Judul Kajian : KOMPETENSI TENAGA PERENCANA PEMERINTAH DALAM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL DAN DAERAH Nama Unit Pelaksana :
Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Email:
[email protected] Abstrak Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Peirmbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menekankan penyelenggaraan otonomi daerah atas dasar prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Implikasi dari UU tersebut adalah adanya perubahan mendasar terutama sistem dan mekanisme pembangunan yang meliputi sistem dan mekanisme perencanaan, hubungan pemerintah pusat dan daerah, distribusi alokasi, implementasi, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan. Dengan adanya perubahan sistem dan mekanisme pembangunan, maka sistem perencanaan pembangunan juga akan berubah. Untuk mencapai tujuan tersebut diatas maka syarat yang harus dipenuhi adalah meningkatkan kualitas perencana sesuai dengan kompetensinya dan meningkatkan kapasitas organisasi perencana. Tujuan penelitian ini adalah (a) penyusunan rumusan kompetensi tenaga perencana dalam sistem perencanaan pembangunan nasionald an daerah, (b) mengukur tingkat kesenjangan kompetensi perencana, dan (c) penyusunan program dan bidang studi yang relevan dengan kebutuhan perencana.Metode dalam pendekatan kajian ini dilakukan dengan studi literratur yang berhubungan dengan komptensi serta survey lapangan baik melalaui kuisioner maupun dengan wawancara kepada nara sumber yang kompten. Survey dilaksanakan di 16 propinsi, 20 kabupaten, dan 11 kota. Unit-unit perencana yang menjadi responden adalah Bappenas, Bappeda, Bappeko, unit perencanaan pada Departemen, Lembaga Non Departemen, Dinas dan instansi lainnya di Kabupaten, Kota dan Propinsi, dengan total responden berjumlah 872 orang. Untuk memperoleh profil perencana sesuai dengan penjenjangan dalam dalam JFP, maka dilakukan pendekatan dengan golongan pegawai negeri. Dari jumlah tersebut, jumlah Perencana Pertama adalah 336 orang, 227 Perencana Muda, 180 Perencana Madya, dan 129 Perencana Utama. Secara umum hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa gap kompetensi pengetahuan berhubungan positif dengan jenjang; perencana mulai dari pertama hingga madya. Artinya, dengan standar yang telah dikembangkan dapat terlihat bahwa semakin tinggi jenjang perencana, semakin tidak dapat mencapai standar kompetensi yang telah dikembangkan. Selain itu dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kompetensi perencana di Bappenas dan Bappeda dengan instansi lain, dimana perencana di Bappenas dan Bappeda memiliki kompetensi dalam bidang perencanaan yang lebih tinggi dari perencana di instansi lain. Sedangkan dari sisi profil pengalaman, secara umum dapat terlihat bahwa semakin tinggi jenjang, semakin banyak perencana melakukan kegiatan perencanaan. Hal ini sesuai dengan metode golongan yang diterapkan dalam sistem pegawai negeri di Indonesia. Sedangkan rekomendasi dari penelitian ini adalah bahwa kompetensi yang berhubungan dengan keahlian dan profesionalisme adalah hal yang tidak terdapat dalam Kep. MENPAN No 16 tahun 200l. Namun demikian, paradigma baru dalam hubungannya dengan keahlian dan profesionalisme harus dimulai mengingat iklim globalisasi dan reformasi yang menghendaki aparat pemerintah untuk lebih
1
profesional. Oleh karena itulah beberapa materi sehubungan dengan keahlian dan profesionalisme diusulkan dalam penelitian ini. Rekomendasi dalam kajian ini pada prinsipnya adalah adanya pelatihan untuk mengisi gap kompetensi peencana. Modul pelatihan dibagi tiga sesuai dengan standar kompetensi yang ada. Untuk materi Knowledge, rekomendasi dibuat berdasarkan kesenjangan yang terjadi di lapangan antara standar dan kompetensinya. Sedangkan untuk Skills dan Attitude, rekomendasi dibuat dari standar kompetensi. Rekomendasi ini bukanlah sesuatu yang sifatnya kaku namun bisa disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Dalam pelaksanaan pelatihannyapun, tidak selalu berarti pelatihannya harus dipisah antara knowledge, skills dan Attitude, tetapi bisa saja digabung ketiga hal tersebut.
2
I.
LATAR BELAKANG Otonomi daerah yang saat ini sedang dilaksanakan, menyebabkan daerah menghadapi dua hal sekaligus, yaitu bertambahnya wewenang dan juga tanggung jawab. Wewenang dalam menjalankan pembangunan dengan mengelola keuangan daerah sendiri, diikuti dengan tanggung jawab dalam menyediakan sarana-sarana yang diperlukan agar roda pembangunan daerah dapat berjalan dengan baik. Salah satu tanggung jawab yang diterima daerah adalah tanggung jawab organisasi pemerintahan, dimana pemerintah daerah harus memiliki organisasi pemerintah yang efisien sehingga tujuan pembangunan tercapai. Sebuah organisasi dapat didesain berdasarkan fungsinya, dan salah satu fungsi yang sangat diperlukan oleh pemerintah adalah perencanaan. Perencanaan merupakan suatu keharusan dalam suatu pembangunan, sehingga segala upaya pembangunan tidak menjadi sia-sia dan tanpa koordinasi antara satu bidang dan bidang yang lainnya. Agar tujuan organisasi dapat tercapai, suatu standar kompetensi bagi pelaksanaan fungsi perencanaan dalam sebuah organisasi itu pun menjadi suatu keharusan. Kajian "Kompetensi Tenaga Perencana Pemerintah Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional/Daerah" pada dasarnya adalah usaha. dalam menjawab tantangan ini. Keinginan untuk menetapkan suatu standar kompetensi sebetulnya sudah ada sejak tahun 1996 dimana Bappenas sudah melakukan kajian profil perencana Indonesia, serta usulan pendidikan dan latihan yang diperlukan oleh perencana.
II. TUJUAN KAJIAN a. Penyusunan rumusan kompetensi tenaga perencana yang diperlukan dalain sistem perencanaan pembangunan nasional dan daerah setelah pemberlakuan desentralisasi dan otonomi daerah. b. Pengukuran tingkat kesenjangan kompetensi perencana pada beberapa sampel lembaga pemerintah pusat dan pemerintah daerah. c. Penyusunan program dan bidang studi yang relevan dengan kebutuhan peningkatan kompetensi perencana pemerintah pusat dan pemerintah daerah III.
RUANG LINGKUP KEGIATAN a. Merumuskan standar kompentensi tenaga perencana pembangunan pada lembaga perencanaan di tingkat pusat, yaitu Bappenas dan Unit Perencanaan Departemen, dan di tingkat daerah, yaitu Bappeda dan Unit Perencanaan Dinas-Dinas Pemerintah Propinsi Kabupaten/Kodya. b. Melakukan pengukuran tingkat kesenjar.gan antara kebutuhan standar kompetensi dengan tingkat kompetensi yang tersedia pada sampel beberapa lembaga dan unit perencanaan pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah.dan Pemerintah. c. Melakukan kajian dan memberikan rekomenda~i program dan bidang studi yang dapat dil:elola oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bappenas sesuai tugas dan fungsinya, dalam rangka upaya peningkatan kapasitas lembaga perencanaan pembangunan.
IV.
METODOLOGI KAJIAN Kajian ini dimulai dengan studi literatur mengenai kompetensi. Studi literatur ini dibagi menjadi beberapa kelompok literatur. Kelompok literatur yang pertama
3
adalah peraturan-peraturan yang sehubungan dengan kompentensi ini. Selanjutnya, kelompok literatur yang kedua adalah penelitian dan standar kompetensi yang telah dibuat oleh lembaga-lembaga lain, seperti misalnya penelitian oleh LPEM, standar kompetensi oleh Asosiasi Perencana Indonesia, dan bahan-bahan seminar yang sehubungan dengan perencana. Kelompok literatur yang ketiga adalah teori-teori dalam kompetensi. Studi pustaka dilaksanakan dalam usaha menetapkan standar kompetensi. Adapun metodologi yang digunakan adalah metode deduksi, dimana proses penentuan standar dimulai dari jenjang yang ada dalam jabatan perencana dan dilanjutkan dengan identifikasi tugas dan tanggung jawab setiap jabatan. Selanjutnya, berdasarkan teori yang ada, ditentukan kompetensi yang dibutuhkan dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut. Selanjutnya, diidentifikasi keahlian dan pendidikan yang dibutuhkan dalam tugas untuk setiap jabatan perencana. Bersamaan dengan studi pustaka, juga diadakan wawancara ke pihakpihak terkait. Setelah diadakan studi pustaka, langkah selanjutnya adalah melakukan survey lapangan. Survey lapangan ini dilakukan di berbagai Propinsi, Kabuapten dan Kota terpilih. V.
LOKASI DAN RESPONDEN Survey lapangan dilaksanakan di 16 Propinsi, 20 kabupaten, dan 11 kota. Unit-unit perencana yang menjadi responden adalah Bappenas, Bappeda, Bappeko, unit perencanaan pada Departemen, Lembaga Non Departemen, Dinas dan instansi lainnya di Kabupaten, Kota dan Propinsi, dengan total responden berjumlah 872 orang. Untuk memperoleh profil perencana sesuai dengan penjenjangan dalam dalam JFP, maka dilakukan pendekatan dengan golongan pegawai negeri. Dari jumlah tersebut, jumlah perencana Pertama adalah 336 orang, 227 perencana muda, 180 perencana madya, dan 129 perencana utama. Secara umum, survei berlangsung dengan lancar, terlihat dari target responden perencana yang terkumpul mencapai hampir 100% (97.71%) atau 852 responden dari total target 872 responden. Namun demikian, yang menjadi kendala utama adalah sulitnya untuk mendapatkan responden untuk golongan tinggi (gol. VID dan IVE) dimana hanya didapat 1 responden.
VI.
STUDI PUSTAKA Kegiatan perencanaan dapat didefiniskan sebagai suatu kegiatan penyusunan rencana yang prosesnya ditata dan dijalankan secara sistematik, produknya dirumuskan dengan sistematik dan didasarkan pada pemikiran logic dan obyektif. (GTZ; 1999). Sedangkan dalam KEPMENPAN No. 16 Tahun 2001 disebutkan, bahwa Perencana adalah “Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas tanggungjawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan kegiatan perencanaan pada unit perencanaan tertentu”. (Kepmenpan No. 16; 2001). Karena dalam Kepmenpan No. 16 jenjang jabatan fungsional perencana ada 4 (empat), maka perencana dapat dibagai 4 (empat) yaitu: (a) perencana pertama, (b) perencana muda, (c) perencana madya, dan (d) perencana utama. Selanjutnya berdasarkan jenjang jabatan dan kegiatan perencanaan yang ada dalam Kepmenpan, maka analisa yang dilakukan adalah dengan mengidentifikasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh perencana pada setiap jenjang. Selanjutnya dilakukan pemetaan antara kegiatan-kegiatan per jenjang tersebut dengan tahapan-tahapan dalam kegiatan perencanaan itu sendiri, yang dapat digambarkan sebagai berikut:
4
Tabel 1 Analisa Tahapan Kegiatan dan Jenjang Perencana Tahapan Identifikasi masalah Perumusan alternatif Pengkajian alternatif Penentuan alternatif dan rencana Pengendalian Penilaian X = ada Ta = tidak ada
Pertama X Ta X Ta X X
Muda X X X X Ta X
Madya Ta X X X X X
Utama Ta X X X X X
Berdasarkan gambaran diatas, dapat diidentifikasi bahwa bahwa ada perencana-perencana yang tidak melakukan seluruh tahapan-tahapan pekerjaan. Perencana Pertama tidak melakukan tahapan pengidentifikasian masalah, pengkajian alternatif, pengendalian dan penilaian. Dalam perumusan alternatif, perencana Pertama tidak melakukannya. Demikian pula Perencana Muda dan Utama tidak melakukan tahapan identifikasi masalah. Selanjutnya, perencana Muda tidak melakukan tahapan pengendalian. Adanya beberapa tahapan pekerjaan yang tidak dilaksanakan dalam setiap jenjang perencana tidak sesuai dengan karakteristik pekerjaan perencana itu sendiri. Perencana, yang dapat dikatakan sebagai sebuah profesi, memiliki keahlian-keahlian yang menunjukkan bahwa setiap perencana harus dapat melakukan seluruh tahapan perencanaan yang ada. Hal ini sesuai dengan teori manajemen yang menggambarkan keahlian yang harus dimiliki sebuah manajer mencakup keahlian conceptual skills, human skills dan technical skills, dengan penekanan yang berbeda-beda pada setiap level manajemen (Jones at all, 1998). Bila selanjutnya konsep ini diaplikasikan ke profesi perencana pembangunan, dapatlah digambarkan sebagai berikut: Gambar 1 Konsep Jenis Kehalian dan Pekerjaan Level Manajer dan Perencana
Conceptual Skills Top Manajer Middle Manajer First Line Manajer
Human Skills
Technical Skills Utama Madya Muda Pertama
Untuk mengetahui kompetensi apa yang harus dimiliki oleh perencana, maka perlu dilihat apa yang menjadi tanggungjawab perencana tersebut. Tetapi berdasarkan KepMenpan No. 16 Tahun 2001, dirumuskan bahwa terdapat tanggungjawab perencana secara umum. Secara umum tugas utama perencana adalah menghasilkan perencanaan yang berhubungan dengan penyusunan kebijakan yang akan menjadi arah
5
pembangunan. Jadi output perencana adalah kebijakan-kebijakan. Dari kegiatankegiatan tersebut kegiatan yang yang secara langsung berhubungan dengan penyusunan kebijakan adalah perumusan alternatif kebijakan, pengkajian alternatif kebijakan, serta penentuan alternatif dan rencana. Dalam penyusunan suatu kebijakan, ternyata kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh jenjang perencana yang berbeda. VI.
HASIL PENGUMPULAN DAN ANALISA DATA Dari hasil survey di lapangan dapat dikelompokkan dalam empat berdsarkan tingkat pemerintahan, yaitu: Kesenjangan kompetensi perencana di instansi Pusat, Propinsi, Kabupaten dan Kota. a. Kesenjangan Kompetensi Perencana Di Pusat Untuk instansi pusat, profil responden instansi pusat secara umum terdiri dari lembaga perencana di Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen. Jumlah responden seluruhnya 75 orang, dengan komposisi yang hampir sama antara responden yang berasal dari Bappenas (40%) dan dari Departemen (41,3%) dan lengkap mulai dari perencana pertama sampai dengan perencana utama. Meskipun responden relatif sedikit dibanding dengan responden propinsi, kabupaten dan kota, namun untuk golongan dan jenjang responden perencana pusat cukup lengkap, yaitu perencana Pertama sampai dengan perencana Utama. Dalam hal pendidikan responden, perencana pusat tidak ada yang pendidikannya S1, bahkan sebagian besar lulusan S2 yang mencapai lebih dari 50 % responden pusat. Untuk keikutsertaan responden dalam mengikuti Diklat perencana, jumlah responden yang sudah pernah mengikuti diklat perencana (52%) dan yang belum pernah (48%) selam 2 tahun terakhir hampir berimbang. Jika dilihat responden yang paling banyak tidak mengikuti diklat ternyata justru berasal dari Bappenas. Di Pusat, Gap kompetensi knowledge diperoleh dari pengolahan perbedaan antara nilai standar kompetensi knowledge untuk masing-masing jenjang perencana dengan nilai aktual yang dipilih responden tiap jenjang. Dari hasil survey dapat diketahui bahwa gap kompetensi knowledge dari masing-masing jenjang perencana di tiap instansi, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum responden yang memiliki gap kompetensi di bawah standar akan semakin besar dengan semakin tingginya jenjanga perencanaan kecuali untuk perencana Utama bappenas dan Departemen. Repsonden Perencana Utama non departemen memiliki gap kompetensi dibawah standar yang paling banyak (91,9%). Untuk seluruh jenjang perencana, responden Bappenas relatif lebih baik kompetensinya daripada responden Departemen dan Non Departemen lainnya. Hal ini dapat dilihatd ari prosentase responden Bappenas yang berada dibawah standar paling sedikit dibandingkan dengan responden lainnya. Materi yang kompetensinya dibawah standar (lebih dari 50% responden) juga semakin banyak dengan semakin tingginya jenjang perencana kecuali untuk perencana Utama. Bahkan utuk deparyemen dan NonDepartmen, hampir semua materi yang 50% respondenya memiliki kompetensi dibawah standar. Secara umum, rata-rata standar kompetensi knowledge yang dibutuhkan untuk semua jenjang perencana lebih tinggi daripada kompetensi yang diperoleh di lapangan sehingga selalu diperoleh gap positif. Untuk kompetensi knowledge perencana Pertama, Muda, dan Utama di Bappenas relatif lebih baik dari pada kompetensi di Departemen maupun non departemen, terlihat dari gap yang selalu positif. Berbeda dengan perencana Madya, dimana Departemen memiliki kompetensi knowledge yang lebih tinggi daripada perencana Bappenas.
6
Sedangkan dari keahlian di Pusat, secara umum rata-rata standar kompetensi keahlian yang dibutuhkan untuk semua jenjang perencana lebih rendah daripada kompetensi yang diperoleh di lapangan, sehingga selalau diperoleh gap negatif untuk perencana Pertama dan Muda. Hal yang sebaliknya, untuk perencana madya dan Utama, kompetensi keahlian yang diperoleh di lapangan justru lebih rendah daripad standar yang ada. Dilihat dari instansinya, hampir semua jenjang perencana di Bappenas relatif lebih kompetensi keahliannya daripada perencana di departemen maupun Non Departemen kecualai perencana Madya, dimana kompetensi terbaik terdapat pada perencana Departemen. Dilihat dari gap antara standar dan kompetensi keahlian yang ada di lapangan, maka gap negatif yang paling besar atau kompetensi yang lebih tinggi daripada standar terdapat pada perencana Pertama Bappenas dan gapa negatif terekcel adalah Perencana Pertama Departemen. Sedangkan untuk gap positif terkecil terdapat pada perencana Madya Departemen dan gap positif terbesar atau kompetensi yang jauh lebih rendah daripada standar kehalian, terdapat pada perncana Utama non Departemen. Dilihat dari gap antara standar knowledge dan kompetensi yang ada di lapangan, maka gap yang paling besar terdapat di Perencana Muda non Departemen, sedangkan gap terekcilnya ada di perencana Pertama Bappenas. Secara umum, rata-rata standar kompetensi profesionalisme yang dibutuhkan untuk semua jenjang perencana lebih tinggi daripada kompetensi yang diperoleh di lapangan, sehingga selalu diperoleh gap positif untuk semua jenjang perencana. Gap yang terdapat pada standar profesionalisme ini tidak berpola seperti standar kompetensi sebelumnya (knowledge dan keahlian). Untuk semua jenjang perencana, sebagian besar responden Bappenas memang lebih unggul kompetensi profesionalismenya daripada responden lainnya di Departemen dan Non Departemen kecuali perencana Madya di Departemen. Dilihat dari gap antara standar dan kompetensi profesionalisme yang ada di lapangan, maka gap yang paling besar atau kompetensi yang paling rendah dibandingkan dengan standarnya terdapat pada Perencana Madya Non departemen, perencana Utama Departyemen dan Non Departemen. Sedangkan gap terkecil terapat pada perencana Pertama Bappenas dan Non departemen. b. Kesenjangan Kompetensi Perencana Di Propinsi Untuk jumlah repsonden perencana Propinsi adalah 157 orang, baik itu yang bekerja di Bappeda (70,7%), maupun di Dinas (19,1%) dan di Instansi lain (10,2 %). Dinas yang dipilih adalah yang dianggap paling banyak melakukan perencanaan, ternyata untuk daerah propinsi, dinas yang terpilih sebagai sampel adalah dinas-dinas yang menangani fisik, akan tetapi bukan berarti bahwa dinas yang menangani masalah sosial ekonomi tidak berperan. Di propinsi tidak diperoleh responden perencana Utama. Golongan responden tertinggi adalah IV/C (dua orang). Perencana golongan III/C dan III/D adalah reponden dengan presentase terbesar. Tingkat pendidikan perencana di propinsi ada yang pendidikannya dibawah S1, tetapi mereka sudah cukup lama bekerja sebagai perencana. Responden umumnya juga telah mengikuti diklat di bidang perencanaan. Profil pengalaman perencanaan perencana di tingkat propinsi menunjukkan bahwa secara umum dalam hal kesempatan untuk mengaplikasikan materi ke dalam kegiatan perencanaan, secara umum, baik di Bappeda propinsi maupun non Bappeda propinsi, semakin tinggi jenjangnya maka semakin tinggi intensitasnya.
7
Untuk gap knowledge, secara ringkas, di tingkat Propinsi, presentase responden yang di bawah standar terbanyak adalah untuk jenjang Madya. Jika kita tihat jumlah materi yang terjadi gap lebih dari 50%, ternyata semakin tinggi jenjang perencana, maka semakin banyak pula materi dimana sebagian besar responden belum memenuhi standar. Hal ini juga terlihat dalam tabel dibawah yang menunjukkan 'indeks' standar dan 'indeks' kompetensi propinsi. Kesenjangan kompetensi yang terbesar adalah perencana Madya, dilanjutkan dengan Muda dan Pertama. Juga dapat terlihat bahwa perencana non Bappeda secara rata-rata memiliki kesenjangan yang lebih besar dibandingkan dengan perencana Bappeda. Sedangkan gap untuk keahlian di propinsi, persentase perencana pertama yang diabwah standar hanya sebagiankecil. Pada beberapa kehalian tidak ada gap dibawah standar, karena belum ada tuntutan standar kompetensi pad akehalian tersebut, yaitu meyaakinkan stakeholder, presentasi tingkat inetransional, nasional, negosisasi tingkat nasional dan internasional serta membuat makalah dalam bahasa Inggris. Sedangkan untuk jenjang perencana Muda non Bappeda, secara keseluruhan lebih banyak yang dibawah standar dibandingkan perencana Bappeda, tetapi untuk perencana Madya non Bappeda, sedikit memiliki pola yang berbeda, dimana keahlian yang sebagian besar perencana Madya non Bappeda di bawah standar adalah berpikir analitis, kepemimpinan, manajemen dan administrasi proyek. Secara keseluruhan, pada setiap jenjang, perencana di Propinsi, tenyata sebagian besar masih di bawah standar untuk komponen profesionalisme dalam hal integritas diri. Jika kita komponen profesionalisme diambil dari komponen attitude, maka gap dalam hal integritas diri, berarti adanya unsur-unsur filosofis, evaluasi diri, mengatasi masalah, dan tanggung jawab pribadi yang tidak dimiliki oleh para perencana tersebut. c. Kesenjangan Kompetensi Perencana Di Kabupaten Sedangkan untuk Kabupaten telah dilakukan survey di 18 Kabupaten yang tersebar pada 16 propinsi. Jumlah responden adalah 254 perencana kabupaten, baik itu yang bekerja di Bappeda (65,5%), maupun di Dinas (19,5%0 dan di instnasi lain (15%). Dinas yang dipilih adalah yang dianggap paling banyak melakukan perencanaan, ternyata di daerah kabupaten, dinas yang terpilih sebagai sampel cukup ebragam, yaitu dinas-dinas yang menangani perencanaan fisik, ekonomi maupun sosial. Di Kabupaten, seperti halnya di propinsi juga tidak diperoleh responden perencana Utama. Golongan responden tertinggi adalah IV/C yang termasuk jenjang Madya sebanyak dua orang. Begitu pula untuk tingkat pendidikan perencana di kabuapten masih banyak pendidikannya dibawah S1, walaupun mereka sudah cukup lama bekerja sebagai perencana. Secara keseluruhan perencana kabupaten per jenjang, baik itu di Bappeda maupun Non Bappeda Kabupaten, ternyata lebih dari 50% di bawah standar. Untuk Bappeda Kabupaten, persentase terbesar yang di bawah standar adalah untuk jenjang perencana Muda, sedangkan di Non Bappeda Kabupaten, persentase di bawah standar yang terbesar adalah perencana jenjang Madya. Untuk materi kompetensi knowledge, semakin tinggi jenjang perencana, maka semakin banyak jumlah materi yang mempunyai reponden di bawah standar lebih dari 50%. Dan jumlah materi dengan persentase responden di bawah standar di atas 50% untuk Non Bappeda lebih banyak dari pada Bappeda. Jika dilihat perbandingan nilai rata-rata kebutuhan dan nilai rata-rata 'standar, maka pada setiap jenjang nilai rata-rata kebutuhan lebih kecil dari nilai rata-rata standar, berarti terjadi gap kompetensi knowledge pada semua jenjang perencana
8
Kabupaten. Pada jenjang Prutama, nilai rata-rata gap sama antara Bappeda dan Non Bappeda, akan tetapi semakin tinggi jenjang, maka perbedaan gap antara perencan Bappeda dan Non Bappeda semakin besar, dan gap knowledge perencana Muda dan Madya di Non Bappeda lebih besar dari pada perencana Muda dan Madya di Bappeda. Jadi dapat disimpulkan bahwa gap kompetensi perencana di Kabupaten cukup banyak, sehingga materi-materi pelatihan yang dibutuhkan untuk memenuhi standar kompetensi juga banyak. Gap kompetensi Knowledge untuk Muda dan Madya lebih besar pada Non Bappeda dari pada Bappeda. Untuk Perencana Muda, baik di Bappeda maupun Non Bappeda, nilai rata-rata kebutuhan aktual lebih rendah dari nilai standar untuk jenjang di bawahnya (Pertama). Untuk Perencana Madya di Bappeda nilai rata-rata kebutuhan aktual sudah dapat melebihi nilai rata-rata standar dua jenjang di bawahnya (Pertama), tetapi belum dapat mencapai nilai rata-rata satu jenjang di bawahnya (Muda), sedangkan untuk perencana Madya di Non Bappeda nilai kebutuhan aktualnya baru mencapai nilai rata-rata standar dua jenjang di bawahnya (Pertama). Jika kita melihat kembali gap kompetensi knowledge di atas, maka dapat disimpulkan bahwa untuk jenjang Pertama, karakteristik penguasaan materi hampir sama antara Bappeda dan Non Bappeda, akan tetapi semakin tinggi jenjang perencana maka perbedaan karakteristik kompetensi knowledge antara Bappeda dan Non Bappeda semakin berbeda, sehingga, materinya juga semakin berbeda. Hasil dari gap kompetensi skill (keahlian), maka dapat dijelaskan bahwa apabila membandingkan nilai rata-rata standar yang dibutuhkan dengan nilai rata-rata aktual, maka ternyata untuk jenjang perencana Pertama tidak terjadi gap keahlian, jadi perencana Pertama kabupaten pada umumnya telah memenuhi standar yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan karena pada jenjang Pertama, terdapat keahlian yang belum dituntut kompetensinya tetapi sebenarnya mereka telah memilikinya. Untuk jenjang perencana Muda dan Madya, secara umum perencana Bappeda mempunyai keahlian yang relatif lebih tinggi dari perencana Muda dan Madya di Non Bappeda, yang. ini terlihat dari nilai gap yang lebih besar di perencana Muda dan Madya Non Bappeda dari pada Bappeda. Untuk perencana Muda Bappeda, nilai rata-rata aktualnya sama dengan kebutuhan nilai standarnya, maka dapat dikatakan, secara umum perencana Muda Bappeda telah memenuhi standar, walaupun untuk keahlian tertentu yaitu kepemimpinan, pengorganisasian kerja, dan presentasi tingkat internasional sebagian besar belum memenuhi standar. Sedangkan gap kompetensi profesionalisme kabupaten adalah apabila membandingkan nilai rata-rata standar yang dibutuhkan dengan nilai rata-rata aktual, ternyata pada semua jenjang memiliki nilai aktual yang sama dan di bawah nilai rata-rata standar yang dibutuhkan. Untuk perencana Pertama, nilai gapnya lebih rendah dari jenjang yang lain karena nilai rata-rata standar yang dibutuhkan pun lebih rendah, hal ini disebabkan beberapa komponen profesionalisme yaitu orientasi jangka panjang, achievment oriented dan. komitmen organisasi belum dituntut nilai yang tinggi. Untuk perencana Muda dan Madya, walaupun nilai rata-rata aktualnya sama, tapi komponen profesionalisme yang sebagian besar di bawah standar lebih sedikit perencana Madya dari pada perencana Muda, jadi pada dasarnya perencana Madya Kabupaten telah memiliki lebih banyak komponen profesionalisme dari pada perencana Muda kahupaten. Secara keseluruhan dari uraian gap sebelumnya, pada semua jenjang terjadi gap yang besar pada komponen integritas diri, dan komponen
9
team work pada perencana Pertama lebih baik dari pada perencana Muda dan Madya. d. Kesenjangan Kompetensi Perencana Di Kota Sedangkan survey di pemerintah Kota dilakukan di 13 kota yang tersebar pada 12 Propinsi. Jumlah responden perencana kota adalah 254 orang, baik itu yang bekerja di Bappeda (70,9%), maupun di Dinas (20,5°.%) dan di Instansi lain (8,7%). Dinas yang dipilih adalah yang dianggap paling banyak melakukan perencanaan, dan ternyata untuk tingkat kota, dinas yang terpilih sebagai sampel adalah dinas-dinas yang menangani perencanaan fisik, akan tetapi bukan berarti bahwa dinas yang menangani masalah sosial dan ekonomi tidak berperan. Untuk instansi lain, umumnya diambil bagian yang berhubungan dengan perencanaan pembangunan di sekretariat daerah, selain itu juga diambil Badan yang dianggap cukup berperan dalam perencanaan, yaitu Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Untuk gap knowledge, secara umum, di tingkat Kota, presentase responden di bawah standar yang terbanyak adalah untuk jenjang Muda. Akan tetapi secara keseluruhan, di setiap jenjang, sebagian besar responden tidak memenuhi standar dengan persentase yang tidak terlalu berbeda, yaitu antara 54% sampai 64%. Jika kita lihat jumlah materi yang terjadi gap lebih dari 50%, ternyata untuk Bappeda Kota semakin tinggi jenjang perencana, maka semakin banyak pula materi dimana sebagian besar responden belum memenuhi standar, sedangkan untuk Non Bappeda Kota jenjang perencana Muda dan Madya hampir sama. Jika dilihat perbandingan nilai rata-rata kebutuhan dan nilai rata-rata standar, ternyata terjadi gap kompetensi knowledge pada semua jenjang perencana Kota, hal ini terlihat dari nilai rata-rata aktual yang lebih kecil dari nilai rata-rata standar. Pada jenjang perencana Pertama, gap di Non Bappeda lebih besar dari pada Bappeda. Perbedaan gap antara perencana Bappeda dan Non Bappeda ini mengecil pada jenjang perencana Muda, bahkan pada jenjang perencana Madya, gap antara perencana di Bappeda dan Non Bappeda sama. Hal ini berarti bahwa pada jenjang Pertama, tingkat kompetensi knowledge perencana Bappeda lebih tinggi dari perencana Non Bappeda. Pada jenjang Madya, dimana mereka sudah memiliki jabatan yang penting, sering terjadi mutasi antara instansi Bappeda dan Non Bappeda, hal inilah yang menyebabkan nilai kompetensinya sama. Secara umum semakin tinggi jenjang, maka ada peningkatan kompetensi knowledgenya, hal ini terlihat dari nilai rata-rata aktual yang semakin tinggi. Akan tetapi peningkatan tersebut tidak dapat mengejar standar kompetensi yang diperlukan. Apabila kita lihat jumlah materi yang pada umumnya masih di bawah standar, pada jenjang Pertama, walaupun ada perbedaan nilai kompetensi knowledge, tapi secara umum materi yang dibutuhkan untuk pelatihan hampir sama. Perbedaan nilai pun tidak terlalu jauh berbeda. Perbedaan jumlah materi yang sebagian besar belum dikuasai pada jenjang Muda cukup besar antar Bappeda dan Non Bappeda. Akan tetapi nilai rata-rata aktualnya tidak jauh berbeda, jadi sebetulnya tingkat kopetensinya tidak jauh berbeda, perbedaan jumlah materi karena di Non Bappeda, banyak materi yang persentase dibawah satandarnya sedikit diatas 50%. Akan tetapi walaupun hanya sedikit diatas 50%, tetap berarti bahwa lebih banyak yang belum memenuhi standar dibandingkan dengan yang sudah memenuhi, jadi akan lebih adil jika pelatihan untuk materi tersebut diberikan juga. Seperti halnya gap pengetahuan (knowledge), maka gap keahlian perencana Kabupaten dapat dilihat nilai rata-rata aktual dan nilai standar di setiap jenjang untuk
10
kompetensi keahlian, ternyata pada setiap jenjang tidak ada perbedaan nilai gap antara Bappeda dan Non Bappeda. Untuk jenjang Pertama kompetensinya melebihi standar yang dibutuhan. Hal ini disebabkan karena pada jenjang Pertama, memang ada keahlian-keahlian yang belum dituntut untuk dikuasai, tapi pada dasarnya mereka sudah sedikit menguasainya. Untuk jenjang Muda, gap yang terjadi tidak besar, jadi secara nilai, mereka sudah hampir dapat memenuhi nilai standar yang diperlukan. Sedangkan untuk jenjang perencana Madya terjadi gap yang cukup besar. Perencana Madya memang dituntut keahlian yang lebih karena mereka umumnya sudah cukup berperan dalam perumusan kebijakan di daerah, tapi ternyata nilainya hanya sedikit di atas nilai standar untuk perencana Muda. Jadi gap yang besar di perencana Madya ini perlu menjadi perhatian, apa lagi dengan adanya otonomi daerah, banyak kebijakankebijakan yang sebelumnya ditentukan di pusat sekarang di daerah, seperti inyestasi asing, yang tentunya memerlukan kemampuan komunikasi orang baik dalam Bahasa Inggris dari para perencana Madya ini. Dari uraian sebelumnya, baik perencana Madya di Bappeda maupun di Non Bappeda, sebagian tidak dapat memenuhi standar untuk negosiasi dan komunikasi dan Bahasa Inggris. Sedangkan untuk perencana Muda, walaupun nilai kompetensinya sama, tapi perencana Muda Non Bappeda mempunyai kemampuan Bahasa Inggris yang lebih baik dari perencana Muda Bappeda. Sedangkan gap kompetensi profesionalisme dapat dibandingkan nilai rata-rata standar yang dibutuhkan dengan nilai rata-rata aktual, ternyata perbedaan nilai hanya terjadi pada jenjang Pertama, dan itupun tidak besar. Pada semua jenjang terjadi gap profesionalisme, dan pada jenjang Muda dan Madya, nilai gapnya cukup besar. Nilai standar untuk jenjang Muda dan Madya sama, begitu pula nilai aktualnya, jadi pada dasarnya kompetensi profesionalisme jenjang perencana Muda dan Madya sama. Jika kita lihat uraian sebelumnya, pada semua jenjang terjadi gap dalam hal team work dan integritas diri, dan pada jenjang Muda dan Madya gap juga terjadi dalam hal komitmen terhadap organisasi. VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Penelitian ini dibuat dengan berlandaskan KEPMENPAN No. 16 tahun 2001 tentang Jabatan Fungsional Perencana (JFP). Penyusunan standar ini cukup sulit karena untuk knowledge dasarnya adalah KEPMENPAN tentang Jabatan Fungsional Perencana. Walaupun banyak hal yang sudah dirasakan tidak sesuai, penyusunan standar kompetensi ini tetap perlu dilakukan karena JFP tetap akan dilaksanakan. Selain itu, untuk menyusun JFP tersebut sudah dilakukan dengan penelitian yang cukup lama. Langkah awal yang dilakukan dalam kajian ini adalah menganalisa KEPMENPAN terhadap kelompok-kelompok kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh perencana pembangunan per jenjang, dan dari hasil analisa terlihat bahwa perencana di setiap jenjang tidak menemukan seluruh aktivitas perencanaan yang ada. Kompetensi yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah kompetensi yang terdiri dari tiga komponen yaitu knowledge (pengetahuan), skills (keahlian dan attitude (profesionalisme). Kompetensi pengetahuan ini kemudian dikembangkan lebih mendetail dengan melihat tanggung jawab setiap perencana sebagaimana yang telah ditetapkan dalam KEPMENPAN No. 16 tersebut. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa kemampuan seseorang dapat dilihat dari bagaimana orang tersebut dapat menyelesaikan tanggung jawabnya dengan baik. Penyusunan standar kompetensi juga didasarkan pada studi literatur terutama untuk skills dan attitude. Skills dan Attitude yang dimaksud disini adalah keahlian dan sikap profesionalisme
11
secara umum yang harus dimiliki oleh seorang perencana, sehingga standar ini tidak bersifat kaku dalam arti standar masih bisa dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan. Dari hasil survey dianalisa gap antara standar dan kompetensi pengetahuan perencana di setiap jenjang untuk tingkat pemerintah pusat, Propinsi, kabupaten dan kota. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa gap kompetensi pengetahuan berhubungan positif dengan jenjang; perencana mulai dari pertama hingga madya. Artinya, dengan standar yang telah dikembangkan dapat terlihat bahwa semakin tinggi jenjang perencana, semakin tidak dapat mencapai standar kompetensi yang telah dikembanngkan. Hal ini antara lain disebabkan karena meskipun kompetensi perencana semakin meningkat sejalan dengan penjenjanganya tetapi standarnya juga semakin meningkat. Jadi, kompetensi yang ada tidak mampu menyesuaikan dengan tuntutan nilai standar. Hal ini menunjukan bahwa golongan yang semakin tinggi tersebut tidak menjamin semakin tinggi pula pengetahuan materi perencanaan yang dia miliki, karena golongan pegawai negeri hanyalah sebagai fungsi waktu bukan sebagai fungsi kinerja. Kondisi ini diperparah dengan kurang terlibatnya para perencana tersebut dalam kegiatan perencanaan sehingga pengetahuannya yang diperoleh dari pengalaman sebagai perencana juga kurang memadai. Kesenjangan yang terjadi terutama pada kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya sesuai dengan JFP tersebut dan materi-materi dasar. Kesimpulan lain yang dapat diambil adalah ada perbedaan yang signifikan antara kompetensi perencana di Bappenas dan Bappeda dengan instansi lain, dimana perencana di Bappenas dan Bappeda memiliki kompetensi dalam bidang perencanaan yang lebih tinggi dari perencana di instansi lain. Dari sisi profil pengalaman, secara umum dapat terlihat bahwa semakin tinggi jenjang, semakin banyak perencana melakukan kegiatan perencanaan. Hal ini sesuai dengan metode golongan yang diterapkan dalam sistem pegawai negeri di Indonesia. Dengan sistem golongan ini, seseorang dapat meningkat golongannya dengan pertimbangan lama bekerja. Namun demikian, sistem kepegawaian ini secara tidak langsung mengabaikan kompetensi pegawai yang bersangkutan. Pegawai yang potensi, tidak akan dapat naik golongannya bila belum mencapai masa kerja yang ditentukan. Sebaliknya, pegawai yang tidak kompeten, akan tinggi golongannya karena sudah memenuhi dari sisi kriteria lama bekerja. Hal ini menjawab penemuan gap kompetensi pengetahuan dimana semakin tinggi golongan, semakin besar gap kompetensinya. Dengan kata lain, banyak pejabat-pejabat tinggi yang menjabat yang tidak berdasarkan kemampuan, tetapi hanya berdasarkan senioritas dan lama bekerja, tanpa adanya proses pembelajaran hagi perencana. Kompetensi yang sehubungan dengan keahlian dan profesionalisme adalah hal yang tidak terdapat dalam KEPMENPAN No 16 tahun 200l. Namun demikian, paradigma baru sehubungan dengan keahlian dan profesionalisme harus dimulai mengingat iklim globalisasi dan reformasi yang menghendaki aparat pemerintah untuk lehih profesional. Oleh karena itulah beberapa materi sehubungan dengan keahlian dan profesionalisme diusulkan dalam penelitian ini. Dari kajian ini maka direkomendasikan adanya Diklat di bidang perencanaan untuk mengisi gap kompetensi perencana tersebut. Secara umum materi pelatihan terdiri dari 3 (tiga) sesuai dengan standar kompetensi yang ada. Untuk materi Knowledge, rekomendasi dibuat berdasarkan kesenjangan yang terjadi di lapangan antara standar dan kompetensinya. Sedangkan untuk Skills dan Attitude,
12
rekomendasi dibuat dari standar kompetensi. Rekomendasi ini bukanlah sesuatu yang sifatnya kaku namun bisa disesuaikan denagn kebutuhan daerah. Dalam pelaksanaan pelatihannya pun, tidak selalu berarti pelatihannya harus dipisah antara knowledge, skills dan Attitude, tetapi bisa saja digabung ketiga hal tersebut.
13