JURNAL BPPK
Volume 2, Tahun 2011
STAF EDITORIAL Pengarah: Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
Ketua: Dodi Iskandar
Dewan Editor: Prof. Dr. Heru Subiyantoro, M.Sc. Dr. Yoopi Abimanyu, Ph.D. Drs. Tony Rooswiyanto, M.Sc Kusmanadji, Ak., MBA.
Editor: Heni Kartikawati Bambang Juli Istanto Marihot Tarigan Ganti Lis Ariyadi Sugeng Satoto RS Wisnu Wardhana Hariadi
Anggota: Chairul Denyl Setiawan Haritsa Pambudi Gawe Renny Sukmono Retno Wulan Rio Suareski
Alamat Sekretariat: Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Jl. Purnawarman No. 99 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Telp. (021) 7394666 ext. 253, 7204131 Faks. (021) 7261775, 7244328 Website : www.bppk.depkeu.go.id E-mail :
[email protected]
Daftar Isi
UJI EMPIRIS MODEL DELONE DAN MCLEAN TERHADAP KESUKSESAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN DAERAH (SIMDA) Trisacti Wahyuni
l Uji Empiris Model DeLone dan McLean 3-25 Terhadap Kesuksesan Sistem Informasi Manajemen Daerah (SIMDA) (Trisacti Wahyuni) l The Impact of Government Expenditure on 26-37 Poverty: Case of Java 1996, 1999 and 2002 (Rahadi Nugroho) l Analisis Persistensi Inflasi Daerah : Studi Kasus Sumatera Barat 38-63 (Agung Bayu Purwoko, Feny Yurastika) l Corruption and Investment: Evidence from Southeast Asia 63-85 (Ferry Ardiyanto) l Dampak Penerbitan SUN Domestik Terhadap 85-106 Perkembangan Sektor Perbankan (G.A. Diah Utari, Ina Nurmalia Kurniati, Ndari Surjaningsih)
ABSTRACT Regional Management Information System (SIMDA) is an application/system developed by the Financial and Development Supervisory Agency (BPKP) since 2003 to assist local governments in financial management. This application helps the local governments to implement integrated financial management, start from budgeting, accounting, administration, until reporting. Up to now, more than 230 local governments apply SIMDA. Does SIMDA have been successfully help local government to implement financial management? How to measure the success ful of implementation of SIMDA? The question will be tested from this study using the model of DeLone and McLean, which is a model to assess the success of a system. Based on the model of DeLone and McLean, I developed nine hypotheses. The study was conducted using questionnaires sent to users of SIMDA of local government in West Java, Central Java and East Java. After conducting tests on the nine hypotheses using the Structural Equation Model (SEM), in general, it can be said that the DeLone and McLean success model of information systems are empirically proven significantly in the successful implementation of SIMDA espe cially in the research object. Keywords: Regional Management Information System (SIMDA), Information Sys tem Success, DeLone and McLean Model.
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
3
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ehadiran teknologi informasi telah mem berikan banyak pengaruh terhadap organisasi, proses bis nis dan transaksinya. Teknologi infor masi (TI) telah memberikan berbagai sarana bagi manajemen dalam me ngelola bisnis dan pembuatan ke pu tusannya. Sistem informasi yang di dukung TI dapat memberikan nilai tam bah bagi organisasi jika didesain menjadi sistem informasi yang efektif, sis tem informasi yang menandakan bahwa sistem tersebut sukses. Sistem Informasi Manajemen Daerah (SIMDA) merupakan program aplikasi yang di kembangkan oleh BPKP sejak tahun 2003 untuk membantu pemda dalam pengelolaan keuangan daerah. Dengan aplikasi ini pemda dapat melaksanakan pe ngelolaan keuangan daerah secara terintegrasi, dimulai dari penganggaran, pe natausahaan hingga akuntansi dan pelaporannya. Apakah sistem tersebut telah sukses membantu pengelolaan ke uangan daerah? Bagaimana mengukur keberhasilan implementasi SIMDA ter sebut? Pertanyaan tersebut yang akan diuji dalam penelitian ini. Pengukuran atau penilaian kualitas suatu sistem informasi yang efektif su lit dilakukan secara langsung seperti pengukuran biaya-manfaat (Laudon dan Laudon, 2000). Kesulitan penilaian kesuksesan dan keefektifan sistem in formasi secara langsung mendorong banyak peneliti mengembangkan mo del untuk menilai kesuksesan sistem in formasi. Model kesuksesan sistem infor masi telah banyak dikembangkan oleh para peneliti (Bailey dan Person, 1983; De Lone dan McLean, 1992; Seddon,
K
4
1997; dan Rai et al., 2002). Salah satu penelitian yang sangat terkenal adalah penelitian yang dilakukan oleh DeLone dan McLean (1992) yaitu sebuah model ke suksesan sistem informasi yang di kembangkan oleh mereka. Sejak di ke nalkan tahun 1992 dan diperbaharui tahun 2003, model kesuksesan sistem informasi yang dikembangkan oleh DeLone dan McLean (D&M IS Success Model), telah banyak diterapkan di be be rapa penelitian empiris untuk men je laskan kesuksesan dari suatu sis tem informasi. Model DeLone dan McLean (1992) menyatakan bahwa ke suksesan sistem informasi dapat direpresentasikan oleh karakteristik ku a litatif dari sistem informasi itu sendiri (system quality), kualitas output dari sistem informasi (in formation quality), penggunaan output (use), respon pengguna terhadap sistem informasi (user satisfaction), pengaruh sis tem informasi terhadap kebiasaan pengguna (individual impact), dan pe nga ruhnya terhadap kinerja organisasi (organizational impact). Pada tahun 2005 D&M IS Success Model dikembangkan di sektor publik oleh Livari (2005), untuk melihat mo del kesuksesan implementasi sistem informasi keuangan dan akuntansi se bagai hasil dari reformasi secara nasi o nal sistem keuangan dan akuntansi kota praja di kota Oulu, Finlandia. Livari (2005) menguji secara empiris Model DeLone dan McLean tersebut. Hasilnya mem buktikan bahwa kesuksesan sis tem informasi dipengaruhi oleh kua litas sistem informasi dan kualitas in for masi yang dihasilkan dari sistem yang bersangkutan. Penelitian empiris terhadap Model DeLone dan McLean (1992) yang dilakukan oleh McGill et al. (2003) menemukan bahwa ku a Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
litas sistem dan kualitas informasi me rupakan prediktor yang signifikan bagi kepuasan pengguna sistem. Sedang kan kepuasan pengguna sistem juga me rupakan prediktor yang signifikan ba gi intensitas penggunaan sistem dan dampak individual. Studi lain yang di lakukan Livari (2005) menunjukkan hasil bahwa kualitas sistem dan kualitas in formasi merupakan prediktor yang signifikan bagi kepuasan pengguna, na mun tidak signifikan terhadap intensitas penggunaan sistem tersebut, dan ke pu asan pengguna juga merupakan prediktor yang signifikan bagi dampak ter hadap individu. Hasil penelitian Livari (2005) tersebut berbeda de ngan temuan McGill et al. (2003). Hal ini dapat menjadikan argumentasi re search gap yang mendorong dilakukan nya pengujian empiris terhadap Mo del DeLone dan McLean (1992) pada obyek yang berbeda. Penelitian Livari (2005) menggunakan obyek pada penggunaan sistem yang bersifat mandatory, sehing ga intensitas penggunaan sistem bukan merupakan indikator kesuksesan sistem informasi yang dikembangkan. Berhubung masih belum banyak pe nelitian di bidang sistem informasi dalam domain akuntansi sektor sektor publik di Indonesia dan, peneliti melakukan pengujian D&M IS Success Model terhadap user SIMDA baik di tingkat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD), Dinas Pendapatan Daerah dan unit-unit kerja lain yang menangani keuangan daerah. SIMDA mulai dikembangkan oleh BPKP pada tahun 2003 dan saat ini sudah le bih dari 230 pemda yang menerapkan SIMDA tersebut untuk membantu pemda menangani pengelolaan keuangan
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
daerah. Masa pengembangan dan implementasi sistem yang telah berlangsung 7 (tujuh) tahun dirasakan telah cukup untuk mengevaluasi dan menilai apakah sistem informasi tersebut dapat dikatakan sukses yang di ukur dengan kepuasan pengguna (user satisfaction) dan meningkatkan pro duktivitas kinerja penggunanya, baik secara individual maupun organisasional. 1.2 Masalah Penelitian Penelitian ini ingin menguji kesuksesan SIMDA dengan menggunakan Model DeLone dan McLean (1992) dan melihat hubungan antar variabel menurut model tersebut. Sesuai model terse but, rumusan pertanyaan penelitian ada lah sebagai berikut: a. Apakah kualitas informasi (informa tion quality) dan kualitas sistem (system quality) berpengaruh positif terha dap kepuasan pengguna sistem (user satisfaction)? b. Apa kah kualitas informasi dan kualitas sistem berpengaruh positif terhadap intensitas penggunaan sistem (use of system)? c. Apa kah kepuasan pengguna (user satisfaction) berpengaruh positif terhadap intensitas penggunaan sistem? d. Apakah intensitas penggunaan sistem dan kepuasan pengguna sistem berpengaruh positif terhadap indi vidual impact? e. Apakah intensitas penggunaan sistem dan kepuasan pengguna sistem berpengaruh positif terhadap organi zational impact? f. Apakah individual impact berpenga ruh positif terhadap organizational impact?
5
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan me ng evaluasi apakah SIMDA yang di kem bangkan oleh BPKP dapat dikatakan ber hasil atau sukses dan mempunyai dam pak positif terhadap kinerja in di vidu maupun organisasi dengan meng gunakan Model DeLone dan McLean (1992). Secara rinci tujuan pe ne litian adalah sebagai berikut: a. Menguji hubungan kualitas sistem terhadap kepuasan pengguna. b. Menguji hubungan kualitas informasi terhadap kepuasan pengguna. c. Menguji hubungan kualitas sistem terhadap intensitas penggunaan sis tem. d. Menguji hubungan kualitas informasi terhadap intensitas penggunaan sis tem. e. Menguji hubungan kepuasan peng guna terhadap intensitas pengguna an sistem. f. Menguji hubungan intensitas peng gu naan sistem terhadap kepuasan pengguna. g. Menguji hubungan kepuasan peng guna terhadap dampak individu. h. Menguji hubungan intensitas peng gunaan sistem terhadap dampak in dividu. i. Menguji hubungan dampak individu terhadap dampak organisasi. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris tentang mo del kesuksesan pengembangan dan im ple mentasi SIMDA. Bagi institusi yang me ngembangkan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan umpan ba lik untuk meningkatkan pelayanan sis tem informasi dan pemeliharaan
6
sis tem informasi yang bersangkutan. Bagi pengguna, hasil penelitian ini di harapkan dapat meningkatkan ke pe dulian dan pemahaman mereka tentang kesuksesan dan manfaat yang diberikan oleh SIMDA dalam meningkatkan kinerja individu dan organisasi. 2. KERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESA 2.1 Pengertian Sistem Informasi Sistem informasi didefinisikan seba gai seperangkat komponen yang saling ber hubungan yang berfungsi meng umpulkan, memproses, menyimpan, dan mendistribusikan informasi un tuk mendukung pembuatan keputusan dan pengawasan dalam organisasi (Laudon dan Laudon, 2000). Sistem informasi berbasis komputer merupa kan sekelompok perangkat ke ras dan perangkat lunak yang dirancang untuk mengubah data menjadi informasi yang bermanfaat. Penggunaan perangkat ke ras dan perangkat lunak tersebut dimak sudkan untuk menghasilkan informasi secara cepat dan akurat (Bodnar dan Hopwood, 2000). Bodnar dan Hopwood (1996) me nya takan bahwa perancangan sis tem ada lah penentuan proses dan da ta yang diperlukan oleh sistem ba ru. Perancangan merupakan pro ses pe nerjemahan kebutuhan peng gu na in formasi ke dalam alternatif rancangan sistem informasi yang diajukan ke pada pengguna informasi untuk diper timbangkan. Perancangan sistem ada lah penyiapan kebutuhan pengguna informasi dengan membangun alternatif rancangan sistem infromasi un tuk mengembangkan suatu sistem baru.
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
2.2 Kesuksesan Sistem Informasi Perancangan sistem informasi di ha rapkan dapat berfungsi secara efektif, yang menandakan bahwa pe ngembangan sistem informasi tersebut suk ses. Radityo dan Zulaikha (2007) dan Laudon dan Laudon (2000), me nya takan bahwa menggambarkan ke suk sesan sistem merupakan hal yang sulit. Penggunaan analisis biaya-manfaat tidak dapat dilakukan secara sempurna karena tidak semua manfaat dapat diku antifikasi. Dalam banyak penelitian (Ives et al., 1983; Bailey dan Pearson, 1983; Doll dan Torkzadeh, 1988; Seddon dan Yiew, 1992; Mahmood et al. 2000; Doll et al. 2004; Livari, 2004; Landrum dan Pry butok, 2004), kesuksesan sistem in formasi diproksikan oleh kepuasan pengguna (user satisfaction). Namun, KUALITAS SISTEM
kepuasan pengguna terhadap sis tem (user satisfaction on system), sikap yang positif (favorable attitude) pengguna terhadap sistem tersebut, ter capainya tujuan sistem informasi (achieved ob jectives), dan imbal balik keuangan (fi nancial payoff). DeLone dan McLean (1992) juga menyusun mo del untuk menggambarkan kesuksesan sistem in formasi. 2.3 Kesuksesan Sistem Informasi berda sarkan Model DeLone dan McLean Kerangka pikir teoritis DeLone dan McLean (1992) dikenal dengan DeLone and McLean Model of Information System Success (D&M IS Success). Model D&M IS Success dapat dilihat pada gambar 1. Pengukuran kesuksesan sistem
INTENSITAS PENGGUNAAN DAMPAK INDIVIDU
KUALITAS INFORMASI
DAMPAK ORGANISASI
KEPUASAN PENGGUNA
Gambar 1. Model DeLone dan McLean
peng gunaan kepuasan pengguna se ba gai proksi ini mendapat kritik dari Markus dan Keil (1994). Mereka dengan kri tis mengungkapkan kepuasan tidak akan bermakna banyak ketika sistem itu tidak menyebabkan peningkatan kinerja individu dan organisasi. Perkembangan selanjutnya, Laudon dan Laudon (2000) mengguna kan 5 va riabel untuk mengukur ke suksesan sis tem informasi. Variabel-variabel ter sebut adalah tingkat penggunaan yang tinggi (high level of system use), Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
informasi dengan D&M IS Success Model menggunakan enam dimensi yaitu kualitas sistem, kualitas informasi, kepuasan pengguna, intensitas peng gunaan, dampak individu, dan dampak organisasi. Kualitas sistem dan kualitas infor masi merupakan dua dimensi pertama pada D&M IS Success Model, dimana ku alitas sistem menunjukkan kualitas produk dari aplikasi sistem informasi dan kualitas informasi menunjukkan ku alitas produk yang dihasilkan oleh
7
ap likasi sistem informasi. Kedua ku alitas tersebut, menentukan sikap da ri pengguna sebagai penerima in formasi. Penggunaan sistem dan infor masi memiliki pengaruh kepada peng guna dan pada sistem. Pengaruh pada pengguna akan menentukan kepuasan pengguna dan dampak pada individual. Pengaruh dari sistem akan mempenga ruhi dampak terhadap organisasi. Selanjutnya kualitas sistem (system quality) dan kualitas informasi (infor mation quality) yang baik, yang ditun jukkan oleh manfaat output sistem, dapat berpengaruh terhadap tingkat penggunaan sistem yang bersangkutan (intended to use) dan kepuasan peng guna (user satisfaction). Dengan me nganut definisi bah wa kualitas sis tem berarti kualitas dari kom binasi hardware dan software dalam sistem informasi (DeLone dan McLean, 1992), maka dapat disimpulkan bahwa sema kin baik kualitas sistem dan ku alitas output sistem yang diberikan, misalnya dengan cepatnya waktu untuk meng akses, dan kegunaan dari output sis tem, akan menyebabkan pengguna ti dak merasa enggan untuk melakukan penggunaan kembali (reuse); dengan demikian intensitas penggunaan sis tem akan meningkat. Penggunaan yang berulang-ulang ini dapat dimak nai bahwa penggunaan yang dilakukan bermanfaat bagi pengguna. Tingginya derajat manfaat yang diperoleh meng akibatkan pengguna akan lebih puas. Penggunaan sistem informasi yang te lah dikembangkan mengacu pada seberapa sering pengguna memakai sistem informasi. Semakin sering pengguna memakai sistem informasi, biasanya diikuti dengan semakin ba nyaknya tingkat pembelajaran (degree
8
of learning) yang didapat pengguna atas sistem informasi (Mc Gill et al., 2003). Peningkatan derajat pem be la jaran ini merupakan salah satu in dikator adanya pengaruh sistem ter hadap kualitas pengguna (individual impact). Selanjutnya kepuasan peng guna akan berpengaruh terhadap indi vidu (individual impact). Individual impact merupakan pe ngaruh dari keberadaan dan peng gu naan sistem informasi terhadap ki nerja, pengambilan keputusan, dan de rajat pembelajaran individu da lam or ganisasi. Penerapan sistem in for masi berdampak pada reaksi yang di tunjukkan oleh perilaku individu dalam or ganisasi. Reaksi itu dapat berupa munculnya motivasi baru untuk bersa ing dan meningkatkan kinerja. Secara positif keberadaan sistem informasi akan menjadi rangsangan (stimulus) dan tantangan bagi individu dalam organisasi untuk bekerja secara lebih baik, yang pada gilirannya berdampak pada kinerja organisasi. Organizational impact merupakan dam pak dari sistem informasi ter ha dap kinerja organisasi di mana sistem in formasi diterapkan. Peneliti di bi dang perilaku menyatakan bahwa pe nerapan sistem informasi dapat meng u bah hirarki pengambilan keputusan dan menurunkan biaya untuk distribusi informasi. Keberadaan sistem informasi dapat memangkas fungsi dan mana jer tingkat menengah. Dengan ter pa ngkasnya fungsi manajer tingkat menengah ini maka keputusan dapat diambil secara lebih cepat dan lebih murah, begitu juga dengan distribusi in formasi. Hal ini merupakan alasan yang menguatkan bahwa keberadaan sistem informasi dapat meningkatkan Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
kualitas kinerja organisasi. Model kesuksesan sistem informasi DeLone dan McLean tersebut banyak digunakan untuk mengevaluasi model kesuksesan pengembangan sistem in formasi diantaranya adalah Mc Gill et al. (2003) dan Livari (2005). Model ter sebut menggunakan variabel an teseden yang terdiri dari kualitas sistem (system quality) dan kualitas informasi (information quality), serta va riabel konsekuensi yang terdiri dari dam pak individu (individual impact) dan dampak organisasi (organizational im pact). Hasil penelitian mereka konsis ten, kecuali pada penelitian Livari dua variabel anteseden tidak berpengaruh ter hadap intensitas penggunaan sis tem. Hal ini dikarenakan penelitian Li vari (2005) menggunakan obyek penelitian pada penggunaan sistem in formasi yang bersifat mandatori. 2.4 Hipotesa Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, dirumuskan sembilan hipotesa sebagai berikut: H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9
3. METODE PENELITIAN 3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer be ru pa kuesioner yang berisi persepsi res ponden dengan skala Likert 1-5. Unit analisis penelitian ini adalah res ponden yang menggunakan SIMDA yang ada pada unit-unit yang menge lola keuangan daerah dan akuntansi di pemerintah daerah provinsi, kabu paten dan kotamadya (SKPD, BPKD, dan unit kerja lainnya). Pe ngumpulan data dilakukan dengan metode survei me lalui kuesioner yang di kirimkan ke pada responden. Sebelum di kirimkan kepada responden, peneliti melakukan uji pendahuluan atas ku esioner untuk meyakinkan bahwa kalimat yang ada da lam kuesioner dapat dipahami dengan benar oleh responden. Uji pendahuluan ini dilakukan terhadap 20 responden pengguna SIMDA. Hasil uji pendahuluan menjadi acuan untuk memperbaiki kue sioner yang digunakan. Setelah uji pen
Kualitas sistem informasi (system quality) berpengaruh positif terhadap kepuasan penggunanya (user satisfaction) Kualitas informasi (information quality) berpengaruh positif terhadap user sat isfaction. Intensitas penggunaan sistem informasi berpengaruh positif terhadap kepuasan pengguna sistem infomasi (user satisfaction) Kualitas sistem (system quality) berpengaruh positif terhadap intensitas pengunaan sistem informasi. Kualitas informasi (information quality) berpengaruh positif terhadap intensitas penggunaansistem informasi. Kepuasan pengguna sistem infomasi (user satisfaction) berpengaruh positif terhadap intensitas penggunaan sistem informasi. Kepuasan pengguna sistem informasi (user satisfaction) berpengaruh positif terhadap dampak individu (individual impact). Intensitas penggunaan sistem informasi berpengaruh positif terhadap dampak individu (individual impact). Dampak individu (Individual Impact) berpengaruh positif terhadap dampak organisasi (organizational impact).
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
9
dahuluan, kuesioner dikirimkan melalui e-mail ke alamat responden. 3.2 Model Penelitian Penelitian ini menggunakan bentuk Structural Equation Model (SEM). Penggunaan SEM dengan programnya (LISREL, EQS, atau PLA) dapat meningkatkan teknis analisis dalam riset sistem informasi (Chin dan Todd, 1995). Model penelitian yang digunakan adalah model DeLone dan McLean (1992). Model struktural yang dikembangkan berdasarkan model DeLone dan McLean (1992) adalah sebagai berikut:
KUA1
KUA6
KUALITAS SISTEM (DAM1)
PEN1
sistem semakin tinggi/baik menurut per sepsi pengguna. Sebaliknya, se makin rendah skor ini berarti kualitas sistem semakin rendah/buruk menurut persepsi pengguna.
a. Variabel Kualitas Sistem (System Quality) = DAM1 Kualitas sistem berarti kualitas dari kombinasi hardware dan software dalam sistem informasi dan fokusnya adalah kinerja dari sistem. Indikator yang digunakan adalah 6 yang di a daptasi dari Bailey dan Pearson (1983) yaitu fleksibilitas sistem (flexi bility of the system), integrasi sistem (in tegration of the system), waktu respon/perubahan (response/turn
b. Variabel Kualitas Informasi (Information Quality)= DAM2 Information quality merujuk pa da output dari sistem informasi, me nyangkut nilai, manfaat, relevansi, dan urgensi dari informasi yang dihasilkan (Pitt dan Watson, 1997). Variabel ini meng gambarkan kualitas informasi yang dipersepsikan oleh pengguna yang diukur dengan 6 indikator yang diadaptasi dari Bailey dan Pear son (1983) yaitu kelengkapan (complet eness), ketepatan (precision), ke akuratan (accuracy), keandalan (re liability), konsistensi (consistency), kekinian (currency) dan bentuk dari keluaran (format of output). Namun, indikator keandalan (reliability) yang terdapat di Bailey dan Pearson (1983) di ganti dengan konsistensi (consis tency). Persepsi responden terhadap indikator tersebut diukur dengan skala Likert 1-5. Semakin tinggi skor variabel ini berarti kualitas informasi semakin tinggi/baik menurut persepsi penggu na. Sebaliknya, semakin rendah skor ini berarti kualitas informasi semakin ren dah/buruk menurut persepsi pengguna.
PEN2
INTENSITAS PENGGUNAAN (DAM3)
KUALITAS INFORMASI (DAM2)
KUI1
informasi, intensitas penggunaan sistem informasi, individual impact, dan organizational impact. Definisi dan operasionalisasi variabel adalah sebagai berikut:
KUI 6
KEPUASAN PENGGUNA (DAM4)
KEP1
DAMPAK ORGANISASI (DAM6)
DAMPAK INDIVIDU (DAM5)
DIN1
DIN5
KEP4
Gambar 2. Model Penelitian
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel Variabel penelitian ini dapat diklasifikasikan ke dalam variabel eksogen dan variabel endogen. Variabel eksogen terdiri atas kualitas sistem dan kualitas informasi, sedangkan variabel endogen terdiri atas kepuasan pengguna sistem
10
arountime), kenyamanan akses (con venience of acces), pemulihan (reco very) dan bahasa (language). Namun, indikator bahasa yang ada di Bailey dan Pearson (1983) diganti dengan user friendly. Persepsi responden ter hadap indikator tersebut diukur de ngan skala Likert 1-5. Semakin ting gi skor variabel ini berarti kualitas
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
c. Variabel Intensitas Penggunaan Sistem Informasi = DAM3 Intensitas penggunaan informasi mengacu pada seberapa sering pengguna memakai sistem informasi. Dalam kaitannya dengan hal ini penting untuk membedakan apakah penggunaannya termasuk keharusan yang tidak bisa dihindari atau sukarela. Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
Variabel ini diukur dengan indikator yang hanya terdiri dari dua item yaitu penggunaan waktu harian (daily use time) dan frekuensi penggunaan (fre qu ency of use). Persepsi responden ter hadap indikator tersebut diukur dengan skala Likert 1-5. Semakin tinggi skor variabel ini berarti penggunaan sis tem semakin tinggi intensitasnya me nurut persepsi pengguna. Se baliknya, semakin rendah skor ini ber arti penggunaan sistem semakin ren dah intensitas penggunaannya. d. Variabel User Satisfaction = DAM4 Kepusasan pengguna sistem (user satisfaction) merupakan respon dan umpan balik yang dimunculkan pengguna setelah memakai sistem in for masi. Sikap pengguna terhadap sis tem informasi merupakan kriteria sub yektif mengenai seberapa suka peng guna terhadap sistem yang di gu nakan. Variabel ini diukur dengan indikator yang diadaptasi dari McGill et. al (2003) yang terdiri atas 3 item, yaitu efisiensi (efficiency), efektivi tas (effectiveness) dan kepuasan (sa tisfaction). Selanjutnya ditambahkan satu indikator, yaitu bahwa sis tem sudah sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian terdapat 4 indikator untuk mengukur kepuasan. Per sep si responden terhadap indikator ter sebut diukur dengan skala Likert 1-5. Semakin tinggi skor variabel ini berarti pengguna semakin. Sebaliknya, se makin rendah skor ini berarti pengguna semakin tidak puas. e. Variabel Individual Impact = DAM5 Individual impact merupakan pengaruh keberadaan dan penggunaan sistem informasi terhadap kualitas
11
kinerja pengguna secara individual. Dalam penelitian ini, variabel individual impact diukur dengan 5 item yang di usulkan oleh Livari (2005), yaitu memberikan manfaat (useful), me mudahkan pekerjaan (easier), mem percepat pekerjaan (more quickly), meningkatkan produktivitas (produc tivity) dan meningkatkan efektivitas pekerjaan (effectiveness). Persepsi res ponden terhadap indikator tersebut di ukur dengan skala Likert 1-5. Se ma kin tinggi skor variabel ini berarti peng gunaan sistem semakin memiliki dam pak terhadap kinerja individu. Se baliknya, semakin rendah skor ini ber arti penggunaan sistem semakin rendah dampaknya terhadap kinerja individu. g. Variabel Organizational Impact = DAM6 Organizational impact merupakan pengaruh keberadaan dan penggunaan sistem informasi terhadap kualitas kinerja organisasi. Dalam penelitian ini, variabel organizational impact diukur dengan single indicator yaitu hasil produktivitas (productivity gain) yang diukur dengan peningkatan kinerja organisasi berupa pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik dan penyusunan laporan keuangan yang lebih cepat dan akurat. Persepsi responden terhadap indikator tersebut diukur dengan skala Likert 1-5. Semakin tinggi skor variabel ini berarti penggunaan sistem semakin memiliki dampak terhadap kinerja organisasi. Sebaliknya, semakin rendah skor ini berarti penggunaan sistem semakin rendah dampaknya terhadap kinerja organisasi. 3.4 Penentuan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah
12
pengguna sistem informasi manajemen daerah (SIMDA)/ bendahara SKPD dan SKPKD di pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berdasarkan karakteristik tersebut diperoleh jumlah populasi ± 250 responden yang poten sial. Hair et al (1995) menemukan bah wa ukuran sampel yang diuji dengan structural equation modeling yang s esuai antara 100-200 (Ferdinand, 2002). Dengan mengasumsikan jumlah sampel yang kembali 50% dari populasi maka sampel ditargetkan 125 responden. Penentuan sampel dilakukan secara pur posive sampling yaitu sampel berasal dari responden yang melakukan aktivitas operasionalnya, baik di SKPD maupun di SKPKD yang menggunakan SIMDA.
Pembuatan diagram model struktural lengkap dilakukan secara manual me ngombinasikan hasil pengolahan mo del pengukuran dan model struktural.
3.5 Metode Analisis Data yang berasal dari kuesioner yang telah diisi dan dikembalikan oleh responden diolah dengan menggunakan Structural Equation Modelling (SEM). Pengujian model dalam penelitian ini di lakukan dengan menggunakan perang kat lunak Linear Structural Relationship (LISREL) 8.8 student edition. Jumlah variabel yang terlibat dalam model adalah 24 variabel teramati dan 6 variabel laten. Aplikasi yang digunakan adalah LISREL 8.8 Student Edition yang hanya mampu mengolah maksimal se banyak 15 variabel. Oleh karena itu pe ng o lahan dilakukan dua tahap yaitu pengolahan model pengukuran dan se lanjutnya dilakukan pengolahan model struk tural. Model struktural dipecah menjadi empat model pengukuran. Dengan menghitung goodness of fit, reliability, dan validity masing-masing model dapat disimpulkan keterkaitan fung sional antara variabel model.
4.2 Tahapan dan Hasil Pengujian Pengujian dilakukan dengan meng ikuti tahapan yang berlaku dalam SEM menggunakan piranti lunak Lisrel 8.8 Student Edition. Terdapat dua langkah pengujian yang harus dilakukan (Hair et al, 1995), yaitu pengujian kecocokan model pengukuran dan pengujian ke cocokan model struktural.
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBA HASAN 4.1 Demografi Responden Kuesioner yang dikirim melalui e-mail sejumlah 250 set, dan 120 ek semplar kuesioner yang kembali serta dapat diolah. Jumlah responden ter sebut terdiri atas: 72 orang (60%) pria, dan 48 orang (40%) wanita. Distribusi res ponden menurut pendidikan D3: 43 orang (35,83%) dan S1: 77 orang (64,17%) dan semua responden bersta tus pegawai negeri sipil.
a. Kecocokan Model Pengukuran Pengujian kecocokan model pe ng ukuran dilakukan terhadap setiap ke lompok konstruk secara terpisah melalui evaluasi terhadap validitas dan reliabilitas konstruk (Wijanto, 2008). 1. Uji Validitas Uji validitas untuk butir-butir per ta nyaan ditunjukkan oleh nilai t dan standardized loading factors. Untuk nilai t harus berada di atas nilai kritis, yaitu 1,96 dan standardized loading factors lebih besar dari 0,5 (Iqbaria et Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
al, 1997). Butir-butir pertanyaan yang ti dak memenuhi kriteria valid ter se but tidak dapat diikutkan dalam peng ujian selanjutnya. Loading factors un tuk masing-masing indikator terhadap variabel laten disajikan dalam bentuk hubungan-hubungan yang di gam barkan dalam diagram path yang di peroleh dengan menjalankan program Lisrel 8.8 Student Edition. Hasil • Variabel laten Kualitas Sistem (DAM1) terdiri dari 6 variabel ter amati, yaitu KUA1 s.d KUA6. Ha sil pengolahan atas 6 variabel ter amati tersebut menunjukkan bahwa nilai standardized loading factors untuk keenam variabel > 0,5. Sehingga keenam variabel ter sebut dapat digunakan untuk pe ngujian selanjutnya karena sudah merepresentasikan konstruk yang diukur. Pengujian goodness of fit model pengukuran juga menun jukkan good fit. • Variabel laten Kualitas Informasi (DAM2) diukur dari 6 variabel teramati, yaitu KUI1 s/d KUI6. Hasil pengolahan menunjukkan bah wa nilai standardized loading factors untuk keenam variabel ter se but > 0,5. Sehingga keenam variabel tersebut dapat digunakan un tuk pengujian selanjutnya ka re na sudah merepresentasikan kon struk yang diukur. Pengujian good ness of fit model pengukuran juga menunjukkan good fit • Variabel laten Intensitas Peng gunaan (DAM3) diukur dari 2 va ri a bel teramati, yaitu PEN1 dan PEN2. Karena variabel teramati yang menjadi indicator hanya 2
13
bu ah, maka salah satunya harus diberikan nilai fixed yaitu 0,01 un tuk error variance-nya. Nilai stan dard ized loading factors untuk kedua variabel tersebut > 0,5, se hing ga kedua variabel tersebut dapat digunakan untuk pengujian se lanjutnya. Pengujian goodness of fit model pengukuran juga me nunjukkan good fit • Variabel laten Kepuasan Pengguna (DAM4) diukur dari 4 variabel ter amati yaitu KEP1 s/d KEP4. Nilai stan dardized loading factors un tuk keempat variabel tersebut > 0,5, sehingga keempat variabel ter sebut dapat digunakan untuk pe ngujian selanjutnya. Pengujian goodness of fit model pengukuran juga menunjukkan good fit. • Variabel laten Dampak Individu (DAM5) diukur dari 5 variabel ter a mati yaitu DIN1 s/d DIN5. Nilai standardized loading factors untuk kelima variabel tersebut > 0,5, se hing ga kelima variabel tersebut dapat digunakan untuk pengujian selanjutnya. Pengujian goodness of fit model pengukuran juga me nunjukkan good fit • Variabel laten Dampak Organisasi (DAM6) hanya dilakukan pe ng u kuran dengan 1 variabel yaitu kiner ja organisasi. Dar i keseluruhan 24 variabel ter a mati yang menjadi indikator untuk ma sing-masing variabel laten dalam penelitian ini, ternyata seluruhnya me miliki loading factors diatas 0,5 sehing ga dapat digunakan untuk pengolahan lebih lanjut. 2. Uji Reliabilitas Uji reliabilitas bertujuan untuk me
14
nguji konsistensi dari butir-butir per ta nyaan/pernyataan yang ada dalam kuesioner. Pengujian dilakukan dengan menghitung construct reliability dan variance extracted dari masing-masing variabel teramati (Hair et al, 1995). Un tuk menghitung construct reliability dan variance extracted digunakan ru mus sebagai berikut: Jika hasil perhitungan construct re liability lebih besar dari 0,70 dan vari ance extracted lebih besar dari 0,50, Construct reliability = (∑ std loading)2
2
(∑ std loading) + ∑ ej
Variance Extracted =
∑ std loading2
∑ std loading2 + ∑ ej
Dimana: Std. loading adalah standardized loading; ej adalah measurement error
maka dapat dikatakan bahwa construct reliability sudah baik (Wijanto, 2008) . Ringkasan hasil perhitungan cons truct reliability dan variance extracted untuk masing-masing variabel laten di sajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Construct Reliability Dan Variance Extracted Untuk Masing-Masing Variabel Laten Construct Reliability Nilai ≥ 0.70
Variance Extracted Nilai ≥ 0.50
Kualitas Sistem
0,82
0,44
Reliable dan marginally valid
Kualitas Informasi
0,80
0,40
Reliable dan marginally valid
Penggunaan Sistem
0,84
0,74
Reliable dan valid
Kepuasan Pengguna
0,84
0,58
Reliable dan valid
Dampak Individu
0,80
0,45
Reliable dan marginally valid
Variabel Laten
Pengujian model struktural di la kukan dengan menggunakan re gre si berganda terhadap variabel-variabel laten. Variabel laten dihitung ber dasarkan skor yang diperoleh dari hasil penghitungan model peng uku ran. Perhitungan skor sudah memper timbangkan loading factor masing-ma sing variabel teramati. 2 Analisis Persamaan Struktural Analisis ini dilakukan terhadap koefisien-koefisien persamaan struktural dengan menspesifikasikan tingkat sig nifikansi tertentu. Analisis model struk tural ini menguji hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini. Untuk me ng uji hipotesa yang diajukan, peneliti meng
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
gunakan 4 persamaan yang merupakan 4 model struktural. a. Model Struktural 1 Model Struktural 1 menguji hipotesa 1, 2, dan 3, yaitu menguji keterkaitan 4 variabel terrdiri dari DAM1 (Kualitas Sis tem), DAM2 (Kualitas Informasi), DAM3 (In tensitas Penggunaan), dan DAM4 (Kepuasan Pengguna). Variabel DAM4 bertindak sebagai variabel dependen, sedangkan 3 variabel lainnya (DAM1, DAM2, DAM3) bertindak sebagai va riabel independen. Dari persamaan dalam model struktural pertama di atas, dapat di lihat bahwa semua variabel indepen den, ya itu DAM1 (Kualitas Sistem),
Hipotesa: Kualitas sistem informasi (system quality) berpengaruh positif terhadap kepua san penggunanya (user satisfaction)
H1
b. Kecocokan Model Struktural 1. Analisis kecocokan keseluruhan model Analisis pengujian kecocokan ke seluruhan model tidak dapat dilakukan karena aplikasi Lisrel yang digunakan adalah Lisrel 8.8 Student Edition yang memiliki keterbatasan dalam me ngolah model, yaitu maksimal 15 var i abel. Sementara itu, penelitian ini menggunakan 30 variabel penelitian.
Kesimpulan
Kualitas informasi (information quality) berpengaruh positif terhadap kepuasan penggunanya (usersatisfaction). Intensitas penggunaan sistem informasi berpengaruh positif terhadap kepuasan pengguna sistem infomasi (user satisfaction)
H2 H3
Hasil: DAM4 = 0.779 + 0.441*DAM1 + 0.213*DAM2 + 0.207*DAM3 + Error, R2 = 0.477 Standerr (0.311) (0.111) (0.116) Z-Values 2.493 3.954 1.836 P-Values 0.013 0.000 0.066 Error Variance = 0.294 Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
(0.0975) 2.125 0.034
15
DAM2 (Kualitas Informasi) dan DAM3 (Intensitas Penggunaan Sistem) menunjukkan hubungan yang positif dan signifikan secara statistik dengan DAM4 (kepuasan pengguna sistem). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis 1, 2 dan 3 terbukti. b. Model Struktural 2 Model Struktural 2 menguji hipotesa 4, 5, dan 6, yaitu menguji keterkaitan 4 variabel terdiri dari DAM1 (Kualitas Sistem), DAM2 (Kualitas Informasi), DAM3 (Intensitas Penggunaan), dan DAM4 (Kepuasan Pengguna). Variabel DAM3 bertindak sebagai variabel dependen, sedangkan 3 variabel lainnya (DAM1, DAM2, DAM4) bertindak seba-
gai variabel independen Dari persamaan dalam model struktural kedua di atas, dapat dilihat bahwa semua variabel independen, yaitu DAM1 (Kualitas Sistem), DAM2 (Kualitas Informasi) dan DAM4 (Kepuasan Pengguna Sistem) menunjukkan hubungan yang positif dan signifikan secara statistik dengan DAM3 (Intensitas Penggunaan Sistem). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis 4, 5 dan 6 terbukti. c. Model Struktural 3 Model Struktural 3 menguji hipotesa 7 dan 8, yaitu menguji keterkaitan 3 variabel terdiri dari DAM3 (Intensitas Penggunaan), DAM4 (Kepuasan Peng-
guna), dan DAM5 (Dampak Individu). Variabel DAM5 bertindak sebagai variabel dependen, sedangkan 2 variabel lainnya (DAM3 dan DAM4) bertindak sebagai variabel independen. Hipotesa Dari persamaan dalam model struktural ketiga di atas, dapat dilihat bahwa variabel DAM4 (Kepuasan pengguna sistem) berhubungan positif signifikan dengan DAM5 (Dampak In-
H5 H6
Kualitas sistem (system quality) berpengaruh positif terhadap intensitas peng gunaan sistem informasi. Kualitas informasi (information quality) berpengaruh positif terhadap intensitas penggunaan sistem informasi Kepuasan pengguna sistem infomasi (user satisfaction) berpengaruh positif terhadap intensitas penggunaan sistem informasi.
Hasil: DAM3 = -0.301 + 0.375*DAM1 + 0.490*DAM2 + 0.181*DAM4 Standerr (0.311) (0.111) (0.116) (0.0975) Z-Values 2.493 3.954 1.836 2.125 P-Values 0.013 0.000 0.066 0.034
Kepuasan pengguna sistem informasi (user satisfaction) berpengaruh positif terhadap dampak individu (individual impact)
H8
Intensitas penggunaan sistem informasi berpengaruh positif terhadap dampak individu (individual impact)
Hasil: DAM5 = 2.092 + 0.0720*DAM1 + 0.424*DAM2 + Error, R2 = 0.434 Standerr (0.203) (0.595) (0.0624) Z-Values 10.311 1.210 6.806 P-Values 0.000 0.226 0.000 Error Variance = 0.165
Individu) dengan DAM6 (Dampak Or ganisasi). Variabel DAM6 bertindak se ba gai variabel dependen, sedangkan DAM5 bertindak sebagai variabel independen. Dari persamaan dalam model struk tural keempat di atas, dapat dilihat bah wa variabel DAM5 (Dampak Individu)
ber hubungan positif dan signifikan dengan variabel DAM6 (Dampak Organisasi). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis 9 terbukti. Dari keempat persamaan tersebut ter lihat bahwa persamaan tersebut memiliki tingkat signifikansi yang baik. Untuk menilai seberapa baik coeffi
Hipotesa: H9
Dampak individu (Individual Impact) berpengaruh positif terhadap dampak organisasi (organizational impact).
Hasil: DAM6 = -0.614 + 1.101*DAM5 +Error, R2 = 0.499 Standerr (0.404) (0.101) Z-Values -1.520 10.849 P-Values 0.128 0.000 Error Variance = 0.353
+ Error, R2 = 0.585
16
d. Model Struktural 4 Model Struktural 4 menguji hipotesa 9, yaitu menguji keterkaitan 2 variabel terdiri dari DAM5 (Dampak
H7
Hipotesa: H4
dividu). Sedangkan variabel DAM3 (Intensitas Penggunaan Sistem) berhubungan positif namun tidak signifikan dengan DAM5 (Dampak Individu). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesa 7 terbukti, sedangkan hipotesa 8 tidak terbukti.
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
17
cient of determination dari persamaan struktural, akan dilihat dari besaran R2 (Wijanto, 2006). Model pertama memiliki R2 = 47,7% yang berarti bahwa model ini mampu menjelaskan 47,7% dari perubahan pada variabel laten Kepuasan Pengguna . Model kedua memiliki R2 = 58,5% yang berarti bahwa model ini mampu menjelaskan 58,5% dari perubahan pada variabel laten Intensitas Penggunaan Sistem. Model ketiga memiliki R2 = 43,4% yang berarti bahwa model ini mampu menjelaskan 43,4% dari perubahan pada variabel laten Dampak Individu. Model keempat memiliki R2 = 49,9% yang berarti bahwa model ini mampu menjelaskan 49,9% dari perubahan
pada variabel laten Dampak Organisasi. Kesimpulan yang dapat ditarik dari uji ini adalah bahwa keempat model struktural sudah cukup baik. Dari tabel 2 terlihat bahwa hipotesa 1-7 dan hipotesa 9 terbukti, sedangkan hipotesa 8 tidak terbukti. Hasil path diagram pada gambar 3 menunjukkan model struktural yang dihasilkan dari hasil pengolahan model pengukuran dan model struktural.
Gambar 3. Path Diagram Model Struktural
0,26
KUA1
0,99
PEN1
0,01
0,70
PEN2
0,16
DIN1
0,39
DIN2
0,25
DIN3
0,28
DIN4
0,24
DIN5
0,24
DAM3 0,40
KUA2
0,51 0,59
4.3 Analisa Hasil Pengujian Hasil model persamaan struktural terkait hipotesa pertama menunjukkan bahwa kualitas sistem (DAM1) terbukti secara signifikan mempengaruhi kepu asan pengguna (DAM4). Hasil ini sesuai
0,35
KUA3
0,51
KUA4
0,56
0,56
0,37
0,07
DAM1
0,87
0,20
0,67
0,66
0,44
0,70
DAM5 0,25
KUA5
0,71
0,68 0,71
0,26
Tabel 2. Nilai T-Value Untuk Masing-Masing Hipotesis Hipotesa
Path
Estimasi
Nilai ρ - Value
0,18 0,42
Kesimpulan
H1
DAM1→DAM4
0,441
0,000
signifikan
H2
DAM2→DAM4
0,213
0,066
signifikan
H3
DAM3→DAM4
0,207
0,034
signifikan
H4
DAM1→DAM3
0,375
0,000
signifikan
H5
DAM2→DAM3
0,490
0,000
signifikan
H6
DAM4→DAM3
0,181
0,034
signifikan
H7
DAM4→DAM5
0,424
0,000
signifikan
H8
DAM3→DAM5
0,072
0,266
Tidak signifikan
H9
DAM5→DAM6
1,101
0,000
signifikan
0,26
KUI1
0,30
KUI2
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
0,51
1,10
DAM6
0,49
0,61
1,00
0,61 0,39
KUI3
0,52 0,80
0,21
KUI4
0,62
0,26
DAM2
KUI5
0,69
KUI6
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
DOR1
0,01
KEP1
0,24
KEP2
0,39
KEP3
0,28
KEP4
0,08
0,65 0,21
DAM4
0,67 0,59
0,36
0,28
18
KUA6
1,06
19
hasil yang diperoleh DeLone dan Mc Lean (1992) . Seddon dan Kiew (1996), Mc Kiney et al (2002), Rai et al. (2002), dan MGill et al.(2003). Sehingga dapat disimpulkan bahwa berdasarkan per sepsi pengguna, semakin tinggi kuali tas sistem (SIMDA) maka semakin me ningkatkan kepuasan pengguna. Hasil pengujian hipotesa kedua menunjukkan bahwa kualitas informasi (DAM2) terbukti secara signifikan mempengaruhi kepuasan pengguna (DAM4). Hasil ini sesuai hasil yang di peroleh DeLone dan Mc Lean (1992) . Seddon dan Kiew (1996), Mc Kiney et al (2002), Rai et al. (2002) dan MGill et al.(2003). Sehingga dapat disimpulkan bahwa berdasarkan persepsi penggu na, semakin tinggi kualitas informasi yang dihasilkan dari sistem (SIMDA) maka semakin meningkatkan kepuasan pengguna. Hasil pengujian hipotesa ketiga me nun jukkan bahwa intensitas peng gu naan (DAM3) terbukti secara signifikan mempengaruhi kepuasan pengguna (DAM4). Sehingga dapat di simpulkan bahwa berdasarkan persepsi pengguna, semakin tinggi intensitas penggunaan sistem (SIMDA) maka semakin mening katkan kepuasan pengguna. Hasil pengujian hipotesa keempat me nunjukkan bahwa kualitas sistem (DAM1) terbukti secara signifikan mempengaruhi intensitas penggunaan (DAM3). Hasil ini sesuai hasil yang di peroleh DeLone dan Mc Lean (1992) dan MGill et al.(2003). Sehingga, da pat disimpulkan bahwa berdasarkan persepsi pengguna, semakin tinggi ku alitas sistem (SIMDA) maka semakin meningkatkan intensitas penggunaan. Hasil pengujian hipotesa kelima menunjukkan bahwa kualitas informasi
20
(DAM2) terbukti secara signifikan mempengaruhi intensitas penggunaan (DAM3). Hasil ini sesuai hasil yang di peroleh DeLone dan Mc Lean (1992) dan MGill et al.(2003). Sehingga da pat disimpulkan bahwa berdasarkan per sepsi pengguna, semakin tinggi kualitas informasi yang dihasilkan dari sis tem (SIMDA) maka semakin me ningkatkan intensitas penggunaan. Hasil pengujian hipotesa keenam menunjukkan bahwa kepuasan peng guna (DAM4) terbukti secara signifikan mempengaruhi intensitas penggunaan (DAM3). Sehingga dapat disimpulkan bahwa berdasarkan persepsi penggu na, semakin tinggi kepuasan pengguna atas sistem (SIMDA) maka semakin meningkatkan intensitas penggunaan. Hasil pengujian hipotesa ketujuh menunjukkan bahwa kepuasan peng guna (DAM4) terbukti secara signifi kan mempengaruhi dampak individu (DAM5). Sehingga dapat disimpulkan bahwa berdasarkan persepsi penggu na, semakin tinggi kepuasan pengguna atas sistem (SIMDA) maka semakin memberikan dampak meningkatkan kinerja individu. Hasil pengujian hipotesa kedelapan menunjukkan bahwa intensitas peng gunaan (DAM3) tidak terbukti mem pengaruhi dampak individu (DAM5). Se hingga dapat disimpulkan bahwa ber dasarkan persepsi pemakai, se ma kin tinggi intensitas penggunaan sis tem (SIMDA) tidak memberikan dampak terhadap peningkatan kiner ja individu. Hal ini dapat terjadi, kare na tingginya waktu penggunaan dan frekuensi penggunaan didorong karena ke butuhan untuk mengolah da ta ke uangan dan laporan keuangan, namun ti dak membuat pengguna pu as, se Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
hingga tidak berdampak kepada indi vidu. Tetapi akan memiliki dampak jika intensitas penggunaan tersebut menye babkan pengguna puas sehingga ber dampak kepada kinerjanya (dikaitkan dengan hipotesa 7 yang terbukti). Hasil pengujian hipotesa ke sem bi lan menunjukkan bahwa dampak individu (DAM5) terbukti secara sig nifikan mempengaruhi dampak or ganisasi (DAM6). Sehingga dapat disimpulkan bahwa berdasarkan per sep si pemakai, semakin tinggi dam pak penggunaan sistem (SIMDA) ke individu maka semakin besar dampak nya dalam meningkatkan kinerja orga nisasi. Dari keseluruhan pengujian hipote sa tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa model kesuksesan sistem informasi DeLone and Mc Lean terbukti signifikan secara empiris da lam kasus kesuksesan implementasi SIMDA terutama di obyek penelitian. 5. KESIMPULAN Penelitian ini dilatarbelakangi oleh berbagai penelitian sebelumnya yang menguji keberhasilan sistem informasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk me lihat seberapa jauh keberhasilan peng gu naan Sistem Informasi Manajemen Daerah (SIMDA) oleh SKPD di daerah deng an menggunakan penilaian ke suk sesan sistem model DeLone dan McLean (1992). Berdasarkan model DeLone dan McLean, maka dikembangkan 9 hi potesa. Setelah melakukan pengujian terhadap 9 hipotesa tersebut, secara umum dapat dikatakan bahwa model ke suksesan sistem informasi DeLone and Mc Lean terbukti signifikan se cara empiris dalam kesuksesan im Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
plementasi SIMDA terutama di obyek pe nelitian. Secara spesifik, hasil pengujian masing-masing hipotesa adalah sebagai berikut: 1. Kualitas sistem informasi (system quality) berpengaruh positif terha dap kepuasan penggunanya (user satisfaction) 2. Kualitas informasi (information quality) berpengaruh positif terha dap user satisfaction. 3. Intensitas penggunaan sistem infor masi berpengaruh positif terhadap kepuasan pengguna sistem infomasi (user satisfaction) 4. Kualitas sistem (system quality) ber pengaruh positif terhadap intensitas penggunaan sistem informasi. 5. Kualitas informasi (information qu ality) berpengaruh positif terhadap in tensitas penggunaan sistem in formasi. 6. Kepuasan pengguna sistem in formasi (user satisfaction) berpe ngaruh positif terhadap intensitas penggunaan sistem informasi. 7. Kepuasan pengguna sistem infor masi (user satisfaction) berpenga ruh positif terhadap dampak indivi du (individual impact). 8. Intensitas penggunaan sistem in formasi tidak berpengaruh terha dap dampak individu (individual impact). 9. Dampak individu (Individual Im pact) berpengaruh positif terhadap dampak organisasi (organizational impact). Dengan demikian hipotesa 1-7 dan 9 terbukti, sedangkan hipotesa 8 tidak terbukti. Hipotesa 8 tidak terbukti kemungki nan karena tingginya waktu peng gu naan dan frekuensi penggunaan
21
didorong karena kebutuhan untuk me ngolah data keuangan dan laporan ke uangan, namun tidak membuat peng guna puas, sehingga tidak berdampak kepada individu. Tetapi akan memiliki dam pak jika intensitas penggunaan tersebut menyebabkan pengguna pu as sehingga berdampak kepada kiner janya. (dikaitkan dengan hipotesa 7 yang terbukti). Dari hasil penelitian tersebut, ter bukti bahwa berdasarkan model De Lone dan McLean, SIMDA yang dite rapkan pada pemerintah daerah/SKPD (de ngan kualitas sistem dan kualitas informasi dalam SIMDA) berpengaruh positif terhadap intensitas pengguna an sistem dan kepuasan pengguna. Kepuasan pengguna memberikan dampak positif terhadap individu dan organisasi. Penggunaan SIMDA terse but mempermudah dan mempercepat pe merintah daerah/SKPD dalam pe nyusunan anggaran, penatausahaan dan pelaporan/pertanggungjawaban keuangan, sehingga memberikan ke puasan bagi pengguna dan berdampak po sitif terhadap organisasi. Dengan demikian, penggunaan SIMDA dapat menjadi solusi dalam rangka mening katkan akuntabilitas keuangan negara. 6. KETERBATASAN DAN SARAN Penelitian ini mengandung bebera
22
pa keterbatasan sebagai berikut: 1. Keterbatasan yang melekat pada data yang diperoleh melalui kues ioner yaitu perbedaan persepsi pe nulis dengan responden penelitian. 2. Penelitian ini hanya menggunakan responden pengguna SIMDA pada titik waktu tertentu yaitu pada sa at dilakukan survei. 3. Penelitian ini dilakukan di area Ja wa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur saja, sehingga perlu kehatihatian dalam menggeneralisir ha sil penelitian untuk konteks yang la in dan tipe sistem informasi yang lain pula. 4. Penelitian ini menggunakan model yang dikembangkan di luar negeri dan kemungkinan ku rang sesuai dengan kondisi di Indonesia. Saran untuk penelitian mendatang: 1. Memperbanyak jumlah sampel penelitian sesuai dengan rule of tumb pada SEM dan LISREL, se hingga dapat dilakukan pengujian secara serentak menggunakan teknik estimasi WLS. 2. Perlu upaya berkelanjutan untuk meningkatkan validitas dan model riset, baik basis teori maupun penerapan empirisnya, khususnya dikaitkan dengan kondisi lokal (konteks Indonesia).
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
DAFTAR PUSTAKA •
Bailey, J.E. dan S.W. Pearson. 1983. “Development of a Tool for Measuring and Analyzing Computer User Satisfaction”. Management Science. 29 (May). • Baroudi, J.J. dan W.J. Orlikowski.1988.”A Short-form Measure of User Information Satisfaction : A Psychometric Evaluation and Notes on Use”. Journal of MIS. 4. Spring. • Bock, G.W., et al. 2009. “The Journal of The Factors Affecting Succes of Knowledge-Based Systems at The Organizational Level”. The Journal of Computer Information Systems. 50. 2. • Chin, Wynne dan Peter A.Todd. 1995. “On the Use, Usefulness and Ease of Use A structural Equation Modelling in MIS Research: A Note of Caution”. MIS Quarterly. • Davis, Fred D. 1989. “Perceived Usefulness, Ease of Use, and User Acceptance of Infomation Technologie”. MIS Quarterly .13. No 3. September. • DeLone, W.H. dan E.R.Mc Lean. 1992. “ Information System Success: The Quest for the Dependent Variable”. Infomation System Research. 3 (March). • Doll,W.J. dan G.Torkzadeh. 1988. “The Measurement of End-user Computing Satisfaction”. MIS Quarterly. 12. June. • Doll,W.J., W.Xia, dan G.Torkzadeh. 1994. “A Confirmatory factor Analysis of the End-user Computing Satisfaction instrument”. MIS Quarterly. • Doll, William J, et al. 2004. “The Meaning and Measurement of User Satisfaction : A Multigroup Invariance Analysis of the End-user Computing Satisfaction Istrument”. Journal of Management Information Systems (JMI): ISSN: 0742-1222. Volume 21. Summer. ProQuest Company. • Hair, Joseph F., et al. 1998, Multivariate Data Analysis with Reading. Fourth Edition. New Jersey: Prentice Hall. • Iqbaria, M. dan M.Tan. 1997. The Consequences of Information Technology Acceptance on Subsequent Individual Performance. Amsterdam: Elsevier Science Publisher. • Istianingsih dan Setyo Hari Wijanto. 2008. “Analisis Keberhasilan Penggunaan Perangkat Lunak Sistem Informasi Akuntansi Ditinjau dari Persepsi Pemakai (Studi Implementasi Model Keberhasilan Sistem Informasi)”. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia. Volume 5. No.1. • Ives, B., M.Olson, dan S.Baroudi. 1983. “The Measurement of User Information Satisfaction”. Communications of the ACM. October. • Landrum, Hollis, dan Victor R. Prybutok. 2004. “A Service Quality and Success Model for the Information Service Industry”. European Journal of Operational Research (EJO). ISSN:03772217. Volume 156. August. ProQuest Company. • Laudon, Kenneth C. 1985.”Environment and Institutional Models of Systems Development “. Commucation of the ACM. 28. Number 7 (July). • Laudon, Kenneth C. dan Jane P. Laudon, 2000. “Organization and Technology in The Networked Enterprise”. Management Information System. Six Edition. International Edition. • Livary, Juhani. 2005. “An Empirical Test of The DeLone-McLean Model of Information System Success” Database for Advance in Information System (DFA). ISSN: 1532-0936 .Volume 36. ProQuest Company. • Lucas, Henry C.1981. Implementation: The Key to Successful of Information Systems. New York: Columbia University Press.
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
23
• Mahmood, M.A., et al. 2000. “Variable Affecting Information Technology End-user Satisfaction: A Meta-Analysis of the Empirical of the Empirical Literature”. International Journal of Human Computer Studies. 52: 4. • McGill, et al. 2003. “User-Developed Applications and Information Systems Succes: a Test of DeLone and McLean’s Model”. Information Resource Management Journal. Jan-Mar. 16 No. 1. 4. • McKiney, K.Yoon, dan Fatemeh Zahedi. 2002. “The Measurement of Web-Customer Satisfaction: An Expectation and Disconfirmation Approach”. Information System Research .13. 3. • Pitt, L.F., R.T. Watson, dan C.B. Kavan. 1995.”Service Quality : A Measure of Information Effectiveness”. MIS Quarterly. 19:2. • Rai, A., S.S. Lang, dan R.B. Welker. 2002. “Assessing the Validity of IS Success Models: An Empirical Test and Theoretical Analysis”. Information Systems Research 13. No.1: 29-34. • Schaupp, L.C. dan France B. Wiguo F. 2009. “Examining The Succes of Website Beyond E-Commerce: An Extension of The IS Succes Model”. • Seddon, Peter B. 1997. “ Respesification and Extension of the DeLone and Mc Lean Model of IS Success”. Information System Research. 8:3. • Seddon, Peter dan Siew-Kee Yip. 1992. “An Empirical Evaluation of User Information Satisfaction (UIS) Measures for Use with General Ledger”. • Sekaran, Uma.1992. A Skill Building Approach : Research Method for Business. Second Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc. • Wijanto, Setyo Hari. 2008. Structural Equation Modeling dengan Lisrel 8.8. Graha Ilmu. • Yelkur, R. 2000. “Customer Satisfaction and The Service Marketing Research Mix”. Journal of Professional Services Marketing. 21:
THE IMPACT OF GOVERNMENT EXPENDITURE ON POVERTY: CASE OF JAVA 1996, 1999 AND 2002 Rahadi Nugroho
ABSTRACT Penelitian ini menggunakan data SUSENAS tahun 1996, 1999 dan 2002 di 5 provinsi di Jawa untuk melihat pengaruh pengeluaran pemerintah kabupaten dan kotamadya terhadap tingkat kemiskinan (P0). Secara statistik pengeluaran pemerintah untuk sektor sumber daya manusia menunjukan pengaruh bahwa pengeluaran tersebut dapat dipergunakan untuk mengurangi kemiskinan tahun yang bersangkutan. Sedangkan pengeluaran selain untuk sektor sumber daya manusia tidak secara signifikan berpengaruh terhadap angka kemiskinan tahun yang sama. Selain itu, keseluruhan pengeluaran pemerintah tidak berpengaruh terhadap angka kemiskinan. Oleh karena itu, jika pemerintah daerah berkeinginan untuk mengurangi angka kemiskinan tahun yang bersangkutan, pengeluaran un tuk pengembangan sumber daya manusia perlu diprioritaskan. Keywords: pengeluaran pemerintah, kemiskinan, sumber daya manusia,pemerintah daerah.
24
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
25
INTRODUCTION
S
tatistic Indonesia (2008) reported in 2007 that 37.17 million or 16.58 percent of the population of the country lived below the poverty line. Prior to the Asian financial crisis in 1997 poverty incidence in Indonesia decreased dramatically, from 40 percent of the total population in 1970 to around 11 percent in 1996. Having achieved such incredible performance in poverty alleviation by 29 percentage points, poverty incidence surged drastically when the Asian financial meltdown hit the Indonesian economy. During the crisis, economic growth decreased sharply, from an average annual growth rate of 7 percent to -13 percent in 1998. The decline in economic growth caused an increase in poverty incidence from 11 percent in 1996 to 24.2 percent in 1998. In order to protect citizens from the crisis negative effects, the government of Indonesia developed Social Safety Nets programs that included program on food security, community empowerment, employment creation, scholarship and subsidies on health programs. The government’s policy toward poverty eradication when safety nets were introduced was considered successful. The percentage of people who suffered from poverty decreased from 24.2 percent to 18.9 percent during the period 1998-2000 (Statistic Indonesia, 2008). However, Damuri and Perdana (2003) indicated that Social Safety Net programs were considered failures because of erroneous program design. Studies on the impact of public expenditure on poverty have quite at-
26
tracted researchers’ attention. Results of their studies vary. Several studies indicated that government expenditures have a significant impact on poverty reduction. Fan et al. (2000) investigated rural poverty in India during the period 1970-1993 and found that investment in rural roads and agricultural research were important factors in rural poverty reduction. On the other hand, study by Obi (2007) concluded that transfers were considered ineffective to eradicate poverty in Nigeria. This study, indeed, has contributed to the debate whether public spending have significant effects on poverty reduction. Most research about the impact of fiscal policy on poverty has been conducted using a Computable General Equilibrium Model (CGE); few studies, utilized Ordinary Least Square (OLS). In addition, few researchers employed survey data. This study, on the other hand, will be conducted using a regression analysis but also use data from the survey. The main objective of this research is to investigate the impact of government expenditure on poverty. The other objective is to identify which type of government expenditure has the most significant impact on poverty reduction. LITERATURE REVIEW Government intervention to eradicate poverty can be classified into two approaches (Bhagwati, 1998). First is the long–term approach, in which the government maintains pro-poor economic growth by creating an environment for the efficient use of resources and technology. Second is the short– term approach, which relates to giving Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
job opportunities and social security programs to the poor. Studies on poverty alleviation showed various results. For example, public investment on rural infrastructures has a positive impact on poverty reduction by improving productivity, mobility, and industrialization (Bhagwati, 1998). Research by Fan et al. (2000), which used simultaneous equation method to measure the direct and indirect impacts of government spending in rural India, concluded that investments on rural roads and agricultural research have the highest impact on poverty alleviation. They claimed that 1 percent increase in rural road spending and research would reduce poverty by 0.05 percent and 0.06 percent, respectively. They also pointed out that education and rural development should be given a priority when the governments formulates a budget because they reduce poverty significantly. Warr (2003) studied the relationship between fiscal policy and poverty incidence in Thailand using simulation method. A 10 percent increase in education, health and social services expenditure will reduce poverty. However, he claimed that an increase in transportaion expenditure would increase poverty because it provides greater benefit to those with private transport. Obi (2007), using a static general equilibrium model, studied the impact of three hypothetical fiscal policies in Nigeria’s poverty reduction. He examined a cash transfer to households, increase of public spending in several sectors, and tax policy changes using the 1999 data set. He argued that Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
transfers to poor households were ineffective to alleviate poverty, as compared with government spending in agriculture, construction, and services. After examining the impact of welfare programs on poverty in the United States, using state level data, Fording & Berry (2007) argued that welfare programs have two effects: an income enhancement effect that decreases poverty and a work disincentive effect which increases poverty through discouraging people to search for a job. If an income enhancement effect is larger than a work disincentive effect, government welfare programs diminish poverty; on the other hand, if smaller, goverment welfare programs will increase poverty. They found that welfare programs are less effective because policy makers tend to shift cash program to in-kind program that resulted in the greater work disincentive effect than income enhancement effect. In the case of Indonesia, a study conducted by Damuri and Perdana (2003), which analyzed the impact of fiscal policy on income distribution and poverty using a CGE model, found that a 20% fiscal expansion would reduce poverty by approximately 9.5%. The objective of this research is to determine the impact of local government expenditures on poverty. Thus, significance of total government expenditure, human capital expenditure and non human capital expenditure on poverty alleviation will be tested by a model which mostly quoted from a study conducted by Krongkaew et al. (2006), which analyzed the relationship between growth, employment, and poverty in Thailand during the
27
period from 1988-1996. Human capital expenditure and non human capital expenditure hypothetically have a significant impact on poverty reduction. However, non human capital expenditure seems to benefit everyone. Hence, this expenditure is expected to have no significant impact on poverty reduction. DATA AND METHODOLOGY Data This study employed the consumption expenditure module of National Sosioeconomic Survey (SUSENAS) conducted by the Statistics Indonesia (BPS) every three years since 1981. Consumption expenditure module is a survey of household expenditure on food and non-food items. This study used the consumption expenditure survey compiled in 1996, 1999, and 2002 in 5 provinces in Java. These surveys covered over 90,000 households, 210 food items and over 100 non-food items. Expenditure per capita can be calculated using these surveys. This study like the studies of many other researches, used expenditures derived from the surveys to measure the incidence of poverty. Expenditure figures were used because they are better indicators of living standard than income (Huppi & Ravallion, 1991). The other reason is that income data is unreliable in Indonesia. The 1996 consumption expenditure module included 5 provinces in Java: 1) Jakarta, which consists of 5 districts; West Java, 25 districts; Central Java, 35 districts; Yogyakarta, 5 districts; and East Java, 37 districts. In 1999, the survey included a new city, Bekasi City, which was established in West Java
28
Province. Moreover, Pandeglang, Lebak, Tangerang, Serang, and Tangerang City were separated from West Java Province to form a new province -Banten Province-, and now includes a new city -Depok City- formed in the year 2000. As a result, 5 districts were removed and one district was added in West Java in our data set. Moreover, in all surveys, some districts, especially city districts, do not have rural areas and one district, Pacitan, do not have urban areas. Therefore, this study can not cover all the districts in Java. Aside from the consumption expenditure module of SUSENAS, this study utilized the government expenditure data for 1996/1997, 1999/2000 and 2002 fiscal years at the district level compiled by the Ministry of Finance. All the districts reported their expenditures in 1996/1997 and 1999/2000 fiscal year. However, due to the new financial law implemented in 2001, provincial and district governments are no longer required to submit their expenditure reports to the Ministry of Finance. Some districts, therefore, like Pati and Magelang in Central Java Province and Sleman in Yogyakarta Province, did not report their expenditure in the 2002 fiscal year. Moreover, Semarang City and Kudus only reported their total expenditures. They did not report their expenditures in detail. In addition, government expenditure data in Jakarta is available only at the provincial level while district level data was unavailable. Methodology The objective of this research is to determine the impact of local government expenditures on poverty. This Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
study conducted a panel data regression analysis using district level data in Java provinces for 1996, 1999, and 2002 based on the following model where i refers to districts and t refers to survey years.
ρ0it=β1 + β2MEANEXPit + β3SDEXPit + β3TOTEXit + eit ,
Furthermore, to analyze the impact of a particular expenditure, the following model was used:
ρ0it=β1 + β2MEANEXPit + β3SDEXPit + β3NONHUMEXit + β4HUMEXit + eit
where: P0 = headcount index in district or rural and urban within district; MEANEXP = average of per capita household consumption expenditure; SDEXP = standard deviation of per capita household consumption expenditure; TOTEX = per capita total government expenditure ; NONHUMEX = per capita con human capital expenditure (expenditure on industry, transportation, trade, business development, and cooperation, agriculture and forestry, irigation and water resources management, mining and energy, tourism and telecommunication, housing, environmental, science and technology, law, district aparatus and monitoring, politic and mass media, and security); HUMEX = per capita human capital expenditure (expenditure on education and culture, family welfare, social welfare, and religion) Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
Headcount index of poverty (P0) was used as the dependent variable. Headcount index that used in this study was estimated based on consumption expenditure data and the poverty lines for each provinces. The independent variables in the model were suggested by the study done by Krongkaew et al. (2006), which analyzed the relationship between growth, employment, and poverty in Thailand during the period from 1988-1996. They considered the logarithm of the headcount ratio as an endogeneous variable. As exogeneous variables, they used the logarithms of GDP, of the elasticity of employment with respect to real output, of per capita household income, of dependency ratio and of the Gini coefficient. As a proxy for per capita household income, this study used average per capita household expenditure instead; whereas, standard deviation of per capita household expenditure was used as proxy for the Gini coefficient. Damuri and Perdana (2003), using a Computable General Equilibrium (CGE) model, stated that the expansion of government expenditures mostly benefited non-poor segments of society. Therefore, additional independent variables, which are total government expenditure and government expenditures on human capital and non human capital were included in order to analyze the impact of public expenditure on poverty. This study used the actual government expenditure in 1996/1997, 1999/2000, and 2002 fiscal year as government expenditure in 1996, 1999, and 2002, respectively. Government expenditure in 1999/2000 and 2002 fiscal year were deflated into
29
1996 base year using Consumer Price Indices (CPI). RESULT This study conducted six regressions, which are headcount poverty in district, urban and rural areas within district with per capita total government expenditure and sectoral government expenditures, using panel data. Therefore, 3 models which are pooled regression model, fixed effects model, and random effects model can be selected as the appropriate model for each regression. While all pooled regression models resulted in negative R2, all fixed effects model resulted in positive R2. Thus, fixed effects is better than pooled regression in all regressions. Fixed effects model generally gives a consistent estimator but does not give an efficient one. However, random effects model gives an efficient estimator but does not assure whether this model is consistent or not. In order to review whether random effecfts model is consistent or not, the Hausman test is usually conducted. The null hypothesis of Hausman test is that coefficient estimated by random effects model is the same as coefficient estimated by fixed effects model. Receiving null hypothesis refers to conclusion that coefficient estimated by random effects model is the same as fixed effects model; thus, it is more appropriate to select random effects model
30
since estimation by random effects model is not only the same as fixed effects model but also gives an efficient estimator. On the other hand, refusing the null hypothesis gives a conclusion that the coefficient estimated by random effects model differs from fixed effects model. Therefore, it is more appropriate to select fixed effects model. Table 1 shows the Hausman test of six regressions. Five regressions out of six regressions resulted in refusing null hypothesis. This implies that fixed effects model is more appropriate than random effects model. On the otherhand, Hausman test resulted in receiving null hypothesis in the regression for headcount poverty index in urban areas and per capita total government expenditure; therefore, random effects model should be selected in this regression. Using the most approriate model, the results of this study are: first, the coefficient mean expenditure as proxy of income-was negative and significant at 1% significance level. This result shows that increasing income will reduce poverty in both rural and urban areas. Second, the coefficient standard deviation income was positive and significant at 1% significance level. This finding implies that the more equal the distribution of income, the lesser the poverty incidence in a population. On the other word, inequaltiy increase poverty incidence.
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
Tabel 1. Hausman Test Regression
Chi square statistic
Chi-square degree of freedom
Probabilities
20.606479
3
0.0001
P0 and sectoral government expenditure
21.162936
4
0.0003
P0 and total government expenditure in rural areas of the district
10.254616
3
0.0165
P0 and sectoral government expenditure in rural areas of the district
20.479906
4
0.0004
P0 and total government expenditure in urban areas of the district
3.772711
3
0.2871
P0 and sectoral government expenditure in urban areas of the district
9.528170
4
0.0492
P0 and total government expenditure
Third, relationship between local government expenditure and poverty are indicated various results. The detail results are presented in the following discussion: The effect of district government ex penditure on poverty Table 2 shows the regression results where poverty incidence is the dependent variable and the mean per capita household consumption expenditure income, the standard deviasion of per capita household consumption expenditure and per capita total government expenditure are the independent variables. The coefficient of per capita total government expenditure
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
indicates a positive sign but is statistically insignificant. This result indicates that government expenditure does not have much effects on poverty reduction. Table 3 shows regression result for the case where per capita human capital and per capita non human capital expenditures are included as independent variables. The results show that the coefficient of per capita human capital expenditure has a negative sign and is statistically significant while non human capital per capita expenditure has a positive sign and is statistically significant at 5 percent significance level.
31
Table 2 Regression result of district poverty and per capita total government expenditure Variable C
Coefficient
Std. Error
t-Stat
Prob.
0.0000 0.0000 0.0000 0.0966
0.315011
0.021000
19.0000
MEANEXP?
-4.16E-06
4.37E-07
-9.5003
SDEXP?
1.31E-06
3.14E-07
4.1853
GOVEX?
6.33E-08
3.79E-08
1.6700
R-squared
0.679505
Adjusted R-squared
0.513194
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
C
0.321399
0.021484
14.95966
MEANEXP?
-4.14E-06
4.41E-07
-9.39667
SDEXP?
1.22E-04
3.18E-07
3.8364
HUMEX?
-1.94E-03
7.71E-07
-2.5149
NONHUMEX?
6.29E-07
2.12E-07
2.9690
R-squared
0.679505
Adjusted R-squared
0.513194
The effect of government expenditure on rural poverty Table 4 presents the regression
Prob.
0.0000 0.0000 0.0002 0.0128 0.0034
result for rural district. The per capita total government expenditure has no significant impact on rural poverty.
Table 4. Regression result of rural’s district poverty and per capita total government expenditure Variable
Coefficient
C
0.429488
MEANEXP?
-6.69E-06
t-Statistic
Prob,
0.027842
15.4261
5.80E-07
-11.5415
0.0000 0.0000 0.0005 0.7615
SDEXP?
7.37E-07
2.07E-07
3.5683
1.67E-08
5.49E-08
0.3040
0.751961
Adjusted R-squared
0.622115
32
Std, Error
GOVEX? R-squared
significance, while the coefficient of non human capital expenditure is positive and not significant. This result indicates government expenditures did not have significant impacts on rural poverty.
Table 5. Regression result of rural’s district poverty and per capita particular government expenditure Dependent Variable: POV?
Table 3. Regression result of district poverty and per cap ita sectoral government expenditure Variable
Table 5 presents the regression result for the impact of sectoral government expenditures on poverty incidence. The coefficients of per capita human capital expenditure is negative and not
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
Variable
Coefficient
C
0.443931
MEANEXP? SDEXP? NONHUMEX?
8.21E-08
4.72E-07
0.1740
-1.89E-06
1.29E-06
-1.4623
HUMEX?
t-Statistic
Prob.
0.028564
15.5417
-6.73E-06
5.99E-07
-11.2359
6.96E-07
2.05E-07
3.4015
0.0000 0.0000 0.0009 0.8621 0.1458
R-squared
0.768437
Adjusted R-squared
0.644616
The effect of government expendi ture on urban poverty Table 6 shows the regression result for urban poverty with per capita total government expendtiure. The coefficient of per capita total government expenditure has a negative sign but is not significant. It means that government expenditure does not have significant impact on poverty. The regression result for per capita government expenditure on human capital and non human capital for urban poverty is shown in Table 7. The coefficient of non human capital
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
Std. Error
expenditure has a positive sign and is significant at 5% significance level. This means that per capita non human capital expenditure has a significant impact on urban poverty. Increase in per capita non human capital expenditure would increase urban poverty. On the other hand, the coefficient of per capita human capital expenditure has a negative sign and is significant at the 1 % significance level. This result indicates that human capital expenditure has a significant impact on reducing poverty.
33
Table 6. Regression result of rural’s district poverty and per capita particular government expenditure Dependent Variable: POV? Variable
Coefficient
C
0.388970
MEANEXP? SDEXP?
t-Statistic
Prob.
0.018676
20.82750
-3.76E-06
3.02E-07
-12.47142
1.05E-06
2.69E-07
3.90232
-2.82E-08
4.55E-08
-0.62090
0.0000 0.0000 0.0001 0.5352
GOVEX? R-squared
0.436236
Adjusted R-squared
0.429949
Std. Error
Table 7. Regression result of urban’s district poverty and per capita sectoral government expenditure Dependent Variable: POV? Variable
Coefficient
C
0.443931
MEANEXP?
t-Statistic
Prob.
0.028564
15.5417
-6.73E-06
5.99E-07
-11.2359
SDEXP?
6.96E-07
2.05E-07
3.4015
NONHUMEX?
8.21E-08
4.72E-07
0.1740
-1.89E-06
1.29E-06
-1.4623
0.0000 0.0000 0.0009 0.8621 0.1458
HUMEX? R-squared
0.768437
Adjusted R-squared
0.644616
CONCLUSION The Asian financial crisis that hit Indonesia in the middle of 1997 obviously affected poverty. Using the FGT indices, this study found that the incidence of poverty in the districts of Java Island mostly increased during the pe-
34
Std. Error
riod from 1996-1999. However, Java Island seems to have recovered from the crisis since Java districts mostly decreased their poverty incidence during the period from 1999-2002. Conducting a simple regression analysis, this research investigates the impact of public spending on poverty in five Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
provinces in 1996, 1999, and 2002. The regression result of this research shows that per capita total government expenditure does not seem to have a significant impact on poverty reduction. This finding indicates that, at least in this study, government expenditures were not pro-poor even though they were not pro-rich either. The regression analysis of per capita non human capital expenditure and human capital expenditure yields a different interpretation. The regressions result for per capita non human capital expenditure with district poverty and urban poverty shows that per capita non human capital expenditure has a significant impact on poverty. However, the regression result for per capita non human capital expenditure with rural poverty indicates that non human capital expenditure does not have a significant impact on poverty. This results conclude that non human capital expenditure, in most cases, significantly increase poverty. This result might also be interpretted that non human capital expenditure mostly benefited the rich rather than the poor. However, human capital expenditures noted a different result. The regression result for per capita human capital expenditure with district and urban headcount index shows that human capital ex-
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
penditure has a significant impact on poverty reduction. On the other hand, the regression of per capita human capital expenditure with rural poverty indicates that per capita human capital expenditure does not have a significant impact on poverty reduction. This results indicate that per capita human capital expenditure significantly reduces poverty in most cases. Furthermore, this outcomes infer that human capital expenditure was a pro-poor expenditure. RECOMMENDATION Local government should also make careful decisions about the best way to use public spending to reduce poverty. They should allocate more money to programs or expenditures that benefit the poor, in this case, human capital expenditure. This study of the relationship between government expenditure and poverty is part of an on going research process. Examining whether fiscal policies have impact on poverty reduction or not is important to ensure that government policies implemented through public spending are pro-poor and effective in alleviating poverty. Further studies that employ better methodology such as utilizing appropriate CPI, covering a longer period, and using current data could provide a more acute analysis of poverty reduction programs.
35
REFERENCES Bhagwati, J. (1988). Poverty and Public Policy. World Development, 16, 539-556
ANALISIS PERSISTENSI INFLASI DAERAH : STUDI KASUS SUMATERA BARAT
Damuri, Y. R., and Perdana, A. A. (2003). The Impact of Fiscal Policy on Income Distribution and Poverty: a computable general equilibrium approach for Indonesia. Economic Working Paper. CSIS, Jakarta.
Agung Bayu Purwoko, SE, Ak, ME dan Feny Yurastika, SSi 1
Directorate General of Fiscal Balance, Ministry of Finance, www.djpk.go.id Fan, S., Hazell, P., & Thorat, S. (2000). Government Spending, Growth and Poverty in Rural India. American Journal of Agricultural Economics, 82, 1038-1051. Fording, R. C., and Berry, W. D. (2007). The Historical Impact of Welfare Programs on Poverty: Evidence from American States. The Policy Studies Journal, 35, 37-60. Foster, J., Greer, J. & Thorbecke, E. A. (1984). Class of Decompossable Poverty Measures. Econometrica, 52, 761-766 Kronkaew, M., Chamnivickorn, S. & Nitithanprapas, I. (2006). Economic Growth, Employment, and Poverty Reduction linkages: The Case of Thailand. Discussion Paper. www. ilo.org. Nachrowi, N.D. and Usman, H. (2006). Ekonometrika. Pendekatan Populer dan Praktis (Econometrics: Practical Approach). Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta Obi, B. O. (2007). Fiscal Policy and Poverty Alleviation: some policy option for Nigeria. AERC Research Paper. Nairobi. Perdana, A. A. and Maxwell, J. (2004). Poverty Targeting in Indonesia: Programs, Problems and Lesson Learned. CSIS Working Paper Series, WPE 083 Rao, M. G., Bird, R. M. & Litvack, J. L. (1998). Fiscal Decentralization and Poverty Alleviation in a Transitional Economy: The Case of Vietnam. Asian Economic Journal, 12, 353-378 Statistic Indonesia. www.bps.go.id Warr, P. (2003). Fiscal Policies and Poverty Incidence: the case of Thailand. Asian Economic Journal, 17, 27-44
ABSTRACT ABSTRACT Bank Bank Indonesia replaced base targeting money targeting with targeting inflation targetIndonesia replaced base money with inflation frame ing framework (ITF) since July 2005. Thus understanding inflation work (ITF) since July 2005. Thus understanding inflation persistence ispersistence important is to support the effectiveness of this framework. studyto attempts toimportant support the effectiveness of this framework. This study This attempts under to understand the behavior of inflation persistence of regional level, completing stand the behavior of inflation persistence of regional level, completing several several conducted at the national level. Specifically, this study aims to calstudies studies conducted at the national level. Specifically, this study aims to calculate culate the level of inflation persistence in West Sumatera, to see how the the level of inflation persistence in West Sumatera, to see how the effect effect of in of inflation targeting framework on inflation persistence, to find sources flation targeting framework on inflation persistence, andand to find thethe sources of of inflation persistence. inflation persistence. Using model AR, AR, we we find find that that inflation inflation persistence persistence in in West Using univariate univariate model West Sumatera is high. When we break the period into before and after the implemenSumatera is high. When we break the period into before and after the implemen tation of ITF, ITF, it it indicates inflation persistence persistence decrease decrease after after the tation of indicates that that inflation the implemenimplemen tation of ITF. However, this difference is not statistically significant. tation of ITF. However, this difference is not statistically significant. Using Using Hybrid Hybrid New (NKPC), we of inflation is New Keynesian Keynesian Philips Philips Curve Curve (NKPC), we find find that that the the behavior behavior of inflation is dominated by backward looking inflation. dominated by backward looking inflation. Overall results showed problem can Overall results showed that that inflation inflation problem can not not be be resolved resolved only only through monetary policy. Despite, monetary policy through ITF framework is still through monetary policy. Despite, monetary policy through ITF framework is still necessary to achor agents’ expectation still stronger stronger coordination between cennecessary to achor agents’ expectation still coordination between cen tral must be to reach tral bank bank and and local local government government must be developed developed to reach common common goal goal of of inflation. inflation. Keyword: persistence, inflation inflation targeting targeting framework, framework, regional regional inflaKeyword: Inflation Inflation persistence, infla tion, regional economics tion, regional economics
1
36
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
Peneliti Ekonomi Pada Bank Indonesia Padang, dapat dihubungi melalui agung_bp@ bi.go.id,
[email protected] . Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan kebijakan Bank Indonesia
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
37
II. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang nflasi selalu menjadi topik ekonomi yang hangat dibicarakan oleh ber ba gai kalangan. Bahkan, Hemingway (1932) menganggap inflasi lebih ber bahaya dari perang. Inflasi dan perang bisa menyebabkan kerusakan yang per manen bagi suatu negara. Oleh karena itu, banyak penelitian dilakukan un tuk mengetahui bagaimana perilaku inflasi. Perubahan perilaku inflasi dapat ter jadi karena timbulnya perubahan substansial ataupun shock dalam per ekonomian. Perubahan tersebut dapat mempengaruhi perilaku pembentukan harga yang dapat berdampak terha dap perilaku inflasi. Dampak yang di timbulkan dapat bersifat persisten atau berlangsung dalam kurun waktu la ma. Reaksi yang diberikan dalam mengatasi perubahan/shock dan pe rencanaan ke depan memerlukan pe nge tahuan yang memadai mengenai seberapa besar dan lama shock yang terjadi mempengaruhi perekonomian. Se makin kecil tingkat persistensi in flasi, semakin singkat waktu yang di butuhkan untuk stabilisasi inflasi sete lah shock yang terjadi. Penelitian terdahulu mengenai per sis tensi inflasi di Indonesia ber fo kus pada inflasi nasional. Studi oleh Yanuarti (2007) dan Alamsyah (2008) menyimpulkan bahwa de ra jat persistensi inflasi Indonesia sangat ting gi namun cenderung menurun pa da periode setelah krisis. Ke cen de rungan penurunan tingkat per sis tensi inflasi tersebut ditemukan pu la di negara lain seperti Amerika Serikat, melalui studi yang dilakukan oleh Cogley dan Sargent (2005) dan
I
38
di konfirmasi oleh Stock and Watson (2006). Sejalan dengan itu, Harmanta (2009) menyoroti persistensi inflasi nasional dalam kaitannya dengan pe nerapan ITF di Indonesia. Ditemukan bahwa persistensi inflasi yang bersifat backward looking pada era ITF me ngalami penurunan. Mengingat inflasi nasional pada da sarnya merupakan gabungan dari inflasi di seluruh daerah, maka untuk tu juan pengendalian inflasi nasional perlu diperoleh gambaran yang utuh mengenai perilaku inflasi daerah. Mem pelajari perilaku inflasi daerah dan me nge tahui penyebabnya juga penting di lakukan mengingat karakteristik in flasi daerah yang berbeda-beda. Hal ini dikuatkan oleh studi empiris yang menemukan bahwa derajat per sis tensi inflasi meningkat sejalan de ng an meningkatnya level agregasi. Angeloni et al (2004) menyatakan bah wa persistensi inflasi agregat di US lebih tinggi dibandingkan dengan persistensi subindices-nya (misalnya non-processed food, processed food, industrial goods, energy and services), sementara di Euro Area, persistensi inflasi agregat lebih persisten diban dingkan dengan persistensi masingmasing negara. Studi ini difokuskan pada Provinsi Sumatera Barat sebagai daerah yang memiliki sejarah perekonomian cukup panjang. Secara spesifik, studi ini akan mengupas mengenai karakteristik per sistensi inflasi di Kota Padang dimana bobot Kota Padang dalam perhitungan IHK Nasional berdasarkan Survei Biaya Hidup (SBH) 2007 sebesar 1,69%. 1.2 Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang masa Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
lah, beberapa pertanyaan kunci yang akan dijawab melalui studi ini antara lain: 1. Bagaimana karakteristik persistensi in flasi di Kota Padang? Analisis akan diperdalam dengan melihat apakah terdapat perbedaan karak te ristik pasca penerapan Inflation Targeting Framework oleh Bank In donesia pada tahun 2005 sebagai kerangka kebijakan moneter. 2. Apakah sumber-sumber persistensi inflasi di Kota Padang? 1.3. Ruang lingkup Penelitian Studi ini menganalisa data inflasi Kota Padang serta melihat implikasinya terhadap perekonomian Sumatera Ba rat. Data yang digunakan adalah IHK Kota Padang periode tahun 2000:1 hingga tahun 2010:5. Perlu diperhatikan bahwa terdapat keterbatasan data dan informasi ter utama terkait dengan periode penga matan setelah penerapan ITF dimana periode data yang digunakan adalah 2005:07–2008:05 dengan kendala adanya beberapa kali shock akibat ke bijakan administered price. Dengan ke terbatasan yang ada tersebut, definisi dari penyebab persistensi inflasi dapat di anggap dipersamakan dengan pe nyebab dari inflasi itu sendiri. II. KERANGKA TEORITIS dan PENG EMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Persistensi Inflasi Persistensi dapat diartikan sebagai keberlangsungan, atau kecenderungan untuk semakin menguat, atau dengan istilah statistik dapat direpresentasikan oleh serial correlation positif. Dengan demikian persistensi tidak hanya dapat Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
terjadi pada kenaikan tetapi juga pada penurunan dari nilai alamiahnya. Jika posisi persistensi berada di atas nilai alamiahnya, maka nilai persistensi akan bertanda positif, sedangkan jika posisi persistensi berada di bawah nilai ala mi ahnya, maka nilai persistensi akan bertanda negatif. Berbagai kajian secara umum men definisikan persistensi inflasi se bagai kecepatan inflasi kembali menu ju kepada keseimbangan jangka pan jang nya ketika merespons berbagai jenis gejolak (Angeloni, et.al, 2004 dan Altissimo, et.al, 2006). Sumber gejolak dapat bersumber dari perkembangan faktor-faktor fundamental seperti per ge rakan nilai tukar, kebijakan fiskal dan harga minyak dunia maupun dari pengaruh supply shock seperti gang guan distribusi, perubahan cuaca dan berbagai dampak bencana alam. Pe ngertian lain yang lebih sederhana di ajukan oleh Batini dan Nelson (2002) yang mendefinisikan persistensi inflasi sebagai (1) otokorelasi yang positif pa da inflasi, (2) jeda atau lag dari respons inflasi pada kebijakan non systematic. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian persistensi inflasi lebih terkait dengan adanya unsur kelambanan dari respons inflasi (inertial inflation response) jika mengalami kejutan atau shock yang mengakibatkan inflasi pada periode t akan memiliki otokorelasi dengan inflasi pada periode t-1 atau periodeperiode sebelumnya (positive serialcorrelation). Secara statistik, Dias dan Marques (2005) menggambarkan fe nomena persistensi inflasi terkait deng an suatu proses yang selalu mencoba kem bali ke nilai inflasi rata-ratanya (mean-reverting process). Dengan de
39
mikian, semakin lama tendensi perge rakan laju inflasi menuju ke suatu laju inflasi yang normal (misalnya rata-ra ta) atau ke suatu nilai keseimbangan jangka panjang maka semakin tinggi derajat persistensi yang terjadi (lihat Gambar 2.1). Pengertian persistensi inflasi ber be da dengan pengertian rigiditas Grafik 2.1 Ilustrasi Kecepatan Inflasi Kembali Ke Tingkat Rata-Ratanya
harga (price rigidity). Rigiditas harga merujuk pada frekuensi seberapa sering tingkat harga berubah-ubah atau disesuaikan. Semakin jarang suatu tingkat harga berubah maka semakin tinggi rigiditas harga tersebut. Di In donesia, ditemukan bahwa review atas harga jual di kalangan produsen dan pedagang tidak terlalu sering atau tidak reguler, dengan rata-rata fre kuensi sekitar 1-2 kali dalam setahun. Menurut Solikin dan Sugema (2004) ri giditas harga di Indonesia terkait deng an adanya informational menu cost dalam mengumpulkan berbagai informasi yang dibutuhkan perusahaan ketika akan menentukan harga jual yang optimal. 2.1.2Pengukuran Persistensi Inflasi Secara umum pengukuran per sis tensi dapat dikelompokkan dalam dua pendekatan yaitu pendekatan univariate dan multivariate (Marques,
40
2004). Perbedaan utama dari ke dua metode ini adalah dalam ke mam puannya menganalisis berbagai sum ber gangguan atau shock yang mem pengaruhi inflasi. Pendekatan univariate tidak dapat menganalisis le bih lanjut sumber gangguan karena se luruh jenis gangguan akan tercampur ke dalam satu parameter saja. Se ba liknya pendekatan multivariate dapat menganalisis berbagai jenis gangguan dan meneliti gangguan yang spesifik terhadap persistensi inflasi. Pendekatan univariate banyak ber hubungan dengan teknik uji de ret waktu (time series) melalui mo del otoregresif. Pendekatan ini ju ga dapat dikategorikan sebagai pendekatan statistik mengingat pe ngujian dapat dilakukan tanpa mem be ri informasi yang jelas tentang penga ruh struktural dan biaya yang di timbulkan dalam proses disinflasi (Sheedy, 2006). Kejutan atau shock yang terdapat dalam model univariate ini diasumsikan berperilaku white noise da lam komponen proses otoregresif. Mengikuti Levin dan Piger (2004) in flasi diasumsikan bergerak mengikuti pro ses otoregresif yang stasioner de ng an order p (SR(p)) dan secara umum ditulis :
πt=µ+ ∑j=1 αjπt-j+εt p
(2.1)
Derajat persistensi diukur dengan penjumlahan koefisien otoregresif α. Pa rameter konstanta µ mewakili rata-ra ta inflasi dan εt adalah unsur kesalahan random yang memiliki kemungkinan he teroskedastisitas namun tidak me mi liki otokorelasi atau Cov(εt-1, εt)=0 Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
bila s ≠ 0 dengan rata-rata E(εt) = 0. Mengikuti Andrews dan Chen (1994) maka persamaan (2.1) dapat di pa ra meterisasi menjadi persamaan aug mented Dickey-Fuller sebagai berikut:
πt=µ+ρπt-1+∑j=1k-1 δj∆πt-j+εt (2.2) dengan restriksi nilai ρ = penjumlahan nilai αj pada persamaan (2.1). Sementara δj merupakan transformasi sederhana dari αj dimana δk= -αk. Menurut Andrews dan Chen (1994) parameter ρ merupakan skala pengukuran me ngenai derajat persistensi inflasi yang terbaik. Sebagai catatan bahwa per sa maan augmented Dickey Fuller ini dapat diuji untuk nilai ρ=1 yang menun jukkan adanya unit root dalam variabel inflasi. Namun jika nilai ρ<1 maka inflasi bersifat stasioner. Persamaan (2.1) dan (2.2) dapat mem perlihatkan seberapa lamban proses kembalinya inflasi ke nilai ratarata ketika terjadinya gangguan atau kejutan. Mengikuti Gudjarati (2004), rata-rata lamanya waktu yang diper lukan oleh inflasi untuk kembali ke tingkat inflasi sebelum terjadinya keju tan dalam kasus ini adalah µ dapat di dekati dengan rumus ρ/(1- ρ) Rumus ini menghitung seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyerap 50% dari kejutan yang terjadi oleh inflasi. Semakin besar nilai ρ maka semakin la ma waktu yang diperlukan oleh inflasi untuk kembali ke perilaku jangka pan jangnya. Hal ini menunjukkan tingginya derajat persistensi inflasi yang terjadi. Sebagai contoh, nilai ρ = 0,5 untuk data bulanan berarti 50% shock yang terjadi akan dapat diserap oleh inflasi dalam tempo hanya 1 bulan sementara 50% si sanya akan diserap secara gradual Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
dan semakin menurun hingga akhirnya dampak kejutan tersebut mengecil dan mendekati nol. Jika nilai = 0,95 maka waktu yang dibutuhkan inflasi un tuk menyerap 50% kejutan tersebut men jadi lebih lama, yaitu sekitar 19 bulan. 2.1.3 Identifikasi Sumber-Sumber Persistensi Inflasi Pada penelitian ini, identifikasi sum ber-sumber persistensi inflasi dilakukan menggunakan pendekatan disagregasi inflasi dan estimasi meng gu nakan model Hybrid New Keynesian Philis Curve (NKPC). Secara umum, inflasi dapat di ke lom pokkan menjadi tiga bagian yang apabila dilakukan disagregasi inflasi se bagaimana yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) adalah sebagai berikut: 1. Inflasi Inti (Core Inflation) Inflasi inti adalah inflasi barang/ jasa yang perkembangan harganya dipengaruhi oleh perkembangan eko nomi secara umum (faktor-faktor fun damental seperti ekspektasi inflasi, nilai tukar, dan keseimbangan permintaan dan penawaran agregat) yang akan ber dampak pada perubahan hargaharga secara umum dan lebih bersifat permanen dan persistent. 2. Inflasi Administered (Administered Price) Inflasi Administered adalah inflasi barang/jasa yang perkembangan har ganya secara umum diatur pemerintah, seperti harga BBM dan tarif listrik. 3. Inflasi bergejolak (Volatile Goods Price) Inflasi bergejolak adalah inflasi barang/jasa yang perkembangan har
41
ga nya sangat bergejolak, umumnya dipengaruhi oleh shocks yang bersifat temporer seperti musim panen, gang gu an alam, gangguan penyakit, dan gangguan distribusi. Selanjutnya, analisis mengenai sum ber-sumber persistensi inflasi di la kukan menggunakan persamaan struk tural inflasi yaitu model Hybrid NKPC yang dibangun oleh Gali dan Ger tler (1999) dimana inflasi selain berorientasi forward looking, inflasi juga memiliki perilaku yang backward looking.
πt=γ π +γ Et(π )+ky +e b
t-1
f
t+1
t
t
(2.3)
dimana π adalah inflasi pada waktu t, γbπt-1 adalah inflasi pada waktu t-1 (backward looking inflation), Et(πt+1) adalah ekspektasi inflasi pada waktu t+1 (forward looking inflation), Yt ada lah deviasi dari output gap atau biaya marjinal (marginal cost) aktual ter hadap kondisi optimal, dan et adalah un sur kejutan dari sisi pasokan atau supply shock. Angeloni et al. (2004) kemudian me ngelompokkan persistensi inflasi berdasarkan persamaan hybrid NKPC menjadi (i) extrinsic persistence yang terkait dengan persistensi pada bi a ya marjinal ataupun output gap, (ii) intrinsic persistence yang banyak ber kaitan dengan inflasi periode se be lumnya, (iii) expectation-based persis tence yang dominan dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi, dan (iv) error term persistence akibat pengaruh kejutan sisi pasokan atau inflation shock. Extrinsic persistence adalah per sis tensi inflasi yang muncul sejalan dengan perilaku biaya marjinal (atau pun kesenjangan output) yang diha t
42
dapi oleh perusahaan secara riil di ban dingkan kondisi yang diharapkan baik saat ini maupun ke depan. Terkait dengan persamaan (2.3) di atas maka extrinsic persistence terkait dengan ni lai parameter k. Semakin besar nilai k maka semakin besar pula persistensi inflasi dari variabel biaya marjinal atau pun kesenjangan output. Intrinsic persistence adalah inflasi aki bat perilaku pembentukan harga yang dominan menengok ke belakang atau mengacu pada perkembangan in flasi sebelumnya. Persistensi inflasi aki bat hubungan yang kuat dengan inflasi sebelumnya antara lain terkait dengan perilaku indeksasi upah atau perilaku rule-of-thumb dalam pembentukan harga. Semakin banyak pelaku usaha yang menerapkan perilaku seperti ini maka akan semakin kuat persistensi inflasi akan terjadi. Dalam konteks hybrid NKPC, hal ini ditunjukkan oleh parameter γ . Semakin besar nilai γ ma ka semakin tinggi pula derajat persis tensi inflasi intrinsik. Sementara itu, expectation-based persistence muncul jika perilaku pembentukan harga pengusaha lebih berorientasi melihat perkembangan kon disi ekonomi ke depan. Dalam persamaan (2.3) di atas maka peran ekspektasi inflasi tercermin pada koe fisien γ . Secara teoritis, ekspektasi ter kait dengan perilaku melihat ke depan (forward looking) yang rasional da ri para pelaku ekonomi sehingga ke ja dian masa lalu akan memiliki peran atau bobot sedikit sekali terhadap ke putusannya mengenai masa depan. Oleh karena itu, apabila asumsi perilaku forward looking lebih dominan dalam pro ses pembentukan harga-harga, maka ekspektasi inflasi tidak akan me b
b
f
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
nyum bang terjadinya proses inflasi yang persisten. Namun demikian, apa bila asumsi perfect information tidak terpenuhi, maka perilaku ini justru akan mendorong terjadinya persistensi dan respons inflasi terhadap gejolak gradu al yang melambat. Persistensi inflasi dari sisi error term bersumber dari berbagai faktor yang tidak atau belum tertangkap dengan baik, misalkan perubahan kebijakan harga-harga pemerintah dan faktorfaktor lain yang menyebabkan mun culnya supply shock yang signifikan. Me nurut Fuhrer (2006) identifikasi terhadap kejutan atau shock yang da pat memunculkan otokorelasi di an tara unsur error (autocorrelated in flation shock), kemungkinan dapat menerangkan mengapa variabel inflasi masa lalu menjadi dominan dalam ba nyak hasil hybrid NKPC. Selain itu, terdapat dua pandangan yang berbeda tentang sumber da ri inflasi yaitu aliran monetaris dan strukturalis. Aliran monetaris me man dang bahwa kenaikan harga me rupakan gambaran dari adanya kelebihan pada pasar uang. Inflasi me ru pakan hasil dari pergerakan yang berkelanjutan pada aggregate demand setelah pendapatan riil mendekati kon disi full employment. Kebijakan yang di tawarkan oleh monetaris adalah ada nya kontrol terhadap kebijakan moneter dan fiskal seperti melakukan kontraksi moneter dan fiskal. Di sisi lain, strukturalis memandang bah wa jumlah penawaran uang akan ber tambah sejalan dengan kenaikan har ga. Jadi, jumlah penawaran uang me 2
ru pakan respon dari inflasi bukan pe nyebab dari inflasi. Sumber dari ada nya peningkatan harga dianggap sebagai akibat dari tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi. 2.2 Studi Empiris Dalam studinya mengenai per sis tensi inflasi di Indonesia, Yanuarti (2007) menemukan bahwa derajat per sistensi inflasi di Indonesia cenderung menurun pada periode pascakrisis (se telah tahun 2000) dibandingkan masa sebelum krisis (1990-1997). Penelitian tersebut juga menemukan bahwa per sistensi inflasi di Indonesia bukan di sebabkan oleh faktor intrinsik dalam perekonomian2 . Alamsyah (2008) memperdalam ha sil temuan Yanuarti (2007) de ng an menganalisis faktor-faktor pe nyebab persistensi inflasi serta me li hat implikasinya terhadap pilihan dan respons kebijakan moneter di In donesia. Ditemukan bahwa adanya pe nurunan derajat persistensi inflasi banyak terkait dengan struktur pasar. Hasil analisis sumber-sumber per sis tensi inflasi mengindentifikasikan bah wa sumber utama persistensi inflasi di Indonesia adalah para monopolis dan oligopolis yang memiliki kekuatan pa sar dan cenderung dominan dalam mem pengaruhi proses pembentukan harga secara nasional. Selain itu, dalam skenario persistensi menjadi lebih ting gi maka pilihan kebijakan moneter yang optimal bagi Indonesia adalah dengan tetap memberikan bobot yang tetap tinggi kepada inflasi (hingga 4 kali) daripada output3 .
Lihat selengkapnya pada Yanuarti (2007), “Has Inflastion Persistence in Indonesia Changed?,” Bank Indonesia Working Paper.
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
43
Penelitian yang dilakukan Altissimo et al. (2004), O’reily dan Whelan (2004) ser ta Gadzinski dan Orlandi (2004) un tuk kawasan Eropa dan Amerika Serikat menemukan bahwa laju inflasi di negara-negara tersebut relatif cu kup persisten. Derajat persistensi di ka wasan Eropa relatif sebanding dengan yang terjadi di Amerika Serikat dan se cara rata-rata koefisien persistensi inflasi mencapai sekitar 0,6 - 0,8. Hal ini ber arti inflasi di Eropa dan Amerika Serikat membutuhkan 1,5 – 4 kuartal untuk me nyerap 50% dari kejutan yang terjadi se belum kembali menuju ke perilaku inflasi rata-rata jangka panjang. Dengan mempelajari pengalaman 14 negara berkembang selama periode 1980-an dan 1990-an, Mohanty and Klau (2001)4 menemukan bahwa shock penawaran eksogen, khususnya harga makanan, merupakan penentu penting va riabilitas inflasi. Faktor permintaan yang didekati dengan menggunakan kesenjangan output, dan kelebihan uang (excess money) tidak memainkan peran yang besar. Namun demikian, pertumbuhan upah dan perubahan ni lai tukar memiliki pengaruh terhadap vo latilitas inflasi di banyak negara. Penelitian ini juga menemukan bahwa per sistensi inflasi memainkan peran pen ting dalam menjelaskan tingkat dan variasi inflasi. Wimanda (2006) dalam studinya mengenai inflasi regional di Indonesia juga menemukan bahwa setelah krisis
ekonomi tingkat volatilitas inflasi di daerah menjadi lebih tinggi. Selain itu, antara inflasi-inflasi daerah dengan in flasi nasional tidak menunjukkan ada nya konvergensi sehingga pola per ge rakannya seringkali berbeda dari pergerakan inflasi nasional. Hal inilah yang dapat mengakibatkan kebijakan moneter tidak secara penuh efektif da lam menekan laju inflasi di daerah5. Studi tentang Aggregate Supply pada perekonomian Indonesia meng hasilkan temuan yang menarik tentang hubungan antara pertumbuhan out put dan inflasi. Setelah krisis 1997, kontribusi investasi swasta menggam barkan adanya structural break dan hi langnya momentum pertumbuhan dibandingkan kondisi sebelum krisis. Ren dahnya tingkat investasi swas ta telah menekan akumulasi mo dal da lam negeri dan produksi. Hal ini menyebabkan adanya kondisi keka kuan pada supply, yang pada ak hir nya menciptakan rigidity dalam per ekonomian. Supply side rigidity secara potensial akan menyebabkan tinggi nya tingkat persistensi inflasi. In fla si pada kondisi supply side dapat dijelas kan oleh strukturalis teori dimana in flasi akan dihubungkan dengan faktor struktural dalam perekonomian. Faktor struktural ini hanya dapat diubah seca ra bertahap yang merupakan proses jangka panjang sehingga sering diang gap sebagai teori inflasi jangka pan jang. Beberapa faktor struktural yang
3
Selengkapnya pada disertasi Alamsyah H., “Persistensi Inflasi dn Dampaknya terhadap Pilihan dan Respons Kebijakan Moneter” disertasi untuk memperoleh gelar doktor, Universitas Indonesia, September 2008. 4
Mohanty, M.S. and M. Klau (2001), “What determines inflation in emerging market countries?” BIS papers No 8. Modeling aspects of the inflation process and the monetary transmission mechanism in emerging market countries. 5
Lihat selengkapnya pada Rizki E. Wimanda, “Regional Inflation in Indonesia: Characteristic, Convergence, and Determinants,” Bank Indonesia Working Paper, No.13, Oktober 2006.
44
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
dimaksud adalah adanya struktur pa sar yang monopolistic, high cost eco nomy, rendahnya produktivitas dan ke bijakan pemerintah daerah yang menghambat aktivitas produksi dan in vestasi. Studi ini menyimpulkan bahwa inflasi di Indonesia bukan seluruhnya merupakan fenomena moneter6. Lebih lanjut studi tersebut mengungkapkan fak ta adanya disparitas harga yang semakin besar antar daerah yang me nun jukkan bahwa kebijakan otonomi da e rah yang diterapkan telah gagal untuk menciptakan pertumbuhan eko nomi yang seimbang antardaerah. 2.3 Hipotesis Berdasarkan kajian teoritis dan studi empiris, hipotesis yang dibangun untuk studi ini adalah : - Terdapat perbedaan derajat per sistensi inflasi antara masa sebe lum dan sesudah penerapan ITF. Meskipun demikian, faktor supply side rigidity menjadi faktor peng ham bat turunnya derajat per sis tensi inflasi. - Sumber persistensi inflasi yang berasal dari backward looking ma sih dominan dalam pembentukan inflasi daerah. III. METODE RISET 3.1 Pengukuran Persistensi inflasi Mengikuti Levin dan Piger (2004) ser ta saran dari Andrews dan Chen (1994) maka model yang digunakan untuk mengukur derajat persistensi in flasi di kota Padang adalah model u n ivariate. Pemilihan model univariate ter u tama dilandasi oleh pendekatannya
yang sederhana dan cukup robust da lam mengukur derajat persistensi inflasi. Model yang digunakan adalah sebagai berikut:
πt=µ+ρπ +∑ t-1
p-1
K-1
αJ∆πt-J)+εt (3.1)
dimana ρ adalah laju inflasi, µ adalah konstanta yang mewakili rata-rata inflasi jangka panjang (estimated means), dan εt adalah unsur kesalahan random (random error) yang memiliki kemungkinan heteroskesdatisitas na mun tidak memiliki otokorelasi atau Cov(εt-1, εt)=0 bila s ≠ 0 dengan ratarata E(εt) = 0. Pengujian hipotesis dilakukan terhadap signifikansi ρ secara statistik sebagai cerminan dari persistensi in fla si dengan metode Ordinary Least Square atau OLS. Pemilihan lag dila kukan dengan metode Akaike In for mation Criterion (AIC) ataupun Swartz Information Criterion (SIC). In flasi dikatakan persisten apabila tiap ter jadi shock melalui unsur gangguan e, proses penyesuaian kembali ke ratarata keseimbangannya terjadi dalam waktu yang lambat. Semakin besar nilai ρ semakin tinggi derajat persistensi inflasi yang terjadi. Mengikuti Gudjarati (2003), untuk mengukur waktu yang diperlukan oleh inflasi untuk menyerap 50% shock yang terjadi (sebelum secara gradual kembali ke nilai µ) akan digunakan rumus ρ/(1- ρ) yang pada dasarnya mengikuti fungsi im pulse response secara kumulatif (cum mulative impulse response atau CIF). Untuk memperoleh informasi yang lebih kaya dan akurat mengenai ratarata dan sebaran perilaku persistensi
6
Selengkapnya di Nurkholis Ibnu Aman, Agung Bayu Purwoko, Ariadi Diannegara, “Managing Inflation: A Regional Development Perspective,”The 2nd IRSA Institute, July 2009.
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
45
inflasi dalam periode pengamatan yang terbatas, uji persistensi inflasi dilengkapi dengan metode bootstrap. Metode bootstrap sering digunakan ketika estimasi standard error dari suatu estimator sulit dihitung atau presisi dari asymptotic theory pada estimator yang dihasilkan lemah, serta untuk mendapatkan sebaran estimasi dalam sampel yang terbatas. Kelebihan bootstrap adalah penggunaannya tidak harus mengetahui secara persis proses pembentukan data (data generation process). Sementara itu, evaluasi terhadap kestabilan koefisien parameter hasil estimasi dilakukan menggunakan me tode rolling regression7 . Sebagaimana di ungkapkan dibeberapa literatur, estimasi tingkat persistensi inflasi akan berlebihan (exaggerated) apabila keberadaan structural break nilai tidak diperhitungkan. Oleh karena itu, sebelum mengukur tingkat persistensi inflasi, perlu dilakukan tes structural break terlebih dahulu dengan menerapkan beberapa teknik seperti Quandt (1960) dan Chow test untuk melakukan tes terhadap known dan unknown break. Uji structural break terhadap unknown break ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa break tidak
terjadi pada 15% dari kurun waktu awal dan akhir dari data yang diuji. Jika pada periode data ditemukan adanya structural break maka persamaan akan diestimasi menggunakan dummy variabel. 3.2 Pengujian Sumber-Sumber Persistensi Inflasi Untuk mengetahui sumber-sum ber persistensi inflasi, dilakukan dis agregasi persistensi inflasi menurut kategori persistensi inflasi inti dan non inti, inflasi volatile food serta inflasi administered price. Faktor-faktor yang mendorong persistensi inflasi ber dasarkan disagregasi tersebut akan dieksplorasi lebih lanjut melalui hasilhasil penelitian terdahulu, hasil sur vei ataupun hasil indepth interview. Se hing ga diharapkan akan diperoleh informasi terkait dengan struktur pasar dan faktor-faktor yang mendorong perilaku agen ekonomi di daerah dalam menentukan ekspektasi inflasi. Mengikuti teori New Keynesian, mo del yang dipilih untuk pengujian sumber-sumber persistensi inflasi se cara multivariate adalah dengan meng gunakan persamaan New Keynesian Phillips Curve atau NKPC. Secara umum persamaannya adalah sebagai
berikut: IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN Karakteristik Inflasi Sumatera Barat Secara historis, inflasi Sumatera Barat yang diwakili oleh inflasi kota Pa dang cenderung berada pada level yang tinggi. Hal ini tercermin dari rata-rata inflasi IHK kota Padang yang berada di atas 9% (yoy) pada periode 2000 hingga bulan Mei 2010. Inflasi kota Padang ini lebih tinggi jika dibandingkan rata-rata inflasi nasional yang sebesar 8,3% (yoy). Bah kan pada akhir tahun 2005 dimana pemerintah mengambil kebijakan untuk mengurangi subsidi BBM untuk kedua kalinya di tahun tersebut, kota Padang merespon dengan lonjakan inflasi yang sangat tinggi yaitu di atas kisaran 24% (yoy). Grafik 4. 1. Inflasi IHK Kota Padang
Apabila dibandingkan antara kondi si sebelum ITF yaitu tahun 2000 hingga bulan Juni 2005 dan setelah ITF yaitu bulan Juli 2005 hingga Mei 2010, tampak bahwa rata-rata inflasi IHK Kota Padang sebelum ITF cenderung lebih rendah yaitu sebesar 8,11% (yoy) sedangkan setelah ITF rata-rata inflasi kota Padang sebesar 10,05% (yoy). Perbedaan rata-
rata in flasi kedua periode tersebut tidak mengindikasikan bahwa pene ra pan ITF tidak berdampak positif ter hadap pem bentukan inflasi di kota Padang. Ting ginya inflasi se te lah penerapan ITF disebabkan oleh adanya dampak dari kebijakan admi nistered price dimana pemerintah me ngambil kebijakan mengurangi subsidi BBM se ba nyak 2 kali yaitu di bu lan Maret 2005 sebesar ±30% dan bu lan Oktober 2005 sebesar lebih dari 100%. Seperti dikemukakan oleh Ma jar di (2002), bahwa perkembangan harga BBM yang merupakan salah satu komponen administered prices sering kali merupakan penyebab utama ting ginya perkembangan harga ba rang Grafik 4. 2. Karakteristik Cross-Section Inflasi IHK Kota Padang
administered tersebut dan per kem bangan inflasi IHK pada umumnya8. Tingginya perkembangan inflasi IHK Kota Padang juga tergambar pada statistik distribusi dalam keranjang IHK pada periode sebelum dan sesudah penerapan ITF. Kenaikan rata-rata inflasi pada periode setelah penerapan ITF juga diikuti oleh kenaikan standar
8
Lihat selengkapnya pada Fadjar Madjardi, “Administered Price dan Pola Penetapan Harga BBM,” Catatan Riset, Direktorat Kebijakan Moneter, Bank Indonesia, Juli 2002. 9 7
Penelitian ini mengadopsi desertasi Alamsyah. H (2008) dengan menggunakan data regional
46
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
LSkewness mengukur kesimetrisan distribusi suatu runtutan data di sekitar rata-rata. Skewness positif menunjukkan banyak data yang mengelompok ke ujung distribusi sebelah kanan (skewed to the right), dan sebaliknya. Kurtosis mengukur ketinggian atau ketebalan suatu distribusi. Semakin banyak angka ekstrim yang jauh dari rata-rata maka semakin tinggi nilai kurtosis. Nilai kurtosis untuk distribusi normal adalah 3. Jika kurtosis melebihi 3 maka semakin banyak angka ekstrim sehingga puncak distribusi lebih tinggi dari normal, dan sebaliknya
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
47
deviasi, skewness, dan kurtosis (Grafik 4.2)9. Peningkatan pada standar deviasi dan skewness menandakan se makin besarnya deviasi perubahan harga yang dialami oleh seluruh item dalam keranjang IHK dan bertambah banyaknya item barang yang kenaikan har ganya melebihi rata-rata inflasi IHK. Sementara itu, kurtosis yang me ningkat pasca penerapan ITF menan dakan distribusi perubahan harga dalam periode bulanan semakin dido minasi oleh kenaikan harga yang ek strim pada beberapa item barang di keranjang IHK. Alamsyah (2008) menyatakan bah wa memburuknya ketiga momen dis tribusi tersebut juga dapat mem per kuat indikasi perubahan pola pe ri laku inflasi. Hal ini misalkan akibat da ri proses pembentukan harga di tingkat produsen ataupun konsumen sehingga respon kenaikan harga men jadi lebih cepat dan menyebar ke ba rang-barang lain. Namun, dapat pula se ringnya kejutan dari sisi supply atau gangguan distribusi dan lainnya menyebabkan harga-harga secara in Tabel 4.1. Karakteristik Inflasi IHK Kota Padang Menurut Kelompok Barang dan Jasa
Sumber : BPS, diolah
48
dividual menjadi lebih bergejolak se cara ekstrim. Menu rut Walsh (2003) dalam Alamsyah (2008), perilaku infla si yang semakin berfluktuasi dan me nye bar ke banyak barang seperti ini akan menurunkan welfare. Alasannya, ka rena volatilitas inflasi yang tinggi akan semakin meningkatkan biaya ba gi konsumen ketika melakukan expen diture switching dari satu barang ke barang lain. Berdasarkan kelompok barang dan jasa (Tabel 4.1) tampak bahwa inflasi ke lompok bahan makanan, makanan jadi, perumahan, dan transportasi re latif tinggi. Kelompok bahan makanan, makanan jadi, sandang, dan kesehatan tercatat mengalami peningkatan ratarata inflasi pasca penerapan ITF. Se baliknya, rata-rata inflasi kelompok pe rumahan, pendidikan, dan transportasi mengalami penurunan. Analisis momen distribusi menun jukkan adanya peningkatan skewness setelah penerapan ITF pada kelompok ba han makanan, perumahan, serta transportasi. Hal tersebut menujukkan bahwa perubahan harga pada ketiga kelompok tersebut cenderung sema kin banyak yang lebih tinggi dari ra ta-rata inflasi. Sebaliknya, penurunan skewness yang terjadi pada kelompok la innya, mengindikasikan bah wa pola kenaikan harga atau inflasi di kelompok tersebut menjadi lebih mengarah ke dis tribusi normal setelah penerapan ITF. Sementara itu, relatif tingginya kenaikan kurtosis pasca penerapan ITF pada kelompok bahan makanan, san dang, dan transportasi meng in di kasikan seringnya terjadi kenaikan har ga-harga yang ekstrim pada ke ti ga kelompok tersebut. Kenaikan ekstrim pada kelompok bahan ma Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
ka nan lebih disebabkan adanya per ma salahan gangguan distribusi dan supply shock pada komoditas pangan selama beberapa periode terakhir pe nga matan. Volatilitas kenaikan harga yang relatif tinggi dari kelompok ba han makanan juga tercermin pada ni lai standar deviasi yang cukup tinggi setelah penerapan ITF. Sementara itu, ada nya kebijakan pemerintah untuk mengurangi subsidi bahan bakar pada bulan Maret dan Oktober 2005 serta Maret 2008 telah membuat harga ke lompok perumahan dan transpor me lonjak ekstrim pada periode sebelum dan sesudah penerapan kebijakan ter sebut. Bahkan tingkat volatilitas ke lompok transpor juga bergerak sangat signifikan pasca penerapan kebijakan tersebut. PENGUKURAN PERSISTENSI INFLASI Pengukuran Persistensi Menurut Kelompok Komoditi Pengukuran persistensi inflasi deng an mengaplikasikan univariate model AR menunjukkan bahwa derajat per sistensi inflasi IHK Kota Padang
tergolong tinggi yaitu sebesar 0,86. Namun, jika dibandingkan dengan derajat persistensi inflasi IHK Nasional baik pada periode sebelum maupun sesudah krisis, tampak bahwa derajat persistensi inflasi IHK Kota Padang relatif lebih rendah10. Jika ditinjau per kelompok barang maka derajat persistensi inflasi tertinggi terjadi pada kelompok perumahan, makanan jadi dan kesehatan. Se ba liknya derajat persistensi inflasi te rendah terjadi pada kelompok bahan makanan. Secara umum, derajat per sistensi hampir seluruh kelompok ba rang dan jasa berada di atas kisaran 0,90 kecuali untuk kelompok bahan makanan dan sandang. Besarnya kontribusi kelompok ba han makanan dalam pembentukan IHK kota Padang membuat derajat persis tensi inflasi kota Padang secara total mampu berada di bawah 0,90. Secara matematis, pembedaan pe riode pengamatan berdasarkan masa sebelum dan sesudah ITF menunjukkan adanya perbedaan perilaku persistensi inflasi. Tampak pada tabel 4.3 bahwa derajat persistensi inflasi cende rung
Tabel 4. 2. Parameter Persistensi Inflasi per Kelompok Barang dan Jasa
*signifikan pada α=5%
10
Sumber : Hasil pengolahan data
Lihat temuan Alamsyah (2008) hal 129.
11
Wald test adalah uji statistik parametrik yang digunakan untuk menguji nilai sebenarnya dari parameter berdasarkan estimasi sample. Wald test mengasumsikan bahwa nilai parameter suatu persamaan akan sama dengan nilai parameter seluruh subsample. Dengan menggunakan rasio statistik log likelihood, Wald test memiliki sebaran 2 dengan (m-1)k derajat bebas, dimana m menunjukkan jumlah subsample.
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
49
menurun pada periode setelah pe nerapan ITF. Namun demikian, peng ujian parameter menggunakan Wald test11 menunjukkan bahwa perbedaan ko efisien persistensi inflasi sebelum dan sesudah penerapan ITF tidak sig
ni fikan. Sehingga dapat dikatakan bah wa tidak ada bukti yang kuat un tuk menyatakan bahwa setelah pe nerapan ITF derajat persistensi inflasi cenderung menurun. Hanya kelompok bahan makanan yang
Tabel 4. 3 Waktu yang dibutuhkan inflasi untuk menyerap 50% shock yang terjadi
inflasi untuk kembali ke nilai rata-rata awal apabila terjadi shock lebih lama yaitu 8,70 bulan jikadibandingkan deng an periode setelah ITF yaitu 5,69 bulan. Berdasarkan kelompok barang dan jasa ditemukan bahwa kelompok perumahan membutuhkan waktu yang relatif paling lama dibandingkan kelompok lainnya untuk kembali ke nilai awalnya. Kelompok Perumahan yang sebagian besar didominasi oleh komoditas administered price relatif lebih rentan dalam menghadapi shock. Hal ini disebabkan karena kenaikan harga pada komoditas pembentuk kelompok ini cenderung sangat rigid. Sementara itu, kelompok bahan
makanan relatif lebih cepat untuk kembali pada keseimbangan awal, kelompok yang sebagian besar terdiri dari komoditas tanaman pangan dan holtikultura sangat tergantung pada variasi musim. Pada periode pasca panen terlebih jika ditunjang oleh buruknya faktor cuaca serta distribusi, kenaikan harga yang sangat tinggi dapat serta merta terjadi. Sebaliknya, jika kondisi cuaca serta distribusi berjalan dengan baik maka koreksi harga dapat pula segera terjadi. Hal tersebut didukung pula oleh peran serta pemerintah yang cenderung cepat dalam melakukan intervensi pada saat terjadi kenaikan harga cukup besar pada kelompok ini.
Grafik 4. 3. Karakteristik Cross-Section Inflasi IHK Kota Padang Sumber : Hasil pengolahan data
Untuk mendapatkan informasi yang lebih kaya dan akurat mengenai rata-rata perilaku persistensi inflasi dalam periode pengamatan yang relatif terbatas, pengukuran derajat persistensi inflasi dilengkapi dengan metode bootstrap. Metode boot strap pada studi ini juga menghasilkan pengukuran derajat persistensi inflasi yang hampir serupa. Selain itu, untuk melengkapi pengamatan terhadap perubahan perilaku inflasi, digunakan metode rolling regression. Hasil pengamatan terhadap koefisien persistensi inflasi menggunakan data sampel keseluruhan memperlihatkan bahwa pergerakan derajat persistensi inflasi IHK relatif tidak mengalami perubahan pada periode sebelum maupun sesudah penerapan ITF. Perubahan perilaku inflasi juga dapat dinyatakan dalam satuan waktu.
50
Untuk mengukur berapa lama waktu yang diperlukan oleh inflasi untuk kembali pada keseimbangan awal sebelum terjadinya shock dapat dihitung menggunakan rumus Gujarati (2003) sebagai berikut:
h=ρ/(1-ρ) dimana ρ merupakan derajat persistensi inflasi dan h merupakan lamanya waktu yang dibutuhkan oleh inflasi untuk menyerap 50% shock yang terjadi. Semakin lama waktu yang dibutuhkan berarti semakin tinggi derajat persistensi. Waktu yang dibutuhkan inflasi IHK kota Padang untuk kembali ke nilai rata-rata awalnya sebesar 6,31 bulan. Ditemukan bahwa pada periode sebelum ITF, waktu yang dibutuhkan oleh Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
51
Tabel 4. 4 Komoditas terpilih berdasarkan kontribusi dalam 5 tahun terakhir pengamatan
Sumber : BPS, diolah
4.2.2. Pengukuran Persistensi Menurut Komoditi Terpilih Pada studi ini, analisis terhadap derajat persistensi inflasi juga di la kukan terhadap komoditas yang me mi liki sumbangan besar terhadap pembentukan inflasi kota Padang. Da lam kurun waktu lima tahun yaitu dari tahun 2004-2008 dipilih 18 jenis ko mo ditas dari sekitar 349 komoditas pem bentuk keranjang IHK Padang yang mewakili 57% dari rata-rata in flasi pada periode tersebut. Analisa terhadap komoditas ter pi lih menunjukkan bahwa komoditas yang bersifat administered price me miliki derajat persistensi yang cukup tinggi dibandingkan komoditas lainnya. Salah satu komoditas yang menarik untuk dicermati adalah beras. Meskipun beras merupakan penyumbang ter besar dalam pembentukan IHK kota Padang, namun tingginya derajat per sistensi beras tampaknya masih da pat diredam oleh derajat persistensi ko moditas lainnya sehingga secara total derajat persistensi kelompok ba han makanan justru lebih rendah di banding kelompok lainnya. Di sisi
52
lain, Sumbar merupakan daerah peng hasil beras. Pada bulan Agustus lalu, Provinsi Sumbar bersama 10 kabupa ten/kota (Kabupaten Pasaman, Agam, Padang Pariaman, Sijunjung, Dhar masraya, Pesisir Selatan, Kota Padang, Bukittinggi, Solok, Pariaman) men dapatkan penghargaan dari pe me rin tah pusat karena ke berhasilannya dalam meningkatkan produksi padi di atas 5% pada tahun 2009. Rencananya penghargaan ini akan diberikan secara langsung oleh Presiden RI pada akhir Oktober atau awal November di Nusa Tenggara Barat. Namun demikian, ka rena pemben tukan harga beras ma sih melalui mekanisme intervensi pe merintah (dengan penentuan HPP Pemerintah yang setiap tahun selalu mengalami kenaikan), hal ini ber dampak pada perilaku inflasi komodi tas beras yang menjadi relatif tinggi. Derajat persistensi beras pada periode full sample tercatat sebesar 0,90 yang mengindikasikan bahwa inflasi komo ditas beras membutuhkan waktu se kitar 8,32 bulan untuk kembali pada ke seimbangan awal apabila terjadi shock.
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
Sumber : BPS, diolah
Sementara itu, tingginya derajat persistensi inflasi kelapa kemungkinan disebabkan oleh budaya masyarakat minang yang gemar mengkonsumsi makanan bersantan sehingga permintaan terhadap komoditas ini menjadi relatif tinggi. Sayangnya, meskipun kota Padang berada di pesisir pan-
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
tai barat Sumatera tapi tidak tersedia agen atau pedagang besar yang khusus melakukan penjualan kelapa. Struktur pasar komoditas kelapa serta mayoritas bahan pangan di kota Padang banyak melewati jalur antar pedagang pengecer sehingga harga yang terbentuk menjadi relatif tinggi.
53
Tabel 4. 4 Komoditas terpilih berdasarkan kontribusi dalam 5 tahun terakhir pengamatan
dan minyak goreng dengan periode break pada bulan Januari 2007 serta komoditas minyak tanah dan bensin dengan periode break pada bulan Oktober 2006. Untuk menghindari adanya estimasi yang berlebihan terhadap derajat persistensi yang dihasilkan sebelumnya, maka dilakukan re-estimasi menggunakan variabel dummy pada keempat komoditas tersebut. Hasilnya
adalah untuk komoditas kelapa dan minyak goreng mengalami penurunan derajat persistensi inflasi yakni dari 0,92 menjadi 0,86 untuk kelapa dan dari 0,97 menjadi 0,94 untuk minyak goreng. Sebaliknya, dua komoditas lainnya justru mengalami peningkatan derajat persistensi inflasi yakni dari 0,88 menjadi 0,95 untuk minyak tanah dan dari 0,91 menjadi 0,95 untuk bensin.
Tabel 4. 6. Waktu yang dibutuhkan inflasi untuk kembali ke nilai rata-ratanya
Sumber : Hasil Pengolahan Data
Berbeda dengan perilaku cabe merah yang juga merupakan komoditas khas masyarakat minang. Derajat persistensi inflasi cabe merah berdasarkan hasil pada penelitian ini relatif tidak terlalu tinggi yaitu sebesar 0,65. Dengan besaran derajat persistensi yang dimilikinya cabe merah membutuhkan waktu hanya sekitar 1,89 bulan untuk dapat kembali pada tingkat keseimbangannya setelah terjadinya shock. Selain karena struktur pasar cabe merah yang bersifat persaingan sempurna, juga karena sifat dari komoditas cabe merah itu sendiri. Masa panen tanaman cabe merah serta sebagian tanaman pangan holtikultura lainnya relatif lebih singkat. Sehingga jika terjadi shock dikarenakan minimnya pasokan, maka hal ini dapat segera ditindaklanjuti dengan peningkatan produksi dibeberapa sentra cabe merah yang terdapat di dalam provinsi. Spekulan juga tidak leluasa melakukan penim-
54
bunan, karena sifat cabe merah yang mudah membusuk dan sangat rentan dengan perubahan temperatur. Dari keseluruhan komoditas terpilih, minyak goreng merupakan komoditas yang paling lamban untuk kembali pada nilai rata-rata awalnya. Minyak goreng membutuhkan waktu selama hampir 31 bulan untuk dapat kembali pada keseimbangan awal apabila terjadi shock. Komoditas terpilih lain yang memiliki waktu relatif lama untuk kembali ke nilai rata-ratanya adalah rokok kretek, kelapa, rokok kretek filter, mie, dan sewa rumah. Sebaliknya tongkol, emas perhiasan, dan biaya pendidikan SLTA membutuhkan waktu kurang dari 5 bulan untuk dapat kembali pada keseimbangan awal sehabis terjadinya shock. Berdasarkan uji structural break yang dilakukan, terdapat 4 komoditas yang teridentifikasi mengalami periode structural break yaitu kelapa Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
Sumber : Hasil Pengolahan Data
Pembedaan analisis sebelum dan sesudah penerapan ITF menunjukkan bahwa hampir seluruh komoditas terpilih memerlukan waktu yang lebih singkat untuk kembali ke nilai rataratanya pada periode setelah penerapan ITF, kecuali untuk minyak goreng, tongkol, bensin, cabe merah dan emas perhiasan.
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
4.3 Sumber Persistensi Inflasi 4.3.1 Sumber Persistensi Inflasi berdasarkan Disagregasi Inflasi Analisis terhadap disagregasi inflasi menemukan bahwa derajat persistensi inflasi inti lebih tinggi dibandingkan derajat persistensi inflasi non inti. Derajat persistensi inflasi inti pada periode full sample sebesar 0,88
55
sedangkan inflasi non inti sebesar 0,85. Sumber persistensi inflasi pada inflasi non inti berasal dari inflasi ad ministered price yang memiliki de rajat persistensi sebesar 0,90. Se
men tara itu, rata-rata waktu yang di butuhkan oleh inflasi inti untuk kempali pada keseimbangan awal se kitar 7,6 bulan sedangkan untuk infla si non inti sekitar 5,7 bulan.
Tabel 4.7. Parameter Persistensi Inflasi inti dan non inti
Grafik 4. 4. Waktu yang dibutuhkan inflasi inti dan non inti untuk kembali pada nilai rata-rata
4.3.2 Sumber Persistensi Inflasi ber dasarkan Komoditas Terpilih Setelah mengetahui sumber persistensi inflasi berdasarkan disagregasi inflasi, studi ini juga akan melihat sumber persistensi inflasi berdasarkan 18 komoditas terpilih yang mewakili 57% sumbangan inflasi tertinggi dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Untuk mempermudah analisis, akan dilakukan
mapping terhadap seluruh komoditas terpilih berdasarkan nilai derajat persistensi inflasi serta tingkat inflasi komoditas yang bersangkutan dalam periode yang sama. Nilai threshold akan ditetapkan berdasarkan nilai derajat persistensi inflasi IHK serta ratarata inflasi tahunan dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Berikut adalah hasil mapping tersebut
Gambar 4. 1. Mapping Komoditas Berdasarkan Tingkat Inflasi dan Derajat Persistensi Inflasi
Sumber : Hasil Pengolahan Data
Sumber : Hasil Pengolahan Data
Pembedaan pengamatan berdasarkan periode sebelum dan sesudah ITF juga menunjukkan perilaku yang sama seperti temuan sebelumnya. Baik inflasi inti maupun non inti serta inflasi volatile food dan administered price seluruhnya mengalami penurunan derajat persis-
tensi pada periode setelah penerapan ITF namun setelah dilakukan uji statistik ternyata penurunan yang terjadi tidak signifikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan derajat persistensi inflasi pada periode sebelum dan sesudah penerapan ITF.
Tabel 4. 8. Parameter Persistensi Inflasi inti dan non inti pada periode sebelum dan sesudah ITF
Grafik 4. 5. Waktu yang dibutuhkan inflasi inti dan non inti untuk kembali pada kes eimbangan awal pada periode sebe lum dan sesudah ITF
I. Inflasi Tinggi – Persistensi Tinggi Bensin, kelapa, minyak tanah, ketupat/lontong sayur, minyak goreng, dan angkutan dalam kota II. Inflasi Tinggi – Persistensi Rendah Cabe merah, SLTA, tongkol III. Inflasi Rendah – Persistensi Tinggi Beras, nasi, rokok kretek filter, rokok kretek, tarip air minum PAM,
Sumber : Hasil Pengolahan Data Sumber : Hasil Pengolahan Data
56
Berdasarkan hasil mapping ter sebut dengan menggunakan threshold tingkat inflasi rata-rata sebesar 17,60% (yoy) serta derajat persistensi inflasi IHK sebesar 0,86 diperoleh klasifikasi komoditas sebagai berikut:
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
tarip telepon, tukang bukan mandor dan tarip rumah sakit IV. Inflasi Rendah–Persistensi Rendah emas perhiasan 4.3.3 Sumber Persistensi Inflasi berdasarkan New Keynesian Philips Curve Hybrid Sumber-sumber persistensi in flasi selanjutnya di analisis meng gu nakan persamaan struktural inflasi ya itu model hybrid NKPC yang dibangun oleh Gali dan Getler (1999) dimana inflasi selain berorientasi forward look ing, inflasi juga memiliki perilaku yang backward looking.
57
Hasil estimasi model hybrid NKPC me nunjukkan bahwa perilaku inflasi kota Padang pada periode pengamatan dipengaruhi oleh perilaku yang bersifat backward dan forward looking. Hal ini tampak dari sinifikannya parameter lag inflasi dan ekspektasi inflasi pada model hybrid NKPC. Namun demikian, perilaku inflasi backward looking tampak lebih mendominasi pembentukan inflasi kota Padang yang tercermin dari lebih besarnya koefisien lag inflasi dibandingkan ekspektasi inflasi yaitu masing-masing sebesar 0,56 dan 0,38. Hasil estimasi terhadap output gap menghasilkan koefisien yang tidak signifikan. Tabel 4. 9. Hasil Estimasi Hybrid NKPC
58
Dominasi perilaku backward look ing disebabkan karena para pelaku eko nomi tidak bersifat rasional sehingga mereka cenderung memberikan bobot yang besar terhadap kejadian masa lalu. Akibatnya, proses pembentukan har ga-harga akan menyumbang ter jadinya inflasi yang persisten. Terlebih karena struktur pasar selain komoditas bahan pangan di Sumatera Barat cen derung monopolis dan oligopoly se hingga faktor kekakuan harga menjadi semakin besar . Hal ini sejalan dengan temuan Hu ta barat (2005) bahwa determinan utama inflasi adalah ekspektasi infla si yang terkait dengan pola pemben tu kan ekspektasi inflasi yang masih di dominasi oleh inflasi masa lalu (adap tif). Perilaku ini menimbulkan persistensi inflasi karena riwayat infla si Indonesia banyak dipicu oleh inflasi cost-push atau supply shocks yang signifikan dan sering terjadi, se per ti kejutan harga minyak, kenaikan har ga BBM, devaluasi dan fluktuasi ber lebihan nilai tukar rupiah .
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan 1. Pengukuran persistensi inflasi dengan mengaplikasikan univa riate model menunjukkan bahwa de rajat persistensi inflasi kota Pa dang tergolong tinggi yaitu se besar 0,86 pada periode full sample. Derajat persistensi inflasi ter tinggi terjadi pada kelompok perumahan, makanan jadi dan ke sehatan. Sebaliknya derajat persis tensi inflasi terendah terjadi pada kelompok bahan makanan. 2. Meskipun menunjukkan adanya penurunan pada periode sebelum dan sesudah penerapan ITF, na mun secara statistik perbedaan yang ada tidak signifikan. 3. Derajat persistensi inflasi inti ter nyata lebih tinggi dibandingkan de rajat persistensi inflasi non inti. Hal
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
ini mengindikasikan kebijakan mo ne ter masih memegang peranan penting dalam pengendalian inflasi. 4. Hasil kombinasi antara tingkat in flasi dengan derajat persistensi in flasi menemukan bahwa komoditas yang berada pada kategori inflasi tinggi dan persistensi tinggi adalah bensin, kelapa, minyak tanah, ke tupat/lontong sayur, minyak go reng, dan angkutan dalam kota. 5. Analisis sumber persistensi inflasi meng gunakan hybrid NKPC me nun jukkan bahwa perilaku inflasi kota Padang lebih didominasi oleh perilaku inflasi backward looking. Hal ini disebabkan oleh struktur pasar yang ada di Sumatera Barat cenderung oligopoly sehingga fak tor kekakuan harga menjadi sema kin besar.
59
5.2. REKOMENDASI 1. Masih tingginya persistensi inflasi di Sumatera Barat serta belum signifikannya perubahan persistensi inflasi setelah penerapan ITF mengindikasikan bahwa kebijakan pengendalian inflasi tidak cukup berasal dari kebijakan moneter semata. Oleh karena itu, peningkatan koordinasi dengan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah perlu dilakukan. Penguatan peran Tim Pengendalian Inflasi baik ditingkat Pusat maupun Daerah menjadi semakin relevan. Melalui Tim Pengendalian Inflasi tersebut, dapat dihasilkan solusi kebijakan yang lebih bersifat spesifik dalam mengatasi masalah inflasi yang bisa melengkapi kebijakan moneter yang bersifat nasional dan seragam. 2. Meskipun demikian, peran kebijakan moneter masih cukup signifi-
kan dalam pengendalian inflasi ke depan. Perlu upaya terus menerus untuk mengubah perilaku inflasi yang backward looking menjadi for ward looking. Diseminasi kebijakan moneter serta outlook perekonomian perlu lebih diintensifkan oleh bank sentral melalui berbagai saluran media massa. 3. Perlunya perhatian yang lebih intensif terhadap komoditas yang memiliki derajat persistensi tinggi, diantaranya adalah dengan: a. melakukan studi lebih menda lam mengenai struktur pasar dan mekanisme tata niaga. b. melakukan kerjasama dengan Bap peda untuk menyelaraskan antara pengembangan ko moditas unggulan daerah dengan komoditas yang me miliki persistensi inflasi tinggi.
DAFTAR PUSTAKA •
Alamsyah, Halim. 2008. “Persistensi Inflasi dan Dampaknya terhadap Pilihan dan Respons Kebijakan Moneter”. Disertasi untuk memperoleh gelar doktor, Universitas Indonesia.
•
Altissimo, F.,B. Mojon, dan P. Zaffaroni. 2004. “Fast Micro and Slow Macro: Can Aggregation Explain the Persistence of Inflation?”, mimeo, ECB.
•
Altissimo, F., Ehrmann, M., dan F. Smets. 2006. “Inflation Persistance and Price Setting behaviour in the Euro Area : A Summary of the Inflation Persistence Network Evidence, “National Bank of Belgium WP” No. 95.
•
Aman, Nurkolisoh , Agung Bayu Purwoko, dan Ariadi Diannegara,. 2009. “Managing Inflation: A Regional Development Perspective,”. Paper dipresentasikan pada The 2nd IRSA Institute Juli 2009
•
Andrews, D.W.K, dan Chen, Hong-Yuan. 1994. “Approximately Median-Unbiased Estimation of Autoregressive Models”. Journal of Business & Economic Statistics, Vol.12 No.2.
•
Angeloni, I., Aucremanne, L., Ehrmann, M., Gali, J., Levin, A., dan F. Smets. 2004. “Inflation Persistence in the Euro Area : Preliminary Summary of Finding”. diakses dari http:/www.ecb.int/events/conferences/html/inflationpersistence.en.html.
•
Bank Indonesia Padang. 2008. “Jalur Distribusi Komoditas Penyumbang Inflasi Terbesar di Wilayah Sumatera Barat Dan Sekitarnya,”. Padang
•
Batini, Nicoletta, dan Edward Nelson. 2001. “Optimal horizons for inflation targeting”. Journal of Economic Dynamics and Control. Volume 25, Issues 6-7.
•
Cogley, T. W., and T.J. Sargent, 2006. “inflation-Gap Persistence in the U.S.,” University of California at Davis and New York University, mimeo.
•
Dias, D. dan Marques, C.R.. 2005. “Using Mean Reversion As Measure of Persistence,” ECB Working Paper 450.
•
Fuhrer, J.C. 2006. “Intrinsic and Inherited Inflation Persistence” International Journal of Central Banking, Vol.2 No.3, 86.
•
Gadzinski, G. dan Orlandi, F., 2004. “Inflation Persistence in the European Union, the Euro Area and the United States”, ECB Working Paper 414.
• Gali, J., dan Gertler, M.. 1999. “Inflation Dynamic: A Structural Econometric Analysis”, Journal of Monetary Economics 44, 195-222. • Gujarati, Damodar. 2004. Basic Econometrics. Fourth-Edition. The Mc-Graw Hill Companies. • Hemingway, Ernest. 1935. “Notes on the Next War: A Serious Topical Letter” , Esquire Edition September 1935 • Hutabarat, Akhis R.. 2005. “Determinan Inflasi di Indonesia”. Occasional Paper. Bank Indonesia : Direktorat Ekonomi dan Kebijakan Moneter.
60
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
61
• Levin, A.T., dan J.M. Piger. 2003. “Is Inflation Persistence Instrinsic in Industrial Economies,” Working Papers 2002-023. Federal Reserve Bank of St. Louis. • Madjardi, Fadjar. 2002. Administered Price dan Pola penetapan Harga BBM,” Catatan Riset. Direktorat Kebjakan Moneter Bank Indonesia.
CORRUPTION AND INVESTMENT: EVIDENCE FROM SOUTHEAST ASIA Ferry Ardiyanto
• Marques , Carlos Manuel Robalo, Inflation Persistence: Facts or Artefacts? (June 2004). ECB Working Paper No. 371 • Mohanty, M.S. dan M. Klau. 2001. “What determines inflation in emerging market countries?” BIS papers No. 8. Modeling aspects of the inflation process and the monetary transmission mechanism in emerging market countries. • O”Reilly dan Whelan. 2004. “Has Euro-Area Inflation Persistence Changed Over Time?”, European Central Bank Working Paper Series No. 335. • Wimanda, Rizki E. 2006 “Regional Inflation in Indonesia: Characteristic, Convergence, and Determinants, “ Bank Indonesia Working Paper, No. 13, Oktober 2006. • Sheedy, Kevin D., (2006). “Structural Inflation Persistence”, University of Cambridge, mimeo. • Solikhin M. Juhro. 2010. “Kebijakan Moneter Indonesia:ITF dan Tantangan Kebijakan di Masa Krisis,” Bahan Ajar Kuliah. • Solikin dan Imam Sugema. 2004. “Rigiditas Harga-Upah dan Implikasinya Bagi Kebijakan Moneter di Indonesia,” Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan (BEMP), September, Bank Indonesia. • Yanuarti, Tri. 2007. “Has Inflation Persistence in Indonesia Changed?,” Bank Indonesia Working Paper.
14
ABSTRACT ABSTRACT This paper Bank employs Indonesiamarket replaced base money with inflation corrup targetpotential, markettargeting size, macroeconomic, ing framework (ITF) since July 2005. Thus understanding inflation persistence tion, democracy, labor, and human capital variables to investigate the relation is important supportdirect the effectiveness of this framework. This study Asia. attempts ship betweentoforeign investment and corruption in Southeast The to understand the behavior of inflation persistence of regional level, completing efficient grease hypothesis argues that corruption can increase investment as several studies conducted at the national level. Specifically, this study tothus calit acts as grease money that enables firms to avoid bureaucratic redaims tape, culate the level of inflation persistence in West Sumatera, to see how the effect improving economic efficiency. Consequently, fighting corruption would be of inflation targetingHowever, framework onmay inflation persistence, to findresults the sources counterproductive. this not be the case. and Empirical show of inflation persistence. that worsening of corruption in host economies leads to a reduced inflow of direct Usinginvestment. univariate model AR, we find that inflation persistence in West foreign A one-point increase in corruption level is associated Sumatera is high. When we break the period into before and after the implemenwith approximately 26.5 percent reduction in investment. Therefore, corruption tation of ITF, itas indicates that inflation persistence decreasehand afterfor theinvestment, implemenis considered a grabbing hand rather than a helping tation of ITF. However, this difference is not statistically significant. Using Hybrid sanding instead of greasing the wheels of commerce, and reducing rather than New Keynesian Philips Curve (NKPC), we find that the behavior of inflation is increasing economic efficiency. dominated by backward looking inflation. Overall resultsforeign showeddirect that inflation problem notfixed be resolved Keywords: corruption, investment, panelcan data, effects only through monetary policy. Despite, monetary policy through ITF framework is still necessary to achor agents’ expectation still stronger coordination between central bank and local government must be developed to reach common goal of inflation. Keyword: Inflation persistence, inflation targeting framework, regional inflation, regional economics
14
62
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
The author works for Directorate General of Customs and Excise. He is also a Ph.D. candidate (ABD), a Fulbright scholar, and an Instructor in the Department of Economics Colorado State University, U.S.A. Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011 The author thanks Elissa Braunstein and anonymous referees for constructive comments and sugges tions, and Fulbright Southeast Asia Grant for funding this project. Any errors are author’s responsibility.
63
INTRODUCTION
G
lobal capital flows are acknowledged to positively affecting the development of a nation, channeling through technology transfer, investment, labor productivity, and the financial sector (Goldin and Reinert, 2005; Obstfeld, 1998). One of the most celebrated global capital flows is in the kind of foreign direct investment (FDI), which is “the acquisition of more than 10 percent shares on the part of a firm in a foreign-based enterprise and implies lasting interest in or effective managerial control over an enterprise in another country” (World Bank, 2010). According to World Investment Report 2010, the current FDI recovery is taking place in the wake of a severe decline in FDI flows worldwide in 2009. After a 16 percent decline in 2008, global FDI inflows fell a further 37 percent to $1.114 trillion in 2009. The recovery of FDI inflows in 2010 is expected to be stronger in developing countries than in developed ones due to developing countries’ growth and reform, as well as their increased openness to FDI and international production. Consequently, developing and transition economies now account for just about half of global FDI inflows. Moreover, FDI is expected to increase to over $1.2 trillion in 2010, rise further to $1.3–1.5 trillion in 2011, and boost to $1.6–2.0 trillion in 2012. Meanwhile, corruption has been a hot topic among economists and in-
ternational development institutions. The World Bank (1997) has identified corruption as among the greatest obstacles to economic and social development since it undermines development by distorting the rule of law and weakening the institutional foundation on which economic growth depends. Corruption is perceived as detrimental to investment, and consequently, economic development. It slows down development progress and undermines good governance in most of developing countries. For those reasons, donor countries and development institutions have established guidelines for reducing corruption15. Regardless of these sustained commitments and increased efforts to contain corruption, today’s evidence shows that the intensity of corruption is far from having subsided and maybe even worse in some developing countries. This paper will investigate the empirical relationship between FDI inflows and corruption among founding countries of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN): Indonesia, Malaysia, the Philippines, Singapore, and Thailand. The data are quite varied and consist of market potential, market size, economic, democracy, corruption and labor variables. The corruption variable shows Singapore to be the least corrupt, Malaysia to be moderately corrupt, and the Philippines, Indonesia, and Thailand to be relatively corrupt16. Nonetheless, those two last countries are grow-
15
For example, the World Bank’s Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank, September 2007 and Organisation for Economic Cooperation and Development’s Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions, November 1997. For a specific country, Foreign Corrupt Practices Act of 1977 prohibits U.S. firms from offering or making payment to foreign officials to secure any improper advantage in order to obtain or retain business. 16
Corruption rank follows
64
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
ing substantially and keep attracting FDI. Furthermore, Indonesia has been a fairly democratic country over the last decade, yet remains fairly corrupt. However, a low level of democracy does not hold Singapore back from being ranked as one of the least corrupt countries, cleaner than the U.S. and many European countries17. Singapore is actually the third cleanest country, trailing behind Denmark and New Zealand only (Transparency International, 2010). THEORETICAL BACKGROUND There are many definitions of corruption; I will use the simple and straightforward definition by the World Bank, which defines corruption as: The abuse of public office for private gain. Public office is abused for private gain when an official accepts, solicits, or extorts a bribe. It is also abused when private agents actively offer bribes to circumvent public policies and processes for competitive advantage and profit. Public office can also be abused for personal benefit even if no bribery occurs, through patronage and nepotism, the theft of state assets, or the diversion, of state revenues (World Bank, 1997: 7-8). Corruption, with respect to FDI and international trade, usually takes the form of bribery that is “a transaction that provides the parties involved with undue payment (interpreted widely to include any property having financial and non-financial value) or other
benefit or advantage” (United Nations Conference on Trade and Development, 2001: 12)18. Checkpoint officers might take bribes to let otherwise taxable goods go without paying any taxes. Foreign investment office officials could ask for speed money to expedite the paperwork. Procurement officers might ask for kickbacks for buying goods from certain suppliers. The bribe does not have to be in the form of cash money; it might be in the form of gifts, shopping trips abroad, or entertainment treats. Corruption is usually modeled as a principal-agent model, supply demand model, or gravity model. The principal-agent model involves the classic principal-agent problem, in which the principal, who may be a top-rank or middle-rank government officer, deals with the agent, who may be the multinational company interested in some government-provided good or in avoiding higher taxes (Aidt, 2003; Dutta and Mishra, 2004). Shleifer and Vishny (1993) provide a nice example of this type of corruption. They also distinguish between corruption with theft, which is a bribe to checkpoint officer in exchange for goods entering the country without paying tax and corruption without theft that is additional bribe besides regular price for getting a certain service or good; checkpoint official keeps the bribe but passes the price to the government. The supply demand model is best illustrated by Rose-Ackerman (1978,
17
For survey literature on the impact of democracy on corruption, see Rock (2007). He finds that recent theoretical developments and case evidence support an inverted U relationship between corruption and democracy. The turning point in corruption occurs rather early in the life of new democracies and at rather low per capita incomes. . 16
Bribery also includes “a payment or advantage that is in consideration of (non) performance of that which is already due by virtue of the recipient’s terms of service, or other commitments and obligations. It also includes payments in consideration for the receipt of information, services or other advantages that the payer would not otherwise be entitled to receive” (UNCTAD, 2001: 12).
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
65
1999). She argues that demand for corruption comes from local government officials, whereas supply of corruption comes from multinational companies interested in gaining access in host country. Corruption, in the form of a bribe, equates supply and demand, and thus clears the market. She shows an example of a government that frequently provides goods for free or sells them below market prices. The dual prices usually exist, a low state price and a higher free market price. Firms then bribe corrupt officials for access to below-market-price supplies. The gravity model is similar to Tinbergen’s gravity model for modeling international trade. It is based on the ideas that opposite forces explain the intensity of trade between two countries. Income and size constitute attraction forces, while distance and trade barriers act as resistance ones. The gravity model has enjoyed empirical success in its ability to explain the relationship between international trade and the quality of institutions. Anderson (1979), Bergstrand (1989), and Anderson and van Wincoop (2003) present micro foundations for the gravity model. The monopolistic competition model, as well as the Heckscher-Ohlin market structures model, is utilized to derive the gravity equation. As this paper is aimed at investigating the relationship between FDI and corruption, one might simply conclude that corruption must have a negative impact on FDI. Corruption deters FDI as it acts like a tax on FDI by increasing cost of doing business (Wei, 2000; Svensson and Fisman, 2000; Tanzi and Davoodi, 1997). In fact, Wei (2000) and Svensson and
66
Fisman (2000) conclude that corruption, measured in terms of bribery, is more harmful for firms than taxing. Moreover, because foreign firms have to pay bribes in order to get permits to import or invest, corruption raises the costs of investment. Such extra costs decrease the expected profitability of investment. Consequently, corruption is commonly viewed as a tax on profits of investment (Shleifer and Vishny, 1993). Corruption also reduces the private marginal product of capital, thus decreasing private investment and then lowering economic growth (Mauro, 1995; Keefer and Knack, 1996). Further, specifically for U.S. firms, there is Foreign Corrupt Practices Act of 1977 that prohibits U.S. firms from bribing foreign officers in international business transactions. As a result, when the level of corruption in host country is high, U.S. firms will be reluctant to invest in that country. But, are those prior conclusions always applied? As a matter of fact, corruption may help increase FDI under the efficient grease hypothesis. The efficient grease hypothesis argues that corruption could increase investment as it acts as grease money that enables firms to avoid bureaucratic red tape. Bribes may be beneficial in countries with very long waiting-times at the border or with a low quality of checkpoint service. Lui (1985), in support of view that corruption could be beneficial, shows that if bribery is allowed, speed money permits clients to avoid bureaucratic delays. Thus, if clients have different opportunity costs of time, bribes can minimize waiting costs. In this queuing model, corruption could actually increase efficiency Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
as different bribes by different firms may reflect their different opportunity costs with respect to bureaucratic delay, so buying less red tape might be advantageous. Another argument, which supports the helping hand hypothesis, is that corruption allows supply and demand to work efficiently, since under competitive bidding for government contracts, the most efficient firm can offer the highest bribe. Thus, the contract goes to the lowest-cost firm (Beck and Maher, 1986; Lien, 1986). Corruption could also be considered a useful substitute for a weak rule of law if the value of behaving corruptly—the value of additional productive transactions occurred—exceeds the costs of engaging in corruption. This is most likely when the legal options for doing business are quite limited (Leff, 1964). Bardhan (1997) also argues that if rigid regulation and an inefficient bureaucracy prevail, bribes may increase bureaucratic efficiency by expediting the process of decision-making. Also, bribes might be needed to gain access to publicly funded projects. Similarly, Glass and Wu (2002) claim that in the long run, there are complicated general equilibrium effects at work, and corruption is not necessarily bad for FDI. Empirical Findings Regarding empirical results, the classic paper investigating the rela-
tionship between corruption and investment is that of Mauro (1995). He utilizes a corruption index provided by Business International (BI) and runs a sample of 67 countries using Ordinary Least Squares (OLS) and Two Stage Least Squares (2SLS) methods. The strength of this paper is that it controls for endogeneity by using an index of ethno linguistic fractionalization as an instrument and nine indicators of institutional efficiency19. He demonstrates that high levels of corruption are associated with lower levels of investment as a share of Gross Domestic Product (GDP). For instance, if Bangladesh (score of 4.7) were to improve the integrity and efficiency of its bureaucracy to the level of that of Uruguay (score of 6.8), its investment rate would increase by almost five percentage points and its yearly GDP growth would rise by over half a percentage point20. Nevertheless, Wedeman (1996) argues that while the correlation between corruption and the ratio of investment to GDP might be strong for countries with little corruption, it loses power for countries with higher levels of corruption. Certain kinds of corruption might have more significance for investment decisions than the overall level of corruption. Wei (2000), using a broader data set on foreign investment from 12 sources to 45 host countries in 1989 and 1990, and utilizing OLS, quasi fixed
19
Ethno linguistic fractionalization measures the probability that two persons drawn at random from a country's population will not belong to the same ethno linguistic group. The nine institutional efficiency measures are political change (institutional), political stability (social), probability of opposition group takeover, stability of labor, relationship with neighboring countries, terrorism, legal system judiciary, bureaucracy and red tape, and corruption. 20
He uses the Business International (BI) index that ranges from 0 (most corrupt) to 10 (least corrupt). Transparency International (TI) uses the same criteria, in which the lowest score (0) suggests high level of corruption prevails, whereas the highest score (10) implies the cleanest. Likewise, the International Country Risk Guide (ICRG) ranges its corruption index from 0 (most corrupt) to 6 (least corrupt).
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
67
effects, and tobit estimation, finds that corruption in a host country has a negative effect on inward FDI from all source of countries in a way that is statistically significant and quantitatively large. Corruption acts like a tax on FDI by increasing cost of doing business. An increase in the corruption level from relatively clean Singapore to relatively corrupt Mexico is equivalent to raising the tax rate by fifty percentage points. The author puts strong emphasis on the comparison between the effect of corruption on FDI and the tax effects. He also experiments with three different corruption indices from Business International, International Country Risk Group, and Transparency International. Nevertheless, Wei’s FDI sample set is dominated by rich countries a.k.a. OECD countries, so if OECD countries were ruled out from the host country sample, the result might be different. Ades and di Tella (1997) argue that an aggressive industrial policy may be to a certain extent stimulated by the corrupt gains from such policy. In this case, the direct positive effect of the policy can be weakened by its role in increasing corruption, and therefore, discouraging investment. They present a hold-up model of investment where active industrial policy promotes both corruption and investment. Their 2SLS with time dummies, sparing the 19891992 period, shows that in the presence of corruption, the positive impact of industrial policy towards investment is undermined. The vigor of this pa-
per is in the way it decomposes the total effect of industrial policy into a positive-direct effect, and a negativecorruption-induced effect. In the presence of corruption, the total effect of industrial policy on investment ranges between 84 percent and 56 percent of the direct impact. However, there seems to be a simultaneity bias when they try to explain the determinants of corruption. Also, the data set is relatively limited. Alternatively, there is also supporting empirical evidence that corruption can be greasing the wheels of commerce rather than sanding them, reducing red tape, and thus, increasing efficiency. This is usually based on the second best case, where corruption is taken as exogenous and independent of the incentive for officials to take bribes, and the quality of institutions is poor. Egger and Winner (2005), using data set of 73 developed and less developed countries and the time period 1995–1999, find a clear positive relationship between corruption and FDI. There is a positive short run as well as a positive long run impact of corruption on FDI21. The contribution of the change in perceived corruption in the long run may account for up to 40 percent of the observed overall FDI growth between 1995 and 1999. Further, the change in corruption is not only able to explain part of the growth of FDI but also the change of its worldwide distribution. Nevertheless, they do not take into account irregular data caused by the global crisis in 1997 that
hit Asian countries particularly hard. Wheeler and Mody (1992) and Hines (1995) have also investigated the association between corruption and FDI. Using the fixed effects method, Wheeler and Mody (1992) fail to find a significant correlation between the size of FDI and the 42 host countries’ risks factor in the period 1982-1988, a composite measure termed “RISK”, which includes perceptions of corruption as one of the variables22. It is stated that “the domestic socio-political considerations, as summarized by the principal component RISK, appear to have a very small effect” (Wheeler and Mody, 1992: 67). However, it is argued that other variables may not be overwhelmingly correlated with government corruption, may not be precisely measured, or may not be as important for FDI (Wei, 2000). Consequently, the noise-to-signal ratio for RISK might be too high to show up significantly in the estimation (ibid). Similarly, using fixed effects estimation and total inward FDI instead of bilateral FDI, Hines (1995) does not find a negative correlation between total inward FDI and the corruption level in host countries. The Foreign Corrupt Practices Act of 1977 actually weakens the competitive position of the American firms without significantly decreasing the importance of bribery to foreign business transactions.
Nonetheless, he admits that the equation fits poorly23. Akcay (2001) uses cross sectional data from 52 developing countries with two different indices of corruption to estimate the effects of the level of corruption on FDI inflows. He utilizes OLS with region dummies. The results fail to identify any significant effects of corruption on FDI. The most significant determinants of FDI are found to be market size, corporate tax rates, labor costs, and openness of the economy. Moreover, Henisz (2000) examines the effect of corruption on market entry using U.S. firmlevel data, and employs the two-stage probit estimation technique on 3,389 overseas manufacturing operations by 461 firms in 112 countries. The results show little effect of corruption but some estimates point out that corruption increases the probability of investing in a foreign country. Empirical Model and Data My research differs from previous ones as I model FDI inflows as a function of a large number of variables considered to be determinant of FDI in host country. I include market potential, market size, macroeconomic, corruption, democracy, labor, and human capital variables. In addition, I also include time dummies for the Asian crisis and global recession. The complete model in linear form is as follows:
22 21
Estimation makes use of the fixed effects and Hausman–Taylor model, which separates the short and additional long run impact of corruption on FDI, hence accounting for the potential endogeneity of the long run impact. They also use information from three different corruption data sources to account for robustness.
68
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
The other variables are political change (institutional), attitude of major opposition group, probability of opposition group takeover, stability of labor, likelihood of terrorism, desire for foreign investment, attitude toward the private sector, cultural interaction, expatriate environment, bureaucracy and red tape, quality of legal system (judiciary), and distribution of wealth. 23
Wei (2000) also claims that Hines’ total inward FDI data from International Finance Statistics may also be too noisy.
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
69
log FDIi,t =
β1 + β2 log GDP Per Capitai,t-1 + β3 GDP Growth Ratei,t-1 + β4 Opennessi,t-1 + β5 Inflationi,t-1 + β6 Domestic Investmenti,t-1+ β7 Corruptioni,t-1 + β8 Political Rightsi,t-1 + β9 Civil Libertiesi,t-1 + β10 Labor Force Participation Ratei,t-1 + β11 Labor Productivityi,t-1 +β12 Labor Costi,t-1 + β13 Life Expectancyi,t-1 + β14 Fertility Ratei,t-1 + β15Malaysia + β16 Philippines + β17 Singapore + β18 Thailand + β19 Asian Crisis + β20 Global Recession + ui,t
where i is the country subscript, t is the time subscript, βs are parameters to be estimated, and ui,t denotes the disturbance term. All explanatory variables (except dummies) are lagged one year to avoid simultaneity with the dependent variable and to take into consideration that investment abroad takes time (Hayashi, 2000: 139; Wooldridge, 2002: 51). I choose founding countries of ASEAN to represent FDI inflows in Southeast Asia because those five countries have been gaining a large share of the FDI coming into the region24. I use the newest data set, ranging from 1996 to 2009 for the reason that although the Corruption Perceptions Index (CPI) from Transparency International (TI) started from 1995, the start of the year should be 1996 or after because the 1995 index is out of date25. I
will assign two time dummies: the period of the Asian crisis in 1997-1998 and the period of the global recession in 2008200926. For country dummy, Indonesia will serve as the reference country. I use CPI from TI as it is the only corruption index that can be obtained for free, others require some fees. Nevertheless, the index is relatively reliable and powerful as it makes use of thirteen different sources (Transparency International, 2010)27. CPI ranges from 0 (most corrupt) to 10 (least corrupt). To avoid confusion, the index is rescaled, so 0 means very clean and 10 represents highly corrupt. The sign of this parameter could be positive or negative depending upon the helping hand or grabbing hand hypothesis of corruption. The summary of data sources is presented as follows:
24
For instance, Indonesia, Malaysia, the Philippines, Singapore, and Thailand altogether accounted for 84 percent of FDI inflows in Southeast Asia in 2009 (UNCTAD, 2010). 25
TI recommends that conclusions regarding time trends should be based on the comparison between the 1996 score and the historical data. Comparisons with the 1995 ranking may be less precise. For complete reasons, please see http://www.icgg.org/ corruption.cpi_olderindices_1995.html 26
Asian crisis time frame follows Pesenti and Tille (2000), Corsetti, Pesenti, and Roubini (1999a, 1999b), and Mishkin (1999). Moreover, according to National Bureau of Economic Research, global economic recession started in December 1997 and ended in June 2009. 27
Also, Wei (2000) finds that the Transparency International (TI) index and the Business International (BI) index, which is used by Mauro (1995), are highly correlated with a coefficient equal to 0.89. Therefore, the estimation results using one of these corruption indices can be easily extended to either the BI or TI index.
70
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
Table 1. Summary of Data Sources
Data Series
Unit
Source*
FDI
Millions US$, 2000 US$
UNCTAD 2010
GDP Per Capita GDP Growth Rate Openness Inflation Domestic Investment Corruption
US$, 2000 US$ Percentage point N/A Percentage point Percentage point N/A
WDI 2010 WDI 2010 PWT 6.3 WDI 2010 PWT 6.3 TI
Political Rights Civil Liberties Labor Force Participation Rate Labor Productivity Labor Cost
N/A N/A Percentage point
Freedom House Freedom House ILO
US$, 2005 US$ N/A
PWT 6.3 ILO
Life Expectancy Fertility Rate
Years Births per woman
WDI 2010 WDI 2010
Consumer Price Index
N/A
FRB St. Louis
Note
rescaled (0=very clean, 10=highly corrupt) 1=most free, 7=least free 1=most free, 7=least free
real GDP chain per worker real manufacturing wage index
*UNCTAD = United Nations Conference on Trade and Development; WDI = World Development Indicators; PWT = Penn World Table; TI = Transparency International; ILO = International Labor Organization; FRB = Federal Reserve Bank; N/A = Not Available
For other explanatory variables, I incorporate several exogenous variables believed to be primary determinants of FDI. For example, Multi National Corporations (MNCs) are driven by the market potential and market size of host countries. Thus, I follow related literature and utilize country size in terms of GDP per capita and growth rate of GDP as a proxy of host country’s market potential and market size (Markusen and Markus, 2002; Wei, 1997; Caves, 1996). Caves (1996) also argues that MNCs locate their productions depending upon the size of the national market. Moreover, “market characteristics such as size, growth in size and income level are most relevant for investment that seeks to access the host market” (Loree and Guisinger, 1995: 295). I expect those variables to having positive effects on FDI inflows. One should also consider the degree of global economic integration and economic stability, which can be represented by the degree of openJurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
ness and the level of inflation, respectively. The degree of global economic integration is considered a traditional determinant of FDI inflows and is considered to have a positive effect on FDI inflows (Al-Sadiq, 2009; Addison and Heshmati, 2003; Akcay, 2001). Greene and Villanueva (1991) and Al-Sadiq (2009) look at how various macroeconomic factors have affected private investment activity. Among the factors examined is macroeconomic stability as represented by low inflation rates. Thus, inflation is anticipated to have a depressing effect on FDI inflows. The effect of domestic investment on FDI can be explained through exchange rate movement, which is “centered on the positive effects of an exchange rate depreciation of the host country on FDI inflows, because it lowers the cost of production and investment in the host countries, [therefore] raising the profitability of foreign direct investment” (Razin, 2003: 418). A subset of democracy variables
71
from Freedom House will also serve as controls for FDI inflows (Akcay, 2006; Harms and Ursprung, 2001). Harms and Ursprung (2001: 4) claim “indices of political rights and civil liberties have a significant influence on FDI”. According to Economic Freedom of the World: 2010 Annual Report, political rights ratings are based on an evaluation of electoral process, political pluralism and participation, and functioning of government. Civil liberties ratings depend on an evaluation of freedom of expression and belief, associational and organizational rights, rule of law, and personal autonomy and individual rights. The numerical rating is from 1 to 7 for both political rights and civil liberties, with 1 representing the most free and 7 is the least free. It is expected that there will be negative association between political rights or civil liberties, and FDI inflows, i.e. the least free (the higher score) in terms of political rights or civil liberties; results in less FDI inflows. I also take into account labor variables: labor force participation rate, labor cost, and labor productivity as FDI in developing countries, such as in Southeast Asia usually takes advantage of abundant and cheaper labor.
Feenstra and Taylor (2008) argue that abundant and cheaper labor is one of the driving forces behind vertical FDI. Wheeler and Mody (1992: 64) claim that “We would expect multinationals to be differentially attracted to sites with lower labor cost….” Meanwhile, “Labor productivity is expected to directly affect the ability of the host country to attract FDI” (Mathur and Singh, 2007: 10). The signs of these parameters are expected to be positive for labor force participation rate and labor productivity, but negative for labor cost. Finally, to account for human capital, I use life expectancy and fertility rate variables. Talpos and Enache (2010: 483-484), “…tested the statistical significance as determinant of FDI inflows for several measures of human capital, like the ones … (life expectancy at birth, breakdown by sexes, or fertility rate)….” Those measures of human capital are considered to have positive signs28.
Table 1. Summary of Data Sources
Variable
Mean
Std. Dev.
Minimum
Maximum
FDI (millions US$, 2000 US$)
59,303
60,245
6,949
275,792
GDP Per Capita (US$, 2000 US$) GDP Growth Rate (percentage point) Openness Inflation (percentage point) Domestic Investment (percentage point) Corruption – rescaled Political Rights Civil Liberties Labor Force Participation Rate (percentage point) Labor Productivity (US$, 2005 US$) Labor Cost Life Expectancy (years) Fertility Rate (births per woman)
6,666 4.16 174.07 5.12 24.75
9,389 4.37 114.44 7.49 10.17
776 -13.13 46.63 -0.85 12.81
31,118 13.30 456.56 58.39 52.63
5.51 3.74 3.80 69.96
2.56 1.45 0.77 4.54
0.6 2.00 3.00 64.13
8.3 7.00 5.00 78.86
27,168 101.86 72 2.38
22,931 9.89 4 0.74
8,447 79.70 65 1.26
83,694 129.10 81 3.85
*UNCTAD = United Nations Conference on Trade and Development; WDI = World Development Indicators; PWT = Penn World Table; TI = Transparency International; ILO = International Labor Organization; FRB = Federal Reserve Bank; N/A = Not Available
Then, I examine the simple relationship between FDI and corruption by
fitting liner regression of log FDI to CPI alone. Figure 1 presents such relationship.
Results and Analysis I begin the analysis by presenting the descriptive statistics on the data to get a snapshot of each variable. The summary is as follows:
28
Initially, I wanted to also include secondary school enrollment as a measure of quality of human capital. However WDI 2010 and UNESCO data on Singapore are not available elsewhere. Similarly, Barro-Lee Educational Attainment Data Set is too little to have meaningful regression. Fortunately, some effects of educational attainment can be captured by labor productivity variable (Hanushek and Kimko, 2000; Hanushek and Kim, 1995; Mankiw, Romer, and Weil, 1992; Romer, 1990).
72
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
73
A preliminary investigation of OLS fitted line shows that the association between log FDI and corruption is indeed a negative one, except for Malaysia. Pooled regression also shows negative association between them, showing that high corruption is negatively correlated with low FDI in Southeast Asia economies. Obviously, the data generating process may also be influenced by many other factors, which will be controlled for in a following segment. Nonetheless, the negative relationship between FDI and corruption in Southeast Asia economies other than Malaysia is good enough to convince us that the impacts of corruption for different economies can be dissimilar. Regarding panel data regression, the first thing to do is to determine whether fixed effects or random effects are appropriate. Actually, the decision to use which model is appropriate is not very tough. Baltagi (2008) argues that the fixed effects model is an appropriate specification if we are focusing on a specific set of N countries. Inference in this case is conditional upon the particular N countries that are observed. On the other hand, the random effects model is appropriate if we are drawing N individuals randomly from a large population as in the case of household panel studies. In this case, N is usually large and a fixed effects model will consume large degrees of freedom.
Similarly, Harris and Sollis (2003: 92) claim that the fixed effects model is more appropriate when focusing on a specific set of N firms (or N countries or households) that are not randomly selected from some large population. The random effects model is more appropriate if the panel data consist of N individuals drawn randomly from a large population, for instance household panel studies, such that the individual constant terms are randomly distributed across cross sectional units. Based on the those references, we can be relatively sure that the fixed effects model is more appropriate since our model focuses on a specific set of countries and not randomly drawn from a large population. However, we will apply the usual procedure in the panel data study. The Hausman specification test is employed to evaluate fixed effects versus random effects under the null hypothesis (μi and X_it^' are not correlated) that both fixed effects and random effects are consistent but random effects are more efficient. The alternative hypothesis (μi and X_it^' are correlated) is that fixed effects estimation is consistent but random effects is not.29 The test statistic developed by Hausman has an asymptotic χ2 distribution. If the null hypothesis is rejected, then we should use the fixed effects model. It turns out that the Hausman test statistic is 15.85 (probability χ2 = 0.0032), so we reject null
hypothesis and conclude that the fixed effects model is appropriate.30 By now, we know that the fixed effects model is an appropriate model. The fixed effects model allows the intercept to differ across individuals (here the five countries). Differences across countries can thus be captured in differences in the intercept. Dummies are used to model these unique sources of variation. Additionally, time dummies for the Asian crisis and global recession are also employed. However, before we run fixed effects
model, we have to makes sure that there is no autocorrelation or heteroskedasticity in our model. We utilize the Wooldridge test for autocorrelation in panel data with the null hypothesis of no first order autocorrelation and the alternative hypothesis of the opposite. The null hypothesis is not rejected at a 5 percent level, so we conclude there is no autocorrelation. Moreover, we may use the “robust” command in Stata to easily correct for heteroskedasticity. The complete regression results for the fixed effects model are shown in Table 3.
Table 3. Fixed Effects Results
Variable
Coefficient
Standard Error
Intercept
22.211
19.391
Lagged log GDP Per Capita Lagged GDP Growth Rate Lagged Openness Lagged Domestic Investment Lagged Inflation Lagged Corruption Lagged Political Rights Lagged Civil Liberties Lagged Labor Force Participation Rate Lagged Labor Cost Lagged Labor Productivity Lagged Life Expectancy Lagged Fertility Rate
6.016 -0.036 -0.005 -0.035 -0.005 -0.265 -0.122 -0.320 -0.010 -0.023 0.001^ -0.640 -1.014
1.229*** 0.008*** 0.004 0.011*** 0.007 0.155* 0.064* 0.050 0.050 0.007*** 0.001^^** 0.228*** 1.118
Country Dummy# Malaysia Philippines Singapore
-4.839 0.747 -13.882
1.908** 1.473 2.395***
Thailand Time Dummy## Asian crisis (1998-1999) Global recession (2008-2009)
-4.824
1.165***
0.106 -0.208
0.162 0.139
R-squared adjusted Number of observation
0.98 805
***significant at 1% level; **significant at 5% level; *significant at 10% level ^ rounded to 1/1000, actual value 0.0000475; ^^ rounded to 1/1000, actual value 0.0000216 # Indonesia is the reference country; ## 1996, 1999-2007 is the reference period
29
To put it in another way, the null hypothesis is that the two estimation methods are both consistent, and thus, they should produce a “similar coefficient”. The alternative hypothesis is as aforementioned and when this is true, there would be differences between the two sets of coefficients. A large and significant Hausman statistic means a large and significant difference and when this is so, we reject the null that the two methods are appropriate in favor of the alternative hypothesis that fixed effects model estimation is appropriate.
74
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
30
Additionally, I also test using Breusch-Pagan Lagrange Multiplier for random effect. The null hypothesis is Var (μi) = 0 or the random effects are not needed. The alternative hypothesis is the opposite. The value of test statistic is 2.26 (probability χ2 = 0.1325). So we do not reject the null hypothesis, and thus, support the fixed effects method.
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
75
The main interest of our empirical result is the sign and the coefficient of β7 or the marginal effect of corruption on FDI inflows, whereas the effects of other explanatory variables are of a secondary interest. The coefficient of corruption is indeed negative and is significant at 10 percent level. A one-point increase in corruption level is associated with approximately 26.5 percent reduction in FDI inflows, ceteris paribus. This result demonstrates strong support for the existence of the expected negative association between corruption and FDI inflows. This, therefore, confirms the findings of Mauro (1995), Wei (2000), Ades and di Tella (1997), Campos, Lien, and Pradhan (1999), Smarzynska and Wei (2000), Habib and Zurawicki (2002), and Al-Sadiq (2009), among others, in which they find a negative relation between FDI inflows and corruption in the host country. For control variables, the coefficient of log GDP per capita is of expected sign and highly significant at 1 percent level. The coefficient of inflation is as expected although it is not significant at standard levels. GDP growth rate, openness, and domestic investment coefficients all have wrong signs. Thus, they are not consistent with economic theory. Nonetheless, the openness coefficient is not significant at standard levels. Democracy variables in the form of political and civil liberties are of expected sign, although the latter barely significant. As a matter of fact, these particular results suggest that the host country’s quality of democracy is as important as the level of corruption in attracting
FDI inflows. For example, a one-point increase in political rights (becoming less free) leads to about 12.2 percent decrease in FDI inflows, ceteris paribus. Certainly, MNCs will think twice if the host country’s government does not function as it should be since there is no protection of their investments or profit cannot be repatriated or, even worse, foreign companies are nationalized. 31 Furthermore, for the labor variable, only labor force participation rate has wrong sign, nevertheless it is not significant at standard level. Labor cost and labor productivity both are of expected signs and significant at standard levels. For instance, one point increase in real manufacturing wage index is associated with approximately 2.3 percent decrease in FDI inflows, ceteris paribus. Hence, the results support Feenstra and Taylor (2008), Wheeler and Mody (1992), and Mathur and Singh (2007) who argue that cheaper labor (lower labor cost) and labor productivity are salient factors in attracting FDI inflows. The quality of human capital as represented by fertility rate and life expectancy seem to the have wrong signs, although the former is not significant at standard levels. However, some effects of educational attainment can be captured by labor productivity variable based on endogenous growth theory (Romer, 1990) and tested by Hanushek and Kimko (2000), Hanushek and Kim (1995), and Mankiw, Romer, and Weil (1992). And we already knew that labor productivity is of expected sign and significant at 5 percent level.
Looking over country dummies, Indonesia, which is represented by intercept, and the Philippines are not significant at standard levels. The rest are significant at 5 percent and 1 percent levels, showing that Malaysia, Singapore, and Thailand have their own features that could be due to unique characteristics of the country, such as the level of natural resources, the quality of infrastructure or the quality of institutions. Their coefficients tell by how much the FDI in those countries differ from Indonesia. On the other hand, both time dummies for the Asian crisis and global recession are not significant. This, perhaps, could be attributed to the time frame chosen. Although standard literature usually assigns 1997-1998 as a time period of the Asian crisis, the recovery was not completely solid until the 2000s. Likewise, for the global recession dummy, based on World Investment Report 2010, the year after 2009 was still considered a slump in FDI inflows, although recovery was already on the way. Overall, the hypothesis that corruption is deleterious for FDI inflows is still legitimate, not necessarily invalid, in spite of some odd coefficients and lack of statistical significances of some explanatory variables. I believe they are caused by other variables at work, but we have failed to take into account in our model, as well as some noise in the data collected. Conclusion This paper employs market potential, market size, macroeconomic, corruption, democracy, labor, and human capital
variables to investigate the association between foreign direct investment and corruption in Southeast Asia. Empirical results show that worsening of corruption in host economies leads to a reduced inflow of foreign direct investment. A one-point increase in corruption level is associated with approximately 26.5 percent reduction in investment. Corruption is indeed detrimental to foreign direct investment inflows in Southeast Asia as it raises the costs of investment and the costs of doing business. Therefore, corruption is considered as a grabbing hand rather than a helping hand for investment, sanding instead of greasing the wheels of commerce, and reducing rather than increasing economic efficiency. However, the estimates have to be interpreted with caution. The model does not control for all variables considered to be the primary determinants of FDI inflows because of data availability. It is believed that there is also some noise in the data. The time period chosen is also restricted, for the reason that the data on corruption provided by Transparency International is limited. Further research could investigate the conclusion by utilizing the gravity model and consider that there are other variables the model fails to control for. Also, one could lengthen the time period by using the corruption index from Business International or International Country Risk Guide. The effect of corruption at industry level on FDI is also worth-investigating as foreign firms may have different extent of sensitivity for corruption at industry level.
31
In May 2006, Evo Morales, the newly-elected president of Bolivia, nationalized the gas industry, so all natural gas resources were controlled by the state-owned energy company. Therefore, foreign investors lost their majority ownership claims to gas field, refineries, pipelines that they had built. They also lost a significant portion of profits from natural gas sales (Feenstra and Taylor, 2008)..
76
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
77
REFERENCES
Ades, Alberto and Rafael di Tella. 1997. "The New Economics of Corruption: A Survey and Some New Results." Political Studies XLV: 496-515. Addison, Tony and Almas Heshmati. 2003. “The New Global Determinants of FDI in Developing Countries: The Importance of ICT and Democratization.” UNU-WIDER Discussion Paper No. 2003/45. Aidt, Toke S. 2003.”Economic Analysis of Corruption: A Survey.” Economic Journal 113: 632–652. Alan Heston, Robert Summers and Bettina Aten, Penn World Table Version 6.3, Center for International Comparisons of Production, Income and Prices at the University of Pennsylvania, August 2009. Akcay, Selcuk. 2006. “Corruption and Human Development.” Cato Journal 26(1): 29-48. ———. 2001. “Is Corruption an Obstacle for Foreign Investors in Developing Countries? A Cross-Country Evidence." Yapi Kredi Economic Review 12(2): 27-34. Al-Sadiq, Ali. 2009. “The Effects of Corruption on FDI Inflows.” Cato Journal 29(2): 267-294. Anderson James E. and Eric van Wincoop. 2003. “Gravity with Gravitas: A Solution to the Border Puzzle.” American Economic Review 93(1): 170-192. Anderson, James E. 1979. “A Theoretical Foundation for the Gravity Equation.” American Economic Review 69: 106-116. Baltagi, Badi. 2008. Econometric Analysis of Panel Data. Fourth edition. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd. Bardhan, Pranab. 1997. “Corruption and Development: A Review of the Issues.” Journal of Economic Literature 35: 1320-46 Beck, Paul J. and Michael W. Maher. 1986. “A Comparison of Bribery and Bidding in Thin Markets.” Economics Letters 20: 1-5. Bergstrand, Jeffrey. H. 1989. “The Generalized Gravity Equation, Monopolistic Competition, and the Factor-proportions Theory in International Trade.” Review of Economics and Statistics 71(1): 143-153. Blanchard, Olivier. Macroeconomics. 2006. Fourth edition. Upper Saddle River: Pearson Education Inc. Campos, J. Edgardo, Donald Lien and Sanjay Pradhan. 1999. “The Impact of Corruption on Investment: Predictability Matters.” World Development 27(6): 1059-1067. Caves, Richard E. 1996. Multinational Enterprise and Economic Analysis. Second edition. Cambridge: Cambridge University Press. Corsetti, Giancarlo, Paolo Pesenti, and Nouriel Roubini. 1999a. “Paper Tigers? A Model of the Asian Crisis.” European Economic Review 43(7): 1211-36. ———. 1999b. “What Caused the Asian Currency and Financial Crisis?” Japan and the World Economy 11(3): 305-73. Dutta, Indranil and Ajit Mishra. 2004. “Corruption and Competition in the Presence of Inequality and Market Imperfections.” Centre for Development Economics Working Paper No. 123. Egger, Peter and Hannes Winner. 2005. “Evidence on Corruption as an Incentive for Foreign Direct Investment.” European Journal of Political Economy 21(4): 932-952. Federal Research Bank of St. Louis. Federal Research Economic Data (FRED). Feenstra, Robert and Alan Taylor. 2008. International Economics. First edition. New York: Worth Publishers. Glass, Amy J and Xiaodong Wu. 2002. “Does Corruption Discourage Foreign Direct Investment and Innovation?” Unpublished Working Paper Texas A&M University. Goldin, Ian A. and Kenneth. A. Reinert. 2005. “Global Capital Flows and Development: A Survey.” Journal
78
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
of International Trade and Economic Development 14(4): 453-481. Green, Joshua and Delano Villaneuva. 1991. “Corruption, Public Investment, and Growth.” IMF Staff Paper 38/1. Gwartney, James D., Joshua C. Hall, and Robert Lawson. Economic Freedom Dataset. Economic Freedom of the World: 2010 Annual Report. Vancouver: Economic Freedom Network. Habib, Moshin and Leon Zurawicki. 2002. “Corruption and Foreign Direct Investment.” Journal of International Business Studies 33(2): 291-307. Hanushek, Eric A. and Dennis D. Kimko. 2000. “Schooling, Labour Force Quality and the Growth of Nations.” American Economic Review 90(5): 1184–1208. Hanushek, Eric. A. and Doongwok Kim. 1995. “Schooling, Labour Force Quality and Economic Growth.” National Bureau of Economic Research Working Paper No. 5399. Harris, Richard and Robert Sollis. 2003. Applied Time Series Modelling and Forecasting. First edition. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd. Harms, Phillip and Heinrich W. Ursprung. 2001. “Do Civil and Political Repression Really Boost Foreign Direct Investment.” CESifo Working Paper No. 421. Hayashi, Fumio. 2000. Econometrics. First edition. Princeton: Princeton University Press. Henisz, Witold J. 2000 “The Institutional Environment for Multinational Investment.” Journal of Law, Economics and Organization 16(2): 334-364. Hines, James R. 1995. “Forbidden Payment: Foreign Bribery and American Business after 1977.” National Bureau of Economic Research Working Paper No. 5266. International Labor Organization. LABORSTA Internet. Internet Center for Corruption Research. The CPI Ranking 1995. www.icgg.org/corruption. cpi_ olderindices_1995.html, accessed on January 12, 2011. Keefer, Phillip and Stephen Knack. 1996. “Institutions and Economic Performance: Cross- Country Tests Using Alternative Institutional Measures.” Economics and Politics VII: 207-27. Leff, Nathaniel H. 1964. “Economic Development through Bureaucratic Corruption.” American Behavioral Scientist 8(3): 8-14. Lien, Da-Hsiang D. 1986. “A Note on Competitive Bribery Games.” Economic Letters 22: 337-41. Loree, David W. and Guisinger, Stephen E. 1995. “Policy and Non-policy Determinants of U.S. Equity Foreign Direct Investment.” Journal of International Business Studies 26(2): 281-299. Lui, Francis T. 1985. “An Equilibrium Queuing Model of Bribery.” Journal of Political Economy 93: 760–781. Mankiw, N. Gregory, David Romer, and David N. Weil. 1992. “A Contribution to the Empirics of Economic Growth.” Quartely Journal of Economics 107(2): 407–437. Markusen, James R. and Keith Maskus, 2002. “A Unified Approach to Intra-Industry Trade and Foreign Direct Investment.” National Bureau of Economic Research Working Paper No. 8335. Markusen, James R. 1995. “The Boundaries of Multinational Enterprises and the Theory of International Trade.” Journal of Economic Perspectives 9: 169-89. Mathur, Aparna and Kartikeya Singh. 2007. “Foreign Direct Investment, Corruption, and Democracy.” AEI Working Paper No. 135. Mauro, Paolo. 1995. “Corruption and Growth.” Quarterly Journal of Economics 110: 681–712. Mishkin, Frederic. 1999. “Lessons from the Asian Crisis.” National Bureau of Economic Research Working Paper No. 7102. Obstfeld, Maurice. 1998. “The Global Capital Market: Benefactor or Menace?” Journal of Economic Perspectives 12(4): 9-30. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). 1997. Convention on Combating
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
79
Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions. Paris: OECD. Pesenti, Pesenti and Cedric Tille. 2000. “The Economics of Currency Crises and Contagion: An Introduction.” FRBNY Economic Policy Review, September. Razin, Assaf. 2003. “FDI Flows and Domestic Investment.” CESifo Economic Studies 49(3): 415–428. Rock, Michael T. 2007. “Corruption and Democracy.” DESA Working Paper No. 55. Romer, Paul M. 1990. “Endogenous Technological Change.” Journal of Political Economy, 98(5): 71–102. Rose-Ackerman, Susan. 1999. Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform. Cambridge: Cambridge University Press. ———. 1978. Corruption: A Study in Political Economy. New York: Academic Press. Shleifer, Andrei and Robert Vishny. 1993. “Corruption.” Quarterly Journal of Economics 108(3): 599-617. Smarzynska, Beata and Shang-Jin Wei. 2000. “Corruption and Composition of Foreign Direct Investment: Firm-Level Evidence.” National Bureau of Economic Research Working Paper No. 969. Svensson, Jakob and Raymond J. Fisman. 2000. “Are Corruption and Taxation Really Harmful to Growth? Firm-Level Evidence.” World Bank Policy Research Working Paper No. 2485. Talpos, Ioan and Cosmin Enache. 2010. “Searching for Human Capital Determinants of Foreign Direct Investment Inflows in the EU New Member States.” Annales Universitatis Apulensis Series Oeconomica 12(1): 483-494. Tanzi, Vito and Hamid Davoodi. 1997. “Corruption, Public Investment, and Growth.” IMF Working Paper 97/139. Transparency International. 2010. Corruption Perceptions Index 2010. Berlin: Transparency International. ———. Corruption Perceptions Index. Various issues. Berlin: Transparency International. United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). 2010. World Investment Report 2010. New York and Geneva: United Nations. ———. 2001. Illicit Payments. New York and Geneva: United Nations. ———. UNCTADStat. U.S. Department of Justice. 1977. Foreign Corrupt Practices Act of 1977. Washington D.C. Wedeman, Andrew. “Looters, Rent-Scrappers, and Dividend Collectors: The Political Economy of Corruption in Zaire, South Korea, and the Philippines.” Paper presented at the 1996 Annual Meeting of the American Political Science Association, San Francisco (August). Wheeler, David and Ashoka Mody. 1992. “International Investment Location Decisions: the Case of U.S. Firms.” Journal of International Economics 33: 57–76. Wei, Shang-Jin. 2000. “How Taxing is Corruption on International Investors?” Review of Economics and Statistics 82 (1): 1-11.
DAMPAK PENERBITAN SUN DOMESTIK TERHADAP PERKEMBANGAN SEKTOR PERBANKAN G.A Diah Utari, Ina Nurmalia Kurniati, Ndari Surjaningsih
32
ABSTRACT ABSTRACT This study Bank examines Indonesia the replaced moneysector targeting inflation targetimpactbase of public creditwith in the form of gov ing framework (ITF) since July 2005. Thus understanding inflation persistence ernment domestic bond (hereinafter is called SUN Domestic = Surat Utang Ne is important to support the effectiveness of this framework. This study attempts gara Domestik) to the development of financial sector especially banking sec to understand the behavior of inflation persistence of regional level, completing tor. We use Vector Error Correction Method and Panel Data Method for monthly several studies conducted national level. Specifically, this study aims to caldata from period of 2003 at tothe 2009. culate the level of inflation persistence Westdomestic Sumatera, to see how theimpact effect The study found that the existenceinSUN have significant of inflation targeting framework on inflation persistence, and to find the sources to the development of banking sector that is represented by the ratio of total of inflation persistence. credit to GDP and ratio of credit to private sector to GDP. The increase Using univariate model AR, we find that inflation persistence in West of composition of SUN domestic in the bank’s aset portfolio Sumatera is high. When we break the period into before and after the implemenrelative to total credit has negative impact to bank’s lending. Therefore there tation it indicates that inflation after the implemenmight of beITF, optimal composition of thepersistence amount of decrease SUN domestic in bank's aset tation of ITF. However, this difference is not statistically significant. Using portfolio that wouldn’t have negative impact to bank’s credit. EmpiricalHybrid result New (NKPC), we the behavior inflation is usingKeynesian panel dataPhilips showsCurve that ownership of find SUN that domestic in bank'sof asets port dominated by backward looking inflation. folio, increases bank's profit and efficiency. Klasifikasi Overall results JEL: G21, showed H6, H63 that inflation problem can not be resolved only through monetary policy. Despite, monetary policy through ITF framework is still necessary to achor agents’ expectation still stronger coordination between central Keywords bank and :local mustprofitability, be developed to reach common goal of Bankgovernment efficiency, bank financial development inflation. Keyword: Inflation persistence, inflation targeting framework, regional inflation, regional economics
———. 1997. “Why is Corruption So Much More Taxing than Tax? Arbitrariness Kills.” National Bureau of Economic Research Working Paper No. 6255. Wooldridge, Jeffrey. 2002. Econometric Analysis of Cross Section and Panel Data. First edition. Cambridge: The MIT Press. World Bank, 2010. World Development Indicators Online Database. ———. 1997. Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank. Washington D.C.: World Bank. 14
are economist in Bureau of Economic Research (BRE)-Bank Indonesia. The views expressed in the paper do not necessarily reflect those of the Central Bank of Indonesia. The authors are grateful to Mr. Iskandar Simorangkir, head of BRE, Mr. Sugiarso Safuan, Mr. M. Noor Nugroho for their valuable com ment. All the remaining error are ours.
80
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
81
I. LATAR BELAKANG
P
embiayaan defisit APBN saat ini le bih banyak difokuskan pada pe nerbitan obligasi (surat utang ne gara, SUN) domestik. Pembiayaan dengan SUN domestik sangat strategis ka rena merupakan jenis pembiayaan yang berkesinambungan dengan ada nya konsep pembiayaan kembali serta dapat mengurangi risiko nilai tukar. Se lain itu perdagangan SUN domestik ber bunga tetap dapat membantu likuiditas pasar dengan pembentukan kurva acu an harga (benchmark yield curve) di pa sar sekunder SUN. Penerbitan SUN domestik yang cukup besar di satu sisi akan me nambah likuiditas di pasar yang berperan penting dalam pem ben tu kan benchmark yield curve dan pe ngembangan pasar obligasi da lam negeri. Namun di lain pihak per lu dipertimbangkan konsekuensi eko nomis dari penerbitan SUN domestik. Hal ini cukup beralasan karena kepe milikan SUN domestik selama ini masih didominasi oleh perbankan yaitu seki tar 45% dari total outstanding pada 2009. Tingginya kepemilikan SUN do mestik di perbankan nasional terjadi sebagai bagian dari penyertaan modal pemerintah dalam bentuk obligasi re kap di perbankan yang mengalami per masalahan modal sangat parah akibat krisis tahun 1997/98. Imbal hasil yang cukup tinggi serta tingkat risiko yang rendah membuat SUN domestik menjadi salah satu in s trumen favorit bagi perbankan un tuk menanamkan dananya se hing ga 33
berpotensi menimbulkan keengganan untuk menyalurkan kredit. Se bagaimana dikemukakan oleh Hauner (2006), tingginya kepemilikan bankbank pada surat berharga pemerintah berpotensi menghambat per kem bangan sektor keuangan dalam jangka pan jang. Di satu sisi profitabilitas bank akan meningkat namun di sisi lain juga dapat menurunkan efisiensi. Montiel (2002) menyatakan bahwa dalam perekonomian yang secara finansial masih terbatas dan struktur suku bunga banyak ditentukan oleh diskresi pemerintah maka pinjaman domestik yang berlebihan dapat mengakibatkan crowding out terhadap investasi dan konsumsi sektor swasta dengan mengurangi secara langsung jumlah kredit yang dialokasikan oleh perbankan. Pembiayaan defisit pemerintah melalui obligasi domestik akan berimplikasi pada meningkatnya permintaan untuk tabungan yang da pat memberikan tekanan pada pe ningkatan suku bunga sehingga meng hambat (crowd-out) konsumsi swasta dan investasi khususnya pada sektorsek tor yang sensitif terhadap suku bunga. Mengingat saat ini porsi ke pe milikan SUN domestik di perbankan cukup tinggi yaitu sekitar 50% 33 da ri total SUN, maka menarik untuk me lihat bagaimana dampak dari pe nerbitan SUN domestik terhadap per kembangan sektor keuangan di Indo nesia. Berdasarkan uraian diatas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk meng analisis pengaruh penerbitan SUN ter
Berdasarkan data komposisi kepemilikan SUN per Desember 2009
82
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
hadap perkembangan sektor keuang an yang meliputi terhadap financial deepening dan pengaruh terhadap ku alitas perkembangan sektor keuangan dari sisi perbankan. Penulisan kajian ini akan dibagi ke dalam lima bagian yang dimulai deng an Latar Belakang, diikuti dengan Tin jauan Teoritis untuk memberikan gam baran dasar teori mengenai ke terkaitan antara pembiayaan de fi sit fiskal menggunakan SUN domes tik dengan perkembangan sek tor keuangan. Bagian Metodologi Pe ne litian menguraikan mengenai me to de kuantitatif yang digunakan da lam penulisan kajian. Pada bagian se lanjutnya akan disajikan mengenai ha sil empiris dampak SUN domestik ter hadap perkembangan sektor ke uangan. Kajian ini diakhiri dengan ke simpulan dan rekomendasi kebijakan. II. TINJAUAN TEORITIS 2.1. Obligasi Pemerintah Domestik Untuk Pembiayaan Defisit Fiskal Pembiayaan defisit fiskal dengan penerbitan obligasi domestik menjadi alternatif utama bagi sebagian besar negara-negara berkembang (emerging markets) saat ini. Peningkatan stok obligasi pemerintah dipengaruhi oleh faktor permintaan dan penawaran. Dari sisi penawaran, krisis keuangan dan program rekapitalisasi perbankan serta bail out34 sistem keuangan memberikan konstribusi yang sangat signifikan pada kenaikan utang domestik pe merintah. Adanya krisis keuangan pa
da 1997-1998 secara tidak langsung te lah menutup akses negara-negara yang terkena krisis untuk memperoleh pem biayaan dari pasar internasional. Penurunan peringkat negara-negara yang terkena krisis mengindikasikan tingginya risiko gagal bayar (default) yang mengakibatkan pembiayaan eks ternal komersial menjadi sangat tinggi. Selain itu untuk negara-negara yang masuk dalam program IMF, ter ikat perjanjian eksplisit yang memba tasi jumlah pinjaman komersial luar negeri. Selain faktor eksternal terkait dengan terbatasnya akses ke sumber dana luar negeri, sumber dana luar ne geri juga dapat menjadi kendala apa bila persyaratan pencairan dana yang diajukan oleh kreditur dianggap tidak se suai atau berlebihan bagi ne ga ra de bitur. Pinjaman lunak luar ne ge ri yang diajukan negara kreditur umumnya adalah dalam bentuk pinjaman program atau pinjaman proyek yang kurang sesuai dengan kebutuhan pe merintah untuk membiayai pe ngeluaran segera (current expenditure). Peningkatan stok obligasi domestik dari sisi permintaan bersumber dari meningkatnya outlet untuk instrumen investasi khususnya bagi perusahaan dana pensiun dan perusahaan investasi. Selain itu relatif lebih rendahnya suku bunga di negara-negara industri dan stabilnya perekonomian emerging market juga semakin meningkatkan demand untuk obligasi pemerintah domestik. Penggunaan obligasi domestik un tuk pembiayaan defisit pemerintah tidak
33
Bail out adalah pemberian dana kepada suatu entitas (perusahaan, negara ataupun individual) yang mengalami masalah keuangan dengan tujuan untuk menyelamatkan entitas tersebut dari kebangkru tan, insolvency, likuidasi atau penarikan dana besar-besaran (rush) yang berpotensi menimbulkan efek menular (contagion). (Wikipedia). Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
83
terlepas dari pertimbangan cost dan benefit-nya terhadap perekonomian. Sejauh ini kritik mengenai penggunaan utang domestik untuk pembiayaan de fisit fiskal adalah dampaknya ter ha dap pinjaman pihak swasta (efek crowding out), sustainabilitas utang, sustainabilitas fiskal, melemahnya efisiensi perbankan serta risiko inflasi (Abbas & Christensen, 2007:4) Peningkatan obligasi domestik Pe me rintah untuk pembiayaan defisit fis kal dapat memicu crowding out ter hadap investasi dan konsumsi swasta. Crowding out terjadi me la lui mekanisme peningkatan suku bu nga, atau ketika suku bunga te tap hal ini terjadi melalui alokasi kre dit (Easterly et.all, 1994). Setiap pe ningkatan obligasi domestik untuk pem biayaan defisit fiskal ditengarai akan mengurangi alokasi tabungan swas ta yang dapat digunakan un tuk pinjaman sektor swasta. Hal ini dikarenakan peningkatan stok ob li gasi domestik tidak hanya menarik da na dari investor baru tetapi juga dapat mengalihkan alokasi dana dari tabungan di perbankan ke obligasi pe merintah. Detragiache et al. (2005) yang menggunakan tingkat suku bunga pinjaman domestik pemerintah sebagai proksi utang domestik Pemerintah me nemukan bahwa koefisien tingkat su ku bunga memiliki hubungan yang ne gatif dan signifikan terhadap loans to GDP dan deposit to GDP. Hal ini mengindikasikan adanya crowding out effect. Disamping itu dengan ku pon
yang umumnya fixed rate dan ting gi serta tergolong jenis risk free aset, kepemilikan obligasi pemerintah do mestik merupakan constant flow of ear ning bagi bank sehingga mengurangi insentif bank untuk menyalurkan kredit kepada sektor swasta yang dipandang lebih berisiko (Hauner, 2006). Utang domestik yang lebih mahal dibandingkan pinjaman luar negeri yang bersifat konsesional juga dikhawatirkan mempengaruhi sustainabilitas fiskal sehingga dapat terjadi crowd out terha dap pro poor (Beaugrand et al, 2002). Namun demikian terkait dengan pen da pat ini Abbas (2005) menyatakan bah wa penarikan kesimpulan ini tidak mem pertimbangkan risiko nilai tukar yang dapat mengakibatkan tingginya va rians dari biaya bunga utang luar negeri serta tingkat suku bunga rendah yang diterima dari pinjaman konsesional beserta persyaratan ketat yang menyer tainya guna mengakomodasi risiko ga gal bayar. Kritik terhadap obligasi domestik pe merintah lainnya adalah biaya penerbitan utang domestik yang dapat menghadapi masalah in time consistency dimana biaya obligasi35 meningkat signifikan dalam kondisi kredibilitas pemerintah rendah. Dalam kondisi ini terdapat dua kemungkinan yaitu pemerintah tidak menerbitkan utang sama sekali atau tetap masuk pasar dengan biaya yang tinggi (Christensen, 2007). Penyaluran dana perbankan yang dominan untuk membiayai defisit peme rintah tidak hanya mengurangi kualitas
35
Biaya utang domestik adalah biaya bunga yang harus dikeluarkan Pemerintah. Hal ini tercermin dari tingkat yield dan kupon dari bond yang diterbitkan. 36
Financial deepening adalah proses pengembangan sektor kuangan yang ditandai dengan antara lain men ingkatnya jumlah dan volume institusi keuangan, jumlah instrument di pasar serta kualitas pelayanan yang di berikan (Wikipedia)
84
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
dari perkembangan sektor keuangan tetapi juga dapat mengganggu finan cial deepening36 dalam jangka panjang karena bank yang tidak efisien cen de rung menanamkan dananya pada sek tor publik dibandingkan dengan mengembangkan pasar perbankan (Hauner, 2006). Disamping berbagai kritik tersebut, ob ligasi pemerintah domestik me miliki peran yang sangat penting. Deng an berkembangnya pasar ob li gasi domestik, pemerintah dapat meng hilangkan ketergantungan ba ik secara langsung maupun tidak lang sung terhadap pembiayaan dari bank sentral yang berupa money financing serta pembiayaan luar ne geri. Selain itu keberadaaan obligasi pe merintah domestik yang likuid da pat berperan sebagai pricing benchmark untuk pinjaman jangka panjang yang diterbitkan oleh bank dan perusahaan lainnya. Selanjutnya obligasi pemerintah domestik bersama dengan instrumen pasar uang dan saham merupakan instrumen yang vital dalam pelaksanaan operasi kebijakan moneter dan collateralized lending untuk pasar uang antar bank. Perkembangan pasar obligasi pemerintah dapat memperkuat trans mi si dan pelaksanaan kebijakan mo neter termasuk pencapaian target ke bijakan moneter. Pada tingkat mikro adanya pasar ob ligasi pemerintah domestik akan meningkatkan stabilitas keuangan se cara keseluruhan dan meningkatkan in termediasi melalui kompetisi yang le bih sehat dan pengembangan yang lebih luas melalui berbagai ins trastruktur dan produk keuangan. Pe ngembangan pasar surat berharga Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
akan membantu memperluas sistem keuangan yang semula bank oriented menjadi multilayered system, dimana capital market menjadi komplemen dari bank financing. 2.2. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sektor Keuangan Secara teoritis dan berdasarkan studi empiris yang ada, perkembangan sektor keuangan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat dikelom pokkan menjadi aspek geografis dan endowment, kondisi politik, kon di si makroekonomi, struktur pasar per bankan, iklim investasi dan kualitas su pervisi sektor keuangan (Detragiache and others, 2005). Dari beberapa literatur, variabel makroekonomi yang mempengaruhi perkembangan sektor keuangan diantaranya adalah 1) Income(+); semakin tingginya pendapatan yang mencerminkan wealth suatu negara maka diper— kirakan tingkat perkembangan sektor keuangan juga tinggi. Boyd dkk (2000) menemukan hu bungan yang positif dan sig nifikan antara variabel initial real percapita GDP yang merupakan proksi dari income dengan rasio liquid liabilities perbankan / GDP dan rasio kredit kepada sektor swasta / GDP. 2) Inflasi (-) ; inflasi yang tinggi akan menghambat perkembangan sek tor keuangan. Hubungan yang ne gatif dan signifikan antara inflasi dengan perkembangan sek tor keuangan dan perbankan di an ta ranya dibuktikan dalam Boyd, Levine dan Smith(2002), Hauner (2006) dan Detragiatche,Gupta
85
dan Tressel (2005). 3) Margin(+/-); margin mencermin kan biaya transaksi untuk inter mediasi di sektor keuangan. Ha uner (2006) menyatakan bah wa di negara dengan sistem perban kan yang liberal, tingginya mar gin mencerminkan rendahnya kompetisi dan berpotensi meng hambat perkembangan sektor ke uangan. Namun demikian financial repression oleh Pemerintah juga mem buat margin rendah yang memiliki efek positif terhadap per kembangan sektor keuangan. 4) Indikator fiskal (+/-); variabel fis kal ditengarai mempengaruhi perkembangan sektor keuangan melalui pemberian kredit kepada sektor publik (Pemerintah) oleh perbankan dan melalui pe ning katan instrumen yang tersedia di pasar keuangan. Boyd dkk (2001) yang menggunakan variabel cen tral government expenditure to GDP dan Cuadro, Saez dkk (2003) yang menggunakan varia bel defisit/ GDP tidak menemukan adanya hubungan yang positif dan signifikan terhadap perkembang an sektor keuangan yang meng gunakan total kredit kepada sek tor swasta/GDP. Sementara itu De tragiache et all (2005) yang menggunakan suku bunga utang do mestik Pemerintah sebagai proksi indikator fiskal menemukan bah wa kebijakan fiskal memiliki pe ngaruh positif dan signifikan ter hadap rasio deposit terhadap kredit (loan) tetapi memiliki hubu ngan negatif dengan rasio kredit kepada sektor swasta / total kre dit. Hauner (2006) yang meng
86
gunakan variabel rasio pinjaman pu blik/ GDP dan rasio pin ja man publik/total kredit yang diberikan me nemukan bahwa rasio pin ja man publik/GDP signifikan me ningkatkan perkembangan sek tor keuangan yang tercermin dari rasio total kredit/GDP dan liquid liabilities/GDP. Di lain pihak sema kin tinggi rasio pinjaman publik/ to tal kredit perbankan ber dam pak negatif dan signifikan terha dap rasio kredit kepada sektor swasta/GDP. Menurut Hauner, pe ningkatan rasio pinjaman pu blik/GDP meningkatkan per kem bangan sektor keuangan dengan me nyediakan aset yang aman bagi perbankan. Namun demiki an dari sisi portofolio aset per ban kan, pinjaman terhadap pe me rintah yang berlebihan da pat menghambat financial deep ening. Kepemilikan utang do mes tik Pemerintah oleh per ban kan komersial juga banyak diasosiasikan dengan rendahnya efisiensi sektor keuangan dan lebih tingginya fenomena crowding out dibandingkan apabila pinjaman domestik Pemerintah lebih banyak dimiliki oleh sektor non perbankan (Christensen, 2004; Gulde et all, 2006 dan Hauner, 2006). 5) Indikator risiko(-); semakin ba ik indikator risiko maka se ma kin baik perkembangan sek tor keuangan, demikian pula sebaliknya. Boyd, Levine&Smith (20 00) menemukan hubungan yang negatif dan signifikan antara va riabel jumlah revolusi yang ter jadi dengan liquid liabilities dari perbankan. Sementara itu (Koubi, Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
2008) juga menemukan hubungan yang signifikan antara faktor tingkat kepastian hukum dengan volatilitas return di pasar saham. 6) Opennes(+): semakin tinggi ting kat integrasi pasar keuangan do mes tik dengan pasar keuangan in ternasional maka semakin ba ik pula perkembangan sektor ke uangan. Baltagi dkk (2008) ser ta Huang & Temple (2005) menemukan bahwa tingkat keter bukaan perdagangan baik di pa sar barang atau pasar keuangan merupakan determinan yang sig nifikan dalam perkembangan sek tor perbankan. 7) Volatilitas nilai tukar(-): volati litas nilai tukar dalam pasar ke uangan dianggap sebagai suatu instrument yang menjadi filtering da ri shock yang terjadi di luar. Volatilitas nilai tukar yang rendah berdampak positif terhadap per kem bangan sektor keuangan (Koubi, 2008). III. METODE RISET 3.1 Dampak Sun Domestik Terhadap Perkembangan Sektor Perbankan Model yang digunakan mengacu
pada penelitian Hauner (2006). Indi kator perkembangan sektor keuangan yang digunakan sebagai variabel inde penden adalah rasio total kredit per bankan terhadap GDP (loany) dan ras io total kredit kepada sektor swasta/ GDP (privatey). Rasio ini merupakan indikator yang paling penting karena memiliki dampak yang kuat terhadap pertumbuhan ekonomi. Data yang digunakan adalah data bulanan sejak 2003 sampai dengan 2009. Hipotesis yang hendak diuji adalah: 1. Keberadaan obligasi pemerintah membantu meningkatkan perkem bang an sektor keuangan dengan cara menyediakan aset yang aman bagi perbankan. 2. Dari sisi likuiditas perbankan, se makin tinggi rasio kepemilikan SUN domestik terhadap total kredit (termasuk kredit kepada pe merintah dalam bentuk ke pe milikan SUN domestik) akan meng hambat perkembangan sektor ke uangan. Dalam penelitian ini, determinan perkembangan sektor keuangan akan difokuskan pada variabel ma kro ekonomi mengingat sulit untuk memperoleh ukuran kuantitatif secara historis dari variabel non ekonomi. Va
Tabel 3.1 Deskripsdi Variabel
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
87
riabel-variabel yang digunakan dalam analisis beserta tanda yang diharapkan tercantum dalam Tabel 3.1. Estimasi data dilakukan dengan pengujian kointegrasi dilanjutkan deng an Vector Error Correction Method. Pa da studi ini estimasi VECM dimulai dengan melakukan uji stasionaritas ter ha dap setiap variabel menggunakan
Augmented Dickey Fuller (ADF) test dan Philip Peron test. Tahap selanjutnya melakukan pemilihan lag optimal pada va riabel endogen berdasarkan kriteria Akaike Information Criteria (AIC). Tahap ketiga adalah melakukan uji kointegrasi menggunakan metode Johansen. Tahap terakhir melakukukan estimasi VECM dan impulse respond function. (1) (2) (3) (4)
Dari persamaan (1) sampai dengan (4) simpangan dari keseimbangan jangka panjangnya dinyatakan sebagai berikut : (5) (6) (7) (8) Model umum dari persamaan jangka panjang untuk perkembangan sektor keuangan adalah: Jumlah vektor kointegrasi dari se tiap persamaan ini akan ditentukan se lanjutnya menggunakan Trace dan Ma ximum Eigen Value Statistics. Bila Pt=(sunyt, incomet, cpit, loanyt), Xt= (bondkt, incomet. cpit, loanyt), Yt=(sunyt, incomet. cpit, privateyt) dan Zt=(bondkt, incomet. cpit, loanyt) me rupakan vektor dari variabel en dogen maka penyesuaian dinamis
88
da pat dimodelkan dengan vector autoregression (VAR) order ke-n yang dapat dituliskan sebagai Vector Error Correction Model (VECM) pada
hubungan kointegrasi. imana α adalah vektor 4 X1
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
3.2. Dampak SUN Domestik Terhadap Kualitas Perkembangan Sektor Perbankan Kualitas perkembangan sektor
keuangan direpresentasikan dengan profit dan efisiensi sektor perbankan. Model yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari dua model utama, yakni:
...................................................................... (9) ...................................................................... (10) Dampak dari share kredit perban kan dalam bentuk SUN domestik/ to tal kredit bank (bondk) terhadap pro fi tabilitas dan efisiensi bank dianalisa dengan menguji hubungan variabel bondk dalam model standar untuk profitabilitas yang diukur dengan ROA (Model Profit) dan untuk efisiensi yang diukur dengan rasio beban biaya terha
dap pendapatan (Model Efisiensi ) Variabel kontrol yang digunakan dalam model profitabilitas dan efisiensi bank mengacu pada beberapa literatur (Hauner (2006), Goddard et al (2004), and Demirgüç-Kunt et al (2004). Ekspektasi hubungan terhadap profit dan efisiensi dapat dilihat pada tabel berikut ini,
Tabel 3.2 Ekspektasi Hubungan Antar Variabel pada Panel Data No
Variabel
Model PROFIT
Model Efisiensi
Keterangan
1.
MARGIN
+
-
Net interest margin; sebagai proksi dari tingkat kompetisi bank. Semakin tinggi margin akan semakin tinggi profit namun mengurangi efisiensi karena tingkat kompetisi yang semakin rendah.
2.
KAPITAL
+
-
Ukuran modal bank, bank yang memiliki modal tinggi harus lebih efisien untuk mendapatkan return modal yang lebih tinggi.
3.
BONDK
+
+
Rasio stok SUN di bank terhadap total kredit Bank yang memiliki lebih banyak SUN cenderung lebih profitable namun kurang efisien.
4.
LIKUIDITAS
-
-
Likuiditas bank, semakin banyak aset likuid yang dimiliki oleh bank maka akan semakin kecil return-nya yang akan mengurangi profit. Namun dengan aset likuid yang lebih banyak maka bank memiliki input cost yang lebih rendah sehingga lebih efisien.
5.
OBS
+
+
Bank off sheet balance sheet. Bank yang memiliki pendapatan dari off balance sheet memiliki profit yang lebih besar namun kurang efisien karena tingginya biaya administrasi yang mengakibatkan cost income rasio menjadi lebih besar.
6.
SIZE
7.
EFISIENSI
Proksi ukuran bank relatif terhadap kompetitornya. Tidak terdapat hubungan yang pasti antara ukuran bank dengan profit namun bank yang lebih besar umumnya lebih efisien karena adanya economies of scale. +
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
Proksi tingkat produktifitas bank, semakin efisien bank maka memiliki keuntungan yang semakin tinggi.
89
Pengolahan dilakukan dengan metode panel data untuk 86 bank pemilik SUN selama periode Januari 2003 hingga Desember 2009 dengan frekuensi triwulanan. Analisis panel data dilakukan menggunakan fixed effect dengan pertimbangan bahwa setiap bank memiliki efek yang spesifik. Secara teori, penentuan penggunaan fixed effect atau random effect diperoleh dari hasil tes Hausman guna memastikan metode yang paling tepat. Hasil pengujian tes Hausman terdapat pada Lampiran A. Asumsi utama untuk estimasi
menggunakan random effects adalah random effect uncorrelated dengan explanatory variables. Tes Hausman (1978) digunakan untuk mengestimasi koefisien Wooldridge (2002) dan Baltagi (2001). Selain itu dilakukan pengujian heteroskedasticity pada residual masingmasing model menggunakan White Test. Data yang digunakan diklasifikasikan menjadi data individual dan nasional. Data nasional yang digunakan adalah data total aset perbankan, sedangkan data individual berasal dari Laporan Bulanan Bank Umum (Neraca dan Laporan Laba Rugi) yang terdiri dari :
Tabel 3.2 Keterangan Data Panel Data
Keterangan
1.
Efficiency
Non-interest expense in percent of average asets, multiplied by (–1)
2.
Profit
ROA, yakni rasio return terhadap asets
3.
Margin
Rasio NIM, Pendapatan Bunga Bersih / Rata-Rata Aktiva Produktif
4.
Likuiditas
Pendapatan Bunga Bersih = Pendapatan Bunga – Beban Bunga
5.
Kapital
Aktiva produktif= Kredit yang diberikan+Surat-Surat Berharga+Penempatan pada bank lain dan penyertaan
6.
BONDK
Rasio aset-aset likuid terhadap total aset.
7.
OBS
Aset-aset likuid= Tabungan+Giro+Kewajiban Segera lainnya+30% Deposito
8
SIZE
Rasio total aset bank i terhadap total aset seluruh perbankan.
4.1 Dampak SUN Domestik Terhadap Kedalaman Sektor Keuangan Hasil uji unit root memperlihatkan bahwa seluruh variabel stasioner pa da first difference (Tabel 4.1) . Se-lan jutnya untuk memilih panjang lag yang optimal dilakukan estimasi un restricted VAR dengan keempat va riabel endogen. Pemilihan panjang lag optimal didasarkan pada kriteria AIC. Hasil estimasi unrestricted VAR
90
Tabel 4.1. Hasil Uji Unit Root pada level
elemen matriks β . Hasil estimasi persamaan jang
No
IV. HASIL EMPIRIS
cointegrating vector yang dinorma li sasi masing-masing pada variabel loany=1 dan variabel privatey=1 serta restriksi vector kointegrasi pada
ka panjang dari VECM (Tabel 4.2) menunjukkan bahwa dalam jangka panjang peningkatan rasio stok SUN domestik terhadap GDP berdampak negatif terhadap perkembangan total kredit/GDP dan total kredit kepada sektor swasta/ GDP. Peningkatan outstanding SUN domestik dapat memicu crowding out terhadap investasi dan konsumsi swasta. Crowding out terjadi melalui peningkatan suku bunga atau ketika suku bunga tetap, hal ini terjadi melalui alokasi kredit (Easterly et all, 1994). Hal ini dikarenakan peningkatan stok obligasi domestik tidak hanya menarik dana dari investor baru tetapi juga dapat mengalihkan alokasi dana dari
Tabel 4.2 Estimasi VECM untuk Persamaan Jangka Panjang, Jumlah Cointegrating Vector dengan Trace Statistic 1% dan 5%
memperlihatkan secara umum pan jang lag yang optimal adalah 2. Se telah VECM diestimasi, dilakukan pe ngujian pada residual yang me li puti Autocorrelation LM test dan White Heteroscedasticity test. Hasil mem per lihatkan bahwa residual pada tiap estimasi lulus kedua pengujian tersebut. Dari hasil uji kointegrasi pada tiap sistem persamaan diatas secara umum terdapat satu cointegrating vector pada level 5%. Selanjutnya di lakukan estimasi VECM untuk satu Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
tabungan di perbankan ke obligasi pe merintah. Peningkatan rasio kepemilikan SUN domestik dalam portofolio aset per bankan terhadap total kredit yang di be rikan berdampak negatif terhadap per kembangan total kredit/GDP dan total kredit kepada sektor swasta/GDP. Hasil ini sesuai dengan hipotesis bahwa dari sisi likuiditas perbankan, semakin tinggi rasio kepemilikan SUN domestik terhadap total kredit (termasuk kredit kepada pemerintah dalam bentuk ke Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
pemilikan SUN domestik) akan meng hambat pertumbuhan kredit. Untuk mengetahui pola penyesu aian dinamis dalam jangka pendek, da pat dilihat dari analisis impuls respond function ( Grafik 1 s.d 8). Dalam jangka pendek variabel SUNY (stok SUN do mestik / GDP ) signifikan dalam mem pe ngaruhi perkembangan sektor ke uangan yang dinyatakan dalam rasio total kredit/GDP (var: loany) dan ra sio kredit kepada sektor swasta/GDP (var: privatey). Secara teoritis dengan
91
tersedianya alternatif investasi SUN domestik yang merupakan risk free aset dan dengan tingkat bunga yang menarik, bank dapat mengelola li kui ditasnya dengan lebih baik. Pen da patan bunga yang stabil yang diperoleh perbankan seyogyanya da pat digunakan untuk meng-offset risiko dari penyaluran kredit. Dengan demikian diharapkan bank akan
terdorong untuk meningkatkan aset likuidnya yang pada akhirnya di sa lurkan kembali kepada masyarakat da lam bentuk kredit. Shock kenaikan stok SUN domestik ter hadap GDP sebesar satu standar de viasi akan direspon dengan pe ningkatan total kredit/GDP dan kredit ke pada sektor swasta/GDP. Shock sebesar 1 standar deviasi berdampak
Grafik1. Respon LOANY terhadap SUNY
Grafik 2. Respond LOANY terhadap BONDK
Grafik3. Respon PRIVATEY terhadap SUNY
Grafik5. Respon LOANY terhadap CPI
Grafik 4. Respond PRIVATEY terhadap BONDK
Grafik6. Respon LOANY terhadap INCOME
Sementara itu untuk pengujian hipotesis kedua, hasil empiris menun jukkan semakin tinggi rasio SUN do mestik di perbankan terhadap pen jumlahan total kredit (variabel BONDK) berdampak negatif dan signifikan ter hadap rasio total kredit/ GDP dan rasio total kredit kepada sektor swasta ter hadap GDP. Kenaikan satu standar deviasi pa da stock SUN domestik di perbankan terhadap total kredit menurunkan total kredit dan kredit kepada sektor swastas sebesar 0.002 dan menurun hingga mencapai kestabilan di 0,001 pada periode ke 10. Dalam jangka pendek, variabel lain yang berdampak signifikan terhadap perkembangan total kredit perbankan adalah income dan inflasi (cpi). Inflasi dan income berdampak signifikan terhadap perkembangan total kre dit /GDP dan total kredit kepada sek tor swasta/GDP dengan tanda se suai yang diharapkan. Hubungan ini menegaskan kembali adanya hu bu ngan yang kuat antara long run eco nomic performance yaitu inflasi dan pertumbuhan ekonomi dengan per kembangan sektor keuangan. Ha sil 33
92
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
pengujian empiris ini juga me nun jukkan bahwa terdapat tingkat yang op timal dari proporsi kepemilikan ob ligasi pemerintah domestik ter kait dengan perkembangan sektor keuangan. Kepemilikan obligasi pe me rintah domestik yang besar di perbankan perlu dicermati karena da pat mencerminkan adanya kelemahan fundamental perbankan dalam menja lankan fungsinya sebagai lembaga in termediasi. 4.2. PENGARUH SUN DOMESTIK TERHADAP KUALITAS PERKEMBANGAN SEKTOR KEUANGAN Analisis pengaruh SUN domestik terhadap kualitas perkembangan sektor keuangan dilakukan menggunakan Mo del profit dan Model Efisiensi. Model ini merupakan model adhoc yang meng adaptasi penelitian oleh Hauner (2006). 4.2.1. Hasil Empirik Model Profit Dari hasil pengujian empirik Mo del Profit menggunakan metode data panel dengan cross section 86 bank38 dan time series triwulanan periode 2003-2009, diperoleh hasil sebagai
Keterangan selengkapnya mengenai data perbankan yang digunakan terdapat pada Lampiran A
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
93
mana pada Tabel 4.3. untuk metode fixed effect dan random effect. Hasil pengujian model panel dengan fixed effect dan random effect menunjukan hasil yang relatif sama, baik koefisien
slope maupun tingkat signifikansinya. Namun demikian, dari hasil pengujian tes Hausman, metode fixed effect masih lebih baik dibandingkan meto de random effect.
Tabel 4.3 Hasil Pengujian Panel Model Profit
*** ,**,* masing –masing menunjukkan signifikansi pada tingkat kepercayaan 1%,5% dan 10% Nilai T Stat dalam huruf italic
Tes Hausman dilakukan dengan hipotesa nol adalah random effect model. Sebagai dasar penolakan H0
maka digunakan statistik Hausman dan membandingkannya dengan stat istic Chi square.
Tabel 4.4 Hasil Tes Hausman Model Profit
Berdasarkan pengujian dengan tes Hausman terhadap metode ran dom effect, diperoleh probabilitas model Profit 1 dan Profit 2 masingmasing 0.0019 dan 0.00 yang jauh di bawah alpha sehingga null hypothesis
94
per samaan tersebut digunakan tes White, dan hasilnya menunjukkan mo del tersebut valid dengan tingkat signi fikansi rata-rata tiap variabelnya sebesar 95%. Pada model Profit1, koefisien slo pe BONDK positif sebesar 0.02, yang arti nya bahwa rata-rata profit akan me ningkat dengan laju sebesar 0.02 per tahunnya atau setiap peningkatan BONDK (Rasio stok SUN domestik ter hadap total kredit) sebesar 1% maka akan diikuti kenaikan profit sebesar 2%. Sedangkan pada model Profit2, koefisien slope BONDK bernilai lebih kecil, yakni hanya sebesar 0.012, yang artinya bah wa rata-rata profit akan meningkat deng an laju sebesar 0.012. Namun, model Profit2 dapat menjelaskan lebih baik di ban dingkan model Profit1 berdasarkan nilai R-squared. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model Profit2 lebih baik. Hasil uji empiris menunjukkan va riabel margin, efisiensi dan obs menun jukkan hubungan yang positif terhadap Profit2. Hasil ini sesuai dengan teori, dimana kenaikan margin, peningkatan
efisiensi, dan banyaknya pendapatan operasional lainnya akan meningkatkan profit. Slope koefisien yang diperoleh pa da model panel tersebut masingma sing sebesar 0.604, 0.006, dan 0.439 yang berarti setiap kenaikan margin sebesar 1% akan menyebabkan peningkatan profit sebesar 60%; setiap kenaikan efisiensi sebesar 1% akan me nyebabkan peningkatan profit sebesar 0.6% dan setiap kenaikan obs sebesar 1% akan menyebabkan peningkatan profit sebesar 44%. Variabel liquidity mem pengaruhi profit secara negatif dan signifikan, ditandai dengan koefisien slope sebesar -0.068, sedangkan varia bel size tidak signifikan terhadap profit. 4.2.2. Hasil Empirik Model Efisiensi Dari hasil pengujian empirik Mod el Efisiensi, diperoleh hasil se bag aimana pada Tabel 4.5. Hasil pe ngujian model panel dengan fixed effect dan random effect men un jukan hasil yang relatif sama, baik koe fisien slope maupun tingkat sig nifikansinya. Namun demikian, dari has il pengujian uji Hausman, metode
Tabel IV.5 Hasil Pengujian Panel Model Efisiensi
ditolak yang artinya me to de fixed effect lebih baik digunakan di bandingkan dengan metode random effect. Untuk pengujian heteroske dasticity terhadap residual pada Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
*** ,**,* masing –masing menunjukkan signifikansi pada tingkat kepercayaan 1%,5% dan 10% Nilai T Stat dalam huruf italic Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
95
V. KESIMPULAN & REKOMENDASI KEBIJAKAN
Tes Hausman juga dilakukan dengan hasil sbb: Tabel 4.6 Hasil Tes Hausman Model Effisiensi
fixed effect lebih baik dibandingkan metode random effect. Berdasarkan uji Hausman ter hadap metode random effect, dipe roleh probabilitas 0.0245 untuk mo del Efisiensi1 dan 0.0019 untuk model Efisiensi2 yang menunjukkan metode fixed effect lebih baik digunakan di bandingkan dengan metode random effect. Untuk pengujian heteroskedas ticity terhadap residual pada per sa maan digunakan uji White dan hasilnya menunjukkan mode valid deng an tingkat signifikansi rata-rata ti ap variabelnya sebesar 95%. Pada model Efisiensi1, ko efi si en slope BONDK positif sebesar 2.58, yang artinya rata-rata profit akan meningkat dengan laju se be sar 2.58 per tahunnya atau setiap peningkatan BONDK (Rasio kepemilikan SUN domestik terhadap total kre dit yang
disalurkan) sebesar 1% ma ka akan diikuti kenaikan profit se be sar 25%. Pada model Efisiensi2, koefisien slope BONDK bernilai lebih kecil, yakni hanya sebesar 1.59, yang artinya bahwa ratarata profit akan meningkat dengan laju sebesar 1.59. Namun, model Efisiensi2 lebih baik men jelaskan dibandingkan model Efisiensi1 yang dapat dilihat dari nilai R-squared-nya. Sehingga dapat di simpulkan bahwa model Efisiensi2 lebih baik. Dari hasil pengujian empiris, variabel margin, capital dan obs menunjukan hubungan yang negatif ter hadap efisiensi. Hal ini sesuai de ng an teori, dimana kenaikan margin, pe ningkatan modal, dan banyaknya pendapatan operasional lainnya akan menurunkan efisiensi. Slope koefisien yang diperoleh pada model pa nel tersebut masing-masing yaitu sebesar -57.9, -41.0, dan -3.68.
5.1. Kesimpulan 1. Keberadaan SUN domestik signifikan mempengaruhi perkembangan sektor keuangan secara agregat melalui peningkatan rasio total kredit dan kredit kepada sektor swasta terhadap GDP. Kepemilikan SUN domestik dalam portfolio aset perbankan yang merupakan risk free aset mendorong bank untuk meningkatkan penyaluran kredit kepada sektor swasta dan kredit secara total. Secara logis, dengan adanya peningkatan risk free aset dalam portfolio bank tentunya bank akan lebih mudah untuk meningkatkan penyaluran kreditnya karena kepemilikan SUN domestik dapat menjadi kompensasi atas risiko penyaluran kredit. 2. Dikaitkan dengan komposisi aset perbankan, peningkatan komposisi SUN domestik relatif terhadap total kredit perbankan yang termasuk didalamnya kredit perbankan kepada pemerintah dalam bentuk SUN domestik, berdampak negatif terhadap terhadap penyaluran kredit. Hasil ini kemungkinan menunjukkan perlu adanya komposisi optimal dari kepemilikan SUN oleh perbankan agar tidak mengganggu perkembangan sektor keuangan. 3. Kepemilikan SUN domestik mempengaruhi secara signifikan profit dan efisiensi perbankan. Hasil ini cukup menjelaskan mengenai
96
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
tingginya minat perbankan untuk berinvestasi di SUN terlebih apabila tingkat risiko untuk menyalurkan kredit cukup tinggi. Hal ini juga terlihat dari hasil empiris dimana faktor risiko signifikan mempengaruhi penyaluran kredit kepada pihak swasta oleh perbankan. Keberadaan SUN yang merupakan risk free aset dengan tingkat return yang menarik dalam jumlah yang lebih besar dikhawatirkan dapat mempengaruhi fungsi perbankan sebagai lembaga intermediasi. 5.2. Rekomendasi Kebijakan Kepemilikan obligasi pemerintah domestik sebagaimana di negara berkembang lainnya merupakan issue yang cukup menjadi perhatian. Adanya SUN domestik yang tergolong risk free aset seyogyanya dapat membantu perbankan untuk mengelola likuiditas dengan lebih baik sehingga diharapkan dapat meningkatkan fungsi intermediasi. Oleh karenanya perlu dicermati dengan seksama kepemilikan SUN di perbankan mengingat peningkatan rasio stok obligasi pemerintah domestik pada portfolio bank relatif terhadap kredit yang disalurkan dapat berdampak negatif terhadap kualitas perkembangan sektor keuangan ke depan. Oleh karenanya dapat dipertimbangkan jumlah optimal kepemilikan obligasi pemerintah yang tidak berdampak negatif terhadap perkembangan sektor keuangan.n
97
Hauner, D., 2006, “ Fiscal Policy and Financial Development”, IMF Working Paper No. 06/26 (Washington : International Monetary Fund).
DAFTAR PUSTAKA Abbas, S.M. Ali and Christensen, Jakob E., 2007, “ The Role of Domestic Debt Markets in Economic Growth : An Empirical Investigation for Low-income Countries and Emerging Markets”, IMF Working Paper No. 07/127 (Washington : International Monetary Fund). Badan Pengawas Pasar Modal & Lembaga Keuangan RI, “ Laporan Tahunan Pasar Modal” edisi 2004,2005,2006,2007,2008,2009 Beaugrand, P, B. Loko dan M. Mlachila, 2002, “ The Choice Between External and Domestic Debt in Financing Budget Deficits : The Case of Central and West African Countries, “ IMF Working Paper No. 02/79.
Huang, Yongfu and Temple, Jonathan (2005), “ Does External Trade Promote Financial Development?”, Discussion Paper No. 05/575, Department of Economics, University of Bristol. International Monetary Fund, 2005a, Monetary and Fiscal Policy Design Issues in Low Income Countries (Washington). Keele, Luke and De Boer, Suzanna, 2004, “ Not Just for Cointegration : Error Correction Models with Stationary Data”, http://www.nuffield.ox.ac.uk/ politics/papers/2005/keele%20deboef%20ecm%20041213.pdf
Blejer, M.I. dan M.S.Khan, 1984, “ Government Policy and Private Investment in Developing Countries” , International Monetary Fund Staff Papers, 31(2)
Kumhof, Michael, and Evan Tanner, 2005,” Government Debt : A Key Role in Financial Intermediation”, IMF Working Paper No. 05/57 (Washington : International Monetary Fund).
Blinder, Alan S. dan Solow, Robert M.,1972, “Does Fiscal Policy Matter ?”, Econometric Research Program, research Memorandum No. 144
Koubi, Vally (2008), “ On the Determinants of Financial Development and Stock Returns”, Journal of Money, Investment and Banking
Boyd, J., Ross Levine, dan Bruce Smith, 2001, “ The Impact of Inflation on Financial Sector Performance”. Journal of Monetary Economics Vol 47 No. 2, pp 221-48.
Lynch, David, 1996, “ Measuring Financial Sector Development : A Stucy of Selected Asia Pacific Countries,”, Journal of Developing Economies, XXXIV-1.
Chakraborty, Lekha S. , 2007 “Fiscal Deficit, Capital Formation, and Crowding Out in India: Evidence from an Asymmetric VAR Model”, Working Paper No. 5. The Levy Economics Institute and the National Institute of Public Finance and Policy, India.
The World Bank and International Monetary Fund, 2001, “Developing Government Bond Markets A Handbook” Tokuoka, Kiichi, 2010, “ The Outlook for Financing Japan’s Public Debt”, IMF Working Paper No. WP/10/19.
Detragiache, Enrica; Gupta,Poonam and Tressel, Thiery, 2005 “Finance in Lower-Income Countries : An Empirical Exploration”, Working Paper No. WP/05/167 (Washington : International Monetary Fund). Degirmen, Sulayman, 2007, “ Crowding Out, Interest and Exchange Rate Shocks and Bank Lending : Evidence from Turkey”, International Research Journal of Finance and Economics Issue 10. Easterly, William, and Klaus Schmidt_Hebbel. 1994, “Fiscal Adjustment and Macroeconomic Performance : A Synthesis ,´In public Sector Deficits and Macroeeconomic Performance, edited by William Esterly, Carlos A. Rodriguez and Klaus Schmidt Hebbel.
98
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
99
LAMPIRAN A 1. KETERANGAN DATA PERBANKAN a. Bank syariah dikeluarkan dari sampel observasi karena karakteristiknya yang berbeda. b. Missing data pada bank diekstrapolasi menggunakan data periode sebelumnya. c. Bank-bank tutup selama masa observasai tetap dimasukkan sebagai sampel selama periode tutup bank tersebut lebih sedikit dari periode buka selama observasi. d. Bank-bank yang selama masa observasi melakukan merger maka datanya digabungkan selama periode observasi. Bank-bank tersebut adalah sbb. No
Nama Bank
Keterangan
1.
Rabobank Internasional Indonesia
Merger bank: Hagakita dan Haga
2.
CIMB Niaga
Merger bank Lippo dan Niaga
3.
Century
Merger bank Pico, Danpac, dan Century Bank ini tutup pada April 2009 namun tetap dimasukkan sebagai sampel observasi.
4.
Windu Kentjana Internasional
Merger bank Multicor dan Windu Kentjana
5.
Artha Graha Internasional
Merger Bank Artha Graha dan Bank Interpacifik
6.
Bank Index Selindo
Merger Bank Index Selindo dan Bank Harmoni Internasional
2. UJI KORELASI PANEL DATA Hasil korelasi variabel-variabel digunakan dalam panel data. Profit
Govt
Efisiensi
OBS
Margin
Likuiditas
Size
Kapital
Profit
1.00
-0.01
0.53
0.15
0.30
0.02
0.01
-0.06
Bondk
-0.01
1.00
0.04
0.23
-0.23
-0.11
0.48
-0.09
Efisiensi
0.53
0.04
1.00
-0.19
-0.32
-0.02
0.03
-0.08
OBS
0.15
0.23
-0.19
1.00
0.04
-0.22
0.05
-0.03
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
Margin
0.30
-0.23
-0.32
0.04
1.00
0.21
-0.05
0.08
Likuiditas
0.02
-0.11
-0.02
-0.22
0.21
1.00
0.04
-0.27
Jl. Purnawarman no.99 Kebayoran Baru, Jakarta 12110 Telp. (021)7394666 ext. 253, 7204131 Fax. (021) 7261775 www.bppk.depkeu.go.id
[email protected]
Size Kapital
100
0.01
0.48
0.03
0.05
-0.05
0.04
1.00
-0.12
-0.06
-0.09
-0.08
-0.03
0.08
-0.27
-0.12
1.00
Jurnal BPPK V o l u m e 2 Tahun 2011
Kementerian Keuangan RI