JURNAL BPPK Volume I, Tahun 2010 STAF EDITORIAL
Pengarah : Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Dewan Editor : Dodi Iskandar, Ak., M.A. Dr. Andie Megantara, S.H., M.M. Dr. Yoopi Abimanyu, Ph.D. Prof. Dr. Heru Subiyantoro, M.Sc. Kusmanadji, Ak., MBA. Editor :
Sekretariat :
Heni Kartikawati Ganti Lis Ariyadi Sugeng Satoto RS Wisnu Wardhana Hariadi Nova Mardianti Aditya Wirawan Renny Sukmono Vitrie Rahmawati
Yeni Rahmawati Sukmantara Dwi Antikarini Haritsa Retno Wulan Hernas Yumile
Desain Grafis : Eko Satyono Pambudi Gawe Victorianus Mario Isdianto Bimo Adi
Alamat Sekretariat : Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Jl. Purnawarman No. 99 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Telp. (021) 7394666 ext. 253, 7204131 Faks. (021) 7261775, 7244328 Website : www.bppk.depkeu.go.id E-mail :
[email protected]
Daftar Isi -
Daftar Isi
-
Persepsi Etis Aparat Pajak dan Mahasiswa: Studi Empiris pada Pemeriksa Pajak, Account Representative dan Mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (Marsono dan Eko Suwardi)
2-30
-
Faktor-Faktor Risiko Fiskal dalam Penganggaran Daerah (Arina Romarina dan Akhmad Makhfatih)
31-49
-
Analisis Faktor Determinan Senjangan Anggaran Pemerintah RI Kementerian Negara Bidang Infrastruktur – Sebuah Studi Eksploratif (Hilda Rossieta dan Dri Asmawanti)
49-92
Financial Development and Economic Growth:an Empirical Analysis of Indonesia (Muh Dularif)
93-130
Monitoring & Evaluasi Sebagai Konsensus Untuk Mencapai Efektivitas Pemanfaatan Pinjaman/Hibah Luar Negeri (Umi Hanik dan Heru Subiyantoro)
131-160
Efek Otonomi Anggaran terhadap Pendidikan : Studi Kasus Pada Lima Provinsi di Indonesia (Beny Trias Oktora)
161-211
-
-
-
1
1
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
JURNAL BPPK Volume 1, Nomor 1, Juli 2010
Persepsi Etis Aparat Pajak dan Mahasiswa: Studi Empiris pada Pemeriksa Pajak, Account Representative dan Mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Oleh : Marsono Eko Suwardi
2
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
Persepsi Etis Aparat Pajak dan Mahasiswa: Studi Empiris pada Pemeriksa Pajak, Account Representative dan Mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Marsono1 Eko Suwardi2 Abstract The objectives of this study were to empirically test the difference of ethical perceptions between tax officers and students, and to test the difference between groups in tax officers and students. Population of this study was tax officers in Java except West Java and Banten provinces and students of Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Questionnaires were distributed to 1000 tax officers and 400 students. The number of returned and qualified questionnaires was 830 consisting of 535 from tax officers and 295 from students. The difference test with .05 significant level indicated that there was significant difference in ethical perceptions between the tax officers and the students where the tax officers had better ethical perceptions than the students did. The other result revealed that there was no significant difference in ethical perceptions between the tax auditors and the account representatives with a tendency that account representative‟s ethical perceptions were better than tax auditor‟s. Besides, based on the result of the difference test between the freshmen and the seniors, there was no difference in ethical perceptions with a tendency that the senior‟s ethical perceptions were better than the freshmen‟s. The implication of this study includes a need to continuously enforce ethical values in tax institution through examples from their executives in maintaining good ethical climate and culture. Besides, to engraft ethical values to among students of STAN as tax officer candidates, appropriate ethical education formats are needed both when they sit in their college and when they are about to be tax officers. Keywords: ethical perception, tax officer, tax auditor, account representative, student.
1
Pegawai pada Direktorat Jenderal Pajak Wakil Dekan pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada
2
3
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
1.
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat atas perilaku etis para pegawainya. Hal itu terlihat dari hasil survei harian Kompas yang menyatakan bahwa masyarakat masih berpersepsi negatif terhadap Direktorat Jenderal Pajak dan aparatnya (Kompas, 26 November 2005). Survei Transparency Internasional Indonesia (TII, 2006) menguatkannya dengan menempatkan DJP di urutan keenam instansi yang tingkat meminta suapnya tinggi (76%). Hasil survei sebelumnya (TII, 2004) menyebutkan DJP sebagai instansi terkorup nomor dua setelah Direktorat Jenderal Bea Cukai. Sedangkan survei terbaru (TII, 2008) menunjukkan bahwa DJP berada di peringkat 13 dari 15 instansi yang dianggap terjadi praktik suap di dalamnya dengan indeks suap 14%. Meskipun dari tahun ke tahun terjadi penurunan persepsi negatif masyarakat, DJP masih termasuk dalam daftar instansi publik yang rawan penyuapan. Kalau dilihat sumber daya manusia di DJP, selama ini DJP melakukan perekrutan pegawainya sebagian dari alumni perguruan tinggi di Indonesia, baik melalui perekrutan sarjana maupun melalui perguruan tinggi kedinasan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Lulusan perguruan tinggi tersebutlah yang telah dan akan menjadi aparat pajak. Mahasiswa
4
perguruan tinggi di Indonesia yang mempunyai pengetahuan yang luas dan moralitas yang baik diharapkan akan membuat DJP terisi oleh sumber daya yang mumpuni dan bermoral walaupun pada kenyataanya tidak jarang mahasiswa yang semula mempunyai idealisme tinggi saat di bangku kuliah menjadi oportunis ketika menghadapi permasalahan yang melibatkan dilema etis. Permasalahan etika di DJP menghangat seiring dengan reformasi birokrasi di tubuh DJP untuk memperbaiki citra dan meningkatkan kinerja pegawainya. Salah satu program reformasi adalah penegakan kode etik secara bertahap di lingkungan DJP. Hal tersebut merupakan salah satu usaha DJP untuk mencapai visi DJP menjadi institusi pemerintah yang menyelenggarakan sistem administrasi perpajakan modern yang efektif, efisien dan dipercaya masyarakat dengan integritas dan profesionalisme yang tinggi (DJP, 2008). Sesuai dengan Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pajak tahun 2008-2012, DJP menekankan pada integritas dan profesionalisme aparatnya. Dengan demikian perhatian terhadap kualitas moral calon aparat pajak juga menjadi penting karena merekalah yang akan mengisi formasi di DJP, terutama lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) yang merupakan salah satu sumber daya yang memenuhi syarat untuk diangkat sebagai pemeriksa pajak maupun account representative di DJP. Sebagai
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
perguruan tinggi kedinasan di lingkungan Kementerian Keuangan, STAN mempunyai peran strategis dalam menghasilkan calon aparat pajak yang handal dan beretika tinggi. Pembekalan pendidikan etika di STAN, selain kemampuan teknis, adalah sangat penting agar para lulusannya memiliki moralitas yang baik sebelum terjun di dunia kerja. Berdasarkan kurikulum di STAN, terdapat mata kuliah Etika Profesi Pegawai Negeri Sipil (PNS), selain mata kuliah lain yang juga mengandung muatan pendidikan etika, seperti mata kuliah akuntansi, perpajakan dan auditing. Dengan sistem paket, mata kuliah yang bermuatan etika di STAN lebih banyak diterima oleh mahasiswa tingkat akhir daripada mahasiswa tingkat awal. Penelitian ini dilakukan dengan alasan masih sangat jarang penelitian yang mengobservasi persepsi etis aparat pajak dan calon aparat pajak (mahasiswa STAN) dengan jumlah sampel yang besar. Selain itu penelitian ini bisa menunjukkan indikasi hasil reformasi moral dan etika di DJP yang ditandai dengan diberlakukannya kode etik pegawai. Penelitian ini juga akan memberikan informasi tentang hal-hal yang masih memerlukan perhatian oleh DJP dalam menegakkan nilai-nilai etika dan STAN sebagai lembaga penyelenggara pendidikan. Berdasarkan uraian di atas, perlu kiranya untuk mengetahui bagaimana persepsi etis para aparat pajak, terutama pemeriksa pajak dan account representative, serta persepsi etis calon
5
aparat pajak (mahasiswa STAN). Dengan demikian, permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana persepsi etis aparat pajak dibandingkan dengan persepsi etis mahasiswa? (2) Apakah terdapat perbedaan persepsi etis antara account representative dan pemeriksa pajak? (3) Apakah terdapat perbedaan persepsi etis antara mahasiswa tingkat awal dan mahasiswa tingkat akhir? 1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menguji secara empiris apakah terdapat perbedaan persepsi etis antara aparat pajak dan mahasiswa serta persepsi etis antara masing-masing kelompok aparat pajak (pemeriksa dan account representative) dan masing-masing kelompok mahasiswa (mahasiswa tingkat awal dan mahasiswa tingkat akhir). Selain itu penelitian ini juga ingin menyajikan item/hal apa saja yang masih memerlukan perhatian dan yang dipersepsikan secara berbeda oleh kelompok yang diperbandingkan. Dengan demikian penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat bagi DJP dalam merumuskan kebijakan dan tindakan yang harus diambil dalam menegakkan nilai-nilai etika di DJP. Sedangkan bagi STAN diharapkan bisa memberikan informasi untuk penyempurnaan pendidikan etika di STAN secara berkesinambungan. 2.
Kerangka Teoretis Pengembangan Hipotesis
dan
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
2.1. Persepsi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) persepsi didefinisikan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu, serapan atau merupakan proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Robbins (1997) mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses yang mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka. Hal ini senada dengan pendapat Rahmat (2007) yang mendefinisikan persepsi sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Dengan demikian persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan (Walgito, 2003). Menurut Walgito (2003) persepsi melibatkan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu. 2.2. Etika Pengertian etika Istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ethos yang dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat;
6
akhlak, watak; perasaan, sikap, cara pikir (Bertens, 2005). Bertens (2005) menyebutkan bahwa bentuk jamak (ta etha) yang bermakna adat kebiasaan, menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah etika yang sudah dipakai oleh Aristoteles untuk menunjukkan filsafat moral. Jika dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi pertama (1998), istilah etika mempunyai tiga arti: 1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Hal senada diajukan oleh Velasquez (2002) bahwa etika merupakan ilmu yang mendalami standar moral perorangan dan standar moral masyarakat. Etika mempertanyakan bagaimana standar-standar diaplikasikan dalam kehidupan dan apakah standar tersebut masuk akal atau tidak. Keraf (1998) membedakan pengertian etika menjadi dua. Etika dalam pengertian pertama sama persis pengertiannya dengan moralitas yang berisikan nilai dan norma-norma konkret yang menjadi pedoman dan pegangan hidup manusia dalam seluruh kehidupannya. Etika dalam pengertian kedua adalah sebagai filsafat moral, atau ilmu yang membahas dan mengkaji nilai dan norma yang diberikan oleh moralitas dan etika dalam pengertian pertama di atas. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa etika
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
merupakan seperangkat aturan/norma/pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok atau segolongan manusia/masyarakat/profesi. Faktor yang mempengaruhi dimensi etis Banyak faktor yang dianggap mempengaruhi dimensi etis dalam pembuatan suatu keputusan, di antaranya adalah faktor personal dan faktor organisasi yang biasanya berinteraksi dengan menghasilkan pengaruh yang berbeda (Fritzsche, 1997). 1. Nilai (Values) Menurut Fritzsche (1997) sikap individu berdasar pada sistem nilai personal setiap orang sehingga yang mendasari perilaku adalah nilai yang merupakan poros dari pembuatan keputusan yang etis. Lebih lanjut Fritzsche (1997) menjelaskan bahwa nilai etis adalah kepercayaan yang menentukan tentang apa yang benar dan apa yang salah. Nilai-nilai ini terbentuk dan termodifikasi sepanjang pengalaman hidup yang dihadapi. 2. Tahap Perkembangan Moral Tahap-tahap perkembangan moral adalah suatu penilaian dari kapasitas seseorang untuk menimbangnimbang apakah suatu hal secara moral dibenarkan (Robbins, 1996). Kohlberg mendokumentasikan enam tahapan perkembangan moral
7
3.
4.
dalam tiga level, yaitu prakonvensional, konvensional dan pascakonvensional (Bertens, 2005). Makin tinggi perkembangan moral seseorang, makin kurang bergantung pada pengaruhpengaruh luar dan makin cenderung untuk berperilaku etis. Iklim etis di organisasi Menurut Fritzsche (1997) iklim etis dalam unit organisasi mungkin mempunyai pengaruh yang kuat pada cara pembuat keputusan mendekati dimensi etis dari masalah bisnis. Sutherland dan Cressey mengembangkan teori differential association yang menyatakan bahwa seseorang akan cenderung mengadopsi perilaku dan keyakinan dimana dia berhubungan sehingga perilaku dan keyakinan seseorang mungkin akan dekat atau sama dengan rekan dekatnya daripada rekan di divisi yang lain (Fritzsche, 1997). Tujuan organisasi Tujuan organisasi yang mempunyai pengaruh dalam dimensi etis pembuatan keputusan adalah kebijakan dan struktur penghargaan (Fritzsche, 1997). Kebijakan bisa berbentuk kode etik dan kebijakan operasi yang dinyatakan oleh manajemen atas. Fritzsche (1997) menyatakan bahwa struktur penghargaan juga mempengaruhi aspek etis dari pembuat keputusan.
2.3. Kode Etik Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
Kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1/PM.3/2007 dan dirinci dalam panduan pelaksanaan kode etik dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-33/PJ./2007. Adanya kode etik tersebut lebih diperkuat dengan pencantuman dalam pasal 36 B Undangundang No. 28 Tahun 2007 mengenai perubahan ketiga UU No. 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Kode etik tersebut berisi sembilan kewajiban dan delapan larangan pegawai dalam menjalankan tugasnya serta dalam pergaulan hidup sehari-hari. Segala bentuk ucapan, tulisan, atau perbuatan yang melanggar kode etik merupakan suatu pelanggaran dan akan dikenakan sanksi moral dan atau hukuman disiplin. 2.4. Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai sensitivitas etika pemeriksa pajak dilakukan oleh Praptiningsih (2008). Penelitian tersebut menghasilkan adanya pengaruh positif dan signifikan dari kode etik, komite kode etik dan remunerasi terhadap sensitivitas etika pemeriksa pajak. Penelitian mengenai perbandingan persepsi etis aparat pajak dan mahasiswa sepanjang pengetahuan peneliti belum dilakukan. Dengan masih jarangnya penelitian etika untuk aparat pajak dan calon aparat pajak maka penelitian ini mengacu pada penelitian persepsi etis lainnya, terutama tentang etika bisnis dan etika profesi akuntan yang telah ada.
8
Ludigdo dan Mahfoedz (1999) menemukan adanya perbedaan signifikan antara persepsi akuntan dan mahasiswa terhadap etika bisnis. Sedangkan persepsi antara mahasiswa tingkat pertama dan tingkat akhir terhadap etika bisnis tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Demikian juga antara ketiga kelompok akuntan (akuntan pendidik, akuntan publik, dan akuntan pendidik sekaligus akuntan publik) tidak terdapat perbedaan persepsi. Sihwahjoeni dan Gudono (2000) menemukan tidak adanya perbedaan persepsi yang signifikan di antara tujuh kelompok akuntan terhadap kode etik akuntan. Akan tetapi terdapat perbedaan yang signifikan antara akuntan pendidik dan akuntan manajemen serta antara akuntan pendidik dan akuntan pemerintah. Penelitian Davis dan Welton (1991) menemukan perbedaan antara persepsi etis mahasiswa tingkat awal, mahasiswa di tingkat yang lebih tinggi dan mahasiswa yang telah lulus. Sedangkan bagi mahasiswa yang mendapatkan pendidikan etika secara formal tidak berbeda dengan mahasiswa yang tidak mendapatkan pendidikan etika secara formal. Demikian juga secara gender mahasiswa laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan persepsi. Steven et al. (1993) melakukan penelitian tentang perbandingan evaluasi etis dari staf pengajar dan mahasiswa sekolah bisnis. Secara umum tidak ada perbedaan signifikan di antara kelompok tersebut walaupun ada kecenderungan bahwa anggota staf pengajar lebih berorientasi pada etis dibandingkan
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
mahasiswa senior dan mahasiswa junior. Selain itu terdapat kecenderungan bahwa mahasiswa senior lebih berorientasi etis dibandingkan mahasiswa junior. Hasil penelitian Glenn dan Van loo (1993) menunjukkan bahwa mahasiswa membuat pilihan yang kurang etis dibandingkan dengan praktisi bisnis. Sedangkan berkaitan dengan analisis antar waktu didapatkan bahwa mahasiswa pada tahun 1980-an membuat keputusan yang kurang etis dibandingkan pada tahun 1960-an. Hasil penelitian Fischer dan Rosenzweig (1995) menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara kelompok mahasiswa dan praktisi dalam tiga dari empat faktor dalam manajemen laba. Penelitian Cole dan Smith (1996) menunjukkan terdapat perbedaan persepsi antara mahasiswa dan pelaku bisnis dengan mahasiswa yang lebih menerima hal yang questionable serta mempunyai pandangan yang lebih negatif daripada pelaku bisnis. Selain itu, secara gender tidak terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan untuk pembandingan praktisi bisnis berdasarkan kelompok umur didapatkan hasil bahwa praktisi bisnis yang lebih muda ternyata memiliki persepsi etis yang lebih rendah daripada praktisi bisnis yang lebih tua. Penelitian Abratt, Bendixen, dan Drop (1999) secara umum menunjukkan adanya perbedaan antara ketiga kelompok dalam perusahaan retail, yaitu eksekutif, manajer dan tenaga penjualan. Sedangkan penelitian Cagle dan Baucus (2006) menunjukkan
9
bahwa mahasiswa perempuan lebih berorientasi etis daripada mahasiswa laki-laki. Sedangkan hipotesis bahwa mahasiswa yang lebih tua lebih etis daripada mahasiswa yang lebih muda tidak terdukung. Demikian juga hipotesis bahwa mahasiswa S1 lebih etis daripada mahasiswa MBA tidak terdukung. Hasil lainnya adalah pemberian studi kasus secara mendalam akan berpengaruh secara positif terhadap persepsi etis mahasiswa, membuat mahasiswa lebih berorientasi etis. Dari telaah terhadap keseluruhan penelitian tersebut menunjukkan belum adanya kekonsistenan hasil penelitian. Walaupun dalam banyak kasus tidak ada perbedaan persepsi etis yang signifikan antara akuntan atau praktisi dengan mahasiswa akuntansi atau bisnis, akuntan atau praktisi mempunyai kecenderungan yang lebih baik dalam hal etika tersebut. Peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian sejenis untuk mengkonfirmasi penelitian-penelitian sebelumnya dalam konteks persepsi aparat pajak (pemeriksa pajak dan account representative) dan calon aparat pajak (mahasiswa STAN). 2.5. Pengembangan Hipotesis Persepsi merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu sehingga apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi. Oleh karena perasaan, kemampuan berpikir, dan pengalaman-pengalaman individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
persepsi mungkin akan berbeda antar individu satu dengan individu lain (Walgito, 2002). Hal-hal yang mempengaruhi dimensi etis seseorang meliputi faktor pribadi dan faktor organisasi tempat berada (Fritzsche, 1997). Faktor karakter pribadi terutama adalah value (nilai) yang diyakini yang terbentuk dan termodifikasi sepanjang pengalaman hidup yang dihadapi. Selain itu sesuai dengan teori perkembangan moral, fase perkembangan moral yang sedang dialami oleh tiap individu memungkinkan adanya perbedaan persepsi etis. Sedangkan karakter organisasi yang mempengaruhi adalah iklim etis dan kebijakan serta struktur penghargaan dalam organisasi, termasuk kode etik yang diberlakukan dalam organisasi (Fritzsche, 1997). Dari penelitian Ludigdo dan Mahfoedz (1999), Glenn dan Van loo (1993), dan penelitian Cole dan Smith (1996) dapat dikemukakan hipótesis: Ha1: Terdapat perbedaan persepsi etis antara aparat pajak dan mahasiswa Teori differential association menyatakan bahwa seseorang akan cenderung mengadopsi perilaku dan keyakinan dimana dia berhubungan sehingga perilaku dan keyakinan seseorang mungkin akan dekat/sama dengan rekan dekatnya daripada rekan di bagian yang lain. Dari penelitian Sihwahjoeni dan Gudono (2000) dan Abratt, et al. (1999) yang dihubungkan
10
dengan konteks persepsi antarkelompok aparat pajak, dapat diajukan hipotesis: Ha2: Terdapat perbedaan persepsi etis antara pemeriksa pajak dan account representative Pendidikan etika akan menghasilkan pengaruh positif pada penilaian dan persepsi etis (Cagle dan Baucus, 2006). Pemberian materi kuliah yang bermuatan etika akan memberikan dampak yang positif terhadap pemahaman mahasiswa mengenai permasalahan etika. Davis dan Welton (1991) menenemukan bahwa secara umum terdapat perbedaan antara persepsi etis mahasiswa tingkat awal, mahasiswa di tingkat yang lebih tinggi dan mahasiswa yang telah lulus. Dengan kurikulum di STAN yang bersistem paket, mahasiswa tingkat akhir lebih banyak mendapatkan mata kuliah bermuatan etika daripada mahasiswa tingkat awal sehingga dimungkinkan terjadi perbedaan persepsi etis antara kedua kelompok mahasiswa tersebut. Dengan demikian hipotesis yang diajukan peneliti adalah: Ha3: Terdapat perbedaan persepsi etis antara mahasiswa tingkat awal dan mahasiswa tingkat akhir 3.
Metodologi Penelitian
3.1. Tipologi Penelitian Penelitian penelitian bersifat
ini merupakan survei dengan
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
menggunakan instrumen kuesioner. Penelitian ini mengambil acuan utama dari penelitian Ludigdo dan Mahfoedz (1999) dengan subjek yang berbeda dan modifikasi instrumen dimensi etis. Ludigdo dan Mahfoedz (1999) menggunakan responden akuntan dan mahasiswa sedangkan dalam penelitian ini menggunakan responden aparat pajak dan mahasiswa. Penelitian ini juga mengubah dimensi etis bidang auditing yang digunakan dengan dimensi etis bidang perpajakan. 3.2 Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak di Pulau Jawa selain Provinsi Jawa Barat dan Banten dan mahasiswa nontugas belajar Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Pemilihan populasi penelitian yang hanya di Pulau Jawa, selain Jawa Barat dan Banten disebabkan keterbatasan jangkauan peneliti. Pada saat penelitian, jumlah populasi PNS DJP di Pulau Jawa selain Jawa Barat dan Banten tidak dapat diketahui secara pasti. Untuk menjaga agar hasil penghitungan sampel yang harus diambil tidak kurang dari yang seharusnya maka dalam rangka penentuan jumlah sampel digunakan jumlah acuan yg lebih besar daripada jumlah populasi sesungguhnya, yaitu jumlah seluruh pegawai DJP yang berjumlah sekitar 32.000 orang (DJP, 2008). Sedangkan jumlah populasi
11
mahasiswa STAN selain pegawai tugas belajar adalah 4.797 orang (Sumber http://www.stan.ac.id., 19 September 2008). Dari populasi PNS DJP di Pulau Jawa selain Jawa Barat dan Banten, diambil sampel dengan pertimbangan tertentu (judgment sampling) sehingga dipilih sampel hanya dari pegawai yang menjadi pemeriksa pajak dan account representative. Pertimbangan yang digunakan adalah jabatan pemeriksa pajak dan acccount representative merupakan posisi yang mempunyai fungsi strategis di DJP dan sering berhubungan dengan wajib pajak. Setelah itu dari kelompok pemeriksa pajak dan account representative dipilih sampel secara convenience tetapi dengan memperhatikan keterwakilan pada tiap daerah. Dalam pengambilan sampel mahasiswa STAN digunakan pertimbangan berdasarkan besarnya peluang menjadi pegawai Direktorat Jenderal Pajak khususnya untuk jabatan pemeriksa pajak dan account representative. Oleh karena itu dipilih sampel dari mahasiswa spesialisasi D III Administrasi Perpajakan dan D III Akuntansi Pemerintahan karena mereka mempunyai peluang yang besar untuk diangkat sebagai PNS di DJP dan memenuhi syarat untuk menduduki jabatan pemeriksa pajak dan account representative. Hal ini terlihat dari banyaknya lulusan D III Akuntansi Pemerintahan dan D III Administrasi Perpajakan yang menjadi pegawai DJP tiap tahunnya. Setelah ditentukan bahwa
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
sampel diambil dari kedua spesialisasi tersebut kemudian dipilih mahasiswa yang berada di tingkat awal (baru menyelesaikan maksimal 2 semester) dan mahasiswa di tingkat akhir (telah menyelesaikan 5 semester) secara convenience. Dalam menentukan jumlah sampel target yang memadai untuk suatu penelitian, peneliti menggunakan rumus Slovin. Dengan persentase kelonggaran (tingkat kesalahan) 0,05 dan dengan acuan jumlah pegawai DJP sekitar 32.000 orang maka sampel yang seharusnya didapatkan adalah 395 orang. Sedangkan dari jumlah mahasiswa STAN di tahun ajaran 2007/2008 sebanyak 4.797 orang seharusnya didapatkan sampel sebanyak 369 orang. Untuk mencapai jumlah tersebut peneliti mengirimkan 1000 kuesioner ke pegawai DJP dan 400 kuesioner ke mahasiswa STAN. Dengan demikian penelitan ini menggunakan sampel yang besar sehingga memenuhi central limit theorem yang menyatakan bahwa distribusi rata-rata sampel akan normal jika menggunakan sampel yang besar (Sumodiningrat, 2007). 3.3. Pengumpulan Data Data untuk penelitian ini dikumpulkan melalui survei dengan mengirimkan kuesioner menggunakan surat kepada contact person tertentu. Kuesioner untuk kelompok pegawai DJP dikirimkan ke contact person yang merupakan pegawai DJP di setiap kantor tujuan. Sedangkan kuesioner untuk kelompok mahasiswa dikirimkan ke
12
contact person yang merupakan staf pengajar di STAN dan pengurus organisasi kemahasiswaan. Setelah terkumpul kembali maka kuesioner dikirimkan kembali ke peneliti melalui contact person tersebut dengan amplop yang telah ditempel perangko dan alamat peneliti agar responden mudah mengirimkan kembali sehingga respon meningkat (Hartono, 2008: 296). Kuesioner dibagikan dari tanggal 10 Oktober 2008 sampai dengan 7 November 2008. Sedangkan kuesioner yang diolah adalah yang diterima peneliti sampai dengan tanggal 28 November 2008. 3.4. Definisi Operasional Pengukuran Variabel
dan
Persepsi etis didefinisikan sebagai tanggapan berdasarkan pemahaman dan pengalaman yang dimiliki terhadap nilai-nilai etika secara umum, nilai etika dalam dimensi keagamaan dan nilai-nilai etika di bidang perpajakan. Persepsi terhadap nilai-nilai etika secara umum diukur dengan enam belas pernyataan yang berasal dari modifikasi atas pengindonesian (secara bahasa dan konteks) oleh Ludigdo dan Mahfoedz (1999) pada kuesioner Ruch dan Newstrom (1975) yang telah dimodifikasi oleh O‘Clock dan Okleshen (1993). Untuk persepsi terhadap nilai etika dalam dimensi keagamaan diukur dengan tujuh pernyataan yang dikembangkan oleh Ludigdo dan Mahfoedz (1999). Sedangkan pengukuran persepsi terhadap nilai-nilai
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
etika di bidang perpajakan digunakan dua belas pernyataan yang dikembangkan sendiri oleh peneliti yang bersumber dari kode etik pegawai DJP. Kuesioner penelitian termuat pada lampiran.
pengujian menghasilkan sig. (2 tailed) sebesar 0,839 yang lebih besar daripada taraf kesalahan 0.05 sehingga berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara dua kelompok tersebut. Dengan demikian ancaman non-response bias telah dapat dikurangi.
3.5. Uji non-response bias 3.6. Uji validitas Uji ini dilakukan untuk melihat apakah terdapat perbedaan karakteristik jawaban yang diberikan oleh responden yang mengembalikan kuesioner dengan responden yang tidak mengembalikan kuesioner. Dengan keterbatasan informasi yang diperoleh peneliti terhadap identitas individu responden yang tidak mengembalikan kuesioner maka dalam pengujian ini responden yang mengembalikan kuesioner melewati waktu tertentu dianggap mewakili jawaban dari responden yang tidak mengembalikan kuesioner. Untuk penelitian ini uji nonresponse bias hanya dilakukan pada responden aparat pajak karena respon rate-nya lebih rendah daripada mahasiswa. Jawaban yang diterima dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu (1) kelompok awal, yaitu kuesioner yang diterima peneliti dalam waktu satu minggu sejak kuesioner diterima responden, sebanyak 96 kuesioner dan (2) kelompok akhir, yaitu kuesioner yang diterima peneliti setelah empat minggu sejak diterima responden, sebanyak 109 kuesioner. Pengujian dilakukan dengan independent sample t-test untuk menguji perbedaan dua kelompok tersebut. Hasil
13
Pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan untuk meyakinkan kualitas data yang terkumpul dari instrumen yang ada. Validitas berkaitan dengan ketepatan alat ukur dalam mengukur apa yang yang seharusnya diukur. Hartono (2007:120) menyatakan bahwa pengukuran dikatakan valid jika mengukur tujuannya dengan nyata dan benar. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dengan mengorelasikan skor tiap-tiap item dengan skor total. Teknik korelasi yang digunakan adalah Pearson‟s Correlation Product Moment untuk pengujian dua sisi yang terdapat pada SPSS 13.0 for Windows. Hasil uji korelasi dikatakan valid jika tingkat signifikansinya lebih kecil dari 0,05. Dari 35 pertanyaan kuesioner semuanya valid dengan tingkat probabilitas masing-masing item di bawah 0,05. 3.7. Uji reliabilitas Reliabilitas menunjukkan akurasi dan ketepatan dari pengukurnya. Suatu pengukur dikatakan reliabel (dapat diandalkan) jika dapat dipercaya
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
sehingga harus akurat dan konsisten (Hartono, 2007:120). Pengujian reliabilitas pada penelitian ini menggunakan teknik Cronbach‟s Alpha yang terdapat pada SPSS 13.0 for Windows. Sekaran (2003) menyatakan bahwa semakin dekat koefisien alpha pada nilai 1 berarti butir-butir pernyataan dalam kuesioner semakin reliabel. Besarnya nilai alpha yang dihasilkan jika di bawah 0,600 berarti jelek (Sekaran, 2003:311). Dari hasil uji reliabilitas pernyataan responden terlihat bahwa diperoleh koefisien Cronbach‟s Alpha sebesar 0,908 sehingga termasuk kategori reliabel.
sebesar 535 (53,5%). Sedangkan dari 400 kuesioner yang dikirimkan ke mahasiswa, kuesioner yang kembali dan memenuhi syarat sebesar 295 (73,75%). Statistik deskriptif variabel rinci ditunjukkan dalam Tabel 2 di lampiran. Dari jawaban para responden didapatkan bahwa pernyataan etika yang berskor paling rendah (kurang etis) untuk aparat pajak adalah pada item ‖menolak perintah kedinasan yang tidak termasuk dalam uraian jabatan‖. Sedangkan untuk mahasiswa, skor terendah terdapat pada pernyataan ‖mengisikan SPT Wajib Pajak secara cuma-cuma‖. 4.3. Uji Hipotesis
3.8. Pengujian Hipotesis Hasil pengujian hipotesis pertama Pengujian perbedaan atas dua kelompok sampel yang saling independen menggunakan independent sample t-test yang robust terhadap data yang tidak terdistribusi secara normal (Rasch dan Guiard, 2004). Meskipun demikian, pengujian hipotesis akan disandingkan dengan pengujian MannWhitney U sebagai konfirmasi. 4.
Analisis Hasil Penelitian
4.1. Deskripsi Data Kuesioner yang yang dikirim dan diterima kembali ditunjukkan dalam Tabel 1 di lampiran. Dari 1000 kuesioner yang dikirim ke aparat pajak di 70 kantor di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Jakarta, kuesioner yang yang kembali dan memenuhi syarat
14
Hasil pengujian menggunakan independent sample t-test dan MannWhitney U ditunjukkan dalam Tabel 3 di lampiran yang menghasilkan nilai sig. (2 tailed) sebesar 0,000 yang lebih kecil dari taraf kesalahan 0,05 sehingga hipotesis nol ditolak. Dengan demikian kedua bentuk pengujian menghasilkan hal yang sama bahwa terdapat perbedaan signifikan antara persepsi etis aparat pajak dan mahasiswa. Pengujian pelengkap atas tiga dimensi yang ada menunjukkan bahwa untuk dimensi etika yang umum dan dimensi perpajakan terdapat perbedaan signifikan antara aparat pajak dan mahasiswa. Sedangkan untuk dimensi keagamaan tidak terdapat perbedaan signifikan. Hasil uji beda per-item pertanyaan kuesioner menghasilkan
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
bahwa dari 35 pertanyaan, terdapat 24 pertanyaan yang berbeda secara signifikan yang terdiri dari 12 item dalam dimensi etika yang umum, 1 item dalam dimensi keagamaan, dan 11 item dalam dimensi perpajakan. Hasil pengujian hipotesis kedua Hasil pengujian menggunakan independent sample t-test ditunjukkan dalam tabel 4 di lampiran yang menghasilkan nilai sig. (2 tailed) sebesar 0,689 dan hasil pengujian menggunakan Mann-Whitney U menghasilkan nilai asymp. sig. (2-tailed) sebesar 0,647. Keduanya menunjukkan nilai yang lebih besar dari taraf kesalahan 0,05 sehingga hipotesis nol tidak dapat ditolak. Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsi etis pemeriksa dan account representative. Pengujian pelengkap atas tiga dimensi dalam persepsi etis menunjukkan bahwa ketiga dimensi etis, yaitu dimensi etika yang umum, dimensi keagamaan dan dimensi perpajakan tidak terdapat perbedaan signifikan. Hasil uji beda per-item pertanyaan kuesioner terlihat bahwa dari 35 pertanyaan, terdapat 7 item yang berbeda secara signifikan yang terdiri dari 4 item dalam dimensi etika yang umum dan 3 item dalam dimensi perpajakan. Hasil pengujian hipotesis ketiga Hasil pengujian menggunakan independent sample t-test ditunjukkan dalam Tabel 5 di lampiran yang
15
menghasilkan nilai sig. (2 tailed) sebesar 0,209. Hasil pengujian menggunakan Mann-Whitney U menghasilkan nilai asymp. sig. (2-tailed) sebesar 0,069. Keduanya menunjukkan nilai yang lebih besar dari taraf kesalahan 0,05 sehingga hipotesis nol tidak dapat ditolak. Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara persepsi etis mahasiswa tingkat awal dan mahasiswa tingkat akhir. Pengujian pelengkap atas tiga dimensi etis menunjukkan bahwa untuk dimensi etika yang umum dan dimensi keagamaan tidak terdapat perbedaan signifikan. Sedangkan pengujian untuk dimensi perpajakan terdapat perbedaan yang signifikan. Hasil uji beda per-item pertanyaan kuesioner terlihat bahwa dari 35 item, terdapat 12 item yang berbeda secara signifikan yang terdiri dari 5 item dari dimensi etika yang umum, dan 7 item dalam dimensi perpajakan. 4.4. Pembahasan Pembahasan hipotesis pertama Hasil pengujian perbedaan persepsi etis aparat pajak dan mahasiswa menghasilkan adanya perbedaan signifikan antara persepsi etis kedua kelompok tersebut dengan aparat pajak lebih berpersepsi etis daripada mahasiswa. Hasil ini dikarenakan adanya pengaruh iklim etis organisasi DJP yang telah memberlakukan kode etik selain pengaruh dari value personal yang dimiliki tiap pegawai. Pemberlakuan kode etik di DJP beserta usaha internalisasinya yang dibarengi dengan
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
pemberian insentif yang memadai serta adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran sangat memungkinkan terciptanya iklim etis yang positif. Hal ini berbeda dengan mahasiswa yang walaupun berada dalam lingkungan dengan idealisme yang tinggi, tidak berada dalam suatu organisasi yang formal, mapan dan rapi seperti DJP yang telah menerapkan kode etik dan sistem reward yang jelas. Selain itu terdapat perbedaan tahapan perkembangan moral yang sedang dialami oleh aparat pajak dan mahasiswa. Faktor pribadi dan lingkungan yang mempengaruhi bisa saja membuat suatu kelompok berada dalam tingkat perkembangan moral yang lebih tinggi, dalam hal ini adalah aparat pajak yang kebanyakan telah berusia dewasa karena nilai yang dianut seseorang mungkin saja menjadi lebih kuat dengan bertambah dewasanya seseorang (Cole dan Smith, 1996). Pembahasan Hipotesis Kedua Hasil pengujian perbedaan persepsi etis pemeriksa pajak dan account representative mendapatkan hasil tidak adanya perbedaan signifikan antara persepsi etis pemeriksa pajak dan account representative dengan kecenderungan account representative lebih berpersepsi etis daripada pemeriksa. Responden pemeriksa pajak untuk penelitian ini ternyata sebagian baru diangkat pada bulan Juli 2008 yang sangat dimungkinkan berasal dari jabatan
16
account representative sehingga iklim etis yang ada pada kelompok account representative masih terbawa ketika berganti jabatan menjadi pemeriksa. Akan tetapi ketika data responden pemeriksa pajak tersebut dikeluarkan dari analisis ternyata tidak ada perbedaan sehingga hal tersebut bukanlah penyebab tidak adanya perbedaan persepsi etis antara pemeriksa pajak dan account representative. Penjelasan yang paling dekat atas hasil pengujian di atas adalah karena adanya kode etik di DJP telah membuat para pegawai DJP mempunyai standar perilaku yang sama yang mengikat semua pegawai meskipun berbeda jabatan. Hal tersebut menyebabkan tidak ada perbedaan persepsi etis antara kelompok pemeriksa pajak dan kelompok account representative karena keduanya mengacu pada pedoman yang sama. Hal ini lebih mendukung teori bahwa adanya kebijakan dan struktur penghargaan mempengaruhi dimensi etis dalam organisasi (Fritzsche, 1997). Pembahasan Hipotesis Ketiga Hasil pengujian perbedaan persepsi etis mahasiswa tingkat awal dan mahasiswa tingkat akhir mendapatkan hasil tidak terdapat perbedaan signifikan antara persepsi etis mahasiswa tingkat awal dan mahasiswa tingkat akhir dengan kecenderungan mahasiswa tingkat akhir lebih berpersepsi etis daripada mahasiswa tingkat awal. Hal yang bisa menjelaskan hasil penelitian ini adalah karena selisih umur dari
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
mahasiswa tingkat awal dan tingkat akhir tidaklah berbeda jauh. Responden mahasiswa kebanyakan berusia di bawah 20 tahun untuk mahasiswa tingkat awal dan di bawah 25 tahun untuk mahasiswa tingkat akhir. Selain itu untuk pendidikan Diploma III di STAN hanya ditempuh dalam enam semester, sehingga jarak antara mahasiswa tingkat awal dan mahasiswa tingkat akhir hanya sekitar 23 semester saja. Dengan selisih yang tidak begitu jauh membuat mereka dalam tingkat kematangan yang tidak berbeda jauh. Selisih waktu tersebut bagi mahasiswa tingkat awal bisa jadi telah terisi dengan pendidikan etika secara nonformal dari lingkungan sekitarnya (organisasi dan masyarakat). Oleh karena itu, meskipun mahasiswa tingkat awal lebih rendah persepsi etisnya daripada mahasiswa tingkat akhir, secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan yang signifikan di antara keduanya. Penjelasan lainnya adalah sebenarnya untuk dimensi perpajakan terdapat perbedaan signifikan antara mahasiswa tingkat awal dan mahasiswa tingkat akhir dengan kecenderungan mahasiswa tingkat akhir berpersepsi etis lebih tinggi daripada mahasiswa tingkat awal. Akan tetapi, dua dimensi lainnya tidak terdapat perbedaan signifikan sehingga secara keseluruhan hasilnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Hal itu menunjukkan bahwa nilai etika yang umum dan nilai etika dalam dimensi keagamaan bisa didapatkan dari luar kurikulum pendidikan tinggi. Sedangkan untuk nilai etika dalam
17
dimensi perpajakan yang berkaitan dengan etika dalam dunia perpajakan, diperlukan pendidikan formal melalui kurikulum di kampus yang berisi pemahaman tentang dunia perpajakan dan kode etik pegawai DJP. 5.
Penutup
5.1. Simpulan Secara keseluruhan persepsi etis aparat pajak cukup baik dengan ratarata 4,106 tetapi untuk skor dimensi etika yang umum masih rendah dibanding kedua dimensi etis lainnya. Sedangkan persepsi etis mahasiswa tidak sebaik aparat pajak, yaitu dengan rata-rata 3,845. Dimensi etis yang paling rendah pada persepsi etis mahasiswa adalah di bidang perpajakan. Hal tersebut menunjukkan bahwa persepsi etis aparat pajak lebih baik daripada persepsi etis mahasiswa. Hasil pengujian hipotesis pertama menghasilkan adanya perbedaan signifikan antara persepsi etis aparat pajak dan mahasiswa dengan persepsi etis aparat pajak yang lebih baik daripada mahasiswa. Apabila dilihat per dimensi persepsi etis, terdapat perbedaan yang signifikan untuk dimensi etika yang umum dan dimensi perpajakan, sedangkan untuk dimensi keagamaan tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Hasil ini mendukung teori adanya pengaruh faktor organisasi pada dimensi etis, dalam hal ini adalah kode etik dan sistem reward and punishment.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
Pengujian hipotesis kedua menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara persepsi etis pemeriksa dan account representative dengan kecenderungan account representative lebih baik persepsi etisnya daripada pemeriksa. Ketika pengujian dilakukan per dimensi persepsi etis, masing-masing dimensi tersebut tidak terdapat perbedaan signifikan antara pemeriksa dan account representative. Hasil ini dijelaskan dengan adanya kode etik pegawai DJP yang menjadi pedoman yang seragam bagi perilaku etis para pegawai DJP, termasuk pemeriksa dan account representative. Pengujian hipotesis ketiga menghasilkan tidak adanya perbedaan persepsi etis antara mahasiswa tingkat awal dan mahasiswa tingkat akhir dengan kecenderungan persepsi etis mahasiswa tingkat akhir lebih baik daripada mahasiswa tingkat awal. Pengujian per dimensi etis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam dimensi etika yang umum dan dimensi keagamaan. Sedangkan untuk dimensi perpajakan terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan etika secara formal di kampus bukanlah faktor yang dominan dalam perkembangan persepsi etis seseorang (Davis dan Welton, 1991). Namun demikian, dengan adanya perbedaan signifikan untuk dimensi perpajakan sebenarnya mendukung teori bahwa pendidikan etika (dalam hal ini etika di dunia perpajakan) menghasilkan pengaruh positif pada penilaian dan persepsi etis.
18
5.2. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan yang melekat. Keterbatasan pertama, penelitian ini hanya mengobservasi persepsi saja sehingga belum tentu hal tersebut diaplikasikan dalam tindakan keseharian. Keterbatasan kedua, beberapa responden merasa tidak jelas dengan pertanyaan kuesioner pada butir III.6 yang berbunyi ‖mengisikan SPT Wajib Pajak secara cuma-cuma‖. Beberapa responden menyatakan bahwa kalimat tersebut rancu karena jika diisi dengan jawaban tidak setuju maka terkesan seharusnya dalam mengisikan SPT adalah tidak gratis (cuma-cuma). Penambahan kata ‖secara cuma-cuma‖ oleh peneliti sebenarnya untuk memberikan suasana dilema etis karena secara substansi mengisikan SPT Wajib Pajak adalah tidak boleh, sehingga jika dilakukan tanpa mengutip bayaran pun tetap tidak boleh. Hal tersebut sesuai dengan panduan pelaksanaan kode etik pegawai DJP (SE-33/PJ./2007) yaitu kewajiban keempat. Keterbatasan ketiga, dalam membangun sendiri kuesioner persepsi etis dalam bidang perpajakan, selain mendiskusikan dengan pembimbing, peneliti hanya melakukan pretest kepada mahasiswa S2 yang merupakan pegawai DJP sekaligus meminta penelaahan dari mereka. Peneliti tidak melakukan pembentukan panel pakar untuk mengkonfirmasi kebenaran item-item yang membentuk konstruk-konstruk (Hartono, 2008:28). Keterbatasan
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
keempat, responden aparat pajak masih terbatas pada pemeriksa dan account representative saja, belum mencakup jabatan lainnya seperti pelaksana, pegawai tugas belajar, penelaah keberatan, dan pejabat eselon sehingga hasil penelitian ini tidak bisa digeneralisasikan ke seluruh aparat pajak. Keterbatasan kelima, pengambilan sampel aparat pajak hanya di Pulau Jawa dan belum merata ke semua kantor di Pulau Jawa, terutama Jawa Barat dan Banten. Sedangkan untuk wilayah Jawa Tengah dan DIY kuesioner lebih banyak disebarkan kepada pemeriksa (sangat sedikit untuk account representative). Keterbatasan keenam, metode pengumpulan kuesioner dalam penelitian ini sangat mengandalkan kinerja dari contact person, dari menyebarkan, mengumpulkan dan mengirimkan kuesioner kembali kepada peneliti. Keterbatasan ketujuh, responden mahasiswa STAN masih terbatas pada mahasiswa D III Akuntansi Pemerintahan dan mahasiswa D III Administrasi Perpajakan, belum mencakup mahasiswa dari spesialisasi yang lain yang mempunyai peluang menjadi PNS di DJP, yaitu mahasiswa D III Pajak Bumi dan Bangunan dan paling rendah dibandingkan dimensi yang lainnya. Dengan fakta bahwa pendidikan etika secara formal di kampus bukanlah satu-satunya faktor yang membentuk nilai-nilai etika pada diri mahasiswa maka mahasiswa perlu didorong untuk menempatkan diri pada
19
Mahasiswa D I Administrasi Perpajakan sehingga hasil penelitian ini tidak bisa digeneralisasikan ke seluruh mahasiswa STAN. 5.3. Implikasi Hasil Penelitian Penelitian ini mempunyai implikasi bagi DJP untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi pengamalan nilai-nilai etika dengan internalisasi kode etik secara berkesinambungan karena training yang efektif haruslah dilakukan secara berulang (Davis dan Welton, 1991). Selain itu perlu penegakan hukum yang tegas atas pelanggaran kode etik yang ada. Hal yang lebih penting lagi adalah perlunya keteladanan dari pejabat atau pimpinan DJP untuk menularkan nilai-nilai etis dalam organisasi. Selain itu, DJP perlu memperluas internalisasi kode etik dengan dimensi etika yang umum karena skor aparat pajak untuk dimensi tersebut paling rendah dibanding dimensi yang lainnya. Untuk mahasiswa, perlu ditanamkan nilai-nilai etika yang lebih mendalam saat berada di bangku kuliah dan ketika para mahasiswa masuk menjadi PNS di DJP, terutama yang berkaitan dengan dimensi perpajakan yang mana skor jawaban mahasiswa lingkungan yang baik agar mendukung pembentukan moral yang baik. Meskipun demikian peran pendidikan secara formal melalui mata kuliah bermuatan etika dan mata kuliah keahlian perpajakan sangat mendukung terbentuknya pemahaman yang benar
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
atas aturan perpajakan dan etika dalam profesi perpajakan sehingga perlu disusun kurikulum pendidikan yang cermat dan metode pembelajaran yang tepat bagi para calon aparat pajak. 5.4. Saran Berikutnya
untuk
Penelitian
Untuk penelitian selanjutnya diharapkan bisa menyempurnakan keterbatasan di penelitian ini, yaitu dengan memperluas penelitian tidak hanya pada persepsi responden saja tetapi ditambah seperti model penelitian O‘clock dan Okleshen (1991) dengan membandingkan apa yang responden yakini, apa yang rekan kerja yakini, apa yang dilakukan responden dan apa yang rekan kerja lakukan. Dalam mendesain kuesioner sendiri terlebih dahulu dilakukan pretest dengan membentuk panel pakar untuk mengkonfirmasi kebenaran item-item
20
yang membentuk konstruk-konstruk dalam kuesioner sehingga kuesioner yang dibentuk lebih terjaga validitas dan reliabilitasnya. Untuk kuesioner mengenai persepsi etis di bidang perpajakan diskusi bisa dilakukan dengan penggagas dan pendesain kode etik pegawai DJP. Responden aparat pajak perlu diperluas pada jabatan yang lain seperti pelaksana (termasuk juga pegawai tugas belajar), penelaah keberatan, dan pejabat eselon. Sedangkan untuk responden mahasiswa diperluas untuk spesialisasi lain seperti D III Pajak Bumi dan Bangunan dan D I Administrasi Perpajakan. Dalam pengambilan sampel perlu diperluas dengan pengambilan secara merata di seluruh kantor di tiap wilayah, atau bila hal itu tidak mungkin maka dilakukan pengambilan sampel yang mewakili tiap wilayah, sehingga semua wilayah telah terwakili.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
Daftar Pustaka Abratt, R., M. Bendixen dan K. Drop. 1999. ―Ethical Perceptions of South African Retailers: Management and Sales Personnel‖. International Journal of Retail & Distribution Management. Vol.27. No. 2: 91-104. Bertens, K. 2005. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Cagle, J. A. B. dan M. S. Baucus. 2006. ―Case Studies of Ethics Scandals: Effect on Ethical Perceptions of Finance Students‖. Journal of Business Ethics. Vol. 64: 213-229. Cole, B. C. dan D. L. Smith. 1996. ―Perception of Business Ethics: Students vs. Business People‖. Journal of Business Ethics. Vol. 15: 889-896. Davis, J. R. dan R. E. Welton. 1991. ―Professional Ethics: Business Students‘ Perceptions‖. Journal of Business Ethics. Volume 10, 451463. Fischer, M dan K. Rosenzweig. 1995. ‖Attitudes of Students and Accounting Practioners Concerning the Ethical Acceptability of Earning Managements‖. Journal of Business Ethics. Vol. 14: 433444.
21
Fritzsche, D. J. 1997. Business Ethics, A Global and Managerial Perspective. Singapore: McGrawHill. Glenn, Jr., J. R., dan M.F. Van loo. 1993. ―Business Students‘ and Practitioners‘ Ethical Decisions Over Time‖. Journal of Business Ethics. Vol.12: 835-847. Hartono, J. 2007. Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan Pengalaman-Pengalaman. Yogyakarta: BPFE. Hartono, J. 2008. Pedoman Survei Kuesioner: Mengembangkan Kuesioner, Mengatasi Bias dan Meningkatkan Respon. Yogyakarta: BPFE. Jumlah Mahasiswa STAN. Diakses dari http://www.stan.ac.id/about_stan/j umlah-mahasiswa pada tanggal 19 September 2008. Indriantoro, N dan B. Supomo. 1998. Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen. Edisi Pertama.Yogyakarta: BPFE. Keraf, A. S. 1998. Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta: Kanisius. Ludigdo, U. dan M. Machfoedz. 1999. ―Persepsi Akuntan dan Mahasiswa terhadap Etika Bisnis‖. Jurnal Riset Akuntansi
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
Indonesia. Vol. 2. No. 1: 168184. O‘clock, P. and M. Okleshen. (1993). A Comparasion of Ethical Perceptions of Business and Engineering Majors. Journal of Business Ethics 12: 677-687 Praptiningsih. 2008. ―Pengaruh Sistem Administrasi Pajak Modern terhadap Sensitivitas Etika Pemeriksa Pajak di Lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus‖. Tesis tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Pertama. Jakarta: Balai Pustaka. Rakhmat, J. 2007. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Rasch, D. and V. Guiard. 2004. ―The Robustness of Parametric Statistical Methods‖. Psychology Science. Vol. 46. No. 2:175-208. Robbins, S. P. 1997. Perilaku Organisasi (diterjemahkan oleh: Pujaatmaka), Jakarta: PT Prenhallindo. Sekaran, U. 2000. Research Method for Business: A Skill Building Approach. Third Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.
22
Sihwahjoeni dan Gudono. 1999. Persepsi Akuntan terhadap Kode Etik Akuntan. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 3. No. 2: 1-19. Stevens, R.E., O.J. Harris dan S. Williamson. 1993. ―A Comparasion of Ethical Evaluations of Business School Faculty and Students: A Pilot Study‖. Journal of Business Ethics. Vol. 12: 611-619. Sugiyono. 2001. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: CV Alfabeta. Sumodiningrat, G. 2007. Ekonometrika Pengantar. Edisi Kedua. Yogyakarta: BPFE. Survei TII Tahun 2004. Diakses dari http://www.ti.or.id/researchsurvey /90/tahun/2006/bulan/02/tanggal/ 16/id/3472/ pada tanggal 19 September 2008. Survei TII Tahun 2006. Diakses dari http://www.ti.or.id/researchsurvey /90/tahun/2007/bulan/02/tanggal/ 28/id/2820/pada tanggal 19 September 2008. Survei TII Tahun 2006. Diakses dari http://www.ti.or.id/researchsurvey /90/tahun/2009/bulan/01/tanggal/ 21/id/3816/pada tanggal 22 Januari 2009. Velazquez, M. G. 2002. Business Ethics: Concept and Case. Fifth
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
Edition.New Jersey: Prentice Hall, Walgito, B. 2003. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Andi Offset.
23
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
DAFTAR PERATURAN Pemerintah Republik Indonesia. 2007. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Jakarta. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2007. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1/PM.3/2007 tentang Kode Etik Pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Jakarta. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2007. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 447/KM.1/UP.11/2008 tentang Pengangkatan Pertama dalam
24
Jabatan Fungsional Pemeriksa Pajak para Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Jakarta. Direktorat Jenderal Pajak. 2007. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-33/PJ./2007 tentang Panduan Pelaksanaan Kode Etik Pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Jakarta. Direktorat Jenderal Pajak. 2008. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-111/PJ/2008 tentang Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2008-2012. Jakarta
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
Lampiran KUESIONER PENELITIAN BAGIAN I
DATA RESPONDEN
Isilah dengan memberi tanda silang (x) pada kotak yang tersedia dan menuliskan data yang diminta pada tempatnya 1. Jenis Kelamin:
1
Laki-laki
2. Usia:
2
20-30 th
3. Status:
1
< 20 th
2
3
Perempuan
31-40 th
PNS DJP:
4
>40 th
Mahasiswa STAN:
1
Account Representative
3
D III Administrasi Perpajakan
2
Pemeriksa Pajak
4
D III Akuntansi Pemerintahan
4. Jika status Anda adalah mahasiswa STAN:(Hanya diisi oleh mahasiswa) a. Tahun masuk sebagai mahasiswa STAN : b. Instansi yang diminati
1
DJP
2
Lainnya: ……………………………
5. Jika status Anda adalah PNS DJP: (Hanya diisi oleh PNS) a. Ijazah tertinggi yang telah diraih: b. Latar belakang pendidikan
1
SMU
3
D III
Perpajakan
3
Manajemen
5
Nonekonomi:…………………………….
2
DI
1
Akuntansi
4
Ekonomi Pembangunan
2
4
D IV/S1
5
S2
6
S3
c. Nama Sekolah/Perguruan Tinggi Almamater: …………………………………………………… d. Bekerja di DJP mulai tahun e. Berada di jabatan sekarang (AR/Pemeriksa) mulai tahun f. Golongan/ruang sekarang
1
II c
3
III a
5
III c
7
IV a
9
IV c
2
II d
4
III b
6
III d
8
IV b
10
IV d
g. Pernah mendapatkan materi kode etik dalam diklat/training:
Ya
1
2
Tidak
h. Nama kantor tempat bekerja sekarang: ………………………………………………………….. i. Letak kantor tempat bekerja:
25
1
Jakarta
2
Luar Jakarta
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
BAGIAN KEDUA
PERNYATAAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Bapak/Ibu/Sdr. diminta untuk memberikan tanggapan atas pernyataan yang ada pada angket ini sesuai dengan keadaan, pendapat, perasaan Bapak/Ibu/Sdr., bukan pendapat umum atau pendapat orang lain. Pernyataan-pernyataan dalam kuesioner ini mempunyai lima alternatif jawaban. Mohon diisi dengan melingkari atau memberi tanda silang pada skala 1 sampai 5 yang tersedia di samping tiap pernyataan. Kerjakan seteliti mungkin dan jangan ada yang terlewatkan. Skala 1 = Sangat Tidak Setuju (STS) Skala 2 = Tidak Setuju (TS) Skala 3 = Netral (N)
Skala 4 = Setuju (S) Skala 5 = Sangat Setuju (SS)
I. Pernyataan Tentang Etika dalam Perspektif yang Umum STS TS N
26
S SS
1 Sulit memisahkan antara penggunaan jasa kantor untuk kepentingan pribadi dan untuk kepentingan kantor
1
2
3
4
5
2 Memberi hadiah/cindera mata dalam suatu urusan agar mendapatkan perlakuan istimewa
1
2
3
4
5
3 Memerlukan waktu yang lebih lama dari yang seharusnya untuk melakukan suatu pekerjaan
1
2
3
4
5
4 Urusan pribadi dapat dilakukan pada jam kerja
1
2
3
4
5
5 Tidak mempedulikan kesalahan kerja yang dilakukan oleh orang lain
1
2
3
4
5
6 Tidak perlu merasa prihatin jika kesalahan yang dilakukan menjadi tanggung jawab orang lain yang tidak bersalah
1
2
3
4
5
7 Tidak mempermasalahkan pelanggaran peraturan atau kebijakan kantor yang dilakukan oleh bawahan
1
2
3
4
5
8 Fasilitas kantor dapat dimanfaatkan untuk keperluan pribadi
1
2
3
4
5
9 Menerima hadiah/cindera mata yang berkaitan dengan pekerjaan
1
2
3
4
5
10 Menggunakan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan keperluan pribadi (misal: makan siang yang terlalu lama atau datang terlambat)
1
2
3
4
5
11 Tidak acuh terhadap pelanggaran peraturan atau kebijakan kantor yang dilakukan orang lain
1
2
3
4
5
12 Menyempatkan diri untuk menonton suatu pertandingan/perlombaan olahraga (secara langsung atau melalui TV) pada jam kerja
1
2
3
4
5
13 Merokok dalam ruangan yang tidak selayaknya untuk merokok (misalnya, dalam ruangan ber-AC)
1
2
3
4
5
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
STS TS
N
S
SS
14 Meng-copy software kantor tempat kerja untuk keperluan pribadi
1
2
3
4
5
15 Resepsionis diminta untuk mengatakan kepada penelpon bahwa orang yang dimaksud tidak ada walaupun sebenarnya ada
1
2
3
4
5
16 Tidak melaporkan kepada pihak yang berwenang atas pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kantor tempat kerja
1
2
3
4
5
N
S
SS
II. Pernyataan Tentang Etika Dikaitkan dengan Dimensi Keagamaan STS TS 1 Perbedaan agama mempengaruhi pola hubungan kerja dengan rekan kerja atau bawahan
1
2
3
4
5
2 Dalam kondisi tertentu untuk kepentingan pekerjaan, suatu tindakan yang dilarang agama akan dilakukan
1
2
3
4
5
3 Menganggap urusan agama hanya pada saat melaksanakan ibadah ritual keagamaan, selebihnya urusan lain
1
2
3
4
5
4 Meninggalkan kewajiban ibadah ritual untuk melaksanakan suatu pekerjaan
1
2
3
4
5
5 Menunda menunaikan kewajiban ibadah ritual untuk melaksanakan suatu pekerjaan
1
2
3
4
5
6 Tidak mempedulikan tindakan rekan kerja atau bawahan yang bertentangan dengan ajaran agama
1
2
3
4
5
7 Dengan alasan kepadatan kerja, tidak memberikan keleluasaan melaksanakan ibadah ritual
1
2
3
4
5
N
S
SS
III. Pernyataan Tentang Etika Dikaitkan dengan Bidang Perpajakan STS TS
27
1 Dengan pertimbangan sosial, memenuhi permintaan Wajib Pajak untuk mengubah data agar kewajiban perpajakan menjadi lebih kecil
1
2
3
4
5
2 Menangani Wajib Pajak (WP) yang masih kerabat
1
2
3
4
5
3 Mengendurkan pengawasan atas Wajib Pajak yang kewajiban perpajakannya diwakilkan kepada pensiunan pegawai pajak
1
2
3
4
5
4 Memberikan foto copy SPT (Surat Pemberitahuan Pajak) milik Wajib Pajak lain sebagai contoh kepada Wajib Pajak baru yang mengalami kesulitan dalam pengisian SPT
1
2
3
4
5
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
STS TS
N
S
SS
5 Menolak memberikan penjelasan mengenai perpajakan bagi WP yang tidak terdaftar di kantor sendiri
1
2
3
4
5
6 Mengisikan SPT Wajib Pajak secara cuma-cuma
1
2
3
4
5
7 Menolak perintah kedinasan yang tidak termasuk dalam uraian jabatan kita
1
2
3
4
5
8 Tidak perlu memasukkan adanya penghasilan lain ke dalam SPT Tahunan sendiri
1
2
3
4
5
9 Menjadi simpatisan aktif partai politik
1
2
3
4
5
10 Meminta bawahan/rekan kerja untuk mengubah penilaian objektif atas pemeriksaan terhadap WP
1
2
3
4
5
11 Menerima honor yang telah dipotong PPh 21 dari WP atas penyuluhan yang diberikan dalam rangka tugas dinas
1
2
3
4
5
12 Memberi isyarat yang mengesankan meminta atau mengharapkan sesuatu dari Wajib Pajak
1
2
3
4
5
-o0o-
Saran mengenai kuesioner/penelitian ini, jika ada:
Catatan: Apabila Anda menginginkan hasil penelitian ini, silahkan tulis alamat email Anda di bawah ini:
28
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
Tabel 1 Kuesioner yang dikirim dan diterima kembali
No.
Responden
Dikirim Kembali Cacat Diolah
1. Aparat Pajak a. Pemeriksa b. Account Representative Jumlah
Persentase kembali diolah
594 406 1000
295 292 587
22 30 52
273 49.66% 45.96% 262 71.92% 64.53% 535 58.70% 53.50%
Jumlah
200 200 400
184 143 327
18 14 32
166 92.00% 83.00% 129 71.50% 64.50% 295 81.75% 73.75%
TOTAL
1400
914
84
830 65.29% 59.29%
2. Mahasiswa a. Tingkat awal b. Tingkat akhir
Tabel 2 Statistik Deskriptif Variabel
No. Variabel 1. Persepsi Aparat Pajak a. Pemeriksa b. Account Representative Persepsi Aparat Pajak Keseluruhan 2.
Mean
Deviasi Standar Rentang Aktual
4.0995 4.1133 4.1063
0.4243 0.3703 0.3985
2.80 - 5.00 3.00 - 5.00 2.80 - 5.00
Persepsi Mahasiswa a. Mahasiswa Tingkat Awal 3.8220 b. Mahasiswa Tingkat Akhir 3.8737 Persepsi Mahasiswa Keseluruhan 3.8446
0.3190 0.3850 0.3497
3.00 - 5.00 2.17 - 4.83 2.17 - 5.00
Tabel 3 Uji Beda Aparat Pajak dan Mahasiswa
Mean (Deviasi Standar) No
Yang diuji
I. Keseluruhan II. Per dimensi: 1. Umum 2. Keagamaan 3. Perpajakan
29
Aparat Pajak
Mahasiswa
4.11 (0.40)
3.85 (0.35)
p-value T Test 0.000
4.04 (0.45) 4.25 (0.53) 4.11 (0.46)
3.79 (0.42) 4.19 (0.49) 3.72 (0.39)
0.000 0.103 0.000
Uji Beda p-value Hasil MW Test 0.000 beda 0.000 0.083 0.016
beda tidak beda beda
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Marsono | Eko Suwardi
Tabel 4 Uji Beda Pemeriksa Pajak dan Account Representative
Mean (Deviasi Standar) No
Yang diuji
I. Keseluruhan II. Per dimensi: 1. Umum 2. Keagamaan 3. Perpajakan
Pemeriksa
AR
4.10 (0.40)
4.11 (0.35)
p-value T Test 0.689
4.02 (0.49) 4.22 (0.59) 4.13 (0.46)
4.06 (0.40) 4.29 (0.46) 4.08 (0.45)
0.297 0.632 0.198
Uji Beda p-value Hasil MW Test 0.647 tidak beda 0.259 0.504 0.174
tidak beda tidak beda tidak beda
Tabel 5 Uji Beda Mahasiswa Tingkat Awal dan Mahasiswa Tingkat Akhir
No
Yang diuji
I. Keseluruhan II. Per dimensi: 1. Umum 2. Keagamaan 3. Perpajakan
30
Mean (Deviasi Standar) Mahasiswa Tk. Mahasiswa Awal Tk. Akhir 3.82 (0.32) 3.87 (0.38) 3.82 (0.38) 4.18 (0.50) 3.61 (0.36)
3.74 (0.47) 4.20 (0.48) 3.86 (0.40)
p-value T Test 0.209 0.131 0.737 0.000
Uji Beda p-value Hasil MW Test 0.069 tidak beda 0.272 0.934 0.000
tidak beda tidak beda beda
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
JURNAL BPPK Volume 1, Nomor 2, Agustus 2010
Faktor-Faktor Risiko Fiskal dalam Penganggaran Daerah
Oleh : Arina Romarina Akhmad Makhfatih
31
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Arina Romarina | Akhmad Makhfatih
Faktor-Faktor Risiko Fiskal dalam Penganggaran Daerah Arina Romarina¹ Akhmad Makhfatih2
Abstract
Fiscal risk refers to the chance that some unfavorable event will occur in fiscal term. It also influences the implementation of Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) and Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) The impact of fiscal risk is on the accuracy of government financial target or imbalanced financial budgeting. The aim of this research is to identify and analyze the fiscal risk factors in local financial budgeting. Quantitative and qualitative methods are used in this research where confirmatory factor analysis is used as analitical tools. The primary data is collected from 125 respondents who are civil servant. The qualification of the respondent is the civil servant who has been ever involve in arranging local budget. The results show that there are many fiscal risk factors in local budgeting. These factors involve both external and internal aspects such as synchronization of APBD with Kebijakan Umum Anggaran (KUA) and Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS), risk management, accessibilty and transparancy, target and performance indicators, legislative and executive relations, opportunistic behaviour, moral hazard, organization management, risk anticipation, the pattern of financial planning, the financial planning lag approval, the unwritten expenses and macroeconomics conditions. Keywords:
fiscal risk, financial budgeting, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), confirmatory factors analysis
______________________________________ ¹ Pegawai pada Dinas Koperasi dan UMKM Kota Pekanbaru 2 Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada
32
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Arina Romarina | Akhmad Makhfatih
Pendahuluan Salah satu issue yang sangat penting dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah pengelolaan keuangan daerah. Hal ini disebabkan karena fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai alat fiskal utama di daerah mempunyai peranan yang cukup kuat dalam menunjang pertumbuhan ekonomi di daerah yang pada akhirnya bermuara kepada pertumbuhan ekonomi nasional. Namun dalam proses penganggaran APBD tersebut tentu menghadapi berbagai ketidakpastian yang akan mempengaruhi keakuratan dalam pencapaian targettarget anggaran. Ma (2002:393) mengatakan bahwa dikebanyakan negara, pemerintah daerah (pemda) memiliki fungsi dan kewajiban serta bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan kepada publik. Untuk itu kesehatan keuangan pemda merupakan bagian yang sangat penting dari keseluruhan sistem keuangan negara. Masalahnya, pemerintah daerah seringkali memiliki informasi yang terbatas mengenai kesehatan keuangannya termasuk bagaimana mengukur kegiatan fiskal dan kemungkinan risiko yang dihadapi dengan cara yang tepat dan reliabel. Hal ini bisa menyebabkan adanya kerentanan fiskal (fiscal vulnerability). Kerentanan fiskal merupakan suatu kondisi ketika pemerintah mengalami kegagalan dalam mengkoordinasikan tujuan kebijakan fiskal secara keseluruhan (Hemming, 2000:164). Terjadinya risiko fiskal yang
33
tidak diantisipasi dengan baik akan membebani anggaran dan mempengaruhi target pertumbuhan ekonomi. Pengungkapan risiko dalam Nota Keuangan (2008) sangat diperlukan untuk memberikan gambaran yang utuh tentang posisi fiskal Pemerintah. Transparansi sebagai salah satu komponen penting dalam pengelolaan keuangan negara dan daerah menuntut adanya pengungkapan informasi dan semua hal yang dianggap penting untuk diketahui publik khususnya risiko fiskal dalam proses perencanaan keuangan dan penganggaran pemerintah. Pemahaman terhadap risiko menjadi keniscayaan untuk dapat menentukan prioritas strategi dan program dalam pencapaian tujuan organisasi. Pengungkapan risiko fiskal yang merupakan prasyarat penting untuk menjaga terpeliharanya kesinambungan pendapatan negara, belanja negara dan pembiayaan anggaran dipandang perlu untuk memenuhi tuntutan transparansi tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu kajian untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang menjadi risiko fiskal dalam penganggaran daerah (APBD). Studi Literatur Menurut Hanafi (2006:58), risiko merupakan suatu kondisi ketidakpastian atau peristiwa-peristiwa yang tidak bisa diramalkan secara pasti akan terjadi di masa mendatang. Sementara Jorion (2001:3) mengatakan bahwa risiko merupakan volatilitas atau guncangan yang terjadi dan tidak
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Arina Romarina | Akhmad Makhfatih
diharapkan pada suatu tujuan tertentu. Dari berbagai definisi di atas, risiko dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk (kerugian) yang tidak diinginkan, atau tidak terduga. International Monetary Fund (IMF, 2007:1) menyatakan definisi risiko fiskal sebagai “short to medium term variations in the level of government expenditure, revenue, assets, and liabilities that are not anticipated in the budget estimates”. Definisi risiko fiskal menurut Brixi and Shick (2002:2) adalah ―fiscal risk as a sourse of financial stress that could face a government in the future” (risiko fiskal merupakan sumber dari tekanan finansial yang akan dihadapi oleh pemerintah di masa yang akan datang). Risiko fiskal diasosiasikan sebagai kewajiban kontingensi pemerintah (government contingent liabilities). Sementara itu The Budgeting Responsibility Law (BRL) yang diterapkan di Brazil mendefinisikan dua risiko penganggaran (budgetary risks), yakni (1) penentuan pendapatan yang terlalu tinggi (overestimation of revenues) dan (2) penentuan belanja terlalu rendah (underestimation of expenditure). Menurut Schick (2008), risiko fiskal cenderung diestimasi terlalu rendah (underestimated) ketika anggaran disusun, sehingga biaya yang sebenarnya hanya bisa diketahui belakangan ketika sudah terlambat untuk mengatasinya. Jadi dapat dikatakan bahwa risiko fiskal adalah suatu kondisi ketidakpastian peristiwa-peristiwa (events) yang mungkin terjadi di masa datang serta dapat berpengaruh pada posisi dan
34
pelaksanaan fiskal pemerintah, yang dinyatakan dalam dokumen APBN dan APBD dengan komponen-komponen berupa pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Dalam hal ini, risiko diartikan sebagai hal-hal yang mempengaruhi keakuratan pemerintah dalam menentukan target-target anggaran. Blondal (2008:1) menyatakan ada lima kategori sumber risiko fiskal, yakni asumsi ekonomi, struktur utang pemerintah, penjaminan oleh pemerintah, kerjasama pemerintah dan swasta, dan bencana alam. Sumber lain dari risiko fiskal adalah berbagai peraturan dan ketentuan dalam penganggaran serta sistem pelaporan keuangan yang dapat mempengaruhi alokasi sumber daya, pemilihan waktu dan pengesahan transaksi, serta bisa memberikan berbagai kesempatan dan dorongan untuk merubah biaya dan risiko dari satu periode ke periode berikutnya dan dari pemerintah satu ke pemerintah lainnya (Polackova dan Mody, 2002:32). Schick (2002:79) menyatakan bahwa sistem akuntansi tradisional yang digunakan oleh banyak negara selain memiliki berbagai kelebihan tapi secara inherent memiliki kekurangan dalam mengukur kegiatan fiskal. Hal ini dapat dilihat pada kemampuan anggaran konvensional yang tidak mampu mengukur risiko fiskal dalam anggaran yakni tidak mampu mengantisipasi beban pada anggaran di masa depan akibat adanya contingent liabilities.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Arina Romarina | Akhmad Makhfatih
Organisasi pemerintah daerah dapat dipandang sebagai kumpulan orang, yang masing-masing memiliki motivasi dan kepentingan yang berbedabeda. Banyaknya berbagai kepentingan dalam anggaran menyebabkan proses penganggaran akan sangat rentan terhadap berbagai bentuk penyimpangan baik dalam bentuk perilaku opportunistik maupun moral hazard dari pihak-pihak yang terkait didalamnya. Polackova dan Shick (2002:2) mengatakan ―often fiscal risk, particularly those in the form of contingent liabilities, arise from politic and fiscal opportunism.” Lebih lanjut dikatakan bahwa “the largest scope for fiscal ooportunism is traditionaly offered by the financial sector. Government are accustomed to using financial institution, private or stated-owned, to finance various project and support program.” (Polackova dan Shick (2002:9). Adanya asimetri informasi diantara eksekutiflegislatif dan legislatif-pemilih menyebabkan terbukanya ruang bagi terjadinya perilaku oportunistik dalam proses penyusunan anggaran. Halim dan Abdullah (2008:1) mengatakan Eksekutif merupakan agen bagi legislatif dan publik (dual accountability) dan legislatif agen bagi publik. Konsep perwakilan (representativeness) dalam penganggaran tidak sepenuhnya berjalan ketika kepentingan publik tidak terlindungi seluruhnya oleh karena adanya perilaku oportunistik (moral hazard) legislatif. Di sisi lain, eksekutif sebagai agen cenderung menjadi budget maximizer karena berperilaku oportunistik (adverse selecation dan
35
moral hazard sekaligus). Abdullah dan Asmara (2006: 20) juga menyebutkan bahwa distorsi perencanaan dan penganggaran dapat terjadi karena perilaku oportunistik legislatif ditunjang dengan adanya kewenangan untuk merubah alokasi anggaran yang telah dirancang dalam proses perencanaan oleh eksekutif dan pihak legislatif melakukan political corruption melalui realisasi discretionary power yang dimilikinya. I.
Metode Penelitian
Untuk menjawab permasalahan serta mencapai tujuan penelitian maka metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Menurut Boyd (1989) yang dikutip dalam Kuncoro (2003:8) penelitian deskriptif berupaya untuk memperoleh deskripsi yang lengkap dan akurat dari suatu situasi. Data yang digunakan diperoleh melalui penelitian lapangan (field research) yaitu melalui penyebaran kuesioner dengan menggunakan skala likert yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial tertentu, yang telah ditetapkan secara spesifik oleh peneliti, yang selanjutnya disebut sebagai variabel penelitian (Sugiyono, 2008:132). Proses pengambilan sampel menggunakan metode purposive sampling. Soeratno dan Arsyad (2003:119) berpendapat bahwa sampel yang purposive adalah sampel yang dipilih dengan cermat sehingga relevan
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Arina Romarina | Akhmad Makhfatih
dengan rancangan penelitian. Purposive sampling dilakukan dengan mengambil orang-orang yang dipilih oleh peneliti menurut ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh sampel itu. Objek dalam penelitian ini adalah para mahasiswa tugas belajar di Magister Ekonomika Pembangunan (MEP), Magister Akuntasi (MAKSI) yang berstatus Pegawai Negeri Sipil Daerah, peserta Kursus Keuangan Daerah (KKD) angkatan XXIII, Latihan Keuangan Daerah (LKD) angkatan V dan Kursus Akuntansi Keuangan Daerah (KAKD) angkatan V di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kriteria sampel yang dianalisis adalah responden yang pernah terlibat dalam perencanaan dan penyusunan anggaran daerah baik sebagai Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) maupun non Tim Anggaran Pemerintah Daerah (non TPAD). a. Analisis faktor Tujuan utama dari analisis faktor adalah mendefinisikan struktur suatu data matrik dan menganalisis struktur saling hubungan (korelasi) antarsejumlah besar variabel dengan cara mendefinisikan satu set kesamaan variabel atau dimensi dan sering disebut dengan faktor (Ghozali, 2007:267). Dengan analisis faktor, identifikasi dimensi suatu struktur, kemudian ditentukan sampai seberapa jauh setiap variabel dapat dijelaskan oleh setiap dimensi,
36
sehingga ditemukan suatu cara meringkas (summarize) informasi yang ada dalam variabel asli (awal) menjadi satu set dimensi baru atau variate factor dengan cara menentukan struktur melalui data summarization atau melalui data reduction. Dalam analisis faktor dikenal ada dua pendekatan utama yaitu: exploratory factor analysis dan confirmatory factor analysis. Exploratory factor analysis digunakan bila banyaknya faktor yang akan dibentuk tidak ditentukan lebih dahulu, sedangkan confirmatory factor analysis digunakan apabila faktor yang terbentuk telah ditetapkan terlebih dahulu. Penelitian ini menggunakan analisis faktor konfirmatori. b. Variabel penelitian Fokus penelitian ini adalah mengeskplorasi faktor-faktor risiko fiskal dalam penganggaran daerah. Karakteristik penelitian ini mencakup hal-hal yang menyangkut berbagai hal yang mengakibatkan terjadinya ketidakakuratan (risiko) dalam pencapaian target realisasi anggaran menurut persepsi para responden yang pernah terlibat langsung dalam penyusunan APBD. Variabel tersebut kemudian dituangkan dalam 54 item variabel dalam kuesioner yaitu: 1. regulasi dan mekanisme penyusunan anggaran, yaitu ketersediaan pedoman dan petunjuk pelaksanaan, teknis
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Arina Romarina | Akhmad Makhfatih
2.
3.
4.
37
penganggaran, baik berupa Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS), peraturan serta perundanganundangan keuangan daerah. informasi dan komunikasi, yaitu pemahaman tujuan dan fungsi serta prosedur penganggaran, peranserta atau partisipasi, koordinasi dan kerjasama dalam perencanaan dan perumusan anggaran, ketersediaan informasi pendukung serta akses ke dokumen hasil dan pelaporan penyimpangan, dan adanya ruang publik untuk informasi dan komunikasi. politik dalam penganggaran, yaitu kondisi ketika penentuan kebijakan dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS), sangat dipengaruhi oleh intervensi lembaga perwakilan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan hubungan pihak eksekutif dan legislatif dalam perumusan, pengesahan, pelaksanaan dan pengawasan anggaran. Faktor politik dalam penganggaran daerah sangat dominan karena melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam penentuan alokasi akhir di Anggaran Penadapatan dan Belanja Daerah (APBD). perilaku opportunistik dan moral
hazard, yaitu tentang perilaku dalam pembuatan keputusan alokasi belanja dan preferensi yang mengarah pada alokasi belanja yang dapat memberikan rente para penyusun anggaran, termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Pemerintah daerah (RKASKPD) memiliki kepentingan berbeda. a. perilaku oportunisme anggaran (fiscal opportunism), yaitu tentang perilaku oportunistik dalam pembuatan keputusan alokasi belanja dan Preferensi yang mengarah pada alokasi belanja yang dapat memberikan rente juga keinginan untuk ―aman‖ secara fiskal, yakni anggaran bisa terealisasi tepat waktu dan tepat jumlah, memiliki peluang untuk ―menambah‖ alokasi saat perubahan APBD, dan kemungkinan variansi (selisih anggaran dan realisasi sampai akhir tahun) yang rendah. b. moral hazard, menunjukkan bagaimana penyusun anggaran/RKA-SKPD ―menyembunyikan‖ atau ―memanfaatkan‖ keunggulan informasi (informational advantage) yang dimilikinya
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Arina Romarina | Akhmad Makhfatih
untuk keuntungan pribadinya (selaku agent dalam hubungan keagenan/agecy relationship). 5. ekspektasi risiko oleh pengusul II. dan penyusun anggaran, yaitu meliputi pemahaman aparatur daerah penyusun dan pengususl kebijakan dan anggaran tentang informasi tujuan dan fungsi serta prosedur penyusunan keuangan yang harus diketahui dan dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan anggaran serta pemahaman tentang risiko dan bagaimana cara mengantisipasinya dalam
anggaran Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Hasil Analisis Data dan Pembahasan Berdasarkan hasil penyeleksian kuesioner terhadap 391 kuesioner, yang hanya 129 kusioner yang layak dianalisis sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Melalui seleksi tingkat pemahaman mengenai penganggaran daerah maka hanya 125 kuesioner yang selanjutnya dianalisis. Berikut disajikan data responden yang dianalisis.
Tabel 1 Data Responden yang Dianalisis Penyusun APBD No
1 2 3 4 5
Responden Mahasiswa Magister Ekonomika Pembangunan (MEP), Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) Mahasiswa Magister Akuntansi (MAKSI), Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) Peserta Kursus Keuangan Daerah (KKD) Peserta Latihan Keuangan Daerah (LKD) Peserta Kursus Akuntasi Keuangan Daerah (KAKD) Total
TAPD
Non TAPD
Jumlah
27
48
75
0
3
3
4
14
18
2
11
13
2
14
16
35
90
125
Data Primer: (diolah)
Sebaran responden berdasarkan daerah dideskripsikan pada gambar 1. Pada gambar 1 terlihat bahwa asal responden sebagian besar berasal dari pulau Jawa 30,4 persen, Sumatera 24,8 persen, Kalimantan 17,6 persen, Bali,
38
NTT dan NTB sebesar 7,2 persen, Maluku 6,4 persen, Kepulauan Riau 5,6 persen serta jumlah responden yang sedikit bersasal dari Papua sebesar 4,8 persen dan Sulawesi 1,6 persen.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Arina Romarina | Akhmad Makhfatih
Ambon dan Maluku, 6.4%
Papua, 4.8%
Bali, NTT, dan NTB, 7.2%
Sumatera , 24.8%
Jawa, 30.4%
Sulawesi, 1.6%
Kepulauan Riau, 5.6%
Kalimantan, 17 .6% (diolah) Sumber: Data Primer Gambar 1 Data Responden berdasarkan Daerah
Analisis faktor yang digunakan dalam penelitisan ini adalah analisis faktor konfirmatory (Confirmatory Factor Analysis). Hair (1998) menyatakan bahwa alat analisis ini berguna untuk menguji dan mengindentifikasi struktur faktor-faktor suatu objek penelitian. Dengan analisis faktor konfirmatori dilakukan pengujian apakah indikator dalam setiap kontruk yang telah ditetapkan sebelumnya benar merupakan indikator kontruk tersebut. Analisis konfirmatori akan mengelompokkan masing-masing indikator ke dalam beberapa faktor. (Ghozali, 2006:51-54) 1.
Uji korelasi antar item variabel Nilai Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) yang dikehendaki harus > 0,50 dan uji Bartlett yang memiliki nilai chi-square yang signifikan merupakan syarat untuk bisa dilakukannya analisis faktor (Ghozali, 2006:53). Apabila nilai
39
uji Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) dan Bartlett test pada setiap faktor risiko lebih besar dari 0,5 dengan tingkat signifikan 0,000, maka dapat disimpulkan bahwa antar variabel terdapat korelasi sehingga item pernyataan yang ada dapat dianalisis lebih lanjut. Nilai Kaiser-MeyerOlkin (KMO) dan Bartlett‟s test dijabarkan pada tabel 2. Uji confirmatory factor analysis untuk keseluruhan variabel menunjukkan bahwa validitas konstruk dianggap valid atau memenuhi syarat. Hasil Uji Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy (KMO-MSA) terhadap seluruh variabel pada tabel 4 menunjukkan nilai >0,5, yaitu 0,862 pada faktor 1, nilai 0,631 pada faktor 2, nilai 0,805 pada faktor 3, nilai 0,751 pada faktor 4 dan 0,691 pada faktor 5, yang berarti ukuran kesesuaian sampel dan goodness of fit yang digunakan untuk meneliti ketetapan analisis faktor sudah terpenuhi.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Arina Romarina | Akhmad Makhfatih
Tabel. 2 Uji Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy dan Bartlett’s Bartlett's Test of Sphericity Faktor/Konstruksi
KMO-MSA Approx. Chi-Square
df
Sig.
Regulasi dan Mekanisme
0,862
483,282
45
0,000
Informasi dan Komunikasi
0,631
278,421
55
0,000
Politik
0,805
318,625
36
0,000
Perilaku Opportunistik dan Moral Hazard
0,751
388,223
66
0,000
Ekspektasi Risiko
0,691
293,735
45
0,000
Sumber: Data Primer (diolah)
2. Penentuan jumlah faktor Penentuan jumlah faktor yang terbentuk dalam analisis, didasarkan pada koefisien eigenvalue. Menurut Jogiyanto (2007:131), nilai minimun eigenvalue untuk membentuk suatu faktor adalah satu. Sebaliknya jika suatu variabel hanya memiliki eigenvalue lebih kecil dari satu, tidak dimasukkan ke dalam model.
Berdasarkan hasil analisis faktor tiap-tiap variabel terdapat beberapa item variabel yang memiliki nilai eigenvalue lebih dari atau sama dengan satu. Keseluruhan variabel terbentuk dijabarkan pada tabel 3 yang menjelaskan bahwa semua faktor yang terbentuk memiliki eigenvalue lebih besar dari 1 dan persentase kumulatif varian untuk setiap variabel varian lebih besar dari 50 persen.
Tabel 3 Total Varians yang Dijelaskan Koefisien Eigenvalues
Komponen Total
Kumulatif (persen)
Varian (persen)
Variabel regulasi dan mekanisme penganggaran daerah 1
4,469
46,492
46,492
2
1,050
10,497
56,989
Variabel regulasi informasi dan komunikasi
40
1
2,739
24,903
24,903
2
1,845
16,768
41,672
3
1.146
10,416
52,087
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Arina Romarina | Akhmad Makhfatih
Koefisien Eigenvalues
Komponen Total
Varian (persen)
1.090
9,910
Kumulatif (persen) 61,998
1
3,722
37,216
37,216
2 3
1,365 1,030
13,649 10,296
50,865 61,161
4 Variabel politik
Variabel Perilaku opportunistik dan moral hazard 1
3,682
30,679
30,679
2
1,732
14,432
45,112
3
1,279
10,662
55,774
Variabel ekspektasi risiko 1
3,240
29,457
29,457
2
1,495
13,595
43,052
3
1,270
11,541
54,593
4
1,004
9,125
63,718
Sumber: Data Primer (Diolah)
3. Rotasi faktor Hasil Rotated component matrics, menunjukkan bahwa component matrix memiliki distribusi variabel yang jelas dan nyata. Terlihat faktor loading yang
41
sebelumnya kecil makin diperkecil dan faktor loading yang besar semakin diperbesar. Adapun matriks komponen berdasarkan factor loading setelah teknik rotasi disajikan sebagai berikut.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Arina Romarina | Akhmad Makhfatih
Tabel 4 Variabel Regulasi dan Mekanisme Dalam Penganggaran Daerah
Reg6
Component 1 2 0,815
Reg5
0,796
Reg9
0,700
Reg4
0,630
Reg8
0,584
Reg7
0,559
Item variabel
Reg3
0,777
Reg10
0,762
Reg2
0,732
Reg1 Sumber: Data Primer (diolah)
0,523
Tabel 5 Variabel Informasi dan Komunikasi Item variabel
Component
Inf2 Inf1
1 ,827 ,769
Inf5
,535
2
Inf8
,749
In11
,665
Inf7
,641
3
4
Inf9
,849
Inf10
,818
Inf3
,765
Inf6
,599
Inf4
,504
Sumber: Data Primer (Diolah)
Tabel 6 Variabel Politik dalam Penganggaran Component Item variabel 1
42
Pol8
,825
Pol9
,738
Pol6
,689
Pol10
,670
2
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Arina Romarina | Akhmad Makhfatih
Component Item variabel 1 Pol1
,581
Pol2
,530
2
Pol3
,817
Pol7
,601
Pol4
,598
Sumber: Data Primer (Diolah)
Tabel 7 Variabel Perilaku Opportunistik dan Moral Hazard dalam Penganggaran Component
Item variabel
1
Opp6
,796
Opp5
,706
Opp4
,668
2
Opp11 ,635 Opp3 ,610 Opp2 Opp1 Opp7 Opp12 Opp9 Opp8 Opp10 Sumber: Data Primer (Diolah)
3
,797 ,720 ,554 ,400 ,797 ,706 ,603
Tabel 8 Variabel Risiko Item variabel Risk4 Risk5 Risk6 Risk2 Risk7 Risk8 Risk3 Risk9 Risk10 Risk1
43
Component 1
2
3
4
,770 ,762 ,661 ,612 ,799 ,793 ,550 ,774 ,680 ,488
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Arina Romarina | Akhmad Makhfatih
Item variabel
Component 1
2
3
Risk11
4 ,817
Sumber: Data Primer (Diolah)
Berdasarkan hasil Rotated Component Matrix, dihasilkan 15 faktor yang direduksi dari 54 item variabel dan memiliki nilai loading ≥ 0,4.
b.
4. Penamaan faktor yang terbentuk Menurut Hair et. al. (1998:113) pemberian nama pada faktor yang terbentuk dapat ditentukan dengan memberikan nama faktor yang dapat mewakili nama-nama variabel yang membentuk faktor tersebut. Cara lainnya dengan melihat nilai loading factor yang terbesar dari variabelvariabel yang membentuk faktor tersebut. Nilai loading factor tertinggi memiliki makna bahwa variabel tersebut mempunyai peranan paling besar dibandingkan dengan variabel lainnya yang membentuk faktor tersebut. Berdasarkan hasil analisis faktor konfirmatori (confirmatory factor analysis) terhadap variabel awal, terdapat beberapa faktor baru sebagai risiko fiskal dalam penganggaran daerah, yaitu: a. Variabel regulasi dan mekanisme dalam penganggaran daerah, ada 2 sumber risiko yaitu: faktor sinkronisasi dokumen APBD dengan KUA
44
c.
d.
dan PPAS dan faktor penerapan manajemen risiko di pemerintah daerah. Variabel informasi dan komunikasi, ada 4 sumber risiko yaitu faktor aksessibiliti dan transparansi, faktor mekanisme perencanaan dan penyusunan anggaran, faktor penentuan target dan indikator kerja belum tepat, dan faktor kendala keterbatasan sumberdaya manusia baik sebagai perencana, penyusun dan pelaksana anggaran. Variabel Politik dalam penganggaran daerah, ada 2 sumber risiko yaitu: faktor keunggulan kekuasaan (discretionary power) dan perilaku opportunistik oknum legislatif, faktor hubungan eksekutif dan legislatif (terkait mekanisme perumusan dan pembahasan APBD). Variabel opportunistik dan moral hazard dalam penganggaran, ada 3 sumber risiko yaitu: faktor perilaku opportunistik oknum penyusun anggaran, faktor moral hazard perencana dan pengusul anggaran, faktor manajemen organisasi publik terkait
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Arina Romarina | Akhmad Makhfatih
e.
45
kejelasan tanggung jawab, kewenangan dan fungsi. Variabel ekspektasi risiko, ada 4 sumber risiko yaitu: ekpektasi dan antisipasi risiko oleh pengusul dan penyusun anggaran, faktor pola penganggaran belanja modal, barang/jasa dan standar harga, faktor keterlambatan pengesahan APBD dan kondisi makroekonomi, serta faktor adanya pengeluaran yang tidak ada mata anggaran.
oknum legislatif, (7) hubungan eksekutif dan legislatif, (8) faktor perilaku opportunistik oknum penyusun anggaran, (9) faktor moral hazard perencana dan pengusul anggaran (10) manajemen organisasi, (11) ekspektasi dan antisipasi risiko oleh pengusul dan penyusun anggaran, (12) pola penganggaran belanja modal dan barang/jasa, (13) keterlambatan pengesahan APBD dan (14) kondisi makro ekonomi serta (15) pengeluaran yang tidak ada mata anggarannya.
Kesimpulan
Saran, Kebijakan dan Keterbatasan Penelitian
Risiko fiskal dapat juga dikatakan sebagai kemungkinan terjadinya perubahan kondisi yang menyebabkan realisasi anggaran pada masa yang akan datang tidak sesuai dengan jumlah yang dianggarkan.Untuk itu diperlukan berbagai upaya untuk mengungkap, mengantisipasi dan memitigasi faktor-faktor risiko utama yang mempengaruhi penganggaran. Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis faktor konfirmatori, maka terdapat 15 faktor risiko fiskal dalam penganggaran daerah yaitu: (1) sinkronisasi Dokumen APBD dan KUA dan PPAS, (2) ada atau tidaknya penerapan manajemen risiko di lingkungan pemerintah daerah, (3) aksessibiliti dan transparansi, (4) cara penentuan target dan indikator kerja, (5) keterbatasan SDM, (6) keunggulan kekuasaan (discretionary power) legislatif dan perilaku opportunistik
Pemerintah daerah perlu melakukan analisis terhadap berbagai kemungkinan adanya faktor-faktor risiko fiskal utama (peramalan risiko/forecasting risk) dalam anggaran (risk budgeting) yaitu yang mempengaruhi proyeksi besaran penerimaan, belanja dan pembiayaan anggaran serta berbagai kewajiban kontijensi yang mungkin dihadapi pemerintah dan semua hal tersebut juga dimuat dalam laporan tahunan anggaran. Selain itu risiko yang bersumber dari faktor non ekonomi juga harus diantisipasi dan ditindaklanjuti seperti faktor perilaku opportunistik, moral hazard dan kinerja organisasi, keterbatasan SDM dan pola penganggaran. Hal ini dilakukan agar pemda dapat mengantisipasi berbagai kondisi di masa depan yang dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya target anggaran yang telah ditetapkan.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Arina Romarina | Akhmad Makhfatih
Pemerintah daerah juga perlu mengalokasikan sejumlah dana untuk meng-cover terjadinya beban anggaran pada siklus anggaran. Keharusan mengalokasikan dana kontijensi dalam APBD akan memberi sinyal bahwa contingent liabilities berpotensi menimbulkan kerugian sehingga memberikan insetif bagi pembuat kebijakan untuk menerapkan mekanisme mitigasi risiko yang lebih baik. Analisis hanya ditentukan eksplorasi faktor-faktor risiko fiskal dalam penganggaran daerah dan belum mampu menjelaskan secara detail dan rinci pengaruh faktor-faktor risiko tersebut dalam penganggaran didaerah. Masih banyak variabel lain yang yang belum tereksplorasi sehingga masih diperlukan penelitian yang lebih komprehensif dengan metode dan alat analisis lainnya yang lebih representatif. Perlu dilakukan penghitungan risiko secara kuantitatif sehingga bisa memberikan gambaran tentang perbedaan anggaran yang berbasis risiko (budget based risk) dengan anggaran non basis risiko.
46
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Arina Romarina | Akhmad Makhfatih
Daftar Pustaka Abdullah, Syukriy, dan Jhon Andra Asmara, 2006, Perilaku Oportunistik Legislatif Dalam Penganggara n Daerah: Bukti Empiris Atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik. Diakses dari http://swamandiri.org/2008/ 02/10/perilaku-oportunistiklegislatif-dalam penganggaran daerah bukti-empiris-atasaplikasi-agency-theory-disektor-publik/ pada tanggal 14 Juni 2009. Ampri, Irfa, 2006, Manajemen Risiko di Lingkungan Pemerintah: Pengantar Aplikasi pada Unitunit Departemen Keuangan Jurnal Akuntansi Pemerintah. Vol. 2, No. 1 Hal 79-91, Mei 2006. Sumber: www.bppk. go.id, diunduh 5 september 2009. Anonim, 2008, Kerangka Analisis Pengungkapan Risiko Fiskal Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2008. Diakses dari http://risikofiskal.blogspot.com / 2008/08/kerangka-analitispengungkapanrisiko.html, pada tanggal tanggal 12 Mei 2009. Blondal, 2008, Fiscal Risk Management, IMF High-Level Seminar on Fiscal Risk Management, Paris, 28 October 2008. Diakses dari http://blog-pfm.imf.
47
org/ParisConference/Blondal.p df pada tanggal 27 Mei 2009. Brixi, Hana Polackova dan Allen Schick, 2002, Government at Risk: Contingent Liabilities and Fiscal Risk, dalam Brixi and Schick (ed), 2002. Government at Risk: Contingent Liabilities and Fiscal Risk, a Copublication of The World Bank and Offord University Press. Hal: 1-58 Brixi, Hana Polackova dan Ashoko Moody, 2002, Dealing With Government Fiscal Risk: an Overview dalam Brixi dan Schick (ed), 2002. Government at Risk: Contingent Liabilities and Fiscal Risk, a Copublication of The World Bank and Offord University Press. Hal: 21-58. Ghozali, Imam, 2007, Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Hair, Joseph F., Rolph E. Anderson, Ronal L. Tatham and William C. Black, 1998, Multivariate Data Analysis, Fith Edition, Prentice Hall Upper Saddle River New Jersey 07548. Halim, Abdulah, 2008, Hubungan dan Masalah Keagenan di Pemerintahan Daerah: Sebuah Peluang Penelitian Anggaran dan Akuntansi. Diakses dari
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Arina Romarina | Akhmad Makhfatih
http://www.bppk.depkeu.go.id/ index.php/2008050879/jurnalakuntansipemerintah/hubungan-danmasalah-keagenan-dipemerintahan-daerah.html pada tanggal 27 Mei 2009. Hanafi, Mamduh M, 2006, Manajemen Risiko, UP STIM YKPN, Jogjakarta. Hemming, Richard dan Murray Petrie, 2002, A Framework for Assesing Fiscal Vulnerability, dalam Government at Risk, dalam Brixi dan Schick (ed), 2002. Government at Risk: Contingent Liabilities and Fiscal Risk, a Copublication of The World Bank and Offord University Press. Hal: 159-178. International Monetary Funds (IMF), 2007, Increasing Fiscal Transparency- Brazil's Budgetary Fiscal Risk Report. Diakses dari http://blogpfm.imf. org/pfmblog/2007/11/increasin g-fisc.html pada tanggal 9 Juli 2009. Jorion, Phillippe, 2001, Value a Risk: The New Benchmark for Managing Financial Risk. McGraw Hill, USA. Kuncoro, Mudrajad, 2003, Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi, Penerbit Erlangga, Jakarta.
48
Ma, Jun, 2002, Monitoring Fiscal Risk of Subnational Government: Selected Country Experiences dalam Brixi dan Schick (ed), 2002. Government at Risk: Contingent Liabilities and Fiscal Risk, a Copublication of The World Bank and Offord University Press. Hal: 393-424. Petrie, Murray, 2002, Accounting and Financial Accountability to Capture Risk, dalam Brixi dan Schick (ed), 2002. Government at Risk: Contingent Liabilities and Fiscal Risk, a copublication of the world bank and offord university press. Hal: 59-78. Republik Indonesia, 2009, Nota Keuangan RAPBN 2009. Diakses dari www.depkeu.go.id Schick, Allen, 2002, Budgeting for fiscal Risk dalam Brixi dan Schick (ed), 2002. Government at Risk: Contingent Liabilities and Fiscal Risk, a Copublication of The World Bank and Offord University Press. Hal: 79-97. ---------,(2008), Budgeting for Fiscal Risk, Slide Presented to the Fiscal Affairs Division International Monetary Funds, 17 September 2008. Diakses dari http://blogpfm.imf.org/pfmblog/files/bud geting_for_fiscalrisk by
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Arina Romarina | Akhmad Makhfatih
shick.ppt pada tanggal 1 Juni 2009. Soeratno dan Arsyad, Lincolin, 2003, Metodologi Penelitian untuk
49
Ekonomi dan Bisnis, Edisi Revisi, Unit Penerbit dan Percetakan YKPN, Yogyakarta Sugiyono, 2008, Metode Penelitian Bisnis, Alfabeta, Bandung.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
JURNAL BPPK Volume 1, Nomor 3, September 2010
Analisis Faktor Determinan Senjangan Anggaran Pemerintah RI Kementerian Negara Bidang Infrastruktur – Sebuah Studi Eksploratif
Oleh : Hilda Rossieta Dri Asmawanti
50
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
Analisis Faktor Determinan Senjangan Anggaran Pemerintah RI Kementerian Negara Bidang Infrastruktur – Sebuah Studi Eksploratif*
Hilda Rossieta1 Dri Asmawanti S, S.E., M.Si.Ak., 2
Abstract The central role of infrastructure in promoting national economic growth in one hand, yet, on the other hand, low absorption of government budget among infrastructurerelated ministries of Indonesia (i.e., Public Works, Transportation, Public Housing and Rural Development), has provided strong motivation to do research in this area. Research framework is developed based on budgeting literature of profit oriented entity as well as current budgeting practice of infrastructure-related ministries in Indonesia. Generally, the study hypothesized that due to bureaucratic type of government organizations, level of budget absorption is negatively associated with degree of uncertainty in both tasks (Dunk and Nouri, 1998) and environment (Kren and Liao, 1988). We use level of efficiency of the standard systems and procedures to guide budget implementation as proxy to the level of uncertainty. Efficient guidance has adequate clarity and comprehensiveness to guide budget execution, so that additional information to reduce uncertainty of task as well as environment is unnecessary. The questioner is developed from the existing systems and procedures that guide each ministry to interact with both internal as well as external parties. The aim of the questioner is to examine the association between the level of uncertainty with level of budget absorption. Respondents of this study are Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) in the Directorate General level in the ministries. They are government officials who have the authority to implements the budget. Out of the total 48 KPA in the ministries, we sent 21 questioners or 44% of the total population, and received 18 responses or 85.71 % response rate. After examining validity and reliability of the data, the hypotheses are tested in two ways: (i) nonparametric Kruskal-Wallis test to examine whether the ministries have different level of task as well as environment uncertainty; (ii) nonparametric rank Spearman and Kendall‟s tau-b to investigate whether budget absorptions are negatively correlated with the level of uncertainty. The results suggest that the ministries have different level of uncertainty, and also, the level of budget absorption is negatively correlated with the level of uncertainty. Therefore, to increase the level of budget absorption, the budget systems and procedures in the larger ministry such as Ministry of Public Works and Ministry of Transportation with high level of uncertainty should have clearer (i.e., free from ambiguity) and more
51
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
comprehensive compared to that of the smaller ministries such as Ministry of Public Housing and Ministry of Rural Development. *Dikembangkan dari Thesis S2 Dri Asmawanti. S yang diajukan untuk memperoleh gelar Magister Sains Akuntansi di PIA-FEUI pada semester Genap 2009-2010
1 2
52
Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Akuntansi Universitas Indonesia Staf Ahli Anggota Komisi V (Bidang Insfrastruktur) DPR RI
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
1. Latar Belakang Infrastruktur merupakan faktor penggerak pertumbuhan perekonomian suatu negara, terlihat dari tingginya tingkat pengembalian investasi infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu sekitar 60%. Menurut World Bank elastisitas Produk Domestik Bruto (PDB) terhadap infrastruktur suatu negara adalah antara 0,07% sampai dengan 0,44%. Artinya kenaikan 1 (satu) persen ketersediaan infrastruktur akan menyebabkan pertumbuhan PDB sebesar 7% sampai dengan 44%. Namun alokasi Produk Domestik Bruto (PDB) pada investasi bidang infrastruktur di Indonesia masih relatif sangat rendah, bahkan bila dibandingkan dengan beberapa negara berkembang di Asia Timur, seperti yang terlihat dalam Tabel 1.1 dibawah. Ditingkat legislatif, pengelolaan anggaran infrastruktur berada dibawah
pengawasan Komisi V DPR. Artinya, penyusunan dan pengawasan pelaksanaannya berada dibawah tanggung jawab Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang mencakup beberapa bidang, yaitu: (i) Perhubungan; (ii) Pekerjaan Umum; (iii) Perumahan Rakyat; (iv) Pembangunan Pedesaan, dan KawasanTertinggal; (v) Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. Sedangkan dalam pelaksanaannya, bertanggung jawab dalam pengelolaan anggaran yang terkait dengan infrastuktur adalah 4 (empat) Kementerian Negara berikut: (i) Pekerjaan Umum (PU); (ii) Perhubungan (Perhub); (iii) Perumahan Rakyat (Pera); serta (iv) Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT). Adapun statistik tingkat penyerapan anggaran untuk masing-masing departemen tersebut dalam kurun waktu 2006 sampai 2008 disajikan dalam Tabel 1.2 berikut
Tabel 1.1 Prosentase Investasi Bidang Infrastruktur terhadap PDB Di beberapa negara Asia Timur Prosentase Investasi Infrastuktur terhadap PDB 0-4%
Prosentase Investasi Infrastruktur terhadap PDB 4-7%
Prosentase Investasi Infrastruktur terhadap PDB >7%
Negara
Pertumbuhan PDB/Tahun (%)
Negara
Pertumbuhan PDB/Tahun (%)
Negara
Pertumbuhan PDB/Tahun (%)
Kamboja
6,3
Laos
6,3
China
10,1
Indonesia
4,2
Malaysia
4,8
Thailand
5,2
Philippina
4,0
Vietnam
7,6
Sumber : World Bank PPI Database 2005 (dalam Qoyum, 2009)
53
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
Tabel 1.2 Anggaran dan Realisasi Anggaran Infrastruktur tahun 2006 - 2008 per Departemen Teknis Pelaksana Tahun APBN (Rp)
2006
Kementerian Negara
Pekerjaan Umum Perhubungan Perumahan Rakyat 2.14239E+14 Pembangunan Daerah Tertinggal
Realisasi Rupiah 19,849,044,613,000.00 17,595,372,149,461.00 8,423,070,457,000.00 6,378,787,839,717.00 421,356,624,000.00 369,162,949,126.00 Anggaran (Rp)
581,184,499,000.00
230,209,637,887.00
% 88.65% 75.73% 87.61% 39.61%
Total 29,274,656,193,000.00 24,573,532,576,191.00 83.94% % APBN
2007
13.66%
11.47%
24,891,415,293,706.00 22,529,127,402,410.00 10,091,591,169,313.00 9,049,116,031,116.00 479,485,632,455.00 419,589,185,855.00
Pekerjaan Umum Perhubungan Perumahan Rakyat Pembangunan Daerah 4.98172E+14 Tertinggal
628,724,968,579.00
384,838,647,930.00
90.51% 89.67% 87.51% 61.21%
Total 36,091,217,064,053.00 32,382,671,267,311.00 89.72% Pertumbuhan dari thn lalu 23.28% % APBN
2008
7.24%
6.50%
32,809,884,936,000.00 30,670,015,528,197.00 15,298,892,083,000.00 13,477,147,372,545.00 674,456,479,000.00 590,774,696,242.00
Pekerjaan Umum Perhubungan Perumahan Rakyat Pembangunan Daerah 6.97071E+14 Tertinggal
922,540,539,000.00
918,365,307,114.00
93.48% 88.09% 87.59% 99.55%
Total 49,705,774,037,000.00 45,656,302,904,098.00 91.85% Pertumbuhan dari thn lalu 37.72% % APBN
7.13%
6.55%
Sumber : Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, 2006, 2007 dan 2008
Dari Tabel 1.2 di atas terlihat bahwa walaupun secara absolut alokasi anggaran infrastruktur meningkat dari tahun ke tahun, namun secara relatif terhadap total APBN presentasinya terus menurun, dari 13,66% pada tahun 2006 menjadi 7,24% pada tahun 2007 dan 7,13% pada tahun 2008. Tingkat penyerapan anggaran infrastruktur di Indonesia menjadi isu yang penting dan menarik untuk diteliti karena merupakan salah satu faktor penentu pertumbuhan ekonomi negara, namun alokasinya relatif terus menurun dari tahun ke tahun. Penelitian ini bertujuan menganalisa faktor-faktor determinan penyerapan anggaran infrastuktur
54
Pemerintah Republik Indonesia. Penelitian tentang senjangan anggaran pemerintah ini dilakukan dengan menggunakan kerangka teoritis yang berasal dari literatur anggaran konvensional dalam konteks perusahaan yang berorientasi laba. Oleh karena itu, penelitian ini bersifat studi eksploratif. Adapun organisasi penulisan penelitian akan disusun sebagai berikut: (i) landasan teoritis, kerangka penelitian serta pengembangan hipotesis disajikan dalam Bab 2; (ii) pada Bab 3 dilaporkan metode penelitian yang berisi laporan tentang metode pengujian empiris atas hipotesis yang diajukan berdasarkan data yang digunakan dalam penelitian; (iv)
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
hasil pengujian empiris serta interpretasinya disajikan dalam Bab 4; dan (v) kesimpulan dan keterbatasan penelitian, disertai dengan saran pengembangan penelitian dimasa depan disajikan dalam Bab 5.
1.
Landasan Teoritis
1.1.
Faktor-faktor Determinan Senjangan Anggaran
Proses anggaran seringkali dikaitkan dengan proses manajemen organisasi, terutama sebagai alat perencanaan dan pengendalian (Dunk, 1993; Dunk and Nouri, 1998; Covaleski et al, 2003; Hansen et al., 2003; Linn et al., 2001). Melalui penyusunan anggaran, organisasi dipacu untuk memikirkan rencana alokasi sumber ekonomi yang terbatas pada berbagai aktifitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan strategis perusahaan dimasa depan. Efektifitas pelaksanaan rencana dalam bentuk anggaran dan program sangat tergantung pada dukungan seluruh anggota organisasi. Salah satu faktor penting dalam efektifitas pelaksanaan anggaran adalah adanya partisipasi anggota organisasi dalam proses penyusunan anggaran. Partisipasi dipandang lebih adil, sehingga berpengaruh positif terhadap komitmen anggota organisasi untuk mencapai target-target yang telah ditentukan bersama (Chong dan Chong, 2002). Partisipasi menciptakan kontrol sosial yang dapat menekan terjadinya praktek
55
senjangan anggaran (Onsi, 1973; Young, 1985). Partisipasi akan mendorong informasi pribadi bawahan untuk digunakan oleh pimpinan dan seluruh organisasi dalam proses formulasi dan pelaksanaan anggaran (Covaleski et al. 2003). Partisipasi bawahan dapat didefinisikan sebagai suatu diskusi kelompok yang memberikan peluang untuk bawahan agar dapat berinteraksi dan berkoordinasi dalam kelompok sehingga memiliki kesatuan arah dalam mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, anggaran partisipatif diharapkan akan berdampak positif pada kinerja organisasi karena pimpinan dapat mengalokasikan sumber daya organisasi secara optimal berdasarkan informasi yang lebih akurat. Faktor penting lainnya yang dipandang berpengaruh terhadap senjangan anggaran adalah adanya berbagai ketidakpastian dalam organisasi. Pertama, ketidakpastian yang terkait dengan tugas yang diberikan atasan. Tingkat ketidakpastian ini berhubungan dengan tingkat kesulitan tugas yang berasal dari tingkat keragaman serta tingkat kesulitan tugas, sehingga kinerja tugas menjadi tidak pasti. Dalam tingkat kesulitan dan keragaman tugas yang rendah (tinggi), masalah-masalah yang muncul dalam pelaksanaan tugas akan lebih mudah (sulit) diantisipasi sehingga lebih mudah (sulit) diatasi, yang berakibat positif (negatif) pada kinerja organisasi (Dunk dan Nouri, 1998). Dengan demikian, semakin sulit dan beragam tugas yang dihadapi, akan semakin besar senjangan
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
anggaran yang akan terjadi. Kedua, tinggi-rendahnya senjangan anggaran dipengaruhi oleh tingkat ketidakpastian lingkungan yang dihadapi oleh organisasi (Kren dan Liao, 1988), Dari segi internal organisasi, ketidakpastian dalam lingkungan operasi menyebabkan kemampuan sistem informasi manajemen sulit mengidentifikasi hubungan sebab akibat antara kinerja individu/sub-unit organisasi dengan kinerja organisasi. Artinya, sulit diidentifikasi apakah faktor penyebab kegagalan atau keberhasilan organisasi disebabkan oleh upaya individu/sub-unit organisasi, atau disebabkan oleh faktor lain di luar organisasi yang sulit diprediksi. Ketika pencapaian anggaran digunakan sebagai pertimbangan utama dalam menentukan balas jasa manajer, maka tingkat ketidakpastian yang tinggi akan memotivasi manajer untuk memasukkan senjangan anggaran dengan memfokuskan upaya pada hal-hal yang dapat meningkatkan kinerja jangka pendek agar target lebih mudah dicapai (Van der Stede, 2000). 2.2 Upaya-upaya untuk Membatasi Senjangan Anggaran Walaupun sebagian besar organisasi telah menerapkan anggaran partisipatif, namun senjangan anggaran masih sangat umum terjadi. Hal ini terkait dengan sistem balas jasa manajer bawahan yang dihubungkan dengan tingkat pencapaian realisasi anggaran. Sistem anggaran partisipatif seringkali disalahgunakan oleh manajer bawahan
56
untuk mempengaruhi proses penyusunan anggaran dengan menciptakan anggaran yang mengandung senjangan sehingga dihasilkan anggaran yang mudah dicapai (Dunk, 1993; Schiff dan Lewin, 1968). Sehubungan dengan hal tersebut, para praktisi seringkali meragukan efektifitas anggaran sebagai alat perencanaan dan evaluasi kinerja, karena anggaran justru dipandang sebagai hambatan bagi alokasi sumber daya organisasi yang optimal. Anggaran seringkali digunakan sebagai sarana dalam permainan anggaran dan perilaku manajer yang menyimpang lainnya (Hansen, et al., 2003). Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk dapat membatasi senjangan anggaran yang dipandang berpengaruh negatif terhadap kinerja organisasi. Salah satu pendekatan untuk menekan senjangan anggaran adalah dengan mengendalikan tingkat ketidakpastian yang memfokuskan perhatian pada cara pandang individu tentang faktor-faktor yang secara sistimatis menjadi penentu kesuksesan maupun kegagalan (attribution theory). Selanjutnya, tindakan manajer akan dimotivasi oleh seberapa jauh mereka dapat mempengaruhi faktor pengendali dalam organisasi (locus of control). Bila manager berpandangan bahwa faktor penentu tersebut berada dalam kendali individu (internal locus of control), maka manajer akan berusaha secara optimal untuk mempengaruhi organisasi agar dapat mencapai target yang ditentukan. Sebaliknya, bila manager berpandangan bahwa faktor pengendali tersebut berada diluar kendali organisasi (eksternal locus
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
of control), maka manajer akan merasa tidak berdaya untuk menggerakkan organisasi mencapai sasaran yang ingin dicapai dalam anggaran. Dengan demikian, manajer akan termotivasi untuk menciptakan senjangan anggaran serta tindakan penyimpangan lainnya untuk memungkinkan tercapainya sasaran organisasi (Dunk dan Nouri, 1998). Oleh karena itu, untuk mengurangi senjangan anggaran maka diciptakan peraturan-peraturan organisasi yang dapat mempertinggi internal locus of control yang sekaligus meminimalisir eksternal locus of control. Dalam tataran praktis, peraturan tersebut dituangkan dalam bentuk buku pedoman yang berisi sistem dan prosedur pelaksanaan anggaran. Cara lain untuk mengurangi ketidakpastian dalam konteks pelaksanaan anggaran adalah dengan meningkatkan komunikasi dan koordinasi antara bawahan dan atasan (Kenis, 1979). Teori kognitif menyatakan bahwa tindakan individu dalam organisasi dimotivasi oleh pemikiran yang berkembang dari berbagai pengalaman melalui pembelajaran, berbagai pertimbangan serta serta alasan intelektual lainnya (Dunk dan Nouri, 1998). Proses penyusunan anggaran yang melibatkan penggunaan informasi melalui komunikasi antara bawahan dan atasan merupakan suatu mekanisme kognitif yang membantu meningkatkan motivasi manajer dalam pelaksanaan anggaran (Chow et al, 1988) dan mendorong tercapainya sasaran organisasi (Locke,
57
1986). Dengan demikian, koordinasi serta komunikasi yang baik antara individu maupun antara sub-unit dalam organisasi diharapkan dapat meningkatkan efektifitas pelaksanaan anggaran yang terlihat dari rendahnya senjangan anggaran. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam tataran praktis, senjangan anggaran dapat diminimalisir melalui pedoman organisasi yang efisien serta koordinasi yang memadai antar individu/sub-unit dalam organisasi. Regulasi tentang pedoman dan koordinasi yang efisien (yaitu yang jelas dan tidak membingungkan) secara signifikan mampu mengurangi ketidakpastian dalam pelaksanaan anggaran, yang terlihat dari rendahnya tingkat senjangan anggaran. 1.2. Pelaksanaan Anggaran Infrastuktur Pemerintah di Indonesia Dalam sistem ekonomi pasar, regulasi dibutuhkan publik karena terjadi kegagalan pasar sehingga alokasi ekonomi yang optimal dalam masyarakat tidak tercapai. Untuk itu diperlukan suatu badan pemerintahan sebagai regulator yang dipandang sebagai pihak yang paling tepat bekerja bagi kesejahteraan masyarakat luas dengan mendorong tercapainya alokasi sumber ekonomi yang optimal (Scott, 2006). Investasi dalam bidang infrastuktur seringkali dipandang tidak ekonomis bagi sektor swasta karena disatu pihak membutuhkan investasi awal yang sangat
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
besar, namun di lain pihak hasil investasi memerlukan waktu yang lama dengan tingkat pengembalian yang relatif rendah. Oleh karena itu, tanpa campur tangan pemerintah, mekanisme pasar tidak akan mampu mendorong alokasi
sumber ekonomi bagi investasi dalam bidang infrasturktur. Secara umum, siklus anggaran pemerintah di Indonesia, disajikan dalam Diagram 2.1 berikut.
Diagram 2.1 Siklus Anggaran Negara Penyusunan Rencana Anggaran
Persetujuan Legislatif
Pelaporan dan Audit
Pelaksanaan Anggaran
Sumber : Dikutip langsung dari Nordiawan, et al, 2009, hal 21)
Implementasi siklus anggaran tersebut melibatkan berbagai lembaga negara, baik lembaga eksekutif (pemerintahan negara yang dipimpin oleh presiden), lembaga legislatif, terutama DPR, BPK sebagai auditor negara yang independen, serta lembaga yudikatif bila ditemukan adanya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Pembahasan pada penelitian ini akan ditujukan pada tahap pelaksanaan anggaran, sesuai dengan fokus penelitian ini. Sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara sebagai Chief Executive Officer (CEO). Dalam mengelola
58
keuangan negara, presiden dibantu oleh dua fungsi negara yang dipisahkan demi terlaksananya prinsip tata kelola yang baik, yaitu mekanisme saling uji (check and balances), transparansi, akuntabilitas, serta profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintah. Kedua fungsi tersebut adalah: (i) Chief Financial Officer/CFO yaitu Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintahan dalam bidang keuangan negara; serta (ii) Chief Operational Officer/COO yaitu para menteri/pimpinan lembaga tinggi negara selaku pengguna anggaran/barang atas kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Peran CFO dan COO dalam pelaksanaan anggaran digambarkan dalam Diagram 2.2 berikut.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
Diagram 2.2 Pendelegasian Kewenangan dalam Pelaksanaan Anggaran Negara di Indonesia
Presiden (CEO) Menteri Teknis (COO/ Pengguna Anggaran/PA)
Menteri Keuangan (CFO/ Bendahara Umum Negara/BUN)
Kepala Kantor (Kuasa Pengguna Anggaran/KPA)
Kepala KPKN (Kuasa Bendahara Umum Negara/BUN)
Bendahara Pengeluaran Sumber : dikutip langsung dari Buku Saku Sekjen Kemenkeu, hal 19.
Dari Diagram 2.2 di atas dapat disimpulkan bahwa sistem dan prosedur pelaksanaan anggaran dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu: (i) Sistem dan prosedur yang mengatur mekanisme pelaksanaan anggaran antara Kementerian Keuangan sebagai wakil pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara, dengan Kementerian Teknis sebagai pengguna anggaran serta Lembaga Negara lainnya yang terkait dengan pelaksanaan anggaran (selanjutnya disebut Sistem Prosedur Eksternal) yang disajikan dalam Lampiran 2.2.1 (ii) Sistem dan prosedur yang mengatur mekanisme pelaksanaan anggaran dalam suatu Kementerian Negara
59
sebagai pengguna anggaran (selanjutnya disebut Sistem Prosedur Internal) yang disajikan dalam Lampiran 2.2.2 dan Lampiran 2.2.3 2.3 Perbedaan Karakteristik Anggaran pada Organisasi yang Berorientasi Laba dengan Organisasi Pemerintahan Berbeda dengan anggaran pada organisasi yang berorientasi laba, anggaran pada organisasi nirlaba seperti dalam pemerintahan mempunyai beberapa karakteristik khusus. Tabel 2.1. dibawah menyajikan perbedaan karakteristik anggaran pada organisasi yang berorientasi laba dan organisasi pemerintahan.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
Tabel 2.1 Perbedaan Karakteristik Anggaran pada Organisasi yang Berorientasi Laba dan Organisasi Pemerintahan Karakteristik Organisasi Berorientasi Organisasi Nirlaba/ Sektor No Anggaran Laba Publik (Pemerintahan) (Perusahaan) Konteks Badan usaha yang Negara yang didirikan untuk 1 didirikan untuk waktu waktu yang tidak terbatas yang tidak terbatas, tapi dengan kemungkinan mempunyai kemungkinan likuidasi yang sangat kecil untuk likuidasi Tujuan alokasi Melakukan alokasi sumber Mengatasi kegagalan 2 sumber ekonomi ekonomi secara efisien mekanisme pasar untuk sehingga tercapai tingkat melakukan alokasi sumber laba optimal yang mampu ekonomi yang efisien dalam mendukung keberlanjutan konteks negara perusahaan (sustainable profit) Proses Partisipatif, dipimpin oleh Partisipatif, dipimpin oleh 3 penyusunan direksi, diajukan oleh sub- presiden melalui, diajukan anggaran unit dalam perusahaan oleh menteri/ pejabat negara yang dituangkan dalam sebagai kepala kementerian Rencana Kerja dan teknis / lembaga negara Anggaran Tahunan lainnya dalam bentuk (RKAT) dan disahkan Rancangan Anggaran dalam Rapat Umum Pendapatan dan Belanja Pemegang Saham (RUPS) Negara (RAPBN). sebagai kekuasaan Selanjutnya, RAPBN tertinggi di Perusahaan diajukan ke lembaga legislatif (khususnya Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk dibahas dan dievaluasi sehingga dapat ditentukan bagian-bagian anggaran yang disetujui atau ditolak. Anggaran yang telah disetujui dituangkan dalam APBN yang disampaikan pada kementerian teknis/ lembaga negara lainnya dalam bentuk Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) untuk dilaksanakan dalam periode anggaran tahun berjalan.
60
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
Tabel 2.1 (Lanjutan) Perbedaan Karakteristik Anggaran pada Organisasi yang Berorientasi Laba dan Organisasi Pemerintahan Karakteristik Organisasi Berorientasi Organisasi Nirlaba/ Sektor No Anggaran Laba Publik (Pemerintahan) (Perusahaan) Proses Partisipatif, dipimpin oleh Partisipatif, dipimpin oleh 3 penyusunan direksi, diajukan oleh subpresiden melalui, diajukan anggaran unit dalam perusahaan yang oleh menteri/ pejabat negara dituangkan dalam Rencana sebagai kepala kementerian Kerja dan Anggaran teknis / lembaga negara Tahunan (RKAT) dan lainnya dalam bentuk disahkan dalam Rapat Rancangan Anggaran Umum Pemegang Saham Pendapatan dan Belanja (RUPS) sebagai kekuasaan Negara (RAPBN). tertinggi di Perusahaan Selanjutnya, RAPBN diajukan ke lembaga legislatif (khususnya Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk dibahas dan dievaluasi sehingga dapat ditentukan bagian-bagian anggaran yang disetujui atau ditolak. Anggaran yang telah disetujui dituangkan dalam APBN yang disampaikan pada kementerian teknis/ lembaga negara lainnya dalam bentuk Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) untuk dilaksanakan dalam periode anggaran tahun berjalan. Tingkat Tingkat ketidakpastian Tingkat ketidakpastian relatif 4 ketidakpastian relatif rendah karena: (i) tinggi karena: (i) tidak semua dalam jenis tugas dalam konteks jenis tugas dapat pelaksanaan perusahaan sebagian besar diakomodasi dalam struktur anggaran dapat didefinisikan dengan organisasi kenegaraan yang baik dalam relatif kompleks; (ii) strukturorganisasi; (ii) locus kompleksitas organisasi of control yang relatif jelas menyebabkan locus of dan dapat dikendalikan, baik control relatif sukar dari segi internal maupun dikendalikan; (iii) tidak eksternal; terdapat satu indikator yang (iii) terdapat indikator jelas atas keberhasilan kinerja organisasi yang jelas pemerintah yaitu tingkat laba perusahaan
61
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
Tabel 2.1 (Lanjutan) Perbedaan Karakteristik Anggaran pada Organisasi yang Berorientasi Laba dan Organisasi Pemerintahan Karakteristik Organisasi Berorientasi Organisasi Nirlaba/ Sektor No Anggaran Laba Publik (Pemerintahan) (Perusahaan) Tingkat Tingkat ketidakpastian Tingkat ketidakpastian 4 ketidakpastian relatif rendah karena: (i) relatif tinggi karena: (i) tidak dalam jenis tugas dalam konteks semua jenis tugas dapat pelaksanaan perusahaan sebagian besar diakomodasi dalam struktur anggaran dapat didefinisikan dengan organisasi kenegaraan yang baik dalam relatif kompleks; (ii) strukturorganisasi; (ii) locus kompleksitas organisasi of control yang relatif jelas menyebabkan locus of dan dapat dikendalikan, baik control relatif sukar dari segi internal maupun dikendalikan; (iii) tidak eksternal; terdapat satu indikator yang (iii) terdapat indikator jelas atas keberhasilan kinerja organisasi yang jelas pemerintah yaitu tingkat laba perusahaan Sistem Balas Jasa, Pada umumnya, terdapat Sebagai pejabat negara, pada 5 Realisasi hubungan yang positif antara umumnya sistem balas jasa Anggaran dan tingkat balas jasa, tingkat ditentukan secara tetap per Kinerja realisasi anggaran serta bulan, tanpa ada hubungan Organisasi kinerja organisasi. yang jelas dengan realisasi anggaran serta kinerja organisasi Evaluasi Evaluasi pelaksanaan Sistem pelaporan dalam 6 pelaksanaan anggaran dapat dilakukan konteks pemerintahan masih anggaran setiap saat dengan berkembang menuju sistem membandingkan setiap mata accrual basis, sehingga anggaran dengan informasi kemampuan melakukan akuntansi keuangan. evaluasi anggaran Disamping itu, infrasturktur berdasarkan informasi berupa sistem pelaporan akuntansi di setiap institusi akuntansi keuangan serta pemerintah masih beragam. sistem audit eksternal oleh Oleh karena itu, evaluasi akuntan publik telah rutin biasanya dilakukan berkembang dengan standar setahun sekali oleh Badan internasional Pemeriksa Keuangan sebagai auditor Negara.
62
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
Tabel 2.1 (Lanjutan) Perbedaan Karakteristik Anggaran pada Organisasi yang Berorientasi Laba dan Organisasi Pemerintahan No
7.
Karakteristik Anggaran Umpan balik hasil evalusi pada penyusunan anggaran tahun berikutnya
Organisasi Berorientasi Laba (Perusahaan) Analisa penyimpangan anggaran (variance analysis) merupakan kegiatan rutin yang dilakukan sejalan dengan pelaksanaan anggaran, sehingga hasil evaluasi berguna bagi penyempurnaan anggaran, baik anggaran periode berjalan maupun penyusunan anggaran periode berikutnya.
Organisasi Nirlaba/ Sektor Publik (Pemerintahan) Hubungan antara hasil evaluasi dengan pelaksanaan anggaran periode berjalan maupun penyusunan anggaran periode tahun berikutnya kurang jelas, karena birokrasi yang panjang dan struktur organisasi yang kompleks
Sumber: Hasil analisa Rossieta, disimpulkan dari berbagai sumber
Berdasarkan beberapa perbedaan karakteristik anggaran tersebut di atas, maka studi ini mengajukan proposisi bahwa simpangan anggaran dalam organisasi pemerintahan, khususnya yang terkait dengan anggaran infrastruktur di Indonesia, berhubungan dengan ketidakpastian pelaksanaan anggaran.
63
2.
Rerangka Penelitian Pengembangan Hipotesis 3.1
dan
Kerangka Penelitian
Konsisten dengan proposisi yang telah diajukan di atas, maka penelitian ini akan dilakukan dengan rerangka seperti yang terlihat pada Diagram 3.1 berikut.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
Diagram 3.1 Kerangka Penelitian
Efisiensi pedoman dan mekanisme pelaksanaan anggaran
Prosedur pelaksanaan anggaran Ketidakpastian pelaksanaan anggaran terkait:
Ukuran pelaksana anggaran (Size)
Kompleksitas tugas
Efisiensi koordinasi pelaksanaan anggaran
Pertukaran informasi Seperti telah dijelaskan di atas, penelitian ini mengajukan proposisi bahwa tinggi rendahnya senjangan anggaran di insitusi pemerintahan berhubungan dengan ketidakpastian pelaksanaan anggaran yang masingmasing dapat didekati dengan proksi sebagai berikut: 1. Ketidakpastian dalam prosedur pelaksanaan anggaran, yang terlihat dari tingkat optimalisasi buku pedoman pelaksanaan anggaran, baik yang bersifat internal dalam suatu Kementerian Negara, maupun yang bersiftat eksternal antara suatu Kementerian Negara dengan Kementerian Keuangan.
64
Senjangan Anggaran
2.
3.
Ketidakpastian yang berasal dari kompleksitas tugas dalam pelaksanaan anggaran negara yang tergantung pada besarnya Kementerian Negara sebagai pelaksana anggaran. Ketidakpastian yang disebabkan oleh kualitas pertukaran informasi antarpelaksana anggaran yang terlihat dari efisiensi koordinasi, baik antarsub-unit dalam suatu Kementerian Negara (koordinasi internal), maupun antara suatu Kementerian Negara dengan Kementerian Keuangan serta Lembaga Negara lainnya yang terkait (koordinasi eksternal).
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
3.2.
Pengembangan Hipotesis
3.2.1
Efisiensi Pedoman/Peraturan serta Mekanisme Internal dan Eksternal Pelaksanaan Anggaran
Dalam anggaran pemerintahan, penyusunan anggaran melibatkan rantai birokrasi yang panjang. Rantai birokrasi pemerintahan yang panjang menyebabkan tingkat partisipasi pelaksana dalam menentukan besarnya anggaran relatif rendah, sehingga komitmen pelaksana untuk mencapai target-target yang telah ditentukan menjadi rendah (Chong dan Chong, 2002; Onsi, 1973; Young, 1985). Hal ini menyebabkan tingkat ketidakpastian yang berasal dari ketidakpastian lingkungan yang dihadapi menjadi tinggi (Kren dan Liao, 1988). Kondisi ini diperburuk dengan sistem balas jasa pelaksana anggaran yang tidak terkait langsung dengan kinerja negara, yang menyebabkan pelaksana anggaran tidak mempunyai insentif kuat untuk mencapai kinerja yang optimal (Van der Stede, 2000). Tingginya tingkat ketidakpastian tugas maupun lingkungan, disertai dengan rendahnya keterkaitan antara sistem balas jasa pelaksana anggaran dengan kinerja negara sebagai organisasi pemilik anggaran menyebabkan pentingnya pedoman pelaksanaan serta mekanisme pelaksanaan anggaran yang jelas dan efisien. Oleh karena itu, besarnya senjangan anggaran sangat tergantung pada tingkat efisiensi
65
pedoman pelaksanaan anggaran yang tersedia. Pedoman yang efisien mempunyai tingkat kejelasan dan kelengkapatan yang memadai sehingga tidak diperlukan perubahan untuk meningkatkan kapasitasnya dalam mengurangi ketidakpastian bagi para pelaksana anggaran. Dua jenis pedoman yang akan dicakup dalam penelitian ini adalah: (i) pedoman pelaksanaan anggaran internal yang mengatur tahapan pelaksanaan anggaran antara sub-unit dalam suatu Kementerian Negara); serta (ii) pedoman pelaksanaan eksternal yang mengatur tahapan pelaksanaan anggaran antara suatu Kementerian Negara dengan Kementerian Keuangan serta Lembagalembaga negara lainnya yang terkait. Berdasarkan argumen tersebut di atas, maka kelompok hipotesis pertama yang diajukan disajikan dalam beberapa paragrap dibawah ini. 3.2.1.1 Efisiensi Pedoman Internal Pelaksanaan Anggaran H1A:
Perbedaan efisiensi pedoman internal pelaksanaan anggaran Kementerian Negara menyebabkan tingkat senjangan anggaran bervariasi
H1B:
Efisiensi pedoman internal pelaksanaan anggaran Kementerian Negara berkorelasi positif dengan tingkat senjangan anggaran
3.2.1.2 Efisiensi Pedoman Eksternal Pelaksanaan Anggaran
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
H1C:
H1D:
Perbedaan efisiensi pedoman eksternal pelaksanaan anggaran Kementerian Negara menyebabkan tingkat senjangan anggaran bervariasi Efisiensi pedoman eksternal pelaksanaan anggaran Kementerian Negara berkorelasi positif dengan tingkat senjangan anggaran
3.2.1.3 Efisiensi Mekanisme Internal Pelaksanaan Anggaran
H1E:
H1F:
Perbedaan efisiensi mekanisme internal pelaksanaan anggaran Kementerian Negara menyebabkan tingkat senjangan anggaran bervariasi Efisiensi mekanisme internal pelaksanaan anggaran Kementerian Negara berkorelasi positif dengan tingkat senjangan anggaran
positif terhadap senjangan anggaran 3.2.2.
Kompleksitas Tugas
Salah satu penyebab tingkat ketidakpastian dalam pelaksanaan anggaran adalah tingginya keragaman tugas (Dunk dan Nouri, 1998). Secara logis, semakin besar ukuran suatu Kementerian Negara, maka semakin kompleks tugas yang harus dilaksanakan, sehingga semakin besar senjangan anggaran yang diperkirakan akan terjadi. Berdasarkan argumen tersebut di atas, maka kelompok hipotesis kedua yang diajukan adalah sebagai berikut: H2A:
Perbedaan kompleksitas tugas menyebabkan tingkat senjangan anggaran per Kementerian Negara bervariasi
H2B:
Kompleksitas tugas berkorelasi negatif dengan tingkat senjangan anggaran Kementerian Negara
3.2.3 Efisiensi Pelaksanaan Anggaran 3.2.1.4 Efisiensi Mekanisme Eksternal Pelaksanaan Anggaran H1G:
Perbedaan efisiensi mekanisme eksternal pelaksanaan anggaran Kementerian Negara menyebabkan tingkat senjangan anggaran bervariasi
H1H:
Efisiensi mekanisme eksternal pelaksanaan anggaran Kementerian Negara berkorelasi
66
tingkat
Koordinasi
Peningkatan informasi antara para pelaksana anggaran melalui koordinasi yang baik dapat mengurangi tingkat ketidakpastian bagi pelaksana anggaran (Kenis, 1979). Walaupun sistem balas jasa pelaksana anggaran dalam pemerintahan tidak terkait langsung dengan kinerja negara, namun komunikasi yang terjadi karena koordinasi pelaksanaan anggaran akan
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
menjadi sarana bagi proses peningkatan kognitif pelaksana anggaran melalui pembelajaran dan pelatihan intelektual lainnya (Dunk dan Nouri, 1998). Dengan demikian, koordinasi yang optimal akan mampu meningkatkan kualitas komunikasi untuk mengurangi ketidakpastian bagi para pelaksana anggaran, sehingga senjangan anggaran dapat ditekan. Berdasarkan argumen tersebut, maka kelompok hipotesis ketiga yang diajukan adalah: H3A:
Perbedaan efisiensi koordinasi internal menyebabkan tingkat senjangan anggaran Kementerian Negara bervariasi
H3B:
Perbedaan efisiensi koordinasi eksternal menyebabkan tingkat senjangan anggaran Kementerian Negara bervariasi
H3C:
Efisiensi koordinasi internal berkorelasi positif terhadap tingkat senjangan anggaran Kementerian Negara
H3D:
Efisiensi koordinasi eksternal berkorelasi positif dengan tingkat senjangan anggaran Kementerian Negara
3.
Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat eksploratif dengan tujuan untuk: (i) menemukan bukti empiris awal yang menggambarkan keadaan dan fenomena yang terdapat di lapangan; (ii) mengetahui variabelvariabel penting yang mungkin belum 67
diketahui atau belum didefinisikan secara komprehensif; serta (iii) memastikan bahwa studi formal pada objek penelitian tersebut memang dapat dilakukan. Studi eksplorasi kadangkala terkait dengan bias klasik riset kualitatif, yaitu tingkat subjektivitas yang tinggi, disain yang tidak sistematis serta tingkat generalisasi yang rendah (Cooper, 2006). 4.1 Populasi, Metode Pemilihan Sampel dan Deskripsi Sampel Penelitian Seperti telah disinggung diatas, populasi untuk penelitian ini adalah empat Kementerian Negara yang membidangi infrastruktur, yaitu: (i) Pekerjaan Umum; (ii) Perhubungan; (iii) Perumahan Rakyat; dan (iv) Pembangunan Daerah Tertinggal. Total jumlah Kuasa Pengguna Anggaran (PA) pemerintah pusat Mitra Kerja komisi V DPR RI yang masuk sebagai populasi adalah sebanyak 56 KPA, dengan 3 (tiga) tahun pengamatan, dimulai dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2008. Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari laporan keuangan kementerian negara pada periode pengamatan dan data primer diperoleh dengan menyebarkan kuesioner pada KPA di Kementerian Negara bidang infrastruktur sebagai responden. Dalam prosedur perolehan data primer yang dilakukan pada sekitar bulan Juni - Juli 2010, setiap responden diberi satu set kuesioner disertai dengan surat permohonan
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
pengisian kuesioner. Selain itu, untuk menjaga validitas data, pengisian kuesioner dilengkapi dengan wawancara untuk memperoleh informasi yang lebih akurat serta menghindari bias akibat interpretasi yang kurang tepat dari responden atas pertanyaan dalam kuesioner. Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling dengan kriteria sebagai berikut: 1.
2.
68
Kementerian Negara yang terpilih sebagai sampel memiliki laporan realisasi anggaran yang lengkap untuk periode 2006 sampai 2008. Dari laporan realisasi tersebut dapat diperoleh informasi tentang jumlah senjangan anggaran serta ukuran dari masing-masing Kementerian Negara sampel. Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dari Kementerian Negara sebagai sampel yang bersedia diwawancarai pada lingkungan pemerintah kementerian yang bersangkutan dipilih sebagai responden yang diminta untuk menilai optimalisasi pedoman, mekanisme serta koordinasi pelaksanaan anggaran melalui kuesioner. Pejabat tersebut diberi wewenang oleh Menteri Negara untuk melaksanakan anggaran sehingga berhubungan langsung dengan besar-kecilnya senjangan anggaran pada direktorat/deputi yang berada di bawah pimpinannya.
4.2
Pengembangan Kuesioner
Berdasarkan referensi penyerapan anggaran pemerintah dilakukan penyusunan kuesioner awal yang terdiri dari 2 (dua) pertanyaan, yang masing-masing pertanyaan bertujuan untuk memperoleh persepsi pelaksana anggaran tentang tingkat efisiensi pedoman, mekanisme, dan koordinasi pelaksanaan anggaran seperti yang disajikan dalam Diagram 2.3 dan Diagram 2.4 di atas bila dikaitkan dengan pelaksanaan anggaran pada periode penelitian yang mencakup 3 tahun, yaitu pada tahun 2006 sampai 2008 (Lampiran 4.2.1). Selanjutnya dilakukan pilot test pada tanggal 10 – 11 Juni 2010 bertempat di Kementerian Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia. Berdasarkan hasil pilot test dan masukan dari para responden (Lampiran 4.2.2), kemudian disusun kuesioner akhir dengan memasukkan saran/feed-back dari hasil pilot test, sehingga kuesioner akhir dapat tersusun (Lampiran 4.2.3). Untuk alasan praktis, lampiran-lampiran tersebut tidak disertakan dalam karya tulis ini, namun bila dibutuhkan tersedia berdasarkan permintaan. 4.3
Pengujian Hipotesis
Secara umum, hipotesis menyatakan bahwa senjangan anggaran berhubungan dengan efisiensi pedoman, mekanisme serta koordinasi pelaksanaan anggaran. Secara spesifik terdapat dua
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
kelompok hipotesis dengan metode pengujian statistik sebagai berikut: i.
ii.
69
Perbedaan senjangan anggaran yang disebabkan oleh perbedaan dalam efisiensi pedoman, mekanisme serta koordinasi pelaksanaan anggaran pada masing-masing Kementerian Negara, yang dijukan dalam beberapa hipotesis berikut: H1A, H1C, H1E, H1G, H2A, H3A dan H3B. Kelompok hipotesis ini diuji dengan uji signifikansi nonparametrik Kruskal-Wallis, yaitu analisis varians satu arah berdasarkan peringkat. (Cooper, 2006). Uji statistik F dan uji t dilakukan untuk menguji hipotesis alternatif bahwa secara umum tidak semua kelompok mempunyai rata-rata yang sama untuk variabel yang akan diuji. Korelasi negatif antara tingkat efisiensi pedoman, mekanisme serta koordinasi pelaksanaan anggaran dengan tingkat senjangan anggaran yang diajukan dalam beberapa hipotesis berikut: H1B, H1D, H1F, H1H, H2B, H3C dan H3D. Kelompok hipotesis ini diuji dengan melakukan pengujian satu arah yaitu dengan menempatkan keseluruhan probabilitas dari hasil yang tidak mungkin ke dalam arah yang ditetapkan oleh hipotesis alternatif. Uji korelasi atau hubungan antara variabel-
variabel yang diamati dengan melihat dua aspek yaitu apakah data sampel yang ada menyediakan bukti cukup bahwa ada kaitan antara variabelvariabel dalam populasi asal sampel. Kedua, jika ada hubungan, seberapa kuat hubungan antarvariabel tersebut, dengan melihat koefisien korelasi. Untuk uji korelasi statistik non-parametrik digunakan korelasi rank Spearman ataupun Kendall‟s tau-b, yang pada awalnya akan melakukan pemeringkatan terhadap data yang ada, kemudian baru melakukan uji korelasi. Angka korelasi untuk Spearman ataupun Kendall berkisar pada 0 (tidak ada korelasi sama sekali) dan 1 (korelasi sempurna). Sebagai pedoman sederhana, angka korelasi diatas 0,5 menunjukkan korelasi yang cukup kuat, sedang dibawah 0,5 korelasi lemah. Tanda korelasi juga dapat diartikan dengan melihat pengaruhnya pada penafsiran hasil. Tanda negatif (-) pada output menunjukkan adanya arah hubungan yang berlawanan, sedangkan tanda positif (+) menunjukkan arah hubungan yang sama (Singgih, 2010). Sehubungan dengan penggunaan data primer yang diperoleh melalui metode survei dan wawancara, maka
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
perlu dilakukan uji statistik untuk memeriksa kualitas data primer tersebut. Untuk mengukur kualitas data digunakan dua kriteria (Wahyudi, 2007), yaitu : i.
ii.
70
Validitas yang mengukur tingkat akurasi suatu indikator yang digunakan dalam kuesioner dalam mengukur konstrak suatu variabel yang diamati. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu mengungkapkan sesuatu yang ingin diukur oleh kuesioner tersebut (Ghozali, 2009). Secara empirik, indikator yang valid adalah yang memiliki tingkat measurement error yang kecil (Yamin, et al, 2009). Reliabilitas yang mengukur tingkat keandalan atau konsistensi indikator yang dipilih untuk mewakili suatu konstruk dalam variabel yang diamati. Hasil pengukuran dapat dikatakan konsisten apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap subyek yang sama diperoleh hasil yang
4.4
relatif sama. Suatu kuesioner dapat dikatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu (Ghozali, 2009). Secara empirik, tinggi rendahnya reliabilitas ditunjukkan oleh suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas. Koefisien reliabilitas berkisar antar 0-1. Semakin tinggi koefisien reliabilitas (mendekati angka 1), maka semakin reliabel alat ukur tersebut. SPSS memberikan fasilitas untuk mengukur reliabilitas dengan uji Statistik Cronbach Alpha (á), yaitu suatu konstrak atau variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai Cronbach Alpha > 0,60 (Ghozali, 2009) . Operasionalisasi Variabel
Tabel 4.1 di bawah menyajikan operasionalisasi variabel yang digunakan dalam penelitian ini
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
Tabel 4.1 Operasionalisasi Variabel yang Digunakan dalam Penelitian No Variabel Data Primer
Definisi Variabel
Efisiensi pedoman pelaksanaan anggaran internal kementerian negara
1
SMIDOM
2
SMADOM
3
SMILAK
4
SMALAK
Efisiensi mekanisme pelaksanaan anggaran eksternal kementerian
5
KOI
Efisiensi koordinasi antar bagian internal kementerian negara dalam pelaksanaan anggaran
6
KOA
Efisiensi pedoman pelaksanaan anggaran eksternal kementerian negara terkait
Efisiensi mekanisme pelaksanaan anggaran internal kementerian
Efisiensi koordinasi eksternal kementerian negara dengan kementerian negara lainnya
dalam pelaksanaan anggaran
71
Pengukuran Variabel No. 1 sampai No.6 diukur dengan menggunakan skala likert 1 sampai 4 untuk menilai tingkat efisiensi pedoman, mekanisme serta koordinasi pelaksanaan anggaran, baik yang bersifat internal maupun eksternal, dengan definisi tentang tingkat efisiensi sebagai berikut: Skor = 1 Sangat tidak efisien bila responden berpendapat perlu dilakukan 100% perubahan total atas pedoman, mekanisme serta koordinasi pelaksanaan anggaran Skor = 2 Tidak Efisien bila responden berpendapat perlu dilakukan 70% perubahan atas pedoman, mekanisme serta koordinasi pelaksanaan anggaran Tidak Efisien bila responden berpendapat perlu dilakukan 70% perubahan atas pedoman, mekanisme serta koordinasi pelaksanaan anggaran
Skor = 3 Efisien bila responden berpendapat perlu dilakukan 30% perubahan atas pedoman, mekanisme serta koordinasi pelaksanaan anggaran Skor = 4 Sangat Efisien bila respoden berpendapat bahwa tidak perlu
dilakukan perubahan atas pelaksanaan anggaran, karena pedoman, mekanisme serta koordinasi pelaksanaan anggaran sudah dianggap optimal
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
Tabel 4.1 (Lanjutan) Operasionalisasi Variabel yang Digunakan dalam Penelitian No Variabel Definisi Variabel Pengukuran Data Primer 7 PA Senjangan anggaran Realisasi anggaran / Anggaran tahun berjalan dalam % 8 SIZE Ukuran Kementerian Ln Total Assets Negara 9 RankTA Ranking Kementerian Ranking dilakukan berdasarkan Negara berdasarkan nilai rata-rata Ln Total Aset ukurannya dalam nilai (LnTA=12.76) serta standar Total Aset deviasinya (=1,24) sebagai berikut: Skor = 2 bila nilai LnTA berada dalam rentang 12.76 ± 0.5 stdev yaitu antara 12.14 sampai dengan 13.38 Skor = 3 bila nilai LnTA >13.38 Skor = 1 bila nilai LnTA <12.14 10 SATKER Ukuran Kementerian Jumlah unit satuan kerja (satker) Negara masing-masing kementerian seluruh indonesia 11 RankSatker Ranking Kementerian Ranking dilakukan berdasarkan Negara berdasarkan nilai rata-rata jumlah Satuan Kerja ukurannya dalam nilai (Satker=508.72) serta standar Satuan Kerja deviasinya (=427.07) sebagai berikut: Skor = 2 bila nilai LnTA berada dalam rentang 12.76 ± 0.5 stdev yaitu antara 298.69 sampai dengan 718.76 Skor = 3 bila nilai LnTA >718.76 Skor = 1 bila nilai LnTA <298.69 5
Untuk data primer, gambaran tentang tingkat respon dari penyebaran kuesioner disajikan dalam Tabel 5.1 berikut.
72
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hasil Uji Empiris dan Interpretasi Penelitian 5.1 Gambaran Data dan Statistik Deskriptif
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
Tabel 5.1 Tingkat Respon Hasil Penyebaran Kuesioner
No
Kementerian
Nama Direktorat Jenderal/Badan
Popu -lasi (1)
1.
2.
3.
73
Pekerjaan Umum
Perhubungan
Perumahan Rakyat
Direktur Jenderal Cipta Karya Direktur Jenderal Bina Marga Direktur Jenderal Sumber Daya Air Direktur Jenderal Penataan Ruang Badan Litbang Badan Pembinaan Konstruksi dan SDM Jumlah Direktur Jenderal Perhubungan Darat Direktur Jenderal Perhubungan Laut Direktur Jenderal Perhubungan Udara Direktur Jenderal Perkeretaapian Badan Litbang Badan Diklat Jumlah Deputi Bidang Pembiayaan Deputi Bidang Pengembangan Kawasan Deputi Bidang Perumahan Swadaya Deputi Bidang Perumahan Formal Jumlah
% Kuesioner popul yang asi dikirim
Kuesioner yang Kembali
% popu -lasi
Tingkat Respon (6= 4/2)
(2)
(3= 2/1)
(4)
5
1
20
1
(5= 4/1) 20
4
1
30
1
30
100
5
1
20
1
20
100
4
1
30
1
30
100
1 1
1 1
100 100
0 0
0 0
0 0
20 3
6 1
30 30
4 1
20 30
66,7 100
5
1
20
1
30
100
8
1
10
1
10
100
1
1
100
1
100
100
1 1 19 1
1 1 6 1
100 100 32 100
0 1 5 1
0 100 26 100
0 100 83,3 100
1
1
100
1
100
100
1
1
100
1
100
100
1
1
100
1
100
100
4
4
100
4
100
100
100
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
Tabel 5.1 (Lanjutan) Tingkat Respon Hasil Penyebaran Kuesioner
No
Kementerian
Nama Direktorat/Deputi
Popu -lasi
% Kuesioner popu yang -lasi dikirim
(1)
5.
Pemb. Daerah tertinggal
Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Deputi Bidang Peningkatan Infrastruktur Deputi Bidang Pembinaan Ekonomi dan Dunia Usaha Deputi Bidang Daerah Khusus Deputi Bidang Pembinaan Lembaga Sosial dan Budaya Jumlah
Total
Kuesioner yang Kembali
% Tingkat popu Respon -lasi (6= (5= 4/2) 4/1) 100 100
(2)
(3= 2/1)
(4)
1
1
100
1
1
1
100
1
100
100
1
1
100
1
100
100
1
1
100
1
100
100
1
1
100
1
100
100
5 48
5 21
100 44
5 18
100 38
100 85,71
Adapun statistik deskriptif untuk variabel-variabel yang diamati
dalam penelitian disajikan dalam Tabel 5.2 di bawah ini.
Tabel 5.2 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian (N=43) Variabel
Min.
Max.
Rata-rata
Deviasi standar
Skewness
Data Primer Hasil Pengolahan Kuesioner *
74
1. Smidom
2.00
4.00
2.86
0.52
-0.22
2. Smadom
2.00
4.00
2.98
0.41
-0.19
3. Smilak
2.00
4.00
2.84
0.53
-0.17
4. Smalak
2.00
4.00
2.93
0.46
-0.30
5. Koi
2.00
4.00
3.02
0.51
0.04
6. Koa
2.00
4.00
3.09
0.43
0.59
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
Variabel
Min.
Max.
Rata-rata
Deviasi standar
Skewness
Data Sekunder 1. PA
0.66
0.99
0.88
0.08
-0.93
4.04E+10
1.15E+14
3.59E+13
3.81E+13
0.80
3. Lnsize
10.61
14.06
12.76
1.24
-0.57
3. Satker
5
1.068
508.72
420.07
-0.20
2. Size
*Skala 1-4 untuk sangat tidak efisien hingga sangat efisien Statistik deskriptif untuk data primer menunjukkan skor antara 2 dan 4, yang berarti bahwa tingkat efisiensi pedoman, mekanisme dan koordinasi pelaksanaan anggaran belanja negara untuk infrastruktur berkisar antara „tidak efisien‟ hingga „sangat efisien‟. Namun secara rata-rata, adalah ‗efisien‘, terlihat dari nilai skornya yang mendekati 3. Bila dilihat dari nilai deviasi standar yang relatif kecil serta nilai skewness yang berkisar pada angka 2, terlihat bahwa skor tersebut terdistribusi secara normal. Hal ini memperkuat dugaan bahwa secara umum persepsi responden tentang pedoman, mekanisme dan koordinasi pelaksanaan anggaran di Kementerian Negara bidang infrastruktur sudah ‗efisien‘. Untuk data sekunder statistik deskriptif menunjukkan kecenderungan yang berbeda-beda. Untuk simpangan anggaran (PA), nilainya berkisar antara 66% sampai 99%, dengan rata-rata sebesar 88%, dimana data terdistribusi secara normal ( deviasi standar 8% dan skewness kurang dari nilai absolut 2). Namun untuk Ukuran (Size) serta
75
jumlah Satuan Kerja (Satker) Kementerian Negara bidang infrastruktur terlihat bahwa rentang nilainya cukup tajam, yaitu: (i) nilai asset berkisar antara Rp.115 trilyun, sampai Rp.40,4 milyar; dan (ii) jumlah Satker berkisar antara 5 sampai 1.068 Satker. Mengingat rentang nilai yang cukup jauh serta jumlah obeservasi yang sangat terbatas, yaitu 43 observasi, maka angka rata-rata menjadi kurang bermakna dalam melihat karakteristik sampel yang diamati. 5.2
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Data Primer
Uji validitas dilakukan dengan menggunakan korelasi rank Spearman atau Kendall tau-b untuk mengukur korelasi pada statistik non-parametrik dengan data yang bersifat ordinal. Hasil uji validitas disajikan dalam Tabel 5.3 berikut. Sedangkan hasil uji reliabilitas menunjukkan nilai Cronbach‟s Alpha sebesar 0.931, atau di atas nilai batas Alpha sebesar 0.7, yang berarti bahwa
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
seluruh
kuesioner
yang
digunakan
dalam penelitian ini adalah reliabel.
Tabel 5.3 Hasil Uji Validitas Kendall’s tau_b dan Spearman’s rho
Variabel SMIDOM SMADOM SMILAK SMALAK KOI KOA
Kendall’s tau-b 0,803 0,660 0,833 0,691 0,723 0,694
Sign. Level 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000
Spearman’s rho 0,856 0,707 0,887 0,739 0,773 0,746
Sign. Level 0,000*** 0,000*** 0,000*** 0,000*** 0,000*** 0,000***
***probabilita <1%
Dari Tabel di atas terlihat bahwa nilai koefisien Kendall‟s tau_b dan Spearman‟s rho bernilai lebih besar dari +0,30 pada tingkat signifikansi kurang dari 1%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa masing-masing indikator pertanyaan dari kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen yang valid. 5.3. 5.3.1
Hasil Pengujian Hipotesis
Faktor-faktor Determinan Senjangan Anggaran di Kementerian Negara Bidang Infrastruktur Secara umum, uji beda statistik mengajukan hipotesa sebagai berikut: H0 : Bila data dikelompokkan berdasarkan suatu kriteria
76
tertentu, maka diantara kelompok-kelompok tersebut, tidak terdapat perbedaan yang signifikan atas suatu variabel yang ingin diteliti HA:
Bila data dikelompokkan berdasarkan suatu kriteria tertentu, maka diantara kelompok-kelompok tersebut, terdapat perbedaan yang signifikan atas suatu variabel yang ingin diteliti.
Hasil uji beda berdasarkan Kementerian Negara bidang infrastruktur disajikan dalam Tabel 5.4 dibawah ini.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
Tabel 5.4 Hasil Test Uji Beda Statistik Variabel Penelitian Berdasarkan Kementrian Negara (Kruskal Wallis Test, df = 3) PA
Chi-Square
7.184
SMIDOM 12.919
Asymp. Sig.
0.06*
0.00***
SMA DOM 2.262
SMILAK 10.911
SMALAK 1.002
KOI
KOA
Size
Satker
15.729
14.158
39.063
39.255
0.52
0.01***
0.80
0.00***
0.00***
0.00***
0.00***
* probabilita <10% ** probabilita < 5% ***probabilita <1%
Hasil uji beda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar Kementerian Negara dalam tingkat senjangan anggaran (PA) serta efisiensi pelaksanaan anggaran dalam aspekaspek: (i) pedoman internal (SMIDOM); (ii) mekanisme internal (SMILAK); (iii) koordinasi internal (KOI); (iv) koordinasi eksternal (KOA); (v) ukuran dalam nilai Total Aset (Size); serta (vi) ukuran dalam nilai jumlah satuan kerja (Satker). Bukti empiris ini memberikan
indikasi awal akan adanya perbedaan penyerapan anggaran serta faktor-faktor determinan penyerapan anggaran diantara Kementerian Anggaran bidang infrastuktur. Selanjutnya, berdasarkan faktorfaktor determinan tersebut dilakukan uji beda statistik atas penyerapan anggaran diberbagai Kementerian Negara tersebut, yang hasilnya disajikan dalam Tabel 5.5 di bawah ini.
Tabel 5.5 Hasil Uji Beda Statistik Simpangan Anggaran (PA) Berdasarkan Faktor Determinan (Kruskal Wallis Test, df = 2) Hipotesis H1
A
Efisiensi Pedoman
C E
Efisiensi mekanisme
G H2
77
A
a.Internal
SMIDOM
Hasil Pengujian Statistik Prob. Kesimpulan 0.13 Gagal menolak H0
b.Eksternal
SMADOM
0.10
Gagal menolak H0
a.Internal
SMILAK
0.07*
Tolak H0
b.Eksternal
SMALAK
0.05**
Tolak H0
a.Ranking Ukuran Aset b.Ranking Jumlah Satker
RankLnTA
0.06*
Tolak H0
RankSatker
0.04**
Tolak H0
Faktor Determinan
Kompleksitas tugas
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
Hipotesis H3
A B
a.Internal
KOI
Hasil Pengujian Statistik Prob. Kesimpulan 0.88 Gagal menolak H0
b.Eksternal
KOA
0.88
Faktor Determinan Efisieinsi koordinasi
Gagal menolak H0
* probabilita <10% ** probabilita < 5%
Hasil uji empiris menunjukkan bahwa terdapat perbedaan senjangan anggaran di berbagai Kementerian Negara bidang infrastruktur bila pelaksanaan anggaran dikelompokkan berdasarkan: (i) efisiensi mekanisme internal dalam suatu Kementerian Negara; (ii) efisiensi mekanisme eksternal (signifikan pada tingkat p<10%) maupun internal (signifikan pada tingkat p54%) antara berbagai Kementerian Negara bidang infrastruktur dengan Kementerian Keuangan; (iii) besarnya ukuran dalam ranking Ln Total Aset (signifikan pada tingkat p<10%) ; dan (iv) besarnya ukuran dalam ranking jumlah Satuan Kerja (signifikan pada tingkat p<5%). Dengan perkataan lain, pengujian empiris dapat menolak H0 untuk H1E, H1G dan H2A, namun gagal menolak H0 untuk H1A, H1C, H3A dan H3B. Bukti empiris dari kedua pengujian di atas dapat diinterpretasikan sebagai berikut. Pertama, terdapat perbedaan senjangan anggaran serta faktor-faktor determinannya antarKementerian Negara bidang infrastruktur di Indonesia. Kedua, perbedaan senjangan anggaran tersebut terjadi ketika Kementerian Negara
78
dikelompokkan berdasarkan faktorfaktor determinan yang terkait dengan: (i) tingkat ketidakpastian lingkungan dalam pelaksanaan anggaran (Kren dan Liao, 1988) yang diukur dengan tingkat efisiensi mekanisme pelaksanaan anggaran internal dalam suatu Kementerian Negara, maupun eksternal antara Kementerian Negara bidang infrastruktur dengan Kementerian Negara (SMILAK dan SMALAK); dan (ii) tingkat ketidakpastian yang berasal dari kompleksitas tugas (Dunk dan Nouri, 1998) yang didekati dengan ranking ukuran Kementerian Negara dalam nilai Total Aset dan Jumlah Satuan Kerja. 5.3.2. Korelasi Senjangan dengan Faktor-faktor Determinannya di Kementerian Negara Bidang Infrastruktur Bila bukti empiris menunjukkan bahwa senjangan anggaran disebabkan oleh perbedaan faktor-faktor determinannya, maka perlu diteliti lebih lanjut apakah faktor-faktor determinan tersebut berkorelasi dengan senjangan anggaran. Hasil pengujian empiris untuk korelasi tersebut disajikan dalam Tabel 5.6 berikut.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
Tabel 5.6 Hasil Tes Statistik Korelasi Simpangan Anggaran dengan Faktor-faktor Determinannya (Kendall’s Tau b Test) Hipotesis H1
B
Faktor Determinan Efisiensi Pedoman
D F
Efisiensi mekanisme
H H2
H3
B
C
Kompleksitas tugas
Efisieinsi koordinasi
D
a.Internal
SMIDOM
Koef, -0.044
Hasil Pengujian Statistik Prob. Kesimpulan Gagal menolak H0 0.364
b.Eksternal SMADOM
-0.063
0.311
Gagal menolak H0
a.Internal
0.022
0.432
Gagal menolak H0
b.Eksternal SMALAK
0.019
0.441
Gagal menolak H0
a.Ukuran Aset b.Jumlah Satker a.Internal
RankLnTA
-0.257
0.02**
Tolak H0
RankSatker
-0.195
0.057*
Tolak H0
KOI
-0.044
0.365
Gagal menolak H0
-0.056
0.331
Gagal menolak H0
SMILAK
b.Eksternal KOA
* probabilita <10% ** probabilita < %
Bukti empiris dari Tabel 5.6 di atas menunjukkan bahwa hanya kompleksitas tugas yang berkorelasi negatif dengan senjangan anggaran. Dengan demikian, pengujian empiris dapat menolak H0 untuk H2B, namun tidak dapat menolak H0 untuk H1B, H1D, H1F, H1H, H3C dan H3D. Artinya, semakin tinggi kompleksitas tugas maka senjangan anggaran yang terjadi akan semakin tinggi. Temuan ini konsisten dengan pendapat Dunk dan Nouri (1998) serta dengan bukti empiris hasil uji beda diatas, yang menunjukkan bahwa ketidakpastian yang timbul dari kompleksitas tugas berpengaruh negatif terhadap senjangan anggaran.
79
6
Penutup
6.1
Kesimpulan
Penelitian ini adalah salah satu cabang ilmu akuntansi pemerintahan yang bersifat eksploratif dengan menggunakan pendekatan anggaran pada organisasi yang berorientasi laba. Kajian literatur difokuskan pada literatur tentang senjangan anggaran (Argyris, 1952; Dunk, 1993; Schiff dan Lewin, 1970; Hansen et al, 2003; dan Covaleki et al, 2003) serta keterkaitan anggaran dengan teori-teori organisasi (Dunk dan Nouri, 1998; Linn et al, 2001; Kren dan Liao, 1988; Van der stede, 2000; Locke,1986; Covaleski et al, 2003). Berdasarkan studi literatur, penelitian ini mengajukan berbagai hipotesis yang secara umum menyatakan bahwa tingkat senjangan anggaran pada Kementerian Negara bidang infrastruktur di Indonesia berhubungan dengan berbagai faktor determinan terkait
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
dengan ketidakpastian dalam organisasi yang berasal dari: (i) ketidakpastian lingkungan (Kren dan Liao, 1988) serta (ii) tingkat kesulitan tugas (Dunk dan Nouri, 1998). Sebagian dari hasil uji beda statistik Kruskal Wallis test mendukung kedua hipotesa umum tersebut, yaitu melalui beberapa faktor determinan senjangan anggaran (PA) sebagai berikut: (i) Efisiensi Mekanisme Internal maupun Eksternal pelaksanaan anggaran (SMILAK dan SMALAK) yang mengukur tingkat ketidakpastian lingkungan; (ii) serta ranking Ukuran Aset serta ranking Jumlah Satuan Kerja (RankLnTA serta RankSatker) yang mengukur tingkat kesulitan tugas. Sedangkan hasil uji empiris korelasi Kendall‟sb Tau hanya mendukung sebagian dari kelompok hipotesis kedua yang diperlihatkan oleh adanya korelasi stastistik yang signifikan antara Senjangan Anggaran (PA) dengan ranking Ukuran Aset serta ranking Jumlah Satuan Kerja (RankLnTA serta RankSatker). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tingkat kesulitan tugas merupakan faktor determinan yang cukup signifikan dalam senjangan anggaran di Kementerian Negara bidang infrastruktur di Indonesia. Semakin tinggi Nilai Total Asset yang dikelola dan juga semakin besar jumlah Unit Satuan Kerja yang berada dalam tanggung jawab suatu Kementerian Negara, semakin kompleks tugas yang harus dilaksanakan, sehingga semakin besar senjangan anggaran yang tercermin
80
dari rendahnya penyerapan anggaran yang dilakukan (Mujiono, 2009). 6.2
Implikasi Hasil Penelitian
Penelitian ini menunjukkan bukti empiris bahwa tingkat ketidakpastian yang berasal kompleksitas tugas merupakan salah satu faktor determinan yang dominan dalam menentukan tinggi rendahnya senjangan anggaran di Kementerian Negara bidang infrastruktur di Indonesia. Dengan demikian, untuk meningkatkan penyerapan anggaran perlu diperhatikan jumlah optimal dari aset dan satuan kerja yang berada dalam satu locus of control yang kondusif di masing-masing Kementerian Negara tersebut agar penyerapan anggaran belanja negara dapat terlaksana dengan optimal pula. Walaupun efisiensi pedoman, mekanisme serta koordinasi dalam pelaksanaan anggaran tidak berpengaruh langsung terhadap besarnya senjangan anggaran, namun secara tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat ketidakpastian dalam pelaksanaan anggaran, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap besarnya senjangan anggaran. Oleh karena itu, untuk kementerian yang besar dan kompleks, perlu dibuat suatu pedoman anggaran yang jelas dan lengkap, sehingga dapat menghilangkan ketidakpastian dalam pelaksanaan anggaran, yang pada akhirnya akan meningkatkan penyerapan anggaran di kementerian-kementerian yang besar
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan. 6.3. Keterbatasan Penelitian dan Saran Pengembangan Penelitian Berikutnya Salah satu keterbatasan yang perlu diperhatikan adalah jumlah sampel penelitian yang terbatas, baik untuk data primer (responden terbatas pada sebagian pelaksana anggaran di Kementerian Negara bidang infrastruktur) maupun data sekunder (hanya mencakup tahun anggaran 2006 sampai 2008). Akibatnya, tingkat generalisasi bukti empiris hasil penelitian ini sangat terbatas. Penelitian sejenis dimasa depan dapat memperluas sampel penelitian dengan memperluas pengamatan pada Kementerian Negara lainnya maupun meningkatkan periode pengamatan tahun anggaran. Dengan demikian, tingkat generalisasi bukti empiris hasil penelitian dapat diperbaiki. Kompatibiltas data primer dengan data sekunder dalam penelitian ini menjadi merupakan satu kelemahan yang perlu diperhatikan. Data primer diperoleh dalam satu titik waktu, yaitu ketika responden mengisi kuesiner pada bulan July 2010. Namun didalam kuesioner tersebut responden diminta untuk memberikan pendapatnya tentang hubungan antara senjangan anggaran negara dengan determinannya dimasa lalu, yaitu tahun 2006 sampai 2008. Dengan demikian, terdapat kemungkinan Karena keterbatasan jumlah sampel, penelitian ini hanya dapat
81
bahwa responden rancu membedakan antara kondisi faktor determinan anggaran pada masa kini (tahun 2010) dengan kondisinya pada periode pengamatan penelitian dimasa lalu (tahun 2006 sampai 2008). Walaupun demikian, metode ini merupakan pilihan optimal yang dapat dilakukan untuk mengatasi keterbatasan sampel yang tersedia. Untuk menghindari kerancuan, penelitian sejenis dimasa depan sebaiknya memperluas jumlah sampel yang memadai sehingga dapat digunakan data primer serta data sekunder yang mencakup periode yang sama. Keterbatasan lainnya berasal dari konstrak kuesioner yang dikembangkan dari pelaksanaan praktek nyata di Kementerian Negara yang diteliti melalui pengamatan dalam studi lapangan maupun wawancara. Dengan demikian, tidak jelas sejauh mana kuesioner ini dapat digunakan sebagai instrument penelitian di Kementerian Negara lain diluar bidang infrastruktur. Disamping itu, walaupun metode pengembangan kuesioner tersebut mempunyai keunggulan dalam menangkap fenomena nyata dalam praktek, namun kurang jelas kaitannya dengan, serta posisinya dalam, literatur anggaran. Dimasa depan, studi sejenis dapat menyempurnakan kuesioner penelitian dengan mengaitkannya dengan teori maupun kuesioner lainnya yang digunakan dalam literatur akademis tentang anggaran.
menggunakan teknik pengujian empiris yang terbatas pada uji beda dan korelasi
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
antarvariabel. Dimasa depan, dengan jumlah sampel yang lebih memadai, dapat digunakan pengujian empiris yang lebih robust dengan model empiris yang dapat menangkap permasalahan
82
anggaran dengan lebih baik di berbagai Kementerian Negara di Indonesia, termasuk kemungkinan adanya faktorfaktor yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap anggaran.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
DAFTAR PUSTAKA Anggarini, Yunita. (2010). Anggaran berbasis kinerja, penyusunan APBD secara komprehensif. UPP STIM YKPN, Yogyakarta. Cetakan pertama. Argyris, C. (1952). The Impact of budget on people, The Controllership Foundation, Cornell University, Ithacu, NY, First Edition. Azwar, S. (1997). Reliabilitas dan validitas. Pustaka pelajar; Yogyakarta. Edisi ketiga. Bastian, I (2009). Akuntansi sektor publik di indonesia.: BPFEYogyakarta; Yogyakartaa. Edisi kedua. Chong, V., dan Chong, K. (2002). Budget goal commitmen and informational effects of budget participation on performance: A structural equation modeling approach. Behavioral research accounting. Cooper, D.R. dan Schindler, P.S. (2006). Business research methods. Boston: McGraw Hill. 9th Edition. Chow, Chee W., Jean C. Cooper, William S. Waller. (1988). Participative budgeting: effects of a truth-inducing pay scheme and information asymmetry on slack and performance. The Accounting Review, vol. 63. No. 1. Covaleski, M.A dan M.W. Dirsmmith,. (1986). The impact of structure, environment and
83
interdependence on the perceived usefulness of management accounting systems, The Accounting Review. , M.A., John H. Evans, Joan L. Luft, Michael D. Shields. (2003). Budgeting research: Three theoretical perspectives and criteria for selective integration. Journal of management accounting research: 203: 15. Demski, J., dan G. Feltham. (1978). Economic incentives in budgetary control systems. The accounting review; 53 (2): 336359. Dunk, Alan S. (1993). The effect of budget emphasis and information asymmetry on the relation between budgetary participation and slack. The accounting review. April. Pp.400-410. Dunk, Alan S. dan Hossein Nouri. (1998). Antecedents of budgetary slack: a literature review and synthesis. Journal of accounting literature. 17. Pg. 72.s. Fiedler, F.E. (1978). The contingency model and the dynamics of the leadership process, Advance inexperimental social psycology. In L. Brokowoitz (Ed). Ghozali, Imam, H, M. Com, Akt. 2009. Aplikasi analisis multivariate dengan program SPSS. Badan penerbit universitas diponegoro. Cetakan IV.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
Government Accounting Standards Board (GASB). (1993). Proposed statement of the government accounting standards board on concepts related to service efforts and accom-plishments reporting. GASB; Norwalk, CT. Gufron,
Ahmad. (2009). Analisis efektivitas manajemen inspektorat jenderal dalam rangka mendorong peningkatan governance departemen keuangan. Tesis Program Studi Magister akuntansi universitas indonesia.
Hansen
dan Mowen. (2000). Management accounting, South Western College Publishing. Second-Edition.
Hansen,S.C., David T. Otley, Wim A. Van der Stede. (2003). Practice developments in Budgeting: An overview and research perspective. Journal of Management Accounting Research: 15, ABI. Hofstede, G. (1967). The game of budget control. Assen, The Netherlands: Van Goreum. Jensen, Michael C., (2003). Paying people to lie: The truth about the budgeting process. European financial management, Vol. 9, No. 3: 379-406 Kenis,
84
Izzettin. (1979). Effects of budgetary goal characteristics on managerial attitudes and performance. The Accounting Review, vol. 54. No. 4.
Kren, L. dan. Liao, W.M. (1988). The role of accounting information in the control of organizations: A review of the evidence. Journal of accounting literature. Linn, G., Michael Casey, Gene H. Johnson, T. Selwyn Ellis, T.S. (2001). Do broad scope managerial accounting systems moderate the effects of budget emphasis, budget participation and perceived environmental uncertainty on the propensity to create budgetary slack. The Journal of computer information systems: 42. Kirmanto, Joko. (2008). Strategi pembangunan infrastruktur daerah untuk menarik investasi. Artikel kementerian pekerjaan umum. Jakarta. Kuncoro, Mudrajad. (2003). Metode riset untuk bisnis dan ekonomi: bagaimana meneliti dan menulis tesis?. Jakarta: Erlangga. Edisi ke-3. Lonti, Z., dan M. Woods. (2008). Towards government at a glance: identification of core data and issues related to public sector efficiency. OECD Publishing. OECD workings papers on public governance, No. 7,. Locke, E.A., D.M. Schweiger dan G.P. Latham. (1986). Participation in decision making: when should it be used? Organizational Dynamics.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
March, J. G., dan H. Simon. (1958). Organizatons. Wiley. New York, NY: Mardiasmo. (2002). Otonomi dan manajemen keuangan daerah. Andi offset, yogyakarta. Edisi keempat. Mardiasmo. (2004). Otonomi daerah dan manajemen keuangan daerah. Andi offset, Yogyakarta. Edisi kelima. Mujiono. (2009). Modul pelaksanaan anggaran. Kementerian perumahan rakyat republik indonesia. Jakarta. Edisi pertama. Nordiawan, D., Sondi, P. I., dan Rahmawati, M. (2009). Akuntansi Pemerintahan. Salemba Empat, Jakarta. Edisi pertama. Onsi, M. (1973). Factor analysis of behavioral variables affecting budgetary slack. The accounting review 48 (July): 535-48. Otley, David T. (1978). Budget use and managerial performance. Journal of accounting research, vol. 16.
85
Accounting, organization and Society. 497-510. Purwantini, Cornelio. (2005). Pengaruh partisipasi anggaran, asimetri informasi, dan etika individu terhadap senjangan angggaran dengan pendekatan structural equation modeling (SEM), studi empirik pada perguruan tinggi swasta di daerah istimewa yogyakarta. Tesis mahasiswa pascasarjana akuntansi, Universitas Brawijaya. Malang. Qoyum, Aj, Msi,. Khafrawy, Aunurrafiq,. Hasbi, azis Muhammad, Nafies, Muh. Husnie,. Perdana Aditya,. (2009). Politik Infrastruktur. Komisi V DPR RI, SenayanJakarta. Edisi pertama. Sahmuddin, Meiranto, W., dan Santosa, A. (2001). Hubungan manusia dan sistem penganggaran. Jurnal bisnis dan akuntansi, Vol. 3, No. 3, 533-542. Schiff, M., dan A. Y. Lewin. (1970). The impact of people on budgets. The accounting review. 45 (april): 259-68. .(1968). Where traditional budgeting fails. Financial executive.
. (1999). Performance management; a framework for management control systems research. Management accounting research: 363-382.
Scott, William R. (2006). Financial Accounting Theory. Prentice Hall. Canada, Toronto, Ontario. Fourth Edition.
., Fakiolas, Alexander. (2000). Reliance on accounting performance mesures: dead end or new beginning?. Journal of
Singgih, Santoso. (2010). Mastering SPSS 18. PT. Elex Media Komputindo, Jakarta. Edisi pertama.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
Soetjipto, Ani., Sri Budi Eko Wardana, Yuna Farhan, Shelly Adelina, Yolanda Panjaitan, Wawan Ichwanuddin, Aditya Perdana. (2009). Kerja untuk rakyat, buku panduan anggota legislatif. The Asia Foundation. Pusat kajian politik FISIP UI. Jakarta-Edisi pertama. Stedry, A. (1960). Budget control and cost behavior. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall. Sukarno, Agus. (2009). Analisis terhadap kinerja daya serap anggaran sebagai alat perencanaan strategis dan pengendalian internal, studi kasus di direktorat profesi pendidik ditjen peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan departemen pendidikan nasional. Tesis Program Studi Magister Akuntansi Universitas Indonesia Sumarsono, Sonny. (2010). Manajemen keuangan pemerintah. Graha Ilmu. Yogyakarta. Edisi Pertama.
creation and managerial shortterm orientation. Accounting, Organizations and society: 609-622. Wahyudi, ilham (2007). Pengaruh partisipasi anggaran dan komitmen organisasi terhadap kecenderungan senjangan anggaran. Tesis pascasarjana universitas padjadjaran, Bandung. Wentzel, K. (2002). The influence of fairness perceptions and goal commitment on managers‟ performance in a budgetary setting. Behavioral research in accounting. Yamin, Sofyan dan Kurniawan Heri. (2009). SPSS Complete, Teknik Analisis Statistik Terlengkap dengan Software SPSS. Salemba Empat. Jakarta. Cetakan pertama. Young, S, Mark,. (1985). Participative budgeting: The Effects of Risk Aversion and assymetric information on budgetary slack. Journal of accounting research, vol. 23, No. 2.
Van der stede, Wim, A., (2000). The relationship between two consequences of budgetary controls: budgetary slack
86
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
Lampiran Lampiran 2.2.1 Sisdur Eksternal Pelaksanaan Anggaran Belanja antara Departemen Keuangan sebagai Pengelola Keuangan Negara dengan Departemen Teknis sebagai Pengguna Anggaran dan Lembaga/Instansi Negara Lainnya yang Terkait
Sumber : Modifikasi dari hasil wawancara dan UU No. 1 Tahun 2004, Kepres No. 42 tahun 2002, Kepres 80 Tahun 2003, Perdirjenben No.PER-66/PB/2005, dan buku saku lingkup Kementerian Keuangan.
Penjelasan dari Diagram 2.3 sesuai dengan nomor yang menunjukkan tahapan dalam pelaksanaan anggaran adalah sebagai berikut: 1. Setelah APBN ditetapkan, Menteri Keuangan memberitahukan kepada
87
semua Menteri/Pimpinan Lembaga agar menyampaikan dokumen pelaksanaan anggaran/DIPA untuk masing-masing Kementerian Negara/Lembaga. Dirjen Perbendaharaan (DJPB) atas nama Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
2.
3.
4.
5.
6.
7.
88
Menteri Keuangan menerbitkan Surat Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (SP-DIPA). Menteri Negara menyusun dokumen pelaksanaan anggaran untuk Kementerian Negara/Lembaga yang dipimpinnya berdasarkan alokasi anggaran yang sudah ditetapkan oleh Presiden. Kementrian Negara menyerahkan dokumen pelaksanaan anggaran untuk mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan. Kementerian Keuangan menyampaikan dokumen pelaksanaan anggaran kepada Kementerian Negara terkait, kuasa Bendahara Umum Negara (BUN) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Kementerian Negara dapat menyelenggarakan kegiatan sesuai dengan DIPA yang telah ditetapkan dan diberikan wewenang untuk mengadakan ikatan/perjanjian dengan pihak lain atau pelaksana kegiatan dalam batas anggaran yang tercantum di dalam DIPA. Pembayaran atas beban APBN tidak boleh dilakukan sebelum barang/jasa diterima. Penerbitan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) oleh pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan untuk disampaikan kepada Pengguna Anggaran (PA) atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Kementrian Negara menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) untuk ditujukan kepada Kuasa
Bendahara Umum Negara (BUN) dengan melampirkan persyaratan dokumen pendukung untuk melakukan pencairan dan penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) setelah melakukan beberapa langkah berikut: (i) Menerima dan melakukan pengujian SPP. (ii) Menguji kebenaran material surat-surat bukti hak pihak penagih. (iii) Meneliti kebenaran dokumen yang menjadi prasyarat perjanjian pengadaan barang/jasa. (iv) Meneliti tersedianya dana (v) Membebankan pengeluaran sesuai dengan mata anggaran pengeluaran (vi) Memerintahkan pembayaran atas beban APBN (vii) Mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN 8. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) menerima dan melakukan pengujian SPM secara subtantif dan formal. SP2D dapat diterbitkan jika SPM yang diajukan telah memenuhi syarat yang telah
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
9.
10.
11.
12.
89
ditentukan dengan batas waktu yang telah ditetapkan. KPPN menyampaikan SP2D (3 rangkap) kepada Bank Operasional untuk melakukan pencairan dana, Kementerian Negara penerbit SPM, serta arsip untuk pertinggal di KPPN. Setelah ditandatangi oleh Bank Operasional/BI, SP2D dikembalikan kepada KPPN. Bank melakukan transfer uang kepada rekening Rekanan Pelaksana Program. Menteri Negara/Pengguna Anggaran (PA) menyusun laporan keuangan semesteran maupun tahunan dan memberikan pernyataan bahwa pengelolaan APBN telah diselenggarakan berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai dan akuntansi keuangan telah diselenggarakan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Pengguna
Anggaran bertanggung jawab secara formal maupun material kepada Presiden, serta menyerahkan Laporan Keuangan kepada Kementerian Keuangan selambatlambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir. 13. Kementerian Keuangan menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dan diserahkan kepada Presiden sebagai pertanggungjawaban serta menyerahkannya LKPP (yang telah diaudit oleh BPK) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selambatlambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran. 14. Presiden menyerahkan LKPP kepada BPK paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. BPK harus menyelesaikan audit LKPP paling lambat 2 (dua) bulan setelah Laporan Keuangan diterima BPK dari Pemerintah (UU Nomor 17/2003).
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
Lampiran 2.2.2 Sisdur Internal Pelaksanaan Anggaran Belanja Internal Kementerian Negara
DIPA
Menteri Negara (PA)
KPA
PPK
Bendahara Pengeluaran
Penguji
KPPN
Rekanan
Sumber : Modifikasi dari UU No. 1 Tahun 2004, Kepres No. 42 tahun 2002, Kepres 80 Tahun 2003, Perdirjenben No.PER-66/PB/2005, dan buku saku lingkup kementerian keuangan.
Penjelasan dari Diagram 2.4 sesuai dengan nomor yang menunjukkan tahapan dalam pelaksanaan anggaran adalah sebagai berikut: 1. DIPA yang telah ditetapkan oleh Menteri Keuangan diserahkan kepada masing-masing Menteri Negara/Teknis sebagai pengguna anggaran untuk dapat dilaksanakan sesuai dengan anggaran yang telah ditetapkan. 2. Menteri Negara menguasakan kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) untuk melaksanakan semua program kerja sesuai dengan mata 90
anggaran dan prosedur / mekanisme pelaksanaan anggaran. 3. Kuasa pengguna anggaran (KPA) memerintahkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk dapat melaksanakan tugasnya, antara lain menyusun perencanaan dan pelaksanaan pengadaan barang/jasa, kegiatan serta pertanggungjawaban yang terkait dengan tugas dan fungsi dalam lingkup kerjanya. 4. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) melakukan perjanjian/kerjasama dengan Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
rekanan/vendor untuk melaksanakan program kegiatan yang telah direncanakan sebelumnya dan mendapatkan Surat Perintah Kerja (SPK). 5. Rekanan melampirkan dokumen/persyaratan dan diserahkan kembali kepada PPK untuk penerbitan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) oleh Bendahara Pengeluaran. 6. Bendahara Pengeluaran meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diajukan PPK, menguji kebenaran perhitungan tagihan pembayaran serta menguji ketersediaan dana. Jika semua persyaratan telah dilengkapi Bendahara Pengeluaran dapat menerbitkan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) yang ditujukan kepada penguji tagihan. 7. Penguji melakukan pengujian atas Surat Permintaan Pembayaran (SPP), memeriksa ketersediaan pagu anggaran, memeriksa kebenaran atas hak tagih, memeriksa pencapaian tujuan dan/atau sasaran kegiatan
91
serta menerbitkan dan menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM) yang diajukan kepada KPPN. 8. KPPN memeriksa atau melaksanakan pengujian kelengkapan SPM baik bersifat subtansif dan formal, mengisi check list kelengkapan berkas SPM, mencatat dalam daftar pengawasan penyelesaiana SPM dan meneruskan check list serta kelengkapan SPM ke seksi perbendaharaan untuk diproses lebih lanjut. Jika semua proses dan persyaratan telah lengkap KPPN dapat menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). SP2D wajib diselesaikan oleh KPPN paling lambat satu hari kerja setelah diterima SPM secara lengkap (khusus SP2D UP/TUP/GUP dan LS). 9. Lembar kesatu dan kedua SP2D dikirimkan melalui petugas kurir KPPN ke bank operasional untuk ditransfer ke rekening rekanan atau kuasa pengguna anggaran.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Hilda Rossieta | Dri Asmawanti
Lampiran 2.2.3 Struktur Pelaksana Anggaran Sisdur Internal Kementerian Negara DIP A Menteri Negara (PA)
KPA
Penguji
Pejabat Pembuat Komitmen/PPK
Bendahara Pengeluaran
Sumber : Modifikasi Perdirjenben No. Per-66/PB/2005
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan nomor Per-66/PB/2005, Struktur Pelaksana Sisdur Internal pelaksanaan anggaran digambarkan dalam Diagram 2.5. Adapun definisi serta kewenangan para pihak dalam struktur diatas sebagai berikut: a. Pengguna Anggaran (PA) adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lemaga/satuan kerja perangkat daerah. b. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) adalah pejabat yang ditunjuk oleh pengguna anggaran untuk satuan kerja/satuan kerja sementara di lingkungan instansi pengguna anggaran bersangkutan dengan surat keputusan. Pasal2 ayat 2 menyatakan bahwa Menteri/Pimpinan Lembaga dapat
92
mendelegasikan kewenangan kepada Kuasa Pengguna Anggaran untuk menunjuk : 1. Pejabat pembuat komitmen yang diberi kewenangan untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja/penanggungjawab kegiatan; 2. Pejabat penguji yang diberi kewenangan untuk menguji tagihan kepada negara dan menandatangani SPM; 3. Bendahara Pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
JURNAL BPPK Volume 1, Nomor 4, Oktober 2010
Financial Development and Economic Growth: an Empirical Analysis of Indonesia
Oleh : Muh Dularif
93
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
Financial Development and Economic Growth: an Empirical Analysis of Indonesia oleh : Muh Dularif
Abstract This paper empirically investigates the relationship between financial development and economic growth in Indonesia. A vector autoregressive model using time series data between 1968 and 2009 presents this dynamic relationship. Financial depth, the role of commercial banks, and credit to private sectors are three measurements of financial development used in this paper. However, differing from much empirical research in developed countries in which financial systems are wellbehaved, the results of this research suggest that financial development in Indonesia does not have a significant positive impact on economic growth. The main factor in the failure of financial development in promoting growth is lack of fundamental factors in the financial system. These factors are lack of credibility of the monetary regulator, weaknesses in financial regulations and supervision, lack of a legal system and an ignorance of good corporate governance in the financial sector. In particular, there is no evidence that financial liberalization will promote economic growth if it is done without the development of a strong financial system. Keywords: financial development, economic growth, vector autoregressive (VAR).
Pegawai pada Direktorat Jenderal Pajak
94
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
1. Introduction The relationship between financial development and economic growth has been studied extensively in recent years. However, many researchers have recently turned to two contradictory conclusions about whether financial development has a positive impact or not. As reported by the World Bank (WB) and International Monetary Fund (IMF) (2005), the experience of many countries demonstrates that financial liberalization has two opposite effects in the economy. On the one side, development of the financial sector can encourage economic growth, but on the other side, the fragility of the financial sector can create an economic crisis and hamper growth. Furthermore, Zagha et al. (2006) claim that several countries gained an increase in saving rate and more access to credit, accordingly, increase investment and encourage economic growth. However, liberalization of the financial sector in many developing countries which started in the late 1980s and 1990s also created traditional macroeconomic problems, such as government and private debt problems, volatile exchange rate and unsustainable fiscal policy. Like many developing countries, Indonesia also moved to liberalize the financial sector in the 1980s. As expected, initially, financial liberalization in Indonesia had a positive impact on the economy. The banking sector was able to accumulate funds from the public then distributed credit to
95
investors. The overall impact was growth of 7 percent annually on average during the 1980s to 1990s and Indonesia was included in the Asian Miracle countries. However, consistent with DemirgucKunt and Detragiache (2001), financial liberalization without prudent policy and inadequate institutional structure will increase the probability of a financial and an economic crisis. Their prediction became reality in 1997 where the Asian financial crisis hit Indonesia and shrank the Indonesian economy with growth of almost minus 15 percent. In general, the empirical research on the relationship between financial liberalization and economic growth can be divided into two approaches. The first is in terms of bank-based financial system and the second is in terms of market-based financial system. As noted by Chakraborty and Ray (2006), with a market-based system, the financial market allows debtors to obtain funds directly from lenders in the form of financial instrument transactions such as in the stock or bond markets. In contrast, in a bank-based market, the banking system plays a dominant role as intermediaries between lenders and borrowers. Furthermore Thangavelu et al. (2004) point out that in the bankbased system, financial intermediaries influence economic activity by increasing the saving rate, providing liquidity, and mobilizing funds to the most efficient investors in the economy. On the other hand, a well-developed capital and bond market can create better allocation and diversify risks.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
Similar to many developing countries, the economy and financial system in Indonesia is dominated by the banking system as the intermediary institution. As noted by Beck et al. (2000), on average, in the period 19811990 and 1991-2000, the deposit money bank assets / GDP was 26.67 percent and 50.49 percent respectively, whereas in the same period the capital market capitalization / GDP was only 0.66 percent and 22.61 percent respectively. In addition, according to Rosser (2002) until 1977, the capital market in Indonesia was inactive as a result of President Soekarno‘s policy to nationalize Nederland-owned companies and stop the operation of the Jakarta Stock Exchange. Until the 1990s, the capital market grew slowly due to the regulation that foreigners were prohibited from involving in the transactions on the Jakarta Stock Exchange. Therefore, in this study, the empirical research on the relationship between financial liberalization and economic growth is limited to bankbased market approach. There are several indicators of financial development in the literature. In this study, following Ang and McKibbin (2007) and King and Levine (1993a), financial liberalization is measured by M2 to Gross Domestic Product (GDP) ratio, commercial bank assets to total bank assets ratio, and the ratio of private credit to GDP. Economic growth is measured by real GDP per capita. Nominal interest rate of credit is used as a measurement of interest rate level, and
96
price level is measured by consumer price index (CPI). The idea that financial liberalization has a positive impact on economic growth is found by Schumpeter (1934), who argues that the development of the financial sector is an important aspect for economic development via technological innovation. Furthermore, Gultom (2008b) emphasizes that financial development can encourage per capita income, increase productivity and investment efficiency, and consequently have a positive impact on economic growth in the short and long term. A similar argument of the positive impact of financial development on growth is also proposed by McKinnon (1973) and Shaw (1973) who suggest that financial liberalization would increase savings, accumulate capital, encourage investment and therefore stimulate economic growth. Using a model of prediction that links development, savings, growth and income distribution, Greenwood and Jovanovic (1990) conclude that financial development can create opportunities for higher rate of return on capital, more efficient investment, and so impact positively on economic growth. Bencivenga and Smith (1991) compare the model of an economy, with financial intermediaries and without intermediaries. The comparative models show that with financial intermediaries the economy will grow higher than without financial intermediaries by decreasing the reliance on self finance and avoiding the early
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
liquidation of capital investment. Other theoretical frameworks of the relationship between financial development and economic growth are also developed by Levine (1991), King and Levine (1993a), and Bencivenga et al. (1995). In their empirical research, King and Levine (1993b) use the model based on the endogenous technical change theory developed by Romer (1990) to analyze the link between financial development and growth. Using five countries data from 1974 to 1989, they point out that financial development has a positive impact on economic growth by improving efficiency, mobilizing resources, diverting and reducing risk and encouraging innovation. Murinde and Eng (1994) examine the relationship between financial restructuring and economic growth in Singapore using a supply-leading and demand-following finance approach. Their results suggest that financial development influences economic growth through a supplyleading channel. Demetriades and Hussein (1996) examine the link between financial development and growth using time series data from 16 countries with a vector autoregressive model. Their results demonstrate that in general financial liberalization has a positive effect on economic development. Levine et al. (2000) using both GMM-dynamic panel techniques and traditional cross section IVprocedures show that financial development is positively correlated with economic growth.
97
Several recent empirical studies on the relationship between financial development and economic performance also show the positive impact of financial liberalization on growth. For example, Thangavelu et al. (2004) investigate the relationship between economic growth and financial liberalization in Australia using a VAR model in terms of market-based and bank-based financial structure. They conclude that financial development has a positive impact on economic growth, but economic growth does not have an impact on the financial market. Hondroyiannis et al. (2005) examine the link between financial liberalization and economic growth in Greece during the period 1986-99. They conclude that financial liberalization and economic performance influence each other. Ranciere et al. (2006) conclude that financial development encourages faster long-term economic growth, although there is a risk of a crisis. Although much research in this area concludes that financial development influences economic growth, there are several empirical studies that come to a different conclusion. For instance, Ang and McKibbin (2007), using financial and macroeconomic data of Malaysia over the period 1960–2001, demonstrate that although the financial reform process can enlarge the financial system, financial development does not appear to stimulate economic growth. Elbourne and de Haan (2006) using data from central and eastern Europe, conclude that
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
there is still an unclear relationship between financial liberalization, monetary policy and output. Liang and Teng (2006) investigate the link between financial development and economic growth of China using data between 1952 and 2001 with a vector autoregressive model. Their results show no evidence that financial development encourages economic growth. On the contrary, their research suggests that economic growth promotes financial development. In addition, Matsumoto (2007) points out that financial liberalization without an adequate institutional structure and prudent supervision are the most important factors that create financial and economic crises. Although considerable research has been done on the relationship between financial development and economic growth, but much less is known about the role of financial development in promoting economic growth in the country with lack of institutional structure and problematic legal system such as Indonesia. Indonesia is selected as a study case for three reasons. First, Indonesia has a longhistory of financial reform. Beginning in June 1983, Indonesia started to move from financial repression to financial liberalization. The Asian financial crisis in 1997/1998 forced Indonesia to change fundamental factors in the financial system. As pointed out by Gultom (2008c), to avoid a further crisis in the financial system as a result of banking insolvency and non-performing loan
98
problems, the government established the Indonesian Banking Restructuring Agency (BPPN). Another fundamental change was implementing an independent monetary policy for the Central Bank. Second, during the 1980s and 1990s, Indonesia was included in the Miracle Asian countries, and one factor viewed as a driver in economic growth was liberalization in the financial sector (Visser and Herpth (1996). However, the same factor also appears to be the most important aspect that shrank the Indonesian economy after the 1997 financial crisis (Matsumoto (2007). Finally, the availability of annual data of the financial system over the period 1968-2009 is long enough to tolerate an empirical investigation using time series data. The main question in the research is whether financial liberalization in Indonesia plays a key role in promoting economic growth, or vice versa. Another problem is to identify the factors that influence the relationship between financial development and economic growth. The purpose of this research is to investigate the relationship between financial development and economic performance in Indonesia using annual time series data over the period of 19682006. This research extends the investigation to find the factors that influence the effect of financial development on economic growth. This research uses vector autoregressive (VAR) models and Granger causality tests to analyze the relationship.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
In contrast to Schumpeter (1934) and King and Levine (1993b) who find that financial development has a positive impact in promoting growth, the results of this empirical research suggest that financial liberalization in Indonesia does not play a key role in economic growth. Conversely, economic performance influences the growth of credit to private sectors, but does not influence the development in monetary deepening and the role of commercial bank assets. The result also support the argument of Demirguc-Kunt and Detragiache (2001) that financial liberalization is not the most important aspect to encourage economic activities if there is lack of proper regulations and weak institutional infrastructure. The remainder of this paper is structured as follows. Section 2 presents the theoretical framework. Data are presented in Section 3. Section 4 presents methodology. Section 5 presents the results, followed by an analysis of the results. Finally, the conclusions and policy implications are presented in Section 6. 2. Theoretical Framework There are many theories about the relationship between the financial sector and the real sector. Theoretically, output and price level will respond to a change in money supply, change in bank assets and credit. Friedman and Schwartz (1963) argue that, if money supply increases, initially, money in the hand of customers will increase and make them
99
feel richer, so they will be encouraged to increase spending. Firms that produce goods and services will respond to the rise in demand by selling more products. To increase production firms need more raw materials, more labor, and other inputs. This cycle will boost aggregate consumption and production, and stimulate economic growth. However, Schwartz (1987) points out that if the money persists to increase and economic growth has reached a limit, prices will rise, and the public starts to expect a higher price level, and finally, an increase in money supply only creates inflation. Conversely, Samuelson and Nordhaus (2005) maintain that if output increases, income or return of factor productions also increases, and the public needs more money. As a result, central bank should increase money supply to fulfill the increase in money demand. Commercial banks as financial intermediaries play a key role in economic activity. According to Levine (2001), commercial banks facilitate saving mobilization, capital accumulation, and efficient allocation of funds from savers to borrowers. Consequently, the increase in the capability of banks will increase investment and boost growth. Conversely, Samuelson and Nordhaus (2005) show that bank assets are influenced by savings and time deposits, while savings are influenced by income and economic activity. King and Levine (1993b) claim that banking credit to the private sector
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
will be used in the most efficient way since the objective of the private sector is maximizing profit. The increase in efficiency will encourage productivity and output. Conversely, financial intermediaries also want to ensure profitability of their credit. Consequently, when they give credit to borrowers, the amount of credit and interest rate should be adjusted with the prospect and the risk of the creditors‘ project. Since the level of economic activity influences the success of an investment, economic growth will have an impact on the credit distributed to private sectors by the banking system. 3. Variables and Data The selection of variables as indicators of financial development is important in empirical studies related to financial development or financial liberalization. According to the World Bank (WB) and International Monetary Fund (IMF) (2005), there are several indicators of financial development in the literature. The first indicator of financial development is financial depth, where the ratio of M1 or M2 to GDP is used as a measurement of financial deepening. This indicator seems to be a poor measurement of financial development since it is based on monetary aggregates, which do not indicate the ability of the financial system to distribute funds from savers to borrowers. However, this indicator is widely used in empirical researches because of the availability of data.
100
The second indicator of financial development is the ratio of commercial bank assets to total bank assets (commercial plus central bank assets). As proposed by King and Levine (1993a), this measurement indicates the role of commercial banks in the financial system. This indicator assumes that the commercial bank will maximize profits by allocating credit to the most efficient project. So, the larger the relative importance of the commercial banks in the overall banking system, the higher the level of financial development of the country. The ratio of private sector credit to GDP is the third indicator of financial development. The World Bank (WB) and International Monetary Fund (IMF) (2005) point out that this ratio indicates properly the role of intermediaries in distributing funds from savers to borrowers. Furthermore, this indicator is based on the assumption that the private sector always tries to act efficiently in allocating and using capital. Hence, in this study, we use the ratio of M2 to GDP as an indicator of financial deepening, the ratio of commercial bank assets to total bank assets as an indicator of the role of the commercial banking sector, and the ratio of private sector credit to GDP as an indicator of an efficient allocation of funds in the economy. Then, real GDP per capita is used as an indicator of economic growth. Furthermore, following Lago-González and SalasFumás (2005), one possible channel for financial development in influencing
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
economic growth is through interest rates where, theoretically, a decrease in interest rates will encourage investment and economic growth. So, to capture this channel, the interest rate and price level are included in the vector autoregressive model. Most of the data come from the international financial statistics (IFS), covering annual data for Indonesia during the period 1968 to 2009. Some data between 1968 and 1970 are obtained from the Asian Development Bank, UN statistics, Indonesian Central Bureau of Statistics, and the Bank of Indonesia. All data but interest rate are transformed into natural log. 4. Methodology Based on this theoretical framework, we model the relationship between financial development and economic growth as:
x1t x 2t . x nt
A10 A20 . An 0
A11 ( L) A21 ( L) . An1 ( L)
A12 ( L) . . .
Where Ai0s are the parameters that represent intercepts, and Aij(L)s are the polynomial in the lag operator of L with aij(1), aij(2), aij(3),… are Aij(L)‘s individual coefficients. The terms εits represent white-noise disturbances that might be correlated. Furthermore, choosing the appropriate lag length is important for the determination of the
101
(1) FDt = f (Yt, It, Pt) Where FDt refers to financial development indicators, Yt refers to the level of economic growth, and It refers to interest rate and Pt refers to price level. However, when we use macroeconomic variables, endogeneity can be a problem. So, according to Enders (2004) treating each variable symmetrically is a common extension of transfer function analysis. In this case, a vector autoregressive framework will encounter the problem by assuming all variables involved in the model are endogenous. Furthermore Sims (1980) maintains that a VAR model will capture dynamic analysis, resolve identification problems and a VAR model is better for policy and forecasting analysis.Following Enders (2004), an n-equation VAR can be modeled as:
. A1n ( L) x1t 1 . . x 2t 1 . . . . Ann ( L) x nt 1
1t
(2)
2t
. nt
variables included in the VAR system. Following Enders (2004), although it is possible to determine each lag length for each variable, it is common to use the same lag length for all variables in order to preserve a symmetric system. But, there is a trade-off between misspecifications and degree of freedom problems. If lag length is too long it will
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
sacrifice degree of freedom, but if too short it might create misspecifications. So, to determine the appropriate lag length we use likelihood ratio tests or alternative criteria such as the Akaike information criterion (AIC) or Schwartz Bayesian criterion (SBC). The Granger causality tests enable us to
determi ne the
x1t x 2t x 3t x 4t
a10 a 20 a30 a 40
a11 a 21 a31 a 41
If we define zt = x1t and xt = (x2t GC
x3t x4t )‘ and the test that xt zt is a standard F-test with restrictions of all coefficients in xt are zero in the first equation. However, the test that zt GC
xt involves restrictions on three equations of x2t x3t x4t. Under H0 : α21 = α31 = α41= 0, the Granger causality test is the likelihood ratio test (LR) = dofc[ln|ΩR| - ln|ΩUR|], where dofc is the number observations minus the number of variables involved in the unrestricted model and |Ω| is the determinant residual covariance of the maximum likelihood estimation (MLE). Under the null hypothesis, the LR test is distributed as a χ2 with degree of freedom the number of restrictions.
102
relationship between variables included in the VAR system. Enders (2004) shows that in a multivariable case of (2), variable j does not Granger cause variable i if and only if all coefficients of Aij(L) are equal to zero. Often, we need to investigate causality among the variables in the system, for example, if we have the multivariate VAR as
a12 a 22 a32 a 42
a13 a 23 a33 a 43
a14 a 24 a34 a 44
x1t x 2t . x nt
1
1t
1
2t
. 1
`
(3)
nt
5. Results and Analysis In this study, four variables (economic growth, indicator of financial development, interest rate and price) are used in each model. Since there are three indicators of financial development, the ratio of M2 to GDP (M), the ratio of commercial bank assets to total bank assets (BA) and the ratio of private credit to GDP (PR) are used for estimation purposes. Whereas real GDP per capita (Y), nominal interest rate (I) and consumer price index (P) are used as the proxy of economic growth, interest rate level and inflation rate respectively. So, there are three main models in the relationship between financial development and economic growth as presented in
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
Table 1.
Model
Table 1 Three main models Variable
1
Y, M, I, P
2
Y, BA, I, PR
3
Y, PR, I, P
Following Enders (2004), unit root test using the Augmented Dickey Fuller (ADF) Test is the first step in testing to determine the order of integration. By definition, cointegration requires each variable included in the model to be
integrated of the same order and the order must be greater or equal to one. The results of the test presented in Table 2 suggest that except for interest rate, other variables are integrated of the order one
Table 2 Unit Root Test Variable
I(0)
I(1)
ADF Test
5 % critical value
ADF Test
5 % critical value
M
-0.58
-3.52
-5.41
-3.52
BA
-1.88
-3.52
-5.06
-3.52
PR
-1.83
-3.52
-4.01
-3.52
Y
-2.38
-3.52
-4.22
-3.52
I
-6.40
-3.52
-7.26
-3.52
P
-2.46
-3.52
-5.44
-3.52
Following Granger (1988), to investigate the relationship between economic growth and financial development, the Granger causality tests are performed. The summary of optimal lag length, and VAR
116
stationary is presented in Table 3 and the main result of Granger causality is presented in Table 4, Table 5, and Table 6 (detailed data are presented in Appendix A and Appendix B).
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
Table 3 Lag length and VAR Stability Condition Variable Optimal Criterion VAR Explanation lag Stability Y, M, I, P
1
AIC, BSC,LR, FPE
Stable
AIC, LR, FPE
Y, BA, I, P
1
AIC, BSC,LR, FPE
Stable
AIC, LR, FPE
Y, PR, I, P
1
AIC, BSC,LR, FPE
Stable
AIC, LR, FPE
Money Supply and Output In contrast to Friedman and Schwartz (1971) and Sims (1992), there is no evidence that increasing money supply in Indonesia will have a positive impact on output. The Granger causality tests presented in Error! Reference source not found. suggests that money supply does not influence interest rates and economic growth. Furthermore, the impulse response analysis (Appendix C)
indicates that output does not respond immediately to the shock in money supply. The effect of money supply shock increases in the second period, but after that, the impact declines toward zero. In addition, the impulse response analysis (Appendix C) shows that neither the lower nor upper confidence band appears to be jointly positive. Therefore we conclude that overall, there is no significant impact of change in money supply on economic growth
Table 4 GC Test of Money, Output, Interest Rate and Price
104
GC Test Money GC others
F or LR test -0.804
5 % c.v 7.815
Result Do not Reject H0
Others GC Money
0.034
2.874
Do not Reject H0
Output GC Others
0.211
7.815
Do not Reject H0
Others GC Output
1.014
2.874
Do not Reject H0
Output, Money GC Interest, Price Output, Price GC Interest, Money
0.916
9.488
Do not Reject H0
1.956
9.488
Do not Reject H0
Conclusion GC
M
Y, I, P GC
Y, I, P
M GC
Y
M, I, P GC
M, I, P
Y GC
Y, M
I, P GC
Y, P
M, I
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
GC Test Output, Interest GC Price, Money Conclusion
F or LR test -2.756
5 % c.v 9.488
Result Do not Reject H0
Conclusion GC
Y, I
P, M
Money Supply does not GC Economic Growth. Economic Growth does not GC Money Supply.
Three factors cause ineffectiveness of money supply policy in influencing economic activities in Indonesia. The first factor is the failure of the money supply instrument as a tool to influence the interest rate. Theoretically, as proposed by Ohanian and Stockman (1995) and Hoover (1995) with their liquidity effect hypothesis, the Central Bank should be able to reduce the short term interest rate that can boost economic growth via investment. However, as shown in the impulse response analysis (Appendix C), there is no significant response of interest rates due to the shock on money supply changes. Consequently, without capability of decreasing interest rate, there is no channel for money supply to
influence economic activities which lead to an increase in economic growth. The economic crisis in 1997-1998 gave additional evidenceof the ineffectiveness of money supply manipulation. Although the Central Bank doubledmoney supply in nine months, it could not prevent a fall in economic growth of about minus 15 percent. This condition was worsened by the misperception of the Central Bank about the specific economic relationship between monetary policy and its effect on economic behavior. Following McLeod (2002), the Central Bank held the view that an increase in money policy would decrease interest rates and boost economic activity. But, the data in
Figure 1 do not support this view
105
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
Figure 1 growth of money supply and interest rate 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00%
Source: International Monetary Fund, 2008. http://www.imfstatistics.org/imf/ (02/04/2008).
‗International
2008
2006
2004
interest rate
2002
2000
1998
1996
1994
Growth of M2
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
0.00%
Financial
Statistics‘,
Conversely,
Figure 1 shows that, the pattern of interest rates follows the direction of money supply growth. For example, when the money supply growth increased from 20 percent in 1994 to 28 percent in 1995, the interest rate also increased from 13 percent to 17 percent. The same pattern also happened in 19971998 where an increase in money supply growth was followed by an increase in
105
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
the interest rate. Finally, when money growth increased from 8 percent in 2004 to 16 percent in 2005, the interest rate also increased by 2 percentage basis points. One possible reason for this anomaly is the inflation expectation of the public. Indonesians are still traumatic by hyperinflation of more than 1000 percent at the end of Soekarno‘s presidency in the 1960s which destroyed the economy. As Mohamed (2000) claims, the most important factor contributing to hyperinflation was due to money printing by the Central Bank to finance the government‘s deficit. Consequently, the rise of money supply was noticed as the beginning of the increase in inflation. Furthermore, following McLeod (2002), the rise in inflation is viewed as a decrease in purchasing power and for this reason, economic agents need compensation by increasing income from deposits. On the other hand, borrowers realize there is an increase in the real future value of their debt, so they are agreeable to pay a higher interest rate. Second, the improper system of indirect monetary policy cannot absorb over-liquidity in the market. Gultom (2008c) points out that after eliminating interest rate and credit control, the Central Bank adopted an indirect monetary policy using open market operations. The Central Bank set out the operational target of base money (M0) and intermediate target of narrow money (M1) and broad money (M2). However, as pointed out by Sabirin (2003), until 1993, the Central Bank introduced the
106
‗cut-off rate‘ (COR) system in the auction of the Bank Indonesia certificate (SBI) as the money market instrument used in open market operations. Different to the ‗stop out rate‘ system (SOR) in which quantity is predetermined and the interest rate follows money market equilibrium, in COR, the Central Bank sets the SBI rates (prices) and then the money market determines the quantity of SBIs traded. The predetermined interest rate in the COR system cannot attract the market to buy SBIs since the interest rate does not represent market equilibrium. As a result, the quantity of SBIs sold are not as much as targeted, the over liquidity could not be absorbed, and the base money targeted, and hence M1 and M2 could not be achieved. This condition was worsened by the lack of transparency in the auction system in which only limited parties in the money market were involved, so there was no competitive auction system. The predetermined interest rate that did not represent market price and uncompetitive markets created inefficiency in the money market. This inefficiency led to the failure of the money supply instrument to manipulate the interest rate and therefore could not influence investment and economic activities. The lack of credibility of the Central Bank and its personnel is the third factor that influences the failure of the money supply in promoting economic growth. As argued by Tanuwidjaja and Choy (2006), credibility is important since the effect of
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
monetary policy depends on public expectations. So, if the Central Bank lacks credibility, the public responds differently to the expectation targeted by the policy. The credibility of the Central Bank in Indonesia is not good because of several corruption scandals and political pressure. For example, as noted by the Indonesian Commission againts Corruption (KPK) (2006) several governors and other executives of the Central Bank were prosecuted in court related to corruption. First, based on the investigation by the Audit Board of the Republic of Indonesia (BPK), Sudrajad Djiwandono (the Central Bank‘s Governor 1993-1998) was prosecuted related to fraud in the allocation Rp 138 trillion liquidity credit of bank of Indonesia (BLBI) for 48 banks. Second, the Bank Bali scandal on account receivable factoring caused Syahril Sabrin (Governor 1998-2003) to be put on trial. This case also involved the Minister of Finance, Bambang Subianto and a politician, AA Baramuli. Recently, Burhanuddin Abdullah (Governor 20032008) and three executives were also accused in the case of bribery. Many corruption scandals and mismanagement in the Central Bank diminished the confidence of the public in the Central Bank. As a result, when the Central Bank releases a policy, the public often responds negatively, and the objective of the policy cannot be achieved or it needs additional costs to reassure the public. An important result of this study related to monetary policy is that independence of the Central Bank does
107
not increase the effectiveness of money supply in influencing economic growth. This finding is contrary to the argument of the Indonesian House of Representatives (1999) and Pohan (2008). They claim that the position of the Central Bank under the government before 1999 caused ineffectiveness of monetary policy, since the Central Bank could not independently use its tools, such as monetary policy to achieve its objectives. In addition, as stated by the Central Bank Act No. 23 / 1999, independence of the Central Bank is necessary to implement an effective monetary policy in order to maintain and improve economic development. However, the data give a different conclusion. Including a dummy variable of 1 for the period after 1999 in the model (Appendix B) shows that the independence of the Central Bank does not increase the effectiveness of money supply policy on economic growth. The Granger causality test indicates that with independence, the money supply is still ineffective as monetary instrument to influence economic activity. Consistent with Swasono (2002), independence without credibility and transparency not only fails as a guarantee to implement effective and efficient policy, but can also create the opportunity of moral hazard of central bank‘s personnel that can dampen economic activity. Interestingly, there is one important finding in the case of Indonesia‘s economy. Differing from Schwartz (1987), the increase in money supply does not induce an increase in
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
price level. As shown in Error! Reference source not found. and in the impulse response analysis (Appendix C), the price did not respond immediately to the shock in the money. The price only responded in the second period, but it was not statistically significant and then, the effect diminished until zero at period 6. One possible explanation for this is the existence of a price control policy through a price ceiling and subsidies for important goods such as rice and petrol. Although criticized by many scholars because the price stabilization program neglects the efficiency of resource allocation, but, as pointed out by Mangkusuwondo (1973) the price
stabilization program succeeded in solving hyperinflation in the 1960s and encourage economic activity at the end of the 1960s. Furthermore Cummings et al. (2006), state that even after Soeharto‘s presidency era, price stabilization was still an important policy for political and social reasons, especially related to food availability. As a result, the effects of increasing the money supply on boosting inflation were dampened by price stabilization policy.
Table 5 shows that the growth of commercial bank assets does not have a significant impact on economic growth. Conversely, the increase in economic activity does not play a significant role in the growth of commercial bank assets.
Furthermore, the impulse response analysis suggests that, overall, there is no significant and immediate impact of economic output, interest rate and price level due to the shock on commercial bank asset growth.
Bank Assets and Output The presented
Granger
causality
test in
Table 5 GC Test of Bank Assets, Output, and Interest Rate, Price GC Test
108
Bank assets GC others
For LR test 4.298
5 % critical value 7.815
Result
Conclusion
Do not Reject H0
Others GC Bank assets
0.274
2.874
Do not Reject H0
Output GC Others
3.180
7.814
Do not Reject H0
Others GC Output
1.495
2.874
Do not Reject H0
Output, Bank assets GC Interest, Price Output, Price GC Interest, Bank assets Output, Interest GC Price, Bank assets Conclusion
6.371
9.488
Do not Reject H0
6.891
9.488
Do not Reject H0
0.86
9.49
Do not Reject H0
GC
BA
Y, I, P GC
Y, I, P
BA GC
Y
BA, I, P GC
BA, I, P
Y GC
Y, BA
I, P GC
Y, P
BA, I GC
Y, I
P, BA
Bank assets does not GC Economic Growth. Economic Growth does not GC Bank assets.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
In contrast to Gultom (2008a), development of the financial sector as represented by the banking system does not have positive effect on economic growth. Three possible reasons cause ineffectiveness of growth in commercial bank assets in promoting economic activities. The first is the blanket guarantee of the Central Bank to prevent systemic failure of banking industries. This implicit guarantee creates moral hazard of banking management in transferring credit risk to the Central Bank. Banking industries tended to get excessive loans from foreign countries and gave credit to high-risk investments. As a result many banks had huge assets but poor performance. Fane and McLeod (2001) suggest that a possible reason for the relatively poor performance of the large banks is the confidence of those banks that they were ―too large to be allowed to fail‖ due to the political and social impact of the large bank liquidation. The data presented by Suta and Musa (2003) support the argument of Fane and McLeod (2001). For instance, the liquidity credit of the Central Bank (BLBI) was given when a bank faced a problem of insolvency or liquidity and data in June 1997 demonstrated that the seven biggest debtors of BLBI that received 15.6 percent of total BLBI were the large banks with total assets on average of more than Rp 5 trillion. At the same time, total BLBI received by seven small categorized banks was only 0.40 percent of the total BLBI. The chronic problem
108
in the banking sector diminished the capability of preventing the banking crisis that led to a financial crisis and eliminated the opportunity to promote growth. So, the evidence indicates that larger assets of a bank without an increase in performance increase the probability of insolvency and larger costs for bailing out, hence have a negative impact on the economy. Second, most commercial banks were unable to accomplish their normal function as intermediary institutions. Djiwandono (2005) notes that in the period before the 1997 crisis, many large banks tended to get excessive foreigndenomination loans from foreign financial institutions and allocated the credit to their own groups. As a result, large assets without prudent banking management and good corporate governance increased the level of nonperforming loans. After the financial crisis, the commercial banks were still unable to improve their functions as efficient intermediary institutions. But, the reason was the low capability of the real sector to absorb credit from the banking system and anxiety about the high-risk credit. As noted by Sunarto (2007) the loan to deposit ratio (LDR) of commercial banks in 1999-2003 were only between 45 percent ant 56 percent on average. Commercial banks tended to invest the liquidity surplus in Bank Indonesia certificates (SBI), inter-bank lending, and government bonds. For example, in October 2002, from available deposits of about Rp 821
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
trillion, the commercial banks invested more than Rp 400 trillion in government bonds. Low capability of distributing credit is one reason for the ineffectiveness of growth in bank assets to boost economic activity. The third possible reason is that the process of banking reform in Indonesia was a more intricate process in political terms rather than based on economic and efficiency considerations. For example, Rosser (2002) states that in 1967 the government tried to boost economic growth by banking sector deregulation that enabled private foreign and domestic banks to give credit. However, the deregulation did not eliminate financial repression such as credit and interest rate control. Pangestu (1996) demonstrates that although the credit from private foreign and domestic banks grew significantly between 1974 and 1978, the state bank still dominated almost 90 percent of the total credit. Furthermore Rosser (2002) points out that the main problem of this domination was in the process of credit allocation where politicians and bureaucrats involved in the decisions on what level of interest rate subsidies and which groups and sectors would be qualified for the subsidized credit. Consequently, the control of politico-bureaucrats led to moral hazard and rent-seeking activities. Further banking reforms implemented in 1983 could not improve the fundamental condition of the banking sector as the anchor of financial stability. The involvement of bureaucrats and the family and conglomerates affiliated with
109
Soeharto‘s cronies often influenced the decisions of major financial transactions. This condition was worsened by the lack of banking supervision and inadequate human resources in the banking sector. As a result, many deregulations of the banking sector failed to increase efficiency and encourage economic growth. Another important aspect that contributes to the ineffectiveness of commercial bank assets in promoting economic growth is the failure of growth in commercial bank assets in influencing interest rate. As indicated by the impulse response analysis (Appendix C), the interest rate responds negatively on the shock of bank assets in the first and second periods, but in general the response is not statistically significant. Theoretically, as argued by LagoGonzález and Salas-Fumás (2005), large banks have more flexible alternatives to choose the best debtors and the most prospective projects because they have more capital and more bargaining power than the small banks. Consequently, better opportunities induce efficiency and enable large banks to adjust their interest rate. However, differing from Lago-González and Salas-Fumás (2005), larger assets and market power of Indonesia‘s commercial banks fail to decrease interest rates. Moral hazard, lack of banking supervision, and ignorance of prudent banking management cause inefficiency in the banking sector. So, although the large banks have more choices to allocate credit in the most efficient way, these
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
three factors prevent the banking sector to cut the interest rate. Failure of the interest rate adjustment causes failure of promoting investment which hampers the ability of Indonesia‘s banking sector to play a key role in promoting economic growth.
Differing from many empirical results such as McCaig and Stengos (2005) and Thangavelu et al. (2004), the growth credit of the private sector does not have a positive impact on economic growth in Indonesia. The result of the Granger causality test presented in
Private Credit and Output
Table 6 demonstrates that at 5
percent significance level, the test statistic does not reject the null hypothesis that private credit does not Granger cause economic growth. Moreover, the impulse response analysis
(Appendix C) shows that overall, there is no significant impact of output as a response to the shock in private credit growth. Conversely, the private credit sector has a positive significant response with the lag of one period on the shock of output, before diminishing in period 6.
Table 6 GC Test of Private Credit, Output, Interest rate and Price GC Test
For LR test
Private credit GC others Others GC Private credit Output GC Others
-0.848
5% critical value 7.815
10.27
2.874
Do not Reject H0 Reject H0
16.03
7.815
Reject H0
Others GC Output
0.661
2.874
Output, Private credit GC Interest, Price Output, Price GC Interest, Private credit Output, Interest GC Price, Private credit Conclusion
0.656
9.488
20.21
9.488
Do not Reject H0 Do not Reject H0 Reject H0
15.82
9.488
Reject H0
Conclusion GC
PR
Y, I, P GC
Y, I, P
PR
GC
Y
PR, I, P GC
PR, I, P
Y GC
Y, PR
I, P GC
Y, P
PR, I GC
Y, I
P, PR
Private credit does not GC Economic Growth. Economic Growth GC Private credit.
Three main factors influence the ineffectiveness of private credit growth to encourage economic activities. The
110
Result
first is an aggressive credit expansion with fundamental weaknesses of the banking sector. As Gultom (2008a) Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
points out, the weaknesses consist of the lack in banking supervision, human resource management and the moral hazard of conglomerate-owned banks in violating legal limit lending to their own group. For example, according to Suta and Musa (2003), 92 sample banks that represent 85 percent of total assets in the banking system surveyed in June 1997 related to insolvency problems. From these banks, only 14 were categorized as sound and healthy. This indicates that there were systemic problems in the banking system mainly due to the lack of bank supervision and human resource management. In addition, violation of the legal lending limit worsened the condition of the banking sector in which from seven major banks involved in the liquidity credit of the Central Bank (BLBI), six were conglomerate-owned banks. These conditions led to an escalation in non-performing loans (NPL) averaging more than 10 percent during 1994-1996. Increasing large NPL in the banking sector worsens the condition of banks by reducing their profits, weakens their capability to offer other credit, decreases investment and hampers economic growth. Second, lack of law enforcement and business certainty dampened the effect of private credit in promoting economic growth. Consistent with the empirical results of Djankov et al. (2006), a strong legal system and law enforcement will protect both creditors and debtors. Then, certainty in the business environment will improve efficiency by reducing default risk,
112
attracting investment, and promoting economic growth. However, the weak legal system and poor decisions from legal institutions in Indonesia increase the risk of default, and create a high-cost economy due to inefficiency. For instance, as claimed by a prominent foreign business, James Castel (cited in Athukorala (2002), the case of Dharmala-Manulife insurance shows that there is almost no legal security for doing business in Indonesia. This case was controversial since without legal and rational reasons, the supreme court of Indonesia declared the bankruptcy of Manulife insurance related to the legal suit from Dharmala Corporation. In addition, this case created uncertainty for foreign investment, and increased the cost and default risk in Indonesia‘s banking system due to the poor decision from the legal institution. An increase in default risk encourages creditors to increase interest rates, increases the cost of accessing debtors‘ information and consequently creates additional inefficiency. As a result, increasing private credit without reducing the cost of capital due to high default risk dampens productivity and economic growth. The third factor that plays a key role in ineffectiveness of private credit is the failure of the Central Bank and the government to recognize the fundamental weaknesses of the banking sector. This condition is worsened by the irresponsiveness of these institutions to take corrective action to improve banking conditions. For example, Suta
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
and Musa (2003) note that several years before crisis, there was an aggressive and sharp increase in outstanding credit. However, the credit was allocated to the private sector in domestic currency, but the source of credit was obtained from foreign creditors in the foreign currency. This condition was aggravated by the fact that the liabilities side of the banking sector was dominated by short-term loans, while the assets side was mostly made up of middle and long-term credits. However, the policy makers did not realize this and did not respond and act properly to overcome the risk. Since the government still implemented full financial liberalization with a fixed exchange rate policy, the banking sector continued to obtain funds from overseas without control and hedge position, and therefore increased exchange rate risk. Consequently, when the financial crisis hit Indonesia, the rupiah depreciated sharply and the asset-liabilities ratio of the banking sector decreased significantly toward insolvency. On December 1998 almost all banks in Indonesia suffered huge losses of up to 12 percent of GDP. When the banking sector collapsed, the capability of allocating credit was eliminated, and the real sector went bankrupt since the working capital was no longer available. This condition decreased productivity and impeded economic growth. 6. Conclusions and Policy Implications Differing from empirical research in developed countries, where
113
the financial systems are well-behaved, the empirical test results using all three financial development indicators (financial in-depth, commercial bank assets and credit allocated to private sector) suggest that financial development in Indonesia does not play a key role in promoting economic growth. Many factors influence this failure, but the most important aspect is the failure of the financial system to adjust the interest rate as one channel in promoting investment and economic growth. This failure is mainly due to fundamental weaknesses in Indonesia‘s financial system. These weaknesses are lack in the credibility, lack of the regulation, lack of law enforcement and weak implementation of good corporate governance. First, lack in the Central Bank‘s credibility diminishes the public confidence related to the policy objectives. Inconsistency of implementing and achieving target and involvement of several ministers and governors of the Central Bank in several banking scandals decreases significantly the trust of public in the monetary policy. The loss of confidence creates irresponsiveness of the public and they ignore central bank announcements and policy actions. As a result, a monetary policy such as an increase in money supply does not have a positive impact on the economy. Lack of credibility also encourages commercial bank personnel to disobey the prudent principles both in obtaining funds and allocating credit. They are confident that the monetary
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
regulator will not give sanctions or penalties for rule violations. Second, lack of the financial regulation decreases the effectiveness of banking supervision. Transactions and operations in the banking sector change rapidly, but the Central Bank often does not adjust the regulation immediately to follow the development in the banking sector. The inability to take corrective action accurately and timely tends to encourage banks and financial institutions to disregard prudential regulations and sound management. Implementing the blanket guarantee without sufficient supervision and allowing banking sectors in pre-crisis 1997 to borrow funds without hedging were evidences of insufficient supervision and irresponsible regulation. Third, lack of law enforcement creates uncertainty in business and financial transactions. Inexistence of penalties related to violation of legal limit lending by conglomerate-owned banks increased non-performing loans that reduced banks‘ profits significantly. The inability of the legal system to protect debtors in the case of default increases default risk and the banking sector compensates the risk by increasing interest rate which hampers economic growth. Finally, weak implementation of good corporate governance both in the financial and real sector diminishes the function of the banking sector as an intermediary institution. This decreases productive assets of banks and increases the risk of defaults and bankruptcy.
114
Consequently, the growth of commercial bank assets is not in accordance with the health of banks and cannot encourage economic activities. An increase in credit allocated to the private sector cannot promote economic growth due to weaknesses in the managerial capability of the banking sector and operational ability of the real sector. Lacks of fundamental factors in the financial system are the main reasons for the ineffectiveness of financial development in promoting economic growth. So, there are several implications for monetary and financial policy. First, strengthening law enforcement will give a certainty to business environment and improve the credibility of regulatory institutions such as the Central Bank. Law enforcement can protect creditors by decreasing the default risk and prevent moral hazard of debtors. With a good legal system creditors can obtain their right to sell credit collateral to repay unpaid loans. This is not easy one because it involves not only the financial sector but also the judicial system, the government and general awareness of the public. However, the financial sector can improve this condition by increasing cooperation with Indonesian Commission against Corruption (KPK). Supporting data for corruption cases and knowing bank customers are two examples of action that can be taken by the financial sector. Second, implementing the policy consistently can improve the Central Bank‘s credibility. For example, after
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
announcing the inflation target and communicating the policy to the public, the Central Bank should consistently try to achieve the target. If there is failure of the target, and the Central Bank cannot provide evidences that it is not its responsibility, there should be penalties to the management of central bank, such as resignation. Another factor that can improve credibility is increasing the transparency process of implementing the Central Bank‘s policy. For instance, establishing the independent commission to evaluate and supervise the Central Bank performance is one tool to prevent moral hazard of the Central Bank personnel. This commission cannot intervene to the monetary policy of the Central Bank, but it must ensure that the Central Bank implements its policy properly. Third, improvement in banking regulations is important to prevent moral hazard and mismanagement in the banking sector. Many banks ignored the lending rule, so the Central Bank should improve the standards, procedures, and transparency of the lending process. In particular, a blanket guarantee should not be given automatically to all banks, but it must be considered on a case-by-case basis. For example, banks that want to get a blanket guarantee are obligated to send data on a specific loan-by-loan basis. Then, only the credit allocated in proper manner that can be included in the guarantee. Next, the Central Bank should strengthen the bank supervision by increasing the quality and integrity of supervisors, improving transparency and
115
efficiency in supervision process, and taking corrective action and enforcement for violation of regulation. Finally, to implement good corporate governance, more transparent financial reports of banks as creditors and firms as debtors is important. In the banking sector, the clear disclosure of risky and long term investment such as credit to its own group and to the real estate sector will enable stakeholders to monitor the banking condition. The full disclosure of non-performing loans, including its major debtors and the amount of loans can prevent moral hazard of banking personnel and debtors. The data of non-performing loans also enable the Central Bank as banking supervisor to take corrective action timely and properly. Similarly, an obligation to provide full disclosure of financial reports for borrowers will enable banks to evaluate and give credit only for feasible project. Furthermore, improvement in accounting and auditing procedures is another instrument to increase the transparency of debtors. Together with a good legal system, adequate financial statement disclosures will decrease the default risk and consequently will be beneficial to the real sector in the form of lower interest rate. Although this study uses a comprehensive measurement of financial development and its relationship to economic growth, there are some limitations. Unavailability of longer and more detail data of financial development is the major limitation in
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
this study. Including development in the capital market as another important source of obtaining fund in the economy is another improvement to study comprehensively about the relationship between financial development and growth. However, since the capital market in Indonesia was inactive before 1990 there is no data to be compared for
deeper analysis. Another possible study for enrichment in this area is finding the factors that influence economic growth in Indonesia. Preliminary research (Appendix D) by the author of this paper indicates that international trade and foreign direct investment play an important role in promoting growth in Indonesia.
Appendices Appendix A. Lag Length Test, VAR Estimates, and its Stability A.1. Money Supply, Output, Interest Rate and Price VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: DLM DLY DI DLP Exogenous variables: C Date: 10/28/10 Time: 13:23 Sample: 1968 2009 Included observations: 37 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3 4
4.019640 21.52746 28.96545 37.78502 49.14120
NA 30.28380* 11.25749 11.44161 12.27695
1.17E-05 1.09E-05* 1.79E-05 2.87E-05 4.38E-05
-0.001062 -0.082565* 0.380246 0.768377 1.019395
0.173092* 0.788201 1.947626 3.032370 3.980000
0.060336* 0.224420 0.932821 1.566541 2.063147
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion Vector Autoregression Estimates Date: 10/28/10 Time: 13:27 Sample(adjusted): 1970 2009 Included observations: 40 after adjusting endpoints Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DLM(-1)
DLY(-1)
116
SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
DLM
DLY
DI
DLP
0.222820 (0.16030) [ 1.39005]
0.051041 (0.04934) [ 1.03448]
-12.93158 (10.5780) [-1.22250]
0.046494 (0.23687) [ 0.19629]
0.073131
0.326764
61.12597
-0.428458
Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: DLM DLY DI DLP Exogenous variables: C Lag specification: 1 1 Date: 10/28/10 Time: 13:28 Root
Modulus
0.326025 0.198498 -
0.326025 0.267038
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif (0.56387) [ 0.12969]
(0.17356) [ 1.88267]
(37.2100) [ 1.64273]
(0.83323) [-0.51421]
0.000613 (0.00239) [ 0.25664]
-0.000491 (0.00074) [-0.66750]
0.261768 (0.15762) [ 1.66072]
0.002347 (0.00353) [ 0.66499]
DLP(-1)
-0.020379 (0.11599) [-0.17569]
0.046290 (0.03570) [ 1.29652]
-9.932701 (7.65441) [-1.29764]
-0.343647 (0.17140) [-2.00490]
C
0.033219 (0.03569) [ 0.93076]
0.016505 (0.01099) [ 1.50239]
-1.292877 (2.35520) [-0.54895]
0.185627 (0.05274) [ 3.51970]
0.054589 -0.053458 0.464584 0.115212 0.505233 32.35229 -1.367615 -1.156505 0.043310 0.112251
0.154254 0.057597 0.044017 0.035463 1.595896 79.48367 -3.724183 -3.513073 0.038220 0.036531
0.200579 0.109217 2023.124 7.602865 2.195427 -135.2279 7.011396 7.222506 -1.273000 8.055478
0.109913 0.008189 1.014466 0.170249 1.080498 16.73281 -0.586640 -0.375530 0.123750 0.170950
DI(-1)
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant Residual Covariance Log Likelihood (d.f. adjusted) Akaike Information Criteria Schwarz Criteria
0.178628i 0.198498 + 0.178628i -0.255314
0.267038 0.255314
No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
2.08E-05 -11.46264 1.573132 2.417571
A.2. Bank Assets, Output, Interest Rate and Price VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: DLB DLY DI DLP Exogenous variables: C Date: 10/29/10 Time: 16:02 Sample: 1968 2009 Included observations: 38 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3
20.95293 39.26375 45.83960 55.83393
NA 31.80299* 10.03683 13.15044
4.82E-06 4.29E-06* 7.26E-06 1.08E-05
-0.892260 -1.013882* -0.517874 -0.201786
-0.719882* -0.151994 1.033524 2.039121
-0.830929* -0.707229 0.034102 0.595512
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
Vector Autoregression Estimates Date: 10/29/10 Time: 16:05 Sample(adjusted): 1970 2009 Included observations: 40 after adjusting endpoints Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
117
Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: DLB DLY DI DLP Exogenous variables: C Lag specification: 1 1 Date: 10/29/10 Time: 16:06
DLB
DLY
DI
DLP
DLB(-1)
-0.006734 (0.16399) [-0.04106]
0.111338 (0.07133) [ 1.56083]
-39.35577 (14.4513) [-2.72333]
-0.311905 (0.34506) [-0.90391]
DLY(-1)
0.062063 (0.40600) [ 0.15286]
0.246782 (0.17660) [ 1.39741]
88.72501 (35.7775) [ 2.47991]
-0.229344 (0.85428) [-0.26846]
Root 0.281131 - 0.178489i 0.281131 + 0.178489i -0.303840 -0.134586
Modulus 0.333006 0.333006 0.303840 0.134586
No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
DI(-1)
-0.000809 (0.00167) [-0.48566]
-0.000407 (0.00072) [-0.56152]
0.229135 (0.14684) [ 1.56046]
0.002000 (0.00351) [ 0.57056]
DLP(-1)
-0.042968 (0.08054) [-0.53348]
0.045573 (0.03503) [ 1.30083]
-9.779217 (7.09749) [-1.37784]
-0.345347 (0.16947) [-2.03780]
C
0.020719 (0.02401) [ 0.86280]
0.019613 (0.01045) [ 1.87768]
-2.108414 (2.11616) [-0.99634]
0.187421 (0.05053) [ 3.70920]
0.023891 -0.087665 0.224158 0.080028 0.214160 46.92816 -2.096408 -1.885298 0.018728 0.076735
0.185115 0.091985 0.042411 0.034810 1.987713 80.22711 -3.761356 -3.550246 0.038220 0.036531
0.312191 0.233585 1740.664 7.052181 3.971560 -132.2204 6.861019 7.072129 -1.273000 8.055478
0.129260 0.029747 0.992415 0.168389 1.298923 17.17232 -0.608616 -0.397506 0.123750 0.170950
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant Residual Covariance Log Likelihood (d.f. adjusted) Akaike Information Criteria Schwarz Criteria
7.37E-06 9.339298 0.533035 1.377475
A.3. Private Credit, Output, Interest Rate and Price VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: DLPR DLY DI DLP Exogenous variables: C Date: 11/01/10 Time: 08:34 Sample: 1968 2009 Included observations: 38 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3
-9.991969 17.61812 26.39093 33.26999
NA 47.95437* 13.39008 9.051389
2.45E-05 1.34E-05* 2.02E-05 3.53E-05
0.736419 0.125362* 0.505740 0.985790
0.908797* 0.987249 2.057138 3.226697
0.797750 0.432015* 1.057716 1.783088
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion Vector Autoregression Estimates Date: 11/01/10 Time: 08:39 Sample(adjusted): 1970 2009 Included observations: 40 after adjusting endpoints Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
118
SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: DLPR DLY DI DLP Exogenous variables: C Lag specification: 1 1 Date: 11/01/10 Time: 08:40
DLPR
DLY
DI
DLP
DLPR(-1)
0.183243 (0.10473) [ 1.74963]
-0.006714 (0.02617) [-0.25651]
-6.509803 (5.54111) [-1.17482]
-0.018713 (0.12391) [-0.15102]
DLY(-1)
2.844484 (0.71699)
0.328780 (0.17917)
71.29975 (37.9339)
-0.410228 (0.84830)
Root
Modulus
0.404476 -0.268638 0.143412 - 0.183920i 0.143412 + 0.183920i
0.404476 0.268638 0.233224 0.233224
No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif [ 3.96725]
[ 1.83496]
[ 1.87958]
[-0.48359]
DI(-1)
-0.005931 (0.00299) [-1.98472]
-0.000534 (0.00075) [-0.71495]
0.256811 (0.15811) [ 1.62425]
0.002283 (0.00354) [ 0.64582]
DLP(-1)
-0.062834 (0.14513) [-0.43294]
0.044712 (0.03627) [ 1.23281]
-10.24091 (7.67851) [-1.33371]
-0.346171 (0.17171) [-2.01600]
C
-0.082138 (0.04321) [-1.90072]
0.019440 (0.01080) [ 1.80015]
-1.906423 (2.28634) [-0.83383]
0.188500 (0.05113) [ 3.68679]
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
0.545793 0.493883 0.725033 0.143928 10.51433 23.45081 -0.922541 -0.711431 0.038815 0.202311
0.130030 0.030605 0.045278 0.035967 1.307823 78.91888 -3.695944 -3.484834 0.038220 0.036531
0.198068 0.106418 2029.481 7.614799 2.161146 -135.2907 7.014533 7.225643 -1.273000 8.055478
0.109513 0.007743 1.014921 0.170287 1.076087 16.72383 -0.586192 -0.375082 0.123750 0.170950
Determinant Residual Covariance Log Likelihood (d.f. adjusted) Akaike Information Criteria Schwarz Criteria
2.83E-05 -17.55101 1.877550 2.721990
Appendix B. Granger Causality Test B.1. Relationship Between Money, Output, Interest Rate and Price GC Test Money GC others
F or LR test -0.804
5 % c.v 7.815
Result Do not Reject H0
Others GC Money
0.034
2.874
Do not Reject H0
Output GC Others
0.211
7.815
Do not Reject H0
Others GC Output
1.014
2.874
Do not Reject H0
Interest GC Others
-2.188
7.815
Do not Reject H0
Others GC Interest
2.636
2.874
Do not Reject H0
Output, Money GC Interest, Price Output, Price GC Interest, Money Output, Interest GC Price, Money Conclusion
0.916
9.488
Do not Reject H0
1.956
9.488
Do not Reject H0
-2.756
9.488
Do not Reject H0
Conclusion GC
M
Y, I, P GC
Y, I, P
M GC
Y
M, I, P GC
M, I, P
Y GC
I
M, Y, P GC
M, Y, P
I GC
Y, M
I, P GC
Y, P
M, I GC
Y, I
P, M
Money Supply does not GC Economic Growth. Economic Growth does not GC Money Supply.
B.2. Relationship Between Bank Assets, Output, Interest Rate and Price
119
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
GC Test
5 % c.v
Result
Bank assets GC others
F or LR test 4.298
Conclusion
7.815
Do not Reject H0
Others GC Bank assets
0.274
2.874
Do Not Reject H0
Output GC Others
3.180
7.814
Do not Reject H0
Others GC Output
1.495
2.874
Do not Reject H0
Interest GC Others
-2.341
7.814
Do not Reject H0
Others GC Interest
4.957
2.874
Reject H0
Output, Bank assets GC Interest, Price Output, Price GC Interest, Bank assets Output, Interest GC Price, Bank assets Conclusion
6.371
9.488
Do not Reject H0
6.891
9.488
Do not Reject H0
0.86
9.49
Do not Reject H0
GC
BA
Y, I, P GC
Y, I, P
BA GC
Y
BA, I, P GC
BA, I, P
Y GC
I
BA, I, P GC
BA, I, P
I
GC
Y, BA
I, P GC
Y, P
BA, I GC
Y, I
P, BA
Bank assets does not GC Economic Growth. Economic Growth does not GC Bank assets.
B.3. Relationship Between Private Credit, Output, Interest Rate and Price GC Test
120
5 % c.v
Result
Private credit GC others
F or LR test -0.848
Conclusion
7.815
Do not Reject H0
Others GC Private credit
10.27
2.874
Reject H0
Output GC Others
16.03
7.815
Reject H0
Others GC Output
0.661
2.874
Do not Reject H0
Interest GC Others
0.927
7.815
Do not Reject H0
Others GC Interes
2.591
2.874
Do not Reject H0
Output, Private credit GC Interest, Price Output, Price GC Interest, Private credit Output, Interest GC Price, Private credit Conclusion
0.656
9.488
Do not Reject H0
20.21
9.488
Reject H0
15.82
9.488
Reject H0
GC
PR
Y, I, P GC
Y, I, P
PR GC
Y
PR, I, P GC
PR, I, P
Y GC
I
PR, Y, P GC
PR, Y, P
I GC
Y, PR
I, P GC
Y, P
PR, I GC
Y, I
P, PR
Private credit does not GC Economic Growth. Economic Growth GC Private credit.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
B.4. Relationship Between Money, Output, Interest Rate and Price using dummy variable (BI’s Independence) GC Test Money GC others
F or LR test -0.270
5 % c.v 7.815
Result Do not Reject H0
Others GC Money
0.125
2.883
Do not Reject H0
Output GC Others
0.096
7.815
Do not Reject H0
Others GC Output
1.275
2.883
Do not Reject H0
Money, Interest GC Output, Price Conclusion
-1.582
9.848
Do not Reject H0
Conclusion GC
M
Y, I, P GC
Y, I, P
M GC
Y
M, I, P GC
M, I, P
Y GC
M, I
y, P
With Central Bank,s Independence : Money Supply does not GC Economic Growth, Economic Growth does not GC Money Supply.
Appendix C. Impulse Response C.1. Money Supply, Economic Growth, Interest Rate, and Price
Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E. Response of DLM to DLM
Response of DLM to DLY
Response of DLM to DI
Response of DLM to DLP
.16
.16
.16
.16
.12
.12
.12
.12
.08
.08
.08
.08
.04
.04
.04
.00
.00
.00
.00
-.04
-.04
-.04
-.04
-.08
-.08 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
.04
-.08 1
2
Response of DLY to DLM
3
4
5
6
7
8
9
10
-.08 1
2
Response of DLY to DLY
3
4
5
6
7
8
9
10
1
.05
.05
.05
.04
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.01
-.02
-.02
-.02
-.02
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
Response of DI to DLM
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
12
12
12
8
8
8
4
4
4
4
0
0
0
0
-4
-4
-4
-4
-8 3
4
5
6
7
8
9
10
-8 1
2
Response of DLP to DLM
3
4
5
6
7
8
9
10
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
.3
.3
.3
.2
.2
.2
.1
.1
.1
.1
.0
.0
.0
-.1
-.1
-.2 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2
3
4
5
6
7
8
9
10
8
9
10
3
4
5
6
7
8
9
10
3
4
5
6
7
8
9
10
.0
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010 -.1
-.2 1
7
Response of DLP to DLP
.2
-.2
2
Response of DLP to DI
.3
-.1
6
-8 1
Response of DLP to DLY
121
5
Response of DI to DLP
8
2
2
Response of DI to DI
12
1
4
.01
Response of DI to DLY
-8
3
Response of DLY to DLP
.05
1
2
Response of DLY to DI
-.2 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Muh Dularif
C.1.1. (DLM DLY DI DLP) C.1.2. (DLY DLM DI DLP) Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E. Response of DLY to DLY
Response of DLY to DLM
Response of DLY to DI
Response of DLY to DLP
.05
.05
.05
.05
.04
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.01
-.02
-.02
-.02
-.02
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
Response of DLM to DLY
3
4
5
6
7
8
9
10
.01
1
2
Response of DLM to DLM
3
4
5
6
7
8
9
10
1
.16
.16
.16
.12
.12
.12
.12
.08
.08
.08
.08
.04
.04
.04
.04
.00
.00
.00
.00
-.04
-.04
-.04
-.04
-.08 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
-.08 1
2
Response of DI to DLY
3
4
5
6
7
8
9
10
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
12
12
12
8
8
8
4
4
4
4
0
0
0
0
-4
-4
-4
-4
-8 3
4
5
6
7
8
9
10
-8 1
2
Response of DLP to DLY
3
4
5
6
7
8
9
10
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
.3
.3
.3
.2
.2
.2
.1
.1
.1
.1
.0
.0
.0
.0
-.1
-.1
-.1
-.1
-.2 3
4
5
6
7
8
9
10
-.2 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
7
8
9
10
3
4
5
6
7
8
9
10
3
4
5
6
7
8
9
10
9
10
Response of DLP to DLP
.2
2
2
Response of DLP to DI
.3
1
6
-8 1
Response of DLP to DLM
-.2
5
Response of DI to DLP
8
2
2
Response of DI to DI
12
1
4
-.08 1
Response of DI to DLM
-8
3
Response of DLM to DLP
.16
-.08
2
Response of DLM to DI
-.2 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
C.2. Bank Assets, Economic Growth, Interest Rate, and Price C.2.1. (DLB DLY DI DLP)
122
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E. Response of DLB to DLB
Response of DLB to DLY
Response of DLB to DI
Response of DLB to DLP
.12
.12
.12
.12
.08
.08
.08
.08
.04
.04
.04
.04
.00
.00
.00
-.04
-.04 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
.00
-.04 1
2
Response of DLY to DLB
3
4
5
6
7
8
9
10
-.04 1
2
Response of DLY to DLY
3
4
5
6
7
8
9
10
1
.05
.05
.05
.04
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.01
-.02
-.02
-.02
-.02
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
Response of DI to DLB
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
Response of DI to DLY
4
5
6
7
8
9
10
1
8
8
4
4
4
0
0
0
0
-4
-4
-4
-4
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
Response of DLP to DLY
3
4
5
6
7
8
9
10
1
.3
.3
.3
.2
.2
.2
.1
.1
.1
.1
.0
.0
.0
.0
-.1
-.1
-.1
-.1
-.2 2
3
4
5
6
7
8
9
10
-.2 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
6
7
8
9
10
4
5
6
7
8
9
10
3
4
5
6
7
8
9
10
9
10
Response of DLP to DLP
.2
1
3
2
Response of DLP to DI
.3
-.2
5
Response of DI to DLP
8
Response of DLP to DLB
2
Response of DI to DI
4
2
4
.01
8
1
3
Response of DLY to DLP
.05
1
2
Response of DLY to DI
-.2 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
C.2.2 (DLY DLB DI DLP) Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E. Response of DLY to DLY
Response of DLY to DLB
Response of DLY to DI
Response of DLY to DLP
.05
.05
.05
.05
.04
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.01
-.02
-.02 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
.01
-.02 1
2
Response of DLB to DLY
3
4
5
6
7
8
9
10
-.02 1
2
Response of DLB to DLB
3
4
5
6
7
8
9
10
1
.10
.10
.10
.08
.08
.08
.08
.06
.06
.06
.06
.04
.04
.04
.04
.02
.02
.02
.00
.00
.00
.00
-.02
-.02
-.02
-.02
-.04 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2
Response of DI to DLY
3
4
5
6
7
8
9
10
2
Response of DI to DLB
3
4
5
6
7
8
9
10
1
8
8
4
4
4
0
0
0
0
-4
-4
-4
-4
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
Response of DLP to DLB
3
4
5
6
7
8
9
10
1
.3
.3
.3
.2
.2
.2
.1
.1
.1
.1
.0
.0
.0
.0
-.1
-.1
-.1
-.1
-.2 2
3
4
5
6
7
8
9
10
-.2 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
7
8
9
10
3
4
5
6
7
8
9
10
3
4
5
6
7
8
9
10
9
10
Response of DLP to DLP
.2
1
2
Response of DLP to DI
.3
-.2
6
Response of DI to DLP
8
Response of DLP to DLY
2
Response of DI to DI
4
2
5
-.04 1
8
1
4
.02
-.04 1
3
Response of DLB to DLP
.10
-.04
2
Response of DLB to DI
-.2 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
C.3. Bank Assets, Economic Growth, Interest Rate, and Price
123
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
C.3.1. (DLPR DLY DI DLP) Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E. Response of DLPR to DLPR
Response of DLPR to DLY
Response of DLPR to DI
Response of DLPR to DLP
.20
.20
.20
.20
.15
.15
.15
.15
.10
.10
.10
.10
.05
.05
.05
.05
.00
.00
.00
.00
-.05
-.05
-.05
-.05
-.10
-.10
-.10
-.10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
Response of DLY to DLPR
4
5
6
7
8
9
10
1
2
Response of DLY to DLY
3
4
5
6
7
8
9
10
1
.05
.05
.04
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.01
-.02 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2
3
Response of DI to DLPR
4
5
6
7
8
9
10
2
Response of DI to DLY
3
4
5
6
7
8
9
10
1
8
8
4
4
4
0
0
0
0
-4
-4
-4
-4
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
Response of DLP to DLY
3
4
5
6
7
8
9
10
1
.20
.20
.20
.15
.15
.15
.10
.10
.10
.10
.05
.05
.05
.00
.00
.00
.00
-.05
-.05
-.05
-.05
-.10
-.10
-.10
-.10
-.15 2
3
4
5
6
7
8
9
10
2
3
4
5
6
7
8
9
10
8
9
10
3
4
5
6
7
8
9
10
3
4
5
6
7
8
9
10
9
10
9
10
.05
-.15 1
7
Response of DLP to DLP
.15
1
2
Response of DLP to DI
.20
-.15
6
Response of DI to DLP
8
Response of DLP to DLPR
2
Response of DI to DI
4
2
5
-.02 1
8
1
4
.01
-.02 1
3
Response of DLY to DLP
.05
-.02
2
Response of DLY to DI
.05
-.15 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
C.3.2. (DLY DLPR DI DLP) Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E. Response of DLY to DLY
Response of DLY to DLPR
Response of DLY to DLP
.05
.05
.05
.04
.04
.04
.04
.03
.03
.03
.03
.02
.02
.02
.02
.01
.01
.01
.00
.00
.00
.00
-.01
-.01
-.01
-.01
-.02
-.02 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
.01
-.02 1
Response of DLPR to DLY
2
3
4
5
6
7
8
9
10
-.02 1
2
Response of DLPR to DLPR
3
4
5
6
7
8
9
10
1
.25
.25
.25
.20
.20
.20
.15
.15
.15
.15
.10
.10
.10
.10
.05
.05
.05
.00
.00
.00
.00
-.05
-.05
-.05
-.05
-.10 2
3
4
5
6
7
8
9
10
2
Response of DI to DLY
3
4
5
6
7
8
9
10
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
12
12
12
8
8
8
4
4
4
4
0
0
0
0
-4
-4
-4
-4
-8 3
4
5
6
7
8
9
10
-8 1
2
Response of DLP to DLY
3
4
5
6
7
8
9
10
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
.20
.20
.15
.15
.15
.15
.10
.10
.10
.10
.05
.05
.05
.00
.00
.00
.00
-.05
-.05
-.05
-.05
-.10
-.10
-.10
-.10
-.15 3
4
5
6
7
8
9
10
2
3
4
5
6
7
8
9
10
3
4
5
6
7
8
9
10
3
4
5
6
7
8
9
10
9
10
.05
-.15 1
8
Response of DLP to DLP
.20
2
2
Response of DLP to DI
.20
1
7
-8 1
Response of DLP to DLPR
-.15
6
Response of DI to DLP
8
2
2
Response of DI to DI
12
1
5
-.10 1
Response of DI to DLPR
-8
4
.05
-.10 1
3
Response of DLPR to DLP
.20
1
2
Response of DLPR to DI
.25
-.10
124
Response of DLY to DI
.05
-.15 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
125
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
Appendix D. Factors influencing economic growth in Indonesia
126
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
References Ang, J.B. and McKibbin, W.J., 2007. 'Financial Liberalization, Financial Sector Development and Growth: evidence from Malaysia', Journal of Development Economics, 84 (1): 215-233. Athukorala, P.-C., 2002. 'Survey of Recent Developments', Bulletin of Indonesian Economic Studies, 38 (2): 141-162. Beck, T., Demirguc-Kunt, A. and Levine, R., 2000. 'A New Database on the Structure and Development of the Financial Sector', The World Bank Economic Review, 14 (3): 597. Bencivenga, V.R. and Smith, B.D., 1991. 'Financial Intermediation and Endogenous Growth', The Review of Economic Studies, 58 (2): 195-209. Bencivenga, V.R., Smith, B.D. and Starr, R.M., 1995. 'Transactions Costs, Technological Choice, and Endogenous Growth', Journal of Economic Theory, 67 (1): 153-177. Chakraborty, S. and Ray, T., 2006. 'Bank-based versus Marketbased Financial Systems: a growth-theoretic analysis', Journal of Monetary Economics, 53 (2): 329-350. Cummings, J.R., Rashid, S. and Gulati, A., 2006. 'Grain Price Stabilization Experiences in Asia: what have we learned?', Food Policy, 31 (4): 302-312.
127
Demetriades, P.O. and Hussein, K.A., 1996. 'Does Financial Development Cause Economic Growth?: time-series evidence from 16 countries', Journal of Development Economics, 51 (2): 387-411. Demirguc-Kunt, A. and Detragiache, E., 2001. Financial liberalization and Financial Fragility, in J.E. Stiglitz, G. Caprio and P. Honohan (eds.) Financial liberalization : how far, how fast?, Cambridge University Press, Cambrige, New York. Djankov, S., McLiesh, C. and Shleifer, A., 2006. Private Credit in 129 Countries, NBER Working Paper No. 11078, the National Bureau of Economic Research, Cambridge, Massachusetts. Djiwandono, J.S., 2005. Bank Indonesia and the Crisis : an insider's view, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore. Elbourne, A. and de Haan, J., 2006. 'Financial Structure and Monetary Policy Transmission in Transition Countries', Journal of Comparative Economics, 34 (1): 1-23. Enders, W., 2004. Applied Econometric Time Series, J. Wiley, Hoboken, New Jersey. Fane, G. and McLeod, R., 2001. Banking Collapse and Restructuring in Indonesia, 1997-2001, Departmental Working Papers 2001-10, the Australian National University, Economics RSPAS, Canberra.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
Friedman, M. and Schwartz, A.J., 1963. 'Money and Business Cycle', The Review of Economics and Statistics, 45 (1): 32-64. _______, 1971. A Monetary History of the United States, 1867-1960, Princeton U.P, Princeton. Granger, C.W.J., 1988. 'Causality, Cointegration, and Control', Journal of Economic Dynamics & Control, 12 (2,3): 551. Greenwood, J. and Jovanovic, B., 1990. 'Financial Development, Growth, and the Distribution of Income', The Journal of Political Economy, 98 (5): 1076-1107 Gultom, M.S., 2008a. Building monetary and financial stability for sustainable economic growth, in M.S. Gultom (ed.) Essays in Macroeconomic Policy : The Indonesia Experience, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. _______, 2008b. Financial liberalization, capital structure and investment : an empirical analysis of Indonesian panel data, 19811988, in M.S. Gultom (ed.) Essays in Macroeconomic Policy : The Indonesia Experience, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. _______, 2008c. Towards inflation targeting : the post-crises monetary policy framework for Indonesia, in M.S. Gultom (ed.) Essays in Macroeconomic Policy : The Indonesia Experience, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 128
Hondroyiannis, G., Lolos, S. and Papapetrou, E., 2005. 'Financial markets and economic growth in Greece, 1986-1999', Journal of International Financial Markets, Institutions and Money, 15 (2): 173-188. Hoover, K.D., 1995. 'Commentary on "Theoretical Issues of Liquidity Effects"', Review - Federal Reserve Bank of St. Louis, 77 (3): 26. Indonesian Commission againts Corruption (KPK), 2006. 'KPK Tahan Gubernur BI', (KPK is Arresting the Central Bank's Governor), Indonesian Commission againts Corruption, Jakarta. http://www.kpk.go.id/modules/ news/article.php?storyid=2616 (04/05/2008). Indonesian House of Representatives, 1999. UU Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999, (the Central Bank Act 23/1999), Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta. King, R.G. and Levine, R., 1993a. 'Finance and Growth: Schumpeter Might be Right', The Quarterly Journal of Economics, 108 (3): 717-737. _______, 1993b. 'Finance, Entrepreneurship and Growth Theory and Evidence', Journal of Monetary Economics, 32 (3): 513-542. Lago-González, R. and Salas-Fumás, V., 2005. Market Power and Bank Interest Rate Adjustment, Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
Documentos de Trabajo No. 0539, Banco de espana publications, Madrid. Levine, R., 1991. 'Stock Markets, Growth, and Tax Policy', The Journal of Finance, 46 (4): 1445-1465. _______, 2001. 'International Financial Liberalization and Economic Growth', Review of International Economics, 9 (4): 688. Levine, R., Loayza, N. and Beck, T., 2000. 'Financial Intermediation and Growth: causality and causes', Journal of Monetary Economics, 46 (1): 31. Liang, Q. and Teng, J.-Z., 2006. 'Financial Development and Economic Growth: evidence from China', China Economic Review, 17 (4): 395-411. Mangkusuwondo, S., 1973. 'Dilemmas in Indonesian Economic Development', Bulletin of Indonesian Economic Studies, 9:2 28 — 35. Matsumoto, Y., 2007. Financial Fragility and Instability in Indonesia, Routledge, New York. McCaig, B. and Stengos, T., 2005. 'Financial Intermediation and Growth: some robustness results', Economics Letters, 88 (3): 306-312. McKinnon, R.I., 1973. Money and Capital in Economic Development, Brookings Institution, Washington.
129
McLeod, R., 2002. Toward Improved Monetary Policy in Indonesia, Departmental Working Papers 2002-10, the Australian National University, Economics RSPAS, Canberra. Mohamed, A., 2000. Liberalization, Growth and the Asian Financial Crisis : lessons for developing and transitional economies in Asia, Edward Elgar, Cheltenham. Murinde, V. and Eng, F.S.H., 1994. 'Financial Development and Economic Growth in Singapore: demand-following or supply-leading?', Applied Financial Economics, 4 (6): 391. Ohanian, L.E. and Stockman, A.C., 1995. 'Theoretical Issues of Liquidity Effects', Review Federal Reserve Bank of St. Louis, 77 (3): 3. Pangestu, M., 1996. Economic Reform, Reregulation, and Privatization : the Indonesian experience, Centre for Strategic and International Studies, Jakarta. Pohan, A., 2008. Potret Kebijakan Moneter Indonesia, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta. Ranciere, R., Tornell, A. and Westermann, F., 2006. 'Decomposing the effects of financial liberalization: Crises vs. growth', Journal of Banking & Finance, 30 (12): 33313348. Romer, P.M., 1990. 'Endogenous Technological Change', The
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
Journal of Political Economy, 98 (5): S71. Rosser, A., 2002. The Politics of Economic Liberalisation in Indonesia : state market and power, Curzon, Richmond, Surrey. Sabirin, S., 2003. Perjuangan Keluar dari Krisis : percikan pemikiran Dr. Syahril Sabirin, (Struggle from Crisis: Syahril Sabirin analysis), BPFE, Yogyakarta.
Sunarto, H., 2007. Understanding the Role of Bank Relationships, Relationship Marketing, and Organizational Learning in the Performance of People's Credit Bank, PhD, Vrije Universiteit, Amsterdam. http://dare.ubvu.vu.nl/handle/1 871/10797 (05/05/2008)
Samuelson, P.A. and Nordhaus, W.D., 2005. Economics, McGrawHill, New York.
Suta, I.P.G.A. and Musa, S., 2003. Membedah Krisis Perbankan : anatomi krisis dan penyehatan perbankan, (Analysis of Banking Crisis: crisis anatomy and banking restructuring), Yayasan Sad Satria Bhakti, Jakarta.
Schumpeter, J.A., 1934. The Theory of Economic Development : an inquiry into profits, capital, credit, interest and the business cycle, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts.
Swasono, S.E., 2002. 'Independensi Bank Indonesia yang Terbukti Runyam', (Problem of the Central Bank's Independence), Bappenas, Jakarta. http://www.bappenas.go.id/ind ex.php (05/05/2008).
Schwartz, A.J., 1987. Money in Historical Perspective, University of Chicago Press, Chicago.
Tanuwidjaja, E. and Choy, K.M., 2006. 'Central Bank Credibility and Monetary Policy in Indonesia', Journal of Policy Modeling, 28 (9): 1011-1022.
Shaw, E.S., 1973. Financial Deepening in Economic Development, Oxford university Press, New York. Sims, C.A., 1980. 'Macroeconomics and Reality', Econometrica, 48 (1): 1 - 49. _______, 1992. 'Interpreting the Macroeconomic Time Series Facts : the effects of monetary policy', European Economic Review, 36 (5): 975-1000.
130
Thangavelu, S.M., Jiunn, A.B. and James, 2004. 'Financial Development and Economic Growth in Australia: an empirical analysis', Empirical Economics, 29 (2): 247. Visser, H. and Herpth, I.V., 1996. Financial Liberalization and Financial Fragility : the experiences of Chile and Indonesia compared, in N. Hermes and R. Lensink (eds.) Financial Development and
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Muh Dularif
Economic Growth : theory and experiences from developing countries, Routledge, London. World Bank (WB) and International Monetary Fund (IMF), 2005. 'Financial Sector Assesment: A Handbook', The World Bank, Washington. http://www.worldbank.org (02/04/2008). Zagha, R., Nankani, G. and Gill, I., 2006. 'Rethinking Growth', Volume 43, IMF Publication Services, Washington. www.imf.org (02/04/2008).
131
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
JURNAL BPPK Volume 1, Nomor 5, November 2010
Monitoring & Evaluasi Sebagai Konsensus Untuk Mencapai Efektivitas Pemanfaatan Pinjaman/Hibah Luar Negeri
Oleh : Umi Hanik Heru Subiyantoro
132
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
Monitoring & Evaluasi Sebagai Konsensus Untuk Mencapai Efektivitas Pemanfaatan Pinjaman/Hibah Luar Negeri Umi Hanik1 Heru Subiyantoro2
Abstract Wangwe (1997) on his study „The Management of Foreign Aid in Tanzania‟ noted that the weaknesses of monitoring and accountability mechanism resulted to a failure of the fulfillment of aid commitments utilization; it also caused a decline in the trust of the donors and the decrease of government credibility over donors. Furthermore, several studies and the results of the auditor agency (BPK) found that the ineffectiveness of the implementation of M&E resulted to the lack of performance of the development aid. We apply a descriptive analysis to capture the relation of M&E and aid effectiveness in Indonesia. Answering Wangwe (1997) and the findings tell us the cosistencies with that of Paris Declaration as an international concencus on aid effectiveness existed to optimize the M&E function as well as to achieve its five principles: 1) Ownership; 2) Harmonization; 3) Alignment; 4) Results; and 5) mutual accountability for aid effectiveness. Analyzing the implementation in Indonesia, we should appreciate the Government of Indonesia who has achieved in gathering 22 bilateral and multilateral donors institutions to sign a commitment for aid effectiveness in Indonesia. Jakarta's commitment brings to a new paradigm on how foreign aid will be well managed. Key words: Aid effectiveness, Foreign Loan, Monitoring And Evaluation (M&E), Paris Declaration, Jakarta Commitment
1 2
133
Bekerja pada Spesialis Monitoring dan Evaluasi pada Bank Dunia Staf Pengajar pada Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi - Universitas Indonesia dan menjabat sebagai Sesditjen Perimbangan Keuangan pada Kementerian Keuangan
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
Pendahuluan Reformasi sistem perencanaan dan penganggaran membawa kita kepada sistem yang baru sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 1 di bawah. Reformasi tersebut membawa kita kepada empat tahapan pembangunan yang terdiri
dari: 1) penyusunan rencana 2) penetapan rencana; 3) monitoring; dan 4) evaluasi pelaksanaan rencana. Kegiatan perencanaan, pelaksanaan, M&E pelaksanaan rencana merupakan bagian-bagian dari fungsi manajemen. Fungsi tersebut saling melengkapi dan masing-masing memberi umpan balik serta masukan kepada yang lainnya1.
Gambar 1 Alur Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Mengacu pada UU No 17 Tahun 2003 dan UU No 25 Tahun 2004
Sumber : Bahan Sosialisasi PP No 39 Tahun 2006 Bappenas, 2006
134
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
Setiap pelaksanaan rencana tidak akan berjalan lancar jika tidak didasarkan kepada perencanaan yang baik. Sementara perencanaan yang baik membutuhkan informasi lengkap terkait hasil dari pelaksanaan rencana sebelumnya, apa yang berhasil dan apa yang tidak sebagai pembelajaran dan penyempurnaan bagi perencanaan berikutnya. Penyediaan informasi untuk perencanaan tersebut merupakan peran strategis bagi fungsi M&E. Secara definitif, monitoring atau pemantauan dapat diartikan sebagai suatu aktivitas untuk mengamati dan/atau mencermati secara terus menerus atau berkala untuk menyediakan informasi tentang status perkembangan suatu program/kegiatan, serta mengidentifikasi permasalahan yang timbul dan merumuskan tindak lanjut yang dibutuhkan. Sedangkan evaluasi adalah rangkaian kegiatan yang secara sistematis mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi untuk menilai pencapaian sasaran, tujuan, dan kinerja kegiatan2. Rostiati (2006:17) menuliskan bahwa kriteria baku untuk melakukan evaluasi atas kebijakan publik biasanya difokuskan kepada dua hal, yaitu efektivitas dan efisiensi. Efektivitas dilakukan dengan melihat apakah suatu kebijakan dapat mencapai tujuannya, sedangkan efisiensi terkait dengan minimizing cost dalam mencapai tujuan kebijakan, atau memaksimalkan realisasi hasil kebijakan dengan sumberdaya tertentu. Dengan demikian jika suatu kebijakan memenuhi criteria efektif dan
135
efisien, maka dapat dikatakan kebijakan tersebut berhasil, atau sebaliknya jika tidak memenuhi criteria tersebut maka dapat dikatakan kebijakan tersebut gagal3. Adapun Dunn (1994:608) menyamakan evaluasi dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating) dan penilaian (assessment), yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti satuan nilainya. Secara lebih spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Ketika hasil kebijakan pada kenyataannya mempunyai nilai, hal ini karena hasil tersebut memberi sumbangan pada tujuan atau sasaran. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kebijakan atau program telah mencapai tingkat kinerja yang bermakna, yang berarti bahwa masalah-masalah kebijakan dibuat jelas atau diatasi. Sementara dalam konsep yang lebih sederhana Lester dan Steward (2000) menyatakan bahwa evaluasi kebijakan terkait erat dengan pembelajaran tentang akibat dari suatu kebijakan publik. Dengan demikian evaluasi kebijakan ditujukan untuk melihat aktivitas sektor publik dan pengaruhnya dalam masyarakat melalui evaluasi terhadap keluaran kebijakan yakni mencakup dana, pekerjaan, produksi, material, atau jasa yang diberikan; kinerja dan umpan balik kebijakan. Lebih jauh, OECD (2002) memaknai pemantauan sebagai sebuah fungsi berkelanjutan yang menggunakan
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
sekumpulan data secara sistematik dengan indikator khusus untuk melihat tanda-tanda seberapa jauh sebuah intervensi pembangunan yang sedang berlangsung telah mengalami kemajuan dan pencapaian tujuan serta berapa banyak dana yang dialokasikan telah dipergunakan. Informasi ini kemudian diberikan kepada pengelola dan pemangku kepentingan utama intervensi tersebut. Sementara di sisi lain, berbagai hasil kajian M&E sebelumnya menyatakan bahwa kebijakan M&E secara umum belum selaras antara satu dengan lainnya sehingga menyebabkan belum optimalnya kinerja M&E serta menimbulkan masalah inefisiensi, dst4. Kaplan dalam pengantar bukunya tentang ‗Alignment‟ (2006)5 mengatakan bahwa Alignment (selanjutnya disebut penyelarasan) merupakan a source of economic value6, kemudian dia mendefinisikan penyelarasan sebagai berikut:
136
Alignment is identified as an explicit part of the management process. Executing strategy requires the highest level of integration and teamwork among organizational units and processes. Penyelarasan merupakan bagian dari proses manajemen. Pelaksanaan strategi mensyaratkan optimalnya integrasi dan teamwork antar unit organisasi dan tiap-tiap prosesnya Kualitas strategi dan kebijakan merupakan kunci utama. Dengan strategi yang jelas seluruh komponen organisasi dapat diarahkan menuju proses penyelarasan. Dalam Gambar 2 di bawah diilustrasikan komponen penyelarasan yang mencakup strategi atau kebijakan yang tepat, penyelarasan organisasi, penyelarasan SDM, dan penyelarasan antara sistem perencanaan dan M&E.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
Gambar 2 Creating Total Strategic Alignment
Sumber: Kaplan (2006:262)
1.
Pembahasan
1.1.
M&E dan Kinerja Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri
Hadjimichael, et al (1995), menuliskan bahwa dana ODA terbukti mampu meningkatkan investasi pemerintah dan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pack, et al7 menemukan hal yang sama dalam penelitian-penelitian mereka. Namun penelitian yang lain menemukan hal yang berbeda. Metzler, et al (2001) menyatakan bahwa bantuan luar negeri umumnya tidak efektif karena kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan proyek yang tidak tepat.
137
Di dalam negeri, tidak sedikit yang melakukan penelitian terkait efektivitas bantuan luar negeri di Indonesia. Salah satunya adalah hasil evaluasi terhadap administrasi dan kebijakan pinjaman luar negeri yang dilakukan oleh Tetty Rostiati (2006) yang memperkuat temuan Chowdhury, et al (2004) bahwa efektivitas bantuan luar negeri tergantung pada administrasi dan kebijakan pinjaman luar negerinya. Pinjaman luar negeri perlu disesuaikan dengan kemampuan perekonomian nasional, karena dapat menimbulkan beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah tahun-tahun berikutnya yang cukup berat, sehingga diperlukan kecermatan dan kehati-hatian dalam pengelolaan pinjaman luar negeri. Demikian Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
dinyatakan dalam naskah penjelasan Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Dan/Atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman Dan/Atau Hibah Luar Negeri. PP No. 2/2006 tersebut mengamanatkan agar pengadaan pinjaman dan/atau penerimaan hibah serta penerusan pinjaman dan/atau hibah luar negeri senantiasa mengantisipasi kebutuhan masa depan serta dengan mempertimbangkan perlunya mempertahankan kondisi kesehatan dan kesinambungan perekononomian nasional. Amanat dan fokus dari PP tersebut yang mensyaratkan kecermatan dan kehati-hatian dalam pengelolaan pinjaman luar negeri dapat dimaklumi mengingat perkembangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
138
dalam beberapa periode terakhir yang menunjukkan posisi pinjaman luar negeri yang kian meningkat. Sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 3 di bawah, lonjakan terjadi pada tahun 1998 dimana pinjaman luar negeri pemerintah mengalami peningkatan sebesar 24,97%. Selain akibat peningkatan pinjaman secara nominal, lonjakan posisi pinjaman luar negeri Indonesia pada tahun 1998 juga disebabkan oleh depresiasi nilai tukar Indonesia dimana kurs rata-rata tahunan Indonesia terhadap dollar AS meningkat dari Rp.2.909 per dollar AS di tahun 1997 menjadi Rp.10.014 per dollar AS di tahun 1998. Pada tahun 1999, posisi pinjaman luar negeri pemerintah masih mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu sebesar 12,49%.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
Gambar 3 Perkembangan Posisi Pinjaman Luar Negeri Pemerintah
2,015.00 2,076.00 2,174.00 2,437.00 2,778.00 3,225.00 3,617.00 4,426.00 4,851.00 6,611.00 8,295.00 9,654.00 1,133.00 11,775.00 12,994.00 13,945.00 16,767.00 19,953.00 21,589.00 25,321.00 31,521.00 38,417.00 38,983.00 39,577.00 451.00 45,725.00 48,769.00 52,462.00 58,616.00 59,588.00 55,303.00 53,865.00 67,315.00 7,572.00 74,917.00 69,403.00 74,497.00 81,666.00 82,725.00 80,072.00 75,809.00 80,609.00 86,600.00 99,265.00
Trend of Loan 1966-2009 (Million USD)
Sumber: Bappenas dan Bank Indonesia, Triwulan II 2010
Peningkatan yang sedemikian pesat dan beban yang ditimbulkan oleh pinjaman luar negeri baik terhadap perekonomian secara umum maupun bagi anggaran pemerintah dan neraca pembayaran mendorong komitmen pemerintah beserta DPR untuk segera mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap pinjaman luar negeri. Setelah tahun 1999, pinjaman luar negeri pemerintah menunjukkan kecenderungan yang menurun (walaupun beberapa kali mengalami peningkatan) hingga di tahun 2004. Posisi pinjaman luar negeri pemerintah Indonesia mengalami
139
penurunan dari tahun sebelumnya sebesar 3,29%. Beban yang tercipta akibat peminjaman di masa yang lalu salah satunya dapat dilihat melalui indikator Debt Service To Government 8 Expenditure (DSGE) . Belanja negara yang seharusnya dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pembangunan, namun dengan adanya kewajiban pembayaran pinjaman, kemampuan pemerintah untuk membiayai pembangunan menjadi berkurang. Secara efektif, DSGE mengukur berapa
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
besar korbanan sosial sekarang akibat pinjaman di waktu yang lalu. DSGE Indonesia secara umum mengalami peningkatan pada periode krisis. Pada tahun anggaran 1996/1997,
rasio ini mencapai 44,23%. Pada tahuntahun berikutnya walapun rasio ini menunjukkan kecenderungan menurun, namun besarannya masih berada di atas 8%. Tabel 1
Perkembangan Pembayaran Pinjaman Luar Negeri Pemerintah, Belanja Negara, dan DSGE Tahun
Pembayaran Pokok & Bunga (Miliar Rp.)
Belanja Negara (Miliar Rp.)
DSGE (%)
1993/1994
17.042,30
57.833,10
29,47
1994/1995
18.298,40
62.606,90
29,23
1995/1996
20.489,00
65.341,70
31,36
1996/1997
36.366,00
82.220,90
44,23
1997/1998
30.021,70
109.301,50
27,47
1998/1999
54.526,20
172.669,20
31,58
1999/2000
40.701,10
231.879,00
17,55
2000
26.452,90
221.466,70
11,94
2001
44.829,90
341.562,70
13,12
2002
41.371,10
345.604,90
11,97
2003
40.847,00
377.250,00
10,83
2004
77.480,00
374.351,00
18,37
2005
77.870,00
509.632,40
15.28
2006
83.490,00
667.128,70
12.51
2007
99.250,00
757.649,90
13.11
2008
91.140,00
985.730,70
9.25
2009
94.300,00
1.037.067,30
9.10
2010*
82.700,00
1.009.485,70
8.19
Sumber: Diolah dari Data Bappenas dan Depkeu (Triwulan II 2010) *) Data merupakan rencana pembayaran utang pemerintah
Selain itu banyak munculnya masalah terkait pengelolaan pinjaman
140
luar negeri juga tak kunjung tuntas. Berbagai permasalahan yang sering
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
ditemui dalam pelaksanaan pengelolaan pinjaman luar negeri adalah relatif rendahnya daya serap pinjaman sehingga dapat berdampak pada sering dilakukannya perpanjangan loan/grant closing date, sehingga dari segi biaya (cost of borrowing) baik berupa commitment fee maupun interest rate akan terjadi peningkatan di samping keterlambatan penyelesaian kegiatan dan pencapaian target serta adanya opportunity lost dalam peningkatan pendapatan nasional. Sebagaimana hasil evaluasi yang dilakukan Bappenas atau BPKP pada triwulan III 2007 yang menyatakan bahwa pemanfaatan dana pinjaman luar negeri pemerintah Indonesia selama ini kurang efektif, dalam arti bahwa sebagian besar komitmen yang sudah diberikan donor tidak dimanfaatkan secara optimal. Commitment fee yang harus ditanggung pemerintah walaupun pinjamannya tidak dimanfaatkan dalam jangka waktu yang tidak dapat ditentukan merupakan salah satu bentuk inefisiensi. Low disbursement ini akan berimplikasi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, terhadap anggaran belanja pemerintah, penciptaan lapangan kerja, neraca pembayaran, maupun minat investor dalam berinvestasi. Selain itu akibat low disbursement adalah turunnya kredibilitas pemerintah di hadapan pemberi pinjaman karena dinilai tidak mampu memanfaatkan dana pinjaman secara optimal. Secara khusus, Bappenas dalam 9 LKPP (2007) menyebutkan beberapa
141
penyebab rendahnya daya serap dana pinjaman antara lain 1) Lamanya proses tender atau re-tender; 2) Banyaknya dan lamanya proses penerbitan No Objection Letter (NOL); 3) Terlambatnya penerbitan DIPA dan proses revisi DIPA yang masih diproses oleh proyek; 4) Backlog10 yang harus diselesaikan sehingga pada data Bank Dunia belum tercatat sebagai penarikan walaupun pihak proyek mencatatnya sebagai penarikan; dan 5) Lemahnya manajemen dan koordinasi (teknis pelaksanaan). Sebagai gambaran dari total 22 proyek Bank Dunia, teridentifikasi sebanyak 20 proyek bermasalah dengan penyerapan dana pinjaman, dan diantaranya sekitar 15 proyek merupakan proyek penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat11 yang dilaksanakan di daerah. Dapat diperkirakan berapa besar kerugian yang harus dibayar oleh pemerintah jika dana tersebut tidak teralokasi sesuai rencana. Jika permasalahan tersebut dibiarkan berlarut dan tidak ada upaya yang serius untuk mengelola pinjaman dengan baik maka kita akan sampai pada situasi yang disebut sebagai krisis pinjaman. John Weiss (1995) menyatakan bahwa krisis pinjaman luar negeri dunia yang terjadi pada dekade 80-an merupakan bukti bahayanya pembiayaan melalui pinjaman luar negeri di mana banyak negara peminjam terpaksa menunda kewajiban membayar pinjamannya sesuai dengan jadwal. Krueger (1993) melihat adanya kesamaan antara Negara-negara yang terkena krisis pinjaman, pada umumnya
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
kebijaksanaan ekonomi di negara-negara tersebut berorientasi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi iklim perekonomian yang ada tidak diciptakan untuk mendukung ke arah itu. Adapun Dornbursh (1989) mendefinisikan krisis pinjaman sebagai ketidakmampuan debitor untuk melakukan pembayaran bunga dan pokok pinjaman sesuai jadwal. Dollar dan Prithchett12 menyatakan bahwa bantuan luar negeri akan membawa manfaat yang besar jika dikelola dalam lingkungan dengan kebijakan yang baik, manajemen yang baik, kebijakan dan lembaga juga baik. Negara dengan kebijakan yang lebih baik tumbuh lebih cepat dan perubahan mampu membawa mereka jauh seperti di Ghana dan Bolivia. Dengan manajemen yang baik negara miskin mempunyai potensi untuk tumbuh lebih cepat13. Dengan manajemen yang baik pula tiap penambahan 1% dana pembangunan dari PDB meningkatkan pertumbuhan sebesar ½%14. Dalam ekonomi yang menurun rata-rata penurunan pendapatan per kapita sebesar 7% berakibat pada naiknya angka kemiskinan sebesar 19%15. Dengan manajemen yang baik penambahan 1% dana pembangunan dari PDB akan menurunkan angka kematian bayi sebesar 0.9%16. Investasi publik Bank Dunia yang dikelola dalam lingkungan kebijakan dan lembaga yang baik berhasil mencapai 86% dibandingkan dengan yang dikelola dalam lingkungan kebijakan dan lembaga yang lemah yang hanya mencapai 48%.
142
Wangwe (1997) dalam salah satu studinya menyatakan lemahnya mekanisme monitoring dan akuntabilitas pengelolaan utang luar negeri berakibat pada gagalnya pemenuhan terhadap komitmen pemanfaatan utang luar negeri, hal ini juga mengakibatkan turunnya kepercayaan dari lembaga donor dan mau tidak mau juga berakibat pada turunnya kredibilitas pemerintah di mata lembaga donor. Senada, Berlage and Stokke (1992) berpendapat bahwa kebanyakan lembaga donor juga menganut hal yang sama untuk efektivitas bantuan mereka dengan membentuk unit evaluasi dalam struktur administratif mereka. Dalam penjelasan PP 39/2006 dinyatakan bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas alokasi sumberdaya, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan program pembangunan, perlu dilakukan upaya monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana pembangunan termasuk di dalamnya adalah monitoring dan evaluasi pemanfaatan pinjaman luar negeri. Dan dalam Deklarasi Paris (2005) untuk efektivitas bantuan luar negeri maka akan diprioritaskan kerja monitoring dan evaluasi. Selanjutnya, hasil pemeriksaan BPK atas pengelolaan pinjaman luar negeri serta penerusannya pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Kementerian Negara/Lembaga (K/L)17 yang belum lama dirilis BPK menghasilkan 1318 temuan utama dimana tiga diantaranya terkait tidak optimalnya
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
fungsi pengendalian dan pengukuran kinerja atau Monitoring dan Evaluasi (M&E) dari pinjaman luar negeri. Dengan demikian aspek pengendalian dan pengukuran kinerja penyerapan dana pinjaman luar negeri menjadi salah satu syarat penting menuju tercapainya efektivitas pembangunan nasional. 1.2. M&E Sebagai Konsensus Untuk Mencapai Efektivitas Pemanfaatan Pinjaman/ Hibah Luar Negeri a. Reformasi Anggaran Amandemen UUD 1945 mengamanatkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden serta kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, dan diisyaratkan pula tidak akan ada lagi GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) sebagai arahan bagi Pemerintah dalam menyusun rencana pembangunan. Reformasi ini selanjutnya telah menuntut perlunya pembaharuan dalam sistem perencanaan pembangunan dan pengelolaan keuangan negara secara nasional. Bank Dunia menilai Indonesia cukup berhasil dalam melakukan reformasi anggaran dalam 10 tahun terakhir. Indonesia telah melakukan transformasi yang luar biasa dalam reformasi anggaran, pencapaian Indonesia merupakan hal yang sangat mengejutkan. (Joachim, 2008). Perubahan signifikan dalam reformasi anggaran juga turut serta dalam mendorong pengembangan ekonomi19.
143
Sementara Menteri Keuangan menyatakan bahwa sistem anggaran sudah lebih baik sejak adanya UU 17 tahun 2003 tentang keuangan negara. Banyak hal yang semakin transparan dan baik dengan rezim pengelolaan keuangan negara yang baru20 yang inheren dengan demokratisasi, desentralisasi dan transparansi untuk menuju tata kelola pemerintahan yang lebih baik. b. Reformasi Perencanaan Selanjutnya terkait reformasi sistem perencanaan pembangunan, Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah merespon tuntutan perubahan ini dengan menetapkan Undang-Undang (UU) No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Selain untuk mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan, secara jelas UU tersebut juga mengamanatkan reformasi perencanaan21. Dengan demikian pengendalian dan pengukuran kinerja merupakan tahap yang penting dalam pelaksanaan reformasi sistem perencanaan sekaligus optimalisasi pelaksanaan anggaran 22 berbasis kinerja . Bertepatan dengan momentum tersebut, pada Maret 2005 lahirlah konsensus efektivitas dana bantuan luar negeri melalui Deklarasi Paris23. Pernyataan tekad dilakukan untuk mengambil langkah-langkah penyelesaian yang berdampak luas dan dapat dipantau. Di Indonesia sendiri memang umumnya bentuk maupun kegiatan M&E
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
selama ini sangat beragam, baik yang dilaksanakan pada tingkat Kementerian/Lembaga (K/L) maupun pada tingkat Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) termasuk di dalamnya M&E pinjaman luar negeri. Selain itu diidentifikasi pendanaan untuk kegiatan pemantauan dan evaluasi kurang mendapatkan perhatian, sehingga pelaksanaannya menjadi tidak efektif24. Kondisi tersebut mempersulit evaluasi pelaksanaan atas programprogram pembangunan nasional
termasuk program yang didanai utang luar negeri. Faktor keterbatasan waktu dan sumber daya yang ada dibandingkan jumlah program/kegiatan yang dipantau dan dievaluasi turut menyumbang terhambatnya kegiatan koordinasi dan konsolidasi kegiatan pemantauanevaluasi. Seperti diketahui hasil pemantauan dan evaluasi harus dapat menjadi masukan penyusunan rencana program/kegiatan untuk tahun berikutnya.
Gambar 4 Evaluasi dan Pengambilan Kebijakan Penggunaan hasil evaluasi
Diperlukan mekanisme
sebagai masukan bagi proses
pengendalian dan evaluasi
perencanaan berikutnya
yang dapat memenuhi kebutuhan
(Pasal 29)
pihak-pihak yang berkepentingan, Sumber : Dit. Sistem dan Pelaporan Evaluasi Kinerja Pembangunan Bappenas, 2008
baik di pusat dan daerah evaluasi terhadap kinerja Hasil
pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh Direktorat Sistem dan Pelaporan Evaluasi Kinerja Pembangunan (SPEKP) Bappenas pada tahun 2008 menghasilkan kesimpulan bahwa kinerja M&E secara umum masih belum cukup efektif25. Memperhatikan kondisi di atas, Bappenas sebagai lembaga dengan tugas, pokok, dan fungsi untuk mempersiapkan
144
perencanaan pembangunan nasional diperkuat fungsi M&Enya dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi pelaksanaan Rencana Pembangunan. Selanjutnya sebagai pendukung dibentuklah Unit Kerja Eselon (UKE) I Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan di penghujung 2007 melalui Peraturan Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
M.PPN/Kepala Bappenas Nomor: PER. 005/M.PPN/10/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. UKE I tersebut diperkuat oleh tiga unit tim evaluasi setara Eselon II pada awal tahun 2008 yakni: 1) Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah; 2) Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral; dan 3) Direktorat Sistem dan Pelaporan Evaluasi Kinerja Pembangunan26.
c. Reformasi Tatakelola Pinjaman Luar Negeri Guna menjamin kebijakan pengelolaan PHLN secara tepat, pemerintah dalam Buku Strategi Utangnya telah menetapkan tiga strategi pokok pemanfaatan pinjaman luar negeri yang digambarkan dalam Gambar di bawah.
Gambar 5 Strategi Pemanfaatan Pinjaman Luar Negeri
Makro
Stabilisasi Makro Ekonomi: Mendukung neraca pembayaran Menurunkan peran pinjaman dalam perekonomian dan APBN (Menjaga Kesinambungan fiskal) Minimalisasi risiko dan biaya pinjaman luar negeri Menetapkan besaran pendanaan yang memerlukan pinjaman luar negeri
Meso
Integrasi sasaran RPJM dan sasaran MDGs Menetapkan prioritas program yang akan dibiayai pinjaman luar negeri Menetapkan besaran PLN untuk tiap prioritas Menjaga keseimbangan kegiatan antar wilayah
Mikro
145
Review kinerja proyek (on going) yang dibiayai pinjaman luar negeri Mempercepat penyerapan pinjaman luar negeri yang ada Menentukan kegiatan prioritas yang akan diusulkan Memperbaiki kelembagaan pengelolaan pinjaman luar negeri Meningkatkan koordinasi donor Memperbaiki proses penyiapan proyek yang akan dibiayai pinjaman luar negeri Sumber : Borrowing Strategy, Bappenas 2004 Menyempurnakan aturan pelaksanaan
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
Strategi pengelolaan pinjaman luar negeri tersebut meliputi tiga ranah yakni makro, meso dan mikro. Dalam ranah makro, perhatian ditujukan pada konsistensi pemeliharaan stabilitas makro secara intertemporal. Dalam ranah meso, fokusnya adalah untuk menjamin bahwa pemanfaatan pinjaman luar negeri sesuai dengan prioritas dan agenda jangka menengah. Dalam ranah mikro, isunya adalah bagaimana setiap proyek atau kegiatan yang memanfaatkan pinjaman luar negeri sebagai sumber pendanaan dapat mencapai tingkat efektifitas yang setinggi-tingginya. Selanjutnya sebagai bagian dari penataan, pemerintah menerbitkan beberapa regulasi sekaligus yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Dan/Atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman dan/Atau Hibah Luar Negeri; kemudian peraturan turunannya yakni 3) Kepmen PPN/Ka Bappenas PER.005/M.PPN/06/2006 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pengajuan Usulan Serta Penilaian Kegiatan Yang Dibiayai Dari Pinjaman dan/Atau Hibah Luar Negeri; 4) Permen
146
53/2006 tentang Tata cara pemberian pinjaman daerah dari pemerintah yang dananya bersumber dari pinjaman luar negeri; 5) PP 54/2005 tentang pinjaman daerah; 6) PP 57/2005 tentang hibah kepada daerah; 7) Permen Keuangan 52/2006 tentang tata cara pemberian hibah kepada daerah; serta 8) Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Nomor : 185/KMK.03/1995 dan Nomor: KEP.031/KET/5/1995. Secara ilustratif dasar rujukan kebijakan M&E PHLN tersebut diilustrasikan pada gambar 3.1 di bawah. Dalam PP No. 2 Tahun 2006 khususnya Bab VII tentang Pelaporan, Monitoring, Evaluasi, dan Pengawasan. Peraturan tersebut mewajibkan kepada pelaksana kegiatan untuk menyampaikan laporan kepada Menteri (kementerian/lembaga terkait) dan Kepala Bappenas secara triwulanan. Laporan tersebut akan berisi tentang proses pengadaan barang/jasa, realisasi penyerapan pinjaman, dan kemajuan fisik kegiatan proyek-proyek yang didanai oleh pinjaman luar negeri.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
Gambar 6 Hubungan Antara Peraturan M&E PHLN
Sumber: Dit Pendayagunaan Pendanaan Pembangunan Bappenas, 2009
d.
Kelahiran Deklarasi Paris
Momentum untuk akselerasi fungsi monitoring dan evaluasi ke berbagai bidang terus menggelinding. Hal ini juga mendorong inisiasi bagi pembentukan wadah untuk para pemerhati dan praktisi M&E di Indonesia yang bertekad untuk menuntaskan persoalan belum optimalnya kinerja M&E dengan tiga pilar utama sebagai pendorong yakni parlemen, pemerintah, dan civil society (Secara ilustratif dapat dilihat pada
147
gambar di bawah). Pada tanggal 4 Juni 2009 dideklarasikanlah pembentukan komunitas evaluasi InDEC27. Akselerasi tidak terhenti melalui InDEC, tanggal 22 Oktober 2009 pada Unit Kerja Presiden juga dibentuk Unit Kerja Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yakni sebuah unit kerja yang dibentuk oleh Presiden untuk menjalankan tugastugas khusus sehubungan dengan monitoring dan evaluasi kinerja pembangunan yang dijalankan oleh Kabinet Indonesia Bersatu II28.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
Gambar 7 Grand Strategy Reformasi Fungsi dan Sinergi Stakeholder M&E Paska Deklarasi InDEC
Sumber: InDEC, 2009
Optimalnya pelaksanaan M&E dana pinjaman luar negeri akan mendukung upaya pelaksanaan pengelolaan pinjaman yakni meliputi aspek efektivitas penyerapan, pemanfaatan, tingkat penyimpangan, dan isu-isu lainnya terkait belum optimalnya pemanfaatan pinjaman luar negeri. Hal tersebut merupakan perhatian utama yang melatarbelakangi berbagai komitmen untuk pengarusutamaan aspek tatakelola pinjaman ke arah yang lebih baik. Beberapa kajian yang dilakukan oleh pemerintah (Bappenas)
148
juga menghasilkan kesimpulan yang sama29. Masalah tersebut juga menjadi motivasi bagi pembentukan komunitas evaluator di Indonesia yakni Indonesian Development Evaluation Community (InDEC) sebagaimana dinyatakan dalam konsep pembentukannya yang secara lengkap dikutip di bawah. “Harus diakui bahwa sejauh ini kinerja M&E belum berjalan secara optimal. Pada umumnya, hal ini selain disebabkan karena kurangnya pemahaman terkait
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
evaluasi kinerja oleh pihakpihak yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaannya, terbatasnya informasi yang lengkap tentang tata cara pelaksanaan evaluasi kinerja, belum terintegrasinya sistem dan pelaporan evaluasi, serta masih minimnya koordinasi antar pelaku monev yang ada. Oleh karenanya issue tentang belum optimalnya kinerja M&E ini merupakan tantangan besar bagi para pelaku, praktisi, dan pemerhati M&E dan InDEC ke depan untuk dapat merumuskan pemikiran-pemikiran baru yang inovatif dan solutif termasuk untuk masalah-masalah yang terkait dengan M&E lainnya. Dengan demikian keberadaan wadah organisasi InDEC menjadi semakin mengedepan dan dibutuhkan”30.
the leadership of the partner country we will periodically assess, qualitatively as well as quantitatively, our mutual progress at country level in implementing agreed commitments on aid effectiveness. In doing so, we will make use of appropriate country level mechanisms”
Pentingnya fungsi M&E tersebut diperkuat oleh masyarakat internasional dalam kesepakatan Deklarasi Paris (2005) untuk efektivitas PHLN sebagaimana dinyatakan dalam naskahnya yakni statement of resolve dalam section 1 (10) dan 2 (13). Secara lengkap dikutip di bawah.
Hadirnya Deklarasi tersebut sekaligus merupakan pengakuan dari komunitas internasional bahwa fungsi M&E memegang peranan yang penting bagi efektivitas bantuan luar negeri. Selanjutnya sejalan dengan upaya untuk mendorong pengelolaan pinjaman ke arah yang lebih baik dengan menekankan pada fungsi M&E maka pada tanggal 12 Januari 2009 Pemerintah Indonesia bersama-sama dengan 22 lembaga donor bilateral dan multilateral telah menandatangani naskah perjanjian the Jakarta Commitment31 yang diyakini mampu membawa arah baru bagi
Paris Declaration, 2005 Statement of Resolve Section 1 (10) Monitor and evaluate implementation “Because demonstrating real progress at country level is critical, under
149
Statement of Resolve Section 2 (13) Partnership Commitments on Ownership, Alignment, Harmonisation, Managing for results, and Mutual accountability ―Developed in a spirit of mutual accountability, these Partnership Commitments are based on the lessons of experience. We recognise that commitments need to be interpreted in the light of the specific situation of each partner country Ownership, Alignment, Harmonisation, Managing for results, and Mutual accountability”
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
pengelolaan bantuan luar negeri di Indonesia. Jakarta Commitment merupakan perwujudan komitmen Indonesia akan upaya untuk menggalakkan peran pemantauan bagi efektivitas bantuan luar negeri sebagaimana telah termaktub dalam perjanjian Deklarasi Paris (2005) dan Accra Agenda for Action (2008) serta Doha Conference: Review on Financing for Development (2008). Momentum tersebut menjadi justifikasi bahwa efektifnya pendanaan pembangunan mensyaratkan kinerja M&E yang optimal dan berkelanjutan sebagai jawaban atas permasalahan yang ada. Selain menjadi justifikasi, Jakarta Commitment sekaligus menjadi tonggak atas upaya untuk akselerasi dan arusutama fungsi M&E untuk efektivitas pemanfaatan pinjaman luar negeri di Indonesia. e. Komitmen Jakarta Pada awal tahun 2009 tepatnya pada tanggal 12 Januari 2009 Pemerintah Indonesia menandatangani kesepakatan dengan 22 negara dan lembaga multilateral donor dalam sebuah kesepakatan "Jakarta Commitment"32. Langkah ini dianggap telah sesuai dengan kesepakatan internasional Deklarasi Paris (2005), Accra Agenda for Action (2008) dan Doha 33 Conference . Indonesia memandang agar kesepakatan-kesepakatan global itu menjadi langkah konkrit tidak hanya retorik maka harus ada komitmen
150
bersama di tingkat nasional masingmasing negara penerima Official Development Assistance (ODA) untuk mewujudkan pemanfaatan ODA yang lebih efektif, dengan semangat mengubah dari Donorship menuju Ownership yang dipercaya sebagai solusi bagi efektifnya pemanfaatan pinjaman luar negeri. Setelah dua tahun CGI resmi dibubarkan, implementasi ―The Jakarta Commitment‖ terus dioptimalkan. Di penghujung jabatannya, Paskah mengatakan, pihaknya terus mendorong agar pemerintah dapat mengimplementasikan Deklarasi Paris, mengingat selama ini negara pengutang senantiasa menentukan syarat-syarat yang rumit untuk pengelolaan utang. Implementasi Deklarasi Paris dapat membantu memperbaiki kinerja manajemen utang dan ke depan dapat menurunkan rasio utang atas Produk Domestik Bruto (PDB). Sebagai contoh, India pada tahun 2000 rasio utangnya sekitar 25 persen dan dalam lima tahun melalui Deklarasi Paris, India bisa menekan menjadi hanya lima persen34. Kebijakan tentang M&E terkait implementasi prinsip-prinsip Deklarasi Paris di Indonesia belum diatur secara khusus atau melekat dalam pelaksanaan M&E reguler. Namun memang Indonesia senantiasa berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan survei, monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh core evaluation team OECD setiap periode dua tahunan. Selain itu pemerintah melalui Jakarta Commitment cukup membuktikan keseriusannya untuk
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
mencapai prinsip-prinsip aid effectiveness yang dilahirkan melalui Deklarasi Paris dengan membentuk Aid for Development Effectiveness Secretariate (A4DES)35 yang saat ini tengah mulai bekerja dalam koridor Jakarta Commitment. 2.
Penutup
Mackay36 dalam bukunya mengatakan ketika visi tentang sistem
M&E yang berfungsi sepenuhnya telah dirumuskan, maka perlu disusun rencana aksi untuk mencapai visi tersebut. Tentu saja tidak masuk akal untuk mengembangkan suatu rencana aksi jika tidak ada tuntutan kuat terhadap optimalisasi fungsi M&E dari pemerintah. Rencana aksi dapat pula dirancang untuk memastikan bahwa seluruh pemangku kepentingan utama turut memainkan peran penting dalam melaksanakan sistem M&E.
Gambar 8 Pemrakarsa dalam Situasi Perubahan
Sumber: Checkland and Scholes (1990), dalam Michael C. Jackson, System Thinking: Creative Holism for Managers (2003, p. 189
Di dalam rencana aksi juga harus dimasukkan komponen pemrakarsa yang akan menjadi faktor
151
penting bagi berjalan atau tidaknya proses penyempurnaan kebijakan M&E. Dalam gambar di atas, Checkland dan Scholes menggambarkan posisi pemrakarsa (improvers) yang Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
cukup strategis dan memungkinkan bagi upaya penerimaan sistem yang baru ke dalam sistem yang sudah mapan. Keberadaan pemrakarsa akan memungkinkan proses pengawalan perubahan mulai dari proses analisa masalah, fasilitasi penyempurnaan kebijakan hingga implementasi. Selain itu diperlukan insentifinsentif khusus untuk lebih memperkuat melekatnya sistem yang baru tersebut. Insentif tersebut dapat berupa perpaduan antara imbalan, hukuman dan penyuluhan. Dengan kata lain, akan merupakan suatu kekeliruan untuk membuat rencana aksi yang semata-mata terfokus pada isu-isu teknokratis pada sisi supply. Memperkuat sistem M&E yang ada atau membangun sistem yang baru sama sekali dapat dilakukan melalui banyak cara. Senada dengan Checkland dan Scholes, Mackay juga menyaratkan adanya champion terhadap pengembangan sistem M&E yang baru. Selain itu dia mengemukakan bahwa isuisu implementasi yang perlu diantisipasi dalam rencana aksi antara lain mencakup hal-hal berikut: Pertama, Ujicoba terhadap sistem M&E yang baru, dengan catatan bahwa jika berhasil, maka sistem dan pendekatan yang baru tersebut akan diarusutamakan. Hal ini dapat dilakukan melalui kementerian atau badan yang akan dijadikan percontohan, misalnya, Bappenas bersama dengan Kementerian Keuangan yang telah memiliki komitmen yang kuat untuk melakukan dan menggunakan M&E, dan yang telah
152
memiliki rekam-jejak yang sukses, melalui A4DES sangat disarankan. Proyek percontohan dapat pula dikembangkan pada proyek tertentu hingga level daerah. Program percontohan seperti evaluasi cepat atau evaluasi dampak yang cermat dapat juga dipertimbangkan sebagai alat evaluasi khusus jika baru ada sedikit pengalaman, atau bahkan tidak ada sama sekali pengalaman menggunakannya di negara bersangkutan; Selanjutnya terkait, Kedua, Kapan dan seberapa cepat pengarusutamaan harus berlangsung. Mackay menceritakan bahwa di Chile, arusutama sistem M&E dilakukan secara bertahap yakni ujicoba pengukuran indikator kinerja pada 1994, tinjauan cepat pada 1996, evaluasi dampak yang cermat pada 2001, tinjauan pengeluaran komprehensif pada 2002. Adapun Meksiko berencana untuk mengarusutamakan sistem M&E secara keseluruhan kepada pemerintah yang baru selama periode tiga tahun, yaitu 2007-200937; Ketiga, kecepatan implementasi sebuah rencana aksi jelas sangat penting. Akan ada isu menyangkut ―kemampuan mencerna‖ (digestibility)—seberapa banyak serta seberapa cepat perubahan atau reformasi sistem M&E dapat diserap oleh kementerian-kementerian dan badan-badan yang ada. Dari hasil studi Mackay terhadap negara-negara yang telah berhasil menciptakan sistem M&E, dinyatakan bahwa hal tersebut merupakan upaya jangka panjang yang memerlukan kesabaran dan ketekunan;
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
sebaliknya, para pendukung M&E di dalam pemerintah cenderung tidak sabar ketika mereformasi sistem M&E mereka. Pelajaran lainnya adalah sistem M&E harus dilembagakan secepatnya sebelum para pendukung M&E itu pada akhirnya berlalu; Lebih lanjut, Keempat, guna mengidentifikasi seberapa sukses berbagai komponen dari sistem itu telah diimplementasikan, akan membantu jika dilakukan M&E secara berkala terhadap pelaksanaan sistem M&E itu sendiri. Hal ini penting untuk menyediakan landasan yang kokoh untuk perubahan-perubahan yang diperlukan menyangkut sifat, skala, dan waktu implementasi dari rencana aksi. Dan, hal ini jelas penting jika suatu pendekatan uji-coba telah diadopsi; kemudian, Kelima, Rencana aksi diharapkan fokus pada seluruh atau sebagian dari pemangku kepentingan mulai dari K/L, pemerintah daerah, Parlemen, dan kelompok-kelompok masyarakat sipil, termasuk universitas, lembaga riset dan LSM; Adapun, keenam, Aksi-aksi yang umumnya diambil, misalnya, meliputi penyediaan pelatihan M&E; penetapan undang-undang, dekrit atau peraturan baru yang diperlukan; menyiapkan pedoman dan standar M&E sebagai turunan dari sistem yang baru; memperkuat dan menyelaraskan sistem pemantauan; dan melakukan berbagai jenis evaluasi, seperti tinjauan cepat (rapid reviews) dan evaluasi dampak yang cermat (rigorous impact evaluation).
153
Rencana aksi untuk membangun sistem M&E pemerintah harus disesuaikan dengan kondisi masingmasing negara dan dengan visi pemerintah tentang sistem M&E mendatang. Visi tersebut akan mencakup penggunaan spesifik yang dikehendaki dari informasi pemantauan dan temuantemuan evaluasi, apakah nantinya sistem ini dimaksudkan sebagai sistem untuk keseluruhan pemerintah (whole-ofgovernment system) ataukah hanya untuk masing-masing kementerian atau badan; pada level pemerintahan mana sistem ini akan diterapkan; alat-alat M&E yang akan digunakan; dan seterusnya. Rencana aksi yang konkrit akan membantu memfokuskan para pemangku kepentingan utama baik pihak pemerintah maupun pihak donor. Hal ini juga membantu dalam menyediakan tolok-ukur guna mengukur kemajuan yang dicapai dalam upaya mewujudkan visi tentang sistem M&E di masa mendatang-dengan melakukan M&E berkala terhadap sistem tersebut maupun rencana aksi. Hal ini tidak hanya akan membantu untuk mengidentifikasi peluang-peluang yang muncul, tetapi juga memungkinkan kesulitan-kesulitan implementasi dapat diidentifikasi lebih awal dan ditangani. Hasil studi Mackay menyatakan bahwa munculnya hambatan dan peluang tersebut juga dialami oleh banyak negara. Oleh karenanya dengan adanya berbagai tantangan tersebut, sistem M&E pemerintah biasanya tidak berkembang secara linier dan dapat diprediksi dengan mudah.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
3.
Kesimpulan
Aid ineffectiveness telah menjadi perhatian internasional baik oleh negara peminjam maupun development partner. Artikel di atas mencoba menunjukkan berbagai lintasan peristiwa penting yang terjadi di dalam negeri yakni proses reformasi yang berjalan mulai dari reformasi tata negara, hukum, hingga ke reformasi anggaran, perencanaan, dan pengelolaan utang luar negeri yang menjadi pendorong upaya penataan pinjaman/hibah luar negeri di Indonesia. Sementara itu Deklarasi Paris yang disepakati pada tahun 2005 menjadi momentum yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Internasional dan mengakselerasi upaya penataan pinjaman/hibah luar negeri sekaligus menjadi pemicu dideklarasikannya Komitmen Jakarta di Indonesia pada awal tahun 2009. Di dalam artikel ini juga mengungkap bahwa keseluruhan peristiwa penting yang mengiringi upaya penataan pinjaman/hibah luar negeri tersebut menggarisbawahi Monitoring dan Evaluasi (M&E) sebagai konsensus bersama untuk mendorong efektivitas utang luar negeri ke arah yang lebih baik. Bola aid effectiveness sudah berada di kaki pemerintah, apa yang coba dituliskan dalam artikel ini mencoba memetakan dan mengidentifikasi apa yang perlu menjadi catatan dan rujukan dalam mengaktualisasikan konsep aid
154
effectiveness dan M&E ke dalam aksi yang lebih konkrit. 4.
Rekomendasi
Berdasarkan penjelasan di atas, maka langkah-langkah berikut perlu untuk segera mendapatkan perhatian pemerintah dan pemangku kepentingan terkait lainnya, yakni: a. Pemerintah perlu menyusun rencana aksi yang jelas untuk mendorong fungsi monitoring dan evaluasi bagi efektifnya pemanfaatan pinjaman/hibah luar negeri. b. Melakukan pemetaan peran dan fungsi terhadap seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan M&E dan pengelolaan pinjaman/hibah luar negeri c. Bersama-sama dengan seluruh pemangku kepentingan, duduk bersama dan mengkaji seluruh peraturan dan regulasi yang terkait dengan M&E dan pinjaman/hibah luar negeri untuk merumuskan rekomendasi kebijakan M&E pinjaman/hibah luar negeri yang tepat dan menjawab persoalan d. Sebagai tindak lanjut atas deklarasi Komitmen Jakarta, hendaknya Bappenas selaku pemrakarsa, melalui Aid for Development Effectiveness Secretariate (A4DES) menjalin prakarsa strategis dengan Kementerian/Lembaga dan Development Partner dan secara rutin melakukan sosialisasi kegiatan penataan pinjaman/hibah luar negeri untuk membangun kesadaran dan
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
kepedulian bersama terhadap efektivitas pemanfaatan pinjaman/hibah luar negeri e. Melaksanakan evaluasi kinerja berkala terhadap A4DES terkait berjalannya prakarsa strategis efektivitas pemanfaatan pinjaman/hibah luar negeri
155
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
Daftar Referensi Bappenas (2009); Laporan Akhir Kajian Dampak Pemantauan Pendanaan Pembangunan Terhadap Kinerja Pelaksanaan Pinjaman Luar Negeri, Direktorat Pendayagunaan Pendanaan Pembangunan ________(2008); Laporan Kegiatan Koordinasi Dan Konsolidasi Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Tahun Anggaran 2008, Direktorat Sistem dan Pelaporan Evaluasi Kinerja Pembangunan ________(2008); Laporan Kajian Kebijakan Evaluasi, Direktorat Sistem dan Pelaporan Evaluasi Kinerja Pembangunan ________(2007); Laporan Kinerja Pelaksanaan Proyek Pinjaman Luar Negeri Triwulan III 2007 ________(2004); Borrowing Strategy Burnside, Craig & David Dollar (2000); Aid, policies, and growth, The American Economic Review Dollar, David, & Lant Pritchett (1998); World Bank Assessing Aid, What Works What Doesn‟t, and Why, A World Bank Policy Research Report, Oxford University Press, New YorkUSA Hukum Online (2009); Laporan Audit BPK, Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum BPK, 30 Januari 2009 Hanik, Umi Pengembangan
156
(2010); Pola
Analisis dan
Penyelarasan Kebijakan Monitoring dan Evaluasi Pinjaman dan Hibah Luar Negeri Untuk Efektivitas Pendanaan Pembangunan Nasional: Studi Kasus Indonesia Paska Kesepakatan Deklarasi Paris, Universitas Indonesia. Jackson, Michael C. (2003); System Thinking: Creative Holism for Managers, University of Hull, John Wiley & Sons Ltd, West Sussex-UK Jerve, Alf Morten, & Espen Villanger (January 2008); The Challenge of Assessing Aid Impact: A Review of Norwegian Evaluation Practice, Study 1/2008; Norwegian Agency for Development Cooperation, Norway Kaplan, Robert S, & David P. Norton (2006); Alignment: Using the Balanced Scorecard to Create Corporate Synergies, Harvard Business School Press Mackay, Keith (2008); Membangun Sistem Pemantauan dan Evaluasi, Untuk Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Lebih Baik; Independent Evaluation Group/IEG, Terjemahan Rudy Harisyah Alam, World Bank Peraturan Menteri (Permen) PPN/Ka Bappenas No 05 Tahun 2006: Tata Cara Perencanaan Dan Pengajuan Usulan Serta Penilaian Kegiatan Yang Dibiayai Dari Pinjaman Dan/Atau Hibah Luar Negeri, (2006); Bappenas
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 Tahun 2006: Tata Cara Pengendalian Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, (2006); Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 2006: Tata Cara Pengadaan Pinjaman Dan/Atau Penerimaan Hibah Serta Penerusan Pinjaman dan/Atau Hibah Luar Negeri, (2006); Pietersen, Willie (2002); Reinventing Strategy: Using Strategic Learning to Create & Sustain Breakthrough Performance, John Wiley & Sons, Inc., New York-USA Porter, M.E. (1996); What is strategy?, Harvard Business Review (NovemberDecember 1996) Rolph van der Hoeven (2000); Assessing Aid and Global Governance: Why poverty and redistribution objectives matter; Employment Paper 2000/8, Employment Sector International Labour Office (ILO), GenevaSwitzerland. Rostiati, Tetty (2006); Evaluasi Kebijakan Pinjaman Luar Negeri: Studi Kasus Pinjaman JBIC, UI, 2006 Wangwe, Samuel M (1997; p.6); The Management Of Foreign Aid In Tanzania: Economic And Social
1
2
157
Research Foundation Discussion Paper No. 15
(ESRF)
World Bank (2008): Review Financing for Development, OECD
on
World Bank (2007); Results-Based National Development Strategies: Assessment and Challenges Ahead __________ (pp. ix, xv); The Role and Effectiveness of Development Assistance : Lessons from World Bank Experiences, Washington DC __________(2004); Monitoring and Evaluation: Some Tools, Methods & Approaches; Washington DC __________(1998); Assessing Aid: What Works, What Doesn‟t, and Why; Oxford University Press, New YorkUSA __________Does Aid works? Oxford : Clarendon Press : p. 31
http://bappenas.go.id http://dmo.org http://indec-indonesia.org/ http://infid-news.blogspot.com/ http://www.oecd.org/ http://wikipedia.org/id
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengendalian Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No 05 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Perencanaan Dan Pengajuan Usulan SertaPenilaian Kegiatan Yang Dibiayai Dari Pinjaman Dan/Atau Hibah Luar Negeri.
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
3
4 5
6
7 8
9 10
11
12
13 14 15 16 17
158
Lihat juga Manzer, Ronald (1984): Public Policy-Making as Practical Reasoning; Canadian Journal of Political Science; Vol. XVII:3;pp.577-594 Hanik, Umi (2010) sub bahasan 3.1.1-3.1.3 Kaplan, Robert S. & David P Norton (2006); Alignment: Using the Balanced Scorecard to Create Corporate Synergies, Harvard Business School Press Many corporations are like an uncoordinated shell. They consist of wonderful business units, each populated by highly trained, experienced, and motivated executives. But the efforts of the individual business units are not coordinated. At best, the units don‟t interfere with each other, and the corporate performance equals the sum of the individual business units‟ performance minus the cost of the corporate headquarters. More likely, however, some of the business units‟ effort create conflicts over shared customers or share resources, or the unit lose opportunities for even higher performance by failing to coordinate their actions. Their combined results fall considerably short of what they could have achieved had they worked better together, Ibid Dalam Rostiati, Tetty (2006) DSGE menjadi satu indikator yang menunjukkan seberapa besar potensi pembiayaan pembangunan atau belanja negara yang dikorbankan untuk membayar kembali pinjaman luar negeri pemerintah berikut bunganya. Semakin besar opportunity cost yang harus dikorbankan, semakin besar pula tekanan bagi kemampuan pemerintah dalam membiayai pembangunan (Borrowing Strategy, Bappenas 2004). Laporan Kinerja Pelaksanaan Proyek Pinjaman Luar Negeri, Triwulan III 2007 Masalah backlog terkait dengan replenishment yaitu pengeluaran yang telah membebani rekening khusus tetapi belum diajukan pertanggungjawabannya sekaligus memperoleh penggantian ke Bank Dunia. dari 22 proyek pinjaman Bank Dunia tercatat 10 proyek memiliki presentase backlog cukup tinggi Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk menciptakan/meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok, dalam memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian, dan kesejahteraannya. Pemberdayaan masyarakat memerlukan keterlibatan yang lebih besar dari perangkat pemerintah daerah serta berbagai pihak untuk memberikan kesempatan dan menjamin keberlanjutan berbagai hasil yang dicapai. (Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Selaku Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan No: 25/Kep/Menko/Kesra/VII/2007 Tentang Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (Selanjutnya disebut Pedum PNPM : 2007)) Dollar, David & Lant Pritchett (1998): World Bank Assessing Aid, What Works What Doesn‟t, and Why, A World Bank Policy Research Report, Oxford University Press Burnside dan Dollar (1998) World Bank (1998) Ravallion dan Chen (1997) Burnside dan Dollar (1998) Kementerian Negara atau Lembaga yang masuk pemeriksaan adalah Departemen Keuangan, Bappenas, Departemen Pertanian, Departemen ESDM, Departemen Perhubungan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perdagangan, BPPT, dan LIPI. Sedangkan perusahaan BUMN yang dimaksud adalah PLN, PGN, Pelni, KAI, PAL, Jasamarga, PTPN VI dan PTPN XIII menyebutkan bahwa sejak 25 Juli 2008 terdapat 2.214 Loan Arrangement (LA) dengan status fully disbursed dan active dengan nilai kurang lebih Rp 917,06 triliun. Dari jumlah tersebut, BPK mengambil sampel 64 LA senilai Rp 44,88 triliun dengan status 30
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
18
19
20
21
159
LA berstatus fully disbursed dan 34 LA berstatus active. (Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum BPK, Hukum Online, 30 Januari 2009) Pertama, sistem pencatatan pinjaman LN dapat menghasilkan informasi mengenai pinjaman LN secara handal sehingga tidak ada sumber informasi mengenai posisi dan penarikan pinjaman LN yang dapat dipercaya yang dapat digunakan Pemerintah Indonesia dalam pengambilan keputusan. Kedua, pengarsipan dan pendokumentasian proses perencanaan, pelaksanaan, pelaporan dan pengevaluasian pinjaman LN tidak tertib sehingga evaluasi dan pengawasan atas pengelolaan PLN tidak dapat berjalan secara efektif. Ketiga, karena ketidakmampuan pemerintah memenuhi persyaratan administratif yang ditentukan, terdapat penarikan pinjaman dari rekening khusus (Reksus) maupun Dana Talangan Pemerintah yang berisiko tidak mendapatkan penggantian dari lender minimal sebesar Rp5,04 miliar dan ASD4,23 juta. Keempat, terdapat 61 Reksus dengan saldo Rp74,34 miliar yang belum ditutup walaupun closing date pinjaman telah lewat sehingga pemerintah harus menanggung beban bunga atas sisa dana di Reksus tersebut walaupun tidak dimanfaatkan. Kelima, pengendalian atas barang/aset negara yang berasal dari dana pinjaman LN tidak memadai sehingga terdapat risiko kehilangan dan penyalahgunaan barang atau aset negara senilai Rp207,79 miliar. Keenam, proses perencanaan pada enam naskah perjanjian tidak mengikuti prosedur yang telah ditetapkan diantaranya tidak dilakukan studi kelayakan dan tidak termasuk proyek yang terdaftar dalam Daftar Rencana Pinjaman Hibah Luar Negeri (DRPHLN) atau buku biru. Ketujuh, biaya asuransi dan biaya komitmen dari sisa plafon pinjaman dalam LA yang dipersyaratkan lender memberatkan keuangan negara dan tidak efisien. Delapan, biaya jasa bank penatausahaan yang dipersyaratkan dalam SLA minimal sebesar Rp36.38 miliar memberatkan BUMN. Sembilan, pelaksanaan 25 proyek yang didanai dari pinjaman LN terlambat diantaranya mengakibatkan tambahan beban negara berupa commitment fee eskalasi harga minimal sebesar Rp2,02 triliun. Sepuluh, terdapat hasil dari sembilan proyek pinjaman LN senilai Rp438,47 miliar tidak dimanfaatkan sesuai tujuan semula. Sebelas, terdapat hasil enam proyek pinjaman LN tidak/berpotensi tidak dimanfaatkan optimal. Dua belas, kebijakan Pemerintah Daerah untuk melakukan pemecahan kontrak dalam Implementasi Loan ADB No.1587-INO Metro Medan Urban Development Project tidak sesuai dengan LA sehingga proyek ditangguhkan selama 2 tahun. Tiga belas, bebrapa penerima pinjaman tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar pinjaman sesuai perjanjian penerusan pinjaman (Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum BPK, Hukum Online, 30 Januari 2009). Joachim menilai reformasi sistem penganggaran menjadi modal bagi Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan kinerja ekonominya. Di antaranya, dengan potensi penciptaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, peningkatan investasi, dan layanan publik. Reformasi anggaran juga merupakan sarana untuk mencapai sistem tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Reformasi anggaran di Indonesia mengusung tiga tema besar yaitu aplikasi anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting), anggaran yang terkonsolidasi (unified budget) dan kerangka anggaran jangka menengah (medium term budget framework) Dimaksudkan untuk 1) Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah, maupun antar pusat dan daerah; 2) Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; 3) Mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan; dan 4) Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
22
23
24 25
26 27
28
29
30 31
160
Melalui evaluasi kinerja pelaksanaan pembangunan akan dihasilkan informasi kinerja yang dapat menjadi masukan bagi proses perencanaan dan penganggaran. Harapannya program pembangunan menjadi lebih efisien, efektif, disertai dengan akuntabilitas pelaksanaannya yang jelas. Keberhasilan pencapaian sasaran pada semua tingkat pelaksana pembangunan akan dapat diukur dengan menggunakan indikator kinerja yang telah didefinisikan secara tepat sebelumnya. Deklarasi Paris tentang Efektivitas Bantuan : Kepemilikan, Harmonisasi, Penyejajaran, Hasil dan Akuntabilitas Timbal-balik. Forum Tingkat Tinggi di Paris 28 Februari-2 Maret 2005. Dihadiri oleh Menteri-menteri Negara-negara Berkembang dan Maju yang bertanggung jawab atas peningkatan pembangunan dan Kepala-kepala Lembaga Pembangunan Multilateral maupun bilateral. Dit. Sistem dan Pelaporan Evaluasi Kinerja Pembangunan, Bappenas 2008 Hal ini terlihat dari: 1) kurangnya sinkronisasi terhadap informasi perkembangan pelaksanaan rencana pembangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah; 2) kurang terkoordinasinya perkembangan pelaksanaan rencana pembangunan antara Kementerian/Lembaga di pusat dan daerah; 3) hasil pemantauan dan evaluasi belum sepenuhnya digunakan sebagai umpan balik untuk bahan perencanaan selanjutnya; 4) hasil pemantauan dan evaluasi belum terkompilasi dengan baik; 5) terjadinya inefisiensi pemantauan dan evaluasi karena pelaksanaan yang tumpang tindih; dan 6) masih banyaknya jenis format pelaporan yang harus disampaikan oleh pihak pelaksana rencana pembangunan. Dalam Direktorat Sistem dan Pelaporan Evaluasi Kinerja Pembangunan, Bappenas (2008): Laporan Kegiatan Koordinasi Dan Konsolidasi Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Tahun Anggaran 2008 Ibid InDEC (Indonesian Development Evaluation Community) merupakan wadah bagi para praktisi, pelaku, dan pemerhati M&E dari kalangan profesional, aparat pemerintah baik dari kementerian/lembaga (K/L) atau daerah, parlemen, aktivis NGO, jurnalis, akademisi, dan pekerja di sektor swasta yang mempunyai visi dan misi guna mewujudkan fungsi pengawasan dan evaluasi pembangunan untuk Indonesia yang lebih baik. Secara khusus, pembentukan wadah bagi evaluator tersebut dimaksudkan untuk membangun dan mengembangkan hubungan kerja antar praktisi, pelaku, dan pemerhati M&E untuk menciptakan nilai tambah dan manfaat yang besar bagi penciptaan iklim dan profesi M&E di Indonesia ke arah yang lebih baik dan kondusif sehingga berbagai masalah yang ada terkait dengan belum optimalnya kinerja pelaksanaan M&E di Indonesia dapat terjawab. Dengan optimalnya kinerja pelaksanaan M&E di Indonesia, maka diharapkan secara sekaligus juga akan mendorong kinerja pembangunan nasional ke arah yang lebih baik pula. Lihat http://indec-indonesia.org (2009) Kepala UKP4 adalah Kuntoro Mangkusubroto, yang penunjukan dan pelantikannya dilakukan bersamaan dengan Kabinet Indonesia Bersatu II, Http://wikipedia.org/id Kesimpulan berbagai laporan kajian yang dilaksanakan oleh Bappenas mencakup: (1) Laporan Akhir Kajian Dampak Pemantauan Terhadap Kinerja Proyek Pinjaman Luar Negeri, Dit Pendayagunaan Pendanaan Pembangunan Bappenas, 2009; (2) Laporan Kegiatan Koordinasi dan Konsolidasi Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Tahun Anggaran 2008, Direktorat Sistem dan Pelaporan Evaluasi Kinerja Pembangunan, Bappenas 2008; (3) Laporan Kajian Kebijakan Evaluasi, Direktorat Sistem dan Pelaporan Evaluasi Kinerja Pembangunan, Bappenas 2008 Http://indec-indonesia.org/ Dokumen tersebut berisi kesepakatan bersama untuk melaksanakan langkah-langkah baik pada masing-masing pihak maupun secara bersama bagi peningkatan efektifitas pinjaman/
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010
Umi Hanik | Heru Subiyantoro
32
33 34
35
36
37
161
hibah luar negeri menuju tercapainya efektifitas pembangunan nasional. Dokumen Jakarta Commitment ditandatangani oleh 22 mitra kerja sama pembangunan multilateral dan bilateral. Kesepakatan bersama ini untuk melaksanakan langkah-langkah baik pada masing-masing pihak maupun secara bersama bagi peningkatan efektivitas pinjaman/hibah luar negeri dalam pembangunan dengan mengedepankan fungsi monitoring dan evaluasiKomitmen yang disepakati pada pertemuan di Jakarta tersebut ditandatangani pada 12 Januari 2009 bersama-sama antara Pemerintah Indonesia dengan negara dan lembaga multilateral pemberi pinjaman/ hibah luar negeri. Dokumen tersebut berisi kesepakatan bersama untuk melaksanakan langkah-langkah baik pada masing-masing pihak maupun secara bersama bagi peningkatan efektifitas pinjaman/ hibah luar negeri menuju tercapainya efektifitas pembangunan nasional. Dokumen Jakarta Commitment ditandatangani oleh 22 mitra kerja sama pembangunan multilateral dan bilateral. Wakil-wakil Development Partner yang menandatangi Jakarta commitment adalah, Asian Development Bank, Australia, Asutria, Canada, European Commission, Finlandia, France, Agence Francaise de Development, Germany, Italy, Japan, Japan Internasional Cooperation Agency, Korea, The Netherlands, New Zealands, Norway, Poland, Sweden, United Kingdom, United State of America, United Nations, dan World Bank (Bappenas, 2009). Review on Financing for Development (2008). Paskah Suzetta adalah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dalam Kabinet Indonesia Bersatu menggantikan Sri Mulyani (7 Desember 2005 – 22 Oktober 2009), Berita Sore: Paskah: 100 Hari Pertama Sebaiknya Perbaiki Regulasi, Rabu, Okt 21, 2009 Key operating principles of the A4DES are: 1) Government led; 2) Inclusive of development partners and governmental stakeholders and building upon existing networks; 3) Responsive to policy needs as identified by decision-making organizations at multiple levels, by being legitimate and policy-relevant; 4) Underpinned by result of monitoring and relevant assessment processes; 5) Monitored from the outset with procedures for measuring its effectiveness; 6) Evolving and subject to critical review as appropriate (Http://www.a4des.org) Independent Evaluation Group/IEG, Bank Dunia (Terjemahan Rudy Harisyah Alam): Membangun System Pemantauan dan Evaluasi, Untuk Mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Lebih Baik Hernandez, 2007, Dalam Ibid
Jurnal BPPK Vol. I Tahun 2010