ANALISIS KRITIS PERANAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN Oleh: Miftahul Haq Dosen Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning Alamat : Jl. Yos Sudarso km 8 Rumbai Pekanbaru Email:
[email protected] Abstrak
Keberadaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah memberikan angin segar bagi masyarakat Indonesia ditengah-tengah kondisi maraknya praktik usaha produsen yang banyak merugikan konsumen. Kenyataan ini membutuhkan peningkatan upaya untuk melindungi konsumen, sehingga konsumen mendapat perlindungan yang sewajarnya dan memadai. Pada prinsipnya, UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur dua cara penyelesaian sengketa konsumen, yakni litigasi (peradilan/pengadilan) dan non litigasi (di luar peradilan/pengadilan). Penyelesaian sengketa di luar pengadilan diatur dalam Bab XI UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kemudian lembaga yang menyelesaikan sengketa konsumen ialah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Penelitian ini bersifat penelitian hukum normatif. Metode yang dipergunakan dengan cara kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bertujuan untuk menyelesaikan setiap sengketa konsumen, antara konsumen dengan pelaku usaha. Namun dalam praktiknya, terdapat kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan kelemahan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Secara substansi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memuat pasal-pasal yang bersifat multitafsir, kontradiktif, dan sedikit memuat aturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu, tugas dan kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen kurang maksimal dalam menyelesaikan sengketa konsumen dan terbatas keberadaannya hanya di Kota/Kabupaten di Indonesia. Kata kunci: UU Perlindungan Konsumen, BPSK sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
Abstract
The existence of the Law Number 8 of 1999 on Consumer Protection provides an opportunities for the people in Indonesia to against the consumer’s right among the harm business practices. This fact requires the increasing of the effort to protect consumers’ right in order to make the consumers get the reasonable and adequate protection. Basically, Law Number 8 of 1999 on Consumer Protection set up two ways of consumer dispute settlements, namely litigation (judicial / court) and non-litigation (outside judicial/court). Dispute resolution outside the
1
court set out in Chapter XI of Law Number 8 of 1999 on Consumer Protection. Then, the institution is called as Consumer Dispute Settlement Board. This study was a legal research. The method was applied by library research. The results showed that Consumer Protection Law aims to settle any disputes consumers between consumers and producers. However, there are weaknesses in the implementation of Consumer Protection Law as well as the Consumer Dispute Settlement Board. Law Number 8 of 1999 on Consumer Protection contains multiple interpretations, contradictory, and less government regulation for the implementation of Law Number 8 of 1999 on Consumer Protection. In addition, the authorities of the Consumer Dispute Settlement Board in consumer dispute settlement are less effective and only limited in presence in region of the City in Indonesia. Keywords: Consumer Protection Act, Consumer Dispute Settlement, Consumer Dispute Settlement Board
Pendahuluan Keberadaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen membawa angin segar ditengah-tengah kondisi konsumen yang banyak dirugikan dalam praktek usaha yang dilakukan oleh Pelaku Usaha. Kondisi Konsumen yang banyak dirugikan tersebut memerlukan peningkatan upaya untuk melindunginya, sehingga diharapkan Undang-undang Perlindungan Konsumen ini dapat memberikan proteksi kepada Konsumen di Indonesia. Pada dasarnya Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen dilatarbelakangi oleh posisi konsumen-pelaku usaha yang pada praktiknya tidak seimbang posisi pelaku usaha yang menawarkan, menjual, dan mempromosikan produknya menjadikan dirinya lebih kuat dibandingkan konsumen.1 Hal ini bisa terjadi, ditunjang dari kebutuhan informasi pada saat tahap pra transaksi, sedikitnya pilihan atas produk-produk lain, keterbatasan pengetahuan, promosi produk yang membingungkan, dan kemampuan pendidikan konsumen untuk mencerna kalimat-kalimat reklame da lain-lain, yang menyebabkan posisi konsumen terhadap pelaku usaha semakin melemah.2 Dengan begitu rendahnya posisi tawar (bargaining position) konsumen terhadap pelaku usaha selama ini dalam praktiknya, yang berdampak kerugian di sisi konsumen ditambah belum adanya satupun regulasi di Indonesia yang memberikan proteksi kepada konsumen di Indonesia sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 ini, maka ketika undang-undang ini lahir dan diterapkan di tengah-tengah masyarakat selaku konsumen, muncul harapan yang begitu besar terhadap undang-undang ini. Hal tersebut dapat dilihat dengan ditetapkannya setiap tanggal 20 April menjadi Hari Konsumen Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2012. Tentu saja Keputusan Presiden tersebut merujuk kepada tanggal diterbitkannya Undang-undang Perlindungan Konsumen itu sendiri pada tanggal 20 April 1999 dan berlaku efektif setelah satu tahun kemudian, yakni pada tanggal 21 1
N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Jakarta: Penerbit Panta Rei, 2005), hlm. 36. 2
Danirwara, Perlindungan Hukum Indonesia Terhadap Konsumen atas Iklan-Iklan yang Menyesatkan dalam Era Globalisasi, Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis, Vol. 3, No. 1, April 2012, hlm. 29.
2
April 2000. Penetapan Hari Konsumen Nasional tersebut bertujuan agar banyak pihak termotivasi dengan membangun konsumen yang cerdas dan pebisnis/pelaku usaha yang semakin memiliki etika dalam menjalankan usahanya. Perlindungan Konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan perlindungan hukum antara konsumen dengan pelaku usaha/produsen. Tidak adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen berada pada posisi yang lemah. Lebih-lebih jika produk yang dihasilkan oleh Produsen merupakan jenis produk yang terbatas. Produsen dapat menyalahgunakan posisinya yang monopolistis tersebut. Hal itu tentu saja akan merugikan konsumen.3 Salah satu poin penting yang diatur di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini ialah mengenai penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa konsumen di dalam undang-undang ini dapat diselesaikan dengan dua cara, yakni litigasi (Peradilan/Pengadilan) dan Non Litigasi (di luar Peradilan/Pengadilan). Konsep dasar dari diaturnya bentuk penyelesaian sengketa konsumen di luar Peradilan/Pengadilan ini merujuk kepada sistem penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis, yang dapat memilih menyelesaikan sengketa secara litigasi atau non litigasi, yang biasanya juga dikenal dengan sebutan Aternative Dispute Resolution (ADR) atau Penyelesaian Sengketa Allternatif (PSA). Penyelesaian sengketa yang timbul dalam dunia bisnis, merupakan masalah tersendiri, karena apabila para pelaku bisnis menghadapi sengketa tertentu, maka dia akan berhadapan dengan proses peradilan yang berlangsung lama dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sedangkan dalam dunia bisnis penyelesaian sengketa yang dikehendaki ialah yang dapat berlangsung cepat dan murah. Di samping itu, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin tidak merusak hubungan bisnis, selanjutnya dengan siapa dia pernah terlibat suatu sengketa hal ini tentu sulit ditemukan apabila pihak yang bersangkutan membawa sengketanya ke pengadilan (litigasi), akan berakhir dengan kekalahan salah satu pihak dan kemenangan pihak lainnya. Secara umum dapat dikemukakan berbagai kritikan terhadap penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Pertama, penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat, dikarenakan proses pemeriksaan yang sangat formalistik dan sangat teknis. Di samping itu, arus perkara yang semakin deras mengakibatkan pengadilan dibebani dengan beban yang terlampau banyak. Kedua, biaya per perkara mahal. Ketiga, pengadilan pada umumnya tidak responsif. Keempat, putusan Pengadilan tidak menyelesaikan masalah. Kelima, kemampuan para hakim yang bersifat generalis.4 Berdasarkan berbagai kekurangan penyelesaian sengketa di pengadilan tersebut, mengakibatkan dunia bisnis terutama bagi pihak yang bersengketa lebih memilih menyelesaikan sengketa yang dihadapi di luar pengadilan. Saat ini, Indonesia sudah memiliki Undang-undang yang memberikan pengaturan tentang Aternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Atbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 1 angka (10) menyebutkan bahwa Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaiaan sengketa atau beda
3 Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 1. 4 Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 240-247.
3
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsutasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.5 Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah, pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan dengan memutuskan. Pihak ketiga yang disebut sebagai mediator berfungsi untuk membantu para pihak yang berselisih untuk menyediakan fasilitas bagi pihak-pihak di dalam negosiasi untuk mencapai kesepakatan.6 Konsiliasi adalah suatu penyelesian dimana para pihak berupaya aktif mencari penyelesaian dengan bantuan pihak ketiga. Konsiliasi diperlukan apabila para pihak yang bersengketa tidak mampu menyelesaikan sendiri perselisihannya. Hal ini menyebabkan istilah konsiliasi kerapkali diartikan sama dengan mediasi. Padahal penyelesaian sengketa dengan konsiliasi lebih mengacu kepada cara penyelesaian sengketa melalui konsensus para pihak, sedangkan pihak ketiga hanya bertindak netral, berperan secara aktif maupun tidak aktif.7 Penyelesaian sengketa di luar pengadilan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur di dalam Bab XI tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen disingkat dengan BPSK. BPSK ini sendiri sebenarnya wujud langsung dari Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh Konsumen.8 Dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur bahwa konsumen dapat mengajukan gugatan pada pelaku usaha melalui badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) atau ke badan peradilan.9 Sedangkan Arbitrase menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.10 Sengketa Konsumen dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen Istilah sengketa dapat diartikan dengan pertikaian, perselisihan (dispute), konflik (conflict) dan lainnya, sementara penyelesaian sengketa adalah suatu proses yang ditempuh di dalam menyelesaikan pertikaian, perselisihan atau konflik baik melalui jalur peradilan (litigasi) maupun melalui jalur Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution/ADR) atau arbitrase (non litigasi). Sebelum dibahas mengenai latar belakang terjadinya sengketa konsumen ada baiknya terlebih dahulu di tinjau pengertian sengketa atau perselisihan.11 Perselisihan secara negatif dalam bahasa Indonesia sinonim dengan pertikaian, persengketaan, 5
Lihat Pasal 1 angka (10) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. 6 Sudarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 16. 7 Ibid., hlm. 11. 8
Lihat Pasal 47 Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Lihat Pasa 23 Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 10 Lihat Pasal 1 angka (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 11 Istilah sengketa merupakan terjemahan dari kata dispute yang mengandung arti adanya perbedaan kepentingan diantara kedua belah pihak atau lebih. 9
4
pertengkaran, perdebatan, percekcokan, permusuhan atau secara lebih tajam perkelahian, perperangan, pertempuran, persiteruan sedang dalam bahasa Inggris sinonim dengan conflict, fighting, af-fray, brawl, combat, feud, fray, fracas, war, row, discord, clash, quarrel,wrangle, argument, battle, contention, altercation, squabble. Banyaknya istilah yang sinonim dengan perselisihan walaupun ada perbedaan konteks dalam penggunaan istilah tersebut menggambarkan bahwa perselisihan memang bagian dari kehidupan manusia, sehingga begitu banyak istilah yang dapat digunakan untuk mengungkapkannya. Menurut Nader dan Todd, ada 3 (tiga) fase atau tahap dalam proses bersengketa. Pertama, tahap pra konflik atau tahap keluhan, yang mengacu kepada keadaan atau kondisi yang oleh seseorang atau suatu kelompok dipersepsikan sebagi hal yang tidak adil dan alasan-alasan atau dasar-dasar dari adanya perasaan itu. Pelanggaran terhadap rasa keadilannya itu dapat bersifat nyata atau imajinasi saja tergantung pada persepsi pihak yang merasa ketidakadilan tersebut. Dalam hal ini yang penting pihak yang merasakan haknya dilanggar atau dia diperlakukan dengan salah. Situasi keluhan perasaan diperlakukan tidak adil ini mengandung suatu potensi untuk meningkat menjadi konflik atau justru menghindar. Perasaan diperlakukan tidak adil dapat lebih memuncak disebabkan oleh suatu konfrontasi atau eskalasi, yang justru terelakkan karena secara sengaja kontak dengan lawan dihindari atau pihak kedua tidak memberi reaksi terhadap tantangan yang diajukan. Kedua, tahap konflik yang ditandai dengan keadaan dimana pihak yang merasa haknya dilanggar memilih jalan konfrontasi, melemparkan tuduhan kepada pihak pelanggar haknya, atau memberitahukan kepada pihak lawannya tentang keluhannya. Kedua belah pihak sadar mengenai adanya suatu perselisihan pendapat antara mereka, dalam tahap ini kedua belah pihak berhadapan. Ketiga, tahap sengketa (dispute), terjadi karena konflik mengalami eskalasi, berhubung karena adanya konflik itu dikemukakan secara umum. Suatu sengketa hanyalah terjadi bila pihak yang mempunyai keluhan semula atau seseorang atas namanya telah meningkatkan perselisihan pendapat yang semula dari pendekatan dua pihak menjadi hal yang memasuki bidang publik. Hal ini dilakukan dengan sengaja dan aktif dengan maksud supaya ada sesuatu tindakan mengenai tuntutan yang diinginkan.12 A. Mukti Arto mengemukakan bahwa sumber konflik/sengketa akan mempengaruhi karakteristik dari konflik/sengketa tersebut. Sumber yang paling dominan menimbulkan konflik/sengketa akan menunjukkan karakteristik yang paling menonjol, sedangkan karakteristik dapat diklasifikasikan dalam tiga macam. Pertama, karakter formal, yaitu sifat konflik/sengketa yang melekat pada hukum yang mengaturnya, yang timbul karena materi hukum itu sendiri. Misalnya, kurang jelas mengundang berbagai penafsiran, terjadinya kerancuan atau terdapatnya berbagai sistem hukum yang sama-sama berlaku dan sebagainya. Kedua, karakter material (kebendaan), yaitu sifat konflik/sengketa yang melekat pada wujud dari barang sengketa itu sendiri, seperti ketidaksepahaman, perbenturan kepentingan, perebutan sumber-sumber, menghambat tujuan pribadi, kehilangan status atau kedudukan, kehilangan otonomi atau kekuasaan, tidak mendapat bagian yang adil, dan sebagainya yang bersifat material. Ketiga, karakter emosional, yaitu sifat konflik/sengketa yang melekat pada emosi manusianya, seperti karena perasaan-
12 Nader dan Todd, sebagaimana dikutip oleh T.O. Ihromi, Beberapa Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hlm. 209-210.
5
perasaan negatif antar pihak-pihak, kemarahan, kesalahpahaman (salah mengerti), serta perbedaan gaya hidup dan sebagainya.13 Bolton menegaskan bahwa setidaknya ada 10 (sepuluh) faktor yang dapat menjadi sumber konflik atau sengketa, yakni: (1) menghambat tujuan pribadi; (2) kehilangan status (kedudukan); (3) kehilangan otonomi (kekuasaan); (4) kehilangan sumber-sumber; (5) tidak mendapat bagian yang adil dari sumber-sumber langka; (6) mengancam suatu nilai; (7) mengancam suatu norma; (8) kebutuhan yang berbeda dan berbenturan; (9) kesalahpahaman atau salah mengerti; dan (10) pembelaan harga diri.14 Saat ini Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yakni Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999, satu hal yang amat menarik untuk dicermati, yaitu dalam hal penyelesaian sengketa konsumen yang dapat mempergunakan lembaga arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa, dengan wujudnya berupa Lembaga Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 memberikan kemudahan dalam suatu penyelesaian sengketa konsumen dengan terbukanya para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar peradilan ini lebih dikenal dengan istilah lembaga ADR (Alternatif Dispute Resolution). George Applebely dalam tulisannya An Overview of Alternatif Dispute Resolutions dengan merujuk pendapat Lebermann dan Hendry, menegaskan bahwa ADR pertama-tama ialah merupakan suatu eksperimen untuk mencari model-model baru dalam penyelesaian sengketa, penerapan-penerapan baru terhadap metode-metode lama, forum-forum baru bagi penyelesaian sengketa, dan penekanan yang berbeda dalam pendidikan hukum.15 Pendapat senada juga dikemukakan oleh Philip D. Bostwick yang menyatakan bahwa ADR merupakan serangkaian praktik dan teknik-teknik hukum yang ditujukan untuk memungkinkan sengketa-sengketa hukum diselesaikan di luar pengadilan untuk keuntungan atau kebaikan parapihak yang bersengketa sendiri, mengurangi biaya dan keterlambatan kalau sengketa tersebut diselesaikan melalui litigasi konvensional, dan mencegah agar sengketa-sengketa hukum tidak dibawa ke pengadilan.16 Sedangkan Hadimulyo mengatakan bahwa ADR adalah sebuah konsep yang mencakup berbagai bentuk penyelesaian sengketa selain dari proses peradilan melalui cara-cara yang sah menurut hukum, baik berdasarkan pendekatan konsensus atau tidak berdasarkan pendekatan consensus.17 Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa kehadiran suatu lembaga alternatif penyelesaian sengketa di luar peradilan (ADR) pada hakikatnya merupakan perimbangan atas kondisi dan realitas dari eksistensi sistem peradilan yang mulai banyak dipertanyakan orang saat ini, baik dari segi efektivitasnya maupun dari segi prosedur penyelesaiannya. 13 A. Mukti Arto, Mencari Keadilan, Kritik, dan Solusi Terhadap Praktek Peradilan Perdata di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 39. 14 Ibid. 15 Lihat Nanang Sutrisno, Dasar-dasar Penyelesaian Sengketa Alternatif, makalah disampaikan dalam Pelatihan Alternatif Dispute Resolution (ADR), diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UII kerjasama
dengan The Asia Foundation, Yogyakarta, tanggal 19-22 Agustus, 1999, hlm. 3-4. 16 Ibid., hlm. 4. 17 Hadimulyo, Mempertimbangkan ADR Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan, (Jakarta: Elsam, 1997), hlm. 2.
6
Pada prinsipnya ada beberapa bentuk dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) yang selama ini dikenal. Pertama, negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk melakukan penyelesaian tanpa keterlibatan pihak ketiga yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediasi) maupun pihak ketiga yang berwenang mengambil keputusan (arbitrase).18 Kedua, konsiliasi merupakan sarana penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam susasana kekeluargaan (friendly). Syarat utama dalam menggunakan cara ini ialah sejak awal para pihak harus telah menyadari hak-hak dan kewajibannya, serta telah dapat memahami keprihatinan masing-masing mengenai yang disengketakan.19 Dalam konsiliasi ini para pihak berupaya aktif mencari penyelesaian dengan bantuan pihak ketiga. Konsiliasi diperlukan apabila para pihak yang bersengketa tidak mampu menyelesaikan sendiri perselisihannya. Hal ini menyebabkan istilah konsiliasi kerap kali diartikan sama dengan mediasi. Padaha,l penyelesaian sengketa dengan konsiliasi lebih mengacu kepada cara penyelesaian sengketa melalui konsensus para pihak, sedangkan pihak ketiga hanya bertindak netral, berperan secara aktif maupun tidak aktif.20 Ketiga, mediasi merupakan suatu proses negosiasi pemecahan masalah. Pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan dengan memutuskan. Pihak ketiga yang disebut sebagai mediator berfungsi untuk membantu para pihak yang berselisih untuk menyediakan fasilitas bagi pihak-pihak di dalam negosiasi untuk mencapai kesepakatan.21 Keempat, arbitrase merupakan mekanisme penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga bertindak sebagai “hakim” yang diberi kewenangan penuh oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa. Oleh karena itu, ia berhak mengambil keputusan (award) yang bersifat final dan mengikat (final and binding). Untuk dapat dilakukan penyelesaian melalui lembaga arbitrase, maka para pihak harus melihat apakah ada klausul arbitrase. Dalam arti kata, selain ada perjanjian pokok yang bersangkutan diikuti atau dilengkapi dengan persetujuan arbitrase. Klausul arbitrase yang dimaksud ialah Pactum de compromittendo dan Akta kompromis22. Secara garis besar arbitrase terdiri dari 2 macam, yaitu arbitrase ad hoc dan arbitrase institusional (permanen). Arbitrase ad hoc adalah arbitrase yang dipilih sendiri oleh para pihak hanya untuk suatu perkara tertentu. Jika perkara itu selesai dengan suatu putusan, maka selesai pula tugasnya, demikian arbitrase ad hoc ini bubar dengan sendirinya. Sedangkan arbitrase institusional adalah arbitrase yang telah dilembagakan dan bersifat permanen. Arbitrase ini secara resmi telah mempunyai peraturan dan tata cara pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan dan persidangan. Salah satu contoh dari Arbitrase institusional yang telah ada dan telah lama terbentuk serta diakui keberadaannya di Indonesia adalah seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). 18 Zairin Harahap dikutip dalam Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 72. 19 Ibid., hlm. 74. 20 Sudarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian ..... Op. Cit., hlm. 11. 21 Ibid., hlm. 16. 22 Pactum de Compromittendo maksudnya pihak yang mengaitkan kesepakatan akan
menyelesaikan persengketaan yang mungkin timbul melalui forum arbitrase. Pada saat mereka mengaitkan dan menyetujui klausul arbitrase, sama sekali belum terjadi perselisihan. Sementara akta kompromis adalah sebuah perjanjian arbitrase yang dibuat setelah timbulnya perselisihan antara para pihak. Lihat Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Hak Kekayaan ..... Op. Cit., hlm. 75-76.
7
Saat ini bagi Indonesia sesudah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa (ADR) menjadi terbuka dan sangat dimungkinkan. Berikut akan diuraikan gambaran umum mengenai lembaga arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa serta tinjauan terhadap lembaga arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa dalam penyelesaian sengketa konsumen. Gambaran umum mengenai lembaga arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa bila dilihat Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, telah menyerahkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman pada Badan Peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri.23 Undang-Undang ini menentukan pula penyelesaian perkara di luar pengadilan (Out of Court Settlement/OCS) atas dasar perdamaian atau arbitrase tetap diperbolehkan. Akan tetapi putusan arbiter hanya mempuyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi (executoir) dari Pengadilan.24 Penyelesaian sengketa melalui perdamaian telah lama dikenal dalam masyarakat, yang telah berakar dalam budaya masyarakat. Di lingkungan masyarakat adat (tradisional) dikenal runggun adat, kerapatan adat, peradilan adat atau peradilan desa. Lembaga musyawarah, mufakat dan tenggang rasa merupakan falsafah negara yang digali dari hukum adat, dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Hukum positif mengatur perdamaian ini di dalam Pasal 130 ayat (1) HIR. Perdamaian boleh dilakukan antara para pihak yang bersengketa dan perdamaian itu dituangkan dalam akte perdamaian, yang mempunyai kekuatan hukum tetap seperti putusan hakim dan bersifat final, artinya tidak boleh dilakukan banding atau kasasi.25 Dalam perjalanan waktu, ikatan kekeluargaan yang berdasarkan paguyuban (gemeenschappelijke verhoudingen) memudar dan berkembang kearah masyarakat yang patembayan (zakelijke gemeenschap) dimana perhitungan untung rugi lebih menonjol, maka lembaga peradilan dijadikan wadah untuk menyelesaikan sengketa, karena perangkat hukum yang tersedia telah memperoleh bentuk yang lengkap dan sempurna. Namun di lingkungan masyarakat pedagang yang membutuhkan gerak cepat, terlibat dalam hubungan-hubungan global, maka perhitungan untung rugi terjadi dalam momen-momen dalam hitungan detik, bukan jam, hari dan bulan serta perhitungan biaya menjadi unsur penting, maka jika timbul sengketa dibutuhkan penyelesaian yang cepat dan tepat serta dapat dilaksanakan (eksekusi). Memasuki era globalisasi dirasakan kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan melalui perbaikan perangkat hukum dalam bidang ekonomi keuangan beserta penyelesaian sengketa yang timbul daripadanya sangat mendesak. Atas dasar pertimbangan itu, pada tahun 1999 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang ini adalah pembaharuan dari Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op deRechtsvoredering, Staatblad 1847 : 52) 23
Lihat Penjelasan Umum atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 24 Lihat pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 25 Lihat Pasal 130 ayat (1) HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement).
8
dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene lndonesisch Reglement, Staatblad 1941 : 44 dan pasal 705 Reglement acara untuk daerah Luar Jawa dan Madura (Rechts reglement Bujtenewesten, Staatblad 1927: 227)26. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut merupakan aturan pokok dari Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang tersebut merupakan salah satu bentuk dari Alternatif Penyelesain Sengketa. Menurut Mariam Darus, Arbitrase adalah salah satu bentuk dari Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Lembaga Arbitrase disebutkan di dalam undang-undang itu, karena sudah mempunyai bentuk tertentu dan pasti yang dituangkan secara khsusus. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah pengertian genus, yang di dalam undang-undang itu disebut konsultasi, negosiasi, konsiliasi dan mediasi. Alternatif Penyelesaian Sengketa hanya diatur di dalam 1 (satu) ketentuan, yaitu Pasal 6 tanpa Penjelasan. Alternatif Penyelesaian Sengketa ini masih mencari bentuk yang kokoh yang memberikan kepastian hukum. Bagaimana operasional/teknis proses APSU masih dalam perkembangan. Hal ini tidak memadai dan tidak akan menjadi pilihan, jika dibiarkan hanya pada kebiasaan dan praktek. Untuk itu perlu dipikirkan untuk membentuk Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang setara dengan Lembaga Arbitrase seperti BANI dan BAMUI.27 Menurut Huala Adolf, dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ini, maka telah diletakkannya suatu dasar hukum bagi arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Undang-Undang ini membawa dua angin segar. Pertama, diletakkannya dasar hukum yang mapan bagi arbitrase. Kedua, diletakkannya dasar hukum bagi alternatif penyelesaian sengketa. Meski cukup banyak kelemahan yang terdapat dalam Undang-Undang Arbitrase baru, namun demikian aturan-aturan atau prinsip-prinsip dasar di dalamnya sudahlah termuat. Prinsip kekuatan perjanjian arbitrase, kewenangan pengadilan, kebebasan parapihak, prinsip severabilitas dan pengaturan pelaksanaan putusan arbitrase sudah termuat di dalamnya. Satu hal positif dalam undang-undang tersebut adalah diaturnya ketentuan mengenai ADR (Pasal 6). Pasal ini penting, karena ia meletakkan dasar hukum yang tegas bagi dimungkinkannya para pihak untuk menyelesaikan sengketa bisnisnya dengan menggunakan cara-cara yang mereka pilih.28 Pengertian arbitrase dapat dilihat dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang memberi penegasan arbitrase ialah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.29 Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (1) ditentukan bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan. Hak menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.30 Apabila dilihat disamping Undang-Undang Pokok (Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999) itu terdapat sejumlah undang-undang yang mengatur atau 26 Lihat Mariam Darus, Beberapa Pemikiran Mengenai Penyelesaian Sengketa di Bidang Ekonomi Keuangan di Luar Pengadilan, Kertas Kerja disajikan pada seminar dan lokakarya Pembangunan Hukum
Nasional ke VIII, Bali, tanggal 14-18 Juli 2003, hlm. 3. 27 Ibid., hlm. 3. 28 Huala Adolf, Penyelesaian Sengketa di Bidang Ekonomi dan Keuangan, http://www.solusihukum.com/page.artikel, diakses tanggal 12 Mei 2015. 29 Lihat Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 30 Lihat Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesain sengketa.
9
membolehkan proses penyelesaian sengketa melalui Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa untuk bidang-bidang tertentu. Jika di dalam bidang-bidang itu terjadi sengketa, maka para pihak yang bersengketa wajib menempuh penyelesaian yang diatur oleh Undang-Undang tersebut. Pertama, arbitrase dan mediasi serta lembaga penyelesaian perselisihan industrial (Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan Nomor 25 Tahun 1997). Kedua, arbitrase dan musyawarah untuk mencapai mufakat diantara para pihak yang berselisih (Undang-Undang tentang Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 32 Tahun 1997). Ketiga, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999). Keempat, penggunaan jasa pihak ketiga yang disepakati para pihak yang dibentuk masyarakat jasa konstruksi atau Pemerintah (Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi Nomor 18 Tahun 1999). Kelima, penggunaan jasa pihak ketiga yang dapat dibentuk oleh masyarakat atau Pemerintah, yaitu lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup (Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997). Keenam, arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (Undang-Undang tentang Merek Nomor 15 Tahun 2001). Ketujuh, Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk menyelesaikan sengketa dalam praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Nomor 5 Tahun 1999).31 Mariam Darus menambahkan bahwa dengan adanya Undang-Undang tersebut, maka ruang lingkup Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menjadi lebih sempit penggunaannya karena sengketa yang terjadi didalam bidang-bidang tersebut di atas wajib diselesaikan menurut Undang-undang itu (Compulsory Dispute Resolution).32 Apabila ditelaah mengenai sengketa konsumen, maka pengertian sengketa konsumen mengacu kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, undang-undang tidak memberikan batasan maksud sengketa konsumen, namun defenisi sengketa konsumen dapat dijumpai pada Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan, yaitu Surat Keputusan Nomor: 350MPP/Kép/12/2001 tanggal 10 Desember 2001. Sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasa.33 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan unsur paksaan kepada pelaku usaha untuk bertanggung jawab memberikan ganti kerugian atas kerusakan pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.34 Ketika pelaku usaha mengabaikan tuntutan ganti kerugian tersebut membawa konsekuensi undang-undang mempersilahkan kepada konsumen untuk mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pelaku usaha, baik melalui badan peradilan di tempat kedudukan konsumen atau melalui badan penyelesaian sengketa konsumen.35 Dengan demikian, di dalam sengketa konsumen pihak-pihak yang bersengketa haruslah 31
Mariam Darus, Beberapa Pemikiran Mengenai Penyelesaian Sengketa ..... Op. Cit., hlm. 3-4.
32
Ibid., hlm. 4.
33
Lihat Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001. Lihat Pasal 19 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
34
Konsumen. 35 Lihat Pasal 23 dan Pasal 45 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
10
konsumen di satu pihak dan pelaku usaha di pihak lainnya. Konsumen sebagai pengguna/pemakai barang dan jasa, dan pelaku usaha sebagai penyedia barang dan jasa. Peranan BPSK Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Majelis Penyelesaian Sengketa Konsumen diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 1 huruf 11 dari undang-undang tersebut menentukan bahwa yang dimaksud dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.36 Penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dengan cara melalui pengadilan dan non pengadilan. Non pengadilan dilakukan dengan cara mediasi, atau konsiliasi, atau arbitrase. Menariknya, Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak menentukan adanya pemisahan keanggotaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang bertindak sebagai arbitrator, konsiliator, maupun mediator. Setiap anggota dapat bertindak sebagai arbitrator, konsiliator maupun mediator, oleh karena tidak adanya pemisahan tersebut, maka penyelesaian sengketa konsumen sebaiknya diselesaikan secara berjenjang. Dalam artian setiap sengketa diusahakan diselesaikan melalui mediasi, apabila gagal barulah ditingkatkan menjadi penyelesaian melalui konsiliasi. Apabila masih gagal, maka penyelesaian dilakukan melalui peradilan arbitrase.37 Dalam mengembangkan perlindungan konsumen dan penegakan hak-hak konsumen apabila terjadi perselisihan, maka Pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang pada intinya bertugas untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa konsumen yang bersifat non litigas.38 Dengan demikian, BPSK dapat dikatakan sebagai suatu lembaga “peradilan khusus” konsumen yang muncul karena amanat langsung dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mewajibkan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk didirikan di setiap Wiayah Tingkat II Kota/Kabupaten di Indonesia.39 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang konon diadopsi dari model Small Claims Tribunal dalam tataran konsep memiliki potensi menjadi pilihan penyelesaian sengketa konsumen yang diminati. Pertama, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen menjembatani antara mekanisme ADR (Alternatif Dispute Resolution) yang simpel dan fleksibel dengan mekanisme Pengadilan yang memiliki otoritas. Kedua, perpaduan ketiga unsur yang seimbang (konsumen, pelaku usaha dan pemerintah) di dalam Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan kekuatan dalam menyelaraskan konflik kepentingan. Ketiga, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berfungsi sebagai Quasi Pengadilan Plus (fungsi ajudikasi dan non adjudikasi). Keempat, berdasarkan konsep yuridisnya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berkedudukan di setiap Kota/Kabupaten. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang telah memenuhi prinsip pengelolaan lembaga penyelesaian sengketa, 36
Lihat Pasal 1 angka (11) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. 37 38 39
Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum ….. Op. Cit., hlm. 166. Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip Dan Pelaksanaannya ..... Op. Cit., hlm. 210-211. Lihat Pasal 49 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
11
diharapkan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat memberikan pemerataan keadilan dan mengurangi beban pengadilan.40 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai salah satu lembaga penyelesaian sengketa mempunyai karakteristik khusus karena mempunyai sifat multifungsi, selain sebagai adjudication juga sekaligus sebagai consultative function. Penyelesaian melalui lembaga ini merupakan alternatif yang dapat ditempuh konsumen secara sukarela untuk memperjuangkan pemenuhan hak konsumen selain melalui peradilan umum (litigasi).41 Banyaknya sisi positif dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ini, seperti durasi waktu di dalam setiap tahap proses penyelesaikan sengketa konsumen dengan hitungan hari kerja, yakni cuma selama 21 hari kerja putusan sudah harus dihasilkan, sehingga mewujudkan proses penyelesaian sengketa yang cepat, sederhana dan biaya ringan, transparansi, netralitas dan independensi, dan lain-lain. Mencermati hal tersebut, dapat dikritisi beberapa poin penting terhadap Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yakni: keberadaan BPSK yang terbatas hanya di beberapa kota, tugas dan kewenangan BPSK yang tidak maksimal dijalankan dilapangan, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memuat pasal-pasal yang kontradiktif dan multitafsir. Keberadaan BPSK Yang Terbatas Di Beberapa Kota Untuk pertama kalinya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berdiri di Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.42 Saat ini Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sudah ada hampir di 30 kota di Indonesia. Dengan memperhatikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terutama Pasal 49, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa amanat UndangUndang Perlindungan Konsumen mewajibkan untuk pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di setiap wilayah tingkat II Kota/Kabupaten. Hal ini menimbulkan persoalan di dalam menyelesaikan persengketaan konsumen dengan pelaku usaha ketika masih banyaknya Kota/Kabupaten di Indonesia yang belum memiliki Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Tugas dan Kewenangan BPSK Yang Tidak Maksimal Dijalankan DiLapangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diharapkan mampu menjawab tantangan sebagai tempat konsumen mencari keadilan dari permasalahan konsumen terhadap pelaku usaha yang berdampak kerugian di sisi konsumen. Oleh karenanya, untuk mencapai prinsip netralitas dalam memutus atau menyelesaikan setiap laporan/pengaduan konsumen baik tertulis maupun tidak tertulis, maka unsur-unsur di dalam Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen mewakili tiga pihak/komponen, pemerintah yang diwakili oleh instansi/departemen yang memiliki keterkaitan langsung 40
Al. Wisnubroto, Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen Butuh Progresivitas. Lihat http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20267/alternatif-penyelesaian-sengketa-konsumen-butuhprogresivitas, diakses tanggal 12 Mei 2015. 41 Bernadetta T. Wulandari, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Sebagai Alternatif Upaya Penegakan Hak Konsumen di Indonesia, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta, Vol. 6, No. 2, Mei-Agustus 2006, hlm. 1. 42 Lihat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001.
12
dengan konsumen (kementerian perindustrian dan perdagangan melalui kantor dinasdinasnya di daerah), konsumen yang diwakili oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), dan unsur Pelaku usaha yang diwakili oleh Assosiasi Pelaku Usaha. Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan tugas dan wewenang yang cukup luas bagi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yakni: melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; memberikan konsultasi perlindungan konsumen; melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini; menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini; meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g, dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; mendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; dan menjatuhkan sanksi administratif, kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.43 Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan tugas dan wewenang yang cukup luas kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, namun bila dilihat di lapangan keluasan tugas dan wewenang ini cenderung jarang sekali diakukan secara maksimal oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Hal ini karena beberapa alasan, seperti kekurangan sumber daya manusia, faktor sarana dan prasarana, faktor anggaran dan lain sebagainya, sehingga Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen layaknya hanya bertugas semacam lembaga yang menerima setiap laporan atau pengaduan dari konsumen yang telah timbul kerugian, sementara Pasal 52 juga memberikan ruang kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk melakukan beberapa tugas dan wewenang yang bersifat tindakan preventif sebelum munculnya kerugian di sisi konsumen, seperti kewenangan melakukan pengawasan terhadap pencatuman kausula baku yang diakukan oleh pelaku usaha ini merupakan tugas dan wewenang yang bersifat preventif yang harus dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebelum praktik perjanjian baku yang biasanya memuat klausula eksonerasi.44 Hal tersebut berdampak timbulnya kerugian di sisi konsumen sebagaimana larangan yang ditetapkan oleh Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 43
Lihat Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Eksonerasi atau exoneration diartikan oleh I.P.M. Ranuhandoko B.A. dalam bukunya Terminologi Hukum Inggris-Indonesia, yaitu: membebaskan seseorang atau badan usaha dari suatu tuntutan atau tanggung jawab. Secara sederhana klausula eksonerasi ini diartikan sebagai klausula pengecualiaan kewajiban/tanggung jawab dalam perjanjian. Lihat Diana Kusumasari, Klausula Eksonerasi. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d0894211ad0e/klausula-eksonerasi, diakses tanggal 13 Mei 2015). 44
13
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Memuat Pasal-pasal Yang Kontradiktif dan Multitafsir Soerjono Soekanto berpendapat bahwa lemahnya penegakan hukum karena beberapa faktor, yaitu: faktor hukum/atau undang-undangnya, faktor penegakan hukum, faktor sarana dan fasilitas, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan. Begitu pula halnya di dalam permasalahan penyelesaian sengketa konsumen, bila dilihat lemahnya penegakan hukum konsumen di Indonesia terutama di dalam menyelesaikan sengketanya karena faktor hukum atau undang-undangnya, bunyi atau tafsiran dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang memuat pasal-pasal yang multi tafsir, belum lagi terbatasnya peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, sumir, kurang jelas, bahkan terkadang saling kontradiktif antara pasal yang satu dengan pasal yang lainnya, substansinya saling bertentangan. Lemahnya penegakan hukum konsumen tersebut berimbas kepada penegakan hukum konsumen di samping faktor-faktor yang lain, seperti yang diatur dalam Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa Putusan Majelis bersifat final dan mengikat.45 Pasal 56 angka (2) menyatakan bahwa Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan tersebut.46 Kemudian di dalam Pasal 58 angka (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan.47 Kemudian Pasal 58 ayat (2) menyatakan bahwa Terhadap Putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia,48 dan ayat (3) menyatakan bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.49 Meskipun putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bersifat final dan mengikat dan pada hakikatnya tidak dapat diajukan keberatan, namun berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dapat dajukan keberatan apabila memnuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu: surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; setelah putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen diambil, ditemukan 45
Yang dimaksud dengan putusan majelis bersifat final adalah dalam badan penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya banding dan kasasi. Penjelasan Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Lihat Pasal 54 angka (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 46 Lihat Pasal 56 angka (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 47 Lihat Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 48 Lihat Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 49 Lihat Pasal 58 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
14
dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau putusan diambil dari tipu muslihat, yg dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa50. Keberatan dapat diajukan melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri sesuai dengan prosedur, pendaftaran perkara perdata, dan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak pelaku usaha atau konsumen menerima pemberitahuan Badan Penyelesaian Sengketa konsumen. Surat keberatan harus dibuat dalam rangkap 6, yang masing-masing akan diberikan kepada pihak yang berkepentingan, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan Hakim yang akan menangani keberatan tersebut. Hakim-hakim yang akan ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk melakukan pemeriksaan terhadap keberatan tersebut ialah hakim yag mempunyai pengetahuan yang cukup di bidang perlindungan konsumen. Hakim-hakim yang memeriksa keberatan atas dasar alasan sebagaimana tersebut dalam poin (1) sampai dengan (3), yakni: surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; setelah putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen diambil, ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau putusan diambil dari tipu muslihat, yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Apabila ternyata terbukti, maka majelis hakim dapat membatalkan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Apabila ada alasan lain di luar alasan sebagaimana yang tersebut dalam point (1) sampai dengan (3) di atas, majelis hakim dapat mengadili sendiri sengketa konsumen yang bersangkutan. Majelis Hakim harus sudah memberikan putusan paling lambat 21 hari sejak sidang pertama dilakukan.51 Putusan final secara harfiah, frase “final” dan “mengikat” memiliki keterkaitan satu sama lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, frase “final” berarti tahapan (babak) terakhir dari rangkaian pemeriksaan (pekerjaan, pertandingan), sedangkan frase “mengikat” berarti menguatkan (mencengkam). Bertolak dari arti harfiah ini, maka frase “final” dan “mengikat” memiliki arti yang saling terkait, yang berarti akhir dari suatu proses pemeriksaan, telah memiliki kekuatan mengeratkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi.52 Dari makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Artinya, telah tertutup lagi bagi segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum setelahnya (misalnya Kasasi atau Peninjauan Kembali Mahkamah Agung), tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat secara hukum (binding) ini dapat diartikan tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh. Putusan tersebut telah memiliki kekuatan mengikat secara umum. Semua pihak harus tunduk dan taat melaksanakan putusan tersebut, meskipun tidak menutup kemungkinan terdapat juga pihak-pihak tertentu yang merasa keadilannya dirugikan akibatnya.53 Celah ini terkadang sering dimanfaatkan para pelaku usaha yang “kalah” di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk berupaya mengajukan bantahan terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di Pengadian Negeri, bahkan Kasasi di Mahkamah Agung untuk dapat “membatalkan” putusan yang sudah dihasilkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tersebut.
50
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip Dan Pelaksanaannya ..... Op. Cit., hlm.213. Ibid., hlm. 213-214. 52 Ahsan Yunus, Analis Yuridis Sifat Final dan Mengikat (Binding) Putusan Mahkamah Konstitusi, 51
Jurnal Konstitusi, Vol. III, No. 2 November 2011. 53 Ibid.
15
Menarik untuk dikritisi ialah Pasal 57 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menegaskan bahwa Putusan Majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat kedudukan konsumen yang dirugikan.54 Dengan demikian, suatu Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tidak memiliki kekuatan eksekutorial sama sekali sebelum Putusan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tersebut dimintakan untuk ditetapkan penetapan eksekusinya ke Pengadilan Negeri. Pada dasarnya putusan hakim tersebut memiliki tiga macam kekuatan, yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk dilaksanakan. Kekuatan eksekutorial dalam hal ini ialah kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang diterapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara dengan kata-kata, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” memberi kekuatan eksekutorial bagi putusan-putusan pengadilan di Indonesia. Dengan tidak memiliki kekuatan eksekutorial suatu putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, maka putusan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tidaklah akan membawa konsekuensi apapun ketika putusan tersebut tidak dimintakan penetapan eksekusinya atau apabila Pengadilan Negeri menolak melakukan penetapan eksekusinya. Kesimpulan Dengan adanya Undang-undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka secara tidak langsung memberikan angin segar bagi penegakan hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Kemudian dengan adanya peranan dari lembaga yang bertugas untuk menyelesaikan setiap sengketa konsumen dengan pelaku usaha, yakni Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang konon diadopsi dari model Small Claims Tribunal yang dalam tataran konsep memiliki potensi menjadi pilihan penyelesaian sengketa konsumen yang diminati, meskipun masih banyak terdapat kelemahan baik dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun dari lembaga Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang kurang maksimal dan terbatas keberadaannya di Kota/Kabupaten di Indonesia. Selain itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memuat pasal–pasal yang multitafsir, kontradiktif substansinya, sumir, dan sedikit aturan pelaksanaannya. Untuk mewujudkan penegakan hukum konsumen yang maksimal bagi masyarakat, maka beberapa poin penting yang perlu dikritisi terkait keberadaan Undang-Undang Konsumen dan terkait Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu: jumlah keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang terbatas di beberapa Kota/Kabupaten, tugas dan kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang tidak maksimal, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang memuat pasal-pasal yang kontradiktif dan multitafsir. Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mendesak untuk dilakukan karena banyak pasal yang multitafsir, sumir, dan kontradiktif pasal per pasalnya, guna mewujudkan penegakan hukum konsumen yang maksimal bagi masyarakat. Selanjutnya, perlunya mendirikan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di setiap wilayah tingkat II Kota/Kabupaten sebagai amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan 54
Lihat Pasal 57 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
16
Konsumen, sehingga Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen kelak ada di setiap wilayah tingkat II Kota/Kabupaten di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, penting menambah besaran anggaran untuk pendirian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan menambah sumberdaya manusia yang memiliki kapasitas dan kemampuan di bidang hukum perlindungan konsumen untuk ditempatkan di setiap Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di seluruh Indonesia. Daftar Pustaka N.H.T. Siahaan. 2005. Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk. Jakarta: Penerbit Panta Rei. Danirwara, Perlindungan Hukum Indonesia Terhadap Konsumen atas Iklan-Iklan yang Menyesatkan dalam Era Globalisasi, Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis, Vol. 3, No. 1, April 2012. Ahmadi Miru. 2011. Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Yahya Harahap. 1997. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa. Bandung: Citra Aditya Bakti. Sudarto dan Zaeni Asyhadie. 2004. Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis. Jakarta: RajaGrafindo Persada. T.O. Ihromi. 1993. Beberapa Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. A. Mukti Arto. 2001. Mencari Keadilan, Kritik, dan Solusi Terhadap Praktek Peradilan Perdata di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nanang Sutrisno, Dasar-dasar Penyelesaian Sengketa Alternatif, makalah disampaikan dalam Pelatihan Alternatif Dispute Resolution (ADR), diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UII kerjasama dengan The Asia Foundation, Yogyakarta, tanggal 19-22 Agustus, 1999. Hadimulyo. 1997. Mempertimbangkan ADR Kajian Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan. Jakarta: Elsam. Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin. 2004. Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Lihat Mariam Darus, Beberapa Pemikiran Mengenai Penyelesaian Sengketa di Bidang Ekonomi Keuangan di Luar Pengadilan, Kertas Kerja disajikan pada seminar dan lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII, Bali, tanggal 14-18 Juli 2003. Bernadetta T. Wulandari, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Sebagai Alternatif Upaya Penegakan Hak Konsumen di Indonesia, Jurnal Ilmiah akultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta, Vol. 6, No. 2, Mei-Agustus 2006. Ahsan Yunus, Analis Yuridis Sifat Final dan Mengikat (Binding) Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. III, No. 2 November 2011.
17