JST Kesehatan, Juli 2016, Vol.6 No.3 : 298 – 302
ISSN 2252-5416
EVALUASI EFEKTIFITAS KONSELING OLEH APOTEKER TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU The Evaluation of the Counseling Effectiveness on the Knowledge Improvement and the Compliance of the Lung Tuberculosis Patient
Zulham, Mufidah, Irawaty Djaharuddin Jurusan Farmasi Universitas Hasanuddin Makassar (Email:
[email protected])
ABSTRAK Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi dan membandingkan pengaruh pemberian konseling oleh apoteker dengan kelompok control terhadap peningkatan pengetahuan dan kepatuhan pasien tuberculosis di RSUP Wahidin Sudirohusodo dan BBKPM makassar. Mpengukuran pengetahuan dan kepatuhan dilakukan dengan metode tidak langsusn menggunakan kuesioner. Penelitian ini dilaksanakan di rumah sakit umum pusat Dr. wahidin sudirohusodo dan balai besar kesehatan paru masyarakat (BBKPM) Makassar. Sampel merupakan pasien TB paru Makassar yang menerima OAT pada fase intensif periode agustus – oktober 2015. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara non-probability sampling dengan cara purposive sampling yaitu semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dijadikan subjek penelitian. Ada 74 responden yang terdiri atas kelompok konseling sebanyak 39 orang dan kelompk control sebanyak 35 orang. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna skor pengetahuan dan kepatuhan berobat sebelum dan setelah intervensi pada kelompok konseling dan control. Pemberian konseling oleh apoteker dapat meningkat pengetahuan p=0,000 (p<0,05) dan kepatuhan p=0,000(p=0,05), di RSUP Dr. wahidin sudirohusodo dan balai besar kesehatan paru masyarakat (BBKPM) Makassar. Kata Kunci: konseling, pengetahuan, kepatuhan, tuberculosis paru
ABSTRACT Tuberculosis (TB) is one of the most deadly diseases in the world. This research aimed to evaluate and compare the effect to the counseling given by the pharmacists to the control group in order to improve the knowledge and compliance of the tuberculosis patients in Dr. Wahidin Sudirohusodo RSUP AND BBKPM Makassar. The measurement of the knowledge and compliance was carried out using the indirect method through questionnaires. The research was conduction in Dr. Wahidin Sudirohusodo RSUP Mand BBKPM, Makassar. The samples covered the pulmonary TB patients who received the intensive phase of OAT from august through October 2015. The samples who met the inclusive and exclusive criteria were chosen using the purposive sampling technique or the non-probability sampling technique to become the research subject. The total samples comprised 74 respondents who were then divided into two groups: 39 patients in counseling group and 35 patients in the control group. The research result indicated that there was a significant difference in the knowledge and treatment compliance score before and after the intervention between the counseling group and the control group. The counseling by the pharmacists could improve the knowledge and treatment compliance of the patients in Dr. Wahidin Sudirohusodo RSUP and BBKPM, Makasar (p=0,000 and p=0.000, respectively). Keywords: counseling, knowledge, compliance, pulmonary tuberculosis
298
konseling, pengetahuan, kepatuhan, tuberculosis paru
ISSN 2252-5416
kepatuhan, mengidentifikasi faktor penyebab ketidakpatuhan, memberikan konseling, dan merekomendasikan strategi untuk meningkatkan kepatuhan sesuai kebutuhan penderita. Penelitian sebelumnya Rina menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna pada pengetahuan, sikap dan tingkat kepatuhan tentang kepatuhan berobat penderita TB paru sebelum dan sesudah mendapatkan konseling. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas pemberian konseling oleh apoteker terhadap peningkatan pengetahuan dan kepatuhan pada pasien tuberkulosis di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan BBKPM Makassar.
PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis (Fitzpatrick et al., 2011). Setiap tahun terdapat 9 juta kasus baru dan kasus kematian hampir mencapai 2 juta manusia. Penyakit ini terdapat di semua negara tetapi yang terbanyak di Afrika sebesar 30%, Asia sebesar 55%, dan untuk China dan India secara tersendiri sebesar 35% dari semua kasus tuberkulosis (Blanc et al., 2010). Jumlah penderita TB di Indonesia mengalami penurunan, dari peringkat ke tiga menjadi peringkat ke lima di dunia, namun hal ini dikarenakan jumlah penderita TB di Afrika Selatan dan Nigeria melebihi jumlah penderita TB di Indonesia (Utarini dkk., 2011). Estimasi prevalensi TB di Indonesia pada semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahun. Selain itu, kasus resistensi merupakan tantangan baru dalam program penanggulangan TB. Pencegahan meningkatnya kasus TB yang resistensi obat menjadi prioritas penting (Wright & Zignol, 2008). Pengobatan yang tidak teratur dapat menyebabkan kuman menjadi resisten terhadap OAT, memerlukan pengobatan yang mahal dan sangat lama dengan tingkat keberhasilan yang masih rendah. Kegagalan pada pengobatan TB dengan resistensi akan menyebabkan rantai penularan kuman yang telah resistensi terus meluas dan meningkatkan resiko terjadinya resistensi primer (Vista, 2008). Salah satu kunci keberhasilan pengobatan TB paru adalah dengan meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan penderita. Dengan meningkatnya pengetahuan dan kepatuhan penderita, diharapkan tidak timbul resistensi obat yang dapat merugikan penderita itu sendiri maupun lingkungan, tidak mengalami kekambuhan maupun kematian. Kemungkinan ketidakpatuhan penderita TB paru sangat besar, karena pemakaian jangka panjang, jumlah obat yang diminum perhari, efek samping yang mungkin timbul dan kurangnya kesadaran penderita akan penyakitnya. Peran Apoteker dalam meningkatkan kepatuhan akan obat terdiri dari berbagai kegiatan : menilai masalah
METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain metode eksprimen semu (quasi experiment), Non Randomized Control Group Pretest and Posttest Design (Non Equivalent Control Group). Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian dilaksanakan pada periode bulan Juli – September 2015 dan lokasi penelitian di Infection Center Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar. Populasi dan Sampel Populasi adalah pasien TB paru di Infection Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan BBKPM Makassar. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara non-probability sampling dengan cara purposive sampling dimana semua subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dijadikan subyek penelitian. Kelompok konseling sebanyak 39 pasien dan kelompok kontrol sebanyak 35 pasien. Kelompok konseling dilakukan intervensi berupa pemberian konseling oleh Apoteker sedangkan untuk kelompok kontrol tanpa konseling oleh Apoteker. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara mencatat identitas pasien yang control ke Infection Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan BBKPM Makassar dan menerima OAT kategori 1 fase intensif. Selain itu juga mencatat diagnosa masuk pasien, mencatat 299
Zulham
ISSN 2252-5416
ada tidaknya keberhasilan terapi pada fase intensif.
meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pada pasien dengan tuberkulosis paru di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Makassar. Kepatuhan terhadap pengobatan adalah kesetiaan mengikuti program yang direkomendasikan sepanjang pengobatan dengan pengambilan semua paket obat yang ditentukan untuk keseluruhan panjangnya waktu yang diperlukan Untuk mencapai kesembuhan diperlukan kepatuhan atau keteraturan berobat bagi setiap penderita. Penderita yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 8 bulan, sedangkan penderita yang tidak patuh datang berobat dan minum obat bila frekuensi minum obat tidak dilaksanakan sesuai rencana yang ditetapkan. Penderita dikatakan lalai jika datang lebih dari 3 hari - 2 bulan dari tanggal perjanjian dan dikatakan drop out jika lebih dari 2 bulan terturut-turut tidak datang berobat setelah dikunjungi petugas kesehatan (Depkes, 2002). Faktor karakteristik personal dan dukungan keluarga memiliki pengaruh terhadap pengobatan TB Paru. Besarnya angka ketidakpatuhan berobat akan mengakibatkan tingginya angka kegagalan pengobatan penderita TB paru dan menyebabkan makin banyak ditemukan penderita TB paru dengan BTA yang resisten dengan pengobatan standar. Hal ini akan mempersulit pemberantasan penyakit TB paru di Indonesia serta memperberat beban pemerintah. Dari berbagai faktor penyebab ketidakpatuhan minum obat penderita TB Paru, dapat disimpulkan bahwa faktor manusia, dalam hal ini penderita TB paru sebagai penyebab utama dari ketidak patuhan minum obat. Pada penelitian ini kepatuhan diukur menggunakan metode self-reported dengan kuesioner Morisky Medication Adherence Scales (MMAS-8). Metode ini dipilih karena mudah, praktis dan costeffective, sangat sesuai jika digunakan pada pasien rawat jalan di sarana pelayanan kesehatan masyarakat (Kjeldsen et al., 2011). Instrument ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi masalah kepatuhan pasien sejak dini dan memonitor kepatuhan selama periode terapi. Pada pasien yang tidak patuh, tenaga kesehatan perlu mendiskusikan tentang efek samping terapi yang dicurigai sebagai penyebab
Analisis Data Data pasien dikumpulkan dengan menggunakan alat bantu berupa kuesioner. Hasil yang didapatkan kemudian dianalisis dan dibandingkan dengan standar terapi penggunaan OAT. HASIL Table 1 menunjukkan hasil analisis Wilcoxon bahwa terdapat perbedaan yang bermakna skor pengetahuan (p<0,05) dan kepatuhan (p<0,05) berobat sebelum dan sesudah, baik kelompok konseling maupun kelompok kontrol. Tabel 1. Pengetahuan, Kepatuhan (Skor MMAS8) Rata-rata Sebelum dan Sesudah Intervensi
Table 2 menunjukkan hasil uji statistik terhadap perubahan rata-rata skor pengetahuan, skor kepatuhan dan pemeriksaan BTA diperoleh p=0,782, p=0,580 dan p=0,586 (p> 0,05). Hasil uji statistik ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna antara efek pemberian konseling dan kelompok kontrol terhadap skor pengetahuan dan skor kepatuhan Tabel 2. Perubahan skor pengetahuan, kepatuhan (skor MMAS-8), pemeriksaan BTA
skor dan
PEMBAHASAN Pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian konseling oleh apoteker lebih baik dibandingkan kelompok kontrol dalam 300
konseling, pengetahuan, kepatuhan, tuberculosis paru
ketidak patuhan, mencari faktor penyebab lainnya atau mengikut sertakan keluarga dalam pelaksanaan terapi pasien. Skala MMAS-8 menunjukkan kepatuhan pasien terhadap terapi. Skala terkecil (0) mengindikasikan bahwa pasien patuh terhadap terapinya, skala 1 dan 2 menunjukkan tingkat kepatuhan menengah atau sedang, sedangkan skala >2 mengidentifikasi pasien tidak patuh terhadap terapi yang dijalaninya. MMAS-8 memiliki sensitivitas yang lebih tinggi daripada versi aslinya yaitu MMAS-4. Sensitivitas 93 % mengindikasikan bahwa skala tersebut cukup baik digunakan untuk identifikasi pasien dengan tingkat kepatuhan yang rendah. Spesitifitas MMAS-8 sebesar 53% menunjukkan skala tersebut memiliki kemampuan tingkat menengah dalam mengidentifikasi pasien yang tidak memiliki masalah kepatuhan terhadap terapinya (Morisky et al., 2008). Pada penelitian ini, kelompok konseling maupun kelompok kontrol memberikan penjelasan tentang penyebab, gejala, dan cara penularan penyakit TB, jumlah dosis obat yang harus diminum dan lama pengobatan. Adapun yang membedakan yaitu konseling yang dilakukan oleh Apoteker lebih menjelaskan tentang terapi pengobatan TB termasuk efek samping obat dan cara penanganannya sedangkan kelompok kontrol lebih menjelaskan tentang cara penanggulangan TB (Toyalis, 2010). Pengetahuan dan kepatuhan berobat penderita TB paru sebelum dan setelah intervensi konseling pada kelompok perlakuan dari hasil uji statistik Wilcoxon didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,05) maka Ho ditolak, yang artinya Intervensi konseling berpengaruh secara bermakna terhadap pengetahuan dan kepatuhan berobat penderita TB paru. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Thiam et al (2007), yang menyatakan bahwa semakin rendah konseling yang diberikan kepada seseorang maka kepatuhan dan pengetahuan dalam menjalankan strategi pengobatan yang efektif juga rendah. Peningkatan pengetahuan, sikap positif dan kepatuhan berobat penderita TB paru dapat diwujudkan dengan pemberian konseling. Kebutuhan informasi pada pasien yang menjalankan pengobatan TB paru sangat tinggi. Pasien yang menjalani pengobatan TB paru,
ISSN 2252-5416
membutuhkan informasi ataupun konseling kesehatan tentang perawatan dan pengobatan TB. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna skor pengetahuan dan kepatuhan berobat sebelum dan setelah intervensi pada kelompok konseling dan kontrol. Pemberian konseling oleh apoteker dapat meningkatkan pengetahuan p=0,000 (p<0,05) dan kepatuhan p=0,000 (p<0,05), di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Makassar. Pemberian konseling oleh apoteker lebih baik dibandingkan kelompok kontrol dalam meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pada pasien dengan tuberkulosis paru di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Makassar. Apoteker diharapkan dapat berperan dalam program penanggulangan TB melalui penyuluhan langsung untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita, terutama menyangkut kepatuhan penderita dalam meminum obat maupun datang kembali berobat dan mengambil obat. DAFTAR PUSTAKA Blanc L., Falzon D., & Fitzpatrick C. (2010). Global Tuberculosis Control 2010. Geneva : WHO Press. Depkes. (2002). Komunikasi Inter Personal Antara Petugas Kesehatan Dengan Penderita Tuberkulosis. Jakarta Liberty, Yogyakarta : Pustaka pelajar. Fitzpatrick C., Floyd K., & Lienhardt C. (2011). The Global Plan to Stop TB 2011–2015. Mandelbaum-Schmid J, Burnier I, Hiatt T. edts. WHO. Kjeldsen J.L., Bjerrum L., Herborg H., Knudsen P., Rossing C., & Sondergaard B. (2011). Development of new concepts of nonadherence measurements among users of antihypertensives medicines. Int J Clin Pharm. Morisky D.E., Ang A., Krousel-wood M., & Ward H.J. (2008). Predictive validity of a medication adherence measure in an outpatient setting. 301
Zulham
ISSN 2252-5416
Thiam S. et al. (2007). Effectiveness of a Strategy to Improve Adherence to Tuberculosis Treatment in a Resource-Poor Setting. USA : American Medical Assocition. Toyalis. (2010). Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Terjadinya Penyakit TB Paru Di Provinsi Banten 2009-2010. Perpustakaan FKM Universitas Respati Indonesia. Utarini A., Wuryaningtyas B., & Basri C. (2011). Strategi nasional pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Vista O. (2008). Extensive Drug-Resistant Tuberkulosis (XDR-TB). Jurnal Tuberkulosis Indonesia, www.stoptb.int, di akses tanggal 2 april 2015. Wright A. & Zignol M. (2008). Anti-Tuberculosis Drug Resistance In The World. Fourth Global Report. Geneva : WHO.
302