“Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016
Agus Prihartono dan Rani Sri Agustina
LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA (LAPSPI) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PADA PERBANKAN Oleh Agus Prihartono P.S. Rani Sri Agustina *)
Abstrak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membentuk lembaga khusus penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan bernama Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS). LAPS yang dibentuk oleh OJK dan Kementerian Perdagangan ini merupakan bentuk fasilitas dan pelayanan terhadap konsumen yang memerlukan mekanisme layanan pengaduan dan penyelesaian sengketa secara cepat, murah, adil, dan efisien. salah satunya yaitu Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI). Pendirian LAPSPI tidak terlepas dari kenyataan bahwa dalam penyelesaian pengaduan Konsumen oleh Lembaga Perbankan seringkali tidak tercapai kesepakatan antara Konsumen dengan Lembaga Perbankan. Mekanisme penyelesaian sengketa di LAPSPI dilakukan secara mediasi, ajudikasi, maupun arbitrase. Kata Kunci : Perbankan, Sengketa A. PENDAHULUAN Mengamati kegiatan bisnis perbankan yang jumlah transaksinya ratusan setiap hari, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/ difference) antar pihak yang terlibat. Hubungan hukum nasabah dengan bank yang berkaitan dengan perjanjian kedua pihak merupakan masalah keperdataan yang berpotensi menimbulkan sengketa apabila salah satu pihak ingkar janji atau wanprestasi. Sengketa keperdataan antara bank nasabah timbul dari transaksi keuangan yang dilakukan oleh kedua pihak. Secara umum sengketa keperdataan ialah sengketa yang terjadi dalam wilayah hukum kebendaan dan perorangan yang disebabkan oleh salah satu pihak melanggar asas kepentingan publik. Sengketa ini biasanya muncul akibat tidak terpenuhinya asas-asas
hukum perikatan. Selama ini jika timbul sengketa perdata maka penyelesaiannya dilakukan melalui proses hukum perdata materiil melalui tuntutan hukum oleh salah satu pihak yang merasa dirugikan ke lembaga yang berwenang yaitu pengadilan. Pada hakikatnya, sengketa ini dapat muncul karena adanya suatu masalah. Masalah ini sendiri terjadi karena adanya suatu kesenjangan antara das sollen dan das sein, atau dapat pula terjadi karena adanya perbedaan antara hal yang diinginkan dengan hal yang terjadi. Setiap jenis sengketa yang terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang cepat. Makin banyak dan luas kegiatan perdagangan, frekuensi terjadi sengketa makin tinggi, hal ini berarti sangat mungkin makin banyak sengketa yang harus diselesaikan. Penyelesaian sengketa bisnis pada era globalisasi dengan ciri “moving
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Tirtayasa Serang Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
15
“Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016
quickly”, menuntut cara-cara yang “informal procedur and be put in motion quickly”.1 Praktek perbankan selama ini dalam menyelesaikan sengketa belum banyak mempergunakan proses nonlitigasi. Hal ini dapat dilihat dari perjanjian-perjanjian yang dibuat antara bank dan nasabah yang tidak mencantumkan klasul seperti arbitrase, mediasi, dan sebagainya seperti yang dikemukakan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam keadaan demikian, penyelesaian sengketa memakan waktu yang lama selain itu juga posisi para pihak yang bersengketa sangat antagonistis (saling berlawanan satu sama lain). Menurut penulis penyelesaian sengketa melalui pengadilan seharusnya semata-mata hanya sebagai jalan yang terakhir (ultimatum remedium) setelah alternatif lain dinilai tidak membuahkan hasil. OJK sebagai lembaga otoritas tertinggi di lembaga keuangan termasuk perbankan, menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan; Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan; dan Surat Edaran OJK No 2/SOJK.07/2014 Tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Jasa Keuangan, untuk selanjutnya disebut peraturan OJK. Walaupun demikian, peraturan OJK tidak mencabut keberlakuan peraturan BI selama ketentuan-ketentuan dalam peraturan 1
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 280-281
Agus Prihartono dan Rani Sri Agustina
BI tidak bertentangan dengan peraturan OJK. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membentuk lembaga khusus penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan bernama Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS). LAPS yang dibentuk oleh OJK dan Kementerian Perdagangan ini merupakan bentuk fasilitas dan pelayanan terhadap konsumen yang memerlukan mekanisme layanan pengaduan dan penyelesaian sengketa secara cepat, murah, adil, dan efisien. Saat ini, sudah ada 7 LAPS. Namun yang beroperasi baru ada 6, yaitu Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP), Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI), Badan Mediasi Pembiayaan dan Pegadaian Indonesia (BMPPI), Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (BAMPPI), dan Badan Arbitrase Ventura Indonesia (BAVI). Khusus Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI), memiliki 143 anggota yang terdiri dari 18 Bank Umum baik konvensional maupun syariah sebanyak 118 bank, dan 25 perwakilan Bank Perkreditan Rakyat/Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPR/BPRS) yang terdaftar pada dan memiliki izin usaha perbankan dari instansi yang berwenang. Perwakilan BPR/BPRS tersebut terdiri dari, 1 Dewan Perwakilan Pusat dan 14 Dewan Perwakilan Daerah Seluruh Indonesia. Sesuai dengan Anggaran Lembaga, maka setiap Lembaga Jasa Keuangan di sektor Perbankan yang memiliki ijin usaha Perbankan, secara otomatis menjadi anggota Perkumpulan dan akan dicatat dalam Daftar Anggota. Dibentuknya Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa oleh OJK
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
16
“Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016
merupakan prestasi yang patut diapresiasi. Mengingat Bank Indonesia sebagaimana diamatkan oleh API tidak berhasil membentuk Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Bidang Perbankan. Diharapkan dengan adanya LAPSPI menjadi wadah untuk memaksimalkan penyelesaian sengketa melalui jalur nonlitigasi atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa B. PEMBAHASAN 1. Tinjauan Umum Alternatif Lembaga Penyelesaian Sengketa Hubungan bisnis atau usaha tidak akan terlepas dari suatu konflik atau sengketa. Secara konseptual istilah konflik atau sengketa tidaklah berbeda. Kedua istilah tersebut dapat dideskripsikan sebagai situasi dan kondisi dimana orang-orang sedang mengalami perselisihan yang bersifat faktual maupun perselisihan-perselisihan yang ada pada persepsi mereka (para pihak) saja. 2 Menurut Rahmadi Usman, sengketa adalah pertentangan antara kedua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya3. Melalui proses non litigasi atau di luar pengadilan, para pihak dapat menghasilkan kesepakatan yang bersifat “win-win solution”, kerahasiaan para pihak yang bersengketa dapat terjaga berbeda dengan proses persidangan karena keputusan hakim dapat dipublikasikan, prosesnya lebih cepat karena tidak ada hal-hal prosedural 2
3
Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa melalui Pendekatan Mufakat, Jakarta : Rajawali Pers, 2011, hlm. 1 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2013, hlm. 3.
Agus Prihartono dan Rani Sri Agustina
dan administratif yang harus dipenuhi, dan dapat menjaga hubungan baik para pihaknya. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dinamakan juga dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau Alternative Dispute Resolution selanjutnya disebut ADR. Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli (Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Bentuk penyelesaian sengketa yang bersifat non litigasi (Alternative Dispute Resolution/ADR) saat ini mulai dikembangkan sebagai bentuk alternatif yang lebih dianjurkan bagi mereka yang sedang terlibat sengketa. Mengapa demikian? Berdasarkan beberapa asumsi, proses litigasi memiliki banyak kekurangan dan kelemahan, sebagaimana dikemukakan oleh M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan menyebutkan beberapa kelemahan dari proses litigasi antara lain: 1. Penyelesaian sengketa lambat; 2. Biaya perkara mahal; 3. Peradilan tidak tanggap (unresponsive): 4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah; 5. Putusan pengadilan membingungkan; 6. Putusan pengadilan tidak memberi kepastian hukum;
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
17
“Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016
7. Kemampuan para hakim bercorak generalis.4 Pengembangan ADR dilatarbelakangi oleh kebutuhan sebagai berikut: 1. Mengurangi kemacetan di pengadilan. Banyaknya kasus yang diajukan ke Pengadilan menyebabkan proses pengadilan sering kali berkepanjangan, sehingga memakan biaya yang tinggi dan sering memberikan hasil yang kurang memuaskan; 2. Meningkatkan ketertiban masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa; 3. Memperlancar serta memperluas akses ke pengadilan; 4. Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan dan memuaskan semua pihak.5 Adapun bentuk-bentuk ADR, 6 yaitu: 1. The Binding Adjudicative Procedure, dimana prosedur ini mengikat karena prosedur ini biasanya menghasilkan keputusan yang mengikat tentang hak-hak dari pihak yang diputuskan oleh pihak ketiga yang netral. Jenis-jenis ADR dalam bentuk tersebut adalah: a. Arbitrase: penyelesaian sengketa (umumnya dagang) melalui proses tersebut ditentukan oleh pihak yang berperkara. 4
5
6
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cetakan ke lima, Jakarta : Sinar Grafika,2007, hlm.: 233-235 William Ury.J.M Brett dan S.B. Golderg, Getting Disputes Resolved sebagaimana dikutip Susanti Adi Nugroho, Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Tangerang : Telaga Ilmu Indonesia, 2009, hlm. 7 Ibid, hlm. 12.
Agus Prihartono dan Rani Sri Agustina
b. Med-Arb (Mediation-Arbitration): penyelesaian sengketa dimulai dari proses mediasi oleh mediator yang netral dan apabila kemudian ternyata terdapat halhal teknis yang tidak dapat tercapai keputusan bersama para pihak, maka sengketa tersebut dapat dilanjutkan melalui proses arbitrase. c. Hakim Parkulir: pemeriksaan isu tertentu atau keseluruhan di depan hakim partikulir, wasit melalui penunjukan atau persetujuan para pihak. 2. The Non Binding Adjudicative Procedures, Prosedur ini tidak mengikat dan murni berupa pemberian nasehat. Prosedur ini tergantung sepenuhnya kepada kerelaan para pihak dan sering kali dilakukan oleh bantuan pihak ketiga yang bersifat netral (tidak memihak). Jenis ADR dalam bentuk ini, yaitu: a. Konsiliasi: dimana konsiliator bertindak sebagi penengah dengan kesepakatan para pihak dan mengusahakan solusi yang dapat diterima para pihak. Misalnya pada sengketa anakanak, sengketa kecil antar tetangga dan lain sebagainya. b. Mediasi: Mediator sebagai pihak yang membantu para pihak mencapai penyelesaian atas dasar kesepakatan atau pemahaman atau pengertian akan perbedaan pendapat para pihak. 2. Peran LAPSPI dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Pendirian Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengeta Perbankan Indonesia (LAPSPI) tidak terlepas dari kenyataan bahwa dalam penyelesaian pengaduan Konsumen oleh Lembaga Perbankan seringkali tidak tercapai
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
18
“Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016
kesepakatan antara Konsumen dengan Lembaga Perbankan. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan yang ditangani oleh orangorang yang memahami dunia perbankan dan mampu menyelesaikan sengketa secara cepat, murah, adil, dan efisien.7 Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) berhasil dibentuk berdasarkan Nota Kesepakatan Bersama tertanggal 5 Mei 2015 untuk membentuk Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) dibentuk oleh bank-bank Yang dikoordinasikan oleh asosiasi di sektor perbankan yaitu Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda), Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), dan Asosiasi Bank Internasional (Asbi).8 LAPSPI memberikan jasa penyelesaian sengketa melalui mekanisme penyelesaian di sengketa luar pengadilan (out-of-court dispute settlement), yang meliputi Mediasi, Ajudikasi dan Arbitrase. Penyelesaian sengketa yang dapat diselesaikan oleh LAPSPI harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Merupakan sengketa perdata yang timbul di antara para pihak di bidang atau terkait dengan perbankan b. Terdapat kesepahaman di antara para pihak yang bersengketa bahwa sengketa akan diselesaikan melalui LAPSPI 7 8
https://lapspi.org/profile/latar-belakang/ diakses pada tanggal 2 April 20117 Ibid
Agus Prihartono dan Rani Sri Agustina
c.
Ada permohonan tertulis (pendaftaran perkara) dari pihak-pihak yang bersengketa kepada LAPSPI d. Bukan merupakan sengketa perkara dalam ruang lingkup hukum pidana dan atau hukum administratif. Penyelesaian sengketa di LAPSPI diatur dalam Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia No 7/LAPSPI-PER/2015 Tentang Peraturan dan Prosedur mediasi, Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia No 8/LAPSPI-PER/2015 Tentang Peraturan dan Prosedur Ajudikasi, Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia No 9/LAPSPI-PER/2015 Tentang Peraturan dan Prosedur Arbitrase, dan Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia No 10/LAPSPI-PER/2015 Tentang Kode Etik Mediator/Ajudikator/Arbiter. Ruang lingkup penyelesaian sengketa di LAPSPI meliputi :9 1. Mediasi Perjanjian Mediasi dapat dibuat dengan cara sebagai berikut : a. Sebelum terjadinya sengketa; yang tertuang dalam klausula penyelesaian sengketa dari perjanjian pokok antara Bank dengan nasabah b. Setelah terjadinya sengketa : - Dibuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh Para Pihak; - Dalam bentuk pernyataan Para Pihak di hadapan persidangan Arbitrase LAPSPI. Dalam hal pengajuan Mediasi dibuat dalam bentuk pernyataan sebagaimana dimaksud dalam butir b 9
www.lapspi.org
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
19
“Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016
di atas, maka perjanjian tersebut cukup dibuktikan dengan Berita Acara Persidangan Arbitrase LAPSPI. Perjanjian Mediasi memuat pernyataan bahwa Para Pihak bersedia untuk terikat, tunduk dan melaksanakan setiap dan semua kesepakatan yang mungkin dicapai dalam Mediasi LAPSPI, serta menanggung biaya-biaya yang diperlukan dalam Mediasi. LAPSPI, atas permintaan salah satu Pihak, dapat memfasilitasi pertemuan antara Para Pihak dalam rangka membuat Perjanjian Mediasi. Perundingan Mediasi dalam LAPSPI dimulai selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah tanggal menerima surat keputusan pengangkatan Mediator, dan berlangsung paling lama 30 (tigapuluh) hari. Atas kesepakatan Para Pihak dan Mediator perundingan Mediasi dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari lagi. Proses mediasi dilaksanakan secara efisien dan sungguh-sungguh sehingga Para Pihak dapat mencapai Kesepakatan Perdamaian. Mediator harus mengambil inisiatif untuk memulai pertemuan, mengusulkan jadwal dan agenda pertemuan kepada Para Pihak untuk dibahas dan disepakati. Disamping itu Mediator harus mendorong Para Pihak untuk secara langsung terlibat dan berperan aktif dalam: a. Proses Mediasi secara keseluruhan; b. Menelusuri dan menggali kepentingan Para Pihak; dan c. Mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi Para Pihak. Apabila menganggap perlu, Mediator dapat melakukan Kaukus dengan persetujuan terlebih dahulu Para Pihak, dan dengan persetujuan dan biaya Para Pihak, Mediator dapat mengundang 1 (satu) atau lebih ahli
Agus Prihartono dan Rani Sri Agustina
dalam bidang tertentu dan/atau pihak ketiga lainnya untuk memberikan keterangan. Para Pihak harus menghadiri pertemuan perundingan yang diselenggarakan oleh Mediator dan tidak boleh diwakilkan hanya oleh kuasa hukumnya. Jika dipandang perlu oleh Mediator untuk kelancaran proses perundingan, Mediator dapat membatasi kehadiran kuasa hukum Para Pihak. Dalam hal suatu Pihak merupakan badan hukum, maka harus diwakili oleh pengurusnya dan/atau pegawainya yang sah dan berwenang atau berdasarkan surat kuasa khusus, untuk: a. Mewakili badan hukum; b. Mengambil keputusan untuk dan atas nama badan hukum; dan c. Membuat perdamaian untuk dan atas nama badan hukum. Acara perundingan, Kaukus dan mendengar keterangan ahli/pihak ketiga dilakukan dalam bentuk pertemuan tatap muka langsung atau dapat melalui sarana teknologi informasi (seperti telepon, telekonferensi dan/ atau videokonferensi). Selama belum tercapai Kesepakatan Perdamaian, salah satu Pihak dapat menyatakan mundur dari proses Mediasi kepada Mediator, dengan tembusan Pihak lain dan Pengurus, jika terdapat alasan dan bukti yang kuat bahwa Pihak lain menunjukkan itikad tidak baik dalam menjalani proses Mediasi. Dalam proses mediasi ada 2 kemungkinan, yakni berhasil atau gagal. Mediasi dikatakan berhasil apabila proses Mediasi berujung kepada ditandatanganinya Kesepakatan Perdamaian di antara para pihak. Apabila para pihak menghendaki Kesepakatan Perdamaian tersebut memiliki kekuatan eksekutorial, maka Kesepakatan Perdamaian tersebut dapat dituangkan ke dalam Akta Perdamaian (Acta Van
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
20
“Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016
Dading) oleh Majelis Arbitrase/Arbiter Tunggal apabila Mediasi tersebut dilaksanakan dalam kerangka proses Arbitrase. Akta Perdamaian tersebut memiliki kekuatan hukum sebagaimana layaknya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun apabila proses Mediasi berlangsung di luar proses Arbitrase dan para pihak menghendaki Kesepakatan Perdamaian tersebut memiliki kekuatan eksekutorial (lebih dari sekedar kekuatan suatu perjanjian), maka salah satu pihak dapat mengajukan permohonan Arbitrase kepada LAPSPI yang di dalam petitumnya meminta kepada Majelis Arbitrase/Arbiter Tunggal untuk menghukum para pihak menaati kesepakatan perdamaian yang telah dibuat oleh para pihak. Selanjutnya Majelis Arbitrase/Arbiter Tunggal akan menjatuhkan putusan dengan amar sebagaimana yang dituntut oleh pemohon, sehingga perdamaian tersebut memiliki kekuatan eksekutorial karena tertuang dalam putusan Arbitrase. Jika Para Pihak tidak menghendaki Kesepakatan Perdamaian dikuatkan dalam bentuk Akta Perdamaian, maka Kesepakatan Perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan/atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai. Mediasi dikatakan gagal apabila perundingan mengalami jalan buntu (deadlock) dan para pihak tidak mau melanjutkannya. Apabila kegagalan ini terjadi, maka proses penyelesaian diserahkan kembali kepada masingmasing pihak, apakah selanjutnya akan memilih jalur Arbitrase atau Pengadilan. Apabila Mediasi tersebut diselenggarakan dalam kerangka proses Arbitrase, maka Majelis Arbitrase/ Arbiter Tunggal melanjutkan kembali persidangan Arbitrase. Apabila ada Pihak yang tidak mematuhi atau melaksanakan Kesepakatan Perdamaian dalam jangka waktu yang disepakati
Agus Prihartono dan Rani Sri Agustina
dalam kesepakatan tersebut, Pihak lain dapat melakukan teguran tertulis kepada Pihak yang ingkar dengan tembusan kepada LAPSPI. Setelah menerima tembusan surat tersebut maka Pengurus LAPSPI akan menyampaikan teguran tertulis kepada Pihak yang ingkar, dengan tembusan kepada Pihak lain dan kepada Asosiasi Perbankan serta Otoritas Jasa Keuangan. Apabila telah lewat masa 7 (tujuh) hari terhitung setelah tanggal disampaikannya surat teguran masih juga diingkari, maka Pengurus dan/atau Pihak lain menyampaikan kembali teguran tertulis kedua kepada Pihak yang ingkar, dengan tembusan kepada Asosiasi Perbankan serta Otoritas Jasa Keuangan. Pihak yang berkepentingan atas pelaksanaan Kesepakatan Perdamaian berhak melakukan upaya hukum terhadap Pihak yang ingkar sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 2. Ajudikasi Ajudikasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar Arbitrase dan Peradilan umum yang dilakukan oleh Ajudikator untuk menghasilkan suatu putusan yang dapat diterima oleh Pemohon sehingga dengan penerimaan tersebut maka putusan tersebut mengikat Pihak Termohon. Ajudikator adalah seorang atau lebih yang ditunjuk menurut Peraturan dan Prosedur Ajudikasi LAPSPI untuk memeriksa perkara dan memberikan putusan Ajudikasi mengenai sengketa tertentu yang diajukan penyelesaiannya kepada Ajudikasi LAPSPI. Dalam pembahasan mengenai Alternative Dispute Resolution (ADR), yang termasuk dalam mekanisme Ajudikasi adalah Pengadilan dan Arbitrase, karena disana ada putusan yang dijatuhkan oleh Otoritas yang berwenang (Hakim/Arbiter) dan putusannya bersifat mengikat.
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
21
“Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016
Sedangkan yang termasuk dalam mekanisme Non-Adjudikasi adalah negosiasi, mediasi, konsiliasi dan sebagainya, yang di sana tidak ada suatu putusan (melainkan suatu kesepakatan damai yang dibuat secara sukarela oleh para pihak). Perkembangannya “Ajudikasi” dipergunakan untuk mekanisme ADR yang karakteristiknya mirip dengan Arbitrase. Dapat dikatakan bahwa Ajudikasi adalah mekanisme Arbitrase yang disederhanakan dan kemudian dicustomised sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan penyelesaian sengketa yang ritel dan kecil (retail & small claim), karena sengketa ritel dan kecil tersebut akan sangat tidak efisien jika diselesaikan melalui Arbitrase. PERJANJIAN AJUDIKASI a. Syarat terpenting untuk dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa kepada Ajudikasi LAPSPI adalah adanya suatu Perjanjian Ajudikasi antara para pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan Perjanjian Ajudikasi adalah kesepakatan tertulis para pihak bahwa persengketaan di antara para pihak akan diselesaikan melalui Ajudikasi LAPSPI. b. Perjanjian Ajudikasi dibuat oleh Para Pihak hanya setelah upaya penyelesaian sengketa melalui Mediasi tidak mencapai Kesepakatan Perdamaian. c. Perjanjian Ajudikasi dibuat oleh Para Pihak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung setelah Mediator menghentikan proses Mediasi. Apabila Para Pihak belum membuat Perjanjian Ajudikasi hingga melewati batas waktu tersebut, maka persengketaan Para Pihak tersebut sudah tidak dapat
d.
e.
Agus Prihartono dan Rani Sri Agustina
lagi diajukan penyelesaiannya kepada Ajudikasi LAPSPI. LAPSPI atas permintaan salah satu Pihak dapat memfasilitasi pertemuan antara Para Pihak dalam rangka membuat Perjanjian Ajudikasi. Setelah menandatangani Perjanjian Ajudikasi, maka : - Pemohon terikat dengan Peraturan Dan Prosedur Ajudikasi LAPSPI - Termohon terikat Peraturan Dan Prosedur ini dan Putusan Ajudikasi yang akan diputuskan nanti walaupun Termohon tidak datang atau tidak berpartisipasi dalam proses Ajudikasi. - Pihak yang akan menjadi Pemohon dalam proses Ajudikasi harus segera mengajukan Permohonan Ajudikasi kepada LAPSPI dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung setelah ditandatanganinya Perjanjian Ajudikasi. Penunjukan ajudikator, Berbeda dengan pada Arbitrase LAPSPI yang memungkinkan menunjuk orang di luar yang tercatat dalam Daftar Arbiter Tetap LAPSPI sebagai Arbiter dalam suatu perkara (arbiter ad hoc), sedangkan dalam Ajudikasi LAPSPI Pengurus hanya menunjuk Ajudikator yang tercantum dalam Daftar Ajudikator Tetap LAPSPI saja.
3. Arbitrase Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata bidang perbankan dan yang terkait bidang perbankan di luar peradilan umum, yang diselenggarakan LAPSPI dengan menggunakan Peraturan dan Prosedur Arbitrase LAPSPI. Arbiter adalah seorang atau lebih yang merupakan Arbiter Tetap LAPSPI atau Arbiter Tidak Tetap LAPSPI yang
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
22
“Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016
ditunjuk menurut Peraturan dan Prosedur LAPSPI sebagai Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase untuk memeriksa perkara dan memberikan Putusan Arbitrase mengenai sengketa tertentu yang diajukan penyelesaiannya kepada Arbitrase LAPSPI. Berdasarkan definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa Arbitrase LAPSPI pada hakekatnya mirip dengan Pengadilan. Sedangkan Arbiter dalam proses Arbitrase adalah mirip hakim pada proses litigasi. Yang membedakannya adalah sebagai berikut : a. Arbitrase merupakan pilihan dan kesepakatan para pihak yang bersengketa; b. Proses Arbitrase baru dapat dilaksanakan setelah ada permohonan dari pihak yang bersengketa kepada LAPSPI; c. Para pihak berhak menentukan apakah Arbiter akan berjumlah satu (Arbiter Tunggal) atau lebih (Majelis Arbitrase); d. Para pihak bebas menentukan tempat Arbitrase; e. Para pihak berhak memilih Arbiter, yang dipilih berdasarkan keahliannya f. Persidangan Arbitrase berlangsung tertutup untuk umum; g. Putusan Arbitrase tidak mengenal preseden atau yurisprudensi; h. Arbiter dapat mengambil keputusan atas dasar keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono), tidak sematamata atas dasar ketentuan hukum; i. Putusan Arbitrase tidak dapat diajukan banding; j. Putusan Arbitrase tidak terbatasi oleh batas yurisdiksi negara. k. Kelebihan Arbitrase adalah murah, efisien dan cepat. Syarat terpenting untuk dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melalui Arbitrase LAPSPI
Agus Prihartono dan Rani Sri Agustina
adalah adanya Perjanjian Arbitrase antara para pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan Perjanjian Arbitrase adalah kesepakatan tertulis para pihak bahwa persengketaan di antara para pihak akan diselesaikan melalui Arbitrase LAPSPI. Perjanjian Arbitrase dapat dituangkan ke dalam bentuk : a. Salah satu pasal di dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa (Klausula Arbitrase); atau b. Perjanjian tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Para pihak yang telah terikat dengan Perjanjian Arbitrase tidak mempunyai hak untuk mengajukan penyelesaian sengketa ke Pengadilan Negeri, dan dalam hal ini pun Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dengan Perjanjian Arbitrase. Dalam hal penunjukan arbiter, Arbiter adalah orang perorangan yang karena kompetensi dan integritasnya dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memeriksa dan memberikan putusan atas sengketa yang bersangkutan. Para pihak berhak menunjuk Arbiter, dan Arbiter pun berhak untuk menerima atau menolak penunjukan tersebut. Dalam proses Arbitrase LAPSPI, para pihak harus menyepakati terlebih dahulu bentuk Arbitrase, apakah akan berbentuk Arbiter Tunggal atau berbentuk Majelis Arbiter (berjumlah 3 orang Arbiter atau lebih, dan harus berjumlah ganjil). Peraturan LAPSPI memiliki banyak kelebihan karena mengatur secara mendetail misalnya mengenai biaya layanan penyelesaian sengketa baik mediasi, ajudikasi maupun arbitrase, seperti biaya pendaftaran; biaya sengketa; dan biaya mediator/ajudikator/ arbiter, hal ini tentunya sangat
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
23
“Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016
membantu para pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketanya, karena para pihak dapat memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi saat proses mediasi/ ajudikasi/arbitrase berlangsung. Selain itu, Peraturan LAPSPI juga mengatur secara mendetail mengenai benturan kepentingan. Benturan kepentingan yang dimaksud adalah adanya hubungan kekerabatan antara mediator/ ajudikator/arbiter dengan salah satu pihak. Sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa, LAPSPI menjamin dan menjunjung tinggi integritas, kemandirian dan imparsialitas para Mediator/ Ajudikator/Arbiternya, sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik Mediator/Arbiter LAPSPI. Seorang Mediator/Ajudikator/Arbiter LAPSPI tidak diperkenankan untuk menangani sengketa apabila yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan kasus yang ditangani atau dengan salah satu pihak yang bersengketa atau kuasa hukumnya. Jika diketahui ternyata terdapat benturan kepentingan antara Mediator/Ajudikator/Arbiter dengan para pihak, maka Mediator/Ajudikator/Arbiter yang bersangkutan harus diganti dengan yang lain yang tidak memiliki benturan kepentingan.10 Peraturan LAPSPI juga mengatur secara khusus mengenai mediasi/ ajudikasi/arbitrase untuk Nasabah Basic Saving Accounts dan nasabah UMKM. Nasabah bank Saving Accounts adalah tabungan yang dimiliki oleh nasabah yang hanya mempunyai jumlah saldo kecil dan tertentu sebagaimana diatur oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan maupun Bank Indonesia.
10
Ibid
Agus Prihartono dan Rani Sri Agustina
Dengan segala kelebihan dari LAPSPI yang memudahkan penyelesaian sengketa di bidang perbankan, satu hal yang menjadi catatan dari penulis adalah jumlah mediator dan ajudikator yang masih sedikit, mengingat untuk mediasi dan ajudikasi, tidak dibentuk secara ad-hok tetapi menggunakan mediator dan ajudikator yang terdapat di dalam LAPSPI, sedangkan untuk arbitrase dapat memilih arbiter diluar yang sudah disiapkan LAPSPI. Jumlah mediator hanya 2 (dua) orang dan judikator merangkap arbiter berjumlah 6 (enam orang). Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan tidak optimalnya LAPSPI menyelesaikan sengketa antara nasabah dan bank, mengingat semakin hari semakin tinggi intensitas kegiatan perbankan yang memungkinkan timbulnya sengketa. Karena berdirinya LAPSPI masih baru yaitu pada Januari 2016, kita mengharapkan LAPSPI berjalan dengan efektif dan dapat lebih memberikan perlindungan hukum bagi nasabah yang memilih LAPSPI sebagai lembaga penyelesaian sengketa di bidang perbankan C. PENUTUP Sengketa yang dapat diselesaikan melalui LAPSPI haruslah berupa sengketa perdata yang timbul di antara para pihak terkait dengan perbankan yang sebelumnya sudah diselesaikan pada LJK (Lembaga Jasa Keuangan) yang bersangkutan berdasarkan POJK No. 1/2013 yang mewajibkan setiap bank untuk memiliki unit yang dibentuk secara khusus di setiap kantor bank untuk menangani dan menyelesaikan pengaduan yang diajukan oleh konsumen tanpa dipungut bayaran. Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa perbankan melalui LAPSPI ialah berupa Mediasi, Ajudikasi, dan Arbitrase. Mediasi adalah cara penyelesaian
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
24
“Supremasi Hukum” Volume 12 Nomor 2, Juli 2016
sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan perdamaian dengan dibantu oleh mediator. Ajudikasi adalah cara penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh ajudikator untuk menghasilkan suatu putusan yang dapat diterima oleh pemohon sehingga dengan penerimaan tersebut maka putusan tersebut mengikat pihak termohon. Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata bidang perbankan dan yang terkait bidang perbankan di luar peradilan umum, yang diselenggarakan oleh LAPSPI dengan menggunakan peraturan dan prosedur LAPSPI.
Agus Prihartono dan Rani Sri Agustina
Sumber lain : Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia No 7/LAPSPI-PER/2015 Tentang Peraturan dan Prosedur mediasi
D. DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia No 8/LAPSPIPER/2015 Tentang Peraturan dan Prosedur Ajudikasi
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997.
Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia No 9/LAPSPIPER/2015 Tentang Peraturan dan Prosedur Arbitrase
-------, Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Cetakan ke lima, Jakarta : Sinar Grafika,2007.
Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia No 10/LAPSPIPER/2015 Tentang Kode Etik Mediator/Ajudikator/Arbiter.
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2013.
https://lapspi.org/profile/latarbelakang/diakses pada tanggal 2 April 20117
Susanti Adi Nugroho, Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Tangerang : Telaga Ilmu Indonesia, 2009. Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa melalui Pendekatan Mufakat, Jakarta : Rajawali Pers, 2011.
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
25