Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(3); Sept 2013
Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga Dengan Motivasi Kesembuhan Pasien Napza (Narkotika, Alkohol, Psikotropika Dan Zat Adiktif Lainnya) Di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta Timur Tahun 2013 Okta Mustikallah1 Dulakhir 2 1
Program Studi S1 Keperawatan Fakultas Kesehatan, Universitas MH. Thamrin Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat FKes Universitas MH. Thamrin Alamat korespondensi: Prodi S1 Keperawatan, F.Kes UMHT, Jln. Raya Pondok Gede No. 23-25 Kramat Jati Jakarta Timur 13550 Telp: 021 80855119 ext 104. 2
ABSTRAK Penyalahgunaan NAPZA dari tahun ke tahun semakin meningkat, sementara fenomena NAPZA itu sendiri seperti ice berg. Pemulihan dari kecanduan NAPZA merupakan proses jangka panjang. Dukungan sosial keluarga yang adekuat sangat dibutuhkan bagi pasien yang sedang menjalani proses terapi dan rehabilitasi. Karena dengan adanya dukungan sosial keluarga akan menimbulkan motivasi kesembuhan pada pasien NAPZA. Motivasi merupakan kunci utama bagi para pengguna NAPZA untuk menjalani hidup bersih tanpa NAPZA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan motivasi kesembuhan pasien NAPZA. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Instrumen berupa kuesioner dukungan sosial dan motivasi. Dari 45 responden 93,3% laki-laki, mayoritas berpendidikan SMU (66,7%), dan memiliki pendapatan
Pendahuluan Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya) bukan merupakan hal yang baru, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang. Data dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) yang dikemas dalam World Drug Report 2011 menyebutkan bahwa dari tahun ke tahun terjadi peningkatan penggunaan narkotika dan obat-obat terlarang di dunia. Data tahun 2009-2010 diperoleh angka pengguna narkoba di dunia mencapai 272 jiwa atau meningkat 8% dari tahun sebelumnya (Firmanzah, dkk, 2011). Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat pada tahun 2008 jumlah pengguna narkoba mencapai 1,99 persen dari total populasi atau setara dengan 3,2 juta jiwa dan meningkat menjadi 2,21 persen pada tahun 2010 atau setara dengan 3,8 juta jiwa. BNN memprediksi pada tahun 2015, jumlah pengguna narkoba di Indonesia akan mencapai 5-6 juta jiwa (Firmanzah, dkk, 2011). Menurut BNN (2011) diperkirakan ada sebanyak 9,6 sampai 12,9 juta orang atau 5,9 % dari populasi yang berusia 10-59 tahun di Indonesia pernah mencoba pakai narkoba minimal satu kali sepanjang hidupnya (ever used) atau dengan bahasa lain ada sekitar 1 dari 17 orang di Indonesia yang berusia 10-59 tahun pernah pakai narkoba sepanjang hidupnya. Dampak penyalahgunaan NAPZA tidak hanya
berakibat bagi penyalahgunanya yang dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental hingga berakibat pada kematian, namun juga berdampak pada tatanan sosial keluarga dan masyarakat sampai pada tindak kriminal. Masalah NAPZA merupakan permasalahan yang amat penting dan perlu penanganan khusus semenjak dini. Sebagai langkah awal dilakukan pencegahan primer yaitu pencegahan sebelum seseorang terlibat penyalahgunaan NAPZA, namun apabila seseorang sudah terlibat dilakukan pencegahan sekunder (terapi pengobatan) dan pencegahan tersier (rehabilitasi). Terapi penyalahgunaan NAPZA haruslah rasional dan dapat dipertanggungjawabkan dari segi medik, psikiatrik, dan sosial artinya tidak semata-mata hanya mengobati jasmani (fisik) tetapi juga dari segi kejiwaan, sosial dan spiritual. Terapi tersebut yaitu terapi dengan obat (psikofarmaka) dan terapi kejiwaan/ psikologik (psikoterapi) (Hawari, 2003). Salah satu bentuk psikoterapi adalah psikoterapi suportif yaitu memberikan dorongan, semangat, dan motivasi agar pasien ketergantungan NAPZA tidak merasa putus asa untuk berjuang melawan ketergantungannya. Salah satu bentuk psikoterapi ini adalah dengan adanya dukungan sosial. Dukungan sosial merupakan suatu bentuk hubungan interpersonal yang memberikan bantuan kepada individu berupa perhatian,
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(3); Sept 2013 emosi, bantuan instrumental, pemberian informasi, dan penilaian kepada individu oleh lingkungan sosialnya (Kaplan dan Saddock, 1992). Motivasi merupakan karakteristik manusia yang memberi kontribusi pada tingkat komitmen seseorang. Hal ini termasuk faktor yang menyebabkan, menyalurkan, mempertahankan tingkah laku manusia ke dalam suatu arah tekad tertentu (Stoner dan Freeman, 1996). Secara spesifik keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan status kesehatan yaitu timbulnya motivasi yang mengarahkan pada perilaku tertentu, perubahan perilaku yang positif dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas (Friedman, 1998). Dalam penelitian ini peneliti membatasi hanya pada dukungan sosial keluarga karena keluarga merupakan individu yang paling dekat dan mempunyai arti dan pengaruh besar bagi pasien. Keluarga mempunyai andil yang cukup besar dalam memerangi penyalahgunaan NAPZA terutama setelah keadaan intoksifikasi, keadaan lepas NAPZA dan berbagai komplikasi medis pasien dapat diatasi, maka problema kepribadian inilah yang biasanya muncul ke permukaan dan harus ditanggulangi. Dukungan sosial keluarga pada pasien ketergantungan NAPZA tidak semuanya baik karena ada beberapa keluarga yang menganggap selesai hanya dengan membawa anak mereka ke rehabilitasi, padahal perhatian dari petugas rehabilitasi tidaklah cukup, para pasien ketergantungan NAPZA juga membutuhkan support system dari orang terdekat yaitu keluarga untuk
membangun motivasi mereka untuk sembuh baik dari segi fisik maupun psikis.ka Oleh karena itu peneliti merasa tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai “Hubungan antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Motivasi Kesembuhan Pasien NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat adiktif) di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta Timur". Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien NAPZA di Ruang Rawat Inap MPE dan Rehabilitasi Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta yang telah melewati tahap detoksifikasi yaitu sebanyak 45 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah total sampling yaitu sebanyak 45 orang. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan komputer dengan IBM SPSS 21. Analisis data meliputi analisis univariat, bivariate dan multivariat yang dilakukan untuk mengontrol konfonding. Hasil Penelitian Karakteristik Responden Hasil penelitian sebanyak 45 responden didapatkan data bahwa sebanyak 42 orang (93,3%) berjenis kelamin lakilaki dan 3 orang (6,7%) berjenis kelamin perempuan. Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi tindakan maupun sikap seseorang, demikian juga dengan kecenderungan kenakalan remaja, yang termasuk salah satunya adalah penyalahgunaan NAPZA.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden (n=45) Karakteristik Frekuensi (n) Persentase (%) responden Jenis kelamin - Laki-laki 42 93,3 - Perempuan 3 6,7 Pendidikan - SD 1 2,2 - SMP 1 2,2 - SMU 30 66,7 - D3 4 8,9 - S1 9 20,0 Pendapatan - ≥Rp. 2.300.000 20 44,4 -
sifat laki-laki adalah lebih agresif, bersikap bebas, aktif, dan berani. Jadi dapat disimpulkan perilaku delikuensi atau kenakalan remaja lebih sering dilakukan oleh lakilaki daripada perempuan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden terbesar berpendidikan rendah (SD/SMP/SMU) sebanyak 32 orang (71,1%), sedangkan berpendidikan tinggi (D3/S1) sebanyak 13 orang (28,8%). Berdasarkan data BNN (2012) menunjukkan para pemakai atau
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(3); Sept 2013 penyalahguna NAPZA dari tahun 2007-2011 sebagian besar pendidikan SMP (23,7%) dan SMA (61,9%) yaitu kelompok usia remaja. Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Burt (1984) dalam Maryana (2006) mengemukakan remaja yang memiliki tingkat intelegensi rendah lebih banyak yang terlibat dalam kenakalan remaja. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar 55,6% responden memiliki tingkat pendapatan < Rp. 2.300.000/bulan yang dikategorikan oleh peneliti pada status ekonomi rendah, dan 44,4% dengan status ekonomi tinggi. Walaupun berdasarkan hasil penelitian dari Maryana (2006) menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status ekonomi dengan penyalahgunaan NAPZA karena terlepas dari sosial ekonomi keluarga tergolong mendukung ataupun tidak jika keinginan mereka untuk memakai NAPZA tinggi disertai adanya pengaruh lingkungan pergaulan yang memakai NAPZA, maka mereka akan selalu penuh dengan kreativitas untuk mendapatkan NAPZA tanpa memandang keadaan perekonomian keluarga. Namun dengan tingkat pendapatan keluarga yang rendah menyebabkan adanya tekanan hidup yang serba kekurangan yang membuat responden kecewa dengan keadaan yang demikian. Sebagai pelarian diri dari masalah kemiskinan mereka dapat terbawa arus ke lingkungan pergaulan yang patologis yaitu lingkungan pemakai NAPZA dan pada akhirnya terlibat penyalahgunaan NAPZA. Dukungan Sosial Keluarga Responden Dukungan sosial keluarga yang terbesar diperoleh oleh responden adalah dukungan sosial keluarga yang baik sebanyak 38 responden (84,4%) dan sisanya 7 responden (15,6%) memiliki dukungan sosial keluarga kurang baik. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Dukungan Sosial Keluarga Responden (n=45) Dukungan Sosial Frekuensi (n) Persentase (%) Keluarga - Baik 38 84,4 - Kurang baik 7 15,6 Walgito (2002) mengemukakan bahwa dukungan sosial keluarga yang dimaksud yaitu keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai dan menyayangi kita. Jadi dapat disimpulkan dukungan sosial keluarga merupakan bentuk bantuan yang dirasakan seseorang dalam hal ini pasien NAPZA yang diperoleh melalui hubungan interpersonal. Dukungan sosial keluarga yang dapat diberikan pada pasien NAPZA dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu dukungan emosional, dukungan instrumen, dukungan informatif dan dukungan penghargaan. Menurut Smet (1994) dukungan emosional ini meliputi rasa empati, kepedulian, dan perhatian terhadap anggota keluarga. Sikap keluarga yang peduli sangat diperlukan untuk menghadapi pasien yang membutuhkan
perhatian. Dengan perhatian yang berlebih maka pasien merasa tidak sendiri dalam menghadapi proses terapi dan rehabilitasinya. Pemulihan dari kecanduan NAPZA merupakan proses jangka panjang yang dapat menimbulkan stress bagi pasien NAPZA. Dukungan sosial keluarga merupakan strategi preventif untuk mengurangi stress dan segala konsekwensi negatifnya (Fiedman, 1998). Kemudian untuk menambah semangat agar pasien NAPZA terus menjalani program rehabilitasinya tanpa ada rasa putus asa keluarga dapat memberikan dukungan penghargaan. Menurut Smet (1994) dukungan ini bisa terjadi melalui ungkapan positif untuk seseorang, dorongan untuk maju, serta perbandingan positif dengan orang lain. Dengan adanya reinforcement positif maka sebuah perilaku akan semakin dapat ditingkatkan. Menurut Smet (1994) dukungan informatif mencakup pemberian nasihat, petunjuk, saran-saran atau umpan balik. Disini keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan disemminator informasi, dalam hal ini khususnya informasi seputar terapi dan rehabilitasi ketergantungan obat. Selain itu dukungan instrumen yang berupa materi atau pertolongan langsung juga dibutuhkan oleh pasien NAPZA seperti pengusahaan biaya untuk proses terapi dan rehabilitasi ketergantungan obat, rutin melakukan kunjungan ke rehabilitasi dan lain sebagainya. Dalam hal ini dapat diberikan oleh keluarga sebagai individu yang paling dekat dan bertanggung jawab atas pasien. Jadi keluarga disini berfungsi sebagai sumber pertolongan praktis dan konkrit. Motivasi Kesembuhan Pasien NAPZA Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat motivasi kesembuhan pasien NAPZA sebanyak 31 responden (68,9%) memiliki tingkat motivasi yang tinggi dan sebanyak 14 responden (31,1%) memiliki tingkat motivasi rendah. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Isnaini (2009) yaitu dari 50 responden yang diteliti hasilnya responden yang memliki keinginan untuk sembuh sebanyak 33 orang (66%) dan sisanya sebanyak 17 orang (34%) tidak mempunyai keinginan untuk sembuh. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Motivasi Kesembuhan Responden (n=45) Motivasi Frekuensi (n) Persentase (%) Kesembuhan - Tinggi 31 68,9 - Rendah 14 31,1 Penelitian lain yang oleh Maryana (2006) hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan proses penyembuhan pasien NAPZA di Panti Rehabilitasi Pamardi Putra Mandiri Semarang yaitu dari 52 responden menunjukan bahwa sebanyak 65,4% mempunyai motivasi rendah, mempunyai motivasi cukup 34,6 % dan tidak ada yang mempunyai motivasi tinggi (0 %). Menurut Walgito (2002) mengemukakan motivasi
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(3); Sept 2013 adalah keinginan didalam seorang individu yang mendorong ia untuk bertindak. Motivasi menunjukkan dorongan dan usaha untuk memenuhi atau memuaskan suatu kebutuhan atau untuk mencapai suatu tujuan. Motivasi merupakan penggerak perilaku atau disebut dengan energizer of behavior. Motivasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu faktor internal yang terdiri dari sifat fisik, jenis kelamin, sifat kepribadian, intelegensia dan sifat bawaan. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang terdiri dari lingkungan, pendidikan, pengetahuan dan kebudayaan. Menurut Hawari (2003) mengatakan bahwa pemulihan dari kecanduan NAPZA dapat merupakan proses jangka panjang dan sering membutuhkan beberapa episode perawatan. Terapi penyalahgunaan NAPZA ini dibedakan menjadi dua tahapan yaitu detoksifikasi dan pascadetoksifikasi. Tahapan pascadetoksifikasi ini merupakan suatu rehabilitasi yang bertujuan mengembalikan kondisi kembali sehat dalam arti sehat fisik, psikologik, sosial, dan spiritual. Tahapan ini merupakan proses jangka panjang dimana didalam pelaksanaannya dibutuhkan motivasi yang merupakan kunci utama bagi para pengguna NAPZA untuk menjalani hidup bersih tanpa NAPZA. Pada penelitian ini variabel motivasi didasarkan pada salah satu teori motivasi yaitu Teori Kebutuhan McClelland (1970) dalam Koeswara (1989) yang
dibedakan menjadi tiga komponen yaitu kebutuhan prestasi, kebutuhan afiliasi, dan kebutuhan kekuasaan. Kebutuhan prestasi adalah dorongan yang kuat sekali untuk berhasil, dalam hal ini dibutuhkan dorongan yang kuat dari diri pasien NAPZA dalam menjalankan proses terapi dan rehabilitasi NAPZA dengan baik sehingga dapat lepas dari jeratan NAPZA. Kebutuhan afiliasi didasari adanya keinginan untuk bersahabat dan bekerja sama dengan orang lain, dalam hal ini kehidupan di rehabilitasi dimana para pasien NAPZA hidup bersamasama teman seperjuangan yang mempunyai tujuan sama akan dapat lebih memotivasi. Kemudian kebutuhan kekuasaan yang tercermin pada seseorang yang ingin mempunyai pengaruh atas orang lain, dalam hal ini seseorang yang lebih aktif, yang dapat memberikan pengaruh pada teman-temannya di rehabilitasi. Hubungan Dukungan Sosial Keluarga Dengan Motivasi Kesembuhan Pasien NAPZA Hasil penelitian menunjukkan pada hasil uji Chi Square dengan tingkat kesalahan (alpha) 0,05. Diperoleh hasil yang signifikan (p=0,023) maka dapat disimpulkan ada hubungan signifikan antara dukungan sosial keluarga dengan motivasi pasien NAPZA di Ruang Rawat Inap MPE dan Rehabilitasi Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta.
Tabel 5. Hubungan Dukungan Sosial Keluarga Dengan Motivasi Kesembuhan Pasien NAPZA Dukungan Sosial Keluarga Baik Kurang Baik Jumlah
Motivasi Kesembuhan Pasien Napza Tinggi
Total
Rendah
OR (95% CI)
P value 0,023
n 29
% 76,3
n 9
% 23,3
n 38
% 100
8,056
2
28,6
5
71,4
7
100
1,3 - 48,8
31
68,9
14
31,1
45
100
Menurut Friedman (1998) keluarga didefinisikan sebagai suatu sistem sosial yang hidup, dimana hubungan satu sama lain ditemukan dalam sebuah sistem keluarga, sehingga perubahan yang terjadi pada suatu bagian pasti menyebabkan perubahan dalam suatu sistem. Motivasi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain menurut Walgito (2002) diantaranya yaitu faktor internal yang terdiri dari sifat fisik, jenis kelamin, sifat kepribadian, intelegensia dan sifat bawaan. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang terdiri dari lingkungan, pendidikan, pengetahuan dan kebudayaan. Dukungan sosial disini hanya merupakan salah satu faktor dari beberapa faktor yaitu lingkungan yang merupakan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi motivasi. Namun demikian dengan adanya dukungan sosial keluarga memberikan rasa aman, nyaman, tenang, dan dapat meningkatkan motivasi pasien NAPZA dalam proses terapi dan rehabilitasi yang sedang mereka jalani di rehabilitasi.
Hal ini sesuai karena secara spesifik keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti berhubungan dengan status kesehatan yaitu dengan timbulnya suatu motivasi yang mengarahkan pada perilaku tertentu. Perubahan perilaku yang positif dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas (Friedman, 1989). Menurut Smet (1994) Dukungan yang dapat diberikan pada pasien NAPZA yang sedang menjalani proses terapi dan rehabilitasi NAPZA dapat berupa dukungan informasi, yaitu dengan memberikan informasiinformasi, pengetahuan seputar terapi dan rehabilitasi NAPZA. Dukungan instrumental yaitu berupa pemberian bantuan secara langsung, seperti pengusahaan biaya untuk proses terapi dan rehabilitasi ketergantungan obat, rutin melakukan kunjungan ke rehabilitasi. Dukungan emosional meliputi rasa empati, kepedulian, dan perhatian terhadap anggota keluarga. Dengan perhatian yang berlebih maka pasien merasa tidak sendiri dalam menghadapi proses terapi dan rehabilitasinya. Dukungan
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(3); Sept 2013 penghargaan bisa terjadi melalui ungkapan positif untuk seseorang, dorongan untuk maju, serta perbandingan positif dengan orang lain. Dengan adanya reinforcement positif maka sebuah perilaku akan semakin dapat ditingkatkan. Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Motivasi Kesembuhan Pasien NAPZA Setelah dikontrol dengan 3 Confounder (Jenis Kelamin, Pendidikan, Status Ekonomi) Hasil penelitian dengan analisis uji regresi logistik, dukungan sosial keluarga berhubungan signifikan (p value=0,023) dengan motivasi kesembuhan pasien
NAPZA di Ruang Rawat Inap MPE dan Rehabilitasi Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta dengan OR=0,089 maka dukungan sosial keluarga menjadi pencegah motivasi kesembuhan pasien responden atau dengan kata lain probabilitas motivasi tinggi pada responden dengan dukungan sosial keluarga yang baik lebih rendah 91,1% dibandingkan dengan responden yang memiliki dukungan sosial yang kurang baik. Hasil regresi karakteristik pasien yaitu jenis kelamin, tingkat pendidikan dan status ekonomi hanya memberikan sumbangsih 8,9% bagi perubahan motivasi kesembuhan pada responden.
Tabel 5. Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga Dengan Motivasi Kesembuhan Pasien NAPZA Setelah Dikontrol Dengan 3 Confounder 95% CI B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper Dukungan -2.415 1.087 4.937 1 .026 .089 .011 .752 Sosial Keluarga Jenis Kelamin -1.606 1.761 .831 1 .362 .201 .006 6.334 Tingkat .693 1.372 .255 1 .613 2.000 .136 29.421 Pendidikan StatusEkonomi -1.323 1.312 1.017 1 .313 .266 .020 3.485 Constant 3.046 2.236 1.855 1 .173 21.022
Hasil penelitian dengan analisis uji regresi logistik, dukungan sosial keluarga berhubungan signifikan (p value=0,023) dengan motivasi kesembuhan pasien NAPZA di Ruang Rawat Inap MPE dan Rehabilitasi Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta dengan OR=0,089 maka dukungan sosial keluarga menjadi pencegah motivasi kesembuhan pasien responden atau dengan kata lain probabilitas motivasi tinggi pada responden dengan dukungan sosial keluarga yang baik lebih rendah 91,1% dibandingkan dengan responden yang memiliki dukungan sosial yang kurang baik. Hasil regresi karakteristik pasien yaitu jenis kelamin, tingkat pendidikan dan status ekonomi hanya memberikan sumbangsih 8,9% bagi perubahan motivasi kesembuhan pada responden. Penelitian yang telah dilakukan oleh Putra (2011) mengenai hubungan antara dukungan sosial dengan motivasi untuk sembuh pada pengguna napza di Rehabilitasi Madani Mental Health Care menyatakan dukungan sosial memberikan sumbangsih sebesar 27,5% terhadap motivasi sembuh, sisanya 72,5% dapat dijelaskan oleh variabel lain selain dukungan sosial. Sedangkan hasil regresi aspek demografi pada dukungan sosial yaitu jenis kelamin dan lama tinggal direhabilitasi, hanya memberikan kontribusi 5% bagi perubahan motivasi untuk sembuh. Menurut Martono (2006) dalam Siahaan (2012) mengemukakan bahwa dukungan sosial keluarga sudah menyediakan dukungan jasmaniah seperti pelayanan, bantuan finansial dengan menyediakan dana untuk biaya pengobatan. Selama masa terapi pengobatan, banyak tanggung jawab korban penyalahguna NAPZA dalam keluarga diabaikan sehingga keluarga mengambil alih
tanggung jawab tersebut. Keluarga perlu berupaya untuk secara bertahap menyerahkan kembali tanggung jawab tersebut kepada mereka. Keluarga tidak boleh membiarkan mereka hidup tanpa tanggung jawab. Keluarga harus menyadari bahwa menghargai diri harus muncul dari dalam diri mereka, bukan dari dorongan luar sehingga korban penyalahguna NAPZA perlu menemukan jati dirinya dengan kembali mengambil perannya dalam keluarga. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Isnaini (2009) sebanyak 50 responden mendapatkan hasil dukungan keluarga yang tinggi (54%), dukungan keluarga yang sedang (28%) dan dukungan keluarga yang rendah (18%). Dukungan keluarga yang didapatkan oleh penyalahguna NAPZA masih beragam, namun sebagian besar mendapatkan dukungan yang tinggi. Permasalahan ini sesuai dengan lingkungan yang mendukung terutama keluarga sangat berperan dalam proses penyembuhan seseorang yang ketergantungan obat. Hal ini disebabkan tidak banyak dari mereka yang keinginan sembuhnya datang dari dalam dirinya sendiri, lebih banyak pengguna membutuhkan dukungan orang tua. Isnaini (2009) juga mengemukakan bahwa dukungan keluarga mempengaruhi keinginan untuk sembuh yang menyatakan bahwa sebenarnya para penyalahguna NAPZA ingin berhenti menggunakan NAPZA karena Guilty Feeling. Guilty Feeling dapat memotivasi seseorang pemakai NAPZA untuk berhenti menggunakan NAPZA yang muncul dari dalam diri individu sendiri, dari luar individu, dan perasaan bertanggung jawab baik bertanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat, pemerintah maupun Tuhannya. Dalam hasil penelitiannya dikemukakan motivasi dari diri sendiri
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(3); Sept 2013 memberikan peluang 40% kesembuhan. Sisanya, dibutuhkan dukungan obat, keluarga, dan lingkungan. Penyembuhan seharusnya tidak hanya secara fisik, namun juga psikologis penyalahguna NAPZA, seperti mengembalikan kepercayaan dirinya. Saran 1. Bagi Keluarga Mengingat Pemulihan dari kecanduan NAPZA dapat merupakan proses jangka panjang dan sering membutuhkan beberapa episode perawatan maka dukungan sosial keluarga sangat dibutuhkan bagi pasien NAPZA dalam menjalani proses terapi dan rehabilitasinya. Keluarga hendaknya lebih intensif di dalam pemberian dukungan bagi pasien NAPZA baik berupa informasi, memberikan pertolongan langsung, rasa empati atau kepedulian, dan memberikan penghargaan. 2. Bagi Rumah Sakit Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial keluarga baik belum sampai tingkat maksimal. Informasi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai masukan bagi pihak rumah sakit secara komprehensif sebagai bahan pertimbangan pemberian psikoterapi suportif khususnya dukungan sosial keluarga, dengan mengevaluasi kembali psikoterapi keluarga seberapa banyak telah diberikan pada program rehabilitasi dan melihat lagi seberapa jauh dukungan keluarga pada saat pasien kembali dilingkungan keluarganya. 3. Untuk Penelitian Selanjutnya Bagi penelitian selanjutnya diharapkan untuk dapat melakukan penelitian secara kualitatif agar dapat lebih menggali dukungan sosial keluarga dan motivasi pasien NAPZA dalam proses penyembuhan ketergantungan obat secara mendalam. Daftar Pustaka Firmanzah, dkk. (2011). Mengatasi Narkoba dengan Welas Asih. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama BNN (2011). Survey Nasional Perkembangan Penyalahgunaaan Narkoba di Indonesia Tahun 2011 (Kerugian Sosial dan Ekonomi) Jakarta : BNN Hawari Dadang. (2003). Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Kaplan HI dan Sadock BJ. (1992). Sinopsis Psikiatri. Jakarta: Binarupa Aksara. Stoner, JA dan freeman. (1996). Manajemen. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta : Prenhallindo. Friedman, M, et. al. (1998). Keperawatan Keluarga : Riset, Teori dan Praktik. Edisi 3. Jakarta : EGC. Maryana, D. 2006. Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga Dengan Motivasi Klien Napza (Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif) Dalam Proses Penyembuhan Ketergantungan Obat Di Panti Rehabilitasi Pamardi Putra Mandiri Semarang. Program
Studi Ilmu Keperawatan Fakkultas Universitas Diponegoro Semarang. Skripsi
Kedokteran
Walgito, B. (2002). Pengantar Psikologi Umum. Edisi 3.Yogyakarta : Andi Offset. Smet Bart. (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT. Grasindo. Koeswara. (1989). Motivasi: Teori dan Penelitiannya. Bandung : Angkasa. Putra, Bayu S. (2011). Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Motivasi Untuk Sembuh Pada Pengguna Napza Di Rehabilitasi Mandani Mental Health Care. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Fakultas Psikologi. Skripsi. Siahaan, Elisa P. (2012). Dukungan Psikososial Keluarga Dalam Penyembuhan Pasien Napza Di Rumah Sakit Jiwa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Skripsi Isnaini Y. (2009). Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Keinginan Untuk Sembuh Pada Penyalahgunaan Napza Di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan Kota Yogyakarta. FKM Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Skripsi.