JURNAL BPPK ISSN 2085-3785 Volume 5, 2012, halaman 1-110 Terbit 2 kali setahun. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian dan pemikiran di bidang Ekonomi, Keuangan Negara dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Artikel yang diterbitkan dalam Jurnal BPPK telah melalui proses evaluasi dan penyuntingan oleh Dewan Editor dan Anggota Staf Editorial Jurnal BPPK. Hanya artikel yang mendapat penilaian dengan kategori “A” atau “dapat dimuat” dari Dewan Editor yang diterbitkan dalam Jurnal BPPK.
STAF EDITORIAL Pengarah Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Ketua Dewan Editor Dodi Iskandar Dewan Editor Prof. Heru Subiyantoro, Ph.D. Dr. Andin Hadiyanto , S.E., M.A. Dr. Yoopi Abimanyu, Ph.D. Drs. Herry Sumardjito , M.M. Kusmanadji, Ak., MBA. Editor Heni Kartikawati Bambang Juli Istanto Parwanta Rido Parulian Panjaitan Ganti Lis Ariyadi Wisnu Wardhana Hariadi Anggota Nur Etaruni Eko Satyono Adhitya Wira Witantra Aditya Wirawan Agung Arie Pratama Elvira Andriyani Najjahul Imtihan Pambudi Gawe Renny Sukmono Rio Suareski Retno Wulan VMI Bimo Adi
ALAMAT SEKRETARIAT JURNAL BPPK: Bagian Organisasi dan Tata Laksana, Sekretariat Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan Republik Indonesia; Gedung B Lantai 4, Jl. Purnawarman No.99 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110; Telp. (021) 7394666 ext.253, 7204131; Faksimili (021) 7261775, 7244328; webpage: www.bppk.depkeu.go.id; e-mail:
[email protected].
JURNAL BPPK diterbitkan sejak 30 Desember 2010 oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Editor menerima artikel yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah diketik di atas kertas HVS ukuran A4 spasi ganda dengan format dan ketentuan seperti tercantum pada halaman belakang (“Petunjuk bagi Calon Penulis Jurnal BPPK”). Naskah yang masuk akan dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah dan tata cara lainnya.
JURNAL BPPK Volume 5, 2012 DAFTAR ISI
PROSIKLIKALITAS SEKTOR PERBANKAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
1-14
G.A. Diah Utari, Trinil Arimurti, Ina Nurmalia Kurniati
EXPORT PERFORMANCE DEVELOPMENT OF INDONESIA’S TEXTILE AND APPAREL PRODUCT: A COMPARATIVE ADVANTAGE STUDY
15-30
Moudy Hermawan
KARAKTERISTIK DAN PREFERENSI WISATAWAN MANCANEGARA SERTA PRIORITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH SEBAGAI BAHAN ACUAN PENGEMBANGAN INVESTASI DI BALI M.Th.Anitawati, Agni Alam Awirya, Rani Setyodewanti
31-40
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA
41-64
Agustinus Prasetyo
INFLATION TARGETING FRAMEWORK DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER
65-76
Arif Setiawan
PENGARUH IKLIM ETIS ORGANISASI DAN STRES KERJA TERHADAP KEINGINAN BERPINDAH DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (STUDI PADA ACCOUNT REPRESENTATIVE DAN PEMERIKSA PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK DI PULAU JAWA)
77-90
Hanik Susilawati Muamarah, Indra Wijaya Kusuma
DAMPAK PENCAPAIAN PERINGKAT KREDIT “INVESTMENT GRADE” INDONESIA TERHADAP COST OF BORROWING SURAT UTANG NEGARA (SUN)
91-100
Sri Fitriani, Fiskara Indawan, Meily Ika Permata, Indriani Karlina
MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN GO PUBLIC DI INDONESIA
101-110
Rina Trisnawati, Wiyadi, Noer Sasongko
ii
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
Jurnal BPPK Volume 5, 2012 Halaman 1-14 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
PROSIKLIKALITAS SEKTOR PERBANKAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI1 G.A. Diah Utari(a), Trinil Arimurti(b), Ina Nurmalia Kurniati(c) (a) Biro
Riset Ekonomi (BRE) Bank Indonesia, Jl. MH. Thamrin II, Jakarta 10110; e-mail:
[email protected] (penulis berkorespondensi) (b) Biro Riset Ekonomi (BRE) Bank Indonesia, Jl. MH. Thamrin II, Jakarta 10110; e-mail:
[email protected] (c) Biro Riset Ekonomi (BRE) Bank Indonesia, Jl. MH. Thamrin II, Jakarta 10110; e-mail:
[email protected] INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 02 Maret 2012
Procyclicality of bank’s credit is a logical consequence of a process by which the financial sector finances economic growth. Banks will lend higher when the economy in booming and will reduce lending on the opposite conditions. Excessive procyclicality potentially cause instability in the financial sector. This study aims to analyze the extent to which procyclicality of credit occurred in the banking sector and analyzes the factors that could potentially increase the procyclicality condition. We used monthly series data from 2000 to 2012 and monthly 86 panel data bank since 2007 until 2010. The aggregate monthly data series were tested using simple regression equation and VAR while panel data are tested using panel data regression. Empirical results indicate the presence of procyclicality. Procyclicality effect tends to be stronger in periods of expansion than in contraction period. Bank’s procyclical behavior is influenced by macro variables (economic growth), the tendency of banks to rely on collateral in credit assessment, the level of bank’s risk, the condition of capital, bank size and ownership of banks (foreign banks and domestic banks).
Dinyatakan Dapat Dimuat 30 Mei 2012
KATA KUNCI: bank, kredit, risiko, prosiklikalitas
Prosiklikalitas kredit adalah konsekuensi logis dari suatu proses dimana sektor keuangan membiayai pertumbuhan ekonomi. Bank akan menyalurkan kredit lebih tinggi pada saat perekonomian membaik dan membatasi kredit pada kondisi sebaliknya. Prosiklikalitas yang berlebihan berpotensi menimbulkan ketidakstabilan di sektor keuangan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana prosiklikalitas kredit terjadi pada sektor perbankan dan menganalisis faktor-faktor yang berpotensi meningkatkan kondisi prosiklikalitas. Pengujian prosiklikalitas kredit dilakukan menggunakan data series bulanan dari tahun 2000 hingga 2012 dan data panel bulanan 86 bank sejak tahun 2007 hingga 2010. Data series aggregat bulanan diuji menggunakan persamaan regresi sederhana dan VAR sementara data panel diuji menggunakan regresi data panel. Hasil uji empiris menunjukkan adanya prosiklikalitas kredit di Indonesia. Efek prosiklikalitas lebih kuat terjadi pada periode ekspansi dibandingkan pada periode kontraksi. Perilaku prosiklikalitas kredit perbankan selain dipengaruhi oleh variabel makro (pertumbuhan ekonomi) juga dipengaruhi oleh kecenderungan perbankan yang terlalu bertumpu pada penilaian kolateral dalam penilaian kredit, tingkat risiko bank, kondisi permodalan, ukuran bank serta kepemilikan bank (bank asing dan bank domestik).
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gejolak perekonomian akibat krisis keuangan global yang diikuti dengan keruntuhan banyak bank dan lembaga keuangan di negara-negara maju mendorong pengambil kebijakan untuk menyoroti pentingnya peristiwa sistemik yang ditengarai diperparah oleh efek prosiklikal. Prosiklikal dalam konsep sederhana didefinisikan sebagai interaksi antara sistem keuangan dan ekonomi riil yang saling menguatkan. Interaksi yang saling menguatkan ini merupakan konsep financial accelerator yang bekerja melalui rambatan mekanisme leverage atau pinjaman dan nilai kolateral.
Prosiklikalitas kredit merupakan konsekuensi logis dari suatu proses dimana sektor keuangan membiayai pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya perilaku sektor keuangan khususnya perbankan secara alamiah mengarah kepada prosiklikal. Pada saat pertumbuhan ekonomi meningkat dan stabilitas makroekonomi terjaga, confidence dan optimisme pelaku ekonomi akan meningkat sehingga mendorong aliran modal masuk. Kondisi ini selanjutnya memicu kenaikan harga asset dan nilai kolateral. Meningkatnya nilai kolateral pada gilirannya akan memperbaiki neraca bank dan perusahaan sehingga mendorong peningkatan demand dan supply kredit.
_______________________________________________________________________________________________________________________________ 1
Pandangan dalam tulisan ini semata-mata merupakan pandangan penulis dan bukan merupakan pandangan Bank Indonesia
PROSIKLIKALITAS SEKTOR PERBANKAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI G.A Diah Utari, Trinil Arimurti, Ina Nurmalia Kurniati
Sebaliknya, pada saat kondisi perekonomian memburuk, perilaku risk averse meningkat dan mendorong aliran modal keluar. Perusahaan dan perbankan akan melakukan penyesuaian untuk menjaga tingkat modal dengan melakukan deleveraging, serta meningkatkan loan loss provisioning. Sebagai akibatnya spread suku bunga meningkat dan jumlah kredit pun menurun demikian halnya dengan output. Beberapa studi menunjukkan adanya korelasi positif antara PDB dengan siklus kredit yang mencerminkan adanya prosiklikalitas (Calza, Gartner and Sousa, 2001, Craig et all , 2006 dan Kopman et all, 2009). Dalam kasus Indonesia, Nugroho dan Prasmuko (2010) menemukan indikasi awal adanya prosiklikalitas yang tercermin dari peran pertumbuhan ekonomi yang lebih dominan sebagai leading dari pertumbuhan kredit dibandingkan kondisi sebaliknya. Permasalahan timbul apabila terjadi prosiklikalitas yang berlebihan. Risiko yang dipupuk ketika periode boom terealisasi pada periode ekonomi yang menurun. Perilaku perbankan yang mengunderestimate risiko pada saat kondisi ekonomi baik berpotensi pula untuk meng-overestimate risiko pada saat kondisi menurun. Kondisi ini dapat bereskalasi apabila pengambil kebijakan terlambat merespon perkembangan yang terjadi di sektor keuangan dan kebijakan cenderung prosiklikal. Hasil studi empiris di beberapa negara berkembang dan negara-negara OECD (Craig et all, 2006) menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit yang tinggi dan penggelembungan harga asset umumnya mendahului terjadinya penurunan siklus usaha (business cycle). Sebagaimana halnya dengan Indonesia, periode krisis 1999 di Indonesia didahului oleh peningkatan kredit yang cukup tajam. Di tengah kondisi persistensi ekses likuiditas dan kurang responsifnya sisi penawaran, keberadaan prosiklikalitas dapat menjadikan terkendalanya mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga dan kredit. Kakunya tingkat suku bunga pinjaman perbankan dimana perkembangan suku bunga pasar keuangan belum sepenuhnya merespon kebijakan BI rate membuat transmisi kebijakan makro ke sektor riil menjadi tidak efektif. Oleh karenanya, perlu diketahui sejauh mana tingkat prosiklikalitas yang terjadi pada sektor keuangan, khususnya kredit perbankan, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini diharapkan dapat membantu otoritas moneter untuk mengambil kebijakan yang tepat dalam menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan. 1.2. Latar Belakang Berdasarkan uraian di atas, tujuan penelitian adalah sebagai berikut : a. Menganalisis sejauh mana prosiklikalitas kredit terjadi pada sektor perbankan di Indonesia. b. Menganalisis faktor/karakteristik dalam sistem perbankan yang berpotensi meningkatkan kondisi 2
prosiklikalitas. c. Memberikan rekomendasi kebijakan yang tepat
terkait dengan gambaran prosiklikalitas sektor perbankan di Indonesia. 1.3. Organisasi Penulisan Penulisan kajian ini akan dibagi dalam lima bagian. Bagian 1 berisi pendahuluan dan diikuti dengan studi literatur di Bagian 2. Bagian 3 menjelaskan metodologi dan data yang digunakan untuk menganalisis tingkat prosiklikalitas kredit perbankan di Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Bagian 4 akan menguraikan hasil empiris dan kajian ini diakhiri dengan Bagian 5 berupa kesimpulan dan rekomendasi.
2. KERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Prosiklikalitas Kredit , Stabilitas Sistem Keuangan dan Kebijakan Makroprudensial Prosiklikalitas didefinisikan sebagai interaksi antara sistem keuangan dan ekonomi riil yang saling menguatkan. Interaksi tersebut cenderung memperkuat amplitudo dari siklus bisnis; mendorong perekonomian tumbuh lebih cepat ketika ekspansi dan memperlemah perekonomian ketika siklus kontraksi. Perilaku sektor keuangan khususnya perbankan berdasarkan beberapa studi empiris cenderung prosiklikal. Kecenderungan bank untuk menganggap ringan risiko ketika perekonomian booming dan melebihkan potensi risiko ketika perekonomian terpuruk, konsisten dengan teori behavioral finance dan bonded rationality (Berger & Udell, 2003). Menurut teori behavioral finance, struktur informasi dan karakteristik peserta pasar secara sistematis akan mempengaruhi keputusan investasi masing-masing individu beserta hasilnya. Sementara bonded rationality menyatakan bahwa dalam pengambilan keputusan, perilaku rasional masing-masing individu dibatasi oleh informasi yang dimiliki, cara berpikir kognitif serta batasan waktu yang dimiliki untuk mengambil keputusan. Perilaku prosiklikal perbankan yang berlebihan khususnya pada kondisi perekonomian booming dapat memicu pertumbuhan kredit yang berlebihan. Kondisi ini berdasarkan beberapa literatur sering dikaitkan sebagai faktor kunci yang berkontribusi terhadap krisis di sektor keuangan khususnya di negara berkembang. Krisis perbankan besar dalam 30 tahun terakhir yang terjadi di Chili (1982), Denmark, Finland, Norwegia, dan Swedia pada 1990/91, Mexico (1994) serta Thailand dan Indonesia (1997/98) juga didahului oleh periode credit boom ( Dell Aricia, et all, 2012). Kaminsky, Lizondo, dan Reinhart (1998) menemukan bahwa lima dari tujuh studi yang disurvei membuktikan pertumbuhan kredit merupakan salah satu determinan dari krisis keuangan dan/atau krisis perbankan. Karakteristik prosiklikal sektor perbankan melalui penyaluran kredit merupakan elemen risiko Jurnal BPPK Volume 5, 2012
PROSIKLIKALITAS SEKTOR PERBANKAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI G.A Diah Utari, Trinil Arimurti, Ina Nurmalia Kurniati
sistemik yang perlu diperhitungkan dengan seksama oleh otoritas pengambil kebijakan. Oleh karenanya, salah satu tujuan dari kebijakan makroprudensial adalah membuat insentif bagi sektor keuangan untuk berlaku less-procyclically (Gersl dan Jakubic 2010 dalam Frait et all, 2011). Kebijakan makroprudensial dalam konteks yang lebih luas bertujuan untuk menghaluskan siklus keuangan dan siklus kredit guna mencegah terjadinya krisis sistemik dan menyediakan penyangga yang cukup pada saat kondisi memburuk. Kebijakan makroprudensial untuk mengurangi perilaku prosiklikalitas perbankan diantaranya dilakukan melalui pengendalian kredit. Kebijakan makroprudensial dalam pengendalian kredit dapat dibedakan dalam 3 kategori (Dell Cariaza et al, 2012) yaitu : 1) kebijakan terkait persyaratan modal dan likuiditas, 2) pembatasan kredit dan konsentrasi asset dan 3) kriteria kelayakan pinjaman. Kebijakan terkait persyaratan modal dan likuiditas akan mempengaruhi biaya dan komposisi liabilities dari institusi keuangan melalui peningkatan modal dan buffer untuk likuiditas. Kebijakan ini diantaranya adalah countercyclical capital dan dynamic loan loss provisioning. Kebijakan countercyclical capital akan meningkatkan biaya penyediaan modal pada periode boom dan sebagai akibatnya biaya penyaluran kredit juga meningkat. Dynamic loan loss provisioning yang mewajibkan peningkatan buffer dalam bentuk reserve pada saat boom juga termasuk dalam kategori ini. Kebijakan terkait persyaratan modal dan likuiditas yang bersifat countercyclical dapat mengurangi pergerakan berlebihan dari siklus kredit sehingga mengurangi akumulasi terjadinya risiko sistemik. Kebijakan pembatasan kredit dan konsentrasi asset mengatur komposisi asset sektor keuangan dengan menerapkan batasan tertentu untuk pertumbuhan kredit atau konsentrasi asset. Kebijakan ini diantaranya adalah batasan pertumbuhan kredit, batasan pinjaman dan kredit dalam mata uang asing serta batasan portfolio kredit untuk sektor tertentu. Tujuan dari kebijakan ini adalah mengurangi eksposure portfolio bank pada shock yang terjadi secara sektor. Selain itu, dengan membatasi kecepatan pertumbuhan kredit diharapkan akan meningkatkan kualitas pinjaman. Penetapan kriteria kelayakan pinjaman menetapkan batasan tertentu untuk memperoleh akses dana ke perbankan. Kebijakan ini termasuk diantaranya penetapan loan to value (LTV) dan debt to income (DTI). Kebijakan ini akan menempatkan peminjam marginal diluar kelompok yang memiliki akses ke perbankan. Kebijakan LTV juga melindungi bank dengan meningkatkan jumlah kolateral. Kriteria kelayakan dapat dirancang sedemikian rupa agar sesuai dengan profil risiko portfolio pinjaman. Sebagai contoh penetapan batas LTV dapat dikaitkan dengan pergerakan harga aktiva properti.
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
2.2. Faktor-faktor yang Mendorong Prosiklikalitas Terdapat dua sumber utama yang memicu perilaku prosiklikal, namun secara umum dapat dikatakan bersumber dari adanya asimetri informasi antara pemilik dana (lender) dan penerima dana (borrower). Sumber yang pertama adalah adanya keterbatasan dalam pengukuran risiko. Ukuran risiko dan asumsi yang digunakan sektor perbankan umumnya berdimensi waktu jangka pendek tanpa memperhatikan siklus bisnis secara utuh. Tingkat risiko dipersepsikan berubah sejalan dengan kondisi ekonomi sehingga cenderung sangat prosiklikal (Borio et all 2001). Hal ini juga diperparah oleh perilaku mengikut (herding behavior). Sumber lainnya adalah adanya distorsi pada insentif. Sebagai contoh, pinjaman yang berbasis kolateral dapat melindungi penyedia dana dari dampak menurunnya klaim pinjaman. Namun demikian dengan mengaitkan secara langsung dana (funding) dengan nilai asset semakin memicu prosiklikal. Posiklikalitas sektor keuangan khususnya perbankan yang terjadi melalui mekanisme financial accelerator, dipengaruhi oleh beberapa faktor. Rajan (2002) seperti yang dikutip oleh Penetta dan Fanini (2009) menyatakan bahwa kemajuan di bidang teknologi komunikasi seperti kemudahan untuk memperoleh informasi yang terpercaya mengenai debitur berperan dalam meningkatkan prosiklikalitas. Di satu sisi kemajuan teknologi meningkatkan efisiensi dalam proses monitoring dan penilaian debitur. Namun di lain pihak, kondisi ini juga berdampak pada kurangnya interaksi dengan nasabah yang dapat menimbulkan adanya underpricing risk. Globalisasi sektor keuangan mendorong terjadinya prosiklikalitas melalui dua pendekatan. Pendekatan pertama menyatakan bahwa integrasi sektor keuangan global membuat transmisi dari shock yang terjadi di pasar keuangan regional menjadi lebih cepat dan lebih besar yang akhirnya mendorong terjadinya transmisi krisis yang bersifat global. Transmisi krisis yang bersifat global ini menunjukkan korelasi antara PDB yang merupakan ukuran dari siklus bisnis dan perkembangan di sektor keuangan yang lebih tinggi (Goldstein dan Pauzner, 2004). Pandangan lainnya menyatakan bahwa integrasi keuangan memberikan kesempatan yang lebih baik bagi suatu negara untuk melakukan diversifikasi risiko individual yang dapat memperlemah hubungan antara konsumsi dan PDB di tingkat nasional. Disisi lain, hubungan konsumsi antar negara semakin kuat, terlepas dari pengukuran sinkronisasi siklus bisnis berdasarkan PDB yang tidak mengalami perubahan, atau bahkan berkurang. Hal ini terjadi jika keterkaitan keuangan menstimulasi spesialisasi produk. Tingginya kompetisi di sektor perbankan ditengarai meningkatkan prosiklikalitas karena perbankan cenderung lebih berani untuk mengambil risiko. Keeley (1990) menyatakan bahwa dalam kondisi kompetisi yang tinggi, pengambilan risiko yang berlebihan cenderung sangat kuat. Seringkali perbankan menjaga market share dengan mengurangi 3
PROSIKLIKALITAS SEKTOR PERBANKAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI G.A Diah Utari, Trinil Arimurti, Ina Nurmalia Kurniati
standar pemberian kredit dan spread suku bunga yang sangat rendah. Biasanya kondisi ini terjadi karena kondisi likuiditas perbankan yang berlebih. Selanjutnya Freixas et. all. (2007) dan Bolt dan Tieman (2004) seperti dikutip oleh Peneta dan Fanini (2009) menemukan bahwa probabilitas pembiayaan untuk proyek yang berkualitas rendah meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah bank dan adanya kompetisi dalam pemberian kredit menghasilkan tingkat probabilitas default yang lebih besar pula. Di beberapa negara maju, pembiayaan yang dilakukan sektor rumah tangga berkontribusi terhadap meningkatnya prosiklikalitas. Dengan semakin meningkatnya utang rumah tangga dan investasi sektor rumah tangga pada asset keuangan, konsumsi masyarakat menjadi sangat sensitif terhadap pergerakan siklus bisnis sehingga memperkuat efek prosiklikal. Besarnya efek prosiklikal bergantung pada dampak wealth effect (Panetta dan Fanini, 2009). Suku bunga rendah dapat meningkatkan prosiklikalitas dengan mendorong sektor keuangan untuk lebih berani mengambil risiko (excessive risk taking). Hubungan yang negatif antara nilai asset dengan suku bunga, dengan mengganggap faktor lain tetap berarti pada saat suku bunga rendah, nilai asset akan meningkat, demikian pula sebaliknya. Selanjutnya, tingkat suku bunga rendah akan diikuti dengan tingginya risk apetite. Oleh karenanya, tingkat suku bunga rendah akan mendorong bank untuk menyalurkan kredit karena nilai asset kolateral menjadi lebih tinggi (Rajan, 1994, 2005). Disamping faktor-faktor di tingkat makro, karakterisik mikro di sektor keuangan juga berperan terhadap peningkatan prosiklikalitas. Beberapa karakteristik sistem keuangan yang dapat meningkatkan prosiklikalitas (Penetta dan Fanini, 2009) adalah : 1) lemahnya manajemen risiko dan governance perbankan, 2) lemahnya supervisi perbankan, 3) ketersediaan sumber dana, serta 4) struktur sistem keuangan. Lemahnya manajemen risiko dan governance perbankan biasanya dicirikan oleh ketergantungan yang berlebihan terhadap kolateral dalam penilaian assesmen risiko yang berpotensi menimbulkan underpricing risk pada saat perekonomian booming dan sebaliknya pada saat ekonomi lesu. Dalam konsep financial accelerator, kolateral memegang peran yang sangat penting dalam mengatasi masalah imperfect information namun dapat meningkatkan prosiklikalitas. Tingkat proteksi dari kolateral bergantung pada biaya dan hambatan aspek legal yang menyertai proses likuidasi kolateral. Mengingat jaminan kolateral umumnya tidak mencukupi maka diperlukan penilaian tambahan mengenai kemampuan membayar dari nasabah. Pinjaman oleh bank dengan tingkat manajemen risiko dan governance yang rendah kurang memperhatikan kemampuan membayar kembali dari nasabah sehingga meningkatkan risiko default pada saat 4
kondisi perekonomian memburuk. Beberapa literatur umumnya menemukan bahwa harga properti merupakan determinan yang penting dalam penentuan pinjaman dan marginal keuntungan perbankan. Terkait dengan underpricing risk, Berger dan Udell (2004) membangun hipotesa yang dikenal dengan institutional memory hypotesis untuk menerangkan profil siklus pinjaman. Hipotesa ini menyatakan bahwa sejalan dengan berlalunya waktu setelah terjadinya periode bust dalam perekonomian, terjadi penurunan kualitas penilaian loan officer terhadap nasabah yang berisiko tinggi. Hal ini terjadi karena dua faktor yang saling melengkapi. Pertama proposi loan officer yang berpengalaman dalam penilaian risiko pada saat terjadi bust tersebut berkurang sejalan dengan hadirnya loan officer baru atau dengan keterbatasan memori, mereka melupakan kejadian yang telah lalu. Supervisi perbankan yang kurang ketat, kerap dimanfaatkan perbankan untuk menunda pengalokasian provisioning yang mengakibatkan risiko dibiarkan berakumulasi pada saat kondisi booming. Alokasi provisi umumnya dilakukan pada saat perekonomian lesu. Kondisi ini akan meningkatkan prosiklikalitas melalui pemotongan lending yang cukup besar oleh perbankan. Beberapa studi membuktikan adanya kondisi prosiklikal dalam pengalokasian provisi pada perbankan (Laeven dan Majnoni, 2003, Cavello dan Majnoni, 2001) dimana bank cenderung menunda alokasi provisi hingga penurunan kualitas pinjaman menjadi nyata pada saat ekonomi memburuk. Kondisi ini konsisten dengan hipotesa bahwa selama lending boom, provisi yang dilakukan kurang mencukupi. Dalam sistem keuangan dimana sumber dana bagi nasabah cukup bervariasi, tidak hanya dari perbankan saja, kondisi prosiklikal dapat dikurangi. Ketergantungan yang besar terhadap sektor perbankan untuk pembiayaan mendorong terjadinya prosiklikalitas (Penetta & Fanini, 2006). Selanjutnya, sumber dana perbankan juga dapat menjadi salah satu sumber prosiklikalitas. Perbankan yang banyak mengandalkan sumber dana luar negeri umumnya cenderung lebih prosiklikal. Hal ini dikarenakan pasar dana internasional lebih sensitif terhadap persepsi risiko suatu negara yang mencerminkan counterparty risk. Bernard dan Bisignano (2000) seperti dikutip oleh Craig et all (2006) menyatakan bahwa perbankan di negara-negara berkembang bergantung kepada sumber dana interbank luar negeri. Hal ini sesuai dengan hasil yang menyatakan bahwa perubahan capital flows memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan kredit (Kaminsky et all, 2004). Struktur sistem keuangan yang meliputi keberadaan bank milik pemerintah dan bank asing serta liberalisasi yang dilakukan, diperkirakan mempengaruhi prosiklikalitas sektor perbankan. Keberadaan bank pemerintah dapat memberi dampak positif atau negatif terhadap prosiklikalitas bergantung pada waktu dan kondisi sektor perbankan Jurnal BPPK Volume 5, 2012
PROSIKLIKALITAS SEKTOR PERBANKAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI G.A Diah Utari, Trinil Arimurti, Ina Nurmalia Kurniati
keseluruhan. Perbankan pemerintah yang umumnya memiliki fungsi sebagai agen untuk pertumbuhan ekonomi akan tetap mengupayakan penyaluran kredit dalam kondisi ekonomi yang menurun, sehingga dapat mengurangi efek prosiklikal. Namun demikian, perbankan pemerintah juga diketahui banyak melakukan connected lending yaitu kredit yang disalurkan kepada pihak tertentu yang terkait proyek publik dengan menomorduakan aspek risiko. Dalam kondisi ekonomi lesu, apabila Pemerintah lebih mengutamakan penyaluran kredit kepada perusahaan atau proyek-proyek pemerintah, alokasi kredit kepada sektor swasta pun berkurang yang mengakibatkan efek prosiklikal memburuk. Dampak signifikan terhadap stabilitas sistem keuangan terjadi bila Pemerintah harus melakukan bail out atas bank pemerintah yang default akibat connected lending. Peran bank asing terhadap prosiklikalitas sektor keuangan bervariasi antar negara. Beberapa bank asing diketahui menyalurkan kredit lebih tinggi pada saat ekonomi booming dan sebaliknya pada saat ekonomi menurun. Sementara sebagian bank asing lainnya tidak begitu terpengaruh oleh kondisi makro yang terjadi di negara yang bersangkutan. De Haas dan van Lelyveld (2003) yang dikutip dari Craig et all (2006) menemukan bahwa bank asing di Eropa Timur tidak begitu terpengaruh untuk mengurangi kreditnya pada saat kondisi ekonomi menurun. Hal ini lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi kesehatan parent bank. Menurut Mian (2003) dikutip dari artikel yang sama, perbankan asing umumnya memiliki asset likuid lebih tinggi dibandingkan perbankan domestik dan akibatnya mereka tidak terlalu terpengaruh dengan perubahan kondisi makro. Liberalisasi sektor keuangan yang mengurangi atau meniadakan berbagai hambatan untuk penyaluran kredit, pembukaan bank baru serta masuknya perbankan asing berperan penting dalam mempengaruhi kondisi prosiklikal. Liberalisasi mendorong peningkatan jumlah bank yang berdampak pula pada meningkatnya kompetisi antar bank. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, tingginya kompetisi di sektor perbankan ditengarai meningkatkan prosiklikalitas karena perbankan cenderung lebih berani untuk mengambil risiko.
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Analisis Tingkat Prosikliklitas Sektor Perbankan Hipotesis yang hendak diuji dalam penelitian ini adalah kredit yang disalurkan oleh perbankan bersifat prosiklikal. Pengujian untuk mengetahui keberadaan prosiklikalitas sektor perbankan dapat diketahui melalui hubungan langsung antara tingkat leverage dengan siklus bisnis. Dari hubungan ini dapat diketahui apakah sektor keuangan meningkatkan leverage-nya pada periode pertumbuhan ekonomi tinggi dan sebaliknya. Pengujian dilakukan dengan tiga pendekatan: a. Analisa Turning Points dengan algoritma Bry Boschan untuk melihat keterkaitan antara sekuen Jurnal BPPK Volume 5, 2012
siklikal dari pertumbuhan PDB riil dengan pertumbuhan kredit riil. PDB merupakan variabel standar untuk mengukur siklus bisnis, sementara pertumbuhan kredit mencerminkan peran sektor keuangan dalam siklus bisnis. b. Korelasi sederhana antara pertumbuhan PDB riil (yoy) dengan pertumbuhan kredit riil (yoy). Perhitungan korelasi dibedakan antara periode ekonomi ekspansi dan periode ekonomi kontraksi. c. Pendekatan empiris menggunakan regresi sederhana antara pertumbuhan PDB riil dengan pertumbuhan kredit riil beserta disagregasi kredit. Pengujian keberadaan prosiklikalitas kredit perbankan dengan pendekatan empiris dilakukan dengan pendekatan supply for credit sebagaimana digunakan oleh Gosh & Gosh (1999). Data yang digunakan adalah data bulanan kredit riil aggregat sejak 2000:1-2010:12. Model dituliskan sebagaimana persamaan (4) sebagai berikut: 𝑔𝑘𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡𝑟𝑖𝑖𝑙𝑡 = 𝑓 (𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑏𝑒𝑙 𝑚𝑎𝑘𝑟𝑜) 𝑔𝑘𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡𝑟𝑖𝑖𝑙𝑡 = 𝑓(𝑔𝑝𝑑𝑏𝑟𝑖𝑖𝑙, 𝑏𝑖𝑟𝑎𝑡𝑒𝑟𝑖𝑖𝑙, 𝑛𝑝𝑙𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜) ..........(1) Tabel 3-1. Data Pengujian Prosiklikalitas dengan Data Aggregat
VARIABEL
SUMBER DATA
DESKRIPSI
EKSPEKTASI HUBUNGAN
Variabel Makro gpdbriil
BI
Pertumbuhan PDB riil (yoy, bulanan) diinterpolasi dari pdbriil triwulanan
+
birateriil
BI
Suku bunga kebijakan (BI rate) riil
-
nplrasio
BI
Proksi indikator risiko
-
Studi yang pernah dilakukan sebelumnya mengemukakan adanya permasalahan endogeneity pada saat estimasi hubungan antara kredit dan pertumbuhan ekonomi (Ang, 2008). Permintaan terhadap kredit sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain melalui transmisi bank lending channel, peningkatan penyaluran kredit bank diyakini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi (Mishkin, 1995). Untuk melihat ada tidaknya permasalahan endogeneity tersebut terlebih dahulu dilakukan uji Granger causality terhadap kredit aggregat dan disagregasinya (kredit investasi, kredit modal kerja dan kredit konsumsi). Dalam hal terjadi permasalahan endogeneity maka persamaan regresi diatas tidak dapat digunakan. Untuk itu dapat digunakan pendekatan VAR. Suatu model VAR dinyatakan sebagai : 𝑌𝑡 = 𝐴0 + 𝐴1 𝑌𝑡−1 + 𝑒𝑡
………………………..…..........................(2)
di mana 𝑌𝑡 adalah vektor dari variabel endogen yang terdiri dari variabel gpdbriil dan gkreditriil; 𝐴0 adalah
5
PROSIKLIKALITAS SEKTOR PERBANKAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI G.A Diah Utari, Trinil Arimurti, Ina Nurmalia Kurniati
konstanta,; 𝐴1 adalah matriks koefisien untuk lag𝑖𝑡 dan 𝑒𝑡 adalah error. Pengujian VAR dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : 1) pengujian stasionaritas data, 2) Penentuan jumlah lag optimal menggunakan beberapa kriteria yaitu Akaike Information Criteria (AIC), Schwarz Information Criterion (SC) atau Hannan – Quin Criterion (HQ). Kriteria yang dipilih yaitu yang memberikan jumlah lag minimal yang paling optimal. Sebelum menentukan jumlah lag yang digunakan, dilakukan pengujian stabilitas sistem VAR yang dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh rootsnya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak di dalam unit circle, 3) Uji respon variabel (impulse response function). Impulse response function menelusuri pengaruh kontemporer dari satu standar deviasi shock suatu inovasi terhadap nilainilai variabel endogen saat ini atau nilai mendatang. Suatu shock dari variabel endogen langsung berpengaruh terhadap variabel itu sendiri dan juga diteruskan terhadap variabel endogen lainnya melalui struktur dinamis dari VAR.
3.2. Analisis Karakteristik Sistem Perbankan yang Berpotensi Meningkatkan Prosiklikalitas Analisa faktor-faktor yang berpotensi meningkatkan prosiklikalitas sektor perbankan menurut Craig et all (2004) dapat dilakukan menggunakan 3 pendekatan, yaitu :1) pertumbuhan kredit, 2) margin suku bunga pinjaman bank terhadap suku bunga pasar uang dan 3) tingkat provisi. Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan hanya difokuskan pada pertumbuhan kredit. Estimasi dilakukan menggunakan model data panel dinamis dengan mengunakan sampel sebanyak 86 bank sejak 2007:01 hingga 2010:12. Penggunaan data 86 bank didasarkan pada kelengkapan data. Keuntungan menggunakan data panel adalah model dapat menangkap perilaku individual bank yang heterogen serta dapat memberikan lebih banyak informasi. Model mengkombinasikan supply side effect yang berkaitan dengan faktor dalam sistem keuangan yang mempengaruhi prosiklikalitas serta demand side effect yang diwakili oleh variabel makro. Model data panel dapat diformulasikan sebagai : 𝑌𝑖𝑡 = 𝑓 𝑚𝑎𝑐𝑟𝑜 𝑣𝑎𝑟, 𝑏𝑎𝑛𝑘 𝑙𝑒𝑣𝑒𝑙 𝑣𝑎𝑟, 𝑑𝑢𝑚𝑚𝑦 𝑣𝑎𝑟, 𝑜𝑡𝑒𝑟 𝑣𝑎𝑟 + 𝑒𝑡 ..................(3)
Rincian variabel dependen dan ekspektasi tanda yang diharapkan disajikan dalam Tabel 3-2.
Tabel 3-2. Data Determinan Prosiklikalitas
Variabel
Sumber Data
Ekspektasi Hubungan
Deskripsi
Variabel Dependen GKREDITRIIL
BI
Pertumbuhan kreditriil (pertumbuhan kredit nominal-inflasi)
GPDBRIIL
BI
Pertumbuhan pdb riil (yoy, bulanan dengan interpolasi)
+
BIRATERIIL
BI
Suku bunga jangka pendek riil
-
LTA
BI
Loan to Aset Rasio, untuk mengukur dampak risiko kredit terhadap prosiklikal bank
-
BOPO
BI
Rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional, untuk mengukur dampak efisiensi perbankan terhadap prosiklikal bank
-
KAPITAL
BI
Rasio CAR terhadap total aset, untuk melihat kemampuan bank dalam menyerap kerugian
+
MARKETCAPGDP
CEIC
Rasio market kapitalisasi pasar thd PDB, untuk mengukur pengaruh perkembangan pasar modal terhadap prosiklikalitas
-
IRD
CEIC
Interest rate differential (selisih BI rate dengan suku bunga Fed), untuk mengukur pengaruh ketersediaan sumber dana luar negeri thd prosiklikalitas
+
CEIC
Indeks harga properti gabungan, untuk mengukur sejauh mana ketergantungan penilaian kredit pada kolateral
+
BI
Untuk mengetahui perilaku prosiklikalitas dari bank asing dan non bank asing
+/-
Variabel Independen 1.
2.
3.
Variabel Makro
Variabel Mikro
Variabel Lainnya
IHPGAB 4.
Variabel Dummy
Dummy bank asing & non bank asing 6
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
PROSIKLIKALITAS SEKTOR PERBANKAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI G.A Diah Utari, Trinil Arimurti, Ina Nurmalia Kurniati
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengujian Prosiklikal Kredit Perbankan dengan Algoritma Bry Boschan Pertumbuhan ekonomi riil (pertumbuhan PDB riil) dan pertumbuhan kredit riil di Indonesia menunjukkan kecenderungan prosiklikalitas. Hasil plot data sejak 1994 hingga 2010 (Grafik 4-1) menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit riil yang tinggi (rendah) berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi riil yang tinggi (rendah). Prosiklikalitas antara kedua variabel ini juga terlihat pada Grafik 4-2 yang menggambarkan hubungan antara berbagai rentang pertumbuhan ekonomi riil dengan pertumbuhan kredit riil. Rata-rata pertumbuhan
20
10
0
5
-20 -40
94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10
-60
gdp_growth_riil (%, RHS)
-80
20
0 -5
-15
5
0 -5
80
15
60
10
40
5
20
0 Okt-10
Mar-11
Jul-09
Mei-10
Feb-09
Des-09
Sep-08
Apr-08
Jan-07
Jun-07
Nop-07
Okt-05
Mar-06
Agust-06
Jul-04
Mei-05
Feb-04
Des-04
Sep-03
Apr-03
Jan-02
Jun-02
Nop-02
Okt-00
Mar-01
Agust-01
Jul-99
Mei-00
Feb-99
Des-99
Sep-98
Apr-98
Jan-97
Jun-97
Nop-97
0
-5 -10
-60 -15
-80 -100
-20 Kredit Real
GDPRiil
Sumber : Bank Indonesia & Perhitungan Penulis
Grafik 4-3. Siklus Pertumbuhan Kredit Riil & Pertumbuhan PDB Riil
2
1.0 - 4.0
4.0 - 8.0
>8.0
-10.1
-15 -20 -20.8
GDP Growth
Sumber : Bank Indonesia & Perhitungan Penulis
Grafik 4-1. Pergerakan Pertumbuhan PDB Riil dan Pertumbuhan Kredit Riil
-40
<=1
-10
-20
Sumber : Bank Indonesia
-20
10.5
10
-25
-100
16.5
15
-10
credit_growth_riil (%,LHS)
Dari siklus pertumbuhan PDB rill dan pertumbuhan kredit riil pada Grafik 4-3 dan Tabel 4-1, terlihat
Average Credit Growth (%)
15
Trw. 1 Trw. 4 Trw. 3 Trw. 2 Trw. 1 Trw. 4 Trw. 3 Trw. 2 Trw. 1 Trw. 4 Trw. 3 Trw. 2 Trw. 1 Trw. 4 Trw. 3 Trw. 2 Trw. 1 Trw. 4 Trw. 3 Trw. 2 Trw. 1 Trw. 4 Trw. 3
40
kredit riil cenderung meningkat dengan semakin tingginya rata-rata pertumbuhan ekonomi riil. Ketika ekonomi riil secara rata-rata tumbuh negatif, rata-rata pertumbuhan kredit juga mengalami hal yang serupa. Untuk melihat lebih jauh hubungan prosiklikalitas antara pertumbuhan ekonomi riil dengan kredit riil dilakukan analisis perilaku siklus pertumbuhan ekonomi riil dengan pertumbuhan kredit riil. Siklus perekonomian dengan siklus kredit digambarkan menggunakan analisa titik balik (turning points) dengan algoritma Bry Boschan2
Grafik 4-2. Rata-rata Pertumbuhan PDB Riil dan Pertumbuhan Kredit Riil
Tabel 4-1. Peak dan Trough dari Pertumbuhan PDB riil dan Pertumbuhan Kredit Riil Trough gPDBriil 1994 11 1998 10 2001 11 2004 2 2006 4 2009 7
Trough gKreditriil 1996 2 1999 6 2002 4 2004 4 2006 8 2009 11
Peak gPDBriil 1996 11 2000 11 2002 8 2004 12 2007 7
Peak gKreditriil 1998 1 2001 4 2003 5 2005 7 2008 10
Sumber : Bank Indonesia & Perhitungan Penulis
Algoritma Bry Boschan adalah suatu alat bantu untuk menentukan local maxima (peaks) dan minima (trough) pada suatu deret waktu. Tahapan algoritma Bry Boschan secara garis besar meliputi : 1) penentuan nilai ekstrim dan nilai pengganti, 2) penentuan siklus pada data yang di-moving average selama 12 bulan, 3) penentuan titik balik pada data yang berkorespondensi dengan kurva Spender, 4) penentuan titik balik pada data yang berkorespondensi dengan moving average jangka pendek penentuan titik balik pada data asli yang tidak mengalami penghalusan dan 6) menampilkan titik balik final.
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
7
PROSIKLIKALITAS SEKTOR PERBANKAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI G.A Diah Utari, Trinil Arimurti, Ina Nurmalia Kurniati
8
20
0 Jul-10
Jan-11
Jul-09
Jan-10
Jul-08
Jan-09
Jul-07
Jan-08
Jul-06
Jan-07
Jul-05
Jan-06
Jul-04
Jan-05
Jul-03
Jan-04
Jul-02
Jan-03
Jul-01
Jan-02
Jul-00
Jan-01
Jul-99
Jan-00
Jul-98
Jan-99
Jul-97
Jan-98
-20
Jan-97
0
-40
-5 -10
-60 -15
-80 -100
-20 Invest
GDPRiil
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4-4. Pertumbuhan PDB Riil dan Pertumbuhan Kredit Investasi Riil 60
15
40
10
20
5 Jun-02 Nop-02 Apr-03 Sep-03 Feb-04 Jul-04 Des-04 Mei-05 Okt-05 Mar-06 Agust-06 Jan-07 Jun-07 Nop-07 Apr-08 Sep-08 Feb-09 Jul-09 Des-09 Mei-10 Okt-10 Mar-11
-20
Jan-97 Jun-97 Nop-97 Apr-98 Sep-98 Feb-99 Jul-99 Des-99 Mei-00 Okt-00 Mar-01 Agust-01 Jan-02
0 0 -5
-40 -10
-60
-15
-80 -100
-20 MK
GDPRiil
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4-5. Pertumbuhan PDB Riil dan Pertumbuhan Kredit Modal Kerja Riil 80
15
60
10
40
5
20
0 Okt-10
Mar-11
Mei-10
Des-09
Jul-09
Feb-09
Sep-08
Apr-08
Nop-07
Jan-07
Jun-07
Agust-06
Okt-05
Mar-06
Mei-05
Des-04
Jul-04
Feb-04
Sep-03
Apr-03
Nop-02
Jan-02
Jun-02
Agust-01
Okt-00
-40
Mar-01
Jul-99
Mei-00
Des-99
0 -20
Feb-99
Indikasi adanya prosiklikalitas juga tercermin dari hasil uji korelasi antara pertumbuhan kredit riil dan pertumbuhan PDB riil. Dengan menggunakan sampel data Januari 2000 – Desember 2010, korelasi antara pertumbuhan kredit riil dan pertumbuhan PDB riil pada periode ekspansi adalah 0.43 dan pada periode kontraksi adalah 0.37. Lebih besarnya koefisien korelasi pada saat ekspansi menunjukkan bahwa efek prosiklikal yang lebih kuat terjadi pada periode ekspansi dibandingkan dengan pada periode kontraksi. Penerapan metode yang sama untuk disagregasi kredit berdasarkan jenis penggunaan (kredit konsumsi, kredit investasi dan kredit modal kerja) menunjukkan hasil yang serupa dengan kredit secara agregat, kecuali untuk kredit konsumsi (Grafik 4-4,45,4-6). Korelasi antara pertumbuhan ekonomi riil dengan pertumbuhan kredit investasi riil dan kredit modal kerja riil mengikuti pola kredit agregat riil, dimana terjadi korelasi yang lebih tinggi pada saat ekonomi ekspansi dan lebih rendah pada saat
5
40
Sep-98
gKredit Riil 32.3 33.0 13.2 19.8
10
60
Apr-98
Peak peak Trough trough Peak trough Trough peak
gPDB Riil 32.0 35.2 18.6 16.6
15
80
Jan-97
Siklus
Rata-rata durasi (bulan)
100
Jun-97
Tabel 4-2. Durasi Siklus Pertumbuhan PDB Riil & Pertumbuhan Kredit Riil
kontraksi (Tabel 4-3). Seperti halnya dengan kredit secara agregat, efek prosiklikalitas pada kredit investasi dan kredit modal kerja lebih kuat terjadi pada periode ekspansi dibandingkan dengan periode kontraksi. Jika dibandingkan antara kedua jenis kredit tersebut, perilaku prosiklikal pada periode ekpansi lebih kuat terjadi pada kredit modal kerja dibandingkan dengan kredit investasi. Tidak seperti dua jenis kredit lainnya, dengan pendekatan korelasi, kondisi prosiklikal tidak terlihat pada kredit konsumsi.
Nop-97
bahwa peak dan trough pertumbuhan PDB riil mendahului terjadinya peak dan trough pertumbuhan kredit riil. Sebagai gambaran, trough PDB riil yang terjadi pada November 1994 diikuti oleh trough kredit riil pada Februari 1996, demikian pula dengan trough PDB riil pada Oktober 1998 diikuti oleh trough kredit riil pada Juni 1999 dan seterusnya. Hal ini terjadi pula pada saat peak, dimana peak PDB riil yang terjadi pada November 1996 diikuti oleh peak kredit riil pada Januari 1998, dan seterusnya. Gambaran siklus kedua variabel tersebut mengindikasikan adanya prosiklikalitas dari kredit. Berdasarkan informasi turning points PDB riil dan kredit riil, rata-rata durasi siklus trough ke peak untuk PDB riil terjadi dalam waktu sekitar 17 bulan, sementara untuk kredit riil memerlukan waktu sekitar 20 bulan (Tabel 4-2). Rata-rata waktu yang dibutuhkan oleh PDB riil untuk melalui siklus dari peak ke trough (kontraksi) lebih lama dibandingkan dengan siklus trough ke peak-nya (ekspansi). Hal ini berlaku sebaliknya untuk kredit riil, dimana waktu yang dibutuhkan untuk melalui siklus peak ke trough lebih singkat dibandingkan dengan trough ke peaknya. Namun, untuk siklus peak ke peak dan trough ke trough PDB dan kredit memiliki kecenderungan yang sama, dimana siklus trough ke trough lebih lama dibandingkan dengan peak ke peak.
-5 -10
-60 -15
-80 -100
-20 KK
GDPRiil
Sumber : Bank Indonesia
Grafik 4-6. Pertumbuhan PDB Riil dan Pertumbuhan Kredit Konsumsi Riil
Tabel 4-3. Korelasi Pertumbuhan PDB Riil dan Pertumbuhan Kredit Riil
Boom Bust
Kredit Investasi 0,25 0,2
Kredit Modal Kerja 0,53 0,40
Kredit Konsumsi -0,09 -0,17
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
PROSIKLIKALITAS SEKTOR PERBANKAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI G.A Diah Utari, Trinil Arimurti, Ina Nurmalia Kurniati
Tabel 4-4. Uji Granger untuk Pertumbuhan Kredit Riil dan Pertumbuhan PDB Riil
.
4.2. Pengujian Prosiklikalitas Kredit Perbankan dengan Model Regresi Linier Untuk melihat ada tidaknya permasalahan endogeneity pada persamaan kredit dan pertumbuhan ekonomi dilakukan uji Granger causality terhadap kredit aggregat dan disagregasinya berdasarkan jenis penggunaan (kredit investasi, kredit modal kerja dan kredit konsumsi). Hasil uji Granger causality ditampilkan pada Tabel 4-4. Hasil uji Granger causality menunjukkan tidak terdapat permasalahan endogeneity antara variabel pertumbuhan PDB riil dengan pertumbuhan kredit riil secara aggregat, kredit investasi (KI) riil, kredit modal kerja (KMK) riil dan kredit konsumsi (KK) riil. Berbeda dengan KMK dan KI, hubungan KK lebih kuat sebagai leading pertumbuhan PDB dibandingkan dengan sebaliknya. Untuk menguji efek prosiklikal dari pertumbuhan PDB riil terhadap pertumbuhan kredit riil total, kredit investasi riil dan kredit modal kerja riil pada dua periode yang berbeda, yaitu periode ekspansi (boom) dan kontraksi (bust), digunakan variabel multiplicative dummy yang diaplikasikan pada persamaan supply for credit sebagaimana yang digunakan oleh Gosh & Gosh (1999). Dengan demikian persamaan empiris dapat dituliskan sebagai :
Hasil estimasi persamaan (4) disajikan pada Tabel 4-5. Tabel tersebut menunjukkan hasil estimasi untuk kredit agregat, kredit investasi dan kredit modal kerja. Efek prosiklikal pada ketiga kredit terlihat lebih besar terjadi pada periode ekspansi dibandingkan dengan periode kontraksi. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien pertumbuhan ekonomi riil yang signifikan dan lebih besar pada periode ekspansi dibandingkan dengan periode kontraksi. Jika dibandingkan berdasarkan jenis kredit tersebut, perbedaan besaran koefisien pertumbuhan ekonomi riil untuk kredit modal kerja pada periode ekspansi dengan kontraksi sangat signifikan dibandingkan kredit investasi maupun kredit secara agregat. Hal ini dapat berarti bahwa efek prosiklikal pada kredit modal kerja relatif lebih kuat dibandingkan kredit investasi maupun kredit secara aggregat. Variabel lainnya yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan kredit secara riil adalah pertumbuhan kredit pada periode sebelumnya. Tabel 4-5. Hasil Estimasi Pengujian Prosiklikal Kredit Perbankan dengan Data Aggregat gkreditriil gkiriil gkmkriil C
0.2031
GPDBRIILBOOM
0.8100 *
1.3197 **
1.7536 **
GPDBRIILBUST
0.6429
1.1729 **
1.5550 **
0.9640 ***
1.1932 ***
BIRATERIIL (-1)
𝑔𝑘𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡𝑟𝑖𝑖𝑙1..3 𝑡
= 𝛽0 + 𝛽1 (𝑑𝑢𝑚𝑚𝑦𝑏𝑜𝑜𝑚 ∗ 𝑔𝑝𝑑𝑏𝑟𝑖𝑖𝑙𝑡 ) + 𝛽2 (𝑑𝑢𝑚𝑚𝑦𝑏𝑢𝑠𝑡 ∗ 𝑔𝑝𝑑𝑏𝑟𝑖𝑖𝑙𝑡 ) + 𝛽3 𝑏𝑖𝑟𝑎𝑡𝑒𝑟𝑖𝑖𝑙 + 𝛽4 𝑛𝑝𝑙𝑟𝑎𝑠𝑖𝑜 + 𝜀𝑡 …........(4)
di mana gkreditriil adalah pertumbuhan kredit riil; (𝑑𝑢𝑚𝑚𝑦𝑏𝑜𝑜𝑚 ∗ 𝑔𝑝𝑑𝑏𝑟𝑖𝑖𝑙) atau gpdbriilboom adalah pertumbuhan PDB riil pada periode boom; (𝑑𝑢𝑚𝑚𝑦𝑏𝑢𝑠𝑡 ∗ 𝑔𝑝𝑑𝑏𝑟𝑖𝑖𝑙) atau gpdbriilbust adalah pertumbuhan PDB riil pada periode bust; nplrasio adalah rasio npl (net). gkreditriil 1..3 menunjukkan total kredit beserta disagregasinya yaitu kredit investasi dan kredit modal kerja.
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
BIRATERIIL (-2) GKREDITRIIL(-1)#
-6.8907
-0.5369 *** -0.6494 *** 0.8940 ***
GKREDITRIIL(-2)#
-0.0854
NPLRASIO
-0.2751 **
-4.3743
0.8634 *** -0.5785 **
0.7494 ***
0.9843 ***
0.8477 ***
-0.2492 ***
-0.2803
-0.2588 **
R-squared
0.9266
0.9135
0.9055
Adj R-squared
0.9223
0.9093
0.9001
DW-stat
1.9277
2.2364
2.0091
*** ,**,* masing –masing menunjukkan signifikansi pada tingkat kepercayaan 1%, 5% dan 10% Ket: # untuk persamaan yang menggunakan disagregasi kredit, variabel lag yang digunakan pada masing-masing model adalah gkiriil dan gkmkriil.
9
PROSIKLIKALITAS SEKTOR PERBANKAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI G.A Diah Utari, Trinil Arimurti, Ina Nurmalia Kurniati
Tabel 4-6. Optimal Lag
VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: GKKRIIL GPDBRIIL BIRATERIIL Exogenous variables: C Date: 07/10/12 Time: 09:00 Sample: 2000M01 2010M12 Included observations: 126 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3 4 5 6
-932.6580 -443.1007 -342.1304 -330.7092 -324.0394 -305.4924 -298.5535
NA 948.0317 190.7216 21.02959 11.96316 32.38372* 11.78514
565.7115 0.275340 0.063972 0.061600 0.063999 0.055106* 0.057099
14.85171 7.223820 5.763975 5.725542 5.762531 5.610990* 5.643706
14.91924 7.493942 6.236688* 6.400847 6.640427 6.691479 6.926786
14.87915 7.333562 5.956023* 5.999898 6.119193 6.049959 6.164981
* indicates lag order selected by the criterion
Grafik 4-7. Impuls Respon Pertumbuhan PDB Riil dan Pertumbuhan Kredit Konsumsi Riil
Berdasarkan uji Granger causality, kredit konsumsi merupakan leading dari pertumbuhan PDB, maka untuk melihat efek prosiklikal pada kredit konsumsi diestimasi dengan metode VAR. Estimasi VAR menyertakan dua variabel, yakni pertumbuhan kredit konsumsi riil (gkkriil) dan pertumbuhan PDB riil (gpdbriil). Jumlah lag optimal berdasarkan kriteria Schwarz adalah 2. Model VAR juga telah memenuhi kriteria kestabilan dimana seluruh nilai inverse roots karakteristik AR polinomialnya lebih kecil dari satu dan semuanya terletak di dalam unit circle. Hasil impuls respon yang ditampilkan pada Grafik 4-7 menunjukkan bahwa respon pertumbuhan kredit riil terhadap pertumbuhan PDB riil tidak signifikan. Pengaruh pertumbuhan PDB riil yang tidak signifikan sesuai dengan realita yang terjadi, dimana permintaan kredit konsumsi secara umum tetap tinggi meski kondisi perekonomian sedang menurun. Selain itu, kredit konsumsi umumnya bersifat uncollateralized, berbeda dengan kredit modal kerja dan kredit investasi yang umumnya bergantung kepada kolateral. Sementara itu, pergerakan harga kolateral/aset sangat dipengaruhi oleh siklus perekonomian. Kondisi tersebut juga dikonfirmasi oleh hasil estimasi persamaan yang menunjukkan dampak pertumbuhan PDB riil yang positif dan 10
signifikan terhadap pertumbuhan kredit investasi dan modal kerja. Oleh karenanya, kredit konsumsi diperkirakan menjadi buffer bagi perbankan dalam kondisi perekonomian yang menurun untuk mengimbangi penurunan kredit investasi dan modal kerja yang penyalurannya sangat bergantung kepada kolateral. Tabel 4-7. Uji Stabilitas VAR
Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: GKKRIIL GPDBRIIL BIRATERIIL Exogenous variables: C Lag specification: 1 2 Date: 07/10/12 Time: 08:58 Root 0.936051 - 0.051154i 0.936051 + 0.051154i 0.812063 - 0.155307i 0.812063 + 0.155307i 0.089284 - 0.058413i 0.089284 + 0.058413i
Modulus 0.937448 0.937448 0.826781 0.826781 0.106695 0.106695
No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
PROSIKLIKALITAS SEKTOR PERBANKAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI G.A Diah Utari, Trinil Arimurti, Ina Nurmalia Kurniati
4.3. Pengujian Determinan Kondisi Prosiklikal Hasil pengujian menggunakan metode data panel juga membuktikan kredit perbankan yang bersifat prosiklikal. Hal ini tercermin dari koefisien pertumbuhan PDB riil yang positif dan signifikan untuk semua persamaan (Tabel 4-8). Koefisien pertumbuhan PDB riil yang cukup besar menunjukkan bahwa pola kredit memiliki amplitudo yang lebih besar dibandingkan siklus bisnis yang berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan. Nilai variabel suku bunga yang positif menunjukkan bahwa kebijakan bank sentral tidak bersifat prosiklikal. Hal ini menunjukkan bahwa bank sentral menaikkan suku bunga ketika pertumbuhan kredit mulai menunjukkan kenaikan yang berlebihan. Ketergantungan bank terhadap penilaian kolateral dalam penyaluran kredit tercermin dari nilai variabel IHP Gabungan yang positif dan signifikan dalam setiap persamaan. Peningkatan nilai asset properti akan meningkatkan nilai kolateral yang mengarahkan persepsi perbankan akan tingkat risiko yang lebih rendah. Hasil ini menunjukkan adanya ketergantungan yang cukup tinggi dari bank terhadap penilaian kolateral dalam penyaluran kredit. Perkembangan pasar keuangan dapat mengurangi prosiklikalitas yang tercermin dari signifikannya variabel rasio kapitalisasi pasar/PDB terhadap pertumbuhan kredit. Namun, tingkat kedalaman pasar keuangan menjadi tidak signifikan ketika disandingkan dengan variabel mikro perbankan. Hal ini menunjukkan bahwa variabel mikro perbankan lebih berperan dalam mempengaruhi efek prosiklikal. Bank yang memiliki tingkat risiko yang tinggi yang ditunjukkan oleh variabel loan to asset rasio (LTA) cenderung mengerem pertumbuhan kreditnya. Semakin tinggi tingkat risiko bank semakin berkurang kecendrungan prosiklikal. Hasil ini sesuai dengan hipotesa awal bahwa bank-bank akan mengerem penyaluran kredit ketika dirasakan tingkat risiko yang
Independent Var
GKREDITRIIL(-1) GPDBRIIL GDPBRIIL*DUMMYNBA GDPBRIIL*DUMMYBA BIRATERIIL DLTA(-1) BOPO(-1) DRASIOTA(-1) CAPITAL(-1) CAP*DBOOM CAP*DBUST IHP_GABUNGAN IRD MARKETCAP_GDP Constant Arelano Bond Test Order 1 Order 2
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
dihadapi sudah cukup tinggi. Rasio modal memiliki dampak yang positif dan signifikan terhadap penyaluran kredit. Hal ini konsisten dengan kondisi perbankan umumnya dimana bank dengan permodalan yang lebih baik cenderung lebih mudah untuk menyalurkan kredit. Bank dengan tingkat permodalan yang baik cenderung lebih banyak menyalurkan kredit ketika perekonomian sedang booming yang ditunjukkan oleh variabel capital dengan dummy multiplicative perekonomian pada saat booming yang bernilai positif dan signifikan. Berdasarkan hasil empiris dalam penelitian ini bank besar yang diwakili oleh variabel rasiota cenderung kurang agresif dalam menyalurkan kredit. Hal ini terlihat dari variabel rasiota yang bernilai negatif dan signifikan. Bank asing cenderung lebih prosiklikal dalam penyaluran kredit yang tercermin dari variabel gpdbriil dengan dummy multiplicative perekonomian pada saat booming yang bernilai positif dan signifikan. Hal ini dimungkinkan oleh kecenderungan bank asing yang lebih berfokus pada performa makro dalam hal ini pertumbuhan ekonomi untuk penyaluran kredit.
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan a. Hasil estimasi dengan pendekatan korelasi, model supply kredit terhadap perilaku kredit perbankan secara agregat dan disagregasinya (kredit investasi dan kredit modal kerja) serta pendekatan data panel menunjukkan adanya keberadaan prosiklikalitas. Pertumbuhan kredit perbankan secara aggregat cenderung meningkat selama periode ekspansi (boom) dan melambat pada periode kontraksi (bust). Efek prosiklikalitas lebih kuat terjadi pada periode ekspansi dibandingkan pada periode kontraksi.
Tabel 4-8 Hasil Estimasi Pengujian Prosiklikalitas dengan Data Panel + Other Var +Micro Var +Indeks Prop + Micro VAR dgn + Ownership pemisahan rasio CAR sesuai siklus GDP 0.8357 *** 0.8326 *** 0.8522 *** 0.8505 *** 0.8468 *** 0.8489 *** 3.8938 *** 3.7770 4.2449 ** 2.9128 *** 1.4285 2.5537 4.0385 ** 0.5557 ** 0.3540 0.5622 1.0406 *** 0.7118 0.8643 * -0.7554 *** -0.7604 *** -0.7569 *** -0.758 *** -3.0974 -2.8286 -2.4577 -2.8596 -5.5081 ** -6.2919 *** -5.8457 ** -6.2825 *** 0.6868 * 0.6719 * 0.6799 * 0.7065 * 0.5604 0.2165 ** 0.1924 * 0.2029 * -0.9829 -0.1039 -0.6757 -0.572 -0.1682 * -0.8752 -0.0184 -0.0827
Macro Only
-19.1240 ***
-2.3021 ** 0.7044
-5.9777
-2.3028 ** 0.70702
-18.9285
-2.3466 ** -1.3262
-51.7560 ***
-2.3416 ** -1.3275
-34.5486
-2.3509 ** -1.3415
-42.276
-2.3399 ** -1.3274
11
PROSIKLIKALITAS SEKTOR PERBANKAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI G.A Diah Utari, Trinil Arimurti, Ina Nurmalia Kurniati
b. Pengaruh pertumbuhan PDB yang tidak signifikan terhadap kredit konsumsi dapat dikarenakan kredit konsumsi umumnya bersifat uncollateralized berbeda dengan kredit modal kerja dan kredit investasi yang umumnya bergantung kepada kolateral. Pergerakan harga kolateral / asset sendiri sangat dipengaruhi oleh siklus perekonomian. Oleh karenanya kredit konsumsi diperkirakan menjadi buffer bagi perbankan dalam kondisi perekonomian yang menurun untuk mengimbangi penurunan kredit investasi dan modal kerja yang penyalurannya sangat bergantung kepada kolateral. c. Perilaku prosiklikal perbankan selain dipengaruhi oleh variabel makro (pertumbuhan ekonomi) juga dipengaruhi oleh kecenderungan perbankan yang terlalu bertumpu pada penilaian kolateral dalam penilaian kredit, tingkat risiko bank , kondisi permodalan, ukuran bank serta kepemilikan bank (bank asing dan bank domestik) Rekomendasi a. Perilaku prosiklikal sektor perbankan yang berlebihan dapat mempengaruhi efektivitas transmisi kebijakan moneter serta dapat mempengaruhi stabilitas sistem keuangan. Oleh karenanya kunci dalam menjaga stabilitas makro juga termasuk pada pengendalian ketidakseimbangan pertumbuhan kredit. Oleh karenanya, sangat penting untuk menerapkan kebijakan macroprudential yang countercylical sebagai pelengkap dari kebijakan yang sudah ada. b. Perlu penguatan manajemen risiko dalam supervisi bank untuk mengurangi ketergantungan yang berlebihan terhadap penilaian kolateral dalam penyaluran kredit. Penilaian risiko sebaiknya lebih mengacu pada proyeksi cash flow debitur. c. Perlu dicermati jumlah bank asing yang terus meningkat mengingat perilakunya yang cenderung lebih prosiklikal dibandingkan perbankan domestik.
DAFTAR PUSTAKA Adrian T dan Shin H.S. (2009), “Money, liquidity and monetary policy” American Economic Review, Vol 99 no. 2 pp 600-605 Agung, Juda et all (2001a).“Credit Crunch in Indonesia in the Aftermath of the Crisis: Facts, Causes and Policy Implications”. Bank Indonesia, Directorate of Economic Research and Monetary Policy. Agung, Juda et.all (2001c). “Monetary Policy and Firm Investment: Evidence for Balance Sheet Channeling Indonesia”. Bank Indonesia, Directorate of Economic Research and Monetary Policy. Ang, James B., 2008. "A Survey Of Recent Developments In The Literature Of Finance And Growth," Journal of Economic Surveys, Wiley Blackwell, vol. 22(3), pages 536-576, 07 12
Anglingkusumo, R dan Ina Nurmalia Kurniati (2009), Konstruksi Bry-Boschan Algorithm untuk Penentuan Turning Points Deret Waktu dengan Menggunakan E-Views 5.1, Catatan Riset No.11/13A/DKM/BRE/Cat. Berger, Allen dan Gregory Udell (2003), “The Institutional Memory Hypothesis and the Procyclicality of Bank Lending Behavior” Board of Governors of the Federal Reserve System, Finance and Economics Discussion Series : 2003 -02. Bernanke, Ben, Gertler, Mark dan Gilschrist, Simon, 1994. “The financial Accelerator and The Flight to quality”, NBER Working Paper No. 4789. Borio, Claudio, Craig Furfine dan Philip Lowe (2001) , “Procyclicality of the Financial System and Financial Stabiity : Issues and Policy Option”, BIS Working Paper No. 1 Bry, G. dan Boschan, C. (1971): Cyclical Analysis of Time Series: Selected Procedures and Computer Programs. NBER Technical Paper No 20, New York: NBER. Craig et all, 2006 ,”Sources of Procyclicality in East Asian Financial System”, International Monetary Fund and Hong Kong Institute for Monetary Research Dell’Ariccia, Giovanni et all (2012), “Policies for Macrofinancial Stability : How to Deal with Credit Booms”, IMF Staff Discussion Note No. SDN/12/06. Policies Frait, Jan., Gersl, Adam., Seidler, Jacub. “Credit Grwoth and Financial Stability in the Czech Republic”, Policy Research Working Paper 5771, World Bank. Gerlach, Stefan dan Gruenwald, Paul (2006), “Procyclicality of Financial System in Asia”, International Monetary Fund and Hong Kong Institute for Monetary Research Kaminsky, Goldstein, Itay dan A. Pauzner (2004), “Contagion of Self Fulfilling Financial Crises Due to Diversification of Investment Potfolios”, Journal of Economic Theory, No. 119, pp 151-183. G.,Reinhart and C. Vegh (2004),” When It Rains, It Pour”: Procyclical Capital Flows and Macroeconomic Policies” in M. Gertler and K. Rogoff (eds), NBER Macro Economics Annual 2004. Cambridge , MA : MIT Press. Jimenez g., Ongena S., dan Peydro J.L. (2009) Hazardous Times for Monetary Policy “ What do Twenty Thre Million Bank Loans Say About the Effects of Monetary Policy on Credit Risk Taking , Bando de Espana working Paper No. 0833. Kaminsky, G. and C. Reinhart (2004), “ When It Rains It Pours : Procyclical Capital Flows and Macroeconomic Policies”. NBER Working Paper No. 10780 Kaminsky, G. Lizondo,S. and C. Reinhart (1998), “ Leading Indicators of Currency Crisis”. IMF Staf Paper Vol 45 No. 1 Kiyotaki, N and J. Moore (1997), “ Credit Cycles,” Journal of Political Economy 105 : 211 – 48. Jurnal BPPK Volume 5, 2012
PROSIKLIKALITAS SEKTOR PERBANKAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI G.A Diah Utari, Trinil Arimurti, Ina Nurmalia Kurniati
Panetta, Fabio & Angelini, Paolo. 2009 “Financial Sector Pro-cyclicality- Lessons From the Crises”, Banca d Italia. Prastowo, Nugroho & Prasmuko, Andry, 2008 “Analisis Peran Kredit Perbankan dalam Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”, Catatan Riset No. 10/16/DKM/BRE/Cat Rajan, R (1994), “Why Banks Credit Policies Fluctuate: A theory and some Evidence”, The quarterly Journal of Economics, Vol 109 No. 2, pp. 399-441. Rajan, Raghuram (2005), “Has Financial Development Made The World Riskier”, NBER Working Paper No. 11728
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
13
PROSIKLIKALITAS SEKTOR PERBANKAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI G.A Diah Utari, Trinil Arimurti, Ina Nurmalia Kurniati
Halaman ini sengaja dikosongkan
This page intentionally left blank
14
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
Jurnal BPPK Volume 5, 2012 Page 15-30 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
EXPORT PERFORMANCE DEVELOPMENT OF INDONESIA’S TEXTILE AND APPAREL PRODUCT: A COMPARATIVE ADVANTAGE STUDY 1 Moudy Hermawan(a) (a)
Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan; e-mail:
[email protected] (corresponding author)
ARTICLE INFORMATION
ABSTRACT
ARTICLE HISTORY Received 22 February 2012
The determinant factor of export performance in manufacturing industry has been an important theme in the study of industrial organization and industrial economics. There are vast theoretical debates and empirical works that attempt to answer the question of why countries trade each other and who is gained from the trade. Eventually, these studies has developed extensively that they encompass the classic absolute and comparative advantage, neo-classic HO theory until modern trade theory. By using descriptive and dynamic analysis (The Harmonic Mass Index) of revealed comparative advantage approach, this paper attempt to investigate the Indonesia’s textile and apparel product comparative advantage. The result suggests that the industry is in declining state of export performance, owing to the loss in their comparative advantage. The dynamic analysis shows that there is no structural change in comparative advantage after early 1990s, which marked as the peak of textile and apparel export competitiveness. Furthermore, there is lack of export specialization in this industry, since the commodity which has comparative advantage (disadvantage) remains in this initial condition during 1989-2010.
Accepted to be published 30 May 2012
KEYWORDS: comparative advantage, textile, harmonic mass index
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ekspor pada industri manufaktur telah menjadi topik sentral dalam studi di bidang organisasi industri maupun ekonomi industri. Telah banyak studi empiris maupun teoritis yang berupaya menjawab pertanyaan mengenai penyebab negara-negara saling berdagang satu sama lain, mulai dari teori klasik keunggulan absolute dan keunggulan komparatif sampai dengan teori neo klasik dan teori perdagangan internasional modern. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif dan analisis dinamika perkembangan keunggulan komparatif (Harmonic Mass Index) untuk mengetahui perkembangan kinerja ekspor dan keunggulan komparatif khususnya industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan penurunan kinerja ekspor yang disebabkan kehilangan keunggulan komparatif. Analisis dinamik menunjukkan tidak terjadi perubahan yang signifikan atas keunggulan komparatif setelah awal 1990-an, dimana periode tersebut merupakan kebangkitan industri TPT. Disamping itu, tidak terjadi kemajuan dibidang spesialisasi ekspor didalam industri TPT, yang ditunjukkan oleh fakta bahwa komposisi produk TPT yang memiliki keunggulan komparatif (dan yang tidak memiliki) tidak mengalami perubahan banyak selama 1989-2010.
1. INTRODUCTION The paradigm shift in Indonesian manufacturing industry, from import substitution to export orientation, in the 1980s has substantiated the rapid development of export of Indonesian textile products. Externally, the transformation in the international trade environment in form of the elimination of several tariffs and import quota during last decades, e.g. the termination of multi fiber agreement (MFA) and replaced by a more open tariff-based trading regime under WTO in 2005 (James, Ray, & Minor, 2002), has encouraged export of textile products. From 1989-2010, the annual average growth of export value of the textile products stays above the average
growth of total exported products. In this period, the average of growth yarn and fiber (code 26 SITC Rev.3), fabric (code 65), and apparel (code 84) are 117.64%, 18.24% and 22.50% consecutively. Furthermore, the share of textile and apparel export products to overall Indonesia’s export is 10.79% or the largest among non oil and gas export products. This fact may reflect textile products advantage compares to other exported products of Indonesia, generally but not particularly. Nevertheless, this may not be true if the case is vis a vis the textile products from other countries, i.e. global trade of textile products.
_______________________________________________________________________________________________________________________________ 1
This article is a summary of a chapter of the author’s dissertation at Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan
EXPORT PERFORMANCE DEVELOPMENT OF INDONESIA’S TEXTILE AND APPAREL PRODUCT: A COMPARATIVE ADVANTAGE STUDY Moudy Hermawan
According to UNDP study (Adhikari & Yamamoto, 2007), textiles and apparel are a distinctive industry sector in the global economy, mainly for three reasons. First, most countries, including developed, newly industrialized countries (NICs) and leastdeveloped countries (LDCs) utilized this industry as the vehicle in their industrial development path. Millions of labors are employed in this industry in these economies. Second, the textile and apparel industry has relatively low entry barriers. The initial investment does not require massive capital outlay and involves relatively low skills workers. Therefore, the competition level in this industry is relatively high. Third, this industry is maybe the most protected sector of all manufacturing industries in the global economy, both in developed countries, NICs and LDCs. For the past 50 years until the phasing out of the quota system by the implementation of Agreement on Textile and Clothing in 2005. In the world export of textile and apparel products, Indonesia’s share never exceeds 3% in total products. The low proportion of the Indonesian textile and apparel products in global export can be seen in following figure 1. A study of Bureau of Economic Integration, ASEAN Secretariat, shows that in 2003, Indonesia is the second largest (below Thailand) textile and apparel exporter in ASEAN to United States market. However, the percentage is only 7% and the share is far below China, India, Japan and Republic of Korea. Furthermore, this study estimates that Indonesia can maintain its share in textile export to Europe Union countries and US market. However, for apparel products, Indonesia’s share in US market expected to decline by 4-2 percent, owing to stiffer competition from China (Wattanapruttipaisan, 2005). These empirical facts and estimated trend signify the importance of Indonesia’s role in textile and apparel global trade. On the other hand, it also shows present challenge to sustain Indonesia’s share in the world market. This phenomenon of declining export share in global trade may be caused by the high domestic demand for textile products, which categorized as input materials (intermediary products), such as cotton, yarn, fiber and fabric, for the upper stream industry (finished fabric and clothing). So, they focus on fulfilling domestic market rather than export, which requires more cost, administration works and
tougher competition. Another possible reason is that the product itself (especially finished products such as apparel) cannot compete in the world trade of textile and apparel products, owing to the price and quality of the products or the consumer preference in the world market. The textile and apparel firms have options to concentrate on the domestic market and evade international market competition, or they can extend their market overseas through export orientation strategy. However, even if the domestic market still profitable and restrain themselves into the international market can reduce costs, in the long run they would face competition from growing domestic producer and imported textile and apparel products. Thus, their profit margin would be threatened. Therefore, in globalization era, the export orientation strategy is inevitable for textile and apparel industry. Not only, because it generates profit in form of foreign exchange, but also to maintain their adaptive capacity to compete with the domestic and overseas competitor. This paper aims to contribute to the body of the research framework by elaborating the development of Indonesia’s textile and apparel products competitiveness in the world market. There are two main aspects that we will discuss in this paper. The first aspect is competitiveness. Aside from the fact that there are so many approaches to explain competitiveness (we discuss it later in the literature review). This study employs comparative advantage as the indicator of product competitiveness in the world market. Therefore, besides explaining the theoretical contributions in competitiveness, we then started with expanding the literature review of the comparative advantage. Furthermore, this paper evaluates the comparative advantage of the Indonesia’s textile and apparel products, from sector (yarn and fiber, fabric, and apparel) until subsector (four digits SITC) wise, using several measurements that discussed in the theoretical part. The second aspect is development. This paper utilizes descriptive and dynamic analysis of the Indonesia’s textile and apparel products comparative advantage. Indeed, there are various dynamic analysis tools that we can use to perform the comparative
3.00% 2.50% 2.00% Yarn & Fiber
1.50%
Fabrics
1.00%
Apparel
0.50% 2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
0.00%
Source: computed from UNCOMTRADE data
Figure 1 Indonesia’s share in the world export of textile and apparel products
16
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
EXPORT PERFORMANCE DEVELOPMENT OF INDONESIA’S TEXTILE AND APPAREL PRODUCT: A COMPARATIVE ADVANTAGE STUDY Moudy Hermawan
advantage evaluation, from the conventional parametric model such as regression until recent nonparametric tools such as the harmonic mass index (Hinloopen & Van Marrewijk, 2004a). Therefore, the hypotheses in this paper are: a. Regarding the downtrend of export performance, there might be a lack of export specialization in the textile and apparel industry, so that most products are not export oriented. b. There is no significant breaks in the development of comparative advantage, thus it hampers the export performance of the textile and apparel industry. The structure of this paper is as follows; in the next section (theoretical consideration) we discuss some of computation techniques of RCA indices and dynamic analysis method. Subsequently, we perform descriptive and dynamic analysis of the Indonesia’s textile and apparel products comparative advantage development. Finally, the result of this study should give comprehensive description of the industry development, as the basic standpoint to evaluate the challenge and policy measures needed to apply with regard to the industry development.
2. LITERATURE REVIEW AND PREVIOUS EMPIRICAL WORKS 2.1. Revealed Comparative Advantage The basic comparative advantage approach on competitiveness mostly originated from standard international trade theory such as Ricardian model, which postulates that a country has a comparative advantage in their sectors/industries if the labor cost is relatively lower than another country or group of country or the rest of the world (Krugman & Obstfeld, 2011). Furthermore, another fundamental yet more recent international trade theory, the Heckscher-Ohlin model, combines labor cost, natural resource and technological endowment as the determinant factors of comparative advantage. These factors are known as the source that shape comparative advantage of a country. However, in this paper, we do not focus on these factors. Alternatively, we concentrate on the indicators of comparative advantage. 2.1.1. Balassa’s Revealed Comparative Advantage (BRCA) The previous discussion concluded that among the indicators of comparative advantage are market share, input cost, price and exchange rate. The most popular indicator that used in comparative advantage study is revealed comparative advantages (henceforth in this paper called RCA)2. In his most celebrated study, Bela (Balassa, 1965) addressed the problem of comparative advantage measurement (as quoted from (Hoen & Oosterhaven, 2006):
“Comparative advantages appear to be the outcome of a number of factors, some measurable, others not, some easily pinned down, others less so. One wonders, therefore, whether more could not be gained if, instead of enunciating general principles and trying to apply these to explain actual trade flows, one took the observed pattern of trade as a point of departure.”
Realizing the scatterbrained debates in several studies to measure comparative advantage, Balassa proposed to measure the “revealed” comparative advantage of certain products and group of countries through its export performance. The original RCA index developed by Balassa or Balassa’s RCA (BRCA) can be defined as: 𝐁𝐑𝐂𝐀𝐢𝐣 =
𝐗𝐢𝐣/𝐢𝐗𝐢𝐣
c
𝐣𝐗𝐢𝐣/𝐢𝐣𝐗𝐢𝐣
……………………..………(1)
Where: BRCAij =Balassa RCA of commodity i and country j Xij =Export value of commodity i and country j ∑iXij =Export value of commodity i and all country or commodity i export market ∑jXij =Export value of country j and all commodity or country j export market ∑i∑jXij =Export value of all country and all commodity or the world export market
The concept of BRCA is somewhat similar with locational quotient (LQ) in the study of spatial economics. The LQ used to measure the “revealed” advantage of particular location with regard to attract an investor to develop industry or specifically, factory. The concept of BRCA and LQ is closely related in their mathematical equation and economic interpretation, as the RCA is the indicator of trade specialization, and LQ is the sign of locational/regional specialization. Interestingly, if a region or country has locational specialization in the production of particular products as indicate by the LQ index, then it should certainly lead to trade (export) specialization that determined by the BRCA, and vice versa. In economic perspective, the numerator of BRCA represents the percentage market share or export performance of specific commodity of a country in the world trade, whereas the denominator denotes the export performance of a specific country in the world trade. Please note that the spatial term “country” and “world” in this respect is subject to change, depend on the purpose of the study. One can replace “a specific country” with “group of countries” and the term “world” can be substituted by “group of country”. For instance, the numerator can be export performance of Indonesia’s textile product within ASEAN, thus the denominator is the export performance of Indonesia within ASEAN. In the same manner, the numerator can
_______________________________________________________________________________________________________________________________ 2
Regardless the limitation of RCA that tends to ignore the source of the export performance, whether it comes from real economic factors or distortion in economy such as tariff and/or subsidy, the research using RCA index are more simple to carry out without losing its strength in economic interpretation. A known alternative measure of comparative advantage that uses cost as indicator is domestic resource cost (DRC) proposed by (Bruno, 1965) and used by (Pearson & Meyer, 1974) and (Siggel, 2006) in their empirical paper. However, due to its complexity and data availability in micro level data, it is not as prevalent as the RCA index.
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
17
EXPORT PERFORMANCE DEVELOPMENT OF INDONESIA’S TEXTILE AND APPAREL PRODUCT: A COMPARATIVE ADVANTAGE STUDY Moudy Hermawan
be export performance of ASEAN’s textile product within the world trade, and the denominator is ASEAN export performance in the world. If the numerator is bigger than the denominator, the BRCA value is bigger than one (BRCA > 1). It “reveals” that the specified product of a country has a comparative advantage than other products of this country and the same products of other countries in the world market. Subsequently, if the numerator is smaller than the denominator, the BRCA value would fall between zero and one (0 < BRCA < 1). That is the specified product of a country has a disadvantage compare to other products in the country and other countries in the world market. Thus, BRCA index equal to 1 (BRCA = 1) means that the comparative advantage in neutral position. In other words, the numerator counts the product position or market share in a country. While the denominator represents the country position in the world market. From its interpretation, The BRCA index can be exercise in three ways to measure the comparative advantage (Ballance, Forstner, & Murray, 1987): 1. Dichotomous measure, whether a commodity in given country/region enjoys comparative advantage (BRCA > 1) or comparative disadvantage (BRCA < 1). 2. Ordinal measure, to evaluate the comparative advantage between observed commodities or countries in form of rank/grade. In other words, whether a commodity or a country has better export performance (in form of bigger RCA index) than others. 3. Cardinal measure, to quantify the degree of comparative advantage by a given country with respect to a given commodity. Even though BRCA index is the most admired method to measure a comparative advantage until recently, there are long and continuous debates about its shortcoming. As recognized from the BRCA index properties, which reflected in its mathematical expression, the BRCA index has asymmetrical distribution from its neutral standpoint (BRCA = 1). If the case is a comparative advantage, the BRCA index is fall between unity and infinity (1 < BRCA < ∞), and 0 < BRCA< 1 for comparative disadvantage. This asymmetrical characteristic makes BRCA index incomparable across time and space. For instance, if we try to assess the dynamic of BRCA through certain periods, the different scale between the comparative advantage and disadvantage conditions would mislead the results of the dynamic analysis. Furthermore, this asymmetric deficiency would also lead BRCA index to have an unstable mean across time and space. Another limitation of BRCA index is the problem of aggregation effect. With regard to its asymmetrical distribution, the aggregation of country or commodity/sector level would result in the different outcome. For example, if we try to aggregate
two countries within a region, which the first country is in comparative advantage and the other one is disadvantage (for the same commodity). Thus, the asymmetrical scale of the index would mislead the result. In conclusion, the BRCA index limitation would bring technical problems if the objective of one’s research is ordinal and cardinal measures (Yeats, 1985). Since the introduction and vast practice of BRCA index in the comparative advantage study, several scholars have attempts to fix the shortcoming of BRCA index. Basically, these attempts try to transform the BRCA index, so it has appropriate properties that an export performance index should have. (Hoen & Oosterhaven, 2006) in their effort noted that a good RCA index should acquire: 1. Stable mean or median across time and space; 2. Symmetry around mean or median; 3. Independence of classification; 4. Stable distribution across time and space. Sanidas & Shin (2010) in their literature survey inferred that the requirement of preferable RCA index as stated above is to fulfill: 1. The notion of comparative advantage, the notion of the zero sum game embedded in the concept of comparative advantage. 2. The same weights on both sides of comparative advantage neutral point, especially for the purpose of cardinal measurement. 3. Consistency over the different level of aggregation. 4. The comparability over time and space. The following studies attempt to transform the BRCA index, in order to achieve a better measurement index of comparative advantage3. 2.1.2. Logarithmic Revealed Comparative Advantage (LRCA) (Vollrath, 1991) proposed to transform the BRCA index into a logarithmic form, this is to balance the distribution and shift the neutral point into zero. However, when the case is zero export value, the result of this index would be undefined. 2.1.3. Symmetrical Revealed Comparative Advantage (SRCA) (Laursen, 1998) suggested a symmetrical RCA index (SRCA) by transforming the BRCA index into:
𝐒𝐑𝐂𝐀𝐢𝐣 =
𝐁𝐑𝐂𝐀𝐢𝐣−𝟏 𝐁𝐑𝐂𝐀𝐢𝐣+𝟏
…….…………………………(2)
This transformation certainly leads the SRCA value fall between one and minus one (-1 < SRCA < 1), accordingly the neutral point of this index would be zero. Basically, this transformation is somewhat
_______________________________________________________________________________________________________________________________ 3
For fairly comprehensive literature survey on comparison of RCA index, the reader may wish to refer (Benedictis & Tamberi, 2002), (Yu, Cai, & Leung, 2008), (Sanidas & Shin, 2010).
18
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
EXPORT PERFORMANCE DEVELOPMENT OF INDONESIA’S TEXTILE AND APPAREL PRODUCT: A COMPARATIVE ADVANTAGE STUDY Moudy Hermawan
similar with logarithmic approximation as Vollrath suggested, however, the SRCA index did not directly transform the BRCA index, so it can evades undefined value as mentioned above. Despite the success of SRCA index in making the balance distribution of BRCA index, the transformation proposed by Laursen has made the interpretation of SRCA index is vague compare to the original BRCA index, especially regarding cardinal measurement, which includes extreme value in BRCA index distribution and dynamic (regression) analysis, which often failed in the residual normality test (Benedictis & Tamberi, 2002) 2.1.4. Weighted Revealed Comparative Advantage (WRCA) Afterward, (Proudman & Redding, 1998) proposed to weigh BRCA index of a commodity in a referred country with the arithmetic mean of its BRCA index. The equation of this index is: BRCAij 1
2010), which means that ARCA index is a reasonable indicator for comparing RCA in a country across commodities. However, the sum of a commodity’s ARCA of all countries is varied. Therefore, it is not a comparability measure for RCA across countries. 2.1.6. Normalized Comparative Advantage (NRCA) A more recent improvement in BRCA index has done by (Yu, Cai, & Leung, 2008). They emphasize the comparative advantage neutral point as the key of analysis. Basically, their proposition is to normalize the deviation of actual export value of commodity i in country j (Xij) with respect to the expected export value (E(Xij)) in neutral point condition by the total world export value (∑i∑jXij) as expressed in following equation: Neutral point condition: Xij / ΣiXij = 𝚺𝐣𝐗𝐢𝐣 / 𝚺𝐢𝚺𝐣𝐗𝐢𝐣
………..……... (5)
Expected export value in neutral point : ………………………….. (3)
N ∑N j=1 BRCAij
E(Xij) =
where N represents the number of commodity. Even though this transformation does not eliminate the symmetry problem ( 0 < WRCA < 1 in case of comparative disadvantage, and 1 < WRCA < ∞ for comparative advantage), they proposed that the transformation results in a stable mean over time of N for an individual country, furthermore, it helps to maintain the comparability within an individual country (Proudman & Redding, 1998). Furthermore, the WRCA index has defects in term of dismissing the country effect, over emphasize the first moment of distribution, and inconsistent interpretation regarding the neutral point with respect to the original BRCA index (for complete explanation; reader can refer to (Benedictis & Tamberi, 2002)). 2.1.5. Additive Revealed Comparative Advantage (ARCA) Another proposition to refine the BRCA index is suggested by (Hoen & Oosterhaven, 2006). They alleged that the deficiency of the BRCA index is caused by its multiplicative form. Therefore, they proposed the additive form of BRCA index. The formula of additive RCA is: ARCAij= (Xij / ΣjXij) – (ΣiXij / ΣiΣjXij)
….…………(4)
The value of ARCA index is fall between -1 and 1; furthermore, the neutral point is zero. Therefore, it has the expected properties that the distribution of comparative advantage and disadvantage should be balanced. From the statistical view, its empirical distribution is following normal distribution; the mean value is centered and constant. Moreover, it is not affected by sectoral aggregation (Sanidas & Shin,
ΣjXij . ΣiXij
…..…..……... (6)
ΣiΣjXij
Deviation of actual vs expected export value: ∆Xij = Xij - E(Xij) = Xij -
ΣjXij . ΣiXij ΣiΣjXij
…...……..... (7)
Weighted by total world export : NRCAij =
∆Xij ΣiΣjXij
=
Xij ΣiΣjXij
–
ΣiXij . ΣjXij (ΣiΣjXi)2
.………... (8)
The value of NRCA is fall between -0.25 to 0.25 and the comparative advantage neutral point is zero4 . The NRCA index is maybe more preferable indicator of RCA since it bears statistical properties that improve the original BRCA index (Sanidas & Shin, 2010), which are: 1. The NRCA index acquires symmetrical distribution properties, as expected from good RCA index. 2. The comparability across time and space. The sum of NRCA index is stable and zero space and time, thus so does the mean value. It implies that the NRCA index satisfies the zero-sum requirement embedded in comparative advantage concept. If the comparative advantage of a product in country increases, then the country loses the comparative advantage in other products. Similarly, the other countries also lose the comparative advantage of the same products. 3. The NRCA index is free of aggregation effect, both in terms of across countries and across products. While, in comparison, the ARCA index has the aggregation problem with respect to sectoral/product aggregation.
_______________________________________________________________________________________________________________________________ 4
For further derivation, reader may refer to the appendix of Yu et al. (2008)
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
19
EXPORT PERFORMANCE DEVELOPMENT OF INDONESIA’S TEXTILE AND APPAREL PRODUCT: A COMPARATIVE ADVANTAGE STUDY Moudy Hermawan Table 3-1. Statistical Properties and Comparability of Revealed Comparative Advantage Index
Statistical Properties and comparability
BRCA
SRCA
WRCA
ARCA
NRCA
1
0
1
0
0
Sum over sectors
n.z.
n.z.
n.z.
0
0
Sum over countries
n.z.
n.z.
n.z.
n.z.
0
Independence from aggregation level
X
X
X
√
√
Independence from reference group of countries
X
X
X
X
√
Symmetry
X
√
X
√
√
Normality
X
X
X
X
X
Cross Sector
X
X
n.d.
X
√
Cross Country
X
X
n.d.
√
√
Over time
X
X
n.d.
n.d.
√
Comparative advantage neutral point
n.z. : non zero, n.d. : not defined, Source : modified from (Sanidas & Shin, 2010)
However, despite its symmetrical distribution property, the NRCA index does not follow normal distribution. As proven in Sanidas & Shin (2010), the empirical distribution of NRCA index is very rightskewed and very leptokurtic. Therefore, its power to become determinant variable in a dynamic analysis such as regression is still under questioned. The literature summary of several RCA indices as elaborated previously has enlightened us that none of them have perfect properties as the revealed comparative advantage indicator. Even the original BRCA index has several advantages if we use it as a variable for analysis. On the other hand, the most preferable index (NRCA) still has a defect that would trouble a dynamic analysis of revealed comparative advantage. Therefore, researchers should select and use these indices cautiously, and as noted earlier, they should pay attention to the objectives of the study. 2.2. Previous Empirical Studies of Comparative Advantage There have been vast empirical studies in the export competitiveness study with respect to the comparative advantage approach. These studies have enriched the public discourse in export competitiveness by suggesting new or improvement with regard to the point of view or approach and methodology of the studies. These studies can be divided into several classifications, which refer to its scope of analysis. However, due to space limitation and the extensive number of research in this study, the reader may refer to the selected studies below for more detail empirical works on comparative advantage. Single Country- Specific Commodity Studies; (Verma, 2002), (Ferto & Hubbard, 2002). Single Country-Multi Commodity Studies; (Phuong Le, 2010), (Burange & Chaddha, 2008), (Bonelli & Pinheiro, 1997), (Utkulu & Seymen, 2004), (Koekkoek & Mennes, 1984), (Cockburn, Siggel, Coulibaly, & Vezina, 1998), (Siggel, Ikiara, & Nganda, 2002), Siggel (2001). 20
Multi Country-Specific Commodity Studies; (Pearson & Meyer, 1974) Multi Country-Multi Commodity Studies; ECORYS (2009), Sanidas & Shin (2011), (Widodo, 2008), (Hutchinson & Schumacher, 1994), (Seyoum, 2007), (Widgrén, 2005), (Batra & Khan, 2005), (Brakman, Inklaar, & Van Marrewijk, 2010), (Chien, 2010).
3. RESEARCH METHODOLOGY 3.1. Revealed Comparative Advantage Index The theoretical basis as well as empirical validity of original Balassa’s revealed comparative advantage (BRCA) has been through rigorous debates until recently. Despite the power and limitation of several improvements of original BRCA, we need to pay attention to the properties of each index. Sanidas & Shin (2010) summarized some of the important statistical properties and comparability of RCA indices, as the guidance for us to select the appropriate index with regard to the descriptive and dynamic analysis. From the table 3-1, we recognize that NRCA has the most favorable statistical properties, and comparability compare to other indices. However, for the sake of the testability and comparability between RCA indices, we use NRCA index as the indicator/variable for descriptive (statistic) analysis of comparative advantage. 3.2. Dynamic Analysis of Comparative Advantage A more recent method in the dynamic analysis of revealed comparative advantage is the nonparametric one, the Harmonic-Mass Index (HMI). Pioneered by Hinloopen and Van Marrewijk, (2005) and followed by ECORYS (2009) and (Brakman et al., 2010) and extended in (Wagenvoort, 2006), this method uses the empirical cumulative distribution of RCA index. Basically, the HMI compares the cumulative distribution function of RCA indices within two time periods. Furthermore, this comparison is translated into probability-probability or percentile-percentile Jurnal BPPK Volume 5, 2012
EXPORT PERFORMANCE DEVELOPMENT OF INDONESIA’S TEXTILE AND APPAREL PRODUCT: A COMPARATIVE ADVANTAGE STUDY Moudy Hermawan
Cumulative Distribution Function (CDF)
F2(q)
p
C
1
F1(q)
B
p2
P-P Plot
D p1
F2(F-11(q))
A
0
q1
q
0
1
Source: modified from (ECORYS, 2009)
Figure 3-1. P-P Plot computation
(PP) plot, which lay between zero to one value. Figure 3-1 shows the illustration of comparing cumulative distribution using PP plot. First, we need to plot the two empirical cumulative distribution functions (CDF) that we want to compare, which are F1(q) and F2(q) as displayed on the left side of Figure 3-1. This curve basically plots the value q (RCA index in this case) in the abscissa, and the cumulative probability p (w hich lay between 0 and 1) in the ordinate. The point A in F1(q) represents the probability (p1) corresponds to the value which smaller or equal to q1. Since the objective is to know the difference between F1(q) and F2(q), we took the same value of RCA index, which is q1, and corresponds it with the probability in F2(q). Thus, the gap between p1 and p2 represent the difference of F1(q) and F2(q). Furthermore, we transform these CDFs plot into the plot with the same space, which is the P-P plot in the right hand side of Figure 3.2. This plot illustrates the probabilities relative to the other: -1
p2 = F2 (F1 (p1 )), and it ranges from (0,1) and (1,0). Moreover, it plots the probability of stochastic -1
variable in F2(q) is smaller or equal to F1 (p1 ) for all values of p1. In a similar fashion, the points P-P plot consist of combination of p1 and p2 with the same value of q, and it explains the difference between two CDFs, which is F1(q) and F2(q). Accordingly, if the two variables came from the similar distribution (identical), F1(q) = F2(q) and p1=p2, it would form 450 diagonal line which equally divides the space (0,1) and (1,0). Thus, the space between the P-P plot, Fy(F-1x(q) and diagonal line represents the difference between F1(q) and F2(q). If the F1(q) line crossing the F2(q) line (in the CDFs plot), it means that (in P-P plot) F2(F-12(q) line crosses the diagonal line. The harmonic mass index calculates the area of the deviation to justify “how different is the difference” between F1(q) and F2(q) which computed by: 𝐇𝐌(𝐅𝟏 , 𝐅𝟐 ) = 𝟐
𝟏 𝟎
𝐩𝟏 − 𝐅𝟐 (𝐅𝟏−𝟏 (𝐩𝟏 )) 𝐝𝐩𝟏 …………....(9)
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
As stated above, when F1(q) and F2(q) are differed from each other, the P-P plot would diverge from the diagonal. The larger the deviation, the more different they are. In conclusion, the large HMI means bigger probability that F1(q) and F2(q) are different. The computation of HMI is similar to the Gini coefficient, which measures income inequality based on Lorentz curve. Thus, the P-P plot is equivalent to Lorentz curve, and obviously, the Gini coefficient (which the area between Lorentz curve and diagonal line) is equivalent to HMI. Therefore, the calculation can be approached by trapezoidal (definite) integration, as stated in equation (9). Moreover, the area between curves needs to multiply by 2, since the maximum value of area between curves is 0,5. Therefore, this is necessary in order to give a sense of an index which the value lays between 0 and 1. Furthermore, if HMI value is zero, then the two observed samples distributions are identical. Whereas, if the HMI equal to one stand for perfectly different distributions. However, what is the inference if the value falls between zero and one? The outcomes can be inferred by comparing them to the HMI-value that corresponds to the critical percentiles 0.90, 0.95, 0.975 and 0.99. In other words, the level of significance can be chosen from 0.01, 0.025, 0.05 and 0.10. For each of these significance levels ‘threshold’ HMI-values are given above which the H0 should be rejected (ECORYS, 2009). These threshold values were computed through numerous tests with samples that were known to have identical distributions (the critical percentile table can be found in Hinloopen and Van Marrewijk (2005)) ECORYS (2009) noted that HMI has important advantages in impact assessment (i.e. examining the structural changes in comparative advantage) method. First, it does not require massive data input, compare to markov transition matrices with stochastic kernel, for instance. Second, the input variables are continuous, so it does not need to compute discrete approximations. For example, the markov transition matrices necessitate the division of distribution into certain deciles. Third, as a non-parametric model, HMI 21
EXPORT PERFORMANCE DEVELOPMENT OF INDONESIA’S TEXTILE AND APPAREL PRODUCT: A COMPARATIVE ADVANTAGE STUDY Moudy Hermawan 12.00 10.00 8.00 84
6.00
65 4.00
26
2.00 0.00 -2.00 Note: 26: fiber, 65: yarn and fabric, 84: apparel Source : Author own calculation
Figure 4-1. The development of NRCA index of Indonesia’s Textile and Apparel Products
does not require information about the parameter of the distribution function belong to the samples (like the Galtonian regression) as the HMI itself determines whether the samples belong from the same distribution or not. Moreover, (Brakman et al., 2010) added that HMI had several attractive attributes that it is not vulnerable to any case of outlier in the data (as Galtonian regression will), furthermore, the scale is invariant. Lastly, Hinloopen & Van Marrewijk (2005) developed the exact, finite-sample critical value for the HMI which makes it more desirable method rather than variant of kernel estimates. From the elaborately explanation above, this paper chooses to use the Harmonic Mass Index as the preferred dynamic analysis method to examine the structural change of comparative advantage. Its simplicity and favorable statistical properties would benefit us to obtain the expected results of this study. 3.3. Data Description In this study, we use data set from United Nations Commodity Trade Statistics Database (UNCOMTRADE) that accessed from World Trade Integrated Solution (WITS). The data consist of export value of textile and apparel industry from 1989-2010, which incorporate export value of commodities based on SITC Rev.3 classification. Furthermore, in order to obtain RCA indices, we also extract the data of the above commodities export value of all countries, then the export value of all commodities of Indonesia, lastly the export value of all commodities of all countries. As mentioned in the earlier sub section, this paper employs NRCA5 index as the indicator of comparative advantage. Therefore, we compute the designated indices from the data set and perform descriptive analysis. Accordingly, regarding the dynamic analysis, we calculate the harmonic mass index based on BRCA index as suggested in ECORYS (2009), (Hinloopen & Van Marrewijk, 2004b), and (Brakman et al., 2010).
4. RESULTS AND FINDINGS 4.1. Descriptive Analysis The development of comparative advantage of Indonesia’s textile and apparel industry in 1989-2010, as indicate by the NRCA index, is shown in the Figure 4-1. As illustrated above, the yarn and fabric and apparel product are enjoying the comparative advantage in the world market during this period. On the other hand, the fiber product is leaving the comparative disadvantage after 2005. Nevertheless, the yarn and fabric and apparel products show the downtrend since 1993-1994, after a sharp increase in the later 1980s. Furthermore, they show nearly the same shape in the comparative advantage development, and they experienced deep shock in 1997-1998 owing to the financial crisis. Whereas the fiber product comparative advantage rising steadily since late 1980s until 2010. This may be caused by the nature of yarn and fabric and apparel industry that they more capital and labor intensive than the fiber industry. Therefore, even though the declining of Indonesia’s exchange rate (Rupiah) during the financial crisis favored the export, the problem on the supply side (high increase in input cost) is over weigh the advantage. In an ordinal manner, the apparel product always has the highest comparative advantage, followed by yarn and fabric and lastly, the fiber product. Furthermore, the NRCA index difference between apparel and yarn and fabric is approximately two times, while the NRCA of fiber product is far below. Thus, it represents the fact that the lower stream6 has the better comparative advantage. Therefore, we may infer that in this period Indonesia’s textile and apparel industry have experienced the industrialization stage, since the lower stream represents higher technology. The next stage of descriptive analysis is decomposing the commodity (two digits SITC Rev.3) into the sub sector commodities (four digits SITC
_______________________________________________________________________________________________________________________________ 5 6
The result of NRCA index is multiplied by 10.000 for the sake of simplicity to observe the index (Yu et al., 2008). Fiber industry is the upper stream, yarn and fabric industry is the middle stream and apparel industry is the down stream.
22
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
EXPORT PERFORMANCE DEVELOPMENT OF INDONESIA’S TEXTILE AND APPAREL PRODUCT: A COMPARATIVE ADVANTAGE STUDY Moudy Hermawan
100% 80% 60%
26
40%
65
20%
84
0% 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 Note: 26: fiber, 65: yarn and fabric, 84: apparel Source : Author own calculation
Figure 4-2. The Percentage of Commodities with Comparative Advantage
Rev.3). Accordingly, we obtain the NRCA index of each commodity and divide them into two parts, the commodities that enjoyed comparative advantage (NRCA index >1) and comparative disadvantage (NRCA index <1). Furthermore, we evaluate the ratios of the number of commodity with comparative advantage by all commodities within the two digits SITC Rev.2. The result is shown in figure 4-2. The figure above illustrates the same downtrend shape of yarn and fabric and apparel product, and the steady upward trend of fiber product. The average percentage of commodities with comparative advantage is 76%, 38% and 24% for apparel, yarn and fabric, and fiber product respectively. This stylized fact reveals that the apparel product comparative advantage is very high that the number of products in comparative advantage condition is twice to third times larger than yarn and fabric and fiber product. Furthermore, it is likely that the fiber product competes against the yarn and fabric product, that share of commodities with comparative advantage surpassing the yarn and fabric product during the two-times crisis period, in 1997-1998 and 2008-2009. Afterward, we divide the sub sector commodities into two groups, the one with comparative advantage and comparative disadvantage commodities. Then we take the top five sub sector commodities with the highest NRCA index value (the top five gainers). In the same fashion, we take the top five with the lowest NRCA index (the top five losers)7. Lastly, we count the frequency of sub sector commodities that appear in the top five lists through the observed period (19892010 / 22 years). The list is shown in Appendix 1 of this paper. From the Appendix 1, it appears that several sub sector commodities are frequently become top five gainer and top five losers. These facts revealed that, within the observed period, there is no significant structural change in the top five gainer and loser list. Thus, the commodities that gain comparative advantage apparently remain in this state. Accordingly, the commodities, which in comparative disadvantage state, are evidently stayed in this condition.
4.2. Harmonic Mass Index The descriptive analysis of revealed comparative advantage may present some dynamic sense of how the comparative advantage changes across time. However, it is not free of aggregation bias, since the movement shown in Figure 2.3, for instance, comes from two digits SITC Rev.3 aggregation. Furthermore, the descriptive analysis of the top five gainers and losers did not incorporate the change of other sub sector commodities in. Therefore, in order to acquire deeper understanding about the structural change of the data, we need to apply dynamic analysis of the comparative advantage in Indonesia’s textile and apparel products, which include all sub sector commodities data. As mentioned in the methodology section, this paper chose the Harmonic Mass Index to examine the structural change of the data, based on BRCA index of each commodity for the same length period of observation (1989-2010). The first stage is computing the empirical cumulative distribution function of each commodity. Accordingly, to obtain the P-P plot, we pair the empirical cumulative distribution difference of each commodity between time t and t+1, t+2, t+3, t+4 and t+5 in the same percentile space. Afterward, we compute HMI of each pair by applying trapezoidal integration with Matlab R2011a software procedure. Lastly, the significant HMI index is obtained by comparing the result with the critical percentile of HMI table in (Hinloopen & Van Marrewijk, 2005). The Appendix 2 shows the result of HMI computation. The null hypothesis that the compared data came from the same distribution is rejected when HMI value fall above the reference critical percentile (Z), in this case 90%. From the table above, we can identify that although there are changes between the compared data (1-5-years difference, it is not significant at most. However, some structural changes in comparative advantage occur in 1990s. Figure 5 to 7 help us to visualize the profile of structural change in revealed comparative advantage across the observed time periods.
_______________________________________________________________________________________________________________________________ 7
basically this method is similar with data description which commonly seen in the stock market analysis.
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
23
EXPORT PERFORMANCE DEVELOPMENT OF INDONESIA’S TEXTILE AND APPAREL PRODUCT: A COMPARATIVE ADVANTAGE STUDY Moudy Hermawan
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1 year Δ
2 years Δ
3 years Δ
4 years Δ
5 years Δ
Z90
Source : Author own calculation
Figure 5. Harmonic Mass Index 1 to 5-year difference, 1989-2010, Fiber Products
0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1 year Δ
2 years Δ
3 years Δ
4 years Δ
5 years Δ
Z90
Source : Author own calculation
Figure 6. Harmonic Mass Index 1 to 5-year difference, 1989-2010, Yarn and Fabric Products
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1 year Δ
2 years Δ
3 years Δ
4 years Δ
5 years Δ
Z90
Source : Author own calculation
Figure 7. Harmonic Mass Index 1 to 5-year difference, 1989-2010, Apparel Products
24
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
EXPORT PERFORMANCE DEVELOPMENT OF INDONESIA’S TEXTILE AND APPAREL PRODUCT: A COMPARATIVE ADVANTAGE STUDY Moudy Hermawan
It is worth recalling that the year stated on Figure 5 to 7 is illustrated as the initial year of comparison. For instance, in the case of 1 year difference (dotted line), year 1989 means the transition between the periods of 1989-1990. In the same fashion, in the case of 5 year difference (continuous line), year 1989 means the transition between the period of 19891994. Figure 5 to 7 reveal a clear and significant peak from 1989 to early 1990s in all commodities. This phenomenon is an apparent sign of the rising of textile and apparel industry within this period. Furthermore, it is also consistent with the description in figure 3, which shows the highest peak of all BRCA indices within early 1990s. Evidently, there are no clear and significant changes in the late 1990s and along 2000s. An exception is the significant peak of fiber product in 2004 (for five years difference) and 2005 (for four years difference). Hence, it means that a significant structural change appeared in 2009. This occurrence suggested a second rising of fiber products in the late 2000s. Another phenomenon that captured in the figures above is the type of structural change. If we take a closer look at Figure 6 and 7, the peak in early 1990s occurred gradually. In other words, the movement of five-year difference peak until one-year difference peak is shifted in the year after. For yarn and fabric product, it started with five-year difference peak in 1990, followed by four-year difference peak in 1991 until one year difference peak in strict order. For apparel product, the five-year difference peak occurs in 1989 and followed by four-year difference peak in 1991 until one-year difference peak in 1993, also in exact order. An exception is the fiber product, where the peak of one to 5-year difference charts occurred in 1990. The inference from these facts is in reverse logic. The appearance of peak in the gradual manner in the case of yarn and fabric and apparel product means that the structural change occurs in one year, or exactly, the last year of the sequence. Thus, as shown in figure 6 and 7, the peak of one year difference chart for both commodities is occurred in 1993. Therefore, it is a sign of major structural change in 1994. On the other hand, the concentrated peak of all year’s difference in fiber products can be inferred as gradual structural change from 1990, until at least 1995. The similar event with the fiber product in early 1990s is happened in 1994 for yarn and fabric product. Therefore, it suggested a gradual structural change since 1994 until 1999.
5. CONCLUSIONS This paper aimed to capture the development of export performance of Indonesia’s Textile and Apparel industry. The competitiveness term used in this paper related to the comparative advantage approach of a commodity in the world market. While there are vast theoretical debates and empirical works in the method to evaluate the comparative advantages, this Jurnal BPPK Volume 5, 2012
paper employs revealed comparative advantage, which introduced by (Balassa, 1965), as the indicator of comparative advantage. Furthermore, through a literature survey on several RCA indices, we select the NRCA index as the variable for descriptive analysis and the original BRCA index as the variable for dynamic analysis, using Harmonic Mass Index method. The findings suggest that in the overall observed time period (1989-2010), there was no significant development in Indonesia’s textile and apparel industry. There is evidence of a progress in the industry by the end of 1980s and the early 1990s, just after the beginning of export orientation policy in Indonesia’s manufacturing industry in mid 1980s. However, the development is not significant and occurred continuously. The financial and monetary crisis in 1997-1998 hampered the comparative advantage state in the world market of these commodities. Moreover, there is evidence that the Indonesia’s textile and apparel industries may have not (yet) survive from the crisis, since the downtrend continues until 2010. The proportion of commodities that enjoys the comparative advantage in Indonesia’s textile and apparel industry is also experiencing downtrend development. Thus, it may be a sign of degrading development of comparative advantage. Furthermore, there is no sign of export specialization in these industries. We can infer this from the fact that the top five commodities with comparative advantage condition are continuously dominated by small group of commodities. We recall that the fabrics, woven, of synthetic filament yarn, including woven fabrics obtained from materials of heading 65188, other than pile and chenille fabrics (code 6531 SITC Rev.3) continuously exist in the top five gainer list in 19892010. Furthermore, approximately 66%-90% of the top five gainer lists are acquired by five to six commodities. Similarly, almost 65%-87% of the top five loser lists are dominated by five to six commodities. We noted that the cotton, other than linters, not carded or combed (code 2631 SITC Rev.3) is continuously appeared in the top five loser list in 22 years. Therefore, we can conclude that the commodity that in comparative advantage tends to constantly stayed in this condition, and the commodities which have the comparative disadvantage would remain in this state. In conclusion, there is no significant development in comparative advantage of Indonesia’s textile and apparel products. The dynamic analysis shows a consistent result with the descriptive analysis. The findings concluded that there is no significant structural change in comparative advantage of Indonesia’s textile products, especially after mid 1990s until 2010. The significant development only appeared in the early 1990s, where the comparative advantage improvement in yarn and fabric and apparel industries occurred gradually during 1989-1993, and major change in fiber industry during 1990-1994. Afterward, the development is impeded by 1997-1998 financial crises. 25
EXPORT PERFORMANCE DEVELOPMENT OF INDONESIA’S TEXTILE AND APPAREL PRODUCT: A COMPARATIVE ADVANTAGE STUDY Moudy Hermawan
The findings also reveal that, to some extent, the comparative advantage of fiber product present different performance rather than yarn and fabric and apparel product. First, it is on the upward trend, and it evidently would experience second rising by the end of 2000s. Second, the impact of 1997-1998 financial crises to fiber industry seems not as significant as the two others. Lastly, the structural change of comparative advantage is occurred in a different manner. The reason behind this may refer to the slightly different nature of fiber industry. The fiber products are produced from two different sectors. For instance, cotton and silk are produced by agro industry, while synthetic fibers are the product of manufacturing industry. Thus, the nature is different from yarn and fabric and apparel, which produced by manufacturing industry. Ultimately, the level of capital, labor and technology intensity which differs between agro and manufacturing industry may influence the comparative advantage nature of the fiber industry. We can complete this conclusion by proposing several government policy recommendations to improve comparative advantage of the textile and apparel product, and they are: 1. Diversifying the export destination countries. As the notion of classic Ricardian approach, a country should export to the country that has less comparative advantage. 2. Widening access in global market through trade cooperation, trade facilitation, regional block preferential trade, etc. 3. Improving product quality through several government measures in Ministry of Industry and Ministry of Trade, that is; textile machine restructuring program, research and development (R&D), education and training in textile and apparel industry.
REFERENCES Adhikari, R., & Yamamoto, Y. (2007). The textiles and clothing industry: Adjusting to a post quota world. Industrial Development for the 21st Century: Sustainable Development Perspectives (pp. 183–234). New York: Department of Economic and Social Affairs, United Nations Development Programme. Balassa, B. (1965). Trade Liberalisation and “Revealed” Comparative Advantage1. The Manchester School, 33(2), 99–123. doi:10.1111/j.1467-9957.1965.tb00050.x Ballance, R. H., Forstner, H., & Murray, T. (1987). Consistency Tests of Alternative Measures of Comparative Advantage. The Review of Economics and Statistics, 69(1), 157–161. Batra, A., & Khan, Z. (2005). Revealed comparative advantage: An analysis for India and China. Indian Council for Research on International Economic Relations (ICRIER) Working Paper, No. 168. 26
Benedictis, L. D., & Tamberi, M. (2002). A note on the Balassa Index of Revealed Comparative Advantage (Working Papers No. 158). Universita’ Politecnica delle Marche (I), Dipartimento di Scienze Economiche e Sociali. Retrieved from Bonelli, R., & Pinheiro, A. C. (1997). New Export Activities in Brazil: Comparative Advantage, Policy or Self-Discovery? Inter-American Development Bank Working Paper, No.348. Brakman, S., Inklaar, R., & Van Marrewijk, C. (2010). Structural Change in OECD Comparative Advantage. CESifo Working Paper, No.3033. Bruno, M. (1965). The optimal selection of exportpromoting and import-substituting projects. Project for Quantitative Research in Economic Development, Center for International Affairs, Harvard University. Burange, L. G., & Chaddha, S. J. (2008). India’s Revealed Comparative Advantage in Merchandise Trade. Department of Economics, University of Mumbai, Working Paper UDE, No.UDE28/6/2008. Chien, C.-L. (2010). Study of the Change in Export Competitive Advantage of Japan, China, South Korea and Taiwan in the US Market – Using RCA as the Measurement Index. The Journal of International Management Studies, Vol.5, No.1. Cockburn, J., Siggel, E., Coulibaly, M., & Vezina, S. (1998). Measuring Competitiveness and Its Sources: The Case of Mali’s Manufacturing Sector (Working Papers). Bell Communications Economic Research Group. Retrieved from ECORYS. (2009). Competitiveness of EU Financial Sector and the Harmonic Mass Index. ECORYS Research Project: Impact Assessment and Industrial Competitiveness. Rotterdam: ECORYS Nederland BV. Ferto, I., & Hubbard, L. J. (2002). Revealed Comparative Advantage and Competitiveness in Hungarian Agri-Food Sectors. Institute of Economics Hungarian Academy of Sciences, KTK/IE Discussion Papers, No.8, 380–402. Hinloopen, J., & Van Marrewijk, C. (2004a). Empirical relevance of the Hillman condition and comparative advantage. Tinbergen Institute Discussion Paper, No. TI 2004-019/2. Hinloopen, J., & Van Marrewijk, C. (2004b). Dynamics of Chinese comparative advantage. Tinbergen Institute Discussion Paper No. 2004-034/2. Hinloopen, J., & Van Marrewijk, C. (2005). Comparing Distribution : The Harmonic Mass Index. Tinbergen Institute Discussion Paper No. TI 2005122/1. Hoen, A. R., & Oosterhaven, J. (2006). On the measurement of comparative advantage. The Annals of Regional Science, Vol.40, No.3, 677–691. Hutchinson, G. A., & Schumacher, U. (1994). NAFTA’s threat to Central American and Caribbean Basin exports: A revealed comparative advantage approach. Latin American Politics and Society, Vol.36, No.1. Jurnal BPPK Volume 5, 2012
EXPORT PERFORMANCE DEVELOPMENT OF INDONESIA’S TEXTILE AND APPAREL PRODUCT: A COMPARATIVE ADVANTAGE STUDY Moudy Hermawan
James, W. E., Ray, D. J., & Minor, P. J. (2002). Indonesia’s Textile and Apparel Industry: Meeting the Challenges of the Changing International Trade Environment. The International Centre for the Study of East Asian Development, Working Paper Series, 2002-20. Koekkoek, K. A., & Mennes, L. B. . (1984). Revealed comparative advantage in manufacturing industry: The case of the Netherlands. De Economist, Vol.132, No.1, 30–48. Krugman, P. R., & Obstfeld, M. (2011). International Economics: Theory & Policy (9th ed.). Prentice Hall. Laursen, K. (1998). Revealed comparative advantage and the alternatives as measures of international specialisation. Danis Research Unit for Industrial Dynamics (DRUID) Working Papers, No.98-30. Pearson, S. R., & Meyer, R. K. (1974). Comparative advantage among African coffee producers. American Journal of Agricultural Economics, Vol.56, No.2, 310–313. Phuong Le, Q. (2010). Evaluating Vietnam’s Changing Comparative Advantage Patterns. ASEAN Economic Bulletin, Vol.27, No.2, 221–230. Proudman, J., & Redding, S. (1998). Openness and Growth. Bank of England. Sanidas, E., & Shin, Y. (2010). Comparison of Revealed Comparative Advantage Indices with Application to Trade Tendencies of East Asian Countries. 9th Korea and the World Economy Conference, Incheon. Sanidas, E., & Shin, Y. (2011). Convergence towards the Revealed Comparative Advantage Neutral Point for East Asia: Similarities and Differences etween The Three Countries. Seoul Journal of Economics, Vol.24, No.1. Seyoum, B. (2007). Revealed comparative advantage and competitiveness in services: A study with special emphasis on developing countries. Journal of Economic Studies, Vol.34, No.5, 376– 388. Siggel, E. (2001). India’s Trade Policy Reforms and Industry Competitiveness in the 1980s. The World Economy, 24(2), 159–183. Siggel, E. (2006). International Competitiveness and Comparative Advantage: A Survey and a Proposal for Measurement. Journal of Industry, Competition and Trade, Vol.6, No.2, 137–159. Siggel, E., Ikiara, G., & Nganda, B. (2002). Policy Reforms, Competitiveness and Prospects of Kenya’s Manufacturing Industries: 1984-1997. Journal of African Development, Vol.5(Issue.1), 72–104. Utkulu, U., & Seymen, D. (2004). Revealed Comparative Advantage and Competitiveness: Evidence for Turkey vis-à-vis the EU/15. Presented at the European Trade Study Group 6th Annual Conference, Nottingham.
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
Verma, S. (2002). Export Competitiveness of Indian Textile and Garment Industry. Indian Council for Research on International Economic Relations (ICRIER) Working Paper, No.94. Vollrath, T. L. (1991). A theoretical evaluation of alternative trade intensity measures of revealed comparative advantage. Review of World Economics (Weltwirtschaftliches Archiv), Vol.127, No.2, 265–280. Wagenvoort, R. (2006). Comparing Distributions: The Harmonic Mass Index: Extension to m Samples ( No. No.2006/03). European Investment Bank. Wattanapruttipaisan, T. (2005). Background Note on The Impact of Quota Phasing Out on Textile and Clothing Production and Trade. BEI Studies Unit, Paper Number 01/2005. Widgrén, M. (2005). Revealed comparative advantage in the Internal Market. The Research Institute of The Finnish Economy, No.989. Widodo, T. (2008). Dynamic changes in comparative advantage: Japan “flying geese” model and its implications for China. Journal of Chinese Economic and Foreign Trade Studies, Vol.1, No.3, 200–213. Yeats, A. J. (1985). On the appropriate interpretation of the revealed comparative advantage index: implications of a methodology based on industry sector analysis. United Nations Conference on Trade and Development. Yu, R., Cai, J., & Leung, P. (2008). The normalized revealed comparative advantage index. The Annals of Regional Science, Vol.43, No.1, 267–282.
27
EXPORT PERFORMANCE DEVELOPMENT OF INDONESIA’S TEXTILE AND APPAREL PRODUCT: A COMPARATIVE ADVANTAGE STUDY Moudy Hermawan
APPENDIX 1. TOP FIVE LOSER AND GAINER IN REVEALED COMPARATIVE ADVANTAGE OF INDONESIA’S TEXTILE AND APPAREL INDUSTRY Top Five Loser of Fiber Industry (Ascending order / Rank 1st to 5th), 4 digits SITC Rev.3 1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2631
2631
2631
2631
2631
2631
2631
2631
2631
2631
2631
2631
2631
2631
2631
2631
2631
2631
2631
2631
2631
2631
2665
2665
2681
2681
2681
2665
2681
2687
2681
2690
2687
2687
2687
2681
2687
2681
2681
2681
2681
2681
2681
2681
2687
2671
2665
2687
2687
2687
2665
2681
2687
2666
2690
2681
2681
2687
2681
2687
2687
2687
2687
2690
2690
2690
2671
2687
2690
2665
2665
2690
2687
2690
2690
2686
2666
2690
2690
2690
2690
2690
2690
2690
2690
2687
2687
2687
2690
2690
2666
2690
2690
2683
2690
2666
2665
2672
2681
2666
2666
2666
2666
2686
2666
2683
2666
2666
2666
2666
Top Five Gainer of Fiber Industry (Descending order / Rank 5th to 1st) 4 digits SITC Rev.3 1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2658
2658
2658
2614
2614
2667
2657
2657
2657
2657
2641
2665
2633
2667
2649
2649
2658
2654
2657
2657
2672
2672
2641
2667
2633
2633
2633
2672
2658
2633
2667
2672
2672
2672
2672
2672
2672
2672
2672
2672
2657
2657
2667
2633
2671
2667
2667
2667
2665
2672
2633
2665
2633
2633
2633
2633
2633
2633
2633
2633
2633
2671
2633
2633
2671
2633
2671
2671
2665
2671
2665
2665
2665
2665
2665
2665
2665
2671
2671
2671
2665
2671
2671
2671
2671
2671
2671
2671
2671
Top Five Loser of Yarn and Fabric Industry (Ascending order / Rank 1st to 5th), 4 digits SITC Rev.3 1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
6594
6594
6594
6516
6552
6552
6552
6552
6552
6552
6552
6552
6552
6552
6552
6552
6552
6552
6552
6552
6552
6584
6516
6516
6516
6573
6572
6573
6573
6573
6573
6573
6573
6573
6573
6573
6573
6572
6584
6584
6573
6584
6584
6552
6573
6573
6573
6594
6542
6572
6572
6572
6572
6572
6572
6572
6542
6572
6572
6589
6589
6589
6584
6573
6573
6573
6572
6542
6572
6552
6573
6542
6542
6542
6542
6542
6542
6542
6572
6589
6589
6573
6572
6573
6572
6572
6572
6572
6523
6523
6542
6572
6594
6594
6594
6594
6594
6594
6519
6519
6519
6594
6594
6594
6585
6572
6594
6589
6585
6585
Top Five Gainer of Yarn and Fabric Industry (Descending order / Rank 5th to 1st), 4 digits SITC Rev.3 1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
6579
6564
6536
6518
6522
6533
6522
6522
6533
6522
6515
6515
6516
6515
6515
6516
6513
6516
6516
6516
6516
6516
6565
6522
6533
6533
6518
6522
6533
6533
6522
6533
6533
6533
6515
6516
6533
6515
6516
6513
6513
6513
6513
6515
6531
6533
6522
6522
6533
6513
6513
6513
6513
6513
6513
6513
6513
6513
6513
6513
6515
6515
6515
6515
6515
6513
6533
6565
6565
6565
6565
6518
6518
6518
6518
6518
6518
6518
6518
6518
6531
6531
6531
6531
6531
6531
6531
6531
6522
6531
6531
6531
6531
6531
6531
6531
6531
6531
6531
6531
6531
6531
6518
6518
6518
6518
6518
6518
6518
6518
Top Five Loser of Apparel Industry (Ascending order / Rank 1st to 5th), 4 digits SITC Rev.3 1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
8481
8481
8481
8423
8423
8423
8423
8423
8461
8461
8461
8461
8458
8481
8481
8481
8481
8481
8481
8481
8481
8481
8461
8458
8458
8483
8483
8461
8461
8461
8423
8423
8481
8458
8461
8458
8458
8483
8483
8458
8458
8421
8461
8421
8458
8461
8483
8461
8461
8483
8483
8413
8413
8481
8458
8483
8483
8461
8483
8461
8461
8461
8461
8461
8421
8461
8462
8462
8462
8484
8469
8458
8458
8483
8458
8442
8483
8452
8452
8483
8461
8438
8458
8483
8438
8438
8438
8462
8483
8483
8484
8481
8458
8413
8413
8458
8448
8458
8423
8423
8413
8438
8423
8458
8438
8438
8483
8484
8484
8448
Top Five Gainer of Apparel Industry (Descending order / Rank 5th to 1st), 4 digits SITC Rev.3 1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
8442
8437
8415
8437
8415
8452
8421
8427
8421
8427
8453
8453
8454
8424
8455
8426
8426
8455
8414
8455
8411
8422
8426
8414
8437
8421
8427
8427
8424
8424
8414
8421
8427
8427
8427
8414
8411
8455
8455
8411
8455
8411
8455
8453
8437
8415
8427
8415
8421
8421
8414
8414
8424
8411
8411
8414
8415
8411
8414
8411
8411
8414
8447
8447
8453
8411
8427
8411
8421
8427
8424
8415
8415
8415
8415
8414
8414
8415
8414
8427
8415
8427
8427
8415
8415
8415
8415
8415
8414
8427
8411
8411
8411
8411
8411
8411
8411
8415
8415
8411
8411
8415
8427
8415
8415
8427
8427
8427
8427
8427
Source: author own calculation
28
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
EXPORT PERFORMANCE DEVELOPMENT OF INDONESIA’S TEXTILE AND APPAREL PRODUCT: A COMPARATIVE ADVANTAGE STUDY Moudy Hermawan
APPENDIX 2. HARMONIC MASS INDEX, 1-5-YEAR DIFFERENCE Periods
HMI26
HMI65
HMI84
Periods
HMI26
HMI65
HMI84
Periods
HMI26
HMI65
HMI84
1989
-
1990
0.3994*
0.0644
0.079
1994
-
1999
0.1526
0.0164
0.481*
2000
-
2004
0.1062
0.0639
0.0216
1989
-
1991
0.0411
0.0598
0.0639
1995
-
1996
0.205
0.0277
0.0165
2000
-
2005
0.1332
0.0782
0.0141
1989
-
1992
0.3104
0.0165
0.0119
1995
-
1997
0.1289
0.0343
0.0135
2001
-
2002
0.0962
0.0287
0.0247
1989
-
1993
0.3268
0.036
0.012
1995
-
1998
0.0945
0.0733
0.0124
2001
-
2003
0.074
0.1388
0.0181
1989
-
1994
0.1932
0.1956*
0.538*
1995
-
1999
0.1321
0.0046
0.0024
2001
-
2004
0.064
0.083
0.0029
1990
-
1991
0.4184*
0.001
0.013
1995
-
2000
0.0439
0.016
0.0325
2001
-
2005
0.0905
0.0985
0.0335
1990
-
1992
0.6453*
0.0693
0.0657
1996
-
1997
0.083
0.0062
0.0307
2001
-
2006
0.0068
0.0821
0.0588
1990
-
1993
0.6538*
0.0874
0.0653
1996
-
1998
0.3015
0.0439
0.0303
2002
-
2003
0.0068
0.1097
0.0064
1990
-
1994
0.5865*
0.2368*
0.4732*
1996
-
1999
0.0743
0.0307
0.015
2002
-
2004
0.155
0.0542
0.0276
1990
-
1995
0.5725*
0.2395*
0.0232
1996
-
2000
0.1536
0.0111
0.0154
2002
-
2005
0.1885
0.0693
0.0087
1991
-
1992
0.2742
0.0711
0.0501
1996
-
2001
0.1834
0.0326
0.0326
2002
-
2006
0.0884
0.0527
0.0337
1991
-
1993
0.2984
0.089
0.0497
1997
-
1998
0.2343
0.0379
0.0024
2002
-
2007
0.0873
0.041
0.0667
1991
-
1994
0.1455
0.2319*
0.4653*
1997
-
1999
0.0056
0.0367
0.0167
2003
-
2004
0.1334
0.0568
0.0213
1991
-
1995
0.1601
0.2354*
0.0104
1997
-
2000
0.0875
0.0173
0.0478
2003
-
2005
0.165
0.0434
0.0148
1991
-
1996
0.3456*
0.2078*
0.0066
1997
-
2001
0.1197
0.0387
0.0659
2003
-
2006
0.0721
0.0566
0.0397
1992
-
1993
0.0319
0.0166
0.0017
1997
-
2002
0.0261
0.0094
0.0421
2003
-
2007
0.0808
0.0689
0.0725
1992
-
1994
0.1439
0.1492
0.5067*
1998
-
1999
0.2325
0.0754
0.014
2003
-
2008
0.1773
0.0507
0.0814
1992
-
1995
0.1337
0.1555
0.0374
1998
-
2000
0.1454
0.0554
0.0468
2004
-
2005
0.027
0.0125
0.0363
1992
-
1996
0.05
0.1302
0.0548
1998
-
2001
0.0971
0.0775
0.0662
2004
-
2006
0.0699
0.0007
0.0611
1992
-
1997
0.0149
0.1266
0.0254
1998
-
2002
0.2043
0.0476
0.0413
2004
-
2007
0.0703
0.013
0.0937
1993
-
1994
0.1657
0.1313
0.496*
1998
-
2003
0.1682
0.0695
0.0474
2004
-
2008
0.046
0.0053
0.1026
1993
-
1995
0.1657
0.1387
0.0377
1999
-
2000
0.0877
0.0195
0.0317
2004
-
2009
0.3484*
0.0097
0.1134
1993
-
1996
0.008
0.1125
0.0546
1999
-
2001
0.1205
0.0025
0.0503
2005
-
2006
0.0994
0.0156
0.0246
1993
-
1997
0.0507
0.1089
0.0259
1999
-
2002
0.0294
0.0262
0.0262
2005
-
2007
0.1046
0.0271
0.0586
1993
-
1998
0.2421
0.0734
0.0291
1999
-
2003
0.026
0.1364
0.032
2005
-
2008
0.021
0.0083
0.0684
1994
-
1995
0.02
0.0117
0.4576*
1999
-
2004
0.1777
0.081
0.0531
2005
-
2009
0.3422*
0.0052
0.0798
1994
-
1996
0.2172
0.0185
0.4459*
2000
-
2001
0.0407
0.0216
0.0185
2005
-
2010
0.235
0.0144
0.1128
1994
-
1997
0.1529
0.0252
0.4905*
2000
-
2002
0.0606
0.0072
0.0059
1994
-
1998
0.0749
0.0651
0.5104*
2000
-
2003
0.0374
0.1188
0.0003
*Above the 90% (Z90) critical percentile (Hinloopen & Van Marrewijk, 2005)
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
29
EXPORT PERFORMANCE DEVELOPMENT OF INDONESIA’S TEXTILE AND APPAREL PRODUCT: A COMPARATIVE ADVANTAGE STUDY Moudy Hermawan
Halaman ini sengaja dikosongkan
This page intentionally left blank
30
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
Jurnal BPPK Volume 5, 2012 Halaman 31-40 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
KARAKTERISTIK DAN PREFERENSI WISATAWAN MANCANEGARA SERTA PRIORITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH SEBAGAI BAHAN ACUAN PENGEMBANGAN INVESTASI DI BALI M.Th.Anitawati(a), Agni Alam Awirya(b), Rani Setyodewanti(c) Universitas Bakrie, Kampus Kuningan Kawasan Rasuna Epicentrum Jl.H.R.Rasuna Said Kav. C-22. Jakarta Indonesia; e-mail:
[email protected] (penulis berkorespondensi) (b) Kantor Perwakilan Bank Indonesia wilayah III, Jl. Letda Tantular No.4 Renon, Denpasar 80234; e-mail:
[email protected] (c) Kantor Perwakilan Bank Indonesia wilayah III, Jl. Letda Tantular No.4 Renon, Denpasar 80234; e-mail:
[email protected] (a)
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 02 Maret 2012
As a famous tourists destination, Bali has to keep doing the development and improvement of tourism facilities and infrastructures in order to remain attractive for tourists. In doing so, it is needed funds from investors. Investment in the tourism sector has to consider government support and the needs of tourists. The study used data from 235 foreign tourists (tourists) in Bali and 5 policy makers which interviewed to determine their perceptions about tourism development in Bali. Factor analysis and AHP show that comfort and security are important factors for travelers. Therefore, investment in the hospitality sector still has a good chance. Substantial funds are needed to develop convinient and affordable transportation. Combination of perceptions between tourists and policy makers gives greater opportunity for investors to develop not only coastal tourism but also culture tourism.
Dinyatakan Dapat Dimuat 30 Mei 2012
KATA KUNCI: Preferensi wisata, Prioritas kebijakan, Pengembangan investasi, Analytical Hirearchy Process
Bali yang sudah terkenal sebagai tujuan wisata harus tetap melakukan pengembangan dan perbaikan sarana dan prasana pariwisatanya agar tetap menarik bagi wisatawan. Oleh karena itu, dibutuhkan dana dari para investor. Dukungan pemerintah dan kebutuhan wisatawan merupakan faktor yang harus dipertimbangkan bila ingin melakukan investasi di sektor pariwisata. Penelitian ini mempergunakan data dari 235 orang wisatawan mancanegara (wisman) di Bali dan 5 orang pembuat kebijakan yang diwawancarai untuk mengetahui persepsi mereka mengenai pengembangan pariwisata di Bali. Analisa faktor dan AHP menunjukkan bahwa kenyamanan dan kemanan merupakan faktor yang penting untuk wisatawan. Oleh sebab itu, investasi di sektor perhotelan masih mempunyai peluang yang bagus. Dana yang cukup besar juga dibutuhkan untuk mengembangan sarana transportasi yang nyaman tetapi terjangkau. Kombinasi persepsi antara turis dan pembuat kebijakan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi para investor untuk mengembangkan tidak hanya wisata pantai tetapi juga wisata budaya.
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pariwisata saat ini sudah menjadi kegiatan yang mendunia. Pada tahun 2010, di seluruh dunia tercatat 940 juta wisatawan yang melakukan aktivitas berwisata, dimana jumlah tersebut lebih tinggi 9,9% dibanding tahun 2009. Kegiatan pariwisata membawa dampak ekonomi yang cukup besar karena menyangkut pembelian dan penjualan barang dan jasa seperti kerajinan tangan, hotel, rumah makan, tempat hiburan serta membuka banyak lapangan kerja. Menurut World Tourism Organization, 10 (sepuluh) negara yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan mancanegara berdasar ranking adalah Perancis, Amerika Serikat, Cina, Spanyol, Itali, Inggris, Turki, Jerman, Malaysia dan Meksiko. Adapun 10 negara yang menerima pemasukan terbesar dari pariwisata berdasar ranking adalah Amerika Serikat, Spanyol, Perancis, Cina, Itali, Jerman, Inggris, Australia,
Hongkong (Cina) danTurki. Indonesia yang mempunyai potensi yang demikian besar di sektor pariwisata, sayangnya belum masuk ke dalam daftar Negara-negara yang telah disebutkan di atas. Padahal potensi yang dimiliki Indonesia merupakan aset yang dapat dikembangkan bagi kesejahteraan warganya. Salah satu contoh adalah banyaknya obyek wisata di Bali ditambah dengan budayanya yang unik merupakan potensi yang sangat besar bagi perkembangan sektor pariwisata di Bali. Hal ini sudah terbukti dengan terkenalnya Bali sampai ke mancanegara, bahkan sampai mengalahkan nama Indonesia, terbukti seringkali ditemui wisman yang tidak tahu bahwa Bali berada di Indonesia. Berdasar data BPS Provinsi Bali selama Triwulan III2011 jumlah wisman naik sekitar 18,70% dan wisdom naik sekitar 6,06% jika dibandingkan Triwulan sebelumnya.
KARAKTERISTIK DAN PREFERENSI WISATAWAN MANCANEGARA SERTA PRIORITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH SEBAGAI BAHAN ACUAN PENGEMBANGAN INVESTASI DI BALI M.Th.Anitawati, Agni Alam Awirya, Rani Setyodewanti
Melihat potensi yang besar dan semakin meningkatnya wisatawan yang datang, maka pemerintah melalui proyek Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tahun 2011–2025 akan mengembangkan potensi pariwisata di Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Pengembangan ini diharapkan dapat menjadikan Bali dan Nusa Tenggara sebagai pintu masuk wisatawan mancanegara ke Indonesia. Dengan mengembangkan sarana pariwisata pemerintah mempunyai keinginan agar investor mau menanamkan modalnya di daerah tersebut sehingga sektor pariwisata semakin berkembang dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah yang bersangkutan. Seperti diketahui, pariwisata mampu memberikan efek ganda (multiplier effect) karena terkait dengan sektor-sektor lain seperti industri kerajinan, perhotelan, dan warung/tempat makan sehingga membuka lapangan kerja serta tidak kalah pentingnya adalah pemasukan devisa bagi daerah. Namun demikian, potensi daerah serta sarana dan prasarana yang bagus tidak akan menjamin perekonomian suatu daerah akan berkembang. Ketidaksesuaian antara fasilitas yang disediakan dengan karakteristik dan keinginan wisatawan bisa jadi justru akan menyurutkan keinginan wisatawan untuk datang. Oleh sebab itu, diperlukan pengetahuan yang komperhensif tentang karakteristik wisatawan sehingga pengembangan model investasi yang tepat dapat dikembangkan. Pengetahuan ini juga dapat digunakan sebagai dasar promosi investasi potensi wisata Bali kepada para investor. Penelitian ini mencoba untuk mengkaji lebih dalam kebutuhan dan keinginan wisatawan serta program yang akan dilakukan oleh pengambil kebijakan di Bali. Pengetahuan mengenai karakteristik dan preferensi wisatawan disamping prioritas pengembangan daerah oleh Pemerintah setempat akan membantu investor untuk menentukan jenis investasi yang layak dan tepat bagi daerah yang bersangkutan sehingga pada gilirannya akan menguntungkan bagi semua pihak. Penelitian ini mendasarkan analisisnya pada hipotesis bahwa faktor penting yang dibutuhkan oleh wisatawan di Bali lebih banyak pada masalah akomodasi dan kelancaran transportasi. Kedua faktor tersebut dapat menjadi titik tolak investasi bagi pengembangan destinasi wisata di Bali.
2. KERANGKA TEORITIS Produk pariwisata merupakan produk jasa yang mempunyai karakteristik yang berbeda dengan produk manufaktur (World Bank, 2006) yaitu produksi dan konsumsi dilakukan bersamaan dan pada tempat yang sama yaitu wisatawan harus pergi ke objek wisata untuk menikmati jasa pariwisata di sana. Karakteristik berikutnya adalah “no inventory” yaitu dalam pariwisata produk yang tidak terjual tidak dapat disimpan. Sebagai contoh, kamar hotel yang tidak terjual hari ini, tidak dapat “disimpan” untuk dijual pada waktu yang lain. Berarti akan terjadi 32
kehilangan pendapatan pada hari tersebut. Selain itu penawaran dari produk pariwisata sifatnya inelastis atau tidak mudah berubah. Jumlah kursi pesawat atau jumlah kamar hotel tidak dapat diubah setiap saat. Selain itu produk wisata tidak dapat distandardisasi atau sifatnya tidak homogen. Misalkan, hotel berbintang 4 di suatu daerah akan memiliki layanan yang berbeda dengan hotel berbintang 4 yang lain. Karakteristik yang terakhir adalah pariwisata meliputi banyak aktivitas karena terkait dengan transportasi, hotel/penginapan, makanan, tempat rekreasi dan atraksi. Lim (1999) yang mengkaji ulang 70 makalah dengan meta-analisis menemukan bahwa permintaan pariwisata mancanegara berhubungan positif dengan pendapatan dan berhubungan negatif dengan harga, sedangkan biaya transportasi tidak berpengaruh terhadap permintaan. Goeldner (1992) yang melakukan penelitian pariwisata di Amerika Utara menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi pariwisata yaitu teknologi, lingkungan, demografi, globalisasi, gaya hidup, kesehatan, keamanan, kepadatan lokasi, dan peraturan pajak. Lebih lanjut Goeldner mengatakan bahwa dengan semakin ketatnya persaingan dan dengan semakin selektifnya konsumen, maka pengetahuan tentang tingkah laku konsumen serta motivasi, selera, dan faktor yang lain menjadi sangat penting. Sebagaimana kegiatan usaha yang lain, industri pariwisata tetap membutuhkan investasi sebagai salah satu pendorong berkembangnya kegiatan usaha di dalam industri tersebut. Investasi tersebut dapat berupa investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) maupun investasi dalam negeri. Untuk itu diperlukan lingkungan yang dapat merangsang investasi pada industri pariwisata. RiosMorales dkk. (2011) menyatakan bahwa formulasi dan implementasi kebijakan, bersama-sama dengan peraturan yang ada merupakan faktor yang penting dalam pengembangan sektor swasta di pariwisata. Beberapa penelitian telah membahas hubungan antara investasi dan pariwisata. Selvanathan, Selvanathan, dan Viswanathan (2009) melakukan analisis data runtut waktu antara data FDI dan kedatangan wisatawan di India. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh FDI pada kunjungan wisatawan bersifat satu arah dan tidak sebaliknya. Brida dkk. (2008) menunjukkan bahwa peningkatan investasi dari pemerintah memberikan dampak positif terhadap peningkatan permintaan pariwisata di Meksiko. Faktor lainnya yang mempengaruhi permintaan pariwisata adalah peningkatan pendapatan negara tetangga. Hasil ini juga menunjukkan pentingnya investasi bagi pengembangan industri pariwisata. Bila dilihat dari sisi investor, Newell dan Seabrook (2006) melakukan penelitian dengan metode AHP untuk menguji 30 faktor yang mempengaruhi keputusan investasi hotel. Mereka menemukan bahwa faktor yang utama adalah finansial (37 persen) dan lokasi (29,9 persen). Selain itu, faktor ekonomi (14,5 Jurnal BPPK Volume 5, 2012
KARAKTERISTIK DAN PREFERENSI WISATAWAN MANCANEGARA SERTA PRIORITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH SEBAGAI BAHAN ACUAN PENGEMBANGAN INVESTASI DI BALI M.Th.Anitawati, Agni Alam Awirya, Rani Setyodewanti
persen), diversifikasi (12 persen), dan hubungan/relationship (6,6 persen) juga ikut berpengaruh. Jadi, selain faktor intern dari investor, faktor eksternal seperti perekonomian makro dan hubungan dengan penduduk lokal juga merupakan faktor yang perlu diperhitungkan. Dari hasil penelitian Iverson (2010) diperoleh data bahwa wisatawan di Bali menyadari penduduk lokal sangat terbuka sehingga mereka berusaha untuk memakai pakaian yang pantas, tidak berbicara keras, mabuk-mabukan, serta bertingkah laku tidak hormat kepada penduduk Bali.
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Gambaran Obyek Penelitian Wilayah provinsi Bali luasnya 5.636,66 km2 atau 0,29% luas wilayah Republik Indonesia dengan jumlah penduduk Bali berjumlah sekitar 3,4 juta jiwa (BPS Provinsi Bali, 2009). Selama ini Bali terkenal sebagai tempat tujuan wisata karena keunikan tradisi dan budayanya dan juga karena keindahan alamnya. Data yang diperoleh dari Bank Indonesia, pada Triwulan III-2011 angka pertumbuhan ekonomi di Bali mencapai 6,54% (y-o-y) dimana sumbangan terbesar adalah dari sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 32,74%, sektor pertanian 18,82%, dan sektor jasa 14,34%. Peningkatan kinerja sektor perdagangan, hotel dan restoran dikarenakan jumlah wisman yang datang ke Bali secara kumulatif dari bulan Januari hingga Desember 2011 sebanyak 2.052.083 orang atau meningkat 10,36% dibanding periode yang sama pada tahun 2010. Penelitian ini pada dasarnya menggunakan data primer dalam analisisnya. Namun demikian, penggunaan data sekunder tetap dilakukan untuk melengkapi analisis terhadap data primernya. Data sekunder yang digunakan adalah data-data yang berkaitan dengan pariwisata seperti data kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara, kondisi perekonomian Bali serta data-data lainnya yang relevan. Data primer diperoleh melalui survei lapangan pada dua daerah tujuan wisata utama di Bali, yaitu Pantai Kuta, Kabupaten Badung dan Ubud, dan Kabupaten Gianyar. Metode sampling yang digunakan adalah nonprobabilistik sampling untuk alasan kemudahan operasional. Responden yang disasar adalah wisatawan mancanegara. Total responden yang berhasil dikumpulkan sebanyak 235 responden. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan responden pembuat kebijakan sebagai unit analisis sebanyak 5 orang yang berasal dari Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Dinas Pariwisata Kabupaten Badung, Dinas Pariwisata Kota Denpasar, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, dan Dinas Kebudayaan Kota Denpasar. 3.2. Alat Analisis Data Penelitian ini menggunakan statistik desktiptif yang dipadu dengan analisis faktor dan Analytical Hirearchy Process (AHP) untuk menganalisis data. Hasil dari olah data berupa informasi mengenai Jurnal BPPK Volume 5, 2012
persepsi wisatawan yang dikombinasikan dengan persepsi pengambil kebijakan mengenai pengembangan pariwisata di Bali. Kedua persepsi tersebut kemudian dianalisis kecocokannya sehingga dapat menghasilkan persepsi yang utuh mengenai pengembangan pariwisata Bali ke depan. Informasi ini dapat digunakan sebagai informasi awal bagi investor yang berkeinginan menanamkan investasi yang terkait dengan industri pariwisata di Bali. 3.3. Analisis Faktor Analisis faktor digunakan untuk menganalisis presepsi wisatawan mancanegara terhadap pariwisata Bali. Variabel laten yang digunakan adalah penentu pemilihan destinasi wisata yang dilakukan oleh wisatawan yang dalam hal ini adalah wisatawan mancanegara (wisman). Penggunaan analisis faktor selain bertujuan untuk meringkas faktor-faktor penentu suatu variabel, juga dapat dikembangkan untuk menentukan urutan faktor terpenting dalam menentukan suatu variabel laten. Hasil ini sangat bermanfaat dalam penentuan skala prioritas dalam mencapai tujuan tertentu yang direpresentasikan oleh variabel latennya. Model yang digunakan adalah model konfirmatori dengan mendasarkan dugaan variabelnya pada penelitian yang dilakukan oleh Vongdavon dalam Adam (2007) yang disesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Pemilihan model konfirmatori didasarkan atas kelemahan utama analisis faktor, yaitu ketergantungan yang tinggi pada pertanyaan yang diajukan serta jumlah faktor yang harus dimasukkan dalam analisis. Model konfirmatori dianggap dapat mengatasi keterbatasan ini dengan didasarkan penelitian sebelumnya. Selain itu, survei pendahuluan juga dilakukan untuk memperoleh faktor-faktor yang diperkirakan menentukan variabel latennya. Hasil analisis dari survei awal adalah terdapat 27 variabel yang berhubungan dengan keimigrasian, transportasi jarak jauh, transportasi jarak dekat, akomodasi, promosi, karakteristik daerah tujuan wisata, dan infrastruktur lainnya. Hasil dari analisis faktor kemudian diperingkat berdasarkan rata-rata nilainya untuk menentukan faktor yang relatif lebih penting dibandingkan faktor lainnya dalam menentukan destinasi wisata. 3.4. Analytical Hirearchy Process (AHP) Penggunaaan AHP bertujuan untuk mendapatkan pilihan kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah dalam pengembangan industri pariwisata. Analisis AHP dilakukan dengan tiga tahapan yaitu dekomposisi masalah, penilaian untuk membandingkan elemen-elemen hasil dekomposisi, dan sintesis dari prioritas . Sebagai tahapan awal yaitu dekomposisi masalah, penelitian ini menerapkan tujuan pengembangan daerah tujuan wisata sebagai tujuan utama dari pemerintah daerah. Alternatif pilihan yang dipilih adalah pengembangan wisata bahari, pengembangan wisata budaya atau pengembangan wisata gunung/danau. Pada tahapan 33
KARAKTERISTIK DAN PREFERENSI WISATAWAN MANCANEGARA SERTA PRIORITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH SEBAGAI BAHAN ACUAN PENGEMBANGAN INVESTASI DI BALI M.Th.Anitawati, Agni Alam Awirya, Rani Setyodewanti
Gambar 3-1. Analytichal Hierarchy Process (AHP)
penentuan kriteria yang dipilih dalam penentuan pilihan pengembangan destinasi wisata dilakukan penyesuaian. Guna mempermudah analisis kesesuaian antara wisatawan dan pengambil kebijakan, kriteria AHP juga didasarkan atas variabel dugaan yang digunakan pada analisis faktor. Penelitian ini akan memfokuskan hasil perhitungan pa00da tingkat kepentingan kriteria dalam AHP guna menentukan prioritas pengambil kebijakan dalam pengembangan destinasi wisata. Informasi ini dapat digunakan dalam analisis kesesuaian langkah-langkah yang diambil oleh pengambil kebijakan dengan keinginan dari wisman. Langkah selanjutnya adalah menggunakan informasi ini sebagai dasar penentuan potensi investasi di industri pariwisata terutama yang mendapat dukungan dari pengambil kebijakan. Gambar 3-1. menunjukkan diagram AHP yang dipergunakan dalam penelitian ini.
34
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Wisatawan Mancanegara di Bali Analisis deskriptif menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden menyatakan bahwa dalam perjalanan menuju Bali mereka tidak singgah ke negara lain atau daerah tujuan wisata yang lain. Selain itu, sebagian besar (52%) dari responden juga tidak merencanakan kunjungan ke destinasi lainnya selain Bali dan 92% dari total responden menyatakan bahwa akan kembali lagi ke Indonesia. Hasil survei menunjukkan bahwa sejak awal mereka memang sudah mengenal Bali dan memang berniat dan tertarik untuk datang ke Bali. Fenomena ini juga mengindikasikan bahwa wisatawan mancanegara yang mengunjungi Bali memang mempunyai tujuan utama ke Bali dan sangat menyukai Bali. Wisatawan mencitrakan Bali sebagai destinasi wisata pantai dengan ciri khas pantai tropis dengan siraman matahari sepanjang tahun (dinyatakan oleh 26,60% responden). Selain itu, Bali juga dikenal Jurnal BPPK Volume 5, 2012
KARAKTERISTIK DAN PREFERENSI WISATAWAN MANCANEGARA SERTA PRIORITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH SEBAGAI BAHAN ACUAN PENGEMBANGAN INVESTASI DI BALI M.Th.Anitawati, Agni Alam Awirya, Rani Setyodewanti
sebagai destinasi budaya dengan budaya yang unik (dinyatakan oleh lebih dari 15% responden). Sebagian besar wisatawan mancanegara datang bersama teman yang dinyatakan oleh 48% responden atau dengan keluarga yang dinyatakan oleh 30% responden. Pola kunjungan seperti ini menunjukkan bahwa wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali bersifat perorangan dan sangat mengandalkan kemampuan ekonomi perorangan. Untuk mendapatkan potensi kunjungan yang lebih besar perlu pengembangan wisata Meeting Incentive Convention dan Exibition (MICE) yang mengandalkan keuangan korporasi. Terkait dengan masalah transportasi di Bali, kurangnya layanan transportasi publik menyebabkan sebagian besar wisatawan menggunakan angkutan yang sifatnya individual seperti taksi (50% responden) maupun mobil sewaan (34% responden). Dampak dari penggunaan moda transportasi individual adalah menumpuknya volume kendaraan di jalan raya sehingga menimbulkan kemacetan. Dampak lebih lanjutnya adalah aliran distribusi barang dan jasa relatif terhambat sehingga aktivitas ekonomi dapat terganggu. Pengeluaran wisatawan mancanegara sebagian besar digunakan untuk akomodasi dan makanan dengan proporsi masing-masing sebesar 33,39% dan 34,81% dari total pengeluaran yang ada. Sementara pengeluaran untuk souvenir relatif kecil yaitu 5,99%. Proporsi ini masih lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran untuk mobilitas selama di daerah tujuan wisata maupun pengeluaran untuk menikmati atraksi di daerah tujuan wisata. Kegiatan menikmati daerah tujuan wisata termasuk akomodasi dan kecukupan makanan menjadi perhatian paling tinggi bagi wisatawan dilihat dari sisi pengeluaran. Sebagai informasi, proporsi pengeluaran yang relatif kecil adalah untuk komunikasi dan tourist guide dengan proporsi masing-masing sebesar 2,65% dan 1,04%. Lebih dari 30% wisatawan mancanegara mencitrakan Bali sebagai destinasi wisata dengan masyarakat yang ramah. Sementara itu, justru kemudahan akses dan kebersihan dipersepsikan relatif buruk oleh wisatawan mancanegara (tidak sampai 10% responden yang menyatakan akses ke Bali adalah mudah dan tidak sampai 5% responden menyatakan Bali bersih). Indikasi ini dapat menjadi pijakan awal bagi pengembangan kebijakan di masa depan. Penelitian ini juga mengakomodasi penilaian wisatawan mancanegara terhadap beberapa indikator pariwisata sebagai indikasi awal kualitas layanan pariwisata yang ada. Indikator yang dipilih juga berdasarkan Vongdavon dalam Adam (2008). Indikator tersebut antara lain entry, transportasi jarak jauh terutama penerbangan udara, transportasi jarak dekat, hospitality, promosi wisata, obyek wisata, dan infrastuktur. Sebagian besar responden menyatakan bahwa kualitas layanan wisata di Bali bertaraf sedang. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa kenyamanan dipandang lebih bagus dibandingkan indikator lainnya Jurnal BPPK Volume 5, 2012
yang diindikasikan dengan jumlah responden yang menyatakan kenyamanan berwisata di Bali dalam kondisi baik relatif lebih banyak dibandingkan indikator lainnya. .
4.2. Analisis Faktor Penentu Kunjungan Wisatawan Sebelum melakukan analisis faktor, dilakukan terlebih dahulu beberapa uji pendahuluan untuk menentukan apakah analisis faktor dapat dilakukan pada data yang ada. Hasil uji KMO dan Bartlett menunjukkan proses analisis dapat dilanjutkan karena nilai KMO Measure of Sampling Adequacy sebesar 0,890 lebih besar daripada 0,5 dan nilai p-value dari Bartlett’s Test of Sphericity 0,000 lebih kecil daripada nilai koefisien signifikansi 0,05. Hasil matriks AntiImage menunjukkan bahwa semua variabel mempunyai nilai MSA lebih besar daripada 0,5 sehingga dapat dilakukan analisis faktor pada seluruh variabel. KMO TestTest Tabel 4-1.and KMOBartlett's and Bartlett’s Kaiser-Mey er-Olkin Measure of Sampling Adequacy . Bartlett's Test of Sphericity
Approx. Chi-Square df Sig.
.890 2928.598 351 .000
Hasil analisis faktor dengan rotasi varimax menunjukkan terdapat 6 faktor yang relevan sebagai dasar pemilihan destinasi wisata oleh wisatawan mancanegara. Keenam faktor tersebut adalah transportasi (transport), kemudahan masuk ke Indonesia (entry), kenyamanan berwisata (hospitality), promosi destinasi wisata (promotion), infrastruktur (infrastructure), dan keindahan destinasi wisata (destination). Faktor transportasi meliputi penerbangan dari negara asal (penerbangan internasional), penerbangan ke tujuan wisata (penerbangan domestik), harga penerbangan, kualitas penerbangan, transportasi publik yang memadai, perjalanan darat yang nyaman, harga transportasi yang terjangkau, dan arus lalu lintas yang lancar. Faktor kemudahan masuk ke Indonesia meliputi proses pengurusan visa terutama visa on arival, keimigrasian, pengurusan bea cukai, serta kemampuan komunikasi petugas. Faktor kenyamanan berwisata meliputi kondisi penginapan, kondisi lingkungan di sekitar penginapan, keramahan penduduk lokal, kebersihan, dan keamanan. Faktor promosi meliputi promosi di negara-negara asal wisatawan, pusat informasi wisatawan, dan pameran. Faktor infrastruktur meliputi infrastruktur jalan raya, jaringan telepon, jaringan internet, dan listrik. Faktor keindahan destinasi wisata terdiri dari informasi destinasi wisata di internet, tujuan wisata menarik, dan tujuan wisata terkenal. Analisis lebih lanjut mengenai tingkat kepentingan faktor-faktor tersebut yang dihitung dari rata-rata persepsi responden menunjukkan bahwa 35
KARAKTERISTIK DAN PREFERENSI WISATAWAN MANCANEGARA SERTA PRIORITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH SEBAGAI BAHAN ACUAN PENGEMBANGAN INVESTASI DI BALI M.Th.Anitawati, Agni Alam Awirya, Rani Setyodewanti
kenyamanan berwisata (hospitality) merupakan faktor terpenting dalam pemilihan destinasi wisata. Nilai rata-rata penilaiannya adalah 5,02 dari 6 sebagai nilai tertinggi. Sementara transportasi menduduki peringkat kedua dari sisi kepentingan dengan nilai rata-rata 4,83. Untuk faktor yang dianggap relatif tidak penting adalah promosi wisata dengan nilai rata-rata 3,81. Fenomena ini merupakan indikasi awal dari pentingnya ketersediaan sarana akomodasi yang memadai dan kemudahan mobilitas wisatawan. Tabel 4-2.Tingkat Kepentingan Faktor Variabel
Rata-rata
Ranking
Kenyamanan berwisata (hospitality)
5.02
1
Transportasi
4.83
2
Keindahan destinasi wisata (destination)
4.66
3
Infrastruktur (infrastructure)
4.48
4
Kemudahan masuk Indonesia (entry)
4.35
5
Promosi
3.81
6
4.3. Prioritas Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pengembangan Daerah Tujuan Wisata Penelitian ini juga membahas mengenai prioritas kebijakan pemerintah daerah untuk mengidentifikasi kesesuaian dengan persepsi wisatawan. Hasil analisis AHP dengan tingkat konsistensi 0,06 (nilai konsistensi di bawah 0,1 dipandang relatif konsisten tinggi) menunjukkan bahwa terdapat kesesuaian antara prioritas pemerintah daerah dan persepsi wisatawan. Pemerintah daerah memandang kenyamanan dan keamanan sebagai prioritas utama bagi pengembangan pariwisata. Prioritas keduanya adalah infrastruktur pendukung dan pengembangan obyek wisata. Sementara itu, transportasi, baik jarak dekat maupun jarak jauh, terindikasi bukan menjadi prioritas pemerintah daerah. Analisis lebih lanjut mengenai pilihan tipe tujuan wisata yang akan dikembangkan adalah wisata budaya. Pilihan ini berbeda dengan persepsi wisatawan yang mencitrakan Bali sebagai daerah tujuan wisata pantai. Bahkan dibandingkan dengan wisata bahari maupun wisata gunung atau danau,
pemerintah daerah berpendapat bahwa wisata budaya lebih berpotensial untuk dikembangkan. Hasil wawancara lebih lanjut mengungkapkan bahwa prioritas pengembangan wisata budaya bertujuan untuk melestarikan budaya Bali yang mulai terkikis. Selain itu, pengembangan wisata budaya juga melibatkan pembangunan manusia Bali sehingga diharapkan lebih banyak masyarakat yang ikut menikmati kue pariwisata. Namun demikian, hasil persepsi wisatawan menunjukkan bahwa pemerintah daerah masih perlu meningkatkan usaha pengembangan wisata budaya melalui atraksi-atraksi budaya yang menarik sehingga menarik lebih banyak menarik minat wisatawan. 4.4. Peluang Investasi pada Industri Pariwisata Bali Kombinasi antara persepsi wisatawan dan prioritas pengembangan pariwisata oleh pembuat kebijakan memberikan arahan bagi peluang investasi di industri pariwisata Bali. Baik wisman maupun pemerintah ternyata mempunyai persepsi yang sama bahwa kenyamanan merupakan faktor yang paling penting. Potensi pengembangan akomodasi yang nyaman dan bervariasi sangat besar. Pengeluaran yang relatif besar untuk akomodasi juga mengkonfirmasi kebutuhan yang tinggi akan sarana akomodasi yang nyaman. Pada jangka pendek, kurangnya fasilitas layanan transportasi publik memang membuat wisatawan lebih mengandalkan transportasi individual. Untuk itu diperlukan investor yang mampu menyediakan transportasi yang terjangkau tetapi nyaman. Program pemerintah untuk mengembangkan infrastruktur seperti jalan raya diharapkan lebih meningkatkan kenyamanan karena akan mampu mengurangi kemacetan. Terkait dengan sifat kunjungan wisatawan yang merupakan kunjungan pribadi merupakan peluang bagi jasa wisata dengan paket-paket individual. Peluang pengembangan MICE maupun wisatawan dengan group yang besar masih terbuka lebar mengingat pasarnya yang masih sangat kecil. Perlu terobosan-terobosan yang signifikan dalam pengembangan pasar kunjungan wisatawan dalam paket besar.
Gambar 4-1. Prioritas Pemerintah Daerah
36
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
KARAKTERISTIK DAN PREFERENSI WISATAWAN MANCANEGARA SERTA PRIORITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH SEBAGAI BAHAN ACUAN PENGEMBANGAN INVESTASI DI BALI M.Th.Anitawati, Agni Alam Awirya, Rani Setyodewanti
Pilihan tipe destinasi yang berbeda antara wisatawan dan pemerintah daerah merupakan peluang bagi investasi pada destinasi wisata. Investasi swasta dapat menawarkan atraksi-atraksi wisata yang berbasis alam seperti water sport, dive, dan aktivitas lainnya. Orientasi pemerintah daerah pada pengembangan wisata budaya juga menjadi peluang bagi pihak swasta dalam pengembangan atraksi wisata yang berhubungan dengan budaya setempat yang unik. Lebih dari 50 % wisatawan memberikan citra dan penilaian yang positif terhadap pariwisata di Bali dan hal tersebut dapat merupakan alat promosi yang bagus untuk menarik lebih banyak wisatawan. Untuk produk jasa, promosi dari mulut ke mulut (word of mouth) akan lebih ampuh dampaknya daripada bentuk promosi lain sebab orang yang mempromosikan produk tersebut pasti sudah pernah mempunyai pengalaman terhadap produk yang dipromosikan. Terlebih lagi, dari data yang diperoleh, sebagian besar wisatawan tidak datang sendiri, tetapi bersama dengan keluarga atau teman sehingga dampak penggandanya akan semakin cepat dan semakin besar.
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Pengembangan sektor pariwisata di suatu daerah harus mempertimbangkan kebutuhan wisatawan dan juga kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah sehingga pengembangannya akan lebih terarah. Di sisi lain, investor sebagai pihak yang menanamkan modalnya akan sangat terbantu bila mereka mengetahui sektor apa yang dapat dikembangkan. Meskipun Bali sudah dikenal sebagai salah satu tujuan wisata yang sangat diminati, masih terdapat beberapa sektor yang perlu dibenahi dan dibangun terus menerus untuk menarik lebih banyak wisatawan. Para investor mempunyai peluang untuk mengembangkan jasa akomodasi yang lebih bervariasi karena wisatawan menempatkan kenyamanan sebagai salah satu faktor untuk memilih daerah wisata. Sektor lain yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan wisatawan adalah transportasi yang nyaman dan memadai. Bagi sebagian besar wisatawan , terutama wisman yang berasal dari negara dengan 4 musim, berekreasi di pantai atau di laut merupakan aktivitas yang sangat disukai. Oleh sebab itu, peluang investasi wisata pantai atau laut masih terbuka lebar. Bekerja sama dengan pemerintah setempat, investor juga dapat ikut berperan dalam mempertahankan dan mengembangkan budaya Bali dengan membuat beragam atraksi, pameran, atau kegiatan yang menarik.
DAFTAR PUSTAKA Adam, Andrew, Mingsan Khaosa’at, Mahawitthayalai Chiang Mai. SathabaWichaiSangkhom. 2008. Mekong Tourism: Competitiveness and Opportunities. Social Research Institute, Chiang Mai University. Bank Indonesia. 2011. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Bali. Triwulan III 2011. BPS Provinsi Bali. Jumlah Penduduk Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing Menurut Jenis Kelamin dan Kabupaten/Kota di Bali Akhir Tahun 2009. Diakses dari http://bali.bps.go.id/tabel_detail.php?ed=60400 2&od=4&id=4, 29 November 2011. BPS Provinsi Bali. 2011. Pertumbuhan Ekonomi Bali Triwulan III Tahun 2011. Berita Resmi Statistik Bali No. 58/11/51/Th. V, 7 November 2011. Brida, Juan Gabriel, Wiston Adrien Risso, Edgar J. Sanchez Carrera. 2008. A Long Run Equilibrium Demand Function: Tourism in Mexico. An International Multidisciplinary Journal of Tourism, Vol. 3, No. 1, Spring 2008. Goeldner, Charles R. 1992. Trends in North American Tourism. American Behavioral Scientist, Vol. 36 (2), Nov-Dec 1992. Iverson, Thomas J. 2010. Cultural Conflict: Tourists in Bali, Indonesia. International Journal of Culture, Tourism and Hospitality Research, Vol. 4 No. 4, 2010. Lim, Christine. 1999. A Meta-Analysis of International Tourism Demand. Journal of Travel Research, February 1999 Vol. 37 No. 3. Newell, Graeme and Ross Seabrook. 2006. Factors Influencing Hotel Investment Decision Making. Journal of Property Investment and Finance, Vol. 24 No. 4, 2006. Rios-Morales, Ruth; Dragan Gamberger; Ian Jenkins; Tom Smuc. 2011. Modelling Investment in the Tourism Industry Using the World Bank’s Good Governance Indicators. Journal of Modeling in Management, Vol. 6 No. 3, 2011. Selvanathan, Saroja, E.A. Selvanathan, Brinda Viswanathan. 2009. Causality between Foreign Direct Investment and Tourism: Empirical Evidence from India. Finance Working Papers 22944, East Asian Bureau of econimics Research. World Bank. 2006. Attracting Investment in Tourism. Tanzania’s Investor Outreach Program. World Bank Group. Multilateral Investment Guarantee Agency.
LAMPIRAN Jurnal BPPK Volume 5, 2012
37
KARAKTERISTIK DAN PREFERENSI WISATAWAN MANCANEGARA SERTA PRIORITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH SEBAGAI BAHAN ACUAN PENGEMBANGAN INVESTASI DI BALI M.Th.Anitawati, Agni Alam Awirya, Rani Setyodewanti
ya 39%
Ya 48% Tidak 52%
tidak 61% Gambar 1. Singgah ke Negara Lain Sebelum ke Bali
8%
Gambar 2. Berencana Mengunjungi Daerah Tujuan Wisata Lainnya
Biro Perjalanan 1%
23% Teman 48%
92%
Sendiri 21%
77%
Ingin kembali ke Indonesia
Indonesia sudah dikenal di negara asal
Tidak
Keluarga 30%
Ya
Gambar 3. Preferensi Wisman Mengenai Indonesia
Gambar 4. Tipe Kedatangan Wisman
30 25 20 15 10 5 0 Pantai Gunung Budaya Belanja Alam Sejarah liar wisman 26.60 13.68 18.29 11.89 9.72 8.18
Sex 1.79
Kuliner Lainnya 7.29
2.56
Gambar 5. Citra Wisman terhadap Bali
38
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
KARAKTERISTIK DAN PREFERENSI WISATAWAN MANCANEGARA SERTA PRIORITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH SEBAGAI BAHAN ACUAN PENGEMBANGAN INVESTASI DI BALI M.Th.Anitawati, Agni Alam Awirya, Rani Setyodewanti
100% 80% 60% 40% 20% 0%
35.00 30.00
32.84
25.00 20.00
Biro Perjalanan
Bali 4
Taksi
50
Angkutan Publik
9
Sewa/Pribadi
34
Kapal Laut
3
15.00
18.74
9.65
5.00
3.90
33.39
35.00
4.08
0.00 indah nyaman aman
Gambar 6. Moda Transportasi Wisman di Bali
40.00
17.25 13.54
10.00
bersih ramah
akses lainnya mudah
Gambar 7. Moda Transportasi Wisman di Bali
34.81
30.00 25.00 20.00 15.00 7.63
10.00
5.99
7.64
6.85
2.65
5.00
1.04
0.00 wisman
Hotel
Makanan/minuman
angkutan lokal
Gambar 8. Komposisi Pengeluaran Wisman
60 50 40
Kurang
30
Sedang
20
Bagus
10 0 Entry
Transportasi Transportasi Hospitality Jarak Jauh Jarak Dekat
Promosi
Destinasi
Infrastruktur
Gambar 9. Penilaian Wisman
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
39
KARAKTERISTIK DAN PREFERENSI WISATAWAN MANCANEGARA SERTA PRIORITAS KEBIJAKAN PEMERINTAH SEBAGAI BAHAN ACUAN PENGEMBANGAN INVESTASI DI BALI M.Th.Anitawati, Agni Alam Awirya, Rani Setyodewanti
Halaman ini sengaja dikosongkan
This page intentionally left blank
40
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
Jurnal BPPK Volume 5, 2012 Page 41-64 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA0 Agustinus Prasetyo(a) (a)
State Treasury Service Office of Padang Sidempuan; e-mail:
[email protected] (corresponding author)
ARTICLE INFO
ABSTRACT
ARTICLE HISTORY Received 27 Agustus 2012
This study sought to explore employee perceptions towards the change strategies implemented in the Directorate General of Treasury in Ministry of Finance in Indonesia (henceforth the Treasury). To this end, it involved respondents from several Treasury offices, including those who worked in central, regional, and district offices. Data obtained through interview, questionnaire, observation, and informal discussions were analysed qualitatively. This article began with reviewing literature on change implementation in public sector before proceeding with the discussion on changes in the Treasury. The findings indicated that 81% of respondents supported to the implemented change initiatives. The change strategies were perceived to have positive impacts to employees, the Treasury, and service-receivers, but to some extent they were perceived to have some drawbacks. Several respondents’ suggestions were included in the last section.
Accepted to be published 26 November 2012
KEYWORDS: change strategies, employee perceptions, driving factors, change resistance
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendapat pegawai terhadap kebijakan perubahan yang diterapkan Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan di Indonesia. Penelitian ini melibatkan responden yang merupakan pegawai Direktorat Jenderal Perbendaharaan, yang bekerja di kantor pusat, kanwil, dan kantor daerah (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara). Data yang diperoleh melalui wawancara, kuesioner, observasi, dan diskusi non-formal dianalisa dengan metode kualitatif. Literatur tentang perubahan di sector public dibahas dalam artikel ini sebagai dasar untuk diskusi tentang perubahan yang diterapkan di Ditjen Perbendaharaan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sebanyak 81% responden mendukung dilakukannya perubahan. Strategi perubahan yang diterapkan dipandang positif bagi pegawai, organisasi, dan penerima layanan, namun dalam pelaksanaannya ada yang berdampak kurang baik bagi pegawai. Terhadap hal tersebut, masukan dari responden dibahas di bagian akhir laporan penelitian ini.
1. INTRODUCTION 1.1. Background to the study The long-term impacts of the 1997 Asian Financial Crisis in the Indonesia’s public administration is evident, particularly, in the Ministry of Finance’s administration. One significant impact is the first round of bureaucratic reform marked by the promulgation of financial legislation package, consisting of Law No. 17/2003 on Public Finance, Law No. 1/2004 on the State Treasury, and Law No. 15/2004 on the Audit on State Financial Management and Accountability. The Law No. 17/2003 has replaced Indische Comptabiliteits Wet (ICW) STBL 1925, the Indonesian public financial law inherited from the Dutch. This new provision has adopted international best practices in public financial
management, such as, the principle of check and balance in budget implementation stage, where by both Ministry of Finance and Executing Agencies conduct. The implementation of these new legislations has led to the change in business process and human resource management within the Treasury. Regarding the implementation of change in human resource management, employee resistance is likely the most often cited problem encountered by change management. To address this problem, besides improving change managers’ capability, it is also essential to align employees with the change strategies at the same time. Without their alignment in the change strategies, it is unlikely that the change will gain their ultimate goals. It is congruent with
_______________________________________________________________________________________________________________________________ 0
The Shorter Version with Minor Modification of the Thesis in Master of Public Administration Management Titled: Change Initiatives in Human Resource Management in Treasury in Indonesia: Employees’ Perspectives
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
Heracleous’ (2002 cited in Elving, 2005:130) view that encouraging participation from employees, addressing their concerns in the change initiatives, or ensuring managers act as role models for the changes are believed to create effective change. Regarding managerial roles, Effendy (2011:1) states that ‘(s)trong commitment and political support from top leadership is a key to successful implementation of bureaucratic reform’. This notion suggests that employee alignment and manager responsibility to promote the change are believed to be essential for effective change implementation. 1.2. Introduction to the problems Gaining employee alignment to the change initiatives in the Treasury is not straightforward. One of the challenges is the unique nature of the work in the Treasury which is reflected in the Treasury’s cultures and values within, such as, the structured hierarchy of decision-making, the employee promotion and rotation practices, the way of work accomplishment, the interactions between employees and service-users, and the availability of training programs. These factors possibly influence employee perceptions towards the change initiatives. Since it has been existed for a relatively long time, it is predicted to hinder the implementation of the changes. It is consistent with Greasley, Watson, and Patel (2008:385) who claim that there are difficulties in implementing change in the public sector if they are perceived to confront public sector ‘social values’ and the strong underlying bureaucratic culture. Departing from this argument, this study will focus on the exploration of employee perceptions about the change drivers, resistances, strategies and employee supports to the change initiatives in the Treasury. 1.3. Purpose of the study This study has two purposes, to seek insight into employee perceptions towards the change initiatives in the Treasury and to explore the levels of employee supports to the change initiatives. In doing so, this study contributes to the academic discussion about organisational change. 1.4. Research questions This study develops several research questions as follow: 1. What were the driving factors for change in the Treasury? 2. What were the challenges to implement change in the Treasury? 3. What has changed in the Treasury? 4. How did employees perceive the change in the Treasury? 5. How much was employees support to the change in the Treasury?
42
2. LITERATURE REVIEW 2.1. Driving factors for change in public sector organisations External forces and internal adjustments are likely to lead to organisational changes. These two factors commonly take the form of competition, shifting in stakeholders’ expectations, advance of technologies and legal development (Mohrman et. al. 1990 cited in Mishra, Bhaskar and Khurana, 2007: 88; Beer, 1997:49; Baker, 2007:5). Wining in market competition is not solely the interest of private sector organisations. There has been a trend in public enterprises to persistently improve their service quality to satisfy customers. This new trend has gradually been adopted in public sector organisations. In addition, such provision quality which is the characteristic of good governance has been introduced as a competitive product within the Ministry of Finance. In doing so, service quality is arguably as an incentive to implement changes in Treasury. Although service-users in public sector organisations cannot switch to other service providers due to the characteristic of the services, excellent service has categorized as a public’s demand in Indonesia, particularly in the Treasury. In response to this expectation, the Treasury has formulated excellent service in its strategic plan and defined as a way to realise good governance.1 To carry out this plan, it needs to make some adjustments within the organisation. Information communication technology (ICT) can act as both a driving and a facilitator for change. The widespread use of the internet has facilitated richer, fuller and often immediate interactions within and beyond organisations (Solomon 2001 cited in Baker, 2007:10). On the other hand, the adoption and adaptation to advanced ICT is claimed to change all organisational structures, which in turn are expected to increase interconnectivity across traditional boundaries and hierarchies (Baker, 2007:11). The adoption of advanced ICT as a change driver in the Treasury, for example, has increased the need for skilful employees. This condition has been responded through conducting ICT related training programs for employees and recruiting new employees with the ICT education background. It is believed that organisational legal requirements are part of the organisational environment, which changes alongside structural and social changes (Baker, 2007:8). This change can be driven internally as well as externally. The perception of new regulations as internal drivers comes from the notion that regulations and legislation could be
1
Treasury’s strategic plan in the bureaucratic reform section stresses the effort to combat corruption through the internalisation of Treasury’s code of conduct and direct supervision from super-ordinate to actualise good governance and clean government. Further information about Treasury’s Strategic Plan: http://www.perbendaharaan.go.id/new/?pilih=hal&id=26
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
developed from the need of organisations to have a legal basis to implement changes. From different point of view, legislation is mostly a powerful external driver for change, since it is product of powerful stakeholders, which are the community’s representatives. For example, tax regulations on imported peas. These legislations, in some extent, will influence the financial policy for peas food related industries. Departing from the aforementioned driving factors for change, this study hypothesis: H1= the shift on stakeholder demands is the strongest driving factor for change in the Treasury. 2.2. Resistance to change in public sector The term of ‘resistance’, in the study of organisational change among some researchers has been debatable. For example, Den and Goldberg (1999:26) claim that “people do not resist change, per se”. They explain that what people worry about are the effects which cause of loss of earnings, loss of comforts, or loss of position, but these are not similar to resisting change per se. Employees may resist the unknown, being dictated to, or organisational ideas which are unlikely to be feasible from the employees’ perspectives. From different perspectives, Watson (1971:746) argue that people are eager for some kinds of change in their lives and circumstances, such as, getting a better life, better wages, more freedom, etc., but not for the shifts opposite to these. Following Mullins (2002), Greasley et al. (2008:385) add that resistance to change is generally in relation to habits, inconvenience or loss of freedom, economic implications, security in the past, and fear of the unknown. Resistance to change is likely comes from organisation members who do not see any importance for conducting changes or who are unable to adapt to the new strategies. In this condition, employees are likely to have small concerns, reflected in their attitudes, to any new strategies. If they maintain this condition, some researchers, for example, Kleinn & Sorra (1996:1055) predict that implementing new strategies will fail because employees apply less frequently, less consistently, or less constantly than is needed for a maximum benefit. In turn, their supports to the transformation strategies will be low. From the above literature, this study develops hypothesis as follow: H2=Resistance to change in the Treasury mostly comes from internal organisation. 2.3. Strategies for implementing change initiatives Designing appropriate change strategies should be made for undertaking change in public sector organisation since implementing change in public sector organisations is believed to be more challenging than in private sector. It is because these efforts are likely to challenge the bureaucratic culture of rules and regulations. Moreover, few studies on the change in public sector organisation are available. Jurnal BPPK Volume 5, 2012
Greasley et al. (2009:386) point out that most models for implementing change are designed for private sector situations. It can be said that public sector managers are difficult to obtain reference for implementing change strategies. Regardless this difficulty, some strategies are proposed below 2.3.1. Managerial competencies for creating work climate for change Conducting a change in public sector organisations is unavoidable, although a study has found that about 70% of organisational change implementation in private sector did not achieve the intended goals (Balogun and Hailey, 2004 cited in Paton and McCalman, 2008:3). The optimism comes from the belief that managers have competencies to create a work climate for change as Amagoh (2008:5) believes that organisational changes can be managed. Work climate for change by definition refers to “shared perceptions of the events, practices, and procedures and the kinds of behaviours that are rewarded, supported and expected” (Kleinn & Sorra, 1996). By presenting these conditions, it is believed that organisation members are able to implement changes. These require managers’ ability to transform organisational strategies into job-related and individual skills and behaviours that people can understand and implement in support for change. Some scholars propose that creating work climate for change can be achieved by implementing a management by objectives (MBO) approach (Drucker, 1954 cited in Gagnon, Jansen, and Mitchael, 2008:427). In the MBO approach, a hierarchy of employees’ objectives derived from an organisation’s strategic goals are discussed. It also underlines the engagement of employees in decision making processes, developing goal setting, and objective feedback. It is believed that management will gain employee supports if all three components are implemented properly from top to bottom levels. Other researches, Kaplan and Norton (1992 cited in Gagnon et al., 2008:427) suggest that managers could implement a balanced score card approach to gain employee engagement to organisational strategies. It is argued that the Balanced Score Card provides both relevant and balanced information in a concise way which managers need, creating a conducive environment for learning and eliminating the need for managers to select what type of control system to use at any given time (Mooraj, Oyon and Hostettler, 1999:481). Balanced score card is able to link between four areas, namely, financial aspects, customer relations, internal business process, and the organisation’s learning and innovation activities. Although the balanced score card approach has been criticised for being too general that need translation for each special condition (for example, Butler, Letza and Neale, 1997:252), but this approach is able to link the measurement between organisational visions and strategies.
43
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
2.3.2. Increasing employee commitment through communication It is believed that employee commitment can be developed through a good communication. Some scholars argue that communication is essential for implementing effective organisational change (Schweigner dan Denisi, 1991 cited in Elving, 2005:129). Communication is a key success for organisational change because it is a tool for announcing, explaining, and preparing people for change and for its positive and negative consequences (Spike and Lesser, 1995 cited Kitchen and Daly: 50). In other words, besides as a role model of changes, top management must have the ability to communicate the change strategies effectively. Communication is overarching to create employee commitment. It needs to be implemented from the development of strategy to its implementation. Lewis (1999 cited in Elving, 2005:129) states that communication is important from the first step of developing plans to change. In this way, it is believed that employees who will be affected by the change will understand and prepare for the change. In turn, it possibly reduces the chance for employees to grow the seeds of resistance. In the implementation stage, effective communication is believed to be able to preserve or improve performance through maintaining employee commitment to the change. 2.3.3. Increasing employee commitment through training programs Another strategy proposed to strengthen employee commitment is through training programs. Gagnon et al. (2008:439) believe that training programs to facilitate knowledge and commitment are important during the strategic design phase. However, a study has found that public service change initiatives are sometimes undermined by training programs, especially when conducted in under-staffed and under-resourced areas of training and technologies (Foster and Hoggett, 1999 cited in Greasley et al., 2009:386). To these critical events, change managers should pay more attention to training programs in order to actualise change. Training programs which are not conducted properly are meaningless for developing employee commitment. Regarding the strategies to implement the change, this study proposes a hypothesis: H3= For a successful implementation of organisational change, managers must design appropriate change strategies and develop employee engagement.
3. RESEARCH METHODOLOGY 3.1. Research design The operations of this study started from the study goals, namely, to gain insights into the employees’ perceptions about change initiatives and to explore employee alignment level to the change initiatives. To this end, the researcher reviewed relevant literature about driving factor to the changes, 44
resistance to the changes, and strategies to implement the changes. Research questions were, then, developed from these reviews which would be answered through this study. Since this study would observe social phenomena in Treasury it applied a qualitative research approach. It is in line with Polkinghorne’s (2005:138) notion that the main purpose of qualitative research method is describing and clarifying experience as it is lived and constituted in awareness. Furthermore, human experience is unlikely the object of nature because it changes not in accordance to mathematical patterns, making it difficult to investigate through the quantitative approach. Qualitative research is useful to help people in understanding apparently illogical behaviours (Barbour, 2008:12). Based on these notions, a qualitative research method would be more appropriate to be used in this study than a quantitative research method. 3.2. Data collection methods This study used four data collection methods. Firstly, data was collected through questionnaire. The questions stem from main ideas described in the literature review section. The questionnaires were pilot-tested to some employees in Treasury to ensure that the questions were clear in terms of language, content, and met the research objectives. Most of the questions were designed to be open-ended to allow respondents to provide their opinions in detailed and the rest was multiple-choice questions. Secondly, data was collected through interviewing employees in Treasury from the levels of echelon II manager, echelon III managers, echelon IV managers, and employee staff in different areas in order to obtain various perceptions. The interview process was conducted by telephone and recorded to get a verbatim data. In these two methods, the respondents were advised to disclose their names or personal information for confidentiality purpose. They also could withdraw from the study if they were not happy to provide responses. Thirdly, observation, the observation was conducted in Treasury office from 10 to 11 January 2011 in Semarang, from 9 January to 30 may 2012 in Jakarta, and from 4 June to 31 July 2012 in Padang Sidempuan. Lastly, secondary data were obtained from Treasury’s website, Indonesian government regulations and employees in several Treasury offices. These data were used as supplementary information. 3.3. Sampling method and research participants Applying selective purposive method for obtaining variety of ideas, this study involved 36 employees from different Treasury locations including those who worked in Treasury in central office, regional, and district offices. Among those participants, as many as 18 participants gave their opinion through questionnaire method, 15 participants were interviewed, and 4 participants engaged in informal conversation to provide Jurnal BPPK Volume 5, 2012
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
additional information. Since this study did not intend to make external generalisation, a small sample size can be said to be appropriate. Trumbull (2005:104) explains that researchers conducting qualitative research try to find out as much information as possible about individuals or phenomena through exploring detailed narrative explanations of the phenomena rather than statistic calculation. Furthermore, Trumbull (2005:104) states that such research can be done in a small group therefore the big sample size is not prerequisite. Moreover, the aim of qualitative sampling is not to create a representative sample, but more to reflect diversity (Kuzel, 1992; Mays and Pope, 1995 cited in Barbour, 2008:53). As it was stated above, this study involved 15 interviewees and 18 respondents. Some targeted interviewees failed to meet the appointment until the last minute. However, the researcher believed that 15 participants were appropriate to meet the minimum size sample for conducting interview as suggested by Guest, Bunce, and Johnson (2006 cited in Onwuegbuzie and Collins, 2007:289) who recommend 12 participants as minimum number. 3.4. Data analysis First of all, the part of open-ended questions was separated from the multiple choice questions. Following Patton’s (2002:463) notion, the responses from the open-ended questions together with the results from interviews were coded according to their categories of information as the first stage of data analysis. After all responses were categorised, the next steps were looking for the patterns and connections both within and between categories. Assessing the patterns of similarities and differences of respondents’ responses were necessary in order to understand why people responded in particular ways. When all patterns and connection within and between categories had been assessed, the further stage was interpreting data. In this stage, the researcher would find the important information gathered from the process of categorising and sorting data. Powell and Renner (2003:5) suggest considering the questions: “...what are the major lessons? What new things did you learn? What has application to other settings, programs, studies? What will those who use the result of the evaluation be most interested in knowing?” In order to enrich the information, the interview results were collated in this process. The next step was combining with the information gathered from the multiple-choice question response. Since the number of respondents attained was not enough for representing managerialemployees and staff-employees individually, they only represent individual stand of respondents. Regarding the respondents’ responses to the multiple-choices questions, the researcher categorised the answers into five levels as follows: “highly agree”, “agree”, “undecided”, “disagree” and “highly disagree”. The number of respondents who chose a statement was divided by the total number of respondents for Jurnal BPPK Volume 5, 2012
each question. The results were assessed against three ranges of categories, namely, low (0%-33.3%), medium (33.4%-66.6%) and high (66.7%-100%).
4. RESULTS AND FINDINGS 4.1. Employee perceptions about the driving factors for the changes Regarding the first research question of what the driving factor for change, it was perceived differently among participants. When interviewees were asked to sequence some driving factors for change according to their strengths, 60% of them mentioned that public demand to actualise good governance as the top rank, where as the effort to reduce corruption was set in the second rank. This finding was consistent with the information gathered through questionnaire that 86% managerial respondents chose ‘public demand to actualise good governance’ as the strongest factor. This result is parallel with the previous research finding on organisational change that the shifting in stakeholders’ expectations is a trigger to change (Mohrman et al., 1990 cited in Mishra et al., 2007:88; Beer, 1997:49; Baker, 2007:5). It means that external factor has been the primary change drivers in Treasury. The aforementioned findings implied that employees understood that Treasury’s stakeholders expected a better service in accordance with good governance requirements. It was in contrast with the practice of service delivery in the past which often being not transparent in procedures, many red-tape issues, and employees often expected additional rewards directly and openly from individual service receivers (S10 2011, pers. comm., Monday, 19 September). This condition was believed as one of the triggers for corruption within the Treasury’s serviceusers’ institutions. This finding reveals that the first hypothesis, H1= the shift on stakeholder demands is the strongest driving factor for change was proven true. 4.2. Employee perceptions about resistance to implement the changes In answering the second research question of the resistant factors for implementation of change initiatives in Treasury, data collected from interviews showed that 60% of interviewees perceived that employee attitudes or mind-sets were the most difficult to change. This finding was strengthened by 86% of respondents who considered that young employees having issues to change working culture in term of meeting working hour. Two of participants, coded as S4 and S6, commented that to change employee attitudes, a long and persistent process was needed since the attitudes had been grown for long time and stuck deeply in employees’ souls and minds. They added that a sort of behaviour was likely to express the expectation towards a new working environment beneficial and motivating them Regarding the issue on changing attitudes among young and old employees in term of time conformity, 45
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
the findings from observations in two different Treasury offices in 2011 and 2012 were not conclusive. As for State Treasury Service Office-Model, employees consisting of those with the ages from 25 to 45s were able to comply with office hour and carry out their routine activities properly. Although some of them went out to have breakfast, they straightaway got back to the office shortly after that. In contrast, in the State Treasury Service Office-Non Model, employees with relatively the same ages with the first office found difficult to change their attitudes in term of employee attendance during office hour. In the morning before 07.30 am, employees usually came to register in attendant machine. Some of them immediately went out for their own reasons and came back in the office at 09.00 am and so, while after lunch-break they would come in about 2.00 to 3.00pm. Their regularity seemed to happen for long time (observation was conducted from June to July 2012). This finding was parallel with the condition in other office of Treasury where participant coded as S14 worked. According to S14, some employees were in the office at the registration times in the morning and the afternoon, but they often left the office in between those times for individual reasons (S14 2011, pers. Comm., Thursday, 8 September). The same practices happened before the implementation of attendance machines. From their conversation, this employee perceived that it was unlikely to lose the job for doing a slight undiscipline because public servants were seen as permanent employees compared with outsourced employees. There are two points can be learned from the above cases. Firstly, simply using employee age groups is not appropriate as indicator of change resistance. Secondly, applying electronic attendance machine to increase employee presentation during office hour is not straightforward. This finding suggests that a further research is needed to find out the root causes of this particular issue among employees. About this, the former Minister of Finance, Sri Mulyani Indrawati stated that one challenge to run State Treasury Service Office-Model, was gaining employees with appropriate integrity, culture and mind-set.2 This study shows the second hypothesis, H2= Resistance to change mostly came from internal organisation, was found true, particularly on changing employee attitudes and working culture. 4.3. The implemented change strategies in Treasury Regarding the third research question of what changed in the Treasury, the finding of this study is described as follow. Before implemented in all offices throughout Indonesia on 1 October 2012 as stated in the Director General of Treasury’s Decision No.KEP2
The detailed information about the launching of KPPN Percontohan is available at: http://www.antaranews.com/view/?i=1188877989&c=EKB&s=
46
163/PB/2012, initially on 30 June 2007, the State Treasury Service Office-Model (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Percontohan) was firstly introduced in five offices namely, Jakarta, Semarang, Makassar, Surabaya, and Denpasar.3 Employees assigned in these offices were assessed regarding their soft and hard competency acquisitions. The softcompetency test measured the required employees’ attitudes, while the hard-competency assessment looked their proficiency on accomplishing organisation core works. Through the opening of State Treasury Service Office-Model, significant transformation, take the form of the implementation of Standard Operating Procedures (SOPs), the introduction of ‘one stop service’ and the adoption of advanced ICT would be presented. The expected implications from these changes were a shorter time completion for several tasks, an increase in transparency and accountability, a paperless work method, a reduction in corruption, and a more secured and faster data processing. In term of the introduction of SOPs in the Treasury, all respondents perceived that the introduction of SOPs could improve service quality since it gave a clear flow of documents and a shorter of task completion which beneficial for stakeholders. This finding was consistent with the interview results: 80% of interviewees underlined that the introduction of SOPs made the work clearer in term of employees’ responsibility in every stage of the process and outlined the maximum time completion for particular tasks. In practice, however, employees possibly fail to meet the required time to finish some tasks. One example about this case was mentioned by S18 who worked in one of State Treasury Service Office-Model. In January to September 2011, 6% of disbursement letters were completed over the time-limit. From a conversation with S18 it was found that in order to meet the required time completion for a disbursement letter, a strategy was applied to application registered after 11.00 am would be recorded as the following work day tasks. Applying this strategy was unlikely touch the ultimate goal to provide excellent service. Regardless the performance of aforementioned above, respondents perceived that the implementation of change initiatives had increased employee performance ranging from ≤ 25% to 75%. Parallel with this finding, a recent unpublished survey on customer satisfaction conducted in the mid of July 2012 in one of the State Treasury Service Office in North Sumatera Province revealed that 63.8% of respondents were satisfied with the service provided. Although there was no comparative study, this finding implied that the implementation of the changes needed to be boosted.
3
The detailed information about the Grand Launching of KPPN Percontohan is available in Majalah Treasury, Edisi 04/2007 at http://www.scribd.com/doc/19798884/Majalah-TreasuryIndonesia-Edisi-42007
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
As aforementioned above, the new office layout aimed towards providing a one stop service, increasing service convenience, and reducing corruption. At this point, interviewee coded S13 affirmed that by avoiding of direct contact between employees and stakeholders through the new office setting made employees more focused on their tasks because stakeholders did not need to meet with middle desk employees during service process. All customer services were provided in the front desks. These changes were confirmed by S3 who explained that in the past service users were allowed to meet employees in the middle office area and ‘bargained’ about the works derived by unclear implementation of regulations (S3 2011, pers. comm., Tuesday, 6 September). It was likely that middle officers took control over the whole service process. Indeed, if this condition persists it possibly facilitates corruption and nurtures a chaotic public service delivery. Aiming at corruption eradication, a new remuneration system has been introduced. Given this system provided a significant increase to employee income, 80% of respondents perceived that it was useful to reduce corruption. This strategy is congruent with Quah’s (1999:72) notion that some factors which stimulate individuals to commit corruption are low salaries and ample opportunities to corrupt. Rewarding employees is one approach to gain support for implementing change. The idea underpinning this system is that individual employees need to be paid according to their performance. When employees are expected not to corrupt but to increase performance, they deserve to receive an appropriate income. However, one respondent called S1and 33% of interviewees perceived that implementing the new remuneration system could not reduce corruption straightaway. They underlined that ‘improving moral and attitudes of employees were more essential for reducing corruption rather than simply focusing on the increase of employees’ incomes’. In addition, all the aforementioned efforts should be supported by a misconduct prevention system and a strict enforcement of code of conduct. From different point of view, the formulation of new remuneration is intended to motivate employees to increase performance. However, as a motivating factor this new system was chosen only by 40% of respondents. Moreover, there was sceptical perception from 33% of interviewees that the new system had no significant correlation with employee performance because the methods to define the amount of remuneration relied on the employees’ grades which basically referred to employees’ ranks for staff or the position of employee-manager, although for employee staff there were three layer choices to differentiate. Employee tenure would influence the ranks of employees but it would not reflect individual workloads. Similarly, managerial position did not accurately show their individual performance, since managers had various achievements to carry out their tasks. Some of them Jurnal BPPK Volume 5, 2012
merely waited for their staffs’ outputs (S3 2011, Pers. Comm. Tuesday 6 September). Such a practice was in contrast with McLeod’s (2005:10) notion that employees should be paid in line with their responsibilities and contributions to the organisation, not based on their tenure. To improve the remuneration system as motivating factor, one respondent suggested that remuneration should be based on employees’ real outputs (S10 2011, pers. comm., Monday, 19 September). One method to formulate performance based remuneration was to develop an accurate output measurement system (S11 2011, Saturday, 4 September). S11 added that developing integrated and multipurpose software for monitoring employee daily outputs and defining credit points for each output would be useful. By doing this, the relation between employees’ incomes and performance could be drawn clearly. Regarding employee performance measurement, S8 stated that recently, Treasury had introduced Key Performance Indicators (KPIs). KPIs were defined for managerial positions and employee-staff from top to the bottom layers. This method was perceived to motivate employees since each employee had their own targets. However, S8 added that as a performance indicator this method had no linkage with remuneration system. It remained a loose system reflected in its software application. Moreover, the implementation of KPIs (adopting 360° feedback) still opened to data manipulation because employees possibly negotiated with their peer-employees and sub-ordinates in order to obtain good evaluation results (S8 2011, pers. comm., Thursday, 8 September 2011). Accomplishing co-workers or staff’s core tasks was not included in the assessment leading to unfair working relationship among employees. In the absence of an appropriate measurement, implementing new strategy can be said fruitless for employee performance and motivation. 4.4. Employee perceptions about communication methods for changes Regarding communication media adopted to promote the changes, 67% of interviewees mentioned both formal and non-formal meetings facilitating by two-ways communication method had been the most often, whilst the Treasury’s website and notificationletters were stated as the complement method. This finding was confirmed by 78% of respondent questionnaire. In line with this finding, Paton and McCalman (2008:50) explain that communication is a two way process whereby participants need to be listened and engaged. It could be said that the communication media implemented to deliver the change initiatives was consistent with communication literature. In terms of employee involvement in decision making process, management in Treasury encouraged employees to participate in making decisions although the media used remained limited to meeting with 47
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
employees and survey. About this, 71% of respondents stated that decision makers often collected employees’ opinions, for example through filling a form and on line service. This ‘bottom-up’ approach was perceived to entail employee participation in policy formulation. However, one interviewee stated that ‘the final decisions were often not in accord with employee proposals without any clarification (S10 2011, pers. comm., Monday, 19 September). It seemed that Treasury collected employees’ ideas, but included less in the decisions. Nurturing a gap between employees’ expectation and the reality could create a tripwire during the implementation stage. As Lewis (1999 cited in Elving, 2005:129) suggests that communication is important in developing plans in order to gain employee commitment. Limiting employees in designing change strategies meaning that the notion to ‘sweep in’ diverse employee ideas (borrowing from Churchman’s notion 1982 cited in McIntyre, 2004:50) was abandoned which possibly led to half-hearted employee to support the changes. Practicing such a condition for long time, it can be predicted that the change initiatives will gain minimal achievement as it possibly grow a resistance. 4.5. The Perceived change in human resources management As an underlying factor for effective changes, improvement in human resources management and policy are imperative. In conjunction with this, the Treasury had increased its capacity in conducting training programs (S2 2011, pers. comm., Friday, 9 September). For example, besides technical training programs conducted in Treasury Learning Centre, there were managerial training programs for employees who would be promoted to managerial positions. Another program was a Career Path Training Programs to prepare employees for managerial positions (Source: http://www.perbendaharaan.go.id /new/?pilih=news&aksi=lihat&id=2360). In addition, the Treasury had introduced motivational training programs and competence based trainings to enhance employee soft-competencies through engaging internal and external provider, such as, Financial Education and Training Centre in the Ministry of Finance and ARA consultant (S3 2011, pers. comm., Tuesday, 6 September). This effort, to some extents contributed in developing the State Treasury Service Office-Model through preparing employees to pass the assessments. Despite the improvement on training policy aforementioned above, 47% of interviewees perceived the opportunity to attend training programs remained limited. One example to support this perception was the research finding conducted by the Directorate of Transformation in Treasury: 84.5% out of 5.402 respondents were computer illiterate.4 It was believed 4
Detailed information about training of trainer activities on 18 October 2011 in Treasury of Gorontalo, Indonesia is available at
48
that one of the factors resulted this condition was the centralised training policies leading to the lack of ICT training program for employees in regional and rural offices. Moreover, some training programs required certain employee backgrounds and positions, as well as the candidates’ capability to understand the contents of such programs, which not all employees possessed (S4 2011, pers. comm., Thursday, 15 September). This condition was likely to hinder the implementation of advanced ICT as the facilitating strategy towards service excellent from those who could get the access to training programs. Basically, training programs are provided equally in order to meet the organisational needs of skilful employees based on training need analysis results. In practice, however, managers in branch offices often preferred to send employees from the members of their social-networks or younger employees (S13 2011, pers. comm., Friday, 13 September). In addition, there remained a practice of selecting candidates based on ‘special friendship’ rather than applying merit system relying fully on the employee database (S5 2011, Wednesday, 14 September). This practice particularly was applied for very competitive courses. If employees in the Division of Human Resource Development want to fully change they have to take account for the organisation needs through providing equal opportunity develop. Although time constraint for nominating candidates was the most often cited justification, it can be said that ‘social networking’ in some extent influence the decision making. Such a compartmentalised way of thinking in long term can create ‘wicked problems’ for the Treasury.5 Therefore, what needs to be change is not merely policy and practice, but for employees to change the way of thinking (McIntyre, 2003:2). From different viewpoint, S8 mentioned that it would be difficult to provide adequate numbers of training programs if training were still centralised. Besides budget constraint, employees in branch offices could not leave their offices very often at the same time because it would affect the service quality in rural offices (S8 2011, pers. Comm., Thursday, 8 September). These conditions seemed to tighten the opportunity for attending training activities and to widen the ICT competency gap among employees which could potentially be the seed for resistance to changes. In response to the above issues, some respondents provided suggestions to improve training program outcomes. The first suggestion was the need to develop and update a training blueprint and to be consistent in its implementation. This blueprint should be linked to employee database, so that competency gap could be monitored and evaluated
. 5 ‘Wicked problems’ in this case refers to problems resulted from interrelated factors, such as, bribery, the feeling of group cohesiveness, rent opportunity for employees working in powerful position when they are not in the same position will remain to be account for employees who previously received their favour, etc.
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
accurately (S5 2011, pers. comm., Wednesday, 14 September; S15 2011, pers. comm., Monday, 5 September). Secondly, providing minimum number of training involvements for employees was essential to refresh knowledge and to adapt with ICT advancement. It is congruent with Baker’s (2007:43) contention that longitudinal training is essential particularly for cultural change. It is believed that a large budget for human resource development may be needed to obtain high quality employees for a long term organisational benefits. Thirdly, S15 also suggested decentralisation of training program to complement training programs conducted in the centre could be an alternative solution. Decentralising training activities was perceived to be able to address the training needs in different offices as it possibly provided specific trainings. In the operation of decentralizing training program, regional offices should provide a human resource development division with appropriate budget and programs. Fourthly, some respondents suggested that sharing knowledge and experience among employees in a group discussion, particularly by those who just followed training programs were essential to increase employee capacities (S6 2011, pers. comm., Tuesday, 6 September; S10 2011, pers. comm., Monday, 19 September). This strategy needed to be facilitated by the organisation through its policy. The employees who share the knowledge are likely to become internal change agents. Thus, it is not only the managers who become change agents in Treasury, but also employees at the lowest level. Successful change can be gained through identifying ‘indigenous source of change’ (Baker, 2007:98). Internal change agents are likely to influence at day-to-day operational level and at policy level. This method can be cheaper than involving external change agents, but the results are likely to be significant if conducted regularly. Regarding the policy of employee rotation from one assignment of position or location to another, the former Director General of Treasury, Herry Purnomo believed that shifting workplace could refresh employees in terms of working types and environments (http://www.perbendaharaan.go.id/ new/?pilih=news&aksi=lihat&id=2473). This, in turn, is believed to increase employee performance. Towards this policy, 47% of respondents perceived employee rotation was able to refresh employees. During an interview, S26 commented that employee rotation in the Treasury could preserve the quality of services and maintain their sustainability in rural Treasury offices through having fresh employees. S8 and S20 added that this objective could be gained by appointing employees in the right place with supporting and appropriate resources. Furthermore, it could keep the Treasury’s dynamic. From different perspective, the patterns of employee rotation system were seen as a ‘grey area’ in terms of the length of time employees appointed in one position and the location for the next assignment (S4 2011, pers. comm., Thursday, 15 September; S7 Jurnal BPPK Volume 5, 2012
2011, pers. comm., Thursday, 8 September). This uncertainty led the employees to be difficult to harmonise with their own plan particularly for employee-staff. Since the practice of the employee rotation was nationwide, 67% of interviewees considered this system increased living expense in new place coming from children’s education, family reunion airfares, etc., because employee-staff were not eligible to get house rent facilities from the Treasury, unlike managers. They also stated that the uncertainty embedded in this system created psychological impact on employees and their families. Although normally employees would be rotated between two and four years, some employees could be in one location or position for more than five years. Other negative effects of employee rotation involved the issue of children’s education and family problems due to living separately and the quality of education. This probably led to feeling apathy to the organisation and raised anxieties (S7 2011, pers. comm., Thursday, 8 September). In addition, decision making for appointing employees was perceived to be subjective in some extent as managers in a certain level could interfere (S11 2011, pers. comm., Saturday 4 September) although assessment method had been adopted. For S1and S8, this condition possibly led employees who could not afford the change to reduce motivation and performance. In order to reduce the negative effects from the current systems, some interviewees suggested that the scope of rotation for staff and managers should be differentiated. Staff rotation should be regional because they do not hold certain managerial positions, while the scope of manager rotation could be national (S6 2011, pers. comm., Tuesday, 6 September). It was suggested that personnel division in the centre needed to develop and update personnel databases clearly connected to the employee rotation blueprint and employee preferences. This blueprint must be transparent to employees to seek feedback and ‘transparency’ in decision making process (S5 2011, pers. comm., Wednesday, 14 September). In addition, basic needs for all employees who move, staff and managers, have to be provided by Treasury to reduce stress in the new assignments so they could focus on their work (S1 2011, pers. comm., Tuesday, 6 September; S4 2011, pers. comm., Tuesday, 15 September; S6 2011, pers. comm., Tuesday, 6 September). 4.6. The perception about employee supports to the changes Regarding employee attitudes toward the change, this study revealed that 57% of respondent managers perceived young employees had more positive attitudes towards the change in Treasury. It seemed that the view was based on the fact that young employees were easily to learn a new ICT because the change strategy in Treasury mostly related to the adoption of new ICT. It is parallel with Watson’s (1971:756) findings that younger persons are 49
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
perceived to be more ready for change than those who, with age, have gained possessions, skills, or respect within the older arrangement of things. It suggested that their adaptability was reflected in their attitudes to commit to the change initiatives, including the skills and abilities to work with new technology. Those who perceived themselves incapable were likely to withdraw and tried to maintain the status quo as Argyris and Schon (1974, 1978 cited in Piderit, 2000:785) mentioned that resistance emerged from defensive routines. A similar assumption could be made with the older employees in the Treasury. They perceived themselves unable to move in parallel with the changes. However, 43% respondent managers did not see the different attitudes among young and old employees. Finally, to answer the research question of employee respondent’s support to the change, this study found 81% of respondents supported the changes implemented in the Treasury. For such a high support level towards the change initiatives, the Treasury should appreciate and use this support as effective as possible since employee engagement and support are the strengths for organisational development.
5. CONCLUSIONS This study revealed the driving factors and the resistant factors to implement the change initiatives in Treasury in the perception of the participants of this study. Among other things, the shift in stakeholder demands materialised in good governance was in the strongest drivers as predicted in the first hypothesis, just on top of the efforts to eradicate corruption. To implement the change initiatives, however, managers in the Treasury had to address the resistant factors came from intern organisation that took the forms of employee attitudes, working cultures, and lack of appropriate ICT literacy. Shifting employee attitudes and working cultures were perceived the hardest ones. These factors are categorized as internal factors. Changes in the Treasury included the development of the State Treasury Service OfficeModel as an effort to provide excellent service through creating customer-focused culture; increasing employees’ income; and improving the policy on employee rotation and training. In the State Treasury Service Office Model, SOPs, advanced ICT, new office layout towards ‘one stop service’ were introduced. The implementation of SOPs resulted in the omission of unnecessary stages in service delivery process, leading to a shorter service process, clearer service procedures and employee responsibilities. The adoption of new ICT was supposed to improve service quality, transparency, and data security. Additionally, employees perceived the training programs and remuneration systems had been better than the previous systems, but they still needed to be improved. Remuneration system should have a linkage with employee performance and employee performance measurement needed to be linked with 50
employees’ real outputs. The employee rotation policy as an effort to refresh employees, for some employees, was perceived to have negative impacts from its embedded uncertainty. More than half number of respondent perceived that young employees were more adaptive and demonstrated more positive attitudes in terms of their adaptability with new ICT than old employees. Finally, 81% of respondents supported the change initiatives implemented in the Treasury which resulted in the increase of employee performance in the range between 25% to 75%.
6. IMPLICATIONS AND LIMITATIONS 6.1. Implications of the study Based on the findings and discussion in Chapter Four, this study suggests that before proceeding with implementation of change initiatives, within the study participant perceptions, change managers in Treasury need to: firstly, minimize the identified resistances for implementing change strategies which mainly came from internal factors. Secondly, improving managers’ communication skills and involving employees in decision making process are perceived to be essential to gain employee alignment which in turn is able to reduce resistance. Their involvement need to be reflected in the decision results, otherwise confirmation needs to be provided. Thirdly, applying KPIs only as a formal strategy without appropriate managerial supervision in all levels will be fruitless for employee performance, particularly in the rural offices. Fourthly, developing integrated software is supposed to be able to link between employee performance and remuneration system. Fifthly, before conducting training program, an appropriate training need analysis research should be carried out supported by updated employee’s competency database. Regionalising the training activities is possibly to widen the opportunity for employee to access appropriate training. Finally, the high level of employee supports to the change initiatives should be perceived as an intangible capital for the change. 6.2. Limitations of the study The researcher encountered some limitations regarding the practical and theoretical matters. The researcher was unable to obtain comparative data on the performance of employees before and after the implementation of change in the Treasury, and on employee satisfaction since there was no previous study in this field. This limitation had tightened by the allocated time and funding for data collection and analysis. In addition, as a novice researcher, it was common to lack understanding about theory in the field of research.
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
REFERENCES Amagoh, F. 2008. ‘Perspectives on organisational change: Systems and complexity theories’. The Innovation Journal: The Public Sector Innovation Journal. Vol. 13. No.3. Pp. 1-14. Viewed from http://www.innovation.cc/ scholarly-style/ amagoh3dec2008jag2rev1.pdf, 23 June 2011. Baker, D. 2007. Strategic change management in public sector organisations. Chandos Publishing. England: Oxford. Barbour, R.S. 2008. Introducing Qualitative Research: A student’s guide to the craft of doing qualitative research. London: Sage Publication. Beer, M. 1997. ‘The transformation of the human resource function: Resolving the tension between a traditional administrative and a new strategic role’. Human Resource Management (1986-1998). Vol. 36, No. 1. Pp. 49-56, viewed from http://instruct. uwo.ca/ business.15 August 2011. Butler, A., Letza, S.R. & Neale, B. 1997. ‘Linking the balanced scorecard to strategy’, Long Range Planning. Vol. 30. No. 2. Pp. 242, Elsevier Science Ltd., viewed from
employees implementing the UK Government’s ‘Back to work’ programme’. Employee Relations. Vol. 31. No. 4. Pp. 382-397. Viewed from www.emeraldinsight.com/ 0142-5455.htm, 23 June 2011. Kitchen, P.J. & Daly, F. 2002. ‘Internal communication during change management’, Corporate Communications: An International Journal, vol. 7, no. 1, pp. 46-53. viewed from http://search.proquest.com.ezproxy.flinders.edu .au/docview/214191803/fulltext PDF/131C25D2A821AC09B08/2?accountid=109 10. 11 September 2011. Klein, K.J. & Sorra, J.S. 1996, ‘The challenge of innovation implementation’, Academy of Management Review. vol. 21, no. 4, pp. 10551080. viewed from http://www.management, 2 September 2011. McLeod, R.H. 2005. ‘Private sector lesson for public sector reform in Indonesia’. Indonesian Project, Division of Economics, Research School of Pacific and Asian Studies, the Australian National University. Viewed from http://www.crawford.anu.edu.au/acde/ publications/publish/papers/wp2006/wp-econ2006-02.pdf. 18 October 2011. McIntyre, J. 2003. ‘Participatory design: the community of practice (cop)approach and its relevance to strategic knowledge management and ethical governance’. Journal of Sociocybernetic. Vol. 4, No. 1. Pp. 1-21. Viewed from http://www.unizar.es/ sociocybernetics/Journal/dentro.html.15 August 2011. -----------. 2004. ‘Facilitating critical systemic praxis (csp) by means of experiential learning and conceptual tools’. Research Paper. Systems Research and Behavioural Science, John Wiley & Sons, Ltd., Vol. 21. No. 1. Pp. 37-61, viewed from http://search. proquest.com.ezproxy. flinders.edu.au/docview/196859955/fulltextPD F/132BF98459839FA9A44/1?accountid=10910. 26 August 2011. Mishra, B. Bhaskar, A.U. & Khurana, A. 2007. ‘Development of organizational change questionnaire’, Global Business Review, Sage Publication, New Delhi, No. 8. Pp. 87-97. Viewed from http://gbr.sagepub.com/ content/8/1/87. 3 July 2011. Mooraj, S., Oyon, D. & Hostettler, D. 1999. ‘The balanced scorecard: a necessary good or an unnecessary evil’. European Management Journal. Vol. 17. No. 5. Pp. 481-491, viewed from http://www.sciencedirect.com.ezproxy. flinders.edu.au/science?ob= MiamiImageURL &_cid=271956&user=1272615&_pii=S02632373 99000341&_check=y& origin=&coverDate =31Oct-1999&view=c&wchp=dGLzVBAzSkWA&md5=c601561303ff8db069c2a9125588 7af7/1-s2.0-S0263237399000341-main.pdf, 15 August 2011. 51
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
Onwuegbuzie, A.J. & Collins, K.M.T. 2007. ‘A typology of mixed methods sampling designs in social science research’, The Qualitative Report, vol. 12, no. 2, pp. 281-316, viewed from, http://carbon.videolectures.net/2009/uni_lj/fdv /ecpr09_ljubljana/onwuegbuzie_mmr/ MixedMethodsSampling.TQR.PublishedVersion.p df, 2 September 2011. Paton, R.A. & McCalman, J. 2008. Change management: A guide to effective implementation, 3rd edn. London: Sage. Patton, M.Q. 2002, Qualitative research & evaluation methods, 3rd Edn. Thousand Oaks, London. Sage Publication. Piderit, S.K. 2000. ‘Rethinking resistance and recognizing ambivalence: a multidimensional view of attitudes towards an organizational change’. the Academy of Management Review. Vol. 25. No. 4. Pp. 783-794, viewed from, http://search.proquest.com.ezproxy.flinders. edu.au/docview/210980597/fulltextPDF/132AF DEC0AD6D3F1810/1?accountid=10910. 6 September 2011. Polkinghorne, D.E. 2005. ‘Language and meaning: data collection in qualitative research’. Journal of Counceling Psycholog. Vol.52. No.2. Pp. 137-145,
52
viewed from http://www.usc.edu/ projects/rehab/private/docs/researchers/polki nghorne/3_polkinghorne.pdf. 2 September 2011. Powel, E.T. & Renner, M. 2003. ‘Analyzing qualitative data’. Program development & evaluation. pp. 110. Wisconsin: University of WisconsinExtension, Madison. Quah, J.S.T. 1999. ‘Comparing anti-corruption measures in Asian countries: Leason to be learn”. Asian Review of Public Administration. Vol. 11. No. 2. Pp. 71-90. Viewed from http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/d ocuments/EROPA/ARPA-JulDec1999-Quah.pdf. 7 October 2011. Trumbull, M. 2005. ‘Qualitative research method’. in GR, Taylor (ed), Integrating quantitative and qualitative methods in research, 2nd edn., Chpt. 6th, pp. 102-127, Maryland: University Press of America Inc. Watson, G. 1971. ‘Resistance to change’. American Behavioral Scientist. Vol. 14. No. 5. Pp. 745-764. Viewed from http://abs.sagepub.com/ content/14/5/745. 15 August 2011.
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
APPENDIX A1. QUESTIONNAIRE FOR MANAGERS Respondent’s details: Age : ...... Tenure : ...... Education Background : ...... Organisation : ...... Number of working in different locations : ...... About this study: 1. Aims of the study: to collect information about employees’ perception of the change in Treasury. 2. Purpose: academically, to fulfil one of the requirements to complete my study in Master of Public Administration (Management). However, an appropriate access will be provided for Treasury to use the findings of this study. 3. Respondent confidentiality: Respondents do not need to give their identity other than required above. These details will be kept confidential by the researcher and will not be presented in the report. In this way, it is supposed that there will be not any risk to their in their work.Respondent may withdraw from this study if they feel inconvenient to respond the questions. A. Participants’ perception about the change drivers in Treasury. How do you rank these potential change drivers in Treasury according to their strengths? Put number 1 for the first strongest, number 2 for the second strongest, and so on. No Potential Change Drivers in Treasury Rank 1 Public demand for realising good governance. .... 2 Efficiency in the use of organisational resources, such as, budget, equipments, employees,etc. ..... 3 The advance of technology ..... 4 Economic and political conditions ..... 5 The implementation of policies from donor countries and agencies. ..... 6 The change in legislations ..... 7 Combating corruptions ..... 8 Other factors, such as,..... ..... B. Challenges for implementing change in Treasury B.1. In the list below, how do you rank these potential challenges to change in Treasury according to their strengths? Please rank according to their strengths by giving number. Number 1 is the first strongest, number 2 is the second strongest, and so on. No Potential Challenges Rank 1 Adoption and adaptation of technology ..... 2 Providing adequate education, skills and knowledge to employees ..... 3 Change in employee attitudes and behaviour ..... 4 To increase stakeholders’ competencies to meet the need for excellence services. ..... 5 Communicate about the change to employees ..... 6 Create sustainable change to maintain a high quality of services ..... 7 Others, such as. ...... ..... B.2. Regarding employees’ skills and competencies on the use of technologies, are there any difference between older and younger employees? Circle the letter in front of your answer. a. Yes, the older employees have skills and competencies than the younger. b. Yes, the younger employees have more skills and competencies than the older. c. No, they have the same skills and competencies. B.3. Do you think that there are different attitudes to change between the older and younger employees? Circle the letter in front of your answer. a. Yes, the elders have more positive attitudes to the change than the younger. b. Yes, the younger employees have more positive attitudes to the change than the older. c. No, they have the same attitudes. B.4. What factors make it difficult for the young employees to engage with the change? Tick your answer in the column correspond to your answer. No Factors Answer 1 Adapting with new technology .... 2 Changing working cultures .... 3 Meeting working hours .... 4 Innovations and creativities .... 5 Other(s). ..... .... B.5. What do you think about employee rotation system in Treasury. You may answer more than one by ticking in the available column or write your comments. No Effects of employee rotation Answer 1 It is a good system to develop employees’ career. ..... 2 It is good for avoiding boredom ..... 3 It is good to increase employees’ competencies in carrying out different tasks. ..... 4 It is not good for a certain employees because ... ..... 5 There is no advantages for employees, because ... ..... 6 Other opinions, .... ..... Jurnal BPPK Volume 5, 2012
53
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
B.6. Please, give your opinions about the positive and negative effects of the implementation of employee rotation system to Treasury (organisation). Answer: ............. B.7. Please, give your opinions about the positive and negative effects of the implementation of employee rotation system to employees. Answer: .............. C. Communication strategy C.1. In order to gain employee support, the change strategies need to be communicated to the employees and stakeholders. Please rank these strategies (where applicable) from the most often used to the least. You may answer more than one by ticking in the column. No Strategies Answer(s) 1 Meeting with employees (communication in two ways direction) ..... 2 Treasury’s websites ..... 3 Questionnaires/brochure/pamphlet/magazines ..... 4 Telephones and short message systems (SMS) ..... 5 Other(s)..... ..... C.2. Please circle the statement that best describes the level of employee involvement in the development of change strategies. a. Policy makers always asked employees’ opinion before making decisions. b. Policy makers often asked employees’ opinion before making decisions. c. Decision making process was a combination of bottom-up and top-down process but the outcomes are often different with employees’ proposals. d. Decision making process was mostly in top down mode. D. Impacts of the change initiatives in human resources to employees in Treasury D.1. Do you think that the implementation of change initiatives in Treasury has increased employee performance? Circle the letter in front of your answer and give your opinion. a. Yes, because .... b. No, because .... c. I do not know. D.2. In your perception, how much has the employee performance increased since the implementation of the change in Treasury? Circle the letter in front of your answer. a. ≥76% b. 51% - 75% c. 26% - 50% d. ≤25% D.3. Do you think that the change in Treasury is perceived differently between the older and the younger workers? Circle the letter in front of your answer and give your opinion. a. Yes, because.... b. No, because.... D.4. Do you agree that the change in Treasury has different effects in terms of increasing employees’ discipline between the older and the younger workers? Circle the letter in front of your answer and give your opinion. a. Strongly agree, because ... b. Agree, because .... c. Neither agree nor disagree, because .... d. Disagree, because ... e. Strongly disagree, because ... D.5. Do you agree that the change may reduce corruptions in Treasury? Circle the letter in front of your answer and give your opinion. a. Strongly agree, because ... b. Agree, because .... c. Neither agree nor disagree, because .... d. Disagree, because ... e. Strongly disagree, because ... E. Strategies to reduce technological competency gap between the older and the younger employees E.1. What do you think about the employee opportunity to attend technical training programs? Circle the letter in front of your answer and give your opinion. a. The older employees were likely to get more opportunity to attend training program than the younger, because ... b. The younger employees were likely to get more opportunity to attend training program than the older, because ... c. They have the same opportunity to attend training programs, because, ... d. I do not know. E.2. Do you think that offering an early retirement to the old workers is urgent at this moment in Treasury? (Put circle in the letter in front of your answer). a. Very urgent, because ... b. urgent, because .... c. Not urgent, because ... d. Not very urgent, because ... e. I do not know, because ... E.3. Please, give your opinions about the positive and negative impact of early retirement to the individual employees who get it?Answers: Positive impact, .... Negative impact, .... 54
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
APPENDIX A2. QUESTIONNAIRE FOR STAFF Respondent’s details: Age : ...... Tenure : ...... Education Background : ...... Organisation : ...... Number of time working in different locations : ...... About this study: 1. Aim: Gather information about employees’ perception of the change in the Treasury. 2. Purpose: Mainly for academic purpose to fulfil one of the requirements to complete studying in Master of Public Administration (Management). However, if the Treasury intend to use the results of this study, the researcher will provide the appropriate access. 3. Respondent confidentiality: Respondents do not need to give their identity other than required above. These details will be kept confidential by the researcher and will not be presented in the report. In this way, it is supposed that there will be not any risks to their status in the workplace. Respondent may withdraw from this study if they feel inconvenient to respond the questions. A. Communication media A.1. Recently, the way to provide services to customers are different with those in several years ago, such as, in terms of the procedures and the completion time for issuing SP2D (letter of transfer order) from 8 hours to 1 hour. Do you know why Treasury needs to change? Circle the letter in front of your answer. a. Yes, I know b. No, I do not know If your answer is “no”, proceed to question A.2; If your answer is “yes”, how did you obtain the information about the change in Treasury? You may answer more than one by circling the letter in front of your answer or write your comments. a. Attending regular employee meetings b. Reading regulations c. Visiting Treasury’s website d. Reading magazines, newspaper, television broadcasting, brochures, etc. e. Others. ........ A.2. In terms of the introduction of new regulations or strategies, what statement best describes the responses of managers in your office? Circle the letter in front of your answer and provide your opinions. a. Managers conducted meetings with employees to discuss new regulations or strategies immediately. Because... b. Managers conducted meetings limited to the affected employees and the urgent regulations or strategies. For general regulations, representative employees are preferred. Because... c. Managers rarely conducted a meeting with employees to discuss the new regulations or organisational strategies. Because... d. Managers let employees learn by themselves. Because... e. others, ... A.3. How often did you attend meetings in regional office or central office of Treasury office last year? Circle the letter in front of your answer. a. More than twice a year. b. Twice a year. c. Once a year. d. Never. A.4. Recently, Treasury has developed websites in every branch in rural areas. Regarding the existing website in Treasury, how often did you visit that website? Circle the letter in front of your answer or write your opinions. a. Every day since my works rely on the Treasury’s website. b. More than once a week. c. More than once in two weeks. d. More than once a month e. Never, because.......... A.5. What do you think about the usefulness of Treasury’s websites to increase employee competency? Circle in the letter in front of your answer and give your opinion. a. Very useful, because..... b. Useful, because..... c. Useless, because..... d. Very useless, because...... e. I do not know. A.6. Recently, most of services provided by Treasury used software/application, such as, the service on issuing fund transfer order (SP2D), assets administration and data reconciliation between financial reports prepared by executing agencies and the Treasury’s financial database. Please rank your familiarity in operating softwares related to your works: No Descriptions Answer 1 Very familiar (I am able to operate and I can handle if there is something wrong with the softwares). .... 2 Familiar (I am able to operate but I cannot handle if there is something wrong with the software). .... 3 Average (I am able to operate only on basic services). ..... 4 Unfamiliar. (I do not know how to operate software). ..... 5 I am not requested to operate software in my work. .....
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
55
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
A.7. Do you agree that the implementation of standard operating procedures (SOPs) increases the service quality in Treasury? Circle in the letter in front of your answer and give your opinion. a. Strongly agree, because... b. Agree, because... c. Neither agree nor disagree, because... d. Disagree, because... e. Strongly disagree, because... A.8. Do you think that the time for accomplishing every task set in SOPs is achievable? Circle the letter in front of your answer and give your opinion. a. Very optimistic, because... b. Optimistic, because... c. Neither optimistic nor unoptimistic, because... d. Pessimistic, because... e. Very pessimistic, because... B. Change initiatives in human resources management B.1. Recently, Treasury has provided various technical training programs to employees. How often did you attend training programs last year? Circle the letter in front of your answer. a. More than twice. b. Twice. c. Once. d. Never. B.2. How often did you attend training programs excluding technical training last year? Circle the letter in front of your answer. a. More than twice. b. Twice. c. Once. d. Never. B.3. Recently, Treasury has introduced performance measurements, such as, key performance indicators (KPI) and employee performance contracts. Do you agree that these strategies will be effective to increase employees’ performance? Circle the letter in front of your answer and give your opinion. a. Strongly agree, because ... b. Agree, because.... c. Neither agree nor disagree, because ... d. Disagree, because ... e. Strongly disagree, because .... B.4. Since 2007, the Treasury has implemented a new remuneration system. Do you agree that the new remuneration system is effective to reduce corruption in Treasury? Circle the letter in front of your answer and give your opinion. a. Strongly agree, because... b. Agree, because.... c. Neither agree nor disagree, because... d. Disagree, because... e. Strongly disagree, because.... B.5. Do you agree that the new remuneration system is effective to increase employee performance in Treasury? Circle the letter in front of your answer and give your opinions. a. Strongly agree, because... b. Agree, because.... c. Neither agree nor disagree, because... d. Disagree, because... e. Strongly disagree, because.... B.6. Do you agree that the implementation of electronic attendance machines is effective to increase employees’ attendance? Circle the letter in front of your answer and give your opinions. a. Strongly agree, because... b. Agree, because.... c. Neither agree nor disagree, because... d. Disagree, because... e. Strongly disagree, because.... B.7. Do you agree that the implementation of electronic attendance machines is effective to increase employees’ productivity? Circle the letter in front of your answer and give your opinions. a. Strongly agree, because... b. Agree, because.... c. Neither agree nor disagree, because... d. Disagree, because... e. Strongly disagree, because.... B.8. The employee rotation policy is believed to increase employees performance. Do you agree with this statement? Circle the letter in front of your answer and give your opinions. a. Strongly agree, because... b. Agree, because.... c. Neither agree nor disagree, because... d. Disagree, because... e. Strongly disagree, because....
56
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
B.9.
B.10
C. C.1.
C.2. C.3.
C.4.
The employee rotation policy is believed to reduce corruptions. Do you agree with this statement? Circle the letter in front of your answer and give your opinions. a. Strongly agree, because ... b. Agree, because.... c. Neither agree nor disagree, because ... d. Disagree, because ... e. Strongly disagree, because .... Please give your opinions about the positive and negative impacts of employee rotation system to the employee in the Treasury? Answers: Positive impacts: ... Negative impacts: ... Employees’ perspectives of the effort to provide excellent services in the Treasury Do you agree that excellent services can be actualised through the implementation of reform policies in the Treasury? Circle the letter in front of your answer and give your opinions. a. Strongly agree, because... b. Agree, because.... c. Neither agree nor disagree, because... d. Disagree, because... e. Strongly disagree, because.... Did you have any experience about the difficulties on implementation of SOPs? Answer :.... Do you agree that the implementation of employee promotion system increases employees’ performance in the Treasury? Circle the letter in front of your answer and give your opinions. a. Strongly agree, because... b. Agree, because.... c. Neither agree nor disagree, because... d. Disagree, because... e. Strongly disagree, because.... Do you agree that the policy on early retirement increases the quality of service in Treasury? Circle the letter in front of your answer and give your opinions. a. Strongly agree, because... b. Agree, because.... c. Neither agree nor disagree, because... d. Disagree, because... e. Strongly disagree, because....
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
57
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
APPENDIX A3. INTERVIEW GUIDE To meet the requirement for completing the degree on Master of Public Administration (Management), I am conducting research on ‘employees’ perceptions of the change in the Treasury. The following questions will be about the change implemented in the Treasury and the impacts of the change to organisation, employees and governmental agencies that receive services from Treasury offices. You may withdraw from participating in this research if you feel uncomfortable. The finding in this study, however, is supposed to be useful for managers in the Treasury who intend to implement change initiatives in the future. Therefore, your answers will have direct or indirect impacts in the future of Treasury, employees and governmental agencies that receive services from the Treasury. I will keep interviewee information confidentially to prevent any risks for interviewees in the workplace. Should you have any questions regarding this study, please send an email to: [email protected]. I thank you for your kind participation in this study. Agustinus Prasetyo Master student in Public Administration (Management) Flinders University of South Australia, Adelaide, South Australia Interviewee’s detailed information: Name: .............................. Age: ...... years Tenure: ...... years Position in organisation: ..... =========================================== 1. Having a long tenure working in the Treasury, you have had many experiences regarding the dynamic in the Treasury. What have you experienced with the conditions before and after the reform in the Treasury? 2. In your perception, why does the Treasury need to implement change initiatives? 3. On the way to reach the conditions where Treasury is able to provide excellence service delivery, there have been a lot of challenges. What is the most difficult challenge for you? 4. What media did managers commonly use to inform the change to employees? 5. The change in the Treasury revolves around many areas, in terms of training programs. Do you think that the opportunities for employees to access training programs are adequate now? 6. As the nature of employee in public service has been carrying out the task according to the Government regulations. How do you think about the regulations in Treasury so far? 7. Do you have any opinion about assessment for employee promotions? Did you have experience with it? If you have some, would you tell me the most impressing for you? When did the assessment happen? What assessment about? How was the result? 8. What do you think about employee rotation system and its implementation in the Treasury? 9. What do you think about the plan to implement early retirement initiatives in the Treasury? 10. What do you think about the recent remuneration system in the Treasury in relation to the employees’ performance and corruption practices? 11. Do you think that employees in the Treasury voluntarily support the change? 12. Do you have additional comments about the change in the Treasury?
APPENDIX B1. INTERVIEWEES’ PERCEPTIONS ABOUT THE POTENTIAL DRIVING FACTORS IN TREASURY Responses Potential Driving Factors Respondent Codes Total Public demand to actualise good governance S1, S2, S4, S5, S7, S8, S10, S13 and S15 9/15 Efforts to reduce corruptions S2, S3, S6, S7, S8, S10, S11, and S15 8/15 The introduction of new legislations S1, S5, S6, S11, S13 5/15 The adoption of new technologies S8, S11 and S13 3/15 The effort to increase efficiency and effectiveness in S3 and S11 2/15 the utilisation of organisation resources
58
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
APPENDIX B2. RESPONDENT-MANAGERS’ PERCEPTIONS ABOUT THE STRENGTH OF POTENTIAL DRIVING FACTOR FOR CHANGE Responses Potential Driving Factors Public demand for realising good governance.
Total (R=Rank)
S1
S2
S3
S4
S5
S6
1
1
2
1
1
1
1
7
2
1 6
2
3
2
6
2
6
5
5
2
3
2
3
4
3
3
5
4
4
4
3
4
4
6
5
3
5
5
7
6
4
6
5
6
7
8
7
7
7
7
The younger’s awareness
S7
R1 = 6//7 R2 = 1/7 R1= 1/7 R2=3/7 R3=1/7 R6=2/7 R7=1/7 R2= 3/7 R3=1/7 R5=2/7 R6=1/7 R3 = 3/7 R4 = 3/7 R5 =1/7 R4 = 3/7 R3=2/7 R5=1/7 R6=1/7 R5 = 3/7 R4=1/7 R6=1/7 R7=1/7 R7 = 5/7 R6=1/7 R8=1/7
The effort to eradicate corruptions
The introduction of new financial legislations.
The adoption of advanced technologies.
Efficiency of organisational resources, such as, budget, equipments, employees, etc.
Economic and political conditions The implementation of policies from donor countries and international agencies.
APPENDIX B3. INTERVIEWEES’ PERCEPTIONS ABOUT COMMUNICATION MEDIA USED IN TREASURY Responses
Communication Media
Codes S1, S2, S4, S5, S6, S7, S8, S10, S13 and S15
Formal and non-formal meeting with employees and Stakeholders in a two-ways communication (dialogue). Treasury’s website Magazines, brochures, backdrops, pamphlets, etc.
S3, S4, S5, S9, S13, and S15 S5, S13 and S15
Total 10/15 6/15 3/15
APPENDIX B4. RESPONDENT-MANAGERS’ PERCEPTIONS ABOUT THE COMMUNICATION MEDIA THEY USED FOR DISSEMINATING CHANGES IN TREASURY Communication Methods Formal and non-formal meeting with employees and Stakeholders in a two-ways communication (dialogue).
Responses S1 2
S7 1
S8 1
S19 1
S20 1
S21 3
S26 3
1
4
2
3
2
2
2
3
5
4
2
4
1
4
4
2
3
4
3
4
1
5
3
5
5
5
5
5
Treasury’s website Magazines, brochures, backdrops, pamphlets, etc.
Daily informal communication Short messages (SMS) and telephones Social network communication
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
6
Total (R=Rank) R1 = 4//7 R2 = 1/7 R3 = 2/7 R2= 4/7 R1 = 1/7 R3 = 1/7 R4 = 1/7 R4 = 3/7 R1 = 1/7 R3 = 1/7 R5 = 1/7 R7 = 1/7 R4= 3/7 R3=2/7 R1=1/7 R5 = 6/7 R3 = 1/7 R6 = 1/7
59
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
APPENDIX B5. RESPONDENT-STAFF’S PERCEPTIONS ABOUT COMMUNICATION MEDIA USED IN TREASURY Respondents’ Response
Communication Media Formal and non-formal meeting with employees and Stakeholders in a two-ways communication (dialogue) Treasury’s website Regulations related to Treasury’s works Magazines, brochures, backdrops, pamphlets, etc. Others (task-forces and stakeholders)
Codes S3, S4, S10, S12, S11, S14, S17, S18, S22, S25, S27,
Total 11/11
S3, S4, S12, S11, S14, S17, S18, S22, S25 and S27 S3, S4, S12, S11, S14, S17, S18, S22, and S27, S3, S11, S14, S17, S22, S25 and S27, S22 and S27
10/11 9/11 7/11 2/11
APPENDIX B6. RESPONDENT-MANAGERS’ PERCEPTIONS ABOUT EMPLOYEE INVOLVEMENT IN DECISION MAKING PROCESS IN TREASURY Responses
The Degree of Employee Involvement in Decision Making Process Policy makers often asked employees’ opinion before making decisions. Decision making process was a combination of bottom-up and top-down process but the outcomes are often different with employees’ proposals. Decision making process was mostly in top down mode. Policy makers always asked employees’ opinion before making decisions.
Codes S1, S8, S19, S21 and S26 S20
Total 5/7 1/7
S7
1/7 -
APPENDIX B7. RESPONDENT-STAFF’S PERCEPTIONS ABOUT THE IMPLEMENTATION OF SOPS TO INCREASE THE QUALITY OF SERVICES IN TREASURY Respondents’ Perceptions Strongly Agree Agree Neither agree nor disagree Disagree Strongly disagree
Responses Codes S1,S3, S4, S8, S16, S18 and S27
Total 7/10
S12, S21and S22
3/10
APPENDIX B8. INTERVIEWEES’ PERCEPTIONS ABOUT THE EFFORTS TO PROVIDE EXCELLENT SERVICES IN TREASURY Responses
Elements for Providing Excellent Services The introduction of SOPs Changes in office layouts Change in employee attitudes Change in service transparency
Codes S1, S2, S3, S5, S6, S8, S10, S11, S14 and S15 S1, S2, S3, S9, S10, S13, S14 and S15 S1, S3, S4, S8, S10, S11 and S14 S3, S5, S7, S14 and S15
Total 10/15 8/15 7/15 5/15
APPENDIX B9. RESPONDENT-STAFF’S PERCEPTIONS ABOUT THE ACHIEVABILITY OF TIME SET ON SOPS FOR ACCOMPLISHING TASKS Responses
Respondents’ Perceptions Very optimistic Optimistic Neither optimistic nor pessimistic Pessimistic Very pessimistic
Codes
Total 1/11 7/11 1/11 1/11 1/11
S1 S22, S27, S12, S8, S3, S19 and S16 S21 S4 S18
APPENDIX B10. RESPONDENT-MANAGERS’ PERCEPTIONS ABOUT THE INCREASE OF EMPLOYEE PERFORMANCE IN TREASURY Respondents’ Perceptions ≥76% 51% to 75% 26% to 50% ≤ 25%
60
Respondents Codes S4, S8 and S21 S1, S21 and S27 S22
Total 3/7 3/7 1/7
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
APPENDIX B11. RESPONDENT-MANAGERS’ PERCEPTIONS ABOUT THE CHANGE INITIATIVES TO REDUCE CORRUPTIONS IN TREASURY Responses Managers
Respondents’ Perceptions
Total
Strongly Agree
S1, S4, S27
3/7
Agree Neither agree nor disagree Disagree Strongly disagree
S12, S21, S22 S8 -
3/7 1/7 -
APPENDIX B12. RESPONDENT-STAFF’S PERCEPTION ABOUT THE NEW REMUNERATION SYSTEM IS EFFECTIVE TO REDUCE CORRUPTION IN THE TREASURY Responses
Respondents’ Perceptions
Codes
Strongly Agree Agree Neither agree nor disagree Disagree Strongly disagree
Total
S3, S22, S27 S8, S12, S16, S19, S21 S4 S1
3/10 5/10 1/10 1/10
APPENDIX B13.RESPONDENT-MANAGERS’ PERCEPTIONS ABOUT THE CAPABILITY OF EMPLOYEES TO OPERATE SOFTWARE APPLICATIONS Responses Managers
Respondents’ Perceptions Older employees have more skills and capability to operate software applications Younger employees have more skills and capability to operate software applications Employees have the same skills and capability to operate software applications
Total
-
-
S1, S21, S7, S8 and S26
5/7
S19 and S20
2/7
APPENDIX B14. INTERVIEWEES’ PERCEPTIONS ABOUT THE CHANGES IN TREASURY Responses
Interviewees’ Perceptions There was lack of opportunity to attend training programs for employees Managers often preferred to send employees from their group or the younger to attend training programs. Managers’ preference in choosing employees to attend training programs was perceived to create IT competency gaps among employees in long terms. A certain kind of training programs were highly competitive or needed certain qualifications Centralised technical training programs limited the capacity of training centre. Opportunity to attend training programs had increased in some degrees. External providers had been available for motivational training programs for managers. Employees who just got training and moved out would affect in the short term organisational stability. Certain jobs did not have training programs
Codes S2, S4, S6, S7, S8, S9 and S14 S1, S4, S9, S10, S12 and S13 S1, S4, S9 and S10 S1, S4 and S6 S8 and S14 S1 and S5 S1 and S2 S4
Total 7/15 6/15 4/15 3/15 2/15 2/15 2/15 1/15
S2
1/15
APPENDIX B15. RESPONDENT-STAFF’S OPPORTUNITY TO ATTEND TECHNICAL TRAINING PROGRAMS IN A YEAR Responses Codes
The Frequency of Respondents Attending Training Programs More than twice Twice Once Never
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
S1
Total 1/11
S21, S3, S19, S16 and S18 S4, S8, S12, S22 and S27
5/11 5/11
61
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
APPENDIX B16. RESPONDENT-MANAGERS’ PERCEPTIONS ABOUT OPPORTUNITY TO ATTEND TECHNICAL TRAINING PROGRAMS Responses Codes
Respondent Perceptions The elders were likely to have more opportunities to attend training programs The younger employees were likely to have more opportunities to attend training programs They had the same opportunities to attend training programs.
S1, S4, S12, S21, S22 S8 and S27
Total 5/7 2/7
APPENDIX B17. INTERVIEWEES’ SUGGESTIONS FOR IMPROVING THE QUALITY OF TRAINING PROGRAMS IN TREASURY Responses
Respondent Initiatives The Division of Human Resources Development has to have a blueprint for creating a comprehensive training and providing equal training opportunity for employees Each employee should have minimum one opportunity to attend training program each year related to their jobs Group discussion about current issues in Treasury and sharing knowledge among employees are useful to improve employee competency and performance. A specific training for beginners including those who never got training Treasury has to decentralise training programs to the regional office. Organisation need to have employee database for training programs
Codes S1, S3, S5, S7, S9, S10, S11 and S15 S2, S4, S10 and S11 S6, S10 and S13 S1, S9 and S10 S15 S5
Total 8 4 3 3 1 1
APPENDIX B18. INTERVIEWEES’ PERCEPTIONS ABOUT REMUNERATION SYSTEM IN TREASURY Respondent perceptions The new remuneration system is better than previous system but the implementation to define the employees’ grades need to be improved The new remuneration system has positive impact in motivating employees to work in some degree. Remuneration is not automatically reduce corruption The standards for defining staff's grades based on the staff ranks or position in the office does not relate to employee performance Staff complaining about the grade was not responded appropriately by the managers The new remuneration systems possibly degrade employee motivation because the previous payment system allowed them to earn bigger incomes besides salaries. Managers were afraid of the staff to give the grades according to their performance In defining staff’s grade, managers often involve emotional factor which led to manipulation and inefficiency, for example, giving the highest grade for low performance employees.
Responses Codes S1, S5, S6, S7, S10 and S13 S1, S2, S7, S8, S10 and S11 S3, S4, S5, S9, S11,S14 S4, S9, S10, S11 and S12 S7, S8, S10 and S15 S8 and S15 S4 and S9 S11
Total 6/15 6/15 6/15 5/15 4/15 2/15 2/15 1/15
APPENDIX B19. INTERVIEWEES’ PERCEPTIONS ABOUT THE POLICY IN EMPLOYEE ROTATION SYSTEM IN TREASURY Respondents’ Perceptions Refreshing or reduce boredom Increase understanding about nationality, culture, social networks, etc. Increase the employee quality through doing different jobs and employee career New experience to work in different locations/places Increase competitiveness
Responses Codes S1, S12, S3, S16, S17, S18, S26 S19, S27, S14, and S20 S1, S7 and S8 S25 S10
Total 7/15 4/15 3/15 1/15 1/15
APPENDIX B20. INTERVIEWEES’ PERCEPTIONS ABOUT THE IMPLEMENTATION OF EMPLOYEE ROTATION POLICIES Interviewees’ Perceptions Increase expenses for settlement for staff, education for children, family reunion transport fare Uncertainties in terms of period to work in one location or position and where to move in the next rotation make employees difficult to make plan for their future, apathetic to organisation and anxieties. Issues on children education in term of administration, disparity of the quality of education between one area and another (Java Island and outside Java island) Some employees faced family problems when they have to live separately (such as divorce and loneliness). Employees who study from their own initiatives have to leave the study when they are move to other islands. Cultural shock, adaptation with local communities 62
Responses Codes S1, S4, S5, S6, S7, S8, S9, S10, S11 and S13 S1, S2, S3, S4, S5, S7, S9, S11, S12 and S15 S1, S4, S5, S6, S8, S9, S10, S11 and S13 S1, S4, S6, S7, S8, S9, S10, S12 and S13 S1 and S9 S9
Total 10/15 10/15 9/15 9/15 2/15 1/15
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
APPENDIX B21. RESPONDENT-MANAGERS’ PERCEPTIONS ABOUT THE PLAN TO REDUCE THE NUMBER OF EMPLOYEE Responses Respondents’ Perceptions Staff Total Strongly agree Agree S3, S10 and S14 3/7 Neither agree nor disagree S4, S16, S17 and S22 4/7 Disagree S7, S11 and S12 3/7 Strongly disagree S27 1/7 APPENDIX B22. RESPONDENT-MANAGERS’ PERCEPTIONS ABOUT THE PLAN TO REDUCE THE NUMBER OF EMPLOYEE Responses Respondents’ Perceptions Managers Total Very urgent S8 1/7 Urgent S1, S7 and S14 3/7 Not urgent S19, S21 and S26 3/7 Not very urgent I do not know APPENDIX B2. INTERVIEWEES’ PERCEPTIONS ABOUT THE POTENTIAL RESISTING FACTOR TO CHANGE IN TREASURY Responses Potential Resisting Factors to Change Codes Total S1, S2, S4, S5, S6, S7, Employee attitudes or mind-sets 9/15 S10, S13, S15 S2, S3, S9, S10, S13, Lack of technological competencies 6/15 S15 The issues related to regulations S5, S7, S9 3/15
APPENDIX B24. RESPONDENT-MANAGERS’ PERCEPTIONS ABOUT THE YOUNGER’S DIFFICULTIES TO CHANGE Responses Respondents’ Perceptions
Codes
Innovations and creativities Mental instability
S1, S8, S12, S21,S22 and S27 S1, S4, S8, S12 S21 and S22 S1, S21 and S8 S22 and S4
Adapting with new technologies
S21
Changing employee working cultures Meeting working hours
Total 6/7 6/7 3/7 2/7 1/7
APPENDIX B25. RESPONDENT-STAFF’S PERCEPTIONS ABOUT THE IMPLEMENTATION OF ELECTRONIC ATTENDANT MACHINES TO INCREASE EMPLOYEE ATTENDANCE Responses Respondent Perceptions Codes Total Strongly Agree S22, S3, S27 and S16 4/11 Agree S8 and S12 2/11 Neither agree nor disagree S4, S19 and S21 3/11 Disagree S18 1/11 Strongly disagree S1 1/11
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
63
EMPLOYEE PERCEPTIONS AND SUPPORTS FOR CHANGES IN PUBLIC SECTOR: EMPIRICAL EVIDENCE FROM THE DIRECTORATE GENERAL OF TREASURY MINISTRY OF FINANCE IN INDONESIA Agustinus Prasetyo
APPENDIX B26. RESPONDENT-MANAGERS’ PERCEPTIONS ABOUT THE ATTITUDES OF THE ELDER AND THE YOUNGER EMPLOYEES TO CHANGE IN THE TREASURY Responses Respondents’ Perceptions Respondents Total Yes, the older has more positive attitudes to the change than the younger. S4, S12, S21 and Yes, the younger has more positive attitudes to the change than the older. 4/7 S22 No, they have the same attitudes. S1, S8 and S 27 3/7 APPENDIX B27. RESPONDENT-STAFF’S PERCEPTIONS ABOUT THE IMPLEMENTATION OF REMUNERATION SYSTEM TO INCREASE EMPLOYEE PERFORMANCE IN TREASURY Responses Respondents’ Perceptions Codes Total Strongly Agree S1 1/11 Agree S3, S8, S16,S21, S22 and S27 6/11 Neither agree nor disagree S4, S19 and S12 3/11 Disagree S18 1/11 Strongly disagree APPENDIX B28. RESPONDENT-STAFF’S PERCEPTIONS ABOUT THE IMPLEMENTATION OF PERFORMANCE MEASUREMENTS (KPI) AS STRATEGY TO INCREASE EMPLOYEE PERFORMANCE IN TREASURY Responses Respondents’ Perceptions Codes Total Strongly Agree S1 1/11 Agree S3 S22, S21, S27, S8 and S16 6/11 Neither agree nor disagree S12, S4 and S19 3/11 Disagree S18 1/11 Strongly disagree APPENDIX B29. RESPONDENT MANAGERS AND STAFF PERCEPTIONS ABOUT EMPLOYEE SUPPORT TO THE IMPLEMENTATION OF CHANGE INITIATIVES IN THE TREASURY Responses Respondents’ Perceptions Codes Total Strongly Agree S1, S6, S7, and S16 4/16 Agree S2, S3, S5, S8, S18, S19, S21, S22, and S27 9/16 Neither agree nor disagree S4 and S12 3/16 Disagree Strongly disagree Note: Two respondents did not answer the question as instructed and excluded from at this session.
64
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
Jurnal BPPK Volume 5, 2012 Halaman 65-76 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
INFLATION TARGETING FRAMEWORK DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER Arif Setiawan(a) (a)
Pusat Harmonisasi Kebijakan, Kementerian Keuangan; e-mail: [email protected] (penulis berkorespondensi)
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 28 September 2012
Inflation Targeting Framework (ITF) in the last two decades becoming popular as the new framework in setting monetary policy which used inflation as nominal anchor, replacing other nominal anchor such as money growth. But its popularity was not without critics. Opponents of ITF criticized ITF to its concern on stabilization that would sacrifice other objectives of policies: output and employment. Proponents of ITF answered the critics by arguing that ITF was a flexible framework rather than a rigid rule. It could anticipate problem of output in the short run such during a crisis. While some researches on this field found that in some ITF countries monetary policy response to inflation tended to be lower after implementing ITF. For Indonesia which had implemented ITF since July 2005, how the changes in monetary policy responses due to ITF implementation was an object of this research. By using Taylor Rule as monetary policy responses function, changes of the response measured by changes in parameter of the model which estimated with a time varying parameter method. Evidence showed that during the early phase of ITF implementation the response increased very signifant and it tended to be what so called over shooting. The response then decreased at the next phase and looked more stabil. By an event studies: the Global Economic Crisis and the rise of oil price, in this research we could also see how monetary otority react in dealing with those two critical events in the economy.
Dinyatakan Dapat Dimuat 26 November 2012
KATA KUNCI: Inflation Targeting Framework, Monetary Policy Responses, Time Varying Parameter.
Inflation Targeting Framework (ITF) dalam dua dekade terakhir semakin popular sebagai sebuah pendekatan baru dalam kebijakan moneter yang menggunakan inflasi sebagai sasaran utama kebijakan menggantikan besaran lain seperti pertumbuhan jumlah uang beredar. Namun, ITF menemui banyak kritik menyangkut orientasi kebijakan yang mengutamakan stabilisasi yang menurut pengkritik akan mengorbankan pertumbuhan dan pengangguran. Atas kritik tersebut pendukung ITF menunjukkan bahwa ITF adalah kerangka kebijakan yang flexible yang dalam jangka pendek dapat merespon permasalahan output seperti di masa krisis. ITF merupakan pendekatan kebijakan yang bersifat diskresi daripada sebuah rule yang kaku. Sementara beberapa penelitian justru menunjukkan bahwa respon terhadap inflasi pada negara yang menerapkan ITF justru menurun setelah penerapan ITF. Sedangkan untuk Indonesia, yang menerapkan ITF sejak Juli 2005, bagaimana perubahan respon kebijakan moneter dengan penerapan ITF menjadi objek utama dalam penelitian ini. Penelitian menggunakan model Taylor Rule sebagai fungsi respon kebijakan moneter. Perubahan respon diukur dari perubahan parameter dalam fungsi respon kebijakan moneter yang akan diestimasi dengan model Time Varying Parameter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan ITF di Indonesia membuat respon kebijakan moneter meningkat terhadap inflasi pada awal penerapan ITF yang menunjukkan gejala over shooting. Respon kemudian cenderung menurun dan stabil pada periode berikutnya. Dengan tambahan analisis event study krisis keuangan global dan kenaikan pada harga BBM, dalam penelitian ini kita dapat juga melihat bagaimana otoritas moneter bereaksi menghadapi dua kejadian penting tersebut dalam perekonomian.
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 1990 penggunaan inflasi sebagai jangkar nominal yang digunakan sebagai target utama kebijakan moneter mulai menjadi pilihan bagi bank sentral di beberapa negara (Bernanke Mishkin, 1997). Kerangka baru kebijakan moneter tersebut kemudian dikenal sebagai Inflation Targeting Framework (ITF).
Perintis awal penggunaan ITF adalah Selandia Baru yang kemudian diikuti oleh Inggris, Kanada, Swedia dan Australia.Dalam perkembangannya ITF sampai dengan tahun 2007 telah diadopsi oleh 26 negara di dunia. Popularitas ITF ini menggeser paradigma lama kebijakan moneter yang menggunakan target jumlah uang beredar dan besaran moneter lainnya.
INFLATION TARGETING FRAMEWORK DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER Arif Setiawan
Namun demikian, kebijakan moneter dengan ITF bukan tanpa kritik. Beberapa ahli ekonomi melontarkan kelemahan ITF sebagai kerangka kerja kebijakan yang mengabaikan tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran. Selain itu, dalam masa krisis dimana diperlukan penurunan suku bunga untuk menstimulus perekonomian ITF tidak dapat menjustifikasi kebutuhan itu. Terhadap klaim keberhasilan menekan inflasi pada negara yang menerapkan IT dikatakan bahwa inflasi yang rendah pada negara-negara tersebut telah terjadi sebelum penerapan ITF. Akhirnya disimpulkan bahwa ITF lebih sebagai sarana cuci tangan bank sentral terhadap permasalahan dalam perekonomian. Atas kritik terhadap ITF tersebut, pendukung ITF menjelaskan bahwa ITF mampu memberikan solusi bagi stabilitas jangka panjang dengan inflasi yang rendah dan tetap dapat mengakomodasi kebutuhan untuk melakukan stabilisasi perekonomian dalam jangka pendek untuk mendorong pertumbuhan. ITF bukanlah rule yang kaku seperti model pertumbuhan uang yang diusulkan oleh Milton Friedman. Beberapa fitur dalam ITF seperti target inflasi dalam kisaran (range) dan horison menengah dan panjang dalam pencapaian target memberikan keleluasaan untuk pencapaian stabilisasi harga pada jangka panjang juga pencapaian tingkat output dan pengangguran pada jangka pendek. Lebih lanjut kelebihan ITF atas pendekatan kuantitatif adalah pada transparansi dan akuntabilitas yang baik bagi pengelola kebijakan moneter yang membuat pelaku pasar lebih mengetahui arah kebijakan moneter dan akhirnya mendorong ekspektasi inflasi pada tingkat yang diinginkan. Popularitas ITF dan klaim peningkatan kinerja perekonomian negara-negara yang menerapkan ITF menarik perhatian Bank Indonesia untuk menerapkan ITF. Penerapan ITF ini menggantikan pendekatan kuantitatif base money yang telah lama digunakan Bank Indonesia sebagai jangkar dalam menetapkan kebijakan moneter. Pendekatan kuantitatif tersebut berdasarkan penelitian Bank Indonesia semakin sulit dilakukan untuk mengendalikan besaran moneter karena adanya ketidakstabilan kecepatan peredaran uang. Akhirnya setelah melalui masa persiapan yang cukup panjang sejak tahun 2001 maka pada September 2005 ITF resmi digunakan sebagai kerangka kerja baru kebijakan moneter Indonesia. Tabel 1.1 Perbandingan Target dan Aktual Inflasi Tahun Target Inflasi Inflasi Aktual 2001 4-6% 12,55% 2002 9-10% 10,03% 2003 8-10% 5,16% 2004 4,5-6,5% 6,4% 2005 5-7% 17,11% 2006 7-9% 6,6% 2007 5-7% 6,59% 2008 4-6% 11,6% 2009 3,5-5,5% 2,78% 2010 4-6% 6,96% Sumber: Bank Indonesia
66
Adapun pencapaian target inflasi yang ditetapkan Bank Indonesia dalam 10 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini. Dari tabel tersebut terlihat bahwa Bank Indonesia menetapkan target inflasi dalam kisaran yang cukup lebar. Hal tersebut menunjukkan fleksibilitas dan merupakan ciri awal dari penerapan ITF. Sementara dari perbandingan dengan data inflasi yang terjadi pada setiap tahunnya maka sejak penerapan ITF secara penuh pada pertengahan tahun 2005 target inflasi dapat tercapai pada tahun 2006, 2007, dan 2009. Sekilas capaian tersebut cukup menjanjikan bahwa ITF mampu mengarahkan ekpektasi inflasi sesuai dengan yang ditargetkan penguasa moneter. Jika dilihat dari tahun 2001 dimana Bank Indonesia mulai melakukan fase persiapan ITF inflasi lebih banyak meleset dari target. Tentu hal tersebut dapat dimaklumi karena memang pada masa persiapan ITF tersebut Bank Indonesia masih menjalani program pemulihan dengan asistensi dari International Monetary Fund (IMF) yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Namun demikian, kritik terhadap ITF yang membuat bank sentral lebih fokus pada inflasi dan mengabaikan target tingkat pertumbuhan dan pengangguran sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, harus tetap menjadi perhatian. Bank Indonesia sendiri telah menyatakan bahwa penerapan ITF di Indonesia tidak bersifat rule yang kaku dan tetap menggunakan diskresi dengan mempertimbangkan besaran ekonomi selain inflasi seperti pertumbuhan dan nilai tukar. Untuk mendapatkan jawaban yang lebih memuaskan berdasarkan fakta empiris maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. 1.2. Tujuan Penelitian Dengan demikian penelitian yang akan dilakukan harus dapat memberikan jawaban berdasarkan data empiris ada atau tidak adanya perubahan respon kebijakan moneter setelah ITF diterapkan. Kemudian lebih dalam lagi dikaji bagaimana perubahan respon kebijakan moneter tersebut terjadi menggunakan metodologi yang biasa digunakan untuk meneliti perubahan respon kebijakan moneter. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi yang penting bagi para pengambil keputusan dan akademisi sebagai bahan evaluasi terhadap penerapan ITF berdasarkan penerapannya di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga memberikan gambaran spesifik penerapan ITF di Indonesia yang mungkin berbeda dengan pengalaman penerapan ITF di negara lain. 1.3. Hipotesis Penerapan ITF di Indonesia diduga mengubah respon kebijakan moneter menjadi lebih responsif terhadap inflasi. Respon tersebut tercermin dalam penetapan suku bunga acuan yang akan lebih dipengaruhi oleh besaran inflasi. Perubahan respon tersebut diperkirakan akan terjadi secara gradual dalam periode yang diteliti. Jurnal BPPK Volume 5, 2012
INFLATION TARGETING FRAMEWORK DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER Arif Setiawan
Sesuai dengan kaidah ITF sebagai framework dan bukan rule yang kaku, respon kebijakan moneter diduga akan lebih memberi toleransi kepada inflasi dalam periode dimana terjadi tekanan terhadap output perekonomian Indonesia. lni artinya dalam periode tersebut terjadi penurunan respon terhadap inflasi dalam penetapan suku bunga acuan. Kebijakan suku bunga akan lebih ditujukan untuk mendorong pertumbuhan daripada menjaga tingkat inflasi sesuai dengan target yang ditetapkan.
2. KERANGKA TEORITIS 2.1. Inflation Targeting Framework Bernanke dan Mishkin (1997) mendefinisikan Inflation Targeting Framework (ITF) sebagai sebuah pendekatan dalam kebjakan moneter yang ditandai dengan pengakuan eksplisit bahwa inflasi adalah tujuan utama dari kebijakan moneter. Fitur terpenting dalam ITF adalah komunikasi dengan public mengenai rencana dan tujuan kebijakan fiskal serta akuntabilitas bank sentral dalam pencapaian target tersebut. ITF menunjukkan perubahan strategi kebijakan moneter yang pada umumnya menggunakan pertumbuhan uang sebagai sasaran kebijakan moneter seperti yang terlihat pada era tahun 1970an. Kemudian pada tahun 1980an mulai muncul upaya serius bank sentral beberapa negara untuk mengurangi tingkat inflasi dan meningkatkan independensi. Pada akhirnya Selandia Baru di tahun 1990 memulai pendekatan ITF yang kemudian diikuti oleh beberapa negara seperti Inggris, Kanada, Swedia, Australia dan Finlandia. Maastricht Treaty juga menetapkan stabilitas harga sebagai tujuan utama Bank Sentral Eropa. Sebagaimana diketahui dalam pendekatan target pertumbuhan uang bank sentral menetapkan target pertumbuhan nominal uang berdasarkan tingkat inflasi yang dikehendaki dalam jangka menengah dengan memperhitungkan faktor lain seperti kemajuan teknologi dan pertumbuhan populasi penduduk. Dalam jangka pendek bank sentral dapat memberi toleransi terjadinya deviasi dari nominal target uang dan target. Seperti dalam masa resesi maka bank sentral dapat meningkatkan uang beredar diatas target untuk menurunkan suku bunga dan menaikkan output perekonomian. Dan saat terjadi booming dalam perekonomian maka bank sentral dapat melakukan hal sebaliknya. (Blanchard, 2009). Permasalahan dalam penggunaan target pertumbuhan uang sebagai dasar kebijakan moneter adalah terletak pada asumsi bahwa terdapat hubungan yang kuat antara inflasi dan pertumbuhan uang pada jangka menengah. Fakta empiris menunjukkan bahwa hubungan tersebut tidak selalu kuat seperti yang dibayangkan. Penyebabnya adalah terjadinya pergeseran pada money demand seperti misalnya pengaruh dari penggunaan credit card. Money demand turun dengan penggunaan credit card namun tidak dengan inflasi karena transaksi mungkin justru meningkat dengan penggunaan credit card. Jurnal BPPK Volume 5, 2012
Ketidakstabilan hubungan pertumbuhan uang dan inflasi ini pada akhirnya akan menyulitkan bank sentral yang menggunakan target pertumbuhan uang sebagai dasar kebijakan moneter. Faktor lain yang mendorong ITF adalah berakhirnya rezim fixed exchange rate pada tahun 1970an. Peralihan ke sistem nilai tukar mengambang membuat bank sentral memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakan moneter dan kemudian mencari target nominal baru menggantikan nilai kurs. Beberapa target nominal seperti pertumbuhan uang, inflasi dan stabilitas harga menjadi pilihan yang dapat dipergunakan oleh bank sentral sebagai jangkar nominal dalam menetapkan kebijakan moneter. Dorongan untuk menjadikan inflasi sebagai target kebijakan moneter juga disebabkan oleh beberapa perkembangan penting dalam teori ekonomi makro antara lain: ● Netralitas Uang Kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi besaran kuantitas seperti output dan pengangguran dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang peningkatan nominal uang hanya akan membuat tingkat harga naik secara proporsional. (Blanchard, 2009). ● Inflasi rendah mendorong output jangka panjang Tidak adanya trade off antara inflasi dan output dipertegas oleh fischer (1993) yang menemukan, dari model regresi data panel, bahwa inflasi yang rendah dan surplus anggaran mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Hubungan tersebut dapat dilihat melalui jalur investasi dan produktifitas. Inflasi yang tinggi akan menurunkan investasi dan produktifitas. ● Pentingnya Kredibilitas Kebijakan Dalam upaya untuk menurunkan tingkat inflasi maka kredibilitas kebijakan dipandang sebagai faktor utama yang dapat mengarahkan agen ekonomi membentuk ekpektasi inflasi ke arah yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Penelitian oleh Kydland dan Prescott (1977) menunjukkan kebijakan yang bersifat diskresi seperti kebijakan yang bersifat aktif dalam menangani resesi akan memberikan hasil kinerja perekonomian yang dibawah optimal dengan asumsi agen ekonomi memiliki ekspektasi yang rasional. 2.2. Penerapan Inflation Targeting Framework Dalam pelaksanaannya ITF tidak secara frontal melakukan stabilisasi terhadap inflasi. Sebaliknya ITF secara gradual mengarahkan inflasi dari level yang sedang terjadi menuju ke level steady state yang diinginkan. Alasan penekanan pada inflasi sebagai target utama kebijakan moneter adalah karena pada umumnya pada ahli ekonomi sepakat bahwa kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi besaran riil output dan pengangguran dalam jangka pendek.
67
INFLATION TARGETING FRAMEWORK DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER Arif Setiawan
Derajat penerapan target inflasi juga berbeda diantara negara-negara yang menerapkan ITF. Selandia Baru merupakan negara yang sangat ketat dalam menjalankan ITF. Untuk menjaga tingkat disiplin otoritas moneter terdapat kontrak yang memberi sanksi jika Bank Sentral gagal mewujudkan target inflasi. Sementara pada negara lain tidak terdapat sanksi khusus jika target inflasi tidak tercapai. 2.3. Kritik Terhadap ITF Galbraith (1997) memberikan komentar atas penelitian Bernanke dan Mishkin (1997) bahwa ITF berjalan atas pondasi yang lemah dimana para ahli ekonomi masih belum sepakat tentang teori yang melatarbelakangi ITF yakni Non-AcceleratingInflation Rate of Unemployment (NAIRU). Selain itu, ITF hanya membuat bank sentral tidak peduli kepada besaran kinerja ekonomi makro lain yang penting yakni output dan pengangguran karena menjadikan inflasi sebagai satu-satunya jangkar nominal untuk menentukan kebijakan moneter yang diambil. Selain itu, dari klaim capaian ITF yakni rendahnya inflasi di Negara ITF, sebagaimana disampaikan sendiri oleh Bernanke dan Mishkin (1997), telah terjadi sebelum penerapan ITF sehingga tidak bisa dianggap sebagai capaian dari penerapan ITF. Dari sudut transparansi yang menjadi fitur utama, ITF juga mendapatkan sorotan tajam. Friedman (2004) menyatakan bahwa ITF justru tidak transparan karena Bank Sentral negara ITF pada kenyataannya tetap memperhatikan besaran makro ekonomi selain inflasi seperti output, tingkat pengangguran atau nilai tukar. Sementara dalam penyampaiannya kepada publik hanya terbatas kepada besaran target inflasi yang ingin dicapai. Sementara itu Stiglitz (2008) dalam sebuah artikel mengatakan bahwa dewasa ini inflasi di banyak negara terjadi karena kenaikan harga pangan dan energi dunia. Upaya meredam inflasi tersebut dengan menaikkan suku bunga pada negara yang menerapkan ITF tidak dapat menyelesaikan masalah karena sumber inflasi merupakan imported inflation. Dalam kondisi seperti itu maka kenaikan suku bunga justru akan membuat perekonomian berjalan lebih lambat dan semakin tidak berdaya untuk mengatasi permasalahan pangan dan energi. 2.4. Hasil Capaian Kinerja Perekomian Negara ITF dan Non ITF Walsh (2009) memaparkan perbandingan kinerja makro ekonomi negara-negara ITF dengan Non ITF pada negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Dari studi yang dilakukan dan rangkuman hasil beberapa penelitian disimpulkan bahwa negara-negara ITF memiliki kinerja makro ekonomi yang lebih baik. Selain itu, negara-negara ITF tidak terasosiasi dengan ketidakstabilan pada output ekonomi. Mengenai kritikan Friedman (2004) tentang tidak transparannya bank sentral pada negara yang 68
menerapkan ITF maka ditemukan hal sebaiknya. Bank Sentral di negara ITF dalam publikasinya sebagai bentuk komunikasi publik tidak hanya memamaparkan target inflasi semata. Proyeksi besaran makro ekonomi lain juga disampaikan seperti pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, kritik bahwa bank sentral dalam ITF tidak transparan hanya karena menyampaikan besaran inflasi sementara tetap memperhatikan besaran makro ekonomi lainnya tidak terbukti. 2.5. Penerapan dan Capaian ITF di Indonesia Sejak tahun 2001 Bank Indonesia telah menyampaikan secara rutin kepada publik target inflasi yang menjadi acuan kebijakan moneter. Namun, pada saat itu Bank Indonesia belum sepenuhnya menerapkan ITF karena masih menggunakan target Based Money yang merupakan bagian dari program asistensi International Monetary Fund (IMF). Selanjutnya, pada bulan Juli tahun 2005 Bank Indonesia secara resmi telah menyatakan penerapan ITF secara penuh. Fase persiapan pelaksanaan ITF antara tahun 2001 sampai dengan Juli 2005 dikenal sebagai periode Lite ITF. Sementara mulai Juli 2005 sampai dengan sekarang disebut sebagai periode full pledged ITF (Harmanta, 2009). 2.5.1. Capaian ITF di Indonesia Sebagai capaian dalam pelaksanaan ITF di Indonesia Anwar dan Chawwa (2008) menyimpulkan bahwa penerapan ITF telah mengarahkan ekspektasi inflasi agen ekonomi sesuai dengan sasaran inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah atas rekomendasi Bank Indonesia. Namun, volatilitas ekpektasi inflasi setelah penerapan ITF justru mengalami peningkatan. Terkait dengan kredibilitas kebijakan moneter Bank Indonesia, Harmanta (2009) mencatat adanya kenaikan kredibilitas kebijakan moneter Bank Indonesia sejak penerapan ITF. Kenaikan kredibilitas kebijakan moneter ini kemudian berpengaruh kepada turunnya persistensi inflasi di Indonesia. Sementara ditinjau dari pencapaian target inflasi sebagaimana terlihat pada tabel 1.1 bab 1 maka pada periode setelah penerapan ITF, yaitu terhitung sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2010, target inflasi tercapai pada tahun 2006, 2007, dan 2009. Pada tiga tahun lainnya yakni tahun 2005, 2008, dan 2010 inflasi aktual tercatat melebihi target inflasi yang ditetapkan.
3. METODOLOGI PENELITIAN Dalam menganalisis perubahan respon kebijakan moneter dalam penelitian ini dipilih pendekatan metodologi yang bersifat unrestricted. Artinya, tidak ada pembatasan tertentu seperti pemisahan periode sampel data (split sample) untuk menunjukkan adanya perubahan respon kebijakan moneter. Dengan pendekatan ini maka ada tidaknya perubahan respon akan dijawab secara lebih objektif oleh data itu sendiri.
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
INFLATION TARGETING FRAMEWORK DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER Arif Setiawan
Untuk itu terdapat dua metode yang akan digunakan yaitu CUSUM test dan Time Varying Parameter dengan Kalman Filter. CUSUM test dapat menunjukkan ada tidaknya perubahan respon kebijakan moneter dan kapan terjadinya. Sedangkan bagaimana perubahan respon kebijakan moneter itu terjadi dapat diestimasi dengan menggunakan model Time Varying Parameter. 3.1. Sampel Data, Definisi Operasional, dan Sumber Data Sebagaimana pendekatan yang dilakukan Boivin (2005) dalam sampel data yang digunakan dalam penelitian ini berusaha semaksimal mungkin menggunakan data real time yakni data yang tersedia dan menjadi dasar dalam pengambilan respon kebijakan moneter. Penggunaan real time data dimaksudkan untuk mendapatkan respon kebijakan moneter yang mendekati kondisi pada saat respon kebijakan moneter tersebut diputuskan. Tetapi tidak mudah untuk mendapatkan data real time yang dalam hal ini adalah data yang disiapkan untuk Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia untuk memutuskan respon kebijakan moneter. Untuk itu sebagai penggantinya digunakan data yang tersedia dan diperkirakan digunakan oleh Bank Indonesia sebagai dasar dalam pengambilan keputusan kebijakan moneter. Untuk pengukuran ekpektasi inflasi maka sumber data yang digunakan adalah ekspektasi inflasi yang dikeluarkan oleh lembaga Consensus Forecast. Consensus Forecast menghasilkan analisa prediksi besaran ekonomi makro berdasarkan prediksi yang diterbitkan beberapa lembaga keuangan yang terpercaya. Hasil prediksi setiap lembaga tersebut selanjutnya diambil angka rata-ratanya yang kemudian digunakan sebagai hasil consensus atas prediksi lembaga-lembaga keuangan yang di survei. Hasil ekspektasi inflasi dari Consensus Forecast dipilih untuk digunakan dari hasil survei lainnya karena berdasarkan penelitian Anwar Chawwa (2008) hasilnya lebih presisi dalam memprediksi inflasi. Dalam Laporan Kebijakan Moneter Bank Indonesia hasil Consensus Forecast juga disajikan sebagai bagian analisa kondisi makro ekonomi. Sedangkan untuk output gap dipilih hasil penghitungan resmi oleh Bank Indonesia yang pernah disajikan dalam Laporan Kebijakan Moneter edisi Triwulan ke 3 tahun 2007. Untuk output gap triwulan berikutnya dilakukan estimasi berdasarkan output gap estimasi Bank Indonesia dengan variabel penentu tingkat kapasitas produksi terpakai hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Basis data yang digunakan adalah data triwulanan. Untuk periode sampel data yang digunakan maka dipilih periode 2002 sampai dengan 2010. Pilihan periode tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa dalam periode sampel data tersebut tercakup masa sebelum dan sesudah penerapan ITF secara penuh. Sampel data dimulai Jurnal BPPK Volume 5, 2012
dengan data tahun 2002 berkaitan dengan keterbatasan dalam penelitian untuk mendapatkan data periode sebelum tahun 2002 dan kemungkinan bahwa sebelum periode tersebut kebijakan moneter masih bersifat backward looking. 3.2. Alat Analisis Data Sebagaimana telah diuraikan dalam kerangka berpikir, untuk meneliti perubahan respon kebijakan maka digunakan sebuah model respon kebijakan moneter. Kemudian ada tidaknya perubahan akan dievaluasi berdasarkan stabilitas parameter dalam model tersebut. Lebih lanjut lagi proses terjadinya perubahan respon kebijakan akan diukur berdasarkan perubahan nilai parameter model dari waktu ke waktu. Model respon kebijakan moneter yang akan digunakan adalah model yang dikenal sebagai Taylor Rule. Model ini pertama kali dipopulerkan oleh Taylor (1993) sebagai sebuah aturan dalam menentukan kebijakan suku bunga bank sentral dengan memperhitungkan variabel suku bunga riil, inflasi, dan selisih output aktual dengan output potensial (output gap). Secara formal model tersebut dirumuskan sebagai berikut: it =i + ß1(t-1 – * ) + ß2yt
………….………………………….. (1)
i adalah suku bunga bank sentral, i adalah ratarata suku bunga bank sentral, t-1 adalah inflasi , * adalah target inflasi dan yt adalah output gap. Selanjutnya model Taylor Rule semakin populer digunakan dan berkembang dalam variasi yang sangat banyak. Diskusi kemudian mengerucut pada penggunaan model Taylor Rule yang sederhana, bersifat forward looking dan memperhitungkan smoothing yang dilakukan Bank Sentral dalam menentukan suku bunga (Clarida Gali Gertler, 2000). Untuk penelitian ini model yang digunakan mengacu pada model respon kebijakan moneter yang digunakan Harmanta (2009) dengan mempertimbangankan dua hal. Pertama model dimaksud memiliki kriteria sederhana, forward looking dan memperhitungkan smoothing yang dilakukan bank sentral. Kedua analisis respon kebijakan moneter lebih mudah dilakukan dengan melihat langsung dari parameter model hasil pengolahan data. Adapun bentuk formal model adalah sebagai berikut: it= pit −1 + α ( πt + k−π *) + β ( yt)
……………….….(2)
i adalah suku bunga bank sentral, dan * adalah ekspektasi inflasi dan target inflasi, yt adalah output gap. Sementara p adalah parameter yang mengukur pengaruh suku bunga periode sebelumnya pada periode berjalan, p dapat mewakili pengaruh inertia terhadap penentuan suku bunga dan smoothing yang dilakukan penguasa moneter dalam menaikkan atau menurunkan suku bunga (Harmanta,2009).
69
INFLATION TARGETING FRAMEWORK DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER Arif Setiawan
3.3. Analisis Perubahan Struktur : CUSUM Square Test Analisis perubahan struktur dengan CUSUM Square test dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perubahan parameter (instabilitas struktur) dalam model respon kebijakan moneter selama periode observasi. Selain itu, waktu terjadinya perubahan juga dapat diketahui melalui plot nilai CUSUM square pada waktu. Tes Cumulative Sum (CUSUM) dikembangkan oleh Brown Durbin Evans (1975) berdasarkan jumlah kumulatif (cumulative sum) dari recursive residuals. Tes ini memberikan plot dari cumulative sum bersama dengan critical lines 5% . Ketidakstabilan parameter dapat terlihat jika cumulative sum berada di luar critical lines. 3.3.1. Teknik Analisis Setelah mendapatkan plot dari statistik CUSUM Square maka dapat dilihat ada tidaknya perubahan struktur dari fungsi reaksi moneter. Jika plot dari statistik CUSUM Square berada di luar dua garis significant criticalline 5% maka dugaan adanya perubahan struktur adalah significant. Selain itu, dari CUSUM Square test dapat diketahui periode terjadinya perubahan struktur yang diamati dari statistik CUSUM Square yang diplot terhadap waktu (sumbu horizontal). Kapan terjadinya perubahan struktur dideteksi dengan mengamati sumbu horizontal yang berkorespondensi dengan perubahan slope statistik CUSUM Square pada sumbu vertikal. 3.4. Analisis Time Varying Parameter Pada model Time Varying Parameter estimasi perubahan kebijakan moneter di augmentasi dengan parameter yang bersifat time variant. Pemilihan model ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa model tersebut dapat memberikan gambaran perubahan respon kebijakan moneter tanpa memberikan batasan kepada data seperti pada metode parameter konstan dengan split period. Pada metode tersebut data di restriksi dengan pemisahan periode tertentu yang kemudian dianalisa secara terpisah untuk kemudian hasilnya diperbandingkan. Sementara pada model Time Varying Parameter tidak terdapat pemisahan periode dan data sendiri yang akan menunjukkan ada tidaknya perubahan dan kapan terjadinya perubahan respon tersebut. Dengan menggunakan model respon Time Varying Parameter kebijakan moneter akan menjadi seperti sebagai berikut: it= ptit −1 + αt( πt + k−π *) + βt( yt) +et
………………………..
(3)
atau dapat ditulis dalam persamaan matriks sebagai berikut: it =H’tZt + et
……………………………………………………………(4)
i merupakan matriks suku bunga bank sentral, H merupakan matriks parameter (unobserved state variables) yang bersifat time variant dan Z merupakan 70
matriks dari regressor variable. e adalah matriks disturbance yang diasumsikan memiliki zero mean value. Model TVP berasumsi bahwa parameter time variant mengikuti driftless random walk. Dengan demikian, parameter mengikuti persamaan transisi/prediksi sebagai berikut: Ht = Ht-1 + vt
…………………………………………………………..(5)
H merupakan matriks parameter (unobserved state variables), v adalah matriks error model transisi/prediksi . 3.4.1. Estimasi Maximum Likelihood dengan Kalman Filter Selanjutnya, dalam penelitian ini proses estimasi parameter menggunakan paket aplikasi statistik Eviews 6. Dalam Eviews 6 estimasi Time Varying Parameter dilakukan dalam model State Space yang mengacu kepada prosedur sebagaimana diuraikan oleh Hamilton (1994). Dalam model State Space estimasi parameter dilakukan berdasarkan maximum likelihood. Sebagaimana diketahui maximum likelihood adalah salah satu metode untuk melakukan estimasi parameter sebuah model. Estimasi dilakukan berdasarkan likelihood function. Estimasi dengan maximum likelihood selanjutnya dikombinasikan dengan penggunaan Kalman Filter. Metode Kalman Filter memberikan estimasi dengan cara yang dapat meminimalkan mean square error sehingga memungkinkan mendapatkan hasil estimasi yang optimal (Welch Bishop, 2001). 3.4.2. Teknik Analisis Perubahan respon dapat diukur dari perubahan parameter dalam periode sampel data. Hal tersebut menunjukkan bagaimana perubahan respon kebijakan moneter terjadi. Kenaikan parameter menjelaskan meningkatnya respon kebijakan moneter. Begitu juga sebaliknya penurunan parameter menunjukkan menurunnya respon kebijakan moneter. Misalnya, jika parameter respon terhadap inflasi naik pada suatu periode tertentu maka hal tersebut menandakan terjadi peningkatan respon terhadap inflasi pada periode tersebut. Artinya, perubahan ekspektasi inflasi relatif terhadap target inflasi diiringi dengan perubahan suku bunga kebijakan yang lebih besar dari periode sebelumnya. Sebaliknya, jika parameter respon menurun artinya perubahan ekspektasi inflasi relative dengan target inflasi akan diiringi dengan perubahan suku bunga bunga yang lebih kecil dari periode sebelumnya. Selanjutnya perubahan respon yang terjadi dalam periode observasi akan dikaitkan dengan periode diterapkannya ITF. Dengan demikian dapat dilakukan perbandingan respon yang terjadi pada periode setelah ITF dan periode sebelumnya. Perbedaan respon yang terjadi dapat menjelaskan dampak penerapan ITF terhadap respon kebijakan moneter.
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
INFLATION TARGETING FRAMEWORK DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER Arif Setiawan
0.2 0.15 0.1 0.05
BI Rate
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Statistik Data 4.1.1. Suku Bunga Acuan Bank Indonesia (BI rate) Suku Bunga Acuan Bank Indonesia (BI rate) merupakan tingkat suku bunga yang mencerminkan kebijakan Bank Indonesia dalam mengendalikan perekonomian. BI rate ditetapkan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI. Sesuai ketentuan maka RDG dilaksanakan minimal dalam tiga bulan sekali. Sepanjang periode penelitian maka BI rate adalah seperti pada grafik 4.1. Dari grafik terlihat bahwa BI rate berfluktuasi sepanjang periode. Mulai tahun 2002 BI rate bergerak turun dari level 16,76 % hingga mencapai level terendahnya pada triwulan kedua tahun 2004 sebesar level 7,33 %. Selanjutnya, BI rate bergerak naik dan terjadi lompatan yang cukup tajam memasuki triwulan 4 tahun 2005 yang mencapai 12,8 % naik 4 % dari periode sebelumnya yaitu 8.8% pada triwulan 3 tahun 2005. Kemudian BI rate terus menurun hingga akhir triwulan 4 tahun 2010 setelah menguat sedikit pada akhir 2008.
2010-3
2010-1
2009-3
2009-1
2008-3
2008-1
2007-3
2007-1
2006-3
2006-1
2005-3
2005-1
2004-3
2004-1
2003-3
-0.05
2003-1
0 2002-3
3.4.3. Robustness Menurut Hamilton (1994) space state model dengan parameter bervariasi terhadap waktu merupakan sebuah model yang tidak stationer atau tidak linier. Sementara penelitian Lei Guo (1990) menunjukkan bahwa model time varying parameter dengan Kalman Filter tidak membutuhkan asumsi bahwa data harus bersifat stasioner atau independen. Sebagai tambahan untuk menguji validitas hasil penelitian maka maka dilakukan perbandingan dengan hasil penelitian sejenis. Untuk itu penelitian oleh Harmanta (2009) dan Ramayandi (2010) adalah beberapa dari penelitian yang akan digunakan sebagai pembanding.
4.1.2. Ekspektasi Inflasi dan Target Inflasi Ekspektasi inflasi merupakan prediksi inflasi yang dihasilkan berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh lembaga Consensus Forecast. Ekspektasi inflasi mencerminkan prediksi inflasi yang akan terjadi setahun ke depan oleh para pelaku usaha yang diukur dalam persentase satu tahunan. Sementara target inflasi adalah tingkat inflasi yang menjadi sasaran yang dituju oleh pemerintah dan Bank Indonesia. Perbedaan antara ekspektasi inflasi dan target inflasi menjadi dasar dalam penentuan tingkat suku bunga acuan BI (BI rate). Pergerakan selisih ekspektasi inflasi - target inflasi yang disandingkan dengan BI rate dapat dilihat pada grafik 4.2. Dari grafik tersebut terlihat secara umum selisih ekspektasi inflasi – target inflasi bergerak searah dengan BI rate. Hal tersebut ditunjukkan juga dengan perhitungan korelasi yang menunjukkan angka positif 0,4.
2002-1
Analisis juga akan dilakukan dengan beberapa peristiwa penting yang memiliki dampak besar terhadap perekonomian yang terjadi pada periode observasi dikaitkan dengan perubahan respon kebijakan moneter. Peristiwa penting itu adalah kenaikan Bahan Bakar Minyak yang terjadi dua kali pada masa penerapan ITF dan krisis keuangan global yang terjadi pada mulai pertengahan 2008. Bagaimana respon kebijakan moneter dalam mengantispasi peristiwa tersebut dapat terlihat dari perubahan respon yang terjadi pada periode dimana peristiwaperistiwa tersebut terjadi.
Selisih Ekspektasi dan Target Inflasi
Grafik 4.2. Pergerakan Selisih Ekspektasi InflasiTarget Inflasi dan BI rate
4.1.3. Output Gap Output gap yakni selisih output aktual dengan output potensial berdasarkan estimasi yang dilakukan Bank Indonesia dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 triwulan 2 dapat dilihat pada grafik 4.3. Untuk output gap tahun 2007 triwulan 3 sampai dengan 2010 dilakukan estimasi berdasarkan kapasitas produksi yang menganggur sesuai dengan Survei Kegiatan Dunia Usaha yang dilakukan BI dengan hasil estimasi menunjukkan tingkat korelasi 0.6. Pada grafik yang sama dapat dilihat juga perbandingan pergerakan ouput gap dengan BI rate. Melihat arah pergerakan keduanya seperti memiliki hubungan yang berlawanan (negatif). Seperti pada tahun 2002 sampai dengan 2005 BI rate cenderung turun sedangkan output gap sebaliknya cenderung meningkat. Hasil uji korelasi yang dilakukan menunjukkan keduanya memang berkorelasi negatif dengan tingkat korelasi - 0,6. 0.2
0.2 0.15 0.1 0.05 0
0.15 0.1 0.05
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
2010-3
2010-1
2009-3
2009-1
2008-3
2008-1
2007-3
2007-1
2006-3
2006-1
2005-3
2005-1
2004-3
2004-1
2003-3
2003-1
2002-3
2002-1 2002-3 2003-1 2003-3 2004-1 2004-3 2005-1 2005-3 2006-1 2006-3 2007-1 2007-3 2008-1 2008-3 2009-1 2009-3 2010-1 2010-3
Grafik 4.1.Pergerakan Suku Bunga Acuan BI (BI rate)
-0.1
2002-1
0 -0.05 -0.15 Output Gap
BI Rate
Grafik 4.3. Pergerakan Output Gap dan BI rate
71
INFLATION TARGETING FRAMEWORK DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER Arif Setiawan .
4.2. Hasil Analisis Perubahan Struktur - CUSUM Square test CUSUM Square test yang dilakukan terhadap fungsi respon kebijakan moneter menunjukkan hasil plot CUSUM statistic seperti pada grafik 4.4. Pada plot tersebut dapat dilihat bahwa nilai CUSUM square statistic keluar dari critical line 5% pada triwulan 2 tahun 2006. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan adanya perubahan struktur respon kebijakan moneter yang signifikan pada periode tersebut. Namun, lonjakan tajam CUSUM square statistic terlihat mulai terjadi pada semester 4 tahun 2005. 1.4
4.3.1. Analisis Respon Terhadap Inflasi
1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 -0.2 -0.4 2003
2004
2005
2006
CUSUM of Squares
2007
2008
2009
2010
5% Significance
Grafik 4.4. Plot CUSUM square test
4.2.1. Kesimpulan Hasil Analisis Perubahan Struktur Hasil analisis perubahan struktur pada fungsi respon kebijakan moneter dengan CUSUM square test menunjukkan telah terjadi perubahan struktur fungsi respon kebijakan moneter yang secara signifikan terjadi pada tahun 2006 triwulan kedua. Perubahan sebenarnya mulai terdeteksi terjadi sejak triwulan keempat tahun 2005 yang ditandai dengan slope statistic CUSUM square yang cukup tajam pada periode tersebut. Dikaitkan dengan penerapan ITF yang dimulai pada triwulan ketiga tahun 2005 maka terdapat indikasi bahwa penerapan ITF membuat perubahan respon kebijakan moneter. Perubahan terjadi sejak triwulan keempat tahun 2005 dan secara signifikan terlihat pada triwulan 2 tahun 2006. Selanjutnya, untuk mengetahui bagaimana perubahan tersebut terjadi maka jawabannya ada pada hasil analisis Time Varying Parameter. 4.3. Hasil Analisis Time Varying Parameter – Kalman Filter Berdasarkan estimasi menggunakan Space State Model Maximum Likelihood dengan Kalman Filter menggunakan software Eviews 6 maka diperoleh hasil bahwa model yang digunakan memiliki nilai log likelihood 89.32764. Uji null hypothesis dilakukan dengan restricted model dengan memberikan nilai 0 pada salah satu parameter. Nilai log likelihood pada restricted model adalah -2.32 x 108. Sementara nilai log likelihood rationya adalah 4.64 x 108. Nilai tersebut jauh diatas nilai chi square stastistic untuk 72
degree of freedom 1 dan confidence interval 95% yaitu 3.84146. Dengan demikian, maka null hypothesis ditolak yang artinya model yang dihasilkan adalah significant. Sementara parameter akhir untuk suku bunga acuan BI triwulan sebelumnya menujukkan nilai 0,88 dan uji Z statistik menunjukkan hasil tersebut signifikan. Sedangkan parameter inflasi menunjukkan nilai 0.32 dan uji Z statistic menujukkan hasil tersebut signifikan. Untuk output gap nilai akhir parameter menujukkan nilai – 0.27 tetapi hasil uji Z statistic menunjukkan bahwa parameter output gap tidak signifikan. Kebijakan
Moneter
a. Parameter Respon Terhadap Inflasi Berfluktuasi Respon kebijakan moneter terhadap inflasi yakni selisih ekpektasi inflasi dengan targetnya dapat dilihat dari naik turunnya parameter terkait. Dari hasil olah data menunjukkan bahwa parameter respon kebijakan moneter terhadap inflasi berfluktuasi sepanjang periode sampel data sebagaimana dapat dilihat pada grafik 4.5. Dalam grafik tersebut terlihat bahwa parameter inflasi pada periode sebelum triwulan 4 tahun 2005 nilai tertinggi mencapai 0.2 pada triwulan 2 tahun 2003. Kemudian sampai dengan triwulan 3 tahun 2005 maka nilai parameter inflasi menurun hingga mencapai -0.01. Selanjutnya pada triwulan 4 tahun 2005 nilai parameter inflasi meningkat cukup tajam menjadi 0.5. Peningkatan tersebut berlanjut hingga sepanjang tahun 2006 yang nilainya mencapai 0.68. Setelah itu nilai parameter inflasi menurun mulai triwulan 1 tahun 2007 dan kemudian cenderung stabil pada kisaran 0.32 hingga akhir periode sampel tahun 2010. Suatu hal yang dapat ditarik dari pergerakan parameter respon inflasi yang flluktuatif adalah bahwa kebijakan moneter tidak menggunakan sebuah rule tertentu yang bersifat kaku. Penggunaan rule akan menghasilkan parameter yang bersifat konstan dari waktu ke waktu. Dengan demikian maka penerapan ITF di Indonesia lebih bersifat diskresi daripada sebuah rule dalam menentukan suku bunga acuan berdasarkan inflasi dan output gap.
Grafik 4.5. Pergerakan Parameter Inflasi
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
INFLATION TARGETING FRAMEWORK DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER Arif Setiawan
b. Kenaikan Tajam Respon Terhadap Inflasi Pada Awal Penerapan ITF Seperti dapat dilihat pada grafik 4.5 pada triwulan 4 tahun 2005 terjadi peningkatan respon terhadap inflasi yang terus menguat hingga triwulan 4 tahun 2006. Pada 5 triwulan ini respon inflasi merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan keseluruhan periode dengan nilai parameter inflasi dalam kisaran 0.5 sampai dengan 0,68. Peningkatan ini sangat tajam jika dibandingkan periode sebelumnya yang parameter respon terhadap inflasi tertinggi sebesar 0.2 pada triwulan 2 tahun 2003. Selanjutnya, respon inflasi melemah hingga mencapai nilai terendah pada triwulan 3 tahun 2008 dengan besaran respon inflasi 0.3. Dilihat secara keseluruhan maka besaran respon terhadap inflasi pada periode setelah ITF relatif lebih besar dari sebelum ITF seperti dijelaskan tabel 4.1. Tabel 4.1. Perbandingan Respon Terhadap Inflasi Sebelum dan Sesudah ITF Pra ITF (2002-2005-3) Parameter Inflasi (α)
Terendah : - 0.8 Tertinggi : 0.2
Pasca ITF (2005-4 -2010) Terendah : 0.3 Tertinggi : 0,68
Peningkatan respon terhadap inflasi yang terjadi pada triwulan 4 tahun 2005 adalah terjadi satu triwulan setelah penerapan ITF yang secara resmi diumumkan pada bulan Juli 2005 atau pada triwulan 3 tahun 2007. Dengan demikian maka dapat disimpulkan penerapan ITF di Indonesia ditandai dengan peningkatan respon terhadap inflasi yang cukup besar. c. Penurunan Respon Terhadap Inflasi Pada Periode Penerapan ITF Respon terhadap inflasi sejak triwulan satu tahun 2007 terlihat mulai menurun seperti terlihat pada grafik 4.5. Parameter respon inflasi pada periode tersebut mencapai 0.39 menurun cukup banyak sekitar 40% dari triwulan sebelumnya yang mencapai 0.68. Penurunan respon tersebut terus berlanjut hingga tahun 2008 denga nilai parameter terendah 0.3 pada triwulan 2 dan 3 tahun 2008 sebagaimana terlihat pada tabel 4.1. Selanjutnya, pada mulai tahun 2009 parameter inflasi sedikit menguat dan menjadi stabil sampai triwulan 4 tahun 2010 pada nilai 0.32. Tabel 4.2. Penurunan Respon Terhadap Inflasi pada Periode ITF Periode Nilai Parameter Infasi (α) 2007-1 0.398497 2007-2 0.388801 2007-3 0.376556 2007-4 0.376036 2008-1 0.347434 2008-2 0.300264 2008-3 0.299199
Penurunan respon terhadap inflasi pada periode pelaksanaan ITF ini sangat menarik. Pertama, hal tersebut menunjukkan bahwa ITF tidak selalu berkorelasi dengan kenaikan respon terhadap inflasi. Jurnal BPPK Volume 5, 2012
Kedua, terdapat indikasi peningkatan kredibilitas Bank Indonesia yang membuat Bank Indonesia lebih percaya diri dalam mengelola inflasi. Hal tersebut ditunjukkan dengan tercapainya target inflasi pada tahun 2007 meski respon terhadap inflasi tidak sekuat sebelumnya. Namun, hasil yang berbeda terjadi pada tahun 2008. Pada tahun itu target inflasi tahun itu meleset cukup jauh yakni 11,6% dari target 4-6%. Kegagalan pencapaian target inflasi ini kemungkinan didorong oleh terjadinya kenaikan harga BBM yang membuat inflasi dan ekspektasi inflasi meningkat pada pertengahan tahun 2008. d. Perbedaan Respon Terhadap Inflasi Akibat Kenaikan BBM Pada Periode Penerapan ITF Selama penerapan ITF terdapat dua kali kenaikan BBM yang terjadi pada pertengahan tahun 2005 dan pertengahan tahun 2008. Kenaikan BBM yang terjadi pada kedua tahun tersebut membuat inflasi terdorong naik dan akhirnya target inflasi pada dua tahun tersebut tidak tercapai. Namun, terdapat perbedaan respon kebijakan moneter pada tahun 2005 dan tahun 2008 dalam mengantisipasi kenaikan harga BBM. Pada tahun 2005 yang merupakan awal penerapan ITF respon kebijakan moneter terhadap inflasi yang didorong oleh kenaikan harga BBM terlihat meningkat mencapai 0.5. Sementara pada tahun 2008 respon terhadap inflasi baik sebelum dan sesudah kenaikan BBM tidak terlalu banyak berubah yakni pada kisaran 0.3. Peningkatan respon yang sangat tajam pada awal penerapan ITF diduga untuk meningkatkan kredibilitas kebijakan BI dalam kerangka ITF untuk mencapai target inflasi yang telah ditetapkan. Sebagaimana diketahui pada pertengahan 2005 pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak yang menyebabkan inflasi naik tajam. Ini menjadi ujian pertama bagi penerapan ITF oleh Bank Indonesia. Namun demikian, meski respon meningkat tajam pada tahun 2005 target inflasi meleset cukup jauh yakni 10 % di atas target yang ditetapkan. Perbedaan respon kebijakan moneter terhadap inflasi akibat kenaikan BBM pada tahun 2005 dan tahun 2008 dapat menjelaskan dua hal. Pertama, inflasi karena kenaikan harga BBM tidak dapat diantisipasi dengan peningkatan respon yang tinggi terhadap inflasi. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa kebijakan moneter tidak dapat berbuat banyak ketika inflasi didorong oleh permasalahan di sisi supply seperti permasalahan lonjakan harga energi dan pangan seperti yang disampaikan Stiglitz (2008). Kedua, terdapat indikasi bahwa respon terhadap inflasi pada awal penerapan ITF yakni triwulan 4 tahun 2005 sampai dengan tahun 2006 adalah berlebihan (over shooting) jika dibandingkan dengan tahun 2008 dan periode sesudahnya. Hal tersebut dapat ditunjukkan seperti pada respon pada triwulan 4 tahun 2005 yang sebesar 0.5 adalah 1,5 kali lebih besar dari respon terhadap inflasi pada tahun 2008 dan periode sesudahnya yang menunjukkan nilai 73
INFLATION TARGETING FRAMEWORK DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER Arif Setiawan
parameter respon terhadap inflasi mulai stabil pada kisaran 0.3. Tabel 4.3. Perbandingan Respon Terhadap Kenaikan BBM Periode Nilai Parameter Infasi (α) 2005-4 0.496192 2008-3 0.299199
Respon yang berlebihan terhadap inflasi pada awal penerapan ITF tersebut dapat dipandang sebagai masa pembelajaran bagi Bank Indonesia dalam menentukan besarnya respon yang paling tepat terhadap inflasi. Seiring dengan perjalanan ITF dari pengalaman yang diperoleh maka BI dapat menemukan besaran respon yang tepat. Hal terlihat bahwa sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 respon terhadap inflasi relatif tidak banyak berubah. Sementara dari sudut pandang lain seperti Harmanta (2009) memandang meningkatnya respon terhadap inflasi selama penerapan ITF adalah untuk meningkatkan kredibilitas terhadap kebijakan moneter. Mungkin ini juga yang menyebabkan kenaikan respon yang sangat besar pada tahun 2005 karena untuk menjaga kredibilitas kebijakan moneter dengan ITF yang baru saja diimplementasikan secara penuh pada tahun itu. Namun demikian, fitur terpenting ITF sebagaimana disampaikan Bernanke Miskhin (1997) adalah pada komunikasi dan akuntabilitas kebijakan. Dengan dua hal inilah semestinya kredibilitas kebijakan moneter dengan ITF dapat dicapai tanpa harus selalu diiringi dengan peningkatan respon terhadap inflasi yang akan mengganggu pencapaian kinerja perekonomian seperti tingkat pertumbuhan ekonomi. Turunnya respon terhadap inflasi pada tahun 2007 sampai dengan 2010 yang tidak berdampak banyak terhadap pencapaian target inflasi menjadi temuan yang menguatkan hal tersebut. Dan itulah juga yang terjadi pada beberapa negara ITF yang diteliti oleh Creel dan Hubert (2010) yang justru menunjukkan penurunan respon terhadap inflasi setelah pelaksanaan ITF. Maka hasil ini sekaligus juga membantah kesimpulan Ramayandi (2010) yang menyatakan bahwa penurunan respon kebijakan moneter sejak tahun 2007 adalah bentuk ketidakdisiplinan kebijakan moneter. e. Respon Kebijakan Moneter Terhadap Krisis Keuangan Global Dalam periode penerapan ITF terjadi krisis keuangan global pada tahun 2008-2009. Indonesia mendapatkan juga dampak krisis tersebut melalui jalur perdagangan dan arus modal. Dari jalur perdagangan menurunnya permintaan dari negara tujuan ekspor berakibat kepada turunnya ekpsor. Sedangkan dari arus modal terjadi flight to quality yaitu keluarnya dana asing dari negara berkembang termasuk Indonesia ke negara maju yang juga sedang mengalami permasalahan likuiditas akibat krisis. Respon kebijakan moneter dalam menentukan suku bunga kebijakan pada saat krisis keuangan global terjadi tercermin dalam parameter respon kebijakan moneter pada periode terjadinya krisis 74
yakni dimulai pada pertengahan tahun 2008. Pada periode tersebut terlihat pada tabel respon terhadap inflasi sedikit menurun pada triwulan 2 tahun 2008 yang turun 0.04 atau 11,5% lebih redah dari respon pada triwulan 1 tahun 2008 seperti terlihat pada tabel 4.4. Respon tersebut kemudian relatif tidak berubah pada triwulan 3 dan 4 tahun 2008 sebelum akhirnya menguat lagi pada triwulan 1 tahun 2009. Dari respon kebijakan moneter tersebut sepertinya terdapat upaya bank sentral untuk lebih memberi toleransi terhadap inflasi dalam upaya mendorong output perekonomian. Namun, upaya tersebut terlihat sangat lemah dengan perubahan respon yang kecil pada periode krisis. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Bank Indonesia dalam Laporan Kebiajkan Moneter yang menyebutkan bahwa kebijakan suku bunga pada waktu itu tetap fokus untuk mengendalikan inflasi. Tabel 4.4. Respon Terhadap Inflasi pada Krisis Keuangan Global 2008 Periode Nilai Parameter Infasi (α) 2008-1 0.347434 2008-2 0.300264 2008-3 0.299199 2008-4 0.306008 2009-1 0.336825
Kondisi di atas sepertinya mengarahkan kepada temuan bahwa Bank Indonesia dalam krisis keuangan global tidak memberikan respon yang memadai untuk mendorong perekonomian yang sedang dilanda krisis. Namun, kesimpulan tersebut perlu dikaji seksama karena pada saat krisis keuangan global tahun 2008 Bank Indoensia mengeluarkan serangkaian kebijakan yang bersifat ekspansif seperti penurunan giro wajib minimum dan pembelian secara gadai surat utang pemerintah dari pasar. 4.3.2. Analisis Respon Kebijakan Moneter terhadap Output Gap Berdasarkan hasil pengolahan data respon terhadap output gap bernilai negatif tetapi hasilnya tidak signifikan yang artinya data tidak menolak bahwa parameter output gap sama dengan 0. Hasil ini menunjukkan bahwa dalam periode sampel yang diteliti terlihat Bank Indonesia tidak memberi respon yang signifikan dan konsisten terhadap output gap. 4.4. Perbandingan dengan Penelitian Sejenis Hasil temuan dalam penelitian ini menunjukkan kesamaan dengan penelitian yang dilakukan Harmanta (2009) yang menggunakan pendekatan split sampel. Dalam penelitiannya Harmanta mencatat terjadi kenaikan respon terhadap inflasi pada periode setelah penerapan ITF tahun 2005 triwulan ke 3 – 2009 jika dibandingkan dengan periode tahun sebelum penerapan ITF. Harmanta kemudian mencatat bahwa kenaikan respon tersebut mendorong naiknya kredibilitas kebijakan moneter. Sementara penurunan respon terhadap inflasi yang berdasarkan penelitian ini terjadi mulai triwulan pertama tahun 2007 juga menjadi temuan penelitian Ramayandi (2010). Hanya Ramayandi Jurnal BPPK Volume 5, 2012
INFLATION TARGETING FRAMEWORK DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER Arif Setiawan
menemukannya terjadi pada triwulan kedua tahun 2007. Atas penurunan respon tersebut Ramayandi menyebutnya sebagai ketidakdisiplinan kebijakan moneter.
5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis penelitian yang telah dilakukan maka pada periode sampel data maka dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut: a. Penerapan ITF telah menyebabkan perubahan respon kebijakan moneter di Indonesia. Dua metode yang digunakan memberikan hasil kesimpulan yang sama terhadap adanya perubahan respon kebijakan moneter dan saat terjadinya yang diduga terkait dengan penerapan ITF. b. Terdapat jeda waktu satu triwulan antara penerapan ITF dengan perubahan respon kebijakan moneter. Perubahan respon kebijakan moneter dimulai pada triwulan 4 tahun 2005 sedangkan ITF dimulai pada bulan Juli 2005 atau pada triwulan 3 tahun 2005. c. Penerapan ITF di Indonesia ditandai dengan kenaikan tajam respon terhadap Inflasi. Peningkatan respon tersebut terjadi mulai triwulan 4 tahun 2005 atau satu triwulan setelah penerapan ITF yang mulai berlaku Juli tahun 2005. d. Respon terhadap inflasi kemudian menurun pada tahun 2007 dan mencapai level terendah pada tahun 2008. e. Terdapat perbedaan respon terhadap inflasi akibat kenaikan BBM pada periode saat ITF diterapkan yakni tahun 2005 dan 2008. Respon terhadap inflasi pada tahun 2005 jauh 1,5 kali lebih tinggi dari tahun 2008. f. Pada saat krisis keuangan global yang dampaknya mulai dirasakan tahun 2008, respon terhadap inflasi relatif tidak mengalami perubahan. Bank Indonesia dalam kebijakan suku bunga tetap fokus untuk mengarah pada pencapaian target inflasi. Antisipasi terhadap krisis dilakukan melalui instrumen lain seperti penurunan Giro Wajib Minimum dan fasilitas gadai (Repurchase Agreement) surat berharga. g. Dalam hal inflasi yang terjadi karena adanya shock di sisi supply seperti dari kenaikan harga minyak maka peningkatan respon moneter dengan menaikkan BI rate terindikasi kurang efektif dalam menjaga inflasi sesuai dengan target inflasi. h. Dalam periode penerapan ITF kebijakan moneter dalam menentukan suku bunga kebijakan tidak responsif terhadap permasalahan output gap. Berdasarkan temuan di atas maka dapat disimpulkan bahwa telah terjadi perubahan respon kebijakan moneter setelah penerapan ITF. Respon terhadap inflasi selama periode ITF menunjukkan perubahan yang bertahap diawali dengan kenaikan yang cukup besar kemudian diikuti penurunan respon yang kemudian menjadi stabil dalam tiga tahun terakhir. Secara keseluruhan maka pada periode setelah penerapan ITF respon kebijakan Jurnal BPPK Volume 5, 2012
moneter terhadap inflasi lebih tinggi dari periode sebelum penerapan ITF. Dari temuan penelitian juga dapat disimpulkan bahwa penerapan ITF di Indonesia lebih bersifat diskresi daripada sebuah rule dalam menentukan suku bunga acuan berdasarkan inflasi dan output gap. Hal tersebut ditunjukkan dengan parameter respon terhadap inflasi yang berfluktuasi sepanjang periode penerapan ITF. Sementara pendekatan rule akan menghasilkan parameter yang bersifat konstan dari waktu ke waktu. Dari event study yang dilakukan maka sebagai bahan evaluasi maka respon pada awal penerapan ITF yang terkait dengan kenaikan harga BBM dapat dinilai berlebihan (over shooting) jika dibandingkan dengan tahun 2008. Inflasi karena kenaikan harga BBM tidak dapat diantisipasi dengan peningkatan respon yang tinggi terhadap inflasi. Hal ini sesuai dengan pandangan bahwa kebijakan moneter tidak dapat berbuat banyak ketika inflasi didorong oleh permasalahan di sisi supply. Sedangkan dari periode krisis keuangan global tidak ditemukan antisipasi respon kebijakan moneter terhadap krisis dari model yang digunakan.
6. IMPLIKASI DAN KETERBATASAN Dari hasil kesimpulan dalam penelitian ini maka terdapat beberapa saran yang perlu dipertimbangkan antara lain: a. ITF sebagai kerangka kebijakan moneter yang cukup luwes perlu untuk dipertahankan dan ditingkatkan efektifitasnya. b. Perlunya upaya terus menerus untuk meningkatkan kredibilitas kebijakan melalui fitur terpenting dalam pelaksanaan ITF yaitu komunikasi dan transparansi kebijakan moneter. c. Seiring dengan peningkatan kredibilitas kebijakan moneter maka respon BI rate terhadap inflasi di masa yang akan datang dapat terus diturunkan sehingga diharapkan akan lebih mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi pencapaian output perekonomian. d. Dalam hal inflasi yang terjadi karena adanya shock di sisi supply seperti dari kenaikan harga minyak maka peningkatan respon moneter dengan menaikkan BI rate perlu dipertimbangkan kembali mengingat langkah tersebut terindikasi kurang efektif. e. Respon kebijakan moneter terhadap output perlu untuk ditingkatkan dalam batas tertentu yang tidak mengorbankan tujuan pencapaian target inflasi seperti pada saat krisis dimana pertumbuhan output mengalami perlambatan. Untuk penelitian ke depan terkait dengan tema penelitian dan metodologi yang digunakan dalam penelitian ini maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Untuk meneliti perubahan struktur model disarankan menggunakan model multivariate yang digunakan oleh Qu dan Perron (2007). Metode CUSUM memiliki kelemahan yaitu berkurangnya 75
INFLATION TARGETING FRAMEWORK DAN PERUBAHAN RESPON KEBIJAKAN MONETER Arif Setiawan
sensitivitas untuk mendeteksi perubahan struktur model dalam periode observasi data yang lebih panjang (Beck,1983). b. Perlu diperhatikan penggunaan initial value parameter dan covariance parameter dalam penggunaan Kalman Filter untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid. Perbandingan hasil dapat dilakukan berdasarkan initial parameter dan covariance parameter yang berbeda untuk menguji bahwa hasil yang diperoleh tidak bergantung pada initial value sebagaimana dilakukan oleh Creel dan Hubert (2009). c. Untuk mendapatkan data output gap versi Bank Indonesia maka dapat dipertimbangkan untuk menggunakan model multivariate seperti yang dikembangkan oleh Tjahjono (2010).
DAFTAR PUSTAKA Alamsyah H, Joseph C, Agung J, Zulverdy D, Towards Implementation Of Inflation Targeting In Indonesia, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 37, No. 3, 2001: 309–24 Baxa J, Horvath R, Vasicek B. How Does Monetary Policy Change? Evidence on Inflation Targeting Countries.2010 Bernanke Ben, Mishkin Frederic S, Inflation Targeting A New Framework for Monetary Policy, NBER No5893, 1997 Blanchard O, Macroeconomics 5th Edition, Pearson Edcation, 2009 Boivin J, Has US Monetary Changed? Evidence from Drifting Coefficients and Real-Time Data, Journal of Money, Credit and Banking 2006 Beck Nathaniel, Time Varying Parameter Regresson Models, American Journal of Political Science, Vol 27, 1983 Clarida R, Gali J, Gertler M, Monetary Policy Rules and Macroeconomic Stability: Evidence and some Theory The Quarterly Journal of Economics, February 2000 Creel J, Hubert P, Has Inflation Targeting Changed the Conduct of Monetary Policy? OFCE Sciences Po, 2010 Friedman B, Why The Federal Reserve Should not Adopting ITF? 2004 Guo Lei. Estimating Time Varying Parameter Kalman Filter Based Algorithm Stability and Convergence. IEEE Transaction and automatic control vol 35 1990
76
Gujarati D N, Basic Econometrics 4th Edition, McGraw Hill, 2003. Galbraith J D, The inflation Obsession : Flying in the face of the facts, http://www.foreignaffairs.com, 1997 Hamilton J D, State Space Model, Hand Book of Econometrics Vol 4 1994 Harmanta, Kredibilitas Kebijakan Moneter dan Dampaknya Terhadap Persistensi Inflasi dan Strategi Disinflasi di Indonesia, Disertasi FE UI 2009 Kydland E F, Prescott C E. Rules Rather than Discretion: The Inconsistency of Optimal Plans, The Journal of Political Economy, Vol. 85, No. 3. (Jun., 1977), pp. 473-492 Muslimin A, Chawwa T. Analisis Ekspektasi Inflasi Indonesia pasca ITF. Working Paper BI, 2008 Orphanides A. Monetary Policy Rules Macroeconomic Stability and Inflation: A view from the trenches Journal of Money, Credit and Banking, 2003 Qu, Z. Perron P, Estimating and Testing Multiple Structural Changes in Multivariate Regressions, Econometrica, 75, 459-502. 2007 Ramayandi A, Approximating Monetary Policy: Case Study for the ASEAN-5 Center for Economics and Development Studies, 2007 Ramayandi A, Rosario A, Monetary Policy Discipline and Macroeconomic Performance: The Case of Indonesia ADB Economics Working Paper Series No. 238 2010 Stiglitz J E, The Failure of Inflation Targeting http://www.project-syndicate.org 2008 Taylor J B, Discretion versus Policy Rules in Practice,’’ Carnegie-Rochester Series on Public Policy, XXXIX, 1993 Tjahjono E D, Munandar H, Waluyo J. Revisiting Estimasi Potential Output dan Output Gap Indonesia: Pendekatan Fungsi Produksi berbasis Model. Working Paper BI, 2010 Walsh C E, Inflation Targeting: What have we learned International Finance 12:2, 2009 Welch, G, Bishop, G, An introduction to the Kalman Filter, 2001
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
Jurnal BPPK Volume 5, 2012 Halaman 77-90 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
PENGARUH IKLIM ETIS ORGANISASI DAN STRES KERJA TERHADAP KEINGINAN BERPINDAH DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (STUDI PADA ACCOUNT REPRESENTATIVE DAN PEMERIKSA PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK DI PULAU JAWA) Hanik Susilawati Muamarah(a), Indra Wijaya Kusuma(b) (a) (b)
Magister Akuntansi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta; e-mail: [email protected] (penulis berkorespondensi) Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, Jl. Sosio Humaniora No:01 Bulaksumur, Sleman, D.I.Yogyakarta; e-mail: [email protected]
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 28 Agustus 2012
The purpose of this study was to investigate the effects of job stress and organizational ethical climate on tax officer’s turnover intentions, with job satisfaction as intervening variable. The study was conducted to 356 tax offices (account representatives and tax auditors) in Kanwil DJP Jakarta Selatan and Kanwil DJP Jawa Timur II. The data was analyzed using Structural Equation Modeling (SEM) and assisted by LISREL version 8.8 software. The results indicated that job stress and organizational ethical climate had negative effect on job satisfaction and job satisfaction decreased turnover intention. Other results revealed that organizational ethical climate and job stress had no effect on employee turnover intention. The implication of this study included the need of workload analysis and subsequent actions on strategic positions in Directorate General of Taxes such as account representatives and tax auditors. Since they played important role in DGT, a complete evaluation to the employees and job descriptions also should be conducted to ensure that the job is well handled and match the employee capabilities.
Dinyatakan Dapat Dimuat 26 November 2012
KATA KUNCI: iklim etis organisasi, stres kerja, kepuasan kerja, keinginan berpindah, account representative, pemeriksa pajak.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh iklim etis organisasi dan stres kerja terhadap keinginan berpindah pegawai DJP, dengan menggunakan kepuasan kerja sebagai variabel intervening. Penelitian dilakukan terhadap 356 pegawai pajak (account representative dan pemeriksa pajak) di Pulau Jawa dengan mengambil sampel pada Kanwil DJP Jakarta Selatan dan Kanwil DJP Jawa Timur II. Berdasarkan data yang diperoleh, dilakukan analisis menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) dengan bantuan software LISREL 8.8. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa iklim etis organisasi dan stres kerja berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja dan kepuasan kerja berpengaruh negatif terhadap keinginan berpindah. Hasil lain yang diperoleh adalah iklim etis organisasi dan stres kerja tidak berpengaruh terhadap keinginan berpindah. Berdasarkan penelitian ini dapat direkomendasikan perlunya dilakukan analisis beban kerja dan tindak lanjutnya terhadap kelompok-kelompok jabatan strategis di DJP, terutama AR dan pemeriksa pajak. Evaluasi menyeluruh baik terhadap pegawai maupun uraian pekerjaan juga perlu dilakukan secara berkelanjutan untuk memastikan bahwa seluruh pekerjaan dapat ditangani dengan baik, sesuai dengan kapabilitas dan kemampuan pegawai.
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Modernisasi perpajakan, merupakan bagian kecil dari reformasi birokrasi yang dijalankan oleh Kementerian Keuangan. Reformasi birokrasi menekankan pada tiga pilar, yaitu organisasi, proses bisnis, dan sumber daya manusia. Reformasi dalam bidang organisasi dilakukan dengan cara melakukan penataan organisasi dan perubahan struktur organisasi. Salah satu bentuknya adalah penataan kantor pelayanan pajak berdasarkan fungsi yang memunculkan jabatan baru, yaitu account representative. Perubahan proses
bisnis dilakukan melalui tiga hal yaitu analisis evaluasi jabatan, standard operating procedure, dan analisis beban kerja. Pilar sumber daya manusia terdiri dari diklat, pola mutasi, assessment center, penegakan disiplin, dan integrasi Sistem Informasi Managemen Kepegawaian (SIMPEG). Banyak peraturan baru yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan untuk mengakomodir perubahan yang dibutuhkan dalam rangka reformasi birokrasi. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 tentang peng-
PENGARUH IKLIM ETIS ORGANISASI DAN STRES KERJA TERHADAP KEINGINAN BERPINDAH DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (STUDI PADA ACCOUNT REPRESENTATIVE DAN PEMERIKSA PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK DI PULAU JAWA) Hanik Susilawati Muamarah, Indra Wijaya Kusuma
angkatan pelaksana tugas dalam jabatan struktural di lingkungan Departemen Keuangan untuk mendukung perubahan dalam proses bisnis. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.01/2009 tersebut memungkinkan dilakukannya seleksi pencalonan terbuka untuk pengisian jabatan di berbagai unit eselon satu Kementerian Keuangan maupun dari luar Kementerian Keuangan. Seleksi pencalonan terbuka ini bertujuan untuk menempatkan orang-orang terbaik yang memiliki kompetensi, pada jabatan atau tugas tertentu. Beberapa instansi yang melakukan seleksi pencalonan terbuka adalah Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK), Pengadilan Pajak, Komisi Pengawas Perpajakan (Komwas Pajak), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan World Bank. Berdasarkan publikasian peserta seleksi untuk mengisi jabatan yang ditawarkan dalam seleksi pencalonan terbuka tersebut, diketahui bahwa peminat dari DJP cukup banyak dan mendominasi peserta seleksi. Sebagian pendaftar adalah pegawai yang memegang posisi cukup strategis misalnya account representative, pemeriksa pajak, dan kepala seksi (eselon IV). Selain melalui penawaran terbuka di lingkungan Kementerian Keuangan, beberapa pegawai DJP juga pindah ke pemerintah daerah. Sebanyak 100 orang pegawai DJP pindah ke pemda DKI dengan dasar kerelaan (Sumber: http://www.detik.com/07/08/11). Posisi strategis yang dijabat oleh pendaftar juga merupakan fenomena tersendiri. Pendaftar yang menjabat sebagai AR dan pemeriksa pajak akan menyebabkan terjadinya ketimpangan atau masalah dalam tubuh organisasi apabila mereka berhasil dalam seleksi tersebut. Tidak cepat tanggapnya respon dari sistem kepegawaian DJP, menyebabkan posisi yang kosong tidak segera diisi dan dapat menyebabkan terjadinya potential loss dalam penerimaan pajak maupun hal lain. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan berpindah pegawai. Obyek penelitian yang diambil juga bervariasi, di antaranya adalah auditor, pegawai bank, pegawai hotel, perawat dan sebagainya. Variabel yang ditemukan memiliki pengaruh yang signifikan di antaranya adalah stres kerja, iklim etis organisasi dan kepuasan kerja pegawai (Victor dan Cullen, 1993; Sims dan Kroeck, 1994; Koh dan Boo, 2001; Arifuddin, 2002; Raza, 2007; Suhanto, 2009; Mansor dan Tayib, 2010, dll). Perubahan struktur organisasi yang menuntut penyesuaian baru dan tekanan untuk mencapai target tertentu, dapat berakibat pada meningkatnya beban kerja yang berujung pada stres. Apabila dibiarkan secara terus menerus, hal ini tentu dapat berdampak buruk bagi pegawai maupun organisasi. Dampak bagi pegawai di antaranya adalah memburuknya kesehatan baik fisik maupun mental, sedangkan bagi organisasi, stres dapat menyebabkan rendahnya motivasi dan semangat, penurunan kinerja, keinginan 78
berpindah yang tinggi, kecelakaan, rendahnya kepuasan kerja, rendahnya kualitas produk dan jasa, buruknya komunikasi internal dan konflik dalam organisasi (McHugh, 1993; Murphy, 1995; Schabracq dan Cooper, 2000). Chusmir dan Franks (1988) juga menyatakan bahwa stres akan berdampak pada keseluruhan efektivitas dan efisiensi organisasi. Selain stres kerja, iklim etis organisasi juga dianggap memiliki pengaruh terhadap kepuasan kerja dan keinginan berpindah pegawai. Adanya konflik antara nilai etika pegawai dan iklim etis organisasi dapat menyebabkan tingkat kepuasan kerja yang lebih rendah (Koh dan Boo, 2010). Modernisasi perpajakan jilid satu yang membawa perubahan pada struktur organisasi, uraian pekerjaan, dan prosedur kerja DJP tentunya juga membawa dampak bagi pegawainya, khususnya yang bersinggungan langsung dengan wajib pajak, yaitu account representative (AR) dan pemeriksa pajak. Kedua jabatan ini, memiliki beban kerja yang cukup berat, yaitu bertanggung jawab terhadap penerimaan pajak. Seiring dengan tanggung jawab tersebut, terdapat kewajiban lain yang harus dilakukan oleh seluruh aparat pajak, yaitu mematuhi kode etik PNS dan DJP. Kode etik DJP dibuat untuk menunjang terwujudnya iklim kerja yang kondusif, dan memperlancar pelaksanaan tugas. Kode etik juga diharapkan dapat menjadi panduan untuk mengambil tindakan ketika pegawai dihadapkan pada isu etika. Aparat pajak, termasuk di dalamnya AR dan pemeriksa pajak, adalah elemen yang memegang peranan penting dalam administrasi perpajakan. Mikesell (1974:615-624) menyatakan pentingnya peran aparat pajak sebagai berikut : Whether any tax system achieves the goals set by society depends in large part on the success of the tax administrative procedure and tax administrators [or personnel] in carrying out the procedure. While some tax legislation can be so bad as to render it impossible to administer competently, incompetent administration can render any tax system bad.
1.2. Rumusan Masalah Penelitian ini berusaha untuk menganalisis pengaruh stres kerja, iklim etis organisasi dan kepuasan kerja terhadap keinginan berpindah AR dan pemeriksa pajak. Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah iklim etis organisasi mempengaruhi kepuasan kerja?; (2) Apakah iklim etis organisasi mempengaruhi keinginan berpindah?; (3) Apakah stres kerja mempengaruhi kepuasan kerja?; (4) Apakah stres kerja mempengaruhi keinginan berpindah?; dan (5) Apakah kepuasan kerja mempengaruhi keinginan berpindah?. 1.3. Rumusan Masalah Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh iklim etis organisasi dan stres kerja terhadap keinginan berpindah. Penelitian ini juga menggunakan variabel intervening atau variabel antara yaitu kepuasan kerja. Penelitian ini diharapkan dapat Jurnal BPPK Volume 5, 2012
PENGARUH IKLIM ETIS ORGANISASI DAN STRES KERJA TERHADAP KEINGINAN BERPINDAH DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (STUDI PADA ACCOUNT REPRESENTATIVE DAN PEMERIKSA PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK DI PULAU JAWA) Hanik Susilawati Muamarah, Indra Wijaya Kusuma
memberikan manfaat bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan pegawainya, khususnya account representative (AR) dan pemeriksa pajak, untuk keluar dari DJP. Selanjutnya hal tersebut dapat dijadikan bahan evaluasi dan perbaikan sistem dan beban kerja yang ada selama ini untuk mengurangi keinginan AR dan pemeriksa pajak keluar dari DJP.
2. KERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Iklim Etis Organisasi dan Kepuasan Kerja Iklim etis organisasi didefinisikan sebagai “the prevailing perceptions of typical organizational practices and procedures that have ethical content“ (Victor dan Cullen, 1988). Iklim etis organisasi merupakan bagian dari iklim organisasi secara keseluruhan. Weber dan Sager (2002) mendefinisikan iklim etis organisasi sebagai komponen budaya organisasi yang memberikan panduan bagi anggota organisasi dalam mengidentifikasi isu etis dan cara efektif menghadapi situasi yang melibatkan dilema etika. Penelitian ini menggunakan jenis-jenis iklim etis organisasi yang didefinisikan oleh Victor dan Cullen (1988). Definisi ini telah banyak digunakan dalam beberapa penelitian mengenai iklim etis organisasi, antara lain oleh Sims dan Kroeck (1994), Arifuddin (2002), Myint (2006), dan Koh dan Boo (2001). Kelompok egois menekankan pada maksimisasi kepentingan pribadi (self-interest). Iklim kebajikan (benevolence) utamanya didominasi oleh filosofi moral utilitarian. Pandangan ini menyarankan pengambilan keputusan etis didasarkan pada pertimbangan tentang konsekuensi positif dan negatifnya terhadap orang lain (Ferrel dan Fraedrich, 1997). Dalam iklim etis prinsip, suatu pengambilan keputusan terhadap dilema etika akan dilakukan dengan mempertimbangkan kesesuaian dengan aturan dan hukum yang berlaku. Kepuasan kerja (job satisfaction) didefinisikan sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil evaluasi karakteristik-karakteristiknya (Robbins dan Judge, 2008). Organisasi yang mempunyai karyawan dengan tingkat kepuasan yang lebih baik cenderung akan lebih efektif dibandingkan organisasi yang mempunyai karyawan yang kurang puas. Gibson (2003) menyebutkan beberapa faktor yang merupakan penentu kepuasan kerja diantaranya gaji, promosi, pekerjaan itu sendiri, atasan, dan rekan kerja. Dalam penelitian terhadap akuntan publik di Makassar, Arifuddin (2002) menemukan bahwa kecocokan etis memiliki pengaruh negatif terhadap kepuasan kerja. Adanya perbedaan nilai etika yang dianut individu dan organisasi dapat mempengaruhi kepuasan kerja. Apabila perbedaan tersebut besar (kecocokan etis rendah) akan menurunkan kepuasan kerja. Sims dan Kroeck (1994) menemukan bahwa perbedaan nilai-nilai etika pegawai dengan nilai-nilai Jurnal BPPK Volume 5, 2012
organisasi dapat mengurangi komitmen terhadap organisasi, tetapi tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Di lain pihak, penelitian yang dilakukan oleh Koh dan Boo (2001) terhadap manager di Singapura, dan Hart (2005) terhadap suster di Missouri, memberikan simpulan bahwa iklim etis organisasi merupakan hal yang dominan dan berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja dan keinginan berpindah. Direktorat Jenderal Pajak sebagai salah satu institusi pemerintah yang dikenal memiliki rekam jejak kurang baik dalam hal etika pegawainya. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya kasus-kasus korupsi yang melibatkan pegawai DJP, utamanya pegawai yang uraian tugasnya mengharuskan untuk bersinggungan langsung dengan wajib pajak, account representative dan fungsional pemeriksa pajak. Rendahnya etika pegawai DJP tersebut mendorong dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1/PM.3/2007 dan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-33/PJ./2007 tentang kode etik pegawai DJP. Salah satu tujuan dibuatnya kode etik ini adalah menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan iklim kerja yang kondusif di lingkungan DJP. Kelancaran pelaksanaan tugas dan iklim kerja yang baik, tentunya diharapkan dapat meningkatkan kepuasan kerja pegawai, dan meminimalisir terjadinya tindakantindakan tidak etis. Oleh sebab itu, hipotesis pertama yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah: H1: Iklim etis organisasi berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. 2.2. Iklim Etis Organisasi dan Keinginan Berpindah Perpindahan atau perputaran karyawan (employee turnover) adalah pengunduran diri permanen, baik secara sukarela maupun tidak sukarela dari organisasi (Robbins dan Judge, 2008). Keinginan atau intensi (intention) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga diterjemahkan sebagai kehendak, harapan, maksud, atau tujuan. Keinginan berpindah (turnover intention) dapat didefinisikan sebagai keinginan karyawan untuk keluar dari pekerjaannya secara sukarela atau yang biasa disebut voluntary turnover (Price dan Mueller, 1981). Terdapat dua model perilaku penarikan diri dari organisasi (withdrawal behavior) yang mungkin dilakukan oleh individu yang memiliki rencana untuk keluar dari organisasi baik yang bersifat sementara maupun permanen, yaitu menarik diri dari pekerjaan dan mulai mencari alternatif pekerjaan lain (Witasari, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Sims dan Kroeck (1994) menemukan bahwa kesesuaian etis memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap keinginan berpindah. Hal ini tidak sama dengan hasil penelitian Arifuddin (2002) dan Raza (2007) yang menemukan bahwa kesesuaian etis tidak berpengaruh signifikan terhadap keinginan berpindah. Keberadaaan etika di dalam organisasi diharapkan akan membentuk iklim kerja yang etis dan 79
PENGARUH IKLIM ETIS ORGANISASI DAN STRES KERJA TERHADAP KEINGINAN BERPINDAH DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (STUDI PADA ACCOUNT REPRESENTATIVE DAN PEMERIKSA PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK DI PULAU JAWA) Hanik Susilawati Muamarah, Indra Wijaya Kusuma
baik yang akan menambah kenyamanan pegawai dalam bekerja. H2: Iklim etis organisasi berpengaruh negatif terhadap keinginan berpindah. 2.3. Stres Kerja dan Kepuasan Kerja Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi dinamis dimana seorang individu harus menghadapi peluang, tuntutan, atau sumber daya yang berkaitan dengan hal penting yang diinginkan individu tersebut, dengan hasil yang tidak pasti. Cooper dan Payne (1988) menyatakan stres sebagai fenomena yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh ketidakmampuan dalam mengatasi sumber-sumber penyebab stres dalam lingkungan, yang berkaitan dengan pekerjaan tertentu, dan dapat menyebabkan menurunnya kesehatan fisik dan mental. Stres kerja terjadi apabila terdapat ketidaksesuaian antara kebutuhan pekerjaan dengan kapabilitas, sumberdaya, dan kebutuhan pegawai (National Institute of Occupational Safety and Health, 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Suhanto (2009) dan Yin-Fah, dkk., (2010), menemukan hasil yang menunjukkan bahwa stres kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kepuasan kerja pegawai. Salah satu penyebab stres kerja, yaitu ketidaksesuaian antara kapabilitas pegawai dengan uraian pekerjaan atau terjadinya beban kerja yang berlebihan, diduga terjadi pada account representative (AR) dan pemeriksa pajak. Dalam perjalanannya, seksi pengawasan dan konsultasi dan AR, seolah-olah menjadi inti kerja dari kantor pelayanan pajak (KPP), baik berupa pekerjaan administrasi, maupun pemenuhan target penerimaan pajak. Hal tersebut menyebabkan banyak AR yang mengeluhkan beratnya beban kerja yang harus mereka tanggung. Hal yang hampir serupa terjadi pada pemeriksa pajak. Volume dan tenggat waktu pemeriksaan tidak sepadan dengan jumlah fungsional pemeriksa pajak yang menanganinya, dan menyebabkan terjadinya stres kerja pada pemeriksa pajak. H3: Stres kerja berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja. 2.4. Stres Kerja dan Keinginan Berpindah Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara stres kerja dan keinginan berpindah pegawai (Hart, 2005 dan Duraisingam, dkk., 2009). Berdasarkan kondisi yang ada pada AR dan pemeriksa pajak, dikemukakan hipotesis sebagai berikut: H4: Stres kerja berpengaruh positif terhadap keinginan berpindah. 2.5. Kepuasan Kerja dan Keinginan Berpindah Ketidakpuasan kerja juga dapat menjadi penyebab timbulnya keinginan pegawai untuk berpindah (Samad, 2006). Yin-Fah, dkk., (2010) juga menemukan hal ini dalam penelitian yang mereka lakukan di Penang. Mereka menyatakan bahwa 80
rendahnya kepuasan kerja dan komitmen organisasi akan meningkatkan kecenderungan untuk meninggalkan organisasi. Hal senada dinyatakan oleh Witasari (2009) dan Suhanto (2009) yang menemukan bahwa kepuasan kerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap keinginan berpindah. Kondisi yang dihadapi oleh AR dan pemeriksa pajak berupa beban kerja berlebihan dan tuntutan pekerjaan yang tinggi, dapat menyebabkan rendahnya kepuasan kerja. Hal tersebut dapat menjadi penyebab munculnya keinginan pegawai untuk berhenti dan keluar dari pekerjaannya. H5: Kepuasan kerja berpengaruh negatif terhadap keinginan berpindah. Secara ringkas model penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Metode Penelitian
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tipologi Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini bersifat survei, yaitu mengumpulkan data atau informasi dari suatu sampel menggunakan pertanyaan yang terstruktur. Survei yang dilakukan akan memberikan data primer yang diperoleh dari responden berupa butir-butir jawaban dari pertanyaan dalam kuesioner. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan menggunakan judgmental sampling dengan hanya memilih account representative (AR) dan pemeriksa pajak di Kanwil DJP Jakarta Selatan dan Kanwil DJP Jawa Timur II. AR dan pemeriksa pajak dipilih karena jabatan mereka bersifat strategis dalam DJP, sehingga keluarnya mereka dari organisasi dapat mempengaruhi kinerja organisasi. Kanwil Jawa Timur II dipilih karena memiliki tingkat pengembalian kuesioner yang cukup tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Marsono (2009) terhadap aparat pajak di Pulau Jawa, Kanwil Jawa Timur II memiliki tingkat pengembalian kuesioner sebesar 25,61%. Kanwil DJP Jakarta Selatan merupakan pembanding Kanwil DJP Jawa Timur II yang memiliki jumlah unit kerja (KPP), AR, dan pemeriksa pajak tidak jauh berbeda. Responden yang telah dipilih selanjutnya akan menerima kuesioner yang dikirimkan melalui contact person di setiap kantor. Periode penelitian ini adalah tanggal 3 November 2011 sampai dengan 8 Desember 2011.
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
PENGARUH IKLIM ETIS ORGANISASI DAN STRES KERJA TERHADAP KEINGINAN BERPINDAH DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (STUDI PADA ACCOUNT REPRESENTATIVE DAN PEMERIKSA PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK DI PULAU JAWA) Hanik Susilawati Muamarah, Indra Wijaya Kusuma
3.2. Definisi Operasional 3.2.1. Variabel Eksogen 3.2.1.1. Iklim Etis Organisasi Iklim etis organisasi adalah persepsi mengenai praktik dan prosedur dalam tubuh DJP yang berkaitan dengan masalah etika. Iklim etis organisasi dalam DJP adalah salah satu dari tiga jenis iklim organisasi yang akan diteliti. Tujuannya adalah untuk mengetahui jenis iklim organisasi etis yang telah melekat dan berkembang di DJP sesuai dengan tipologi yang dikembangkan oleh Cullen (1998) yaitu egoistis, kebajikan, atau prinsip. Variabel iklim etis organisasi diukur dengan menggunakan kuesioner yang digunakan dalam penelitian Koh dan Boo (2001). Dua belas butir pertanyaan yang digunakan oleh Koh dan Boo (2001) juga merupakan adopsi dari ethical climate questionnaire (Cullen, 1993). Masing-masing dimensi iklim etis organisasi, yaitu egoistis (egoistic), kebajikan (benevolence), dan prinsip (principled) diukur dengan 4 pertanyaan. 3.2.1.2. Stres Kerja Pengukuran terhadap variabel stres kerja dilakukan menggunakan kuesioner yang diadopsi dari penelitian Mansor dan Tayib (2010) sebanyak 10 pertanyaan. Kuesioner ini juga merupakan adopsi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Chang (2008). Melalui kuesioner ini, stres kerja diukur melalui faktor-faktor penyebab stres kerja (stressor). Stressor kerja adalah persepsi terhadap kondisi psikologis yang harus dihadapi AR dan pemeriksa pajak yang berkaitan dengan peluang, tuntutan, atau sumberdaya yang berkaitan dengan pekerjaannya. 3.2.2. Variabel Endogen 3.2.2.1. Kepuasan Kerja Kepuasan kerja adalah perasaan emosional atau psikologis yang dirasakan oleh AR dan pemeriksa pajak yang berkaitan dengan harapan yang diinginkan
dan kenyataan yang dialami dalam pekerjaannya. Luthans (2006) menyebutkan terdapat 5 dimensi yang umum digunakan untuk mengukur kepuasan kerja, yaitu gaji, promosi, rekan kerja, penyelia/atasan, dan pekerjaan itu sendiri. Kelima dimensi ini masing-masing diukur dengan 4 pertanyaan. Butir pertanyaan yang digunakan dalam kuesioner ini merupakan adopsi dari penelitian Koh dan Boo (2001). 3.2.2.2. Keinginan Berpindah Keinginan berpindah adalah niat AR dan pemeriksa pajak untuk meninggalkan atau keluar dari Direktorat Jenderal Pajak secara sukarela. Pengukuran terhadap variabel keinginan berpindah dilakukan menggunakan kuesioner yang digunakan dalam penelitian Witasari (2009) yang juga merupakan adopsi dari Lum, dkk. (1998). Jumlah pertanyaan yang digunakan adalah sebanyak 5 butir. 3.3. Metode Analisis Data Data yang berhasil dikumpulkan dari responden melalui kuesioner, dan memenuhi persyaratan selanjutnya akan dianalisis menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) dengan bantuan software LISREL 8.8. Namun sebelumnya akan dilakukan uji asumsi SEM. Analisis SEM dilakukan menggunakan two-step approach, yaitu melakukan analisis faktor konfirmatori untuk tiap konstruk terlebih dahulu, kemudian setelah diperoleh kecocokan data-model, validitas, dan reliabilitas model yang baik, akan dilakukan pengujian untuk melihat kecocokan model secara keseluruhan. Dalam analisis full SEM, akan digunakan skor variabel laten (LVS). LVS digunakan untuk menyederhanakan model. Sehingga model full struktural akan menjadi seperti pada Gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2. Model Full Struktural dengan LVS
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
81
PENGARUH IKLIM ETIS ORGANISASI DAN STRES KERJA TERHADAP KEINGINAN BERPINDAH DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (STUDI PADA ACCOUNT REPRESENTATIVE DAN PEMERIKSA PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK DI PULAU JAWA) Hanik Susilawati Muamarah, Indra Wijaya Kusuma
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Responden Kuesioner yang dikirimkan kepada responden sebanyak 923 buah dan sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan diperoleh kuesioner yang kembali dan dapat diolah sebanyak 356 kuesioner atau tingkat respon rate sebesar 38,57%. Karakteristik responden ditunjukkan pada tabel 1. Tabel 1 Karakteristik Responden Jenis Kelamin Rentang Usia
Status Masa kerja di DJP
Jumlah
%
Laki-laki
263
73,88%
Perempuan
93
26,12%
<30 tahun
78
21,91%
30-40 tahun
227
63,76%
>40 tahun
51
14,33%
Menikah
319
89,61%
Belum menikah
37
10,39%
<5 tahun
154
43,26%
>5 tahun
202
56,74%
Masa kerja dalam jabatan
<5 tahun
310
87,08%
>5 tahun
46
12,92%
Jabatan
AR
209
58,71%
Pemeriksa Pajak
147
41,29%
Jakarta Selatan
134
37,64%
Jawa Timur II
222
62,36%
Asal Kanwil
4.2. Analisis dan Pengujian Hipotesis 4.2.1. Uji Asumsi SEM 4.2.1.1. Jumlah Sampel SEM mensyaratkan jumlah sampel yang besar. Rule of thumb yang digunakan adalah jumlah sampel
minimal sebanyak 5 x jumlah indikator. Penelitian ini menggunakan 47 indikator sehingga jumlah sampel minimal adalah sebanyak 47 x 5 = 235 sampel. Berdasarkan hasil pengembalian kuesioner diperoleh sampel sebesar 356 orang, sehingga jumlah ini telah memenuhi kriteria. 4.2.1.2. Normalitas Berdasarkan pengujian menggunakan LISREL 8.8, ditemukan bahwa data tidak berdistribusi normal secara multivariat sehingga dapat mengakibatkan bias dalam penilaian goodness of fit. Untuk mengatasi hal tersebut digunakan metode estimasi Robust Maximum Likelihood sehingga bias akibat ketidaknormalan data dapat diatasi. 4.2.1.3. Validitas dan Reliabilitas Uji validitas dilakukan dengan melihat nilai standardized loading factors. Nilai sebesar ≥0,5 dianggap valid. Uji reliabilitas dilakukan dengan melihat nilai construct reliability (CR) dan Average Variance Extracted (AVE). Nilai CR sebesar ≥0,7 dan AVE sebesar ≥0,5 dianggap reliabel. Dari 47 indikator yang diuji, 14 indikator di-drop dari penelitian. Hail uji validitas dan reliabilitas selengkapnya dapat dilihat pada lampiran. 4.2.2. Analisis model full structural Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis terhadap model full SEM dengan menggunakan hasil analisis faktor konfirmatori yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil analisis full SEM dapat dilihat pada Gambar 3 dan Tabel 2.
Gambar 3. Analisis Model Full Struktural
82
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
PENGARUH IKLIM ETIS ORGANISASI DAN STRES KERJA TERHADAP KEINGINAN BERPINDAH DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (STUDI PADA ACCOUNT REPRESENTATIVE DAN PEMERIKSA PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK DI PULAU JAWA) Hanik Susilawati Muamarah, Indra Wijaya Kusuma Tabel 2. Evaluasi Goodness of Fit Model Full Struktural
Indikator
Kriteria
Hasil
Evaluasi
Chi Square
<181,17
256,51
Kurang Baik
P
>0,05
0,00
Kurang Baik
Chi-Square/df
<5
1,62
Baik
RMSEA
<0,08
0,042
Baik
GFI
GFI >0,90, good fit; 0.90 < GFI > 0.80, marginal fit
0,91
Baik
AGFI
≥0,9
0,88
Marginal
ECVI
Nilai yang lebih kecil dari Independence dan lebih dekat ke Saturated Model
M* = 1,02
Baik
Nilai yang lebih kecil dari Independence dan lebih dekat ke Saturated Model
M* = 360,51
Nilai yang lebih kecil dari Independence dan lebih dekat ke Saturated Model
M* = 614,01
NFI
>0,9
0,97
Baik
NNFI
>0,9
0,98
Baik
CFI
>0,9
0,99
Baik
IFI
>0,9
0,99
Baik
RFI
>0,9
0,96
Baik
RMR
Standardized RMR <0,05
0,051
Marginal
AIC
CAIC
Berdasarkan pengujian di atas, dapat disimpulkan bahwa goodness of fit model telah cukup baik. 4.2.3. Pengujian Hipotesis Berdasarkan analisis yang dilakukan, diperoleh model pengukuran sebagai berikut: (1) PUAS = 0.14*ETIS - 0.69*STRES, Errorvar.= 0.43 , R² = 0.57 (0.074) (0.088) (0.11) 1.93 -7.84 4.02 (2) PINDAH = - 0.50*PUAS - 0.051*ETIS + 0.021*STRES, Errorvar.= 0.71 , R² = 0.29 (0.13) (0.072) (0.12) (0.077) -3.85 -0.71 0.18 9.14
Model tersebut akan digunakan untuk melakukan pengujian hipotesis sebagai berikut: H1: Iklim etis organisasi berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. Berdasarkan model struktural (1) dapat diketahui bahwa variabel ETIS memiliki koefisien sebesar 0,14 dan nilai t sebesar 1,93. Nilai t sebesar 1,93 menunjukkan bahwa pengaruh ini signifikan pada α=5% untuk pengujian satu sisi karena t[1,93]>1,645. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis pertama diterima. H2: Iklim Etis organisasi berpengaruh negatif terhadap keinginan berpindah. Berdasarkan model struktural (2) dapat diketahui bahwa variabel ETIS memiliki nilai koefisien sebesar Jurnal BPPK Volume 5, 2012
S** = 1,18 I*** = 22,75 Baik
S** = 420 I*** = 8174,18 Baik
S** = 1443,74 I*** = 8174,18
-0,051 dan nilai t sebesar -0,71. Nilai t sebesar 0,18 menunjukkan bahwa pengaruh ini tidak signifikan pada pengujian satu sisi dengan α=5%, karena [-0,71] < 1,645 atau berada dalam interval -1,645 dan 1,645. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis kedua gagal diterima. H3: Stres kerja berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja. Berdasarkan model struktural (1) dapat diketahui bahwa variabel STRES memiliki koefisien sebesar 0,69 dan nilai t sebesar -7,84. Nilai t sebesar -7,84 menunjukkan bahwa pengaruh ini bersifat signifikan pada α=5% untuk pengujian satu sisi karena t[7,84]>1,645. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis ketiga diterima. H4: Stres kerja berpengaruh positif terhadap keinginan berpindah. Berdasarkan model struktural (2) dapat diketahui bahwa variabel STRES memiliki koefisien sebesar 0,021 dan nilai t sebesar 0,18. Pengaruh stres kerja terhadap keinginan berpindah bersifat tidak signifikan pada pengujian satu sisi dengan α=5% yang diketahui dari nilai t[0,18]<1,645. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis keempat gagal diterima. 83
PENGARUH IKLIM ETIS ORGANISASI DAN STRES KERJA TERHADAP KEINGINAN BERPINDAH DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (STUDI PADA ACCOUNT REPRESENTATIVE DAN PEMERIKSA PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK DI PULAU JAWA) Hanik Susilawati Muamarah, Indra Wijaya Kusuma
H5: Kepuasan kerja berpengaruh negatif terhadap keinginan berpindah. Berdasarkan model struktural (2) dapat diketahui bahwa variabel PUAS memiliki koefisien dan nilai t masing-masing sebesar -0,50 dan -3,85. Pengaruh ini bersifat signifikan pada α=5% untuk pengujian satu sisi yang ditunjukkan oleh nilai t[-3,85]>1,645. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis kelima diterima. 4.3. Pembahasan 4.3.1. Pengaruh iklim etis organisasi terhadap kepuasan kerja Hasil pengujian hipotesis menyatakan bahwa iklim etis organisasi berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja AR dan pemeriksa pajak. Hal ini senada dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa iklim etis memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan kerja (Vitell dan Davis, 1990; Deshpande, 1996; Joseph dan Deshpande, 1997; Koh dan Boo, 2001; Hart, 2005; dan Myint, 2006). Berdasarkan nilai loading factor, iklim etis yang paling dominan dalam tubuh Direktorat Jenderal Pajak adalah prinsip. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kepatuhan terhadap peraturan dan hukum adalah hal yang paling diutamakan. Semua tindakan dan keputusan yang diambil harus sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku. AR dan pemeriksa pajak yang memiliki nilai-nilai pribadi bahwa peraturan harus dinomorsatukan memiliki kecocokan etis yang baik dengan iklim etis prinsip. Hal yang terjadi dalam tubuh DJP adalah hal yang umum terjadi dalam organisasi pemerintah yang menekankan pentingnya birokrasi dan aturan. Sesuai dengan iklim etis prinsip, seorang pegawai dianggap baik apabila selalu mengedepankan peraturan dan kode etik meskipun terkadang hal tersebut mengorbankan sesuatu yang dianggap penting bagi orang lain. Organisasi yang dominan dengan iklim etis prinsip dapat membuat peraturan yang lebih baik dan jelas, dengan tetap memperhatikan kepentingan organisasi maupun pegawainya. Aturan yang dibuat hendaknya dapat memacu pegawai untuk bekerja lebih baik, meminimalisir tindakan-tindakan negatif yang dapat membawa citra negatif organisasi, namun tetap memperhatikan kepentingan pegawai. Selain itu, aturan juga tidak semata-mata menekankan punishment karena pelanggaran, tetapi juga reward karena prestasi atau kepatuhan terhadap peraturan itu sendiri. 4.3.2. Pengaruh iklim etis organisasi terhadap keinginan berpindah Pengujian yang dilakukan terhadap hipotesis kedua menyatakan bahwa iklim etis organisasi tidak berpengaruh terhadap keinginan berpindah AR dan pemeriksa pajak. Hasil ini senada dengan penelitian Arifuddin (2002) dan Raza (2007) bahwa iklim etis organisasi tidak berpengaruh terhadap keinginan berpindah. Zeffane (1994) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan 84
berpindah pegawai dapat berasal dari faktor eksternal maupun internal (institusi). Berdasarkan hasil interview terhadap mantan pegawai DJP yang telah pindah ke institusi lain di luar DJP, masalah etika ternyata bukan faktor yang utama. Di masa pra modernisasi hal tersebut memang merupakan hal yang cukup mengganggu, namun di pasca modernisasi ketika keharusan mematuhi kode etik telah ditegakkan, hal tersebut telah dapat diminimalisir. Hal yang diduga menjadi penyebab tidak signifikannya pengaruh iklim etis organisasi terhadap keinginan berpindah adalah karakteristik responden yang telah berumur di atas 30 tahun dan memiliki kematangan etika yang tinggi. Mereka beranggapan bahwa melakukan hal yang sesuai dengan etika dalam hal ini mematuhi peraturan dan mengutamakan tujuan organisasi adalah hal yang seharusnya dilakukan. Oleh sebab itu, variabel keinginan berpindah yang dipersepsikan oleh responden dalam penelitian ini, tidak dipengaruhi oleh iklim etis organisasi melainkan faktor yang lain. 4.3.3. Pengaruh stres kerja terhadap kepuasan kerja Hasil pengujian hipotesis ketiga menunjukkan bahwa stres kerja berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja AR dan pemeriksa pajak. Hal ini memperkuat hasil penelitian Suhanto (2009), YinFah, dkk (2010), dan Mansor dan Tayib (2010). Perubahan terhadap sistem kerja di tubuh DJP perlu terus dilakukan agar dapat menurunkan tingkat stres pegawai dan meningkatkan kepuasan kerja mereka. Perbaikan terhadap SOP, uraian pekerjaan, dan evaluasi terhadap beban kerja juga harus terus dilakukan untuk mempermudah pegawai dalam melaksanakan tugasnya serta membagi beban kerja dengan adil sesuai dengan porsi dan kapabilitas masing-masing. Tingkat kepuasan kerja pegawai yang didominasi oleh pekerjaan berhubungan erat dengan hal ini. Pegawai yang merasa telah menjalankan tugasnya dengan baik, sesuai dengan aturan dan perintah yang jelas akan merasa lebih nyaman dengan pekerjaannya dan dapat bekerja lebih baik. 4.3.4. Pengaruh stres kerja terhadap keinginan berpindah Pengujian terhadap hipotesis keempat mendapatkan hasil bahwa stres kerja tidak berpengaruh terhadap keinginan berpindah AR dan pemeriksa pajak. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Hart (2005), Wefald, dkk. (2008), dan Duraisingam, dkk. (2009) yang menyatakan bahwa pekerja dengan tingkat stres yang tinggi akan memiliki keinginan berpindah yang tinggi pula. Hasil yang tidak signifikan ini dapat disebabkan oleh karakteristik responden yang merupakan sampel dalam penelitian ini. Mayoritas responden berusia di atas 30 tahun dan memiliki masa kerja di DJP lebih dari 5 tahun. Penelitian Yin-Fah, dkk. (2010) menemukan bahwa keinginan berpindah akan semakin berkurang seiring meningkatnya umur dan masa kerja pegawai. Jurnal BPPK Volume 5, 2012
PENGARUH IKLIM ETIS ORGANISASI DAN STRES KERJA TERHADAP KEINGINAN BERPINDAH DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (STUDI PADA ACCOUNT REPRESENTATIVE DAN PEMERIKSA PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK DI PULAU JAWA) Hanik Susilawati Muamarah, Indra Wijaya Kusuma
4.3.5. Pengaruh kepuasan kerja terhadap keinginan berpindah Hasil pengujian hipotesis kelima menunjukkan bahwa kepuasan kerja berpengaruh negatif terhadap keinginan berpindah AR dan pemeriksa pajak. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Duraisingam, dkk. (2009), Witasari (2009), Suhanto (2009), YinFah, dkk. (2010), dan Fitriany, dkk. (2010). Indikator pekerjaan memiliki loading factor tertinggi dalam konstruk kepuasan kerja, yaitu sebesar 0,44. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik pekerjaan berperan penting dalam menentukan tingkat kepuasan kerja pegawai. Oleh karena itu, analisis terhadap beban kerja suatu jenis pekerjaan, dan evaluasi terhadap orang-orang yang melakukan pekerjaan tersebut sangat penting untuk dilakukan secara berkala dan terus menerus. Analisis dan evaluasi ini akan sangat berguna untuk mendeteksi perlunya dilakukan perbaikan dalam hal beban kerja suatu jabatan tertentu, atau perlunya dilakukan pelatihan tambahan bagi sumberdaya manusia yang membutuhkan atau perlunya mutasi pegawai.
5. KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN KETERBATASAN 5.1. Simpulan Simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Iklim etis organisasi berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja AR dan pemeriksa pajak. Semakin baik iklim etis organisasi maka kepuasan kerja juga akan semakin meningkat. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Vitell dan Davis (1990), Deshpande (1996), Joseph dan Deshpande (1997), Koh dan Boo (2001), Hart (2005), dan Myint (2006) yang menyatakan bahwa iklim etis organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja. 2. Iklim etis organisasi tidak berpengaruh terhadap keinginan berpindah AR dan pemeriksa pajak. Hasil ini senada dengan penelitian Arifuddin (2002) dan Raza (2007) bahwa iklim etis organisasi tidak berpengaruh terhadap keinginan berpindah. Hasil yang tidak signifikan ini dapat disebabkan oleh karakteristik responden yang berusia antara 30-40 tahun. Para pegawai yang berumur di atas 30 tahun pada umumnya telah memiliki kematangan etika yang tinggi, dan memandang bahwa kepatuhan terhadap aturan dan kode etik merupakan hal yang seharusnya mereka lakukan, dan hal tersebut tidak ada kaitannya dengan keinginan berpindah. 3. Stres kerja berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja AR dan pemeriksa pajak. Hal ini memperkuat hasil penelitian Suhanto (2009), Yin-Fah, dkk (2010), dan Mansor dan Tayib (2010). Tingkat stres kerja yang semakin tinggi akan menurunkan kepuasan AR dan pemeriksa pajak. Jurnal BPPK Volume 5, 2012
4.
5.
Stres kerja tidak berpengaruh terhadap keinginan berpindah AR dan pemeriksa pajak. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Hart (2005) dan Duraisingam, dkk. (2009) yang menyatakan bahwa pekerja dengan tingkat stres yang tinggi akan memiliki keinginan berpindah yang tinggi pula. Perbedaan hasil ini dapat disebabkan oleh karakteristik responden yang telah berumur di atas 30 tahun dan telah bekerja di DJP lebih dari 5 tahun. Usia yang telah mapan dan masa kerja akan membuat seseorang memiliki keinginan berpindah yang lebih rendah. Kepuasan kerja berpengaruh negatif terhadap keinginan berpindah AR dan pemeriksa pajak. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Duraisingam, dkk. (2009), Witasari (2009), Suhanto (2009), Yin-Fah, dkk. (2010), dan Fitriany, dkk. (2010).
5.2. Implikasi Penelitian Berdasarkan penelitian ini dapat diketahui bahwa kepuasan kerja yang dipengaruhi oleh iklim etis organisasi dan stres kerja, memiliki pengaruh negatif terhadap keinginan berpindah. Tipe iklim etis organisasi yang paling kuat di DJP adalah iklim etis prinsip yang menitikberatkan pada kepatuhan terhadap peraturan. Stres kerja juga turut memberikan pengaruh negatif terhadap kepuasan kerja pegawai. Untuk meningkatkan kepuasan kerja dan mengurangi keinginan berpindah AR dan pemeriksa pajak, DJP dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Evaluasi dan perbaikan terhadap beban kerja. b. Penyusunan sistem reward dan punishment yang tidak hanya memberikan punishment kepada pegawai yang tidak patuh, tetapi juga memberikan reward kepada pegawai yang patuh. c. Penyusunan peraturan teknis yang jelas, tidak bermakna ganda, dan diikuti dengan SOP yang jelas dan senantiasa disempurnakan. d. Pemberian jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, mengingat AR dan pemeriksa pajak cukup rentan bersinggungan dengan masalah hukum. 5.3. Saran untuk penelitian Selanjutnya Penelitian selanjutnya dapat memperluas sampel yang digunakan sehingga tidak terbatas pada AR dan pemeriksa pajak, namun mencakup jabatan yang lain. Selain itu, uji pilot dengan jumlah sampel memadai juga diperlukan untuk memperoleh kuesioner yang telah valid dan reliabel sebelum disebarkan kepada responden sebenarnya. Hal tersebut dapat mengurangi jumlah indikator yang tidak valid dalam analisis menggunakan data yang sebenarnya. Selain itu, dalam kuesioner juga perlu dicantumkan pertanyaan terbuka kepada responden untuk mengetahui hal-hal yang mempengaruhi keinginan berpindah responden.
85
PENGARUH IKLIM ETIS ORGANISASI DAN STRES KERJA TERHADAP KEINGINAN BERPINDAH DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (STUDI PADA ACCOUNT REPRESENTATIVE DAN PEMERIKSA PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK DI PULAU JAWA) Hanik Susilawati Muamarah, Indra Wijaya Kusuma
DAFTAR PUSTAKA Cooper, C., dan R. Payne. 1988. Causes, Coping and Consequences of Stress at Work. Chichester: John Wiley & Sons. Cooper, Donald R., dan Pamela S. Schindler. 2006. Business Research Methods. Ninth Edition. New York: McGraw-Hill. Cranny, C.J., R.C. Smith, dan E.F. Stone. 1992. Job Satisfaction: How People Feel about their Jobs and How It Afects Their Performance. New York: Lexington. Duraisingam, Vinita, Ken Pidd dan Ann M. Roche. 2009. The Impact of Work Stres and Job Satisfaction on Turnover Intentions: A Study of Australian Specialist Alcohol and Other Drug Workers. Drugs: Education, Prevention, Policy. 16 (3): 217-231. Ferrel, O.C, dan J. Fraedrich. 1997. Business Ethics. Boston: Houghton Mifflin Co. Ghozali, Imam dan Fuad. 2008. Structural Equation Modeling Teori, Konsep dan Aplikasi dengan Program Lisrel 8.80. Edisi Kedua. Semarang: Badan Peneribit Universitas Diponegoro. Gibson, J.L., J.M. Ivancevich, J.H. Donnely, dan Konopaske Jr. 2003. Organizations: Behavior, Structure Processes. 11th Edition. New York: McGraw-Hill Companies Inc. Hart, Sara Elizabeth. 2005. Hospital Ethical Climates and Registered Nurses’ Turnover Intentions. Journal of Nursing Scholarship. Volume: 37. No.2: 173-177. Jogiyanto, HM. 2008. Pedoman Survei Kuesioner: Mengembangkan Kuesioner. Mengatasi Bias dan Meningkatkan Respon. Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE. Koh, Hian Chye dan El’fred H. Y. Boo. 2001. The Link between Organizational Ethics and Job Satisfaction: A Study of Managers in Singapore. Journal of Business Ethics. 29: 309-324. Liu, Bangcheng, Jianxin Liu, dan Jin Hu. 2010. PersonOrganization Fit, Job Satisfaction, and Turnover Intention: An Empirical Study in the Chinese Public Sector. Social Behavior and Personality. 38(5): 615-626. Luthans, Fred. 2006. Perilaku Organisasi. Edisi Kesepuluh. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset. Mansor, Muzainah dan Mahamad Tayib. 2010. An Empirical Examination of Organisational Culture, Job Stres and Job Satisfaction within the Indirect Tax Administration in Malaysia. International Journal of Business and Social Science. Vol. 1, No. 1:81-95. Marsono dan Eko Suwardi. 2010. Persepsi Etis Aparat Pajak dan Mahasiswa: Studi Empiris pada Pemeriksa Pajak, Account Representative dan Mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Jurnal BPPK. Volume 1:2-30. Mikesell, JL. 1974. Administration and the Public Revenue System: A View of Tax Administration. Public Administration Review. 34: 615-624.
86
Myint, Thant Lwin. 2006. The Relationship among Ethical Climate, Job Satisfaction and Organizational Commitment: A Study of Managers in Taiwan. Tesis International Master of Business Administration Program National Cheng Kung University (tidak dipublikasikan). Narimawati, Umi dan Jonathan Sarwono. 2007. Structural Equation Model (SEM) dalam Riset Ekonomi: Menggunakan LISREL. Yogyakarta: Penerbit Gava Media. O-Brien Pallas, L., P. Griffin, J. Shaman, J. Buchan, C. Duffield, F. Hughes, H.K.S. Laschinger, N. North dan W. Stone. 2006. The Impact of Nurse Turnover on Patient, Nurse, and System Outcomes: A Pilot Study and Focus for a Multimember International Study. Policy Politics Nursing Practice. 7(3): 169-179. Park, Jungwee. 2007. Work Stres and Job Performance. Perspectives, December 2007. Statistics Canada Catalogue no. 75-001-XIE p.517. Price, J.L., dan C.W. Mueller. 1981. A Causal Model of Turnover for Nurses. The Academy of Management Journal. 24 (3): 543-565. Raza, Hendra. 2007. Analisis Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Keinginan Berpindah Pekerja (Studi Empiris pada Pekerja di Indonesia). Jurnal Aplikasi Manajemen.Volume 5. Nomor 3. Shahzad, Khurram, Sajjad Hussain, Sajid Bashir, Anwar F. Chishti, dan Zafar Mueen Nasir. 2011. Organizational Environment, Job Satisfaction, and Career Growth Opportunities: A Link to Employee Turnover Intention in Public Sector of Pakistan. Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business. 2(9): 45-56. Sims, R.L., dan K.G. Kroeck.1994. The Influence of Ethical Fit on Employee Satisfaction, Commitment and Turnover. Journal of Business Ethic. 13: 939-948. Sugiyono. 2001. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: CV Alfabeta. Suhanto, Edi. 2009. Pengaruh Stres Kerja dan Iklim Organisasi terhadap Turnover Intention dengan Kepuasan Kerja sebagai Variabel Intervening. Tesis Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Diponegoro (tidak dipublikasikan). Victor, B., dan J.B. Cullen. 1988. The Organizational Basis of Ethical Work Climates. Administrative Science Quarterly. 33 (3): 101-125. Wijanto, Setyo Hari. 2008. Structural Equation Modeling dengan LISREL 8.8: Konsep dan Tutorial. Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. Witasari, Lia. 2009. Analisis Pengaruh Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasional terhadap Turnover Intentions: Studi Empiris pada Novotel Semarang. Tesis Program Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Diponegoro (tidak dipublikasikan).
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
PENGARUH IKLIM ETIS ORGANISASI DAN STRES KERJA TERHADAP KEINGINAN BERPINDAH DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (STUDI PADA ACCOUNT REPRESENTATIVE DAN PEMERIKSA PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK DI PULAU JAWA) Hanik Susilawati Muamarah, Indra Wijaya Kusuma
Yamin, Sofyan dan Heri Kurniawan. 2009. Structural Equation Modeling: Belajar Lebih Mudah Teknik Analisis Data Kuesioner dengan Lisrel-PLS. Jakarta: Penerbit Salemba Infotek. Yin-Fah, Benjamin Chan, Yeoh Sok Foon, L. CheeLeong, dan S. Osman. 2010. An Exploratory Study on Turnover Intention among Private Sector Employees. International Journal of Business and Management. Vol. 5. No.8:57-64. Zeffane, Rachid. 1994. Understanding Employee Turnover: The Need for a Contingency Approach. International Journal of Manpower. Vol 15. No.9: 1-14.
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
Zhang, Guangjin dan Gabriel Lee. 2010. The Moderation Effects of Perceptions of Organizational Politics on the Relationship beteween Work Stres and Turnover Intention: An Empirical Study about Civilian in Skeleton Government of China. iBusiness 2: 258-273.
87
PENGARUH IKLIM ETIS ORGANISASI DAN STRES KERJA TERHADAP KEINGINAN BERPINDAH DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (STUDI PADA ACCOUNT REPRESENTATIVE DAN PEMERIKSA PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK DI PULAU JAWA) Hanik Susilawati Muamarah, Indra Wijaya Kusuma
LAMPIRAN 1. KUESIONER PENELITIAN Yth. Bapak/Ibu/Sdr. Responden Saya mohon kesediaan Bapak/Ibu/Sdr. untuk mengisi kuesioner di bawah ini. Kuesioner ini dibuat semata-mata untuk penelitian dalam rangka penulisan tesis pada program Magister Akuntansi UGM dengan tema keinginan berpindah pegawai (turnover intention) di Direktorat Jenderal Pajak. Kuesioner ini tidak dimaksudkan untuk evaluasi atau penilaian dan seluruh informasi yang diperoleh akan dijaga kerahasiaannya. Atas partisipasi dan kerjasamanya, saya ucapkan terima kasih. Besar harapan saya untuk menerima kembali kuesioner ini dalam waktu singkat. Kuesioner Penelitian BAGIAN PERTAMA. DAFTAR PERNYATAAN RESPONDEN Berilah tanda silang (X) pada skala 1 sampai 4 untuk setiap butir pernyataan. Kerjakan seteliti mungkin dan jangan ada yang terlewatkan. Skala 1 berarti sangat tidak sesuai (STS) dengan situasi yang Anda rasakan dalam organisasi saat ini. Skala 4 berarti sangat sesuai (SS) dengan situasi yang Anda rasakan dalam organisasi saat ini. STS 1 I.
2
3
SS 4
Iklim Etis Organisasi Egoistis(Egoistic)
STS
SS
1.
Organisasi saya menekankan pentingnya tujuan organisasi
1
2
3
4
2.
Orang-orang dalam organisasi saya tidak diharuskan untuk selalu mengutamakan kepentingan organisasi
1
2
3
4
3.
Semua keputusan dan tindakan yang diambil, diharapkan sesuai dengan kepentingan organisasi
1
2
3
4
4.
Tindakan yang merugikan kepentingan organisasi, masih dapat diterima
1
2
3
4
Kebaikan(Benevolent) 5.
Organisasi saya memperdulikan pegawainya
1
2
3
4
6.
Organisasi saya tidak mengutamakan kesejahteraan pegawainya
1
2
3
4
7.
Semua keputusan dan tindakan yang diambil dalam organisasi, diharapkan merupakan yang terbaik bagi semua pihak
1
2
3
4
8.
Organisasi saya tidak memperdulikan hal yang terbaik bagi pegawainya
1
2
3
4
Prinsip (Principled)
II.
III
9.
Kepatuhan terhadap aturan dan prosedur adalah hal yang sangat penting dalam organisasi saya
1
2
3
4
10.
Pegawai dalam organisasi tidak secara ketat diwajibkan mematuhi kebijakan yang ada
1
2
3
4
11.
Orang-orang yang tidak mengikuti aturan dan prosedur organisasi, dianggap tidak baik dalam organisasi saya
1
2
3
4
12.
Organisasi saya tidak menekankan pentingnya aturan, prosedur, dan kebijakan
1
2
3
4
Stress Kerja 13.
Saya tidak mempunyai cukup waktu untuk menyelesaikan pekerjaan saya
1
2
3
4
14.
Kebijakan dan SOP yang ada tidak cukup membantu menyelesaikan pekerjaan saya
1
2
3
4
15.
Pekerjaan yang saya lakukan tidak memiliki tujuan yang jelas dan terencana
1
2
3
4
16.
Saya menerima perintah dari dua atau lebih atasan, yang terkadang bertentangan
1
2
3
4
17.
Saya harus bekerja di bawah arahan atau perintah yang tidak jelas
1
2
3
4
18.
Saya menerima banyak penugasan tanpa bantuan dan sumberdaya yang cukup untuk mengerjakannya
1
2
3
4
19.
Saya merasa bekerja dalam kebijakan dan aturan yang bertentangan
1
2
3
4
20.
Saya menerima penugasan yang tidak sesuai dengan kapabilitas dan uraian pekerjaan saya
1
2
3
4
21.
Saya menerima banyak penugasan yang tidak mungkin diselesaikan tepat waktu
1
2
3
4
22.
Saya merasa tidak yakin dengan mekanisme evaluasi dalam rangka kenaikan gaji atau promosi
1
2
3
4
Kepuasan Kerja Gaji
88
23.
Saya dibayar lebih tinggi dalam organisasi dibandingkan di instansi lain atau swasta
1
2
3
4
24.
Penghasilan yang saya terima sepadan dengan tanggung jawab dan risiko pekerjaan saya
1
2
3
4
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
PENGARUH IKLIM ETIS ORGANISASI DAN STRES KERJA TERHADAP KEINGINAN BERPINDAH DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (STUDI PADA ACCOUNT REPRESENTATIVE DAN PEMERIKSA PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK DI PULAU JAWA) Hanik Susilawati Muamarah, Indra Wijaya Kusuma 25.
Saya dibayar terlalu rendah atas apa yang saya lakukan
1
2
3
4
26.
Saya menerima fasilitas yang sangat baik dari organisasi saya, di luar gaji dan tunjangan.
1
2
3
4
Promosi 27.
Saya tidak menyukai mekanisme promosi yang digunakan dalam organisasi
1
2
3
4
28.
Promosi jarang dilakukan dalam organisasi saya
1
2
3
4
29.
Saya mungkin akan dipromosikan jika bekerja dengan baik
1
2
3
4
30.
Saya merasa puas dengan posisi saya saat ini
1
2
3
4
Rekan kerja 31.
Saya tidak mendapatkan dukungan yang cukup dari rekan kerja saya
1
2
3
4
32.
Dalam organisasi saya, ketika saya meminta seseorang mengerjakan sesuatu, ia akan melakukannya
1
2
3
4
33.
Saya menikmati bekerja dengan orang-orang dalam organisasi saya
1
2
3
4
34.
Saya bekerja dengan orang-orang yang bertanggung jawab
1
2
3
4
Penyelia/Atasan 35.
Penyelia/atasan saya selalu mendukung saya
1
2
3
4
36.
Penyelia/atasan saya kompeten dalam pekerjaannya
1
2
3
4
37.
Penyelia/atasan saya tidak mau mendengarkan saran dan pendapat saya
1
2
3
4
38.
Penyelia/atasan saya tidak memperlakukan saya dengan adil
1
2
3
4
Pekerjaan
IV.
39.
Pekerjaan saya sangat menarik
1
2
3
4
40.
Saya merasa nyaman dengan pekerjaan saya dan tanggungjawabnya
1
2
3
4
41.
Saya lebih suka melakukan pekerjaan lain
1
2
3
4
42.
Pekerjaan saya hanya memberikan sedikit kepuasan
1
2
3
4
Keinginan berpindah 43.
Saya sering berpikir untuk keluar dari pekerjaan saya
1
2
3
4
44.
Saya mungkin akan secara aktif mencari pekerjaan lain
1
2
3
4
45.
Saya mungkin akan meninggalkan DJP dalam waktu dekat
1
2
3
4
46.
Saya mungkin akan keluar dari DJP apabila ada kesempatan yang lebih baik
1
2
3
4
47.
Saya akan keluar dari DJP apabila ada organisasi/ perusahaan lain yang memberikan gaji lebih besar
1
2
3
4
BAGIAN KEDUA. IDENTITAS RESPONDEN 1.
Jenis Kelamin:
Laki-laki
Perempuan
2.
Usia
20-30 th
31-40 th
3.
Pekawinan
Menikah
Belum menikah
Anak
1 anak
2-3 anak
4.
Status
AR
Pemeriksa Pajak
5.
Bekerja di DJP mulai tahun…………………..
6.
Berada di jabatan sekarang (AR/pemeriksa) mulai tahun…………………………..
7.
Nama kantor:…………………………………………
8.
Letak kantor tempat bekerja :
>40 th
>3 anak
Jakarta Luar Jakarta
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
89
PENGARUH IKLIM ETIS ORGANISASI DAN STRES KERJA TERHADAP KEINGINAN BERPINDAH DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING (STUDI PADA ACCOUNT REPRESENTATIVE DAN PEMERIKSA PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK DI PULAU JAWA) Hanik Susilawati Muamarah, Indra Wijaya Kusuma
LAMPIRAN 2. HASIL UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS
Variabel
Validitas Standardized Loading Factors Hasil Kriteria Evaluasi
IKLIM ETIS EGOIS X1 0,69 >0,5 X3 0,64 >0,5 PRINSIP X9 0,71 >0,5 X10 0,54 >0,5 X12 0,72 >0,5 ETIS EGOIS 1 >0,5 PRINSIP 0,86 >0,5 STRES X13 0,56 >0,5 X14 0,63 >0,5 X15 0,71 >0,5 X16 0,69 >0,5 X17 0,83 >0,5 X18 0,72 >0,5 X19 0,69 >0,5 X20 0,62 >0,5 X21 0,55 >0,5 KEPUASAN KERJA GAJI X23 0,62 >0,5 X24 0,77 >0,5 X25 0,62 >0,5 REKAN X33 0,86 >0,5 X34 0,85 >0,5 SUPERV X35 0,94 >0,5 X36 0,87 >0,5 X37 0,53 >0,5 X38 0,51 >0,5 PEKRJ X39 0,77 >0,5 X40 0,86 >0,5 X41 0,60 >0,5 X42 0,51 >0,5 PUAS GAJI 0,52 >0,5 REKAN 0,87 >0,5 SUPERV 0,62 >0,5 PEKRJ 0,62 >0,5 KEINGINAN BERPINDAH PINDAH X43 0,81 >0,5 X44 0,87 >0,5 X45 0,76 >0,5 X46 0,72 >0,5 X47 0,57 >0,5
90
Reliabilitas Construct Reliability Average Variance Extracted Hasil Kriteria Evaluasi Hasil Kriteria Evaluasi 0,725
≥0,7
Reliabel
0,569
≥0,5
Reliabel
0,790
≥0,7
Reliabel
0,561
≥0,5
Reliabel
0,961
≥0,7
Reliabel
0,926
≥0,5
Reliabel
0,923
≥0,7
Reliabel
0,575
≥0,5
Reliabel
0,803
≥0,7
Reliabel
0,579
≥0,5
Reliabel
0,910
≥0,7
Reliabel
0,834
≥0,5
Reliabel
0,876
≥0,7
Reliabel
0,655
≥0,5
Reliabel
0,856
≥0,7
Reliabel
0,608
≥0,5
Reliabel
0,835
≥0,7
Reliabel
0,567
≥0,5
Reliabel
0,917
≥0,7
Reliabel
0,691
≥0,5
Reliabel
Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Valid Valid Valid Valid Valid
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
Jurnal BPPK Volume 5, 2012 Halaman 91-100 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
DAMPAK PENCAPAIAN PERINGKAT KREDIT “INVESTMENT GRADE” INDONESIA TERHADAP COST OF BORROWING SURAT UTANG NEGARA (SUN)0 Sri Fitriani(a), Fiskara Indawan(b), Meily Ika Permata(c), Indriani Karlina(d) (a)
Biro Riset Ekonomi (BRE) Bank Indonesia, Jl. MH. Thamrin II, Jakarta 10110; e-mail: [email protected] (penulis berkorespondensi) (b) Biro Riset Ekonomi (BRE) Bank Indonesia, Jl. MH. Thamrin II, Jakarta 10110; e-mail: [email protected] (c) Biro Riset Ekonomi (BRE) Bank Indonesia, Jl. MH. Thamrin II, Jakarta 10110; e-mail: [email protected] (d) Biro Riset Ekonomi (BRE) Bank Indonesia, Jl. MH. Thamrin II, Jakarta 10110; e-mail: [email protected] INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 29 Agustus 2012
In the midst of global uncertainty, the “investment grade” rating achievement at the end of 2011 and early 2012 has boosted optimistic sentiment to the surge of foreign capital flows and the decrease of borrowing cost for domestic investment activities. Empirical studies showed that this achievement would decrease the spread of sovereign bonds significantly along with the decline of probability of default and the rise of investor base. Impulse Response, using daily transaction data tested with GARCH method, showed that sovereign spread would drop up to 80bps in 23 days since Moody’s announcement on 18 January 2012. The global factor that also has significant influence to spread is global risk indicator. Spread would increase until 30 bps if there was 10 points rise in VIX Index. These results remind us the importance of having strong and resilience economic growth, socio-political stability, and macroeconomic stability supported by prudent fiscal and monetary policy, external factor sustainability, and improved investment climate.
Dinyatakan Dapat Dimuat 26 November 2012
KATA KUNCI: International Investment, International Lending, Debt Problem, Financial Market, Sovereign Debt.
Ditengah ketidakpastian perekonomian global, pencapaian kembali “Investment Grade” Indonesia di akhir 2011 dan awal 2012 memberikan rasa optimis atas peningkatan aliran modal asing dan penurunan biaya dana asing untuk kegiatan investasi domestik. Hasil studi empiris ini menunjukkan bahwa pencapaian status tersebut menurunkan spread SUN secara signifikan, seiring dengan semakin meningkatnya investor base. Dengan menggunakan data keuangan harian, spread SUN menurun sampai dengan 80 bps, selama 23 hari sejak pengumuman oleh Moody’s pada 18 Januari 2012. Faktor global yang juga berperan penting dalam pergerakan spread adalah indikator risiko global. Spread akan meningkat sampai dengan 30 bps, apabila index VIX meningkat 10 level. Hasil penelitian ini kembali mengarisbawahi pentingnya menjaga kekuatan dan ketangguhan pertumbuhan perekonomian, serta stabilitas politik dan sosial yang menjadi perhatian lembaga peringkat kredit internasional. Terjaganya stabilitas makroekonomi tersebut perlu dukungan kebijakan fiskal dan moneter yang prudent, ketahanan sektor eksternal, dan perbaikan iklim investasi.
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di tengah ketidakpastian perekonomian global, berhasil kembali diraihnya “Investment grade” Indonesia memberikan rasa optimis atas peningkatan aliran modal asing untuk kegiatan investasi domestik. Setelah 13 tahun berada dalam katagori ‘speculative grade’ sejak krisis Asia 1997, Indonesia mendapatkan kembali peringkat ‘Investment grade’ dari dua lembaga peringkat kredit internasional yaitu Fitch (Desember 2011) dan Moody’s, (Januari 2012) (Tabel 1). Pencapaian kembali status investment grade akan
berdampak pada menurunnya cost of borrowing (biaya dana) obligasi pemerintah. Pencapaian investment grade ini menunjukkan risiko gagal bayar (default risk) yang lebih rendah, sehingga risk premium yang dikenakan oleh investor asing diharapkan akan semakin kecil. Status Investment grade yang mencerminkan risiko gagal bayar yang rendah akan menarik lebih banyak masuknya aliran modal dari investor asing termasuk, investor kelembagaan, yang pada umumnya membatasi investasinya hanya pada aset keuangan yang berstatus ‘investment grade’. Selain itu, semakin
_______________________________________________________________________________________________________________________________ 0
Pandangan dalam tulisan ini semata-mata merupakan pandangan penulis dan bukan merupakan pandangan Bank Indonesia
DAMPAK PENCAPAIAN PERINGKAT KREDIT “INVESTMENT GRADE” INDONESIA TERHADAP COST OF BORROWING SURAT UTANG NEGARA (SUN) Sri Fitriani, Fiskara Indawan, Meily Ika Permata, Indriani Karlina
luasnya investor base dan semakin mudahnya akses ke pasar keuangan internasional juga akan berkontribusi terhadap penurunan biaya dana dan memperdalam pasar keuangan dalam negeri. Prospek meningkatnya capital inflow ke depan seiring dengan pencapaian investment grade tersebut diharapkan dapat meningkatkan likuiditas domestik dan dapat dimanfaatkan sebagai alternatif sumber pembiayaan investasi yang relatif lebih murah dan dapat mendorong aktivitas investasi sehingga akan mendorong perekonomian domestik6.
berpengaruh pada kenaikan aliran masuk FDI, tetapi tidak berpengaruh pada kenaikan aliran FPI; 2) peningkatan rating investment grade berdampak signifikan pada potensi peningkatan PI, sebagai akibat dari perubahan persepsi risiko di pasar keuangan. Namun demikian, penelitian yang mengestimasi dampak pencapaian status investment grade terhadap cost of borrowing belum ada.
Tabel 1 Perkembangan Peringkat Kredit Obligasi Pemerintah No.
Moody Rating Effective Date 1 Baa3 1/18/2012 2 Ba1 1/17/2011 3 Ba2 12/1/2010 4 Ba2 9/16/2009 5 Ba3 10/18/2007 6 B1 8/1/2007 7 B1 5/19/2006 8 B2 2/27/2006 9 B2 9/30/2003 10 B3 6/26/2003 11 B3 3/20/1998 12 B2 1/9/1998 13 Ba1 12/21/1997 14 Baa3 3/14/1994 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Agency Fitch Rating Effective Date BBB12/15/2011 BB+ 1/25/2010 BB 2/14/2008 BB1/27/2005 B+ 11/20/2003 B 8/1/2002 B3/16/1998 B+ 1/21/1998 BB1/8/1998 BB+ 12/23/1997 BBB6/4/1997
S&P Rating Effective Date BB+ 4/23/2012 BB+ 4/8/2011 BB 3/12/2010 BB7/26/2006 B+ 12/22/2004 B 10/8/2003 B5/12/2003 CCC+ 9/5/2002 SD 4/23/2002 CCC 11/2/2001 CCC+ 5/21/2001 B10/2/2000 SD 4/17/2000 CCC+ 9/12/1999 CCC+ 3/30/1999 SD 3/29/1999 CCC+ 5/15/1998 B3/11/1998 B 1/27/1998 BB 1/9/1998 BB+ 12/31/1997 BBB10/10/1997 BBB 4/18/1995 BBB12/7/1992
Keterangan: warna kuning menunjukkan investment grade
Ditengah berlimpahnya likuiditas global pasca krisis 2008, pencapaian status investment grade terjadi bersamaan dengan membanjirnya aliran modal di negara-negara emerging market termasuk Indonesia. Perkembangan tersebut tercermin dari kecenderungan penurunan yield obligasi (Gambar 1). Oleh karena itu, selain peningkatan peringkat kredit, berlimpahnya likuiditas global dipercaya juga berkontribusi dalam mempengaruhi penurunan biaya dana. Penelitian di Indonesia berkaitan dengan peningkatan investment grade sebelumnya lebih menekankan dampak peringkat kredit terhadap masuknya aliran modal FDI dan PI (portfolio). Yanfitri (2011) menunjukkan bahwa peningkatan peringkat kredit akan meningkatkan aliran FDI setelah tiga kuartal sementara untuk aliran PI berlangsung lebih cepat, dengan lag 1 bulan dan lebih besar. Sementara itu, penelitian di DKM – Bank Indonesia (2012) menemukan dua hasil yang berbeda yakni: 1) kenaikan rating pada posisi non-investment grade
6
Gambar 1 Perkembang Yield Negara Emerging market dan USA (sovereign 10 Tahun)
1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: a. Mengukur besarnya dan lamanya dampak pengumuman pencapaian investment grade (announcement effect) terhadap borrowing cost di pasar SUN. Pengukuran borrowing cost tersebut didasarkan pada spread yaitu selisih antara yield obligasi US (10 Tahun) dan yield obligasi SUN (10 Tahun). b. Merekomendasikan aspek-aspek yang perlu diperhatikan berdasarkan temuan dari tujuan penelitian ini. 1.3. Hipotesa Penelitian Penelitian ini dimotivasi bahwa pencapaian kembali peringkat investment grades yang mencerminkan kondisi makroekonomi domestik yang kuat dan tangguh (resilient) di tengah dampak krisis global akan meningkatkan kepercayaan investor sekaligus meningkatkan akses keuangan domestik di pasar keuangan internasional. Namun demikian, meskipun kondisi perekonomian domestik yang kuat, namun kondisi perekonomian global yang relatif masih rapuh pasca krisis 2008, menimbulkan pertanyaan apakah pencapaian investment grades akan memiliki pengaruh terhadap penuruan biaya pinjaman Surat Utang Negara (SUN)? Mengacu pada pertanyaan tersebut maka hipotesa penelitian adalah pencapaian investment grade akan berdampak pada penurunan biaya pinjaman SUN.
Sebagai benchmark, penurunan biaya dana pemerintah biasanya akan diikuti dengan penurunan biaya dana sektor swasta.
92
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
DAMPAK PENCAPAIAN PERINGKAT KREDIT “INVESTMENT GRADE” INDONESIA TERHADAP COST OF BORROWING SURAT UTANG NEGARA (SUN) Sri Fitriani, Fiskara Indawan, Meily Ika Permata, Indriani Karlina
2. KERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Landasan Teoritis Model Optimalisasi Alokasi Portfolio Investor dengan memperhitungkan faktor probabilitas gagal bayar pertama kali dikembangkan oleh Edward (1983, 1985). Metode ini juga digunakan oleh Akitoby dan Stratman (2008) untuk mengestimasi dampak fiscal policy adjustment terhadap sovereign spread di emerging market, maupun Jaramillo dan Tejada (2011) untuk menangkap manfaat pencapaian investment grade terhadap penurunan borrowing cost obligasi pemerintah. Pada saat melakukan investasi, investor dihadapkan pada dua pilihan berinvestasi, yaitu pada: (a) aset tidak berisiko dengan expected return sebesar risk-free world interest rate (Opsi Pertama) atau (b) Opsi Kedua, berupa aset berisiko dengan expected return sebesar world interest rate ditambah spread (premium risk rate) yang mencerminkan risiko probabilitas gagal bayar. Pada saat akan berinvestasi di suatu negara yang bersifat price-taker di pasar keuangan global, investor yang bersifat risk-neutral, akan memiliki kondisi keseimbangan expected return yang optimal pada:
𝟏 + 𝒓∗
=
𝒑𝒅. 𝝎 + 𝟏 − 𝒑𝒅 (𝟏 + 𝒓𝑳 ) …..…(1) Expected Return Option 1 |
r* rL pd 𝜔
= = = =
Expected Return Option 2
risk-free world interest rate (suku bunga global) suku bunga pinjaman = r* + spread (s) probability of default (probabilitas gagal bayar) dana yang dibayar kembali oleh peminjam pada saat gagal bayar, yang jumlahnya lebih kecil dari dana investasi.
Dari persamaan (1), jika suatu aset, misalnya obligasi dengan peringkat kredit AAA, dengan probabilitas gagal bayar nol (pd = 0), maka spread (s) yang tercermin dari rL - r*: 𝟏 + 𝒓∗ = 𝟎. 𝝎 + 𝟏 + 𝒓∗ = 𝒓∗ = 𝑳 𝒔 = 𝒓 − 𝒓∗
𝟏 − 𝟎 𝟏 + 𝒓𝑳 𝟏 + 𝒓𝑳 𝒓𝑳 = 𝟎 …………………………..……(2)
Persamaan (2) tersebut menunjukkan bahwa untuk obligasi pemerintah dengan risiko gagal bayar yang sangat rendah (pd=0) maka spread yang menunjukkan besarnya premium risk akan sama dengan nol atau dengan kata lain suku bunga pinjaman akan sama dengan suku bunga global. Implikasinya, semakin baik peringkat kredit, maka biaya dana (borrowing cost) akan semakin rendah. Dari persamaan (1), spread (s) dapat diformulasikan sebagai berikut: 𝟏 + 𝒓∗ = 𝒑𝒅. 𝝎 + 𝟏 − 𝒑𝒅 (𝟏 + 𝒓𝑳 ) 𝟏 + 𝒓 = 𝒑𝒅. 𝝎 + (𝟏 + 𝒓∗ + 𝒔) – pd(𝟏 + 𝒓∗ + 𝒔) 𝟎 = 𝒑𝒅. 𝝎 + 𝒔 − 𝒑𝒅 − 𝒑𝒅𝒓∗ − 𝒑𝒅𝒔 𝒔 − 𝒑𝒅𝒔 = 𝒑𝒅 + 𝒑𝒅𝒓∗ − 𝒑𝒅. 𝝎 𝒔(𝟏 − 𝒑𝒅) = 𝒑𝒅(𝟏 + 𝒓∗ − 𝝎) ∗
.
𝒔=
𝒑𝒅 (𝟏−𝒑𝒅)
+ (𝟏 + 𝒓∗ − 𝝎)
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
Persamaan (3) mengimplikasikan bahwa spread merupakan fungsi dari probabilitas gagal bayar dan besarnya tingkat pembayaran kembali dana investasi pada saat terjadinya default. Semakin tinggi probabilitas gagal bayar yang menunjukkan semakin tingginya risiko pengembalian dana investasi, maka sebagai kompensasinya, spread yang dikenakan akan semakin tinggi pula. Selain itu, semakin rendahnya jumlah pengembalian pada saat terjadinya gagal bayar maka akan semakin tinggi pula spread yang akan dibebankan pada investasi tersebut. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah probabilitas gagal bayar dan semakin tinggi tingkat kemampuan pengembalian yang tercermin dari pencapaian status investment grade , maka spread akan semakin rendah yang pada akhirnya akan menurunkan borrowing cost secara keseluruhan. Probabilitas gagal bayar dapat diformulasikan dalam bentuk logistic form, (Akitoby dan Stratman, 2008) sebagai berikut:
𝒑𝒅 = 𝑍𝑘
=
𝛽𝑘
=
𝒆𝒙𝒑 𝟏+ 𝒆𝒙𝒑
𝒏 𝒌=𝟏 𝜷𝒌 𝒁𝒌 𝒏 𝒌=𝟏 𝜷𝒌 𝒁𝒌
…………….(4)
determinan dari probabilitas gagal bayar yang berasal dari faktor-faktor ekonomi, politik dan sosial. koefisien terkait.
Dengan mengkombinasikan antara persamaan (3) dan (4), menggunakan natural logarithm dan mengasumsikan bahwa ω = 0, maka spread dapat diformulasikan (penurunan rumus pada Lampiran) sebagai berikut:
𝒍𝒏 𝒔 =
𝒏 𝒌=𝟏 𝜷𝒌 𝒁𝒌
pull factors
+ 𝒍𝒏(𝟏 + 𝒓∗ )
………….(5)
push factors
𝒏 Pada persamaan (5) tersebut, 𝒌=𝟏 𝜷𝒌 𝒁𝒌 mencerminkan pull factors yang merupakan determinan spread yang berasal dari faktor domestik seperti faktor perekonomian, perkembangan politik dan sosial domestik negara penerbit surat berharga. Faktor domestik tersebut antara lain tercermin dalam peringkat kredit. Sementara itu 𝒍𝒏(𝟏 + 𝒓∗ ) mencerminkan push factors yang merupakan determinan spread yang berasal dari perekonomian global, antara lain faktor likuiditas global dan risiko global (global risk appetite). Determinan masuknya capital flow (aliran dana) ke negara berkembang disebabkan oleh beberapa faktor. Terdapat dua faktor penentu utama untuk capital inflow (Agenor, 2004; Calvo et al, 1994): a) Internal atau pull factors, yang terkait dengan kebijakan dalam negeri, seperti tingginya tingkat produktivitas dan tingkat pertumbuhan, kuatnya fundamental makroekonomi, stabilisasi makroekonomi, reformasi yang bersifat struktural (contohnya liberasisasi kapital dan penurunan defisit fiskal), yang biasanya akan terkompensasi dan terefleksi dengan peningkatan rating suatu negara.
…….....……….(3)
93
DAMPAK PENCAPAIAN PERINGKAT KREDIT “INVESTMENT GRADE” INDONESIA TERHADAP COST OF BORROWING SURAT UTANG NEGARA (SUN) Sri Fitriani, Fiskara Indawan, Meily Ika Permata, Indriani Karlina
b) Eksternal atau push factors, seperti (1) tingkat suku bunga dunia yang rendah, terutama di AS dan beberapa negara maju lainnya, yang akan menyebabkan terjadinya penurunan premi risiko, (2) resesi atau perlambatan tingkat pertumbuhan di negara maju akan menghasilkan tingkat return yang rendah dan mengurangi peluang keuntungan (profit opportunity) sehingga akan menyebabkan terjadinya perpindahan capital dari negara maju ke emerging markets. 2.2. Landasan Empiris Definisi Investment grade adalah peringkat surat utang negara yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat kredit yang bertujuan mengukur kemungkinan gagal bayar di masa depan secara kualitatif. Tiga lembaga peringkat kredit utama berskala internasional adalah Moody’s Investor Services (Moody’s), Standard and Poor’s (S&P) dan Fitch Rating (Fitch). Asesmen mereka terhadap risiko kemampuan dan keinginan pemerintah untuk mengembalikan pinjaman didasarkan pada seperangkat analisis yang luas atas faktor-faktor ekonomi, sosial, dan politik. Pemeringkatan atas risiko kredit tersebut secara garis besar dikelompokan dalam dua kategori yaitu investment grade dan speculative grade. Detail peringkat kredit yang dikeluarkan oleh ketiga lembaga pemeringkat kredit utama terdapat dalam Tabel 2. Tabel 2 Peringkat Kredit Surat Utang Negara oleh Lembaga Pemeringkat Kredit1 Rating Grade S&P Moody’s Investment grade Highest quality, reliable, stable High quality Strong payment capacity Adequate payment capacity Speculative grade Likely to fulfill obligations, ongoing uncertainty Financial situation varies considerably Vulnerable, dependent on favorable economic condition meet payments Highly vulnerable, speculative Close to default, may be in arrears Default on obligations
Fitch
Aaa
AAA
AA A BBB
Aa A Baa
AA A BBB
BB
Ba
BB
B
Ba
B
CCC
Caa
CCC
CC
Ca
CC
C
C
C D
Note: Within rating categories, S&P and Fitch use plus (+) or minus (-) signs to show relative standing. With A+ being better than A or A-. Moody’s uses modifier of 1, 2, or 3 for the same purpose, with A1 being better than A2 or A3. Source: Standard and Poor’s, Moody’s Investor Services, Fitch Rating. 1/ Jaramillo and Tejada (2011)
Negara-negara berkembang yang masih membutuhkan dana investasi yang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik berupaya keras memperoleh status investment grade atas penerbitan surat utang negara. Status investment 94
PERANAN
1
AAA
D
grade menunjukkan risiko gagal bayar (default) yang rendah sehingga berdampak pada menurunnya biaya pinjaman surat utang negara (sovereign debt). Dengan status investment grade, biaya pinjaman diharapkan akan menurun seiring dengan semakin rendahnya risiko gagal bayar dan semakin besarnya aliran modal dari investor kelembagaan (institutional investors) yang dalam panduan operasional mereka dilarang berinvestasi pada aset-aset berisiko tinggi. Peranan lembaga pemeringkat kredit di pasar keuangan dan dampaknya di pasar keuangan berpengaruh besar terhadap keberlangsungan hidup penerbit surat utang (issuers) maupun efektivitas regulator. Bagi issuer, lembaga pemeringkat kredit dapat mempengaruhi akses ke pasar keuangan dan besarnya biaya pinjaman yang harus ditanggung issuers, melalui perannya sebagai penyedia informasi, sertifikasi dan monitoring (Gambar 2) di pasar keuangan. Bagi regulator peranan lembaga peringkat kredit menjadi sangat penting, karena lembaga peringkat kredit dapat mempengaruhi perilaku dan keputusan investor di masa depan. Dengan kata lain, opini mereka merefleksikan informasi yang lebih kaya dan dalam dari informasi yang telah tersedia di pasar. Hal tersebut akan mempengaruhi stabilitas keuangan yang menjadi perhatian utama regulator (Kif et al., 2012).
Lembaga Peringkat Kredit
2
Asesmen risiko kredit 3
Penyedia Informasi
DAMPAK
Issuer (Creditworthiness)
Jasa Sertifikasi Jasa Monitoring
Investor (Investment Decision)
Akses pasar
Likuiditas pasar
Biaya pinjaman
Mengantisipasi prilaku pasar
Stabilitas keuangan
Regulator
Regulasi Pengawasan Mengikuti prilaku pasar
Gambar 2 Peranan dan Dampak Lembaga Peringkat Kredit di Pasar Keuangan
Di pasar keuangan yang bersifat asymmetric information, lembaga peringkat kredit menghasilkan dan mendiseminasikan informasi (Gambar 3) mengenai risiko surat berharga berpenghasilan tetap (fixed income securities). Informasi ini digunakan oleh investor dalam pengambilan keputusan investasi. Tanpa lembaga peringkat kredit, investor akan mengeluarkan biaya yang besar dalam pencarian dan pengelolaan informasi, terutama bagi investor bukan berskala besar. Dengan mengurangi biaya informasi, lembaga pemeringkat kredit akan meningkatkan pool peminjam potensial dan mendorong likuiditas pasar. Peranan kedua lembaga pemeringkat kredit adalah menyediakan jasa sertifikasi yang mengklasifikasikan surat-surat berharga yang diterbitkan sebagai investment grade atau speculative grade. Hal ini akan mempangaruhi permintaaan dan likuiditas pasar, terutama investor kelembagaan (a.l lembaga pensiun dan bank sentral) karena jasa sertifikasi tersebut akan memudahkan dalam Jurnal BPPK Volume 5, 2012
DAMPAK PENCAPAIAN PERINGKAT KREDIT “INVESTMENT GRADE” INDONESIA TERHADAP COST OF BORROWING SURAT UTANG NEGARA (SUN) Sri Fitriani, Fiskara Indawan, Meily Ika Permata, Indriani Karlina
pengambilan keputusan investasi. Para investor kelembagaan, pada umumnya dalam peraturan internal mereka, dilarang untuk melakukan investasi pada aset-aset yang berisiko tinggi. Selain itu, sertifikasi investment grade ini juga digunakan sebagai salah satu acuan dalam pengawasan lembaga keuangan oleh regulator, contohnya digunakan dalam penghitungan BASE II risk-based capital requirements. Lembaga pemeringkat juga melakukan peran sebagai monitoring dengan dikeluarkannya review, watches, dan outlook. Ketiga penilaian tersebut dikeluarkan sebelum diumumkannya status peringkat kredit yang bertujuan memberikan informasi mengenai perkembangan kondisi terkini dan estimasi kondisi kedepan yang akan mempengaruhi profil risiko issuer di masa depan. Dengan adanya kontrak antara lembaga pemeringkat kredit dan issuers, lembaga pemeringkat memiliki ‘semacam kekuatan’ untuk mempengaruhi issuers untuk melakukan perbaikan. Namun, menurut Kiff et al. (2012), peran terakhir ini tidak terbukti secara signifikan sebagaimana peran pertama dan kedua di atas. Hasil tersebut berbeda dengan temuan Boot, Milbourn, dan Schmeits (2005) yang menemukan bahwa peringkat kredit memiliki fungsi monitoring. 1
Penyedia Informasi Memproduksi dan menyebarkan informasi: issuer risk profile
2
Jasa Sertifikasi Mengklasifikasikan Investment Grade atau non-investment Grade
3
Jasa Monitoring Melakukan Credit Warning (Review, Watches, Outlook)
Pasar yang bersifat asymmetric information Mengurangi biaya informasi investor
Keputusan investasi (institusi, al. bank sentral) likuiditas pasar Otoritas pengawas (Basel II – risk based capital requirement).
Mempengaruhi issuer untuk melakukan langkah-langkah perbaikan
Pasar bereaksi terhadap informasi baru & perubahan klasifikasi investment grade melalui perubahan harga
Tidak berdampak pada penurunan/ peningkatan peringkat
Gambar 3 Peranan Lembaga Pemeringkat Kredit di Pasar Keuangan
Dampak investment grade di emerging market telah banyak dilakukan. Hasil studi empiris tersebut secara umum menemukan bahwa peringkat kredit yang lebih baik berkaitan dengan spread suku bunga surat utang negara yang lebih rendah. Cantor dan Packer (1996) mengestimasi bahwa pemburukan satu notch peringkat kredit akan meningkatkan spread sebesar 25%. Kaminsky dan Schmukler (2002) menunjukkan bahwa rata-rata yield spread akan meningkat 2% apabila terjadi penurunan satu notch. Sy (2002) dalam Jaramillo dan Tejada (2011) menemukan bahwa peningkatan peringkat kredit satu notch akan mengurangi spread rata-rata sebesar 14% (atau 70 bps dari spread awal 500 bsp). Selanjutnya, Hertelius et al. (2008) menemukan bahwa membaiknya peringkat kredit di emerging market Jurnal BPPK Volume 5, 2012
mengakibatkan penurunan spread surat utang negara sejak pertengahan 2002. Dengan menggunakan data-data negara emerging market sampai dengan periode pasca krisis global 2008, kesimpulan umum tersebut masih berlaku, terutama pada perubahan status dari speculative grade menjadi investment grade, Jaramillo dan Tejada (2011). Dengan menggunakan data EMBI Global dari 35 emerging market dari 1997 sampai dengan 2010, mereka mengestimasi bahwa perubahan menjadi status investment grade dari speculative grade akan mengurangi spread sebesar 36%. Sementara spread akan menurun sebesar 5-10% seiring dengan peningkatan peringkat dalam kategori investment grade, tetapi tidak ada pengaruh seiring dengan peningkatan peringkat dalam kategori speculative grade. Hasil studi tersebut juga menunjukkan bahwa kondisi keuangan global berperan penting dalam menentukan spread. Sementara sentimen pasar akan membaik seiring dengan semakin menurunnya utang luar negeri pemerintah terhadap GDP dan semakin meningkatnya pertumbuhan domestik. Hasil yang serupa juga ditemukan pada studi Kiff et al. (2012) dan Lee et al. (2010). Studi pertama menunjukan bahwa perubahan status dari peringkat non-investment grade (speculative grade) ke investment grade mengurangi CDS spread sebesar 37%, walaupun perubahan peringkat secara umum tidak berdampak signifikan terhadap spread. Hasil tersebut didasarkan pada penelitian 72 negara baik advanced and emerging economies yang memiliki peringkat surat utang negara yang diterbitkan oleh Moody’s sejak Januari 2005–Juli 2010. Studi kedua yang dilakukan Lee et al.(2010) menemukan bahwa perubahan peringkat surat utang pemerintah berdampak pada likuiditas saham (total return index dari Datastream). Dampak tersebut lebih kuat pada saat penurunan peringkat dibandingkan peningkatan peringkat. Studi tersebut menggunakan data 40 negara dan 15 diantaranya merupakan negara emerging market dari Januari 1990–Desember 2009. Selanjutnya, penelitian di Indonesia berkaitan dengan peningkatan investment grade sebelumnya lebih menekankan dampak peringkat kredit terhadap masuknya aliran modal FDI dan PI (portfolio). Yanfitri (2011) dengan menggunakan Z score untuk menangkap pergerakan peringkat kredit sebagaimana digunakan oleh HKMA (2006), menunjukkan bahwa peningkatan peringkat kredit akan meningkatkan aliran FDI setelah tiga kuartal, yaitu sebesar 0.05% untuk setiap kenaikan 1% Z score. Untuk aliran PI berlangsung lebih cepat, dengan lag 1 bulan dan lebih besar, yaitu 1,08% setiap kenaikan 1% Z score. Dengan menggunakan data kuartalan 1996–2010, aliran modal masuk PI terbesar berasal dari SBI (sebelum ketentuan holding period diterapkan). Sementara itu, penelitian di DKM – Bank Indonesia (2012) menemukan dua hasil yang berbeda yakni: 1) kenaikan rating pada posisi non-investment grade berpengaruh pada kenaikan aliran masuk FDI, 95
DAMPAK PENCAPAIAN PERINGKAT KREDIT “INVESTMENT GRADE” INDONESIA TERHADAP COST OF BORROWING SURAT UTANG NEGARA (SUN) Sri Fitriani, Fiskara Indawan, Meily Ika Permata, Indriani Karlina
tetapi tidak berpengaruh pada kenaikan aliran FPI; 2) peningkatan rating investment grade berdampak signifikan pada potensi peningkatan PI, sebagai akibat dari perubahan persepsi risiko di pasar keuangan. 2.3. Landasan Ekonometrik Dalam series data keuangan, yang biasanya merupakan data high frequencies yang bersifat harian ataupun mingguan, seringkali ditemukan volatility clustering, dimana terdapat periode dengan tingkat volatilitas yang tinggi (high volatility) namun sebaliknya pada waktu yang berbeda terdapat periode dengan tingkat volatilitas yang rendah (low volatility). Pada periode high volatility, suatu shock yang besar (residual) cenderung akan diikuti oleh shock yang besar pula, demikian pula sebaliknya, pada periode low volatility, shock yang kecil akan diikuti dengan shock yang kecil pula. Model regresi linear biasa mengedepankan asumsi volatilitas yang stabil (homoscedasticity). Pada kasus di atas, dimana syarat homoscedasticity tidak dapat dipenuhi, pemodelan dapat dilakukan dengan membolehkan variance dari ε_t dipengaruhi oleh error term periode sebelumnya. Pemodelan dan forecast terhadap volatilitas memberikan beberapa keuntungan antara lain estimator akan lebih efisien jika kendala heteroscedasticity dapat diatasi. Selain itu, karena forecast confidence interval dapat bervariasi antar waktu, pemodelan variance dari error term akan membantu memberikan interval yang lebih akurat. Engle (1982) memperkenalkan konsep Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (ARCH). Dalam model ini, variance dari error term pada periode 𝑡 dipengaruhi oleh kuadrat dari error term (volatilitas) beberapa periode sebelumnya.
𝝈𝟐𝒕 ≡ 𝑬 𝜺𝟐𝒕 𝑰𝒕−𝟏 = 𝝎 + 𝜶𝜺𝟐𝒕−𝟏
………………..(6)
Model ARCH(1) dapat diperluas menjadi ARCH(p) dan dapat dinyatakan sebagai berikut :
𝝈𝟐𝒕 = 𝝎 + 𝜶𝟏 𝜺𝟐𝒕−𝟏 + 𝜶𝟐 𝜺𝟐𝒕−𝟐 + ⋯ +𝜶𝒑 𝜺𝟐𝒕−𝒑 = 𝝎 + 𝜶 𝑳 𝜺𝟐𝒕−𝟏
Pengembangan variasi ARCH model yang sangat bermanfaat diperkenalkan oleh Bollerslev (1986) dan kemudian dikenal dengan nama Generalized ARCH atau GARCH. Model GARCH(q,p) dapat dituliskan sebagai berikut :
𝝈𝟐𝒕 = 𝝎 +
𝒑 𝟐 𝒋=𝟏 𝜶𝒋 𝜺𝒕−𝒋
𝝈𝟐𝒕 ≡ 𝑬 𝜺𝟐𝒕 = 𝝎 + 𝜶𝑬 𝜺𝟐𝒕−𝟏
…………….. (7)
Persamaan di atas mempunyai solusi yang stasioner yaitu :
𝜎𝑡2 =
𝜔
1−𝛼
, karena 0 ≤ 𝛼 ≤ 1. Perlu
diingat bahwa unconditional variance tidak tergantung pada 𝑡.
96
+
𝒒 𝟐 𝒋=𝟏 𝜷𝒋 𝝈𝒕−𝒋
.……..(8)
Atau
𝝈𝟐𝒕 = 𝝎 + 𝜶 𝑳 𝜺𝟐𝒕−𝒋 + 𝜷 𝑳 𝝈𝟐𝒕−𝒋
………………..(9)
Dengan 𝜔 ≥ 0, 𝛼 ≥ 0 dan 𝛽 ≥ 0. GARCH merupakan alternatif yang lebih kompak untuk memodelkan ARCH dengan order yang tinggi. Dengan melakukan metode GARCH maka pemilihan lag dari 𝜀𝑡 dapat diminimalkan.
3. METODOLOGI PENELITIAN Untuk melihat dampak investment grade, penelitian ini menggunakan metode regresi GARCH (Generalized Autoregressive Conditional Heterokedasticity) yang diaplikasikan pada model umum optimalisasi alokasi portfolio investor dengan memasukkan faktor probabilitas gagal bayar yang dikembangkan pertama kali oleh Edward (1983, 1985) (persamaan 6), dengan persamaan ekonometrik sebagai berikut:
𝒔𝒑𝒓𝒆𝒂𝒅𝒕 𝒍
Dengan 𝜔 ≥ 0 dan 𝛼 ≥ 0. Model diatas merupakan ARCH(1), dengan 𝐼𝑡−1 merupakan kumpulan 2 informasi yang mencakup 𝜀𝑡−1 dan semua informasi terdahulu. Model ARCH(1) menyatakan bahwa ketika shock yang cukup besar terjadi di periode 𝑡 − 1, maka kemungkinan besar 𝜀𝑡2 akan besar dan 𝜎𝑡2 akan cenderung besar pula. Dengan kata lain, terdapat 2 hubungan korelasi antara 𝜀𝑡2 dengan 𝜀𝑡−1 . 2 Unconditional variance dari 𝜀𝑡 adalah :
………………………(21)
𝒐
=𝒄+
∝𝒌 𝑷𝒖𝒔𝒉𝑭𝒂𝒄𝒕𝒐𝒓𝒌,𝒕−𝒏 𝒌=𝟏 𝒏=𝟎 𝒎 𝒑
+
𝜷𝒌 𝑷𝒖𝒍𝒍𝑭𝒂𝒄𝒕𝒐𝒓𝒌,𝒕−𝒏 𝒌=𝟏 𝒏=𝟎 𝒒
+
𝜸𝑺𝒑𝒓𝒆𝒂𝒅𝒕−𝒏 𝒏=𝟏
𝒔𝒑𝒓𝒆𝒂𝒅𝒕 = 𝒄 + 𝒐𝒏=𝟏 𝜶𝟏 𝑭𝑭𝒕−𝒏 + 𝒑 + 𝒏=𝟏 𝜷𝟏 𝒅𝒖𝒎𝒓𝒂𝒕 +
𝒒 𝒏=𝟏 𝜸𝑺𝒑𝒓𝒆𝒂𝒅𝒕−𝒏
𝒐 𝒏=𝟏 𝜶𝟐 𝑽𝑰𝑿𝒕−𝒏 ………………(10)
Dalam model ekonometrik di atas, selain push and pull factors, di masukkan pula unsur 𝒒 𝜸𝑺𝒑𝒓𝒆𝒂𝒅 untuk menangkap faktor 𝒕−𝒏 𝒏=𝟏 autokorelasi dalam prilaku spread. Model ini Jurnal BPPK Volume 5, 2012
DAMPAK PENCAPAIAN PERINGKAT KREDIT “INVESTMENT GRADE” INDONESIA TERHADAP COST OF BORROWING SURAT UTANG NEGARA (SUN) Sri Fitriani, Fiskara Indawan, Meily Ika Permata, Indriani Karlina
Tabel 3 Variabel Model Investment grade
Variabel Dependen
Variabel Spread
Proxy sovereign borrowing cost
Independen
FF
global liquidity (Push factor) global risk appetite (Push factor) kondisi perekonomian domestik (Pull factor)
VIX dum_rat
Keterangan Selisih yield SUN berjangka 10 tahun dengan US T-Notes berjangka 10 tahun Fed Fund Future Rate indeks volatilitas di pasar keuangan global dummy untuk investment grade Nilai variable 0 untuk observasi sebelum peningkatan status investment grade dan 1 untuk observasi pasca kenaikan status
bps t+25
t+24
t+23
t+22
t+21
t+20
t+19
t+18
t+17
t+16
t+15
t+14
t+13
t+12
t+11
t+9
t+10
t+8
t+7
t+6
t+5
t+4
t+3
t+2
t+1
-2
t-0
bps 0
-4 Dampak Harian (Kiri)
-6
Dampak Kumulatif (Kanan)
-8 -10 -12
0 -10 -20 -30 -40 -50 -60 -70 -80 -90
Gambar 4 Impulse Response Dampak Shock Peningkatan Status Rating Menjadi Investment grade terhadap Spread
(persamaan 10) bertujuan untuk mengetahui dampak peningkatan peringkat kredit menjadi investment grade terhadap borrowing cost penerbitan surat berharga SUN, yang tercermin dari spread. Tabel 3 menunjukkan keterangan mengenai variabel yang dipakai di dalam penelitian. Selanjutnya, data yang digunakan adalah data harian sejak Juni 2011 sampai dengan Februari 2012, yang mencakup periode sebelum dan sesudah kenaikan rating pada Desember 2011 (Fitch) dan Januari 2012 (Moody’s). Sumber data berasal dari Bloomberg.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengujian empiris menunjukkan bahwa terdapat dampak penurunan spread yang signifikan setelah pencapaian investment grade. Hasil pengujian ini sejalan dengan intuisi bahwa penurunan risiko gagal bayar seiring dengan peningkatan status menjadi investment grade dari speculative grade akan menurunkan risk premium yang akan berdampak pada penurunan borrowing cost (spread). Hasil ini mengkonfirmasikan bahwa peningkatan status investment grade menambah keyakinan investor asing di pasar keuangan mengenai kondisi dan prospek fundamental perekonomian domestik dengan memberi reward berupa penurunan spread. Hal ini juga sejalan dengan semakin besarnya aliran modal masuk seiring dengan meningkatnya investor base, termasuk investor lembaga yang sebelumnya terhambat oleh pembatasan yang melarang untuk melakukan investasi pada aset-aset pasar keuangan yang berisiko tinggi (speculative grade). Penurunan spread secara signifikan tersebut terjadi setelah pengumuman peningkatan status investment grade oleh Moody’s pada 18 Januari 2012. Peningkatan Jurnal BPPK Volume 5, 2012
status investment grade oleh Fitch yang dilakukan lebih awal pada 15 Desember 2011 tidak signifikan dalam mempengaruhi penurunan spread yang mengindikasikan bahwa investor di pasar keuangan belum bereaksi dan mencerminkan tingkat keyakinan pasar yang belum terlalu tinggi. Namun, pengumuman peningkatan status oleh Moody pada Januari 2012 yang kembali mengkonfimasi pencapaian investment grade Indonesia, meningkatkan tingkat keyakinan pasar, sehingga secara signifikan berdampak terhadap penurunan spread. Hal ini menunjukkan bahwa dampak dari dua pengumuman lembaga peringkatan lebih memberikan nilai keyakinan pada investor yang lebih besar, daripada jika hanya dari satu lembaga pemeringkat kredit. Selanjutnya berdasarkan hasil Impulse Response function (gambar 4), penurunan spread tersebut terjadi selama 23 hari kerja ke depan, sejak pengumuman oleh Moody’s dan secara kumulatif dapat menurunkan spread sebesar 80 bps. Penurunan spread sebesar 80 bps tersebut mempunyai dampak yang positif terhadap biaya dana pemerintah. Dengan kata lain, apabila pemerintah akan menerbitkan SUN di masa depan, maka coupon rate (biaya bunga pinjaman sebagai salah satu penarik utama suatu seri SUN di pasar primer) dapat diperkecil. Penurunan coupun rate ini selanjutnya akan berdampak positif terhadap sektor fiskal karena mempunyai potensi untuk mengurangi beban fiskal pemerintah dari sisi pembayaran bunga pinjaman7. Selain itu seiring dengan menurunnya biaya dana serta meningkatnya investor base dan akses ke pasar keuangan 7
Untuk 2012, biaya bunga yang harus dibayar pemerintah diperkirakan sebesar 123,1 triliun atau 12,9% dari total belanja pemerintah pusat, atau sebesar 1,5% PDB.
97
DAMPAK PENCAPAIAN PERINGKAT KREDIT “INVESTMENT GRADE” INDONESIA TERHADAP COST OF BORROWING SURAT UTANG NEGARA (SUN) Sri Fitriani, Fiskara Indawan, Meily Ika Permata, Indriani Karlina
bps
bps
5.0
35
4.5
30
4.0 25
3.5 3.0
Dampak Harian (Kiri)
2.5
Dampak Kumulatif (Kanan)
20 15
2.0 1.5
10
1.0 5
0.5 t+25
t+24
t+23
t+22
t+21
t+20
t+19
t+18
t+17
t+16
t+15
t+14
t+13
t+12
t+11
t+9
t+10
t+8
t+7
t+6
t+5
t+4
t+3
t+1
t+2
0 t-0
0.0
Gambar 5 Impulse Response Dampak Shock Kenaikan Index VIX sebesar 10 Poin terhadap Spread
,
t+25
t+24
t+23
t+22
t+21
t+20
t+19
t+18
t+17
t+16
t+15
t+14
t+13
t+12
t+11
t+9
t+10
t+8
t+7
t+6
t+5
t+4
t+3
0 t+2
0.0 t+1
bps t-0
bps
-0.5
-2 -4 -6
Dampak Harian (Kiri)
-1.0
-8 Dampak Kumulatif (Kanan)
-1.5
-10 -12 -14
-2.0
-16 -2.5
-18 Gambar 6 Impulse Response Dampak Shock Penurunan Fed Future Rate Sebesar 10 bps terhadap Spread
internasional, maka akan berdampak terhadap peningkatan low cost financing yang dapat digunakan untuk investasi domestik. Sebagaimana telah diduga sebelumnya, faktor eksternal juga memainkan peranan penting dalam pergerakan spread, terutama global appetite risk investor. Hasil regresi koefisien untuk variable VIX yang merupakan proksi untuk global risk appetite menunjukkan tanda positif dan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa spread obligasi pemerintah Indonesia dipengaruhi oleh perubahan international risk appetite. Dari hasil Impulse Response function (Gambar 5), kenaikan index VIX sebesar 10 poin, yang berarti memburuknya global risk appetite seiring dengan peningkatan volatilitas di pasar saham global, berdampak pada lonjakan spread pada hari pertama, kemudian pengaruh tersebut berangsur mereda. Secara kumulatif, peningkatan VIX tersebut meningkatkan spread sebesar 30 bps selama 20 hari sejak terjadinya shock VIX. Hasil temuan ini mengindikasikan bahwa salah satu faktor timing penerbitan obligasi pemerintah yang tepat adalah 98
membaiknya risiko global karena hal tersebut dapat menurunkan biaya dana yang lebih rendah. Demikian pula sebaliknya, peningkatan risiko global akan meningkatkan biaya dana penerbitan obligasi. Koefisien untuk Fed Fund Future Rate yang merupakan proksi kondisi likuiditas global belum dapat menjelaskan dengan baik pergerakan sovereign spread Indonesia. Penurunan Fed Fund Future Rate yang mengambarkan berlimpahnya kondisi likuiditas global saat ini diharapkan akan mendorong penurunan spread obligasi pemerintah Indonesia, seiring dengan mengalirnya aliran modal asing masuk ke pasar domestik. Namun, hasil pengujian studi empiris ini menunjukkan bahwa pengaruh tersebut tidak signifikan, walaupun telah menunjukkan koefisien yang positif. Hasil pengujian yang tidak signifikan ini sejalan dengan hasil studi empiris yang dilakukan oleh Jaramillo dan Tajada (2011). Hasil Impulse Response function menunjukkan bahwa penurunan Fed Fund Future Rate sebesar 10 bps berdampak pada penurunan spread obligasi pemerintah Indonesia sebesar 16 bps (Gambar 6). Jurnal BPPK Volume 5, 2012
DAMPAK PENCAPAIAN PERINGKAT KREDIT “INVESTMENT GRADE” INDONESIA TERHADAP COST OF BORROWING SURAT UTANG NEGARA (SUN) Sri Fitriani, Fiskara Indawan, Meily Ika Permata, Indriani Karlina
5. KESIMPULAN Hasil pengujian menunjukkan bahwa pencapaian status investment grade menurunkan borrowing cost (biaya dana) yang diproksi dari spread secara signifikan, seiring dengan semakin menurunnya risiko gagal bayar dan semakin membesarnya investor base. Pencapaian investment grade akan menurunkan spread sampai dengan 80 bps, selama 23 hari sejak pengumuman oleh Moody’s pada 18 Januari 2012. Faktor global yang tercermin dari risiko global (VIX) juga berperan penting dalam pergerakan spread dimana spread akan meningkat mencapai 30 bps, apabila risiko global meningkat sebesar 10 poin. Investment grade secara signifikan mempunyai dampak yang positif terhadap biaya dana pemerintah terutama sektor fiskal karena mempunyai potensi untuk mengurangi beban fiskal pemerintah dari sisi pembayaran bunga pinjaman. Selain itu, seiring dengan menurunnya biaya dana serta meningkatnya investor base dan akses ke pasar keuangan internasional, maka akan berdampak terhadap peningkatan low cost financing yang dapat digunakan untuk investasi domestik serta memperdalam pasar keuangan domestik.
6. IMPLIKASI KEBIJAKAN Berdasarkan kesimpulan di atas, rekomendasi kebijakan yang diusulkan adalah bahwa Bank Indonesia dan Pemerintah perlu terus mempertahankan upaya untuk menjaga kekuatan dan ketangguhan perekonomian domestik agar status pencapaian investment grade tetap terjaga. Faktor-faktor ekonomi yang perlu diperhatikan antara lain stabilitas makroekonomi yang didukung oleh kebijakan fiskal dan moneter yang prudent, ketahanan sektor eksternal, serta perbaikan iklim investasi. Selain itu, faktor penting yang perlu diperhatikan dalam penerbitan obligasi adalah timing yang tepat dengan memperhatikan faktor risiko global. Membaiknya faktor risiko global akan dapat menurunkan besarnya biaya dana penerbitan SUN.
7. KETERBATASAN PENELITIAN Mengingat periode waktu yang pendek antara pengumuman pencapaian peringkat Investment Grade dan waktu penelitian, maka data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data keuangan yang bersifat harian. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, faktor fundamental ekonomi belum sepenuhnya dapat ditangkap dalam penelitian ini, yang hanya diwakili oleh variabel ‘dummy’ Investment Grade. Untuk pengembangan penelitian ke depan dapat digunakan perangkat data dengan periode waktu yang lebih panjang yang dapat mencerminkan perubahan biaya penerbitan obligasi pada perubahan setiap peringkat kredit (speculative and investment grade) dan faktor fundamental ekonomi domestik dan global dengan menggunakan data bulanan. Lebih luas, penelitian dampak peningkatan peringkat kredit terhadap biaya Jurnal BPPK Volume 5, 2012
pinjaman/penerbitan obligasi korporasi akan memperdalam pemahanan mengenai dampak peringkat kredit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.
DAFTAR PUSTAKA Agung, Juda., Nugroho, M.N., Yanfitri. 2011. “Arus Modal Jangaka Pendek di Indonesia Pasca Krisis Global: Karakteristik, Prosepek, dan Respon Kebijakan”. Working Paper Bank Indonesia. Akitoby, B. dan T. Stratmann, 2006, “Fiscal policy and Financial Markets”, IMF. Boot, A. et al., 2005, “Credit Rating as Coordination Mechanism”, Oxfords University Press. Cantor, R. dan F. Packer, 1996, “Determinants and Impact of Sovereign Credit Rating”. FRBNY Economic policy Review/October 1996. Cavallo, E., et al., 2008. “Do Credit Rating Agencies Add value? Evidence from the Sovereign Rating Business. Inter-American Development Bank.Edwards, S., 1985. “The Pricing of Bonds and Bank Loans in International Markets: An Empirical Analysis of Developing Countries’ Foreign Borrowing”, National Bureau of Economic Research. Hartilius, K., K. Kashiwase. and L/E. Kodres (2008), “Emerging market spread Compressions: Is it Real or is it Liquidity? IMF Working Paper 08/10 Jaramillo, L. dan C.M. Tejada, 2011, “Sovereign Credit Ratings and Spread in Emerging Market: Does Investment grade Matter?”, IMF. Jeramillo, L., 2010, “Determinants of Investment grade Status in Emerging Market”, IMF. Kaminsky, G. dan S. Schmukler, 2001. “Emerging Markets Instability: Do Sovereign Rating Affect Country Risk and Stock Return?”, World Bank. Kiff, J. et al., 2012. “Are Rating Agencies Powerful? An Investigation into the Impact and Accuracy of Sovereign Ratings”. IMF. Lee, K., et al. , 2010. “Sovereign Debt Rating Changes and Stock Liquidity around the World”, Korea University Business School. Powel, A. dan J.F. Martinez, 2008, “On Emerging Economy Sovereign Spreads and Rating”. InterAmerican Development Bank. Rozada, M. G. dan E.L.Yeyati, 2011, “Risk Appetite and Emerging market Spreads”. Universidad Torcuato Di Tella. Rozada, M.G., 2005, “Global Factors and Emerging market Spreads”, Universidad Torcuato Di Tella
99
DAMPAK PENCAPAIAN PERINGKAT KREDIT “INVESTMENT GRADE” INDONESIA TERHADAP COST OF BORROWING SURAT UTANG NEGARA (SUN) Sri Fitriani, Fiskara Indawan, Meily Ika Permata, Indriani Karlina
LAMPIRAN 1. OPTIMALISASI ALOKASI PORTFOLIO Penurunan rumus persamaan, menggabungkan persamaan (3) dan (4), debfab menggunakan natural logarithm dan mengasumsikan bahwa ω = 0, maka spread (s) dapat diformulasikan sebagai berikut:
𝒔=
𝒑𝒅
𝒑𝒅 = 𝟏
𝒔=
𝟏−
𝒔=
𝟏 + 𝒆𝒙𝒑
+ (𝟏 + 𝒓∗ − 𝝎)
𝒏 𝒌=𝟏 𝜷𝒌 𝒁𝒌 𝟏+ 𝒆𝒙𝒑 𝒏 𝒌=𝟏 𝜷𝒌 𝒁𝒌
(4)
𝒆𝒙𝒑 𝒏𝒌=𝟏 𝜷𝒌 𝒁𝒌 + 𝒆𝒙𝒑 𝒏𝒌=𝟏 𝜷𝒌 𝒁𝒌 + (𝟏 + 𝒓∗ − 𝒆𝒙𝒑 𝒏𝒌=𝟏 𝜷𝒌 𝒁𝒌 𝟏 + 𝒆𝒙𝒑 𝒏𝒌=𝟏 𝜷𝒌 𝒁𝒌 𝒆𝒙𝒑 𝒏𝒌=𝟏 𝜷𝒌 𝒁𝒌 𝟏 + 𝒆𝒙𝒑 𝒏𝒌=𝟏 𝜷𝒌 𝒁𝒌 + 𝒏 𝒏 𝒌=𝟏 𝜷𝒌 𝒁𝒌 − 𝒆𝒙𝒑 𝒌=𝟏 𝜷𝒌 𝒁𝒌 𝟏 + 𝒆𝒙𝒑 𝒏𝒌=𝟏 𝜷𝒌 𝒁𝒌 𝒏
𝟎)
𝟏 + 𝒓∗
𝜷𝒌 𝒁𝒌 + 𝟏 + 𝒓∗
𝒔 = 𝒆𝒙𝒑 𝒌=𝟏
𝒏
𝜷𝒌 𝒁𝒌 (𝟏 + 𝒓∗ )
𝒍𝒏 𝒔 = 𝐥𝐧 𝒆𝒙𝒑 𝒏
𝒌=𝟏
𝜷𝒌 𝒁𝒌 + 𝒍𝒏(𝟏 + 𝒓∗ )
𝒍𝒏 𝒔 = 𝐥𝐧 𝒆𝒙𝒑 𝒍𝒏 𝒔 =
(3)
(𝟏−𝒑𝒅) 𝒆𝒙𝒑
𝒏 𝒌=𝟏 𝜷𝒌 𝒁𝒌
𝒌=𝟏
+
Pull factors
𝒍𝒏(𝟏 + 𝒓∗ )
(5)
Push factors
LAMPIRAN 2. HASIL REGRESI Tabel 4 Hasil Regresi Sovereign Spread Setelah Invesment Grade
Variable C RAT_M SPREAD(-1) SPREAD(-2) VIX FEDFUTURE
Coefficient
Std. Error
0.401093 -0.092 1.230121 -0.345514 0.003689 0.180494
0.115531 0.034808 0.080211 0.077727 0.001572 0.642775
z-Statistic
Prob.
3.471729 -2.643071 15.336 -4.445204 2.346166 0.280804
0.0005 0.0082 0 0 0.019 0.7789
0.00095 2.314865 0.138262 2.65644 0.144914 3.171682
0.0206 0.0079 0.0015
Variance Equation
100
C RESID(-1)^2 GARCH(-1)
0.002198 0.367285 0.45962
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.958305 0.957113 0.107711 2.030301 166.0505 2.076989
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter.
4.312221 0.520116 -1.73536 -1.57632 -1.67089
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
Jurnal BPPK Volume 5, 2012 Halaman 101-110 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN GO PUBLIC DI INDONESIA Rina Trisnawati(a), Wiyadi(b), Noer Sasongko(c) (a)
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Surakarta; e-mail: [email protected] (penulis berkorespondensi) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Surakarta; e-mail: [email protected] (c) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Muhammadiyah Surakarta; e-mail: [email protected] (b)
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 30 Agustus 2012
Information about earning is used as indicator of management performance. The flexibility for choosing accounting method gives opportunities for managers choose policies to maximize their utility and market value of their firms. Healy and Wahlen (1998) considered earnings management as an act of misleading and deceiving shareholders. The purpose of this study was to analyze the earnings management practices in Indonesian capital market, that is the shariah index (JII) and conventional index (LQ-45). These samples were 153 and 187 companies listed in Indonesian stocks exchange from 2004-2010 periods. The results indicated the earnings management (DACC) in Jakarta Islamic Index are 0.0962 (2004); 0.11104 (2005); 0.03673 (2006); 0.20509 (2007); 0.087056 (2008); 0.045405 (2009) and 0.100421 in 2010. The result also showed that the pattern of earnings management in JII was to maximize its profit The earning management (DACC) in LQ45 are 4.011 (2004); 0.1544 (2005); -0.24745 (2006); 0.54136 (2007); 0.87887 (2008); -0.51586 (2009) and -2.52645 in 2010. The variation pattern of earning management value takes place during these periods. The result showed that the average value of accruals (DACC) on the companies listed in the conventional index is 0.8042 and the average value of accruals (DACC) on the companies in the shariah index is 0.09831. Statistical test showed that there was not significant differences in earnings management practices (DACC) between companies in the shariah index and conventional index (prob.value = 0.335). It means that earnings management practices which tend to increase the profit made by the companies in the conventional index more than the companies in the shariah index. Earnings management perspective used in this study is accrual basis. For further research, earnings management needs to be reviewed by integrated model to determine the integrated earning management value by accrual and real methods.
Dinyatakan Dapat Dimuat 26 November 2012
KATA KUNCI: manajemen laba, LQ 45 Index, Jakarta Islamic Index, discretionary accrual
Informasi laba digunakan sebagai indikator untuk menilai kinerja manajemen. Kebebasan manajemen dalam memilih metode/kebijakan akuntansi memberikan peluang bagi manajemen untuk memaksimalkan utility dan nilai pasar perusahaan. Healy dan Wahlen (1998) menyatakan bahwa manajemen laba adalah tindakan menipu dan menyesatkan bagi pengguna laporan keuangan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis praktik manajemen laba pada perusahaan go public di Indonesia yang tergabung dalam indeks JII dan LQ 45. Sampel terdiri dari 153 perusahaan di indeks JII dan 187 di indeks LQ 45 selama kurun waktu 2004-2010. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai manajemen laba rata-rata di Jakarta Islamic Index adalah 0.0962 (2004); 0.11104 (2005); 0.03673 (2006); 0.20509 (2007); 0.087056 (2008); 0.045405 (2009), dan 0.100421 pada tahun 2010 dengan pola cenderung menaikkan angka laba. Nilai manajemen laba (DACC) pada indeks LQ45 adalah 4.011 (2004); 0.1544 (2005); -0.24745 (2006); 0.54136 (2007); 0.87887 (2008); -0.51586 (2009), dan -2.52645 pada tahun 2010 dengan pola bervariasi (menaikkan dan menurunkan angka laba). Rata-rata nilai (DACC) di indeks LQ 45 adalah 0.8042 dan pada indeks JII sebesar 0.09831. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada perbedaan nilai manajemen laba pada perusahaan yang tergabung di JII dan indeks LQ 45 (prob.value = 0.335). Nilai manajemen laba lebih tinggi pada perusahaan yang tergabung dalam indeks LQ 45 dibandingkan dengan indeks JII. Manajemen laba pada penelitian ini menggunakan pendekatan discretionary accrual. Untuk riset selanjutnya manajemen laba dapat diukur dengan pendekatan terintegrasi dengan menggabungkan manajemen laba akrual dan manajemen laba riil
1. PENDAHULUAN Laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen terkandung informasi mengenai laba yang sangat penting bagi pihak intern dan ekstern perusahaan.
Angka laba juga digunakan sebagai indikator untuk menilai kinerja manajemen. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), laba yang disajikan dalam laporan
MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN GO PUBLIC DI INDONESIA Rina Trisnawati, Wiyadi, Noer Sasongko
keuangan adalah laba yang dihasilkan melalui metode akrual. Laba akrual dianggap menjadi ukuran yang lebih baik dibanding arus kas dari aktivitas operasi perusahaan karena metode akrual mempertimbangkan masalah waktu (Dechow, 1994). Praktik manajemen laba (earning management) dilakukan karena adanya fleksibilitas manajemen dalam memilih kebijakan ataupun prosedur akuntansi untuk menggambarkan kondisi perusahaan yang sesungguhnya. Manajemen sering melakukan manipulasi terhadap laporan keuangan yang dihasilkan perusahaan untuk memaksimumkan utility dan meningkatkan nilai pasar perusahaan (Scott, 2006) Manajemen laba terjadi ketika manajemen menggunakan keputusan tertentu dalam laporan keuangan dan transaksi untuk mengubah laporan keuangan sebagai dasar kinerja perusahaan yang bertujuan menyesatkan pemilik atau pemegang saham atau untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang mengandalkan angka-angka akuntansi yang dilaporkan (Healy dan Wahlen 1998). Earnings management atau manajemen laba merupakan intervensi dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan untuk memaksimalkan keuntungan pribadi (Schipper, 1989). Definisi tersebut mengartikan bahwa manajemen laba merupakan perilaku oportunis manajer untuk memaksimumkan utilitas mereka. Manajer melakukan manajemen laba dengan memilih metode atau kebijakan akuntansi tertentu untuk menaikkan laba atau menurunkan laba. Manajer dapat menaikkan laba dengan menggeser laba periode-periode yang akan datang ke periode kini dan manajer dapat menurunkan laba dengan menggeser periode kini ke periode-periode berikutnya. Penelitian mengenai earnings management telah banyak dilakukan di Indonesia, yaitu oleh Midiastuty dan Machfoedz (2003); Veronica dan Bachtiar (2004); Wedari (2004); Boediono (2005); Kusumawati (2005); Veronica dan Utama (2005); Rahmawati, Suparno dan Qomariyah (2006); Hanafi (2006); Nasution dan Setiawan (2007); Ujiyantho, Arief dan Pramuka (2007); dan Herawaty (2008) yang secara keseluruhan objek penelitiannya menggunakan perusahaan yang terdaftar dalam kategori indeks konvensional (pasar modal konvensional). Berkaitan dengan diluncurkannya indeks syariah di pasar modal Indonesia, sangat menarik apabila dilakukan kajian mengenai praktik earnings management pada indeks tersebut. Di Indonesia, penelitian mengenai kinerja JII telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Hasil penelitian menunjukan bahwa saham dalam kelompok JII lebih baik dibanding LQ 45. Cahyaningsih, Suwardi dan Setiawan (2008) melakukan penelitian mengenai perbandingan kinerja reksa dana syariah dan reksa dana konvensional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja reksa dana konvensional lebih baik daripada kinerja reksa dana syariah dan kinerja manajer portofolio reksa dana konvensional lebih baik daripada kinerja manajer portofolio reksa dana syariah. Pengujian lain 102
dilakukan Hanafi (2006), melalui pendekatan cost of capital terhadap saham JII yang dibandingkan dengan kelompok saham LQ 45, hasil pengujian menunjukan bahwa cost of capital saham JII lebih rendah dibanding LQ 45. Cost of Capital yang lebih rendah menunjukkan adanya beberapa asumsi yaitu tingkat risiko yang lebih rendah, minimnya asimetri informasi dan biaya keagenan yang lebih rendah pada perusahaan JII sehingga para investor tidak terlalu menuntut tingkat keuntungan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana praktik manajemen laba pada perusahaan yang terdaftar dalam indeks syariah (diproksikan dengan perusahaan yang terdaftar dalam JII) dan indeks konvensional (diproksikan dengan perusahaan yang terdaftar dalam indeks LQ-45) di Bursa Efek Indonesia. Periode pengamatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tahun 2004 – 2010, dengan dasar bahwa secara formal peluncuran pasar modal dengan prinsip-prinsip syariah Islam dilakukan pada tanggal 14 Maret 2003 dengan ditandatanganinya nota kesepahaman antara Bapepam dengan Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
2. KERANGKA TEORITIS 2.1. Teori Akuntansi Positif Teori akuntansi positif, berhubungan dengan prediksi, adalah suatu tindakan pemilihan kebijakan akuntansi oleh perusahaan dan bagaimana perusahaan merespon untuk mengajukan standar akuntansi yang baru. Teori akuntansi positif memberikan pandangan mengenai bagaimana cara perusahaan melakukan efisiensi organisasi dengan tujuan untuk memaksimalkan prospek kelangsungan hidup perusahaan mereka. Teori akuntansi positif menjelaskan bahwa prosedur akuntansi yang dapat digunakan perusahaan tidaklah harus sama. Justru perusahaan harus diberi kebebasan untuk memilih salah satu dari alternatif prosedur yang tersedia untuk meminimumkan biaya kontrak dan memaksimumkan nilai perusahaan. Fleksibilitas yang diberikan kepada perusahaan juga sangat berguna pada keadaan dimana terjadi perubahan lingkungan yang menyebabkan biaya kontrak perusahaan berubah. Namun demikian, karena manajer diberi kebebasan untuk memilih prosedur akuntansi dari prosedur yang tersedia, maka manajer akan melakukan tindakan yang disebut teori akuntansi positif sebagai tindakan oportunis. Tindakan oportunis adalah suatu tindakan dimana manajer memilih kebijakan akuntansi yang menguntungkan dirinya. Dengan demikian, kebijakan akuntansi dapat dipengaruhi oleh dua faktor. Faktor pertama adalah pemilihan kebijakan akuntansi untuk tujuan efisiensi, yaitu meminimumkan biaya kontrak dan memaksimumkan nilai perusahaan. Faktor kedua adalah pemilihan kebijakan akuntansi karena manajer melakukan tindakan oportunis. Jurnal BPPK Volume 5, 2012
MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN GO PUBLIC DI INDONESIA Rina Trisnawati, Wiyadi, Noer Sasongko
Perilaku manajemen laba dapat dijelaskan melalui Positive Accounting Theory (PAT) dan Agency Theory. Tiga hipotesis PAT yang dapat dijadikan dasar pemahaman tindakan manajemen laba yang dirumuskan Watts dan Zimmerman (1986:257-262) yang ditegaskan kembali oleh Scott (2006), yaitu pertama the bonus plan hypothesis, hipotesis ini menyatakan bahwa manajer pada perusahaan dengan bonus plan cenderung untuk menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan income saat ini. Perusahaan yang memiliki rencana pemberian bonus, manajer perusahaan akan lebih memilih metode akuntansi yang dapat menggeser laba dari masa depan ke masa kini sehingga dapat menaikkan laba saat ini. Hal ini dikarenakan manajer lebih menyukai pemberian upah yang lebih tinggi untuk masa kini. Dalam kontrak bonus dikenal dua istilah yaitu bogey (tingkat laba terendah untuk mendapatkan bonus) dan cap (tingkat laba tertinggi). Jika laba berada di bawah bogey, maka tidak ada bonus yang diperoleh manajer sedangkan jika laba berada di atas cap, manajer tidak akan mendapat bonus tambahan. Jika laba bersih berada di bawah bogey, manajer cenderung memperkecil laba dengan harapan memperoleh bonus lebih besar pada periode berikutnya, demikian pula jika laba berada di atas cap. Jadi, hanya jika laba bersih berada di antara bogey dan cap, manajer akan berusaha menaikkan laba bersih perusahaan. Kedua, the debt covenant hypothesis, hipotesis ini menyebutkan bahwa pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity besar maka manajer perusahaan tersebut cenderung menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan pendapatan maupun laba. Ketiga, the political cost hypothesis, hipotesis ini menyatakan bahwa pada perusahaan yang besar yang memiliki biaya politik tinggi, manajer akan lebih memilih metode akuntansi yang menangguhkan laba yang dilaporkan dari periode sekarang ke periode masa mendatang sehingga dapat memperkecil laba yang dilaporkan. Biaya politik muncul dikarenakan profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat menarik perhatian media dan konsumen. 2.2. Agency Theory Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dan investor (principal). Konflik kepentingan antara pemilik dan agen terjadi karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan kepentingan principal, sehingga memicu biaya keagenan (agency cost). Timbulnya manajemen laba dapat dijelaskan dengan teori agensi. Sebagai agen, manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal) dan sebagai imbalannya akan memperoleh kompensasi sesuai dengan kontrak. Dengan demikian, terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan dimana masing-masing pihak berusaha untuk Jurnal BPPK Volume 5, 2012
mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki. Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia akan bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya. Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut penting bagi para pengguna eksternal terutama sekali karena kelompok ini berada dalam kondisi yang paling besar ketidakpastiannya. Ketidakseimbangan penguasaan informasi akan memicu munculnya suatu kondisi yang disebut sebagai asimetri informasi (information asymmetry). Asimetri antara manajemen (agent) dan pemilik (principal) dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba (earnings management) dalam rangka menyesatkan pemilik (pemegang saham) mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Penelitian Richardson (1998) menunjukkan adanya hubungan positif antara asimetri informasi dan manajemen laba. 2.3. Manajemen Laba Scott (2006:344) mendefinisikan earnings management sebagai berikut “Given that managers can choose accounting policies from a set (for example, GAAP), it is natural to expect that they will choose policies so as to maximize their own utility and/on the market valve of the firm”. Dari definisi Scott, maka earnings management merupakan pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajer dari standar akuntansi yang ada dan secara alami dapat memaksimumkan utilitas mereka atau nilai pasar perusahaan. Schipper (1989) mendefinisikan manajemen laba sebagai suatu intervensi dengan maksud tertentu terhadap proses pelaporan keuangan eksternal dengan sengaja untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi. Fischer dan Rosenzweig (1995) mendefinisikan manajemen laba sebagai tindakan seorang manajer dengan menyajikan laporan yang menaikan (menurunkan) laba periode berjalan dari unit usaha yang menjadi tanggung jawabnya tanpa menimbulkan kenaikan (penurunan) profitabilitas ekonomi unit tersebut dalam jangka panjang, sedangkan menurut Healy dan Wahlen (1999), manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan pertimbangan (judgment) dalam pelaporan keuangan 103
MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN GO PUBLIC DI INDONESIA Rina Trisnawati, Wiyadi, Noer Sasongko
dan penyusunan transaksi untuk merubah laporan keuangan, dengan tujuan untuk memanipulasi besaran (magnitude) laba kepada beberapa stakeholders tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil perjanjian (kontrak) yang tergantung pada angka-angka akuntansi yang dilaporkan. Healy dan Wahlen (1999) menyatakan bahwa definisi manajemen laba mengandung beberapa aspek. Pertama, intervensi manajemen laba terhadap pelaporan keuangan dapat dilakukan dengan penggunaan judgment, misalnya judgment yang dibutuhkan dalam mengestimasi sejumlah peristiwa ekonomi di masa depan untuk ditunjukan dalam laporan keuangan, seperti perkiraan umur ekonomis dan nilai residu aktiva tetap, tanggungjawab untuk pensiun, pajak yang ditangguhkan, kerugian piutang dan penurunan nilai asset. Di samping itu, manajer memiliki pilihan untuk metode akuntansi, seperti metode penyusutan dan metode biaya. Kedua, tujuan manajemen laba untuk menyesatkan stakeholders mengenai kinerja ekonomi perusahaan. Hal ini muncul ketika manajemen memiliki akses terhadap informasi yang tidak dapat diakses oleh pihak luar. Earnings management adalah campur tangan dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Earnings management merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan, earnings management menambah bias dalam laporan keuangan dan dapat mengganggu pemakai laporan keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba tanpa rekayasa (Setiawati dan Na’im, 2000). Sampai saat ini manajemen laba merupakan area yang kontroversial dalam akuntansi keuangan. Praktik manajemen laba dapat dipandang dari dua perspektif yang berbeda, yaitu sebagai tindakan yang salah (negatif) dan tindakan yang seharusnya dilakukan manajemen (positif). Healy dan Wahlen (1998) menganggap manajemen laba sebagai tindakan yang menyesatkan dan menipu pemegang saham. Hal ini disebabkan manajemen memiliki informasi asimetrik mengenai kondisi perusahaan. Pandangan yang lain menganggap bahwa manajemen laba merupakan upaya tindakan yang positif, seperti penelitian yang dilakukan oleh Tucker dan Zarowin (2006), hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan harga saham berjalan pada perusahaan dengan income smoothing yang lebih tinggi mengandung lebih banyak informasi tentang laba masa depan daripada perubahan harga saham dari perusahaan dengan income smoothing yang lebih rendah. Widarto (2004) menyatakan bahwa manajemen laba dianggap tidak etis, bahkan merupakan bentuk dari manipulasi informasi sehingga menyesatkan. Ketika perusahaan melakukan praktik manajemen laba, gambaran laba tidak lagi dapat mewakili kinerja perusahaan secara fair sehingga akan mengurangi reliabilitas dari laba itu sendiri. Dengan demikian, informasi laba menjadi kurang relevan (Whelan dan 104
McNamara, 2004 dalam Kusuma, 2005). Tindakan manajer melakukan earnings management dapat berakibat buruk karena bisa menyesatkan pemakai informasi laporan keuangan dan dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan penipuan yang tidak etis, siapapun yang menggunakan laporan keuangan yang mengandung unsur earnings management rawan terhadap misinterpretasi, manipulasi, ataupun penipuan yang disengaja (Burns dan Merchant, 1990). 2.4. Hipotesis Praktik manajemen laba dapat dipandang dari dua perspektif yang berbeda, yaitu sebagai tindakan yang salah (negatif) dan tindakan yang seharusnya dilakukan manajemen (positif). Healy dan Wahlen (1999) menganggap manajemen laba sebagai tindakan yang menyesatkan dan menipu pemegang saham. Hal ini disebabkan manajemen memiliki informasi asimetri mengenai kondisi perusahaan. Pandangan yang lain menganggap bahwa manajemen laba merupakan upaya untuk memuaskan pemegang saham. Manajemen laba dilakukan untuk memaksimumkan nilai perusahaan ketika terdapat asimetri informasi antara manajer dan pemilik. Hal ini dapat menurunkan risiko persepsian investor karena ketidakpastian return di masa depan sehingga diharapkan dapat memperbaiki nilai pemegang saham. Hasil penelitian Halim, Meiden, dan Tobing (2005) dengan menggunakan sampel 34 perusahaan, dari 2001 sampai 2002 menunjukkan bahwa perusahaan manufaktur yang termasuk Indeks LQ-45 terlihat melakukan tindakan manajemen laba. Asimetri informasi, kinerja masa kini dan masa depan, faktor leverage, dan ukuran perusahaan berpengaruh pada manajemen laba. Di Indonesia, penelitian mengenai kinerja JII telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Hasil penelitian menunjukan bahwa saham dalam kelompok JII lebih baik dibanding LQ 45. Cahyaningsih, Suwardi, dan Setiawan (2008) melakukan penelitian mengenai perbandingan kinerja reksa dana syariah dan reksa dana konvensional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja reksa dana konvensional lebih baik daripada kinerja reksa dana syariah dan kinerja manajer portofolio reksa dana konvensional lebih baik daripada kinerja manajer portofolio reksa dana syariah. Pengujian lain dilakukan Hanafi (2006), melalui pendekatan cost of capital terhadap saham JII yang dibandingkan dengan kelompok saham LQ 45, hasil pengujian menunjukan bahwa cost of capital saham JII lebih rendah dibanding LQ 45. Cost of Capital yang lebih rendah menunjukan adanya beberapa asumsi yaitu tingkat risiko yang lebih rendah, minimnya asimetri informasi dan biaya keagenan yang lebih rendah pada perusahaan JII sehingga para investor tidak terlalu menuntut tingkat keuntungan. Hipotesis : Terdapat perbedaan nilai manajemen laba pada Jurnal BPPK Volume 5, 2012
MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN GO PUBLIC DI INDONESIA Rina Trisnawati, Wiyadi, Noer Sasongko
perusahaan yang terdaftar dalam indeks JII dan indeks LQ45
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif dan didesain untuk melihat praktik manajemen laba yang dilakukan perusahaan public di Indonesi yang terdaftar dalam indeks LQ 45 dan JII. 3.2. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Data dikumpulkan dari laporan keuangan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode tahun 2004 sampai tahun 2010 yang bisa diakses dalam Indonesia Capital Market Directory (ICMD) serta dari situs masingmasing perusahaan sampel. 3.3. Variabel Variabel dalam penelitian ini adalah earnings management (DACC). Variabel ini diproksi dengan discretionary accruals dan dihitung dengan The Modified Jones Model. Alasan pemilihan model Jones yang dimodifikasi ini karena model ini dianggap sebagai model yang paling baik dalam mendeteksi manajemen laba dibandingkan dengan model lain serta memberikan hasil yang paling kuat (Dechow et al., 1995; Sutrisno, 2002). Langkah-langkah dalam menghitung discretionary accruals sebagai berikut:
TACCit = EBXTit – OCFit TACCit/TAi,t-1 = α1 (1/TAi,t-1) + α2 ((∆REVit - ∆RECit)/TAi,t-1) + α 3 (PPEi t/TAi,t-1). Dari persamaan regresi diatas, NDACC (non discretionary) dapat dihitung dengan memasukkan kembali koefisien –koefisien alpha (α) yaitu sebagai berikut:
NDACCit = α 1(1/TAi,t-1) + α2((∆ REVi t - ∆ RECit)/TAi,t-1) + α 3 (PPEit/TAi,t-1) Keterangan : TACCit : Total accruals perusahaan i pada periode t EXBTit : Earnings Before Extraordinary Item perusahaan i pada periode t OCFit : Operating Cash Flows perusahaan i pada periode t NDACC it : Non discretionary accruals perusahaan i pada t TAi,t-1 : Total aktiva perusahaan i pada periode t-1 ∆REVit : Perubahan Revenue perusahaan i pada periode t ∆RECit : Perubahan Receivable perusahaan i pada periode t
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
PPEit
: Nilai aktiva tetap (gross) perusahaan i pada periode t
Selanjutnya dapat dihitung nilai discretionary accruals sebagai berikut:
DACCit = ( TACCit/TAi,t-1 ) - NDACCit DACCit
: Discretionary accruals perusahaan i pada periode t TACCit : Total accruals perusahaan i pada peride t TAi,t-1 : Total aktiva perusahaan i pada periode t-1 NDACCit : Non discretionary accruals perusahaan i pada periode t
3.4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data menggunakan deskriptif untuk menjelaskan praktek manajemen laba pada indeks JII dan LQ 45 selama kurun waktu 2004-2010. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan independent samples t-test. Pengujian ini dilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan yang signifikan antara discretionary accrual (DACC) pada perusahaan yang terdaftar dalam indeks JII dan indeks LQ 45. Dasar pengambilan keputusan dari uji ini adalah dengan melihat probabilitas. Jika nilai asymp.sig (2tailed) > 0.05 maka hipotesis ditolak dan sebaliknya jika probabilitas asymp.sig (2 tailed) < 0.05 maka hipotesis didukung oleh data.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Data penelitian berasal dari laporan keuangan auditan (annual report) perusahaan yang terdaftar dalam indeks syariah (JII) dan indeks konvensional (LQ-45) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada periode 2004-2010. Besarnya sampel penelitian yang diperoleh sebagai berikut: Tabel 1. Sampel Penelitian Sampel Perusahaan Syariah (JII) Jumlah perusahaan yang terdaftar di JII selama periode 2004-2010 Jumlah perusahaan yang data tidak lengkap Jumlah perusahaan yang menjadi sampel JII
163 (10) 153
Sampel Perusahaan Konvensional (LQ-45) Jumlah perusahaan yang terdaftar di LQ-45 selama periode 2004-2007 Jumlah perusahaan yang data LK tidak lengkap Jumlah perusahaan yang menjadi sampel LQ-45
220 (33) 187
Sumber : www.idx.co.id
Analisis deskriptif dimaksudkan untuk mendiskkripsikan atau menggambarkan praktek manajemen laba yang dilakukan oleh seluruh perusahaan go public yang terdaftar di Jakarta Islamic Index selama kurun waktu 2004 - 2010.
105
MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN GO PUBLIC DI INDONESIA Rina Trisnawati, Wiyadi, Noer Sasongko
Tabel 2. Praktek manajemen laba di JII selama tahun 2004 - 2010
Variabel DACC JII 2004 DACC JII 2005 DACC JII 2006 DACC JII 2007 DACC JII 2008 DACC JII 2009 DACC JII 2010
N 22 26 26 23 16 19 21
Min. -.0797 -.0698 -2.9825 -.2459 -.2562 -.1277 -.0520
Maks. .6679 .2881 1.1551 2.8339 .37801 .19248 .32548
Mean .096254 .111046 .036732 .205093 .087056 .045405 .100421
Standard Deviasi .1457 .0868 .6595 .6008 .1735 .0884 .0971
Sumber : data sekunder yang diolah
Keterangan : DACC : discretionary accrual atau praktek manajemen laba JII : proksi perusahaan indeks syariah
Tabel 3. Praktek manajemen laba di LQ 45 selama tahun 2004 - 2010
Variabel DACC LQ45 2004 DACC LQ45 2005 DACC LQ45 2006 DACC LQ45 2007 DACC LQ45 2008 DACC LQ45 2009 DACC LQ45 2010
N 41 36 35 31 18 11 15
Minimum -1.37821196E1 -3.30887270E0 -3.25624528E0 -1.65828230E0 -4.69298500E0 -2.16751744E0 -3.29149802E1
Maksimum 1.07322487E2 3.35941706E0 5.38020598E0 6.37710183E0 6.41323433E0 2.05355695E-1 8.38928973E-1
Mean 4.0112198753 .1544272082 -.2474513503 .5413652684 .8788764106 -.5158666373 -2.5264555537
Standard Deviasi 18.09477778363 1.25577131152 1.67717310613 1.68693408083 3.05843051678 .80089377790 8.45530912087
Sumber : data sekunder yang diolah
Keterangan : DACC : discretionary accrual atau praktek manajemen laba JII : proksi perusahaan indeks konvensional
Dari tabel 2 di atas diperoleh gambaran bahwa secara umum perusahaan yang tergabung dalam Jakarta Islamic Index melakukan praktik manajemen laba yang cenderung menaikkan laba dengan rata-rata DACC = 0,098318. Selama kurun waktu 2004 - 2010 nilai praktik manajemen laba paling tinggi terjadi pada tahun 2007 (DACC = 0,205093) dan tingkat praktek manajemen laba paling rendah terjadi pada tahun 2006 (DACC = 0,036732). Pola yang digunakan sama, yaitu cenderung menaikkan angka laba. Perusahaan yang melakukan praktik manajemen laba selama 2004 - 2010 secara berturut-turut adalah PT. Aneka Tambang, PT. Indocement Tunggal Perkasa, PT. Kalbe Farma, PT. Tambang Batubara Bukit Asam, PT. Unilever Indonesia, dan PT. Telekomunikasi Indonesia. Hasil statistik deskriptif dapat diketahui bahwa rata-rata akrual discretionary accruals untuk perusahaan yang terdaftar dalam indeks LQ 45 adalah seperti ditampilkan pada Tabel 3. Hasil statistik deskriptif dapat diketahui bahwa rata-rata akrual diskresioner untuk perusahaan yang terdaftar dalam indeks JII adalah 0,098318 dan indeks LQ 45 adalah sebesar 0,8042210 dan angka ini nilainya positif. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada periode 2004 – 2010 perusahaan yang terdaftar dalam indeks JII dan indeks LQ 45 di Indonesia melakukan tindakan manajemen laba dengan pola memaksimalkan labanya. Untuk perusahaan yang tergabung dalam LQ 45, analisis per tahun menunjukkan pola yang bervariasi. Pola menaikkan angka laba paling tinggi dilakukan pada tahun 2004 sebesar 4,01121 dan pola menurunkan angka laba 106
dilakukan pada tahun 2010 (DACC -2,5264555537). Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh DeFond dan Jiambalvo (1994); Sweeney (1994); Peltier-Rivest (1999); Jaggi dan Lee (2001); Rosner (2003); Djakman (2003); Syam (2004); Andriyani (2004); dan Kusumawati dan Sasongko (2005) yang memberikan bukti empiris mengenai pola manajemen laba dalam bentuk meningkatkan laba yang dilaporkan. Pengujian hipotesis dilakukan untuk menguji apakah terdapat perbedaan besarnya manajemen laba pada perusahaan yang terdaftar dalam indeks JII dan indeks LQ45. Hasil perhitungan statistik menunjukkan bahwa rata-rata akrual kelolaan perusahaan dalam indeks konvensional (0,8042210134) lebih tinggi dibandingkan rata-rata akrual kelolaan perusahaan dalam indeks syariah (0,0983180392). Namun demikian, hasil uji independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nilai discretionary accruals antara perusahaan yang tergabung dalam indeks JII dan indeks LQ 45. Hasil analisis ini dapat dilihat pada table 4 berikut ini Tabel 4. Independent Samples test Variabel F Sig. DACC Equal variances assumed 10.787 .001 Equal variances not assumed
Sig. (2-tailed) 0,335 0,287
Sumber : data sekunder yang diolah
Uji Levene (uji F) dilakukan untuk menguji apakah terdapat perbedaan varians yang signifikan antara perusahaan dalam indeks JII dan perusahaan dalam indeks LQ 45. Oleh karena probabilitas kesalahan (0,001) < 0,05, dengan demikian berarti terdapat Jurnal BPPK Volume 5, 2012
MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN GO PUBLIC DI INDONESIA Rina Trisnawati, Wiyadi, Noer Sasongko
perbedaan varians yang signifikan antara sampel perusahaan dalam indeks JII dan indeks LQ 45. Berdasarkan hasil uji Levene tersebut, maka uji t untuk dua sampel bebas menggunakan Equal variance not assumed. Hal ini berarti, diasumsikan bahwa varians sampel perusahaan berbeda. Uji t dua sampel bebas dilakukan untuk menguji apakah terdapat perbedaan nilai manajemen laba pada perusahaan dalam indeks JII dan indeks LQ 45. Oleh karena probabilitas kesalahan (0,287) > (0,05), maka Ha ditolak. Dengan demikian, tidak terdapat perbedaan nilai manajemen laba perusahaan dalam indeks JII dan indeks LQ 45. Namun demikian, praktik manajemen laba perusahaan dalam indeks JII lebih rendah dibandingkan indeks LQ 45. Hal ini disebabkan karena rata-rata akrual kelolaan (DACC) untuk perusahaan dalam indeks LQ 45 lebih tinggi dibandingkan ratarata akrual kelolaan (DACC) perusahaan dalam indeks JII yaitu 0.8042210 dan 0.098318. Hal ini berarti praktik manajemen laba yang cenderung meningkatkan laba lebih banyak dilakukan pada perusahaan dalam indeks LQ 45 dibandingkan perusahaan dalam indeks JII. Temuan ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Cahyaningsih, Suwardi dan Setiawan (2008), dan Hanafi (2006) yang menjelaskan bahwa perusahaan yang tergabung dalam index syariah lebih “beretika” dibandingkan perusahaan yang tergabung dalam LQ 45
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Hasil analisis menunjukkan bahwa perusahaan go public yang tergabung di Jakarta Islamic Index selama kurun waktu 2004-2010 cenderung melakukan tindakan manajemen laba dengan pola menaikkan angka laba. Hal ini dapat ditunjukkan nilai rata-rata manajemen laba (DACC) sebesar 0,098318. Nilai manajemen laba paling tinggi terjadi pada tahun 2007 (DACC = 0,205093) dan yang paling rendah terjadi pada tahun 2006 (DACC = 0,036732). Pada indeks LQ 45, manajemen melakukan manajemen laba dengan pola bervariasi. Nilai discretionary acruals rata-rata (DACC) sebesar 0.8942210. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada tahun 2004 nilai DACC sebesar 4,0112198753, tahun 2005 sebesar 0,1544272082, tahun 2006 sebesar 0,2474513503, tahun 2007 sebesar 0,5413652684, tahun 2008 sebesar 0,8788764106, tahun 2009 sebesar -,5158666373, dan tahun 2010 sebesar 2,5264555537. Berdasarkan uji hipotesis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai manajemen laba pada perusahaan yang tergabung di indeks syariah (JII) dan indeks konvensional (LQ45). Nilai signifikansi (prob. value) adalah 0,287 > 0,05. Nilai rata-rata manajemen laba (DACC) pada perusahaan yang tergabung di indeks konvensional (LQ45) lebih tinggi dibandingkan di indeks syariah (JII). Nilai rata-rata DACC di kedua indeks tersebut adalah 0,0983180392 dan 0,8042210134. Pola Jurnal BPPK Volume 5, 2012
manajemen laba yang dilakukan pada kedua indeks tersebut selama kurun waktu tahun 2004-2010 cenderung menaikkan angka laba.
6. IMPLIKASI HASIL PENELITIAN Investor dan pengguna laporan keuangan perusahaan harus lebih cermat dan hati-hati dalam membuat keputusan yang berdasarkan pada laporan keuangan. Dalam membuat keputusan, sebaiknya para pengguna laporan keuangan juga perlu mempertimbangkan informasi lain sehingga laporan keuangan tidaklah satu-satunya sumber informasi dalam membuat keputusan. Hal ini karena laporan keuangan dapat diubah sebagai dasar kinerja perusahaan yang bertujuan menyesatkan pemilik atau pemegang saham atau untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang mengandalkan angka-angka akuntansi yang dilaporkan Manajer melakukan manajemen laba dengan memilih metode atau kebijakan akuntansi tertentu untuk menaikkan laba atau menurunkan laba.
7. KETERBATASAN Manajemen laba yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan perspektif opportunistic yang menganggap bahwa manajemen laba adalah tindakan untuk menipu pengguna laporan keuangan. Model yang digunakan untuk menghitung nilai manajemen laba (DACC) dalam penelitian ini menggunakan model Jones yang dimodifikasi. Periode yang digunakan hanya terbatas tahun 2004-2010 dan dilakukan secara agregat untuk perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
8. SARAN Untuk penelitian selanjutnya, dapat dilakukan dengan perspektif lain seperti perspektif positif yang menyatakan bahwa manajemen laba memang seharusnya terjadi sebagai akibat penggunaan dasar akrual dalam laporan keuangan. Selanjutnya, penelitian selanjutnya perlu menggunakan model lain sebagai proksi manajemen laba seperti manajemen laba riil, short term accrual model dan long term accrual model, dan perlu melakukan pengujian model yang terintegrasi untuk mengidentifikasi praktik manajemen laba yang sesuai dengan kondisi pasar modal di Indonesia secara komprehensif. Periode pengamatan diperluas dan perlu juga mempertimbangkan dari aspek industri sehingga pengukuran manajemen laba menjadi lebih akurat. Persantunan: * riset ini dibiayai oleh DP2M DIKTI dengan surat perjanjian pelaksanaan penelitian hibah pasca sarjana Nomor 193a/A.3.III/LPPM/V/2011/. *ucapan terimakasih kepada seluruh anggota tim yang terlibat dalam penelitian ini (Dr Noer Sasongko, Drs Wiyadi MM Ph.D, Nanang Prasnowo, Emy Fauziah, Sidiq Permono Nugroho)
107
MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN GO PUBLIC DI INDONESIA Rina Trisnawati, Wiyadi, Noer Sasongko
DAFTAR PUSTAKA Achmad, K., I. Subekti, dan S. Atmini, 2007. Investigasi Motivasi dan Strategi Manajemen Laba pada Perusahaan Publik di Indonesia. Kumpulan Makalah, Simposium Nasional Akuntansi (SNA) X, Makassar, 26-27 Juli, h 1-26. Aljifri, Khaled. 2007. Measurement and Motivations of Earnings Management: A Critical Perspective. Journal of Accounting, Business and Management 14 (75-95). Belkoui dan Ahmed Riahi. (2000). Teori Akuntansi (Terjemahan) Buku 1 dan 2. Edisi 4. Penerbit Salemba Empat, Jakarta. Boediono, Gideon SB., 2005. Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate Governance dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis Jalur. Artikel yang Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 8 Solo tanggal 15 - 16 September 2005. Darmawati, Deni. 2006. Pengaruh Karakteristik Perusahaan Dan Faktor Regulasi Terhadap Kualitas Implementasi Corporate Governance. Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang 23-26 Agustus 2006. Djakman, Chaerul D. 2003. Manajemen Laba dan Pengaruh Kebijakan Multi Papan Bursa Efek Jakarta. Makalah disampaikan dalam Simposium Nasional Akuntansi VI di Surabaya, 16-17 Oktober. Eisenhardt, Kathleem. M. 1989. Agency Theory: An Assesment and Review. Academy of Management Review, 14, p. 57-74. Fama, Eugene F. 1980. Agency Problems and The Theory of The Firm. Journal of Political Economy, Vol. 88, No. 2. Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No: 40/DSNMUI/X/2003 Tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syari’ah di Bidang Pasar Modal. Fitriasari, Debby. 2007. Pengaruh Aktivitas Dan Financial Literacy Komite Audit Terhadap Jenis Manajemen Laba. Makalah disampaikan dalam Simposium Nasional Akuntansi XI di Makassar, 26-28 Juli. Ghozali, Imam. 2002. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Edisi Kedua. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Gujarati, Damodar. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. New York: MC. Graw-Hill Inc. Jakarta: Erlangga. Gumanti, Tatang Ary. 2000. Earning Management: Suatu Telaah Pustaka. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol. 2, No. 2, Nopember 2000: 104 – 115. Halim, Julia., Carmel Meiden, Rudolf Lumban Tobing. 2005. Pengaruh Manajemen Laba pada Tingkat Pengungkapan Laporan Keuangan pada Perusahaan Manufaktur yang termasuk pada LQ45. SNA VIII Solo. Ikatan Akuntan Indonesia. Hanafi, Syafiq. M. 2006. Corporate Governance: Kajian Empiris Cost of Capital Jakarta Islamic Index (JII) 108
sebagai Ethical Investment. As-Syir’ah, Vol. 40 No. 1 Tahun 2006. Healy, Paul M. and J.M. Wahlen. (1999). A Review Of The Earnings Management Literature And Its Implications For Standard Setting. Accounting Horizons 13, p. 365-383. Herawati, Nurul dan Zaki Baridwan. 2007. Manajemen Laba Pada Perusahaan Yang Melanggar Perjanjian Hutang. Makalah disampaikan dalam Simposium Nasional Akuntansi XI di Makassar, 26-28 Juli. Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo. 1999. Metodologi Penelitian Bisnis, Edisi Pertama. Yogyakarta : BPFE. Jensen, Michael C. dan W.H. Meckling. (1976). Theory of The Firm: Managerial Behavior, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial Economics 3. hal. 305-360. Kusuma, Hadri. 2004. Dampak Manajemen Laba terhadap Relevansi Informasi Akuntansi: Bukti Empiris dari Indonesia. Jurnal Akuntansi Dan Keuangan, Vol. 8, No. 1, Mei 2006: 1-12. Kusumawati, Astri Arfani Nur dan Noer Sasongko. 2005. Analisis Perbedaan Pengaturan Laba (Earnings Management) pada Kondisi Laba dan Rugi pada Perusahaan Manufaktur di Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 4, No. 1. hal.1-20. Midiastuty, Pratana P., dan Mas’ud Machfoedz. 2003. Analisis Hubungan Mekanisme Corporate Governance dan Indikasi Manajemen Laba. Artikel yang Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 6 Surabaya tanggal 16-17 Oktober 2003. Nasution, Marihot dan Doddy Setiawan. 2007. Pengaruh Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba di Industri Perbankan Indonesia. Makalah disampaikan dalam Simposium Nasional Akuntansi X di Makassar, 26-28 Juli. Ngapon. 2005. Semarak Pasar Modal Syariah. Peasnell, K.V, P.F. Pope. dan S.Young. (2001). Board Monitoring and Earnings Management: Do Outside Directors Influence Abnormal Accruals. Accounting and Business Research, Vol. 30. hal.41-63. Pratana Puspa Midiastuty dan Mas’ud Machfoed (2003). Analisa Hubungan Mekanisme Corporate Governanace dan Indikasi Manajemen Laba. Simposium Nasional Akuntansi VI. IAI, 2003. Rahmawati, Yacop Suparno, dan Nurul Qomariyah. 2006. Pengaruh Asimetri Informasi terhadap Praktik Manajemen Laba pada Perusahaan Perbankan Publik yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Artikel yang Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang tanggal 23-26 Agustus 2006 Rajgopal, S., M. Venkatachalam, and J. Jiambalvo. 1999. Is Institutional Ownership Associated with Earnings Management and the Extent to which Stock Prices Reflect Future Earnings?. Working Jurnal BPPK Volume 5, 2012
MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN GO PUBLIC DI INDONESIA Rina Trisnawati, Wiyadi, Noer Sasongko
Paper, http://papers.ssrn. com/sol3/papers.cfm?abstract_id=163433, March, pp 1-30. Richardson, Vernon J. (1998). Information Asymmetry an Earnings Management: Some Evidence. Working Paper. 30 Maret Scott, William R. (2006). Financial Acconting theory. 4th Edition. Canada Inc: Pearson Education. Sekaran, Uma. 2000. Research Methods for Business: A Skill Building Approach. Third Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc Setiawati, Lilis dan Ainun Na’im. 2000. Manajemen Laba. Jurnal Ekonomi Bisnis, Vol. 15, No. 4, Hal. 424-441. Shah, Syed Zulfiqar Ali., Safdar Ali Butt dan Arshad Hasan. 2009. Corporate Governance and Earnings Management an Empirical Evidence Form Pakistani Listed Companies. European Journal of Scientific Research Siallagan, Hamonangan dan Mas’ud Machfoedz. 2006. Mekanisme Corporate Governance, Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang 23-26 Agustus 2006. Suaryana, Agung. 2005. Pengaruh Komite Audit terhadap Kualitas Laba. Artikel yang Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 8 Solo tanggal 15 - 16 September 2005. Sugiarta, I Putu. 2004. Earnings Management and Information Content of Audit Committee Announcement. Artikel yang Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 7 Denpasar tanggal 2 -3 Desember 2004 Subekti, Imam. 2005. Asosiasi antara Praktik Perataan Laba dan Reaksi Pasar Modal di Indonesia. Kumpulan Makalah, Simposium Nasional Akuntansi (SNA) VIII, Solo, 15-16 September, h 223-237. Suwito, Edy dan Arleen Herawaty. 2005. Analisis Pengaruh Karakteristik Perusahaan Terhadap Tindakan Perataan Laba Yang dilakukan Oleh Perusahaan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Jakarta. SNA VIII Solo, 15 – 16 September 2005 Suwardjono. 2005. Teori Akuntansi Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Edisi Ketiga. BPFE Yogyakarta. Ujiyantho, Muh. Arief, dan B. A. Pramuka, 2007. Mekanisme Corporate Governance, Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan: Studi Pada Perusahaan Go Publik Sektor Manufaktur. Kumpulan Makalah, Simposium Nasional Akuntansi (SNA) X, Makassar, 26-27 Juli, h 1-26. Utami, Wiwik. 2005. Pengaruh Manajemen Laba terhadap Biaya Modal Ekuitas: (Studi pada Perusahaan Publik Sektor Manufaktur). Kumpulan Makalah, Simposium Nasional Akuntansi (SNA) VIII, Solo, 15–16 September, h 100-116. Veronica, Sylvia, dan Siddharta Utama. 2005. Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Praktek Corporate Governance Jurnal BPPK Volume 5, 2012
terhadap Pengelolaan Laba (Earnings Management). Artikel yang Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 8 Solo tanggal 15 - 16 September 2005 Wardhani, Ratna. 2006. Mekanisme Corporate Governance Dalam Perusahaan Yang Mengalami Permasalahan Keuangan (Financially Distressed Firms). Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang 23-26 Agustus 2006. Warfield, T., J Wild, and K. Wild. (1995). Managerial Ownership, Accounting Choices, and Informativeness of Earnings. Journal of Accounting and Economics,Vol.20. No.1. July, p.61-91. Watts, Ross L. and Jerold L. Zimmerman. 1978. Towards a Positive Theory of The Determination of Accounting Standards. The Accounting Review. Vol LIII. No.1 Wedari, Linda Kusumaning. 2004. Analisis Pengaruh Proporsi Dewan Komisaris dan Keberadaan Komite Audit terhadap Aktivitas Manajamen Laba. Artikel yang Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi 7 Denpasar tanggal 2 -3 Desember 2004 Widyaningdyah, A. U.. 2001. Analisis Faktor-Faktor yang berpengaruh terhadap Earnings Management pada Perusahaan Go Public di Indonesia. Jurnal Akuntansi & Keuangan, Nopember Vol. 3, No. 2. (online http://www.petra.ac.id/~puslit/journal/Accoun ting.pdf.) Wilopo. 2004. The Analysis of Relationship of Independent Board of Directors, Audit Committee, Corporate Performance, and Discretionary Accruals. Ventura Volume 7 No. 1 April: 73-83 Xu, Xiaonian, and Yan Wang. 1997. Ownership Structure, Corporate Governance and Corporate Performance: The Case of Chinese Stock Companies.
109
MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN GO PUBLIC DI INDONESIA Rina Trisnawati, Wiyadi, Noer Sasongko
Halaman ini sengaja dikosongkan
This page intentionally left blank
110
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
INDEKS SUBJEK JURNAL BPPK Volume 5, 2012 account representative, 77, 78, 79, 80 akrual, 101, 102, 106, 107 aktiva, 3, 104, 105 akuntansi, 101, 102, 103, 104, 107 asset, 1, 2, 3, 4, 5, 11, 12, 104 bank, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 11, 12, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 74, 78, 95 Bank Indonesia, 1, 8, 12, 31, 33, 37, 66, 68, 69, 71, 73, 74, 75, 76, 91, 92, 95, 99 bank sentral, 11, 67, 68, 69 perbankan, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 10, 11, 12 biaya, 3, 4, 32, 91, 92, 93, 94, 97, 98, 99, 102, 103, 104, 113 bisnis, 2, 3, 4, 5, 11, 77, 78 business, 2, 41, 43, 52 siklus bisnis, 3, 5 bunga, 2, 4, 5, 6, 11, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 74, 75, 93, 94, 95, 97, 99 suku bunga, 2, 4, 6, 11, 67, 68, 69, 70, 93 Bursa Efek Indonesia, 102, 105, 107 cash flow, 12 change, 15, 17, 22, 23, 25, 26, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 52, 53, 54, 55, 56, 59, 65 commodity, 15, 17, 18, 19, 22, 23, 25 comparative advantage, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 25, 26, 27 dana, 3, 4, 31, 74, 91, 92, 93, 94, 97, 98, 99, 102, 104 debitur, 3, 12 debt, 3, 94, 103 Debt Problem, 91 Sovereign Debt, 91, 99 demand, 1, 6, 16, 42, 45, 54, 59, 60, 67 development, 15, 16, 17, 22, 25, 26, 31, 42, 44, 49, 50, 53, 55 efisiensi, 3, 78, 102 ekonomi, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 11, 12, 15, 31, 32, 33, 35, 66, 67, 68, 69, 74, 93, 94, 99, 103, 104 ekonomic, 1, 17, 43, 91, 94 makroekonomi, 1, 91, 92, 93, 99 perekonomian, 1, 2, 4, 7, 10, 11, 12, 32, 33, 65, 66, 67, 68, 71, 74, 75, 91, 92, 93, 97, 99 perekonomian booming, 1, 2, 4, 5, 11, 67 ekspor, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 22, 25, 26 globalisasi, 1, 3, 15, 16, 26, 65, 71, 74, 75, 91, 92, 93, 95, 98, 99 indeks, 101, 102, 104, 105, 106, 107 Jurnal BPPK Volume 5, 2012
.
index, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 25, 27, 91, 95, 98 harmonic mass index, 15, 17, 21, 22 Jakarta Islamic Index, 101, 105, 106, 107, 108 impor, 15, 26 income, 3, 21, 47, 50, 94, 103, 104 industry, 15, 16, 17, 22, 25, 26, 27 inflasi, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75 inflation, 65, 68, 76 Inflation Targeting Framework, 65, 67 ITF, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76 target inflasi, 66, 68, 69, 70, 71, 73, 74, 75 insentif, 3 International Lending, 91 investasi, 2, 4, 5, 8, 9, 10, 11, 12, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 67, 91, 92, 93, 94, 95, 97, 98, 99 Investment, 12, 27, 31, 37, 91, 94, 99, 108 investor, 17, 31, 32, 33, 36, 37, 91, 92, 93, 94, 96, 97, 98, 99, 102, 103, 104 Investment grade, 91 International Investment, 91 kebijakan, 1, 2, 3, 5, 11, 12, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 41, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 88, 91, 93, 99, 101, 102, 103, 107 keuangan, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 11, 12, 35, 65, 69, 71, 74, 75, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 99, 101, 102, 103, 104, 105, 107 behavioral finance, 2 finance, 2 financial, 1, 3, 4, 12, 13, 22, 25, 26, 41, 48, 43, 56, 60, 91, 94, 99, 108, 109 financial management, 41 laporan keuangan, 102, 103, 104, 107 sektor keuangan, 1, 2, 3, 4, 5 sistem keuangan, 1, 2, 4, 5 kolateral, 1, 3, 4, 10, 11, 12 konsumsi, 3, 4, 10, 12, 32 konvensional, 102, 104, 105, 106, 107 kredit, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 91, 92, 93, 94, 95, 97, 99 credit, 1, 2, 5, 9, 47, 67 kredit investasi, 8, 9, 10, 12 kredit konsumsi, 5, 8, 9, 10, 12 kredit modal kerja, 8, 9 siklus kredit, 3, 7 krisis, 1, 2, 3, 65, 66, 71, 74, 75, 91, 92, 95 110.1
laba, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107 likuiditas, 2, 3, 4, 74, 92, 93, 94, 95, 98 loan, 2, 3, 4, 11 LQ 45, 101, 102, 104, 105, 106, 107 makro, 1, 2, 4, 5, 6, 11, 12, 33, 67, 68, 69 manajemen, 4, 12, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107 management, 41, 43, 44, 48, 52, 53, 57, 101, 102, 103, 104, 105 manajer, 102, 103, 104 manufacturing, 15, 16, 25, 26, 27 mikro, 4, 11 modal, 1, 3, 5, 8, 9, 10, 11, 12, 74, 91, 92, 94, 95, 97, 98, 102, 107 moneter, 2, 12, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 91, 99 Monetary, 12, 65, 66, 68, 76 money, 65, 66, 67 nilai, 1, 3, 4, 6, 10, 11, 35, 36, 66, 67, 68, 69, 70, 72, 73, 78, 79, 82, 83, 84, 97, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107 organisasi, 15, 41, 77, 78, 79, 80, 81, 83, 84, 85, 88, 89, 102, 113 output, 2, 47, 65, 66, 67, 68, 69, 71, 72, 74, 75, 76 pajak, 32, 77, 78, 79, 80, 81, 84, 85, 104 perpajakan, 77, 78 tax, 43, 77, 78 Parameter, 65, 69, 70, 72, 73, 74, 76 pariwisata, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37 pasar, 2, 3, 4, 6, 11, 36, 66, 74, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 101, 102, 103, 107 market, 3, 16, 17, 18, 22, 25, 26, 27, 42, 91, 92, 93, 95, 99, 101, 103, 105 employee, 41, 77, 78, 79, 80, 84, 85, 88 pemeriksa, 77, 78, 79, 80, 81, 84, 85, 89 perceptions, 31, 41, 42, 43, 44, 45, 47, 50, 59, 63, 79 perusahaan, 1, 5, 89, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107 pinjaman, 1, 2, 3, 4, 6, 92, 93, 94, 97, 99
100.2
Policy, 12, 26, 27, 55, 61, 65, 76, 86 portfolio, 3, 92, 95, 96, 102, 104 preferensi, 31, 38 process, 31, 33, 61 produk, 3, 15, 32, 37, 78 product, 15, 16, 17, 18, 19, 22, 23, 25, 26 PDB, 2, 3, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 97 properti, 3, 4, 11 prosiklikal, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12 prosiklikalitas, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 11 rasio, 9, 11, 103 regional, 3, 17, 26, 41, 44, 48, 49, 56, 63 reksa dana, 102, 104 reliabilitas, 81, 82, 104 resiko risiko, 1, 2, 3, 4, 5, 11, 12, 88, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 102, 103, 104 resistance, 41, 43, 44, 45, 46, 48, 50, 52, 53 stakeholders, 42, 43, 45, 46, 47, 54, 55, 61, 104 strategies, 41, 42, 43, 44, 46, 48, 50, 55, 56, 57 stres, 77, 78, 80, 81, 83, 84, 85 supply, 1, 5, 6, 9, 11, 22, 73, 75 syariah, 102, 104, 105, 106, 107 teknologi, 3, 32, 67 technology, 22, 26, 42, 50, 54 textile, 15, 16, 17, 22, 23, 25, 26 trade, 15, 16, 17, 26, 27, 67 training, 26, 42, 44, 48, 49, 50, 55, 57, 59, 62, 63 transaksi, 67, 102, 104 Treasury, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 63 uang, 3, 6, 65, 66, 67 usaha, 2, 32, 36, 71, 103 value, 3, 15, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 35, 70, 75, 99, 101, 107
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
PETUNJUK BAGI (CALON) PENULIS JURNAL BPPK 1. Sebagai pra-syarat dalam mengirimkan artikel untuk dapat diterbitkan pada Jurnal BPPK, penulis diwajibkan mengirimkan (calon) artikel Jurnal BPPK yang dilengkapi: surat pernyataan orisinalitas karya bermaterai cukup (Rp 6.000,-), Lembar Identitas Artikel Jurnal BPPK, Curriculum Vitae. Format terlampir. 2. Artikel yang diajukan diketik dengan program Microsoft Word atau program pengolah kata sejenis dan disimpan dalam format doc (bukan docx), menggunakan huruf Times New Roman, ukuran 12 pts, spasi ganda, dicetak pada kertas A4 dengan panjang 15 s.d. 30 halaman, dan diserahkan dalam bentuk hardcopy/cetak sebanyak 1 eksemplar beserta softcopy-nya. Pengiriman Artikel softcopy juga dapat dilakukan melalui e-mail ke alamat: [email protected]. 3. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Inggris. Sistematika artikel hasil penelitian adalah a. Judul Penulisan judul tidak lebih dari 14 kata, dicetak dengan huruf kapital, center, Times New Roman 14. b. Nama Penulis Nama Penulis ditulis tanpa gelar akademik, disertai lembaga asal tempat peneliti melakukan penelitian. Dalam hal artikel ditulis oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis utama wajib mencantumkan alamat korespondensi dan/atau e-mail. c. Abstrak disertai kata kunci Abstrak dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Panjang masing-masing abstrak tidak lebih dari 150 kata yang disertai dengan 3-5 kata kunci. Abstrak minimal berisi judul, tujuan, metode dan hasil penelitian. Penulisan Abstrak yang berbahasa Inggris mengacu pada kaidah penulisan abtrak karya ilmiah yang berlaku umum secara internasional. Dalam hal penerjemahan abstrak bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, penulis tidak diperkenankan melakukan copy-paste langsung dari software/aplikasi/web penerjemah bahasa. Untuk keperluan translasi direkomendasikan menggunakan jasa penerjemah tersumpah. Adapun biaya yang muncul atas penggunaan jasa tersebut menjadi tanggung jawab penulis artikel. d. Pendahuluan Bagian ini menjelaskan latar belakang riset, rumusan masalah, pernyataan tujuan dan (jika dipandang perlu) organisasi penulisan artikel. e. Kerangka teoritis dan pengembangan hipotesis Memaparkan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi landasan logis untuk mengembangkan hipotesis atau proporsi riset dan model riset. f. Metode riset/penelitian Menguraikan metode seleksi dan pengumpulan data, pengukuran dan definisi operasional variabel, dan metode analisis data.
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
110.3
g. Hasil dan pembahasan Menjelaskan analisis data riset dan deskripsi statistik yang diperlukan h. Kesimpulan Memuat simpulan hasil riset, temuan penelitian yang berupa jawaban atas pertanyaan penelitian atau berupa intisari hasil pembahasan. Simpulan disajikan dalam bentuk paragraf. i. Implikasi dan keterbatasan Menjelaskan implikasi temuan dan keterbatasan riset, serta jika perlu saran yang dikemukakan peneliti untuk riset yang akan datang.
j. Daftar Pustaka Memuat sumber-sumber pustaka atau referensi yang dikutip di dalam penulisan artikel. Hanya sumber yang diacu yang dimuat dalam daftar referensi ini. Untuk keseragaman penulisan, Daftar Pustaka ditulis sesuai dengan format American Psychological Association (APA) k. Lampiran Memuat tabel, gambar dan instrumen riset yang digunakan 4. Tata cara penyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL ILMIAH JURNAL BPPK atau merujuk pada tata cara yang digunakan dalam artikel yang telah dimuat. Artikel berbahasa Indonesia menggunakan Perdoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan istilah-istilah yang telah dibakukan oleh Pusat Bahasa. 5. Semua Artikel ditelaah secara anonim oleh Dewan Editor yang ditunjuk oleh Sekretariat Jurnal BPPK menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan atau revisi artikel atas dasar rekomendasi/saran dari Dewan Editor atau penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan artikel akan diberitahunkan secara tertulis. 6. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan, penggunaan software/aplikasi komputer untuk pembuatan artikel atau hal lainnya yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) yang dilakukan oleh penulis, berikut konsekuensi hokum yang mungkin timbul, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel.
100.4
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ARTIKEL JURNAL BPPK Yang bertanda tangan di bawah ini, Nama Penulis Artikel
: ................................................................................................................................
NIP/NRM
: ................................................................................................................................
Pangkat / Golongan
: ................................................................................................................................
Jabatan
: ................................................................................................................................
dengan ini menyatakan bahwa artikel yang saya susun dengan judul :
JUDUL ARTIKEL UNTUL JURNAL BPPK (Huruf Tebal) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dan bukan merupakan plagiat dari artikel orang lain. Artikel ini belum pernah dipublikasikan pada jurnal atau media yang lain dan akan diserahkan kepada Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) untuk digandakan, diperbanyak dan/atau disebarluaskan. Apabila kemudian hari pernyataan Saya tidak benar, maka Saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk sanki pidana.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan bilamana diperlukan.
........................, ............................................. Pembuat Pernyataan Materai Rp6.000,00
...................................................................... NIP
Catatan: Dapat diperbanyak sesuai kebutuhan penulis dan bilamana diperlukan, Softcopy surat pernyataan ini dapat diminta melalui email: [email protected]
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
110.5
FORMULIR CURRICULUM VITAE PENULIS ARTIKEL JURNAL BPPK Nama Lengkap
:
Tempat/Tgl Lahir
:
Jabatan Sekarang
:
Unit Kerja
:
NIP/NRM/Gol.
:
NPWP
:
Email
:
No HP
:
Riwayat Pendidikan : Jenjang
Gelar
Universitas
Tahun
D1 D3 D4/S1 S2 S3 Riwayat Pekerjaan: Jabatan
Unit Kerja/Organisasi
Periode
Penghargaan/Award/Acknowledged Reward:
Bidang Keilmuan yang Diminati:
Catatan: Dapat diperbanyak sesuai kebutuhan penulis dan bilamana diperlukan, Softcopy Form CV ini dapat diminta melalui email: [email protected]…
100.6
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
LEMBAR IDENTITAS ARTIKEL JURNAL BPPK Judul Artikel
Beri tanda ( ) pada yang telah disediakan sesuai keadaan yang sebenarnya: a. Jenis Artikel
Hasil pemikiran pada ______________________________________ (bulan dan tahun) Hasil penelitian tahun _____________________________________ (bulan dan tahun) b. Hubungan dengan penelitian lain sebelumnya
Penelitian/Pemikiran baru Ringkasan/Short version Skripsi karya sendiri dengan judul __________________________________________________ _______________________________________________________________________________________________________________________
Ringkasan/Short version Thesis karya sendiri dengan judul ___________________________________________________ _______________________________________________________________________________________________________________________
Kajian atau karya Ilmiah lain karya sendiri karya sendiri yaitu _______________________________________________ dengan judul _______________________________________________________________________________________________________ ______________________________________________________________________________________________________________________
Lainnya, sebutkan: _________________________________________________________________________________________________ c. Tempat Penulis melakukan Penelitian/Pemikiran pada Artikel ini
Tempat Kerja yaitu ________________________________________________________________________________________________ Sewaktu Pendidikan program_________________________________________________________ (nama program studi dan jenjang) di ___________________________________________________________________________________________ (nama universitas dan negara)
Lainnya, yaitu ______________________________________________________________________________________________________ d. Sumber Pembiayaan dalam melakukan Penelitian/Pemikiran pada Artikel ini
Sendiri Lainnnya, yaitu: ____________________________________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________________________________________________ Dengan ini saya menyatakan bahwa data yang saya isi pada formulir ini adalah benar adanya dan tanpa rekayasa. Apabila kemudian hari pernyataan Saya tidak benar, maka Saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk sanki pidana. ........................, .................................................... Penulis Artikel,
.............................................................................
Jurnal BPPK Volume 5, 2012
110.7
100.8
Jurnal BPPK Volume 5, 2012