Analisis, Desember 2014, Vol.3 No.2 : 173 – 180
ISSN 2252-7230
BASYARNAS SEBAGAI LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS SYARIAH Basyarnas as Alternative Institution of Settling Syari’ah Business Dispute Andi Tenri Soraya, M. Arfin Hamid, Juajir Sumardi Program Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin (E-mail:
[email protected]) ABSTRAK Eksistensi Basyarnas tidak sepenuhnya independen tanpa keikut sertaan Pengadilan Negeri, putusan arbitrase syariah tidak memiliki titel eksekutorial tanpa keterlibatan jurisdiksi pengadilan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan ; (1) kewenangan Basyarnas dalam penyelesaian sengketa bisnis syariah. (2) mekanisme penyelesaian sengketa bisnis syariah melalui Basyarnas. Metode penelitian yang digunakan bersifat yuridis normatif berdasarkan pada penelitian kepustakaan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan sekunder. Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa Kewenangan dari Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa bisnis syariah dilakukan sesuai dengan isi akad, yaitu berdasarkan perjanjian arbitrase yang termuat di dalam suatu akad baik itu dilaksanakan sebelum terjadinya sengketa (pactum de compromittendo) maupun setelah sengketa terjadi (acta compromise). Berdasarkan hal tersebut sangat jelas bahwa ketika telah diperjanjikan dalam sebuah akad yang memuat klausula arbitrase, maka menjadi kewenangan dari Basyarnas untuk menyelesaikannya. Prosedur beracara pada Basyarnas pada umumnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dalam pelaksanaannya dianggap masih menimbulkan reduksi terhadap kewenangan lembaga peradilan antara peradilan umum dan peradilan agama dalam hal kewenangan eksekusi putusan Basyarnas. Pemerintah dalam hal ini lebih mempetegas lagi kewenangan dari peradilan umum dalam hal memerintahkan pelaksanaan putusan arbitrase syariah, sebagaimana SEMA 8 Tahun 2010 tentang Penegasan Tidak Berlakunya SEMA Nomor 8 Tahun 2008 dan berdasarkan Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sehingga dianggap tidak relevan terhadap kompetensi antara peradilan umum dan peradilan agama dalam penyelesaian sengketa bisnis syariah berdasarkan prinsip syariah karena masih melibatkan peradilan umum untuk memerintahkan pelaksanaan putusan Basyarnas apabila ada salah satu pihak yang bersengketa tidak menjalankan putusan Basyarnas tersebut secara sukarela. Kata Kunci: Bisnis Syariah, Basyarnas, Sengketa Bisnis Syariah ABSTRACT Basyarnas not entirely independent existence without the participation of the District Court, syari’ah arbitration award does not have a title executorial without the involvement of the court's jurisdiction The aims of the study are to acknowledge (1) the Basyarnas authority in Islamic finance dispute resolution, (2) Islamic business dispute resolution mechanism through Basyarnas.The study was based on normative judicial reseacrh literature regarding legislation in force and other legal materials. Legal materials employed are primary and secondary legal materials. Data were analyzed with qualitative descriptive analiysis.The result of the research indicated that the authority of Basyarnas, in resolving syari’ah business disputes is conducted according to the content of agreement contained in an agreement, either conducted before the dispute (pactum de compromittendo) or after the dispute (acta compromise). Based on this fact, it is clear that after agreed upon in an agreement containing arbitrary clause, it become the authority of Basyarnas to settle the dispute. Court procedure in Basyarnas is commonly conducted according to the rules of constitution in-force, in its inplementation it is still considered reducing the authority of the court
173
Andi Tenri Soraya
ISSN 2252-7230
institution of general and religious court institution in terms of the execution authority of Basyarnas. The goverment, in this case, give more authority to general court, in case of ordering the inplementation of Syari’ah arbitrary decision, as indicated in SEMA 8, 2010 on the confirmation on the invalidity of SEMA 8, 2008, based on Chapter 59, article (3) Contitution No. 48, 2009 on the court authority. It is considered irrelevant to the competence between general court and religious court in the dispute of syari’ah business based on syari’ah principle because it is still involving general court to command the inplementation of Basyarnas decision in case one among disputing party does not inplement the Basyarnas decision willingly. Keywords: Syari’ah Business, Basyarnas, Syari’ah Business Dispute
hampir dapat dikatakan selalu ada dalam kontrak-kontrak bisnis dewasa ini, termasuk dalam kontrak pembiayaan yang dibuat antara pihak nasabah dengan pihak perbankan syariah (Anshori, 2010). Untuk mengantisipasi jika terjadi suatu perselisihan atau sengketa (disputes) diantara kedua belah pihak mengenai perjanjian atau akad tersebut, lazimnya dalam setiap perjanjian yang dibuat selalu disertai dengan suatu klausul yang berupa persetujuan atau kesepakatan dari kedua belah pihak mengenai cara penyelesaian perselisihan yang mungkin timbul dari perjanjian tersebut. Dalam perjanjian atau akad tersebut disepakati bahwa apabila terjadi perselisihan atau akad tersebut disepakati bahwa apabila terjadi perselisihan atau sengketa (disputes) diantara mereka mengenai perjanjian tersebut akan diselesaikan dengan cara melalui suatu badan arbitrase. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa Dengan demikian, atas dasar klausul tersebut mereka sepakat untuk tidak membawa perselisihan atau sengketa yang terjadi dari perjanjian tersebut ke suatu badan peradilan negara. Klausul semacam inilah yang dinamakan dengan klausula arbitrase (arbitration clause), atau sering juga disebut dengan perjanjian arbitrase (Harahap, 2001). Eksistensi Basyarnas tidak sepenuhnya independen tanpa keikut
PENDAHULUAN Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang saat ini banyak dipilih oleh para pelaku usaha. Pertimbangan mengapa mereka memilih forum arbitrase untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara lain adalah adanya ketidakpercayaan terhadap pengadilan, proses arbitrase yang relatif cepat dan murah, pelaksanaannya yang menjunjung tinggi asas konfidensialitas (kerahasiaan), para pihak bebas memilih arbiter dengan pertimbangan keahlian (expert), dan yang lebih penting lagi adalah para pihak bebas memilih hukum yang akan dipakai dalam proses arbitrase dan putusan yang dihasilkan bersifat final and binding (Asyhadie, 2005) Perkataan arbitrase berasal dari arbitrare (bahasa Latin) yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Dihubungkannya arbitrase dengan kebijaksanaan itu, dapat menimbulkan salah kesan seolah-olah seorang arbiter atau suatu mejelis arbitrase dalam menyelesaikan suatu sengketa tidak mengindahkan normanorma hukum lagi dan menyandarkan pemutusan sengketa tersebut hanya pada kebijaksanaan saja (Fuady, 2003). Pada hakikatnya penyelesaian sengketa masuk dalam ranah hukum perjanjian sehingga asas yang berlaku adalah asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Artinya para pihak bebas melakukan pilihan hukum dan pilihan forum penyelesaian sengketa yang akan dipakai manakala terjadi sengketa keperdataan diantara mereka. Klausula penyelesaian sengketa ini 174
Bisnis Syariah, Basyarnas, Sengketa Bisnis Syariah
sertaan Pengadilan Negeri terhadap proses arbitrase syariah. Dengan dikeluarkannya SEMA Nomor 8 Tahun 2010 tentang Penegasan Tidak Berlakunya SEMA Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Arbitrase Syariah, semakin mempertegas Jurisdiksi pengadilan negeri dalam proses arbitrase syariah. Pada saat Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan SEMA Nomor 8 Tahun 2008, banyak dari kalangan ahli berpendapat bahwa SEMA tersebut dapat mengantisipasi terjadinya konflik antar lembaga peradilan mengenai lembaga peradilan mana yang paling berwenang untuk memerintahkan pelaksanaan putusan Basyarnas.Adanya kecenderungan bahwa dengan diberikannya kewenangan kepada pengadilan negeri dalam hal sebagai eksekutor terhadap putusan Basyarnas apabila tidak dijalankan secara sukarela dianggap kurang tepat dan semakin memberikan ketidakjelasan serta menimbulkan kebingungan terhadap peraturan yang terkait dengan penyelesaian sengketa syariah. Berdasarkan penelusuran kepustakaan penulis, belum ada penelitian yang berjudul “Basyarnas Sebagai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis Syariah”. Penelitian tentang Basyarnas telah pernah dilakukan sebelumnya, antara lain; Penelitian oleh Triana, (2011), Universitas Indonesia, dengan judul “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”. Penelitian Variza, (2011), Universitas Islam Indonesia Jogyakarta, dengan judul “Kekuatan Mengikat Putusan Basyarnas Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Semarang Jawa Tengah”. Penelitian ini yang membedakan dari tesis diatas adalah bahwa dalam penelitian ini spesifik dilakukan pada kajian mengenai kewenangan, proses beracara pada Basyarnas serta eksekusi
ISSN 2252-7230
putusan Basyarnas. Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan asli baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) kewenangan Basyarnas dalam penyelesaian sengketa bisnis syariah.(2) mekanisme penyelesaian sengketa bisnis syariah melalui Basyarnas. METODE PENELITIAN Tipe dan Pendekatan Penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang didasarkan pada penelitian kepustakaan dengan menggunakan pendekatan terhadap masalahmasalah yang diteliti dengan cara meninjau dari segi peraturan perundangundangan yang berlaku dan bahan hukum lainnya. Sebagai penelitian hukum normatif, metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, yaitu meliputi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dan terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 .Data sekunder, yaitu data yang sudah tersedia ditempat penelitian yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) dengan mempelajari, buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah dan lain-lain yang berhubungan dengan objek penelitian.
175
Andi Tenri Soraya
ISSN 2252-7230
para pihak dalam suatu perjanjian untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai sesuatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat setelah sengketa terjadi.Para pihak adalah subjek hukum, baik menurut hukum perdata maupun hukum publik. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat setelah sengketa terjadi. Basyarnas memiliki prosedur penyelesaian sengketa tersendiri, yang memuat hal-hal yang berkenaan dengan permohonan arbitrase syariah, penetapan arbiter syariah, acara pemeriksaan arbitrase syariah, perdamaian, pembuktian, berakhirnya pemeriksaan arbitrase syariah, pengambilan dan isi putusan arbitrase syariah, perbaikan dan pembatalan putusan arbitrase syariah, pendaftaran putusan arbitrase syariah, serta pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan biaya arbitrase syariah. Sebagaimana prosedur beracara dalam Basyarnas tersebut diatas, masih terdapat kelemahan dalam proses beracara di Basyarnas tersebut yaitu apabila setelah putusan diumumkan terdapat salah satu dari pihak yang bersengketa tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela, maka hal inilah yang menjadi hambatan bagi Basyarnas dalam hal memerintahkan untuk melaksanakan putusan tersebut karena masih sangat tergantung pada lingkungan peradilan untuk memberikan perintah pelaksanaan putusan Basyarnas. Terlebih lagi masih dicantumkannya peradilan umum sebagai tempat untuk mengajukan putusan arbitrase agar putusan tersebut dapat dieksekusi sebagaimana di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
HASIL Hingga saat ini, aturan yang dijalankan Basyarnas baik secara konseptual dan implementasi, sepenuhnya masih merujuk kepada UU Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang ini adalah pokok penerapan semua lembaga arbitrase di indonesia. Hanya, perumusan aturan ini sesungguhnya dominan dilatarbelakangi perkembangan bisnis (ekonomi) konvensional yang banyak menimbulkan sengketa. Dengan demikian, muatan-muatan yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi syariah, khususnya Basyarnas sebagai lembaga penyelesaian sengketa terlihat tidak begitu diakomodir. Akibatnya, terdapat berbagai persolan muncul, persoalan yang paling menonjol adalah kewajiban Basyarnas mendaftarkan putusan arbitrase ke pengadilan negeri. Sejak awal, dipahami bahwa landasan yang digunakan ekonomi syariah dan konvensional memiliki perbedaan yang substansi, sehingga penyelesaian sengketa antara keduanya juga memiliki perbedaan. Dengan demikian, Pengadilan Negeri yang populer (dalam perkara perdata) menangani ekonomi konven-sional sejatinya tidak dapat memproses sengketa ekonomi syariah yang memiliki perbedaan prinsip dengan ekonomi konvensional. Sementara itu, kehadiran Pengadilan Agama yang diasumsikan lebih tepat menangani persolan ini, secara normatif, kenyataannya belum dapat menyelesaikan problem tersebut walaupun kenyataannya sengketa ekonomi syariah telah masuk menjadi kompetensi absolutnya. Lembaga arbitrase dalam melaksanakan kompetensinya berdasarkan perjanjian arbitrase direalisasikan dalam bentuk pemberian pendapat hukum yang mengikat dan pemberian putusan arbitrase karena adanya suatu sengketa tertentu. Lembaga arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh 176
Bisnis Syariah, Basyarnas, Sengketa Bisnis Syariah
tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa.
Alternatif
ISSN 2252-7230
perjanjian pembiayaan atau membuat perjanjian arbitrase sendiri, baik sebelum terjadi sengketa (pactum de compromittendo) maupun setelah sengketa terjadi (acta compromise). Dalam hal perjanjian terdapat klausula/perjanjian arbitrase yang menunjuk Basyarnas, maka Basyarnas memiliki kompetensi absolut untuk menyelesaikan sengketa yang dimaksud dan lembaga pengadilan wajib menolak sengketa yang diajukan di dalamnya terdapat klausula arbitrase (Anshori, 2009). Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) mempunyai peraturan prosedur yang memuat tata cara penanganan suatu perkara, antara lain permohonan untuk mengadakan arbitrase, penerapan arbiter, acara pemeriksaan, perdamaian, pembuktian dan saksi-saksi, berakhirnya pemeriksaan, pengambilan putusan, pendaftaran putusan, pelaksanaan putusan (eksekusi), (Djamil, 2012). Perkembangan perbankan syariah yang ada di Indonesia harus juga bersamaan dengan perkembangan peraturan yang ada, mulai dari sistem hingga bagaimana penyelesaian sengketanya. Diawal perkembangan perbankan syariah di indonesia, belum dikenal dengan adanya lembaga peradilan yang secara khusus menangani perkara syariah, di saat itu hanya dikenal dengan nama BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia). Lembaga ini dibentuk oleh MUI dengan dasar hukumnya UndangUndang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Altrenatif Penyelesaian Sengketa. Terdapat beberapa permasalahan yang muncul ketika BAMUI yang kini menjadi Basyarnas mengeluarkan suatu putusan. Pihak yang kalah tidak mau mengikuti putusan tersebut secara sukarela. Arbitrase tidak dapat melakukan eksekusi karena tidak memiliki kewenagan untuk melakukannya. Adanya kekurangan pada lembaga arbitrase inilah maka diterbitkan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai
PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa kewenangan Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah hanya sebatas sebagai penyelesaian melalui non litigasi hal ini diperkuat dengan disyahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) undang-undang tersebut memberikan alternatif lain penyelesaian sengketa yang disesuaikan dengan isi akad atau perjanjian. Munculnya alternatif penyelesaian tersebut memunculkan berbagai persoalan, diantaranya membinggungkan bagi para pihak, oleh karena itu perlu ketegasan tentang kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah agar adanya kepastian hukum. Perjanjian arbitrase bukan perjanjian “bersyarat” atau voorwaardelijke verbintes. Perjanjian arbitrase tidak termasuk pada pengertian ketentuan Pasal 1253-1267 KUHPerdata (Imam, 2010). Oleh karena itu, pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak digantungkan kepada sesuatu kejadian tertentu di masa yang akan datang. Perjanjian arbitrase tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian, tetapi hanya mempersoalkan masalah cara dan lembaga yang berwenang menyelesaikan “perselisihan” atau perbedaan yang terjadi antara pihak yang berjanji. Jika dihubungkan dengan adanya fatwa Dewan Syariah Nasional, yang menyatakan bahwa setiap akad perbankan syariah, dan usaha-usaha syariah harus mencantumkan klausula arbitrase di dalamnya, dimana didalam Pasal 55 ayat (2) juga mengisyaratkan penyelesaian sengketa terlebih dahulu berdasarkan dengan isi akad. Hal terpenting agar sebuah sengketa, khususnya sengketa antara nasabah dan bank syariah dapat diselesaikan melalui Basyarnas terlebih dahulu para pihak harus membuat klausula arbitrase dalam 177
Andi Tenri Soraya
ISSN 2252-7230
lembaga yang dapat melaksanakan eksekusi yang telah diputuskan oleh Arbitrase Syariah Nasional. Eksistensi kewenangan Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa bisnis syariah sebagaimana yang telah diuraikan diatas, Jika dilihat dari sudut pandang pelaksanaannya, maka eksistensi Basyarnas tidak sepenuhnya independen tanpa keikutsertaan pengadilan negeri terhadap proses arbitrase. Jurisdiksi arbitrase berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 masih sangat lemah. Peraturan tersebut masih sangat jelas memberikan kewenangan lebih terhadap pengadilan negeri dalam mencampuri proses arbitrase. Oleh karena itu, jurisdiksi pengadilan negeri terhadap forum arbitrase dapat dikatakan masih sangat kuat. Akibatnya putusan arbitrase yang disebutkan dalam undangundang itu sebagai putusan yang final dan mengikat para pihak pada dasarnya sama sekali tidak memiliki title eksekutorial tanpa keterlibatanjurisdiksi pengadilan. Di samping arbitrase syariah memiliki keunggulan sebagaimana tersebut diatas, arbitrase juga memiliki kelemahan yaitu sulitnya proses eksekusi putusan arbitrase syariah, dikarenakan title eksekutorial yang tercantum di dalam putusan arbitrase syariah sama sekali tidak mempunyai kekuatan hukum apabila ada salah satu pihak yang bersengketa tidak melaksanakan secara sukarela putusan arbitrase syariah. Hal inilah yang masih membutuhkan peranan dari pengadilan agama untuk memerintahkan kepada pihak yang tidak melaksanakan putusan tersebut untuk dilaksanakan, seharusnya ketika putusan arbitrase syariah tersebut dikeluarkan oleh arbiter syariah harus segera dapat dilaksanakan oleh para pihak karena di dalam isi putusan tersebut memuat titel eksekutorial “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan adanya titel eksekutorial ini, menurut hemat penulis seharusnya tidak memerlukan lagi penetapan pengadilan untuk
memerintahkan pelaksanaan putusan tersebut. Begitu juga halnya jika dikaitkan dengan eksistensi Basyarnas yang secara khusus merupakan sebuah pilihan hukum bagi umat Islam dalam menyelesaikan sengketa bisnis syariah. Permasalahanya adalah apabila salah satu pihak tidak menjalankan putusan tersebut dengan sukarela maka dapat dimintakan eksekusinya melalui Pengadilan Agama, berdasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung poin 4 (empat) Nomor 8 Tahun 2008 tentangEksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. Dalam pelaksanaannya Mahkamah Agung mencoba untuk mengambil suatu inisiatif terhadap benturan perundangundangan tersebut khusunya yang mengatur tentang penyelesaian sengketa bisnis syariah serta aturan yang menjadi payung hukum berdirinya Basyarnas yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Apabila ada salah satu pihak yang bersengketa tidak menjalankan putusan arbitrase syariah tersebut secara sukarela, maka salah satu dari pihak yang bersengketa tersebut dapat meminta kepada pengadilan agama untuk memerintahkan pelaksanaan eksekusi dari putusan arbitrase syariah tersebut berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Abitrase Syariah. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2008, menurut penulis SEMA belum cukup menjadi dasar bagi para pihak untuk melakukan permohonan kepada pengadilan agama untuk memerintahkan pelaksanaan putusan arbitrase syariah kepada pihak yang tidak melaksanakan putusan arbitrase syariah secara sukarela. Perlunya peranan pemerintah dalam mengamandemen UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Abitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa untuk memberikan kepastian bahwa Pengadilan Agama berwenang terhadap eksekusi putusan arbitrase 178
Bisnis Syariah, Basyarnas, Sengketa Bisnis Syariah
syariah. Hal ini sangat diperlukan mengingat lembaga keuangan syariah dalam operasionalnya menggunakan akad yang lahir dari sistem ekonomi syariah sehingga diperlukan konsistensi pelaksanaan ekonomi syariah termasuk dalam penyelesaian sengketa (Imaniyati, 2013). Dengan dikeluarkannya SEMA Nomor 8 Tahun 2008 yang dianggap dapat mengakhiri konflik kewenangan antar lembaga peradilan, dalam kenyataannya tidak. Dikarenakan pemerintah lebih mempertegas lagi kewenangan dari lembaga peradilan umum untuk mengeluarkan perintah pelaksanaan eksekusi putusan Basyarnas dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dinyatakan pada Pasal 59 ayat (3) dan penjelasannya, dan dikeluarkannya SEMA Nomor 8 Tahun 2010 tentang Penegasan Tidak Berlakunya SEMA Nomor 8 Tahun 2008 tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase Syariah. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas yang memuat penegasan terhadap kewenangan lembaga peradilan umum untuk memerintahkan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase syariah, maka semakin menambah panjangnya konflik antara lembaga peradilan terlebih lagi dengan diberikannya kewenangan kepada peradilan agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi.
ISSN 2252-7230
kewenangan dari Basyarnas untuk menyelesaikannya. Prosedur beracara pada Basyarnas pada umumnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dalam pelaksanaannya dianggap masih menimbulkan reduksi terhadap kewenangan lembaga peradilan antara peradilan umum dan peradilan agama dalam hal kewenangan eksekusi putusan Basyarnas. Pemerintahlebih mempetegas lagi kewenangan dari peradilan umum dalam hal memerintahkan pelaksanaan putusan arbitrase syariah, sehingga dianggap tidak relevan terhadap kompetensi antara peradilan umum dan peradilan agama dalam penyelesaian sengketa bisnis syariah berdasarkan prinsip syariah karena masih melibatkan peradilan umum untuk memerintahkan pelaksanaan putusan Basyarnas. Dengan adanya media penyelesaian sengketa bisnis syariah melalui Basyarnas, diharapkan segala perkara yang timbul di bidang perbankan syariah dapat terselesaikan secara maksimal dan memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang bersengketa, sehingga semakin menimbulkan kepercayaan kepada Basyarnas untuk menyelesaikan sengketa yang terkait dengan bisnis syariah demi terciptanya kepastian hukum, dan Basyarnas menjadi salah satu perangkat yang seharusnya berperan penting dalam mendukung perkembangan ekonomi syariah Indonesia. Tantangan ekonomi syariah ke depan lebih besar, sehingga semua langkah konstruktif dan antisipatif harus digagas dan dilakukan sejak dini.Agar implementasi dari pelaksanaan penyelesaian sengketa relevan terhadap prinsip-prinsip syariah dengan lembaga peradilan, maka diharapkan agar pemerintah melakukan revisi terkait undang-undang yang mengatur tentang penyelesaian sengketa syariah khususnya pada penyelesaian sengketa arbitrase syariah pada Basyarnas mengenai eksekusi putusan arbitrase syariah agar
KESIMPULAN DAN SARAN Kewenangan dari Basyarnas dalam menyelesaikan sengketa bisnis syariah dilakukan sesuai dengan isi akad, yaitu berdasarkan perjanjian arbitrase yang termuat di dalam suatu akad baik itu dilaksanakan sebelum terjadinya sengketa (pactum de compromittendo) maupun setelah sengketa terjadi (acta compromise). Berdasarkan hal tersebut sangat jelas bahwa ketika telah diperjanjikan dalam sebuah akad yang memuat klausula arbitrase, maka menjadi
179
Andi Tenri Soraya
ISSN 2252-7230
dapat dilaksanakan oleh pengadilan agama sebagaimana kewenangan yang diberikan kepada peradilan agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Sehingga hakikat perbankan syariah semakin memberikan kemaslahatan bagi umat manusia pada umumnya.
(Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis), Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. Harahap Yahya M, (2001), Arbitrase, Jakarta, Sinar Grafika. Imam Khotibul,(2010), Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan. Yogyakarta: PT. Pustaka Yustisia. Imaniyati Sri Neni, (2013), Perbankan Syariah Dalam Perspektif Hukum Ekonomi, Bandung, Mandar Maju. Triana Diah Niken, (2011), “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) Dihubungkan Dengan UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”Universitas Indonesia. Variza Arviani Vinny, (2011), “Kekuatan Mengikat Putusan Basyarnas Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Semarang Jawa Tengah”, Universitas Islam Indonesia Jogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA Anshori Ghofur Abdul, (2009), Hukum Perbankan Syariah:UU No.21 Tahun 2008, Bandung, PT.Refika Aditama. Anshori Ghofur Abdul, (2010), Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, Gadjah Mada University Press. Asyhadie Zaeni, (2005), Hukum Bisnis:Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta, PT.Raja Grafindo. Djamil Faturrahman, (2012), Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, Jakarta, Sinar Grafika. Fuady Munir, (2003), Arbitrase Nasional
180