional, Jakarta: Bumi Aksara, 2002. Soekidjo Notoatmojo, Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Veithzal Rivai dan ella Jauvani Sagala, Managemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan dari Teori ke Praktik,Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
-------------, Peraturan Jaksa Agung RI. Nomor: PER009/A/JA/01/2011 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI. ------------, Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-037/A/JA/12/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : PER068/A/JA/07/2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Dan Pelatihan Pegawai Kejaksaan Republik Indonesia. http://www.wartabadiklat.info/tentang-kami/profilbadiklat/14-prawacana.html, terakhir di akses Senin 20 April 2015 Pukul 08.00 WIB Wikipedia Bahasa Indonesia (htt://id.wikipedia.org/ wiki/penguatan http://kamusbahasaindonesia. org/peran diakses tanggal 14 April 2015
-------------, Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2000, tentang Diklat Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Warta Badiklat, http://www.wartabadiklat.info/ tentang-kami/profil-badiklat/14-prawacana. html, terakhir di akses Senin 20 April 2015 Pukul 08.00 WIB
-------------, Peraturan Presiden RI Nomor: 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.
Wikipedia, Bahasa Indonesia (htt://id.wikipedia.org/ wiki/penguatan http://kamusbahasaindonesia. org/peran diakses tanggal 14 April 2015
262 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
Index Kata Kunci a copy of the judgment viii, 31 [6:2] administrative vii, 23 [6:1] asset recovery and corruption viii, 73 [6:1] a copy of the judgment viii, 31 [6:2] administrative vii, 23 [6:1] apparatus of attorney xi, 183 [6:3] asset recovery and corruption viii, 73 [6:1] atorney general office viii, 37 [6:1] attorney vii, viii, 23, 51, 73 [6:1] attorney iii, vii, viii, 7, vi [6:2] auditor vi, viii, 49, 50, 51, 57, 58,59, 60, 61 [6:2] authority viii, 51, 73 [6:1] authority viii, 51, 73 [6:1] BPKP iii, vi, viii, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 60, 61, 62, 63, 65, 64, [6:2] change xi, 171, 183, 184 [6:3] civil vii, viii, 14, 23, 51, 73 [6:1] competences of state attorney vii, xii, 207 [6:3] conflict resolution vii, 19 [6:2] corruption xi, xii, 183, 195, 207, 213, 214, 218, 220, 263 [6:3] covict of beyond prisoners vii, viii, 31 [6:2] dukungan intelijen vi, 67, 72, 76, 77, 79, 81, 82, 83, 84 [6:2] education and training center xii, 237 [6:3] eksekusi v, vi, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 38, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 69, 70, 74, 75, 77, 78, 81 [6:2] execution vii, viii, 31 [6:2] handling cases xii, 221 [6:3] hukum perkawinan vi, 51, 54, 67, 68 [6:1] human resouces finance viii, 37 [6:1] human resource development of indonesia prosecution office
xi, 171 [6:3]
human resource of attorney xii, 237 [6:3] improving vii, xii, 207, 217, 237 [6:3] informasi v, 1, 2, 4, 6, 13, 16, 17, 22, 24, 67, 69, 70, 72, 73, 74, 75, 76, 79, 80, 81, 82, 83 [6:2] information vi, vii, viii, 1, 67 [6:2] inherent supervisory xi, 183 [6:3] intelijen i, iii, vi, v, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 13, 14, 17, 24, 67, 68, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84 [6:2] intelijen kejaksaan i, v, 7, 14, 68, 71, 76, 82 [6:2] intelligence iii, vi, vii, viii, 1, 7, 67 [6:2] intelligence support vi, viii, 67 [6:2] international dispute settlements vii, xii, 207, 208, 211, 216, 217, 218 [6:3] inter-religious violence vii, 19 [6:2] katagori kecil v [6:1] keadilan restoratif v, 19, 27 [6:2]
keamanan nasional v, 1, 4, 5 [6:2] kejaksaan i, iii, v, vi, 1, 5, 7, 9, 10, 11, 23, 24, 26, 27, 28, 33, 34, 35, 37, 38, 51, 52, 56, 60, 67, 73, 77, 82, 83 [6:1] kejaksaan 7, 1, 7 [6:2] kekerasan antar umat beragama v, 19 [6:2] kepuasan masyarakat vii, x, 221, 223, 232, 234, 235 [6:3] kerugian keuangan negara v [6:1] kerugian negara vi, 49, 50, 51, 54, 57, 58, 59 [6:2] kewenangan vi, 5, 6, 11, 23, 28, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 52, 59, 61, 63, 66, 67, 68, 69, 70, 73, 76, 77, 78 [6:1] korupsi iii, v, vi, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 28, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83 [6:1] loss of state viii, 49 [6:2] losses state finances vii, 1 [6:1] marriage cancellation viii, 51 [6:1] marriage law viii, 51 [6:1] measurement xii, 221 [6:3] mencegah vii, ix, x, 179, 195, 196, 197, 201, 204, 205 [6:3] mental revolution xi, 171 [6:3] mitra SDM kejaksaan ix, 183 [6:3] national security vii, 1 [6:2] optimalisasi kinerja i, iii, vi, 67 [6:2] out of court settlement v, vii, 1, 3, 4, 14, 20 [6:1] pejaksaan x, 221 [6:3] pembatalan perkawinan vi, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70 [6:1] penanganan perkara vii, x, 175, 184, 187, 188, 192, 193, 221, 223, 224, 228, 229, 231, 232, 233, 234, 235 [6:3] penegakan hukum 2, 3, 4, 5, 7, 12, 15, 17, 18, 20, 24, 26, 52, 61, 65, 67, 75, 78, 80, 81 [6:1] pengawasan melekat ix, 177, 183, 185, 186, 188 [6:3] pengembalian aset vi, 3, 15, 16, 18, 73, 75, 77, 78, 79, 83 [6:1] pengembalian aset dan korupsi vi, 73 [6:1] penguatan vii, x, 173, 174, 180, 237, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 254, 257, 258, 259, 260, 261, 262 [6:3] pengukuran vii, x, 221, 223, 226, 228 [6:3] penyelesaian di luar pengadilan v [6:1] perception vii, 23, 25 [6:1] perdata i, v, vi, 16, 23, 27, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 67, 68, 69, 73, 75, 76, 79 [6:1] performance optimization iii, vi, viii, 67 [6:2] perkawinan vi, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 61, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70 [6:1] perlindungan agama v, 7 [6:2] persepsi i, v, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 30, 32, 33, 83, 33, 34, 35, 47, 83 [6:1]
Penguatan Kelembagaan Sentra Diklat ... - Yoeniarti S, Sri Marsita, Sri Humana, Amalya Gustina, Imas Sholehah, Irfan F.
263
perubahan
vii, ix, 171, 172, 173, 174, 178, 183, 184, 198, 185, 186, 188, 200, 201, 243, 245, 246, 248, 251, 258 [6:3] prevent xi, 195 [6:3] profesionalisme i, iii, v, vi, 10, 37, 48 [6:1] professionalism viii, 37 [6:1] protection religion vii, 7 [6:2] resolusi konflik v, 19, 21, 22, 23, 25, 26, 27 [6:2] restorative justice vii, 19 [6:2] revolusi mental vii, ix, 171, 172, 173, 174, 175, 178, 180 [6:3] salinan putusan pengadilan vi, 31 [6:2] sdm keuangan vi, 37 [6:1] sentra diklat vii, x, 237, 247, 249, 253, 254, 257 [6:3] small classified vii, 1 [6:1] society vii, 23 [6:1]
statisfaction of the people xii, 221 [6:3] sumber daya manusia kejaksaan RI ix, 171 [6:3] sumber daya manusia kejaksaan. x, 237 [6:3] supporting data i, iii, vi, viii, 67, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 76, 81, 82, 83, 84 [6:2] tata usaha negara v, 23, 27, 63 [6:1] technology xi, 195, 217 [6:3] teknologi vii, ix, x, 187, 188, 195, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 204, 206, 223, 238, 241, 243, 251, 258 [6:3] terpidana luar tahanan vi, 31 [6:2] the prosecutor xii, 221 [6:3] tim pakem v, vii, 7 [6:2] tindak pidana korupsi vii, ix, x, 183, 191, 192, 193, 195, 197, 198, 200, 203, 204, 205, 228, 240 [6:3]
Index Penulis Amelya Gustina Amelya Gustina Bambang Waluyo
i, iii, vi, viii, 51, 85 [6:1] iii, v, vii, x, xii, 237, 264 [6:3] iii, v, vii, ix, xi, 171, 251, 269 [6:3] i, iii, v, vii, 1 [6:1] B.D. Sri Marsita B.D. Sri Marsita iii, v, vii, ix, x, xi, xii, 237, 264 [6:3] Dyah Kusumastuty i, iii, vi, viii, 67 [6:2] Hamid Awaludin i, iii, v, vii, 1 [6:2] Hendi Suhendi i, iii, v, vii, 31 [6:2] H. Muhammad said karim vii, ix, xi, 191 [6:3] Imas Sholehah i, iii, v, vii, 23 [6:1] Imas Sholehah iii, v, vii, x, xii, 237, 264 [6:3] Irfan F v, vii, x, xii, 237 [6:3] Khunaefi A. i, iii, v, vii, 23, 85 [6:1] Khunaefi A. i, vi, v, viii, 49 [6:2] Lasmaida Limbong i, iii, v, vii, 31 [6:2] Lasmaida Limbong v, vii, x, xii, 221, 264 [6:3] M. Adnan Madjid i, iii, v, vii, 19 [6:2]
264 Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 6 No. 3, Juli 2016
Mispansyah iii, v, vii, ix, xi, 195 [6:3] Muhammad Iqbal i, iii, vi, viii, 73, 85 [6:1] Nandan Iskandar i, iii, v, vii, 7 [6:2] Natsri Anshari i, iii, v, vii, 19 [6:2] Nisa Zuliana Fitri i, iii, v, vii, 19 [6:2] Rahmy Putri Yulia i, iii, vi, viii, 49 [6:2] Raja Mohamad Rozi i, iii, v, vii, 37 [6:1] Raja Muhamad Rozi i, iii, vi, viii, 67 [6:2] Rr. Yoeniarti S vii, x, xii, 237 [6:3] Satriyo Wibowo vii, xii, 207 [6:3] Soeryaniati Koesoemo i, iii, vi, viii, 67 [6:2] Sri Hastuti i, iii, v, vii, 23, 85 [6:1] Sri Hastuti i, iii, v, vii, 31 [6:2] Sri Hastuti iii, v, vii, x, xii, 221, 264 [6:3] Sri Humana i, iii, v, vii, 1, 85 [6:1] Sri Humana iii, v, vii, x, xii, 237, 264 [6:3] Suryadi Agoes i, iii, vi, viii, 49 [6:2] Widyo Pramono iii, v, vii, ix, xi, 183, 187, 189 [6:3]
PETUNJUK PENULISAN Jurnal Bina Adhyaksa diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung RI sejak Tahun 2010 dan terbit tiga kali dalam setahun pada bulan Maret, Juli dan Nopember. Jurnal Bina Adhyaksa memuat tulisan/artikel campuran antara hasil penelitian/pengkajian primer/ sekunder dengan tinjauan/pemikiran/ulasan yang sistematis dan kritis di bidang hukum. Naskah dikirim dalam bentuk softcopy ke alamat email: [email protected] disertai dengan daftar riwayat hidup lengkap penulis. Format naskah mengacu pada petunjuk penulisan naskah sebagai berikut : a. Sistematika Penulisan Naskah 1) Tata NaskahuntukKaryaTulisIlmiahlepas: I. Pendahuluan II. Pembahasan III. Penutup A) Kesimpulan B) Saran 2) Tata NaskahuntukKaryaTulisIlmiahhasilPenelitian/Pengkajian I. Pendahuluan A) Latar Belakang B) Permasalahan C) Metodologi D) Kerangka Teori/Pemikiran II. Pembahasan III. Penutup A) Kesimpulan B) Saran b. Naskah dibuat menggunakan Microsoft Office 2007. Seluruh bagian dalam naskah diketik dengan huruf Times New Roman, ukuran huruf 12, spasi 1.5. Ukuran huruf untuk judul 14 (capital bold). Jumlah halaman minimal 20 halaman, maksimal 30 halaman, ukuran kertas A4, ukuran untuk Footnote 9 dan ukuran untuk daftar pustaka 12 c.
Judul dan Penulisan naskah untuk Jurnal Bina Adhyaksa dapat berupa hasil pemikiran maupun hasil penelitian/pengkajian ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan gaya naratif. Semua kutipan dan referensi dalam naskah harus tercantum dalam daftar pustaka dan sebaliknya, sumber bacaan yang tercantum dalam daftar pustaka harus ada dalam naskah. Jumlah pustaka yang diacu untuk hasil penelitian paling sedikit 10 pustaka, sedangkan untuk hasil kajian paling sedikit 25 pustaka. Penulisan daftar pustaka diurutkan berdasarkan abjad nama penulis. Untuk referensiberupa buku, setelah nama penulis diikuti dengan judul, tahun, kota terbit, dan penerbit. Sedangkan untuk referensi berupa artikel, setelah nama penulis diikuti dengan judul artikel, judul majalah/jurnal, tahun, volume, nomor dan halaman.
d. Setiap naskah harus dilengkapi dengan abstrak ditulis dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia maksimum 100 kata untuk masing-masing abstrak dan berisikan tiga hal atau topic yang dibahas, metodologi yang dipergunakan dan hasil yang didapatkan. Kata Kunci, ditulis dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia masing-masing maksimum 3 (tiga) subyek. Kata Kunci dianggap mewakili dan atau terkait dengan topik yang dibahas. e. Naskah harus orisinil dan belum pernah diperlibatkan pada media cetak lain, murni merupakan hasil karya penulis. f.
Lingkup penulisan di bidang Ilmu Hukum meliputi politik hukum, hukum bisnis, hukum internasional, kebijakan hukum dan hukum-hukum yang terkait dengan kinerja Kejaksaan Republik Indonesia.
Penguatan Kelembagaan Sentra Diklat ... - Yoeniarti S, Sri Marsita, Sri Humana, Amalya Gustina, Imas Sholehah, Irfan F.
265
Seluruh Pegawai Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung
Mengucapkan : “ Selamat HUT PJI Tahun 2016 ”
Semoga PJI Tetap Jaya Cintai Profesi Jaga Institusi
cxÇzâÜâá WtxÜt{ i \~tàtÇ [t~|Å j|Ätçt{ fâÄtãxá| fxÄtàtÇ Mengucapkan : “ Selamat HUT PJI Tahun 2016 ”
Semoga PJI Semakin Dipercaya oleh Masyarakat
Penguatan Kelembagaan Sentra Diklat ... - Yoeniarti S, Sri Marsita, Sri Humana, Amalya Gustina, Imas Sholehah, Irfan F.
267
Jaksa Agung Muda Pembinaan :
`xÇzâvtÑ~tÇ : Selamat atas Peluncuran e-Jurnal Bina Adhyaksa Semoga Secepatnya Mendapat Akreditasi Dr. Bambang Waluyo
Penguatan Kelembagaan Sentra Diklat ... - Yoeniarti S, Sri Marsita, Sri Humana, Amalya Gustina, Imas Sholehah, Irfan F.
269