JST Kesehatan, Januari 2016, Vol.6 No.1 : 70 – 75
ISSN 2252-5416
PEMETAAN KARAKTERISTIK LINGKUNGAN DAN DENSITAS NYAMUK Aedes Aegypti BERDASARKAN STATUS ENDEMISITAS DBD DI KECAMATAN KOLAKA Environmental Characteristics and Density Mapping of Aegypti Aedes Dengue Based on Endemicity Status of DBD in Kolaka District Nurdiansah Sahrir1, Hasanuddin Ishak2, Alimin Maidin3 1
Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Konsentrasi Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, 3Konsentrasi Administrasi Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
2
(E-mail:
[email protected])
ABSTRAK Penyakit DBD masih menjadi masalah kesehatan khususnya di Indonesia, dimana salah satu Kecamatan yaitu Kolaka merupakan daerah endemis dengan tingkat kematian dan insiden yang tinggi. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan karakteristik lingkungan dengan densitas nyamuk Aedes aegypti berdasarkan status endemisitas DBD di Kecamatan Kolaka tahun 2015. Penelitian ini merupakan penelitian studi ekologi dengan pendekatan potong lintang. Sampel diambil dengan teknik purposif. Data diambil melalui telaah data sekunder dan observasi. Data dianalisis dengan uji statistik dan disajikan dalam bentuk data spasial. Dari beberapa karakteristik lingkungan yang diteliti didapatkan karakteristik yang sangat berhubungan dengan densitas nyamuk Aedes aegypti, yaitu suhu dan kepadatan penghuni rumah. Faktor yang paling berpengaruh terhadap densitas nyamuk Aedes aegypti, yaitu kepadatan penghuni rumah dengan nilai p=0,044 (p<0,05). Kata Kunci: DBD, Ovitrap Index, Pemetaan, Endemis
ABSTRACT Dengue Hemorragic Fever (DHF) is still a major problem especially in Indonesia, including Kolaka which is endemic with mortality and high incidences. The aim of the research was to analyze the relationship between environmental characteristics and Aegypti Aedes mosquito density based on the status of dengue endemicity in the District of Kolaka 2015. This research was an ecological study with cross-sectional approach. Samples were selected with purposive sampling method. Data were collected with secondary data analysis and observation, and were analyzed with statistical test and presented in spatial data. The result of the research indicated from a number of environmental characteristics obtained, the most highly correlated to the density of Aegypti Aedes mosquito was the temperature and occupants density of the house. Factors with most influence on the Aegypti Aedes mosquito density were the density of residents with p=0,044 (p<0,05). Thus the density of residents and temperature were factors that affect the density of Aegypti Aedes. Keywords: Dengue, Ovitrap index, Mapping, Endemic
penyakit epidemik. Sekitar 2,5 milyar penduduk tinggal di negara endemis dengue, 70% populasi berisiko terkena dengue tinggal di negara-negara WHO wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Menurut WHO, Demam Berdarah Dengue di Indonesia termasuk dalam kategori A yaitu
PENDAHULUAN Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan di dunia. Penyakit DBD ini ditemukan hampir di seluruh belahan dunia terutama di negara negara tropik dan subtropik, baik sebagai penyakit endemik dan 70
DBD, Ovitrap Index, Pemetaan, Endemis
ISSN 2252-5416
Demam Berdarah dengue (DBD) sudah menjadi masalah utama. Indonesia merupakan daerah endemis dengue dan mengalami epidemi sekali dalam 4-5 tahun. Sampai saat ini cenderung meningkat jumlah kasus serta semakin luas penyebarannya. Kasus Demam Berdarah Dengue di Indonesia pada tahun 2013 sebanyak 112.511 kasus (Incidence Rate = 45,85 per 100.000 penduduk) dengan 871 kematian (CFR = 0,77%). Incidence Rate tertinggi ada di Propinsi Bali yaitu sebsar 168,48 per 100.000 penduduk, sedangkan Case Fatality Rate (CFR) tertinggi ada di Propinsi Jambi yaitu sebesar 2,82%. Kasus Demam Berdarah Dengue di Propinsi Sulawesi Tenggara pada tahun yang sama sebesar 1.135 kasus (IR = 51,09 per 100.000 penduduk) dengan angka kematian 10 kematian (CFR = 0,88%). Secara Nasional, kasus Demam Berdarah Dengue di Sulawesi Tenggara berada di atas angka rata-rata nasional. Kabupaten Kolaka merupakan salah satu Kabupaten yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara yang endemis Demam Berdarah Dengue (DBD) dari tahun ke tahun berfluktuasi baik jumlah penderita maupun angka kesakitan. Epidemi dengue dipengaruhi oleh lingkungan dengan banyaknya genangan air atau conteiner yang menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang merupakan vektor penular dengue. Kasus dengue meningkat di musim penghujan dan menurun di musim kemarau. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suyasa dkk (2008), menyatakan bahwa faktor lingkungan yang berhubungan dengan keberadaan vektor Demam Berdarah Dengue adalah kepadatan penduduk, mobilitas penduduk, keberadaan pot tanaman hias, keberadaan saluran air hujan dan keberadaan kontainer. Perkembangan nyamuk Aedes aegypti didukung oleh karakteristik lingkungan fisik, kima dan biologi. Nyamuk Aedes aegypti bertelur bukan pada air kotor atau air yang langsung bersentuhan dengan tanah, melainkan di dalam air tenang dan jernih. Air tenang dan jernih sering didapat dalam drum, ember, ban bekas, vas bungan, kaleng bekas dan barang barang bekas yang dapat menampung air hujan. Pada penelitian yang dilakukan Hadi dkk (2012), habitat jentik Aedes aegypti pada air terpolusi menujukkan Aedes aegypti dapat bertelur pada berbagai media yang mengandung air terpolusi.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pemetaan hubungan karakteristik lingkungan dengan densitas nyamuk Aedes aegypti berdasarkan status endemisitas DBD di Kecamatan Kolaka. BAHAN DAN METODE Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian studi ekologi dengan pendekatan Cross-sectional untuk menganalisis hubungan karakteristik lingkungan dengan densitas nyamuk Aedes aegypti dengan melakukan pengukuran sesaat. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Kolaka selama 4 bulan dari April sampai Juli 2015. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah semua lingkungan yang ada di 7 Kelurahan/desa pada Kecamatan Kolaka. Sampel penelitian diambil secara purposive sampling dengan kriteria pemilihan lingkungan dengan jumlah kasus tertinggi dan terendah, masing-masing satu lingkungan sebagai perwakilan dan melakukan pengukuran serta wawancara pada masing masing 10 rumah. Jumlah sampel 14 lingkungan pada 7 Kelurahan/desa yang diwakili 140 rumah. Pengumpulan Data Rumah sampel diambil berdasar pada rumah kasus DBD tahun 2014 tiap lingkungan. Jika ada dua kasus DBD atau lebih dipilih satu rumah kasus dan sekitarnya dengan radius 50 meter sehingga terkumpul sebanyak sepuluh rumah sampel. Data primer diperoleh dari hasil pengukuran suhu, kelembaban dan wawancara. Data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kolaka dan Kantor Camat Kolaka. Analisis Data Analisis data menggunakan analisis korelasi untuk menganalisis faktor lingkungan dengan densitas Aedes aegypti, analisis perbedaan uji t untuk menganalisis hubungan densitas dengan status endemisitas dan uji regresi untuk menganalisis faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap densitas nyamuk. Penyajian
71
Nurdiansah Sahrir
ISSN 2252-5416
data dalam bentuk tabel disertai narasi dan pemetaan.
aegypti sebesar 0,791 yang menunjukkan kekuatan kuat dengan arah korelasi yang positif. Hubungan antara densitas Aedes aegypti dengan status endemisitas DBD diuji menggunakan uji T-test yang ditunjukkan pada Tabel 2 bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara densitas Aedes aegypti (OI) dengan status endemisitas DBD di Kecamatan Kolaka (p=0,724 ; p>0,05). Berdasarkan hasil uji regresi linear pada tabel 3 menunjukkan bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap densitas Aedes aegypti (Ovitrap Index) adalah kepadatan penghuni rumah (p=0,044 ; p<0,05).
HASIL PENELITIAN Hasil peneltian ini menunjukkan bahwa pada tabel 1. terdapat korelasi yang bermakan antara suhu dan kepadatan penghuni rumah dengan densitas nyamuk Aedes aegypti (Ovitrap index). Kekuatan korelasi antara suhu dengan densitas nyamuk Aedes aegypti sebesar 0,757 yang menunjukkan kekuatan kuat dengan arah korelasi yang postif. Kekuatan korelasi antara kepadatan penghuni rumah dengan densitas nyamuk Aedes
Tabel 1. Hasil Analisis Korelasi Faktor Iklim, Kepadatan Penghuni, Kepadatan penduduk, dan Kepadatan rumah dengan Densitas Aedes aegypti (Ovitrap Index) Kec. Kolaka Tahun 2015 Ovitrap Indeks
Variabel
R 0,757 -0,359 -0,055 0,791 0,036 -0,216
Suhu Kelembaban Pencahayaan Kepadatan Penghuni rumah Kepadatan Penduduk Kepadatan Rumah Sumber : Data primer
p value 0,049 0,430 0,908 0,034 0,939 0,641
Tabel 2. Hasil Analisis Uji T Hubungan antara Densitas Aedes aegypti (OI) dengan Status Endemisitas DBD di Kec. Kolaka Tahun 2015 Endemisitas Tinggi Rendah Sumber : Data primer
N 3 4
Min 75 68
Max 93 90
Mean ± SD 83,67 ± 9,01 80,25 ± 9,53
Nilai p 0,724
Tabel 3. Hasil Analisis Uji Regresi Linear antara Suhu dan Kepadatan Penghuni dengan Densitas Aedes aegypti (OI) di Kec. Kolaka Tahun 2015 Model 1
(Constant) Suhu Kepadatan Penghuni 2 (Constant) Kepadatan Penghuni Sumber : Data primer
Unstandardized Coefficients B 95,000 -3,000 18,200 23,000 13,700
Std. Error 230,739 9,560 15,416 22,068 5,121
72
Standardized Coefficients Beta -0,271 1,019 0,767
t
Sig.
0,412 -0,314 1,181 1,042 2,675
0,702 0,769 0,303 0,345 0,044
DBD, Ovitrap Index, Pemetaan, Endemis
ISSN 2252-5416
Semakin tinggi jiwa yang menghuni tiap rumah, maka akan berisiko terjadi penularan penyakit DBD. Berdasarkan hasil penelitian bahwa ada hubungan yang bermakna kepadatan penghuni dengan densitas Aedes aegypti, dengan arah korelasi positif. Ini menunjukkan bahwa semakin besar jumlah jiwa yang menghuni rumah semakin besar pula densitas nyamuk Aedes aegypti. Hal ini terkait dengan aktifitas menggigit dari nyamuk Aedes aegypti. Aktifitas menggigit ini dipengaruhi oleh keberadaan manusia yang menjadi sumber makanan. Selain itu, hubungan ini juga dipengaruhi oleh ketersediaan air di masyarakat yang tidak teratur. Masyarakat di Kecamatan Kolaka memiliki kebiasaan menampung air untuk keperluan rumah tangga, sehingga berpotensi sebagai tempat perindukan atau meletakkan telur. Kepadatan rumah merupakan jumlah rumah setiap Kilometer persegi. Hasil penelitian menunjukkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan rumah dengan densitas nyamuk Aedes aegypti (Ovitrap Indeks) di Kecamatan Kolaka dengan nilai p=0,641 (p>0,05). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Antonius (2005), yang menyatakan bahwa daerah yang terjangkit demam berdarah dengue pada umumnya adalah kota/wilayah yang padat penduduk. Rumah-rumah yang saling berdekatan memudahkan penularan penyakit Demam Berdarah Dengue. Berdasarkan peta kondisi kepadatan rumah dan endemsitas DBD di Kecamatan Kolaka sejalan dengan penelitian Antonius (2005), dimana daerah/kelurahan dengan endemisitas DBD tinggi di Kecamatan Kolaka memiliki kepadatan rumah yang sangat padat. Hal ini sangat mendorong untuk terjadinya penularan penyakit DBD karena rumah yang saling berdekatan. Hasil analisis uji bivariat menggunakan uji korelasi diperoleh nilai r=-0,036 dan p=0,939 (p>0,05), yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan penduduk dengan densitas nyamuk Aedes aegypti (Ovitrap indeks) di Kecamatan Kolaka. Hail ini dikarenakan unit analisis kepadatan penduduk bukan kepadatan secara ekologis sesuai dengan pola clustering, tetapi kepadatan penduduk secara administratif yang tidak menunjukkan kepadatan yang sesungguhnya di lapangan. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suyasa dkk (2008), mengemukakan bahwa
PEMBAHASAN Penelitian ini memperlihatkan bahwa suhu dan kepadatan penghuni rumah memiliki hubungan dengan densitas Aedes aegypti. Sedangkan kelembaban, pencahayaan, kepadatan penduduk dan kepadatan rumah tidak berhubungan dengan densitas Aedes aegypti di Kecamatan Kolaka. Suhu berpengaruh pada perkembangan nyamuk. Suhu optimum untuk perkembangan nyamuk berkisar antara 250C sampai dengan 270C. Peningkatan suhu akan mempengaruhi perubahan binomik atau perilaku menggigit dari populasi nyamuk. Menurut Iskandar dkk (1985), pada umunya nyamuk akan meletakkan telurnya pada suhu sekitar 200C sampai dengan 300C. Berdasarkan hasil pengukuran suhu rata-rata di Kecamatan Kolaka berkisar antara 30,050C sampai dengan 32,300C, dimana pada suhu tersebut Aedes aegypti dapat melakukan perkembangbiakan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitan yang dilakukan Oktaviani (2009), bahwa suhu berpengaruh terhadap densitas nyamuk Aedes aegypti. Suhu udara berpengaruh terhadap jangka hidup nyamuk. Pada suhu yang panas antara 280C sampai dengan 320C Aedes aegypti akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu yang lama. Kelembaban dan pencahayaan merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangbiakan Aedes aegypti. Umumnya nyamuk Aedes aegypti sangat menyukai daerah yang lembab dan pencahayaan yang kurang atau gelap. Kelembaban dan pencahayaan tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan densitas Aedes aegypti, dikarenakan lokasi penempatan ovitrap di dalam rumah umunya berada pada daerah sekitar dapur dan kamar mandi yang memiliki banyak tempat penampungan air. Penampungan air inilah yang menjadi pesaing bagi ovitrap untuk nyamuk Aedes aegypti dalam meletakkan telurnya. Hal tersebut membuat kecil kemungkinan ovitrap berisi banyak telur. Berbeda dengan penelitian eksperimen yang dilakukan Kuswati (2004), mengemukakan bahwa nyamuk Aedes aegypti menyukai habitat perkembangan berupa kontainer yang berada di tempat yang gelap atau terlindung dari cahaya. Kepadatan penghuni rumah merupakan jumlah orang/jiwa yang menghuni tiap rumah.
73
Nurdiansah Sahrir
ISSN 2252-5416
ada hubungan antara kepadatan penduduk dengan keberadaan vektor DBD. Menurut Antonius (2005), yang menyatakan bahwa daerah yang terjangkit demam berdarah dengue pada umumnya adalah kota/wilayah yang padat penduduk. Rumah-rumah yang saling berdekatan memudahkan penularan penyakit demam berdarah dengue. Hubungan Densitas Nyamuk Aedes aegypti dengan Status Endemisitas DBD menunjukkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang bermakna. Status endemis tinggi dan endemis sedang di Kecamatan Kolaka tidak dipengaruhi oleh tingkat kepadatan nyamuk Aedes aegypti. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Djati (2010), mengemukakan bahwa parameter entomologi yang berhubungan secara bermakna dengan status endemisitas adalah Ovitrap Indeks dan Container Indeks per rumah. Selain itu, penelitian yang dilakukan Wati (2009), mengemukakan bahwa densitas vektor yang mempengaruhi perbedaan status endemistas adalah CI dan BI. Boesri dkk (2000), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan telur menjadi nyamuk dewasa hingga menjadi vektor. Salah satu syarat nyamuk menjadi vektor antara lain umur nyamuk antara 8 – 10 hari, kerentanan terhadap virus dan adanya sumber penularan (Depkes, 2002 ; 2004).
UCAPAN TERIMA KASIH Terimkasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada Istri, orang tua dan mertua, atas semua usaha, upaya dan doa beliau sehingga penelitian ini selesai tepat waktu. Terima kasih yang teramat dalam penulis haturkan kepada dr. Hasanuddin Ishak, Ph.D selaku pembimbing I penulis. Terima kasih karena telah bersedia meluangkan pikiran dan waktu yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian. Kepada pembimbing II Prof. Dr.dr. H. Alimin Maidin, MPH yang telah menorehkan jasa yang sangat besar dalam membantu penulis meyelesaikan Tesis ini. DAFTAR PUSTAKA Antonius W.K. (2005). Kebijakan Pemberantasan Wabah Penyakit Menular, Kasus Kejadian Luar Biasa Demam Berdarah Dengue (KLB DBD). Diakses 26 Juli 2015. Availabel from: http:www.theindonesianinstitute.com Boesri H. dkk. (2000). Penelitian untuk Menentukan Indikator Entomologi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Daerah Endemis. Jurnal Kedokteran, 8(3): 72-79. Djati A.P. (2010). Analisis Eko-Epidemiologi Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Gunung Kidul (Tesis). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Depkes RI. (2002). Pedoman Survei Entomologi Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Depkes RI. Depkes RI. (2004). Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor. Jakarta: Depkes RI. Hadi dkk. (2012). Aktivitas Nokturnal Vektor Demam Berdarah Dengue di Beberapa Daerah di Indonesia. Jurnal Entomologi Indonesia. Iskandar dkk. (1985). Pemberantasan Serangga dan Binatang Pengganggu. Jakarta: Pusdiknakes. Kuswati. (2004). Pengaruh Bentuk Kontainer dan Pencahayaan Terhadap Jumlah Larva Aedes aegypti (Tesis). Semarang: Universitas Diponegoro. Oktaviani N. (2009). Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Densitas Larva
KESIMPULAN DAN SARAN Ada hubungan yang bermakna antara suhu dan kepadatan penghuni rumah dengan densitas nyamuk Aedes aegypti (ovitrap index), sedangkan tidak ada hubungan yang bermakna antara kelembaban, pencahayaan, kepadatan penduduk dan kepadatan rumah serta antara densitas Aedes aegypti dengan status endemisitas DBD di Kecamatan Kolaka. Adapun saran setelah melakukan penelitian ini adalah agar menghindari penampungan air akibat curah hujan yang tinggi yang dapat menaikkan kelembaban udara dan berpengaruh terhadap suhu strategi untuk menurunkan densitas nyamuk Aedes aegypti serta pemasangan ovitrap dapat dijadikan alternatif pengendalian karena sifatnya aman dan murah.
74
DBD, Ovitrap Index, Pemetaan, Endemis
ISSN 2252-5416
Nyamuk Aedes aegypti di Kota Pekalongan (Skripsi). Pekalongan: Universitas Pekalongan. Suyasa dkk. (2008). Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku masyarakat dengan Keberadaan Vektor DBD di
Wilayah Kerja Puskesmas 1 Denpasar. Jurnal Ecotropic, 3(1): 1-6. Wati. (2009). Beberapa Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian DBD di Kelurahan Ploso Kecamatan Pacitan Tahun 2010. Jurnal Vektora Vol. III No. 1.
75