i
Volume 2 Nomor 2 Juli 2010
ISSN : 2085-384X
Jurnal Sosial Ekonomi PEKERJAAN UMUM Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum adalah wadah informasi bidang Sosial, Ekonomi bidang Pekerjaan Umum berupa hasil penelitian, studi kepustakaan maupun tulisan ilmiah yang memuat aspek sosial, ekonomi bidang infrastruktur pekerjaan umum. Jurnal ini terbit 2010 dengan frekuensi terbit tiga kali dalam setahun yaitu pada bulan April, Juli dan November. Pelindung Kepala Pusat Litbang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Pembina Ka. Bagian Tata Usaha Ka. Bidang Pengembangan Keahlian dan Penelitian Ka. Bidang Program dan Kerjasama Ka. Bidang Penyiapan NPM dan Diseminasi Ka. Balai Litbang Sosek Bidang Sumber Daya Air Ka. Balai Litbang Sosek Bidang Jalan dan Jembatan Ka. Balai Litbang Sosek Bidang Permukiman Penanggung Jawab Dra. Retno Sinarwati, MT Redaktur Dedy Budiman, S.Sos Mitra Bestari Prof. Drs. Rusdi Muchtar, MA Peneliti Bidang Komunikasi dan Budaya Prof. Ir. Suprapto, M.Sc Peneliti Bidang Sains Bangunan dan Pencegahan Kebakaran Dewan Redaksi DR. Ir. R. Pamekas, M.Eng Peneliti Utama Bidang Teknologi dan Manajemen Lingkungan Drs. Suhardi A.M, M.Si Peneliti Madya Bidang Kajian Dampak Sosial dan Evaluasi Program Ir. Aim Abdurahim Idris, M.Sc Peneliti Madya Bidang Lingkungan dan Permukiman Ir. Joyce Martha Widjaja, Dipl. HE Peneliti Madya Bidang Drainase Drs. FX. Hermawan, K, M.Si Peneliti Muda Bidang Perencanaan dan Kebijakan Sekretaris Redaksi Bangkit Aditya W, S.Sos Rahaju Sutjipta, S.Sos Abdul Rachman
Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum diterbitkan oleh Puslitbang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan, Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum. Alamat Redaksi/Penerbit: Puslitbang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan, Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum Jl. Sapta Taruna Raya No. 26 Komplek PU, Pasar Jumat, Lebak Bulus, Jakarta Selatan 12310 Telp. (021) 7511081, 7511844, Fax. (021) 7511843 email:
[email protected]
ii
Volume 2 Nomor 2 Juli 2010
ISSN : 2085-384X
Jurnal Sosial Ekonomi PEKERJAAN UMUM DAFTAR ISI
Kesenjangan Kawasan Perbatasan Di Pulau Kalimantan Berdasarkan Metode Williamson Index Andrio F. Sukma, Andi Suriadi Persepsi Masyarakat Dalam Ketersediaan Penyediaan Infrastruktur Terhadap Tingginya Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Batam Arvian Zanuardi, Irwan Kusdariyanto Kesiapan Masyarakat Dalam Implementasi Irigasi Springkler Di Sulawesi Utara Andreas Christiawan, Sunardi Strategi Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Antar Kawasan Jembatan Selat Sunda Aditya Anwar Faktor-Faktor Penghambat Proses Pengadaan Tanah Jalan Tol: Studi Kasus Pada Penggantian Tanah Kawasan Hutan Ruas Ungaran – Bawen Kab. Semarang, Jawa Tengah Bambang Sudjatmiko, Andi Suriadi Kajian Ekonomi Pelaksanaan Peraturan Daerah Pengendalian Muatan Lebih Kendaraan Angkutan Barang (Studi Kasus Provinsi Riau Dan Jawa Tengah) Achmad Helmi
iii
PENGANTAR REDAKSI Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan Umum diterbitkan oleh Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pekerjaan Umum merupakan elemen penting untuk menyebarluaskan hasil penelitian dan pemikiran para peneliti dan calon peneliti serta pejabat fungsional lainnya yang terkait. Pada sejak Edisi April 2010 tampilan jurnal berubah dari ukuran B5 menjadi A4, hal ini dilakukan untuk memudahkan setting dan diharapkan dapat memberikan sajian yang lebih baik, sehingga akan meningkatkan kualitas dan kepuasan penulis maupun pembaca. Pada terbitan Volume 2 No. 3 Edisi November 2010, Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan umum menyajikan 6 (enam) tulisan yaitu; Kesiapan masyarakat dalam implementasi Irigasi springkler di sulawesi utara, Strategi Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Antar Kawasan Jembatan Selat Sunda Faktor-faktor penghambat proses pengadaan tanah jalan tol: studi kasus pada penggantian tanah kawasan hutan ruas ungaran – bawen kab. Semarang, jawa tengah, Persepsi masyarakat dalam ketersediaan Penyediaan infrastruktur terhadap tingginya laju pertumbuhan penduduk kota batam, Kajian ekonomi pelaksanaan Peraturan daerah pengendalian muatan lebih Kendaraan angkutan barang (studi kasus provinsi riau dan jawa tengah), serta Kesenjangan Kawasan Perbatasan Di Pulau Kalimantan Berdasarkan Metode Williamson Index Terima kasih kami sampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr. Ir. Suprapto, M.Sc. dan Bapak Prof. Drs. Rusdi Muchtar, MA atas bantuan dan kerjasamanya yang bertindak sebagai Mitra Bestari. Akhirnya, Dewan Redaksi menyampaikan selamat membaca, semoga tulisan yang kami sajikan bermanfaat bagi para penentu kebijakan dan pemangku kepentingan lainnya di bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan.
iv
KESENJANGAN KAWASAN PERBATASAN DI PULAU KALIMANTAN BERDASARKAN METODE WILLIAMSON INDEX Andrio F. Sukma1, Andi Suriadi2 1
Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan Gd. Pustra, Jl. Raya Sapta Taruna Raya No. 26 Kompleks PU Ps. Jum’at – Jakarta Selatan Email:
[email protected] 2
Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi FISIP UI Kampus UI Depok Email:
[email protected]
ABSTRACT Recently, construction of public works infrastructure in the border area is being actively conducted. Governments at various levels (regency, province and state) have also allocated some budget to realize that; even the private sector and local communities also have a big contribution to increase the region’s economy and social economic conditions. The real question is that The Public Works infrastructure is really can provide a benefit to the community. How huge the welfare improvement for people in border area compare to people outside the border area. This paper tries to determine the welfare of the people in the border area with the people outside the border area by using disparity as an indicator. By using Williamson index, it obtained results that the disparity between the borders area with non-border areas are varied although not as high as public predicted. However, there is something to notice that the condition in Kalimantan is really left behind so that’s no difference condition between border area and non-border area. Keywords: disparity, border region, regional economic, welfare, Wiiliamson Index
ABSTRAK Saat ini, pembangunan infrastruktur PU di kawasan perbatasan sedang giat dilakukan. Pemerintah di berbagai level (kabupaten, provinsi, dan pusat) juga telah mengalokasikan sejumlah anggaran pembangunan; bahkan swasta dan masyarakat setempat juga telah memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap peningkatan perekonomian wilayah dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pertanyaannya apakah benar infrastruktur PU yang telah dibangun tersebut dapat memberikan manfaat kepada masyarakat. Seberapa besar sesungguhnya peningkatan kesejahteraan yang dialami masyarakat di kawasan perbatasan dibandingkan dengan masyarakat yang berada di luar kawasan perbatasan. Penelitian ini mencoba melihat bagaimana kesejahteraan masyarakat di perbatasan dengan masyarakat di luar kawasan perbatasan dengan indikator berupa kesenjangan. Dengan menggunakan Indeks Williamson, diperoleh hasil bahwa ternyata kesenjangan antara kawasan perbatasan dengan kawasan nonperbatasan bervariasi meskipun tidak setinggi yang diperkirakan banyak orang. Namun, terdapat catatan khusus terkait hal ini yaitu apakah kondisi di Kalimantan memang benar-benar masih tertinggal sehingga tidak ada bedanya kondisi di perbatasan dengan kondisi di luar perbatasan. Kata Kunci: kesenjangan, perbatasan, perekonomian wilayah, kesejahteraan, Indeks Wiiliamson
143
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
PENDAHULUAN Dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan dari pangkuan ibu pertiwi, kawasan perbatasan negara mendapat perhatian yang cukup besar. Hal tersebut terjadi karena pada umumnya kawasan perbatasan masih tergolong sebagai kawasan tertinggal dibanding daerah-daerah sekitarnya. Data dari Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal menunjukkan bahwa dari 26 kabupaten yang tercakup dalam 12 provinsi sebagian besar masuk dalam kategori daerah tertinggal.
Namun, sesungguhnya yang menarik apakah yang dimaksud dengan pernyataan “tertinggal” tersebut. Indikator apa yang menjelaskan bahwa memang kawasan perbatasan tersebut “tertinggal”. Tentunya kawasan perbatasan akan menjadi tertinggal jika dibandingkan dengan Ibukota Jakarta. Bahkan, dibandingkan dengan Ibukota Provinsi di mana wilayah perbatasan tersebut berada, sangat mungkin kawasan perbatasan merupakan kawasan tertinggal. Kemudian sampai sejauh mana pendefinisian “tertinggal” ini sehingga bisa ditentukan sampai sejauh mana lagi minimal pembangunan yang harus dilakukan di kawasan perbatasan tersebut. Salah satu cara yang bisa dilakukan yaitu dengan mengadakan perbandingan antara kawasan perbatasan dengan kawasan nonperbatasan di provinsi yang sama. Cara ini menjadi lebih fair karena kita bisa mengetahui bagaimana sesungguhnya posisi kawasan perbatasan tersebut dalam provinsi bersangkutan. Melalui perbandingan ini, setidaknya akan terlihat batasan bagaimana kesenjangan yang terjadi antara kawasan perbatasan dengan kawasan di luar perbatasan. Perbandingan ini dilakukan untuk yang berada dalam satu provinsi, bukan dengan Indonesia secara keseluruhan sehingga bisa lebih mencerminkan bagaimana wilayah perbatasan yang sebenarnya. Secara khusus, kawasan perbatasan yang paling menarik perhatian yaitu kawasan perbatasan di Kalimantan. Sebenarnya, mungkin bukan hanya kawasan perbatasannya saja yang memang tertinggal, tetapi Kalimantannya sendiri mungkin memang tertinggal jika dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Oleh karena itulah, menjadi kurang bijak bagi kita menyebutkan bahwa perbatasan Kalimantan tertinggal jika ternyata pada kenyataannya Kalimantannya sendiri merupakan kawasan tertinggal. Mengacu pada pernyataan tersebut, menjadi menarik untuk diteliti sebenarnya bagaimana posisi kawasan perbatasan Kalimantan di dalam wilayah Kalimantan itu sendiri. Apakah sesungguhnya di Kalimantan sendiri sudah terjadi kesenjangan antara kawasan perbatasan
144
dengan kawasan nonperbatasan ataukah memang secara umum kawasan perbatasan tersebut memang mencerminkan kondisi di Kalimantan itu sendiri.
Jika mencermati kebijakan pembangunan yang berlaku saat ini, sebenarnya beberapa instansi sudah memfokuskan pembangunan di Kalimantan. Beberapa Kementerian mengalokasikan anggaran untuk pembangunan kawasan perbatasan terkait dengan keinginan untuk menjadikan kawasan perbatasan sebagai “beranda depan” Indonesia. Khusus untuk Kementerian Pekerjaan Umum sendiri saat ini juga sedang memprioritaskan pembangunan infrastruktur PU di kawasan perbatasan di Kalimantan (Kirmanto, 2005). Sebagaimana diketahui bahwa Kementerian Pekerjaan Umum memiliki tugas dan fungsi menyelenggarakan pembangunan infrastruktur pada tiga bidang yaitu sumber daya air, jalan dan jembatan, serta infrastruktur pendukung permukiman (seperti drainase, persampahan, dll). Selain itu, pengembangan wilayah melalui penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) juga berada di bawah kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum.
Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini mencoba membahas bagaimana sesungguhnya posisi kawasan perbatasan di dalam wilayah Kalimantan itu sendiri sehingga diharapkan dapat ditemukenali bagaimana sesungguhnya kesenjangan yang terjadi di Kalimantan. Selain itu, tulisan ini juga akan mencoba melihat bagaimana peran infrastruktur PU dalam perekonomian di kawasan perbatasan. Diharapkan temuan dari tulisan ini bisa dijadikan bahan awal dalam penentuan program pembangunan terutama dalam pengembangan wilayah di Kalimantan. Jika dirumuskan dalam suatu pertanyaan maka terdapat dua pertanyaan penelitian yang harus dijawab dalam tulisan ini yaitu: (1) Bagaimana kesenjangan yang terjadi di kawasan perbatasan di Kalimantan? dan (2) Bagaimana peran infrastruktur PU dalam perekonomian di kawasan perbatasan di Kalimantan?
KERANGKA KONSEPTUAL
Secara empirik, menurut Lespperssi (2007), kondisi kawasan perbatasan relatif tertinggal dengan wilayah lain sehingga perlu penanganan secara terpadu dalam suatu sistem integratif. Pembangunan wilayah perbatasan memang tidak dapat dilepaskan dari bagian pembangunan ekonomi secara nasional. Dalam upaya peningkatan aktivitas perekonomian, maka lokasi menjadi berperan penting dalam penentuan aktivitas ekonomi produktif dan hubungan antara produsen dan konsumen dalam setiap rantai kegiatan
Kesenjangan Kawasan Perbatasan Di Pulau Kalimantan Berdasarkan Metode Williamson Index Andrio F. Sukma, Andi Suriadi
produksi hingga ke konsumen akhir.
Aktivitas dalam setiap rantai produksi umumnya membutuhkan interaksi antara faktor input, faktor antara, dan output yang tidak selalu berada pada satu lokasi yang sama. Perbedaan lokasi akan menimbulkan adanya biaya transaksi dan transportasi yang semakin tinggi apabila semakin jauh jarak antara lokasi input faktor produksi dengan lokasi produksi dan pasar. Dalam hal ini menjadi penting adanya aksesibilitas wilayah yang dihubungkan oleh infrastruktur transportasi (termasuk jalan dan jembatan). Selain permasalahan lokasi, adanya potensi wilayah juga dapat menjadi salah satu faktor penarik adanya aktivitas ekonomi pada suatu lokasi tertentu dengan ketersediaan infrastruktur pendukung.
Menurut Jhingan (1993), sesuai dengan teori pertumbuhan dari Harrod-Domar, bahwa investasi memiliki peran kunci dalam pertumbuhan ekonomi yaitu menciptakan pendapatan dan memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok modal. Disparitas distribusi investasi antardaerah dapat juga dianggap sebagai salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas pertumbuhan ekonomi atau pendapatan antardaerah (Tambunan, 2003). Pendidikan dapat menciptakan pembaharuan dalam bidang pengetahuan dan aspek kehidupan masyarakat. Menurut Perdana (2010), variabel modal manusia yang dimasukkan dalam model pertumbuhan ekonomi dapat memberikan penjelasan sebagian tentang fenomena kesenjangan tingkat pendapatan per kapita. Asumsi dasar dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kesenjangan adalah pendidikan dapat meningkatkan produktivitas pekerja. Penelitian empiris yang dilakukan oleh Prasasti (2006), dimana telah ditemukan pengaruh positif dari tingkat pendidikan terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia sehingga akan mempercepat terjadinya konvergensi pendapatan.
Menurut Lane dan Ersson (2002), secara implisit teori kesenjangan masyarakat mengisyaratkan adanya jurang ketimpangan kelimpahan kemakmuran ekonomi antara kelompok negara kaya dan miskin yang semakin memburuk sejak berakhirnya perang dunia kedua. Terkait dengan pertumbuhan ekonomi, baik pada tingkat negara maupun tingkat regional, prediksi teori kesenjangan adalah selisih antara negara atau daerah kaya dengan negara atau daerah miskin akan terus meningkat. Hal ini disebabkan negara sedang berkembang sangat sulit untuk meningkatkan pendapatan perkapitanya karena adanya ledakan pertumbuhan penduduk dari masing-masing regional dan secara nasional.
Teori konvergensi menyatakan bahwa tingkat kemakmuran yang dialami oleh negara-negara maju dan negara-negara berkembang pada suatu saat akan konvergen (bertemu pada satu titik). Ilmu ekonomi juga menyebutkan bahwa akan terjadi catching up effect, yaitu ketika negara-negara berkembang berhasil mengejar negara-negara maju. Hal ini didasarkan asumsi bahwa negara-negara maju akan mengalami kondisi steady state, yaitu negara yang tingkat pendapatannya tidak dapat meningkat lagi karena tambahan investasi tidak menambah pendapatan. Sementara negara maju diam, negara berkembang yang memiliki tambahan investasi sehingga menambah pendapatannya, akan terus mengejar dan akhirnya pada suatu saat akan menyamai pendapatan negara maju atau terjadi catching up effect (Satriotomo, 2005). Pemahaman terhadap konsepsi kesejahteraan menuntut tidak hanya representasi intensitas agregat, tetapi juga representasi distribusional kesejahteraan antarkelompok masyarakat atau antardaerah. Representasi distribusional merupakan muara dari persoalan yang mendasar, yaitu keadilan. Kesenjangan tidak lain adalah suatu representasi distribusional tersebut.
Konsep tentang kesenjangan mempunyai kemiripan dengan konsep tentang perbedaan. Seseorang mempunyai tinggi tubuh yang berbeda dengan seseorang yang lain. Fakta menunjukkan adanya perbedaan tinggi tubuh. Pemahaman terhadap perbedaan seperti itu relatif bersifat netral dan tidak terkait dengan moral pemahaman. Berbeda halnya kalau membicarakan perbedaan kekayaan dari kedua orang itu, maka umumnya terdapat inklinasi moral tertentu. Pemahaman terhadap perbedaan kekayaan mempunyai implikasi moral dalam konteks hubungan sosial, misalnya siapa yang harus lebih toleran, bagaimana pembebanan kewajiban sosial pada tiap orang itu, dan sebagainya.
Selain pengelompokan masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan, pengukuran kesenjangan juga menggunakan daerah sebagai basis pengelompokkan. Pengelompokkan berbasis daerah tersebut mempunyai implikasi pengamatan kesenjangan masyarakat antardaerah. Berbagai cara pengelompokkan lain yang telah biasa digunakan adalah kelompok masyarakat wilayah desa dan masyarakat wilayah kota. Selain itu, saat ini juga berkembang perhatian terhadap pengukuran kesenjangan berbasis gender. Kondisi kesenjangan kesejahtaraan umumnya dinyatakan dalam bentuk indikator kesenjangan. Berbagai studi pada umumnya menggunakan kurva distribusi Lorenz dan indeks kemerataan distribusi Gini. Berbagai studi lain menggunakan indikator kesenjangan antardaerah yang pertama kali diperkenalkan oleh Williamson. Penghitungan
145
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
indeks Gini dilakukan berbasis pada kurva distribusi Lorenz, sedangkan indeks Williamson berbasis pada angka varian dalam distribusi statistik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Analisis Kesenjangan Secara kuantitatif, kesenjangan antarwilayah dapat dianalisis dengan menggunakan Williamson Index yang dapat mengetahui tinggi rendahnya METODE PENELITIAN tingkat kesenjangan antardaerah dalam satu Lokasi penelitian ini dilakukan di sejumlah kawasan atau provinsi tertentu berdasarkan tingkat kabupaten di Kalimantan yang berbatasan dengan pendapatan masyarakatnya. Mengingat pada Malaysia. Diambil 8 kabupaten yang meliputi: provinsi Kalimantan Timur terdapat minyak bumi Sanggau, Kapuas Hulu, Sintang, Bengkayang dan dan gas alam (migas), maka akan terdapat 2 analisis Sambas di Kalimantan Barat dan Nunukan, Kutai yang dilakukan yaitu: (1) dengan memperhitungkan migas dan (2) tanpa memperhitungkan migas. Hal ini Barat dan Malinau di Kalimantan Timur. dilakukan mengingat migas memberikan kontribusi Data yang digunakan untuk analisis yang sangat signifikan dalam peningkatan PDRB merupakan data sekunder yang disediakan oleh suatu wilayah, tetapi hasil dari migas tersebut tidak BPS. Data sekunder ini dibedakan menjadi dua semuanya dapat dinikmati oleh penduduk di wilayah bagian utama yaitu: produksi karena adanya ketentuan mengenai bagi hasil. 1. Data yang meliputi: PDRB kedelapan Utama kabupaten tahun 2007 atas dasar harga konstan Untuk kemudahan penyediaan data dan tahun 2000, PDRB per kapita kedelapan analisis, maka kawasan perbatasan dalam tulisan ini kabupaten tahun 2007 atas dasar harga konstan mengacu pada wilayah administratif. Satu kabupaten tahun 2000, PDRB provinsi Kalimantan Barat dianggap merupakan kawasan perbatasan yang dan Kalimantan Timur tahun 2007 atas dasar kemudian akan dibandingkan kondisinya dengan provinsi dimana kabupaten tersebut berada. harga konstan tahun 2000, PDRB per kapita Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur tahun Dengan demikian, terdapat 8 kawasan perbatasan 2007 atas dasar harga konstan tahun 2000, yang akan dianalisis di mana Kabupaten Sambas, Sanggau, Sintang, Bengkayang, dan Kapuas Hulu jumlah penduduk kedelapan kabupaten di tahun masuk merupakan Kawasan perbatasan yang dalam 2007, jumlah penduduk di Kalimantan Barat wilayah Kalimantan Barat. Sementara Kabupaten dan Kalimantan Timur tahun 2007, luas wilayah Malinau, Kutai Barat, dan Nunukan masuk ke dalam kedelapan kabupaten, luas wilayah Provinsi wilayah Kalimantan Timur. Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Hasil indeks Williamson tersebut dapat dilihat 2. Data pendukung yang meliputi: kondisi pada gambar 1 dan gambar 2 sebagai berikut: infrastruktur, kondisi perekonomian, kondisi demografis, dan sejumlah data lainnya yang terkait.
data Analisis menggunakan indeks Williamson. Seperti sudah disebutkan sebelumnya indeks Williamson digunakan untuk melihat kesenjangan antarregional di wilayah perbatasan pada tahun 2007. Adapun menghitung cara koefisien variasi Williamson (Tambunan, 2003) adalah sebagai berikut: Sumber: BPS Provinsi dan Kabupaten tahun 2007, diolah.
Σ (Yi - Y fi Y
n , 0 < Vw < 1
Di mana:
Yi = Pendapatan perkapita kabupaten i Y = Pendapatan perkapita provinsi fi = Jumlah penduduk di kabupaten i n = Jumlah populasi di provinsi Jika diperoleh Hasil
Vw = 0 artinya merata sempurna Vw = 1 artinya ketimpangan sempurna
146
Vw =
Gambar 1. Williamson Indeks pada Kabupaten di Perbatasan Kalimantan dengan Memperhitungkan Migas
2
Sumber : BPS Provinsi dan Kabupaten tahun 2007, diolah.
Gambar 2. Williamson Indeks pada Kabupaten di Perbatasan Kalimantan tanpa Memperhitungkan Migas
Kesenjangan Kawasan Perbatasan Di Pulau Kalimantan Berdasarkan Metode Williamson Index Andrio F. Sukma, Andi Suriadi
Berdasarkan kedua gambar di atas maka dilakukan analisis sebagai berikut: 1. Analisis Kesenjangan secara Umum
2. Analisis Kesenjangan berdasarkan Provinsi 3. Analisis Kesenjangan spesifik
1.1 Analisis Kesenjangan secara Umum Secara umum, tingkat kesenjangan di kawasan perbatasan Kalimantan sebenarnya terhitung rendah. Ini terlihat berdasarkan Indeks Williamson pada gambar 1 dan gambar 2 di atas. Meskipun demikian, untuk Kalimantan Timur terdapat sedikit catatan karena merupakan salah satu provinsi yang memproduksi migas sehingga untuk menentukan kesenjangannya agak berbeda dengan Kalimantan Barat. Secara riil, sebenarnya kesenjangan juga terjadi di kawasan perbatasan Kalimantan Timur. Namun, jika kita mengabaikan migas, maka kesenjangannya menjadi lebih rendah walaupun rata-rata indeks kesenjangannya masih berada di atas Kalimantan Barat. Hasil analisis di atas setidaknya bisa dibaca dalam dua pemahaman yaitu pertama bahwa kesenjangan sebenarnya memang tidak pernah benar-benar terjadi di Kalimantan. Ini ditunjukkan dengan angka indeks yang relatif kecil. Artinya, kondisi di kawasan perbatasan sebenarnya sama saja dengan kondisi di kabupaten lainnya sehingga tidak ada wilayah yang benar-benar tertinggal.
Namun di sisi lain, juga bisa dipahami bahwa memang kondisi di Kalimantan masih tertinggal sehingga di mana pun kita berada di Kalimantan, baik di kawasan perbatasan ataupun di luar kawasan perbatasan kondisinya sama saja. Ini artinya sejumlah kabupaten di Kalimantan masih belum tersentuh pembangunan secara holistik. Dengan demikian, sejumlah pernyataan yang menyebutkan bahwa wilayah Kalimantan merupakan kawasan tertinggal benar-benar terbukti. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika banyak masyarakat Indonesia yang lebih memilih untuk melakukan aktivitas kegiatan sehari-harinya di negara tetangga (Malaysia). Apalagi ternyata infrastruktur yang ada di Kalimatan ternyata juga masih kurang baik kualitasnya maupun kuantitasnya. Ini menjadi pekerjaan rumah sendiri terutama bagi pemerintah untuk mengembangkan Kalimantan menjadi beranda depan Indonesia. 1.2 Analisis Kesenjangan berdasarkan Provinsi
Jika dilihat kesenjangan yang terjadi di perbatasan Kalimantan Barat dengan perbatasan Kalimantan Timur, terlihat bahwa ternyata kesenjangan yang lebih tinggi berada di Kalimantan Timur. Ini terlihat terutama dari gambar 1 di mana
angka indeks berada di atas 0,5 untuk wilayah perbatasan di Kalimantan Timur, sedangkan di Kalimantan Barat angka indeksnya lebih kecil berkisar di angka 0,1.
Hal ini bisa disebabkan berbagai hal. Yang pertama dilihat dari luas wilayah. Luas wilayah perbatasan di Kalimantan Timur lebih besar daripada di Kalimantan Barat meskipun jumlah kabupatennya lebih sedikit. Kemudian dilihat dari jumlah penduduknya juga terlihat bahwa penduduk di Kalimantan Timur lebih banyak daripada di Kalimantan Barat. Kegiatan perekonomian juga lebih hidup di Kalimantan Timur daripada di Kalimantan Barat. Di Kalimantan Timur terdapat sejumlah kegiatan pertambangan yang meliputi tambang minyak bumi, gas bumi dan batubara. Hal ini menyebabkan sejumlah kabupaten yang memiliki pertambangan tersebut memiliki perekonomian yang lebih maju sehingga kesenjangannya menjadi lebih melebar. Selain itu, juga sejumlah perkebunan dan kegiatan kehutanan juga lebih banyak terdapat di Kalimantan Timur sehingga menyebabkan kesenjangan di Kalimantan Timur lebih tinggi.
Dilihat dari kondisi topografi wilayahnya juga menunjukkan hal tersebut. Topografi di Kalimantan Timur yang berbukit-bukit, lebih banyak sungai menyebabkan sulitnya transportasi sehingga kondisi ini juga menyebabkan kesenjangan di Kalimantan Timur jauh lebih tinggi daripada di Kalimantan Barat. Provinsi Kalimantan Timur juga memiliki lebih sedikit kabupaten sehingga jika dilakukan perhitungan dengan membandingkan antara PDRB dengan jumlah penduduk dan luas kabupaten, hasilnya akan lebih kecil sehingga kesenjangannya menjadi lebih tinggi.
Memang jika dilihat dari kondisi perekonomiannya terlihat bahwa Kalimantan Timur lebih maju dibandingkan dengan Kalimantan Barat. Akibatnya, terdapat sejumlah kota/kabupaten di Kalimantan Timur yang sangat maju, namun di sisi lain terdapat sejumlah kota/kabupaten yang tertinggal. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan munculnya kesenjangan. Apalagi untuk kawasan perbatasan yang memang terletak jauh dari pusat pemerintahan dan pusat perekonomian. Kondisi seperti ini seperti buah simalakama mengingat konsep awalnya yaitu berharap terjadinya trickling down effect. Namun kenyataannya, hal tersebut tidak terjadi sehingga kawasan yang maju semakin maju dan kawasan yang terbelakang tetap tertinggal. Bahkan, ke depannya justru terjadi backwash effect. Akan tetapi, untuk kawasan perbatasan di Kalimantan, ternyata backwash effect terjadi ke Malaysia sehingga pada akhirnya Indonesia sendirilah yang dirugikan.
147
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
Mengingat Indeks Williamson bersifat relatif, maka sebetulnya akan lebih baik jika pada saat yang bersamaan dilakukan juga analisis kesenjangan di wilayah lain yang dianggap memiliki tingkat kesenjangan rendah, misalnya di Pulau Jawa. Karena bisa juga Indeks Williamson menunjukkan angka yang tinggi mengingat sifat Indeks Williamson tersebut. Untuk membandingkannya, juga bisa dilakukan analisis kesenjangan di seluruh kota/ kabupaten di Kalimantan, namun mengingat tujuan dari tulisan ini lebih untuk mengetahui bagaimana kesenjangan di wilayah perbatasan, maka analisis kesenjangan secara spesifik dilakukan hanya di wilayah perbatasan.
Seperti yang telah dijelaskan juga sebelumnya setelah mengetahui bahwa memang terjadi kesenjangan di wilayah perbatasan, maka kemudian coba dilakukan analisis kira-kira apa penyebabnya sehingga bisa terjadi kesenjangan tersebut. Penyebab ini sebagaimana telah diuraikan diatas yaitu meliputi: jumlah penduduk, luas wilayah, kondisi topografi wilayah, kondisi perekonomian makro, dan sejumlah penyebab lainnya.
Akan lebih menarik lagi jika dilakukan analisis lanjutan yang menghubungkan antara kesenjangan dengan sejumlah variabel tersebut di atas sehingga akan diketahui bagaimana hubungan antara jumlah penduduk, luas wilayah, kondisi topografi, kondisi perekonomian, dll. Dengan demikian, bisa menjadi salah satu strategi dalam pengembangan kawasan perbatasan. Yang pasti pengembangan kawasan perbatasan khususnya di Kalimantan mutlak diperlukan apalagi belakangan ini banyak terjadi kegiatan lintas batas yang sangat merugikan Indonesia seperti pembalakan liar (ilegal logging), pemindahan patok perbatasan, penjualan manusia (traficking), penyelundupan, dan sejumlah kegiatan lainnya. 1.3 Analisis Kesenjangan Spesifik
Maksud dari kesenjangan spesifik yaitu kesenjangan yang terjadi di tingkat tertinggi yaitu di Kabupaten Nunukan yang memiliki kesenjangan tertinggi (0,81) dan Kabupaten Sanggau yang memiliki kesenjangan terendah (0,02). Dalam analisis ini, akan coba diuraikan mengapa kesenjangan di Kabupaten Sanggau merupakan yang paling rendah serta mengapa kesenjangan di Kabupaten Nunukan yang paling tinggi.
Jika dilihat dari luas wilayah memang luas wilayah, Kabupaten Sanggau merupakan yang paling kecil jika dibandingkan dengan seluruh wilayah perbatasan di Pulau Kalimantan. Sementara Kabupaten Nunukan merupakan kabupaten terluas. Tentunya tidak mengherankan jika kesenjangan di
148
Sanggau merupakan yang terendah dan kesenjangan di Nunukan merupakan yang tertinggi.
Kemudian dilihat dari jumlah penduduknya juga terlihat bahwa penduduk di Kabupaten Sanggau lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di kabupaten perbatasan lainnya di Kalimantan Barat. Akibatnya kesenjangan di Sanggau lebih rendah jika dibandingkan dengan yang lainnya. Sebaliknya jumlah penduduk di Nunukan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk lainnya di Kalimantan Timur sehingga kesenjangan di Nunukan menjadi lebih tinggi daripada wilayah perbatasan lainnya di Kalimantan Timur. Sementara ditinjau dari kegiatan perekonomiannya sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kegiatan perekonomian di Kalimantan Timur lebih berkembang daripada di Kalimantan Barat. Di sisi lain kegiatan perekonomian di wilayah perbatasan belum terlalu berkembang. Kondisi demikian menyebabkan timbulnya kesenjangan. Namun, karena kegiatan perekonomian di Sanggau lebih maju dibandingkan dengan kabupaten perbatasan lainnya di Kalimantan Barat, maka kesenjangan di Sanggau menjadi rendah. Hal berkebalikan justru terjadi di Nunukan di mana kegiatan perekonomian di Nunukan justru lebih tertinggal dibandingkan dengan kabupaten perbatasan lainnya sehingga menyebabkan kesenjangan di Nunukan menjadi yang paling tinggi. Perlu diperhatikan di sini bahwa Nunukan berbatasan dengan Serawak yang lebih maju. Kesenjangan yang tinggi di Nunukan bisa menyebabkan masyarakat yang tinggal di perbatasan merasa termarjinalkan dan malah melakukan kegiatan yang “merugikan” Indonesia seperti berpindah kewarganegaraan, menjadi pelaku kriminal seperti pembalakan liar, traficking, dll.
Untuk ke depannya memang perlu diperhatikan pembangunan kawasan perbatasan terutama untuk kabupaten yang memiliki angka kesenjangan tinggi. Dalam kasus ini pembangunan di Nunukan menjadi lebih prioritas dibandingkan dengan di Sanggau, tetapi tidak berarti melupakan begitu saja pembangunan di Sanggau. Pada akhirnya memang peningkatan kegiatan perekonomian di wilayah perbatasan khususnya di Kalimantan merupakan tugas besar yang harus segera diwujudkan. Menjadi lebih menarik jika dilakukan analisis secara menyeluruh, terutama untuk provinsi yang memiliki perbatasan. Memang pada masa lalu pembangunan lebih menekankan kepada pertumbuhan, tetapi melupakan pemerataan. Diharapkan dengan pertumbuhan yang tinggi
Kesenjangan Kawasan Perbatasan Di Pulau Kalimantan Berdasarkan Metode Williamson Index Andrio F. Sukma, Andi Suriadi
pemerataan terjadi dengan sendirinya. Pada kenyataannya, tidak semua wilayah bisa tumbuh seperti yang diharapkan dan pemerataan juga tidak bisa terjadi dengan sendirinya. 2. Peran Infrastruktur PU
Selain menghitung kesenjangan di kawasan perbatasan, tulisan ini juga mencoba untuk menghitung seberapa jauh infrastruktur PU berperan dalam perekonomian di kawasan perbatasan Kalimantan. Sebelum dilakukan analisis, perlu dipahami dahulu bahwa mengingat adanya keterbatasan data maka infrastruktur PU di sini hanya akan dibatasi pada 2 sektor saja yaitu 1) sektor air bersih, yang memang merupakan domain PU dan 2) konstruksi, yang dipilih dengan asumsi bahwa PU memang memiliki tanggung jawab dalam pembinaan konstruksi di Indonesia, apalagi dalam sektor konstruksi terdapat konstruksi jalan, jembatan dan prasarana irigasi yang merupakan domain PU. Peran infrastruktur PU ini dihitung dengan didasarkan pada berapa besar presentase sektor air bersih dan sektor konstruksi dalam membangun PDRB pada kawasan perbatasan di Kalimantan.
Analisis peran infrastruktur PU ini hanya merupakan analisis pendukung untuk analisis kesenjangan yang dilakukan sebelumnya. Analisis hanya sebagai dilakukan identifikasi awal saja dan sebagai bahan pertimbangan apakah memungkinkan untuk meningkatkan lagi peran infrastruktur PU tersebut.
Hasil perhitungan peran infrastruktur PU tersebut dapat dilihat pada gambar 3 sebagai berikut:
Sumber: BPS Provinsi dan Kabupaten tahun 2007, diolah
Keterangan: * Dengan Migas
** Tanpa Migas
Nunukan Untuk sektor air bersih masih tergabung dengan listrik dan gas
Gambar 3. Persentase Peran Infrastruktur PU pada Kabupaten di Perbatasan Kalimantan
Berdasarkan pada gambar tersebut di atas terlihat bahwa peran infrastruktur PU di kawasan perbatasan di Kalimantan masih agak rendah karena masih berkisar di bawah 15%, kecuali untuk Kabupaten Malinau di mana peran sektor konstruksi mencapai 23,13%. Bahkan, untuk sektor air bersih semuanya berada di bawah 1% atau sangat tidak signifikan perannya dalam perekonomian. Meskipun demikian, persentase pada gambar tersebut di atas sebenarnya juga tidak jauh berbeda dengan peran infrastruktur PU di provinsinya sendiri. Untuk Kalimantan Barat, peran sektor air bersih hanya 0,13% dan sektor konstruksi sebesar 7,86%. Sementara di Kalimantan Timur jika menghitung migas maka peran sektor air bersih hanya 0,31% dan sektor konstruksi sebesar 3,41%. Jika migas tidak dihitung, peran sektor air bersih hanya sedikit meningkat menjadi 0,58%, dan sektor konstruksi meningkat dua kali lipatnya menjadi 6,37%.
Dari sejumlah uraian di atas, sebenarnya infrastruktur PU memang belum terlalu berperan di kawasan perbatasan Kalimantan. Namun demikian, hal ini tidak berarti infrastruktur PU tidak ada perannya sama sekali. Temuan di beberapa tempat lain biasanya menunjukkan bahwa infrastruktur lebih bersifat memacu dan mendorong pertumbuhan yang berarti indeks keterkaitan ke belakang (IKB) lebih besar daripada indeks keterkaitan ke depan (IKD). Artinya, sektor PU lebih banyak memanfaatkan output dari sektor lain daripada dimanfaatkan output-nya oleh sektor lain. Ini memang sesuai dengan karakteristik infrastruktur PU yang biasanya membutuhkan banyak bahan baku dalam penyediaannya dan setelah jadi tidak ada seperser rupiah pun yang dibayarkan oleh pemanfaatnya sehingga kecenderungannya menjadi barang modal. Hal ini tampaknya juga terjadi di kawasan perbatasan Kalimantan ketika peran infrastruktur PU dalam perekonomian tidak terlalu tinggi, namun sangat signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Kasus khusus mungkin terjadi di Kapuas Hulu, Malinau, dan Kutai Barat di mana peran infrastruktur PU cukup tinggi. Ini mungkin terjadi karena pembangunan infrastruktur PU di ketiga kabupaten tersebut sangat gencar dilakukan. Akibatnya, perekonomian menjadi lebih menggeliat dengan adanya pembangunan infrastruktur PU karena membutuhkan sejumlah bahan baku yang kemudian menggerakkan sektor lainnya selaku penyedia bahan baku bagi pembangunan infrastruktur PU. Berdasarkan kejadian di ketiga kabupaten tersebut, maka infrastruktur PU sebenarnya dapat menjadi salah satu alternatif dalam mengurangi kesenjangan. Cara yang dapat dilakukan yaitu dengan menggencarkan pembangunan infrastruktur
149
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
PU. Dengan demikian, diharapkan sektor lainnya yang menjadi penyedia bahan baku turut bergerak, kemudian roda pembangunan akan menggelinding dan perekonomian. Pada akhirnya, kesejahteraan masyarakat juga akan meningkat sehingga mengurangi kesenjangan dan ketertinggalan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Secara umum, kesenjangan antarwilayah perbatasan dengan wilayah nonperbatasan di Kalimantan ternyata tidak seperti yang diduga banyak orang. Indeks Williamson menunjukkan angka yang berkisar di antara 0 – 0,3. Angka ini dinyatakan rendah karena koefisien dari Indeks Williamson mendekati angka nol, yang berarti hampir mendekati merata sempurna. Namun, jika menghitung migas, maka terjadilah kesenjangan terutama di perbatasan Kalimantan Timur di mana Indeks Williamson berada di atas 0,5. Pengecualian terjadi di Kabupaten Nunukan yang memiliki tingkat kesenjangan yang cukup tinggi, baik dengan menghitung atau mengabaikan migas. Indeks Williamson Kabupaten Nunukan, bahkan hampir mencapai 1 ketika migas dihitung. Di sisi lain infrastruktur PU ternyata belum bisa memberikan peran yang signifikan dalam perekonomian di perbatasan Kalimantan. Ini terlihat dari persentase 2 sektor PU yaitu sektor air bersih dan sektor konstruksi yang memiliki nilai di bawah 10%. Ini terkait dengan karakteristik sektor PU yang lebih banyak memerlukan supply bahan baku, namun pemanfaatannya yang belum optimal. Pengecualian terjadi di Kabupaten Kapuas Hulu, Malinau, dan Kutai Barat di mana ternyata sektor PU memiliki peran yang cukup penting dalam perekonomian yang ditunjukkan melalui persentasenya yang berada di atas 10%.
Sebagai tambahan, analisis yang dilakukan masih merupakan analisis awal sehingga masih perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam. Untuk menyempurnakan penelitian ini, sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan yang membahas mengenai kesenjangan untuk seluruh wilayah di Pulau Kalimantan. Kemudian juga dilakukan analisis secara time series sehingga bisa terlihat apakah kesenjangan yang ada semakin rendah atau malah semakin tinggi. Selain itu, sebagai perbandingan, akan sangat baik jika dilakukan analisis kesenjangan untuk wilayah yang dipandang memiliki kesenjangan rendah. Kemudian, jika data yang ada mendukung maka analisis kesenjangan dilakukan hingga tingkat kecamatan sehingga bisa lebih menggambarkan kesenjangan yang terjadi.
150
DAFTAR PUSTAKA Departemen Sosial, 2008. Revitalisasi Model Pemberdayaan Pranata Sosial Di Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara, Ringkasan Laporan, Pusat Pengembangan Ketahanan Sosial masyarakat Badan Pendidikan Dan Penelitian Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial RI, Jakarta. Gama, Ayu Savitri, 2009. “Disparitas dan Konvergensi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Bali”, Input Jurnal Ekonomi dan Sosial, Volume 2 No. 1 tahun 2009 hal. 38 – 48, Universitas Udayana Denpasar, http:// ejournal.unud.ac.id/abstrak/input%20 2%5B1%5D-h38-48.pdf (accessed October 21, 2010) Jhingan, M.L. 1993. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Kirmanto, Joko, 2005. Arah Kebijakan Program Pembangunan Bidang Pekerjaan Umum Di Daerah Perbatasan Kalimantan dan Nusa Tenggara Timur dalam Konteks Pembangunan Daerah Tertinggal, Makalah disampaikan pada acara Rapat Koordinasi Penyusunan dan Pengendalian Program Pembangunan Daerah Perbatasan Terpadu, JAKARTA, 15 NOVEMBER 2005. Departemen Pekerjaan Umum. Lane, Jan-Erik dan Ersson, Svante. 2002. Ekonomi Politik Komparatif Demokratisasi dan Pertumbuhan Benarkah Kontradiktif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Lespressi, 2007. Reformasi Sistem Manajemen Perbatasan Indonesia, Makalah disampaikan pada seminar Good Practice in Border Management and Border Security: Lessons Learned in New Democracy, 21 Maret 2007. Hotel Pranger Bandung. Perdana, Ari A. 2005. Pendidikan, Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan, Kompas. http://www.mail-archive.com/proletar@ ya h o o g ro u p s . c o m / m s g 0 6 0 5 9 . h t m l (accessed 21 October 2010) Prasasti, Diah. 2006. “Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita 30 Provinsi di Indonesia Periode 1993-2003 : Pendekatan Disparitas Regional dan Konvergensi,” Jurnal Ekonomi & Bisnis Indonesia Vol. 21 No. 4 344-360 Satriotomo, Rachmad, “Teori Konvergensi dan Liberalisasi Ekonomi” Sinar Harapan, 2003 Suhana, 2006. Revitalisasi Negara Kepulauan, Makalah disampaikan dalam memperingati hari Nusantara, 13 Desember 2006, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir, IPB, Bogor. Tambunan, Tulus T.H. 2003. Perekonomian Indonesia, Beberapa Masalah Penting. Jakarta: Ghalia Indonesia ___________, 2007. Pola Kesenjangan Antardaerah. http://www.bappeda.jabarprov.go.id/ docs/perencanaan/20070620_065405.pdf (accessed October 21, 2010)
PERSEPSI MASYARAKAT DALAM KETERSEDIAAN PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR TERHADAP TINGGINYA LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK KOTA BATAM Arvian Zanuardi1 , Irwan Kusdariyanto2 1
Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan Jalan Sapta Taruna Raya No.26 Komplek PU, Jakarta Selatan Email :
[email protected] 2
ABSTRACT
Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan Jalan Sapta Taruna Raya No.26 Komplek PU, Jakarta Selatan Email :
[email protected]
Kota Batam and Its’ strategic location at the high-density international trading track has made this city developed into a productive district with rapid economic growth and prospective business investment. This rapid development subsequently causing unbalances in infrastructure establishment capacity as the result of high-up and uncontrolled population growth. People then demanding the increaseing of infrastructure quality and quantity that is provided by the stakeholders. The main aim of this study was to measure people appraisement to the infrastructure establishment related to the high population growth in Kota Batam. In this study, it was concluded that the perception of society towards the provision of infrastructure in Batam more than 50 percent said less and only 20 who felt he had fulfilled with the existing infrastructure. In sectorally appraisement, Roads and Bridges sector is said 44% insufficient / moderate, Water Resources sector is said 44% to be less good, and in Settlements Division there is 55% said to be less adequate /less. This means that the government as the provider of infrastructure necessary to increase the availability of infrastructure with new development projects to meet the increasing of needs due to the hight population growth in Kota Batam. Keywords : People Appraisement, Infrastructure Establishment, Population Growth, Economic growth, Minimum Service Standard.
ABSTRAK Kota Batam dan keberadaannya yang strategis pada jalur perdagangan internasional yang padat membuat kota ini berkembang menjadi kawasan yang produktif dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peluang investasi bisnis yang sangat menjanjikan. Pesatnya perkembangan Kota Batam ini pada akhirnya memicu ketidakseimbangan kapasitas penyediaan infrastruktur sebagai dampak dari laju pertumbuhan penduduk yang tinggi yang mulai tidak terkendali. Masyarakat pun kemudian mengharapkan adanya peningkatan kualitas dan kuantitas penyediaan infrastruktur yang diberikan oleh stakeholder. Studi ini dilakukan untuk melihat sejauh mana penilaian masyarakat dalam penyediaan infrastruktur terkait laju pertumbuhan penduduk Kota Batam yang tinggi tersebut. Setelah dilakukan pengkajian, didapatkan kesimpulan bahwa persepsi masyarakat secara umum terhadap penyediaan infrastruktur di Kota Batam lebih dari 50 persen mengatakan kurang dan hanya 20 persen yang merasa telah tercukupi dengan infrastruktur yang ada. Dalam persepsi masyarakat yang dilihat secara sektoral pun didapatkan dari bidang Jalan dan Jembatan sebesar 44% dikatakan mencukupi/sedang, bidang Sumber Daya Air sebesar 44% dikatakan kurang baik, dan Bidang Pemukiman sebesar 55% dikatakan kurang mencukupi/kurang baik. Ini berarti bahwa pemerintah selaku penyedia infrastruktur masih perlu menambah ketersediaan infrastruktur di Kota Batam guna memenuhi peningkatan kebutuhan infrastruktur sebagai dampak dari laju pertumbuhan penduduk Kota Batam yang tinggi ini. Kata kunci : Persepsi Masyarakat, Penyediaan Infrastruktur, Lingkungan, Pertumbuhan Penduduk,laju pertumbuhan ekonomi, Standar Pelayan Minimal.
151
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
PENDAHULUAN
Republik Indonesia menjadi daerah industri, pusat perdagangan, alih kapal dan pariwisata, laju pertumbuhan penduduk di Kota Batam terus mengalami peningkatan. Hingga Agustus 2010, Kota Batam tercatat telah berpenduduk 1.039.852 jiwa (data Dinas Kependudukan Kota Batam per Agustus 2010) dan dalam kurun waktu tahun 2001 hingga tahun 2009 ini memiliki angka pertumbuhan penduduk rata-rata hampir 10 persen pertahun. Laju pertumbuhan penduduk Kota Batam yang tinggi ini menyebabkan timbulnya masalah kependudukan dan ketenagakerjaan yang berpengaruh juga kepada tingginya kebutuhan akan penyediaan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan di pusatpusat kegiatan fungsional di Kota Batam, khususnya di daerah industri dan perdagangan (Batam Dalam Angka, 2009).
Kota Batam merupakan Kota terbesar di wilayah Kepualauan Riau, Indonesia yang memiliki luas wilayah mencapai 3.990 km2 dan meliputi lebih dari 400 pulau termasuk di dalamnya adalah pulau-pulau terluar di wilayah negara Indonesia. Secara geografis, letak Kota Batam sangat strategis mengingat posisinya berada di jalur lintas perdagangan internasional yang padat di wilayah Selat Malaka, yang menjadi salah satu faktor pemicu pertumbuhan ekonomi Kota Batam yang tinggi dan menjadikan wilayah ini sebagai andalan bagi pemacu pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Beragam sektor penggerak ekonomi yang menjadi nadi perekonomian Kota Batam meliputi sektor komunikasi, sektor listrik, air dan gas, sektor perbankan, sektor industri dan alih kapal, sektor perdagangan dan jasa, tidak hanya merupakan konsumsi masyarakat Batam dan Indonesia saja, tetapi juga merupakan komoditi ekspor untuk yang mendatangkan devisa besar. Keberadaan kegiatan perekonomian di Kota ini juga dalam rangka meningkatkan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan masyarakat.
Penyediaan infrastruktur Kota Batam kemudian dituntut untuk dapat mengejar tingginya kebutuhan masyarakat sebagai dampak pesatnya laju pertumbuhan penduduk di kota tersebut. Namun, kebutuhan ini tidak lagi dapat diimbangi oleh kemampuan pemerintah dan pihak swasta yang berperan sebagai stakeholder penyedia infrastruktur karena keterbatasan dana dan daya dukung lingkungan setempat yang sebenarnya sudah diproyeksikan akan terbatas pada jumlah
Sejak Pulau Batam dan beberapa pulau disekitarnya dikembangkan oleh Pemerintah
pertumbuhan
152
Persepsi Masyarakat Dalam Ketersediaan Penyediaan Infrastruktur Terhadap Tingginya Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Batam Arvian Zanuardi, Irwan Kusdariyanto Rufaidah.,2009). Menurut Grigg (2000), Sistem infrastruktur merupakan pendukung utama fungsifungsi sistem sosial dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sistem infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas-fasilitas atau strukturstruktur dasar, peralatan-peralatan, instalasiinstalasi yang dibangun dan yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistem sosial dan sistem ekonomi masyarakat (Samal.J.Rufaidah.,2009).
Penilaian masyarakat terhadap penyediaan infrastruktur sangat dipengaruhi oleh persepsinya. Oleh karena itu, melalui teori persepsi ingin digali konsep utama dari penelitian ini guna mendapatkan pemahaman dan pendalaman persepsi.
Dilihat dari perspektif ekonomi infrastruktur mencakup antara lain:
Pelayanan dan penyediaan infra-struktur Kota Batam adalah merupakan bagian dari upaya menanggulangi perma-salahan yang diakibatkan oleh pesatnya pertambahan jumlah penduduk (Batam dalam angka 2008 & Ditjen Tata Ruang, 2008). Selanjutnya sebagai variabel utama adalah Penilaian mengenai penyediaan & pelayanan infrastruktur PU Kota Batam, dengan demikian dapat dirumuskan beberapa indikator utama untuk melakukan penilaian atas variabel tersebut antara lain :
Peran infrastruktur dalam pembang-unan dapat dilihat dari sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi dan kontribusinya terhadap peningkatan kuali-tas hidup. Secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa pelayanan infra-struktur mempengaruhi marginal produc-tivity of private capital, Sedang dalam tingkat ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelaya-nan infrastruktur berpengaruh terhadap pengurangan biaya produksi. 1. Infrastruktur Transportasi, seperti jalan, rel, pelabuhan dan bandara. 2. Infrastruktur ekonomi, seperti bank, pasar, mall, pertokoan.
3. Infrastruktur pertanian, seperti irigasi, bendungan, pintu – pintu pengambilan dan distribusi air irigasi. 4. Infrastruktur sosial, termasuk ibadah, balai pertemuan dan masyarakat.
bangun-an pela-yanan
5. Infrastruktur kesehatan, termasuk puskesmas, rumah sakit, balai pengobatan. 6. Infrastruktur energi, seperti pembang-kit listrik, jaringan listrik, POM bensin.
7. Infrastruktur telekomunikasi termasuk BTS, STO, jaringan Telepon. (Kuncoro, 2009)
Di dalam infrastruktur terbagi men-jadi infrastruktur dasar dan pelengkap (Lan Jacobs, et al, 1999) : 1. Infrastruktur dasar (basic infrastruc-ture) meliputi sektor – sektor yang mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar untuk sektor perekonomian lainnya, tidak dapat diperjualbelikan (nontradeable) dan tidak dapat dipisah – pisahkan baik secara teknis maupun spasial. Contohnya jalan raya, kereta api, kanal, pelabuhan laut, drainase, bendungan dan sebagainya. 2. Infrastruktur pelengkap (complemen-tary infrastrukture) seperti gas, listrik, telepon dan pengadaan air minum (Lutfi, 2006).
Untuk menciptakan suatu kenya-manan pada pengembangan suatu daerah, maka dalam dampak pertumbuhan penduduk haruslah berbanding lurus terhadap penyediaan infrastrukturnya (Newman, 2003 dalam Prasetya dan Miftahul Jannah, 2008:64). Demikian pula persepsi terhadap kemajuan yang dialami kota Batam, sehingga dapat ditemukan konsep-konsep yang relevan dan asumsiasumsi dasar yang digunakan untuk mengarahkan pertanyaan penelitian yang digunakan. Semua langkah-langkah tersebut akan membimbing kita agar dapat memberikan makna terhadap data.
• Ketersediaan jumlah infrastruktur PU • Kondisi infrastruktur PU
• Kapasitas pelayanan infrastruktur
• Kemudahan mengakses pelayanan infrastruktur • Manfaat pelayanan infrastruktur (benefit)
Kerangka teori yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam konsep keterkaitan dan hubungan antara infrastruktur dengan pertumbuhan penduduk pada gambar 1 di halaman berikut:
METODOLOGI
Pendekatan dan Metode Pengukuran Metodologi yang digunakan dalam mengetahui penilaian masyarakat terhadap penyediaan infrastruktur di Kota Batam ini adalah dengan pendekatan kuantitatif. Proses pengukuran persepsi masyarakat dilakukan dengan cara menurunkan konsep yang abstrak menjadi hal-hal yang konkrit sehingga didapatkan tahapan-tahapan dalam proses pengukuran, yakni konsep-tualisasi, penentuan variabel dan penentuan indikator, serta operasionalisasinya. Teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah dengan menggunakan kuesioner yang akan disebarkan kepada responden.
153
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
Tahap Penarikan Sampel
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses penarikan sampel meng-gunakan metode non probabilita dengan teknik accidental, yakni dengan menjadikan setiap individu yang ditemukan dan sesuai dengan karakteristik populasi sebagai sampel/responden. Dipilihnya teknik non probabilita ini dikarenakan sulitnya menyu-sun kerangka sampel sehingga teknik probabilita yang mensyaratkan harus adanya kerangka sampel tidak bisa dilakukan. Populasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah masyarakat kota Batam dengan kriteria pada saat dilakukan penelitian (tahun 2010), sampel tersebut sudah tinggal di kota batam minimal selama 5 (lima) tahun.
Penyebaran kuesioner sebagai instrument pengukur penilaian masyarakat terhadap penyediaan infrastruktur di Kota Batam telah dilakukan terhadap 181 sampel, dimana setiap kecamatan yang ada diwakili oleh + 25 orang yang dipilih secara acak. Pemilihan tujuh kecamatan ini dianggap dapat mewakili karakteristik Kota Batam secara keseluruhan. Kecamatan yang dipilih adalah daerah dengan karakter yang berbeda dan spesifik sebagai berikut : • Kecamatan Lubuk Baja (Pusat Ekonomi dan Aktivitas Perdagangan) • Kecamatan Mainland)
Analisis Data Kuantitatif
Proses analisis data kuantitatif dimulai dengan proses data entry, yakni merubah data hasil kuesioner yang telah terisi menjadi kode numerik yang dapat diolah dalam aplikasi pengolah data (dalam pengukuran ini digunakan program SPSS). Kemudian pengolahan data dilakukan dengan menggabungkan masing-masing parameter • pertanyaan menjadi hasil persepsi untuk variabel yang ada dengan proses recoding. Analisis yang • dilakukan di sini adalah analisis univariat karena hanya menggunakan variabel tunggal berupa • persepsi masyarakat yang diinterpretasikan dari data tabulasi dan grafik hasil recoding. Ukuran statistik• yang digunakan adalah modus yang memberikan gambaran tentang kecenderungan • yang terjadi di masyarakat. •
Batam
• Kecamatan Hinterland)
Belakang
• Kecamatan Penduduk)
Batu
Kota
Padang
(Kawasan (Kawasan
• Kecamatan Bengkong (Kawasan Pertumbuhan Baru) Aji
(Kawasan
• Kecamatan Saguling (Kawasan Industri)
(Kawasan • Kecamatan Nongsa Pariwisata) Pengukuran terhadap ketersediaan infrastruktur PU yang ada di Kota Batam dikelompokkan menjadi tiga bidang, yakni bidang jalan dan jembatan, bidang sumber daya air, dan bidang permukiman. Variabel dan indikator yang dipilih untuk mewakili pengukuran dalam bidang tersebut terlihat pada tabel 1. bidang
- -
-
154
-
- - -
-
- -
-
Padat
- - - - -
- - - - - - - - Persepsi Masyarakat Dalam Ketersediaan Penyediaan Infrastruktur Terhadap Tingginya - - Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Batam - Irwan Kusdariyanto - Arvian- Zanuardi, -
- - -
-
5
155
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
Dari hasil pengukuran yang dilakukan melalui kuesioner kepada responden terpilih, dilakukan pengolahan data dengan recoding (penggabungan nilai dari indikator sesuai variabel dan bidang). Dari hasil proses recoding tersebut kemudian didapatkan hasil prosentase persepsi per-bidang infrastruktur sebagai penilaian masyarakat terhadap penyediaan infra-struktur PU di Kota Batam sebagaimana gambar di atas. Persepsi masyarakat terhadap bidang jalan dan jembatan cukup baik ditandai dengan prosentase terbesar mengatakan bahwa penyediaan infrastruktur jalan dan jembatan telah mencukupi. Ini berarti bahwa dari segi kapasitas dan kondisi, jalan dan jembatan yang ada di Kota batam masih dapat diakses dengan baik oleh masyarakat pengguna jalan. Jumlah kendaraan yang ada dan kerawanan kemacetan tidak begitu bermasalah di Kota Batam sehingga tingkat kepuasan masyarakat terhadap penyediaan infrastruktur di bidang ini masih cukup tinggi, hanya perlu diperhatikan pada sisi lebar jalan kolektor sekunder di Kota Batam yang dinilai sangat kurang sekali.
Untuk bidang sumber daya air, sebagian besar persepsi masyarakat menga-takan bahwa penyediaan infrastruktur pada bidang ini masih kurang baik. Kondisi yang masih perlu diperhatikan untuk infra-struktur sumber daya air adalah pada kondisi bangunan DAM dan pemagaran/ sempadan DAM. Pada sisi kapasitas air baku sendiri masyarakat dapat dikatakan tercukupi, apalagi dengan adanya rencana pembangunan DAM-DAM baru dan proses pembersihan DAM yang dilakukan dengan baik di Kota Batam. Proses distribusi air baku yang ditangani oleh perusahaan swasta ATB (Air Tirta Batam) juga dilaksanakan dengan baik. Namun demikian, secara keseluruhan tingkat kepuasan masyarakat terhadap penyediaan
infrastruktur di bidang sumber daya air masih perlu ditingkatkan lagi, karena pada sisi pengamanan dan konservasi DAM masih dikatakan kurang baik oleh masyarakat
Bidang permukiman adalah sektor yang dinilai masyarakat kurang mencukupi penyediaan infrastruktur nya di Kota Batam. Baik kapasitas maupun kondisi untuk sarana dan prasarana permukiman dirasakan masih perlu ditingkatkan lagi. Ketersediaan lahan hunian juga menja di masalah yang perlu disikapi karena menjadi salah satu parameter dengan nilai persepsi yang sangat kurang mencukupi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya perkembangan ruli (rumah liar) yang kebanyakan dibangun oleh para pendatang yang umumnya bekerja sebagai buruh industri dan penganggur-an. Kemudian, kapasitas utilitas lingkungan juga menjadi salah satu aspek permukiman
156
dengan penilaian yang sangat kurang mencukupi. Dengan tingkat kepuasan masyarakat yang sangat rendah untuk bidang infrastruktur permukiman ini, perlu perhatian pemerintah untuk mengatasi masalah ini.
KESIMPULAN Tingkat kepuasan masyarakat terhadap penyediaan infrastruktur di Kota Batam cenderung menurun sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Keter-sediaan infrastuktur yang dulunya telah direncanakan memenuhi Standar Pelayaan Minimal akhirnya tidak dinilai mampu lagi mencukupi masyarakat yang kebutuhan semakin meningkat. Dalam pengkajian ini didapatkan kesimpulan bahwa persepsi masyarakat terhadap penye-diaan infrastruktur di Kota Batam lebih dari 50 persen mengatakan kurang dan hanya 20 persen yang merasa telah tercukupi dengan infrastruktur yang ada. Ini berarti bahwa pemerintah selaku penyedia infrastruktur perlu meningkatkan ketersediaan infrastruk-tur dengan proyek-proyek pembangunan baru dami memenuhi kebutuhan sebagai dampak laju pertumbuhan penduduk Kota Batam yang tinggi ini. Namun dengan adanya daya keterbatasan dukung lingkungan yang ada, mungkin bukan lagi peningkatan infra-struktur yang harus penyediaan dipilih pemerintah untuk memenuhi tingginya kebutuhan infrastruktur akibat laju pertumbuhan penduduk, tetapi bisa diarahkan kepada bagaimana kebijakan dalam mengendalikan pemerintah laju pertumbuhan penduduk ini sehingga tercipta keseimbangan dalam penyediaan infrastuktur Kota Batam sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal yang sudah ditetapkan.
Persepsi Masyarakat Dalam Ketersediaan Penyediaan Infrastruktur Terhadap Tingginya Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Batam Arvian Zanuardi, Irwan Kusdariyanto
DAFTAR PUSTAKA Batam dalam Angka. 2009. http://skpd. batamkota. go.id/bapeda/2010/ (diakses pada 5 Agustus, 2009) Puslitbang Sosekling. 2010. Laporan Pendahuluan Penelitian Dampak Pertumbuhan Penduduk Terhadap Penyediaan Infrastruktur Kota Batam Tahun 2010. Jakarta: Balitbang Kementerian PU. Puslitbang Sebranmas. 2009. Laporan Penelitian Peran Pembangunan Infrastruktur ke-PUan Terhadap Peningkatan Sosial Ekonomi Masyarakat di Nusa Tenggara. Jakarta: Balitbang Kementerian PU.
Prasetya dan Miftahul Jannah. 2008. “Suatu Pendekatan Metode Penelitian Kuantitatif”. Jakarta
Kementerian PU. 2004. SNI 03-1733 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan Perkotaan Jakarta: Kementerian PU
Perda Nomor 2 Tahun 2004 tentang RTRW Kota Batam Tahun 2004-2014 2008. Batam Dalam Angka. Batam: Bappedako Batam. 2008. Masterplan Infrastruktur Kawasan Batam, Bintan dan Karimun. Jakarta: Ditjen Tata Ruang PU.
157
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
158
KESIAPAN MASYARAKAT DALAM IMPLEMENTASI IRIGASI SPRINGKLER DI SULAWESI UTARA Andreas Christiawan1, Sunardi2 1
Balai Litbang Sosek Bidang SDA Jl. Sapta Taruna Raya no. 26, Pasar Jumat, Jakarta Selatan Email:
[email protected] 2
ABSTRACT
Puslitbang Sosial Ekonomi dan lingkungan Jl. Sapta Taruna Raya No.26, Pasar Jumat, Jakarta Selatan
Increasing food needs is one of consequences of rapid population growth. In order to maintain adequate food reserve, government is extending farm field to outside Java Island where most of it has limited irrigation infrastructure and poor soil condition. As a new technology, sprinkler is one of irrigation technique that is applied to solve inadequate irrigation infrastructure. It needs community readiness to operate and maintain. The aim of this research is to study community readiness to operate and maintain this new technology. This research uses descriptive analysis method. Accordingly to the research Modoinding farmers are prepared to operate and maintain sprinkler and its infrastructure. High income rate and community’s willingness to pay (WTP) are an economic capital. Most farmers have income higher than minimum regional income rate and WTP of the farmer is about Rp 27.000,- per month thus they have capability to fund sprinkler operation. Based on socio analysis, local organization existence and community participation become sosio capital that will support sustainable sprinkler operation. Keywords: community readiness, implementation, sprinkler irrigation, social capital, economic capital ABSTRAK Petumbuhan penduduk yang pesat membawa konsekuensi pada peningkatan kebutuhan pangan. Keadaan ini memaksa pemerintah untuk melakukan ekstensifikasi lahan pertanian ke luar Jawa untuk menjaga ketahanan pangan namun, kendala yang dihadapi antara lain kualitas lahan dan keterbatasan jaringan irigasi. Salah satu upaya untuk mengatasi keterbatasan jaringan irigasi adalah dengan menerapkan irigasi springkler. Irigasi springkler ini relatif baru. Oleh karena itu, dibutuhkan kesiapan masyarakat dalam pengoperasian springkler dilihat dari aspek sosial dan ekonomi. Berdasarkan permasalahan tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti kesiapan masyarakat dalam pengoperasian springkler dilihat dari modal sosial dan perekonomian masyarakat. Untuk tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan masyarakat Modoinding siap untuk melakukan OP irigasi springkler. Secara ekonomi, Willingness To Pay (WTP) petani sebesar Rp 27.000,-/bulan menunjukkan bahwa masyarakat mampu membiayai OP Irigasi springkler. Disamping itu, secara sosial, tingkat kegotongroyongan yang tinggi, keaktifan masyarakat dalam kegiatan sosial (organisasi) merupakan modal sosial yang baik. Kata kunci: kesiapan masyarakat, implementasi, irigasi springkler, modal sosial, modal ekonomi.
PENDAHULUAN Petumbuhan penduduk yang pesat membawa konsekuensi pada peningkatan kebutuhan pangan. Selama ini, sektor pertanian memegang peran strategis sebagai lokomotif pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan sektor pertanian telah memberikan sumbangan besar dalam pembangunan nasional dalam pembentukan PDB,
penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, menyediakan sumber pangan dan memicu pertumbuhan ekonomi di pedesaan (Munif, 2009). Namun, alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian terus meningkat sebesar 187.720 ha per tahun (BPS 2004). Pengembangan lahan pertanian di pulau jawa sudah semakin sulit. Keadaan ini memaksa
159
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
pemerintah untuk melakukan ekstensifikasi lahan pertanian ke luar Jawa untuk menjaga ketahanan pangan. Lahan pertanian di luar Pulau Jawa umumnya terkendala kondisi kualitas lahan dan keterbatasan infrastruktur. Padahal potensi lahan kering di luar Jawa mencapai 90,41% dari total lahan pertanian (Kadekoh, 2007).
Pertanian tidak terlepas dari ketersediaan air & prioritas pemanfaatannya. Pemberian air pada lahan sawah menjadi prioritas pembangunan. Ekstensifikasi lahan pertanian membutuhkan infrastruktur lahan dan air yang baik. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kontribusi infrastruktur lahan dan air terhadap produksi pertanian sebesar 16 – 68% (Bank Dunia, 1998). Sumber air yang paling baik di daerah kering berasal dari air tanah karena sumber air permukaan sangat terbatas terutama pada saat musim kemarau. Oleh karena itu, salah satu program prioritas Balai Wilayah Sungai (BWS) melalui Proyek Pengembangan Air Tanah (P2AT) adalah membangun atau merehabilitasi sumur bor.
Saat ini, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) sedang mengembangkan kawasan agropolitan di Kecamatan Modoinding, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara. Lokasi ini tergolong kering karena kondisi tanah yang sangat porous (penyerapan air yang tinggi). Untuk mendukung kegiatan tersebut, sejak tahun 2009, BWS Sulawesi I telah membangun sumur bor (air tanah dalam) dan jaringan irigasi dengan menggunakan teknologi big gun springkler. Operasional springkler membutuhkan kesiapan aspek teknis dan non-teknis. Secara teknis penerapan springkler ini tidak ada masalah, namun perlu diketahui bagaimana kesiapan masyarakat (petani) dalam operasional springkler sebagai tinjauan aspek non-teknis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kesiapan masyarakat secara sosial dan ekonomi. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi BWS selaku pelaksana pembangunan jaringan irigasi springkler. Manfaat penelitian ini adalah agar irigasi springkler dapat diimplementasikan di masyarakat dengan baik dan masyarakat mampu mengoperasikannya. kering
KAJIAN PUSTAKA Pengembangan
Pertanian
Lahan
Ketimpangan antara penyediaan dan kebutuhan produk pertanian merupakan konsekuensi dari pertumbuhan penduduk yang cepat. Munculnya kawasan permukiman mengakibatkan semakin banyak alih fungsi lahan
160
sehingga lahan pertanian semakin sedikit. Laju alih fungsi lahan sawah menjadi non-sawah sebesar 187.720 ha pertahun dan alih fungsi lahan kering menjadi non-pertanian sebesar 9.152 ha (BPS, 2004).
Untuk menjamin ketersediaan bahan pangan, pemerintah mulai mengembangkan lahan pertanian di daerah kering. potensi lahan kering yang dapat dikembangkan untuk pertanian mencapai 76,20 juta ha. Dari jumlah itu, lahan yang berpotensi untuk perluasan sebesar 36,20 juta ha (Kurnia, 2004). Di luar Pulau Jawa lahan kering mendominasi sekitar 90,41% dari total lahan yang diusahakan untuk pertanian namun umumnya kondisi tanahnya kurang bagus dan infrastrukturnya terbatas (Kadekoh, 2007). Ketersediaan Air di Lahan Kering
Air merupakan salah satu sumer daya alam yang paling penting dalam pertanian. Keterbatasan sumber air merupakan masalah utama yang dihadapi saat ini sedangkan kebutuhan air semakin meningkat. Sumber air ada dua yaitu air permukaan (surface water) dan air bawah tanah (ground water) (Kurnia, 2004). Ketersediaan air permukaan dapat ditingkatkan melalui pemanenan air hujan/ aliran permukaan, sedangkan sumber air bawah tanah biasanya dimanfaatkan dengan membuat sumur dalam atau artesis, mata air atau menggali/ membuat kolam. Sumber air permukaan di daerah kering sangat terbatas terutama pada saat musim kemarau, sehingga air tanah menjadi sumber air terbaik. Oleh karena itu, salah satu program prioritas Balai Wilayah Sungai (BWS) melalui Proyek Pengembangan Air Tanah (P2AT) adalah membangun atau merehabilitasi sumur bor.
Teknik pemberian air pun bermacammacam. Selama ini ada 4 teknik pemberian air yang diketahui yaitu 1) pemberian air di permukaan tanah (surface irrigation), 2) pemberian air di bawah permukaan tanah (subsurface irrigation), 3) penyiraman (sprinkle irrigation) dan 4) irigasi tetes (drip or trickle irrigation) (Kurnia, 2004). Irigasi Springkler
Ketersediaan air merupakan masalah utama di lahan kering, karena curah hujan yang minim. Oleh karena itu, perlu ada treatment tertentu agar lahan kering dapat menjadi lahan pertanian. Menurut Hilman Manan (Direktur Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian) pengembangan pertanian di lahan kering dapat dilakukan dengan 4 alternatif yaitu (1) Konservasi terpadu, (2) Pengembangan embung dan pemanenan air, (3) Amoliorasi dan pemupukan, (4) Pengembangan irigasi bertekanan dan pompanisasi.
Kesiapan Masyarakat Dalam Implementasi Irigasi Springkler Di Sulawesi Utara Andreas Christiawan, Sunardi untuk supaya Teknologi irigasi bertekanan lebih tepat areal berikutnya disiapkan mengairi dan pipa tidak meledak bila springkler diterapkan pada daerah-daerah yang relatif kering pompa riser yang lain, ke dan sumber airnya berasal dari air tanah. Jenis dipindahkan tanah juga mempengaruhi cara pemberian air yang pada prinsipnya harus efisien dan efektif. Oleh karena itu, pemberian air dengan cara penyiraman (springkler) sangat efisien pada tanah bertekstur kasar, bahkan efisiensi air mencapai pemakaian dua kali lebih tinggi dari pemberian air permukaan (surface irrigation) (Kurnia, 2004).
Gambar 2. Riser dan Big Gun Springkler
Kesiapan Sosial Ekonomi Masyarakat Haris (2010) menyebutkan bahwa salah satu kelemahan teknologi springkler adalah membutuhkan biaya operasi yang besar karena Gambar 1. Generator Pompa yang digunakan juga mahal. Kelemahan peralatan kedua adalah biaya eksploitasi yang besar karena Agar alat springkler dapat beroperasi, pompa mampu mesin (digerakan membutuhkan yang digunakan harus menghasilkan pompa turbin) dibutuhkan, bahan bakar cukup banyak. Setidaknya tekanan yang sehingga membutuhkan dibutuhkan cukup 5 liter solar per jam. Kelemahan ketiga adalah biaya eksploitasi yang besar. Biaya yang pengoperasian springkler, sehingga paling besar adalah biaya solar dan oli. Biaya inilah rumitnya dan keterampilan diperlu-kan yang akan ditanggung oleh petani selaku pemanfaat pengetahuan atau pengatur air. air. Oleh karena itu, diperlukan kesiapan dari petani operator dalam melakukan OP. Melihat kelemahan tersebut, maka pengoperasian springkler membutuhkan kesiapan Ada 5 komponen utama irigasi springkler secara ekonomi dan social. Kesiapan yaitu: pertama, mesin pompa (yang umum masyarakat ekonomi diukur dari modal ekonomi yang dimiliki digunakan adalah pompa turbin) yang mampu masyarakat. gedung, Materi (uang), barang, menghasilkan tekanan hingga 5 bar. Kedua, pipa oleh peralatan merupakan bentuk modal ekonomi PVC (yang umum digunakan) berukuran 3 – 4 dim. dan (Agus, 2009). Barang, gedung dan peralatan sudah Ketiga, riser atau outlet pipa yang nantinya akan disediakan oleh pemerintah, sehingga masyarakat dipasang springkler. Tinggi riser disesuaikan dengan hanya materi untuk pembiayaan menyiapkan
tinggi tanaman dan jangkauan yang akan dicapai. springkler. Modal ekonomi yang Keempat, alat springkler (big gun springkler) yaitu operasional dibutuhkan adalah: alat penyemprot air. Bentuknya mirip dengan alat 3 pemadam api. Kelima, sumur bor dengan debit • Produktivitas pertanian. Secara teori, nilai minimum 10 l/detik. harus lebih tinggi dari biaya produktivitas operasional yang dikeluarkan. Biaya ini Umumnya Haris (2010) menjelaskan Pada usaha diperhitungkan sebagai pengeluaran tani. waktu beroperasi, posisi big gun sprinkler ini dapat Oleh karena itu, dibutuhkan komoditas yang dipindah-pindahkan sedemikian rupa sehingga mempunyai nilai jual tinggi. yang seluruh areal dilayani dapat menerima air. Jarak antar riser diatur sedemikian rupa supaya • Penghasilan masyarakat yang cukup. Kecukupan terjadi overlap semprotan air. ditujukan agar pengeluaran untuk penghasilan operasional mesin pompa tidak mengganggu Untuk satu mesin pompa pada umumnya memerlukan lebih dari satu big gun sprinkler sesuai dengan kasitas pompa dan kapasitas dari big gun sprinkler itu sendiri. Big Gun Springkler yang terpasang umumnya 2 unit namun, hanya satu yang dioperasikan sedangkan alat lainnya hanya
perekonomian keluarga.
• Kemampuan bayar masyarakat. Willingness To Pay (WTP) menjadi ukuran kemampuan masyarakat mengeluarkan sejumlah uang untuk membiayai operasional mesin.
161
3
• Umum, 2010 Jurnal Sosek Pekerjaan Vol.2 No.3, Oktober • Untuk dalam penerapan Kesiapan secara sosial juga harus ada yaitu kesiapan petani springkler, Sebranmas (sekarang dalam bentuk modal sosial. Coleman mendefenisikan Puslitbang Sosekling) telah membentuk kelompok-kelompok modal sosial sebagai kemampuan masyarakat untuk kerja (pokja) di tingkat dusun sebagai bekerjasama demi mencapai tujuan bersama (Agus, media berinteraksi dan wadah berorganisasi masyarakat 2009). •Fukuyama mendefinisikan modal sosial dalam rangka pelaksanaan operasi dan pemeliharaan sebagai serangkaian nilai atau norma informal (OP). Kegiatan juga yang dimiliki bersama antara anggota kelompok pendampingan masyarakat dilakukan agar teknologi yang telah diterapkan yang memungkinkan terjalinnya kerja sama (Agus, dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan melalui 2009). Berdasarkan definisi tersebut, modal sosial dan pemeli-haraan secara mandiri oleh yang harus ada agar masyarakat siap melakukan OP operasi masyarakat. irigasi springkler adalah: ini bahwa untuk Penelitian menyimpulkan • Keberadaan kelompok/organisasi masy-arakat kesiapan masyarakat, diperlukan kelembagaan yang termasuk human capital (pengetahuan dan akan melakukan OP. Adapun yang perlu disiapkan keterampilan). • adalah sebagai berikut. • Tingkat kebersamaan (kegotongroyong-an) Pembentukan kelompok kerja di tingkat desa • Kearifan ditunjukkan dengan • lokal, yang yang akan mengkoordinasikan kegiatan masingkebiasaan dan keberadaan tokoh masyarakat masing pokja tingkat dusun. masyarakat • • Identifikasi kebutuhan kelompok untuk mengetahui respon dan aspirasi terkait dengan Pengalaman Penerapan Irigasi Springkler penerapan teknologi di wilayahnya. Kondisi alam Provinsi NTB sangat kering. • • aksi Penyusunan rencana bersama masyarakat, • Kekeringan ini menjadi satu penyebab pemda (instansi terkait) dan swasta. salah kemiskinan. Petani mengandalkan curah hujan Pelatihan untuk meningkatkan kemam-puan untuk bercocoktanam. Salah satu upaya untuk • • • dan keterampilan masyarakat dalam melakukan mengurangi kemiskinan Pada tahun 2006, Balitbang OP teknologi. Dep. PU• melakukan penelitian dan penerapan • • Pendampingan dan pelaksanaan rencana aksi. springkler di Desa Akar-Akar, Provinsi NTB. 90% 80% 70% 60%
Sinisir
50%
Linelean
40%
Total
30% 20% 10% 0%
Pemilik
Penggarap
Buruh
Gambar 3. Komposisi Responden menurut Jenis Petani
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sinisir dan Desa Linelean, Kecamatan Modoinding, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara. Alasan pemilihan lokasi antara lain: Lokasi yang mempunyai iklim kering (tanah menyerap air dan penguapan tinggi), minim sumber air dan BWS sudah membangun jaringan springkler. Penelitian ini bersifat kuantitatif deskriptif yang bertujuan untuk meneliti kesiapan masyarakat
162
dalam implementasi irigasi springkler dan 4 jaringannya. Kesiapan masyarakat yang diteliti meliputi aspek sosial (modal sosial) dan ekonomi (modal ekonomi).
Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumah tangga (RT) petani, maka responden dalam penelitian ini adalah Kepala Keluarga (KK) khususnya yang bermatapencaharian petani. Yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah orang yang bekerja sebagai petani baik petani
Implementasi Utara Kesiapan Masyarakat Dalam Irigasi Springkler Di Sulawesi Sunardi Andreas Christiawan, dari aspek ekonomi, pemilik, penggarap dan buruh. Alasan kriteria ini Sedangkan variabel yang diteliti antara lain: karena diharapkan kuesioner ini diisi oleh petani sehingga tidak menimbulkan bias. masy-arakat jawaban • Gambaran mata pencaharian Jumlah sampel diperoleh dengan rumus n = • Gambaran kepemilikan lahan pertanian N / (1 +N.e2) (Prasetyo, 2008). Berdasarkan data (penghasilan penghasilan masyarakat jumlah KK Profil Kecamatan Modoinding, petani • Gambaran utama dan sampingan, pengeluaran) di Desa Linelean adalah 278 KK dan Desa Sinisir adalah 380 KK. Dengan rumus sampel diperoleh • Gambaran produktivitas pertanian jumlah sampel sebesar 73 KK untuk Desa Linelean • Willingness to pay (WTP) dan 79 KK untuk Desa Sinisir. Pengumpulan data menggunakan metode Teknik analisis data yang digunakan kuesioner semi tertutup, wawancara mendalam. Alasan penggunaan kuesioner semi tertutup adalah adalah statistik deskriptif. Teknik ini cocok untuk menggambarkan variabel kesiapan masyarakat agar masyarakat dapat menyampaikan pendapatnya tanpa terikat pada jawaban di kuesioner. Untuk sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. menggali informasi yang tidak tertuang dalam kuesioner, peneliti menggunakan teknik wawancara HASIL DAN PEMBAHASAN mendalam terhadap tokoh masyarakat yang meliputi camat, kepala desa dan ketua kelompok Kebijakan Pengembangan Pertanian di tani. Kecamatan Modoinding Data yang akan diperoleh dari kuesioner Padatahun 2008, sektor pertanian meliputi aspek social, dengan variable antara memberikan kontribusi sebesar 29,78% PDRB lain: Kabupaten Minahasa Selatan. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara saat ini • Gambaran aktivitas kemasyarakatan (kebiasaan sedang mengembangkan kawasan agropolitan di masyarakat, lokal) kearifan Kecamatan Modoinding. Pengembangan agropolitan kelompok • Gambaran masyarakat (jenis dan ini mendapat respon dari pemerintah pusat melalui aktivitas kelembagaan) Satker P2S Agropolitan, Direktorat Cipta Karya, Departemen PU dan Balai Wilayah Sungai (BWS) • Respon masyarakat (persepsi masy-arakat)
Sulawesi I, Manado.
40% 35% 30%
Dagang
25%
Jasa
20%
Ternak
15%
Lain2
10%
Tidak Punya
5% 0%
Sinisir
Linelean
Total
Gambar 4. Luas Kepemilikan Lahan
Satker P2S Agropolitan, Direktorat Cipta Karya membangun 3 fasilitas yaitu (1) penunjang produktivitas pertanian seperti pembangunan jalan usaha tani, pemba-ngunan talud dan saluran, (2) fasilitas pengolahan hasil yaitu pembangunan packing house dan (3) fasilitas penunjang pemasaran berupa pembangunan jalan poros dan pasar desa (hasil wawancara dengan Kepala Satker Pengembangan Permukiman dan Wilayah Perbatasan, Dr. Liny Tambajong).
6
Pada tahun 2009, BWS Sulawesi I mempunyai program pembangunan dan peningkatan Jaringan Irigasi Air Tanah (JIAT) di Desa Sinisir (20 ha) dan Desa Linelean (30 ha). Kemudian pada tahun 2010, pembangunan dilanjutkan di Desa Palelon dan Desa Makaaruyen.
Dinas PU Kabupaten Minahasa Selatan akan mengembangkan irigasi mikro springkler di Desa Linelean (wawancara dengan Kepala Bidang SDA,
163
Umum, Jurnal Sosek Pekerjaan Vol.2 No.3, Oktober 2010 Dinas PU Kabupaten Minahasa Selatan). Jaringan ini mampu mengairi hamparan seluas 80 ha namun membutuhkan investasi yang besar, biaya sehingga pembangunannya belum terlaksana. Dinas Pertanian juga mengem-bangkan jaringan irigasi springkler yang memanfaatkan gravitasi dari mata air “Irian” di Desa Linelean (wawancara dengan Dinas Minahasa Wakil Kepala Pertanian Kabupaten Selatan). Keterlibatan berbagai instansi dari pusat baik dan daerah bisa menjadi modal yang sangat baik. Disamping itu, berbagai teknologi juga springkler diterapkan di lokasi. Ini menunjukkan bahwa irigasi springkler lebih cocok terapkan di Kecamatan di Modoinding daripada irigasi alur atau boks. Kesiapan Masyarakat dari Aspek Ekonomi Pekerjaan utama masyarakat Kecamatan Modoinding adalah petani, namun antara Desa Sinisir dan Desa Linelean terdapat perbedaan jenis petani. Umumnya masyarakat Desa Sinisir adalah petani penggarap. Dari hasil statistik, petani Desa Sinisir yang memiliki lahan hanya sebesar 40%, dan 51% merupakan petani penggarap. Sedangkan sebagian besar masyarakat Desa Linelean adalah petani pemilik. Gambar 3 menunjukkan bahwa
petani warga linelean, pemilik didominasi oleh sedangkan petani penggarap didominasi oleh warga sinisir. Secara total, sebagian besar warga di dua desa ini merupakan petani pemilik. Luas kepemilikan lahan sangat bervariatif. bahwa Gambar 4 di bawah menunjukkan kepemilikan lahan yang luasnya kurang dari 0,5 oleh hektar didominasi warga Sinisir, sedangkan kepemilikan lahan yang luasnya antara 0,5 hingga 1 hektar didominasi oleh warga Linelean. Secara total, lahan adalah luas kepemilikan yang paling dominan 0,5 hingga 1 hektar. Secara statistik, rata-rata luas kepemilikan lahan sebesar 1,2 hektar. Demikian pula dengan pekerjaan sampingan. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, umumnya mereka mempunyai pekerjaan adalah untuk mengisi waktu sampingan. Alasannya karena tidak setiap luang hari berada di hamparan. Disamping itu, untuk menambah penghasilan keluarga. Gambar 5 menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mempunyai pekerjaan sampingan dan didominasi oleh sektor jasa yaitu mencapai hampir 25% responden. Di sisi lain, responden yang mengaku tidak mempunyai pekerjaan sampingan didominasi oleh warga Sinisir (35%).
40% 35% 30%
Dagang
25%
Jasa
20%
Ternak
15%
Lain2
10%
Tidak Punya
5% 0%
Sinisir
Linelean
Total
Gambar 4. Komposisi Responden menurut jenis pekerjaan sampingan
Secara penghasilan, masyarakat Kecamatan Modoinding dapat dikatakan cukup mapan. Sumber penghasilan masyarakat Modoinding antara lain dari hasil pertanian dan upah kerja. Tabel 1 menunjukkan gambaran penghasilan masyarakat Modoinding. Dilihat dari potensi sumber ekonomi, penghasilan ekonomi masyarakat Linelean lebih tinggi daripada masyarakat Sinisir. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat Desa Linelean adalah petani pemilik. Oleh karenanya itu, mereka mendapatkan seluruh hasil pertanian. Sedangkan petani penggarap (sebagian besar adalah masyarakat Desa Sinisir) harus berbagi hasil
164
dengan pemilik lahan.
6
Selain faktor kepemilikan lahan, perbedaan penghasilan juga disebabkan karena jumlah petani yang tidak memiliki pekerjaan sampingan didominasi oleh masyarakat Desa Sinisir sehingga penghasilan mereka hanya dari hasil pertanian. Lain halnya dengan masyarakat Desa Linelean yang rata-rata mempunyai pekerjaan sampingan. Mereka mampu mendapatkan penghasilan lebih dari usaha sampingannya. Terkait dengan penghasilan masya-rakat, Camat Modoinding mengatakan bahwa tenaga
Kesiapan Masyarakat Dalam Implementasi Irigasi Springkler Di Sulawesi Utara Andreas Christiawan, Sunardi
kerja di Modoinding umumnya dibayar Rp 50.000 hingga Rp 60.000 per hari. Berarti dalam 1 bulan, penghasilan masyarakat bisa mencapai Rp 1.500.000,00. Penghasilan tersebut sudah diatas UMR Provinsi Sulawesi Utara yang hanya sebesar Rp 1.000.000/bulan (daftar UMR se-Indonesia tahun 2010 yang didownload dari situs http://rizkythea. blogspot.com/2010/ 10/daftar-umr-tiap-propinsidi-indonesia.html).
analisis terhadap kemauan masyarakat untuk membayar (WTP) masyarakat adalah sebesar Rp 27.000,-/bulan. Sedangkan kasus di Desa Akar-Akar, untuk perawatan mesin dan jaringan, ada iuran sebesar Rp 2.000,-/jam atau Rp 15.000,-/bln.
Berdasarkan analisis di atas, modal ekonomi masyarakat meliputi pertama, penghasilan masyarakat yang lebih besar dari UMR sehingga masyarakat Modoinding tergolong mampu. Kondisi seperti ini membuat petani merasa “aman” secara ekonomi. Artinya ada keyakian bahwa semua kebutuhan hidupnya sudah terpenuhi dengan penghasilan yang ada saat ini.
Salah seorang petani kentang menga-takan bahwa hasil panen perhektar men-capai 10 hingga 15 ton/panen. Dengan harga jual Rp 2.000,-/kg, berarti omset petani mencapai 30.000.000,-/ Rp panen/ hektar. Dari omset tersebut, mereka Modal ekonomi kedua yaitu sumber mendapatkan penghasilan bersih mencapai diatas masyarakat tidak hanya dari satu penghasilan Rp 4.000.000,Dalamsetahun bisa pekerjaan. per panen. Hal ini menunjukkan bahwa semangat 2 menghasilkan hingga 3 kali panen, tergantung kerja masyarakat yang cukup tinggi. Kondisi ini Untuk tanaman kentang, masatanam dapat jumlah air. menambah keyakinan akan “keamanan” rata-rata 4 bulan untuk siap dipanen. Berarti hidup secara ekonomi, karena bila salah satu penghasilan masyarakat dari usaha bertani antara sumber penghasilan hilang, mereka masih mem 1.000.000 hingga Rp 1.500.000,/bulan. Bila peroleh penghasilan dari sumber lainnya. Rp dijumlah dengan penghasilan tambahan menjadi Rp Modal ekonomi ketiga yaitu MPS mencapai Rp 2.500.000,/bulan. 2.000.000 – 25% menunjukkan bahwa masyarakat mampu Berdasarkan hasil wawancara dengan mengatur keuangan keluarga sehingga dapat masyarakat, surplus umumnya penghasilan menyisihkan sebagian penghasilannya untuk untuk digunakan membeli barang-barang berharga ditabung. emas dan kendaraan. oleh Camat seperti Diakui Modal ekonomi keempat yaitu WTP sebesar Modoinding bahwa perilaku menabung masyarakat Rp 27.000,-/bulan menunjukkan bahwa masyarakat masih kurang. Dari hasil analisis, Marginal mampu dan mau mengeluarkan sejumlah uang Propensity to Save (MPS) masyarakat sebesar 0,25 untuk operasional springkler (upah operator, (25%). Artinya, dari total penghasilan yang diperoleh 75% digunakan untuk konsumsi harian perawatan rutin, perbaikan ringan). dan 25% ditabung. Melihat keempat modal ekonomi tersebut, dapat disimpulkan bahwa petani Modoinding siap Berdasarkan pengalaman penerapan Irigasi secara ekonomi untuk mengoperasikan springkler Springkler di Desa Akar-Akar, Provinsi NTB, biaya dan jaringannya. operasional jaringan ini cukup besar. Oleh karena itu, irigasi springkler hanya cocok untuk mengairi tanaman yang tinggi. Kentang salah bernilai jual Kesiapan Masyarakat dari Aspek Sosial satu komoditi yang mempunyai harga jual tinggi. Etnis Minahasa merupakan sukubangsa Menurut keterangan petani setempat, harga jual tanaman kentang berkisar antara Rp 2.000,-/ yang paling dominan dalam tatanan masyarakat yang tinggal di Kecamatan Modoinding. Rasa kg hingga Rp 9.000,-/kg tergantung kondisi kekeluargaan sangat kental di masyarakat. pasar. Berdasarkan keterangan dari Camat Modoinding, meskipun terdapat beberapa suku dan agama yang Tabel 1. Indikator Ekonomi Masyarakat juga menetap di Modoinding, belum pernah ada pertikaian antar suku maupun agama yang berarti. Hal ini membuktikan bahwa tingkat toleransi di masyarakat sangat tinggi.
(sumber: diolah dari data kuesioner)
Salah satu yang perlu disiapkan dalam pengoperasian springkler adalah biaya perawatan, yang dapat dibiayai dengan cara iuran. Dari hasil
Ada pengalaman menarik saat Satker P2S Agropolitan mengembangkan kawasan Agropolitan di Modoinding. Pada awal pelaksanaan program, terdapat resistensi dari sebagian petani yang hamparannya akan terpotong untuk pembangunan jalan desa. Akan tetapi di daerah yang tidak 7 ada resistensi warga pembangunan jalan tetap dilanjutkan.
165
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
60% 50% 40%
Selalu Hadir
30%
Kadang2 hadir Tidak hadir
20% 10% 0%
Sinisir
Linelean
Total
60% 50% 40%
Tidak Ada
30%
Materi
20%
Lain-Lain
Konsumsi
10% 0%
Sinisir
Linelean
Total
Setelah melihat contoh petani yang mendapat kemudahan akses ke hamparan, warga yang tadinya menolak justru meminta agar pembangunan jalan dilanjutkan dan mereka akhirnya mau merelakan sebagian tanahnya dipotong tanpa ganti rugi. Contoh tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Modoinding pada dasarnya mau berpartisi-pasi namun harus diyakinkan dulu manfaat yang akan diperolehnya dengan cara membuat model percontohan. Peran Camat dan Kepala Desa (masyarakat Modoinding menyebut sebagai Hukum Tua) sangat penting di masyarakat. Camat Modoinding mengatakan bahwa bila ada masalah atau konflik antar sesama petani, mereka meminta Hukum Tua atau Camat untuk membantu menyelesaikan masalah. Hal ini menunjukkan bahwa Aparat pemerintahan seperti Camat beserta perangkatnya dan Kepala Desa (Hukum Tua) adalah orang yang ditokohkan oleh masyarakat dalam berbagai urusan. Pengolahan tanah dilakukan secara berkelompok. Masyarakat menyebut kelompok kerja tersebut dengan istilah MAPALUS. Keanggotaan MAPALUS terdiri dari 5 – 6 petani. Dalam sistim MAPALUS, setiap petani bergotong-
166
8 royong mengusaha-kan lahan yang dimiliki oleh setiap anggota secara bergantian. Yang lebih unik lagi adalah jika seandainya ladang salah seorang anggota mapalus sudah selesai/rampung sementara masih ada anggota yang belum menyumbangkan tenaganya, maka tenaga anggota tersebut dapat “dijual” kepada orang lain dan upahnya diambil oleh petani yang lahannya sudah rampung, bukan kepada petani yang menyumbangkan tenaganya. Hal ini menunjukkan tingkat kegotongroyongan masyarakat yang cukup tinggi. Meskipun sudah ada kelompok kerja MAPALUS, keberadaan kelompok tani sangat dibutuhkan. Dari hasil wawancara dengan petugas PPL, mayoritas kelompok tani di Modoinding masih aktif. Salah satu kegiatannya adalah penyuluhan tentang pertanian. Keberadaan kelompok tani ini merupakan modal sosial karena kelompok tani yang ada dapat ditingkatkan tugas dan fungsinya untuk mengoperasikan springkler. Untuk itu, diperlukan peningkatan penge-tahuan dan keterampilan OP springkler. Terdapat berbagai macam kegiatan sosial ada di kehidupan bermasyarakat. Kegiatan sosial yang paling kental adalah bidang keagamaan. Hampir setiap sore masyarakat terlihat berjalan
Kesiapan Masyarakat Dalam Implementasi Irigasi Springkler Di Sulawesi Utara Andreas Christiawan, Sunardi
bersama menuju gereja. Menurut hasil analisis, tingkat kehadian masyarakat dalam kegiatan sosial cukup tinggi. Gambar 6 menunjukkan bahwa setiap ada pertemuan atau kegiatan sosial, hampir 60% responden warga Desa Sinisir mengaku selalu hadir, sedangkan responden dari Desa Linelean lebih dominan menjawab kadang-kadang hadir, tergantung kesibukan masing-masing. Dalam hal masyarakat tidak hadir dalam pertemuan, biasanya mereka memberi kompensasi. Berbagai bentuk kompensasi yang diberikan sebagai ganti ketidakhadiran. Gambar 7 menunjukkan bahwa bila ada warga yang berhalangan hadir, umumnya memberi-kan sejumlah uang (materi) atau menyediakan konsumsi sebagai bentuk partisipasinya. Hal ini juga menunjukkan kuatnya partisipasi masy-arakat. Dari deskripsi di atas, dapat diketahui ada beberapa potensi yang menjadi modal sosial masyarakat. Modal sosial pertama yaitu tingkat partisipasi masyarakat yang cukup tinggi meskipun harus diyakinkan dahulu manfaat yang akan diterima. Hal ini akan mempermudah dalam pelaksanaan OP yang membutuhkan kerjasama antar petani. Modal sosial kedua yaitu adanya kelompok kerja MAPALUS dan kelompok tani dan anggotanya cukup aktif sehingga operasional springkler dapat dilakukan oleh kelompok tersebut. Oleh karena teknologi ini relatif baru di masyarakat maka harus ada pelatihan pengoperasian springkler terlebih dahulu kepada operator. Modal sosial ketiga adalah adanya tokoh masyarakat yang menjadi panutan. Ke-beradaan mereka sangat penting dalam mengatasi permasalahan yang mungkin timbul. Pembagian air springkler lebih sulit daripada sistim alur atau boks, sehingga berpotensi menimbulkan konflik antar petani. Dari ketiga modal sosial tersebut, maka petani Modoinding dinilai siap melakukan OP springkler dan jaringannya.
KESIMPULAN
Penghasilan masyarakat yang berkisar antara Rp 2.000.000,- hingga Rp 2.500.000,- dapat dikatakan cukup tinggi karena sudah di atas UMR Propinsi Sulawesi Utara yang hanya sebesar Rp 1.000.000,-. Hal ini merupakan salah satu kekuatan yang baik di masyarakat. Di samping itu, petani mampu dan mau untuk membayar iuran hingga mencapai Rp 27.000.-/bulan. Maka secara ekonomi, masyarakat modoinding siap untuk mengimplementasikan irigasi springkler. Secara sosial, masyarakat Modoinding siap melakukan operasionalisasi springkler karena ada modal sosial di masyarakat Modoinding antara lain tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi, keberadaan kelompok tani dan keberadaan tokoh masyarakat.
REKOMENDASI Teknologi springkler (big gun springkler) relatif baru di masyarakat. Pengurus dan anggota kelompok kerja MAPALUS dan kelompok tani belum mengetahui cara pengoperasiannya. Meski-pun secara ekonomi masyarakat siap, namun bila belum ada operator yang bisa mengoperasikan springkler dengan baik dan benar maka pengoperasian springkler tidak akan optimal. Oleh karena itu, diperlukan persiapan secara kelembagaan sebagai berikut pelatihan dan pendampingan untuk me-ningkatkan kemampuan dan keterampilan operator agar dapat mengoperasikan springkler dengan baik dan benar.
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan selesainya tulisan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh anggota tim peneliti “Pemetaan/Identifikasi Sosial Ekonomi Irigasi Lahan Kering di Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur.
DAFTAR PUSTAKA Istanto,
Haris. 2010. “Penggunaan Big Gun Sprinkler pada Irigasi Air Tanah”. http://harisistanto.wordpress. com/2010/05/28/penggunaan-big-gunsprinkler-pada-irigasi-air-tanah/ Kadekoh, Indrianto. 2007. “Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Kering Berkelanjutan dengan Sistim Polikultur”. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Lahan Marginal. Kurnia, Undang. 2004. “Prospek Pengairan Pertanian Tanaman Semusim Lahan Kering”. Jurnal Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Manan, Hilman. “Teknologi Pengelolaan Lahan dan Air Mendukung Ketahanan Pangan”. Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian. Diunduh dari situs internet http://pse. litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/pros_ hilman_06.pdf. Munif, Abdul. 2009. “Strategi dan Pencapaian Swasembada Pangan di Indonesia”. Seminar on Agricultural Science, Tokyo. Prasetyo, Bambang, Lina Miftahul Jannah. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Supriono, Agus, Dance J. Flassy, Sasli Rais. 2009. “Modal Sosial: Definisi, Demensi, dan Tipologi”. Diunduh dari situs internet http://images.nuris2007.multiply. multiplycontent.com
167
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
168
STRATEGI PENINGKATAN PERTUMBUHAN EKONOMI ANTAR KAWASAN JEMBATAN SELAT SUNDA Aditya Anwar Balai Litbang Sosial Ekonomi Bidang Jalan dan Jembatan Jl. Gayung Kebon Sari No. 50, Surabaya Email :
[email protected] ABSTRACT The goverment is planning to implement the Sunda Strait Bridge Construction in beetwen 2012 and 2014. In order to welcoming the bridge construction plan, many things have to be prepared to optimize the bridge utilization. One of the thing that should be prepared is the strategy to increase the economic growth between Sunda Strait Bridge construction regions. Banten and Lampung Province are the most affected regions by this construction. Banten and Lampung Province have their own different economic source, in which Banten Province has potency in industri while Lampung Province is a potential area for agriculture. This study is expected to formulate Sunda Strait Bridge utilization strategy to increase economic growth between these two provinces, so it can be used as an input for the decision maker. The approach used in this study is qualitative descriptive. The result from this study is that Balance Agro-Industrial Strategy can be used as an alternative to increase economy between two regions. Keywords: Sunda Strait Bridge, Agriculture, Industri, Region, Economic Growth ABSTRAK Pemerintah berencana untuk melaksanakan rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda antara tahun 2012 dan 2014. Untuk menyambut rencana pelaksanaan pembangunan jembatan, banyak hal yang perlu dipersiapkan agar pemanfaatan jembatan dapat dioptimalkan. Salah satu yang perlu disiapkan adalah strategi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi antar kawasan pembangunan Jembatan Selat Sunda. Kawasan dimaksud adalah Provinsi Banten dan Lampung sebagai wilayah yang paling terkena dampak keberadaan jembatan tersebut. Provinsi Banten dan Lampung memiliki kekuatan perekonomian yang berbeda, Provinsi Banten dalam bidang industri sedangkan Provinsi Lampung dalam bidang pertanian. Diharapkan dari kajian ini dapat merumuskan strategi pemanfaatan JSS untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang merata antara provinsi Banten dan Lampung, sehingga dapat menjadi masukan untuk penentu kebijakan. Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah kualitatif deskriptif. Dari hasil kajian dapat diketahui bahwa Balance Agro-Industrial Strategy dapat dijadikan alternatif untuk meningkatkan perekonomian antar dua kawasan tersebut. Kata Kunci: Jembatan Selat Sunda, Pertanian, Industri, Kawasan, Pertumbuhan Ekonomi
PENDAHULUAN Jembatan Selat Sunda (JSS) adalah bagian dari cita-cita besar bangsa Indonesia untuk menyatukan pulau-pulau besar di Indonesia sejak 1960. Para penggagas JSS mengatakan bahwa proyek pembangunan ini perlu diwujudkan karena akan membawa manfaat luar biasa bagi bangsa Indonesia. Banyak Negara di dunia sudah lama memulai dan berhasil membangun proyek-proyek raksasa berupa jembatan yang menghubungkan wilayah-wilayahnya yang semula terpisah, guna
meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
Wacana pelaksanaan pembangunan JSS sempat tenggelam, namun dalam beberapa tahun terakhir wacana itu kembali mencuat. Pada awalnya ada beberapa usulan rancangan rute JSS , diantaranya adalah usulan rute Firmansyah, Rute JICA, dan rute Metro. Namun pada perkembangannya ada dua rancangan rute JSS yang muncul, yaitu rancangan rute yang di desain oleh tim Balitbang Kementrian PU (rute Balitbang) dan rancangan
169
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
rute yang di desain oleh tim pimpinan Prof. Dr. Ir. Wiratman Wangsadinata (rute Wiratman). Rute Wiratman adalah jembatan sepanjang 27,9 km yang membentang dari Anyar ke Bakauheni dan melewati beberapa pulau seperti pulau Sangiang, pulau Prajurit, dan pulau Rimaubalak selatan, sedangkan Rute Balitbang adalah jembatan sepanjang 29,2 km yang membentang antara Merak sampai ke Bakauheni dan melewati beberapa pulau seperti pulau Merak besar, pulau Tempurung, Temburu Gosal dan pulau Rimaubalak Utara. Selain itu diusulkan juga alternative terowongan (Sindur P. Mangkusubroto) sepanjang 30 km. Pelaksanaan pembangunan JSS yang akan menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera khususnya Provinsi Banten dan Lampung, ditargetkan antara tahun 2012 sampai dengan tahun 2014. Walaupun rencana pelaksanaan pembangunannya semakin dekat namun hingga hari ini belum ditentukan rancangan rutenya dan lokasi titik pemasangan tiang pancangnya. Pembangunan JSS sebagai suatu infrastruktur bertujuan untuk mewujudkan perubahan yang diinginkan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia pernah menyatakan bahwa infrastruktur pekerjaan umum sebagai bangunan fisik seperti jaringan jalan, jaringan irigasi, air bersih, sanitasi, dan berbagai bangunan pelengkap permukiman lainnya merupakan modal sosial masyarakat sebagai prasyarat pertumbuhan ekonomi (Kirmanto, 2005). Dengan semakin dekatnya waktu pelaksanaan pembangunan, pemerintah baik pusat maupun daerah perlu mengkaji strategi pemanfaatan JSS. Permasalahannya, strategi seperti apa yang dapat diambil untuk mewujudkan pertumbuhan perekonomian yang merata antara dua kawasan pembangunan jembatan? Kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemangku kebijakan mengenai strategi peman-faatan JSS untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang merata antara provinsi Banten dan Lampung.
KERANGKA KONSEPTUAL
Efendi Arianto dalam artikel elektroniknya pernah mengutip pengertian strategi dari buku “Pengantar Manajemen Strategik Kontemporer, Strategik di Tengah Operasional” oleh J. Hutabarat dan M. Huseini. Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa “dalam bidang manajemen definisi mengenai strategi cukup beragam dan bervariasi dari berbagai ahli dan pengarangnya. Gerry Johnson dan Kevan Scholes (2007) mendefinisikan strategi sebagai arah dan cakupan jangka panjang organisasi untuk mendapatkan keunggulan melalui konfigurasi sumber daya alam dan lingkungan yang berubah
170
untuk mencapai kebutuhan pasar dan memenuhi harapan pihak yang berke-pentingan.
Sedangkan pertumbuhan ekonomi menurut Sadono Sukirno dalam Al-Shodiq (2010) adalah proses kenaikan output perkapita yang terus menerus dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi tersebut adalah salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Dengan demikian makin tinggi pertumbuhan ekonomi, makin tinggi kesejahteraan masyarakat, meskipun ada indikator lain yaitu pendistribusian pendapatan. Salah satu pemikiran yang membahas tentang pertumbuhan ekonomi adalah balance growth theory yang menekankan pada upaya pemerataan pembangunan dan sedikit mengesampingkan pertumbuhan ekonomi tinggi (Mercado, 2002; Temple, 2005; Wardana, 2007). Teori ini menyebutkan bahwa pembangunan industri pada suatu wilayah dapat dikembangkan dengan memanfaatkan sumberdaya pertanian yang melimpah yang dikenal dengan pembangunan agrobisnis. Hal ini dikarenakan adanya sikronisasi kebutuhan hasil-hasil pertanian melalui kegiatan manufaktur. Diharapkan dapat meningkatkan produktivitas sektor pertanian yang tidak hanya mengatasi permasalahan kebutuhan pangan tetapi juga bisa meningkatkan nilai tambah produk pertanian yang akan memberikan tambahan pendapatan bagi pelaku ekonomi. Pemikiran ini cukup banyak diadopsi oleh Negara-negara yang memiliki keunggulan komparatif di sektor pertanian. Sektor-sektor ini kemudian menjadi sektor utama di suatu Negara yang pada gilirannya mendorong aktivitas di sektor lainnya. Teori pertumbuhan ekonomi yang berimbang memberikan pemahaman bahwa konsentrasi pembangunan pada sektor-sektor utama tidak saja dilihat dari adanya keunggulan faktor endowment tetapi juga harus dilihat dari potensi sumberdaya yang mampu mengadopsi perkembangan teknologi dan dapat meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan mendorong perkembangan sektor-sektor lainnya.
Pemikiran terhadap pembangunan berbasis pertanian dan industri kemudian melahirkan adanya Balanced Agro-Industrial Development Strategy (BAIDS). BAIDS mendukung adanya pembangunan sektor pertanian dan industri secara bersama-sama. Sutcliffe (1971) memberikan alasan tentang pentingnya BAIDS yaitu: 1. Peningkatan pendapatan dari sektor per-tanian akan dapat menstimulasi adanya peningkatan permintaan output sektor industri, dan
2. Adanya ekspansi pendapatan dari sektor industri akan dapat meningkatkan permin-taan akan kebutuhan output dari sektor pertanian misalnya melalui peningkatan permintaan pangan dan produk-produk agroindustri.
Strategi Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Antar Kawasan Jembatan Selat Sunda Aditya Anwar
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada tahun 2010 dengan lokasi di Provinsi Banten dan Provinsi Lampung. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, sedangkan metode pengumpulan datanya adalah : 1. Studi Pustaka/Literatur : Provinsi Dalam Angka, PDRB, RTRW, Renstra, dan artikel lainnya yang terkait.
2. Indepth Interview (Wawancara Mendalam) : Bappeda tingkat provinsi dan kabupaten, aparat kecamatan dan tokoh masyarakat di Provinsi Banten dan Lampung khususnya Kecamatan Pulo Merak Kota Cilegon, Kecamatan Anyar Kabupaten Serang, Kecamatan Ketapang dan Bakauheni Kabupaten Lampung Selatan. 3. Pengamatan (Observation): Pengamatan dilakukan di dua rencana titik pelaksanaan pembangunan Jembatan Selat Sunda.
4. Focus Group Discussion (FGD): Aparat Pemerintah daerah terkait mulai dari tingkat provinsi sampai pada tingkat kecamatan dan tokoh masyarakat di kabupaten terdekat dengan wilayah yang direncanakan sebagai lokasi pembangunan.
Sedangkan Metode analisis data yang dilakukan melalui empat tahapan kegiatan, yaitu tahap identifikasi, kategorisasi, interpretasi, dan penarikan kesimpulan (Neuman, 2000). Metode tersebut juga memiliki kesamaan pengertian oleh Erny Susanti Hendarso, 2005 bahwa dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan cara mengklasifikasi atau mengkategorisasikan data berdasarkan beberapa tema sesuai fokus penelitiannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Infrastruktur sudah menjadi bagian dari kebutuhan yang tidak terpisahkan dari pembangunan ekonomi suatu wilayah. Ketersediaan infrastruktur yang memadai akan dapat menunjang kebutuhan masyarakat terutama yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi. Kebutuhan infrastrukur sangat dinamis sejalan dengan tuntutan atau permintaan fasilitas infrastruktur sebagai bagian dari pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah. Fasilitas infrastruktur seperti jalan, jembatan, energy, komunikasi, permukiman dan sebagainya memberikan banyak manfaat bagi pembangunan wilayah karena meningkatkan intensitas aktivitas ekonomi. Kontribusi positif dari ketersediaan infrastruktur menyebabkan adanya upaya yang terus menerus dari pihak pemerintah pusat dan daerah untuk menyediakan infrastruktur yang semakin baik untuk mengakselerasikan aktivitas ekonomi. Studi yang menunjukkan
peranan infrastruktur dalam perekonomian dikemukakan oleh David Aschauer (1989) yang menyatakan bahwa ketersediaan infrastruktur yang memadai adalah bagian dari faktor produksi. Studi dari Ascheur ini juga didukung oleh hasil studi dari Canning (1999), Calderon dan Serven (2002) yang secara umum menunjukkan bahwa investasi infrastruktur berdampak signifikan dan positif terhadap perekonomian. Hal ini menunjukkan bahwa infrastruktur pembangunan dapat mendorong pada meningkatnya produktivitas, meningkatkan pendapatan, dan pada gilirannya mampu memperluas kesempatan kerja sebagai dampak positif dari peningkatan aktivitas ekonomi. JSS sebagai salah satu bentuk infrastruktur nantinya akan menghubungkan Provinsi Banten dan Lampung yang pada akhirnya diharapkan akan membawa dampak kepada seluruh pulau Jawa dan Sumatera. Keberadaan JSS diharapkan dapat menjadi alat yang mensinergikan potensi dari masing-masing wilayah, namun untuk memaksimalkan potensi ini perlu dipertimbangkan strategi perencanaan pengembangan wilayahnya. Selain itu penerapan strategi pembangunan yang tepat dapat mencegah terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah (regional). Apabila terjadi ketimpangan pembangunan wilayah regional maka harus dipandang sebagai permasalahan yang dapat mempengaruhi kinerja pembangunan nasional. Pertumbuhan ekonomi yang lebih merata di semua wilayah akan dapat mendorong pada peningkatan potensi sumberdaya ekonomi yang berkelanjutan dan penurunan tingkat ketimpangan ekonomi dan sosial antar wilayah. Dengan mengurangi tingkat ketimpangan antar wilayah maka kapasitas dalam pengelolaan sumberdaya ekonomi akan lebih terdistribusi melalui penyebaran penduduk, peningkatan produktivitas wilayah, dan meningkakan kesempatan kerja di tingkat lokal. Pada perkembangannya pembangunan regional tidak lagi dipandang sebagai suatu bentuk pembangunan yang terkotak-kotak pada lingkup geografis/kewilayahan tetapi harus dipandang sebagai suatu keterkaitan yang saling memberikan manfaat bagi optimalisasi sumberdaya wilayah. Keterkaitan antar wilayah ini dapat dihubungkan melalui penyediaan infrastruktur pembangunan yang sesuai dengan kebutuhannya. Pemikiran pengembangan wilayah pada dasarnya mengarahkan pada aktivitas dan interaksi ekonomi suatu wilayah dan antar wilayah yang akan mempunyai efek meluas dengan adanya keterkaitan ke depan dan ke belakang (backward and forward linkage) serta terkait dengan aktivitas hulu dan hilir (mainstream and downstream lines) secara berimbang Salah satu strategi yang dapat digunakan adalah pendekatan pertumbuhan ekonomi wilayah berimbang. Seperti yang telah diketahui Provinsi Banten memiliki kekuatan dalam industri terutama industri
171
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
pengolahan, sedangkan Provinsi Lampung memiliki kekuatan dalam pertanian (Balai Litbang Sosek Bidang Jalan dan Jembatan, 2010). Keberadaan JSS diharapkan dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berimbang diantara kedua wilayah tersebut, sehingga keduanya dapat saling bersinergi untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut salah satu strategi yang dapat diterapkan adalah Balanced AgroIndustrial Development Strategy (BAIDS). Konsep BAIDS dalam sektor pertanian bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi, peningkatan kemampuan pemasaran, perubahan dalam pemanfaatan lahan, peningkatan pendapatan masyarakat perdesaan dan mengurangi ketimpangan pendapatan dalam antar kelompok masyarakat. Sementara bagi sektor industri, pengenalan industri yang padat karya melalui pemanfaatan potensi sumberdaya pertanian lokal. Peningkatan aktivitas industri skala kecil dan menengah yang mampu menghasilkan produkproduk yang dibutuhkan oleh sektor pertanian (misalnya alat produksi pertanian). Dalam konteks perencanaan pembangunan JSS yang menjadi fokus dalam kajian ini, maka BAIDS sangat mungkin dijalankan pada wilayah yang memiliki sumberdaya pertanian cukup tinggi dengan memanfaatkan keunggulan sektor industri dari wilayah lain yang saling berkaitan. Implementasi dari BAIDS membutuhkan koordinasi antar pemerintah daerah dan juga dengan pemerintah pusat. Hal ini dikarenakan mobilitas faktor produksi dan komoditi yang bergerak dari satu wilayah ke wilayah lain mengikuti permintaan dan penawarannya. Selanjutnya, peranan infrastruktur menjadi sorotan penting yang memperlancar arus barang dan jasa serta faktor-faktor produksi yang dibutuhkan oleh sektor perekonomian di suatu wilayah. Lebih lanjut, sebagaimana diketahui bahwa sumberdaya suatu wilayah berbeda antara satu wilayah dengan lainnya maka investasi pembangunan infrastruktur tidak boleh terkonsentrasi hanya pada satu wilayah tertentu saja. Oleh karenanya, dalam mengimplementasikan BAIDS harus memperhatikan prakiraan pertumbuhan ekonomi masing-masing wilayah dan kemudian menjaga keseimbangan kebutuhan infrastruktur dalam perspektif nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan identifikasi potensi sumberdaya ekonomi, potensi unggulan, positioning sumber-sumber pertumbuhan ekonomi daerah dan perencanaan pembangunan wilayah dalam jangka panjang. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa potensi unggulan di Banten adalah industri sedangkan di Lampung adalah pertanian. Untuk rencana pembangunan dan positioning sumberdaya ekonomi unggulan kedua provinsi dapat dijelaskan dibawah ini.
RENCANA
172
PEMBANGUNAN
DAN
POSITIONING SUMBERDAYA EKONOMI UNGGULAN PROVINSI LAMPUNG Sebagai pintu gerbang wilayah Sumatera – Jawa, provinsi Lampung memiliki posisi strategis karena menjadi kawasan padat perlintasan mobilitas barang dan jasa antar wilayah antara pulau Jawa dan Sumatera. Salah satu indikasinya adalah kenyataan bahwa selat sunda sebagai penyeberangan tersibuk di Indonesia. Jumlah penyeberang pada tahun 2010 rata-rata perhari sekitar 20 ribu orang perhari (www.mediaindonesia.com, 2010). Pada RTRW provinsi Banten 2010 – 2030 dijelaskan bahwa berdasarkan data operasional PT. ASDP Merak dapat diketahui terdapat 3 dermaga kapal ro-ro dengan jumlah trip sebanyak 72 trip perhari dan 1 dermaga kapal cepat dengan jumlah trip sebanyak 36 trip perhari. Jumlah armada kapal ro-ro 21 kapal dengan kapasitas 15.263 penumpang dan 1.959 kendaraan serta jumlah armada kapal cepat adalah 11 kapaldengan kapasitas 1.652 penumpang. Rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda yang terlihat semakin realistis karena adanya dukungan dari pemerintah pusat diyakini akan semakin meningkatkan peran strategis Provinsi Lampung dalam lingkup perekonomian regional dan nasional. Hal ini dikarenakan adanya akselerasi pergerakan barang dan jasa yang akan semakin dinamis dengan keberadaan JSS. Hal ini akan dapat membuka peluang bagi pengembangan kawasankawasan perekonomian provinsi Lampung. Salah satu bentuk dukungan pemerintah adalah dengan diterbitkannya Keppres No. 36 Tahun 2009 tentang Tim Nasional Persiapan Pembangunan Jembatan Selat Sunda. Pengembangan kawasan provinsi Lampung yang pada saat ini cenderung berorientasi pada pengembangan aktivitas sektor pertanian sehingga diperlukan adanya penetapan positioning kawasan ekonomi dan titik-titik pertumbuhan yang akan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi Lampung dalam jangka panjang. Hal ini menjadi penting untuk direncanakan sedini mungkin agar dapat terjadi pemerataan pembangunan wilayah yang bermanfaat bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah. Berdasarkan RTRW Provinsi Lampung 2010 – 2030 diketahui bahwa hirarki fungsional wilayah Provinsi Lampung yang bersifat vertikal dalam 4 (empat) ordinasi pusat pelayanan, yaitu: a. Pusat Kegiatan Nasional (PKN), yaitu pusat yang melayani wilayah Provinsi Lampung dan / atau wilayah sekitarnya di Sumatera Bagian Selatan, Nasional, maupun Internasional. Pusat pelayanan ini terletak di Kota Bandar Lampung. b. Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), yaitu pusat yang melayani satu atau lebih Kabupaten/ Kota. Pusat tersebut dikembangkan dengan intensitas yang lebih tinggi untuk memacu pertumbuhan perekonomian di wilayah
Strategi Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Antar Kawasan Jembatan Selat Sunda Aditya Anwar
sekitarnya. Wilayah ini meliputi Kota Metro, Kotabumi, Kalianda, Liwa, Menggala dan Kota Agung sebagai pusat-pusat pemerintahan Kota, pendidikan, jasa perdagangan, pariwisata, usaha produksi dan industri, serta sebagian aktivitas pertanian. c. Pusat Kegiatan Wilayah Promosi (PKWp), yaitu pusat kegiatan lokal yang di promosikan atau di rekomendasikan oleh provinsi dalam lima tahun kedepan akan menjadi PKW, mengingat secara fungsi dan perannya kota tersebut telah memiliki karakteristik pusat kegiatan wilayah. Kawasan ini meliputi daerah Sukadana, Blambangan Umpu, Pringsewu, Gedong Tatan, Bakauheni, Terbanggi Besar - Bandar Jaya - Gunung Sugih (Terbagus), Mesuji, dan Panaragan yang merupakan pusat pemerintahan kabupaten, pusat pendidikan, dan aktivitas perekonmian sektoral seperti Pertanian (Perikanan, Perkebunan), agro industri, perdagangan dan Jasa, serta Industri Pengolahan d. Pusat Kegiatan Lokal, yaitu kota-kota mandiri selain pusat primer dan sekunder yang dikembangkan untuk melayani satu atau lebih kecamatan. Pusat pelayanan tersier ini terutama dikembangkan untuk menciptakan satuan ruang wilayah yang lebih efisien. Tersebar di cukup banyak wilayah hingga tingkat kecamatan/ desa seperti Tanjung Bintang, Sidomulyo, Natar-Jatiagung, Seputih Banyak, Kalirejo, Way Jepara, Labuhan Maringgai, Fajar Bulan, Krui, Bukit Kemuning, Blambangan Umpu, Wiralaga, Wonosobo. Aktivitas di wilayah ini meliputi pusat pengembangan perdagangan, jasa pendukung kegiatan pertanian, Pusat pengembangan industri kecil dan menengah, Pengembangan produksi perikanan, Pusat koleksi dan distribusi hasil pertanian dan holtikultura.
Beberapa komoditi pertanian yang cukup menonjol di wilayah provinsi Lampung adalah komoditi buah pisang di: 1) lampung Selatan; area 49.959 ha (4.433.287 ton). Kabupaten ini amat potensial sebagai Industri Of Banana Cultivation, Banana Snack, Banana Flavour, dan Pengembangan Kebun 2) Lampung Timur; area 10.900 ha (1.073.534 ton) 3) Lampung Utara; area 3.455 ha (260.045 ton) 4) Way Kanan; area 4.261 ha (179.207 ton)
Selain itu terdapat pula potensi agrobisnis dengan mengandalkan komoditi Ubi Kayu yang terdapat di beberapa Kabupaten seperti Tulang Bawang, Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Lampung Timur, Kabupaten Lampung Utara, Kabupaten Way Kanan, Kabupaten Lampung Selatan, dan di Kabupaten lainnyadengan total luas area 316.806 ha, tingkat produksi 6.394.906 ton, dengan jumlah 78 unit industri pengolahan ubi kayu. Potensi komoditi pertanian jagung juga merupakan salah satu komoditi utama di beberapa kabupaten seperti Kabupaten Lampung Timur, Lampung Selatan, Lampung Tengah, Lampung Utara, Tulang Bawang, Tanggamus, Kabupaten Way Kanan, dan Kabupaten lainnya yang secara keseluruhan memiliki luas area 369.971 ha, tingkat produksi 1.346.821 ton, dengan jumlah 5 unit industri. Subsektor pertanian lainnya adalah wilayah penghasil rumput laut, yaitu Kabupaten Tanggamus, Lampung Selatan, dan Pesawaran Potensi pariwisata juga tersebar di sepanjang garis pantai khususnya di wilayah Lampung selatan yang terdiri dari banyak sekali pantai wisata seperti Pantai Wartawan, Pantai Canti, Pantai Merak Belantung, Pantai Marina, Pantai Pasir Putih, Pantai Pulau Pasir, Pantai Tanjung Selaki, Makam Pahlawan Radin Intan II, Makam Kuno Palas, Air Panas Belerang, Gunung Rajabasa, Pulau Sebesi, Pulau Sebuku, Menara Siger, dan Gugusan Pulau Krakatau. Di Kabupaten Lampung Barat juga terdapat pantai Krui dan obyek wisata lain yang sudah terkenal yaitu di Kabupaten Lampung Tengah: Taman nasional Way Kambas.
RENCANA PEMBANGUNAN DAN POSITIONING SUMBERDAYA EKONOMI UNGGULAN PROVINSI BANTEN
Gambar 1. Peta Rencana Struktur Tata Ruang dan Rencana Sarana Transportasi Provinsi Lampung
Sementara itu, kawasan Provinsi Banten menerapkan model pengembangan kawasan berupa kawasan andalan. Kawasan andalan adalah satuan wilayah /kawasan yang dipilih dari kawasan budidaya, yang terbentuk berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan ekonomi yang diandalkan sebagai motor penggerak
173
• Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010 yang terintegrasi khususnya pengembangan wilayah nasional, sehingga dalam menopang kebutuhan industri Sementara itu, perencanaan diharapkan pusat pertumbuhan. mampu menjadi hilir. dalam pengembangan kawasan Banten Water Front Peran dari kawasan ini mendorong pertumbuhan City di Kota Serang dengan basis Perdagangan, ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan Jasa, Budaya & Pariwisata merupakan bentuk dan upaya sekitarnya serta dapat terwujudnya mendorong pemerintah Provinsi Banten mengantisipasi pemerataan pemanfaatan ruang secara nasional. dalam pengembangan wilayah pekotaan di Banten Utara Dalam perkembangannya andalan istilah kawasan dan Banten Pemerintah Banten juga dalam peraturan perundang-undangan terbaru Barat. provinsi mengoptimalkan pariwisata Ujung Kulon berubah menjadi kawasan dan kawasan strategis potensi di wilayah banten selatan dengan pembangunan cepat tumbuh. Tanjung Lesung Water Front City di • KAWASAN STRATEGIS : wilayah yang bernilai kawasan Kabupaten Pandeglang dengan basis wisata alam strategis dibidang ekonomi yang relatif sudah ujung Kulon dan Gunung Krakatau yang ditunjang berkembang seperti : kawasan FTZ, kawasan dengan pembangunan infrastruktur transportasi industri, kawasan berikat, KAPET, KEK. udara berupa Bandara Panimbang. Selain itu, • KAWASAN CEPAT TUMBUH : satuan wilayah pembangunan Terminal kawasan Agrobisnis di yang memiliki produk-produk unggulan yang Anyer Serang mirip dengan pembangunan rencana berdaya saing relatif sedang berkembang atau Terminal Kalianda Provinsi Lampung Agribisnis di • potensial untuk di kembangkan dibandingkan yang dimaksudkan untuk memperlancar proses dengan kawasan potensial lainnya, seperti distribusi dan perdagangan produk-produk : kawasan sentra produksi atau agribisnis, pertanian. tanaman pangan dan hortikultura, kawasan • agribisnis peternakan/perkebunan/perikanan, Untuk lebih memperjelas arah pemba ngunannya, pada RPJM 2007-2012 pemerintah kawasan agropolitan, kawasan minapolitan, yang provinsi Banten telah menetapkan lokasi kawasan industri UKM, kawasan wisata agro/ berpotensi untuk dikembangkan menjadi pusat wisata budaya/wisata alam, kawasan produksi pertumbuhan. Lokasi-lokasi tersebut adalah : lainnya. 1. Kawasan Pusat Pertumbuhan Waringin Kurung di Kabupaten Serang ; Permasalahan yang ada adalah sarana dan prasarana masih kurang mendukung, dan infrastruktur penunjang wilayah belum dapat terpenuhi sesuai kebutuhan. Adapun potensi yang ada adalah sumberdaya alam dengan komoditas unggulan (3,137 ton/ha), jagung kedelai (2,35 ton/ha), kacang tanah (3,279 ton/ha), ketela pohon (13,230 ton/ha), dan lahan salak, durian, mangga. perkebunan dan Sedangkan kebutuhan infrastrukturnya adalah air bersih, jalan dan jembatan, dan jalan rehab lingkungan. 2. Kawasan Pusat Pertumbuhan Kasemen di Kota Serang; Gambar 2. Kebijakan Pengembangan Ruang
Provinsi Banten Dalam Konteks RTRW
• KAWASAN TERTINGGAL / TERPENCIL : kawasan yang perkembangannya tertinggal dibandingkan daerah lain karena kendala pembangunan yang dimilikinya.
Pengembangan kawasan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK Bojonegara di Kab Serang & KEK Krakatau di Cilegon) dengan basis Industri dan Perdagangan, yang ditunjang Pengembangan Pelabuhan Internasional Bojonegara menunjukkan adanya rencana pengembangan wilayah Banten
174
Permasalahan yang ada adalah tingginya tingkat kemiskinan masyarakat, kurang memadainya tingkat pendidikan masyarakat, infrastruktur penunjang wilayah belum terpenuhi sesuai kebutuhan. Adapun potensi sumberdaya alam yang ada adalah lahan pertanian basah, lahan perkebunan, kawasan pesisir dan laut, serta pariwisata budaya dan pantai. Sedangkan kebutuhan infrastruktur nya adalah air bersih, rehab jalan, fasilitas rambu jalan, persampahan, jalan lingkungan, dan penataan Banten Lama.
3. Kawasan Pusat Pertumbuhan Cilegon di Kota Cilegon;
Strategi Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Antar Kawasan Jembatan Selat Sunda Aditya Anwar
Permasalahan yang ada adalah keterbatasan sumberdaya manusia yang berkualitas, kerusakan dan degradasi lingkungan, dan infrastruktur penunjang wilayah belum terpenuhi sesuai kebutuhan. Adapun potensi sumber daya alam yang ada adalah lahan pertanian (sawah tadah hujan dan irigasi ; 2.749.56 ha, ladang ; 5.586.29 ha), Lahan perkebunan (315.85 ha), hutan (399,50 ha), kawasan pesisir dan laut, melon dan tanaman hias. Sedangkan kebutuhan infrastruktur nya adalah rehab jalan, fasilitas rambu jalan, air bersih, persampahan,penataan permukiman kumuh.
4. Kawasan Pusat Pertumbuhan Panimbang di Kabupaten Pandeglang;
Permasalahan yang ada adalah sarana dan prasarana transportasi masih kurang mendukung dan infrastruktur penunjang wilayah belum terpenuhi sesuai kebutuhan. Adapun potensi sumber daya alam yang ada adalah hutan produksi BKPH Sobang ; 11.538 ha, Hutan Produksi BKPH Cikeusik 13.753 ha, Tanaman Kelapa; 150 ha, Tanaman kakao; 1.200 ha, Pengembangan kerang Hijau ; 2.326,5 ha, 1 unit depurasi 8.100 m2, pengembangan kerapu 760 unit (Cigorondong). Sedangkan kebutuhan infrastrukturnya adalah rehab jalan/jembatan, rehap jaringan irigasi, perumahan, jembatan timbang.
5. Kawasan Pusat Pertumbuhan Malingping di Kabupaten Lebak;
Permasalahan yang ada adalah tingginya tingkat kemiskinan masyarakat, kurang memadainya tingkat pendidikan masyarakat, kurang memadainya sarana dan prasarana transportasi, dan infrastruktur penunjang wilayah belum terpenuhi sesuai kebutuhan. Adapun potensi sumber daya alam yang ada adalah hutan produksi BKPH Malingping ; 14.801 ha, Mega Biodiversity; 8.984 ha, Tanaman Kelapa; 550 ha, Tanaman Karet; 600 ha, Tanaman Kakao; 1.800 ha, Perikanan tangkap. Sedangkan kebutuhan infrastruktur nya adalah air bersih, rehab jalan/ jembatan, rehap jaringan irigasi.
6. Kawasan Pusat Pertumbuhan Kabupaten Tangerang ;
Kronjo
di
Permasalahan yang ada adalah tingginya tingkat kemiskinan masyarakat, kurang memadainya tingkat pendidikan masyarakat, sarana dan prasarana transportasi, sarana dan prasarana permukiman (air bersih, permukiman kumuh), pengairan (irigasi), dan rawan bencana banjir dan kekeringan.. Adapun potensi sumber daya alam yang ada adalah lahan pertanian, kawasan pesisir dan laut, perikanan tangkap, budidaya tambak, pariwisata pantai. Sedangkan
kebutuhan infrastruktur nya adalah rehab jalan/ jembatan, rehap jaringan irigasi, perumahan (rumah panggung), dan abrasi pantai.
7. Kawasan Pusat Pertumbuhan Cipondoh di Kota Tangerang.
Permasalahan yang ada adalah keterbatasan akses pemasaran, keterbatasan perkebunan, dan kerusakan dan degradasi lingkungan. Adapun potensi sumber daya alam yang ada adalah kawasan pertanian, kawasan perkebunan, Situ Cipondoh (126.1757), pariwisata perkotaan (shopping center), tanaman hias, dan ikan hias. Sedangkan kebutuhan infrastruktur nya adalah air bersih, jalan lingkungan, drainase, persampahan, rehab jalan/jembatan, rehab situ, penataan permukiman penduduk, dan fasilitas rambu jalan.
PENERAPAN BAIDS UNTUK MENGINTEGRASIKAN RENCANA PEMBANGUNAN DAN POTENSI EKONOMI DI WILAYAH JSS Setelah mengetahui rencana pembangunan dan positioning sumberdaya ekonomi unggulan, maka perencana pembangunan dapat merumuskan sektor-sektor pembangunan apa yang dapat diintegrasikan untuk menunjang terwujudnya pembangunan yang berimbang diantara kedua wilayah. Berikut adalah penggambaran pentingnya integrasi rencana pembangunan dan potensi ekonomi di masing-masing wilayah pembangunan JSS.
Wilayah Lampung dengan potensi sumber daya ekonomi berupa wilayah pertanian membutuhkan adanya aktivitas ekonomi bagi percepatan dan peningkatan nilai tambah hasil-hasil pertaniannya. Hasil sementara dari survey lapangan yang dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar aktivitas ekonomi di sektor pertanian masih mengandalkan aktivitas ekonomi tradisional yaitu perdagangan komoditi. Baru terdapat sebagian kecil aktivitas peningkatan nilai tambah misalnya dalam industri pengolahan bahan makanan dan juga industri berbasis komoditi pertanian seperti pengolahan tepung tapioca. Hal ini berbeda dengan wilayah Banten yang lebih banyak berorientasi pada aktivitas industri dan perdagangan serta jasa-jasa yang mengutamakan skill dan aktivitas pengolahan produksi yang memiliki nilai tambah tinggi khususnya di wilayah Banten Utara. Dalam kaitan integrasi perekonomian antar daerah khususnya Lampung dan Banten maka sangat mungkin diarahkan pada percepatan pembangunan sektor ekonomi utama yaitu pertanian dan industri. Hal ini merupakan bentuk sinergi antara sektor pertanian yang menjadi kekuatan wilayah Lampung dengan didukung oleh aktivitas industri
175
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
yang massive dan menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian atau dikenal dengan pembangunan agrobisnis.
Dengan diterapkan Balanced AgroIndustrial Development Strategy (BAIDS) akan mendukung adanya integrasi perekonomian melalui pembangunan sektor pertanian dan industri secara bersama-sama. Hal ini dikarenakan bila aktivitas pertanian yang mengalami peningkatan karena adanya stimulus dari sektor industri akan mampu meningkatkan pendapatan masyaakat di sektor pertanian yang sebenarnya merupakan pasar potensial bagi produk-produk sektor industri. Selanjutnya, peningkataan permintaan di sektor industri karena adanya peningkatan taraf hidup masyarakat akan mendorong adanya ekspansi industri pada skala yang lebih besar dan sekaligus meningkatan permintaan bahan baku dari sektor pertanian. Siklus ini akan terjadi sedemikian rupa dan terus menerus sehingga mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi.
KESIMPULAN
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan JSS sekaligus mewujudkan salah satu citacita pembangunannya, pemerintah baik pusat maupun daerah harus mempersiapkan strategi pengembangan wilayah yang dapat mensinergikan potensi masing-masing wilayah (Jawa dan Sumatera, terutama Banten dan Lampung). Konsep Balance Agro-Industrial Development Strategi (BAIDS) dapat diterapkan di Banten dan Lampung sebagai kawasan JSS. Hal ini mengingat potensi unggulan Lampung dalam bidang pertanian sedangkan Banten dalam bidang industri. Proses pengintegrasian dua wilayah dengan dua sektor ekonomi memerlukan adanya upaya dan komitmen bersama dari masingmasing pihak dengan melepaskan ego kewilayahan dan ego sektoral dalam kerangka pembangunan regional. Hal ini penting untuk ditekankan agar tidak menimbulkan adanya kondisi persaingan negatif antar daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Arianto, Efendi. 2007. “Pengertian Strategi”, 4 Juni, http://strategika.wordpress. com/2007/06/04/pengertian-strategi/ (Diakses 26 Oktober 2010) Aschauer, D. A. 1989. “Is Public Expenditure Productive?”, Journal of Monetary Economics 23: 177-200
Al-Shodiq, Rasyad Ahmad. 2010. “Pengertian Pertumbuhan Ekonomi”, 3 Agustus, http:// elasq.wordpress.com/2010/08/03/ pengertian-pertumbuhan-ekonomimenurut/ (Diakses 26 Oktober
176
2010)
Bappeda. 2009. RTRW Provinsi Banten 2010 – 2030. Banten.
Bappeda. 2006. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Banten 2007 – 2012. Banten. Canning, D. 1999. “The Contribution of Infrastructure to Aggregate Output”, World Bank Working Paper Number 2246 Calderon C., and L. Serven, “The Output Cost of Latin America’s Infrastructure Gap”, Central Bank of Chile Working Papers Number 186.
Kirmanto, Joko. 2005. “Pembangunan Infrastruktur di Indonesia”, 22 Agustus, w w w. p e n a t a a n r u a n g . n e t / t a r u / makalah/050822.pdf (Diakses 3 Maret 2010) Mercado, RG. 2002. Regional Development in the Philippines: A Review of Experience, State of the Art and Agenda for Research and Action, Discussion Paper Series No. 200203, Philippine Institute for Development Studies, Philipines. Neuman, W.Lawrence. 2000. Social Research Methods : Qualitative and Quantitative Approach – 4th Edition. Boston: Allym an Bacon.
Balai Litbang Sosek Bidang Jalan dan Jembatan. 2010. Penelitian Sosial Ekonomi Lingkungan Rencana Pembangunan Jembatan Selat Sunda. Balai Litbang Sosek Bidang Jalan dan Jembatan : Surabaya. Sutcliffe, R.B. 1971. Industri and Underdevelopment. London: Addison-Wesley Publishing Company.
Temple, J. 2005. Balance Growth, Paper, An entry for the New Palgrave Dictionary of Economics (second edition), Department of Economics, University of Bristol. Wardana, IM. 2007. Analisis Strategi Pembangunan Provinsi Bali Menuju Balance Growth, Buletin Studi Ekonomi Volume 12 Nomor 2 Tahun 2007, Universitas Udayana, Bali Sumber Internet
http://www.mediaindonesia.com /read/ 2010/09/09/ 166246/273 /101 /JumlahPenumpang -Merak -Bakauheni -pada -Puncak -Mudik -Diperkirakan -160-Ribu (Diakses 21 Oktober 2010).
FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PROSES PENGADAAN TANAH JALAN TOL: STUDI KASUS PADA PENGGANTIAN TANAH KAWASAN HUTAN RUAS UNGARAN – BAWEN KAB. SEMARANG, JAWA TENGAH Bambang Sudjatmiko¹, Andi Suriadi² ¹Pusat Litbang Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Jalan Sapta Taruna Raya No. 26, Komplek PU Pasar Jum’at Jakarta
ABSTRACT
²Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi FISIP UI Kampus UI Depok Jl. Margonda Raya no. 1 Depok
This research was conducted to study the process of land clearing of forest areas used for toll roads section II Ungaran-- Bawen with the given replacement land. The repelacement land is located Jatirunggo Village which is the people’s land, but cause endless problems due to the intervention of third parties. The study was conducted using qualitative methods. The result of this research showed that inhibition of the land acquisition process because (a) the existence of a broker of land that to take action land purchases more cheaper than land procurement committee standard price, (b) value compensation gap on three of type (level) that give different reaction to people’s land , and (c) the payment process is problematic because money of people’s land is lost from the bank. For that, they need fast reaction from those who need land and mechanism that can prevent a broker of land to take action in a massive land purchases. Keywords: procurement of land, compensation, highway, land broker, land procurement committee ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari proses pembebasan lahan kawasan hutan yang digunakan untuk jalan tol Ruas Seksi II Ungaran-- Bawen dengan diberikan tanah pengganti. Tanah pengganti tersebut berlokasi di Desa Jatirunggo yang merupakan tanah milik penduduk,, namun menimbulkan masalah yang berkepanjangan akibat campur tangan pihak ketiga. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terhambatnya proses pengadaan tanah karena (a) eksistensi makelar tanah yang melakukan pembelian tanah milik warga dengan harga yang lebih murah dibanding standar Tim Pengadaan Tanah, (b) senjangnya nilai ganti rugi yang mewujud dalam tiga pola (tingkatan) sehingga menimbulkan reaksi yang berbeda-beda dari pemilik tanah, dan (c) proses pembayaran yang bermasalah berupa hilangnya uang milik warga di rekening bank karena makelar tanah sudah membuat perjanjian dengan warga yang isinya memberikan kuasa untuk mengalihkan uang pembayaran tanah kepada makelar tanah. Untuk itu, diperlukan reaksi cepat dari pihak yang membutuhkan tanah dan adanya mekanisme yang dapat mencegah makelar tanah melakukan aksi pembelian tanah secara masif. Kata Kunci: Pengadaan tanah, ganti rugi , jalan tol, makelar tanah, panitia pengadaan tanah
PENDAHULUAN Rencana pembangunan jalan tol TransJawa yang menghubungkan Merak – Banyuwangi membutuhkan tanah yang sangat luas. Diperkirakan panjang jalan tol tersebut mencapai ± 1.000 kilometer dengan lebar yang bervariasi. Saat ini, beberapa ruas sudah ada yang beroperasi, sedang konstruksi, namun ada pula yang masih proses pengadaan tanah.
Pemenuhan kebutuhan tanah untuk pembangunan jalan tol ternyata tidak mudah. Berbagai permasalahan muncul seiring dengan proses pelaksanaannya, baik pada tahap sosialisasi maupun negosiasi ganti rugi. Dalam pengadaan tanah, berbagai pihak pun berperan seperti P2T (Panitia Pengadaan Tanah) yang dibentuk oleh pemerintah daerah, TPT (Tim Pengadaan Tanah) Ditjen Bina Marga, investor, dan pemilik tanah.
177
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010 Namun demikian, secara umum, permasalahan utama yang muncul dengan tingkat frekuensi yang sangat tinggi adalah pada tahap proses negosiasi ganti rugi. Durasi proses negosiasi pun umumnya tidak singkat karena para pihak, baik yang tanah maupun pemilik tanah membutuhkan Seksi II bertahan pada prinsipnya masing-masing. Memang Ungaran – Bawen ada kecenderungan perbedaan antara pengadaan tanah milik warga (pada umumnya) dan instansi pemerintah/korporasi.
(Sumber: Departemen
PU, 2009)
(Sumber: Peta Infrastruktur Indonesia, 2007) Gambar 2.
Peta Ruas Tol Semarang – Solo (Seksi II Ungaran – Bawen) Gambar 1 Peta Rencana Pembangunan Jalan Tol Merak -- Akan tetapi hingga saat ini, tenyata Banyuwangi tanah permasalahan pengadaan belum juga selesai, Sejauh ini, proses negosiasi antara pihak yang bahkan bermasalah. Menurut Gubernur Jawa membutuhkan tanah dengan instansi pemerintah/ Tengah, dari laporan yang diterima, pengadaan korporasi relatif lebih mudah dibanding dengan tanah Seksi II Ungaran – Bawen masih berlangsung. total 137,77 hektar yang akan dibebaskan, Dari pihak masyarakat pada umumnya. Selain karena baru terealisasi 61,81 hektar. Sementera itu, khusus luas tanah yang dibebaskan dari instansi/korporasi untuk pengadaan tanah di Desa Jatirunggo, ada biasanya lebih besar, juga pihak yang diajak masalah dan saat ini sedang dalam penyidikan negosiasi relatif lebih sedikit sehingga tidak terlalu aparat hukum (Kompas, 7 Oktober 2010). membutuhkan waktu lama untuk mengambil Permasalahan pengadaan tanah di Desa Jatirunggo keputusan. Berbeda dengan pengadaan tanah milik ini justru menunjukkan eskalasinya yang semakin warga, selain membutuhkan waktu yang cukup menguat yang ditandai oleh aksi yang dilakukan lama, juga melibatkan banyak pihak, termasuk oleh pemilik tanah dan dukungan dari kelompok lainnya (Kompas, 14 Oktober 2010). Oleh karena pendukung berbagai kelompok seperti LSM. itu, menarik untuk dikaji lebih jauh: Faktor-faktor Salah satu lokasi yang hingga saat ini apa yang menghambat proses pengadaan tanah masalah pengadaan tanah masih mengalami pembangunan jalan tol Ruas Seksi II Ungaran – hambatan adalah di Desa Jatirunggo, Kecamatan Bawen khususnya di Desa Jatirunggo? Pringapus, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tujuan penelitian ini adalah untuk Tengah. Sebenarnya, di desa ini tidak terlintasi mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghambat pembangunan jalan tol. Namun, desa ini adalah dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan lokasi penggantian tanah kawasan hutan yang jalan tol, khususnya Ruas Ungaran – Bawen digunakan pada Ruas Seksi II Ungaran – Bawen yang khususnya di Desa Jatirunggo. Dengan mengetahui merupakan bagian dari rangkaian pembangunan faktor-faktor penghambat tersebut, dapat disusun jalan tol Semarang – Solo (Dinas Bina Marga Jateng, pemecahan masalah agar problematika pengadaan 2004). Sebenarnya, diharapkan proses pengadaan tanah dapat segera terselesaikan dan masingtanah di Desa Jatirunggo lebih cepat karena (a) masing pihak dapat menerimanya sebagai solusi warga tidak akan terkena dampak langsung yang tepat.
pembangunan jalan secara fisik karena jauh dari lokasi konstruksi dan (b) sebagian besar tanah yang dibebaskan adalah peruntukan ladang warga (bukan permukiman penduduk).
178
LANDASAN KONSEPTUAL
Pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol Ruas Ungaran – Bawen menggunakan pijakan Perpres Nomor 65 Tahun 2006. Dalam Perpres
Faktor-Faktor Penghambat Proses Pengadaan Tanah Jalan Tol: Studi Kasus Pada Penggantian Tanah Kawasan Hutan Ruas Ungaran – Bawen Kab. Semarang, Jawa Tengah Bambang Sudjatmiko, Andi Suriadi tersebut disebutkan pada Pasal 1 Ayat 3, bahwa “Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.” Bentuk ganti rugi dapat berupa: (a) uang; dan/atau (b) tanah pengganti; dan/atau (c) pemukiman kembali; dan/atau (d) gabungan dari dua atau lebih bentuk ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c; (e) bentuk lain yang disetujui oleh pihakpihak yang bersangkutan. Namun demikian, untuk melaksanakan Perpres di atas, seringkali menemui hambatan. Hambatan tersebut menurut Iskandar Syah (2007: 26) adalah selain tuntutan pemilik tanah yang tinggi, juga karena adanya spekulan (makelar) tanah, serta keterlibatan LSM. Menurutnya, tuntutan pemilik tanah dengan harga yang tinggi sebetulnya manusiawi karena semua orang pada umumnya menghendaki kehidupan yang lebih baik dari hari-hari sebelumnya atau paling tidak menyamai taraf kehidupan yang sebelumnya. Demikian pula keberadaan spekulan (makelar) tanah sulit diberantas karena mereka kadang kala dikehendaki oleh pemilik tanah (kendatipun ada yang tidak menghendakinya). Sementara itu, keberadaan LSM, baik yang legal maupun ilegal seringkali juga turut menambah kompleksitas permasalahan pengadaan tanah.
Dalam proses pengadaan tanah kelibatan emosi dan fenomena psikologis lainnya juga tidak dapat dihindari terutama dari pemilik tanah. Menurut Pruitt dan Jeffrey (2009: 253) bahwa sikap dan persepsi negatif cenderung menetap karena bersifat saling mendukung. Keyakinan negatif akan memvalidasi perasaan negatif, sebaliknya perasaan negatif akan membuat keyakinan negatif menjadi terasa benar. Lebih lanjut, mereka mengatakan bahwa ada tiga macam mekanisme psikologis yang penting, yakni persepsi selektif, mewujudkan ramalan diri, dan permusuhan autistik. Di sisi lain, Gurr (dalam Siahaan, 1999: 80) menjelaskan bahwa orang akan mengalami deprivasi relatif ketika ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Kondisi tersebut akan semakin tinggi apabila jika orang tersebut berusaha membandingkan dirinya dengan pihak yang lain yang memiliki posisi yang hampir sama. Gurr (dalam Fruitt dan Jeffrey, 2009: 22) mengatakan bahwa kondisi tersebut terjadi karena orang cenderung mengidentifikasikan dirinya kelompok lainnya yang memiliki kesamaan. Gurr mengistilahkannya sebagai demonstration effect sehingga timbul dorongan dari pihak lain untuk menyamai pihak lainnya.
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Dalam pengumpulan data, digunakan tiga metode, yakni (a) metode pustaka dengan mengumpulkan berbagai literatur dan data sekunder yang terkait dengan pengadaan tanah, hasil penelitian, dan data desa, (b) metode observasi dengan mendatangi dan melihat kondisi kehidupan sehari-hari serta kondisi lingkungan permukiman warga, dan (c) metode wawancara mendalam dengan menanyakan sejumlah pertanyaan kepada informan. Sampel dipilih secara purposif yakni informan dari pemerintah dan masyarakat. Wawancara dilakukan dengan informan dari pemerintah Provinsi Jawa Tengah, pemerintah Kabupaten Semarang, aparat Desa Jatirunggo, dan pemilik tanah sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan (Bailey, 1994: 98). Sedangkan analisis data dilakukan melalui tiga tahap. Pertama, tahap identifikasi dengan melakukan mencari data yang diperoleh dari lapangan untuk kemudian dilakukan pengolahan data lebih lanjut. Kedua, tahap klasifikasi dengan melakukan pemilahan antara satu data dengan data lain yang sudah teridentifikasi sebelumnya. Ketiga, tahap interpretasi dengan cara melakukan penafsiran terhadap data yang telah dipaparkan yang dikaitkan dengan landasan konseptual secara naratif. Setelah itu, dilakukan penarikan kesimpulan sebagai kristalisasi masalah dan jawaban atas pertanyaan yang diajukan sebelumnya.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Desa Jatirunggo yang menjadi fokus penelitian berada dalam wilayah Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Desa ini merupakan kawasan perbukitan yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari ibukota kecamatan dan 17 kilometer dari ibukota kabupaten. Secara keseluruhan, luas wilayah Desa Jatirunggo mencapai 967,114 ha dengan rincian tanah peruntukannya sebagaimana pada tabel 1.
Tabel 1
Luas Wilayah dan Tanah Peruntukannya di Desa Jatirunggo
(Sumber: Daftar Isian Potensi Desa Jatirunggo, 2009) 179
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
Data di atas menunjukkan bahwa proporsi terbesar wilayah Desa Jatirunggo adalah tegalan/ ladang yang mencapai 40 %. Selain itu, masih terdapat daerah persawahan, baik sawah irigasi semiteknis maupun tadah hujan, serta kawasan hutan. Keberadaan kawasan hutan ini menjadi alasan dipilihnya Desa Jatirunggo sebagai salah satu lokasi penggantian lahan jalan tol Ruas Ungaran –
eksistensi makelar tanah mulai terlacak oleh warga sejak tahun 2008. Pada tahun itu, datang beberapa orang yang bermaksud membeli tanah warga di Desa Jatirunggo dengan tujuan ingin memperluas areal Perum Perhutani. Dalam pembicaraannya dengan warga, mereka juga mengemukakan alasan tambahan bahwa wilayah Indonesia memiliki laut yang lebih luas daripada daratan. Dengan demikian, perlu dilakukan perluasan areal hutan untuk Bawen. mengimbangi luas lautan serta untuk menjaga Penduduk Desa Jatirunggo berjumlah 7.571 wilayah sumber mata air. jiwa dengan 2.112 KK. Pada umumnya, warga
Pada awalnya, warga mengira mereka adalah menggantungkan hidupnya pada lahan-lahan yang orang-orang dari pihak Perum Perhutani yang ada di wilayah desa mereka. Petani, buruh tani, dan buruh lainnya/swasta merupakan profesi yang murni ingin memperluas areal kawasan hutan. Hal tersebut dapat dipahami karena wilayah Desa paling dominan ditekuni oleh warga Desa Jatirunggo, Jatirunggo memang berbatasan dengan kawasan sebagaimana dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2
Mata Pencaharian Pokok Penduduk Desa Jatirunggo
hutan milik Perum Perhutani. Dengan demikian, ketika ada pihak yang bermaksud membeli tanah warga dengan alasan memperluas kawasan hutan, masyarakat tidak merasa ada sesuatu yang aneh. Warga pun tidak ada yang keberatan dan menganggap mereka yang datang tersebut benarbenar terkait dengan Perum Perhutani.
Akan tetapi, warga baru menyadari bahwa dugaan mereka selama ini ternyata salah, ketika pihak Tim Pembebasan Tanah (TPT) Ditjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum ingin melakukan sosialisasi kepada warga. Sejak saat itulah, warga baru mengetahui dan menyadari bahwa pihak yang selalu datang ke wilayah mereka selama ini ternyata (Sumber: Daftar Isian Potensi Desa Jatirunggo, 2009) bukanlah utusan pihak Perum Perhutani, melainkan Besarnya profesi buruh tani dan buruh makelar tanah yang hendak mengeruk keuntungan sebesar-besarnya sebagai dari penggantian lahan milik lainnya mata pencaharian utama sangat terkait dengan banyaknya rumah tangga di Desa perhutani akibat adanya pembangunan jalan tol. Jatirunggo yang tidak memiliki lahan. Oleh karena Berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah itu, untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi tumah informan di lokasi, dapat diidentifikasi modus tangga petani adalah menjadi buruh pada lahan operandi yang dilakukan oleh makelar tanah dalam memperoleh tanah warga adalah mereka melakukan milik orang lain atau kawasan perkebunan. pembelian tanah warga dengan harga yang lebih rendah daripada harga pembelian TPT. Informasi yang diperoleh dari lapangan menyebutkan bahwa HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan temuan di lapangan, terdapat makelar tanah melakukan pembelian tanah warga tiga faktor yang menghambat proses pengadaan seharga Rp 20.000,00 per m². Warga mengakui tanah pada Ruas Seksi II Ungaran – Bawen, bahwa sebenarnya jumlah tersebut sudah di atas khususnya di Desa Jatirunggo. Ketiga faktor tersebut harga pasar (yang bervariasi dengan harga terendah adalah (a) eksistensi makelar tanah, (b) senjangnya Rp 4.000,00 per m²). Oleh karena itu, sebenarnya nilai ganti rugi, dan (c) proses pembayaran yang warga tidak keberatan karena makelar tersebut bermasalah. Ketiga faktor tersebut ternyata juga melakukan pembelian dengan harga di atas memberikan kontribusinya yang berbeda-beda harga normal. Namun, ketika pihak TPT datang terhadap terhambatnya proses pengadaan tanah melakukan sosialisasi dan sempat menyebutkan penawaran harga tanah sebesar Rp 50.000,00 per tersebut. m², maka seketika itu pula warga banyak protes kepada makelar tanah karena merasa dipermainkan (“ditipu”). 1. Eksistensi Makelar Tanah Jika ditelusuri lebih jauh, salah satu faktor penghambat dalam proses pengadaan tanah di Desa Jatirunggo adalah peran makelar yang sangat luar biasa. Menurut beberapa informan di lapangan,
180
Jika ditelaah lebih jauh terlihat bahwa terjadi perubahan sikap dan persepsi warga dari yang sebelumnya mendukung upaya makelar tanah membeli tanah di atas harga normal, namun
Faktor-Faktor Penghambat Proses Pengadaan Tanah Jalan Tol: Studi Kasus Pada Penggantian Tanah Kawasan Hutan Ruas Ungaran – Bawen Kab. Semarang, Jawa Tengah Bambang Sudjatmiko, Andi Suriadi
makelar tanah. Warga mengancam, jika tidak ada peningkatan dari harga Rp 20.000,00 per m², mereka akan melakukan protes, bahkan sebagian ada yang ingin membatalkan perjanjian mereka. Akibat desakan dan aksi warga, barulah sikap makelar tanah agak melunak dengan berjanji akan menambahkan besaran nilai ganti rugi tersebut sebesar Rp 7.000,00 per m² sehingga secara keseluruhan harga tanah warga menjadi Rp 27.000,00 per m². Akan tetapi, berdasarkan data lapangan, terungkap bahwa meskipun sudah ada janji makelar tanah untuk meningkatkan besaran nilai ganti rugi tanah warga, ternyata tidak semuanya dapat direalisasikan. Oleh karena itu, hingga saat ini warga masih terus melakukan perjuangan agar Secara teoretis, perubahan persepsi dan sikap kekurangan pembayaran tanah mereka dapat warga terhadap keberadaan makelar tanah dari diterima secepatnya. positif menjadi negatif menurut Fruitt dan Jeffrey Namun, bagi warga yang belum sempat dianggap sebagai selective perception (2009: 253). menjual tanahnya kepada makelar tanah, mereka Artinya, warga pemilik tanah membentuk impresi menerima nilai ganti rugi dari TPT sebesar Rp negatif terhadap makelar tanah. Begitu makelar 50.000,00 per m². Kondisi ini juga memicu tanah yang sebelumnya diduga sebagai pihak Perum kecemburuan sosial di antara warga karena adanya Perhutani ketahuan identitas dan maksudnya, maka yang tanah dihargai Rp 20.000,00 – Rp 27.000,00 saat itu pula berbagai karakter tidak baik dilekatkan per m² dan ada pula yang diharga Rp 50.000,00 per kepada makelar tanah. Uniknya, menurut Fruitt dan m². Bahkan, menurut beberapa informan, sebagian Jeffrey, begitu suatu pihak telah mengartikulasikan warga yang sudah telanjur menjual tanahnya hipotesis bahwa pihak lain adalah orang yang tidak kepada makelar tanah bermaksud menuntut diinginkan, maka bukannya mengumpulkan dan makelar tersebut karena mereka merasa tertipu menganalisis data secara ilmiah, melainkan justru dengan kedatangannya yang seolah-olah berasal akan cenderung menempatkan semua informasi dari pihak Perum Perhutani, padahal kenyataannya untuk mendukung hipotesisnya. Dengan demikian, tidak. Keinginan warga Desa Jatirunggo makelar tanah berusaha ditempatkan sebagai orang menuntut kenaikan ganti rugi kemudian “jahat” dengan label penipu atau pun pembohong. mendapat sambutan hangat dari LSM yang Sayangnya, ketika mekanisme selective perception Lokal berusaha memperjuangkan para nasib pemilik ini bekerja, pada saat itu tidak ada tindakan yang nyata dan serius dari pihak makelar tanah tanah. Dukungan dari LSM tersebut kemudian warga semakin bersemangat, untuk meng-counter persepsi dan label negatif menyebabkan bahkan ada sebagian yanghendak mengungkitterhadap dirinya. Akibatnya, keadaan ini bertahan ungkit lagi hasil kesepakatan dengan makelar sehingga warga berpotensi mengembangkannya tanah dan mempermasalahkannya hingga ke dalam bentuk aksi-aksi yang mendukung pengadilan. persepsinya. sosial ekonomi, warga Secara tuntutan Kendatipun ada upaya-upaya untuk tersebut dapat dipahami karena pada umumnya menambah nilai ganti rugi dari Rp 20.000,00 per merupakan rumah tangga petani (RTP) yang m², kemudian ditambah Rp 7.000,00 per m² menjadi berlahan Data pada 3 menunjukkan sempit. tabel Rp 27.000,00 per m², pada kenyataannya tidak juga bahwa rumah tangga petani yang memiliki lahan dipenuhi secara menyeluruh oleh makelar tanah. kurang 0,5 ha mencapai 517 RTP. Dengan kata tangga lain, sekitar 72 % rumah petani di Desa Kondisi ini justru memperkuat image dan karakter kepemilikan kurang Jatirunggo lahannya dari 0,5 negatif yang dilekatkan oleh warga sebelumnya. Dengan sikap dan tindakan yang demikian, label ha. Sebaliknya, jumlah rumah tangga yang memiliki makelar tanah bukannya pulih dengan berniat akan lebih dari 1 ha hanya 21 atau 2,9 %. menambah Rp 7.000,00 per m², tetapi justru lebih Tabel 3 memperburuk citra mereka di mata warga pemilik tanah. Pemilikan Lahan Pertanian di Desa Jatirunggo ketika ada informasi baru dengan penawaran yang lebih tinggi warga pun berbalik menentang keberadaan makelar tanah. Pada berbagai kasus, keberadaan makelar kadang-kadang diharapkan karena fungsinya adalah menjembatani antara pembeli dan penjual dengan cara membeli terlebih dahulu dari penjualnya, kemudian menjualnya lagi kepada pembeli. Akan tetapi, pada kasus pengadaan tanah jalan tol, ternyata keberadaan makelar dapat dianggap sebagai pengganggu atau penghambat. Dikatakan demikian karena mereka berusaha sedemikian rupa melakukan pembelian tanah warga dengan harga yang sebenarnya murah, kemudian berusaha menjualnya semahal mungkin.
2. Senjangnya Nilai Ganti Rugi Setelah warga mengetahui bahwa ternyata besaran nilai ganti rugi dari TPT Rp 50.000,00 per m², mereka pun melakukan protes kepada
(Sumber: Daftar Isian Potensi Desa Jatirunggo, 2009)
181
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
Dengan adanya pengadaan tanah sebagai pengganti lahan tol yang digunakan untuk Ruas Ungaran – Bawen, secara umum tanah warga akan semakin berkurang. Oleh karena itu, agar dapat membeli tanah kembali, tentu warga harus mengeluarkan biaya yang belum dapat diprediksikan besarannya. Yang dikhawatirkan warga adalah besaran nilai ganti rugi tersebut tidak dapat digunakan untuk membeli lahan kembali sehingga dampaknya akan lebih fatal. Seperti yang dikemukakan oleh Iskandar Syah (2007: 26) bahwa tuntutan pemilik tanah dengan harga tinggi sangat manusiawi karena mereka menghendaki adanya kehidupan yang lebih baik. Tuntutan warga Jatirunggo untuk mendapatkan ganti rugi yang tinggi tidak lain merupakan refleksi atas keinginan mereka untuk dapat membangun kehidupan secara lebih dari sebelumnya atau paling tidak minimal sama sebelum adanya pengadaan tanah.
Secara teoretis, kondisi kekhawatiran sebagian warga menurut Gurr (dalam Siahaan, 1999: 80) dapat dikategorikan bahwa mereka mengalami deprivasi relatif di mana terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Warga berharap agar besaran nilai ganti rugi yang diperoleh sama dengan warga lainnya yang memperoleh Rp 50.000,00 per m². Karena sesuai dengan penawaran dan keputusan TPT besaran nilai ganti rugi yang dibayarkan melalui rekening masing-masing adalah Rp 50.000,00 per m². Artinya, deprivasi relatif yang dialami sebagian warga terjadi karena pada kenyataannya hingga saat ini mereka belum menerima selisih nilai rugi yang seharusnya dibayarkan. Bahkan, janji yang pernah diungkapkan oleh makelar tanah dari Rp 20.000,00 per m² kemudian ditambah Rp 7.000,00 per m² sebagian belum direalisasikan. Kondisi warga ini justru mengalami deprivasi relatif yang lebih tinggi karena pada saat yang sama ada tetangga yang justru telah menerima uang Rp 27.000,00 per m², bahkan ada telah menerima Rp 50.000,00 per m². Keadaan deprivasi relatif ini cukup berpotensi untuk tidak mengubah keadaan menjadi kondusif sehingga pada akhirnya turut menghambat proses pengadaan tanah jalan tol.
Istilah Gurr (dalam Fruitt dan Jeffrey, 2009: 22) dalam menyebutkan penyebab keadaan warga tersebut karena adanya demonstration effect. Artinya, orang cenderung mengidentifikasikan diri dengan para anggota kelompok lainnya yang berdekatan atau memiliki kesamaan dalam beberapa hal dengan kelompoknya sendiri. Apabila kelompok yang lain tersebut berprestasi lebih baik atau selangkah lebih maju daripada kelompoknya sendiri, maka hal tersebut akan menstimulasi terjadinya peningkatan aspirasi sendiri. Dengan kata lain, kelompok warga yang hanya menerima uang ganti rugi Rp 20.000,00 per m² berusaha mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok
182
warga yang memperoleh uang ganti rugi Rp 50.000,00 per m². Karena warga kelompok lainnya mendapat lebih besar daripada dirinya, maka inilah yang mendorong aspirasi mereka untuk mendapatkan hal yang sama.
Keadaan yang dialami warga tersebut dapat juga disebut sebagai fenomena invidious comparasion. Dikatakan demikian, karena warga berusaha membuat perbandingan yang tidak menyenangkan bagi dirinya sehingga menstimulasi peningkatan aspirasi dengan dua alasan, yakni alasan idealistis dan realistis. Idealistis karena mereka berpikir bahwa hasil kerja dari warga lainnya yang mendapatkan ganti rugi yang tinggi (Rp 50.000,00 per m²) harus pula sama dengan diri dan kelompoknya. Demikian pula, dikatakan realistis dalam pengertian bahwa sangat rasional bila warga melakukan tuntutan karena warga lainnya telah mendapatkan nilai ganti rugi yang tinggi. Jika warga lainnya bisa memperoleh ganti rugi yang tinggi, lalu mengapa mereka tidak bisa mendapatkannya, padahal kedudukan dan status sebagai warga Desa Jatirunggo sama. 3. Proses Pembayaran yang Bermasalah
Untuk menyiasati pihak TPT, tampaknya makelar tanah berusaha semaksimal mungkin mengikuti prosedur yang berlaku. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini, jika sudah terjadi kesepakatan antara panitia dengan pemilik tanah, akan segera dilakukan pembayaran dan untuk memastikan uang ganti rugi tersebut sampai ke tangan pemilik tanah, tanpa pemotongan, maka paling aman adalah pemilik tanah membuka rekening. Pembukaan rekening di bank, selain untuk memudahkan pihak panitia melakukan pembayaran melalui transfer, juga untuk meminimalisasi terjadinya pengutipan oleh oknum-oknum tertentu. Akan tetapi, di balik upaya formal baku tersebut, ternyata makelar lebih piawai dalam melihat celah yang dapat dimanfaatkan agar uang hasil pembayaran tersebut tetap jatuh ke tangan mereka. Pada kenyataannya, makelar tanah, kemudian membuat kesepakatan-kesepakatan agar warga dapat mengalihkan pembayarannya kepada mereka. Menurut tokoh masyarakat Jatirunggo, ada beberapa warga yang dibuatkan perjanjian melalui notaris yang mengukuhkan bahwa pemilik tanah tidak keberatan untuk diatasnamakan dalam pembayaran jual beli tanah mereka antara makelar dan pihak yang membutuhkan tanah (TPT). Selain itu, warga juga tidak keberatan jika dibuatkan rekening bank jika kelak dipersyaratkan oleh TPT. Bahkan, ada pernyataan yang menegaskan bahwa apabila warga menerima pembayaran jual beli tanah dari pihak yang membutuhkan tanah melalui bank
Faktor-Faktor Penghambat Proses Pengadaan Tanah Jalan Tol: Studi Kasus Pada Penggantian Tanah Kawasan Hutan Ruas Ungaran – Bawen Kab. Semarang, Jawa Tengah Bambang Sudjatmiko, Andi Suriadi atas nama dirinya, maka seketika itu pula warga memberikan kewenangan atau kuasanya kepada bank untuk mengalihkan atau memindahbukukan uang pembayaran tersebut kepada makelar tanah.
Oleh karena itu, berita raibnya dana dari rekening warga Desa Jatirunggo di Bank Mandiri (Kompas, 14 Oktober 2010) sebenarnya tidak terlalu mengherankan karena sudah ada perjanjian antara warga dengan makelar tanah. Karena makelar tanah berusaha berlindung di balik kekuatan hukum, maka upaya warga pemilik tanah yang dibantu oleh LSM, selain melakukan aksi di luar arena legal, juga berusaha melakukan aksi dengan melalui koridor hukum. Warga dan LSM kemudian mempermasalahkan ke pengadilan mengapa rekening warga yang menjadi haknya tiba-tiba bisa kosong, padahal sudah ditransfer. Perubahan perjuangan warga dengan penggunaan cara-cara melalui koridor hukum ini dari sebelumnya dengan aksi-aksi menunjukkan bahwa masing-masing pihak sebenarnya sudah menyadari perlunya resolusi dan penanganan pihak ketiga. Dengan kata lain, kedua belah pihak tidak dapat lagi menyelesaikan permasalahannya secara bersama sehingga perlu ada pihak ketiga sebagai mediator.
Keadaan ini menurut Fruitt dan Jeffrey (2009: 297) disebut sebagai kemandekan. Kemandekan ini terjadi karena taktik-taktik contentious sudah dilaksanakan dengan melakukan berbagai aksi, namun mengalami kemandekan. Dengan demikian, kondisi dapat menuju pada problem solving karena masing-masing dapat dianggap seimbang. Di satu sisi warga mendapat dukungan legitimasi sosial dari LSM, sedangkan di sisi lain pihak makelar juga memiliki kekuatan legalitas formal dari notaris. Jika masing-masing pihak memang hendak melakukan pemecahan masalah, menurut Fruitt dan Jeffrey mereka dapat memilih apakah kompromi atau solusi integratif. Tinggal bagaimana kemauan masing-masing pihak untuk bisa menahan diri dan mengarahkan diri untuk menemukan problem solving yang terbaik karena dinamika di lapangan hingga saat ini terus berlangsung.
Menurut Fruit dan Jeffrey, salah satu prasyarat yang harus dipenuhi agar dapat melakukan problem solving adalah perlu adanya perceived common ground (PCG) masing-masing pihak yang timbul dari keyakinan bahwa pihak lain tidak terlalu tinggi atau tidak terlalu kaku sehingga ada potensi mengembangkan alternatif yang integratif. Karena jika tidak, kemungkinan besar problem solving tidak dapat dilakukan. Selain itu, kehadiran pihak ketiga (mediator) dapat memperkuat perceived common ground pihak-pihak yang berkonflik. Oleh karena itu, antara makelar tanah dan pemilik tanah diperlukan adanya kesamaan pandangan
bahwa berlarut-larutnya persoalan ganti rugi ini sangat urgen untuk dipecahkan. Tuntutan warga sebenarnya adalah bagaimana ada dua, yakni (a) bagaimana kelompok warga yang sudah mendapatkan ganti rugi Rp 20.000,00 per m² dapat memperoleh tambahan Rp 7.000,00 per m² dan (b) setelah itu, bagaimana warga dapat mendapatkan selisih antara Rp 27.000,00 per m² yang diterima dari makelar tanah dengan Rp 50.000,00 per m² yang diterima oleh warga lainnya dari TPT. Selisih tersebut dapat dilakukan dengan cara kompromi sebagai alternatif yang integratif. Dengan demikian, di satu sisi warga mendapatkan haknya tidak jauh berbeda dari jumlah yang didapatkan oleh warga lainnya, sedangkan makelar tanah mungkin dapat memperoleh keuntungan melalui persetujuan warga dengan cara yang lebih terbuka.
Peran yang dimainkan oleh Kantor Komisi Informasi Provinsi Jawa Tengah dengan melakukan mediasi antara warga Desa Jatirunggo dengan pihak Bank Mandiri yang ditunjuk sebagai bank pembayar dapat dimaksimalkan. Peran Kantor Komisi Informasi dapat memperkuat perceived common ground pihak-pihak yang berkonflik sehingga dapat ditemukan alternatif yang sifatnya integratif. Sebaliknya, masing-masing pihak pun perlu menumbuhkembangkan perceived common ground agar dapat duduk bersama menyelesaikan masalah pengadaan tanah di Desa Jatirunggo. Pengadaan tanah pengganti kawasan hutan di Desa Jatirunggo ini memang agak berbeda dengan wilayah lain. Jika pada umumnya dalam pengadaan tanah, pihak pemerintah daerah membentuk panitia yang sering disebut P2T (Panitia Pengadaan Tanah), pada proses pengadaan tanah di Desa Jatirunggo ini P2T Kabupaten Semarang tidak terlibat sebagaimana suratnya kepada Direktur Jenderal Bina Marga, Nomor 590/332, tanggal 29 Mei 2009 perihal Pengadaan Tanah Kompensasi Kawasan Hutan yang Terkena Jalan Tol Semarang – Solo. Alasannya adalah berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2007, pengadaan tanah kompensasi kawasan hutan tidak termasuk kriteria kepentingan umum. Oleh karena itu, mediasi oleh Kantor Komisi Informasi Jawa Tengah, sebenarnya dapat mengambil peran yang sering diperankan oleh P2T berkenaan dengan masalah pengadaan tanah yang muncul di wilayahnya. Secara keseluruhan, dari tiga faktor yang ditemukan di lapangan, selanjutnya dapat dianalisis lebih jauh mengenai posisi faktor tersebut dalam memberikan kontribusi terhadap terhambatnya proses pengadaan tanah. Faktor eksistensi makelar tanah, tampaknya dapat dikategorikan sebagai faktor yang menjadi causa utama. Dikatakan demikian, jauh sebelum dilakukan pembebasan lahan oleh TPT, makelar tanah sudah melakukan pembelian tanah warga. Langkah mendahului TPT
183
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
tersebut pada dasarnya sudah direncanakan dengan matang. Artinya, makelar tanah memiliki persiapan untuk mengambil keuntungan yang sebesarbesarnya dari proses pengadaan tanah di Desa Jatirunggo. Rencana yang matang tersebut terlihat jelas ketika pertama kali menemui warga, seakanakan dirinya mewakili Perum Perhutani yang akan memperluas areal hutan sehingga sumber air warga dapat tetap terjaga. Identitas tersebut coba dijaga dengan rapi hingga akhirnya tersingkap ketika TPT datang ke Desa Jatirunggo melakukan sosialisasi. Rencana matang makelar tanah juga dapat terlihat dengan berusaha menggunakan instrumen hukum berupa perjanjian melalui notaris bahwa warga tidak keberatan memberikan kuasa kepada dirinya jika dipersyaratkan pembayaran ganti rugi harus melalui bank dan dapat mengalihkan uang yang diterima tersebut kepada dirinya. Kelihaian makelar dalam melihat celah tersebut dapat dipahami sebagai upaya yang sistematis untuk tetap berada pada pihak yang diuntungkan dalam mengeruk keuntungan. Mencermati fakta ini, dapat dikatakan bahwa makelar tanah yang datang ke Desa Jatirunggo bukanlah makelar kelas teri, melainkan makelar kelas kakap. Fakta lain yang dapat memperkuat tentang kehebatan makelar tersebut adalah pada saat dituntut oleh warga untuk menambah nilai ganti rugi sebesar Rp 7.000,00 per m², ternyata mereka pun memenuhinya dengan membuat janji. Artinya, ketika mendapat desakan dari warga dengan piawainya berusaha meredam emosi warga dengan membuat janji Akan tetapi, pada kenyataannya kendatipun sudah membuat janji, dengan mudah mereka ingkari dengan tidak memberikan tambahan tersebut kepada seluruh warga yang tanahnya sudah dibeli.
Sementara itu, faktor senjangnya nilai ganti rugi dapat dikatakan sebagai faktor penunjang yang membuat faktor eksistensi makelar tanah menjadi semakin jelas. Dikatakan demikian karena perbedaan ganti rugi yang tercipta menjadi tiga pola (tingkatan), yakni (a) senjang antara Rp 20.000,00 per m² terhadap Rp 27.000,00 per m²; (b) senjang antara Rp 20.000,00 per m² terhadap Rp 50.000,00 per m²; dan (c) senjang antara Rp 27.000,00 per m² terhadap Rp 50.000,00. Ketiga pola tersebut semuanya tercipta akibat eksistensi makelar tanah. Dengan kata lain, seandainya makelar tanah tidak ada, maka kemungkinan besar ketiga pola (tingkatan) kesenjangan nilai ganti rugi tersebut juga tidak ada. Namun demikian, temuan yang cukup menarik di lapangan adalah jika dilakukan tipologi, sebenarnya ada perbedaan antara ketiga pola kesenjangan tersebut. Jika dilakukan pemeringkatan berdasarkan reaksi warga, dapat dikatakan bahwa pola (a) merupakan yang paling kuat menimbulkan
184
reaksi warga. Hal tersebut terjadi karena pihak makelar benar-benar berjanji kepada warga akan memenuhi penambahan sebesar Rp 7.000,00 per m² dan warga pun sangat berharap penambahan tersebut direalisasikan. Sedangkan pada pola (b), reaksi warga relatif agak sedang karena mereka sudah telanjur menjual tanahnya kepada makelar dan bukan langsung kepada TPT. Sementara itu, pada pola (c), reaksi warga relatif lemah karena pada dasarnya mereka sudah mendapat tambahan dari makelar tanah. Artinya, kalau pun mereka mendapatkan Rp 50.000,00 per m² adalah suatu rezeki tambahan. Demikian pula faktor proses pembayaran yang bermasalah, juga tidak terlepas dari faktor eksistensi makelar tanah. Faktor proses pembayaran yang bermasalah seperti raibnya uang dari rekening dapat dikategorikan sebagai faktor penunjang terhadap terhambatnya proses pengadaan tanah. Adanya persyaratan bahwa semua pemilik tanah yang hendak dibayarkan biaya ganti rugi atas tanahnya, harus membuka rekening di bank membuat warga harus mematuhinya. Namun, sebagian warga yang telanjur menjual tanahnya kepada makelar dan langsung membuat perjanjian melalui notaris tidak bisa berbuat banyak karena adanya pernyataan bersedia kewenangan atau kuasanya kepada bank untuk melakukan pengalihan atau pemindahbukuan uang pembayaran kepada makelar tanah. Semua ini diskenariokan sejak awal oleh makelar tanah. Artinya, jika kondisi terburuk bahwa pembayaran harus melalui rekening warga, maka mereka sudah punya legalitas untuk mendapatkan uang pembayaran tanah. Raibnya uang warga dari rekening sebagaimana yang dipertanyakan warga, sebenarnya tidak lain dan tak bukan adalah pengkondisian yang dilakukan oleh makelar tanah. Makelar sudah memiliki legalitas formal dari pemilik tanah sendiri yang menguasakan sehingga dapat dilakukan pengalihan pembayaran.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan data dan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa ada tiga faktor penghambat dalam proses pengadaaan tanah pembangunan jalan tol Ruas Ungaran – Bawen, yakni (a) eksistensi makelar tanah, (b) masih senjangnya nilai ganti rugi, dan (c) proses pembayaran yang bermasalah. Namun, di antara tiga faktor tersebut, faktor eksistensi makelar tanah yang merupakan penyebab utama, sedangkan dua penyebab lainnya hanya merupakan penyebab ikutan dari penyebab utama. Makelar tanah melakukan pembelian tanah warga secara massal dengan murah (Rp 20.000,00 per m², kemudian sebagian yang ditambah Rp 7.000,00 per m²) yang berbeda pembelian TPT (Rp 50.000,00 per m²) dengan serta berusaha
Faktor-Faktor Penghambat Proses Pengadaan Tanah Jalan Tol: Studi Kasus Pada Penggantian Tanah Kawasan Hutan Ruas Ungaran – Bawen Kab. Semarang, Jawa Tengah Bambang Sudjatmiko, Andi Suriadi menggunakan instrumen hukum guna melakukan perlindungan terhadap dirinya. Dampaknya adalah terciptanya tiga pola kesenjangan nilai ganti rugi yakni (1) senjang antara Rp 20.000,00 per m² terhadap Rp 27.000,00 per m²; (2) senjang antara Rp 20.000,00 per m² terhadap Rp 50.000,00 per m²; dan (3) senjang antara Rp 27.000,00 per m² terhadap Rp 50.000,00. Dampak selanjutnya adalah bermasalahnya proses pembayaran karena makelar tanah memiliki kewenangan menerima kucuran dana pembayaran tanah dari rekening warga melalui pengukuhan perjanjian di notaris.
Oleh karena itu, di masa yang akan datang, pihak yang membutuhkan tanah sebaiknya tidak kalah cepat dibanding dengan para makelar tanah. Terlihat jelas dalam penelitian bahwa pada kenyataannya makelar tanah jauh lebih dahulu masuk ke lingkungan warga melakukan negosiasi dengan berbagai strategi daripada pihak yang membutuhkan tanah. Selain itu, diperlukan mekanisme yang dapat mencegah atau paling tidak meminimalisasi makelar tanah yang akan melakukan aksinya di masyarakat. Kasus pengadaan tanah kawasan hutan ini perlu mendapat perhatian terutama karena ketidakhadiran P2T (Panitia Pengadaan Tanah) Kab. Semarang dengan alasan tidak sesuai dengan Peraturan BPN RI No. 3 Tahun 2007 sehingga TPT harus lebih bekerja ekstra. Peluang ini yang tampaknya dimanfaatkan secara maksimal oleh makelar tanah. Oleh karena itu, mencermati masalah di Desa Jatirunggo ini, maka mungkin ke depan perlu dipertimbangkan kehadiran P2T dalam memperlancar proses pengadaan tanah kendatipun sifatnya terbatas.
Kompas, 7 Oktober 2010. Proyek Tol Semarang – Ungaran.
_________, 14 Oktober 2010. Kasus Pengadaan Tanah: Hari ini Warga Jatirunggo akan Mendatangi Bank Mandiri.
Pruitt, Dean G dan Jeffrey Z. Rubin. 2009. Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Peta Infrastruktur Indonesia 2007, Jawa.
Siahaan, Hotman M. 1999. “Budaya Kekerasan: Perpektif Tekno-Sosio Deprivasi Relatif” Dalam Sukandi (Ed.) Politik Kekerasan ORBA: Akan Terus Berlanjut? Bandung: Mizan.
Daftar Pustaka Bagian Pemerintahan Setda Kabupaten Semarang. 2007. Daftar Isian Potensi Desa Jatirunggo. Bailey, Kenneth D. 1994. Methods of Social Research. New York: The Free Press.
Departemen Pekerjaan Umum. 2009. Upaya Percepatan Pembangunan Infrastruktur Jalan Tol.
Dinas Bina Marga Provinsi Jawa Tengah. 2004. Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Pembangunan Jalan Tol Semarang – Solo Melalui Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Karanganyar, dan Kabupaten Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah. Iskandar
Syah, Mudakir. 2007. Dasar-dasar Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Umum. Jakarta: Jala Permata.
185
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
186
KAJIAN EKONOMI PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PENGENDALIAN MUATAN LEBIH KENDARAAN ANGKUTAN BARANG (STUDI KASUS PROVINSI RIAU DAN JAWA TENGAH) Achmad Helmi
ABSTRACT
Pusat Litbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan Jl. Sapta Taruna Raya No. 26 Komplek PU Pasar Jumat, Jakarta Selatan
Masalah muatan lebih angkutan umum khusunya jenis truck, merupakan masalah yang selalu ditemui di banyak daerah di seluruh Indonesia, dan masalah tersebut terkesan selalu berulang kejadiannya, dan terkesan sulit untuk dapat diatasi secara tuntas. Dengan terbitnya beberapa Peraturan Daerah di banyak Provinsi di Indonesia dalam rangka memecahkan masalah muatan lebih tersebut; memberikan indikasi betapa tidak mudahnya memecahkan masalah muatan lebih. Hampir di semua negara (kecuali Qatar) selalu menerapkan batasan muatan bagi kendaran umum (khususnya truck) dengan batasan tertentu. Sebagian besar negara tidak ada yang memberikan kebebasan terhadap muatan kendaran angkutan barang. Dan ini berlaku dibanyak Negara baik Negara miskin maupun Negara kaya. Keadaan ini memberikan nuansa bahwa muatan lebih atau overload pada dasarnya harus selalu diupayakan untuk dibatasi atau dihindari dan paling tidak dikendalikan. Dari pengamatan beberapa Peraturan Daerah yang berhasil dihimpun, menunjukkan bahwa kebijaksanaan yang tercatum dalam Peraturan Daerah tersebut beraneka ragam yang kadang-kadang sulit untuk dimengerti ketepatan latar belakang terbitnya Peraturan Daerah yang sudah ditebitkan tersebut. Kata Kunci: muatan lebih kendaraan, peraturan daerah, biaya kerusakan jalan, biaya pengurangan umur jalan ABSTRAK Overloaded public transportation, especially truck, is a common problem in Indonesia and cannot be solved holistically. The establishment of regional regulations in many Provinces was expected to be a solution for this problem, but yet it’s still difficult to solve this problem. These days, all countries (except Qatar) applied cargo barrier for public transportation, especially truck. They don’t give freedom for cargo of goods transportation. This condition gives a reflection that basicly vehicle overload must be avoided. From several regional regulations, it indicates that most policies which included in the wide range of local regulation sometimes difficult to be understood about the accuracy of the background of regional regulation policies that have already published. Keywords: vehicle overload, regional regulation, road-damage factor cost, road-deficit life cost
PENDAHULUAN Implementasi Peraturan Daerah Pengendalian Kelebihan Muatan Angkutan Jalan memunculkan berbagai kontroversi, baik menyangkut substansi dan efektivitasnya. Berbagai kalangan menginginkan Peraturan daerah dicabut dan kembali menggunakan peraturan sebelumnya, yang menetapkan kelebihan muatan sebagai pelanggaran hukum. Mereka yang tidak setuju dengan diterapkannya Peraturan Daerah Pengendalian Muatan Lebih, mengatakan bahwa Peraturan Daerah tersebut secara substansi lebih mengarah kepada peningkatan Pendapatan Asli Daerah dan me-legal-kan kelebihan muatan, seperti disebutkan tersebut diatas. Ketidak-efektifan
Peraturan Daerah tersebut sering dikaitkan juga dengan kerusakan jalan yang semakin dirasakan mengganggu kelancaran lalu lintas, serta menurunnya keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan. Tetapi fakta menunjukkan, dengan segala kontroversinya, Peraturan Daerah Pengendalian Kelebihan Muatan Angkutan Jalan tetap diterapkan hingga saat ini, telah hampir 6 (enam) tahun berjalan. Konsep Peraturan Daerah Pengendalian Kelebihan Muatan Angkutan Jalan diterapkan di berbagai Provinsi, seluruh provinsi di Jawa, Provinsi Bali, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat dan Lampung. Bahkan Provinsi Sumatera Barat, ditetapkan sebagai pilot project, yang didanai oleh Bank Dunia.
187
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010 Salah satu penyebab terlalu cepat rusaknya bisa dilakukan. Perlu dipahami bahwa ketentuan jaringan jalan adalah kejadian muatan lebih MST tersebut diberlakukan oleh hampir setiap miskin negara yang angkutan barang (overload) yang sangat meluas di negara, baik Negara maupun hampir sebagian kita khususnya arteri. jalan jalan kaya. Beberapa kasus yang saat ini menonjol tentang Terjadinya kecelakaan lalulintas di Ambarawa kejadian pelanggaran ketentuan Muatan terhadap pada hari Jawa Tengah minggu 11 Juli 2004, peristiwa Sumbu Terberat (MST) adalah kerusakan jalan pada ambruknya jembatan Cipunegara, Subang pada jalur Lintas Pantura Jawa, Lintas Sumatera (baik yang oleh tanggal 23 Juli 2004 cendrung disebabkan barat, tengah timur) serta lintas lintas maupun kendaraan angkutan barang yang melibihi muatan lainnya. yang diijinkan. Efektivitas kebijakan pemerintah Dari beberapa gambar rekaman diatas, dengan dengan banyaknya pelanggaran muatan pengemudi melakukan terlihat tingkah laku truck muatan lebih maka Departemen Perhubungan barang yang sudah sangat keterlaluan. Betapa ”langkah tindak tegas dalam pengendalian muatan tingkat keterlaluan pengemudi truck muatan lebih” karena permasalahan sudah menjadi barang sebagaimana terlihat diatas. Tetap harus permasalahan lintas sektotar dengan pengaruh yang tidak berpegang prisip bahwa ketentuan Muatan Sumbu multidimensional dapat diselesaikan Terberat (MST), tidak boleh dibebaskan tetapi harus secara partial. dikendalikan dengan upaya apapun yang masih
188
2
Kajian Ekonomi Pelaksanaan Peraturan Daerah Pengendalian Muatan Lebih Kendaraan Angkutan Barang (Studi Kasus Provinsi Riau Dan Jawa Tengah) Achmad Helmi Upaya beberapa Pemerintah Daerah dalam jenis konstruksi yang lebih tangguh, misalnya menanggulangi masalah overload akhir-akhir ini perkerasan jalan beton semen. Salah satu ciri banyak pemerintah daerah tingkat Provinci yang khusus dari perkerasan jalan beton semen adalah mengeluarkan Peraturan Daerah (PERDA) yang ketangguhannya dalam menghadapi beban berlebih ketertiban berkaitan dalam pengaturan muatan atau overload. Pemilihan perkerasan jalan beton kendaraan khususnya muatan barang yang diangkut semen tersebut sangat cocok dalam menhadapi dengan truck (periksa rekaman foto-foto pada program rekonstruksi pada jalan yang relatif sudah halaman dibawah). rusak berat (kerusakan sampai ke subgrade). Bilamana jaringan jalan di lintas Sumtera serta Dari beberapa foto pada gambar 2 terlihat setelah lintas Pantura Jawa nantinya bisa terwujud betapa cukup parahnya kondisi jalan arteri Nasional di Jawa maupun di Sumatera. Dibeberapa tempat, mengalami rekonstruksi dengan perkerasan jalan beton semen, maka jalan arteri nasional pada lintas bahkan kerusakan jalan ada sudah konstruksi yang mencapai lapisan tanah dasar, sehingga sudah Sumatera serta lintas Pantura Jawa akan cukup layak untuk menjadi bagian dari Asian Highway terlalu sulit untuk diperbaiki melalui program maupun Asean Highway (Anas,2004). pemeliharaan tingkat standar. Dalam kondisi jalan seperti yang dikemukakan diatas, terlihat bahwa Hasil penertiban yang dilaksanakan jalan yang bersangkutan hanya bisa diperbaiki Direktotat Lalu Lintas Angkutan Jalan terdapat dengan program rekonstruksi atau perbaikan terhadap kendaraan angkutan barang pada tabel 1. total. Untuk perbaikan total melalui program sebagai berikut : rekonstruksi, perlu dipikirkan untuk memilih
Beberapa permasalahan yang terkait dengan pembatasan muatan sumbu terberat kendaraan dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Kerusakan jalan akan menyebabkan timbulnya biaya ekonomi dan biaya sosial yang besar (Munawar, 2007)
2. Analisis kerusakan jalan akibat muatan lebih (overloading) menimbulkan konsekwensi terhadap biaya kerusakan jalan dan biaya akibat
pengurangan umur pelayanan jalan (Shahin 1997)
33 3. Beban muatan lebih kendara Hasil penelitian kendaraan truk menunjukkan jumlah truk (%) yang besar terhadap JBI (hasil penelitian Direktorat LLAJ, 2004) 4. Timbulnya Peraturan Daerah Provinsi terhadap pelanggaran muatan lebih dalam bentuk pungutan restribusi dan denda (Perda Sumut,
189
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
Berdasarkan identifikasi masalah yang terkait dengan standar muatan sumbu terberat, maka rumusan-rumusan masalah dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Apa penyebab umur pelayanan perkerasan jalan tidak dapat direalisasikan?
2. Variabel variabel apa yang dipertimbangkan dalam menentukan biaya ekonomi kerusakan jalan akibat muatan lebih?
3. Bagaimana menentukan besaran restribusi dan denda yang harus dibayar oleh kendaraan terhadap kelebihan muatan?
Maksud penulisan ini adalah mengidentifikasi kerugian akibat pengaruh muatan lebih terhadap nilai konstruksi jalan yang bebasis pada nilai ekonomis. Tujuan penulisan yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui penyebab umur pelayanan jalan yang tidak sesuai dengan rencana.
2. Menemukan biaya ekonomi kerusakan jalan yang realistis terhadap kelebihan dari muatan sumbu terberat yang diizinkan
3. Mengetahui jumlah yang harus dibayar setiap satu kilogran kelebihan muatan dari muatan sumbu terberat.
Manfaat yang diperoleh dari penulisa tentang kajian biaya kerusakan jalan akibat muatan lebih kendaraan dari muatan sumbu terberat yang diijinkan, adalah: 1. Peningkatan pemahaman akibat muatan lebih kendaraan terhadap konstruksi jalan serta efek sosial ekonomi yang ditimbulkan
2. Peningkatan informasi yang perlu diperhatikan dalam pengambilan keputusan terhadap pemanfaatan infrastuktur terhadap pendapatan daerah 3. Pedoman ekonomis bagi pembina dan penyedia jalan terhadap pengelolaan muatan lebih 4. Pedoman kebijakan bagi pemerintah dalam mengawasi muatan lebih kendaraan dalam bentuk kompensasi pendapatan daerah 5. Pedoman pembelajaran bagi pengawas muatan lebih agar dapat menjalankan pengawasan dengan tepat dan benar di lapangan
190
KERANGKA KONSEPTUAL Jalan umum adalah jalan yang penggunanya adalah lalulintas umum atau didominasi oleh lalulintas umum. Jalan umum yang penggunanya didominasi oleh sekelompok tertentu pengguna jalan, bernuansa kurang adil, sehingga yang kurang adil perlu diupayakan agar lebih adil. Konstruksi perkerasan jalan direncanakan sesuai beban pada Standar Nasional Indonesia, Tata Cara Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen dari Dewan Standart Nasional DSN Jakarta (SNI-1732-1989-F). Peraturan, kebijakan dan implementasi mengenai beban kendaraan oleh penggunan jalan raya harus sesuai dengan beban standar tersebut. Kontruksi perkerasan jalan direncanakan dengan beban berupa sejumlah repetisi kendaraan dalam satuan Standart Axle Load (SAL) sebesar 8,16 ton as tunggal roda ganda (Single axle dual wheel). Karena berat kendaraan tidak sama maka tiap kendaraan dengan formula dikonversi terhadap satuan SAL sehingga tiap kendaraan didapat Equivalent Standart Axle Load.(Helmi,1999)
Kerusakan jalan akibat beban muatan lebih menyebabkan tambahan biaya (additional cost) terhadap biaya penanganan kerusakan dan biaya operasional kendaraan itu sendiri. Sepang dan Mouradly (1995) telah mengindikasikan bahwa biaya kerusakan jalan yang ditimbulkan akibat muatan lebih per tahun untuk tiap Equivalent Standard Axle Load (ESAL) dirumuskan dalam Persamaan (1) dan Persamaan (2).
DFC NORMAL =
MC × LOR
ESAL NORMAL
DFCOVERLOAD =
MC × LOR ESALOVERLOAD
dengan:
DFC = damage factor cost (Rp)
MC = maintenance cost per km per tahun (Rp)
LOR = length of road (km) ESAL NORMAL = ESAL pada beban sumbu normal (tidak ada muatan lebih) Penurunan kinerja pelayanan jalan ESAL OVERLOAD = ESAL pada beban dari UR kesumbu UP overload (ada muatan lebih) Beban overload
Beban normal
1,0
Kondisi overloading sering mengakibatkan percepatan laju penurunan kualitas pelayanan jalan selama umur rencana. Ilustrasi laju penurunan kualitas pelayanan perkerasan jalan seperti pada Gambar. 3, yang dapat dihitung dengan Persamaan (3), (4) dan (5). indeks performansi
Jatim, DIY, Jateng, Jabar, Lampung, Kalimantan tengah, Riau)
• • • • •
Kualitas konstruksi rendah Kualitas material buruk Program pemeliharaan tidak tepat Lalulintas melebihi prediksi Desain perkerasan sangat minim
• • • •
Kualitas konstruksi tinggi Kualitas material baik Program pemeliharaan tepat Lalulintas tidak melebihi prediksi • Desain perkerasan optimal
UP
1/2 UR
UR
UP =
ENORMAL × UR EOVERLOAD
1 1/2 UR
MC × LOR DFC NORMAL = ESAL NORMAL
MC × LOR DFCOVERLOAD = ESAL Kajian Ekonomi Pelaksanaan Peraturan Daerah Pengendalian Muatan Lebih OVERLOAD Kendaraan Angkutan Barang (Studi Kasus Provinsi Riau Dan Jawa Tengah) Achmad Helmi
Beban overload Penurunan kinerja pelayanan jalan dari UR ke UP Beban normal
indeks performansi
1,0
indeks performansi
1,0
• • • • •
• • • • Kualitas konstruksi rendah •
Beban overload
Penurunan kinerja pelayanan jalan dari UR ke UP
Beban normal
Kualitas konstruksi rendah Kualitas material buruk Program pemeliharaan tidak tepat Lalulintas melebihi prediksi Desain perkerasan sangat minim
Kualitas konstruksi tinggi Kualitas material baik Program pemeliharaan tepat Lalulintas tidak melebihi prediksi • Desain perkerasan optimal
• • • •
Kualitas konstruksi tinggi Kualitas material baik Program pemeliharaan tepat Lalulintas tidak melebihi prediksi • Desain perkerasan optimal
Kualitas material buruk Program pemeliharaan tidak tepat Lalulintas melebihi prediksi Desain perkerasan sangat minim
UP UP
• • • •
1/2 UR
1/2 UR UR
UR
1 1/2 UR
1 1/2 UR
c. biaya akibat penurunan umur pelayanan jalan dari yang ditargetkan, berdasarkan penurunan UP = × UR UR menjadi UP selama (UR-UP) tahun, sehingga = disebut sebagai defisit design life cost (DDLC) E NORMAL DF E x OVERLOAD LHR NORMAL .......................... (4) pada persamaan (6) E OVERLOAD = DF x LHR OVERLOAD .................... (5) E UP = NORMAL × UR EOVERLOAD ENORMAL
DDLC = (MC OVERLOAD) dengan:
- (MC NORMAL) ………(6)
dengan: UP = umur pelayanan jalan yang terjadi (tahun) DDLC = defisit 5 design life cost, kerugian biaya akibat UR = umur rencana jalan yang ditargetkan (tahun) pengurangan dari UR ke UP
DF = damage factor
E NORMAL = angka ekivalen pada lalu lintas normal E OVERLOAD = angka ekivalen pada lalu lintas overload LHR NORMAL = LHR pada kondisi normal
LHR OVERLOAD = LHR pada kondisi overload
Pengurangan umur pelayanan jalan tersebut berakibat pada biaya defisit penanganan jalan dari UR ke UP artinya terjadi additional cost selama = (UR-UP) tahun, hal ini merupakan kerugian jika ditinjau dari sisi investasi. Untuk menetapkan biaya kerugian tersebut, dilakukan beberapa asumsi sebagai berikut : a. pada kondisi normal, pemeliharaan rutin dilakukan setiap tahun, sedangkan pemeliharaan berkala dilakukan tiap 3-5 tahun. Pemeliharaan rutin tidak dilakukan bersamaan dengan pemeliharaan berkala; b. pemeliharaan berkala dapat meningkatkan kondisi mantap jalan, yang dianggap memberikan efek kemantapan jalan setengah daripada peningkatan jalan;
MCNORMAL = biaya penanganan kerusakan jalan pada kondisi muatan normal baik pemeliharaan rutin dan berkala maupun peningkatan jalan 5 MCOVERLOAD...= biaya penanganan kerusakan jalan pada kondisi muatan lebih, baik pemeliharaan rutin dan pemeliharaan berkala maupun peningkatan jalan.
METODOLOGI
Tipe penelitian adalah penelitian eksploratif yang sifatnya menggali permasalahan masyarakat pengguna jalan dan belum pernah terungkap secara jelas. Pengaruh sosial ekonomi akibat peraturan daerah pengendalian muatan lebih kerdaraan angkutan barang. Metode penelitian ini menggabungkan dua metode yaitu kualitatif dan kuantitatif terhadap pengaruh sosial ekonomi, dan lingkungan. Pengumpulan data dengan cara studi pustaka serta pengamatan observasi di lapangan. Wawancara mendalam dengan Dinas Perhubungan dan petugas jembatan timbang di lapangan. Analisis data kualitatif dengan mengumpulkan data dalam klasifikasi kemudian menafsir data dan membuat kesimpulan (Strauss,2003).
191
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
PEMBAHASAN
Kendaraan angkutan barang jalan raya secara signifikan meningkat daya angkutnya, sementara daya dukung jalan tidak meningkat secepat meningkatnya kemampuan daya angkut kendaraan. Jaringan jalan di Indonesia sejauh ini paling tinggi memiliki klasifikasi sebagai jalan kelas II (dengan daya dukung muatan sumbu terberat 10 ton). Dan baru sebagian kecil jalan di Indonesia memiliki klasifikasi sebagai jalan kelas II. Keinginan untuk meningkatkan kelas jalan menjadi kelas I (terutama untuk jalan arteri di Pulau Jawa), yang dicanangkan sejak tahun 1994, hingga saat ini belum terwujud. Jalan di Pulau Jawa belum ada yang berklasifikasi sebagai jalan kelas I (mampu mendukung muatan sumbu terberat > 10 ton). Tabel 1. berikut menunjukkan negara-negara dengan daya dukung jalannya. Jika semua jalan arteri di Pulau Jawa sudah memiliki klasifikasi sebagai jalan kelas I, maka jembatan timbang tidak lagi diperlukan untuk memantau kelebihan muatan, karena jalan kelas I secara struktural akan mampu mendukung beban lalu lintas yang ada.
Lima puluh tahun terakhir ini, teknologi berkembang begitu cepat dan membawa penduduk dunia meningkat kesejahteraannya. Peningkatan kesejahteraan penduduk dunia ini memberi implikasi meningkatnya konsumsi, baik secara kuantitas maupun kualitas. Transportasi berperan penting sebagai sarana distribusi produk konsumsi dan menjadi faktor penting dalam sistem produksi. Terganggunya sistem distribusi akan meningkatkan biaya produksi dan menghambat pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung. Dari data statistik perhubungan (2005) menunjukkan bahwa intensitas orang maupun barang terus meningkat dari tahun ke tahun, baik melalui angkutan udara, laut maupun darat. Teknologi sistem angkutan memberi kontribusi dalam peningkatan kapasitas dan kecepatan angkut, yang berdampak terhadap peningkatan volume orang maupun barang yang diangkut.
permasalahan tidak mampunya Dari di atas, akankah konsisten, diantaranya, pengusaha pemerintah bertahan dengan jalan yang ada angkutan membayar retribusi sesuai tarif denda (kelas II), dengan pembatasan muatan, yang dapatyang ditetapkan. berdampak terhadap ekonomi biaya tinggi? Banyak Untuk memberi gambaran singkat tentang isi Peraturan pendapat yang mengatakan bahwa Perda tersebut, berikut isi Perda Provinsi Jateng no. Daerah (Perda) Pengendalian Muatan Lebih tidak 4 Tahun 2001: mampu mengendalikan kelebihan muatan dan mempercepat cenderung kerusakan jalan. Pendapat ini sebenarnya tidak tepat, karena hingga saat Pasal 7 ; ini (sejak mulai diberlakukan pada tahun 2001) Perda yang dimaksud belum diberlakukan secara 1. Kelebihan muatan untuk masing-masing barang berdasarkan jenis mobil ditetapkan utuh. Sebagai contoh, menurut Perda Pengendalian konfigurasi sumbu yang dapat diberikan Ijin Muatan Lebih Provinsi Jawa Tengah No. 4 Tahun Dispensasi Kelebihan Muatan Mobil Barang 2001, untuk tingkat kelebihan muatan tertentu, setinggi-tingginya sebesar 30% (tiga puluh pemilik barang seharusnya diwajibkan untuk persen) dari daya angkut yang ditetapkan dalam membayar Rp. 150.000,- hingga Rp. 650.000,-, Buku Uji Berkala. tetapi kenyataannya hanya dikenai Rp. 25.000, . Jelas disini, dengan tarif yang rendah ini, 2. Kelebihan Muatan Mobil Barang dari dispensasi yang diberikan dimaksud ayat (1) diturunkan dan pemilik barang cenderung akan selalu melanggar. segala resiko akibat kelebihan muatan menjadi Pertimbangan tidak diterapkannya Perda secara tanggung jawab Pengusaha Angkutan.
192
Kajian Ekonomi Pelaksanaan Peraturan Daerah Pengendalian Muatan Lebih Kendaraan Angkutan Barang (Studi Kasus Provinsi Riau Dan Jawa Tengah) Achmad Helmi b. Angkutan barang umum dengan kelebihan Pasal 8; muatan di atas 15% (lima belas persen) sampai Pemberian Ijin Dispensasi Kelebihan Muatan Mobil dengan 30% (tiga puluh persen) dikenakan Barang dimaksud Pasal 7 ayat (1), dikenakan retribusi sebesar Rp. 20,- (dua puluh rupiah) per retribusisebagai berikut : kilogram. a. Angkutan barang umum dengan kelebihan muatan di atas 5% (lima persen) sampai dengan 15% (lima Beberapa kendaran yang dihitung restribusi belas persen) dikenakan retribusi sebesar Rp. 15,
akibat muatan lebih di jembatan timbang disajikan (lima belas rupiah per kilogram ; pada Tabel 2. sebagai berikut.
Tidak dipungkiri ada kelemahan-kelemahan pada Peraturda Pengendalian Kelebihan Muatan, walaupun secara konseptual Perda ini lebih adil. Kelemahannya di antaranya menyangkut besaran retribusi, apakah yang ditetapkan saat ini sudah memprensentasikan biaya akibat beban dan kerusakan yang ditimbulkan? Berapa besar retribusi maksimum yang rasional dapat memberikan efek jera? Apakah pajak kendaraan yang selama ini dibebankan kepada pemilik kendaraan belum cukup atau tidak mencakup biaya kerusakan yang ditimbulkannya? Perlu diketahui bahwa di sebagaian daerah, pajak kendaraan dapat menyumbang 75% dari Pendapatan Asli Daerah (Chandra Budi, Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan). Terkait dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, besaran retribusi sesuai dengan ketetapan Perda Pengendalian Kelebihan Muatan perlu dikaji secara akademis sehingga didapat besaran yang mencerminkan realitas di lapangan.
Studi Kasus Perhitungan Biaya Kerusakan Perkerasan akibat Muatan Lebih (Overloading) Angkutan Barang pada Lokasi kajian berada pada Lintas Timus Sumatera di Provinsi Riau yang difokuskan pada ruas jalan Sikijang Mati – Sp. Lago – Sorek – Sp. Japura, dengan total panjang 140,63 km, terdiri atas: Sikijang Mati – Sp. Lago (25,36 km), Sp. Lago – Sorek (50,32 km) dan Sorek – Sp. Japura (64,95 km). Pemilihan lokasi kajian didasarkan atas pertimbangan tingkat kerusakan jalan yang paling parah berada pada ruas jalan tersebut pada tahun 1999-2000 dan merupakan jalur penghubung
penting yang digunakan oleh angkutan 7pribadi, bus AKAP dan angkutan barang lainnya dari Provinsi Riau menuju Pulau Jawa (Ditjen Prasarana Wilayah, 2001). Evaluasi (Anas Aly,Helmi,2002) didapat Jumlah Damage Faktor (DF) kendaraan umum tahun 2001=503,2/hari (6,6) sedangkan Daage Faktor (DF) kendaraan truk kayu&kertas tahun 2001=7.158,45/hari (93,4%). angka yang cukup fantatis dan luar biasa. Jalan sebagai jalan umum dimanfaatkan sebagai jalan khusus, yaitu kendaraan overload yang didominasi oleh kelompok tertentu. Pada analisis perencanaan perkerasan (Ibrahim Sariawan, 2009) jalan Ujung Batu – Pasir Pangarayan di Provinsi Riau didapat hasil 54% kendaraan angkutan barang overload. Jika perencanaan jalan berdasarkan beban SNI jika dibandingkan dengan data berat kendaraan dari jembatan timbang di Ujung Batu didapat hasil kenaikan/tambahan biaya pembangunan jalan sebesar 1,7 milyar tiap kilometernya terhadap perencanaan berdasarkan beran kendaraan sesuai SNI tersebut. Jika jalan tetap dipaksakan digunakan dengan beban overload maka umur jalan akan berkurang. Kajian kasus ini dibatasi pada pengurangan umur rencana analisis biaya perusakan jalan (damage factor cost) dan biaya akibat jalan (deficit design life cost). Berdasarkan evaluasi Direktur Jendral Perhubungan Darat Departemen Perhubungan dalam hal penanganan muatan lebih merupakan
193
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
masalah multidimensional (Dep. Perhub, 2004) antara lain; 1. Teknologi kendaraan bermotor, berdampak pada daya angkut kendaraan meningkat. 2. Terbatasnya daya dukung jalan (Muatan Sumbu Terberat)
3. Pertumbuhan Ekonomi yang menimbulkan mobilitas tinggi.
4. Optimalisasi sarana kendaraan oleh operator angkutan tanpa memperhatikan kemampuan jalan.
5. Anggapan bahwa transportasi jalan rawan terhadap masalah sosial (preman, pungli, dll)
Hal-hal tersebut diatas tidak dapat diatasi oleh hanya satu institusi ( Dinas Perhubungan) karena ada institusi lain yang mengawasi pemakaian jalan baik langsung maupun tidak langsung. Diperlukan tanggung jawab dalam bentuk koordinasi antar lintas Departemen dan Dinas terkait (Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum, Polri, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Pertambangan dan Energi, Departemen Kehutanan dan Perkebunan). Pelanggaran lalulintas angkutan merupakan permasalahan yang disebabkan oleh: 1. Permasahan lintas sektoral dengan multidimensional impact yang tidak bisa solusi partial.
2. Jenis angkutan barang yang cenderung melanggar seperti besi/baja, semen, kayu, pupuk, pasir dan CPO. 3. Pengusaha angkutan lebih mengutamakan keuntungan jangka pendek dengan mengangkut melebihi daya angkut kendaraan. 4. Law enforcement tidak efektif dan tidak memberikan efek jera.
5. Pengoperasian jembatan timbang cenderung untuk mengumpulkan PAD 6. Fasilitas dan Sumber Daya Manusia tidak mendukung.
Rata rata tingkat pemulihan biaya penyelenggara transportasi oleh kendaraan bermotor berdasarkan pada Pajak Kendaraan Bermotor dan Biaya Balik Nama yang dipungut, untuk mobil pribadi mencapai 90% biaya penyelenggara trasport, sepeda motor dan truk ringan berkisar 20% biaya penyelenggara transport, truk berat 7% dari biaya penyelenggara transport (La One, 2002) hal ini tidak sebanding dengan daya rusak akibat kendaraan truk yang banyak
194
mengambil nilai struktur perkerasan akibat muatan lebih. Dampak muatan lebih kendaraan (DLLAJ, 2004): 1. Kerusakan jalan dan jembatan
2. Pada tahun 1998 kerugian negara akibat kerusakan jalan Rp. 0,244 M/Km 3. Kerusakan kendaraan 4. Keselamatan
5. Biaya ekonomi tinggi
6. Persaingan usaha tidak sehat seperti tarif rendah atau perang tarif.
Pada era paradigma baru khususnya yang berkaitan dengan peran pemerintah baik pusat maupun daerah dari provider nenjadi enabler yang salah satu kandungan artinya adalah makin meningkatnya peranan masyarakat dan sebaliknya berkurangnya peranan pemerintah. Dalam pelaksanaan otonomi daerah menimbulkan fenomena dalam penyelenggaraan kewenangan yang membawa dampak sosial ekonomi masyarakat. Dari pengamatan surat Direktur Jenderal Perhubungan Darat yang berhasil dihimpun, didapat beberapa petunjuk dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat sebagai berikut : • Jembatan timbang dikelola oleh Perhubungan yang ada di Provinsi.
Dinas
• Dalam mengelola jembatan timbang, setiap Dinas Perhubungan dilarang untuk mengutip segala macam kutipan yang bernuansa meningkatkan Pendapatan Daerah. • Penerapan sanksi pada pelanggar ketentuan Muatan Sumbu Maksimum (MST) diberlakukan dalam 3 katagori sanksi, yaitu sanksi tingkat I yaitu pelanggaran kelebihan muatan sampai dengan 15%; sanksi tingkat II yaitu pelanggaran kelebihan muatan sampai dengan 25%; dan pelanggaran tingkat III kelebihan muatan lebih besar dari 25%. • Akan dilakukan evaluasi prasarana di sekitar jembatan timbang, misalnya pergudangan (minimum 400 m2), peralatan handling (fork lift, trolly, gerobak pegangkut, peralatan pengepakan dll). • Beberapa contoh pelanggaran batas muatan adalah sebagai berikut :
Angkutan Besi Baja di Provinsi Banten dengan muatan rata-rata 70% diatas daya angkut. Angkutan Kayu untuk perusahaan kertas di Riau muatan lebih mencapai 100%. Angkutan Pasir (galian C) khususnya di Provinsi Jawa Barat dengan menambah (melangar) ketinggian bak
Kajian Ekonomi Pelaksanaan Peraturan Daerah Pengendalian Muatan Lebih Kendaraan Angkutan Barang (Studi Kasus Provinsi Riau Dan Jawa Tengah) Achmad Helmi dan muatannya tersebut melebihi ketinggian bak tersebut.
• Angkutan CPO di Sumatera yang kelebihan muatan mencapai 55% dengan mengubah kapasitas tangkinya. Pelanggaran angkutan CPO ini perlu diwaspadai, karena menurut peraturan perkebunan kelapa sawit harus dilengkapi pabrik pengolahan kelapa sawit yang berlokasi dalam perkebunan kelapa sawit yang bersangkutan. Jadi kalau ada truck muatan kelapa sawit yang berlebih dijalan umum, ini perlu diwaspadai adanya persyaratan pabrik pengolahan kelapa sawit didalam perkebunan kelapa sawit tersebut
• Sejak tahun 2004, jembatan timbang di Sumatera Barat telah mulai dikelola oleh pihak swasta. Pengelolaan jembatan timbang oleh pihak swasta, diharapkan akan terhimpun infomasi secara lebih akurat kinerja daripada jembatan timbang tersebut. • Ijin dispensasi khusus dapat diberikan kepada angkutan barang sebagai berikut a. angkutan barang umum yang muatannya tidak bisa dipotong-potong. b. angkutan barang berbahaya c. angkutan barang khusus d. angkutan peti kemas e. angkutan alat berat
Penerapan denda yang sekedar memperoleh ristribusi daerah di Jateng : Kelebihan muatan 10.980 Kg; ristribusi yang dibayar Rp. 25.000,-; seharusnya menurut Peraturan Daerah Rp. 219.600,Kelebihan muatan 15.100 Kg; ristribusi yang dibayar Rp. 25.000,-; seharusnya menurut Peraturan Daerah Rp. 302.000,-
Kelebihan muatan 7.720 Kg. ristribusi yang dibayar Rp. 25.000,-; seharusnya menurut Peraturan Daerah Rp. 154.400,-
Kelebihan muatan 32.940 Kg; ristribusi yang dibayar Rp. 25.000,-; seharusnya Peraturan Daerah Rp. 658.800,- Dari penerapan denda yang telah dilakukan, tampak bahwa penerapan denda sekedar meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (ristribusi) yang jauh lebih kecil dari denda yang seharusnya dibayar oleh pelanggar muatan berlebih (overload). Adapun besarnya denda untuk masingmasing sanksi tiap Provinsi mempunyai ketentuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh Provinsi Riau menerapakan denda Di Provinsi Riau Perda No. 7 Tahun 2005 mengatur tentang Pengawasan dan Pengendalian Muatan Lebih.
Ketentuan Umum Pasal 1 :
No. 9. Alat penimbangan adalah seperangkat alat untuk menimbang kendaraan bermotor yang dapat dipasang secara tetap atau alat yang dapat dipindahpindahkan yang digunakan untuk mengetahui berat kendaraan beserta muatannya. No. 10. Muatan lebih adalah jumlah berat muatan mobil barang yang diangkut melebihi daya angkut yang diijinkan dalam buku uji atau plat samping kendaraan bermotor. Pasal 3 :
(2). Alat Penimbangan yang dipasang secara tetap mempunyai sarana pelayanan sebagai berikut: a. Alat Bongkar Muat b. Gudang
c. Lapangan Parkir Pasal 6 :
(1) Penimbangan dilakukan dengan cara menimbang berat kendaraan beserta muatannya atau dapat dilakukan terhadap masing-masing sumbu
(3) Muattan lebih dapat diketahui apabila berat lebih dari daya angkut yang telah ditetapkan dalam buku uji berkala atau pelat samping kendaraan bermotor. Pasal 8 : a.
Angkutan barang umum dengan Muatan Lebih diatas 5% sampai dengan 15% dari JBI (Jumlah Berat Yang Diijinkan) baik JBI keseluruhan atau Muatan Sumbu Terberat (MST) disebut pelanggran Tingkat I dikenakan kompensasi Muatan Lebih sebesar Rp. 50,00 perkilogram.
b. Angkutan barang umum dengan Muatan Lebih diatas 15% sampai dengan 25% dari JBI baik JBI keseluruhan atau Muatan Sumbu Terberat (MST) di sebut pelanggaran Tingkat II dikenakan kompensasi Muatan Lebih sebesar Rp. 100,00,per kilogram. c. Angkutan barang umum dengan Muatan Lebih diatas 25% disebut pelanggaran Tingkat III dikenakan sanksi pidana disertai dengan tindakan : 1. Kendaraan disuruh kembali ke tempat asal muatan atau 2. Muatan barang yang lebih harus diturunkan oleh Pengemudi/Operator dengan segala risiko yang harus ditanggungnya
untuk sanksi I sebesar Rp. 50,00- perkilogram; Rp. 100, 00 per kilogram untuk sanksi II dan sanksi pidana disertai perintah pengembalian ketempat asalnya untuk sanksi III.
195
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
Dari pengamatan perda beberapa povinsi, ternyata besarnya denda yang diterapkan terjadi perbedaan antara jembatan timbang di suatu provinsi dengan denda di provinsi yang lain. Hal ini disebabkan biaya yang ditetapkan berdasarkan dana pemeliharaan jalan tahunan yang dianggarkan. Untuk menentukan berapa besaran perkilogram kelebihan muatan diperlukan penelitian yang lebih mendalam.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Pemanfaatan jalan umum yang didominasi oleh sekelompok lalulintas khusus memberi kesan bahwa jalan tersebut lebih berperan sebagai jalan khusus bukan jalan umum sehingga kurang adil. Berdasarkan hasil analisis di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Penyebab umur pelayanan (UP) perkerasan jalan tidak dapat direalisasikan karena nilai komulatif kemampuan kontruksi jalan telah habis sebelum umur rencana (UR) pelayanan jalan selesai.
2. Variabel variabel yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan biaya ekonomi kerusakan jalan akibat muatan lebih terdiri dari biaya pemeliharaan jalan, panjang jalan yang dilalui kendaraan dan Damage Faktor kendaraan.
3. Besaran restribusi dan denda yang harus dibayar oleh kendaraan terhadap kelebihan muatan dengan melakukan penelitian terhadap jumlah dan berat kendaraan angkutan, jenis angkutan, jumlah lintasan angkutan, kondisi jalan di lapangan serta pertumbuhan ekonomi daerah.
Penggunaan logika hukum dalam kasus kelebihan muatan tidak menjawab permasalahan, karena permasalahannya lebih kepada ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan prasarana jalan yang memenuhi kebutuhan pasar. Dari sudut pandang ini, Peraturan Daerah Pengendalian Muatan Lebih secara prinsip digunakan dalam pelayanan lebih sejalan dengan tuntutan jaman. Diperlukan penelitian yang menganalisis dari kerusakan jalan sehingga berguna bagi pembina dan pengguna jalan yang diharapkan menjadi pemikiran betapa besarnya kerugian yang diderita dalam bentuk materil akibat muatan lebih dari kendaraan dari yang diijinkan. Usaha pengendalian muatan dalam pemanfatan jalan dilakukan dengan mendorong penggunaan multi axle, penetapan kelas jalan, pengendalian modifikasi kendaraan, usulan road user tax kepada Depdagri, program peningkatan daya dukung jalan 10 ton yang belum dapat dipenuhi untuk seluruh jalan nasional dan provinsi.
196
Mengingat keterbatasan keuangan pemerintah, untuk meningkatkan klasifikasi jalan menjadi jalan kelas I, maka perlu dipikirkan pula bagaimana melibatkan masyarakat dalam pembangunan sarana dan prasarana wilayah. Ohta (1998) mengemukakan prinsip “beneficialy pay principle”, yang artinya mereka yang memanfaatkan lebih fasilitas yang disediakan pemerintah, harus membayar lebih. Prinsip ini membawa kita ke logika ekonomi bukan ke logika hukum. Hal ini sesuai dengan surat edaran Meteri Perhubungan kepada gubernur, kepala daerah provinsi, tertanggal 28 Januari 2004 No. SE.01/AJ.307/DRJD/2004, yang menyebutkan pelanggaran tingkat III (kelebihan muatan melebihi 25% JBI) dikenai sanksi pidana.
DAFTAR PUSTAKA Anseln Strauss, 2003. Dasar dasar Penelitian Kualityatif, Pustaka Pelajar, Jakarta
Anas Aly, 2007. Pengertian Dasar dan Informasi Umum Tentang Beban Konstruksi Perkerasan Jalan , Yayasan Pengembangan Teknologi dan Manajemen, Jakarta. Anas Aly, Helmi, 2004. Menjaring Peran Serta Kelompok Pengguna Jalan erpotensi dalam keikut sertaan Penyelenggaraan Jalan di Provinsi Riau, Loka karya KRTJ -7 Denpasar. Biro Pusat Statistik,2005, Statistik Perhubungan Indonesia, Jakarta
Departemen Perhubungan, 2004, Langkah Tindak Tegas dalam Pengendalian Muatan Lebih , Jakarta Dinas Pekerjaan Umum, 2000, Kendaraan Truk Muatan Lebih (Over Load) dan Rencana Jalan Tol (Toll Road) Provinsi Riau, Pekanbaru Departemen Pekerjaan Umum, 2005, Renstra Departemen Pekerjaan Umum 2005 – 2009, Jakarta Helmi,A, 1999.Kajian tentang Formula Daya rusak Roda Kendaraan dari Beberapa Negara dan Institusi, Makalah Teknik Jalan KRTJ – 4 Pekanbaru
La One, 2002, Perhitungan Pajak Kendaraan Bermotor Berdasarkan Biaya Penyelenggara Transportasi (Studi Kasus di Yogyakarta), Tesis Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Munawar,A,2007, Pemgembangan Transportasi yang Berkelanjutan, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik
Kajian Ekonomi Pelaksanaan Peraturan Daerah Pengendalian Muatan Lebih Kendaraan Angkutan Barang (Studi Kasus Provinsi Riau Dan Jawa Tengah) Achmad Helmi Universitas Gadjah Mada
Rahim,Rahmad, 2000, Analisis Perusakan Jalan Akibat Overloading pada Jalan Lintas Timur Sumatera di Provinsi Riau, Thesis S2 MSTT. FT .UGM,Yogyakarta Standar
Sepang,
Nasional Indonesia,1989, Tata Cara Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen (SNI-1732-1989-F), Dewan Standart Nasional DSN Jakarta Mouradly,1995, Peningkatan Muatan Sumbu Kendaraan Truck (Axle Load) di Litas Sumatera yang perlu diwaspadai dan ditanngulangi, Makalah Teknik Jalan KRTJ – 3 Padang
Suriawan,Ibrahim,2009, Analisis pencanaan jalan provinsi Ujung Batu Pasir Pangarayan akibat muatan lebih Kendaraan angkutan barang, Balitbang Provinsi Riau ______Pointer bahan rapat pembahasan penanganan muatan lebih, Kamis, 29 Juli 2004
______Langkah tindak tegas dalam pengendalian mutan lebih, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat 29 Juli 2004 ______Efektifitas kebijakan LLAJ dalam penanganan muatan lebih dalam rangka mendukung program 100 hari, Rakornas Pengaturan Muatan Lebih.
197
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.2 No.3, Oktober 2010
List kata index Jurnal Sosek III November 2010.
1.
Irigasi Springkler
39. marginal productivity of private capital
4.
PDB
42. Ruli (rumah liar)
2. 3. 5. 6. 7. 8. 9.
Sulawesi Utara Modal sosial
Ketahanan pangan Ekstensifikasi Modoinding
big gun springkler springkler
10. modal sosial 11. OP Irigasi
12. Desa Sinisir
13. Desa Linelean 14. Agropolitan 15. MAPALUS
16. Jembatan Selat Sunda 17. Banten
18. Lampung
19. Balanced Agro Industrial Development 20. Industri
21. Wiratman Wangsadinata
22. Backward and forward linkage 23. KAPET
24. Tanjung Lesung Water Front City 25. Ego Sektoral
26. Focus Group Discussion
27. Taman nasional Way Kambas 28. Pengadaan tanah 29. Ganti rugi 30. Jalan tol
31. Desa Jatirunggo
32. Demonstration effect 33. Makelar tanah
34. Tim Pembebasan Tanah 35. Persepsi Masyarakat
36. Penyediaan Infrastruktur 37. Pertumbuhan Penduduk
38. Standar Pelayan Minimal
198
40. basic infrastructure 41. Air Tirta Batam 43. Kota Batam
44. perekonomian wilayah 45. Indeks Wiiliamson
46. Kawasan perbatasan 47. RTRW 48. PDRB
49. Tingkat Kesenjangan 50. Kalimantan Timur 51. Kalimantan Barat
52. Trickling down effect 53. Backwash effect 54. Illegal logging 55. Trafficking
56. Kabupaten Nununkan 57. Infrastruktur PU
58. muatan lebih kendaraan 59. biaya kerusakan jalan
60. biaya pengurangan umur jalan 61. Lintas Pantura Jawa 62. Lintas Sumatera 63. ASEAN Highway
64. Dewan Standart Nasional 65. Provinsi Riau
66. Provinsi Jawa Tengah 67. Dinas Perhubungan
68. Dinas Pekerjaan Umum