Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 “Suanggi” dalam Perspektif Hukum Pidana Studi Kasus di Desa Buli Kecamatan Maba Kabupaten Halmahera Timur Elstonsius Banjo1
[email protected] Alfred Mainassy2
[email protected] ;
[email protected]
Abstract In the life of society in North Halmahera especially in Buli Village, District of Maba East Halmahera Regency, if there are members of family who are sick or passed away, it is always related with someone black magic behavior, known as “suanggi”. The term of “suanggi” in the local belief concept is similar with “santet”. Consequently, those who are called “suanggi: or “orang bersuanggi” always becomes victims, violence, and house burning and even killing. In the perspective of law, the mentioned actions have been legal phenomenon. The question is “Can “suanggi” be responsible based on the concept of Subtantive and Procedure Criminal Law? And can the formulation of delict (criminal act) of “santet” in the draft of new regulation of Subtantive Criminal Law achieve the concept of “suanggi”? The purpose of this study is to know the concepts of Subtantive Criminal Law about subject delict and criminal responsibility towards those who are called “suanggi”, and formulation of “santet” delict in the draft of new regulation of Subtantive Criminal Law, through legal research methods: Sociological Jurisprudence. It aims at describing cases which happen in Buli Village Maba District East Halmahera Regency, then it is analyzed based on the concepts of Subtantive and Procedure Criminal Law. The result of research shows that on those “orang bersuanggi” is found that two personals namely Satanic personality and “himself” personality. Satanic cannot be subject and delict doer. Meanwhile, “himself” personal is aware on his actions can be criminal act and be responsible based on the law fact in accordance with the system of Subtantive Criminal Law and Law of Criminal Procedure (fulfills the requirements of proving and its delict formulation). The formulation of santet delict in Chapter 293 of New Design Regulation of Subtantive Criminal Law cannot achieve the concept of “suanggi”. Key Words: Santet, “Suanggi”, Criminal Act
1
Staf pengajar pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Halmahera. 2 Staf pengajar pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Halmahera.
Page | 1
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 Pendahuluan Dalam kehidupan masyarakat di Maluku Utara umumnya, apabila ada anggota keluarga yang sakit, atau meninggal dunia, sering dikaitkan dengan perbuatan gelap (gaib) seseorang. Di Desa Buli Kecamatan Maba Kabupaten Halmahera Timur, misalnya, Sakit dan bahkan kematian seseorang selalu dikatakan dengan perbuatan "suanggi". Istilah "sunggi" sendiri dalam konsep kepercayaan lokal setempat adalah bentuk lain dari “santet” yang secara umum dikenal di Indonesia. Namun, “santet” bentuk ini, bukanlah pengiriman sesuatu yang jahat melalui media tertentu terhadap korban atau orang yang disantet, melainkan dilakukan oleh seseorang yang telah dikuasai oleh roh jahat atau “setan”. Suatu perbuatan secara 'gaib' oleh seseorang kepada orang lain dengan perantaraan manusia yang dikenal dengan sebutan “suanggi” atau orang yang “bersuanggi”. Secara umum diyakini bahwa “suanggi” memakan jantung si korban secara gaib. Akibatnya, orang yang telah dimakan “suanggi” akan mengalami sakit dan pada akhirnya dapat meninggal dunia. Karena itu, apabila dalam satu kelurga ada anggota keluarganya sakit selalu dikaitkan bahwa sakit yang diderita oleh anggota keluarga tersebut adalah perbuatan “suanggi”. Dengan demikian, orang yang dikatakan “suanggi” tersebut, selalu menjadi korban penghinaan, kekerasan, penganiayaan, pembakaran rumah dan bahkan pembunuhan. Tindakan demikian, secara umum di Indonesia telah menjadi fenomena biasa yang sering dialami oleh sebagian orang. Namun, dari aspek hukum bukan merupakan fenomen biasa, melainkan telah menjadi masalah hukum yang serius, karena selain telah menganggu keamanan dan ketertiban umum, tetapi juga telah menimbulkan ketakutan-ketakutan dalam masyarakat, dan pengabaian atas hak-hak seseorang. Pertanyaannya adalah
Sejauhmanakah “suanggi” dirumuskan dalam konsep hukum pidana baik materiil maupun formiil? Dapatkah orang yang dikatakan “suanggi” dipertanggungjawabkan sebagai pelaku delik? dan Sejauh manakah rumusan delik santet dalam Rancangan KUHP Baru, dan hubungannya dengan konsep tentang “suanggi”? Karena itu, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui “suanggi” dirumusan dalam konsep hukum pidana baik materiil maupun formil, subyek delik dan pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang dikatakan “suanggi”, dan mengetahui rumusan delik santet dalam Rancangan KUHP Baru dan hubungannya dengan “suanggi”. Kajian Pustaka a. “Suanggi” Secara umum kata suanggi, selalu dikaitkan dengan setan, hantu=demon, dan jahat, buruk = evil. Yakni, makhluk halus yang mempunyai rupa jelek, yang jauh berbeda dengan rupa seorang manusia biasa. Sedangkan perbuatannya selalu dikaitkan dengan hal-hal yang jahat, garang dan keji (devil). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (W.J.S. Poerwadarminta, 2006), kata “suanggi” diartikan sebagai hantu yang jahat atau burung-burung hantu, dan juga disebut dukun yang bekerja dengan pertolongan orang halus atau yang disebut dengan mahluk halus. Suanggi dalam pemahaman Suku di Halmahera, Suku Tobelo, sebagaimana dikemukakan oleh M.Th. Magany (1984:15; 25-26), adalah jenis roh halus (gurumini) yang suka masuk ke rumah orang yang sedang tidur, dan memangsa jantung manusia terutama anak-anak. Gurumini adalah bentuk kepercayaan suku Halmahera (pra-agama), terhadap roh-roh pantheisme yang dianggap mempunyai Page | 2
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 kekuatan atau ma’na. Menurut Magany, secara harfia gurumuni dapat diartikan dengan jiwa, nyawa atau roh-roh yang tidak kelihatan, namun mempunyai kuasa sedemikian besarnya sehingga berpengaruh terhadap hidup manusia. Karena itu sangat ditakuti oleh mereka. Dari istilah dan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa “suanggi” merupakan hantu atau setan yang mempunyai sifat jahat, jelek dan selalu melakukan hal-hal yang tidak baik, mencelakakan atau bahkan melukai orang atau juga tak peduli dan masa bodoh dengan hal-hal yang benar. Sehingga sesorang dikatakan sebagai setan atau “suanggi” berarti orang tersebut dianggap tidak baik, melakukan hal-hal yang jahat, dan selalu mendatangkan kecelakaan (sakit penyakit) dan maut bagi orang lain. Konsep pemahaman suanggi bagi orang Buli dapat dijumpai secara berbeda, misalnya, Salmon Kutjame (1995) mengatakan bahwa “suanggi” adalah sejenis burung hantu yang pada malam hari ia terbang dan beteriak. Sekalipun yang berteriak adalah burung, namun menurut anggapan dan kepercayaan mereka, sebenarnya itu manusia yang berhantu. Sedangkan masyarakat Buli memahami “suanggi” adalah hantu yang keluar pada malam hari, dan terbang hanya dengan kepala bersama isi perutnya, sementara tubuhnya ditinggalkan terbaring terlentang ditempat tidur. Ia keluar untuk mencari jantung manusia untuk dimakannya, karena jantung adalah makanan kesukaannya. Akan tetapi orang Buli menganggap ia adalah manusia jelmaan hantu atau manusia yang berhantu. “Suanggi” sering pula dikaitakan dengan roh jahat, mahkluk halus. Roh jahat dimaksud sering menguasai orang yang mempunyai keinginan melakukan hal-hal jahat. Menurut Verdianus Guselaw (2010:80-86), konsep masyarakat tentang “suanggi” muncul berhubungan dengan adanya paham roh “meki” dan mitologi
“gua mane”. Roh “meki”, sebagaimana juga dipercaya oleh masyarakat bagian Utara Halmahera, khususnya GalelaTobelo, adalah suatu roh yang dapat mengambil nyawa orang dan membinasakan tubuh manusia, serta dapat pula menggunakan manusia sebagai alat untuk membinasakan atau bertindak jahat terhadap orang lain. “Meki’ juga dipahami sebagai raksasa yang jahat. Roh “meki” dipercaya masih ada sampai sekarang, dan sering dipakai (disuruh) oleh orang yang memelihara roh “meki” tersebut untuk mencelakai atau bahkan membunuh orang yang tidak disenanginya. Sedangkan mitologi “gua mane” adalah cerita tentang dua manusia raksasa (suami-istri) yang tinggal di arah selatan puncak gunung Desa Buli Asal-Wayafli. Makanan kedua raksasa ini adalah daging manusia, yang diambil kemudian diterbangkan ke puncak gunung tempat mereka tinggal, di mana tempatnya sangat sulit dijangkau oleh orang lain. Gunung itu, sekarang dalam bahasa setempat dikenal dengan nama “Lolas Long”; “lolas” = gunung; “long” = tulang; “Lolas Long” = Gunung Tulang. Sementara di bawah gunung dialiri oleh sebuah sungai yang diberi nama sungai “Sangaji”. Menurut cerita masyarakat setempat, bagian putih di atas gunung yang kelihatan dari jauh adalah tumpukun tulang belulang manusia yang telah dimakan dagingnya oleh keluarga “gua mane” tersebut. Jadi “suanggi”, bagi Verdianus Guselaw, menunjuk kepada satu pribadi yang memilki kekuatan melebihi orang lain. Suatu roh yang tidak sematamata mencederai sesamanya tetapi juga memakai manusia (pribadi) sebagai alat, mengubahnya untuk mencelakai orang. Meskipun, menurutnya, bahwa roh/kekuatan “suanggi” yang berkembang sekarang masih harus dipertanyakan. Berdasarkan paham tersebut, maka bagi Guselaw, praktek “suanggi” yang berkembang pada masyarakat Buli sekarang adalah bagian dari pemahaman tentanag adanya kekuatan roh “meki” dan Page | 3
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 mitologi “gua mane”, yang merupakan bagian dari penghayatan relegi dan maginya. Ditambahkan pula, bahwa dalam prakteknya masyarakat Buli dengan cepat mengkategorikan suatu pengalaman yang luar biasa, seperti penyakit atau kematian sebagai hasil perbuatan “suanggi”. Sementara orang yang dicurigai “suanggi” didasarkan pada pola relasi sosial yang tidak sehat di antara mereka. Disebutnya, relasi sosial yang didasarkan pada persaingan hidup satu terhadap yang lainnya. Pola persaingan hidup yang demikian kemudian dirasionalisasi berdasarkan suatu pengalaman yang menyedihkan (mencurigai), terlepas apakah benar orang yang dicurigai “suanggi” itu memiliki pengaruh “roh” jahat atau tidak. Pandangan dari Guselaw tersebut dapat dimengerti karena dipahami dalam konteks yang berbeda. Ia mengaharapkan adanya bentuk kepercayaan yang semestinya didasarkan pada nilai dan keyakinan religiositas keagamaan, sehingga tercipta dunia baru yang adil dan damai. Bukan berdasarkan roh-roh yang menyesatkan dan menghancurkan. Suatu pengahrapan yang lahir karena keterpurukan masyarakat akibat kemiskinan ekonomi dan relasi-relasi sosial yang tidak sehat di antara mereka. Orang “bersuanggi” menurut Ibu Sarni adalah seseorang yang memelihara atau berteman dengan setan atau mahkluk halus, roh jahat. Dari pertemanan atau pemeliharaan tersebut, lama kelamaan terjadi hubungan yang sangat intim antara keduanya sehingga sifat-sifat jahat si setan diturunkan kepada orang tersebut. Pada fase tertentu, setan itu telah menguasai sifat dan perilaku orang itu. Pada akhirnya sifat dan perilaku orang itu menjadi atau serupa dengan setan. Apa yang diperintahkan oleh setan itu akan dituruti oleh orang tersebut. Sebaliknya, orang tersebut dapat melakukan kemauan dan maksud jahatnya atas bantuan setan itu. Orang inilah yang disebut dengan
“suanggi” atau telah “bersuanggi”, karena sifat dan perilakunya telah menyatu dengan setan. Jahat, membenci orang, cemburuan, selalu merencankan kejahatan, pemarah, mau membunuh orang lain, apalagi terhadap orang yang dibencinya, atau orang yang mengganggunya. Inisiatif untuk melakukan sesuatu yang jahat, biasanya tidak selalu datang dari “roh setan” itu, tetapi juga datang dari orang tersebut. Biasanya tindakan jahat itu dilakukan kalau sudah ada sentimen tertentu terhadap orang lain. Alasan sentimen itu ada bermacam-macam. Kesuksesan adalah salah satu alasan perbuatan setan untuk mengambil tidakan itu, dengan maksud untuk memutus rantai kesuksesan, dengan cara membuat sakit atau membunuh salah satu anggota keluarganya. Menurut Ibu Sarni, orang yang telah memelihara atau berteman dengan setan, tidak ada lagi sifat-sifat yang baik dalam diri orang tersebut. Sifat dan perilakunya sangat sensitif terhadap halhal yang jahat. Apalagi yang mengganggu perasaan dan harga dirinya, atau bahkan berbagai kepentingannya di berbagai hal. Namun menurut bapak Gora, seorang dukun yang tinggal di Desa Tiwel, Kecamatan Kota Maba Halmahera Timur, setan atau mahkluk halus, roh-roh jahat lainnya itu, pada umumnya baik. Mereka melakukan sesuatu yang jahat atau mencelakai orang lain akibat disuruh oleh orang yang memelihara setan itu. Setan hanya menuruti apa yang diperintahkannya. Karena mahklukmahkluk halus tersebut pada dasarnya sangat penurut. Setan yang disuruh itu tidak pernah menolak apa yang diperintahkan oleh orang yang memeliharanya. Hanya saja apa yang diperintahkan memang adalah memang hal-hal yang jahat, seperti mencelakai orang, membuat sakit atau bahkan membunuh orang. Cara-cara yang dilakukan tentunya secara gaib.
Page | 4
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 b. Konsep Hukum Pidana 1) Delik Istilah delik berasal dari bahasa Latin = delictum. Dari kata Latin ini kemudian dijumpai dalam bahasa lainnya, yakni Jerman = delict, Prancis = delit. Dalam hukum pidana Belanda memakai istilah strafbaar feit, tetapi kadang-kadang juga memakai istilah delict, dalam padananya dari kata Latin = delictum. Istilah Inggrisnya dikenal dengan criminal act atau offense. Dalam bahasa Indonesia dijumpai ada beberapa istilah yang berbeda. Moeljatno, memakai istilah Perbuatan Pidana. Menurut Moejatno (2002:54), Perbuatan Pidana itu dapat disamakan dengan criminal act, yakni meliputi pula pertanggungjawaban pidana, berbeda dengan istilah Belanda strafbaar feit. Criminal act itu berarti kelakuan dan akibat, yang disebut juga actus reus. Roslan Saleh memakai istilah perbuatan pidana tetapi juga delik. Utrecht menterjemahkannya berdasarkan istilah Belanda strafbaar feit dengan istilah Peristiwa Pidana, sama halnya dengan istilah yang dipakai oleh UUD Sementara 1950. Prof. A. Zainal (1995), memakai istilah delik akan tetapi dalam uraianuraian selanjutnya dapat ditemukan penggunaan kata peristiwa pidana, meskipun yang diusulkannya adalah “perbuatan kriminal”. Sementara peraturan perundang-undangan Indonesia selalu menggunakan istilah Tindak Pidana, yang ditumbuhkan oleh “Kementrian Kehakiman”. Dalam Rancangan KUHP yang beru pun, digunakan istilah Tindak Pidana. Namun demikian, penulis lebih suka menggunakan istilah delik, karena lebih mendekati pada istilah dan pengertian asal katanya dalam bahasa Latin tersebut. Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia, delik diartikan sebagai “perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana”. Akan
tetapi rumusan ini dirasa tidak tepat oleh Prof. van der Hoeven, karena yang dapat dihukum itu bukan perbuatannya tetapi manusianya. Pernyataan ini kemudian dikritik lagi oleh Leden Marpaung bahwa alasan yang dikemukakan oleh van der Hoeven itu kurang tepat karena berdasarkan Pasal 1 ayat (1) KUHP, perbuatan merupakan salah satu unsur utama untuk menentukan adanya delik, dan sebagaimana dikatakan oleh van Hattum bahwa perbuatan dan orang yang melakukannya sama sekali tidak dapat dipisahkan (Marpaung, 2006:7). Menurut Simons, strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Sementara van Hamel merumuskan delik (strafbaar feit) adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan (Moeltjatno, 2002:56). Kemudian menurut Vos delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum berdasarkan undang-undang. Berdasarkan istilah dan pengertian yang diurakan tersebut di atas, maka rumusan delik yang lengkap menurut Jonkers dan Utrecht adalah rumusan Simons, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamza (1994:88), yang meliputi: (1) diancam dengan pidana oleh hukum; (2) bertentangan oleh hukum; (3) dilakukan oleh orang yang bersalah; (4) orang dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya. Selain itu, untuk meyatakan apakah perbuatan atau kelakuan seseorang dapat dikatakan merupakan delik atau tidak, maka perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur deliknya. Menurut Prof. Satochid Kartanegara, sebagaimana dikutip oleh Leden Marpaung (2006:10), Page | 5
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 bahwa unsur delik terdiri dari unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia, yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Sedangkan unsur subjektif adalah unsur yang terdapat dalam diri manusia. Unsur objektif itu berupa: (1) suatu tindakan; (2) suatu akibat, dan (3) keadaan (omstandingheid) Unsur subjektif itu berupa: (1) Kemampuan dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaarheid) (2) Kesalahan (schuld). Menurut P.A.F Lamintang, yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sementara unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yakni keadaan pada saat tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan (Marpaung, 2006:11). Unsur-unsur subjektif dari suatu tidakan adalah sebagai berikut: (1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa). (2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP. (3) Berbagai maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain. (4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad, seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP. (5) Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat dalam rumusan delik menurut Pasal 308 KUHP.
Sedangkan unsur objektif suatu delik menurut Lumintang adalah: (1) Sifat melawan hukum atau wederrechtelijkheid. (2) Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus suatu perseroan terbatas, dalam kejahatan menurut 398 KUHP. (3) Kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat. Pada hakekatnya, menurut Moeljatno, tiap-tiap delik harus terdiri atas unsurunsur lahir oleh karena perbuatan, yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya, adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Dengan kata lain menurut Moeljatno, bahwa di samping adanya kelakuan dan akibat, untuk adanya delik, diperlukan pula adanya hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, hal ikhwal mana yang oleh van Hamel dibagi dalam dua golongan, yaitu yang mengenai diri orang lain yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar diri si pembuat, (2002:58). 2) Subyek dan Pelaku Delik Subyek delik dalam sistem Hukum Pidana Materiil atau dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana Indonesia saat ini ialah “manusia”, “orang” atau natuurlijke persoon. Hal ini dapat dilihat dari setiap rumusan pasal-pasal dalam KUHP selalui diawali dengan kata “barang siapa”, sebagai terjemahan dari kata Belanda: hij die. Dalam Memorie van Toelichting Pasal 51 Ned. W.v.S dinyatakan bahwa, “suatu strafbaar feit hanya dapat diwujudkan oleh manusia, dam fiksi tentang badan hukum tidak berlaku di bidang hukum pidana”. Dengan demikian, maka sistem KUHP di Indonesia masih mengenal “manusia” atau orang sebagai subyek delik dalam suatu Page | 6
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 perkara pidana. Meskipun di dalam Undang-undang Pidana tertentu di Indonesia, telah mengenal Badan Hukum dan/atau Korporasi sebagai subyek delik. Akan tetapi, dalam Rancangan KUHP Indonesia yang baru, korporasi telah menjadi subjek delik. Dengan kata lain bahwa, kata “barangsiapa” mencakup pula baik “manusia” maupun “korporasi”. Korporasi sebagai subjek delik diatur dalam Pasal 47 sampai dengan Pasal 53 Rancangan KUHP Baru. Pasal 47 menyatakan bahwa “korporasi merupakan subjek tindak pidana. Selanjutnya pada Pasal 182 dijelaskan bahwa, korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Sementara, “pelaku” dalam terjemahan Belanda dikenal dengan istilah ”pleger”, yaitu seorang yang menyelesaikan unsur-unsur delik dan unsur-unsur pertanggungjawaban pidana (unsur subyektif dan unsur objektif). Menurut Prof. A. Zainal (1995), kata ”pleger” sendiri berbeda maknanya dengan istilah “dader”, yang diartikan sebagai “pembuat delik”. Dader adalah pembuat delik, yang meliputi beberapa pembuat. Yakni, pelaku (alleen dader), pelaku peserta (medepleger), orang yang menyuruh melakukan (doen plegen), dan orang yang membujuk melakukan (uitlokker). Selanjutnya dikatakan bahwa, istilah Belanda, doen plegen yang diterjemahkan sebagai “penyuruh”, ditinjau dari segi bahasa Indonesia adalah kurang tepat. Yang lebih tepat adalah “orang yang membuat sehingga orang lain melakukan”. Bagi Prof. Zainal, apabila doen plegen diterjemahkan dengan kata “penyuruh”, itu berarti bahwa orang yang disuruh mempunyai kesengajaan, bersalah, atau menyadari serta memahami apa yang disuruhkan. Padahal dalam hal terjadi doen plegen, orang yang melakukan tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh karena tidak mempunyai kesengajaan. Rupanya para pembuat Rancangan KUHP Baru
Indonesia telah mengikuti pandangan dari Prof. Zainal tersebut sehingga sudah diadakan pemisahan secara tegas, bahwa orang yang disuruh memang tidak mempunyai kesengajaan sama sekali, atau tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Sebaliknya, Leden Marpaung (2005:78), mengatakan bahwa terjemahan kata “dader” dengan “pembuat”, sebagaimna dalam Kamus Bahasa Belanda adalah tidak tepat. “Dader” dalam Kamus Bahasa Belanda adalah “pembuat”, berasal dari kata daad = “membuat”. Hal ini diungkapkan karena menurutnya bahwa, di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak tercantum kata “pembuat”, melainkan kata “pelaku”. Demikian juga halnya, dalam bahasa Inggris “pelaku” desebut dengan “doer”. Kata “pelaku” sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya, antara lain (1) orang yang melakukan suatu perbuatan; (2) pemeran, pemain (sandiwara dan sebagainya); (3) yang melakukan suatu perbuatan. Namun, dikatakan selanjutnya bahwa, secara umum, para pakar berpendapat bahwa “pelaku” adalah orang yang memenuhi semua unsur dari perumusan delik. Para pakar memperdebatkan tentang “pelaku” karena rumusan Pasal 55 KUHP merumuskan “sebagai pelaku”. Menurutnya, memang ada perbedaan antara “pelaku” dan “sebagai pelaku”. Namun pada penerapannya terutama pada pertanggungjawabannya, telah diatur dalam undang-undang sehingga pada hakikatnya tidak bermanfaat untuk diperdebatkan. Yang dimaksud dengan “pelaku”, menurut Marpaung adalah orang yang memenuhi semua unsur delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, baik unsur objektif maupun unsur subyektif. Dikatakan bahwa, umumnya, “pelaku” dapat diketahui dari jenis delik, yakni:
Page | 7
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 a. Delik formil, pelaku adalah barang siapa yang telah memenuhi perumusan delik dalam undang-undang. b. Delik materiil, pelakunya adalah barang siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang dalam perumusan delik. c. Delik yang memenuhi unsur kualitas atas kedudukan, pelakunya adalah barang siapa yang memilik unsur kedudukan atau kualitas sebagaimana yang dirumuskan. Misalnya, dalam kejahatan jabatan, pelakunya adalah pegawai negeri. Apabila dicermati perbedaan pendapat antara Prof. A. Zainal dan Leden Marpaung (termasuk juga para pakar lainnya), sebetulnya tidak ada perbedaan substantif dari makna kata “pelaku” itu sendiri. Yang berbeda hanyalah penggunaan istilah “dader”, bahasa Belanda diterjemahkan menjadi “pembuat”, bukan “pelaku”. Dalam memahami pandangan keduanya, secara jelas sama-sama berpendapat bahwa, “pelaku” ialah seorang yang telah memenuhi semua unsur-unsur perumusan delik, baik unsur subyektif maupun unsur objektif. Jadi, tidak ada suatu perbedaan yang berarti. Pengertian dader dalam Memori Penjelasan (M.v.T) pembentukan Pasal 55 KUHP, dikatakan bahwah “yang harus dipandang sebagai dader itu bukan saja mereka yang telah menggerakan orang lain untuk melakukan delik melainkan juga mereka yang telah menyuruh melakukan dan mereka yang turut melakukan”. Ini berarti bahwa, makna dader sendiri adalah baik sebagai orang atau otak yang menggerakan (aktor itelektual), maupun sebagai orang yang bersama-sama atau turut melakukan suatu perbuatan. Jadi, “pembuat” delik adalah orang yang lebih dari satu “pelaku”. Dengan demikian maka, istilah dader apabila diterjemahkan dengan “pelaku” adalah kurang tepat. Ini berarti bahwa pendapat Prof. A. Zainal lebih mendekati kebenaran.
Dalam Rancangan KUHP yang baru Pasal 21, juga dijumpai menggunakan kata “pembuat”, bukan “pelaku”. Namun, “pembuat” di sini ditujukan kepada “setiap orang”. Sementara itu, kata “setiap orang” dipakai untuk melengkapi kata “pembuat” dan “pembantu”. Pembuat adalah setiap orang, baik yang dilakukannya sendiri maupun dilakukan dengan perantaraan alat atau orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, atau bersama orang lain, yang turut melakukan suatu delik. Sedangkan, “pembantu” adalah setiap orang yang memberi bantuan pada waktu delik dilakukan; atau memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan delik (Pasal 21 dan Pasal 22 Rancagan KUHP Baru). Selain itu, jikalau “pelaku” atau “pembuat” delik (dilakukan) lebih dari satu orang, dikenal dengan istilah “deelneming”. Arti deelneming sendiri adalah “penyertaan”, berasal dari kata Belanda, “deelnemen” = “menyertai”. Deelneming atau “penyertaan” merupakan masalah yang sangat penting dalam hukum pidana karena dalam kenyataannya bahwa suatu delik yang terjadi sering dilakukan oleh beberapa orang. Jika hanya satu orang pelaku delik, disebut alleen dader. Sebagaimana dikatakan Leden Marpaung (2006:77), jika pelakunya hanya satu orang, maka tidak dapat disebut sebagai deelneming, karena deelneming diartikan sebagai suatu delik yang dilakukan lebih dari satu orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam Hukum Pidana Materiil, masalah ini diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Untuk jelasnya maka Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dapat diuraikan sebagai berikut: Pasal 55 KUHP berbunyi: (1) Dihukum sebagai orang yang melakukan tindak pidana: 1. orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu; Page | 8
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 2. orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya-upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbutan. (2) Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2 itu yang boleh dipertanggunkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya. Pasal 56 KUHP: Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan: 1) barangsiapa membantu melakukan kejahatan itu; 2) barangsiapa dengan sengaja memberi kesempatan, daya-upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu. Dalam Rancangan KUHP Baru, deelneming = penyertaan, (sebagaimana yang telah dibahas di atas) diatur pada Paragraf 5, Pasal 21 sampai dengan Pasal 23. Pasal 21 menyatakan: dipidana sebagai pembuat tindak pidana setiap orang: a. melakukan sendiri tindak pidana; b. melakukan tindak pidana dengan perantaraan alat atau orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan; c. turut serta melakukan; atau d. memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan, memancing orang lain supaya melakukan tindak pidana. Pasal 22 : (1) dipidana sebagai pembantu tindak pidana, setiap orang yang:
a. memberi bantuan pada waktu tindak pidana dilakukan; atau b. memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan tindak pidana. (2) Ketentuan sebgaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pembantuan terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori I. Pasal 23 : Keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangi, atau memberatkan pidana hanya diberlakukan terhadap pembuat atau pembantu tindak pidana yang bersangkutan. Sekiranya Rancangan KUHP yang baru ini, cepat dibahas dan kemudian diberlakukan maka akan lebih jelas karena dibuat oleh orang Indonesia sendiri. Semoga hal ini dapat menjadi kenyataan. Apabila itu terjadi, maka paling kurang telah dapat menyelesaikan perbedaan pendapat penggunaan istilah “pelaku” dan “pembuat”. Karena secara tegas Rancangan KUHP baru telah menggunakan istilah “pembuat”, bukan “pelaku”. Bagi penulis sendiri, mungkin lebih kepada istilah “pembuat’ dibanding “pelaku”. Pembuat penekanannya lebih kepada pelaku kejahatan, sementara “pelaku” bisa konotasinya bukan hanya pelaku kejahatan saja. Misalkan, pelaku sandiwara dan lain-lain. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa, baik kata “pelaku” maupun “pembuat” keduaduanya harus melekat kata “delik atau tindak pidana”, sehingga menjadi “pembuat delik” atau “pembuat tindak pidana”.
Page | 9
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 3) Delik Formil dan Delik Materiil Delik formil (formele delicten) dan delik materiil (materieele delicten) sangat penting dibicarakan di sini, karena sangat berhubungan erat dengan masalah substantif perumusan sebuah delik. Terutama perumusan delik yang berkaitan dengan masalah-masalah santet, sebagaimana dirumuskan di dalam Rancangan KUHP Baru. Adapun yang dimaksud dengan delik formil adalah delik yang oleh pembuat undang-undang dirumuskan secara formil, (bukan formal = sah, resmi). Yakni, undang-undang pidana cukup menguraikan perbuatan yang dilarang saja dan tidak menyebut “akibat” yang timbul atas perbuatan tersebut. Timbulnya akibat tidak dipersoalkan. Misalnya, Pasal 161 KUHP Penghasutan; Pasal 263 KUHP Pemalsuan Surat; Pasal 362 Pencurian. Sebaliknya, delik materiil adalah delik yang dirumuskan oleh pembuat undangundang dengan mensyaratkan adanya “akibat” yang dilarang. Misalnya, Pasal 338 KUHP Pembunuhan. Untuk dapat dihukum berdasarkan Pasal 338 KUHP, maka pembuat delik harus memenuhi akibat yang dilarang menurut Pasal 338 KUHP, yakni matinya orang lain. Jika tidak, maka tidak dapat dikatakan sebagai delik pembunuhan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 338 KUHP dimaksud. Hal mana berbeda dengan Pasal 362 KUHP; Pencurian, yang dirumuskan secara formil. Apakah akibat dari pencurian kemudian mengakibatkan kerugian dari orang yang dicuri, atau terjadi kerugian dan mengalami kebangkrutan, tidak dimasalahkan. Penggunaan kata “materiil” dalam istilah “delik materiil” berbeda pula maknanya dengan kata “material” = kebendaan. Hal mana bisa salah dimengerti sebagai delik kebendaan; harta kekayaan. Sama halnya dengan delik formil, bukan formal = sah, resmi. Juga istilah Hukum Pidana Materiil bukan
Hukum Pidana Material; Subtantive Criminal Law atau Materieel Strafrecht (Belanda) bukan Material Criminal Law. Sama halnya dengan istilah The Law of Criminal Procedure atau Formeel Strafrecht, Formeel Recht, formele delicten, bukan Formal Criminal Law, formale delicten, (Lih. A. Zainal, 1995:358-362). Selanjutnya, dalam menghadapi delik formil, Jaksa Penuntut Umum hanya menguraikan perbuatan yang dilarang. Tidak perlu menulis akibat perbuatan itu ke dalam surat dakwaannya, dan tidak perlu pula membuktikannya. Misalnya, Pasal 362 KUHP, delik Pencurian. Di sini, hanya mengandung perbuatan yang dilarang, berupa “pengambilan barang orang lain dengan maksud untuk dimiliikinya secara melawan hukum”. Hal mana tidak dijadikan unsur akibatnya, misalnya tadi, bahwa korban pencurian menderita kerugian. Demikian pula dengan Pasal 285 KUHP; Mengancam hukuman bagi orang yang dengan kekerasan, mengancam perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengannya. Di sini, tidak mensyaratkan perempuan itu harus “hamil”, sebagai akibat dari persetubuhan itu. Karena pasal ini tidak bertujuan mencegah kehamilan, tetapi melindungi perempuan dari “nafsu birahi jahat lakilaki”. Hal ini berbeda dengan delik materiil yang mensyaratkan adanya akibat. Misalnya tadi, Pasal 338 KUHP, Delik Pembunuhan, “perbuatan” tidak diuraikan dalam Pasal 338 KUHP. Artinya, bahwa perbuatan apa saja dapat dikenakan menurut pasal ini, asalkan “berakibat kematian” bagi orang tersebut. Misalnya, menikam, memukul, menembak, meracuni, melempar orang ke dalam jurang dan lain-lain, yang menyebabkan orang mati; akibat. apabila “perbuatan” menghilangkan “nyawa orang” (kematian) belum terjadi, tetapi sudah dilakukan perbuatan pelaksanaan, maka kesengajaan yang terjadi adalah percobaan melakukan pembunuhan (Pasal 53 jo Pasal 338 Page | 10
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 KUHP). Demikian pula halnya dengan penganiayaan menurut Pasal 351 KUHP, yang dirumuskan secara materiil. Selama rasa sakit, luka, atau merusak kesehatan orang belum terjadi maka belum terjadi pula Delik Penganiayaan. Menurut Prof. Zainal (1995), beberapa pengarang berpendapat bahwa perbedaan antara Delik Materiil dan Delik Formil penting dalam hal terjadi Percobaan (Pasal 53 KUHP) dan Penyertaan (Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP). Percobaan untuk melakukan Delik Materiil telah terjadi apabila perbuatan pelaksanaan sedemikian sifatnya, sehingga akan menimbulkan akibat yang dilarang. Sedangkan, Percobaan untuk melakukan Delik Formil terjadi apabila pelaku delik telah melakukan “sebagian perbuatan” yang telah dilarang oleh undang-undang. Misalnya, pencuri yang telah memegang barang orang lain, dengan maksud untuk mengambilnya dengan melawan hukum, tetapi kemudian dipukul oleh pemiliknya sehingga bentuk deliknya adalah percobaan. 4) Delik Santet dalam Hukum Pidana Materiil dan Formiil Dalam hukum pidana materil, delik santet belum diatur dalam Kitab Undangundang Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini. Yang dapat dikenakan hanyalah kepada mereka yang sering “main hakim sendiri”, terhadap orang yang dicurigai sebagai tukang santet atau dukun santet. Ada rumusan-rumusan pasal tertentu dipakai bagi pelaku kejahatan demikian. Pasal-pasal dimaksud antara lain sebagai berikut: 1) Pasal 310 KUHP, yaitu Delik Penghinaan atau Pencemaran Nama Baik. 2) Pasal 164, 165 KUHP, kewajiban melapor kepada yang berwajib jika mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan;
3) Pasal 351, 352, 353, 354, 355 dan 356 KUHP, dengan sengaja melukai orang lain. 4) Pasal 187 KUHP, dengan sengaja menimbulkan kebakaran. 5) Pasal 338 KUHP, dengan sengaja melenyapkan nyawa orang lain. 6) Pasal 340 KUHP, dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu melenyap-kan nyawa orang lain. 7) Pasal 372 KUHP, delik penipuan. Dalam hukum pidana formiil, apabila telah terjadi suatu perbuatan yang telah memenuhi unsur-unsur delik maka negara melalui alat-alatnya diberi hak untuk melakukan suatu tindakan hukum. Oleh karena itu, suatu perbuatan, termasuk “santet” apabila diduga telah memenuhi unsur delik, maka perbuatan tersebut sudah dapat diproses berdasarkan sistem hukum acara pidana, mulai dari proses penyidikan, penuntutan sampai dengan proses pemerikasan di pengadilan, sebagaimana telah diatur dalam KUHAP. Selain itu, di dalam proses penyidikan, penuntutan sampai pada proses pemerikasan di pengadilan, hendaknya perlu diperhatikan asas-asas hukum yang dipakai, seperti, antara lain; asas legalitas, asas keseimbangan, asas Praduga Tak Bersalah, prinsip pembatasan penahanan, asas ganti rugi dan rehabilitasi, dan asas lainnya yang dipakai di dalam KUHAP. Akan tetapi, proses penyidikan, penuntutan sampai pada proses pemerikasan di pengadilan, untuk perkara-perkara “santet” hanya dapat diproses apabila telah ada larangan-larangan yang dirumuskan dalam hukum pdana materiil, jika tidak, maka akan bertentangan dengan asas legalitas. 5) Delik Santet dalam Rancangan KUHP Baru
Rumusan
Dalam rumusan pasal Rancangan KUHP Baru, delik santet dirumuskan dalam Pasal 293. Untuk jelasnya, maka Page | 11
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 Pasal 293 dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. (2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga). Lebih lanjut, pada penjelasan pasal 293 dikatakan bahwa ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktian-nya. Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan juga untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (santet). Metode Penelitian Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian hukum Non Doktrinal, dengan menggunakan pendekatan Yuridis Sosiologis. Pendekatan Yuridis Sosiologis dimaksud adalah untuk menelaah kasuskasus yang terjadi di Desa Buli Kecamatan Maba, Halmahera Timur, yang berkaitan dengan tindakan “suanggi” dan kejahatan yang dilakukan oleh Orang Yang dituduh “suanggi”, sehingga akibat perbuatan itu, telah menyebabkan terpenuhinya anasir delik menurut konsep hukum pidana
materiil dan formiil. Dan sejauhmana tindakan hukum yang seharusnya diterapkan. Dalam penelitian ini, subyek yang diteliti lebih dipandang sebagai responden yang memberikan informasi mengenai permasalahan yang hendak diteliti. Untuk menentukan responden digunakan teknik non probability sampling, yakni suatu teknik pengambilan sample di mana pertimbangan keputusan pemilihannya terdapat di tangan peneliti dengan tidak memberikan kesempatan yang sama pada setiap tingkat populasi untuk dipilih sebagai sample. Jenis non probability sampling yang digunakan adalah puposive sampling (tidak diacak), artinya yang dipilih berdasarkan pertimbangan subyektif dari peneliti yang berhubungan erat dengan permasalahan penelitian. Teknik ini dipakai dengan cara menggunakan kriteria khusus terhadap sample, terutama orang-orang yang dianggap ahli, atau relevan dengan maksud penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara. Selain itu, terdapat data sekunder yang dipakai untuk membantu memahami dan menganalisis data primer, yang terdiri atas buku-buku ilmu hukum, kamus hukum, majalah hukum, peraturan perundang-undangan, KUHP, KUHAP, dan Rancangan KUHP Baru. Sumber-sumber penelitian yang diperoleh kemudian diinventarisasi dan diklasifikasi berdasarkan relevansinya dengan masalah-masalah hukum yang menjadi fokus kajian penelitian ini. Kemudian diidentifikasi berdasarkan konsep-konsep hukum yang berlaku. Artinya bahwa kasus-kasus yang terjadi kemudian dinilai berdasarkan konsepkonsep hukum pidana materiil dan formmil. Dari sini, Kemudian dinalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitis. Yakni suatu analisis yang dilakukan secara komprehensif tetang latar belakang kasus-kasus yang terjadi di Desa Buli Kecamatan Maba, Halmahera Timur, Page | 12
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 kemudian dinilai berdasarkan konsepkonsep hukum pidana materiil dan formil. Dari sini kemudian ditarik suatu kesimpulan, bahwa apakah kasus-kasus tersebut sudah merupakan fakta hukum pidana atau tidak. Jikalau sudah merupakan fakta hukum, maka dapatkah diterapkan konsep hukum yang diatur dalam hukum pidana materiil dan formil (sebagai ius konstitutum). Jika tidak, maka sejauh mana berkejanya sebuah sistem hukum dalam menjawab suatu permasalahan hukum di masyarakat. Konsep hukum demikian, akan diperlukan dalam pembentukan sistem hukum berikutnya (sebagai ius konstituendum).
Keluarga Neke Betawi kemudian mencari pengobatan ke dukun setempat, bernama Senis Radja. Menurut dukun tersebut, bahwa Neke Batawi jatuh sakit akibat disantet oleh Liner Bluku lewat Celana Dalam yang diambil oleh Yono Guslaw tersebut. Yono Guslaw mem-benarkan bahwa pada tanggal 2 Desember 2009, Ia disuruh oleh Liner Bluku untuk mengambl Celana Dalam Neke Bluku untuk disantetnya melalui Celana Dalam. Tetapi tuduhan tersebut, dibantah oleh Reison Bluku, cucu dari Bapak Liner Bluku, bahwa kakeknya tidak bersuanggi sebagaimana yang mereka tuduhkan kepadanya.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Kasus II. Posisi Kasus : Pada tanggal 10 Oktober 2010, Dorkas Batawi, orang yang dituduh “bersuanggi”, didatangi oleh Oce Goleng, Ana Goleng, Fami Goleng, dan Kopong Goleng. Mereka adalah keluarga si sakit, Sus Goleng. Mereka datang dengan kejam ke rumah ibu Dorkas Batawi, dan memaksanya pergi ke Rumah si sakit untuk mengobatinya. Ibu Dorkas sama sekali tidak bersedia, namun karena dipaksa oleh mereka dengan cara memegang rambut ibu Dorkas, dan menarik rambutnya sepanjang jalan (menyeretnya), akhirnya sampai juga ke rumah si sakit kurang lebih 100 meter jauhnya. Ibu Dorkas Batawi ketika sampai kerumah si sakit, ia hanya diam dan tidak memberikan keterangan apa-apa. Keluarga Goleng mengancam ibu Dorkas Batawi dengan sebilau pisau, tetapi ibu Dorkas tetap saja tidak mau mengakui perbuatannya itu. Alasannya, Dorkas Batawi, dituduh telah memakan jantung Sus Goleng, sehingga menyebabkan Sus Goleng mengalami sakit, dan pada akhirnya meninggal dunia. Pada waktu Sus Goleng masih mengalami sakit, ia sempat dibawa ke dukun Yulis Tayawi. Menurut si dukun Yulis Tayawi, sakit yang diderita oleh Sus
a.
Hasil Penelitian
Pada hasil peneltian ini, akan dikemukakan kasus-kasus yang terjadi di Desa Buli Kecamatan Maba Halmahera Timur, di antaranya sebagai berikut: Kasus I Posisi Kasus : Pada tanggal 17 Juli 2010, Bapak Liner Bluku, diserang dan dibakar rumahnya karena dituduh “suanggi” dan/atau “bersuanggi” oleh sanak saudara dari Neke Batawi. Neke Batawi adalah si sakit, dan meninggal dunia, karena dicuragai merupakan perbuatan (santet) dari oleh Liner Bluku. Karena itu, Keluarga Neke Batawi mendatangi rumah Liner Bluku dengan membawa perlengkapan (senjata tajam) untuk menghabisi Liner Bluku, tetapi Liner Bluku melarikan diri dari rumahnya. Kemudian rumahnya dibakar habis, dan tidak ada yang tersisa dalam rumah itu. Alasannya, Pada tanggal 15 Juli 2010, Liner Bluku menyuru Yono Guslaw untuk mengambil Celana Dalam Neke Batawi, yang sementara berada di tali jemuran. Beberapa minggu kemudian Neke Batawi jatuh sakit pada bagian alat kelamin.
Page | 13
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 Goleng disebabkan oleh perbuatan “suanggi” dari Dorkas Batawi. Selain itu, sebelun meninggal dunia, Sus Goleng sempat mengatakan kepada ibunya, bahwa ia sakit akibat perbuatan dari “suanggi” Ibu Dorkas Betawi, dengan cara memakan jantungnya. Ketika itu, ia sementara bermain di pinggir sungai, kemudian didatangi oleh Ibu Dorkas Batawi, kemudian memukulnya dengan memakai pelepa daun kelapa di bagian belakang kepalanya hingga pingsan. Ketika sedang pingsan itulah, Ibu Dorkas Batawi mengambil jantungnnya lalu memakannya. Kasus III. Posisi Kasus : Pada tanggal 5 Maret 2011, setelah kematian dari Bapak Banana Bawang, Yosafat Daramean dan Idrus Daramean, dituduh suanggi sebagai peyebab kematian dari Bapak Banana Bawang, oleh Lehemnya Bawang, anak dari Banana Bawang. Sebelum kematiannya, Yosafat Daramean dan Idrus Daramean dilaporkan ke pihak pemerintah Desa setempat, untuk membuat pengakuan dan mengobati bapak Banana Bawang, yang sementara lemas di tempat tidur. Tetapi keduanya tidak mengakui perbuatannya sehingga terjadi pertengkaran dan adu fisik antar mereka. Alasannya, Sebelum Bapak Banana Bawang menghembuskan nafasnya, ia menceritakan bahwa sakit yang dideritanya akibat karena perbuatan dari Yosafat Daramean dan Idrus Daramean. Ia bercerita bahwa, pada waktu ia sementara membuat perahu di belakang rumahnya, datanglah bapak Yosafat Daramean dan Idrus Daramean. Kemudian salah satu dari mereka memukulnya dengan sepotong kayu yang ada disekitar perahu yang dikerjakannya. Ia langsung pingsan, dan ketika sadar mereka telah menghilang. Beberapa hari kemudian ia jatuh sakit, dan sakit yang diderita tersebut, baginya, merupakan perbuatan dari Yosafat Daramean dan Idrus Daramean, yang telah memakan jatungnya ketika membuatnya
pingsan. Berdasarkan cerita ini, kemudian keluarga Banana Bawang, langsung melaporakam ke pihak pemerintah desa, dan disaksikan oleh anggota kepolisian, untuk membuat pengakuan dan mengobati si sakit. Namun, Yosafat Daramean dan Idrus Daramean tetap tidak bersedia untuk mengaku dan juga tidak mengobati si sakit. Pada akhirnya bapak Banana Bawang menghembuskan nafas terakhir dan me-ninggal dunia. Keadaan ini, membuatnya semakin panas sehingga terjadi adu fisik antara pihak keluarga Banana Bawang dengan pihak yang dituduh “suanggi”. Kasus IV. Posisi Kasus : Pada tanggal 2 Agustus 2010, pukul 04.00 subuh, telah terjadi tuduhan dan tindakan kekerasan terhadap ibu Baima Tomalou. Rumah Ibu Baima Tomalou dilempari batu, dituduh “suanggi” oleh keluarga Guslaw bersama dengan keluarga lain sehingga rumah tersebut atapnya sebagian besar rusak dan berlubang. Menurut mereka bahwa, ketika Sandra Guslaw, saudara mereka jatuh sakit, dan kemudian meninggal dunia, mereka mencurigai bahwa ibu Baima Tomalou adalah “suanggi” sebagai penyebabnya. Alasannya, Sebelum meninggal dunia, Sandra Guslaw menceritakan bahwa, sakit yang dideritanya merupakan akibat perbuatan dari ibu Baima Tomalou pada waktu ia bersama suaminya pergi ke pulau untuk mencari ikan, pada malam hari dengan menggunakan lampu petromaks (strongkeng) sebagai penerang. Ketika sampai di fyauli, arah Timur dari Desa Buli, mereka beristirahat ditempat itu. Pada saat tidur malam, tiba-tiba ibu Baima Tomalou datang dalam wujud setan ke tempat itu dan memukulnya dengan dayung yang ada diperahu sampai pingsan. Setelah sadar ibu Baima Tomalou telah menghilang. Pada waktu sedang pingsan itulah ibu Baima Tomalou memakan jantungnya. Bahkan menurut Sandra Page | 14
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 Guslaw, bahwa yang dimakan oleh ibu Baima Tomalou bukan hanya jantungnya saja tetapi pernah juga milik kakaknya bapak Tangkea Guslaw. Dari keterangan yang diterima dari si sakit, keluarga berencana untuk memanggil keluarga ibu Baima Tomalou, tapi tidak sempat dipanggil, karena ibu Sandra Guslaw keburu meninggal dunia di desa tetangga ketika sementara diobati oleh dukun Yosafat Susu. Dari cerita ini kemudian pihak keluarga Sandra Guslaw mendatangi rumah ibu Baima Tomalou, dan melempari berramai-ramai. Kasus V. Posisi Kasus : Pada tanggal 21 September 2007, terjadi tuduhan dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh keluarga Barbakem terhadap keluarga bapak Kandati Radja dan ibu Baima Tomalou. Bermula dari sakit yang diderita oleh bapak Mengapa Barbakem kemudian dibawa ke Dukun Yosafat Susu untuk mengobatinya. Si dukun tersebut menguatkan kata keluarga si sakit bahwa sakit yang dialaminya akibat perbuatan “suanggi” dari bapak Kandati Radja, dan ibu Baima Radja. Dari situ, kemudian pihak keluarga Barbakem, khususnya anak dari bapak Mangapa Barbakem, yaitu Hengki Barbakem datang mengancam bapak Kandati Radja, dan ibu Baima Radja, dengan mendobrak pintu bagian depan, tetapi pintu itu tetap tidak terbuka. Kemudian oleh keluarga Barbakem melaporkan masalah ini ke Kepala Desa, dengan maksud untuk memanggil bapak Kandati Radja, dan ibu Baima Radja, dan mengobati si sakit, tetapi bapak Kandati Radja, dan ibu Baima Radja tidak mengakuinya. Bapak Mangapa Barbakem kemudian disembuhkan oleh dukun Yosafat Susu. Dari kasus ini, kemudian hampir sebagian besar masyarakat ditambah Pemerintah Desa dan Dewan Adat setempat, memutuskan mengusir keluarga bapak Kandati Radja, dan ibu Baima Radja, secara resmi dari
Desa. Sampai sekarang keluarga ini belum diterima oleh masyarakat Buli, kecuali mungkin anak-anak mereka, tetapi itu pun sangat terpaksa Alasannya, Pada sore hari bapak Mengapa Barbakem membersihkan kebun kelapa di bagian selatan desa, dan karena sudah lelah ia duduk beristirahat di bawah pohon kelapa dan tertidur menghadap ke arah Timur. Sementara itu suami-istri bapak Kandati Radja dan ibu Baima Tomalou, berjalan melewati tempat tersebut dari arah selatan. Saat itu bapak Mengapa Barbakem sedang tertidur, dan ketika sadar kedua orang tersebut telah menghilang. Sadar dari ketiduran, perasaannya tidak tenang dan penuh dengan ketakutan, dan langsung bersiap pulang. Satu minggu kemudian bapak Mengapa Barbakem merasa sakit pada bagian perut, pada saat sementara meramu sagu, dan ia langsung pulang. Setelah sampai di rumah, sakitnya bukan saja sakit perut tapi juga panas, sampai demam tinggi. Ketika ditanya keluarga, dia hanya menceritakan apa yang dialaminya seminggu yang lalu. Keluarga mencurigai bahwa penyebab sakitnya ini, pasti karena perbuatan “suanggi” dari bapak Kandati Radja dan ibu Baima Tomalou karena keduanya dikenal “bersuanggi” di desa tersebut. b. Pembahasan Masalah 1) Konsep Santet dalam Sistem KUHP Dalam sistem Hukum Pidana Indonesia, masalah santet dan apalagi konsep tentang “suanggi” belum dikenal dalam sistem KUHP. Konsep rasionalitas merupakan dasar dan alasan dibentuknya hukum pidana. Seseorang dikatakan bersalah apabila telah memenuhi seluruh rumusan dan unsur-unsur delik yang dituduhkan kepadanya. Dalam arti bahwa fakta-fakta hukum yang konkrit merupakan dasar yang menentukan kesalahan seseorang. Dikatakan bersalah apabila orang itu mampu bertanggung Page | 15
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 jawab dan melalui bukti-bukti yang cukup menyatakan kesalahannya itu. Jika tidak, maka orang tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, apalagi menghukumnya. Namun demikian, konsep berpikir irasional masih sangat populer untuk sebagian besar masyararkat. Cara-cara berpikir gaib memang merupakan gaya hidup masyarakat Indonesia, karena selalu mengaitkan kehidupannya dengan masalah-masalah keagaiban. Tidak heran apabila cara-cara kekerasan pun kerapkali dilakukan hanya dengan berlandasan pikiran irasional. “Suanggi” merupakan salah satu di antaranya. Perbuatanperbuatan yang dilakukan menurut pikiran rasional bukanlah merupakan fakta hukum yang konkrit. Oleh karena itu, sistem KUHP Indonesia hanya menghukum orang yang telah melakukan suatu tindakan melawan hukum terhadap orang lain. Termasuk menghukum orang yang telah melakukan kekerasan atau tindakan melawan hukum lainnya kepada orang dituduh “suanggi”. Apapun bentuknya perbuatan tersebut. Dalam kaitannya dengan santet, termasuk di dalamnya “suanggi”, pelaku santet tidak dapat dihukum berdasarkan ketentuan pidana yang berlaku di Indonesia (asas legalitas; Pasal 1 ayat (1) KUHP). Oleh karena ketentuan-ketentuan mengenai santet sama sekali belum diatur di dalam sistem KUHP saat ini. Dengan kata lain, bahwa rumusan-rumusan delik tentang santet (“suanggi”) tidak diatur di dalam pasal-pasal KUHP. Karena itu, yang dapat dikenakan hukuman adalah kepada orang yang telah melakukan suatu kejahatan terhadap orang lain, secara melawan hukum. Di lihat dari kasus-kasus yang dilakukan terhadap orang yang dituduh “suanggi”, sudah merupakan tindakan melawan hukum. Karena itu, sudah dapat diproses dan dihukum sesuai hukum yang berlaku terhadap orang-orang yang telah melakukan tindakan “main hakim sendiri”. Hukum pidana sama-sekali
tidak membenarkan suatu tindakan dalam bentuk apapun terhadap seseorang yang dituduh telah melakukan suatu pelanggaran atau bahkan kejahatan. Apalagi tindakan tersebut dilakukan melalui cara-cara kekerasan, tidak berkemanusiaan. Hukum menghendaki suatu kejahatan haruslah diproses sesuai hukum yang berlaku. 2) Asas`Legalitas dalam Rumusan Rancangan KUHP Baru Dalam Rumusan Rancangan KUHP Baru delik santet mulai diperkenalkan. Termasuk asas legalitas yang telah diperluas maknanya diatur pada Pasal 1 Ayat (3) dan Ayat (4).Berikut ini lengkapnya: Pasal 1: (1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan. (2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Apabila diperhatikan Pasal 1 Rancangan KUHP tersebut, maka jelas bahwa konsep asas legalitas telah diperluas maknanya. Yakni, setiap perbuatan yang dapat dikenakan hukuman bukan hanya Page | 16
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 oleh perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai delik (tindak pidana) dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan, tetapi juga menurut hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangundangan. Artinya, bahwa meskipun tidak ada peraturan perundang-undangan atas perbuatan itu terlebih dahulu, tetapi apabila menurut hukum yang hidup dalam masyarakat menentukan seseorang itu patut dihukum hukum, maka ia patut dihukum. Pertanyaannya, adalah hukum yang manakah yang dijadikan sebagai dasar untuk menghukum seseorang yang dikatakan bersalah? Lalu yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut siapa? Apakah masyarakat ataukah pengadilan? Dari rumuasan ayat (3) dan ayat (4) dapat ditangkap bahwa dasar hukumnya adalah ditentukan oleh dan/atau menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Jika ini terjadi, maka menurut saya – dalam hal delik santet – akan menimbulkan polemik Kepastian hukum dan Keadilan. Konsep keadilan menurut masyarakat itu sering sangat subyektif, tanpa pertimbangan yang matang dan komprehensif, lebih banyak berprasangka, ketimbang menganalisis fakta dari suatu peristiwa. Lagi pula, konsep keadilan menurut masyarakat pada umumnya adalah kecenderungan untuk melakukan tindakan “main hakim” sendiri. Jarang dilakukan melalui suatu proses hukum yang benar dan adil. Meskipun dasar kontrolnya sudah ditentukan pada ayat (4), yakni melalui nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui masyarakat. Akan tetapi, nilainilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui masyarakat itu pun terlalu luas dan abstrak. Dasar hukum yang digunakan pun seringkali tidak terlalu jelas rujukannya. Oleh karena itu, harus lebih diperjelas lagi tentang makna
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat, terutama prinsip-prinsip hukum umum yang diakui, agar supaya tidak meluas lingkup tafsirnya. 3) Rumusan dan Unsur-unsur Delik Santet dalam Rancangan KUHP Baru Delik santet dalam Rancangan KUHP Baru dirumuskan pada Pasal 293, sebagai berikut: Pasal 293 1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. 2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga). Dari rumusan pasal Pasal 293 tersebut, dapat diuraikan unsur-unsurnya sebagai berikut: Ayat (1) : - setiap orang; - menyatakan dirinya sebagai kekuatan gaib; - memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa; - perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang. Ayat (2): - dengan maksud; Page | 17
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 - mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan. Yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah “manusia” atau orang atau siapa saja, perempuan atau pun laki-laki dewasa sebagai pelaku delik. Dalam Pasal 21 Rancangan KUHP Baru, memakai istilah “pembuat”, yaitu “setiap orang”. Pembuat adalah setiap orang, baik yang dilakukannya sendiri maupun dilakukan dengan perantaraan alat atau orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, atau bersama orang lain, yang turut melakukan suatu delik. Jadi, untuk dapat dihukum berdasarkan ayat (1) ini, orang itu harus menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa perbuatannya itu dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik bagi seseorang. Sementara Ayat (2), menyatakan bahwa perbuatannya itu dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan dari perbuatan itu, atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan. Pertanyannya adalah bagaimana dengan orang yang tidak mencari keuntungan atau tidak menjadikan sebagai mata pencaharian atas perbuatan itu? Jika tidak mencari keuntungan, atau menjadikan sebagai mata pencaharian, maka tidak dapat dihukum berdasarkan rasio ayat ini. Bagi saya, barangkali, di sinilah letak kelemahan ayat (2). Apabila diperhatikan substansi dari keseluruhan Pasal 293, tersirat merupakan suatu larangan terhadap kejahatan seseorang yang dikualifisir sebagai bentuk lain dari kejahatan penipuan. Hanya saja pelakunya adalah dukun santet, dan/atau yang dilakukan oleh dukan santet, tetapi juga adalah mereka yang berpura-pura sebagai dukun santet. Barangkali yang terakhir ini yang dimaksud dengan bentuk penipuan lain yang berkedok sebagai dukun santet.
Bagaimana mungkin, adanya suatu penipuan tanpa mencari keuntungan, atau hanya merupakan kebiasaan menipu dengan tidak mencari keuntungan. Sebetulnya, tanpa ayat (2) pun, sudah tersirat pada ayat (1), dengan adanya frasa; “menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain” ini sudah menunjukan mencari keuntungan atas perbuatan itu. Kelemahan lain dari pasal ini juga adalah hanya menghukum dukun santet saja, tetapi tidak menghukum orang lain yang meminta bantuan jasa kepada dukun santet. Agar supaya ada perimbangan, sebaiknya diatur pula terhadap mereka yang meminta jasa kepadanya. Selain itu, Delik Santet menurut Pasal 293 Rancangan KUHP Baru dirumuskan dalam bentuk delik formil. Yakni, seseorang dapat dikatakan sebagai pelaku apabila ia telah memenuhi perumusan delik dalam Pasal 293. Bukan akibat yang dilarang (delik materiil) tetapi perbuatannya yang dilarang. Dalam arti, bahwa seseorang sudah dapat dikatakan sebagai pelaku delik santet (pembuat tindak pidana santet), cukup kalau ia diketahui telah “menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, menimbulkan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain dst...” Di sini, tidak perlu lagi dibuktikan apakah benar ia mempunyai kekuatan gaib atau tidak, atau juga akibat dari perbuatan tersebut, itu bukan masalah atau tidak dipersoalkan. Lagi pula secara jelas dalam penjelasan pasal 293 disebutkan bahwa dibuatnya pasal ini dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya. Selain dimaksudkan juga untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (santet). Jadi Page | 18
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 praktik dukun santet itulah yang dilarang, bukan dimaksudkan pada akibat yang dilarang dari praktik dukun tersebut. Persoalan yang muncul kemudian di masyarakat adalah dapatkah menghukum seseorang (dalam hal santet) dengan tidak jelas akibat hukumnya? Masalahnya tetap berujung pada akibat yang dilarang dari praktik perdukunan oleh dukun santet tersebut. Kalau dicermati kasus-kasus main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat Buli, ternyata bahwa akibat dari praktik dukun santet itulah yang dirisaukan oleh masyarakat. Ini yang menjadi dasar adanya tindakan main hakim sendiri. Jika demikian, maka akan muncul kemudian adalah pada masalah pembuktiannya. Oleh karena itu, akan sulit juga membuktikan tindakan gaib seseorang terhadap orang yang lainnya. 4) Konsep tentang “Suanggi” dan Delik Satet dalam Rancangan KUHP Baru Apabila dicermati Pasal 293 Rancangan KUHP Baru, sehubungan dengan konsep tentang santet, maka sangat jauh berbeda dengan konsep tentang suanggi. Kalau pelaku santet pada umumnya disuruh oleh pihak ketiga untuk menyatet orang lain dengan tujuan untuk mencelakai orang, sementara “suanggi” tidaklah demikian. Biasanya, “suanggi” langsung melakukan perbuatan-nya, baik disuruh maupun tanpa disuruh. Kalau santet mirip dengan “doti”, dalam konsep pemahaman masyarakat Maluku Utara. Tetapi itu pun berbeda dalam pelaksanaannya. Kalau dukun santet menawarkan jasa atau merasa memiliki kekuatan gaib, sementara orang yang dituduh “suanggi” atau tukang “doti” tidak pernah mau menyatakan dirinya sebagai “suanggi” atau tukung “doti” (dukun santet). Mereka diketahui “bersuanggi” atau tukang “doti”, karena adanya ramalan dari dukun yang mengobati si sakit atau untuk “suanggi” adalah juga si sakit yang
meberitahukannya ketika semantara sakit atau menjelang kematiannya. Oleh karena itu, konsep perumusan santet pada pasal 293, tidak dapat mencakup konsep tentang “suanggi”. Karena tidak satu pun dukun atau yang menyatakan sebagai “suanggi” di Maluku Utara, menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memelihara setan dan bersuanggi. Apalagi menawarkan dirinya sebagai orang yang memiliki kekuatan gaib, memberitahukan, membuat harapan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, sebagaiman yang dirumusakan dalam pasal 293. Selain itu, konsep hukum pidana masih menghendaki manusia sebagai pelaku delik. Dalam arti bahwa, subyek delik dalam sistem Hukum Pidana Materiil atau dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia saat ini ialah “manusia”, “orang” atau natuurlijke persoon..Meskipun dalam delik tertentu, korporasi sebagai subjek delik, tetapi subyek delik korporasi itu juga adalah orang atau manusia dari korporasi tersebut. Sedangkan “suanggi” atau orang yang “bersuanggi” adalah seseorang yang memelihara atau berteman dengan setan atau mahkluk halus, roh jahat. Dari pertemanan atau pemeliharaan tersebut, lama kelamaan terjadi hubungan yang sangat intim antara keduanya sehingga sifat-sifat jahat si setan diturunkan kepada orang tersebut. Pada fase tertentu, setan itu telah menguasai sifat dan perilaku orang itu. Pada akhirnya sifat dan prilaku orang itu menjadi atau serupa dengan setan. Apa yang diperintahkan oleh setan itu akan dituruti oleh orang tersebut. Sebaliknya, orang tersebut dapat melakukan kemauan dan maksud jahatnya atas bantuan setan itu. Orang inilah yang disebut dengan “suanggi” atau “bersuanggi”, karena sifat dan perilakunya telah menyatu dengan setan. Jadi, terdapat dua kepribadian dalam tubuh orang yang dikatakan “suanggi” Page | 19
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 tersebut. Dua pribadi dalam satu tubuh. Ketika orang yang “bersuanggi” melakukan suatu per-buatan, sebagaimana yang dituduhkan oleh masyarakat kepadanya, maka yang me-lakukannya adalah pribadi setan, tetapi yang nampak adalah rupa dan wajah dari tubuh pribadinya. Dengan demikian, “suanggi” sebetulnya adalah manusia yang setengah setan tetapi juga setengah manusia. Setengah setan karena ia telah menyerupai setan, memiliki sifat-sifat jahat, melakukukan hal-hal yang jahat, tetapi juga memilki kekuatan gaib. Setengah manusia karena ia adalah manusia tetapi memiliki kekuatan setan (gaib), dan hidup sebagai manusia normal sebagaimana biasanya. Oleh karena itu, terasa sulit menentukan mereka sebagai subyek dan pelaku delik, karena ada dua personal di dalam diri mereka. Dua pribadi yang hidup dalam “tubuh yang satu” atau dua kepribadian dalam satu tubuh. Personal manusia pribadi yang normal tetapi juga melekat personal setan yang tidak normal, gaib. Lagi pula, pembuktiannya hanya melalui media yang gaib pula. Maksudnya, membuktikan hal-hal gaib harus pula dilakukan melalui cara-cara yang gaib. Ini yang tidak dapat dilakukan melalui sistem hukum pembuktian yang mengandalkan fakta hukum yang konkrit, rasional dan dapat diterima akal sehat. Dalam arti, bahwa seseorang dapat dijadikan sebagai pelaku delik jikalau ada bukti yang kuat menyertai perbuatannya. Ini merupakan hal yang sulit untuk dibuktikan. Meskipun delik santet yang dirumuskan adalah bentuk delik formiil, tetapi itu pun memerlukan pembuktian. Walaupun Pembuktiannya, tidak sampai pada masalah yang gaib tetapi paling kurang berhubungan dengan kegaiban, atau bahkan mendekati kegaiban. Namun demikian, apabila ada orang (dukun) yang mampu membuktikan kebenaran perbuatannya, maka hal itu dapat menjadi fakta hukum yang konkrit, sehingga
perbuatan “suanggi” dapat dikenakan hukuman. Asalkan dapat memenuhi syarat-syarat pembuktian menurut Sistem Hukum Acara. Jika itu terjadi, maka rumusan Pasal 293, seharusnya diganti atau bahkan dapat ditambahkan ayat baru. Penambahan pasal atau pun ayat baru dimaksud, harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga benar-benar mencakup konsep tentang “suanggi”. Penutup Suanggi adalah setan jadi tidak dapat menjadi subyek dan pelaku delik, sedangkan orang yang “bersuanggi” dapat menjadi pelaku delik dan dapat dipertanggung-jawabkan perbuatannya apabila perbutan tersebut, dapat menjadi fakta hukum menurut sistem Hukum Pidana Materril dan Formiil, yaitu: a. Hukum Pidana Formiil, hukum Pembuktian. Harus memenuhi syaratsyarat pembuktian. b. Hukum Pidana Materiil: rumusan deliknya harus sesuai atau mencakup konsep tentang “suanggi”. Perumusan delik santet dalam Pasal 293 Rancangan KUHP Baru, tidak dapat menjangkau konsep tentang “Suanggi”. Sulit merumuskan suatu konsep hukum rasional dan nyata, terhadap sisi alam gaib yang tidak nyata, irasional. Apabila delik santet perlu diatur, maka harus ada Perubahan atau Pemanambahan Perumasan Pasal 293 Rancangan KUHP, agar mencakup pula konsep tentang “suanggi”. Jika demikian, Sanksi bagi pelaku “suanggi” sebaiknya bukan sanksi berupa penjara tetapi kurungan pembinaan, mental dan kerohanian. Daftar Pustaka Abidin, H.A, Zainal, 1995, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika. Hamzah, A.,1994. Asas-asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta. Page | 20
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404 FEBRUARI 2014 --------------, 2010. Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, Jakarta: Sinar Grafika, Guselaw, Verdianus, 2010. Halmahera Bebas dari “Suanggi” Mungkinkah? Belajar Dari Kasus Desa/Jemaat “Jou N’Gali It” Buli Asal-Wayafli, Kabupaten Halmahera Timur – Provinsi Maluku, Tomohon: Tesis PPsT-UKIT. Harahap,M.Y., 2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika. Kutjame, Salmon, 1995, Pengaruh Agama Asli Dalam Kehidupan Gereja Masehi Injili di Halmahera, Tobelo. Magany, M.Th., 1984. Bahtera Injil di Halmahera, Tobelo, Gereja Masehi Injili di Halmahera.
Marpaung, L., 2006. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cet. Ketiga, Jakarta: Sinar Grafika. Moeljatno, 2002. Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. Ketujuh, Jakarta: PT. Rineka Cipta. Saragih, Bintan R., 2006. Politik Hukum, Bandung: CV. Utomo. Soekanto, Soerjono, 1989, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Soesilo, R., 2006, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Komentarnya, Badung: Politea. KUHAP KUHP RANCANGAN KUHP BARU
Page | 21