JURNAL BPPK ISSN 2085-3785 Volume 6 Nomor 2, 2013, Halaman 1-84 Jurnal BPPK merupakan publikasi ilmiah yang berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian, pengembangan, kajian, dan pemikiran di bidang ekonomi dan keuangan negara. Terbit pertama kali tahun 2010 dengan masa terbit sekali setahun kemudian menambah masa terbit pada tahun 2011 dengan diterbitkan dua kali setahun hingga saat ini, pada bulan Juni dan Desember. Artikel yang diterbitkan dalam Jurnal BPPK telah melalui proses evaluasi dan penyuntingan oleh Dewan Redaksi, Mitra Bestari dan Anggota Staf Editorial. Jurnal BPPK terbuka untuk umum, praktisi, peneliti, pegawai, dan pemerhati masalah ekonomi dan keuangan negara.
STAF EDITORIAL Penanggung Jawab Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Ketua Dewan Redaksi Agus Hermanto Dewan Redaksi Rahmadi Murwanto, Ak., MAcc., M.B.A., Ph.D. Dr. Roberto Akyuwen, S.T.P., S.E., M.Si. Yuniarto Hadiwibowo, S.S.T., Ak., Ph.D. Mitra Bestari Dr. Akhmad Makhfatih, M.A. Artidiatun Adji, M.Ec., M.A., Ph.D. Dr. Eugenia Mardanugraha, S.Si., M.E. Prof. Heru Subiyantoro, Ph.D. Kodrat Wibowo, S.E., Ph.D. Maxensius Tri Sambodo, Ph.D. R. Dasto Ledyanto, S.H., M.Si. Prof. Dr. Rina Octaviani. Dr. Ir. Riyanto, M.Si. Ir. Samon Jaya, M.Si. Drs. Siswo Suyanto, DEA. Siwage Dharma Negara, Ph.D. Drs, Suwarsono, MA. Zamroni Salim, Ph.D.
Redaktur Heni Kartikawati Editor Ahli Rido Parulian Panjaitan Editor Pelaksana Adhitya Wira Witantra Eko Satyono Nur Etaruni VMI Bimo Adi
Sekretariat Agung Arie Pratama Najjahul Imtihan Pambudi Gawe Retno Wulan Sukmantara Aditya Wirawan ALAMAT SEKRETARIAT JURNAL BPPK: Bagian Organisasi dan Tata Laksana, Sekretariat Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kementerian Keuangan Republik Indonesia; Gedung B Lantai 4, Jl. Purnawarman No.99 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110; Telepon (021) 7394666 ext.253, 7204131; Faksimili (021) 7261775, 7244328; webpage: www.bppk.kemenkeu.go.id; e-mail:
[email protected].
JURNAL BPPK Volume 6, Nomor 2, 2013 DAFTAR ISI
ANALISIS SPASIAL PENGARUH DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2008-2011
1-18
Shofwatun Hasna
DAMPAK PENDAPATAN DAN HARGA ROKOK TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ROKOK PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI INDONESIA
19-34
Nasruddin Djoko Surjono, Piping Setyo Handayani
DETERMINANTS OF CORRUPTION IN ASIA Ferry Ardiyanto
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT
35-48 49-70
Toton Hartanto
OILPRICE SHOCK: ITS TRANSMISSION AND EFFECT TO THE INDONESIA’S ECONOMY
71-84
Dedy Sunaryo
ii
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013, Halaman 1-18 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
ANALISIS SPASIAL PENGARUH DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2008-2011 Shofwatun Hasna Universitas Indonesia, Cilangkap Tapos Depok. Email:
[email protected] INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 26 Juli 2013
The research objective was to analyze the influence and the balance against the imbalance of income in the Province of East Java in 2008-2011 by considering the spatial interconnection between the existing regencies/cities. The data used on the research was panel data of which approach was spatial econometric. The chosen model was then spatial error with fixed effect. The result shown that the interaction performed between regencies/ cities and its neighboring regencies/ cities in East Java was sufficiently high of which rate was 0,470 of range value 0 until 1. The performance of such interaction triggered the income imbalance in East Java. The spatial effect coming out can be observed from values effect of each regencies/cities each of which was added by using intercept value on the model. The result indicated that spatial affected the increase of imbalance of income in all regencies/cities in East Java except the Regency of Lamongan. By considering spatial aspect, it can be concluded that the increase of the balance of fund significantly gave positive impact to the income imbalance in East Java. Other factors positively affecting were medical personnel and Regional Minimum Wage (UMR). Nevertheless, the factor of labors of industry apparently negatively affected the index of imbalance in East Java.
Revisi 6 Desember 2013 Dinyatakan Dapat Dimuat 9 Desember 2013 KATA KUNCI: dana perimbangan, ketimpangan pendapatan, ekonometrika spasial.
Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh dana perimbangan terhadap ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Timur tahun 2008-2011 dengan mempertimbangkan keterkaitan spasial antar kabupaten/kota yang ada. Data yang digunakan adalah data panel dengan pendekatan spatial econometric. Model yang terpilih adalah spatial error with fixed effect. Hasil analisis menunjukkan bahwa interaksi antara satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota tetangganya cukup tinggi di Jawa Timur yaitu sebesar 0,470 dari rentang nilai 0 hingga 1. Adanya interaksi spasial ini berdampak terhadap ketimpangan pendapatan di Jawa Timur. Dampak spasial yang terjadi dapat dilihat dari nilai efek individu masingmasing kabupaten/kota yang masing-masing dijumlahkan dengan nilai intercept pada model. Hasilnya menunjukkan bahwa aspek spasial berpengaruh terhadap kenaikan ketimpangan pendapatan pada seluruh kabupaten/kota yang ada di Jawa Timur kecuali Kabupaten Lamongan. Dengan mempertimbangkan aspek spasial, maka kenaikan dana perimbangan signifikan berpengaruh positif terhadap ketimpangan pendapatan di Jawa Timur, dan faktor lainnya yang berpengaruh positif adalah faktor tenaga medis dan UMR. Sedangkan faktor tenaga kerja industri ternyata signifikan berpengaruh negatif terhadap indeks ketimpangan di Jawa Timur.
1. PENDAHULUAN Strategi growth with equity yang telah dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 15 Agustus 2008, mendorong pemerintah daerah tingkat provinsi maupun kabupaten untuk menerapkan strategi tersebut sebagai usaha mengatasi ketimpangan pendapatan yang terjadi di masing-masing wilayah administratif. Keyakinan mengenai adanya trickle down effects dalam proses pembangunan, telah menjadi landasan pengambil kebijakan selama ini. Keyakinan tersebut mengarahkan strategi pembangunan untuk fokus pada pencapaian laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam suatu periode yang singkat. Konsekuensi negatif yang
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
akhirnya muncul (berdasarkan pengalaman masa orde baru) adalah, pusat pembangunan ekonomi nasional dan daerah dimulai pada sektor-sektor yang secara potensial mampu menghasilkan nilai tambah yang tinggi, terutama sektor industri dan jasa. Pembangunan juga difokuskan pada wilayah-wilayah yang telah memiliki infrastruktur lebih memadai terutama di Pulau Jawa. Hal ini menjadikan trickle down effects tidak begitu berlaku tetapi lebih kepada adanya indikasi trickle up effect. Pada kenyataannya yang tercapai hanyalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun growth with equity masih jauh dari harapan. Sehingga ketimpangan pendapatan antar
1
ANALISIS SPASIAL PENGARUH DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2008-2011 Shofwatun Hasna
wilayah muncul dalam proses pembangunan selama ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa gravitasi aktivitas ekonomi masih berada di Pulau Jawa. Penanaman modal baik Penanaman Modal Asing (PMA) atau Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pun cenderung terkonsentrasi di Pulau Jawa. Jawa Timur pernah menduduki peringkat pertama di jumlah proyek terbanyak tahun 2008 yang menggeser posisi DKI Jakarta di tahun 2005. Jawa Timur adalah sebuah provinsi di bagian timur Pulau Jawa, Indonesia. Selain provinsi dengan jumlah proyek terbanyak, Jawa Timur merupakan wilayah terluas diantara 6 provinsi di pulau jawa dan memiliki jumlah kabupaten/kota terbanyak di Indonesia. Jawa Timur sebagai pusat Kawasan Timur Indonesia memiliki signifikansi perekonomian yang cukup tinggi, yakni berkontribusi 14,71% terhadap Produk Domestik Bruto Nasional tahun 2010. Pada akhir tahun 2010 tersebut, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur mengalami peningkatan, yakni mencapai 6,67%. Besarnya pertumbuhan ini melebihi pertumbuhan nasional yang hanya 6,10%. Kontribusi Pulau Jawa terhadap PDB Nasional memang terbesar dibanding pulau lainnya, dan Jawa Timur berkontribusi terbesar kedua setelah DKI Jakarta. Jika ditengok dari jumlah penduduknya, penduduk Jawa Timur menduduki peringkat terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Barat, yaitu berjumlah 37.070.731 jiwa (2005) dengan kepadatan 784 jiwa/km2 (2010). Laju pertumbuhan penduduk Jawa Timur adalah 0,76% per tahun. Meski jumlah penduduk Jawa Timur terbanyak kedua setelah Jawa Barat, namun jumlah penduduk miskin di Jawa Timur lebih tinggi dari Jawa Barat, (BPS, 2012). Seperti halnya Jabodetabek yang mempunyai Jakarta sebagai pusat pertumbuhan, Jawa Timur mempunyai Surabaya sekaligus sebagai ibukota provinsi. Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Jumlah penduduk metropolisnya mencapai 3,110,187 jiwa di tahun 2012, yang semakin meningkat dibanding tahun 2010 sebesar 2.765.487 jiwa. Peningkatan jumlah penduduk ini seiring dengan pesona Kota Surabaya yang menjanjikan segala macam kemudahan dan memiliki posisi strategis sebagai pusat bisnis, perdagangan, industri, dan pendidikan di kawasan Indonesia timur sekaligus pusat pemerintahan. Banyak perusahaan besar yang berkantor pusat di Surabaya sehingga Surabaya menjadi incaran bagi orang-orang dari berbagai daerah. Terjadinya konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup tinggi di Surabaya, jelas mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Surabaya yang cenderung lebih cepat dibanding dengan kabupaten/kota lainnya. Pertumbuhan Surabaya menjadi pemicu pertumbuhan kabupaten/kota di sekitarnya, namun juga memicu ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Jawa Timur. Untuk kasus ekonomi sektoral di Jawa Timur, sektor pertanian masih mendominasi pasar tenaga
2
kerja pada tahun 2011 dengan persentase sebesar 39,70 persen. Penyerapan tenaga kerja terbesar selanjutnya adalah di sektor perdagangan dan industri dengan tenaga kerja masing-masing sebesar 20.63% dan 14,07%. Meski pertanian di Jawa Timur menyerap tenaga kerja tertinggi, akan tetapi kontribusinya terhadap PDRB ternyata lebih kecil daripada sektor industri dan perdagangan, (BPS, 2012). Dari kenyataan itu dapat dilihat bahwa ada ketimpangan dalam struktur ekonomi Jawa Timur, dimana sektor yang sudah mulai menyusut peranannya dalam menyumbang PDRB ternyata harus tetap menampung jumlah tenaga kerja yang jauh lebih banyak daripada yang seharusnya. Padahal, sektor pertanian adalah sektor basis mayoritas kabupaten di Jawa Timur. Akita dan Ali Syahbana 2002 (dalam Sjafrizal, 2012: 118), mengukur ketimpangan pembangunan antar provinsi berdasarkan theil index, yang menunjukkan bahwa Jawa Timur dari tahun 1993 hingga 1998 mempunyai nilai indeks theil yang terbesar dibanding semua provinsi di Indonesia dan cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Yunianto (2011) juga melakukan penelitian kesenjangan antar daerah di Jawa Timur yang menyatakan bahwa kesenjangan yang terjadi berdasarkan indeks Williamson tahun 1999 sampai 2008 cukup parah. Begitupula dengan penelitian Usman (2009) menyatakan hal yang sama, yaitu indeks kesenjangan tahun 1993 sampai 2008 terus mengalami kenaikan dan mempunyai tren naik. Penelitian ini akan menganalisis ketimpangan pendapatan di Jawa Timur dengan mengangkat beberapa faktor yang mempengaruhinya, dimana salah satunya adalah faktor alokasi dana pembangunan yang diwakili oleh dana perimbangan. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Indonesia mulai menerapkan prinsip otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dalam pelaksanaan pemerintah daerah. Sistem pemerintah daerah yang semula bersifat sentralisasi, berubah menjadi otonomi (desentralisasi) dimana pemerintah daerah diberi kewenangan yang lebih besar dalam mengelola pembangunan daerahnya masing-masing. Dalam bidang keuangan telah diterbitkan UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Tujuan utamanya adalah mendukung otonomi dengan memberikan dukungan keuangan dalam bentuk dana perimbangan. Sejalan dengan hal tersebut, daerah juga diberi kewenangan menambah pendapatan asli daerahnya selama tidak bertentangan dengan perundangan yang berlaku. Hal tersebut dilakukan dalam rangka mendorong dan meningkatkan aktifitas pembangunan infrastruktur daerah untuk kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini akan membuktikan apakah penerapan kenaikan desentralisasi fiskal mampu menurunkan ketimpangan pendapatan atau sebaliknya, justru menaikkan ketimpangan pendapatan di Jawa Timur.
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
ANALISIS SPASIAL PENGARUH DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2008-2011 Shofwatun Hasna
Beberapa faktor lain yang juga menentukan perubahan ketimpangan pendapatan selain dana perimbangan, adalah faktor tenaga kerja industri, tenaga medis, tenaga kerja terdidik, dan Upah Minimum Regional (UMR). Penelitian ini akan menganalisis pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap ketimpangan pendapatan dengan memperhitungkan aspek spasial. Faktor lokasi suatu region menentukan region-region tetangga. Region yang dikelilingi oleh region tetangga yang kaya akan tumbuh lebih cepat dibandingkan region yang dikelilingi oleh region tetangga miskin. Analisis ketimpangan pendapatan dengan memperhatikan keterkaitan spasial antar kabupaten/kota akan menghasilkan kesimpulan yang lebih tepat dibandingkan dengan mengabaikan keterkaitan spasial. Dengan demikian, hasilnya dapat digunakan sebagai pedoman untuk membuat prioritas kebijakan perencanaan pembangunan dalam rangka mengurangi ketimpangan pendapatan di wilayah Provinsi Jawa Timur. Diagram alur kerangka pemikiran dari penelitian ini diperlihatkan oleh bagan 1.1 sebagai berikut, Pembangunan ekonomi daerah Jawa Timur Ketimpangan pendapatan
Dana perimbangan Tenaga kerja industri Tenaga medis Tenaga kerja terdidik UMR
Mempertimbangkan aspek spasial Hasil penelitian
tidak merata di tiap provinsi itulah maka Dana Alokasi Umum (DAU) terbukti sebagai pemerata fiskal yang merupakan faktor paling dominan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan efektif mengurangi kesenjangan pendapatan antardaerah di Indonesia. Hal ini sejalan dengan penelitian Andry Nurman yang menyatakan bahwa DAU memiliki pengaruh positif yang signifikan di dalam meningkatkan disparitas pendapatan regional di Indonesia selama periode 2001-2008. Namun, untuk Dana Bagi Hasil memiliki pengaruh negatif yang tidak signifikan di dalam meningkatkan disparitas pendapatan regional, dan hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Waluyo. Peneliti terdahulu yang telah mempertimbangkan aspek spasial dalam model ketimpangan pendapatan adalah Garrett di USA dan Mildino di Pulau Jawa. Namun kedua peneliti tersebut tidak menggunakan variabel dana perimbangan. Perbedaan lain dari kedua penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada tujuan penelitiannya. Penelitian keduanya hanya bertujuan memilih model spasial yang terbaik. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah memilih model spasial terbaik yang kemudian digunakan untuk menganalisis pengaruh dana perimbangan terhadap ketimpangan pendapatan di Jawa Timur. Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi: 1. tingkat ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Timur tahun 2008-2011; 2. dampak aspek spasial terhadap ketimpangan pendapatan di Jawa Timur; 3. pengaruh dana perimbangan terhadap ketimpangan pendapatan di Jawa Timur dengan pendekatan spatial econometric; 4. faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi ketimpangan pendapatan di Jawa Timur.
Rekomendasi kebijakan
Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran Beberapa penelitian yang sejenis di Indonesia masih belum memasukkan aspek spasial kedalam model. Penelitian tentang pengaruh dana perimbangan terhadap ketimpangan pendapatan di Jawa Timur belum banyak diteliti. Penelitian Rama Nurhuda di Jawa Timur tahun 2013 menggunakan dana perimbangan yang hanya diwakili oleh DAU saja. Hasilnya menyatakan bahwa DAU tidak berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan di Jawa Timur periode 2005-2011. Sedangkan Penelitian di Indonesia telah dilakukan oleh Joko Waluyo (2007) dan Andry Nurman (2013). Joko Waluyo menyatakan bahwa dana bagi hasil pajak dan sumber daya alam terbukti memperburuk kesenjangan antardaerah. Dana bagi hasil pajak hanya menguntungkan daerahdaerah pusat industri dan jasa. Sedangkan dana bagi hasil SDA hanya menguntungkan daerah kaya SDA seperti Riau dan Kaltim. Karena persebaran SDA yang
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
2. KERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Pembangunan daerah adalah bagian integrasi dari pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui otonomi daerah. Penyaluran sumber daya nasional ke daerah, memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata. Professor Kuznets, pelopor analisis pola-pola pertumbuhan historis di negara-negara maju, telah mengemukakan bahwa pada tahap-tahap pertumbuhan awal, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal itu akan membaik. Kusnets menitikberatkan pada perubahan struktural yang terjadi pada pembangunan ekonomi. Ketika peranan sektor industri semakin meningkat, maka terjadi pergeseran dari sektor pertanian ke sektor industri modern termasuk industri pengolahan dan
3
ANALISIS SPASIAL PENGARUH DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2008-2011 Shofwatun Hasna
jasa. Dalam transisi ekonomi ini, produktivitas tenaga kerja pada sektor modern lebih tinggi daripada produktivitas sektor pertanian sehingga pendapatan perkapita pada sektor modern juga akan lebih tinggi. Hasilnya, ketimpangan semakin meningkat pada tahap awal pembangunan dan kemudian menurun pada tahap selanjutnya. Observasi ini membentuk gambar kurva U terbalik yang dikenal dengan hipotesis “U-Terbalik” Kuznets (Sjafrizal, 2012: 108). Ketimpangan pendapatan secara umum dapat dilihat dari perbedaan faktor alokasi dana pembangunan, konsentrasi kegiatan ekonomi, kondisi demografis dan kebijakan pemerintah (Sjafrizal, 2012: 112). Selain itu, Estudilo 1997 (dalam Mildino, 2011) menyatakan bahwa di Filipina faktor yang menyebabkan ketidakmerataan pendapatan adalah meningkatnya jumlah anggota rumah tangga terdidik dan ketidakmerataan tingkat upah. Perbedaan alokasi dana pembangunan yang dapat mempengaruhi ketimpangan pendapatan, dalam penelitian ini diwakili oleh dana perimbangan. Dana perimbangan yaitu penjumlahan dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Alokasi Umum (DAU). DBH berasal dari penerimaan pajak maupun dari penghasilan dan pengelolaan sumber daya alam yang terdapat pada kota yang bersangkutan. Dana Alokasi Umum (DAU) berasal dari alokasi pemerintah pusat untuk pemerintah kota guna menutup fiscal gap daerah bersangkutan. Dana Alokasi Khusus berasal dari alokasi pemerintah pusat untuk membiayai program dan kegiatan di daerah yang termasuk dalam prioritas dan kepentingan nasional, karena itu arah penggunaan dana ini ditetapkan oleh pemerintah pusat pada setiap tahunnya. Daerah yang mendapatkan alokasi investasi pemerintah yang lebih besar akan cenderung mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat. Kondisi ini tentunya dapat mendorong proses pembangunan daerah melalui penyediaan lapangan kerja yang lebih banyak dan tingkat pendapatan perkapita yang lebih tinggi. Alokasi investasi pemerintah ke daerah lebih banyak ditentukan oleh sistem pemerintahan daerah yang dianut, bila sistem yang dianut bersifat sentralistik, maka alokasi dana pemerintah akan cenderung lebih banyak dialokasikan pada pemerintah pusat, sehingga ketimpangan antar wilayah akan cenderung tinggi. Akan tetapi bila sistem pemerintahan yang dianut adalah otonomi atau desentralisasi maka dana investasi pemerintah akan lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan ekonomi antar wilayah akan cenderung lebih rendah, (Sjafrizal, 2012: 121-122). Faktor-faktor lain yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan dalam penelitian ini adalah perbedaan konsentrasi kegiatan ekonomi yang diwakili oleh variabel tenaga kerja industri.
4
Wilayah kabupaten/kota dengan tenaga kerja industri tinggi menunjukkan suatu wilayah yang menjadi konsentrasi kegiatan ekonomi di Jawa Timur. Konsentrasi kegiatan ekonomi salah satunya disebabkan oleh terdapatnya sumber daya manusia yang berkualitas. Pertumbuhan ekonomi daerah akan cenderung lebih cepat pada daerah dimana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang besar. Kondisi tersebut akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat. Meningkatnya jumlah angkatan kerja industri berarti mendorong peningkatan output industri regional. Terjadinya konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup tinggi pada wilayah tertentu akan mempengaruhi ketimpangan pendapatan, (Sjafrizal, 2012: 121). Perbedaan kondisi demografis dalam penelitian ini dilihat dari perbedaan tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan. Tingkat pendidikan dalam penelitian ini diwakili oleh tenaga kerja terdidik dan tingkat kesehatan diwakili oleh tenaga medis. Daerah dengan kondisi tingkat pendidikan dan kesehatan yang baik cenderung mempunyai tingkat produktivitas kerja yang lebih tinggi. Kondisi ini selanjutnya akan mendorong peningkatan investasi sehingga akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah, serta mempengaruhi ketimpangan antar wilayah, (Sjafrizal, 2012: 120). Sedangkan kebijakan pemerintah yang mampu mempengaruhi ketimpangan pendapatan dalam penelitian ini, diwakili oleh variabel Upah Minimum Regional (UMR). Dalam teori ekonomi, upah dapat diartikan sebagai pembayaran atas jasajasa fisik maupun mental yang disediakan oleh tenaga kerja kepada para pengusaha (Sukirno, 2005). Perubahan tingkat upah akan mempengaruhi tinggi rendahnya biaya produksi perusahaan. Apabila tingkat upah naik, maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut. Pertama naiknya tingkat upah akan meningkatkan biaya produksi perusahaan, yang selanjutnya akan meningkatkan harga per unit barang yang diproduksi. Konsumen akan memberikan respon apabila terjadi kenaikan harga barang, yaitu mengurangi konsumsi atau bahkan tidak lagi mau membeli barang yang bersangkutan. Akibatnya banyak barang yang tidak terjual, dan terpaksa produsen menurunkan jumlah produksinya. Pengaruh turunnya target produksi, mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja yang dibutuhkan yang disebut dengan efek skala produksi atau scale effect. Kedua, apabila upah naik (asumsi harga dari barang-barang modal lainnya tidak berubah), maka pengusaha ada yang lebih suka menggunakan teknologi padat modal untuk proses produksinya dan menggantikan kebutuhan akan tenaga kerja dengan kebutuhan akan barangbarang modal seperti mesin dan lainnya. Penurunan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
ANALISIS SPASIAL PENGARUH DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2008-2011 Shofwatun Hasna
karena adanya penggantian atau penambahan penggunaan mesin-mesin disebut dengan efek substitusi tenaga kerja (substitution effect). Berkurangnya tenaga kerja karena scale effect dan substitution effect, akan menurunkan pendapatan masyarakat yang dapat mempengaruhi ketimpangan pendapatan. Penelitian ini akan menganalisis pengaruh dana perimbangan terhadap ketimpangan pendapatan serta beberapa faktor lainnya yang turut berpengaruh, dengan memperhitungkan keterkaitan spasial (spatial dependence) di dalam model. Secara umum spatial dependence dapat diartikan sebagai adanya hubungan fungsional antara apa yang terjadi pada satu titik ruang (space) dan apa yang terjadi di tempat lain. Karena pada umumnya dua daerah yang lokasinya saling berdekatan lebih memiliki interaksi yang lebih intensif dibanding dengan daerah yang berjauhan, sesuai dengan hukum geografi pertama Tobler (1979) yang menyatakan, ”Everything is related to everything else but near things are more related than distant things". Apabila spatial dependence tidak dimasukkan dalam model regresi maka spatial dependence hanya akan terekam dalam error term. Dengan perkataan lain, persamaan tidak dapat menjelaskan secara rinci fenomena apa yang sebenarnya terjadi, sehingga model regresi menjadi unreliable. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan, ”jika suatu model perekonomian tidak memasukkan faktor region tetangga dalam analisisnya, maka konsekuensi hubungan yang didapat akan bias, inconsistency, dan inefficient,” (Florax 2000: 27 dalam Subana 2005). Atas dasar beberapa tinjauan literatur tersebut maka hipotesa yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah, diduga: 1) tingkat ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2008-2011 masih tinggi; 2) aspek spasial berdampak terhadap indeks ketimpangan pendapatan di Jawa Timur; 3) dana perimbangan berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan di Jawa Timur; 4) faktor-faktor lain yaitu tenaga kerja industri, tenaga medis, tenaga kerja terdidik, dan Upah Minimum Regional, secara spasial berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan di Jawa Timur.
3.
METODE PENELITIAN
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang diambil dari dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. Data BPS diambil dari buku Produk Domestik Regional Bruto kabupaten/kota di Jawa Timur, buku Jawa Timur Dalam Angka dan berbagai dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder yang digunakan adalah data panel, yaitu penggabungan dari data cross section sebanyak 38 kabupaten/ kota di Jawa Timur dan data time series dari tahun 2008-
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
2011. Data sekunder yang diperoleh dari data statistik, laporan, atau referensi yang tersedia, diolah dan dianalisis dengan menggunakan alat dan metode statistik spatial econometric. Dalam penelitian ini pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan dari software WIRES, agar proses pengolahan data lebih cepat dan akurat. 3.1. Analisis Ketimpangan Pendapatan Tingkat ketimpangan pendapatan di Jawa Timur dalam penelitian ini diukur dengan indeks Williamson dan indeks Gini. Indeks Williamson digunakan untuk melihat ketimpangan distribusi pendapatan di provinsi Jawa Timur. Indeks Williamsons dihitung dengan menggunakan indikator data PDRB per kapita atas dasar harga konstan dan jumlah penduduk baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten/ kota. Koefisien Variasi Williamson atau tingkat ketimpangan tersebut berada di antara nilai 0 dan 1, semakin mendekati nilai 0 berarti tingkat ketimpangan pendapatan antarkota/kabupaten di provinsi tersebut semakin rendah atau terjadi pemerataan, tetapi jika koefisien variasi Williamson mendekati nilai 1 berarti tingkat ketimpangan antar kota/kabupaten di provinsi tersebut semakin tinggi. Rumus berikut adalah cara mencari indeks ketimpangan, dimana CVw adalah indeks ketimpangan, fi adalah jumlah penduduk di kabupaten/ kota, n adalah penduduk total provinsi, yi adalah PDRB perkapita atas dasar harga konstan di kabupaten/kota, dan y adalah PDRB perkapita atas dasar harga konstan provinsi, (Tambunan, 2003): n
CVw
(y i 1
i
y ) 2 ( f / n) y
.....................(1.1)
Dalam penelitian ini juga dilakukan penghitungan Indeks Gini untuk melihat ketimpangan distribusi pendapatan yang terjadi di 5 provinsi lain di Pulau Jawa, serta indeks ketimpangan Jawa Timur dan masing-masing kabupaten/kota yang ada. Ukuran Gini Ratio yang umumnya digunakan dalam berbagai studi adalah sebagai berikut: G
n n 1 yi y j ...............(2.1) 2n y i 1 j 1 2
~y
dimana y adalah pendapatan, adalah pendapatan rata-rata, dan n adalah ukuran jumlah penduduk. Nilai G akan berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila G=0 berarti terjadi pemerataan yang sempurna (setiap kelompok rumah tangga mendapat porsi pendapatan yang sama). Bila G=1 berarti terjadi ketidakmerataan atau ketimpangan yang sempurna dalam pembagian pendapatan. Dengan kata lain, sekelompok rumah tangga di suatu wilayah menikmati semua pendapatan, (Daryanto, 2012). Dalam penghitungan Gini Ratio pada penelitian ini, variabel y diproksi dengan total pengeluaran dan
~y diproksi dengan pengeluaran rata-rata perbulan.
Gini Ratio dihitung dengan bantuan software Stata. Indeks gini per kabupaten/ kota yang dihasilkan akan 5
ANALISIS SPASIAL PENGARUH DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2008-2011 Shofwatun Hasna
digunakan sebagai variabel endogen dalam analisis regresi spasial. 3.2. Spatial Econometric Panel Data Metode analisis spatial econometric panel data berusaha melihat dan memunculkan keterkaitan spasial (spatial dependence) dalam suatu model ekonometri. Elhorst (2003) dalam tulisannya menyatakan bahwa, dua masalah yang muncul ketika data panel masuk dalam komponen lokasi yaitu, 1) keterkaitan spasial mungkin akan muncul antara objek observasi di tiap periode waktu. 2) Parameter tidak homogen tetapi bervariasi di lokasi yang berbeda. Masalah pada regresi panel tradisional adalah tidak mampu memunculkan efek spasial (keterkaitan spasial) dalam model, padahal sudah jelas bahwa model ada dalam komponen lokasi, dan dalam lokasi pasti ada keterkaitan spasial antar region. Meski dalam regresi panel tradisional terlihat intercept yang berbeda, namun tidak tidak mampu menunjukkan perbedaan antar unit spasial. Satu atau lebih variabel yang relevan telah dihilangkan dari model atau ditangkap dalam bentuk fungsional yang salah. Model regresi data panel yang terdapat interaksi diantara unit-unit spasial akan memiliki variabel dependen spasial lag atau spasial proses pada error yang biasanya disebut model spatial lag dan model spatial error. Model Spasial Lag menunjukkan adanya pengaruh variabel independen pada ruang j terhadap variabel dependen ruang i. Model ini tersusun atas variabel spasial lag dependent (WY) yang berperan sebagai variabel independen. Model spasial lag dinyatakan pada persamaan berikut: N
yit wij yit xit i it ......................(3.1) j 1
dimana ρ adalah koefisien spasial autoregressive (parameter spatial lag),dan W adalah adalah matriks pembobot/ penimbang spasial dengan elemen-elemen diagonalnya sama dengan nol. Sedangkan model spatial error menentukan adanya korelasi antar ruang/space dalam nilai error. Model ini menggambarkan keterkaitan spasial yang terjadi pada error random-nya, oleh karena itu tersusun (W ) sebagai variabel independennya. Model spasial error dinyatakan pada persamaan berikut: yit = xit β + µi + φit ………………………(4.1) N
it wijit it
………………………(4.2)
j 1
dimana adalah autokorelasi spasial pada error dan λ adalah koefisien autokorelasi spasial, (Elhorst, 2003). Matriks pembobot/penimbang spasial (W) dapat diperoleh berdasarkan informasi jarak dari satu region dengan regionyang lain (neighborhood). Metode yang digunakan untuk mendefinisikan hubungan persinggungan (contiguity) antar region dalam penelitian ini adalah Rook Contiguity (Persinggungan sisi). Persinggungan sisi mendefinisikan wij=1 untuk region yang bersisian (common side) dengan region yang menjadi perhatian,
6
wij=0 untuk region lainnya (LeSage, 1999). Sebagai contoh perhatikan gambar 1.1 pada lampiran yang merupakan ilustrasi peta yang terdiri dari 5 region. Dalam penelitian ini weight matrik dari masingmasing wilayah kabupaten/ kota di Jawa Timur, selain digunakan untuk regresi spatial econometric, juga digunakan untuk mengitung Moran’s I sebagai tahap awal sebelum regresi dilakukan, yaitu menganalisis karakteristik pengelompokan wilayah (keterkaitan spasial) dengan uji statistik sebagai berikut, (Anselin, 1988): ni 1 j 1 wij ( xi x)( x j x) n
I
n
n
n
i 1
j 1
wij i 1 ( xi x) 2 n
..........(5.1)
Dimana x merupakan rata-rata observasi, wijadalah penimbang keterkaitan antara wilayah i dan j. Moran’s I test dilakukan untuk melihat ada tidaknya indikasi spatial autocorrelation. Nilai indeks Moran’s I berada pada rentang -1 < I < 1. Jika I positif secara signifikan maka akan terjadi pengelompokan wilayah yang memiliki karakteristik sama (daerah dengan indeks rasio gini tinggi dikelilingi oleh daerah tetangga dengan indeks rasio gini tinggi juga, atau sebaliknya). Sedangkan jika I negatif secara signifikan maka terjadi pengelompokan wilayah dengan karakteristik yang tidak sama (daerah dengan indeks rasio gini tinggi dikelilingi oleh daerah tetangga dengan indeks rasio gini rendah, atau sebaliknya). Sementara jika I bernilai nol maka tidak ada keterkaitan spasial antar wilayah. 3.3. Model Penelitian Berdasarkan uraian sebelumnya bahwa ketimpangan pendapatan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti perbedaan kondisi demografis, konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah, alokasi dana pembangunan, dan kebijakan pemerintah, maka rancangan model yang dibangun dalam penelitian ini adalah, Ketimpangan = f (Dana Perimbangan, TK industri, TK terdidik,tenaga medis, UMR) Model penelitian ini merupakan modifikasi dari model penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Mildino (2011) yang menganalisis pemilihan model terbaik dalam persamaan indeks rasio gini di Pulau Jawa. Model penelitian tersebut adalah sebagai berikut, a) Model Spatial Lag rginiit = ρW rginijt + β1 penduduk>60thnit + β2 TKindustriit + β3 TK terdidikit + β4 pertumbuhan_ekoit + β5 PDRBindit + µi + εit b) Model Spatial Error rginiit = β1 penduduk>60thnit + β2 TKindustriit + β3 TK terdidikit + β4 pertumbuhan_ekoit + β5 PDRBindit + øit
it wij jt it Model awal tersebut kemudian dimodifikasi dengan mempertahankan variabel TK industri dan TK terdidik, kemudian menambah tiga variabel baru yaitu
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
ANALISIS SPASIAL PENGARUH DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2008-2011 Shofwatun Hasna
variabel Dana Perimbangan, jumlah tenaga medis, dan UMR. Studi ini akan menganalisis pengaruh dana perimbangan terhadap ketimpangan pendapatan dan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya, sekaligus membuktikan adanya dampak spatial dependence antar kabupaten/kota terhadap ketimpangan pendapatan di Jawa Timur. Peneliti dalam hal ini membangun model baru yang dimodifikasi dari model penelitian Mildino (2011), menjadi model spasial SAR dan SEM sebagai berikut: a) Model Spatial Lag rginiit = ρW rginijt + β1 DanaPerimbanaganit + β2 TKindustriit + β3 TKterdidikit + β4 Medisit + β5 UMRit + µi + εit b) Model Spatial Eror rginiit = β1 DanaPerimbanganit + β2 TKindustriit + β3 TKterdidikit + β4 Medisit + β5 UMRit + it
it wij jt it dimana, rginiit: indeks rasio gini yang mewakili ketimpangan pendapatan masing-masing kabupaten/ kota ρ, λ: koefisien spasial autoregressive. W: matriks pembobot spasial. Dana Perimbanganit: penjumlahan dari realisasi Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) masing-masing kabupaten/ kota dalam satuan ratusan milyar rupiah. TK industriit: persentase jumlah tenaga kerja usia diatas 15 tahun di sektor industri masing-masing kabupaten/kota. TK terdidikit: persentase jumlah tenaga kerja berpendidikan SMU, SMK, Diploma dan S1 masingmasing kabupaten/kota. Medisit : rasio jumlah tenaga medis per 100.000 penduduk di puskesmas maupun dinas kesehatan masing-masing kabupaten/ kota. UMRit : Upah Minimum Regional yang disetujui pemerintah daerah pada masing-masing kabupaten/kota (dalam satuan ratusan ribu rupiah). 3.4. Teknik Estimasi Teknik estimasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teknik estimasi maximum likelihood, Menurut Elhorst (2003) beberapa literatur spatial econometric telah menunjukkan bahwa maksimum likelihood efektif dalam mengatasi permasalahan estimasi dibanding dengan Ordinary Least Square (OLS), dimana pada kasus spasial error autokorelation, respon parameter dengan OLS adalah unbias tetapi tidak efisien. Sedangkan pada kasus yang sama menggunakan OLS di spasial lag, respon parameternya selain bias juga tidak konsisten. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut disarankan menggunakan teknik estimasi maximum likelihood.
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
3.5. Pemilihan Model Terbaik Dalam pemilihan model terbaik dilakukan uji Lagrange Multiplier yaitu menentukan pilihan model terbaik antara spatial lag atau spatial error berdasarkan kriteria perbandingan kebaikan model antara model spasial dengan pooled/common model. Lagrange Multiplier Test dan Robust Lagrange Multiplier Test digunakan untuk pemilihan model spasial yang paling cocok menggambarkan keadaan data sebenarnya. a.
Uji Lagrange Multiplier untuk model spasial lag Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah nilai koefisien untuk WY sama dengan nol. Jika nilai koefisien untuk WY tidak sama dengan nol secara signifikan, maka model spasial lag lebih baik untuk digunakan dari pada common model. Hipotesisnya adalah, H0:ρ = 0, (model pooled lebih baik untuk digunakan) H1: ρ ≠0, (model spatial lag lebih baik untuk digunakan) Statistik uji yang digunakan adalah:
LM Lag = 'WY B Dengan LM =
2
X 12 ..........................(6.1)
' ( I N JT NT 1 2 (T 1) '
..........(6.2)
Dimana JT = ﺎT’ﺎT ………….………………………(6.3) dan
~ ~ = Y -X ………………….………………….(6.4)
~2
~' ~ NT
..............................................(6.5)
B=[(WŶ)’M(WŶ)/
~2 ]+T.trace(WW+W’W...(6.6)
Uji Lagrange Multiplier Robust untuk Model Spatial Lag Statistik uji yang digunakan adalah: LM Lag Robust= 2
~ 'WY ˆ 'Wˆ 2 2 ˆ X 2 ......................(6.7) 1 B T .trace(WW W 'W )
b.
Uji Lagrange Multiplier untuk model spasial error Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah nilai koefisien untuk W sama dengan nol. Jika nilai koefisien untuk W tidak sama dengan nol secara signifikan maka model spasial error lebih baik digunakan daripada pooled.Hipotesisnya adalah, H0: λ = 0, (model pooled lebih baik untuk digunakan) H1:λ ≠ 0, (model spatial error lebih baik untuk digunakan)
7
ANALISIS SPASIAL PENGARUH DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2008-2011 Shofwatun Hasna
Statistik uji yang digunakan adalah: 2
LM Error =
ˆ 'Wˆ 2 ˆ X 12 ......(7.1) T .trace (WW W 'W )
Uji Lagrange Multiplier Robust untuk Model Spatial Error Statistik uji yang digunakan adalah: LM Error Robust = 2
~ ' WY ˆ ' Wˆ tB 1 2 2 ˆ X 12 .............................(7.2) 2 2 t t B
Dengan t = T.trace (WW+W’W)……………..(7.3) Jika dari uji Lagrange Multiplier menghasilkan kesimpulan bahwa model yang terbaik adalah model lag dan model error (kedua uji signifikan menolak H0), maka perlu dilakukan pengujian lanjutan. Uji lanjutan ini disebut dengan uji Lagrange Multiplier Robust. Kegunaan dari uji ini masih sama, yaitu untuk melihat apakah nilai koefisien untuk WY dan W sama dengan nol atau tidak. Oleh karena itu, hipotesis yang digunakan pun sama dengan Uji Lagrange Multiplier. Perbedaannya hanya terletak pada statistik ujinya. Sedangkan dalam menguji kelayakan penggunaan model panel antara fixedeffect atau random effect dilakukan Uji Hausman. Dasar dari uji Hausman adalah melihat apakah individual efect terjadi di error atau di intercept. Hipotesis yang digunakan dalam uji Hausman adalah: H0: Probability value> α (model random effect) H1: Probability value< α (model fixed effect)
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penghitungan Indeks Ketimpangan Pendapatan Ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Timur dengan Indeks Williamson menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 masih tinggi dan cenderung konstan. Indeks Williamson Provinsi Jawa Timur tahun 2008 sebesar 0,73078 dan turun menjadi 0,728214 pada tahun 2009. Namun pada dua tahun berikutnya Indeks Williamson Provinsi Jawa Timur sedikit meningkat menjadi 0,72811 tahun 2010, dan 0,73524 tahun 2011. Sedangkan penghitungan indeks gini Provinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa secara fluktuatif hasil Indeks Gini memberikan gambaran yang hampir sama dengan indeks Williamson. Hasil analisis menunjukkan bahwa Indeks Gini Provinsi Jawa Timur tahun 2008 sebesar 0.33192 dan turun pada dua tahun berikutnya menjadi 0.31492 tahun 2009, dan 0.31443 tahun 2010. Namun pada tahun 2011 Indeks Gini Provinsi Jawa Timur meningkat menjadi 0.47142 Penurunantingkat kesenjangan antar kabupaten/kota pada tahun 2009, disebabkanadanya 8
pengaruh krisis ekonomi tahun 2008 yang berdampak pada perekonomian Jawa Timur. Hal ini sejalan dengan krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 (dalam Kuncoro, 2010). Krisis ekonomi telah berdampak pada penurunan ketimpangan pendapatan di Indonesia yang disebabkan oleh menurunnya pendapatan masyarakat kaya, sehinggamenjadikan tingkat kesenjangan antara masyarakat kaya dan miskin menurun. Meski terjadi peningkatan indeks Williamson pada tahun 2010 hingga 2011, namun dilihat dari besaran nilai indeks williamsonnya masih berkisar pada nilai 0,7. Nilai ini menunjukkan bahwa selama empat tahun dari tahun 2008 hingga 2011, pemerintah Jawa Timur mampu menekan kenaikan ketimpangan pembangunan, sehingga nilainya cenderung konstan. Hal ini sejalan dengan kemampuan pemerintah Jawa Timur dalam menurunkan persentase penduduk miskin yang cenderung lebih cepat dibanding provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa. Pemerintah Jawa Timur mampu menurunkan persentase penduduk miskin tahun 2011 sebesar 1,03%. Nilai tersebut lebih besar dibanding dengan Jawa Barat yang hanya mampu turun sebesar 0,62%, Jawa Tengah (0,8%), DIY (0,75%), dan Banten (0,84%). Sementara DKI Jakarta justru mengalami kenaikan persentase penduduk miskin sebesar 0,27%. Berkurangnya penduduk miskin, diduga salah satunya karena meningkatnya Upah Minimum Provinsi (UMP) di tahun 2011. Namun, UMP untuk kaum buruh di Jawa Timur selama ini, dari tahun 2008 hingga 2010 tercatat terendah dibanding 5 provinsi lain di Pulau Jawa. Rendahnya UMP ini mendukung tingginya ketimpangan di Jawa Timur. Selain itu, Jawa Timur yang memiliki wilayah terluas dengan kabupaten terbanyak di Indonesia merupakan salah satu penyebab tingginya indeks Williamson di Jawa Timur. Hal ini dilandaskan pada Mori (2000, dalam Subana 2005), yang menyatakan pemikirannya bahwa kegiatan ekonomi tidak akan dapat terbagi secara sempurna dalam suatu wilayah yang besar. Wilayah tersebut dalam aljabar dapat dianalogkan dengan ruang, dimana beberapa bagian dari ruang sangat padat, orang dan perusahaan terkonsentrasi secara besar, sementara yang lainnya diisi orang-orang miskin dengan SDM rendah, dan sedikit perusahaan yang berlokasi. 4.2. Hasil Penghitungan Moran’s I Sebagai tahap awal sebelum melakukan regresi pada model, dilakukan penghitungan Moran’s I untuk mengetahui ada atau tidaknya autokorelasi spasial pada variabel Y (indeks gini). Namun, terlebih dahulu harus diketahui hasil dari weight matrix. Hasil perhitungan weight Jawa Timur menunjukkan bahwa kabupaten/ kota yang memiliki tetangga terbanyak adalah Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Malang, yaitu memiliki delapan tetangga. Semakin banyak tetangga nilai weight akan semakin kecil. Sedangkan wilayah yang memiliki sedikit tetangga, akan memiliki nilai weight yang besar, diantaranya adalah
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
ANALISIS SPASIAL PENGARUH DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2008-2011 Shofwatun Hasna
Bangkalan, Sumenep, Kota Kediri, Kota Malang, Kota Pasuruan, Kota Mojokerto, dan Kota Probolinggo, yaitu memiliki tetangga dekat 1 dengan nilai weight 1. Weight matrik ini kemudian digunakan untuk mengitung Moran’s I. Hasil penghitungan Moran’s I untuk indeks gini menunjukkan bahwa nilai Moran’s I tidak signifikan tahun 2008 hingga 2010 yaitu masing-masingbernilai -0.1011,0.0906, dan 0.1219. Hal ini berarti bahwadari tahun 2008 hingga 2010 menunjukkan tidak adanya indikasi keterkaitan indeks gini antar satu region dengan region tetangganya. Sedangkan pada tahun 2011 nilai untuk indeks gini signifikan yaitu sebesar 0.2318, yang menunjukkan bahwa ada indikasi keterkaitan indeks gini antar kabupaten/kota di tahun 2011, dimana region dengan indeks gini rendah dikitari oleh region dengan indeks gini rendah. Begitupula dengan region dengan indeks gini tinggi dikelilingi oleh region dengan indeks gini tinggi. 4.3. Hasil Uji Pemilihan Model Terbaik Pemilihan model terbaik apakah spatial lag atau spatial error dilakukan uji lagrange multiplier (LM). Hasil uji LM dan Robbust LM diperoleh kesimpulan bahwa model spatial panel econometric untuk spatial lag maupun spatial error sama-sama lebih baik digunakan daripada pooled/ common model karena keduanya signifikan pada α = 0,05 dan α=0,1. Perhatikan tabel 1.1. Tabel 1.1 Uji Lagrange Multiplier Uji LM LM lag LM error Robbust LM lg Robbust LM error
Probability value 38.391 ** 17.530 ** 24.130 ** 3.269 *
Keterangan: **signifikan pada α = 0,05 *signifikan pada α = 0,1
Langkah selanjutnya adalah memilih apakah fixed effect model atau random effect model yang cocok untuk mengestimasi model spatial error dan spatial lag dalam penelitian ketimpangan pendapatan di Jawa Timur. Dari hasil uji Hausman diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan model panel yang tepat untuk spatial lag dan spatial error adalah fixed effect, karena probability value keduanya signifikan. Jadi model fixed effect lebih baik digunakan daripada random effect. Perhatikan tabel 1.2. Tabel 1.2 Uji Hausman Hausman for spatial lag Hausman for spatial error
statistic value 10.859* 155.225**
Pengujian berikutnya adalah dengan uji Goodness of Fit melalui R square. Uji ini menginformasikan baik atau tidaknya model regresi yang diestimasi. R2pada model panel spasial lag, variabel X tidak mampu menjelaskan variabel Y karena bernilai negatif. Sedangkan R2 pada spasial error, variabel X mampu
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
menjelaskan Y sebesar 66,66%. Sehingga model terbaik adalah spatial error. Perhatikan tabel 1.3. Tabel 1.3 Uji Goodness of Fit (R2) R Square (R2) adj. R square Lag -4.4768 -4.6644 Error 0.6666 0.6552 Hasil R2 negatif pada spasial lag disebabkan oleh ketidakmerataan penyebaran indeks gini di Jawa Timur. Sebagaimana yang telah dibuktikan dari penghitungan Moran’s I bahwa indeks gini antar region tidak saling berkaitan atau menyebar tidak merata dalam tiga tahun pengamatan berturut-turut (2008-2010). Keterkaitan indeks gini antar region baru terjadi pada tahun 2011. Karena itulah model spasial yang lebih tepat adalah spasial error yang meletakkan keterkaitannya pada error, bukan pada variabel Y (indeks gini). Sehingga dapat disimpulkan bahwa model yang cocok digunakan dalam penelitian ketimpangan pendapatan di Jawa Timur adalah spatial error with fixed effect. 4.4. Uji Hipotesa dan Signifikansi Model Spatial Error with Fixed Effect Setelah melewati 3 tahap pemilihan model terbaik, maka dilakukan uji hipotesa dan signifikansi untuk model yang terpilih. Hasil estimasi model melalui pengolahan data dengan software WIRES ditampilkan dalam tabel 1.4. Tabel 1.4 Estimasi Spatial Error with Fixed Effect Intercept Lamda Dana Perimbangan TK industry TK terdidik Tenaga medis UMR R2
0.052* 0.470** 0.010* -0.003* 0.000 0.001** 0.019** 0.6666
Keterangan: **signifikan pada α = 0.05 *signifikan pada α = 0,1
Model ketimpangan pendapatan di Jawa Timur adalah sebagai berikut, rginiit = 0.052 + _i + 0,470W + 0.010 DanaPerit 0.003 TKindustriit + 0.001 medisit + 0.019UMRit Hasil estimasi spatial error with fixed effect menunjukkan bahwa variabel dana perimbangan, TK industri, tenaga medis, dan UMR signifikan mempengaruhi variabel indeks gini. Sedangkan variabel TK terdidik tidak signifikan mempengaruhi ketimpangan pendapatan. Dari data BPS 2010-2011 menunjukkan bahwa semakin banyak penduduk yang berpendidikan tinggi ternyata semakin banyak tingkat pengangguran di Jawa Timur. Umumnya kelompok berpendidikan tinggi berasal dari keluarga mampu yang dapat menggantungkan kebutuhan hidupnya dari orang tua atau anggota keluarga lainnya. Mereka
9
ANALISIS SPASIAL PENGARUH DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2008-2011 Shofwatun Hasna
lebih selektif dalam memilih jenis pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan yang ditamatkannya. Mereka lebih memilih menunda bekerja daripada mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan tingkat pendidikannya. Sedangkan penduduk yang berpendidikan rendah berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah (miskin). Mereka tidak mungkin bertahan hidup tanpa ada pekerjaan/ pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, sehingga pekerjaan apa pun akan diterimanya. Oleh karena itulah, semakin banyak kelompok penduduk berpendidikan tinggi maka akan semakin tinggi pula angka pengangguran di Jawa Timur. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa pada negara berkembang umumnya banyak terjadi pengangguran pada penduduk berpendidikan tinggi (SLTA keatas). Sebaliknya pada negara maju, semakin tinggi pendidikan, semakin rendah tingkat penganggurannya, (Borjas 1996: 436, dalam BPS 2012).Pada tahun 2009, lebih dari setengah (55 persen) dari angkatan kerja di Jawa Timur hanya lulus SD atau lebih rendah, termasuk sekitar 21 persen dari total angkatan kerja adalah belum pernah sekolah atau tidak menyelesaikan sekolah dasar. Angkatan kerja yang menikmati pendidikan sekolah setelah SLTA hanya sekitar 6 persen. Rendahnya tingkat tenaga kerja terdidik, dan tingginya pengangguran pada penduduk berpendidikan tinggi di Jawa Timur, merupakan hal yang menyebabkan TK terdidik tidak signifikan mempengaruhi ketimpangan pendapatan. 4.5. Dampak dari Aspek Spasial terhadap Ketimpangan Pendapatan Koefisien spatial autoregresive dari hasil regresi spatial error with fixed effect adalah sebesar 0,470 dengan probabilitas 0,000 signifikan pada α=05%, yang mempunyai arti bahwa aspek spasial berdampak terhadap indeks ketimpangan di Jawa Timur. Besarnya interaksi spasial antar satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota tetangganya yaitu sebesar 0,470. Nilai interaksi spasial ini berkisar antara 0 sampai dengan 1, sehingga nilai 0,470 menunjukkan nilai yang cukup tinggi karena mendekati 50%. Adanya interaksi spasial yang berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan pendapatan inilah yang tidak mampu ditangkap oleh model regresi tradisional. Sedangkan dampak aspek spasial terhadap ketimpangan pendapatan terlihat dari nilai individual effect masing-masing kabupaten/kota yang masing-masing dijumlahkan dengan nilai intercept 0,052. Dari penghitungan dampak aspek spasial yang dilakukan, maka yang mendapat dampak aspek spasial tertinggi adalah Kota Madiun, disusul kemudian oleh Kota Malang, Kota Blitar, Nganjuk, Pacitan dan Tulungagung yang masing-masing mendapat dampak aspek spasial diatas 0,088 (lampiran tabel 1.5). Dampak aspek spasial untuk Kota Madiun bernilai positif sebesar 0,107 yang berarti, jika terjadi perubahan interaksi spasial, yang ditunjukkan oleh adanya perubahan jumlah TK
10
industri, dana perimbangan, UMR, serta tenaga medis baik antar waktu maupun antar kabupaten/ kota, maka akan berpengaruh terhadap kenaikan indeks ketimpangan pendapatan di Kota Madiun sebesar 0,107. Hal ini berarti aspek spasial akan meningkatkan ketimpangan pendapatan di Madiun. Nilai indeks ketimpangan berkisar antara 0hingga 1, sehingga nilai sebesar 0,107 merupakan nilai yang cukup besar dalam mempengaruhi kenaikan indeks ketimpangan Kota Madiun. Sedangkan daerah yang mendapat dampak spasial terendah adalah Kabupaten Lamongan sebesar -0,01. Kabupaten Lamongan mendapat dampak spasial bernilai negatif yang berarti, jika terjadi perubahan interaksi spasial yang ditunjukkan oleh adanya perubahan jumlah TK industri, dana perimbangan, UMR, serta tenaga medis baik antar waktu maupun antar kabupaten/kota, maka akan berpengaruh terhadap penurunan indeks ketimpangan pendapatan di Kabupaten Lamongan sebesar 0,01. Hal ini berarti aspek spasial akan menurunkan ketimpangan pendapatan di Lamongan. Dari 38 kabupaten/kota yang ada di Jawa Timur, aspek spasial hanya akan menurunkan indeks ketimpangan Kabupaten Lamongan saja. Sedangkan pada 37 kabupaten/kota lainnya, aspek spasial berdampak terhadap peningkatan indeks ketimpangan. Hal ini menunjukkan bahwa jika terjadi perubahan interaksi spasial, yang ditunjukkan oleh adanya perubahan jumlah TK industri, dana perimbangan, UMR, serta tenaga medis baik antar waktu maupun antar kabupaten/kota, maka akan berpengaruh terhadap kenaikan ketimpangan pendapatan pada seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur selain Kabupaten Lamongan. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa, adanya interaksi spasial dan adanya dampak aspek spasial terhadap indeks ketimpangan inilah yang membedakan antara modeldatapanel spasial dengan model data panel tradisional. Kedua hal tersebut tidak mampu ditangkap oleh model panel tradisional. 4.6. Pengaruh Dana Perimbangan terhadap Ketimpangan Pendapatan Hasil regresi menunjukkan bahwa dana perimbangan berpengaruh positif terhadap indeks ketimpangan. Dari model diperoleh koefisien sebesar 0.010 dengan probabilitas 0,046 yang signifikan pada α=10% menunjukan bahwa setiap kenaikan 100 milyar rupiah dana perimbangan, maka akan menaikkan indeks ketimpangan sebesar 0,046. Dana perimbangan merupakan penjumlahan dari Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Bagi Hasil (DBH). DBH diperoleh dari pajak maupun non pajak, sedangkan DAU dan DAK diperoleh dari pemerintah pusat. Dalam desentralisasi, perencanaan dan pengelolaan pembangunan perlu didukung oleh kebijaksanaan penyerahan sumber-sumber keuangan yang memadai. Kebijaksanaan ini tidak hanya menyangkut besarnya
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
ANALISIS SPASIAL PENGARUH DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2008-2011 Shofwatun Hasna
dana yang dialokasikan kepada daerah, tetapi lebih lagi dibutuhkan pelimpahan kewenangan kepada daerah untuk menggunakan dana tersebut sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah. Pemberian sumber-sumber keuangan yang memadai perlu didukung oleh sumbangan dan bantuan dari pemerintah pusat. Peningkatan potensi penerimaan daerah hanya dapat dilaksanakan jika daerah mendapat sumber pendapatan yang potensial. Selama 2006-2010, secara rata-rata lebih dari 80 persen Pendapatan Asli Daerah (PAD) provinsi berasal dari pajak, keuntungan perusahaan besar, retribusi, serta hasil kekayaan daerah yang dipisahkan. Di tingkat kabupaten/kota, sumber PAD mayoritas berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Porsi kedua komponen PAD ini hampir sama yaitu rata-rata 36 persen untuk pajak dan 35 persen untuk retribusi. Besaran bantuan DAU dan DAK oleh pemerintah pusat disesuaikan dengan kemampuan masing-masing kabupaten/kota dalam memperoleh DBH (dari pajak maupun non pajak). Kabupaten/kota yang sudah mempunyai DBH tinggi akan mendapat alokasi DAU dan DAK yang relatif kecil. Sebaliknya kabupaten/kota yang mempunyai DBH rendah memperolehalokasi DAU dan DAK yang relatif lebih besar. Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk menyeimbangkan kemampuan pembangunan setiap wilayah kabupaten/kota yang ada. Namun fakta yang terjadi, alokasi dari DAK dan DAU oleh pemerintah tampak belum disesuaikan dengan tingkat pendapatan DBH masing-masing daerah, dimana alokasi DAK dan DAU tertinggi adalah kabupaten Malang. Padahal, data BPS menunjukkan bahwa Kabupaten Malang merupakan kabupaten yang memiliki DBH cukup tinggi. Sebenarnya masih banyak kabupaten/kota yang memiliki DBH lebih rendah dari kabupaten Malang, namun ternyata mendapatkan alokasi DAK dan DAU dibawahnya. Selain itu, Kota Surabaya juga mendapat alokasi DAK yang tinggi di tahun 2010 hingga 2011. Meski alokasi DAK terendah tahun 2008 pernah diduduki oleh Kota Surabaya, namun selama tiga tahun berturut-turut dari 2009 hingga 2011 alokasi DAK Surabaya terus meningkat dan DAK terendah beralih kepada Kota Kediri. Begitupula dengan alokasi DAU, Kota Surabaya mendapat alokasi DAU terbesar urutan keempat di tahun 2009 dan urutan keenam di tahun 2010. Padahal Kota Surabaya adalah kota dengan tingkat pendapatan DBH tertinggi di Jawa Timur. Hasil regresi dana perimbangan yang signifikan berpengaruh positif terhadap indeks ketimpangan disebabkan oleh penambahan dana tiap tahun yang belum sepenuhnya sesuai dengan pendapatan DBH masing-masing kabupaten/ kota, sehingga dana perimbangan tidak merata. Dana perimbangan yang signifikan berpengaruh positif terhadap indeks gini, penting untuk diperhatikan oleh pemerintah, khususnya pada distribusi dana di tiap kabupaten/ kota. Karena jika dana perimbangan tidak merata, maka tidak akan memberikan pengaruh terhadap
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
kemampuan kabupaten/ kota yang berpendapatan rendah untuk mengejar ketertinggalannya dengan kabupaten/kota yang telah maju. Data realisasi dari DAK tahun 2009 memperlihatkan bahwa realisasinya digunakan untuk 13 sektor yaitu, pendidikan, pelayanan dasar, pelayanan rujukan, infrastruktur jalan, infrastruktur irigasi, infrastruktur air minum dan sanitasi, kelautan dan perikanan, pertanian, lingkungan hidup, keluarga berencana, kehutanan, prasarana pedesaan, dan perdagangan. Realisasi DAK tertinggi di semua kabupaten/kota adalah pada sektor pendidikan. Daerah yang merealisasikan lebih dari 100%DAK yang diterimauntuk 13 sektor tersebut adalah Kota Surabaya, Sumenep, Madiun, Kota Madiun, Pacitan, Kota Blitar, Kota Kediri, Kota Mojokerto, Kota Malang, Kota Batu, Kota Pasuruan, Kota Probolinggo dan Lumajang. Daerah yang merealisasikan seluruhDAK yang diterima untuk 13 sektor tersebut adalah Gresik, Bangkalan, Blitar, Bojonegoro, Jombang, Kediri, Jember, Banyuwangi dan Bondowoso. Sedangkan daerah yang lainnya merealisasikan DAK kurang dari 100% untuk 13 sektor tersebut, yaitu (berurutan dari yang terendah) Tulungagung, Sampang, Ponorogo, Situbondo, Tuban, Ngawi, Trenggalek, Probolinggo, Magetan, Mojokerto, Lamongan, Malang, Nganjuk, Pasuruan, dan Pamekasan. Jika dilihat dari realisasi DAK saja, ternyata belum semua daerah merealisasikan DAK secara keseluruhan. Meski ada beberapa daerah yang merealisasikan DAK lebih dari DAK yang diterima, namun masih banyak juga daerah yang merealisasikan DAK dibawah alokasi DAK yang diterima.Daerah yang merealisasikan dana lebih dari DAK yang dimiliki berarti mengambil kekurangan dana pembangunan tersebut dari alokasi DAU. Alokasi dana perimbangan tahun 2009 tertinggi adalah Surabaya, disusul dengan Jember dan Malang. Jika dilihat dari realisasi DAK untuk 13 sektor tersebut, Surabaya merealisasikan semua DAK serta sebagian dari DAU yang diterima. Sedangkan Jember dan Malang masing-masing merealisasikan 100% dan 80% dari DAK yang diterima. Pemerintah perlu memperhatikan realisasi dari dana perimbangan khususnya realisasi DAK dan DAU di tiap kabupaten/kota. Dari analisis yang telah dilakukan, ternyata masih banyak kabupaten/ kota yang mendapat dana DAU dan DAK tinggi namun dana yang direalisasikan untuk pembangunan sangat rendah. Dari analisis realisasi DAU dan DAK ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa dari sisa DAU dan masih adanya dana dari DBH, menunjukkan bahwa sisa dana pembangunan di tiap pemerintah daerah kabupaten/kota masih sangat besar. Sisa dana tersebut dapat digunakan pemerintah daerah untuk sarana pemerintahan, kebutuhan gaji pegawai, serta kebutuhan lainnya (diluar kebutuhan 13 sektor yang telah disebutkan). Hasil penelitian yang dilakukan oleh salah satu LSM mencatat bahwa banyak Pemerintah Daerah yang mengalokasikan lebih dari 50 persen anggarannya
11
ANALISIS SPASIAL PENGARUH DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2008-2011 Shofwatun Hasna
hanya untuk belanja pegawai. Hal senada juga dapat dilihat dari data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan tahun 2011. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa terdapat 124 daerah yang belanja pegawainya menghabiskan lebih dari 60 persen alokasi dalam APBD tahun 2011. Dari 124 daerah tersebut, 16 diantaranya menggunakan 70 persen atau lebih APBD hanya untuk membayar gaji pegawai. Bahkan terdapat daerah yang 83 persen anggarannya tersedot untuk APBD, yakni di Kabupaten Lumajang, (Aditia, 2013). Walaupun DAK tumbuh dengan rata-rata 15 persen per tahun, dari satu trilyun rupiah menjadi 1,7 trilyun rupiah, namun nilai ini kurang memadai untuk dana pembangunan ekonomi di Jawa Timur. Secara rata-rata setiap kabupaten/kota di Jawa Timur menerima DAK sebesar 44 milyar rupiah (jika menggunakan data 2010). Sebagian besar atau sekitar 51 persen dana DAK dialokasikan untuk pendidikan. Porsi DAK untuk sektor infrastruktur di Jawa Timur hanya sebesar 20 persen dan hanya 5 persen untuk sektor pertanian, atau jika dihitung dari rata-rata per kabupaten/kota maka nilainya sebesar Rp. 9 milyar untuk infrastruktur dan 2,1 milyar rupiah untuk sektor pertanian. Salah satu penyebab tidak optimalnya pelayanan publik di daerah adalah alokasi anggaran yang tidak tepat sasaran. Anggaran daerah selama ini habis terserap pada alokasi belanja tidak langsung, seperti belanja pegawai, belanja bunga subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Padahal, jenis belanja ini merupakan belanja yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Sementara itu, alokasi belanja modal semakin mengecil. Akibatnya, pembangunan di daerah tidak dapat berjalan dengan baik (Aditia, 2013). Hal tersebut mengindikasikan bahwa dana pembangunan di tiap kabupaten/ kota belum terealisasi secara optimal. Alokasi dana pembangunan kurang direalisasikan untuk pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat. Jika hal ini terus berlanjut, maka pengalokasian dana pembangunan yang pada dasarnya bertujuan mengurangi fiscal gap, tidak akan mampu mengurangitingkat ketimpangan pendapatan di Jawa Timur. 4.7. Faktor-faktor Lainnya yang Mempengaruhi Ketimpangan Pendapatan di Jawa Timur 4.7.1. Tenaga Kerja Industri Hasil regresi menunjukkan bahwa variabel jumlah tenaga kerja industri berpengaruh negatif terhadap indeks ketimpangan. Dari model diperoleh koefisien sebesar -0.003 dengan probabilitas 0,001 yang signifikan pada α=5% menunjukan bahwa setiap kenaikan 1% TK industri maka akan menurunkan indeks ketimpangan sebesar 0,003.TK industri menggambarkan konsentrasi kegiatan ekonomi. Jika TK industri terpusat pada suatu wilayah, maka wilayah tersebut mempunyai kesempatan kerja yang tinggi. Kesempatan kerja yang tinggi inilah yang
12
akhirnya meningkatkan pendapatan masyarakat, pertumbuhan ekonomi meningkat, sehingga berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan. Jumlah unit usaha industri di Jawa Timur tahun 2009-2010 yang terbesar adalah pada unit usaha untuk industri kecil yaitu berjumlah 97,80%. Sedangkan jumlah unit usaha industri besar hanya 0,10% dan industri menengah sebesar 2,09%. Besarnya jumlah unit industri kecil di Jawa Timur, ternyata juga mampu menyerap tenaga kerja tertinggi yaitu sebesar 60,12%. Industri menengah menyerap TK sebesar 31,73% dan industri besar hanya sebesar 8,15%. Mayoritas perusahaan yang tersebar di seluruh kabupaten/ kota yang ada di Jawa Timur adalah perusahaan industri kecil. Dari fakta yang terjadi ternyata industri kecil di Jawa Timur menyerap tenaga kerja terbanyak, karena masih didominasi oleh industri padat karya. Sedangkan industri besar sudah didominasi oleh padat modal sehingga menyerap TK yang rendah. Besarnya kemampuan sektor industri kecil dalam menyerap tenaga kerja inilah yang menyebabkan proporsi TK industri mampu menurunkan ketimpangan pendapatan di Jawa Timur. Dari data BPS 2011 diperlihatkan bahwa penyerapan tenaga kerja sektor industri meningkat 7,37 persen. Selain itu, kontribusi sektor industri terhadap PDRB Jawa Timur menempati peringkat terbesar kedua setelah sektor perdagangan. Jumlah TK industri yang berpengaruh negatif terhadap indeks ketimpangan menunjukkan bahwa peran industri sangatlah besar dalam menurunkan ketimpangan pendapatan di Jawa Timur. Hal ini menjadi tugas pemerintah Jawa Timur untuk lebih memperhatikan perkembangan sektor industri masing-masing kabupaten/kota sehingga mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak lagi. 4.7.2. Tenaga Medis Hasil regresi menunjukkan bahwa variabel jumlah tenaga medis berpengaruh positif terhadap indeks ketimpangan. Dari model diperoleh koefisien sebesar 0.001 dengan probabilitas 0,000 yang signifikan pada α=5% menunjukan bahwa setiap kenaikan satu tenaga medis per 100.000 penduduk, maka akan menaikkan indeks ketimpangan sebesar 0,001. Penyediaan jumlah tenaga medis menunjukkan tingkat kesehatan di tiap kabupaten/kota. Daerah yang memiliki jumlah tenaga medis rendah, menyebabkan tingkat kesehatan masyarakat rendah, sehingga tingkat produktivitasnya pun rendah. Sebaliknya, daerah dengan jumlah tenaga medis tinggi menyebabkan tingkat kesehatan masyarakat tinggi, sehingga tingkat produtivitasnya pun tinggi. Tingkat produktivitas masyarakat yang tinggi akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah yang selanjutnya mempengaruhi ketimpangan pendapatan. Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi dengan wilayah terluas di Pulau Jawa. Luas wilayahnya sekitar 47,156 km yang terdiri dari daerah dataran tinggi (pegunungan), dataran rendah dan terdapat sekitar
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
ANALISIS SPASIAL PENGARUH DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2008-2011 Shofwatun Hasna
229 wilayah kepulauan. Penyebaran jumlah penduduk tertinggi berada di kota-kota besar seperti Surabaya, Malang dan Jember. Luasnya wilayah dan besarnya jumlah penduduk, menyebabkan berkembangnya beragam budaya yang dianut oleh masyarakat. Budaya tersebut tidak semuanya bersifat positif, tetapi tidak sedikit juga budaya yang dianut oleh masyarakat tidak sejalan dengan aspek-aspek pembangunan termasuk kesehatan. Hal ini pasti menjadi kendala bagi Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk memperjuangkan peran tenaga medis. Besarnya peran tenaga medis saat ini di Jawa Timur dapat dilihat dari besarnya persentase balita yang proses kelahirannya ditolong oleh tenaga medis yaitu sebesar 90,7 %, serta menurunnya angka kematian bayi yang diimbangi dengan angka harapan hidup, dan juga keikutsertaan Pasangan Usia Subur dalam program KB yang selalu menunjukkan tren naik dari tahun 2008 hingga 2011. Hal tersebut mengindikasikan bahwa semakin baiknya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan. Meski peran tenaga medis saat ini begitu besar di Jawa Timur, namun ternyata hasil regresi menunjukkan bahwa jumlah tenaga medis berpengaruh positif terhadap indeks ketimpangan. Hal ini disebabkan oleh fakta dilapangan bahwa distribusi tenaga medis di tiap kabupaten/ kota di Jawa Timur sangat berfluktuatif/tidak merata. Jumlah tenaga medis tahun 2009 mengalami penurunan dibanding tahun 2008, kemudian sedikit mengalami peningkatan di tahun 2010, dan melaju pesat di tahun 2011. Tenaga medis terbanyak adalah Sumenep dan Surabaya, disusul kemudian oleh Malang dan Lamongan. Selain itu, penambahan tenaga kerja tiap tahunnya ternyata belum sesuai dengan standar Indonesia Sehat, sehingga bukan merupakan faktor yang mampu mempengaruhi produktivitas masyarakat dan menurunkan indeks ketimpangan. Hal ini dibuktikan dengan data rasio bidan per 100.000 penduduk di Jawa Timur tahun 2010 yang menunjukkan hasil rasio rata-rata daerah memiliki 38 bidan per 100.000 penduduk, padahal standar Indonesia Sehat adalah 100 bidan untuk 100.000 penduduk. Selain itu, jumlah perawat dan bidan juga masih jauh dari standar Indonesia Sehat, yaitu terdapat rata-rata 94 perawat dan bidan untuk 100.000 penduduk, masih jauh dari standar Indonesia Sehat yang menetapkan perlunya penyediaan 117 bidan dan perawat untuk 100.000 penduduk. Ini berarti bahwa penyediaan bidan dan perawat di tiap daerah masih sangat kurang. Sedangkan untuk rasio jumlah puskesmas terhadap penduduk sebesar 1 dibanding 39.677 jiwa. Perbandingan rasio ini belum memenuhi standar minimal, yakni 1 banding 30.000, atau 1 puskesmas untuk 30.000 penduduk. Pelayanan kesehatan di Jawa Timur masih sangat bervariasi. Pada daerah tertentu terdapat rumah sakit dan puskesmas dengan peralatan, sarana prasarana, dan tenaga medis yang sangat terbatas. Bahkan ada beberapa wilayah tertentu di Jawa Timur tempat
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
tinggalnya sangat jauh dari sarana pelayanan kesehatan.Tetapi di sisi lain rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan terdapat banyak sekali di kotakota besar. Umumnya, keluhan masyarakat terhadap puskesmas adalah mengenai lambatnya pelayanan, administrasi yang berbelit, dan lamanya waktu tunggu. Akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan berkualitas pun terkendala oleh biaya, jarak dan transportasi. Pelayanan kesehatan yang murah dan berkualitas menjadi sangat relevan bagi masyarakat miskin. Namun fakta yang terjadi, pasien keluarga miskin ternyata tidak mudah mengakses pelayanan jaminan kesehatan gratis yang disediakan bagi mereka. Beberapa permasalahan kesehatan tersebut senada dengan yang disebutkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Jawa Timur tahun 2009-2014, yaitu diantaranya adalah rendahnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan, terbatasnya tenaga medis, rendahnya kesehatan penduduk miskin, rendahnya kondisi kesehatan lingkungan, dan kurangnya kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat. Hal ini menjadi kendala sangat serius bagi pemerintah untuk menjamin pemerataan penyediaan tenaga medis yang sesuai dengan standar Indonesia Sehat sekaligus berkualitas untuk seluruh masyarakat (tidak terkecuali juga untuk penduduk miskin), agar dapat memicu kenaikan tingkat kesehatan sehingga mempengaruhi produktivitas masyarakat dan dapat mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan di Jawa Timur. 4.7.3. Upah Minimum Regional (UMR) Hasil regresi menunjukkan bahwa variabel Upah Minimum Regional berpengaruh positif terhadap indeks ketimpangan. Dari model diperoleh koefisien sebesar 0.019 dengan probabilitas 0,000 yang signifikan pada α=5% menunjukan bahwa setiap kenaikan seratus ribu rupiah UMR, maka akan menaikkan indeks ketimpangan sebesar 0,019.Hasil regresi menunjukkan bahwa tingkat UMR Jawa Timur berpengaruh positif terhadap ketimpangan distribusi pendapatan. Besaran upah minimum sangat penting untuk tenaga kerja. Tingginya upah minimum di suatu daerah akan mendorong tingginya pendatang di daerah tersebut, sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah, yang selanjutnya dapat mempengaruhi ketimpangan pendapatan. Pemerintah Daerah Jawa Timur dari tahun 2008 hingga 2011, menetapakan tingkat upah yang tidak seragam di masing-masing kabupaten/kota. Setiap tahun tingkat upah selalu mengalami peningkatan, namun tetap besaran nominalnya tidak seragam di seluruh kabupaten kota yang ada. Ketentuan mengenai upah minimum lazimnya diterapkan dalam perusahaan-perusahaan yang memiliki hubungan kerja formal antara pengusaha dan pekerja, dan kondisi ini biasanya hanya terdapat pada perusahaan yang berstatus hukum dan memiliki izin usaha. Sehingga semua sektor yang menerapkan
13
ANALISIS SPASIAL PENGARUH DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2008-2011 Shofwatun Hasna
kebijakan penetapan upah minimum adalah perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor formal. Jawa Timur merupakan provinsi yang banyak mempunyai unit usaha informal dan penyerapan tenaga kerja informal lebih banyak dibandingkan sektor formal. Hasil temuan menunjukkan bahwa penetapan upah minimum tidak dijadikan acuan dalam pembayaran upah pekerja yang bekerja di sektor informal. Hal tersebut disebabkan oleh kondisi ekonomi yang tidak cukup menguntungkan, lapangan kerja yang tersedia amat terbatas sementara banyak orang membutuhkan pekerjaan untuk bertahan hidup, dan banyak tenaga kerja yang mempunyai sikap menerima pekerjaan yang tersedia dengan berapapun standar upah yang ditawarkan, daripada tidak memiliki penghasilan sama sekali. Perusahaan informal merupakan perusahaan yang tidak berstatus hukum dan tidak memiliki izin kerja. Tidaklah mengejutkan jika tidak ada satu pun dari perusahaan informal menerapkan kebijakan upah minimum. Diterapkannya upah minimum di sektor formal dan tidak diterapkannya di sektor informal inilah yang merupakan penyebab kenaikan UMR berpengaruh positif terhadap indeks ketimpangan pendapatan di Jawa Timur. Selain itu, kenaikan upah di Jawa Timur akan mendorong pengusaha industri besar untuk menggunakan teknologi padat modal dalam proses produksinya, yaitu menggantikan kebutuhan tenaga kerja dengan kebutuhan barang-barang modal seperti mesin dan lainnya. Hal ini terbukti dengan rendahnya penyerapan tenaga kerja di sektor industri besar tahun 2009-2010. Kenaikan upah minimum di Jawa Timur juga mendorong terjadinya distorsi dalam pasar tenaga kerja. Artinya dengan ketentuan upah minimum, maka buruh mempunyai kekuatan monopoli yang cenderung melindungi buruh yang telah bekerja dalam industri itu. Kekuatan serikat buruh yang cenderung memaksimumkan pendapatan dari buruh yang ada akan mendiskriminasi pendatang baru dalam pasar tenaga kerja. Kenaikan upah minimum di Jawa Timur menyebabkan penurunan kesempatan kerja di sektor industri besar. Kenaikan upah minimum lebih dinikmati buruh terdidik (white collar workers) dibanding buruh tidak terdidik (blue collar workers) karena perusahaan cenderung melakukan substitusi antar tenaga kerja, dan subtitusi antara tenaga kerja dan mesin. Penurunan kesempatan kerja ini merupakan salah satu penyebab kenaikan UMR berpengaruh positif terhadap kenaikan indeks ketimpangan pendapatan.
5.
KESIMPULAN
Hasil penghitungan Indeks Williamson di Jawa Timur menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan dari tahun 2008 hingga 2011 masih tinggi dan cenderung konstan. Fluktuasi indeks Williamson di Jawa Timur membentuk grafik yang hampir sama dengan indeks gini. Sedangkan hasil regresi dari
14
model ketimpangan pendapatan di Jawa Timur dengan spatial econometric menunjukkan bahwa interaksi antara satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota tetangganya cukup tinggi yaitu sebesar 0,470 dari rentang nilai 0 hingga 1. Adanya interaksi spasial ini berdampak terhadap ketimpangan pendapatan di Jawa Timur. Dampak aspek spasial yang terjadi dapat dilihat dari nilai individual effectpada tiap kabupaten/ kota yang masing-masing dijumlahkan dengan nilai intercept pada model. Hasilnya menunjukkan bahwa aspek spasial berpengaruh terhadap kenaikan ketimpangan pendapatan pada seluruh kabupaten/kota yang ada di Jawa Timur selain Kabupaten Lamongan. Dengan mempertimbangkan aspek spasial maka dana perimbangan secara signifikan terbukti berpengaruh positif terhadap ketimpangan pendapatan di Jawa Timur. Faktor-faktor lainnya yang turut mempengaruhi ketimpangan pendapatan di Jawa Timur adalah faktor tenaga kerja industri, tenaga medis dan UMR.
6.
IMPLIKASI DAN KETERBATASAN
Penelitian ini dapat memberikan wawasan bagi kalangan akademisi tentang pentingnya memasukkan spatial dependence kedalam model ketimpangan pendapatan karena proses kegiatan ekonomi selalu terkait dengan region tetangga. Jika suatu model ketimpangan pendapatan tidak memasukkan spatial dependence kedalam model, maka akan menghasilkan kesimpulan yang kurang tepat. Keterbatasan penelitian ini adalah periode analisis hanya dilakukan dalam jangka waktu 4 tahun mulai dari tahun 2008 sampai dengan 2011. Selain itu, penggunaan variabel eksogen dalam penelitian ini masih kurang mencukupi mengingat masih banyak variabel lain yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan di Jawa Timur. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini dengan menambahkan dan menggunakan variabelvariabel eksogen lain yang berpengaruh terhadap indeks ketimpangan pendapatan Provinsi Jawa Timur. Saran Kebijakan Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran kebijakan yang dapat direkomendasikan kepada Pemerintah Jawa Timur guna mengurangi ketimpangan pendapatan adalah, perencanaan pembangunan agar lebih diarahkan/diprioritaskan bagi daerah-daerah yang relatif tertinggal dengan tidak melupakan daerah yang lain. Dalam mengambil kebijakan pembangunan pemerintah perlu mempertimbangkan interaksi spasial, karena interaksi spasial telah memberikan pengaruh besar terhadap ketimpangan pendapatan di Jawa Timur. Untuk pemerataan alokasi dana perimbangan, peran yang bisa dilakukan pemerintah adalah menyesuaikan pengalokasian DAK dan DAU dengan tingkat pendapatan DBH masing-masing daerah, dimana alokasi DAK dan DAU tertinggi diberikan kepada kabupaten/kota yang memiliki DBH terendah,
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
ANALISIS SPASIAL PENGARUH DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2008-2011 Shofwatun Hasna
begitupula sebaliknya alokasi DAK dan DAU terendah diberikan kepada kabupaten/kota dengan DBH tertinggi. Selain itu, pemerintah perlu memberikan pengawasan terhadap realisasi dari dana perimbangan khususnya realisasi DAK dan DAU di tiap kabupaten/kota, agar investasi yang ditargetkan dapat tepat sasaran dan terealisasi secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat. Untuk faktor lain yang mempengaruhi ketimpangan pendapatan di Jawa Timur yang pertama adalah tenaga kerja industri. Tingginya jumlah persentase tenaga kerja industri menunjukkan tingginya tingkat konsentrasi ekonomi di suatu daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah akan cenderung lebih cepat dibanding daerah dengan tingkat konsentrasi ekonomi rendah. Kondisi tersebut menunjukkan adanya peningkatan penyediaan lapangan kerja, yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, serta mempengaruhi ketimpangan pendapatan. Pemerintah Jawa Timur perlu lebih memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan sektor industri masing-masing kabupaten/kota khususnya pertumbuhan sektor industri kecil dan menengah. Hal ini perlu dilakukan karena sektor industri kecil/menengah terbukti mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak dibanding sektor industri besar. Faktor kedua adalah tenaga medis. Daerah yang memiliki jumlah tenaga medis tinggi menunjukkah bahwa daerah tersebut memiliki tingkat kesehatan yang tinggi, sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, penyediaan tenaga medis berkualitas berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan. Salah satu peran yang bisa dilakukan pemerintah adalah memeratakan penyediaan tenaga medis terampil di seluruh kabupaten/ kota yang ada agar kualitas kesehatan masing-masing kabupaten/ kota tidak terlalu timpang dan mampu mempengaruhi tingkat produktivitas masyarakat serta mengurangi ketimpangan pendapatan. Faktor ketiga adalah UMR. Tingginya upah minimum di suatu daerah akan mendorong tingginya pendatang di daerah tersebut, sehingga upah minimum menjadi sangat penting untuk tenaga kerja. Pada penetapan Upah Minimum Regional, pemerintah perlu menyesuaikannya dengan pertumbuhan daerah dan tingkat harga barangbarang. Selain itu pemerintah perlu juga melihat kemampuan sektor informal di masing-masing kabupaten/kota. Selama ini sektor informal tidak memberikan upah pekerjanya sesuai upah minimum yang ditetapkan. Oleh karena itu, agar kesenjangan upah antara sektor formal dan informal tidak terlalu tinggi maka perlu disesuaikan besaran nominal upah minimum agar tidak terlalu timpang dengan upah yang mampu diberikan sektor informal.
DAFTAR PUSTAKA Aditia, Nico. 2011. Penyatuan Mekanisme Penganggaran Belanja Pegawai. 2013.
. Diakses 20 Juni 2013.
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
Anselin, L. (1988). Spatial Econometrics: Methods and Models. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. BPS. 2012. HasilSurvei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2011 Provinsi Jawa Timur. Surabaya: BPS. BPS. 2012. E-Book Statistik Provinsi Jawa Timur 2011. Surabaya: BPS. BPS. 2012. E-Book Statistik Provinsi Jawa Timur 2012. Surabaya: BPS. Daryanto, Arief. 2012. Yundy Hafizrianda. ModelModel Kuantitatif untuk Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah. Bogor: IPB Press. Elhorst, J.P. 2003. Specification and Estimation of Spatial Panel Data Models. International Regional Science Review 26, 3: 244–268. Florax, Raymond J.G.M. 2000. Spatial Econometric An Introduction Dept. of Spasial Economics. Masterpoint Free University De Boelelaan 1105 1081 HV Amsterdam The Netherlands, IAAE spatial Analysis Learning Workshop. Kuncoro, Mudrajat. 2010. Masalah, Kebijakan, dan Politik Ekonomika Pembangunan. Jakarta: Erlangga. LeSage, J.P. 1999. The Theory and Practice of Spatial Econometrics. Departement of Economics University of Toledo. Mildino, Sahar. 2011. Pemilihan Model Fixed Effect dan Random Effect pada Pemodelah Ekonometrika Spasial Data Panel (Studi Kasus : Pemodelan Indeks Rasio Gini propinsi di Pulau Jawa). Tesis, Tidak Dipublikasikan, ITS. Nurhuda, Rama. M.R. Khairul Muluk dan Wima Yudo Prasetyo. 2013. Analisis Ketimpangan Pembangunan (Studi di Provinsi Jawa Timur Tahun 2005-2011). Volume 1 Nomor 4.Hal 114. Diunduh dari http://administrasipublik. studentjournal.ub.ac.id pada tanggal 3 Desember 2013. Nurman, Andry. 2013. Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Disparitas Pendapatan Regional Indonesia Tahun 2001-2008. Volume 9 Nomor 1. Hal 13-15. Diunduh dari http://lppm.ut.ac.id pada tanggal 3 Desember 2013. Sjafrizal. 2012. Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Subana, Purri Andriaty. 2005. Analisa Pengaruh Spasial Tingkat Urbanisasi Tenaga Kerja Terhadap PDRB Kabupaten/ Kota di Pulau Jawa. Tesis, Tidak Dipublikasikan, FEUI. Sukirno, Sadono. 2006. Makroekonomi Modern. Jakarta: Rajawali Pers. Tambunan, Tulus. 2003. Perekonomian Indonesia: Beberapa Masalah Penting. Jakarta: Ghalia Indonesia. Tarigan, Robinson. 2005. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara. Todaro, Michael P. 2006. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga. Yunianto. 2011. Disparitas Pendapatan Antar Daerah dan Hubungan antara Disparitas Pendapatan dengan PDRB Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Timur. Tesis, Tidak Dipublikasikan, FEUI.
15
ANALISIS SPASIAL PENGARUH DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2008-2011 Shofwatun Hasna
Usman, Mochamad. 2009. Perkembangan Diparitas Sektoral dan Pendapatan Provinsi Jawa Timur. Tesis, Tidak Dipublikasikan, FEUI. Waluyo, Joko. 2007. Dampak Desentralisasi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Antardaerah di Indonesia Tahun 2001-2005. Diunduh dari http://sulutiptek.com pada tanggal 3 Desember 2013.
16
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
ANALISIS SPASIAL PENGARUH DANA PERIMBANGAN TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2008-2011 Shofwatun Hasna
LAMPIRAN
2 1 3
4
5
Gambar 1.1 Ilustrasi Peta (5 region)
1 2 3 4 5
1
2
3
4
5
0 1 1 0 0
1 0 1 1 0
1 1 0 1 1
0 1 1 0 1
0 0 1 1 0
1/2 1/3
1/4
1/3 1/2
Cara menghitung (Weight Matrix) W = 0 0,5 0,5 0 0 1 1
0,33 0 0,33 0,33 0 1
1
0,25 0,25 0 0,25 0,25 1
0 0,33 0,33 0 0,33
0 0 0,5 0,5 0
=
0,58 1,08 1,66 1,08 0,58 = 5
Tabel 1.5 Hasil Penghitungan Dampak Aspek Spasial Kota Madiun Kota Malang Kota Blitar Nganjuk Pacitan Tulungagung Magetan Kota Pasuruan Blitar Kota Probolinggo Trenggalek Situbondo Madiun Ngawi Kota Mojokerto Kota Kediri Lumajang Probolinggo Kota Batu
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
0.107 0.104 0.102 0.098 0.094 0.089 0.084 0.084 0.082 0.077 0.076 0.076 0.06 0.059 0.059 0.057 0.053 0.052 0.048
Pasuruan Sampang Tuban Ponorogo Gresik Kota Surabaya Jombang Sidoarjo Pamekasan Banyuwangi Kediri Bojonegoro Sumenep Jember Mojokerto Bangkalan Malang Bondowoso Lamongan
0.044 0.044 0.042 0.04 0.044 0.038 0.036 0.034 0.034 0.032 0.026 0.022 0.021 0.02 0.019 0.018 0.011 0.004 -0.01
17
Halaman ini sengaja dikosongkan
This page intentionally left blank
18
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013, Halaman 19-34 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
DAMPAK PENDAPATAN DAN HARGA ROKOK TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ROKOK PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI INDONESIA Nasruddin Djoko Surjonoa, Piping Setyo Handayanib aBadan bBadan
Kebijakan Fiskal, Indonesia. Email: [email protected] Pusat Statistisk, Indonesia. Email: [email protected]
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 19 juli 2013
The study estimated the cigarette dynamic demand model specification in Indonesia by using Linear Aproximation Almost Ideal Demand System (LA/AIDS) model. The goal of using such model was to know the amount of cigarette consumption on poor household when the increase of income, the increase of cigarette price, and consumption of other goods was put on the back burner when there was an increase in cigarette prices. The analysis was applied on National Economic Social Survey of Panel in 2008-2010. The result of study shown that cigarette was categorized as normal goods. The demand of cigarette upon poor household was inelastic
Revisi 6 Desember 2013 Dinyatakan Dapat Dimuat 9 Desember 2013 KATA KUNCI: pendapatan, harga, rokok, permintaan, LA/AIDS, rumah tangga miskin
1.
Studi ini mengestimasi model spesifikasi dinamis permintaan rokok di Indonesia menggunakan model Linear Aproximation Almost Ideal Demand System (LA/AIDS). Tujuannya adalah untuk mengetahui konsumsi rokok pada rumah tangga miskin ketika terjadi peningkatan pendapatan, kenaikan harga rokok, dan konsumsi barang lain yang dikorbankan ketika ada kenaikan harga rokok. Analisis diaplikasikan pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel 2008-2010. Hasil studi menunjukkan bahwa rokok merupakan barang normal. Permintaan rokok bersifat inelastis untuk rumah tangga miskin.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Konsumsi tembakau sering kali menciptakan lingkaran setan kemiskinan. Konsumsi tembakau dapat meningkatkan kemiskinan karena sumber pendapatan keluarga miskin yang terbatas justru dibelanjakan untuk konsumsi tembakau, dan bukan untuk kebutuhan pokok, seperti makanan, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan dan upaya meningkatkan gizi anak-anak dan keluarga (Irawan, 2005;2). Hal senada disampaikan oleh Ahsan (2012) bahwa konsumsi tembakau merupakan perangkap kemiskinan. Bagi keluarga miskin, sedikit saja pengalihan sumber pendapatan yang terbatas akan berdampak besar terhadap status kesehatan dan gizi mereka. Ancaman konsumsi tembakau untuk kesehatan, ekonomi, dan sosial masyarakat kini semakin nyata. Tingginya prevalensi perokok di Indonesia dewasa ini sangat memprihatinkan. Seperti yang dilansir Bisnis Indonesia (2 Januari 2012) bahwa rokok kretek filter memberikan sumbangan terbesar kedua pada Garis Kemiskinan yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Sungguh mengkhawatirkan bahwa di dalam pengeluaran makanan, banyak penduduk miskin yang membelanjakan pendapatannya untuk hal-hal yang
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
berdampak buruk bagi kesehatan diantaranya pengeluaran untuk rokok. Dalam upaya mengendalikan konsumsi rokok diperlukan pemahaman terhadap hubungan antara kemiskinan dan konsumsi rokok serta fakta terkait dengan rokok di Indonesia. Penelitian tentang pola konsumsi rokok di rumah tangga miskin masih sangat terbatas (Firdaus dan Suryaningsih(2010); Triana (2011)). Pada tahun 2010, sejumlah 190,260 penduduk Indonesia meninggal karena penyakit terkait konsumsi tembakau atau 12,7 persen dari total kematian (Kosen, 2012). Kosen juga menjelaskan bahwa secara makro, pengeluaran tembakau di Indonesia tahun 2010 menyebabkan pengeluaran yang tidak perlu sebesar 231,27 trilyun rupiah, yang terdiri dari 138 trilyun rupiah untuk pembelian rokok, 2,11 trilyun rupiah untuk biaya perawatan medis rawat inap dan rawat jalan, dan 91,16 trilyun rupiah kerugian akibat kehilangan produktivitas karena kematian premature dan morbiditas-disabilitas. Sementara realisasi penerimaan cukai hasil tembakau pada tahun 2010 hanya sebesar 63 trilyun rupiah. Rumah tangga di Indonesia yang mengkonsumsi rokok pada tahun 2003 mencapai 60 persen. Pada tahun 2003-2006 pengeluaran rumah tangga per
19
DAMPAK PENDAPATAN DAN HARGA ROKOK TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ROKOK PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI INDONESIA Nasruddin Djoko Surjono, Piping Setyo Handayani
bulan untuk membeli rokok meningkat, dari 42,4 ribu rupiah pada tahun 2003 menjadi 52,3 ribu rupiah pada tahun 2006. Sementara, pada tahun 2006 pengeluaran rumah tangga termiskin untuk rokok hanya terkalahkan oleh pengeluaran untuk padipadian. Tabel 1. Urutan Lima Besar Pengeluaran Rumah Tangga Termiskin (%), di Indonesia, Tahun 2003-2006 No.
Jenis Pengeluaran
Tahun 2005
2006
Padi-padian 19,01 19,19 20,16 Tembakau dan Sirih 2 11,78 11,55 12,43 (termasuk rokok) Listrik, 3 Telpon dan 8,29 9,08 6,68 BBM Sewa dan 4 7,37 8,84 8,31 Kontrak 5 Ikan 6,15 6,43 6,89 Sumber: Diolah dari Susenas 2003-2006
22,10
1
2003
2004
11,89
10,95 8,82 6,75
Hasil studi Irawan (2005) dan Ahsan (2012) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat kecanduan perokok, semakin miskin kondisi perekonomian keluarga. Porsi belanja rokok yang semakin besar akan mengurangi kemampuan keluarga untuk mencukupi kebutuhan lain, seperti makanan, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan dan upaya meningkatkan gizi anak-anak dan keluarga, pengobatan, terlebih menabung. Hasil studi yang hampir sama dikemukakan Efroymson, et.al. (2001), pengeluaran untuk konsumsi rokok akan mengakibatkan kemiskinan dan secara signifikan menurunkan standar hidup keluarga miskin. Berbagai kebijakan diambil oleh pemerintah untuk mengendalikan konsumsi rokok, diantaranya dengan menaikkan cukai rokok, sehingga harga rokok dari tahun ke tahun terus meningkat. Pemerintah terus berusaha menaikan cukai yang diharapkan dapat menurunkan konsumsi rokok masyarakat secara efektif. Di sisi lain program pengentasan kemiskinan dilakukan dengan cara menaikkan pendapatan mereka. Namun, kenaikan pendapatan tersebut diduga akan diikuti kenaikan konsumsi rokok rumah tangga. Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsumsi rokok rumah tangga miskin ketika terjadi kenaikan pendapatan dan harga rokok, serta untuk mengetahui belanja komoditi yang dikorbankan rumah tangga miskin ketika konsumsi rokok meningkat.
20
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Rokok Studi yang dilakukan Ross dan Chaloupka (2002) menerangkan bahwa konsumsi rokok dipengaruhi oleh harga rokok, harga barang lain, dan pendapatan per kapita. Sementara hasil studi Hidayat dan Thabrany (2010) menyatakan bahwa harga barang lain yang dapat mempengaruhi konsumsi rokok adalah alkohol, serta variabel status pekerjaan. Hasil tersebut sejalan dengan Wang, et.al.(2005) yang menemukan bahwa di Cina, alkohol merupakan komplemen dari rokok. Hal tersebut ditunjukkan dari adanya peningkatan persentase konsumsi rokok ketika pengeluaran untuk alkohol meningkat. Hasil yang sedikit berbeda dikemukakan oleh Wilkins, et.al.(2000), yang menyatakan bahwa variabel karakteristik individu dan rumah tangga yang mempengaruhi konsumsi rokok adalah umur, pendidikan, dan agama, sedangkan variabel pengendalian tembakau yang dapat mempengaruhi konsumsi rokok diantaranya adalah adanya fasilitas kesehatan dan akses terhadap iklan lewat media elektronik. Hasil penelitian yang dilakukan Harahap (2003), menyatakan bahwa faktor sosial demografi yang secara signifikan mempengaruhi jumlah konsumsi rokok adalah umur, pendidikan, jenis kelamin dan status perkawinan. Penelitian mengenai konsumsi rokok pada rumah tangga miskin di Pulau Jawa yang telah dilakukan oleh Firdaus dan Suryaningsih (2010) serta Triana (2011) menggunakan model dan variabel sosial demografi yang berbeda. Menurut Firdaus dan Suryaningsih (2010) faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi rokok rumah tangga miskin adalah pendapatan rumah tangga sebulan, jumlah anggota rumah tangga yang dewasa (18 tahun ke atas), dan konsumsi non rokok rumah tangga miskin sebulan. Sementara menurut Triana (2011) faktorfaktor yang mempengaruhi konsumsi rokok adalah jumlah anggota rumah tangga, tipe wilayah tempat tinggal, dan pendidikan kepala rumah tangga sebagai variabel kontrol dalam model konsumsi rokok. Menurut Ulfah (2012), ternyata salah satu faktor yang menyebabkan pesatnya konsumsi rokok adalah kapasitas pengetahuan yang tidak memadai tentang dampak negatif atau bahaya rokok bagi kesehatan. Hal tersebut didasarkan pada pendataan laju pertumbuhan konsumsi rokok dari masyarakat tingkat elit sampai ke bawah. Data menunjukkan adanya penurunan konsumsi rokok di kalangan masyarakat elit dengan kapasitas pengetahuan yang memadai, dan justru meningkat secara signifikan pada masyarakat strata rendah yang merasa tabu terhadap pengetahuan tentang bahaya rokok. 2.2. Fungsi Permintaan Konsumen Permintaan konsumen adalah jumlah barang yang diminta (diinginkan) oleh konsumen pada berbagai tingkat harga dan periode waktu tertentu. Apabila terjadi kenaikan harga pada suatu barang,
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
DAMPAK PENDAPATAN DAN HARGA ROKOK TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ROKOK PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI INDONESIA Nasruddin Djoko Surjono, Piping Setyo Handayani
maka jumlah barang yang diminta oleh konsumen akan turun, ceteris paribus. Teori permintaan konsumen neoklasik menjelaskan bahwa konsumen baik individu maupun rumah tangga harus membuat keputusan untuk memilih kombinasi barang yang dikonsumsi. Namun teori permintaan konsumen neoklasik mempunyai kelemahan dalam menjelaskan perilaku konsumen (Moeis, 2003), sehingga dianggap perlu untuk memasukkan faktor sosial demografi ke dalam sistem permintaan neoklasik. Untuk mengukur persentase perubahan permintaan suatu barang karena perubahan permintaan barang lain maupun pendapatan, digunakan ukuran elastisitas permintaan. Menurut teori konsumen, ada 3 jenis elastisitas permintaan, yaitu: 1. Elastisitas pendapatan adalah ukuran yang menunjukkan respon permintaan konsumen akibat terjadinya perubahan pendapatan konsumen. Elastisitas tersebut adalah: ∂x i
εiI =
∂I
xi
=
I
∂x i I ∂I x i
(1)
Jika εiI < 0, merupakan barang inferior dan jika εiI ≥ 0 merupakan barang normal. Barang normal dapat dikatakan barang pokok (necessities) jika 0 ≤ εiI ≤ 1 dan dikatakan mewah (luxurious) jika εiI > 1. 2. Elastisitas harga sendiri adalah ukuran yang menunjukkan respon permintaan konsumen akibat terjadinya perubahan harga komoditi itu sendiri. Elastisitas tersebut adalah: ∂x i
εii = ∂P i
xi Pi
=
∂x i P i ∂P i x i
(2)
Jika εii < 0 maka barang x termasuk barang normal, artinya jika harga naik maka permintaannya akan berkurang dan berlaku sebaliknya. Tetapi jika εii > 0 maka disebut barang giffen, artinya permintaan barang x akan meningkat jika harga barang tersebut naik. Suatu barang dikatakan inelastis sempurna jika εii = 0, inelastis jika 0 <εii < 1, elastis unitari jika𝜺𝒊𝒊 =1, elastis jika εii > 1, dan elastis sempurna jika εii = ∞. 3. Elastisitas harga silang adalah ukuran yang menunjukkan respon permintaan konsumen akibat terjadinya perubahan harga komoditi lain. Elastisitas tersebut adalah: 𝜕𝑥 𝑖
𝜀𝑖𝑗 = 𝜕𝑃 𝑗
𝑥𝑖 𝑃𝑗
=
𝜕𝑥 𝑖 𝑃 𝑗 𝜕𝑃 𝑗 𝑥 𝑖
(3)
dimana: Pi= harga barang i Pj= harga barang j xi= jumlah barang iyang diminta I= pendapatan Jika 𝜀𝑖𝑗 > 0 maka disebut sebagai barang substitusi, sedangkan 𝜀𝑖𝑗 < 0 disebut sebagai barang komplementer. Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat elastisitas harga, antara lain tingkat substitusi, jumlah
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
pemakai, proporsi kenaikan harga terhadap pendapatan konsumen, jangka waktu, dan tingkat harga. Semakin sulit mencari substitusi suatu barang, permintaan terhadap barang tersebut semakin inelastis dan sebaliknya. Jika harga bergerak pada kurva permintaan yang lebih tinggi, maka permintaan akan cenderung lebih elastis daripada jika harga bergerak pada kurva permintaan yang lebih rendah. 2.3. Almost Ideal Demand System Model dinamis permintaan rokok menghadapi permasalahan bahwa harga dan kualitas rokok sangat bervariasi, sehingga menimbulkan permasalahan endogenitas. Salah satu model permintaan rokok yang dinamis dan dapat digunakan untuk mengatasi masalah endogenitas yang disebabkan oleh adanya variasi harga adalah model LA/AIDS (Chen and Xing, 2011). Dalam studi ini peneliti menggunakan model LA/AIDS karena model tersebut secara teori maupun empiris mudah dan fleksibel untuk diaplikasikan (Lewbel, 1989 dalam Moeis, 2003). Model AIDS yang dikembangkan oleh Deaton and Muellbauer, (1980) diturunkan dari suatu fungsi utilitas dengan aproksimasi order kedua (second order approximation) dari fungsi utilitas. Bentuk umum model AIDS adalah: 𝑤𝑖 = 𝛼𝑖 +
𝑗
𝛾𝑖𝑗 𝑙𝑜𝑔𝑝𝑗 + 𝛽𝑖 𝑙𝑜𝑔
𝑦 𝑃
+ 𝑢𝑖 (4)
dimana wi adalah proporsi pengeluaran komoditi i, pj adalah harga komoditi j, y adalah total pengeluaran, dan P adalah indeks harga dengan bentuk fungsional sebagai berikut: 1
𝑙𝑜𝑔 𝑃 = 𝛼0 + 𝑖 𝑙𝑜𝑔𝑝𝑖 + 𝛾 𝑙𝑜𝑔𝑝𝑖 𝑙𝑜𝑔𝑝𝑗 (5) 2 𝑖 𝑗 𝑖𝑗 Penggunaan indeks harga seperti pada persamaan (5) membuat model AIDS berbentuk non linier dan sulit untuk diestimasi, sehingga indeks harga akan diestimasi dengan menggunakan Indeks Harga Stone, yaitu: logP =
i wi logpi (6)
Dengan menggunakan Indeks Harga Stone maka persamaan (4) menjadi linier dalam harga dan pengeluaran. Fungsi tersebut dikenal sebagai aproksimasi linier dari AIDS atau LA/AIDS. Model LA/AIDS banyak digunakan oleh para peneliti (Deaton (1988); Moeis (2003)). Beberapa kelebihan model LA/AIDS diantaranya adalah: a. Model mempertimbangkan keputusan konsumen dalam menentukan kelompok komoditi secara bersama-sama sehingga hubungan dua arah atau lebih dari komoditi-komoditi tersebut dapat ditentukan. Hal ini sesuai dengan fenomena aktual yang terjadi bahwa pemilihan suatu komoditi dilakukan oleh konsumen secara bersama-sama. b. Model lebih konsisten dengan data pengeluaran rumah tangga yang tersedia, sehingga estimasi permintaan bisa dilakukan tanpa data kuantitas.
21
DAMPAK PENDAPATAN DAN HARGA ROKOK TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ROKOK PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI INDONESIA Nasruddin Djoko Surjono, Piping Setyo Handayani
c. Konsisten dengan teori permintaan karena adanya restriksi yang dimasukkan ke dalam model dan dapat digunakan untuk menguji restriksi model. d. Karena modelnya linier maka parameternya mudah diestimasi dan lebih efisien. 2.4. Penelitian Terdahulu Studi di Indonesia yang dilakukan oleh De Beyer dan Yurekli (2001) menggunakan model log linier dan data agregat time series tahun 1980 sampai 1995 melaporkan bahwa nilai elastisitas harga sebesar-0,51 dan elastisitas pendapatan sebesar 0,35. Studi yang dilakukan Djutaharta, et.al.(2003), melakukan estimasi dengan menggunakan data tahunan (1970 sampai 2001) dan data bulanan (1996 sampai 2001).Variabel yang dimasukkan dalam model diantaranya adalah faktor peringatan kesehatan yang dicantumkan pada bungkus rokok di Indonesia, krisis ekonomi, dan tren waktu. Model yang dikembangkan tersebut menghasilkan nilai elastisitas harga yang sedikit lebih rendah yaitu antara -0,33 sampai -0,47, dan elastisitas pendapatan antara 0,14 sampai 0,51. Pada periode krisis, konsumsi rokok justru lebih besar 22 persen dibandingkan sebelum krisis. Alasan kenaikan konsumsi tersebut terkait dengan stres perokok karena krisis. Penyertaan variabel dummy peringatan kesehatan pada bungkus rokok dilaporkan tidak signifikan. Guindon, et.al., (2003) menggunakan data Indonesia tahun 1970-2000 dengan analisis runtun waktu. Model yang digunakan adalah model konvensional yang tidak memperhitungkan faktor adiksi, hasil studi menunjukkan nilai elastisitas harga jangka pendek sebesar -0,29 dan elastisitas pendapatan sebesar 0,72. Jika data tersebut diaplikasikan pada model myopic addiction dengan variabel lag untuk konsumsi rokok maka menghasilkan nilai elastisitas harga sebesar -0,32, dan elastisitas pendapatan sebesar 0,32. Hasil studi yang dilakukan oleh Hidayat dan Thabrany (2010), menggunakan agregat data panel dari IFLS 19932000, mendukung model myopic addiction. Elastisitas harga jangka pendek dan jangka panjang masingmasing adalah sebesar -0,28 dan -0,73. Studi lain yang pernah dilakukan di Indonesia adalah studi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya konsumsi rokok individu dengan menggunakan model sample selection (Harahap, 2003). Studi tersebut menganalisis data individu berskala nasional yang diperoleh dari IFLS 1997.Hasil studi menemukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya jumlah konsumsi rokok berbeda dengan faktor yang mempengaruhi partisipasi rokok.Harga rokok dan pendapatan memiliki hubungan yang signifikan dengan besarnya jumlah konsumsi rokok, dimana harga rokok berpengaruh negatif dan pendapatan berpengaruh positif terhadap konsumsi rokok. Variabel sosial demografi yang secara signifikan mempengaruhi jumlah konsumsi rokok adalah umur, pendidikan, jenis kelamin dan status perkawinan.
22
Analisis menggunakan data konsumsi tembakau pada tingkat rumah tangga memungkinkan eksplorasi yang lebih dalam menurut kelompok penduduk, umur, gender, pendapatan dan pendidikan (Barber, et.al., 2008). Adioetomo et.al.(2005) menggunakan data cross section tahun 1999 untuk menganalisis konsumsi tembakau secara lebih detail.Model yang digunakan adalah model Ordinary Least Square (OLS) dengan memasukkan harga rokok, pengeluaran rumah tangga, pengaruh cukai, wilayah, pulau terbesar, tempat tinggal, jenis kelamin, umur dan pendidikan sebagai variabel independen. Hasil studi melaporkan bahwa harga berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan rumah tangga dalam mengkonsumsi tembakau, tetapi harga mempengaruhi jumlah rokok yang dikonsumsi dengan elastisitas sebesar -0,60. Rumah tangga miskin lebih responsif terhadap perubahan harga, dengan elastisitas harga sebesar -0,70. Studi tersebut melaporkan adanya variasi harga yang cukup besar dalam data, terutama pada data cross section karena adanya bias sistematik dari data (Barber, et.al., 2008). Penelitian yang dilakukan Firdaus dan Suryaningsih (2010) juga menggunakan regresi berganda dan metode estimasi OLS, untuk mengetahui fungsi konsumsi rokok pada rumah tangga miskin di Pulau Jawa.Dari hasil pengolahan data didapatkan bahwa variabel pendapatan, anggota rumah tangga dewasa dan konsumsi non rokok mempengaruhi tingkat konsumsi rokok di Pulau Jawa. Model yang dikembangkan menghasilkan kesimpulan bahwa konsumsi rokok di Pulau Jawa adalah elastis. Hasil tersebut bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Triana (2011) dengan menggunakan model LA/AIDS, yang menyebutkan bahwa elastisitas harga untuk komoditi rokok pada rumah tangga miskin di Pulau Jawa bersifat inelastis baik di perkotaan maupun di perdesaan dan trennya cenderung meningkat. Elastisitas harga silang komoditi rokok menyatakan adanya hubungan komplementer antara rokok dengan komoditi makanan pokok, lauk pauk, telekomunikasi dan pendidikan dan hubungan substitusi dengan komoditi makanan lainnya dan komoditi non makanan lainnya. Berdasarkan elastisitas pengeluaran maka komoditi rokok termasuk barang mewah. Sejalan dengan studi Triana (2011), Barber, et.al.(2008) juga menyatakan bahwa permintaan rokok dikatakan bersifat inelastis, artinya persentase penurunan permintaan relatif lebih rendah daripada kenaikan harga. Dengan kata lain banyak perokok akan tetap melanjutkan kebiasaannya meskipun harus membayar harga yang cukup tinggi, tidak terkecuali bagi perokok yang berasal dari rumah tangga miskin. Studi mengenai rokok di Cina yang dilakukan oleh Wang, et.al.(2006) bertujuan melihat dampak pengeluaran tembakau terhadap pola pengeluaran rumah tangga di perdesaan. Dengan menggunakan model fractional logit (flogit) dilakukan estimasi hubungan antara pengeluaran tembakau dengan 17 pengeluaran komoditi lainnya, dan dikontrol
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
DAMPAK PENDAPATAN DAN HARGA ROKOK TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ROKOK PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI INDONESIA Nasruddin Djoko Surjono, Piping Setyo Handayani
Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian
menggunakan karakteristik sosial ekonomi dan demografi rumah tangga. Hasil studi Kyaing, et.al. (2005) menunjukkan bahwa konsumsi tembakau pada kelompok lowincome berhubungan dengan pengeluaran rumah tangga yang digunakan untuk tembakau dan opportunity cost dari pengeluaran tersebut. Survei dilakukan pada kelompok low-income, dan menemukan bahwa rumah tangga yang mengkonsumsi tembakau menghabiskan uangnya lebih banyak untuk mengkonsumsi tembakau daripada untuk kesehatan, pendidikan, pakaian dan perumahan. Persentase pengeluaran untuk konsumsi rokok paling besar terjadi pada kelompok pendapatan paling rendah. Elastisitas harga dan konsumsitembakau berkorelasi negatif, atau dapat dikatakan bahwa peningkatan harga tembakau secara efisien dapat menurunkan penggunaan tembakau. Hu, et.al.(2005) dan Liu, et.al.(2006) meneliti hubungan rokok dengan kemiskinan. Kedua penelitian tersebut menggunakan model regresi pada data yang berbeda. Hu, et.al. (2005) menyimpulkan bahwa penurunan pengeluran rokok dapat menjadi sumber daya rumah tangga untuk konsumsi makanan, perumahan dan barang lain yang dapat meningkatkan standar hidup. Sementara Liu, et.al.(2006) menyatakan bahwa penurunan prevalensi rokok tidak hanya merupakan strategi untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, tetapi juga merupakan strategi untuk mengurangi kemiskinan. Studi lain di Cina adalah studi yang dilakukan oleh Chen dan Xing (2011). Studi tersebut mengestimasi elastisitas konsumsi tembakau dengan menggunakan model LA/AIDS. Hasil penelitian tersebut menyebutkan
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
bahwa harga rokok merupakan faktor penting yang mempengaruhi kebiasan merokok. Berbagai penelitian mengenai tembakau dan rokok juga berkembang di India, diantaranya adalah Guptadan Sanker (2003) membahas berbagai isu mengenai tembakau di India. Studi Neufeld, et.al. (2004), menyatakan bahwa penggunaan alkohol dan tembakau di India berkaitan dengan umur, jenis kelamin dan kemiskinan. Sementara John (2005) dan (2008) menganalisis dampak pola konsumsi tembakau terhadap kesehatan dan alokasi sumber daya serta kecukupan gizi rumah tangga. Siahpush (2003) dengan menggunakan metode regresi logistik melihat hubungan antara status sosial ekonomi dan pengeluaran tembakau di Australia. Metode yang digunakan untuk mengestimasi efek pengeluaran tembakau adalah metode OLS. Hasil studi menyimpulkan bahwa status sosial ekonomi yang rendah mempunyai pengeluaran untuk tembakau yang lebih tinggi. Di antara rumah tangga perokok, rumah tangga yang mempunyai status sosial ekonomi terendah menghabiskan lebih banyak dananya untuk tembakau. Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: a. Rumah tangga miskin akan meningkatkan konsumsi rokoknya jika ada peningkatan pendapatan. b. Rumah tangga miskin akan mengurangi konsumsi rokok, jika ada kenaikan harga rokok. c. Rumah tangga miskin akan mengurangi konsumsi barang lain, jika pengeluaran untuk konsumsi rokok meningkat.
23
DAMPAK PENDAPATAN DAN HARGA ROKOK TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ROKOK PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI INDONESIA Nasruddin Djoko Surjono, Piping Setyo Handayani
3.
METODE PENELITIAN
3.1. Sumber Data Penulis menggunakan data Susenas Panel tahun 2008-2010 dan Potensi Desa (Podes) 2008. Data Susenas Panel 2008-2010 mencakup sampel 68.800 rumah tangga, 67.174 rumah tangga pada tahun 2009, dan 66.516 rumah tangga pada tahun 2010. Data Susenas dipilih karena dapat memperlihatkan informasi mengenai karakteristik sosial ekonomi dan sosial demografi rumah tangga, sedangkan data Podes digunakan untuk memperoleh data mengenai akses rumah tangga terhadap informasi maupun fasilitas kesehatan. Dalam penelitian ini, konsumsi rumah tangga baik untuk makanan maupun non makanan, akan dikelompokkan kembali menjadi 11 kelompok, terutama untuk komoditi yang diduga berpengaruh maupun dipengaruhi oleh konsumsi rokok. Pengelompokkan tersebut diperlukan untuk memudahkan peneliti dalam melakukan estimasi dan analisis. Selain itu dengan dilakukannya pengelompokkan tersebut diharapkan dapat mengurangi adanya bias akibat pengamatan yang kosong karena rumah tangga tidak mengkonsumsi jenis pangan tertentu pada waktu satu minggu periode survei. Adanya rumah tangga yang tidak mengkonsumsi salah satu komoditi pangan, akan memungkinkan terjadinya selectivity bias data (Moeis, 2003). 3.2. Spesifikasi Model Untuk mengetahui konsumsi rokok pada rumah tangga miskin, maka penelitian ini menggunakan model LA/AIDS. Model LA/AIDS yang digunakan adalah: 𝑤𝑖 = 𝛼𝑖0 +
𝑗 𝛾𝑖𝑗 𝑙𝑛𝑝𝑗 + 𝛽𝑖 𝑙𝑛 𝑦 𝑃 + 𝛼𝑖1 𝐴𝐺𝐸 +
𝛼𝑖2𝐸𝐷𝑈𝐶+𝛼𝑖3𝐴𝐷𝑈𝐿𝑇+𝛼𝑖4𝐸𝑀𝑃+𝛼𝑖5𝐼𝑁𝐹+𝛼𝑖6𝐹𝐴𝑆𝐾𝐸 𝑆 + 𝛼𝑖7 𝑇𝐼𝑃𝐸 + 𝛼𝑖8 𝐼𝑀𝑅𝑖 + 𝑢𝑖 (7) dimana i,j wi
= kelompok pengeluaran = proporsi pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi kelompok ke-i terhadap total pengeluaran pj = harga kelompok pengeluaran ke j yang tidak terobservasi (diproksi dengan unit value) y = jumlah pengeluaran rumah tangga P = Indeks Harga Stone, 𝑙𝑜𝑔𝑃 = 𝑖 𝑤𝑖 𝑙𝑜𝑔𝑝𝑖 AGE = umur kepala rumah tangga EDUC = lama sekolah kepala rumah tangga ADULT = persentase anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas EMP = dummy bekerja (1 jika kepala rumah tangga bekerja, 0 jika lainnya) INF = dummy akses terhadap informasi (1 jika rumah tangga mempunyai akses terhadap informasi, 0 jika lainnya) FASKES = dummy adanya fasilitas kesehatan (1 jika ada fasilitas kesehatan di sekitar rumah, 0 jika lainnya) TIPE = dummy tipe daerah (1 jika kota, 0 jika desa) 24
IMRi
= Invers Mills Ratio, variabel koreksi dari estimasi kelompok pengeluaran ke i yang dikonsumsi rumah tangga 𝛼𝑖0 , 𝛼𝑖1 , 𝛼𝑖2 , 𝛼𝑖3 , 𝛼𝑖4 , 𝛼𝑖5 , 𝛼𝑖6 , 𝛼𝑖7 , 𝛼𝑖8 , 𝛾𝑖𝑗 , 𝛽𝑖 = parameter dugaan ui = residual (error term) Restriksi model AIDS yang harus dipenuhi sebagai asumsi fungsi permintaan adalah: Adding-up: 𝑖 𝑤𝑖 = 1, 𝑖 𝛼𝑖 = 1, 𝑖 𝛾𝑖𝑗 = 0, Homogeneity: 𝑖 𝛾𝑖𝑗 = 0, untuk setiap i Symmetry: 𝛾𝑖𝑗 = 𝛾𝑗𝑖
𝑖
𝛽𝑖 = 0
Variabel tidak bebas proporsi pengeluaran (wi) merupakan hasil pembagian antara pengeluaran rumah tangga untuk kelompok komoditi tertentu dengan pengeluaran total rumah tangga. Rumus untuk proporsi pengeluaran dari masing-masing kelompok komoditi ke-i adalah: wi =
ei e
(8)
dimanaei merupakan nilai pengeluaran kelompok komoditi i dan e adalah nilai pengeluaran total rumah tangga. Variabel bebas harga kelompok komoditi tidak tersedia, sehingga harga dalam persamaan LA/AIDS akan diproksi dengan unit value, yaitu rasio pengeluaran komoditi terhadap kuantitas komoditi yang dikonsumsi. Unit value kelompok komoditi (pi) merupakan rata-rata tertimbang dari komoditikomoditi yang terdapat dalam kelompok komoditi i yang diformulasikan sebagai berikut: ji j=1
pi =
pj
ej ei
(9)
dimana ej adalah nilai pengeluaran komoditi ke j dan pj adalah harga komoditi j yang dibayarkan oleh rumah tangga dan didefinisikan sebagai: pj =
ej qj
(10)
dimana qj adalah banyaknya komoditi j yang dikonsumsi rumah tangga. Penggunaan variabel bebas harga-harga (pi) dan tidak bebas proporsi pengeluaran (wi) kelompok komoditi secara bersama-sama, akan mengakibatkan bias simultan (simultaneity bias) dan jika digunakan metode OLS, maka akan menghasilkan estimator yang bias. Untuk menghindari terjadinya simultaneity bias dan mengkoreksi harga-harga guna mengatasi quality effect dan quantity premium terhadap rumah tangga sampel yang mengkonsumsi suatu komoditi, maka digunakan instrument variable (Moeis, 2003). Hal tersebut dilakukan dengan mencari harga estimasi masing-masing komoditi untuk setiap rumah tangga sampel, dengan asumsi setiap rumah tangga belanja pada pasar yang sama untuk setiap desa dan setiap desa hanya memiliki satu pasar. Langkah pertama, dilakukan penghitungan logaritma natural dari harga rata-rata setiap komoditi di desa (lnpi ) dan menghitung deviasi dari log harga setiap komoditi (lnDi ) yang dibayar oleh setiap rumah tangga
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
DAMPAK PENDAPATAN DAN HARGA ROKOK TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ROKOK PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI INDONESIA Nasruddin Djoko Surjono, Piping Setyo Handayani
terhadap rata-rata harga setiap komoditi di setiap desa, dengan rumus: lnDi = lnpi − lnpi (11) dimana: pi = lnDi
h p hi
n
(12)
=
deviasi dari logaritma natural harga kelompok komoditi i yang dibayar rumah tangga pi = unit value kelompok komoditi i yang dibayar rumah tangga 𝑝𝑖 = rata-rata unit value kolompok komoditi i setiap desa di mana rumah tangga tinggal phi = harga kelompok komoditi i yang dikonsumsi rumah tangga h di setiap desa n = jumlah rumah tangga di setiap desa Setelah log deviasi harga diperoleh, selanjutnya dilakukan estimasi regresi deviasi harga dengan metode OLS menurut model ekonometri, sebagai berikut: lnDi = αi0 +
γij lnpj + βi ln y + αi1 AGE + αi2 EDUC j
+αi3 ADULT + α (12)
i4 EMP
+ αi5 INF + αi6 FASKES + ui
Setelah model regresi deviasi harga diperoleh, maka dilakukan estimasi log deviasi harga (lnDi ) dari setiap komoditi untuk setiap rumah tangga baik rumah tangga yang mengkonsumsi ataupun tidak mengkonsumsi komoditi tersebut dengan rumus: mengkonsumsi : lnpi = lnpi − lnDi (13) tidak mengkonsumsi : lnpi = lnpi − lnDi (14) dimana: pi = nilai estimasi unit value komoditi i pi = harga kelompok komoditi i pi = rata-rata harga kelompok komoditi i di setiap desa lnDi = nilai estimasi lnDi (mengacu pada persamaan 12). Dalam penelitian ini komoditi pengeluaran rumah tangga dikelompokkan menjadi 11 kelompok. Karena masih terdapat banyak rumah tangga yang tidak mengkonsumsi komoditi tertentu setelah dilakukan pengelompokkan, maka dilakukan prosedur two step Heckman. Prosedur two step Heckman dilakukan dengan cara menambahkan veriabel bebas Invers Mills Ratio (IMR) pada model utama. Untuk mendapatkan variabel IMR dilakukan tahapan sebagai berikut: Pertama mengestimasi peluang rumah tangga mengkonsumsi suatu kelompok komoditi dengan regresi probit. Model probit menggunakan variabel tidak bebas konsumsi setiap komoditi pengeluaran (konsumsi) yaitu bernilai 1 jika mengkonsumsi kelompok komoditi i dan bernilai 0 jika tidak mengkonsumsi. Sedangkan variabel bebas yang digunakan adalah harga-harga, total pengeluaran Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
rumah tangga, dan karakteristik sosial demografi rumah tangga. Model estimasi probit yang digunakan dalam penelitian ini adalah: konsumsii = αi0 + j γij lnpj + βi ln y αi1 AGE + αi2EDUC+αi3ADULT+α i4EMP+αi5INF+αi6FASKES+ui(15) Kemudian dilakukan estimasi nilai probit untuk setiap rumah tangga dan hasilnya digunakan untuk menghitung IMR. Kedua menghitung nilai IMR yaitu dengan membandingkan antara probability density function (PDF) dengan cumulative distribution function (CDF) normal standar dengan rumus: IMR =
PDF
(16)
CDF
Dengan mengacu pada Heien dan Pompelli (1998) maka model dasar LA/AIDS diperluas dengan menggunakan variabel sosial demografi. Variabel sosial demografi yang digunakan dalam penelitian ini dan diduga mempengaruhi besarnya konsumsi rokok pada rumah tangga miskin adalah umur kepala rumah tangga, lama sekolah kepala rumah tangga, persentase anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas, pekerjaan kepala rumah tangga, akses terhadap informasi, adanya fasilitas kesehatan, dan daerah tempat tinggal. Variabel presentase jumlah anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas digunakan untuk melihat persentase anggota rumah tangga yang sudah dewasa dan sebagai proksi dari umur pertama kali merokok. Variabel tersebut sering digunakan karena adanya keterbatasan data individu. Secara ekonomi semakin besar persentase rumah tangga yang dewasa maka pengeluaran rumah tangga yang digunakan untuk konsumsi rokok akan semakin besar pula. Mengacu pada persamaan di atas maka elastisitas harga sendiri (εii), elastisitas harga silang (εij), dan elastisitas pendapatan/pengeluaran (εiI) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: 𝜀𝑖𝑖 = − 1 + 𝛽𝑖 + 𝜀𝑖𝑗 =
𝛾 𝑖𝑗 𝑤𝑖
− 𝛽𝑖
𝜀𝑖𝐼 = 1 +
𝛽𝑖 𝑤𝑖
𝑤𝑗 𝑤𝑖
𝛾 𝑖𝑖 𝑤𝑖
(8)
(9)
(10)
dimana wi yang digunakan adalah wi rata-rata.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Konsumsi Rumah Tangga Berdasarkan persentase rumah tangga yang mengkonsumsi komoditi tertentu, maka terlihat bahwa selama tiga tahun pengamatan, konsumsi rumah tangga miskin untuk komoditi yang merupakan sumber protein tinggi masih rendah. Rumah tangga miskin lebih mengutamakan konsumsi untuk karbohidrat atau kalori, untuk sekedar menghilangkan rasa lapar tanpa memperhatikan kebutuhan nutrisi makanan yang harus dikonsumsi.
25
DAMPAK PENDAPATAN DAN HARGA ROKOK TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ROKOK PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI INDONESIA Nasruddin Djoko Surjono, Piping Setyo Handayani
Tabel 1. Persentase Rumah Tangga Miskin yang Mengkonsumsi dan Tidak MengkonsumsiKelompok Komoditi No 1
Kelompok Komoditi
2008 Konsumsi Tidak 98,51 1,49
Padi-padian Ikan/Udang/Cumi/D 2 90,99 aging/Telur/Susu 3 Sayur&Buah 99,22 4 Bahan Minuman 92,19 5 Minuman Beralkohol 1,14 6 Rokok 46,33 Tembakau & Sirih 7 34,51 Lainnya 8 Makanan Lainnya 99,96 9 Biaya Kesehatan 97,00 10 Biaya Pendidikan 66,19 Non Makanan 11 100,00 Lainnya Sumber: Diolah dari Susenas Panel 2008-2010
2010 Konsumsi Tidak 98,94 1,06
9,01
90,34
9,66
91,35
8,65
0,78 7,81 98,86 53,67
99,43 92,52 1,21 44,23
0,57 7,48 98,79 55,77
99,07 92,18 1,03 47,21
0,93 7,82 98,97 52,79
65,49
33,78
66,22
28,40
71,60
0,04 3,00 33,81
99,98 96,46 66,98
0,02 3,54 33,02
99,98 95,10 68,51
0,02 4,90 31,49
0,00
100,00
0,00
100,00
0,00
Kelompok komoditi terbanyak yang tidak dikonsumsi oleh rumah tangga miskin adalah kelompok minuman beralkohol, yaitu lebih dari 98 persen pada tahun 2008, 2009, maupun 2010. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya kesadaran masyarakat untuk tidak mengkonsumsi alkohol. Sementara kelompok non makanan lainnya dikonsumsi oleh semua rumah tangga miskin. Oleh karena semua rumah tangga mempunyai pengeluaran untuk konsumsi non makanan lainnya, maka tidak terjadi selectivity bias pada kelompok ini, sehingga tidak dilakukan regresi probit pada kelompok ini. Rumah tangga yang tidak mempunyai pengeluaran untuk rokok menunjukkan bahwa rumah tangga tersebut tidak mengkonsumsi rokok atau tidak ada anggota rumah tangga tersebut yang mengkonsumsi rokok. Persentase rumah tangga miskin yang merokok pada tahun 2008 mencapai 46,33 persen, sedikit menurun pada tahun 2009 dan meningkat kembali pada tahun 2010 menjadi 47,21 persen. Pada tahun 2009 persentase rumah tangga miskin yang mengkonsumsi rokok menurun karena adanya kenaikan harga dan kemudian meningkat kembali pada tahun 2010 meskipun terjadi kenaikan harga rokok pada awal tahun 2010. Dilihat dari rata-rata unit value-nya harga rokok yang dibeli oleh rumah tangga miskin pada tahun 2008, 2009, dan 2010, masing-masing adalah sebesar 196,44 rupiah, 391,10 rupiah, dan 502,73 rupiah. Standar deviasi unit value untuk rumah tangga miskin sangat bervariasi dan cukup tinggi pada semua kelompok komoditi. Hal tersebut menggambarkan adanya heterogenitas pada unit value. Keheterogenan ini bisa disebabkan oleh efek kualitas barang atau jumlah barang yang dibeli (Moeis, 2003). Pengaruh ini akan dihilangkan dengan melakukan estimasi deviasi dari logaritma harga yang selanjutnya akan diperoleh
26
2009 Konsumsi Tidak 98,80 1,20
harga estimasi yang terbebas dari quality effect dan quantity premium. Rumah tangga miskin yang mengkonsumsi rokok sekitar 40 persen. Rata-rata proporsi pengeluaran untuk rokok pada rumah tangga miskin berkisar antara 0,034-0,040. Harga rokok yang dikonsumsi oleh rumah tangga miskin relatif murah. Rendahnya rata-rata proporsi pengeluaran untuk rokok pada rumah tangga miskin sejalan dengan lebih rendahnya rata-rata unit value rokok pada rumah tangga miskin. Variabel bebas yang digunakan dalam model LA/AIDS adalah harga per kelompok komoditi, total pengeluaran rumah tangga, dan variabel sosial demografi rumah tangga yang digunakan sebagai variabel kontrol. Variabel total pengeluaran, umur kepala rumah tangga, lama sekolah kepala rumah tangga, dan persentase anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas merupakan variabel kontinu, sedangkan variabel status bekerja kepala rumah tangga, akses terhadap informasi, akses terhadap fasilitas kesehatan dan tipe daerah tempat tinggal merupakan variabel dummy. Karakteristik kepala rumah tangga yang diduga mempengaruhi permintaan rokok rumah tangga adalah umur, lama sekolah, dan status bekerja. Umur kepala rumah tangga diduga dapat mempengaruhi keputusan anggota rumah tangga untuk mengkonsumsi rokok. Pada tahun 2008 rata-rata umur kepala rumah tangga miskin adalah 47,82 tahun. Demikian pula tingkat pendidikan kepala rumah tangga juga diduga mempengaruhi cara rumah tangga untuk mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Dalam penelitian ini indikator yang digunakan untuk melihat tingkat pendidikan kepala rumah tangga adalah variabel lama sekolah. Rata-rata lama sekolah kepala rumah tangga miskin yaitu sekitar 4,59 tahun. Kepala rumah tangga miskin pada umumnya tidak tamat Sekolah Dasar.
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
DAMPAK PENDAPATAN DAN HARGA ROKOK TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ROKOK PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI INDONESIA Nasruddin Djoko Surjono, Piping Setyo Handayani
Variabel total pengeluaran rumah tangga sebulan dalam penelitian ini digunakan sebagai proksi dari pendapatan rumah tangga. Hal ini disebabkan karena data pendapatan yang tidak tersedia. Sedangkan yang digunakan sebagai variabel bebas dalam estimasi model adalah logaritma natural dari pengeluaran rumah tangga sebulan (lny). 831,957.47
850,000.00
800,000.00
770,156.49
750,000.00 696,647.39 700,000.00
650,000.00
600,000.00 2008
2009
2010
Sumber: Diolah dari Susenas Panel 2008-2010
Grafik1. Rata-Rata Pengeluaran Sebulan menurut Rumah Tangga Miskin (Rupiah) Rata-rata total pengeluaran sebulan untuk rumah tangga miskin pada tahun 2008 hanya sebesar 696.674,39 rupiah. Sementara pada tahun 2010, rumah tangga miskin mempunyai rata-rata pengeluaran sebulanmencapai 831.957,47 rupiah. Rumah tangga miskin mempunyai akses terhadap informasi dan fasilitas kesehatan yang relatif rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh sebagian besar rumah tangga miskin tinggal di desa yang tidak mempunyai fasilitas kesehatan dan susah mendapatkan akses terhadap informasi. Bila dilihat dari tipe daerah tempat tinggal maka rumah tangga miskin yang tinggal di pedesaan mencapai 56 persen, atau lebih dari separuh rumah tangga miskin tinggal di daerah pedesaan. Menghindari terjadinya simultaneity bias serta mengoreksi quality effect dan quantity premium, maka digunakan variabel instrumen untuk memproksi harga (Moeis, 2003). Variabel instrumen ini diperoleh dengan mengkoreksi unit value dari quality effect dan quantity premium. Unit value dikoreksi dengan estimasi deviasi harga yang diperoleh dari regresi persamaan (12). Variabel pengeluaran rumah tangga sebulan (lny) secara keseluruhan signifikan pada level 1 persen dan bertanda. Tanda positif dapat diartikan bahwa semakin besar pendapatan rumah tangga maka rumah tangga tersebut akan mengkonsumsi kelompok komoditi dengan kualitas yang lebih tinggi atau dengan unit value yang lebih mahal. Variabel sosial demografi rumah tangga cukup banyak yang signifikan dalam menjelaskan variabel deviasi log harga rokok, hanya variabel akses terhadap informasi dan akses terhadap fasilitas kesehatan yang kadang-kadang tidak signifikan. Hal ini berarti bahwa variabel akses terhadap informasi maupun akses terhadap fasilitas kesehatan kadangkadang tidak berpengaruh terhadap mahal atau
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
murahnya harga rokok yang dikonsumsi rumah tangga. Pada rumah tangga miskin tahun 2008, variabel akses terhadap informasi tidak signifikan mempengaruhi variabel deviasi log harga rokok. Variabel status pekerjaan, akses terhadap informasi, akses terhadap fasilitas kesehatan, dan tipe daerah tempat tinggal tidak signifikan mempengaruhi harga rokok yang dikonsumsi rumah tangga miskin pada tahun 2009. Berarti bahwa variabel-variabel tersebut tidak akan berpengaruh terhadap mahal atau murahnya rokok yang dikonsumsi oleh rumah tangga miskin. Pada rumah tangga miskin tahun 2010, variabel akses terhadap informasi dan fasilitas kesehatan tetap tidak berpengaruh pada deviasi log harga rokok. Variabel umur kepala rumah tangga miskin berpengaruh signifikan pada level 1 persen terhadap deviasi log harga rokok, namun tandanya negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tua umur kepala rumah tangga maka harga rokok yang dibeli akan semakin murah. Variabel sosial demografi lain yang signifikan dan bertanda negatif terhadap deviasi log harga adalah lama sekolah kepala rumah tangga dan tipe daerah tempat tinggal. Hal tersebut berarti bahwa kepala rumah tangga yang mempunyai pendidikan lebih tinggi justru akan membeli rokok dengan harga yang lebih murah. Rumah tangga miskin yang tinggal di daerah pedesaan juga cenderung akan membeli rokok dengan harga yang lebih murah dibandingkan rumah tangga miskin yang tinggal di daerah perkotaan. Sedangkan variabel persentase anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas dan status pekerjaan kepala rumah tangga berpengaruh signifikan dan bertanda positif terhadap deviasi log harga. Dapat diartikan bahwa semakin banyak anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas dan kepala rumah tangga yang bekerja akan mempengaruhi rumah tangga miskin untuk membeli rokok dengan harga yang lebih mahal. Hal ini wajar karena jumlah anggota rumah tangga yang dewasa dan kepala rumah tangga yang bekerja akan mempunyai pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepala rumah tangga yang tidak bekerja, sehingga mereka mempunyai kemampuan untuk membeli rokok dengan harga yang sedikit lebih mahal. 4.2. Estimasi Model Probit Estimasi sistem permintaan dengan model LA/AIDS menggunakan observasi rumah tangga yang mempunyai nilai proporsi kelompok pengeluaran tidak sama dengan nol. Artinya observasi yang akan digunakan dalam estimasi model hanya rumah tangga yang mengkonsumsi kelompok komoditi saja. Tidak dilibatkannya rumah tangga yang tidak mengkonsumsi kelompok komoditi akan mengakibatkan estimasi yang bias, sehingga perlu dilakukan koreksi dengan memasukkan variabel Invers Mill’s Ratio (IMR) dalam persamaan model
27
DAMPAK PENDAPATAN DAN HARGA ROKOK TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ROKOK PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI INDONESIA Nasruddin Djoko Surjono, Piping Setyo Handayani
utama. Pada penelitian ini, IMR hanya dihitung padasepuluh kelompok komoditi. IMR pada kelompok komoditi non makanan lainnya tidak dihitung. IMR dihitung dengan menggunakan prosedur Two Step Heckman. Pada tahap pertama, peneliti melakukan estimasi peluang mengkonsumsi kelompok komoditi dengan model probit. Pada tahap kedua menghitung IMR berdasarkan estimasi nilai probit. Hal yang menarik untuk dianalisis dari estimasi regresi probit adalah perubahan peluang rumah tangga untuk mengkonsumsi (marginal effect) suatu kelompok komoditi akibat perubahan variabelvariabel bebasnya. Variabel harga pada model probit untuk konsumsi rokok tahun 2008, baik variabel harga sendiri maupun harga silang pada rumah tangga miskin banyak yang signifikan, kecuali variabel harga untuk padi-padian dan minuman beralkohol. Koefisien variabel harga sendiri bertanda positif dan signifikan pada level 1 persen. Tanda positif mempunyai pengertian bahwa jika ada peningkatan harga kelompok komoditi maka akan menaikkan peluang rumah tangga untuk mengkonsumsi kelompok komoditi tersebut. Misalnya nilai marginal effect harga sendiri dari rokok pada rumah tangga miskin tahun 2008 sebesar 0,30226, artinya jika harga rokok naik 1 persen maka perubahan peluang rumah tangga miskin untuk mengkonsumsi rokok akan meningkat sebesar 0,30226. Berbeda dengan harga sendiri, variabel harga silang memiliki tanda yang beragam walaupun sebagian besar signifikan dan bertanda negatif. Pada tahun 2008 koefisien harga silang yang bertanda positif dan signifikan hanya variabel harga untuk kelompok komoditi bahan minuman. Sementara variabel harga yang tidak signifikan adalah variabel harga untuk kelompok padi-padian dan minuman beralkohol. Nilai koefisien harga silang untuk konsumsi rokok pada rumah tangga miskin tahun 2008, lebih kecil dibandingkan dengan koefisien harga sendiri.Penjelasan tersebut mengimplikasikan bahwa harga rokok mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap peluang mengkonsumsi rokok.Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Harahap (2003) dan bertentangan dengan hasil penelitian Adioetomo, et.al.(2005), yang melaporkan bahwa harga rokok tidak signifikan berpengaruh terhadap keputusan rumah tangga untuk mengkonsumsi tembakau. Pada rumah tangga miskin tahun 2009, nilai koefisien harga silang yang tidak signifikan mempengaruhi peluang mengkonsumsi rokok adalah koefisien harga makanan lainnya, biaya kesehatan, dan biaya pendidikan. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, maka pada tahun 2010 koefisien harga silang yang tidak signifikan mempengaruhi peluang rumah tangga miskin mengkonsumsi rokok hanyalah koefisien harga biaya kesehatan. Uji parsial menunjukkan bahwa pada rumah tangga miskin variabel pengeluaran rumah tangga berpengaruh signifikan dan bertanda positif terhadap
28
peluang rumah tangga untuk mengkonsumsi rokok pada tahun 2008, 2009, dan 2010. Hal ini berarti bahwa semakin besar pendapatan rumah tangga maka semakin besar pula peluang rumah tangga tersebut untuk mengkonsumsi rokok. Variabel sosial demografi pada rumah tangga miskin hampir semuanya berpengaruh signifikan terhadap peluang rumah tangga mengkonsumsi rokok, baik tahun 2008, 2009, dan 2010, kecuali variabel akses terhadap informasi dan akses terhadap fasilitas kesehatan. Ini menunjukkan bahwa variabel sosial demografi yang digunakan cukup mampu menjelaskan peluang rumah tangga untuk mengkonsumsi rokok. Variabel umur kepala rumah tangga, lama sekolah kepala rumah tangga, dan tipe daerah tempat tinggal berpengaruh negatif terhadap peluang rumah tangga untuk mengkonsumsi rokok. Artinya bahwa semakin tua umur kepala rumah tangga dan semakin tinggi pendidikan kepala rumah tangga, maka rumah tangga tersebut akan mempunyai peluang yang lebih kecil untuk mengkonsumsi rokok. Sementara rumah tangga yang tinggal di daerah pedesaan juga mempunyai peluang yang lebih kecil untuk merokok. Variabel persentase anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas dan status pekerjaan kepala rumah tangga berpengaruh positif terhadap peluang konsumsi rokok rumah tangga baik pada tahun 2008, 2009, maupun 2010. Hal ini menunjukkan fakta bahwa semakin banyak anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas, maka semakin besar peluang rumah tangga tersebut untuk mengkonsumsi rokok. Besarnya peluang tersebut sejalan dengan kenyataan bahwa rata-rata usia merokok pertama kali adalah sekitar 17-18 tahun. Sedangkan kepala rumah tangga yang mempunyai pekerjaan akan memperbesar peluang rumah tangga untuk mengkonsumsi rokok. Hal tersebut dikarenakan kepala rumah tangga yang bekerja akan mempunyai kemampuan untuk membeli rokok dan banyaknya teman kerja yang merokok. 4.3. Estimasi Fungsi Permintaan Dalam penelitian ini selain dilakukan treatment untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi, juga dilakukan restriksi pada saat melakukan regresi untuk model LA/AIDS. Restriksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah adding-up, homogenitas dan simetri terhadap fungsi permintaan. Restriksi ini dilakukan agar fungsi permintaan yang diestimasi sesuai dengan teori permintaan. Restriksi homogenitas dan simetri dilakukan dengan memasukkan persamaan restriksi sebelum melakukan regresi untuk masing-masing model utama. Sedangkan restriksi adding-up pada penelitian ini dilakukan dengan cara mengeluarkan satu persamaan yang terakhir (persamaan untuk kelompok non makanan lainnya) dari sistem. Semua variabel yang terdapat pada kesepuluh persamaan menjadi variabel pada persamaan yang terakhir (kesebelas), kecuali variabel IMR.
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
DAMPAK PENDAPATAN DAN HARGA ROKOK TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ROKOK PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI INDONESIA Nasruddin Djoko Surjono, Piping Setyo Handayani
4.3.1. Koefisien Determinasi dan Kesesuaian Model Koefisien determinasi (R2) merupakan suatu ukuran untuk menerangkan persentase variasi variabel tidak bebas yang mampu dijelaskan oleh variabel bebas (Gujarati, 2003). Koefisien determinasi yang biasa digunakan untuk keperluan analisis adalah Adjusted R2, sedangkan untuk menguji kesesuaian model secara keseluruhan digunakan Uji F. Model LA/AIDS yang menggunakan restriksi dan diestimasi dengan OLS tidak menghasilkan Adjusted R2, maka dalam penelitian ini digunakan nilai koefisien determinasi dari model LA/AIDS tanpa restriksi. Dari hasil estimasi model diperoleh bahwa nilai Adjusted R2 rumah tangga miskin pada tahun 2008 bernilai antara 7,95 persen untuk proporsi pengeluaran kelompok minuman beralkohol dan 46,96 persen untuk proporsi pengeluaran kelompok non makanan lainnya. Nilai Adjusted R2 konsumsi rokok pada rumah tangga miskin pada tahun 2008, 2009, dan 2010 masing-masing adalah sebesar 17,61 persen, 8,45 persen, dan 9,75 persen. Nilai tersebut mengandung makna bahwa variabel-variabel harga, total pengeluaran, dan sosial demografi mampu menerangkan keragaman proporsi pengeluaran rokok yang di konsumsi rumah tangga miskin sebesar 17,61 persen, 8,45 persen, dan 9,75 persen, sementara sisanya dijelaskan/dipengaruhi oleh faktor lain di luar model. Walaupun variabel-variabel bebas tersebut pada umumnya hanya mampu menerangkan keragaman proporsi pengeluaran kelompok komoditi kurang dari 50 persen, tetapi hasil Uji F menunjukkan bahwa semua model signifikan pada level 1 persen.Demikian pula dengan hasil uji statistik secara parsial (Uji t) menunjukkan bahwa sebagian besar estimasi parameternya signifikan pada level 1-10 persen. Sehingga secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa model yang diperoleh cukup sesuai dan model juga telah memenuhi restriksi fungsi permintaan yang disyaratkan. 4.3.2. Estimasi Parameter IMR Penggunaan IMR pada model fungsi permintaan LA/AIDS bertujuan untuk menghilangkan adanya selectivity bias pada suatu variabel bebas. Untuk mengetahui apakah terdapat selectivity bias, maka variabel IMR dimasukkan sebagai salah satu variabel bebas dalam model LA/AIDS. Apabila hasil uji koefisien IMR signifikan, maka terdapat bias dalam pemilihan sampel. Hasil studi menunjukkan bahwa hampir semua IMR signifikan pada level 1 persen, kecuali pada kelompok makanan lainnya pada rumah tangga miskin tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa pada semua kelompok komoditi terjadi selectivity bias sehingga IMR dapat dimasukkan sebagai variabel bebas dalam model utama. Variabel IMR tersebut berfungsi untuk mewakili rumah tangga yang tidak mengkonsumsi kelompok komoditi sehingga model juga akan terhindar dari selectivity bias.
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
4.3.3. Harga Komoditi Salah satu variabel bebas fungsi permintaan LA/AIDS yang digunakan pada penelitian ini adalah variabel harga-harga. Arah hubungan variabel harga dengan proporsi pengeluaran kelompok komoditi bisa positif maupun negatif. Tanda positif berarti bahwa perubahan harga akan mengakibatkan perubahan proposi pengeluaran kelompok komoditi ke arah yang sama, sedangkan tanda negatif menunjukkan arah perubahan proporsi pengeluaran kelompok komoditi yang berlawanan. Perbedaan atau kesamaan arah tersebut, terjadi karena proporsi pengeluaran merupakan pembagian antara jumlah rupiah yang dikeluarkan untuk konsumsi kelompok komoditi tertentu dengan total rupiah pengeluaran rumah tangga. Sedangkan jumlah rupiah pengeluaran kelompok komoditi tertentu merupakan perkalian antara harga kelompok komoditi dengan jumlah yang dikonsumsi. Jika kenaikan harga lebih besar daripada penurunan jumlah yang dikonsumsi, maka proporsi akan meningkat (positif), sebaliknya jika kenaikan harga lebih kecil daripada penurunan jumlah yang dikonsumsi maka proposi akan menurun (negatif). Hal yang menarik adalah estimasi parameter harga sendiri semuanya signifikan pada level 1 persen dan jika dibandingkan dengan harga silang maka koefisien harga sendiri kelompok rokok pada rumah tanga miskin bertanda negatif. Artinya bahwa dibandingkan dengan harga komoditi lain, harga sendiri mempunyai pengaruh yang paling besar terhadap proporsi pengeluaran komoditi dan jika harga komoditi tersebut meningkat maka akan menurunkan proporsi pengeluarannya. Dapat dikatakan bahwa pada umumnya rumah tangga akan merespon kenaikan harga suatu komoditi dengan menurunkan konsumsi komoditi tersebut, tetapi penurunan konsumsinya lebih sedikit daripada kenaikan harganya. Estimasi parameter harga silang rokok pada rumah tangga miskin ada yang bertanda negatif, dan berarti bahwa jika harga rokok naik maka rumah tangga akan meresponnya dengan mengurangi proporsi pengeluaran yang bertanda negatif. 4.3.4. Total Pengeluaran Selain harga, faktor utama yang mempengaruhi permintaan suatu barang adalah pendapatan. Dalam penelitian ini pendapatan diproksi dengan total pengeluaran rumah tangga. Total pengeluaran rumah tangga dalam fungsi permintaan adalah total pengeluaran riil, yaitu total pengeluaran rumah tangga yang dideflasi dengan Indeks Harga Stone. Variabel pengeluaran riil rumah tangga hampir semuanya berpengaruh signifikan dan semuanya berhubungan positif dengan proporsi pengeluaran kelompok komoditi rumah tangga miskin. Hal ini berarti bahwa jika total pengeluaran riil rumah tangga miskin meningkat, maka proporsi pengeluaran kelompok komoditi tersebut juga akan meningkat. Kondisi ini sesuai dengan Teori Agregasi Engel yang menyatakan bahwa jika pendapatan meningkat maka
29
DAMPAK PENDAPATAN DAN HARGA ROKOK TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ROKOK PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI INDONESIA Nasruddin Djoko Surjono, Piping Setyo Handayani
akan dialokasikan secara proporsional pada seluruh komoditi yang dikonsumsi (Nicholson, 2006). Satu hal yang menarik bahwa nilai absolut koefisien total pengeluaran terhadap proporsi pengeluaran rokok pada rumah tangga miskin memiliki nilai positif, yaitu sebesar 0,0382 pada tahun 2008. Artinya bahwa jika total pengeluaran rumah tangga meningkat 1 persen, maka proporsi pengeluaran rokok rumah tangga miskin akan meningkat sebesar 0,0382. Hal ini menunjukkan bahwa bagi rumah tangga miskin, pendapatan sangat besar pengaruhnya terhadap proporsi pengeluaran rokok. Implikasinya adalah semakin besar pendapatan rumah tangga miskin maka akan meningkatkan proporsi pengeluaran untuk rokok. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah, karena peningkatan pendapatan rumah tangga miskin justru akan meningkatkan belanja untuk komoditi yang membahayakan bagi kesehatan. Sementara program pengentasan kemiskinan justru akan terus berusaha untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga miskin. 4.3.5. Karakteristik Sosial Demografi Variabel sosial demografi yang digunakan dalam penelitian ini sebagian besar signifikan dengan berbagai arah hubungan. Pada model permintaan rokok rumah tangga miskin tahun 2008, variabel sosial demografi yang tidak signifikan adalah variabel akses terhadap fasilitas kesehatan. Berarti akses terhadap fasilitas kesehatan tidak berpengaruh terhadap permintaan rokok rumah tangga miskin. Variabel sosial demografi yang signifikan dan bertanda positif dengan proporsi pengeluaran untuk rokok pada rumah tangga miskin hanya variabel persentase anggota rumah tangga yang berumur 18 tahun ke atas. Hal ini berarti bahwa semakin besar presentase anggota rumah tangga berumur 18 tahun ke atas, maka proporsi pengeluaran rokok rumah tangga juga akan meningkat. Masih sama dengan tahun sebelumnya, pada tahun 2009, variabel sosial demografi yang tidak signifikan terhadap proporsi pengeluaran konsumsi rokok rumah tangga miskin, hanyalah variabel akses terhadap fasilitas kesehatan. Hal ini dapat diartikan bahwa pada tahun 2009, akses terhadap fasilitas kesehatan tetap tidak memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk rokok rumah tangga miskin. Tahun 2010 variabel sosial demografi yang tidak signifikan terhadap proporsi pengeluaran konsumsi rokok rumah tangga miskin adalah variabel status pekerjaan kepala rumah tangga, akses terhadap informasi, dan tipe daerah tempat tinggal. Artinya bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran konsumsi rokok rumah tangga miskin tahun 2010 tidak dipengaruhi oleh status pekerjaan kepala rumah tangga, akses rumah tangga terhadap informasi, maupun tipe daerah tempat tinggal rumah tangga tersebut.
30
4.4. Elastisitas Elastisitas permintaan merupakan suatu ukuran yang digunakan untuk melihat respon konsumen terhadap permintaan komoditi akibat perubahan harga sendiri, harga komoditi lainnya maupun pendapatan. Dalam penelitian ini pendapatan rumah tangga diproksi dengan pengeluaran rumah tangga, sehingga elastisitas pendapatan diestimasi dengan menggunakan elastisitas pengeluaran. Nilai β merupakan estimasi parameter dari koefisien total pengeluaran riil dan γ adalah estimasi parameter dari koefisien harga-harga yang diperoleh dari estimasi sistem permintaan. Sedangkan proporsi pengeluaran per kelompok komoditi diperoleh dari nilai rata-rata proporsi pengeluaran setiap tahun baik untuk rumah tangga miskin. Elastisitas pengeluaran semua kelompok komoditi pada rumah tangga miskin bernilai positif, kecuali kelompok komoditi minuman beralkohol. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua komoditi merupakan barang normal kecuali minuman beralkohol yang merupakan barang inferior. Apabila ada kenaikan pendapatan maka permintaan/konsumsi terhadap semua kelompok komoditi akan meningkat kecuali minuman beralkohol yang justru akan menurun. Dari hasil penghitungan elastisitas pengeluaran, rokok merupakan barang normal. Elastisitas pengeluaran rumah tangga miskin untuk konsumsi rokok bernilai 2,1433 pada tahun 2008, 2,2318 pada tahun 2009, dan 2,0783 pada tahun 2010, lebih besar dari 1. Artinya setiap ada peningkatan pendapatan (pengeluaran) 1 persen pada tahun 2008, maka konsumsi rokok rumah tangga miskin akan meningkat sebesar 2,1433 persen. Dilihat dari besaran nilai elastisitas, maka rokok pada rumah tangga miskin dianggap sebagai barang mewah. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Triana (2011) tentang konsumsi rokok rumah tangga miskin di Pulau Jawa. Tabel 2. Elastisitas Pendapatan (Pengeluaran) Tahun 2008-2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8
Kelompok Komoditi Padi-padian Ikan/Udang/ Cumi/Daging /Telur/Susu Sayur&Buah Bahan Minuman Minuman Beralkohol Rokok Tembakau & Sirih Lainnya Makanan Lainnya
2008
2009
2010
0,9816
0,9717
0,9789
0,9573
0,8165
0,7905
1,0966
1,1541
1,0820
1,0434
0,8744
0,8507
-19,7275
1,9297
-2,5593
2,1433
1,4350
2,0783
0,3808
-0,0506
-0,2779
1,1117
1,2568
1,1724
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
DAMPAK PENDAPATAN DAN HARGA ROKOK TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ROKOK PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI INDONESIA Nasruddin Djoko Surjono, Piping Setyo Handayani
Kelompok 2008 Komoditi Biaya 9 0,7748 Kesehatan Biaya 10 0,6975 Pendidikan Non Makanan 11 0,8840 Lainnya Sumber: Dihitung oleh penulis No
2009
2010
0,7176
0,3083
0,8245
0,7375
0,8896
0,9359
Besarnya elastisitas pendapatan untuk konsumsi rokok harus diwaspadai, karena akan menjadi sebuah dilema dengan hasil program pengentasan kemiskinan yang selalu bertujuan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga miskin. Rekomendasi yang disarankan untuk mengatasi hal tersebut diantaranya adalah dengan memberikan syarat tidak merokok kepada rumah tangga miskin yang menerima bantuan seperti melalui BLSM, baik bantuan yang berupa uang maupun berupa keringanan biaya. Elastisitas harga sendiri untuk rokok pada rumah tangga miskin cukup besar yaitu mencapai 0,4204 pada tahun 2008, -0,7040 pada tahun 2009, dan -0,7799 pada tahun 2010. Jika harga rokok meningkat 1 persen maka permintaan akan rokok akan berkurang sebesar 0,4204 persen pada tahun 2008, 0,7040 persen pada tahun 2009, dan 0,7799 persen pada tahun 2010. Dapat dikatakan bahwa rokok bersifat inelastis terhadap perubahan harga.Jika dibandingkan antar tahun, maka peningkatan harga rokok pada tahun 2010 memberikan efek yang paling besar dalam menurunkan konsumsi rokok rumah tangga miskin.Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan harga rokok efektif menurunkan konsumsi rokok pada tahun 2010.Kenaikan harga rokok pada tahun 2010 disebabkan oleh adanya penerapan sistem cukai spesifik dengan kenaikan beban cukai dimana harga-harga rokok yang murah mengalami kenaikan cukai yang signifikan. Pada tahun 2008, elastisitas rokok terhadap semua kelompok komoditi adalah negatif, kecuali biaya kesehatan. Peningkatan harga rokok akan direspon oleh rumah tangga miskin dengan mengurangi konsumsi untuk padi-padian, ikan/udang/cumi/daging/telur/ susu, sayuran dan buah, bahan minuman, minuman beralkohol, tembakau dan sirih lainnya, makanan lainnya, biaya pendidikan, dan non makanan lainnya. Berbeda dengan tahun 2008, elastisitas harga silang komoditi rokok pada rumah tangga miskin tahun 2009 mempunyai tanda yang sedikit lebih bervariasi.Elastisitas yang bertanda negatif adalah elastisitas harga silang rokok dengan semua kelompok komoditi kecuali minuman beralkohol dan biaya pendidikan. Kenaikan harga rokok pada tahun 2009 akan direspon oleh rumah tangga miskin dengan mengurangi konsumsi padi-padian, ikan/udang/cumi/daging/telur/susu, sayur dan buah, bahan minuman, tembakau dan sirih lainnya,
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
makanan lainnya, biaya kesehatan, serta non makanan lainnya. Bila dilihat dari nilainya, maka komoditi yang paling banyak dikorbankan oleh rumah tangga miskin adalah konsumsi non makanan lainnya yang mencapai 0,5109. Setiap peningkatan harga rokok sebesar 1 persen, akan direspon oleh rumah tangga miskin dengan mengurangi konsumsi non makanan lainnya sebesar 0,5109 persen. Kelompok non makanan lainnya dalam penelitian ini mencakup pengeluaran untuk perumahan, pakaian, energi dan bahan bakar, barang tahan lama, serta pengeluaran untuk transfer (pajak dan pesta). Berbeda dengan elastisitas silang dua tahun sebelumnya, pada tahun 2010 semua elastisitas rokok rumah tangga miskin dengan semua komoditi lainnya bernilai negatif. Artinya kenaikan harga rokok pada tahun 2010 akanmenyebabkan rumah tangga miskin mengurangi konsumsi semua komoditi.
5.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan BerdasarkanRokok merupakan barang normal bagi rumah tangga miskin, ketika ada kenaikan pendapatan maka konsumsi rokok akan meningkat. Permintaan rokok pada rumah tangga miskin bersifat inelastis. Ketika terjadi kenaikan harga rokok, maka konsumsi rokok pada rumah tangga miskin berkurang sebesar 0,4204 persen pada tahun 2008, 0,7040 pada tahun 2009, dan 0,7799 pada tahun 2010. Ketika ada kenaikan harga rokok, maka rumah tangga miskin mengorbankan konsumsi kelompok komoditi lainnya. Pada tahun 2008, rumah tangga miskin mengorbankan pengeluaran hampir seluruh komoditi, kecuali biaya kesehatan. Pada tahun 2009 komoditi yang dikorbankan adalah komoditi padipadian, ikan/udang/cumi/daging/telur/susu, bahan minuman, tembakau dan sirih lainnya, makanan lainnya, biaya kesehatan serta non makanan lainnya. Sedangkan pada tahun 2010, rumah tangga miskin mengorbankan pengeluaran untuk semua komoditi. 5.2. Saran Dengan memperhatikan berbagai temuan dalam penelitian ini, maka beberapa saran yang diberikan adalah: 1. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan harga rokok melalui kenaikan beban cukai akan efektif mengurangi konsumsi rokok apabila didukung oleh kebijakan non harga lainnya, diantaranya adalah peringatan kesehatan di bungkus rokok berbentuk gambar, pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok, kawasan tanpa rokok dan syarat tidak merokok bagi rumah tangga yang meneriman bantuan. 2. Pemerintah perlu memperhatikan sinergi antara program pengurangan konsumsi rokok pada rumah tangga miskin dan upaya pengentasan kemiskinan seperti melalui BLSM, karena peningkatan pendapatan rumah tangga miskin
31
DAMPAK PENDAPATAN DAN HARGA ROKOK TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ROKOK PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI INDONESIA Nasruddin Djoko Surjono, Piping Setyo Handayani
3.
dapat mengakibatkan peningkatan konsumsi rokok rumah tangga miskin. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai keterkaitan konsumsi rokok dengan kemiskinan dan pengelompokkan yang lebih tepat untuk mendapatkan hasil yang lebih menggambarkan konsumsi rokok pada rumah tangga miskin.
DAFTAR PUSTAKA Ahsan, Abdillah, 2012. Perokok Ancam Tinggal Landas Ekonomi Indonesai.Diunduh dari http://www.tempo.co/read/news/2012/06/ 14/090410527/ Perokok-Ancam-TinggalLandas-Ekonomi-Indonesia. Barber S, Adioetomo SM, Ahsan A, Setyonaluri D., 2008. Tobacco Economics in Indonesia. Paris: InternationalUnion Against Tuberculosis and Lung Disease. Beyer, Joy de, C. Lovelace and A. Yurekli., 2001.Poverty and Tobacco. Tobacco Control 2001, 10, pp. 210-211. Chen, Yuyu and Xing, Weibo,2011. Quantity, Quality, and Regional Price Variation of Cigarettes: DemandAnalysis Based on a Household Survey in China. China Economic Riview 22, 221-232. Deaton, Angus S and John Muellbauer, 1980.An Almost Ideal Demand System. American Economic Riview70:3, 316-326. Djutaharta T, Adioetomo SM, Hendratno, 2003. Cigarette Consumption, Taxation, and Household Income. Economics of Tobacco Control Paper No. 26. Efroymson D., S.Ahmed, J. Twonsend and et.al., 2001. Hungry for Tobacco: an Analysis of the Economic Impactof Tobacco Consumption on the Poor in Bangladesh. Tobacco Control 2001, 10, pp. 212-217. Firdaus, Muhammad and Suryaningsih, Tri, 2009. Kemiskinan dan Tingginya Konsumsi Rokok: Faktor PenyebabSulitnya Implementasi Green Economic di Pulau Jawa. Diunduh dari http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456 789/53653/orange%20book%203-gre en%20economykemiskinan%20dan%20tingg inya%20konsumsi%20rokok.pdf?sequence=1 Guindon, GE; Perucic, A-M and Boisclair, D., 2003.Higher Tobacco Prices and Taxes in South-East Asia: AnEffective Tool to Reduce Tobacco Use, Save Lives and Generate Revenue. World Bank.Health, Nutrition andPopulation Discussion Paper, Economics of Tobacco Control Paper, No. 11, October. Gujarati, Damodar, 2003. Basic Econometrics.Fourth Edition.The McGraw-Hill Companies. Gupta, Indrani and Sanker, Deepa, 2003. Tobacco Consumption in India: A New Look Using Data from theNational Sample Survey. Journal of Public Health Policy, Vol. 24, No. 3/4, pp. 233245.
32
Harahap, Akhir Matua, 2003. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Konsumsi Rokok Individu Model ‘Sample Selection’. Thesis. Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi. Universitas Indonesia, Depok. Hidayat, Budi and Thabrany, Hasbullah, 2010. Cigarette Smoking in Indonesia: Examination of a Myopic Modelof Addictive Behaviour. Int. J. Environ. Res. Public Health, 7, pp. 2473-2485. Hu, T-w; Mao, Z; Liu, Y; Beyer, J de; and Ong, M., 2005.Smoking, Standard of Living, and Poverty in China. Irawan, Puguh B. (2005). Dampak Penggunaan Tembakau Terhadap Kemiskinan di Indonesia. diunduhdari http://www.scribd.com/doc/21124711/Dam pak-Penggunaan-Tembakau-TerhadapKemiskinan-di-Indonesia Tobacco Control, Vol.4, No. 4, pp 247-250. John, Rijo M., 2005. Tobacco Consumption Pattern and its Health Implications in India. Health Policy 71, 213-222. John, Rijo M., 2008. Crowding Out Effect of Tobacco Expenditure and its Implications on Household ResourceAllocation in India. Social Science & Medicine 66, 1356-1367. Kosen, Soewarta, 2012. Isu Terkini Mengenai Rokok: Lindungi Generasi Muda dan Selamatkan Masa DepanBangsa. Disampaikan pada E-learning Program for the Youths HIV-AIDS Preventions, Universitas Indonesia,1 Maret 2012. Kyaing, Nyo Nyo; Perucic, Anne-Marie; Rahman, Khalilur, 2005.Study on Poverty Alleviation and TobaccoControl in Myanmar. Health, Nutrition And Population (HNP) Discussion Paper Economics Of TobaccoControl Paper, No. 31, August. Liu, Yuanli; Rio, Keqin; Hu, The-wei; Sun, Qi; Mao, Zhenzhong, 2006.Cigarette Smoking and Poverty inChina.Social Science & Medicine 63, 2784-2790. Moeis, Jossy P., 2003. Indonesian Food Demand System: An Analysis of Impacts of the Economic Crisis onHousehold Consumption and Nutritional Intake. Dissertation of the Faculty of Columbia College of Arts andSciences, George Washington University, Washington DC. Moore, MJ.,1996. Death and Tobacco Taxes.The RAND Journal of Economics. Vol. 27, No. 2 (Summer, 1996),pp. 415-428. Neufeld, K.J.; Peters, D.H.; Rani, M.; Bonu, S.; Brooner, R.K, 2004.RegulerUse of Alcohol and Tobacco in India and its Association with Age, Gender, andPoverty. Drug and Alcohol Dependence 77, 283-291. Nicholson,Walter, 2005. Microeconomic Theory: Basic Principles andExtensions (Ninth Edition). Thomson Corporation. South-Western, Thomson.
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
DAMPAK PENDAPATAN DAN HARGA ROKOK TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ROKOK PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI INDONESIA Nasruddin Djoko Surjono, Piping Setyo Handayani
Ross, Hana and Chaloupka, Frank J. , 2002. Economic of Tobacco Control.International Tobacco Evidence Network, June 26. Saffer, Henry and Chaloupka, Frank.,2000. The Effect of Tobacco AdvertisingBans on Tobacco Consumption. Journal of Health Economics, 19, pp. 1117-1137. Sari, Puri; Hapsari,Dwi; Soetarto, Farida; Pradono, Julianty; Ch. M. Kristanti;Nunik Kusumawardani, et.al., 2012. Fakta Tembakau 2012. Tobacco ControlSupport Center - Ikatan Ahli Kesehatan MasyarakatIndonesia (TCSC IAKMI). Setiaji, Bambang.,2011. Kebiasaan Merokok dan Kemiskinan.Diunduh darihttp://banyubiru3prast.wordpress.com/ 2011/06/20/kebiasan-merokokdankemiskinan/. Siahpush, M., 2003.Socioeconomic Status and Tobacco Expenditure amongAustralian Households: Results from the 1998-99 Household Expenditure Survey.Journal of Epedemiology and Community Health (1979), Vol. 57, No. 10, pp.798-801. Tiezzi, Silvia, 2005. An Empirical Analysis of Tobacco Addiction in Italy. The European Journal of Health Economics, Vol. 6, No. 3, pp. 233-243. Triana, R.A. Leisa, 2011. Pengaruh Kebijakan Subsidi Beras Miskin dan Bantuan Langsung TunaiterhadapPengeluaran Telekomunikasi dan Rokok Rumah Tangga Miskin di Pulau Jawa.Thesis. Sekolah Pascasarjana InstitutPertanian Bogor, Bogor. Ulfah, Rafiqah, 2012. Perkembangan Konsumsi Rokok di Kalangan MasyarakatEkonomi Rendah. Diunduh darihttp://kesehatan.kompasiana.com/medis /2012/03/18/perkembangan-konsumsirokok-di-kalangan-masyarakatekonomirendah/. Wang, Hong; Sindelar, Jody L.; Busch, Susan H., 2006.The Impact of TobaccoExpenditure on Household Consumption Patterns in Rural China. Social Science& Medicine 62, 14141426. Wilkins, N., Yurekli, A. and Hu, T., 2000.Economic Analysis of TobaccoDemand, in Economics of Tobacco Toolkit, edited by Yurekli and de Beyer,World Bank: Washington DC.
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
33
DAMPAK DAMPAK PENDAPATAN DAN HARGA ROKOK TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ROKOK PADA RUMAH TANGGA MISKIN DI INDONESIA Nasruddin Djoko Surjono, Piping Setyo Handayani
Halaman ini sengaja dikosongkan
This page intentionally left blank
34
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013, Halaman 35-48 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
DETERMINANTS OF CORRUPTION IN ASIA Ferry Ardiyanto Colorado State University, U.S.A. Email: [email protected] ARTICLE INFORMATION
ABSTRACT
ARTICLE HISTORY Received 26 July 2013
This paper tried to build empirical models for investigating factors triggering corruption in Asia. The method of feasible generalized least squares (FGLS) was put on choice because both the auto correlation and heteroskedasticity were frequently found on data panel. Four different models were employed to discover the causes of the corruption. The result of the research indicated that the corruption occurring in Asia was triggered by economic and institutional factors. Economics variables mostly gave impact on corruption while the institutional variables provide more varied impacts.
Revised 6 December 2013 Accepted to be published 9 December 2013 KEYWORDS: Corruption, Asia, panel data, FGLS
1.
Paper ini mencoba membangun model-model empirik untuk menyelidiki faktor-faktor yang menyebabkan korupsi di Asia. Metode estimasi feasible generalized least squares (FGLS) dipilih karena autokorelasi dan heteroskedasticity sering ditemukan di panel data. Empat model yang berbeda digunakan untuk mengetahui penyebab korupsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa korupsi di Asia disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan. Variabel-variabel ekonomi hampir selalu mempengaruhi korupsi, sedangkan efek dari variabel-variabel kelembagaan bervariasi.
INTRODUCTION
Corruption is the abuse of public authority and discretion for private gain. No country or region in the world is free from the damages of public sector corruption (Transparency International, 2011). Corruption occurs in all countries whether a country is a developed or a developing one, whether it is located in North America or in Asia. The difference is in the magnitude. Corruption is the single greatest obstacle to economic and social development because it undermines development by distorting the rule of law and weakening the institutional foundation on which economic growth depends (World Bank, 1997). Transparency International (2009) considers corruption as”...one of the greatest challenges of the contemporary world. It undermines good government, fundamentally distorts public policy, leads to the misallocation of resources, harms the private sector and private sector development and particularly hurts the poor.” This paper attempted to build empirical models to investigate determinants of corruption in Asia. Corruption in Asia seems to be a cultural phenomenon since in some countries and societies in Asia, giving commissions or gifts and paying bribes is neither uncommon nor considered inappropriate. However, as there are no direct ways to measure actual corruption due to its secretive nature, then writer used the perceptions of corruption through some corruption survey indices. Over time, perceptions
have proved to be a dependable estimate of corruption (Transparency International, 2011: 3). As variation in corruption levels across countries is argued to be due mainly to differences in economic factors and institutional quality, therefore, writer included economic and institutional variables. In assessing the level of economic development, writer focused on GDP growth rate. As the incentive to engage in corrupt practices increased with the availability of rents, writer utilized government expenditures per capita, openness, and endowment of natural resources. Institutional variables was added progressively, starting with economic freedom, then civil rights and level of democracy.
2.
LITERATURE REVIEW
2.1. Definitions of Corruption There are many definitions of corruption.1Shleifer and Vishny (1993: 599) define government corruption as “the sale by government officials of government property for personal gain”. For instance, government officers often take bribes for providing permits and licenses or for restricting entry of a competitor into a market. A bribe sometimes must be given for passage through checkpoint officers. In all those cases, government officers charge personally for goods that the government officially owns (ibid). De Jong and Udo (2006: 4) define corruption as “the 1
In this paper, corruption is defined as government corruption or
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
35
DETERMINANTS OF CORRUPTION IN ASIA Ferry Ardiyanto
misuse of public power for private benefit (or much alike)”. Misuse would be deviating from the formal duties of a public role or a code of conduct. Corrupt officers extort bribes from a client, who otherwise will not receive assured services, or will receive inferior service. Macrae (1982: 678) defines corruption as an “arrangement that involves a private exchange between two parties (the demander and the supplier)”. The arrangement has an influence on the allocation of resources, either immediately or in the future, and involves the use or abuse of public or collective responsibility for private ends (ibid). Political scientist Joseph Nye (1967: 419) defines corruption as “the behavior which deviates from formal duties of a public rule because of privateregarding (personal, close family, private clique) pecuniary or status gains: or violates rules against the exercise of certain types of private-regarding influence”. So, basically Nye (1967) says that corruption is the deviation from the duties of a formal public role for private gain.2 The World Bank economist, Daniel Kaufmann (1997: 114) defines corruption as “the misuse of public office for private gain”. He is followed by political scientists Daniel Treisman (2000: 399), Wayne Sandholtz and William Koetzle (2000: 31) and many others who define corruption the same way as he does. Aidt (2003: F623) defines “corruption is an act in which the power of public office is used for personal gain in a manner that contravenes the rules of the game”. Susan RoseAckerman (1999: 9) takes a slightly different perspective, as she specifically defines government corruption as “payments illegally made to public agents with the goal of obtaining a benefit or avoiding a cost”. Jain (2001) argues that while it is not easy to be in agreement on the definition of corruption, there is a consensus that corruption refers to actions where public office is used for personal gain in a manner that violates the rules of the game and the code of conduct. He also claims that there are three necessary conditions for corruption to occur as follows: 1. The government officer must have monopoly power over the regulation or delivery of the government good or service. 2. The government officer must be able and willing to misuse that power. 3. The government officer must have an economic incentive to do so. In this paper writer will use a simple and straightforward definition by the World Bank (1997: 7-8), which defines corruption as the abuse of public office for private gain. Corruption occurs when an official accepts, solicits, or extorts a bribe. It is a corruption too when private agents actively offer 2
Nye (1967: 419) states that corruption includes behavior such as bribery (use of rewards to alter the judgment of a person in a position of trust), nepotism (bestowal of patronage by reason of involved relationship rather than merit), and misappropriation (illegal appropriation of public resources for private uses).
36
bribes to circumvent public policies and processes for competitive advantage and profit. Corruption can take place even if no bribery occurs, through patronage and nepotism, the theft of state assets, or the diversion of state revenues. 2.2. Previous Studies The classic empirical examples of the determinants of corruption are papers by Treisman (2000) and Adis and Di Tella (1999, 1997a, 1997b). Treisman (2000) uses indices of corruption (68 countries) from Business International for the early 1980s and for 1996, and from Transparency International for 1996 (54 countries), 1997 (52 countries), and 1998 (85 countries) to investigate the causes of corruption. He tests 12 hypotheses commonly found in the literature to be the causes of corruption and finds that more developed economies, countries with Protestant traditions, histories of British rule, and higher imports were less corrupt. 3 On the other hand, higher levels of corruption exist in federal states and in those that are not democratic. In particular, there are strong associations between the level of development and corruption and between exposure to democracy and corruption. However, the correlation between openness and corruption is “surprisingly small” and not always significant regardless of the direction of causality between openness and corruption. For dummy regions, Treisman (2000) discovers, not surprisingly, that Africa, Asia, Eastern Europe, Latin America, and the Middle East are more corrupt than North America and Western Europe. Moreover, controlling for the level of economic development, he finds that only Eastern Europe and Latin America are significantly more corrupt. However, the effect of dummy regions vanishes once he introduces political system variables into the model. The level of economic development and exposure to democracy explain almost all of the variation in corruption. However, Treisman (2000) is not without drawbacks. Knack and Azfar (2003) study the choice and composition of indices and whether they affect the result. They argue that Treisman (2000) suffers from selection bias. For example, the fact that Treisman (2000) cannot find a correlation between openness and the Transparency International corruption index in 1998 may be due to increased country coverage in that year, including more small countries with higher corruption levels. In their paper series, based on a theoretical framework of rent seeking behavior, Ades and Di Tella (1999, 1997a, 1997b) claim that the incentive to engage in corrupt practices increases with the 3
La Porta et al. (1998) also find that countries that are less developed, close to the equator, ethnolinguistically heterogeneous, use French or socialist law, have high Catholics or Muslims populations tend to have inferior measures of government performance, including higher corruption. Gupta, Davoodi, and Tiongson (2001) find that corruption is highly associated with the share of Protestants in the population, GDP per capita, and exposure to democracy.
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
DETERMINANTS OF CORRUPTION IN ASIA Ferry Ardiyanto
availability of rents. Corruption can be explained by a low level of competition. Competition is argued to lessen the rents of economic activities, and therefore, reduce the motive of public servants and politicians to grab parts of these rents by means of corruption and extortion. Ades and Di Tella (1997a), using corruption data from Business International for 68 countries for period 1980-1983, regress corruption on GDP per capita, openness that is proxied by share of imports to GDP, average years of total schooling, political rights, the judiciary system and an interaction term between openness and the judiciary system. They find that corruption is high in countries that are closed to foreign competition (measured by low share of import in GDP).They also find that corruption is higher in countries in which the degree of independence of the judiciary system is not fully developed. There is also a significantly negative effect of openness on corruption. The interaction term of judiciary and openness is positive and significant. In their conclusion, they suggest that opening up an economy to foreign trade (more exposure to foreign competition) is indispensable in a country where institutions are not well developed because it can curb corruption more robustly than in a country where institutions are already sophisticated. Ades and Di Tella (1997b) shows that active industrial policies are positively correlated with corruption. Their regressions are done for a sample of 32 countries for the period of 1989-1992. They regress corruption on level of development (GDP per capita), average years of total schooling, political competition (political rights), security (the extent to which there is general crime prevention against property and person), openness (share of imports to GDP), and industrial policy. The corruption data are from World Competitiveness Report and Impulse, a German business publication, compiled by Neumann (1994). The indicators of industrial policy are from World Competitiveness Report: a procurement index that measures the extent to which public procurement is open to foreign bidders and a fiscal index that measures the extent to which there is equal fiscal treatment of all enterprises. Their results show that domestic industrial policy significantly increases corruption but the degree of openness significantly decreases corruption. However, other variables such as GDP per capita and political rights do not show a significant relationship with the level of corruption. Ades and Di Tella (1999) test the hypothesis that the levels of natural resources and rents induced by the lack of product market competition determine the level of corruption in an economy. Using corruption data from Business International (1984) for the time period 1980-1983 and World Competitiveness Report (1990 and 1991) for 1989 and 1990, they model corruption as dependent on four factors: average years of total schooling, income per capita, political rights, and variables capturing the level of rents and the market structure of competition: (1) openness that is share of imports in GDP; (2) the importance of
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
fuels, minerals, and metals in the composition of total exports, and; (3) the distance to the world’s major exporters. They use a cross section analysis of 52 countries and control for country and time fixed effects. For the time period 1980-1983, schooling, GDP per capita and political rights have negative effects on corruption, although schooling and political rights are only significant at the 10 percent level. The extent to which domestic firms enjoy rents: openness is negative and significant, the proportion of total exports accounted for fuels, minerals, and metals, and the distance to the world’s major exporters are all positive and significant. For 1989 and 1990, schooling, GDP per capita and political rights have negative effects on corruption, although schooling and GDP per capita are not significant at conventional levels. The extent to which domestic firms enjoy rents: openness is negative and significant, the proportion of total exports accounted for fuels, mineral, and metal is negative and insignificant, and the distance to the world’s major exporters are all positive and insignificant at standard levels. Nevertheless, Ades and Di Tella’s (1999, 1997a, and 1997b) results have also been criticized by several authors. For example, Torrez (2002) argues that although most of the empirical evidence corroborates a negative relationship between corruption and openness, this does not hold for his dataset. In his paper (Torrez 2002), he finds a significant relationship between trade volumes and the Transparency International (TI) corruption index in the 1980s, but not with the International Country Risk Group (ICRG) corruption index (1982-1992). He claims that the results depend on the choice of the corruption index. According to him, Ades and Di Tella’s (1999, 1997a, and 1997b) cases are theoretically robust but empirically weak.
3.
DATA AND METODOLOGY
3.1. Country Sample and Time Period Asian countries for which a dataset for all variables is available over the period 1996-2010 were included in the regression. There were 17 countries included in the observation as follows: China, Hong Kong SAR, India, Indonesia, Jordan, Kuwait, Malaysia, Oman, Pakistan, Philippines, Qatar, Saudi Arabia, Singapore, South Korea, Thailand, Turkey, and Vietnam.4The starting year of 1996 was chosen
4
Classification of countries follows United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) guidelines. UNCTAD (2011) classifies developing countries based on region: Africa, Latin America and the Caribbean, Asia and Oceania (except for Japan and Israel, which are considered as developed countries), and Southeast Europe and the Commonwealth of Independent States (Kazakhstan, Uzbekistan, etc.). Hong Kong Special Administrative Region (SAR) is categorized as a stand alone country, separated from mainland China. Middle East countries (including Turkey but not Egypt, which is geographically located in North Africa) are classified into Asia and Oceania region too.
37
DETERMINANTS OF CORRUPTION IN ASIA Ferry Ardiyanto
because Transparency International suggested that its corruption index been used from 1996 and after.5 3.2. Independent and Explanatory Variables Corruption.There are no direct ways to measure corruption because of its secretive nature. Tanzi (1998: 576) argues that “if corruption could be measured, it could probably be eliminated”. If one simply measures bribes paid this would disregard many corrupt acts that are not accompanied by the payment of bribes. Nonetheless, an effort to quantify acts of corruption rather than the amounts of bribes paid would need to count many relatively insignificant actions and to identify each act of corruption; information that is simply impossible to obtain. Thus, there are no direct ways of measuring corruption. Yet, there are several indirect methods of getting information about the existence of corruption in a country or in an institution. The most viable indirect method for getting practical information on the seriousness of corruption in a country is by using surveys of experts or firms in that country. These surveys are measures of perceptions of corruption rather than quantitative measures of actual corruption because “like pornography, corruption is difficult to quantify, but you know it when you see it” (Wei 1999: 4). Perceptions are employed because corruption, whether frequency or amount, is generally a hideous activity that is hard to measure.6 Writer used the Corruption Perceptions Index from Transparency International (TI index) for the main reason that it is free; others may require some fees or subscription. Nevertheless, the index is relatively reliable and powerful. 7The Corruption Perceptions Index (TI index) ranks countries according to the perception of corruption in the public sector. The TI index is an aggregate indicator that combines different sources of information about corruption, so that it is possible to compare countries. It draws on different assessments and business opinion surveys undertaken by independent and reputable institutions. Therefore, the TI index is a “poll of polls” or “survey of surveys”, representing the average scores based on several different expert and business surveys. TI index ranges from 0 to 10, in which the lowest score (0) suggests that a high level of corruption prevails, whereas the highest score (10) implies the 5
TI recommends that conclusions regarding time trends should be based on comparison between the 1996 score and the historical data. Comparisons with the 1995 ranking may be less precise because the 1995 ranking is out of date. For complete reasons, please see http://www.icgg.org/corruption.cpi_olderindices_1995.html. Wei (1999) argues that while perceptions may differ from real life, it may be the case that perceptions of corruption that in fact make the difference in investment decisions. 6
Wei (2000) finds that the Transparency International (TI) index and the Business International (BI) index, which is used by Mauro (1995), are highly correlated with a coefficient equal to 0.89. Therefore, estimation results using one of these corruption indices can be easily extended to either the BI or TI index. 7
38
cleanest. To avoid confusion, the index is rescaled, so 0 means very clean and 10 represents highly corrupt, instead of less corrupt as on the original scale. Nowadays, the TI corruption index is a relatively common institutional measure in the literature, for example, among others Wei (2000), GyimahBrembong (2002), Ng and Yeats (1999), Sandholtz and Koetzle (2000), and Torrez (2002). GDP growth rate. Countries with weak economic performance tend to experience growing levels of corruption (Gyimah-Brempong, 2001). Gyimah-Brempong (2001) argues that the goal of economic development is to improve the standard of living and well-being of citizens within a country. Thus, anything that impedes the chance of improving the standard of living may retard economic growth, and thus, increase corruption. The economic performance of a country can be linked to its institutions and quality of governance. There is a strong association between GDP and government performance because government performance improves as better institutions can be afforded (North, 1990). There are also direct and significant statistical relationships between economic development and corruption (Larrain and Tavarez, 2007; Kaufmann, Kraay, and Zoido-Lobaton, 1999; Mauro, 1995). Strong economic performance also alters the incentives for public officers to engage in corrupt activities by reducing the value of their expected financial gains and increasing the costs of penalties (Lipset and Lenz, 2000). It is expected that the better a country’s economic performance as represented by higher GDP growth rate, the lower the level of corruption would be. Government expenditures per capita.Tanzi and Davoodi (1997, 1998) argue that large, complex, and expensive government projects are favored by corrupt public officials. This may take place because public investment can be simply manipulated by powerful politicians or bureaucrats, and often gives rise to the payment of larger kickbacks by those who undertake the project (ibid). Tanzi and Davoodi (1997, 1998), utilizing cross-country data, find that increased public investment is positively and significantly associated with corruption. Work by Ali and Isse (2003) find the same result. However, if some of the government expenditures are spent on measures to curb corruption, for instance funding the establishment of a strong and independent anti-corruption agency, then there will be a negative correlation between government expenditure and corruption. More funding for democratic elections to ensure more fairness and more efforts to increase fair competition in the market could also help lower corruption. Increasing the salary of public officials could also curb corruption. Lindbeck (1998) attributes the low corruption in Sweden partly to the fact that high-level administrators earn 12–15 times the salary of an average industrial worker. Low corruption rates in Hong Kong and Singapore perhaps is partly because of
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
DETERMINANTS OF CORRUPTION IN ASIA Ferry Ardiyanto
the high salaries of public officials. Empirical studies by Fisman and Gatti (2002) and Bonaglia, de Macedo, and Bussolo (2001) find a negative impact of government expenditures on corruption. Writer expected higher government expenditures per capita lead to higher or lower corruption. Openness. Openness measures the degree to which host economies are open to the rest of the world. Krueger (1974) argues that more open economies tend to be less corrupt than their more closed counterparts. Ades and Di Tella (1999, 1997a, 1997b) explain that the incentive to engage in corrupt practices increases with the availability of rents. Corruption can be explained by a low level of competition. Competition is argued to reduce the rents of economic activities and therefore reduce the motive of public servants and politicians to grab part of these rents by means of corruption and extortion. A domestic market with less foreign competition (lower import volume) will increase rents enjoyed by domestic firms, thus promoting corruption. Ades and Di Tella (1999, 1997a, 1997b), Herzfeld and Weiss (2003), Fisman and Gatti (2002), Frechete(2001) find that openness, defined as a share of imports to GDP, is significantly and negatively correlated with corruption. However, Treisman (2000) and Gatti (2004), using the same measure of openness as Ades and Di Tella (1999, 1997a, 1997b), find that the correlation between openness and corruption is actually small and weak. Openness is defined as the sum of imports and exports as a percentage of GDP, which can also be thought of as representing the extent of global economic integration. This measure of openness is a better fit because rents can be extracted not only from imports but also from exports. Several scholars have used the same measure of openness, for instance Neeman, Paserman, and Simhon (2008), Rock (2007), Sandholtz and Koetzle (2000), Larrain and Tavarez (2007), and Bonaglia et al. (2001). They all find that corruption is high in countries that are closed to foreign competition (measured by a low share of imports and exports in GDP). Writer expected a negative relationship between openness and corruption, in which the more open a country is, the lower the level of corruption will be. Natural resources. Ades and Di Tella (1999)
argue that in countries with large endowments of precious raw materials— such as oil, natural gas, minerals, and forests— corruption may offer greater potential gain to public officials who distribute rights to exploit such resources. To proxy for countries’ raw materials endowments and associated rents, writer use total natural resources rents as a percent of GDP. Total natural resources rents are the sum of oil rents, natural gas rents, coal rents (hard and soft), mineral rents and forest rents (World Bank, 2011). This basically measures natural resources contribution to GDP. Writer expected corruption will be higher in countries with greater endowments of valuable natural resources. Economic freedom. Lambsdorff (1999) argues that one government activity suspected of promoting corruption is restriction on economic freedom. By restricting economic freedom, the government is actually discouraging competition. Competition is generally assumed to reduce the rents of economic activities, and therefore, reduce the motive of public officials to seize part of these rents by means of extortion and corruption (ibid). Carden and Verdon (2010), Goel and Nelson (2005), Shen and Williamson (2005), Graeff and Mehlkop (2003), Paldam (2002), Chafuen and Guzman (2000) all find that corruption is negatively correlated with different indicators of economic freedom. The more economic freedom a country has, the lower the corruption will be. Writer used an economic freedom index from the Heritage Foundation. The index measures ten components of economic freedom, such as business freedom, trade freedom, fiscal freedom, monetary freedom, investment freedom, financial freedom, and labor freedom. They assign a grade in each using a scale from 0 to 100, where 100 represent maximum freedom. The ten component scores were then averaged to give an overall economic freedom score for each country. It was expected that more economic freedom (higher score) leads to less corruption. Civil liberties. Researchers usually assume a negative relationship between corruption and civil liberties, in which the more free civil liberties are present in a country, the lower the level of corruption there will be. Civil liberties with emphasis on accountability may dampen the illicit behavior of public officials engaging in corruption. The personal
Table 1. Summary of Data Sources Variables Economic
Institutional
Data Series GDP growth rate Openness Gov. expenditures pc Natural resources Corruption Economic freedom Civil liberties Democracy
Unit percentage point N/A US$, 2000 US$ percent of GDP N/A N/A N/A N/A
Source* WDI 2011 PWT 7.0 WDI 2011 WDI 2011 TI Heritage Foundation Freedom House Polity IV Database
*WDI = World Development Indicators; PWT = Penn World Table; TI = Transparency International; N/A = Not Available. All data in current U.S. dollars is adjusted to constant U.S. dollars using a deflator available from WDI 2011.
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
39
DETERMINANTS OF CORRUPTION IN ASIA Ferry Ardiyanto
cost of corruption for public officials is job loss and incarceration if caught and prosecuted. Emerson (2006) finds the coefficient estimates on civil liberties are all negative and significant at the 1% level meaning that the higher the level of civil liberties in a country, the lower the level of corruption. Goel and Nelson (2005) also discover that corruption declines when civil liberties get better. Writer will use the index of civil liberties from Freedom House. Several researchers have utilized the same index (Emerson, 2006; Goel and Nelson, 2005; Bengoa and SanchezRobles, 2003; Fisman and Gatti, 2002; Ades and Di Tella, 1999; Scully, 1988). According to the Freedom House’s Economic Freedom of the World: 2011 Annual Report civil liberty ratings depend on an evaluation of freedom of expression and belief, associational and organizational rights, rule of law, and personal autonomy and individual rights. The numerical rating is from 1 to 7, with 1 representing the most free and 7 is the least free. To avoid confusion, the index is rescaled, so 1 means the least free and 7 represents the most free. After rescaling, it was expected that there would be a negative association between civil liberties and corruption. The less free a country is (low score, after rescaling), the more corruption prevails.8 Democracy. Democratic institutions are related to better governance, which includes lower corruption (La Porta et al., 1998). Countries with more political competition have stronger public pressure against corruption, through democratic elections. The strength of the competitive political environment raises the stakes and lowers the likelihood of corruption, thus it can be a check on corruption (RoseAckerman, 1999). Democracy may also affect corruption because the risk of being caught and punished is high in a well-developed democratic society with a free press, rigorous citizen participations and competitive elections (Treisman, 2000). Chowdhury (2004) finds that corruption declines with democracy index, whereas Treisman (2000) discovers that long exposure to democracy, defined as the number of uninterrupted years in which a country is democratic significantly decreases corruption. Studies, which control for democracy, usually find a significant association with corruption levels (Svensson, 2000; Sandholtz and Koetzle, 2000; La Porta et al., 1998; Isham, Kaufmann, and Pritchett, 1997). An index of the level of democracy from Polity IV database will be employed to explain corruption, following some researchers (Rock, 2007; Treisman, 2000; Svensson, 2000; Sandholtz and Koetzle, 2000; La Porta et al., 1998; Isham et al., 1997). The Polity IV
score takes values between minus ten and plus ten. Scores in the range between minus ten and minus six can be regarded as autocracies. Polity scores between minus five and plus five are anocracies or partial democracies. Anocracies are states behind a democratic regime or otherwise malfunctioning democracies. Polity scores between plus six and plus ten can be interpreted as full democracies. To avoid confusion, the index is rescaled with the following formula: new polity score = original polity score + 11. Therefore, a completely autocratic country with an original polity score of minus 10 is equal to a new polity score of 1. Likewise, a fully democratic country with a score of 10 in the original polity index will transform to a score of 21 in the new polity index. It was expected that there would be a negative correlation between the level of democracy and corruption. A higher score, which means more democratic, was expected to induce less corruption. Moreover, the summary of data sources was presented in Table 1.
8
10Taylor
Initially, I also wanted to include a political rights variable. Political rights are based on an evaluation of electoral process, political pluralism and participation and functioning of government. However civil and political liberties typically move in tandem (there is indeed a high collinearity between them). There is also somewhat a high collinearity between the political rights variable and the level of democracy variables. Thus, I opted to drop the political rights variable, but kept the civil rights and level of democracy variables.
40
3.3. Methodology This paper utilized panel data techniques because the data was a mix between cross sectional and time series data. A simple model that uses panel data takes the form as follows (Baltagi, 2008): yit= α + 𝑋𝑖𝑡′ β + uitwithi =1,…,N and t = 1,…,T.....(1) where i denotes individuals, firms, countries, etc., and t denotes time. The i subscript denotes the cross section dimension, while the t subscript denotes the time series dimension. α is a constant term, β is K x 1 and Xit is the itth observation on K explanatory variables. Most panel data applications employ a oneway error component model for the disturbances with: uit = μi + νit…..…………........….. (2) where μi is the unobservable individual specific effect and νit is the remainder of the disturbance. The multicollinearity problem is decided using simple pair-wise correlations among regressors.9To simultaneously account for heteroskedasticity across panels and serial correlation within panels, writer use a three-step feasible generalized least squares (FGLS) estimator.10 The benefit of this estimator is that it 9
As a rule of thumb, if the pair-wise or zero-order correlation coefficient between two regressors is higher than of 0.8, then multicollinearity is a serious problem (Gujarati, 2004: 359). However, Gujarati (2004: 359) argues that although high zero-order correlations may suggest collinearity, it is not necessary that they would be high to have collinearity in any specific case. High zeroorder correlations are a sufficient but not a necessary condition for the existence of multicollinearity since it can present even though the pair-wise or zero-order correlations are relatively low, for instance less than 0.5 (ibid). (1980) finds that FGLS is more efficient than a Least Square Dummy Variable model or a fixed effects method for all but the fewer degrees of freedom. The variance of FGLS is also never more than 17 percent above the Cramer-Reo lower bound. He also discovers that more efficient estimators of the variance components do not necessarily produce more efficient FGLS estimators. Taylor’s (1980) findings are confirmed by Baltagi (2008), who uses Monte Carlo experiments as performed in Maddala and Mount (1973).
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
DETERMINANTS OF CORRUPTION IN ASIA Ferry Ardiyanto
allows estimation in the presence of autocorrelation of type AR (1) within panels, contemporaneous crosssectional correlation, and heteroskedasticity across panels (Greene, 2008).FGLS also allows for a variety of patterns for missing data (Baltagi and Wu, 1999).The standard version of the FGLS estimator in the presence of both heteroskedasticity and autocorrelation is a three-step process as follows (Medvedev, 2006: 27): 1. The model assumes errors are homoskedastic errors calculates consistent estimates of the AR(1) parameters. 2. A groupwise heteroskedastic model is applied to the transformed data, which is now free of autocorrelation, with the purpose of accounting for the possibility of country-specific error terms that are not normally distributed. 3. The new moment matrix is used to solve the full FGLS system and to obtain the accurate asymptotic variance-covariance matrix for the estimates of the FGLS coefficients.11 3.4. Empirical Model Writer firstly examined the determinants of corruption based on economic variables only. The benchmark corruption equation in a linear form is as follows: Corruptioni,t = β1 + β2 GDP growth ratei,t-1 + β3Government expenditures per capitai,t1+β4Opennessi,t-1 + β5 Natural resourcesi,t-1 + ui,t…….. (3) where i is the country subscript, t is the time subscript, βs are parameters to be estimated and ui,t denotes the disturbance term. All explanatory variables are lagged one year to avoid simultaneity with the dependent variable and endogeneity problems associated with the causal relationship between corruption and some of the right-hand variables (Sun, Tong, and Yu, 2002; Wooldridge, 2002: 51; Hayashi, 2000: 139). Institutional variables was added to the benchmark model gradually. The first institutional variable to be included was economic freedom. The institutional variable civil liberties follow. The last institutional variable to be taken into account was the level of democracy.
4.
RESULTS
Corruption levels in Asia varies broadly among countries. As the top least corrupt country, there is Singapore. Singapore is actually the least corrupt country in the world with a score of 9.3 (original TI index,10 being the cleanest), tied with Denmark and New Zealand (Transparency International, 2010). Hong Kong stands as thirteenth least corrupt country with a score of 8.4 (original TI index, 10 being the cleanest). Then there are several relatively corrupt
The third step can be iterated to convergence. However, no asymptotic gains can be expected from iteration since the estimator is efficient at every step (Greene, 2008). 11
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
countries: Pakistan (143rd), the Philippines (134th), Vietnam (116th) and Indonesia (110th). The other countries are roughly in the middle of the pack. There is also a unique relationship between democracy and corruption in Asia. For instance, Indonesia has been a fairly democratic country over the last decade, yet remains fairly corrupt. However, a low level of democracy does not hold Singapore back from being ranked as the least corrupt country. The full results of the regressions are shown in Table 2. Our benchmark model is model 1. It deals with economic variables only. The first economic variable, GDP growth rate, does not seem to affect the level of corruption at all. Perhaps, this can be attributed to economic variables being only the variables accounted for in the benchmark model. We will see the effect of adding institutional variables directly on the corruption level and indirectly through the effect of GDP growth rate on corruption. Government expenditures per capita are negative and significant. More government expenditure does lower corruption. Some Asian governments asked for financial assistance from international donors in order to help combat corruption. Some used their own money. For example, in the ADB/OECD Anti-Corruption Initiative for Asia and the Pacific Report (2008), the Malaysian Government, in an effort to developing effective and transparent systems for public service, conducted a corruption survey without external funding and technical assistance, although they may require so. The result of the survey was submitted in a report that would help the Government of Malaysia to determine public perception of the level of corruption in Malaysia and to establish a corruption perception index applicable to the country. The Thai government did not ask for financial assistance from ADB in their project Legal System Development and Good Governance, whose purpose is to raise and strengthen public awareness about corruption as well as to build up a network countrywide. They used budgets proposed by all relevant agencies. Moreover, based on 2002 revised constitutional law, the Indonesian government is mandated to spend at least 20 percent of the annual government budget on education or education-related spending. Education is a strong measure to control corruption since more educated individuals pay more attention to corruption and are better able to take action against it (Glaeser and Saks, 2006: 1056). It is known that salaries of government officials in Singapore and Hong Kong are far higher than those of their neighbors in order to dissuade them from leaving for private sector jobs and from engaging in corrupt activities. In Singapore, cabinet ministers are also handsomely paid. Lee KuanYeuw, the founder of Singapore and long-time prime minister, argues that cabinet ministers and political leaders should be paid top salaries in order to ensure a clean and honest government.
41
DETERMINANTS OF CORRUPTION IN ASIA Ferry Ardiyanto
Table 2. Determinants of Corruption in Asia
GDP growth rate Government expenditures per capita (US$000) Openness Natural resources Economic freedom Civil liberties Democracy Intercept R2 R2-adjusted N
Model 1 -0.015 (0.017)
Dependent variable: Corruption in Asia Model 2 Model 3 Model 4 -0.043(0.015)*** -0.040(0.015)*** -0.039(0.015)***
-0.836 (0.082)***
-0.340(0.098)***
-0.347(0.096)***
-0.338(0.099)***
-0.011(0.001)*** 0.033 (0.007)***
-0.006 (0.001)*** 0.007 (0.007) -0.080 (0.011)***
-0.006 (0.001)*** 0.013 (0.007)* -0.083(0.011)*** 0.121(0.044)***
-0.006 (0.001)*** 0.013 (0.007)* -0.083(0.011)*** -0.097(0.074) 0.007(0.017)
11.687(0.603)***
11.682(0.603)***
0.8689 0.8550 199
0.8698 0.8552 199
7.662 (0.140)*** 0.8360 0.8206 199
12.055 (0.600)*** 0.8686 0.8554 199
***significant at 1% level, **significant at 5% level, *significant at 10% level. All explanatory variables are lagged one year.
If they were underpaid, they would give way readily to temptation and indulge in corrupt acts. Openness variables are negative and significant. More open economies are indeed less corrupt than their more closed counterparts. A domestic market with more foreign competition (higher import and export volumes) will decrease rents enjoyed by domestic firms, thus lowering corruption. Some Asian countries have a high degree of openness. For example, during 1996-2010 the average openness score of Singapore is 376, meaning the amount of imports and exports combined is almost 4 times its GDP. For Hong Kong, during the same period, its openness score is 332. The average amount of imports and exports in Malaysia is almost twice its GDP (score of 194). Singapore and Hong Kong do not have natural resources to offer, thus they focus on being trade hubs and financial centers in Asia. Singapore and Hong Kong are important shipping and processing centers, so they are importing goods, processing them, then exporting the final product to other countries. Singapore offers better connections to Southeast Asia and its financial markets are highly developed. Hong Kong provides better connections to mainland China and is one of the world’s leading financial centers. The natural resources variable is positive and significant. In Asia, countries with large endowments of precious raw materials offer greater potential gain to public officials who distribute the rights to exploit such resources. Some rents are indeed natural instead of artificially created, but still stimulate a corrupt competition over their allocation (Treisman, 2000).The United Nations Development Programme (2011) reports that corruption involved in natural resources. The economic benefits natural resources produce are all too often squandered by government officials. In Indonesia alone, the United Nations estimates that $1 billion a year disappears due to
42
informal payments and bribes in the logging industry (UNDP, 2011). Illegal logging and other corrupt practices in the management of natural resources are especially detrimental to the poor because small farmers and indigenous people are often driven into poverty as a result of land expropriations. The UNDP suggests a number of strategies that could help reduce such corruption, for example improving the quality of a merit-based civil service, raising civil servant salaries and enhancing press freedom and international cooperation (ibid). In model 2, the effect of economic freedom is added. Economic freedom broadly measures the ability of citizens and companies within a country to carry out economic activities without being obstructed by the state.The coefficient of economic freedom is negative and significant, therefore, more economic freedom leads to less incentive for government officer to engage in corrupt activities. Now GDP growth rate is negative and significant. Strong economic growth help reduce corruption. Government expenditure and openness variables remain negative and significant. However, the natural resources variable turns out to be insignificant. Thus, it can be concluded that more economic freedom, in the sense of lower government regulation, is good for business. More economic freedom creates more economic opportunities in a free market economy and lessens the incentives for government officers to engage in corrupt behavior in the natural resource sector. Sally (2012) argues that the unprecedented expansion of economic freedom is at the core of the Asia’s genuine success. Economies have prospered most when governments have dismantled interventionist policies in favor of unleashing the animal spirits of common people. He states that China's greatest leaps forward had come when government instituted rural property rights and
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
DETERMINANTS OF CORRUPTION IN ASIA Ferry Ardiyanto
opened up domestic and international trade, exposing the economy to international competition (ibid). Asian Tigers prospered because they maintained macroeconomic stability, had a low prevalence of price controls and subsidies, built necessary infrastructure, and were very open to international trade. Some Asian countries are extremely free in terms of economic freedom. Hong Kong is actually the freest country in the world by some measures, followed by Singapore. Their objective of government regulation is to make firms able to do business comfortably. Hong Kong and Singapore grant private firms the most flexibility in hiring and firing workers. Most travelers from other countries are excluded from needing a visa for a 30-day visit. You can get a longer visa as a businessman or a private company executive relatively easily there. They also set the standards for clean and free government and benefit significantly from their transparent and straightforward business environments. Model 3 adds economic freedom and civil liberties to the benchmark model. The coefficient of economic freedom is negative and significant. Deregulation does lower corruption. The impacts of GDP growth rate, government expenditure and openness are also negative and significant. The natural resources variable is positive and significant at the 10 percent level. This is perhaps because of the addition of civil liberties, which is positive and significant. More civil liberties lead to more corruption, including corruption in the natural resources sector. This seems contradictory until we find out that actually civil liberties in Asia are relatively repressed. Greater civil liberty is argued to lead to higher levels of citizen involvement and political participation. High level of civil liberty reflects a citizen’s ability to agitate and influence government behavior without negative repercussions, a mechanism that can plausibly lead to greater accountability and thus better choice and implementation of good governance (Isham et al., 1997). However, higher civil liberties are also strongly associated with higher levels of riots, demonstrations and political strikes (ibid). If civil actions are easily repressed by the law, then the ruling government could also ask police forces to shut down its political enemies or to silence the media. This creates more opportunity for the abuse of power and rent-seeking behavior. Singapore and Malaysia both have Internal Security Acts that allow for indefinite detention without trial. Students in Malaysia are not permitted to join political parties. Malaysians must apply for a police permit for gatherings of more than five people. Under the new Peaceful Assembly Act, the government of Malaysia prohibits street protests and anyone under the age of 21 will not be permitted to organize an assembly. The Philippines has the Human Security Act, which allows suspects to be detained for
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
up to three days and allows their rendition to other countries. India and Indonesia have broadly-worded legislation that could be used against various expressions of dissent such as labor strikes and demonstrations. Moreover, the revised Indonesian Criminal Code allows looser rules of evidence than did the old one, including the use of intelligence reports. Although those reports need to be reviewed by a judge, the Indonesian court system is so weak and corrupt that judicial review barely constitutes a meaningful safeguard (Jones, 2002). In model 4, the effects of economic freedom, civil liberties and democracy are added to the benchmark model. GDP growth rate, government expenditures per capita, openness, and economic freedom coefficients are all negative and significant. Robust economic growth, large but well-directed government spending, more international trade, and less governmental restriction all reduce corruption levels. However, the natural resources variable is positive and significant at the 10 percent level. Greater natural resources endowment does offer greater potential gain to government officials who distribute rights to exploit such resources(Ades and Di Tella, 1999). The coefficients of civil liberties and democracy are not significant. This is not surprising since civil liberties and more democratic regimes are strongly connected as a certain degree of civil liberty is a precondition for democracy. What is surprising is that they are not significant for Asian countries. According to Diamond (2011), some countries in Asia are democracies such, as India—the largest democratic country in the world, South Korea, Indonesia, and the Philippines. Thailand is a recurrent and probable future democracy. Malaysia and Singapore will become real democracies within generations. China and Vietnam will become democracies faster if they rapidly modernize in one generation or two generations (he predicts within 20 years to 40 years from now). The diversity level of democracies in Asia is possibly what brings the democracy coefficient to be insignificant. There are also two contrasting arguments about the effect of democracy on corruption, which probably contributes to the insignificance of the democracy coefficient (Isham et al., 1997). More democratic systems may lead to greater public investments in infrastructure, greater and more equitable investments in human capital, more open trade policies and better provision of a secure legal system and property rights (Clague et al., 1997; Tavares and Wacziarg, 2001). All those things, if well formulated and well-implemented, will eventually lead to a reduction in corruption. However, democratic arrangements may worsen corruption if government policies and actions are directed by vested interests lobbying for preferential treatment and against efficiency-enhancing reforms (Olson, 1982). Mauro (1995) states that in high-level corruption or rent seeking, high level officials are the decision makers for public investments concerning their scale and
43
DETERMINANTS OF CORRUPTION IN ASIA Ferry Ardiyanto
composition. Government officials, in collusion with legislative members, may picklarge scale public projects in accordance with their vested interests. Some view the success of some Asian governments in pursuing sensible macroeconomic policies, leading to lower corruption, as because authoritarian leaders effectively insulated meritocratically selected government officials from direct popular pressures, such as in Singapore and Hong Kong, and perhaps Malaysia (World Bank, 1993). On the other hand, authoritarian leaders in other countries pursue vested interest macroeconomic policies, leading to higher corruption, for instance Indonesia during the New Order.12
5.
CONCLUSION
Four different models for investigating the determinants of corruption are estimated. The benchmark model includes only economic variables: GDP growth rate, government expenditures per capita, openness, and natural resource endowments. The benchmark model shows that the GDP growth rate is not an important factor affecting corruption. Nonetheless, when we put together the institutional variables in subsequent models, the GDP growth rate is always significant and of the expected sign. Government expenditures per capita, openness, and natural resources (except for one model) variables are all significant and of the expected sign in all specifications. Institutional variable economic freedom is always significant and of the expected sign, civil liberties variable is only significant in one model, and democracy never influences corruption. Overall, corruption in Asia is caused by both economic and institutional variables. Economic variables almost always affect corruption, whereas the effect of institutional variables is mixed. As in some Asian countries,giving gifts or commissions and paying bribes arecommon, there is perhaps a threshold for what is considered to be corruption, in terms of money or payback.
6.
RECOMMENDATIONS AND LIMITATIONS
6.1. Recommendations While it is difficult to provide specific guidance on national foreign anti-corruption policies, there are some guidelines out there on how to curb corruption provided by international organizations. For instance, the World Bank’s Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank (1997), Organisation for Economic Cooperation and Development’s Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business 12
Excluding Hong Kong and Singapore, models 1 and 2 produce the same results in terms of the signs and significances of the coefficients. Models 3 and 4 differ only in the natural resources coefficient, which is not significant. Hong Kong and Singapore do not have natural resources to offer, thus excluding them minimizes the effect of natural resource rents for the sample countries.
44
Transactions (1997), and the United Nations’ Convention against Corruption (2004)send clear instructions on how to implement a wide and detailed range of anti-corruption measures affecting their laws, institutions, and practices. Based on the successful experiences of Hong Kong and Singapore in fighting corruption, we may as well take lessons from them. The civil service reforms and the establishment of an independent anticorruption agency are the first two things to do. The professional civil service should be politically neutral, have security of tenure, have decent salary, be recruited and promoted based on merit, and not have property or business interests that conflict with the performance of its duties (Adamolekun, 1993).There should be an independent anti-corruption agency reporting only to the head of state, which is supposedly not corrupt. Officials in the agency should be paid more than other government officers in other agencies. The agency should also be able to recommend legal and administrative changes to lower corruption incentives and to engage in public education on anti-corruption campaigns. Mechanisms for controlling the misuse of power must be strengthened. Governments should apply policy changes that reduce the demand for corruption by evaluating what regulations are being bypassed and then take action to simplify them (Tanzi, 1998).Those agencies that are susceptible to corrupt activities such as customs houses, tax offices or police forces should evaluate their standard operating procedures periodically. Their procedures should be clear and can be interpreted unambiguously. Penalties for misuse of power should also be included to introduce a deterrent effect. 6.2. Limitations The estimates in this paper have to be interpreted with caution as the models do not control for all variables deemed essential in explaining corruption due to data availability. The time period chosen is also restricted because the data on corruption provided by Transparency International is limited. Further research could include other variables the models fail to control for. One could also lengthen the time period by using a corruption index from Business International or the International Country Risk Guide. One can also perform a deeper analysis on a country by country basis using case studies
REFERENCES Adamolekun, Ladipo. 1993. “A Note on Civil Service Personnel Policy Reform in Sub-Saharan Africa.” International Journal of Public Sector Management 6: 38-46. Ades, Alberto and Rafael di Tella. 1999. "Rents, Competition, and Corruption." American Economic Review 89: 982-93.
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
DETERMINANTS OF CORRUPTION IN ASIA Ferry Ardiyanto
———. 1997a. "The New Economics of Corruption: A Survey and Some New Results." Political Studies XLV: 496-515. ———. 1997b. "National Champions and Corruption: Some Unpleasant Interventionist Arithmetic." Economic Journal 107: 1023-42. Aidt, Toke S. 2003. “Economic Analysis of Corruption: A Survey.” The Economic Journal 113: F632F652. Ali, Abdiweli M. and Hodan Said Isse. 2003. “Determinants of Economic Corruption: A Cross-Country Comparison.” Cato Journal 22(3): 449-66. Asian Development Bank (ADB)/Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). 2008. ADB/OECD Anti-Corruption Initiative for Asia and the Pacific Annual Report. Manila and Paris: ADB/OECD. Baltagi, Badi. 2008. Econometric Analysis of Panel Data. Fourth edition. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd. Baltagi, Badi. H. and Ping X. Wu. 1999. “Unequally Spaced Panel Data Regressions with AR(1) Disturbances.”Econometric Theory 15(06): 814-23. Bengoa, Marta and Blanca Sanchez-Robles. 2003. "Foreign Direct Investment, Economic Freedom and Growth: New Evidence from Latin America." European Journal of Political Economy 19(3): 529-45. Bonaglia, Federico, Jorge Braga de Macedo, and Maurizio Bussolo. 2001. “How Globalization Improves Governance.” OECD Development Centre Working Paper 181. Carden, Art and Lisa Verdon. 2010. “When is Corruption a Substitute for Economic Freedom? Law and Development Review 3(1): 41-64. Chafuen, A.A. and E. Guzman. 2000. “Economic Freedom and Corruption.” In G.P. O’Driscoll Jr., K.R. Holmes, and M. Kirkpatrick, eds., 2000 Index of Economic Freedom, pp. 51-63. Washington, D.C. and New York: Heritage Foundation Press. Chowdhury, Shyamal K. 2004. "The Effect of Democracy and Press Freedom on Corruption: An Empirical Test." Economics Letters 85(1): 93-101. Clague, C., P. Keefer, S. Knack and M. Olson. 1996. “Property and Contract Rights in Autocracies and Democracies.” Journal of Economic Growth 1(2): 243-76. Diamond, Larry. 2011. “East Asia amid the Receding Tide of the Third Wave of Democracy. Keynote speech presented to International Conference on Democracy in East Asia and Taiwan in Global Perspective held in Taipei, ROC August 24-25, 2011. De Jong, Eelke and Erwin Udo. 2006. “Is Corruption Detrimental to Foreign Direct Investment.”
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
Working Paper Radboud University Nijmegen. Emerson, Patrick M. 2006. “Corruption, Competition and Democracy.”Journal of Development Economics 81: 193-212. Fisman, Raymond J. and Roberta Gatti. 2002. “Decentralization and Corruption: Evidence across Countries.” Journal of Public Economics 83(3): 325-45. Frechette, Guillaume R. 2006. “A Panel Data Analysis of the Time-Varying Determinants of Corruption.” CIRANO Working Paper No. 28. Gatti, Roberta. 2004. “Explaining Corruption: Are Open Countries Less Corrupt?” Journal of International Development 16(6): 851-61. Glaeser, Edward L. and Raven E. Saks. 2006. “Corruption in America.” Journal of Public Economics 90: 1053-72. Goel, Rajeev K. and Michael A. Nelson. 2005. “Economic Freedom versus Political Freedom: Cross Country Influences on Corruption. Australian Economic Papers 44 (2): 121-133. Graeff, Peter and Guido Mehlkop. 2003. “The Impact of Economic Freedom on Corruption: Different Patterns for Rich and Poor Countries.”European Journal of Political Economy 19(3): 605–20. Greene, William H. 2008. Econometric Analysis. Sixth edition. Upper Saddle River, N.J.: PrenticeHall. Gujarati, Damodar N. 2004. Basic Econometrics. Fourth edition. New York: McGraw-Hill. Gupta, Sanjeev, Hamid Davoodi and Erwin Tiongson. 2001. “Corruption and the Provision of Health Care and Education Services.” In Arvind K. Jain, ed., The Political Economy of Corruption, pp. 111-141. London: Routledge. Gwartney, James D,, Joshua C. Hall, and Robert Lawson. 2011. Freedom of the World Dataset available at www.freetheworld/datasets_efw.html ———. 2011. Economic Freedom of the World: 2011 Annual Report. Vancouver: Fraser Institute. ———. 2010. Economic Freedom of the World: 2010 Annual Report. Vancouver: Fraser Institute. Gyimah-Brempong, Kwabena. 2002. "Corruption, Economic Growth, and Income Inequality in Africa." Economics of Governance 3(3): 183209. Hayashi, Fumio. 2000. Econometrics. First edition. Princeton, N.J.: Princeton University Press. Heston, Alan, Robert Summers and Bettina Aten. Penn World Table Version 7.0, Center for International Comparisons of Production, Income and Prices at the University of Pennsylvania, May 2011. Herzfeld, Thomas and Christoph Weiss. 2003. “Corruption and Legal (In) Effectiveness: An Empirical Investigation.” European Journal of Political Economy 19(3): 621-32.
45
DETERMINANTS OF CORRUPTION IN ASIA Ferry Ardiyanto
Internet Center for Corruption Research.The CPI Ranking 1995. www.icgg.org/corruption. cpi_ olderindices_1995.html, accessed on January 12, 2011. Isham, Jonathan, Daniel Kaufmann, and Lant H. Pritchett. 1997. “Civil Liberties, Democracy, and the Performance of Government Projects.” World Bank Economic Review 11(2): 219-42. Jain, Arvind K. 2001. “Corruption: A Review.” Journal of Economic Surveys 15(1): 71-121. Jones, Sidney. 2002. “The War on Terror in Southeast Asia Could Hurt Civil Liberties.” December 6, 2002. YaleGlobal online. Kaufmann, D. 1997. "Corruption: Some Myths and Facts." An early version was published in Foreign Policy, Summer 1997: 114-31. Kaufmann, Daniel, AartKraay and Pablo ZoidoLobaton. 1999. “Governance Matters.” World Bank Policy Research Working Paper Series No. 2196. Knack, Stephen and Omar Azfar. 2003. “Trade Intensity, Country Size, and Corruption.” Economics of Governance 4(1): 1-18. Krueger, Anne O. 1974. “The Political Economy of the Rent-Seeking Society.”American Economic Review 64(3): 291-303. Lambsdorff, Johann G. 2004. “Background Paper to the 2004 Corruption Perceptions Index: Framework Document.” Transparency International and University of Passau. La Porta, Rafael, Florencio Lopez-de-Silanes, Andrei Shleifer, and Robert Vishny. 1998. “The Quality of Government.” National Bureau of Economic Research Working Paper No. 6727. Larrain B., Felipe and Jose Tavares. 2007. "Can Openness Deter Corruption? The Role of Foreign Direct Investment." CEPR Discussion Papers No. 6488. Lindbeck, Assar.1998. "Swedish Lessons for PostSocialist Countries." Stockholm University, Institute for International Economic Studies Seminar Papers No. 645. Lipset, Seymour N. and Gabriel S. Lenz. 2000. “Corruption, Culture, and Markets.” In Lawrence E. Harrison and Samuel P. Huntington, eds., Culture Matters: How Values Shape Human Progress, pp. 112-124.New York: Basic Books. Macrae, J. 1982. "Underdevelopment and the Economics of Corruption: A Game Theory Approach." World Development 10(8): 67787. Maddala, G. S. and T. D. Mount. 1973. “A Comparative Study of Alternative Estimators for Variance Components Models Used in Econometric Applications. Journal of the American Statistical Association 68: 324-28. Marshall, Monty G., KeithJaggers and Ted R. Gurr. 2010. Polity IV Project: Political Regime Characteristics and Transitions, 1800-2010.
46
Version p4v2010.Center for Systemic Peace available at www.systemicpeace.org/polity/polity4.htm. Mauro, Paolo. 1995. “Corruption and Growth.” Quarterly Journal of Economics 110: 681–712. Medvedev, Denis. 2006. “Beyond Trade The Impact of Preferential Trade Agreements on Foreign Direct Investment Inflows.” World Bank Policy Research Working Paper No. 4065. Miller, Terry and Kim R. Holmes. 2010. Index of Economic Freedom. Washington, D.C.: The Heritage Foundation and Dow Jones & Company available at www.heritage.org/index. Neeman, Zvika, M. Daniele Paserman and AviSimhon. 2008. "Corruption and Openness," The B.E. Journal of Economic Analysis & Policy 8(1): Article 50. Neumann, Peter. 1994. “Bose: fast allebestechen.” Impulse, pp. 12-16. Hamburg: Gruner+JahrAG&Co. Ng, Francis and Alexander Yeats. 1999. "Good Governance and Trade Policy : Are They the Keys to Africa's Global Integration and Growth?" World Bank Policy Research Working Paper Series No. 2038. North, Douglass C. 1990. Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Cambridge, U.K.: Cambridge University Press. Nye, Joseph S. 1967. "Corruption and Political Development: A Cost-Benefit Analysis." American Political Science Review 61(2): 41727. Olson, M. 1982. The Rise and Decline of Nations: Economic Growth, Stagnation and Social Rigidities. New Haven, CT: Yale University Press. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). 1997. Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions. Paris: OECD. Paldam, Martin. 2002. “The Cross-Country Pattern of Corruption: Economics, Culture and the Seesaw Dynamics.” European Journal of Political Economy 18(2): 215-40. Rock, Michael T. 2007.“Corruption and Democracy.” DESA Working Paper No. 55. Rose-Ackerman, Susan. 1999. Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform. Cambridge, U.K.: Cambridge University Press. Sally, Razeen. 2012. “A New Birth of Economic Freedom for Asia.” September 23, 2012. Wall Street Journal Online. Sandholtz, Wayne and William Koetzle. 2000. “Accounting for Corruption: Economic Structure, Democracy, and Trade.” International Studies Quarterly 44(1): 31-50.
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
DETERMINANTS OF CORRUPTION IN ASIA Ferry Ardiyanto
Scully, G. W. 1988.“The Institutional Framework and Economic Development.”Journal of Political Economy 96: 652-62. Shen C. and J. B. Williamson. 2005. “Corruption, Democracy, Economic Freedom and State Strength.” International Journal of Comparative Sociology 46(4): 327-45. Shleifer, Andrei and Robert Vishny. 1993. “Corruption.” Quarterly Journal of Economics 108(3): 599-617. Sun, Q., W. Tong and Q. Yu. 2002. “Determinants of Foreign Direct Investment across China.” Journal of International Money and Finance 21(1): 79-113. Svensson, Jakob. 2000. "Foreign Aid and RentSeeking." Journal of International Economics 51: 437-61. Tanzi, Vito. 1998. Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope, and Cures. IMF Staff Papers 45(4): 559-94. Tanzi, Vito and Hamid Davoodi. 1998. Roads to Nowhere: How Corruption in Public Investment Hurts Growth. Washington, D.C.: International Monetary Fund. ———. 1997. “Corruption, Public Investment, and Growth.” IMF Working Paper 97/139. Tavares, Jose and Roman Wacziarg. 2001. “How Democracy Affects Growth.” European Economic Review 45: 1341-78. Taylor, William E., 1980. “Small Sample Considerations in Estimation from Panel Data.”Journal of Econometrics 13: 203-23. Torrez, Jimmy. 2002. “The Effect of Openness on Corruption.” Journal of International Trade & Economic Development: An International and Comparative Review 11(4): 387-403. Transparency International. 2011. Corruption Perceptions Index. Berlin: Transparency International available at www.transparency.org/cpi. ———. 2010. Corruption Perceptions Index. Berlin: Transparency International available at www.transparency.org/cpi. ———. 2009. Corruption Perceptions Index. Berlin: Transparency International. available at www.transparency.org/cpi. Treisman, Daniel. 2000. “The Causes of Corruption: A Cross-national Study.” Journal of Public Economics 76: 399–457. United Nations.2004. United Nations Convention against Corruption.New York: United Nations, Office on Drugs and Crime. United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD).2011. World Investment Report. New York and Geneva: United Nations. United Nations Development Programme. 2011. Asia Pacific Human Development Report: Tackling
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
Corruption, Transforming Lives - Accelerating Human Development in Asia and the Pacific. New York: United Nations Development Programme. Wei, Shang-Jin. 2000. “How Taxing is Corruption on International Investors?” Review of Economics and Statistics 82(1): 1-11. ———. 1999. “Corruption in Economic Development: Beneficial Grease, Minor Annoyance, or Major Obstacle? World Bank Policy Research Working Paper Series No. 2048. Wooldridge, Jeffrey. 2002. Econometric Analysis of Cross Section and Panel Data. First edition. Cambridge, M.A.: The MIT Press. World Bank, 2011.World Development Indicators Online Database. Washington, D.C.: World Bank (Producer and Distributor). ———. 2010. World Development Indicators Online Database. Washington, D.C.: World Bank (Producer and Distributor). ———. 1997. Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank. Washington, D.C.: World Bank. ———. 1993. The East Asian Miracle: Economic Growth and Public Policy. New York: Oxford University Press.
47
DETERMINANTS OF CORRUPTION IN ASIA Ferry Ardiyanto
Halaman ini sengaja dikosongkan
This page intentionally left blank
48
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013 Halaman 49-70 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto Universitas Indonesia, Indonesia. Email: [email protected] INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 26 Juli 2013
The research objective was to test the impact of security threat and economic threat against U.S.to the choice of Container Security Initiative (CSI) as the instrument of foreign policy of US in Global War on Terrorism (GWoT). The analysis employed by this research was Economic Statecraft Concept (Baldwin, 1985) as the main theory. The literature review of the research was able to find the existence of security threat and economic threat pushing US to put their choice on CSI as the economic statecraft in the policy of GWoT. The research employed qualitative model in which the statistical data analysis used was logistic regression and it was obtained proves that justified CSI as the economic statecraft, the different response coming out between countries against the target of CSI was influenced by the interest of their economics and the consideration of the benefit value of the trading relationship within long term period.
Revisi 6 Desember 2013 Dinyatakan Dapat Dimuat 9 Desember 2013 KATA KUNCI: economic statecraft, container security initiative, security threat, economic threat, global war on terrorism.
1.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh security threat dan economic threat against U.S. terhadap pilihan Container Security Initiative (CSI) sebagai instrumen kebijakan luar negeri AS dalam Global War on Terrorism (GWoT). Analisis dalam penelitian ini menggunakan Economic Statecraft Concept (Baldwin,1985) sebagai teori utama. Kajian literatur dalam penelitian ini menemukan adanya security threat dan economic threat yang mendorong AS memilih CSI sebagai economic statecraft dalam kebijakan GWoT. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, dimana dari pengolahan data statistik menggunakan logistic regression didapatkan adanya bukti yang membenarkan CSI sebagai economic statecraft, perbedaan respon negara target terhadap CSI dipengaruhi kepentingan ekonominya dan pertimbangan manfaat hubungan perdagangan dalam jangka panjang.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Serangan terorisme ke Amerika Serikat (AS) pada tanggal 11 September 2001 telah menjadi simbol perkembangan baru gerakan terorisme, yang membawa implikasi terhadap perspektif keamanan internasional. PBB pada tanggal 28 September 2001, mengeluarkan Resolusi DK PBB Nomor 1373 tahun 2001 yang secara ringkas memuat keharusan (mandatory obligation) setiap negara untuk melakukan tindakan yang serius dalam memerangi terorisme internasional. Terlepas dari terorisme telah menjadi ancaman bersama namun bobot isi resolusi tersebut dapat diartikan sebagai wadah bagi kepentingan nasional AS. Penggunaan pesawat terbang komersial sebagai alat serangan 11 September terhadap gedung WTC, telah mempengaruhi AS untuk meningkatkan kewaspadaannya. Berdasarkan pemikiran para pengambil keputusan keamanan nasional, organisasi teroris semakin bersemangat untuk menghancurkan infrastruktur ekonomi negara sebagai upaya mencapai target politik mereka. Dengan mempertimbangkan hal ini, AS membuat serangkaian kebijakan yang menjamin keamanan nasionalnya
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
terlindungi, termasuk pengamanan obyek vital ekonomi dan politiknya. Singh (2006) menjelaskan bahwa serangan terorisme 11 September 2001 merupakan pemicu kemunculan kebijakan luar negeri AS yang dikenal sebagai The Bush Doctrine. Doktrin tersebut memuat tentang pre-emptive, kontrol terhadap weapon of mass destruction dan perang terhadap terorisme, perubahan rejim untuk rogue states, dan demokrasi (Singh, 2006: 11). Salah satu kebijakan luar negeri AS terkait dengan The Bush Doctrine adalah serangan militer ke rejim Taliban di Afghanistan. Sebagai pelaksanaan pre-emptive war terhadap jejaring terorisme, dan pergantian rejim. Ini menunjukkan bahwa Bush dalam Global War on Terrorism menekankan pada tingkat kekuatan militer, kepemimpinan, fokus pada rogue states, dan kebutuhan untuk bertindak pre-emptive (Swarson, 2003:120). Selanjutnya menjadi objek penelitian yang menarik, ketika AS mengeluarkan kebijakan Container Security Initiative (CSI), yang diluncurkan pada Januari 2002. CSI merupakan kebijakan ekonomi luar negeri AS untuk tujuan keamanan nasional AS.
49
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto
Sehingga obyek kebijakan ini adalah seluruh peti kemas yang masuk ke AS. Saat ini sekitar 90 persen perdagangan dunia dikapalkan dalam peti kemas (container). Setengahnya peti kemas tersebut dibongkar di berbagai pelabuhan di AS setiap tahunnya (US CBP, 2011, para. 4). Dan kebijakan CSI bertujuan untuk memastikan bahwa semua barang yang masuk ke AS adalah aman. Menjadi penting untuk kemudian melakukan suatu penelitian mendalam tentang faktor-faktor yang mendorong AS menggunakan CSI sebagai economic statecraft dalam kebijakan GWoT-nya. Selanjutnya penulis juga akan memaparkan tentang mengapa China, yang sering berseberangan baik dalam kebijakan ekonomi maupun politik internasional AS, menandatangani CSI dan memperbolehkan Customs and Border Protection AS berkantor di negaranya padahal tuntutan berlaku resiprocal tidak disetujui AS, AS hanya memperbolehkan Jepang dan Kanada. 1.2. Rumusan Permasalahan Dari paparan latar belakang permasalahan di atas, terdapat yang menarik untuk dijadikan sebagai rumusan permasalahan, yaitu: Kebijakan Global War on Terrorism AS yang merupakan kepanjangan Bush Doctrine memiliki pendekatan yang lebih merupakan strategi kontra terorisme dengan penggunaan kekuatan militer yang lebih dominan, sehingga keluarnya Container Security Initiative (CSI) menjadi objek penelitian menarik karena CSI merupakan kebijakan ekonomi luar negeri AS namun digunakan untuk kepentingan pencapaian politik AS di tingkat internasional. Dari pemikiran tersebut, maka penelitian ini akan menelaah dan menggambarkan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Mengapa Amerika Serikat memilih strategi economic statecraft sebagai salah satu instrumen kebijakan GWoT-nya dengan membuat Container Security Initiative (CSI)?.Penelitian tersebut hanya dibatasi pada periode 2001 sebagai tahun dasar pengambilan kebijakan untuk mendapat kerangka analisa yang memadai. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini diharapkan dapat memperoleh penjelasan tentang latar belakang dipilihnya strategi economic statecraft dengan mengeluarkan CSI sebagai salah satu instrumen kebijakan luar negeri AS dalam GWoT. Selain itu juga untuk mendapatkan penjelasan tentang efektifitas CSI dengan mendapatkan faktor penjelas tentang perbedaan respon negara target terhadap kebijakan AS ini. Terakhir penelitian ini juga ingin mendapatkan manfaat dan biaya dari menerima atau menolak menandatangani CSI. 1.4. Hipotesis Security threat maupun economic threat diduga mempengaruhi para pengambil keputusan kebijakan luar negeri AS. Dimana kedua jenis ancaman tersebut diyakini oleh para pengambil keputusan di AS sebagai
50
ancaman yang dapat menganggu kelangsungan hidupAS. Semakin tinggi threat against U.S., baik itu isu keamanan maupun ekonomi, akan membuat AS menggunakan berbagai instrumen yang dimilikinya untuk menghapus ancaman tersebut. Berdasarkan paparan tersebut, penulis akan membuktikan hipotesis penelitian sebagai berikut: “Security threat dan economic threat mempengaruhi secara signifikan terhadap CSI sebagai Instrumen Economic Statecraft dalam Kebijakan GWoT AS”.
2. KERANGKA TEORITIS Container Security Initiative (CSI) merupakan instrumen kebijakan GWoT yang keluar sesudah Customs Trade Partnership Against Terrorism(C-TPAT) atau dikenal dengan Authorized Economic Operator (AEO), dan di Indonesia diadopsi dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.04/ 2010 tanggal 9 Desember 2010 yang mengacu pada Framework of Standards to Secure and Facilitate Global Trade (SAFE FoS) World Customs Organization (WCO). Berdasarkan data yang dikeluarkan US CBP Representative yang dimutakhirkan sampai dengan Mei 2011, berikut negara yang pelabuhannya (port) telah mengimplementasikan CSI (DHS, 2011) yaitu Kanada, Belanda dan Prancis (Tahun 2002); Jerman, Belgia, Singapura, Jepang, Hongkong, Inggris, Italia, Korea Selatan, Swedia, dan Afrika Selatan (Tahun 2003); Spanyol, Thailand, Malaysia, dan Yunani(Tahun 2004); China, Taiwan, Uni Emirat Arab, Brazil, Sri Lanka, Argentina, dan Portugis (Tahun 2005); Oman, Honduras, Republik Dominika, Jamaica dan Bahamas (Tahun 2006); Pakistan, Panama, Kolumbia, Israel, dan Mesir (Tahun 2007). 2.1. Container Security Initiative (CSI) dalam Perdagangan Internasional Berdasarkan penelitian Mirza dan Verdier (2011:1) menunjukan adanya suatu hubungan interdependesi antara perdagangan, keamanan dan terorisme global. Dalam penelitian tersebut Mirza dan Daniel juga menyebutkan bahwa berdasarkan analisa statistik dengan pendekatan gravity model mendapatkan suatu pola yang menguatkan temuan Laporan Uni Eropa yang menyatakan bahwa CSI telah meningkatkan biaya yang memungkinkan adanya involuntary trade barrier berupa biaya ekonomi tambahan dan keterlambatan pengiriman barang yang kemudian menurunkan efisiensi produksi negara (Mirza dan Verdier, 2011: 18). CSI telah menciptakan non tariff trade barrier karena tariff trade barrier yang akan berakhir dalam era perdagangan bebas maka CSI akan menjadi trade barrier baru. Hanya negara yang memiliki kemampuan keuangan yang besar dan kapasitas negara yang kuat yang mampu comply dengan CSI dan dapat meningkatkan gain utility-nya. Sedangkan dalam penelitian Shakurova dan Velea (2011:1) yang menguji hubungan antara trade flows dengan security measures menyimpulkan bahwa CSI memang menyebabkan peningkatan biaya yang signifikan bagi
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto
negara dengan weak power namun tidak signifikan bagi negara yang strong power. Shie (2004: 1) dalam penelitiannya tentang respon negara terhadap CSI dan PSI di kawasan asia tenggara memberikan suatu kesimpulan bahwa kecuali Singapura, sebagian besar negara-negara di kawasan tersebut merasa tidak perlu merespon dengan dua alasan yaitu permasalahan kedaulatan dan tidak adanya trade barrier yang signifikan ke AS. Berbeda dengan Nigel Brew yang melakukan penelitian respon Australia terhadap CSI, dimana disebutkan beberapa temuannya bahwa persepsi Australia bahwa CSI tidak akan mampu mencegah terorisme dengan menggunakan sarana prasarana cargo ke AS, kedua Australia menolak CSI karena hanya menguntungkan AS saja (Brew, 2003, para. 110). 2.2. Prespektif Realisme dan Neorealisme dalam Ekonomi Politik Fiala, A. (2002) menjelaskan bahwa tujuan dari self preservation dari segala hal yang terattribusi kepada negara, dari perspektif ini maka terorisme harus dianggap sebagai serangan terhadap political power yang ditunjukkan dengan menjadikan terorisme sebagai ancaman (threat) terhadap life dan disisi yang lain a no-limits war against terrorism dianggap sebagai usaha untuk mempertahankan power dan kehidupan (Fiala, 2002: 5). Maka bagi realis, negara harus memandang war on terrorism sebagai bagian dari pertahanan diri dan power. Sehingga memberikan label teroris sebagai agen dari sebuah negara menjadi penting karena perang melawan terorisme harus didudukkan pada posisi antara negara dengan negara. Hal ini dijelaskan oleh Masci dan Jost sebagaimana dikutip Fiala, strategi yang hanya berkonsentrasi pada individu dan kelompok akan gagal sebab teroris sangat bergantung pada negara yang mendukungnya. Inilah yang menjelaskan mengapa Amerika Serikat menyerang Afghanistan karena sebagai respon terhadap serangan terorisme kelompok Al Qaeda yang didukung oleh Taliban (Fiala, 2002: 5). Walau pada dasarnya neorealisme merupakan pengembangan dari pemikiran realisme, pandangan neorealisme cenderung melihat segala sesuatu dari kacamata struktur dan unit-unitnya. Jika bagi realis manusia adalah jahat, maka bisa jadi menurut neorealis yang jahat adalah sistem. Teori neorealisme (realisme struktural) berusaha untuk lebih ilmiah dan lebih positif. Neorealis tetap mempertahankan nilai realis bahwa hubungan internasional antarnegara yang merupakan hubungan antagonistik dan konfliktual yang disebabkan oleh struktur anarkis dalam sistem internasional. Hal yang membedakan neorealisme dengan realisme dilihat dari aktor yang berperan di dalam sistem internasional. Jika pada realisme aktor yang menjadi kunci utama dalam sistem internasional adalah negara (state), maka pada neorealisme aktornya adalah sistem itu sendiri. Sehingga meskipun
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
negara merupakan aktor yang dominan, non-state actors memiliki peranan yang penting dalam sistem internasional. Struktur internasional dalam konsep neorealisme adalah anarki internasional, negara sebagai unit, perbedaan kapabilitas negara serta adanya super power lebih dari satu dimana terdapat hubungan antar negara-negara tersebut. Sedangkan konsep kunci dari neo realisme adalah perimbangan kekuatan, pengulangan internasional, dan konflik internasional yang berupa perang dan perubahan sistem internasional. Neorealis menekankan bahwa anarki dalam hubungan internasional bukan berasal dari human nature, yang seperti realis katakan bahwa manusia pada dasarnya jahat. Tetapi neorealis mengatakan strukturlah yang membuat tindakan manusia itu jahat dan anarki. Dalam neorealis anarki dan damai disebabkan oleh struktur yang ada. Jika struktur menunjukkan damai, maka negara berupaya untuk membuat suatu kebijakan baik berupa aliansi atau pun balance of power guna sebagai respon terhadap suatu struktur tersebut. Tetapi sebaliknya, jika struktur menunjukkan sebuah perdamaian, maka suatu negara juga akan mengubah kebijakannya. AS tidak akan mengeluarkan kebijakan GWoT, jika struktur internasional tidak memaksanya, dengan terjadinya serangan terorisme terhadap gedung WTC. Hal ini menunjukkan bahwa struktur internasional tidak aman, dan tidak ada kekuatan di atas kedaulatan negara. Struktur inilah yang mendorong dan memaksa AS mengeluarkan kebijakan GWoT sebagai respon menghadapi struktur internasional tersebut. 2.3. Foreign Policy Analysis Dalam perspektif Realis, tujuan nasional dalam kebijakan luar negeri suatu negara dipengaruhi oleh perilaku internasional, seperti keamanan, kapabilitas militer, aliansi negara, dan balance of power (Morgenthau dan Thompson, 1993: 57). Sementara itu Christopher Hill dan Margot Light menyatakan bahwa kebijakan luar negeri sama dengan bola bilyar, dimana kebijakan luar negeri berada pada posisi sebagai determinan utama (Hill, Christoper dan Light, 1986: 157). Kebijakan luar negeri dalam Interdepedency Theorists lebih ditekankan pada ekonomi politik internasional, politik domestik dan fluktuasi kepentingan nasional dan strategi diplomasi. Dimana dinamika politik domestik merupakan masalah dalam proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri (George, 1980:114). Definisi kebijakan luar negeri menurut Holsti, adalah gagasan atau tindakan yang dirancang oleh pembuat keputusan suatu Negara untuk menyelesaikan permasalahan maupun mempromosikan sejumlah perubahan, pada perilaku sebuah atau beberapa aktor negara lain maupun non negara; ataupun juga mengubah atau mempertahankan sebuah objek, kondisi atau praktik di lingkungan eksternal (Holsti, 1992:82). Maka bila dijabarkan, substansi kebijakan luar negeri suatu Negara dipengaruhi oleh (1) faktor-
51
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto
faktor konteks eksternal yang meliputi struktur sistem internasional; struktur ekonomi dunia; tujuan dan kebijakan Negara lain; masalah-masalah global dan regional yang ditimbulkan oleh aktivitas perorangan; serta hukum internasional dan opini dunia (Holsti, 1992: 271-302), (2) faktor-faktor politik domestik, yang meliputi berbagai kebutuhan atau kepentingan sosioekonomi dan keamanan; karakter geografis; atribut nasional; struktur pemerintahan; opini publik; birokrasi; serta pertimbangan etis, (3) pengaruh persepsi dan perilaku para aktor pembuat kebijakan meliputi, citra, perilaku, nilai, doktrin, ideologi, analogi dan bahkan kepribadian. Rosenau (1969) mengemukakan bahwa situasi dan kondisi lingkungan (internal dan eksternal) saling berinteraksi dalam proses pembentukan kebijakan luar negeri sebuah negara, sehingga keterkaitan antara aspek nasional dan internasional (internal dan eksternal) digunakan sebagai variabel bebas. Sedangkan, kebijakan luar negeri suatu negara digunakan sebagai variabel terikat (Rosenau, 1987:1). Selajutnya, Rosenau juga mengemukakan bahwa keterkaitan antara aspek internal dan eksternal memberikan input dalam kebijakan luar negeri suatu negara (Rosenau, 1969: 1-16). Sejalan dengan pendekatan Rosenau dan Holsti diatas, Kim (1994) secara garis besar mengemukakan bahwa ada tiga pendekatan utama yang menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri. Pertama, pendekatan internal (domestic/societal), kedua, adalah pendekatan eksternal (external/systemic), dan yang ketiga, adalah keterkaitan antara faktor internal dan eksternal (domestic and external linkages) (Kim, 1994: 21). Dalam pendekatan internal dikemukakan bahwa kebijakan luar negeri hanya ditentukan oleh faktor internal seperti, warisan sejarah, kepemimpinan, politik dalam negeri, kepentingan nasional, ideologi dan kemampuan. Sedangkan, pendekatan eksternal mengemukakan bahwa tingkah laku negara di dunia internasional, kedudukannya ditentukan dalam sistem internasional (Kim, 1994: 21). 2.4. Economic Statecraft Concept David A. Baldwin dalam Economic Statecraft menjelaskan bahwa statecraft secara tradisional didefinisikan sebagai the art of conducting state affairs. Selain itu Baldwin juga mengutip beberapa definisi lain terkait dengan pendefinisian statecraft, seperti Harold dan Margaret Sprout yang senada dengan K.J. Holsti yang memandang bahwa statecraft sebagai aksi yang terencana dari negara untuk mengubah external environment baik kebijakan ataupun perilaku negara lain sehingga tercapainya tujuan yang telah ditetapkan oleh policy makers (Baldwin, 1985: 8-9). Selanjutnya Baldwin dalam mendefinisikan economic statecraft memberikan pemaparan mulai dari semantic taste hingga perdebatan akademis yang berkembang, sehingga ia membuat kesimpulan bahwa semantic taste tidak relevan untuk memahami definisi
52
economic statecraft, dan Baldwin menjelaskan bahwa economic statecraft didefinisikan sebagai (Baldwin, 1985: 39-40): 1. Emphasizes means rather than ends, lebih menekankan maksud dari pada hasil akhirnya, misalnya pemboman pabrik-pabrik tidak dapat didefinisikan sebagai economic statecraft. 2. Economic statecraftdoes not restrict the range of goals that may be sought by economic means, secara empiris fakta yang tidak terbantahkan bahwa para pengambil kebijakan sering menggunakan instrumen ekonomi untuk tujuan yang lebih luas dari tujuan ekonomi. 3. Economic statecraft treats policy instruments as property concept, thus facilitating the maintenance of a clear distinction between undertakings and outcomes, negara memperlakukan instrumen kebijakan sebagai property concept sehingga memudahkan untuk pemeliharaan perbedaan antara usaha dengan hasil. 4. Economic statecraft memasukkan definisi ekonomi, sehingga dapat membedakan antara teknik ekonomi dan yang bukan. Selain itu Baldwin (1985) juga membedakan economic statecraft dalam dua bentuk yaitu negative sanction (contohnya: embargo) dan positive sanction (contohnya: tariff discrimination). Secara sederhana ia membedakan bahwa positive sanction didefinisikan sebagai sanksi yang memberikan atau menjanjikan kepada negara target dengan reward, sedang negative sanction didefinisikan sebagai sanksi yang akan memberikan atau mengancamnya dengan punishment (Baldwin, 1985: 41-42). Untuk memberikan kerumitan pemahaman antara reward dengan punishment adalah menentukan baseline harapan negara target pada saat sender memberikan sanksi. Dalam positive sanction, target mengharapkan adanya posisi relatif di masa depan (expected future value) terhadap sesuatu yang bernilai bagi target, sedangkan negative sanction akan menciptakan relative deprivation atau menjanjikan kecenderungan untuk membayar cost yang signifikan ketika berhasil, dan akan mengancam cost lebih tinggi lagi jika gagal. Selanjutnya untuk operasionalisasi konsep tersebut, Francesco Giumelli menjelaskan dependent variable dan independent variable dari economic statecraft yang digagas oleh Baldwin dengan membangun kerangka teoritis dari sanksi. Giumelli berpendapat bahwa tidak semua sanksi dibuat secara equal, sehingga dibutuhkan suatu functional typology yang memberikan pemahaman tentang perbedaan dari sanksi-sanksi itu. Dan pembuatan typology hanya mungkin dibuat jika setiap klasifikasi sanksi harus dipahami bahwa sanksi (hanya salah satu dari empat metode kebijakan luar negeri tersebut) tidak pernah dikenakan sendiri,yang berarti bahwa sanksi selalu dan hanya berkontribusi pada tujuan kebijakan luar negeri (Baldwin,1971; Lawson, 1983; van Bergeijk, 1994; Nincic,2008 sebagaimana dikutip oleh Giumelli, 2011: 29-30).
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto
Lanjut Giumelli menegaskan bahwa sanksi adalah salah satu aksi yang dapat dipilih para pengambil keputusan kebijakan luar negeri terhadap lingkungan eksternalnya. Pilihan yang lainnya yang mungkin adalah penggunaan violence, penawaran material gains dan diplomasi Giumelli, 2011: 29-30). Giumelli dengan mengintegrasikan dan mengembangkan penelitian Baldwin, Art dan Haas, Baldwin menjelaskan tujuan Economic Statecraft adalah untuk menjelaskan bagaimana state menggunakan instrumen ekonomi untuk mencapai tujuan politiknya, Art menjelaskan forces sebagai alatnya dan Hass menjelaskan bagaimana konflik diartikulasikan. Sehingga Baldwin membuat instrumen kebijakan luar negeri menjadi 4 kategori yaitu propaganda, diplomasi, economic statecraft, dan military statecraft ( Art, 1980; Hass, 1974; Balwin, 1985 sebagaimana dikutip Giumelli, 2011: 29-30). Sedangkan cara untuk mempengaruhi aktor lain dapat digunakan dengan cara persuasi yang damai, memberi insentif atau sanksi, dan serangan sehingga mau mengerjakan sesuatu. Sedang tujuan dari aksi, Art menjelaskan sebagai “What a policy instrument used for” atau “in what ways the target(s) is(are) influenced” sehingga Giumelli menjadikannya dua kategori yaitu cooperative atau non cooperative. Exercise of power tersebut dimaksudkan untuk mencapai tujuan, Wolfer membaginya menjadi survival, possession dan milieu goals (Rummel dan Tantel, 1966; Haas, 1974; Wolfer: 1962, sebagaimana dikutip Giumelli, 2011: 29-30). Sedang target atau siapa yang hendak dipengaruhi, Baldwin (1985: 45) menjelaskan akan sangat bervariasi mulai individu, entitas, Negara dan organisasi internasional. Bereskoetter dan Williams menjelaskan sanksi adalah exercise of power dalam kebijakan luar negeri, dan power dapat diartikan menjadi tiga dimensi, winning the conflict, limiting alternatives and shaping normality, yang kemudian Elman membagi sanksi dalam non cooperative (yang nantinya akan digunakan oleh penulis sebagai fokus penelitian) menjadi tiga kategori tujuan yaitu coercion, constraint dan signal (Bereskoetter dan Williams , 2007; Elman, 2005 sebagaimana dikutip Giumelli, 2011: 32-34). Selanjutnya Giumelli (Giumelli, 2011: 32-34) menjelaskan bahwa diperlukan 2 asumsi dasar yang dipilih secara induktif, yaitu faktor feasibility dan direct material impact. Faktor feasibility, jika suatu sanksi layak (feasible) maka target tahu apa yang harus dilakukan dan dapat melakukannya karena permintaan tersebut tidak membahayakan keberadaannya. Di sisi lain, jika permintaan tersebut tidak dapat diterima oleh target, maka tujuan dari sanksi tidak akan mengubah perilaku target. Kelayakan permintaan didasari oleh dua dimensi: ketepatan (preciseness) dan kepraktisan (practicality). Ketepatan merujuk pada apakah permintaan telah diartikulasikan cukup sehingga target tahu apa yang harus dilakukan untuk memenuhi kehendak pengirim (sender), dan kepraktisan berarti bahwa permintaan tersebut dapat
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
dipenuhi oleh target tanpa mengorbankan keberadaannya. Permintaan disebut precise jika sender meminta target untuk melakukan satu atau lebih tindakan tertentu, kondisi precise tercapai jika target dapat mematuhinya tanpa membahayakan keberadaannya. Evaluasi kepraktisan sangat terkait dengan jenis target karena tidak semua aktor internasional berperilaku sesuai dengan prinsip yang sama. Kerangka kerja ini membedakan antara aktor rasional, ideologis dan kriminal. Kategori pertama meliputi aktor yang berpikir dan bertindak secara strategis untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka; kategori kedua aktor tersebut mempertimbangkan biaya dan manfaat, tetapi mereka telah membangun legitimasi mereka untuk bertentangan dengan sender dan menganggap lebih penting daripada biaya yang mereka pikul atas sanksi, sedangkan kategori ketiga melibatkan aktor yang pada dasarnya keberadaan mereka adalah melawan sanksi, setiap biaya yang dapat dikenakan kepada mereka tidak akan mengubah perilaku mereka, dan kepatuhan tidak akan menjadi pilihan (misalnya Al-Qaeda, Uni Nasional untuk Kemerdekaan Total Angola - UNITA). Variabel ini akan menjadi elemen penting untuk menganalisis kelayakan tuntutan. Ketepatan dan kepraktisan akan diukur dalam skala ordinal. Faktor kedua adalah direct material impact, kurang signifikannya dampak yang ditimbulkan tidak berarti bahwa pengirim tidak memiliki kemauan politik untuk secara efektif memainkan peran dalam krisis. Faktor tersebut dibentuk oleh cost of sanction (biaya sanksi) dan dependence (ketergantungan) terhadap sumber daya yang ditolak oleh sanksi misalnya minyak pada Iran/Irak. Adapun variable dasar Economic Statecraft adalah sebagai berikut: 1. Threat to Sender Variabel threat mengacu pada tingkat ancaman yang diidentifikasi oleh pengirim. Dalam sistem internasional yang anarki, realis percaya bahwa aktor negara mengejar kelangsungan hidupnya sebagai tujuan yang paling penting. Dengan demikian, dari sudut pandang Clausewitzian, jika sanksi adalah kelanjutan dari politik dengan cara lain, maka semakin tinggi threat against sender, semakin tinggi komitmen sender untuk menghapus ancaman tersebut dengan memastikan bahwa target adalah tidak lagi berbahaya. Di sini, aktor yang relevan dari krisis adalah pengirim saja. 2. Salience Salience adalah degree of importance yang melekat pada isu yang aktor buat. Salience dari sebuah isu dapat dikorelasikan dengan tingkat ancaman,tetapi mengacu pada pentingnya krisis untuk alasan yang tidak langsung terkait dengan kelangsungan hidup pengirim. Dengan kata lain, krisis yang menonjol mungkin tidak menimbulkan ancaman bagi pengirim, dan ancaman mungkin tidak menonjol karena salience tidak diukur dalam keamanan tradisional.
53
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto
3. Complexity of Dispute Complexity of Dispute merupakan variable yang digunakan untuk menggambarkan tingkat intractability krisis, dan variabel sistem yang memiliki kekuatan penjelas dalam kebijakan luar negeri sebagai interest menjadi incompatible, karena itu, sender dan target masuk ke dalam zero-sum game, di mana keterlibatan dapat dipertimbangkan ketika peluang menang tinggi dan interest dipertaruhkan. Konsekuensinya sanksi dapat diterapkan untuk menghilangkan musuh, untuk menghindari intervensi dalam daerah yang bahaya atau untuk mengejarbeberapa keuntungan. 2.5. Teori Kontra Terorisme Ganor (2005) menyebutkan bahwa para penentu kebijakan kontra-terorisme untuk memahami rumusan apa sebenarnya tujuan utama untuk memerangi terorisme. Ganor kemudian menekan bahwa tujuan utama kebijakan kontra-terorisme yaitu: eliminating terrorism acts, minimizing damage caused by terrorism, dan preventing the escalation of terrorism (Ganor, 2005: 44-46). Mengeliminasi aksi terorisme dengan tindakan represif yang terukur dan proses peradilan yang terbuka. Namun, meminimalisasi dampak yang ditimbulkan aksi terorisme tak hanya menyangkut aspek keamanan dan hukum, melainkan juga aspek sosial-ekonomi. Terlebih lagi, mencegah perkembangan gejala terorisme harus dimulai dari penanaman nilai kebangsaan dan keagamaan yang terbuka, serta pendidikan kewarganegaraan. Ada beberapa masalah yang unik dalam demokrasi untuk menciptakan sebuah kebijakan kontraterorisme yang efektif. Salah satu aspek paling penting dari sebuah kebijakan kontra terorisme yang efektif adalah pengumpulan informasi intelijen. Informasi ini akan menyediakan pembuat kebijakan dan pejabat militer mengambil tindakan yang tepat. Pengumpulan informasi intelijen telah dikenal sejak Perang Dingin dengan banyak pola pendekatan pengumpulan informasi.
dengan definisi economic statecraft tersebut, maka dilakukan pengujian kelayakan CSI sebagai economic statecraft. Kelayakan CSI sebagai economic statecraft harus memenuhi dimensi ketepatan (preciseness) dan kepraktisan (practicality), merujuk pada permintaan US CBP (2011, para. 10) terhadap target terkait CSI adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi peti kemas dengan risiko tinggi dengan menggunakan targeting yang terotomasi untuk mengidentifikasi container dengan memiliki potensi risiko terhadap terorisme berdasarkan informasi pendahuluan dan intelijen stratejik. 2. Melakukan prescreen dan evaluasi peti kemas sebelum dikapalkan di pelabuhan keberangkatan (port of origin) dari negara target. 3. Menggunakan x-ray dan gamma ray yang memungkinkan semua kontainer telah dilakukan screening. Berdasarkan uraian diatas maka dapat dijelaskan bahwa negara target dapat secara tepat mengimplementasikan apa yang harus dilakukan untuk memenuhi kehendak pengirim (sender), dan permintaan tersebut sangat mungkin untuk dicapai target, walaupun initial cost tinggi pada saat pelaksanaannya, yang dalam jangka panjang akan memberikan keuntungan relatif (relative gain) bagi target. Sehingga CSI dapat dikategorikan layak (feasible) sebagai economic statecraft karena memenuhi dimensi ketepatan (preciseness) dan kepraktisan (practicality) bagi negara target. 3.2. Operasionalisasi Konsep
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Pendefinisian Container Security Initiative (CSI) sebagai Economic Statecraft CSI harus bersesuaian dengan definisi economic statecraft sebelum menimbang kelayakannya. Definisi Balwin (1985) memberikan 4 (empat) pedomannya sehingga selanjutnya (1) CSI harus dipahami bahwa maksud kebijakan tersebut, bukan hanya tercapainya 100% peti kemas yang masuk AS telah diperiksa; (2) CSI tidak hanya merupakan instrumen kebijakan perdagangan untuk menciptakan non tarrif trade barrier namun juga untuk tujuan yang lebih luas dari tujuan ekonomi tersebut; (3) CSI merupakan instrumen yang secara jangka panjang memiliki kapitalisasi politik bagi AS; (4) CSI secara jelas diketahui sebagai bagian teknik trade barrier walaupun dikemas dalam isu perang terhadap terorisme. Sehingga dengan melihat kesesuaian CSI
54
Gambar 3.1. Model Analisa Sederhana
Untuk operasionalisasi konsep, penulis hanya akan menggunakan threat sebagai variabel bebas dalam pemodelan, yang meliputi security threat and economic threat. Hal ini diambil dengan pertimbangan agar penelitian ini tetap fokus pada threat sebagai variabel penjelas bagi variabel terikat yaitu container security initiative, sehingga didapat suatu penelitian yang mendalam dalam kajian terorisme dalam keamanan internasional. Selanjutnya threat akan dibagi menjadi 8 (delapan) proxy yang meliputi security and economic threat. Untuk mempermudah analisa dapat digambarkan model analisa sederhana sebagaimana dilihat pada gambar 3.1.
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto
Variabel Terikat
Variabel Bebas
Kategori
Existence of AlQaeda Network (Al Qaeda/QAE)
CSI sebagai Instrumen Economic Statecraft dalam Kebijakan GWoT AS
THREAT (Security and Economic Threat Againts US)
Incident of Political Violence di Negara Target (Incident/INC) Islam as Common Religion di Negara Target (Religion/REL) Keanggotaan Negara Target dalam NATO atau Partner NATO (Friend/FRE) Rute terdekat dari port negara target ke N.Y /L.A. port AS (Distance/DIS) Import AS dari Negara Target (Impor/IMP) Ekspor AS ke Negara Target (Ekspor/EXP)
Ada Tidak Ada Tinggi Rendah Mayoritas Muslim Mayoritas Bukan Muslim Teman Bukan Teman Dekat Jauh Pemasok Signifikan Pemasok Non Signifikan Pasar Besar Pasar Kecil
Neraca Perdagangan dengan Negara Target (Balance of Trade/ BOT)
Defisit Surplus
Indikator Kanada, Belanda, Perancis dan China merupakan negara yang diketahui didalamnya ada jaringan Al Qaeda menjadi negara target CSI. Israel dan Pakistan merupakan negara dengan tingkat political violence tinggi dapat mengancam AS Sebagian besar negara target yang mayoritas muslim tidak merespon secara optimal kebijakan GWoT Negara yang bukan anggota NATO atau Partner NATO merespon pada tingkat yang rendah Secara tradisional semakin dekat suatu negara dalam kondisi anarki semakin mengancam keamanan Kanada, Jepang, China, dan Jerman adalah pemasok 45% impor AS, sehingga probabilitas ancaman terorisme dengan peti kemas lebih tinggi dibanding negara lain. Economic Statecraft membutuhkan kondisi asimetris dengan negara target, sehingga pasar besar memiliki posisi bargaining dengan kebijakan AS Kanada, Jepang, China, dan Jerman adalah penyumbang lebih dari 50% defisit perdagangan AS dapat mengancam stabilitas ekonomi AS.
Gambar 3.1. Operasionalisasi Konsep 3.3. Pengumpulan Data Pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan. Sumber data primer diperoleh dari terbitan US CBP-Department of Homeland Security (data terkait negara yang telah merespon CSI) danNational Consortium for Study of Terrorism and Response to Terorism (START), A Center of Excellence of The U.S. Department of Homeland Security Based at the University of Maryland (data terkait global terrorism database), dan US Department of Commerce (data impor dan ekspor AS) dan sumber lainnya. Sumber data skunder diperoleh dari berbagai penelitian yang relevan dengan topik penelitian yang bersifat valid seperti penelitian International Centre for Political Violence and Terrorism Research pada Institute of Defence and Strategic Studies, Singapura. Untuk tujuan pengolahan data peneliti membuat dummy untuk variabel terikat (CSI), dimana negara yang di analisa merupakan negara target dari kebijakan CSI tersebut dengan didapatkan memiliki
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
satu atau lebih pelabuhan (port) yang telah patuh terhadap CSI sebagai included group dengan kode 1 (satu), sedangkan negara yang tidak memiliki pelabuhan yang patuh CSI disebut excluded group dengan kode 0 (nol). Sedangkan untuk variabel bebas untuk variabel Existence of Al-Qaeda Network (Al Qaeda/QAE), Islam as Common Religion di Negara Target, (Religion/REL), Keanggotaan Negara Target dalam NATO atau Partner NATO (Friend/FRE) juga digunakan dummy, dimana (1) pada variabel QAE jika di negara target terdapat jaringan Al Qaeda diberi kode 1 (satu) dan jika tidak ada diberi kode 0 (nol), (2) pada variabel REL jika di negara target mayoritas agama penduduknya adalah muslim diberi kode 1 (satu) dan jika tidak ada diberi kode 0 (nol), (3) pada variabel FRE jika negara target adalah anggota/partner NATO maka diberi kode 1 (satu) dan jika tidak ada diberi kode 0 (nol). Untuk kelima variabel bebas lainnya (INC,DIS,IMP,EXP,BOT) akan menggunakan data primer yang tersedia pada
55
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto
badan atau intitusi yang berwenang atau berkompeten tentang bidang tersebut. Selanjutnya analisa data merupakan langkah yang ditujukan untuk memperoleh informasi yang relevan, yang terkandung dalam data tersebut sehingga hasil pengolahannya dapat bermanfaat dalam pemecahan masalah. Data dalam penelitian ini merupakan data primer dari sumber yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sebagai data yang valid dalam pengujian empiris. Beberapa data dibuat variabel dummy untuk menyatakan satu kategori variabel non metric dengan k kategori dapat dinyatakan k-1 variabel dummy, excluded dan included group. Sehingga didapatkan informasi bahwa variabel terikat adalah metric sedangkan variabel bebas merupakan campuran metric dan non metric. 3.4. PemilihanTeknik Statistik Analisa terhadap hubungan Container Security Initiative (CSI) dengan Threat digunakan untuk membuktikan hipotesis yang dibuat. Dalam penelitian tersebut akan menggunakan pengujian secara statistik. Berdasarkan analisa jenis data yang didapatkan pada bahasan sebelumnya maka didapatkan petunjuk untuk pemilihan analisa yang tepat. Berdasarkan penjelasan Ghozali (2001) maka hubungan yang terbentuk merupakan model dependen yang dapat dianalisa dengan menggunakan multivariate analysis, selanjutnya variabel terikat hanya 1 (satu) variabel yaitu CSI yang bersifat non metric dan Variabel Bebas merupakan campuran dari data yang bersifat metric dan non metric sehingga analisa yang dapat digunakan adalah LOGIT and PROBIT Analysis (Ghozali, 2001,hal. 5-7).Berdasarkan pengujian asumsi multivariate normal distribution dengan Kolmogorov-Smirnov Test sebagaimana Tabel 3.2. didapatkan nilai probabilitas/Asymp. Sig (2tailed) lebih kecil dari nilai alpha 5% kecuali variabel DIS, maka dapat disebutkan bahwa variabel tidak terdistribusi normal, sehingga model normal cumulative distribution function (CDF) yang biasa disebut PROBIT Model, kurang baik untuk digunakan. Selanjutnya pilihan analisa akan dilakukan dengan LOGIT analysis. Memperhatikan jenis data variabel terikat yang berupa dummy dan ordinal maka
hal ini yang sering disebut dengan model logit kumulatif atau juga disebut binary logistic regression atau ordinal logistic model (Hosmer, dan Lemeshow, 1989: 1-10). Maka model CUMULATIVE LOGIT atau BINARY LOGISTIC REGRESSION adalah sebagai berikut: Logit CSIij = βi Xj atau Ln
CSI = β0 + β1 QAE + β2 INC + β3 REL + β4 DIS 1 − CSI +β5 IMP + β6 EXP + β7 BOT atau
CSI =
1 1 + eβ 0 +β 1 QAE +β 2 INC +β 3 REL +β 4 DIS +β 5 IMP +β 6 EXP +β 7 BOT
dimana:x` Ln= CSI 1−CSI
Log natural; Probalitas = odds =
(CSI I VariabelBebas )
1−Probalitas (CSI I VariabelBebas ) CSI
Sehingga Ln akan dibaca sebagai log of odds, 1−CSI yang merupakan fungsi linier dari variabel bebas dan dapat diinterpretasikan seperti koefisien pada analisis regresi sederhana. CSI = Container Security Initiative sebagai Instrumen Economic Statecraft dalam Kebijakan GWoT AS; QAE = Existence of Al-Qaeda Network; INC = Incident of Political Violence (bombing, armed/unarmed assault, assassination, infrastructure attack, kidnapping, hijacking ) di Negara Target; REL = Islam as Common Religion di Negara Target; DIS = Jarak Rute Pelayaran Komersial terdekat dari port negara target ke New York/Los Angles port AS; IMP = Import AS dari Negara Target; EXP = Export AS ke Negara Target; BOT = Balance of Trade (Neraca Perdagangan) dengan Negara Target; β0,β1,β2,β3,β4,β5,β6,β7 = Nilai koefisien dari setiap variabel bebas.
Tabel 3.2. Kolmogorov-Smirnov Test CSI N Normal Parameters
Mean Std. Deviation Most Extreme Absolute Differences Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
56
68 .50 .50 .34 .34 -.34 2.80 .00
QAE 68 .43 .49 .37 .37 -.30 3.11 .00
INC
REL
FRE
DIS
68 14.75 34.95 .358 .358 -.33 2.95 .00
68 .15 .36 .51 .51 -.34 4.23 .00
68 .59 .49 .39 .29 -.39 3.18 .00
68 5.28 2.44 .13 .13 -.07 1.10 .18
IMP
EXP
BOT
68 17.04 35.51 .34 .34 -.33 2.77 .00
68 10.98 24.18 .33 .29 -.33 2.74 .00
68 -6.3 15.4 .27 .22 -.27 2.25 .00
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penelitian Analisa terhadap Statistika Deskriptif Variabel Terikat (CSI) dan Variabel Bebas (QAE, REL, FRE) merupakan variabel dummy yang bersifat kategorial sehingga tidak memerlukan deskripsi statistik terkait nilai minimum, maksimal dan meannya. Sedangkan Variabel Bebas lainnya (INC, DIS, IMP, EXP, BOT) yang merupakan data metrik didapatkan informasi sebagaimana dalam Tabel 4.1., dimana variabel INC yang menggambarkan jumlah kejadian political violence di negara target dengan nilai maksimal 195 kejadian, negara tersebut adalah India, namun India tidak merespon CSI, Hal ini berlawanan dengan harapan yang diinginkan bahwa INC akan bersifat positif terhadap CSI.
ini adalah model yang diprediksikan layak (fit) dengan data. Statistik yang digunakan berdasarkan pada fungsi likelihood. Likelihood dari model adalah probabilitas bahwa model yang dihipotesiskan menggambarkan data input. Untuk menguji H0likelihood ditransformasikan menjadi -2log likelihood, model hanya memasukkan konstanta saja yangdari tabel 4.2. diketahui nilainya 94.268% dan H0 dapat diterima jika nilai -2log likelihood lebih besar dari Chi Square Tabel (λ2), dfn-1 dimana n adalah jumlah sampel = 68, df67 dengan α = 5% nilainya 87.108%, sehingga dapat diterima sehingga model fit dengan data. Hasil dari Hosmer and Lemeshow Test pada tabel 4.3. juga menguatkan hasil pada likelihood, karena Chi Square Tabel (λ2) pada Hosmer and Lemeshow Test signifikan pada 0.089 lebih besar dari 0.05 sehingga Ho diterima.
Tabel 4.1. Statistik Deskriptif Variabel Penelitian Variabel
N
Min
Max
CSI
68
0
1
Std. Deviation .50 .504
QAE
68
0
1
.43
.498
INC
68
0
195
14.75
34.953
REL
68
0
1
.15
.357
FRE
68
0
1
.59
.496
DIS
68
1
11
5.28
2.436
IMP
68
1
217
17.04
35.514
EXP
68
1
164
10.98
24.181
BOT
68
-84
10
-6.30
15.385
Tabel 4.2 Likelihood Model
Mean
Valid N 68 (listwise) Berdasarkan nilai mean atau rata-rata dalam Tabel 4.1. dapat diperoleh informasi bahwa Variabel INC, dengan nilai mean 14,75 walaupun relatif kecil terhadap nilai maksimal namun jika melihat data yang digunakan adalah cross sectional sehingga dapat dipahami hampir terjadi 1 kejadian setiap bulan di setiap negara dalam populasi, ini juga mengancam keamanan. Namun perbedaan nilai yang tinggi menunjukkan bahwa kejadian political violence terkonsentrasi. DIS memiliki mean 5,28 kilo nautical miles atau hampir separuh dari nilai maksimal yang dapat diartikan negara target tersebar di Eropa dan Asia Timur. Sedangkan dalam Variabel IMP dan EXP memiliki jarak yang jauh dengan nilai maksimalnya memberikan informasi bahwa impor dan ekspor AS hanya terkonsentrasi di beberapa negara target. Sedangkan BOT menginformasikan bahwa secara umum negara dalam populasi berkontribusi pada defisit perdagangan AS sebesar $ 6 Miliar. 4.2. Prediksi Model Langkah pertama yang dilakukan adalah menilai overall fit model terhadap data, beberapa hasil pengujian statistik yang dapat digunakan untuk menerima atau menolak H0, dimana H0 dalam tahapan
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
Coefficients Iteration Step 0
-2 Log likelihood 1
Constant
94.268
.000
Tabel 4.3. Hosmer and Lemeshow Test Step
Chi-square
1
Df
Sig.
13,749
8
.089
Tabel 4.4. Uji Wald B
S.E. Wald df
Step 0 Constant .000 .243 .000
Sig.
1 1.00
Exp(B) 1.000
Selanjutnya menguji variabilitas variabel bebas, yaitu melihat seberapa besar kemampuan variabel bebas dalam meprediksi variabel terikat dalam model. Untuk menguji variabilitas dapat menggunakan uji wald, dengan hasil pada Tabel 4.4, dimana diketahui nilai wald =0.000 lebih kecil dari 0.05, dengan nilai signifikan pada 1.000 atau 100%, sehingga dapat diartikan Variabel Bebas dapat menjelaskan Variabel Terikat pada tingkat Signifikan 100% dijelaskan oleh faktor dalam model. Untuk menilai ketepatan prediksi, dapat dengan melihat class plot pada gambar 4.1, pada sumbu x merupakan probabilitas prediksi dari 0 sampai 1 bahwa variabel terikat dikelompokan sebagai AS memilih menggunakan CSI ke negara target “1”. Sumbu y adalah frekuensi jumlah kasus yang dikelompokkan. Di dalam plot adalah kolom observasi dimana AS memilih menggunakan CSI ke negara target dengan kode “1” dan AS tidak memilih menggunakan CSI ke negara target dengan kode “0” keduanya dengan 0.25 kasus per symbol. Pengamatan terhadap plot menunjukkan model mampu mengelompokkan kasus yang sulit yaitu kasus yang mendekati p = 0.5. Selanjutnya menentukan koefisien dalam model, berdasarkan hasil pengolahan statistik SPPS dalam tabel 4.5.
57
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto
Gambar 4.1 Class Plot Model
Tabel 4.5. Koefisien dalam Model B
S.E.
Wald
df
Sig. Exp(B)
Step QAE(1) 1a INC
.385
.719
.287
1 .592
1.469
-.005
.008
.380
1 .538
.995
REL(1)
.529
.928
.325
1 .569
1.697
FRE(1)
.543
.585
.861
1 .353
1.721
DIS
.142
.137
1.072
1 .301
1.153
IMP
.908
.442
4.224
1 .040
2.480
EXP
-.887
.441
4.040
1 .044
.412
BOT
.882
.434
4.131
1 .042
2.416
Constant -1.716 1.443
1.413
1 .235
.180
a. Variable(s) entered on step 1: QAE, INC, REL, FRE, DIS, IMP, EXP, BOT. Model Cumulative Logit/ Ordinary Logistic Penelitian: 𝐿𝑛
𝐶𝑆𝐼 = 0.908𝐼𝑀𝑃 − 0.887𝐸𝑋𝑃 + 0.882𝐵𝑂𝑇 1 − 𝐶𝑆𝐼 atau
𝐶𝑆𝐼 =
1 1+
𝑒 0.908𝐼𝑀𝑃−0.887 𝐸𝑋𝑃 +0.882 𝐵𝑂𝑇
4.3. Interpretasi Dari model yang diperoleh sebagaimana dinyatakan pada koefisien pada Tabel 4.5., maka
58
selanjutnya dapat dilakukan intrepretasi sehingga diketahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Pertama, variabel bebas QAE memiliki koefisien 39% dan berkolerasi positif dengan variabel terikat, dapat diartikan bahwa log of odds AS memilih menggunakan CSI kepada negara target akan menaikkan sebesar 39% jika terdapat peningkatan indikasi keberadaan jaringan Al Qaeda di negara target namun demikian signifikansi variabel tersebut untuk menjelaskan mengapa AS memilih/tidak memilih menggunakan CSI sebagai instrumen GWoT hanya 41%, yang berarti ancaman ada dan tinggi namun variabel ini tidak menjadi bahan pertimbangan pemilihan kebijakan tersebut. Kedua, variabel bebas INC memiliki koefisien 0,5% dan berkolerasi negatif dengan variabel terikat, dapat diartikan bahwa log of odds AS memilih menggunakan CSI kepada negara target akan menurun sebesar 0,5% jika terdapat kenaikan tingkat political violence di negara target, demikian pula signifikansi variabel tersebut untuk menjelaskan mengapa AS memilih/tidak memilih menggunakan CSI sebagai instrumen GWoT hanya 46%, yang berarti ancaman ada dan tinggi namun variabel ini tidak menjadi bahan pertimbangan pemilihan kebijakan tersebut. Ketiga, variabel bebas REL memiliki koefisien 53% dan berkolerasi positif dengan variabel terikat, dapat diartikan bahwa log of odds AS memilih
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto
menggunakan CSI kepada negara target akan naik sebesar 53% jika terdapat fakta bahwa negara target mayoritas muslim, namun demikian signifikansi variabel tersebut untuk menjelaskan mengapa AS memilih/tidak memilih menggunakan CSI sebagai instrumen GWoT hanya 43%, yang berarti ancaman ada dan tinggi namun variabel ini tidak menjadi bahan pertimbangan pemilihan kebijakan tersebut, sehingga varibel REL memiliki interpretasi yang relatif sama dengan variabel QAE. Keempat, variabel bebas FRE memiliki koefisien 54% dan berkolerasi positif dengan variabel terikat, dapat diartikan bahwa log of odds AS memilih menggunakan CSI kepada negara target akan naik sebesar 54% jika negara target adalah anggota NATO atau negara partner NATO namun demikian signifikansi variabel tersebut untuk menjelaskan mengapa AS memilih/tidak memilih menggunakan CSI sebagai instrumen GWoT hanya 65%, yang berarti ancaman ada dan tinggi namun variabel ini tidak menjadi bahan pertimbangan pemilihan kebijakan tersebut. Kelima, variabel bebas DIS memiliki koefisien 14% dan berkolerasi positif dengan variabel terikat, dapat diartikan bahwa log of odds AS memilih menggunakan CSI kepada negara target akan meningkat sebesar 14% jika terdapat pertambahan jarak rute pelayaran perdagangan negara target dengan L.A./N.Y. port AS namun demikian signifikansi variabel tersebut untuk menjelaskan mengapa AS memilih/tidak memilih menggunakan CSI sebagai instrumen GWoT sebenar relatif tinggi yaitu hampir 70%, yang berarti ancaman ada dan tinggi namun variabel ini tidak menjadi bahan pertimbangan pemilihan kebijakan tersebut. Keenam, variabel bebas IMP memiliki koefisien 91% dan berkolerasi positif dengan variabel terikat, dapat diartikan bahwa log of odds AS memilih menggunakan CSI kepada negara target akan meningkat sebesar 91% jika nilai impor AS dari negara target naik. Selanjutnya signifikansi variabel tersebut untuk menjelaskan mengapa AS memilih/tidak memilih menggunakan CSI sebagai instrumen GWoT sangat tinggi yaitu hampir 96%, yang berarti ancaman ada dan sangat tinggi dan variabel ini menjadi salah satu bahan pertimbangan penting pemilihan kebijakan tersebut. Ketujuh, variabel bebas EXP memiliki koefisien 89% dan berkolerasi negatif dengan variabel terikat, dapat diartikan bahwa log of odds AS memilih menggunakan CSI kepada negara target akan menurun sebesar 89% jika nilai ekspor AS ke negara target naik. Selanjutnya signifikansi variabel tersebut untuk menjelaskan mengapa AS memilih/tidak memilih menggunakan CSI sebagai instrumen GWoT sangat tinggi yaitu hampir 96%, yang berarti ancaman ada dan sangat tinggi dan variabel ini menjadi salah satu bahan pertimbangan penting pemilihan kebijakan tersebut. Kedelapan, variabel bebas BOT memiliki koefisien 88% dan berkolerasi positif dengan variabel
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
terikat, dapat diartikan bahwa log of odds AS memilih menggunakan CSI kepada negara target akan meningkat sebesar 88% jika nilai defisit pada BOT AS dengan negara target naik. Selanjutnya signifikansi variabel tersebut untuk menjelaskan mengapa AS memilih/tidak memilih menggunakan CSI sebagai instrumen GWoT sangat tinggi yaitu hampir 96%, yang berarti ancaman ada dan sangat tinggi dan variabel ini menjadi salah satu bahan pertimbangan penting pemilihan kebijakan tersebut sebagaimana variabel IMP dan EXP. Berdasarkan interpretasi terhadap hubungan variabel bebas dengan variabel terikat dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa: 1. Variabel Security Threat yaitu variabel QAE, INC, REL, FRE, DIS tidak signifikan menjadi pertimbangan dalam pembuatan kebijakan CSI dipilih/tidak sebagai instumen kebijakan. Selain itu juga adanya pola pergerakan yang berlawanan dengan presepsi ancaman AS kepada kelima variabel tersebut. Selanjutnya hal ini harus dianalisa lebih lanjut untuk memahami fenomena tersebut karena berlawanan dengan mainframe. 2. Variabel Economic Threat yaitu variabel IMP, EXP, BOT menjadi faktor yang sangat signifikan dalam pertimbangan AS membuat kebijakan CSI tersebut dipilih sebagai instrument kebijakan GWoT. Walaupun demikian analisa mendalam tetap diperlukan untuk mendapatkan pendapat pembanding pada penelitian atau literatur akademis serta teori yang relevan sehingga dapat memperkuat hipotesis yang diajukan. Selanjutnya dapat dipahami bahwa secara statistik bahwa terdapat presepsi adanya threat yang tinggi baik itu security threat maupun economic threat. Dimana kedua jenis ancaman tersebut diyakini oleh para pengambil keputusan di AS sebagai ancaman yang dapat menganggu kelangsungan hidup negaranya. Sehingga hal ini memperkuat pandangan Clausewitzian, jika CSI sebagai economic statecraft adalah kelanjutan dari tujuan politik AS dalam mempertahankan pengaruhnya dengan cara lain. Dan terdapat suatu kecenderungan yang semakin tinggi adanya threat against US baik itu isu keamanan maupun ekonomi, AS akan menggunakan semua instrument yang dimilikinya untuk menghapus ancaman tersebut dengan memastikan bahwa target adalah tidak lagi berbahaya. 4.4. Analisa Container Security Initiative (CSI) Sebagai Economic Statecraft Dalam penelitian tersebut didapatkan fakta Belum lagi kondisi non-reciprocal dalam pemberlakuan CSI oleh AS, sampai dengan berakhirnya penelitian ini AS hanya memperbolehkan Jepang dan Kanada. Padahal Cina yang memiliki variabel statistik yang sama dalam penelitian ini tidak memperolehnya, sehingga benar bahwa CSI adalah positive sanction namun, pada kasus Cina dapat diduga, terjadi trade barrier dari AS karena penyumbang defisit neraca perdagangan AS terbesar.
59
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto
Bukti semakin menguatkan temuan dalam penelitian sebelumnya. Kondisi defisit perdagangan AS menjadi perhatian pengambil keputusan di AS, karena perekonomian AS yang sedang mengalami resesi ekonomi sampai dengan November 2001, dimana defisit perdagangan memberikan konstribusi besar untuk memperburuk perekonomian. Sehingga penyesuaian yang paling mungkin adalah menaikkan ekspor AS dan atau menurunkan impornya. Menaikkan ekspor akan sangat menuntut kemampuan domestik AS yang sedang lesu akan membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang relatif lama. Sedangkan menurunkan impor dengan menaikkan tarif bea masuk akan sulit, karena perjanjian pasar bebas yang mengikat AS. Sehingga dibutuhkan instrumen perdagangan non tariff trade barrier yang tidak menimbulkan resistensi mitra dagang AS ataupun WTO. Kebijakan non tariff trade barrier menjadi pilihan yang paling mungkin dilakukan. Beberapa karakter kebijakan non tariff trade barrier yang dibuat haruslah memiliki dampak terhadap penurunan impor dan hal-hal lain yang sensitif terhadap efisiensi dalam rantai pasokan perdagangan. Menimbang pada kebijakan kontra terorisme yang efektif haruslah melakukan prediksi feedback yang tercipta dari kebijakan tersebut. Misalnya hambatan perdagangan non-tarif yang dipilih, karena akan memiliki effect balikan yang sangat mungkin justru menciptakan kondisi yang lebih memberikan peluang terorisme mendapatkan keuntungan yang secara tidak langsung justru membesarkan kelompok terorisme. Secara operasional kebijakan yang akan AS ambil seharusnya juga bersifat asymmetric dan hal ini juga berlaku untuk Cina yang pada uraian sebelumnya menjadi perhatian serius karena Cina adalah penyumbang defisit terbesar bagi AS. Selanjutnya yang perlu dipertimbangkan adalah keberadaan negara berkembang yang dalam teori perdagangan banyak negara berkembang memiliki banyak mendapatkan keuntungan melalui internasional perdagangan. Ditemukan bahwa sementara ada contoh di mana selisih impor dan ekspor atau surplus neraca perdagangan berhasil dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Banyak organisasi internasional, seperti OECD, dan UNCTAD untuk mempromosikan ekspor dan perdagangan internasional sebagai sarana untuk mendorong pembangunan di negara berkembang. Keterbukaan terhadap perdagangan, dan ekspor memiliki efek positif yang signifikan pada negaranegara berkembang. Sementara negara berkembang harus belajar menurunkan hambatan perdagangan dan ekspor di dalam negeri, negara maju harus juga bekerja mempromosikan suasana global di mana tarif dan hambatan non-tarif perdagangan diminimalkan. Sehingga kebijakan AS yang memiliki hambatan non-tarif perdagangan harus menemukan rasionalisasi yang kuat. Negara berkembang merupakan sebagian besar negara di dunia sangat
60
bergantung dari perdagangan ekspornya. Menurut penelitian Laite (2010) menunjukkan, lebih dari 80 persen serangan teroris yang dianalisis berasal dari kelompok atau individu dari negara berkembang. Sementara hasil menunjukkan bahwa negaranegara maju sangat kecil kemungkinannya untuk menjadi tempat kelompok terorisme. Bahkan, bukti secara konsisten menunjukkan bahwa subset dari negara dalam negara berkembang paling mungkin untuk kelompok teroris relatif lebih berkembang. Hanya 19,5 persen kelompok teroris yang kurang berkembang di negara berkembang, sementara 67 persen kelompok teroris lebih berkembang negaranegara berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa ada jendela pembangunan di negara-negara yang dimana paling mungkin untuk jejaring terorisme. Sejak arus perdagangan internasional terbatas di negara-negara maju, mengurangi hambatan perdagangan akan memiliki sedikit efek pada perkembangan negara berkembang secara keseluruhan. Akibatnya, mengurangi hambatan perdagangan akan membantu mendorong negaranegara tersebut ke dalam jajaran negara maju, membuat dukungan mereka terhadap terorisme kecil kemungkinannya. Negara maju dan negara berkembang secara tidak proporsional kebijakan global sering kali membebani negara-negara yang tidak mampu mematuhi peraturan baru. Sehingga semakin membuat global injustice menguat, yang secara tidak langsung ikut memberikan pembenaran terhadap propaganda jejaring terorisme global. Hambatan perdagangan lebih lanjut untuk negara berkembang, untuk dapat patuh pada kebijakan keamanan perdagangan global menunjukkan biaya untuk pelabuhan kecil akan membutuhkan 113 persen lebih tinggi dari pelabuhan besar, sedangkan beban operasional tahunan pelabuhan-pelabuhan kecil 58 persen lebih tinggi dari port besar. Skala ekonomi yang dinikmati oleh pelabuhan besar vis-à-vis pelabuhan-pelabuhan kecil hanya memperburuk perbedaan-perbedaan dalam biaya. Hambatan perdagangan non-tarif yang dibuat oleh program-program keamanan perdagangan, dikombinasikan dengan fakta bahwa eksportir di negara berkembang sering membayar dua sampai tiga kali lebih banyak pada biaya impor daripada eksportir dinegara-negara maju, jelas bahwa perdagangan hambatan yang signifikan untuk negara berkembang. Disparitas ini memiliki implikasi signifikan bagi negara berkembang. Biaya yang lebih tinggi dari pengiriman lebih sulit bagi negara-negara tersebut, sehingga membatasi pertumbuhan PDB dan pembangunan ekonomi. Demikian pula, semakin rendah biaya impor biaya ke negara-negara berkembang membuat lebih mudah bagi negara maju untuk membanjiri negara berkembang dengan produk mereka, yang membatasi pembangunan ekonomi dengan membuat mustahil
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto
bagi industri kecil di negara berkembang untuk bersaing. Mengingat adanya keterkaitan antara kecenderungan negara berkembang dengan terorisme, dengan menciptakan hambatan non-tarif perdagangan program keamanan perdagangan mungkin secara tidak sengaja mempromosikan lingkungan yang lebih menguntungkan bagi terorisme. Amerika Serikat dan kekuatan dunia lainnya harus mengatasi masalah ini, tidak hanya karena risiko keamanan terkait dengan tidak melakukannya, tetapi juga karena mereka memiliki tanggung jawab moral. Untuk meminimalkan efek negatif dari keamanan perdagangan maritim, Amerika Serikat harus bekerja untuk mengurangi hambatan non-tarif perdagangan untuk mengimbangi program yang dibuat. Hal ini akan memberikan kewajiban AS untuk meningkatkan bantuan, terkait infrastruktur perdagangan dan biaya partsipasi kepatuhan terhadap program keamanan perdagangan maritim. AS dapat meminta US CBP dan US Agency for International Development (USAID), serta Departemen Perdagangan untuk mengembangkan kebijakan kepada negara berkembang untuk membantu mitra dagang AS yang paling terpengaruh/sensitif terhadap biaya keamanan. Sehingga penelitian ini sejalan dengan laporan Uni Eropa yang menyatakan bahwa CSI telah meningkatkan biaya yang memungkinkan adanya involuntary trade barrier berupa biaya ekonomi tambahan dan keterlambatan pengiriman barang yang kemudian menurunkan efisiensi produksi negara. Dapat diduga CSI telah menciptakan non tariff trade barrier karena tariff trade barrier di era perdagangan bebasakan berakhir dan akan digantikan dengan trade barrier baru semacam CSI ini. Temuan ini juga sejalan dengan penelitian Shakurova dan Velea (2011) yang menguji hubungan antara trade flows dengan security measures menyimpulkan bahwa CSI memang menyebabkan peningkatan biaya yang signifikan bagi negara dengan weak power namun tidak signifikan bagi negara yang strong power. Hanya negara yang memiliki kemampuan keuangan yang besar dan kapasitas negara yang kuat yang mampu compliancedengan CSI akan dapat meningkatkan gain utility-nya. Adapun negara-negara berkembang seperti Pakistan patuh terhadap CSI karena bantuan ekonomi dari AS yang luar biasa meningkat, sebagai partner utama AS dalam GWoT yang dikenal sebagai negara front liner. Karena AS beraggapan Osama bin Laden menggunakan Afghanistan sebagai safe house sehingga kebutuhan AS untuk menjadikan Pakistan sebagai mitra. Namun ketika Osama ditangkap mati di Pakistan menimbulkan kemarahan AS kepada Pakistan, yang diketahui berdekatan dengan camp pelatihan militer Pakistan. Temuan dalam penelitian ini berbeda dengan temua Shie (2004) dalam penelitiannya tentang respon negara terhadap CSI dan PSI di kawasan asia tenggara memberikan suatu kesimpulan bahwa kecuali Singapura, sebagian besar negara-negara di
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
kawasan tersebut merasa tidak perlu merespon dengan dua alasan yaitu permasalahan kedaulatan dan tidak adanya trade barrier yang signifikan ke AS.: sama berbeda juga didapatkan dalam penelitian Nigel Brew (2003) yang melakukan penelitian respon Australia terhadap CSI, dimana disebutkan beberapa temuannya bahwa presepsi Australia terhadap CSI tidak akan mampu mencegah terorisme, sebagaiama pendapat Uni Eropa yang menyatakan 100% scanning tidak berarti memberikan garansi aman 100%, sedangkan temuan selanjutnya, senada dengan adanya non tariff trade barrier, dimana Australia menolak CSI karena hanya menguntungkan pihak AS saja. Peneliti berpendapat bahwa kondisi ini terjadi, walaupun Australia mitra dekat AS, namun kepentingan ekonomi Australia ke AS tidak besar, Hal ini dapat dilihat dari kecilnya nilai ekspor Australia ke AS. CSI sebagainon tariff trade barrier dapat dibenarkan berdasarkan bukti sebaran CSI port yang tidak proposional, sebagaimana tergambar pada gambar 4.2., akan didapatkan analisa bagaiamana AS hanya mendahulukan kepentinga negara-negara di utara dari pada di belahan selatan yang rata-rata negara dengan kondisi ekonomi berkembang. Gambar 4.2. Sebaran CSI Port Antara Belahan UtaraSelatan
Sumber: diolah dari http://www.dhs.gov/files/programs/ gc_1165872287564.shtm
Sehingga pemahaman CSI sebagai sanksi ekonomi (negative sanction) bagi negara berkembang dapat dipahami karena ketidakmungkinan untuk mendapatkan relative gain yang ditawarkan oleh CSI. Baseline yang awalnya diposisikan pada kondisi positive sanction, karena secara statistik perdagangan negara-negara yang patuh CSI tidak mengalami gangguan bahkan beberapa diantaranya seperti Belanda memetik buahnya. Namun untuk negara-negara yang tidak dapat patuh karena ketidakmampuan kapasitas negaranya maka baseline-nya adalah membebankan biaya keamanan itu ke pelaku bisnisnya yang secara tidak langsung akan menurunkan daya saingnya di AS. Namun jika tidak maka harus mengalihkan pangsa pasar ekspornya dari AS ke negara lain. Tetapi kondisi ini juga dirasakan oleh Cina, sehingga satu-satunya rasionalisasi yang membuat mengapa Cina patuh terhadap CSI adalah ketergantungan ekonomi Cina terhadap Ekspor yang sangat tinggi, memindahkan pasar ekspor dari AS ke pasar lain hampir mustahil dilakukan oleh Cina karena begitu besarnya pasar AS.
61
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto
Evaluasi kepraktisan CSI dapat dievaluasi dari mengevaluasi 34 negara yang merespon CSI, berdasarkan kerangka kerja yang dilakukan Giumelli (2011) yang membedakan setiap negara target antara aktor rasional, ideologis dan kriminal. Kategori pertama meliputi aktor yang berpikir dan bertindak secara strategis untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka, sehingga tidak ada statement resmi dari negara-negara target yang mengungkapkan: ini, sehingga sulit mengidentifikasikan dari ke 34 negara target CSI yang masuk dari kategori tersebut. Sebagian besar menurut peneliti masukk kategori kedua dimana aktor tersebut mempertimbangkan biaya dan manfaat, tetapi mereka telah membangun legitimasi mereka untuk bertentangan dengan sender dan menganggap lebih penting daripada biaya yang mereka pikul atas sanksi. Ini ditunjukkan oleh upaya banding pembatalan CSI oleh Uni Eropa dan negara lainnya, namun usaha ini terlihat tidak berhasil. Sehingga satu-satunya alasannya adalah pasar AS yang besar memaksa semua negara harus membuat pelabuhannya patuh CSI, jika tidak maka biaya yang dibebankan akan lebih tinggi lagi. Dari ke-34 negara target CSI, peneliti hanya mengidentifikasi Pakistan, yang masuk kategori ketiga melibatkan aktor yang pada dasarnya keberadaan mereka adalah melawan sanksi, setiap biaya yang dapat dikenakan kepada mereka tidak akan mengubah perilaku mereka, dan kepatuhan tidak akan menjadi pilihan. 4.5. Analisa Threat dalam Menjelaskan Pilihan AS terhadap CSI sebagai Kebijakan Luar Negeri AS Pasca 9/11 nampak adanya tekanan keamanan terhadap kebijakan ekonomi luar negeri AS, hal ini didukung banyak penelitian yang menyatakan bahwa presiden memiliki keunggulan strategis dalam mengendalikan kebijakan luar negeri AS dalam agenda GWoT Presiden Bush. Presiden memiliki informasi yang lebih berkualitas sehingga memungkinkannya untuk memobilisasi tekanan terhadap suatu agenda kebijakan yang dipilihnya (Wrone, Howell dan Lewis, 2008 hal.1-16). Selanjutnya terkait kebijakan ekonomi luar negeri, Krasner menjelaskan bahwa setiap keputusan ekonomi akan cenderung mempengaruhi secara diferensial, yang memiliki kecenderungan menciptakan konflik, maka untuk memahami mengapa suatu kebijakan diambil diperlukan pemahaman tentang motivasi dan persepsi pengambil keputusan (Krasner, 1978, hal. 70). Penelitian Milner dan Tingley (2011) menunjukkan bahwa faktor ekonomi politik dan ideologi secara sistematis mempengaruhi keputusan pengambil kebijakan dalam menentukan kebijakan foreign aid dan perdagangan. Tekanan keamanan nasional AS yang luar biasa selama kebijakan GWoT setidaknya dalam jangka pendek telah mampu menyatukan kepentingan para pengambil keputusan domestik AS (Fleck dan Kilby, 2010, hal 185-197). Dengan demikian didapatkan
62
penjelasan dari variasi dalam kebijakan ekonomi luar negeri AS, yang menekankan kemampuan eksekutif untuk mengendalikan agenda kebijakan luar negeri, khususnya ketika masalah keamanan. Davis (2009, hal. 10) menjelaskan kepentingan keamanan mendorong negara untuk menawarkan side payment kepada sekutunya. AS akan menyelaraskan kebijakan ekonomi asing dengan kepentingan keamanan. Pengalihan bantuan luar negeri AS dalam penelitian Moss, Rood dan Standly (2005, hal. 1) ditunjukkan bahwa agenda memerangi kemiskinan dalam GWoT, karena adanya keyakinan hubungan yang positif antara kemiskinan sebagai pemicu terorisme, memiliki keselarasan dengan negara target pada kebijakan GWoT, dimana secara geopolitik negara-negara tersebut berbatasan. Bukti lainnya adalah keputusan AS untuk menangguhkan pergeseran bantuan ekonomi dari Yordania karena dianggap sebagai sekutu yang mendukung tujuan strategis AS di kawasan timur tengah. Kebijakan ekonomi luar negeri AS telah dijadikan sebagai fungsi dari pergeseran prioritas keamanannya. Dalam konteks pasca 9/11, AS bergantung pada berbagai sekutunya untuk mendukung GWoT, dengan memanipulasi kebijakan ekonomi luar negerinya sebagai sarana untuk melibatkan mitra keamanannya di negara berkembang. Baldwin (1985, hal. 45) menyatakan bahwa dalam setiap upaya untuk mempengaruhi target, kebijakan luar negeri suatu negara akan mengejar lebih dari satu tujuan. Kebijakan keamanan (security initiative) yang dikeluarkan AS keseluruhannya dilaksanakan setelah serangan terorisme 9/11, bertujuan untuk membuat perdagangan internasional lebih aman dari kegiatan terorisme sebagaimana diajukan dalam proposal AS ke WCO salah satu organisasi internasional dan kemudian disetujui. Ada 4 (empat) security initiative yang dikeluarkan AS yaitu Container Security Initiative,Proliferation Security Initiative, CustomsTrade Partnership Against Terrorism, International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code. Bush Doctrine dalamarahan kebijakan luar negeri Amerika Serikat pada periode 200–2009, memberikan pedoman agar semua pendekatan dilakukan dalam studi kasus CSI, terlihat AS menggeser pendekatan multilateral ke pendekatan unilateral. CSI seolah menjadi pintu penguatan pendekatan unilateralisme AS yang kemudian dilakukan AS, atas Afghanistan (2002) dan Irak (2003) yang masih dalam konteks kebijakan GWoT-nya. Meski pendekatan unilateralisme ditolak oleh sekutu-sekutu terdekatnya di Eropa, semacam Perancis dan Jerman, dan juga Dewan Keamanan PBB, Amerika Serikat mengabaikannya. Inggris, meskipun bergabung dengan Amerika Serikat dalam invasi ke Irak, namun kemudian mundur dengan alasan penerimaan domestik Inggris. CSI sebagai kebijakan luar negeri AS dapat dijelaskan oleh Robert Jervis dalam Understanding the Bush Doctrine bahwa Amerika Serikat untuk sedang melakukan pengujian kekuatan hegemoninya dalam
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto
politik internasional yaitu yang unipolaritas. CSI sebagai economic statecraft dianggap sukses jika asumsi ini terpenuhi. Berdasarkan tren CSI seolah AS menetapkan diri masih sebagai hegemon. Bahkan Cina pun patuh terhadap CSI, karena sebagai economic statecraft atau sanksi pada umumnya hanya dapat efektif jika bersifat asymmetric. AS dengan CSI-nya, juga membenarkan teori Goldstein (1988) yang menyatakan jika hegemoni berarti kebiasaan untuk mendikte, mendominasi, mengatur, dan merancang konstelasi dan geopolitik internasional, maka AS dalam kasus CSI dapat dikatakan power-nya sebagai hegemoni masih dapat dirasakan. Peneliti berpendapat bahwa untuk melanggengkan hegemoni itu, AS tidak hanya sedang memperkuat militernya saja tetapi instrumen yang lain. Mengikuti alur berpikir Robert Gilpin (2002) dalam teori yang menyebutkan dalam kontek sejarah keamanan internasional, penempaan aliansi Barat terhadap Uni Soviet, memainkan peran penting dalam promosi Amerika dalam perdagangan bebas. Meskipun Bank of England memainkan peran sentral dalam pengelolaan standar emas, namun sistem moneter abad kesembilan belas umumnya denationalised. Pasca Perang Dunia II sistem tersebut didasarkan pada dolar dan tunduk pada pengaruh Amerika. Maka dalam kasus CSI pun dapat dibuat suatu analogi baru, mungkin perdagangan tetap akan dikuasai oleh China, Jepang dan Jerman namun keamanan perdagangan ada dibawah AS, sehingga jika ingin mengamankan perdagangan mereka maka setiap negara harus mengeluarkan biaya keamanannya. Selanjutnya CSI dalam perspektif realism maka arah tujuannya tepat karena tujuan nasional dalam kebijakan AS dipengaruhi oleh perilaku internasional, seperti ancaman terorisme global dan kekuatan ekonomi baru seperti Cina. Maka bila dijabarkan, substansi kebijakan CSI sebagai kebijakan luar negeri AS dipengaruhi faktor-faktor konteks eksternal yang meliputi: struktur sistem internasional; struktur ekonomi dunia; tujuan dan kebijakan Negara lain; hukum internasional dan opini dunia, dan faktorfaktor politik domestik, yang meliputi kondisi ekonomi AS yang sedang resesi tahun 2001 dan yang selanjutnya pengaruh persepsi dan perilaku para aktor pembuat kebijakan terhadap ancaman. Dalam pendekatan internal dikemukankan bahwa kebijakan luar negeri hanya ditentukan oleh faktor internal salah satunya kepentingan nasional, ini sangat nampak dari penggunaan CSI. Jika merujuk pendapat Giumelli (2011) yang menyatakan bahwa sanksi adalah salah satu aksi yang dapat dipilih para pengambil keputusan kebijakan luar negeri terhadap lingkungan eksternalnya, maka peneliti berpendapat pembuatan CSI sebagai instrument kebijakan luar negeri sangat cerdas karena AS dapat memperoleh total gain terbesar dari pelaksanaannya walaupun biaya awalnya sangat mahal.
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
Namun jika dipahami lebih lanjut apa sebenarnya tujuan dari CSI, kita dapat menggunakkan penjelasan Art (1980) yang menjelaskan sebagai “What a policy instrument used for” atau “in what ways the target(s) is(are) influenced” sehingga Giumelli menjadikannya dua kategori yaitu cooperative atau non cooperative. Melihat pola operasionalisasi CSI yang sangat coercive walaupun masih lebih dekat dengan constrain maka kebutuhan exercise of power dari AS sangat nampak. Selanjutnya jelas Bereskoetter dan Williams (2007) menjelaskan bahwa exercise of power dalam kebijakan luar negeri, dan power dapat diartikan menjadi tiga dimensi, winning the conflict, limiting alternatives and shaping normality, maka AS sedang memainkan untuk membatasi alternatif setiap aktor, patuh CSI atau tidak bisa masuk pasar AS. Terdapat bukti adanya presepsi threat yang tinggi, baik itu security threat maupun economic threat, pada para pengambil keputusan kebijakan luar negeri AS. Dimana kedua jenis ancaman tersebut diyakini oleh para pengambil keputusan di AS sebagai ancaman yang dapat menganggu kelangsungan hidup AS. Temuan ini memperkuat pandangan Clausewitzian, sehingga CSI sebagai economic statecraft dapat disebut sebagai kelanjutan dari tujuan politik AS untuk mempertahankan pengaruhnya (exercise of power). Semakin tinggi threat against US, baik itu isu keamanan maupun ekonomi, muncul maka para pengambil keputusan AS, akan semakin bersemangat dengan berbagai instrumen yang dimilikinya untuk menghapus ancaman tersebutdengan memastikanbahwa target adalah tidak lagi berbahaya. 4.6. Analisa Threat dalam Menjelaskan Pilihan AS terhadap CSI sebagai Strategi Penanggulangan Terorisme dalam GWoT CSI sebagai bagian kebijakan GWoT secara efektif meningkatkan keamanan bagi seluruh pelabuhan dan pesisir di AS dari serangan terorisme. Hal ini ditunjukkan adanya kenaikan yang signifikan terhadap pemeriksaan container dari yang sebelumnya hanya 2-5% per tahun meningkat hampir mencapai 100%. Jika ditinjau dari Strategi Kontra Terorisme, AS telah mampu menciptakan kondisi deterrence bagi kelompok terorisme dengan menutup pintu masuk ke AS bagi serangan terorisme. Ini membuktikan kebenaran saran Masci dan Jost (2001), bahwa strategi kontra terorisme akan efektif jika tidak hanya berkonsentrasi pada individu dan kelompok, namun aktor negara harus terlibat, karena kondisi anarki hanya bisa diselesaikan jika aktor negara secara bersamaan dalam konteks strategi yang sama dalam penanggulangan terorisme, baik itu dipaksa atau sukarela. Dalam prespektif Fiala, A. (2002) menjelaskan bahwa tujuan dari selfpreservation dari segala yang terattribusi kepada negara, dari perspektif ini maka terorisme harus dianggap sebagai serangan terhadap political power yang ditunjukkan dengan menjadikan
63
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto
terorisme sebagai ancaman (threat) terhadap life dan disisi yang lain a no-limits war against terrorism dianggap sebagai usaha untuk mempertahankan power dan kehidupan. Maka faktor penting dari mengapa CSI muncul harus dipahami dengan pendekatan threat. Maka pernyataan Bush sejalan dengan pengambilan keputusan CSI, walaupun ia dibuat atas pertimbangan ekonomi namun pengambil keputusan dapat mengemasnya sebagai agenda keamanan. Gambar 4.3. Tren CSI port dan Presentase Container Diperiksa
Sumber: Container Security Initiative: 2006–2011 Strategic Plan. US CBP, 2006: 37. Pada Gambar 4.3 menunjukkan peningkatan implementasi CSI dalam presentasi jumlah pelabuhan di tiap negara yang patuh dan container yang dapat diperiksa. Maka usaha semacam ini menunjukkan effort yang sangat luar biasa dari AS untuk negara harus memandang strategi kontra terorisme sebagai bagian dari pertahanan diri dan power. Boaz Ganor (2005: 44-46) menyebutkan bahwa pengukuran efektifitas dari sebuah strategi kontra terorisme maka harus mampu menyambungkan hasil dengan tujuan dari kontra terorisme itu sendiri. CSI dalam: ini dapat dievaluasi dari, pertama, kemampuan CSI untuk mengeliminasi serangan terorisme, berdasarkan paparan dan data yang diuraikan dalam bahasan didapatkan bahwa CSI cukup memberikan batasan bagi jejaring terorisme untuk menjadikan pelabuhan AS sebagai sasaran. Ini terbukti pasca 9/11 belum ada insiden di pelabuhan AS. Kedua, kemampuan CSI untuk meminimalkan kerusakan yang diakibatkan aksi terorisme, terlihat dengan memindahkan pemeriksaan container di pelabuhan keberangkatan atau bukan di AS. Ini menunjukkan CSI sangat cerdas memindahkan kemungkinan pemanfaatan container jauh sebelum sampai di tujuannya di pelabuhan AS dengan pendeteksian yang lebih awal. Karena terdeteksinya container yang dimanfaatkan oleh teroris di pelabuhan AS saja sudah dapat dianggap terlambat. Ketiga, CSI dapat berfungsi mencegah terorisme tereskalasi, secara teknis CSI memang ditujukan sebagai langkah preventive dalam strategi kontra terorisme AS. Sehingga CSI sebagai bagian strategi
64
pencegahan terjadinya sasaran pada pelabuhan yang terbentang di seluruh pesisir AS dari serangan terorisme global, sebuah kerangka kerja yang menarik, walaupun biaya yang dikeluarkan sangat tinggi. Dan berdasarkan US CBP, walaupun mahal namun net benefit-nya masih menguntungkan.
5.
KESIMPULAN
Terdapat bukti empiris bahwa CSI merupakan kebijakan ekonomi luar negeri AS untuk tujuan keamanan nasional AS yang secara menyakinkan bahwa CSI adalah economic statecraft dalam kebijakan GWoT AS. Hal ini diperoleh dalam pengolahan data secara statistik menunjukan bahwa variabel security threat, tidak mampu secara signifikan memberikan penjelasan bagaimana proses pemilihan CSI sebagai instrumen kebijakan. Sedangkan variabel economic threat secara signifikan mampu menjelaskan bagaimana CSI dikonstruksi menjadi sebuah kebijakan dan dipilih sebagai instrumen kebijakan luar negeri AS. CSI sebagai non tariff trade barrier dapat dibenarkan berdasarkan sebaran CSI port yang tidak proposional, walaupun dampak ekonomi seperti penurunan impor AS dan defisit neraca perdagangan tidak signifikan. Biaya yang mahal untuk implementasi CSI dampaknya sangat terasa bagi negara berkembang. Belum lagi kondisi non-reciprocal dalam pemberlakuan CSI oleh AS, sampai dengan berakhirnya penelitian ini AS hanya memperbolehkan Jepang dan Kanada. Padahal Cina yang memiliki variabel statistik yang sama dalam penelitian ini tidak memperolehnya, sehingga benar bahwa CSI adalah positive sanction namun, pada kasus Cina dapat diduga, terjadi trade barrier dari AS karena penyumbang defisit neraca perdagangan AS terbesar. Bukti semakin menguatkan temuan dalam penelitian sebelumnya. Terdapat bukti adanya presepsi threat yang tinggi, baik itu security threat maupun economic threat, pada para pengambil keputusan kebijakan luar negeri AS. Dimana kedua jenis ancaman tersebut diyakini oleh para pengambil keputusan di AS sebagai ancaman yang dapat menganggu kelangsungan hidup AS. Temuan ini memperkuat pandangan Clausewitzian, sehingga CSI sebagai economic statecraft dapat disebut sebagai kelanjutandari tujuan politik AS untuk mempertahankan pengaruhnya (exercise of power). CSI sebagai bagian kebijakan GWoT secara efektif meningkatkan keamanan bagi seluruh pelabuhan dan pesisir di AS dari serangan terorisme. Hal ini ditunjukkan adanya kenaikan yang signifikan terhadap pemeriksaan container dari yang sebelumnya hanya 2-5% per tahun meningkat hampir mendekati 100%. Jika ditinjau dari strategi kontra terorisme, AS telah mampu mencapai posisi deterrence bagi kelompok terorisme dengan menutup pintu masuk ke AS bagi serangan terorisme. Ini membuktikan kebenaran saran Masci dan Jost (2001), bahwa strategi kontra terorisme akan efektif jika tidak
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto
hanya berkonsentrasi pada individu dan kelompok, namun aktor negara harus terlibat, karena kondisi anarki hanya bisa diselesaikan jika aktor negara secara bersamaan dalam konteks strategi yang sama dalam penanggulangan terorisme, baik itu dipaksa atau sukarela. Didapatkan suatu kondisi dimana AS secara menyakinkan masih didominasi pandangan realist dalam proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri AS, dimana dalam penelitian ini nampak AS mengutamakan national interest-nyamenggantikan arti penting ekonomi, sehingga ekonomi dianggap sebagai a tool of politic. Dan kondisi ini seolah menegaskan pendapat Kaufman (1969) bahwa kelompok-kelompok dalam dinamika domestik AS memiliki perbedaan tentang tujuan dari kebijakan luar negeri AS, namun mereka sepakat tentang pentingnya penggunaan economic statecraft.
6.
SARAN
Walaupun penggunaan Economic Statecraft Concept dan Foreign Policy Analysis serta Teori Kontraterorisme mampu menjelaskan perilaku aktor dalam penelitian ini namun perlu ada penelitian lanjutan yang memungkinkan adanya keterkaitan antar instrumen dalam kebijakan GWoT sehingga didapatkan konstruksi utuh bagaimana suatu grand strategy kebijakan luar negeri AS baru, yang secara langsung sebagai pemilik power terbesar saat ini, akan memiliki dampak besar pada tatanan dunia, yang menurut pendapat peneliti sedang mencari keseimbangan baru baik secara politik dan ekonomi. DAFTAR PUSTAKA Allison, G.(2004). Nuclear Terrorism: The Ultimate Preventable Catastrophe (pp. 107). New York: Times Books. Annual Report (2005).Maritime Intelligence Group analyst. Washington, D.C. Baldwin, D. A. (1985). Economic Statecraft (pp. 8-9,3940,41-42).New Jersey:Princeton University. Brew,N.(2003). Rippples from 9/11: the US Container Security Initiative and its Implications for Australia. Advice for the Parliement diakses di www.aph.gov.au/library/pubs/CIB/20022003/03cib27.pdf. Bush, G.W.(2001, September 20).Address to a Joint Session of Congress (pp.2.).Volume 107, Issue 1 of House document. University of Minnesota. Byman, D. (2006). Allies in the War on Terrorism (pp. 767-811). Journal of Strategic Studies. Caldwell, S.L. (2009). Maritime Security: National Strategy and Supporting Plans Were Generally Well-Developed and are Being Implemented (pp.15). DIANE Publishing. Container Security Initiative: 2006–2011 Strategic Plan. (pp ii).(2006). U.S. Customs and Border Protection Office of Policy and Planning and Office of International Affairs Container Security Division. http://epic.org/privacy/surveillance/spotlight/1 006/csiplan.pdf diakses tanggal 30 Maret 2012
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
Dallimore (2008). Securing the Supply Chain: Does the Container Security Initiative Comply with WTO Law?(pp.34-41). Deutschland: Universität Münster. Davis, C.L. (2009). Linkage Diplomacy: Economic and Security Bargaining in the Anglo-Japanese Alliance, 1902-23. (pp.143-179). International Security 33(3). DHS (2009, June 18). Container Security Initiative Port. http://www.dhs.gov/files/programs/ gc_1165872287564.shtm diakses pada tanggal 30 Maret 2012 Elman, Collin.(2008).Security Studies:An Introduction. Realism (pp. 507). In Williams, Paul (Ed.).New York: Routledge. Epstein dan Kronstadt.(2011). Commision Research Services. Washington. Fiala, Andrew. (2002). Terrorism and the Philosophy of History: Liberalism, Realism, and the Supreme Emergency Exemption. Essays in Philosophy. Vol. 3. Fleck, R.K. & Kilby,C. (2010). Changing Aid Regimes? U.S. Foreign Aid from the Cold War to the War on Terror (pp. 185-197). Journal of Development Economics, 91 Frittelli, John F.(2004, December 30). Port and Maritime Security: Background and Issues for Congress. Washington, D.C.: Congressional Research Service, RL31733. Ganor, B. (2005).The Counter-Terrorism Puzzle: A Guide For Decision Makers(pp.44-46). Hertseliyah: Transaction Publishers. Gilpin, R. (1981). War and Change in International Politics (Ch. 1- 5). London: Cambridge University Press. Gilpin, R.(2002). The Rise of American Hegemony," in Two Hegemonies: Britain 1846-1914 and the United States 1941-2001 (pp. 165-182). Patrick Karl O'Brien and Armand Clesse (Ed.), Aldershot: Ashgate Publishing, Ltd., 2002. Ghozali, I. (2009). Analisa Multivariate Lanjutan dengan SPSS (hal.5-7). Semarang: Badan Penerbit Univeritas Diponegoro. Ghozali, I.(2001). Analisa Multivariate dengan SPSS (hal.5-7). Semarang: Badan Penerbit Univeritas Diponegoro. Giumelli, F. (2011). Coercing,Constraining and Signalling (pp. 29-30). ECPR Press. George, A.L. (1980). Presidential Decisionmaking in Foreign Policy (pp.114). Colorado: Westview Press. Gordon, Peter, James E. Moore, III, Harry W. Richardson, and Qisheng Pan (2005). The Economic Impact of a Terrorist Attack on the Twin Ports of Los Angeles-Long Beach. Dalam Harry Ward Richardson and Peter Gordon (Ed.). The EconomicImpacts of Terrorist Attacks(pp.262286). UK: Edward Elgar. Gómez, J.M.C.. (2010).A Financial Profile of the Terrorism of Al-Qaeda and its Affiliates. Prespective on Terrorism. Vol 4, No 4.
65
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto
Hill, C. & Light, M. (1986). International Relations: A Handbook of Current Theory. In Light, Margot dan Groom, A. J. R. (ed.). Foreign Policy Analysis (pp.157).London: St. Martins Pr. Holsti, K.J.(1992).International Poltics : A Framework for Analysis (6th ed.). (pp. 82,269). New Jersey: Prentice:l Internaional. Hosmer, D.W. & Lemeshow, S.(1989). Applied Logistic Regression (pp.1-10).Kanada: John Wiley and Sons Inc. Hufbauer, G.C., Schott, J.J., dan Elliot (2007). Economic Sanction Reconsidered (pp.125-148).(3rded.). Washington: Peterson Institute for International Economics. Iseby, J.(2008). 9/11 Commission (pp.10-12).Nova Publishers. Kim, S. (Ed.) (1994). Cina and the World : Chinese Foreign Relations in the post-Cold War Era. pp.21. Colorado: Westview Press. Krasner, S.(1978). Defending the National Interest: Raw Materials Investments and U.S. Foreign Policy. (pp. 70).Princeton University Press. Mirza,D. & Verdier,T.(2007). Are Lives a Substitute for Livelihoods? Terrorism, Security, and U.S. Bilateral Imports.CEPR Discussion Paper No. DP61773. World Bank: 2011. pp. 1-2. Morgenthau, H. J.& Thompson, K.W. (1993).Politics Among Nations (6th ed.).New York :McGraw-Hill. National Commission on Terrorist Attacks Upon the United States (2004). Monograph on Terrorist Financing. Washington, DC.: Staff Report to the Commission. (pp.13,19,67). http://govinfo.library.untedu/911/staff_statemen ts Passas, N. & Gimenez-Salinas, A. F. (2007). The Financing of Al Qaida's Terrorism: Myths and Realities (pp.511). Review of Penal and Criminal Law,2nd Semester, no.19. Randall L. & Schweller. (Summer, 1994). Bandwagoning for Profit (pp.74). International Security, Vol 19, No 1. The MIT Press. Reams,B.D.(1985). Congress and the courts: a legislative history, 1978-1984 : documents and materials regarding the creation, structure, and organization of federal courts and the federal judiciary.(section (A), par 2). Volume 1. W.S. Hein. Rosenau, J.N. (1987). New Directions in the Study of Foreign policy. In Hermann, C.F., Kegley, C.W., Rosenau, Jr. J.N. (Ed.). Introduction : New Directions and Recurrent Questions in the Comparative Study of Foreign Policy(pp.1).Boston : Allen & Unwia. Rosenau, J.N. (1969). Lingkage Politics : Essays on the Convergence of National an International Systems (pp. 1-16).New York : The Free Press. Shie, T. R. (July 2004). The Nexus Between Counterterrorism, Counterproliferation, and Maritime Security in Southeast Asia. Issues & Insights Vol. 4 - No. 4 Pacific Forum CSIS Honolulu, Hawai
66
Singh, R.(2006). The Bush Doctrine and the War on Terrorism: Global Responses, Global Consequences. In Mary E. A. Buckley & Robert Singh (Ed.). The Bush Doctrine (pp. 11). New York: Taylor & Francis. Swarson.(2003). America Unbound: the Bush Revolution in Foreign Policy. In I.H. Daalder &J.M. Lindsay (Ed.).(pp.120). Washington: Brookings Institution Press. United Nations (2004). First Report of the Analytical Support and Sanctions Monitoring Team appointed pursuant to resolution 1526 (2004) concerning AlQaida and the Taliban and associated individuals and entities. New York: United Nations. pp.12. http://www.un.org/sc/committees/1267/monito ringteam.shtml United Kingdom Home Office (2006). Report of the Official Account of the Bombings in London on 7th July 2005. London.http://www.homeoffice.gov.uk/documen ts/7-july-report?version=1 United Nations (2009). Tenth Report of the Analytical Support and Sanctions Implementation Monitoring Team submitted pursuant to Resolution 1822 (2008) Concerning Al-Qaida and the Taliban and associated individuals and entities .(p.22). New York: United Nations, note 47. US CBP (2011, July 10). CSI in Brief. http://www.cbp.gov/xp/cgov/trade/cargo_securi ty/ csi/csi_in_brief.xml diakses pada tanggal 6 Juni 2012. Walt, S.M. (Spring. 1985). Alliance Formation and the Balance of World Power (pp.4). International Security Vol 9 No. 4. MIT Press. Waltz, K. N. (1997). Evaluating Theories (pp. 915– 916). American Political Science Review. Vol. 91. No. 4. Walters,K.L. (2006). Industry on Alert: Legal and Economic Ramifications of the Homeland Security Act on Maritime Commerce (p. 329). Tulane Maritime Law Journal, 30. Waltz, K. N. (1979). Theory of International Politics (pp.126). Berkeley: Addison-Wesley Publishing Company. Wein, L.M. (2003).Preventing the Importation of Illicit Nuclear Materials in Shipping Containers (pp. 24). Stanford University. Wrone,C., Howell,W. & Lewis,D.E.(2008). Toward a Broader Understanding of Presidential Power: A Reevaluation of the Two Presidencies Thesis.( pp.116) Journal of Politics 70(1).
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto
LAMPIRAN SUMBER DATA VARIABEL
DATASET
VARIABEL TERIKAT CSI Port
DIMENSI
TAHUN
SUMBER DATA
Negara Target yang merespon CSI
20022011
DHS (Mei 2011). Container Security Initiative Port. http://www.cbp.gov/xp/cgov/trade/ cargo_security/csi
2001
Gunaratna, Rohan (2005). Inside Al Qaeda: Global Network of Terror. Victoria: Griffin Press. National Consortium for Study of Terrorism and Response to Terorism (START), A Center of Excellence of The U.S. Department of Homeland Security Based at the University of Maryland. Diakses pada tanggal 8 Juni 2012. http://www.start.umd.edu/datarivers /vis/GtdExplorer.swf http://www.nationmaster.com/graph /rel_rel_all-religion-religions-all This website was created by Rapid Intelligence, a web technology company based in Sydney, Australia. http://www.nato.int/cps/en/natolive /nato_countries.htm dan http://www.nato.int/cps/en/SID7E4E1495-65485619/ natolive/51288.htm U.S. National Imagery and Mapping Agency(2001). Distances Between Ports. Maryland: U.S. Government Printing Office.
VARIABEL BEBAS: SECURITY THREAT QAE Keberadaan Jaringan Al Qaeda per negara INC Global Terrorism Jumlah Kejadian Database Bombing, Armed/un-armed Assault, Assassination, Infrastructu-re Attack, kidnapping, Hijacking per Negara REL Religion Statistics Negara Target yang Mayoritas Penduduknya Muslim FRE
List of Member/Partnership
DIS
Negara target Anggota/ Partner NATO
International Nautical Jarak Port LA dan Mile represent NY dengan Port Shorthest Navigable Negara Target Routes (2001) VARIABEL BEBAS: ECONOMIC THREAT IMP Import AS dari Negara Target EXP Ekspor AS ke US Trade for All Negara AS Countries Dataset BOT Surplus (Defisit) Neraca Perdagangan AS
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
2001
2001
2001
n/a
2001 2001 2001
U.S. Department of Commerce, Bureau of the Census, Foreign Trade Division. http://www.census.gov/foreigntrade/balance/ country.xls
67
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto
DATA TERKAIT PENELITIAN NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
COD 1220 2010 2050 2110 2150 2230 2250 2360 2410 2470
11
2740
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
3010 3070 3310 3330 3370 3510 3570 4010 4039 4050 4099 4120
24 25 26 27 28 29 30
4190 4210 4231 4279 4280 4330 4351
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
4370 4419 4621 4700 4710 4759 4840 4890 5050 5081 5130 5170
43
5200
44 45 46 47
5230 5330 5350 5380
68
COUNTRY Canada Mexico Guatemala El Salvador Honduras Costa Rica Panama Bahamas Jamaica Dominican Republic Trinidad and Tobago Colombia Venezuela Ecuador Peru Chile Brazil Argentina Sweden Norway Finland Denmark United Kingdom Ireland Netherlands Belgium France Germany Austria Czech Republic Hungary Switzerland Russia Spain Portugal Italy Greece Turkey Iraq Israel Kuwait Saudi Arabia United Arab Emirates Oman India Pakistan Bangladesh
CSI 1 0 0 0 1 0 1 1 1 1
QAE 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0
INC 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0
REL 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
FRE 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1
DIS 2 1 3 3 2 3 3 1 2 2
IMP 217 132 3 2 4 3 1 1 1 5
EXP 164 102 2 2 3 3 2 2 2 5
BOT -53 -31 -1 -1 -1 -1 2 1 1 1
0
0
0
0
1
2
3
2
-2
1 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
124 5 0 2 2 1 0 0 0 0 0 11
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 0
2 2 3 4 5 5 6 4 4 5 4 4
6 16 3 2 4 15 4 9 6 4 4 42
4 6 2 2 4 16 4 4 2 2 2 41
-3 -10 -1 -1 -1 2 1 -6 -4 -2 -2 -1
0 1 1 1 1 0 0
0 1 1 1 1 0 1
1 0 0 9 4 0 1
0 0 0 0 0 0 0
1 0 0 1 0 0 0
3 4 4 4 4 5 4
19 10 11 31 60 4 2
8 20 14 20 30 3 1
-12 10 4 -11 -30 -2 -1
0 0 0 1 1 1 1 0 0 1 0 0
0 0 0 1 0 1 0 1 1 0 1 1
0 2 118 69 0 9 10 13 0 58 1 1
0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 1
0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1
5 4 5 4 3 5 5 5 9 6 9 6
3 10 7 6 2 24 1 4 6 12 2 14
1 10 3 6 2 10 2 4 1 8 1 6
-3 1 -4 1 -1 -14 1 1 -6 -5 -2 -8
1
1
0
1
0
9
2
3
2
1 0 1 0
0 1 1 1
0 195 30 11
1 0 1 1
1 1 0 1
10 10 11 10
1 10 3 3
1 4 1 1
-1 -6 -2 -3
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto
NO 48 49 50 51 52 53 54 55 56
COD 5420 5490 5570 5590 5600 5650 5660 5700 5800
57 58 59 60 61
5820 5830 5880 6021 6141
62 7210 63 7290 64 7530 65 7550 66 7620 67 7910 VARIABEL CSI QAE INC REL FRE DIS IMP EXP BOT
COUNTRY Sri Lanka Thailand Malaysia Singapore Indonesia Philippines Macau China Korea, South Hong Kong Taiwan Japan Australia New Zealand Algeria Egypt Nigeria Gabon Angola South Africa
CSI 1 1 1 1 0 0 0 1 1
QAE 0 1 1 1 1 1 0 1 0
INC 32 10 1 0 85 43 0 13 0
REL 0 0 0 0 1 0 0 0 0
FRE 1 1 1 1 1 1 1 1 0
DIS 10 8 8 8 8 7 7 6 6
IMP 2 15 23 15 11 12 2 103 36
EXP 1 6 10 18 3 8 1 20 23
BOT -2 -9 -13 3 -8 -4 -2 -84 -14
1 1 1 0 0
0 0 0 1 1
0 2 2 2 1
0 0 0 0 0
1 1 0 0 0
7 7 6 8 6
10 34 127 7 3
15 19 58 11 3
5 -16 -70 5 -1
0 1 0 0 0 1
1 1 0 0 0 1
89 0 3 0 35 0
1 1 0 0 0 0
0 4 3 0 5 1 1 5 9 1 6 2 1 6 4 1 7 5 KETERANGAN Dummy (1=Target, 0=Not Target) Dummy (1=Exist, 0=Not Exist) Scale Dummy (1=Moslem Majority, 0=Not) Dummy (1=NATO Member/Partner, 0=Not) Dalam Kilo Nautical Mile
2 4 1 1 1 3
-2 3 -8 -2 -3 -2
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
Dalam Milyar US $
69
INISIATIF KEAMANAN PERDAGANGAN DALAM KEBIJAKAN EKONOMI LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT Toton Hartanto
Halaman ini sengaja dikosongkan
This page intentionally left blank
70
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013, Halaman 71-84 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
OIL PRICE SHOCK: ITS TRANSMISSION AND EFFECT TO THE INDONESIA’S ECONOMY Dedy Sunaryo Badan Kebijakan Fiskal, Indonesia. Email: [email protected]/[email protected] ARTICLE INFORMATION
ABSTRACT
ARTICLE HISTORY Received 24 July 2013
The research reviewed the impacts of the price changes against the economic variables especially the price of producers, the price of consumers (inflation), and the industrial production in Indonesia. The research employed ARDL and VAR methods for calculating the effect accumulation of the price changes and other associated variable. The result of the research shown that the variation of the effects accumulation apparently was more caused by the changes of the variable of producers price, the price of consumers (inflation),and the industrial production itself. The effect of the price changes of the petroleum was relatively low which was possibly caused by the subsidy policy combined by the company expense structure, the amount of food portion in inflation calculation and the changes of currency exchange rate.
Revised 6 December 2013 Accepted to be published 9 December 2013 KEYWORDS: oil price, subsidy, ARDL, var
1.
Penelitian ini mengkaji dampak perubahan harga minyak terhadap variable ekonomi khususnya harga produsen, harga konsumen (inflasi), dan produksi industri di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode ARDL dan VAR untuk menghitung akumulasi efek dari perubahan harga minyak dan variabel yang terkait dengan efek tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variasi dari akumulasi efek tersebut ternyata lebih disebabkan oleh perubahan dari variable harga produsen, harga konsumen (inflasi), dan produksi industry itu sendiri. Efek dari perubahan harga minyak cukup rendah yang kemungkinan besar disebabkan karena kebijakan subsidi yang dikombinasikan dengan struktur biaya perusahaan, besarnya porsi makanan dalam perhitungan inflasi, dan perubahan nilai tukar.
INTRODUCTION
1.1. Background of Study As a main resource, oil has penetrated every sector of the economy, in particular the industrial sector that uses it as its main input. Oil has an important role in sustaining the world economy. For Indonesia specifically, oil has the largest portion of final energy consumption, which is more than 57% on average for the last eleven years. In addition, oil still dominates coal and gas as an energy source, with the industrial sector as the largest oil consumer. As a commodity, world oil prices are constantly changing according to market mechanisms (supply and demand). Historically, oil has experienced dramatic ups and downs in prices. Oil price volatility can affect the consumption levels of both industry and households and, to some extent, affect the economy as a whole. Since Indonesia is no longer a net oil exporter, the effect of oil price volatility to the economy might be significant. By 2004, Indonesia had become a net oil importer, though it still exports some oil (Bradsher, 2008). This was caused by the downward trend in oil production for the past decade paired with the increasing consumption of oil products. Indonesia’s reserves continue to diminish since most of its oil
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
production is from mature fields. In addition, the declining investment in oil infrastructure has resulted in a drop in output below one million barrels per day. In the mid-1990s, Indonesia’s average oil production was about 1.5 million barrels per day, but now it is only about 950 thousand barrels per day. These factors led the government to withdraw its membership from OPEC. A study from Cunadoand Gracia (2004) finds that there have been four main negative oil shock periods: 1978-1979, 1989-1990, 1999-2000, and 2007-2008. The effect of oil price volatility to the Indonesian economy in these periods is not very clear. When the oil shock occurred in 1989-1990, Indonesia’s economic growth only decreased 0.1%, from 9.1% to 9%, while the inflation rate rose by 3.56%. At that time, the average price of West Texas Intermediate (WTI) crude oil increased significantly, by around 25% from $19.6/barrel to $24.5/barrel. In 1999-2000, oil prices, inflation and economic growth all moved in the same direction. Oil prices increased by 58.8%, inflation rose 7.3%, and economic growth went up 4.1%. In the most recent oil shock in 20072008, an increase in oil prices had a different result on the Indonesian economy. When oil price increased 38.6%, the inflation rate went up by more than 4%;
71
OIL PRICE SHOCK: ITS TRANSMISSION AND EFFECT TO THE INDONESIA’S ECONOMY Dedy Sunaryo
however, economic growth declined by 0.3%. One year later, when oil prices decreased 38%, economic growth also decreased 1.5%. Finding out how exactly oil shocks affect Indonesia’s economy makes this topic interesting to be explored. The existence of a price control policy through subsidies inIndonesia may lessen the effects of oil price increases to the economy. In developed countries, the effects of oil price increases are quite clear. Because developed countries do not implement oil subsidies, the effects of oil price increases will be fully transferred to the market, generally called supply-side effects. The increase in oil prices will add the scarcity of energy as basic input to production. It will then reduce the growth of output and production, give pressure to wages and increase unemployment. However, these effects are not likely in Indonesia. The implementation of subsidies can distort prices by setting them at lower levels, so the increase in oil prices will not fully affect the economy (incomplete transfer). The implementation of subsidies is intended to help the poor meet their basic needs; subsidies are focused on consumers in the form of under-priced products, though producer subsidies also exist (Morgan, 2007). The government subsidizes a number of products such as fertilizer and seeds, food, electricity, and fuel. Knowing how far subsidies distort the effects of changes in oil prices to the economy is one question that needs to be answered. For the next few years, Indonesia’s dependence on oil is predicted to be even greater. Volume of oil consumption continues to show an upward trend and the deficit is predicted to reach 400,000 barrels per day by 2020. Indonesia’s dependence on imported oil to meet domestic consumption needs is not a good condition; it makes the domestic economy more volatile in accordance with the changes of oil prices. In addition, when oil price increases, the state budget’s allocation for subsidies must also increase. It will reduce the productivity of the state budget in shaping the economy and creating jobs, considering that subsidies are not categorized as productive spending. Some argue that it would be better if the budget for subsidies were allocated for building infrastructure that supports economic growth such as roads, railways, airports, schools etc. Knowing the effect of changes in oil prices to the economy will be very helpful to policy makers to deal with this issue and prepare appropriate actions. Based on the reasons as explained above, this paper will focus on studying how oil price shocks affect the Indonesian economy and studying the transmission channels of oil price shocks. This paper is organized as follows. Section II reviews the literature and explains fuel subsidies in Indonesia. Section III describes the data and the methodology. Section IV presents the estimation results and output analysis and section V provides theconclusion.
2.
72
LITERATURE REVIEW AND HYPOTHESIS
2.1. Previous Study Past research on this question has shown differing results. Researchers who used developed countries as their samples gave results which went beyond what was expected. Generally, they concluded that the effect of oil price shock to the economy was not from the change in oil price itself but from the resulting monetary policy implemented. For instance, Bohi (1989) investigated the importance of energy shocks to the economy using the United States, the United Kingdom, Germany, and Japan as his samples. He found that tight monetary and fiscal policies during the periods of price shock were responsible for the general weakening of those countries’ economies. This result was reinforced by Bernanke, Getler, and Watson (1997) and was in line with Hamilton (1983). There are several weaknesses in these examples. By using developed countries as their sample, it is clearly understandable that those results were obtained. Developed countries do not subsidize their domestic oil prices; the effect of an oil price increase will be completely transferred to the economy. As stated above, the increase in oil price will add the scarcity of energy as basic input to production and will then reduce the growth of output and production. On the other side, as stated by Taylor (2000), the increase in oil price will raise the level of inflation and inflation expectation. The central bank will increase the level of interest rates in anticipation of this expectation. Pressures on production output and increases in inflation will weaken the economy. However, there still remains the question of how increases in oil prices will affect developing countries which have different government policies and industrial structures. We assume it will lead us to a different coefficient of the effect of oil price changes. Not many researchers use developing countries as their sample. Kumar (2005) tried to figure out the effect of oil shocks to macroeconomic variables in India. He found that oil prices Granger cause macroeconomic activities and gave an asymmetric impact on industrial growth. Cunado and Gracia (2004) used six countries in Asia as their sample and found that the relationship between oil price and economic activity was significant. The oil price effect was higher on inflation when it wasexpressed in local currencies. However, its effect was limited only to the short-run. They failed to reveal the long-run relationship between those two variables. Another study gave conflicting results. Tang, Wu, and Zhang (2009) used China as their sample. They found that there was a long-run relationship between oil price shocks and growth. However, they found no evidence for a direct relationship between oil prices and the CPI in short run. Oil price only affected PPI whose impact also in CPI. As a result, there was a channel for oil price to influence the level of inflation through the PPI. A small amount of research that uses developing countries as sample and the uncertainty of oil price effects to the economy in either the short-run or the
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
OIL PRICE SHOCK: ITS TRANSMISSION AND EFFECT TO THE INDONESIA’S ECONOMY Dedy Sunaryo
long-run shows that this topic is interesting to explore and gives an ample opportunity for more research. 2.2. Domestic Oil Price in Indonesia The government of Indonesia introduced subsidies for social considerations. Their purpose is to make basic needs available at prices which are affordable for the poor. Subsidies cover several oil products: gasoline, kerosene and diesel. The price of these products is set by the stated-owned energy company (Pertamina). However, Pertamina needs the government’s approval when it plans to increase the prices of these products. As shown in Figure 1, international oil prices followed the upward trend until July 2008, when it went down, but returned to its increasing trend in January 2009. To some extent, the prices of gasoline, kerosene and diesel in Indonesia responded to the fluctuation of international oil prices. The first increase in the prices of gasoline, kerosene and diesel was in February 2005. At that time, the international oil price had increased around 48% compared to January 2003. Even at a glance, we can see that while international oil prices were trending upward from January 2003 to January 2005, the prices of gasoline, kerosene and diesel did not respond at all in Indonesia. This was because of the existence of subsidies that absorbed the effects of the increases in international oil prices. Once the government thought that the budget for subsidies could no longer bear the effects of the increases in international oil prices, it decided to increase the prices of gasoline, kerosene and diesel to keep government expenditure at a safe level. This occurred again in October 2005, when international oil prices increased by 30% compared to February 2005. The government responded by allowing the price of gasoline to increase by 87.5% and it doubled the price of diesel. However, the government slightly decreased the price of kerosene by around 9%, considering that most consumers of kerosene were from low income households. In May 2008, the government again increased the prices of gasoline, kerosene, and diesel by around 33%, 28%, and 25%, respectively, in anticipation that the trend of international oil prices would continue to increase. International oil prices reached a peak in July 2008 and declined to their lowest level in December 2008. The government responded to the decrease in international oil prices by letting the prices of gasoline and diesel go down three times: December 1, 2008, December 15, 2008, and January 15, 2009 by total 25% and 18%, respectively. Since then, the prices of gasoline, kerosene, and diesel have been stable up to now, even while international oil prices have been constantly changing. This recent history illustrates that domestic oil prices do not directly respond to the fluctuations of international oil prices. While international oil prices fluctuate, Indonesian oil prices tend to be stable as long as they remain in the price range that the budget for subsidies can cover.
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
Another important point that should be noted is that sometimes politics are involved in the decision to increase or decrease domestic oil prices. For instance, there was speculation that the motivation behind the government’s decision to decrease the domestic oil prices in 2008 was not purely economic, or solely as a response to the decrease in international oil prices. It could have been political, because the incumbent president was running again in an election in 2009. This speculation is reasonable because at that time the domestic oil prices in Indonesia were still below the international prices. If the government really wanted to set its domestic oil prices close to international prices to reduce the amount of subsidies in the next few years, it was unnecessary to decrease its domestic oil prices. 2.3. Fuel Subsidy Morgan (2007) shows that the energy subsidy in Indonesia has focused on consumer subsidies in the form of under-pricing of energy, though producer subsidies in the form of tax expenditure also exist. In a previous publication (Morgan, 2004), he elaborates on the way subsidies work, which depend on the form of subsidies. In OECD countries, subsidies are commonly given to the producers in the form of direct payment as a grant paid for each unit of production or support for research and development. In developing countries, most subsidies go to consumers, and often take the form of price controls. In this case, the government sets a certain price ceiling for domestic oil which is commonly below full cost. If the price of domestic oil rises above the price ceiling, the government must increase the subsidy allocation to cover this price difference. In Indonesia’s case, the state-owned energy company (Pertamina) sets the domestic prices of oil products each month based changes in international oil prices (Hoetomo, 2004). If international oil prices rise, Pertamina can increase the domestic price of oil products as long as they still remain below the ceiling prices set by the government. If there are conditions that push the domestic oil prices above the ceiling prices (such as an increase in international oil prices that is higher than predicted or actual oil consumption that is higher than budgeted for), the government has two choices: either increase the budget allocated for subsidies or allow Pertamina to increase its prices to avoid financial losses. In these cases, the fluctuation of international oil prices could determine the total amount of subsidies. As shown in Figure 2, the amount of fuel subsidies rises when international oil prices increase and falls when international oil prices decline. Two major hikes in the amount of subsidies occurred in 2005 and 2008. In 2005, the average price of oil was US$56.60/barrel, an increase of more than 36% compared to the price in 2004. This forced the central government to raise the size of fuel subsidies to Indonesian Rupiah (IDR) 95.5 trillion. Anticipating that the subsidy spending was getting larger and would increase the state budget deficit, the central
73
OIL PRICE SHOCK: ITS TRANSMISSION AND EFFECT TO THE INDONESIA’S ECONOMY Dedy Sunaryo
government made the decision to raise domestic oil prices. Increases occurred twice, in March and October 2005. In 2005, the price of kerosene almost doubled, the price of gasoline rose 150%, and the price of diesel fuel increased 160%. In addition, the government also reduced the number of fuel products which were eligible for subsidies. Since October 2005, diesel oil and fuel oil for industries have not received subsidies; while gasoline, diesel, and kerosene still get subsidy. In 2008, the amount of subsidies allocated for fuel significantly increased with the increasing prices of oil, which reached more than US$100/barrel on average. In that year, the subsidy amount rose more than 65% compared 2007. To reduce the pressure on the state budget, the government increased domesticoil prices in May 2008. The price of kerosene increased 25%, the price of gasoline rose 33%, and the price of diesel fuel increased 28%. In the same year, the government also announced a policy to reduce Indonesia's dependence on oil. The government planned to phase out the sale of subsidized fuel for private cars and restrict it to public-transport providers and motorcycles. This program is expected to be fully implemented by 2014. The government also designed another program to reduce the burden to low income households due to the increase in fuel prices; it designed a compensation program in the form of cash transfers given to 19 million families, at a total amount of IDR 14 billion. In addition, the government has planned to implement programs to reduce the amount of its fuel subsidy including reducing the volume of subsidized fuel by implementing energy diversification, closed distribution systems, fiscal incentives and disincentives; designing compensation variance programs such as transforming the price subsidy to a direct subsidy, a social safety net to shield the vulnerable; and focusing on fuel price reference: by minimizing fuel distribution cost, full cost absorption of fuel provision, effective targeting and costing of fuel subsidy. 2.4. Research Hypotheses This paper proposes hypotheses that oil price will significantly affect macroeconomic variables in the sense that oil price increase (decrease) will raise (lower) wholesale price, raise (lower) consumer price, and lower (raise) industrial production. It is expected also that oil price fluctuation will mostly explain the variance in those macroeconomic variables.
3.
RESEARCH METHODOLOGY
3.1. Variables and Data Description This research is based on time series data taken from the Ministry of Finance of Indonesia and the Statistical Agency of Indonesia. Variables developed in this paper are measured based on Indonesia’s monthly data with the sample from January 2000 to September 2011 (140 observations). To test the
74
validity of the transmission mechanism, this paper develops variables as follows: 1. Oil price inflation. This is the growth in oil price measured in domestic currency by the formula: 𝜋𝑡𝑜𝑖𝑙 =
𝑊𝑇𝐼𝑡 − 𝑊𝑇𝐼𝑡 −1 𝑊𝑇𝐼𝑡−1
In this sample period, the average oil price inflation is 0.0132 with a standard deviation of 0.0847. It has been very volatile compared to the other three variables. In 2008, oil prices experienced an increasing trend as financial crises occurred and then continued to drop after reaching their peak on July 11. Taking correlation among those variables, it shows seen that oil prices have a positive correlation with wholesale price inflation and the growth of the industrial production index. However, it has an unexpected negative correlation with consumer price inflation, though the coefficient is small. 2. Wholesale price inflation. This is the growth in the wholesale price index, which is measured with the base year 2000=100. Wholesale price inflation is measured by this formula: 𝜋𝑡𝑊𝑃𝐼 =
𝑊𝑃𝐼𝑡 − 𝑊𝑃𝐼𝑡−1 𝑊𝑃𝐼𝑡 −1
Over sample period, the average value of wholesale price inflation is 0.0078 with a standard deviation of 0.015. Wholesale price inflation is relatively stable over time. It has positive correlation with oil price inflation and consumer price inflation, suggesting that these variables will move together in the same direction. 3. Consumer price inflation. This is the growth in the consumer price index, which is also measured with the base year 2000=100. Consumer Price Index (CPI) itself is an indicator of price movements of goods and services consumed by households from retail transactions. Consumer price inflation is measured by this formula: 𝜋𝑡𝐶𝑃𝐼 =
𝐶𝑃𝐼𝑡 − 𝐶𝑃𝐼𝑡 −1 𝐶𝑃𝐼𝑡−1
The average value of consumer price inflation is 0.0065 with a standard deviation of 0.0087 over the sample period. Consumer price inflation was stable over time with the exception of October 2005, when the government increased the price of premium/gasoline (87.5%), diesel fuel (104.8%), and kerosene (185.7%). Inflation in 2005 was 17.11%, much higher than the targeted inflation which was 6% ± 1%. Consumer price inflation has a positive correlation with wholesale price inflation and, surprisingly, it has a negative correlation with oil price inflation.
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
OIL PRICE SHOCK: ITS TRANSMISSION AND EFFECT TO THE INDONESIA’S ECONOMY Dedy Sunaryo
4. The growth in the Industrial Production Index. This variable is developed as the proxy of economic activity which is measured with the base year 2000=100. This variable measures the changes in real production of large and medium non-oil manufacturing establishments. The industrial production index experiences seasonal patterns and has been adjusted by using the Census X-12 approach which was developed by the U.S. Census Bureau for decomposition of seasonal time series. Over the sample period, the average value of growth in industrial production is lower compared to the other three variables at 0.0055 with a standard deviation of 0.0508. It has positive correlation with oil price inflation, suggesting that these two variables will move together in the same direction. The growth in industrial production itself is computed by this formula: 𝜋𝑡𝐼𝑃𝐼 =
𝐼𝑃𝐼𝑡 − 𝐼𝑃𝐼𝑡−1 𝐼𝑃𝐼𝑡 −1
3.2. Methodology This research will achieve its purpose by developing the following procedures. It will test the transmission channels of oil shocks to the economy. 1. The Stationarity Test. As a first step to processing the data, the unit root test is employed to test the stationarity. It is important to know whether the data is stationary or not. If the variables in the regression model are not stationary, we cannot assume that the standard ttest is valid since the t usual ratio does not follow the normal t distribution. Another reason is that it would produce a spurious coefficient. The regression test will yield a high R-squared even though the variables are not related, since these variables experience trending over time (Wooldridge, 2009). The DickeyFuller test with Akaike’s Info Criterion (AIC) for lag length is carried out for all variables. 2. Auto-Regressive Distributed Lag Model (ARDL) To examine the degree of pass-through from oil price, the IMF’s model (WEO, 2011) is employed by regressing wholesale price inflation, consumer price inflation, and the growth of industrial production on current and 12 lags of monthly oil price, controlling for 12 lags of each dependent variable. The reason for using a lag in this model is that the effect of oil price changes will not occur instantaneously, but rather last over finite periods. When there is shock on oil price at t, the effect is predicted to last to some extent in the future (t+1, t+2,…,t+n). In other words, the changes in the economic variables now could be caused by the shock of oil price in a previous period. In particular, the estimated equation is as follows: 12
𝜋𝑡𝑊𝑃𝐼
12 𝑊𝑃𝐼 𝛽𝑗 𝜋𝑡−𝑗
= 𝑗 =1
𝑜𝑖𝑙 𝛾𝑘 𝜋𝑡−𝑘 + 𝜀𝑖,𝑡 1
+ 𝑘=0
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
12
12 𝐶𝑃𝐼 𝛽𝑗 𝜋𝑡−𝑗 +
𝜋𝑡𝐶𝑃𝐼 =
𝜋𝑡𝐼𝑃𝐼
𝑜𝑖𝑙 𝛾𝑘 𝜋𝑡−𝑘 + 𝜀𝑖,𝑡 2
𝑗 =1
𝑘=0
12
12 𝐼𝑃𝐼 𝛽𝑗 𝜋𝑡−𝑗
= 𝑗 =1
𝑜𝑖𝑙 𝛾𝑘 𝜋𝑡−𝑘 + 𝜀𝑖,𝑡 3
+ 𝑘=0
The first equation estimates the effect of oil price to wholesale price inflation. In this equation, oil price independently and directly affects wholesale prices under the basic assumption that oil is used as a main input in the production process. The second equation shows the consumer price inflation as a function of oil price. This equation investigates whether the oil price effect will be transmitted to consumer price with the existence of a subsidy policy. The last equation shows the effect of oil price on the growth of industrial production. This equation tries to find the effect of oil prices on broad economic activities. To know the degree of the long-term pass- through coefficient, we take a sum of the coefficients on oil price inflation (γk) divided by 1 minus the sum of the coefficients on lagged of each dependent variable (βj). 3. Vector Auto-Regressive (VAR) Following Hooker (2002), Kilian (2006), and Davis and Diaz (2008), the vector autoregressive (VAR) model is employed to quantify the effect of changing oil prices on the Indonesian economy. VAR is used in this research because of its capability as a tool to accommodate shock into the model. In this case, the shock is oilprice. Ptaff (2008) expressed VAR in the following form: 𝑦𝑡 = 𝐴1 𝑦𝑡 −1 + 𝐴2 𝑦𝑡−2 + ⋯ + 𝐴𝑝 𝑦𝑡−𝑝 + 𝜀𝑡 where: yt: a vector of endogenous variables at time t, A: coefficient vectors (i = 1,…,p), p : number of lags in the system ɛt:a vector of residuals In this paper, recursive VAR is employed instead of reduced form VAR. A recursive VAR not only estimates the current level of a variable based on the past movement of that variable and the other variables in system, but also includes some contemporaneous values as regressors. This is done to construct the error terms in the each regression equation to be uncorrelated with the error in the preceding equations (Stock and Watson, 2001). This paper employs three recursive VAR equations to examine the effect of oil price changes on wholesale price inflation, consumer price inflation, and growth of industrial production. The contemporaneous regressor in each equation is oil price inflation. In addition, impulse response function is also used in this model, because it gives information about when the economic variables will respond once the shock hits the system. Finally, Cholesky variance decomposition is used to determine the proportion of
75
OIL PRICE SHOCK: ITS TRANSMISSION AND EFFECT TO THE INDONESIA’S ECONOMY Dedy Sunaryo
the forecast-error variance of each endogenous variable attributable to each shock at different forecast horizons.
4.
RESULTS AND FINDINGS
4.1. The Stationarity Test The Dickey-Fuller test gives the result that all variables are stationary at the 1% significance level. In other words, all data have the t usual ratio that follows the normal t distribution and do not produce spurious regression. In this case, all variables are ready to enter the Auto-regressive Distributed Lag Model and Vector Auto-Regressive Model. 4.2. Auto-regressive Distributed Lag Output This empirical study shows that there is strong evidence that oil price affects wholesale price inflation. According to the Auto-regressive distributed lag model, wholesale price inflation is positively related to oil price inflation. Column 2 of Table 1 shows that the highest coefficient of oil price is 0.092 at the current time, which is significant at the 1% level according to the t-statistic test. This positive relationship remains until lag 3 and then fades away. The effect of oil price appears again at lag 5 with a small coefficient and is only significant at the 10% level. The evidence that oil price changes affect wholesale prices is accordance with the conditions in Indonesia. Since October 2005, the government has no longer provided subsidies for diesel oil for industrial purposes; the government continues to implement subsidies for gasoline, diesel, and kerosene for retail consumers, but not for industry. When there is no longer a subsidy, the price of domestic fuel for industry will fluctuate according to the international price of oil. In this case, the increase in oil price will raise the input cost for industry and finally increase the prices of goods at the producer level. However, the degree of long term pass-through is quite small (0.0758 or 7.5%). The cost structure of the companies could be one of the reasons why this effect is so small. Data from the Ministry of Energy shows that for the last eleven years (2000-2010), the industrial sector has consumed, on average, 42% of total energy. From this, the greatest portion of energy used in industry is coal (25%). Oil which is used as fuel comes in at second place (23%). From this percentage, we can calculate that in total, the portion of oil used as fuel is only 9.66% of the total consumption of energy. This number will slightly increase if we include other petroleum products. The percentage becomes 13.9%. While it has been demonstrated that the impact of oil price changes on wholesale price inflation is significant, there is no evidence that oil price affects consumer price inflation. As we can see in Column 3 of Table 1, the coefficients for oil price are very small and no one of them is significant even at the 10% significance level. This case also occurs in China. Tang, Wu, and Zhang (2009) using China as their sample, found that oil price changes do not significantly affect CPI. Theoretically, if there is an increase in oil prices as a main input cost, its impact will be transmitted to
76
the price at both producer and consumer levels. However, the output shows a different result. In the case of Indonesia, it could be explained by the combination of the following reasons: The appreciation of the exchange rate could be the first reason why oil price changes do not affect consumer price inflation. Because oil is imported, it largely depends on the exchange rate. If the appreciation of exchange rate (rupiah) is higher than the increase in oil price, the effect of oil prices on the domestic economy can be offset. However, data for the last eleven years showed that, for the most part, the increase in oil price was higher than the appreciation of the exchange rate (Figure 3). This could be understood because oil is a commodity that is more volatile than currencies. Even though the value of currencies is also determined by the market, it will not fluctuate as high as oil prices. The government will stabilize the exchange rate movement to some extent by buying or selling dollars. It is important to keep the exchange rate stable for the sake of imports and exports. As a consequence, there is only a small part of the effect of the oil price increase that can be absorbed by the exchange rate. The second reason is the weight of fuel in the calculation of the CPI. The Consumer Price Index in Indonesia is measured based on the weight of the price from a basket of seven categories of goods and services: foods; processed foods, beverages, and tobacco; housing, electricity, gas, and fuel; clothing; health; education, recreation and sports; and transportation, communication, and finance. The weight of fuel in the CPI’s calculation is not high enough. The total weight of the basket of housing, electricity, gas, and fuel is 25.41%. It should be noted that this weight is not only for fuel, but also includes housing, electricity, and gas. The basket which has the highest weight in the CPI’s calculation is foods. Its weight is around 19.57%, followed by processed foods, beverage, and tobacco, at 16.55%. Based on this, we can infer at least two things. First, if the government can keep the domestic price of foods stable, the change in oil price does not have much effect because it only has small fraction in the CPI’s calculation. Duma (2008) also points this out, stating that the presence of government (through administered price) in Srilanka helps to partly explain the low impact of oil prices to inflation. Second, if the movement of the prices of the first two baskets (food and processed food, beverages, and tobacco) is more than the housing, electricity, gas, and fuel basket, the increase in oil price does not have much effecton the CPI. In this case, the CPI is more likely determined by the movements of the first two baskets. It seems that this second reason is more likely in the case of Indonesia. Figure 4 shows that the movement of the first two baskets is more volatile than the third basket. On average, the effect of the first two baskets to CPI is higher, except in October 2005 when government increased the price of premium/gasoline (87.5%), diesel fuel (104.8%), and kerosene (185.7%).
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
OIL PRICE SHOCK: ITS TRANSMISSION AND EFFECT TO THE INDONESIA’S ECONOMY Dedy Sunaryo
However, that was the second time the government increased the domestic oil price. The first increase was in March 2005 when the government increased the price of premium/gasoline (32.5%) and diesel fuel (27%). The government’s decision to increase domestic oil prices was triggered by the increase in world oil prices and the limitations of the state budget’s financial capacity to provide more subsidies. Overall, inflation in 2005 was 17.11%, much higher than the targeted inflation which was 6% ± 1%. The third reason, which could be the most appropriate reason, is the subsidies provided by the government. On average in ten years, the government provided subsidies for oil products using around 14%-15% of the total state budget. This amount of the subsidies will increase (decrease) in line with the increase (decrease) in world oil prices. In the case of an oil price increase, the amount of the subsidy will increase to some level which the state budget can still accommodate. If the burden of subsidy cannot be borne anymore, the government will decide to increase the domestic oil price. The existence of this subsidy will distort the domestic oil price by keeping it at a lower level compared to the world oil price. As consequence, oil’s consumption pattern does not change even when oil price increases. The consumption of gasoline continues to grow over time even during periods when the oil price also increases. The increased price of oil does not have much effect because it is absorbed by subsidy. The relationship between oil price and industrial production is shown in Column 4 of Table 1. The coefficient of the oil price is very small and there is no evidence that oil price affects the growth in industrial production except at lag 3 where it is significant at the 10% level. This could be explained by the following reason. As we discussed above, because of the subsidy policy, oil price changes do not have much effect on consumption patterns. In other words, consumption patterns are independent from changing oil prices. It does not really matter whether the price of oil increases or decreases, the consumption of oil just keeps increasing. As we could see in Figure 5, consumption of gasoline had an increasing trend from 2000 to 2008 whileoil prices also rose. In 2009, even though on average the oil price decreased, consumption of oil was still increasing. The increasing trend of oil consumption raises the demand of industries which are intensive in the use of energy by consumers such as motor vehicles, or in production, such as chemicals. Data from Statistical Agency of Indonesia supports this idea as shown in Figure 6. The stock of vehicles shows an increasing trend with the highest growth in the stock of motorcycles. Moreover, Herrea, Lagalo, and Wada (2010) noted that the increase in demand for motor vehicles could represent an important demand for downstream industries such as rubber and plastic. The increase in demand of these industries can support the increase in the growth of industrial production. In this case, we can conclude that industrial production could still
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
grow because of the increase in the demand driven by the increasing trend of oil consumption (which is independent from the effect of oil price). This is why there is no evidence that oil prices affect the growth of industrial production. 4.3. Vector Auto Regressive Output Ozcicek and Millin (1999) indicate that an important element in the specification of VAR models is the determination of the lag length, so that using a proper lag in VAR model is a critical issue. Even the accuracy of forecast from VAR model depends on the selection of the lag length (Hafer and Sheehan, 1989). Lutkepohl (1993) indicates that selecting a higher order lag length than it should be will increase the forecast error of VAR. Inversely; the lower order lag will generate autocorrelated errors. This paper uses standard lag length selection criteria such as the sequential modified likelihood ratio (LR) test, the Final Prediction Error (FPE), the Akaike Information Criterion (AIC), the Hannan-Quinn Information Criterion (HQ), and the Schwarz Bayes Information Criterion (SBIC). As shown in Table 2, model 1 and model 2 select one lag, while model 3 selects three lags. Table 2 also shows that SBIC’s selection of lag length criteria in all three models give other results which are zero lags for model 1 and 2 and two lags for model 3. HQIC selects zero lags for model 2. In this case, this paper follows the selection order lag length which is shown by AIC. As suggested by Ivanov and Kilian (2001), in the context of VAR models, AIC tends to be more accurate with monthly data. HQIC will fit for quarterly data on samples over 120 and SBIC will work better with any sample size for quarterly data especially on VEC models. This paper also performs a residual test of the VAR to determine if the residuals are stationary. Table 3 shows that at one lag for model 1 and model 2 and at three lags for model 3, the probability is more than 5%.This means that the null hypothesis of no serial correlation at these lags could not be rejected. As shown in Figure 7, an oil price shock has an immediate and positive effect to wholesale prices, consumer prices, and industrial production. The effect reaches its maximum within the first month. The impact of oil prices on wholesale prices falls significantly by the second month and dies out after five months. The impact of oil prices on consumer prices is relatively small. It seems to fall and fade away more quickly than the other two, with zero effect after four months. This result supports the research done in Srilanka by Lueth et.al (2006), finding that inflation remains manageable though oil price increases. Subsidy helps contain the impact of oil shock on inflation. The impact of an oil price shock on industrial production is less clear. Its impact turns negative after two months, partly reflecting the adjustment process by companies in the domestic economy to the shock. This paper also provides estimation of passthrough from oil price to wholesale price, consumer price, and industrial production which is derived from impulse response functions. Following Duma (2008),
77
OIL PRICE SHOCK: ITS TRANSMISSION AND EFFECT TO THE INDONESIA’S ECONOMY Dedy Sunaryo
pass-through coefficients are predicted after accounting for disturbances of the other endogenous variables in the model. For instance, for oil price, passthrough coefficients are calculated by dividing the cumulative impulse response dependent variable after j months by the cumulative response of the oil price to the oil price shock after j months. These pass-through coefficients are shown in Figure 8. Generally pass-through from oil prices to wholesale prices, consumer prices, and the producer price index is positive. Pass-through to wholesale prices rises from 3% in the first month following the shock to about 4% in the third month and then becomes relatively stable for the rest of the 12 months. This result supports Cunado and Garcia (2004), finding that the relationship between oil prices and economic growth occurs only in short run. Pass-through to consumer prices is small and limited. It is only 0.2% in the first month after the shock and then experiences a small increase to 0.3% in the twelfth month. This limited impact from oil price to inflation could be partly reasoned by the existence of the oil subsidy policy. Pass-through to industrial production is less clear. It starts at 5.3% in the first month of the shock and then reaches a maximum point of 7.6% before turning negative, to -1.3% in the third month. This pattern is similar with the impulse response of industrial production to the oil price shock as discussed above. Forecast error variance decomposition tries to estimate how much of a change in avariable is due to its own shock and how much is due to shocks to other variables. This study shows that most of the variation is due to its own shock. In the first month, oil prices have no effect in explaining the variation of the shock in wholesale prices, consumer prices, and industrial production. Oil price starts to contribute to variation in the second month. For wholesale prices, oil price shock explains about 2.8% of the variation in the second month and then increases to 3.2% for the rest of the months. With consumer price, the contribution of oil price towards explaining the variation is very small. In the second month, oil price shock only explains about 0.05% of the variation. In the rest of the months, it only explains about 0.06%. In this case, oil price shock to consumer price is minimal. For industrial production, oil price shock explains more of the variation than in wholesale prices and consumer prices. In the first month, oil price shock explains 1.3% of the variation. This contribution jumps up to 6.1% in the fourth month and increases again to 7% in the fifth month and remains stable for the rest of the following months. This effect is more on short term, which is similar with the research of Tang, Wu, and Zhang (2009) in China. Generally, using VAR to explain the oil price shock gives a similar result to what the Autoregressive Distributed Lag Model (ARDL) does. VAR reveals that the pass-through coefficient of oil price and its contribution towards explaining the variation in wholesale price is quite small, around 3%-4%. This
78
finding is even smaller than what ARDL finds, which is 7.5%. The reason for this small effect could be the cost structure in industry as explained above. The portion of oil as fuel is only 9.66% of the total consumption of energy. The pass-through of oil price to consumer price is limited, at below 1%. The ability of oil shock to explain the variation is also small. Subsidies given to consumers could be the main reason. Subsidies will absorb the effect of oil price changes by keeping the domestic oil price at a lower level. The cumulative pass-through coefficient of oil price to industrial production is greater than the pass-through to price index although it is still relatively small. Pass-through to industrial production reaches its maximum (7.6%) in the second month of the shock before it becomes negative (-1.3%) in the third month and then returns to positive values again (2%-3%). The small portion of oil as fuel from total consumption of energy makes the effect of oil on real production relatively insignificant. In addition, the subsidies that keep the domestic oil price at a lower level still push the demand of vehicles and downstream industries (rubber and plastic) and allow the real production to keep growing.
5.
CONCLUSION
Employing two different tools of analysis which are Auto- regressive Distributed Lag (ARDL) and Vector Auto-regressive (VAR) relatively give similar results. This paper finds that the effect of oil price changes to wholesale prices is significant although the pass-through coefficient is relatively small due to the cost structure of industrial sector. The existence of a subsidy policy plays a great role in absorbing the effect of oil prices on inflation because there is no direct connection between domestic oil prices and international oil prices. The ARDL model finds that the effect of oil price changes to consumer prices is not significant. The VAR model reveals that the ability of oil price shock to explain the variation is even smaller. Subsidies also have another effect. Keeping the domestic oil price at low levels makes the demand for vehicles keep growing even when the oil price is relatively high. This is the main reason why this paper finds no evidence of oil price’s effect to industrial production.
6.
IMPLICATIONS AND LIMITATIONS
6.1. Implications This research shows the importance of a stable exchange rate policy, a stable food prices and subsidy policies in the Indonesian economy. As it has been done so far, central bank keeps maintaining the exchange rate of rupiah on its fundamental value for the sake of export import. However, it is important to note that capital mobility both in stock and bond market has profound effect to the volatility of rupiah. Data shown that rupiah has reached over Rp10.000/USD due to capital outflow triggered by the Fed’s announcement to discontinue its quantitative easing program, which has spurred dollar to the emerging market. To reduce the volatility of rupiah
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
OIL PRICE SHOCK: ITS TRANSMISSION AND EFFECT TO THE INDONESIA’S ECONOMY Dedy Sunaryo
from external shock, it is important to consider implementing capital control as Brazil and South Korea have done so far. This study also confirms the importance of food prices to determine inflation. In this case, government needs to maintain stable food prices by ensuring supplies, which is supported by good infrastructure. It implies that the needs for government to increase budget allocation for infrastructure become urgent. This study also shows that effect of oil prices on inflation is not significant, which is likely caused by the subsidy policy. This confirms that the subsidy policy is like a "buffer" in the economy to reduce external pressure on inflation. However, to what extent this "buffer" will last depends on the financial capacity of the government. With continuing decline in oil lifting and rising trend in oil prices, in long termthe subsidy policy should continue to be reduced, adjusting to the international oil price. Moreover, subsidy’s allocation fund could be shifted into more productive spending such as increasing budget for capital expenditure. This study is useful for private sector as a consideration in terms of investment and risk management decisions. This study shows that by keeping the domestic oil price remain below international price, it is seen that the demand for automotive products continues to increase, which also indirectly encourages the demand for plastic and rubber. By understanding these relationships, at least investors could decide in what sector they will take decision to invest when oil prices increase. 6.2. Limitations This study assumes that there is a linear relationship in oil price effect, which means that either oil prices rise or fall will have the same effect. However, there is a possibility that rise in oil prices has a greater effect on macroeconomic variables than when oil prices decline. Therefore, a considerable research remains to be done to explain the nonlinear effect of oil price changes. Another ample room for next research is to see how the influence of oil price fluctuation on investment decisions specifically on companies' capital expenditure (real sector) and stock market (financial sector).
REFERENCES Askolani, 2010. Fuel Subsidy Policy in Indonesia, Ministry of Finance of Indonesia: IISD Conference “Increasing the Momentum of Fossil-Fuel Subsidy Reform: Developments and Opportunities” Bernanke, B. S., Gertler, M., and Watson, M. 1997. System Monetary Policy and the Effects of Oil Price Shocks, New York University: Economic Research Reports. Bohi, Douglas R. 1989. Energy Price Shocks and Macroeconomic Performance, Washington D.C.: Resources for the Future.
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
Bradsher, Keith. "Fuel Subsidies for Some Make Oil More Expensive for All." The International Herald Tribune, July 28, 2008 Cunado, J., and Gracia, F.P., 2004. Oil Prices, Economic Activity and Inflation: Evidence for Some Asian Countries, Working Paper no 06/04 Universidad de Navarra. Davis, J. H. and Diaz, R. A., 2008. Oil, the Economy, and the Stock Market, Valley Forge: the Vanguard Group Duma, Nombulelo., 2008. Pass-Through of External Shocks to Inflation in Sri Lanka, IMF Working Paper Hamilton, James D.,1983. Oil and the Macroeconomy since World War II, Journal of Political Economy, 91, pp. 228-248. Hafer, R. W. and Sheehan, R. G.,1989. The Sensitivity of VAR Forecasts to Alternative Lag Structures, International Journal of Forecasting 5, 399408. Herrera, A. M., Lagalo, L. G., and Wada, T., 2010. Oil Price Shocks and Industrial Production: Is the Relationship Linear?, Cambridge Journals, Volume 15, pp. 472-497 Hooker, Mark A., 2002. Are Oil Shocks Inflationary? Asymmetric and Nonlinear Specifications versus Changes in Regime, Journal of Money, Credit, and Banking, Volume 34, Number 2, pp. 540-561 IMF (2011), Slowing Growth, Rising Risk, IMF report: World Economic Outlook. Ivanov, V. and Kilian, L., 2001. A Practitioner's Guide to Lag-Order Selection for Vector Autoregressions, CEPR Discussion Paper no. 2685. London, Centre for Economic Policy Research. Kilian, Lutz., 2006. The Economic Effect of Energy Price Shocks, University of Michigan and CPER. Kumar, Surender., 2009, The Macroeconomic Effects of Oil Price Shocks: Empirical Evidence for India, Journals Economics Bulletin, Volume 29, pp. 15-37 Lütkepohl, H., 1993, Introduction to Multiple Time Series Analysis, Second Edition, Berlin: Springer-Verlag, Chapter 4. Lueth, E. et.al. 2006, Srilanka: Selected Issues, IMFCountry Report No. 06/447, International MonetaryFund. Morgan, T., 2007, Energy Subsidies: Their Magnitude, How They Affect Energy Investment and Greenhouse Gas Emissions and Prospects for Reforms, Report for UNFCCC Secretariat Financial and Technical Support Programme, Bonn. Murougane, A. , 2010. Phasing Out Energy Subsidies in Indonesia, OECD Economics Department Working Papers, No. 808, OECD Publishing. Ozcicek, O. and McMillin, W. D.,1999. Lag Length Selection in Vector Autoregressive Models: Symmetric and Asymmetric Lags, Louisiana State University Journal.
79
OIL PRICE SHOCK: ITS TRANSMISSION AND EFFECT TO THE INDONESIA’S ECONOMY Dedy Sunaryo
Ptaff, Bernhard., 2008. VAR, SVAR, and SVEC Models: Implementations within R Package vars. Journal of Statistical Software, Volume 27, Issue 4. Rosidi, Ali., 2000. Industrial Production Index, Wholesale/Producer Price Index, Consumer Price Index of Indonesia, BPS-Statistics Indonesia: Country Paper for the Joint OECD/ESCAP Workshop on Key Economic Indicators. Stock, J. H., and Watson, M. W.,2001. Vector Autoregressions, Journal of Economic Perspectives, Vol. 15 No. 4, 101-115. Sutijastoto., 2010. Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia, Ministry of Energy of Indonesia Taylor, John B., 2000. A Historical Analysis of Monetary Policy Rules, National Bureau of Economic Researches: Working Paper 6768 Tang, W., Wu, L., and Zhang, Z. X., 2009. Oil Price Shocks and Their Short and Long Term Effects on the Chinese Economy, East-West Center Working Paper: Economics Series No. 102 Von Moltke, A., C. McKee, and T. Morgan. 2004. Energy subsidies: Lessons learned in assessing their impact and designing policy reforms. Sheffield: Greenleaf Publishing Wooldridge, Jeffrey M., 2009. Introductory Econometric: A Modern Approach, SouthWestern Cengage Learning.
80
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
OIL PRICE SHOCK: ITS TRANSMISSION AND EFFECT TO THE INDONESIA’S ECONOMY Dedy Sunaryo
APPENDIX
Figure 1. Domestic and International Oil Prices
Figure 2. Fuel Subsidy and Oil Prices
Figure 3. The Exchange Rate Movement
Figure 4. The Movement of CPI’s Components
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
81
OIL PRICE SHOCK: ITS TRANSMISSION AND EFFECT TO THE INDONESIA’S ECONOMY Dedy Sunaryo
Figure 5. Gasoline Consumption and Oil Price
Figure 6. Stock of Vehicle by Type
Figure 7.Impulse Response Function
Figure 8.Estimated Cumulative Pass-Through Coefficients of Oil Price 82
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
OIL PRICE SHOCK: ITS TRANSMISSION AND EFFECT TO THE INDONESIA’S ECONOMY Dedy Sunaryo
Table 1. Summary of Output Auto Regressive Distributed Lag Variables Oil price Oil price (lag 1) Oil price (lag 2) Oil price (lag 3) Oil price (lag 4) Oil price (lag 5) Oil price (lag 12) Observations R-Squared Long-term pass through coefficient
Wholesale Price Inflation 0.092*** 0.042** 0.039** 0.02 0.025 0.032* -0.003 128 0.446 0.0758
Consumer Price Inflation 0.003 0.003 0.013 0.007 0.013 -0.009 0.016 128 0.202 0.0783
Growth of Industrial Production 0.039 0.059 0.05 -0.081* -0.011 0.005 0.066 128 0.528 0.1023
***p<0.01, **p<0.05, *p<0.1 Table 2. Lag Selection Order No
Model
1
Oil Price to Wholesale Price
2
Oil Price to Consumer Price
3
Oil Price to Industrial Production
Lag 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4 0 1 2 3 4
LL 533.877 542.613 545.011 548.504 549.718 595.988 601.037 603.433 604.103 607.425 372.61 395.91 409.194 415.626 417.23
LR
FP
N/A 17.472* 4.796 6.9858 2.4276 N/A 10.099* 4.7921 1.3397 6.6452 N/A 46.599 26.569 12.864* 3.2083
1.40E-06 1.3e-06* 1.30E-06 1.30E-06 1.40E-06 5.50E-07 5.40E-07 5.60E-07 5.80E-07 5.90E-07 0.000015 0.000011 9.70E-06 9.3e-06* 9.70E-06
AIC -7.82172 -7.89137* -7.86781 -7.86035 -7.81938 -8.73511 -8.75054* -8.72695 -8.67798 -8.66802 -5.45015 -5.73396 -5.8705 -5.90626* -5.87103
HQIC -7.80431 -7.83915 -7.78077 -7.7385 -7.66272 -8.71771 -8.69832 -8.63992 -8.55614 -8.51136 -5.43274 -5.68174 -5.78347 -5.78442* -5.71437
SBIC -7.77888 -7.76287 -7.65364 -7.56052 -7.43388 -8.69228 -8.62204 -8.51279 -8.37815 -8,28252 -5.40731 -5.60546 -5.65633 -5.60643 -5.48553
Note: * indicates lag order selected by criterion each test at 5% level Table 3. VAR Residual Serial Correlation LM Test No
Model
1
Oil Price to Wholesale Price
2
Oil Price to Consumer Price
3
Oil Price to Industrial Production
Lag 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Chi2 2.2528 7.0935 2.6136 2.5311 2.3175 4.7408 1.1955 4.8662 5.1448 8.7372 4.8936 5.6601
Prob 0.68938 0.13103 0.62442 0.63908 0.67758 0.31494 0.87884 0.3031 0.27276 0.06802 0.29839 0.22601
H0: no autocorrelation at lag order
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
83
OIL PRICE SHOCK: ITS TRANSMISSION AND EFFECT TO THE INDONESIA’S ECONOMY Dedy Sunaryo
Halaman ini sengaja dikosongkan
This page intentionally left blank
84
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
INDEKS SUBJEK JURNAL BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013 Asia, 35 bank indonesia, 71 barrier, 50, 51, 54, 60, 61, 64 biaya, 3 citizens, 38, 42 civil, 35, 39, 40, 41, 42, 43, 44 consumer, 71, 73, 74, 75, 76, 77, 78 consumption, 19, 71, 72, 73, 76, 77, 78 container, 49, 50, 54, 56, 59, 62, 64, 65, 67 corruption, 35 country, 35, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 67 dana perimbangan, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 14, 15 demand, 19, 44, 71, 77, 78, 79 democratic, 36, 38, 40, 41, 43 demografi, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30 desentralisasi, 2, 4, 10 determinants, 35 developed, 35, 36, 37, 40, 42, 72, 74, 75 deviasi, 24, 25, 26, 27 domestic, 37, 39, 42, 43, 52, 72, 73, 74, 76, 77, 78, 79 econometric., 1, 5 economic, 35, 36, 37, 38, 39, 41, 42, 43, 44, 49, 50, 52, 53, 54, 59, 63, 64, 65, 71, 72, 73, 75, 78 economy, 71 ekonomi, i, 1, 2, 3, 4, 6, 8, 12, 13, 14, 15, 19, 22, 23, 24, 25, 35, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 71 elastisitas permintaan, 21 energy, 71, 72, 73, 74, 76, 77, 78 expenditure, 38, 41, 42, 43, 73, 79 FGLS, 35, 40, 41 fiskal, 2, 3, 71 forecast, 76, 77 foreign, 37, 39, 42, 44, 49, 62, 67 fuel, 72, 73, 74, 76, 78 GDP, 35, 36, 37, 38, 39, 41, 42, 43, 44 global, 45, 46, 49, 50, 66, 67 governments, 41, 43, 44 growth, 1, 35, 38, 41, 42, 43, 44, 71, 72, 74, 75, 77, 78 GWot, 49, 50, 51, 56, 58, 59, 61, 62, 63, 64, 65 harga, 19 heckman, 25, 28 Indonesia, i, 1, 19, 35, 49, 2 industrial, 37, 39, 71, 72, 74, 75, 76, 77, 78 inelastis, 19, 21, 22, 31 inflation, 71, 72, 74, 75, 76, 77, 78, 79 institutional, 35, 38, 41, 44 instrument, 24, 49, 53, 59, 63 internasional, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 60, 62, 63, 3 Islam, 55, 56 Jawa Timur, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16 kabupaten/kota, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 keamanan, 49
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
kebijakan, 1, 3, 4, 6, 14, 20, 31, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 71 kemiskinan, 19, 20, 23, 30, 31, 32, 62 kesehatan, 4, 7, 12, 13, 15, 19, 20, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 30, 31, 33 ketimpangan, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 keuangan, i kolmogorov-smirnov, 56 komoditi, 20, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31 konsumen, 4, 20 konsumsi, 4, 19, 20, 22, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 33 likelihood, 7, 40, 57, 77 logaritma, 24, 25, 26, 27 luar negeri, 49 miskin, 2, 3, 8, 10, 13, 19, 20, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32 monetary, 39, 72 multicollinearity, 40 nasional, 1, 2, 3, 4, 22, 49, 51, 52, 62, 63, 64 oil, 71 openness, 35, 36, 37, 39, 42, 43, 44 organisasi, 3 pembangunan, 1, 2, 3, 4, 6, 8, 10, 11, 12, 13, 14, 35, 60 pemerintah, 1, 2, 4, 6, 7, 8, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 20, 30, 31 pemerintah daerah, 2, 11 pendapatan, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 19, 20, 21, 22, 23, 25, 27, 28, 29, 30, 31 perdagangan, 49 permintaan, 19, 20, 28, 31, 53 pertumbuhan, 2, 4, 15, 16 policies, 36, 37, 43, 44, 72, 78 political, 35, 36, 37, 40, 42, 43, 51, 57, 58, 64, 73 politik, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 59, 62, 63, 64, 65 price, 71 prices, 19, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79 private, 35, 36, 41, 43, 74, 79 private sector, 35 probit, 25, 26, 28 products, 71, 72, 73, 74, 76, 77, 79 produksi, 4, 50, 61, 71 produktivitas, 4, 12, 13, 15, 19 public, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 74 region, 3, 5, 6, 9, 14, 17, 35, 37 regresi, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 22, 23, 25, 26, 27, 28, 56 rokok, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33 rumah tangga, 4, 5, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32 sector, 35, 38, 41, 42, 43, 71, 76, 78, 79 security, 43, 49, 50, 54, 55, 56, 59, 62, 64, 65, 66, 67 shock, 71 social, 35, 73, 74 sosial, 12, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 54
84.1
spatial, 1, 3, 5, 6, 7, 9, 10, 14, 15 statecraft, 49, 50, 52, 53, 54, 59, 63, 64, 65 stationarity, 75, 76 subsidy subsidies, 71, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79 supply, 71, 72 tariff, 50, 52, 60, 61, 64 tax, 44, 73 terorisme, 49, 50, 51, 54, 60, 61, 62, 63, 64 threat, 49, 50, 51, 53, 54, 59, 63, 64 trade, 37, 39, 42, 43, 50, 51, 54, 60, 61, 64, 66, 67 Upah Minimum Regional, 3, 4, 5, 7, 13, 15 wholesale, 74, 75, 76, 77, 78
84.2
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
PETUNJUK BAGI (CALON) PENULIS JURNAL BPPK 1. Sebagai pra-syarat dalam mengirimkan artikel untuk dapat diterbitkan pada Jurnal BPPK, penulis diwajibkan mengirimkan (calon) artikel Jurnal BPPK yang dilengkapi: surat pernyataan orisinalitas karya bermaterai cukup (Rp 6.000,-), Lembar Identitas Artikel Jurnal BPPK, Curriculum Vitae. Format terlampir. 2. Artikel yang diajukan diketik dengan program Microsoft Word atau program pengolah kata sejenis dan disimpan dalam format docx menggunakan huruf Cambria, ukuran 10 pts, spasi tunggal, dicetak pada kertas A4 dengan panjang 15 s.d. 30 halaman, dan diserahkan dalam bentuk hardcopy/cetak sebanyak 1 eksemplar beserta softcopy-nya. Pengiriman Artikel softcopy juga dapat dilakukan melalui e-mail ke alamat: [email protected]. 3. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Inggris. Sistematika artikel hasil penelitian adalah Judul Penulisan judul tidak lebih dari 14 kata, dicetak dengan huruf kapital, center, Cambria 14. a. Nama Penulis Nama Penulis ditulis tanpa gelar akademik, disertai lembaga asal tempat peneliti melakukan penelitian.Dalam hal artikel ditulis oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis utama wajib mencantumkan alamat korespondensi dan/atau e-mail. b. Abstrak disertai kata kunci Abstrak dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Panjang masing-masing abstrak tidak lebih dari 150 kata yang disertai dengan 3-5 kata kunci. Abstrak minimal berisi judul, tujuan, metode dan hasil penelitian. Penulisan Abstrak yang berbahasa Inggris mengacu pada kaidah penulisan abtrak karya ilmiah yang berlaku umum secara internasional. Dalam hal penerjemahan abstrak bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, penulis tidak diperkenankan melakukan copy-paste langsung dari software/aplikasi/web penerjemah bahasa. Untuk keperluan translasi direkomendasikan menggunakan jasa penerjemah tersumpah. Adapun biaya yang muncul atas penggunaan jasa tersebut menjadi tanggung jawab penulis artikel. c. Pendahuluan Bagian ini menjelaskan latar belakang riset, rumusan masalah, pernyataan tujuan dan (jika dipandang perlu) organisasi penulisan artikel. d. Kerangka teoritis dan pengembangan hipotesis Memaparkan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi landasan logis untuk mengembangkan hipotesis atau proporsi riset dan model riset. e. Metode riset/penelitian Menguraikan metode seleksi dan pengumpulan data, pengukuran dan definisi operasional variabel, dan metode analisis data. f.
Hasil dan pembahasan Menjelaskan analisis data riset dan deskripsi statistik yang diperlukan
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
84.3
g. Kesimpulan Memuat simpulan hasil riset, temuan penelitian yang berupa jawaban atas pertanyaan penelitian atau berupa intisari hasil pembahasan. Simpulan disajikan dalam bentuk paragraf. h. Implikasi dan keterbatasan Menjelaskan implikasi temuan dan keterbatasan riset, serta jika perlu saran yang dikemukakan peneliti untuk riset yang akan datang. i.
Daftar Pustaka Memuat sumber-sumber pustaka atau referensi yang dikutip di dalam penulisan artikel. Hanya sumber yang diacu yang dimuat dalam daftar referensi ini. Untuk keseragaman penulisan, Daftar Pustaka ditulis sesuai dengan format American Psychological Association (APA)
j.
Lampiran Memuat tabel, gambar dan instrumen riset yang digunakan
4. Tata cara penyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL ILMIAH JURNAL BPPK atau merujuk pada tata cara yang digunakan dalam artikel yang telah dimuat. Artikel berbahasa Indonesia menggunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan istilah-istilah yang telah dibakukan oleh Pusat Bahasa. 5. Semua Artikel ditelaah secara anonim oleh Dewan Redaksi dan Mitra Bestari yang ditunjuk oleh Sekretariat Jurnal BPPK menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan atau revisi artikel atas dasar rekomendasi/saran dari Dewan Redaksi atau penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan artikel akan diberitahunkan secara tertulis. 6. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan, penggunaan software/aplikasi komputer untuk pembuatan artikel atau hal lainnya yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) yang dilakukan oleh penulis, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel.
84.4
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ARTIKEL JURNAL BPPK Yang bertanda tangan di bawah ini, Nama Penulis Artikel
: ................................................................................................................................
NIP/NRM
: ................................................................................................................................
Pangkat / Golongan
: ................................................................................................................................
Jabatan
: ................................................................................................................................
dengan ini menyatakan bahwa artikel yang saya susun dengan judul :
JUDUL ARTIKEL UNTUK JURNAL BPPK (Huruf Tebal) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dan bukan merupakan plagiat dari artikel orang lain. Artikel ini belum pernah dipublikasikan pada jurnal atau media yang lain dan akan diserahkan kepada Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) untuk digandakan, diperbanyak dan/atau disebarluaskan. Apabila kemudian hari pernyataan Saya tidak benar, maka Saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk sanki pidana.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan bilamana diperlukan.
........................, ............................................. Pembuat Pernyataan Materai Rp6.000,00
...................................................................... NIP
Catatan: Dapat diperbanyak sesuai kebutuhan penulis dan bilamana diperlukan, Softcopy surat pernyataan ini dapat diminta melalui email: [email protected]
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
84.5
FORMULIR CURRICULUM VITAE PENULIS ARTIKEL JURNAL BPPK Nama Lengkap
:
Tempat/Tgl Lahir
:
Jabatan Sekarang
:
Unit Kerja
:
NIP/NRM/Gol.
:
No. Rekeneing
:
NPWP
:
Email
:
No HP
:
Bank …
Cabang …
Riwayat Pendidikan : Jenjang
Gelar
Universitas
Tahun
D1 D3 D4/S1 S2 S3 Riwayat Pekerjaan: Jabatan
Unit Kerja/Organisasi
Periode
Penghargaan/Award/Acknowledged Reward:
Bidang Keilmuan yang Diminati:
Catatan: Dapat diperbanyak sesuai kebutuhan penulis dan bilamana diperlukan, Softcopy Form CV ini dapat diminta melalui email: [email protected]…
84.6
Jurnal BPPK Volume 6 Nomor 2, 2013
LEMBAR IDENTITAS ARTIKEL JURNAL BPPK Judul Artikel
Beri tanda ( ) pada yang telah disediakan sesuai keadaan yang sebenarnya: a. Jenis Artikel
Hasil pemikiran pada ______________________________________ (bulan dan tahun) Hasil penelitian tahun _____________________________________ (bulan dan tahun) b. Hubungan dengan penelitian lain sebelumnya
Penelitian/Pemikiran baru Ringkasan/Short version Skripsi karya sendiridengan judul __________________________________________________ _______________________________________________________________________________________________________________________
Ringkasan/Short version Thesis karya sendiri dengan judul ___________________________________________________ _______________________________________________________________________________________________________________________
Kajian atau karya Ilmiah lain karya sendiri karya sendiri yaitu _______________________________________________ dengan judul _______________________________________________________________________________________________________ ______________________________________________________________________________________________________________________
Lainnya, sebutkan: _________________________________________________________________________________________________ c. Tempat Penulis melakukan Penelitian/Pemikiran pada Artikel ini
Tempat Kerja yaitu ________________________________________________________________________________________________ Sewaktu Pendidikan program_________________________________________________________(nama program studi dan jenjang) di ___________________________________________________________________________________________(nama universitas dan negara)
Lainnya, yaitu ______________________________________________________________________________________________________ d. Sumber Pembiayaan dalam melakukan Penelitian/Pemikiran pada Artikel ini
Sendiri Lainnnya, yaitu: ____________________________________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________________________________________________ Dengan ini saya menyatakan bahwa data yang saya isi pada formulir ini adalah benar adanya dan tanpa rekayasa. Apabila kemudian hari pernyataan Saya tidak benar, maka Saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk sanksi pidana. ........................, .................................................... Penulis Artikel,
.............................................................................
Jurnal BPPK, Volume 6 Nomor 2, 2013
84.7