ISSN 1978-869X MAJALAH / JURNAL
GENERASI KAMPUS
VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2009
DI TERBITKAN OLEH :
PEMBANTU REKTOR BIDANG KEMAHASISWAAN, UNIVERSITAS NEGERI MEDAN, TAHUN 2009
MAJALAH/JURNAL
GENERASI KAMPUS
ISSN 1978-869X
(CAMPUS GENERATION) VOLUME 2, NOMOR 2, SEPTEMBER 2009 Terbit Dua kali setahun pada bulan April dan September. Berisi ringkasan hasil penelitian, gagasan kopseptual, kajian teori, aplikasi teori yang dimuat dalam Majalah/jurnal Generasi Kampus . Pelindung
:
Prof. H. Syawal Gultom M.Pd. (Rektor Unimed)
Pengarah
:
*Prof. Dr. Slamat Triono, M.Sc (Pembantu Rektor I Unimed); *Drs. Chairul Azmi, M.Pd. (Pembantu Rektor II Unimed); *Dr. Berlin Sibarani, M.Pd. (Pembantu Rektor IV Unimed).
Penanggung jawab
: Drs.. Biner ambarita, M.Pd. (Pembantu Rektor III Unimed)
Ketua Penyunting
: Hariadi, S.Pd., M.Kes.
Sekretaris Penyunting
: Tappil Rambe, S.Pd.
Penyunting Pelaksana : *Lamhot Sihombing, S.Pd, M.Pd. *Miswaruddin Daulay, S.Pd. *Mangaratua Simanjorang, M.Pd.*Drs. Swardi Rajaguguk. *Drs. Indra Meipita, M.Sc. *Ir. Haikal Rahman, M.Sc. *Syamsul Gutom S.Mas, M.Kes. * Pembantu Dekan III FIP (Drs. Nasrun M.S), * Pembantu Dekan III FBS (Dr. Daulat Saragi, M. Hum), * Pembantu Dekan III FT (Drs. Hezekiel Pasaribu, M.Pd), * Pembantu Dekan III FPMIPA (Drs. Asrin Lubis, M.Pd), * Pembantu Dekan III FIS (Drs. Liber Siagian, M.Si) * Pembantu Dekan III FIK (Dr. Agung Sunarno M.Pd), dan * Pembantu Dekan III FE (Drs. Bangun Napitupulu, M.Si) Penyunting Ahli : Prof. Selamat Triono, M.Sc, PhD (Universitas Negeri Medan); Prof. Dr. Hamka (Universitas Negeri Padang); Dr. Herminarta Sofyan (Universitas Negeri Yogyakarta); Prof. Yusuf Sudo Hadi (Institut Pertanian Bogor); Eddy Nur Ilyas, S.H, M.Hum (Universitas Syah Kuala Darussalam B. Aceh); Ir. H.RB. Ainurrasyid, NIS (Universitas Brawijaya); Syarif A. Barmawi, S.H, M.Si (Universitas Pajajaran Bandung); Prof. Dr. H.R. Boenyamin (Universitas Jendral Sudirman) Desain Cover
: Drs. Nelson Tarigan, M.Pd.
Kontributor
:
*Samrah, S.Pd. *Nurhaida, SH, M.Kn. *Surbita, SH. *Dra. Hayati Tamba. *Dra. Susiarni. *Nusawati BA. *Drs. Idrus. *Dra.Nismawarni Harahap. * Pelaksana Tata Usaha
:
Alamat Tata Usaha
:
Bani Ismail; Dewita Rita
Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Negeri Medan, Lantai 3. Jln. Williem Iskandar, Pasar V, Medan Estate. Kotak Pos 1589, Medan 20221. Telp : (061) 6613276, 6613365, 6618754. Fax : (061) 6613319. e-mail :
[email protected]
Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Naskah diketik dengan spasi 1,5 pada kertas A4 dengan jumlah halaman 10-15. (lebih jelas baca petunjuk bagi penulis pada sampul dalam belakang). Naskah yang masuk dievaluasi oleh penyunting ahli. Penyunting dapat melakukan perubahan pada tulisan yang dimuat untuk keseragaman format, tanpa mengubah maksud dan isi tulisan tersebut.
SURAT DARI REDAKSI
Pendidikan bertujuan menciptakan Sumber Daya Manusia yang unggul, dan pelaksanaannya berlangsung dalam suatu sistem. Sistem pendidikan sendiri dibangun oleh berbagai unsur. Dengan demikian untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pendidikan seyogyanya mempertimbangkan peran masing-masing unsur. Edisi kali ini membahas upaya peningkatan efektivitas dan efisiensi
pendidikan
melalui
berbagai
unsur,
kompetensi
dan
profesionalitas Kepala Sekolah, potensi dan keunggulan daerah, sinkronisasi muatan kurikulum, minat baca, pemanfaatan komputer hingga hubungan kreativitas dan minat wirausaha. Cara pandang yang menyeluruh serta keseimbangan berbagai unsur yang membangun sistem pendidikan sangat menentukan kekokohan sistem itu sendiri. Semoga ulasan pada edisi kali ini dapat menggugah hati para pembaca yang budiman dan memberi sumbangan pemikiran dalam upaya peningkatan mutu pendidikan kita. Salam…!
Medan, September 2009 Penanggungjawab Pembantu Rektor III UNIMED,
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. NIP: 19570515 198403 1 004
ISSN 1978-869X MAJALAH/JURNAL
GENERASI KAMPUS (CAMPUS GENERATION) V VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL 2008 IL 2008
VOLUME 2, NOMOR 2, September 2009 Daftar Isi Sukarman Purba
Biner Ambarita
Bornok Sinaga
Wanapri Pangaribuan Hamonangan Tambunan Rosnelli
Indra Kasih Lamhot Basani Sihombing
Hariadi, S.Pd., M.Kes.
Peningkatan Kompetensi Melalui Pementoran dalam Mewujudkan Profesionalisme Kepala Sekolah Perencanaan Pengembangan Sekolah Berbasis Potensi dan Keunggulan Daerah Sinkronisasi Muatan Kurikulum LPTK dan Kurikulum Sekolah Mitra PPL Buku Ajar Model Interaktif untuk Meningkatkan Minat Baca Peningkatan Pembelajaran Berbasis Komputer Implementasi Model Pembelajaran Interaktif pada Pembelajaran Kompetensi Teknik Digital SMK untuk Menangani Perbedaan Individual Siswa Fair Flay dalam Olahraga Hubungan Antara Kreativitas dan Minat Wirausaha Entertainment dengan Hasil Belajar Manajemen Produksi Pagelaran Seni Musik Soft Skill dan Program Kreativitas
1-16 17-29 30-53 54-71 72-82 83-98
99-105 106-118
119-135
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
PENINGKATAN KOMPETENSI MELALUI PEMENTORAN DALAM MEWUJUDKAN PROFESIONALISME KEPALA SEKOLAH SUKARMAN PURBA Abstrak Kepala sekolah mempunyai posisi yang sangat dominan dan menjadi sentral dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, untuk menjadi kepala sekolah bukan hanya persyaratan yang bersifat administratif saja yang harus dipenuhi, akan tetapi calon kepala sekolah harus memiliki kompetensi yang memadai, profesional, berjiwa pemimpin yang selalu menjunjung kode etik sekolah. Kepala sekolah harus profesional dan kompetensinya harus selalu di up grade sehingga mampu merespons tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu untuk menghadapi persaingan. Di samping sikap profesionalismenya, perilaku kepala sekolah sebagai seorang pemimpin perlu memiliki kemampuan dalam menangani konflik-konflik kepentingan dan harapan dalam kondisi yang rumit dan sulit diprediksi dengan bijaksana dan sehat. Untuk meningkatkan kompetensi Kepala Sekolah dapat dilakukan melalui pementoran. Pementoran adalah wahana pengembangan yang melibatkan seorang mentor yang memiliki pengalaman, pengaruh dan prestasi yang jauh lebih tinggi dari pemagang yang pada umumnya masih belajar untuk menjadi Kepala Sekolah. Pementoran harus dilaksanakan dengan perencanaan yang matang dengan komitmen organisatoris agar dapat terlaksana dengan baik, dan menghasilkan Kepala Sekolah yang accountable dalam melakukan tugas dan tanggungjawabnya. Kata Kunci: Kompetensi, Pementoran, Profesionalisme Kepala Sekolah A. PENDAHULUAN Pendidikan memiliki peranan yang penting dalam pembangunan di tanah air. Investasi pada bidang pendidikan sepertinya menjadi hal yang terbaik dan paling efektif karena kontribusi dalam pembangunan bisa melebihi investasi fisik. Hasil penelitian Unicef melaporkan bahwa selama dua puluh tahun belakangan Indonesia telah membuat kemajuan yang cukup signifikan dalam hal pendidikan. Namun demikian, berbagai masalah masih banyak dihadapi, di antaranya masalah mengenai sistem yang kurang efisien dan rendahnya mutu pendidikan. Rendahnya mutu Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
1
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
pendidikan ini, tidak terlepas dari profesionalisme Kepala Sekolah dalam memimpin sekolahnya untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas. Perubahan zaman yang semakin cepat telah menyebabkan Kepala Sekolah harus mampu menanggapi perubahan itu dengan lebih cerdas dan tanggap. Kepala Sekolah perlu memiliki keterampilanketerampilan yang inovatif dan yang lebih bermanfaat. Dalam kondisi yang seperti ini, manajemen sekolah semakin diharapkan berbasis sekolah. Dengan demikian, peran Kepala Sekolah semakin menentukan dalam kemajuan Sekolah, peningkatan mutu pendidikan, dan juga sejauh mana dia dapat menjadi pelopor dalam menghantarkan anak didiknya menjadi sumber daya manusia yang dapat diperhitungkan di masyarakat yang semakin membingungkan dan sarat dengan tuntutan-tuntutan. Kepala Sekolah adalah pemimpin di Sekolah. Oleh karena itu, Kepala Sekolah yang harus mampu berperan untuk mengarahkan sekolah dan memfokuskan diri pada pengajaran yang berkualitas, memberikan arahan pada pengembangan kurikulum, dan menunjukkan kepemimpinan yang baik kepada guru. Untuk itu, Kepala Sekolah haruslah memiliki kompetensi yang dapat berperan dalam mendukung pelaksanaan tugasnya. Seperti yang dinyatakan Spencer dan Spencer (1993) mengisyaratkan pentingnya kompetensi dengan pernyataan bahwa siapa pun yang ingin bertahan dalam era global, haruslah memiliki kekayaan sebagaimana yang dimiliki oleh para aktor kunci dalam ekonomi global, yaitu concept, competence, dan connection atau networking. Namun dalam kenyataannya, peningkatan kompetensi Kepala Sekolah hingga masih kurang mendapat perhatian, seperti
penelitian Hickcox (2002)
menemukan bahwa kompetensi kepala sekolah belum mendapatkan perhatian yang cukup. Lee, Walker dan Bodycott (2000) juga menyatakan
2
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
bahwa Kepala Sekolah belum cukup akuntabel dan masih memimpin secara paternalistik. Keterbatasan pada kompetensi Kepala Sekolah harus perlu segera diatasi, karena keberhasilan sebuah Sekolah tak dapat dipisahkan dari kepemimpinan yang ada di sekolah tersebut (Sergiovanni, 1991). Upaya memang telah dilakukan dengan pelatihan-pelatihan bagi mereka yang akan menjadi kepala sekolah. Pelatihan-pelatihan dilakukan pula pada yang baru menjadi kepala sekolah, dan mereka yang sudah berpengalaman menjadi kepala sekolah. Namun, pelatihan-pelatihan itu di banyak negara masih bersifat informal, ad hoc, dan dengan pendekatan yang tak terkoordinasi. Pelatihan untuk kepala sekolah di zaman yang cepat berubah ini perlu lebih intensif dan terpadu. B. PEMBAHASAN a. Pengertian Kompetensi Kompetensi ialah sifat, pengetahuan dan kemampuan pribadi seseorang yang relevan dalam menjalankan tugasnya secara efektif (Chung & Megginson, 1993). Gilmore dan Carson (1996) menyatakan kompetensi adalah kemampuan untuk menggunakan ilmu pengetahuan dan ketrampilan secara efektif dalam mencapai kinerja. Berdasarkan pernyataan tersebut, menunjukkan kompetensi merupakan keterampilan dari pribadi seseorang untuk mampu memanfaatkan atau menggunakan keterampilan
serta
ilmu pengetahuan yang dimilikinya, dalam
melaksanakan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya. Spencer & Spencer (1993) mendefinisikan kompetensi ialah sesuatu yang mendasari karaketeristik seorang individu yang secara kausal berhubungan dengan referensi kriteria efektif dan/atau kinerja tertinggi dalam pekerjaan atau situasi (A competency is an underlying characteristic of an individual that is causally related to criterion-referenced effective and/or superior performance in a job or Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
3
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
situation). Selanjutnya, Hornby (2000) mengkelaborasikan pada dasarnya kompetensi adalah: 1). menunjukkan kecakapan atau kemauan untuk mengerjakan suatu pekerjaan; 2). merupakan suatu sifat orang-orang kompeten, yaitu yang memiliki kecakapan, kemampuan, otoritas, kemahiran, pengetahuan dan sebagainya untuk mengerjakan apa yang diperlukannya; dan 3). menunjukkan tindakan (kinerja) rasional yang dapat mencapai tujuan-tujuan secara memuaskan berdasarkan kondisi. Sedangkan, menurut Harris, et al. (1997), kompetensi meliputi seluruh aspek penampilan kerja, dan tidak hanya terbatas pada keterampilanketerampilan kerja melainkan juga persyaratan melatih keterampilanketerampilan tugas individual, mengelola sejumlah tugas yang berbeda di dalam pekerjaan, merespons ketidakteraturan dan mengatasinya dalam tugas-tugas rutin, dan mempertemukan tanggung jawab dengan harapanharapan di lingkungan kerja, termasuk bekerja sama dengan yang lain. Kompetensi dapat bersifat generik secara universal, berlaku bagi semua manajer tanpa peduli ia merupakan bagian dari organisasi yang mana, ataupun apa pekerjaan tertentu mereka. Mereka dapat juga bersifat generik secara organisasional, bisa bersifat umum dan berlaku bagi seluruh staf, atau terfokus secara lebih spesifik kepada suatu jenis pekerjaan atau kategori karyawan seperti para manajer, ilmuwan, staf profesional ataupun staf administrasi. Secara alternatif, mereka juga bisa ditetapkan bagi suatu hierarki jenis pekerjaan atau, pada beberapa kasus, semua pekerjaan staf, tingkat demi tingkat. Kompetensi juga dapat ditetapkan secara spesifik bagi suatu peran tertentu secara individual. Dengan demikian, kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti 4
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi ialah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh Kepala Sekolah berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya sehingga kepala sekolah tersebut dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, efektif, dan efisien. b. Pengertian Pementoran Pementoran adalah suatu proses yang sebenarnya tak terelakkan bagi siapa pun yang ingin maju. Seorang juara dunia pun membutuhkan seorang pelatih. Pada dasarnya dalam pementoran protégé atau pemagang akan mempelajari bahwa kepemimpinan itu sebenarnya adalah gabungan dari strategi dan karakter (Knuth & Banks, 2006). Namun, pementoran bukan sekedar pelatihan. Pelatihan biasanya memiliki lingkup yang lebih sempit dibanding pementoran dan dalam jangka waktu yang lebih pendek. Pementoran formal merupakan kegiatan praktek pengalaman lapangan yang menjadi bagian dari sebuah program pendidikan yang dilaksanakan oleh sebuah perguruan tinggi. Dengan demikian, pementoran merupakan pendekatan yang terstruktur dan terkoordinasi yang memungkinkan setiap individu, baik mentor maupun protégé (pemagang) sepakat untuk terlibat dalam hubungan pribadi yang kerahasiaannya terjaga, dalam rangka mempersiapkan pengembangan dan pertumbuhan profesional, dan menciptakan lingkungan yang dapat mendukung perkembangan pribadi.
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
5
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Pementoran tidak sama dengan bantuan atau penutoran yang dilakukan
oleh
sejawat,
karena
pementoran
adalah
wahana
pengembangan yang melibatkan seorang mentor yang memang memiliki pengalaman, pengaruh dan prestasi yang jauh lebih tinggi dari pemagang (Calon Kepala Sekolah). Kepala sekolah mentor bagi seorang kepala sekolah protégé (pemagang) biasanya dipilih dari sekolah yang keadaannya mirip dengan sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah protégé (pemagang) tersebut. Kemiripan lingkungan sekolah ini memungkinkan bagi seorang protégé untuk membangun dialog yang otentik, dan terbentuknya proses refleksi pribadi dengan maksimal. Pementoran bertujuan untuk membangun keterampilan seorang praktisi dengan mendalam. Seorang kepala sekolah tidak hanya membutuhkan pengetahuan akademik, tetapi juga keterampilan praktis, melalui pemahaman terhadap liku-liku persoalan yang terjadi di lapangan, yang hanya dapat dipelajari melalui pementoran.Untuk pertumbuhan pribadi, pementoran membutuhkan paling sedikit enam bulan, dan untuk perubahan organisatoris yang sistematik dibutuhkan upaya minimal tiga hingga lima tahun. Sullivan–Brown (2002) menggarisbawahi bahwa upaya yang hanya dilakukan pada permukaan saja bukanlah pementoran. Bila seseorang tahu benar bagaimana mengelola keuangan, faham tentang perilaku organisasi, membuat perencanan strategis, menjalankan resolusi konflik, melakukan relasi interpersonal atau komunikasi, belum tentu dia dapat memimpin dengan baik. Seorang pemimpin perlu memiliki kemampuan dalam menangani konflik-konflik kepentingan dan harapan dalam kondisi yang rumit dan sulit diprediksi dengan bijaksana dan sehat. Pementoran dapat dibagi atas dua jenis pementoran, yaitu pementoran untuk sosialisasi profesi dan untuk sosialisasi organisasi. Pementoran dalam proses sosialisasi profesi terjadi pada saat seseorang 6
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
mempelajari bagaimana menjadi Kepala Sekolah. Proses ini dilakukan sebelum pengangkatan. Sebaliknya, pementoran untuk sosialisasi organisasi terjadi pada saat seseorang mempelajari tentang pengetahuan, nilai-nilai dan tingkah laku yang dibutuhkan untuk menjalankan peran khusus dalam sebuah organisasi (Weindling & Dimmock, 2006). Hal-hal yang dipelajari dalam proses sosialisasi profesi adalah kepemimpinan, manajemen dan bagaimana menjalankan tugas-tugas manajemen, dan pemodelan. Pemodelan adalah belajar dengan mengamati apa yang dapat dicontoh dan apa yang sebaiknya tidak dicontoh. Pementoran yang dilakukan pada masa sosialisasi organisasi adalah untuk membantu seorang pemimpin baru mempelajari selukbeluk yang ada pada Sekolah yang dipimpinnya dan juga bagaimana memperbaiki Sekolahnya itu. Pada masa sosialisasi organisasi ini, seorang kepala sekolah baru ingin menampilkan tanggung jawabnya, membuat perubahan-perubahan dan melakukan hal-hal yang dapat memajukan Sekolah yang dipimpinnya. Namun, pada masa ini pula seorang Kepala Sekolah baru mendapatkan bahwa tidak selamanya dia dapat mempengaruhi stafnya, tetapi, sebaliknya, dia yang dipengaruhi oleh stafnya. Seorang Kepala Sekolah membutuhkan waktu untuk membuat sekolahnya terbentuk seperti apa yang diinginkannya. Seorang Kepala Sekolah yang berasal dari sekolah yang sama biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membuat perubahan, dibanding Kepala Sekolah hasil penunjukkan dari luar. Untuk itu, pementoran untuk Kepala Sekolah haruslah dilaksanakan secara terstruktur. Dalam pengambilan keputusan seharihari, seorang Kepala Sekolah dihadapkan kepada pilihan yang mana yang harus dikedepankan. Stres sering menjadi persoalan utama. Bila Kepala Sekolah menuruti keinginan kantor Dinas, mungkin dia akan mendapat Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
7
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
protes keras dari para guru, dan bila mendengarkan guru, dia akan kehilangan hubungan baik dengan kantor Dinas. Persoalan lain, adalah bahwa setiap orang mengharapkan adanya reformasi, tetapi dalam pelaksanaannya tidak seorang pun siap berubah. Seorang Kepala Sekolah yang baik memiliki kiat yang tepat dalam menghadapi ekspektansi yang beragam ini dengan menggunakan semua sumber daya yang ada. Seorang kepala sekolah akan sepenuhnya menyadari tentang sumber-sumber harapan yang dapat mempengaruhi kepemimpinannya. Wali murid sebagai sumber pengharapan pun sudah cukup rumit untuk dilayani, karena setiap wali murid dapat memiliki harapan yang berbeda pula. Begitu pula dengan seorang pengawas yang ada sekarang dapat memiliki harapan yang berbeda dari pengawas sebelumnya, dan seterusnya. Harapan dari masyarakat juga menyumbang kerumitan lain, karena keragaman anggota masyarakat yang berbeda menurut kultur, ekonomi, keyakinan dan kebiasaan lainnya. Seorang Kepala Sekolah yang belum memiliki kepemimpinan yang tepat akan terus mengalami kesulitan dalam mengatasi harapan-harapan ini secara utuh. Dia hanya akan mengatasi bagian per bagian dari struktur sekolah yang ada, dan ada juga yang mudah menyerah dan tidak melakukan tindakan apa pun juga. Ada beberapa tahap masa perkembangan bagi seorang Kepala Sekolah. Bila pementoran dilaksanakan, sifat pementoran hendaknya disesuaikan dengan tahapan perkembangan Kepala Sekolah tersebut, yaitu : 1) Masa persiapan, yaitu masa sebelum menjadi Kepala Sekolah, 2) Bulan-bulan pertama, yaitu masa bagi Kepala Sekolah dalam menemukan banyak kejutan-kejutan baru, 3) Bulan ketiga hingga bulan keduabelas, yaitu masa bagi Kepala Sekolah dalam melakukan pemantapan dan perubahan-perubahan, dan pada masa ini staf dan Kepala Sekolahnya mengalami masa untuk siap berubah, 4) Tahun kedua adalah masa bagi 8
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Kepala Sekolah untuk dapat mengevaluasi kelebihan dan kekurangannya sendiri, 5) Tahun ketiga hingga keempat adalah masa pemurnian bagi Kepala Sekolah untuk membenahi kurikulum setelah membenahi banyak hal yang lainnya, 6) Tahun kelima hingga ketujuh adalah masa konsolidasi, yaitu masa bagi Kepala Sekolah untuk mengevaluasi segala perubahan yang telah dilakukannya, 7) Tahun kedelapan hingga kesepuluh adalah masa plato, yaitu ketika Kepala Sekolah sudah sulit melakukan perubahan dan kemajuan, terkecuali bila dia menjadi Kepala Sekolah di sekolah yang lain (Windling & Dimmock, 2006). c. Pementoran dapat Membangun Karakter Dasar Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat membangun kepercayaan pada mereka yang dipimpinannya. Kepercayaan ini akan terwujud bila pemimpin tersebut memiliki komitmen yang tinggi terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang luhur. Perkataan pemimpin tersebut sama dengan tindakannya. Karakter memiliki bobot yang lebih tinggi dibanding strategi di dalam kepemimpinan. Lebih baik seorang pemimpin itu berkarakter tanpa strategi, daripada pemimpin yang berstrategi tetapi tidak memiliki karakter, terutama kepemimpinan pada Sekolah yang kompleks, yang kepemimpinannya mudah sekali dipolitisir. Karakter membangun kepercayaan, dan kepercayaan yang mengikat seorang pemimpin dan yang dipimpin. Hubungan ini yang membuat setiap orang memiliki kepuasan bekerja dan terdorong untuk berkarya (Knuth & Banks, 2006). Bila setiap guru dan tenaga kependidikan di sekolah berkarya dengan baik, sekolah itu akan terus-menerus melakukan perubahan menuju ke kesempurnaan, dan sekolah itu menjadi Sekolah yang efektif dalam menciptakan kemajuan-kemajuan dalam prestasi belajar siswa. Jadi, sekolah yang efektif, bukan sekedar sekolah yang
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
9
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
stabil, tetapi sekolah yang memprioritaskan dan mempertahankan inisiasi-inisiasi perbaikan kunci (Knuth & Banks, 2006). Keterampilan memimpin semacam ini hanya dapat dimiliki seorang Kepala Sekolah setelah menempuh waktu yang lama dalam mendiagnosa kebutuhan sekolahnya dan kesiapan dari stafnya. Kepala Sekolah harus mampu menganalisa apa yang dibutuhkan guru dan juga keterbatasan yang dimiliki oleh guru, karena itu pementoran memungkinkan calon Kepala Sekolah mempelajari diagnosa yang telah dikembangkan oleh seorang Kepala Sekolah yang telah berpengalaman dan berhasil. Tidak saja pemimpin yang lambat untuk merespon kebutuhan yang membuat sekolah tidak efektif, tetapi kadang-kadang seorang pemimpin yang terlalu maju, akan membuat dirinya berjarak terlampau jauh dari guru yang dipimpinnya. Akibatnya, guru yang terbatas kemampuannya akan menjadi semakin frustrasi bila tidak mendapatkan bimbingan khusus untuk mengikuti arahan Kepala Sekolah. d. Pementoran dapat Membangun Kompetensi Kepemimpinan Dalam masa pementoran dituntut bagaimana seorang Kepala Sekolah perlu menyiasati antara mengelola dan memimpin, juga bagaimana mengatasi permasalahan yang timbul karena adanya keterbatasan sumber daya dan permintaan yang tak kunjung berakhir, dan membangun budaya untuk perbaikan Sekolah. Seorang mentor adalah Kepala Sekolah yang telah cukup berpengalaman mengatasi konflik yang sering muncul karena harapan-harapan yang saling bertentangan. Tahun-tahun pertama sebuah kepemimpinan selalu ditandai dengan kecemasan, frustrasi dan keragu-raguan. Bila seorang Kepala Sekolah tidak dapat mengatasi persoalan ini, maka dia akan terus 10 Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
mengalami frustrasi, karena pada dasarnya persoalan itu akan terus berdatangan tanpa akhir. Dalam pengambilan keputusan sehari-hari, seorang Kepala Sekolah dihadapkan kepada beberapa pilihan dan haraus mampu menentukan yang mana harus dikedepankan. Bila Kepala Sekolah menuruti keinginan kantor Dinas, mungkin dia akan mendapat protes keras dari para guru, dan bila mendengarkan guru, dia akan kehilangan hubungan baik dengan kantor Dinas. Persoalan lain, adalah bahwa setiap orang mengharapkan adanya reformasi, tetapi dalam pelaksanaannya tidak seorang pun siap berubah. Seorang Kepala Sekolah yang baik memiliki kiat yang tepat dalam menghadapi ekspektansi yang beragam ini dengan menggunakan semua sumber daya yang ada. Seorang Kepala sekolah akan sepenuhnya menyadari tentang sumber-sumber harapan yang dapat mempengaruhi kepemimpinannya. Wali murid sebagai sumber pengharapan pun sudah cukup rumit untuk dilayani, karena setiap wali murid dapat memiliki harapan yang berbeda pula. Begitu pula dengan seorang pengawas yang ada sekarang dapat memiliki harapan yang berbeda dari pengawas sebelumnya, dan seterusnya. Harapan dari masyarakat juga menyumbang kerumitan lain, karena keragaman anggota masyarakat yang berbeda menurut kultur, ekonomi, keyakinan dan kebiasaan lainnya. Seorang Kepala Sekolah yang belum memiliki kepemimpinan yang tepat akan terus mengalami kesulitan dalam mengatasi harapan-harapan ini secara utuh. Dia hanya akan mengatasi bagian per bagian dari struktur sekolah yang ada, dan ada juga yang mudah menyerah dan tidak melakukan tindakan apa pun juga. Sumber-sumber pengharapan itu dapat digambarkan seperti gambar berikut.
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
11
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009 Pemerintah Pengawas
Masyarakat Kepala Sekolah Orang tua
Guru Siswa
Gambar 1: Sumber-sumber harapan yang mempengaruhi Kepala Sekolah Kepala sekolah yang efektif perlu memiliki percaya diri, menyadari kekuatan yang dimilikinya, mampu membuat keputusan yang sulit, dan tidak sekedar menyenangkan setiap orang atau sebagian orang, memiliki keterampilan berkomunikasi, dan mampu mengembangkan keterampilan manajerial yang baik. Setiap saat seorang Kepala Sekolah perlu mengembangkan nilai-nilainya, yakin dengan tujuan yang akan dicapainya, cakap serta dapat menganalisis situasi, jujur dan jelas dalam berbahasa, tidak takut menghadapi konflik, dan tidak mencari kambing hitam. Dia juga cakap menggunakan intuisinya untuk melihat kesempatan-kesempatan baru, membuat skenario, dan melihat kekuasaan bukan untuk menguasai dan mengontrol. Untuk memiliki kompetensi yang semacam ini, seorang calon Kepala Sekolah perlu belajar bagaimana memiliki tingkah laku yang efektif, yaitu: 1) Mendengarkan dan dapat merasakan apa yang dirasakan staf dan siswa, 2) Membangun hubungan batin dengan staf dan siswa, 3). Tampak terlibat di sekolah dan masyarakat, 4) Dapat didekati, 5). Menghargai kerahasiaan dan profesionalisme, 6) Memberdayakan, dan memberikan penghargaan kepada orang lain, 7) Mendorong staf dan siswa, 8) Berkomunikasi dengan frekuensi yang cukup dan baik, 9). Memastikan terjalinnya lingkungan yang aman, 10) Memiliki kebijakan 12 Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
yang konsisten, 11) Memiliki visi yang jelas untuk tujuan sekolah,
12)
Terorganisir dengan baik, 13) Mendahulukan siswa, 14) Menjadi pemimpin dalam pengajaran, 15) Mengharapkan dan meningkatkan pertumbuhan, 16) Siap mengambil resiko, 17) Memiliki kebijakan pintu terbuka, 18) Mendelegasikan tugas secara efektif, 19) Mengakui keberhasilan orang lain, 20) Meningkatkan kebanggaan sekolah, 21). Mengatasi persoalan dengan segera, 22) Melakukan refleksi diri, 23) Memimpin dengan memberi contoh, 24) Terlibat dalam pengembangan professional, 25) Tidak banyak meninggalkan sekolah, 26) Bersifat adil, dan 27) Tidak haus kekuasaan (Casavant & Cherkowski, 2001). e. Keberhasilan dan Permasalahan dalam Pementoran Keberhasilan pementoran juga sangat ditentukan
oleh
perencanaan, model yang digunakan dan juga pelaksanaannya. Ada juga masalah dalam pementoran, sekalipun mentor telah dipilih melalui tahapan seleksi. Bila di Singapura mentor adalah benar-benar terseleksi dari Kepala Sekolah yang masih bertugas, di Amerika Serikat mentor diseleksi dari mantan Kepala Sekolah. Persoalan yang mungkin timbul dalam pementoran adalah tidak adanya kecocokan dalam keahlian dan perangai, terbatasnya waktu mentor, konflik yang muncul karena tingginya tuntutan dari mentor, dan tingginya kekritisan mentor. Permasalahan yang dirasakan oleh mentor adalah keterbatasan waktu yang mereka miliki untuk menjalankan perannya, ketidakcocokan perangai dan minat dengan pemagang, keterampilan dalam menyimak, beban kerja tambahan dan tanggung jawab, membangun komunikasi awal, tuntutan dari pemerintah. Program pementoran perlu dilaksanakan dengan perencanaan yang matang dengan komitmen organisatoris. Dibutuhkan juga rumusan
Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
13
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
yang jelas bagi perubahan tingkah laku yang akan dicapai dan juga peran seorang
mentor.
Umpan
balik
perlu
diberlakukan.
Dalam
pelaksanaannya, keberhasilan pementoran menurut Hopkins-Thompson (2000) tergantung pada faktor-faktor berikut ini, yaitu : 1. Pendukung organisatoris: sejauh mana seorang pengawas sekolah mengamati dan memberi masukan bagi pelaksanaan program pementoran. 2. Outcome yang jelas: tujuan yang akan dicapai perlu dispesifikasikan ke dalam pengetahuan dan keterampilan yang akan dicapai. 3. Pemilihan dan pemasangan mentor sangat menentukan keberhasilan pemagang. Seorang mentor adalah seseorang yang sangat terampil dalam berkomunikasi, mendengar, menganalisis, memberikan umpan balik dan bernegosiasi. 4. Mentor perlu mendapatkan terlebih dahulu pelatihan sebelum pementoran dilaksanakan. Dalam pelatihan ini mentor akan mempelajari apa saja yang perlu dilakukan mentor, keterampilan apa yang harus dimilikinya, instrumen yang akan digunakan selama pelaksanaan
program,
rencana
kemajuan,
strategi
analisis
perkembangan, dan refleksi. Kebutuhan program seperti normanorma organisatoris, nilai-nilai dan harapan-harapan. 5. Kegiatan pementoran juga perlu difokuskan dan Umpan balik yang diberikan oleh mentor perlu bermakna bagi pemagang dan disampaikan dengan dijaga kerahasiaannya. C. PENUTUP Pementoran tidak sama dengan bantuan atau penutoran yang dilakukan oleh sejawat karena pementoran adalah wahana pengembangan yang melibatkan seorang mentor yang memang memiliki pengalaman, 14 Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
pengaruh dan prestasi yang jauh lebih tinggi dari pemagang yang pada umumnya masih belajar untuk menjadi kepala sekolah. Menurut hasil penelitian di negara lain program pementoran memberikan dampak positif bagi kepemimpinan seorang kepala sekolah, bukan saja bagi pemagangnya juga bagi mentornya dalam membangun keterampilan seorang praktisi di lapangan secara mendalam. Salah satu komponen dari perencanaan dalam merancang pementoran adalah menyiapkan model yang tepat menurut budaya dan sistem yang ada, karena menurut kulturnya sedikit kemungkinan bagi Kepala Sekolah di Indonesia siap bermagang kepada Kepala Sekolah lainnya. Selain itu, program pementoran memang biasa dirancang untuk seseorang yang mempersiapkan diri menjadi kepala sekolah, bukan untuk orang yang telah menjadi kepala sekolah, dan program pementoran semacam ini bersifat formal dan menjadi bagian dari program peningkatan mutu kependidikan agar menghasilkan Kepala Sekolah yang professional dalam melakukan tugas dan tanggungjawabnya. D. DAFTAR PUSTAKA Casavant, M.D. & S. Cherkowski, 2001. “Effective leadership: bringing mentoring and creativity to the principalship”. NASSP Bulletin, 85(624), pp. 71-81 Chung, K.H., & Megginson, L.C. 1999. Organizational Behavior Developing Managerial Skills. New York: Harper & Row Publisher. Gilmore, Audrey dan David Carson. 1996, “Management Competence for Service Marketing”, The Journal of Service Marketing, Vo. 10, No. 3, pp. 39-57. Hickcox, E., 2002. Shaping the princialship in Manitoba, paper commissioned by the Manitoba Council for Leadership Education, available at: www.mce.ws/ld/hickcox_shaping_principalship.htm. Hopkins-Thompson, P.A., 2000. “Colleagues helping colleagus: mentoring and coaching”. NASSP Bulletin, 84 (617), pp. 29-36. Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
15
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Hornby, A.S. 2000. Oxford Advanced Leamer’s Dictionary of Current English. Edited By Sally Wehmeier and Michael Ashby. Sixth Edition. Oxford: University Press. Knuth, R.K. & P.A. Banks, 2006. “The Essential Leadership Model”. NASSP Bulletin, 90(1), pp.4-19. Lee, JCK, A. Walker, & P. Bodycott, 2000. “Pre-service primary teachers’ perceptions about principals in Hong Kong: implications for teacher and principal education”. Asia-Pacific Journal of Teacher Education, 28(1), pp.53-68. Sergiovanni, T.J. 1991. The Principalship: a Reflective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacon. Spencer, Lyle M and Signe M. Spencer, 1993. Competence Work : Model fo Superior Perpormance. New York, USA : John Willey & Sons, Inc. Sullivan-Brown, K. 2002. “The Missouri teachers’ academy: mentoring for organizational and personal transformation”, in Kochan, D. (Ed), The Organisational and Human Dimensions of successful Mentoring Programs and Relationships, Information Age Publishing, Greenwich, T, pp. 141-51. Weindling, D. & C. Dimmock, 2006. “Sitting in the “hot seat”: New headteachers in the UK”. Journal of Educational Administration, 44(4), pp. 326-40.
16 Dr. Sukarman Purba, ST., M.Pd. adalah Dosen Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
PERENCANAAN PENGEMBANGAN SEKOLAH BERBASIS POTENSI DAN KEUNGGULAN DAERAH BINER AMBARITA Abstrak Potensi daerah di Provinsi Sumatera Utara adalah sangat besar dan beragam, ditinjau dari sumber daya alam dan juga sosial budaya. Keragaman tersebut hendaknya menjadi salah satu dasar penetapan jenis sekolah yang akan dibangun dan dikembangkan. Secara hipotetik dapat dikatakan bahwa, Akar permasalahan yang muncul di satu daerah tertentu cenderung berada di daerah itu sendiri, walaupun juga ada yang berasal dari daerah lain. Sejalan dengan hal itu, permasalahan daerah harus diselesaikan dengan menyelesaikan akar-akar permasalahannya. Penyelesaian akar permasalahan satu daerah, berada pada sejauh mana dan sedalam apa permasalahan sekolah dikaji dan diselesaikan di daerah tersebut. Akar permasalahan daerah adalah tidak dibangunnya sekolah berdasarkan potensi dan keunggulan daerah. Dengan kata lain, bahwa dengan pembangunan sekolah berbasis potensi dan keunggulan daerah maka sejumlah permasalahan yang mendalam di daerah tersebut dapat terselesaikan. Kata Kunci:
Perencanaan, pengembangan sekolah, potensi daerah, keunggulan daerah
A. PENDAHULUAN Pengembangan dan pembangunan sekolah berbasis potensi dan keunggulan daerah telah menjadi program pemerintah Provinsi umatera Utara dan telah dirumuskan dalam Renstra Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara 2005-2009 (Hia, 2005). Akan tetapi hingga tahun 2009, program itu belum tersentuh sama sekali, dan harusnya dirumuskan kembali pada Renstra Dinas Pendidikan 2010-2014. Potensi dan keunggulan daerah berada pada sumber daya manusia, material alam, dan budaya yang dimiliki daerah, yang pada dasarnya relatif berbeda satu dengan yang lainnya.
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
17
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dunia pendidikan di Indonesia dan di Sumatera Utara secara khusus
sedang
dihadapkan
pada
tiga
persoalan
yang
cukup
memprihatinkan (Irianto, 2008). Pertama, masih rendahnya pemerataan dan perluasan akses pendidikan. Kedua, rendahnya mutu, relevansi dan daya saing keluaran pendidikan. Ketiga, lemahnya peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pengelola pendidikan. Lebih lanjut dikatakan bahwa, pendidikan tersebut belum mampu menghasilkan lulusan berkualitas yang memiliki daya saing di era globalisasi. Hal ini menyebabkan Indonesia kebanjiran tenaga kerja berketerampilan tinggi (ahli) dengan bayaran tinggi dari Negara lain. Pada tahun 2003 terdapat 41.422 orang, tahun 2004 meningkat menajdi 57.159 orang. Korea Selatan menempati urutan pertama yakni 11.668 pekerja, kedua Jepang 9.442 pekerja, dan ketiga Taiwan 5.694 orang. Pada sisi lain jumlah pengangguran usia 15 tahun ke atas di provinsi Sumatera Utara adalah 571.334 orang dan yang bukan angkatan kerja sebanyak 2.724.017 orang, dan tersebar di seluruh Kabupaten/kota (BPS Provinsi Sumatera Utara, 2008). Jumlah pengangguran angkatan kerja tertinggi adalah di Medan dengan jumlah 123.670 orang, menyusul Deli Serdang sebanyak 88.267 orang, Langkat sebanyak 49.885 orang, Labuhan Batu 42.048 Orang. Simalungun sebanyak 37.634 Orang, Tapsel sebanyak 27.066 orang, Serge sebanyak 24.748 orang, Asahan sebanyak 23.025 orang, Madina sebanyak 15.571 orang, Binjai sebanyak 15.359 orang, dan paling sedikit adalah Pakpak Barat sebanyak 1.360 orang. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pemasalahan jumlah pengangguran adalah tersebar di seluruh Kabupaten/kota. Sesungguhnya manusia adalah sumber daya yang harus dimanfaatkan dan ditangani dengan baik sehingga produktif. Variasi jenjang pendidikan dan keahlian serta keterampilan sumber daya manusia
18 Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
di daerah yang sangat beragam, dapat dipandang sebagai asset yang potensial yang perlu pengelolaan yang tepat. Tinjauan seperti ini adalah sumber daya manusia sebagai material yang bermanfaat. Inti perencanaan berada pada strategi pemanfaatan material tersebut, sehingga penciptaaan lowongan kerja sesuai dengan ketersediaan keahlian dan keterampilan sumber daya manusia yang ada. Perencanaan pemanfaatan sumber daya manusia, dengan pengembangan keterampilan dan keahlian dari sumber daya manusia yang telah tersedia, yang merupakan pengayaan dan penyesuaian dengan perencanaan lowongan kerja. Inti perencanaan adalah berada pada keterampilan dan keahlian tambahan yang belum dimiliki sumber daya manusia sehingga sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan. Perencanaan dengan memandang sumber daya manusia sebagai potensi semata yang harus diberi keterampilan-keterampilan, nilai-nilai, dan keahlian-keahlian. Inti perencanaan seperti ini terletak pada keseluruhan muatan yang harus dididik pada sumber daya manusia, sepenuhnya harus relevan dengan kebutuhan jangka pendek, menengah dan panjang. Jumlah pengangguran di setiap Kabupaten/kota, secara hipotetik dapat dikurangi dalam jumlah yang cukup besar bahkan hingga habis, jika ketiga model perencanaan
pengembangan sumber daya
manusia diawali pengembangan sekolah berbasis keunggulan daerah. Pengembangan sekolah berbasis keunggulan daerah dapat dilaksanakan, jika komitment pemerintah Kabupaten/kota adalah tinggi. Akan tetapi menurut Joko (2008), bahwa political will pemerintah, khususnya pemerintah daerah cukup rendah terhadap pembangunan pendidikan yang berkualitas.
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
19
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
B. POTENSI DAERAH Ada sejumlah potensi daerah yang merupakan dasar dalam perencanaan
pembangunan
daerah,
khususnya
pembangunan
pendidikan, yaitu: (1) sumber daya manusia, (2) sumber daya alam, (3) budaya dan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat, (4) dan lain-lain. Sumber daya manusia Provinsi Sumatera Utara dapat ditinjau dari berbagai hal, seperti jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, agama, suku, dan kebudayaan. Berdasarkan data BPS Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 bahwa jumlah penduduk Provinsi Sumatera Utara adalah berjumlah 12.834.371 orang, yang terdiri dari 6.381.870 orang laki-laki dan 6.452.501 orang perempuan. Hingga tahun 2007 jumlah penduduk miskin adalah 1.768.500 orang atau 13,90 %. Ditinjau dari aktivitas yang lalu, penduduk sumatera utara usia angkatan kerja sebanyak 5.654.131 orang, yang terdiri dari 5.082.797 orang berkerja dan sebanyak 571.334 orang menganggur. Penduduk yang bukan angkatan kerja adalah 2.724.017 orang. Dengan demikian sekitar 4.456.223 orang yang masih tidak diketahui sepenuhnya aktivitasnya. Persentase penduduk yang berkerja pada kelompok lapangan kerja, sebanyak 47,60% bekerja pada bidang pertanian (agriculture), 12,98 % pada bidang industri (manufacture), dan 39,42% pada bidang jasa (service). Sumber daya alam ataupun sumber daya material yang dapat diolah disetiap daerah mempunyai jenis dan karakteristik yang relatif berbeda. Sumber daya alam yang dapat dijadikan objek pariwisata dan perikanan serta pertanian, seperti Danau Toba, sumber air panas bermineral, sungai, air terjun. Sumber daya alam material berupa batu kapur, batu padas, bau bara, dan lain-lain. Sumber daya material buatan, yang keberadaannya dapat menjadi permasalahan jika tidak dimanfaatkan seperti sampah. Sampah tidak hanya menjadi permasalahan di kota
20 Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Medan, akan tetapi telah menjadi permasalahan nasional, sementara sampah adalah sumber daya material yang bersifat ekonomis. Sumber daya pada daerah perkebunan kelapa sawit seperti Simalungun, Labuhan Batu, dan yang lainnya adalah
sumber daya
material olahan yang sangat potensial, seperti lidi, cangkang, dan batang kelapa sawit, kulit buah cokelat, semua bagian pohon enau, semua bagian pohon kelapa, pohon nipah, pohon teh, dan lain-lain. Dalam ensiklopedia-Wikipedia bahasa Indonesia dikatakan oleh J.J. Hoenigman, bahwa wujud budaya dapat dibedakan atas gagasan, aktivitas (tindakan), dan artefak. Gagasan pada dasarnya berada pada alam ide (ideal) dan otak manusia, akan tetapi dapat dituang dalam bentuk tulisan-tulisan sehingga perwujudannya dalam bentuk karangan dan buku hasil tulisan masyarakat. Aktivitas (tindakan) adalah wujud aktivitas yang berpola yang sering disebut sistem sosial, dan sistem nilai, yang pada dasarnya bentuknya konkrit dan dapat diamati. Hal ini termasuk dalam bentuk bahasa dan pola interaksi serta adat istiadat serta sistem hukum yang ada dalam masyarakat. Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Ketiga wujud budaya yang ada dimasyarakat adalah merupakan bentuk budaya yang saling berkaitan dan tak terpisahkan. Wujud idealism akan mempengaruhi wujud aktivitas dan artefak. Sebaliknya akivitas dan artefak merupakan gambaran wujud idealisme, bahkan dapat pula mengembangkan wujud idealisme tersebut. Wujud idealisme jika dihadapkan material baru, maka perlu pengembangan dan teknologi baru tanpa meninggalkan hakikat idalisme tersebut. Dalam hal inilah letak fungsi perencanaan pengembangan sekolah.
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
21
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
C. PERENCANAAN PENGEMBANGAN SEKOLAH Pengembangan sekolah pada dasarnya mengandung kata kunci, yaitu perubahan, dalam mana mempunyai tiga pilar utama, yaitu: komitmen, kejelasan, dan kapabilitas (Boulter, 2003). Perubahan yang dimaksud adalah perubahan paradikma persekolahan yang selama ini telah berlangsung dan sesungguhnya membutuhkan berbagai hal agar perubahan itu dapat terjadi. Paradikma persekolahan yang berlangsung selama ini adalah Negara maju menjadi acuan nilai-nilai dalam persekolahan, sehingga sadar atau tidak sadar cenderung meninggalkan nilai-nilai yang ada pada masyarakat. Akibatnya adalah terjadi konflik nilai yang berkepanjangan bagi diri subjek didik, yang berakibat pada saat titik kulminasi tertentu subjek didik merasa asing dalam masyarakatnya sendiri. Subjek didik dibesarkan dalam budaya dan kultur masyarakatnya sendiri, akan tetapi persekolahan yang ada selama ini justru menciptakan kultur baru yang asing bagi subjek didik. Sekolah bermaknakan sebagai masyarakat dalam lingkup yang kecil dan sempit. Seharusnya sistem nilai dalam lingkup kecil ini adalah sama dengan sistem nilai dalam masyarakatnya. Hal inilah yang harus dikembalikan pada sistem persekolahan yang ada sekarang ini. Karena perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat pesat yang harus juga disikapi oleh persekolahan, maka perencanaan pengembangan persekolahan harus mengikuti perkembangan tersebut dalam bentuk perencanaan kurikulum yang tidak meninggalkan sistem nilai masyarakat. Bangunan persekolah tidak semata-mata memandang nilai praktis penggunaan ruang, akan tetapi haruslah mempertimbangkan bentuk bangunan masyarakat Sumatera Utara yang sarat dengan ornament dan artefak.
22 Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Menurut Sinaga (2009) sistem pembelajaran dalam persekolahan juga harus berbasis nilai budaya setempat. Lebih lanjut dikatakan bahwa pola interaksi sosial yang berlaku dalam masyarakat, seperti Dalihan Natolu akan membentuk soft skill yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan subjek didik. Hal ini berarti sistem perencanaan kurikulum dan aktivitas persekolahan harus tidak meninggalkan nilai budaya masyarakat dimana subjek didik berasal dan tinggal. Perencanaan pengembangan sekolah dapat dikatakan sebagai perencanaan proses pembentukan kultur. Menurut Boulter (2003) bahwa proses pembentukan kultur dalam organisasi digambarkan seperti gambar 1. di bawah. KEJELASAN KOHEREN
KINERJA
MANAJEMEN KOMITMENT
K U L T U R
K E A D A A N
PEKERJAAN SESEORANG
KESESUAIAN KAPABILITAS
Gambar 1. Proses Pembentukan Kultur Proses pembentukan kultur itu sendiri berada pada keseluruhan sistem persekolahan, yang menyangkut dalam sarana dan prasarana seperti bentuk gedung yang memiliki ornament dan model rumah adat setempat yang merupakan perwujudan budaya dalam bentuk artefak,
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
23
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
sistem interaksi siswa di dalam sekolah seperti interaksi pimpinan, guru, pegawai, dan siswa yang menggambarkan perwujudan budaya dalam aktivitas, kurikulum yang merupakan perwujudan budaya dalam bentuk idealisme. Perencanaan pengembangan sekolah berdasarkan nilai budaya dalam wujud ide, aktivitas, dan artefak. Bentuk sekolah yang ada saat ini harus direnovasi menurut ketiga perwujudan budaya tersebut. Hal inilah yang dimaksud dengan perencanaan pengembangan sekolah. Bangunan yang selama ini tidak berornamen dan tidak berbentuk rumah adat, harus direnovasi atau ditambah sesuai dengan budaya. Buku-buku pelajaran harus ditulis dan dikemas dalam bentuk idealisme budaya. Penulisan buku ilmu dan teknologi dalam bentuk perwuju dan idealisme (budaya) tentu masih membutuhkan pengkajian yang lebih dalam. Materi kurikulum harus dipadu dengan potensi dan keunggulan daerah di mana sekolah berada. Dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sistem Manajemen Berbasis Sekolah maka keungulan dan potensi daerah yang ada dapat menjadi muatan kurikulum, disamping muatan kurikulum nasional. Dengan terciptanya pengembangan sekolah berbasis potensi dan keunggulan daerah tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa sekolah sebagai pusat nilai-nilai, pusat pelesatarian dan pengembangan budaya, serta pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berbasis budaya dan keunggulan daerah. Sekolah yang seperti ini dapat disebut sebagai Sekolah Berbasis Potensi dan Keunggulan Daerah (SBPKD). Pada gambar 2 berikut, diperlihatkan blok diagram perencanaan pengembangan sekolah berbasis potensi dan keunggulan daerah.
24 Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009 PERENCANAAN: BUDAYA: Idealisme, aktivitas, dan artefak SUMBER DAYA ALAM
PROSES PEMBENTUKAN KULTUR
SUMBER DAYA BUATAN
SEKOLAH BERBASIS POTENSI DAN KEUNGGULAN DAERAH
Gambar 2. Perencanaan Pengembangan SBPKD D. SEKOLAH BERBASIS POTENSI DAN KEUNGGULAN DAERAH (SBPKD) SERTA PERMASALAHANNYA Pengembangan Sekolah berbasis potensi dan keunggulan daerah (SBPKD) dapat dimulai dari lembaga formal tingkat pra sekolah (TK), SD, SMP (SLTP), SMA (SMK), dan Perguruan Tinggi. Dilihat dari sekolah adalah sebagai pusat nilai, pusat pelesatarian dan pengembangan budaya, serta sekolah sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berbasis budaya, maka pengembangan sekolah harus meliputi seluruh tingkat atau jenjang sekolah tersebut. Namun demikian, melihat kondisi ekonomi dalam tulisan ini dikhususkan pada sekolah kejuruan, karena sekolah kejuruan dapat juga sebagai pusat pembaharuan keterampilan dan ilmu, sehingga masyarakat yang menganggur dapat diperbaharui keterampilan dan ilmunya sesuai dengan budaya dan keunggulan daerah dan relevan dengan kebutuhan. Pemerintah Pusat
menyediakan dana sebesar Rp. 3 Milyard
untuk pembangunan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan sebesar 1 Milyard untuk pembangunan Sekolah Menengah Umum (SMU), dengan persyaratan pemerintah daerah harus menyediakan lahan tempat berdirinya sekolah. Akan tetapi daerah kurang memiliki komitment untuk menyediakan lahan tempat pembangunan sekolah tersebut.
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
25
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Pembangunan sekolah berbasis keunggulan daerah adalah jenis Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang mengarahkan kurikulumnya pada pengelolaan sumber daya material yang tersedia di daerah dimana sekolah tersebut dibangun. Perencanaan pembangunan sekolah kejuruan berbasis keunggulan daerah ini sekali gus akan memdukung program nasional yang mengarahkan pembangunan sekolah umum dan kejuruan, dengan perbandingan siswa SMA:SMK sebesar 33:67 hingga tahun 2014 (Depdiknas, 2009). Lebih lanjut Suyanto (2009) mengatakan bahwa siswa SMA harus berkurang pertahun rata-rata 1,78 % atau 120.000 siswa/ tahun, sedangkan siswa SMK harus bertambah pertahun rata-rata 20,77% atau 515.000 siswa/tahun. Pada saat ini perbandingan siswa SMA:SMK di sumatera Utara masih 57,23:42,77, dan harus terjadi perubahan secara revolusioner terhadap minat masyarakat kepada sekolah kejuruan untuk mencapai target nasional tersebut (Nadeak, 2009). Di samping itu, harus diadakan pembaharuan jurusan ( retechnology) pada SMK, dalam mana jurusan yang kurang diminati dan telah jenuh, diganti dengan jurusan yang baru yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Pemerintah pusat menyediakan dana sebesar Rp. 1 Milyard untuk hal tersebut. Pembangunan sekolah kejuruan berbasis keunggulan daerah, dapat dengan cara pembangaunan unit sekolah baru atau pembaharuan jurusan. Pelaksanaan pembangunan ini telah memiliki dasar hukum, yaitu kebijakan pemerintah. Dengan demikian yang dibutuhkan adalah komitment dan political will pemerintah Provinsi dan pemerintah Kabupaten/kota. Disamping hal tersebut, kesiapan Perguruan Tinggi penghasil guru juga harus mempersiapkan dan menyediakan guru yang mampu mendidik serta mengimplementasikan kurikulum kejuruan yang berbasis
26 Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
keunggulan daerah tersebut. Banyak hal yang harus dikembangkan dalam kurikulum penghasil guru tersebut sehingga mampu menyambut kebijakan nasional, tentang pembangunan sekolah kejuruan berbasis keunggulan daerah tersebut. Salah satu solusi adalah mengarahkan kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa secara wajib dalam pengembangan sekolah berbasis keunggulan daerah tersebut. Dengan cara lain adalah mengizinkan mahasiswa untuk meneliti dan mengembangkan pendidikan berbasis keunggulan daerah. Objek material penelitian dapat berupa sistem manajemen pendidikan berbasis keunggulan daerah atau penelitian terhadap penciptaan produk yang materialnya berbasis keunggulan daerah. Dengan kata lain mahasiswa harus dibebaskan malakukan penelitian, dan tidak dibatasi oleh aturan mahasiswa program pendidikan hanya meneliti hal pendidikan saja. Dengan kurikulum berbasis kompetensi dan sistem blok, sangat dimungkinkan untuk melakukan perubahan kurikulum dan kebijakan demi tercapainya program nasional. Khususnya bagi Fakultas Teknik dan Fakultas MIPA sudah saatnya mengembangkan kurikulum yang mengarahkan ke pengelolaan sumber daya potensial dan keunggulan daerah, karena kedua Fakultas ini memungkinkan untuk melakukannya. E. SEKOLAH BERBASIS POTENSI DAN KEUNGGULAN DAERAH
(SBPKD)
DAN
SOLUSI PERMASALAHAN
PENGANGGURAN Paradikma pendidikan menyatakan bahwa pendidikan dapat meningkatkan
kemampuan
untuk
menciptakan
lapangan
kerja.
Berdasarkan hal ini, seharusnya jumlah pengangguran di Provinsi Sumatera Utara dapat dikurangi hingga tersisa seminimal mungkin. Akan
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
27
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
tetapi akibat dari keusangan keterampilan dan pengetahuan, maka paradikma tersebut tidak selalu terpenuhi. Bahkan ironisnya, paradikma tersebut telah bergeser menjadi, bahwa pendidikan tidak menjamin lulusannya akan bekerja. Hal ini dapat mengancam kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan relevansi pengetahuan yang ditransfer di persekolahan, bahkan membuat masyarakat kebingungan dan tidak memiliki pegangan dan acuan sebagai jaminan pekerjaan bagi subjek didik. Sejalan dengan hal itu, secara hipotetik maka SBPKD akan mengembalikan pradikma pendidikan pada posisi yang seharusnya, bahwa pendidikan merupakan jaminan pekerjaan. Peranan SBPKD dalam penanggulangan pengangguran, adalah sebagai fungsi pembaharuan (up to date) dan fungsi pemuatan kompetensi bagi subjek didik dan masyarakat secara umum. Pada gambar 3 diperlihatkan, fungsi SBPKD dalam menjembatani masyarakat dengan dunia kerja (stake holder). MASYARAKAT PENGANGGURAN AKIBAT KEUSANGAN KETERAMPILAN DAN ILMU SUBJEK DIDIK
SBPKD: PELATIHAN
DUNIA KERJA (STAKE HOLDER) PENDIDIKAN
Gambar 3. SBPKD sebagai solusi pengangguran F. PENUTUP Perencanaan pengembangan Sekolah Berbasis Potensi dan Keunggulan Daerah (SBPKD) adalah pengembangan sekolah pada semua jenjang pendidikan, namun secara khusus Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yaitu renovasi sistem persekolahan lama menjadi berbasis budaya, dan potensi daerah. Pengembangan sekolah berarti
28 Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
melakukan perubahan sistem, yaitu proses pembentukan kultur daerah terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. SBPKD adalah solusi terhadap permasalahan penganggguran, pusat pelestarian dan pengembangan budaya, dan pusat pengembangan pengetahuan dan teknologi berbasis budaya. SBPKD adalah masyarakat persekolahan yang merupakan gamabaran masyarakat dalam sistem nilai, budaya, potensi daerah secara lebih luas. G. DAFTAR PUSTAKA Boulter Nick, Murray Dalziel, Jackie Hill, (alih bahasa: Bern Hidayat). 2003. Manusia dan Kompetensi. Panduan Praktis untuk Keunggulan Bersaing,.Jakarta: PT. Gramedia BPS Provinsi Sumatera Utara.2008. Sumatera Utara dalam Angka. Medan: BPS Provinsi Sumatera Utara. Depdiknas. 2009. Pembangunan Pendidikan Nasional 2005-2009. Jakarta: Depdiknas Hia Taroni. 2005. Rencana Strategis Pembangunan Pendidikan Provinsi Sumatera Utara. Medan: Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara. Irianto Mahfudz, Sidiq Syafiuddin. 2008. Membangun Pendidikan Nasional”. Teropong Pendidikan Kita. Jakarta: Depdiknas. Joko Kristiyanto. 2008. “Political Will Pendidikan Menuju 2020”. Teropong Pendidikan Kita. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Nadeak Rosmawaty. 2009. “Pembangunan Pendidikan Provinsi Sumatera Utara”. Bahan Rembuk Nasional tahun 2009. Medan: Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara. Sinaga Bornok. 2009. “Model Pembelajaran Bermuatan Soft Skills dengan Pola Interaksi Sosial Dalihan Natolu”. Generasi Kampus, Volume 2, Nomor 1. April 2009. Medan: UNIMED. Suyanto. 2009. “Paparan Kebijakan Pembangunan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun Anggaran 2009. Manajemen Dasar dan Menengah”. Paparan disampaikan dalam Rembuk Nasional Pendidikan tahun 2009. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. WWW:http//Budaya-Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas/9/15/2009.
Drs. Biner Ambarita, M.Pd. Mahasiswa S3 Pascasarjana Unimed, Dosen FBS Unimed, dan Pembantu Rektor III Unimed.
29
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
SINKRONISASI MUATAN KURIKULUM LPTK DAN KURIKULUM SEKOLAH MITRA PPL BORNOK SINAGA Abstrak PPL memiliki posisi sentral dalam perkuliahan prodi pendidikan di LPTK, maka sudah sewajarnya mendapat perhatian khusus di dalam proses pendidikan. Pendidikan juga harus menghadapi kenyataan bahwa Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) berkembang sangat cepat. Oleh karena itu seringkali para perancang kurikulum bingung mana yang harus diprioritaskan dalam pendidikan. Sesungguhnya pengembangan kurikulum harus bergerak bottom up approach, dimulai dari pengenalan karakteristik peserta didik dan kondisi sekolah yang nyatanya sangat heterogen sampai pemenuhan kebutuhan masyarakat dan kesiapan menghadapi tantangan global. Pemberdayaan guru dan sekolah dalam pengembangan kurikulum adalah kata kunci keberhasilan proses pendidikan. Tulisan ini terbatas pada pemaparan tentang (1) kedudukan PPL dalam kurikulum LPTK, (2) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (3) Sinkronisasi Muatan Kurikulum LPTK dan KTSP di sekolah mitra PPL. Kata Kunci:
Sinkronisasi Muatan Kurikulum, Kurikulum, Kurikulum LPTK, Kurikulum Sekolah, PPL, KTSP.
A. PENDAHULUAN Program Pengalaman Lapangan (PPL) idealnya merupakan muara pertama matakuliah keahlian berkarya (MKB). Bahkan merupakan muara seluruh matakuliah, karena dalam wahana PPL itulah kompetensi secara utuh dijewantahkan secara profesional. PPL merupakan melting pot dari seluruh matakuliah yang dipelajari mahasiswa. Dalam melaksanakan PPL sebenarnya mahasiswa prodi pendidikan, belajar menjalankan profesi kependidikan sebagaimana tujuan kurikulumnya. Oleh karena itu, kinerja mahasiswa selama mengikuti PPL juga merupakan sosok utuh dari berbagai bekal (matakuliah) yang dipelajari selama perkuliahan. PPL analog dengan kerja paktek. Melihat begitu sentralnya kedudukan PPL dalam perkuliahan prodi pendidikan di LPTK, maka sudah sewajarnya
30 Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
PPL mendapat perhatian khusus di dalam proses pendidikan di FKIP Universitas HKBP Nomensen (UHN). Kebijakan pemerintah yang secara langsung berpengaruh terhadap penyelenggaraan pendidikan di UHN adalah diberlakukannya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, HELTS 2003-2010, dan pencanangan ”Guru sebagai Profesi”. Kebijakan ini harus disikapi dengan implementasi
peningkatan
kualitas
institusi
untuk
dapat
menyelenggarakan pendidikan akademik dan profesi yang dapat menjawab tantangan masa depan dan memenuhi tuntutan kebutuhan stakeholder. Untuk itu perlu dilakukan penataan kelembagaan yang relevan dengan tuntutan Undang-undang dan peraturan tersebut. Didasari tuntutan Undang-undang dan peraturan di atas, kita sepakat bahwa 4 kompetensi utama (kompetensi kepribadian, sosial, pedagogik, dan profesional) guru harus tertanam berakar, hidup, berbunga dan berbuah dari/dalam diri individu dan komunitas sivitas akademika (calon guru, guru/dosen) program studi pendidikan di UHN. Mari kita renungkan, Aku hidup berilmu tapi kering dan gersang, karena aku tak punya sosial dan tak berkepribadian. Aku mampu mengelola dan mentransformasikan ilmu pengetahuan tetapi aku tak ikhlas, karena aku dianggap rendah. Aku menguasai dan menanamkan ilmu bagi mereka tapi tak berbuah, karena aku tak menjiwai dan membangkitkan potensi mereka. Aku bertauladan dan berbicara memimpin tapi aku dianggap ”tong kosong nyaring bunyinya”, karena aku tak berilmu dan tak memahami mereka. Apakah aku adalah guru yang diharapkan? Berdasarkan refleksi di atas, seorang guru harus ikhlas dan benar mentrasformasikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik. Guru yang
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA 31 UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
profesional adalah guru yang memiliki 4 kompetensi yang saling terkait dalam membelajarkan dan mengembangkan potensi peserta didik. Kita perlu menyadari bahwa kondisi masyarakat Indonesia sangat heterogen. Hal itu berakibat kondisi pendidikannya juga sangat bervariasi. Kita sulit membandingkan SMP di Jakarta dengan SMP di Silau Dunia Kabupaten Simalungun. Bahkan sulit membandingkan SMA di kota Siantar dengan SMA di Samosir yang hanya berjarak 100 km. Mengapa demikian, karena memang tuntutan kompetensi, motivasi, imajinasi dan intuisi siswa, sarana/prasarana, masalah yang dirancang dari fakta dan lingkungan belajar siswa dimungkinkan berbeda. Tingkat sosial ekonomi dan apresiasi masyarakat juga berbeda. Di samping itu, kita harus memahami bahwa kemampuan dasar siswa kita juga beragam. Ada siswa yang memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata, tetapi juga cukup banyak siswa yang kemampuan intelektualnya di bawah rata-rata. Barangkali kurva normal dapat memudahkan kita untuk memahami kondisi tersebut. Oleh karena itu menganggap kondisi pendidikan di berbagai daerah di tanah air ini seragam dapat ”menyesatkan”. Implikasi dari keberagaman tersebut, kita juga harus mentoleransi keberagaman pola perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran serta hasil transformasi pendidikan. Pendidikan juga harus menghadapi kenyataan bahwa Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) berkembang sangat cepat, sehingga keadaan juga cepat berubah. Pengetahuan dan teknologi yang saat ini ”in”, bukan mustahil sudah menjadi usang dalam beberapa tahun mendatang. Perkembangan IPTEK juga membuahkan jenis pengetahuan yang sangat banyak ragamnya. Oleh karena itu seringkali para perancang kurikulum bingung mana yang harus diprioritaskan dalam pendidikan, karena waktu yang terbatas.
32 Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Menghadapi kondisi semacam itu, sebaiknya kita kembali ke prinsip dasar pendidikan, yaitu membantu peserta didik untuk mengembangkan potensinya untuk persiapan menghadapi masa depan. Jadi mata pelajaran adalah sarana untuk mengembangkan potensi anak dan bukan sebaliknya siswa yang dijadikan objek untuk ”menelan” materi pelajaran. Misalnya, dalam bidang matematika yang selama ini dianggap abstrak saja, tujuan pendidikan matematika di tingkat dasar dinyatakan sebagai (1) mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan, bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, dan efektif, serta (2) dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam mempelajari ilmu pengetahuan. Jadi sangat jelas tujuan pendidikan matematika adalah mempersiapkan siswa menghadapi masa depan dengan menggunakan matematika sebagai bekalnya. Berarti, siswa dibelajarkan untuk menghadapi masa depan dan matematika sebagai alat. Mencermati uraian di atas, diperlukan beberapa teorema, antara lain: (1) guru adalah orang yang pertama dan yang utama pengembang kurikulum, (2) kuasai materi agar dapat mengintervensi siswa belajar, dan (3) kuasai teori-teori pembelajaran agar dapat melibatkan siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Dalam hal ini, kompetensi pedagogik yang dimiliki seorang guru adalah suatu hal yang esensial. Kompetensi pedagogik yang dimaksud dalam makalah ini adalah kemampuan mengelola pembelajaran terkait pemahaman tentang peserta didik secara mendalam dan penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik. Pemahaman tentang peserta didik meliputi karakteristik siswa dan pemahaman tentang psikologi perkembangan siswa sedangkan pembelajaran yang mendidik meliputi kemampuan mengembangkan kurikulum, merancang pembelajaran, melaksanakan pembelajaran,
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA 33 UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
menilai proses dan hasil pembelajaran, serta melakukan perbaikan secara berkelanjutan. Kurikulum merupakan komponen pendidikan yang cukup berpengaruh terhadap keberhasilan pelaksanaan pendidikan. Namun, kurikulum bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pendidikan, karena masih ada faktor lainnnya, seperti guru, siswa, sarana dan prasarana pendidikan, manajemen sekolah, dan sistem pendidikan. Pemberdayaan sekolah sebagai ujung tombak pendidikan adalah hal yang sangat urgen untuk dilakukan. Apapun kebijakan yang dirancang di tingkat pusat maupun daerah terkait pengembangan kurikulum, pada akhirnya sekolah yang harus menerapkannya. Sesungguhnya pengembangan kurikulum harus bergerak bottom up approach, dimulai dari pengenalan karakteristik peserta didik dan kondisi sekolah yang nyatanya sangat heterogen sampai pemenuhan kebutuhan masyarakat dan kesiapan menghadapi tantangan global. Pemberdayaan guru dan sekolah dalam pengembangan kurikulum adalah kata kunci keberhasilan proses pendidikan. Memang kurikulum nasional tetap diperlukan, tetapi sebaiknya hanya dalam garis besar dan sekolah diberi kesempatan untuk menjabarkan, sesuai kondisi masing-masing. Dengan demikian muatan lokal sudah tercakup di dalamnya. Muatan lokal tidak hanya berupa mata pelajaran khusus, tetapi dalam setiap mata pelajaran terdapat substansi muatan lokal, disamping yang berlaku secara nasional. Isi dan model pembelajaran biologi pada SMA di Jakarta tidak harus tepat sama dengan SMA di Parapat, karena kebutuhan siswanya berbeda dan situasi lingkungannya berbeda. Kita seringkali menyatakan KTSP jauh berbeda dengan kurikulum sebelumnya, KTSP hanya berisi aturanaturan pokok saja, guru dan sekolah diberi wewenang yang luas untuk mengembangkannya. Namun, dalam prakteknya kurikulum minimal itu
34 Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
sudah jauh di atas kemampuan siswa, sehingga guru dan sekolah tidak mungkin menambah. Uraian makalah ini terbatas pada pemaparan tentang (1) kedudukan PPL dalam kurikulum LPTK, (2) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (3) Sinkronisasi Muatan Kurikulum LPTK dan KTSP di sekolah mitra PPL. B. PEMBAHASAN 1. Kedudukan PPL dalam Kurikulum LPTK Kurikulum Universitas (program studi pendidikan) sebagai acuan proses pendidikan dapat digambarkan dengan diagram alur pada Gambar-1. Dari gambar tersebut tampak bahwa sebagai landasan kurikulum adalah kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK). Di atasnya terdapat dua kelompok matakuliah, yaitu MPB (Matakuliah Perilaku Berkarya) dan MKK (Matakuliah Keilmuan dan Keterampilan). MPB
dimaksudkan sebagai bekal dasar
bidang
kependidikan, sedangkan MKK sebagai bekal bidang studi yang akan diajarkan kepada peserta didik. Berdasarkan dua kelompok tersebut, mahasiswa belajar bagaimana mendidik dan mengajarkan bidang studi tersebut kepada peserta didik, yaitu melalui kelompok Matakuliah Keahlian Berkarya dan Berkehidupan Bermasyarakat (MKB dan MBB). Antara matakuliah lain dalam kelompok MKB dengan PPL sebenarnya merupakan satu kesatuan. Dalam MKB, misalnya strategi belajar, evaluasi dan sebagainya, mahasiswa belajar “bagian-bagian”, tetapi pada PPL mahasiswa belajar menggabungkan bagian-bagian tersebut secara utuh dan dalam bentuk nyata. Oleh karena itu sebaiknya antara MKB dengan PPL harus ada keterpaduan, baik secara konsep maupun pelaksanaannya.
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA 35 UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
MPB
MKB
M
Micro Teaching dan PPL
P K
MBB MKK
Gambar-1: Kurikulum Universitas (LPTK) dalam Diagram Alur
Jika dalam MKB dipersepsi mahasiswa belajar bagian-bagian, yang nantinya akan dirakit dalam PPL, maka sebaiknya dalam MKB-pun mahasiswa juga sudah belajar dalam situasi “lapangan”. Misalnya, dalam matakuliah evaluasi pengajaran, mahasiswa sudah harus belajar menyusun soal dan instrumen evaluasi pembelajaran berdasarkan situasi sesungguhnya di sekolah. Dengan demikian dalam proses perkuliahan MKB, sudah harus ada bagian penugasan, di mana mahasiswa belajar halhal yang bersifat praktis, seperti tampak pada Gambar-2 berikut. TEORI PRAKTIS MKB 1
TEORI PRAKTIS MKB 2
TEORI PPL PRAKTIS
MKB 3 Gambar-2: Skema Alur MKB Secara Ideal
36 Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Meskipun sejak awal (MKB) mahasiswa program studi pendidikan sudah dikenalkan dengan situasi lapangan, PPL tetap masih sangat diperlukan. Dalam hal ini berfungsi sebagai latihan profesi secara utuh. Dalam PPL mahasiswa
memperoleh
kesempatan
untuk
menerapkan
bekal
sebelumnya dalam bentuk penerapan profesi kependidikan secara utuh. PPL semacam itu sebaiknya diletakkan pada bagian akhir dari program perkuliahan di Universitas (LPTK), karena: (1) untuk dapat ber-PPL diperlukan bekal yang cukup, baik dari MKK maupun MKB, dan (2) sebagai muara, program PPL harus merupakan sesuatu yang komprehensif. Dengan pola semacam itu, pola step in dan step out dapat berjalan dan diakhiri dengan suatu latihan profesi secara komprehensif dan memadai. Keterlibatan pihak sekolah, sebenarnya tidak hanya dalam MKB dan PPL tetapi dalam keseluruhan pengembangan program kependidikan di LPTK, namun demikian, sesuai dengan sifatnya kontribusi sekolah dalam pembinaan MKB dan PPL perlu mendapat prioritas. Di samping itu masih ada peran penting yang perlu dilakukan oleh sekolah, yaitu sebagai exsternal evaluator program pendidikan di LPTK. Hal ini sangat mendesak, karena selama ini dan sampai saat ini external evaluation sangat jarang atau dapat dikatakan hampir tidak pernah dilakukan perguruan tinggi, termasuk LPTK. Akibatnya perguruan tinggi sebagai penghasil lulusan berjalan sendiri dan pengguna lulusan (industri, sekolah, dan masyarakat) berjalan sendiri. Pelaksanaan external evaluation sebenarnya dapat dilakukan secara simultan dengan PPL. Sebagai muara program pendidikan, sebenarnya kinerja mahasiswa selama ber-PPL dapat menggambarkan kualitas bekal yang dimiliki mahasiswa. Dengan demikian, melalui kegiatan PPL dapat dirancang evaluasi eksternal untuk mengetahui ketercapaian program
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA 37 UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
pendidikan di Universitas. Jika menggunakan paradigma Total Quality Management (TQM), maka penilaian pihak sekolah terhadap kinerja mahasiswa selama ber-PPL dapat dijadikan salah satu indikator utama dalam penilaian program pendidikan di Universitas. 2. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Kurikulum
adalah seperangkat rencana
dan
pengaturan
mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian
dengan kekhasan, kondisi dan
potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Pengembangan KTSP mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan berpedoman pada panduan penyusunan
38 Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah. Penyusunan KTSP untuk pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh dinas pendidikan provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL serta panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP. KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
b. Beragam dan terpadu c. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
d. Relevan dengan kebutuhan kehidupan e. Menyeluruh dan berkesinambungan f. Belajar sepanjang hayat g. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah Komponen Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
a. Tujuan Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut. 1) Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 2) Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA 39 UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
3) Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan,
kepribadian,
akhlak
mulia,
serta
keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
b. Struktur dan Muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Struktur dan muatan KTSP pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang tertuang dalam SI meliputi lima kelompok mata pelajaran sebagai berikut. (1) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia (2) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian (3) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi (4) Kelompok mata pelajaran estetika (5) Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan Kelompok mata pelajaran tersebut dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan pembelajaran sebagaimana diuraikan dalam PP 19/2005 Pasal 7. Muatan KTSP meliputi sejumlah mata pelajaran yang keluasan dan kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan. Di samping itu materi muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri termasuk ke dalam isi kurikulum. 1) Mata pelajaran Mata pelajaran beserta alokasi waktu untuk masing-masing tingkat satuan pendidikan berpedoman pada struktur kurikulum yang tercantum dalam SI. 2) Muatan Lokal Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak sesuai menjadi
40 Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
bagian dari mata pelajaran lain dan atau terlalu banyak sehingga harus menjadi mata pelajaran tersendiri. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan, tidak terbatas pada mata pelajaran keterampilan. Muatan lokal merupakan mata pelajaran, sehingga satuan pendidikan harus mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk setiap jenis muatan lokal yang diselenggarakan. Satuan pendidikan dapat menyelenggarakan satu mata pelajaran muatan lokal setiap semester. Ini berarti bahwa dalam satua tahun satuan pendidikan dapat menyelenggarakan dua mata pelajaran muatan lokal. 3) Kegiatan Pengembangan Diri Pengembangan diri adalah kegiatan yang bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat, setiap peserta
didik
sesuai
dengan
kondisi
sekolah.
Kegiatan
pengembangan diri difasilitasi dan/atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dapat dilakukan antara lain melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karier peserta didik serta kegiatan keparamukaan, kepemimpinan, dan kelompok ilmiah remaja. Khusus untuk sekolah menengah kejuruan pengembangan diri terutama ditujukan untuk pengembangan kreativitas dan bimbingan karier. Pengembangan diri untuk satuan pendidikan khusus menekankan pada peningkatan kecakapan hidup dan kemandirian sesuai dengan kebutuhan khusus peserta didik.
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA 41 UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran. Penilaian kegiatan pengembangan diri dilakukan secara kualitatif, tidak kuantitatif seperti pada mata pelajaran. 4) Pengaturan Beban Belajar a) Beban belajar dalam sistem paket digunakan oleh tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB baik kategori standar maupun mandiri, SMA/MA/SMALB /SMK/MAK kategori standarBeban belajar dalam sistem kredit semester (SKS) dapat digunakan oleh SMP/MTs/SMPLB kategori mandiri, dan oleh SMA/MA/SMALB/SMK/MAK kategori standar. Beban belajar dalam sistem kredit semester (SKS) digunakan oleh SMA/MA/SMALB/SMK/MAK kategori mandiri. b) Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran pada sistem paket dialokasikan
sebagaimana tertera
dalam struktur kurikulum.
Pengaturan alokasi waktu untuk setiap mata pelajaran yang terdapat pada semester ganjil dan genap dalam satu tahun ajaran dapat dilakukan secara fleksibel dengan jumlah beban belajar yang tetap. Satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan. Pemanfaatan jam pembelajaran tambahan mempertimbangkan kebutuhan peserta didik dalam mencapai kompetensi, di samping dimanfaatkan untuk mata pelajaran lain yang dianggap penting dan tidak terdapat di dalam struktur kurikulum yang tercantum di dalam Standar Isi. c) Alokasi waktu untuk penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur dalam sistem paket untuk SD/MI/SDLB 0% 40%,
SMP/MTs/SMPLB
0%
-
50%
dan
SMA/MA/SMALB/SMK/MAK 0%-60% dari waktu kegiatan tatap muka mata pelajaran yang bersangkutan. Pemanfaatan alokasi waktu
42 Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
tersebut mempertimbangkan potensi dan kebutuhan peserta didik dalam mencapai kompetensi. d) Alokasi waktu untuk praktik, dua jam kegiatan praktik di sekolah setara dengan satu jam tatap muka. Empat jam praktik di luar sekolah setara dengan satu jam tatap muka. e) Alokasi waktu untuk tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri
tidak
terstruktur
untuk
SMP/MTs
dan
SMA/MA/SMK/MAK yang menggunakan sistem SKS mengikuti aturan sebagai berikut. (1) Satu SKS pada SMP/MTs terdiri atas: 40 menit tatap muka, 20 menit kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. (2) Satu SKS pada SMA/MA/SMK/MAK terdiri atas: 45 menit tatap muka, 25 menit kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. 5) Ketuntasan Belajar Ketuntasan belajar setiap indikator yang telah ditetapkan dalam suatu kompetensi dasar berkisar antara 0-100%. Kriteria ideal ketuntasan untuk masing-masing indikator 75%. Satuan pendidikan harus menentukan kriteria ketuntasan minimal dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan rata-rata peserta didik serta kemampuan sumber daya pendukung dalam penyelenggaraan pembelajaran. Satuan pendidikan diharapkan meningkatkan kriteria ketuntasan belajar secara terus menerus untuk mencapai kriteria ketuntasan ideal. 6) Kenaikan Kelas dan Kelulusan Kenaikan kelas dilaksanakan pada setiap akhir tahun ajaran. Kriteria kenaikan kelas diatur oleh masing-masing direktorat teknis terkait. Sesuai dengan ketentuan PP 19/2005 Pasal 72 Ayat (1), peserta didik
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA 43 UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah: a) menyelesaikan seluruh program pembelajaran; b) memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan; c) lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan d) lulus Ujian Nasional. 7) Penjurusan Penjurusan dilakukan pada kelas XI dan XII di SMA/MA. Kriteria penjurusan diatur oleh direktorat teknis terkait. 8) Pendidikan Kecakapan Hidup a) Kurikulum untuk SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/ MA/SMALB, SMK/MAK dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup, yang mencakup kecakapan pribadi, kecakapan sosial, kecakapan akademik dan/atau kecakapan vokasional. b) Pendidikan kecakapan hidup dapat merupakan bagian integral dari pendidikan semua mata pelajaran dan/atau berupa paket/modul yang direncanakan secara khusus. c) Pendidikan kecakapan hidup dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan dan/atau dari satuan pendidikan formal lain dan/atau nonformal. 9) Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global a) Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global adalah pendidikan yang memanfaatkan keunggulan lokal dan kebutuhan
44 Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
daya saing global dalam aspek ekonomi, budaya, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain, yang semuanya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik. b) Kurikulum untuk semua tingkat satuan pendidikan dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global. c) Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global dapat merupakan bagian dari semua mata pelajaran dan juga dapat menjadi mata pelajaran muatan lokal. d) Pendidikan berbasis keunggulan lokal dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan formal lain dan/atau nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.
c. Kalender Pendidikan Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat menyusun kalender pendidikan sesuai dengan kebutuhan daerah, karakteristik sekolah,
kebutuhan
peserta
didik
dan
masyarakat,
dengan
memperhatikan kalender pendidikan sebagaimana yang dimuat dalam Standar Isi. 3. Sinkronisasi Muatan Kurikulum LPTK dan KTSP di Sekolah Mitra PPL Secara garis besar kurikulum memuat 4 komponen, yaitu Goal (kompetensi), subject matter, method and organization, evaluation). Mahasiswa
PPL
mengembangkan
untuk
masing-masing
komponen
kurikulum
bidang sehingga
studi sesuai
bertugas dengan
perkembangan IPTEK, kebutuhan stakeholder dan pasar kerja. Pengembangan komponen kurikulum tersebut harus mengacu pada prinsip-prinsip pengembangan KTSP yang telah diungkap sebelumnya.
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA 45 UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Misalnya, implementasi KTSP menuntut guru dan calon guru menerapkan paradigma baru pembelajaran yang berbasis paham konstruktivis dan budaya lokal. Para guru harus berupaya mengangkat berbagai masalah yang bersumber dari fakta dan lingkungan budaya siswa sebagai bahan inspirasi dalam mengonstruksi berbagai konsep dan prinsip ilmu pengetahuan yang dipelajarai. Dalam pemecahan masalah tersebut, guru dan calon guru harus merancang dan menerapkan pola interaksi sosial yang dipahami siswa sebagai pola iteraksi edukatif serta menanamkan nilai-nilai budaya dalam memotivasi siswa belajar. Sesungguhnya rumpun matakuliah pada kurikulum LPTK sejalan dengan rumpun mata pelajaran dalam KTSP di sekolah. Hal ini dapat dicermati pada prinsip isi dan kompetensi yang tertangkap dari 5 rumpun mata kuliah dan 5 rumpun mata pelajaran yang disajikan pada tabel berikut. Tabel 1: Sinkronisasi Rumpun Matakuliah dan Mata Pelajaran No. 1. 2. 3. 4. 5.
5 Rumpun Mata Kuliah di LPTK Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) Matakuliah Perilaku Berkarya (MPB) Matakuliah Keterampilan Keilmuan (MKK) Matakuliah Keahlian Berkarya (MKB) Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB)
5 Rumpun Mata Pelajaran Pada KTSP Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi Kelompok mata pelajaran estetika. Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan
Dalam kerja praktek (PPL) di sekolah, kompetensi mahasiswa yang terbentuk dari hasil pembelajaran 5 rumpun matakuliah tersebut diejawantahkan secara terintegratif dalam membelajarkan siswa. Mata pelajaran adalah sebuah wahana (kendaraan atau alat) yang digunakan
46 Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
guru untuk membentuk dan mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik. Penguasaan keluasan atas materi ajar ditunjukkan oleh indikator pemahaman dan penguasaan atas struktur pengetahuan sesuai dengan bidang studinya. Hal ini akan menjadi kekuatan guru dalam mengapresiasi penguasaan materi pelajaran untuk dikreasikan, disusun, dan dihubungkan dengan mata pelajaran lain dalam rumpun bidang studi. Dengan kata lain, penguasaan atas keluasan materi ajar ditunjukkan oleh dua indikator utama, yaitu memahami dan menguasai struktur ilmu pengetahuan, serta memahami dan menguasai struktur organisasi materi dalam kurikulum bidang studi. Identifikasi atas kemampuan ini dapat dilakukan melalui proses dan hasil analisis kurikulum yang dilakukan oleh guru pada setiap kegiatan pembelajaran. Merill (1983) mengajukan matriks analisis kedalaman dan keluasan materi ajar sebagai berikut. Tabel 2: Matriks Analisis Keluasan dan Kedalaman Materi Model Merill KOMPE TENSI Kompete nsi dasar atau subkompete nsi (indikatorindikator)
CONTENT/ISI Bhn Kajian Karakteristik
A B C
fakta konsep prinsip prosedur fakta konsep prinsip prosedur fakta konsep prinsip prose-dur
KINERJA/KEMAMPUAN/KETE RAMPILAN Intelektual Motorik Filosofis mengingat peniruan aksiologi penalaran/ modifikasi epistemologi komunikasi kerja ontologi pemecahan kompleks masa lah meng ingat peniruan aksiologi pe nalaran/ modifikasi epistemologi komunikasi kerja ontologi pemecahan kompleks masa lah meng ingat peniruan aksiologi penalar an/ modifikasi epistemologi komunikasi kerja ontologi pe mecahan kompleks masalah
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA 47 UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Sekuensial materi ajar akan memperlihatkan tingkat kedalaman dan penguasaan guru atas materi ajar, hal ini diperlihatkan dalam sistematika organisasi serta sinkronisasi antar substansi kajian atau mata pelajaran. Indikasi lain atas penguasaan dan kedalaman materi ajar guru tercermin pada kesesuaian dan ketepatan penentuan karakteristik setiap substansi kajian. Dalam hal ini, karakteristik substansi kajian mencakup: fakktual, konsep, prinsip, prosedur, hubungan antar personal, serta sikap atau kecenderungan. Penguasaan atas landasan filosofis munculnya suatu substansi kajian. Hal ini penting bagi seorang guru. Pertanyaan mendasar berkenaan dengan hal ini adalah mengapa suatu substansi itu ada dan perlu dipelajari. Menguasai hakekat, asal-usul dan keguanaan suatu substansi kajian memainkan peranan penting guna memperlihatkan kekuatan materi tersebut. Penguasaan atas kedalaman materi dapat diidentifikasi melalui kemampuan guru dalam menyusun sekuensial substansi kajian, penetapan karakteristik materi, dan penguasaan atas landasan filosofis setiap substansi kajian atau mata pelajaran. Untuk kebutuhan pembelajaran yang efektif, guru dan calon guru harus mengenali karakteristik siswa dan lingkungannya. Di samping itu, para guru harus mengenali dan menerapkan berbagai model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik ilmu yang diajarkan dan kompetensi yang akan dicapai oleh siswa. Sesungguhnya tidak ada tanah yang tidak baik, yang menjadi pertanyaan adalah tanaman apa yang cocok tumbuh dan berkembang di tanah tersebut. Otak dan jiwa siswa adalah “sawah” bagi guru dan berbagai jenis ilmu pengetahuan adalah ragam tanaman yang akan disemaikan oleh guru pada anak. Ilmu pengetahuan yang dimiliki peserta didik akan tumbuh dan berkembang membentuk intelektual, prikomotor dan sikap, apabila guru berupaya memandirikan dan menyadarkan anak terhadap seluruh aktivitas belajarnya.
48 Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Pendidikan dan pengajaran pada intinya merupakan upaya melanjutkan kegiatan melahirkan anak. Berbeda dengan hewan, anak manusia dilahirkan dalam keadaan serba tidak berdaya. Seekor anak itik - begitu ditetas - dapat ke sana ke mari, mulai mengais dan mencari makanannya sendiri. Tidak demikian anak manusia. Ia membutuhkan manusia lain untuk bertahan hidup dan lebih lagi untuk mengembangkan hidup. Oleh karena itu manusia didefinisikan sebagai animal educandum, hewan yang harus dididik. Tanpa pendidikan manusia tidak dapat bertahan hidup dan tidak dapat mengembangkan hidupnya. Oleh sebab itu, segala upaya pendidikan dan pengajaran harus ada dalam kerangka membantu manusia bertahan hidup dan mengembangkan hidupnya. Kemampuan yang diperlukan agar seseorang dapat bertahan hidup dengan sukses (sebagai pribadi, sebagai hamba Tuhan, sebagai anggota masyarakat) itulah yang disebut dengan kecakapan hidup (life skill).
Beberapa
ahli
mendefinisikan
kecakapan
hidup
sebagai
kemampuan untuk menghadapi problema kehidupan, kemudian secara proaktif mengatasinya secara arif dan kreatif (Depdiknas, 2004). Definisi ini bertolak dari asumsi bahwa dalam kehidupan kita selalu dihadapkan dengan masalah, karena masalah adalah kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Masalah itulah yang harus diantisipasi dan diselesaikan secara arif dan kreatif. Kita akan sukses, jika mampu secara kreatif mengubah masalah menjadi peluang. Oleh karena itu, kecakapan hidup itulah yang seharusnya menjadi orientasi pendidikan. Dengan cara itu, siswa yang telah menyelesaikan suatu jenjang pendidikan, dapat menggunakannya untuk menghadapi kehidupan nyata di lapangan. Guru adalah seorang pemimpin yang memiliki paradigma dalam memandang berbagai masalah dan kebutuhan siswanya. Ia menerapkan 4 fungsi manajemen dalam mengelola pembelajaran di kelasnya. Berbagai sumberdaya yang dimiliki harus dikelola agar berdaya guna, berhasil guna
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA 49 UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
dan terintegrasi dalam mencapai sasaran pembelajaran secara efektif dan efisien. Pengelolaan pembelajaran dari seorang guru profesional dapat dicermati pada skema berikut.
P A R A D I G M A
G U R U M A T
FUNGSI MANAJEMEN PEMBELAJARAN
Sumber Daya Siswa Masalah Autentik Fasilitas Informasi
PLANNING Menetapkan Sasaran Bagaimana Mencapai Sasaran
APAYANG DIKELOLA?
SASARAN (Kompetensi)
ACTUATING Menggerakkan: Fasilitator, Motivator, Mediator
Organizing Memahami Peserta Didik
CONTROLING
Monitoring dan Evaluasi
MENGAPA DIKELOLA? SUPAYA BERDAYA GUNA, BERHASIL GUNA, TERINTEGRASI, dan TERKORDINASI
EFEKTIF EFISIEN
Gambar-3: Manajemen Pembelajaran di Kelas C. PENUTUP PPL adalah suatu kesempatan bagi mahasiswa berlatih membentuk
profesi
kependidikan
secara
nyata
dan
utuh.
Konsekuensinya, mahasiswa harus menguasai dan mengimplementasikan 4 kompetensi guru yang saling terkait dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Secara khusus, kompetensi profesional dan pedagogik yang dimiliki guru atau calon guru adalah katalisator pembangkitan potensi dan motivasi belajar peserta didik.
50 Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Mahasiswa sebagai calon guru dapat mengantisipasi berbagai perbedaan kurikulum, proses dan kebutuhan pendidikan di sekolah (ataupun
daerah)
melalui
pengenalan
karakteristik
anak
dan
lingkungannya. Antisipasi ini dapat dilakukan lebih baik dengan menerapkan prinsip bahwa (1) guru adalah orang pertama dan yang utama pengembang kurikulum, (2) mata pelajaran adalah kendaraan dalam mengembangkan kemampuan, keterampilan, kecerdasan dan kepribadian anak didik, (3) kuasailah materi agar dapat mengintervensi siswa belajar dan kuasailah teori-teori pembelajaran agar dapat melibatkan siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Dosen harus mampu membentuk dan mengukur secara nyata dan utuh kompetensi yang dimiliki mahasiswa (calon guru) melalui PPL. Dosen harus mendampingi mahasiswa mengatasi dan menemukan solusi alternatif masalah-masalah pembelajaran. Di samping itu, dosen harus memiliki dan mengembangkan instrumen penilaian RPP, lembar observasi kemampuan guru mengelola pembelajaran, lembar observasi aktivitas siswa dan guru, tes-tes standar yang akan digunakan untuk mengukur keahlian berkaya dan wawasan/keterampilan keilmuan mahasiswa peserta PPL. Masalah pendidikan adalah masalah kita bersama terutama bagi guru dan dosen. Meskipun agak utopia, tetapi kita perlu yakin bahwa pada saat keadaan ekonomi masyarakat cukup baik nanti dan komitmen pemerintah terhadap peningkatan kualitas pendidikan semakin kuat, pendidikan akan tumbuh menjadi “layanan jasa” yang cukup prospektif. Ketika masyarakat sudah merasa cukup kebutuhan pangan, sandang, dan papan, maka pendidikan anak akan menyusul sebagai kebutuhan dasar. Jika hal itu sudah terjadi, orangtua akan rela membayar cukup mahal, asal yakin anaknya memperoleh pendidikan yang baik.
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA 51 UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
D. DAFTAR BACAAN Australian National Training Authority’s (2003). Animal Care & Management Training Package, ANTA. Anonim. (2003) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem pendidikan Nasional, Jakarta: Ditjen Dikdasmen. _______. (2005). Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Ditjen Dikdasmen. Evans, Rupert N. (1974). Foundation of Vocational Education. Colombus Ohio: Charles E Merrill Publishing Co. Gaspersz, V. 2001. ISO 9001:2000 and Continual Quality Improvement. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: SEKOLAH. Gramedia Pustaka Utama. Hoogveld, A.W.M. (2003). Teacher as Designer of Competency-Based Education, Thesis, Open Universiteit Nederland Levesque, K. et.al (2000). Vocational Education in the United States: Toward the year 2000 (Report No.029), Washington. D.C: U.S. Department of Education, Office of Educational Research and Improvement McKee, S. (2003). Demystifying the Competency Conundrum, Salt Lake City Nikijuluw, V.P.H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. KoManajemen: Rezim Desentralisasi. Jakarta: Pusat Pemberayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dan SEKOLAH. Pustaka Cidesindo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 yang direvisi menjadi Permendiknas Nomor 11 tahun 2008 tentang Pelaksanaan Sertifikasi Guru Dalam Jabatan. Plomp, Tjeerd., (1997). Educational and training system design. Enschede, The Netherlands: Univercity of Twente. Pratiknya, Iwan. (1993). Beberapa pemikiran dalam rangka pengembangan sumber daya manusia pada PJP II. Makalah pada Seminar Pendidikan dan Pengembangan Kewirausahaan dalam Meningkatkan Kualitas SDM – ISPI Jawa Timur Tanggal 15 Juli 1995. Salis, E. (1993). Total Quality Management in Education, Kogan Page, Philadelphia. Sinaga, Bornok. (2007). Pengembangan model pembelajaran matematika berdasarkan masalah berbasis budaya Batak. (Disertasi). Surabaya: PPs UNESA Surabaya.
52 Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Sinaga, Bornok. (1999). Efektifitas model pembelajaran berdasarkan masalah (Problem-Based Instruction) Pada Kelas I SMU dengan bahan kajian fungsi kuadrat. (Tesis). Surabaya: PPs IKIP Surabaya. Silberman, Mel. (1996). Active learning. Needham Heights, Massachusetts: Allyn and Bacon. Skemp, Richard R. (1982). The psychologi of learning mathematics. London: Penguin Books Ltd. Slavin, Robert, E. (1994). Educational psychology, theories and practice. Fourth Edition. Masschusetts: Allyn and Bacon Publishers. Solso, R. L. (1995). Cognitive psychology. Washington. DC: Winston: The Loyola Symposium. Schmidt, W. et.al. (1996). Characterizing pedagogical flow, Boston, Kluwer Academic Publishers Syawal, G. (Ed.). (2004). Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Sekolah. Medan. Unimed Press, (in press). Tilaar, H.A.R. (Ed.). (2004). Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cisekolaha. Torshen, K.Y. (1977), The Mastery Approach to Competency-Based Education, Academic Press, New York Vorhess, R.A. (2001). Measuring what matters: Competency-based models in higher education, NCES Network Conf. , Washington Whitaker, U. (1989). Assessing Learning, CAEL, Philadelphia
Dr. Bornok Sinaga, M.Pd. adalah dosen jurusan Matematika FMIPA 53 UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
BUKU AJAR MODEL INTERAKTIF UNTUK MENINGKATKAN MINAT BACA WANAPRI PANGARIBUAN Abstrak Buku ajar adalah salah satu media belajar bagi subjek didik, harus disusun sedemikian rupa sehingga menarik dan tidak membosankan untuk dibaca, serta mudah dicerna. Semakin padat suatu teks yang dituliskan, semakin sulit dipahami, karena konsep-konsep umumlah yang cenderung ditampilkan, sedangkan konsep khusus yang bersifat lebih teknis kurang mendapat perhatian. Sebaliknya, jika kajian itu semakin besifat khusus atau spesifik, sehingga tingkat keabstrakannya semakin rendah, maka akan semakin mudah dipahami. Akan tetepi, tidak dengan sendirinya hal itu diminati, sehingga perlu pola penulisan yang menarik dari sebuah tulisan yang bersifat khusus dan spesifik tersebut. Untuk meningkatkan minat membaca terhadap sebuah buku, khususnya buku ajar, disamping mudah dicerna juga harus memasuki dunia kehidupan sehari-hari pembaca. Untuk itulah sebuah ide penulisan berpola interaktif, diusulkan, meskipun belumlah dilakukan penelitian atas keterkaitan pola tersebut dengan minat baca. Akan tetapi pantas untuk dipertimbangkan dan dicoba. Kata Kunci: Buku Ajar, Pola Interaktif, Minat Baca. A. PENDAHULUAN Hakikat sebuah pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh sesorang, baik yang bersifat umum maupun bersifat khusus. Kekhususan sebuah pengetahuan terletak pada materi dan metode yang dikandungnya. Pengetahuan khusus umumnya dipelajari oleh orang-orang tertentu sesuai dengan peminatan yang ditekuni orang tersebut. Penulisan pengetahuan umumnya secara deskriptif, sehingga terkesan kaku, serta pada dasarnya kurang menarik bagi banyak orang. Bentuk
Penulisan
tersebut
memang
spesifik,
namun
kurang
mempengaruhi perasaan, hati nurani pembaca. Sebaiknya otak dan
54 Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
perasaan serta hati nurani pembaca, dapat terangsang sehingga ketika membaca buku tersebut, ada keasikan sendiri dan ketidak relaan untuk meninggalkan bacaannya. Pola penulisan yang dapat menyentuh pikiran dan hati nurani adalah berbentuk pola interaktif dan berbentuk cerita yang multi pemeran, dan tinjauan objek materialnya adalah berbagai sudut pandang. Model penulisan seperti ini adalah berbentuk tulisan cerpen, atau novel ataupun drama. Cerpen, novel, dan drama pada umumnya sangat diminati oleh mahasiswa. B. KAJIAN OBJEK MATERIAL PENGETAHUAN DAN POLA PENULISAN INTERAKTIF Objek material suatu pengetahuan adalah hakikat sesuatu yang dikaji secara ontologis. Kajian ontologis adalah kajian yang menjawab pertanyaan-pertanyaan,
apa,
mengapa,
kenapa,
bagaimana
karakteristiknya, saaat kapan, di mana. Kajian ontologism tersebut dapat dituliskan dengan pola interaktif, sehingga diprediksikan lebih manarik minat mahasiswa untuk membacanya. Sebagai contoh penulisan pengetahuan (filsafat) dengan pola interaktif ditampilkan dalam tulisan ini dalam bentuk cerpen, dengan judul “Bunga Cinta Di Rerumputan Tanah Tandus”. Cerpen ini ditulis menjadi tiga bagian, yaitu: bagian pertama menyangkut kajian ontologis cinta; bagian kedua menyangkut kajian epistemologis cinta; dan bagian tiga adalah kajian aksiologi cinta. Dengan demikian objek material sebuah pengetahuan dikaji secara filosofis, secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
55
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
BUNGA CINTA DI RERUMPUTAN TANAH TANDUS (bagian pertama) Kemarin aku masih teringat betapa letihnya mencari lokasi dimana kami harus menimba ilmu yang seharusnya telah aku miliki. Karena saat aku menyelesaikan SMEA-ku, aku keburu terjerembab dalam pelukan cinta yang saat itu adalah terindah bagiku. Walaupun papaku memohon teramat sangat agar aku harus melanjutkan studiku ke Perguruan Tinggi yang akan memberikanku segudang ilmu yang mensejahterakan hidupku nanti. Itu ku pandang sebagai salah satu rintangan yang disengaja untuk menghalangiku memeluk cinta yang takkan kurelakan berlalu. Sungguh aku takut kehilangan cinta yang betapa kurasakan nikmatnya. Ketakutanku harus kuhilangkan dengan mahligai rumah tangga, dan aku melahirkan seorang anak dari buah cinta yang harus kukatakan betapa aku bahagia. Harus ku akui, perkawinan di usia muda yang kualami adalah luapan emosi yang menghilangkan pertimbangan. Pandanganku tentang cinta adalah segalanya, dalam pejalanan waktu teruji dan akhirnya ku ketahui bahwa aku sesungguhnya tak memahaminya. Gejolak dan pertengkaran membuatku terkadang putus asa, hingga aku sangat ragu apa yang dimaksudkan dengan cinta. “love is every thing, and every thing is love” dalam pengetianku adalah “love is some thing, that thing gives only a few happiness”. Buktinya, ketika kuajak suamiku untuk mencari lokasi tempat kuliah, ia tidak peduli asik dengan sepeda motor yang dibersihkan dan dirawatnya. Ku tahu memang RX-King kebanggaannya punya sejarah tersendiri baginya, tapi apakah aku ini tidakkah melebihi sepeda motornya itu ?. Aku adalah ibu dari anaknya, tempat
melabuhkan
segala
keluh
kesahnya,
setidak-tidaknya
pengakuannya demikian. Tapi faktanya, apa ?.
56 Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Hampir aku meneteskan air mata, teringat kemarin aku harus naik becak sangat jauh dengan kembaranku mencari lokasi kuliah ku ini, yang saat ini aku termenung dan merenung, sembari bertanya pada diriku sendiri; mungkinkah aku akan sukses kuliah ?. Aku tersadar dari lamunan dan gundah hati yang sering menemaniku. Ketika itu, dosenku memberikan motivasi ke kami semua mahasiswa yang rata-rata pasti punya beban berat dalam menjalani kuliah yang akan kami tapaki. Dengan wajah kebapaan dan tatapan mata teduh menyapu wajah-wajah mahasiswa yang ada dihadapannya, seolah-olah menelanjangi pikiran dan hati kami, dan tahu tentang apa yang ada dalam relung hati yang terdalam. Kata-katanya sangat menyentuh, dengan senyum merekah dari seorang berilmu, susah dimaknakan, setidak-tidaknya bagiku. Dia mulai berkata: “Bapak ibu sekalian yang pada saat ini hadir dari berbagai tempat dan berbagai warna-warni hati dan pikiran, saya ucapkan selamat sore dan selamat datang. Tentunya kamu sekalian sering berkata kepada murid-murid, gantungkanlah cita-cita mu setinggi bintang di langit. Letakkanlah sedalam palung lautan tekatmu sebagai pundasi keberhasilanmu. Marilah kita masing-masing mengingat itu, agar kita mempunyai kekuatan dalam diri kita saat mengharungi lautan perkuliahan yang penuh ombak dan topan”. Kata-katanya membuat ku makin gundah, dan aku semakin khawatir, mungkinkah ombak dan topan lautan perkuliahan yang dimaksudkan akan mengkharamkaan bahtera impian ku, impian papa dan mama ku, bahkan mungkin impian anak ku, atau mungkin juga impian suamiku yang kebenarannya kuragukan.
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
57
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
“Agaknya saya memahami keberadaan kamu sekalian dalam mengikuti perkuliahan ini. Diantara keletihan yang diakibatkan banyaknya beban kerja dan tanggung jawab keluarga, yang sesungguhnya pun sudah cukup menekan kita, harus pula ditambah dengan seliban beban-beban
kuliah.
Segudang
ilmu
harus
ditimba,
segunung
pengetahuan harus digali, tentunya menuntut banyak pengorbanan dalam banyak hal. Pengorbanan kesenangan, pengorbanan perasaan, waktu, tenaga, uang, bahkan perhatian pada keluarga. Ingatlah hal itu tak seberapa jika dibanding hasil yang akan kamu sekalian peroleh dalam perkuliahan ini”. Lanjutnya setelah beberapa kali melangkah dengan tenang mendekati kursi para mahasiswa, dan kembali mundur beberapa langkah pula, dan kemudian dengan spidolnya ia mengambar kura-kura dan kelinci sedang berlomba pada white Board di depan kelas. “Kamu juga pernah mendengarkan dongeng bahkan mendongengkannya pada anak-anak tentang perlombaan lari seekor kura-kura dan kelinci. Kura-kura menerima apa adanya dirinya dan bersyukur masih memiliki kaki empat walaupun langkahnya sangat lambat, tapi paling tidak dia dapat berlomba. Kelinci melompat lari jauh mendahului kura-kura yang berjalan tertatih-tatih. Sekali lompatan saja kelinci, maka kura-kura harus menapaki paling tidak sebanyak sepuluh langkah yang sangat lambat. Perjalanan jauh dan teramat jauh. Namun bagi kura-kura harus dijalani dengan beban berat di punggung. Langkah terseot-seot, terkadang terseret menerbangkan debu. Panas terik menyengat menambah beban penderitaan demi perlombaan yang harus dimenangkan. Akan tetapi sikelinci nun jauh didepan sedang istirahat di bawah pohon rindang yang menyejukkan.
58 Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Angin sepoi berhembus mengelus bulu-bulu halus sang kelinci. Kelopak mata tertarik-tarik mengajak mimpi memenuhi alam pikiran se kelinci. Dengan bibir tersungging di wajah, tidur pulas membawa dirinya ke alam mimpi kemenangan dan meraih hadiah dan penghargaan atas kemenangannya. Namun hanyalah mimpi. Tidur pulas dan mimpi membuai tak sadarkan diri, berlama-lama dan habislah waktu. Sementara si kura-kura terkulai lemas pada tapakan kaki terakhirnya meraih garis finis kemengan”. Kami mendengarkan cerita pak dosen seolah-olah cerita itu belum pernah kami dengar. Mata mengarah pada sosok dosen penuh inspirasi. Tanpa kusadari aku mangguk-mangguk sembari berkata dalam hatiku, “benar juga ya, kura-kura yang lambat aja bisa nyampe ke garis finis”. “Para mahasiswa yang berbahagia, tentunya diantara kamu ada yang pernah menggulai sayur atau ikan. Sebuah kelapa di kupas dan diparut, kemudian diremas-remas dan diperas hingga santan keluar dan menghasilkan campuran gulai yang lezat. Santan kelapa tidak akan dapat diperoleh jika dibiarkan buah kelapa begitu saja. Tetapi dengan memarutnya, meremasnya, dan memerasnya keluarlah santan yang kita inginkan. Demikian juga manusia, jika kemampuan dan potensi yang ada dalam diri kita tidak kita peras, paksa, maka sesungguhnya kita belum lah kita yang sesungguhnya”. Lanjut sang dosen, sambil melangkah ke tengah barisan kursi mahasiswa yang penuh sesak. “Kalau susu diperas pak, bagai mana ?” salah seorang mahasiswa nyeletuk seenak-nya
Sebagian besar mahasiswa tertawa, memecah
kekhusukan. “Perasan susu, susu apa saja akan membawa kenikmatan hidup. Kenikmatan hidup yang dimaksudkan adalah bahwa manusia atau hewan
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
59
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
dapat menikmatinya dan menjadi besar serta sehat”. Kembali mahasiswa tertawa, dosen pun tertawa, ruang kelas mulai ribut. Suasana menjadi ramai namun santai. Beberapa saat berlalu dengan suasana riuh, namun kemudian kembali hening. Teknik breaking ice yang digunakan dosen tampaknya berhasil dengan baik. “Kamu sekalian akan dan harus lalui rintangan perkuliahan. Walaupun berat, namun anggaplah itu latihan yang akan membuat kamu menjadi orang yang sukses dan berhasil. Kesuksesan lebih banyak dipengaruhi kecerdasan emosi kita, dan tidak begitu banyak kesuksesan akibat dari kecerdasan otak”. Lanjut pak dosen. “Kita ini semua adalah manusia rata-rata. Manusia rata-rata harus menggunakan kecerdasan emosinya agar sukses. Orang yang cerdas Intelijennya, sama seperti kelinci, dan orang yang cerdas emosinya adalah sama dengan kura-kura. Setuju…..?” “Setuju…………….!!!!!!!” Balas hampir semua mahasiswa. “Ya….Kalian setuju sebagai kura-kura, dan selamat menjadi kura-kura….. sekian dan terima kasih…., selamat petang!!!” Kelakar pak dosen sembari meraih tas-nya dan melangkah keluar. Hari pertama kuliah yang menyenangkan. Singkat, namun dapat membangkitkan semangat serta daya juang. Perasaan ku mulai tenang dan bersemangat. Aku bersama kembaranku melangkah menuju sepeda motor ku terparkir, dan kami pulang dengan rasa lega dan riang. Senja jumat yang menyenangkan bagi ku. Jarum panjang arlojiku menunjuk angka 12 dan jarum pendek menunjuk angka 2, tepat jam dua siang pada hari Sabtu, kuliah dimulai. Mahasiswa di ruang IV belum begitu banyak, namun sepertinya pak dosen adalah suka on-time. Sejenak ia menyapukan tatapan matanya, sedikit sisi bibirnya terangkat, senyum di wajahnya tak begitu manis,
60 Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
tetapi justru sebaliknya kesan agak sinis. Hatiku mulai bertanya-tanya, ada apa gerangan dibalik wajah yang tak begitu kren. Wajahnya tidak mulus, bahkan terkesan berkulit kasar, banyak bekas jerawat batu dan tahi lalat. Tubuhnya tak begitu tinggi, namun terkesan ideal dengan berat badannya. Tidak terlalu gemuk, dan tidak terlalu rapi bahkan terkesan orang biasa-biasa saja. Satu-persatu mahasiswa yang terlambat masuk kelas tanpa ada rasa keberatan si dosen. Sepertinya ia memaklumi keterlambatan temanteman ku. “Selamat sore saudara-saudari sekalian, semoga sehat-sehat semuanya. Pada pertemuan hari kedua ini saya ditugaskan untuk berdiskusi kepada kita semua tentang mata kuliah Filsafat Pendidikan. Mungkin kata filsafat tidaklah asing bagi kita semua, karena mungkin sering kita dengar dari berbagai sumber informasi. Jika ada yang memberikan
pendapatnya
saya
persilakan”
ucap dosen
sambil
mengharapkan adanya yang memberi pendapat. Hening sejenak, dan salah satu mahasiswa memberi pendapat: “Filsafat bagi kaum remaja adalah bayangan hidup. Bagi kaum pemuda adalah pandangan hidup. Bagi bapak-bapak yang masih muda adalah pegangan hidup. Bagi bapak-bapak yang sudah tua adalah perjuangan hidup. Dan bagi seorang kakek adalah mati hidup. Jadi pengertian filsafat adalah berbeda-beda sesuai dengan tingkatan usia”. Spontan para mahasiswa tertawa riuh, namun ada sebagian lagi yang malah bingung, kenapa banyak orang tertawa. Banyak diantara peserta kuliah tak mengerti apa maksud teman mereka yang memberi pendapat. Dosen terperangah mendengarkan pendapat tersebut, namun berupaya menetralisir emosinya, yang akhirnya iapun ikut tertawa. Suasana riuh
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
61
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
dan ramai, hingga terdengar ke kelas-kelas lain. Dengan cepat si dosen menetralisir suasana, sembari berkata: “Pendapat yang bagus saudara-saudari, karena filsafat yang dimaksudkan teman kita ini adalah berbicara tentang kehidupan dari berbagai tingkatan umur. Namun demikian, masih harus disempurnakan agar dapat diterima secara logis dan ada dasar pembenarannya (justifikasinya). Pertanyaan selanjutnya adalah apakah yang dimaksud dengan bayangan, pandangan, pegangan, perjuangan, dan mati hidup tersebut ?. Tolong saudara jelaskan lebih rinci dan lebih luas…!!” Pak dosen mengejar penjelasan mahasiswa tersebut, karena mungkin ada yang tersembunyi di balik pernyataan itu. Namun si mahasiswa terdiam, sambil tersipu malu. “Ada dari antara kita yang membantu teman kita ini ?” lanjut pak dosen. Dan salah satu mahasiswa yang lain mulai angkat bicara: “Jika kita memberi arti filsafat, haruslah dimulai dari makna hidup dan kehidupan. Hidup adalah cinta, tanpa cinta adalah bukan hidup. Kehidupan berarti kecintaan terhadap hidup. Pokoknya yang hidup-hiduplah” Ujarnya serius. Kelas kembali riuh dengan tawa lucu yang saling menimpa, sehingga amplitudonya cukup besar. Kembali pak dosen terperangah. Dalam hatinya berkata, cukup lumayan cerdas kelas ini, hanya saja kocak dan tak perduli tata kerama. “Apa maksudnya yang hidup-hidup itu ?” Tanya mahasiswa yang lain. “Ya, diantaranya tumbuhan seperti rumput, dan binatang seperti burung” Celetuk mahasiswa yang lain pula. “Ooohhhh…….. berarti filsafat adalah burung yang sembunyi di dalam rumput” Celoteh mahasiswa yang lain.
62 Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
“Bukan, filsafat adalah burung yang menyelusup dalam rumput…..” mahasiswa yang lain menimpali sambil tertawa. “Baiklah para hadirin sekalian, apapun arti filsafat menurut kamu itu adalah benar adanya. Karena menurut Suriasumantri1, kajian filsafat hanyalah sebatas pengalaman manusia. Jika menurut anda dan anda, filsafat itu adalah burung yang tersembunyi atau menyelusup dalam rumput, tentunya kamu harus mengkaji burung dan rumput secara ontologis. Maksudnya adalah hakikat burung itu apa, dan juga hakikat rumput itu apa ?” Dengan sangat bijaksana pak dosen mulai ambil alih pembicaraan. “Pak dosen, kontologis itu apa sih……?” tanya salah seorang mahasiswa pingin tahu. “Bukan kontologis, tetapi ontologis, yang maksudnya adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh pemikir untuk menjawab apa, kenapa, bila mana, siapa, mengapa. Pertanyaan itu harus tak henti-henti ditanya, dan harus tak hentihenti pula untuk menjawabnya. Itulah yang disebut sebagai pemikiran yang revolusioner”. Suasana kelas mulai tenang dan serius. Kata-kata sang dosen hampir tak di mengerti. “Filsafat berasal dari bahasa Yunani2, yaitu : Philosophia yang terdiri atas dua kata “philos” (cinta) atau “philia” (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan, kebenaran, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebenaran atau kebijaksanaan (love of wisdom). Orangnya disebut filosof dalam bahasa Arab disebut failasuf. Pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah apakah cinta itu ? dan apa pula kebenaran atau kebijaksanaan itu ?”. Lanjut pak dosen.
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
63
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Dalam pikirannya, pasti rame lagi ini kelas, apalagi ditanyai tentang cinta. Ternyata mahasiswa berpikir dan bertanya-tanya tentang cinta yang sebenarnya mereka sudah alami. Dan tak satupun dari antara mereka yang belum mengalaminya. Namun sepertinya sulit juga mereka memberi defenisi. “Cinta adalah suasana hati yang saling rindu” salah seorang mahasiswa mulai memberi pendapat. Suaranya agak pelan dan bergetar, memperlihatkan keraguan tentang apa yang dikatakannya. Mahasiswa lain terpancing dan saling memberi pendapat. “cinta adalah rasa suka, senang, ingin dekat-dekat selalu kepada objek yang dicintai” “cinta ibarat kentut…. Tidak dikeluarkan sakit, dikeluarkan malu” “cinta adalah rasa suka, senang dan rindu…” “cinta adalah ketulusan untuk berkorban bagi objek yang dicintai” “Benar….benar…., semua pendapat adalah benar. Terkadang cinta sulit untuk didefenisikan,
namun
cinta
harus
dibuktikan.
Membuktikan cinta adalah seberapa besar pengorbanan yang diberikan oleh seseorang kepada objek yang dicintai. Dalam lirik lagu yang dinyanyikan Nia Daniati ada terucap: ….kamu mencintai ku, tapi ulang tahunkupun kamu tak ingat. Katamu cinta, kedatanganmupun seperti angin lalu. Setiap kata cinta terucap, maka tuntutannya adalah pengorbanan. Pengorbanan pikiran, hati, waktu, materi, tenaga, dan banyak yang lainnya, bahkan mungkin nyawa atau hidupnya”. Ucap dosen meyempurnakan pendapat para mahasiswa. “ Pak, ….ada kata-kata ungkapan hati ku pada Bapak : mengapa cinta ini terlarang saat kuyakini kaulah milikku. Mengapa cinta kita tak
64 Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
dapat bersatu saat kuyakini tiada cinta selain dirimu. Apa artinya pak…..” Salah satu mahasiswi menggoda. Disambut riuh mahasiswa lain. Ada yang bersiul, ada pula yang senyum-senyum, ada yang menggerutu, ada pula yang senang. Pokoknya macam-macam suara dan tingkah laku terekspresikan. “yah…. Walaupun diri mu cinta diri ku, dan diri ku cinta diri mu, kamu ingin memiliki bahkan terlebih aku ingin memiliki mu, ingin memeluk mu, mencium mu, membelai mu. Namun kamu harus tahu, diantara kita terbentang dinding yang tinggi. Kita hanya dapat merasakan arti cinta dialam pikiran dan hati. Hari-hari kita lalui dengan rasa rindu, ingin dekat-dekat selalu, ingin mendampingi, ingin disisimu, bahkan ingin menyatu dengan diri mu. Tapi cinta tak harus memiliki. Cinta adalah pengorbanan. Jika dindaku mencintaiku, biarlah kamu rasakan dalam dirimu, dan buktikanlah dengan pengorbanan. Mungkin pengorbanan itu harus melanggar norma, harus menghianati cinta mu pada yang lain, harus menghianati keyakinan mu, mungkin… dan hanya mungkin terjadi dari sejuta kemungkinan”. Pak dosen langsung menyambut kata-kata mahasiswa. Memang dosen yang satu ini mungkin senang berbicara cinta. Mungkin tidak itu saja, mungkin suka merayu. Mahasiswa ada yang tepuk tangan senang. “Tapi pa….kuyakini, aku terlahir hanya untuk mu, aku dapat bertahan hidup karena mu. Tolonglah aku, bawalah aku kemanapun engkau pergi. Kemanapun kamu pergi….mungkin ke ujung langit terbawa angin….…mungkin ke padang gurun….mungkin juga ke karang-karang di tepian pantai….mungkin juga ke kesunyian alam. Aku menyerahkan keberadaanku, untuk terserah Bapak untuk dibawa kemana aja, asal aku bersama mu”. Balas mahasiwa.
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
65
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
“Kalau begitu, kenapa gundah dindaku. Bulatkan tekat mu. Korbankanlah semuanya untukku. Waktumu, hati mu, pikiran mu, dan semua yang ada yang kamu miliki, bahkan hayalan mu juga. Karena aku adalah kebenaran dan kebijaksanaan..”, dosen mulai berkelit dengan katakata berani dari seorang mahasiswi, membuat pikirannya tidak karukaruan. “Apa ia ini mahasiswa, atau dewi utusan langit. Cantik juga, tapi terlalu berani. Serius pula mengucapkannya, macam benar aja. Tapi pak dosen tak boleh kala, harus menjadi pemenang. Kalau dosen kalah menetralir dirinya, untuk pertemuan berikutnya jadi bulan-bulanan kelas yang aneh ini. Mati aku.”. Bisik suara hatinya. “Saudara-saudari mahasiswa, keberadaan mu sekalian di sini adalah mahasiswa dan mahasiswi. Dan kehadiran ku di sini adalah sebagai dosen. Walaupun kamu sekalian mungkin memandangku sebagai laki-laki. Yah mungkin….laki-laki yang pantas untuk dicintai….memang ku pikir juga teramat pantas. Tapi…jangan ngawur dong….kita ini kuliah filsafat. Artinya jangan pak dosennya yang dicintai, tapi kebenaran dan kebijaksanaan lah yang harus dicintai. Kita semua harus memposisikan diri sama-sama mencintai kebenaran itu, bukanlah kita yang saling mencintai. Artinya, kita di pihak yang sama, dan pihak lain yang harus kita cintai adalah kebenaran. Saya harap kamu jangan dulu protes. Pokoknya kamu harus amin kan dalam pikiran dan hati mu”. Ucap pak dosen tanpa memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berbicara. Barulah disadarinya, arti kata “jangan membuat perangkap bagi diri sendiri”. Seperti kijang jantan, harus lincah melepaskan diri dari perangkap pemburu. Dan ia melanjutkan: “Kebenaran adalah kata benda yang berarti hakikat dari sesuatu. Hakikat dari sesuatu adalah apa adanya, fakta, tidak hanya itu…. Ada apa
66 Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
sesungguhnya berada dalam sesuatu yang ada. Karena menurut teori materialisme3, bahwa apa yang ada, yang berwujud adalah karena sesungguhnya ada, ada materi yang membangunnya. Jadi filsafat adalah kecintaan terhadap hakikat dan keberadaan sesuatu yang berwujud. Dalam wujud ada wujud. Walapun mungkin wujud itu suatu ketika tak kelihatan, bukanlah berarti yang berwujud tersebut menjadi tidak ada”.
Sambil menarik nafas panjang pak dosen melanjutkan
penjelasannya. “Akan tetapi menurut teori idealisme4, sesungguhnya benda yang berwujud itu tidak nyata, hanyalah bayang-bayang. Bayang-bayang itu ada dalam pikiran saja. Artinya adalah hanyalah ide yang terbangun dalam pikiran. Sama dengan cinta. Cinta adalah benda yang tak berwujud. Akan tetapi kita semua dapat memilikinya, dan pasti tak satupun diantara kita yang tak memiliki cinta. Apakah cinta itu adalah benda nyata yang dapat kita raba karena wujudnya ? Tentu tidak, semua ada dalam ide, pikiran, hayalan dan perasaan.” “Pak… mana yang sebenarnya harus diterima, apakah teori materialisme atau teori idealism?. Sepertinya keduanya benar, namun ragu juga….jadi mohon penjelasan…!” Tanya seorang mahasiswa mulai memahami dan ingin tahu lebih lanjut. “Memang keduanya dapat dipersatukan dalam teori dualisme. Teori dualisme mengatakan bahwa, benda yang berwujud sesungguhnya ada yang membangunnya secara material, dan hal itu dikenali dan diakui karena berada pula dalam ide manusia. Ketika kita mengatakan batu kepada orang lain, maka orang itu akan memahami kata tersebut sebagai benda keras berbentuk bongkahan. Hal itu terjadi karena dalam ide orang tersebut telah terdefenisikan dan mengenal batu itu. Kenapa batu dikenal, oleh karena wujud batu sudah
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
67
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
pernah dilihat. Jadi terori dualisme mengakui benda yang berwujud sebagai benda material dan juga mengakui benda dalam mentalitas”. Si mahasiswa yang bertanya tadi manggut-manggut seolah-olah mengerti. “Pak….tadi bapak bilang mengkaji hakikat sesuatu secara ontologis. Ontologis berarti mengkaji sesuatu secara mendalam. Bagaimana caranya pak ? bukankah manusia punya keterbatasan?” Mahasiswa lain bertanya antusias. “yah….caranya adalah dengan kajian epistemologi. Epistemologi terkadang disebut metodologi. Mungkin methodology adalah bagian dari epistemology, atau sebaliknya epistemology adalah bagian dari metodologi. Jika manusia mempunyai keterbatasan kemampuan indra, maka dengan epistemology keterbatasan itu dapat dikurangi. Jika mata manusia tidak mampu melihat benda yang sangat kecil dalam satuan mikron, maka dengan adanya epistemology terciptalah microscope” “Apakah ada epistemology untuk melihat kedalaman cinta ku pada Bapak…..” lagi-lagi mahasiswi tadi bertanya memancing si dosen. “Dari segi teori materialisme….cinta seseorang itu dapat dilihat dari jumlah detak jantung dalam satuan waktu tertentu. Dapat juga dilihat dari kelancaran aliran darah. Bahkan mungkin dari berbagai hal yang terjadi dalam tubuh manusia, mungkin dari segi perubahan hormonal. Sebagai contoh, jika seorang remaja merasakan cinta yang dalam, maka besar kemungkinan tumbuh banyak jerawat, hal ini berarti ada perubahan secara material dalam tubuh manusia” Mata pak dosen melekat menatap si mahasiswi. Mata itu kelihatan berbicara, seolah-olah ada sejuta kata terucap. Entah apa maknanya. Yang jelas tidak seperti mata biasa memandang. Si dosen menyadari tatapan yang tak biasa ia lakukan, ia alihkan tatapannya,
68 Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
namun ada getaran halus yang aneh dalam hatinya ketika matanya dan mata si mahasiswa beradu pandang. Awal dari suatu ketertarikan. “Tapi apakah makna cinta itu pak ?. Terkadang cinta membawa kita ke kesedihan, terkadang maut datang nyerempet. Hati yang selalu tak menentu. Terkadang tak dipahami. Banyak orang korban cinta. Cinta itu tak berarti apa-apa sebenarnya bukan ?” Mahasiswi lain memberikan pendapat bernada pesimis dan bertanya. “Yah….cinta juga harus kita kaji secara aksiologi. Aksiologi mengkaji kebermaknaan, keberartian sesuatu. Kata-kata cinta yang terucap dari mulut seseorang, punya makna apa bagi dia dan bagi orang lain ?. Cinta harus punya makna yang sangat mendalam. Cinta adalah segalanya (love is every thing). Secara filsafat, cinta adalah kebahagiaan” Dengan tenang pak dosen melangkah mendekati salah satu orang mahasiswi yang menurutnya cukup pantas untuk diperhatikan lebih. Dia tatap dengan mata yang lembut…. Sedikit tersenyum, sembari berkata dengan beraninya: “Betapa cantiknya kamu……!” Spontan si mahasiswi tersipu malu. Dasar dosen cowok. Mentangmentang diperhatiin dari tadi, sekarang berani ngrayu. Tapi senang juga sih. Tapi benar ngak ya kata-kata pak dosen itu . Kemudian suara pak dosen membuyarkan lamunan ku. “Phytagoras adalah seorang matematikawan dan seorang ahli filsafat. Ia berkata bahwa segala sesuatu, fenomena alam, gejala alam, kejadian di alam. Apa saja yang ada dalam dunia material maupun ide, dapat dikuantifikasi. Dikuantifikasi artinya diberi nilai dalam bentuk angka. Dia juga berkata, segala sesuatu yang bernilai dapat ditarik akarakarnya.
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
69
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Proses menarik akar-akar itulah yang disebut filsafat. Sekarang tugas anda semua untuk dikerjakan di rumah. Carilah akar permasalahan jatuh cinta…., tugas ini dikumpul dua minggu ke depan”. Pak dosen menyudahi perkuliahan untuk hari ini. Dua SKS terasa sangat singkat. Tapi ujung-ujungnya PR, itu yang tak enak. Tapi nggak apalah, tugasnya asik juga tentang cinta. Sebelum pak dosen meninggalkan kelas kami, ia menuliskan sebuah prosa di papan tulis di depan kelas. MAKNA HIDUP YANG TAK BERARTI KETIKA KEHILANGAN CINTA Pagi tadi aku terbangun dari tidurku yang tak nyenyak, ketika suara nyaring tak kutahu dari mana memanggilku. Ada kata terucap….. berbisik……. Bangunlah…..temukanlah cinta mu yang Telah lama hilang. Kemudian aku berkata…”kemana cinta harus kucari….?”. Bersama angin aku pergi ke tepian pantai. Di sana aku bertanya kepada pasir putih dan desiran ombak yang tak henti. “Kamu lihat kah cinta ku yang hilang ?”. Burung-burung camar mengajakku pergi ke tebing dan karang tajam yang teramat tajam. Mungkin tak pernah orang mengunjunginya. Aku bertanya: “ dimanakah cintaku yang telah hilang?”. Temaram bergayut bersama kesunyian alam. Hari ini aku letih….. tatapanku samar…..dan aku terkulai dipelukan alam. Adakah makna hidup yang ku miliki, ketika cinta ku yang hilang tak kutemukan ? Oh…. Dewa dewi di langit…..penguasa alam jagat….. beritahulah kepada cintaku jika kalian temukan ia sedang bepergian entah
70 Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
kemana. Aku… kini….kehilangan makna hidup. Rinduku….. tak terukur…. C. PENUTUP Pola interaktif dalam penulisan buku ajar belum pernah dibuat, sehingga tingkat pengaruhnya terhadap minat baca juga belum diteliti. Namun demikian, pantaslah untuk dikaji lebih mendalam dan diteliti. Semoga ide ini menarik bagi pembaca.
D. DAFTAR PUSTAKA Bakhtiar Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Peursen Van, (Alih Bahasa Dick Hartoko). 1983. Orientasi di Alam Filsafat. Jakarta: PT.Gramedia Rapar, Jan Hendrik. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanesius Soetriono, SRDm Rita Hanafie. 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Penebit Andi Suriasumantri, Jujun S. 1983. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. XIII. Jakarta: Sinar Harapan.
Drs. Wanapri Pangaribuan, MT. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
71
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
PENINGKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPUTER Hamonangan Tambunan Abstrak Guru dapat menentukan apakah media khusus atau metoda dapat memperbaiki pembelajaran. Dalam hal ini tidak memperdebatkan apakah media memperbaiki pembelajaran atau tidak. Tetapi media adalah salah satu komponen dalam sistem pengajaran yang kompleks. Suatu sistem yang melibatkan prinsip-prinsip perencanaan pengajaran yang baik adalah seperti metoda penyampaian pengajaran. Dalam hal ini akan ditunjukkan asumsi bahwa metoda pengajaran tertentu memperbaiki pembelajaran, oleh sebab itu metoda harus mempunyai dua aspek. Pertama, harus menunjukkan suatu kemiripan secara langsung ke suatu proses pembelajaran yang khas. Dan kedua, harus mempunyai dukungan nyata yang menunjukkan keberartiannya. Kata Kunci: Pembelajaran, Media. A. PENDAHULUAN Dua puluh tahun terakhir suatu perdebatan yang utama di bidang teknologi pendidikan adalah pada dua bagian, “Apakah media memperbaiki pembelajaran?, dan jika demikian, Seberapa besar?. Sebelumnya pendukung suatu jawaban ini berdasarkan pendapat pada asumsi teknokratik yaitu Briggs (1959). Kelompok ini didukung teknologis misalnya ilmuwan komputer yang disebut teknologi baru seperti dunia mikro, Intelligent Computer Assisted Instruction (ICAI), dan system pakar. Ada guru yang menjawab dengan negatif, didasarkan kesimpulan mereka melalui metodologikal. Argumen mereka pertama bahwa temuan penelitian dalam masing-masing pertanyaan cacat dalam kedua percobaan dan metodologinya. Pendekatan akademik tertentu ke kekritisan ini, sanggahan-sanggahan hanya mencapai pengakuan pada
72 Dr. Hamonangan Tambunan, ST., M.Pd. adalah Dosen Fakultas Teknik UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
suatu lingkaran program penelitian yang berbasis kependidikan yang terbatas. Dan perkembangan teknologi komputer yang cepat berikut aplikasi mikrocip menjadikan pertanyaan tidak lagi berpanjang-panjang. Dianggap telah terjawab dengan berkembangnya teknologi. Pada pertengahan tahun 1990 semakin bertambah pendidik yang menyadari bahwa pertanyaan yang perlu dijawab adalah kemunduran popularitas komputer yang nyata sebagai solusi pada krisis dalam pendidikan (Benjamin, 1988). Para teknologis telah berhasil membendung para penyanggah karena perkembangan beberapa perangkat lunak misalnya video interaktif seperti LOGO. Tetapi sebagai solusi teknologi baru terus gagal atau diganti dengan obat mujarap kependidikan yang lain, penyanggah menimbulkan suatu pertanyaan baru. Dan sebagai teknologi baru yang canggih, pertanyaan menjadi semakin penting. Dalam
tulisan
ini
bukan
menjawab
pertanyaan,
tetapi
mengelaborasikan pertanyaan dan menawarkan pandangan pada waktu yang sama ya atau tidak. Masalahnya bukan pada teknologinya, tetapi kegagalan para penyanggah terhadap jejak yang cukup dari variabel teknik media mereka masing-masing untuk mendefinisikan proses pembelajaran secara jelas. Sebagai contoh secara sederhana LOGO ditujukan untuk memperbaiki keterampilan berpikir karena siswa diikutsertakan dalam suatu sistem penemuan berbasis teknologi. Walaupun para penyanggah LOGO mengklem beberapa dasar teori belajar Piaget, mereka telah mengumpulkan sekumpulan istilah dalam lingkup teori yang berfokus pada pengalaman dan upaya dalam pembelajaran. Piaget menekankan keterlibatan dalam domain informasi, bukan pada lingkungan pelengkap yang berpisah dari pengetahuan nyata.Untuk menggambarkan konsep dari variabel berbasis media berjejak untuk memperbaiki pembelajaran, dalam hal ini didasarkan pada hasil-hasil penelitian.
Dr. Hamonangan Tambunan, ST., M.Pd. adalah Dosen Fakultas Teknik UNIMED
73
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
B. PEMBAHASAN a. Model Penjiplakan (Tracing Model) Ada enam komponen kependidikan dasar yang penting untuk menjiplak variabel media secara langsung ke proses pembelajaran yang khas. Dalam hal ini difokuskan pada hasil penelitian pada variabel berbasis computer, dengan tidak melibatkan bentuk media lain seperti video dan cetakan. Disini dimaksudkan bukan untuk menjelaskan secara rinci komponen-komponen, tetapi untuk mengajukan suatu jawaban ke pertanyaan apakah media memperbaiki pembelajaran dan apakah perbaikan pembelajaran dapat dilakukan sebagai bagian dengan menunjukkan kaitan langsung dari variabel media ke kondisi dan proses pembelajaran yang khas. b. Model Pemrosesan Informasi Pembelajaran Dalam hal ini dasar teori belajar secara langsung dihubungkan dengan model pemrosesan informasi. Model ini telah didefinisikan dalam beberapa sumber seperti (Tennyson, 1988; Tennyson & Breuer, 1984; Tennyson & Christensen, 1988).
Model mencakup komponen-
komponen system seperti: (a) komponen penerima dimana informasi dari luar dimasukkan ke dalam otak; (b) komponen persepsi dimana informasi disaring berdasarkan Kriteria individu; (c) komponen memori kerja (short-term) yang memiliki fungsi ganda. Memori short term berterima hanya dengan informasi pada momen tertentu dan juga dengan yang bukan upaya kognitif untuk pengkodean. Memori kerja dengan kata lain berkaitan secara langsung dengan memori long-term untuk mensandikan informasi kedalam basis pengetahuan baru; (d) komponen memori longterm yang terdiri dari sistem penyimpanan dan pencarian kembali. Sistem penyimpanan mengkodekan informasi menurut tipe pengetahuan yang
74 Dr. Hamonangan Tambunan, ST., M.Pd. adalah Dosen Fakultas Teknik UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
khas misalnya deklaratif, prosedural, dan kontekstual, ketika system pencarian kembali melibatkan strategi berpikir yang berhubungan dengan pemisahan dan penggabungan. Dan (e) proses kognitif dari penciptaan pengetahuan dengan sistem kognitif sendiri. c. Komponen-komponen Model Penjiplakan Ada enam komponen utama yang biasanya berhubungan dengan proses desain pengajaran. Pada prakteknya bagaimanapun keterkaitan antara komponen tidak akan baik membuat secara operasional atau secara teoritik. Dalam hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan dan mendiskusikan keduanya keterkaitan yang menunjukkan bahwa media dapat memperbaiki pembelajaran ketika dipandang sebagai komponen integral dari proses disain pengajaran. Ke-enam komponen tersebut adalah: -
Proses pembelajaran. Fokus dalam hal ini adalah pada system memori long-term penyimpanan dan pencarian kembali. Sistem penyimpanan berdasar pada proses belajar yang berhubungan dengan kemahiran pengetahuan misalnya pensandian dan pengkodean informasi ketika sistem pencarian bersumber pada strategi berpikir seperti recall, pemecahan masalah dan kreativitas.
-
Tujuan pembelajaran. Tujuan pendidikan adalah untuk memperbaiki belajar siswa misalnya kemahiran pengetahuan. Tujuan penting untuk mengidentifikasi tipe belajar yang diinginkan. Tujuan seharusnya berhubungan dengan proses belajar yang khas.
-
Basis pengetahuan. Penganalisisan informasi untuk pembelajaran melibatkan tidak hanya konten dasar tetapi juga struktur informasi sebagai pengetahuan dalam memori.
Dr. Hamonangan Tambunan, ST., M.Pd. adalah Dosen Fakultas Teknik UNIMED
75
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
-
Variabel instruksional. Maksud pengajaran adalah variabel dengan mana informasi dikomunikasikan ke siswa. Berdasarkan hasil penelitian bahwa variabel secara langsung berhubungan dengan proses belajar utama. Variabel tertentu boleh juga mempunyai hubungan sekunder dengan proses yang lain.
-
Strategi Instruksional. Strategi instruksional yang diidentifikasi hanya menggambarkan yang telah diuji dalam program penelitian.
-
Perbaikan berbasis komputer. Perbaikan yang didaftar dalam hal ini dikelompokkan dalam kategori berdasarkan inteligensi dalam pengambilan keputusan. Program conventional computer-based instructional (CCBI) menggunakan teknik pencabangan yang ditentukan dalam tahap perencanaan dan dipasangkan dalam program. Intelligent CBI adalah program berbasis rumus yang mengambil keputusan pada momen siswa belajar. Jadi mereka dibenarkan dari momen ke momen ke perbedaan individu.
d. Penjiplakan Pengetahuan deklaratif Dalam istilah
umum pengetahuan deklaratif maksudnya
“mengetahui apa”. Misalnya siswa megetahui bahwa katakunci yang digarisbawahi akan memperbaiki penggalian kembali (Recall). Tujuan belajar untuk proses belajar ini adalah informasi verbal/visual. Apa yang dipelajari siswa adalah kedua kesadaran dan pemahaman tentang konsep, hukum dan prinsip-prinsip. Sebagai contoh siswa sadar tentang strategi tertentu untuk memanggil kembali informasi dari teks. Basis pengetahuan dalam konteks ini menggunakan skema aplikasi teori. Dengan bentuk belajar ini, basis pengetahuan mengidentifikasi karakteristik skema pengetahuan. Karakteristik termasuk tujuan, kegiatan, dan situasi suatu
76 Dr. Hamonangan Tambunan, ST., M.Pd. adalah Dosen Fakultas Teknik UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
skema. Sebagai contoh siswa mempunyai suatu skema penggarisbawahan kata kunci dari teks keilmuan. Strategi instruksional untuk perbaikan proses pembelajaran ini termasuk variabel yang diarahkan ke informasi yang khas. Label variabel dan definisi menunjukkan lokasi dan hubungan informasi dalam suatu basis pengetahuan. Ketika suatu hubungan sulit ditunjukkan, variabel penyegaran
memfokuskan
pada
kebutuhan
mengingat
kembali
pengetahuan penting yang tepat. Untuk mengenali pengetahuan, penggambaran ekspositori dari contoh membangkitkan kasus yang jelas tentang konten. Ini penting dalam belajar tentang kaidah-kaidah kompleks dan prinsip-prinsip. Strategi instruksional tentang drill dan praktek membantu pemelajar dalam memunculkan kesadaran tentang informasi khusus dengan penjelasan presentasi ekspositori pemahaman. Perbaikan berbasis komputer konvensional dimaksudkan untuk langkah optimal dan menunjukkan informasi ketika perbaikan inteligen mempertahankan siswa secara langsung terlibat dengan pemahaman informasi untuk dipelajari. Sebagai contoh variabel inisiatif yang tercampur memungkinkan siswa untuk menanya sistem suatu pertanyaan. Anjuran mempertahankan siswa menunjukkan kemajuan belajar dan kebutuhan mereka. e. Penjiplakan pengetahuan prosedural Pengetahuan prosedural adalah “mengetahui bagaimana”. Sebagai contoh siswa mengetahui bagaimana menggunakan sesuatu dalam fungsinya. Tujuan belajar berdasar pada proses sebagai suatu keterampilan intelektual, dimana siswa belajar bagaimana menggunakan konsep, kaidah dan prinsip. Basis pengetahuan dalam hal ini mengidentifikasi struktural organisasional dari suatu skema tertentu.
Dr. Hamonangan Tambunan, ST., M.Pd. adalah Dosen Fakultas Teknik UNIMED
77
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Sebagai contoh siswa mengetahui bagaimana menggunakan heuristik penting untuk melakukan percobaan dalam penelitian kependidikan. Organisasi skema dapat dalam banyak bentuk sebagai contoh algoritma atau strategi yang digunakan dalam pencarian melalui suatu sistem pencarian berbasis data. Variabel instruksional utama pada tingkat ini difokuskan pada praktek informasi dalam masalah atau situasi interogatori. Contoh harus dipilih untuk menunjukkan suatu penggunaan yang luas. Contoh divergen memungkinkan siswa mengelaborasi pada basis pengetahuan mereka. Strategi instruksional tutorial menunjukkan suatu metode yang baik sekali dari interaksi antara siswa dan tutor, jadi sebagai tutor sebaya atau tutor berbasis komputer. Format dasar adalah pertanyaan/jawaban dengan tutor menantang siswa untuk secara jelas mendapatkan pengetahuan untuk mencegah atau mengeleminasi salah konsep. f.
Penjiplakan pengetahuan kontekstual Proses belajar ini berdasar pada kemahiran pengetahuan tentang
“kapan dan mengapa”. Sebagai contoh siswa mengetahui nilai mengetahui
perbedaan
tipe
strategi
membaca.
Tujuan
belajar,
keterampilan kontekstual, menyatakan secara tidak langsung kemampuan menerima kriteria, nilai, dan/atau ketepatan untuk menggunakan konsep, hukum dan prinsip. Basis pengetahuan menggambarkan suatu analisis tentang hubungan jaringan skematik. Pengetahuan dalam basis pengetahuan digambarkan dalam beragam cara. Untuk tujuan pendidikan, sering menggambarkan informasi dalam sejumlah bentuk. Sebagai contoh suatu taksonomi, kategori, atau hirearkhi. Basis pengetahuan disusun untuk menggambarkan bagaimana pengetahuan boleh diorganisasikan dalam memori. Kepentingan terhadap basis pengetahuan adalah
78 Dr. Hamonangan Tambunan, ST., M.Pd. adalah Dosen Fakultas Teknik UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
identifikasi terhadap kriteria yang berhubungan dengan struktur. Sebagai contoh tujuan belajar mengusulkan agar siswa perlu mengetahui kondisi dari penggunaan sebaik bagaimana karyawan. Variabel instruksional untuk proses belajar ini mempengaruhi siswa belajar dalam dua cara yaitu: Pertama, diberi kesempatan untuk siswa mengalami basis pengetahuan; dan kedua, mengijinkan siswa suatu kesempatan membangun kriteria, nilai, dan ketepatan. Sangat sering variabel ini digunakan dalam semua strategi instruksional teridentifikasi. Variabel konteks dan pengorganisasi perluasan memperbaiki kesadaran tertentu tentang apa yang untuk dipelajari dengan bantua siswa memilih dan mengorganisasikan secara tepat pengetahuan yang dibutuhkan. Sebagai contoh pemilihan suatu metode yang khas atau strategi untuk mengorganisasikan sumber-sumber untuk diteliti. Umpan balik dan informasi strategi memperbaiki perpaduan pengetahuan baru kedalam basis pengetahuan. Teknik kelompok belajar koperatif memperbaiki kemahiran pengetahuan kontekstual dengan memungkinkan siswa untuk kedua pengembangan solusi dan melihat alternatif terhadap situasi masalah. Dengan kelompok yang heterogen, siswa bekerja menuju suatu tujuan yang khas dengan menggunakan kemampuan mereka menggali dan sikap dengan cara melakukan sehingga memperbaiki pemahaman mereka tentang kriteria, nilai dan ketepatan tentang pengetahuan ketika kapan dan mengapa menggunakan pengetahuan. Simulasi berorientasi masalah memungkinkan siswa bekerja pada situasi yang menyerupai penggunaan pengetahuan yang mereka butuhkan. Seperti karyawan membutuhkannya untuk
mengambil keputusan
pada pemilihan pengetahuan
dan
pengorganisasian dan melalui kerja kelompok, melihat bagaimana idenya berhubungan dengan yang lain. Simulasi berbasis komputer dapat
Dr. Hamonangan Tambunan, ST., M.Pd. adalah Dosen Fakultas Teknik UNIMED
79
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
menyediakan kemudahan dalam menentukan variabel dan kondisi dari situasi sebaik simulasi penyampaian. g. Penjiplakan Strategi Pencarian Sangat sering teori belajar kognitif berfokus pada kemahiran pengetahuan
ketika
secara
mendasar
mengabaikan
penggunaan
pengetahuan dalam pelayanan berpikir misalnya mengingat kembali, pemecahan masalah, dan kreativitas. Bagaimanpun tujuan utama pendidikan bukan hanya kemahiran pengetahuan, tetapi juga perbaikan dan penggunaan pengetahuan. Persekolahan tradisional berpandangan tentang belajar informasi hanya untuk mengembangkan suatu etika kerja yang disiplin secara langsung membantu siswa memperbaiki strategi kognitif mereka untuk berpikir. Psikologi kognitif kontemporer yang setuju dengan teori sistem pencarian menjelaskan bahwa strategi berpikir untuk mengembangkan paling tepat ketika bekerja sesuai dengan basis pengetahuan. Dalam hal ini strategi berpikir dalam mengingat kembali, pemecahan masalah, dan kreativitas dibangun tidak sebagai strategi umum tetapi merupakan bentuk yang khas tentang pengetahuan yang tergabung dalam skemata. Dan sebagai strategi proses berpikir terbagi, terpadu dan kreasi dapat dibangun dan diperbaiki. Oleh sebab itu pengembangan strategi kognitif harus menjadi bagian integral system pengajaran. Sebagai contoh ada suatu penelitian yang merkomendasikan alokasi waktu untuk belajar dalam suatu rancana kurikulum untuk masing-masing proses, yaitu; pengetahuan deklaratif 10%, pengetahuan prosedural 20%, pengetahuan kontekstual 25%, strategi kognitif 30% dan kreativitas 15%. Ini lebih baik daripada menggunakan hampir 100% waktu instruksional untuk tujuan belajar kemahiran pengetahuan. Suatu
80 Dr. Hamonangan Tambunan, ST., M.Pd. adalah Dosen Fakultas Teknik UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
bagian waktu utama perlu dialokasikan untuk pengembangan strategi berpikir dan perbaikan. Pergeseran dari paradigma tradisional yaitu pemfokusan kemahiran pengetahuan menambah penekanan pada pengembangan strategi berpikir meletakkan responsibilitas belajar, tenaga yang lebih pada siswa. Ini diselesaikan dengan strategi instruksional yang menggunakan simulasi masalah kompleks dengan teknik kelompok belajar kooperatif. C. PENUTUP Simulasi masalah kompleks (Tennyson, Thurlow & Breuer, 1987) menggambarkan makna dan situasi masalah kompleks
dimana siswa
dibutuhkan membuat solusi usul penggunaan pengetahuan yang tersimpan
di
memori.
Format
dasar
dari
simulasi
adalah
mengelompokkan siswa berdasarkan kemiripan kompleksitas kognitif misalnya keterampilan umum mereka dalam pembedaan dan pemaduan. Antar kelompok masing-masing siswa mempersiapkan usulan secara individu dan kemudian menunjukkannya pada kelompok. Dalam hal ini siswa mengajukan proposalnya. Karena perbedaan format dalam hal ini, masing-masing siswa melihat alternatif tercanggih untuk situasi yang membantu mereka mengembangkan strategi berpikir dan mengelaborasi dan membentuk skemata. Sebagai tambahan sebagai variabel simulasi dan pembenaran
kondisi
sebaik
mtode
inteligen
dari
monitoring
perkembangan dan kebutuhan masing-masing siswa. D. DAFTAR PUSTAKA Benjamin, Jr., L.T. (1988). A history of teaching machines. American Psycologist, 43, 703-712.
Dr. Hamonangan Tambunan, ST., M.Pd. adalah Dosen Fakultas Teknik UNIMED
81
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Park, O., & Tennyson, R.D.(1984). Computer-based instructional systems for adaptive education: A review. Riview of contemporary education, 2, 121-135. Park, O., Tennyson, R.D. (1986). Response-sensitive design strategies for sequence order on concepts and presentation form of examples using computer-based instruction. Journal of Educational Psychology, 78, 153-158. Tennyson, R.D. (1988). An instructional strategy planning model to improve learning and cognition. Computer in Human Behavior, 4, 13-22. Tennyson, R.D., &Breuer, K. (1984). Cognitive-based design guidelines for using video and computer technology in course development. In O. Zuber-Skerrit (ed.), Video in higher education (pp-63). London: Kogan. Tennyson, R.D., & Christensen, D.L. (1988). MAIS: An intelligent learning system. In D.H. Jonassen (Ed.), Instructional design for microcomputer courseware (pp. 247-274). Hillsdale, NJ: Erlbaum. Tennyson,, R.D., Thurlow, R., & Breuer, K. (1987). Problem-oriented simulations to develop and improve higher order thinking strategies. Computer in Human Behavior, 3, 239-268
82 Dr. Hamonangan Tambunan, ST., M.Pd. adalah Dosen Fakultas Teknik UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN INTERAKTIF PADA PEMBELAJARAN KOMPETENSI TEKNIK DIGITAL SMK UNTUK MENANGANI PERBEDAAN INDIVIDUAL SISWA ROSNELLI Abstrak Implementasi model pembelajaran interaktif pada pembelajaran kompetensi teknik digital SMK dapat digunakan untuk menangani perbedaan individual siswa. Model pembelajaran interaktif merupakan model pembelajaran yang memungkinkan siswa interaktif dengan guru, teman sekelasnya dan media computer saat menggunakan simulasi computer. Model pembelajaran interaktif memanfaatkan media pembelajaran dari yang murah sampai laboratorium komputer yang sudah ada di sekolah agar memberikan pengalaman keterampilan yang lebih banyak dan bervariasi sehingga siswa belajar pada kondisi yang menyenangkan dan memperoleh nilai tambah. Model pembelajaran ini dapat menangani perbedaan individual siswa, karena siswa dapat maju sesuai dengan kemampuannya tanpa harus menunggu teman sekelasnya. Sintaks model pembelajaran interaktif adalah tahap orientasi, tahap belajar mandiri, tahap penanganan individual, tahap pengayaan dan tahap transfer. Kata Kunci: Model pembelajaran interaktif, Kompetensi teknik digital dan Perbedaan individual siswa. A. PENDAHULUAN Implementasi model pembelajaran interaktif pada pembelajaran kompetensi teknik digital SMK dimaksudkan untuk menangani perbedaan individual siswa (Rosnelli, 2008). Masing-masing individu diciptakan tidak pernah sama antara satu dengan yang lainnya. Masingmasing mempunyai karakteristik yang berbeda (Rahman,1990). Sejalan dengan itu Good & Stipek dalam Nurdin (2005) mengemukakan bahwa penerimaan dan tafsiran setiap siswa terhadap sesuatu yang disampaikan (pelajaran yang sama di kelas) sangat berbeda yang satu dengan yang
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
83
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
lainnya. Hal ini dikarenakan pada siswa terdapat banyak perbedaan. Diantaranya perbedaan kemampuan dan kecerdasan, kreativitas, gaya belajar, gaya berfikir, kematangan emosi dan perbedaan dalam banyak hal. Perbedaan individual siswa di dalam kelas memberikan wawasan pada guru untuk menentukan proses pembelajaran yang harus direncanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Perbedaan individual siswa terdapat dalam beberapa aspek, baik aspek fisik maupun aspek psikhis. Yang paling dominan dihadapi oleh guru pada sekolah formal
adalah perbedaan individual pada aspek psikis
(Grinder, 1991). Dengan memperhatikan keberadaan siswa terutama perbedaan individual diharapkan akan memberikan wawasan kepada guru
dalam mengambil keputusan melaksanakan pembelajaran yang
tepat untuk siswa, agar siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan menyenangkan karena sesuai dengan karakteristik siswa tersebut. Berdasarkan
beberapa
pendapat
seperti
Porter(2004),
Rose(2002), Meier(2002), Gardner (1985) bahwa belajar tidak hanya menggunakan otak tapi juga menggunakan seluruh tubuh dan fikiran serta melibatkan segala emosi, indra dan syarafnya, selanjutnya mereka menjelaskan bahwa jika siswa tidak bisa belajar dengan cara guru mengajar maka guru harus mampu mengajar dengan cara siswa belajar. Jika hal ini terjadi pada proses pembelajaran maka akan terjadi percepatan belajar baik dari segi waktu maupun kualitas. Pembelajaran yang bervariasi tersebut akan mengkondisikan siswa belajar dengan menyenangkan dan memperoleh nilai tambah (Wen, 2003). Jika siswa belajar pada kondisi yang menyenangkan maka akan terjadi percepatan belajar baik dari segi waktu maupun kualitas hasil pembelajaran . Hal tersebut sesuai dengan pendapat Porter (2004) pembelajaran akan lebih
84 Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
bermakna dan tujuan pembelajaran akan dapat dicapai secara maksimal jika dilakukan dalam kondisi pembelajarannya
menyenangkan siswa.
Selain itu Lesley (1983) dan Paul (1990) mengemukakan bahwa ketika siswa mampu menggunakan bentuk-bentuk kecerdasan mereka yang paling kuat maka mereka akan menemukan bahwa belajar itu mudah dan menyenangkan. Model pembelajaran interaktif merupakan model pembelajaran yang memungkinkan siswa interaktif dengan guru, teman sekelasnya dan media computer saat menggunakan simulasi computer. Model pembelajaran interaktif memanfaatkan media pembelajaran dari yang murah sampai laboratorium komputer yang sudah ada di sekolah agar memberikan pengalaman keterampilan yang lebih banyak dan bervariasi sehingga siswa belajar pada kondisi yang menyenangkan dan memperoleh nilai tambah. Model pembelajaran ini dapat menangani perbedaan individual siswa, karena siswa dapat maju sesuai dengan kemampuannya tanpa harus menunggu teman sekelasnya.
Proses
pembelajaran pada model pembelajaran interaktif memungkinkan siswa untuk melakukan keleluasaan untuk belajar mandiri (proses pembelajaran dalam rate-nya), tanpa terganggu olah yang lain, dan mengikuti tes untuk setiap unit bahasan yang telah dipelajarinya, dan terus maju sesuai kemampuannya dengan bantuan dan arahan guru, atau mengulang proses pembelajaran pada unit yang sama sampai mencapai penguasaan minimal sesuai target yang telah ditetapkan. Untuk mengatasi perbedaan individual siswa dapat dilakukan dengan cara menggunakan bahan pelajaran yang bervariasi dan memberikan keleluasaan untuk belajar mandiri. Implementasi model pembelajaran interaktif di sekolah sesuai dengan Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP) yang menuntut
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
85
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
adanya perubahan dalam pembelajaran yang dilakukan guru di kelas, karena sesungguhnya kegiatan inti pembelajaran seperti yang dijelaskan Joyce (2000) bahwa keseluruhan kegiatan pembelajaran harus secara langsung ditujukan untuk membantu siswa meraih dasar terpenting dari kegiatan belajar yaitu “how to learn” and “learning by doing”. Relevan dengan pendapat tersebut seperti penjelasan Shank yang dikutip Dryden dan Vos (2003) untuk belajar sesuatu praktekkanlah. Dengan demikian akan meningkatkan hasil belajar. Hal ini relevan dengan hasil penelitian Lumban Gaol, Junizar dan Rosnelli (2008) yang menjelaskan bahwa model pembelajaran berbasis simulasi komputer, proses pembelajarannya memungkinkan siswa interaktif dengan guru, siswa sekelasnya juga monitor komputer pada saat menggunakan simulasi komputer dapat memberikan pengalaman keterampilan yang lebih banyak dan dapat meningkatkan daya cipta produk elektronika. B. PEMBAHASAN 1. Model Pembelajaran Interaktif Implementasi model pembelajaran interaktif untuk menangani perbedaan individual siswa secara keseluruhan dimulai dari kegiatan tahap orientasi, tahap belajar mandiri, tahap penanganan individual siswa, tahap pengayaan dan tahap transfer. Materi pembelajaran yang diberikan kepada siswa adalah materi pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang dilaksanakan yang dirancang sedemikian hingga siswa dapat belajar secara mandiri, siswa dapat maju ke materi pembelajaran berikutnya tanpa harus menunggu teman sekelasnya. Sintaks model pembelajaran interaktif adalah sebagai berikut:
86 Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Tahap Pertama: Orientasi Siswa Normal Tahap ke dua: Belajar Mandiri Tahap ke3: Penanganan Individual Tahap ke empat: Pengayaan
Siswa berkemampuan tinggi
Tahap ke lima: Transfer TUGAS/PR Individual Modul /LKS Berikutnya
Modul /LKS Berikutnya Gambar 1. Sintak Model Pembelajaran Interaktif. Tahap Orientasi merupakan tahap awal pembelajaran. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran
yang ingin dicapai. Menjelaskan
mekanisme pembelajaran pada model pembelajaran interaktif. Guru menjelaskan hal yang harus dilakukan siswa mulai dari tahap orientasi sampai tahap transfer. Memberikan motivasi pada siswa agar dapat belajar mandiri. Menjelaskan cara menggunakan media komputer sebagai penunjang pembelajaran teknik digital untuk melakukan simulasi rangkaian digital. Tahap Ke dua adalah Belajar Mandiri, guru memberikan materi pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat belajar mandiri. Siswa secara bersama-sama memahami dan menyelesaikan materi. Siswa mengerjakan latihan yang diberikan. Siswa diperbolehkan menggunakan sumber belajar lain yang telah diterimanya. Pada tahap belajar mandiri
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
87
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
siswa dapat interaktif dengan guru, teman sekelasnya dan media komputer. Komputer yang digunakan telah diinstal sofe were aplikasi rangkaian teknik digital, sehingga jika siswa merakit rangkaian teknik digital belum benar di monitor komputer maka komputer akan kontraksi saat disimulasikan sehingga siswa mengetahui bahwa rangkaian yang digunakannya salah. Hal ini akan merangsang siswa untuk merakit rangkaian yang lebih baik dan kompleks dan sekaligus dapat membuat siswa lebih kreatif dalam pembelajarannya. Pada pelaksanaan tahap belajar mandiri, walaupun siswa dapat interaktif dengan guru, teman sekelasnya tetapi guru tetap harus menjaga suasana pembelajaran agar tetap nyaman untuk belajar. Jika siswa dapat melaksanakan tahap belajar mandiri dengan baik maka ia dapat melanjutkan ketahap ke empat yaitu tahap pengayaan tanpa harus manunggu teman sekelasnya. Hal ini dapat dilaksanakan karena materi pembelajarannya menggunakan modul yang memungkinkan siswa untuk belajar secara mandiri Jika siswa masih merasa kesulitan mengerjakan tugas mandiri yang diberikan maka siswa akan melanjutkan ke tapahap pananganan individual. Tahap Ke tiga adalah Penanganan Individual, guru menangani siswa secara individual sesuai dengan kecepatan siswa dalam menyelesaikan materi dan latihan yang diberikan. Memberikan layanan terhadap siswa yang kesulitan menyelesaikan materi dan latihan. Menjelaskan mensimulasikan
kembali
cara
rangksaian
menggunakan
teknik
digital
komputer
dengan
untuk
menggunakan
komputer. Memberikan latihan pengayaan. Siswa interaktif terhadap guru dan teman sekelasnya tentang materi dan latihan yang diberikan. Tahap ke empat adalah Pengayaan. Siswa mendapatkan materi dan latihan untuk mengantarkannya ke materi berikutnya. Siswa diberikan tes sebagai prasyarat untuk mengambil materi berikutnya. Pada
88 Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
tahap ini guru harus dapat mengoreksi hasil pembelajaran siswa dengan cepat dan kemudian mempersilakan siswa untuk melanjutkan ketahap berikutnya bagi siswa yang mampu. Tahap ke lima adalah Transfer. Guru memberikan materi baru pada siswa yang telah menyelesaikan materi dan latihan sebelumnya
dengan baik (menyelesaikan materi dan latihan
sebelumnya dengan tuntas). Sistem Sosial Model Pembelajaran Interaktif adalah situasi, suasana, norma yang berlaku dalam model pembelajaran interaktif. Di dalam model pembelajaran interaktif, guru harus dengan sengaja memilih jenis kegiatan dan mengatur siswa dengan merancang kegiatan yang utuh dan padat mengenai suatu proses pembelajarannya. Karena itu model pembelajaran interaktif termasuk model yang terstruktur. Namun demikian kerja sama antar peserta diperlukan. Keberhasilan model pembelajaran interaktif ini tergantung pada kerjasama dan kemauan dari siswa untuk secara bersungguh-sungguh melaksanakan aktivitas dalam proses pembelajaran. Prinsip Pengelolaan/Reaksi Model Pembelajaran Interaktif adalah pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana seharusnya guru melihat dan memperlakukan para siswa, termasuk bagaimana seharusnya guru memberikan respos terhadap siswa. Prinsip reaksi merupakan petunjuk bagaimana seharusnya guru menggunakan aturan permainan yang berlaku
pada model pembelajaran interaktif. Di dalam model
pembelajaran interaktif siswa dapat interaktif pada guru, teman sekelas dan juga dapat interaktif dengan monitor komputer pada saat mensimulasikan rangkaian digital. Guru berperan sebagai memberi kemudahan siswa untuk belajar atau berfungsi sebagi fasilitator. Di dalam keseluruhan proses pembelajaran, guru bertugas dan bertanggung jawab atas terpeliharanya suasana belajar dengan cara menunjukkan sikap yang
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
89
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
mendukung atau supportif dan tidak bersifat menilai atau evaluatif. Dalam hal ini guru bertugas untuk lebih dulu mendorong pengertian dan penafsiran para siswa terhadap isi dan makna materi pembelajaran yang diajarkan dengan menggunakan simulator tersebut. Sistem Pendukung Model Pembelajaran Interaktif adalah segala sarana, bahan dan alat yang diperlukan untuk melaksanakan model pembelajaran interaktif. Sarana yang diperlukan
untuk mendukung
pelaksanaan model pembelajaran mulai dari yang paling sederhana sampai komputer yang ada di sekolah. Dengan menggunakan sarana yang telah tersedia di sekolah yaitu laboratorium komputer maka pelaksanaan model pembelajaran saat menggunakan program simulasi rangkaian digital dapat dilaksanakan tanpa mengeluarkan biaya yang mahal. Selain itu sumber daya pendukung lainnya bahwa guru dan siswa telah dapat mengoperasikan komputer. Dampak Instruksional model pembelajaran interaktif adalah hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan para pelajar pada tujuan yang diharapkan yaitu Penguasaan kompetensi elektronika digital dan perbedaan individual siswa. Sedangkan dampak pengiring adalah hasil belajar lainnya yang dihasilkan suatu proses belajar mengajar atau proses pembelajaran, sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami langsung oleh para siswa tanpa pengarahan langsung dari guru yaitu penggunaan waktu yang efektif. 2. Kompetensi Teknik Digital Konsep kompetensi sebenarnya bukan merupakan hal baru. Menurut organisasi
psikologi industri Amerika, gerakan tentang
kompetensi telah dimulai pada tahun 60-an dan awal 1970 (Mitrani, Palziel,& Fitt, 1992). Menurut gerakan tersebut banyak hasil studi yang menunjukkan bahwa hasil tes sikap dan pengetahuan serta prestasi
90 Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
belajar di sekolah dan diploma tidak dapat memprediksi keberhasilan dalam kehidupan. Selanjutnya kompetensi didefinisikan Mitrani, Dalziel, & Fitt (1992) dan Spencer (1993) sebagai karakteristik yang mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektivitas kinerja individu dalam pekerjaannya. Kemudian Basuki (2003) menjelaskan bahwa kompetensi merupakan
karakteristik
dasar
yang
terdiri
dari
keterampilan,
pengetahuan dan atribut personal lain yang mampu membedakan seseorang itu perform atau tidak perform. Ini berarti bahwa kompetensi adalah bagian kepribadian yang mendalam dan melekat pada seseorang serta perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas pekerjaan, selain itu merupakan sesuatu yang menyebabkan atau memprediksi perilaku atau kinerja. Selanjutnya kompetensi sebenarnya memprediksi siapa yang berkinerja baik dan kurang baik, diukur dari kriteria atau standar yang digunakan. Sehubungan dengan kompetensi Nurdin (2006) menjelaskan bahwa kompetensi yang harus dimiliki siswa dapat diklasifikasikan menjadi empat, yakni kompetensi tamatan/lulusan, kompetensi mata pelajaran, kompetensi rumpun mata pelajaran dan kompetensi lintas kurikulum.
Kompetensi
tamatan/lulusan
adalah
pengetahuan
keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak setelah siswa menyelesaikan belajar pada suatu jenjang tertentu. Sedangkan kompetensi mata pelajaran adalah rumusan kompetensi siswa
dalam berfikir, bersikap dan bertindak setelah
menyelesaikan mata pelajaran tertentu. Kompetensi-kompetensi yang dihasilkan dari setiap mata pelajaran itu akan menghasilkan kompetensi rumpun mata pelajaran dan kompetensi rumpun mata pelajaran akan menghasilkan kompetensi lulusan, dan kompetensi yang
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
dapat
91
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
diterapkan untuk beberapa mata pelajaran lazim disebut dengan kompetensi lintas kurikulum. Kurikulum yang dipergunakan untuk pembelajaran di SMK Negeri Medan adalah KTSP. KTSP merupakan kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan Badan Standar
Nasional
Pendidikan (BSNP). Pengembangan KTSP diserahkan kepada para pelaksana pendidikan
untuk mengembangkan berbagai kompetensi
pendidikan (pengetahuan, keterampilan dan sikap) pada setiap satuan pendidikan (BSNP, 2006). Di dalam standar kompetensi lulusan SMK terdapat standar kompetensi lulusan mata pelajaran. Di dalam standar kompetensi lulusan mata pelajaran untuk pelajaran kejuruan terdapat kompetensi dasar kejuruan teknik audio vidio. Selanjutnya Adie (2003) menjelaskan bahwa kompetensi dasar yaitu karakteristik esensial seperti pengetahuan dan keterampilan dasar yang harus dimiliki agar dapat melaksanakan
pekerjaan.
Depdiknas
(2007)
menjelaskan
bahwa
kompetensi dasar kejuruan teknik audio vidio yaitu karakteristik esensial seperti pengetahuan dan keterampilan dasar tentang teknik audio vidio yang harus dimiliki agar dapat melaksanakan pekerjaan tentang teknik audio vidio. Kompetensi dasar kejuruan TAV merupakan kompetensi dasar guna mempelajari kompetensi di tingkat berikutnya yaitu teknik mikroprosesor, pengolahan data elektronik dan elektronika industri (Willa,2007). Kompetensi dasar kejuruan teknik audio vidio terdiri dari kompetensi dasar elektronika, kompetensi teknik digital dan menguasai elektronika komputer. Kompetensi teknik digital mencakup aspek sikap, pengetahuan dan keterampilan. Dalam aspek sikap mencakup tekun, ulet
92 Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
dan sabar. Dalam aspek pengetahuan mencakup gerbang logika dasar, rangkaian flip-flop,
rangkaian logika kombinasi, tabel kebenaran,
penyederhanaan rangkaian logika, dan rangkaian clock. Sedangkan aspek keterampilan mencakup membuktikan tabel kebenaran, rangkaian logika dasar, menyusun rangkaian display seven segment dan rangkaian clock. (Depdiknas, 2006). 3. Perbedaan individual siswa Pembelajaran yang mengutakan kegiatan individual siswa di indonesia masih begitu langka. Salah satu penyebabnya adalah pengembangan kurikulum yang dilakukan secara sentralistik, sehingga model pembelajaran yang dikembangkan terbatas dan tidak dapat melayani keragaman individual siswa. Penyebab lainnya adalah perbandingan antara jumlah siswa dengan fasilitas belajar terutama ruangan, bangku, jumlah guru belum memadai serta faktor pembiayaan yang cukup tinggi. Hal inilah yang menyebabkan dilakukannya pembelajaran secara klasikal. Proses pembelajaran yang mengutamakan kegiatan individual siswa adalah proses pembelajaran yang memperhatikan perbedaan individual siswa. Secara umum perbedaan individual siswa adalah sesuai dengan perkembangan siswa yang sesuai dengan kelompok usianya, tetapi secara khusus masing-masing siswa mempunyai kekhasan sendirisendiri. Masing-masing individu diciptakan tidak pernah sama antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda (Rahman,1990). Sejalan dengan itu Good & Stipek dalam Nurdin (2005) mengemukakan bahwa penerimaan dan tafsiran setiap siswa terhadap sesuatu yang disampaikan (pelajaran yang sama di kelas) sangat berbeda yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan pada siswa terdapat banyak perbedaan. Diantaranya perbedaan kemampuan
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
93
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
dan kecerdasan, kreativitas, gaya belajar, gaya berfikir, kematangan emosi dan perbedaan dalam banyak hal. Relevan dengan pendapat di atas Fradson (1957) juga mengemukakan bahwa tidak ada dua anak yang dilahirkan persis sama, hal tersebut karena adanya keragaman dimensi yang ada dalam diri anak. Perbedaan tersebut menurut Fradsen dalam bentuk kematangan mental, kemampuan yang dimiliki, prestasi yang dicapai, minat, penyesuaian sosial dan emosional serta kebutuhan yang diinginkan anak. Perbedaan individual siswa yang dimaksudkan pada tulisan ini adalah perbedaan individual siswa khususnya difokuskan pada perbedaan individual siswa SMK. Siswa SMK bisa dikatagorikan sebagai usia remaja yang menurut Monks dalam Mutadin (2002) mengalami masa stom and stress terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan psikhis yang bervariasi. Usia remaja mulai 12 sampai 21 tahun terdapat beberapa fase yaitu fase remaja awal yaitu mulai dari 12-15 tahun, remaja pertengahan yaitu usia 15- 18 tahun, dan masa remaja akhir 18-21 tahun dan diantaranya terdapat fase pubertas yang merupakan fase yang sangat singkat tetapi terkadang menjadi masalah tersendiri bagi remaja dalam menhadapinya. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik siswa tersebut memiliki kekhususan masing-masing dan yang sering muncul masalah adalah pada masa pubertas karena terjadi perubahan fisik dan emosi secara drastis dan sering terjadi kangguan keseimbangan. Pada usia inilah rata-rata siswa di SMK. Secara umum siswa SMK tersebut mengalami perubahan besar secara fisik dan psikhis. Karakteristik perkembangan remaja tersebut akan berpengaruh pada pembelajaran siswa. Model pembelajaran yang diberikan pada siswa tersebut sebaiknya model pembelajaran yang
94 Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
memperhatikan perbedaan individual siswa sehingga dapat membantu perkembangan siswa dan keberhasilan siswa dalam belajar. Model pembelajaran interaktif memberi kesempatan yang lebih luas kepada siswa untuk belajar mandiri dan berinteraksi kepada gurunya dan teman sekelasnya juga media pembelajaran yang digunakan. Dengan demikian model pembelajaran interaktif dapat mengakomodir perbedaan kemampuan, minat, dan mitivasi berprestasi siswa, sehingga siswa yang memiliki
kemampuan
tinggi
mendapatkan
program
percepatan
pembelajaran tanpa menunggu temannya. Siswa yang normal juga dapat terlayani dengan proses pembelajarn normal dan siswa yang lambat juga dapat arahan dan bimbingan dari guru secara individual sampai dapat tuntas menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya. Guru bertugas dan bertanggung jawab atas terpeliharanya suasana belajar dengan cara menunjukkan sikap yang mendukung atau supportif dan motivator dan fasilitator. Hal ini dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam berdiskusi. Model pembelajaran interaktif pada proses pembelajarannya siswa didorong untuk aktif dalam menemukan sendiri letak kesulitan dari konsep-konsep pelajaran yang dihadapinya sehingga belajar menjadi lebih bermakna. Model pembelajaran interaktif dapat mengatasi masalah yang terjadi pada model pembelajaran eksperimen laboratorium khususnya jika komponen teknik digital yang diinginkan/ akan dipakai tidak tersedia di work shop, maka dapat digunakan simulator digital dengan memanfaatkan laboratorium komputer yang ada di sekolah. Walaupun demikian model pembelajaran interaktif memiliki keterbatasan antara lain, guru harus lebih proaktif membantu siswa yang merasa kesulitan dalam mengerjakan latihan dan latihan pengayaan agar suasana kelas tidak menjadi ribut. Guru harus mengoreksi hasil pekerjaan siswa dengan cepat, karena setiap tahapan kegiatan yang dilakukan siswa
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
95
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
merupakan prasyarat untuk melakukan kegiatan berikutnya agar suasana kelas tidak menjadi ribut. Guru harus dapat mengendalikan suasana kelas dengan baik agar suasana kelas tetap nyaman untuk belajar sekaligus memberi kesempatan yang lebih luas kepada siswa untuk berinteraksi kepada gurunya dan teman sekelasnya juga media pembelajaran yang digunakan terutama pada saat pembelajaran menggunakan simulator komputer. Guru dan siswa harus dapat mengoperasikan komputer pada saat menggunakan komputer sebagai media pembelajaran untuk mensimulasi rangkaian digital di monitor komputer. C. PENUTUP Urutan kegiatan pada implementasi model pembelajaran interaktif dimulai dari kegiatan pendahuluan, memberikan pretes kepada siswa
orientasi
yaitu
menjelaskan
tujuan
pembelajaran
dan
memperkenalkan model pembelajaran interaktif dan memberikan motivasi kepada siswa. Kegiatan penyajian diawali dengan memberikan pengarahan yaitu kegiatan memberikan prosedur/langkah-langkah menggunakan model pembelajaran interaktif; memberikan keterangan tentang aktifitas siswa pada saat mengerjakan latihan dan latihan pengayaan; menjelaskan prosedur simulasi komputer; pemberian materi yang memungkinkan siswa untuk belajar mandiri. Guru memberikan latihan yang memungkinkan masing-masing siswa untuk belajar mandiri tanpa terganggu oleh siswa yang lain. Guru memberikan penanganan individual untuk siswa yang masih bermasalah untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Guru memberikan latihan pengayaan yang merupakan prasyarat untuk mengambil materi pembelajaran berikutnya. Transfer yaitu guru memberikan meteri pembelajaran baru pada siswa berkemampuan tinggi yang telah menyelesaikan materi pembelajaran
96 Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
sebelumnya dan latihan yang diberikan dengan baik. Kegiatan penutup guru memberikan postes, umpan balik, tindak lanjut dan memberikan tugas pekerjaan rumah (PR). Setiap selesai proses pembelajaran berakhir dilaksanakan postes untuk mengukur tingkat pengetahuan siswa terhadap apa yang sudah dipelajarinya. Implementasi
model
pembelajaran
interaktif
perlu
dikembangkan strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat termotivasi untuk belajar mandiri, tuntas dan percaya diri akan kemampuan masing-masing. Selain itu media untuk proses pembelajaran berupa modul, LKS, sistem penilaian dan fasilitas pembelajaran lainnya sebaiknya telah tersedia lengkap, cukup untuk jumlah siswa dan telah disusun secara terencana dan berkualitas D. DAFTAR PUSTAKA Adie Erar Yusuf. 2003. Pengembangan SDM Berbasis Kompetensi dan Penerapannya. Jakrta: Pustekkom BSNP. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulu Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang pendidikan dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas. Basuki Wibawa. 2003. Pengembangan SDM Stratejik Berbasis Kompetensi. Jakarta: Pustekkom Depdiknas. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan (KTSP) Program Keahlian Teknik Audio Vidio. Medan: Dinas Pendidikan Sumatra Utara. De Porter, Bobby, Mark Readson, dan Sarah Singer, (2004), Quantum Teaching Mempraktek Quantum Learning di ruang-ruang kelas, Bandung: Kaifa. De Porter, Bobby, Mike Hernacki.2004. Quantum Learning, Membiasakan belajar nyaman dan menyenangkan, Bandung : Kaifa. Dryden, G dan Vos, Jeannette. 2003. Revolusi cara belajar the learning revolution (terjemahan), Bandung, Kaifa. Joyce, B dan Weil, M. 2000. Models of Teaching. New Jersey: Prentice-Hall, Inc Meier, D. 2002. The Accelersted Learning For The 21 ST Century, Cara Belajar Cepat Abad 21, Bandung : Nuansa.ksara.
Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
97
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Mitrani, A., Daziel,M. & Fitt,D. 1992. Competency based human resources management: value–driven strategies for recruitment, develpment and reward. London: Kogan Limited. Mutadin,Z. 2002. Mengenal Kecerdasan Emosional anak Remaja. Jakarta: e-psikologi com Nurdin Syafruddin, H. 2005. Model Pembelajaran yang Memperhatikan Keragaman Individu Siswa dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Quantum Teaching. Rose, Colin.2002. Accelerated Learning, Diterjemahkan Dedy Ahumsa. Bandung: Nuansa. Rosnelli. 2008. Pengembangan Model Pembelajaran Interaktif Untuk pembelajaran Kompetensi Teknik Digital di SMK Negeri 4 Medan. Medan: Pascasarjana Unimed Sayling Wen. 2003. Future of Education (Masa Depan Pendidikan). Alih Bahasa Arvin Saputra. Batam : Lucky Publisher. Willa Lukas. 2007. Teknik Digital Mickro Prosesor dan Mikro Komputer, Bandung : Informatika. Wen, S. 2003. Future of Education (Masa Depan Pendidikan). Alih Bahasa Arvin Saputra. Batam : Lucky Publisher.
98 Dra. Rosnelli, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Teknik Elektro Universitas Negeri Medan.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
FAIR PLAY DALAM OLAH RAGA INDRA KASIH Abstrak Olah raga dengan segala aspek dan dimensi kegiatannya, lebih-lebih yang mengandung unsur pertandingan atau kompetisi, harus disertai sengan sikap dan prilaku yang didasarkan pada kesadaran moral. Sikap itu menyatakan kesiapan untuk berbuat dan berprilaku sesuai dengan peraturan. Bahkan, kesiapan itu tidak hanya loyal terhadap ketentuan yang tersirat, tetapi kesanggupan utuk membaca dan memutuskan pertimbangan berdasarkan kata hati. Kepatutan tindakan itupun diterangi oleh sinar yang bersumber dari dunia batiniah. Karena itu dalam urusan fair play dijumpai makna dalam pernyataan yakni setiap pelaksanaan olahraga harus ditandai oleh pernyataan yakni setiap pelaksana olahraga harus ditandai oleh “semangat kebenaran dan kejujuran, dengan tunduk kepada peraturan-peraturan, baik yang tersurat mapun yang tersirat” Kata Kunci: Fair play, Olah raga, Pertandingan A. AKAR DARI FAIR PLAY Perilaku yang menunjukkan fair play akan diawali dengan kemampuan untuk sepenuhnya 100% tunduk kepada peraturanperaturan yang tertulis. Ini berarti, setiap pihak yang berurusan dengan olahraga , utamanya para atlet atau olahragawan , mesti paham akan peraturan , dan setelah itu, mesti siap mematuhi peraturan yang berlaku. Karena itu, persoalan fair play, seperti kasus tindak kekerasan pada penonton, berawal dari ketidak pahaman terhadap peraturan, dan ketiadaan sikap loyal untuk menjamin keutuhan permainan. Sikap yang ditampilkan penonton, seperti kasus pertandingan sepak bola akhir-akhir ini selain ketidak pahaman dan pemaksaan kehendak, juga diakaibatkan ketidak patuhan terhadap berbagai ketentuan . Sebagai konsep moral, suatu cetusan, fair play berisi penghargaan terhadap lawan serta harga diri. Dalam kaitan inilah, antara
Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
99
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
kedua belah pihak harus memandang lawannya sebagai mitra. Lawan adalah kawan bermain. Keseluruhan upaya dan perjuangan itu dilaksanakan dengan bertumpu pada standart moral yang dihayati masing-masing kedua belah pihak. Sebagai konsep yang abstrak, fair play dapat dijabarkan dan dioprasionalkan dalam bentuk prilaku yang mencakup beberapa cirri sebagai berikut: 1. Adanya keinginan yang tulus iklas agar lawan bertanding mendapatkan kesempatan yang benar-benar sama dengan dirinya sendiri. Dalam hal ini olahragawan yang bersangkutan. a.
Menolak untuk berbuat, dimana mungkin, untuk mendapatkan keuntungan dari suatun keadaan yang merugikan lawan
b. Menolak kejadian yang berkaitan dengan asfek materiil atau fisik c. Berusaha pada diri sendiri untuk mengurangi dorongan berbuat yang berakibat ketidak adilan yang akan menimpa lawannya. 2. Sangat teliti dalam menimbang cara-cara untuk mendapatkan kesempatan a.
Menolak menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan peraturan pertandingan yang sudah disahkan
b. Sengaja untuk tidak memamfaatkan keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dari penerapan peraturan yang ketat. c. Tunduk dan iklas terhadap peraturan juri dan wasit meskipun nyata-nyata merugikan diri sendiri B. FAIR PLAY DALAM KENYATAAN Bagaimana membumikan perilaku adil dan jujur yang menjadi ruh fair play ? Apa indicator yang dapat diamati dan direkam untuk kemudian dinilai sebagai perilaku yang mencerminkan fair play ?
100 Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Pertanyaan ini mengundang rasa ingin tahu kita, dan berkenaan dengan hal itu, dapat diidentifikasi beberapa ciri-ciri pengenalan sebagai berikut: a) Fair play dapat dikenal dari perbuatan individu maupun regu (Kolektif) b) Fair play dapat diperlihatkan sebelum, selama dan sesudah pertandingan. c) Perilaku yang mencerminkan fair play ini berlaku pada setiap tatanan kemampuan dan sama sekali tidak dibedakan kepada pemain amatir dan professional. d) Pemaiannya harus seimbang dengan lawannya e) Pemain harus tunduk terhadap semua perturan yang tertulis C. ANCAMAN TERHADAP FAIR PLAY DAN TANGGUNG JAWABNYA Bahaya terhadap fair play timbul terutama dari kesalahan arah yang ditempuh olahragawan zaman ini. Olahraga dieksploitasi oleh politik, ideology, dan dagang karena olahraga sangat tenar dan digemari. Bahkan sekarang ini, sejak logika poloitik berubah menjadi logika ekonomi, pengelolaan olahraga yang bersifat komnesialisasi sangat menonjol, dan bila kita tidak was-was, ancaman terhadap fair play semakin besar. Dengan demikian olahraga mengalami bahaya untuk kehilangan sifat-sifat yang murni. Yang mestinya, olahraga berisi pertandingan yang bersifat kesatria dan membentuk kepribadian, dapat berubahmenjadi perjuangan yang tidak kenal ampun, yang dikuasaioleh pikiran prestise, popolaritas dan uang. Cauvinisme, nasionalisme, rasialisisme dan pengarush komersial merusak suasana dan semangat keolahragaan. Bila hal ini tidak terbendung, lapangan olahraga merosot menjadi gelanggang, menjadi
Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
101
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
tempat bagi para pemain untuk bertindak keterlaluan dalam usaha untuk menang. D. TANGUNG JAWAB FAIRPLAY Sebagai cita-cita yang begitu luas kepentingannya maka fair play perlu mendapatkan dukungan tidak saja di antara mereka yang berkepentingan dengan olahraga, tetapi juga dari mereka yang bertanggung jawab atas pendidikan. Baik pemain/atlet maupun pendidik, orang tua, pemimpin olahraga, refree, penonton dan pendukung, mass media dan pejabatpejabat pemerintah semuanya mempunyai tanggung jawab untuk menunjukkan fair play. Para pemain merupakan barisan yang utama yang bertanggung jawab atas pengamanan dan penegmbangan fair play . Merekalah dengan kelakukan yang diperlihatkan, menghargai kewajibankewajiban yang dipikul olah mereka, kewajiban terhadap lawan, refree, umpire dan penonton. 1. Tanggung Jawab Guru dan Orangtua, Pendidikan jasmani dan olahraga dapat menjadi alat pendidikan yang ampuh bagi anak muda, asal dipenuhi persyaratan dari sisi fisiologis, psikilogis, sosiologis dan aspek pedagogic itu sendiri a.
Guru pendidikan jasmani sebagai pendidik. Olahraga tidak hanya bermanfaat bagi latihan jasmni, tetapi lebih luas dari pada itu. Olahrga iuran vital kepada pendidik yang bersifat menyeluruh karena sifatnya yang has serta pengarus terhadap bidang studi atau upaya pendidikan lainnya. Karena kemaslahatan olahraga telah disadari, maka penting sekali bagi mereka yang bertanggung jawab atas pendidikan pada lingkungan mana saja, dan pada tingkat apa saja, untuk
102 Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
memanfaatkan sepenuhnya kesempatan-kesempatan yang yang diberikan
olah
olahraga
guna
membina
dan
membentuk
kepribadiaan anak dan pemuda. b. Orangtua sebagai pendidik Walaupun orang tua mendapat kesempatan lebih sempit dari pada pendidk profsional untuk mengajarkan fair playdan untuk mempraktekkannya
dilapangan,
maka
dapat
memberikannya
sumbangana berharga kepada tugas pembinaan yang dipikul bersama. Alasan pertama, orang tua wajib menanamkan prinsipprinsipdasar fair play kedalam jiwa anak sejak mulai bermain yang pertama kali. Kedua, kedua ornag tua harus memberikan contoh yang baik dalam menonton pertandingan serta menerapkan keadilan, objektivitas, disiplin dan kebesaran jiwa. Ketiga, orang tua sebaiknya menganjurkan anak-anak mereka bermain dalam sifat kesatria, meminta perhatian dan mencontoh atlet-atlet yang ternama dalam sportivitas serta mengecam kelakukan yang tidak sportivitas. 2. Tanggung Jawab Pembina Olahraga Pembina olahraga juga menyadari bahwa mereka mempunyai tanggung jawab yang bersifat sangat kas dan menempatkan mereka dalam psoisi yang pelik. Jasa-jasa Pembina olahraga berupa pekerjaan tanpa pamris kerapkali perupa pengorbanan , kepercayaan terhadap olahraga, kecintaan kepada atlet yang diasuh, kesetiaan terhadap perkumpulan dan organisasi sudah sangat luas dimaklumi dan disini tidak akan diberi ulasan kecuali berupa pernyataan penghargaan yang setinggitingginya.
Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
103
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
3. Tanggung Jawab Juri dan Wasit Tanpa melihat jenis olahraganya, perorangan atau beregu, didepan penonton yang jumlahnya ribuan atau beberapa orang saja, juri dan wasit harus tetap berusaha sekuat tenaga agar pertandingan yang dipinpin berlangsung dalam suasana dan semangat kekesatriaan. Wasit adalah orang yang menjadi saksi utama serta penilai apakah peraturan ditaati. Dialah yang berperan vital dalam usaha menjamin dan memajukan semangat olahragawaan sejati. Kepribadiaan wasit berpengaruh sama kuat sama-sama dengan kemampuan teknisnya serta bersifat menentukan terhadap kualitas permainan. Dia tidak memihak, dan selalu berusaha untuk menguasai diri, mengutamakan keberanian moral dan fisik, menunjukkan kesederhanaan dan keakraban.. Kesuanya itu sama perlunya seperti juga pengertian terhadap permainan, kesiapan, kemampuan serta kewibawaan. Wasit yang berwibawa dan berkepribadiaan sangat besar pengaruhnya terhadap sikap akrab para pemain, dan kelakuan yang dipertunjukkan wasit baik sebelum maupun selama pertandingan merupakan factor penting dalam menciptakan suasana yang mendorong adanya fair play. 4. Tanggung Jawab Penonton dan Pendukung Perbuatan dan emosi yang meluap tak terkendalikan dari penonton merupakan ancaman bagi kelangsungan olahraga. Olahraga sebagai tontonan tentu saja melibatkan penonton dan pendukung kedua belah pihak yang bertanding, tetapi kadang-kadang ketegangan menjadi memuncak. Kalau reaksi bersumber dari reaksi patriotism, nasionalisme, atau rasialisme, maka hal itu dapat menjuruskan dan merusak suasana pertandingan dengan timbulnya suasana kekerasan dan kebencian. Untuk
104 Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
mencegah terjadinya kelakukan yang berlebihan itu kita tidak cukup melarangnya saja, tetapi harus mendalami kelakukan kelompok. Emosi yang beraneka ragam dan sangat kompleks ini menyangkut hal-hal yang baik dan yang buruk dari kepribadian manusia. Semua factor ini perlu diperhitungkan dalam usaha mengunbah serta memperbaiki kelakukan penonton. 5. Tanggung Jawab Media Media juga mempunyai tanggung jawab untuk menyebarkan nilai fair play, karena pengaruhnya begitu luas, pendengar, pembaca, pirsawannya begitu besar jumlahnya dan mudah sekali memasuki jutaan rumah tangga. Tontonan dan pesan yang diperlihatkan kepada penonton, pembaca, dan pendengar tentu mempunyai pengetahuan dan daya kritik yang cukup untuk membentuk pendirian pribadi mereka. Dengan demikian reporter wajib menyakini peranannya sebagai pendidik rakyat luas, dalam hal ini posisi pers adalah sebagai guru masyarakat olahraga. E. DAFTAR PUSTAKA Departemen Olahraga, 1964, Revolusi Keolahragaan: Melaksanakan Penderitaan Rakyat Indonesia, Jakarta. Gunarsa, S.D, 1989, Psikologi Olahraga, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Kremer, J., & Scully, D., 1994, Psychology in Sport, London: Taylor & Francis. Lumpkin, Angela, dkk., 1994, Sport Ethics:Aplication For Fair play, St. Louis: Mosby.
Indra kasih, S.Pd, M.Or. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Medan
105
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
HUBUNGAN ANTARA KREATIVITAS DAN MINAT WIRAUSAHA (ENTERTAINMENT) DENGAN HASIL BELAJAR MANAJEMEN PRODUKSI PERGELARAN SENI MUSIK Lamhot Basani Sihombing, M.Pd abstract This research was intended to know a relationship between: 1) creativity with the result of musik production management course, 2) student’s interest on entertainment entrepreneurship with the result of musik production management course, 3) both creativity and student’s interest on entertainment entrepreneurship with the result of musik production management course. This research was performed in Faculty of Arts and Language, Department Musik and Dance Education, The State University of Medan with purpose to understand the correlation of creativity and student’s interest on entertainment entrepreneurship for the result of musik production management course, either individually as well as colletively. The research population was the entire student’s in department musik and dance education that amounts to 156. The research data was obtained by objective tests that its had been respondent by 32 respondents. The data analysis was performed quantitatively with the use of descriptive statistics and analysis on product moment correlation, and multiple regression analysis. The interpretation of the results of data analysis was taken on .05 signification. The hypothesis of this research are: First, there is a positive correlation between creativity with the result of musik production management course. Second, there is a positive correlation between student’s interest on entertainment entrepreneurship for the result of musik production management course. Third, there is a positive correlation between creativity and student’s interest on entertainment entrepreneurship for the result of musik production management course. Kata Kunci: Kreativitas, Wirausaha, Minat Entertainment, Hasil Belajar A. PENDAHULUAN Dampak krisis moneter patut dijadikan pelajaran yang sangat berharga dalam membangun masa depan bangsa. Oleh karena itu,
106 Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan
Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
kebijakan dan strategi pembangunan yang ditempuh selama ini yang mengejar pada pertumbuhan dan untuk kepentingan masyarakat perlu ditata ulang. Di masa depan, pembangunan harus diarahkan pada partisipasi dan peran serta rakyat banyak sesuai dengan amanat konstitusi, UUD 1945 pasal 33. Mutu sumber daya manusia suatu negara tergambar dari mutu angkatan kerjanya. Dari Human Development Index (HDI), diketahui bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM)angkatan kerja Indonesia dewasa ini masih tergolong rendah. Oleh karena itu pembinaan SDM – pendidikan, pelatihan dan pengembangan hendaknya diarahkan kepada pembinaan yang dapat menciptakan manusia yang berpengetahuan dan professional dengan kinerja yang tinggi. Paradigma baru pada proses pengembangan sumber daya manusia akan bergeser pada bentuk pengembangan yang bermutu yang mengutamakan kemandirian dengan pengetahuan dan penguasaan kerja yang tinggi, terutama dalam hal ini mahasiswa yang berhubungan langsung dengan pembentukan karakter masyarakat itu sendiri. Di lain pihak, menurut The Word Competitiveness Report 1995, kualitas SDM kita masih jauh tertinggal dibandingkan dengan negaranegara ASEAN lainnya. Dari laporan yang disampaikan dengan Human Development Index (HDI), Indonesia masuk peringkat 104 dengan angka HDI = 0,568, sementara negara ASEAN lainnya masuk peringkat antara 43 dan 54 dengan angka index = 0,788 – 0,838. (Siahaan, 2000). Berkaitan dengan itu, diketahui bahwa kualitas angkatan kerja Indonesia dewasa ini masih tergolong rendah (UNDP, 2004). Melihat gejala banyaknya lulusan perguruan tinggi dewasa ini yang tidak tertampung dalam dunia kerja perlu diantisipasi dengan peningkatan pengetahuan dan pengembangan SDM yang lebih mendekatkan
mahasiswa
kepada
pengenalan
pekerjaan
Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
dengan
107
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
lingkungan masyarakatnya. Dalam hal ini konsep “learning for living” dan “life skill” perlu penjabaran dalam pengertian luas, sehingga seseorang tumbuh dan berkembang secara wajar dan normal untuk menjadi lulusan yang kreatif, produktif, bermakna dan bermanfaat. Untuk mampu menjadi lulusan seperti dijelaskan di atas, segenap sumber daya manusia hendaknya digali, dipelajari dan dikembangkan, sehingga terwujudlah kualitas manusia yang diharapkan tersebut. Pendidikan kewirausahaan berusaha untuk menjawab tantangan ini guna menjadikan manusia bukan hanya mampu mencari pekerjaan, melainkan untuk mengembangkan sumber daya manusia yang mampu menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri, atau bahkan mampu menyediakan lapangan kerja bagi orang lain. Minat wirausaha, kepekaan lingkungan wirausaha serta ketrampilan perbuatan wirausaha, semua perlu digali agar berkualitas tinggi.
EDUCATION INDEX 1.00 0.95 0.90 0.85 0.80
Korea
Singapore
Philippines
Thailand
Malaysia
China
Viet Nam
0.70
Indonesia
0.75
Source: UNDP, Human Development Report 2004.
Musik sebagai wahana hiburan, selama ini dipandang hanya suatu bentuk pekerjaan sederhana dan kurang diminati. Masyarakat masih
merendahkan
kualitas
kehidupan
orang-orang
yang
menggantungkan hidupnya pada musik, dalam artian belum ada pengakuan melalui musik kehidupan seseorang akan mapan. Akan tetapi belakangan ini sudah banyak contoh orang-orang yang mampu
108 Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan
Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
menggapai hidup mapan, bahkan melampaui status ekonomi sosial ratarata masyarakat. Oleh karena itu, perlu dipertanyakan apakah mahasiswa sekarang mampu menggantung harapan hidupnya melalui musik? Sudah barang tentu orang-orang yang berhasil dalam kehidupannya melalui musik dilatar belakangi pengetahuan dan keterampilan mereka dalam musik itu sendiri. Komunitas global berimplikasi pada makin ketatnya persaingan sumberdaya manusia yang menuntut pada kemampuan dan keterampilan seseorang menempatkan diri pada jajaran standard yang berlaku secara global. Pembentukan sosok sumber daya manusia melalui pendidikan mencakup dua masalah pokok yaitu dari segi perilaku dan segi profesionalisme, (Syam, 1977). Pendidikan mampu memberikan pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan pengembangan (development). Dari segi profesionalisme mencakup masalah kecakapan dan kemampuan serta kemampuan melaksanakan pekerjaan sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian hasil belajar mahasiswa di bidang musik menjadi sangat penting untuk bekal kehidupan mereka nantinya setelah lulus dari perguruan tinggi. Hasil belajar dapat memprediksi keberhasilan seseorang pada masa depan , antara lain mampu membawa individu untuk bekerja mandiri, untuk meningkatkan taraf hidupnya Agar mereka mampu hidup secara mandiri dibutuhkan pendidikan, pembinaan dan pengembangan secara intensif dan berkesinambungan. Keberhasilan bukan berarti semuanya terlepas dari orang lain, tetapi dia mampu menggunakan dan memanfaatkan pengetahuan, keterampilan, dan peluang yang ada di sekitarnya untuk terlibat di dalam upaya meningkatkan taraf hidupnya. Namun demikian, dari daftar nilai hasil belajar mata kuliah musik di Jurusan sendratasik FBS dapat diketahui bahwa perolehan hasil belajar mahasiswa terutama mata kuliah
Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
109
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
manajemen produksi pergelaran seni musik masih rendah. Sehubungan dengan konsep tersebut di atas, untuk mengetahui timbulnya hasil belajar yang rendah perlu dilakukan pengkajian sebab-akibat terjadinya, terutama tentang kreativitas dan minat mahasiswa terhadap musik. Berdasarkan penjabaran yang telah dikemukakan di atas tersebut maka perlu dilakukan penelitian tentang hubungan antara analisis kreativitas memainkan musik dan minat wirausaha entertaintment dengan hasil belajar musik mahasiswa jurusan sendratasik Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Medan (FBS UNIMED). B. HAKIKAT HASIL BELAJAR MANAJEMEN PRODUKSI PAGELARAN SENI Belajar
merupakan
upaya
manusia
untuk
memperoleh
pengetahuan dalam rangka membangun dirinya. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh melalui belajar dapat membentuk kebiasaan yang sesuai dengan norma dan latar berlakang kebudayaan masyarakat setempat. a. Prinsip-Prinsip Manajemen Secara ringkas Fayol dalam Reksohadiprojo dan Handoko (1994) mengemukakan 14 prinsip-prinsip manajemen dalam suatu organisasi yakni sebagai berikut : 1) Pembagian kerja (division of work). Dengan adanya
pembagian
kerja
atau
spesialisasi
akan
meningkatkan
produktivitas, karena seorang dapat memuaskan diri pada pekerjaan (kegiatan) yang sesuai dengan keahliannya, 2) Wewenang dan tanggung jawab (authority and responsibility). Wewenang adalah hak untuk memberi perintah. Seseorang anggota suatu organisasi mempunyai tanggung jawab dalam pencapaian tujuan organisasi sesuai dengan kedudukannya. Dibutuhkan sanksi yang tepat untuk pelaksanaan kegiatan yang baik
110 Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan
Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
maupun yang tidak baik (kurang baik), 3) Disiplin (discipline). Harus ada respek dan ketaatan pada peranan-peranan dan tujuan-tujuan organisasi. Ini membutuhkan atasan yang baik diseluruh tingkatan, perjanjian kerja yang sedapat mungkin jelas dan bijaksana, dan sanksi (hukuman) yang diterapkan dengan bijaksana, 4) Kesatuan perintah (unity of command). Untuk mengurangi kekacauan, kebingungan dan konflik, setiap organisasi harus menerima perintah-perintah dari dan bertanggung jawab kepada hanya satu atasan, 5) Kesatuan pengarahan (unity of direction). Suatu organisasi akan efektif bila anggota-anggotanya bekerjasama berdasarkan tujuan-tujuan yang sama, 6) Mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi (subordination of individual interest to general interests). Kepentingan seorang karyawan (anggota organisasi) atau kelompok karyawan tidak diperlakukan lebih tinggi dari pada kepentingan organisasi. Kepentingan organisasi harus dijaga sebagai kepentingan yang tertinggi, 7) Balas jasa (remuneration of personnel). Pembayaran upah / gaji harus bijaksana, adil, tidak eksploatif dan sedapat mungkin memuaskan kedua belah pihak (perusahaan dan personalia) dan harus ada penghargaan atas pelaksanaan tugas yang baik. Macam-macam bentuk pembayaran balas jasa dapat didasarkan atas waktu, jabatan, tingkat keahlian, bonus, pembagian laba, maupun aspek-aspek bukan keuangan, 8) Sentralisasi (centralization). Organisasi perlu mengatur tingkat keseimbangan optimum antara sentralisasi dan desentralisasi. Tingkat keseimbangan ini tergantung pada karakter pribadi manajer, nilai-nilai yang dipegang manajer reliabilitas karyawan (bawahan), dan juga kondisi dunia usaha (bisnis). Tingkat sentralisasi harus disesuaikan atas dasar pembedaan kasus-kasus yang dihadapi organisasi, 9) Rantai saklar (sclar chain). Hubungan antara tugas-tugas atas dasar suatu hirarki dari atas kebawah, 10) Aturan (order). Konsepsi Fayol menyatakan bahwa harus
Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
111
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
ada suatu tempat untuk setiap orang, dan setiap orang harus menduduki tempat yang memang seharusnya menjadi tempatnya, 11) Keadilan (equity). Bagi personalia yang didorong untuk melaksanakan tugastugasnya dan keadilan atas dasar hasil kombinasi kebaikan dan kebijaksanaan . Keadilan juga berarti adanya kesamaan perlakuan dalam organisasi, 12) Kelanggengan personalia (stability of tenure of personnel). Waktu dibutuhkan bagi seorang karyawan untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan baru dan meraih sukses dalam pekerjaan baru tersebut, dengan anggapan bahwa dia mempunyai kemampuan yang disyaratkan. Oleh karena itu penting adanya kelangsungan, keamanan dan kepastian kerja, 13) Inisiatif (initiative). Dalam setiap tugas harus ada kemungkinan untuk
menunjukkan
inisiatif
sendiri
dalam
menyelesaikan
dan
mengerjakan rencana di setiap tingkat, dan 14) Semangat Korps (esprit de corps). “Persatuan adalah kekuatan”. Pelaksanaan operasi organisasi yang baik perlu adanya kebanggaan, kesetiaan, dan rasa memiliki dari para anggotanya. b. Ilmu Manajemen dan Seni Manajemen Ilmu manajemen ialah unsur keilmuan yang merupakan pengetahuan yang tertentu seperti yang dinyatakan oleh peraturanperaturan atau statemen-statemen umum dan dipertahankan oleh berbagai tingkat ujian-ujian dan penyelidikan seni manajemen. Arti seni adalah sesuatu kekutan pribadi yang kreatif ditambah dengan skill dalam pelaksanaan
pekerjaan itu. Hal mana yang pertama timbul karena
dipelajarinya problem-problem keyakinan-keyakinan serta kemungkinan. Hal kedua skill dalam pelaksanaan pekerjaan timbul karena pengalaman observasi (pengawasan serta studi). Dengan perkata lain seni manajemen meliputi kemampuan untuk meliputi totalitas. Sebagai tambahan dapat dikatakan seni
manajemen
mencakup pula
kemampuan
112 Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan
Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
untuk
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
mengkomunikasikan visi tersebut, hal demikian meliputi tinddakan memilih bentuk, cara, dan teknik yang
paling cepat. Manajemen
merupakan salah satu diantara semua seni yang paling kreatif karena ia merupakan organisasi dan pemanfaat dari pada bakat manusia.
c. Hubungan Ilmu Manajemen dan Seni Seorang pemimpin adalah seorang seniman, secara simplistis dapat kita nyatakan bahwa sesuatu ilmu yang mengajarkan kita apa yang perlu dilakukan. Ada pihak yang beranggapan bahwa seni lebih superior dengan ilmu yang disebabkan oleh karena seni mulai dari permulaan (seni merupakan bakat manusia tersebut dengan perkataan lain seni timbul dari dalam). Sedangkan ilmu berkembang berdasarkan, pendidikan, penelitian, dan percobaan-percobaan, jadi datanya dari luar, keterampilan ini timbulnya dengan mempelajarinya dari bangku pendidikan ditambah dengan pengalaman-pengalaman. d. Manajemen Produksi Pagelaran Seni Musik Sering sekali panitia penyelenggara proyek tidak mengetahui apa saja yang dilakukan dan batasan atau ruang lingkup pekerjaannya. Ini terjadi karena penyelenggaraan tidak merumuskan dengan jelas cakupan proyek. Antar unit kerja sering terjadi saling intervensi atau saling menolak suatu tanggung jawab. Adapun rumusan cakupan proyek adalah: 1) Menyatakan apa saja yang harus dikerjakan agar sasaran proyek dapat tercapai, 2) Menyatakan batasan tanggung jawab dan wewenang pihakpihak yang terkait, 3) Menyatakan bidang kegiatan dan/ atau fase/ tahapan proyek yang melibatkan pihak tersebut. Cakupan proyek perlu dirumuskan dengan baik dan jelas ,bila perlu dituliskan didalam kontrak kerja. Cakupan proyek dapat menyatakan hal-hal yang harus dikerjakan menyangkut kegiatan atau program kerja, agar sasaran proyek tercapai. Cakupan proyek juga dapat
Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
113
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
mencantumkan batasan tanggung-jawab dan wewenang pihak-pihak yang terkait/ terlibat. Perlu dibuat pembagian tugas dan wewenang (job description) dengan baik. Akan lebih baik apabila cakupan proyek dapat menyebutkan secara spesifik bidang kegiatan atau tahapan yang harus dilakukan. e. Hubungan Kreativitas Dengan Hasil Belajar Manajemen Produksi Pagelaran Seni Musik Kreativitas adalah kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluesan, dan orisinalitas dalam berpikir serta kemampuan untuk mengelaborasi sehingga dapat menciptakan suatu produk baru yang berupa suatu gagasan atau peralatan, serta memecahkan suatu masala. Kreativitas dalam seni musik adalah bentuk kemampuan melahirkan berbagai dan mampu mengaplikasikannya sebagai daya cipta musik secara terperinci dan juga dalam proses pelaksanaannya atau praktek, muncul imajinasi dan kreativitas untuk mencipta seni musik sesuai dengan keinginan mahasiswa hasil penelitian menunjukan terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kreativitas dengan hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni musik dengan koefisien korelasi sebesar r = 491, hal ini menunjukan semakin tinggi kreativitas seseorang mahasisawa maka semakin tinggi hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni musik. Hasil penelitian sesuai dengan pendapat Fayol yang menyatakan salah satu prinsip manajemen dalam suatu organisasai adalah pembagian kerja dengan adanya pembagian kerja atau spesialis akan meningkatkan produktifitas karena seseorang dapat memuaskan diri pada pekerjaan (kegiatan) yang sesuai dengan keahliannya. Dalam manajemen produksi pagelaran seni musik, salah satunya adalah cakupan proyek perlu dirumuskan dengan baik dan jelas dan bila perlu dituliskan dalam bentuk kerja karena sering kali dalam
114 Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan
Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
penyelenggaraan proyek tidak jelas apa yang di lakukan dan batasan atau ruang lingkup pekerjaannya, ini terjadi karena penyelenggaraan tidak memuaskan dengan jelas cakupan proyek antara unit kerja sering terjadi saling intervensi atau saling menolak suatu tanggung jawab. Berkaitan dengan itu maka untuk melaksanakan manajemen produksi pagelaran seni musik maka sangat dituntut kreativitas seseorang. Hal ini karena kreativitas merupakan kemampuan seseorang dalam mengolaborasi untuk menciptakan suatu produk baru yang berupa gagasan atau peralatan atau pendekatan serta memecahkan suatu masalah. Hasil penelitian juga sejalan dengan penelitian Gojles dan Jackson dalam Hawardi (2001) bahwa di antara mahasiswa yang berhasil dalam kegiatan belajar adalah mahasiswa yang memiliki tingkat kreativitas tinggi. Berdasarkan pengujian hipotesis penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara minat wirausaha entertainment dengan hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni musik dengan koefisien korelasi sebesar r = 0,158. Hal ini menunjukkan semakin tinggi minat wirausaha entertainment, maka semakin tinggi hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni musik. Minat berwirausaha menggambarkan perilaku yang mencakup kesadaran seseorang tentang adanya gejala berbentuk nilai-nilai kewirausahaan sehingga melalui kesadaran itu, sekurang-kurangnya orang tersebut memberi perhatian terhadap wirausaha. Apabila seseorang mempunyai minat berwirausaha yang tinggi, maka diharapkan dia benar-benar menyukai dan bahkan ingin menjadi wirausaha sebagai alat mencapai tujaun kehidupannya. Hal ini dikatakan Crow and Crow (1973) bahwa minat sebagai kekuatan pendorong yang menyebabkan individu mendapat perhatian terhadap aktivitas tertentu.
Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
115
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
Berkaitan dengan hal tersebut, di mana mata kuliah manajemen produksi pagelaran seni musik dapat dijadikan sebagai suatu usaha dalam penyelenggaraan proyek atau pekerjaan dalam mengelola suatu produksi pagelaran seni musik, sehingga tidak mengherankan bila semakin tinggi minat usaha wirausaha entertainment, maka semakin tinggi hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni musik. Hasil penelitian Jaspen Sihombing (2005) dan Hj. Mastarian Ritonga (2004) juga menyatakan minat belajar seseorang mempengaruhi keterampilan seseorang. Hasil pengajuan hipotesis penelitian menunjukan bahwa secara bersama-sama antara kreativitas dan minat berwirausaha entertainment memiliki hubungan yang positif dengan hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni musik dengan koefisien r = 0,23. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa semakin tinggi kreativitas dan minat berwirausaha entertainment mahasiswa secara bersama akan meningkat hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni musik. Dengan demikian kedua variabel bebas kreativitas dan minat berwirausaha perlu di kembangkan secara simultan, apabila ingin meningkatkan hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni musik. Keberhasilan mahasaiswa dalam belajar manajemen produksi pagelaran seni musik dapat ditentukan dengan kreativitas dan minat berwirausaha entertainment mahasiswa. Kedua variabel tersebut baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama memberikan sumbangan terhadap hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni musik mahasiswa. Sumbangan yang diberikan oleh kreativitas 22,09% dan minat usaha berwirausaha entertainment memberikan sumbangan sebesar 64,34%. Jika dilihat besarnya sumbangan masing-masing variabel kreativitas dan minat berwirausaha terhadap hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni musik, hal ini perlu menjadi perhatian dosen
116 Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan
Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
bagaimana dapat membangkitkan minat berwirausaha entertainment mahasiswa dalam mempelajari manajemen produksi pagelaran seni musik. Dosen harus mampu menyusun skenario pembelajaran dan mengajarkan manajemen produksi pagelaran seni secara menarik. Selain itu perlu menjadi perhatian yang terlibat langsung dalam pendidikan mengupayakan, memfasilitasi sarana dan prasarana pembelajaran manajemen
produksi
pagelaran
seni
agar
minat
berwirausaha
entertainment dapat ditingkatkan. E. PENUTUP Gambaran di atas menunjukkan bahwa: 1) Terdapat hubungan positif yang signifikan dan berarti antara kreativitas terhadap hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni musik, maka dapat disimpulkan bahwa kreativitas secara nyata dapat menentukan hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni musik, 2) Juga terdapat hubungan positif yang signifikan dan berarti antara minat berwirausaha entertainment terhadap hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni musik, maka dapat disimpulkan bahwa minat berwirausaha entertainment secara nyata dapat menentukan hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni musik, serta 3) Terdapat hubungan positif yang signifikan dan berarti antara prinsip dan minat berwirausaha entertainment terhadap hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni musik, maka dapat
disimpulkan
bahwa
kreativitas
dan
minat
berwirausaha
entertainment secara nyata dapat menentukan hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni musik. Berdasarkan pernyataan dan implikasi di atas, maka : 1) Untuk lebih meningkatkan hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni musik, maka diharapkan adanya prinsip di dalam belajar, 2) Untuk lebih
Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
117
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
meningkatkan hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni musik, maka diharapkan adanya minat berwirausaha entertainment yang baik dan positif, 3) Untuk meningkatkan hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni musik, maka diharapkan adanya kreativitas yang kuat dan memiliki minat berwirausaha entertainment yang baik dan positif, 4) Perlu diadakan penelitian yang lebih lanjut tentang hubungan antara kreativitas dan minat berwirausaha entertainment terhadap hasil belajar manajemen produksi pagelaran seni musik guna memperluas hasil penelitian ini. F. DAFTAR PUSTAKA Crow And Crow, (1973). General psychology. New York : Lithe Field Adam & Co. Gojles dan Jackson dalam Hawardi, 2001. Emotional Intelligence. Alih bahasa : T. Hermaya. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Hj. Mastarian Ritonga, 2004. Pendekatan kontekstual. Contextual teaching and learning (CTL). Jakarta: Dirjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. Jaspen Sihombing, 2005. Belajar membelajarkan. Munandir (Alih Bahasa). Seri Pustaka Teknologi Pendidikan No. 11. Jakarta : Rajawali. Reksohadiprojo dan Handoko, 1994. Kewirausahaan: Teori dan Praktek. Penerjemah Andre Asparsayogi. Jakarta: Lembaga PPM dan PT. Pustaka Binaman Pressindo. Siahaan, 2000. Multimedia and the changing experience of the learner. Asia Pacific Information Technology in Training and Education Conference and Exhibition. Brisbane: Juni 28 – July 2. The Word Competitiveness Report, 1995. Competency based education and training. London: The Falmer Press. UNDP, 2004. Kualitas Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta : Biro Pusat Statistik.
118 Lamhot Basani Sihombing, M.Pd. adalah Dosen Seni Musik dan
Sendratasik di Jurusan Pendidikan Musik Fakultas FBS Unimed.
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
SOFT SKILL DAN PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA Hariadi Abstract Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) ada beberapa unsur soft skill yang harus dimiliki mahasiswa, antara lain perlunya kreatifitas untuk memanfaatkan ide-ide yang sudah ada untuk dikembangkan menjadi ide baru yang lebih menarik, berguna dan bermanfaat. Kedispilinan untuk mengikuti aturan yang telah ditetapkan dalam buku panduan, kerjasama yang baik antar anggota kelompok, kemampuan berkomunikasi secara tulisan, menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah, serta integritas dan kejujuran melaksanakan kegiatan yang telah diajukan dalam proposal. Dengan demikian lolosnya suatu proposal PKM menjadi kegiatan yang didanai oleh Dikti merupakan hasil dari kerja keras baik sebagai individu maupun kelompok dengan bantuan dosen pembimbing. Program PKM diharapkan dapat melatih dan mengasah kemampuan soft skill mahasiswa . Kata Kunci : Soft Skill, Kreativitas Mahasiswa A. PENDAHULUAN Berdasarkan hasil beberapa jajak pendapat (tracer study) yang dilakukan perguruan tinggi di Indonesia, kompetensi sarjana di dunia kerja dibagi dua aspek. Pertama, aspek teknis berhubungan dengan latar belakang keahlian atau keahlian yang diperlukan di dunia kerja. Kedua, aspek non teknis mencakup motivasi, adaptasi, komunikasi, kerjasama tim, pemecahan persoalan, manajemen stress dan kepemimpinan dsb. Manajemen sebuah perusahaan raksasa di bidang perkebunan di Indonesia menyatakan bahwa telah terjadi kesenjangan persepsi antara dunia pendidikan tinggi dan industri. Perguruan tinggi memandang bahwa lulusan yang “high competence” adalah lulusan dengan IPK tinggi dan lulus dalam waktu yang cepat (≤4 tahun). Sedangkan dunia industri menyatakan bahwa yang dimaksud dengan lulusan yang “high competence”
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
119
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
yaitu mereka yang memiliki kemampuan dalam aspek teknis dan sikap yang baik. Di sisi lain lulusan baru, lebih banyak yang memilih bekerja di belakang meja, di perkotaan dan tidak mau melakukan pekerjaan lapangan dengan tangan kotor. Sehubungan dengan adanya perbedaan sudut pandang antara dunia industri dan pengharapan dari lulusan, maka perlu dibangun mind set yang sama dan pengembangan kepribadian atau perilaku. Sebagai contoh, salah satu indikator kebagusan program studi saat ini adalah jika lulusannya memiliki waktu tunggu yang singkat untuk mendapatkan pekerjaan pertama. Namun, industri mengatakan bukan itu, melainkan seberapa tangguh seorang lulusan untuk memiliki komitmen atas perjanjian yang telah dibuatnya pada pekerjaan pertama. Sehubungan dengan hal di atas Illah (2006) melaporkan bahawa berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh National Association of College and Employee (NACE), USA (2002), kepada 457 pemimpin, tentang 20 kualitas penting seorang juara menunjukkan hasil berturutturut berupa kemampuan komunikasi, kejujuran/integritas, kemampuan bekerja sama, kemampuan interpersonal, beretika, motivasi/inisiatif, kemampuan
beradaptasi,
daya
analitik,
kemampuan
komputer,
kemampuan berorganisasi, berorientasi pada detail, kepemimpinan, kepercayaan diri, ramah, sopan, bijaksana, indeks prestasi (IP >= 3,00), kreatif, humoris, dan kemampuan berwirausaha. Mitsubishi Research Institute, 2002, merilis bahwa faktor yang memberi kontribusi keberhasilan dalam dunia kerja yaitu finansial (10%), keahlian bidangnya (20%), networking (30%) dan softskill (40%). Walaupun berbagai pihak telah menyadari pentingnya soft skills dibekalkan kepada mahasiswa untuk dapat dipergunakan di dunia kerja, namun implementasinya masih jauh dari harapan. Kebanyakan dosen di
120 Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
perguruan tinggi masih menekankan kemampuan hard skills mahaiswa, sehingga upaya pengintegrasiannya dalam pembelajaran masih jauh dari harapan. Akibatnya masih banyak mahasiswa yang belum memahami sepenuhnya apa dan bagaimana upaya pengembangan soft skills tersebut, baik dalam kehidupan mahasiswa di kampus maupun dalam kehidupannya sehari-hari sebagai anggota keluarga, dan anggota masyarakat. Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) merupakan salah satu bentuk upaya yang dilakukan Direktorat Penelitian dan pengabdian kepada Masyarakat (DP2M), Ditjen Dikti dalam meningkatkan kualitas peserta didik (mahasiswa) di perguruan tinggi agar kelak dapat menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademis dan atau profesional
yang
dapat
menerapkan,
mengembangkan
dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian serta memperkaya budaya nasional. PKM dilaksanakan pertama kali pada tahun 2001, yaitu setelah dilaksanakannya program restrukturisasi di lingkungan Ditjen Dikti. Kegiatan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang selama ini sarat dengan partisipasi aktif mahasiswa, diintegrasikan ke dalam satu wahana yang diberi nama Program Kreativitas Mahasiswa. PKM dikembangkan untuk mengantarkan mahasiswa mencapai taraf pencerahan kreativitas dan inovasi berlandaskan penguasaan sains dan teknologi serta keimanan yang tinggi. Dalam rangka mempersiapkan diri menjadi pemimpin yang cendekiawan, wirausahawan serta berjiwa mandiri dan arif, mahasiswa diberi peluang untuk mengimplementasikan kemampuan, keahlian, sikap tanggungjawab, membangun kerjasama tim maupu n mengembangkan kemandirian melalui kegiatan yang kreatif dalam bidang ilmu yang ditekuni. Pada awalnya, dikenal 5 (lima) jenis
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
121
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
kegiatan yang ditawarkan dalam PKM, yaitu PKM-Penelitian (PKM-P), PKM Penerapan Teknologi (PKM-T), PKM-Kewirausahaan (PKM-K), dan PKM-Pengabdian kepada Masyarakat (PKM-M) dan PKMPenulisan Ilmiah (PKM-I). Dengan demikian melalui PKM diharapkan implementasi dari hard skill dan soft skill terintegrasi secara terpadu. B. PEMBAHASAN a. Apakah soft skills itu? Softskills adalah ketrampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (termasuk dengan dirinya sendiri). Atribut soft skills, dengan demikian meliputi nilai yang dianut, motivasi, perilaku, kebiasaan, karakter dan sikap. Atribut softskills ini dimiliki oleh setiap orang dengan kadar yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh kebiasaan berfikir, berkata, bertindak dan bersikap. Namun, atribut ini dapat berubah jika yang bersangkutan mau merubahnya dengan cara berlatih membiasakan diri dengan hal-hal yang baru (Sailah,2006). Konsep tentang soft skill sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep yang selama ini dikenal dengan istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence). Soft skill sendiri diartikan sebagai kemampuan diluar kemampuan teknis dan akademis, yang lebih mengutamakan kemampuan intra dan interpersonal. Secara garis besar soft skill bisa digolongkan ke dalam dua kategori : intrapersonal dan interpersonal skill. Intrapersonal skill mencakup : self awareness (self confident, self assessment, trait & preference, emotional awareness) dan self skill ( improvement, self control, trust, worthiness, time/source
management,
proactivity,
conscience).
Sedangkan
interpersonal skill mencakup social awareness (political awareness, developing others, leveraging diversity, service orientation, empathy dan
122 Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
social skill (leadership,influence, communication, conflict management, cooperation, team work, synergy) Pada proses rekrutasi karyawan, kompetensi teknis dan akademis (hard skill) lebih mudah diseleksi. Kompetensi ini dapat langsung dilihat pada daftar riwayat hidup, pengalaman kerja, indeks prestasi dan ketrampilan yang dikuasai. Sedangkan untuk soft skill biasanya dievaluasi oleh psikolog melalui psikotes dan wawancara mendalam. Interpretasi hasil psikotes, meskipun tidak dijamin 100% benar namun sangat membantu perusahaan dalam menempatkan ‘the right person in the right place’. Hampir semua perusahaan dewasa ini mensyaratkan adanya kombinasi yang sesuai antara hard skill dan soft skill, apapun posisi karyawannya. Di kalangan para praktisi SDM, pendekatan ala hard skill saja kini sudah ditinggalkan. Percuma jika hard skill oke, tetapi soft skillnya buruk. Hal ini bisa dilihat pada iklan-iklan lowongan kerja berbagai perusahaan yang juga mensyaratkan kemampuan soft skill, seperi
team
work,
kemampuan
komunikasi,
dan interpersonal
relationship, dalam job requirementnya. Saat rekrutasi karyawan, perusahaan cenderung memilih calon yang memiliki kepribadian lebih baik meskipun hard skillnya lebih rendah. Alasannya sederhana : memberikan pelatihan ketrampilan jauh lebih mudah daripada pembentukan karakter. Bahkan kemudian muncul tren dalam strategi rekrutasi
“Recruit
for
Attitude,
Train
for
Skill“.
Hal tersebut menunjukkan bahwa : hard skill merupakan faktor penting dalam bekerja, namun keberhasilan seseorang dalam bekerja biasanya lebih ditentukan oleh soft skillnya yang baik. Psikolog kawakan, David McClelland bahkan berani berkata bahwa faktor utama keberhasilan para eksekutif muda dunia adalah kepercayaan diri, daya adaptasi,
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
123
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
kepemimpinan dan kemampuan mempengaruhi orang lain. Yang tak lain dan tak bukan merupakan soft skill. b. Mengapa? Dunia kerja percaya bahwa sumber daya manusia yang unggul adalah mereka yang tidak hanya memiliki kemahiran hard skill saja tetapi juga
piawai dalam
aspek
soft
skillnya. Dunia pendidikanpun
mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan sematamata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Sebagai mana telah dikemukan terdahulu bahwa dari hasil penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill. Adalah suatu realita bahwa pendidikan di Indonesia lebih memberikan porsi yang lebih besar untuk muatan hard skill, bahkan bisa dikatakan lebih berorientasi pada pembelajaran hard skill saja. Lalu seberapa besar semestinya muatan soft skill dalam kurikulum pendidikan mengingat bahwa sebenarnya penentu kesuksesan seseorang itu lebih disebabkan oleh unsur soft skillnya. Jika berkaca pada realita di atas, pendidikan soft skill tentu menjadi kebutuhan urgen dalam dunia pendidikan. Namun untuk mengubah kurikulum juga bukan hal yang mudah. Pendidik seharusnya memberikan muatan-muatan pendidikan soft skill pada proses pembelajarannya. Sayangnya, tidak semua pendidik mampu memahami dan menerapkannya. Lalu siapa yang harus melakukannya? Pentingnya penerapan pendidikan soft skill idealnya bukan saja hanya untuk anak didik saja, tetapi juga bagi pendidik.
124 Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
c. Bagaimana? Para ahli manajemen percaya bahwa bila ada dua orang dengan bekal hard skill yang sama, maka yang akan menang dan sukses di masa depan adalah dia yang memiliki soft skill lebih baik. Mereka adalah benar-benar sumber daya manusia unggul, yang tidak hanya semata memiliki hard skill baik tetapi juga didukung oleh soft skill yang tangguh. Pada posisi bawah, seorang karyawan tidak banyak menghadapi masalah yang berkaitan dengan soft skill. Masalah soft skill biasanya menjadi lebih kompleks ketika seseorang berada di posisi manajerial atau ketika dia harus berinteraksi dengan banyak orang. Semakin tinggi posisi manajerial seseorang di dalam piramida organisasi, maka soft skill menjadi semakin penting baginya. Pada posisi ini dia akan dituntut untuk berinteraksi dan mengelola berbagai orang dengan berbagai karakter kepribadian. Saat itulah kecerdasan emosionalnya diuji. Umumnya kelemahan dibidang soft skill berupa karakter yang melekat pada diri seseorang. Butuh usaha keras untuk mengubahnya. Namun demikian soft skill bukan sesuatu yang stagnan. Kemampuan ini bisa diasah dan ditingkatkan seiring dengan pengalaman kerja. Ada banyak cara meningkatkan soft skill. Salah satunya melalui learning by doing. Selain itu soft skill juga bisa diasah dan ditingkatkan dengan cara mengikuti pelatihan-pelatihan maupun seminar-seminar manajemen. Meskipun, satu cara ampuh untuk meningkatkan soft skill adalah dengan berinteraksi dan melakukan aktivitas dengan orang lain. d. Program Kreativitas Mahasisiwa Sebagai mana yang telah diutarakan di atas bahwa PKM dikembangkan
untuk
mengantarkan
mahasiswa
mencapai
taraf
pencerahan kreativitas dan inovasi berlandaskan penguasaan sains dan
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
125
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
teknologi serta keimanan yang tinggi. Dalam rangka mempersiapkan diri menjadi pemimpin yang cendekiawan, wirausahawan serta berjiwa mandiri dan arif, mahasiswa diberi peluang untuk mengimplementasikan kemampuan, keahlian, sikap tanggungjawab, membangun kerjasama tim maupu n mengembangkan kemandirian melalui kegiatan yang kreatif dalam bidang ilmu yang ditekuni. Pada awalnya, dikenal 5 (lima) jenis kegiatan yang ditawarkan dalam PKM, yaitu PKM-Penelitian (PKM-P), PKM Penerapan Teknologi (PKM-T), PKM-Kewirausahaan (PKM-K), dan PKM-Pengabdian kepada Masyarakat (PKM-M) dan PKMPenulisan Ilmiah (PKM-I). Dengan demikian melalui PKM diharapkan implementasi dari hard skill dan soft skill terintegrasi secara terapdu. Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) diluncurkan oleh DP2M DIKTI dengan
tujuan untuk mempersiapkan mahasiswa menjadi pemimpin
yang mandiri dan arif. Dalam hal ini mahasiswa diberi kesempatan untuk mengimplementasikan kemampuan, keahlian, sikap tanggung jawab, membangun kerjasama tim maupun mengembangkan kemandiriannya melalui kegiatan yang kreatif dalam bidang ilmunya masing-masing. Sampai saat ini terdapat
enam jenis kegiatan PKM yang
ditawarkan, yaitu: (a) PKM Penelitian (PKMP) yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk berkreasi melalui penelitian sesuai dengan bidang ilmunya masing-masing, baik dalam bentuk mono maupun multi disiplin. (b) PKM Penerapan Teknologi (PKMT) yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berkreasi dan berinovasi melalui penciptaan jasa seperti pembukaan, pemasaran, penataan ruang produksi dll; atau karya teknologi seperti peralatan, prototipe, model, proses dll yang diperlukan oleh kelompok, masyarakat
126 Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
produktif, kelompok usaha tani, industri kecil, maupun pedagang kecil sesuai dengan bidang ilmu masing-masing baik dalam bentuk mono maupun multi disiplin. (c) PKM Kewirausahaan (PKMK) yang memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berkreasi atau berinovasi melalui penciptaan keterampilan berwirausaha dan berorientasi pada keuntungan (profit). (d) PKM
Pengabdian Masyarakat (PKMM)
yang
memberikan
kesempatan kepada mahasiswa untuk berkreasi melalui kegiatan peningkatan kecerdasan, keterampilan, pengetahuan masyarakat, peningkatan kualitas lingkungan hidup, maupun pengembangan kelembagaan masyarakat (e) PKM Gagasan Tertulis (PKM-GT) merupakan program penulisan artikel ilmiah yang bersumber dari ide atau gagasan kelompok mahasiswa. (f) PKM Penulisan Ilmiah (PKMI) yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berkreasi melalui kegiatan penulisan ilmiah baik yang bersumber dari PKMP, PKMT, MKMK, PKMM maupun kegiatan ilmiah lainnya. Dalam penulisan proposal PKM, kata kunci terpenting adalah “KREATIVITAS” yang merupakan ciri khas program ini. Oleh sebab itu, penulisan PKM yang tidak mengandung unsur kreativitas sangatlah susah untuk dapat lolos dan dibiayai. Perlu ditekankan bahwa PKM ini tidak sama dengan proposal yang disusun oleh mahasiswa untuk menyelesaikan tugas akhirnya yang pada umumnya bersifat sangat ilmiah. Kata kreatif yang menjadi kunci keberhasilan penyusunan proposal PKM ini menurut Encyclopedia Britanica (2002) adalah “The
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
127
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
ability to make or otherwise bring into existence something new, whether a new solution to a problem, a new method or device, or a new artistic object or form”. Sedangkan definisi menurut Roget’s II Thesaurus, kreatif itu adalah “ characterized by or productive of new things or new idea : innovative, inventive” Jadi mahasiswa yang kreatitif itu memiliki tiga ciri, yaitu adalah “promoting construction or creation”, “having ability of power to create” dan “having the power or productive of new things or new ideas”. Ide baru yang dimaksud disini tidak selalu harus seluruhnya baru (original) ataupun harus canggih, akan tetapi dapat berarti sesuatu ide yang dibuat dengan cara memodifikasi ide yang sudah ada sehingga berubah menjadi ide lain yang lebih kreatif. Sebagai contoh apabila suatu kelompok mahasiswa mengajukan judul seperti “Komersialisasi produk bakso”, maka akan sulit bagi kelompok ini untuk mendapatkan dana PKM, mengapa? Kita semua sudah tau bahwa produk bakso tersebut sudah sangat dikenal dimasyarakat. Oleh sebab itu, judul yang diajukan oleh kelompok mahasiswa ini menjadi “biasa-biasa” saja yang tidak ada unsur kreativitas didalamnya, artinya kelompok mahasiswa ini mengajukan kegiatan PKM yang sudah menjadi kegiatan keseharian masyarakat. Lain halnya jika judul PKM di atas dirubah menjadi “Komersialisasi produk bakso berkalsium tinggi, sehat dan aman untuk dikonsumsi”.
Dalam hal ini,
mahasiswa berusaha untuk
memadukan hasil penelitian yang sudah ada dan memanfaatkan tren gaya hidup sehat masyarakat dalam unsur “bakso” yang sangat digemari oleh masyakat Indonesia. Sumber kalsium yang digunakan oleh mahasiswa ini misalnya berupa hasil olahan dari limbah pemotongan ayam, yaitu berupa tulang rawan kaki yang harganya sangat murah.
Tulang rawan ini
selanjutnya diproses untuk menjadi tepung tulang rawan yang merupakan sumber kalsium utama bakso yang dibuatnya. Dengan mamadukannya dengan proses pembuatan yang higienis, maka tercipta bakso baru yang
128 Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
diharapkan dapat mengakomodasikan tren gaya hidup sehat dengan menkonsumsi kalsium tinggi. Sehingga disamping susu berkasium tinggi yang harganya relatif mahal, masyarakat diberi alternatif lain yang lebih murah, tanpa mengubah kegemarannya mengkonsumsi bakso. Contoh lain dari judul PKM yang cukup kreatif adalah “Pemanfaatan limbah whey keju dalam pembuatan nata” ada dua unsur kreatif yang terkandung pada judul ini, yaitu limbah whey dan nata yang dibuat dari whey. Dalam pembuatan keju, sering whey menjadi limbah, karena nilai ekonomisnya sangat rendah. Apabila limbah ini dibiarkan, maka limbah ini dapat mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan masyarakat.
Dengan memanfaatkan limbah ini dan mengubahnya
menjadi produk lain, yaitu menjadi nata, maka diharapkan kelompok mahasiswa ini dapat membantu memecahkan masalah lingkungan. Apabila terdengar kata nata, secara otomatis kita membayangkan suatu produk yang dibuat dari air kelapa yang bentuknya kubus kecil dengan warna putih dan rasa khas kelapa, yaitu yang sering disebut nata de coco. Kelompok mahasiswa ini telah berhasil mencari alternatif lain dalam pembuatan nata secara kreatif, yaitu dengan cara menumbuhkan bakteri dalam whey. Kualitas nata yang dihasilkan sangat baik, sebab disamping aroma dan kekenyalannya cukup baik, produk ini dapat dibuat dengan berbagai rasa dan bentuk sesuai dengan selera masyarakat. Contoh ketiga judul PKM yang dinilai cukup kreatif adalah “Ekstrak daun sirih sebagai obat mastitis pada sapi perah”
Kelompok
mahasiswa ini berusaha untuk memecahkan masalah utama dalam industri sapi perah, yaitu penyakit mastitis. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri yang mengakibatkan susu menjadi rusak dan tidak layak untuk dikonsumsi. Disamping itu, susu yang dihasilkan oleh sapi yang terkena mastitis akan ditolak oleh industri pengolahan susu yang tentunya
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
129
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
mengakibatkan kerugian yang besar bagi peternak. Dalam pengobatan mastisis ini, biasanya digunakan antibiotik yang harganya mahal dan tidak terjangkau oleh peternak rakyat. Dengan memanfaatkan pengetahuan tradisional masyarakat tentang khasiat daun sirih sebagai antiseptik dan mungkin juga antibiotik, kelompok mahasiswa ini mencoba mencari alternatif pengobatan lain selain menggunakan antibiotik.
Dengan
berbagai teknik ekstraksi dan cara aplikasinya, kelompok ini telah berhasil mengurangi kejadian mastitis pada sapi perah melalui pengobatan yang yang ramah lingkungan. Jadi dengan mengamati contoh di atas, jelas tergambar bahwa program PKM yang diajukan tersebut bukan merupakan sesuatu yang baru, akan tetapi merupakan modifikasi ide yang telah ada dengan cara lebih kreatif. Seringkali mahasiswa dalam pencarian ide dan penyusunan proposal terjebak dalam nilai kemutlakan ilmiah. Perlu selalu diingat bahwa
sesuatu yang ilmiah itu belum tentu kreatif demikian juga
sebaliknya.
Sebagai contoh apabila ada kelompok mahasiswa yang
mengajukan judul “mekanisme penyerapan kalsium dalam darah orang dewasa”, maka kemungkinan besar evaluator menilai
proposal yang
diajukan dengan judul ini tidak kreatif, sebab judul tersebut terlalu ilmiah dan tidak mengandung untur kreativitas. Hal-hal seperti inilah yang sering terjadi dimana mahasiswa menulis proposalnya dengan mengacu pada tugas akhirnya tanpa memodifikasinya sesuai dengan persyaratan PKM. Seringkali mahasiswa mengalami kesulitan dalam membuat ide awal yang akan ditulis dalam proposal. Kita harus ingat bahwa untuk menjadi kreatif, kita harus dapat membuka belenggu kebiasaan yang ada. Sebagai contoh dalam menulis sesuatu, ditabukan untuk menulisnya
130 Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
dengan menggunakan tinta merah dan dianjurkan untuk menulisnya dengan tinta warna hitam atau biru, rapi dan dengan haruf yang sama besarnya. Kebiasaaan seperti ini tanpa kita sadari telah menjadi belenggu kreativitas kita. Selama komposisi huruf dan warna menarik, tulis saja sesuai dengan imajinasi anda. Tentu saja kita harus melanggar kebiasaan, yaitu dengan cara menulis kalimat dengan berbagai kombinasi huruf dan warna, termasuk warna merah didalamnya. Jadi jika kita ingin berpikir kreatif, cara berpikir kita harus melewati batas-batas kebiasaan, tradisi atau norma yang ada. Selanjutnya setelah kita telah terbebas dari belengggu ini akan mengalir berbagai ide liar yang terpikir sesaat. Ide-ide liar yang mengalir ini harus segera ditulis segera sebelum kita lupa. Dalam menciptakan ide-ide ini kita tidak perlu takut membuat kesalahan, sebab nantinya setelah dicatat, kita harus kembali membaca dan merenungkan serta merangking ide-ide tersebut berdasarkan prioritas, realisasi ide dan peluangnya untuk berhasil didanai. Dengan cara ini dalam satu hari saja tidak menutup kemungkinan akan banyak sekali ide yang muncul dan diharapkan tidak ada lagi mahasiswa yang tidak mengikuti kompetisi PKM, dengan alasan tidak memiliki ide. Menulis proposal sesuai dengan format yang diminta oleh pihak DIKTI merupakan suatu keharusan. Setelah membaca judul, biasanya evaluator melihat dulu apakah proposal yang akan dievaluasi tersebut sudah sesuai dengan format yang diminta. Sering kali, karena mengejar batas akhir pengumpulan, proposal dikirim tanpa lembar pengesahan atau ada bagian-bagian yang seharusnya ada di proposal didak ada di dalam proposal. Seleksi awal kelengkapan bagian-bagian yang harus ada dalam proposal PKM merupakan cara yang efektif bagi evaluator untuk menentukan kelayakan proposal tersebut untuk dibiayai. Dalam hal ini
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
131
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
bagaimana mungkin evaluator akan yakin bahwa kelompok mahasiswa tersebut dapat menjalankan program PKM nya, jika dalam menulis proposalnya saja sudah tidak lengkap dan jelas. Oleh sebab itu, apabila sudah mendapatkan kesepakatan ide yang akan dituangkan dalam proposal, bacalah dan panduan penulisan PKM (biasanya dikirim ke masing-masing perguruan tinggi, atau dapat diperoleh melalui internet) dengan cermat dan ikuti semua persyaratan yang tercantum dalam format, termasuk didalamnya besar huruf, ukuran kertas, bagian-bagian yang harus ada, tata cara penulisan pustaka dll. Jadi sangat disayangkan jika ide yang baik dari mahasiswa tidak didanai dalam kegiatan PKM, karena ditulis tidak sesuai dengan format. Harus
disadari bahwa kualitas sumber daya manusia dan
antusiasme pembina kemahasiswaan dan mahasiswanya untuk mengikuti kegiatan PKM sangat bervariasi.
Ada perguruan tinggi yang sudah
memiliki sistem pembinaan dan kaderisasi mahasiswa untuk mengikuti PKM yang sangat baik, akan tetapi tidak dapat kita pungkiri juga ada perguruan tinggi yang tampaknya kurang perduli dengan kegiatan PKM ini. Biasanya di perguruan tinggi yang perduli dengan program PKM, penyebaran informasi PKM telah dilakukan dengan baik. Disamping itu, untuk meningkatkan minat biasanya dilakukan pelatihan-pelatihan cara penyusunan proposal PKM secara teratur. Di perguruan tinggi seperti ini biasanya, mahasiswa hampir tidak memiliki kesulitan untuk berkonsultasi dengan pakar (pembimbing), sebab pembimbing tersebut sudah terbiasa dan memiliki kemampuan yang memadai untuk meningkatkan motivasi, menajamkan serta membungkus ide dari mahasiswa untuk menjadi proposal yang menarik. Hal lain yang penting untuk diingat bahwa para pakar tersebut tentunya tidak hanya terdapat di laboratorium dan jurusan (departemen)
132 Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
dimana mahasiswa tersebut berada.
Mahasiswa harus secara aktif
berkonsultasi dan mencari pakar yang diharapkan dapat membantu menuangkan idenya ke dalam proposal di luar bagian/laboratorium, di luar jurusan/depertemen, bahkan di luar fakultasnya. Melalui cara ini diharapkan mahasiswa dapat memperluas wawasannya dan mempertajam idenya. Pembentukan kelompok penyusun proposal akan sangat menentukan keberhasilan suatu prorsal. Oleh sebab itu, janganlah pola pemikiran kita terkungkung oleh kurungan laboratorium, bagian, jurusan atau fakultas dimana mahasiswa berada. Sebagai contoh untuk judul PKM “Pembuatan alat pembuat tapioka tanpa ampas”, komposisi anggota tim, harus berasal dari berbagai disiplin ilmu, yaitu teknik mesin untuk merancang peralatan, agronomi untuk mengetahui biologi dan stuktur fisik singkong, serta teknologi pangan untuk mengevaluasi kualitas pati tapioka yang dihasilkan. Oleh sebab itu, jika judul ini hanya dilakukan oleh mahasiswa jurusan mesin saja, dikhawatirkan akan ada unsur yang tidak terbahas dengan baik dan akan berakibat kurangnya kualitas proposal. Dalam rangka kaderisasi, susunlah anggota tim yang terdiri dari berbagai tingkat sehingga diharapkan ada unsur pembinaan yang berkelanjutan.
Hindari penyusunan seluruh angota kelompok yang
terdiri dari mahasiswa tingkat akhir semuanya. Perlu kita ingat bahwa rentang waktu dari pemberitahuan, pelaksanaan sampai ke PIMNAS sering kali memakan waktu 1 tahun. Oleh sebab itu, jika komposisi anggota tim semuanya terdiri dari mahasiswa tingkat akhir, maka dikhawatirkan, pelaksanaan PKM tidak berjalan dengan baik sebab secara bersamaan mahasiswa tersebut disibukkan dengan tugas akhir. Disamping itu sering kali judul PKM yang diundang ke PIMNAS tidak
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
133
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
dapat dihadiri oleh anggota timnya, karena semua anggotanya telah lulus. Kaderisasi merupakan kunci keberhasilan suatu perguruan tinggi dalam mempertahankan reputasi ilmiah mahasiswanya dalam ajang PKM. Oleh sebab itu,
perguruan tinggi diharapkan dapat menyusun strategi
pembinaan ilmiah mahasiswanya agar prestasi ilmiahnya dapat menonjol dan konsisten. Disamping dua hal di atas, perlu juga diperhatikan keserasian dan kecocokan anggota tim.
Diharapkan bahwa semua angota tim
memiliki penjabaran tugas yang jelas dan berbeda dengan anggota tim lainnya agar efisiensi dapat tercapai. Oleh sebab itu, di dalam pedoman penyusun proposal PKM diharuskan untuk mencantumkan Riwayat Hidup lengkap bagi ketua dan anggota kelompok, serta pembimbing. Dalam hal ini, evaluator akan menilai kesesuaian bidang mahasiswa dan pembimbing dengan topik yang diajukan. Hal ini penting untuk dinilai agar ada suatu jaminan bahwa kelompok tersebut dengan bimbingan pembimbing dapat melaksanakan dengan baik apa yang tertulis di proposal. Penyusun proposal diharapkan dapat merencanakan seluruh kegiatan PKM nya dengan baik sebelum mengajukan proposal agar dapat mengantisipasi tahapan-tahapan yang akan dilalui. Perencanaan ini harus disesuaikan dengan tahapan-tahapan yang akan dilalui oleh penyusun proposal apabila proposalnya kelak diterima. C. PENUTUP Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam penyusunan proposal PKM ada beberapa unsur soft skill yang harus dimiliki mahasiswa, antara lain perlunya kreatifitas untuk memanfaatkan ide-ide yang sudah ada untuk dikembangkan menjadi ide baru yang lebih
134 Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
GENERASI KAMPUS, Volume 2, Nomor 2, September 2009
menarik, berguna dan bermanfaat. Kedispilinan untuk mengikuti aturan yang telah ditetapkan dalam buku panduan, kerjasama yang baik antar anggota
kelompok,
kemampuan
berkomunikasi
secara
tulisan,
menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah, serta integritas dan kejujuran melaksanakan kegiatan yang telah diajukan dalam proposal. Dengan demikian lolosnya suatu proposal PKM menjadi kegiatan yang didanai oleh Dikti merupakan hasil dari kerja keras baik sebagai individu maupun kelompok dengan bantuan dosen pembimbing. Program PKM diharapkan dapat melatih dan mengasah kemampuan soft skill mahasiswa . D. DAFTAR PUSTAKA Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, (2009). Pedoman Program Kreativitas Mahasiswa. Jakarta :Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Ronny Rachman Noor (2008) Kiat-kiat Sukses Penulisan Proposal Program Kreativitas Mahasiswa. Bogor: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat IPB. Diunduh tanggal 16 September 2009 dari http://web.ipb.ac.id/~lppm/ID/index. Illah Sailah (2006) Pengembangan Soft Skills di Perguruan Tinggi. Jakarta : Tim Pokja Pengembangan Soft Skills dan KBK DIKTI ; Kepala P2SDM LPPM IPB Pramudiana, Yudi. Kapan Anda Memerlukan Kreativitas. Diunduh tgl 18 September 2009 dari http://yudipram.wordpress.com
Hariadi, S.Pd., M.Kes. adalah dosen jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi (PJKR) FIK UNIMED
135
PETUNJUK BAGI PENULIS 1. Artikel belum pernah dimuat dalam media cetak/elektronik lain, diketik 1,5 spasi pada kertas A4 sepanjang 10 – 15 halaman, dalam betuk soft copy (MS Work) dan hasil ceak (print out) sebanyak satu eksemplar. Diserahkan paling lambat satu bulan sebelum bulan penerbitan. 2. Artikel merupakan hasil penelitian atau non penelitian ( gagasan konseptual, kajian teori, aplikasi teori) yang dimuat dalam Majalah/Jurnal Generasi Kampus. 3. Artikel ditulis dalam bentuk esai, disertai judul subbab (heading). Peringkat judul subbab dinyatakan dengan karakter huruf yang berbeda : 1) peringkat 1 (huruf besar semua rata dengan tepi kiri). 2) Peringkat 2 (huruf besar-kecil dan cetak tebal), 3) Peringkat 3 (huruf besar pada awal subbab, dicetak miring dan tebal) 4. Artikel hasil penelitian memuat : a. Judul b. Nama Penulis c. Abstrak, dalam bahasa Ingris/Indonesia (memuat tujuan, metode, dan hasil penelitian : 50 – 80 kata) d. Kata-kata kunci) e. Pendahuluan ( tanpa subjudul, memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, dan rangkuman kajian teoritik) f. Metode penelitian g. Hasil penelitian h. Pembahasan i. Kesimpulan dan saran j. Daftar pustaka 5. Artikel Non Penelitian memuat : a. Judul b. Nama Penulis c. Abstrak, dalam bahasa Ingris/Indonesia ( 50 – 80 kata) d. Kata-kata kunci) e. Pendahuluan ( tanpa subjudul, pengantar topic utama diakhiri dengan rumusan tentang hal-hal pokok yang akan dibahas). f. Sub Judul (sesuai dengan kebutuhan) g. Sub Judul (sesuai dengan kebutuhan) h. Sub Judul ( sesuai dengan kebutuhan) i. Penutup ( atau kesimpulan dan saran) j. Daftar pustaka 6. Daftar pustaka hanya mencantumkan sumber yang dirujuk dalam uraian tulisan saja, diurutkan secara alfabetis, disajikan seperti contoh beikut : Dryden G dan Dr. Vos Jeannette. (2001). Revolusi Cara Belajar. Bandung : Kaifa. Heninic, Molenda. Russel dan Smadino (1996). Intructional Media and Technology for Learning. New Jersey :Prentice Hall Inc
ISSN 1978-869X