JURNAL BPPK ISSN 2085-3785 Volume 7 Nomor 2, 2014, halaman 91-164 Jurnal BPPK merupakan publikasi ilmiah yang berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian, pengembangan, kajian, dan pemikiran di bidang ekonomi, keuangan negara. Terbit pertama kali tahun 2010 dengan masa terbit sekali setahun kemudian menambah masa terbit pada tahun 2011 diterbitkan dua kali setahun hingga saat ini, pada bulan Juni dan Desember. Artikel yang diterbitkan dalam Jurnal BPPK telah melalui proses evaluasi dan penyuntingan oleh Dewan Redaksi, Mitra Bestari dan Anggota Staf Editorial. Jurnal BPPK terbuka untuk umum, praktisi, peneliti, pegawai, dan pemerhati masalah ekonomi dan keuangan negara.
STAF EDITORIAL Penanggung Jawab Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Ketua Dewan Redaksi Agus Hermanto Dewan Redaksi Agung Darono, S.E., Ak., CA., M.M., M.Eng Rahmadi Murwanto, Ak., MAcc., M.B.A., Ph.D. Dr. Roberto Akyuwen, S.T.P., S.E., M.Si. Yoopi Abimanyu,S.E., M.A., Ph.D Yuniarto Hadiwibowo, S.S.T., Ak., Ph.D.
Mitra Bestari . Prof. Dr . Abdul Halim, M.B.A., Akt. Dr. Akhmad Makhfatih, M.A. Dr. Ari Kamayanti, S.E., M.M., M.Sc., Akt. Dr. Alla Asmara, S.Pt. Dr. Eugenia Mardanugraha, S.Si., M.E. Prof. Heru Subiyantoro, Ph.D. Dr. Mamduh Mahmadah Hanafi, M.B.A Prof. Ir. Noer Azam Achsani. M.Sc., Ph.D. Dr. Zaki Baridwan, S.E., M.Sc. Redaktur Heni Kartikawati Editor Ahli Muh Nurkhamid Editor Pelaksana Adhitya Wira Witantra Eko Satyono Nur Etaruni VMI Bimo Adi
Sekretariat Agung Arie Pratama Najjahul Imtihan Pambudi Gawe Sukmantara Phesona E.B.T Tomi Subiakto ALAMAT SEKRETARIAT JURNAL BPPK: Bagian Organisasi dan Tata Laksana, Sekretariat Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia Gedung B Soegito Sastromidjojo, Lantai 4, Jl. Purnawarman Nomor 99 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110; Telp. (021) 7394666 ext.253, 7204131; Faksimili (021) 7261775,7244328; webpage: www.bppk.depkeu.go.id; e-mail:
[email protected].
JURNAL BPPK Volume 7, Nomor 2, 2014
DAFTAR ISI ANALISIS MIDDLE-INCOME TRAP DI INDONESIA
91-110
Aprisal W. Malale, Maung Agus Sutikno
FORECASTING INDONESIAN MONEY DEMAND FUNCTION WITH AUTOREGRESSIVE DISTRIBUTED LAG (ARDL)MODEL
111-122
Matondang Elsa Siburian
PENGARUH KOMISARIS INDEPENDEN DAN KOMITE AUDIT TERHADAP PERMASALAHAN AGENSI PADA PENENTUAN STRUKTUR PEMBIAYAAN DAN KEPEMILIKAN MANAGERIAL PERUSAHAAN
123-134
Sasono Adi
PENGARUH PENANAMAN MODAL ASING TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: ANALISIS DATA PANEL PERIODE 1994-2013
135-152
Jefry Batara Salebu
THE DETERMINANT OF CORE INFLATION IN INDONESIA
153-166
Rizki E. Wimanda, Nur M. Adhi Purwanto, Fajar Oktiyanto
ii
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014, Halaman 91-110 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
ANALISIS MIDDLE-INCOME TRAP DI INDONESIA Aprisal W. Malalea, Maung Agus Sutiknob, aDirektorat bAica
Jenderal Pajak, Jakarta, Indonesia Email:
[email protected] Indria, Jakarta, Indonesia Email:
[email protected]
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 18 Agustus 2014
Indonesia is predicted to be one of driving force for world economic growth in couple decades ahead. Now, Indonesia is still classified as middle income country and on the way to be a high income country. But, there is a risk not being able to inline in trajectory of economic growth. This study aims to find out about the Middle Income Trap (MIT) in Indonesia, by answering the most fundamental question whether Indonesia has entered into MIT, and what macroeconomic factors influence GNI per capita as the income category. Using data published by the World Bank, and multiple regression analysis, it showed that Indonesia has entered the MIT trap. In addition, based on the results and analysis, it can be concluded that the variables Exports of Goods and Services, Value Added Agriculture, as well as Aid and Foreign Assistance (with lag or no lag) significantly give negative effect on GNI per capita. Gross Capital Formation variables significantly give positive effect (in current year) and negative affect (at 2 and 3 years earlier) to GNP per capita in current year. Inflation variable gives no significant effect on GNI per capita. Government are recommended to take policy by focusing on improving the productivity of Indonesia to encourage the growth of knowledge-based economy and more equitable distribution of targeted welfare.
Dinyatakan Dapat Dimuat 28 November 2014 KATA KUNCI: Middle Income Trap, PNB Per Kapita, Analisis Regresi Berganda,
Indonesia diprediksi menjadi salah satu penggerak pertumbuhan ekonomi dunia dalam beberapa dekade ke depan. Sekarang Indonesia berada pada middle income dan masih dalam perjalanannya menjadi negara dengan high income. Tetapi masih ada risiko untuk keluar dari jalur dan terjebak dalam tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai Middle Income Trap (MIT) di Indonesia, dengan menjawab pertanyaan yang paling mendasar yaitu apakah Indonesia sudah masuk ke dalam MIT, dan apa pengaruh faktor-faktor makroekonomi terhadap perubahan PNB per Kapita yang menjadi dasar kategori penghasilan negara-negara di dunia. Dengan menggunakan data yang dipublikasikan oleh World Bank, dan melakukan analisis regresi berganda, maka didapatkan hasil bahwa Indonesia telah masuk dalam jebakan MIT. Selain itu berdasarkan hasil dan analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Variabel Ekspor Barang dan Jasa, Nilai Tambah Pertanian, serta Bantuan dan Asistensi Luar Negeri (dengan lag atau tanpa lag) secara signifikan berpengaruh negatif terhadap PNB per kapita. Variabel Pembentukan Modal Bruto secara signifikan berpengaruh positif (di tahun berjalan) dan berpengaruh negatif (di 2 dan 3 tahun sebelumnya) terhadap PNB per kapita di tahun berjalan. Variabel inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap PNB per kapita. Pemerintah disarankan mengambil kebijakan dan langkah strategis dengan berfokus pada peningkatan produktivitas Indonesia dengan mendorong tumbuhnya knowledge-based economy dan pemerataan kesejahteraan yang lebih tepat sasaran.
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asian Development Bank (ADB) merilis analisis bahwa kemajuan ekonomi di Asia akan dipimpin oleh tujuh negara yaitu: China, India, Indonesia, Jepang, Republik Korea, Thailand dan Malaysia (ADB, 2013). Ketujuh negara ini memiliki total populasi 3,1 miliar jiwa (78% dari total populasi Asia) dan Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2010 mencapai US$ 15,1 triliun (87% dari total PDB Asia). Prediksi ADB, pada tahun 2050, populasi ketujuh negara ini akan menjadi 75% populasi Asia dan GDP mereka akan menjadi 90% dari total PDB Asia. Ketujuh negara ini
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
diprediksi akan menguasai 45% PDB global dengan rata-rata pendapatan per kapita akan menjadi US$ 45.800 dibandingkan dengan rata-rata Negara-negara seluruh dunia sekitar US$ 37.300 (ADB, 2013). Lebih lanjut lagi, ketujuh Negara ini diprediksi akan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi Asia dan global di antara tahun 2010 hingga 2050, tujuh negara ini akan memberikan tambahan pertumbuhan sebanyak 91 persen dari total pertumbuhan PDB di Asia dan hampir 53 persen dari pertumbuhan PDB global (World Bank, 2014) (lihat gambar 1). Untuk mencapai hasil yang menjanjikan ini, para pemimpin Negara-negara di Asia harus mengelola
91
ANALISIS MIDDLE-INCOME TRAP DI INDONESIA Aprisal W. Malale, Maung Agus Sutikno
berbagai risiko dan tantangan (ADB, 2013). Salah satu diantaranya adalah risiko terjebak di dalam MiddleIncome Trap (MIT), dimana risiko ini bila tidak dikelola dan diantisipasi dengan baik dapat menular ke negara lain dan bahkan menciptakan instabilitas ekonomi di kawasan Asia (World Bank, 2014). Gambar 1. Skenario Asian Century
Ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan yang signifikan dalam dekade kedua di milenium baru sekarang. Salah satu tanda peningkatan ekonomi yang signifikan yaitu adanya peningkatan Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita. Indonesia mencatatkan peningkatan PNB per kapita dari sebesar US$ 910 di tahun 2003 menjadi sebesar $3,580 di tahun 2013 (World Bank, 2014). Jadi, Indonesia dalam waktu satu dekade telah melipatgandakan PNB per kapita sebanyak hampir empat kali lipat. Dengan nilai PNB per kapita sebesar ini, Indonesia termasuk kategori negara dengan pendapatan menengah ke bawah (lower middle-income country)(World Bank, 2014). Grafik 1. PNB Per Kapita Indonesia dan ASEAN 12000 10000 8000 6000
Sumber: Asian Development Bank, 2010 Indonesia sebagai salah satu dari tujuh negara yang diperkirakan akan menjadi motor penggerak pertumbuhan Asia hingga tahun 2050, telah mencatat berbagai pencapaian-pencapaian ekonomi yang impresif (McKinsey, 2012). Indonesia berhasil menjadi satu dari sedikit negara yang tahan terhadap gejolak krisis perekonomian global dengan menjaga pertumbuhan ekonomi tetap positif di atas 5%. Indonesia berhasil melakukan reformasi fundamental di sektor pelayanan publik melalui reformasi birokrasi terhadap kementerian/lembaga yang memegang peranan vital di pemerintahan. Di samping itu, Indonesia juga berhasil mempertahankan rasio utang luar negeri yang rendah, menjaga kestabilan inflasi, dan melakukan pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM dan Minyak tanah). Kesemuanya ini memberikan legitimasi yang kuat, bahwa Indonesia layak dicatat sebagai negara yang memegang peranan penting dalam menggerakkan ekonomi Asia. Gambar 2. Skenario Middle Income Trap
Sumber: Asian Development Bank, 2010
92
4000 2000 0 Indonesia ASEAN Malaysia Sumber: World Bank, 2014 (diolah)
Dari grafik 1 dapat dilihat bahwa PNB per kapita Indonesia masih di bawah rata-rata PNB per kapita negara-negara ASEAN pada tahun 2013. Rata-rata PNB per kapita negara-negara ASEAN tidak lepas dari sumbangsih PNB per kapita Singapura yang mencapai 5 kali lipat rata-rata PNB per kapita ASEAN. Sedangkan Malaysia memiiki rata-rata PNB per kapita yang mendekati rata-rata PNB per kapita ASEAN. World Bank (2014) dalam kajian “Indonesia: Menghindari Perangkap” menyatakan bahwa kebangkitan ekonomi Indonesia pascakrisis tahun 1997/1998 adalah pencapaian yang mengagumkan. Selama lebih dari satu dekade dari 1997 hingga 2014 indonesia telah berkembang pesat menjadi negara yang stabil di bidang politik, ekonomi dan keamanan. Pertumbuhan ekonomi yang nampak dari PDB konstan, PDB per kapita, dan PDB riil yang tumbuh progresif menunjukkan ketahanan Indonesia sebagai negara dan bangsa khususnya dalam menghadapi berbagai krisis dan potensi krisis di dunia. Laporan McKinsey Global Institute (2012) berjudul The Archipelago: Unleashing Indonesia Potential Economy juga memuji pencapaian yang diraih oleh Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar ke-16 di dunia, yang diprediksi pada tahun 2030 akan berada di urutan ke-7 sebagaimana dijabarkan lebih lanjut pada tabel 1 ditambah lagi, World Economic Forum (WEF) dalam WEF
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
ANALISIS MIDDLE-INCOME TRAP DI INDONESIA Aprisal W. Malale, Maung Agus Sutikno
Competitiveness Report tahun 2013-2014 menempatkan Indonesia pada urutan 38 dari 148 negara setelah sebelumnya pada tahun 2012-2013 berada pada peringkat ke-50. Namun demikian, prestasi yang diperoleh Indonesia melalui pencapaian-pencapaian yang impresif di masa lalu, tidak serta merta menjadikan Indonesia kebal dengan pelambatan perekonomian global yang terjadi saat ini. Sebaliknya, Indonesia dihadapkan pada tantangan dan risiko yang semakin dinamis dan memerlukan pendekatan yang berbeda. ADB (2011) dan World Bank (2014) menggarisbawahi salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh Indonesia saat ini adalah tantangan MIT. Jesus Felipe (2012) dalam sebuah penelitian yang diterbitkan oleh ADB menggolongkan Indonesia bersama Pakistan sebagai negara yang terancam terjebak dalam MIT. Sebuah negara berpotensi terjebak dalam MIT jika negara tersebut telah berada pada tingkat pendapatan yang sama sampai dengan 28 tahun lamanya (Felipe, 2012). Sedangkan Indonesia masuk golongan lower middle income sudah selama 25 tahun. Kalaupun ingin terlepas dari perangkap MIT, Indonesia harus menggenjot pertumbuhan 14,8% per tahun pada rata-rata PDB per kapita sebagaimana tercantum pada tabel 1. 1.2. Tujuan Masalah, Tujuan, dan Manfaat Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini akan berfokus untuk menganalisis apakah Indonesia telah masuk ke dalam MIT. Analisis ini dilakukan untuk melihat posisi Indonesia di dalam MIT dengan menggunakan data terkini. Dengan menggunakan data dan referensi penelitian terdahulu, penelitian ini juga bertujuan untuk menjustifikasi posisi Indonesia dalam klasifikasi pendapatan. Selain itu, penelitian ini akan menganalisis pengaruh ekspor, pembentukan modal bruto, nilai tambah pertanian, bantuan dan asistensi dari luar negeri, dan inflasi terhadap Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita yang menjadi dasar pengelompokan pendapatan negara-negara di dunia. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para akademisi, yaitu untuk memberikan pengembangan pengetahuan dan memperluas literatur terkait MIT, khususnya MIT di Indonesia dengan rentang waktu penelitian yang lebih terkini. Di samping itu, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah, yaitu untuk memberikan rekomendasi mengenai posisi Indonesia di dalam MIT berdasarkan pendekatan empiris dan memberikan rekomendasi tentang sektor apa yang perlu menjadi fokus pemerintah untuk terhindar dari MIT.
2.
KERANGKA TEORITIS
2.1. Definisi Middle Income Trap Middle-income trap (MIT) mengacu pada suatu kondisi di mana negara-negara berpenghasilan menengah tidak mampu mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil untuk mencapai kelompok income yang baru sebagai negara-
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
negara berpenghasilan tinggi. Sehingga terjebak dalam kelompok middle income (Aviliani et al, 2014). Dalam penelitian-penelitian lain MIT mempunyai pengertian yaitu keadaan suatu negara dimana mengalami stagnansi pertumbuhan di tingkat middle income dan tidak berkembang ke tingkat pertumbuhan ekonomi selanjutnya ke tingkat high income (ADB, 2012; World Bank, 2012), pelambatan pertumbuhan dan terus melekat pada status middle income (Gill dan Kharas, 2007; Eichengreen et al, 2011). Negara yang terjebak dalam MIT mempunyai ketidakmampuan untuk berkompetisi dengan negara low income dalam hal upah buruh di industri manufaktur, dan ketidakmampuan untuk berkompetisi dengan negara high income dalam hal keahlian dan kemajuan inovasi. Negara-negara tersebut tidak sukses dalam peralihan sumber pertumbuhan eknomi dari sumber daya dengan upah dan modal rendah ke sumber pertumbuhan berupa produktivitas (ADB, 2011). Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Paus (2012), bahwa negara-negara berpenghasilan menengah selalu menghadapi kesulitan untuk berpindah dari negara produsen komoditas ke negara dengan keahlian sebagai sumber intensif penggerak perokonomiannya. Namun demikian, Paus (2012) juga berargumen bahwa kebangkitan perekonomian Cina menjadi alasan mengapa negara-negara berpenghasilan menengah terjebak dalam MIT. Kenichi Ohno (2009) dalam penelitian tentang MIT di Vietnam, memetakan empat tahapan/kategori dalam industrialisasi serta mendefinisikan MIT berdasarkan kategori tersebut. MIT digambarkan sebagai kaca pembatas (glass ceiling) antara tahap kedua dan tahap ketiga industrialisasi yang tidak dapat diterobos oleh suatu negara. Ohno berpendapat bahwa di tahap kedua, suatu negara sedang menyerap keahlian dan teknologi maju dari negara lain, namun telah memiliki industri-industri pendukung. Negara yang berada dalam tahap ini masih menerima bantuan dari luar negeri untuk menjalankan industrinya. Tahap ketiga industrialisasi adalah penguasaan manajemen dan teknologi, sehingga suatu negara dapat memproduksi barang dengan kualitas tinggi tanpa bantuan dari luar negeri. Beberapa ahli setuju bahwa masalah utama dari MIT adalah ketidakmampuan suatu negara untuk meningkatkan produksi berbasis pengetahuan yang intensif. Wing Thye Woo (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Getting Malaysia Out of the MiddleIncome Trap menyimpulkan bahwa Malaysia dapat terhindar dari MIT jika pemerintah mendukung pertumbuhan ekonomi yang berdasarkan ilmu pengetahuan (knowledge-based economy). 2.2. Bagaimana Mengukur MIT? World Bank (2014) dalam penelitiannya memakai variabel Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita sebagai proksi MIT. PNB per kapita diukur dari Pendapatan Nasional Bruto yang merupakan total value added penghasilan seluruh penduduk suatu
93
ANALISIS MIDDLE-INCOME TRAP DI INDONESIA Aprisal W. Malale, Maung Agus Sutikno
negara, baik yang ada di dalam negeri ataupun di luar negeri (World Bank, 2014). PNB per kapita digunakan sebagai salah satu patokan penentuan bagaimana keberhasilan sebuah negara dalam mengelola perekonomiannya. Penggunaan PNB per kapita juga digunakan sebagai acuan klasifikasi pendapatan negara-negara lain dalam penelitian-penelitian terdahulu. Aviliani et al (2014) menggunakan PNB per kapita sebagai dependent variable dalam jurnal penelitiannya yang berjudul Addresing the Middle-Income Trap: Experience of Indonesia. Jesus Felipe (2012) dalam working paper ADB berjudul: Tracking Middle Income Trap: What is it, Who is in it, and Why memberikan pendekatan mengenai bagaimana suatu negara dapat disebut sebagai negara yang terjebak dalam MIT. Felipe (2012) mengklasifikasikan seluruh negara-negara di dunia ke dalam empat kelompok penghasilan berdasarkan PDB per kapita. Negara-negara tersebut dimasukkan ke dalam kategori: (1) negara berpenghasilan rendah (low-income); (2) negara berpenghasilan menengah ke bawah (lower-middle-income); (3) negara berpenghasilan menengah ke atas (upper-middleincome); dan (4) negara berpenghasilan atas (highincome). Tabel 2. Kategori Penghasilan berdasarkan PNB per kapita Kategori
PNB per kapita 2013
Low Income Lower Middle Income Upper Middle Income High Income
< US $ 1.045 US $ 1.045 - US $ 4.125 US $ 4.125 - US $ 12.746 > US $ 12.746
Sumber: World Bank, 2014 (diolah)
MIT dapat dihindari dengan syarat negara tersebut dapat mencapai angka pertumbuhan ekonomi tertentu setiap tahunnya (Felipe, 2012). Rata-rata pertumbuhan pendapatan per kapita yang harus dicapai pada masing-masing tingkat MIT, baik yang lower ataupun upper menurut Felipe (2012). Lower MIT Syarat suatu negara keluar dari lower middle income ke upper middle income tidak melebihi periode 28 tahun serta pendapatan per kapita harus tumbuh paling sedikit pada tingkat 4,7% per tahun. Upper MIT Syarat suatu negara keluar dari upper middle income ke high income tidak melebihi periode 14 tahun serta pendapatan per kapita harus tumbuh paling sedikit pada tingkat 3,5% per tahun. Berdasarkan penelitian dari Felipe (2012) yang dipublikasikan oleh Asian Development Bank (ADB), disebutkan bahwa Indonesia akan terjebak dalam MIT. Penelitian ini menyatakan bahwa Indonesia sudah memasuki tahun ke 25 di kategori lower-middleincome. Sehingga diprediksi pada tahun 2013 Indonesia akan terjebak dalam MIT, bila tidak
94
mencapai rata-rata pertumbuhan PDB sebesar 14,8% (Felipe, 2012).
3.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Indonesia sudah masuk dalam MIT atau belum dengan menggunakan analisis deskriptif terhadap PNB per kapita, kemudian disandingkan dengan kualifikasi MIT yang ditentukan oleh World Bank (2014) dan ADB (2010). Selain itu juga digunakan referensi dari penelitian terdahulu untuk menjustifikasi posisi Indonesia dalam klasifikasi pendapatan. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekspor, investasi, pertanian, bantuan luar negeri, dan inflasi terhadap PNB per kapita di Indonesia dengan menggunakan analisis regresi berganda. Hasil analisis regresi berganda akan menunjukkan seberapa signifikan pengaruh 5 variabel makroekonomi terhadap tingkat PNB Per Kapita di Indonesia. Tingkat PNB Per Kapita inilah yang menjadi tolak ukur utama pengklasifikasian suatu negara sebagai negara Middle Income. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan data sekunder yang bersumber dari World Bank (www.data.worldbank.org) tahun 1969 sampai dengan tahun 2013. Sebelum dilakukan pengolahan, dilakukan uji stasioneritas Augmented Dicky Fuller untuk memastikan data yang diolah stasioner, tidak mengandung komponen tren, dengan keragaman yang konstan, serta tidak terdapat fluktuasi periodik. Analisis statistik dilakukan dengan bantuan aplikasi pengolah angka Microsoft Excel 2010 dan aplikasi statistik E-Views versi 7.2. Untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat dan signifikan, analisis dilakukan dengan menambahkan lag 1 tahun, 2 tahun, dan 3 tahun pada masing-masing variabel yang diamati. Model persamaan yang dipakai menggunakan merujuk pada model persamaan Aviliani et al (2014) yaitu sebagai berikut: 𝑌𝑖 = 𝛼0 + 𝛼1 𝑋1𝑖 + 𝛼1 𝑋1𝑖(𝑡−1) + 𝛼1 𝑋1𝑖(𝑡−2) + 𝛼1 𝑋1𝑖(𝑡−3) + 𝛼2 𝑋2𝑖 + 𝛼2 𝑋2𝑖(𝑡−1) + 𝛼2 𝑋2𝑖(𝑡−2) + 𝛼2 𝑋2𝑖(𝑡−3) + 𝛼3 𝑋3𝑖 + 𝛼3 𝑋3𝑖(𝑡−1) + 𝛼3 𝑋3𝑖(𝑡−2) + 𝛼3 𝑋3𝑖(𝑡−3) + 𝛼4 𝑋4𝑖 + 𝛼4 𝑋4𝑖(𝑡−1) + 𝛼4 𝑋4𝑖(𝑡−2) + 𝛼4 𝑋4𝑖(𝑡−3) + 𝛼5 𝑋5𝑖 + 𝛼5 𝑋5𝑖(𝑡−1) + 𝛼5 𝑋5𝑖(𝑡−2) + 𝛼5 𝑋5𝑖(𝑡−3) dimana: 𝑌𝑖 = 𝑃𝑁𝐵 𝑝𝑒𝑟 𝑘𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎 (𝑙𝑜𝑔𝑎𝑟𝑖𝑡𝑚𝑎 𝑛𝑎𝑡𝑢𝑟𝑎𝑙) 𝛼0 = 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑐𝑒𝑝𝑡 𝑋1𝑖 = 𝐸𝑘𝑠𝑝𝑜𝑟 𝐵𝑎𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑛 𝐽𝑎𝑠𝑎 (% 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑑𝑎𝑝 𝑃𝐷𝐵) 𝑋2𝑖 = 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑒𝑛𝑡𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑚𝑜𝑑𝑎𝑙 𝑏𝑟𝑢𝑡𝑜 (% 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑑𝑎𝑝 𝑃𝐷𝐵) 𝑋3𝑖 = 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑡𝑎𝑚𝑏𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑖𝑎𝑛 (% 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑑𝑎𝑝 𝑃𝐷𝐵) 𝑋4𝑖 = 𝐵𝑎𝑛𝑡𝑢𝐼𝑛 & 𝐴𝑠𝑖𝑠𝑡𝑒𝑛𝑠𝑖 𝐿𝑢𝑎𝑟 𝑁𝑒𝑔𝑒𝑟𝑖 (% 𝑡𝑑 𝑃𝐷𝐵)
𝑋5𝑖 = 𝐼𝑛𝑓𝑙𝑎𝑠𝑖 (%) (𝑡 − 1), (𝑡 − 2), (𝑡 − 3) = 𝑙𝑎𝑔 𝛼1 , 𝐻2 , 𝛼3 , 𝛼4 , 𝛼5 = 𝑘𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑟𝑒𝑔𝑟𝑒𝑠𝑖 𝜀𝑖 = 𝑒𝑟𝑟𝑜𝑟
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
ANALISIS MIDDLE-INCOME TRAP DI INDONESIA Aprisal W. Malale, Maung Agus Sutikno
3.1. Hipotesis Penelitian Berdasarkan model penelitian yang telah disusun, maka hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Dalam penelitian Aviliani et al (2014) menyimpulkan bahwa peran ekspor dapat membantu suatu negara menghindari MIT. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa ekspor berpengaruh positif terhadap PNB Per Kapita, variabel yang dipakai sebagai alat penentu dalam kategori pendapatan (income) dalam penelitian. Jadi untuk hipotesis penelitian yaitu: H1,1 Ada pengaruh positif ekspor barang dan jasa terhadap PNB Per Kapita PNB Per Kapita juga dapat dipengaruhi oleh Pembentukan Modal Bruto, sebuah perwujudan investasi. Investasi berperan pada suatu negara dalam menghindari MIT dengan pengaruh positif terhadap PNB Per Kapita (Aviliani et al, 2014). Jadi hipotesis dalam penelitian yaitu: H1,2 Ada pengaruh positif Pembentukan Modal Bruto terhadap PNB Per Kapita Sebuah penelitian oleh Anyanwu et al (2010) menyimpulkan bahwa ada sebuah hubungan positif signifikan antara PDB dan nilai hasil pertanian di Nigeria. Dengan menggunakan asumsi bahwa nilai PDB berbanding lurus dengan nilai PNB, maka hipotesis dalam penelitian yaitu: H1,3 Ada pengaruh positif Nilai Tambah Pertanian terhadap PNB Per Kapita Dalam penelitian oleh Ekanayake dan Chatrna (2008) menyimpulkan bahwa bantuan luar negeri mempunyai sebuah efek berlawanan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sehingga hipotesis dalam penelitian yaitu: H1,4 Ada pengaruh negatif Bantuan Luar Negeri terhadap PNB Per Kapita Dengan meningkatkan inflasi, maka sebuah defisit anggaran pemerintah secara umum mengurangi simpanan masyarakat dan dengan demikian mengurangi pertumbuhan (ekonomi) (Gylfason dan Herbertsson, 2001). Dengan demikian hipotesis dalam penelitian yaitu: H1,5 Ada pengaruh positif Inflasi Tahunan terhadap PNB Per Kapita 3.2. Operasionalisasi Variabel Penelitian 1. Variabel PNB per kapita PNB per kapita adalah pendapatan nasional bruto, dikonversi ke dolar AS dengan menggunakan metode Atlas, kemudian dibagi dengan populasi tengah tahun. PNB per kapita adalah jumlah dari seluruh nilai tambah yang dihasilkan penduduk sebagai produsen ditambah pajak produk (minus subsidi) ditambah penerimaan bersih dari penghasilan utama (kompensasi karyawan dan pendapatan properti) dari luar negeri. PNB per kapita, dihitung dalam mata uang nasional, biasanya dikonversi ke dolar AS dengan kurs resmi untuk perbandingan di seluruh negara.
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
2.
3.
4.
5.
6.
4.
Ekspor Barang dan Jasa Ekspor barang dan jasa merupakan nilai dari semua barang dan jasa yang disediakan ke seluruh dunia. Termasuk didalamnya nilai barang dagangan, barang, asuransi, transportasi, wisata, royalti, biaya lisensi, dan layanan lainnya, seperti komunikasi, konstruksi, keuangan, informasi, bisnis, pribadi, dan pelayanan pemerintah. Harga tersebut belum termasuk kompensasi karyawan dan pendapatan investasi (sebelumnya disebut layanan faktor) dan pembayaran transfer. Pembentukan Modal Bruto Pembentukan modal bruto terdiri dari pengeluaran pada penambahan aset tetap ekonomi ditambah perubahan bersih dalam tingkat persediaan. Aset tetap termasuk perbaikan tanah (pagar, selokan, saluran air, dan sebagainya); pabrik, mesin, dan peralatan pembelian; dan pembangunan jalan, kereta api, dan sejenisnya, termasuk sekolah, kantor, rumah sakit, tempat tinggal perumahan swasta, dan bangunan komersial dan industri. Nilai Tambah Pertanian Pertanian termasuk kehutanan, perburuan, dan perikanan, serta budidaya tanaman dan produksi ternak. Nilai tambah adalah output bersih sektor setelah menambahkan semua output dan mengurangi input antara. Hal ini dihitung tanpa melakukan pemotongan untuk depresiasi aset fabrikasi atau deplesi dan degradasi sumber daya alam. Bantuan dan Asistensi dari Luar Negeri Terdiri dari pencairan pinjaman dilakukan dengan syarat lunak (setelah dikurangi pembayaran pokok) dan hibah oleh lembaga/negara donor untuk mempromosikan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan di negara-negara dan wilayah tersebut. Inflasi Inflasi diukur dengan indeks harga konsumen yang mencerminkan perubahan persentase tahunan biaya untuk memperoleh konsumsi ratarata sekeranjang barang dan jasa yang dapat berubah pada selang waktu tertentu, biasanya per tahun. Rumus Laspeyres umumnya digunakan untuk menghitung inflasi tahunan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sesuai dengan teori tentang MIT yang dikemukakan oleh Felipe (2012), Indonesia di tahun 2013 sudah memasuki tahun ke-28 dalam kategori lower-middle income dan hingga tahun 2013 tidak bisa memenuhi rata-rata pertumbuhan PDB per kapita sebesar 14,8% per tahun untuk mencapai PNB per kapita US$ 7,250 (batas bawah upper-middle-income), dimana rata-rata pertumbuhan PDB per kapita Indonesia tahun 2011-2013 hanya 4,86% (BPS, 2014). Dengan demikian, Indonesia di tahun 2014 sudah terperangkap di dalam MIT.
95
ANALISIS MIDDLE-INCOME TRAP DI INDONESIA Aprisal W. Malale, Maung Agus Sutikno
Tabel 4. Hasil Analisis Regresi
Tabel 4. Klasifikasi Pendapatan Negara-negara ASEAN Negara
PNB Per Kapita US$(2013)
Indonesia
3,580
Kamboja
950
Laos
1,460
Malaysia
10,400
Filipina
3,270
Singapura
54,040
Thailand
5,370
Vietnam
1,730
Kategori Lower-MiddleIncome
28
Low-Income
6
Lower-Middle Income Upper-MiddleIncome Lower-MiddleIncome High-Income Upper-Middle Income Lower-MiddleIncome
Dependent Variable: LOG(Y)
Jumlah tahun
Sample (adjusted): 1972 2012 Included observations: 41 after adjustments
Variable
61
Std. Error
t-Statistic
Prob.
15
C
11.01759
1.410919
7.808804
0.0000
34
X1
0.014265
0.024597
0.579954
0.5684
X1(-1)
0.019693
0.020501
0.960554
0.3482
X1(-2)
-0.057168
0.017046
-3.353661
0.0032
X1(-3)
-0.033782
0.014019
-2.409706
0.0257
0.073430
0.023005
3.191841
0.0046
X2(-1)
-0.009684
0.025052
-0.386537
0.7032
X2(-2)
-0.046585
0.022254
-2.093281
0.0493
X2(-3)
-0.038349
0.015650
-2.450428
0.0236
0.024897
0.051406
0.484321
0.6334
X3(-1)
-0.000201
0.038838
-0.005181
0.9959
X3(-2)
-0.098684
0.044686
-2.208382
0.0391
X3(-3)
-0.018062
0.034798
-0.519055
0.6094
X4
-0.475639
0.124211
-3.829289
0.0010
X4(-1)
0.008709
0.119639
0.072796
0.9427
X4(-2)
0.117530
0.105556
1.113443
0.2787
X4(-3)
23 7 9
X2
Sumber: World Bank, 2014 (Diolah)
Sebelum dilakukan regresi berganda atas data yang telah dikumpulkan, dilakukan uji stasioneritas atas 5 variabel. Hasil uji stasioneritas adalah sebagaimana terdapat pada tabel 4 pada lampiran Analisis MIT dilanjutkan dengan melakukan analisis regresi berganda untuk melihat pengaruh lima variabel terhadap PNB per kapita di Indonesia. Hasil analisis regresi berganda 5 variabel makroekonomi menunjukkan pengaruh terhadap tingkat PNB Per Kapita di Indonesia yang digunakan sebagai tolak ukur pengklasifikasian Indonesia sebagai negara Middle Income. Hasil estimasi dari model regresi ini adalah sebagaimana tercantum dalam tabel 4. Berdasarkan tabel 4, dengan derajat keyakinan 95% maka dapat diketahui bahwa variabel-variabel yang berpengaruh signifikan terhadap variable Y (PNB Per Kapita) adalah sebagai berikut: 1. Variabel X1 dengan lag 2 tahun dan Variabel X1 dengan lag 3 tahun yaitu variabel Nilai Ekspor Barang dan Jasa 2. Variabel X2 tanpa lag, Variabel X2 dengan lag 2 tahun, dan Variabel X2 dengan lag 3 tahun yaitu Variabel Pembentukan Modal Bruto 3. Variabel X3 dengan lag 2 tahun yaitu Nilai Tambah Pertanian 4. Variabel X4 tanpa lag yaitu Variabel Bantuan dan Asistensi Luar Negeri.
X3
𝒀𝒊 = 𝟏𝟏. 𝟎𝟏𝟕𝟓𝟗 − 𝟎. 𝟎𝟓𝟕𝟏𝟔𝟖𝑿𝟏𝒊 𝒕−𝟐 − 𝟎. 𝟎𝟑𝟑𝟕𝟖𝟐𝑿𝟏𝒊 𝒕−𝟑 + 𝟎. 𝟎𝟕𝟑𝟒𝟑𝟎𝑿𝟐𝒊 − 𝟎. 𝟎𝟒𝟔𝟓𝟖𝟓𝑿𝟐𝒊 𝒕−𝟐 − 𝟎. 𝟎𝟑𝟖𝟑𝟒𝟗𝑿𝟐𝒊 𝒕−𝟑 − 𝟎. 𝟎𝟗𝟖𝟔𝟖𝟒𝑿𝟑𝒊 𝒕−𝟐 − 𝟎. 𝟒𝟕𝟓𝟔𝟑𝟗𝑿𝟒𝒊
Dalam keadaan ceteris paribus (dimana variabelvariabel lain dalam keadaan konstan), dapat diketahui hal-hal sebagai berikut: 1. Kenaikan 1% pada Variabel Ekspor Barang dan Jasa di 2 tahun sebelumnya berpengaruh terhadap penurunan PNB Per Kapita sebesar 0.057168% di tahun berjalan;
-0.119389
0.113454
-1.052310
0.3052
X5
0.006738
0.012144
0.554866
0.5851
X5(-1)
0.002193
0.009309
0.235589
0.8161
X5(-2)
0.008795
0.008686
1.012569
0.3234
X5(-3)
-0.005325
0.007007
-0.760032
0.4561
R-squared Adjusted Rsquared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(Fstatistic)
Berdasarkan signifikansi variabel-variabel di atas, maka dapat dilihat hasil estimasi persamaan regresi sebagai berikut:
96
Coefficient
0.972841 0.945683
Mean dependent var S.D. dependent var
6.523968 0.766953
0.178746
Akaike info criterion
-0.299147
0.639006
Schwarz criterion
0.578537
27.13250
Hannan-Quinn criter.
0.020457
35.82078 0.000000
Durbin-Watson stat
1.620736
Sumber: Hasil olah data penulis
2.
3.
4.
Kenaikan 1% pada Variabel Ekspor Barang dan Jasa di 3 tahun sebelumnya berpengaruh terhadap penurunan PNB Per Kapita sebesar 0.033782% di tahun berjalan; Kenaikan 1% pada Variabel Pembentukan Modal Bruto di tahun berjalan berpengaruh terhadap kenaikan PNB Per Kapita sebesar 0.073430% di tahun berjalan; Kenaikan 1% pada Variabel Pembentukan Modal Bruto di 2 tahun sebelumnya berpengaruh
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
ANALISIS MIDDLE-INCOME TRAP DI INDONESIA Aprisal W. Malale, Maung Agus Sutikno
5.
6.
7.
8.
terhadap penurunan PNB Per Kapita sebesar 0.046585% di tahun berjalan; Kenaikan 1% pada Variabel Pembentukan Modal Bruto di 3 tahun sebelumnya berpengaruh terhadap penurunan PNB Per Kapita sebesar 0.038349% di tahun berjalan; Kenaikan 1% pada Variabel Nilai Tambah Pertanian di 2 tahun sebelumnya berpengaruh terhadap penurunan PNB Per Kapita sebesar 0.098684% di tahun berjalan; Kenaikan 1% pada Variabel Bantuan dan Asistensi Luar Negeri di tahun berjalan berpengaruh terhadap Penurunan PNB Per Kapita sebesar 0.475639% di tahun berjalan. Variabel Inflasi Tahunan tidak berpengaruh signifikan terhadap PNB Per Kapita.
Variabel-variabel X yang berpengaruh signifikan terhadap pergerakan Variabel Y secara mayoritas bertanda minus (-) kecuali Variabel Pembentukan Modal Bruto. Hal ini tidak serta merta berarti Pemerintah harus mengurangi atau membatasi nilai variabel-variabel X dengan tujuan untuk meningkatkan Variabel Y. Namun sebaliknya, pemerintah harus mulai memperhatikan sektor-sektor ini agar dapat memberikan sumbangsih pengaruh untuk meningkatkan PNB per kapita. Meskipun baru saja masuk ke dalam jebakan MIT, namun berdasarkan analisis regresi, variabel-variabel X yang selama ini dibuktikan oleh penelitian terdahulu sebagai variabel yang mendukung pertumbuhan PNB per kapita di banyak negara, ternyata berpengaruh negatif bagi Indonesia. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah sebagai regulator dan eksekutor kebijakan-kebijakan makroekonomi di Indonesia. Ketergantungan terhadap ekspor yang berlebihan telah memberikan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan PNB per kapita di Indonesia (World Bank, 2014). Hal ini dapat dilihat dengan melonjaknya ekspor komoditas selama 10 tahun terakhir yang diikuti dengan menurunnya ekspor manufaktur di saat yang bersamaan (BPS, 2014). Ketergantungan ekspor dengan menjual komoditas di Indonesia tidak secara berkelanjutan membawa pondasi kesejahteraan secara signifikan, bahkan sebaliknya memberikan pengaruh negatif karena tereksploitasinya sumber-sumber daya mentah di Indonesia yang tidak mengalami penambahan nilai (value added) di dalam negeri sehinga tidak memberikan sustainability welfare. Pembentukan modal bruto memberikan pengaruh positif yang signifikan selama tahun berjalan, sedangkan pada tahun ke-2 dan tahun ke-3 memberikan pengaruh negatif terhadap PNB per kapita. Hal ini menunjukkan adanya ketidakstabilan pembentukan modal bruto di Indonesia. Pertambahan nilai aset tetap yang terjadi di Indonesia dapat dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya iklim investasi dan kemudahan berusaha (Poesoro, 2005). Dengan semakin tingginya nilai impor hasil-hasil pertanian semenjak tahun 1996, maka semakin turun pula kemampuan bersaing petani domestik Indonesia. Meskipun dengan nilai tambah pertanian yang tetap
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
bertambah setiap tahun, namun pertumbuhannya tidaklah sebanding dengan pertumbuhan impor hasilhasil pertanian (BPS, 2013). Hal ini kemudian menyebabkan nilai tambah pertanian Indonesia tidak dapat memberikan nilai tambah PNB per kapita bagi petani. Pengaruh negatif yang diberikan oleh bantuan dan asistensi luar negeri disebabkan oleh bantuan dan asistensi yang tidak berfokus pada kebutuhan masyarakat (Bovard, 1986). Hal ini menimbulkan inefektifitas dan inefisiensi bantuan sehingga manfaat dari bantuan tersebut tidak optimal dan tidak tepat sasaran. World Bank (2014) dalam publikasi berjudul Indonesia: Avoiding the Trap menyebutkan bahwa Indonesia dalam menghindari jebakan MIT harus bisa memanfaatkan momentum keuntungan demografi yang saat ini sedang bergulir. Salah satu contoh nyata dari demografi yang menguntungkan yaitu dengan tersedianya tenaga kerja yang berlimpah, dimana antara tahun 2013 sampai dengan 2020, populasi usia kerja di Indonesia akan meningkat 14,8 juta menjadi 189 juta. Bila dimanfaatkan dengan optimal, bonus demografi ini akan memberikan lonjakan produktivitas dan peningkatan ekonomi yang lebih agresif dengan berinvestasi pada peningkatan jumlah tenaga kerja yang terampil dan menguasai teknologi. Pemerintah saat ini sudah mempunyai program kerja dalam rangka peningkatan ekonomi Indonesia yang disebut Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). MP3EI merupakan program ambisius pemerintah untuk menjadikan Indonesia salah satu negara maju pada tahun 2025. Pada tahun tersebut, Indonesia diharapkan mempunyai pendapatan per kapita antara US$ 14.250-US$ 15.500 serta total GDP sebesar US$ 4 triliun-US$ 4,5 triliun. Untuk mencapai cita-cita tersebut, Pemerintah mempunyai fokus pada tiga hal yaitu: Meningkatan nilai tambah dan meluaskan value chain untuk proses produksi, serta meningkatkan efisiensi dari jaringan distribusi. Dengan demikian meningkatkan kemampuan industri dalam mendapatkan dan menggunakan sumber daya alam ataupun sumber daya manusia dengan maksimal. Mendorong adanya efisiensi dalam proses produksi dan meningkatkan usaha pemasaran untuk mengintegrasikan lebih lanjut dalam rangka menciptakan ekonomi nasional yang kompetitif dan kuat. Menekankan pada penguatan sistem inovasi nasional dalam area proses produksi dan pemasaran dengan fokus pada penguatan keseluruhan dari kompetitif global menuju ekonomi yang digerakan oleh inovasi. Terkait tiga hal tersebut di atas, diperlukan kerja sama pemerintah dengan pihak swasta, BUMN, serta pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kerjasama tersebut diiringi dengan pembangunan infrastruktur berkualitas yang juga dapat dilakukan oleh pemerintah
97
ANALISIS MIDDLE-INCOME TRAP DI INDONESIA Aprisal W. Malale, Maung Agus Sutikno
bekerja sama dengan pihak swasta atau yang dikenal dengan istilah skema public-private partnership (PPP). MP3EI dijalankan oleh pemerintah di enam koridor ekonomi. Koridor ekonomi ini didasarkan pada potensi dan keunggulan yang melekat pada masingmasing daerah. MP3EI ini mempunyai enam koridor ekonomi yaitu sebagai berikut: Sumatra
Jawa Kalimantan
Sulawesi
Bali-Nusa Tenggara PapuaMaluku
Pusat produksi dan pengolahan sumber daya alam dan cadangan energi nasional Penggerak industri nasional dan penyediaan industri jasa pelayanan Pusat produksi dan pengolahan cadangan energi dan pertambangan nasional Pusat produksi dan pengolahan pertanian, perkebunan, perikanan, minyak dan gas, serta pertambangan Pembuka pintu untuk perkembangan pariwisata dan penyokong pangan nasional Pusat pengembangan pangan, perikanan, energi, serta pertambangan nasional
World Bank (2014), merekomendasikan 4 area kebijakan yang perlu diambil untuk meningkatkan pertumbuhan PNB per kapita Indonesia, yaitu: 1. Meningkatkan pertumbuhan produktivitas, Yaitu mengurangi perbedaan pemerataan pembangunan infrastruktur, ketrampilan/keahlian, dan memperbaiki fungsi pasar. Keahlian di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan harus ditingkatkan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi yang akan menuju kepada knowledge-based economy (Wing Thye Woo, 2009). 2. Pemerataan kesejahteraan yang lebih luas Tiga langkah pemerataan kesejahteraan yang lebih luas yaitu: (i) Meningkatkan kualitas pelayanan untuk semua kalangan atau secara inklusif; (ii) Menguatkan perlindungan sosial; dan (iii) Mengatur risiko bencana alam dan membangun ketahanan. 3. Inisiatif pilihan pendanaan Menginisiasi pembiayaan lainnya yang lebih strategis sangat dibutuhkan dalam peningkatan ekonomi. Contoh pembiayaan yang tidak strategis yaitu adanya subsidi BBM yang besar sehingga membebani APBN. Akan lebih baik jika dana subsidi tersebut dialihkan ke pengembangan infrastruktur, perlindungan risiko kesehatan yang lebih besar bagi rakyat, serta bantuan sosial untuk para rakyat miskin. 4. Memperkuat implementasi Implementasi yang kuat dan efektif sangat menghemat tenaga dan dana dalam menjalankan suatu program kerja. Implementasi yang baik dalam menjalankan agenda meliputi peran yang baik oleh pemerintah pusat, birokrasi yang akuntabel, pengelolaan sumber daya manusia yang lebih strategis, perencanaan dan penganggaran yang lebih baik, dan akuntabilitas yang kuat dalam pelayanan di tingkat pelayanan daerah. 98
5.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Indonesia telah terjebak dalam Middle Income Trap. Salah satu penyebab hal ini yaitu ketidakmampuan Indonesia untuk mencapai target pertumbuhan PDB per kapita 14,8% per tahun selama tahun 2011-2013. Pertumbuhan Indonesia hanya 4,86% per tahun. Tahun 2013 merupakan batas waktu minimal untuk Indonesia menetap sebagai negara middle income. Selain itu berdasarkan hasil dan analisis yang dilakukan menggunakan kurun waktu selama 45 tahun, dapat disimpulkan bahwa Variabel Ekspor Barang dan Jasa, Nilai Tambah Pertanian, serta Bantuan dan Asistensi Luar Negeri (dengan lag atau tanpa lag) secara signifikan berpengaruh negatif terhadap PNB per kapita. Variabel Pembentukan Modal Bruto secara signifikan berpengaruh positif (di tahun berjalan) dan berpengaruh negatif (di 2 dan 3 tahun sebelumnya) terhadap PNB per kapita di tahun berjalan. Variabel inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap PNB per kapita. Saran penelitian ini bagi Pemerintah adalah perlunya mengambil kebijakan dan langkah strategis untuk mengeluarkan Indonesia dari Middle Income Trap, salah satunya dengan berfokus pada peningkatan produktivitas Indonesia dengan mendorong tumbuhnya knowledge-based economy dan pengentasan kemiskinan untuk pemerataan kesejahteraan yang lebih tepat sasaran. Selain itu, Pemerintah dapat mengambil kebijakan-kebijakan strategis di antaranya: 1. Memberikan perhatian khusus pada sektor ekspor komoditas. Ketergantungan pada sektor ini terbukti tidak memberikan kontribusi terhadap peningkatan PNB Per Kapita Indonesia. Pemerintah dapat menetapkan regulasi ataupun pengetatan/pembatasan ekspor komoditas 2. Menumbuhkan iklim investasi dan kemudahan berusaha. Pemerintah berperan penting untuk menjaga agar iklim investasi di Indonesia tetap stabil dan kemudahan berusaha semakin digalakkan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memangkas jalur birokrasi untuk membuka usaha/berinvestasi di Indonesia, memberantas korupsi, dan mempermudah pelayanan kepada investor. 3. Memberdayakan petani Indonesia agar menghasilkan produk pertanian yang berdaya saing, selain itu Pemerintah dapat mendukung usaha tani Indonesia dengan optimalisasi subsidi pupuk dan subsidi benih 4. Melakukan pengawasan terhadap bantuan luar negeri agar tepat sasaran dan sesuai kebutuhan. Pengawasan dapat pula didukung oleh masyarakat, asalkan pemerintah mau mempublikasikan data/laporan terkait bantuan luar negeri ini sebagai informasi publik. 5. Kenaikan PNB per kapita, berdasarkan penelitian ini bisa dilakukan dengan menaikan pembentukan
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
ANALISIS MIDDLE-INCOME TRAP DI INDONESIA Aprisal W. Malale, Maung Agus Sutikno
modal bruto di tahun berjalan. Pembentukan modal bruto dapat pemerintah lakukan dengan pembangunan infrastruktur.
6.
IMPLIKASI DAN KETERBATASAN
Penelitian ini terbatas dengan menggunakan beberapa variabel makroekonomi yang datanya tersedia dan dapat diakses oleh peneliti. Implikasinya adalah penelitian ini tidak dapat memberikan gambaran mengenai pengaruh variabel-variabel lain terhadap perubahan PNB per kapita di Indonesia, khususnya variabel kualitatif yang sulit diukur nilainya. Keterbatasan penelitian selanjutnya yaitu penulis tidak mengakomodasi break pada data yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggali pengaruh variabel-variabel seperti belanja pemerintah, Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Kebebasan, Indeks Persepsi Korupsi, Tingkat Keterbukaan Informasi Publik. Penulis juga menyarankan agar penelitian selanjutnya menggunakan metode regresi logistik dengan menggunakan dummy variable sebagai variabel dependen (Variabel Y).
DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 2014. ASIA 2050, Realizing the Asian Century. Diakses tanggal 19 Juli 2014. Auerbach, A.J., 2002. Investment. http://www.econlib.org/library/Enc1/Invest ment.html# diakses tanggal 17 Agustus 2014. Anyanwu, Sixtus et al., 2010. Agriculture Share of the Gross Domestic Product and its Implications for Rural Development. Report and Opinion 2010;2(8) Aviliani, Siregar, H., Hasanah, H., 2014. Addressing the Middle-Income Trap: Experience of Indonesia. Asian Social Science Volume 10 No.7 p 163172. Caldentey, E.P., 2012. Income Convergence Capability Divergence, and the Middle Income Trap: An Analysis of the Case of Chile. Springer Science + Business Media No.47 p 185-207. Ekanayake E.M., 2007. The Effect of foreign aid on economic growth in developing countries. Journal of International Business and Cultural Studies Felipe, J., 2012. Tracking the Middle-Income Trap: What is it, Who is in It, and Why? ADB Economics Working Paper Series Part 1 No.306 p 1-38. Felipe, J., 2012. Tracking the Middle-Income Trap: What is it, Who is in It, and Why? ADB Economics Working Paper Series Part 2 No.307 p 1-24. Gylfason, Thorvaldur. 2001. Does Inflation Matter for Growth?. Japan and The World Economy 13(2001) 405-428
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
Hidalgo, C.A., Hausmann, R., 2009. The Building Blocks of Economic Complexity. PNAS Volume 106 No.26 p 10570-10575. Mankiw, N.G., 2007. Principles of Economics. Ohio: Thomson South-Western. McKinsey Global Institute, 2012. The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential. McKinsey & Company p 1-101. Mottaleb, K.A., 2007. Determinants of Foreign Direct Investment and Its Impact on Economic Growth in Developing Countries.Munich Personal RePEc Archive No.9457 p 1-15 Ohno, K., 2010. Avoiding the Middle Income Trap: Renovating Industrial Policy Formulation in Vietnam. ASEAN Economic Bulletin Volume 26 No.1 p 25-43. Paus, E., 2012. Confronting the Middle Income Trap: Insights from Small Latecomers. Springer Science + Business Media No.47 p 115-138. Poesoro, Awan Wibowo L. (2005). Membangkitkan Investasi di Indonesia. http://theindonesianinstitute.com. Diakses pada 17 Agustus 2014 Woo, W.T., 2009. Getting Malaysia Out of the MiddleIncome Trap. University of California, Davis. World Bank, 2014. GNI per Capita Growth (annual %). http://data.worldbank.org/indicator/NY.GNP. PCAP.KD.ZG diakses tanggal 17 Agustus 2014. World Bank, 2014. Indonesia. http://data.worldbank.org/country/indonesia diakses tanggal 17 Agustus 2014. World Bank, 2014. Indonesia: Menghindari Perangkap. Kajian Kebijakan Pembangunan 2014 p 1-174. World Bank, 2014. Investasi yang Tak Menentu. Indonesia Economic Quarterly p 1-59. World Bank, 2013. New Country Classification.
http://data.worldbank.org/news/newcountry-classifications diakses tanggal 17 Agustus 2014.
99
ANALISIS MIDDLE-INCOME TRAP DI INDONESIA Aprisal W. Malale, Maung Agus Sutikno
LAMPIRAN Tabel 1. Perbandingan PDB dan Jumlah Tahun sebelum Terjebak MIT
Negara
Kamboja India Indonesia Myanmar Pakistan Vietnam Honduras Mozambique
PDB per kapita tahun 2010 (menurut PPP 1990) 2,529 3,407 4,790 3,301 2,344 3,262 2,247 2,362
Jumlah tahun di Middle Income sampai dengan 2010
Jumlah tahun sebelum masuk ke MIT*
Rata-rata pertumbuhan per tahun (%) 2000-2010
9 9 25 7 6 9 11 4
22 19 3 21 22 19 17 24
8.2 6.1 3.9 9 2.6 6.1 1.6 5.8
Rata-rata pertumbuhan per kapita (%) untuk mencapai $7,250** 4.9 4.1 14.8 3.8 5.3 4.3 87.1 4.8
*Dihitung dengan cara (28 tahun – jumlah tahun berada di kategori Middle Income hingga 2010) **Rata-rata pertumbuhan yang dibutuhkan unuk mencapai $7,250 dari tingkat pendapatan di tahun 2010 sebelum masuk ke MIT PDB=Produk Domestik Bruto PPP=Purchasing Power Parity Sumber: Felipe, 2012
Tabel 1. Perbandingan Pencapaian Indonesia dengan Negara-negara lain di Dunia
Rank 1
PDB 2011 harga berlaku (triliun dollar) 15.1
2 3 4 5 6
Amerika Serikat China Jepang Jerman Perancis Brazil
7 8 9 10 11
Inggris Italia Rusia Kanada India
2.4 2.2 1.9 1.7 1.7
12
Spanyol
1.5
13 14 15 16
Australia Meksiko Korea Selatan Indonesia
17 18
Belanda Turki
7.3 5.9 3.6 2.8 2.5
Pertumbuhan PDB Riil Tahun 20002010 (%) China
11.5
India Indonesia Rusia Slovakia Korea Selatan Turki Polandia Estonia Chili Brazil
7.7 5.2 4.9 4.9 4.2
3.5
1.5 1.2 1.1
Afrika Selatan Rep. Czech Israel Australia
0.8
Slovenia
2.8
0.8 0.8
Luxemburg Selandia Baru
2.8 2.6
4 3.9 3.8 3.7 3.6
3.4 3.1 3.1
Standar Deviasi Pertumbuhan PDB Tahun 2000-2010 (%) Indonesia 0.86
Rasio Utang terhadap PDB tahun 2009 (%) Rusia
8.7
Tingkat Inflasi Tahun 2011 Jepang
-2.0 -0.7 -0.4 0.7 0.7 0.8
Australia Portugal Norwegia Perancis Selandia Baru Belgia Swiss Kanada India Korea Selatan Polandia
0.95 1.48 1.56 1.59 1.70
Estonia Luxemburg China Australia Indonesia*
9.0 12.9 16.5 24.1 25.0
Rep. Czech Irlandia Jerman Swiss Slovenia
1.74 1.78 1.82 1.85 1.98
Rep. Czech Norwegia Slovakia Denmark Swedia
32.0 35.4 38.2 40.8 44.2
Denmark Swedia Portugal Italia Belanda
0.9 0.9 1.0 1.3 1.4
2.00
Spanyol
46.4
Spanyol
1.6
China Belanda Amerika Serikat Afrika Selatan Austria Italia
2.02 2.09 2.10
Jerman Polandia Turki
47.6 48.1 51.4
Perancis Yunani Rep. Slovak
1.6 1.6 1.6
2.14
Kanada
53.1
7.8
2.14 2.17
India Belanda
53.7 58.2
(36) Afrika Selatan (38) Indonesia (39) Turki
8.4 9.0
Keterangan: *berdasarkan tingkat utang pada tahun 2011 Sumber: Basis Data Conference Board Total Economy; IMF; World Bank; McKinsey
100
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
ANALISIS MIDDLE-INCOME TRAP DI INDONESIA Aprisal W. Malale, Maung Agus Sutikno
Tabel 1. Peringkat Negara-negara di Dunia
Country Switzerland Singapore Finland Germany United States Sweden Hongkong SAR Netherlands Japan United Kingdom Norway Taiwan, China Qatar Canada Denmark Austria Belgium New Zealand UAE Saudi Arabia Australia Luxembourg France Malaysia Korea Rep. Brunei Israel Ireland China Puerto Rico Iceland Estonia Oman Chile Spain Kuwait Thailand Indonesia Azerbaijan Panama Malta Poland Bahrain Turkey Mauritius Czech Rep. Barbados Lithuania Italy Kazakhstan
Rank (out of 148) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
GCI 2013-2014 Rank among Score (1-7) 2012-2013 economies* 5.67 1 5.61 2 5.54 3 5.51 4 5.48 5 5.48 6 5.47 7 5.42 8 5.40 9 5.37 10 5.33 11 5.29 12 5.24 13 5.20 14 5.18 15 5.15 16 5.13 17 5.11 18 5.11 19 5.10 20 5.09 21 5.09 22 5.05 23 5.03 24 5.01 25 4.95 26 4.94 27 4.92 28 4.84 29 4.67 30 4.66 31 4.65 32 4.64 33 4.61 34 4.57 35 4.56 36 4.54 37 4.53 38 4.51 39 4.50 40 4.50 41 4.46 42 4.45 43 4.45 44 4.45 45 4.43 46 4.42 47 4.41 48 4.41 49 4.41 50
GCI 20122013 1 2 3 6 7 4 9 5 10 8 15 13 11 14 12 16 17 23 24 18 20 22 21 25 19 28 26 27 29 31 30 34 32 33 36 37 38 50 46 40 47 41 35 43 54 39 44 45 42 51
Sumber: WEF Competitiveness Report, 2013
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
101
ANALISIS MIDDLE-INCOME TRAP DI INDONESIA Aprisal W. Malale, Maung Agus Sutikno
Tabel 3. Data Tahunan Variabel-variabel Tahun
Variabel Y PNB Per Kapita (USD)
1969 80 1970 90 1971 90 1972 100 1973 120 1974 170 1975 240 1976 290 1977 330 1978 390 1979 430 1980 510 1981 580 1982 600 1983 580 1984 560 1985 530 1986 530 1987 520 1988 540 1989 560 1990 620 1991 620 1992 680 1993 810 1994 890 1995 1000 1996 1110 1997 1110 1998 670 1999 580 2000 570 2001 680 2002 730 2003 910 2004 1090 2005 1230 2006 1390 2007 1610 2008 1950 2009 2160 2010 2500 2011 2920 2012 3420 2013 3580 Sumber: World Bank, 2014
102
Variabel X1 Ekspor Barang dan Jasa (% terhadap PDB) 9.451394 13.451007 15.037667 17.493724 21.039408 29.795545 24.008846 24.529855 24.844468 22.912540 30.562360 34.178997 29.040221 25.303294 26.342518 25.587111 22.200731 19.487236 23.934258 23.776021 24.286648 25.328513 25.797239 27.891437 26.754788 26.511428 26.312165 25.824552 27.859263 52.968135 35.514129 40.977309 39.032133 32.687621 30.477656 32.216693 34.067267 31.034716 29.435718 29.808284 24.159120 24.580583 26.361662 24.293927 23.743012
Variabel X2 Pembentukan modal bruto (% terhadap PDB) 13.5784 15.8317 18.3738 21.8427 20.8088 19.5215 23.6643 24.1043 23.3837 23.8879 24.8260 24.0683 26.6941 27.7566 31.3208 26.8336 27.9574 29.5462 30.1935 28.8445 32.5640 30.6682 31.5540 30.4779 29.4784 31.0573 31.9281 30.6915 31.7513 16.7750 11.3674 22.2457 22.5393 21.4041 25.5985 24.0564 25.0814 25.4002 24.9203 27.8162 30.9852 32.3159 32.9018 34.7435 33.6420
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
ANALISIS MIDDLE-INCOME TRAP DI INDONESIA Aprisal W. Malale, Maung Agus Sutikno
Tabel 3. Data Tahunan Variabel-variabel (lanjutan) Tahun
Variabel X3 Agriculture, value added (% terhadap PDB) 1969 46.96003777 1970 44.94242101 1971 42.72434465 1972 38.3629095 1973 38.24901082 1974 31.12686401 1975 30.17749216 1976 29.65284961 1977 29.57554087 1978 28.09998861 1979 27.29387661 1980 23.97190952 1981 23.36288294 1982 23.94467361 1983 22.88592986 1984 22.71755877 1985 23.20694946 1986 24.22026645 1987 23.33017392 1988 22.48330201 1989 21.65809706 1990 19.41040263 1991 18.2566921 1992 18.67809847 1993 17.87982746 1994 17.28626174 1995 17.13835388 1996 16.67238699 1997 16.09212141 1998 18.08286038 1999 19.61266996 2000 15.60197123 2001 15.29026521 2002 15.45645173 2003 15.18534852 2004 14.33577983 2005 13.12661836 2006 12.97380272 2007 13.7166831 2008 14.48174026 2009 15.29014815 2010 15.28607319 2011 14.71114133 2012 14.50223815 2013 14.43242308 Sumber: World Bank, 2014
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
Variabel X4 Bantuan dan Asistensi dari Luar Negeri (% thd PDB) 3.735442547 4.816118062 5.942054941 4.299150062 3.568944933 2.425984322 2.135968035 1.695022791 1.059836514 1.16221253 1.304201425 1.206603404 1.045992676 0.947229529 0.864035254 0.76025734 0.683395572 0.879970289 1.632511841 1.830953391 1.804599508 1.499530292 1.423506649 1.415528176 1.222554593 0.875346936 0.643732704 0.470871948 0.373360035 1.313984807 1.516171067 1.001690619 0.912955978 0.666792357 0.754590214 0.051343872 0.886417715 0.361609046 0.209124247 0.24118239 0.19395272 0.196351948 0.049563106 0.007734516
Variabel X5 Inflasi Tahunan (%) 15.52059395 12.34889059 4.358485426 6.51265988 31.03786301 40.60220684 19.05426975 19.85922574 11.0365399 8.109469443 16.26028886 18.0171508 12.24437573 9.481448411 11.78728998 10.4555227 4.72939738 5.827196941 9.275490958 8.043166094 6.417660784 7.812677403 9.416131453 7.52573572 9.687785514 8.518497243 9.432054587 7.968480169 6.229896168 58.38708718 20.48911753 3.720024005 11.50209251 11.87875643 6.585719187 6.243520926 10.45195661 13.10941528 6.407448459 9.776585195 4.813524326 5.1327549 5.357499604 4.279511959 6.413386778
103
ANALISIS MIDDLE-INCOME TRAP DI INDONESIA Aprisal W. Malale, Maung Agus Sutikno
Tabel 4. Hasil Analisis Regresi Dependent Variable: LOG(Y) Method: Least Squares Date: 08/14/14 Time: 10:08 Sample (adjusted): 1972 2012 Included observations: 41 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
11.01759
1.410919
7.808804
0.0000
X1
0.014265
0.024597
0.579954
0.5684
X1(-1)
0.019693
0.020501
0.960554
0.3482
X1(-2)
-0.057168
0.017046
-3.353661
0.0032
X1(-3)
-0.033782
0.014019
-2.409706
0.0257
X2
0.073430
0.023005
3.191841
0.0046
X2(-1)
-0.009684
0.025052
-0.386537
0.7032
X2(-2)
-0.046585
0.022254
-2.093281
0.0493
X2(-3)
-0.038349
0.015650
-2.450428
0.0236
X3
0.024897
0.051406
0.484321
0.6334
X3(-1)
-0.000201
0.038838
-0.005181
0.9959
X3(-2)
-0.098684
0.044686
-2.208382
0.0391
X3(-3)
-0.018062
0.034798
-0.519055
0.6094
X4
-0.475639
0.124211
-3.829289
0.0010
X4(-1)
0.008709
0.119639
0.072796
0.9427
X4(-2)
0.117530
0.105556
1.113443
0.2787
X4(-3)
-0.119389
0.113454
-1.052310
0.3052
X5
0.006738
0.012144
0.554866
0.5851
X5(-1)
0.002193
0.009309
0.235589
0.8161
X5(-2)
0.008795
0.008686
1.012569
0.3234
X5(-3)
-0.005325
0.007007
-0.760032
0.4561
R-squared
0.972841 Mean dependent var
6.523968
Adjusted R-squared
0.945683 S.D. dependent var
0.766953
S.E. of regression
0.178746 Akaike info criterion
Sum squared resid
0.639006 Schwarz criterion
0.578537
Log likelihood
27.13250 Hannan-Quinn criter.
0.020457
F-statistic
35.82078 Durbin-Watson stat
1.620736
Prob(F-statistic)
0.000000
-0.299147
Sumber: Hasil olah data penulis
104
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
ANALISIS MIDDLE-INCOME TRAP DI INDONESIA Aprisal W. Malale, Maung Agus Sutikno
Hasil Uji Stasioner Variabel X1 Ekspor Barang dan Jasa (% terhadap PDB) stasioner pada diferensiasi tahap pertama (1st difference) Null Hypothesis: D(X1) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-9.218683 -3.592462 -2.931404 -2.603944
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(X1,2) Method: Least Squares Date: 12/03/14 Time: 21:03 Sample (adjusted): 1971 2013 Included observations: 43 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(X1(-1)) C
-1.344392 0.358225
0.145833 0.828278
-9.218683 0.432493
0.0000 0.6676
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.674562 0.666625 5.421340 1205.028 -132.6751 84.98412 0.000000
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.105826 9.389445 6.263958 6.345875 6.294167 2.098111
105
ANALISIS MIDDLE-INCOME TRAP DI INDONESIA Aprisal W. Malale, Maung Agus Sutikno
Hasil Uji Stasioner Variabel X2 Pembentukan modal bruto (% terhadap PDB) stasioner pada diferensiasi tahap pertama (1st difference) Null Hypothesis: D(X2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-6.697682 -3.592462 -2.931404 -2.603944
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(X2,2) Method: Least Squares Date: 12/03/14 Time: 21:10 Sample (adjusted): 1971 2013 Included observations: 43 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(X2(-1)) C
-1.044164 0.435931
0.155899 0.551227
-6.697682 0.790838
0.0000 0.4336
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
106
0.522473 0.510826 3.579440 525.3081 -114.8242 44.85894 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.078018 5.117799 5.433685 5.515601 5.463893 2.028909
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
ANALISIS MIDDLE-INCOME TRAP DI INDONESIA Aprisal W. Malale, Maung Agus Sutikno
Hasil Uji Stasioner Variabel X3 Nilai tambah pertanian (% terhadap PDB) Data sudah stasioner Null Hypothesis: X3 has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.287543 -3.588509 -2.929734 -2.603064
0.0014
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(X3) Method: Least Squares Date: 12/03/14 Time: 21:18 Sample (adjusted): 1970 2013 Included observations: 44 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
X3(-1) C
-0.100055 1.507459
0.023336 0.562182
-4.287543 2.681441
0.0001 0.0104
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.304440 0.287879 1.350656 76.61941 -74.63583 18.38302 0.000103
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.739264 1.600545 3.483447 3.564546 3.513523 2.341289
107
ANALISIS MIDDLE-INCOME TRAP DI INDONESIA Aprisal W. Malale, Maung Agus Sutikno
Hasil Uji Stasioner Variabel X4 Bantuan & Asistensi Luar Negeri (% thd PDB) stasioner pada diferensiasi tahap pertama (1st difference) Null Hypothesis: D(X4) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-6.043761 -3.596616 -2.933158 -2.604867
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(X4,2) Method: Least Squares Date: 12/03/14 Time: 21:22 Sample (adjusted): 1971 2012 Included observations: 42 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(X4(-1)) C
-0.887796 -0.104638
0.146895 0.076973
-6.043761 -1.359415
0.0000 0.1816
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
108
0.477309 0.464242 0.491797 9.674578 -28.76389 36.52705 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.026726 0.671895 1.464947 1.547693 1.495277 2.131062
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
ANALISIS MIDDLE-INCOME TRAP DI INDONESIA Aprisal W. Malale, Maung Agus Sutikno
Hasil Uji Stasioner Variabel X5 Inflasi (%) Data sudah stasioner Null Hypothesis: X5 has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.785271 -3.588509 -2.929734 -2.603064
0.0003
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(X5) Method: Least Squares Date: 12/03/14 Time: 21:30 Sample (adjusted): 1970 2013 Included observations: 44 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
X5(-1) C
-0.707517 8.246326
0.147853 2.296356
-4.785271 3.591049
0.0000 0.0009
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.352839 0.337430 9.732208 3978.067 -161.5293 22.89882 0.000021
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.206982 11.95627 7.433148 7.514247 7.463223 1.901739
109
ANALISIS MIDDLE-INCOME TRAP DI INDONESIA Aprisal W. Malale, Maung Agus Sutikno
Hasil Uji Stasioner Variabel Y PNB Per Kapita (USD) stasioner pada diferensiasi tahap kedua (2nd difference) Null Hypothesis: D(Y,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic - based on SIC, maxlag=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.407188 -3.596616 -2.933158 -2.604867
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(Y,3) Method: Least Squares Date: 12/03/14 Time: 21:34 Sample (adjusted): 1972 2013 Included observations: 42 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(Y(-1),2) C
-1.276018 7.029729
0.172267 18.10468
-7.407188 0.388282
0.0000 0.6999
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
110
0.578355 0.567813 116.6065 543883.4 -258.4407 54.86644 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-7.857143 177.3729 12.40194 12.48468 12.43227 1.886907
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014, Halaman 111-122 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
FORECASTING INDONESIAN MONEY DEMAND FUNCTION WITH AUTOREGRESSIVE DISTRIBUTED LAG (ARDL)MODEL Matondang Elsa Siburian Direktorat Jenderal Pajak, Indonesia. Email:
[email protected]
ARTICLE INFORMATION
ABSTRACT
ARTICLE HISTORY Received 3 March 2014
This study analyzes the demand for money in Indonesian economy using autoregressive distributed lag (ARDL) cointegration model. The determinant variables used in this study are real income, inflation, exchange rates, and dummy variables for capturing financial shocks in domestic economy. The empirical results show that the coefficient of the determinants provide a significant and expected result; in the M1 money demand model exists a significant evidence of cointegration relationship between M1 and its determinant variables. M1 Model passes necessary diagnostic and stability test and show a satisfied forecasting result with small deviation from its actual value. On the other hand, M2 money demand model shows no evidence of long-run relationship and fail to pass the stability test. This results show the empirical evidence that M1 is more reliable to use as a money demand variable to design an effective monetary policy in Indonesia.
Accepted to be published 28 November 2014 KEYWORDS: Money Demand, Indonesia, ARDL, Cointegration, Forecasting.
Studi ini menganalisis permintaan uang di Indonesia dengan menggunakan model kointegrasi autoregressive distributed lag (ARDL). Variabel determinan yang digunakan adalah pendapatan riil, inflasi, nilai tukar, dan variabel dummy untuk mengakomodasi financial shocks dalam ekonomi domestik. Hasil studi empirik membuktikan bahwa variabel-variabel determinan menunjukkan hasil sesuai dengan yang diharapkan dan cukup signifikan; pada model permintaan uang M1 terdapat hubungan kointegrasi yang cukup signifikan antara M1 dan determinannya. Model M1 telah lulus uji diagnostic dan uji stabilitas serta menunjukkan deviasi yang kecil antara angka prakiraan dengan angka aktualnya. Disisi lain, model permintaan uang M2 tidak menunjukkan keberadaan hubungan jangka panjang dan tidak dapat melalui uji stabilitas dengan baik. Hasil tersebut merupakan bukti empirik yang mengindikasika bahwa untuk merancang kebijakan moneter yang efektif, M1 lebih handal untuk digunakan sebagai variabel permintaan uang di Indonesia.
1.
INTRODUCTION
Money demand can be used as an important indicator for economic growth in a country. The ability to determine money demand is one significant factor to perform optimum monetary policy. When the output of one economy is increasing, money demand is also increasing due to the increase of the transaction and consumption. On the other hand, when interest rate is increasing, people are more willing to hold other asset that gives return instead of money that has zero return. The demand for money depends on the choices made by the economic actors on their portfolio problem. This problem can be solved by choosing optimum allocation of wealth either on money or on non-monetary assets. Both have their own positive and negative aspects. Money has the liquidity to perform transactions, but it does not earn any interest, while non-monetary asset is on the other way round. In other words, the decision to hold money depends on how much people value liquidity over return.
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
Several studies have been conducted on money demand on different economy. Studies conducted on developed economy such are: United States (Hafer and Jansen (1991), McNown and Wallace (1992)); Germany (von Hagen (1993), Hansen and Kim (1995)), Bahmani-Oskooee and Bohl (2000)); United Kingdom (Adam (1991) and Johansen (1992)); Japan (Bahmani-Oskooee and Shabsigh (1996)). However, there are also studies on developing economy such are: Iran (Bahmani-Oskooee (1996)), ShrestaniRenani (2007); Rusia (Bahmani-Oskooee and Barry (2000)); Yugoslavia (Frenkel and Taylor (1993)); Cambodia (Samreth (2008)), and China (Hafer&Kutan (1994)). The silver lining of the finding on those studies is the existence of cointegration relation between broad money (M2) with interest rate and income using Johansen (1988) and Johansen and Juselius (1990) cointegrating techniques. As for Indonesian economy, several studies have been conducted with different results. Price and Insukindro (1994) conducted Engle-Granger, Johansen, and error correction (ECM) on periode 1969Q1-1987Q4 and found that the existence of 111
FORECASTING INDONESIAN MONEY DEMAND FUNCTION WITH AUTOREGRESSIVE DISTRIBUTED LAG (ARDL)MODEL Matondang Elsa Siburian
cointegration relationship is different with different methods. Lestano, Jacobs and Kuper (2009) used autoregressive distributed lag (ARDL) model using period 1980Q1-2004Q2 and found that narrow money (M1) is more stable than broad money (M2) using real domestic income, nominal domestic interest rate, nominal foreign interest rate, and real exchange rate as the independent variables. Achsani (2010), in his study on stability of money demand in Indonesia for period 1990Q1-2008Q3, performed vector error correction model (VECM) and ARDL model using real income, interest rate, and error term as the independent variables. He found that ARDL model is more appropriate in predicting Indonesian money demand (proxies by M2). The objectives of this study are: 1) to reveal the cointegrating relationship of both M1 (narrow money) and M2 (broad money) with their determinant variables such as real income, inflation rate and exchange rate with ARDL model, 2) to determine the stability of M1 and M2 model, 3) to find the effect of exchange rates in domestic money demand, and 4) to forecast the amount of M1 and M2. The significance of this paper is to fill in the gap of previous studies on Indonesian money demand. There are 2 (two) distinguished features introduce in this study; the first is the inclusion of inflation rate (as the proxy for opportunity cost) as one of the independent variable instead of interest rate as previously used in other studies of money demand in Indonesian economy; the second is providing forecast results of each model for money demand in Indonesian economy with its determinant variables.
2.
LITERATURE REVIEW AND HYPOTHESIS
2.1. Money Demand Function On macroeconomic theory, money demand depends on several factors such are income and the allocation of wealth faced by people in holding money or other monetary assets. The function of money demand is: 𝑀𝑑
𝑦
= 𝐿(𝑖) --(1) 𝑃 Money demand increases with nominal income and negatively depends on the interest rate. Where〖 M〗^d is money demand; P is the price level; Y is real income; i is the opportunity cost or nominal interest rate. For open economy, factor such as exchange rates must also considered to analyze the effect of the volatility of exchange rates on money demand. It is first suggested by Mundell (1963, p.487) and recently has been commonly included in the money demand function. The money demand function for open economy is: 𝑃
𝑀𝑑
= 𝑌 𝐿(𝑖, 𝑋𝑅) (2) Where XR is the nominal exchange rates. The increase (decrease) in XR is interpreted as depreciation (appreciation) of domestic currency against foreign currency. P
112
2.2. Asset Market Equilibrium And The LM Curve Let’s assume that all assets can be classified into two categories, which are money and non-monetary asset. Money includes currency and accounts that has two main characteristics, which are zero interest rate (𝑖 𝑚 = 0) and fixed supplied at M. Non-monetary assets include bonds and securities pays interest rate (i = r + πe ) and fixed supplied at NM. So, the aggregate demand for assets will be: M d + NM d that reflects the aggregate nominal wealth. On the other hand, the aggregate supply of asset is M+NM that also represents the aggregate nominal wealth. Hence, market clear condition on asset market will be: M d + NM d = M + NM (M d - M) + (NM d - NM) = 0
(3)
The equilibrium on the financial market reached when (M d = M), the interaction of M d ,M s , and y leads to the determination of interest rate as shown in figure 1 on the appendix. Point A is the original equilibrium with Y rate of nominal income; M d amount of real money demand; M s amount of fixed money supplied by central bank, and with irate of interest. When output/income increases from Y to Y’, people like to hold more money, at a given interest rate, and then pushes M d curve move to M d ′, with fixed amount of money supply 𝑀 𝑠 . The new equilibrium point is now A’ with new interest rate 𝑖 ′ , and i'>i. Interest or return regarded as the incentives for people to hold non-monetary assets instead of money. If the demand of money is increasing because of the increasing in income while money supply is fixed, interest rate must increases for people to hold less money. Interest rate continues to increase until money demand once again equals to money supply in the new financial market equilibrium. LM-curve is the curve that shows LM relation. LM relation is the relation between output and interest rate, mainly because when output/income increases, money demands also increases, and then resulting in higher equilibrium interest rate. This relation is showing by the upward sloping LM-curve. 2.3. Monetary Policy And The LM-Curve As previously mentioned, LM relation demonstrates the relationship between output/income with interest rate. LM-curve also use to show different monetary aspects such are; the sensitivity of money demand to interest rate and output (movement along/tangent of the LM curve) and the central bank monetary policy (monetary expansion and monetary contraction by examining the shifting of LM curve). When large increase in y only results in small increase of iand as the result LM curve is flatter. The flat LM curve is a condition known as liquidity trap. It happens when monetary policy fails to pull one economy out of recession because people are willing
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
FORECASTING INDONESIAN MONEY DEMAND FUNCTION WITH AUTOREGRESSIVE DISTRIBUTED LAG (ARDL)MODEL Matondang Elsa Siburian
to hold as much money (at any given interest rate) as the central bank is willing to supply. Change in money supply moves LM curve back and forth, and it has no effect on interest rates nor output; monetary policy will be ineffective. The LM curve is so flat, it means that M d is totally interest inelastic at a very low interest rate. The interest rate is very close to zero, and people are indifferent between holding money and non-monetary assets. In this condition, fiscal policy becomes so powerful, while the monetary policy is ineffective. It is exactly what happened in Canada in the great depression and Japan on the late 1990’s. In an economy, the monetary authority lies in the hands of the central bank. The central bank uses monetary policy instruments to provide a structure for monetary policy decision-making. The monetary policies perform by the central bank can be categorized as follows: monetary targeting, exchange rate targeting, inflation targeting and implicit nominal anchor. This paper focuses only on money targeting policy which emphasizes on the growth rate of a chosen monetary aggregate. If central bank decides to increase the nominal money supply form M to M' (by buying securities/government bonds from open market) given fixed P, it drives the increasing of real money and shifts the LM curve down from LM to LM' (presented by Figure 2 on the appendix). At any Y, interest rate is decreasing to meet its new financial market equilibrium (monetary expansion policy). If the central bank decides to decrease money supply (by selling securities/government bonds to open market), LM curve shifts up and interest rate is increasing (monetary contraction policy). It is also known as an open market policy. 2.4. Money Demand And Exchange Rate Robert Mundell (1963) proposed that exchange rate is an important determinant of money demand in an open economy and must be included in the money demand function. It shows in the Mundell-Fleming model as an extension to the IS-LM model. Since then, some researchers also found different effects of exchange rate on money demand. A study on money demand in Canada, United States, and United Kingdom by Arango and Nadiri (1981) found that level of fluctuation of foreign or domestic exchange rates affects the wealth of domestic residence through the value of foreign assets held and simultaneously it also affects the demand for money. Bahmani–Oskooee and Pourheydarian (1990) found a positive and significant relationship between money demand and exchange rates in their study on Canada and United States. It indicates that the depreciation of domestic currency increases money demand. Exchange rate depreciation may increase domestic money demand through wealth effect. When peoplevalued their assets on domestic currency, the depreciation of domestic currency means that the value of foreign assets held by domestic holders is
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
increasing, where as the value of domestic assets hold by foreign holders are decreasing. This induces the increasing of domestic money demand. This condition known as the wealth effect of exchange rates On the contrary, Bahmani and Oskooee (1996 & 2002) found that depreciation of domestic currency affects market expectation for further depreciation and people hold more foreign currency, and it will decrease money demand for domestic currency. This is known as the currency substitution effect. The net result completely depends on the magnitude of wealth effect compare to the currency substitution effect. 2.5. Hypotheses This paper assumed the function of money demand following the Bahmani-Oskooee (1996) and Bahmani-Oskooee and Rehman (2005): 𝐿𝑀𝑡 = β0 +β1 𝐼𝑁𝐹 + β2 𝐿𝑌 + β3 𝐿𝑋𝑅 + β4 𝐷𝑈𝑀𝑀𝑌 + µt (4) Theoretically, the hypotheses are as follows: the expected sign of the coefficient of inflation (β1) is negative; the expected sign of the coefficient of income (β2) is positive; and the expected sign of the coefficient of exchange rate (β3) is either positive or negative. If the depreciation of exchange rate affects the increase in wealth and finally increases money demand, β3 is positive. However, if the increase in exchange rate leads to the decrease in money demand as on the currency substitution effect, β3 is negative
3.
RESEARCH METHODOLOGIES
3.1. Populasi dan Sampel There are several common techniques use to estimate cointegrating relationship on money demand. There is an estimation based on residual approach such as Engle and Granger (1987)and also a maximum likelihood base such as Johansen and Juselius (1990) and Johansen (1992). Those methods required all of the variable has the same order of integration. When the variable contains different order of integration, the estimation cannot be accurate. To solve this problem,Pesharan et al. (1997) proposed an Autoregressive Distributed Lag (ARDL) cointegration method. ARDL cointegration method does not require the variables to have the same order of integration Other advantages of ARDL are: 1) it takes sufficient lags to capture data generating process in general to a specific modeling; 2) it generatesa dynamic error correction model through a simple linear transformation. The ARDL model analyzed using Microfit econometric software developed by Pesharan and Pesharan (Oxford University). The money demand equation represented on ARDL model is estimated as follows: ∆𝐿𝑀𝑅𝐸𝐴𝐿𝑡 = 𝛼0 +𝛿0 T+ 𝑛𝑖=1 𝛼1𝑖 ∆𝐿𝑀𝑅𝐸𝐴𝐿𝑡−𝑖 + 𝑛𝑖=0 𝛼2𝑖 ∆𝐼𝑁𝐹𝑡−𝑖 + 𝑛𝑖=0 𝛼3𝑖 ∆𝐿𝑌𝑅𝐸𝐴𝐿𝑡−𝑖 + 𝑛 𝑛 𝑖=0 𝛼 4𝑖 ∆𝑋𝐿𝑅𝑡−𝑖 + 𝑖=0 𝛼 5𝑖 ∆𝐷𝑈𝑀𝑀𝑌𝑡 −𝑖 + θ1𝐿𝑀𝑅𝐸𝐴𝐿𝑡−𝑖+ θ2𝐼𝑁𝐹𝑡−𝑖+ θ3𝐿𝑌𝑅𝐸𝐴𝐿𝑡−𝑖+ θ4 L𝑋𝑅𝑡−𝑖 + θ5𝐷𝑈𝑀𝑀𝑌𝑡−𝑖 + 𝜀𝑡(5)
113
FORECASTING INDONESIAN MONEY DEMAND FUNCTION WITH AUTOREGRESSIVE DISTRIBUTED LAG (ARDL)MODEL Matondang Elsa Siburian
LMREAL is the log of real money demand as dependent variable (the real value of M1 and M2 respectively); INF is the price level proxies by CPI; LYREAL is the log of real domestic income; LXR is the log of exchange rates of domestic currency to USD; DUMMY is the dummy variable; 𝜀𝑡 is the residual term or error term. In this paper, the unit root test is performed with Augmented Dickey Fuller method to show the different order of the variables. Equation (5) represents cointegration ARDL 𝑝, 𝑞1 , 𝑞2 , 𝑞3 , 𝑞4 with intercept and time trend (T). For all possible values of 𝑝 = 0,1, … 𝑚 and 𝑞1 = 0,1, … 𝑚 and 𝑚 is the maximum lag with k number of variables and sample period 𝑡 = 𝑚 + 1, 𝑚 + 2, … 𝑛 there exist 𝑚 + 1 𝑘+1 ARDL estimations. Coefficient 𝛼𝑖 = 1, … 5 represent the short-run dynamics and θ𝑖 = 1, … 5 estimate the long-run relation or the error correction term on this model. The ARDL procedures consist of two steps which are: First: determining the existence of long-run relationship among variables in the equation. The hypothesis testing of no-cointegration is as follow: 𝐻0 : θ𝑖 = 0 𝑓𝑜𝑟𝑎𝑙𝑙 𝑖 = 1, … , and 𝐻1 : θ1 ≠ 0, θ2 ≠ 0, … θ15 ≠ 0 by estimating F-statistics based on Waldtest. The F-statistics distribution is a non-standard Fstatistics irrespective the variable’s order of integration. The critical value of F-statistics is provided by Pesharan and Pesharan (1995); Pesharan et al. (2001) for large sample and Narayan (2005) for small sample observation. The critical value consists of a range, the lower value is estimated as if the variables is stationary at the level I(0), and upper value is estimated as if the variables integrated at order one I(1). If the estimated value of F-statistics fallsbelow the lower bound, one is failed to reject 𝐻0 , which means there is no cointegration between the variables; if it falls higher than the upper bound, 𝐻0 is rejected, which means there exists a cointegration relation between variables; but if it falls within the range, the result is inconclusive. Second:selecting the estimated F-statistics to support the existence of cointegration relation, byselecting the lag order variables using Schwarz Bayesian Criterion (SBC) to determine the true dynamics of the model. Goodness of fit tests and diagnostic tests are taken to confirm the model’s performance.Stability test suggested by Brown et al. (1975) conducted (CUSUM test and CUSUMSQ) in this study to make use the cumulative sum and cumulative sum square of recursive residuals based on the first t observations and updates recursively and plotted against break points. The stability of money demand is necessary to have a predictable and stable relationship between money and its determinant variables. The stability of the long-run relation between variables is used to form the short-run or the error correction term in juxtaposition with the short-run dynamics. Laidler (1993, p.175) and Bahmani-Okooee (2001, p.3) noted that instability problem could occur from inadequate
114
modeling of the short-run dynamics to characterize the departures from its long-run relationship.. Finally, this study also forecast the money demand using ARDL model. Forecasting model precision test is measured by the deviation of forecasted value compare to its actual value.
4.
RESULTS AND FINDINGS
Data for this study is taken from Bank Indonesia and Indonesia National Statistics Board database in quarterly basis from 1993Q1 to 2013Q3. Money demand proxies by real M1 (narrow money) and realM2 (broad money) respectively, and adjusted from its nominal value with price index; Y proxies by GDP and converting to real GDP by using customer price index (CPI); INF proxies by the inflation rate; XR proxies by exchange rate of IDR to USD; and DUMMY is to represent Asian economic crisis that takes value 1 over the period 1998Q1–1998Q4 and 0 elsewhere. Time trend is included to capture changes in the financial systems through technology of transaction as suggested by Dekle and Pradhan (1999) or to smooth the impact of the new financial technology overtime as suggested by James (2005). All variables are in natural log form except for INF and DUMMY. The order of cointegration is tested using Augmented Dickey Fuller unit root test, and the results are presented on table 1 on the appendix. It shows different order of integration among variables. Graphical representation for all variables presented in figure 3 on the appendix. The first stage of ARDL model is to determine the existence of long-run relationship of money demand and its determinants. The error correction model uses both M1 and M2 respectively as the dependent variables to act as the proxies for money demand with lags one to ten on the first difference of each determinant variable. The value of F-statistics for joint significance of each variable also estimated. The results compare with the F-statistics critical value bound test provided by Narayan (2005, p.1987-1990). Since the sample in this paper is small, F-statistics provided by Pesaran, Shin, and Smith (1997, 1999) is not relevantfor this estimation because F-test is sensitive to the number of lags imposed. Table 2 on the appendix provides the estimated F-statistics for each lag order. Based on the estimated F-statistics, we reject the null hypothesis of no long-run relation between M1 and its independent variables on lag 1 to lag 10 with difference significance level. While on M2, we reject the null on lag two, four, six, and seven, while we failed to reject the nullwith other lags. The second step, the estimation of the long-run relationship on equation and the error correction (for short-run relationship) by using above results and chooses the optimum lag by the value SBC with Microfit 4.1. The result of each equation will be presented on two different sub-sections which are4.1 for money demand with M1-model; and 4.2 for money demand with M2-model.
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
FORECASTING INDONESIAN MONEY DEMAND FUNCTION WITH AUTOREGRESSIVE DISTRIBUTED LAG (ARDL)MODEL Matondang Elsa Siburian
4.1. Money Demand 𝑴𝟏-Model The long-run estimation for money demand with M1 as the dependent variable presented in table 3 and the short-run result in table 4 respectively on the appendix. SBC selection criteria select maximum lags to 6 and it also helps us to save the degree of freedom. Microfit estimates ARDL (5,0,0,5,1) along with goodness of fit and diagnostic test. In the long-run, all determinant variables are significant at 1% level except for the dummy variable. The value of income elasticity is 0.37 and highly significant. The sign for income is positive as expected in theory; it means that the effect of real income will lead to the 37% per quarter increase in money demand. The coefficient of the inflation is negative and highly significant although the coefficient is quite small. The coefficient of exchange rate is negative and highly significant, which is quite interesting. It shows that in the long-run, depreciation of currency decreases demand for domestic money. This result shows that the currency substitution effect through expectation outweigh the wealth effect in Indonesian money demand for the long-run. Positive and significant sign of time trend indicates that the advance of financial technology in financial sector increases the velocity of narrow money (M1). Financial technologies such as automatic teller machine (ATM), electronic and/or mobile banking, and credit card makes it easier to convert money substitutes to money (Dekle&Pradhan 1999). The error correction model described in table 4 on the appendix represents the short-run relation between M1 money demand and its determinants. Almost all of the determinant variables are significant. The contemporaneous change of real income and inflation shows the expected and significant sign aligning with the long-run estimation. The sign of exchange rates is quite contrary compared to the longrun estimation. It may be concluded that in the shortrun, the wealth effect dominates the currency substitution effect. When money demand adjusts to its long-run value, the currency substitution effect prevails. In the short-run, the dummy variable has a positive and significant sign. It shows that, in the short-run, financial shock has a significant impact in the short-run, while it has no impact in the longrun.The most important thing is the sign of the ecm(1) variable that is negative and significant at 1% level. This is the evidence of the existence of cointegration relationship among variables on this M1 money demand model. The coefficient is -0.7; the negative sign shows that the current state of the money demand falls below its long-run equilibrium and it will adjust upward to meet its long-run equilibrium. The absolute value of 0.7 presents the speed of adjustments to its long-run equilibrium value following the short-run adjustments. It implies that 70% of the disequilibrium in the real M1 demand is offset by short-run adjustment quarterly. The level of significance presents that almost all of the
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
disequilibrium value caused by previous adjustment converges back to its long-run equilibrium. The error correction equation is: ecm = LM1REAL -.36867*LYREAL + .1452E-3*INF +.50971*LXR -.038720*DUMMY- 21.3265*C -.021068*T The performance of the model is tested by: the overall goodness of fit presented on table 3. It implies that the model can explained about 99.7% of its observations. It is confirmed by high R-bar-squared value and low standard error. The value of DWstatistics of 2.5 (which around 2) presents that there is no serial correlation of the residual of the model and it is confirmed by the diagnostics test. The diagnostic test result on this model passes all three tests (serial correlation test (on 10% significant level); functional form test; heterokedasticity test). The results confirmthat the residuals of this model are not serially correlated; the model is appropriately specified; and the residuals are homokedasticrespectively. To test the stability of this model, CUSUM (cumulative sum of recursive residual test) and CUSUMSQ (cumulative sum of square of recursive residual test) proposed by Brown et.al (1975) were performed. CUSUM test is a residual test based on the cumulative sum of the residuals based on the first nobservations by updating recursively, and then to be plotted against the break points. If the CUSUM plot stays within the 5% significance level (shows by two straight lines as the critical value lines, the estimated coefficient is stable. Similar measure also apply on CUSUMSQ test which based on the square of the recursive residuals. The graphical presentation of M1 for CUSUM and CUSUMSQ describe on figure 4 on the appendix. Both graphs confirm that M1 stays within the critical value lines, and then it can be conclude that M1 money demand is stable. The forecast of M1 money demand model performed by ARDL is shown on table 5 on the appendix. Forecast value of M1 money demand for period 2013Q1-2013Q3 respectively show 1%, 6%, and 5% deviation from its actual value. It confirms that the model is quite accurate for forecasting the value of M1 money demand. Figure 5 on the appendix presents the dynamic forecast power of the forecast model through the whole observation. The forecast value and actual value fluctuate around the same line across the sample population. 4.2. Money Demand 𝑴𝟐-Model Estimation results in table 1 on the appendix confirms that SBC selection criteria choose lag seven as the maximum lag for M2 money demand model. Microfit estimation obtained ARDL (4,2,3,1,1). Longrun estimation for M2 money demand model describes in table 6 on the appendix. In the long-run, on M2 money demand model, none of the determinant variable shows significant sign. It presents on table 5 on the appendix and
115
FORECASTING INDONESIAN MONEY DEMAND FUNCTION WITH AUTOREGRESSIVE DISTRIBUTED LAG (ARDL)MODEL Matondang Elsa Siburian
confirms on table 7on the appendix. The sign of the ecm(-1) variable is also not significant. It means that there is no cointegration relation between M2 and its determinants. The lack of cointegration relationship between M2 and its determinant variables concludes that M2 is not appropriate to model the money demand in Indonesian economy. To test the stability of M2 money demand, CUSUM and CUSUMSQ test are performed. The result describes on figure 6 on the appendix. The graphical presentation, shows that the plot of CUSUMSQ statistics of M2 crosses the 5% critical value lines. It indicates the instability ofM2. According to Renani (2007, p.6), a stable and predictable relationship between the money demand and its determinants variable is a necessary condition to formulate necessary monetary policy strategy. Since the M2 money demand estimates that there is noevidence to prove long-run relation between M2 money demand and its determinant variables and there exist an instability in M2, it is safe to conclude that M2 is not an appropriate model for forecasting money demand in Indonesian economy.
5.
CONCLUSIONS
Monetary policy is an important policy in one economy to maintain a sustainable growth. Due to this significant matter, there have been many studies conducted on money demand across countries using both 𝑴𝟏 and/or 𝑴𝟐. This study of Forecasting Indonesian money demand model is conducted with ARDL model. On the result, M1 money demand model presentsa significant evidence of long-run relationship between M1 and its determinant variables. Coefficient of real income and inflation confirm the hypotheses. The exchange rate coefficient shows that in the longrun, in Indonesian economy, currency substitution effect dominates wealth effect. An expected and significant signs also show on the short-run. In the short-run, dummy variable shows that Indonesian money demand is sensitive to financial crisis. M1 also shows a satisfied result on the performance test such as goodness of fit, diagnostic, and stability test. Based on this, this study forms a forecasting model and checks it with the actual available data. The forecasting value is very close to the actual data across the observation sample. On the contrary, estimation with M2 shows that there is no evidence of long-run relationship between M2 and its determinant variables, since all of the longrun coefficients are not significant. It is also supported by the insignificant coefficient of ecm (-1) on the error correction model. M2 variable failed the CUSUMSQ test that indicates that there is an instability in the M2 money demand model. Furthermore, there is no need to establish a forecasting model for M2. Based on the aforementioned results, it may be concluded that M1 served as a better money demand variable to design optimum monetary policy by the central bank compare to M2. The findings of this study incate that
116
Indonesian Monetary authority (Bank of Indonesia) should control M1 as the monetary aggregate to forecast the domestic money demand.
6.
IMPLICATIONS AND LIMITATIONS
This study has implications for monetary economy policy and future research. This study reveals the existence of cointegration relationship between M1 and its determinant variables. It is not necessarily the same with M2. This study also sheds some lights of the exchange rates effect to money demand in Indonesian economy. The inclusion of other monetary variables i.e. domestic and/or foreign interest rate, development in financial industry, or any element of balance of payment can be included for further study using the same or different estimation method with expanding data series. It is important to bear in mind that due to the short period data availability, the findings in this paper should be carefully interpreted. Nevertheless, this study provides some insights on Indonesian money demand determinant.
REFERENCES Achsani, Noer Azam. 2010. Stability of Money Demand in an Emerging Market Economy: An Error Correction and ARDL Model for Indonesia. Research Journal of International Studies. No.13. p54-62. Arango, S, Nadiri, M. I. 1981. Demand for money in open economy. Journal of Monetary Economics.7. p69-83. Bahmani Oskooee., M, Pourheydarian, M. 1990. Exchange rate sensitivity of demand for money and effectiveness of fiscal and monetary policies. Applied Economics. 22. p917-925. Bahmani-Oskooee, M. 1991. The demand for money in an open economy: The United Kingdom. Applied Economics. 23. p1037-1042. Bahmani-Oskooee, M. 1996. The blackmarket exchange rate and demand for money in Iran. Journal of Macroeconomics. 18. p171-176. Bahmani-Oskooee, M., Shabsigh, G. 1996. The demand for money in Japan: Evidence from Cointegration Analysis .Japan and theWorld Economy.8.p1-10. Bahmani-Oskooee,M. 2001. How stable is M2 money demand function in Japan? Japan and theWorld Economy.13.p455-461 Bahmani Oskooee,M., Rehman, H.2005. Stability of the money demand function in Asian developing countries .Applied Economics.37. p773-792. Blachard, O., Johnson, D. 2012. Macroeconomics. Sixth edition. Pearson Highered. Brown, R. L, J. Durbin, J. M. Evans. 1975. Techniques for testing the constancy of regression relationships over time. Journal of the Royal Statistical Society. 37. p149-163. Frenkel, J.A., Taylor, M. P. 1993. Money demand and inflation in Yugoslavia, 1980–1989. Journal of Macroeconomics.15.p455–481
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
FORECASTING INDONESIAN MONEY DEMAND FUNCTION WITH AUTOREGRESSIVE DISTRIBUTED LAG (ARDL)MODEL Matondang Elsa Siburian
Hafer, R.W, Kutan, A.M. 1994. Economic reforms and the long–run money demand in China: implications for monetary policy. Southern Economic Journal. 60. p936–945 Hafer, R.W., Jansen, D.W. 1991. The demand for money in the United States: evidence from cointegration tests. Journal of Money, Credit, and Banking. 23.p155-168. Hansen, G. and Kim, J. R. 1995. The stability of German money demand: tests of the cointegration relation. Weltwirtschaftliches Archiv. 131. p286–301. Johansen, S. 1988. Statistical analysisof cointegrationvectors. Journal ofEconomics Dynamics andControl.12. p231-254. Johansen, S, Juselius, .1990. Maximum likelihood estimation and inference on cointegration: with applications to the demand for money. Oxford Bulletin of Economics and Statistics .52.p169210. Laidler, E.W.D. 1993. The demand for money:theories, evidence, and problems. 4th edition. Harper Collins College Publishers. New York. Lestano, Jan P.A.M. Jacobs and Gerard H.Kuper. 2009. Broad and Narrow Money Demand and Financial Liberalization in Indonesia, 1980 Q1-2004 Q4. http://www.eco.rug.nl/medewerk/jacobs/jj download/Money Demand Indonesia Dec 2009.pdf. McNown, R,Wallace, M.S. 1992. Cointegration tests of along-run relation between money demand and the effective exchange rate. Journal of International Money and Finance.11.p107-114. Mundell, Robert. A, 1963. Capital Mobilization and Stability Policy under Fixed and Flexible Exchange Rates. Readings in International Economics. p490. Narayan, Paresh Kumar. 2005. The saving and Investment Nexus for China: Evidence from Cointegration. Applied Economics. 37. p.19791990. Pesaran, M. H., Shin, Y.1997. An auto-regressive distributed lag modeling approach to cointegration analysis. In: Strom,S., Holly,A., Diamond,P. (Eds.), Centennial Volume of Rangar Frisch, Cambridge University Press, Cambridge. Pesaran, M.H., Shin, Y., Smith, R.J. 1999. Bounds testing approaches to the analysis of level relationships. Journal of Applied Econometrics.16.p289-326. Price, S., Insukindro. 1994. The demand for Indonesian narrow money: long-run equilibrium, error correction and forward-looking behavior. Journal of International Trade and Economic Development. 3. p147-163 Samreth, Sovannroeun. 2008. Money demand function in Combodia: ARDL appoach. MPRA No.16274. Shrestani, H., Renani H.S. 2007. Demand for money in Iran: An ARDL appoach. MPRA No.11451. Von Hagen, J. 1993. Monetary union, money demand and money supply: are view of the German
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
monetary union. Review.37.p803–836.
European
Economic
117
FORECASTING INDONESIAN MONEY DEMAND FUNCTION WITH AUTOREGRESSIVE DISTRIBUTED LAG (ARDL)MODEL Matondang Elsa Siburian
APPENDIX Figure 1. Money demand and interest rate
Figure 2. Shift of LM-Curve
Source: Macroeconomics by Oliver Blanchard (sixth edition)
Source: Macroeconomics by O.Blanchard (sixth ed)
Figure 3. Variables in level M1
M2
1,000,000
4,000,000
800,000
3,000,000
600,000 2,000,000 400,000 1,000,000
200,000
0
0 94
96
98
00
02
04
06
08
10
12
94
96
98
00
02
XR
04
06
08
10
12
04
06
08
10
12
Y
16,000
2,500,000
2,000,000
12,000
1,500,000 8,000 1,000,000 4,000
500,000
0
0 94
96
98
00
02
04
06
08
10
12
04
06
08
10
12
94
96
98
00
02
INF 30 25 20 15 10 5 0 -5 94
118
96
98
00
02
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
FORECASTING INDONESIAN MONEY DEMAND FUNCTION WITH AUTOREGRESSIVE DISTRIBUTED LAG (ARDL)MODEL Matondang Elsa Siburian
Figure 4. CUSUM and CUSUMSQ Plot of M1 Plot Cumulative Sum of Recursive Residuals
The straight lines represent critical bounds at 5% significance level
Plot Cumulative Sum of Squares of Recursive Residuals
The straight lines represent critical bounds at 5% significance level
Figure 5. Dynamic forecasts for 𝑴𝟏 Dynamic forecasts for level of LM1REAL
Figure 6. CUSUM and CUSUMSQ Plot of 𝑴𝟐 Plot of Cumulative Sum of Recursive Residuals
Plot of Cumulative Sum of Squares of Recursive Residuals
The straight lines represent critical bounds at 5% The straight lines represent critical bounds at 5% significance significance level level Source of Figure 3. – Figure 6. : Author’s estimation results with Microfit 4.1
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
119
FORECASTING INDONESIAN MONEY DEMAND FUNCTION WITH AUTOREGRESSIVE DISTRIBUTED LAG (ARDL)MODEL Matondang Elsa Siburian
Table 1. Augmented Dickey Fuller critical value Variables
Critical value I(0)
Critical value I(1)
Order
INF -4.844321*** I(0) M1REAL 1.904218 -7.432705 I(1) M2REAL 1.787751 -4.282734*** I(1) XR -1.950756 -8.915432*** I(1) YREAL 1.780534 -6.769754*** I(1) Note: 1) ADF test statisics 2.59, 2.89, 3.51 respectively for significant level at 10%, 5%, and 1% 2) *, **, *** respectively for significant level at 10%, 5%, and 1%
Table 2. F-statistics for long-run relation with intercept & trend 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
M1 4.71* 5.75** 5.14** 5.29** 4.63* 4.96** 5.86** 5.33** 5.01** 5.37** M2 3.12 4.35* 3.24 4.94** 2.96 4.57* 4.59* 4.25 3.28 4.00 Note: 1. F-statistics of bound test by Narayan (2005) for k=4 with intercept & trend at 90% significance level is 3.160 4.230; 95% is 3.678 - 4.840; 99% is4.890 - 6.164; 2. *, **, *** respectively for significant at 10%, 5%, and 1%
Table 3. Estimated long-run coefficients using the ARDL pproach (dependent variable = M1) Dependent variable is LM1REALUS ARDL(5,0,0,5,1) Regressor LYREAL INF LXR DUMMY C T
R-Bar-Squared S.E. of Regression DW-statistic
Coefficient .36867 -.1452E-3 -.50971 .038720 21.3265 .021068
T-Ratio[Prob] 2.9868[.004]*** 3.7611[.000] *** -5.2259[.000] *** 1.5897[.118] 4.9602[.000] *** 4.4161[.000] ***
.99751 .028211 2.5202
Diagnostic Tests Serial Correlation F(4, 49)= 2.4103[.062] Functional Form F(1, 52)= .55407[.460] Heteroscedasticity F(1, 68)= .79908[.375] Note: 1) *, **, *** respectively for significant at 10%, 5%, and 1% 2) Number in [ ] are the p-value
Table 4. Error Correction Representation for the Selected ARDL Model results (dependent variable = M1) Dependent variable is LM1REALUS ARDL(5,0,0,5,1) Regressor dLM1REAL1 dLM1REAL2 dLM1REAL3 dLM1REAL4 dLYREAL dINF dLXR dLXR1 dLXR2 dLXR3 dLXR4 dDUMMY dC
120
Coefficient .21026 .16448 .0029025 .37084 .26081 -.1027E-3 -.54767 .22334 .24459 .012245 .34465 .093163 15.0870
T-Ratio[Prob] 1.7251[.090]* 1.4874[.143] .029513[.977] 4.3494[.000]*** 2.7229[.009] *** -4.7215[.000] *** -5.5826[.000] *** 1.8191[.074]* 2.2651[.027] *** .12779[.899] 3.9008[.000] *** 4.9229[.000] *** 3.8772[.000] ***
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
FORECASTING INDONESIAN MONEY DEMAND FUNCTION WITH AUTOREGRESSIVE DISTRIBUTED LAG (ARDL)MODEL Matondang Elsa Siburian
Dependent variable is LM1REALUS ARDL(5,0,0,5,1) dT .014904 ecm(-1) -.70743 Note: 1) *, **, *** respectively for significant at 10%, 5%, and 1% 2) Number in [ ] are the p-value
3.5591[.001] *** -6.3581[.000] ***
Table 5. Dynamic forecasts for the level of LM1REAL ARDL(5,0,0,5,1) selected using SBC Dependent variable in the ARDL model is LM1REAL included with a lag of 5 Observation 2013Q1 2013Q2 2013Q3
Actual 29.6689 29.7040 29.7136
Prediction 29.6588 29.6429 29.6632
Error .010141 .061042 .050438
Table 6. Estimated long-run coefficients using the ARDL approach (dependent variable = M2) Dependent variable is LM2REAL Regressor LYREAL INF LXR DUMMY C T
Coefficient 1.8954 .0018207 -1.9837 .070908 -6.6625 .0032457 R-Bar-Squared S.E. of Regression DW-statistic
T-Ratio[Prob] .44136[.661] .47105[.639] -.37849[.707] .095415[.924] -050051[.960] .022072[.982]
.99828 .019843 2.3323
Diagnostic Tests Serial Correlation Functional Form Heteroscedasticity
F(4,52)= 1.4213[.240] F(1,55)= .62856[.431] F(1,71)= 2.6272[.109]
Note: 1) *, **, *** respectively for significant at 10%, 5%, and 1% 2) Number in [ ] are the p-value
Table 7. Error Correction Representation for the Selected ARDL Model results (dependent variable = 𝐌𝟐) Dependent variable is LM1REALUS Regressor Coefficient dLM1REALUS1 -.33213 dLM1REALUS2 -.079007 dLM1REALUS3 -.048628 dLYREALUSD .029741 dLYREALUSD1 .24833 dINF -.1084E-3 dINF1 -.5953E-4 dINF2 -.6364E-4 dLXR -.79180 dDUMMY .042435 dC -.11927 dT .5810E-4 ecm(-1) -.017902 Note: 1) *, **, *** respectively for significant at 10%, 5%, and 1% 2) Number in [ ] are the p-value
T-Ratio[Prob] -5.0075[.000]*** -2.7585[.008] *** -1.9750[.053]* .34182[.734] 3.8925[.000] *** -7.6001[.000] *** -4.1714[.000] *** -5.9599[.000] *** -8.6521[.000] *** 3.2212[.002] *** -.050502[.960] .022180[.982] -.48884[.627]
Source of Table.1 – Table.7 : Author’s estimation results with Microfit 4.1
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
121
Halaman ini sengaja dikosongkan
This page intentionally left blank
122
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014, Halaman 123-134 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
PENGARUH KOMISARIS INDEPENDEN DAN KOMITE AUDIT TERHADAP PERMASALAHAN AGENSI PADA PENENTUAN STRUKTUR PEMBIAYAAN DAN KEPEMILIKAN MANAGERIAL PERUSAHAAN Sasono Adi Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Indonesia. Email:
[email protected] INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 3 Maret 2014
This study aims to investigate whether there is a significant effect on the role of independent commissioners and audit committees in relation to agency problems of corporate financial structure. Simultaneous linear regression is used. Emipirical tests conducted on listed manufacturing companies by using purposive sampling. The results show that there is a negative relationship between the existance of an independent commissioner with the level of leverage. These findings demonstrate that the role of independent commissioners in an effort to reduce the risk of default. But no significant evidence is obtained that the existance of an independent commissionermay reduce agency problems in the presence of managerial ownership.It also shows that the existence of an audit committee may reduce the managers’ incentives to perform opportunistic actions in determining the financing structure. The results of this study also indicate that leverage can be an alternative to monitor the managerial ownerships.
Dinyatakan Dapat Dimuat 10 Juni 2014
KATA KUNCI: Agency Problems Leverage Managerial Ownership Simultaneous Linear Regression
1.
Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi apakah terdapat pengaruh yang signifikan peran komisaris independen dan audit komite dalam penentuan struktur pembiayaan perusahaan. Model penelitian menggunakan regresi linier simultan. Pengujian dilakukan terhadap perusahaan manufaktur yang telah go public dengan pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling. Hasil pengujian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara keberadaan komisaris independen dengan tingkat leverage perusahaan. Hubungan tersebut menunjukkan peran komisaris independen dalam upaya mengurangi risiko gagal bayar atas utang jangka panjang perusahaan. Namun demikian tidak diperoleh bukti yang signifikan bahwa keberadaan komisaris independen dapat mengurangi permasalahan agensi dengan adanya kepemilikan managerial. Keberadaan komite audit dapat mengurangi insentif manager melakukan tindakan-tindakan oportunistik dalam penentuan struktur pembiayaan perusahaan. Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa leverage dapat menjadi alternatif monitoring terhadap kepemilikan managerial.
PENDAHULUAN
Good corporate governance didefinisikan sebagai pola hubungan, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan, yaitu direksi, dewan komisaris dan RUPS, guna memberikan nilai tambah kepada pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka waktu panjang, dengan memperhatikan stakeholders lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan norma yang berlaku (Daniri, 2005). Menurut Daniri (2005) terdapat tiga ciri umum perusahaan di Indonesia, pertama adanya konsentrasi kepemilikan saham sehingga terjadi afiliasi antara pemilik, komisaris, dan direksi perusahaan. Kedua adanya penyaluran pembiayaan antar perusahaan dalam grup. Terakhir, terbentuknya konglomerasi usaha. Implikasinya, framework good corporate governance tidak mudah untuk diterapkan (Daniri, 2005).
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
Teori agensi memberikan pemahaman bahwa manajemen perusahaan sebagai agen bagi para pemegang saham akan bertindak untuk kepentingan sendiri dibanding dengan kepentingan pemegang saham (Jensen dan Meckling, 1976). Hal ini terjadi karena adanya ketidakseimbangan informasi (Myers, 1984). Dengan berkembangnya perusahaan yang semakin kompleks dan kebutuhan pendanaan dari eksternal, membutuhkan alokasi risiko yang efisien (Fama 1980, Fama et al. 1983, Demsetz et al. 1997). Pemegang saham memiliki kepentingan atas perusahaan tetapi tidak berarti harus terlibat dalam manajemen perusahaan (Brealey et al. 2008). Lebih jauh agen tidak selalu bertindak untuk kepentingan pemegang saham (Bonazzi and Islam. 2007, Lan and Heracleous, 2010). Hal ini menimbulkan adanya moral hazard (Demsetz and Lehn, 1985). Mekanisme yang dapat digunakan untuk meminimalkan tindakan moral hazard adalah dengan melakukan monitoring dan pemberian insentif kepada agen (Jensen 1993,
123
PENGARUH KOMISARIS INDEPENDEN DAN KOMITE AUDIT TERHADAP PERMASALAHAN AGENSI PADA PENENTUAN STRUKTUR PEMBIAYAAN DAN KEPEMILIKAN MANAGERIAL PERUSAHAAN Sasono Adi
Daily et al. 2003). Kegiatan ini dilakukan oleh Dewan Komisaris. Konsekuensinya, muncul biaya agensi yang meliputi biaya strukturisasi, biaya monitoring, dan biaya perikatan dari kontrak yang dibuat antar pihakpihak yang memiliki perbedaan kepentingan dalam organisasi. Salah satu upaya untuk mengurangi biaya agensi maka manajemen diberikan hak memperoleh kepemilikan saham perusahaan. Kepemilikan tersebut disebut kepemilikan managerial. Dengan adanya kepemilikan tersebut diharapkan terdapat alignment antara pemilik perusahaan dengan manajemen. Namun hal ini juga menimbulkan biaya bagi manajemen berupa risiko berkurangnya kekayaan manajemen apabila perusahaan mengalami kerugian. Cara lain untuk mengurangi permasalahan agensi adalah pemanfaatan utang jangka panjang pada perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976). Dengan memilih utang jangka panjang sebagai sumber pembiayaan perusahaan maka akan mengurangi kebutuhan pembiayaan yang berasal dari ekuitas yang dilakukan dengan menerbitkan saham baru. Hal ini dapat mengurangi konflik kepentingan antara manajemen dengan pemilik perusahaan karena pihak kreditor akan selalu memonitor kinerja manajemen sehingga dapat mengurangi kemungkinan perusahaan gagal membayar kewajibannya. Namun demikian pembiayaan yang bersumber dari utang jangka panjang dapat memunculkan konflik kepentingan antara pemilik perusahaan dengan kreditor sehingga terjadi biaya agensi dari utang jangka panjang. Terjadinya konflik kepentingan ini dipicu dari adanya kekhawatiran kreditor bahwa pemilik perusahaan cenderung akan menggunakan kekayaan kreditor dengan melakukan investasi pada kegiatan-kegiatan yang memiliki risiko tinggi. Sebaliknya, ketika manajemen memiliki diskresi untuk melakukan investasi maka manajemen cenderung memilih investasi yang tidak memiliki risiko tinggi dengan alasan apabila investasi yang dipilih tersebut mengalami kerugian maka akan mengurangi kekayaan, seperti tidak memperoleh bonus. Biaya agensi yang timbul dari adanya pemilihan sumber pembiayaan dari utang jangka (debt) dan dari penerbitan saham baru atau ekuitas (equity) dapat mengakibatkan penurunan nilai perusahaan. Untuk meminimalkan biaya agensi tersebut maka manajemen menggunakan strategi yang dapat menyeimbangkan biaya agensi yang berasal dari ekuitas dengan biaya yang berasal dari utang jangka panjang. Kondisi ini dikenal dengan nama struktur pembiayaan (capital structure). Manajemen berusaha untuk mencari keputusan yang paling efisien sepanjang kepentingan dan kekayaan manajemen tidak berkurang. Disisi lain aktivitas manajemen dimonitor oleh dewan komisaris. Dewan komisaris sebagai salah satu organ dari perusahaan memiliki tanggung jawab dan wewenang untuk mengawasi tindakan dewan direksi.
124
Oleh karena itu diharapkan dewan komisaris dapat bertindak independen dan kritis, baik antar sesama anggota maupun terhadap direksi. Kualifikasi ideal anggota dewan komisaris disamping pengalaman dan kemampuan dalam manajemen perusahaan, adalah memiliki integritas dan dedikasi sehingga mampu memahami dan peduli terhadap pemegang saham dan seluruh stakeholders perusahaan. Oleh karena itu untuk memenuhi elemen tersebut maka dalam keanggotaan dewan komisaris harus diangkat komisaris independen. Dalam melaksanakan tugasnya dewan komisaris dibantu oleh komitekomite, salah satunya adalah komite audit yang mempunyai relevansi erat dalam pengawasan dibidang keuangan. Melihat keterkaitan antara kepemilikan managerial, struktur pembiayaan, dan peran komisaris independen, serta komite audit, maka sejauh mana peran komisaris independen tersebut mengurangi biaya agensi yang terjadi tersebut. Penelitian oleh Bathala et al. (1994) menunjukkan adanya hubungan dan dampak atas keberadaan komisaris independen dalam berkontribusi mengurangi permasalahan agensi yang timbul pada proses penentuan struktur pembiayaan perusahaan. Namun demikian penelitian tersebut fokus pada dampak kepemilikan institusional dikaitkan dengan kepemilikan managerial dan struktur pembiayaan dan tidak mengkaitkan dengan peran komisaris independen dan komite audit sebagai bagian dari perangkat corporate governance. Dengan demikian penelitian ini menginvestigasi lebih lanjut apakah terdapat dampak yang signifikan dari peran komisaris independen dan audit komite, dikaitkan dengan penentuan struktur pembiayaan pada suatu perusahaan. Penelitian ini menjadi penting karena pengawasan atau monitoring sebagai salah satu aspek dalam pelaksanaan good corporate governance menjadi kepanjangan pemegang saham dalam melindungi kepentingan pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran komisaris independen dan komite audit sebagai alat dewan komisaris dalam mengurangi permasalahan agensi yang terjadi antara kebijakan utang jangka panjang dengan kepemilikan managerial pada perusahaan. Paper ini terdiri dari empat bagian, bagian pertama pendahuluan. Bagian kedua telaah literatur, dan pengembangan hipotesis. Bagian ketiga menjelaskan mengenai metodologi penelitian. Bagian keempat berisikan pembahasan hasil penelitian. Bagian kelima berisikan kesimpulan, keterbatasan dan implikasi.
2.
KERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah mempublikasikan Principles of Corporate governance yang terdiri dari empat pilar utama yaitu fairness (keadilan),
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
PENGARUH KOMISARIS INDEPENDEN DAN KOMITE AUDIT TERHADAP PERMASALAHAN AGENSI PADA PENENTUAN STRUKTUR PEMBIAYAAN DAN KEPEMILIKAN MANAGERIAL PERUSAHAAN Sasono Adi
transparency (transparansi), accountability (akuntabilitas), dan responsibility (tanggungjawab). Keadilan berkenaan dengan keadilan dan kesetaraan perlakuan pemegang saham minoritas agar terlindungi dari kecurangan serta perdagangan dan penyalahgunaan oleh orang dalam (self dealing atau insider wrong doing). Sedangkan transparansi dilakukan melalui pengungkapan (disclosure) informasi kinerja perusahaan secara akurat dan tepat waktu. Akuntabilitas dilakukan melalui pengawasan efektif berdasarkan keseimbangan kekuasaan antara pengawas, pengurus, pemegang saham dan auditor eksternal. Akhirnya, tanggung jawab perusahaan berkaitan dengan fungsi perusahaan sebagai anggota masyarakat yang harus menaati hukum dan bertindak sesuai dengan keinginan masyarakat (Darmawati, 2003). Dalam konteks Indonesia yang menganut onetier system, peran Board of Director dilakukan oleh Dewan komisaris dimana struktur kepemimpinannya terpisah dengan Dewan direksi atau manajemen. Dengan demikian manajemen puncak atau direksi perusahaan yang berwenang untuk menetapkan kebijakan perusahaan dan mengimplementasikan kebijakan tersebut sesuai keputusan yang ditetapkan dalam RUPS. Dalam pelaksanaan tugasnya manajemen puncak diawasi oleh Dewan Komisaris dan berada pada lingkup corporate governance yang mencakup hubungan pada level dewan komisaris dan direksi serta RUPS yang merupakan pelaksanaan fungsi pengawasan dan akuntabilitas. Sedangkan fungsi operasional perusahaan berada dalam lingkup corporate management yang melaksanakan kegiatan sesuai keputusan yang telah ditetapkan oleh RUPS. Irisan dari lingkup corporate governance dan lingkup corporate management adalah lingkup strategic decision dan strategic formulation. Pada lingkup ini, keputusan-keputusan strategis dibuat dengan mengacu pada keputusan RUPS. Salah satu keputusan strategis yang disusun pada lingkup ini adalah penentuan struktur pembiayaan perusahaan. Apabila perusahaan menerapkan prinsipprinsip good corporate governance, maka ada pengawasan yang efektif atas semua aktivitas perusahaan sehingga pengendalian internal perusahaan dapat berjalan dengan baik dan akuntabilitas manajemen dapat dijamin. Praktik seperti itu dalam perusahaan akan memperkecil permasalahan agensi. Penelitian empiris di Amerika Serikat menunjukkan bahwa mekanisme monitoring dapat dilakukan oleh pihak lain dalam mengurangi permasalahan agensi, seperti kompetisi diantara manager, auditor eksternal, dan peran dewan komisaris (Bathala et. al., 1994). Dengan adanya pemisahan peran antara pemegang saham sebagai prinsipal dengan manajemen sebagai agennya, maka manajemen memiliki hak pengendalian yang signifikan dalam mengalokasikan dana investor dan
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
pemilik perusahaan (Jensen & Meckling, 1976; Shleifer & Vishny, 1997). Fungsi yang sangat penting dari board of director adalah untuk meminimalisasi biaya agensi yang timbul karena adanya pemisahan antra kepemilikan dan pengendalian pada perusahaan modern saat ini (Fama & Jensen, 1983). Fama & Jensen (1983) berpendapat bahwa komposisi anggota board of director merupakan faktor penting dalam mewujudkan monitoring yang efektif atas kegiatan manajemen. Hal ini dapat terwujud apabila komposisi board of director merupakan gabungan antara anggota yang berasal dari manajemen dan anggota yang berasal dari luar manajemen (atau disebut komisaris independen dalam konteks Indonesia). Fama & Jensen (1983) beralasan bahwa anggota board of director yang berasal dari manajemen mempunyai informasi yang lebih baik mengenai aktivitas perusahaan sehingga dapat membantu board of director mengawasi keputusan-keputusan strategis dari manajemen. Akan tetapi menurut Williamson (1984) dengan adanya anggota board of director yang memiliki informasi lebih dari anggota lainnya karena mereka umumnya bekerja penuh diperusahaan dan memperoleh informasi dari dalam, hal ini cenderung justru anggota tersebut akan menjadi alat bagi manajemen dan mendominasi keputusan board of director jika dibandingkan dengan anggota yang berasal dari luar manajemen. Beasley (1996) meneliti hubungan antara komposisi board of director dengan kejadian kecurangan dalam pelaporan keuangan di Amerika Serikat. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa terdapat hubungan positif antara prosentasi yang tinggi atas jumlah anggota board of director yang berasal dari luar pada perusahaan yang tidak melakukan kecurangan dibanding pada perusahaan yang melakukan kecurangan. Namun demikian hubungan antara audit komite pada perusahaan yang tidak melakukan kecurangan dibanding perusahaan yang melakukan kecurangan tidak diperoleh korelasi yang signifikan sehingga peran anggota board of director yang berasal dari luar perusahaan lebih berperan dibanding audit komite dalam hubungannya dengan mengurangi kemungkinan terjadinya kecurangan dalam penyajian laporan keuangan. Sementara Chen et al. (2006) meneliti karakteristik dewan komisaris sebagai faktor dalam menjelaskan kecurangan di China. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan proporsi dewan komisaris independen maka kecenderungan perusahaan melakukan kecurangan akan semakin kecil. Namun demikian penelitian Chen et al. (2006) menunjukkan bahwa jumlah rapat dewan komisaris yang lebih banyak justru berhubungan secara positif dengan kemungkinan perusahaan melakukan kecurangan. Mereka menjelaskan bahwa ketika perusahaan sedang (akan) terlibat pada aktivitas yang dapat dipertanyakan, maka dewan akan melakukan rapat yang lebih sering karena aktivitas tersebut akan menimbulkan
125
PENGARUH KOMISARIS INDEPENDEN DAN KOMITE AUDIT TERHADAP PERMASALAHAN AGENSI PADA PENENTUAN STRUKTUR PEMBIAYAAN DAN KEPEMILIKAN MANAGERIAL PERUSAHAAN Sasono Adi
perdebatan. Penelitian Ahmed and Duellman (2007) sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa keberadaan anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan dapat memperkuat penerapan pengelolaan perusahaan yang lebih konservatif atau dalam hal ini lebih hati-hati (prudent). Dalam perusahaan modern dengan adanya pemisahan fungsi antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang akan menanggung risiko (risk-bearing functions) pada perusahaan maka menimbulkan adanya konflik agensi (Jensen dan Meckling, 1976). Kondisi ini menurut Jensen dan Meckling dapat diminimalkan apabila kepemilikan perusahaan juga diberikan kepada manajemen atau yang dikenal dengan kepemilikan managerial. Implikasi dari kepemilikan managerial ini adalah manajemen juga menanggung konsekuensi atas tindakan dan keputusan yang diambil dalam pengelolaan perusahaan. Dengan demikian kepemilikan managerial dapat menciptakan adanya keselarasan antara kepentingan manajemen dengan para stakeholders lainnya. Utang jangka panjang pada dasarnya juga dapat mengurangi permasalahan agensi (Jensen, 1986). Jensen (1986) menjelaskan bahwa perjanjian utang jangka panjang mengharuskan perusahaan untuk membayar kewajibannya maka hal ini dapat menghindari atau mengendalikan penggunaan dana perusahaan oleh manager untuk kegiatan perusahaan yang tidak efisien. Dalam konteks ini, utang jangka panjang dapat digunakan sebagai salah satu media untuk mendisiplinkan manager. Grossman dan Hart (1986) menyebutkan bahwa dengan adanya utang jangka panjang, manajemen dipaksa untuk menggunakan fasilitas perusahaan lebih sedikit sehingga sumber daya perusahaan dapat digunakan lebih efisien dan pada akhirnya kemungkinan perusahaan mengalami kebangkrutan dan kehilangan reputasi dapat diminimalkan. Menurut Williamson (1988) kontrak atas equity atau kepemilikan saham sifatnya berlanjut sepanjang umur perusahaan dan keberadaan dewan komisaris adalah untuk memberikan keyakinan bahwa investasi dari pemegang saham terlindungi. Dewan komisaris mempunyai wewenang untuk memonitor kinerja internal perusahaan, menyetujui pengambilan keputusan penting, menentukan tingkat kompensasi, dan mengganti manager (Grinstein and Tolkowsky, 2004). Dengan demikian dewan komisaris dapat memonitor dan mengevaluasi tindakan manager secara berkelanjutan sehingga instrumen ekuitas memiliki kemampuan tata kelola yang lebih baik (stronger governance abilities) dibandingkan dengan instrument utang jangka panjang. Peran dewan komisaris merupakan isu penting dalam mekanisme tata kelola perusahaan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa anggota dewan komisaris yang memiliki pengalaman memberikan pengaruh dalam mengurangi earnings management (Chtourou et al. 2001) dan memberi pengaruh positif terhadap nilai perusahaan (Erickson et al., 2005). Penelitian oleh
126
Anderson et al. (2004) dan Chen et al. (2009) membuktikan pula bahwa keberadaan dewan komisaris, khususnya anggota dewan komisaris independen memberikan pengaruh dalam mengurangi biaya pinjaman (cost of debt). Sementara Subramaniam, et al. (2009) membuktikan bahwa anggota dewan komisaris independen dapat meningkatkan kualitas pengawasan dan monitoring karena bukan merupakan pegawai dan lebih independen. Berkaitan dengan pembiayaan perusahaan Kochar (1996) berpendapat bahwa pengaruh kreditor terlihat pada upaya proteksi atas dananya yang dipinjam perusahaan agar tidak terjadi default, dalam hal ini manager dipaksa untuk efisien dengan membayar sesuai jadwal pembayaran sehingga terhindar dari pengawasan dan campur tangan kreditor. Namun demikian dalam pembiayaan melalui saham, pembiayaan tersebut memiliki level governance yang lebih kuat daripada pembiayaan melalui utang jangka panjang. Sepanjang perusahaan dapat memenuhi kewajibannya sesuai kontrak maka kreditor tidak dapat melakukan intervensi. Sebaliknya pemegang saham dapat terus melakukan monitoring dan evaluasi atas setiap keputusan manager melalui dewan komisaris. Mekanisme dalam peningkatan kualitas pengawasan atau monitoring adalah pembentukan komite-komite, antara lain komite audit. Komite audit mempunyai fungsi memelihara sistem pengendalian internal, menjadi counter-part audit eksternal dan melakukan reviu internal atas laporan keuangan perusahaan (Siallagan dan Machfoedz, 2006). Efektivitas dari komite audit dapat dilihat, antara lain ukuran dari komite audit (Rahmat, Iskandar dan Saleh, 2009) Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tersebut maka struktur keanggotaan dewan komisaris memiliki hubungan positif terhadap pengurangan permasalahan agensi dalam kaitan kepemilikan managerial dan penetapan struktur pembiayaan perusahaan. Dengan demikian dalam konteks sistem corporate governance di Indonesia, apakah struktur keanggotaan dewan komisaris dan keberadaan komite audit memiliki hubungan dengan pengurangan permasalahan agensi pada perusahaan publik, sehingga hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut: H1 : Proporsi komisaris independen dalam struktur keanggotaan dewan komisaris mempunyai hubungan negatif dengan tingkat utang jangka panjang (leverage) dan kepemilikan managerial dalam rangka mengendalikan permasalahan agensi perusahaan. H2: Proporsi jumlah anggota audit komite mempunyai hubungan negatif dengan tingkat utang jangka panjang (leverage) dan kepemilikan managerial dalam rangka mengendalikan permasalahan agensi perusahaan.
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
PENGARUH KOMISARIS INDEPENDEN DAN KOMITE AUDIT TERHADAP PERMASALAHAN AGENSI PADA PENENTUAN STRUKTUR PEMBIAYAAN DAN KEPEMILIKAN MANAGERIAL PERUSAHAAN Sasono Adi
3.
METODOLOGI PENELITIAN
Sampel penelitian adalah perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk periode 2010, berjumlah 50 perusahaan. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Kriteria pemilihan perusahaan yang diambil sebagai sampel adalah perusahaan yang memenuhi persyaratan kelengkapan data untuk 5 tahun terakhir dalam rangka mengukur beberapa variabel seperti tingkat volatilitas earnings, volatilitas returns, dan tingkat pertumbuhan aset perusahaan. Kriteria selanjutnya adalah perusahaan pada industri manufaktur karena perusahaan manufaktur mempunyai karakteristik padat modal, degree of operating leverage tinggi, dan operational risk yang tinggi sehingga perusahaan manufacturing cenderung berhati-hati untuk mempertahankan combined leverage ratio yang stabil (Indrawati dan Suhendro, 2006). Sampel penelitian ini tidak meliputi perusahaan yang bergerak dalam sektor keuangan, pertambangan, agrikultur, dan konstruksi, karena memiliki ketentuan pajak khusus. Perusahaan dalam industri keuangan tidak dimasukkan dalam penelitian karena memiliki struktur laporan keuangan dan highly regulated dibandingkan industri lain pada umumnya. Model penelitian mengacu pada model yang digunakan oleh Bathala et al. (1994). Pengembangan yang dilakukan pada model tersebut dengan menyertakan variabel yang diuji yaitu variabel yang menunjukkan proksi anggota komisaris independen dan komite audit. Untuk menguji keterkaitan yang bersifat saling berhubungan maka model yang digunakan adalah regresi linier simultan. Bathala et al. (1994) menggunakan pendekatan ini karena rasio utang jangka panjang (leverage) dan kepemilikan managerial saling berhubungan sehingga kedua variabel tersebut bersifat endogenous dalam suatu sistem. Kondisi ini terjadi karena kepemilikan managerial dan utang jangka panjang merupakan merupakan satu kesatuan dalam proses pengambilan keputusan managerial pada kerangka berfikir agensi. Pendekatan persamaan simultan ini merupakan perbaikan dari penggunaan persamaan tunggal dalam penelitian struktur pembiayaan (Bathala, 1994). Persamaan simultan yang digunakan di-estimasi menggunakan metode two-stage least-squares (2SLS). Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: Data-data yang digunakan adalah data sekunder time series meliputi data arus kas harian tahun 2009 yang diperoleh dari database Direktorat Akuntansi dan Pelaporan pada DJPBN dan data penerbitan SUN tahun 2009 yang diperoleh dari Direktorat Surat Utang Negara pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU). Berikut adalah definisi operasional yang dijelaskan oleh variabelvariabel dalam penelitian ini. DR = α0 + α1ERNVOL + α2DEPR + α3GROWTH + α4BOD_IN + α5AC + α6MGROWN + α7RDAD + μ (1)
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
MGROWN = β0 + β1STKVOL + β2GROWTH + β3TA + β4BOD_IN + β5AC + β6DR + α7RDAD + ν (2) Keterangan DR
: :
Perbandingan nilai buku utang jangka panjang dibagi dengan nilai buku ekuitas ERNVOL : Standar deviasi Earnings Before Income and Tax (EBIT) selama 5 (lima) tahun dibagi dengan ratarata total aset selama 5 (lima) tahun DERP : Perbandingan antara rata-rata deprisiasi fixed assets tahunan selama 5 tahun terhadap earnings sebelum penyusutan, bunga, dan pajak GROWTH : % tingkat pertumbuhan assets dalam 5 (lima) tahun terakhir BOD_IN : Jumlah komisaris independen dibandingkan dengan total jumlah seluruh anggota dewan komisaris AC : Perbandingan jumlah anggota komite audit dan dipimpin oleh komisaris independen dibanding jumlah anggota dewan komisaris MGROWN : % kepemilikan dari insider ownerships STKVOL : Standar deviasi return saham bulanan selama 5 tahun TA : Log dari total aset RDAD : Perbandingan rata-rata biaya riset dan pengembangan serta biaya iklan dengan rata-rata penjualan selama 5 tahun terakhir Variabel dependen yang digunakan adalah variabel kewajiban atau utang jangka panjang (DR) pada persamaan pertama yang diukur dengan menggunakan rasio dari nilai buku utang jangka panjang dibandingkan dengan nilai buku ekuitas. Karena persamaan yang digunakan menggunakan pendekatan simultan maka variabel kepemilikan managerial (MGROWN) menjadi salah satu variabel independen dari persamaan pertama. Hubungan yang terjadi antara variabel ini dengan variabel utang jangka panjang (DR) diperkirakan memiliki hubungan negatif sehingga semakin besar tingkat kepemilikan managerial, maka semakin tinggi tingkat alignment dengan pemegang saham lainnya sehingga cenderung perusahaan akan mengurangi utang jangka panjang dan lebih memilih pembiayaan secara internal melalui kepemilikan saham oleh manajemen. Kepemilikan saham oleh manajemen pada dasarnya merupakan upaya agar manajemen bertindak efisien (Christie dan Zimmerman, 1994) dan memberikan insentif untuk menyusun laporan keuangan yang lebih berkualitas (Ball et al., 2003). Menurut Friend dan Hasbrouck (1988) dan Friend dan Lang (1988) menjelaskan bahwa kepemilikan managerial (insider) mempunyai kepentingan atas keberlangsungan perusahaan karena risiko utang jangka panjang lebih
127
PENGARUH KOMISARIS INDEPENDEN DAN KOMITE AUDIT TERHADAP PERMASALAHAN AGENSI PADA PENENTUAN STRUKTUR PEMBIAYAAN DAN KEPEMILIKAN MANAGERIAL PERUSAHAAN Sasono Adi
banyak menjadi beban manajemen daripada beban pemegang saham lainnya sehingga semakin besar kepemilikan managerial, semakin besar insentif manajemen untuk memperkecil risiko dalam mengambil keputusan struktur permodalan. Penelitian lain membuktikan bahwa kepemilikan saham managerial memberikan pengaruh negatif dengan rasio utang perusahaan (Wahidahwati 2002, Mahadwartha 2003). Variabel dependen pada persamaan kedua adalah variabel jumlah kepemilikan saham managerial (MGROWN) yang diukur menggunakan rasio dari jumlah saham yang dimiliki oleh direksi dan manager dibandingkan total saham yang beredar pada akhir tahun. Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah insider ownership menurut pengelompokkan Reuters Knowledge Database Tahun 2011. Dalam persamaan kedua ini variabel utang jangka panjang (DR) menjadi salah satu variabel independenya. Hubungan yang terjadi diprediksi cenderung negatif sehingga semakin besar tingkat utang jangka panjang maka semakin tinggi tingkat alignment dengan kreditor dan ini mengakibatkan tingkat kepemilikan saham managerial berkurang. Variabel BOD_IN dan AC yang merupakan variabel utama yang akan diuji dalam penelitian ini sebagai proxy dari proporsi komisaris independen dan audit komite. Variabel BOD_IN dan AC merupakan variabel eksogenous karena kedua variabel tersebut berada diluar kendali manajemen dan diasumsikan manajemen mempunyai kendali dalam mengambil keputusan atas pilihan melalukan pembiayaan melalui penerbitan utang jangka panjang atau kepemilikan saham. Sedangkan variabel-variabel lain yang ada dalam persamaan merupakan variabel kontrol yang digunakan dalam persamaan simultan oleh Bathala et al. (1994) yang meliputi volatilitas earnings (ERNVOL), non-debt tax-shield (DERP), tingkat pertumbuhan aset perusahaan (GROWTH), volatilitas tingkat pengembalian atau return saham (STKVOL), ukuran perusahaan (TA), dan biaya riset & pengembangan serta iklan (RDAD). Variabel BOD_IN merupakan proksi dari peran komisaris independen dalam ikut mempengaruhi keputusan-keputusan Dewan Komisaris untuk melakukan pengawasan terhadap Dewan Direksi. Komisaris independen didefinisikan sebagai pihak yang tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan pemegang saham pengendali perusahaan tercatat yang bersangkutan; pihak yang tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan direktur dan/atau komisaris lainnya perusahaan tercatat yang bersangkutan; dan pihak yang tidak bekerja rangkap sebagai direktur di perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan tercatat yang bersangkutan (Veronica, 2005). Informasi mengenai jumlah anggota komisaris independen dalam Dewan Komisaris diperoleh dari laporan tahunan perusahaan. Proksi ini diukur dengan menggunakan proporsi jumlah anggota komisaris independen
128
dibanding seluruh anggota Dewan Komisaris. Prediksi hubungan yang terjadi antara variabel ini dengan tingkat pembiayaan eksternal adalah semakin besar proporsi komisaris independen, maka semakin kecil tingkat utang jangka panjang yang digunakan perusahaan. Hal yang sama juga terjadi pada hubungan antara peran komisaris independen dengan kepemilikan managerial (GROWN) bahwa semakin besar proporsi komisaris independen, maka semakin kecil kekayaan manajemen karena semakin kecil peluang bagi manajemen memanfaatkan kekayaan perusahaan untuk kepentingan pribadi. Variabel AC merupakan proksi dari peran komite audit sebagai perangkat Dewan Komisaris yang bertugas melakukan pemeriksaan internal. Peran komite audit ini akan semakin kuat apabila dipimpin oleh seorang komisaris independen dan jumlah yang relatif cukup dibanding dengan jumlah keseluruhan anggota Dewan Komisaris. Diharapkan dengan dipimpin oleh seorang komisaris independen dapat mengurangi tekanan dari pihak Dewan Direksi atau manajemen. Proksi ini diukur dengan menghitung perbandingan jumlah anggota anggota komite audit dan komite tersebut dipimpin oleh seorang komisaris independen. Variabel-variabel Utama ini merupakan variabel independen. Semakin besar proporsi keanggotaan komite audit maka semakin kecil kemungkinan manajemen melakukan tindakan untuk kepentingan pribadi. Volatilitas earnings (ERNVOL) menggambarkan tingkat kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka panjangnya. Semakin besar volatilitas earnings menunjukkan semakin besar ketidakpastian perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka panjangnya dan hal ini dinilai negatif oleh para kreditor. Dengan demikian hubungan yang diprediksi adalah semakin besar volatilitas earnings maka semakin kecil tingkat rasio utang jangka panjang. Non-debt tax-shields (DERP) adalah komponen yang dapat mengurangi pajak perusahaan sehingga menambah kemampuan untuk memenuhi kewajiban perusahaan. Perusahaan yang memiliki non-debt tax shields, seperti depresiasi dan investment tax credit, akan menggunakan utang jangka panjang lebih sedikit (DeAngelo dan Masulis, 1980) sehingga meningkatkan kemungkinan perusahaan membayar kewajiban yang ada. Sementara hasil penelitian yang dilakukan Scotts (1977) menemukan bahwa perusahaan dapat memperoleh utang jangka panjang lebih mudah apabila mempunyai jaminan aset yang diasosiasikan dengan biaya depresiasi yang besar. Pada variabel ini tidak dilakukan prediksi hubungannya dengan utang jangka panjang karena dari beberapa penelitian sebelumnya hasilnya berbeda-beda. Tingkat pertumbuhan aset perusahaan (GROWTH) merupakan proksi yang menggambarkan tingkat fleksibilitas investasi perusahaan. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan aset perusahaan mengindikasikan semakin besar perusahaan untuk
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
PENGARUH KOMISARIS INDEPENDEN DAN KOMITE AUDIT TERHADAP PERMASALAHAN AGENSI PADA PENENTUAN STRUKTUR PEMBIAYAAN DAN KEPEMILIKAN MANAGERIAL PERUSAHAAN Sasono Adi
Tabel 2. Matriks Korelasi DR
EARVOL
DR 1.000 EARVOL 0.207 DERP 0.106 GROWTH 0.394 AC -0.164 BOD_IN 0.149 TA 0.129 MGROWN -0.163 RDAD -0.058 STKVOL 0.033 Sumber: Data diolah sendiri
1.000 -0.346 0.239 0.006 0.040 -0.018 0.027 -0.043 0.003
DERP
1.000 0.062 -0.124 0.116 0.003 0.063 0.084 -0.124
GROWTH
1.000 0.096 0.297 -0.226 0.066 -0.066 -0.022
menyisihkan pendapatnnya untuk membiayai investasi tersebut sehingga pada akhirnya dapat mengurangi kewajiban kepada kreditor apabila perusahaan mengambil utang jangka panjang saat ini. Hubungan yang terjadi antara variabel ini dengan tingkat utang jangka panjang diprediksi positif karena semakin tinggi tingkat pertumbuhan aset dimasa lalu maka semakin tinggi prospek untuk melakukan investasi di masa mendatang sehingga mengindikasikan makin banyak dana eksternal yang diperoleh perusahaan. Sumber: Data diolah sendiri Volatilitas tingkat pengembalian atau return saham (STKVOL) adalah variabel yang menggambarkan tingkat risiko perusahaan dalam memperoleh return. Volatilitas yang rendah menunjukkan adanya kestabilan nilai perusahaan sehingga investor memperoleh keyakinan bahwa investasi yang dimiliki akan kembali. Sebaliknya volatilitas return yang tinggi menunjukkan adanya kemungkinan menurunnya nilai perusahaan yang pada akhirnya penurunan tersebut dapat berasal dari penurunan tingkat pendapatan. Penurunan tingkat pendapatan dapat mengakibatkan manajemen beranggapan bahwa perusahaan dapat mengurangi kekayaan manajemen (Cruthley dan Hansen, 1989). Proksi ini dihitung dengan standar deviasi return saham bulanan selama 5 tahun. Prediksi yang mungkin terjadi antara variabel ini dengan tingkat kepemilikan saham managerial adalah negatif sehingga semakin besar tingkat volatilitas return saham semakin kecil tingkat kepemilikan managerial. Ukuran perusahaan (TA) merupakan proksi dari besarnya perusahaan yang dihitung dengan menggunakan nilai log dari total aset. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa semakin besar ukuran perusahaan cenderung semakin kecil porsi saham yang dimiliki oleh manajemen. Variabel berikutnya adalah variabel biaya riset dan pengembangan serta iklan (RDAD). Variabel ini digunakan untuk merepresentasikan diskresi kesempatan investasi. Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah biaya iklan yang berhubungan dengan pengenalan produk baru perusahaan sedangkan biaya riset dan pengembangan dari sampel perusahaan yang terpilih tidak diperoleh. Hal ini terjadi karena perusahaan-perusahaan di Indonesia pada umumnya lebih cenderung
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
AC
BOD_IN
1.000 0.100 -0.386 -0.123 -0.106 0.061
TA
1.000 -0.069 -0.032 -0.140 0.061
MGROWN
1.000 -0.121 0.118 -0.230
RDAD
1.000 -0.055 0.072
STKVOL
1.000 -0.259
1.000
memasarkan produk yang sudah jadi atau ditemukan pihak lain daripada melakukan inovasi baru, seperti riset pada perusahaan farmasi di luar negeri. Pengukuran variabel ini adalah rasio biaya iklan dibanding dengan penjualan yang dihitung dari ratarata selama 5 tahun terakhir. Hubungan yang terjadi antara variabel ini dengan kepemilikan saham managerial diprediksi positif karena semakin tinggi tingkat biaya iklan produk inovasi baru (intangible assets) menunjukkan semakin besar informasi yang dimiliki manajemen.
4.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Memberikan gambaran deskriptif mengenai data yang digunakan dalam penelitian. Berdasarkan tingkat leverage (DR), rata-rata perusahaan memiliki tingkat leverage yang tinggi, yaitu perbandingan antara utang jangka panjang dibanding dengan nilai buku ekuitas, 135%. Tingginya tingkat leverage ini mengindikasikan tingginya penggunaan sumber dana dari eksternal perusahaan. Tabel 1. Statistik Deskriptif Variabel
Mean
Median
Max.
Min.
DR EARVOL DERP GROWTH AC BOD_IN TA MGROWN RDAD STKVOL
1.3509 0.0603 -1.1334 0.7865 0.9302 0.3658 5.9282 0.6893 0.0440 0.1885
0.3514 0.0436 0.2315 0.4191 0.9000 0.3333 6.0240 0.7242 0.0004 0.1629
47.7510 0.2515 7.6993 8.3621 2.3333 0.6667 8.0525 0.9989 0.6292 0.5828
-8.4166 0.0096 -33.3648 -0.8010 0.3000 0.0000 2.4372 0.0767 0.0000 0.0000
Std. Dev. 6.8822 0.0460 5.8328 1.6460 0.4644 0.1520 1.1306 0.2223 0.1216 0.1123
Sumber: Data diolah sendiri
Volatilitas seperti earnings (EARVOL) dan returns (STKVOL) menunjukkan rata-rata nilai volatilitas relatif rendah, masing-masing sebesar 6% dan 18,85%. Hal ini menunjukkan kestabilan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dan kondisi pasar yang relatif tidak bergejolak. Sementara variabel yang berkaitan dengan aspek pembiayaan, yaitu variabel depresiasi menunjukkan nilai negatif 113% yang mencerminkan adanya pemanfaatan taxshield oleh perusahaan melalui tingginya beban biaya penyusutan di tahun 2010.
129
PENGARUH KOMISARIS INDEPENDEN DAN KOMITE AUDIT TERHADAP PERMASALAHAN AGENSI PADA PENENTUAN STRUKTUR PEMBIAYAAN DAN KEPEMILIKAN MANAGERIAL PERUSAHAAN Sasono Adi
Tingkat pertumbuhan total aset dalam 5 tahun terakhir dari perusahaan sampel relatif tinggi yaitu sekitar 78,75%. Hal ini mengindikasikan perkembangan nilai perusahaan yang semakin membaik dalam 5 tahun terakhir. Dilihat dari variabel yang menjadi fokus penelitian, yaitu komposisi komisaris independen dan audit komite masingmasing mempunyai nilai rata-rata 36,58% dan 93,02%. Secara umum rata-rata jumlah komisaris indipenden pada perusahaan adalah sepertiga dari keseluruhan jumlah anggota komisaris. Sedangkan dilihat dari keberadaan audit komite, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, secara umum hampir semua perusahaan telah membentuk audit komite yang dipimpin oleh satu komisaris independen. Sementara rata-rata ukuran perusahaan yang diteliti cenderung perusahaaan menengah yang terlihat dari rata-rata nilainya (setelah di log10) sebesar 5,92 dengan rentang ukuran perusahaan antara 8,05 sampai dengan 2,43. Dari Tabel 2. diketahui korelasi antar variabelvariabel yang digunakan dalam penelitian. Terdapat hubungan positif (0,394) antara tingkat leverage dengan tingkat pertumbuhan aset perusahaan (GROWTH) yang mengindikasikan adanya informasi penting konsistensi hubungan antara kebutuhan pendaaan eksternal dengan pertumbuhan perusahaan. Sebaliknya hubungan antara leverage dengan komite audit adalah negatif dengan nilai 0,164, sedangkan hubungannya dengan keberadaan anggota komisaris independen adalah positif dengan nilai 0,149. Tingkat leverage juga mempunyai hubungan negatif dengan kepemilikan managerial (-0,163). Terjadinya korelasi negatif ini memberikan informasi bahwa terdapat indikasi biaya agensi antara kreditor dan manager sebagai pemilik dalam menentukan apakah perlu dilakukan pembiayaan dari luar atau dari dalam perusahaan sendiri. Hubungan antara kepemilikan managerial dan keberadaan komisaris independen dan audit komite mempunyai hubungan negatif. Hal ini menandai adanya keterkaitan antara peran monitoring/pengawasan dengan peran pengelolaan/managerial. Secara umum korelasi yang terjadi antar variabel relatif rendah sehingga tidak terjadi permasalahan yang serius mengenai multicollinearity. Model yang digunakan sudah diuji untuk memastikan bahwa asumsi klasik terpenuhi dan pemilihan model telah sesuai dengan karakteristik data. Hasil pengujian dilakukan dengan menggunakan 2-stage least squares yang mempunyai hubungan simultan antara tingkat leverage dengan kepemilikan managerial dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. Sebagaimana dilaporkan pada Tabel 3, persamaan (1) ini merupakan persamaan utang jangka panjang atau debt equation. Model ini mempunyai nilai F-values yang signifikan pada level 0,01 dan nilai adjusted R-squared sebesar 78,20% yang menunjukkan bahwa model ini dapat menjelaskan hubungan antara leverage dengan
130
Tabel 3. Hasil Regresi Persamaan (1) DR = α0 + α1ERNVOL + α2DEPR + α3GROWTH + α4BOD_IN + α5AC + α6MGROWN + α7RDAD + μ Variable
Prediksi
C EARVOL DERP GROWTH + AC BOD_IN MGROWN RDAD + R-squared Adjusted R-squared F-statistic Prob(F-statistic)
Koef.
Std. Error 71.4172 14.2866 4.9880 10.0211 0.0314 0.0574 2.6886 0.6000 -8.8100 1.7749 -5.5324 3.0521 -89.0554 18.2663 -19.5473 4.7983 0.8145 0.7820 25.0855 0.0000
t-stat
Prob.
4.9989 0.4977 0.5472 4.4807 -4.9637 -1.8127 -4.8754 -4.0738
0.0000 0.6214 0.5873 0.0001 0.0000 0.0774 0.0000 0.0002
Sumber: Data diolah sendiri
variabel-variabel independennya dengan proporsi sebesar 78,20%. Komposisi komisaris independen (BOD_IN) dan komite audit (AC) mempunyai hubungan negatif yang signifikan, masing-masing dengan nilai p-values 0,0000 dan 0,0774. Hasil ini menunjukkan bahwa keberadaan komisaris independen dan audit komite yang dipimpin oleh komisaris independen mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menjalankan fungsi monitoring dan pengawasan terhadap pembiayaan yang berasal dari pihak Data eksternal perusahaan. Dengan demikian Sumber: diolah sendiri hipotesa H1 dan H2 terbukti. Temuan ini konsisten dengan penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan proporsi dewan komisaris independen maka kecenderungan perusahaan melakukan kecurangan akan semakin kecil (Beasley, 1996; Chen et al. 2006). Ditambahkan pula hasil ini sejalan dengan argumen Fama & Jensen (1983) bahwa fungsi yang sangat penting dari dewan komisaris adalah untuk meminimalisasi biaya agensi pada perusahaan modern saat ini. Dari hasil regresi pada Tabel 3, dapat diketahui bahwa kecuali tingkat volatilitas earnings (EARNVOL) dan depresiasi (DERP), semua variabel menunjukkan hasil signifikan walaupun dengan arah yang berbeda dari arah yang diperkirakan sebelumnya. Tingkat pertumbuhan aset yang semula diprediksi bertanda negatif ternyata hasilnya menunjukkan tanda positif. Hasil ini berbeda dengan pendapat Titman dan Wessels (1988) tetapi konsisten dengan hasil temuan Myers dan Majluf (1984) bahwa hal ini menunjukkan adanya kemungkinan peningkatan keuntungan dan keberhasilan perusahaan dalam memperoleh sumber keuangan eksternal. Variabel biaya iklan atas produk baru, sebagai proksi dari intangible assets (RDAD) sesuai dengan prediksi sebelumnya yaitu koefisiennya bernilai negatif yang menunjukkan bahwa biaya agensi yang berhubungan dengan jenis assets ini relatif lebih besar dibanding dengan tangible assets (Myers, 1977). Lebih lanjut, kepemilikan managerial (MGROWN), dalam konteks agensi, menunjukkan bahwa semakin besar kepemilikan managerial atau insider maka semakin
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
PENGARUH KOMISARIS INDEPENDEN DAN KOMITE AUDIT TERHADAP PERMASALAHAN AGENSI PADA PENENTUAN STRUKTUR PEMBIAYAAN DAN KEPEMILIKAN MANAGERIAL PERUSAHAAN Sasono Adi
Tabel 4. Hasil Regresi Persamaan (2) MGROWN = β0 + β1STKVOL + β2GROWTH + β3TA + β4BOD_IN + β5AC + β6DR + α7RDAD + ν Variable C STKVOL GROWTH TA BOD_IN AC DR_ RDAD
Prediksi + +
Koef. 1.0972 -0.0550 0.1600 -0.0137 0.1191 -0.3637 -0.0901 -0.5186
R-squared Adjusted R-squared F-statistic Prob(F-statistic)
Std. Error 0.1577 0.2454 0.0270 0.0198 0.1263 0.0409 0.0151 0.1999
t-stat
Prob.
6.9581 -0.2241 5.9254 -0.6932 0.9429 -8.9001 -5.9662 -2.5944
0.0000 0.8239 0.0000 0.4922 0.3514 0.0000 0.0000 0.0132
0.6515 0.5905 10.6817 0.0000
Sumber: Data diolah sendiri
besar pemegang saham managerial melindungi kepentingannya di perusahaan karena semakin besarnya risiko non-diversifiable dari adanya utang jangka panjang (Friend dan Hasbrouck, 1988; Friend dan Lang, 1988). Dengan demikian semakin besarnya kepemilikan managerial/insider maka semakin besar insentif untuk meminimalkan risiko struktur pembiayaan. Pada Tabel 4. persamaan (2) ini merupakan persamaan kepemilikan managerial atau ownership equation. Model ini mempunyai nilai F-values yang signifikan pada level 0,01 dan nilai adjusted RSumber: squaredData sebesar diolah59,05% sendiri yang menunjukkan bahwa hubungan antara kepemilikan managerial dengan variabel-variabel independennya dapat menjelaskan hubungan tersebut dengan sebesar 59,05%. Variabel pertumbuhan aset perusahaan (GROWTH) menunjukkan nilai positif dan signifikan sesuai dengan prediksi sebelumnya. Karena pertumbuhan total aset menunjukkan potensi pertumbuhan keuntungan dan potensi pertumbuhan perusahaan, maka manager cenderung untuk melakukan investasi pada ekuitas (dengan menerbitkan saham). Hal ini terjadi karena manager mempunyai informasi lebih tentang prospek pertumbuhan perusahaan. Dalam persamaan (2) ini, ternyata keberadaan komisaris independen (BOD_IN) tidak signifikan sebagaimana diharapkan sebelumnya, sehingga berbeda dengan hasil yang diperoleh pada persamaan (1). Sementara komposisi komite audit (AC) menunjukkan nilai koefisien negatif dan signifikan sesuai prediksi. Hasil ini konsisten dengan hasil regresi yang diperoleh pada persamaan (1), peran komite audit sebagai alat dewan komisaris untuk membantu melakukan monitoring terhadap manajemen lebih efektif. Namun proporsi keanggotaan komisaris indenpenden tidak menunjukkan hasil signifikan pada hasil regresi persamaan (2). Dengan demikian pada persamaan (2) ini,hipotesis H1 tidak terbukti dan hipotesis H2 terbukti. Tidak terbuktinya asosiasi antara kepemilikan managerial dengan keberadaan anggota dewan komisaris independen kemungkinan
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
disebabkan kepemilikan managerial pada perusahaan di Indonesia relatif kecil sehingga upaya untuk melakukan tindakan oportunistik, seperti earnings management dalam rangka memperoleh bonus, tidak terjadi (Hari. B, 2012). Sejauh ini kebijakan kepemilikan managerial tujuan kepemilikan tersebut. Dengan demikian mekanisme monitoring oleh komisaris independen tidak terjadi. Sebaliknya keberadaan komite audit menjadi penting karena tidak hanya berfungsi mengurangi tindakan oportunistik manajemen tetapi juga melakukan pengawasan sistem pengendalian internal perusahaan. Komponen intangible assets (RDAD) menunjukkan hasil negatif dan signifikan. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa perusahaan-perusahan yang memiliki biaya riset dan pengembangan cenderung memiliki lebih banyak informasi privat sehingga perusahaan-perusahaan tersebut memiliki kepemilikan managerial/insider yang tinggi (Myers, 1977; Leland dan Pyle, 1977). Akan tetapi dalam konteks Indonesia mungkin saja hasil penelitian mengenai riset dan pengembangan berbeda karena relatif sedikit atau tidak ada perusahaan-perusahaan melakukan riset dan pengembangan produk secara signifikan. Terakhir adalah tingkat leverage (DR) yang menunjukkan hubungan negatif dan signifikan dengan kepemilikan managerial/insider. Hasil ini konsisten dengan prediksi sebelumnya bahwa semakin besar tingkat utang jangka panjang maka semakin tinggi tingkat alignment manajemen dengan kreditor sehingga kecenderungan untuk memperoleh dana melalui kepemilikan saham semakin berkurang. Hasil regresi pada persamaan (2) ini menunjukkan hasil yang sama dengan hasil regresi pada persamaan (1) yaitu hubungan antara kepemilikan managerial (MGROWN) dengan tingkat leverage (DR). Dengan demikian hubungan kedua variabel tersebut (DR dan MNGOWN) bersifat inversi. Pengujian Sensitivitas Untuk mengetahui konsistensi atas hasil pengujian yang telah dilakukan sebelumnya maka dilakukan pengujian tambahan dengan menambah komponen corporate governance lainnya yang relevan dengan aspek pengawasan dan monitoring dalam rangka mengurangi biaya agensi, yaitu peran auditor (AUD) dan investor institusional (INS_OWN). Keberadaan auditor ini merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mendisiplinkan manager dari tindakan oportunistik. Variabel AUD didefinisikan sebagai dummy variabel yang bernilai 1 apabila perusahaan diaudit oleh kantor akuntan besar, dan bernilai 0 apabila sebaliknya. Kepemilikan institusional adalah prosentasi kepemilikan oleh institusi keuangan, yayasan dana pensiun, dan lembaga pemerintah pada perusahaan yang go public. Umumnya pemegang saham besar dan mempunyai hak suara dan mempunyai kepentingan ekonomi
131
PENGARUH KOMISARIS INDEPENDEN DAN KOMITE AUDIT TERHADAP PERMASALAHAN AGENSI PADA PENENTUAN STRUKTUR PEMBIAYAAN DAN KEPEMILIKAN MANAGERIAL PERUSAHAAN Sasono Adi
yang signifikan terhadap perusahaan sehingga pemegang saham institusional mempunyai insentif untuk melakukan monitoring terhadap manager perusahaan (Shleifer dan Vishny, 1986) dan bahkan pemegang saham institusional dapat bersifat lebih agresif dari monitoring secara pasif menjadi lebih aktif (Coffee, 1991). Persamaan yang digunakan dalam melakukan pengujian tambahan dapat dilihat pada persamaan (3) dan (4) berikut: DR = δ0 + δ1ERNVOL + δ2DEPR + δ3GROWTH + δ4BOD_IN + δ5AC + δ6MGROWN + δ7RDAD + δ8AUD + δ9INS_OWN + θ (3) MGROWN = λ 0 + λ1STKVOL + λ2GROWTH + λ3TA + λ4BOD_IN + λ5AC + λ 6DR + λ 7RDAD + λ 8AUD + λ 9INS_OWN +π (4) Hasil pengujian tambahan dapat dilihat pada Tabel 5. dan Tabel 6. Hasil regresi persamaan (3) menunjukkan nilai F-values yang signifikan pada level 0,01 dan nilai adjusted R-squared sebesar 84,22% yang menunjukkan bahwa hubungan antara leverage dengan variabel-variabel independennya dapat dijelaskan oleh model sebesar 84,22%. Nilai Rsquared yang diperoleh dari pengujian tambahan ini menunjukkan nilai yang lebih baik dari sebelumnya. Hasil regresi menunjukkan bahwa komposisi komisaris independen (BOD_IN) dan komite audit (AC) konsisten dengan pengujian sebelumnya, bahkan untuk keberadaan komite audit mempunyai nilai p-values yang lebih baik dari sebelumnya 0,0774 (pada level α <0,10 ) menjadi 0,0219 (pada level α <0,05 ). Hasil yang sama juga terjadi pada variabel pertumbuhan aset perusahaan (GROWTH), variabel biaya riset dan pengembangan (RDAD) dan kepemilikan managerial (MGROWN). Variabel yang menunjukkan peran auditor dan kepemilikan institusi juga menunjukkan hubungan yang negatif dan signifikan dengan tingkat leverage perusahaan. Hal ini menunjukkan peran kedua variabel tersebut sebagai media monitoring untuk mendisiplinkan manajemen dalam pengelolaan perusahaan, Tabel 5. Hasil Regresi Persamaan (3) DR = δ0 + δ1ERNVOL + δ2DEPR + δ3GROWTH + δ4BOD_IN + δ5AC + δ6MGROWN + δ7RDAD + δ8AUD + δ9INS_OWN + θ Variable PreKoef Std. t-stat Prob. diksi Error C 75.4983 13.2078 5.7162 0.0000 EARVOL 3.2645 9.5810 0.3407 0.7352 DERP 0.0272 0.0614 0.4437 0.6598 GROWTH + 2.6079 0.5620 4.6403 0.0000 AC -9.5388 1.7312 -5.5099 0.0000 BOD_IN -6.8850 2.8801 -2.3906 0.0219 MGROWN -90.5719 16.6006 -5.4559 0.0000 RDAD + -20.6129 3.9456 -5.2243 0.0000 AUD -2.0000 0.9410 -2.1253 0.0401 INS_OWN -5.2328 1.9637 -2.6648 0.0112 R-squared 0.8422 Adjusted R-squared 0.8048 F-statistic 22.5377 Prob(F-statistic) 0.0000
Sumber: Data diolah sendiri
132
Tabel 6. Hasil Regresi Persamaan (4) MGROWN = λ 0 + λ1STKVOL + λ2GROWTH + λ3TA + λ4BOD_IN + λ5AC + λ 6DR + λ 7RDAD + λ 8AUD + λ 9INS_OWN +π Variable
Prediksi
C STKVOL GROWTH TA + BOD_IN AC DR_ RDAD + AUD INS_OWN R-squared Adjusted R-squared F-statistic Prob(F-statistic)
Koef 1.0752 -0.0769 0.1497 -0.0102 0.0776 -0.3491 -0.0824 -0.5590 0.0519 -0.3078
Std. t-stat Error 0.1495 7.1900 0.2159 -0.3563 0.0268 5.5918 0.0208 -0.4890 0.1421 0.5461 0.0445 -7.8437 0.0159 -5.1912 0.1876 -2.9793 0.0492 1.0549 0.1431 -2.1507 0.6515 0.5905 10.6817 0.0000
Prob. 0.0000 0.7236 0.0000 0.6276 0.5882 0.0000 0.0000 0.0050 0.2981 0.0379
Sumber: Data diolah sendiri
khususnya berkaitan dengan upaya manajemen dalam memperoleh pendanaan melalui utang jangka panjang. Hasil regresi persamaan (4) menunjukkan nilai F-values yang signifikan pada level 0,01 dan nilai adjusted R-squared sebesar 59,05% yang menunjukkan bahwa hubungan antara leverage dengan variabel-variabel independennya dapat menjelaskan hubungan tersebut dengan sebesar 59, 05%. Keberadaan komisaris independen (BOD_IN) dan komite audit (AC) menunjukkan hasil yang konsisten pengujian sebelumnya. Hal yang Sumber: Datadengan diolah sendiri sama terjadi kosistensi hasil pada komponen kepemilikan managerial dan pertumbuhan aset yang signifikan. Sedangkan hubungan kepemilikan institusional dengan kepemilikan managerial/insider menunjukkan hubungan positif dan signifikan. Namun keberadaan auditor (AUD) tidak mempunyai pengaruh signifikan dengan kepemilikan managerial. Dengan demikian secara umum dapat disimpulkan hasil pengujian tambahan menunjukkan konsistensi hasil dengan pengujian awal sehingga hasil penelitian ini dapat dinyatakan andal pada perusahaan sampel yang diteliti.
5.
KESIMPULAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan bukti empiris dampak struktur kepemilikan dan kebijakan pembiayaan eksternal perusahaan terhadap upaya mengurangi permasalahan agensi yang timbul pada perusahan di Indonesia. Penelitianpenelitian terdahulu mengemukakan bahwa kepemilikan manajerial dapat digunakan sebagai pengendali terhadap munculnya biaya agensi pada perusahaan dan keberadaan komisaris independen serta komite audit dapat mengurangi perilaku oportunistik manajemen. Dari hasil pengujian empiris ditemukan bukti bahwa terdapat hubungan negatif antara keberadaan komisaris independen dengan tingkat leverage perusahaan, namun tidak diperoleh bukti yang signifikan terjadi hubungan negatif keberadaan komisaris independen dengan
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
PENGARUH KOMISARIS INDEPENDEN DAN KOMITE AUDIT TERHADAP PERMASALAHAN AGENSI PADA PENENTUAN STRUKTUR PEMBIAYAAN DAN KEPEMILIKAN MANAGERIAL PERUSAHAAN Sasono Adi
kepemilikan managerial. Hubungan negatif yang terjadi antara keberadaan komisaris independen dengan tingkat leverage perusahaan menunjukkan peran komisaris independen untuk mengurangi risiko atau financial distress atas utang jangka panjang perusahaan. Hasil penelitian juga membuktikan bahwa keberadaan komisaris independen dan komite audit sebagai salah satu perangkat monitoring yang membantu dewan komisaris dapat mengurangi insentif manager melakukan tindakan-tindakan oportunistik. Penelitian ini juga menemukan bahwa terjadi hubungan negatif yang signifikan antara tingkat leverage dengan kepemilikan managerial. Dalam hal ini adanya leverage dapat menjadi media alternatif dalam memonitor perilaku manajemen yang juga merupakan pemilik perusahaan.
6.
IMPLIKASI DAN KETERBATASAN
Penelitian ini memiliki keterbatasan bahwa hanya meneliti perusahaan-perusahaan manufaktur dengan jumlah sampel yang relatif terbatas sehingga belum dapat menggambarkan kondisi yang sebenarnya pada semua perusahaan yang tidak termasuk perusahaan manufaktur. Namun demikian penelitan ini dapat memberikan gambaran dalam konteks perusahaan yang telah go public di Indonesia bahwa terdapat pihak-pihak yang dapat memonitor manajemen dalam mejalankan perusahaan sehingga dapat diminimalisasi ekspropriasi manajemenpemilik/insider terhadap kepentingan para stakeholders lainnya. Secara khusus, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi lebih jelas mengenai peran komisaris independen yang selama ini digambarkan tidak memiliki informasi yang cukup dan signifikan tentang perusahaan dibanding manajemen. Peran komisaris independen semakin kuat apabila komite audit dapat bekerja secara efektif dan mendapat dukungan dewan komisaris. Keberadaan komite audit memberi pengaruh terhadap upaya mengurangi biaya agensi yang timbul dari adanya kepemilikan managerial dan kebijakan utang jangka panjang. Bagi pemerintah yang berwenang menetapkan regulasi, penelitian ini diharapkan memberikan masukan mengenai peningkatan efektifitas dewan komisaris beserta perangkat pendukungnya melalui kewajiban pengungkapan yang lebih tegas mengenai peran komisaris independen sehingga perkembangan pasar modal di Indonesia dapat lebih baik dan bersaing dengan pasar modal di negara lain. Keterbatasan penelitian ini adalah kecilnya jumlah sampel yang digunakan dan hanya terbatas pada perusahaan manufaktur. Penelitian lanjutan dapat dilakukan dengan memperluas jumlah sampel yang diteliti. Selain itu penggunaan metode penelitian lain dapat dilakukan untuk mengakomodasi adanya efek simultan, seperti penggunaan structural equation model sehingga pengolahan faktor-faktor yang mempengaruhi dapat dilakukan secara terintegrasi.
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
DAFTAR PUSTAKA Ahmed, A. S., & Duellman, S. 2007. Accounting conservatism and board of director characteristics: An empirical analysis. Journal of Accounting and Economics, 43(2), 411-437. Anderson, R. C., Mansi, S. A., & Reeb, D. M. 2004. Board characteristics, accounting report integrity, and the cost of debt. Journal of accounting and economics, 37(3), 315-342. Ball, R., Robin, A., & Wu, J. S. (2003). Incentives versus standards: properties of accounting income in four East Asian countries. Journal of accounting and economics, 36(1), 235-270. Bathala, C.T., Moon, K.P., and Rao, R.P. 1994. Managerial Ownership, Debt Policy, and the Impact of Institutional Holdings: an Agency Perspective. Financial Management. 23(3). 38-50. Beasley, M. S. 1996. An empirical analysis of the relation between the board of director compositionand financial statement fraud. The Accounting Review, vol. 71 no. 4 (Oct.), pp: 443465. Bonazzi, L. & Islam, S., 2007, 'Agency theory & corporate governance: A study of the effectiveness of board monitoring of the CEO', Journal of Modeling in Management, 2, 1, pp.7 – 23. Brealey, Richard A., Stewart C. Myers, and Franklin Allen, 2008. Principles of Corporate Finance, 9/e. McGrawHill, New York. Chen, Gongmeng, Firth,M., Gao, Rui,O.M.. 2006. Ownership structure, corporate governance and Fraud: Evidence from China. Journal of Corporate Finance, Vol 12 (3), 424-448. Chen, H. L., & Hsu, W. T. (2009). Family ownership, board independence, and R&D investment. Family business review. Chtourou, S. M., Bedard, J., & Courteau, L. (2001). Corporate governance and earnings management. University of Laval, Quebec, Canada. Christie, A.A., and J.L. Zimmerman. 1994. Efficient and Opportunistic Choices ofAccounting Procedures: Corporate Control Contests, The Accounting Review.69.(October).p.539-566. Coffee, J.C. Jr. 1991. Liquidity versus control: The institutional investor as Corporate Monitor. Columbia Law Review, October, 1277-1368. Crutchley, C. E., & Hansen, R. S. (1989). A test of the agency theory of managerial ownership, corporate leverage, and corporate dividends. Financial Management, 36-46. Daniri, M.A. 2005. Good corporate governance: konsep dan penerapannya dalam konteks Indonesia. Edisi 2. Daily, C., Dalton, D. & Cannella Jr., A., 2003, 'Corporate Governance: Decades Of Dialogue & Data', Academy ofManagement Review, 28, 3, pp. 371382.
133
PENGARUH KOMISARIS INDEPENDEN DAN KOMITE AUDIT TERHADAP PERMASALAHAN AGENSI PADA PENENTUAN STRUKTUR PEMBIAYAAN DAN KEPEMILIKAN MANAGERIAL PERUSAHAAN Sasono Adi
DeAngelo H. and Masulis R.W. 1980. Optimal Capital Structure under Corporate and Personal Taxation. Journal of Financial Economics. 3-29. Demsetz, H. & Lehn, K. 1985, 'The Structure of Corporate Ownership: Causes & Consequences', Journal of PoliticalEconomy, 93, 6, pp. 11551177. Erikson, C., Salsberg, E., Forte, G., Bruinooge, S., & Goldstein, M. (2007). Future supply and demand for oncologists: challenges to assuring access to oncology services. Journal of Oncology Practice, 3(2), 79-86. Fama, E.F. and Jensen, M. 1983. Agency Problem and Residual Claims. Journal of Law andEconomics.26. 327-349. Friend, I. and Hasbrouck, J. 1988. Determinant of Capital Structure. Research in Finance Vol 7. Andrew H. Chen, ed., Greenwich, CT, Jai Press Inc, 1-20. Friend, I. and Lang,L.H.P. 1988. An empirical test of the impact of managerial self-interest on corporate capital structure. Journal of Finance, 271-281. Grinstein, Y., & Tolkowsky, E. 2004. The role of the board of directors in the capital budgeting process-evidence from s&p 500 firms. In EFA 2005 Moscow Meetings. Grossman, S. and Hart, O. 1986. The costs and the benefits of ownership: A theory of vertical and lateral integration. Journal of Political Economy. 94. 691-719. Hari, B. 2012. Karakteristik Dewan Komisaris Dan Manajemen Laba Di Indonesia. Majalah Ekonomi, 22(1). Indrawati, T dan Suhendro. 2005. Determinasi Capital Structure pada Perusahaan Manufaktur di BEJ 2000-2004. Jurnal Akuntansi & Keuangan Indonesia, Vol. 3 No. 1, hlm. 77-105. Lan, L. & Heracleous, L. 2010, ‗Rethinking Agency Theory: the View from Law‘, Academy of Management Review, 35, 2, pp.294-314. Leland, H., Pyle, D. 1977. Information asymetric. Financial Structure and Financial Intermediation. Journal of Finance, 32, 371-380. Jensen, M. and Meckling, W. 1976. Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Cost, and ownership Structure, Journal of Financial Economics, 3, 305-360. Jensen, M. C. 1986. Agency costs of free cash flow, corporate finance, and takeovers. The American economic review, 323-329. Jensen, M. C. 1993, 'The Modern Industrial Revolution, Exit and the Failure of Internal ControlSystems.' Journal of Finance, vol. 48, no. 3, pp. 831-880. Kochar, R. 1996. Explaining Firm Capital Structure: The Role of Agency Theory vs.Transaction Cost Economics. Strategic Management Journal. 7. 713-728.
134
Mahadwartha, P. A. (2003). Predictability power of dividend policy and leverage policy to managerial ownership in Indonesia: an agency theory perspective.Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 18(3). Myers, S.C. 1977. Determinants of Corporate Borrowing. Journal of Financial Economics, 5, 147-175. Myers, S.C. 1984. The capital structure puzzle. Journal of Finance. Myers, S.C., N.S. Majluf. 1984. Corporate financing and investment decision when firms have information that di not have. Journal of Financial Economics, 187-221. Rahmat M.M., Iskandar T.M., Saleh N.M. , 2009 , Managerial Auditing Journal , Audit Committee Characteristics in Financially Distressed and Nondistressed Companies , 24(7):624-638. Siallagan, Hamonangan dan Mas’ud Machfoedz. 2006. Mekanisme Corporate Governance, Kualitas Laba, dan Nilai Perusahaan. Proceeding Simposium Nasional AkuntansiIX. Shleifer, A. and Vishny, R. 1986. Large shareholders and corporate control. Journal of Political Economy, June, 416-488. Shleifer, Andrei., Robert Vishny. 1997. A survey of corporate governance. The Journal of Finance. June, Vol. 52 (2), 737-783. Subramaniam, N., McManus, L., & Zhang, J. 2009. Corporate governance, firm characteristics and risk management committee formation in Australian companies. Managerial Auditing Journal, 24(4), 316-339. Titman, S. and Wessels, R. 1988. The determinant of capitalstructure choice. Journal of Finance, March, 1-19. Veronica, S. 2005. Pengaruh struktur kepemilikan, ukuran perusahaan, dan praktek corporate governance terhadap pengelolaan laba (earnings management) dan kekeliruan penilaian pasar, Disertasi Program Studi Ilmu Managemen Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Wahidahwati. 2002. Pengaruh Kepemilikan Managerial dan Kepemilikan Institusional pada Kebijakan Hutang Perusahaan: Sebuah Perspektif Teori Agency, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol 5, Nomor 1, hlm. 1-16. Williamson, O.E. 1984. Corporate Governance. The Yale Law Journal, 93, 1197-1230. Williamson, O. 1988. Corporate Finance and Corpoorate Governance Journal of Finance 43, 567592.
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014 Halaman 135-152 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
PENGARUH PENANAMAN MODAL ASING TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: ANALISIS DATA PANEL PERIODE 1994-2013 Jefry Batara Salebu Direktorat Jenderal Pajak, Indonesia. Email:
[email protected]. INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL
This study analyzes the effect of foreign direct investment (FDI) on economic growth in Indonesia. Panel data of 20 subsectors for the period 1994–2013 obtaining a balanced panel of 340 observations are used in the empirical estimation.The Fixed Effect Model is the best model based on redundant fixed effect test and Correlated random effect-Hausman test to find the significant impact of FDI on economic growth.The empirical results show strong evidence that LFDI has a significant and positive influence on LGDP. Based on the result of the regression, it could be said that FDI will boost economic growth in Indonesia. However, it was found that not all subsectors of FDI have a significant positive effect on economic growth. There are only four sectors where LFDI has significantly and positively impact to LGDP. Thus, the four sectors of theFDI have a considerable influence on economic growth in Indonesia, so that some supports from the government of Indonesia are needed in this sector, for example tax incentive regulation, to attract FDI from these subsectors to invest in Indonesia.
Diterima Pertama 18 Agustus 2014 Dinyatakan Dapat Dimuat 28 November 2014 KATA KUNCI: Produk Domestik Bruto, Penanaman Modal Asing, Data Panel, Model Efek Tetap.
Penelitian ini menganalisis pengaruh penanaman modal asing (PMA) terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Data panel dari 17 subsektor untuk periode 1994-2013 untuk mendapatkan panel yang seimbang dari 340 pengamatan digunakan dalam estimasi empiris. Model Efek Tetap adalah model terbaik yang dipilih sesuai uji redundant fixed effect dan uji correlated random effect-Hausman untuk menemukan dampak signifikan dari PMA terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil empiris menunjukkan bukti kuat bahwa variabel LFDI memiliki pengaruh yang signifikan yang positif terhadap variabel LGDP. Berdasarkan hasil regresi tersebut dapat dikatakan bahwa secara agregat masuknya PMA ke Indonesia akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Namun demikian, ditemukan fakta bahwa tidak semua subsektor dari PMA tersebut yang berpengaruh signifikan yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi.Terdapat hanya empat subsektor dimana variabel LFDI signifikan dan positif terhadap variabel LGDP. Dengan demikian, empat subsektor dari PMA tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia, sehingga diperlukan dukungan dari pemerintah Indonesia di sektor-sektor tersebut, misalnya pemberian insentif pajak, untuk menarik PMA dari subsektor tersebut menanamkan modalnya di Indonesia.
1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Salah satu aspek yang paling penting dari Penanaman Modal Asing (PMA) adalah dampak potensial terhadap pertumbuhan ekonomi di negara tuan rumah (host country). Hal ini sangat penting bagi negara-negara yang umumnya mempunyai financial dan capital yang terbatas yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang tersebut pada umumnya harus berurusan dengan masalah yang timbul dari saving-investment gap (perbedaan antara investasi dan tabungan). Terdapat pendapat bahwa PMA memberikan kontribusi untuk mengisi kesenjangan antara saving dan investment (Todaro & Smith, 2003) karena PMA memiliki beberapa keuntungan bagi negara penerima. Sebagai contoh, PMA memiliki akses yang lebih baik ke pasar keuangan, dan dapat memobilisasi tabungan domestik (Razin, Sadka, &
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
Yuen, 1999). Hal tersebut adalah beberapa alasan mengapa negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, ingin menarik PMA untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara mereka. Grafik 1 memperlihatkan perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan 2000 di Indonesia untuk periode tahun 1994 sampai dengan tahun 2013. Dalam Grafik tersebut terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin meningkat, kecuali untuk tahun 1998-1999 yang mengalami penurunan secara drastis mengingat pada tahun tersebut telah terjadi krisis ekonomi. Meskipun secara teoritis manfaat dari PMA sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi negara tuan rumah, bukti empiris untuk hubungan antara PMA dan pertumbuhan ekonomi dari negara-negara berkembang masih menjadi perdebatan. Di satu sisi, banyak penelitian telah melaporkan bahwa PMA mendorong pertumbuhan ekonomi negara-negara
135
PENGARUH PENANAMAN MODAL ASING TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: ANALISIS DATA PANEL PERIODE 1994-2013 Jefry Batara Salebu
Grafik 1. Perkembangan PDB Harga Konstan 2000 (Miliar Rupiah), periode 1994-2013 3000000.000 2500000.000 2000000.000 1500000.000 1000000.000 500000.000 -
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
berkembang, sementara beberapa penelitian lain tidak menemukan bukti atau terdapat bukti yang lemah bahwa PMA mendorong pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang. Balasubramanyam, Salisu, dan Spasford (1996) meneliti bahwa efek dari PMA terhadap pertumbuhan ekonomi akan kuat jika diikuti dengan kebijakan perdagangan yang berorientasi ekspor. Borensztein, Gregorio, dan Lee (1998) berpendapat bahwa PMA dapat menguntungkan pertumbuhan ekonomi melalui adopsi teknologi baru dan peningkatan sumber daya manusia. Bengoa dan Sanchez-Robles (2003) menemukan bukti bahwa PMA berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui modal sumber daya manusia yang memadai, stabilitas ekonomi, dan pasar liberal. Selain itu, bukti empiris dari pengaruh PMA terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara maju tidak jauh berbeda dengan kasus negara-negara berkembang, Alfaro (2003) menyatakan bahwa di negara-negara Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) arus masuk PMA ke sektor primer cenderung memiliki efek negatif pada pertumbuhan, sementara arus masuk PMA ke sektor manufaktur memiliki efek yang positif, dan di sektor jasa memiliki efek yang ambigu. Neuhaus (2006) menemukan bukti bahwa PMA memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi di Eropa Tengah dan Timur. Roy dan Van den Berg (2006) menemukan bukti bahwa PMA memiliki dampak positif dan signifikan secara ekonomi terhadap pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS). Di sisi lain, Carkovic dan Levine (2002) menemukan bukti bahwa komponen eksogen PMA tidak mempunyai pengaruh yang kuat dan independen terhadap pertumbuhan. Chowdhury dan Mavrotas (2003) menguji hubungan kausal antara PMA dan
136
pertumbuhan ekonomi terhadap tiga negara berkembang, yaitu Chili, Malaysia, dan Thailand. Di Chile tidak ada kausalitas antara PMA dan PDB sedangkan untuk Malaysia dan Thailand ada bukti kuat dari kausalitas dua arah. Duasa (2007) tidak menemukan bukti kuat hubungan kausal antara PMA dan pertumbuhan ekonomi di Malaysia. Zakaria (2009) menemukan bahwa PMA tidak berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang. Dengan kata lain, menurut studi yang ada, hubungan kausal dan pengaruh PMA terhadap pertumbuhan ekonomi tergantung pada kondisi spesifik negara. Selain itu, masalah apakah PMA dapat menguntungkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih menjadi perdebatan. Misalnya, Asafu (2000) menemukan bahwa PMA memiliki efek positif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada periode 1970-1996. Namun, Khaliq dan Noy (2007) menemukan bahwa efek dari PMA terhadap pertumbuhan ekonomi selama periode 1998-2006 dipengaruhi oleh komposisinya. Hanya sedikit sektor memiliki dampak positif; satu sektor (pertambangan dan penggalian) memiliki dampak negatif yang kuat dari arus masuk PMA. Dengan demikian, literatur empiris tersebut menunjukkan bahwa tidak ada konsensus mengenai arah kausalitas dan dampak PMA terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, secara umum disepakati bahwa PMA memainkan peran dalam pertumbuhan ekonomi negara tuan rumah tapi efeknya, baik positif maupun negatif, masih diperdebatkan. 1.2. Perkembangan PMA dan PDB di Indonesia Dalam Grafik 1 dapat dilihat perkembangan PDB untuk runtun waktu tahun 1994 sampai dengan tahun 2013. Terlihat bahwa PDB semakin meningkat dari
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
PENGARUH PENANAMAN MODAL ASING TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: ANALISIS DATA PANEL PERIODE 1994-2013 Jefry Batara Salebu
Grafik 2. Perkembangan Realisasi PMA (US$ Juta), periode 1994-2013 35000.000 30000.000 25000.000 20000.000 15000.000 10000.000 5000.000 -
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal.(diolah)
tahun ke tahun, kecuali untuk tahun 1998 dimana terjadi krisis ekonomi. Selanjutnya, dalam Tabel 1 dan Grafik 2 dapat dilihat perkembangan realisasi PMA di Indonesia dari tahun 1994 sampai dengan tahun 2013. Tabel dan Grafik tersebut menunjukkan variasi dalam realisasi FDI di Indonesia selama periode 1994 sampai 2013. Selain itu, Grafik 1 dan Grafik 2 menunjukkan bahwa PDB dan PMA tidak bergerak pada tingkat yang sama, yang mungkin menunjukkan bahwa PMA bukan faktor utama pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Perlu dicatat bahwa hal ini tidak menunjukkan kontribusi PMA terhadap pertumbuhan; hal tersebut hanya menunjukkan hubungan antara tingkat pertumbuhan dua variabel. Tabel 1.Realisasi PMA, 1994–2013 Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Penanaman Modal Asing Proyek Nilai (US$ juta) 392 3,770 287 6,698 357 4,630 331 3,473 413 5,016 502 8,202 635 11,206 449 3,502 443 3,087 571 5,446 546 4,551 907 8,915 868 5,976 982 10,341 1,138 14,871 1,221 10,815 3,076 16,215 4,342 19,475 4,579 24,565 9.612 28.618
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
Lebih lanjut, terkait dengan data PMA sebagaimana terlihat pada Grafik 2 dan Tabel 1, terlihat bahwa setelah pelarian modal di tengah krisis tahun 1997 dan 1998, PMA di Indonesia telah berkembang pada tingkat yang lebih lambat. Penurunan ini disebabkan tidak hanya karena tight economy dan slowed economic growth, tetapi juga risiko investasi yang tinggi. Krisis ini menciptakan ketidakpastian pengembalian investasi, karena fluktuasi yang tinggi dalam nilai tukar. Setelah krisis ekonomi pada tahun 1999, terjadi peningkatan tajam dalam PMA baik jumlah proyek dan nilai realisasi. Namun, pada tahun 2001 dan 2002 arus masuk PMA turun karena dimulainya otonomi daerah, yang menyebabkan keengganan investor asing untuk menanamkan dananya di Indonesia. Peningkatan dalam prosedur persetujuan investasi dan perizinan secara bertahap mempertahankan kepercayaan investor asing dan mendorong mereka untuk menjalankan bisnis mereka di Indonesia. Penurunan sedikit pada tahun 2008-2009 mungkin terjadi karena krisis keuangan global yang memperlambat ekonomi di seluruh dunia. Berbagai upaya perbaikan iklim investasi yang dilakukan baik pelayanan di pusat dan daerah melalui pelayanan terpadu satu pintu di bidang penanaman modal telah direspon positif yang ditandai dengan peningkatan realisasi PMA yang cukup signifikan di tahun 2012 dan 2013. Sesuai data yang dipublikasikan oleh BKPM diketahui bahwa realisasi penanaman modal di tahun 2012 mencapai Rp313,2 triliun atau 110,5% dari target tahun 2012 (Rp 283,5 triliun), dan apabila dibandingkan dengan pencapaian pada tahun 2011 (Rp 251,3 triliun), terdapat peningkatan sebesar 24,6%. Untuk realisasi investasi penanaman modal
137
PENGARUH PENANAMAN MODAL ASING TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: ANALISIS DATA PANEL PERIODE 1994-2013 Jefry Batara Salebu
akumulasi bulan Januari-Desember 2013 telah mencapai Rp398,6 triliun yang terdiri dari realisasi investasi triwulan I Rp93 triliun, triwulan II Rp99 triliun, triwulan III Rp100,5 triliun dan triwulan IV Rp105,3 triliun. Apabila dibandingkan dengan pencapaian pada tahun 2012 terjadi peningkatan sebesar 27,3%. Pencapaian realisasi investasi tahun 2013 sebesar Rp398,6 triliun tersebut melampaui target investasi Badan Koordonasi Penanaman Modal (BKPM) tahun 2013 yaitu sebesar Rp390,3 triliun atau 102,13% dari target tahun 2013. Realisasi investasi periode Januari-Desember 2012 porsi PMA bernilai sebesar Rp 221,0 triliun (24,6 miliar dollar AS) dimana terdapat lima sektor usaha yang menyerap investasi paling besar, yaitu Pertambangan (4,3 miliar dollar AS atau 17,3%); Transportasi, Gudang dan Telekomunikasi (2,8 miliar dollar AS atau 11,4%); Industri Kimia Dasar, Barang Kimia dan Farmasi (2,8 miliar dollar AS atau 11,4%); Industri Logam Dasar, Barang Logam, Mesin dan Elektronik (2,5 miliar dollar AS atau 10%); dan Industri Alat Angkutan dan Transportasi Lainnya (1,8 miliar dollar AS atau 7,5%). Selanjutnya, untuk realisasi investasi periode Januari-Desember 2013 komposisi FDI bernilai sebesar 28,6 miliar dollar AS, dimana realisasi PMA berdasarkan lima sektor terbesar adalah pertambangan 4,8 miliar dollar AS, industri alat angkutan dan transportasi 3,7 miliar dollar AS dan industri logam dasar, barang logam dan mesin elektronik 3,3 miliar dollar AS. 1.3. Penelitian Terdahulu Penelitian sebelumnya oleh Khaliq dan Noy (2007) memiliki ukuran sampel yang relatif kecil dengan menggunakan data tahunan periode1998-2006 untuk 12 sektor untuk memperoleh panel seimbang 108 pengamatan dimana penelitian yang dilakukan tidak termasuk PMA untuk sektor industri manufaktur. Dalam makalah ini penulis menggunakan data 17 subsektor dengan periode tahun 1994 sampai dengan tahun 2013 untuk memperoleh panel seimbang 340 observasi. Bagian empiris dalam makalah ini akan menguji pengaruh antara PMA dan pertumbuhan ekonomi menggunakan metode analisis data panel. Apabila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini menggunakan ukuran sampel yang lebih besar dari yang sebelumnya dan hasil analisis menjadi lebih komprehensif. 1.4. Tujuan Penelitian Terdapat banyak studi menyelidiki pengaruh antara PMA dan pertumbuhan ekonomi. Secara umum, hasil empiris tentang hubungan antara PMA dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia menunjukkan bahwa PMA memiliki pengaruf positif pertumbuhan ekonomi. Meskipun banyak peneliti masih dan sedang menyelidiki hal ini, kemungkinan pendapat yang berbeda dan dampaknya lintas sektor masih dapat ditemukan. Namun demikian, hanya terdapat beberapa penelitian yang menyelidiki pengaruh PMA terhadap
138
pertumbuhan ekonomi di Indonesia berdasarkan lapangan usaha (subsektor) dengan menggunakan pendekatan data panel. Masalah yang belum terpecahkan dan penting ini layak untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut. Dengan demikian, tujuan makalah ini adalah pertama untuk mengamati signifikansi pengaruh antara PMA dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan kemudian mencoba untuk mengidentifikasi subsektor apa saja yang memiliki dampak positif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
2.
KERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Makalah ini berfokus pada hubungan antara PMA dan pertumbuhan ekonomi. Telah banyak studi yang menemukan bahwa arah kausalitas berjalan dari PMA terhadap pertumbuhan ekonomi, namun dapat pula terjadi bahwa kausalitas berjalan dari pertumbuhan ekonomi terhadap PMA. Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa PMA memiliki dampak positif pada pertumbuhan ekonomi dalam kondisi tertentu di negara tuan rumah. Solow (1956) mengemukakan model pertumbuhan sebagai berikut: Y = f (K, L) ……………………………………….………………. (1) dimana Y adalah produksi output, K adalah persediaan modal, L adalah ukuran angkatan kerja.Persamaan (1) tersebut memperlihatkan bahwa faktor produksi Modal (K) dan Tenaga Kerja (L) merupakan faktor yang menyebabkan Produksi Output (Y). Dengan kata lain, faktor Modal antara lain PMA mempunyai kontribusi terhadap pertumbuhan. Selanjutnya, bukti empiris hubungan antara PMA dan pertumbuhan ekonomi dari negara-negara berkembang masih berbeda-beda. Di satu sisi, banyak penelitian telah menemukan bukti bahwa PMA mendorong pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang. Misalnya, Balasubramanyam et al. (1996) meneliti bahwa efek dari PMA terhadap pertumbuhan ekonomi di negara berkembang adalah kuat jika diikuti oleh kebijakan perdagangan yang berorientasi ke luar. Borensztein et al. (1998) menguji efek dari PMA terhadap pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan data PMA dari 69 negara berkembang selama dua dekade terakhir. Mereka berpendapat bahwa PMA dapat menguntungkan pertumbuhan ekonomi melalui adopsi teknologi baru dan peningkatan sumber daya manusia. Wang (2002) menemukan bahwa arus masuk PMA memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan menggunakan data dari 12 negara Asia selama periode 1987-1997, ditemukan bahwa hanya PMA di sektor manufaktur yang memiliki efek positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Bengoa dan Sanchez-Robles (2003) meneliti hubungan antara PMA dan pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan data panel untuk 18 negara Amerika Latin selama periode 1970-1999. Mereka menemukan bahwa PMA
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
PENGARUH PENANAMAN MODAL ASING TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: ANALISIS DATA PANEL PERIODE 1994-2013 Jefry Batara Salebu
berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara tuan rumah melalui sumber daya manusia yang memadai, stabilitas ekonomi, dan pasar liberal. Nair-Reichert dan Weinhold (2001) menguji kausalitas untuk panel lintas negara untuk periode 1971-1995 di 24 negara. Mereka menemukan bahwa rata-rata PMA memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan, meskipun hubungan sangat heterogen di seluruh negara. Zhang (2001), menggunakan data dari 11 negara di Asia Timur dan Amerika Latin, menemukan bahwa terdapat hubungan Granger kausalitas yang kuat antara PMA dan pertumbuhan PDB jika negara-negara tuan rumah mengadopsi rezim liberalisasi perdagangan, meningkatkan pendidikan, mendorong PMA berorientasi ekspor, dan menjaga stabilitas makroekonomi. Vadlamannati dan Tamazian (2009) meneliti dampak PMA terhadap pertumbuhan output ekonomi per pekerja menggunakan data panel yang meliputi 80 negara berkembang selama periode 19802006 dengan menggunakan pendekatan efek tetap, efek acak dan metode GMM untuk estimasi. Mereka menegaskan bahwa PMA memiliki efek positif pada pertumbuhan output. Anyamele (2010) meneliti dampak dari PMA, ekspor, dan tingkat pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di sub-Sahara Afrika dengan menggunakan data panel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik PMA dan ekspor berdampak signifikan pada pertumbuhan output di sub-Sahara Afrika. Li dan Liu (2005), menggunakan data panel untuk 84 negara selama periode 1970-1999, menemukan bahwa hubungan endogen yang signifikan antara PMA dan pertumbuhan ekonomi diidentifikasi dari pertengahan 1980-an dan seterusnya. Hansen dan Rand (2006) menganalisis hubungan Granger kausalitas antara PMA dan PDB dari 31 negara berkembang dengan periode 31 tahun. Mereka menemukan bahwa PMA menyebabkan pertumbuhan. Di sisi lain, terdapat sejumlah studi yang tidak menemukan bukti atau menemukan bukti lemah bahwa PMA berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Misalnya, Carkovic dan Levine (2002), menggunakan Metode Generalized Moments (GMM) panel estimator, menemukan bahwa komponen eksogen PMA tidak mempunyai pengaruh yang kuat dan independen terhadap pertumbuhan. Chowdhury dan Mavrotas (2003) menguji hubungan kausal antara PMA dan pertumbuhan ekonomi dengan data yang mencakup periode 1969-2000 dari tiga negara berkembang, yaitu, Chili, Malaysia, dan Thailand. Mereka menemukan bahwa di Chili tidak ada kausalitas antara PMA dan PDB sementara Malaysia dan Thailand memiliki bukti kuat dari kausalitas dua arah. Choe (2003) meneliti hubungan kausal antara pertumbuhan ekonomi, PMA dan GDI di 80 negara selama periode 1971-1995 dengan menggunakan model panel VAR. Mereka menemukan bahwa hubungan kausal antara pertumbuhan ekonomi dan PMA tidak searah. Bukti empiris pengaruh PMA terhadap pertumbuhan ekonomi dari negara-negara maju tidak
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
jauh berbeda dengan kasus negara-negara berkembang, Misalnya, Alfaro (2003) meneliti efek dari PMA pada pertumbuhan primer, manufaktur, dan sektor jasa dengan menggunakan data lintas negara dari negara-negara OECD untuk periode 1981-1999. Dia menemukan bahwa di negara-negara OECD arus masuk PMA ke sektor primer cenderung memiliki efek negatif pada pertumbuhan, sementara arus masuk PMA di sektor manufaktur memiliki positif, dan di sektor jasa memiliki efek ambigu. Neuhaus (2006) menemukan bahwa PMA memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi di Eropa Tengah dan Timur. Ghosh dan Wang (2010) menggunakan data panel dari 25 negara OECD untuk periode 1980-2004. Mereka menemukan bahwa PMA berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Vu dan Noy (2009), menggunakan data sektoral untuk kelompok enam negara-negara anggota OECD, ditemukan bahwa PMA memiliki efek positif pada pertumbuhan ekonomi secara langsung dan melalui interaksi dengan tenaga kerja. Mereka juga menemukan bahwa efek PMA terhadap pertumbuhan sangat berbeda di seluruh negara dan sektor ekonomi. Selain itu, masalah apakah PMA dapat menguntungkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia juga masih menjadi perdebatan. Misalnya, Asafu (2000) meneliti efek dari PMA terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk periode 1970-1996. Mereka menemukan bahwa PMA memiliki efek positif yang signifikan terhadap pertumbuhan. Lipsey dan Sjöholm (2010) menemukan bahwa arus masuk PMA telah memberikan manfaat kepada Indonesia. Di sisi lain, Sjöholm (1999) berpendapat bahwa ada kontradiksi yang mungkin terjadi antara PMA dan pembangunan daerah di Indonesia ketika PMA cenderung berlokasi di daerah terkonsentrasi, yang kemungkinan akan meningkatkan ketimpangan spasial. Khaliq dan Noy (2007) meneliti dampak PMA terhadap pertumbuhan ekonomi menggunakan ukuran sampel yang relatif kecil dengan menggunakan data tahunan periode19982006 untuk 12 sektor untuk memperoleh panel seimbang 108 pengamatan dimana penelitian yang dilakukan tidak termasuk PMA untuk sektor industri manufaktur. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa efek dari PMA terhadap pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh komposisinya. Hanya sedikit sektor dari PMA yang memiliki dampak positif, sementara satu sektor (pertambangan dan penggalian) menunjukkan dampak negatif yang kuat dari arus masuk PMA. Pengaruh PMA terhadap pertumbuhan ekonomi mempunyai beberapa implikasi. Lall (2002) menyimpulkan bahwa kontribusi PMA terhadap pertumbuhan ekonomi tergantung pada banyak faktor; yang bervariasi dari waktu ke waktu dan dari satu negara ke negara yang lain. Selain itu, Loungani dan Razin (2001) mengemukakan bahwa rekomendasi kebijakan bagi negara-negara berkembang harus fokus pada peningkatan iklim investasi untuk semua jenis modal, dalam negeri maupun luar negeri. Blomström dan Kokko (2001) berpendapat bahwa efek dari PMA
139
PENGARUH PENANAMAN MODAL ASING TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: ANALISIS DATA PANEL PERIODE 1994-2013 Jefry Batara Salebu
akan bervariasi tergantung pada karakteristik dan kebijakan negara tuan rumah, dan bahwa ada peran dari kebijakan ekonomi dalam memaksimalkan potensi manfaat PMA. Thee (2001) mengemukakan bahwa kebijakan ekonomi dan transparansi kebijakan investasi asing, diperlukan untuk menarik PMA agar memperoleh manfaat teknologi yang lebih besar. Zhang (2001) berpendapat bahwa PMA cenderung lebih mungkin untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ketika negara tuan rumah mengadopsi rezim liberalisasi perdagangan, meningkatkan pendidikan, mendorong PMA berorientasi ekspor, dan menjaga stabilitas makroekonomi. Dengan kata lain, studi-studi sebelumnya tersebut menunjukkan bahwa negara tuan rumah harus mempertimbangkan untuk mengembangkan kebijakan yang lebih hati-hati untuk menarik dan mendapatkan manfaat dari arus masuk PMA. Selanjutnya, terkait dengan analisis data panel yang akan digunakan dalam makalah ini, menurut Baltagi (2005) terdapat beberapa keuntungan yang dimiliki oleh data panel, antara lain: 1. Tersedia data yang lebih banyak dan informasi yang lebih lengkap serta bervariasi. Dengan demikian akan dihasilkan degrees of freedom (derajat kebebasan) yang lebih besar dan mengurangi kolinearitas antar variabel; 2. Data panel mampu mengakomodasi tingkat heterogenitas individu-individu yang tidak diobservasi namun dapat mempengaruhi hasil dari permodelan (individual heterogeneity); 3. Data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis; 4. Data panel memungkinkan untuk membangun dan menguji model yang bersifat lebih rumit dan kompleks; 5. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregasi individu karena unit observasi yang besar. Selain itu, Gujarati (2003) menyatakan bahwa data panel secara substansial mampu menurunkan masalah omitted variables yang timbul ketika terdapat masalah penghilangan variabel yang seharusnya masuk dalam model. Terdapat beberapa metode yang digunakan dalam analisis data panel yaitu Pendekatan Kuadrat Terkecil (Pooled Least Squared/PLS), Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect Model/FEM), dan Pendekatan Efek Acak (Random Effect Model/REM). Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Penanaman Modal Asing secara agregat berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 2. Seluruh subsektor dari Penanaman Modal Asing berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Selanjutnya, bagian empiris dalam makalah ini akan menguji pengaruh PMA terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan menggunakan analisis data panel dengan memilih satu metode terbaik antara PLS, FEM dan REM. Untuk menguji metode terbaik apa
140
yang akan digunakan, dilakukan pengujian dengan menggunakan Uji Chow atau Uji Likelihood Ratio dan Uji Hausman.
3.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan data panel (balanced panel) yang mengabungkan data cross section dan data time series. Penelitian ini menyelidiki hubungan antara PMA dan pertumbuhan ekonomi berdasarkan data panel dari PDB dan PMA dari 17 subsektor selama periode 19942013. Untuk melakukan analisis pengaruh PMA terhadap pertumbuhan ekonomi digunakan model neoklasik yaitu melalui pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas sebagai berikut:. Y = f(A, K, L) …..………………..…………………………….. (2) dimana Y adalah output, K adalah persediaan modal, L adalah ukuran angkatan kerja, dan A adalah perubahan teknologi. Selanjutnya dari persamaan (2) tersebut yang ditransformasikan menjadi persamaan logaritma, maka model estimasi PMA terhadap pertumbuhan ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: LGDPit = α + βLFDIit + εit ; t=1,…,T, i=1,…,N.....….(3) dimana LGDPit adalah logaritma natural dari Produk Domestik Bruto pada harga konstan 2000 menurut sektor, dan LFDIit adalah logaritma natural dari realisasi PMA pada harga konstan 2000 menurut sektor. Indeks i (i = 1, ..., N) menunjukkan subsektor, indeks t (t = 1, ..., T) mengacu pada periode. Selanjutnya, dalam analisis model data panel dikenal empat macam pendekatan estimasi yaitu: 1.
Pendekatan Kuadrat Terkecil (Pooled Least Squared/PLS) Model ini secara sederhana menggabungkan seluruh data time series dan cross section dan melakukan estimasi dengan menggunakan metode ordinary least squared (OLS). Pendekatan ini dapat ditulis dengan persamaan berikut ini: Yit = α + βXit + εit ; t=1,…,T, i=1,…,N .......................….(4) Pendekatan ini mempunyai asumsi bahwa nilai intersep dan koefisien slope adalah sama atau konstan untuk setiap periode maupun antar individu. Pendekatan ini tidak dapat melihat perubahan individu karena seluruh individu dianggap sama atau homogen. 2.
Pendekatan Least Squared Dummy Variable (LSDV) Model ini menambahkan dummy variable sehingga membawa perubahan pada intersep time series atau cross section mengingat model ini
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
PENGARUH PENANAMAN MODAL ASING TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: ANALISIS DATA PANEL PERIODE 1994-2013 Jefry Batara Salebu
memperhitungkan adanya permasalahan omitted variables. Pendekatan ini dapat ditulis dengan persamaan berikut ini:
component, sehingga Pendekatan Efek Acak ini sering disebut Error Component Model (ECM). Persamaan (9) dapat dimodifikasi menjadi: Yit = α + β1X1it + βnXnit + ui +eit ………………..……...(10)
Yit = α1 + α2D2 + αnDn + β1X1it + βnXnit + εit …………...(5) dengan t=1,…,T, dan i=1,…,N Pendekatan ini melihat bahwa intersep bervariasi antar unit cross section melalui penambahan variabel boneka namun tetap mengasumsikan bahwa koefisien slope sama antar unit cross section. Kelemahan dari pendekatan ini adalah apabila jumlah cross section-nya besar dan time seriesnya sedikit akan mengurangi derajat kebebasan. 3.
Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect Model/FEM) Pendekatan LSDV digunakan jika memiliki unit cross section yang sedikit. Permasalahan muncul ketika penelitian menggunakan cross section yang besar yang akan mengurangi derajat kebebasan sehingga akan mengurangi efisiensi parameter yang diestimasi. Pendekatan Efek Tetap digunakan untukmemperbaiki LSDV dimana unit cross section yang besar tidak akan mengurangi derajat kebebasan. Pendekatan Efek Tetap ini mengizinkan adanya intersep yang berbeda antar individu namun intersep setiap individu tidak bervariasi sepanjang waktu. Pendekatan ini dapat ditulis dengan persamaan berikut ini: Yit = αi + β1X1it + βnXnit + εit ………………………....……...(6) dimana nilai intersep untuk masing-masing unit cross section dapat ditulis sebagai berikut: αi = α+ μi; i = 1,2,…,N………………………………………..….(7) dimana μi adalah unobservable individual effects. Persamaan (6) dapat juga ditulis sebagai berikut: Yit = α + β1X1it + βnXnit +μi + εit …………………..……...(8) Dalam pendekatan ini, μi diasumsikan berkorelasi dengan regressor X atau dapat dikatakan bahwa μi bersifat tidak random. 4.
Pendekatan Efek Acak (Random Effect Model/REM) Pendekatan Efek Acak ini merupakan variasi dari estimasi Generalized Least Squares. Pendekatan ini memberikan asumsi bahwa efek individu yang tidak terobservasi tidak berkorelasi dengan regressor atau dengan kata lain bersifat random. Pendekatan ini dapat ditulis dengan persamaan berikut ini: Yit = α + β1X1it + βnXnit + wit ………………………..……...(9) Error term sekarang adalah wit yang terdiri dari ui dan eit, dimana ui adalah cross section (random) error component, sedangkan eit adalah combined error
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
Perbedaan mendasar antara FEM dan REM adalah asumsi mengenai unobservable individual effects (ui) dimana REM mengasumsikan ui bersifat random atau tidak berkorelasi dengan regressor X. Selanjutnya, untuk menentukan model mana yang lebih baik antara PLS, FEM, dan REM dilakukan pemilihan metode estimasi sebagai berikut: 1.
PLS atau FEM Untuk menentukan pendekatan yang lebih baik antara PLS dan FEM digunakan Uji Chow atau Uji Likelihood Ratio dengan hipotesis sebagai berikut: Ho: Ha:
Pooled Least Square (PLS) Model Efek Tetap (FEM)/LSDV
Statistik uji menggunakan distribusi F digunakan formula sebagai berikut: Fhitung = (RSSR – RSSUR) / (N – 1)………..…….(11) (RSSUR) / (NT – k) dimana RSSR merupakan residual sum squares estimasi PLS, dan RSSUR merupakan residual sum squares estimasi FEM/LSDV. Notasi N merupakan jumlah individu, T merupakan periode pengamatan, dan k merupakan jumlah variabel bebas tanpa konstanta. Dari formula tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila nilai Fhitung> Ftabel dan p-value signifikan maka tolak Ho dan terima Ha. Dengan kata lain, model panel data yang tepat adalah FEM/LSDV. 2.
REM atau FEM Untuk melakukan uji terhadap model yang memberikan performance lebih baik antara FEM dan REM dalammenjelaskan data digunakan Uji Hausman, dengan hipotesis sebagai berikut: Ho: Pendekatan Efek Acak (REM) Ha: Pendekatan Efek Tetap (FEM) Pengujian spesifikasi Hausman mengikuti distribusi Chi-Squared yang didasari pada criteria Wald. Dalam hal Chi-squaredhitung > Chi-squaredtabel dan p-value signifikan maka Ho ditolak sehingga pendekatan FEM lebih tepat digunakan. 3.2. Data Jenis dan Sumber Data Panel Dalam analisis data panel ini digunakan data untuk 17 subsektor dengan periode pengamatan antara tahun 1994 sampai dengan 2013 untuk mendapatkan panel seimbang (balanced panel) 340 observasi. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif tahunan dan sekunder yang dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan BKPM. Data PDB dikumpulkan dari BPS, sedangkan data realisasi PMA diperoleh dari BKPM. Namun, data realisasi PMA dari BKPM tersebut tidak termasuk data investasi sektor minyak dan gas bumi, perbankan,
141
PENGARUH PENANAMAN MODAL ASING TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: ANALISIS DATA PANEL PERIODE 1994-2013 Jefry Batara Salebu
Tabel 2. PMA Berdasarkan Lapangan Usaha dan PDB Yang Tercakup Dalam Penelitian No. 1.
2.
3.
Sektor Sektor Primer
Sektor Sekunder
Sektor Tersier
No.
Subsektor
ID
1.
Tanaman Pangan & Perkebunan
_CROPLAN
2.
Peternakan
_LVSTOK
3.
Perikanan
_FISH
4.
Pertambangan
_MNG
5.
Industri Makanan
_FOOD
6.
Industri Tekstil, Barang Dari Kulit & Alas Kaki
_TEXLTR
7.
Industri Kayu
_WOOD
8.
Ind. Kertas dan Percetakan
_PAPER
9.
Ind. Kimia dan Farmasi, Karet dan Plastik
_CHEMIRUB
10.
Ind. Mineral Non Logam
_NONMTL
11.
Ind. Logam, Mesin & Elektronik, Kendaraan Bermotor & Alat Transportasi Lain
_MTLELECTRANS
12.
Industri Lainnya
_OTRIND
13.
Konstruksi
_KONS
14.
Perdagangan & Reparasi, Hotel & Restoran
_HOTL
15.
Transportasi, Gudang & Komunikasi
_TRANSP
16.
Perumahan, Kawasan Ind & Perkantoran
_ESTAT
17.
Jasa Lainnya
_OTRSER
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal and Badan Pusat Statistik.
lembaga keuangan non bank, asuransi, sewa guna usaha, investasi yang perizinannya dikeluarkan oleh investasi porto folio (pasar modal) dan investasi rumah tangga. Subsektor yang menjadi sampel untuk analisis data panel terdapat pada Tabel 2. Dalam tabel tersebut subsektor dibagi menjadi tiga kelompok sektor, yaitu sektor primer, sektor sekunder, dan sektor tersier. Variabel PMA diukur berdasarkan realisasi PMA, dan pertumbuhan ekonomi diukur dengan PDB. Kedua variabel dalam mata uang Rupiah dan harga konstan 2000.Data realisasi PMA dikonversi ke dalam satuan mata uang Rupiah dengan menggunakan official exchange rates (LCU per US$, periode rata-rata). Dalam melakukan estimasi, logaritma natural digunakan terhadap variabel PMA dan PDB. 3.3. Metode Analisis dan Model Penelitian Dalam penelitian ini, seluruh pengolahan data yaitu estimasi model data panel, pemilihan model estimasi data panel, dan regresi data panel per sektor menggunakan perangkat lunak EViews versi 8. Makalah ini dilakukan melalui langkah-langkah berikut. Pertama, melakukan estimasi model data panel menggunakan pendekatan PLS, FEM dan REM. Kedua, melakukan pemilihan model estimasi data panel antara pendekatan PLS, FEM dan REM dengan menggunakan Uji Chow atau Uji Likelihood Ratio dan
142
Uji Hausman. Ketiga, melakukan analisis hasil regresi dengan menggunakan metode terpilih yang menunjukkan performance yang lebih baik dalam menjelaskan data. Keempat, melakukan analisis atas regresi data panel per sektor.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bagian empiris dalam makalah ini akan mengestimasi model data panel, menguji model analisis yang memberikan performance yang paling baik mengenai dampak PMA terhadap pertumbuhan ekonomi, dan selanjutnya akan mengidentifikasi dampak signifikan dari PMA terhadap pertumbuhan ekonomi menggunakan model terpilih. Untuk menguji pengaruh signifikan dari PMA terhadap pertumbuhan ekonomi tersebut, diterapkan tiga model analisis, yaitu, pooled least squared (PLS), FEM, dan REM. Selanjutnya, untuk menguji model mana yang memberikan performance paling baik maka digunakan Uji Chow atau Uji Likelihood Ratio dan Uji Hausman. 4.1. Estimasi Model Data Panel Pengujian signifikansi dari PMA terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia diterapkan melalui tiga model pendekatan, yaitu, PLS, FEM, dan REM sebagai berikut:
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
PENGARUH PENANAMAN MODAL ASING TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: ANALISIS DATA PANEL PERIODE 1994-2013 Jefry Batara Salebu
Tabel 3. Hasil Estimasi Regresi dengan Metode PLS (Common Effect) Dependent Variable: LGDP Method: Panel Least Squares Date: 08/12/14 Time: 12:28 Sample: 1994 2013 Periods included: 20 Cross-sections included: 17 Total panel (balanced) observations: 340 Variable
Coefficient Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LFDI
9.064745 0.211830 0.274303 0.030263
42.79257 9.064013
0.0000 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.195538 0.193157 0.993145 333.3822 -479.0975 82.15634 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
10.92167 1.105652 2.829986 2.852509 2.838960 0.239518
Sumber: Hasil Olahan Eviews 8 (2014)
4.1.1. Model Kuadrat Terkecil (Pooled Least Squared/PLS) Tabel 3 menunjukkan bahwa variabel LFDI mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel LGDP untuk seluruh sektor yaitu sebanyak 17 sektor, terlihat dari nilai p-value lebih kecil dari 5%. Hasil estimasi ini menggunakan spesifikasi cross section-nya adalah none dan period-nya adalah none. Tabel 4. Hasil Estimasi Regresi dengan Metode FEM (Cross-section fixed) Dependent Variable: LGDP Method: Panel Least Squares Date: 08/12/14 Time: 12:29 Sample: 1994 2013 Periods included: 20 Cross-sections included: 17 Total panel (balanced) observations: 340 t-Statistic
Prob.
C LFDI
10.57582 0.097495 0.051088 0.014218
108.4752 3.593191
0.0000 0.0004
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
10.92167 1.105652 0.388348 0.591057 0.469119 0.563832
Sumber: Hasil Olahan Eviews 8 (2014)
Namun demikian, Durbin-Watson statistics memperlihatkan nilai yang hampir mendekati nilai nol yang dapat berarti bahwa terdapat keberadaan autocorrelation. Model ini berasumsi bahwa intersep
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
Tabel 5. Individual efek dari Metode FEM (Cross-section fixed) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Sektor _CROPLAN _LVSTOK _FISH _MNG _FOOD _TEXLTR _WOOD _PAPER _CHEMIRUB _NONMTL _MTLELECTRANS _OTRIND _KONS _HOTL _TRANSP _ESTAT _OTRSER
Effect 1.094539 -0.449317 -0.265522 0.115346 0.732579 -0.147825 -0.869776 -0.917657 -0.140453 -1.361919 0.751109 -2.725304 0.652064 1.606206 0.589357 0.294507 1.042064
Hasil estimasi yang diperoleh tersebut menggunakan spesifikasi cross section-nya adalah fixed dan period-nya adalah none.
Coefficient Std. Error
0.936285 0.932921 0.286359 26.40450 -48.01921 278.3387 0.000000
4.1.2. Model Efek Tetap (Fixed Effects/FEM) Model Efek Tetap berasumsi bahwa intersep berbeda untuk setiap individu atau sektor namun koefisien slope dari seluruh sektor adalah sama. Hasil dari estimasi pada Tabel 4 menunjukkan bahwa LFDI mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap LGDP pada tingkat signifikan 5%. Selanjutnya pada Tabel 5 menunjukkan bahwa setiap individu atau sektor memiliki intersep yang berbeda namun tetap dengan koefisien slope yang sama.
Sumber: Hasil Olahan Eviews 8 (2014)
Variable
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
dan koefisien slope dianggap konstan baik antar waktu maupun antar individu. Hal ini akan menyebabkan estimasi dari variabel menjadi bias.
4.1.3. Model Efek Acak (Random Effects/REM) Model Efek Acak menyatakan bahwa seluruh sektor secara umum mempunyai intersep yang sama, namun terdapat perbedaan individu yang terdapat pada random error term. Random error term adalah suatu variabel yang tidak terobservasi dan tidak berkorelasi dengan regressor. Gujarati (2004) menyatakan bahwa terdapat autokorelasi antara random error term dari satu sektor ke sektor lainnya. Dengan demikian, estimasi dengan PLS dimana terdapat keberadaan autokorelasi akan menyebabkan estimasi yang tidak efisien. Untuk mendapatkan estimator yang efisien maka REM menggunakan Generalized Least Square (GLS). Hasil dari estimasi dengan Pendekatan Efek Acak pada Tabel 6 menunjukkan variabel LFDI berpengaruh secara signifikan terhadap variabel LGDP di tingkat signifikan 5%.
143
PENGARUH PENANAMAN MODAL ASING TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: ANALISIS DATA PANEL PERIODE 1994-2013 Jefry Batara Salebu
Tabel 6. Hasil Estimasi Regresi dengan Metode REM (Cross-section random) Dependent Variable: LGDP Method: Panel EGLS (Cross-section random effects) Date: 08/12/14 Time: 12:37 Sample: 1994 2013 Periods included: 20 Cross-sections included: 17 Total panel (balanced) observations: 340 Swamy and Arora estimator of component variances Variable
Coefficient Std. Error
C LFDI
10.55798 0.251058 0.053723 0.014166
t-Statistic
Prob.
42.05396 3.792536
0.0000 0.0002
Hasil estimasi yang diperoleh tersebut menggunakan spesifikasi cross section-nya adalah random dan period-nya adalah none. 4.2. Pemilihan Model Estimasi Data Panel Untuk menguji model pendekatan yang memberikan performance paling baik antara PLS, FEM dan REM, digunakan Uji Chow atau Uji Likelihood Ratio dan Uji Hausman. Uji Chow atau Uji Likelihood Ratio digunakan untuk menguji pemilihan antara FEM atau PLS, sedangkan Uji Hausman digunakan untuk menentukan model yang terbaik antara FEM dan REM.
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
Rho
0.954505 0.286359
0.9174 0.0826
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.040397 0.037558 0.287909 14.22890 0.000191
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
0.731024 0.293473 28.01735 0.546254
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.069093 Mean dependent var 385.7827 Durbin-Watson stat
10.92167 0.139745
Sumber: Hasil Olahan Eviews 8 (2014)
Pada Tabel 7 menunjukkan random error term, yang apabila dijumlahkan maka nilainya menjadi nol. Nilai intersep (C) sebesar 10.55798 menunjukkan nilai rata-rata dari komponen kesalahan random untuk seluruh sektor. Nilai random effect untuk masingmasing sektor sebagaimana terlihat pada Tabel 7 tersebut menunjukkan besarnya perbedaan komponen kesalahan random masing-masing sektor terhadap nilai rata-rata seluruh sektor. Tabel 7. Individual efek dari Metode REM (Crosssection random) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Sektor _CROPLAN _LVSTOK _FISH _MNG _FOOD _TEXLTR _WOOD _PAPER _CHEMIRUB _NONMTL _MTLELECTRANS _OTRIND _KONS _HOTL _TRANSP _ESTAT _OTRSER
Sumber: Hasil Olahan Eviews 8 (2014)
144
Effect 1.090102 -0.440207 -0.256632 0.115596 0.726311 -0.148923 -0.862319 -0.913630 -0.145173 -1.353867 0.742195 -2.710443 0.648257 1.595990 0.582891 0.293469 1.036384
4.2.1. Model Fixed Effects Atau PLS Untuk melakukan uji terhadap model yang memberikan performance lebih baik antara FEM dan PLS dalammenjelaskan data digunakan Uji Chow atau Uji Likelihood Ratio dengan hipotesis sebagai berikut: Ho : Intersep sama untuk semua sektor Ha : Terdapat paling tidak 2 sektor yang mempunyai intersep berbeda Tabel 8 (lihat Lampiran) menunjukkan bahwa Uji F dan Uji Chi-Square adalah signifikan dilevel 5% dimana p-value lebih kecil dari 5%. Sehingga terdapat alasan untuk menolak null hipotesis, atau dengan kata lain bahwa hipotesis alternatif diterima. Penggunaan Model Efek Tetap meningkatkan kualitas regresi. Terlihat bahwa variabel LFDI mengalami peningkatan dampak pengaruh dan signifikansi statistik. Kelaikan sesuai model juga meningkat yang dapat dilihat dari R-squared dimana sebelumnya dalam PLS sebesar 0,195538 menjadi sebesar 0,936285. Hasil dari Uji Chow pada Tabel 8 (lihat Lampiran) tersebut diperoleh dengan menggunakan beberapa spesifikasi yang berbeda. Pertama, hasil estimasi menggunakan spesifikasi dengan cross section-nya adalah fixed dan period-nya adalah none. Estimasi ini menghasilkan Cross-section F dan Cross-section Chisquare dengan p-value sebesar 0.0000 atau lebih kecil dari 5%. Kedua, dengan menggunakan spesifikasi cross section-nya adalah none dan period-nya adalah fixed. Estimasi ini menghasilkan Period F dan Period Chisquare dengan p-value lebih besar dari 5%. Ketiga, dengan menggunakan spesifikasi cross section-nya adalah fixed dan period-nya adalah fixed. Estimasi ini menghasilkan Cross-section F, Cross-section Chi-square , Period F dan Period Chi-square dengan p-value sebesar 0.0000 atau lebih kecil dari 5%. Berdasarkan hasil Uji Chow tersebut khususnya dengan menggunakan efek spesifikasi cross-section Fixed Effect dan Cross-section dan Period Fixed Effect maka dapat dikatakan bahwa pendekatan FEM menunjukkan performance yang lebih baik dalam menjelaskan data dibanding dengan pendekatan PLS. 4.2.2. Model Fixed Effects Atau Random Effects Untuk melakukan uji terhadap model yang memberikan performance lebih baik antara FEM dan
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
PENGARUH PENANAMAN MODAL ASING TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: ANALISIS DATA PANEL PERIODE 1994-2013 Jefry Batara Salebu
Tabel 8. Hasil Uji Chow
No. 1 2 3 4 5 6
Effect test Cross-section F Cross-section Chi-square Period F Period Chi-square Cross-Section/Period F Cross-Section/ Period Chisquare
cross-section FE stat prob 233.972429 0.0000 862.156683 0.0000 -
Period FE stat prob 0.896731 0.5874 17.691150 0.5431 -
-
-
-
Cross-section & period FE stat prob 737.823783 0.0000 1253.887283 0.0000 37.221628 0.0000 409.421750 0.0000 355.768054 0.0000 1271.578433
0.0000
Sumber: Hasil Olahan Eviews 8 (2014)
REM dalam menjelaskan data digunakan Uji Hausman, dengan hipotesis sebagai berikut: Ho : GLS dan OLS adalah konsisten tetapi OLS tidak efisien (REM) Ha : OLS adalah konsisten tetapi GLS tidak konsisten (FEM) Tabel 9 (lihat Lampiran) menunjukkan bahwa pvalue dengan nilai sebesar 0,0307 lebih kecil dari 5%. Sehingga terdapat alasan untuk menolak null hipotesis, atau dengan kata lain hipotesis alternatif diterima. Hasil dari Uji Hausman pada Tabel 9 (lihat Lampiran) tersebut diperoleh dengan menggunakan beberapa spesifikasi yang berbeda. Pertama, hasil estimasi menggunakan spesifikasi dengan cross section-nya adalah random dan period-nya adalah none. Estimasi ini menghasilkan Cross-section Random Chisquare dengan p-value sebesar 0.0307 atau lebih kecil dari 5%. Kedua, dengan menggunakan spesifikasi cross section-nya adalah none dan period-nya adalah random. Estimasi ini menghasilkan Period Random Chi-square dengan p-value lebih besar dari 5%. Ketiga, dengan menggunakan spesifikasi cross section-nya adalah random dan period-nya adalah fixed. Estimasi ini menghasilkan Cross-section Random Chi-square dengan p-value sebesar 0.0184 atau lebih kecil dari 5%. Berdasarkan hasil Uji Hausman tersebut khususnya dengan menggunakan efek spesifikasi cross-section Random Effect dan Cross-section Random Effect dan period Fixed Effect maka dapat dikatakan bahwa pendekatan FEM menunjukkan performance yang lebih baik dalam menjelaskan data dibanding dengan pendekatan REM. Dengan demikian, hasil uji perbandingan metode estimasi tersebut di atas memperlihatkan bahwa apabila efek spesifikasi dari cross section adalah fixed dan period adalah none maka dengan menggunakan redundant fixed effect test menunjukkan signifikan
berarti bahwa FEM lebih baik dari PLS. Selanjutnya, apabila efek spesifikasi dari cross section adalah random dan period adalah none maka dengan menggunakan Correlated Random effect-Hausman test menunjukkan signifikan berarti bahwa FEM lebih baik dari REM. Dengan kata lain, Model Efek Tetap dengan efek spesifikasi cross-section Fixed Effect dan Crosssection dan period Fixed Effect merupakan pendekatan paling baik dalam menjelaskan data panel. 4.3. Analisis Hasil Regresi Sebelum melakukan estimasi mengenai hubungan antara PMA dan pertumbuhan ekonomi maka perlu dilakukan pemilihan tentang model atau pendekatan mana yang akan digunakan dalam estimasi tersebut. Berdasarkan hasil pemilihan model estimasi data panel yang telah dilakukan sebelumnya dengan menggunakan Uji Chow atau Uji Likelihood Ratio dan Uji Hausman, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa model atau pendekatan yang memberikan performance lebih baik antara PLS, FEM dan REM adalah pendekatan FEM dengan efek spesifikasi crosssection Fixed Effect dan Cross-section dan period Fixed Effect. Selanjutnya, berdasarkan hasil tersebut, berikut ini akan dijelaskan analisa hasil estimasi regresi dengan menggunakan pendekatan FEM. 4.3.1. Analisis dengan Model Efek Tetap seluruh Sektor Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dalam Tabel 4 (lihat Lampiran) dapat dilihat bahwa hasil dari estimasi menunjukkan bahwa variabel LFDI mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap variabel LGDP pada tingkat signifikan 5%. Hal tersebut terlihat dari koefisien slope yang bertanda positif yaitu sebesar 0,051088 dan dengan nilai p-value sebesar 0,0004 atau lebih kecil dari 5%. Dengan kata lain, dengan tingkat keyakinan 95% data yang ada mendukung bahwa variabel LFDI memiliki pengaruh
Tabel 9. Hasil Uji Hausman
No. 1 2
Effect test Cross-section Random Chi-square Period Random Chisquare
cross-section RE
Period RE
cross-sectio RE&period FE
stat
prob
stat
prob
stat
prob
4.668486
0.0307
-
-
5.556879
0.0184
-
-
0.379464
0.5379
-
-
Sumber: Hasil Olahan Eviews 8 (2014) Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
145
PENGARUH PENANAMAN MODAL ASING TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: ANALISIS DATA PANEL PERIODE 1994-2013 Jefry Batara Salebu
yang signifikan terhadap variabel LGDP. Dari Tabel 4 tersebut juga terlihat nilai R-squared sebesar 0,936285. Nilai R-Squared yang semakin mendekati satu berarti model semakin baik dalam menjelaskan variasi yang terjadi pada variabel dependen. Selanjutnya pada Tabel 5 (lihat Lampiran) menunjukkan bahwa setiap individu atau sektor memiliki intersep yang berbeda namun tetap dengan koefisien slope yang sama. Hasil estimasi yang diperoleh tersebut menggunakan spesifikasi cross section-nya adalah fixed dan period-nya adalah none. Sesuai dengan hasil regresi dengan spesifikasi tersebut, maka dapat diketahui nilai intersep yang berbeda untuk setiap subsetor sebagai berikut: 1. Tanaman Pangan dan Perkebunan mempunyai nilai intersep sebesar 11.670359 (10.57582 + 1.094539); 2. Peternakan mempunyai nilai intersep sebesar 10.126503 (10.57582 -0.449317); 3. Perikanan mempunyai nilai intersep sebesar 10.310298 (10.57582 -0.265522); 4. Pertambangan mempunyai nilai intersep sebesar 10.691166 (10.57582 + 0.115346); 5. Industri Makanan mempunyai nilai intersep sebesar 11.308399 (10.57582 + 0.732579); 6. Industri Tekstil, Barang Dari Kulit dan Alas Kaki mempunyai nilai intersep sebesar 10.427995 (10.57582 -0.147825) 7. Industri Kayu mempunyai nilai intersep sebesar9.706044 (10.57582 -0.869776); 8. Industri Kertas dan Percetakan mempunyai nilai intersep sebesar 9.658163 (10.57582 -0.917657); 9. Industri Kimia dan Farmasi, Karet dan Plastik mempunyai nilai intersep sebesar 10.435367 (10.57582 -0.140453); 10. Industri Mineral Non Logam. mempunyai nilai intersep sebesar 9.213901 (10.57582 -1.361919);
11. Industri Logam, Mesin dan Elektronik, Kendaraan Bermotor dan Alat Transportasi Lain mempunyai nilai intersep sebesar 11.326929 (10.57582 + 0.751109); 12. Industri Lainnya. mempunyai nilai intersep sebesar7.850516 (10.57582 -2.725304); 13. Konstruksi. mempunyai nilai intersep sebesar 11.227884 (10.57582 + 0.652064); 14. Perdagangan dan Reparasi, serta Hotel dan Restoran mempunyai nilai intersep sebesar 12.182026 (10.57582 + 1.606206); 15. Transportasi, Gudang dan Komunikasi. mempunyai nilai intersep sebesar11.165177 (10.57582 + 0.589357); 16. Perumahan, Kawasan Industri dan Perkantoran. mempunyai nilai intersep sebesar 10.870327 (10.57582 + 0.294507); 17. Jasa Lainnya mempunyai nilai intersep sebesar 11.617884 (10.57582 + 1.042064). Lebih lanjut, berdasarkan hasil Uji Chow dan Uji Hausman diketahui bahwa Model Efek Tetap dengan efek spesifikasi cross-section Fixed Effect dan Crosssection & period Fixed Effect merupakan pendekatan paling baik dalam menjelaskan data panel. Tabel 11 (lihat Lampiran) memperlihatkan Hasil Estimasi Regresi dengan Metode FEM (Cross-section fixed & Period fixed). Dalam Tabel ini, penggunaan period fixed effect juga akan mengontrol dampak dari perekonomian Indonesia yang berfluktuasi khususnya untuk mengakomodasi tahun 1998 dimana terjadi krisis ekonomi. Dalam Tabel 11, dapat dilihat bahwa hasil dari estimasi menunjukkan bahwa variabel LFDI mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap variabel LGDP pada tingkat signifikan 5%. Hal tersebut terlihat dari koefisien slope yang bertanda positif yaitu sebesar 0.019384 dan dengan nilai p-value sebesar 0.0288 atau lebih kecil dari 5%. Dengan kata lain,
Tabel 10. Pengaruh LFDI terhadap LGDP per sector (cross section FE)
Sektor
Coefficient
Std.Error
t-Stat
Prob
_CROPLAN _LVSTOK _FISH _MNG _FOOD _TEXLTR _WOOD _PAPER _CHEMIRUB _NONMTL _MTLELECTRANS _OTRIND _KONS _HOTL _TRANSP _ESTAT _OTRSER
0.080281 -0.025660 -0.061824 0.166304 0.237845 -0.081663 -0.050681 -0.012409 -0.138220 -0.046215 -0.135484 -0.029870 0.044233 0.116716 0.203156 0.014634 0.082212
0.020837 0.043047 0.064320 0.031148 0.113152 0.062944 0.033494 0.025926 0.097782 0.054531 0.147358 0.052993 0.081400 0.111537 0.063704 0.050009 0.054780
3.852821 -0.596088 -0.961189 5.339222 2.101988 -1.297375 -1.513129 -0.478642 -1.413545 -0.847501 -0.919420 -0.563671 0.543401 1.046431 3.189060 0.292634 1.500765
0.0012*** 0.5585 0.3492 0.0000*** 0.0499** 0.2109 0.1476 0.6380 0.1746 0.4078 0.3700 0.5799 0.5935 0.3092 0.0051*** 0.7731 0.1508
Sumber: Hasil Olahan Eviews 8 (2014) Catatan: * signifikan pada level 10%; ** signifikan pada level 5%, dan *** signifikan pada level 1% 146
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
PENGARUH PENANAMAN MODAL ASING TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: ANALISIS DATA PANEL PERIODE 1994-2013 Jefry Batara Salebu
Tabel 11. Hasil Estimasi Regresi dengan Metode FEM (Cross-section fixed & Period fixed) Dependent Variable: LGDP Method: Panel Least Squares Date: 08/12/14 Time: 12:30 Sample: 1994 2013 Periods included: 20 Cross-sections included: 17 Total panel (balanced) observations: 340 Variable Coefficient Std. Error C LFDI
Tabel 13. Efek waktu dari Metode FEM (Cross-section fixed & Period fixed) t-Statistic
Prob.
178.7355 2.196937
0.0000 0.0288
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
10.92167 1.105652 -0.704069 -0.287389 -0.538040 0.438868
10.79045 0.060371 0.019384 0.008823 Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) Period fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.980890 0.978619 0.161671 7.919696 156.6917 432.0045 0.000000
Sumber: Hasil Olahan Eviews 8 (2014)
dengan tingkat keyakinan 95% data yang ada mendukung bahwa variabel LFDI memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel LGDP. Dari Tabel 11 tersebut juga terlihat nilai R-squared sebesar 0.980890. Nilai R-Squared yang semakin mendekati satu berarti model semakin baik dalam menjelaskan variasi yang terjadi pada variabel dependen. Dengan kata lain, baik Model Efek Tetap dengan efek spesifikasi cross-section Fixed Effect maupun Model Efek Tetap dengan efek spesifikasi Cross-section & period Fixed Effect menunjukkan bahwa variabel LFDI mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap variabel LGDP pada tingkat signifikan 5%. Selanjutnya, dalam Tabel 12 dan Tabel 13 (lihat Lampiran) dapat dilihat Efek individu dan efek waktu dari Metode FEM (Cross-section fixed & Period fixed). Dari tabel-tabel tersebut terlihat bahwa intersep berbeda antar individu dan antar waktu, namun koefisien slope tetap sama. Tabel 12. Efek individu dari Metode FEM (Crosssection fixed & Period fixed) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Sektor _CROPLAN _LVSTOK _FISH _MNG _FOOD _TEXLTR _WOOD _PAPER _CHEMIRUB _NONMTL _MTLELECTRANS _OTRIND _KONS _HOTL _TRANSP
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
No. Sektor Effect 16. _ESTAT 0.291113 17. _OTRSER 1.054295 Sumber: Hasil Olahan Eviews 8 (2014)
Effect 1.088901 -0.535073 -0.358569 0.106078 0.768660 -0.126556 -0.912793 -0.916649 -0.075811 -1.385489 0.818171 -2.757341 0.662768 1.642702 0.635593
Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Effect -0.332617 -0.232647 -0.155127 -0.104108 -0.318225 -0.316207 -0.246438 -0.176963 -0.118255 -0.053937 -0.007253 0.039799 0.091922 0.137607 0.184635 0.230778 0.271888 0.324453 0.366217 0.414476
Sumber: Hasil Olahan Eviews 8 (2014)
4.3.2. Analisis dengan Model Efek Tetap per sektor Untuk menganalisis lebih jauh hubungan antara PMA dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia untuk setiap lapangan usaha (subsektor) makaperlu dilakukan regresi dengan metode estimasi FEM dengan efek spesifikasi cross section adalah fixed dan period adalah none. Hasil dari regeresi tersebut dapat dilihat pada Tabel 10 (lihat Lampiran). Berdasarkan Tabel 10 tersebut terlihat bahwa penanaman modal asing hanya signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi untuk subsektorsubsektor tertentu saja. Dengan kata lain, bahwa tidak semua subsektor dari PMA yang menanamkan modalnya di Indonesia akan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Berdasarkan Tabel 10 tersebut dapat dikatakan bahwa PMA hanya signifikan di 4 subsektor sedangkan subsektor lainnya tidak mempunyai pengaruh yang signifikan, dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Tanaman Pangan dan Perkebunan dengan koefisien slope positif sebesar 0,080281 menunjukkan bahwa dengan meningkatnya PMA maka akan meningkatkan PDB. Dengan begitu semakin besar arus realisasi PMA untuk subsektor ini maka akan semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dengan demikian, PMA subsektor Tanaman Pangan dan Perkebunan mempunyai pengaruh positif dan
147
PENGARUH PENANAMAN MODAL ASING TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: ANALISIS DATA PANEL PERIODE 1994-2013 Jefry Batara Salebu
2.
3.
4.
5.
6.
7.
148
signifikan di level 1% terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Peternakan dengan koefisien slope negatif sebesar 0.025660 menunjukkan bahwa dengan meningkatnya PMA maka akan menyebabkan PDB menurun. Dapat dikatakan bahwa meningkatnya arus realisasi PMA untuk subsektor ini tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dengan demikian, PMA subsektor Peternakan mempunyai pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Perikanan dengan koefisien slope negatif sebesar 0.061824 menunjukkan bahwa dengan meningkatnya PMA maka akan menyebabkan PDB menurun. Dapat dikatakan bahwa meningkatnya arus realisasi PMA untuk subsektor ini tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dengan demikian, PMA subsektor Perikanan mempunyai pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pertambangan dengan koefisien slope positif sebesar 0.166304 menunjukkan bahwa dengan meningkatnya PMA maka akan meningkatkan PDB. Dengan begitu semakin besar arus realisasi PMA untuk subsektor ini maka akan semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dengan demikian, PMA subsektor Pertambangan mempunyai pengaruh positif dan signifikan di level 1% terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Industri Makanan dengan koefisien slope positif sebesar 0.237845 menunjukkan bahwa dengan meningkatnya PMA maka akan meningkatkan PDB. Dengan begitu semakin besar arus realisasi PMA untuk subsektor ini maka akan semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dengan demikian, PMA subsektorIndustri Makanan mempunyai pengaruh positif dan signifikan di level 5% terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Industri Tekstil, Barang Dari Kulit dan Alas Kaki dengan koefisien slope negatif sebesar 0.081663 menunjukkan bahwa dengan meningkatnya PMA maka akan menyebabkan PDB menurun. Dapat dikatakan bahwa meningkatnya arus realisasi PMA untuk subsektor ini tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dengan demikian, PMA subsektor Industri Tekstil, Barang Dari Kulit dan Alas Kaki mempunyai pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Industri Kayu dengan koefisien slope negatif sebesar 0.050681 menunjukkan bahwa dengan meningkatnya PMA maka akan menyebabkan PDB menurun. Dapat dikatakan bahwa meningkatnya arus realisasi PMA untuk subsektor ini tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dengan demikian, PMA subsektor Industri Kayu mempunyai pengaruh negatif dan
8.
9.
10.
11.
12.
13.
tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Industri Kertas dan Percetakan dengan koefisien slope negatif sebesar 0.012409 menunjukkan bahwa dengan meningkatnya PMA maka akan menyebabkan PDB menurun. Dapat dikatakan bahwa meningkatnya arus realisasi PMA untuk subsektor ini tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dengan demikian, PMA subsektor Industri Kertas dan Percetakan mempunyai pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Industri Kimia dan Farmasi, Karet dan Plastik dengan koefisien slope negatif sebesar 0.138220 menunjukkan bahwa dengan meningkatnya PMA maka akan menyebabkan PDB menurun. Dapat dikatakan bahwa meningkatnya arus realisasi PMA untuk subsektor ini tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dengan demikian, PMA subsektor Industri Kimia dan Farmasi, Karet dan Plastik mempunyai pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Industri Mineral Non Logam dengan koefisien slope negatif sebesar 0.046215 menunjukkan bahwa dengan meningkatnya PMA maka akan menyebabkan PDB menurun. Dapat dikatakan bahwa meningkatnya arus realisasi PMA untuk subsektor ini tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dengan demikian, PMA subsektor Industri Mineral Non Logam mempunyai pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Industri Logam, Mesin dan Elektronik, Kendaraan Bermotor dan Alat Transportasi Lain dengan koefisien slope negatif sebesar 0.135484 menunjukkan bahwa dengan meningkatnya PMA maka akan menyebabkan PDB menurun. Dapat dikatakan bahwa meningkatnya arus realisasi PMA untuk subsektor ini tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dengan demikian, PMA subsektor Industri Logam, Mesin dan Elektronik, Kendaraan Bermotor dan Alat Transportasi Lain mempunyai pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Industri Lainnya dengan koefisien slope negatif sebesar 0.029870 menunjukkan bahwa dengan meningkatnya PMA maka akan menyebabkan PDB menurun. Dapat dikatakan bahwa meningkatnya arus realisasi PMA untuk subsektor ini tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dengan demikian, PMA subsektor Industri Lainnya mempunyai pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Konstruksi dengan koefisien slope positif sebesar 0.044233 menunjukkan bahwa dengan meningkatnya PMA maka akan meningkatkan
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
PENGARUH PENANAMAN MODAL ASING TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: ANALISIS DATA PANEL PERIODE 1994-2013 Jefry Batara Salebu
PDB. Dengan begitu semakin besar arus realisasi PMA untuk subsektor ini maka akan semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Namun demikian, PMA subsektor Konstruksi ini mempunyai pengaruh positif tetapi tidak signifikan di level 1%, 5% maupun 10% terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 14. Perdagangan dan Reparasi, serta Hotel dan Restoran dengan koefisien slope positif sebesar 0.116716 menunjukkan bahwa dengan meningkatnya PMA maka akan meningkatkan PDB. Dengan begitu semakin besar arus realisasi PMA untuk subsektor ini maka akan semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Namun demikian, PMA subsektor Perdagangan dan Reparasi, serta Hotel dan Restoran ini mempunyai pengaruh positif tetapi tidak signifikan di level 1%, 5% maupun 10% terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 15. Transportasi, Gudang dan Komunikasi dengan koefisien slope positif sebesar 0.203156 menunjukkan bahwa dengan meningkatnya PMA maka akan meningkatkan PDB. Dengan begitu semakin besar arus realisasi PMA untuk subsektor ini maka akan semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dengan demikian, PMA subsektor Transportasi, Gudang dan Komunikasi ini mempunyai pengaruh positif dan signifikan di level 1% terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 16. Perumahan, Kawasan Industri dan Perkantoran dengan koefisien slope positif sebesar 0.014634 menunjukkan bahwa dengan meningkatnya PMA maka akan meningkatkan PDB. Dengan begitu semakin besar arus realisasi PMA untuk subsektor ini maka akan semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Namun demikian, PMA subsektor Perumahan, Kawasan Industri dan Perkantoran ini mempunyai pengaruh positif tetapi tidak signifikan di level 1%, 5% maupun 10% terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 17. Jasa Lainnya dengan koefisien slope positif sebesar 0.082212 menunjukkan bahwa dengan meningkatnya PMA maka akan meningkatkan PDB. Dengan begitu semakin besar arus realisasi PMA untuk subsektor ini maka akan semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Namun demikian, PMA subsektor Jasa Lainnyaini mempunyai pengaruh positif tetapi tidak signifikan di level 1%, 5% maupun 10% terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Selanjutnya, untuk membuktikan bahwa 4 subsektor tersebut memang mempunyai pengaruh yang signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi, dapat dilakukan dengan melakukan estimasi regresi dengan data cross section tanpa 4 subsektor tersebut sebagaimana terlihat pada Tabel 14. Dalam Tabel 14 tersebut terlihat bahwa dengan mengeluarkan ke-4 subsektor tersebut dari observasi maka jumlah cross secion penelitian menjadi
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
Tabel 14. Hasil Estimasi Regresi dengan Metode FEM13 Sektor (Cross-section fixed) Dependent Variable: LGDP Method: Panel Least Squares Date: 08/16/14 Time: 17:36 Sample: 1994 2013 Periods included: 20 Cross-sections included: 13 Total panel (balanced) observations: 260 Variable C LFDI
Coefficient Std. Error 10.81540 0.109468 -0.014659 0.016388
t-Statistic 98.79984 -0.894496
Prob. 0.0000 0.3719
R-squared 0.951671 Mean dependent var Adjusted R-squared 0.949118 S.D. dependent var S.E. of regression 0.261477 Akaike info criterion Sum squared resid 16.81908 Schwarz criterion Log likelihood -12.96226 Hannan-Quinn criter. F-statistic 372.6277 Durbin-Watson stat Prob(F-statistic) 0.000000
10.71856 1.159176 0.207402 0.399131 0.284480 0.493808
Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables)
Sumber: Hasil Olahan Eviews 8 (2014)
berjumlah 13 cross section dengan total observasi menjadi 260. Dari Tabel 14 tersebut terlihat juga bahwa ketika ke 4 subsektor tersebut dikeluarkan dari pengamatan,maka koefisien slope dari variabel LFDI menjadi negatif dan nilai p-value menjadi lebih besar dari 5% yang mengindikasikan bahwa variabel LFDI berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap variabel LGDP. Dengan kata lain ketika 4 subsektor tersebut dikeluarkan dari observasi maka PMA menjadi tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Singkatnya, hasil empiris dengan menggunakan Pendekatan Efek Tetap menunjukkan bukti kuat bahwa PMA mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap GDP pada tingkat signifikansi 5% dimana terlihat bahwa tidak semua subsektor dari PMA tersebut yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari hasil regresi per sektor dengan menggunakan pendekatan Efek Tetap dengan spesifikasi efek menggunakan cross section fixed effect ditunjukkan bahwa subsektor Tanaman Pangan dan Perkebunan, Pertambangan, Industri makanan, serta Transportasi, Gudang dan Komunikasi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
5.
KESIMPULAN
Berdasarkan estimasi model data panel menggunakan pendekatan PLS menunjukkan bahwa variabel LFDI mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel LGDP untuk seluruh sektor. Hal serupa juga ditunjukkan dengan menggunakan Model Efek Tetap dimana LFDI mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap LGDP pada tingkat signifikan 5% dengan intersep yang berbeda antar sektor. Dengan menggunakan Model Efek Acak, variabel LFDI berpengaruh secara signifikan terhadap LGDP di tingkat signifikan 5%. Dari seluruh estimasi model
149
PENGARUH PENANAMAN MODAL ASING TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: ANALISIS DATA PANEL PERIODE 1994-2013 Jefry Batara Salebu
data panel tersebut menunjukkan bahwa variabelLFDI mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel LGDP. Selanjutnya, untuk mengetahui model mana yang memberikan performance paling baik dalam mejelaskan data digunakan Uji Chow atau Uji Likelihood Ratio dan Uji Hausman.Hasil dari uji tersebut menunjukkan bahwa pendekatan FEM menunjukkan performance yang lebih baik dalam menjelaskan data dibanding dengan pendekatan PLS dan REM. Dengan demikian untuk melakukan analisis hasil regresi digunakan Model EfekTetap. Hasil empiris menggunakan Pendekatan Efek Tetap menunjukkan bukti kuat bahwa PMAmempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap GDP pada tingkat signifikansi 5% dimana terlihat bahwa tidak semua subsektor dari PMA tersebut yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari hasil regresi per sektor dengan menggunakan pendekatan Efek Tetap dengan spesifikasi efek menggunakan cross section fixed effect ditunjukkan bahwa subsektor Tanaman Pangan dan Perkebunan, Pertambangan, Industri makanan, serta Transportasi, Gudang dan Komunikasi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa PMAmempunyai pengaruh signifikan terhadap GDP berasal dari sektor primer, sekunder, dan juga sektor tersier.
6.
IMPLIKASI DAN KETERBATASAN
Efek dari PMA terhadap pertumbuhan ekonomi tergantung pada banyak faktor. Ini bervariasi berdasarkan waktu dan dari satu negara ke negara yang lain. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa efek PMA terhadap pertumbuhan ekonomi dapat berbedabeda dan memiliki beberapa implikasi. Apabila ditemukan bukti bahwa PMA mempunyai pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, maka implikasi kebijakannya adalah bahwa negara tuan rumah harus menyediakan aturan dan kebijakan untuk menarik PMA tersebut. Dengan menggunakan data sektoral, penelitian ini mampu menemukan non-keseragaman dampak PMA lintas sektor terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hasil empiris berdasarkan data panel dalam mata uang Rupiah menunjukkan bukti pengaruh signifikan dari realisasi PMA terhadap pertumbuhan ekonomi di sektor primer (Tanaman Pangan dan Perkebunan, serta Pertambangan), di sektor sekunder (Industri makanan), dan di sektor tersier (Transportasi, Gudang dan Komunikasi). Studi ini menemukan bukti bahwa PMA memberikan keuntungan kepada Indonesia. Dukungan dari pemerintah Indonesia untuk menerapkan kebijakan yang lebih berorientasi ke luar dibutuhkan di sektor ini. Implikasi kebijakan adalah bahwa pemerintah Indonesia harus membuat suatu aturan atau kebijakan terhadap PMA tersebut, contohnya regulasi insentif pajak termasuk proses administrasi yang lebih mudah untuk mendapatkan insentif, sehingga dapat menarik PMA dari subsektor
150
dimaksud untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Selain itu, pemberian insentif pajak, misalnya penyusutan dipercepat, dapat digunakan untuk menarik PMA di sektor tertentu (misalnya, sektor dengan penyerapan tenaga kerja tinggi dan pertumbuhan tinggi) atau dalam kegiatan tertentu (misalnya, R & D). Sebagaimana diketahui bahwa insentif pajak untuk kegiatan R & D digunakan oleh beberapa negara untuk mendorong akumulasi pengetahuan atau transfer teknologi. Kebijakan insentif harus diberikan hanya untuk sektor-sektor tertentu yang memiliki dampak positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia sehingga dapat memaksimalkan manfaat dari PMA di negara tuan rumah. Studi ini memberikan kontribusi wacana apakah insentif untuk PMA dapat diterapkan satu untuk semua atau hanya untuk sektorsektor tertentu yang memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi (mendukung beberapa sektor). Berdasarkan hasil empiris penelitian ini, pemerintah Indonesia harus memberikan kebijakan insentif lebih khusus terhadap subsektor Tanaman Pangan dan Perkebunan, Pertambangan, Industri makanan, serta Transportasi, Gudang dan Komunikasi.Dengan kata lain, penelitian ini mengusulkan bahwa pemerintah Indonesia harus lebih selektif dalam memberikan insentif pajak untuk menarik PMA menanamkan modalnya di Indonesia. Terkait dengan akan diimplementasikannya pasar tunggal ASEAN di tahun 2015, hal pertama yang harus diatasi dengan segera adalah mengurangi defisit neraca perdagangan. PMA diharapkan dapat berperan besar untuk memenuhi kebutuhan domestik sehingga akan mengurangi impor dan meningkatkan ekspor. Dengan semakin meningkatnya ekspor maka akan meningkatkan pendapatan nasional Indonesia. Selain itu, dengan berkurangnya impor dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan domestik, diharapkan dapat mengatasi defisit neraca perdagangan sehingga Indonesia siap untuk menghadapi pasar tunggal ASEAN yang akan diimplementasikan pada tahun 2015. Keterbatasan dari penelitian ini adalah analisis dilakukan hanya dengan menggunakan satu variabel bebas saja yaitu realisasi Penanaman Modal Asing (LFDI) dikarenakan adanya keterbatasan ketersediaan data yang dimiliki untuk melakukan penelitian. Studi ini juga hanya melakukan penelitian dengan menggunakan data yang seluruhnya dikonversi ke dalam mata uang Rupiah dan tidak melakukan penelitian untuk mata uang US Dollar, sehingga dimungkinkan adanya hasil analisis yang berbeda. Selain itu, penelitian ini hanya dilakukan untuk mencari hubungan satu arah pengaruh PMA terhadap pertumbuhan ekonomi namun tidak melakukan penelitian terkait pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap PMA.
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
PENGARUH PENANAMAN MODAL ASING TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: ANALISIS DATA PANEL PERIODE 1994-2013 Jefry Batara Salebu
DAFTAR PUSTAKA Afonso, A., & Rault,C. (2009). Bootstrap panel Grangercausality between government spendingand revenue in the EU (Working Paper No. 944).The William Davidson Institute. Alfaro, L. (2003). Foreign direct investment and growth: does the sector matter? (Working Paper). Harvard University, Harvard Business School. Anyamele, O. D. (2010). Foreign direct investment, exports, and education on economic growth in sub-saharan African. International Research Journal of Finance and Economics, 51, 38–49. Asafu, A., J. (2000). The effect of foreign direct investment on Indonesian economic growth, 1960–1996. Economic Analysis and Policy, 30, 49–62. Balasubramanyam, V. N., Salisu, M., & Spasford D. (1996). Foreign direct investment and growth in EP and IS countries. Economic Journal, 106, 92–105. Baltagi,B. (2005). Econometric Analysis of Panel Data.John Wiley & Sons. New York. Bengoa, M., & Sanchez-Robles, B. (2003). PMA, economic freedom, and growth: New evidence from Latin America. European Journal of Political Economy, 19, 529–545. Blomström, M., & Kokko, A. (2001). Foreign direct investment and spillovers of technology. International Journal of Technology Management, 22(5–6), 435–454. Blundell, R., & Bond, S. (1998). Initial conditions and moment restrictions in dynamic panel data models. Journal of Econometrics, 87, 115–143. Borensztein, E., De Gregorio, J., & Lee, J.-W. (1998). How does foreign direct investment affect economic growth? Journal of International Economics, 45, 115–135. Carkovic, M., & Levine, R. (2002).Does foreign direct investment accelerate economic growth?(Working Paper). University of Minnesota. Choe, J. I. (2003). Do foreign direct investment and gross domestic investment promote economic growth? Review of Development Economics, 7(1), 44–57. Chowdhury, A. R., & Mavrotas, G. (2003). PMA and growth: what causes what? The World Economy, 29(1), 9–20. De Mello Jr., L. R. (1997). Foreign direct investment in developing countries and growth: A selective survey. Journal of Development Studies, 34(1), 1–34. De Mello Jr., L. R. (1999). Foreign direct investment-led growth: Evidence from time series and panel data. Oxford Economic Papers, 51(1), 133–151. Duasa, J. (2007). Malaysian foreign direct investment and growth: Does stability matter? The Journal of Economic Cooperation, 28(2), 83–98.
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
Ghosh, M., & Wang, W. (2010).Does PMA accelerate economic growth? The OECD experience based on panel data estimates for the period 1980–2004. Global Economy Journal, 9(4), 1.doi: 10.2202/1524-5861.1496. Gujarati, Damodar N. (2003). Basic Econometrics Edisi Keempat.McGraw-Hill. New York. Hansen, H., & Rand, J. (2006). On the causal links between PMA and growth in developing countries. World Economy, 29 (1), 21–41. doi: 10.1111/j.1467-9701.2006.00756.x Khaliq, A., & Noy, I. (2007). Foreign direct investment and economic growth: Empirical evidence from sectoral data in Indonesia (Working Paper 200726). University of Hawai at Manoa, Department of Economics. Retrieved January 23, 2012, from http://www.economics.hawaii.edu/research/ workingpapers/WP_07-26.pdf. Lall S. (2002). PMA and development: Research issues in the emerging context.In Bora B. (Ed.). Foreign direct investment research issues. London, New York: Routledge. Li, X., &Liu, X. (2005). Foreign direct investment and economic growth: An increasingly endogenous relationship. World Development, 33(3), 393407. Lipsey, R. E., &Sjöholm, F. (2010). Foreign direct investment and growth in East Asia: Lessons for Indonesia (Working Paper Series 852). Research Institute of Industrial Economics. Loungani, P., & Razin, A. (2001). How beneficial is foreign direct investment for developing countries? Finance and Development, 38(2), 6– 9. Nair-Reichert, U., & Weinhold, D. (2001). Causality tests for cross-country panels: a new look at PMA and economic growth in developing countries. Oxford Bulletin of Economics and Statistics, 63(2), 153–171. Neuhaus, M. (2006). The impact of PMA on economic growth: An analysis for the transition countries of Central and Eastern Europe. In Contributions to Economics (Vol. XII, pp. 1– 196). Heidelberg, Physica-Verlag. Razin, A., Sadka, E., & Yuen, C. (1999). An informationbased model of PMA: The gains from trade revisited (NBER Working Paper No. 6884). National Bureau of Economic Research, Inc. Sjöholm, F. (1999). Economic recovery in Indonesia: The challenge of combining PMA and regional development (Working Paper No. 347). Stockholm School of Economics. Solow, R. M. (1956). A Contribution to the Theory of Economic Growth. Quarterly Journal of Economics, 70 (1): 65-94. Thee, K. W. (2001). The role of foreign direct investment in Indonesia's industrial technology development. International Journal of Technology Management, 22(5–6), 583– 598.
151
PENGARUH PENANAMAN MODAL ASING TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA: ANALISIS DATA PANEL PERIODE 1994-2013 Jefry Batara Salebu
Todaro, M. P., & Stephen, S. C. (2003). Economic development. (8th ed.). New York: Addison Wesley. Vadlamannati, K. C., & Tamazian, A. (2009). Growth effects of PMA in 80 developing economies: The role of policy reform and institutional constraints. Journal of Economic Policy Reform, 12(4), 299–322. Vu, T. B., & Noy, I. (2009). Sectoral analysis of foreign direct investment and growth in the developed countries. Journal of International Financial Markets, Institutions and Money, 19(2), 402–413. Wang, M. (2002). Manufacturing PMA and economic growth: Evidence from Asian economies [mimeo]. Department of Economics, University of Oregon. Zakaria, Z. (2009). Empirical evidence on the causality relationship between foreign direct investment and economic growth in the developing countries. Jurnal Ekonomi Malaysia, 43(1), 27–52. Zhang, K. H. (2001). Does foreign direct investment promote economic growth? Evidence from East Asia and Latin America. Contemporary Economic Policy, 19(2), 175–185.
152
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014, Halaman 153-164 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
THE DETERMINANT OF CORE INFLATION IN INDONESIA Rizki E. Wimandaa, Nur M. Adhi Purwantob, Fajar Oktiyantoc Bank Indonesia, Jakarta. Email:
[email protected] Bank Indonesia, Jakarta. Email:
[email protected] Bank Indonesia, Jakarta. Email:
[email protected] ARTICLE INFORMATION
ABSTRACT
ARTICLE HISTORY Received 23 September 2013
This paper analyzes factors affecting core inflation in Indonesia. Using quarterly data, we argue that after economic crisis in 1997/1998, core inflation is significantly affected by backward-looking expectation (its lag), forward-looking expectation (consensus forecast), output gap, exchange rate (growth and volatility), and the growth of M1. Comparing to the whole sample (1992-2011), the role of lag of core inflation becomes more significant, exchange rate pass-through is smaller, and the impact of volatility of exchange rate is bigger after the crisis. Employing MV filter method, we find an output gap threshold. Econometric model shows that the role of BI rate to reduce core inflation is limited. Using ARDL model and monthly data (year-on-year) from January 2002 to June 2011, we find that administered price inflation and volatile food inflation, to some extent, have an effect on the dynamic of core inflation. In general, the effect of volatile foods group on core inflation is bigger than the effect of administered prices group. Some commodities in administered prices basket have significant impact on core inflation, such as fuel, intercity transportation, household fuel, and telephone charge. Some commodities in volatile foods basket also have significant impact on core inflation, such as rice, beef, milk, noodles, and cooking oil.
Accepted to be published 28 November 2014 KEYWORDS: Monetary policy, core inflation, exchange rate pass through, ARDL model
Paper ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi core inflation di Indonesia. Dengan menggunakan model OLS dan data triwulanan (qtoq), kami berargumen bahwa pada periode setelah krisis ekonomi tahun 1997/1998, core inflation dipengaruhi oleh core inflation masa lalu (backward-looking), ekspektasi inflasi (consensus forecast), output gap, nilai tukar (perubahan dan tingkat volatilitasnya), dan pertumbuhan M1. Dibandingkan dengan whole sample (1992-2011), pada periode setelah krisis ekonomi peran output gap menjadi signifikan, pass-through nilai tukar berkurang, dan peran volatilitas nilai tukar menjadi lebih besar. Dengan menggunakan output gap MV filter, ditemukan adanya threshold output gap setelah periode krisis. Sementara itu, peran BI rate dalam menurunkan core inflation relative terbatas. Dengan menggunakan model ARDL dan data bulanan (yoy) dari Januari 2002 s.d. Juni 2011, kami berargumen bahwa pergerakan administered price inflation dan volatile food inflation mempengaruhi pergerakan core inflation di Indonesia. Secara umum, dampak kenaikan volatile foods lebih besar dibandingkan dampak kenaikan administered price terhadap core inflation. Beberapa komoditas administered price yang berdampak signifikan terhadap core inflation adalah bensin, angkutan dalam kota, bahan bakar rumah tangga, dan tarif telepon. Sementara beberapa komoditas volatile foods yang berdampak signifikan terhadap core inflation adalah beras, daging sapi, susu, mie, dan minyak goreng.
1.
INTRODUCTION
Since inflation targeting framework was explicitly adopted by Bank Indonesia in 2005, attention of the central bank towards inflation has been dominant. Understanding the transmission mechanism as well as inflation is crucial in policy formulation and decision making process. One important aspect is the knowledge of inflation determinants and their relative contribution from time to time. In the literature, core inflation is more relevant to monetary policy than headline inflation since core inflation is more persistent and has lower volatility. It Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
is well accepted that monetary policy has more ability in controlling core inflation than headline inflation. Price shocks are usually originated from commodities which price is regulated by government (administered prices) and from raw food commodities due to disaster or crops failure. While demand shocks are usually rarely happened, at least for the case of Indonesia. Based on its composition, the CPI basket consists of 774 commodities in which 60 commodities are part of volatile foods (18.69%), 21 commodities are part of administered prices (17.67%), and 669 commodities are part of core CPI (63.64%). Even though
153
THE DETERMINANT OF CORE INFLATION IN INDONESIA Rizki E. Wimanda, Nur M. Adhi Purwanto, Fajar Oktiyanto
commodities in the volatile foods and in the administered prices are different with those in the core, both volatile foods and administered prices affect core inflation through: (i) commodities that being used as input for other commodities (second round effect), and or (ii) inflation expectations. For example, hike on fuel price in 2005 and 2008 had increased core inflation as high as 9.7% and 8.3%. Studies on the measurement of core inflation have been conducted in Bank Indonesia since 2000. Various methods with their advantages and disadvantages have been reviewed. Although the previous studies have mentioned that the trim-mean method is the most robust, but the calculation of core inflation by exclusion method is the one used by Bank Indonesia. The most important reason why this exclusion method is chosen is because of its practicality and ease of communication to stakeholders. Moreover, the calculation of core inflation with this method carried out by Statistics Indonesia (BPS), so that the central bank will not be considered as cheating in determining monetary policy. The opposite is true if the trim-mean method is used where only central bank can measure. Wimanda et al. (2010) examined the characteristics of headline inflation nationally and regionally. In their study, they summarize the results of previous studies on inflation and correlate it with the level and the horizon of inflation target of Bank Indonesia. To complete the study, this paper is intended to investigate further the behavior of core inflation. Specifically, this study tries to answer the following questions: 1. What factors affect core inflation? Do exchange rate, output gap and inflation expectations have a role in determining the dynamic of core inflation? Do the output growth gap, growth of money (M1) and exchange rate volatility also have a role? 2. Is there a threshold on the effect of output gap on core inflation? 3. How much is the impact of an increase in BI rate to the decline in core inflation? 4. Do the movement of administered prices and volatile foods influence core inflation? Which commodities among those groups have the greatest impact? This paper will be written on following chapter. Chapter 2 describes the literature review of Phillips curve. Chapter 3 describes the methodology and data to be used. Chapter 4 analyzes the findings. And finally, chapter 5 closes with concluding remarks.
2.
LITERATURE REVIEW
Started by Gali and Gertler (1999), many researchers support and estimate the hybrid closedeconomy NKPC. In this hybrid version, inflation is not only influenced by marginal cost and expectations of inflation, but also by past inflation. 𝜋𝑡 = 𝜆𝑏 𝜋𝑡−1 + 𝜆𝑓 𝐸𝑡 𝜋𝑡+1 + 𝛽𝑥𝑡 .
154
(1)
Further development of the NKPC is to apply it in small open economy framework. Gali and Monacelli (2005) added one more factor, namely changes in effective terms of trade (the price of foreign goods in terms of home goods) which also had a role in determining the rate of inflation. Other researchers also developed a small open economy NKPC by adding the influence of the imported goods in the consumption basket of households and intermediate goods required by the company for the production (Leith and Malley, 2003). 𝜋𝑡 = 𝜆𝑏 𝜋𝑡−1 + 𝜆𝑓 𝐸𝑡 𝜋𝑡+1 + 𝛽𝑥𝑡 + 𝜂𝑧 ∗ ,
(2)
where 𝑧 ∗ is an external or foreign price measure. Adam and Padula (2003) estimated the New Keynesian Phillips Curve (NKPC) for the United States by using survey data from professional forecaster as a proxy for inflation expectations. They got significant estimates for all of the coefficient of independent variables either by using output or unit labor costs as a measure of marginal costs. Expectations survey shows that the identification of expectations that generally uses orthogonally of forecast errors by referring to the output can be distorted, which explains why the NKPC estimated with survey data have a better outcome than under the assumption of rational expectations. In another study, Henzel and Wollmershaeuser (2006) prove the suitability of the hybrid NKPC for certain European countries, the United States and Britain. The study did not impose rational expectations and estimating the Phillips Curve with General Method of Moments, but followed Robert (1997) and Adam and Padula (2003) and using direct measurement of inflation expectations. Source data used is the Ifo World Economic Survey, which collects quarterly inflation expectations in the future. The main findings of this study were: (i) as compared with the rational expectations approach, backward-looking behavior is more relevant for most countries in the sample used. (ii) The use of inflation expectations survey data produce a positive slope of the Phillips Curve as the output gap is used as a measurement of marginal cost. Norman and Richards (2010) estimated the interval of the single-equation model of inflation for Australia. This study found that the rate of unemployment or growth in marginal costs (unit labor costs and import prices) provide a more conformity better than the output gap or the level of marginal costs. The study also found that both commodity prices and the growth rate of money inflation directly affect Australia. Moccero et al. (2011) conducted a study of determinants of core inflation in the OECD countries (Organization for European Economic Co-operation) using the approach of Gordon's (1997) Triangle model. They found that the determinants of core inflation are the output gap, past inflation, and external price shock. They also noted that changes in economic activity represented by the change of the output gap can also affect inflation. Although the output gap is still
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
THE DETERMINANT OF CORE INFLATION IN INDONESIA Rizki E. Wimanda, Nur M. Adhi Purwanto, Fajar Oktiyanto
Figure 1. Transmission Mechanism in SSMX 2009 Model
BI Rate 1%
Deposit Rate
Loan Rate
GDP
M1
via output gap
Via oil price
Exchange Rate
3.
METHODOLOGY AND DATA
3.1. Methodology To answer the first question, we use the Hybrid New Keynesian Phillips Curve for the small open economy model. We also include several other variables that based on previous empirical studies have an influence on the dynamics of core inflation, following the approach taken by Moccero et al (2011). Our hypothesis, beside output gap, exchange rate, exchange rate volatility, and money supply, inflation expectation (backward looking and forward looking) also become determinant of inflation. All determinant variables above are expected to have a positive impact on inflation. The empirical model used is as follows: 𝜋𝑡 = 𝑒.𝑐𝑝𝑖 𝛾𝜋𝑏 𝜋𝑡−1 + 𝛾𝜋𝑓 𝜋𝑡+1
+ 𝛾𝑦 𝑦𝑡 + 𝑓𝑥 ∗ 𝛾𝑝 ∗ ∆𝑃𝑡 + 𝛾𝑚 (𝐿)∆𝑀𝑡 + 𝛾𝑓𝑥 (𝐿)𝜎𝑡
+ 𝛾∆𝑦 (𝐿)∆𝑦𝑡 + 𝜀𝑡 (3)
Variables on the right hand side consist of lag of core inflation (𝜋𝑡−1 ), expectations of inflation derived 𝑒.𝑐𝑝𝑖 from the Consensus Forecast (𝜋𝑡+1 ), the output gap (𝑦𝑡 ), a change in import price or import deflator (∆𝑃𝑡∗ ) or exchange rates, money supply growth (∆𝑀𝑡 ), 𝑓𝑥 exchange rate volatility (𝜎𝑡 ), output growth gap or a change in the output gap (∆𝑦𝑡 ).
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
Volatile Food Price
CPI
Core CPI
Import Price
relatively low, but the pace of change in the output gap can also put pressure on inflation. The argument offered is that there is a possibility of a supply bottleneck for both physical and human capital as a result of economic growth was rapid. The time required in order to develop the capacity of temporary supply constraints led to an increased demand faster than capacity. Supply constraints may also occur from the side of the future workforce where employees lost their jobs the economic downturn will require retraining before they can be rehired. Another argument offered is related to the skills mismatch in sectors that are experiencing growth. In line with research conducted by Debelle and Wilkinson (2002), and Kara and Nelson (2002), Moccero et al. (2011) include nominal import prices as a measure of external shock affecting core inflation. Import prices are considered to represent the effect of exchange rate changes and changes of import prices that are denominated in foreign currencies.
Administered Price
Estimating the NKPC equation by using survey data as a measure of inflation expectations has some advantages as follows (Moccero et al., 2011): 1. No need to explicitly specify the function of inflation expectations of economic agents, as far as the survey data is assumed to be capable of measuring inflation expectations. 2. Estimation can be done with the OLS method, because it does not need to impose the orthogonality restriction. The restriction is needed in estimating NKPC with rational expectation assumption. To answer the second question, our hypothesis believes there is a threshold for the output gap that will affect core inflation. We use the threshold model as follows:
t c 1 t 1 2 te1 1 (1 dt )[( gapt ) I ( gapt gap* )] 2 dt [( gapt ) I ( gapt gap* )] ert
mt 1crisis 2 fuel 3 fitri t
, Where 1 dt 0
(3) if gapt gap* if gapt gap*
.
Estimation and testing procedures used in this paper is based on those in Hansen (1997, 2000). To answer the third question, we used three models, namely SSMX 2009, SOFIE 2010 and simple model consisting of core inflation (Phillips curve) and the output gap (IS curve) equations. Our hypothesis believes that policy rate (BI rate) will give effect to core inflation dynamics. The transmission of BI rate shocks in SSMX model is as shown in Figure 1. The increase of the BI rate will immediately be responded with an increase in deposit rates and lending rates. Because the SSMX model has no disaggregation of GDP, then the modeling of BI rate transmission to GDP is represented by the influence of the dynamics of lending rates. In addition, transmission BI rate to GDP also occurs through changes in exchange rates and M1 due to the increase of deposit rates.
155
THE DETERMINANT OF CORE INFLATION IN INDONESIA Rizki E. Wimanda, Nur M. Adhi Purwanto, Fajar Oktiyanto
Figure 2. Transmission Mechanism in SOFIE 2010 Model BI Rate 1%
Deposit Rate
Loan rate
Loan
Investment
Consumption
GDP
via output gap
Export and Import Potential GDP
Exchange Rate
Import price
Figure 2 shows the transmission of BI rate to core inflation in SOFIE 2010. The increase of BI rate will cause an increase in deposit rates. This will be transmitted directly to the real sector through changes in consumption levels. In addition, changes of this deposit rates will affect the exchange rate through changes in the interest rate differential. The increase in deposit rates would also lead to changes in lending rates which will then be transmitted to the investment through its effect on lending by banks. Changes in exchange rates also cause changes in the dynamics of exports and imports. Because SOFIE models the complete disaggregation of GDP, the transmission of BI rate to GDP goes through each component of GDP. It is also modeled the dynamics of aggregate supply (potential GDP) based on the Cobb Douglas Production Function. This makes the changes in investment will also affect potential output through changes in capital stocks. Changes in the output gap, together with changes in prices of imported goods caused by changes in exchange rates will affect the dynamics of core inflation. Other model to be used is a model that combines the two equations, namely core inflation and output gap. Core inflation equation used is equation (8). Output gap equation, as shown in equation (10) is modeled as a function of the output gap the previous period, real interest rates and import prices. To model the interaction between these two equations, we calculate real interest rates by reducing the nominal interest rate by core inflation. 𝑔𝑎𝑝𝑡 = 𝛼1 𝑔𝑎𝑝𝑡−1 + 𝛼2 𝑖𝑡 − 𝜋𝑡+1 + 𝛼3 𝑧𝑡 + 𝜀𝑡 ,
(4)
where 𝑧𝑡 is import price. To answer the fourth question, our hypothesis believes there are some commodities that drive the dynamics of core inflation. We use auto-regressive distributed lag (ARDL) model as follows: 𝑌𝑡 = 𝛼 + 𝛶1 𝑌𝑡−1 + 𝛶2 𝑌𝑡−2 + ⋯ + 𝛶𝑘 𝑌𝑡−𝑗 + 𝛽0 𝑋𝑡 + 𝛽1 𝑋𝑡−1 + 𝛽2 𝑋𝑡−2 + ⋯ + 𝛽𝑘 𝑋𝑡−𝑘 + +𝜃0 𝑍𝑡 + 𝜀𝑡 ,
(5)
where 𝑌𝑡 is core inflation, 𝑋𝑡 is administered price inflation or volatile food inflation, and 𝑍𝑡 are control variables, namely exchange rates and output gap. To find the best model, the length of lag j and lag k is selected based on minimum Akaike Information Criteria (AIC). We choose 6 for the maximum lag length
156
Administered Price Volatile Food Price
CPI
Core CPI
for Y and X. The magnitude of the impact or influence of variable X to variable Y is to look at the time of maximum impact of shocks is given by 1% at t = 0. Only significant β are considered. 3.2. Data We use monthly and quarterly data from 1990 until 2011, namely: Table 1. Data No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
4.
Data Core inflation Volatile foods inflation and its commodities Administered price inflation and its commodities
Sources Statistics Indonesia Statistics Indonesia Statistics Indonesia Statistics Indonesia
Real GDP Exchange rate and its volatility M1 BI rate Potential output (multivariate, HP filter, peak-to-peak method) Inflation expectations.
Bloomberg Bank Indonesia Bank Indonesia Author calculation Consensus Forecast
EMPIRICAL RESULTS
4.1. Determinants of Core Inflation The estimation period are based on the availability of inflation expectation data from Consensus Forecast (2000Q4-2011Q1). One quarter a head inflation expectation data reported in Consensus Forecast is the average of year on year (y-on-y) inflation rate in a certain quarter. We make the following assumptions regarding the data: 1. The average (y-on-y) inflation expectation in a certain quarter is used as a proxy for end of period (y-on-y) inflation expectation in that quarter. This is in accordance with Tjahjono et al (2010) which stated that the variation of y-on-y inflation rate in a certain quarter is not so high that the inflation expectations of the consensus forecast can provide a fairly good proxy when used as a measure of end of period inflation expectation. 2. Since consensus forecast survey is conducted in March, July, September and December, we
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
THE DETERMINANT OF CORE INFLATION IN INDONESIA Rizki E. Wimanda, Nur M. Adhi Purwanto, Fajar Oktiyanto
assumed that the respondents already have complete or nearly complete information regarding the price level on those months (which coincide with the end period of each quarter) so that y-on-y inflation expectation can be converted into q-to-q inflation expectation. First, we transform y-on-y inflation expectation into expectation of Consumer Price Index. Quarter to quarter inflation expectations is then obtained by calculating the growth of CPI using the current and expected CPI. Inflation expectation from Consensus Forecast is CPI inflation expectation, which is a weighted average of core, administered and volatile food inflation. The use of such data in estimating core inflation equation makes the resulting coefficients cannot be compared with the coefficient of lag variables of core inflation for comparative analysis of backward versus forward looking. Table 1. Unit Root Test Variables Core inflation Inflation Expectation Output Gap-Multivariate Output Gap-HP Filter Output Gap-Peak to Peak Growth Import Price Growth Exchange Rate Growth of M1 Exchange Rate Volatility
t-stat -2.979318 -5.499515 -2.703423 -2.896480 -3.808935 -3.348777 -4.217027 -2.620558 -4.614540
Prob 0.0462 0.0000 0.0081 0.0562 0.0065 0.0205 0.0001 0.0988 0.0000
For completeness of analysis, we estimated equation (8) in the following variations: 1. Small open economy features: a. Import price (model 1) b. Nominal exchange rate (model 2) 2. Output gap measurements:
a. Multivariate filter (model A), b. Adjusted HP filter (model B), c. Peak to peak (model C). Before constructing the model, we test each variable whether it is stationer or not. Based on augmented Dickey Fuller test, all variables are stationer (Table 2). Table 3 shows that core inflation is significantly influenced by past inflation (backward-looking expectations), import prices or exchange rates, growth in money supply (M1), and the volatility of the exchange rate of the previous period. If we use import price as variable that represent characteristic of small open economy, inflation expectation from consensus forecast do not contribute to the increase of measure of fitness of the model. But if we use nominal exchange rate instead of import price, inflation expectation is significantly influence the dynamics of core inflation and increase the adjusted R2 of the model. In addition we also find that the output gap is significantly influence core inflation when we use nominal exchange rate as variable that represents small open economy characteristic. For completeness of analysis, we also estimated equation (8) in two different time period: full sample (1992-2011) and after crisis period (2000-2011). Since inflation expectation from Consensus Forecast only available starting from 2000, we cannot include inflation expectation for this comparison purposes. The complete results are presented in Appendix 1. From the result we can see that if we compare with the full sample, in the after crisis period there is a decrease in the coefficient of variable that represents characteristics of small open economy: import price and nominal exchange rate. The same is true for the coefficient of M1 growth. On the other hand, there is an increase in the coefficient of exchange rate volatility.
Table 2. Estimation Results of Hybrid NKPC ( 2000Q4 - 2011Q1) Independent Variable Core Inflation (t-1) Inflation Expectation (t+1) Output Gap Multivariate HP Filter Peak to Peak SOE variables Import Price Exchange Rate Other Variables Growth of M1 (-1) Exchange Rate Volatility (-1) Output Gap Growth Time Dummies Idul Fitri Fuel-Adm Shocks Crisis (2008/2009) Adjusted R-square
Model 1A 0.472447*** 0.001154
Model 1B 0.430736*** 0.000693
Model 1C 0.468024*** 0.000952
Model 2A 0.518981*** 0.002317***
Model 2B 0.45271*** 0.00154**
Model 2C 0.500099*** 0.001989***
0.001016 -
0.003266* -
0.001044
0.002348* -
0.003484** -
0.001122
0.053218*** -
0.04358** -
0.05516*** -
0.083464***
0.066618***
0.075222***
0.038484*** 0.002673*** -0.014612
0.037911*** 0.003667*** 0.033559
0.038078*** 0.00309*** 0.093357
0.05199*** 0.00139 -0.066767
0.047577*** 0.002672*** 0.026639
0.050046*** 0.001893* 0.089079
0.000844 0.030836*** -0.010498* 0.550154
0.001264 0.030509*** -0.007065 0.59378
0.000765 0.030972*** -0.0072 0.556675
0.001704 0.029993*** -0.022556*** 0.637554
0.001345 0.031006*** -0.015438** 0.658552
0.001053 0.03134*** -0.020031*** 0.614063
Note: *,**,*** indicate significant level at level 10%, 5%, and 1%, respectively.
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
157
THE DETERMINANT OF CORE INFLATION IN INDONESIA Rizki E. Wimanda, Nur M. Adhi Purwanto, Fajar Oktiyanto
Table 3. Estimation Results of Threshold Model (2000Q4 - 2011Q1) MV Filter Coeff. SE Prob Coeff. Core Inflation (t-1) 0.447869 0.08047 *** 0.437536 Inflation Expectation (t+1) 0.002021 0.000682 *** 0.001289 Output Gap ≤ Threshold 0.000378 0.001633 0.007025 Output Gap > Threshold 0.007629 0.003094 ** 0.002355 Exchange Rate 0.070396 0.018567 *** 0.057426 Output Gap Growth -0.07651 0.064709 0.065865 Growth of M1 (-1) 0.050368 0.011434 *** 0.042509 Exchange Rate Volatility (-1) 0.001334 0.000694 * 0.00385 Idul Fitri 0.001427 0.001917 0.000912 Fuel-Adm Shocks 0.030449 0.004953 *** 0.030439 Crisis -0.01815 0.006477 *** -0.01409 Adjusted R-square 0.663598 0.671728 S.E. of Regression 0.004517 0.004462 Sum Squared Resid 0.000633 0.000617 Log Likelihood 173.5777 174.0915 Durbin-Watson stat 2.558028 2.364277 Threshold 0.148 -0.92 P-value 0.106 0.29 Note: *,**,*** indicate significant level at level 10%, 5%, and 1%, respectively. Variables
4.2. Threshold Effect of Output Gap on Core Inflation The analysis in this section is focused on the after crisis period since in the full sample period, the estimation result shows that output gap do not affect the dynamic of core inflation significantly. Table 4 shows the results of threshold model estimation. Since we have three different measure of output gap, there are three different thresholds for each measure. The minimum Sum of Square Residual (SSR) for multivariate filter measures of output gap is found at the level of 0.15%. If the output gap is over 0.15%, it will have significant influence to the dynamics of core inflation with the coefficient of 0.008. On the other hand, if output gap is less than 0.15%, it will not have significant impact on the dynamics of core inflation. Simulation using bootstrap with 1000 repetition shows that this threshold is marginally significant (p-value 0.105). For adjusted HP filter measures of output gap, minimum SSR is found in the level of -0.92%. Estimation result shows that the level of output gap that is above this threshold will not have significant result on the dynamic of core inflation. This result is intuitively difficult to accept. Bootstrap simulation gave us the p-value equal to 0.29. The threshold value for peak-to-peak measures of output gap is -0.14%. Estimation result shows that if the value of output gap is above -0.14%, it will have significant impact on the dynamic of core inflation. Intuitively, this negative threshold value is quite acceptable, since for this method the value of output gap is always below zero. Unfortunately, the coefficient found is negative which is not in accordance with theory. Bootstrap simulations also show that this threshold is not significant (with p-value of 0.21).
158
AHP SE 0.070964 0.000675 0.002764 0.001646 0.018481 0.076822 0.011712 0.001215 0.001874 0.004799 0.006724
Prob *** * **
Coeff. 0.437052 0.002013 0.000141 -0.08639 0.072493 0.067901 0.049144 0.001417 0.001433 0.032302 -0.01958 0.674962 0.00444 0.000611 174.2994 2.671794 -0.136 0.206
*** *** *** *** **
PTP SE 0.075702 0.000628 0.001309 0.033112 0.016393 0.076773 0.011055 0.001061 0.001843 0.004861 0.006198
Prob *** *** ** *** ***
*** ***
4.3. The Impact of BI Rate Shocks on Core Inflation Using SSMX 2009 model, 1% BI rate shock will decrease core inflation as much as 0.035% at its lowest point which happened at the fourth quarter after the shock (Figure 3). Figure 3. Simulation Results of SSMX 2009 Model 0.01 0 -0.01
1
3
5
7
9
11 13 15 17 19
-0.02 -0.03 -0.04 -0.05 Y
CPI
Core
Admin
Food
100*Gap
Based on SOFIE 2010 model simulation, 1% BI rate shock will result in a 0.015% decrease in core inflation at its lowest point, at the 6th quarter after the shock. Different result found with the SSMX model is mostly because aggregate supply is endogenously determined in SOFIE. This will result in a lower impact of BI rate shock to the core inflation (Figure 4). Figure 4. Simulation Results of SOFIE 2010 Model 0.02 0 -0.02
1
3
5
7
9
11 13 15 17 19
-0.04 -0.06 Y
CPI
Core
Admin
Food
100*Gap
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
THE DETERMINANT OF CORE INFLATION IN INDONESIA Rizki E. Wimanda, Nur M. Adhi Purwanto, Fajar Oktiyanto
Table 4. Estimation Result for Household Fuel (BBRT), Gasoline (Bensin) and Inter City Transportation (Adako) Variables
X_Y=BBRT SE 0.712 0.172 0.185 0.161
Coeff. 2.358 0.901 -0.243 .0.202
C CORE_Y(-1) CORE_Y(-2) CORE_Y(-3) CORE_Y(-4) CORE_Y(-5) CORE_Y(-6) X_Y X_Y(-1) X_Y(-2) X_Y(-3) X_Y(-4) X_Y(-5) X_Y(-6) ER GAP(-9) Adjusted R2 SE Regression Prob (F-stat) AIC DW stat
0.035 -0.004 0.002 -0.019 -0.001 0.027 -0.005 0.016 -0.177 0.986 0.188 0.000 -0.231 2.214
Prob *** ***
Coeff. 0.452 1.071 -0.150
***
0.040 -0.032
0.013 -0.075 0.914 0.418 0.000 1.441 2.042
0.007 0.009 0.008 0.008 0.008 0.007 0.007 0.006 0.082
X_Y=Bensin SE 0.212 0.098 0.096
Prob
X_Y=Adako SE 0.217 0.100 0.098
** ***
Coeff. 0.474 1.066 -0.150
Prob
0.013 0.013
*** **
0.045 -0.041
0.016 0.018
*** **
0.005 0.082
**
0.013 -0.091 0.984 0.199 0.000 -0.143 2.165
0.006 0.085
**
** ***
** *** ** **
Note: *,**,*** indicate significant level at level 10%, 5%, and 1%, respectively.
Table 5. Estimation Result of IS Curve Equation Independent Variable Output gap (t-1) (nominal BI rate–core inflation(t+1)) Import Price Adjusted R-square
Coefficient 0.6137*** -13.119* 3.5048* 0.467
Note: *,**,*** indicate significant level at level 10%, 5%, and 1%, respectively.
The last model that we use in this section is a simple model that consists of only 2 equations: Hybrid New Keynesian Phillips Curve (as estimated in Table 3) and IS curve. We use equation (10) as the IS Curve equation and the result of the estimation is shown in Table 5 above. Figure 5. Simulation Results of Hybrid NKPC + IS Curve Model (CORE_SB/CORE_0-1)*100 .00
-.01
-.02
-.03
-.04
this model which will also be influenced by changes in the BI rate by influencing the growth of investments that will be felt after 4 quarters since the shock. Deviation of core inflation path from the baseline at the 4th quarter is approximately 0.037%. This result is not much different with the result from SSMX 2009 model that assumed that aggregate supply is growing with a constant trend (Figure 5). 4.4. The Impact of Administered Price and Volatile Foods Inflation on Core Inflation 4.4.1. The Impact of Administered Price Inflation on Core Inflation We employ all variables in growth (y-o-y) form, which is I(0). Table 6 shows the estimation result of ARDL model for household fuel (Bahan Bakar Rumah tangga – BBRT), gasoline (Bensin) and inter city transportation (Adako). Table 7 shows the impact of 1% administered price and 21 commodities price shock on core inflation. From this table, parking cost has the highest sensitivity value, 0.18. But after we normalize1 the value with the weight of each commodity in administered price basket, the highest sensitivity value is for gasoline and inner city transportation. The total impact of all administered price commodities on core inflation is 0.07.
-.05
-.06 00
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
Given the magnitude of model simplification, the analysis of the simulation result is limited to a period of up to 1 year. The reason for this is because we don’t explicitly model the dynamic of aggregate supply in
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
1 Total administered price weight is 17.67% and normalized into
100. For gasoline which have original weight of 2.94% will have normalized weight of 16.65%, and ASDP which have original weight of 0.006 will have normalized value of 0.034%.
159
THE DETERMINANT OF CORE INFLATION IN INDONESIA Rizki E. Wimanda, Nur M. Adhi Purwanto, Fajar Oktiyanto
Table 6. The effect of Administered Price and Its Commodities TWeight Weight-N Max 0 Administered Price 0.0695 0 17.67 100.00 1 Gasoline 0.0400 0 2.94 16.65 2 Inter City Transportation 0.0448 0 2.62 14.84 3 BBRT 0.0352 0 2.89 16.39 4 Landline Telephone 0.0482 0 1.22 6.90 5 Parking cost 0.1803 1 0.15 0.85 6 Cigarettes (White) 0.0392 0 0.46 2.62 7 Water 0.0183 0 0.73 4.13 8 Train 0.0435 1 0.09 0.52 9 Solar 0.0557 0 0.07 0.37 10 Diesel Fuel 0.0276 0 0.02 0.13 11 ASDP 0.0737 0 0.01 0.03 12 Sea Transportation 0.0107 0 0.03 0.17 13 Mailing Cost 0.0219 0 0.01 0.08 14 Driving License Cost 0 0 0.02 0.13 15 Vehicle Registration 0 0 0.49 2.80 16 Clove Cigarettes 0 0 1.13 6.42 17 Filtered Clove Cigarettes 0 0 2.01 11.40 18 Toll road tariff 0 0 0.05 0.30 19 Electricity 0 0 2.61 14.75 20 Community health Centre Cost 0 0 0.02 0.13 21 Taxi 0 0 0.07 0.41 Note: *,**,*** indicate significant level at level 10%, 5%, and 1%, respectively.
No
Commodities
Max
There are 13 commodities (62%) in administered price basket that significantly influence the dynamic of core inflation, among them are gasoline, inner city transportation, household fuel, landline telephone, parking cost, white cigarettes, train and diesel fuel. Meanwhile, driving license tariff, vehicle registration renewal service, clove cigarette, filtered cigarette, toll road tariff, electricity tariff, community health centers tariffs, and taxi fare do not have significant impact on core inflation.
Max x Weight 0.02626 0.00667 0.00665 0.00577 0.00332 0.00153 0.00103 0.00076 0.00023 0.00021 0.00003 0.00003 0.00002 0.00002 0 0 0 0 0 0 0 0
x Factor 0.06955 0.01766 0.01762 0.01528 0.00880 0.00406 0.00272 0.00200 0.00060 0.00055 0.00009 0.00007 0.00005 0.00004 0 0 0 0 0 0 0 0
For electricity tariff, we did not manage to get a significant coefficient either through ARDL model or with models that also include dummy variable. There are two explanations that we propose: (i) model misspecification or (ii) electricity tariff do not have effect on core inflation dynamics but have direct effect on administered price and CPI. Further research is needed to answer this question.
Table 7. Estimation Result for Beef (Daging Sapi), Rice (Beras) and Milk (Susu) Variables
X_Y=Daging Sapi Coeff. SE Prob 0.531 0.215 ** 0.853 0.046 ***
Coeff. 0.420 1.085 -0.177
X_Y=Beras SE 0.201 0.092 0.090
C CORE_Y(-1) CORE_Y(-2) CORE_Y(-3) CORE_Y(-4) CORE_Y(-5) CORE_Y(-6) X_Y 0.150 0.031 *** 0.068 0.015 X_Y(-1) -0.059 0.046 -0.061 0.015 X_Y(-2) -0.051 0.030 * X_Y(-3) X_Y(-4) X_Y(-5) X_Y(-6) ER 0.004 0.005 0.012 0.005 GAP(-9) -0.286 0.104 *** -0.139 0.080 Adjusted R2 0.924 0.921 SE Regression 0.455 0.463 Prob (F-stat) 0.000 0.000 AIC 1.329 1.366 DW stat 1.896 2.093 Note: *,**,*** indicate significant level at level 10%, 5%, and 1%, respectively.
160
** *** *
Coeff. 0.236 1.092 -0.155
X_Y=Susu SE 0.198 0.093 0.088
*** ***
0.186 -0.165
0.036 0.038
** *
0.005 0.014 0.927 0.444 0.000 1.279 1.957
0.005 0.076
Prob
Prob *** *
*** ***
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
THE DETERMINANT OF CORE INFLATION IN INDONESIA Rizki E. Wimanda, Nur M. Adhi Purwanto, Fajar Oktiyanto
4.4.2. The Impact of Volatile Foods Inflation on Core Inflation Table 8 presents the estimation result of ARDL model for beef, rice and milk. For other commodities, the estimation results are not shown here. Table 8 shows the impact of 1% volatile food (total) and 60 commodities price shock on core inflation. From this table we can see that milk have the highest sensitivity of 0,19. Although rice have maximum sensitivity of only 0.07, but since it has 25% weight of all volatile food than the normalize sensitivity value is dominant2. There are 35 commodities in volatile foods basket that significantly influence the dynamic of core inflation, among them are rice, beef, milk, noodles and cooking oil. Meanwhile live chicken, broiler chicken meat, garlic, tofu and eggs do not have significant impact on core inflation3.
5.
CONCLUSIONS
From the above discussions, several conclusions can be drawn, namely: 1. As a small-open economy, inflation in Indonesia is affected by both domestic factors and external factors. It is found that core inflation, which is a head line inflation excluding the administered price and volatile food components, depends on past inflation (backward-looking inflation expectations), consensus forecast (forward-looking inflation expectations), the exchange rate, output gap, the growth of M1, and exchange rate volatility. Our findings are consistent with the studies of determinant of inflation in many countries. Compared to the estimates of the whole period, the effects of the past inflation and exchange rate volatility are found to be higher after the crisis. However, the impact of exchange rate pass-through becomes smaller. As found in European countries, US, and UK (Henzel and Wollmershaeuser, 2006), the backward-looking inflation expectation in Indonesia is still dominant. 2. This paper contributes to policy makers that the impact of output gap to inflation is not linear. We found that there is a threshold effect of output gap (using MV filter) to core inflation, which amounted to 0.15%. If the value of the MV filter output gap is greater than 0.15%, then the output gap will give effect to core inflation. Conversely, if the output gap is under 0.15%, then the output gap does not give effect to the core inflation significantly. 3. The results of model simulations show that the effect of BI rate to the core inflation is very limited. This can be understood as the transmission of BI rate to core inflation is modeled only through the output gap. Further knowledge of the influence of BI rate to the persistence of core inflation and inflation 2
3
Normalize weight. The total weight of all volatile food commodities is 18.69 and normalizes into 100. For rice, which have original weight of 4.83 will have normalize weight of 25.83%. Analysis using m-to-m data also shows the same result.
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
expectations need to be explored. Although the impact of BI rate of core inflation is limited, but based on the estimation results show that Bank Indonesia has the opportunity to influence the dynamics of core inflation through exchange rate changes and its volatility. 4. From the results of ARDL model, it is indicated that the administered prices and volatile foods affect core inflation with a sensitivity of respectively 0.07 and 0.18. A total of 13 commodities (62%) in the group administered prices are significantly affecting core inflation, such as gasoline, transportation within the city, household fuel, phone rates, parking fee, white cigarettes, railway tariffs, and diesel. In the volatile foods baskets, there are 35 commodities (58%) that significantly affect the core inflation, such as rice, beef, milk, noodles, and cooking oil.
REFERENCES Adam, K., Padula, M. (2003), ”Inflation Dynamics and Subjective Expectations in the United States”, Working Paper, European Central Bank. Debelle, G. and Jenny Wilkinson (2002), ’Inflation Targeting and the Inflation Process: Some Lessons from an Open Economy’, RBA Research Discussion Papers, rdp 2002-01. Gali, J., Gertler, M. (1999), ”Inflation Dynamics: A Structural Econometric Analysis”, in Journal of Monetary Economics, 44 (1999), pp.195-222. Gali, J. and Monacelli, T., (2005), ’Monetary Policy and Exchange Rate Volatility in a Small Open Economy’, Review of Economic Studies July 2005, pp.707-734. Gordon, Robert J., (1997), ’the Time-Varying NAIRU and Its Implications for Economic Policy’, Journal of Economic Perspectives vol. (11)1, pp.11-32. Hansen, B.E. (1997), ‘Inference in TAR Models’, Studies in Nonlinear Dynamics and Econometrics, 2(1), 1-14. Hansen, B.E. (2000), ‘Sample Splitting and Threshold Estimation’, Econometrica, 68(3). Henzel, S., Wollmershaeuser, T. (2006), ”The New Keynesian Phillips Curve and the Role of Expectations: Evidence From the IFO World Economic Survey”, Working Paper, CESIFO. Kara, A. and Nelson, E., (2002), ’the Exchange Rate and Inflation in the UK’, Discussion Papers 11 Bank of England. Leith C. and Malley, J., (2003), ’Estimated Open Economy New Keynesian Phillips Curve for the G7’, CESIfo Working Paper Series 834. Moccero, D., S. Watanabe and B. Cournède (2011), “What Drives Inflation in the Major OECD Economies?”, OECD Economics Department Working Papers, No. 854, OECD Publishing. Norman, D., Richards, A. (2010), ”Modelling Inflation in Australia”, Research Discussion Paper, Reserve Bank of Australia.
161
THE DETERMINANT OF CORE INFLATION IN INDONESIA Rizki E. Wimanda, Nur M. Adhi Purwanto, Fajar Oktiyanto
Roberts, John M., (1997), ’Is Inflation Sticky?’, Journal of Monetary Economics Elsevier vol. 39(2), pp.173-196. Wimanda, R. E., Turner, PM., Hall, MJB. (2010), ”Expectations and the Inertia of Inflation: the Case of Indonesia”, Journal of Policy Modelling, pp.426-438.
162
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
THE DETERMINANT OF CORE INFLATION IN INDONESIA Rizki E. Wimanda, Nur M. Adhi Purwanto, Fajar Oktiyanto
APPENDIX Table 8. The Effect of Volatile Foods and Its Commodities No 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
Commodities Volatile Foods Rice Beef Milk Noodles Squid Mas Coconut Catfish Banana Bandeng (fish) Oil Spinach Papaya Mujair (fish) Water Spinach (kangkung) Eggs Grapes Peanuts Mustard Brown Sugar Tempe Red Onion Tomato (vegetable) Sardines Cakalang (fish) Layang (fish) Corn (young) Melon Cayenne Water Melon Gabus (fish) Cabbage Cayenne Pepper Green Chili Katuk (fish) Apple Live Chicken Garlic Native Chicken Meat Broiler Chicken Meat Emping Sweet Corn Orange Long Bean Kembung (fish) Potato Cucumber Pumpkin Jackfruit Patin (fish) Twisted Cluster Bean (petai) Lettuce Selar Serai Tofu Teri Tomato (fruit) Cob Shrimp Carrot
Max 0.1824 0.0679 0.1496 0.1858 0.0673 0.1072 0.0571 0.0452 0.0707 0.0316 0.0324 0.0076 0.0353 0.0418 0.0411 0.0308 0.0088 0.0705 0.0843 0.0355 0.0699 0.0071 0.0057 0.0166 0.0259 0.0197 0.0144 0.0153 0.0130 0.0031 0.0074 0.0161 0.0157 0.0017 0.0066 0.0134 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
TMax 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 3 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Weight
Weight-N
Max x Weight
x Factor
18.69 4.83 0.82 0.44 0.52 0.12 0.21 0.25 0.15 0.32 0.31 1.29 0.25 0.16 0.16 0.21 0.72 0.09 0.06 0.11 0.05 0.53 0.46 0.15 0.08 0.09 0.09 0.06 0.06 0.26 0.10 0.03 0.03 0.19 0.03 0.01 0.23 0.09 0.42 0.07 1.36 0.05 0.09 0.57 0.15 0.35 0.24 0.08 0.03 0.05 0.05 0.03 0.00 0.07 0.02 0.46 0.25 0.08 0.28 0.33 0.09
100.00 25.83 4.36 2.38 2.80 0.66 1.10 1.33 0.79 1.72 1.66 6.92 1.33 0.87 0.83 1.11 3.85 0.48 0.34 0.60 0.29 2.82 2.45 0.81 0.43 0.49 0.47 0.30 0.33 1.40 0.54 0.18 0.17 0.99 0.14 0.03 1.21 0.50 2.25 0.38 7.29 0.27 0.47 3.06 0.82 1.90 1.29 0.43 0.18 0.28 0.25 0.18 0.01 0.37 0.11 2.46 1.32 0.43 1.47 1.77 0.47
0.0384 0.0175 0.0065 0.0044 0.0019 0.0007 0.0006 0.0006 0.0006 0.0005 0.0005 0.0005 0.0005 0.0004 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0003 0.0002 0.0002 0.0002 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0.18239 0.08338 0.03101 0.02100 0.00895 0.00335 0.00299 0.00287 0.00267 0.00257 0.00256 0.00249 0.00223 0.00174 0.00163 0.00162 0.00161 0.00160 0.00134 0.00102 0.00098 0.00095 0.00066 0.00064 0.00053 0.00046 0.00032 0.00022 0.00021 0.00020 0.00019 0.00014 0.00013 0.00008 0.00004 0.00002 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Note: *,**,*** indicate significant level at level 10%, 5%, and 1%, respectively.
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
163
THE DETERMINANT OF CORE INFLATION IN INDONESIA Rizki E. Wimanda, Nur M. Adhi Purwanto, Fajar Oktiyanto
Backward-Looking Phillips Curve Estimation Backward-Looking Phillips Curve Model: 𝑓𝑥 𝜋𝑡 = 𝛾𝜋 𝜋𝑡−1 + 𝛾𝑦 𝑦𝑡 + 𝛾𝑝 ∗ ∆𝑃𝑡∗ + 𝛾𝑚 (𝐿)∆𝑀𝑡 + 𝛾𝑓𝑥 (𝐿)𝜎𝑡 + 𝛾∆𝑦 (𝐿)∆𝑦𝑡 + 𝜀𝑡
Table 9. Full Sample Period (1992Q1-2011Q1) Independent Variable Core Inflation (t-1) Output Gap Multivariate HP Filter Peak to Peak SOE variables Import Price Exchange Rate Other Variables Growth of M1 (-1) Exchange Rate Volatility (-1) Output Gap Growth Time Dummies Fuel-Adm Shocks Idul Fitri Crisis (2008/2009) Adjusted R-square
Model 1A
Model 1B
Model 1C
Model 2A
Model 2B
Model 2C
0.16877**
0.204665***
0.191292**
0.347988***
0.336903***
0.315482***
0.001641 -
0.000889 -
-0.000762
0.001462 -
0.000884 -
-0.001022
0.195032*** -
0.208569*** -
0.216563*** -
0.146482***
0.150618***
0.154533***
0.08802** 0.003363*** 0.008088
0.073211* 0.00318*** 0.001861
0.079296** 0.001993*** -0.012194
0.072762** 0.00256* -0.093028
0.086661** 0.002192* -0.084968
0.071478* 0.001483* -0.078022
0.030032** 0.003919 0.002291 0.854449
0.03091** 0.003077 0.00405 0.85264
0.032956** 0.002226 0.007479 0.851181
0.031086* 0.003173 -0.015772 0.835339
0.032325** 0.002902 -0.017233 0.832997
0.034362** 0.001818 -0.011456 0.836858
Model 2C
Note: *,**,*** indicate significant level at level 10%, 5%, and 1%, respectively.
Table 10. After Crisis Period (2000Q4-2011Q1) Independent Variable
Model 1A
Model 1B
Model 1C
Model 2A
Model 2B
Core Inflation (t-1) Output Gap Multivariate HP Filter Peak to Peak SOE variables Import Price Exchange Rate Other Variables Growth of M1 (-1) Exchange Rate Volatility (-1) Output Gap Growth Time Dummies Fuel-Adm Shocks Idul Fitri Crisis (2008/2009) Adjusted R-square
0.523002***
0.493415***
0.509724***
0.586613***
0.514659***
0.57936***
-0.000757 -
0.002781 -
0.000144
0.000647 -
0.004346*** -
0.001444
0.068508*** -
0.05097** -
0.064558*** -
0.059899
0.050164***
0.054447***
0.048627** 0.002329** 0.019193
0.03095 0.003574*** 0.058349
0.049043** 0.002323*** 0.067941
0.058413** 0.002607** -0.04984
0.030402 0.004231*** 0.0288
0.050812** 0.00362** 0.078342
0.031187*** 0.00031 -0.005765 0.473169
0.029132*** 0.001287 -0.005678 0.508256
0.030554*** 0.000766 -0.003724 -0.003724
0.031171*** -0.000711 -0.01485** 0.468692
0.029603*** 0.000208 -0.013249** 0.569331
0.030605*** -0.000691 -0.015997** 0.478031
Note: *,**,*** indicate significant level at level 10%, 5%, and 1%, respectively.
164
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
THE DETERMINANT OF CORE INFLATION IN INDONESIA Rizki E. Wimanda, Nur M. Adhi Purwanto, Fajar Oktiyanto
Figure 6. Output Gap Threshold
F_ZERO_M
F_ZERO_H
9
6
8 5 7 6
4
5 3 4 3
2
2 1 1 0
0 50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
Multivariate Filter Found Threshold = 0.148 at 287
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
Adjusted HP Filter Found Threshold = -0.92 at 20 (245 - 276)
F_ZERO_P 20
16
12
8
4
0 50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
Peak-to-Peak Found Threshold = -0.136 at 491 (308-313)
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
165
Halaman ini sengaja dikosongkan
This page intentionally left blank
166
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
INDEKS SUBJEK JURNAL BPPK Volume 7 Nomor 2, 2014 affecting, 153, 155, 161 agency, 123, 133, 134 agensi, 123, 124, 125, 126, 127, 130, 131, 132, 133 APBN, 98 ARDL, ii, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 120, 121, 153, 156, 159, 160, 161 aset, 95, 97, 127, 128, 129, 130, 131, 132 asing, 135, 137, 140, 147 asset, 111, 112 audit, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 130, 131, 132, 133 auditor, 125, 131, 132 authority, 113, 116 bantuan luar negeri, 94, 95, 98 barang dan jasa, 95 BI rate, 153, 154, 155, 156, 158, 159, 161 Central Bank, 161 consumption, 111, 154, 156 core, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161 corporate, 123, 124, 125, 126, 131, 133, 134 cost, 112, 126, 133, 154, 159, 160 currency, 112, 113, 114, 115, 116 demand, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 134, 153, 155 director, 125, 133 direksi, 123, 124, 125, 128 distributed, 111, 112, 117, 156 domestic, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 151, 161 economic, 91, 99, 111, 114, 134, 135, 137, 151, 152, 153, 154, 155 ekspor, 93, 94, 95, 97, 98, 136, 139, 140, 150 equilibrium, 112, 113, 115, 117 exchange, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 142, 153, 154, 155, 156, 157, 161 financial, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 123, 133, 135 fiscal, 113, 116 food, 153, 156, 157, 161 forecasting, 111, 115, 116 foreign, 99, 112, 113, 116, 135, 151, 152, 154, 155 good corporate governance, 123, 124, 125 government, 113, 135, 151, 153 income, 91, 92, 93, 94, 95, 98, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 133 Indonesia, i, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 101, 111, 112, 114, 116, 117, 123, 125, 126, 127, 129, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 142, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 153, 154, 156, 161, 162, 2, 3 inflasi, 91, 92, 93, 94, 95, 98, 111, 153 inflation, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161 interest, 111, 112, 113, 116, 118, 134, 156 investasi, 94, 95, 97, 98, 124, 126, 128, 129, 131, 135, 137, 138, 140, 142 investor, 98, 125, 129, 131, 133, 137
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
knowledge-based economy, 91, 93, 98 komisaris, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 130, 131, 132, 133 kreditor, 124, 126, 128, 129, 130, 131 leverage, 123, 126, 127, 129, 130, 131, 132, 133, 134 LM Curve, 112 macroeconomic, 91, 112 managerial, 123, 124, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134 manajemen, 93, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 131, 132, 133 market, 112, 113 modal, 93, 95, 97, 99, 103, 107, 127, 133, 135, 136, 137, 138, 140, 147 modal bruto, 93, 95, 97, 99, 103, 107 monetary, 111, 112, 113, 116, 117, 153, 154 money, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 154, 155, 157 moral, 123 non-monetary, 111, 112, 113 otonomi, 137 ownership, 123, 128, 131, 133, 134 panel, 135, 138, 139, 140, 141, 142, 145, 146, 149, 150, 151 pertanian, 93, 94, 95, 97, 98, 108 pertumbuhan, 91, 92, 93, 94, 95, 97, 98, 99, 101, 127, 128, 130, 131, 132, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 142, 145, 147, 148, 149, 150, 153 perusahaan, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 140 PNB per kapita, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99 price, 112, 114, 153, 154, 155, 156, 157, 159, 160, 161 risiko, 91, 92, 93, 98, 123, 124, 126, 127, 129, 131, 133, 137, 140 RUPS, 123, 125 saham, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 131 stabilitas, 111, 136, 139, 140 stakeholders, 123, 124, 126, 133, 154 supply, 112, 113, 117, 134, 155, 156, 157, 158, 159 transaction, 111, 114 trap, 91, 93, 112 utang, 92, 123, 124, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133 value added, 93, 97, 104 volatility, 112, 153, 154, 155, 156, 157, 161
167.1
PETUNJUK BAGI (CALON) PENULIS JURNAL BPPK 1. Sebagai pra-syarat dalam mengirimkan artikel untuk dapat diterbitkan pada Jurnal BPPK, penulis diwajibkan mengirimkan (calon) artikel Jurnal BPPK yang dilengkapi: Surat pernyataan orisinalitas karya bermaterai cukup (Rp 6.000,-), Lembar Identitas Artikel Jurnal BPPK, Curriculum Vitae. Format terlampir. 2. Artikel yang diajukan diketik dengan program Microsoft Word atau program pengolah kata sejenis dan disimpan dalam format docx menggunakan huruf Cambria, ukuran 10 pts, spasi tunggal, dicetak pada kertas A4 dengan panjang 15 s.d. 30 halaman, dan diserahkan dalam bentuk hardcopy/cetak sebanyak 1 eksemplar beserta softcopy-nya. Pengiriman Artikel softcop yjuga dapat dilakukan melalui e-mail ke alamat:
[email protected]. 3. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Inggris. Sistematika artikel hasil penelitian adalah a. Judul Penulisan judul tidak lebih dari 14 kata, dicetak dengan huruf kapital, center, Cambria 14. b. Nama Penulis Nama Penulis ditulis tanpa gelar akademik, disertai lembaga asal tempat peneliti melakukan penelitian.Dalam hal artikel ditulis oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis utama wajib mencantumkan alamat korespondensi dan/atau e-mail. c. Abstrak disertai kata kunci Abstrak dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Panjang masing-masing abstrak tidak lebih dari 150 kata yang disertai dengan 3-5 kata kunci. Abstrak minimal berisi judul, tujuan, metode dan hasil penelitian. Penulisan Abstrak yang berbahasa Inggris mengacu pada kaidah penulisan abtrak karya ilmiah yang berlaku umum secara internasional. Dalam hal penerjemahan abstrak bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, penulis tidak diperkenankan melakukan copy-paste langsung dari software/aplikasi/web penerjemah bahasa. Untuk keperluan translasi direkomendasikan menggunakan jasa penerjemah tersumpah. Adapun biaya yang muncul atas penggunaan jasa tersebut menjadi tanggung jawab penulis artikel. d. Pendahuluan Bagian ini menjelaskan latar belakang riset, rumusan masalah, pernyataan tujuan dan (jika dipandang perlu) organisasi penulisan artikel. e. Kerangka teoritis dan pengembangan hipotesis Memaparkan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi landasan logis untuk mengembangkan hipotesis atau proporsi riset dan model riset. f.
Metode riset/penelitian Menguraikan metode seleksi dan pengumpulan data, pengukuran dan definisi operasional variabel, dan metode analisis data.
g. Hasil dan pembahasan Menjelaskan analisis data riset dan deskripsi statistik yang diperlukan
167.2
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
h. Kesimpulan Memuat simpulan hasil riset, temuan penelitian yang berupa jawaban atas pertanyaan penelitian atau berupa intisari hasil pembahasan. Simpulan disajikan dalam bentuk paragraf. i.
Implikasi dan keterbatasan Menjelaskan implikasi temuan dan keterbatasan riset, serta jika perlu saran yang dikemukakan peneliti untuk riset yang akan datang.
j.
Daftar Pustaka Memuat sumber-sumber pustaka atau referensi yang dikutip di dalam penulisan artikel. Hanya sumber yang diacu yang dimuat dalam daftar referensi ini. Untuk keseragaman penulisan, Daftar Pustaka ditulis sesuai dengan format American Psychological Association (APA)
k. Lampiran Memuat tabel, gambar dan instrumen riset yang digunakan 4. Tata cara penyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL ILMIAH JURNAL BPPK atau merujuk pada tata cara yang digunakan dalam artikel yang telah dimuat. Artikelberbahasa Indonesia menggunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan istilah-istilah yang telah dibakukan oleh Pusat Bahasa. 5. Semua Artikel ditelaah secara anonim oleh Dewan Editor yang ditunjuk oleh Sekretariat Jurnal BPPK menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan atau revisi artikel atas dasar rekomendasi/saran dari Dewan Editor atau penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan artikel akan diberitahunkan secara tertulis. 6. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan, penggunaan software/aplikasi komputer untuk pembuatan artikel atau hal lainnya yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) yang dilakukan oleh penulis, berikut konsekuensi hokum yang mungkin timbul, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel.
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
167.3
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ARTIKEL JURNAL BPPK Yang bertanda tangan di bawah ini, Nama Penulis Artikel
: ................................................................................................................................
NIP/NRM
: ................................................................................................................................
Pangkat / Golongan
: ................................................................................................................................
Jabatan
: ................................................................................................................................
dengan ini menyatakan bahwa artikel yang saya susun dengan judul :
JUDUL ARTIKEL UNTUK JURNAL BPPK (Huruf Tebal) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dan bukan merupakan plagiat dari artikel orang lain. Artikel ini belum pernah dipublikasikan pada jurnal atau media yang lain dan akan diserahkan kepada Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) untuk digandakan, diperbanyak dan/atau disebarluaskan. Apabila kemudian hari pernyataan Saya tidak benar, maka Saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk sanki pidana.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan bilamana diperlukan.
........................, ............................................. Pembuat Pernyataan Materai Rp6.000,00
...................................................................... NIP
Catatan: Dapat diperbanyak sesuai kebutuhan penulis dan bilamana diperlukan, Softcopy surat pernyataan ini dapat diminta melalui email:
[email protected]
167.4
Jurnal BPPK Volume 7 Nomor 2, 2014
FORMULIR CURRICULUM VITAE PENULIS ARTIKEL JURNAL BPPK Nama Lengkap
:
Tempat/Tgl Lahir
:
Jabatan Sekarang
:
Unit Kerja
:
NIP/NRM/Gol.
:
No. Rekeneing
:
NPWP
:
Email
:
No HP
:
Bank …
Cabang …
Riwayat Pendidikan : Jenjang
Gelar
Universitas
Tahun
D1 D3 D4/S1 S2 S3 Riwayat Pekerjaan: Jabatan
Unit Kerja/Organisasi
Periode
Penghargaan/Award/Acknowledged Reward:
Bidang Keilmuan yang Diminati:
Catatan: Dapat diperbanyak sesuai kebutuhan penulis dan bilamana diperlukan, Softcopy Form CV ini dapat diminta melalui email:
[email protected]…
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
167.5
LEMBAR IDENTITAS ARTIKEL JURNAL BPPK Judul Artikel
Beri tanda ( ) pada yang telah disediakan sesuai keadaan yang sebenarnya: a. Jenis Artikel
Hasil pemikiran pada ______________________________________ (bulan dan tahun) Hasil penelitian tahun _____________________________________ (bulan dan tahun) b. Hubungan dengan penelitian lain sebelumnya
Penelitian/Pemikiran baru Ringkasan/Short version Skripsi karya sendiridengan judul __________________________________________________ _______________________________________________________________________________________________________________________
Ringkasan/Short version Thesis karya sendiri dengan judul ___________________________________________________ _______________________________________________________________________________________________________________________
Kajian atau karya Ilmiah lain karya sendiri karya sendiri yaitu _______________________________________________ dengan judul _______________________________________________________________________________________________________ ______________________________________________________________________________________________________________________
Lainnya, sebutkan: _________________________________________________________________________________________________ c. Tempat Penulis melakukan Penelitian/Pemikiran pada Artikel ini
Tempat Kerja yaitu ________________________________________________________________________________________________ Sewaktu Pendidikan program_________________________________________________________(nama program studi dan jenjang) di ___________________________________________________________________________________________(nama universitas dan negara)
Lainnya, yaitu ______________________________________________________________________________________________________ d. Sumber Pembiayaan dalam melakukan Penelitian/Pemikiran pada Artikel ini
Sendiri Lainnnya, yaitu: ____________________________________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________________________________________________ Dengan ini saya menyatakan bahwa data yang saya isi pada formulir ini adalah benar adanya dan tanpa rekayasa. Apabila kemudian hari pernyataan Saya tidak benar, maka Saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk sangsi pidana. ........................, .................................................... Penulis Artikel,
.............................................................................
167.6
Jurnal BPPK Volume 7 Nomor 2, 2014