Analisis, Desember 2014, Vol.3 No.2 : 115 – 121
ISSN 2252-7230
PENERAPAN ALAT BUKTI SUMPAH PEMUTUS (DECISOIR EED) DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN Implementation of Proof (Decisoir Eed) in Civil Case Evidence in Court Sofian Parerungan, Musakkir, Mustafa Bola Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (E-mail:
[email protected]) ABSTRAK Pelaksanaan atau penerapan hukum dalam menyelesaikan suatu sengketa hukum yang timbul dalam masyarakat dibidang keperdataan diatur oleh hukum formil atau hukum acara perdata. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan alat bukti sumpah pemutus (decisoir eed) dalam Pembuktian Perkara perdata di Pengadilan dan bagaimana faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertimbangan hakim dalam memutuskan sumpah pemutus (decisoir eed) sebagai alat bukti. Bahan rujukan dalam penelitian ini adalah putusan-putusan pengadilan, baik Peradilan Umum maupun Peradilan Agama di Indonesia. Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan adalah penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan, kemudian data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan. Hasil penelitian menunjukan bahwa : 1) Terdapat beberapa putusan hakim pengadilan yang tidak memenuhi syarat-syarat formil dalam menerapkan alat bukti sumpah pemutus (decisoir eed). Menurut Pasal 156 HIR/183 RBg syarat formilnya adalah sumpah pemutus baru dapat diterapkan jika sama sekali tidak terdapat bukti dipersidangan. Namun dalam praktek peradilan terdapat putusan-putusan yang menerapkan sumpah pemutus walaupun para pihak telah mengajukan bukti-bukti surat dan saksi. 2) Dalam pertimbangan putusan hakim, dipengaruhi oleh faktor kekurangpahaman hakim terhadap sumpah pemutus, disamping itu hakim telah melakukan penafsiran (gramatikal dan ekstensif) terhadap syarat formil sumpah pemutus, dimana sumpah pemutus tetap dapat diterapkan jika salah satu pihak tidak mengajukan alat bukti dan juga apabila alat bukti yang diajukan tidak bernilai sebagai bukti, sehingga dianggap tidak terdapat bukti-bukti yang diajukan. Faktor lainnya adalah kultur (budaya) masyarakat yang sudah terbiasa menggunakan sumpah sebagai alternatif penyelesaian sengketa dalam masyarakat. Salah satu bentuk sumpah yang dilakukan oleh masyarakat adalah sumpah pocong. Kata Kunci: Alat Bukti, Sumpah Pemutus, Pengadilan ABSTRACT Implementation or application of the law in settling a legal dispute arising in the field of civil society governed by a formal law or civil law. The aim of this study to determine how the application of proof decisoir eed in Civil Case Evidence in Court and how the factors that affect the consideration of the judge in deciding decisoir eed as evidence. References in this study are court decisions, both the General Court and Religious Courts in Indonesia. In this study, the data collection method used is field research and library research, and the data were analyzed by descriptive qualitative that reveal the expected results and conclusions on the issues. The results showed that: 1) There are several court judge's ruling that does not meet the formal requirements in applying evidence decisoir eed. According to Article 156 HIR/183 RBg of formal requirements are decisoir eed can only be applied if there is absolutely no evidence in court. However, in practice there are judicial decisions that apply oath breaker even if the parties have filed written evidence and witnesses. 2) In consideration of the judge's ruling, the judge was influenced by lack of understanding of the decisoir eed, besides that judges have to interpretation (extensive) to the formal requirements decisoir eed, where the decisoir eed can be applied if one of the parties did not submit evidence and also when evidence presented no value as evidence, so it is considered there is no evidence presented. Another
115
Sofian Parerungan
ISSN 2252-7230
factor is the culture people who are used to using the oath as an alternative dispute resolution in society. One form of the oath made by the public is “Pocong” oath. Keywords: Proof, Decisoir Eed, Court
dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya. Hukum pembuktian (Law of evidence) dalam berperkara merupakan bagian yang sangat kompleks dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit, karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa dimasa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran, (Harahap 2005). Dalam hukum acara perdata dikenal 3 (tiga) macam sumpah, yaitu Sumpah penambah (Suppletoir eed) dan Sumpah pemutus (Decisoir eed) dan sumpah penaksir (aestimatoir eed). Sumpah penambah adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak yang berperkara untuk menambah/melengkapi pembuktian peristiwa yang belum lengkap. Jadi sumpah penambah hanya dapat diperintahkan oleh hakim kepada salah satu pihak yang berperkara kalau sudah ada permulaan pembuktian. sumpah pemutus adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak yang berperkara kepada lawannya. Sumpah pemutus dapat dibebankan atau diperintahkan meskipun tidak ada pembuktian sama sekali, pada setiap saat selama pemeriksaan perkara di pengadilan negeri berjalan. Sedangkan sumpah penaksir adalah sumpah yang diperintahkan hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti rugi yang dituntutnya. Menurut R. Subekti, sumpah pemutus adalah ‘senjata pamungkas’ atau senjata terakhir bagi pihak yang mengajukan pembuktian. Ia merupakan suatu senjata yang mudah dipakai tetapi juga berbahaya bagi yang menggunakan. Kalau pihak lawan berani bersumpah, maka orang yang memerintahkan sumpah itu akan dikalahkan. Sumpah pemutus
PENDAHULUAN Pelaksanaan atau penerapan hukum dalam menyelesaikan suatu sengketa hukum yang timbul dalam masyarakat dibidang keperdataan diatur oleh hukum formil atau hukum acara perdata. Hukum acara perdata menurut Sudikno Mertokusumo adalah hukum formil yang merupakan peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materill dengan perantaraan hakim, (Mertokusumo 1998). Lebih lanjut Wirjono Prodjodikoro memberikan batasan hukum acara perdata adalah rangkaian peraturanperaturan yang membuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata. Ali (2012), menyimpulkan bahwa hukum acara perdata adalah serangkaian aturan-aturan hukum bagi warga masyarakat yang ingin mempertahankan keperdataannya dengan perantaraan hakim dimuka persidangan pengadilan, dalam rangka melaksanakan aturanaturan hukum materill. Hakim sebagai representasi lembaga peradilan dituntut dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara perdata harus benar-benar memahami bagaimana duduk perkaranya berdasarkan buktibukti yang diajukan para pihak dipersidangan, (Natsir M. 2013). Terkait dengan itu hakim pun dituntut pula untuk memahami dan menerapkan secara benar hukum pembuktian dalam menangani perkara perdata di pengadilan. Secara umum dapat dikatakan bahwa suatu perkara hanya dapat diselesaikan dengan menggunakan atau menunjukkan alat bukti. Perkara yang didalamnya tidak berdasarkan alat bukti maka hakim harus menolak gugatan karena dianggap tidak 116
Alat Bukti, Sumpah Pemutus, Pengadilan
ISSN 2252-7230
merupakan alat bukti yang sangat berbahaya. Sebab, selalu ada orang yang bersedia mengucapkan sumpah palsu demi untuk mendapatkan materi. Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa akibat dari mengucapkan sumpah pemutus (decisoir eed) adalah kebenaran peristiwa yang dimintakan sumpah menjadi pasti. Pihak lawan tidak boleh membuktikan bahwa sumpah itu palsu berdasarkan Pasal 242 KUHP. Sumpah pemutus (decisoir eed) sangat menentukan. Bahkan sekalipun peristiwa yang dimintakan sumpah itu ternyata tidak benar, hal itu tidak akan menghilangkan akibat hukum sumpah pemutus (decisoir eed). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertimbangan hakim dalam memutuskan sumpah pemutus (decisoir eed) sebagai alat bukti dalam suatu perkara.
kualitatif. Data dari hasil analisis tersebut akan disajikan dalam bentuk penyajian secara deskriptif. HASIL Pemahaman hakim Hakim sebagai representasi lembaga peradilan dituntut dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara perdata harus benar-benar memahami bagaimana duduk perkaranya berdasarkan buktibukti yang diajukan para pihak dipersidangan. Terkait dengan itu hakim pun dituntut pula untuk memahami dan menerapkan secara benar hukum pembuktian dalam menangani perkara perdata di pengadilan. Secara umum dapat dikatakan bahwa suatu perkara hanya dapat diselesaikan dengan menggunakan atau menunjukkan alat bukti. Apabila hakim menerapkan lain dengan yang diatur dalam perundang-undangan maka tentu disertai dengan pertimbangan-pertimbangan hukum yang logis dan rasional. Terkait dengan itu, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa Undang-undang memberikan hak kepada para pihak untuk mengajukan permohonan sumpah pemutus, atau dengan kata lain inisiatif untuk bersumpah datang dari pihak yang berperkara, bukan hakim. Hakim hanya menilai apakah permohonan tersebut layak dikabulkan atau tidak. Salah satu hal yang membutuhkan pemahaman hakim yang mumpuni jikalau salah satu pihak (deferent) meminta pihak lawannya (delaat) untuk bersumpah, lalu pihak lawan (delaat) menolak untuk bersumpah dan mengembalikan sumpah itu kepada pihak yang memintanya (deferent), bagaimana pula jika pihak yang meminta sumpah dan dibalikkan oleh pihak lawan juga menolak untuk bersumpah?. Dalam kondisi ini hakim harus benar-benar memahami dalam menentukan pihak mana yang seharusnya mengucapkan sumpah.
METODE PENELITIAN Jenis dan Pendekatan Penelitian Dilihat dari jenisnya, penelitian ini adalah penelitian hukum sosiologis atau empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan, atau masyarakat, (Soekanto 2008). Sedangkan untuk pendekatannya yaitu dengan menggunakan Pendekatan Kualitatif. Teknik Pengumpulan Data Kualitas suatu hasil penelitian sangat dipengaruhi oleh kualitas dari metode pengumpulan data serta instrumen yang digunakan dalam melakukan penelitian. Oleh karenanya untuk memperoleh data yang diinginkan, maka dalam pengumpulannya, peneliti menggunakan dua metode yaitu Teknik wawancara (Intervieuw) dan Teknik Dokumentasi (Archivel Method). Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian akan diolah, kemudian dianalisis secara
117
Sofian Parerungan
ISSN 2252-7230
Untuk menentukan apakah sumpah yang dimintakan tersebut dapat dikembalikan kepada pihak yang memintanya, maka yang harus dipahami dan dipertimbangkan oleh hakim adalah sebagai berikut : (1). Apabila hal yang akan dilafalkan dalam sumpah mengenai perbuatan sepihak yang dilakukan oleh pihak yang diminta untuk bersumpah (delaat), sumpah tersebut tidak dapat dibalikkan kepada pihak lawan (deferent); (2). Apabila hal yang akan dilafalkan dalam sumpah mengenai perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak, pihak yang diminta untuk bersumpah (delaat) dapat membalikkannya kepada pihak lawan (deferent). Contoh perkara sebagaimana diuraikan diatas dapat dilihat dalam perkara Nomor : 18 / Pdt.G / 2005 / PN. MGL, di Pengadilan Negeri Magelang, dimana permohonan sumpah pemutus yang diajukan oleh Penggugat ditolak oleh Tergugat I dan dibalikkan kepada Penggugat, sehingga Penggugat yang mengucapkan sumpah. Sumpah tersebut dapat dibalikkan kepada Penggugat karena terkait dengan perbuatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu hutang piutang. Sejalan dengan itu Mulyadi, (2009) berpendapat bahwa apabila Tergugat kemudian mengembalikan sumpah tersebut dan jika Penggugat tidak bersedia mengucapkan sumpah, maka bentuk putusannya adalah putusan akhir (model formulir D.36.Pdt) dengan amar : “Menolak gugatan penggugat dan penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara”. Sedangkan apabila Penggugat bersedia melakukan sumpah, juga diputus dengan bentuk putusan akhir (model formulir D.38.Pdt) dengan amar : “Mengabulkan gugatan Penggugat dan Tergugat dihukum membayar biaya perkara”. Pertimbangan hakim yang mengesampingkan alat bukti sumpah pemutus yang sudah diucapkan tersebut tidak disertai dengan pertimbangan hukum yang cukup dan logis. Hal ini tentu akan
Penafsiran hakim Dalam menangani suatu perkara dipengadilan, hakim dapat melakukan suatu penafsiran hukum. Yang dimaksud dengan penafsiran hakim adalah salah satu metode penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam menerapkan alat bukti sumpah pemutus. Apakah penafsiran terhadap pasal-pasal yang mengatur tentang alat bukti sumpah pemutus telah sesuai dengan metode penemuan hukum. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan terlebih dahulu tentang metode penemuan hukum oleh hakim yaitu Undang-undang sebagaimana kaidah pada umumnya berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia, sehingga harus dilaksanakan atau ditegakkan. Undang-undang harus diketahui oleh umum, tersebar dan harus jelas. Kejelasan undang-undang sangatlah penting. Oleh karena itu setiap undangundang selalu dilengkapi dengan penjelasan yang dimuat dalam tambahan lembaran negara. Namun seringkali terjadi penjelasan tersebut juga tidak memberi kejelasan, karena hanya dinyatakan “cukup jelas”, padahal secasa tekstual masih tidak jelas sehingga memerlukan penjelasan. Setiap Undang-undang bersifat statis dan tidak dapat megikuti perkembangan masyarakat, tidak jelas dan tidak lengkap sehingga menimbulkan ruang kosong yang perlu diisi. Tugas mengisi ruang kosong itulah dibebankan kepada hakim dengan melakukan penemuan hukum. PEMBAHASAN Pada penelitian ini terlihat bahwa pemahaman hakim terhadap alat bukti sumpah pemutus, pemahaman itu kemudian melahirkan penafsiran yang berbeda terhadap ketentuan Pasal 156 HIR/183 RBg yang mengatur tentang sumpah pemutus. Yang terakhir adalah faktor budaya (kultur) masyarakat yang berperkara, yang sudah terbiasa dengan sumpah sebagai alternatif dalam menyelesaikan masalah yang timbul diantara mereka. 118
Alat Bukti, Sumpah Pemutus, Pengadilan
ISSN 2252-7230
menimbulkan pertanyaan, apakah hakim tidak memahami hakekat dari alat bukti sumpah pemutus, dalam bagian selanjutnya akan dibahas mengenai pertimbangan hukum dalam putusan hakim tersebut. Apakah ada hal lain yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim, atau sematamata karena faktor ketidakpahaman hakim. Menurut Ali, (1993) ada 2 (dua) teori penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh hakim dalam praktek peradilan, yaitu melalui metode interpretasi atau penafsiran dan metode konstruksi. Interpretasi hukum (penafsiran) terjadi apabila terdapat ketentuan undang-undang yang secara langsung dapat diterapkan pada kasus konkrit yang dihadapi, atau metode ini dilakukan dalam hal peraturannya sudah ada, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit atau mengadung arti pemecahan atau penguraian akan suatu makna ganda, norma yang kabur (vage normen), konflik antar norma hukum (antinomy normen) dan ketidakpastian dari suatu perundang-undangan. Interpretasi terhadap teks peraturan per undang-undangannya pun masih tetap berpegang pada bunyi teks tersebut. Terkait dengan kedudukan Yurisprudensi dalam sistem hukum di Indonesia, menurut Manan (1995), sistem peradilan Indonesia tidak menganut asas precedent (hakim terikat dan tidak boleh menyimpang dari putusan-putusan terdahulu dari hakim yang lebih tinggi atau yang sederajat tingkatannya) atau ajaran stare decisis. Jadi hakim-hakim Indonesia bebas mengikuti atau tidak putusan-putusan hakim terdahulu. Walaupun demikian, dalam praktek peradilan, hakim-hakim menuruti Yurisprudensi tetap (Vaste jurisprudentie) dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara-perkara yang mirip atau sejenis, terutama Yurisprudensi Mahkamah Agung. Sebagai salah satu sumber hukum, pada hakekatnya Yurisprudensi mem-
punyai beberapa fungsi yaitu,: (1). Menegakkan adanya standar hukum yang sama dalam kasus/perkara yang sama atau serupa, dimana Undang-undang tidak mengatur atau belum mengatur ; (2). Menciptakan rasa kepastian hukum di masyarakat dengan adanya standar hukum yang sama ; (3). Menciptakan adanya kesamaan hukum serta sifat dapat diperkirakan (predictable) pemecahan hukumnya ; (4). Mencegah terjadinya kemungkinan disparitas (perbedaan) dalam berbagai putusan hakim pada kasus yang sama, sehingga kalaulah terjadi perbedaan putusan antara hakim yang satu dengan yang lain dalam kasus yang sama, maka hanya bercorak sebagai variabel secara kasuistik (case by case). Berdasarkan uraian-uraian diatas, menurut pendapat Penulis seharusnya hakim tidak lagi melakukan penafsiran terhadap rumusan pasal 156 HIR/183 R.Bg tersebut, karena disamping rumusan pasal tersebut telah jelas, Mahkamah Agung RI melalui yurisprudensi tetapnya (vaste jurisprudentie) telah memberikan pedoman bagi hakim dalam menerapkan sumpah pemutus. Menurut Yahya Harahap, penerapan alat bukti sumpah yang menentukan (decisoir eed) baru memenuhi syarat formil apabila sama sekali tidak ada alat bukti lain atau tidak ada upaya lain. Secara total para pihak tidak mampu mengajukan alat bukti tulisan, saksi maupun persangkaan dan pihak tergugat tidak mengakui dalil gugatan. Berarti persidangan dalam keadaan berhenti dalam tahap proses pemeriksaan pembuktian, karena para pihak tidak mengajukan bukti apapun, baru dibolehkan menerapkan pembuktian sumpah menentukan. Menurut Soekanto, (2013) faktorfaktor yang mempengaruhi penegakan hukum itu, adalah sebagai berikut : (1). Faktor hukumnya sendiri, yang dibatasi pada undang-undang saja. (2). Faktor penegak hukum, pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. (3). Faktor sarana atau fasilitas yang 119
Sofian Parerungan
ISSN 2252-7230
mendukung penegakan hukum. (4). Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. (5). Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup. Hakim sebagai penegak hukum menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa : “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Dalam penjelasan pasal ini dikatakan; “ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat”. Jadi hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, (Rifai, 2011). Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch , tentang tiga ide dasar hukum, yang oleh para pakar hukum diidentikkan juga sebagai tujuan hukum yang dengan asas priorotas selalu menempatkan keadilan sebagai prioritas utama, lalu kemanfaatan dan yang terakhir barulah kepastian hukum, sehingga ketika hakim harus memilih antara keadilan dan kepastian Hukum, maka pilihan harus pada keadilan terlebih dahulu, walaupun kemudian berkembang ajaran prioritas baku dimana hakim hendaknya menempatkan tujuan hukum berdasarkan kebutuhan hukum dalam kasus tertentu, (Ali, 2002). Kepastian hukum sebagai perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh
sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat. Sudikno Mertokusumo dalam memandang ketiga asas (tujuan hukum) tersebut mengemukakan bahwa didalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur itu harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Meskipun dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut, namun harus berusaha ke arah itu, karena ketiga unsur itulah merupakan tujuan hukum yang akan ditegakkan dalam masyarakat. Dengan demikian hakim seharusnya mengikuti asas prioritas kasuistis atau sesuai dengan kasus yang dihadapi, (Mertokusumo dan A.Pitlo, 1993). KESIMPULAN DAN SARAN Perbedaan persepsi hakim dalam menerapkan alat bukti sumpah pemutus dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain : pemahaman hakim terhadap alat bukti sumpah pemutus, pemahaman itu kemudian melahirkan penafsiran yang berbeda terhadap ketentuan Pasal 156 HIR/183 RBg yang mengatur tentang sumpah pemutus. Yang terakhir adalah faktor budaya (kultur) masyarakat yang berperkara, yang sudah terbiasa dengan sumpah sebagai alternatif dalam menyelesaikan masalah yang timbul diantara mereka. Sebagai penegak hukum dan keadilan, hakim seyogianya melakukan penafsiran hukum yang sama terhadap sumpah pemutus. Disamping itu, kultur masyarakat yang diakomodir oleh hakim hendaknya bersifat kasuistis, dengan memperhatikan kebutuhan perkara tersebut karena kultur masyarakat tidak mengikat hakim dalam menjatuhkan putusan.
120
Alat Bukti, Sumpah Pemutus, Pengadilan
ISSN 2252-7230
DAFTAR PUSTAKA Ali Achmad, (1993). Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta. Ali Achmad, (2002). Menguak Tabir Hukum, Toko Gunung Tbk, Jakarta. Natsir Asnawi, M. (2013). Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia, Kajian Kontekstual Mengenai Sistem, Asas, Prinsip, Pembebanan dan Standar Pembuktian, UII Press, Yogyakarta. Yahya Harahap, (2005). Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta. Manan, Bagir, (1995). Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, LPPM-UNISBA, Bandung. Sudikno Mertokusumo, dan Pitlo A.
(1993). Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta Sudikno Mertokusumo, (1998). Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Mulyadi, Lilik, (2009). Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Soerjono, dkk, (2008). Metode Penelitian, Suatu Pemikiran dan Penerapan, Rineka Cipta, Jakarta Soerjono, (2013). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajagrafindo persada, Jakarta. Rifai, Ahmad, (2011). Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.
121