Jurnal Analisis, Desember 2014, Vol. 3 No. 2 : 189 – 194
ISSN 2303-100X
BUDGET PROCESS PEMERINTAHAN DAERAH: MENELISIK NILAI KEMANDARAN ATAS PERILAKU AKTOR ANGGARAN Budget Process of Local Government: Inquiry with Mandarness Value at Budget Actor Behaviour Fakhry, Syarifuddin, Darwis Said Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin (E-mail:
[email protected])
ABSTRAK Penelitian ini ingin menelisik perilaku aktor anggaran dalam proses anggaran (budget process). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara mendalam pemaknaan atas situasi sosial dan tindakan para aktor anggaran dalam proses anggaran (budget process). Penelitian ini dilakukan pada organisasi pemerintahan daerah kabupaten Majene, yang informannya dari eksekutif, legislatif, dan publik. Data dikumpulkan melalui proses pengamatan, wawancara, dan dokumentasi. Perspektif teori yang digunakan dalam penelitian adalah interaksi simbolik sebagai bagian dari paradigma interpretif. Perspektif teori ini kemudian dipadukan dengan nilai-nilai kearifan lokal orang mandar, yakni marrendeng (membimbing, menuntun, dan mengarahkan), mikkeqdeq diatonganang (berpendirian teguh pada kebenaran), dan allewuang (kebulatan tekad) orang mandar. Hasil penelitian menemukan bahwa para aktor anggaran pada konteks musrenbang, masih menjunjung tinggi nilai-nilai marrendeng. Namun pada saat konteksnya berubah, yakni pada saat hearing dan keputusan anggaran, para aktor anggaran tidak memiliki spirit kemandaran lain yang bernama mikkeqdeq diatonganang dan spirit allewuang. Perubahan pemaknaan atas situasi sosial yang dihadapi para aktor anggaran menjadikan para aktor anggaran mengalami pergeseran paradigma. Karakter kepentingan pribadi (self interest) menjadi lebih dominan dibandingkan dengan karakter sebagai pelayan bagi kepentingan publik (public interest). Padahal situasi sosial berwujud peran sosial memberikan mereka amanah untuk bekerja mengabdikan diri bagi kepentingan publik. Oleh karenanya, penting untuk terus menghidupkan nilai-nilai kearifan lokal, khususnya kearifan lokal orang mandar sebagai upaya membendung paradigma kepentingan pribadi (self interest) dalam proses anggaran (budget process). Kata Kunci: Budget process, aktor anggaran, kearifan lokal, self interest, public interest
ABSTRACT This study wants to inquiry more deeply the behaviour of budget actor in budget process. This study aims to know with more deeply the meaning at action and social situation of budget actors in budget process. This study was conducted at Majene regency local government organization, with informants of excecutive, legislative, and public. Data collected through observation, interviews, and documentation. The perspective theory used in this study is symbolic interactionism as part of interpretive paradigm. This perspective theory to make a unity with local wisdom values of mandar peoples, that is marrendeng (to guidance, and to direction), mikkeqdeq diatonganang (firmness to rightness), and allewuang (consequences) of mandar peoples. The results showed the budget actors at musrenbang context was again to keep of marrendeng values. However in different context, that is hearing and budget decision, the budget actors wasn’t keep of other mandarness values is namely mikkeqdeq diatonganang and allewuang spirit. Change of meaning at social condition in fronted of budget actors make theirs have paradigm transformation. The self interest character was becomes to more dominant rather than character as servants to public interest. Whereas, social situation tangible social role that give trust to devote themselves work to public interest. Therefore, important to continues survive that local wisdom values, specially mandar peoples local wisdom as effort to stem of self interest paradigm in budget process. Keywords: budget process, budget actor, local wisdom, self interest, and public interest
189
Fakhry
ISSN 2303-100X
alternatif untuk membawa kembali para pelaku anggaran mengedepankan nilai moral, etika, dan budi pekerti sebagai pijakan keputusan anggaran, serta semangat kepentingan publik akan menjadi prioritas daripada kepentingan kelompok atau individu. Sementara penelitian Damayanti (2010) menyatakan bahwa menghidupkan kembali kearifan lokal berarti menghidupkan kembali identitas lokal tatkala globalisasi hampir menghegemoni seluruh sendi-sendi kehidupan. Agar penelitian ini menjadi lebih fokus, peneliti membatasi masalah pada perilaku aktor anggaran dalam siklus penganggaran yang terjadi pada organisasi pemerintahan daerah, secara spesifik yang terjadi pada pemerintahan Kabupaten Majene. Peneliti dapat mengamati secara mendalam perilaku aktor anggaran dalam memaknai budget process, serta tindakan yang dilakukan atas dasar pemaknaan terhadap situasi. Fokus budget process yang akan diungkap dalam penelitian ini adalah pertama, interaksi para aktor anggaran dengan publik pada saat musrenbang (perencanaan). Yang kedua adalah interaksi antara aktor anggaran (interaksi eksekutif-legislatif) pada saat hearing dan pengesahan anggaran. Pertanyaan penting yang dibuat dalam penelitian ini adalah apakah pemaknaan dan tindakan para aktor anggaran dalam proses penyusunan anggaran hingga penetapan anggaran (APBD) masih memiliki spirit atau semangat nilai-nilai luhur kemandaran?. Masihkah para aktor menjunjung nilai luhur itu?. Penelitian ini akan mengamati secara mendalam perilaku aktor anggaran dalam memaknai dan melakukan tindakan sehubungan dengan peran sosial mereka sebagai aktor anggaran. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara mendalam pemaknaan dan tindakan para aktor anggaran dalam proses penyusunan anggaran hingga penetapan anggaran (APBD). Peneliti akan berusaha memahami pemaknaan aktor anggaran, mengetahui bagaimana mereka memahami peran sosial mereka dalam sistem sosial di lingkungannya serta tindakan yang ditempuh sehubungan dengan pemaknaan. Hal ini kemudian dihubungkan dengan nilai luhur yang diagungkan oleh masyarakat Mandar untuk mengetahui dan memastikan nilai luhur itu masih hidup dalam sanubari individu aktor anggaran.
PENDAHULUAN Penelitian tentang sektor publik menjadi perhatian penting bagi para peneliti akuntansi saat ini. Daya tarik penelitian ini terutama pada perilaku aktor anggaran, yakni legislatif dan eksekutif alam membuat dan menetapkan kebijakan anggaran. Perilaku yang dibentuk dari hubungan interaktif antara aktor anggaran dapat kita lihat pada penelitian Isra (2008) yang menemukan interaksi antara aktor anggaran yang mengedepankan kompromi dalam proses anggaran. Nuansa kepentingan pribadi (self interest) menjadi lebih kental ketimbang kepentingan publik (public interest). Sementara Rinaldi et al., ( 2007) menemukan bahwa semakin kuat semangat untuk mencegah penyelewengan anggaran di era desentralisasi, justru semakin banyak fenomena perilaku penyelewengan anggaran yang terungkap di daerah. Kemudian Demartoto (2007) yang melihat fenomena korupsi di era desentralisasi dimulai ketika perilaku lembaga legislatif dan eksekutif tidak terbuka pada saat pembicaraan dan pembahasan anggaran. Penelitian lain tentang akuntansi sektor publik adalah penelitian Sopanah (2012) yang mencoba menguak keterbukaan atas partisipasi publik dalam proses penganggaran pemerintah daerah. Penelitian menemukan bahwa para aktor anggaran kurang memberikan sosialisasi kepada masyarakat sehingga mereka kurang berpartisipasi dalam penyusunan anggaran. Studi ini termotivasi oleh penelitian yang dilakukan oleh Sopana (2013), Affandi dan Wulandari (2012) dan Damayanti (2010). Penelitian Sopana (2013) menunjukkan bahwa internalisasi nilai kearifan lokal dalam proses anggaran dapat memberikan efek “welfare” bagi publik. Hal ini dikarenakan nilai-nilai kearifan lokal mengandung unsur kekeluargaan, kerjasama, kejujuran, kerukunan dan kepatuhan. Sementara kesejahteraan publik merupakan tujuan kebijakan anggaran yang semestinya. Dengan nilai kearifan lokal pada proses penganggaran akan dapat mewujudkan proses anggaran yang transparan dan akuntabel. Pada sisi lain, penelitian Affandi dan Wulandari (2012) menunjukkan bahwa proses penganggaran yang dilakukan oleh pemerintah saat ini lebih mendorong tumbuhnya nilai-nilai materialitas dibandingkan dengan nilai-nilai sosial. Disinilah diperlukan kearifan lokal sebagai 190
Budget process, aktor anggaran, kearifan lokal, self interest, public interest
ISSN 2303-100X
situasi. Setelah itu, nilai kemandaran lalu digunakan sebagai alat analisis atas keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh aktor. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam upaya menguak perilaku aktor anggaran pada proses penganggaran pemerintahan daerah kabupaten Majene dilakukan melalui wawancara mendalam dengan eksekutif, legislatif, serta komunitas publik. Selain itu, peneliti juga melakukan observasi langsung terhadap obyek penelitian, terutama untuk menemukan unsur, ciri, atau sifatsifat unik dari masyarakat Mandar Majene yang kemudian dihubungkan dengan perilaku aktor anggaran. Teknik Analisis Teknik analisis data dilakukan dengan cara: pertama, reduksi data, yaitu melakukan penyederhanaan dan transformasi data sebagai upaya untuk memfokuskan data yang benar-benar berhubungan dengan upaya mengungkapkan perilaku aktor anggaran. Kedua, penyajian data yang dilakukan dengan membuat narasi lapangan serta membuat bagan jika dianggap perlu. Ketiga, adalah membuat kesimpulan dari berbagai temuan terkait dengan perilaku aktor anggaran.
METODOLOGI Kearifan Lokal dan Interaksi Simbolik: Alat Analisis Terkait dengan tempat penelitian yang memilih Majene yang penduduk aslinya merupakan suku Mandar, Abbas (1999) menyatakan bahwa banyak butir-butir yang menonjol dari budaya masyarakat Mandar yang penting untuk dikenal, diantaranya nilai moral, etika, kebiasaan, semangat hidup, nilai religi, termasuk budaya malu orang Mandar. Penelitian tentang perilaku aktor anggaran di pemda Majene akan sangat menarik jika kita kembali kepada nilai-nilai yang diagungkan oleh masyarakat Mandar dalam berperilaku dan berinteraksi sosial sebagai alat analisis. Nilai-nilai kemandaran difokuskan nilai marrendeng yang berarti menuntun, membimbing, dan mengarahkan (Mandra, 2008), nilai mikkeqdeq diatonganang yang berarti berdiri diatas kebenaran/bertindak berlandaskan kebenaran (Mandra, 2010, dan Bodi, 2008), serta nilai allewuang yang berarti kebulatan tekad atas kesepakatan (Mandra, 2010). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, sehingga perlu untuk mempertimbangkan sikap dan pandangan pada saat bersinggungan dengan sikap dan perilaku responden (Syarifuddin, 2009). Perspektif teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan interaksi simbolik sebagai bagian dari paradigma interpretif. Paradigma interpretif menurut Crotty (1998), selain interaksi simbolik, juga meliputi fenomenologi dan hermeneutika. Khusus interaksi simbolik yang digunakan dalam penelitian ini, melihat hubungan antara aktor anggaran serta respon publik atas hubungan yang dibentuk tidak terlepas dari interaksi sosial yang di dalamnya akan muncul sikap perilaku, dan tindakan sebagai konsekuensi pola-pola hubungan yang diciptakan. Sudut pandang interaksionisme simbolik yang digunakan berdasarkan pada pandangan Blumer (1969). Dalam mengambil keputusan untuk melakukan tindakannya, individu akan memperhatikan faktor kebudayaan, sistem sosial, peran sosial, dan stratifikasi sosial. Setiap bagian dari tindakan individu akan bekerja berdasarkan situasi yang dimaknai oleh individu. Peneliti kemudian lebih memfokuskan pada nilai-nilai kemandaran (mandarness value) untuk menjadi alat analisis terhadap aktor dalam memaknai
HASIL Dalam analisis dengan menggunakan nilainilai luhur Mandar, perilaku birokrat (aparatur) masih memiliki spirit marrendeng yang ditandai dengan keinginan mereka melaksanakan pekerjaan musrenbang secara profesional dan semangat pengabdian publik. Publik juga masih mempercayai adanya keinginan dari aparat pemda untuk menjadikan musrenbang sebagai media menciptakan perencanaan pembangunan. Publik juga mengetahui bahwa ada kepentingan tertentu yang membuat aparat pemerintah daerah menjadi tidak berdaya dalam mengawal hasil musrenbang. Bagi publik, kepentingan ini tidak mampu dikendalikan oleh aparatur pemda itu sendiri. Hal inilah yang oleh peneliti dalam konteks penelitian ini disebut kepentingan pribadi atau elitis. Publik juga tetap memiliki keyakinan dan harapan pada aparat pemerintah daerah akan mampu membantu menciptakan hasil musrenbang hingga mengawalnya untuk menjadi keputusan anggaran. Pencerahan, bimbingan, dan arahan dari aparat pemerintah daerah inilah yang ditafsirkan sebagai spirit marrendeng. 191
Fakhry
ISSN 2303-100X
Pada sisi legislatif, Ada pernyataan politik yang diungkapkan oleh legislatif yang hadir pada saat mengikuti musrenbang untuk mengawal hasil musrenbang. Sebagai wakil rakyat, idealnya mereka menjaga apa yang menjadi keputusan musyawarah. Mereka bertanggung jawab untuk mewujudkan aspirasi publik pada forum musrenbang untuk menjadi suatu kebijakan perencanaan dan anggaran. Pernyataan politik untuk mengawal aspirasi publik menjadi wujud kebijakan setidaknya menyiratkan bahwa mereka masih memiliki sikap memperhatikan kehendak publik (sikap penggilingoqo dipondoqmu), meskipun ini hanya merupakan tahap janji politik. Dalam konteks nilai mikkeqdeq diatonganang, penelitian ini menemukan bahwa aktor eksekutif menjadi tidak mampu untuk mikkeqdeq diatonganang pada saat berhadapan dengan kepentingan legislatif. Terjadi perubahan perilaku aktor ekskutif seiring dengan perubahan situasi yang dihadapinya. Situasi pertama adalah keadaan pada saat sang aktor eksekutif berhadapan dengan publik pada forum musrenbang. Situasi kedua adalah situasi pada saat berhadapan dengan kepentingan legislatif pada hearing untuk memutuskan perencanaan yang akan dimasukkan pada APBD. Terungkap bahwa kuatnya dominasi legislatif dapat menjadikan aktor eksekutif tidak mampu untuk mikkeqdeq diatonganang dengan memberikan ruang bagi kepentingan pribadi (self interest) dalam keputusan anggaran. Dalam konteks nilai allewuang, penelitian ini mengungkap perilaku aktor eksekutif yang mengingkari allewuang dalam melaksanakan dan mengawal hasil musrenbang. Eksekutif mengingkari hasil musrenbang sebagai suatu simbol kebulatan tekad antara publik dan aktor. Pengingkaran ini dilakukan atas kuatnya tekanan kepentingan elitis. Berhadapan dengan elit, aktor eksekutif menjelma menjadi lembaga inferior yang tidak mereflesikan spirit berjuang untuk menegakkan kepentingan publik. Aktor eksekutif lebih menjelma menjadi “abdi kepentingan elitis” dibanding menjadi “abdi publik”. Aktor eksekutif dalam interaksinya dengan legislatif telah bertindak tidak sesuai dengan spirit nilai-nilai allewuang yang diamanahkan oleh para leluhur mandar. Hal ini ditandai dengan “ditepikannya” kepentingan publik yang telah disepakati
digantikan dengan menerima kepentingan elitis yang tidak mencerminkan kehendak publik. Penelitian ini juga menemukan tidak adanya spirit mikkeqdeq diatonganang pada aktor legislatif. Karakter yang malas ikut persidangan menjadi ciri perilaku. Mereka berkewajiban untuk menciptakan perencanaan dan penganggaran yang pro publik, namun akan sulit menuntaskan kewajiban itu jika mereka tidak memenuhi qorum. Perilaku aktor legislatif ini mencerminkan perilaku yang tidak benar sebagai wakil rakyat. Sebagai pengemban suara publik, ketidak hadiran mereka juga mencerminkan ketidakjujuran mereka sebagai wakil rakyat. Mereka mengingkari harapan rakyat yang dibebankan ke pundak mereka. Perilaku mereka tidak mencerminkan nilai-nilai mikkeqdeq diatonganang. Penelitian ini juga mengungkap tidak ditemukannya spirit allewuang atas diri aktor legislatif. perilaku para aktor legislatif telah mencederai nilai-nilai allewuang, yakni kebulatan tekad untuk secara bersama mewujudkan perencanaan yang dirumuskan pada musrenbang. Perilaku legislator merefleksikan pengkhianatan atas kesepakatan yang telah bulat. Mereka menciptakan program perencanaan lain yang tidak pernah diwacanakan pada saat musrenbang. Program titipan yang dilakukan oleh legislator bahkan tidak relevan dengan skala prioritas pembangunan pada saat musrenbang. PEMBAHASAN Penelitian ini menemukan pemaknaan aktor anggaran pada konteks musrenbang masih menjunjung tinggi spirit kearifan lokal mandar. Namun pada konteks hearing dan keputusan anggaran, spirit kearifan lokal mandar tidak dimiliki oleh para aktor anggaran. Yang terjadi adalah pengingkaran atas spirit kearifan lokal mandar, yang ditandai dengan tidak konsistennya hasil musrenbang dengan keputusan anggaran yang dituangkan dalam APBD. Penelitian ini mengungkap bahwa akibat pemaknaan kekuasaan sebagai alat pencapaian kepentingan pribadi (self interest), lembaga legislatif kemudian menghasilkan keputusan anggaran yang tidak konsisten dengan hasil musrenbang. Ketidak konsistenan terjadi karena banyak menciptakan keputusan anggaran yang pro kepentingan pribadi legislator daripada menjaga amanah musrenbang. Hal ini Membuat program 192
Budget process, aktor anggaran, kearifan lokal, self interest, public interest
perencanaan yang tidak pernah dibahas sebelumnya pada saat musrenbang menjadi tindakan (action) yang dilakukan oleh legislatif. Hal ini yang kemudian membingungkan SKPD ketika program perencanaan yang telah disepakati pada forum SKPD justru tidak muncul dalam program SKPD. Pada sisi eksekutif, musrenbang dimaknai sebagai media yang digunakan untuk melibatkan partisipasi aktif publik dalam mencetuskan ide atau gagasan cemerlang terkait perencanaan pembangunan yang menjadi kebutuhan publik. Bagi eksekutif, segala perencanaan publik idealnya ditampung dalam wadah musrenbang. Hasil musrenbang pun akan tidak menyimpang ataupun konsisten dengan keputusan anggaran. Namun dalam tindakannya, perilaku aktor eksekutif akan dihadapkan pada dua situasi yang berbeda. Situasi pertama, pada saat musrenbang yang menghadirkan publik sebagai lawan interaksi, timbul semangat untuk memperjuangkan aspirasi musrenbang. Aktor eksekutif kemudian berusaha melakukan tindakan mengawal hasil musrenbang. Namun pengawalan eksekutif hanya dapat dilakukan hingga pada level forum SKPD yang membahas penentuan skala prioritas yang sesuai dengan rencana kerja pemerintah (renja), hingga pada penyusunan rancangan anggaran (RAPBD). Situasi kedua adalah pada saat eksekutif berinteraksi dengan legislatif. Tindakan yang ditempuh adalah mengakomodir kepentingan pribadi (self interest) legislatif dalam pembahsan bersama anggaran untuk menjadi keputusan anggaran. Hal ini dilakukan untuk menghindari keterlambatan penetapan keputusan anggaran yang dapat menghambat percepatan realisasi anggaran tahun berikut.
ISSN 2303-100X
dari nilai-nilai kemandaran yang merupakan gagasan dan petuah-petuah bijak yang diwariskan para leluhur mandar. Semestinya yang dapat kita lakukan adalah menguatkan kembali nilai-nilai kearifan lokal. Penguatan dapat melalui media pendidikan pada level lokal dengan menjadikan nilai-nilai lokal sebagai muatan materi. Hal ini akan membantu upaya dalam menciptakan manusia yang memiliki karakter ataupun prinsip hidup dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Dalam konteks penyelenggaraan negara, dapat mendorong terciptanya aktor anggaran yang memiliki kepribadian mulia dan berintegritas. DAFTAR PUSTAKA Abbas. (1999). Pendekatan Budaya Mandar: Sipatau. Hijrah grafika Affandi D. dan Wulandari P. (2012). An Exploration Local Wisdom Priority in Public Budgeting Process of Local Government: Case Study in East Java. International Journal Economy. Res. Pp 61-76 Blumert H. (1969). Symbolic Interactionism: Perspective and Method. Prentice Hall Inc. New Jersey. Bodi I.K. (2008). Local Wisdom. Nuctah. Crotty M. (1998). The Foundation Of Social Research: Mearning and Perspective In the Research Process. SAGE Publications. Damayanti AR. (2010). Hubungan Keagenan Pemda Dalam Konteks Anggaran: Sebuah Agenda Rekonstruksi. Publikasi Ilmiah. Universitas Brawijaya. Malang Demartoto. (2007). Perilaku Korupsi Di Era Otonomi Daerah: Fakta Empiris dan Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Jurnal Spirit Publik Vol 3. No 2, hal 89-102 Isra. (2008). Korupsi dan Desentralisasi Korupsi. PUKAT UGM Mandra A.M. (2008). Mottiana Mandar. Pemda Majene-Yayasan Saq Adawang Mandra A.M. (2010). Caeyyana Mandar. Pemda Majene-Yayasan Saq Adawang Rinaldi T., Purnomo M., Damayanti D. (2007). Memerangi korupsi di Indonesia yang terdesentralisasi: studi kasus penanganan korupsi Pemda. The World Bank Sopana, Sudarma M, Ludigdo U, dan Djamhuri A. (2013). Beyond Ceremony: The Impact of Local Wisdom on Public Participation In
KESIMPULAN DAN SARAN Aktor anggaran menjadi tidak konsisten dalam dua situasi yang berbeda. Pada situasi pertama, nampak aktor masih menjunjung tinggi spirit kemandaran dengan memaknai peran sosial mereka sebagai pengawal kepentingan publik. Pada situasi ini aktor bertekad untuk melakukan tindakan memperjuangkan aspirasi musrenbang. Namun pada situasi kedua, motif self interest menjadi ciri tindakan para aktor anggaran. Peran sosial tidak lagi dimaknai sebagai pengawal bagi kepentingan publik. Para aktor menjadi teralienasi 193
Fakhry
ISSN 2303-100X
Local Government Budget. JAMAR. Vol 11. No 1. Sopana. (2012). Ceremonial Budgeting dalam Perencanaan Penganggaran Daerah: Sebuah Keindahan Yang Menipu. Jurnal Akuntansi Manajemen pp 73-84.
Syarifuddin. (2009). Keputusan Akuntansi Anggaran: Aksentuasi Drama Politik dan Kekuasaan, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang.
194