Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 Kualitas Pelayan Publik di Daerah Sebuah Kajian Teoritis
Erland Mouw*
[email protected]
Abstrak Pelayanan publik merupakan bentuk intervensi pemerintah terhadap masyarakat dalam upaya pemenuhan kebutuhan, tetapi sampai saat ini intervensi tersebut belum dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat, sehingga masih banyaknya keluhan atas rendahnya kualitas pelayanan publik. Tulisan ini mencoba menggali persoalan kualitas pelayanan yang sangat rendah dimata masyarakat dan kemudian merangsang pemikiran untuk membedah secara teoritis idealnya pelayanan publik di daerah, teori yang digunakan dalam menganalisis persoalan pelayanan publik saat ini diharapkan dapat memberikan sumbangsi pemikiran dalam mengatasi kinerja birokrasi dalam pelayanan publik untuk dinamika didaerah sekarang ini. Kata Kunci : Kinerja, Ideal, Pelayanan Publik
*
Dosen pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara Universitas Halmahera.
Page | 92
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 Pendahuluan Pada dasarnya pelayanan publik merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penyelenggaraan pelayanan publik yang di laksanakan oleh birokrasi pemerintah yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil serta kebutuhan dasar masyarakat, belum nyata di lihat dari kinerja birokrasi pemerintah selama ini. Karena jika melihat fenomena dewasa ini masih banyak keluhan dan pengaduan dari masyarakat, seperti cara kerja pelayanan yang berbelitbelit, tidak adanya transparansi dan akuntabilitas, terbatasnya fasilitas, kurangnya sarana dan prasarana pelayanan. Secara teoritis pemerintah daerah dapat meningkatkan pelayanan publik, ini karena semua kreativitas telah diberikan kepada daerah untuk menyelenggarakan pelayanan publik dalam rangka mensejahterakan masyarakat, ternyata dalam perjalanan roda pemerintahan banyak mengalami kendala seperti misalnya anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah dalam rangka pelayanan publik sangat terbatas, mindset dari birokrat cenderung menempatkan dirinya sebagai agent kekuasaan dari pada agent pelayanan. Kondisi-kondisi tersebut yang membuat masa depan kehidupan masyarakat menjadi suram, hal ini karena masyarakat sangat tergantung pada pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah (Pramusinto & Kumorotomo, 2009 : 168,218).
Kondisi tersebut, menyebabkan sering kali para aparat birokrasi tidak mampu menemukan problem-problem khusus dalam masyarakat karena kapasitas yang terbatas, dan seringnya terjebak ke dalam masalah atau fenomena sosial yang tampak di permukaan kemudian di pandang sebagai masalah yang sebenarnya, sehingga kesalahan dalam mengidentifikasikan masalah ini akan berakibat juga salahnya keputusan yang diambil (William N. Dunn, 2003 : 209). Karena keterbatasan - keterbatasan yang dimiliki oleh para pelaku dalam organisasi birokrasi tersebut mengakibatkan kecenderungan dalam keputusannya ke arah penyeragaman dan mengabaikan pluralitas, sehingga menyebabkan banyak kebijakan dalam pelayanan publik yang diselenggarakan oleh birokrasi pemerintah kurang dapat memenuhi aspirasi masyarakat banyak. Mengenai hal tersebut maka pemerintah daerah perlu merubah kinerjanya yakni pertama, harus membuka lebih banyak partisipasi, yang sekaligus terkandung didalamnya peningkatan dalam hal transparansi dan akuntabilitas pelayanan, kedua, adanya ketersambungan, karena semakin masyarakat dapat membandingkan dan memberikan penilaian atas kinerja pemerintah daearah, maka semakin terhubung dan terorganisir dalam jaringan, sehingga masyarakat lebih percaya diri dalam merumuskan tuntutan dan dalam mendorong reformasi pelayanan publik. Ketiga, harus adanya akses informasi dari masyarakat mengenai pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Dalam tulisan ini penulis mencoba mengkaji lebih jauh tentang pelayanan Page | 93
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 publik yang terjadi di daerah dalam bingkai teoritis, yang dalam penyelenggaraan pelayanan ada sebuah tanda tanya besar, apakah pemerintah daerah mampu mengimplementasikan pelayanan yang prima bagi masyarakat? Dan apakah pelayan publik yang baik dapat memberikan perubahan hidup dari masyarakat? Untuk bisa menganalisa problem tersebut, maka penulis akan mencoba menguraikan pelaksanaan pelayanan yang selama ini berlangsung di Indonesia, kemudian akan menguraikan pelayanan publik di beberapa daerah. Langkah selanjutnya akan dibahas mengenai kerangka pelayanaan publik seperti apa yang ideal untuk diterapkan di daerah otonom sekarang ini.
Permasalahan Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya bahwa tugas utama dari pemerintah daerah adalah memberikan pelayanan yang prima dalam rangka memenuhi kebutuhan yang diinginkan oleh masyarakat. Sementara itu dari banyak hasil kajian tentang pelayanan publik bahwa masih di jumpai keengganan pemerintah daerah untuk melakukan pelayanan dengan baik. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa ada sebagian aparatur birokrasi seakan melakukan pembiaran atas tuntutan publik, tetapi masih banyak pemerintah daerah yang ingin melakukan pelayanan yang optimal bagi masyarakatnya. Di daerah birokrasi sebagai alat untuk mengkonsentrasikan sumber-sumber produksi. Dengan demikian masalah utama dalam penulisan ini adalah bagaimana usaha yang
dilakukan agar birokrat daerah dapat memberikan pelayanan secara efektif dan ideal kepada masyarakat ?
Kerangka Teori Harus diakui bahwa birokrasi merupakan instrumen penting dalam keberhasilan untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah pada akhirnya akan direalisasikan oleh birokrasi dalam pelayanan publik. Oleh karena itu, suatu kinerja yang baik oleh birokrasi dalam melayani masyarakat harus suka mendengar keluhan masyarakat serta dapat mewujudkan kebutuhan dan harapanharapan masyarakat. Dalam hal pelayanan publik, merujukkan pada istilah publik yang lebih dekat pada pengertian masyarakat atau umum. Namun demikian pengertian publik yang melekat pada pelayanan publik tidak sepenuhnya sama dan sebangun dengan pengertian masyarakat. Nurcholish (2005:175) memberikan pengertian publik sebagai sejumlah orang yang mempunyai kebersamaan berfikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki. Undang – Undang Nomor 25 tahun 2009 menjelaskan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang
Page | 94
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Selanjutnya menurut Oxford (Yogi & Ikhsan, 2010:4) ) dijelaskan pengertian public service sebagai “a service such as transport or health care that a government or an official organization provides for people in general in a particular society”. Dalam konsep pelayanan, dikenal dua jenis pelaku pelayanan, yaitu penyedia layanan dan penerima layanan. Penyedia layanan atau service provider (Barata, 2003: 11) adalah pihak yang dapat memberikan suatu layanan tertentu kepada konsumen, baik berupa layanan dalam bentuk penyediaan dan penyerahan barang (goods) atau jasa-jasa (services). Penerima layanan atau service receiver adalah pelanggan (customer) atau konsumen (consumer) yang menerima layanan dari para penyedia layanan. Adapun berdasarkan status keterlibatannya dengan pihak yang melayani terdapat 2 (dua) golongan pelanggan ( Barata, 2003:11-13), yaitu: 1. Pelanggan internal, yaitu orangorang yang terlibat dalam proses penyediaan jasa atau proses produksi barang, sejak dari perencanaan, pencitaan jasa atau pembuatan barang, sampai dengan pemasaran barang, penjualan dan pengadministrasiannya. Dan 2. Pelanggan eksternal, yaitu semua orang yang berada di luar organisasi yang menerima layanan penyerahan barang atau jasa. Pada sektor publik, menurut Savas terminologi pelayanan pemerintah (government service) diartikan sebagai pemberian pelayanan oleh agen
pemerintah melalui pegawainya (the delivery of a service by a government agency using its own employees (Soesilo, 2001 : 4). Negara dan sistem pemerintahan menjadi tumpuan pelayanan warga negara dalam memperoleh jaminan atas hakhaknya, maka peningkatan kualitas pelayanan (quality of service) akan semakin penting. Sebab manajemen publik sejak tahun 1980-an telah berubah oleh fenomena internasional, yang antara lain lahimya kompetisi tingkat global (global competitiveness) dalam sektor pelayanan, Davidow (Soesilo, 2001:6) menyebutkan bahwa pelayanan adalah hal hal yang jika diterapkan terhadap suatu produk akan meningkatkan daya atau nilai terhadap pelanggan (service is those thing which when added to a product,increase its utility or value to the customer). Lebih lanjut Lovelock (1994 : 19) menyebutkan bahwa pelayanan yang baik membutuhkan infrastruktur pelayanan yang sangat baik pula. Hal yang paling penting adalah membuat setiap orang dalam organisasi pada kualitas. Crosby, Lehtimen dan Wyckoff (Soesilo, 2001:7)) mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai berikut : Penyesuaian terhadap perincianperincian (conformance io specification) dimana kualitas ini dipandang sebagai derajat keunggulan yang ingin dicapai, dilakukannya kontrol teknis menerus dalam mencapai keunggulan tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan pengguna jasa. Kebutuhan masyarakat yang direalisasikan dalam pelayanan publik oleh birokrasi merupakan suatu hal yang paling ingin dirasakan oleh masyarakat di era desentralisasi ini. Oleh karena itu, perlu adanya implementasi pelayanan di bidang Page | 95
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 jasa sehingga masyarakat bisa merasakannya. Karena melihat realita sampai saat ini, masyarakat belum merasakan pelayanan publik yang maksimal dari pemerintah daerah.
Pembahasan Situasi Pelayan Publik di Indonesia Pelayanan Publik di Indonesia cenderung memiliki beberapa permasalahan yang mendasar. Selain efektifitas pengorganisasian dan partisipasi publik dalam penyelenggaraan pelayanan masih relatif rendah, pelayanan publik juga belum memiliki mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa. Akibatnya, kualitas produk layanan juga belum memuaskan para penggunanya. Selain itu, pelayanan publik di Indonesia juga belum responsif terhadap masyarakat dengan kebutuhan khusus, termasuk terhadap kelompok rentan, masyarakat miskin, dan komunitas adat terpencil. Sebagai contoh, nasib anak berkebutuhan khusus atau penyandang cacat di Indonesia, sangat memprihatinkan dan jauh tertinggal dibanding di negara Asia lainnya. Nasib mereka masih terpinggirkan hampir di semua sektor, mulai pendidikan, pekerjaan, hingga ketersediaan fasilitas publik yang bersahabat (Edi Suharto, 2008:3-4). Kondisi pelayanan publik selama ini masih sangat buruk, masih diwarnai praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) serta sarat dengan paradigma korporatisme untuk mencari keuntungan pribadi. Buruknya pelayanan publik diperparah pula oleh rendahnya partisipasi
masyarakat dalam mengingatkan para pejabat publik termasuk pegawai negeri sipil (PNS) agar bekerja lebih profesional. Selain itu, pelayanan publik selama ini juga cenderung menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi karena belum adanya kepastian hukum, waktu dan biaya. Untuk mengatasinya, diperlukan peraturan perundang-undangan. Sementara itu juga pelayanan publik di Indonesia berpeluang memicu sentimen etnis. Pasalnya, siapa yang memiliki uang banyak, bisa dengan mudah menikmati pelayanan publik dari para pegawai pemerintah. Dalam kasus pengurusan paspor atau Surat Izin Mengemudi (SIM) misalnya, kaum berduit selalu diutamakan. Hal itu memicu sentimen dan kebencian terhadap kelompok berduit yang malangnya justru diwakilkan oleh satu kelompok etnis tertentu. Pemerintah tidak menyadari hal ini, karena yang brengsek adalah aparatur negara, tapi yang dibenci dan dicaci-maki adalah kelompokkelompok tertentu yang kebetulan secara ekonomi lebih baik. oleh karena itu, tidak ada cara lain memperbaiki pelayanan publik di Indonesia kecuali melalui pemaksaan yang bersifat sistemik dan menyeluruh, sehingga para pejabat negara dan PNS menyadari tugas dan fungsi mereka untuk melayani masyarakat dan bukan sebaliknya Realitas sekarang ini sebagian besar orang ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) karena bisa kerja santai dan aman (dalam arti tidak akan dipecat). Selain itu, dengan menjadi PNS, seseorang berpeluang mengkomersialkan tugas dan kewajiban yang diembankan negara kepadanya untuk keuntungan pribadi. Untuk mengubah perilaku PNS yang tidak Page | 96
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 becus tersebut, harus dilakukan perubahan kebijakan secara mendasar dengan memberikan sanksi tegas kepada PNS yang melanggar, tidak hanya dengan cara mutasi. Standar Pelayanan Publik di Daerah Dalam konteks pelayanan publik di daerah, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah ditujukan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, kesejahteraan rakyat dan pemberdayaan masyarakat. Karena itu pemerintah daerah harus menyediakan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan pasal 11 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Penggunaan kriteria-kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dalam pembagian urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan dilaksanakan secara kumulatif sebagai satu kesatuan. Urusan wajib didefinisikan sebagai urusan daerah otonom yang penyelenggaraannya diwajibkan oleh pemerintah. Hal ini berarti pemerintah menetapkan urusan mana yang merupakan urusan dasar yang menjadi prioritas penyelenggaraan dan mana yang merupakan urusan pilihan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib, baik untuk pemerintahan propinsi maupun untuk pemerintahan kabupaten dan kota sebagaimana disebutkan di atas harus berpedoman pada Standar Pelayanan
Minimal (SPM). Urusan yang bersifat pilihan tersebut meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Dalam penyelenggaraan urusan pilihan tersebut, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dapat memilih bagian urusan pemerintahan pada bidang-bidang tertentu seperti pertanian, kelautan, pertambangan dan energi, kebutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan berbagai bidang lainnya. Sesuai dengan deskripsi di atas, UU No. 32 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib dilaksanakan dengan berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang dilaksanakan secara bertahap. Hingga saat ini pemerintah sedang menyusun RPP tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Bila sudah diterapkan, maka SPM akan dijabarkan oleh masing-masing kementerian/lembaga terkait untuk menyusun SPM masing-masing. Standar pelayanan minimal didefinisikan sebagai tolok ukur untuk mengukur kinerja penyelenggaraan urusan wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat. Kriteria penentuan biaya dengan metode Standar Pelayanan Minimum sangat mendukung konsep anggaran berbasis kinerja yang juga mengacu kepada input, output, outcome, benefit dan impact. Standar Pelayanan Minimum Page | 97
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 merupakan alat untuk mengukur kinerja pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan dasar. Tingkat kesejahteraan masyarakat akan sangat tergantung pada tingkat pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah. Standar Pelayanan Minimum sangat diperlukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat sebagai konsumen pelayanan itu sendiri. Bagi pemerintah daerah suatu Standar Pelayanan Minimum dapat dijadikan sebagai tolok ukur (benchmark) dalam penentuan biaya yang diperlukan untuk menyediakan pelayanan tertentu. Sedangkan bagi masyarakat Standar Pelayanan Minimum akan menjadi acuan dalam menilai kinerja pelayanan publik, yakni kualitas dan kuantitas suatu pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah. Penerapan Standar Pelayanan Minimum (SPM) akan memiliki manfaat sebagai berikut : 1. Dengan SPM akan lebih terjamin penyediaan pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. 2. SPM akan bermanfaat untuk menentukan Standar Analisis Biaya (SAB) yang sangat dibutuhkan pemerintah daerah untuk menentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan publik. 3. SPM akan menjadi landasan dalam penentuan perimbangan keuangan yang lebih adil dan transparan (baik DAU maupun DAK). 4. SPM akan dapat dijadikan dasar dalam menentukan anggaran kinerja dan membantu pemerintah daerah dalam melakukan alokasi anggaran yang lebih berimbang.
5. SPM akan dapat membantu penilaian kinerja (LPJ) Kepala Daerah secara lebih akurat dan terukur sehingga mengurangi kesewenang-wenangan dalam menilai kinerja pemerintah daerah. 6. SPM akan dapat menjadi alat untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah kepada masyarakat, karena masyarakat akan dapat melihat keterkaitan antara pembiayaan dengan pelayanan publik yang dapat disediakan pemerintah daerah. 7. SPM akan menjadi argumen dalam melakukan rasionalisasai kelembagaan pemerintah daerah, kualifikasi pegawai, serta korelasinya dengan pelayanan masyarakat.
Kinerja Ideal Pelayanan Publik
Birokrasi
Dalam
Intervensi negara atau lebih tepatnya intervensi birokrasi publik, dengan beragam variasinya, sangat diperlukan dalam pelayanan publik sebagian disebabkan oleh ketidak sempurmaan berlakunya teori pasar. Markel failures tidak dapat bekerja secara sempuma jika terjadi economic of scaie, monopoli dan ketimpangan informasi mengenai harga. Alasan lain kenapa birokrasi publik diperlukan dalam pelayanan publik, karena mekanisme pasar tidak dapat memberikan pelayanan dengan baik dan efisien manakala jenis pelayanannya termasuk kedalam kategori public goods and services, yaitu barang dan jasa yang dapat dinikmati oleh setiap Page | 98
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 orang pada saat yang bersamaan (non rivalry) tanpa melihat peran sertanya dalam penyediaan barang tersebut (non excludability). Dalam kondisi seperti ini maka kehadiran birokrasi publik sangat diperlukan untuk membetulkan mekanisme pelayanan dan menghalangi mekanisme pelayanan yang merugikan publik. Pertimbangan lain yang sering dipakai sebagai justifikasi keterlibatan birokrasi publik dalam pelayanan publik adalah pertimbangan politik. Pertimbangan ini dipakai untuk menghindari kemungkinan masyarakat dirugikan oleh penyelenggaraan pelayanan di pasar bebas yang acapkali kepentingannya berbenturan dengan kepentingan publik. Sekalipun keterlibatan birokrasi publik tidak dapat dihindarkan dan dalam batas-batas tertentu mempunyai makna besar dalam pelayanan publik, yang menurut Osborne and Gaebler (1991:13) birokrasi publik diperlukan untuk manajemen kebijakan, regulasi, keadilan, mencegah eksploitasi, menjamin kontinyuitas dan stabilitas jasa serta menjamin keakraban sosial, namun bukan berarti ia merupakan satu-satunya lembaga yang paling baik dalam memberikan pelayanan kepada publik. Dalam situasi dimana masyarakat tidak dapat pelayan yang tidak maksimal maka birokrasi publik menjadi alternatif yang lebih baik dalam melakukan pelayanan publik. Namun pada sisi lain birokrasi publik harus ditunjang dengan pengaturan pemerintah. Sebab tanpa adanya pengaturan, dikhawatirkan birokrasi publik tidak dapat berjalan dengan baik. Pada sisi lain sektor swasta akan bisa beroperasi dengan lebih baik, dan menjadi altematif pilihan dalam menyelenggarakan pelayanan publik
manakala informasi mengenai palayanan yang baik tersedia. Persyaratan normatif yang dituntut oleh organisasi swasta dan birokrasi publik untuk bisa beroperasi dengan baik berbeda antara yang satu dengan yang lain. Untuk bisa beroperasi dengan baik birokrasi publik harus mempunyai acceptance of authority. Tanpa apa ada aturan main yang jelas birokrasi publik tidak mungkm akan dapat berjalan dengan baik. Pelayanan publik yang diberikan pemerintah dewasa ini perlu diarahkan pada pemberdayaan masyarakat dan bukan untuk menyuburkan ketergantungan. Dalam situasi dimana sumber-sumber publik semakin langka keberadaannya, perlu dikembangkan pemberdayaan di kalangan masyarakat dan aparatur, karena dapat mengurangi beban pemerintah dalam pelayanan publik. Sebagaimana dikatakan oleh Thoha “.... Peran dan posisi birokrasi dalam pelaksanaan pelayanan publik harus diubah. Peran yang selama ini suka mengatur dan minta dilayani, menjadi suka melayani, suka mendengarkan tuntutan, kebutuhan dan harapan-harapan masyarakat (Thoha : 2009:13). Dalam perkembangan berikutnya temyata hakekat pelayanan publik bukan semata-mata persoalan administratif belaka seperti pemberian ijin dan pengesahannya, atau pemenuhan kebutuhan fisik seperti pengadaan pasar dan puskesmas, tetapi mencakup persoalan yang lebih mendasar yakni pemenuhan keinginan/kebutuhan pelanggan, seperti kepuasan dalam pelayanan kesehatan dirumah sakit atau pun pelayanan di puskesmas - puskesmas. Hal ini wajar karena dalam setiap organisasi, pemenuhan dan pemberian pelayanan kepada masyarakat merupakan Page | 99
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 suatu tuntutan. kualitas pelayanan dan kepuasan masyarakat sangat diutamakan mengingat keduanya mempunyai pengaruh yang besar kepada keberlangsungan dan berkembangnya misi suatu organisasi. Di dalam Keputusan MENPAN Nomor 63 tahun 2003 disebutkan bahwa penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi beberapa prinsip sebagai berikut : a. Kesederhanaan Prosedur pelayanan publik tidak berbelitbelit, mudah dipahami dan mudah dilaksnakaan. b. Kejelasan Kejelasan ini mencakup kejelasan dalam hal: Persyaratan teknis dan administrasi pelayanan publik; Unit Kerja/ pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam Memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/ persoalan/ sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik; Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran; Kepastian Waktu c. Kepastian Waktu Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan; d. Akurasi Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah. e. Keamanan Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum; f. Tanggung jawab Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan
pelayanan dan penyelesaian keluhan/ persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik; g. Kelengkapan sarana dan prasana Tersediannya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika); h. Kemudahan Akses Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika; i. Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas; j. Kenyamanan Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lain-lain. Groonros (Lovelock, 1988 : 9) menyebutkan bahwa manajemen pelayanan yang efektif memerlukan perubahan fokus dari menciptakan produk berkualitas dan daya manfaatnya, menjadi kualitas keseluruhan serta daya manfaat yang meliputi setiap aspek hubungan dengan pengguna jasa. Menurut Vrye (Soesilo, 2001:7) menyebutkan bahwa "pelayanan yang baik merupakan bisnis yang menguntungkan (good service is good business)”. Pada tingkat kompetisi yang akan semakin terbuka di era globalisasi nanti, maka dorongan untuk membangun pemerintahan yang Page | 100
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 digerakkan oleh pelanggan (building a customer driven government) dengan semakin memperbaiki manajemen pelayanan, semakin strategis dan menjadi variabel penentu dalam memenangkan kompetisi ini. Oieh karena itu, perlu adanya perubahan perspektif manajemen pelayanan yang mengubah fokus manajemen baik dalam pemerintahan daerah. Perubahan perspektif yang dimaksud, menurut Gronroos (Lovelock, 1988 : 10) adalah sebagai berikut : a. Dari berdasarkan daya manfaat produk menjadi daya manfaat total dalam hubungan dengan pengguna jasa. (From the product based utility in (he customer relationship). b. Dari transaksi jangka pendek menjadi hubugan Jangka panjang (from short- from transaction to long from relationship). c. Dari kualitas inti (baik barang maupun jasa) kualitas teknis dari suatu produk pada kualitas yang diharapkan dan dipersepsikan para pengguna jasa dalam mempertahankan hubung-an dengan pengguna jasa (from care product) {good or service) quality the technical quality of the outcome to total customer perceived quality in enduring customer relationship). d. Dari menghasilkan solusi teknis sebagai proses kunci dalam organisasi menjadi pengembangan daya manfaat dan kualitas keseluruhan sebagai proses kuncinya. (jrom production of the technical collection as the key process in the organization to
developing total utility and total quality as the key process). Lalu sekarang bagaimana upaya yang dilakukan agar birokrasi mampu melaksanakan misi utama yakni memberikan pelayanan secara efektif dan ideal kepada masyarakat. Jawabannya harus dengan melakukan perubahan atau reformasi, bukan saja terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur, sikap dan tingkah laku/etika (the ethics being). Upaya reformasi yang berkaitan dengan proses dan prosedur relatif lebih mudah dilakukan, karena sebagian besar berkait dengan proses adminiistrasi, akan tetapi yang lebih fundamental adalah bagaimana melakukan perubahan sikap dan perilaku (the ethics being), sehingga birokrasi sebagai mesin pemerintah dapat berjalan dengan baik menuju ke arah kesejahteraan masyarakat. Birokrasi Pemerintahan: tujuan yakni meningkatnya kesejahteraan masyarakat tanpa melakukan hal-hal yang tidak baik yang bertentangan dengan moral dan etika. Birokrasi sebagai komponen pemerintah harus dikembalikan lagi untuk hanya terfokus kepada fungsi, tugas prinsip pelayanan publik (public service). Birokrasi harus netral dan bukan sebagai alat politik, sehingga ia bebas untuk bersinergi dan berinteraksi dengan customer’s oriented yang pada hakikatnya adalah kepentingan pelayanan untuk masyarakat. Netral dalam arti siap menjadi pelayan publik yang bebas dari intervensi kekuatan politik (Syani Abdul, 2010:2-3).
Page | 101
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 Penutup Dalam praktek pelayanan publik di berbagai daerah, seharusnya birokrasi selalu memberi perhatian terhadap permasalahan yang di timbulkan dari pengaduan masyarakat. Keterlibatan birokrasi publik dalam pelayanan publik di samping menunjukkan manfaat dan keunggulan tertentu, sekaligus juga menunjukkan kelemahannya. Masyarakat selalu menginginkan kepuasan dalam pelayanan, tetapi kelemahan birokrat dareah terletak pada ketiadaan atau terbatasnya sumber daya yang mumpuni serta di tambah denga peraturan-peraturan yang membuat birokrat daerah bekerja dengan kaku. Sehingga berbagai kritik di lontarkan kepada birokrasi publik seperti boros, kaku, berbelit-belit dan semacamnya, namun pada saat yang sama masih diperlukan karena mampu melindungi kepentingan publik dan menciptakan keadilan. Kadang-kadang, birokrasi juga masih membiarkan diri untuk mendahulukan kepentingan tertentu tanpa memperhatikan konteks atau dimana birokrat bekerja atau berada. Mendahulukan orang atau suku sendiri merupakan tindakan yang biasa dilakukan dan diterapkan dalam konteks organisasi publik namun birokrat harus melayani dengan perlakuan yang sama kepada semua masyarakat. Oleh karena itu, harus ada kedewasaan untuk melihat di mana birokrat berada dan tingkatan hirarki etika manakah yang paling tepat untuk diterapkan. Hal ini karena kualitas layanan tidak hanya diukur dan sudut kualitas
produk, tetapi juga dilihat dan sudut kualitas layanan. Daftar Pustaka Barata., 2003. Dasar-dasar Pelayanan Prima. Gramedia, Jakarta. Dunn, William, 2003., Pengantar Analisis Kebijakan Publik edisi kedua, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Lovelock, Christoper., 1994. Product Plus : How Product Service Competitive Advantg, Mc Graw Hill, New York. Nurcholis, Hanif., 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT. Grasindo, Jakarta. Osborne, David and Ted GaeMer., 1991. Reinventing Govemment : How The Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector, Penguin Boo, New York. Pramusinto, A dan Kumorotomo, W., 2009. “Governance Reform di Indonesia : Mencari arah kelembagaan politik yang demokratis dan birokrasi yang profesional”, MAP-UGM, Gava Media, Yogyakarta. Suharto Edi, PhD., “Kajian Penerapan Pelayanan Khusus (Service for Customers with Special Needs) pada Sektor Pelayanan Publik”. Jurnal Online, 6 April 2010. Syani Abdul., Birokrasi Pelayanan Kepada Masyarakat, Jurnal Online 19 Maret 2010 : hal 2-3 Syakrani dan Syahriani., 2009., Implementasi Otonomi Daerah Atep,
Page | 102
Jurnal UNIERA Volume 2 Nomor 2; ISSN 2086-0404 Agustus 2013 dalam perspektif Good Governace, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Thoha, Miftah, 2009., Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Kencana, Jakarta. Yogi S dan M., Ikhsan, Standar Pelayanan Publik di Daerah, Jurnal Online, 19 Maret 2010. Zauhar Soesilo, 2001., “Administrasi Publik Sebuah Perbincangan Awal”, Jurnal Administrasi Negara, Vol. 1 (2) : 1 -12 Utomo, Warsito, 2007., Dinamika Administrasi Publik ; analisis empiris seputar isu-isu kontemporer dalam administrasi publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Page | 103