JURNAL BPPK ISSN 2085-3785 Volume 8 Nomor 2, 2015, halaman 141-262 Jurnal BPPK merupakan publikasi ilmiah yang berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian, pengembangan, kajian, dan pemikiran di bidang ekonomi dan keuangan negara. Terbit pertama kali tahun 2010 dengan masa terbit sekali setahun kemudian menambah masa terbit pada tahun 2011 diterbitkan dua kali setahun hingga saat ini, pada bulan Juni dan Desember. Artikel yang diterbitkan dalam Jurnal BPPK telah melalui proses evaluasi dan penyuntingan oleh Dewan Redaksi, Mitra Bestari dan Anggota Staf Editorial. Jurnal BPPK terbuka untuk umum, praktisi, peneliti, pegawai, dan pemerhati masalah ekonomi dan keuangan negara.
STAF EDITORIAL Penanggung Jawab Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Ketua Dewan Redaksi Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Dewan Redaksi Prof. Heru Subiyantoro, Ph.D. Dr. Roberto Akyuwen, S.T.P., S.E., M.Si. Yoopi Abimanyu, S.E., M.A., Ph.D Mitra Bestari . Prof. Dr . Abdul Halim, M.B.A., Akt. Dr. Akhmad Makhfatih, M.A. Dr. Alla Asmara, S.Pt. Dr. Artidiatun Adji, M,Ec Dr. Mamduh Mahmadah Hanafi, M.B.A Prof. Ir. Noer Azam Achsani. M.Sc., Ph.D. Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.Si Dr. Ir. Riyanto, M.Si Dr. Ir. Tanti Novianti, M.Si Zaafri Ananto Husodo, Ph.D.
Redaktur Rahmadi Murwanto, Ak., MAcc., M.B.A., Ph.D. Editor Ahli Muh Nurkhamid Editor Pelaksana Adhitya Wira Witantra Nur Etaruni VMI Bimo Adi
Sekretariat Agung Arie Pratama Najjahul Imtihan Pambudi Gawe Sukmantara Phesona E.B.T Aditya Wirawan
ALAMAT SEKRETARIAT JURNAL BPPK: Bagian Organisasi dan Tata Laksana, Sekretariat Badan Pendidikan dan
Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia Gedung B Soegito Sastromidjojo, Lantai 4, Jl. Purnawarman Nomor 99 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110; Telp. (021) 7394666 ext.253, 7204131; Faksimili (021) 7261775,7244328; webpage: www.bppk.depkeu.go.id; e-mail:
[email protected].
JURNAL BPPK
Volume 8, Nomor 2, 2015
DAFTAR ISI ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN
141-168
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA EKONOMI DAERAH
169-182
FISCAL AND MONETARY POLICY INTERACTION IN INDONESIA: A VAR ANALYSIS FROM 2000 TO 2013
183-190
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH : PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL
191-212
Toton Hartanto
Shofwatun Hasna
Eko Sumando
Andjar Prasetyo
POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK
213-228
PENGENDALIAN KUALITAS BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (Studi Kasus : Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag Umum) Renny Sukmono
229-244
THE ENDOGENEITY OF OIL PRICE SHOCKS AND THEIR EFFECTS ON INDONESIA: A STRUCTURAL VECTOR AUTOREGRESSION MODEL Alfan Mansur
245-262
Agung Darono
ii
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015, Halaman 141-168 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
Universitas Indonesia, Jakarta; e-mail:
[email protected] INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 30 September 2015
The objective of this study is to examine the effect of auditee selection, auditor competence and independence on the customs audit quality. It is conducted at the Directorate General of Customs and Excise with customs audit data in 2013 and 2014. It is a quantitative study using generalized least squares estimation methods on structural equation modeling with IBM SPSS AMOS version 22. The results of this study shows that auditor independence has a positive effects on customs audit quality, but it needs improvement on the mechanism of contigent performance reward. Otherwise, the auditee selection has no effects on customs audit quality therefore it is important to develop a better predictive audit yield. Moreover, auditor competence also has no effects on customs audit quality, it has to take a necessary action against the symptoms of fatigue.
Dinyatakan Dapat Dimuat 23 Desember 2015 KATA KUNCI: auditee selection, competence, customs audit quality, independence, structural equation modeling, performance contingent reward, predictive audit yield model, fatigue
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pemilihan auditee, kompetensi, dan independensi auditor terhadap kualitas audit kepabeanan. Penelitian ini dilakukan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan data audit kepabeanan tahun 2013 dan 2014. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode estimasi generalized least square pada structural equation modeling dengan aplikasi IBM SPSS AMOS versi 22. Hasil penelitian menunjukkan bahwa independensi auditor berpengaruh positif terhadap kualitas audit kepabeanan, namun perlu perbaikan mekanisme pemberian kompensasi kinerja kontinjen. Pemilihan auditee tidak berpengaruh terhadap kualitas audit kepabeanan, dan perlu pengembangan model prediksi hasil audit yang lebih baik. Kompetensi auditor tidak berpengaruh terhadap kualitas audit kepabeanan dan perlu tindakan segera terhadap gejala kelelahan.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Otoritas kepabeanan di Indonesia dimandatkan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Kementerian Keuangan. Mandat ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Pasal 86 undang-undang ini menyatakan DJBC berwenang melakukan audit terhadap pemberitahuan pabean. Pelaksanaan audit kepabeanan (post clearance audit) dalam penjelasan Pasal 86 ini disebutkan sebagai konsekuensi dari penerapan sistem self assessment, ketentuan nilai pabean yang menggunakan nilai transaksi dan pemberian fasilitas fiskal. Sistem perpajakan yang menganut sistem self assessment memunculkan agency problem. Otoritas kepabeanan sebagai principal bertujuan memaksimalkan penerimaan negara dari bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Motivasi ini berbeda dengan importir atau pengguna jasa kepabeanan lain sebagai agent memiliki kepentingan untuk meminimalkan pajak dan memperoleh laba maksimal. Penerapan audit kepabeanan dapat dipahami sebagai usaha otoritas kepabeanan untuk meningkatkan keyakinan (assurance) terhadap
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
kualitas asersi yang disampaikan. Pasal 1 Angka 20 dalam undang-undang kepabeanan, audit kepabeanan disebutkan bertujuan untuk menguji tingkat kepatuhan orang terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. Pemeriksaan dalam audit kepabeanan meliputi pemeriksaan laporan keuangan auditee dan bukti dasar pembukuan atau akuntansi, selain itu juga surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang (inventory). Hasil audit kepabeanan disusun dalam laporan hasil audit (LHA) memuat temuan audit. Temuan audit kepabeanan terdiri dari: (1) penjelasan kondisi sistem pengendalian internal auditee; (2) temuan ketidakpatuhan fiskal auditee yang disertai perhitungan BM dan PDRI yang kurang bayar dan denda administrasi yang harus dilunasi; (3) perhitungan pengembalian Bea Masuk (BM) dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) yang lebih bayar jika ada; (4) rekomendasi kepada pengguna LHA dengan audit investigasi jika terdapat indikasi pelanggaran pidana kepabeanan, penyalahgunaan hak atas kekayaan intelektual, praktik pencucian uang dari tindak kejahatan lintas negara, atau dugaan keterlibatan tindak pidana terorisme. LHA bentuk panjang (long 141
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
form) disimpan sebagai dokumen rahasia jabatan yang memuat semua hasil audit dan kertas kerja audit (KKA). LHA bentuk pendek didistribusikan kepada pihak-pihak terkait dengan penyesuaian isi informasi yang relevan bagi pihak yang dituju. Kualitas audit menurut DeAngelo (1981) ditunjukkan oleh kompetensi auditor untuk menemukan kesalahan pada asersi auditee dan independensi auditor untuk mengungkap kesalahan tersebut. Setyaningrum (2012) menyatakan hasil audit berupa temuan audit sebagai kemampuan auditor dalam menemukan kesalahan asersi menunjukkan semakin tingginya kualitas audit yang dicapai. Kompetensi dan independesi dituntut untuk dipenuhi setiap auditor kepabeanan berdasarkan standar audit kepabeanan. Kompetensi auditor secara rinci dituangkan dalam peraturan tentang sertifikasi keahlian auditor kepabeanan yang meliputi: (1) kemampuan dalam praktik audit, akuntansi dan kepabeanan; (2) pendidikan formal; (3) banyaknya penugasan audit dan; (4) pengalaman kerja. Faktorfaktor ini akan digunakan sebagai variabel teramati (observed variable) dari kompetensi auditor kepabeanan, hal ini sejalan dengan International Federation of Accountants (2014). Independensi auditor dalam penelitian ini akan menggunakan beberapa variabel teramati yaitu integritas dan tekanan yang mengancam independensi (Brooks, 2007). Selain kedua variabel teramati ini, lamanya waktu penyelesaian audit (audit tenure) akan digunakan sebagai variabel teramati untuk independensi auditor walaupun menurut Siregar et al. (2011) dari berbagai penelitian pengaruh tenure terhadap kualitas audit hasilnya mixed. Hal ini mempertimbangkan kasus korupsi dalam audit kepabeanan terjadi pada penugasan audit yang penyelesaiannya melebihi target waktu penyelesaian. Selanjutnya penerbitan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.04/2011 tentang Pemberian Premi Untuk Pegawai DJBC termasuk auditor kepabeanan memiliki kesamaan kasus contingent fee dalam praktik audit pajak di beberapa negara bagian di Amerika Serikat yang ditentang oleh American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) pada tahun 2012. Premi kepada auditor bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan otonomi auditor dari pengaruh auditee. Mekanisme perhitungan yang didasarkan pada besaran denda administrasi yang diperoleh sebagai hasil audit dalam penelitian dijadikan sebagai proksi audit fee yang dapat bersifat mixed terhadap independensi. DeFond dan Zhang (2013) dalam reviewnya terhadap penelitian kualitas audit menyebutkan setiap kenaikan audit fee sampai batas kewajaran berpengaruh positif pada kenaikan kualitas audit dan tidak mengganggu independensi auditor. The Transnational Auditors Committee (2010) menyatakan faktor client acceptance and continuance mempengaruhi kualitas audit. Dalam publikasi tersebut dirumuskan pula kriteria untuk mengevaluasi penerimaan auditee dan kemungkinan penerapannya pada audit sektor publik dengan tetap memperhatikan
142
ketentuan formal yang mengaturnya. Faktor ini dalam praktik audit kepabeanan oleh Vellutini (2009) disebut sebagai faktor pemilihan auditee. Vellutini (2009) menyebutkan metode pemilihan auditee dengan teknik screening bersifat selectivity bias dan memiliki tingkat akuntabilitas rendah yang berpotensi terjadi praktik korupsi. Praktik terbaik dalam pemilihan auditee dalam audit kepabeanan disarankan untuk menggunakan metode risk based yang merupakan kombinasi metode screening dan metode random yang menggunakan pendekatan statistik. Sejalan dengan pendapat Julien dan Sabih (2010) yang memaparkan pemilihan auditee pada Canada Revenue Agency yang menggunakan risk based method dengan ukuran risk weight. Hit rate audit kepabeanan di Indonesia menurut McKinsey (2013) mencapai 96%. European Commission (2012) menyebutkan bahwa Inggris pada tahun 2012 mampu mencapai hit rate 32 % naik dari tahun 2009 yang mencapai 27% dalam strategi audit kepabeanannya. Irish Tax and Customs (2011) menyatakan dalam Expenditure Review capaian hit rate audit kepabeanannya sebesar 75%. Dibandingkan dengan beberapa negara yang disebutkan, hit rate audit kepabeanan di Indonesia sangat tinggi. Hit rate sebagai ukuran kinerja audit kepabeanan dalam penelitian McKensey (2013) digunakan sebagai penyeragaman ukuran pada setiap tahapan kinerja pengawasan kepabeanan sehingga dapat diperbandingkan. Hal ini untuk menentukan prioritas program perbaikan kinerja kepabeanan. Menggunakan hit rate untuk menilai kinerja audit secara keseluruhan dapat memberikan informasi yang tidak tepat karena tidak mampu mencerminkan lingkungan audit kepabeanan secara utuh. Kompetensi dan independensi auditor merupakan hal penting untuk menentukan kinerja audit kepabeanan namun tidak dapat diungkap dalam ukuran hit rate. Hit rate dalam konteks audit kepabeanan hanya mengukur ada atau tidaknya pelanggaran auditee yang dipilih. Hal ini memungkinkan terjadinya bias. Kebutuhan pengukuran kinerja audit kepabeanan yang dapat mencerminkan pengaruh kompetensi dan independensi dalam proses audit kepabeanan dapat menggunakan konsep kualitas audit. Hal ini juga menimbang fakta tahun 2008 terungkapnya praktik negosiasi temuan audit pada PT Katsushiro dengan uang suap sebesar Rp650 juta untuk mengubah temuan audit sebesar Rp1,7 miliar menjadi Rp9 juta dan masing-masing pihak yang terlibat telah dijatuhi hukuman termasuk auditor kepabeanan (Sugiyarto, 2008). Keselarasan fakta tingginya hit rate audit kepabeanan di Indonesia dengan penerapan kualitas audit dalam praktik audit kepabeanan harus dapat dicapai sehingga ukuran kinerja ini bisa saling melengkapi dari sisi kegunaannya. Kualitas audit kepabeanan sebagai ukuran kinerja masih membutuhkan pengembangan teori dan penelitian empiris.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
Kesalahan dalam pemilihan ukuran kinerja dan pengukuran kinerja audit kepabeanan dapat berimplikasi praktis pada tidak terpenuhinya hak-hak keuangan negara (fiscal purpose) pada jangka pendek. Hal ini juga dapat berimplikasi pada terjadinya kesalahan pengambilan kebijakan di bidang audit kepabeanan karena menggunakan asumsi dasar yang kurang baik seperti kebijakan pembinaan kompetensi dan independensi auditor serta perumusan strategi audit dengan audit coverage ratio (ACR) yang masih rendah, Pasaribu (2015) menyebutkan 1,69%. Fenomena audit lottery muncul sebagai umpan balik dari kecilnya probabilitas auditee untuk diaudit. Jika auditee terkena audit kepabeanan maka auditee dapat memanfaatkan celah rendahnya kompetensi dan independensi auditor yang memungkinkan auditee untuk melakukan negosiasi temuan pelanggaran. Ketepatan pemilihan auditee adalah faktor penting namun kompetensi dan independensi auditor juga harus dipertimbangkan sebagai faktor penentu kinerja audit kepabeanan. Penelitian DeFond dan Zhang (2013) menyatakan bahwa penelitian kualitas audit telah berkembang dengan menggunakan proksi variabel yang sangat beragam. Friedman (1953) dalam Donovan et al. (2014) menyebutkan baik pendekatan positif maupun pendekatan normatif dapat digunakan untuk menentukan kualitas audit. Pendapat Dies dan Giroux (1992) yang menyatakan bahwa penerapan proksi kualitas audit dalam sektor privat dapat dilakukan dalam sektor publik tetap harus memperhatikan karakteristik dan praktik audit dalam sektor publik tersebut. Penelitian kualitas audit dengan pendekatan lainnya dilakukan oleh Hudaib dan Hanifa (2009) dan Sulaiman (2011) yang menggunakan konteks organisasi dan sosial. Penelitian Hudaib dan Hanifa (2009) dan Sulaiman (2011) mencoba menjawab pertanyaan tentang pengaruh people, processes dan audit environment terhadap pemahaman dan penerapan konsepsi kualitas audit dalam praktik audit. Penelitian Arkan (2010) dan Rahayu dan Adhariani (2007) memaparkan faktor-faktor yang meningkatkan prediksi temuan audit (hit rate). Namun konseptual penelitian Arkan (2010) dan Rahayu dan Adhariani (2007) tidak dibangun dalam kerangka kualitas audit kepabeanan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bukti empiris terkait penerapan kualitas audit dalam praktik audit kepabeanan di Indonesia. Pengolahan data penelitian dilakukan secara simultan sehingga menggambarkan dinamika praktik kualitas audit kepabeanan. Penelitian ini akan membuktikan pengaruh pemilihan auditee, kompetensi dan independensi auditor terhadap kualitas audit kepabeanan. 1.2. Rumusan Permasalahan Dari paparan latar belakang diperoleh penjelasan bahwa pemilihan auditee, kompetensi dan independensi auditor merupakan faktor penting yang
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
terintegrasi dalam lingkungan audit kepabeanan untuk mencapai kualitas audit yang diharapkan. Perumusan permasalahan penelitian ini disusun dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah pemilihan auditee (auditee selection) berpengaruh positif terhadap kualitas audit kepabeanan? 2. Apakah kompetensi auditor (auditor competence) berpengaruh positif terhadap kualitas audit kepabeanan? 3. Apakah independensi auditor (auditor independence) berpengaruh positif terhadap kualitas audit kepabeanan? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis dan menguji secara empiris pengaruh pemilihan auditee terhadap kualitas audit kepabeanan? 2. Menganalisis dan menguji secara empiris pengaruh kompetensi auditor terhadap kualitas audit kepabeanan? 3. Menganalisis dan menguji secara empiris pengaruh independensi auditor terhadap kualitas audit kepabeanan?
2. KERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTES 2.1. Kualitas Audit dalam Praktik Audit Kepabeanan 2.1.1. Audit Kepabeanan dan Manajemen Risiko Pelaksanaan audit kepabeanan merupakan bagian yang utuh dari proses bisnis kepabeanan. Praktik kepabeanan di Indonesia telah menerapkan manajemen risiko, sehingga konsepsi audit kepabeanan dan pelaksanaannya haruslah sejalan dengan manajemen risiko organisasi. Widdowson (2005) mendefinisikan manajemen risiko sebagai the possibility of events and activities occurring that may prevent an organization from achieving its objectives. Merujuk pada praktik umum kepabeanan, otoritas kepabeanan bertujuan untuk memfasilitasi perdagangan internasional dan mengawasi kepatuhan pengguna jasa kepabeanan terhadap peraturan kepabeanan. Risiko yang dihadapi oleh otoritas kepabeanan meliputi potensi ketidakpatuhan terhadap peraturan kepabeanan dan kegagalan memfasilitasi perdagangan internasional. Otoritas kepabeanan, perlu mendesain prosedur untuk mengurangi risiko tidak tercapainya tujuan organisasi secara efisien dan efektif. Peningkatan permasalahan logistik seperti naiknya volume perdagangan internasional, tuntutan kecepatan waktu (dwelling time) dan perkembangan teknologi telah mengubah kebijakan otoritas kepabeanan (Khwaja, 2011). Manajemen risiko yang dijalankan harus lebih disiplin dan terstruktur. Hal ini dilakukan untuk membantu meningkatkan efisiensi operasional yang sejalan dengan peraturan kepabeanan dan menerapkan intervensi yang minimal
143
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
dalam transaksi perdagangan sehingga terhindar dari regulatory burden. Konsepsi audit kepabeanan berbasis risiko merupakan implementasi kebijakan manajemen risiko di tingkat organisasi dalam manajemen audit kepabeanan. Manajemen audit yang dimulai dari pemilihan auditee, penunjukkan tim audit dan pelaporan haruslah mencerminkan manajemen risiko yang ditetapkan. Vellutini (2009) menyebutkan dalam the Istanbul Conference telah dirumuskan implementasi risk based audit dalam audit yang dilakukan oleh revenue administration yang dihadiri oleh berbagai negara di Eropa dan Asia. Beberapa tema dasar dirumuskan seperti prinsip-prinsip dasar audit pajak/kepabeanan berbasis risiko, pendekatan audit berbasis risiko berdasarkan segmen auditee, infrastruktur database terkait audit berbasis risiko dan pengalaman berbagai negara terkait implementasi audit berbasis risiko. Vellutini (2009) menyebutkan bahwa audit kepabeanan digunakan to detect dan to redress ketidakpatuhan wajib pajak dan/atau pengguna jasa kepabeanan, dengan tujuan untuk meningkatkan voluntary compliance karena bertambahnya kemungkinan terdeteksi dan besarnya denda atas ketidakpatuhan. Audit membuka peluang tim audit untuk melakukan edukasi kepada auditee agar dapat meningkatkan kepatuhan di masa depan. Vellutini (2009) menambahkan risk analysis dan auditee selection yang terpusat sebagai tahapan sebelum pelaksanaan audit kepabeanan berbasis risiko. Pemisahan fungsi pemilihan auditee dan fungsi pelaksanaan audit untuk menghindari konflik kepentingan dan praktik korupsi. Selain adanya kemungkinan untuk memperbesar skala ekonomi dan spesialisasi masing-masing fungsi. Tata kelola praktik audit kepabeanan di Indonesia secara teknis diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-09/BC/2012 yang mengatur tata laksana audit kepabeanan dan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-12/BC/2012 yang mengatur evaluasi hasil audit kepabeanan. Tata kelola ini diharapkan akan menghasilkan audit kepabeanan yang berkualitas. 2.1.2. Definisi dan Pengukuran Kualitas Audit Kepabeanan International Federation of Accountants (2014) menyatakan bahwa kualitas audit adalah bahasan kompleks, tidak ada satu definisi atau analisis yang mendapat pengakuan luas. Hal ini disebabkan karena kualitas audit tidak hanya berdimensi tunggal, sehingga sulit menentukan ukuran tertentu yang mampu merepresentasikan kualitas audit secara komprehensif (Francis, 2004). Power (1997) dalam Sulaiman (2011) menyebutkan bahwa konsep kualitas audit tidak mudah dibuktikan dan didefinisikan dengan tepat karena kualitas audit tidak dapat diamati dan diukur secara langsung. Sumber ilmiah penting yang membahas kualitas audit adalah penelitian DeAngelo’s (1981) yang
144
menjelaskan kualitas audit dipengaruhi oleh independensi dan kompetensi auditor. Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan audit besar. Berdasarkan penelitian ini, sebagian besar dari penelitian terkait kualitas audit menggunakan pandangan dan definisi kualitas audit yang diusulkan oleh DeAngelo (1981). Namun, Mills (1993) dalam Suseno (2013) menyatakan bahwa kualitas audit harus lebih menekankan pada manajemen risiko terhadap pemilihan auditee dan strategi untuk mencapai tujuan pemeriksaan secara efektif. Gambar 1 A Framework of Audit Quality
Sumber: International Federation of Accountants (2014).
International Federation of Accountants (2014) menyusun sebuah kerangka kerja kualitas audit yang memaparkan elemen kunci untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan kualitas audit dapat dicapai. Kerangka kerja ini terdiri dari 5 (lima) elemen yaitu faktor input, faktor proses, faktor output, faktor interaksi kunci para stakeholder audit, dan faktor kontekstualnya. Faktor-faktor ini dirumuskan di tiga tingkatan yaitu individual level, organizational level dan policy level. Lima elemen kunci ini digambarkan dalam Gambar 1 untuk menunjukkan antar elemen saling berhubungan secara simultan. Konsepsi dalam kerangka kerja International Federation of Accountants ini juga ditujukan untuk penerapan kualitas audit dalam praktik audit sektor publik. Hal ini sejalan dengan penelitian Deis dan Giroux (1992) yang melakukan pengukuran kualitas audit di sektor publik dengan melakukan generalisasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas audit dalam penelitian kualitas audit sektor privat. Deis dan Giroux (1992) juga menyebutkan pendapat Rubin (1988) yang berpendapat bahwa kerangka teori penelitian kualitas audit pada sektor privat dapat
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
digunakan dalam penelitian kualitas audit pada sektor publik. Setyaningrum (2012) juga menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pengukuran kualitas audit baik pada sektor komersial maupun sektor publik, walaupun tetap mempertimbangkan karakteristik organisasi auditor pada sektor publik tersebut. Pengukuran kualitas audit dapat dilakukan dengan pendekatan tidak langsung yaitu dengan menggunakan proksi-proksi yang merepresentasikan kualitas audit yang bersifat unobserved. Pendekatan langsung dengan review pemenuhan terhadap prosedur audit yang ditetapkan standar dalam proses audit yang dilakukan. Selain itu juga dengan pendekatan persepsi pihak yang terlibat baik langsung atau tidak dalam pencapaian kualitas audit. Merujuk pada DeAngelo (1981) maka kualitas audit kepabeanan dalam penelitian ini dibangun atas dasar keahlian profesional auditor kepabeanan untuk mengidentifikasi dan melaporkan ketidakpatuhan auditee terhadap peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. Kemampuan mengidentifikasi ketidakpatuhan auditee dalam audit kepabeanan ditunjukkan dengan hit rate dan pengungkapan besaran ketidakpatuhan beserta penerapan sanksi administrasi dengan ukuran audit yield (Okello, 2008; Cleary, 2011; Irish Tax and Customs, 2011; Delloite, 2012; European Commission, 2012). Hal ini sejalan dengan pengukuran kualitas audit dalam penelitian Setyaningrum (2012) pada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan menggunakan satuan moneter dari temuan audit. 2.1.3. Customs Declaration sebagai Asersi Auditee Auditee pada praktik audit kepabeanan adalah pengguna jasa kepabeanan, yang sebagian besar adalah perusahaan yang melakukan impor (importir). Berdasarkan karakteristik objek audit tersebut, audit kepabeanan merupakan audit eksternal. Importir harus melakukan pelaporan importasinya dalam suatu dokumen yang disebut Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Berdasarkan PIB ini auditor kepabeanan akan melakukan audit kepabeanan untuk mendapatkan keyakinan terkait kepatuhan auditee terhadap peraturan di bidang kepabeanan. Standar Audit Seksi 326 dalam Standar Profesional Akuntan Publik (2011) mendefinisikan asersi (assertion) adalah suatu deklarasi, atau suatu rangkaian deklarasi secara keseluruhan, yang dibuat oleh pihak yang bertanggung jawab atas deklarasi tersebut secara implisit atau eksplisit untuk digunakan oleh pihak lain. Asersi dalam laporan keuangan historis maka asersi merupakan pernyataan dalam laporan keuangan oleh manajemen sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 menjelaskan definisi customs declaration (pemberitahuan pabean) sebagai pernyataan yang dibuat oleh orang dalam rangka melaksanakan kewajiban pabean dalam bentuk
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
dan syarat yang ditetapkan dalam undang-undang. Customs declaration dalam kerangka kepatuhan fiscal merupakan asersi yang dibuat oleh pengguna jasa kepabeanan baik secara implisit maupun eksplisit dan disusun berdasarkan kriteria peraturan kepabeanan yang berlaku. Asersi dalam customs declaration berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P22/BC/1999 tentang Pemberitahuan Pabean Impor sebagaimana telah diubah beberapa kali dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-44/BC/2011, dapat diklasifikasikan berdasarkan penggolongan besar dalam Standar Audit Seksi 326 SPAP (2011) sebagai berikut: a. Keberadaan atau keterjadian (excistence or occurance). b. Kelengkapan (completeness). c. Hak dan Kewajiban (right and obligation). d. Penilaian (valuation). e. Penyajian dan pengungkapan (presentation and disclosure). 2.2. Pemilihan Auditee dalam Audit Kepabeanan 2.2.1. Fiscal Compliance Theory Salah satu yang harus tercapai dalam audit sektor publik adalah fiscal compliance (Jones dan Pendlebury, 2010). Devos (2014) membagi fiscal compliance theory menjadi 2 (dua) pendekatan utama yaitu economic deterrence approach dan behavioral approach. Economic deterrence model telah digunakan secara luas dalam audit kepatuhan (Devos, 2014). Model ini didasarkan pada teori ekonomi, sehingga kepatuhan umumnya berfokus pada penggetaran (deterrence). Efek detterence dapat dicapai melalui sejumlah pendekatan dengan menggunakan ancaman atau persuasif. Kepatuhan adalah serangkaian usaha untuk memaksimalkan utilitas sehingga manfaat yang diperoleh melebihi biaya untuk patuh. Devos (2014) menyebutkan bahwa beberapa peneliti mengusulkan bahwa setiap individu dapat melakukan pendekatan cost and benefit approach untuk memilih manfaat patuh atau tidak patuh terhadap peraturan perundangan dengan risiko terdeteksi dan menanggung sanksi. Namun demikian menurut Roth dan Scholz (1989) dalam Devos (2014) kurangnya bukti empiris terkait efektivitas economic deterrence model menuntut adanya pengembangan model kepatuhan fiskal yang lebih efektif. Fiscal psychology model merupakan model yang dikembangkan dari mengkombinasikan economic deterrence model dengan behavioral model, sehingga dengan pendekatan ini setiap individu tidak akan memaksimalisasikan utilitasnya tanpa mempertimbangkan nilai dan norma sosial yang diyakini (Devos, 2014). Model psikologi sosial secara induktif memeriksa sikap dan keyakinan pengguna jasa perpajakan (wajib pajak) atau pengguna jasa kepabeanan (importir atau eksportir) dalam rangka untuk memahami dan memprediksi perilakunya.
145
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
Sour (2004) menyatakan bahwa dalam model tradisional fiscal compliance hanya menyediakan pilihan tunggal bagi setiap individu dalam lingkungan sosial untuk patuh yaitu ancaman eksternal berupa audit dan sanksi. Fakta tentang model lain yang bersifat persuasif dikecualikan dari model kepatuhan ini. Kinsey (1986) dalam Devos (2014) menganalisis kepatuhan dari titik sosiologis, psikologis, dan hukum yang menekankan proses terbentuknya sikap individu dalam norma sosial untuk tercapainya kepatuhan fiskal. Kadang-kadang individu dibatasi oleh kode etik, sehingga mereka tidak memanfaatkan celah hokum atau tidak terdeteksinya pelanggaran. Utomo et.al. (2012) menegaskan bahwa rendahnya fiscal compliance perusahaan karena perusahaan akan mengambil economic benefit dari ketidakpatuhannya. Hal ini merujuk pada intensi untuk tidak patuh sebagai keuntungan ekonomi dari risiko ketidakpatuhan. 2.2.2. Self Assessment dan Agency Theory Audit kepabeanan merupakan konsekuensi dari penerapan prinsip self assessment dalam undangundang kepabeanan. Sistem perpajakan self assessment bermula dari kebijakan fiskal di Amerika Serikat dan Kanada. Martinez et. al. (1992) dalam Marshall, Smith dan Armstrong (1997) menyatakan bahwa dalam sistem self assessment dituntut adanya kejujuran wajib pajak atau pengguna jasa kepabeanan untuk menginformasikan kondisi ekonomi yang sebenarnya terjadi sebagai dasar penentuan nilai setoran pajak dan bea masuk ke negara. Agency theory menjelaskan kondisi voluntary dalam self assessment ini sebagai fenomena hubungan principal-agent. Otoritas kepabeanan sebagai principal memiliki motif untuk memaksimalkan besarnya penerimaan negara. Importir sebagai agent memiliki motif agar bea masuk dan pajak dalam rangka impor lebih kecil, sehingga dapat memaksimalisasi laba usahanya. Perbedaan motif antara otoritas kepabeanan dan importir ini menimbulkan perilaku oportunis bagi importir sebagai agent, dalam sistem self assessment untuk tidak memberikan informasi ekonomi atau nilai transaksi impornya secara voluntary. Institute of Chartered Accountans in England and Wales (2005) menyebutkan perbedaan motif antara principal dan agent menuntut adanya informasi yang reliable, sehingga muncul trustworthy antara principal dan agent. Audit yang independen untuk menguji informasi yang disajikan dalam asersi agent akan membantu memelihara kepercayaan principal kepada agent. Hal ini sejalan dengan Messier dan Provit (2006) yang menyebutkan bahwa permasalahan agensi akibat asymmetric information dapat dikurangi dengan menghadirkan auditor independen. Selain audit, paket reward akan mampu menyelaraskan kepentingan agent dengan kepentingan principal dan punishment bagi yang tidak patuh akan meningkatkan efektivitas untuk meminimalkan asymmetric information (ICAEW, 2005). Pemberian fasilitas fiskal dan atau fasilitas prosedural seperti super green channel bagi importir
146
akan memberikan insentif bagi para importir untuk meningkatkan kepatuhannya dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. Super green channel di Indonesia dikenal sebagai jalur mitra utama. Hal ini merujuk juga banyaknya manfaat yang dapat diperoleh, seperti kecepatan penanganan logistik dan penangguhan atau pembebasan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor sehingga meningkatkan likuiditas importir. 2.2.3. Audit Lottery Audit lottery menurut Temple (1991) dalam Marshall, Smith dan Armstrong (1997) dapat didefinisikan sebagai kecilnya probabilitas secara statistik wajib pajak untuk terpilih untuk diaudit oleh auditor pajak atau kepabeanan, ditambah dengan kemungkinan terdeteksinya ketidakpatuhan. Isu audit coverage dan efektivitas strategi audit menjadi perhatian otoritas kepabeanan. Audit coverage adalah kapasitas otoritas kepabeanan dalam melakukan audit kepabeanan untuk menguji kepatuhan pengguna jasa kepabeanan, yang diukur dengan banyaknya pengguna jasa kepabeanan yang diaudit dibagi jumlah keseluruhan pengguna jasa kepabeanan. Rendahnya audit coverage memicu perilaku ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan sebagaimana Strader dan Fogliasso (1989) dalam Marshall, Smith dan Armstrong (1997). Besarnya populasi auditee dan kurangnya jumlah auditor kepabeanan menjadi alasan terkait rendahnya audit coverage. 2.2.4. Risk Based Auditee Selection Pemilihan auditee dalam audit kepabeanan dapat dilakukan pemilihan manual, random dan risk based (Vellutini, 2009). Pemilihan auditee secara manual menggunakan teknik screening terhadap informasi informal dan pengolahan data yang sangat terbatas. Kondisi ini dapat menyebabkan meningkatnya risiko terjadinya korupsi. Metode pemilihan manual tidak dapat membaca prediksi ketidakpatuhan pengguna jasa kepabeanan. Selanjutnya penggunaan data internal yang intensif dalam metode pemilihan manual tersebut mengabaikan peran informasi dari data eksternal yang relevan. Dalam teknik pemilihan auditee secara random, keseluruhan populasi akan memiliki kesempatan yang sama untuk diaudit. Metode ini akan mengurangi risiko korupsi di tahap pemilihan auditee (Vellutini, 2009). Pemilihan auditee random secara statistik akan diperoleh hasil yang robust karena data yang dikumpulkan mampu meningkatkan akurasi pemilihan auditee. Selain itu, metode ini juga dipandang sebagai fair selection strategy dibandingkan metode screening (Vellutini, 2009). Meskipun metode pemilihan auditee secara random cukup memadai, namun dibandingkan dengan metode screening yang berfokus pada auditee very high risk, metode screening mampu meningkatkan penerimaan lebih baik. Metode random akan memiliki
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
dampak yang rendah terhadap perolehan pendapatan (audit yield) dan detterence effect yang lebih rendah. Vellutini (2009) menyebutkan bahwa kondisi ini menjelaskan alasan banyak negara, seperti Amerika Serikat, menggunakan pemilihan auditee secara random dengan tetap menjadikan auditee high risk sebagai target audit. OECD (2006) menyarankan pemilihan auditee berbasis risiko agar pengembangan strategi auditnya difokuskan kepada auditee yang tidak patuh. Teknik ini akan didasarkan pada beberapa atribut seperti size, industry, compliance history dan profil auditee. Teknik ini merupakan kombinasi dari keunggulan metode pemilihan random yaitu intelligence dan statistically robust approach (Vellutini, 2009). Kunci utama teknik ini adalah kualitas data internal dan eksternal. Selain itu, dukungan sistem teknologi informasi untuk pengolahan data untuk penyusunan strategi audit di tingkat organisasi auditor. Pemahaman risiko bisnis auditee menjadi penting dalam pemilihan auditee berbasis risiko. Arens dan Elder (2012) menyebutkan risiko bisnis auditee merupakan risiko auditee akan gagal mencapai tujuan terkait dengan keandalan laporan keuangan, efisiensi dan efektivitas operasi serta kepatuhan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Colbert et al. (1996) menjelaskan risiko bisnis auditee secara rinci terdiri dari integritas auditee, operasional dan kondisi keuangan auditee, dan aspek regulasi yang mengatur industri auditee. Vellutini (2009) memaparkan pendekatan statistik dalam pemilihan auditee sehingga kualitas audit pajak atau kepabeanan dapat mencapai kualitas audit yang diharapkan. Pemilihan auditee dengan teknik analisis statistik akan mendukung strategi audit berbasis risiko. Vellutini (2009) menentukan variabel terikatnya adalah auditee yang tidak patuh dalam data kategorial full compliance dan less than full compliance, sedangkan variabel bebasnya adalah variabel yang dapat menjelaskan variabel terikatnya. Metode analisis
yield prediction model yang memberikan penekanan pemilihan auditee dari prespektif kepatuhan dengan likelihood to yield, likely amount of yield dan likelihood to liquidate. Yield prediction model telah diterapkan di Irish Tax and Customs Authority, secara empiris telah meningkatkan audit yield dan menurunkan biaya. Laporte (2011) menegaskan pentingnya integrasi data untuk memberikan database yang lebih besar dalam pemilihan auditee sebagai pendekatan manajemen risiko kepabeanan. Beberapa aplikasi integrated customs clearance management adalah ASYCUDA (automated system for customs data) dengan versi terbaru ASYCUDA World yang telah digunakan di 80 negara dan GAINDE yang dikembangkan oleh IMF untuk negara-negara afrika barat. Laporte (2011) menjelaskan pentingnya otoritas kepabeanan untuk menggunakan analisis statistik terhadap data yang diperoleh dari asersi pengguna jasa kepabeanan untuk kemudian digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Hainey (2009) menyebutkan Her Majesty’s Revenue and Customs (HMRC) memisahkan risk assesment unit yang bertugas untuk mengintegrasikan database dengan pelaksanaan audit dan investigasi. Integrasi database berbagai sumber baik internal maupun eksternal digunakan untuk menyusun risk profile di Inggris. Data internal termasuk informasi yang diperoleh dalam operasi intelijen. Untuk tujuan analisis unit penilaian risiko atau yang disebut dengan The Risk Intelligence Service menggunakan software statistik yang dikembangkan sendiri. Software ini mampu memberikan manfaat yaitu meningkatkan yield dengan naiknya hit rate, menghemat waktu pelaksanaan audit, memperoleh strategic benefit yaitu memunculkan efek detterence atas perilaku yang tidak patuh. 2.3. Kompetensi Auditor Lee dan Stone (1995) menyatakan bahwa kompetensi auditor adalah suatu keahlian profesional yang dimiliki auditor secara memadai untuk dapat
Tabel 1 Tingkatan Kompetensi Skill Level Novice Advanced Beginner Competent Proficient Expert
Components Context Free Context Free and Situational Context Free and Situational Context Free and Situational Context Free and Situational
Perspective
Decision
Commitment
None None
Analytic Analytic
Detached Detached
Chosen
Analytic
Experienced
Analytic
Experienced
Intuitive
Detached Understanding and Deciding; Involved Outcome Involved Understanding; Detached Deciding Involved
Sumber: Dreyfus (2004)
dalam penelitian Vellutini (2009) menggunakan parametrik dan non parametrik. Cleary (2011) sejalan dengan Hainey (2009) menyarankan untuk menggunakan predictive analytic dengan memanfaatkan data mining sehingga dapat membantu mendapatkan pemilihan auditee yang tepat. Dalam temuan penelitian Cleary (2011) mengajukan Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
melaksanakan pekerjaan audit dengan obyektif. International Federation of Accountants (2014) menjabarkan komponen kompetensi menjadi beberapa atribut yaitu pengetahuan, ketrampilan, pengalaman dan kecukupan waktu untuk menyelesaikan suatu penugasan audit.
147
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
Dreyfus (2004) menjelaskan kompetensi dalam suatu tingkatan-tingkatan tertentu yang didasarkan pada component, perspective, decision dan commitment. Kemudian Dreyfus (2004) membagi kompetensi menjadi 5 (lima) kategori yaitu novice, advanced beginner, competence, profiency, dan expertise. Selanjutnya kompetensi diproksikan pada pengetahuan dan pengalaman (DeAngelo, 1981). Pengetahuan diukur dari tingkat pendidikan auditor. Meinhard et al. (1987) menyebutkan bahwa pendidikan akan memberikan tambahan pengetahuan, kedalaman analisis dan perkembangan permasalahan audit yang dinamis. Menurut Tubbs (1992) pengalaman akan memberikan keunggulan pada auditor dalam hal pendeteksian kesalahan, pemahaman kesalahan tersebut secara akurat dan pengetahuan untuk mencari penyebab timbulnya kesalahan tersebut. Penurunan kinerja auditor kepabeanan senior dan fenomena resign auditor kepabeanan senior dari DJBC memberikan indikasi bahwa muncul gejala fatigue dalam praktik audit kepabeanan. Fatigue menurut Otley dan Pierce (1995) dapat memunculkan tindakan premature sign off dalam pelaksanaan audit. Premature sign off adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh auditor ketika melaksanakan program audit dengan cara menghentikan langkah audit tanpa menggantikannya dengan langkah yang lain dengan layak. Kinerja rendah dan adanya keinginan untuk keluar (turnover intention) yang tinggi mendorong auditor melakukan premature sign off. Lock dan Latham (1990) menjelaskan goal setting theory dengan suatu tindakan individu untuk menetapkan dan memilih tujuantujuan, dan mereka termotivasi untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Kegiatan audit yang dilakukan auditor akan dipengaruhi oleh tujuan dan motivasi auditor tersebut. Auditor dengan komitmen organisasi yang lebih tinggi akan lebih loyal dengan nilai- nilai dasar yang ditetapkan organisasi. Masa kerja yang sangat lama dengan organisasi, memberikan pengalaman yang bersifat akumulatif pada diri auditor terhadap kebijakan organisasi pada dirinya. Masa transisi auditor yang termotivasi meninggalkan organisasi auditor lebih cenderung berperilaku premature sign-off (Malone dan Roberts, 1996). Setiawan dan Ghozali (2006) menyebutkan keinginan untuk keluar dari organisasi secara sukarela harus dipahami dengan dua kondisi. Kondisi pertama yaitu kondisi yang bersifat fungsional jika pegawai yang memilih keluar dari organisasi adalah pegawai yang diasumsikan layak untuk keluar, sehingga membuka kesempatan pegawai baru yang memiliki motivasi tinggi dan kompetensi yang lebih baik. Kondisi ini menyediakan ruang pengembangan karir auditor dan ide baru bagi organisasi. Kondisi kedua bersifat disfungsional jika auditor yang keluar adalah auditor yang memiliki kompetensi tinggi, sehingga keluarnya auditor tersebut akan mempengaruhi kinerja audit organisasi tersebut.
148
2.4. Independensi Auditor Independensi auditor oleh Sridharan et al. (2002) didefinisikan sebagai sikap mental yang tidak bias dalam pengambilan keputusan di seluruh proses audit dan pelaporannya. Duska dan Duska (2003) menyatakan bahwa setiap auditor bertanggung jawab untuk memelihara total independence. Menurutnya kepatuhan terhadap standar dan aturan adalah keharusan namun tidak mencukupi untuk mendapatkan kondisi independensi itu. Hal ini menunjukkan pentingnya sikap independensi bagi auditor. Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (Badan Pemeriksa Keuangan, 2007) menyatakan bahwa independensi harus digunakan untuk semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan audit. Tanggung jawab terhadap pemeliharaan independensi tidak hanya terbatas pada individu auditor tapi juga organisasinya. Independensi dalam standar ini dipaparkan sebagai sikap mental dan penampilan bebas dari gangguan pribadi, ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya. Brooks (2007) menyatakan bahwa mengidentifikasi dan mengevaluasi ancaman merupakan hal penting untuk menjaga independensi auditor dan kemudian melakukan usaha untuk mengurangi dan menghilangkan ancaman tersebut. Brooks (2007) menyebutkan salah satu faktor penting dari independensi adalah integritas. Hal ini disebabkan karena integritas mampu memunculkan sikap jujur dan obyektif. Jujur mampu berimplikasi pada akurasi dalam pengumpulan data, pengukuran, pelaporan dan inteprestasi. Selanjutnya obyektif mampu menciptakan sikap bebas dari bias dalam pengambilan keputusan dalam audit. Organisasi dalam penjagaan integritas auditor seharusnya memasukkan integritas dalam assessment soft competency sehingga dapat dievaluasi. Integritas akan mendorong tumbuhnya kejujuran. Hal ini sejalan dengan Becker (2009) yang menyatakan bahwa jujur jauh lebih penting daripada uang, kejujuran sebagai nilai moralitas memberikan pengaruh pada keputusan keuangan. Solomon (1999) dan George (1993) menyebutkan bahwa integritas akan menjadikan seseorang memilih perilaku yang lebih tinggi dari moralitas minimal yang dituntut oleh standar atau hukum. 2.4.1. Audit Tenure St. Pierre dan Anderson (1984) dalam Siregar et al. (2011) menyatakan bahwa audit tenure harus dilihat sebagai proses peningkatan kompetensi atau spesialisasi auditor, hal ini merujuk pada temuan banyaknya kesalahan audit dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan auditor pada penugasan awal sebagai auditor. Perpanjangan waktu penugasan audit dapat meningkatkan kompetensi auditor karena terdapatnya learning process yang mencukupi. Davis et al. (2002) menyatakan bahwa pembatasan tenure terhadap auditor harus mempertimbangkan
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
risiko terhadap turunnya efektivitas dari pencapaian tujuan audit, sehingga dapat menimbulkan biaya tambahan karena kualitas audit yang direncanakan tidak tercapai. Dalam audit kepabeanan di tingkatan organisasi, biaya tambahan tersebut, dapat berupa biaya tambahan akibat tidak terpenuhinya hak-hak keuangan negara. Mautz dan Sharaf (1961) dan Dye (1991) memiliki temuan penelitian yang berbeda dengan St Pierre dan Anderson (1984) dan Davis et al. (2002). Dye (1991) menjelaskan masa penugasan auditor (tenure) yang panjang dapat mempengaruhi independensi auditor. Mautz dan Sharaf (1961) dan Dye (1991) menyatakan bahwa masa penugasan audit (tenure) yang panjang memunculkan interaksi antara auditor dengan auditee dalam periode yang panjang. Kondisi ini dapat mempengaruhi sikap mental auditor terkait independensi karena obyektivitas auditor dapat terancam, maka diperlukan pembatasan sebagai usaha mengurangi atau menghilangkan ancaman terhadap independensi tersebut. Gietzmann dan Sen (2001) berbeda pendapat, dengan menggunakan pendekatan game theory untuk mempelajari pembatasan tenure terhadap independensi auditor. Temuan penelitian ini adalah pembatasan tenure memiliki biaya tambahan yang besar, namun dapat meningkatkan independensi auditor melebihi biaya tambahan tersebut pada auditee besar. Siregar et al. (2011) menyatakan dari berbagai penelitian tentang tenure menunjukkan hasil yang mixed. Sejalan dengan pernyataan Fanny dan Siregar (2007) yang menjelaskan bahwa beberapa penelitian menemukan jangka waktu penugasan auditor berpengaruh positif terhadap kualitas audit, namun ada yang berpengaruh negatif. Hasil yang berbedabeda ini dijelaskan oleh Siregar et al. (2011) disebabkan adanya kemungkinan dalam penelitian tersebut belum mempertimbangkan adanya hubungan non linier antara tenure dan kualitas audit. 2.4.2. Performance Contingent Reward AICPA (2012) memaparkan advokasi terkait dengan praktik contingent fee dalam audit pajak di beberapa negara bagian di Amerika serikat, hal ini dimulai dari tekanan politik dan ekonomi terhadap pemerintah negara bagian untuk menjaga kesehatan fiskal mereka dengan menaikkan target penerimaan pajak. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan negara bagian seperti North Carolina, Michigan, dan Arizona adalah dengan mengeluarkan kebijakan untuk melakukan kontrak audit pajak dengan auditor dari private audit firm dengan skema contingent fee. Berkenaan dengan isu tersebut, AICPA mengeluarkan beberapa rekomendasi yaitu contingent fee dapat menciptakan insentif bagi auditor untuk berlaku tidak fair dengan menetapkan tagihan pajak yang tinggi dan menghilangkan potensi restitusi, masalah kerahasian informasi wajib pajak dan dapat menimbulkan conflict of interest. Peraturan Menteri KeuanganNnomor 234/PMK.04/2011 tentang Pemberian Premi
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
merupakan peraturan pelaksanaan terhadap Pasal 113D Undang-Undang Kepabeanan dan Pasal 64D Undang-Undang Cukai. Pengertian premi kepabeanan dan/atau cukai adalah semacam bonus yang diberikan negara kepada orang, kelompok orang dan atau unit kerja yang telah melakukan pengungkapan pelanggaran di bidang kepabeanan dan cukai, baik pelanggaran administrasi atau pidana, dan menanganinya sampai dengan terpenuhinya hak-hak keuangan negara. Besaran premi yang diberikan sebesar 50% dari sanksi administrasi berupa denda, sanksi pidana berupa denda, hasil lelang barang dari tindak pidana dan nilai barang yang menurut peraturan perundangundangan tidak boleh di lelang. Besaran maksimal premi tersebut dibatasi pada Rp.1.000.000.000,00. Selanjutnya didistribusikan secara proporsional dengan presentase sebesar 10% untuk yang menemukan pelanggaran, 2% untuk unit kerja yang menagih, 23% untuk unit kerja yang menetapkan sanksi, 5% untuk kantor wilayah yang membawahi unit kerja yang menetapkan sanksi dan 10% untuk DJBC. Pengaturan terkait premi termasuk di dalamnya temuan pelanggaran terkait audit kepabeanan. Penelitian Houlford et. al. (2002) memaparkan pengaruh performance-contingent reward terhadap perceived autonomy dan competence. Penelitian ini memperoleh temuan bahwa performance-contingent reward berpengaruh negatif terhadap perceived autonomy dan berpengaruh positif terhadap kompetensi. Penelitian Eisenberger et al. (1999) yang menyatakan bahwa performance-contingent reward memunculkan motivasi untuk melakukan kinerja melampaui standarnya sehingga reward berpengaruh sangat kuat dan positif dengan otonomi dan sebaliknya jika polanya menggunakan engagement-contingent reward. Cognitive evaluation theory yang dikemukakan Deci dan Ryan (1985) menyatakan bahwa semua skema reward mempengaruhi kompetensi dan kontrol, namun performance-contingent reward akan meningkatkan kompetensi tetapi mengancam otonomi. Vellutini (2009) menyatakan praktik internasional terkait kompensasi auditor pajak atau kepabeanan seharusnya kompensasi tidak berhubungan langsung dengan jumlah tagihan audit dan denda yang diperoleh (audit yield). Mekanisme pemberian bonus yang didasarkan kepada hasil audit dapat menyebabkan auditor bias dan menurunkan prinsip fairness. Selain itu dalam jangka panjang akan mempengaruhi perilaku auditor untuk memaksimalisasikan bonus. DeFond dan Zhang (2013) menyebutkan audit fee memiliki pengaruh yang kuat terhadap kualitas audit dengan rata-rata R-square lebih dari 70%, dengan pembatasan dalam audit fee di rentang kewajaran, maka kenaikan audit fee berkorelasi positif dengan peningkatan kualitas audit. 2.5. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual penelitian ini menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas audit kepabeanan dan implementasinya. Kerangka dalam
149
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
Gambar 2. The Customs Audit Quality Causal Model AUDITEE SELECTION
AUDITOR COMPETENCE
THE CUSTOMS AUDIT QUALITY
AUDITOR INDEPENDENCE
Gambar 2 menjelaskan causal model antara faktor pemilihan auditee, faktor kompetensi auditor dan faktor independensi terhadap kualitas audit kepabeanan. Pemilihan auditee, kompetensi dan independensi auditor dalam praktik audit kepabeanan di Indonesia secara simultan membentuk interaksi untuk mencapai kualitas audit kepabenanan yang diharapkan. Dalam proses bisnis audit kepabeanan, pemilihan auditee merupakan tahap pertama yang menentukan. Kualitas audit kepabeanan dalam penelitian ini dipahami sebagai usaha DJBC untuk mendapatkan tingkat keyakinan yang memadai (reasonable assurance). Keyakinan yang memadai itu didasarkan pada keahlian auditor kepabeanan untuk mengidentifikasi irregularities dan independensi auditor untuk mengungkapkan ketidakpatuhan auditee dalam asersinya terhadap peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. Dengan memperhatikan tujuan audit kepabeanan untuk mencapai fiscal compliance dan munculnya agency problem dalam sistem self assessment, maka penelitian kualitas audit kepabeanan harus dilihat dari konteks hubungan agency dan sistem self assessment. Penelitian DeFond dan Zhang (2013) sebagai reviu yang lengkap tentang definisi kualitas audit karena menggunakan 560 penelitian empiris kualitas audit, dan memuat pula ringkasan proksi yang digunakan sebagai dependent variable dan independent variable. DeFond dan Zhang (2013) menyatakan bahwa penelitian kualitas audit dalam 15 tahun belakangan fokus pada kompetensi dan independensi. Secara prinsip Donovan et al. (2014) menyebutkan pendapat Friedman (1953) bahwa secara prinsip penentuan kualitas audit dapat dilakukan dengan pendekatan positif atau normatif, kualitas audit sebagai value maka harus memiliki nilai tertinggi bagi para pihak yang berkepentingan dalam lingkungan auditnya, sehingga penggunaan proksi dalam penelitian kualitas audit harus didasarkan pada hubungan kausal yang
150
mencerminkan kualitas audit sebagai nilai. Donovan et al. (2014) menyebutkan bahwa belum mapannya definisi kualitas audit maka pertimbangan implikasi praktis memungkinkan modifikasi model empiris yang diprediksikan. Hal ini terlihat pada model penelitian Suseno (2013) yang menjadikan kompetensi auditor sebagai proksi untuk mengukur kualitas audit sebagai dependent variable, dan menggunakan independensi auditor sebagai independent variable. Dalam penelitian ini kompetensi dan independensi auditor dijadikan sebagai variabel eksogenus (independent variable) dan menambahkan variabel pemilihan auditee dalam konteks positif penelitian audit sektor publik. Proksi yang dipilih untuk mengukur kualitas audit menggunakan temuan audit kepabeanan. Model kausal dalam Gambar 2 menjelaskan hubungan sebab akibat antara pemilihan auditee, kompetensi dan independensi dengan kualitas audit kepabeanan. Kompetensi auditor dibentuk dari pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman yang memadai sehingga auditor memiliki keunggulan dalam praktik audit. Selanjutnya, independensi auditor memiliki unsur utama yaitu intergritas, hal ini merujuk pada pengaruh integritas pada sikap jujur dan tidak bias dalam pengambilan keputusan. Berbeda dengan waktu yang diperlukan auditor kepabeanan untuk menyelesaikan penugasan audit (tenure), memungkinkan adanya peningkatan interaksi dengan auditee sehingga memunculkan adanya gangguan obyektivitas. Reward yang diberikan kepada auditor setelah penyelesaian penugasan dan besarannya didasarkan pada hasil audit untuk tujuan meningkatkan kinerja secara teori memberikan gangguan terhadap integritas. Pemilihan auditee menjadi faktor yang sangat penting dalam pencapaian kualitas audit selain kompetensi dan independensi. Hal ini merujuk pada fakta audit lottery dipicu oleh rendahnya audit coverange. Audit lottery berdampak pada menurunnya voluntary compliance pengguna jasa kepabeanan. Pemilihan auditee dalam audit kepabeanan merupakan bahasan pada penelitian Arkan (2010) dan Rahayu dan Adhariani (2007). Penelitian tersebut memaparkan faktor-faktor yang meningkatkan prediksi temuan audit (hit rate). Konseptual penelitian Arkan (2010) dan Rahayu dan Adhariani (2007) tidak dibangun dalam kerangka kualitas audit kepabeanan.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
Gambar 3 Model Penelitian
Penelitian terkait kualitas audit sangat banyak, namun yang membahas kualitas audit kepabeanan masih sangat jarang. Dari beberapa penelitian terkait audit kepabeanan belum ditemukan penelitian yang membahas pengaruh kompetensi dan independensi auditor kepabeanan serta pemilihan auditee terhadap kualitas audit dengan pengolahan data yang simultan sehingga menggambarkan dinamika fakta praktik kualitas audit kepabeanan. 2.6. Pengembangan Hipotesis 2.6.1. Pengaruh Pemilihan Auditee terhadap Kualitas Audit Kepabeanan Identifikasi Arens dan Elder (2012) tentang risiko pemilihan auditee dalam praktik audit sektor privat harus mempertimbangkan risiko auditee agar kualitas audit yang direncanakan tetap tercapai. Colbert et al. (1996) merinci faktor-faktor yang mempengaruhi risiko bisnis auditee tersebut sebagai indikator risiko bisnis auditee. Transnational Auditors Commitee (2010) berpendapat bahwa pemilihan auditee berpengaruh positif terhadap kualitas audit. Metode pemilihan auditee yang tepat akan meminimalkan selectivity bias (Vellutini, 2009; Julien dan Sasbih, 2010). Berdasarkan penjelasan tentang pentingnya pemilihan auditee dalam mencapai kualitas audit maka hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
H1: Pemilihan auditee (auditee selection) berpengaruh positif terhadap kualitas audit kepabeanan. 2.6.2. Pengaruh Kompetensi Auditor Terhadap Kualitas Audit Kepabeanan Kompetensi dalam penelitian ini dioperasionalisasikan dengan indikator pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman. Indikator-indikator ini berpengaruh positif terhadap peningkatan kualitas audit (DeAngelo,1981; Meinhard et al., 1987; Loeher,2002; Tubbs,1992). Hal ini dikuatkan dengan penelitian Suyani (2009) yang dalam penelitiannya menggunakan variabel pemoderasi tekanan waktu, kompetensi auditor berpengauh positif terhadap kualitas audit perpajakan. Penelitian kualitas audit yang dilakukan Suyono (2012) dan Setyaningrum (2012) yang menggunakan pengalaman sebagai proksi kompetensi, diperoleh hasil berpengaruh signifikan secara simultan. Berdasarkan penjelasan tentang pengaruh kompetensi auditor terhadap pencapaian kualitas audit maka hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut: H2: Kompetensi auditor berpengaruh positif terhadap kualitas audit kepabeanan.
151
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
2.6.3. Pengaruh Independensi Auditor terhadap Kualitas Audit Kepabeanan Audit tenure menurut Dye (1991) dan Mautz dan Sharaf (1961) harus dioperasionalisasi sebagai interaksi yang berlebihan antara auditor dan auditee. Kondisi ini mengancam independensi auditor, objektivitas auditor menurun sehingga kualitas audit tidak tercapai. Performance contingent reward dalam Houlford et al. (2002) dan Eisenberger et al. (1999) akan meningkatkan audit tenure, menurunkan independensi dan memiliki dampak terhadap kualitas audit. Independensi auditor oleh Duska dan Duska (2003) harus dipahami sebagai total independence, tidak hanya pada tingkat individu auditor saja namun juga organisasi. Brooks (2007) menyebutkan integritas sebagai faktor penting independensi untuk meningkatkan kualitas audit. Penelitian Suseno (2013) dan Suyono (2012) menyatakan berpengaruh positif terhadap kualitas audit. Berdasarkan penjelasan tentang pengaruh independensi auditor terhadap pencapaian kualitas audit maka hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut: H3: Independensi auditor berpengaruh terhadap kualitas audit kepabeanan.
3. METODE PENELITIAN
positif
3.1. Model Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang digunakan untuk mengkonfirmasi teori (verify or falsify). Penjelasan yang dipaparkan dalam penelitian bersifat hypothetico-deductive (Chua, 1986). Analisis data dalam metode kuantitatif akan digunakan untuk mengeneralisasi praktik kualitas audit kepabeanan di Indonesia. Model penelitian yang tepat menjadi sangat penting untuk mendapatkan penjelasan yang relevan dan andal berdasarkan data empiris. Penelitian ini menggunakan metode statistik structural equation modeling (SEM). SEM merupakan metode statistik gabungan antara factor analysis yang dalam psikometrik dan model persamaan simultan yang dikembangkan dalam ekonometrik (Ghozali, 2014). SEM digunakan untuk pengujian kasus sebab akibat berdasarkan teori yang dibangun berdasarkan data kuantitatif dengan pengujian yang bersifat simultan bukan piecemeal (Kline, 2011). Kemampuan SEM untuk memecahkan permasalahan asumsi pengukuran dengan mudah merupakan keunggulannya, jika dibandingkan dengan regresi berganda. SEM juga dapat menyajikan modification index yang sangat membantu proses reformulation model karena memberikan arah perbaikan. Berdasarkan re-formulation model maka model yang diperoleh menjadi lebih fit. Dalam penelitian ini faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas audit pada praktik audit kepabeanan adalah auditee selection, auditor competence, dan auditor independence. Faktor-faktor ini disebut latent unobserved, yaitu variabel yang tidak dapat langsung diamati. Setiap variabel laten akan
152
dijelaskan dengan beberapa variabel manifest atau indikator. Variabel endogen laten (variabel terikat) dalam penelitian ini adalah audit quality (AQUAL). Model penelitian dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3 Model penelitian ini menjelaskan hubungan antara variabel pemilihan auditee, kompetensi dan indepedensi auditor terhadap kualitas audit kepabeanan. Masing-masing variabel latent dibentuk oleh beberapa variabel manifest atau indikator. Indikator-indikator inilah yang secara formatif membentuk variabel latennya. Berdasarkan model penelitian pada Gambar 3 maka model struktural penelitian ini diformulasikan sebagai model ekonometrik dalam persamaan struktural 1 dengan β1,β2,β3 adalah koefisien variabel laten dan z = structural error. AQUAL = β1AUSL + β2COMP+ β3INDP+ z
(1)
Variabel eksogen laten auditee selection (AUSL) memiliki 8 (delapan) indikator. Indikator tersebut adalah value of import (IMP), effective commodity tariff (TRF), sum of import duty and international trade taxes (BMP), sum of import declaration (PIB), firm size (SIZ), fiscal and procedural facilities received (FAS), auditee integrity (AIN) dan regulation complexities (RUL). Model pengukuran variabel manifest yang membentuk variabel eksogen laten auditee selection diformulasikan sebagai model ekonometrik dalam persamaan 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dengan λ adalah koefisien variabel manifest dan e adalah measurement error. IMP = λ1AUSL + e1 TRF = λ2AUSL + e2 BMP = λ3AUSL + e3 PIB = λ4AUSL + e4 SIZ = λ5AUSL + e5 FAS = λ6AUSL + e6 AIN = λ7AUSL + e7 RUL = λ8AUSL + e8
(2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)
Variabel eksogen laten auditor competence (COMP) memiliki 4 (empat) indikator. Indikator tersebut adalah accounting, auditing and customs skill (SKI), formal education (EDU), sum of audit assignment (STA) dan experience (EXP). Model pengukuran variabel manifest yang membentuk variabel eksogen laten auditor competence diformulasikan sebagai model ekonometri dalam persamaan 10, 11, 12, 13, dengan δ adalah koefisien variabel manifest dan f adalah measurement error. SKI = δ1COMP + f1 EDU = δ2COMP + f2 STA = δ3COMP + f3 EXP= δ4COMP + f4
(10) (11) (12) (13)
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
Gambar 4 Path Diagram Kualitas Audit Kepabeanan
Variabel eksogen laten auditor independence (INDP) memiliki 4 (empat) indikator. Indikator tersebut adalah auditor integrity (INT), performance contingent reward (REW), audit tenure (TIM), dan pressure (SUR). Model pengukuran variabel manifest yang membentuk variabel eksogen laten auditor independence diformulasikan sebagai model ekonometri dalam persamaan 14, 15, 16, 17, dengan η adalah koefisien variabel manifest dan g adalah measurement error. INT = η1INDP + g1 REW = η2INDP + g2 TIM = η3INDP + g3 SUR= η4INDP + g4
(14) (15) (16) (17)
Variabel endogen audit quality (AQUAL) memiliki 1 (satu) indikator. Indikator tersebut adalah audit yield (YIE). Model pengukuran variabel manifest yang membentuk variabel endogen laten audit quality diformulasikan sebagai model ekonometri dalam persamaan 3.18., dengan α adalah koefisien variabel manifest dan d adalah measurement error. YIE= α1AQUAL + d1
(18)
Model pengukuran dan model struktural secara grafis dapat digambarkan dalam path diagram yang
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
mengikuti model penelitian sebagaimana Gambar 4 Path diagram merupakan penerjemahan dari pengembangan teori yang telah dilakukan sebelumnya. Selanjutnya penelitian dengan SEM, pemodelannya akan berhubungan dengan construct dan factor yang korelasi antar variabelnya harus didasarkan pada teori dan fakta yang relevan. 3.2. Operasionalisasi Variabel Operasionalisasi variabel bertujuan untuk mendapatkan data yang selaras dengan substansi konsep yang telah dirumuskan. Selanjutnya pengukuran harus ditentukan agar variabel yang diteliti dapat dilakukan pengolahan statistik. Tujuan penelitian dapat dicapai dan model penelitian diperoleh. Proksi kualitas audit kepabeanan dalam penelitian ini menggunakan temuan audit sebagai observed variable. Temuan audit tersebut diopersasionaliasikan dengan nilai temuan audit kepabeanan yang dapat diukur dalam satuan moneter yang secara praktis disebut sebagai audit yield. Audit yield merupakan konsekuensi atas pelanggaran yang dilakukan auditee terhadap peraturan kepabeanan berupa jumlah BM dan PDRI kurang bayar serta sanksi administrasi berupa denda. Selanjutnya operasionalisasi indikator dari variabel eksogenus pemilihan auditee, kompetensi
153
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
dan independensi auditor dalam penelitian ini secara ringkas diuraikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Operasionalisasi Variabel Variabel
Indikator
Audit Quality (AQUAL)
Audit Yield (YIE)
Auditee Selection (AUSL)
Firm Size (SIZ) Auditee Integrity (AIN)
Auditee’s Customs Transaction
Regulation (RUL)
Auditor Competence (COMP)
Knowledge (EDU) Skill (SKI)
Audit Assignment (STA) Experience (EXP) Auditor Independence (INDP)
Auditor Integrity (INT) Pressure (SUR)
154
Definisi Operasional Nilai temuan audit kepabeanan yang dapat diukur dalam satuan moneter (Besarnya BM dan PDRI kurang bayar ditambah sanksi administrasi dalam rupiah) Indeks ukuran perusahaan yang diukur dari besarnya ekuitas auditee Indeks kepatuhan auditee yang disusun berdasarkan kriteria manajemen risiko kepabeanan dalam risk engine DJBC Nilai moneter transaksi kepabeanan auditee yang terdiri dari value of import (IMP), sum of import declaration (PIB), effective customs duty tariff(TRF), nilai moneter import and international trade taxes (BMP), indeks customs facilities (FAS). Indeks tingkat kompleksitas peraturan di bidang kepabeanan yang harus dipenuhi auditee. Indeks tingkat pendidikan auditor peroleh dari pendidikan formal. Indeks kompetensi akuntansi, audit dan kepabeanan dengan ukuran tingkat pendidikan akuntansi, pelatihan audit dan teknis kepabeanan. Banyaknya penugasan audit reguler dalam satuan. Lamanya penugasan di unit audit kepabeanan dalam tahun Indeks soft compentency integritas kepegawaian. Indeks banyaknya pihak yang berkepentingan dengan hasil audit.
Sumber Cleary (2011), Irish Tax and Customs (2011), Setyaningr um (2012). Vellutini (2009), OECD (2006), Arens dan Elder (2012), Colbert et.al. (1996), Laporte (2011) Hainey (2009).
IFAC (2104), DeAngelo (1981), Meinhard et.al. (1987), Loeher (2002), Tubbs (1992), Suyani (2009), Suyono (2012), Setyaningr um (2012)
Duska (2003), Brooks (2007), Becker (2009),
Variabel
Indikator Audit Tenure (TIM) Performance Contingent Reward (REW)
Definisi Operasional Jumlah hari yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu penugasan audit.
Sumber Siregar et.al. (2011), Fanny dan Siregar (2007), Houlford et. al. (2002),
Nilai moneter premi yang akan diterima auditor berdasarkan besaran denda administrasi yang dibebankan pada temuan audit.
3.3. Prosedur Pengumpulan Data Data dalam penelitian terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari database Direktorat Audit dan studi dokumen pemilihan auditee dan evaluasi laporan hasil audit. Data sekunder yang diperoleh dari database terdiri dari value of import (IMP), effective commodity tariff TRF), sum of import duty and international trade taxes (BMP), sum of import declaration (PIB), sum of audit assignment (STA) dan experience (EXP), performance contingent reward (REW), audit tenure (TIM), audit yield (YIE). Data sekunder yang diperoleh dengan studi dokumen berasal dari dokumen pemilihan auditee untuk penyusunan Daftar Rencana Obyek Audit (DROA) dan evaluasi laporan hasil audit (LHA) yang terdiri dari firm size (SIZ), fiscal and procedural facilities received (FAS), regulation complexities (RUL), pressure (SUR). Auditee integrity (AIN) diperoleh dari data profiling pengguna jasa kepabeanan yang disusun berdasarkan beberapa kriteria data statis dan dinamis. Studi dokumen terhadap biodata auditor untuk memperoleh data pendidikan dan pelatihan untuk data skill (SKI) dan education (EDU). Data auditor integrity (INT) diperoleh dari data assessment center terkait dengan soft competency integritas. Tabel 3 Satuan Data Penelitian Indikator Value of import (IMP) Effective commodity tariff (TRF) Sum of import duty and international trade taxes (BMP) Sum of import declaration (PIB) Sum of audit assignment (STA) Experience (EXP) Performance contingent reward(REW) Audit tenure (TIM) Audit yield (YIE)
Satuan Data Rupiah Persentase Rupiah Satuan Satuan Tahun Rupiah Hari Rupiah
Sugiyono (2014) menjelaskan bahwa prosedur pengumpulan data dengan pendekatan structured nonparticipant dirancang untuk memperoleh data yang berkualitas karena subjek dan objek penelitian tidak berinteraksi secara intensif. Instrumen penelitian yang dirancang dalam penelitian ini adalah berupa pedoman tabulasi variabel yang telah disiapkan secara teoretis bersifat valid. Berdasarkan sumber data tersebut Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
dilakukan penilaian data berdasarkan Skala Likert dengan ukuran 1 sampai dengan 5. Indikator pada variabel eksogenus pemilihan auditee (AUSL) terdapat tiga indikator yang datanya diperoleh dengan metode penilaian yaitu ukuran auditee (SIZ), integritas auditee (AIN), dan kompleksitas peraturan (RUL). Ukuran auditee (SIZ) digunakan nilai ekuitas dengan skala 1-5 merujuk pada penggolongan modal pada Pasal 3 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/M-DAG/PER/9/2009. Integritas Auditee (AIN) menggunakan ukuran kepatuhan Subdirektorat Intelijen yang direpresentasikan dengan chanelling auditee. Tabel 4 Kriteria Ukuran Penilaian dalam Studi Dokumen Indikator Firm Size (SIZ)
Ukuran yang digunakan 5 4
1
10 milyar rupiah < Besaran Ekuitas 5 milyar rupiah < Besaran Ekuitas < 10milyar rupiah 500 juta rupiah < Besaran Ekuitas < 5 milyar rupiah 50 juta rupiah < Besaran Ekuitas < 500 juta rupiah Besaran Ekuitas < 50 juta rupiah
Auditee Integrity (AIN)
5 4 3 2 1
Sangat patuh sekali (MITA prioritas) Sangat patuh (MITA non prioritas) Patuh (green channel) Kurang patuh (yellow channel) Tidak patuh (red channel)
Complexity of Regulation (RUL)
5 4 3 2 1
Sangat kompleks sekali Sangat kompleks Kompleks Kurang Kompleks Tidak Kompleks
Knowledge (EDU)
5 4 3 2 1
S3 Doktoral S2 Pasca Sarjana S1 Sarjana D3 Diploma III Dibawah Diploma III
Accounting, Auditing, Customs Skill (SKI)
5
Novice (memiliki ketiga ketrampilan dan menjadi narasumber) Proficiency (memiliki ketiga ketrampilan dan menjadi pengajar) Competence (memiliki ketiga ketrampilan) Advanced Beginner (memiliki dua ketrampilan dari tiga) Notice (memiliki salah satu ketrampilan dari tiga)
3 2
4 3 2 1
Auditor Integrity (INT)
5 4 3 2 1
Berintegritas Sangat Tinggi Berintegritas Tinggi Berintegritas Berintegritas Cukup Berintegritas Kurang
Selanjutnya pengukuran kompleksitas peraturan menggunakan pengelompokkan berdasarkan jenis importir dan peraturan fiskal yang relevan. Jenis importir terdiri dari importir produsen dan importir umum. Selanjutnya peraturan fiskal yang relevan adalah peraturan kepabeanan yang mengakibatkan BM dan PDRI ditanggung pemerintah, ditangguhkan dan
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
dibebaskan. Kompleksitas peraturan fiskal dikategorikan sangat kompleks sekali jika importir produsen harus mematuhi lebih dari atau sama dengan dua peraturan yang mengakibatkan BM dan PDRI ditanggung pemerintah, ditangguhkan dan dibebaskan. Kompleksitas peraturan fiskal dikategorikan sangat kompleks jika importir produsen harus mematuhi satu peraturan yang mengakibatkan BM dan PDRI ditanggung pemerintah, ditangguhkan dan dibebaskan. Kompleksitas peraturan fiskal dikategorikan kompleks jika importir produsen harus mematuhi peraturan yang mengakibatkan BM dan PDRI dibayar. Kompleksitas peraturan fiskal dikategorikan kurang kompleks jika importir umum harus mematuhi peraturan yang mengakibatkan BM dan PDRI ditanggung pemerintah, ditangguhkan dan dibebaskan. Kompleksitas peraturan fiskal dikategorikan tidak kompleks jika importir umum harus mematuhi peraturan yang mengakibatkan BM dan PDRI dibayar. Indikator pada variabel eksogenus kompetensi auditor (COMP) diperoleh dengan metode penilaian pendidikan (EDU) dan skill (SKI). Pendidikan (EDU) didasarkan pada pendidikan formal. Skill diukur dari penguasaan akuntansi, audit dan kepabeanan. Indikator pada variabel eksogenus independensi auditor (COMP) terdapat dua indikator yang datanya diperoleh dengan metode penilaian yaitu integritas auditor (INT) dan tekanan (SUR). Integritas auditor (INT) dalam penelitian ini mengikuti skala yang disusun berdasarkan hasil penilaian soft competency oleh assessor dengan menggunakan psikometrik. Tekanan (SUR) dinilai berdasarkan pertimbangan pemilihan auditee yang memungkinkan adanya penekanan alasan suatu auditee diaudit. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari wawancara dengan key personel, pejabat dan ketua auditor yang terlibat dalam pemilihan auditee, dalam proses penunjukan tim audit, pelaksanaan audit kepabeanan dan proses evaluasi laporan hasil audit. Wawancara ini dilakukan untuk melakukan konfirmasi atas hasil penelitian dan mendapatkan feedback. Ketua auditor senior yang diwawancara baik yang masih aktif maupun telah resign. 3.4. Populasi dan Pemilihan Sampel Penugasan audit kepabeanan yang diterbitkan selama tahun 2013 dan 2014 berjumlah 999 surat tugas dengan masing-masing 472 surat tugas pada tahun 2013 dan 527 surat tugas pada tahun 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh LHA yang diselesaikan pada tahun yang sama dengan tahun penerbitan surat penugasan audit. Hal ini merujuk pada pengukuran kinerja auditor dimulai dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember setiap tahunnya, selain itu kinerja audit merupakan suatu rangkaian yang membentuk proses audit dari perencanaan audit sampai dengan pelaporan hasil audit. LHA yang dapat diselesaikan untuk 472 surat tugas pada tahun 2013 berjumlah 330 auditee. 142 LHA lainnya diselesaikan pada tahun 2014, hal ini terjadi karena 113 surat penugasan audit diterbitkan pada
155
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
akhir tahun dan masih tersisanya penugasan tahun lalu sejumlah 29 auditee yang menambah beban kerja (workload) tim audit pada tahun 2013 sehingga 29 auditee baru dapat diselesaikan pada tahun 2014. Surat tugas audit yang diterbitkan tahun 2014 sejumlah 527 surat tugas tercatat 35 surat tugas dibatalkan karena pertimbangan dasar hukum yang belum terkonfirmasi. Selanjutnya LHA yang dapat diselesaikan untuk 492 surat tugas berjumlah 156 auditee. Proses audit pada 336 auditee lainnya belum diselesaikan pada tahun 2014, hal ini terjadi karena 92 surat penugasan audit diterbitkan pada akhir tahun dan 244 penugasan lainnya proses auditnya masih terkendala dengan kapasitas tim yang terpakai untuk penyelesaian penugasan tahun lalu dan terjadinya penurunan kinerja tim audit. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan jumlah LHA tahunan yang rata-rata menurun 15% sampai dengan pada tahun 2013. Penurunan tahun 2014 sebesar 42% dari tahun 2013. Populasi penelitian ini adalah 486 LHA, data penelitian yang diperoleh lengkap hanya 290 auditee atau 196 LHA terdapat missing data. Sampel dalam penelitian ini adalah sejumlah 290, yang secara ringkas diuraikan dalam Tabel 5 Missing data terdapat pada data ukuran auditee sejumlah 118 auditee, data jumlah PIB 10 auditee, data nilai impor 65 auditee dan data riwayat penugasan ketua auditor 3 auditee. Tabel 5 Jumlah Sampel Keterangan LHA yang selesai pada tahun yang sama dengan tahun penerbitan surat penugasan audit tahun 2013 dan 2014 Missing data Jumlah sampel penelitian
Auditee
486 196 290
3.5. Teknik Tabulasi dan Analisis Data Hair et al. (2009) menyatakan beberapa langkah setelah pengembangan model teoretis adalah membangun path diagram dan mengubah path diagram tersebut menjadi persamaan pengukuran dan persamaan struktural. Selanjutnya Hair et al. (2009) menyebutkan langkah setelahnya adalah memilih matrik input dan teknik estimasi, menilai identifikasi model, mengevaluasi estimasi model dan intepretasi model. Teknik estimasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah generalized least square (GLS) dalam program IBM SPSS AMOS versi 22. Hal ini mempertimbangkan besarnya jumlah sampel yang melebihi jumlah sampel maksimal yang diharapkan secara teori yaitu sepuluh kali jumlah indikator (190 sampel). Hal ini merujuk pada Hair et al. (2009) yang menyatakan data sampel yang melebihi sampel maksimal pada teknik estimasi maximum likelihood (ML) akan mengakibatkan masalah normalitas dan nilai Chi-square yang meninggi. Teknik estimasi GLS menurut Curran (1996) tidak membutuhkan asumsi normalitas. Indikator atau variabel manifest disajikan dalam continum data. Ghozali (2014) menyarankan agar data 156
ordinal diubah dalam bentuk data interval agar seluruh data menjadi data metrik. Data metrik dibutuhkan untuk pengolahan data dalam penelitian kuantitatif. Data yang masih dalam bentuk skala likert yang merupakan data ordinal maka diubah dalam bentuk skala interval dengan metode successive interval. Langkah ini merujuk pada skala pengukuran dalam analisis kuantitatif SEM data harus berbentuk continum. Walaupun dapat saja data ordinal dengan skala likert digunakan dengan syarat terdistribusi normal sebagaimana penelitian West et al. (1995) dalam Ghozali (2014). Data yang tidak terpenuhi normalitas maka data akan ditransformasi menggunakan logaritma. Selanjutnya model SEM dapat dijalankan menggunakan data observasi yang tersedia pada aplikasi IBM SPSS AMOS versi 22 dan membaca hasilnya untuk dilanjutkan dengan modifikasi model atau mengintepretasikan model yang sudah fit. Analisis model dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu analisis model pengukuran dan analisis model struktural. Analisis model pengukuran dilakukan dengan menggunakan confirmatory factor analysis (CFA) digunakan untuk menguji multidimensionalitasdari konstruksi teori yang dibangun pada pengembangan model penelitian. Byrne dan Worth (1996) menyebutkan bahwa indikator atau variabel manifest akan diuji validitasnya untuk mengukur konstruk laten (unidimensionalitas). 3.6. Pengujian Asumsi-Asumsi SEM 3.6.1. Uji Convergent Validity dan Discriminant Validity Convergent Validity menurut Santoso (2015) menjelaskan sebuah konstruk. Masing-masing variabel harus memiliki standardized factor loading lebih besar atau sama dengan 0,5. Ukuran lainnya adalah construct reliability yang harus memiliki nilai total lebih besar atau sama dengan 0,7 dan variance extracted memiliki nilai total lebih besar atau sama dengan 0,5. Nilai construct reliability (CR) dan variance extracted (AVE) diperoleh dengan melakukan perhitungan dengan Rumus 3.1. dan Rumus 3.2. Nilai standard loading merupakan nilai standardized regression weight.
Uji validitas diskriminan berbeda dengan uji convergent validity. Uji ini mengharuskan setiap konstruk mempunyai keunikan sendiri. Kuadrat nilai estimasi pada output square multiple correlations harus lebih kecil dari nilai variance extracted masing-masing konstruk.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
Gambar 5 First Order CFA
3.6.2. Uji Normalitas Uji normalitas dalam aplikasi AMOS dapat diperoleh dari assessment of normality yang menjadi keluaran dari hasil pengolahan data. Selanjutnya diteliti critical ratio skewness value jika nilainya diantara + 2,58 pada tingkat signifikansi 0,05 dapat terpenuhi maka data sudah terdistribusi normal secara multivariate. 3.6.3. Evaluasi Outliers Outliers terjadi jika nilai mahalanobis yang lebih besar dari nilai mahalonobis distance maka observasi yang nilainya di atas mahalonobis distance harus didrop dari sampel penelitian (Ghozali, 2014). Mahalonobis distance dapat diperoleh dari nilai Chisquare pada derajat bebas sebesar jumlah indikator dengan tingkat signifikan 0,001. Namun demikian Hair et al. (2009) menyatakan dalam sampel yang besar gejala non normalitas dan outliers dapat diabaikan. 3.6.4. Uji Multikolinieritas Ferdinand (2005) dalam Ghozali (2014) menyatakan bahwa model masih dapat digunakan jika tidak terjadi multikolinieritas, AMOS akan memberikan warning jika nilai determinant of sample covariance matrix tidak terpenuhi atau mengalami gangguan multikolinieritas yang tinggi. Nilai determinant of sample covariance matrix harus di atas nilai nol agar model tidak mengalami gangguan multikolinieritas.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
3.7. Goodness of Fit Indices Tabel 6 Goodness of Fit Indices Kriteria Absolute fit indices Chi Square (λ2) Probabilitas The Minimum Sampel Discrepancy Function/ Degree of Freedom (CMIN/DF) Root Mean Square Error Approximation (RMSEA) Goodness of Fit Index (GFI) Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) Incremental Fit Indices Normed Fit Index (NFI) Relative Fit Index (RFI) Tucker Lewis Index (TLI)
Cut of Value < Chi-square tabel > 0,05 < 2,00 < 0,08 > 0,90 > 0,90 > 0,90 > 0,90 > 0,90
Sumber: Byrne (1998) Browne dan Curdeck (1993), Hair (2006), Arbuckle (2013), Hooper et. al. (2008), Ghozali (2014), Wijanto (2015)
Pengujian selanjutnya melihat keberadaan offending estimate yaitu estimasi koefisien baik dalam model struktural maupun model pengukuran. Kondisi offending estimate terjadi jika nilai error variance negatif, standardized coefficient lebih dari 1.00 dan standar error yang tinggi. Nilai varian yang negatif disebut juga dengan heywood case yang dapat disebabkan oleh adanya data outliers, sample size kurang dari minimal, adanya
157
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
korelasi mendekati 1 atau 0 yang menyebabkan underidentified. Ghozali (2014) menyatakan heywood case dapat dihilangkan dengan memberikan nilai positif kecil (0,005) pada error sebagai tambahan konstrain model. Evaluasi model terakhir adalah mengkonfirmasi model tersebut dengan cut off value kriteria model fit. Adapun kriteria model fit disajikan secara ringkas dalam Tabel 6 terdapat tiga kelompok ukuran yang digunakan sebagai evaluasi. Absolut fit indices mengukur model fit secara bersamaan antara model pengukuran dan model struktural. Incremental fit measure untuk membandingkan proposed model dengan model lain yang dispesifikasikan dalam penelitian. Parsimonious fit measure melakukan adjustment terhadap pengukuran fit untuk diperbandingkan antar model dengan jumlah koefisien yang berbeda.
4.
Gambar 6 Second Order CFA
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Statistik Deskriptif Analisis statistik deskriptif dalam penelitian ini merupakan pemaparan data untuk menggambarkan data yang terkumpul tanpa membuat kesimpulan dan generalisasi. Selanjutnya dilakukan pengungkapan data dalam bentuk ukuran tendensi terpusat yaitu nilai minimal, nilai maksimal, rata-rata dan standar deviasi data observasi sebagaimana terinci dalam Lampiran. Berdasarkan data deskriptif tersebut diperoleh informasi tentang nilai masing-masing variabel sampel yang digunakan dalam penelitian ini. Pada variabel manifest yang terkait dengan pemilihan auditee ratarata nilai impor auditee yang dalam sampel pada Rp675.287.733.795,00. Hal ini menunjukkan rata-rata auditee adalah perusahaan besar dengan nilai perdagangan internasional yang sangat signifikan bagi perekonomian makro Indonesia. 4.2. Analisis Model Pengukuran 4.2.1. Model First Order Confirmatory Factor Analysis Gambar 5 merupakan output CFA dengan teknik estimasi GLS. Intepretasi output CFA ini dilakukan dengan membandingkan nilai estimasi dan cut of value. Model yang ditampilkan secara keseluruhan belum fit untuk analisis parameter sehingga diperlukan modifikasi model. Merujuk text output maka dapat diperoleh informasi data yang belum terdistribusi normal secara multivariate. Nilai mahalanobis distance diperoleh nilai ambang 27,59 (signifikansi 0,05 dan jumlah indikator 17). Beberapa observasi terindikasi yang memiliki nilai mahalanobis-d square lebih dari nilai ambang ini merupakan data outlier. Beberapa catatan output AMOS menginformasikan adanya heywood case pada error variance f3, sehingga pada tahapan second order CFA akan dilakukan modifikasi model. Indikator yang P-value lebih dari 0,05 dan loading factor kurang dari 0,5 akan di-drop.
158
4.2.2. Model Second Order Confirmatory Factor Analysis Berdasarkan first order CFA maka dilanjutkan second order CFA. Second order CFA merupakan reformulasi model untuk memperbaiki goodness of fit model penelitian. Gambar 6 merupakan output AMOS setelah proses reformulasi model. Reformulasi model dilakukan dengan melakukan penghapusan indikator yang sesuai kriteria yang ditentukan tidak valid.
Berkenaan dengan distribusi normal multivariate yang belum terpenuhi, dalam penelitian ini diabaikan karena metode estimasi GLS SEM tidak memerlukan asumsi ini untuk dipenuhi. Heywood case pada error variance f3 diabaikan karena variabelnya telah di-drop karena rendahnya standardized loading factor. Indikator pada variabel laten pemilihan auditee (AUSL) yang tidak diikutsertakan dalam analisis lebih lanjut adalah tarif efektif komoditas (TRF), fasilitas kepabeanan (FAS), integritas auditee (AIN), dan kompleksitas regulasi (RUL). Indikator pada variabel laten kompetensi auditor (COMP) yang diikutsertakan dalam analisis lebih lanjut hanya indikator pengalaman (EXP). Indikator lainnya, pendidikan formal (EDU) penguasaan akuntansi, audit dan kepabeanan (SKI) tidak diiktsertakan. Indikator pada variabel laten independensi auditor (INDP) yang diikutsertakan dalam analisis lebih lanjut hanya indikator performance contingent reward (EXP). Indikator waktu penyelesaian audit (TEN) dan tekanan (SUR) tidak diikutsertakan. Hasil output pada proses second order CFA akan dihitung nilaiconstruct reliability (CR) dan variance extracted (AVE). CR dan AVE sebagai alat untuk uji convergent validity dan discriminant validity seperti terinci dalam Tabel 7. Dapat disimpulkan bahwa secara model ketiga konstruk memiliki konvergensi untuk menjelaskan kualitas audit. Discriminant validity yang menunjukkan nilai Rsquare masing-masing konstruk, masih dibawah nilai variance extracted yang
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
menunjukkan ketiga konstruk dapat dibedakan satu dengan lainnya. Tabel 7 Hasil Uji Convergent Validity Kriteria Cut off Value AUSL COMP INDP AQUAL
CR >0,7 0,963 1,000 1,000 1,000
Tabel 8 Hasil Evaluasi Model Struktural Cut of Value
Absolute fit indices Chi Square (λ2) <19,675 Probabilitas > 0,05 CMIN/DF < 2,00 RMSEA < 0,08 Goodness of Fit > 0,90 Index (GFI) AGFI > 0,90 Incremental Fit Indices Normed Fit Index > 0,90 (NFI) Relative Fit Index > 0,90 (RFI) Tucker Lewis > 0,90 Index (TLI) Parsimonous Fit Measure Parsimonious Goodness of Fit 0 – 1,0 Index (PGFI)
Gambar 7 Output Model Struktural
AVE >0,5 0,768 1,000 1,000 1,000
Uji Multikolinieritas adalah pengujian asumsi terakhir yang diukur dari nilai determinant of sample covariance matrix. Jika nilainya di atas 0 (nol) maka tidak terjadi gangguan multikolinieritas. Selanjutnya dalam output model tahap kedua nilai determinant of sample covariance matrix adalah 0,00000015, walaupun sangat kecil namun masih di atas 0 (nol) dan AMOS tidak memberikan warning. Data layak untuk digunakan untuk prediksi model. Selanjutnya evaluasi model dalam Tabel 6 menunjukkan semua ukuran indikator pada absolute fit, incremental fit dan parsimonious fit menunjukkan perbaikan dan secara keseluruhan dapat disimpulkan model sudah fit.
Kriteria
Hal yang sama juga ditunjukkan kelompok ukuran
Estimasi
Simpulan
23,432 0,015 2,130 0,063 0,977
marginal fit marginal fit marginal fit good fit good fi
0,941
good fit
0,920
good fit
0,848
marginal fit
0,931
good fit
0,384
good fit
4.3 Analisis Model Struktural Analisis model struktural menghasilkan output pada Gambar 7 Evaluasi model dalam model struktural hampir sama dengan output CFA second order. Tabel 8 menunjukkan semua ukuran indikator pada absolute fit indices, incremental fit indices dan parsimonious fit measure menunjukkan perbaikan. Hal ini dapat dilihat dari semakin mengecilnya Chi Square (λ2) mendekati nilai cut of value-nya, dan probabilitas yang semakin besar. Kesimpulan model naik menjadi marginal fit. Selanjutnya nilai CMIN/DF, GFI, AGFI semakin tinggi melampaui nilai 0,90 dan RMSEA mengecil dibawah 0,08. M, sehingga semua ukuran ini good fit. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
incremental fit indices, nilai NFI dan TLI meningkat menjadi good fit dan RFI menjadi marginal fit. Kelompok ukuran parsimoni PGFI masih sama good fit walaupun nilainya menurun. Berdasarkan uraian ini, secara keseluruhan dapat disimpulkan, model sudah fit dan dapat digunakan untuk memprediksi hipotesis. 4.4 Analisis Pengaruh Pemilihan Auditeeterhadap Kualitas Audit Kepabeanan Pengaruh pemilihan auditee terhadap kualitas audit kepabeanan memiliki standardized loading factor 0,12 kurang dari nilai cut off 0,5 walaupun memiliki Pvalue signifikan dibawah nilai 0,001. Dapat disimpulkan pemilihan auditee tidak berpengaruh terhadap kualitas audit kepabeanan sehingga hipotesis pertama tidak terbukti. Dalam observasi yang dilakukan dalam penelitian ini didapatkan fakta bahwa dalam pemilihan auditee yang dilakukan Direktorat Audit DJBC belum didasarkan pada best practice pemilihan auditee atau biasa disebut selectivity. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Arkan (2010) dalam penelitiannya. Best practice dalam audit kepabeanan mendorong setiap otoritas kepabeanan untuk tahapan pemilihan auditee dapat dikembangkan suatu pendekatan yang lebih efektif dan memiliki pembakuan metode pemilihan auditee. Efektifitas audit kepabeanan harus diarahkan pada tujuan organisasi kepabeanan sebagai institusi fiskal yaitu fiscal compliance. Secara sistematis formulasi strategi DJBC berkenaan dengan fiscal compliance dalam periode penelitian yaitu 2013 dan 2014 dapat dikategorikan sebagai economic deterrence approach. Hal ini dapat dijelaskan dengan ukuran kualitas audit yang masih ditumpukan secara massive kepada ukuran audit yield. Selain itu, juga penggunaan instrumen kepatuhan lainnya seperti penindakan (hard law enforcement) yang bersifat agresif. Konsepsi kepatuhan dalam strategi DJBC secara keseluruhan berfokus pada aspek
159
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
ekonomi. Dalam praktik audit kepabeanan, auditor sering mendapatkan tekanan dari para pejabat organisasi auditor untuk memenuhi audit yield. Fokus pada detterence effect memiliki konsekuensi pada perubahan perilaku pengguna jasa kepabeanan. Hal ini didukung dengan fakta yang ditemukan dalam penelitian ini adalah semakin naiknya kinerja konsultan kepabeanan terkait pendampingan audit kepabeanan. Tren kasus banding atas tagihan audit kepabeanan di pengadilan pajak, auditor kepabeanan dikalahkan karena pembuktian dan prosedur audit yang lemah. Auditee dapat melakukan pendekatan cost and benefit approach untuk memilih manfaat patuh atau tidak patuh terhadap peraturan perundangan di bidang kepabeanan. Risiko auditee termasuk didalamnya risiko terdeteksi dalam audit dan menanggung sanksi. Hal ini sejalan dengan penelitian Roth dan Scholz dalam Devos (2014) tentang efektivitas economic deterrence model seperti yang dijalankan oleh DJBC. Fiscal psychology model yang dikembangkan Devos (2004) dengan mengkombinasikan economic deterrence model dengan behavioral modelbisa menjadi alternatif model alternatif. Dalam pendekatan fiscal psychology model auditee akan diarahkan pada kecenderungan untuk tidak akan memaksimalisasikan utilitasnya tanpa mempertimbangkan nilai dan norma sosial yang diyakini. Model ini sejalan dengan model risk based audit dan praktik manajemen risiko kepabeanan dengan mengefektifkan risk profile auditee. Pendekatan baru dapat dilakukan dengan mengikuti saran Kinsey dalam Devos (2014) untuk menganalisis kepatuhan dari titik sosiologis, psikologis, dan hukum. Risk profile auditee dilakukan dengan difokuskan pada sikap individu dalam norma sosial. Hal ini merujuk perilaku auditee tertentu yang memiliki batasan kode etik untuk tidak memanfaatkan celah hukum atau bahkan ketika pelanggarannya tidak terdeteksi. Namun demikian sistem compliance yang disarankan tetap harus mempertimbangkan economic benefit dari risiko ketidakpatuhan yang mungkin akan dimanfaatkan oleh auditee yang tidak memiliki standar etik yang baik. Pemahaman selanjutnya yang harus dipahami oleh para pengambil kebijakan kepabeanan yaitu asumsi yang harus dibangun dalam prinsip self assessment dalam kebijakan fiskal di Indonesia. Asumsi dasar sistem self assessment adalah terbentuknya trust system. Terbentuknya trust system ditandai dengan tumbuhnya trustworthy environment. Kejujuran wajib pajak atau pengguna jasa kepabeanan untuk menginformasikan kondisi ekonomi yang sebenarnya terjadi sebagai dasar penentuan nilai setoran pajak dan bea masuk ke negara Audit kepabeanan juga harus memiliki keunggulan untuk memitigasi risiko kepatuhan dari keseluruhan proses bisnis kepabeanan. Hasil rekomendasi audit kepabeanan dapat menyarankan pemberian pertimbangan auditee untuk diberikan atau dicabut
160
fasilitasnya. Ada reward bagi auditee yang berdasarkan kriteria peraturan perundang undangan di bidang kepabeanan terkait fasilitas kepabeanan dan punishment bagi yang tidak patuh sebagaimana direkomendasi oleh ICAEW (2005). Indikator atau variabel manifest seperti nilai impor (IMP), nilai bea masuk dan PDRI (BMP), jumlah asersi kepabeanan (PIB) dan ukuran perusahaan (SIZ) signifikan menjelaskan variabel laten eksogen pemilihan auditee (AUSL). Ketiga indikator ini terkait dengan volume atau nilai besaran yang terkait langsung dengan kapasitas jam audit yang tersedia. Pemilihan auditee juga harus mempertimbangkan aspek coverage. Rendahnya audit coverage memicu audit lottery bagi auditee sehingga menimbulkan peluang ketidakpatuhan. Alternatif solusi yang mungkin dapat dipilih adalah dengan mengevaluasi efektivitas pelaksanaan audit. Praktik audit kepabeanan tidak menggunakan pendekatan risiko dalam pelaksaan audit. Test of control dilakukan sebagai formalitas saja karena substantive test dilakukan 100% populasi bersifat mandatory. Hal ini diperkuat dengan rata-rata penyelesaian audit 150 hari dari target 90 hari. Pada tahun 2014 setelah kebijakan sentralisasi auditor diimplementasikan, kinerja penyelesaian audit tercatat 156 LHA dari tahun 2013 sebanyak 330 LHA. Penambahan jumlah auditor kepabeanan tidak lagi menjadi satu-satunya solusi untuk menambah kapasitas pelaksanaan audit kepabeanan. Arah indikator auditee integrity (AIN) yang arahnya positif memberikan intepretasi bahwa jika semakin tinggi integritas auditee maka semakin besar pelanggaran. Hal ini tidak konsisten dengan penyusunan risk profile yang diberikan oleh unit intelijen, kemungkinannya adalah perlu perbaikan metode penyusunan risk profile atau lakukan penelitian terhadap auditee patuh atas kemungkinan adanya pembebanan peraturan melebihi yang seharusnya dibebankan terhadap auditee. Selanjutnya metode pemilihan auditee dalam praktik audit kepabeanan selama ini masih menggunakan teknik screening. Penggunaan informasi informal seringkali mengabaikan saran dari Unit Riset dan Analisis pada Subdirektorat Perencanaan Audit. Pengolahan data terbatas hanya untuk memetakan potensi tagihan audit. Unit Riset dan Analisis pada Subdirektorat Perencanaan Audit dalam pemilihan auditee menggunakan pendekatan random berdasarkan pengolahan data dengan pendekatan kategorial. Selain itu juga menyediakan pula data berdasarkan scoring pada kriteria sebagaimana digunakan sebagai indikator dalam penelitian ini. Terkait dengan data keuangan auditee yang digunakan datanya belum termutakhirkan misalnya untuk pemilihan auditee tahun 2014 menggunakan data keuangan tahun 2010. Penelitian ini menggunakan data keuangan ekuitas karena memiliki nilai yang relatif stabil. Pengembangan metode pemilihan auditee harus dilakukan penelitian lebih lanjut. Hal ini merujuk pada
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
bukti empiris dalam penelitian Vellutini (2009) bahwa metode random menghasilkan audit yield dan detterence effect yang lebih rendah dibandingkan dengan metode screening. Direktorat Audit dapat mengembangkan pemilihan auditee berbasis risiko sebagaimana disarankan oleh OECD (2006). Risk based audit harus di fokuskan kepada auditee yang tidak patuh. Teknik ini dapat dilakukan dengan pengembangan kriteria kualitatif seperti informasi dalam metode screening yang menggunakan informasi intelligence dan kriteria yang dibangun dengan menggunakan statistik yang robust. Langkah awal yang dapat ditempuh adalah membangun database yang menampung baik data internal dan data eksternal yang relevan yang mutakhir. Kegiatan pre-audit yang telah dijalankan dapat difungsikan untuk mendapatkan data tersebut. Selanjutnya adalah pengembangan atribut dan teknik statistik yang digunakan dalam pemilihan auditee. Atribut yang digunakan oleh Colbert et al. (1996) terkait risiko bisnis auditee dengan variabel data integritas auditee, operasional dan kondisi keuangan auditee, dan aspek regulasi yang mengatur industri auditee. Dengan perluasan pada aspek yang lebih luas misalnya regulasi dalam keseluruhan aspek proses bisnisnya tidak parsial misalnya menambahkan regulasi non kepabeanan. Teknik statistiknya dengan pengembangan teknik statistik prediksi atau melakukan benchmarking ke Irish Tax & Customs yang mengembangkan yield prediction model yang memahami auditee dari prespektif kepatuhan dengan likelihood to yield, likely amount of yield dan likelihood to liquidate. Kebijakan strategis terkait pemilihan auditee harus diikuti dengan kebijakan pemisahan fungsi pemilihan auditee dan pelaksanaan audit. Hal ini untuk menjaga agar tidak ada conflict of interest para pejabat struktural yang terlibat pada tahapan pemilihan auditee ini yang sangat rawan dengan praktik korupsi sehingga kualitas pemilihan auditee dijaga. Praktik audit yang dilakukan pejabat yang terlibat dalam pemilihan auditee harus dihindari. Penyesuaian organisasi seperti di HMRC Inggris dengan memisahkan risk assesment unit yang bertugas untuk mengintegrasikan database dengan pelaksanaan audit dan investigasi serta operasional lainnya. Risk assesment unit bahkan memberikan dukungan data dan informasi tidak hanya pada audit kepabeanan saja namun lebih luas ke seluruh proses bisnis sehingga basis kebijakannya didasarkan pada asumsi yang sama sehingga keselarasan kebijakan dapat tercapai. 4.5 Analisis Pengaruh Kompetensi Auditor terhadap Kualitas Audit Kepabeanan Pengaruh kompetensi auditor terhadap kualitas audit kepabeanan memiliki standardized loading factor kurang dari nilai cut off 0,5 dan memiliki P-value lebih besar dari 0,05. Dapat disimpulkan kompetensi auditor tidak berpengaruh terhadap kualitas audit kepabeanan sehingga hipotesis kedua tidak terbukti. Penyelidikan terkait dengan indikator-indikator yang menjelaskan
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
pengukuran terhadap variabel laten eksogen kompetensi auditor diperlukan. Temuan ini sejalan dengan penelitian Adityasih (2010) yang menyatakan pengalaman memiliki korelasi negatif dan signifikan. Terdapat 4 (empat) indikator kompetensi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendidikan (EDU), penguasan akuntansi, audit dan kepabeanan (SKI), penugasan audit (STA) dan pengalaman (EXP). Dari empat indikator ini hanya indikator pengalaman yang valid membentuk kompetensi. Secara teori ini dianggap sebagai penyimpangan, namun secara praktis perlu penjelasan fenomena ini. Implementasi kebijakan sentralisasi auditor dan fungsionalisasi berdampak secara psikologis. Hilangnya jabatan struktural disertai dengan penurunan total benefit yang dimiliki sebelum kebijakan tersebut. Auditor kepabeanan memiliki rata-rata pengalaman sebagai auditor lebih dari 14 tahun. Penurunan kinerja auditor senior ini merupakan gejala fatigue dalam penugasan audit kepabeanan. Hal ini juga didukung data kenaikan jumlah auditor senior yang mengajukan pengunduran diri. Kinerja rendah dan adanya keinginan untuk keluar yang tinggi mendorong auditor berpotensi premature sign off. Penanaman komitmen organisasional dan perbaikan penataan pegawai auditor perlu dirumuskan. Fenomena resign yang bersifat disfungsional dapat dihindari. Hal ini dapat dilihat profil auditor yang resign adalah auditor yang memiliki kompetensi tinggi, sehingga keluarnya auditor tersebut bersifat disfungsional yang akan mempengaruhi kinerja organisasi. Terkait dengan pendidikan berdasarkan paparan statistik deskriptif rata-rata auditor dalam penelitian ini berpendidikan sarjana. Tingkat pendidikan yang tinggi menjadi modalitas yang sangat penting bagi organisasi. Penguasaan (skill) masuk dalam kategori kompeten sesuai dengan prasyarat minimal yang dituntut dalam standar umum audit. Penunjukkan tim audit dalam praktik memang belum memiliki kriteria yang baku dan valid. Hal ini yang menjelaskan alasan kompetensi sebagai variabel yang mapan dalam penelitian kualitas audit namun dalam penelitian ini justru memiliki perbedaan temuan dengan teori. Dalam praktik penunjukkan tim audit sangat tergantung pada subyektivitas personal in charge yang memiliki tugas penerbitan surat tugas audit. Pertimbangan keahlian teknis terkait dengan nature of business auditee dan pengalaman auditor atau kriteria lainnya dikomitmenkan secara kosisten. Namun demikian pertimbangan personal pejabat struktural seringkali menentukan penunjukkan tim audit, beberapa kasus dengan pertimbangan pembinaan dan mengadopsi kepentingan pribadi auditor yang tidak memiliki conflict of interest auditor bersangkutan. Tingkat penyelesaian audit sebelumnya menjadi salah satu pertimbangan utama yang sudah menjadi kebijakan pimpinan. 4.6 Analisis Pengaruh Independensi terhadap Kualitas Audit Kepabeanan
Auditor
161
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
Pengaruh independensi auditor terhadap kualitas audit kepabeanan memiliki standardized loading factor 0,921 lebih dari nilai cut off 0,5 dan memiliki P-value signifikan dibawah nilai 0,001. Dapat disimpulkan independensi auditor berpengaruh positif terhadap kualitas audit kepabeanan sehingga hipotesis ketiga terbukti. Hanya performance contingent reward yaitu pemberian premi atas hasil audit (REW) yang valid membentuk variabel laten independensi. Hal ini sejalan dengan tujuan penerbitan PMK terkait yaitu kinerja dan menjaga integritas pegawai (otonomi), ditunjukkan secara statistik performance contingent reward berkorelasi positif dengan variabel laten eksogen independensi auditor. Fakta empiris nilai pembagian premi audit dalam peraturan menteri keuangan dengan batas maksimal. Batas maksimal ini masih belum mengganggu independensi auditor bahkan membentengi independensi auditor dalam penugasan dari tindakan suap dari auditee. Mempertimbangkan praktik terbaik internasional Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.04/2011 tentang premi perlu diperbaiki terkait dengan mekanisme pemberian premi kepada auditor. Misalnya prasyarat kondisi-kondisi yang mendorong praktik audit kepabeanan semakin baik seperti mensyaratkan adanya tahapan audit reviu atas pekerjaan auditor telah selesai dan memenuhi standar dan terjamin kualitas auditnya. Sehingga tagihan audit yang tinggi diyakini bukan karena bentuk pembebanan yang berlebihan karena motivasi yang tidak dibenarkan. Besaran maksimal premi dapat pula dikaji ulang, karena masih memungkinkan untuk dinaikkan dan sebaiknya ada korelasi dengan pengukuran kinerja lain yang lebih memberikan pengaruh positif dalam pengembangan diri auditor seperti pelatihan internasional, pemberian beasiswa dan promosi. Sehingga reward tidak terkait dengan pemberian bonus uang yang seringkali misleading dengan tujuan pemberian reward tersebut. Praktik internasional terkait kompensasi auditor pajak atau kepabeanan yang seharusnya kompensasi tidak berhubungan langsung dengan jumlah tagihan audit dan denda yang diperoleh (audit yield) harus pula dirumuskan dengan baik dalam regulasi. Sehingga penjagaan prinsip fairness yang terbangun karena merujuk adanya nilai tagihan yang fantastis yang diindikasikan ada motivasi auditor untuk memaksimalisasikan bonus. Sejalan dengan penelitian DeFond dan Zhang (2013) penelitian ini juga mengungkap pengaruh yang kuat faktor audit fee terhadap kualitas audit dengan nilai signifikansi yang sangat tinggi. Integritas auditor kepabeanan walaupun secara statistik tidak valid membangun konstruk independensi auditor. Hal ini mengingat integritas auditor menjadi modalitas bagi terciptanya lingkungan audit yang mendukung pencapaian kualitas audit kepabeanan. Ke depan pengukuran integritas dapat menggunakan data primer dengan metode pengumpulan data integritas yang lebih
162
menggambarkan fakta. Kondisi lingkungan hukum yang belum mapan dan praktik kepabeanan yang berpotensi tindak koruptif maka integritas menjadi faktor yang sangat penting. Integritas adalah pembentuk independensi auditor memiliki multiplier effect dalam pencapaian total independence. Karena integritas menjamin memunculkan sikap jujur dan objektif. Jujur berimplikasi pada akurasi dalam pengumpulan data, pengukuran, pelaporan dan inteprestasi data dalam pelaksanaan audit kepabeanan. Selanjutnya objektivitas auditor kepabeanan mampu menciptakan sikap bebas dari bias dalam pengambilan keputusan audit sehingga kualitas audit dapat diperoleh dalam praktik audit kepabeanan. Selanjutnya indikator audit tenure (TIM) yang memiliki rata-rata 150 hari bukan merupakan gangguan terhadap independensi auditor. Hasil ini sejalan dengan penelitian Davis et al. (2002) sehingga panjangnya penyelesaian waktu audit merupakan usaha auditor untuk mencapai efektivitas pencapaian tujuan audit, sehingga tidak menimbulkan biaya tambahan karena kualitas audit yang direncanakan tidak tercapai. Auditor kepabeanan sangat memperhatikan pemenuhan hak-hak keuangan negara dalam praktik audit kepabeanannya. Hal ini didukung dengan secara administrasi auditor akan mengajukan pertimbangan penambahan waktu kepada organisasi auditor. 4.7 Robustness Test Uji sensitivitas untuk menguji robustness hasil empiris penelitian. Uji sensitivitas dalam penelitian ini adalah dengan mengganti indikator temuan audit (YIE) dengan ukuran langsung yaitu pemenuhan prosedur sesuai standar (reliability to procedure, PRO) sebagaimana penelitian Suseno (2013). Indikator pemenuhan prosedur (PRO) ini datanya merupakan data skunder yang diperoleh dari studi dokumen terhadap reviu LHA dengan 1 jika tidak terpenuhi prosedur sampai dengan 5 jika terpenuhi seluruh prosedur audit sesuai standar audit kepabeanan. Pada Tabel 9 menunjukkan hampir semua ukuran indikator pada absolute fit mengalami perbaikan, sedangkan pada incremental fit dan parsimonious fit terdapat sedikit penurunan namun tidak mengubah goodness of fit model. Berdasarkan hasil evaluasi model tersebut diperoleh model yang lebih baik namun tidak terdapat perbedaan pengaruh ketiga konstruk terhadap kualitas audit kepabeanan terlihat dari nilai standardized loading factor pada Gambar 8.
Tabel 9 Hasil Evaluasi Model Struktural pada Robustness Test Kriteria Absolute fit indices Chi Square (λ2)
Cut of Value <19,675
Estimasi
Simpulan
20,361
marginal fit
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
Probabilitas
> 0,05
0,041
The Minimum Sampel Discrepancy Function / Degree of Freedom (CMIN/DF) Root Mean Square Error Approximation (RMS EA) Goodness of Fit Index (GFI) Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) Incremental Fit Indices Normed Fit Index (NFI) Relative Fit Index(RFI) Tucker Lewis Index (TLI) Parsimonous Fit Measure
< 2,00
1,851
marginal fit good fit
< 0,08
0,054
good fit
> 0,90
0,980
good fit
> 0,90
0,949
good fit
> 0,90
0,918
good fit
> 0,90
0,843
> 0,90
0,921
marginal fit good fit
Parsimonious Goodness of Fit Index (PGFI)
0 – 1,0
0,385
good fit
5. KESIMPULAN Gambar 8 Output Model Struktural pada Robustness Test
dalam kebijakan pemilihan auditee dan menurunkan kualitas penyusunan strategi audit di tingkat organisasi serta implementasinya. Hipotesis kedua (H2) tidak terdukung, dalam penelitian ini kompetensi auditor (COMP) tidak signifikan mempengaruhi kualitas audit dalam praktik audit kepabeanan (AQUAL). Ada indikasi fatigue pada auditor senior sehingga perlu pembenahan dalam manajemen sumber daya manusia untuk memperkuat komitmen keorganisasiannya. Hal ini juga sejalan dengan temuan Adityasih (2010) yang menyatakan pengalaman sebagai proksi kompetensi auditor di 100 KAP di Indonesia pada tahun 2008 dan 2009 tidak berpengaruh signifikan dengan alasan fatigue karena sebagian besar adalah akuntan publik yang berusia di atas 50 tahun. Penyebab fatigue auditor kepabeanan lebih pada turunnya total benefit baik secara financial dan non financial setelah kebijakan sentralisasi dan fungsionalisasi auditor kepabeanan pada tahun 2013 dan 2014. Hipotesis ketiga (H3) terdukung, dalam penelitian ini independensi auditor (INDP) signifikan dan berpengaruh positif terhadap kualitas audit dalam praktik audit (AQUAL). Kompensasi berupa bonus juga masih dapat dianggap wajar namun perlu pembenahan terkait mekanisme pemberiannya sehingga tidak menyimpang dari substansi kebijakannya, tagihan audit sebagai dasar pemberian premi tidak sesuai dengan praktik terbaik dan memiliki potensi gangguan terhadap independensi dan integritas auditor. Pembinaan integritas harus berjalan selaras dengan penjagaan independensi auditor. Selain itu tingkat penyelesaian audit rata-rata 150 hari berpotensi untuk menganggu independensi karena interaksi yang terlalu intensif dengan auditee perlu perhatian tersendiri. Pada uji sensitivitas dengan mengganti indikator temuan audit pada kualitas audit kepabeanan dengan indikator pemenuhan prosedur yang merupakan pengukuran langsung diperoleh model yang lebih baik. Namun tidak mengubah pengaruh ketiga variabel eksogen terhadap kualitas audit kepabeanan.
6. IMPLIKASI DAN KETERBATASAN
Hipotesis pertama (H1) tidak terdukung, dalam penelitian ini pemilihan auditee (AUSL) tidak signifikan mempengaruhi kualitas audit dalam praktik audit (AQUAL). Dalam observasi yang dilakukan dalam penelitian ini didapatkan fakta bahwa dalam pemilihan auditee yang dilakukan Direktorat Audit DJBC belum didasarkan pada best practice pemilihan auditee. Dalam praktiknya belum ada suatu pendekatan yang efektif dan pembakuan metode pemilihan auditee. Pemilihan auditee masih banyak didominasi dengan metode screening dibandingkan dengan menggunakan metode prediksi statistik yang robust. Tata kelola organisasi audit yang belum sesuai dengan praktik terbaik kepabeanan berpotensi conflict of interest
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
6.1. Implikasi dari Hasil Penelitian DJBC perlu melakukan pengembangan pembinaan independensi. Kebijakan pemberian premi audit yang sekarang berjalan sebagai paket kebijakan financial benefit harus dikaji perubahan mekanismenya karena memiliki potensi gangguan independensi dan integritas auditor. Selain itu kebijakan penyelesaian audit harus diperpendek sehingga tidak terjadi gangguan integritas dengan memperhatikan evaluasi strategi audit tim dan pemenuhan prosedur audit yang lebih principle based dibanding bersifat rule based. 6.2. Keterbatasan Penelitian dan Saran Penelitian Selanjutnya Penelitian ini tidak dibangun sebagai penelitian untuk tujuan prediksi audit yield sehingga pada penelitian selanjutnya pada indikator yang tidak valid dalam variabel laten pemilihan auditee tetap dapat
163
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
digunakan. Selanjutnya pengembangan sampel yang lebih luas dengan melibatkan persepsi stakeholder dan data primer memungkinkan adanya temuan penelitian yang lebih bermanfaat untuk menguatkan konsepsi kualitas audit kepabeanan.
DAFTAR PUSTAKA Arbuckle, J. L. (2013). IBM® SPSS® Amos 22 User's Guide. Crawfordville: Amos Development Corporation. Anderson, J.C. dan Gerbing, D.W. (1984).The Effect of Sampling Error on Convergent, Improper Solution, and Goodness of Fit Indices for Maximum Likelihood Factor Analysis.Psychometrica Vol. 49. AICPA (2012).Contingent Fee Audit Arragements. Diunduh 10 Juli 2015www.aicpa.org/advocacy/tax/statelocal /downloadabledocument Adityasih, A. (2010). Analisis Pengaruh Pendidikan Profesi, Pengalaman Auditor, Jumlah Klien (Audit Capacity) dan Ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP) terhadap Kualitas Audit. Tesis Magister Akuntansi Universitas Indonesia. Arkan, M.M. (2010). Analisis Penggunaan Benford’s Law dalam Perencanaan Audit pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.Simposium Nasional Akuntasi XIII. Arens, A.A.,dan Elder, R.J. (2012).Auditing and Assurance Services, 14th Edition. Englewood: Prentice Hall. Arvis, J.F., Saslavsky, D., Djala,L.,Stephard, B., Busch, C., Raj, A., (2014) Connecting to Compete 2014 Trade Logistics in the Global Economy: The Logistics Performance Index and Its Indicators. World Bank. Badan Pemeriksa Keuangan (2007). Standar Pemeriksaan Keuangan Negara. BPK RI. Bahagia, S.N., Sandae, H., dan Meeuws, R. (2013). State of Logistics Indonesia 2013.World Bank. Becker, G.K. (2009). Integrity as Moral Ideal and Business Benchmark.Journal of International Business Ethics. Brooks, L.J. (2007). Business & Professional Ethics for Directors, Executives, & accountants.Thomson South Western. Chua, W.F., (1986). Radical Developments in Accounting Thought.The Accounting Review, LXI (4). Center for Economic Policy Research Team (2005).Technical Report Risk Management Diagnostic Report: The Bureau of Customs.USAID. Cleary, D (2011). Predictive Analytics in the Public Sector: Using Data Mining to Assist Better Target Selection for Audit. Journal of eGovenrment, Irish Tax and Customs. Colbert, J.L., Michael, S.L., dan Moreland, K. (1996). Engagement Risk.The Journal Global Vol. 66 (3).
164
Defond, M. dan Zhang, J. (2013). A Review of Archival Auditing Research.University of Southern California. Donovan, J., Frankel, R., Lee, J., Martin, X., dan Seo, H. (2014). Issues Raised by Studying DeFond and Zhang: What Should Audit Researchers Do?.Journal of Accounting and Economics Vol. 58.Elsevier. DeAngelo, L. (1981). Auditor Size and Audit Quality.Journal of Accounting and Economics, 3 (July). Deis Jr, D.R., dan Giroux, G.A. (1992).Determinants of Audit Quality in the Public Sector.The Accounting Review, 67 (July), 462-479. Deci, E.L., dan Ryan, R.M. (1985). Intrinsic Motivation and Self Determination in Human Behavior.Plenum, New York. Deloitte (2012).Feasibility Study on the Evaluation of the State of the EU Customs Union.Deloitte Belgium. Devos, K. (2014). Factors Influencing Individual Taxpayer Compliance Behaviour.Springer. Dreyfus, S.E. (2011). The Five-Stage Model of Adult Skill Acquisition.Bulletin of Science, Technology & Society. Duff, A. (2004).Auditqual: Dimensions of Audit Quality. The Institute of Chartered Accountants of Scotland. Duska, R., Duska, B.S., Ragatz, J. (2011). Accounting Ethics.Blackwell Publishing. Dye, R. (1991).Informationally motivated Auditor Replacement.Journal of Accounting and Economics Vol. 14. Eisenberger, R., Pierce, W.D., dan Cameron, J. (1999).Effects of Reward on Intrinsic MotivationNegative, Neutral, and Positive.Psychological Bulletin (125). European Commission (2012).Fight Against Fraud Annual Report. Commission Staff Working Document European Parliament. Eisenhardt, K.M., (1989). Agency Theory: An Assessment and Review. The Academy of Management Review, Vol. 14, No. 1. Fanny, M., dan Siregar, S. (2007). Pengaruh Pergantian dan Jangka Waktu Penugasan Auditor terhadap Kualitas Laba: Studi pada Emiten Bursa Efek Jakarta. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia. Francis, J.R. (2004).What Do We Know About Audit Quality. The British Accounting Review Vol. 36. Gao, S., Mokhatrian, P., dan Johnston, R. (2008). Nonnormality of Data in Structural Equation Models.Institute of Transportation Studies. Gaticales, A.M., Uvero, A.T.O., Madamba, M.F.E.V., Greñas, J.J.P..(2007). Post Entry Audit Group Capability Enhancement Project.USAID. Ghozali, I.(2014). Model Persamaan Struktural: Konsep dan Aplikasi dengan Program AMOS 22.0. BP UNDIP.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
George, R.T.D. (1993). Competing with Integrity in International Business.Oxford University Press. Gietzmann, M.B., and Sen, P.K. (2002).Improving Auditor Independence through Selective Mandatory Rotation.International Journal of Auditing Vol. 6. Hair, J.F., Black, W.C., Babin, B.J. dan Anderson, R.E. (2009).Multivariate Data Analysis.Prentice Hall Hainey, M. (ed. Khwaja, M.S., Awasthi, R. A., dan Loeprick, J., 2011).Building and Integrating Databases for Risk Profiles in the United Kingdom.World Bank Houlfort, N., Koestner,R., Joussemet,M. Nantel-Vivier,A. dan Lekes, N. (2002). The Impact of Performance-Contingent Rewards on Perceived Autonomy and Competence.Motivation and Emotion Journal, Vol. 26, No. 4. Hoffmann, L. (2013).A Critical Look at the Current International Response to Combat TradeBased Money Laundering: The Risk-Based Customs Audit as a Solution. Texas International Law Journal. Vol. 48:Issue 2. Hooper, D., Coughlan, J.,dan Mullen, M.R.. Structural Equation Modelling: Guidelines for Determining Model Fit. Journal of Business Research Methods Vol 6 (1). Hudaib, M. dan Haniffa, R. (2009).Exploring Auditor Independence: An Interpretive Approach.Accounting, Auditing & Accountability.Journal Vol 22 (2). Herusetya, A. (2012). Audit Quality, Regulation, and Earning Management: Using A Multidimentional Measure of Audit Quality. The International Accounting Conference, Faculty of Economics, Universitas Indonesia. International Federation of Accountants (2014).A Framework for Audit Quality.International Auditing and Assurance Standards Board (IAASB). ICAEW (2005).Agency Theory and the Role of Audit.Institute of Chartered Accountants in England & Wales. Institut Akuntan Publik Indonesia (2011).Standar Profesi Akuntan Publik. Salemba Empat, Jakarta. Irish Tax and Customs (2011).Comprehensive Expenditure Review.Office of the Revenue Commissioners CACH. Jones, R. dan Pendlebury, M. (2010). Public Sector Accounting, 6th edition. Prentice Hall. Johnstone, K.M., Gramling, A. A., Rittenberg, L.M. (2014). Auditing: A Risk-Based Approach to Conducting a Quality Audit, Ninth Edition. South-Western, Cengage Learning. Julien, D. dan Sabih, S. (2010). A Risk-Based Method for Audit Site Selection. INTOSAI Journal.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
Kegel, J.F. (2006). Knowledge in Professional Service Firms Perceptions among Auditors in Malta. Jonkoping International Business School. Kunda, R. (2012). Post Clearance Audit (PCA). Zambia Revenue Authority Khwaja, M.S., Awasthi, R. A., dan Loeprick, J. (2011). Risk-Based Tax Audits: Approaches and Country Experiences. World Bank. Kline, R.B. (2011). Principle and Practice of Structural Equation Modeling.The Guilford Press. Laporte, B. (2011). Risk Management Systems:Using Data Mining in Developing Countries Customs Administrations. World Customs Journal Vol. 5 (1) International Network of Customs Universities. Lee, T. dan Stone, M. (1995). Competence and Independence: The congenial Twins Of Auditing?.Journal of Business Finance and Accounting Vol. 22 (8). Locke, E.A., dan Latham, G.P. (1990).A theory of goal setting and task performance.Prentice Hall. McKinsey (2013).Transformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan: Laporan Akhir-Bea dan Cukai. Kementerian Keuangan RI. Marshall, R., Smith,M., Armstrong, R.W. (1997). SelfAssessment and the Tax Audit Lottery: the Australian Experience. Managerial Auditing Journal, Vol. 12 Issue: 1. Martinez, V. J., Hardwood, G.B. dan Larkins, E.R. (1992). Withholding Position and Income Tax Compliance: Some Experimental Evidence. Public Finance Quarterly Vol. 20 (2). Morales, L. N. (2007). Post Entry Audit Group Capability Enhancement Project. EMERGE, USAID. Mautz, R.K dan Sharaf, H.A. (1961). The Philosophy of Auditing. American Accounting Association, Sarasota. Messier, G. dan Provit (2006). Auditing & Assurance Service, A Systemic Approach. McGraw Hill. Meinhardt, J., Moraglio, J. F., dan Steinberg, H. I. (1987). Governmental Audits: An Action Plan for Excellence. Journal of Accountancy Vol. 164. Malone, C. F. & Roberts, R. W. (1996). Factors Associated With the Incidence of Reduced Audit Quality Behaviors. Auditing: A Journal of Practice & Theory Vol. 15 (2). Otley, D. dan Pierce, B. (1995). The Control Problem in Public Accounting Firms: An Empirical Study of the Impact of Leadership Style. Accounting, Organizations and Society, Vol. 20. Okello, A. (2008). Customs Administration Reforms – Trends and Developments.International Monetary Fund. OECD (2006).Logistics and Time as a Trade Barrier. OECD Trade Directorate, Paris. Petrescu, M. (2013).Marketing Research Using SingleItem Indocators in Structural Equation Models.Journal of Marketing Analytics Vol. 1 (2). Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P23/BC/2009 Tentang Pemberitahuan Pabean
165
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
dalam Rangka Pemasukan Barang dari Tempat Lain dalam Daerah Pabean ke Tempat yang Berada Dibawah Pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-44/BC/2011 Tentang Perubahan Kedua Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-23/BC/2009 Tentang Pemberitahuan Pabean dalam Rangka Pemasukan Barang dari Tempat Lain dalam Daerah Pabean ke Tempat yang Berada Dibawah Pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-07/BC/2012 Tentang Standar Audit Kepabeanan dan Cukai. Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-08/BC/2012 Tentang Sertifikasi Keahlian di Bidang Audit Kepabeanan dan Cukai. Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-09/BC/2012 Tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai. Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-12/BC/2012 Tentang Evaluasi dan Monitoring Audit Kepabeanan dan Audit Cukai Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Perubahan Terhadap Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 32 Tahun 2003 Tentang Jabatan Fungsional Pemeriksa Bea dan Cukai. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.04/2011 Tentang Pemberian Premi. Rubin, M.A. (1988). Municipal Audit Fee Determinants.The Accounting Review Vol. 63. Rahayu, T.S. dan Adhariani, D. (2007).Assessing the Customs Value by the Use on Benford’s Law: A Case Study.Journal of Economics, Business and Accounting. Santoso, S. (2015).AMOS 22 untuk Structural Equation Modeling (SEM) Konsep Dasar dan Aplikasi.Elex Media Komputindo. Solomon, R. C. (1999). A Better Way to Think About Business: How Personal Integrity Leads to Corporate Success. Oxford University Press. Setyaningrum, D. (2012). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Audit BPKRI.Simposium Nasional Akuntansi XV. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE09/PJ/2015 tentang Rencana dan Strategi Pemeriksaan Tahun 2015. Sulaiman, N.A. (2011). Audit Quality in Practice. Doctor of Philosophy Thesis. Manchester Business School. Universtity of Manchester. Setiawan, L. W. dan Fitriany (2011). Pengaruh Workload dan Spesialisasi Auditor terhadap Kualitas Audit dengan Kualita Komite Audit sebagai Variabel Pemoderasi. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia: Volume 8 (1) Setiawan, I.A. dan Ghozali, I (2006).Akuntansi Keperilakuan: Konsep dan Kajian Empiris
166
Perilaku Akuntan. BPFE Universitas Diponegoro. Sour, L. (2004). An Economic Model of Tax Compliance with Individual Morality and Group Conformity. Economía Mexicana NUEVA ÉPOCA, vol. 13 (1). Sridharan, U. V., Caines, W. R. , McMillan, J. dan Summers, S. (2002). Financial Statement Transparency and Auditor Responsibility: Enron and Andersen. International Journal of Auditing Vol. 6. Siregar, S.V., Fitriany dan Wibowo, A. (2011). Rotasi dan Kualitas Audit: Evaluasi atas Kebijakan Menteri Keuangan KMK No. 423/KMK.6/2002 Tentang Jasa Akuntan Publik.Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia: Volume 8 - No. 1. Suyono, E. (2012). Determinant Factors Affecting The Audit Quality: An Indonesian Perspective. Global Review of Accounting and Finance Vol. 3.No. 2. September 2012. Suseno, N.S. (2013). An Empirical Analysis of Auditor Independence and Audit Fees on Audit Quality.International Journal of Management and Business Studies Vol.3 (3). Srimindarti, C. (2012). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Premature Sign-Off dengan Turnover Intention sebagai Variabel Intervening: Suatu Tinjauan dari Goal Setting Theory. Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 8, Nomor 2. Suyani, E. (2009). Pengaruh Kompetensi terhadap Kualitas Pemeriksaan Pajak dengan Tekanan Waktu sebagai Variabel Pemoderasi: Studi Empiris pada Kanwil DJP Jawa Timur I. Tesis MAKSI UGM. Sugiyarto (2008).Tiga Orang Auditor Bea Cukai Ditahan.Diunduh 18 Agustus 2015.http://nasional Transnational Auditors Committee (2010).Client Acceptance and Continuance.International Federation of Accountants. Tubbs, R.M. (1992). The Effect of Experience on the Auditor’s Organization and Amount of Knowledge. The Accounting Review Vol. 67 (4). Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. Utomo, S., Palil, M.R., Jaffar, R., Ramli, R. (2012). Relationship Between Shareholders Motives and Corporate Tax Avoidance: A Literature Study. International Journal of Business, Economics and Law Vol. 1. Utomo, S., Palil, M.R., Jaffar, R. dan Ramli, R. (2012). Relationship Between Shareholders Motives and Corporate Tax Avoidance: A Literature Study. International Journal of Business, Economics and Law, Vol. 1. Vellutini, C. (ed. Khwaja, M.S., Awasthi, R. A., dan Loeprick, J., 2011). Key Principles of Risk-Based Audits.World Bank
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KUALITAS AUDIT KEPABEANAN Toton Hartanto
Vellutini, C. (ed. Khwaja, M.S., Awasthi, R. A., dan Loeprick, J., 2011). Risk-Based Audits: Assessing the Risks. World Bank Vellutini, C. (ed. Khwaja, M.S., Awasthi, R. A., dan Loeprick, J., 2011). Database and IT Framework for Risk Analysis. World Bank Widdowson, D. (ed. Wulf, L. dan Sokol, J. B., 2005). Customs Modernization Handbook. World Bank Widdowson, D. and Preece, R. (2011).Post Clearance Audit: Reference and Implementation Guide. World Bank. Widdowson, D. (ed. Evans, C. Dan Greebaum, A.) (1998). Managing Compliance: More Carrot, Less Stick. Prospect. Wijanto, S. H. (2015). Metode Penelitian Menggunakan Structural Equation Modeling dengan LISREL 9.LP FEUI. Wondabio, L.S. (2006). Evaluasi Manajemen Risiko Kantor Akuntan Publik (KAP) dalam Keputusan Penerimaan Klien berdasarkan Pertimbangan dari Risiko Klien, Risiko Audit dan Risiko Bisnis AP. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia Vol. 3 (2).
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
167
LAMPIRAN Statistik Deskriptif Penelitian Variabel IMP TRF
Minimum 81.500.800 0,002%
Maximum 14.132.886.109.936 36,797%
Mean 675.287.733.795 4,05%
Std. Deviation 1.550.843.384.575 3,79%
BMP
14.776.000
1.564.786.244.000
81.215.549.540
189.984.112.373
PIB
2
5.524
466
818,03
SIZ
1
5
4,86
0,66
FAS
1
4
2,74
1,11
AIN
1
5
3,49
1,08
RUL
1
5
1,99
1,16
SKI
2
4
3,02
0,29
EDU
1
4
3,18
0,66
STA
30
77
54,78
10,99
EXP
7
19
14,19
1,98
INT
2
4
3,04
0,45
REW
10.000
40.000.000
5.719.137,93
10.036.097,25
TIM
19
283
123,54
50,87
SUR
1
5
3,30
0,95
YIE
2.345.000,00
142.509.877.000,00
2.223.870.341,20
10.082.457.466,30
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
168
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015, Halaman 169-182 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA EKONOMI DAERAH Shofwatun Hasna
STIE Insan Pembangunan, Bitung Curug Tangerang, Email:
[email protected] INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 30 September 2015
This study aims to analyze the fiscal decentralization impact to economic performance in Province of East Java for five years (2009-2013). The panel model chosen is random effect. The East Java income is growing up each year during 2009 until 2013. The target and realization of Regional Expenditure is also growing up in that periode even not used 100%. The analysis result shows that Revenue Sharing Fund (DBH), Miscellaneous Local Revenues, and Local Government Revenue (PAD) have positive impact to economic activities in East Java during that periode, but Special Alocation Funds (DAK) and General Alocation Funds (DAU) have no impact during research periode.
Dinyatakan Dapat Dimuat 23 Desember 2015 KEYWORDS: Fiscal decentralization, Economic activities, Dana bagi hasil, Dana alokasi umum, Dana alokasi khusus
Penelitian ini bertujuan menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian di Provinsi Jawa Timur tahun 2009-2013. Teknik estimasi yang digunakan adalah analisis data panel dengan random effect. Pendapatan daerah Jawa Timur periode tahun 2009 hingga 2013 terus mengalami kenaikan. Begitu pula dengan target dan realisasi belanja daerah pada periode tersebut terus mengalami kenaikan meski belum terealisasi 100%. Hasil regresi menunjukkan Dana Bagi Hasil (DBH), lain-lain pendapatan yang sah, dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berdampak positif terhadap kinerja perekonomian, sedangkan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) terbukti tidak berdampak pada kinerja perekonomian Jawa Timur selama periode penelitian.
1. PENDAHULUAN
Jumlah pemerintah kabupaten/kota yang semakin berkembang di Indonesia menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah pusat, DPR/DPRD maupun masyarakat. Pertanyaan yang mendasar adalah bagaimana pemerintah daerah (Pemda) tersebut dapat menyelenggarakan aktivitas di wilayahnya, terutama bagi pemerintahan daerah yang baru. Penyelenggaraan aktivitas tersebut tentunya terkait erat dengan masalah anggaran pendapatan dan belanja daerahnya, dengan kata lain, bagaimana suatu pemerintah daerah dapat mengoptimalkan sumber daya yang ada, meningkatkan pendapatan daerahnya, dan mengalokasikannya untuk kesejahteraan masyarakat. Potensi suatu daerah dari sisi pendapatan dan pengeluaran, perlu dikelola dengan menyusun kebijakan yang tepat oleh pemerintah daerah itu sendiri dan pemerintah pusat. Perbedaaan struktur keuangan kota dengan keuangan nasional mulai terjadi sejak 2001 ketika Indonesia menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal sebagai bagian dari pelaksanaan otonomi daerah. Desentralisasi dipandang sebagai bagian dari paket reformasi. Dalam hal ini, baik kota dan kabupaten diberi alokasi dana untuk meningkatkan efisiensi dan kompetensi dalam memberikan pelayanan publik serta merangsang pertumbuhan ekonomi (Bird dan Wallich, 1993:24). Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia, sudah diatur dalam Undang-
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
Undang Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Dalam prakteknya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal selama pemerintahan orde baru belum dapat mengurangi ketimpangan vertikal dan horisontal, yang ditunjukkan dengan tingginya derajat sentralisasi fiskal dan besarnya ketimpangan antar daerah dan wilayah (Uppal dan Suparmoko, 1986; Sjahfrizal, 1997). Praktek internasional desentralisasi fiskal baru dijalankan pada 1 Januari 2001 berdasarkan UndangUndang Nomor 25 Tahun 1999 yang disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2000 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Prinsip dasar pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia ialah “money follows functions”, yaitu fungsi pokok pelayanan publik didaerahkan, dengan dukungan pembiayaan pusat melalui penyerahan sumbersumber penerimaan kepada daerah. Berdasarkan pasal 5 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2000 sumber-sumber penerimaan daerah adalah pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan dan lain-lain pendapatan. Dana Perimbangan Keuangan PusatDaerah (PKPD) merupakan mekanisme transfer pemerintah pusat-daerah yang terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam (DBHP dan SDA), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
169
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA EKONOMI DAERAH Shofwatun Hasna
Mahi (2005) menyebutkan bahwa dana pembiayaan daerah berasal dari Sisa Lebih Anggaran daerah (SAL), pinjaman daerah, dana cadangan daerah dan privatisasi kekayaan daerah yang dipisahkan. Besarnya PAD dan pembiayaan daerah dapat diklasifikasikan sebagai dana non PKPD, karena berasal dari pengelolaan fiskal daerah. Khusus pinjaman daerah pemerintah pusat masih khawatir dengan kondisi utang negara, sehingga belum mengizinkan penerbitan utang daerah. Idealnya semua pengeluaran pemerintah daerah dapat dicukupi dengan menggunakan PAD, sehingga daerah menjadi benar-benar otonom. Selama tahun 2001–2003 peranan PAD terhadap pengeluaran rutin dan total pengeluaran APBD semakin menurun. Menurunnya peranan PAD terhadap pengeluaran rutin dan pengeluaran total dalam APBD mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan peranan mekanisme transfer dari pemerintah pusat melalui dana perimbangan. Tujuan utama pemberian dana perimbangan dalam kerangka otonomi daerah adalah untuk pemerataan kemampuan fiskal pada tiap daerah (equalizing transfer) (Ehtisham, 2002). Secara umum dana Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah (PKPD) terdiri dari bantuan umum (block grant) dan bantuan khusus (spesific grant) (Davey, 1998). Penggunaan DAU, DBHP dan DBH SDA (block grant) diserahkan pada kebijakan masing-masing daerah. Pada awal penerapannya, DAU banyak dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran rutin terutama untuk belanja pegawai sebagai dampak pengalihan status pegawai pusat menjadi pegawai pemda (Isdijoso dan Wibowo, 2002). Sedangkan penggunaan DAK (spesific grant) telah ditentukan oleh pemerintah pusat dengan suatu kewajiban, yaitu daerah penerima harus menyediakan 10% dana pendamping. Kebijakan DAU mempunyai tujuan utama untuk memperkuat kondisi fiskal daerah dan mengurangi ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance). Melalui kebijakan bagi hasil SDA yang diharapkan masyarakat daerah dapat merasakan hasil dari sumber daya alam yang dimilikinya. Hal ini karena selama pemerintahan orde baru hasil SDA lebih banyak dinikmati oleh pemerintah pusat (Devas, 1989). Mekanisme bagi hasil SDA dan pajak bertujuan untuk mengurangi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) pusat-daerah. Jawa Timur, meskipun termasuk sebagai daerah yang kaya akan SDA tetapi persebarannya tidak merata di seluruh daerah. Daerah kaya SDA misalnya Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Malang, mendapatkan dana bagi hasil yang relatif lebih besar dibandingkan dengan daerah lain yang miskin sumber daya alam. Pada sisi yang lain Surabaya dan kota besar lainnya memperoleh dana bagi hasil pajak yang cukup besar, sebagai konsekuensi terkonsentrasinya pusat bisnis di ibukota provinsi. Fenomena seperti ini akan berdampak terhadap meningkatnya ketimpangan fiskal antar daerah.
170
Jawa Timur selama ini dikenal sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki posisi strategis, baik dari aspek ekonomi maupun dari sisi demografisnya. Secara ekonomi, provinsi ini merupakan penghubung antara kawasan Timur dan Barat Indonesia, khususnya sebagai pintu gerbang perdagangan antar pulau dan daerah. Jawa timur juga merupakan provinsi besar dengan jumlah kabupaten/kota terbanyak dan populasinya terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Barat. Jawa Timur, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir setelah dimulainya desentralisasi, mengalami peningkatan kinerja daerah. Sejak desentralisasi, seperti halnya daerah lain, belanja pemerintah mengalami peningkatan yang pesat dan kinerja ekonomi mengalami kemajuan. PDRB secara riil meningkat hampir dua kali lipat. Realisasi belanja juga mengalami peningkatan yang signifikan. Angka kemiskinan pun mengalami penurunan. Namun demikian, masih terdapat tantangan yang perlu diatasi. Data BPS 2010 menunjukkan bahwa Jawa Timur merupakan provinsi dengan populasi penduduk miskin terbesar di Indonesia, yakni berjumlah 4.960.500 jiwa. Kemiskinan berpusat pada daerah yang perekonomiannya bergantung pada pertanian, padahal mayoritas penduduk Jawa Timur adalah bertani (Bank Dunia, 2011). Jawa Timur memiliki pertumbuhan ekonomi yang meningkat cukup stabil sejak tahun 2005 dengan ratarata di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Jawa Timur menjadi kontributor kedua terbesar bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 2010, ekonomi Jawa Timur tumbuh sebesar 6,7 persen, merupakan angka tertinggi di Jawa dan lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun demikian, jumlah penduduk miskin di Jawa Timur masih menduduki posisi terbesar di Jawa. Data tahun 2010 menunjukkan bahwa angka kemiskinan masih berada di atas angka nasional, dimana tingkat kemiskinan Jawa Timur sebesar 15,3 persen, sedangkan tingkat kemiskinan nasional sebesar 13,3 persen (BPS, 2011). Pola pertumbuhan ekonomi dilihat dari sisi kewilayahan di Jawa Timur menunjukkan adanya wilayah yang sangat maju dan wilayah yang masih tertinggal (Bank Dunia, 2011). Ini juga menjadi tantangan utama pembangunan Jawa Timur dalam pengelolaan keuangan daerah, yaitu memposisikan APBD provinsi Jawa Timur sebagai instrumen untuk mempercepat terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang inklusif, yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan dengan upah memadai, yang mampu mengurangi angka kemiskinan. Mengingat besarnya potensi ekonomi dan masih cukup tingginya angka kemiskinan di Jawa Timur, maka target pertumbuhan ekonomi Jawa Timur seharusnya berada jauh di atas target pertumbuhan nasional, yaitu rata-rata di atas 7 persen pertahun. Target tersebut perlu ditopang dengan manajemen pengelolaan keuangan daerah yang baik. Tata kelola APBD yang baik dapat menjadi stimulus pembangunan dengan bertumpu pada tiga
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA EKONOMI DAERAH Shofwatun Hasna
komponen utama, yaitu: (i) percepatan perbaikan kualitas sumber daya manusia, (ii) percepatan pembangunan infrastruktur yang dapat meningkatkan mobilitas dan aktivitas ekonomi antar daerah, dan (iii) terjadinya percepatan transformasi struktural melalui industrialisasi yang berbasis pada pertanian dan/atau sumber daya alam lainnya, (Bank Dunia, 2011). Jawa Timur membutuhkan sumber daya keuangan yang cukup untuk dapat mengatasi beberapa tantangan penting agar dapat meningkatkan pembangunan ekonomi. Hal paling utama adalah ruang fiskal pemerintah dan sumber–sumber pendapatan yang berkontribusi cukup signifikan untuk dapat mengalokasikan dana pembangunan bagi peningkatan kualitas infrastruktur, pendidikan dan pertanian. Beberapa penelitian terdahulu tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja ekonomi daerah diluar Jawa Timur, telah banyak ditemukan. Penelitian Annisa Irdhania (2009) di Kabupaten Bogor dengan menggunakan data time series 15 tahun, menjelaskan bahwa penerapan desentralisasi fiskal memberikan pengaruh yang positif dan nyata secara statistik terhadap komponen PDRB, yaitu konsumsi rumah tangga, investasi, dan pengeluaran konsumsi pemerintah. Konsumsi rumah tangga, investasi, dan pengeluaran konsumsi pemerintah meningkat selama masa desentralisasi fiskal. Jadi, secara keseluruhan penerapan desentralisasi fiskal diduga memberikan pengaruh yang positif pada kinerja perekonomian. Artinya setelah diterapkan desentralisasi fiskal, kinerja perekonomian Kabupaten Bogor mengalami peningkatan yang signifikan. Variabel pendapatan disposable, populasi, dan total penerimaan keuangan pemerintah daerah memberikan kontribusi dengan nilai elastisitas yang positif dan nyata secara statistik terhadap kinerja perekonomian. Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh negatif dan nyata secara statistik terhadap penerimaan retribusi Kabupaten Bogor, sedangkan dana transfer dipengaruhi secara positif dan nyata. Jika dikaitkan dengan kinerja perekonomian, penurunan pada retribusi ini akan membawa efek yang positif terhadap kinerja perekonomian Kabupaten Bogor. Penerapan desentralisasi fiskal tidak mempengaruhi variabel potensi keuangan lainnya secara signifikan. Variabel pendapatan perkapita, jumlah kamar hotel, suku bunga, total pengeluaran keuangan pemerintah, dan jumlah penduduk miskin mempengaruhi potensi keuangan Kabupaten Bogor dengan nilai elastisitas yang positif dan nyata secara statistik. Yuliati (2002) melakukan penelitian di Kabupaten Tegal dengan menggunakan model persamaan simultan dan alat analisis SAS 6.0 menunjukkan bahwa kinerja ekonomi daerah lebih didorong oleh kecenderungan mengkonsumsi daripada investasi. Peningkatan perekonomian daerah akan meningkatkan pendapatan perkapita atau kapasitas pemajakan yang menggambarkan kemampuan penduduk dalam membayar pajak dan membeli jasa publik. Kebijakan desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan mempengaruhi kinerja ekonomi dan
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
potensi keuangan daerah, dan jika dibarengi dengan kebijakan peningkatan pengeluaran berdampak positif terhadap total penerimaan keuangan pemerintah daerah dan perekonomian. Selain itu juga ditemukan indikasi adanya inefisiensi dan inefektivitas alokasi anggaran akibat kurang optimalnya penerapan disiplin dan prioritas anggaran. Peluang untuk meningkatkan penerimaan daerah dipengaruhi oleh elastisitas pendapatan perkapita, kesesuaian basis pajak dengan basis ekonomi, elastisitas permintaan jasa publik, elastisitas harga publik, dan tingkat kebutuhan pengeluaran daerah. Penelitian Hasugian (2006) di Provinsi Jawa Barat menunjukan bahwa tingkat kemandirian daerah semakin rendah sesudah implementasi desentralisasi fiskal. Hal ini terlihat dari kecenderungan menurunnya rasio PAD terhadap penerimaan daerah. Kontribusi DAU selama periode analisis (2001-2004) masih sangat tinggi dengan menyumbang rata-rata 60-90 persen dari penerimaan daerah. Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Ciamis memiliki tingkat kemandirian yang rendah, sedangkan Kota Bandung dan Kabupaten Bekasi tergolong mempunyai tingkat kemandirian yang tinggi. Kabupaten Bekasi adalah wilayah dengan peningkatan PAD yang paling signifikan setelah penetapan dan pelaksanaan desentralisasi, yaitu sebesar 62 persen. Tetapi tingkat kemandirian di wilayah kabupaten-kota provinsi Jawa Barat masih tergolong rendah, karena kontribusi dana transfer yang masih tinggi. Hermani (2007) melakukan penelitian di Kota Tegal dan Kabupaten Brebes. Hasil analisis dengan menggunakan persamaan simultan dan alat analisis SAS 6.0, menyatakan kebijakan desentralisasi fiskal di kedua kota tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja fiskal daerah. Kebijakan peningkatan DAU, PAD, dan dana bagi hasil menunjukkan dampak yang besar terhadap peningkatan kinerja fiskal dan perekonomian daerah tersebut, serta bisa mengurangi tingkat kemiskinan. Penelitian sejenis di Jawa Timur yang dilakukan oleh Utomo (2009) menyatakan bahwa desentralisasi fiskal aspek pembelanjaan di Jawa Timur berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Fahrian (2013) juga melakukan penelitian di Jawa Timur pada 4 kabupaten dan 4 kota. Hasilnya adalah desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja ekonomi daerah ternyata masih jarang dilakukan di Jawa Timur. Penelitian di Jawa Timur mayoritas membahas tentang pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan penelitian yang sama di beberapa propinsi diluar Jawa Timur, mayoritas memasukkan banyak variabel eksogen kedalam model kinerja ekonomi daerah. Oleh karena itu, penelitian ini akan menganalisis secara khusus, hanya untuk variabel fiskal sebagai variabel eksogen, yang ingin membuktikan apakah desentralisasi fiskal yang terjadi
171
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA EKONOMI DAERAH Shofwatun Hasna
sejak tahun 2009 hingga 2013 berdampak positif terhadap kinerja ekonomi Jawa Timur atau tidak. Penelitian dengan hanya mengangkat variabel eksogen fiskal saja, diharapkan mampu memberikan gambaran yang jelas tentang peran fiskal pada kinerja perekonomian di Jawa Timur. Adapun kerangka dalam penelitian ini adalah, Gambar 1 Kerangka Berpikir
Desentralisasi fiskal
Dana Perimbangan
DAK DBH DAU
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Lain-lain pendapatan yang sah
Pendapatan Daerah
Kinerja Ekonomi
Desentralisasi fiskal dibagi menjadi tiga komponen yaitu Dana Perimbangan (terdiri dari DAK, DBH dan DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Lain-lain Pendapatan yang Sah, (Sjafrizal, 2012). Pemerintah daerah dituntut mampu mengelola dana desentralisasi fiskal secara efisien dan efektif untuk mendorong pembangunan ekonomi. Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi; 1. kinerja keuangan Jawa Timur periode 2009-2013; 2. dampak dana perimbangan (DAK, DBH, DAU), Lain-lain pendapatan yang sah, dan PAD, terhadap kinerja perekonomian di Jawa Timur.
2. KERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. Otonomi Daerah Istilah otonomi secara etimologi berasal dari bahasa/kata latin yaitu "autos" yang berarti "sendiri", dan "nomos" yang berarti "aturan". Sehingga otonomi diartikan pengundangan sendiri, mengatur atau memerintah sendiri. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
172
Pengertian tersebut di atas dapat diartikan bahwa otonomi daerah merupakan kemerdekaan atau kebebasan menentukan aturan sendiri berdasarkan perundang-undangan, dalam memenuhi kebutuhan daerah sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh daerah. Otonomi daerah yang sudah berjalan lebih dari enam tahun di negara kita diharapkan bukan hanya pelimpahan wewenang dari pusat kepada daerah untuk menggeser kekuasaan. Hal itu ditegaskan oleh Kaloh (2002 : 7), bahwa otonomi daerah harus didefinisikan sebagai otonomi bagi rakyat daerah dan bukan otonomi "daerah" dalam pengertian wilayah/teritorial tertentu di tingkat lokal. Otonomi daerah bukan hanya merupakan pelimpahan wewenang tetapi juga peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Berbagai manfaat dan argumen yang mendukung pelaksanaan otonomi daerah tidak langsung dapat dianggap bahwa otonomi adalah sistem yang terbaik. Berbagai kelemahan masih menyertai pelaksanaan otonomi yang harus diwaspadai dalam pelaksanaannya. Remy Pnid'homme (dalam Sugiyanto, 2000) mencatat beberapa kelemahan dan dilema otonomi daerah, antara lain: 1) menciptakan kesenjangan antara daerah kaya dengan daerah miskin, 2) mengancam stabilisasi ekonomi akibat tidak efisiennya kebijakan ekonomi makro, seperti kebijakan fiskal, 3) mengurangi efisiensi akibat kurang representatifnya lembaga perwakilan rakyat dengan indikator masih lemahnya public hearing, 4) perluasan jaringan korupsi dari pusat menuju daerah. 2.2. Desentralisasi Fiskal Asas-asas penyelenggaraan pemerintah daerah di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No.33 tahun 2004 dibagi menjadi tiga, yaitu: desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Konsekuensi dari pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah otonom, tidak lain adalah penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia (SDM) sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintah dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan. Saragih (2003:39) menyatakan bahwa desentralisasi adalah diserahkannya sebagian atau seluruh wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah-daerah, sehingga daerah menerima kewenangan bersifat otonom, yakni dapat menentukan caranya sendiri berdasarkan prakarsa sendiri secara bebas. Perimbangan keuangan dilakukan melalui mekanisme dana perimbangan, yaitu pembagian penerimaan antar tingkatan pemerintahan guna menjalankan fungsifungsi pemerintahan dalam kerangka desentralisasi. Kusaini (2006: 29) menjelaskan desentralisasi fiskal merupakan pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan anggaran atau keuangan yang sebelumnya
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA EKONOMI DAERAH Shofwatun Hasna
tersentralisasi, baik secara administrasi maupun pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat. Dalam melaksanakan desentralisasi fiskal, prinsip (rules) money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan (Bah1,2000: 19). Artinya, setiap penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintahan membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan derivatif dari kebijakan otonomi daerah, melalui pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah. Artinya, semakin banyak wewenang yang dilimpahkan, maka kecenderungannya semakin besar biaya yang dibutuhkan oleh daerah. Masalah keseimbangan anggaran menjadi masalah serius karena banyak pemerintah pusat tidak mengijinkan pemerintah daerah untuk melakukan utang kepada publik. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal dapat menggunakan pendekatan expenditure assignment dan revenue assigment. Pendekatan expenditure assigment menyatakan bahwa terjadi perubahan tanggung jawab pelayanan publik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sehingga peran local public goods meningkat. Kebijakan ini dapat dilakukan melalui dua tahap: Pertama; Menentukan secara umum batasan urusan pemerintah pusat dan daerah. Kedua; Membagi secara tegas urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara spesifik untuk urusan yang bersifat “grey area.” Pendekatan ini mensyaratkan penentuan Standar Pelayanan Minimum (SPM) setiap urusan yang dilimpahkan ke pemerintah daerah sudah terindentifikasi, sehingga besarnya standar pengeluaran minimum (Standard Spending Assesement = SSA) untuk setiap penyediaan barang publik yang didaerahkan dapat diketahui. Sedangkan ciri utama pendekatan revenue assigment yaitu memberikan peningkatan kemampuan keuangan, melalui alih sumber pembiayaan pusat kepada daerah, dalam rangka membiayai fungsi yang didesentralisasikan (Mahi, 2002; Lewis, 2001 dan 2003; LPEM FE-UI, 2001). Penentuan sumber-sumber pembiayaan ke daerah dapat dilakukan dengan berpegangan pada tax assigment. Lima prinsip utama dalam menjalankan tax assigment dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Progressive redistributive taxes should be centralize, pajak untuk kepentingan redistribusi pendapatan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat 2) Taxes suitable for economic stabilization should be centralized, pajak untuk kepentingan stabilisasi perekonomian sebaiknya dipungut oleh pemerintah pusat. 3) Unequal tax bases among jurisdictions should be centralized. Misalnya pembebanan pajak terhadap deposit sumber daya alam menjadi tanggungjawab pemerintah pusat untuk menghindari geographical inequities dan menjaga allocative distortions. 4) Taxes on mobile factors of production should be centralized. Objek pajak yang relatif tidak bergerak akan menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Artinya bahwa
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
pemerintah pada level yang lebih rendah akan menghindari objek pajak yang mudah berpindah, karena pajak tersebut dapat mendistrosi aktivitas perekonomian. 5) Residence-based taxes, such as excise, should be levied by local authorities. Hal ini dimungkinkan karena tidak ada potensi perpindahan antar daerah (Musgrave, 1983; Mahi, 2002 dan 2005) Pada ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dikatakan bahwa otonomi daerah berarti adanya kewenangan untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya sendiri berdasarkan pengertian dan substansi dari desentralisasi, yang berarti otonomi dan desentralisasi tidak dapat dipisahkan dan saling memberi arti. Namun, terdapat perbedaan pengertian dari keduanya. Dalam desentralisasi harus ada pendistribusian wewenang atau kekuasaan dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada bawahnya. Sedangkan otonomi menurut Saragih (2003:40), yaitu adanya kebebasan menjalankan atau melaksanakan sesuatu oleh suatu bagian wilayah dalam kaitannya dengan negara. Desentralisasi sendiri memiliki satu komponen utama yang disebut desentralisasi fiskal, dan otonomi daerah membutuhkan desentralisasi fiskal untuk mendukung tercapainya efektifitas penyelengaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Kebijakan desentralisasi untuk otonomi menurut Rasyid (2007:16) adalah salah satu bentuk implementasi dari kebijakan demokratisasi. Dalam konteks administrasi pemerintahan, demokratisasi bergandengan dengan desentralisasi. Artinya, tidak ada demokratisasi pemerintahan tanpa desentralisasi. Ini terutama relevan dengan negara yang wilayahnya luas dan berpenduduk besar, karena diasumsikan rakyat sebagai pihak yang berdaulat bukan saja harus dilayani lebih baik, tetapi juga harus diberi akses yang cukup didalam proses pengambilan keputusan, (Rasyid, 2007: 17). Kebijakan desentralisasi fiskal banyak dipergunakan oleh negara-negara sedang berkembang untuk menghindari ketidakefisienan dan ketidakefektifan pemerintahan, ketidakstabilan ekonomi makro, dan ketidakcukupan pertumbuhan ekonomi, (Bahl dan Linn, 1992:384). Sejak diberlakukannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal struktur keuangan daerah di Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan. Desentralisasi fiskal di Jawa Timur, dijelaskan oleh BPS (2012;2013), dibagi menjadi tiga komponen yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan (DAK, DBH pajak, DBH non pajak, DAU). dan Lain-lain Pendapatan yang Sah. Faktor-faktor tersebut dijadikan variabel eksogen dalam penelitian ini. 2.2.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) PAD adalah pendapatan daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, guna keperluan daerah yang bersangkutan dalam membiayai kegiatannya. Komponen PAD dalam BPS (2014) terdiri dari,
173
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA EKONOMI DAERAH Shofwatun Hasna
1. Pajak Daerah Pajak daerah adalah pungutan yang dilakukan pemerintah daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pajak daerah ini dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu pajak daerah yang ditetapkan oleh peraturan daerah dan pajak negara yang pengelolaan dan penggunaannya diserahkan kepada daerah. Penerimaan pajak daerah antara lain pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, galian golongan C, parkir dan lain-lain. 2. Retribusi Daerah Retribusi daerah adalah pungutan daerah yang dilakukan sehubungan dengan suatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh Pemda secara langsung dan nyata kepada pembayar. Retribusi daerah hanya dapat dipungut bilamana daerah memberikan jasa pelayanan tertentu kepada masyarakat. Retribusi daerah meliputi antara lain, pelayanan kesehatan, pengujian kendaraan bermotor, pemeriksaan alat pemadam kebakaran, penggantian biaya cetak peta, pelayanan pendidikan, pemakaian kekayaan daerah, pasar grosir dan/atau pertokoan, terminal, rumah potong hewan, tempat rekreasi/olahraga, ijin mendirikan bangunan, ijin peruntukan penggunaan tanah, ijin trayek dan lain-lain. 3. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan. Ini adalah penerimaan yang berupa hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, yang terdiri atas bagian laba lembaga keuangan bank, bagian laba lembaga keuangan non bank, bagian laba perusahaan milik daerah lainnya, dan bagian laba atas penyertaan modal/investasi kepada pihak ketiga. 4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah Ini merupakan pendapatan daerah yang meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dapat dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, dan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. Besar kecilnya PAD yang dapat diterima oleh suatu kota sangat ditentukan oleh dua hal yaitu potensi penerimaan dan tarif pajak yang ditetapkan dengan peraturan daerah setempat. Potensi PAD sangat ditentukan oleh perkembangan jumlah, ukuran dan kualitas objek pajak bersangkutan. Sedangkan tarif pajak ditentukan oleh pemerintah daerah setempat dengan memperhatikan perkembangan kebutuhan pembangunan dan kemampuan keuangan wajib pajak di kota bersangkutan. Selain itu, besar kecilnya PAD juga sangat ditentukan oleh perkembangan kegiatan perekonomian daerah bersangkutan. Daerah perkotaan akan mempunyai potensi penerimaan PAD yang lebih besar dibanding kabupaten, karena jumlah hotel dan restoran, bangunan, kendaraan bermotor serta BUMD yang relatif lebih banyak di perkotaan, (Sjafrizal, 2012:274-275). 2.2.2. Dana Perimbangan
174
Penetapan alokasi dana perimbangan di Indonesia dilakukan dalam rangka penerapan prinsip desentralisasi fiskal. Sistem alokasi dana ini ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, baik propinsi, kabupaten dan kota, (Yunasman, 2007:1). Sasaran utama dalam hal ini adalah mewujudkan keseimbangan dana antara pusat dan daerah sehingga dapat mendukung pelaksanaan otonomi daerah secara keseluruhan. Sesuai dengan ketentuan undang-undang dan peraturan pemerintah yang berlaku bahwa Dana perimbangan yang disediakan oleh pemerintah pusat dalam APBN minimum 25% dapat dialokasi ke wilayah dalam 3 bentuk, yaitu Dana Bagi Hasil (DBH) baik dari pajak maupun sumber daya alam, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), (Sjafrizal, 2012:134). DBH digolongkan menjadi dua, yaitu DBH pajak dan DBH non pajak. DBH Pajak terdiri atas penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB), penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), pajak penghasilan (PPh) pasal 25 dan pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, dan PPh pasal 21 orang pribadi, dan lain-lain. Sedangkan DBH non pajak terdiri atas iuran hak hak pengusahaan hutan (IHPH), provinsi sumber daya hutan (PSDH), pemberian hak atas tanah Negara, land rent, iuran eksplorasi/ eksploitasi/royalty, pungutan pengusaha perikanan dan hasil perikanan, hasil pertambangan minyak bumi/gas alam, dan lain-lain. DAU adalah transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang dimaksudkan untuk menutup kesenjangan fiskal dan pemerataan kemampuan fiskal antar daerah dalam rangka membantu kemandirian pemerintah daerah menjalankan fungsi dan tugasnya melayani masyarakat. Pemerintah menetapkan alokasi transfer dana (DAU) yang berbeda. Daerah yang mempunyai kapasitas fiskal tinggi akan mendapat pasokan dana yang lebih kecil daripada daerah yang kapasitas fiskalnya rendah. Pemberian transfer ini bertujuan untuk menjamin tercapainya standar pelayanan publik dan mengurangi kesenjangan horizontal (antar daerah) dan kesenjangan vertikal (pusat-daerah) (Simanjuntak dalam Abdullah dan Halim 2004, Wurzel 1998). DAK adalah dana yang disediakan kepada daerah untuk memenuhi kebutuhan khusus. Ada tiga kriteria dari kebutuhan khusus seperti ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, 1) kebutuhan tidak dapat diperhitungkan dengan menggunakan rumus dana alokasi umum, 2) kebutuhan merupakan komitmen atau prioritas nasional, 3) kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah penghasil. DAK pada dasarnya merupakan transfer yang bersifat spesifik untuk tujuan–tujuan yang sudah digariskan. 2.2.3. Lain-lain Pendapatan yang Sah
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA EKONOMI DAERAH Shofwatun Hasna
Ini adalah pendapatan lainnya dari pemerintah pusat dan atau dari instansi pusat serta dari daerah lainnya, mencakup pendapatan hibah, dana darurat yang merupakan dana dari APBN yang dialokasikan kepada daerah yang mengalami bencana nasional, peristiwa luar biasa dan/atau krisis solvabilitas, dana bagi hasil pajak dari provinsi dan pemerintah daerah lainnya, dana penyesuaian dana otonomi khusus dari pemerintah, bantuan keuangan dari provinsi dan pemerintah daerah lainnya, serta pendapatan yang sah lainnya. 2.3. Manfaat dan Kerugian dari Desentralisasi Fiskal Pentingnya desentralisasi fiskal menjadi wacana dua kelompok yang berbeda argumentasi. Kelompok pertama, desentralisasi fiskal itu penting karena dapat meningkatkan efisiensi ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas, dan peningkatan mobilisasi dana. Kelompok kedua, tidak satupun dari manfaat tersebut yang akan berhasil dicapai oleh negara yang preferensi penduduknya hampir tidak mungkin diakomodir dalam anggaran pemerintah, sedangkan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah mendekati nihil. Perspektif dari desentralisasi fiskal ini nampaknya cenderung meningkatkan biaya, mengurangi efisiensi pelayanan pemerintah, dan mungkin bisa menyebabkan kesenjangan yang lebih parah serta ketidakstabilan makroekonomi (Prud’Homme, 1994 dalam Yuliyati, 2002). Beberapa dampak langsung terhadap pemerintah daerah seperti yang ditulis oleh Sinaga, et all (2005) adalah: 1. Bagi hasil dari pemerintah pusat makin besar seperti: Bagi hasil Sumber Daya Alam (BHSDA), Bagi Hasil Pajak (BHTX), DAU, dan DAK. 2. Kewenangan menarik pajak dan retribusi. 3. Kebebasan menggunakan anggaran dasar dalam arti tanpa menunggu petunjuk pusat. 4. Kewenangan menerbitkan perda dalam kepentingan pembangunan daerah. 5. Kewenangan melakukan pinjaman. Menurut Kaho (2003) dalam Hermani (2007), ada beberapa kerugian yang bisa ditimbulkan akibat desentralisasi fiskal yaitu: 1. Karena besarnya organ-organ pemerintah maka struktur pemerintahan menjadi kompleks sehingga mempersulit koordinasi. 2. Keseimbangan dan keserasian antar kepentingan dan daerah dapat lebih mudah terganggu. 3. Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat menimbulkan apa yang disebut daerah-isme. 4. Keputusan yang diambil dapat memakan waktu yang cukup lama. 5. Dalam menyelenggarakan desentralisasi diperlukan biaya yang lebih banyak. 2.4. Kinerja Ekonomi Kinerja Ekonomi diartikan sebagai gambaran bagus tidaknya perekonomian suatu daerah. Variabelvariabel yang dapat memperlihatkannya adalah
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan gini ratio, (Irdhania, 2009:35). Kinerja ekonomi daerah dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan variabel PDRB. PDRB memuat data informasi tentang kondisi riil suatu daerah pada saat tertentu yang dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil-hasil pembangunan di suatu wilayah. Sadono Sukirno (2008:17) juga menjelaskan bahwa, ada beberapa jenis data perekonomian yang dapat dijadikan sebagai alat untuk menilai kinerja ekonomi nasional, 1. pendapatan nasional, pertumbuhan ekonomi dan pendaptan perkapita, 2. tingkat pengangguran, 3. tingkat inflasi, 4. kedudukan neraca perdagangan dan neraca pembayaran, 5. kestabilan nilai uang domestik. Kinerja pertumbuhan dan perkembangan ekonomi suatu wilayah secara makro pada umumnya dapat dilihat dari perkembangan nilai PDRB. Persamaan PDRB adalah sebagai berikut (Setiono, 2011: 175), Y = C + I + G + (E-M) ……………………..
(1.1)
Dimana: Y : Produk domestik bruto wilayah C : konsumsi masyarakat I : investasi G : belanja pemerintah E-M : nilai hasil perdagangan bersih antar wilayah Persamaan diatas memperlihatkan bahwa nilai total produk bruto wilayah berbanding lurus dengan C, I, G, dan E-M. Komponen konsumsi (C) dapat meningkat akibat adanya kiriman dana reguler dari penduduk wilayah tersebut yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Sedangkan nilai investasi (I) tidak selalu bergantung kepada tabungan lokal, tetapi juga meningkat dengan adanya penanaman modal asing. Sementara itu, belanja pemerintah (G) pada umumnya merupakan input dari pemerintah pusat yang disalurkan melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Atas dasar beberapa tinjauan literatur tersebut maka hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah, diduga dana perimbangan (DAK, DBH, DAU), Lain-lain Pendapatan yang sah, dan PAD berdampak positif terhadap kinerja perekonomian Jawa Timur. Penerapan prinsip desentralisasi fiskal di Indonesia dengan jalan menetapkan alokasi dana keuangan yang berimbang antara pusat dan daerah, baik propinsi, kabupaten dan kota, ditujukan agar tercipta kinerja ekonomi yang optimal pada masing-masing kabupaten/kota secara keseluruhan sehingga tidak tercipta ketimpangan pembangunan.
3. METODOLOGI PENELITIAN
175
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA EKONOMI DAERAH Shofwatun Hasna
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diambil dari dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik. Data BPS diambil dari buku Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten/kota dan buku Keuangan Kabupaten/kota. Data sekunder yang digunakan adalah data panel, yaitu penggabungan dari data cross section sebanyak 38 kabupaten/ kota di Jawa Timur dan data time series dari tahun 2009-2013. Data sekunder yang diperoleh dari data statistik dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data panel. Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan software Eviews6 agar proses pengolahan data lebih cepat dan akurat. 3.1. Panel Data Analysis Ariefanto (2012: 150) menjelaskan bahwa terdapat dua tipe pemodelan data panel yaitu Fixed Effect Model dan Random Effect Model. Pemodelan ini berdasarkan asumsi apakah karakter residual bersifat konstan atau random.
k
y it 0 j X j ,it u it
(2.1)
j 1
dimana T 1
i 1
t 1
u it e Dic v i Dt wt
(2.2)
Dimana DiC dan DtT adalah variabel dummy sebanyak N1 dan T-1 untuk mengidentifikasi residual spesifik cross section dan urut waktu yang bersifat konstan. Dengan memasukkan (2.2) ke (2.1) maka diperoleh N 1
T 1
i 1
t 1
y it 0 j X j ,it Dic vi Dt wt e
(2.3)
3.1.2. Random Effect Model
yit 0 1 xit1 .... k xitk ai u it
(3.1)
Model random effect dalam Ariefanto (2012:151-152), digunakan ketika unobserved effect ⍺i dapat diasumsikan tidak berkorelasi dengan satu/lebih variabel bebas. Model (3.1) dapat dimodelkan dengan menggunakan composite error term,
y it 0 1 xit1 .... k xitk vit
(3.2)
Karena ⍺i selalu ada pada composite error term pada setiap periode waktu, maka vit mengalami serial correlation. Dapat ditunjukkan bahwa:
;t s u2 2
Corr (v it , v is )
2
(3.3)
Kemudian mengoreksi keberadaan serial correlation dengan prosedur GLS. Namun demikian agar prosedur 176
k ( x itk x ik ) (v it v i
3.2. Pemilihan Model Terbaik Juanda (2012:183) menjelaskan bahwa pemilihan model antara pooled atau panel adalah dengan Uji Chow atau Likelihood Test Ratio, yaitu dengan melihat signifikansi dari F hitung. Uji Chow melihat konsistensi pendugaan dengan fixed effect untuk memilih antara fixed effect atau pooled. H0: Probability value > α (pooled lebih baik) H1: Probability value < α (fixed effect lebih baik).
3.1.1. Fixed Effect Model
N
ini efektif data harus memiliki N yang lebih besar daripada T. Dengan GLS dilakukan transformasi pada setiap regressor dan variabel terikat melalui suatu koefisien λ, dimana 2 (3.4) 1 ( 2 u 2 )1 / 2 T a Estimator ini selanjutnya digunakan untuk mentransformasi persamaan 3.1 menjadi y it ˆy i 0 (1 ˆ ) 1 ( x it1 ˆx i1 ) .... .. (3.5)
Pemilihan model panel antara fixed effect atau random effect pada penelitian ini didasarkan pada Nachrowi (2006:318) yang menyebutkan pendapat pakar bahwa pemilihan fixed atau random effect dapat dilakukan dengan pertimbangan tujuan analisis, atau ada pula kemungkinan data yang digunakan atas dasar pembuatan model hanya dapat diolah oleh salah satu model saja akibat persoalan berbagai teknis matematis yang melandasi perhitungan. Misalnya, fixed effect hanya dapat dilakukan jika jumlah individu lebih besar dibanding jumlah koefisien termasuk intercept. Beberapa ahli ekonometri membuktikan secara matematis dimana dikatakan bahwa: 1. Jika data panel mempunyai jumlah waktu (T) lebih besar daripada jumlah individu (N), maka disarankan menggunakan fixed effect. 2. Jika data panel mempunyai jumlah waktu (T) lebih kecil daripada jumlah individu (N), maka disarankan menggunakan random effect. Dengan bersandar pada literatur yang ada maka model panel dalam penelitian ini mengarah pada random effect, karena data penelitian ini memiliki jumlah individu yang lebih besar daripada jumlah waktu. 3.3. Model Penelitian Berdasarkan uraian sebelumnya bahwa kinerja ekonomi dapat dilihat dari perkembangan nilai PDRB, dimana persamaan PDRB adalah, Y = C + I + G + (E-M) maka penelitian ini memodifikasi persamaan PDRB diatas kedalam bentuk yang lebih sederhana, yakni hanya mengangkat faktor belanja pemerintah (G). Belanja pemerintah pada umumnya merupakan input dari pemerintah pusat yang disalurkan melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA EKONOMI DAERAH Shofwatun Hasna
(APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun dalam penelitian ini, aspek yang diteliti hanya aspek pendapatan yang terdiri dari pendapatan daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah. Sehingga rancangan model yang dibangun dalam penelitian ini adalah, PDRBit = β0 + β1 log_DAKit + β2 DBHit + β3 DAUit + β4 SAHit + β5 PADit + εit dimana, PDRBi : PDRB masing-masing kabupaten/kota yang mewakili variabel kinerja ekonomi dalam juta rupiah DAKi : Dana Alokasi Khusus masing-masing kabupaten/kota dalam juta rupiah DBHi : Penjumlahan dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Non-Pajak masing-masing kabupaten/kota dalam juta rupiah DAUi : Dana Alokasi Umum masing-masing kabupaten/kota dalam juta rupiah SAHi : Lain-lain Pendapatan yang Sah masing-masing kabupaten/kota dalam juta rupiah PADi : Pendapatan Asli Daerah masing-masing kabupaten/kota dalam juta rupiah ɛ : error term
4. HASIL ANALISIS 4.1. Hasil Uji Chow Langkah pertama dalam pemilihan model terbaik adalah dengan Uji Chow yaitu melihat konsistensi pendugaan dengan fixed effect untuk memilih antara fixed effect atau pooled. Hasil uji Chow menunjukkan bahwa penggunaan model fixed effect lebih tepat, karena probability value dari F statistik signifikan. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa model panel fixed effect lebih baik digunakan daripada pooled/OLS. Perhatikan tabel 1.
Statistic
Prob.
Cross-section F
117.95
0.0
Cross-section Chi-square
648.05
0.0
Sedangkan untuk pemilihan model panel antara fixed effect atau random effect bersandar pada pendapat pakar dalam Nachrowi (2006). Data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa N=38 dan T=4, maka dapat ditentukan bahwa model yang terpilih dalam penelitian ini adalah random effect karena N (jumlah individu) > T (jumlah waktu).
4.2. Uji Hipotesa dan Signifikansi Model Panel Random Effect Hasil estimasi model melalui pengolahan data dengan software Eviews6 ditampilkan dalam tabel 2 berikut ini. Tabel 2 Hasil Estimasi_1
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
Coefficient 6639034 5.119 **5.764 -1.444 **3.859 **16.912 0.5238
Keterangan: **signifikan pada α = 0.05
Hasil estimasi random effect menunjukkan bahwa hanya tiga variabel yang signifikan berdampak variabel PDRB, yaitu DBH, Lain-lain pendapatan yang sah, dan PAD. Sedangkan DAK dan DAU terbukti tidak berdampak terhadap variabel PDRB. Langkah selanjutnya adalah melakukan regresi untuk tiga variabel yang signifikan, dan hasilnya adalah sebagai berikut, Tabel 3 Hasil Estimasi_2 Variable C
Coefficient 6426026
DBH?
**4.365
SAH?
**3.053
PAD?
**15.93
R2
0.5248
Keterangan: **signifikan pada α = 0.05
Model ini memiliki R2 = 0.525 yang berarti bahwa model mampu menjelaskan variabel endogen sebesar 52%, sedangkan 48% dijelaskan oleh variabel diluar model. Hasil regresi menunjukkan bahwa diantara 3 variabel eksogen tersebut yang paling berpengaruh terhadap kinerja ekonomi adalah PAD. Model penelitian ini adalah sebagai berikut, PDRBit = 6426026 + 4.365 DBHit + 3.053 DAUit + 15.93 PADit
Tabel 1 Uji Chow Effects Test
Variable C DAK? DBH? DAU? SAH? PAD? R2
5. PEMBAHASAN 5.1. Kinerja Keuangan Jawa Timur Periode 20092013 Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) meliputi aspek pendapatan dan aspek belanja serta aspek pembiayaan. Aspek pendapatan terdiri dari pendapatan daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah. Pengelolaan pendapatan daerah diarahkan pada peningkatan penerimaan daerah melalui, 1) optimalisasi pendapatan daerah sesuai peraturan yang berlaku dan kondisi daerah, 2) peningkatan kemampuan dan keterampilan SDM pengelola pendapatan daerah, 3) peningkatan intensitas hubungan perimbangan keuangan pusat dan daerah secara adil dan proporsional berdasarkan potensi dan pemerataan, dan 4) kesadaran masyarakat untuk memenuhi kewajibannya.
177
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA EKONOMI DAERAH Shofwatun Hasna
Pendapatan daerah adalah semua penerimaan melalui rekening kas umum daerah, yang menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah. Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Pendapatan daerah dibagi menjadi tiga komponen, PAD, Dana Perimbangan, dan Lain-lain pendapatan yang sah. Berdasarkan data selama tahun 2009-2013 perkembangan pendapatan daerah provinsi Jawa Timur cukup baik dan mengalami peningkatan. Pada tahun 2009 total pendapatan daerah adalah sebesar 7,82 triliun lebih. Angka tersebut terus mengalami peningkatan hingga tahun 2013 menjadi 17,39 triliun lebih dengan peningkatan rata-rata 22,40%, (RPJMD 2014-2019 dalam Biro Kesra Jatim). Peningkatan pendapatan Jawa Timur periode 2009-2013 dapat dilihat dalam grafik berikut. Grafik 1 Pendapatan Daerah Jawa Timur Pendapatan Daerah Jawa Timur 20000000 15000000 10000000 5000000 0
Grafik 2 Target dan Realisasi Belanja Daerah Jawa Timur 20000000 15000000 10000000
Target
5000000
Realisasi
0 pendapatan daerah
Pada aspek belanja daerah, disebutkan pada peraturan menteri dalam negeri Nomor 13 Tahun 2006, dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan propinsi atau kabupaten/kota. Dana tersebut terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu, yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, atau antar pemerintah daerah, yang ditetapkan berdasar aturan undang-undang. Belanja daerah dikelompokkan kedalam belanja langsung dan belanja tidak langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang penganggarannya tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Sementara belanja langsung terkait secara langsung dengan program dan kegiatan. APBD Jawa Timur selama kurun waktu 20092013 mengalami perkembangan yang terus meningkat. Pada RPJMD 2014-2019 oleh Biro Kesra Jatim disebutkan bahwa tahun 2009 kekuatan belanja daerah sebesar 7,60 triliun lebih dan tahun 2013 menjadi 16,78 triliun lebih dengan peningkatan ratarata 22,27%. Realisasi belanja setiap tahunnya selama periode 2009-2013 mengalami kenaikan yaitu ratarata pertahun sebesar 26,10% untuk belanja tidak langsung dan 17,39% untuk belanja langsung. Apabila dibandingkan antara target dan realisasi dapat
178
diketahui bahwa realisasi belanja belum mencapai 100%. Hal ini dikarenakan pedoman pelaksanaan DAK datangnya sering terlambat. Selain itu penggunaan DBH juga dibatasi oleh peraturan menteri keuangan No 84/PMK.07/2008 tentang penggunaan DBH cukai hasil tembakau dan sanksi atas penyalahgunaan alokasi DBH cukai tembakau sebagaimana telah diubah oleh peraturan menteri 20/PMK.07/2009. Oleh karena itu daerah sangat berhati-hati dalam penggunaannya sehingga berdampak pada realisasi penyerapan anggaran. Namun demikian dari tahun ketahun realisasi belanja daerah semakin meningkat meski belum mencapai 100%. Target dan realisasi Belanja Daerah Jawa Timur dapat dilihat pada grafik berikut ini,
5.2. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi Transfer pemerintah pusat kepada pemerintah kabupaten/kota diharapkan mampu meningkatkan kinerja ekonomi demi kesejahteraan masyarakat. Daerah yang mendapat alokasi fiskal yang lebih besar dari pemerintah akan cenderung memiliki kinerja ekonomi yang lebih bagus. Hal ini akan mendorong proses pembangunan melalui penyediaan lapangan kerja yang lebih banyak dan tingkat pendapatan perkapita yang lebih tinggi. Jawa Timur dapat digolongkan kedalam tiga tingkat ekonomi, yaitu tingkat ekonomi tinggi, menengah dan rendah. Daerah tingkat ekonomi tinggi adalah daerah dengan PDRB lebih dari 10 Triliun per tahun periode 2009-2013. Daerah ekonomi rendah memiliki PDRB 5 hingga 10 Triliun. Sedangkan daerah ekonomi rendah memiliki PDRB kurang dari 5 Triliun. Golongan tingkat ekonomi akan digunakan dalam mempermudah analisis pada penelitian ini, yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4 Tingkat Ekonomi Kabupaten/Kota Tinggi
Menengah
Rendah
Kota Surabaya Sidoarjo
Tuban Bojonegoro
Situbondo Bangkalan
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA EKONOMI DAERAH Shofwatun Hasna
Tinggi Kota Kediri Gresik Malang Kota Malang Jember Banyuwangi Kota Blitar
Menengah Mojokerto Tulungagung Kediri Pasuruan Probolinggo Jombang Lumajang Lamongan Blitar Nganjuk Sumenep
Rendah Ponorogo Magetan Bondowoso Ngawi Trenggalek Madiun Sampang Pamekasan K. Madiun K. Probolinggo K. Batu Pacitan K. Mojokerto Kota Pasuruan
Hasil regresi random effect memperlihatkan nilai individual effect untuk masing-masing kabupaten/kota. Nilai individual effect tertinggi adalah Kota Surabaya, disusul kemudian oleh Kota Kediri, Sidoarjo dan Gresik, dimana masing-masing memiliki nilai individual effect yang positif. Sedangkan 4 daerah yang memiliki individual effect terendah adalah Kota Batu, Pacitan, Kota Mojokerto, dan Kota Pasuruan, dimana masingmasing memiliki nilai individual effect negatif yaitu 0.5353. Perhatikan tabel 5 berikut ini. Tabel 5 Nilai Individual Effect per Kabupate/Kota Daerah Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar Kediri Malang Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo Pasuruan Sidoarjo Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun
ind. Efct -5901302 -4768886 -4699319 -593596 -2488135 -977554 4894129 -1562893 1604455 2480094 -4832948 -3994591 -1099692 -2566342 11655817 -549345 -2424651 -3055528 -4606252
Daerah Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota Kediri Kota Blitar Kota Malang Kota Probolingg Kota Pasuruan Kota Mojokerto Kota Madiun Kota Surabaya Kota Batu
ind.efct -4464228 -4577905 -1770241 -452474 -2570130 5873332 -4515881 -4651706 -5713220 -2771995 14784638 -1263794 4739917 -5487802 -6114549 -6009151 -5338349 59451070 -5660993
Nilai individual effect tersebut menunjukkan kinerja ekonomi di setiap kabupaten/kota ketika dana fiskal dianggap 0. Nilai intercept tertinggi terjadi di kota Surabaya sebesar 59451070 yang berarti bahwa ketika dana fiskal dianggap 0, maka PDRB Surabaya adalah sebesar 59.451.070 rupiah. Ini menunjukkan bahwa masih banyak faktor yang memberikan dampak positif pada PDRB Surabaya. Hal ini jelas terlihat karena Surabaya adalah ibukota provinsi dengan mobilitas
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
tinggi dan merupakan daerah kawasan industri, sehingga Surabaya mampu mandiri tanpa bergantung pada alokasi dana fiskal dari pemerintah. Nilai individual effect juga bernilai positif pada kabupaten/kota lainnya di Jawa Timur, yaitu terjadi di 8 daerah dengan tingkat ekonomi tinggi. Daerahdaerah tersebut mempunyai kepadatan penduduk tinggi karena merupakan kawasan industri, yaitu Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, dan Kota Kediri. Dua daerah lain yaitu Kabupaten Jember dan Kota Malang merupakan daerah pusat pendidikan sedangkan Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Malang adalah daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam. Kedelapan daerah tersebut merupakan daerah yang tetap produktif meski dalam kondisi dimana dana fiskal dianggap 0. Ini menunjukkan bahwa daerah yang mampu secara mandiri mengelola pertumbuhan ekonominya dengan baik hanya terjadi di 8 daerah di Jawa Timur. Sedangkan 30 daerah yang lain dengan nilai individual effect negatif menunjukkan pertumbuhan ekonominya sangat bergantung kepada dana fiskal dan transfer dana pembangunan dari pemerintah pusat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perhatian pemerintah Jawa Timur masih kurang terhadap daerah-daerah tertinggal, khususnya perhatian dalam mendorong daerah tertinggal untuk lebih produktif menggali kekayaan dan kemampuan daerahnya sendiri dengan dana fiskal yang ada. Sebanyak 79% dari seluruh daerah yang ada belum mampu mempergunakan dana fiskal untuk menggali potensi daerahnya secara mandiri demi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. 5.2.1. Dampak Dana Perimbangan (DAK, DBH, DAU) terhadap Kinerja Ekonomi Provinsi Jawa Timur Dana perimbangan yang dialokasikan pemerintah propinsi kepada pemerintah kabupaten/kota di Jawa Timur yang terdiri dari DAK, DBH dan DAU, memperlihatkan bahwa DAK dan DAU terbukti tidak memberikan dampak terhadap kinerja ekonomi Jawa Timur, sedangkan DBH berdampak positif. 5.2.1.1. DAK Data realisasi dari DAK tahun 2009 memperlihatkan bahwa realisasi DAK digunakan untuk 13 sektor yaitu, pendidikan, pelayanan dasar, pelayanan rujukan, infrastruktur jalan, infrastruktur irigasi, infrastruktur air minum dan sanitasi, kelautan dan perikanan, pertanian, lingkungan hidup, keluarga berencana, kehutanan, prasarana pedesaan, dan perdagangan (Sumber http://www.bappenas.go.id). Daerah yang merealisasikan DAK secara optimal untuk 13 sektor tersebut hanya 21 daerah, yang terdiri dari 9 daerah ekonomi rendah, 6 daerah ekonomi menengah dan 6 daerah ekonomi tinggi. Sedangkan 17 daerah lainnya merealisasikan DAK kurang dari 100% dimana mayoritas berasal dari daerah dengan tingkat ekonomi menengah. Terdapat fenomena yang janggal dalam kasus ini, dimana DAK dimanfaatkan secara optimal oleh semua daerah kaya selain Kabupaten
179
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA EKONOMI DAERAH Shofwatun Hasna
Malang sedangkan mayoritas daerah ekonomi menengah kurang mampu memanfaatkan DAK secara optimal, (Sumber PPPD 2009, data diolah). Mayoritas kabupaten/kota dengan tingkat ekonomi menengah di Jawa Timur ternyata masih banyak yang belum merealisasikan DAK secara keseluruhan. Padahal, kompenen DAK meningkat cukup tinggi sekitar 14 persen dari pendapatan daerah per tahunnya (dari Rp. 1,1 triliun pada tahun 2006 menjadi Rp. 1,7 triliun pada tahun 2010). Secara ratarata setiap kabupaten/kota di Jawa Timur menerima DAK sebesar 44 miliar rupiah (jika menggunakan data 2010), yang sebagian besar atau sekitar 51 persen dana DAK dialokasikan untuk pendidikan. Sedangkan porsi DAK untuk sektor infrastruktur di Jawa Timur hanya sebesar 20 persen dan hanya 5 persen untuk sektor pertanian, atau jika dihitung dari rata-rata per kabupaten/kota maka nilainya sebesar Rp. 9 miliar untuk infrastruktur dan 2,1 miliar rupiah untuk pertanian, (Sumber http://www.bappenas.go.id). Realisasi DAK yang tidak optimal serta besaran DAK yang kurang untuk alokasi infrastruktur dan pertanian inilah yang merupakan penyebab DAK tidak berdampak terhadap kinerja ekonomi di Jawa Timur periode 2009-2013. 5.2.1.2. DBH Hasil regresi menunjukkan bahwa DBH berdampak positif terhadap kinerja ekonomi, diperoleh koefisien sebesar 4,36 yang berarti bahwa setiap kenaikan 1 juta DBH dapat meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto sebesar 4,4 juta. DBH terdiri dari dana bagi hasil pajak dan dana bagi hasil non pajak, salah satunya dari bagi hasil pengelolaan sumber daya alam. Hampir seluruh pendapatan bagi hasil pemerintah provinsi dan kabupaten/kota Jawa Timur berasal dari bagi hasil pajak. Porsi bagi hasil pajak secara rata-rata mencapai 98 persen dari seluruh pendapatan bagi hasil selama 2006-2010. Sedangkan untuk porsi bagi hasil sumber daya alam di Jawa Timur sangat minim, yaitu rata-rata sebesar 2 persen dari total bagi hasil SDA Jawa Timur. Pada tahun 2008 dana bagi hasil ini meningkat cukup tinggi dari Rp. 75 miliar menjadi Rp. 383 miliar yang sebagian besar berasal dari dana bagi hasil SDA untuk minyak di Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bojonegoro (LKPP 2008 dalam Bank Dunia, 2011). Data yang ada menjelaskan bahwa tingkat DBH dari penerimaan pajak lebih besar daripada non pajak. Ini juga dibuktikan dengan data BPS dimana perolehan DBH terbesar diduduki oleh Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Malang. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah dengan mobilitas tinggi yang kaya akan penerimaan pajak, baik pajak bumi dan bangunan maupun pajak penghasilan. Namun meski demikian, komponen DBH secara keseluruhan baik dari pajak maupun non pajak, jika dilihat dari pendapatan daerah Jawa Timur, meningkat sebesar 10 persen dari Rp. 3,1 triliun pada 2006 menjadi Rp. 4,5 triliun pada 2010. Peningkatan DBH ini
180
ternyata berdampak terhadap kinerja ekonomi kabupaten/kota di Jawa Timur periode 2009-2013. 5.2.1.3. DAU Hasil regresi menunjukkan bahwa DAU tidak berdampak terhadap kinerja ekonomi. Jumlah DAU pemerintah kabupaten/kota secara keseluruhan mengalami penurunan walaupun masih merupakan komponen terbesar pendapatan daerah pemerintah kabupaten/kota. Porsi DAU menurun dari 70 persen pada tahun 2006 (Rp. 19,1 triliun) menjadi 55 persen pada tahun 2010 (Rp. 18,7 triliun), (Bank Dunia, 2011). Pemerintah menetapkan alokasi transfer Dana Alokasi Umum (DAU) yang tidak sesuai dengan kaidah bahwa daerah yang mempunyai kapasitas fiskal tinggi akan mendapat pasokan DAU yang lebih kecil daripada daerah berkapasitas fiskal rendah demi mengurangi kesenjangan fiskal antar daerah. Namun fakta yang terjadi, alokasi DAU tampak belum disesuaikan dengan tingkat pendapatan masing-masing daerah, dimana alokasi DAU tertinggi didapat oleh wilayah dengan PDRB tinggi seperti kabupaten Malang, Jember, Banyuwangi, Kota Surabaya, dan Kediri. Penurunan alokasi DAU dari tahun ke tahun, disertai alokasi yang tidak memperhatikan kemampuan fiskal setiap daerah, merupakan faktor pemicu DAU tidak berdampak pada kinerja ekonomi Provinsi Jawa Timur periode 2009-2013. 5.2.2. Dampak Lain-lain Pendapatan yang Sah terhadap Kinerja Ekonomi Provinsi Jawa Timur Hasil regresi menunjukkan bahwa Lain-lain Pendapatan yang Sah memberikan dampak positif terhadap kinerja ekonomi. Koefisien sebesar 3.05 berarti bahwa setiap kenaikan 1 juta Lain-lain pendapatan yang sah akan meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto sebesar 3 juta rupiah. Lain-lain pendapatan yang sah berasal dari pendapatan hibah, dana darurat yang merupakan dana dari APBN yang dialokasikan kepada daerah yang mengalami bencana nasional, peristiwa luar biasa dan/atau krisis solvabilitas, dana bagi hasil pajak dari provinsi dan pemerintah daerah lainnya, dana penyesuaian otonomi khusus dari pemerintah, bantuan keuangan dari provinsi dan pemerintah daerah lainnya, serta pendapatan yang sah lainnya. Komponen pendapatan daerah lainnya mengalami pertumbuhan tertinggi. Pendapatan lain yang sah dalam lima tahun terakhir (2009-2013) terus mengalami peningkatan. tahun 2009 di Jawa Timur nilainya Rp 26,09 Miliar lebih. Pada tahun 2012 meningkat hingga 2,74 Triliun lebih, dan 2013 menjadi 2,70 Triliun lebih. Pendapatan ini pengelolaannya diarahkan untuk kesejahteraan publik secara umum, (RPJMD 2014-2019 dalam Biro Kesra Jatim). Fakta ini memberikan petunjuk bahwa penyaluran dana Lain-lain Pendapatan yang Sah secara optimal dapat dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi daerah, sehingga memberikan dampak positif terhadap kinerja ekonomi.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA EKONOMI DAERAH Shofwatun Hasna
5.2.3. Dampak Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Kinerja Ekonomi Provinsi Jawa Timur Hasil regresi menunjukkan bahwa PAD berdampak positif terhadap kinerja ekonomi. Koefisien sebesar 15.93 menunjukan bahwa setiap kenaikan 1 juta PAD maka akan meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto sebesar 16 juta rupiah. Pendapatan Asli Darah (PAD) berasal dari pajak, retribusi, lain-lain PAD yang sah, hasil Perusahaan Milik Daerah dan Pengelolaan Kekayaan Daerah. PAD terbesar mayoritas diduduki oleh kabupaten/kota maju seperti Surabaya, Jember, Kabupaten Malang, Kota Malang, Gresik dan Sidorjo. Sedangkan PAD terendah, mayoritas berasal dari daerah dengan tingkat ekonomi rendah. Hal ini sesuai dengan tingkat produktivitas dari masing-masing kabupaten/kota, dimana daerah dengan tingkat produktivitas tinggi menghasilkan lebih besar PAD daripada daerah dengan produktivitas rendah. Hasil regresi menunjukkan bahwa PAD adalah faktor fiskal terbesar dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Jawa Timur. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah mampu mendorong kemandirian daerah dalam menggali potensi daerahnya. Komponen PAD mengalami pertumbuhan yang stabil dengan rata-rata 7 persen per tahunnya dari Rp. 7,1 triliun pada tahun 2006 menjadi Rp. 9,4 triliun pada tahun 2010. Pada pemerintah provinsi, selama 20062010, secara rata-rata lebih dari 80 persen PAD provinsi berasal dari pajak daerah. Komponen kedua terbesar dalam PAD provinsi disumbangkan oleh pendapatan daerah lainnya yang sebagian besarnya terdiri dari keuntungan perusahaan besar. Secara ratarata kontribusi PAD lainnya pada PAD provinsi mencapai 6 persen selama periode 2006-2010. Sumber PAD provinsi lainnya adalah retribusi daerah (4 persen) serta hasil kekayaan daerah yang dipisahkan. Pada tingkat kabupaten/kota, sumber PAD mayoritas berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Porsi kedua komponen PAD ini hampir sama yaitu rata-rata 36 persen untuk pajak daerah dan 35 persen untuk retribusi daerah selama 2006-2010. (3 persen), (Bank Dunia, 2011). Besarnya PAD dari pajak ini membuktikan bahwa pajak yang dikelola oleh daerah sendiri mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa mulai tahun 2010 pemerintah pusat menambah unsur penerimaan PAD dengan mendesentralisasikan penerimaan dari Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) kepada daerah setempat. Dengan cara demikian maka sumber penerimaan daerah akan lebih dapat ditingkatkan untuk mendorong pelaksanaan pembangunan dan otonomi daerah. Hal ini membuktikan bahwa implementasi ini berhasil mendorong pemerintah kabupaten/kota dalam meningkatkan kinerja perekonomiannya.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
6. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat dijabarkan kesimpulan bahwa pendapatan Jawa Timur periode tahun 2009 hingga 2013 terus mengalami kenaikan. Begitu pula dengan target dan realisasi belanja daerah pada periode tersebut terus mengalami kenaikan meski belum terealisasi 100%. Hasil regresi menunjukkan DBH, lain-lain pendapatan yang sah, dan PAD berdampak positif terhadap kinerja ekonomi, sedangkan DAK dan DAU terbukti tidak memberikan dampak terhadap perekonomian Provinsi Jawa Timur periode 20092013.
7. IMPLIKASI DAN KETERBATASAN Penelitian ini dapat memberikan wawasan bagi kalangan akademis tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja ekonomi daerah yang dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran. Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu peneliti hanya mengangkat satu variabel eksogen saja yaitu fiskal untuk membahas dampak terhadap kinerja perekonomian Jawa Timur selama periode penelitian. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini dengan memperluas pembahasan dan menambahkan jumlah variabel eksogen, karena sebagaimana diketahui bahwa ada banyak faktor yang berdampak pada kinerja ekonomi, khususnya pada peningkatan PDRB.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Syukri dan Abdul Halim. 2004. Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Pemda: Studi Kasus Kabupaten dan Kota di Jawa dan Bali. Jurnal Ekonomi STEI No. 2/Tahun XIII/25. Ariefanto, Doddy. 2012. Ekonometrika Esensi dan aplikasi dengan Menggunakan Eviews. Jakarta: Erlangga. Bahl, Roy W. And Johanes F. Linn. 1992. Urban Public Finance in Developing Countries. Oxford University Press. Bahl, Roy W. ,2000. China Evaluating the impact of Intergovernmental Fiscal reformdalam Fiscal Decentralization in Developing Countries. Edited by Richard M. Bird and Francois Vaillancourt. United Kingdom : Cambridge Univercity Press. Bank Dunia. 2011. Ringkasan Eksekutif Analisa Pengeluaran Publik Jawa Timur 2011. Diakses dari http://siteresources.worldbank.org pada tanggal 20 Juni 2013. Bird, Richard M. And Wallich, C. 1993. Fiscal Decentralization and Intergovermental Fiscal Relation in Transitional Economies: Towards a Systematic Framework of Anlysis. Country Economics Departement Working Paper. Washington DC: World Bank.
181
DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA EKONOMI DAERAH Shofwatun Hasna
Biro Kesra Jatim. 2014. RPJMD 2014-2019, diakses dari ro-kesra.jatimprov.go.id. pada tanggal 28 September 2015. BPS. 2011. Analisis Keuangan Kabupaten/Kota. Jakarta: BPS. BPS. 2013. Analisis Keuangan Kabupaten/Kota. Jakarta: BPS. BPS. 2013. PDRB Kabupaten/Kota. Jakarta: BPS. BPS. 2014. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota 2013-2014. Jakarta: BPS. Devas, Nick et all, 1989. ”Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia.” Jakarta: UI-Press. Davey, K.J, 1988. “Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-Praktek Internasional dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga.” Jakarta: UI-Press. Ehtisham, Ahmad; Ma, Jun; Searle, Bob; Piperno, Stefano, 2002. “Intergovernmental Grant System: Application of a General Framework to Indonesia.” IMF Working Paper No. WP/02/128, International Monetary Fund, Washington DC. Fahrian, Sendie Enril. 2013. Analisis Peran Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Ekonomi di Kabupaten/Kota Jawa Timur. Laporan hasil penelitian. Hasugian, A. 2006. Dampak Desentralisasi terhadap Kinerja Keuangan Daerah dan Kemiskinan di Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat. Skripsi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Hermani, A. 2007. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian di Kabupaten Brebes dan Kota Tegal. Tesis Magíster Sains. Program Pasca Sarjana Intitut Pertanian Bogor. Irdhania, Annisa. 2009. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian dan Potensi Keuangan Kabupaten Bogor. Laporan hasil penelitian. Juanda, Bambang dan Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu Teori dan Aplikasi. Bogor: IPB Press. Kaloh, J, 2002. Mencari bentuk Otonomi Daerah. Jakarta : PT Rineka Cipta Khusaini, Muhamad, 2006, Ekonomi Publik: Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Daerah. Malang : BPFE Unbraw. Lewis, Blane D, 2001. “Dana Alokasi Umum: Description, Empirical Analysis, and Recommendations for Revision.” Paper Prepared for the Indonesian Regional Science Association Conference (IRSA) 20-21 March 2001, Jakarta, Indonesia. LPEM FE-UI, 2001. “Dampak Penerimaan Dana Perimbangan dari Bagi Hasil Sumber Daya Alam (SDA) dan Dana Alokasi Umum (DAU) Bagi Perekonomian Daerah.” Laporan hasil penelitian. Mahi, Raksaka, 2002. “Desentralisasi Fiskal dan Otonomi Daerah.” Makalah disampaikan dalam Kursus Reguler Angkatan XXXV, LEMHANAS, Jakarta, 25 Agustus 2002. Mahi, Raksaka, 2005. “Peran Pendapatan Asli Daerah di Era Otonomi Daerah.” Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Vol. 6, No. 1 Juli.
182
Mualim, Mus. 2010. Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Peran Kelembagaan Dana Otonomi Khusus Papua di Provinsi Papua Barat. Tesis, Brawijaya. Musgrave, Richard A, 1983. “Who Should Tax, Where, and What ?“ Dalam Wallace E Oates (Ed) The Economics of Fiscal Federalism and Local Finance. Edward Elgar, Centelham, United Kingdom. Penyelenggaraan Pemerintah dan Pembangunan Daerah. Buku Pegangan 2009. Diakses dari http://www.bappenas.go.id pada tanggal 20 Juni 2013. Rasyid, Ryaas. 2007. Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannyadalam Desentralisasi dan otonomi Daerah, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: LIPI Press. Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Setiono, Dedi NS. 2011. Ekonomi Pengembangan Wilayah. Jakarta: FE-UI. Sjafrizal. 2012. Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sugiyanto, 2000. "Kemandirian dan Otonomi Daerah". Media Ekonomi dan Bisnis, Vol.XII, No.1 Hal.: 1-7, Semarang : FE UNDIP. Sukirno, Sadono. 2008. Pengantar Teori Makroekonomi. Jakarta: Rajawali Pers. Utomo, Sugeng Hadi. Hadi Sumarsono. 2009. Dampak Kebijakan Desentralisasi Fiskal terhadap Efisiensi Sektor Publik dan Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Timur. JESP Vol. 1, No. 2. Wurzel, Eckhard. 1998. Germany Reforming Federal Fiscal Relation. Organization for Economics Development. The OECD Observer. Yuliyati, T. 2002. Potensi Keuangan Daerah, Derajat Desentralisasi Fiskal dan Dampaknya terhadap Kinerja Ekonomi Daerah di Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, dan Kota Tegal. Tesis Magíster Sains Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Yunasman. 2007. Manajemen Keuangan Daerah: Suatu Tinjauan Era UU No 5/1974, Era UU No. 22/1999, dan Era UU No 32/2004. Dalam Seri Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015, Halaman 183-190 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
FISCAL AND MONETARY POLICY INTERACTION IN INDONESIA: A VAR ANALYSIS FROM 2000 TO 2013 Eko Sumando
Universitas Gajah Mada, Indonesia; e-mail:
[email protected] INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 15 September 2015
The paper examines the interaction of fiscal and monetary policy and the effectiveness of Inflation Targeting Framework (ITF) using Vector Autoregression (VAR) method in Indonesia from 2000 to 2013. The study uses model that is estimated from the Nordhaus approach and the secondary data obtained from Federal Reserve St. Lois (FRED) and CEIC. The study shows the absence of fiscal dominance in Indonesia and the ITF is moderately effective in achieving targeted inflation rate. Tightening monetary policy by Bank Indonesia is able to affect almost 30 per cent the change in inflation variability after two year. Expansionary fiscal policy is only able to reduce the unemployment in a very short term, which will potentially lead to inflation. The results suggest that in a short term the coordination of fiscal and monetary policy is needed and effective to achieve lower unemployment and minimize the gap between the targeted and actual inflation.
Dinyatakan Dapat Dimuat 23 Desember 2015 KATA KUNCI: Fiscal Theory of Price Level, Inflation Targeting, Vector Autoregression
Studi ini meneliti interaksi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter di Indonesia sejak tahun 2000 s.d 2013, serta keefektifan Inflation Targeting Framework (ITF) dengan menggunakan metode Vector Autoregression (VAR). Studi ini menggunakan model yang disusun oleh Nordhaus (1994) dan menggunakan data sekunder dari Federal Reserve St. Lois (FRED) dan CEIC. Hasil studi menunjukkan tidak adanya dominasi kebijakan fiskal di Indonesia and ITF berjalan dengan efektif dalam mencapai target inflasi. Kebijakan moneter yang kontraktif dari Bank Indonesia mampu mempengaruhi hampir 30 persen dari perubahan variasi inflasi setelah dua tahun. Di lain sisi, kebijakan fiskal ekspansif hanya mampu mengurangi pengangguran pada jangka pendek, yang akhirnya berpotensi meningkatkan inflasi. Hasil ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek koordinasi antara otoritas fiskal dan otoritas moneter di Indonesia diperlukan sebab koordinasi ini cukup efektif untuk menurunkan tingkat pengangguran dan meminimalkan gap antara target inflasi dan inflasi aktual.
1. INTRODUCTION
Developing countries have adopted the Inflation Targeting Framework (ITF) in their monetary policy over the last decade. This framework was also formally adopted by Indonesia in 2000 by the implementation of Law No. 23 Year 1999 replacing the previous monetary policy that used base money as the monetary policy target. The ITF is a monetary policy framework which aims to create price level stabilization. Using this framework, Bank Indonesia, the central bank of Indonesia, announced to the public in the commencement of fiscal year a government-set inflation target and used interest rate as monetary policy instrument to achieve this target. Masson (1997) suggests that the success of the ITF is in the absence of fiscal dominance on monetary policy which means that central bank independence is an important factor for the ITF success. However, central bank independence is not enough to assess the effectiveness of monetary policy. Leith and Wren-Lewis (2000) argue that monetary and fiscal policy has an influence on the price level
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 1, 2014
separately which called the Fiscal Theory of the Price Level (FTPL). FTPL describes the interaction of fiscal policy and monetary policy and the theory states that when fiscal policy makers do not meet the intertemporal budget constraints, the fiscal policy has more influence on the price level. Monetary policy can only control the price stabilization if the Ricardian Equivalence is met. The basic FTPL model explains the role of short-term fiscal policy as a stabilization which is consistent with an active monetary policy. However, whether fiscal policy is active or passive is irrelevant. Thus, the combination of stabilization and solvency becomes credible. The interaction of fiscal and monetary policy has long been a debate among economists and policy makers. On the one hand, monetary policy aims to maintain price level stability, while on the other hand fiscal policy aims to achieve higher economic growth to obtain high employment. The main problem of the interaction of fiscal and monetary policy lies in the short term trade-off between the achievement of price stability and economic growth. Hence, it is necessary to
183
FISCAL AND MONETARY POLICY INTERACTION IN INDONESIA: A VAR ANALYSIS FROM 2000 TO 2013 Eko Sumando
understand the linkage between these two policies to know the effectiveness of both to achieve price stabilization. This paper will contribute to the understanding of how fiscal policy and monetary policy interact and measure the effectiveness of inflation targeting framework particularly in Indonesia. This issue is important especially in growing needs for good policy mix to achieve stabilization in economics. VAR analysis will be used in order to examine the interaction of fiscal and monetary policy in Indonesia for the period 2000Q1 to 2013Q4. This time period is chosen because it is the period whereas ITF implemented as the central bank objective. The hypothesis is that the ITF policy by the monetary authority is able to give a strong influence Indonesia’s fiscal authority. Therefore, the fiscal dominance that Indonesia showed prior to the ITF based on a research by Firman (2003) will be much weaker or gone after more than a decade of ITF’s implementation. This paper examines the interaction of fiscal policy and monetary policy in Indonesia during the period 2000-2013, using Vector Autoregression (VAR) analysis to assess the effectiveness of the policy mix. There will be four variables that applied in the VAR system. Unemployment or output gap and inflation are two variables which represented macroeconomics goals of the both policies while fiscal policy and monetary policy instrument will be represented by the government expenditure and interest rate. Unit root test will be used to test the stationary of the data. Granger Causality test will be used to sequence the ordering of the variable in the VAR model. The results indicate that the ITF implemented by Indonesia is moderately effective. Tightening monetary policy by Bank Indonesia is able to affect almost 30 per cent of the change in inflation variability after two year. Expansionary fiscal policy is only able to reduce the unemployment in a very short term, which will potentially lead to inflation. The evidence shows that the hypothesis is confirmed. There is no fiscal dominance in Indonesia, as policy rate moves independently apart the changes in fiscal policy. Furthermore, the results show that coordination between fiscal and monetary authority in Indonesia is needed and effective to achieve lower unemployment and targeted inflation in a short term. The paper proceeds as follows: section two describes the literature review, section three explains the VAR model of fiscal and monetary policy interaction, section four discusses the results and the final section presents the conclusion.
2. LITERATURE REVIEW
Since the global financial crisis, the need for a better understanding of how fiscal and monetary policies interact is important. Interaction between fiscal policy and monetary policy in developing countries has been examined in several papers. However, empirical research on this area has provided mixed results because fiscal and monetary policies
184
interact in many ways, both nationally and internationally. Research on fiscal and monetary policy interactions can be divided into three aspects. The first focuses on the effect of interaction using a gametheoretical approach, for example, Tabellini (1986). The second analyzed the interactions using sophisticated macroeconomic models and has attempted to derive optimal monetary and fiscal policy strategies, for example, Woodford (2003). Finally, the last aspect of literature is more data-driven by using econometric techniques, Vector Auto Regression (VAR), by investigating the impact of policy interactions on the transmission mechanism, such as Zoli (2005) and Andlib et al (2012). This paper will focus on the last aspect by employing VAR approach in examining the data of the policy instruments and objectives. Previous research such as Zoli (2005) argues that there was fiscal dominance in Brazil and Argentina while Agha and Khan (2006) found inflation to be a fiscal phenomenon by showing that fiscal policy significantly influences the conduct of monetary policy in Pakistan. However, Andlib et al (2012), using VAR model for the period 1980 to 2011 in Pakistan, found different result that the two policies have been executed independently in Pakistan, but the coordination between them was weak. In the case of six South Asian countries, Hasan and Isgut (2009) found that fiscal policy responded to economic slowdown promptly during the period 1980 to 2008, while the response of monetary policy was mixed. These empirical studies are country-based and use a standard Vector Auto Regression (VAR) methodology. Therefore, to provide a consistent examination on Indonesia as one of the developing countries, this paper will also use VAR to examine the transmission of fiscal and monetary policy mix on the available data. In line with the general equilibrium theory, everything depends on everything else. Therefore, the question that arises is how to examine the relationships between different time series in the data. In principle, this question can be answered in two different ways. First, by conducting a bottom up strategy where the assumption is the data generating processes of the different time series are independent of each other. This approach is called Granger Causality test follows Clive W.J. Granger (1969) and usually employed when causality tests are performed. The second way is a top down strategy which assumes that the generating processes are not independent and asks whether some specific time series are generated independently of the other time series considered. This approach is called the Vector Auto Regressive processes following the paper by Christopher A. Sims (1980). Both approaches are employed to investigate the causal relationships which potentially exist between different time series (Kirchgassner, 2007). Vector Autoregressive Systems (VAR) is an alternative to the traditional simultaneous equations system approach. Starting from the autoregressive
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
FISCAL AND MONETARY POLICY INTERACTION IN INDONESIA: A VAR ANALYSIS FROM 2000 TO 2013 Eko Sumando
Table 1 Stationarity Test Summary Constant t-Statistic Prob.*
Constant and Trend t-Statistic Prob.*
None t-Statistic
Prob.*
IR
-2.41294
0.1432
-3.54103
0.0454
-1.10082
0.2425
LCPI (INF)
-1.99979
0.2862
-1.33321
0.8690
8.827781
1.0000
LGOV
-0.99578
0.7488
-2.30042
0.4266
5.513531
1.0000
LGDPGAP
-1.35134
0.5993
-1.26014
0.8873
-1.36292
0.1585
Variables
representation of weakly stationary processes, all included variables are assumed to be jointly endogenous. Thus, in a VAR of order p (VAR(p)), each component of the vector X depends linearly on its own lagged values up to p periods as well as on the lagged values of all other variables up to order p. Therefore, the starting point of this research is the reduced form of the econometric model that will be described furthermore in the next section.
3. MODEL AND DATA
The study uses the approach developed by Nordhaus (1994) to empirically examine fiscal and monetary policy interaction in Indonesia for the period 2000 - 2014. This approach employs the unrestricted VAR model as the analysis tool. Four variables are examine in this study; two macroeconomic variables, unemployment rate which is represented by the output gap (GAP) and inflation (CPI) and, two policy variables are interest rate (IR) and government spending (GOV) which describe the monetary and fiscal policy instruments. In the case of Indonesia the authority for fiscal policy is the Ministry of Finance and for monetary policy the Central Bank. The theoretical framework for the VAR model is derived from the objectives of monetary and fiscal authorities which is inflation and the output gap (Nordhaus, 1994). The Central Bank and Ministry of Finance have different utility preferences. The Central Bank is more concerned with price stabilization and has no preference for government spending. On the other hand, the Ministry of Finance is more concerned with the low unemployment rate and achieving higher economic growth even at the cost of high inflation. Neither of the two authorities has specific preferred level of interest rate. In this study, monetary policy instrument is represented by interest rate and fiscal
To employ the Nordhaus (1994) approach in VAR analysis, the first step is to examine the utility functions of the two authorities, given below: (1) (2)
𝑈 𝑀 = 𝑈 𝑀 (𝐺𝐴𝑃, 𝐼𝑁𝐹) 𝑈 𝐹 = 𝑈 𝐹 (𝐺𝐴𝑃, 𝐼𝑁𝐹, 𝐺𝑂𝑉)
U M and U F are the utility functions for the Central Bank and the Ministry of Finance, respectively. Unemployment and inflation are indicated by output gap (GAP) and CPI. Output gap measures the gap of the actual and the potential utilization of resources in the economy. (3)
𝑈 = 𝐺𝐴𝑃(𝐼𝑅, 𝐺𝑂𝑉)
Equation (3) uses output gap to indicate the unemployment rate which is the function of the interest rate and government spending (Nordhaus, 1994). Inflation is assumed to be a function of output gap and the expected rate of inflation is: (4)
𝐼𝑁𝐹 = 𝐼𝑁𝐹(𝐺𝐴𝑃) + 𝐼𝑁𝐹 𝑒
Expected inflation (𝐼𝑁𝐹 𝑒 ) depends on a historical component (𝐼𝑁𝐹 𝐵 ) and actual inflation rate (INF) in the economy, given by equation (5): (5)
𝐼𝑁𝐹 𝑒 = 𝜃𝐼𝑁𝐹 + (1 − 𝜃)𝐼𝑁𝐹 𝐵 By combining equation (4) and (5), we get: 𝐼𝑁𝐹 =
𝐼𝑁𝐹(𝐺𝐴𝑃) (1−𝜃)
+ 𝐼𝑁𝐹 𝐵 ; 0 ≤ 𝜃 < 1
(6)
Table 2 Stationarity Test Summary for First Difference Constant t-Statistic Prob.*
Constant & Trend t-Statistic Prob.*
t-Statistic
Prob.*
DIR
-4.50374
0.0007
-4.58497
0.0031
-4.46908
0.0000
DLCPI
-6.64268
0.0000
-7.07152
0.0000
-2.04226
0.0404
DLGOV
-8.49072
0.0000
-8.48542
0.0000
-1.81135
0.0670
DLGDPGAP
-7.29329
0.0000
-8.83376
0.0000
-7.35513
0.0000
Variables
None
instrument is represented by government spending.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
185
FISCAL AND MONETARY POLICY INTERACTION IN INDONESIA: A VAR ANALYSIS FROM 2000 TO 2013 Eko Sumando
Table 3 VAR Lag Order Information Criteria Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
302.3855
NA
2.73e-11
-12.97328
-12.81427
-12.91372
1
367.0235
115.2243
3.30e-12
-15.08798
-14.29292*
-14.79015
2
390.7918
38.23589
2.40e-12
-15.42573
-13.99462
-14.88963
3
412.4857
31.12603*
1.95e-12*
-15.67329
-13.60613
-14.89892*
4
430.2443
22.39131
1.97e-12
-15.74975
-13.04654
-14.73711
5
439.6115
10.18176
3.03e-12
-15.46137
-12.12211
-14.21046
6
450.2822
9.742823
4.83e-12
-15.22966
-11.25436
-13.74049
7
475.1104
18.35124
4.76e-12
-15.61350
-11.00214
-13.88605
8
506.1061
17.51932
4.45e-12
-16.26548*
-11.01808
-14.29977
Endogenous variables: DLGAP DLCPI DLGOV IR Sample: 2000Q1 2013Q4 Included observations: 46
If the assumption is 𝜃 = 1, then inflation will not depend on historical price behavior and unemployment rate is always at the natural rate of unemployment, that is: 𝐼𝑛𝑓𝑙𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 = 𝐼𝑛𝑓𝑙𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛(𝑈𝑛𝑒𝑚𝑝𝑙𝑜𝑦𝑚𝑒𝑛𝑡𝑁 )
(7)
Combining the terms from equation (1) to (5), the utility function for both authorities is: 𝑈 𝑀 = 𝑈 𝑀 {𝐺𝐴𝑃(𝐼𝑅, 𝐺𝑂𝑉), 𝑈 𝐹 = 𝑈 𝐹 {𝐺𝐴𝑃(𝐼𝑅, 𝐺𝑂𝑉),
𝐼𝑁𝐹(𝐺𝐴𝑃)
(1−𝜃) 𝐼𝑁𝐹(𝐺𝐴𝑃) (1−𝜃)
+ 𝐼𝑁𝐹 𝐵 }
+ 𝐼𝑁𝐹 𝐵 }
This utility function shows that monetary and fiscal policies are subject to unemployment, inflation and government spending. A VAR analysis is used to examine the interaction between these two policies. The unrestricted VAR model will have the structure as below: 𝐺𝐴𝑃𝑡 = Σ{𝑎11𝜂 𝐺𝐴𝑃𝑡−𝜂 + 𝑎12𝜂 𝐼𝑁𝐹𝑡−𝜂 + 𝑎13𝜂 𝐺𝑂𝑉𝑡−𝜂 + 𝑎14𝜂 𝐼𝑅𝑡−𝜂 } + 𝜀1𝑡 𝐼𝑁𝐹𝑡 = 𝛴{𝑎21𝜂 𝐺𝐴𝑃𝑡−𝜂 + 𝑎22𝜂 𝐼𝑁𝐹𝑡−𝜂 + 𝑎23𝜂 𝐺𝑂𝑉𝑡−𝜂 + 𝑎24𝜂 𝐼𝑅𝑡−𝜂 } + 𝜀1𝑡 𝐺𝑜𝑣𝑡 = Σ{𝑎31𝜂 𝐺𝐴𝑃𝑡−𝜂 + 𝑎32𝜂 𝐼𝑁𝐹𝑡−𝜂 + 𝑎33𝜂 𝐺𝑂𝑉𝑡−𝜂 + 𝑎34𝜂 𝐼𝑅𝑡−𝜂 } + 𝜀1𝑡 𝐼𝑅𝑡 = Σ{𝑎41𝜂 𝐺𝐴𝑃𝑡−𝜂 + 𝑎42𝜂 𝐼𝑁𝐹𝑡−𝜂 + 𝑎43𝜂 𝐺𝑂𝑉𝑡−𝜂 + 𝑎44𝜂 𝐼𝑅𝑡−𝜂 } + 𝜀1𝑡
3.1. Data This study uses secondary data with quarterly time series observations from 2000Q1 to 2013Q4. This period is chosen because it is after the Asian Financial Crisis and the implementation of Law No 23 year 1999 about the independence of the Central bank. Variables used are the interest rate (IR) as the monetary policy instrument, government spending (GOV) as the fiscal policy instrument, the consumer price index as a proxy for inflation (CPI) and output gap (GAP). The data are already seasonally adjusted and obtained from Federal Reserve St. Lois (FRED) and CEIC. The selection of the optimum lag is based on the information criteria. Impulse response and variance decomposition were used to examine the response to the policy shocks to the different variables. Before conducting the VAR analysis, the four variables are in logarithm value to standardize the distribution. Then, Output Gap (LGAP), inflation (CPI),
186
government spending (LGOV) and interest rate (IR), were tested for their stationary properties using unit root (Augmented Dicky Fuller) test. Table 1 contains the results of the unit root test, it show that the data used is not stationary so that it should be modified to the first difference. Table 2 contains the results of the unit root test on the first difference. From table 2 the degree of integration of the test results on the first level of differentiation is seen that the variables used in general has been stationary at α = 1%. So it can be explained that all the variables in this study have been stationary at the same degree. 3.2. Lag length selection Optimal lag length determination is important to get the right VAR model to be estimated. In this study the amount of lag in the VAR model is determined on the information criteria recommended by the Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Criterion (SC), and Hannan-Quinn (HQ). Hatemi and Hacker (2009) suggest that combining the LR test with the SC and HQ will give better success rate of choosing the optimal lag order compared to cases when only SC or HQ are used. However, table 3 shows SC and HQ choose a different optimal lag therefore LR will decide the optimal lag. The test results show that the most appropriate lag is lag 3 model.
4. RESULTS
The ordering of the variables in the VAR was based on Granger causality tests given in Table 3 (appendix). The variable least influenced by other variables was ordered first while the variable most influenced by other variables was placed at the last. Table 3 shows that the order of the VAR should be Output Gap, Inflation, Government Expenditure and Interest Rate.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
FISCAL AND MONETARY POLICY INTERACTION IN INDONESIA: A VAR ANALYSIS FROM 2000 TO 2013 Eko Sumando
Response to 1 Cholesky One S.D. Innovations 2 S.E. Figure 2 Cholesky Response to Inflation Shock ± 2 S.E. Figure Response to Output Shock Response to One S.D.± Innovations Response of DLGAP to DLGAP Res pons e of DLGAP to DLCPI .004
.0015
.003
.0010
.002
.0005
Response of DLCPI to DLGAP Response of DLCPI to DLCPI .008
.015
.010
.004 .005
.000 .0000
.001
.000
-.0005
-.005
-.004
.000 -.0010
-.001 1
2
3
-.010 1
2
3
4
5
6
7
4
5
6
7
8
9
10
8
9 10 -.008
1
1
2
3
4
2
5
3
Res pons e of DLGOV to DLCPI 1.00Response
0.8
.02
.02
.01
.01
.00
.00
-.01
-.01
-.02
5
7
6
8
7
9
8
9
10
9
10
10
Response of IR to DLCPI
Response of DLGOV to DLGAP .03 .03
4
6
of IR to DLGAP
0.75
0.4
0.50
0.0
0.25 0.00
-0.4 -0.25
-0.8
-.03
-.02
1
2
3
4
5
6
7
4
5
6
7
8
9
10
-.03
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
-1.2 1
2
3
Furthermore, the analysis of the system will be driven from the impulse response function since the cumulative impulse response function describes the effects of a permanent shock on the system.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
4.1 Output Shock Figure 1 shows the responses of the variables to the shock in the unemployment. Shock in the output gap converges back to its long run path after second quarter. The positive shock to output gap leads to fall in the inflation. Monetary policy reacts to the increase in the unemployment by decreasing the interest rate gradually in a counter-cyclical manner. Fiscal policy response, on the other hand, remains largely procyclical. Government expenditure increases, before converging back in about two years. This pro-cyclical behavior does not indicate an increase in tax revenue of the government of Indonesia during the upswing of the business cycle, rather it shows the general behavior of the government in developing countries to spend even more during decline of the business cycle (Ilzetzki & Vegh, 2008). The variance decomposition (appendix) confirmed this analysis. Variance decomposition shows that shock to output gap accounts for almost 9 per cent of the total variation in gross government expenditure. It accounts for about 8 per cent of the total changes in inflation while it only accounts for 1 per cent of the total changes in the policy rate.
187
FISCAL AND MONETARY POLICY INTERACTION IN INDONESIA: A VAR ANALYSIS FROM 2000 TO 2013 Eko Sumando
Figure Response to Fiscal Shock Response to 3Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E. Res ponse of DLGAP to DLGOV
Res pons e of DLCPI to DLGOV
.0012
.012
.0008
.008
.0004 .004 .0000 .000 -.0004 -.004
-.0008 -.0012
-.008 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
Response of DLGOV to DLGOV
3
4
5
6
7
8
9
10
9
10
Res ponse of IR to DLGOV
.06
1.00 0.75
.04
0.50 .02 0.25 .00 0.00 -.02
-0.25
-.04
-0.50 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
4.2 Inflation Shock The negative impact of inflation shock on unemployment last several quarters, though the statistical significance is weak. The response of inflation to its own shock will converge back to its equilibrium in about five quarters. The response of fiscal policy is again pro-cyclical as it decrease by the second quarter and increase in the third quarter before converging back by the eight quarter. The increase in government expenditure due to inflation is caused by increasing price rather than increasing in tax revenue. Variance decomposition shows the shock to inflation explains about 11 per cent total variation in government spending. The variance decomposition analysis also shows that inflation accounts for highest percentage of the total variation in policy rate. It suggests the response of the Central Bank to implement tightening monetary policy to the rise in inflation.
1
2
3
4
5
6
7
8
effectiveness of fiscal policy to Indonesia’s economy that only last for less than a year. Furthermore, The variance decomposition analysis shows that shock to gross fiscal deficit explains about 1 per cent and 3 percent of the total variation in output gap and policy rate, while explaining around 12 per cent of the total variation in inflation. This analysis shows that rising government expenditure may cause inflation in short term.
4.3 Fiscal Shock Expansionary fiscal policy or a positive shock to government spending takes about two years to converge back to its long run equilibrium path. Figure 3 shows that expansionary fiscal policy may lead to decline in the level of unemployment in the second quarter. However, the positive impact remains only for a short term, as impulse response shows it only happens until the second quarter and by the third quarter the impact declining and back to its original equilibrium thereafter. This implies the short run
188
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
FISCAL AND MONETARY POLICY INTERACTION IN INDONESIA: A VAR ANALYSIS FROM 2000 TO 2013 Eko Sumando
Figure 4to Response Interest Rate Shock ± 2 S.E. Response CholeskytoOne S.D. Innovations Respons e of DLGAP to IR
Response of DLCPI to IR
.0008
.012
.0004 .008 .0000 -.0004
.004
-.0008 .000 -.0012 -.0016
-.004 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
Respons e of DLGOV to IR
4
5
6
7
8
9
10
8
9
10
Response of IR to IR
.02
2
.01
1
.00
0
-.01
-1 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
4.4 Interest Rate Shock Figure 4 shows that increase in policy rate or tightening monetary policy may lead to decline in output below its potential level, reflecting negative impact on aggregate demand. Increase in policy rate may also leads to some fiscal expansion in the short term, which could follow from rise in borrowing cost of the Government and the fall in the level of output, before it converges back after two years. The variance decomposition analysis shows that shock to policy rate accounts for about 28 per cent of the total variation in inflation by the tenth period, suggesting a significant impact of monetary policy on inflation. Policy rate accounts for 16 per cent of the total variation in output gap suggesting that monetary policy supports in achieving the potential output.
5. CONCLUSION
In conclusion, the study shows that the fiscal and monetary policy is balancing to each other in Indonesia. The study suggests that expansionary fiscal policy is effective in raising the level of output to the potential level only in the short run. However, in longer term fiscal expansion leads to economic slowdown. This means that the effectiveness of raising the government consumption in one year may help to stimulate the economy but the government need more than that to achieve stabilization in the long term. The impulse response functions showed that monetary policy is highly sensitive to shocks in inflation and it responds in a counter-cyclical manner. On the other hand, fiscal policy indicates a pro-cyclical movement to inflation Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
1
2
3
4
5
6
7
and unemployment, which perhaps explains as to why monetary policy responds strongly than otherwise it would have. Fiscal policy is an important determinant of economic developments and, as such, it affects monetary policy through several channels. Some fiscal measures such as increasing the government consumption have a direct effect on inflation. Other fiscal measures have indirect effects on inflation through their impact on aggregate demand. Furthermore, fiscal policy influences other economic variables that are important in monetary policy transmission, notably interest rates, interest rate spreads and exchange rates (Nasir, 2011). In the extreme case known as fiscal dominance, monetary policy might even become subordinate to fiscal policy. One policy implication of these findings is the need of continuity in policy coordination between Bank Indonesia as the monetary authority and the Ministry of Finance as the fiscal authority. This institutional coordination can avoid fiscal dominance and helps to ensure the economic stability of a country. The limitation in this paper is the study only employed government expenditure as fiscal instrument. Future research could employ other policy variables such as fiscal deficit, tax revenue as fiscal instruments and use producer price index rather than consumer price index to analyze of price stabilization in the supply side.
189
FISCAL AND MONETARY POLICY INTERACTION IN INDONESIA: A VAR ANALYSIS FROM 2000 TO 2013 Eko Sumando
REFERENCES Andlib, Z, Khan, A & Haq, IU 2012, ‘The Coordination of Fiscal and Monetary Policies in Pakistan: An Empirical Analysis 1980–2011’, The Pakistan Development Review, vol. 51, pp. 695-704. Dungey, M & Fry, R, 2007, ‘Identifying Fiscal and Monetary Policy in a Small Open Economy VAR’, Fialho, ML & Portugal, MP, 2011, ‘Monetary and Fiscal Policy Interactions in Brazil: An Application of The Fiscal Theory of The Price Level’ Firman, M 2003, ‘Fiscal And Monetary Policy Interaction: Evidences And Implication For Inflation Targeting In Indonesia’, Koordinasi dan Interaksi Kebijakan Fiskal-Moneter: Tantangan ke Depan, 2012, Kanisius. Granger, CWJ, 1969, ‘Investigating Causal Relations by Econometric Models and Cross-Spectral Methods’, Econometrica 37, pp. 424 – 438. Hasan, A & Isgut, A 2009, “Effective Coordination of Monetary and Fiscal Policies: Conceptual Issues and Experiences of Selected Asia-Pacific Countries”, Paper Presented in the Regional High-level Workshop on Strengthening the Response to the Global Financial Crisis in AsiaPacific: The Role of Monetary, Fiscal and External Debt Policies, July 29-30, Dhaka, Bangladesh. Ilzetzki, E & Vegh, CA 2008, “Procyclical Fiscal Policy in Developing Countries: Truth or Function”, NBER Working Paper, no. 14191, National Bureu of Economic Research. Kirchgassner, G, 2007, ‘Introduction to Modern Time Series Analysis’, Springer. Masson, PR, Savastano, MA, & Sharma, S 1997, ‘The Scope for Inflation Targeting in Developing Countries’, IMF Working Paper WP/97/130 Nasir Muhammad, Afaque Ahmad, Amanat Ali and FaizUr-Rehman, 2010, “Fiscal and Monetary Policy Coordination: Evidence from Pakistan”, International Research Journal of Finance and Economics, Issue 35, pp. 202- 213. Nordhaus, WD 1994, ‘Policy Games: Coordination and Independence in Monetary and Fiscal Policies’, Brookings Papers on Economic Activity, vol. 2, Yale University. Raj, J, Khundrakpam, JK & Das, D 2011, ‘An Empirical Analysis of Monetary and Fiscal Policy Interaction in India’, RBI Working Paper Series, no. 15/2011, The Reserve Bank of India. Tabellini, G, 1986, ‘Money, Debt and Deficits in a Dynamic Game’, Journal of Economic Dynamics and Control, Vol. 10, pp. 427–42. Woodford, M, 2003, ‘Interest and Prices: Foundations of a Theory of Monetary Policy’, Princeton University Press. Zoli, E 2005, ‘How Does Fiscal Policy Affect Monetary Policy in Emerging Market Countries?’, BIS Working Papers, no. 174, Bank for International Settlements.
190
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015, Halaman 191-212 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH: PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo
Kantor Penelitian Pengembangan dan Statistik, Magelang, e-mail:
[email protected] INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 30 September 2015
This research aims to find out and analyse the consumption expenditures and investment expenditures of government spending as well as the realization of private sector investment. Results of the analysis are then used to determine its effect on the poverty rate in 35 districts of Central Java province in 2008 in the period up to the year 2013 separately. Methods of analysis using regression data panel because the data in the form of cross section and time series by the method of Fixed Effect Model. The three main variables of consumption expenditures, investment expenditures and realization private sector investment. In this study the consumption expenditures specified in goods and services expenditures, grants expenditures, social assistance expenditures, while specified in order to investment expenditures are tools and machinery expenditures, buildings expenditures, irrigation and road network expenditures, other fixed assets expenditures. The development of the hypothesis of this research is thought to have negative influence or relationship upside-down between government spending and private investment towards the realization of the poverty rate in 35 Districts Of Central Java province in 2008 year period up to the year 2013. From the results of the test precision of Ftest value model of 97,98 percent on levels of poverty. The influence of government spending and private investment towards the realization of poverty levels obtained equation: Kmsknan = 158,431796626 - 1,4886 Bljbrg - 1,8240 Bljhbah + 2,4067 Bansos - 2,0880 Peralmes - 5,3047 Banged + 3,09406 Jairjar - 2,93462 Asttl + 5,9541 Reinsws. Variable goods and services expenditures, grants expenditures, machine expenditures, building expenditures, other fixed assets expenditures, realization of private sector investment, have inverted the relationship to the level of poverty, however social assistance expenditures, the streets irrigation network expenditures, and the realization of private sector investment has a positive influence. Variables that have a negative relationship needs to be constantly improved and variables have positive relationships need to do more research.
Dinyatakan Dapat Dimuat 23 Desember 2015 KATA KUNCI: pengaruh pengeluaran pemerintah, tingkat kemiskinan 35 kabupaten kota, provinsi jawa tengah, regresi data panel
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengeluaran pemerintah dari belanja konsumsi dan belanja investasi serta realisasi investasi sektor swasta. Hasil analisis kemudian digunakan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap tingkat kemiskinan di 35 kabupaten kota di Provinsi Jawa Tengah dalam periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2013 secara terpisah. Metode analisis menggunakan regresi data panel karena data berupa cross section dan time series dengan Metode Fixed Effect Model. Tiga variabel utama yaitu belanja konsumsi, belanja investasi dan realisasi investasi sektor swasta. Dalam penelitian ini belanja konsumsi dirinci dalam belanja barang dan jasa, belanja hibah dan bantuan sosial, sedangkan belanja invetasi dirinci dalam belanja peralatan dan mesin, belanja bangunan dan gedung, belanja jalan irigasi dan jaringan, belanja aset tetap lainnya. Pengembangan hipotesa dari penelitian ini adalah diduga ada pengaruh negatif atau hubungan terbalik antara pengeluaran pemerintah dan realisasi investasi swasta terhadap tingkat kemiskinan pada 35 Kabupaten Kota di Provinsi Jawa Tengah periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2013. Dari hasil uji ketepatan model nilai Fhitung sebesar 97,98 persen pada tingkat kemiskinan. Pengaruh pengeluaran pemerintah dan realisasi investasi swasta terhadap tingkat kemiskinan diperoleh persamaan: Kmsknan = 158,431796626 - 1,4886 Bljbrg - 1,8240 Bljhbah + 2,4067 Bansos 2,0880 Peralmes - 5,3047 Banged + 3,09406 Jairjar - 2,93462 Asttl + 5,9541 Reinsws. Variabel belanja barang, belanja hibah, belanja peralatan mesin, belanja bangunan gedung, belanja aset tetap lainnya, realisasi investasi sektor swasta, memiliki hubungan terbalik terhadap tingkat kemiskinan, namun bantuan sosial, belanja jalan, irigasi dan jaringan, realisasi investasi sektor swasta memiliki pengaruh positif. Variabel yang memiliki hubungan negatif perlu terus ditingkatkan dan variabel yang memiliki hubungan positif perlu dilakukan penelitian lebih lanjut..
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2014
191
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH : PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengeluaran pemerintah (government expenditure) merupakan salah satu komponen pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB), bersama dengan konsumsi masyarakat, investasi dan ekspor setelah dikurangi impor. Kebijakan pengeluaran pemerintah ini merupakan bagian dari kebijakan fiskal sebagai salah satu wujud intervensi pemerintah didalam perekonomian dalam rangka mengatasi kegagalan pasar (market failure). Intervensi pemerintah, yang dikenal dengan kebijakan fiskal, salah satunya dilakukan melalui kebijakan pengeluaran/belanja pemerintah. Bentuk hubungan negatif yang terjadi di Indonesia antara peningkatan (anggaran belanja) dengan kemiskinan ini sejalan dengan pemikiran ekonom-ekonom aliran Keynesian. Dasar dari model pengembangan pertumbuhan dari sektor publik adalah perubahan struktur perekonomian dan kebutuhan untuk berkembang. Preston & Tracy, (2009;101) menjelaskan dalam sektor publik dalam masyarakat memiliki dua atribut: Nonexcludability, yang berarti produsen tidak dapat mencegah penggunaan yang baik oleh orang lain, dan nonrivalry, yang berarti bahwa banyak orang dapat menggunakan baik secara bersamaan. Model yang dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menyatakan bahwa pertumbuhan pengeluaran publik mungkin berhubungan dengan pola pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di masyarakat Kedua ekonom tersebut juga mengatakan bahwa model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Todaro (2000:18) yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya bukan merupakan satu-satunya tujuan utama dari usahausaha pembangunan ekonomi, tetapi pembangunan ekonomi harus pula berupaya untuk menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Kesempatan kerja bagi penduduk atau masyarakat akan memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lebih lanjut menurut Todaro (2000:21-24) keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh tiga nilai pokok yaitu: (1) perkembangan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs), (2) meningkatkan rasa harga diri (self-esteem) masyarakat sebagai manusia, dan (3) meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude) yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia. Ketiga hal tersebut merupakan tujuan pokok yang harus digapai oleh setiap orang dan masyarakat melalui pembangunan. Arsyad (1988:172) menyatakan bahwa penghapusan kemiskinan dan berkembangnya ketidakmerataan pembagian pendapatan merupakan inti permasalahan pembangunan. Lebih lanjut ketidakmerataan diungkapkan dalam berbagai permasalahan seperti ketidakmerataan kekuasaan,
192
prestise, status, kepuasan kerja, kondisi kerja, tingkat partisipasi, kebebasan untuk memilih, dan lain-lain. Di negara-negara sedang berkembang, perhatian utama terfokus pada dilema komplek antara pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Keduanya sama-sama penting, namun hampir selalu sulit diwujudkan bersamaan. Pengutamaan yang satu akan menuntut dikorbankannya yang lain. Pembangunan ekonomi mensyaratkan Gross National Product (GNP) yang tinggi dan untuk itu tingkat pertumbuhan yang tinggi merupakan pilihan yang harus diambil. Namun yang menjadi masalah bukan hanya soal bagaimana cara memacu pertumbuhan, tetapi juga siapa yang melaksanakan dan berhak menikmati hasil-hasilnya. Penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan kini merupakan masalah pokok dalam pembangunan dan sasaran utama kebijakan pembangunan di banyak negara (Todaro, 2000:177178). Myrdal (1976:56) berpendapat, adakalanya daerah-daerah yang maju memiliki dan membina kondisi-kondisi alamiah yang sangat baik bagi pemusatan kegiatan-kegiatan ekonomi di daerah tersebut, dalam banyak hal mereka melakukannya pada saat mereka hendak memulai memanfaatkan kondisi menguntungkan yang kompetitif. Pusat-pusat perdagangan sudah tentu akan memilih berlokasi di tempat-tempat dimana terdapat kondisi alamiah yang cukup baik bagi pembangunan pelabuhan, dan pusatpusat industri berat biasanya akan memilih tempat yang tidak terlalu jauh dari sumber batubara dan baja. Lebih lanjut Myrdal (1976:56) mengatakan, secara umum dapat dikatakan bahwa daya tarik suatu daerah dimulai dari sejarah masa lalu yang bersifat kebetulan bahwa pada masa lalu pernah ada sesuatu kegiatan ekonomi yang dimulai di daerah itu dan ternyata berhasil, dan tidak dimulai di daerah lain dimana sesuatu kegiatan ekonomi tersebut sebenarnya dapat juga dimulai dan mungkin akan membawa hasil yang lebih baik. Dan dikemudian hari di daerah yang berhasil, bertambahnya keunggulan-keunggulan lain seperti terlatihnya golongan pekerja dalam berbagai macam keterampilan, mudahnya komunikasi, berkembangnya rasa bertumbuh dan terbukanya kesempatan-kesempatan yang luas, dan semangat membangun perusahaan-perusahaan baru, bertambahnya fasilitas-fasilitas publik seperti kesehatan, pendidikan, jalan dan lain–lain yang memperkuat dan menopang pertumbuhan yang terus berlanjut di daerah tersebut. Di sisi lain daerah-daerah yang tidak mempunyai keunggulan mengalami stagnasi dan bahkan tidak mungkin akan mengalami kemunduran. Berdasarkan asumsi yang sama daerah-daerah miskin, apabila dibiarkan maka mereka tidak akan mampu memiliki fasilitas-fasilitas publik yang baik. Penduduk yang hidup di daerah-daerah seperti ini cenderung memiliki pemikiran yang lebih primitif, mengeramatkan unsurunsur kebudayaan tradisionial dengan tabu, dan mereka lebih percaya pada kekuatan-kekuatan gaib dan pada umumnya kurang rasional. Keseluruhan
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH : PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo
sistem pemikiran mereka sedemikian terpatri dengan kemiskinan dan keterbelakangan sehingga mereka menjadi kurang peka terhadap aspirasi-aspirasi eksperimen dari masyarakat dari daerah lain (Myrdal. 1976:60). Masalah penting lain yang muncul adalah kemiskinan, Jean & Gareth, (2004:339-340) menjelaskan, kemiskinan merupakan masalah yang sudah lama ada. Bahkan pada tahun 1776 Adam Smith mendefinisikan kemiskinan sebagai kurangnya kebutuhan. Belanja pemerintah baik untuk konsumsi dan investasi memiliki peran utama dan strategis proses pembangunan. dalam pengentasan kemiskinan. Pendekatan Keynesian, menjelaskan bahwa belanja publik dapat meningkatkan permintaan agregat yang lebih merangsang pertumbuhan ekonomi dan ketenaga kerjaan. Berbagai studi menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah positif berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah daerah mengalokasikan anggaran belanja baik operasi maupun modal di dalam APBD untuk melaksanakan rencana pembangunan di daerah dalam bentuk proyek-proyek dari berbagai sektor pembangunan dengan tujuan untuk melakukan investasi dan diharapkan benar-benar langsung menyentuh sektor ekonomi produktif masyarakat dan pertumbuhan ekonomi di daerah. APBD merupakan instrumen kebijakan yang dijalankan pemerintah daerah untuk menentukan arah dan tujuan pembangunan. Instrumen ini diarahkan supaya berfungsi sebagai salah satu komponen pemicu tumbuhnya perekonomian suatu daerah. Belanja modal ini dapat berupa pembangunan gedung,sarana dan prasarana yang memadai untuk kenyamanan bersekolah. Jadi, yang dipikirkan saat ini bukan hanya alokasi tinggi bagi kemajuan bangsa yang dilihat dari kekayaan, melainkan juga pengalokasian dana yang lebih tinggi bagi belanja untuk peningkatan kesejahteraan. (World Bank,2006). Pergeseran komposisi belanja merupakan upaya logis yang dilakukan pemerintah daerah setempat dalam rangka meningkatkan tingkat kepercayaan publik. Pergesaran ini ditujukan untuk peningkatan investasi modal dalam bentuk aset tetap, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik, karena aset tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya anggaran belanja modal merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Penjabaran belanja pemerintah di Indonesia dilakukan melalui APBN untuk pemerintah Pusat dan APBD untuk Pemerintah Daerah. Struktur belanja yang ada dalam APBD saat ini terbagi dalam tiga klasifikasi, yaitu belanja langsung, belanja tidak langsung dan pembiayaan daerah. Struktur ini juga dilaksanakan pada 35 Kabupaten Kota dalam Provinsi Jawa Tengah, yang menggunakan ketentuan dariPeraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Besaran belanja daerah ini ditentukan oleh beberapa
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
sumber pendapatan daerah diantaranya Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan sumber-sumber lainnya yang sah. Penerimaan Daerah Kabupaten Kota di Provinsi Jawa Tengah secara keseluruhan dalam kurun waktu 2007-2012 mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Keterbaruan dari studi ini dibandingkan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan menjelaskan adanya pengaruh pengeluaran publik terhadap pengentasan kemiskinan. Namun penelitian yang dilakukan masih terbatas pada penelitian yang hanya meneliti salah satu dari pengaruh pengeluaran publik sehingga tidak bisa melihat secara langsung dalam satu penelitian yang mengevaluasi pengeluaran publik terhadap kemiskinan. Disamping itu dalam penelitian terdahulu menganalisa pengeluaran pemerintah yang terakumulasi atau tidak dilakukan perincian pengeluaran pemerintah sampai pada pos-pos pengeluaran yang tersedia dalam struktur APBD dimana realisasi penerimaan APBD di 35 Kabupaten Kota yang selalu meningkat. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dalam penelitian dengan melihat fenomena gap yang terjadi dalam pelaksanaan pembangunan maka rumusan pertanyaan penelitian adalah bagaimana analisis pengeluaran pemerintah, bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah dan realisasi sektor swasta pada tingkat kemiskinan pada 35 Kabupaten Kota di Provinsi Jawa Tengah periode 2008 sampai dengan 2013. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dan mengevaluasi pengaruh pengeluaran pemerintah dan realisasi sektor swasta pada tingkat kemiskinan pada 35 Kabupaten Kota di Provinsi Jawa Tengah periode 2008 sampai dengan 2013. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi perkembangan Ilmu Ekonomi khususnya Ekonomi Publik. Manfaat secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan pengambilan keputusan guna menentukan kebijaksanaan bagi pihak pemerintah daerah baik Kabupaten/Kota maupun Provinsi khususnya dalam meningkatkan peran dan strategi pengeluaran pemerintah dalam mencapai keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah utamanya dalam pengentasan kemiskinan. Disamping itu diharapkan penelitian ini dapat menjadi informasi bagi penelitian lain yang serupa.
2. KERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. Pengeluaran Pemerintah Teori Keynesian menjelaskan bahwa pertumbuhan pendapatan nasional ditentukan oleh besarnya pengeluaran konsumsi, pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor bersih. Pertumbuhan pendapatan tersebut digunakan sebagai upaya dalam mengatasi masalah kemiskinan. Menurut Keynes untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang diukur
193
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH : PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo
pada peningkatan pendapatan nasional maka diperlukan peningkatan permintaan konsumsi, permintaan pengeluaran pemerintah, permintaan investasi, serta permintaan ekspor dan impor. Terapan tersebut jelas memberikan peran intervensi pemerintah dalam tataran perekonomian makro daerah termasuk didalamnya tingkat provinsi maupun kabupaten kota. Dalam perkembangannya pengeluran pemerintah dari perspektif ekonomi publik diimplementasikan dalam belanja konsumsi dan belanja investasi. Kedua belanja tersebut memiliki kapasitas dan kemampuan dalam membentuk pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya memberikan peningkatan terhadap pendapatan. Dampak dari peningkatan pendapatan dapat dilihat dari indikator berkurangnya penduduk miskin. 2.2. Belanja Konsumsi Mankiw (2000) menjelaskan bahwa “Konsumsi adalah barang atau jasa yang dibeli oleh rumah tangga konsumsi terdiri dari barang tidak tahan lama (Non Durable Goods). Kedua adalah barang tahan lama (Durable Goods). Ketiga, jasa (Services) meliputi pekrjaan yang dilakukan untuk konsumen oleh individu dan perusahaan. Diulio (1993) membagi Konsumsi menjadi 2 (dua) yakni konsumsi rutin dan konsumsi sementara. Deliarnov (1995) dijelaskan bahwa bagian dari pendapatan yang dibelanjakan untuk pembelian barang-barang dan jasa-jasa guna mendapatkan kepuasan dan memenuhi kebutuhan adalah konsumsi. Konsumsi adalah pengeluaran untuk pembelian barang-barang dan jasa akhir guna mendapatkan kepuasan ataupun memenuhi kebutuhannya menurut Samuelson & Nordhaus (1996). Barang konsumsi ini terdiri dari barang konsumsi sekali habis dan barang konsumsi yang dapat dipergunakan lebih dari satu kali (Nopirin,1997). Badan Pusat Statistik (2012) menyatakan pengeluaran rumah tangga dibedakan atas pengeluaran konsumsi makanan dan pengeluaran konsumsi non makanan. Ada beberapa perdebatan tentang konsep Teori konsumsi dengan hipotesis siklus hidup, dan teori konsumsi dengan hipotesis pendapatan relatif. Teori dengan hipotesis pendapatan permanen dikemukakan oleh M Friedman. Menurut teori ini pendapatan masyarakat dapat digolongkan menjadi 2 yaitu pendapatan permanen (permanent income) dan pendapatan sementara (transitory income). Pengertian pendapatan sementara adalah pendapatan yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya (Mangkoesoebroto, 1998:72). Friedman menganggap pula bahwa tidak ada hubungan antara pendapatan sementara dengan pendapatan permanen, juga antara konsumsi sementara dengan konsumsi permanen, maupun konsumsi sementara dengan pendapatan sementara (Suparmoko, 1991:70). Apabila terjadi kenaikan dalam nilai kekayaan, maka konsumsi akan meningkat atau dapat dipertahankan lebih lama. Akhirnya hipotesis siklus kehidupan ini akan berarti menekan hasrat
194
konsumsi, menekan koefisien pengganda, dan melindungi perekonomian dari perubahan-perubahan yang tidak diharapkan, seperti perubahan dalam investasi, ekspor, maupun pengeluaran-pengeluaran lain. (Suparmoko, 1991:73-74). James Dusenberry mengemukakan bahwa pengeluaran konsumsi suatu masyarakat ditentukan terutama oleh tingginya pendapatan tertinggi yang pernah dicapainya (Reksoprayitno, 2000). Dalam teorinya, Dusenberry menggunakan dua asumsi yaitu: (1) Selera sebuah rumah tangga atas barang konsumsi adalah interdependen. (2) Pengeluaran konsumsi adalah irreversibel (Mangkoesoebroto, 1998:70). Dalam konteks konsumsi publik, implimentasi secara makro dilakukan oleh pemerintah dengan model Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode anggaran yang bersangkutan. Definisi dari belanja daerah menurut Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun. Definisi lainnya mengenai belanja seperti yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Kedua definisi tersebut menjelaskan bahwa transaksi belanja akan menurunkan ekuitas dana pemerintah daerah. Belanja daerah sebagaimana dimaksud Pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menyebutkan bahwa Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Menurut Halim (2003:145), belanja daerah adalah “pengeluaran yang dilakukan oleh Pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah di atasnya”. Menurut Halim dan Nasir (2006 : 44), belanja daerah adalah “semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurangan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan”. Dari semua definisi tersebut, terdapat dua hal utama yang patut untuk dilihat, yaitu bahwa belanja daerah adalah suatu bentuk kompensasi finansial yang mengurangi nilai kekayaan bersih suatu daerah dan yang kedua bahwa belanja daerah dilakukan berdasarkan kewenangan yang dimiliki sebagai bentuk tanggung jawab pelaksanaan pelayanan publik. Untuk itulah, selain dari sisi ekonomi publik, maka belanja daerah harus digunakan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Definisi lain,
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH : PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo
Gambar 1 Rangkuman Belanja Pemerintah Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006
Sumber : Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, diringkas.
belanja daerah menurut kelompok belanja berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 terdiri atas belanja tidak langsung dan belanja langsung. Menurut Halim (2004:18), belanja daerah digolongkan menjadi 4 (empat) yakni belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, dan belanja tak tersangka. Belanja aparatur daerah diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kategori yaitu belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal/pembangunan. Belanja pelayanan publik dikelompokkan menjadi 3 yakni belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja modal. 2.3. Belanja Investasi Investasi atau penanaman modal adalah komponen pembentuk nilai tambah nasional, yang merupakan pembelian barang modal dan pelengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang dan jasa yang tersedia dalam perekonomian. Meningkatnya kegiatan perekonomian sangat tergantung kepada aliran modal bagi usaha produktif. Ada sementara ahli yang mengatakan bahwa ekspor dan investasi merupakan ”engine of growth”. Oleh karena itu, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan pada umumnya didukung oleh
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
peningkatan ekspor dan investasi, (Sutawijaya dan Zulfahmi, 2013). Teori ekonomi mendefinisikan investasi sebagai pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barangbarang modal dan peralatan-peralatan produksi dengan tujuan untuk mengganti dan terutama menambah barang-barang modal dalam perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksi barang dan jasa di masa yang akan datang. Dengan kata lain, investasi berarti kegiatan perbelanjaan untuk meningkatkan kapasitas produksi sesuatu perekonomian, (Sasana,2008). Penanaman modal merupakan langkah awal kegiatan pembangunan, investasi pada hakikatnya merupakan awal kegiatan pembangunan ekonomi. Dinamika penanaman modal mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi. Urgensi tentang pembentukan modal di daerah mendapat perhatian dan penekanan oleh Zaris (1987) yang menyatakan bahwa investasi swasta memainkan peranan penting dalam membentuk pola pembangunan di daerah. Investasi ini akan menyebabkan terbentuknya modal daerah (regional capital formation). Dari berbagai teori ekonomi menjelaskan bahwa investasi merupakan fungsi dari tingkat bunga. Meningkatnya tingkat bunga akan mengakibatkan berkurangnya pengeluaran investasi, dan sebaliknya
195
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH : PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo
menurunnya tingkat bunga akan mengakibatkan bertambahnya pengeluaran investasi. Sukirno (2002) mengatakan bahwa tingkat suku bunga adalah faktor yang menentukan besar kecilnya investasi yang dilakukan oleh masyarakat (swasta). Menurunnya tingkat suku bunga akan menaikkan permintaan investasi. Suku bunga yang tinggi dapat merupakan hambatan bagi pertumbuhan sektor swasta maupun publik. Oleh karena itu suku bunga rendah merupakan syarat penting untuk mendorong investasi swasta. Beberapa penelitian terdahulu tentang investasi swasta yang telah dilakukan yakni oleh Radianto (1995) yang menunjukkan bahwa variabel PDRB dan variabel tingkat suku bunga tidak mampu menjelaskan fenomena investasi swasta di Maluku, hanya variabel angkatan kerja yang mampu menjelaskan variasi investasi swasta. Dalam penelitian Kodoatie (1998) variabel penanaman modal tahun sebelumnya, pertumbuhan ekonomi, belanja pembangunan, nilai tukar, dan kebijaksanaan reformasi di bidang investasi berpengaruh terhadap PMA. Teori Investasi Neo Klasik menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan PDB riil berpengaruh positif terhadap investasi swasta (Wai and Wong, 1982; Greene dan Villanueva, 1991; Fielding, 1997). Hal ini juga dikenal sebagai “efek akselerator” (Ouattara, 2000). Selain itu, nilai modal yang diinginkan oleh sebuah perusahaan berpengaruh secara positif pada tingkat permintaan (Bayai dan Nyangara, 2013). Di Indonesia investasi swasta menurut sumbernya secara umum terdiri dari dua sumber yaitu berasal dari luar negeri atau penanaman modal asing (PMA) dan berasal dari dalam negeri atau penanaman modal dalam negeri (PMDN) dengan skala nasional. Oleh karena itu dalam penelitian ini juga dimasukan variabel investasi dari sektor swasta dengan data yang bersumber dari Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Jawa Tengah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Kota di Provinsi Jawa Tengah. Dari berbagai hasil penelitian tersebut investasi swasta memiliki peran strategis dan merupakan komponen penting dalam mengatasi kemiskinan. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut terlihat hubungan antara tiga cara mengukur efektivitas anggaran pembangunan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut, yaitu : 1. Dengan melihat seberapa besar pemerintah menentukan alokasi nilai belanja untuk kepentingan publik ternyata masih rendah efektivitasnya; 2. Dengan melihat seberapa besar nilai belanja untuk kepentingan publik tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik dengan optimal juga masih rendah efektivitasnya. Hal ini didasarkan rendahnya kemampuan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran belanja termasuk belanja modal sebagai bagian dari belanja pembangunan; 3. Dengan melihat seberapa besar optimalisasi nilai belanja publik mengakibatkan kegiatan-kegiatan ekonomi ikutan yang bermanfaat bagi masyarakat
196
sehingga menambah kesejahteraan masyarakat juga masih rendah efektivitasnya. Belanja anggaran pembangunan hanya mampu mewujudkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi eksklusif dan belum berkualitas. Pada dasarnya pengertian efektifitas menekankan pada hasil yang dicapai, sedangkan efisiensi lebih melihat pada bagaimana cara mencapai hasil yang dicapai itu dengan membandingkan antara input dan outputnya. Menurut Peter Drucker dalam Menuju SDM Berdaya (Kisdarto, 2002:h.139), menyatakan : “doing the right things is more important than doing the things right. Selanjutnya dijelaskan bahwa: “effectiveness is to do the right things : while efficiency is to do the things right” (efektifitas adalah melakukan hal yang benar : sedangkan efisiensi adalah melakukan hal secara benar). Atau juga “effectiveness means how far we achieve the goal and efficiency meanshow do we mix various resources properly” (efektifitas berarti sejauh mana kita mencapai sasaran dan efisiensi berarti bagaimana kita mencampur sumber daya secara cermat). Efisien tetapi tidak efektif berarti baik dalam memanfaatkan sumber daya (input), tetapi tidak mencapai sasaran. Sebaliknya, efektif tetapi tidak efisien berarti dalam mencapai sasaran menggunakan sumber daya berlebihan atau lazim dikatakan ekonomi biaya tinggi. Tetapi yang paling parah adalah tidak efisien dan juga tidak efektif, artinya ada pemborosan sumber daya tanpa mencapai sasaran atau penghambur-hamburan sumber daya. Efisien harus selalu bersifat kuantitatif dan dapat diukur (measurable), sedangkan efektif mengandung pula pengertian kualitatif. Efektif lebih mengarah ke pencapaian sasaran. Efisien dalam menggunakan masukan (input) akan menghasilkan produktifitas yang tinggi, yang merupakan tujuan dari setiap organisasi apapun bidang kegiatannya. Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa pengukuran kinerja sektor publik dilakukan untuk memenuhi tiga maksud. Pertama, pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah. Ukuran kinerja dimaksudkan untuk dapat membantu pemerintah berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas organisasi sektor publik. Kedua, ukuran kinerja sektor publik digunakan untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan. Ketiga, ukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan. Kinerja adalah gambaran pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi (Bastian, 2006). 2.4. Konsep Kemiskinan Menurut Bank Dunia, kemiskinan adalah deprivasi dalam kesejahteraan. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Jadi
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH : PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo
Gambar 2 Panel Modul Konsumsi dan Kor
Sumber : BPS
Penduduk Miskin adalah penduduk yang memiliki ratarata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Adapun Sumber data utama yang dipakai adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi dan Kor. (lihat gambar). 2.5. Hasil Penelitian terdahulu Anis Setiyawati (2007) Belanja Pembangunan berpengaruh langsung terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh secara langsung terhadap Kemiskinan dan pengangguran. Irawati (2011), menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah yang pro poor khususnya terkait dengan bidang sosial dan infrastruktur masih harus ditingkatkan dan mendapat perhatian penuh dari pemerintah di masing-masing provinsi dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat miskin khususnya sehingga bisa memperbaiki tingkat kemiskinan. Sodik (2007) menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional, yang berimplikasi pada pengurangan tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan. Sinurat, (2013), Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peningkatan belanja pemerintah terhadap sektor ekonomi, infrastruktur dan pendidikan dapat menurunkan tingkat kemiskinan sedangkan untuk sektor kesehatan malah sebaliknya diduga belanja pemerintah untuk kesehatan baru menurunkan tingkat kemiskinan untuk jangka panjang. Rashid dan Sara, (2010), menjelaskan hubungan negatif antara pemerintah pengeluaran dan
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
kemiskinan dapat mengurangi kemiskinan dalam jangka panjang. Jadi masalah nyata yang bersangkutan adalah komposisi pengeluaran pemerintah. Iskandar, (2014), menyatakan peningkatan jumlah Belanja Modal Pemerintah dan Produk Domestik Regional Bruto memberi dampak positif terhadap penduduk miskin di Aceh, karena ketersediaan infrastruktur yang memadai yang merupakan dampak positif dari peningkatan belanja modal pemerintah akan memudahkan masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi maupun sosial kemasyarakatan. Sushanta, (2008), menjelaskan intervensi pemerintah diperlukan untuk menciptakan lembaga dan pasar sebagai fungsi dalam mengkoordinasikan dan penghubung antara pasar yang lebih besar di daerah perkotaan dengan barang-barang yang diproduksi di sektor pedesaan. Nazar & Mahmoud, (2013), menyatakan adanya kebijakan konstruktif pengeluaran pemerintah seperti yang dilakukan pemerintah provinsi Sistan and Baluchestan Iran mampu mengurangi kemiskinan. Peter & Diego, (2013), menjelaskan bahwa ekonomi AS mungkin cepat rentan terhadap setiap pengurangan investasi swasta, kecuali disertai peningkatan seiring, kompensasi relatif tingkat pengeluaran pemerintah. Degol, (2011), menjelaskan kerangka heterodoks memiliki kesempatan yang lebih baik mempromosikan pertumbuhan dan pengentasan kemiskinan. Tejo, (2011), menggunakan pertumbuhan pengeluaran sebagai variabel proksi, pengeluaran pemerintah secara keseluruhan tidak memiliki hubungan yang negatif dengan angka kemiskinan. Mthuli, John, Kjell, (2013), menunjukkan bahwa transfer tunai bersyarat, dan pengeluaran (untuk pendidikan, misalnya memberikan hasil kami bahwa pendidikan penting dalam mengurangi kemiskinan) yang efektif jaring pengaman dan tuas pengurangan kemiskinan dan redistribusi. 2.6. Kerangka Pemikiran Belanja konsumsi dan belanja investasi yang terdiri dari tujuh variabel digunakan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap pengentasan kemiskinan Kabupaten Kota di Provinsi Jawa Tengah. Beberapa variabel dalam belanja langsung dan belanja tidak langsung tidak dimasukan dalam penelitian karena diasumsikan tidak memiliki pengaruh secara langsung. Variabel dalam penelitian ini adalah Belanja Konsumsi meliputi belanja barang, belanja hibah, belanja bantuan sosial, sedangkan dalam belanja investasi variabelnya meliputi belanja peralatan dan mesin, belanja gedung dan bangunan, belanja jalan, jaringan dan irigasi, belanja aset tetap lainnya dan realisasi sektor swasta.
197
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH : PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo
Gambar 3 Kerangka Pemikiran Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan investasi swasta terhadap tingkat Kemiskinan di 35 Kabupaten Kota Jawa Tengah tahun 2008-2013
Sumber : BPS
2.7. Pengembangan Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah diduga ada pengaruh pengeluaran pemerintah baik pengeluaran konsumsi (belanja barang, belanja hibah, belanja bantuan sosial) maupun pengeluaran investasi (belanja peralatan dan mesin, belanja gedung dan bangunan, belanja Jalan, jaringan dan irigasi dan belanja aset tetap lainnya) dan realisasi investasi sektor swasta terhadap tingkat kemiskinan 35 Kabupaten Kota di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka dijelaskan hubungan fungsional antara pengeluaran pemerintah (belanja konsumsi dan belanja investasi) dan investasi swasta dengan tingkat kemiskinan secara terpisah dalam bentuk persamaan umum (general function) sebagai berikut :
2.
3.
4.
𝒀 = 𝒇(𝑿𝟏𝟏 , 𝑿𝟏𝟐 , 𝑿𝟏𝟑 , 𝑿𝟐𝟏 , 𝑿𝟐𝟐 , 𝑿𝟐𝟑 , 𝑿𝟐𝟒 , 𝑿𝟑 ) 1.
𝑿𝟏𝟏 = 𝒇′𝟏𝟏 < 0,
198
5.
Variabel Belanja Barang (X11) yang merupakan bagian dari Belanja Konsumsi Pemerintah berpengaruh negatif atau memiliki hubungan terbalik terhadap tingkat kemiskinan (Y). 𝑿𝟏𝟐 = 𝒇′𝟏𝟐 < 0, Variabel Belanja Hibah (X12) yang merupakan bagian Belanja Konsumsi Pemerintah berpengaruh negatif atau memiliki hubungan terbalik terhadap tingkat kemiskinan (Y). 𝑿𝟏𝟑 = 𝒇′𝟏𝟑 < 0, Variabel Bantuan Sosial (X13) yang merupakan bagian Belanja Konsumsi Pemerintah berpengaruh negatif atau memiliki hubungan terbalik terhadap tingkat kemiskinan (Y). 𝑿𝟐𝟏 = 𝒇′𝟐𝟏 < 0, Variabel Belanja Peralatan dan Mesin (X21) yang merupakan bagian Belanja Investasi Pemerintah berpengaruh negatif atau memiliki hubungan terbalik terhadap tingkat kemiskinan (Y). 𝑿𝟐𝟐 = 𝒇′𝟐𝟐 < 0,
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH : PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo
6.
7.
8.
Variabel Belanja Bangunan dan Gedung (X22) yang merupakan bagian Belanja Investasi Pemerintah berpengaruh negatif atau memiliki hubungan terbalik terhadap tingkat kemiskinan (Y). 𝑿𝟐𝟑 = 𝒇′𝟐𝟑 < 0, Variabel Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan (X23) yang merupakan bagian Belanja Investasi Pemerintah berpengaruh negatif atau memiliki hubungan terbalik terhadap tingkat kemiskinan (Y). 𝑿𝟐𝟒 = 𝒇′𝟐𝟒 < 0, Variabel Belanja Aset Tetap Lainnya (X24) yang merupakan bagian Belanja Investasi Pemerintah berpengaruh negatif atau memiliki hubungan terbalik terhadap tingkat kemiskinan (Y). 𝑿𝟑 = 𝒇′𝟑 < 0 , Variabel Realisasi Investasi Swasta (X3) yang merupakan bagian Belanja Investasi Pemerintah berpengaruh negatif atau memiliki hubungan terbalik terhadap tingkat kemiskinan (Y).
3. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kuantitatif dan kualitatif. Lokasi penelitian dilakukan di 35 Kabupaten Kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah dengan periode penelitian mulai tahun 2008 sampai dengan 2013. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini secara keseluruhan digunakan sebagai sampel, yaitu 35 Kabupaten Kota di Provinsi Jawa Tengah.Sumber data ini adalah data sekunder diperoleh dari hasil penelitian, artikel-artikel, penelusuran pustaka dan dokumen resmi dari instansi terkait. Konsep dari variabel yang terdapat dalam penelitian ini secara umum untuk pengeluaran pemerintah adalah kelompok belanja pemerintah baik langsung maupun tidak langsung seperti yang tertera dalam Rangkuman Belanja Pemerintah menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang pengelolaan keuangan daerah dan investasi sektor swasta yang mempengaruhi tingkat kemiskinan yang berada di 35 kabupaten kota di Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan definisi operasional dalam penelitian ini adalah; Kemiskinan: Jumlah penduduk miskin di 35 Kabupaten Kota, variabel ini menggunakan singkatanKmskn. Belanja Barang: Belanja barang dan jasa digunakan untuk pengeluaran pembelian/ pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (dua belas) bulan dan/atau pemakaian jasa dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah variabel ini menggunakan singkatan Bljbrg. Belanja Hibah: digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, dan kelompok masyarakat/perorangan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, variabel ini menggunakan singkatan BljHbah. Belanja Bantuan Sosial : digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Variabel ini Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
menggunakan singkatan Bansos. Belanja Peralatan dan Mesin: pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai, variabel menggunakan singkatan Peralmes. Belanja Bangunan dan Gedung: pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/ penggantian, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai, variabel menggunakan singkatan Banged. Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan: pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian/peningkatan pembangunan/pembuatan serta perawatan, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai, variabel ini menggunakan singkatan Jairjar. Belanja Aset Tetap Lainnya: digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian/peningkatan pembangunan/pembuatan serta perawatan terhadap fisik lainnya yang tidak dapat dikategorikan kedalam kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan, termasuk dalam belanja ini adalah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal ilmiah, variabel ini menggunakan singkatan Asttl. Variabel lainnya tidak dimasukan dalam studi ini karena variabel belanja baik tidak langsung dan langsung seperti yang tertera dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, diasumsikan tidak memiliki implikasi yang langsung terhadap variabel tingkat kemiskinan. Realisasi Investasi: Realisasi Investasi di 35 Kabupaten Kota dalam Provinsi Jawa Tengah tahun 2008-2013 yang berasal dari data realisasi investasi di 35 Kabupaten Kota Provinsi Jawa Tengah tahun 2008 sampai dengan 2013 dari Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Jawa Tengah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kabupaten Kota se Provinsi Jawa Tengah tahun 2011 sampai dengan tahun 2014, variabel ini menggunakan singkatan Reinsws. 3.1. Metode Analisis Data Statistik Deskriptif menganalisa dengan menarasikan hasil data yang telah diolah yang disajikan dalam bentuk tabel, grafik atau gambar. Statistik kuantitatif kajian ini meneliti secara kuantitatif tentang pengaruh belanja konsumsi dan belanja investasi dilihat dari kemampuan masingmasing variabel yang terdapat dalam kedua bagian belanja tersebut. Namun tidak semua sub bagian belanja yang ada dipergunakan untuk mengukur
199
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH : PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo
tingkat kemiskinan. Adapun desain penelitian mengenai pengeluaran pemerintah dan pengaruhnya terhadap tingkat kemiskinan sebagai berikut : Y = ƒ (X1, X2, X3) Y : fungsi dari Pengeluaran Pemerintah dan investasi swasta, yang terdiri dari tingkat kemiskinan. X1 = X11, X12, X13 Pengeluaran Konsumsi (X1) berasal dari komponen belanja langsung dari struktur Belanja APBD yang terdiri dari Belanja Barang (X11), Belanja Hibah (X12), Belanja Bantuan Sosial (X13). X2 = X21, X22, X23,X24 Belanja Investasi (X2) berasal dari komponen Belanja Langsung dalam struktur belanja APBD yang terdiri dari Belanja Peralatan dan Mesin (X21), Belanja Gedung dan Bangunan (X22), Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan (X23) dan Belanja Aset Tetap Lainnya (X24), sedangkan X3 adalah Realisasi Investasi Swasta. Y = ƒ (X11, X12, X13, X21, X22, X23,X24, X3) Jumlah Penduduk Miskin (Y) merupakan fungsi dari Belanja Barang (X11), Belanja Hibah (X12), Belanja Bantuan Sosial (X13), Belanja Peralatan dan Mesin (X21), Belanja Gedung dan Bangunan (X22), Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan (X23) dan Belanja Aset Tetap Lainnya (X24), Realisasi Investasi Swasta (X3) pada 35 Kabupaten Kota di Jawa Tengah tahun 2008 sampai dengan 2013. 3.2. Uji Asumsi Klasik Uji multikolinearitas ini bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi panel ditemukan adanya korelasi antar variabel independen. Uji heteroskedastisitas adalah untuk melihat apakah terdapat ketidaksamaan varians dari residual satu ke pengamatan ke pengamatan yang lain. Untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas atau tidak maka dengan membandingkan nilai R-squared dan tabel X2: Jika nilai R-squared > X2 tabel, maka tidak lolos uji heteroskedastisitas Jika nilai R-squared < X2 tabel, maka lolos uji heteroskedastisitas. Uji autokorelasi adalah untuk melihat apakah terjadi korelasi antara suatu periode t dengan periode sebelumnya (t-1). uji statistik yang sering dipergunakan adalah uji Durbin-Watson. Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi, variabel terikat, variabel bebas atau keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah distribusi data normal atau mendekati normal. Hipotesis yang digunakan adalah: H0 : Data berdistribusi normal H1 : Data tidak berdistribusi normal Jika hasil dari JB hitung> Chi Square tabel, maka H0 ditolak Jika hasil dari JB hitung< Chi Square tabel, maka H0 diterima. 200
3.3. Perumusan Persamaan Regresi Kmiskin = α-b11Bljbrgit – b12BljHbahit – b13Bansosit – b21Peralmesit – b22Bangedit – b23Jairjarit – b24Asttlit –b3Reinswstit–e Koefisien determinasi (R2) mencerminkan besarnya pengaruh perubahan variabel-variabel bebas (independent variables) dalam menjelaskan perubahan pada variabel tidak bebas (dependent variables) secara bersama-sama, dengan tujuan untuk mengukur kebenaran dan kebaikan hubungan antar variabel dalam model yang digunakan. Besarnya nilai koefisien determinasi adalah antara 0 hingga 1 (0
t-tabel : Ho ditolak, Ha diterima t-stat< t-tabel : Ho diterima, Ha ditolak kriteria pengujian :
H0 diterima jika ρvalue ( tingkat signifikan) > 0,05 H1 ditolak jika ρvalue ( tingkat signifikan) < 0,05.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH : PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo
Tabel 1 Jumlah Penduduk Kabupaten Kota di Provinsi Jawa Tengah tahun 2008-2013 (dalam ribuan) Daerah Kab Banjarnegara Kab Banyumas Kab Batang Kab Blora Kab Boyolali Kab Brebes Kab Cilacap Kab Demak Kab Grobogan Kab Jepara Kab Karanganyar Kab Kebumen Kab Kendal Kab Klaten Kab Kudus Kab Magelang Kab Pati Kab Pekalongan Kab Pemalang Kab Purbalingga Kab Purworejo Kab Rembang Kab Semarang Kab Sragen Kab Sukoharjo Kab Tegal Kab Temanggung Kab Wonogiri Kab Wonosobo Kota Magelang Kota Pekalongan Kota Salatiga Kota Semarang Kota Surakarta Kota Tegal Jumlah
2008 869,78 1.503,26 682,56 835,16 938,47 1.788,69 1.738,60 1.034,29 1.336,32 1.090,84 812,42 1.215,80 952,01 1.133,01 786,27 1.170,89 1.171,61 851,70 1.375,24 828,13 722,29 575,64 911,22 871,95 826,70 1.415,63 707,71 982,73 757,75 134,62 275,24 178,45 1.511,24 522,94 240,50 32.751,65
2009 875,17 1.510,10 686,02 838,16 943,98 1.800,96 1.744,13 1.042,93 1.345,88 1.107,97 819,19 1.222,54 965,81 1.136,83 797,62 1.180,22 1.175,23 858,97 1.391,28 834,16 724,97 578,23 921,87 877,40 833,58 1.420,53 714,41 985,02 760,82 137,06 277,07 182,23 1.533,69 528,20 241,07 32.995,28
Jumlah Penduduk (Jiwa) 2010 2011 868,91 1.554,53 706,76 829,73 930,53 1.733,87 1.748,71 1.064,58 1.308,70 1.097,28 813,20 1.159,93 900,31 1.130,05 777,44 1.181,72 1.190,99 838,62 1.261,35 848,95 695,43 591,36 930,73 883,46 824,24 1.394,84 708,55 928,90 754,88 59,03 281,43 170,33 1.555,98 499,34 239,60 32.525,46
875,21 1.578,13 713,94 833,79 936,82 1.742,53 1.755,27 1.067,99 1.316,69 1.124,20 825,67 1.162,29 908,53 1.135,20 788,26 1.193,57 1.198,53 845,47 1.264,54 858,80 696,14 597,26 938,80 887,72 832,09 1.399,79 715,91 929,87 758,99 118,61 284,41 173,06 1.585,42 501,65 240,78 32.787,95
2012 890,96 1.603,04 728,58 847,13 953,32 1.770,48 1.679,86 1.091,38 1.339,13 1.144,92 838,76 1.181,68 926,33 1.153,05 807,01 1.219,37 1.219,99 861,37 1.285,02 877,49 708,48 608,55 968,38 875,28 848,72 1.421,00 730,72 946,37 771,45 120,45 290,35 177,48 1.629,92 509,58 244,63 33.272,22
2013 880,92 1.605,58 729,92 844,44 951,82 1.764,65 1.676,09 1.094,47 1.336,30 1.153,21 840,17 1.176,72 926,81 1.148,99 810,81 1.221,68 1.218,02 861,08 1.279,60 879,88 705,48 608,90 974,09 871,99 849,51 1.415,01 731,91 942,38 769,32 119,94 290,87 178,59 1.644,80 507,83 243,86 33.257,66
Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka 2009-2014, BPS Provinsi Jawa Tengah
3.5. Uji Statistik Metode analisis data yang digunakan adalah Data Panel. Data panel adalah gabungan antara data runtut waktu (time series) dan data silang (cross section). Obyek penelitian adalah Tingkat Kemiskinan (Y) sebagai dependen variabel dan sebagai independen variabel adalah Belanja Konsumsi (X1).
Y= α-b11X11it – b12X12it – b13X13it – b21X21it – b22X22it – b23X23it – b24X24it –b3X3it–e Keterangan: Y = Variabel Kemiskinan diberi kode Kmiskan Α = Konstanta
3.5.1. Model Regresi Data Panel Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
201
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH : PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo
Gambar 4 Peta Penduduk Rata-Rata Jumlah Penduduk Tertinggi, Sedang nan Terendah di 35 Kabupaten Kota Provinsi Jateng dalam Tahun 2008-2013
Sumber: Tabel 1
X11 X12 X13 X21
= = = =
X22 = X23 = X24 = X3 = b11 b12 b13 b21 b22
= = = = =
b23 = b24 b3 e t I
= = = = =
202
Variabel Belanja Barang diberi kode Bljbrg Variabel Belanja Hibah diberi kode BljHbah Variabel Bantuan Sosial diberi kode Bansos Variabel Belanja Peralatan dan Mesin diberi kode Peralmes Variabel Belanja Bangunan dan Gedung diberi kode Banged Variabel Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan diberi kode Jairjar Variabel Belanja Aset Tetap Lainnya diberi kodeAsttl Variabel Realisasi Investasi Swasta diberi kode Reinswsy Koefisien regresi Belanja Barang Koefisien regresi Belanja Hibah Koefisien regresi Bantuan Sosial Koefisien regresi Belanja Peralatan dan Mesin Koefisien regresi Belanja Bangunan dan Gedung Koefisien regresi Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan Koefisien regresi Belanja Aset Tetap Lainnya Koefisien regresi Realisasi Investasi Swasta Error term Tahun 2008 sampai dengan 2013 35 Kabupaten / Kota di Propinsi Jawa Tengah
3.5.2. Metode Estimasi Model Regresi Panel Model ini mengasumsikan bahwa perbedaan antar individu dapat diakomodasi dari perbedaan intersepnya. Setelah melalui estimasi model regresi maka dilakukan pemilihan Model Fixed Effect. Model ini kemudian dilakukan Uji Hausman. Uji Hausman dapat didefinisikan sebagai pengujian statistik untuk memilih apakah Model Fixed Effect yang paling tepat digunakan. Pengujian uji Hausman dilakukan dengan hipotesis berikut: H0 : Random Effect Model H1 : Fixed Effect Model Uji Hausman akan mengikuti squares sebagai berikut
distribusi
chi-
̂𝑽𝒂𝒓(𝒒 ̂) − 𝟏𝒒 ̂ 𝒎=𝒒 Statistik Uji Hausman ini mengikuti distribusi statistic Chi Square dengan degree of freedom. Jika nilai statistik Hausman lebih besar dari nilai kritisnya maka H0 ditolak dan model yang tepat adalah Model Fixed Effect sedangkan sebaliknya bila nilai statistik Hausman lebih kecil dari nilai kritisnya maka model yang tepat adalah model Random Effect.
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam deskripsi daerah penelitian disajikan gambaran 35 Kabupaten Kota di Provinsi Jawa Tengah tentang luas masing-masing kabupaten kota, jumlah penduduk dalam periode yang relevan dengan analisis penelitian, tingkat kemiskinan yang terdapat di masing-masing kabupaten kota serta besaran Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH : PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo
Tabel 2 Jumlah Penduduk Miskin pada Kabupaten Kota di Provinsi Jateng tahun 2008-2013 (dalam ribuan) Kabupaten Kota Kab Banjarnegara Kab Banyumas Kab Batang Kab Blora Kab Boyolali Kab Brebes Kab Cilacap Kab Demak Kab Grobogan Kab Jepara Kab Karanganyar Kab Kebumen Kab Kendal Kab Klaten Kab Kudus Kab Magelang Kab Pati Kab Pekalongan Kab Pemalang Kab Purbalingga Kab Purworejo Kab Rembang Kab Semarang Kab Sragen Kab Sukoharjo Kab Tegal Kab Temanggung Kab Wonogiri Kab Wonosobo Kota Magelang Kota Pekalongan Kota Salatiga Kota Semarang Kota Surakarta Kota Tegal Jumlah
2008 200,6 340,7 122,0 155,1 158,4 459,3 343,9 217,2 262,0 119,2 125,9 334,9 168,2 243,1 97,8 190,8 207,2 164,3 325,2 221,9 130,0 154,7 102,5 177,1 99,1 220,7 114,7 201,1 207,5 14,9 28,0 14,9 89,6 83,4 26,8 6.122,7
2009 184,0 319,8 112,2 146,0 148,2 432,4 318,8 202,2 247,5 104,7 118,8 309,6 152,4 220,2 84,9 176,5 184,1 151,6 303,7 205,0 121,4 147,2 96,7 167,3 94,4 195,5 105,8 184,9 194,0 13,7 23,3 14,1 73,1 78,0 23,4 5.655,4
Jumlah Penduduk Miskin 2010 2011 166,7 177,30 314,2 328,50 103,6 95,30 135,0 134,90 127,8 139,00 398,8 294,40 297,2 282,00 198,9 192,50 233,8 227,80 111,9 113,30 113,8 124,50 263,1 279,40 130,4 128,60 197,4 203,10 70,2 73,60 167,3 179,60 172,4 175,10 136,6 125,90 251,9 261,20 209,0 196,00 115,4 121,90 138,6 140,40 97,9 96,00 149,8 154,30 90,2 92,00 182,5 161,10 95,4 94,90 145,6 146,40 174,8 183,00 12,4 13,10 26,4 28,30 14,2 13,30 79,7 88,50 69,9 64,50 25,7 25,90 5.218,5 5.155,6
2012 167,0 309,8 89,8 127,1 131,5 371,4 265,7 181,6 214,6 107,0 117,4 262,8 121,2 191,3 69,3 169,4 165,0 118,6 245,9 184,9 114,8 132,4 90,6 145,3 85,7 151,7 89,5 137,9 172,4 12,3 27,3 12,6 83,3 60,7 24,4 4.952,1
2013 166,8 296,8 87,5 123,8 126,5 367,9 255,7 172,5 199,0 106,9 114,4 251,1 117,7 179,5 70,1 171,0 157,9 116,5 246,8 181,1 109,0 128,0 83,2 139,0 84,1 149,8 91,1 132,2 170,1 11,8 24,1 11,5 86,7 59,7 21,6 4.811,3
Sumber : Jawa Tengah Dalam Angka 2009-2014, BPS Provinsi Jawa Tengah
pengeluaran pemerintah ditinjau dari variabel yang dianalisa. 4.1. Kondisi Demografi Jumlah penduduk di wilayah Provinsi Jawa Tengah tahun 2008 sebanyak 32.751.648 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 1.006 jiwa per km2. Jumlah penduduk di wilayah Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebanyak 32.995.284 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 1.013 jiwa per km2. Jumlah penduduk di wilayah Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 sebanyak 32.525.463 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 999 jiwa per km2. Secara lengkap jumlah pendidik Kabupaten Kota di Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat dalam tabel 1.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
Jumlah penduduk di wilayah Provinsi Jawa Tengah tahun 2011 sebanyak 32.787.946 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 1.008 jiwa per km2. Jumlah penduduk di wilayah Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 sebanyak 33.272.219 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 1.022 jiwa per km2. Jumlah penduduk di wilayah Provinsi Jawa Tengah tahun 2013 sebanyak 33.257.655 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk 1.022 jiwa per km2. Dalam gambar berikut dapat dijelaskan kondisi daerah yang memiliki penduduk tertinggi, sedang dan terendah dari rata-rata tahun 2008 sampai dengan tahun 2013 seperti dalam gambar 4. Berdasarkan pada jumlah penduduk yang ada dalam masing-masing kabupaten kota di Provinsi Jawa Tengah dari data yang ada maka dapat dikategorikan
203
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH : PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo
dalam jumlah penduduk tinggi, sedang dan rendah. Adapun batasan diperoleh dengan membagi jumlah penduduk dengan jumlah kabupaten kota, kemudian hasilnya dibagi menjadi tiga yang selanjutnya disebut kategori tinggi, sedang dan rendah. Hal yang sama juga dilakukan pada jumlah penduduk miskin di Kabupaten Kota dalam Provinsi Jawa Tengah. 4.2. Analisis Statistik Deskriptif Secara umum jumlah penduduk miskin Kabupaten Kota di Provinsi Jawa Tengah dalam tahun 2008 sampai dengan 2013 mengalami trend yang selalu menurun apabila dibandingkan dari persentase jumlah penduduk miskin seluruh Kabupaten Kota di Provinsi Jawa Tengah dengan jumlah penduduk miskin masingmasing kabupaten kota. deskripsi dari jumlah penduduk miskin kabupaten kota di Provinsi Jawa Tengah dalam rentang tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 yang secara lengkap dapat dilihat dalam tabel 2. Rata-rata selama tahun 2008 sampai dengan tahun 2013 jumlah penduduk miskin pada kabupaten kota di Provinsi Jawa Tengah dalam kategori tinggi dengan jumlah antara 311 ribu jiwa sampai 157 ribu jiwa. Kategori sedang dengan jumlah antara 154,8 ribu jiwa sampai 104 ribu jiwa. Kategori rendah dengan jumlah antara 97,9 ribu jiwa sampai 11,7 ribu jiwa. Adapun kategori penduduk miskin tertinggi, sedang dan rendah dapat dilihat dalam gambar 5. Belanja barang termasuk dalam kelompok Belanja Konsumsi yang berasal dari Belanja Tidak Langsung sesuai dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006. Belanja hibah digunakan untuk menganggarkan
pemberian hibah dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, dan kelompok masyarakat/perorangan yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya. Bantuan sosial digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Belanja Peralatan dan Mesin adalah pengeluaran/ biaya yang digunakan untuk pengadaan/ penambahan/penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor.Belanja Bangunan dan Gedung adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/ penggantian, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian/peningkatan pembangunan/pembuatan serta perawatan. Untuk belanja jalan, irigasi dan jaringan seperti halnya belanja lainnya. Belanja Aset Tetap Lainnya adalah Pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian/peningkatan pembangunan/pembuatan serta perawatan terhadap fisik lainnya yang tidak dapat dikategorikan kedalam kriteria belanja sebelumnya. Realisasi investasi swasta ini terdiri dari Penamaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang
Gambar 5 Peta Rata-Rata Jumlah Penduduk Miskin Tertinggi, Sedang dan Terendah di 35 Kabupaten Kota Provinsi Jateng dalam Tahun 2008-2013
Sumber: Tabel 2
204
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH : PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo
Tabel 3 Metode Fixed Effect Model Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan Realisasi Investasi Swasta terhadap Kemiskinan Tahun 2008-2013 Variable C BLJBRG BLJHBAH BANSOS PERALMES BANGED JAIRJAR ASTTL REINSWS R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
Coefficient
Std. Error
1.584 (14.886.382) (182.407.701) 240.679.463 (208.807.424) (5.304.750) 30.940.600 (293.462.811) 59.542 0,9799 0,7214 1.447 2.284 -5.966
5.448 9.631.393 72.644.476 65.809.073 77.502.792 45.237.744 46.431.366 273.774.828 21.323 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter.
berskala nasional yang ada di tiap-tiap kabupaten kota dalam Provinsi Jawa Tengah yang bersumber dari Laporan Realisasi Investasi Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD) Provinsi Jawa Tengah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang dibuat setiap tahun oleh pemerintah daerah. 4.3. Analisis Statistik Kuantitatif Pengeluaran Pemerintah dan investasi swasta terhadap Tingkat Kemiskinan Metode Regresi Data Panel digunakan dengan analisa Metode Fixed Effect Model. Dalam Model ini dijelaskan variabelnya meliputi Belanja Barang yang disingkat Bljbrg, Belanja Hibah yang disingkat BljHbah, Bantuan Sosial yang disingkat Bansos, Belanja Peralatan dan Mesin yang disingkat Peralmes, Belanja Bangunan Gedung yang disingkat Banged, Belanja Jalan Irigasi dan Jaringan yang disingkat Jairjar, Belanja Aset Tetap Lainnya yang disingkat Asttl dan Realisasi Investasi Swasta yang disingkat Reinsws. Adapun ringkasan hasil estimasi untuk model diperlihatkan pada tabel 3. Dengan hasil Uji Hausman dapat dilihat dalam tabel berikut : Tabel 4 Hasil Uji Hausman Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan Realisasi Investasi Swasta terhadap Kemiskinan Tahun 2008-2013 Effects Test Cross-section F Cross-section Chi-square
Statistic 1.134
d.f. -34,109
Prob. 0,0000
5.463
34
-
Statistik Uji Hausman ini mengikuti distribusi statistic Chi Square, hasil perbandingan selengkapnya ditunjukkan oleh tabel berikut.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
t-Statistic 29.079,951 (1.545,611) (2.510,965) 3.657,238 (2.694,192) (1.172,638) 0,666 (1.071,913) 2.792,386
Prob. 0,000000 0,125097 0,013507 0,000394 0,008173 0,243497 0,506581 0,286127 0,006181 1.480,713 8.672,232 8.416,063 9.271,503 8.763,572
Tabel 5 Hasil Perbandingan Uji Hausman dengan ChiSquare Tabel Chi Square hitung (Hausman Test) X= 34.3392
Sign
ChiSquare Tabel
>
15,50731
Kesimpulan Ho ditolak, dengan demikian model yang dipilih adalah fixed effect model
Tahap berikutnya dilakukan Uji Asumsi Klasik meliputi Uji Normalitas. Dengan analisis grafik atau histogram analysist terlihat bahwa grafik membentuk gambar seperti lonceng Hipotesis yang digunakan adalah: H0 : Data berdistribusi normal H1 : Data tidak berdistribusi normal Jika hasil dari JBhitung > Chi Squaretabel, maka H0 ditolak, hasilnya adalah JBhitung (25,623) > Chi Squaretabel, (15,50731) maka dapat disimpulkan bahwa distribusi data normal atau mendekati normal. Model yang baik adalah model yang tidak terjadi korelasi antar variabel independennya untuk Uji Multikolinearitas. Adapun hasil perbandingan uji multikolinearitas variabel pengeluaran pemerintah, realisasi investasi swasta dan kemiskinan dapat dilihat pada tabel 6. Untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas atau tidak maka dengan membandingkan nilai R-squared dan tabel X2: Jika nilai R-squared > X2 tabel, maka tidak lolos uji heteroskedastisitas.
205
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH : PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo
Jika nilai R-squared < X2 tabel, maka lolos uji heteroskedastisitas. Tabel 6 Hasil Heteroskedasticity Test variabel Pengeluaran Pemerintah, Realisasi Investasi Swasta dan Kemiskinan Obs*Rsquared
49.45619
R-squared
0,9831
R-squared
0,9799
Prob(Fstatistic)
0,0000
Prob. Chi-Square 0.2645 (44) Mean dependent 1.480,713 var Durbin-Watson 2,189 stat F-statistic
1.264
Hasil analisa menyebutkan bahwa nilai R-squared (49.45619) > X2 tabel (15,50731), maka lolos uji heteroskedastisitas atau dapat dijelaskan pula bahwa Dengan melihat nilai atau value chi square 0,2645 bahwa lebih besar dari tingkat signifikansi 0,05 sehingga tidak terjadi gejala heteroskedastisitas. Untuk mengetahui adanya autokorelasi dalam suatu model regresi dilakukan melalui pengujian terhadap nilai uji Durbin Watson (Uji DW). Dengan melihat nilai Durbin Watson pada Model Fixed Effect sebesar 2,189,014. Apabila melihat tabel Durbin Watson dengan n=154, K=8, maka diperoleh nilai dL 1,622 dan dU 1,847, sehingga nilai 4-dU sebesar 2,030 (4-1,857) dan nilai 4-dL sebesar 2,378 (4-1,622). Dilihat pakai grafik. Setelah dilihat ternyata nilai Durbin Watson terletak antara di wilayah 4-dU dan 4dL sehingga tidak ada kesimpulan maka disimpulkan model ini tidak mengandung masalah autokorelasi. Tabel 7 Hasil Uji Durbin Watson (Uji DW)Variabel Pengeluaran Pemerintah, Realisasi Investasi Swasta dan Kemiskinan R-squared
0.9831
Mean dependent var Durbin-Watson stat
Adjusted R0.9755 squared Prob (F0.000000 F-statistic statistic)
1.480 2,189 1.264
Selanjutnya dapat dilakukan uji estimasi linier berganda dan diinterpretasikan. Untuk Pengaruh Pengeluaran Pemerintah dan realisasi investasi sektor swasta terhadap Tingkat Kemiskinan dari hasil analisa diperoleh hasil persamaan sebagai berikut : KMSKNAN = 158,431796626 - 1,4886BLJBRG 1,8240BLJHBAH + 2,4067BANSOS 2,0880PERALMES - 5,3047BANGED + 3,09406 JAIRJAR-2,93462ASTTL + 5,9541REINSWS Persamaan tersebut diperoleh dari Model Fixed Effect yang diasumsikan sesuai dengan analisa yang diharapkan. Adjusted R squared : 0,7214 yang berarti bahwa variasi Variabel Belanja Barang, Variabel Belanja Hibah, Variabel Belanja Bantuan Sosial,
206
Variabel Belanja Peralatan dan Mesin, Variabel Belanja Bangunan dan Gedung, Variabel Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan, Variabel Belanja Aset Tetap Lainnyadan Variabel Realisasi Investasi Swasta mampu menjelaskan variasi variabel Tingkat Kemiskinan sebesar 98,31 persen sedangkan sisanya sebesar 0,2786 persen merupakan variabel lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini. 4.4. Pengujian Hipotesis 4.4.1. Uji F FStatistik: dibandingkan dengan ftabel, lalu jika lebih besar maka Variabel Bebas secara simultan berpengaruh terhadap variabel tingkat kemiskinan. (signifikan karena prob 0,00 < α=0,05). Dari hasil perhitungan yang menggunakan taraf keyakinan 95 persen (α= 5 persen) dengan degree of freedom for numerator (dfn) = 8 (k-1 = 9-1) dan degree of freedom for denominator (dfd)= 145 (n-k = 154-9) maka Ftabel sebesar 2,00diperoleh FStatistik(126,4)>ftabel(2,00) sehingga Variabel Bebas secara simultan berpengaruh terhadap variabel tingkat kemiskinan. Uji F ini juga menjelaskan ketepatan model yang digunakan dalam analisis ini. 4.4.2. Uji t 4.4.2.1. Variabel belanja hibah dengan hipotesis sebagai berikut : Ho : β2 = 0 tidak ada pengaruh variabel Belanja Hibah terhadap tingkat kemiskinan H1: β2 ≠ 0 tidak ada pengaruh variabel Belanja Hibah terhadap tingkat kemiskinan. Jika : t-stat> t-tabel : Ho ditolak, Ha diterima t-stat< t-tabel : Ho diterima, Ha ditolak kriteria pengujian : H0 diterima jika ρvalue(tingkat signifikan)> 0,05 H1 ditolak jika ρvalue(tingkat signifikan) < 0,05. Nilai thitung dari Belanja hibah sebesar -0,7722dan ttabel dengan tingkat keyakinan 95 persen (α=5 persen) sebesar 1.545,611 sehingga thitung (-0,7722)< ttabel (1.545,611) hal ini berarti semakin tinggi belanja hibah akan menurunkan tingkat kemiskinan. Koefisien regresi variabel belanja hibah sebesar -0,7722 berarti bahwa setiap peningkatan belanja hibah sebesar 1 miliar akan menyebabkan penurunan tingkat kemiskinan sebesar 0,7722 dengan asumsi ceteris paribus pada variabel lain. 4.4.2.2. Variabel Bantuan Sosial dengan hipotesis sebagai berikut : Ho : β3 = 0 tidak ada pengaruh variabel Bantuan Sosial terhadap tingkat kemiskinan H1: β3 ≠ 0 tidak ada pengaruh variabel Bantuan Sosial terhadap tingkat kemiskinan. Jika : t-stat> t-tabel : Ho ditolak, Ha diterima t-stat< t-tabel : Ho diterima, Ha ditolak kriteria pengujian : H0 diterima jika ρvalue(tingkat signifikan)> 0,05
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH : PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo
H1 ditolak jika ρvalue (tingkat signifikan) < 0,05. Nilai thitung dari Bantuan Sosial sebesar 3.657,238 dan ttabel dengan tingkat keyakinan 95 persen (α=5 persen) sebesar 1,65543 sehingga thitung (3.657,238)> ttabel (1,65543) hal ini berarti semakin tinggi Bantuan Sosial akan menaikan pula tingkat kemiskinan. Koefisien regresi variabel Bantuan Sosial sebesar 3.657,238 berarti bahwa setiap peningkatan Bantuan Sosial sebesar 1 miliar akan menyebabkan menaikan tingkat kemiskinan sebesar 3.657,238 dengan asumsi ceteris paribus pada variabel lain. 4.4.2.3. Variabel belanja peralatan dan mesin dengan hipotesis sebagai berikut Ho : β4 = 0 tidak ada pengaruh variabel Belanja peralatan dan mesin terhadap tingkat kemiskinan H1 : β4 ≠ 0 tidak ada pengaruh variabel Belanja peralatan dan mesin terhadap tingkat kemiskinan. Jika : t-stat> t-tabel : Ho ditolak, Ha diterima t-stat< t-tabel : Ho diterima, Ha ditolak kriteria pengujian : H0 diterima jika ρvalue(tingkat signifikan)> 0,05 H1 ditolak jika ρvalue (tingkat signifikan) < 0,05. Nilai thitung dari Belanja peralatan dan mesin sebesar 2.694,192dan ttabel dengan tingkat keyakinan 95 persen (α=5 persen) sebesar 1,65543 sehingga thitung(2.694,192) > ttabel (1,65543) hal ini berarti semakin tinggi belanja peralatan dan mesin akan menurunkan tingkat kemiskinan. Koefisien regresi variabel belanja peralatan dan mesin sebesar 2.694,192 berarti bahwa setiap peningkatan belanja peralatan dan mesin sebesar 1 persen akan menyebabkan penurunan tingkat kemiskinan sebesar 2.694,192 dengan asumsi ceteris paribus pada variabel lain. 4.4.2.4. Variabel Realisasi Investasi sektor swasta dengan hipotesis sebagai berikut : Ho : β8 = 0 tidak ada pengaruh variabel Realisasi Investasi sektor swasta terhadap tingkat kemiskinan H1: β8 ≠ 0 tidak ada pengaruh variabel Realisasi Investasi sektor swasta terhadap tingkat kemiskinan. Jika : t-stat> t-tabel : Ho ditolak, Ha diterima t-stat< t-tabel : Ho diterima, Ha ditolak kriteria pengujian : H0 diterima jika ρvalue(tingkat signifikan)> 0,05 H1 ditolak jika ρvalue (tingkat signifikan) < 0,05. Nilai thitung dari Realisasi Investasi sektor swasta sebesar 2.792,386 dan ttabel dengan tingkat keyakinan 95 persen (α=5 persen) sebesar 1,65543 sehingga thitung (2.792,386)> ttabel (1,65543) hal ini berarti semakin tinggi Realisasi Investasi sektor swasta akan menaikan pula tingkat kemiskinan. Koefisien regresi variabel Realisasi Investasi sektor swasta sebesar 2.792,386 berarti bahwa setiap peningkatan Realisasi Investasi sektor swasta sebesar 1 miliar akan menyebabkan menaikkan tingkat kemiskinan sebesar
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
2.792,386 dengan asumsi ceteris paribus pada variabel lain. 4.5. Pembahasan Dari hasil perhitungan di atas maka dapat dijelaskan pengaruh pengeluaran konsumsi, pengeluaran investasi dan realisasi investasi sektor swasta sebagai berikut: a. Belanja barang yang merupakan bagian dari belanja konsumsi pemerintah mampu mempengaruhi secara negatif sesuai dengan hipotesa namun tidak siginifikan . b. Belanja Hibah yang merupakan bagian dari belanja konsumsi pemerintah mampu mempengaruhi secara negatif sesuai dengan hipotesa dengan perhitungan setiap 1 orang penduduk miskin di 35 Kabupaten Kota Provinsi Jawa Tengah yang dientaskan pemerintah perlu melakukan belanja hibah sebesar Rp.182.407.701,-. c. Bantuan Sosial yang merupakan bagian dari belanja konsumsi pemerintah mempengaruhi secara positif sehingga tidak sesuai dengan hipotesa bahwa setiap belanja bantuan sosial sebesar Rp.240.679.463,- malah akan menambah 1 orang penduduk miskin di 35 Kabupaten Kota Provinsi Jawa Tengah. Kondisi ini diluar kemampuan peneliti sehingga tidak bisa mengintepretasikan hasil analisis bantuan sosial, maka berpotensi untuk dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap variabel bantuan sosial. d. Belanja Peralatan dan Mesin yang termasuk dalam belanja investasi pemerintah mempengaruhi secara positif sehingga tidak sesuai dengan hipotesa bahwa setiap 1 orang penduduk miskin di 35 Kabupaten Kota Provinsi Jawa Tengah yang dientaskan pemerintah perlu melakukan belanja peralatan dan mesin sebesar Rp.208.807.424,-. Hal ini terjadi karena sesuai dengan karakter belanja peralatan dan mesin diadakan sebagai bagian dari investasi pemerintah untuk usaha yang tidak secara langsung bisa dimanfaatkan dalam pengentasan kemiskinan seperti misalnya teknologi informasi. Kondisi ini merupakan salah satu dampak negatif dari adanya penerapan teknologi, terdapat pengurangan keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan yang berdampak pada bertambahnya kemiskinan, karena tadinya bekerja menjadi tidak bekerja karena proses otomatisasi dari peralatan yang dipergunakan. Kelompok pengeluaran pemerintah pada belanja peralatan dan mesin ini perlu diperhatikan dalam proses pelaksanaannya dengan memprioritaskan kebutuhan tersebut sehingga tidak semakin menimbulkan masalah kemiskinan. e. Belanja Bangunan dan Gedung yang termasuk dalam belanja investasi pemerintah mampu mempengaruhi secara negatif sesuai dengan hipotesa bahwa setiap 1 orang penduduk miskin di 35 Kabupaten Kota Provinsi Jawa Tengah yang dientaskan pemerintah perlu melakukan belanja
207
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH : PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo
bangunan dan gedung sebesar Rp.5.304.750,-. Hal ini terjadi karena sesuai dengan belanja bangunan dan gedung diadakan sebagai bagian dari investasi pemerintah untuk usaha yang memberikan multiplier efek dalam jangka panjang seperti misalnya bangunan sekolah atau rumah susun. f. Belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan yang termasuk dalam belanja investasi pemerintah mampu mempengaruhi positif sehingga tidak sesuai dengan hipotesa bahwa setiap 1 orang penduduk miskin di 35 Kabupaten Kota Provinsi Jawa Tengah yang dientaskan pemerintah perlu melakukan belanja jalan, irigasi dan jaringan sebesar Rp.30.940.600,-. Hal ini terjadi karena proyek tersebut umumnya dilaksanakan oleh pihak ketiga, dimana pihak ketiga tersebut dalam melaksanakan pekerjaan sudah memiliki sistem secara internal sehingga tidak mampu mempengaruhi secara spontan terhadap kemiskinan dimana investasi tersebut dilaksanakan. g. Belanja Aset Tetap Lainnya yang termasuk dalam belanja investasi pemerintah mampu mempengaruhi secara negatif sehingga sesuai dengan hipotesa, bahwa setiap 1 orang penduduk miskin di 35 Kabupaten Kota Provinsi Jawa Tengah yang dientaskan pemerintah perlu melakukan belanja Aset Tetap Lainnya sebesar Rp.293.462.811,-. Hal ini terjadi karena sesuai dengan Aset Tetap Lainnya diadakan untuk usaha yang memberikan multiplier efek dalam jangka panjang seperti misalnya belanja modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal ilmiah. h. Realisasi Investasi Swasta yang mampu mempengaruhi positif sehingga tidak sesuai dengan hipotesa dengan perhitungan apabila Realisasi Investasi Swasta dinaikkan sebesar 1 miliar rupiah maka akan menambah jumlah kemiskinan sebanyak 59 penduduk, dengan kata lain setiap realisasi investasi swasta sebesar Rp.59.542.000,- malah akan menambah 1 orang penduduk miskin di 35 Kabupaten Kota Provinsi Jawa Tengah. Hal ini terjadi karena proyek investasi swasta tersebut umumnya dilaksanakan oleh pihak swasta yang berorientasi pasar, dimana swasta tersebut dalam melaksanakan pekerjaan sudah memiliki sistem secara internal sehingga tidak mampu mempengaruhi secara spontan terhadap kemiskinan dimana investasi tersebut dilaksanakan. Penekanan pada hasil negatif dan positif tidak dalam definisi bahwa negatif itu tidak baik dan positif itu sebaliknya, dalam konteks ini lebih kepada hubungan antara variabel dependen dan independen dari hasil pengembangan hipotesis. Hubungan negatif antara variabel dependen dan independen menjelaskan bahwa variabel belanja tersebut memang memiliki manfaat untuk pengurangan tingkat
208
kemiskinan dan sebaliknya apabila positif justru akan menambah tingkat pengangguran. Dengan hasil penelitian ini maka mampu menjelaskan teori Keynes bahwa intervensi Pemerintah merupakan pertumbuhan pendapatan nasional ditentukan oleh besarnya pengeluaran konsumsi, pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor bersih. Pertumbuhan pendapatan tersebut digunakan sebagai upaya dalam mengatasi masalah kemiskinan yang secara rinci dijelaskan melalui variabel belanja barang, variabel belanja hibah, variabel belanja bangunan gedung dan variabel belanja aset tetap lainnya. Hasil Penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu, namun penelitian terdahulu sebatas pada akumulasi pengeluaran pemerintah, sedangkan dalam penelitian ini dilakukan secara lebih terperinci dalam kelompok pengeluaran pemerintah. Hasil penelitian terdahulu seperti penelitian yang dilakukan oleh Anis Setiyawati (2007) Untuk pengujian secara langsung Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan berpengaruh menunjukan adanya pengaruh yang signifikan, tetapi Pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap Kemiskinan.Irawati(2011), menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah yang pro poor khususnya terkait dengan bidang sosial dan infrastruktur masih harus ditingkatkan dan mendapat perhatian penuh dari pemerintah di masing-masing provinsi dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat miskin khususnya sehingga bisa memperbaiki tingkat kemiskinan.Penelitian Sodik (2007) dengan menggunakan data panel 26 provinsi tahun 1993 – 2003 menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah (baik pengeluaran pembangunan maupun pengeluaran rutin) berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional, yang berimplikasi pada pengurangan tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan. Sinurat, (2013), Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peningkatan belanja pemerintah terhadap sektor ekonomi, infrastruktur dan pendidikan dapat menurunkan tingkat kemiskinan sedangkan untuk sektor kesehatan malah sebaliknya diduga belanja pemerintah untuk kesehatan baru menurunkan tingkat kemiskinan untuk jangka panjang. Namun ada tiga variabel yang memiliki pengaruh positif terhadap kemiskinan yaitu variabel bantuan sosial, belanja Jalan, Irigasi dan Jaringan dan Realisasi Investasi Swasta dengan metode Period weights (PCSE) standard errors and covariance (d.f. corrected).
5. KESIMPULAN
Dari hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1) Pengeluaran pemerintah secara umum baik pengeluaran konsumsi yang dalam penelitian ini terdiri dari belanja barang dan jasa, belanja hibah dan bantuan sosial maupun pengeluaran investasi yang dalam penelitian ini terdiri dari belanja peralatan dan mesin, belanja bangunan dan gedung, belanja jalan, irigasi dan jaringan, belanja aset tetap lainnya dan realisasi investasi sektor swasta pada 35 Kabupaten
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH : PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo
Kota di Provinsi Jawa Tengah dalam periode tahun 2008 sampai dengan 2013 selalu mengalami peningkatan. Beberapa daerah memang ada yang tidak mengalokasikan untuk belanja tertentu karena proses transisi aturan pemerintah yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian di daerah. Sementara pemahaman daerah cukup beragam sehingga keadaan tersebut terjadi. Sejalan dengan hal tersebut tingkat kemiskinan mengalami penurunan dalam periode tahun 2008 sampai dengan tahun 2013. Penurunan tersebut terjadi secara umum di 35 kabupaten kota dalam Provinsi Jawa Tengah. 2) Perlu tetap dilaksanakan dengan memprioritaskan belanja pemerintah yang mana sesuai dengan kondisi masingmasing daerah. Namun pengeluaran pemerintah kelompok konsumsi yaitu bantuan sosial perlu mendapatkan perhatian karena hasilnya justru menambah tingkat kemiskinan. Pada kelompok belanja investasi yaitu belanja peralatan mesin danbelanja jalan irigasi jaringan terjadi sehingga tidak mampu mempengaruhi penurunan tingkat kemiskinan di daerah dimana pelaksanaan pekerjaan terkait belanja jalan, irigasi dan jaringan tersebut dilaksanakan. Realisasi investasi sektor swasta pun tidak serta merta secara spontan mempengaruhi penurunan tingkat kemiskinan karena dalam pelaksanaannya para investor cenderung sudah memiliki sistem yang terencana dan berorientasi pasar
6. IMPLIKASI DAN KETERBATASAN
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang dalam perkembangannya membutuhkan perbaikan-perbaikan untuk penelitian selanjutnya. Keterbatasan penelitian ini adalah pada hasil analisis pengaruh pengeluaran pemerintah dari kelompok konsumsi yaitu bantuan sosial dan pengeluaran pemerintah dari kelompok investasi yaitu peralatan mesin baik terhadap tingkat kemiskinan yang belum berdampak. Ketersediaan data yang kurang lengkap juga diasumsikan menjadi sebab terbatasnya penelitian ini. 6.1. Saran Memperhatikan kesimpulan mengenai pengeluaran pemerintah, realisasi investasi sektor swasta dan tingkat kemiskinan maka disarankan 1) Pemerintah bersama-sama stakeholder perlu lebih mengoptimalkan pengeluaran pemerintah pada program dan kegiatan yang memberikan dampak langsung maupun tidak langsung terhadap berkurangnya tingkat kemiskinan melalui evaluasi serta tindak lanjut secara menyeluruh dan berkelanjutan terhadap sistem, tatakerja serta sumber daya manusianya. 2) Pemerintah bersama-sama dengan stakeholder harus secara aktif melakukan upaya-upaya melakukan kerjasama dengan kabupaten dan kota lainnya sehingga memiliki sinergi dalam rangka melaksanakan pembangunan di masing-masing daerah namun berdampak positif terhadap daerah lain sehingga hasil yang diperoleh dapat secara nyata meningkatkan produktifitas daerah. 3) Pemerintah
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
perlu meningkatkan program kegiatan yang bersumber pada belanja barang dan jasa, belanja hibah, belanja peralatan dan mesin, belanja bangunan dan gedung, belanja aset tetap lainnya karena pengeluaran pemerintah tersebut mampu memberikan kontribusi dalam mengurangi tingkat kemiskinan. 4) Pemerintah perlu memperbaiki regulasi terhadap investasi sektor swasta yang berpihak pada penurunan tingkat kemiskinan karena penurunan tingkat kemiskinan tidak semata-mata karena peranan pengeluaran pemerintah tetapi peran swasta juga ada dalam bentuk investasi tersebut serta meningkatkan kerjasama dengan kabupaten/kota sekitar yang memiliki karakteristik yang hampir sama dalam menawarkan paket-paket investasi.
DAFTAR PUSTAKA :
Agus Widarjono, 2007, Ekonometrika Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis, Edisi Kedua, Cetakan Kesatu, Penerbit Ekonisia Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta. Arsyad, Lincolin. 1988. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta. STIE-YKPN. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, 2011, “Data dan Informasi Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah tahun 2002-2010”, Semarang, katalog BPS : 3205008. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, 2008, “Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten Kota 2007-2008”, Semarang, katalog BPS : 7203003. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, 2010, “Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten Kota 2009-2010”, Semarang, katalog BPS : 7203003. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, 2011, “Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten Kota 2010-2011”, Semarang, katalog BPS : 7203003. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, 2012, “Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten Kota 2011-2012”, Semarang, katalog BPS : 7203003. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, 2013, “Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten Kota 2012-2013”, Semarang, katalog BPS : 7203003. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, 2014, “Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten Kota 2013-2014”, Semarang, katalog BPS : 7203003. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, 2011, “Data dan Informasi Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Tengah tahun 2009-2011”, Semarang, katalog BPS : 44050038. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, 2011, “Profil Kemiskinan Di Provinsi Jawa Tengah”, Semarang. Bayai, Innocent and Davis Nyangara. 2013. An Analysis of Determinants of Private Investment in Zimbabwe For The Period 2009–2011.
209
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH : PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo
International Journal of Economics and Management Sciences, 2(6). Bastian, Indra, 2006, Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar, Erlanga, Jakarta Boivin, Jean and Marc Giannoni, 2002, “Assessing Changes in the Monetary Transmission Mechanism: A VAR Approach,” Economic Policy Review FRBNY, May Bungin, Burhan, 2009. Metodologi Penelitian Kuantitatif Komunikasi, Ekonomi dan Kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial lainnya, Kencana Media Group, Jakarta. Degol Hailu and John Weeks, 2011, “Macroeconomic Policy for Growth and Poverty Reduction: An Application to Post-Conflict and Resource-Rich Countries”, DESA Working Paper No. 108, UNDP. Deliarnov. 1995. Pengantar Ekonomi Makro. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. Diulio, Eugene A. 1993. Teori Makro Ekonomi. Cetakan keempat. Jakarta : Erlangga Eric Mayer, Stéphane Moyen, Nikolai Stähler, 2010, “Government expenditures and unemployment: a DSGE perspective”, Deutsche Bundesbank, Wilhelm-Epstein-Straße 14, 60431 Frankfurt am Main, Postfach 10 06 02, 60006 Frankfurt am Main. Ghozali, Imam. 2006. “Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS”.Semarang : Badan Penerbit Undip Gujarati, Damodar. 2006. Dasar-Dasar Ekonometrika.Jakarta: Erlangga Halim, Abdul dan Jamal Abdul Nasir, 2006. “Kajian tentang Keuangan Daerah Pemerintah Kota Malang”, Jurnal Manajemen Usahawan, Nomor 06 Th XXXV Juni 2006, Lembaga Management FE-UI, Jakarta, hal.42. Irawati, Siti Nurlela, 2011. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah Bidang Sosial Dan Infrastruktur Terhadap Tingkat Kemiskinan (Studi Pada 33 Provinsi Di Indonesia Tahun 2007-2011), Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran. Jean Hindriks and Gareth D. Myles, 2004, “Intermediate Public Economics”, MIT Press, USA Jhingan, M.L. 2003. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, terjemahan D. Guritno. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Kodoatie, Johanna Maria. 1998. An Analysis of Foregin Direct Investment in Indonesia (1971- 1994). Media Ekonomi dan Bisnis, X(1-2). Mangkoesoebroto, Guritno, 1998. Kebijakan Ekonomi Publik di Indonesia : Substansi dan Urgensi, Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Umum Mankiw, N. Greorgy. 2000. Teori Makro Ekonomi. Edisi Keempat. Alih Bahasa : Imam Nurmawam. Jakarta : Erlangga Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta Merton H. Miller And Franco Modiglini, 1961, Dividend Policy, Growth, And The Valuation Of Shares,
210
The Journal of Business, Vol. 34, No. 4 (Oct., 1961), pp. 411-433 M. Suparmoko, 2001, Ekonomi Publik, Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, Edisi Pertama, Yogyakarta, Penerbit :Andi Mthuli Ncube, John Anyanwu and Kjell Hausken, 2013, “Inequality, Economic Growth, and Poverty in the Middle East and North Africa (MENA)”, African Development Bank Angle de l’avenue du Ghana et des rues Pierre de Coubertin et Hédi Nouira Musgrave, Richard A Musgrave, Peggy B. 1989, Public Finance in Theory and Practise. Mc Graw Hill Book Company. Myrdal, Gunnar. 1976. Bangsa-Bangsa Kaya dan Miskin. Jakarta. P.T. Gramedia. Nanga, Muana. (2005).Makroekonomi: Teori, Masalah dan Kebijakan. Edisi Kedua. Jakarta: PT. Raja Grafika Persada. Nazar Dahmardeh, Mahmoud Hashemi Tabar, 2013, “Government Expenditures and its Impact on Poverty Reduction (Empirical From Sistan and Baluchestan Province of Iran)”, International Journal of Academic Research in Economics and Management Sciences, Vol. 2, No. 1, ISSN: 2226-3624. Nopirin., 1993. Ekonomi Moneter. Edisi 4. Cetakan Kedua, Penerbit BPFE, Yogyakarta Odubunmi Ayoola Sunkanmi (Ph.D),Omobitan Olufunsho Abayomi (Ph.D), 2014, “Testing Public Expenditure and Poverty Reduction Nexus in Nigeria”, Developing Country Studies ISSN 2224-607X (Paper) ISSN 2225-0565 (Online) Vol.4, No.6, 2014, Department of Economics, Faculty of Social Sciences, Lagos State University, Ojo, Lagos, Nigeria. Ozoana Ifeanyi.C, 2013, “The Impact Of Public Spending On Poverty Reduction In Nigeria [1980-2011]”, Department Of Economics Caritas University Amorji-Nike Emene Enugu State. Radianto, Elia. 1995. Spesifikasi Dinamis, Model Investasi Jangka Panjang; Sebuah Studi Kasus di Maluku. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 10 Rafael Doménech and José Ramón García, 2007, “Unemployment, Taxation and Public Expenditure in OECD Economies”, University of Valencia Peter C. Young & Diego J. Pedregal, 2013, “MacroEconomic Relativity: Government Spending, Private Investment and Unemployment in the USA”, Structural Change and Economic Dynamics, Environmental Science Division Lancaster University, Lancaster LA1 4YQ, UK R. Preston Mcafee & Tracy R. Lewis, 2009, “Introduction to Economic Analysis”, eISBN: 978-1-45332690-9, Flat World Knowledge, Washington, DC. Reksoprayitno, Soediyono, 2000. Ekonomi Makro, Yogyakarta : Penerbit BPFE.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
PENGARUH PENGELUARAN PEMERINTAH DAN INVESTASI SWASTA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI JAWA TENGAH : PENDEKATAN REGRESI DATA PANEL Andjar Prasetyo
Samuelson, Paul A. Dan Nordhaus William D. 1996. Makro Ekonomi. Edisi ke- 17. Cetakan ketiga. Jakarta: Erlangga Sasana, Hadi. 2008. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Swasta di Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan, 1(1) Setyawati, Anis, 2007. Analisis PAD, DAU, DAK, Dan Belanja Pembangunan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan, Dan Pengangguran: Pendekatan Analisis Jalur, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia Vol.4, No. 2, hal. 211228 Sinurat Desmon, 2013. Pengaruh Belanja Pemerintah Daerah Terhadap Kemiskinan Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Satya Wacana University Press, Salatiga. Sukirno, Sadono. 2002. Teori Mikro Ekonomi. Cetakan Keempat Belas. Rajawali Press: Jakarta. Sushanta K. Mallick, 2008, “A macroeconomic policy approach to poverty reduction”, School of Business and Management, Queen Mary, University of London, UK. Sutawijaya Adrian dan Zulfahmi, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Swasta di Indonesia, Trikonomika Volume 12, No. 1, Juni 2013, Hal. 32–39 Tejo Birowo, 2011, “Relationship Between Government Expenditure And Poverty Rate In Indonesia Comparison of Budget Classifications Before and After Budget Management Reform in 2004”, School Of Asia Pacific Studies Ritsumeikanasia Pacific University Japan TKPK, “Laporan Kinerja TKPKD Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010”, 2011, Semarang, Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Provinsi Jawa Tengah TKPK, “Laporan Kinerja TKPKD Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011”, 2012, Semarang, Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Provinsi Jawa Tengah Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi 7. Jakarta. Erlangga. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, 2014, “Rencana Kerja Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014”, Semarang. Ringkasan Realisasi Penerimaan APBD Kabupaten Kota di Jawa Tengah tahun 2007-2013 Zaris, Roeslan. 1987. Perspektif Daerah Dalam Pembangunan Nasional. Jakarta: LPFE UI
Peraturan Menteri Keuangan No. 59 /PMK.06/2005 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat. Peraturan Menteri Keuangan No. 13/PMK.06/2005 tentang Bagan Perkiraan Standar. Peraturan Menteri Keuangan No. 96/PMK.06/2005 tentang Petunjuk, Penelaahan, Pengesahan dan Revisi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2006. Peraturan Menteri Keuangan No. 54/PMK.02/2005 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penelaahan RKA-KL Tahun 2006.
Peraturan-peraturan : Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2005 Tentang Standar Akuntansa Pemerintahan
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
211
Halaman ini sengaja dikosongkan This page intentionally left blank
212
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015, Halaman 213-228 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono Balai Diklat Keuangan Malang, Indonesia, Email: [email protected] Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak berkaitan dengan pendapat atau kebijakan institusi penulis berafiliasi
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 29 September 2015
Institutional politics is a concept to describe how power and authority of actors within an organization fosters an intertwined situation between the parties involved so that an emerging "institution" (i.e. a particular pattern of behavior that is stable, repetitive and purposeful) will appear or destroyed. The development, implementation, acceptance, as well as endurance of “Sistem Penerimaan Negara secara Elektronik” (SPNsE, i.e. IT based state revenue administration system) as an institution obviously cannot be segregated from such complex interplay. Lessons learned from the implementation of the SPNsE is that an organization (government body) could take advantage of institutional and political aspects and then utilized them as a driver to achieve organizational goals.This study deployed interpretive policy analysis as data analysis techniques by utilizing various source of secondary data in the form of system documentation in broad sense such as legal provisions, system manual operation, and as well as memorandum of cooperation agreements between parties involved in the system development and implementation. This research concludes an in-depth understanding of the research problem, that is, the institutional politics aspects in the implementation of SPNsE intertwined with: (1) particular institutional control that serves as accelerators on the creation of a new institution; (2) the organizational actors that capable of using institutional-agency to expand certain functions of the system; (3) the dominant discourse in affecting agents to create, transform or eliminate an institution; (4) some difficulties on how an institutional agency is reaching out other institutions that are beyond the power of such actors.
Dinyatakan Dapat Dimuat 23 Desember 2015 KATA KUNCI: agensi institusi kontrol penerimaan negara resistensi
Politik-institusional merupakan sebuah konsep untuk menggambarkan bagaimana kuasa-danwewenang aktor dalam organisasi menumbuhkan situasi saling-pengaruh (interplay) sehingga daripadanya suatu “institusi” (yaitu sebuah pola perilaku tertentu yang stabil, berulang dan mempunyai tujuan) akan muncul atau hilang. Pengembangan, implementasi, keberterimaan, dan juga ketahanan Sistem Penerimaan Negara secara Elektronik (SPNsE) sebagai sebuah institusi juga tidak lepas dari proses saling pengaruh tersebut. Penelitian ini menggunakan teknik interpretive policy analysis dengan memanfaatkan berbagai data sekunder berupa dokumentasi sistem dalam pengertian yang luas, dalam bentuk: ketentuan hukum, manual operasi sistem, dan juga nota kesepakatan kerja sama antar berbagai pihak yang terlibat dalam pengembangan dan implementasi sistem. Pelajaran yang diperoleh dari implementasi SPNsE ini adalah bagaimana organisasi (pemerintahan) dapat memanfaatkan aspek politikinstitutional ini dan kemudian menjadikannya sebagai pendorong pencapaian tujuan organisasi. Kesimpulan penelitian ini berupa pemahaman mendalam atas masalah penelitian, yakni bahwa aspek politik-institusional dalam implementasi SPNsE berkelindan dengan: (1) kontrol-institusional sebagai akselerator munculnya sebagai institusi baru; (2) aktor organisasi dapat menggunakan keagenan-institusional untuk memperluas fungsi institusi; (3) wacana-dominan memengaruhi aktor untuk membuat, mentransformasikan ataupun menghilangkan sebuah institusi; (4) sulitnya keagenan-institusional menjangkau institusi yang berada di luar jangkauankuasa sang aktor.
1. PENDAHULUAN Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) huruf d UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara berwenang menetapkan sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara. Untuk melaksanakan ketentuan ini, Menteri Keuangan telah menerbitkan
213
beberapa peraturan, terakhir adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.05/2014 tentang Sistem Penerimaan Negara Secara Elektronik (selanjutnya PMK-32). Penerbitan PMK-32 ini merupakan bagian dari serangkaian ketentuan yang telah keluar sebelumnya secara bertahap untuk melengkapi
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono
pelbagai ketentuan tentang sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara. Dari sudut pandang bagaimana alur sebuah sistem direncanakan hingga diimplementasikan (lihat misalnya McLeod dan Schell (2001), terdapat sebuah gejala yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut terkait dengan keberadaan sistem penerimaan negera ini. Telaah yang diharapkan dapat digunakan untuk memahami bagaimana implementasi sebuah sistem (informasi di sektor pemerintahan) berlangsung dengan sukses. Salah satu dokumen penting yang menandai tahapan pengembangan dan implementasi sistem tersebut adalah adanya surat yang ditandatangani oleh Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tertanggal 16 September 2003 kepada International Monetary Fund (IMF). Surat ini merupakan tindak lanjut dari perjanjian pemberian bantuan keuangan untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 (IMF, 2003). Surat tersebut antara lain menyatakan bahwa: “… By June 2003, the electronic tax filing and payment system will be expanded to process 75 percent of DGT tax collections… “. Atas pernyataan dalam surat tersebut kemudian Menteri Keuangan mengambil tindakan, yang antara lain adalah mengeluarkan beberapa peraturan untuk; (1) mengubah persyaratan penunjukkan sebuah bank atau tempat lain yang dapat menjadi tempat pembayaran ke kas negara antara lain adalah bank ataupun kantor pos yang mampu melakukan komunikasi data dengan pihak otoritas perbendaharaan (Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan) melalui standar tertentu; (2) mengatur mekanisme pengesahan penerimaan negara melalui bank persepsi dengan sebuah sistemaplikasi yang disebut dengan Modul Penerimaan Negara (MPN) (Darono, 2011; 2013b). Berbagai ketentuan yang berkaitan ini secara bertahap terus diperbaiki hingga terbitnya peraturan tentang Sistem Penerimaan Negara secara Elektronik/SPNsE (lihat Tabel 1 untuk perkembangan keberadaan sistem ini). Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa SPNsE ini telah dirilis dan berjalan dengan nama yang dikenal secara populer sebagai “MPN-G2” (DJPb, 2014; DJPb, tanpa tahun). Pada tahap ini perubahan signifikan yang terjadi adalah adanya fasilitas kode billing yang digunakan sebagai sarana berbagai jenis setoran penerimaan negara (pajak, bea masuk, cukai ataupun Penerimaan Negara Bukan Pajak/PNBP) sehingga selain secara konvensioal melalui teller pembayaran/penyetoran dapat dilakukan melalui ATM, internet banking ataupun Electronic Data Capture (EDC) . Sistem yang dikembangkan tersebut secara teknologi dapat dikatakan menjadi tonggak sejarah penting pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam sistem informasi manajemen
214
keuangan negara di Indonesia. Kesimpulan demikian ini dapat diajukan setidaknya karena SPNsE ini sejak wal pengembangannya: (1) mulai melibatkan pertukaran informasi antar berbagai entitas penyedian informasi secara online dan real-time; (2) pertukaran informasi tersebut bersifat transaksional, bukan lagi “sekedar” brosur sebagaimana disinggung oleh Bank Dunia (2002). Bahkan SPNsE merupakan ini sistem bersifat kritikal dan sensitif karena berkenaan dengan nilai uang dalam jumlah besar dan sekaligus jumlah penggunanya yang massif. Dalam pandangan penulis, dinamika yang berkaitan dengan pengembangan dan implementasi SPNsE tersebut akan menarik jika dipandang dengan menggunakan lensa sosio-teknikal dalam ranah kajian kebijakan publik, khususnya keuangan negara.Untuk itu, penelitian ini bertujuan memberikan pemahaman terutama aspek sosio-teknikal (atau lebih tepatnya: politik-institusional) atas proses pengembangan dan implementasi SPNsE ini. Artinya, penjelasan dan analisis yang disajikan penelitian ini lebih menekankan pada aspek non-teknikalnya. Pemahaman atas aspek sosial dalam hal ini terutama aspek politikinstitusional, diharapkan semakin melengkapi pelbagai penjelasan atau kajian atas isu yang sifatnya teknisteknologikal. Penelitian ini mencoba berkontribusi baik untuk kajian keuangan negara ataupun pemanfaatan teknologi informasi di sektor pemerintahan. Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini, sebagaimana lazimnya penelitian yang menggunakan paradigma interpretif, adalah pemahaman mendalam mengenai aspek politik-institusional dalam pengembangan dan implementasi sistem informasi berbasis teknologi di sektor pemerintahan. Pemahaman (verstehen, lihat misalnya: Bungin, 2012) yang nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kebijakan ataupun operasional sistem informasi di lingkungan pemerintahan. Mengapa aspek politik-institusional yang dipilih sebagai sudut pandang untuk memahami pengembangan dan implementasi sebuah sistem informasi secara mendalam? Setidaknya terdapat alasan yang cukup kuat, dengan merujuk Lawrence (2008) dan juga Darono (2014;2015). Peneliti pertama menyimpulkan bahwa aspek kuasa (power) belum dibahas secara eksplisit dalam kajian institusional. Peneliti yang terakhir menyatakan aspek institutisonal dalam pengembangan dan implementasi TIK di sektor publik belum banyak diungkapkan. Kajian institutional sering tidak secara eksplisit mengungkapkan relasi kuasa-politik dengan keberadaan (ketidakberadaan) sebuah institusi. Mengapa suatu institusi itu ada, bagaimana ia bertahan atau bahkan ia kemudian dihapuskan. Pada sisi yang lain, beberapa penelitian tentang yang membahas kaitan aspek kuasa-politik dalam kaitannya dengan keberadaan dalam organisasi juga belum secara tegas memasukkan aspek institusional ke dalamnya (Lawrence, 2008).
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono
Terlebih jika situasi di atas diletakkan dalam konteks penelitian pemanfaatan TIK dalam manajemen keuangan negara di Indonesia, masih sangat jarang membahas aspek sosial-teknikal sebagai bagian kerangka analisisnya (lihat misalnya: Darono, 2012; 2013a; 2013b). Padahal, merujuk Larsen et al. (2014), terdapat cukup banyak alternatif kerangka konsepsual yang dapat digunakan untuk memahami pemanfaatan TIK dalam manajemen keuangan negara sebagai sebuah konstruksi sosio-teknikal. Pada tingkat tertentu, dalam hemat penulis, penggunaan perspektif politik-institusional dalam tulisan ini diharapkan mempunyai kontribusi untuk melengkapi berbagai sudut pandang yang selama ini telah ada (baca: sudut pandang positivistik ataupun determinismeteknologi). Perspektif tersebut pada gilirannya diharapkan bermanfaat baik dalam ranah kajian akademis ataupun kebijakan praktis, terutama dalam kaitannya dengan pemanfaatan TIK untuk manajemen keuangan negara di Indonesia. Sistematika penyajian makalah ini adalah: bagian pertama menyajikan latar belakang dan tujuan penelitian. Selanjutnya, bagian kedua merupakan tinjauan literatur yang berkaitan dengan politikinstitusional sebagai kerangka konsepsual yang digunakan dalam tulisan ini. Bagian ketiga menyajikan uraian tentang SPNsE sebagai konteks kasus yang dibahas. Pada bagian selanjutnya, kelima, makalah ini akan mendisikusikan berbagai temuan penelitian, hikmah (lesson learned) apa yang dapat dari berbagai temuan penelitian, dan rekomendasi kebijakan. Terakhir, bagian keenam menyajikan kesimpulan
2. SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK: KONTEKS KASUS Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 5/KMK.01/1993 tentang Penunjukkan Bank sebagai Bank Persepsi dalam Rangka Pengelolaan Setoran Penerimaan Negara (KMK-5). Keputusan ini kemudian mengalami beberapa kali perubahan. Salah satu perubahan yang mendasar adalah adanya persyaratan yang mewajibkan bank atau kantor pos yang akan mengelola penerimaan negara (disebut sebagai Bank Persepsi) untuk: (1) memiliki jaringan sistem informasi yang terhubung langsung secara online antara kantor pusat dan seluruh atau sebagian kantor cabangnya; (2) kantor pusat bank/kantor pos memiliki jaringan komunikasi data yang dapat dihubungkan secara online dengan jaringan komunikasi data yang dioperasikan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Sebagai kelanjutan dari perubahan atas KMK-5, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 dan Perubahannya tentang Modul Keuangan Negara (MPN) sebagai mekanisme teknik yang mengatur bagaimana koneksi data antara Bank Persepsi dengan otoritas perbendaharaan negara (untuk pembahasan detil tentang MPN sebagai layanan elektronis lihat misalnya: Darono, 2011). Implementasi MPN berlanjut terus
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
dengan segala perkembangan dan dinamikanya sehingga diterbitkannya PMK-32. Gambar 1 menjelaskan alur data dalam SPNsE yang terjadi di antara biller (bagian otoritas fiskal yang mempunyai fungsi penerimaan negara, dalam hal ini DJP, DJBC dan DJA) dengan collecting agent (bank/pos persepsi, dapat berupa teller, internet banking; atau ATM). Pembayaran/penyetoran ke kas negara dapat dilakukan oleh wajib pajak/wajib bayar melalui collecting agent setelah mereka mendapatkan kode billing dari biller. Sebagaimana diulas dalam Darono (2011), MPN yang dikembangkan dengan prinsipprinsip layanan elektronis (e-services) sesuai namanya yang “modular” memang berpeluang untuk diintegrasikan dengan berbagai modul lain, baik dengan layanan elektronis milik otoritas perbendaharaan sendiri (misalnya SPAN) ataupun milik otoritas penerimaan negara lainnya (DJP, DJBC, DJA ataupun kementerian/lembaga yang mengelola PNBP). Hal ini diungkapkan a.l. oleh pihak DJP sebagai otorisator PNBP dari berbagai kementerian/lembaga lain yang juga sudah mempunyai sistem informasi yang berkaitan dengan masing-masing jenis PNBP. Integrasi antar aplikasi ini tetap masih berlangsung, sebagaimana diungkapkan bahwa: “... Launching aplikasi SIMPONI-BARANTAN sejatinya merupakan langkah awal dalam melakukan integrasi dengan K/L lainnya. Saat ini beberapa K/L tengah dalam proses pengerjaan integrasi sistem dengan SIMPONI, antara lain: BINFAR-Kementerian Kesehatan; AHU, HAKI dan Imigrasi-Kementerian Hukum dan HAM; serta MOMI-Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. Melalui kerjasama ini, kedepannya diharapkan jumlah PNBP yang diterima menjadi lebih meningkat disertai dengan pelayanan kepada masyarakat yang tetap optimal. ... “ Sumber: http://www.anggaran
Gambar 1 Alur Data Antara Biller (DJP, DJBC, DJA) melalui MPN-G2 sebagai Switch dengan Collecting Agent (Bank/Pos Persepsi)
Sumber: diadaptasi dari Masdi (2012)
Menteri Keuangan (Bendahara Umum Negara/BUN) mempersiapkan sistem-aplikasi yang akan dikoneksikan dengan collecting agent dan biller,
215
POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono
yang dinamai dengan Modul Penerimaan Negara (MPN). Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 dan Perubahannya tentang MPN ini kemudian ditindaklanjuti dengan berbagai ketentuan teknis dan pelaksanaan di bawahnya baik yang terkait dengan otoritas perbendaharaan (c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan), penganggaran (c.q. Direktorat Jenderal /DJA), otoritas kepabeanan dan cukai (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai/DJBC) ataupun perpajakan (c.q. Direktorat Jenderal Pajak/DJP). Ketentuan teknis tersebut antara lain mencakup ketentuan tentang bagaimana otoritas perbendaharaan (sebagai Kuasa BUN) mengatur MPN itu agar dapat berfungsi sebagai perangkat yang mencatat penerimaan negara secara valid dan reliabel. Salah satu ketentuan yang sangat krusial dalam implementasi MPN adalah bahwa sebuah tempat pembayaran yang mengajukan diri sebagai Bank Persepsi harus menjalani acceptance test dan memenuhi prosedur standar rekonsiliasi antar-pihak yang saling bertukar data. Termasuk di dalamnya juga aturan tentang proses rekonsiliasi data antara pihak yang bertukar informasi (Bank Persepsi, otoritas perpajakan dan otoritas pebendaharaan) (DJPb, tanpa tahun). Dalam tatarannya yang lebih teknis, DJP, DJBC dan DJA) sebagai biller masing-masing telah menerbitkan yang mengatur bagaimana mereka berinteraksi dengan collecting agent dan MPN. Perkembangan sistem penerimaan negara ini secara lebih ringkas dapat ditelusuri dari perubahan ketentuan hukum yang mengatur tentang hal ini. Tabel 1 memaparkan timeline pelbagai perubahan ketentuan tersebut.
Dokumen/Event
Hal penting yang terkait
KMK 210/KMK.03/2002; 455/KMK.04/2002; Perubahan terhadap 5/KMK.01/1993
Untuk menjadi Bank Persepsi, wajib (1) mempunyai jaringan komunikasi data yang mencakup semua kantor bank yang bersangkutan, (2) jaringan ini harus terkoneksi dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan; (3) memperoleh rekomendasi dari DJP
KMK 536/KMK.03/2002; 547/KMK.04/2002; Perubahan terhadap 5/KMK.01/1993
Bank Persepsi yang belum dapat memenuhi persyaratan sebagaiman disebut dalam Pasal 2 ayat (3) masih dapat menerima setoran penerimaan negara s.d. 30 Juni 2003
Memorandum of Economic and Financial Policies dari Pemerintah RI dan BI kepada IMF
Pada akhir Juni 2003, pembayaran pajak harus dilakukan dengan menggunakan sistem elektronik
PMK 99/PMK.06/2006 dan Perubahannya: Modul Keuangan Negara (MPN)
Untuk melengkapi ketentuan dalam KMK Nomor 5/KMK.01/1993 dalam hal pengaturan tentang bagaimana sistem penerimaan negara beroperasi. MPN mengintegrasikan beberapa aplikasi pengelolaan keuangan negara yang sebelumnya terpisah: MP3 (DJP), SISPEN (DJA), EDI (BJBC)
PMK 60/PMK.05/2011: Uji coba Billing Systems melalui MPN
Uji coba penambahan fitur MPN yang memperluas cara membayar tagihan pajak tertentu tidak hanya via teller bank namun juga melalui ATM, ataupun internet banking dengan menggunakan Kode Billing
PMK 32/PMK.05/2014: Sistem Penerimaan Negara Secara Elektronik
Penerimaan Negara yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi seluruh Penerimaan Negara yang disetorkan yang diterima melalui Bank/Pos Persepsi dengan menggunakan Kode Billing.
Tabel 1 Timeline Perkembangan Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Dokumen/Event
Hal penting yang terkait
KMK Nomor 5/KMK.01/1993: Penunjukan Bank Sebagai Bank Persepsi dalam rangka Pengelolaan Setoran Penerimaan Negara
Belum secara eksplisit menyebutkan keberadaan sistem penerimaan negara secara elektronik
KEP-162/PJ/2003 tentang Pelaksanaan Sistem Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3) pada Direktorat Jenderal Pajak
Otoritas perpajakan mengambil inisiatif untuk mengembangkan sistem MP3 yang mengoneksikan data antara Bank Persepsi dengan otoritas perpajakan (lihat juga Darono, 2011 )
PMK ini tentang SPNsE ini “secara populer” dikenal sebagai MPN-G2, yaitu MPN dengan beberapa fitur baru (lihat Gambar 1)
216
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono
Dokumen/Event Perdirjen BC PER07/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara atas Barang Kena Cukai
Hal penting yang terkait Uji coba tata cara penyetoran berbagai jenis penerimaan yang dikelola oleh DJBC
PER-33/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara atas Impor Barang Yang Dibawa Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut Dengan menggunakan Kode Billing
Dokumen/Event
Hal penting yang terkait
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-182/PJ/2015 tentang Sistem Pembayaran Pajak Secara Elektronik
Sebagai tindak lanjut PER26/PJ/2014, Dirjen Pajak menunjuk Bank Mandiri, BRI dan BNI untuk menjalankan uji coba pembayaran pajak dengan menggunakan EDC yang secara populer dikenal dengan “Mini ATM”
Sumber: diadaptasi dari Darono (2013b), diolah kembali
3. TINJAUAN LITERATUR
PER-36/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara Dengan Kode Billing pada Kantor Pelayanan Yang Belum Menerapkan Pertukaran Data Elektronik (PDE) atas Pelayanan Ekspor PER-38/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara atas Pencacahan/Pemeriksaan Paket Pos (PPKP) Dengan Menggunakan Kode Billing PER-39/BC/2014 tentang Pelaksanaan Uji Coba Tata Cara Penyetoran Penerimaan Negara atas Pelayanan Impor Dengan Menggunakan Kode Billing. Perdirjen Anggaran Nomor PER-1/AG/2014 tentang Tata Cara Pembayaran/Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penerimaan Non Anggaran Secara Elektronik.
Tata Cara Pembuatan, Perekaman, dan Pembuatan Kode Billing dan Sistem Billing PNBP yang meliputi Billing untuk Migas, SDA Non Migas, BUMN. Dikenal sebagai sistem-aplikasi Simponi-PNBP
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-26/PJ/2014 tentang Sistem Pembayaran Pajak Secara Elektronik
Sebagai perluasan PMK-32, transaksi pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui Teller Bank/Pos Persepsi, Anjungan Tunai Mandiri (ATM), Internet Banking dan EDC. Atas pembayaran/ penyetoran pajak tersebut Wajib Pajak menerima Bukti Penerimaan Negara (BPN) sebagai bukti setoran
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
3.1. Politik Institusional: Kuasa, Kontrol, Keagenan dan Resistensi dalam Institusi Kajian institusional berangkat dari kajian-kajian di bidang sosiologi. Emile Durkheim sebagaimana dikutip Sunarto (2004) menyatakan bahwa jika ekonomi adalah studi tentang pasar maka sosiologi studi tentang institusi (sosial), selain pasar. Koentjaraningrat (1983) memberikan istilah pranata sebagai padanan institusi untuk membedakannya dengan “institut” sebagai padanan “lembaga”. Menurut Koentjaraningrat, pranata adalah perilaku manusia yang berpola teratur. Tulisan ini akan menggunakan istilah institusi lebih karena alasan praktis. Istilah institusi sudah secara luas dan lebih sering digunakan. Pemakaian istilah dan kajian tentang institusi ini kemudian berkembang dan mewarnai berbagai kajian pada disiplin yang lain seperti ekonomi, politik, hukum ataupun studi organisasi. Bahkan kemudian juga studi di bidang TIK bersamaan dengan munculnya kajian informatika sosial (lihat misalnya: Kling, 1999; Kling, et al., 2005; Darono, 2012). Kajian TIK-institusional merupakan kerangka pemikiran yang dapat memperjelaskan atau memahami TIK sebagai artefaksosial (lihat misalnya: Avgerou, 2000; Avgerou, 2004; Ezer, 2005; Currie, 2008). Kajian Kling, et al. (2005) dan juga Kling (1999) dapat dikatakan sebagai “manifesto” yang menyatakan pentingnya pengungkapkan aspek-aspek sosial, termasuk aspek institusional yang menyertai implementasi TIK sebagai bagian dari sistem sosial yang luas. Luas cakupan disiplin yang menggunakan istilah institusi pada gilirannya juga menjadikan peneliti di bidang ini tidak dapat merumuskan “definisi tunggal” tentang institusi itu sendiri. Kajian Cole (2013) mengungkapkan berbagai definisi tentang institusi dari berbagai disiplin, termasuk diskusi tentang apakah organisasi itu aktor atau institusi. Untuk kepentingan praktis, penelitian ini memilih definisi operasional institusi sebagai semua keyakinan dan cara berperilaku yang dibentuk oleh kesepakatan bersama (Carls, tanpa tahun). Beberapa peneliti kajian institusional mengajukan perlunya membedakan aktor dengan institusi ini secara tegas karena nantinya akan memengaruhi teknik dan hasil analisis yang akan disajikan (Lawrence, 2008;Cole, 2013). Terdapat setidaknya dua sudut pandang yang berbeda mengenai peranan aktor dalam kaitannya dengan institusi ini. Pandangan pertama yang diajukan antara lain oleh Meyer dan Rowan (1977), Scott (2004) ataupun juga Thornton 217
POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono
dan Ocasio (2008) yang lebih menekankan pada penting struktur yang melingkupi keberadaan instusi daripada aktor itu sendiri. Pada sisi yang lain, terdapat pandangan yang kedua, misalnya merujuk pada Lawrence (2008) dan Weir (2003) berpandangan sebaliknya, bahwa aktor lebih beperanan dibandingkan dengan struktur dalam keberadaan suatu institusi. Berangkat dari kedua pandangan tersebut, sebagaimana tesis yang diajukan Lawrence (2008), maka penelitian ini akan memilih sudut pandang yang kedua, bahwa aktor mempunyai peran yang lebih besar daripada struktur yang melingkupinya. Tema diskusi yang berkembang sepanjang perjalanan bidang kajian institusional ini menunjukkan bahwa penggunaan proposisi-proposisi institusional dalam disiplin sosiologi-organisasi kemudian memunculkan istilah old- dan juga new- (atau neo-) institutionalism. Dalam pandangan para penganjur neo-institutsional berpandangan bahwa kajian tentang institusi bukanlah semata-mata menelaah bagaimana institusi sebagai bagian dari sebuah struktur sosial terbentuk dan kemudian menjadi menjadi pendorongatau-pengekang perilaku sosial bagi para aktor yang terlibat dengannya. Neo-institusional merupakan sebutan untuk himpunan berbagai proposisi yang menyatakan bahwa: (1)organisasi berada dalam sebuah lingkungan-keorganisasian (organizational-field) dan karenanya muncul tekanan institusonal (institutional pressures); (2) adanya institusional logic sebagai keyakinan, nilai, asumsi, praktik-yang-nyata dan aturan yang secara sosio-historis dikonstruksikan kemudian digunakan oleh setiap individu untuk mem(re)produksi dalam keseharian mereka, dalam ruang-waktu mereka untuk memaknai realitas sosial mereka; (3) keberadaan akan institutional sebagai tindakan untuk menghilangkan kelambanan dengan mencapai kolaborasi yang berkelanjutan di antara aktor yang bermacam-macam dan tersebar untuk membentuk institusi baru ataupun mengubah yang sudah ada; dan juga (4) adanya institutional arrangementyaitu bagaimana struktur tata kelola dikembangkan (Yustika, 2010; Wahid, 2011; Wahid dan Sein, 2013). Berkaitan dengan debat ini, penulis mengajukan sebuah kerangka pemikiran yang mungkin untuk sebagian pakar analisis institusional akan dikatakan sebagai“terlalu menyederhanakan” persoalan.Oldinstitutionalism lebih menekankan pada apa itu institusi, sebagai sebuah entitas tunggal, sehingga tidak terlalu memperhatikan lingkungan (field) di mana ia berada. Sementara itu new-institutionalism melengkapi kajian yang telah ada itu dengan bagaimana institusi itu terbentuk dan bertahan. Bukan berarti, oldinstitutionalism menjadi tidak berlaku lagi dengan adanya new-institutionalism. Penyerderhanaan dengan tujuan praktis, bagaimana kerangka konsepsual ini dapat digunakan dengan mudah dalam konteks penelitian ini.
Sebuah kritik terhadap kajian instiutional kemudian muncul dari kalangan cendekiawan yang menekuni bidang ini sendiri. Kritik tersebut berkaitan dengan bagaimana hubungan antara kuasa (power) dengan institusi terutama dalam hubungannya dengan kekuatan suatu institusi. Merujuk(Scott, 2004) institusi merupakan struktur otoritatif untuk memaksakan aturan/kesepakatan yang dikandungnya kepada lingkungannnya, termasuk berbagai actor (-manusia) di dalamnya Lawrence (2008). Jika demikian halnya, lalu apakah tidak ada kaitan sama sekali antara politik sebagai cara untuk mendayagunakan kuasa untuk mencapai tujuan dengan keberadaan suatu institusi? Mengapa aspek politik (kuasa) ini belum (jika tidak mau disebut “diabaikan”) dibahas secara detil. Akibatnnya tekanan institusional (lihat misalnya: DiMaggio dan Powell, 1991) dianggap sebagai sebuah hal yang muncul begitu saja, tanpa harus memperhatikan bagaimana sistem kekuasaan itu bekerja sehingga tekanan itu terbentuk, bertahan ataupun menghilang. Situasi ini dianggap kontradiktif jika dikembalikan pada definisi institusi sebagai sebuah pola aturan perilaku yang dipatuhi dan berdaya tahan lama. Bagaimana mungkin membahas keberadaaan suatu hal yang dipatuhi dan mempunyai daya tahan tanpa membicarakan kuasa dan politik, demikian pandangan Lawrence (2008). Atas (oto) kritiknya terhadap analisis institusional ini, kemudian Lawrence (2008) mengajukan sebuah kerangka pemikiran yang mencoba menjelaskan hubungan antara politik dengan institusi. Pada dasarnya kerangka pemikiran ini muncul untuk melengkapi beberapa kerangka pemikiran sebelumnya yang terhimpun dalam analisis neo-institutional. Gagasan tentang politik-institusional ini dapat dilihat sebagai upaya untuk memperlengkap kajian (neo)institusional yang cenderung menitikberatkan kajiannya pada tekanan dan logika institusional (Meyer dan Rowan, 1977;Thornton dan Ocasio, 2008), namun lalai untuk menelaah lebih jauh bagaimana tekanan ataupun logika tersebut berasal. Kajian Lawrence (2008) kemudian menawarkan sebuah kerangka pemikiran yang disebut sebagai politik-institusional (institusional politics). Konsep ini menawarkan proposisi bahwa kuasa (power) merupakan salah satu pembentuk hubungan antara aktor dengan institusi dan hal ini harus secara eksplisit ditelaah keberadaannya. Kerangka pemikiran ini menjelaskan lebih lanjut bahwa politik-institusional terdiri dari tiga aspek yang saling-memengaruhi yakni: kontrol-institusional (institutional-control), keagenaninstitusional (institutional-agency), dan resistensikonstitusional (institutional-resistance). Politikinstitusional bekerja sebagai pembentuk, pengubah ataupun penghapus institusi baik pada level institusi tunggal maupun antar-institusi (organizational-field). Gambar 2 menjelaskan politik-institusional sebagai kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini. 3.2. Kuasa, Teks, Wacana dan Institusi
218
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono
Bagian ini merupakan upaya penulis untuk membuat kerangka pemikiran politik-institusional yang ditawarkan Lawrence (2008) lebih mudah diaplikasikan untuk memahami keberadaan sebuah institusi sosial (dalam hal ini adalah implementsi SPNsE) dengan menggunakan teknik interpretive policy anaysis yang pada dasarnya adalah penerapan analisis wacana. Artinya pemahaman akan bagaimana politikinstitusional itu ada dan memengaruhi sebuah institusi dalam suatu konteks sosial tertentu dapat dipahami dengan menggunakan pemahaman akan kuasa dan wacana. Dalam konstruksi pemikiran seperti itu maka penulis mengajukan sebuah kerangka analisis berbasis proposisi yang diajukan Phillips, et al.(2004) dan Jones Gambar 2 Politik-Institusional Sebagai Interaksi Antara Institusi dengan Aktor melalui Kontrol-, Resistensi-, dan Keagenan-Institusional
Sumber: Lawrence, 2008
(2003) tentang bagaimana hubungan yang dapat terjadi antara kuasa, teks, wacana dan institusi. Kerangka yang dikembangkan inilah yang nantinya akan digunakan untuk menggali dan membahas temuan penelitian. Jones (2003) dengan merujuk teori wacana Foucault, menyatakan bahwa dengan berwacanalah manusia dapat menyatakan dan memahami realitas. Lebih lanjut, diuraikan bahwa jika seseorang ingin memahami situasi sosialpada suatu waktu tertentu, maka ia dapat melakukannya dengan memahami wacana apa yang dominan di lingkungan dan saat tertentu itu. Pada sisi lain Phillips, et al. (2004) dengan terlebih dulu menjelaskan bagaimana teks menjadi wacana, pada akhirnya mengajukan sebuah proposisi yang cukup menantang, bahwa “semua institusi merupakan produk diskursif, sementara itu tidak semua produk diskursif merupakan institusi”. Jadi secara sederhana dapat digambarkan secara linier bahwa antara wacana (teks yang dominan) itu mengalami “institusionalisasi”.
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
Pertanyaannya adalah apa yang memungkinkan perubahan bentuk teks, wacana dan institusi tersebut? Jawabannya menurut Foucault sebagaimana didukung oleh Jones (2003) adalah: kuasa. Untuk itu, sebagaimana telah diungkapkan pada awal bagian ini, pemahaman akan hubungan antara kuasa, teks, wacana dan institusi merupakan prasyarat penting dalam menggunakan konsep politik-institusional untuk menelaah keberadaan dan fungsi suatu institusi. 3.3. Kerangka Penelitian Riawanti (2015) menyakan kerangka penelitian sebagai pedoman umum tentang bagaimana seorang peneliti mencari jawaban atas masalah penelitian yang diajukannya. Kerangka ini mencakup: (1) hal-hal pokok yang akan diteliti, yakni konsep-konsep atau variabel-variabel yang terpenting, serta saling hubungannya satu sama lain; (2) mengungkapkan pemikiran peneliti mengenai apa yang terjadi dengan gejala yang ditelitinya dan/atau apa sebabnya. hipotesis yang umum atau teori sementara sang peneliti. Jika diperlukan, kerangka ini dapat saja menyertakan hipotesis di dalamnya. Namun perlu diingat bahwa hipotesis dalam penelitian kualitatif merupakan pedoman jalannya penelitian, bukan pernyataan yang akan diuji kebenarannya. Artinya, hipotesis dalam penelitian kualitatif dapat dikembangkan selama kurun penelitian, sampai dengan penelitian itu mampu memberikan pemahaman memuaskan tentang gejala/situs/situasi yang sedang diamati. Berdasarkan konteks kasus yang diteliti, tinjauan literatur yang telah dikemukankan beserta uraian tentang kerangka penelitian, maka penelitian ini mengajukan kerangka pemikiran sebagai berikut ini. Kerangka ini jua merupakan penegasan atas tujuan penelitian, bahwa penelitian ini sebagai penelitian sosial kualitatif-interpretif adalah upaya untuk memahami sebuah konstruksi sosial yang berupa aspek politik-institusional dalam implementasi SPNsE. Adapun sumber beserta teknik analisis data yang digunakan akan dijelaskan dalam bagian metode penelitian. Gambar 3 Kerangka Penelitian
Sumber data:dokumentasi sistem, teknik: interpretive police analysis
4. METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian merupakan cara peneliti untuk memilih paradigma, strategi, jenis bukti, dan
219
POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono
teknik pengumpulan data penelitian yang sesuai dengan tujuan dan konteks penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan paradigma interpretif. Riset dalam paradigma interpretif mengasumsikan bahwa pengetahuan tentang realitas diperoleh melalui konstruksi sosial seperti bahasa, makna yang disepakati dalam sebuah masyarakat, berbagai dokumen atau artefak lainnya (Yin, 1981; Howcroft dan Trauth, 2004; Moleong, 2010; Djamhuri, 2011; Wahyuni, 2012). Riset ini menggunakan metode penelitian studi kasus untuk menyelidiki fenomena empiris berupa implementasi SPNsE (sebagai unit analisis) yang tidak dapat dilepaskan dari konteks nyata kesehariannya (bukan eksperimen) dan datanya dianalisis secara kualitatif (tidak menggunakan teknik statistika tertentu). Studi kasus memungkinkan peneliti untuk mempertahankan karakteristik holistik dan bermakna dari peristiwa-peristiwa kehidupan nyata (Yin, 1981; 2009; 2011). Penelitian ini memenuhi kriteria studi kasus kasus tunggal sebagaimana yang dikemukakan Yin (2009) karena fenomena yang diteliti merupakan hal yang unik dan juga sekaligus sedang (dan masih) berlangsung. Objek penelitian ini adalah kebijakan publik dalam bentuk implementasi sistem-administrasi pemerintahan berbasis teknologi merupakan sebuah konstruksi sosial yang dapat dimaknai/ditafsirkan oleh para pemangku kepentingannya. Dalam pandangan Walsham (1993;2006), riset interpretif dengan objek sistem informasi bertujuan untuk mendapatkan pemahaman atas konteks sebuah sistem informasi beserta proses yang dipengaruhi dan memengaruhi konteks tersebut. Perlu diperhatikan bahwa oleh para pemangku kepentingan dari sistem yang diteliti adalah agen-manusia yang mempunyai tafsir (interpretasi) tertentu berdasarkan latar belakang sosial mereka (Myers, 1997; Walsham, 2006; Myers dan Klein, 2011). Berkaitan dengan objek penelitiannya, penelitian ini memilih untuk menggunakan interpretive policy analysis (IPA) sebagai kerangka kerja analisis data untuk membahas data penelitian, menggali temuan penelitian dan menyajikan hasil/temuan. Kerangka analisis data IPA pada dasarnya adalah suatu teknik analisis data kualitatif yang dikembangkan di bawah tradisi analisis wacana (discourse analysis) (Glynos, et al., 2009). IPA dipilih karena pada dasarnya objek penelitan ini (implementasi SPNsE) adalah sebuah wacana (discourse). Istilah wacana digunakan oleh banyak bidang kajian sehingga mempunyai bermacam-macam pengertian. Sosiologi mengartikannya sebagai konteks sosial pemakaian bahasa. Sedangkan menurut kajian bahasa (linguistik), wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh, seperti novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah (Eriyanto, 2011). Sementara itu, psikologi memaknai seperangkat pernyataan yang saling mendukung untuk mengonstruksi sebuah objek (Parker, 1992).
220
Pada akhirnya penulis dengan merujuk berbagai pendapat yang telah diuraikan tersebut dan juga Hardy (2001); Berntsen, et al., (2004), Bondarouk dan Ruel (2004) dan Phillips, et al., (2004), mengajukan definisi wacana dalam tulisan ini yakni: berbagai teks dalam berbagai bentuknya (tertulis atau ujaran), dalam sebuah konteks tertentu yang menyertainya dan dalam letak kesejarahan tertentu. Sebuah teks dapat dipandang “unit diskursif” sebagai manifestasi dari wacana tertentu sehingga menjadikan suatu objek itu ada. Berdasarkan batasan tersebut, kebijakan pengembangan dan implementasi SPNsE dapat dipandang sebagai sebuah wacana yang dapat ditelaah dengan menggunakan kerangka kerja IPA. “Policy creates politics”, demikian ungkap Schattschneider dalam Weir (2003). Artinya, kebijakan (policy) selalu membawa konsekuensi munculnya halhal yang bersifat politik (kuasa-wewenang) untuk menjadikan kebijakan itu terwujud. Lantas bagaimana hubungan antara kebijakan dan politik itu dapat dianalisis lebih lanjut secara kualitatif? Pada prinsipnya kerangka kerja IPA merupakan tindakan analisis terhadap formulasi, pelaksanaan ataupun evaluasi suatu kebijakan dengan cara mendapatkan pemahaman atas konteks dari sebuah kebijakan beserta proses yang menyertasi, dipengaruhi dan memengaruhi konteks tersebut. Yanow dalam Glynos, et al. (2009) menguraikan penggunaan teori wacana Foucault dalam melaksanakan IPA. Teori tersebut sebagaimana yang dijelaskan dalam Jones (2003) mengartikan wacana sebagai cara berpikir dan bertindak yang berbasis pada pengetahuan. Aliran pemikiran ini selanjutnya mengemukakan bahwa untuk memahami perilaku manusia pada suatu tempat dan waktu tertentu, temukanlah terlebih dulu wacana-wacana yang terdapat atau bahkan mendominasi pada tempat dan waktu itu. Dalam kaitan ini, perlu juga diungkapkan beberapa hal penting sebagaimana disampaikan oleh Bondarouk dan Ruel (2004) yang patut diperhatikan oleh peneliti pada saat menggunakan analisis wacana ini sebagai eksplorasi terhadap saling pengaruh antara wacana, teks dan konteks dan bagaimana memilih teks yang membentuk wacana. Selanjutnya ditekanan bahwa, analisis wacana tidak semata-mata memusatkan perhatian pada teks tunggal namun sebagai serangkaian teks dengan tetap memperhatikan batang utama teks itu. Sejalan dengan itu, analisis harus dilakukan juga atas kedudukan dan bagaimana teks itu diproduksi. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa dokumentasi sistem secara luas (Bowen, 2009), baik berupa ketentuan hukum, manual operasi sistem, dan juga kesepakatan kerja sama antar berbagai pihak yang terlibat dalam sistem. Sumber data tersebut akan dilengkapi dengan berbagai rilis ataupun liputan di media massa (online/offline). Penulis kemudian dengan akumulasi pengetahuan dan pengalaman yang ada selama ini akan melakukan tindakan interpretif dengan menelaah berbagai dokumen tersebut. Hal ini
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono
dilakukan untuk mendapatkan pemahaman atas konteks dan kaitan sosio-historisnya (Glynos, et al., 2009; Eriyanto, 2011), dan selanjutnya mengajukan penafsiran dan pemaknaan tertentu atas proses telaah tersebut.
5. TEMUAN DAN DISKUSI
5.1. Pengantar Penelitian ini menganalisis data sekunder berupa berbagai dokumentasi (Bowen, 2009), baik yang berupa peraturan, berbagai laporan dari berbagai otoritas terkait, manual/prosedur standar operasional, ataupun rilis di media massa (online/offline )yang berkaitan dengan perkembangan impelementasi SPNsE. Analisis terhadap data yang sudah dikumpulkan untuk mendapatkan temuan penelitian dilakukan sesuai dengan urutan langkah penggunaan teknik IPA yang sudah dikemukakan oleh Yanow dalam Glynos, et al. (2009) sebagaimana telah diuraikan pada bagian pendekatan penelitian. Yanow sebagaimana dikutip Glynos et al. (2009) menguraikan secara ringkas langkah-langkah penggunaan teknik IPA dalam suatu penelitian tentang yang mengasumsikan kebijakan publik sebagai sebuah wacana. Urutan langkah tersebut adalah: (1) identifikasi semua artefak (bahasa, objek, tindakan) yang membentuk makna dari kebijakan yang diteliti; (2) identifikasi para pihak yang terkait dengan kebijakan; (3) identifikasi wacana yang relevan, yaitu makna tertentu yang dikomunikasikan melalui artefak yang ada; (4) interpretasi harus dipusatkan pada titik konflik yang terjadi dan dihubungkan dengan dari mana sumber yang menyebabkan perbedaan pemaknaan antar aktor yang terlibat dalam perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan. Bagian berikut akan mendiskusikan temuan penelitian. Diskusi ini dengan menggunakan teknik analisi data IPA menitikberatkan pada bagaimana terjadinya perputaran antara kontrol-, resistensi- dan keagenen-institusional sehingga hubungan timbal balik antara aktor-institusi dapat terbentuk. Penelitian ini menemukan setidaknya empat hal penting yang layak dielaborasi lebih jauh berkaitan bagaimana hubungan antara institusi dengan aktor yang terlibat di dalamnya merupakan hasil dari salingpengaruh (interplay) antara kontrol-, resistensi- dan keagenan-institusional. Temuan ini sampai dengan tahap tertentu merupakan konfirmasi terhadap apa yang digagas oleh Lawrence (2008) sebagai institutional politics dengan beberapa catatan. Keempat hal tersebut adalah pertama, bagaimana praktik-praktik diskursif dapat mengubah SPNsE dari wacana menjadi institusi (lihat Phillips, et al., 2004). Kedua, bagaimana kontrol-institusional menggunakan kuasa-sistemik mengubah perilaku aktor. Ketiga, tindakan aktor untuk menggunakan pengaruh pengaruh dan tekanan mereka untuk mengubah institusi. Keempat, bagaimana aktor menghadapi (resist) terhadap adanya kontrol- ataupun keagenaninstitusional. Pada akhir bagian ini akan disampaikan refleksi atas temuan penelitian dan juga rekomendasi
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
kebijakan yang mungkin dapat dipertimbangkan stakeholder pengelolaan keuangan negara/daerah dalam kaitannya dengan pengembangan sistem informasi manajemen keuangan. 5.2. SPNsE sebagai Institusi yang dibentuk Wacana Reformasi politik 1998 juga membawa dampaknya pada reformasi pengelolaan keuangan pemerintah Indonesia (Nasution, 2007). Dalam lensa analisis wacana, pemahaman akan perubahan sosial dapat dilihat dari wacana yang dominan pada sistem sosial yang ada (Jones, 2003). Menurut hemat penulis salah satu wacana dominan yang berkaitan dengan reformasi administrasi, termasuk di fungsi pengelolaan fiskal adalah isu tentang tata kelola (governance) dan transformasi kelembagaan. Boediono (2008; 2009) dan juga Sri Mulyani Indrawati (Depkeu, 2009) menekankan pentingnya perubahan mendasar pada sisi governance ini sebagai pijakan awal untuk menuju pengelolaan fiskal yang transparan dan akuntabel. Lebih lanjut, Depkeu (2009) mengemukakan penting pengembangan sistem (berbasis teknologi informasi dan komunikasi) sebagai perangkat pengelolaan keuangan negara yang efisien. Selain tata kelola, wacana dominan yang dikembangkan oleh kementerian ini adalah transformasi kelembagaan. Kemenkeu (2015) menyatakan bahwa proses transformasi mencakup transformasi organisasi dan implementasi inisiatif strategis di seluruh unit eselon I Kementerian Keuangan dan dititikberatkan pada 87 inisiatif strategis untuk lima tema utama transformasi, yaitu: sentral (meliputi organisasi, SDM dan TIK, dan Manajemen Kinerja), perpajakan, kepabeanan dan cukai; penganggaran; dan perbendaharaan. Jadi teks yang menjadi wacana dominan dalam proses reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan adalah tata kelola dan transformasi kelembagaan. Salah satunya adalah membangun sistem administrasi modern yang berbasis TIK sehingga layanan menjadi efisien, transparan dan akuntabel. Teks ini kemudian menjadi wacana dan institusi melalui pratik diskursif tertentu. MPN bahkan dibangun dengan niatan untuk menjadi tulang punggung reformasi birokrasi: “ ... Dengan disokong oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan, serta Sekretariat Jenderal, MPN menjadi sebuah program Kementerian Keuangan dan menjadi salah satu backbone reformasi birokrasi. ...” (DJPbn, tanpa tahun) Tekad untuk menjadi backbone tersebut tentu saja harus didukung dengan strategi implementasi kebijakan yang memadai. Dalam pandangan penulis, termasuk di dalamnya adalah bagaimana mengelola politik-institusional secara bijak. Pada tahapan selanjutnya, kedudukan MPN semakin diperkuat yang secara teknis dinyatakan
221
POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono
dalam bentuk penambahan fitur baru seperti billing system dan tersedianya berbagai channel baru pembayaran ke kas negara melalui ATM, EDC , ibanking ataupun m-banking. Situasi yang sedemikian ini, merujuk proposisi yang diajukan Phillips, et al. (2004), menunjukkan bahwa salah satu cara untuk membentuk atau memperkuat institusi adalah bagaimana aktor memilih teks yang akan menjadi wacana dominan dan kemudian melalui praktik diskursif tertentu akan membentuk sebuah institusi.
5.3. Kontrol-Institusional: Institusi dan KuasaSistemik Mengapa otoritas perpajakan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-162/PJ/2003 tentang Pelaksanaan Sistem Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3) pada Direktorat Jenderal Pajak menggunakan istilah “monitoring pelaporan pembayaran” bukan “pembayaran pajak”? Jawabnya: karena harus disadari sebenarnya tugas otoritas perpajakan adalah mengawasi apakah Wajib Pajak sudah melunasi pajaknya dengan menggunakan informasi transaksi penerimaan keuangan negara yang sah dengan bersumber dari otoritas perbendaharaan. Walaupun otoritas perpajakan menginginkan informasi pembayaran yang lebih cepat dan tepat waktu dengan memanfaatkan sistem berbasis TIK namun pada saat itu tidak dapat mengembangkan sistem itu sendiri. Pengembangan sistem (pembayaran) tersebut adalah wewenang pada sisi otoritas perbendaharaan. Otoritas pajak merupakan pengguna (sistem) informasi pembayaran (elektronik) yang dikembangkan oleh otoritas perbendaharaan. Walaupun kedua otoritas ini masih berada di bawah satu kementerian yang sama (Menteri Keuangan sebagai otoritas fiskal), namun koordinasi untuk penyediaan informasi pembayaran pajak secara cepat dan andal masih menjadi persoalan yang cukup pelik. Dalam pengembangan sistem MP3, otoritas perpajakan sampai dengan tingkat tertentu mengambil keputusan yang dapat dikatakan melampaui wewenangnya. Atas dasarnya inilah, dalam hemat penulis kemudian sistemnya diidentfikasi dengan “monitoring pelaporan”, bukan secara tegas menyebut “sistem penerimaan pajak”. Jika politik diartikan sebagai bagaimana mencapai tujuan dengan cara yang memungkinkan, maka situasi ini merupakan fakta bahwa politics matter in institutional analysis yang ditemukan dalam konteks bagaimana sebuah institusi terbentuk dari tekanan (kontrol-institutional) yang bersifat politis/kuasa-sistemik. Namun situasinya menjadi berbeda jika dibandingkan dengan adanya peranan IMF yang meminta (atau mungkin dapat dikatakan “memaksa”, dengan menjadikan sistem ini sebagai bagian dari Letter of Intent) Pemerintah RI untuk mewujudkan sistem pembayaran elektronik untuk mengadministrasikan pembayaran pajak sebagai langkah meminimalkan indikasi “kebocoran” yang
222
terjadi (Brondolo, et al., 2008; Dwiputranto, 2008; Depkeu, 2009). Konteks yang ikut melengkapi dan perlu dipertimbangkan dalam situasi ini adalah bahwa saat itu otoritas perpajakan sedang membangun kantor pelayanan pajak yang khusus menangani wajib pajak besar dan termasuk di dalam rangkaian pembentukan itu adalah adanya fasilitas pembayaran secara online. Hal ini diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-383/PJ./2002 tentang Tata Cara Pembayaran Setoran Pajak Melalui Sistem Pembayaran On-Line dan Penyampaian Surat Pemberitahuan dalam Bentuk Digital. Dalam situasi yang demikian ini ternyata kontrolinstitusional “internal” (dilihat dari lingkungan organisasi Kementerian Keuangan) kurang kuat memicu perubahan institusi. Sebaliknya, kuasasistemik (disiplin, dominasi)dari institusi eksternal sebagai kontrol-institusional mempunyai pengaruh yang lebih kuat dalam mengubah perilaku aktor. Resistensi-institusional sebagai respon dari para aktor terhadap kontrol-institusional dapat saja berupa penolakan atau dukungan. Pelajaran penting dari situasi ini adalah bagaimana menciptakan resistensi-institusional yang sesuai dengan keinginan pemilik kontrol. Apakah yang diinginkan dari resistensi-institusional harus selalu dukungan? Dalam hemat penulis, belum tentu. Karena bisa saja pemilik kontrol-institusional masih menginginkan suatu institusi itu bertahan. Bagian dari politik-institusional adalah bagaimana menggunakan kontrol-instistusional untuk memengaruhi tindakan aktor untuk membuat atau menghapus institusi. 5.4. Keagenan-Institusional: Pengaruh dan Tekanan Aktor Terdapat sebuah fenomena menarik berkaitan dengan apa yang sekarang dikenal sebagai SPNsE ini. Pada tahun 2003 otoritas perpajakan Indonesia mengajukan inisiatif pengembangan suatu sistemaplikasi yang disebut sebagai Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3). Direktur Jenderal Pajak dengan menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-162/PJ/2003 tentang Pelaksanaan Sistem Monitoring Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3) pada Direktorat Jenderal Pajak, mengajukan inisiatif sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 keputusan ini : “Pembayaran Pajak dengan menggunakan SSP khusus dianggap telah masuk ke rekening Kas Negara apabila informasi pembayaran setoran pajak yang diterima dari Direktorat Informasi Perpajakan melalui Sistim Informasi Perpajakan atau Sistim Administrasi Perpajakan Terpadu telah sesuai dengan DNP/RDD yang diterima dari KPKN mitra kerja atau Kanwil/KPP Koordinator.” Pengembangan dan implementasi sistem MP3 ini dalam kerangka kerja politik-institusional yang diajukan Lawrence (2008) dapat dipandang sebagai keagenan-institutional. Kebertindakan-agen untuk menghilangkan suatu institusi yang stabil (sistem
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono
administrasi pembayaran pajak saat itu masih manual, belum menggunakan mekanisme transaksi elektronik secara real time) dengan institusi yang baru (sebuah lingkungan sistem berbasis layanan elektronik sebagaimana dijelaskan oleh Darono, 2011). Demikian pula halnya DJA selaku otorisator PNBP sebagai aktor, implementasi MPN-G2 memungkinkan ekstensi fitur sistem-aplikasi Simponi-PNBP dengan mekanisme billing sebagaiman yang selama ini telah telah dikenal dalam sistem pembayaran di sektor komersial. Keberhasilan MPN menjadi sebuah institusi yang stabil dalam struktur pengelolaan keuangan negara sebagai dampak dari adanya kontrolinstitusional tertentu pada gilirannya menimbulkan tindakan-agen untuk mengubah institusi yang telah ada tersebut menjadi lebih kompatibel dengan perubahan sosial. Pada setting situasi yang lain, ternyata kebijakan impelementasi sistem aplikasi MPN ternyata menjadikan bank persepsi bertindak dan menggunakan pengaruh mereka (keagenaninstutitonal) sebagai salah satu aktor dalam sistem penerimaan negara dengan menjadikan kemampuan mereka melakukan pertukaran data pembayaran tagihan pajak (ataupun pada tahap berikutnya adalah penerimaan negara secara umum) untuk memengaruhi institusi yang ada dalam pengaruh bank persepsi tersebut (misalnya: cara para nasabah melakukan pembayaran). Ambil contoh tanggapan dari salah satu bank yang terkait dengan hal ini, yang mengungkapkan implementasi MPN-G2 sebagai peluang bisnis baru: “ ... BRI akan kerahkan 19 ribu ATM, lebih dari 85 ribu EDC, dan lebih dari 9.800 unit kerja BRI di seluruh Indonesia, BRI siap memberikan kemudahan dan beragam pilihan bagi WP, WB maupun WS untuk melakukan transaksi pembayarannya,” ujarnya. ... “ Sumber: http://krjogja.com/read/206520/bri-implementasikanmodul-penerimaan
Terbitnya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2014 tentang Sistem Pembayaran Pajak Secara Elektronik juga merupakan keagenaninstitusional yang membawa perubahan yang membawa kemudahan bagi pembayaran/penyetoran pajak. Kemudahan tersebut adalah: (1) diizinkannya penggunaan EDC sebagai sarana pembayaran pajak, melengkapi yang selama ini telah ada; (2) Kode Billing dapat diperoleh secara host-to-host dari sistem milik pembayar/penyetor, dengan bank persepsi dan sekaligus dengan otoritas perpajakan. Hal ini secara eksplisit sudah ditawarkan sebagai bagian dari layanan cash management beberapa bank (lihat misalnya publikasi/advertorial BRI (tanpa Tahun); BNI (tanpa tahun); dan juga Bank Mandiri (tanpa tahun)). Sepertinya untuk jenis pembayaran/penyetoran lain akan tiba waktunya dibuka layanan host-to-host dengan sistem-aplikasi SPNsE/MPN-G2. Sorotan (highlight) dari bahasan atas fakta penelitian di bagian ini adalah bahwa kerangka politik-
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
institusional yang ditawarkan oleh Lawrence (2008) ternyata belum menjelaskan bagaimana keagenaninstitusional melalui pengaruh/tekanan itu berjalan. Temuan penelitian ini mengungkapkan, bahwa kontrol-institusional itu malah dapat terwujud dengan adanya institutional entrepreneur, agen yang mampu bertindak untuk membuat atau mengubah institusi yang dianggapnya sudah tidak sesuai dengan situasi sosial-organisasional. 5.5. Resistensi-Institusional: Praktik-praktik Diskursif Aktor Bagian ini diawali dengan kembali merujuk kasus pembangunan sistem-aplikasi MP3 oleh otoritas perpajakan. Pertanyaannya, sekali lagi, adalah mengapa otoritas perbendaharaan pada waktu itu tidak segera merespon permintaan otoritas perpajakan untuk mengembangkan dan mengimplementasikan sebuah sistem pengolahan pembayaran pajak secara real-time sehingga harus ada terlebih dulu sistem MP3, baru kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi MPN dan MPN-G2? Pada situasi inilah perlu diperhatikan adanya reaksi-aktor (oleh Lawrence, 2008 disebut sebagai resistensi) terhadap kontrolataupun keagenan- institutional yang diperlihatkan oleh masing-masing aktor. Fenomena ini sebenarnya adalah munculnya sebuah resistensi-institusional dari para aktor yang terlibat sebagai bentuk reaksi mereka terhadap kontrol ataupun tindakan yang harus mereka hadapi. Dalam satu situasi bisa saja langsung menolak ataupun sebaliknya langsung menerima. Mengapa implementasi sistem-aplikasi MP3, MPN, MPN-G2 mengalami berbagai dinamika yang berbeda-beda walaupun aktor dan institusinya relatif sama? Jawabannya, dalam hemat penulis adalah bentuk resistensi-institusional yang ada pada setiap tahapan implementasi tersebut berbeda-beda, bergantung (merujuk Foucault dalam Jones, 2003) pada wacana yang mendominasi atau praktik-diskursif yang terjadi pada setiap situasi. Wacana yang mendominasi situasi otoritas perpajakan saat itu adalah tuntutan modernisasi layanan pajak (lihat Brondolo, et al., 2008; Boediono, 2009) yang hal itu bahkan adalah bagian dari janji kepada pihak lain yang memberi pinjaman kepada pemerintah Indonesia sebagai bagian dari proses pemulihan ekonomi dari deraan krisis ekonomi. Sementara itu, dalam hemat penulis rasa keterdesakan (sense of urgency)yang sama belum ditemukan di sisi otoritas yang lain. Akibatnya, resistensiinstitusionalnya akan berbeda. Namun demikian, resistensi-institusional ini belakangan dapat dikatakan berkurang drastis (jika tidak dapat dikatakan telah hilang sama sekali). Situasi demikian ini dapat dilihat dari inisiatif untuk mengoneksikan bank persepsi dengan DJPb dan selanjutnya dengan DJP/DJA/DJBC dalam bentuk MPN bahkan kemudian menjadi SPNsE (MPN-G2) dengan segala kampanye kepada publik tentang fitur unggulan dan kemanfaatannya menjadikan resistensiinstitusional atas implementasi sistem ini seolah tidak
223
POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono
pernah ada. Artinya, dalam pandangan penulis, hali ini menunjukkan bagaimana praktik diskursif para aktor untuk memilih teks, wacana, dan institusi menjadi penting dalam menghadapi resistensi-institusional. Catatan penulis pada bagian ini jika dihubungkan dengan bahasan pada temuan pada bagian sebelumnya adalah pentingnya pengguna konsep politikinstitusional ini menerapkannya sebagai bentuk yang simultan. Tidak bisa seseorang melihat sebuah fenomena hanya sebagai kontrol-institusional atau keagenan-instituisonal saja. Namun, kajian harus dilakukan secara serentak bahwa kontrol akan menimbulkan resistensi yang dampaknya sampai pada tindakan (keagenan). Selebihnya penulis setuju dengan apa yang ditawarkan Lawrence (2008), bahwa kajian institusional perlu mempertimbangkan aspek politik di dalamnya. 5.6. Refleksi dan Rekomendasi Kebijakan Lawrence (2008) mengajukan konsepnya tentang bagaimana politik (kuasa-wewenang) seharusnya didudukkan dalam analisis institusional namun ternyata dia tidak menjelaskan lebih detil tentang: (1) dari mana aktor mendapatkan ide/gagasan/tekad untuk menjalan resistensi-institusional untuk merespon kontrol-institusional ataupun keagenaninstitusional?; (2) aktor manakah yang mampu paling mungkin melaksanakan keagenan-institusional? Jawabannya adalah (1) institutional logics; (2) institutional entrepreneurs. Penelitian ini sebagai hasil studi empiris ingin mengajukan rekomendasi kebijakan,yang mungkin dapat dipertimbangkan oleh para pemangku kepentingan reformasi birokrasi secara umum ataupun secara khusus mereka yang memangku implementasi sistem informasi bebasis TIK untuk pengelolaan keuangan negara atau daerah. Rekomendasi ini sebenarnya semacam penerapan prinsip transferability kesimpulan sebuah studi kasus untuk dapat diterapkan (transfered) ke kasus (situasi) yang lain. Rekomendasi tersebut adalah: (1) aspek teknis tetap merupakan syarat mutlak keberhasilan implementasi sistem berbasis TIK, hal ini menyangkut validitas data ataupun kinerja sistem (misalnya waktu respon atau akses yang efisien); (2) aspek politikinsittusional untuk melihat bagaimana sistem yang dibangun ini jika diletakkan dalam konstelasi sistem yang telah ada (existing system). Artinya memahami kontrol-institusional, keagenan-institusional dan resistensi-insitusional sebagai sebuah rangkaian yang utuh dari berbagai institusi yang ada merupakan modal penting kesuksesan implementasi sebuah sistem. Dalam kerangka konsepsual politik-institusional dan relasi wacana-institusi, dengan menggunakan teknik analisis wacana, sistem pembayaran merupakan adalah teks yang menjadi wacana dan kemudian menginstitusi. Teks itu menjadi institusi karena kedudukan aktor yang mampu menggunakan kuasaepisodik untuk menghilangkan institusi lama (sistem pembayaran yang masih manual, yang sarat dengan pekerjaan klerikal) dan menggantinya dengan institusi
224
baru (SPNsE). Bahkan, lebih dari itu institusi baru yang dibentuk tersebut mampu memengaruhi para aktor yang terlibat di dalamnya dan juga mampu menarik aktor baru melalui kuasa-sistemiknya.
6. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data dan pembahasan dengan menggunakan teknik IPA yang telah dilakukan di atas, kesimpulan sekaligus lesson-learned dari kasus yang dianalisis ini adalah: (1) kontrol-institusional dapat mengakselerasi muncul SPNsE sebagai institusi baru; (2) aktor organisasi dapat menggunakan keagenan-institusional untuk memperluas fungsi institusi; (3) wacana-dominan memengaruhi aktor untuk membuat, mentransformasikan ataupun menghilangkan sebuah institusi; (4) sulitnya keagenan-institusional menjangkau institusi yang berada di luar jangkauan-kuasa sang aktor. Namun pantas dicatat, pada situasi yang lain keagenaninstitusional relatif berhasil mentransformasikan institusi yang berada di dalam jangkauan-kuasa aktor. Apa yang membedakan situasi tersebut? Resistensiinstitusional, yaitu bagaimana aktor merespon disiplin/dominasi yang datang kepada mereka dan kemudian bagaimana mereka mengubahnya menjadi pengaruh/tekanan terhadap institusi yang ada, apakah mereka hendak menghapus dan membuat institusi baru atau mengubah institusi yang sudah ada. Dari sisi metodologi penelitian, tulisan ini dengan menggunakan kerangka pemikiran yang ditawarkan Lawrence (2008) berusaha memberikan alternatif sudut pandang untuk memahami bagaimana salingpengaruh (interplay) aspek-aspek politik-institusional dalam proses pengembangan dan implementasi suatu sistem informasi di lingkungan pemerintahan. Kerangka pemikiran tersebut dapat digunakan dengan beberapa catatan bahwa peneliti harus jeli dalam menangkap fenomena yang muncul untuk kemudian menetapkan dari titik mana ia akan memulai analisisnya. Dalam pandangan penulis, kerangka kerja ini dapat dikembangkan lebih lanjut oleh para peneliti di bidang TIK-organisasi (khususnya di Indonesia) untuk melengkapi berbagai kerangka pemikiran yang selama ini telah digunakan, terutama pada saat penelitian yang menggunakan pendekatan nonpositivitik dengan tujuan memahami implementasi TIK sebagai artefak sosio-teknikal.
DAFTAR PUSTAKA
Avgerou, Chrisanthi. 2000,"IT and Organizational Change: an Institutionalist Perspective." Information Technology and People, 13(4), pp. 234 - 62. Avgerou, Chrisanthi. 2004, "IT as an Institutional Actor in Developing Countries," S. Krishna dan S. Madon, The Digital Challenge: Information Technology in the Development Context. Aldershot, UK: Ashgate Publishing, 46-62 BankMandiri. tanpa tahun, "Dorong Peningkatan Penerimaan Pajak, Mandiri Edukasi Perusahaan," URL:
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono
http://www.bankmandiri.co.id/corporate01/ news-detail.asp?id=ODCN4632684 Berntsen, Kirsti E.; Sampson, Jennifer dan Østerlie, Thomas. 2004, "Interpretive research methods in computer science," URL: http://www.idi.ntnu.no/~thomasos/paper/i nterpretive.pdf BNI. tanpa tahun, "SEKILAS CASH MANAGEMENT," URL: http://bni.co.id/idid/bankingservice/businessbanking/service/ cashmanagement.aspx Boediono. 2009, "Kebijakan Fiskal: Sekarang dan Selanjutnya," A. Abimanyu dan A. Megantara, New Era of Fiscal Policy: Pemikiran, Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Bondarouk, Tatyana dan Ruel, Huub. 2004, "Discourse analysis: making complex methodology simple.". The European IS Profession in the Global Networking Environment. Turku School of Economics and Business Administration, Turku, Finland. , 2004 Bowen, Glenn A. 2009,"Document Analysis as a Qualitative Research Method." Qualitative Research Journal, 9(2), pp. 27-40. BRI. tanpa tahun, "Cash Management System BRI," URL: http://www.bri.co.id/articles/81 Brondolo, John; Silvani, Carlos; Borgne, Eric Le dan Bosch, Frank. 2008, "Tax Administration Reform and Fiscal Adjustment: The Case of Indonesia (2001-07)," IMF Working Paper Washington, D.C: Fiscal Affairs Department International Monetary Fund, 2008 Bungin, Burhan. 2012, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Predana Media Group Carls, Paul. tanpatahun, "Émile Durkheim (1858— 1917)," The Internet Encyclopedia of Philosophy, URL: http://www.iep.utm.edu/durkheim/ Cole, D. H. 2013,"The Varieties of Comparative Institutional Analysis." Wisconsin Law Review, 2013, pp. 383-409. Currie, Wendy. 2008, "Institutionalization of IT Compliance: A Longitudinal Study". International Conference on Information System (ICIS). 2008 Darono, Agung. 2011, "Modul Penerimaan Negara: Tinjauan terhadap Fungsinya sebagai Layanan Elektronis". The Conference on Information Technology and Electrical Engineering (CITEE) 2011. Electrical Engineering and Information Technology Department, Gadjah Mada University, Yogyakarta, 2011 Darono, Agung. 2012, "Tinjauan Interpretatif terhadap Aspek-Aspek Institusional dalam Implementasi Layanan Elektronik: Studi Kasus PT. XYZ," Magister Teknolog Informasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2012 Darono, Agung. 2013a, "Paradigma Kritis dalam Penelitian Sistem Informasi di Indonesia:
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
Perlukah?". Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi. Universitas Islam Indonesia - Yogyakarta, 2013a Darono, Agung. 2013b, "Public Sector Innovation through e-Services: The Case of Indonesian Tax Administration ". International Conference on Indonesia Development. The Hague, The Netherlands: PPI Belanda, 2013b Darono, Agung. 2014, "Kajian Ekonomi-Politik Informasi di Indonesia: Pentingkah?". Doctoral Colloquium and Conference. Faculty of Economics and Business - University of Gadjah Mada, Yogyakarta, 2014 Darono, Agung. 2015,"Fiscal Management in Indonesia: The Perspective of Political-Economy Information." Journal of Applied Indonesian Economics, 6(1), pp. 87-101. Depkeu. 2009, "“Menata Keuangan Negara Melalui Reformasi Birokrasi”: Laporan Kinerja Departemen Keuangan 2004-2009," D. Keuangan, Jakarta, 2009 DiMaggio, Paul J. dan Powell, Walter W. 1991,"The Iron Cage Revisited: Institutional Isomorphism and Collective Rationality in Organizational Fields." American Sociological Review, 48(2), pp. 147-60. Djamhuri, Ali. 2011, "Paradigma dan Riset Akuntansi Interpretif," Accounting Research Training Series 2 Malang - East Java: Faculty of Economics and Business - University of Brawijaya, 2011 DJPbn. 2014, "Direktur PKN: Seluruh Penerimaan Negara Harus Disetorkan Melalui Bank/Pos Persepsi Dengan Menggunakan MPN," Jakarta: Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPbn), URL: http://www.perbendaharaan.go.id/new/?pili h=news&aksi=lihat&id=3376 DJPbn. tanpatahun, "Modul Penerimaan Negara (MPN)," Jakarta: DJPbn, URL: http://www.djpbn.kemenkeu.go.id/portal/id /profil/modernisasi-pengelolaan-keuangannegara/modul-penerimaan-negara-mpn.html Dwiputranto, Antonius Danang. 2008, "State Revenue Module (MPN) as e-Government Implementation: Its Impact towards Taxpayers' Services (in Bahasa Indonesia)," Department of Administration, Faculty of Social and Politic Sciences. Jakarta: University of Indonesia, 2008 Eriyanto. 2011, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS Ezer, Jonathan Frederick. 2005, "The Interplay of Institutional Forces Behind Higher ICT Education in India," Department of Information Systems. Londo: London School of Economics and Political Science, 2005 Glynos, Jason; Howarth, David; Norval, Aletta dan Speed, Ewen. 2009, "Discourse Analysis: Varieties and Methods," ESRC National Centre for Research Methods Review, 2009
225
POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono
Hardy, Cynthia. 2001,"Researching organizational discourse." International Studies of Management & Organization, 31(3), pp. 25-47. Howcroft, Debra dan Trauth, Eileen M. 2004, "The Choice of Critical Information Systems Research," B. Kaplan, D. P. T. III, D. Wastell, A. T. Wood-Harper dan J. I. DeGross, Information Systems Research Relevant Theory and Informed Practice. Springer IMF. 2003, "Letter of Intent, Memorandum of Economic and Financial Policies, and Technical Memorandum of Understanding," International Monetary Fund (IMF), URL: http://www.imf.org/external/np/loi/2003/i dn/01/ Jones, Pip. 2003, Pengantar Teori-teori Sosial: dari Fungsionalisme hingga Post-modernisme. diterjemahkan oleh Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia Kemenkeu. 2015, "Frequently Asked Questions Transformasi Kelembagaan," Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu), URL: http://www.kemenkeu.go.id/Wide/frequentl y-asked-questions Kling, Rob. 1999,"What is Social Informatics and Why Does it Matter?" D-Lib Magazine, 5(1). Kling, Rob; Rosenbaum, Howard dan Sawyer, Steve. 2005, Understanding and Communicating Social Informatics: A Framework for Studying and Teaching the Human Contexts of Information and Communication Technologies. Medford, New Jersey: Information Today Koentjaraningrat. 1983, Kebudayaan, mentalitas dan pembangunan. Jakarta: Gramedia Larsen, K.R.; Allen, G.; Vance, A. dan Eargle, D. 2014, "Theories Used in IS Research," URL: http://istheory.byu.edu/wiki/Main_Page Lawrence, Thomas B. 2008, "Power, Institutions and Organizations," R. Greenwood, C. Oliver, R. Suddaby dan K. Sahlin, The SAGE Handbook of Organizational Institutionalism, . London: SAGE Publications Ltd, 170-98 Masdi, Arief. 2012, "Pembangunan SIMPONI: Sistem Informasi PNBP Online," Warta Anggaran. Jakarta: Direktorat Jenderal Anggaran, 2012 McLeod, Raymond dan Schell, George P. 2001, Management information systems. Englewoods Cliff: Prentice Hall Meyer, John W. dan Rowan, Brian. 1977,"Institutionalized Organizations: Formal Structure as Myth and Ceremony." American Journal of Sociology, 83(2), pp. 340-63. Moleong, Lexy J. 2010, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Myers, M.D. 1997,"Qualitative Research in Information Systems." MIS Quarterly (21:2), June 1997, pp. 241-242. MISQ Discovery, archival version, 21(2 June 1997), pp. 241-42. Myers, Michael D. dan Klein, Heinz K. 2011,"SET OF PRINCIPLES FOR CONDUCTING CRITICAL
226
RESEARCH IN INFORMATION SYSTEMS." MIS Quarterly, 35 (1), March 2011, pp. 17 - 36. Nasution, Anwar. 2007, "Sambutan dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara," Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan, 2007 Parker, Ian. 1992,"Discourse dynamics: Critical analysis for social and individual psychology." Phillips, Nelson; Lawrence, Thomas B. dan Hardy, Cynthia. 2004,"Discourse and Institutions." The Academy of Management Review, 29(4; Oct. 2004), pp. 635-52. Riawanti, Selly. 2015, "Metode Kualitatif dalam Ilmuilmu Sosial," Bandung: Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, URL: http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbba ndung/2015/04/08/metode-kualitatifdalam-ilmu-ilmu-sosial/#_ftn1 Scott, W. Richard. 2004, "Institutional Theory: Contributing to a Theoritical Research Program," K. G. Smith dan M. A. Hitt, Great Minds in Management: The Process of Theory Development. Oxford University Press, Sunarto, Kamanto. 2004, Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Universitas Indonesia Thornton, P. H. dan Ocasio, W. 2008, " Institutional Logics," C. O. Royston Greenwood, Roy Suddaby, Kerstin Sahlin-Andersson, The Sage Handbook of Organizational Institutionalism. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore: : Sage Publications, 99-129 Wahid, Fathul. 2011, "Explaining Failure of eGovernment Implementation in Developing Countries: a Phenomenological Perspective". Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi (SNATI) 2011. Universita Islam Indonesia, Yogyakarta, 2011 Wahid, Fathul dan Sein, Maung K. 2013,"Institutional entrepreneurs: The driving force in institutionalization of public systems in developing countries." Transforming Government: People, Process and Policy, 7(1). Wahyuni. 2012, "studi eksploratori keselarasan strategi teknologi informasi dan strategi bisnis," S3 Manajemen UGM Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2012 Walsham, Geoff. 1993, Interpreting information systems in organizations. London: John Wiley and Sons Walsham, Geoff. 2006,"Doing interpretive research." European Journal of Information Systems (2006) 15, 320–330, 15, pp. 320-30. Weir, Margaret. 2003, "Institutional Politics and MultiDimensional Actors: Organized Labor and America’s Urban Problem," Crafting and Operating Institutions Conference. Yale University April 11-13, 2003, 2003 Worldbank. 2002, "The E-Government Handbook For Developing Countries," Washington: Center for Democracy and Technology - World Bank, 2002
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
POLITIK-INSTITUSIONAL DALAM IMPLEMENTASI SISTEM PENERIMAAN NEGARA SECARA ELEKTRONIK Agung Darono
Yin, Robert K. 1981,"The Case Study Crisis: Some Answers." Administrative Science Quarterly, 26(1), pp. 58-65. Yin, Robert K. 2009, Case study research: Design and methods (4th ed.). Thousand Oaks, CA: Sage Yin, Robert K. 2011, Qualitative Research from Start to Finish. New York: THE GUILFORD PRESS Yustika, Ahmad Erani. 2010, "Kebijakan Reformasi dan Kerapuhan Kelembagaan Ekonomi: Ikhtiar Meluruskan Arah Perekonomian Nasional," Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Ekonomi Kelembagaan Pada Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, 2010
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
227
Halaman ini sengaja dikosongkan This page intentionally left blank
228
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015, Halaman 229-244 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
PENGENDALIAN KUALITAS BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (Studi Kasus : Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag Umum) Renny Sukmono
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Jakarta, Email: [email protected] INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 30 September 2015
The sertification of ISO 9001:2008 is a proof of quality assurance that intended to certify the providers of goods and services. This sertification demand the providers to obtain not only changes in quality to be better but also the improvements. In evaluation phase of a program, control chart is a method that can be used to identificate the achievement in quality and what to do to make it even better. This control chart is widely used in industrial sector, but nowadays the other fields also using this method, like in public service or education system. The average control chart and standard deviation control chart will be used to review thetraining program entitled asTraining of Planning and Budgeting, to make sure that the program was under control or not. It is already known that the implementation of the training program was well controlled in average but it wasn’t good enough in standard deviation valuation. This conclusion indicating there are several things that should be improved by The Education and Training Center of Budgeting and Treasury as the executor of this training program. Through the research and analysis, the program was out of control because the lack of stakeholder’s commitment in sending the training’s participants. This training program is slated for the head of Public Subsection around Ministry of Finance, but the stakeholder sent not only the Public Subsection’s head, but also the common employees and even the office’s prime leader. In order to prevent the same mistakes in the next program, The Education and Training Center of Budgeting and Treasury should strengthen the commitment with its stakeholder and properly constructed the similar training program that specially intended for other job class, like common employees and the office’s prime leader. The unmanageable process in standard deviation is pointing out a significant number of diversity in participant’s average grades of pretest and posttest. The pretest’s mark has an important role because it will show the participant’s early knowledge about the training’s lesson. After the detailed examination in this research, it is stated that participant’s origin institute had quite a lot influence in their pretest’s grades. The participants from Treasury Department had higher marks than other participants from other departments. Actually this is a proper case because the works in Treasury Department are closely related to planning and budgeting, which is the program’s main lesson. Tocope with this matter, The Education and Training Center of Budgeting and Treasury have to grouping the participants in two large clusters: Treasury Department’s employees and non-Treasury Department’s employees..
Dinyatakan Dapat Dimuat 23 Desember 2015 KEYWORDS: Diagram Kendali Rata-Rata, Diagram Kendali Standar Deviasi,
Penelitian Sertifikasi ISO 9001:2008 merupakan sebuah bukti jaminan kualitas. Sertifikasi ini merupakan sertifikasi untuk penyedia layanan atau jasa. Sertifikasi ini menuntut tidak hanya perbaikan kualitas tetapi juga peningkatan kualitas. Evaluasi merupakan jalan untuk mengetahui kualitas yang telah dicapai dan perbaikan apa yang harus dilakukan. Salah satu metode evaluasi adalah mengetahui apakah sebuah proses sudah terkendali ataukah belum. Salah satu metode yang digunakan untuk evaluasi ini adalah diagram kendali. Diagram kendali berkembang pesat di dunia perindustrian. Namun sudah mulai dikembangkan ke bidang lain misalnya bidang pelayanan publik dan pendidikan. Diagram kontrol rata-rata dan diagram kontrol standar deviasi akan digunakan untuk melihat apakah penyelenggaraan diklat perencanaan dan penganggaran sudah terkendali ataukah belum. Diketahui bahwa proses penyelenggaraan diklat sudah terkendali secara rata-rata tetapi belum terkendali dalam standar deviasi. Hal ini mengindikasikan ada beberapa hal yang harus diperbaiki oleh Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan. Setelah dianalisis lebih lanjut adanya out of control ini dikarenakan kurang kuatnya komitmen dalam pengiriman peserta diklat. Diklat ini ditujukan untuk para kasubbag umum di lingkungan Kementerian Keuangan namun peserta yang dikirimkan unit tidak hanya kasubbag umum tetapi pelaksana dan kepala kantor. Hal ini harus ditindaklanjuti Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan dengan memperkuat komitmen dengan unit pengguna dan mendesain diklat sejenis yang diperuntukkan untuk pelaksana dan kepala kantor. Tidak terkendalinya proses dalam standar deviasi menunjukkan keragaman yang cukup besar terhadap nilai rata-rata peserta (rata-rata pre dan post test). Nilai pre test merupakan komponen yang memegang peranan penting dalam proses
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
229
PENGENDALIAN KUALITAS BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (Studi Kasus: Diklat Perencanaan dan Penganggaran Bagi Kasubbag Umum) Renny Sukmono
penyelenggaraan diklat karena nilai pre test menunjukkan leval awal pengetahuan peserta. Berdasarkan faktor yang dianalisis asal instansi mempengaruhi nilai pre test peserta. Peserta yang berasal dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan memiliki nilai relatif lebih tinggi dibandingkan dari instansi lain. Hal ini wajar terjadi dikarenakan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang sangat erat kaitannya dengan perencanaan dan penganggaran. Oleh sebab itu, Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan harus menanggapi fenomena ini dengan membuat klusterisasi asal instansi yaitu kluster Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan kluster Non-Direktorat Jenderal Perbendaharaan
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah Sertifikasi ISO 9001:2008 yang merupakan suatu standar internasional untuk sistem manajemen mutu telah berhasil didapatkan Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan sejak tahun 2013. Sertifikasi ini menuntut tidak hanya upaya Pusdiklat Anggaran dan Perbandaharaan untuk dapat menjaga kualitas penyelenggaraan diklat, tetapi juga upaya untuk meningkatkan kualitasnya. Evaluasi secara periodik dan perbaikan yang dilakukan secara berkesinambungan merupakan hal mutlak yang harus dilakukan untuk mempertahankan sertifikasi ini. Salah satu langkah evaluasi adalah dengan cara mengamati proses penyelenggaraan diklat apakah sudah terkendali ataukah belum. Jika belum terkendali maka harus diketahui faktor-faktor yang menyebabkan tidak terkendali dan langkah perubahan apa saja yang harus dilakukan. Salah satu metode statistika yang digunakan untuk mengetahui terkendali atau tidaknya sebuah proses adalah dengan menggunakan Diagram Kendali. Metode ini sering digunakan pada dunia perindustrian, namun sudah mulai dikembangkan untuk dunia pendidikan. Tujuan dari penggunaan diagram kendali ini adalah untuk mengawasi proses yaitu untuk menentukan kebijakan apakah perubahan perlu untuk dilakukan. Pada penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Rikhe Lindaryani (2010) dengan penelitian berjudul Pengontrolan Kualitas Layanan Perpustakaan Pusat Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, diagram kendali diaplikasikan pada data survei kepuasan pelanggan. Kesimpulan pada penelitian ini adalah diketahui bahwa data pelayanan perpustakaan tidak terkontrol/tidak stabil dalam mean, tetapi terkontrol/stabil dalam variabilitasnya. Hal ini dapat diartikan bahwa tingkat kepuasan pengunjung mengalami pergeseran, karena terdapat beberapa pengunjung yang merasa tidak puas meskipun pendapat antar orang relatif seragam. Pada penelitian lainnya yaitu oleh Renny Sukmono dengan penelitian berjudul Diagram Kontrol Simultan Multivariat untuk Memonitor Mean dan Variabilitas Proses (Aplikasi pada Nilai TOEFL Mahasiswa S1 Reguler ITS Surabaya). Penelitian ini menggunakan data nilai TOEFL mahasiswa ITS. Pada kedua penelitian tersebut mengaplikasikan diagram kendali yang biasanya digunakan pada bidang industri pada bidang pelayanan dan bidang pendidikan. Hal ini mendorong peneliti untuk melihat proses penyelenggaraan diklat
230
di Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan apakah sudah terkendali ataukah belum. Jika belum terkendali dapat dikaji penyebabnya dan dapat dirumuskan beberapa saran atau rekomendasi untuk pelaksanaan diklat tersebut pada periode selanjutnya. Pada penelitian ini mengambil sampel Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag Umum. Diklat ini merupakan diklat baru yang didesain oleh Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan sebagai respon atas mandat yang diamanahkan oleh Biro Perencanaan dan Keuangan Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.Diklat ini diperuntukkan untuk seluruh Kasubbag Umum atau Pejabat Eselon IV yang menangani masalah perencanaan dan penganggaran di lingkungan Kementerian Keuangan. Hal ini merupakan jawaban atas tantangan telah diberlakukannya reformasi perencanaan dan penganggaran yang menekankan pada perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja, kerangka pengeluaran, berjangka menengah dan sistem penganggaran terpadu. Diklat Perencanaan dan Penganggaran merupakan diklat yang menggunakan ujian pre dan post test untuk melihat peningkatan pengetahuan peserta diklat. Pre test bertujuan untuk mengetahui level awal pengetahuan peserta diklat. Banyak hal yang mempengaruhi capaian nilai pre test peserta diklat sehingga Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan harus bisa mengantisipasi dengan menyiapkan strategi-strategi pembelajaran agar penyelenggaraan diklat dapat mencapai output yang diharapkan. Sebagai unit yang bertugas melakukan evaluasi dan melakukan pelaporan kinerja Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan, Bidang Evaluasi dan Pelaporan Kinerja mempunya berbagai macam data, seperti data evaluasi peserta, evaluasi penyelenggaraan diklat, evaluasi tatap muka, dll. Namun selama ini data-data tersebut setelah direkap dan dilaporkan hanya disimpan. Selama ini analisis terhadap data-data tersebut sangatlah minimal. Padahal jika data-data tersebut dianalisis maka akan memberikan gambaran tentang diklat. Evaluasi peserta diklat (nilai ujian pre dan post), juga memiliki nasib yang sama. Setelah diumumkan ke peserta diklat maka data tersebut disimpan sebagai arsip. Melalui penelitian ini, peneliti ingin memberikan sebuah analisis yang sederhana yang bisa menunjukkan bahwa data-data yang selama ini hanya menjadi tumpukan ternyata jika dianalisis bisa memberikan hasil yang sangat bermanfaat. Melalui analisis terhadap nilai pre dan post test ternyata mampu diketahui apakah proses diklat telah terkendali Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
PENGENDALIAN KUALITAS BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (Studi Kasus: Diklat Perencanaan dan Penganggaran Bagi Kasubbag Umum) Renny Sukmono
ataukah belum. Selain itu, juga bisa diketahui faktorfaktor apa saja yang mempengaruhi nilai pre test peserta. Hal ini akan memberikan dampak kepada kebijakan Pusdiklat Anggaran dan Pembelajaran dalam menentukan mekanisme pelaksanaan diklat mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi diklat. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, dapat ditarik beberapa rumusan masalah sebagai berikut: a. Apakah proses penyelenggaraan Diklat Perencanaan dan Penganggaran sudah terkendali ataukah belum. b. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai pre test peserta diklat. c. Bagaimanakah kecenderungan nilai peserta setelah mengikuti diklat (naik, turun ataukah tetap). 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk menganalisis proses penyelenggaraan Diklat Perencanaan dan Penganggaran sudah terkendali ataukah belum. b. Untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai pre test peserta diklat. c. Untuk menganalisis kecenderungan nilai peserta setelah mengikuti diklat.
2. KERANGKA TEORITIS
2.1. Diklat Perencanaan dan Penganggaran Diklat Perencanaan dan Penganggaran Bagi Kasubbag Umum merupakan diklat menengah yang ditujukan kepada seluruh kasubbag Umum di Lingkungan Kementerian Keuangan. Setelah mengikuti diklat ini peserta diharapkan melaksanakan tugas sebagai Kepala Sub Bagian Umum dalam hal perencanaan dan penganggaran sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Standar Kompetensi Diklat Perencanaan dan Penganggaran Bagi Kasubbag Umum yaitu mampu menghasilkan perencanaan dan penganggaran pada instansi kementerian negara/lembaga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat dilaksanakan dengan tuntas, serta menyelesaikan permasalahan yang dihadapi di lapangan. Kompetensi dasar yang diharapkan setelah mengikuti diklat adalah peserta mampu untuk: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Menjelaskan konsep pendekatan penganggaran; Merancang rencana aktivitas/ penugasan; Memperhitungkan rencana kebutuhan barang dan jasa; Merancang TOR dan RAB; Menghasilkan perkiraan penarikan kebutuhan; Melaksanakan pengendalian aktivitas; Menerangkan pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan; Menerangkan simulasi aplikasi RKAKL-DIPA; Mempunyai motivasi yang tinggi.
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
Diklat Perencanaan dan Penganggaran Bagi Kasubbag Umum diselenggarakan selama lima hari dengan total jam pelatihan 44. Materi diklat terdiri dari lima mata pelajaran pokok yaitu: 1. Konsep Perencanaan dan Penganggaran; 2. Perencanaan Aktivitas dan Penyusunan TOR/RAB; 3. Pengendalian Pelaksanaan Aktivitas; 4. Pelaporan dan Evaluasi Kinerja; 5. Demo aplikasi RKAKL-DIPA. 2.2. Tes Tes berasal dari bahasa latin testum yang berarti alat untuk mengukur tanah. Dalam bahasa Perancis kuno, kata tes berarti ukuran yang dipergunakan untuk membedakan antara emas dengan perak serta logam lainnya. Testing adalah saat pengambilan tes, testee adalah responden yang sedang mengerjakan tes, sedangkan tester adalah subjek evaluasi. Anne Anastasi (1976) dalam bukunya Psychological Testing mengatakan bahwa tes pada dasarnya merupakan suatu pengukuran yang objektif dan standar terhadap sampel perilaku. Tes menurut Muchtar Buchori, yang dikutip oleh Suharsimi Arikunto adalah suatu percobaan yang diadakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hasil-hasil pelajaran tertentu pada seorang murid atau kelompok murid. Dari uraian dan kutipan tersebut jika dikaitkan dengan evaluasi pendidikan dapat ditarik kesimpulan bahwa tes adalah prosedur yang sistematis, objektif dan standar yang berupa serentetan pertanyaan atau latihan yang harus dijawab oleh testee untuk menghasilkan suatu nilai yang mencerminkan tingkah laku atau prestasi testee. Prestasi atau tingkah laku tersebut dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan intruksional pembelajaran atau tingkat penguasaan terhadap seperangkat materi yang telah diberikan dalam proses pembelajaran, dan dapat pula menunjukkan kedudukan siswa yang bersangkutan dalam kelompoknya. Menurut Suharsimi Arikunto dalam bukunya Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, fungsi tes dapat ditinjau dari tiga hal yaitu : a. Fungsi untuk kelas. b. Fungsi untuk bimbingan. c. Fungsi untuk administrasi. Adapun perbedaan antara ketiga fungsi tersebut adalah sebagai berikut: a. Fungsi Untuk Kelas - Mengadakan diagnosis terhadap kesulitan belajar siswa. - Mengevaluasi celah antara bakat dengan pencapaian. - Menaikkan tingkat prestasi. - Mengelompokkan siswa dalam kelas pada waktu metode kelompok. - Merencanakan kegiatan proses belajar mengajar untuk siswa secara perseorangan. - Menentukan siswa mana yang memerlukan bimbingan khusus. - Menentukan tingkat pencapaian untuk setiap anak.
231
PENGENDALIAN KUALITAS BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (Studi Kasus: Diklat Perencanaan dan Penganggaran Bagi Kasubbag Umum) Renny Sukmono
b.
Fungsi Untuk Bimbingan - Menentukan arah pembicaraan dengan orang tua tentang anak-anak mereka - Membantu siswa dalam menentukan pilihan. - Membantu siswa mencapai tujuan pendidikan dan jurusan. - Memberikan kesempatan kepada pembimbing, guru, dan orang tua dalam memahami kesulitan anak. c. Fungsi Untuk Administrasi - Memberi petunjuk dalam pengelompoka siswa. - Penempatan siswa baru. - Membentu siswa memiliki kelompok. - Menilai kurikulum. - Memperluas hubungan masyarakat. - Menyediakan informasi untuk instansi di luar sekolah. Fungsi tes yang lain yang dikemukakan oleh Saifudin Azwar dalam bukunya tes prestasi, yaitu sebagai motivator dalam belajar. Walaupun nilai yang diperoleh dalam tes hendaknya tidak dijadikan tujuan utama bagi siswa dalam belajar akan tetapi tes dapat digunakan sebagai sarana peningkatan motivasi untuk belajar siswa. Pengalaman menunjukkan bahwa siswa akan belajar lebih giat dan berusaha lebih keras apabila mereka mengetahui bahwa di akhir program yang sedang ditempuh akan diadakan tes untuk mengetahui nilai dan prestasi mereka. Jenis tes dibedakan menjadi dua yaitu tes berdasarkan tujuan dan tes berdasar bentuk. Jenis tes berdasarkan tujuan dibedakan menjadi beberapa kategori yaitu: a. Tes Kecepatan Tes ini bertujuan untuk mengevaluasi peserta tes dalam hal kecepatan berpikir atau keterampilan, baik yang bersifat spontanitas maupun hafalan dan pemahaman dalam mata pelajaan yang telah dipelajarinya. Waktu yang disediakan untuk menjawab atau menyelesaikan seluruh materi tes ini relatif singkat dibandingkan dengan tes lainnya, sebab yang lebih diutamakan adalah waktu yang minimal dan dapat mengerjakan tes sebanyak-banyaknya dengan baik dan benar, cepat dan tepat penyelesaiannya. Tes yang termasuk kategori tes kecepatan misalnya tes intelegensi, dan tes ketrampilan bongkar pasang suatu alat. b. Tes Kemampuan Tes ini bertujuan untuk mengevaluasi peserta tes dalam mengungkapkan kemampuannya (dalam bidang tertentu) dengan tidak dibatasi secara ketat oleh waktu yang disediakan. Kemampuan yang dievaluasi bisa berupa kognitif maupun psikomotorik.Soal-soal biasanya relatif sukar menyangkut berbagai konsep dan pemecahan masalah dan menuntut peserta tes untuk mencurahkan segala kemampuannya baik analisis, sintesis dan evaluasi. c. Tes Hasil Belajar Tes ini dimaksudkan untuk mengevaluasi hal yang telah diperoleh dalam suatu kegiatan. Tes Hasil Belajar (THB), baik itu tes harian (formatif) maupun tes akhir semester (sumatif) bertujuan untuk mengevaluasi
232
hasil belajar setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dalam suatu kurun waktu tertentu. d. Tes Kemampuan Belajar Tes kemajuan belajar disebut juga dengan tes perolehan adalah tes untuk mengetahui kondisi awal testi sebelum pembelajaran dan kondisi akhir testi setelah pembelajaran.Untuk mengetahui kondisi awal testi digunakan pre-test dan kondisi akhir testi digunakan post-test. e. Tes Diagnostik Tes diagnostik adalah tes yang dilaksanakan untuk mendiagnosis atau mengidentifikasi kesukarankesukaran dalam belajar, mendeteksi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesukaran belajar, dan menetapkan cara mengatasi kesukaran atau kesulitan belajar tersebut. 2.3. Penelitian Terdahulu Selama ini, diagram kendali sangat berkembang di dunia perindustrian. Namun tidak menutup kemungkinan diagram kendali bisa dimanfaatkan pada bidang lain misalnya bidang pendidikan, bidang layanan publik, dll. Seperti dalam beberapa penelitian yang telah mengaplikasikan diagram kendali pada bidang selain industri. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Rikhe Lindaryani (2010) dengan penelitian berjudul Pengontrolan Kualitas Layanan Perpustakaan Pusat Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Pada penelitian ini digunakan dua diagram kendali multivariat yaitu T2 Hotelling Individual untuk memonitor mean (rata-rata) dan diagram kendali VSD individual untuk memonitor variabilitas. Hasil penelitian menunjukkan diagram kontrol T2 Hotelling dan diagram kontrol VSD, diketahui bahwa data pelayanan perpustakaan tidak terkontrol/tidak stabil dalam mean, tetapi terkontrol/stabil dalam variabilitasnya. Hal ini dapat diartikan bahwa tingkat kepuasan pengunjung mengalami pergeseran, karena terdapat beberapa pengunjung yang merasa tidak puas meskipun pendapat antar orang relatif seragam. Selain penelitian tersebut, penelitian lain yang mengaplikasikan diagram kendali pada bidang selain industri dilakukan oleh Renny Sukmono dengan penelitian berjudul Diagram Kontrol Simultan Multivariat untuk Memonitor Mean dan Variabilitas Proses (Aplikasi pada Nilai TOEFL Mahasiswa S1 Reguler ITS Surabaya). Penelitian ini adalah sebuah penelitian untuk mencoba metode baru dalam statistika, yaitu dengan mencoba untuk membuktikan bahwa diagram baru (diagram kontrol simultan multivariate untuk monitor mean dan variabilitas) memberikan hasil yang serupa jika mean dan variabiltas dimonitor dengan diagram kendali konvensional. Untuk membuktikan hal tersebut, diagram kendali tersebut diaplikasikan pada nilai TOEFL mahasiswa S1 Reguler ITS Surabaya. Hasilnya menunjukkan bahwa diagram kendali baru memberikan hasil yang lebih sensitif jika dibandingkan dengan diagram kendali konvensional.
3. METODE PENELITIAN Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
PENGENDALIAN KUALITAS BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (Studi Kasus: Diklat Perencanaan dan Penganggaran Bagi Kasubbag Umum) Renny Sukmono
3.1. Data, Populasi dan Sampel Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang diambil dari Laporan Penyelenggaraan Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag Umum di lingkungan Kementerian Keuangan Tahun 2014 dan Laporan Evaluasi Pascadiklat Tahun 2014. Data yang digunakan adalah data identitas peserta, nilai pre dan post test. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh peserta Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag Umum. Karena diklat ini baru pertama kali diselenggarakan yaitu pada tahun 2014 maka data ini merupakan populasi. Data yang digunakan untuk analisis adalah data-data peserta diklat yang lengkap, yaitu peserta yang mengikuti pre test dan post test. Untuk peserta yang hanya mengikuti salah satu ujian tersebut, maka data tersebut tidak diikutkan dalam analisis. Data yang digunakan untuk mengetahui apakah proses penyelenggaraan Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag Umum sudah terkendali ataukah belum menggunakan data nilai rata-rata dari nilai pre dan post test. Data yang digunakan pada analisis ini diambil dari Laporan Penyelenggaraan Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag Umum. Sedangkan untuk menganalisis faktor apa saja yang mempenggaruhi nilai pre peserta dan untuk mengetahui kecenderungan nilai peserta, digunakan data yang berasal dari Laporan Evaluasi Pascadiklat. Responden dalam kegiatan evaluasi pascadiklat adalah alumni Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag Umum tahun 2014. Pada kegiatan evaluasi pascadiklat ini, tidak hanya melibatkan alumni tetapi juga kontribusi dari atasan, rekan dan bawahan alumni. 3.2. Variabel Penelitian Variabel pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi terkait hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulan. Analisis yang digunakan pada penelitian ini lebih dominan penggunaan data kualitatif. Sehingga variabel continue juga dibuat dalam bentuk kategori. Variabel yang digunakan pada penelitian ini beserta kodenya adalah sebagai berikut: a. Jenis Kelamin Untuk variabel jenis kelamin diberikan kode : 0 untuk laki-laki dan 1 untuk wanita.
b.
Usia Untuk variabel usia diberikan kode sebagai berikut: Usia < 40 tahun 40 tahun ≤ usia < 50 tahun ≥ 50 tahun c.
Jabatan
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
Kode 1 2 3
Untuk variabel jabatan diberikan kode sebagai berikut : Jabatan Kasubbag Keuangan Kasubbag Umum Lainnya
Kode 1 2 3
d.
Masa Kerja Masa kerja merupakan durasi atau lama kerja pegawai dalam menduduki jabatan sebagai Kasubbag Umum. Kode untuk masa kerja adalah sebagai berikut: Masa Kerja < 1,5 tahun ≥ 1,5 tahun
Kode 0 1
e.
Satuan Kerja Untuk variabel satuan kerja diberikan kode sebagai berikut : Satuan Kerja Sekretariat Jenderal Direktorat Jenderal Pajak Direktorat Jenderal Perbendaharaan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Direktorat Jenderal Kekayaaan Negara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
Kode 1 2 3 4 5 6
f.
Nilai Pre Nilai Pre adalah nilai sebelum diklat diselenggarakan. Kode untuk variabel nilai pre adalah sebagai berikut : Nilai > 50 50 ≤ nilai < 60 60 ≤ nilai < 70 70 ≤ nilai < 80 ≥ 80
Kode 1 2 3 4 5
g.
Nilai Post Nilai Post adalah nilai sesudah proses diklat diselenggarakan. Kode untuk variabel nilai post adalah sebagai berikut : Nilai Kode > 50 1 50 ≤ nilai < 60 2 60 ≤ nilai < 70 3 70 ≤ nilai < 80 4 ≥ 80 5 h. Gain Gain adalah selisih antara nilai post test dan pre test, gain menunjukkan peningkatan pemahaman atau penguasaan konsep peserta diklat setelah proses pendidikan dan pelatihan dilakukan.Terdapat beberapa teknik perhitungan gain. Gain yang digunakan pada penelitian ini adalah nilai post dikurangi nilai pre. Jika selisih positif maka naik, jika negatif maka turun dan jika selisihnya 0 maka
233
PENGENDALIAN KUALITAS BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (Studi Kasus: Diklat Perencanaan dan Penganggaran Bagi Kasubbag Umum) Renny Sukmono
tetap.Kode yang diberikan untuk gain adalah sebagai berikut : Gain Naik Turun Tetap
Kode 1 2 3
3.3. Metode Analisis 3.3.1. Diagram Kendali Rata-Rata dan Standar Deviasi Pengendalian mutu dewasa ini mendapat perhatian yang meningkat sebagai alat manajemen dengan mengamati, menilai, dan membanding sifatsifat penting suatu produk dengnan suatu bentuk baku. Program pengendalian mutu yang tepat guna akan meningkatkan mutu produk. Salah satu tools untuk pengendalian mutu adalah diagram kendali. Diagram kendali bertujuan untuk menentukan hasil kerja suatu proses masih dapat dipertahankan pada taraf mutu yang dapat diterima. Tentunya menjadi hal wajar pada setiap proses kegiatan terdapat keragaman, yaitu keragaman yang pada dasarnya tidak penting dan sumbernya tidak dapat diatur. Namun, di pihak lain suatu proses mungkin mengalami keragaman yang bisa dikategorikan gawat. Sumber-sumber keragaman ini mungkin muncul dari berbagai jenis “penyebab yang dikenali” yang tidak acak,seperti kesalahan petugas ataupun mesin yang tidak tepat terpasang. Suatu proses yang bekerja dalam keadaan demikian disebut tak terkendali. Suatu proses yang hanya mengalami keragaman secara acak dikatakan terkendali secara statistika. Pengelompokkan jenis peta kendali tergantung pada tipe datanya. Gaspersz (1998) menjelaskan bahwa dalam konteks pengendalian proses statistika dikenal dua jenis data, yaitu : 1. Data variabel, merupakan data kuantitatif yang diukur untuk keperluan analisis. 2. Data atribut, merupakan data kualitatif yang dapat dihitung untuk pencatatan dan analisis. Berdasarkan kedua tipe data tersebut, maka jenis peta kendali terbagi atas peta kendali untuk data variabel dan data atribut.Beberapa peta kendali yang termasuk dalam peta kendali untuk data variabel adalah peta kendali 𝑋̅ dan R. Sedangkan peta kendali yang termasuk dalam peta kendali untuk data atribut adalah peta kendali p, peta kendali np, peta kendali c, dan peta kendali u. Menurut Gasperz (1998), pada prinsipnya setiap peta kendali mempunyai: 1. 2.
3.
Garis Tengah (Central Line). Sepasang batas kendali atas (Upper Control Line) dan satu lagi ditempatkan di bawah garis tengah yang dikenal sebagai batas kendali bawah (Lower Control Line). Tebaran nilai-nilai karakteristik kualitas yang menggambarkan keadaan dari proses. Jika nilai ditebarkan pada diagram tersebut dan berada dalam batas kendali tanpa memperlihatkan
234
kecenderungan tertentu, maka proses yang berlangsung dianggap berada dalam ekndali atau terkendali secara statistik. Namun jika nilai-nilai yang ditebarkan pada peta itu jatuh atau berada di luar batas-batas kendali atau memperlihatkan kecenderungan tertentu, maka proses yang berlangsung dianggap berada di luar kendali (tidak terkendali) sehingga perlu diambil tindakan korektif untuk memperbaiki proses yang ada. Jenis-jenis diagram kendali variabel adalah sebagai berikut: a. Diagram Kendali 𝑋̅ Diagram Kendali 𝑋̅ atau Diagram Kendali RataRata, memvisualisasikan fluktuasi rata-rata sampel dan rata-rata dari rata-rata sampel kemudian akan menunjukkan bagaimana penyimpangan rata-rata sampel dari rata-ratanya. Penyimpangan ini akan memberi gambaran bagaimana konsistensi proses. Semakin dekat rata-rata sampel ke nilai rata-ratanya maka proses cenderung stabil, jika sebaliknya maka proses cenderung tidak stabil. Diagram Kendali 𝑋̅ dapat digunakan untuk: - Memantau perubahan suatu sebaran suatu variabel asal dalam hal lokasinya. - Apakah proses masih berada dalam batas-batas pengendalian atau tidak. - Apakah rata-rata produk yang dihasilkan sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Langkah-langkah pembuatan Diagram Kendali adalah sebagai berikut: - Tentukan ukuran subgroup; - Tentukan banyaknya subgroup; - Hitung nilai rata-rata dari setiap subgroup, yaitu 𝑋̅𝑖 ; 𝑋̅𝑛𝑖 =
∑ 𝑋𝑖 𝑛𝑖
dimana : 𝑋̅𝑛𝑖 = Rata-rata nilai X pada subgroup sampel ke-i 𝑛𝑖 = banyaknya sampel pada subgroup ke-i ∑ 𝑋𝑖 = jumlah nilai X pada subgroup ke-i Hitung nilai rata-rata seluruh 𝑋̅ yang merupakan garis tengah atau center line (CL), Batas Kendali Atas (UCL) dan Batas Kendali bawah (LCL) ̅
∑𝑋 = 𝑋̿ = 𝑁 UCL = 𝑋̿ + (A2*𝑅̅ ) LCL = 𝑋̿ - (A2*𝑅̅ )
CL
dimana : A2 adalah nilai tetapan dan 𝑅̅ adalah rata-rata dari range rata-rata. Plot data 𝑋̅ pada diagram kendali 𝑋̅, serta amati apakahm data tersebut berada dalam pengendalian atau tidak.
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
PENGENDALIAN KUALITAS BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (Studi Kasus: Diklat Perencanaan dan Penganggaran Bagi Kasubbag Umum) Renny Sukmono
b.
Diagram Kendali R R (range) mengukur beda nilai terendah dan tertinggi sampel yang diobservasi dan memberikan gambaran mengenai variabilitas proses. Diagram kendali R dapat digunakan untuk : - Memantau perubahan dalam hal penyebarannya; - Memantau tingkat keakurasian/ketepatan proses yang diukur. Langkah-langkah pembuatan Diagram Kendali R adalah sebagai berikut: - Tentukan ukuran subgroup; - Tentukan banyaknya subgroup; - Hitung nilai selisih data terbesar dengan data terkecil dari setiap subgroup, yaitu : 𝑅 = 𝑋𝑖𝑚𝑎𝑘𝑠 − 𝑋𝑖𝑚𝑖𝑛 Hitung nilai rata-rata dari seluruh R, yaitu R yang merupakan center line dari Diagram Kendali R. 𝑅̿ =
∑𝑅 𝑁
Hitung batas kendali untuk Diagram Kendali R CL = 𝑅̿ UCL = 𝐷4*𝑅̅ LCL = D3*𝑅̅ Dimana D3 dan D4 merupakan nilai tetapan. Plot data R pada Diagram Kendali serta amati apakah data tersebut berada dalam pengendalian atau tidak. 3.3.2. Anova Analisis varians (analysis of variance) atau ANOVA adalah suatu metode analisis statistika yang termasuk ke dalam cabang statistika inferensi. Uji dalam anova menggunakan uji F karena dipakai untuk pengujian lebih dari dua sampel. Dalam praktik, analisis varians lebih sering dipakai untuk pengujian hipotesis. Anova juga digunakan untuk membandingkan rata-rata populasi bukan ragam populasi. Jenis data yang tepat untuk anova adalah nominal dan ordinal pada variabel bebasnya, jika data pada variabel bebasnya dalam bentuk interval atau ratio maka harus diubah dulu dalam bentuk ordinal atau nominal. Sedangkan variabel terikatnya adalah data interval atau rasio. Adapun asumsi dasar yang harus terpenuhi dalam analisis varians adalah: a.
Kenormalan Distribusi data harus normal, agar data berdistribusi normal dapat ditempuh dengan cara memperbanyak jumlah sampel dalam kelompok. b. Kesamaaan Variansi Setiap kelompok hendaknya berasaldari popolasi yang sama dengan variansi yang sama pula. Bila banyaknya sampel sama pada setiap kelompok maka kesamaan variansinya dapat diabaikan. Tapi bila banyak sampel pada masing-masing kelompok tidak
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
sama maka kesamaan variansi populasi sangat diperlukan. c. Pengamatan Bebas Sampel hendaknya diambil secara acak (random), sehingga setiap pengamatan merupakan informasi yang bebas. Anova dapat digolongkan kedalam beberapa kriteria, yaitu : 1. Klasifikasi Satu Arah (One Way ANOVA) Anova klasifikasi satu arah merupakan ANOVA yang didasarkan pada pengamatan satu kriteriaatau satu faktor yang menimbulkan variasi. 2. Klasifikasi Dua Arah (Two Way ANOVA) ANOVA klasifikasi dua arah merupakan ANOVA yang didasarkan pada pengamatan duakritenia atau dua faktor yang menimbulkan variasi. 3. Klasifikasi Banyak Arah (MANOVA) ANOVA banyak arah merupakan ANOVA yang didasarkan pada pengamatan banyak kriteria. 3.3.3. Analisis Korespodensi Analisis korespondensi ditemukan dan dikembangkan pertama kali tahun 1960-an oleh JeanPaul Benzecri, dkk di Perancis. Analisis ini diartikan sebagai teknik penyajian data antar baris, antar kolom, dan antar baris dan kolom dari tabel kontingensi dua arah. Sifat-sifat dasar analisis ini adalah sebagai berikut: a. Dipergunakan untuk data non-metrik dengan skala pengukuran nominal dan ordinal. b. Dapat digunakan untuk hubungan non-linier. c. Tidak ada asumsi tentang distribusi. d. Tidak ada model yang dihipotesiskan. e. Salah satu teknik struktur pengelompokan atau reduksi data. Tujuan analisis korespodensi adalah sebagai berikut: a. Membandingkan kemiripan dua kategori dari variabel kualitatif pertama (baris) berdasarkan sejumlah variabel kualitatif kedua (kolom). b. Membandingkan kemiripan dua kategori dari variabel kualitatif kedua (kolom) berdasarkan sejumlah variabel kualitatif pertama (baris). c. Mengetahui hubungan antara satu kategori variabel baris dengan satu kategori variabel kolom. d. Menyajikan setiap kategori variabel baris dan kolom dari tabel kontingensi sedemikian rupa sehingga dapat ditampilkan secara bersama-sama pada suatu ruang vektor berdimensi kecil yang optimal. Langkah-langkah dalam melakukan analisis korespodensi adalah sebagai berikut: a. Membuat Kategori Variabel dan Matriks Indikator Membuat kategori variabel penelitian berdasarkan aturan normalitas dengan menggunakan aturan sturges. Setelah terbentuk kategori, dapat dibuat matriks indicator (Z) disebut juga Matriks Burt dengan nilai 0 jika objek tidak termasuk dalam kategori tersebut dan nilai 1 jika objek tersebut masuk dalam kategori tersebut.
235
PENGENDALIAN KUALITAS BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (Studi Kasus: Diklat Perencanaan dan Penganggaran Bagi Kasubbag Umum) Renny Sukmono
𝑍 = 𝐔𝚲𝐏 𝐭 , dengan P = ZtZ dan 𝚲 adalah matriks diagonal 𝜆𝑖 dan U adalah ZZt. b.
Matriks Korespodensi Misalkan N matriks kontingensi dan P matriks korespodensi. 𝑵(𝑖×𝑗) ≡ [𝑛𝑖𝑗 ] 𝑷 ≡ (1⁄𝑛. .)𝑵
,nij ≥ 0 ,n.. = 1tN1
In(I) dan In(J) berturut-turut adalah total inersia titik baris dan total inersia titik kolom. Hubungan inersia baris dengan inersia kolom adalah: 2 2 (𝑝𝑖𝑗−𝑟𝑖 𝑐𝑗 ) (𝑛𝑖𝑗 −𝑒𝑖𝑗 ) 𝜒2 In(I) = In (J) = ∑i∑j = ⁄𝑛. . ; 𝜒 2 ≡∑i∑j 𝑟𝑖 𝑐𝑗 𝑒𝑖𝑗 −𝟏 t t t = trace [𝑫−𝟏 𝒓 (P – rc ) 𝑫𝒄 (P – rc ) ]
g.
Jumlah baris dan kolom P ditulis sebagai: 𝒓 ≡ 𝑷𝟏dan𝒄 ≡ 𝑷𝒕 𝟏 dimana ri> 0 (i = 1, 2, … , I), cj> 0 (j = 1, 2, …, J) Dr≡diag (r) dan Dc≡diag (c) Matriks P disebut juga matriks kepadatan peluang, karena jika dijumlahkan setiap baris matriks P hasilnya satu. Simbol 1 adalah matriks kolom yang setiap unsurnya adalah 1 (satu), ditulis 𝟏 ≡ [1 … 1]𝑡 . Dr dan Dc berturut-turut adalah matriks diagonal baris dan matriks diagonal kolom yang unsur diagonalnya masing-masing adalah r dan c. Matriks Profil Baris dan Kolom Matriks profil baris dan kolom dari P didefinisikan sebagai vektor baris dan vektor kolom dari P dibagi oleh jumlah masing-masing, ditulis : 𝑟̃1𝑡 𝑐̃1𝑡 −𝟏 −𝟏 𝒕 𝑹 ≡ 𝑫𝒓 𝑷 ≡ [ ⋮ ]dan𝑪 ≡ 𝑫𝒄 𝑷 ≡ [ ⋮ ] 𝑟̃1𝑡 𝑐̃1𝑡 𝑡 Kedua profil baris 𝑟̃𝑖 ( i = 1 … I) dan profil kolom 𝑐̃𝑗𝑡 ( j = 1 … J) masing-masing ditulis dalam baris R dan kolom C. Profil-profil ini identik dengan baris dan kolom N yang dibagi oleh jumlah masing-masing.
P – rct = A𝑫𝝁 Bt h.
Koordinat Baris dan Kolom 𝒕 −𝟏 Misalkan 𝐹 = (𝑫−𝟏 𝒓 𝑷 − 𝟏𝒄 )𝑫𝒄 B koordinat utama dari profil baris terhadap utama B, maka : F = 𝑫𝒓−𝟏 𝑨𝑫𝝁 . 𝒕 𝒕 −𝟏 Misalkan 𝐺 = (𝑫−𝟏 𝒄 𝑷 − 𝟏𝒓 )𝑫𝒓 A koordinat utama dari profil kolom terhadap utama A, maka : G = 𝑫𝒄−𝟏 𝑩𝑫𝝁 . i.
c.
d. Titik, Massa dan Metrik Kumpulan baris Titik : Profil baris 𝑟̃1 … 𝑟̃𝐼 dalam ruang dimensi-J Massa : Matriks kolom 𝑟 ≡ [𝑟̃1 … 𝑟̃𝐼 ]𝑡 Metrik : Bobot Euclidean dengan bobot 𝐷𝑐−1
Sumbu Koordinat Misalkan SVD dari P – rct adalah:
adalah sumbu adalah sumbu
Transisi Baris dan Kolom Transisi dari baris (F) dan kolom (G) −𝟏 𝒕 G = 𝑫𝒄−𝟏 𝑷𝒕 𝑭𝑫𝝁−𝟏 = 𝑪𝑭𝑫−𝟏 𝝁 atau 𝐺𝐷𝜇 = 𝑫𝒄 𝑷 𝑭 Transisi dari kolom (G) ke baris (F) −𝟏 −𝟏 F = 𝑫𝒓−𝟏 𝑷𝑮𝑫−𝟏 𝝁 = 𝑹𝑮𝑫𝝁 atau 𝐹𝐷 = 𝑫𝒓 𝑷𝑮
j.
Inersia Utama Pusat kumpulan profil baris dan profil kolom terhadap sumbu koordinat berada pada titik pusat sumbu tersebut.Jumlah bobot kuadrat dari titik-titik koordinat (momen inersia) sepanjang sumbu utama ke-k adalah 𝜇𝑘2 yang dinotasikan dengan 𝜆𝑘 dan disebut inersia utama. Inersia utama terhadap kumpulan baris Ft Dr F = 𝑫𝟐𝝁 ≡ 𝑫𝝀 Inersia utama terhadap kumpulan kolom Gt Dc G = 𝑫𝟐𝝁 ≡ 𝑫𝝀
Kumpulan kolom Titik : Profil baris 𝑐̃1 … 𝑐̃𝐽 dalam ruang dimensi-I 𝑡
Massa : Matriks kolom 𝑐 ≡ [𝑐̃1 … 𝑐̃𝐽 ] Metrik : Bobot Euclidean dengan bobot 𝐷𝑟−1 e.
Pusat Baris dan Pusat Kolom Pusat baris :c = Rtr dan Pusat Kolom : r = Ctc
f.
Total Inertia Jumlah kuadrat jarak berbobot dari titik (baris atau kolom) terhadap sentroidnya: 𝑖𝑛(𝐼) = 𝑖𝑛(𝐽) =
236
̃ 𝒊 − 𝒄) = ∑iri (𝒓̃𝒊 − 𝒄)t𝑫−𝟏 𝒄 (𝒓 trace[Dr(R-1ct) 𝑫𝒄−𝟏 (R-1ct)t] ̃ 𝒋 − 𝒓) = ∑j cj (𝒄̃𝒋 − 𝒓)t𝑫−𝟏 𝒓 (𝒄 trace[Dc(C-1rt) 𝑫𝒓−𝟏 (C-1rt)t]
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
PENGENDALIAN KUALITAS BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (Studi Kasus: Diklat Perencanaan dan Penganggaran Bagi Kasubbag Umum) Renny Sukmono
Gambar 1 Diagram Kendali 𝑋̅ Proses Penyelenggaraan Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag Umum
Diagram Kendali Rata-Rata 70 UCL=68,36
68
Sample Mean
66 _ _ X=63,44
64 62 60
LCL=58,52
58 56 1
3
5
7
9 11 Sample
13
15
17
19
Tests performed with unequal sample sizes
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Diagram Kendali Proses Penyelenggaraan Diklat Suatu proses terkendali atau tidak dilihat dari karakteristik prosesnya. Setiap proses sangat wajar memiliki error atau penyimpangan. Terdapat dua jenis error atau penyimpangan, yaitu error yang muncul secara acak (random error) dan error yang muncul secara sistematik. Random error adalah penyimpangan yang tidak disengaja. Sedangkan sistemik error disebabkan oleh kesalahan yang secara “disengaja” dan konsisten oleh sistem, baik oleh orang, mesin, peralatan, material, dsb. Contoh error sistemik adalah misalnya suatu proses produksi dilakukan oleh mesin produksi yang sudah cacat tapi masih bisa digunakan. Sehingga jika terjadi error sudah bisa diketahui bahwa error disebabkan oleh mesin tersebut. Jika suatu proses hanya mengandung random error, maka proses tersebut dapat dikatakan sebagai proses yang terkendali. Tetapi jika suatu proses mengandung sistemik error, maka proses tersebut dapat dikatakan tidak terkendali secara statistik. Terdapat dua parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui suatu proses terkendali atau tidak, yaitu rata-rata dan standar deviasi proses yang bersangkutan. Pada proses diklat Perencanaan dan Penganggaran menggunakan pre dan post test sebagai evaluasi peserta. Berdasarkan nilai pre test dapat diketahui posisi awal pengetahuan peserta sedangkan berdasarkan nilai post test dapat diketahui selisih nilai Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
dari pre test, sehingga dapat diketahui peningkatan pengetahuan peserta diklat. Dari nilai dapat menunjukkan gambaran output diklat. Untuk mengetahui proses penyelenggaraan Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag umum sudah terkendali atau belum, digunakan data nilai ratarata dari nilai pre dan nilai post test. Untuk mengetahui apakah rata-rata nilai peserta sudah terkendali atau belum dapat digunakan diagram kendali 𝑋̅ dan hasilnya dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan bahwa proses penyelenggaraan Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag Umum sudah terkendali secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata nilai dari beberapa lokasi penyelenggaraan diklat dapat dikatakan sama secara statistik. Sehingga penyelenggaraan diklat yang diselenggarakan di beberapa lokasi memberikan kualitas output yang dapat dikatakan sama. Suatu proses dikatakan baik atau tidak, tidak hanya dilihat dari mean (rata-rata) saja tetapi juga dilihat berdasarkan standar deviasi. Nilai standar deviasi yang kecil menunjukkan proses yang lebih baik. Nilai rata-rata tinggi belum menjamin proses sudah berjalan dengan baik, jika nilai standar deviasinya besar. Standar deviasi menunjukkan perbedaan nilai masing-masing peserta dengan nilai rata-rata kelas. Semakin kecil standar deviasi maka semakin homogen
237
PENGENDALIAN KUALITAS BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (Studi Kasus: Diklat Perencanaan dan Penganggaran Bagi Kasubbag Umum) Renny Sukmono
Gambar 2 Diagram Kendali Standar Deviasi Proses Penyelenggaraan Diklat Perencanaan dan Penganggaran Bagi Kasubbag Umum
Diagram Kendali Standar Deviasi 14 1 1
Sample StDev
12
UCL=11,81
10 _ S=8,28
8 6
LCL=4,75 4 1
3
5
7
9 11 Sample
13
15
17
19
Tests performed with unequal sample sizes nilai peserta. Hal ini menunjukkan proses diklat memberikan hasil output yang merata, tidak ada yang sangat baik maupun sangat kurang. Kehomogenan peserta ini sangat membantu tenaga pengajar dalam memberikan materi karena tidak harus memberikan perlakuan khusus untuk peserta yang tingkat pengetahuannya masih rendah. Untuk mengetahui apakah proses penyelenggaraan diklat perencanaan dan penganggaran bagi kasubbag umum sudah terkendali dalam standar deviasi dapat dilihat pada Gambar 2, Gambar 2 menunjukkan bahwa proses penyelenggaraan Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag Umum belum terkendali dalam standar deviasi. Pengamatan yang keluar dari batas kendali adalah penyelenggaraan Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag Umum yang diselenggarakan oleh BDK Makassar Angkatan II dan BDK Pekanbaru Angkatan I. Out of control ini mengindikasikan adanya beberapa kendala yang harus segera dicari penyebabnya. Tidak terkendali dalam standar deviasi ini mengindikasikan penyelenggaraan diklat di kedua lokasi menghasilkan sebaran nilai peserta tidak merata, terdapat peserta yang mendapatkan nilai yang sangat tinggi dan ada yang mendapatkan nilai sangat rendah. Pada proses pembelajaran hal ini merupakan hambatan untuk pengajar karena pengajar harus menyesuaikan dengan level kemampuan awal peserta diklat.
238
Adanya out of control harus diidentifikasi penyebabnya. Sehingga hal yang sama tidak menjadi penyebab ketidakoptimalan penyelenggaraan diklat pada periode selanjutnya. Adanya out of control merupakan titik krusial yang harus diwaspadai oleh Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan untuk melakukan persiapan diklat sampai dengan evaluasi diklat. Semua persiapan diklat mulai dari pemanggilan peserta, plotting pengajar, penyiapan kurikulum, penyiapan bahan ajar sampai dengan evaluasi dilakukan oleh Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan. Balai diklat kapasitasnya adalah membantu pusdiklat dalam penyelenggaraan diklat. Sehingga saran perbaikan lebih ditekankan pada perbaikan yang harus dilakukan oleh Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan. Identifikasi penyebab adanya out of control dapat dimulai dari internal Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan. Kurikulum yang didesain yang meliputi lama diklat, struktur mata pelajaran sampai dengan konten bahan ajar didesain oleh pusdiklat. Pelaksanaan diklat di balai mengacu pada kurikulum tersebut sehingga dari faktor kurikulum tidak berpotensi menimbulkan keragaman. Pengajar yang mengajar baik di pusdiklat dan di balai adalah pengajar yang berasal dari widyaiswara Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan serta pengajar yang berasal dari struktural Biro Perencanaan Keuangan Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. Sehingga faktor pengajar tidak berpotensi menimbulkan keragaman. Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
PENGENDALIAN KUALITAS BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (Studi Kasus: Diklat Perencanaan dan Penganggaran Bagi Kasubbag Umum) Renny Sukmono
Faktor sarana dan prasarana untuk pelaksanaan diklat di balai diselenggarakan di hotel dengan spesifikasi hotel yang seragam sehingga faktor ini tidak berpotensi menimbulkan keragaman yang berarti. Setelah berdasarkan faktor internal dianalisis tidak berpotensi menimbulkan keragaman penyelenggaraan diklat di balai, maka analisis akan dilanjutkan dengan menganalisis faktor eksternal yang berasal dari peserta diklat. Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari eksternal Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan yaitu berasal dari peserta diklat. Faktor ini merupakan faktor yang diduga dapat menimbulkan keragaman. Proses penyelenggaraan di BDK Makassar Angkatan II sudah terkendali secara rata-rata. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata nilai pada BDK Makassar tidak keluar dari batas kendali diagram kendali rata-rata. Akan tetapi pada diagram kendali standar deviasi diketahui bahwa penyelenggaraan diklat di BDK Makassar Angkatan II tidak terkendali secara standar deviasi. Nilai standar deviasi nilai pada Diklat Perencanaan dan Penganggaran Angkatan II di BDK Makassar adalah 10,85. Nilai standar deviasi ini paling tinggi jika dibandingkan dengan standar deviasi nilai di BDK lain. Nilai standar deviasi yang besar ini menunjukkan bahwa nilai peserta menyebar. Terdapat peserta yang tingkat pengetahuannya tinggi, ada yang rendah. Kondisi ini dapat menjadi hambatan bagi pengajar dalam menyampaikan materi diklat. Untuk itu harus dianalisis apa yang menjadi penyebab terjadinya hal tersebut. Untuk penyelenggaraan Diklat Perencanaan dan Penganggaran di Makassar Angkatan II setelah dilakukan analisis, penyebab terjadinya out of control adalah 16 dari 28 peserta atau 57,14% dari total peserta merupakan pelaksana, sedangkan selebihnya adalah Kasubbag Umum. 10 dari 16 pelaksana tersebut merupakan pelaksana yang berusia relatif muda. Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag Umum merupakan diklat yang didesain untuk memberi bekal kepada para Kasubbag yang menangani perencanaan dan penganggaran agar dapat melakukan pengelolaan keuangan secara optimal. Namun pada saat pelaksanaan diklat ternyata beberapa Kasubbag Umum tersebut berhalangan untuk hadir dan digantikan oleh pelaksananya. Pengiriman peserta merupakan salah satu bentuk komitmen unit pengguna terhadap penyelenggaraan diklat. Jika komitmen unit pengguna rendah hal ini akan berdampak target atau outcome yang diharapkan dari diklat tidak terealisasi. Oleh sebab itu, komitmen yang baik antara unit pengguna dengan BPPK merupakan hal yang mutlak untuk kesuksesan penyelenggaraan diklat. Pelaksanaan di BDK Pekanbaru Angkatan I juga menunjukkan proses yang belum terkendali secara standar deviasi. Hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan peserta beragam. Setelah dilakukan analisis pada background peserta dapat diketahui bahwa peserta merupakan kepala kantor dan kasubbag umum. Sembilan dari 25 peserta atau sebesar 35% dari total peserta adalah Kepala Kantor.
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
Materi diklat didesain untuk jabatan Kasubbag Umum sehingga lebih bersifat ke teknis. Untuk seorang Kepala Kantor akan mengalami hambatan jika materi yang disampaikan cenderung ke teknis. Merujuk pada hasil Diklat Perencanaan dan Penganggaran ternyata tidak sedikit Kepala Kantor yang mengikutinya. Hal ini menunjukkan bahwa Kepala Kantor juga merasa membutuhkan pembekalan terkait perencanaan dan penganggaran. Hal ini merupakan titik yang harus dicermati Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan untuk mendesain diklat sejenis yang diperuntukkan untuk Kepala Kantor. Selain fenomena Kepala Kantor yang mengikuti diklat, juga dapat dilihat jika peserta menjabat sebagai pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Perbendaharaan maka nilai yang didapatkan relatif tinggi. Hal ini mungkin dikarenakan Direktorat Jenderal Perbendaharaan merupakan unit yang menangani penganggaran di lingkungan Kementerian Keuangan. Merujuk ke fenomena-fenomena ini, maka peneliti dapat memberikan saran kepada Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan adalah sebagai berikut: a. Komitmen pengiriman peserta harus menjadi poin penting yang menjadi perhatian Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan. Jika unit pengguna mengirimkan yang bukan menjadi kualifikasi persyaratan peserta, maka peserta tersebut jangan diloloskan syarat admistrasi. b. Beberapa unit pengguna mengirimkan pelaksana untuk mengikuti Diklat Perencanaan dan Penganggaran. Hal ini dimungkinkan peserta tersebut adalah pegawai yang menangani perencanaan dan penganggaran. Oleh sebab itu, Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan harus menanggapi fenomena ini dengan mendesain diklat perencanaan dan penganggaran ini tidak hanya bagi kasubbag umum tetapi juga pelaksana. c. Peserta Diklat Perencanaan dan Penganggaran selain kasubbag umum dan pelaksana adalah kepala kantor. Hal ini menunjukkan bahwa kepala kantor menyadari bahwa dalam proses penrencanaan dan penganggaran kepala kantor juga harus memiliki peranan penting sehingga membutuhkan pembekalan terkait hal tersebut. Menanggapi fenomena ini Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan harus mendesain diklat perencanaan dan penganggaran yang difokuskan untuk kepala kantor. d. Nilai yang didapatkan peserta dengan asal instansi dari unit yang terlibat dalam perencanaan dan penganggaran misalnya Direktorat Jenderal Perbendaharaan lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang berasal dari unit yang tidak berkecimpung dalam perencanaan dan penganggaran. Hal ini dikarenakan peserta yang berasal dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan lebih familiar dan sehari-hari terbiasa bekerja di bidang perencanaan dan penganggaran. Menanggapi hal ini, Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan harus melakukan klusterisasi berdasarkan asal instansi. Klusterisasi peserta dapat dibuat ke dalam dua kategori yaitu kluster
239
PENGENDALIAN KUALITAS BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (Studi Kasus: Diklat Perencanaan dan Penganggaran Bagi Kasubbag Umum) Renny Sukmono
Gambar 3 Simetrik Plot Nilai Pre Test Peserta dengan Gain
Symmetric Plot 0,50
5
0,25
Component 2
0,00
2
3
4
1
2
1
-0,25
3
-0,50 -0,75 -1,00 -1,25 -1,25 -1,00 -0,75 -0,50 -0,25 0,00
0,25
0,50
Component 1
Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan Kluster Non-Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 4.2. Analisis Nilai Pre Test Ujian pre test bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan peserta sebelum mengikuti diklat. Setelah diklat dilakukan dilakukan post test dan berdasarkan nilai post test dapat diketahui gain (perubahan nilai yang mengindikasikan perubahan level pengetahuan). Nilai pre test sangat berperan dalam menentukan keberhasilan diklat. Level pengetahuan yang beragam akan memberikan hambatan kepada tenaga pengajar yang akan menyampaikan materi karena pengajar harus bisa menyeimbangkan antara peserta dengan level pengetahuan tinggi dan rendah. Level pengetahuan yang cenderung homogen akan mempermudah pengajar dalam menyampaikan materi. Banyak faktor yang diduga mempengaruhi nilai pre test peserta Tabel 1 Hasil Uji Beda No
Komponen
Nilai pvalue
1
Jenis Kelamin
0,186
2
Satuan Kerja
0,032
3
Umur
0,729
4
Jabatan
0,441
240
Kesimpulan Tidak Terdapat Perbedaan Terdapat Perbedaan Tidak Terdapat Perbedaan Tidak Terdapat Perbedaan
diantaranya adalah jenis kelamin, satuan kerja, umur dan jabatan. Dengan menggunakan analisis anova, hasil analisis disajikan pada Tabel 4.1. Tabel 1 menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap nilai pre test, artinya laki-laki dan perempuan mendapatkan hasil yang sama secara statistik. Umur peserta juga tidak mempengaruhi nilai pre test artinya peserta dengan usia pada setiap level mendapatkan nilai yang bisa dianggap sama. Demikian halnya dengan jabatan juga tidak memberikan pengaruh. Faktor yang memberikan pengaruh terhadap nilai pre test adalah asal instansi/satuan kerja. Peserta yang berasal dari unit yang terbiasa mengelola perencanaan dan penganggaran yaitu pegawai yang berasal dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan mendapatkan nilai yang lebih tinggi dibanding dengan unit yang lain. Oleh sebab itu, klusterisasi peserta diperlukan untuk mengefektifkan kegiatan proses belajar mengajar. Klusterisasi dapat dilakukan pada unit yang memang tugas dan fungsinya menangani perencanaan dan penganggaran dan yang tidak, misalnya klusterisasi peserta dibuat ke dalam dua kategori yaitu kluster Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan Kluster Non-Direktorat Jenderal Perbendaharaan. 4.3. Analisis Gain Gain merupakan selisih atau beda antara nilai pre test dengan nilai post test. Gain ini bisa menggambarkan capaian belajar dari peserta diklat. Analisis yang digunakan untuk menganalisis gain ini adalah analisis korespodensi yang akan memberikan
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
PENGENDALIAN KUALITAS BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (Studi Kasus: Diklat Perencanaan dan Penganggaran Bagi Kasubbag Umum) Renny Sukmono
informasi terhadap nilai kecenderungan. Dalam analisis ini kategori gain yaitu naik (1), turun (2) dan stabil (3). Sedangkan pengelompokan nilai yang dibagi menjadi lima kategori yaitu nilai yang kurang dari 50 dengan kode 1, antara 50 dan 60 dengan kode 2, antara 60 dan 70 dengan kode 3, antara 70 dan 80 dengan kode 4 dan lebih dari 80 dengan kode 5. Analisis Korespodensi yang didapatkan dapat dilihat pada Gambar 3. Kecenderungan nilai dapat dilihat berdasarkan nilai kedekatan yang bisa dilihat pada Gambar 4.3. Kecenderungan ini bisa dilihat dari besarnya sudut yang terbentu dari dua garis. Jika bisa dibedakan dengan cara mengamati, maka bisa langsung diputuskan. Jika titik-titik yang diamati berdekatan maka penentuan kecenderungan diukur dengan mengukur besarnya sudut yang dibentuk antara dua garis. Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa peserta yang mendapatkan nilai antara 70 sampai dengan 80 akan cenderung untuk turun. Peserta dengan nilai kurang dari 50 akan cenderung stabil. Peserta dengan kategori nilai 50 sampai dengan 60, 60 sampai dengan 70 dan lebih dari 80 akan cenderung mengalami kenaikan. Peserta dengan nilai pre test kurang dari 50 menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan peserta tersebut bisa dikatakan rendah. Dengan durasi diklat yang hanya lima hari belum mampu menaikkan secara optimal pengetahuan peserta. Sehingga peserta dengan nilai pre test kurang dari 50 akan cenderung mendapatkan nilai pada kisaran 50. Peserta yang cenderung akan mengalami kenaikan pada tiga kategori nilai tersebut karena dengan pencapaian level tersebut menunjukkan bahwa peserta paling tidak sudah mempunyai dasar perencanaan dan penganggaran sehingga dengan diberikan materi dapat menambah pengetahuan peserta.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan analisis dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a. Proses penyelenggaraan Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag Umum sudah terkendali secara rata-rata tetapi belum terkendali secara standar deviasi. Terkendali secara rata-rata menunjukkan bahwa penyelenggaraan diklat di beberapa balai diklat keuangan dapat dikatakan memiliki kualitas output yang sama. Namun baik tidaknya proses penyelenggaraan diklat tidak bisa dilihat hanya berdasarkan nilai rata-rata saja tetapi juga harus melihat standar deviasinya. Berdasarkan diagram kendali standar deviasi diketahui bahwa proses penyelenggaraan diklat belum terkendali. Hal ini ditunjukkan dengan pengamatan 10 dan pengamatan 18 yang keluar dari batas kendali. Pengamatan 10 menunjukkan penyelenggaraan diklat di Balai Diklat Keuangan Makassar Angkatan II dan pengamatan 18 menunjukkan penyelenggaraan diklat di Balai Diklat Keuangan Pekanbaru Angkatan I. Setelah dilakukan analisis lebih lanjut, penyebab
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
b.
c.
6.
terjadinya out of control pada penyelenggaraan diklat di BDK Makassar Angkatan II sebanyak 57,14% dari total peserta merupakan pelaksana. Sedangkan di BDK Pekanbaru 35% dari total peserta merupakan Kepala Kantor. Untuk menghasilkan penyelenggaraan diklat yang efektif dan efisien perlu disusun strategi-strategi pembelajaran yang valid. Penentuan strategi pembelajaran sangat dipengaruhi oleh faktor peserta. Tahap identifikasi level pengetahuan peserta dapat dilihat berdasarkan nilai pre test peserta karena nilai ini merupakan gambaran awal tingkat pengetahuan peserta. Jika level pengetahuan peserta homogen akan mempermudah tenaga pengajar dalam menyampaikan materi. Jika kelas heterogen maka perlu adanya strategi untuk menyikapinya. Nilai pre test dipengaruhi oleh banyak faktor. Berdasarkan faktor yang diteliti diketahui bahwa faktor asal instansi mempengaruhi nilai pre test peserta diklat. Peserta yang berasal dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan memiliki nilai yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan peserta yang berasal dari unit lain. Hal ini sangat wajar mengingat tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Perbendaharaan sangat erat kaitannya dengan proses perencanaan dan penganggaran. Pada Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag Umum memiliki kecenderungan nilai pre test yang beragam. Untuk kategori nilai kurang dari 50 akan cenderung untuk stabil. Hal ini menunjukkan bahwa level pengetahuan peserta masih rendah sehingga durasi waktu diklat belum mampu menaikkan level pengatahuan peserta. Peserta dengan nilai antara 70 sampai dengan 80 akan cenderung turun. Kategori nilai 50 sampai dengan 60, 60 sampai dengan 70 dan lebih dari 80 akan cenderung mengalami kenaikan.
SARAN
Berdasarkan kesimpulan yang didapatkan, peneliti merumuskan beberapa saran atau rekomendasi sebagai berikut: a. Komitmen pengiriman peserta harus menjadi poin penting yang menjadi perhatian Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan. Jika unit pengguna mengirimkan yang bukan menjadi kualifikasi persyaratan peserta, maka peserta tersebut jangan diloloskan syarat admistrasi. b. Beberapa unit pengguna mengirimkan pelaksana untuk mengikuti Diklat Perencanaan dan Penganggaran. Hal ini dimungkinkan peserta tersebut adalah pegawai yang menangani perencanaan dan penganggaran. Oleh sebab itu , Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan harus menanggapi fenomena ini dengan mendesain diklat perencanaan dan penganggaran ini tidak hanya bagi kasubbag umum tetapi juga pelaksana. c. Peserta Diklat Perencanaan dan Penganggaran selain kasubbag umum dan pelaksana adalah kepala kantor. Hal ini menunjukkan bahwa kepala
241
PENGENDALIAN KUALITAS BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (Studi Kasus: Diklat Perencanaan dan Penganggaran Bagi Kasubbag Umum) Renny Sukmono
d.
kantor menyadari bahwa dalam proses penrencanaan dan penganggaran kepala kantor juga harus memiliki peranan penting sehingga membutuhkan pembekalan terkait hal tersebut. Menanggapi fenomena ini Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan harus mendesain diklat perencanaan dan penganggaran yang difokuskan untuk kepala kantor. Nilai yang didapatkan peserta dengan asal instansi dari unit yang terlibat dalam perencanaan dan penganggaran misalnya Direktorat Jenderal Perbendaharaan lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang berasal dari unit yang tidak berkecimpung dengan perencanaan dan penganggaran. Hal ini dikarenakan peserta yang berasal dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan lebih familiar dan sehari-hari terbiasa bekerja di bidang perencanaan dan penganggaran. Menanggapi hal ini, Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan harus melakukan klusterisasi berdasarkan asal instansi. Klusterisasi peserta dibuat ke dalam dua kategori yaitu kluster Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan Kluster Non-Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Sudijono, A. 2010. Pengantar Statistik Pendidikan. Rajawali Press,Jakarta Walpole, Ronald E dan Raymond H. Myers. 1995. Ilmu Peluang dan Statistika untuk Insinyur dan Ilmuwan. Bandung: ITB Bandung.
DAFTAR PUSTAKA
Anastasi, A dan Urbina, S. 2006. Tes Psikologi. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Indeks. Arikunto, Suharsimi. 1991 Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta, Bumi Aksara. Arikunto, Suharsimi. 2003. Evaluasi Pendidikan Edisi Revisi, Jakarta, Bumi Aksara. Arikunto Suharsimi. 2003. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta. Gaspersz, Vincent. 1998. Production Planning dan Inventory Control. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan. 2014. Laporan Penyelenggaraan Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag Umum di Lingkungan Kementerian Keuangan. Bogor : Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan. Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan. 2014. Kerangka Acuan Program Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag Umum di Lingkungan Kementerian Keuangan. Bogor : Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan. Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan. 2014. Laporan Evaluasi Pasca Diklat Perencanaan dan Penganggaran bagi Kasubbag Umum di Lingkungan Kementerian Keuangan. Bogor : Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan. Renny Sukmono. 2009. Diagram Kontrol Simultan Multivariat untuk Memonitor Mean dan Variabilitas Proses (Aplikasi pada Nilai TOEFL Mahasiswa S1 Reguler ITS Surabaya. Surabaya : ITS Surabaya. Rikhe Lindaryani. 2010. Pengontrolan Kualitas Layanan Perpustakaan Pusat Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Surabaya : ITS Surabaya.
242
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
PENGENDALIAN KUALITAS BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (Studi Kasus: Diklat Perencanaan dan Penganggaran Bagi Kasubbag Umum) Renny Sukmono
Lampiran Data No
Lokasi
Nilai Rata-Rata
1
Cimahi I
61,96
2
Cimahi II
62,99
3
Denpasar I
63,04
4
Jakarta I
66,82
5
Jakarta II
63,95
6
Jakarta III
67,64
7
Jakarta IV
66,19
8
Jakarta V
61,68
9
Jakarta VI
67,4
10
Makassar II
62,96
11
Makassar III
61,96
12
Malang I
62,4
13
Manado I
58,75
14
Medan I
60,42
15
Medan II
59,58
16
Medan III
62,15
17
Palembang I
65,65
18
Pekanbaru I
60,28
19
Pekanbaru II
66,59 Analisis Korespodensi
Analysis of Contingency Table Axis Inertia Proportion Cumulative Histogram 1 0,2765 0,9534 0,9534 ****************************** 2 0,0135 0,0466 1,0000 * Total 0,2900 Row Contributions Component 1 Component 2 ID Name Qual Mass Inert Coord Corr Contr Coord Corr Contr 1 Row1 1,000 0,137 0,134 0,472 0,785 0,110 -0,247 0,215 0,621 2 Row2 1,000 0,353 0,097 0,269 0,912 0,093 0,084 0,088 0,184 3 Row3 1,000 0,314 0,008 0,088 0,995 0,009 0,006 0,005 0,001 4 Row4 1,000 0,176 0,742 -1,104 0,999 0,778 -0,027 0,001 0,009 5 Row5 1,000 0,020 0,019 0,384 0,536 0,010 0,357 0,464 0,185 Column Contributions Component 1 Component 2 ID Name Qual Mass Inert Coord 1 Column1 1,000 0,784 0,115 0,202 2 Column2 1,000 0,157 0,788 -1,206 3 Column3 1,000 0,059 0,097 0,525
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
Corr Contr Coord 0,959 0,116 0,042 0,999 0,826 -0,039 0,577 0,059 -0,450
Corr Contr 0,041 0,100 0,001 0,017 0,423 0,882
243
Halaman ini sengaja dikosongkan This page intentionally left blank
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
244
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015, Halaman 245-262 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
THE ENDOGENEITY OF OIL PRICE SHOCKS AND THEIR EFFECTS ON INDONESIA: A STRUCTURAL VECTOR AUTOREGRESSION MODEL Alfan Mansur Badan Kebijakan Fiskal, Jakarta; Email: [email protected] ARTICLE INFORMATION
ABSTRACT
ARTICLE HISTORY Received 23 September 2015
The Endogeneity of Oil Price Shocks and Their Effects on Indonesia: A Structural Vector Autoregression Model. In this paper the endogeneity of oil price shocks as well as the effects of different type of the shocks on the Indonesian economy represented by its gross domestic product (GDP), consumer price index (CPI) and real effective exchange rate (REER) were investigated. A structural Vector Autoregression (SVAR) model was constructed extending Kilian (2009) model by employing several lags constraints in the model as Indonesia is a small open economy. There was evidence that oil price shocks were endogenously formed by oilspecific-demand itself, aggregate global demand and a fraction of oil stock. The exports’ effect convincingly existed in the oil price shocks influencing the economy of Indonesia. In addition, there was no evidence that Indonesia enjoyed benefits from being an OPEC member.
Accepted to be published 23 Desember 2015 KEYWORDS: Structural, vector autoregression, oil price, shocks,
Endogenitas shocks harga minyak dan dampaknya terhadap Indonesia: sebuah model structural vector autoregression. Artikel ini bertujuan untuk meneliti endogenitas harga minyak dan dampak dari tipe-tipe shocks yang berbeda terhadap perekonomian Indonesia yang tercermin dalam pendapatan domestik bruto (PDB), indeks harga konsumen (IHK) dan nilai tukar efektifriil (REER). Metodologi penelitian yang digunakan adalah model structural vector autoregression dengan mengembangkan model Kilian (2009). Model ini dikembangkan dengan mengaplikasikan restriksi tambahan pada lags mengingat Indonesia adalah Negara kecil yang menganut rezim perekonomian terbuka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga minyak dipengaruhi oleh permintaan spesifik atas jenis minyak itu sendiri, permintaan global dan sedikit faktor produksi minyak. Efek ekspor masih mendominasi dalam pengaruh fluktuasi harga minyak terhadap perekonomian Indonesia. Sementara itu, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Indonesia mendapatkan manfaat dari menjadi anggota OPEC.
1. INTRODUCTION
The price of oil is one of the core elements in driving the fluctuation of the world economy. Small open economies which have high dependence on oil may experience significantly negative impact resulting from the oil price volatility. Indonesia is one example of them. Its dependence on oil keeps rising for decades due to declining production overtime while domestic consumption goes up. That is why it is no longer a member of Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) since September 2009. The world oil price upturn may contract the Indonesian economy since most oil is imported to meet the domestic demand. Under the old fuel subsidy scheme, surging the world oil price may also raise the burden to the Indonesia’s budget which was accounted for 7 per cent of the annual government budget (EIA 2014). Many findings show that oil price shock is in connection with political conflicts in the world particularly through the shocks in oil stocks. Arab – Israeli war in 1973-1974, Iran revolution in 1978, IraqIran war in 1980, Persian Gulf War, Kuwait invasion in 1990, Iraq war in 2003 are several instances that are
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
considered as shocks to the oil supply (Alquist & Kilian 2010; Hamilton 2003). Unlike Hamilton (2003) who considers those events as exogenous shocks to the oil supply, Barsky and Kilian (2001) claims that there are substantial endogenous components of such events in driving oil price, i.e. precautionary demand or preventive actions. Other events which are associated with oil price volatility are Asian financial crises in the late 1990s, 9/11 event (Alquist & Kilian 2010), production decline by Saudi Arabia during 2005 – 2007, and strong growing demand by China (Hamilton 2009). Many studies also have been conducted to investigate the role of oil price related to macroeconomic indicators. Hamilton (2000 cited in Abeyingshe 2001) finds that oil price surges initiate US economy contractions. Abeysinghe (2001) identifies that high oil price has positive effect on GDP growth of oil exporter countries, but it negatively affects oil importer countries. Hamilton (2003; 2011) and Cunado and Gracia (2005) find a nonlinear correlation between oil price and GDP at which oil price increase has greater effects rather than price decrease.
245
THE ENDOGENEITY OF OIL PRICE SHOCKS AND THEIR EFFECTS ON INDONESIA: A STRUCTURAL VECTOR AUTOREGRESSION MODEL Alfan Mansur
Most of the studies consider oil price as an exogenous shock. Kilian (2009) reveals that treating oil price as an exogenous shock is no longer appropriate as the oil price shocks correlate to its level of production and the world global demand. He separates the oil price shocks into three parts: (1) supply shocks to reflect oil production capacity, (2) aggregate demand shocks or oil demand caused by global economic conditions, and (3) oil specific demand shocks to reflect oil shocks caused by fear of future oil shortages. He then analyses impact of these distinct shocks to the US GDP and its CPI. Yoshizaki and Hamori (2013) extend Kilian’s work by applying the same method on several industrialized economies and adding response of the REER to the shocks as the indirect transmission of oil price shock through trade channel. All those works deal with developed economies. Emerging economies such as Indonesia, may response to the shocks differently. This paper extends those works in two ways. Firstly, data used is updated investigating the oil price shock affiliated with its production and the world economic activity which is indicated by index of industrial production (IIP) instead of dry cargo freight rates used in Kilian (2009). Secondly, different method in analyzing the responses of a country’s macroeconomic variables is used since Indonesia is a small open economy. Kilian (2009) and Yoshizaki and Hamori (2013) perform regression of the shocks on the macroeconomic variables using single equation for each variable. In fact, the macroeconomic variables, GDP and CPI in Kilian (2009) and IIP, CPI and REER in (Yoshizaki and Hamori (2013), are correlated each other. As a consequence, the causal relationship, for example between GDP and CPI, is not captured. This paper therefore applies another VAR model in the next step by imposing lags constraints at which its GDP, CPI and REER will not affect the world oil price. However, its CPI and REER are still affected by its GDP. This paper aims to investigate two questions. First, it explores the endogeneity of oil price shocks and second, it investigates the responses of Indonesian GDP, CPI and REER to the different type of oil price shocks. It is argued that oil price shocks are endogenously formed by oil-specific-demand itself, aggregate global demand and a fraction of oil stock. It is also contended that exports force still dominates the effects of oil price shocks to the Indonesian economy instead of oil imports dependence in recent times. The rest of this paper is structured as follows. Section 2 provides the description of the data. Section 3 describes the VAR model used in this paper including the identification of the structural shocks. Section 4 presents the empirical results and the conclusion of the study is in section 5.
2. DATA DESCRIPTION
Table 1 exhibits the overall data sets and their sources. The data sets consist of data for the world and the data for Indonesia. The data for the world includes
246
index of industrial production (IIP) as a reflection of real global economic activity, world production of oil as a reflection of oil supply and data of West Texas Intermediate (WTI) spot crude oil prices. The IIP data is the weighted sum of the IIPs of all OECD countries added with six economies including Brazil, China, India, Indonesia, Russia and South Africa as used in Yoshizaki and Hamori (2013). The data for Indonesia includes its GDP, CPI and REER. All data is quarterly data at which the sample period is from 1994 quarter 1 to 2013 quarter 2. To capture the effects of the Asian financial crisis in the late 1990s, a dummy variable is added. The dummy variable is constructed by defining 1 for 1997q4 to 1999q2 and 0 for the other periods. Table 1 Data Sources No 1
Variable World production of oil
2
IIP
3
WTI crude oil price
4
GDP Index of Indonesia
5
CPI of Indonesia
6
REER of Indonesia
Description Seasonally adjusted using census X12 and de-trended using Hodrick-Prescott Filter. Seasonally adjusted using census X12 and de-trended using Hodrick-Prescott Filter. Deflated by US CPI; in natural log form; seasonally adjusted using census X12 and de-trended using Hodrick-Prescott Filter. already seasonally adjusted; detrended using Hodrick-Prescott Filter seasonally adjusted using census X12; detrended using Hodrick-Prescott Filter Seasonally adjusted using census X12.
Source EIA
FRED& World Bank
FRED
FRED
FRED
FRED
All data run in the model are in levels as recommended by Sims (1980), Dean (1982) and Enders (1995). To tackle the non-stationarity problem, Hodrick-Prescott Filter is applied to take out the trend except for REER which is already stationary. After being de-trended, unit roots tests of the data are then being performed using Augmented Dickey Fuller (ADF)
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
THE ENDOGENEITY OF OIL PRICE SHOCKS AND THEIR EFFECTS ON INDONESIA: A STRUCTURAL VECTOR AUTOREGRESSION MODEL Alfan Mansur
and Phillips Perron tests. The results show that all data arealready stationary (see Appendix).
toil supply shock taggregate demand shock toil-specific -demand shock tgdp tcpi treer ( )
3. THE MODEL
In this paper, a structural VAR model is preferred to the other time series models like a simple VAR or a vector error correction model (VECM) due to the needs for restrictions in the short run. Based on the characteristics in the oil markets, oil demand shocks do not have an immediate impact on the oil production or the supply of oil (Kilian 2009; Hamilton 2003). Such restrictions for the short run dynamics can be performed in a structural VAR model. The first step is built following Kilian (2009) and Yoshizaki & Hamori (2013) as follows:
The recursive reduced form errors are formed by:
2
𝑨𝟎 𝒛𝒕 = 𝜶 + ∑ 𝑨𝒊 𝒛𝒕−𝒊 + 𝜺𝒕 𝑖=1
Where 𝜺𝒕 is a vector of mutually and serially uncorrelated structural innovations and 𝒛𝒕 includes the world oil production, IIP as index of the world economic activity and real oil price expressed in logs. Meanwhile, the reduced form errors are decomposed following 𝒆𝒕 = 𝑨−𝟏 𝟎 𝜺𝒕 recursively using Cholesky decomposition: 𝑝𝑟𝑜𝑑
𝑒𝑡 𝑒𝑡 ≡
( 𝑒𝑡𝑖𝑖𝑝 ) 𝑝𝑟𝑖𝑐𝑒 𝑒𝑡
𝑎11 = [𝑎21 𝑎31
0 𝑎22 𝑎32
𝑜𝑖𝑙 𝑠𝑢𝑝𝑝𝑙𝑦 𝑠ℎ𝑜𝑐𝑘
𝜀𝑡 0 0 ] ( 𝜀𝑡𝑎𝑔𝑔𝑟𝑒𝑔𝑎𝑡𝑒 𝑑𝑒𝑚𝑎𝑛𝑑 𝑠ℎ𝑜𝑐𝑘 ) 𝑎33 𝑜𝑖𝑙 𝑠𝑝𝑒𝑐𝑖𝑓𝑖𝑐−𝑑𝑒𝑚𝑎𝑛𝑑 𝑠ℎ𝑜𝑐𝑘 𝜀𝑡
Kilian (2009) identifies such restrictions motivated as follows. Oil production response to the global demand is sluggish instead of immediately within the same period due to high cost of adjustment of its production. It is supported with the evidence that oil producers tend to forecast oil demand only yearly. How the global demand responds to oil price changes has similar story to the previous one. The global demand does not react instantly when there are changes in the oil price, instead there is a delay at about one period which is consistent within the sample. Finally, oil price fluctuation is driven by uncertainty of oil production shortfalls in the future. Changes in demand for industrial products for instance automobiles, may push the oil price upsurge instantaneously because of rising consumption of petrol. After obtaining a series of identified shocks from the first step, the second step of this model is then developed as follows:
[
a11
0
0
0
0
0
toil sup ply
a21
a22
0
0
0
0
taggregate demand
a31
a32
a33
0
0
0
t
a41
a42
a43
a44
0
0
a51
a52
a53
a54
a55
0
a61
a62
a63
a64
a65
a66
oil specific demand
](
tgdp tcpi treer
)
The Cholesky order of this second VAR assumes that shocks in the world oil production, global demand for industrial commodities and oil price affect Indonesian economy contemporaneously. They also affect both directly and indirectly through the trade channel because most oil to meet the domestic demand is imported. The order also assumes that a shock in the GDP components has an immediate effect on the CPI. For example when there are capital inflows, GDP rises quickly and relative price of consumption drops in consequence of interest rate increase as a monetary policy adjustment. On the other hand, as capital inflows, real exchange rate appreciates before it finally affects trade balance and GDP after some time. REER therefore does not have immediate effect to GDP and CPI. Since Indonesia is a small open economy, it implies that Indonesia’s GDP, CPI and REER should not affect the world oil production, global demand for industrial products and also the world oil price. Therefore, constraints which will allow such postulation to happen are constructed. However, the Indonesia’s GDP will still have impact on its CPI and REER. The employed constraints are shown in Table 2. Table 2 VAR Lags Constraints Shocks to:
prod𝑡 𝑖𝑖𝑝𝑡
Response of: 𝑝𝑟𝑖𝑐𝑒𝑡 GDP𝑡 CPI𝑡 REER 𝑡
Oil supply𝑡−𝑖
𝑏11
𝑏12
𝑏13
𝑏14
𝑏15
𝑏16
𝑨𝟎 𝑿𝒕 = 𝜶 + ∑ 𝑨𝒊 𝑿𝒕−𝒊 + 𝝁𝒕
Aggregate demand𝑡−𝑖
𝑏21
𝑏22
𝑏23
𝑏24
𝑏25
𝑏26
𝑖=1
Oil specific demand𝑡−𝑖
𝑏31
𝑏32
𝑏33
𝑏34
𝑏35
𝑏36
GDP𝑡−𝑖
0
0
0
𝑏44
𝑏45
𝑏46
CPI𝑡−𝑖
0
0
0
𝑏54
𝑏55
𝑏56
REER 𝑡−𝑖
0
0
0
𝑏64
𝑏65
𝑏66
2
where 𝝁𝒕 is a vector of mutually and serially uncorrelated structural innovations and 𝑿𝒕 contains a series of identified shocks of the world oil production, world economic activity, real oil price and Indonesian macroeconomic variables which are GDP, CPI and REER as follows:
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
Note: 𝑖 = lags (1, 2)
247
THE ENDOGENEITY OF OIL PRICE SHOCKS AND THEIR EFFECTS ON INDONESIA: A STRUCTURAL VECTOR AUTOREGRESSION MODEL Alfan Mansur
In both VAR models, two lags are used to preserve the degrees of freedom as the models use quarterly data. The final prediction error (FPE), Akaike information criterion (AIC), Schwarz information criterion (SIC) and Hannan-Quinn information criterion (HQ) also indicate two lags to be used and these two VAR models have satisfied stability condition.
4. EMPIRICAL RESULTS 4.1. Endogeneity of oil price Whilst most oil shocks before 2000s were dominantly caused by physical disruptions due to exogenous factors for example wars, OPEC quota increases and cuts, the shocks during period of 2000s were mainly driven by strong upturn in demand such as from China. There is also evidence that ballooning price of oil in the early 1990s lasted temporarily for only about two quarters (IMF 2000). It indicates that there was a surge of anxiety of oil supply disruption during those periods, rather than actual diminishing oil resources as the fact that oil shortfalls in one region are likely to initiate production escalation in different regions. Not surprisingly, the accelerated world economic expansion taking place afterwards generates positive oil shocks. Figure 1 shows the inter-relation between the oil production, aggregate global demand and the oilspecific-demand shocks. It exhibits the impulse responses to a positive shock in each of oil supply
shock, aggregate demand shock and oil-specificdemand shock. The solid lines illustrate the impulse responses based on the point estimates and the dashed lines demonstrate the confidence intervals. The size of the positive shocks are calculated as per Cholesky onestandard-deviation innovations, which are ±525 thousand barrels per day for oil supply shock, ±0.7 – 1 per cent for aggregate demand shock and ±1.2 per cent for oil-specific-demand shock. Overall, positive oil supply shocks have positively immediate effects on the global economic activity and the oil price. Positive aggregate demand shocks have positively immediate effect too on the oil price. On the contrary, positive shocks on the oil price do not have instantaneous impact on both the global economic activity and oil stock. These findings are consistent with the postulation in Section 3. When there is a positive shock on the oil production, the global economic activities tend to go up quickly reaching the peak response of ±0.26 per cent before going back to its steady level. The oil price peak response is higher accounted for ±1.9 per cent but it dies out more quickly compared to the global economy reaction. A positive shock in the global economic activities yields much greater effect on the oil price increase at which its peak response is more than threefold compared to the shock in oil supply. When the global demand for industrial products goes up, oil price spike follows immediately. Oil producer countries are likely
Figure 1 Responses To Cholesky One-Standard-Deviation Structural Shocks ± 2 S.E.
248
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
THE ENDOGENEITY OF OIL PRICE SHOCKS AND THEIR EFFECTS ON INDONESIA: A STRUCTURAL VECTOR AUTOREGRESSION MODEL Alfan Mansur
Figure 2 Responses of Indonesia Economy Indicators
to multiply their productions after at least one period. To keep the price high and stable, they reduce their production through oil cartel organizations such as OPEC. It then results in slowing down the global economic activities temporarily. Conversely, the unanticipated global demand shocks do not have statistically instant effect on the oil production. This finding indicates the exogeneity of oil supply shocks. Table 3 Variance Decomposition Quarter 1 4 8 40 Quarter 1 4 8 40 Quarter 1 4 8 40
World Oil production Oil supply Global Oil-specific shock demand shock demand shock 100.00 0.00 0.00 87.82 8.26 3.92 86.00 9.97 4.03 83.12 12.26 4.61 World industrial output Oil supply Global Oil-specific shock demand shock demand shock 9.51 90.49 0.00 4.02 94.32 1.66 3.18 82.96 13.86 3.61 81.51 14.88 Oil price Oil supply Global Oil-specific shock demand shock demand shock 0.92 27.45 71.63 1.79 39.99 58.22 4.02 38.84 57.14 4.05 39.53 56.42
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
When oil price shoots up, the global economy does not instantaneously slow down, but there is a delay of one or two periods. This is consistent with the findings in Kilian (2009). Again, oil producer countries try to escalate their production in the next periods due to higher prices instead of promptly significant changes. In other words, the oil price volatility is largely determined by its demand both global demand and oilspecific demand. Unanticipated global demand shocks and oil-specific-demand shocks have a greater effect to the oil price volatility compared to unanticipated oil supply shocks. It can also be seen from Table 3 that oil price is endogenous relative to the oil supply and the world’s industrial output at all horizons. Meanwhile, the degree of exogeneity of oil supply is higher than the aggregate demand’s in determining the oil price. Global demand shock has an influence on the oil supply in the long run only accounted for about 12 per cent, but it has significant impact for the world’s industrial output and oil price for both in the short run and long run. 4.2. The responses of Indonesian economy Indonesia had greatly depended on oil sector since the 1970s oil boom to early 2000s and it was a net oil exporter in the world during these periods since its oil supply exceeded its consumption. Figure 2 illustrates how Indonesia’s economy as an oil exporter country reacts to global oil markets. The figure generally shows the responses of the level of Indonesia’s real GDP, CPI 249
THE ENDOGENEITY OF OIL PRICE SHOCKS AND THEIR EFFECTS ON INDONESIA: A STRUCTURAL VECTOR AUTOREGRESSION MODEL Alfan Mansur
Figure 3 Historical Decomposition of Indonesia’s GDP 1995Q1-2009Q3
and REER to each of three oil shock types which are the oil price shocks caused by the world oil production, by global demand for industrial products and also by the oil-specific-demand shocks.Instantaneously significant effects on the Indonesia’s GDP shown in the figure demonstrate that these results are consistent with the presumptions in the model. An oil supply shock initiates a statistically significant reduction in the GDP lasting for about eight quarters and then dies out afterwards. At the same time, the effects on the REER decline last longer for about 12 quarters before going back to its steady level and CPI falls in the first period then moves up with diminishing trend from second quarter ahead. Oil supply shocks affect GDP negatively because of the constraints in supply-side compliance to OPEC quotas. Hill (2000) finds that there has been only tiny variation in the volume of oil production of Indonesia since the beginning of 1970s. With the same level of production over time, Indonesia cannot achieve optimal gains from exports which eventually adversely affect its GDP. Having joined OPEC in 1962, Indonesia does not have significant influence within this organization (Barnes 1995). Moreover, he reveals that Indonesia has adhered to a range of production ceilings and quotas granted by OPEC for years as Indonesia is not a bigscale oil producing country. Unlike the oil supply shock, unanticipated oil price shocks caused by global demand raise GDP in about four quarters then it declines below its level thereafter before coming back to its steady level after 12 quarters. Conversely, CPI goes down slightly in the first period, while REER goes up then depreciates from the second quarter. Shocks in oil price caused by specific-demand produce statistically positive effects in which GDP significantly escalates in four horizons before slowing down towards its initial level. Surprisingly, this kind of shocks nearly does not have statistically significant
250
impact on REER. There are only slightly positive changes on REER in three quarters and CPI also gain only a minor shift. Why effect on GDP of an oil price shock initiated by specific-demand is greater than oil shock caused by an aggregate demand indicates that exports effect still dominates Indonesian economy. Such effect also depends on the macroeconomic policies performed. For the Indonesian case here, its policies regarding the oil price can be summarized as follows. As an oil exporting country, Indonesia gain income shifts from the oil importing countries. During the oil boom in 1970s, Indonesia earned remarkable revenues and even in 1980s when the oil prices sharply declined, Indonesia still collected considerable revenues. The key policy implemented during those periods was that the government recycled the oil revenues into state enterprises sector. Another important policy carried out was the introduction of tariffs and non-tariff barriers relate to trade policies. These policies were then resulted in successful adjustments in driving manufacturing sectors which had made essential contribution to the economy through exports from 1990s. 4.3. Contribution to the Indonesia’s GDP This subsection is to study the impact of the shocks before and after Indonesia was withdrawn from OPEC in September 2009. Figure 3 depicts the contribution of each shock to the Indonesia’s GDP in each period before 2009Q4 and Figure 4 illustrates the contribution of each shock after Indonesia was no longer an OPEC member. The GDP was still mainly determined by domestic supply shocks along the period when Indonesia was still an OPEC member (see Figure 4). However, there was evidence that oil supply shocks and oil-specificdemand shocks played some role to the Indonesian GDP, for example between 2002Q1 and 2007Q1. There
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
THE ENDOGENEITY OF OIL PRICE SHOCKS AND THEIR EFFECTS ON INDONESIA: A STRUCTURAL VECTOR AUTOREGRESSION MODEL Alfan Mansur
Figure 4 Historical Decomposition of Indonesia’s GDP 2009Q4-2013Q2
were positive oil supply shocks between 2002Q1 and 2004Q1, but they became negative thereafter. Negative oil-specific-demand shocks appeared getting larger from 2003Q3 to 2004Q3. This were because of spiking crude oil price during the period. During the global financial crisis in 2008-2009, the pressures on the Indonesian economy originated mainly from negative domestic supply shocks and negative exchange rate shocks. There was only a small proportion of the pressures coming from negative oil supply shocks. After Indonesia was removed from the OPEC membership in 2009Q3, the contribution of oil supply shock and oil-specific-demand shock to the Indonesian GDP remained unchanged. There were positive oil supply shocks between 2010Q4 and 2012Q2 then they became negative afterwards. In other words, there was no difference for Indonesia before and after becoming a member of OPEC or there was no evidence that Indonesia enjoyed benefits from being an OPEC member. So, the rejoining Indonesia into OPEC recently is questioned. In addition, after the Asian financial crisis in the late 1990s, the effect of exchange rate shock and global demand shock on the Indonesian GDP got stronger. This is due to the free floating regime in exchange rate applied by Indonesia
shocks. To some extent, its GDP is influenced by all the three different types of unanticipated oil price shocks. It responds negatively due to the oil supply shocks but positively due to global demand and oil-specificdemand shocks. CPI and REER are only statistically significantly influenced by unanticipated oil supply shocks and aggregate demand shocks. Additionally, there is no evidence that Indonesia enjoys benefits from being an OPEC member. As a consideration for the policy makers, Indonesia needs new investments in oil refineries to boost up the oil production. Not only will a positive oil supply shock stimulate a GDP growth, but it will also raise the government revenue from oil sector. Moreover, it can contribute to price stability especially in the energy sector. One limitation of this paper is that the strong assumptions imposed using the Cholesky identification strategy. Applying different strategies such as sign restrictions to check the robustness of the results is a worth topic to investigate in the future.
5. CONCLUSIONS
REFERENCES
The main results can be summed up as follows. First, oil price shocks are endogenously formed by oilspecific-demand itself, aggregate global demand and a little of oil stock. A shock in the global demand has greater effects in determining the oil price compared to a shock in the oil production. Second, exports effect still dominates the oil price shocks impact on the Indonesian economy instead of oil imports dependence lately. The Indonesian economic variables respond in different ways depending on the type of the oil price
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
ACKNOWLEDGEMENT The author thank to Professor Ippei Fujiwara and Dr Tuan Phan (Crawford School of Public Policy, College of Asia and the Pacific, the Australian National University) for their insights and helpful comments.
Abeysinghe, T 2001, ‘Estimation of direct and indirect impact of oil price on growth’, Economics Letters, vol. 73, pp. 147 – 153. ADB, see Asian Development Bank Alquist, R & Kilian, L 2010, ‘What do we learn from the price of crude oil futures?’, Journal of Applied Econometrics, vol. 25, pp. 539 – 573. Asian Development Bank 2005, ‘The challenge of higher oil prices’, Asian development outlook 2005 update, Asian Development Bank, viewed 251
THE ENDOGENEITY OF OIL PRICE SHOCKS AND THEIR EFFECTS ON INDONESIA: A STRUCTURAL VECTOR AUTOREGRESSION MODEL Alfan Mansur
18 October 2014, . Barnes, P 1995, Indonesia the political economy of energy, Oxford University Press, Oxford. Barsky, RB & Kilian, L 2001, ‘Do we really know that oil caused the great stagflation? A monetary alternative’, NBER Macroeconomics Annual, pp. 137 – 183. Cunado, J & Gracia, FP 2005, ‘Oil prices, economic activity and inflation: evidence for some Asian countries’, The Quarterly Review of Economics and Finance, vol. 45, pp. 65 – 83. EIA, see Energy Information Administration Energy Information Administration 2014, ‘Country analysis brief overview’, US Energy Information Administration, viewed 15 September 2014,. Enders, W 1995, Applied econometric time series, John Wiley & Sons, Inc. Hamilton, JD 2003, ‘What is an oil shock’, Journal of Econometrics, vol. 113, pp. 363 – 398. Hamilton, JD 2009, ‘Causes and consequences of the oil shock of 2007 – 2008’, Brookings Papers on Economic Activity, Spring 2009, pp. 215 – 261. Hamilton, JD 2011, ‘Nonlinearities and the macroeconomic effects of oil prices’, Macroeconomic Dynamics, vol. 15, pp. 364 – 378. Hill, H 1996, The Indonesian economy since 1966 southeast Asia’s emerging giant, Cambridge University Press, Cambridge. Hill, H 2000, The Indonesian economy, Cambridge University Press, Cambridge. IMF, see International Monetary Fund International Monetary Fund 2000, ‘The impact of higher oil prices on the global economy’, viewed 17 October 2014,. Kilian, L 2009, ‘Not all oil price shocks are alike: disentangling demand and supply shocks in the market’, The American Economic Review, vol. 99, pp. 1053 – 1069. Sims, CA 1980, ‘Macroeconomics and reality’, Econometrica, vol. 48, pp. 1 – 48. Yoshizaki, Y & Hamori, S 2013, ‘On the influence of oil price shocks on economic activity, inflation, and exchange rates’, International Journal of Financial Research, vol. 4, no. 2, pp. 33 – 41.
252
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
APPENDIX Unit root test of variable for oil production Null Hypothesis: PROD_HP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=11) t-Statistic -3.856865 -3.519050 -2.900137 -2.587409
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
Prob.* 0.0037
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PROD_HP) Method: Least Squares Date: 12/24/15 Time: 05:48 Sample (adjusted): 1994Q3 2013Q2 Included observations: 76 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PROD_HP(-1) D(PROD_HP(-1)) C
-0.263643 0.356400 8.449587
0.068357 0.110301 62.37896
-3.856865 3.231148 0.135456
0.0002 0.0019 0.8926
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.210307 0.188672 543.7962 21587148 -585.0006 9.720522 0.000181
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
7.971571 603.7234 15.47370 15.56570 15.51047 2.049433
Null Hypothesis: PROD_HP has a unit root Exogenous: Constant Bandwidth: 3 (Newey-West automatic) using Bartlett kernel
Phillips-Perron test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
Adj. t-Stat
Prob.*
-3.350298 -3.517847 -2.899619 -2.587134
0.0159
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Residual variance (no correction) HAC corrected variance (Bartlett kernel)
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
321096.6 471822.4
253
THE ENDOGENEITY OF OIL PRICE SHOCKS AND THEIR EFFECTS ON INDONESIA: A STRUCTURAL VECTOR AUTOREGRESSION MODEL Alfan Mansur
Phillips-Perron Test Equation Dependent Variable: D(PROD_HP) Method: Least Squares Date: 12/24/15 Time: 05:55 Sample (adjusted): 1994Q2 2013Q2 Included observations: 77 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PROD_HP(-1) C
-0.194639 4.437762
0.068585 65.43218
-2.837924 0.067822
0.0058 0.9461
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.096971 0.084931 574.1595 24724438 -597.4189 8.053811 0.005838
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
5.251180 600.2132 15.56932 15.63020 15.59367 1.419332
Unit root test of variable for IIP Null Hypothesis: IIP_HP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.968128 -3.519050 -2.900137 -2.587409
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(IIP_HP) Method: Least Squares Date: 12/24/15 Time: 05:58 Sample (adjusted): 1994Q3 2013Q2 Included observations: 76 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
IIP_HP(-1) D(IIP_HP(-1)) C
-0.231309 0.763014 2.52E-05
0.038757 0.075535 0.000895
-5.968128 10.10150 0.028156
0.0000 0.0000 0.9776
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
254
0.610333 0.599658 0.007801 0.004442 262.5616 57.16982 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.000104 0.012329 -6.830567 -6.738565 -6.793799 1.809347
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
THE ENDOGENEITY OF OIL PRICE SHOCKS AND THEIR EFFECTS ON INDONESIA: A STRUCTURAL VECTOR AUTOREGRESSION MODEL Alfan Mansur
Null Hypothesis: IIP_HP has a unit root Exogenous: Constant Bandwidth: 2 (Newey-West automatic) using Bartlett kernel
Phillips-Perron test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
Adj. t-Stat
Prob.*
-3.186699 -3.517847 -2.899619 -2.587134
0.0246
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Residual variance (no correction) HAC corrected variance (Bartlett kernel)
0.000138 0.000280
Phillips-Perron Test Equation Dependent Variable: D(IIP_HP) Method: Least Squares Date: 12/24/15 Time: 05:58 Sample (adjusted): 1994Q2 2013Q2 Included observations: 77 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
IIP_HP(-1) C
-0.132100 0.000157
0.057244 0.001359
-2.307677 0.115747
0.0238 0.9082
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.066298 0.053848 0.011924 0.010664 232.8011 5.325372 0.023777
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.000165 0.012259 -5.994833 -5.933955 -5.970482 0.671484
Unit root test of variable for WTI crude oil price Null Hypothesis: PRICE_HP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.761594 -3.519050 -2.900137 -2.587409
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
255
THE ENDOGENEITY OF OIL PRICE SHOCKS AND THEIR EFFECTS ON INDONESIA: A STRUCTURAL VECTOR AUTOREGRESSION MODEL Alfan Mansur
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PRICE_HP) Method: Least Squares Date: 12/24/15 Time: 06:01 Sample (adjusted): 1994Q3 2013Q2 Included observations: 76 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PRICE_HP(-1) D(PRICE_HP(-1)) C
-0.560580 0.385491 0.026547
0.097296 0.108523 0.951901
-5.761594 3.552156 0.027888
0.0000 0.0007 0.9778
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.319859 0.301225 8.298077 5026.640 -267.1267 17.16534 0.000001
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.016883 9.926788 7.108598 7.200601 7.145367 2.021852
Null Hypothesis: PRICE_HP has a unit root Exogenous: Constant Bandwidth: 5 (Newey-West automatic) using Bartlett kernel
Phillips-Perron test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
Adj. t-Stat
Prob.*
-4.055975 -3.517847 -2.899619 -2.587134
0.0020
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Residual variance (no correction) HAC corrected variance (Bartlett kernel)
76.64324 59.26248
Phillips-Perron Test Equation Dependent Variable: D(PRICE_HP) Method: Least Squares Date: 12/24/15 Time: 06:03 Sample (adjusted): 1994Q2 2013Q2 Included observations: 77 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PRICE_HP(-1) C
-0.405072 0.026407
0.092779 1.010896
-4.365996 0.026122
0.0000 0.9792
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid 256
0.202653 0.192022 8.870573 5901.530
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion
0.026220 9.868515 7.228987 7.289865 Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
THE ENDOGENEITY OF OIL PRICE SHOCKS AND THEIR EFFECTS ON INDONESIA: A STRUCTURAL VECTOR AUTOREGRESSION MODEL Alfan Mansur
Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
-276.3160 Hannan-Quinn criter. 19.06192 Durbin-Watson stat 0.000040
7.253337 1.540061
Unit root test of variable for GDP of Indonesia Null Hypothesis: Y_HP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-3.385966 -3.519050 -2.900137 -2.587409
0.0145
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(Y_HP) Method: Least Squares Date: 12/24/15 Time: 06:04 Sample (adjusted): 1994Q3 2013Q2 Included observations: 76 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
Y_HP(-1) D(Y_HP(-1)) C
-0.194430 0.361614 0.000241
0.057422 0.107321 0.001118
-3.385966 3.369467 0.215458
0.0011 0.0012 0.8300
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.200953 0.179061 0.009739 0.006923 245.6976 9.179388 0.000278
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.000361 0.010748 -6.386779 -6.294776 -6.350010 2.073172
Null Hypothesis: Y_HP has a unit root Exogenous: Constant Bandwidth: 2 (Newey-West automatic) using Bartlett kernel
Phillips-Perron test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
Adj. t-Stat
Prob.*
-3.034418 -3.517847 -2.899619 -2.587134
0.0361
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
257
THE ENDOGENEITY OF OIL PRICE SHOCKS AND THEIR EFFECTS ON INDONESIA: A STRUCTURAL VECTOR AUTOREGRESSION MODEL Alfan Mansur
Residual variance (no correction) HAC corrected variance (Bartlett kernel)
0.000104 0.000156
Phillips-Perron Test Equation Dependent Variable: D(Y_HP) Method: Least Squares Date: 12/24/15 Time: 06:05 Sample (adjusted): 1994Q2 2013Q2 Included observations: 77 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
Y_HP(-1) C
-0.152058 0.000467
0.058342 0.001179
-2.606293 0.396268
0.0110 0.6930
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.083048 0.070822 0.010343 0.008024 243.7542 6.792762 0.011035
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.000483 0.010730 -6.279329 -6.218451 -6.254978 1.358440
Unit root test of variable for CPI of Indonesia Null Hypothesis: CPI_HP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.983320 -3.520307 -2.900670 -2.587691
0.0001
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(CPI_HP) Method: Least Squares Date: 12/24/15 Time: 06:06 Sample (adjusted): 1994Q4 2013Q2 Included observations: 75 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
CPI_HP(-1) D(CPI_HP(-1)) D(CPI_HP(-2)) C
-0.291144 0.395935 0.320039 -0.014031
0.058424 0.102384 0.112668 0.120105
-4.983320 3.867138 2.840541 -0.116821
0.0000 0.0002 0.0059 0.9073
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid 258
0.369855 0.343229 1.038982 76.64338
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion
-0.018128 1.282038 2.966219 3.089818 Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
THE ENDOGENEITY OF OIL PRICE SHOCKS AND THEIR EFFECTS ON INDONESIA: A STRUCTURAL VECTOR AUTOREGRESSION MODEL Alfan Mansur
Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
-107.2332 Hannan-Quinn criter. 13.89080 Durbin-Watson stat 0.000000
3.015571 1.981973
Null Hypothesis: CPI_HP has a unit root Exogenous: Constant Bandwidth: 3 (Newey-West automatic) using Bartlett kernel
Phillips-Perron test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
Adj. t-Stat
Prob.*
-3.302596 -3.517847 -2.899619 -2.587134
0.0181
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Residual variance (no correction) HAC corrected variance (Bartlett kernel)
1.453607 2.641944
Phillips-Perron Test Equation Dependent Variable: D(CPI_HP) Method: Least Squares Date: 12/24/15 Time: 06:06 Sample (adjusted): 1994Q2 2013Q2 Included observations: 77 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
CPI_HP(-1) C
-0.154977 -0.030788
0.059538 0.139218
-2.602973 -0.221148
0.0111 0.8256
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.082855 0.070626 1.221626 111.9277 -123.6591 6.775468 0.011133
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.029346 1.267194 3.263873 3.324751 3.288224 1.170383
Unit root test of variable for REER of Indonesia Null Hypothesis: REER_HP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic - based on SIC, maxlag=11)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.268193 -3.520307 -2.900670 -2.587691
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
259
THE ENDOGENEITY OF OIL PRICE SHOCKS AND THEIR EFFECTS ON INDONESIA: A STRUCTURAL VECTOR AUTOREGRESSION MODEL Alfan Mansur
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(REER_HP) Method: Least Squares Date: 12/24/15 Time: 06:08 Sample (adjusted): 1994Q4 2013Q2 Included observations: 75 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
REER_HP(-1) D(REER_HP(-1)) D(REER_HP(-2)) C
-0.421177 0.370986 0.294832 0.001019
0.079947 0.104371 0.113221 0.007270
-5.268193 3.554498 2.604043 0.140163
0.0000 0.0007 0.0112 0.8889
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.319127 0.290358 0.062948 0.281338 103.0429 11.09263 0.000005
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.000566 0.074725 -2.641144 -2.517545 -2.591792 2.004032
Null Hypothesis: REER_HP has a unit root Exogenous: Constant Bandwidth: 0 (Newey-West automatic) using Bartlett kernel
Phillips-Perron test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
Adj. t-Stat
Prob.*
-3.148551 -3.517847 -2.899619 -2.587134
0.0271
*MacKinnon (1996) one-sided p-values. Residual variance (no correction) HAC corrected variance (Bartlett kernel)
0.004744 0.004744
Phillips-Perron Test Equation Dependent Variable: D(REER_HP) Method: Least Squares Date: 12/24/15 Time: 06:09 Sample (adjusted): 1994Q2 2013Q2 Included observations: 77 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
REER_HP(-1) C
-0.232728 0.000335
0.073916 0.007953
-3.148551 0.042120
0.0024 0.9665
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression 260
0.116747 Mean dependent var 0.104970 S.D. dependent var 0.069787 Akaike info criterion
0.000268 0.073766 -2.461098 Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
THE ENDOGENEITY OF OIL PRICE SHOCKS AND THEIR EFFECTS ON INDONESIA: A STRUCTURAL VECTOR AUTOREGRESSION MODEL Alfan Mansur
Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.365270 Schwarz criterion 96.75226 Hannan-Quinn criter. 9.913374 Durbin-Watson stat 0.002356
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
-2.400220 -2.436747 1.400206
261
Halaman ini sengaja dikosongkan This page intentionally left blank
262
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
INDEKS SUBJEK JURNAL BPPK
Volume 8 Nomor 2, 2015 aktor, 213, 217, 218, 221, 222, 223, 224 akuntansi, 141, 142, 145, 154, 155, 158, 161 anggaran, 169, 171, 172, 175, 178, 192, 193, 194, 196, 215 anova, 235, 240 APBD, 170, 175, 177, 178, 193, 194, 200, 211 APBN, 174, 175, 177, 180, 193 asersi, 141, 142, 145, 146, 147, 160 aset, 191, 193, 198, 208, 209 ATM, 214, 215, 217, 221, 223 audit, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164 audit lottery, 143, 150, 160 auditee, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164 auditor, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 158, 160, 161, 162, 163, 166 authority, 184, 185, 189, 213 autoregression, 245 bank persepsi, 214, 223 bantuan sosial, 191, 197, 198, 207, 208, 209 barang, 141, 149, 173, 174, 191, 194, 195, 197, 198, 199, 204, 207, 208, 209, 231 belanja, 169, 170, 175, 177, 178, 181, 191, 192, 193, 194, 196, 197, 198, 199, 200, 204, 206, 207, 208, 209 billing, 214, 215, 221, 222 cukai, 149, 166, 178, 214, 216, 221 daerah, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 177, 178, 179, 180, 181, 192, 193, 194, 195, 197, 199, 200, 202, 203, 204, 205, 209, 221, 224 DAK, 169, 170, 172, 173, 174, 175, 177, 178, 179, 180, 181, 193, 211 data panel, 169, 176, 191, 208 DAU, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 177, 179, 180, 181, 182, 193, 211 DBH, 169, 170, 172, 173, 174, 175, 177, 178, 179, 180, 181 desentralisasi, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 181 diagnostik, 232 diagram, 153, 156, 229, 230, 232, 234, 235, 237, 239, 241 diklat, 229, 230, 231, 233, 234, 237, 238, 239, 240, 241, 242 diskursif, 219, 220, 221, 223 economic, 145, 146, 159, 160, 169, 173, 183, 184, 185, 189, 246, 247, 248, 251, 252 EDC, 214, 217, 221, 223 effects, 141, 187, 189, 245, 246, 248, 250, 251, 252 ekonomi, i, 144, 145, 146, 149, 160, 169, 170, 171, 172, 173, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 208, 214, 217, 223 ekspor, 192, 193, 194, 195, 208, 245
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
eksportir, 146 elektronik, 141, 217, 222 endogeneity, 245, 246 evaluasi, i, 144, 154, 155, 158, 159, 162, 163, 209, 220, 221, 229, 230, 231, 232, 233, 237, 238 expenditure, 169 fiscal, 143, 145, 146, 150, 152, 154, 159, 160, 169, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 189 fiskal, 141, 145, 146, 149, 155, 159, 160, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 178, 179, 180, 181, 183, 192, 215, 221, 222 Fixed Effect, 176, 191, 202, 205, 206 gain, 234, 240, 241, 250 GDP, 245, 246, 247, 250, 251, 257 GNP, 192 government, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 191, 192, 213, 245, 250, 251 growth, 183, 185, 195, 245, 251 hibah, 175, 180, 191, 197, 198, 199, 204, 206, 207, 208, 209 impor, 141, 145, 146, 153, 156, 158, 160, 192, 194 importir, 141, 145, 146, 155 independensi, 141, 142, 143, 144, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 155, 158, 162, 163 indonesia, 252 Indonesia, i, 245, 3, 4 inflation, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 252 infrastruktur, 144, 171, 179, 180, 193, 197, 208 institusi, 159, 213, 214, 217, 218, 219, 221, 222, 223, 224 institusional, 213, 214, 215, 217, 218, 219, 221, 222, 223, 224 interest, 149, 161, 162, 163, 183, 184, 185, 187, 188, 189, 247 internasional, 143, 149, 158, 162, 169, 230, 3 internet banking, 214, 215, 217 interpretive, 213, 218, 220, 225, 226 investasi, 171, 174, 175, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 204, 205, 206, 207, 208, 209 ISO, 229, 230 jasa, 141, 143, 144, 145, 146, 147, 150, 154, 160, 171, 174, 191, 194, 195, 199, 204, 208, 209, 229, 231, 3 Jawa Tengah, 191, 193, 196, 197, 198, 199, 200, 202, 203, 204, 205, 207, 208, 209, 210, 211 Jawa Timur, 166, 169, 170, 171, 172, 173, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182 kabupaten, 169, 170, 171, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 191, 194, 195, 199, 202, 203, 204, 209 keagenan, 213, 218, 221, 222, 223, 224 kemiskinan, 170, 171, 191, 192, 193, 194, 196, 197, 198, 199, 200, 202, 205, 206, 207, 208, 209 kendali, 229, 230, 232, 234, 235, 237, 238, 239, 241 kepabeanan, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 216, 221
262.1
keuangan, i, 141, 143, 145, 147, 148, 149, 160, 161, 162, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 178, 180, 195, 199, 214, 217, 221, 222, 223, 224, 225, 231, 239, 241 Keynesian, 192, 193 kinerja, 141, 142, 143, 148, 149, 150, 155, 156, 160, 161, 162, 169, 170, 171, 172, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 196, 224, 230 kompetensi, 141, 142, 143, 144, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 158, 161, 163, 169 konsumsi, 171, 175, 191, 192, 193, 194, 197, 198, 199, 207, 208, 209 kontrol, 149, 213, 218, 221, 222, 223, 224, 229, 232 kota, 169, 170, 171, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 191, 194, 195, 199, 202, 203, 204, 209 kualitas, 141, 142, 143, 144, 145, 147, 149, 150, 151, 152, 153, 159, 161, 162, 163, 164, 170, 171, 174, 193, 229, 230, 234, 237, 241 kuasa, 213, 214, 218, 219, 220, 221, 222, 224 makro, 158, 172, 173, 175, 194 monetary, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 247, 252 multivariat, 232 mutu, 230, 234 nasional, 166, 169, 170, 174, 175, 180, 193, 195, 196, 204, 208 negara, i, 141, 142, 143, 144, 146, 147, 149, 160, 162, 170, 172, 173, 174, 175, 192, 213, 214, 215, 216, 217, 221, 222, 223, 224, 225, 231, 7 oil, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 252, 253, 255 online, 214, 215, 220, 222 organisasi, 3 otonomi, 142, 149, 162, 169, 170, 172, 173, 174, 175, 180, 181, 182, 193 PAD, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 177, 178, 181, 193, 211 pascadiklat, 233 PDB, 255, 257, 258, 259 pemeriksaan, 141, 144, 174 pemerintahan, 169, 170, 172, 173, 175, 194, 195, 199, 213, 214, 220, 224 pendapatan, 147, 169, 171, 172, 173, 174, 175, 177, 178, 180, 181, 192, 193, 194, 208, 245 penerimaan, 141, 142, 146, 147, 149, 169, 171, 172, 174, 177, 178, 180, 181, 193, 213, 214, 215, 216, 217, 222, 223, 225 pengeluaran, 169, 170, 171, 173, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 203, 204, 205, 207, 208, 209, 213, 230 pengendalian, 141, 231, 234, 235 perbendaharaan, 214, 215, 216, 221, 222, 223, 225 perdagangan, 143, 158, 170, 175, 179, 192 perimbangan, 169, 170, 172, 173, 174, 175, 177, 179 policy, 144, 183, 184, 185, 187, 188, 189, 211, 213, 218, 220, 247, 250, 251 politik, 149, 213, 214, 215, 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224 post test, 229, 230, 231, 233, 234, 237, 240 pre test, 229, 230, 231, 233, 234, 237, 240, 241 premi, 149, 154, 162, 163 price, 183, 185, 186, 187, 188, 189, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 252, 255
262.2
real-time, 214, 223 resistensi, 213, 218, 221, 222, 223, 224 retribusi, 171, 175, 181 risk, 142, 144, 146, 147, 154, 160, 161 shock, 187, 188, 189, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 252 sistemik, 221, 222, 237 SPNsE, 213, 214, 215, 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224 swasta, 191, 193, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 204, 205, 206, 207, 208, 209 testee, 231 TIK, 214, 217, 221, 222, 224 transfer, 169, 170, 171, 174, 179, 180, 197 VAR, ii, 183, 184, 185, 186, 187, 190, 210, 246, 247, 248
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
PETUNJUK BAGI (CALON) PENULIS JURNAL BPPK 1. Sebagai pra-syarat dalam mengirimkan artikel untuk dapat diterbitkan pada Jurnal BPPK, penulis diwajibkan mengirimkan (calon) artikel Jurnal BPPK yang dilengkapi: Surat pernyataan orisinalitas karya bermaterai cukup (Rp 6.000,-), Lembar Identitas Artikel Jurnal BPPK, Curriculum Vitae. Format terlampir. 2. Artikel yang diajukan diketik dengan program Microsoft Word atau program pengolah kata sejenis dan disimpan dalam format docx menggunakan huruf Cambria, ukuran 10 pts, spasi tunggal, dicetak pada kertas A4 dengan panjang 15 s.d. 30 halaman, dan diserahkan dalam bentuk hardcopy/cetak sebanyak 1 eksemplar beserta softcopy-nya. Pengiriman Artikel softcop yjuga dapat dilakukan melalui e-mail ke alamat: [email protected]. 3. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Inggris. Sistematika artikel hasil penelitian adalah a. Judul Penulisan judul tidak lebih dari 14 kata, dicetak dengan huruf kapital, center, Cambria 14. b. Nama Penulis Nama Penulis ditulis tanpa gelar akademik, disertai lembaga asal tempat peneliti melakukan penelitian.Dalam hal artikel ditulis oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis utama wajib mencantumkan alamat korespondensi dan/atau e-mail. c. Abstrak disertai kata kunci Abstrak dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Panjang masing-masing abstrak tidak lebih dari 150 kata yang disertai dengan 3-5 kata kunci. Abstrak minimal berisi judul, tujuan, metode dan hasil penelitian. Penulisan Abstrak yang berbahasa Inggris mengacu pada kaidah penulisan abtrak karya ilmiah yang berlaku umum secara internasional. Dalam hal penerjemahan abstrak bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, penulis tidak diperkenankan melakukan copy-paste langsung dari software/aplikasi/web penerjemah bahasa. Untuk keperluan translasi direkomendasikan menggunakan jasa penerjemah tersumpah. Adapun biaya yang muncul atas penggunaan jasa tersebut menjadi tanggung jawab penulis artikel. d. Pendahuluan Bagian ini menjelaskan latar belakang riset, rumusan masalah, pernyataan tujuan dan (jika dipandang perlu) organisasi penulisan artikel. e. Kerangka teoritis dan pengembangan hipotesis Memaparkan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi landasan logis untuk mengembangkan hipotesis atau proporsi riset dan model riset. f.
Metode riset/penelitian Menguraikan metode seleksi dan pengumpulan data, pengukuran dan definisi operasional variabel, dan metode analisis data.
g. Hasil dan pembahasan Menjelaskan analisis data riset dan deskripsi statistik yang diperlukan
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
262.3
h. Kesimpulan Memuat simpulan hasil riset, temuan penelitian yang berupa jawaban atas pertanyaan penelitian atau berupa intisari hasil pembahasan. Simpulan disajikan dalam bentuk paragraf. i. Implikasi dan keterbatasan Menjelaskan implikasi temuan dan keterbatasan riset, serta jika perlu saran yang dikemukakan peneliti untuk riset yang akan datang. j.
Daftar Pustaka Memuat sumber-sumber pustaka atau referensi yang dikutip di dalam penulisan artikel. Hanya sumber yang diacu yang dimuat dalam daftar referensi ini. Untuk keseragaman penulisan, Daftar Pustaka ditulis sesuai dengan format American Psychological Association (APA)
k. Lampiran Memuat tabel, gambar dan instrumen riset yang digunakan 4. Tata cara penyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL ILMIAH JURNAL BPPK atau merujuk pada tata cara yang digunakan dalam artikel yang telah dimuat. Artikelberbahasa Indonesia menggunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan istilah-istilah yang telah dibakukan oleh Pusat Bahasa. 5. Semua Artikel ditelaah secara anonim oleh Dewan Editor yang ditunjuk oleh Sekretariat Jurnal BPPK menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan atau revisi artikel atas dasar rekomendasi/saran dari Dewan Editor atau penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan artikel akan diberitahunkan secara tertulis. 6. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan, penggunaan software/aplikasi komputer untuk pembuatan artikel atau hal lainnya yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) yang dilakukan oleh penulis, berikut konsekuensi hokum yang mungkin timbul, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel.
262.4
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ARTIKEL JURNAL BPPK Yang bertanda tangan di bawah ini, Nama Penulis Artikel
: ................................................................................................................................
NIP/NRM
: ................................................................................................................................
Pangkat / Golongan
: ................................................................................................................................
Jabatan
: ................................................................................................................................
dengan ini menyatakan bahwa artikel yang saya susun dengan judul :
JUDUL ARTIKEL UNTUK JURNAL BPPK (Huruf Tebal) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dan bukan merupakan plagiat dari artikel orang lain. Artikel ini belum pernah dipublikasikan pada jurnal atau media yang lain dan akan diserahkan kepada Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) untuk digandakan, diperbanyak dan/atau disebarluaskan. Apabila kemudian hari pernyataan Saya tidak benar, maka Saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk sanki pidana. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan bilamana diperlukan.
........................, ............................................. Pembuat Pernyataan Materai Rp6.000,00
...................................................................... NIP
Catatan: Dapat diperbanyak sesuai kebutuhan penulis dan bilamana diperlukan, Softcopy surat pernyataan ini dapat diminta melalui email: [email protected]
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
262.5
FORMULIR CURRICULUM VITAE PENULIS ARTIKEL JURNAL BPPK Nama Lengkap
:
Tempat/Tgl Lahir
:
Jabatan Sekarang
:
Unit Kerja
:
NIP/NRM/Gol.
:
No. Rekeneing
:
NPWP
:
Email
:
No HP
:
Bank …
Cabang …
Riwayat Pendidikan : Jenjang
Gelar
Universitas
Tahun
D1 D3 D4/S1 S2 S3 Riwayat Pekerjaan: Jabatan
Unit Kerja/Organisasi
Periode
Penghargaan/Award/Acknowledged Reward:
Bidang Keilmuan yang Diminati:
Catatan: Dapat diperbanyak sesuai kebutuhan penulis dan bilamana diperlukan, Softcopy Form CV ini dapat diminta melalui email: [email protected]…
262.6
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 2, 2015
LEMBAR IDENTITAS ARTIKEL JURNAL BPPK Judul Artikel
Beri tanda ( ) pada yang telah disediakan sesuai keadaan yang sebenarnya: a. Jenis Artikel
Hasil pemikiran pada ______________________________________ (bulan dan tahun) Hasil penelitian tahun _____________________________________ (bulan dan tahun) b. Hubungan dengan penelitian lain sebelumnya
Penelitian/Pemikiran baru Ringkasan/Short version Skripsi karya sendiridengan judul __________________________________________________ _______________________________________________________________________________________________________________________
Ringkasan/Short version Thesis karya sendiri dengan judul ___________________________________________________ _______________________________________________________________________________________________________________________
Kajian atau karya Ilmiah lain karya sendiri karya sendiri yaitu _______________________________________________ dengan judul _______________________________________________________________________________________________________ ______________________________________________________________________________________________________________________
Lainnya, sebutkan: _________________________________________________________________________________________________ c. Tempat Penulis melakukan Penelitian/Pemikiran pada Artikel ini
Tempat Kerja yaitu ________________________________________________________________________________________________ Sewaktu Pendidikan program_________________________________________________________(nama program studi dan jenjang) di ___________________________________________________________________________________________(nama universitas dan negara)
Lainnya, yaitu ______________________________________________________________________________________________________ d. Sumber Pembiayaan dalam melakukan Penelitian/Pemikiran pada Artikel ini
Sendiri Lainnnya, yaitu: ____________________________________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________________________________________________ Dengan ini saya menyatakan bahwa data yang saya isi pada formulir ini adalah benar adanya dan tanpa rekayasa. Apabila kemudian hari pernyataan Saya tidak benar, maka Saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk sangsi pidana. ........................, .................................................... Penulis Artikel,
.............................................................................
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 2, 2015
262.7