Analisis, Desember 2014, Vol.3 No.2 : 195 – 200
ISSN 2252-7230
IMPLIKASI HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 49/PUUX/2012 TERHADAP PEMERIKSAAN NOTARIS SEBAGAI SAKSI DALAM PROSES HUKUM Legal Implications of the Constitutional Court Decision Number 49/PUU-X/2012 Concerning Notary as A Witness in Litigation Armayulita, Syamsul Bachri, Anshori Ilyas Program Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin (E-mail:
[email protected]) ABSTRAK Notaris sebagai pejabat umum tidak jarang mengalami proses hukum sehingga pemeriksaan Notaris pasca putusan Mahkamah Konstitusi dengan persetujuan MPD tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan prosedur pemeriksaan Notaris dalam proses hukum dan implikasi hukumnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUUX/2012 dan untuk mengetahui dan menjelaskan hubungan kewenangan kelembagaan antara Majelis Pengawas Notaris dengan penyidik kepolisian dalam pemeriksaan Notaris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012. Penelitian ini berbentuk penelitian normatif. Data diolah dengan menggunakan metode kualitatif dengan mendiskripsikan data berupa data primer dan data sekunder untuk kemudian dilakukan penafsiran dan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Prosedur pemeriksaan Notaris dalam proses hukum pasca putusan Mahkamah Konstitusi sudah tidak melalui persetujuan MPD. Hal ini berimplikasi hukum terhadap perlindungan keluhuran jabatan Notaris dan dokumen minuta akta sebagai protokol Notaris serta lebih mengutamakan pada proses hukum baik ditingkat penyelidikan, penyidikan dengan mengabaikan kepentingan-kepentingan khusus bagi Notaris sehingga perlindungan protokol Notaris sebagai dokumen negara kurang dipertimbangkan. Hubungan kewenangan kelembagaan antara MPN dengan penyidik kepolisian setelah putusan Mahkamah Konstitusi sudah tidak ada hubungan kewenangannya karena tidak ada lagi koordinasi antara MPN dengan penyidik kepolisian, jika ada Notaris dan atau minuta akta asli yang dibutuhkan dalam proses hukum yang selama ini hanya diperkenankan jika di bawah sendiri oleh Notaris yang dipanggil. Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi, Notaris, Putusan ABSTRACT Notary as public official is not uncommon to experience the legal process so that the Notary examination after the Constitutional Court decision with the approval of the MPD does not have binding legal force. This study aims to identify and explain the procedures Notary examination in legal proceedings and legal implications of the post-verdict of the Constitutional Court No. 49/PUUX/2012 and to identify and explain the shape of the relationship between the institutional authority of the Supervisory Council of Notary Public Notary police investigators in the examination after Court Ruling Constitutional 49/PUU-X/2012. This study form a normative study. The data were processed using qualitative methods to describe the data in the form of primary data and secondary data and then do the interpretation and conclusions. The results showed that the Notary examination procedure in the proceedings after the Constitutional Court had not gone through the approval of the MPD. This has implications for the protection of the law against the nobility and the Notary office documents as protocol notary deed minuta and more emphasis on the legal process both at the investigation, the investigation by ignoring special interests so that the protection protocol for Notary Notary less considered as the document states. The relationship between MPN institutional authority by police investigators after the decision of the Constitutional Court has no authority relationship because there is no coordination between the MPN with police investigators, if there is a Notary and
195
Armayulita
ISSN 2252-7230
the original deed or minuta required in legal proceedings which had only allowed if under its own by Notary called. Keywords: Constitutional Court, Notary, Decision
serius kepada Notaris dalam menjalankan profesinya. Masih mengenai pengawasan Notaris, dalam Pasal 66 UUJN telah memberikan penegasan mengenai wewenang MPD. Pertama, mengenai wewenang MPD yang harus memberi persetujuan jika ada pemeriksaan bagi Notaris untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim. Kedua, mengambil fotokopi minuta akta dan surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris. Ketiga atau yang terakhir, memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Pada prinsipnya norma tersebut hendak memberi penegasan bahwa jika terjadi proses peradilan yang melibatkan Notaris maka penyidik kepolisian tidak dapat dapat langsung memeriksa Notaris melainkan terlebih dahulu harus melalui persetujuan MPD. Tegasnya penyidik dapat melanjutkan proses hukum setelah mendapat persetujuan dari MPD. Pada kenyataannya banyak kalangan khususnya advokat menilai bahwa eksistensi Pasal 66 UUJN merupakan norma yang dijadikan tempat berlindung bagi Notaris dari upaya proses hukum kepolisian karena seorang Notaris diduga melakukan pelanggaran hukum dan pelanggaran etika. Namun demikian Notaris yang bersangkutan tidak dapat langsung diperiksa oleh penyidik kepolisian melainkan menunggu persetujuan dari MPD. Fakta terkini yang dapat dijadikan acuan terkait dengan problematika Pasal 66 UUJN adalah upaya hukum Kant Kamal melalui para kuasanya yakni Tomson Situmeang, Jupryanto Purba, Charles Hutagalung, Mengajukan permohonan Uji Materil Pasal 66 UUJN
PENDAHULUAN Notaris adalah pejabat umum yang oleh Undang-undang diberi kewenangan membuat akta otentik dan kewenangan lainnya. Seorang Notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasihat yang boleh diandalkan (Kie, 2011). Notaris adalah orang semi swasta, karena ia tidak bisa bertindak bebas sebagaimana seorang swasta (Nusyirwan, 2000). Kebutuhan hukum dalam masyarakat dapat dilihat dengan semakin banyaknya bentuk perjanjian yang dituangkan dalam suatu akta Notaris, dimana Notaris merupakan salah satu pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang (Dewi, 2011). Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum (Adjie, 2008). Dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai pejabat umum tidak jarang Notaris mengalami proses hukum. Pada proses hukum ini Notaris harus memberikan keterangan dan kesaksian menyangkut isi akta yang dibuatnya. Oleh karenanya sangat diperlukan adanya pengawasan. Pada dasarnya yang mempunyai wewenang melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dalam pelaksanaannya Menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris (Adjie, 2009). Munculnya kewenangan MPN yang diamanatkan oleh Undang-undang secara tidak langsung memberikan tugas dan tanggung jawab yang besar kepada MPN untuk memberikan pengawasan secara 196
Mahkamah Konstitusi, Notaris, Putusan
ISSN 2252-7230
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945), Salah satu alasan hukum pemohon adalah dengan berlakunya ketentuan Pasal 66 angka (1) UUJN sepanjang frasa “dengan persetujuan MPD”, menjadikan penyidik kepolisian terkendala dalam melakukan proses penyidikan dikarenakan permintaan izin untuk memanggil Notaris, untuk menjadi saksi, tidak diberikan oleh MPD Notaris Cianjur, sehingga telah melanggar hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan persamaan kedudukan dalam hukum dan perlindungan kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 angka (1) dan Pasal 28 D angka (1) UUD NRI 1945. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi terkait judicial review Pasal 66 UUJN, keputusan Nomor 49/PUUX/2012 mengenai Pengujian UUJN terhadap UUD NRI 1945 yang amar putusannya menyatakan bahwa frasa “dengan persetujuan MPD” dalam Pasal 66 angka (1) UUJN tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan prosedur pemeriksaan Notaris dalam proses hukum dan implikasi hukumnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUUX/2012 serta bentuk hubungan kewenangan kelembagaan antara Majelis Pengawas Notaris dengan penyidik kepolisian dalam pemeriksaan Notaris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012.
peraturan hukum perundang-undangan dan pendapat para ahli. Informan Penelitian Penggunaan informan dalam penelitian ini bertujuan untuk menguatkan teori-teori serta pendapat-pendapat yang digunakan dalam penelitian. Adapun informan tersebut yakni: MPD sebanyak 3 (tiga) orang, MPW sebanyak 3 (tiga) orang, Notaris sebanyak 3 (tiga) orang, Ikatan Notaris Indonesia sebanyak 2 (dua) orang, Penyidik Kepolisian sebanyak 3 (tiga) orang, dan Pakar Hukum sebanyak 2 (dua) orang. Teknik Pengumpulan Data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara kepada informan yang terkait dengan judul penelitian. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari kantor wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia terhadap Notaris yang pernah menjadi saksi dan tersangka. Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif yaitu dengan mendeskripsikan data yang diperoleh berupa data primer dan data sekunder kemudian dilakukan penafsiran dan kesimpulan. HASIL Pemeriksaan Notaris baik sebagai saksi maupun tersangka sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi telah diatur dalam Pasal 66 UUJN, yang menyatakan untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan MPD berwenang mengambil fotokopi minuta akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan oleh Notaris. Disamping itu juga untuk memanggil Notaris hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya
METODE PENELITIAN Daerah Penelitian Untuk mendapatkan data dan informasi dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengumpulan data dan informasi dari daerah penelitian di Kota Makassar. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian normatif yaitu penelitian hukum terhadap asas-asas hukum, kaedah hukum, 197
Armayulita
ISSN 2252-7230
atau protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Menurut salah satu anggota MPD di kota Makassar Ibu Illia bahwa sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam pemeriksaan Notaris dalam proses hukum, laporan yang masuk dari penyidik kepolisian diproses di MPD sesuai standar operasional prosedur yang berlaku. Dan sesudah putusan Mahkamah Konstitusi penyidik kepolisian langsung memanggil Notaris yang bersangkutan untuk diperiksa. Senada dengan hal tersebut menurut Penyidik Polrestabes Kota Makassar Bapak Awaluddin menyatakan bahwa pemeriksaan Notaris sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi dari penyidik kepolisian meminta persetujuan kepada MPD karena sebelumnya ada MOU ditingkat Mabespolri. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi dari penyidik kepolisian tidak lagi meminta persetujuan MPD. jadi penyidik kepolisian langsung memanggil Notaris yang bersangkutan untuk diperiksa dengan surat panggilan. Menurut data yang penulis peroleh dari Polrestabes kota Makassar, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Penyidik Polrestabes kota Makassar telah melakukan panggilan pemeriksaan terhadap Notaris tanpa persetujuan MPD dalam kurun waktu Juni 2013-Januari 2014 sebanyak 15 Notaris. Semua atas dugaan tindak pidana terkait dengan Pasal 378 KUHP, Pasal 372 KUHP, Pasal 263 KUHP, dan 266 KUHP. Implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menurut Ketua INI Provinsi Sulawesi Selatan Bapak Ahmad Yulias menyatakan bahwa Notaris dipanggil langsung oleh penyidik kepolisian tanpa persetujuan MPD. Selain itu, menurut salah seorang Notaris di Kota Makassar Ibu Ria Trisnomurti menyatakan bahwa implikasi putusan Mahkamah Konstitusi yaitu kembali lagi ke UUJN terkait tata cara menggunakan akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna dalam pasal 4, 16, 54 dan 57 UUJN.
Menurut pakar hukum Universitas Hasanuddin Bapak Ahmadi Miru menyatakan bahwa sesudah putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan tidak mengikat Pasal 66 UUJN baik MPN maupun penyidik kepolisian sudah tidak ada hubungan kewenangan kelembagaan dalam pemeriksaan Notaris. Pada hal sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi ada kerjasama dalam menegakkan hukum. Bentuknya dalam penyelesaian setiap permasalahan dalam proses hukum, penyidik kepolisian menyampaikan kasusnya ke MPD. PEMBAHASAN Penelitian ini menemukan bahwa pasca putusan Mahkamah Konstitusi prosedur pemeriksaan Notaris oleh penyidik kepolisian sudah tidak melalui ketentuan dalam Pasal 66 UUJN maupun Permenkumham 03/2007. Sehingga penyidik kepolisian dapat langsung memanggil Notaris tanpa perlu meminta persetujuan dari MPD. Hal ini tentu saja akan mempermudah kinerja bagi penyidik kepolisian dalam memanggil Notaris untuk diperiksa baik sebagai saksi atau tersangka. Karena sudah tidak memerlukan persetujuan dari MPD. Sehingga proses hukum tidak akan mengalami kendala. Akan tetapi perlu digarisbawahi disini ialah ada ketentuanketentuan lain yang masih mengikat terkait jabatan Notaris sebagai pejabat negara yang termuat dalam UUJN, bahwa Notaris merupakan pejabat umum perlu mendapatkan perlindungan terkait dengan jabatannya. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan (Mertokusumo, 2005). Karena jabatan Notaris berkaitan dengan menjaga kerahasiaan akta yang telah dipercayakan terhadapnya yang merupakan dokumen Negara jadi perlu mendapat perlindungan hukum. Terkait dengan perlindungan Notaris, bahwa Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan jabatannya seharusnya 198
Mahkamah Konstitusi, Notaris, Putusan
ISSN 2252-7230
memang diberikan perlindungan. Pertama, untuk tetap menjaga keluhuran harkat dan martabat jabatannya termasuk ketika memberikan kesaksian dan berproses dalam pemeriksaan dan persidangan. Kedua, merahasiakan akta dan keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta. Ketiga, menjaga minuta atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris. Sejak kehadiran institusi Notaris di Indonesia pengawasan terhadap Notaris selalu dilakukan oleh lembaga peradilan dan pemerintah, dimana tujuan dari pengawasan agar para Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya memenuhi semua persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris, demi untuk pengamanan dari kepentingan masyarakat karena Notaris diangkat oleh pemerintah bukan untuk kepentingan diri sendiri, tapi untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya (Adjie, 2011). Selain itu akan memberikan kepastian hukum terhadap Notaris itu sendiri. Kepastian hukum sudah menjadi semacam ideologi dalam kehidupan berhukum, sehingga diperlukan suatu pemahaman yang kritis mengenai kata tersebut (Ali, 2009). Notaris merupakan sebuah jabatan kepercayaan. Masyarakat mempercayakan kepada Notaris untuk membuat perjanjian yang termuat dalam akta Notaris. Akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris berkedudukan sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN (Adjie, 2011). Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna yang artinya bahwa akta otentik tidak memerlukan lagi penambahan pembuktian (Subekti, 2005). Dalam menjalankan tugas dan jabatannya, Notaris wajib tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini UUJN dan Kode Etik Notaris. Dengan adanya ketentuan dalam putusan Mahkamah Konstitusi, hal ini juga membawa dampak hukum pada
Permenkumham 03/2007. Sehingga standar opersional prosedur yang digunakan untuk memeriksa Notaris baik sebagai saksi maupun tersangka dengan persetujuan MPD sudah tidak dapat dipakai lagi. Hal ini akan berimplikasi pada perlindungan Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik. Pasalnya hal ini akan berakibat pada pemeriksaan Notaris nantinya baik sebagai saksi maupun tersangka. Penyidik kepolisian dapat kapan saja memanggil Notaris untuk diperiksa, selain itu minuta akta Notaris bagian dari protokol Notaris yang juga merupakan dokumen negara dapat begitu mudah untuk diperiksa. Padahal Notaris berkewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya. Dan apabila dilanggar oleh Notaris, maka Notaris tersebut dapat terkena sanksi. Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi, MPN dan penyidik kepolisian mempunyai hubungan dalam rangka pemeriksaan Notaris. Bentuk hubungan kewenangan tersebut terkait dengan pemeriksaan Notaris yang mana sebelum penyidik kepolisian memanggil Notaris untuk diperiksa terlebih dahulu penyidik kepolisian meminta persetujuan kepada MPD. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan tidak mengikat Pasal 66 UUJN, menjadikan belum jelasnya bentuk hubungan kewenangan antara MPN dan penyidik kepolisian. Dinyatakan tidak mengikat Pasal 66 UUJN dan tidak berlakunya lagi Permenkumham 03/2007 menjadikan penyidik kepolisian sudah tidak meminta persetujuan MPD untuk memeriksa Notaris. Meskipun sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Pasal 66 UUJN tidak memiliki kekuatan hukum mengikat lagi. Sebagai rekomendasi diperlukan adanya sinergitas kewenangan antara MPN dengan penyidik kepolisian, yaitu dengan diwadahi melalui MOU. Dengan adanya UUJN baru yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, 199
Armayulita
ISSN 2252-7230
diatur kembali ketentuan Pasal 66 UUJN yaitu kewenangan dalam hal pemeriksaan Notaris dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris (MKN). Diharapkan dengan ketentuan ini bentuk hubungan terkait kewenangan antara MKN dan penyidik kepolisian dapat terjalin dengan baik. Diharapkan juga adanya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang baru terkait munculnya Pasal 66 ini sehingga baik MPN maupun penyidik kepolisian tetap bisa berkoordinasi terkait dengan pemeriksaan Notaris.
dengan pekerjaan Notaris diantaranya penyidik kepolisian. Hendaknya permintaan penyidik kepolisian dalam pemeriksaan Notaris untuk menjadi saksi terkait dengan proses hukum yang berjalan seyogyanya tetap ditembuskan kepada MPD, karena bagaimanapun MPD sebagai Majelis Pengawas memegang fungsi pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris. DAFTAR PUSTAKA Ali Achmad. (2009). Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk Interpretasi UndangUndang (Legisprudence). Kencana: Jakarta. Adjie Habib. (2008). Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, cet.1.Refika Aditama: Bandung. Adjie Habib. (2009). Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Refika Aditama: Bandung. Adjie Habib. (2011). Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris. Refika Aditama: Bandung. Adjie Habib. (2011). Majelis Pengawas Notaris Sebagai Pejabat Tata Usaha Negara. Refika Aditama: Bandung. Dewi Santia; Diradja Fauwas. (2011). Panduan Teori & Praktik Notaris. Pustaka Yustisia: Yogyakarta. Kie Tan Thong. (2011). Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris. PT.Ichtiar Baru Van Hoeve: Jakarta. Mertokusumo Sudikno. (2005). Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, cet ketiga. Bumi Aksara: Jakarta. Nusyirwan. (2000). Membedah Profesi Notaris. Universitas Padjadjaran: Bandung. Subekti R. (2005). Hukum Pembuktian. Pradnya Paramita: Jakarta.
KESIMPULAN DAN SARAN Prosedur pemeriksaan Notaris dalam proses hukum pasca putusan Mahkamah Konstitusi sudah tidak melalui persetujuan MPD. Hal ini berimplikasi hukum terhadap perlindungan keluhuran jabatan Notaris dan dokumen minuta akta sebagai protokol Notaris serta lebih mengutamakan pada proses hukum baik ditingkat penyelidikan, penyidikan dengan mengabaikan kepentingankepentingan khusus bagi Notaris sehingga perlindungan protokol Notaris sebagai dokumen negara kurang dipertimbangkan. Hubungan kewenangan kelembagaan antara MPN dengan penyidik kepolisian setelah putusan Mahkamah Konstitusi sudah tidak ada hubungan kewenangannya karena tidak ada lagi koordinasi antara MPN dengan penyidik kepolisian, jika ada Notaris dan atau minuta akta asli yang dibutuhkan dalam proses hukum yang selama ini hanya diperkenankan jika di bawah sendiri oleh Notaris yang dipanggil. Harus ada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai peraturan pelaksanaan dari Pasal 66 UUJN baru sehingga ada mekanisme yang jelas terkait prosedur pemeriksaan Notaris nantinya. Selain itu, MPN dan INI harus aktif melakukan sosialisasi dan koordinasi baik terhadap Notaris maupun terhadap instansi-instansi yang terkait
200