JST Kesehatan, Juli 2014, Vol.4 No.3 : 269 – 276
ISSN 2252-5416
NEUROPATI OPTIK TOKSIK SETELAH PEMBERIAN ETAMBUTOL PADA PENDERITA TUBERKULOSIS DI MAKASSAR Toxic Optic Neuropathy After Administration of Ethambutol in Patient with Pulmonary Tuberculosis in Makassar Nur Azizah Juzmi1, Batari Todja Umar2, Rahasiah Taufik2 1
Program Studi Biomedik, Konsentrasi Combined Degree, Universitas Hasanuddin 2 Bagian Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin (E-mail:
[email protected]) ABSTRAK
Etambutol merupakan obat golongan makrolid yang speesifik digunakan untuk mengobati infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis, efek samping potensial dari etambutol adalah toksisitas okuler adalah neuropati optik toksik. Penelitian ini bertujuan menilai besarnya kejadian neuropati optik toksik pada penderita tuberkulosis setelah pemberian etambutol. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan sampel sebanyak 119 penderita tuberkulosis di poli DOTS RSUP Wahidin Sudirohusodo dan Balai Besar kesehatan Paru Makassar. Data meliputi tajam penglihatan, kontras sensitivitas, penglihatan warna, RAPD, funduskopi, dan lapangan pandang. Data dianalisis dengan analisis bivariat untuk melihat hubungan antara kejadian neuropati optik toksik dengan dosis dan lama pemakaian obat etambutol pada penderita tuberkulosis. Hasil penelitian menunjukkan penurunan tajam penglihatan pada pemakaian obat di bawah 2 bulan sebesar 0,9% sedangkan di atas 2 bulan sebesar 100%. Penurunan kontras sensitivitas sebesar 0,9% pada pemakaian di bawah 2 bulan dan 100% di atas 2 bulan. Gangguan penglihatan warna sebanyak 0.9% pada pemakaian di bawah 2 bulan dan 100% pada pemakaian di atas 2 bulan. Kelainan RAPD ditemukan 0,9% pada pemakaian di bawah 2 bulan dan 100% pada pemakaian di atas 2 bulan. Kelainan gambaran funduskopi dan gangguan lapangan pandang tidak ditemukan pada pemakaian di bawah 2 bulan dan 50% pada pemakaian di atas 2 bulan. Hasil analisis uji statistik untuk semua hasil pemeriksaan diperoleh nilai p < 0,05, sedangkan untuk analisis kejadian neuropati optik toksik dengan dosis etambutol tidak dapat dilakukan oleh karena seluruh sampel mendapatkan jumlah dosis yang sama sesuai dengan berat badan. Kata Kunci: Neuropati Optik Toksik, Etambutol, Pasien Tuberkulosis
ABSTRACT Ethambutol is macrolid agent specifically effective againts Mycobacterium tuberculosis, potensial side effect from ethambutol is optic neuropathy. This study aims to investigate the incidence of toxic optic neuropathy in patient with pulmonary tuberculosis in Makassar after ethambutol administration.This study using a cross sectional methods with 119 samples of pulmonary tuberculosis in DOTS center of Wahidin sudirohusodo hospital and Balai Besar kesehatan Paru Makassar. The data include visual acuity, contrast sensitivity, colour vision, Relative Afferent pupilary Defect (RAPD), funduscopy, and visual field. Data were analyzed using bivariat analysis to luate correlation between incidence of toxic optic neuropathy related with dosage and duration of ethambutol administration in patients with pulmonary tuberculosis.The results of this study shows decrease in visual acuity under 2 months medication is 0.9% while above 2 months is 100%. Decreased of contrast sensitivity is 0.9% experienced by those under 2 montsh medication and 100% by those above 2 months medication.Colour vision abnormality 0.9% is experienced by those under 2 months ethambutol medication and 100% is experienced by those above 2 months medication. 0.9% of RAPD are experienced by those under 2 months medication and 100% experienced by those above 2 months medication.. Funduscopy and visual field abnormality are not found in those under
269
Nur Azizah Juzmi
ISSN 2252-5416
2 months medication but 50% in those treated more than 2 months. Statistical analysis for all examination showed p value <0.05. And for the analysis of the incidence of toxic optic neuropathy and its relationship with ethambutol dosage could not be done because all the patients use similiar dosage based on their body weight. Keywords: Toxic Optic Neuropathy, Ethambutol, Tuberculosis Patient
paru. Efek samping potensial yang sangat serius dari etambutol adalah toksisitas okuler dalam bentuk neuritis optik atau neuritis retrobulbar yang dapat mengenai satu atau kedua mata. Toksisitas ini paling banyak mengenai serabut saraf optik, sehingga dapat menyebabkan penglihatan kabur, penurunan visus, defek lapangan pandang skotoma sentral, dan diskromatopsia. Pada beberapa kasus, kelainan visus membaik setelah obat etambutol dihentikan. Kadang-kadang, visus memburuk dalam bulan pertama setelah obat dihentikan dan membaik dalam bulan-bulan berikutnya. Pada kasus yang jarang, kelainan visus dan penglihatan warna tidak mengalami perbaikan (Gupta, 2007). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pada penderita tuberkulosis paru yang menggunakan etambutol untuk mengetahui kejadian neuropati toksik dan hubungannya dengan dosis dan lama pemakaian obat.
PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Diperkirakan sepertiga penduduk di seluruh dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium TB. Tahun 1995 WHO memperkirakan di seluruh dunia terdapat 9 juta kasus baru TB dengan jumlah kematian 3 juta orang/tahun. Sebagian besar kasus terjadi dinegara-negara berkembang, dua pertiga kasus terjadi di benua Asia. Di negaranegara berkembang TB paru menyumbangkan angka 25% dari seluruh angka kematian (Merdian, 2003). Di Indonesia, TB merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Dengan penduduk lebih dari 200 juta orang. Di Indonesia, TB merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Estimasi prlensi TB semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun, Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian pertahunnya. Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara pertama di antara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006 (Kemetrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Etambutol merupakan obat golongan makrolid yang menjadi salah satu obat OAT yang dipergunakan dalam terapi TB
BAHAN DAN METODE Lokasi dan rancangan penelitian Penelitian ini dilakukan di Poli DOTS RSUP Wahidin Sudirohusodo dan Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar. Jenis penelitian yang digunakan adalah observational dengan menggunakan desain cross sectional study. Populasi dan sampel Populasi penelitian adalah penderita TB Paru yang telah mendapat terapi Etambutol di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat di Makassar. 119 sampel pada penelitian ini diperoleh secara consecutive sampling yang memenuhi kriteria inklusi yaitu pasien tuberkulosis paru yang telah mendapat terapi 270
Neuropati Optik Toksik, Etambutol, Pasien Tuberkulosis
etambutol, tidak memiliki penyakit okuler lainnya dan tidak memiliki riwayat penyakit sistemik lainnya. Semua sampel bersedia untuk mengikuti penelitian ini dengan menandatangani informed concent yang telah dikeluarkan oleh Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
ISSN 2252-5416
butol <2 bulan sebanyak 117 (98.3%), >2 bulan sebanyak 2(1.68%) pasien. Tabel 2 memperlihatkan hubungan antara tajam penglihatan, kontras sensitivitas, penglihatan warna, RAPD pada kelompok lama pemakaian etambutol, terlihat tajam penglihatan yang menurun, kontras sensitivitas menurun, kelainan penglihatan warna, dan adanya RAPD pada 3 (2.5%) sampel, yakni pada lama pemakaian etambutol ≤2 bulan sebanyak 1(0.9%) sampel dan pada lama pemakaian etambutol >2 bulan sebanyak 2(100%) sampel. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan Fisher’s Exact diperoleh nilai p=0.00. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara lama pemakaian etambutol dengan penurunan tajam penglihatan, penurunan kontras sensitivitas, kelainan penglihatan warna, dan RAPD. Sedangkan data pada Tabel 3 memperlihatkan gambaran funduskopi serta lapangan pandang pada kelompok lama pemakaian etambutol. Dari tabel tersebut terlihat gambaran fun-duskopi yang tidak normal dan kelainan lapangan pandang terdapat pada 1 sampel (50) yang berada dalam kelompok lama pemakaian etambutol >2 bulan. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan uji Fisher’s Exact untuk menentukan kemaknaan hubungan antara lama pemakaian etambutol dengan gambaran funduskopi. Dari analisis tersebut kemudian diperoleh nilai p=0.017. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara lama pemakaian etambutol dengan kelainan gambaran funduskopi dan lapangan pandang.
Metode pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan lembar isian penelitian meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan, dosis obat yang digunakan dan lama pemakaian obat. Neuropati optik toksik dinilai dengan pemeriksaan tajam penglihatan, RAPD, kontras sensitivitas, penglihatan warna, funduskopi dan lapangan pandang. Analisa data Data diolah dengan menggunakan program Statistical Package for Social Science (SPSS) 19,0. Analisis hubungan antara kejadian neuropati optik toksik dengan dosis dan lama pemakaian digunakan analisis uji chi square dan disajikan dalam bentuk tabel disertai narasi. HASIL Karakteristik sampel Tabel 1 memperlihatkan karakteristik demografi sampel penelitian. Dari 119 sampel, 54 (45.4%) adalah jenis kelamin laki-laki dan 65(54.6%) perempuan. Dosis etambutol yang digunakan oleh sampel pada penelitian ini yaitu 550 mg pada 17 (14.3%) pasien, 825 mg pada 52 (43.7%) pasien, 1100 mg pada 44 (37.0%) pasien, dan 1375 mg pada 6 (5.0%) pasien. Lama pemakaian etam-
271
Nur Azizah Juzmi
ISSN 2252-5416
Tabel 1. Karakteristik umum sampel penelitian Karakteristik Umum Total Sampel
N (%) 119 (100)
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
54 (45.4) 65 (54.6)
Dosis Etambutol 550 mg 825 mg 1100 mg 1375 mg
17 (14.3) 52 (43.7) 44 ( 37.0) 6 (5.0)
Lama Pemakaian <2 bulan >2 bulan
117 (98.3) 2 (1.68)
n : jumlah subyek Tabel 2.
Hubungan antara lama pemakaian dengan tajam penglihatan, kontras sensitivitas, penglihatan warna, RAPD
Lama Pemakaian
TP N(%) T(%)
N(%)
KS T(%)
PW N(%) TN(%)
RAPD TA(%) A(%)
≤ 2bulan
99.1
0.9
99.1
0.9
99.1
0.9
99.1
>2bulan
0
100
0
100
0
100
0
0.9 100
Fisher’s exact test, p=0,000 TP : Tajam penglihatan, KS: Kontras sensitivitas, PW : Penglihatan Warna, RAPD : Relative afferent pupillary defect, N : Normal, TN: Tidak Normal, T : Turun, TA:Tidak ada, A: Ada
Tabel 3. Hubungan antara lama pemakaian dengan funduskopi dan lapangan pandang Lama pemakaian (%)
N(%)
≤ 2bulan
100
0
>2bulan
50
50
Fisher’s exact test, p=0,017 N : Normal, TN: Tidak Normal
272
TN
Neuropati Optik Toksik, Etambutol, Pasien Tuberkulosis
ISSN 2252-5416
Penglihatan warna yang terganggu juga merupakan pemeriksaan awal yang penting dalam mendiagnosis neuropati optik toksis etambutol, pada penelitian ini didapatkan penurunan kontras sensitivitas pada 3 (2.5%) sampel, yakni pada lama pemakaian etambutol ≤2 bulan sebanyak 1 (0.9%) sampel dan pada lama pemakaian etambutol >2 bulan sebanyak 2 (100%) sampel. Serupa dengan penelitian yang dilaporkan oleh Su-Ann L, yang menemukan kelainan penglihatan warna pada 2 pasien dengan neuropati optik toksik setelah 6 bulan mendapat terapi etambutol, dan setelah 9 bulan pemberian etambutol dihentikan penglihatan warnanya kembali normal secara perlahan (Su-Ann, 2006). Pada penelitian ini didapatkan ketiga sampel yang mengalami gangguan warna menunjukkan pola ireguler diperiksa menggunakan panel Fansworth yang bisa mendeteksi dan membedakan gangguan penglihatan warna tipe dapatan, sesuai dengan penelitian sebelumnya, dari 19 pasien yang mendapat terapi etambutol dengan dosis 15 mg/kkBB/hari pada follow up awal didapatkan gangguan penglihatan warna pada 12 pasien dengan kelainan penglihatan warna kuning- biru ditemukan paling banyak (Menon, 2009). Dinyatakan oleh Kaimbo dalam penelitian deskriptifnya, didapatkan 15 pasien dari 42 pasien tuberkulosis yang mendapat terapi etambutol mengalami kelainan penglihatan warna melalui pemeriksaan menggunakan panel Fansworth yang sebelumnya mengunakan ishihara diperoleh hasil penglihatan warna yang normal (Kaimbo, 2003). Adanya Relative Afferent Pupillary Defect (RAPD) pada penelitian ini terlihat pada 3 (2.5%) sampel, yakni pada lama pemakaian etambutol ≤2 bulan sebanyak 1 (0.9%) sampel dan pada lama pemakaian etambutol >2 bulan sebanyak 2 (100%) sampel. Hal ini berbeda dengan penelitian oleh Su-Ann, yang melaporkan 3 pasien mengalami neuropati optik toksik setelah menerima terapi etambutol, yang ditandai dengan
PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa dari 119 sampel penderita TB paru yang telah mendapat terapi etambutol, ditemukan 3 sampel yang mengalami neuropati optik toksik berdasarkan lama pemakaian etambutol. Lama pemakaian etambutol dalam penelitian ini dibagi atas kelompok lama pemakaian ≤2 bulan dan kelompok lama pemakaian >2 bulan. Tajam penglihatan yang menurun pada 3 (2.5%) sampel, yakni pada lama pemakaian etambutol <2 bulan sebanyak 1 (0.9%) sampel dan pada lama pemakaian etambutol >2 bulan sebanyak 2 (100%) sampel. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara lama pemakaian etambutol dengan penurunan tajam penglihatan. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilaporkan oleh Hendrayati, bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara lama berobat dengan penurunan visus pada penderita TB paru (Hendrayati, 1995). Etambutol dapat mengakibatkan kebutaan akibat optik neuritis jika pemberian etambutol tidak dihentikan. Tajam penglihatan akan kembali normal secara perlahan setelah etambutol dihentikan (Chan, 2007). Kontras sensitivitas yang menurun terdapat 3 (2.5%)sampel, yakni pada lama pemakaian etambutol ≤2 bulan sebanyak 1(0.9%) sampel dan pada lama pemakaian etambutol >2 bulan sebanyak 2(100%) sampel. Secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara lama pemakaian etambutol dengan penurunan tes kontras sensitivitas. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang mendeteksi adanya neuropati optik toksik subklinis pada 100 pasien yang ditandai adanya penurunan kontras sensitivitas, tanpa kelainan pada gambaran fundus, tajam penglihatan dalam batas normal dan penglihatan warna yang juga normal (menggunakan ishihara), dapat disimpulkan bahwa menurunnya kontras sensitivitas merupakan penanda awal adanya kerusakan nervus optik (Newman, 2008). 273
Nur Azizah Juzmi
ISSN 2252-5416
penurunan tajam penglihatan, gangguan penglihatan warna dan kelainan lapangan pandang tapi tanpa disertai adanya RAPD (Su-Ann, 2006). Adanya perbedaan yang didapatkan pada hasil penelitian ini kemungkinan karena adanya perbedaan derajat keparahan dan riwayat perjalanan dari neuropati optik toksik pada masingmasing sampel. Sebagaimana disebutkan dalam literatur bahwa RAPD hanya dapat terlihat jika gangguan pada nervus optik tidak bersamaan terjadi antara kedua mata (asimetris) (Eva, 2007). Pada penelitian ini ketiga sampel mengalami kerusakan pada nervus optik secara tidak bersamaan, kerusakan dimulai pada satu mata dan karena pemakaian etambutol diteruskan maka nervus optik mata sebelah pun ikut mengalami kerusakan akibat efek toksik yang terus menerus diberikan selama pemakaian etambutol. Kelainan gambaran fundus berupa pucat pada diskus optik daerah temporal ditemukan pada 1 sampel (50%) yang berada dalam kelompok lama pemakaian etambutol > 2 bulan. Secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara lama pemakaian etambutol dengan kelaianan gambaran fundus. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilaporkan oleh Lavanya et al, pada 5 pasien yang didiagnosis neuropati optik toksik etambutol terdapat 2 pasien dengan gambaran fundus berupa pucat pada diskus optik daerah temporal, 1 pasien mengalami atrofi nervus optik, dan 2 pasien dengan gambaran fundus yang normal (Lavanya, 2006). Dijelaskan dalam literatur bahwa pada fase awal dari neuropati optik toksik etambutol, kerusakan pada nervus optik telah terjadi jika pemakaian etambutol terus dilanjutkan maka kerusakan akan menyebar sampai ke anterior dari kiasma optikus, dan akhirnya melibatkan seluruh kiasma dan memberikan gambaran bitemporal hemianopsia pada pemeriksaan lapangan pandang dengan perimetri Humprey (Meyer, 2003).
Dalam penelitian ini, didapatkan kesimpulan bahwa ada hubungan antara lama pemakaian etambutol dengan kejadian neuropati optik toksik yang ditandai oleh adanya adanya penurunan visus, penurunan kontras sensitivitas, kelainan penglihatan warna, adanya RAPD, kelainan gambaran fundus dan kelainan pada lapangan pandang. Penemuan ini sesuai dengan yang telah dilaporkan oleh Tsai RK et al dalam penelitiannya, bahwa manifestasi toksisitas okular akibat etambutol biasanya lambat, secara umum tidak nampak sebelum terapi berlangsung selama lebih 1 bulan. Interval mean variabel antara onset terapi dan efek toksik dilaporkan terjadi pada bulan ke 3 sampai bulan ke 5. Manifestasi toksisitas bahkan bisa terlihat setelah 12 bulan dari awal terapi diberikan (Tsai, 1997). Dilaporkan oleh Alvin Kwok, bahwa tidak ada yang disebut ‘dosis aman’ etambutol, dilaporkan bahwa pada dosis 12.3 mg/kgBB parhari pun ditemukan manifestasi toksisitas okular (Kwok, 2006). Mekanisme kerja etambutol menyebabkan neuropati optik belum diketahui pasti, tetapi diduga etambutol dimetabolisme menjadi agen chelating yang dapat menganggu fungsi enzim mitokondria yang mengandung logam, seperti enzim sitokrom c oksidase komplek IV yang mengandung tembaga dan NADH Q-oksidoreduktase kompleks I yang mengandung besi (Newman, 2008). Gangguan ini dapat menyebabkan kerusakan rantai respiratorius mitokondria yang mengakibatkan terjadinya neuropati optic (Schiefer, 2007). Sehingga walaupun dalam dosis yang dinyatakan aman yaitu 15 mg/kgBB per hari tetapi paparan agen toksik secara terus menerus dalam waktu lama akan menyebabkan kerusakan sel- sel baik secara langsung maupun menstimulasi terjadinya apoptosis dari sel nervus optik itu sendiri (Miller, 2008).
274
Neuropati Optik Toksik, Etambutol, Pasien Tuberkulosis
Prinsip pengobatan TB di Indonesia merujuk pada Kemenkes 2009 tentang pedoman penanggulangan tuberkulosis di Indonesia. Dengan alasan ini, maka dalam penelitian ini penentuan hubungan dosis etambutol dengan kejadian neuropati optik toksik selanjutnya tidak dapat dianalisis secara statistik.
ISSN 2252-5416
DAFTAR PUSTAKA Chan JW. (2007). Nutritional and toxic optic neuropathies in Optic nerve disorders. First edition. New york: Springer. Eva PR. & Whitcher JP. (2007). Ophthalmologic examination in Vaughan & Asbury’s general ophthalmology, 17th ed. New York : Mc Graw hill-Lange co. Gupta V., Gupta A., & Rao NA. (2007). Intraocular tuberkulosis-an update. Survey of ophthalmology ;52: 56187. Hendrayati R. (1995). Kelainan tajam penglihatan dan penglihatan warna penderita tuberkulosis paru pada pemakaian tuberkulostatik (tesis). Makassar. Universitas Hasanuddin. Kaimbo WK & Bifuko ZA. (2003). Colour vision in 42 Congolese patients with tuberculosis receiving ethambutol treatment. Beige Ophthalmol. 52: 561-87. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Stranas (Strategi Nasional) Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kwok A. (2006). Ocular Toxicity of Ethambutol. Drug Review. Hongkong Medical Dairy. 2:2. Lavanya V., Rao., & Sulatha VB. (2006). Ocular toxicity of antituberculosis treatment. Kerala journal of ophthalmology, 18:3. Menon V., Jain D. & Saxena R. (2009). Prospective evaluation of visual function for early detection of ethambutol toxicity. Br J ophthalmol, 93: 1251-4. Merdian A. (2003). Peran Serta dokter Praktek Umum Swasta pada DOTS dalam Simposium Hari TB sedunia. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia. Meyer D., Kubis KC. & WolfMA. (2003). Chiasmopathy. Survey ophthalmology, 44:329-35
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dan saran. Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap 119 sampel, bahwa ada hubungan antara lama pemakaian Etambutol dengan kejadian neuropati optik toksik. Dari penelitian yang telah dilakukan, maka dikemukakan beberapa saran untuk perbaikan di masa mendatang, antara lain: sampel pada penelitian ini sangat terbatas, sehingga dipandang perlu untuk dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar dengan sebaran yang merata pada semua variabel, juga dipandang perlu untuk dilakukan penelitian lanjutan pada kelompok pasien TB paru tipe kambuh yang mendapat terapi OAT kategori 2 untuk mengetahui besarnya kejadian neuropati optik toksik, serta diperlukan pengambilan sampel penelitian pada tempat pelayanan kesehatan yang lain seperti puskesmas sebagai sarana pelayanan primer dan banyak menangani kasus TB paru, dan sebaiknya diperlukan pemeriksaan laboratorium lengkap untuk mengetahui normal tidaknya fungsi dari ginjal pada seluruh sampel yang akan menjamin jalur ekskresi dari etambutol, sehingga tidak ada bias pada hasil yang ditemukan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada teman sejawat dari Rumas sakit Wahidin Sudirohusodo dan Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat di mana penelitian ini berlangsung, pembimbing, serta pihak-pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini.
275
Nur Azizah Juzmi
ISSN 2252-5416
Miller RN., Biousse V. & Newman JN. (2008). Toxic and deficiency optic neuropathies in Walsh and Hoyt’s Clinical neuroophthalmology: the essential. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Wiliiam and Wilkins. Newman SA., Arnold AC. & Friedman DI. (2008). BCSC: Neuro-opthalmology. San Francisco: Elsevier. Schiefer U. & Hart W. (2007). Clinical Neuro Opthalmology: Functional
Anatomy of The Human Visual Pathway. 1st ed. St. Louis. USA: Springer. Su-Ann L. (2006). Ethambutol-associated optic neuropathy. Singapore: Department of ophthalmology Tan Tock Seng Hospital. Tsai RK. & Lee YH. (1997). Reversibility of ethambutol optic neuropathy. J Ocul Pharmacol Ther, 13;473-7.
276